Pendekar Gurun Neraka Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Naraka
PEMUDA tinggi besar ini terbelalak dan memandang Wen-taijin dengan mata tak berkedip, tampak tertarik sekali. Sebagai seorang "pembabat hutan", tentu saja cerita tentang sebuah kapak pusaka membuat pemuda itu mengilar. Akan tetapi, karena dia memang belum tahu, maka raksasa ini menggelengkan kepalanya dan bertanya, “Tidak, taijin, hamba tidak tahu. Kapak apakah itu yang paduka katakan dapat menggirangkan hati hamba?”

Wen-taijin tersenyum lebar. “Lek Hui, kapak itu bukan lain adalah Kapak Delapan Dewa!”

“Hahh...?” Lek Hui mengeluarkan teriakan kaget dan matanya melotot. “Kapak Delapan Dewa, taijin?” Bukankah kapak itu sudah lenyap limapuluh tahun yang lampau semenjak Bhok-lo (Si Tua Kayu) Kiu Tong meninggal dunia?”

Kini Kou Cien yang menyela, “Lek Hui, agaknya karena engkau terlalu lama tinggal di luar Tiong-goan maka tidak lagi mendengar kelanjutan cerita tentang kapak pusaka itu. Ketahuilah, sejak meninggalnya Bhok-lo limapuluh tahun yang lalu itu, kapak itu dipegang oleh putera tunggal yang bernama Kiu Hun. Akan tetapi, sayang, Kiu Hun terjerat rayuan seorang wanita iblis berwajah cantik berjuluk Bi-yan-cu yang memang mengincar senjata pusaka itu. Akhirnya, setelah Kiu Hun roboh di bawah telapak kakinya, Bi-yan-cu lalu meracuni putera Kiu Tong itu dan merampas Kapak Delapan Dewa. Kemudian, dua tahun yang lalu orang mendengar bahwa Bi-yan-cu tewas di tangan Cheng-gan Sian-jin dan datuk sesat itulah yang akhirnya mendapatkan kapak pusaka lalu menyerahkannya kepada Raja Muda Kung Cu Kwang melalui Wu-sam-tai-ciang-kun.”

“Ah, begitukah?” Lek Hui terbelalak. “Bi-yan-cu memang pantas mampus karena dia mengangkangi pusaka orang lain secara tidak syah. Akan tetapi, Cheng-gan Sian-jin juga bukan manusia baik-baik dan hamba akan berusaha untuk membunuh iblis tua itu! Pangeran, kalau hamba berhasil, bukankah paduka tetap memenuhi janji untuk memberikan kapak pusaka itu kepada hamba?”

Pangeran Kou Cien tertawa. “Lek Hui, kalau Cheng-gan Sian-jin dan teman-temannya dapat dibasmi, tentu saja aku tidak pelit buat memberikan pusaka itu. Apalagi pemilik aslinya sudah tidak ada dan engkau memang patut memiliki senjata itu. Kepada siapa lagi kapak pusaka itu harus kuberikan kalau bukan kepada dirimu?”

Lek Hui girang sekali dan raksasa muda ini mencemplak kudanya sambil tertawa bergelak. “Bagus, pangeran, terima kasih atas janji paduka ini dan percayalah, hamba sanggup untuk membasmi musuh-musuh paduka itu, ha-ha-ha...!”

Pemuda ini lalu terbang bersama kudanya dan Wen-taijin saling pandang bersama Pangeran Kou Cien, lalu masing-masing tersenyum puas dan tampak gembira. Memang inilah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita, yakni membakar semangat para pembantu sehingga mereka itu siap untuk mengorbankan nyawa sekalipun bagi berhasilnya cita-cita menggempur Wu-sam-tai-ciangkun! Dan memang bantuan orang pandai seperti murid Pendekar Kepala Batu ini benar-benar amat diperlukan sekali oleh mereka, apalagi kalau Pendekar Kepala Batu sendiri mau ikut menerjunkan diri dalam peperangan, tentu hasil yang akan mereka peroleh menjadi jauh lebih memuaskan lagi.

Namun, Pangeran Kou Cen dan Wen-taijin cukup maklum akan watak orang orang sakti seperti guru Lek Hui itu, dan mereka tidak berani main paksa. Adalah sudah amat menggembirakan sekali bahwa Ciok-thouw Taihiap telah mengirimkan muridnya untuk membantu mereka, dan biarlah jika mereka masih tidak sanggup mengalahkan musuh, barulah dicari akal buat "membakar" pendekar lain yang gampang tersinggung untuk membantu mereka.

Tiga orang ini segera menendang perut kuda mereka mengejar Lek Hui yang tertawa-tawa di depan, mendekati batu karang di mana Yap-goanswe tampak berdiri dengan alis berkerut. Agaknya ada apa-apa yang dilihat atau dipikirkan jenderal muda itu, maka pangeran itu cepat membedal kudanya lari menghampiri. Memang apa yang diduga pangeran ini tepat. Ada sesuatu yang sedang dilihat dan dipikirkan oleh Pendekar Gurun Neraka atau yang kini kembali diangkat sebagai jenderal oleh Pangeran Kou Cien itu, sesuatu yang membuat pemuda ini berdebar.

Dan hal ini bukan lain adalah perihal kembalinya jenderal muda itu ke tengah-tengah pasukannya, hal yang membuat perasaannya agak tegang. Seperti diketahui, dalam cerita "Hancurnya Sebuah Kerajaan” yang lalu jenderal muda itu telah berpisah dengan anak-anak buahnya dalam keadaan yang amat buruk dan tidak menyenangkan. Dan itu semua bukan lain adalah gara-gara tuduhan mendiang Sri Baginda Yun Chang akibat fitnah keji Wu-sam-tai-ciangkun.

Tuduhan Raja Muda Yun Chang yang menyatakan dirinya berjina dengan Bwee Li pada waktu itu benar-benar amat mengejutkan hati Bu Kong yang baru saja masuk ke dalam istana untuk menghadap sri baginda. Masih teringat dengan baik oleh pemuda itu betapa orang-orang istana pada waktu itu memandangnya dengan muka gelap dan mata penuh kebencian. Bahkan tiga orang pembantunya yang paling dekat, kecuali Fan Li, juga memandang seperti orang memandang kotoran busuk di pecomberan. Betapa mata mereka memandang dengan penuh kejijikan, dan kekecewaan yang amat sangat terbayang di mata tiga orang itu yang bukan lain adalah Panglima Tang Bouw, Panglima Kok Hun serta Panglima Ong.

Bersama Fan Li, mereka berempat adalah pembantu-pembantu setianya yang amat disuka. Akan tetapi, semenjak peristiwa jahanam itu, tiga dari empat orang pembantunya berbalik seratus delapan puluh derajat kepada dirinya dan sikap bermusuhan memancar dari mata tiga orang pembantunya itu. Pemuda ini memang tahu bahwa para pembantunya itu adalah orang-orang yang paling benci terhadap kejahatan dan kemunafikan.

Padahal mereka memandang dirinya sebagai jenderal yang didewa-dewakan oleh seluruh pasukan, pemuda yang tersohor dingin terhadap wanita. Siapa tahu, orang yang didewa-dewakan ini ternyata adalah pemuda yang berpura-pura alim saja padahal di dalam hatinya penuh dengan pikiran busuk sehingga tidak segan-segan untuk berjina dengan selir junjungan mereka sendiri.

Kenyataan ini memang membuat semacam "shock" bagi anak buah dan pasukan Yueh, maka tidaklah terlalu heran kalau mereka itu memandang dirinya dengan penuh kebencian. Akan tetapi, sekarang, bagaimanakah sambutan bekas anak-anak buahnya itu? Masih adakah di antara mereka yang tidak menyenanginya. Masih adakah di antara mereka yang membencinya? Diam-diam jenderal muda ini tersenyum pahit. Perbuatan Wu-sam-tai-ciangkun benar-benar keji sekali. Fitnah yang dilempar tidak hanya menimpa dirinya saja, akan tetapi, akibatnyapun juga ikut-ikut menyeret orang lain.

Seperti misalnya pasukan Yueh ini gara-gara fitnah itulah maka dia bersumpah untuk tidak lagi berhubungan dengan pasukan Yueh yang pada waktu itu dipimpin oleh Sri Baginda Yun Chang. Dan seandainya raja muda itu masih hidup, biar pasukan Yueh minta dia kembali ke tengah-tengah mereka sampai menunggu dengan air mata berdarah sekalipun belum tentu pemuda ini sudi!

Akan tetapi, syukurlah, keadaan telah merobah mereka sedemikian rupa. Pasukan Yueh sekarang bukanlah "pasukan Yun Chang" karena raja muda itu telah tewas ketika Wu-sam-tai-ciangkun menyerbu kota raja. Dan ini berarti sumpahnya tidak dijilat kembali karena bekas anak-anak buahnya sekarang adalah "pasukan Kou Cien". Dengan demikian, dia dapat mendekati pasukannya seperti dulu dan dapat berada di tengah-tengah mereka.

Namun, bagaimanakah sambutan mereka nanti? Inilah yang agak menegangkan Bu Kang dan membuat pemuda itu mengerutkan alis. Satu jam sudah dia berada di atas batu karang itu, selain untuk melihat kemungkinan-kemungkinan bagi mendaratnya pasukan yang akan dipimpinnya dari Pulau Cemara, juga karena dia dibimbangkan perasaan ini. Sungguh mati, kalau Kou Cien tidak mendebatnya sedemikan rupa pada waktu mereka bertemu di luar Gurun Neraka, agaknya Bu Kong lebih baik bekerja sendiri dengan caranya sendiri pula.

Tidak pernah terpikir olehnya bahwa kelak dia masih harus kembali dan dapat berada di tengah-tengah anak buahnya lagi. Maka perubahan yang agak mendadak ini sejenak membuatnya bingung dan resah, apalagi ketika mendengar berita ditangkapnya Siu Li oleh Ok-ciangkun. Berita ini benar-benar mengejutkan sekali, persis seperti apa yang pernah diduganya ketika dia baru saja berhasil menguasai tiga jurus sakti inti Lui-kong Ciang-hoat. Akan tetapi, yang paling membuat jenderal muda itu mendidih adalah berita tentang perbuatan Ok-ciangkun yang hendak memaksa puterinya menikah dengan Pouw Kwi.

Hal ini sungguh membuat kemarahannya menggelegak dan kalau saja dia tidak "diikat" oleh Pangeran Kou Cien dengan jabatan yang telah diberikan di atas pundaknya, agaknya Bu Kong sudah terbang ke kota raja menghabisi musuh-musuhnya dan membebaskan Siu Li dari cengkeraman ayahnya. Akan tetapi, celaka, Pangeran Kou Cien rupanya orang yang amat cerdik.

Terbukti bahwa Fan Li baru memberitahukan berita ditangkapnya gadis itu setelah dia diangkat sebagai jenderal. Dengan begini, tentu saja dia tidak dapat ”lari” seenaknya karena ikatan antara dia dengan pasukan pangeran itu telah terjadi. Dengan demikian, dia tidak bisa berbuat seperti kalau dia masih bebas sebagai orang kang-ouw.

Diam-diam Bu Kong menyesalkan Fan Li yang tidak segera menceritakan peristiwa itu kepadanya. Kalau tidak, tentu dia dapat segera menuju ke kota raja dan mencari kekasihnya di sana. Akan tetapi, jenderal ini akhirnya menarik napas panjang karena dia maklum bahwa semua sikap yang diambil pangeran itu memang rupanya sudah direncanakan.

Pangeran Kou Cien memang cerdik, hal ini Bu Kong sudah tahu. Apalagi ditambah dengan Wen-taijin yang selalu berada di samping pangeran itu, maka tidak heran kalau dari otak dua orang tokoh Yueh ini muncul gagasan-gagasan matang yang membuat keberhasilan rencana-rencana mereka. Dan Fan Li tentu sudah dipesan oleh pangeran itu agar menceritakan tentang Siu Li setelah dia berjanji membantu pangeran itu. Sungguh akal yang cerdik dan tidak kentara sehingga diam-diam jenderal muda itu merasa gemas terhadap pangeran itu. Namun syukurlah, bahwa pangeran ini tidak seperti mendiang Raja Muda Yun Chang.

Kalau Yun Chang adalah seorarg raja muda yang agak sembrono dan mau main menang sendiri, adalah Pangeran Kou Cien itu merupakan pangeran yang selalu berhati-hati dan tidak segan-segan apabila dibetulkan sikapnya oleh orang lain. Seperti misalnya Wen-taijin itu. Berapa kali sudah bangsawan tua ini memperingatkan pangeran itu akan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya dan tidak pernah pangeran itu marah-marah.

Kou Cien adalah seorarg pangeran yang terbuka sikapnya dan sebenarnya di antara pangeran ini dengan kakak tirinya, yaitu Raja Muda Yun Chang, terdapat ketidakcocokan sikap. Itulah sebabnya mengapa pangeran ini jarang sekali muncul di istana dan ketika terjadi teristiwa Bwee Li, pangeran ini sama sekali tidak tampak di istana.

Dari hubungannya bersama Wen-taijin yang sering memberinya nasihat itulah Bu Kong tahu akan watak Pangeran Kou Cien. Diam-diam pemuda ini merasa suka, apalagi pangeran itu adalah seorang pangeran yang ramah-tamah dan sering dia diundang ke gedung pangeran itu dalam perjamuan makan. Semuanya ini terjadi hampir setahun yang lalu dan setelah dia meninggalkan istana, Bu Kong sudah tidak pernah bertemu lagi dengan dua orang bangsawan itu. Dan, baru pada tiga hari yang lalu mereka kembali berjumpa secara tiba-tiba.

Kini, atas ajakan pangeran itu, dia telah berdiri di pantai Laut Tung-hai untuk menemui pasukannya di Pulau Cemara. Tentu saja jenderal muda itu agak tegang, namun mengingat sikap sang pangeran sendiri terhadap dirinya, akhirnya Bu Kong dapat menindas perasaan tidak enak di dalam hatinya. Dia sudah datang, dan biarlah dia lihat saja apa perkembangannya nanti. Kalau anak-anak buahnya bersikap seperti sang pangeran sendiri, inilah hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi kalau mereka masih membencinya, banyak kesempatan baginya untuk meninggalkan orang-orang itu dan pergi sendiri ke kota raja untuk menolong Siu Li.

Dengan pikiran yang sudah bulat dan mantap ini perasaan jenderai muda itu menjadi tenang. Pulau Cemara samar-samar tampak dari kejauhan, dan dia memandang ke sekeliling mencari perahu. Akan tetapi, aneh, pantai ini sama sekali mati. Tidak tampak perkampungan nelayan di situ, dan tentu saja tidak tampak pula perahu-perahu layar. Dia menjadi bingung karena kalau tidak ada sebuahpun perahu di tempat ini, lalu bagaimana mereka dapat menyeberang?

Dan pada saat dia sedang berpikir itulah Pangeran Kou Cien bersama rombongannya datang. Suara ketawa Lek Hui yang bergelak telah mendahului orangnya dan Bu Kong tersenyum kecil. Sikap raksasa muda yang agak kasar namun terbuka ini menarik perhatiannya. Diam-diam dia merasa girang bahwa pangeran telah mendapatkan seorang pengawal pribadi macam pemuda tinggi besar itu. Dari kepandaian mengukur tenaga beberapa hari yang lalu, Bu Kong tahu bahwa murid Ciok-thouw Taihiap ini cukup berisi dan dapat diandalkan.

Maka tentu saja dia merasa gembira karena kalau di tempat mereka ada pemuda seperti itu, berani kedudukannya menjadi bertambah kuat. Hanya dia masih sangsi apakah Lek Hui betul-betul mampu menandingi Cheng-gan Sian-jun yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian itu.

Tiba-tiba, bertepatan dengan datangnya rombongan sang pangeran, mendadak muncul dua buah perahu layar di tengah laut. Bu Kong terkejut dan dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya dua buah perahu layar itu memasang bendera hijau dan mereka datang dari arah Pulau Cemara. Tentu saja jenderal itu berdebar dan menjadi girang. Apalagi ketika dilihatnya betapa dua buah perahu itu sedang menuju ke pantai!

“Ahh...!” Bu Kong mengeluarkan seruan tertahan dan Pangeran Kou Cien yang telah sampai di bawah batu karang berteriak nyaring, “Goanswe, apa yang kau lihat? Kenapa kau termenung di situ?”

Bu Kong menoleh, kemudian melompat turun dan menjura. “Pangeran, hamba melihat dua buah perahu layar menuju ke mari. Apa yang hendak paduka lakukan?”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ha, apa yang hendak kulakukan? Tentu saja mencari perahu untuk menyeberang!”

“Akan tetapi, pangeran,” jenderal ini mengerutkan alisnya. “Di tempat ini sama sekali tidak ada perahu. Kaum nelayan juga tidak tampak dan di mana kita bisa memperolehnya?”

“Eh, bukankah kau bilang ada dua perahu sedang menuju ke mari? Nah, kenapa tidak mempergunakan mereka saja?” jawab pangeran itu dengan wajah berseri.

Bu Kong terbelalak. “Namun kita belum tahu perahu siapakah itu, pangeran. Apakah paduka hendak memerintahkan untuk menangkap dan merampas dua buah perahu itu?"

Melihat alis jenderal muda ini mengernyit. Pangeran Kou Cien tiba-tiba tertawa. “Goanswe, siapa yang bilang begitu? Aku tidak berkata demikian!”

“Memang betul paduka tidak berkata demikian, akan tetapi, sikap paduka menunjukkan tanda-tanda demikian,” pemuda ini membantah dan Lek Hui yang suka tertawa itu kini kembali tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Yap-goanswe memang berwatak mulia! Kalau pangeran hendak menyuruh dia merampas perahu orang lain agaknya dia tentu menolak. Mengapa pangeran, tidak terus terang saja? Eh, Goanswe, bukankah perahu yang menuju ke mari itu bertanda jangkar di atas tiang?”

Bu Kong terkejut dan menoleh ke arah raksasa muda ini. Sebenarnya perahu di tengah laut masih jauh, namun berkat ketajaman matanya dia memang melihat tanda jangkar di atas tiang layar itu. Bagaimana Lek Hui yang belum melihat sudah tahu? Oleh karena merasa heran Bu Kong malah balas bertanya, “Auw-twako, bagaimana kau bisa tahu? Apakah itu perahu-perahu kita sendiri? Kulihat mereka muncul dan arah Pulau Cemara.”

Kini Wen-taijin yang melangkah maju sambil menganggukkan kepalanya pembesar ini berkata, “Goanswe, dugaanmu memang tidak keliru. Pangeran telah memerintahkan agar hari ini Ong-ciangkun menunggu kedatangan kami di sini. Itulah sebabnya mengapa pangeran tenang-tenang saja meskipun tidak melihat perahu nelayan karena kami telah membawa perahu sendiri. Semenjak terjadinya badai beberapa waktu yang lalu, kaum nelayan tidak berani lagi mendekat pantai dan hal ini bagi kami malah kebetulan karena dengan demikian, gerakan kita nanti tidak terganggu.”

“Oo, begitukah?” Bu Kong tercengang dan sekarang dia mengerti. Namun, mendengar hal bahwa Ong-ciangkun berada di salah satu perahu itu untuk menjemput kedatangan mereka, jenderal itu segera teringat akan wajah panglima muda itu dan diam-diam hatinya berdebar.

Panglima Ong adalah seorang panglima muda, murid Hui-to Lo-kai yang tewas dalam pertempuran sengit beberapa waktu yang lalu. Bahkan panglima itupun menderita cacad seumur hidup karena lengan kanannya buntung dibabat pedang Siu Li. Maka kini mendengar bahwa panglima muda itu yang datang, pemuda ini menjadi tegang juga. Teringat dia akan sikap panglima itu ketika tuduhan Yun Chang dilontarkan. Betapa pembantunya ini memandang dengan sinar mata tak acuh dan muak terhadap dirinya yang disangkanya benar-benar berjina dengan selir sri baginda itu.

Sekarang, bagaimanakah sambutan panglima muda itu? Bu Kong tahu bahwa Panglima Ong adalah seorang laki-laki berwatak gagah. Buntungnya lengan dibacok Siu Li dulu sama sekali tidak membuatnya dendam karena hal itu terjadi dalam peperangan. Dan bagi seorang perajurit, resiko cacat atau nyawa terbang sekalipun tidak menjadi soal karena hal itu memang biasa saja terjadi.

Namun, dalam masalah pribadi yang menyangkut nama baik diri atasannya yang munafik, bagi Ong-ciangkun adalah hal lain yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dari dalam hatinya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau panglima muda itu menjadi marah ketika mendengar bahwa Yap-goanswe yang diagung-agungkan sebagai dewanya perang ini ternyata sampai hati berbuat yang tidak senonoh. Berjina dengan selir raja. Betapa hina dan memalukan perbuatan itu!

Sekarang, kembali Bu Kong akan berjumpa dengan bekas pembantunya ini. Bagaimanakah sambutannya? Masih berang? Masih memandangnya dengan sorot tak acuh dan sinis? Entahlah! Bu Kong menarik napas panjang. Dia belum dapat memastikan sikap apa yang akan diperlihatkan oleh panglima muda itu, namun dia sendiri bersikap tenang dan ingin melihat keadaan. Sikap Pangeran Kou Cien sedikit banyak merupakan jaminan bagi dirinya, maka agaknya tidak perlu dia terlalu cemas.

Sementara itu, Lek Hui yang merasa gembira karena ada perahu datang, sudah melompat di atas batu karang yang tadi dipakai Bu Kong. Sambil tertawa-tawa pemuda tinggi besar ini mengeluarkan sebuah kain merah dan sambil mengebutkan kain itu raksasa muda ini berteriak ke tengah laut dengan suaranya yang menggeledek, “Heii, Ong-ciangkun...! Cepat dayung perahu kalian. Lihat, pangeran telah datang bersama Yap-goanswe...!”

Karena murid Ciok-thouw Taihiap ini mengerahkan tenaga khi-kang dalam seruannya, maka teriakannya itu menggetarkan permukaan laut dan terdengar sampai jauh. Semua orang merasa kagum melihat kehebatan suara yang menggelegar dari pemuda ini dan merekapun lalu berlompatan di atas batu-batu karang yang banyak terdapat di situ dan ikut melambai-lambaikan saputangan yang mereka bawa.

Kini tampaklah perahu layar di tengah laut itu tiba-tiba bergerak lebih cepat. Agaknya teriakan dahsyat yang dikeluarkan Lek Hui tadi sampai ke telinga mereka atau agaknya kain merah yang menyolok warnanya itu tampak dari kejauhan, dan kini perahu yang ada di sebelah kanan tiba-tiba melepaskan sebuah panah hijau di atas laut. Itulah pertanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu melihat rombongan sang pangeran di pantai daratan besar dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka mendayung perahu sekuat tenaga. Sepuluh orang bekerja keras dan masing-masing membantu tiupan angin laut dengan dayung mereka sehingga dua buah perahu itu meluncur seperti torpedo.

Bu Kong berdiri tegak di atas batu karang dengan hati berdebar dan mata hampir tak pernah berkedip. Dua buah perahu di tengah lautan lepas itu kini semakin dekat dan orang-orangnyapun juga tampak lebih jelas. Dengan sepasang matanya yang tajam luar biasa, jenderal ini melihat betapa seorang panglima berpakaian kuning tampak memberi aba-aba kepada sembilan orang anak buahnya dengan tergesa-gesa. Usianya masih cukup muda, tidak lebih dari dua puluh lima tahun dan mukanya yang putih itu cakap sekali, namun lengan kanannya buntung. Inilah dia Panglima Ong yang dipanggil-panggil Lek Hui tadi.

Perahu layar itu bergerak cepat di atas laut dan tidak sampai duapuluh menit kemudian, sepuluh orang penumpangnya telah dapat melihat jelas wajah sang pangeran serta rombongannya yang berada di atas batu-batu karang. Saat inilah yang merupakan puncak ketegangan bagi Bu Kong. Pemuda itu melihat betapa orang-orang di dalam perahu melotot matanya dan ketika mereka membentur diri jenderal ini yang berdiri tegak di atas batu karang, sedetik tampak kekagetan di wajah orang-orang itu.

Namun, hal ini hanya berlangsung sekejap saja karena begitu orang-orang itu sadar, Ong-ciangkun yang berada paling depan di kepala perahu sudah berteriak dengan suara parau, “Yap-goanswe...!” dan segera orang-orang lainnnyapun juga berteriak memanggil nama jenderal muda itu.

Bu Kong merasa "plong" dan dia melihat dengan penuh keharuan betapa sepuluh orang im mendaratkan perahu secara tergesa-gesa di pantai sehingga hampir saja mereka terguling dan serentak semua orang berlompatan turun menghampiri pemuda ini sambil melemparkan dayung masing-masing.

“Yap-goanswe...!”

“Hidup Yap-goanswe...!”

Teriakan dan pekik ini saling susul-menyusul dan tampak betapa kegembiraan besar melanda sepuluh orang itu. Bahkan Panglima Ong yang pertama kali meneriakkan nama Yap-goanswe sudah tidak sabar menunggu perahu mendarat. Panglima ini sambil berteriak parau telah menceburkan diri di air laut dan kini dengan pakaian basah kuyup berlari-lari menghampiri batu karang di mana jenderal muda itu berdiri!

Bu Kong terharu bukan main dan dia tak dapat menahan perasaannya lagi. Melihat betapa Ong-ciangkun berlari-lari menghampirinya dengan pakaian basah kuyup, pemuda ini melompat turun dari atas batu karang.

“Yap goanswe....! Puja-puji kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa kau mau kembali kepada kami! Oh, Dewata Yang Agung, terima kasih... terima kasih...!” Panglima Ong berseru dengan suara serak dan begitu muncul dari dalam air, panglima ini menubruk jenderal muda itu dan berlutut sambil mencucurkan air mata kebahagiaan!

Sementara itu, sembilan orang anak buah Ong-ciangkun yang juga berlari-lari menghampiri jenderal ini telah tiba, dan serentak semua memekikkan nama dewa perang itu sambil membanting tubuh berlutut.

“Yap-goanswe, terima kasih kepada segala dewa bahwa engkau mau datang kepada kami orang-orang berdosa ini...!”

“Yap-goanswe, harap kau ampunkan kami, orang-orang yang mudah percaya hasutan ini. Semoga dengan kembalimu ini, kami dapat menuntut balas terhadap musuh yang amat keji...!”

“Yap-goanswe, kalau kau tidak mau mengampuni kami, biarlah kami membunuh diri di hadapanmu sebagai penebus dosa!”

“Benar, kami rela menebus dosa, goanswe! Kalau kau tak dapat memaafkan kami, detik ini juga aku akan menyerahkan kepalaku kepadamu!”

Demikianlah, teriakan tak mau kalah itu membuat suasana tiba-tiba menjadi gaduh dan Bu Kong tersentuh hatinya. Sepuluh orang itu rata-rata telah menyatakan penyesalan mereka yang mudah percaya hasutan musuh, dan kini mereka rela membunuh diri di hadapannya kalau dia menghendaki! Nyatalah sekarang olehnya bahwa bekas anak-anak buahnya itu ternyata masih tetap seperti dulu, masih setia dan memiliki tanggung jawab besar atas perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan.

Tentu saja Bu Kong terharu dan pemuda ini meramkan matanya. Sambutan yang demikian hangat serta penuh kesetiaan itu menusuk hatinya. Dia hendak bicara, namun tenggorokannya tersekat. Dan melihat betapa orang-orang itu berlutut sambil mencucurkan air mata memandang dirinya penuh harap-harap cemas, jenderal ini menjadi basah pula matanya.

“Kawan-kawan...” akhirnya Bu Kong membuka matanya dan berkata dengan suara gemetar, “Bangunluh kalian semua. Tidak ada yang bersalah di antara kalian, tidak ada yang berdosa. Semua yang terjadi di antara kita adalah salah paham belaka. Sekarang bangkitlah, beri hormat dahulu kepada pangeran, nanti kita bicara lagi...!”

Kata-kata ini membuat sepuluh orang itu seperti disengat ular berbisa saking kagetnya dan Panglima Ong-lah yang tampak paling terkejut. Benar, saking gembiranya dan terharunya melihat Yap-goanswe mau datang di tengah-tengah mereka, rombongan ini telah melupakan Pangeran Kou Cien yang berdiri di situ! Tentu saja panglima itu kaget dan wajahnya menjadi pucat. Karena diliputi perasaan yang meluap, mereka semua telah memberikan hormat terlebih dahulu kepada Yap-goanswe, bukan kepada sang pangeran! Hal ini dapat dianggap melanggar sopan-santun kemiliteran dan Panglima Ong cepat berdiri dan dengan tergopoh-gopoh menghampiri pangeran itu yang merupakan tokoh utama bagi pasukan Yueh.

“Pangeran, hamba sekalian telah melakukan kesalahan. Kalau paduka hendak menurunkan hukuman, hamba akan menerimanya secara jujur...” panglima muda ini berlutut di depan kaki Kou Cen dan diturut pula oleh sembilan orang anak buahnya.

Akan tetapi, Kou Cien adalah seorang pangeran bijaksana. Dia maklum apa yang menyebabkan orang-orang ini melupkan dirinya, maka tentu saja dia tidak tersinggung. Kini mendengar ucapan Panglima Ong yang mewakili teman-temannya itu, pangeran ini malah tertawa. “Ong-ciangkun, bangunlah. Tidak ada yang bersalah di antara kita, tidak ada yang berdosa. Ha-ha, bukankah demikian kata-kata Yap-goanswe tadi? Nah, aku percaya akan kata-katanya itu dan apa yang terjadi hanyalah luapan emosi belaka! Eh, Yap-goanswe, bukankah demikian keadaannya?”

Pangeran itu menoleh ke arah Bu Kong dan mengangkat tangan kirinya menyuruh orang-orang ini bangun. Bu Kong tersenyum mendengar pangeran itu menirukan kata-katanya akan tetapi, dengan sungguh-sungguh dia menjawab, “Pangeran, apa yang paduka katakan memang tepat. Semua di antara kita adalah orang-orang yang penuh emosi. Namun, kalau kita dapat menahan diri, agaknya semua itu tidaklah sampai terjadi. Bukankah demikian, Wen-taijin?”

Pembesar tua ini batuk-batuk, agak terkejut karena jenderal muda ini bertanya kepadanya secara tiba-tiba. “Ehem, apa yang goanswe katakan memang benar. Kita memang orang-orang yang mudah dipengaruhi emosi. Akan tetapi, kalau kita tidak dipengaruhi emosi begini, bukankah goanswe dan kami mungkin tidak akan bersatu kembali?”

Pangeran Kou Cien tertawa lebar. “Ha-ha, Paman Wen memang pintar! Dengan kata-katanya ini, bukankah dia hendak mengingatkan kita bahwa Yap-goanswe masih ditunggu-tunggu oleh pasukannya di Pulau Cemara? Eh, Ong-ciangkun, bukankah dugaan kami ini benar? Salahkah kalau kukatakan bahwa selaksa orang di Pulau Cemara sedang menantikan datangnya persatuan ama mereka dengan Yap-goanswe?”

Ong-ciangkun menjura dengan penuh hormat. “Pangeran, kata-kata paduka memang benar. Hampir sebulan mereka menunggu-nunggu hadirnya Yap-goanswe ditengah-tengah mereka seperti dulu dengan perasaan gelisah, dan tadi pagi Tan-ciangkun bersama rekan hamba Panglima Tang Bouw menyeberang kemari. Mereka dengan penuh harap menantikan kedatangan Yap-goanswe, bahkan Tan-ciangkun berkata bahwa kalau Yap-goanswe tidak mau datang karena sikap kita yang keliru dahulu, Tan-ciangkun akan membunuh diri sebagai rasa penyesalannya terhadap Yap-goanswe.”

Bu Kong terkejut dan memandang panglima itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi, Ong-ciangkun juga memandangnya dan di kedua mata panglima muda ini terbayang penyesalan mendalam. Maka ketika melihat betapa jenderal itu memandangnya, Panglima Ong berkata lagi dengan suara sungguh-sungguh,

“Goanswe, apa yang kukatakan di sini tidaklah main-main. Kalau usaha pangeran tidak berhasil, hal ini tentu disebabkan karena kesalahan kami tiga orang panglima yang dulu telah menyakiti hatimu. Oleh sebab itu, kami bertiga telah bersepakat untuk membunuh diri sebagai rasa penyesalan kami jika sang pangeran tak berhasil mengundang engkau ke mari!”

“Ong-ciangkun....!” Bu Kong berseru kaget dengan wajah berobah, akan tetapi, Ong-ciangkun sendiri sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. “Goanswe, dengan terus terang kuakui di sini bahwa kami dahulu memang membencimu ketika mendengar tuduhan mendiang sri baginda. Kami berdosa kepadamu yang ternyata sama sekali tak bersalah sedikitpun. Dan kini, akibat dari sikap kami itu telah menghancurkan pasukan Yueh dan kalau bukan engkau yang turun tangan, mana kami mampu, goanswe? Kami berdosa besar kepadamu dan kini untuk menebus semua dosa-dosa itu kami siap mengorbankan nyawa. Goanswe, dapatkah kau maafkan kesalahan kami ini?”

Bu Kong membungkukkan tubuhnya dan cepat mengangkat bangun panglima muda itu, kemudian dengan suara terharu dia berkata, “Ong-ciangkun seperti tadi telah kukatakan kepada kalian semua, bahwa tidak ada yang bersalah di sini. Peristiwa-peristiwa yang menimpa kita adalah hasil siasat musuh belaka. Kepada merekalah kita harus menuntut balas. Akan tetapi, kalau kau benar-benar merasa menyesal dalam hal ini, baiklah, kumaafkan semua kesalahan kalian tiga orang pembantuku yang biasanya bersikap jujur. Sekarang bangkitlah, ciangkun, jangan terlalu ditindih perasaan yang berlebih-lebihan. Bukankah kau tadi berkata bahwa teman-teman lain di Pulau Cemara masih menantikan kedatangan kita? Nah, bangunlah, mari kita temui mereka bersama-sama sang pangeran...”

Panglima Ong bangkit berdiri, dan kini tampak betapa wajahnya berseri gembira. “Goanswe, kebijaksanaanmu benar-benar menyentuh hatiku. Sungguh kau patut menjadi pimpinan kami orang-orang yang sempit pikiran ini. Terima kasih, goanswe.... terima kasih. Semoga dengan tambahan engkau di tengah-tengah kami maka pasukan kita akan jaya seperti semula!”

Bu Kong tersenyum dan Pangeran Kou Cien bertepuk tangan. “Ha-ha, harap ciangkun tidak usah khawatir!” kata pangeran itu sambil tertawa. “Kutanggung bahwa hadirnya Yap-goanswe di tengah-tengah kalian ini pasti akan membuat pasukan Yueh jaya sepanjang masa. Bukankah begitu, Paman Wen?”

Wen Chung tersenyum. “Begitulah, pangeran. Dan hamba yakin bahwa kita akan dapat berdiri kembali berkat bantuan Yap-goanswe.”

Mendengar pujian dua orang itu, muka Bu Kong menjadi merah dan pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya sambil menjawab, “Ji-wi (Anda berdua) terlalu memuji setinggi langit kepadaku. Kalau aku berhasil, inilah hanya berkat kerja sama belaka dengan para panglima serta pasukan Yueh sendiri. Oleh sebab itu, merekapun berhak mendapatkan penghargaan. Pangeran, tidakkah kita segera berangkat saja?”

Kalimat terakhir ini membelokkan pembicaraan karena Bu Kong memang merasa kikuk kalau orang selalu memuja-muji dirinya. Oleh sebab itu, dengan pertanyaan ini sekaligus semua orang diarahkan pikirannya kepada maksud semula dan Pangeran Kou Cien mengangguk sambil tersenyum.

“Ah, goanswe benar. Hampir saja kita berlarut-larut membicarakan hal-hal yang kurang perlu. Eh, Ong-ciangkun, bukankah dua buah perahu kalian sanggup memuat kita semua yang berada di sini berikut kudanya?”

Panglima Ong membungkukkan tubuhnya. “Tidak perlu khawatir, pangeran. Parahu yang kami persiapkan untuk paduka serombongan ini cukup besar. Silahkan paduka naik dan biarlah lima ekor kuda ini bersama kami di satu perahu.”

“Ah, kau mau berkumpul dengan kuda-kuda kami yang berkeringat ini, ciangkun?” Pangeran Kuo Cien tertawa. “Aha, bagus sekali kalau begitu. Tubuhmu yang basah kuyup ini memang pantas kalau dicampur dengan lima ekor kuda yang juga penuh peluh, ha-ha!”

Pangeran itu tertawa geli dan semua orang juga ikut ketawa mendengar olok-olok ini. Panglima Ong sendiri tampak menyeringai kecut dan untunglah bahwa sang pangeran tidak menggodanya lagi dan kini telah menghampiri perahu sambil tersenyum-senyum.

Demikianlah, satu persatu rombongan ini masuk ke dalam perahu dan Ong-ciangkun memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mendayung perahu yang ditumpangi pangeran, sementara dia sendiri berada di perahu lain bersama sisa anak buahnya. Perahu meluncur lain dan mulailah mereka meninggalkan daratan besar menuju ke Pulau Cemara. Pantai yang tadi tampak luas kini semakin lama semakin mengecil dan menciut sampai akhirnya hilang karena menjadi satu dengan laut di kaki langit sana.

Gerakan pasukan Yueh dalam cita-citanya menggempur Wu-sam-tai-ciangkun dimulailah. Dan ini diawali dengan hadirnya kembali Jenderal Muda Yap yang gagah perkasa itu di tempat anak-anak buahnya. Namun, berhasilkah kiranya cita-cita mereka ini? Kita lihat saja...

Untuk mempersingkat waktu agaknya tidak perlu di sini kita menceritakan sambutan yang diperoleh Yap-goanswe dan anak-anak buahnya di Pulau Cemara. Sama seperti sambutan Ong-ciangkun di tepi pantai daratan besar yang penuh kegembiraan dan semangat, begitu pula adanya sambutan anak-anak-buah Bu Kong ketika tiba di Pulau Cemara. Bahkan kalau dibandingkan, sambutan yang diterimanya di pulau ini jauh lebih hebat. Dan hal ini dapat dimaklumi karena selaksa perajurit itu tidak ada satupun yang ketinggalan dalam mengelu-elukan kedatangan jenderal mereka ini.

Pulau Cemara tiba-tiba menjadi gaduh dan bising dengan tambur-tambur serta genderang yang dipukul gencar. Pekik serta sorak “Hidup Yap-goanswe!” berkumandang di mana-mana dan Bu Kong sendiri sudah diangkat oleh dua orang panglima tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Hun dan Tang Bouw, dibawa lari berputar-putar ke tengah pulau sambil tertawa bergolak namun air mata bercucuran!

Kebahagiaan serta kegembiraan yang meluap-luap dari dua orang panglima itu menbuat mereka tertawa sambil menangis. dan Bu Kong benar-benar terharu bukan main mendapat sambutan sedemikian rupa. Nyatalah olehnya bahwa di sinipun pasukan Yueh benar-benar masih mencintai dirinya sebagai pemimpin besar yang disegani serta dihormati!

Dan pada malam harinya, untuk merayakan persatuan yang terjalin di antara jenderal muda itu dengan pasukan Yueh, Pangeran Kou Cien mengadakan jamuan pesta yang meriah. Diadakannya semacam panggung terbuka ditempat itu dan musik serta nyanyian-nyanyian perang diperdengarkan di sini sehingga semangat setiap orang menjadi semakin berkobar.

Berada kembali di tengah-tengah pasukannya inilah Bu Kong mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat menggembirakan sekali dengan hadirnya beberapa orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi. Pertama-tama sekali tentu saja Phoa-lojin dan muridnya yang merupakan tuan rumah asli, di mana Bu Kong telah menghaturkan rasa terima kasihnya yang amat besar kepada guru dan murid itu.

Lalu hadirnya seorang ketua partai yang benar-benar sama sekali tidak disangka oleh Bu Kong, yakni Kim-sin Sian-jin dari Kong-thong-pai! Kakek ini datang berdua dengan murid kepalanya yang masih hidup, yaitu San Kok Tojin, yang dulu mengalami luku parah akibat pukulan Tok-hiat-jiu dari Tok-sim Sian-li.

Seperti kita ketahui dalam jilid kelima, Ketua Kong-thong-pai ini mengalami sakit hati yang sedalam lautan terhadap Cheng-gan Sian-jin berikut para pembantunya. Gara-gara perbuatan iblis tua itulah maka partai Kong-thong hancur berantakan. Dan pada saat terakhir di mana dia meledakkan bangsal agung, ketua Kong-thong-pai inipun terjerumus ke dalam sumur jebakan yang amat dalam.

Untunglah, karena dia tahu akan seluk-beluk rahasia yang dipasang di tempat itu, kakek ini berhasil keluar dengan tubuh luka dalam. Hantaman Cheng-gan Sian-jin yang amat dahsyat membuat Kim-sin Sian-jin harus beristirahat dua minggu lebih dan baru lukanya sembuh kembali. Dapat dibayangkan betapa sedih dan marahnya kakek itu ketika melihat betapa hampir semua muridnya tewas dalam pertandingan membela partai ini. Dan hanya beberapa orang saja yang menderita luka-luka ringan, di mana mereka ini oleh Kim-sin Sian-jin akhirnya disuruh pergi karena untuk sementara Kong-thong-pai dibubarkan!

Sakit hati yang kelewat sangat membuat Ketua Kong-thong-pai ini bersumpah untuk tidak menjabat sebagai ketua lagi kalau belum berhasil membunuh Cheng-gan Sian-jin. Oleh sebab itu, ditemani oleh Sun Kok Tojin yang juga luka-luka parah, Kim-sin Sian-jin menghilang selama beberapa bulan, bertapa untuk memperdalam kepandaiannya. Dan baru setelah merasa diri sendiri kuat, kakek ini muncul kembali dengan maksud membalas dendam.

Akan tetapi, seperti kita ketahui tidak mudah bagi orang luar membuat perhitungan dengan Cheng-gan Sian-jin yang menjadi koksu di Kerajaan Wu. Hal inipun juga dirasakan oleh Kim-sin Sian-jin. Menyerang datuk iblis itu seorang diri di sarangnya yang penuh dengan orang-orang pandai itu sungguh bukan perbuatan bjaksana. Oleh sebab itu, adalah amat kebetulan sekali bagi Ketua Kong-thong-pai ini ketika pada suatu hari dia berjumpa dengan Phoa-lojin. Kakek nelayan dari Pulau Cemara inilah yang membujuknya untuk bergabung dengan pasukan Kou Cien yang pada saat itu sedang menyusun kekuatan.

Tentu saja usul ini diterima dengan gembira dan segera Kim-sin Sian-jin pergi ke markas pusat sementara pasukan pangeran itu. Memang, kalau dia dapat bekerja sama dengan sebuah barisan besar yang juga sama-sama bermaksud menyerbu kota raja, maka hal ini benar-benar amat menggirangkan. Apalagi Kim-sin Sian-jin sendiri sedikit banyak sudah mengenal Pangeran Kou Cien yang bijaksana dan ramah-tamah terhadap orang-orang lain, maka tanpa ragu-ragu lagi kakek inipun menggabungkan diri.

Demikianlah, akhirnya bekas Ketua Kong-thong-pai ini berada di Pulau Cemara, ikut membantu Kou Cien. Dan beberapa hari kemudian, datanglah susul menyusul orang-orang dari partai Go-bi, Hoa-san, Kun-lun dan lain-lain ke Pulau Cemara untuk bergabung dengan pasukan Yueh dalam rencananya menggempur kota raja.

Hal ini benar-benar mengejutkan dan menggirangkan hati Pangeran Kou Cien. Kiranya, karena sama-sama mengalami sakit hati akibat perbuatan Cheng-gan Sian-jin yang mengumbar angkara murkanya, orang-orang dari partai yang dihancurkan itu kini bersatu padu untuk membalas dendam. Tentu saja kedudukan pasukan Yueh menjadi semakin kuat dengan munculnya orang-orang pandai dan golongan kang-ouw itu. Dan Pangeran Kou Cien sendiri sudah hendak memerintahkan agar para pembantunya mulai mengadakan serangan besar-besaran.

Akan tetapi, empat orang panglima muda menolak usulnya ini. Mereka mengatakan bahwa meskipun kedudukan pasukan Yueh kini cukup kuat, namun seorang pemimpin pandai yang benar-benar cakap belum ada di antara mereka. Oleh sebab itu, empat orang panglima ini mengusulkan supaya mencari saja Yap-goanswe dan mengundang pemuda itu sebagai pucuk pimpinan pasukan.

“Pangeran, harap paduka ingat bahwa musuh yang kita hadapi adalah orang-orang yang amat lihai dan licik. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan kecurangan apapun, seperti contohnya fitnah yang dilemparkan ke Yap-goanswe itu. Dapat pangeran lihat apa akibatnya kini semua menjadi terpecah belah dan istana sendiri direbut musuh. Dan ini semua karena tidak adanya Yap-goanswe di tempat kita yang amat mereka takuti. Oleh sebab itu, mengapa tidak mengundang Yap-goanswe saja agar memimpin kita? Wu-sam-tai-ciangkun telah menjalankan siasat 'mengusir singa dari kandang' dan begitu siasatnya berhasil, kita benar-benar menjadi korban. Maka pangeran, kita harus dapat mencari Yap-goanswe dan meminta kepada pemuda itu untuk kembali kepada kita. Dengan demikian, pertempuran yang akan kita lakukan jauh lebih meyakinkan daripada kalau kita maju sendiri tanpa adanya Yap-goanswe di samping kita. Hanya inilah satu-satunya jalan agar kita dapat menggempur Wu habis-habisan, dan kalau pangeran berhasil menarik Yap-goanswe kemari, kita sekalian hendak meminta maaf atas semua dosa-dosa kita kepadanya dahulu.”

Demikianlah usul yang diajukan oleh empat orang panglima muda itu dan Kou Cien melihat kebenarannya. Memang, nama Yap-goanswe bukanlah nama sembarangan. Jenderal muda itu memiliki pengaruh dan wibawa yang kuat, baik terhadap kawan maupun lawan. Oleh sebab itu, tidak ada jeleknya kalau dia menunda rencananya mengadakan serangan besar-besaran dengan menunggu datangnya Yap-goanswe.

Karena alasan yang diajukan oleh para pembantunya tepat, Pangeran Kou Cien setuju. Segera dia memerintahkan beberapa petugas untuk pergi mencari Yap-goanswe, akan tetapi, Wen-taijin tiba-tiba mencegahnya sambil berkata,

“Pangeran, kalau paduka ingin berhasil maka menurut pendapat hamba, padukalah yang harus maju sendiri. Paduka tahu, Yap-goanswe adalah seorang pemuda yang keras hati dan keras semangat, hal ini kita semua sudah sama tahu. Maka kenapa hendak mengutus orang lain? Kalau paduka setuju, hamba mengusulkan agar paduka bersama Fan-ciangkun disertai pengawal pribadi paduka pergi sendiri saja menemui Yap-goanswe. Dan kalau sekiranya paduka menghendaki, hambapun siap mengantar paduka menemui pemuda itu. Bukankah dengan demikian maka keberhasilan usaha ini jauh lebih memuaskan daripada paduka serahkan kepada orang lain?”

Pangeran Kou Cien terkejut, akan tetapi, segera dia sadar dan menjadi girang. Betul, kalau dia menyuruh petugas-petugas biasa saja untuk mengundang Yap-goanswe, agaknya hanya kegagalanlah yang bakal mereka temui. Lain halnya jika dia sendiri yang maju, apalagi masih ditambah dengan Fan Li yang merupakan sahabat dekat jenderal muda itu dan Wen-taijin yang sendiri yang sedikit banyak menanam "jasa" kepada pemuda itu. Bukankah jalan ini akan jauh lebih berhasil kalau dia sendiri yang mencari?

Itulah sebabnya mengapa pangeran ini lalu berangkat ke Gurun Neraka bersama tiga orang pembantunya dan di sana akhirnya berhasil menundukkan murid Malaikat Gurun Neraka itu. Diam-diam pangeran ini mengakui kebenaran yang dikemukakan oleh Wen-taijin. Kalau saja orang lain yang dia suruh, agaknya debatan keras yang dilancarkan oleh pemuda ini benar-benar akan membuat petugasnya mati kutu dan pulang dengan tangan hampa.

Namun, syukurluh, pemuda yang keras hati dan tidak gampang menyerah itu kini telah berada di tengah-tengah mereka semua. Dan pangeran ini melihat betapa perbedaan menyolok tampak di antara pasukannya itu dengan hadirnya jenderal muda ini. Kalau dulu meskipun orang-orang itu memiliki semangat, namun hampir tiap wajah rata-rata menunjukkan rasa jerih dan bimbang dalam menghadapi musuh. Akan tetapi, begitu Yap-goanswe berada di pulau ini, tiba-tiba saja wajah seluruh perajurit yang tadinya dibayangi keragu-raguan dan perasaan gentar itu lenyap, terganti dengan wajah yang berseri-seri dan mata berkilat penuh kepercayaan terhadap diri sendiri.

Inilah satu langkah positif yang bagi Pangeran Kou Cien sudah dianggap sebagai satu titik meyakinkan ke arah kemenangan. Dia dapat membayangkan bahwa kalau pasukan Yueh ini maju dengan wajah yang diliputi rasa gentar mengingat adanya tokoh-tokoh iblis di Kerajaan Wu, tentu saja hal ini amat buruk pengaruhnya. Akan tetapi, kalau kini mereka dapat maju dengan wajah berseri dan rasa gentar lenyap seperti awan tipis disapu angin dengan hadirnya Yap-goanswe di tempat itu, hal itu merupakan harapan besar bagi keberhasilan cita-cita mereka.

Itulah sebabnya diam-diam pangeran ini merasa girang dan amat berterima kasih sekali atas nasihat Wen-taijin yang telah diikutinya. Kehadiran Yap-goanswe ditengah-tengah anak buahnya ini menumbuhkan semangat empat sampai lima kali lipat kepada seluruh pasukan, dan malam itu tampaklah jenderal muda yang gagah perkasa ini duduk bersama pembantu-pembantu utamanya membicarakan siasat-siasat perang sambil makan minum dalam meja perjamuan.

Pangeran Kou Cien memandang dari meja seberang dengan wajah berseri dan pangeran ini sendiri sedang bercakap-cakap dengan Wen-taijin serta tokoh-tokoh kang-ouw tingkat atas, seperti Phoa-lojin, Kim-sin Sian-jin dan orang lain. Mereka memang tidak mau mengganggu pembicaraan Yap-goanswe, maka itulah sebabnya merekapun duduk dalam meja yang berlainan.

Sementara itu, Bu Kong yang bercakap-cakap dengan empat orang pembantu utamanya ini tampak serius. Dia sedang membicarakan rencana-rencananya kepada para pembantunya itu dan segera terlihatlah lima orang tokoh militer ini dalam pembicaraan yang asyik.

“Su-wi-ciangkun (empat orang panglima).” demikian mula-mula pemuda itu membuka suara, “Ada tiga macam tugas penting yang hendak kuberikan kepada kalian. Pertama-tama, kalian harus menyiapkan dua ratus orang perajurit pilihan untukku setelah pesta berakhir. Kedua, kalian harus membuatkan seratus kapal perang yang bagus dan kuat, sedangkan yang ketiga adalah melatih pasukan kita mulai besok pagi dengan bentuk formasi delapan segi. Dapatkah kiranya kalian menjalankan tiga macam tugas ini? Dan perlu kutambahkan, bahwa pekerjaan nomor dua dan nomor tiga harus selesai dalam waktu dua minggu?”

Empat orang panglima itu terkejut dan memandang Bu Kong dengan mata terbelalak. “Seratus kapal perang, goanswe?” empat orang panglima ini bertanya hampir serempak dan semuanya mengandung keheranan.

Bu Kong menganggukkan kepalanya. “Ya, kenapa kalian terkejut?” pemuda itu balas bertanya.

Kini Kok Hun yang mendahului rekan-rekannya dan panglima tinggi besar yang mukanya penuh brewok itu menjawab dengan suara penasaran, “Goanswe, bukannya waktu yang kau berikan ini yang membuat kami kaget, namun, melainkan perintahmu untuk membuat seratus kapal perang itu! Kalau kami membuat lagi seratus kapal yang bagus dan indah seperti permintaanmu, lalu hendak diapakan perahu-perahu besar yang sementara ini sudah kita punya? Kalau kita ingin menyeberang, kiranya cukup dengan perahu-perahu lama yang ada di sini dan tidak perlu membuat perahu baru!”

Bu Kong tersenyum. Dia cukup mengenal watak Kok-ciangkun yang suka bicara jujur dan blak-blakan ini, maka diapun tidak merasa tersinggung. Sebelum berkata sesuatu, jenderal muda ini kembali memandang empat orang pembantu utamanya itu satu-persatu. “Sam-wi ciangkun (tiga panglima yang lain), apakah kalianpun juga sependapat dengan pernyataan Kok-ciangkun tadi? Memang dilihat sepintas lalu pekerjaan membuat seratus kapal perang ini tampaknya hanya membuang-buang waktu saja. Akan tetapi, harap kalian ketahui, bahwa perintahku ini mengandung muksud tertentu yang belum tiba saatnya kalian ketahui sekarang ini. Pendeknya yang ingin kuminta, dapatkah kalian mengerjakan tugas nomor dua itu sesuai keinginanku? Perahu lama dapat kalian rombak menjadi perahu-perahu baru!”

Karena jenderal muda itu memandang mereka dengan sinar mata tajam, meskipun mereka agak kurang setuju namun mendengar bahwa di balik pembuatan kapal-kapal perang itu tersembunyi suatu maksud tertentu yang belum dikatakan oleh Yap-goanswe, akhirnya empat orang panglima muda inipun menganggukkan kepalanya.

“Goanswe, bukannya kami menolak, akan tetapi, kami semua sebenarnya ingin mengetahui apa sesungguhnya yang kau rencanakan dalam perintah ini. Sebagai pembantu-pembantu utamamu, bukankah kami berhak untuk mengetahuinya?” Kok Hun yang masih penasaran itu kembali bertanya.

Bu Kong memandang panglima tinggi besar ini. “Kok-ciangkun, seperti telah kukatakan tadi, kalian semua belum waktunya untuk mendengarkan rahasia ini. Sebuah kejutan akan kubuat dan kalau kalian sekarang tahu, mungkin kalian akan menghalang-halangi semua rencanaku yang dapat berakibat buruk. Maka harap kalian bersabar dan tunggulah, begitu kita semua tiba di daratan besar, jawaban segera kuberikan dan kalian akan melihatnya sendiri. Bukankah kalian tidak menolak permintaanku ini dan sanggup menyelesaikannya dalam waktu dua minggu?”

Akhirnya empat orang itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah goanswe, kami menyanggupinya!” kata mereka hampir berbareng.

“Nah, bagus kalau begitu.” Bu Kong berseru girang. “Dan tentunya kalianpun dapat pula menyiapkan dua ratus orang setelah pesta berakhir, bukan?”

“Dapat, goanswe. Akan tetapi untuk apakah?” kini Panglima Tang yang bertanya.

Bu Kong memandang pembantunya ini dia dengan mulut tersenyum menjawab. “Aku hendak melatih mereka sebagai pasukan inti. Maka itulah sebabnya mengapa mereka harus sudah dipilih malam ini juga sehingga besok aku dapat turun tangan sendiri menggembleng mereka!”

“Ah, begitukah?” empat orang ini terkejut dan sejenak terbelalak, namun, segera mereka menjadi girang bukan main. Kata-kata jenderal muda ini memang mengejutkan sekali karena selama mereka berkumpul, belum pernah Yap-goanswe turun sendiri untuk melatih sebuah pasukan. Biasanya pemuda ini hanya memberikan teori-teorinya kepada para pembantunya dan bawahannya inilah yang menjalankan tugas.

Kini, tanpa mereka duga Yap-goanswe akan turun tangan sendiri, bahkan melatih dua ratus perajurit puluhan untuk dijadikan pasukan inti! Kalau hal ini sudah dilaksanakan mereka dapat membayangkan bahwa pasukan hasil didikan jenderal perang yang gagah perkasa itu tentu akan merupakan pasukan yang benar-benar kuat dan hebat.

“Ha-ha, goanswe sungguh membuat kejutan bagi kami!” Kok Han yang tak dapat menahan kegirangan hatinya itu sudah tertawa bergelak sambil bertepuk tangan. “Kalau kini pasukan Yueh dilengkapi sebuah pasukan inti hasil gemblengan Yap-goanswe, dapat kita pastikan bahwa Wu-sam-tai-ciangkun bersama antek-anteknya bakal terjepit seperti tikus masuk perangkap. Ha ha, bagus goanswe... bagus, kami setuju sekali!"

Tiga orang panglima lain juga berseri girang dan mereka memandang Bu Kong dengan mata bersinar-sinar. Akan tetapi, pemuda itu sendiri tidak menghiraukan pujian Kok Hun ini dan mengangkat tangannya.

“Kok-ciangkun. harap jangan berbesar hati dulu. Aku telah memutuskan hal ini karena untuk berjaga-jaga agar tidak seorangpun musuh-musuh besar kita lolos. Karena itulah aku merasakan perlunya sebuah pasukan inti untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan buruk. Di samping itu, mulai besok kalian semua harus bersungguh-sungguh dalam melatih pasukan kita yang lain dalam barisan delapan segi. Kota raja harus kita kurung dan semua serangan akan kita tujukan ke satu arah. Oleh sebab itu, formasi yang hendak kugunakan dalam serangan besar-besaran ke kota raja nanti adalah bentuk delapan segi itu. Dan kalian harus melatih mereka dengan disiplin tinggi dan semangat meluap. Aku tidak dapat mengawasi karena harus menggembleng pasukan inti, maka pekerjaan "mendidik" pasukan lain itu kuserahkan kepada kalian. Bukankah kalian juga akan menyanggupi tugas nomor tiga ini dengan baik?”

“Dapat, goanswe. Dan percayalah, kamipun juga akan berjuang sekuat tenaga agar selaksa pasukan kita menjadi perajurit-perajurit yang dapat diandalkan.”

“Bagus, aku percaya janji kalian ini,” Bu Kong menjawab dengan wajah puas. “Dan jangan kalian lupa, pasukanpun perlu dididik latihan ilmu silat, bukan hanya melulu ilmu barisan saja. Oleh sebab itu, hendak kumohon kepada tokoh-tokoh yang ada di sini seperti Kim-sin Sian-jin locianpwe dan orang-orang lainnya agar mereka sudi turun tangan menggembleng pasukan kita dalam ilmu silat ini sehingga merekapun akan merjadi orang-orang yang tangguh dalam pertempuran perorangan. Bukankah kalian tidak keberatan kalau tokoh-tokoh kang-ouw di sini mencampuri tugas kalian dalam melatih perajurit?”

“Ah, tidak goanswe. Bahkan kami akan merasa gembira dan bangga sekali kalau para locianpwe di sini mau membantu kami!” empat orang panglima itu berseru dan Bu Kong menjadi lega mendengar kata-kata yang dikeluarkan dengan hati yang tulus ini.

Oleh sebab itu, diapun dapat melanjutkan pembicaraan-pembicaraan berikutnya dengan suasana santai setelah tiga macam tugas pokok tadi disanggupi empat orang pembantu utamanya ini. Mereka lalu membicarakan situasi musuh, kota-kota apa yang menjadi benteng pertahanan bagi Wu-sam-tai-ciangkun dan mana pula kiranya yang harus mereka serang terlebih dahulu.

Dan ternyata dari hasil pembicaraan ini Bu Kong mengetahui adanya tujuh kota utama yang dijadikan benteng pertahanan Kerajan Wu di luar batas kota raja. Dua terletak berderetan di bagian Utara, lalu dua lagi di bagian Barat dan sisanya berada di sebelah Selatan dan Timur. Dan yang amat menggirangkan adalah kenyataan bahwa benteng pertahanan di Timur ini justeru hanya sebuah kota saja, yaitu kota Koan-yang!

Agaknya karena bagian Timur ini berupa lautan, Wu-sam-tai-ciangkun hanya mendirikan sebuah benteng pertahanan yang justeru paling lemah karena dari arah Timur inilah pasukan Yueh hendak mulai mengadakan serangan besar-besaran. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Bu Kong dan mulailah dia merencanakan siasat-siasatnya untuk mengadakan pembalasan terhadap musuh itu.

Jenderal ini dapat menduga bahwa karena sebelah timur adalah lautan, maka Wu-sam-tai-ciangkun tidak begitu menaruh perhatian karena biasanya bagian daratlah yang dijadikan kekuatan musuh. Dan hal ini memang dapat dimaklumi mengingat bahwa daratan besar sana banyak tempat-tempat strategisnya berupa hutan-hutan lebat ataupun pegunungan-pegunungan luas yang dapat dipergunakan untuk mendirikan kekuatan militer.

Dan tentu saja Wu-sam-tai-ciangkun tidak menduga sedikitpun juga bahwa sisa-sisa angkatan perang Yueh yang dihancurkan itu kini telah menyusun kekuatan di luar daratan besar, yaitu Pulau Cemara yang terletak di seberang lautan bagian Timur!

Hal ini bagi Bu Kong sudah merupakan satu keuntungan besar dan dia percaya bahwa gerakannya kali ini tidak mungkin gagal. Dia telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, seperti misalnya menciptakan pasukan inti yang terdiri dari dua ratus orang, lalu latihan perang dalam formasi delapan segi serta didikan ilmu silat dari tokoh-tokoh pandai kepada anak-anak buahnya.

Semuanya ini memungkinkan satu keberhasilan usahanya dalam menggempur Wu-sam-tai-ciangkun bersama antek-anteknya, maka Bu Kong merasa yakin bahwa dalam walau dua minggu berikutnya tepat sebelum Ok-ciangkun memaksa Siu Li dalam pernikahannya dengan iblis jahanam murid mendiang Ang-i Lo-mo itu, ia sudah berada di kota raja!

Berpikir sampai di sini, Bu Kong mengepalkan tinjunya dengan gemas. Kemarahannya terhadap Wu-sam-tai-ciangkun, terutama Panglima Ok membuat mukanya merah sekali. Akan tetapi, karena di situ terdapat banyak orang, pemuda ini dapat menahan diri dan tidak mengumbar kemarahannya.

Malam itu pesta berakhir dengan wajah gembira dan semua orang kembali ke kemahnya masing-masing dengan wajah puas. Persatuan telah terjalin di antara mereka dengan Yap-goanswe, maka semua perwira dan para panglima merasa semangat mereka semakin berkobar. Hadirnya jenderal muda itu di tengah-tengah mereka benar-benar membuat pasukan ini seperti harimau tumbuh sayap, oleh sebab itu, tidak heran kalau setiap orang sudah membayangkan bahwa mereka pasti dapat membalas dendam dan menang!

* * * * * * * *

Dua minggu kemudian. Waktu dua minggu sebenarnya bukanlah waktu yang terlampau panjang, apalagi bagi su-wi-ciangkun (empat orang panglima Yap-goanswe yang diberi tugas-tugas berat dalam melatih pasukan serta membuat seratus buah kapal perang. Akan tetapi, karena empat orang panglima itu menyadari bahwa waktu memang sudah terlalu singkat bagi Bu Kong untuk segera mulai melakukan missinya menyerang Kerajaan Wu, di mana salah seorang panglimanya menangkap kekasih jenderal muda itu, maka empat orang inipun juga bekerja keras agar pekerjaan merekapun dapat selesai dalam waktu yang sudah ditentukan oleh atasan mereka.

Dan untunglah, berkat adanya kerja sama yang baik diantara mereka serta bawahan, akhirnya tepat pada minggu yang terakhir itu selesailah sudah gemblengan lerhadap seluruh pasukan serta pembuatan seratus kapal perang!

Hal ini amat menggembirakan hati Fan Li dan ketiga orang temannya, dan di malam harinya mereka menemui Yap-goanswe untuk melaporkan kesemuanya itu. Namun, alangkah heran empat orang ini ketika mereka melihat wajah jenderal muda itu sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan. Hanya sekejap wajahnya berseri mendengar perajurit-perajurit sudah dilatih siang malam, akan tetapi, segera wajahnya muram ketika mendengar selesainya seratus kapal perang yang telah mereka buat dengan kerja keras itu.

“Goanswe....” demikian Kok Hun yang mulai membuka suara menyatakan keheranannya, “Mengapa engkau tampak murung mendengar seratus kapal perang telah siap di pinggir pantai? Apakah ada sesuatu yang mengecewakan hatimu? Atau model kapal-kapal itu yang tidak memuaskan seleramu?”

Bu Kong menggelengkan kepalanya. “Tidak Kok-ciangkun, bahkan aku amat bangga dan girang melihat hasil kerja kalian semua yang demikian sungguh-sungguh. Dan justeru kerja keras kalian inilah yang membuat aku agak tidak enak hati. Akan tetapi, demi semangat perjuangan ini semua memang harus kulakukan!”

Bu Kong mengepal tinjunya dan sinar matanya tajam mencorong. Empat orang pembantunya yang mendengar kalimat terakhir menjadi tercengang dan saling pandang. Mereka benar-benar merasa aneh bahwa Yap-goanswe justeru merasa murung melihat mereka kerja keras. Bukankan inipun adalah atas perintah pemuda itu sendiri? Mengapa merasa tidak enak hati? Aneh sekali!

“Goanswe....” kini Panglima Tang yang maju. “Kata-katamu terdengar janggal sekali. Bukankan engkau sendiri yang menghendaki agar kami semua bekerja keras? Kini kami telah melaksanakan tugas yang kau berikan itu, dan kau malah tidak enak hati dan murung. Kalau boleh kami tahu, demi semangat perjuangan apakah engkau tadi berkata demikian?”

Jenderal muda itu menatap panglima ini sejenak dan akhirnya menghela napas panjang. “Tang-ciangkun, sesungguhnya diam-diam aku merasa kasihan kepada kalian yang telah mati-matian bekerja keras, kasihan kepada kapal-kapal perang itu. Namun.... ahh, sudahlah, jangan kalian bertanya lagi tentang hal ini! Empat belas hari kalian telah bekerja berat dan malam ini kalian tentu lelah. Oleh sebab itu, harap kalian beristirahat di tempat masing-masing sebelum kita besok pagi-pagi berangkat. Dan untuk Fan-ciangkun, harap sediakan enam ratus batang anak-anak panah berapi dan berikan itu kepada dua ratus pasukan inti yang berada di samping kemah sang pangeran. Malam ini aku hendak mengaso dan sebelum kalianpun beristirahat, harap beritahu kepada seluruh pasukan bahwa besok pagi-pagi semua kemah harus sudah dirobohkan dan bersih dari permukaan tanah! Nah, mengertikah kalian? Aku tidak mau diganggu lagi dan silahkan kalian mengaso...”

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya mempersilahkan dan Kok Hun yang sudah siap membuka mulutnya inipun tiba-tiba mengurungkan maksudnya untuk bertanya. Kalau Yap-goanswe sudah bilang tidak mau diganggu, maka siapapun mengerti bahwa jenderal itu sedang dilanda perasaan resahnya dan benar-benar tidak mau diganggu. Oleh sebab itu, empat orang panglima muda itu akhirnya saling pandang sekejap lalu menjura dan mengundurkan diri, di mana mereka itu saling kasak-kusuk sendiri di luar membicarakan ucapan Yap-goanswe benar-benar terasa aneh!

Bayangkan, Yap-goanswe merasa kasihan kepada kapal-kapal perang yang sudah dibuat! Apa-apaan ini? Mengapa jenderal muda itu merasa kasihan terhadap benda-benda mati yang kini berderet di pantai laut itu? Hanya Fan Li seorang yang diam-diam merasa tergetar hatinya mendapatkan perintah untuk menyiapkan enam ratus batang anak-anak panah berapi.

“Apakah.... apakah Yap-goanswe hendak...?” sampai disini Fan Li menggoyang kepalanya keras-keras dan membuang dugaannya yang buruk. Sebagai orang yang paling dekat dengan jenderal muda itu, maka panglima muda ini sedikit banyak mengenal watak-watak Yap-goanswe. Perintah memberikan enam ratus batang anak-anak panah berapi kepada dua ratus pasukan inti itu membuat pembantu utama Bu Kang ini mempunyai dugaan mengejutkan. Akan tetapi, karena Fan Li menganggap bahwa tidak mungkin hal itu akan dilakuan Yap-goanswe, maka pemuda itu membuang dugaannya yang jelek itu jauh-jauh.

“Tidak... tidak mungkin...!” demikian Fan Li berkata didalam hatinya. “Tidak mungkin Yap-goanswe akan... membakar seratus kapal perang yang telah dibuat dengan susah payah itu. Apa alasannya? Apa maksudnya? Akan tetapi, kalau tidak mungkin, lalu mengapa harus merasa kasihan kepada tenaga-tenaga mereka yang telah bekerja keras membuat kapal-kapal itu? Dan mengapa pula jenderal muda itu merasa kasihan kepada kapal-kapal perang yang telah mereka buat?”

Pertanyaan yang silih berganti ini membuat Fan Li bingung dan akhirnya pemuda itu tertidur dengan mimpi buruk. Da melihat bahwa Yap-goanswe benar-benar memerintahkan untuk membakar kapal-kapal perang itu lalu di saat api sedang berkobar-kobar, tiba-tiba jenderal muda itu terjun ke lautan api serta menjalankan mati-obong (membakar diri hidup-hidup)!

Tentu saja Fan Li terkejut dan pemuda ini berteriak, melompat bangun dengan mata melotot dan... Yap-goanswe berdiri di depannya dengan mulut tersenyum! Kembali pemuda itu terkejut dan mengucek-ucek matanya, akan tetapi, kali ini dia tidak sedang bermimpi. Yap-goanswe memang berada di depannya dan jenderal muda itu melangkah maju sambil menyentuh pundaknya.

“Fan-ciangkun, apa yang kau impikan?" Kudengar kau mengigau berulang-ulang dan terakhir kali malah berteriak mengejutkan aku yang sedang bersamadhi. Agaknya kau bermimpi buruk, ya? Kukira tadi ada serangan gelap dari musuh!”

Fan Li tersipu-sipu dan cepat memberi hormat. “Goanswe... maaf... aku memang bermimpi buruk. Aku melihat kau, ah.... dan.... kapal-kapal itu, ahh....!” pemuda itu tergagap dan tidak melanjutkan ceritanya.

Bu Kong memandang tajam, “Kenapa dengan aku? Kenapa dengan kapal-kapal itu?”

Fan Li menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu dia menjawab perlahan, hampir berbisik, “Goanswe, aku melihat kau mati-obong. Kau terjun ke lautan api kapal-kapal perang yang kau perintahkan bakar. Karena kaget, aku berteriak dan... begitulah, kau sudah di sini secara tiba-tiba....”

“Hemm...” Bu Kong bergumam. “Agaknya kau mempunyai firasat yang tajam! Akan tetapi, sudahlah, tidak semua mimpi mempunyai ramalan tepat. Fan-ciangkun, tidurlah, tenangkan hatimu. Akupun hendak kembali bersamadhi.”

Bu Kong membalikkan tubuhnya namun Fan Li tiba-tiba berseru perlahan. “Goanswe....!” dan panglima muda ini lalu melompat ke depan.

Jenderal muda itu terkejut, akan tetapi, dia berhenti juga. Dilihatnya Fan Li memandangnya lekat-lekat dengan mata terbelalak, dan dengan suara agak gemetar pemuda itu berkata, “Goanswe, apa maksud kata-katamu bahwa aku memiliki firasat yang tajam? Apakah.... apakah kau memang benar-benar hendak.... hendak membakar kapal-kapal itu...?”

Bu Kong terkejut sekali dan sedetik wajahnya berobah, namun dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dengan tajam dia memandang panglima muda yang sudah amat mengenal dirinya itu, kemudian dengan suara perlahan pula dia menjawab, “Ciang-kun, mengapa kau bisa menduga begitu? Apa alasanmu?”

Fan Li menegang tubuhnya. “Panah-panah berapi yang kau minta itu, goanwse! Perintahmu berikut ucapanmu yang mengatakan kasihan kepada tenaga-tenaga kami yang telah mau mati-matian bekerja keras dan kasihan pula kepada kapal-kapal perang yang selesai dibuat, semuanya itu membuat aku menduga bahwa engkau akan... engkau akan...”

Panglima muda itu serasa tercekik dan dia tidak mampu melanjutkan kata-kata ini. Bu Kong mengerutkan alisnya dan tiba-tiba bertanya, “Fan-ciangkun, mengapa kau terlalu memikirkan hal-hal yang belum nyata? Kalaupun aku hendak melakukan perbuatan itu, hal inipun tentunya karena didorong alasan yang kuat!”

“Jadi.... jadi kau hendak membakar kapal-kapal perang itu, goanswe?" Fan Li terbelalak dan wajah panglima ini pucat sekali.

Bu Kong mengangguk kepalanya. “Begitulah!”

Fan Li hampir saja berteriak kaget, namun, dia masih ingat bahwa di sekitar mereka terdapat banyak orang. Maka dia hanya dapat berkata dengan suara gagap. “Goanswe, kau... kau... tidak gilakah perbuatan ini... Mati-matian kita mengerjakannya dan kau hendak membakarnya. Lalu dengan apa kita besok berangkat?”

Jenderal muda itu tersenyum. Dengan suara lirih dia menjawab, “Fan-ciangkun, rahasia ini sebenarnya baru besok boleh kalian ketahui. Akan tetapi, untukmu biarlah mendapat keistimewaan. Kapal-kapal itu baru kusuruh bakar setelah kita semua berada di pantai seberang. Nah, mengertikah engkau?”

“Akan tetapi, gosnswe, dengan alasan apa kau memerintahkan hal yang tampaknya gila-gilaan ini?”

“Dengan alasan demi semangat perjuangan.”

“Demi semangat perjuangan?” Fan Li melengong dan menjadi bengong. Meskipun dia sudah cukup mengenal watak pemuda itu, tetap saja dia tidak dapat menangkap apa sebenarnya arti kalimat itu.

“Ya demi semangat perjuangan!” Bu Kong, menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat. “Dan harap kau ingat, apa yang kau dengar malam ini jangan dikatakan dulu kepada orang lain. Bukankah kalian semua ingin menang? Bukankah kalian semua ingin merebut kembali kota raja? Nah, untuk semuanya itu, maka satu-satunya syarat paling bagus adalah memerintahkan mereka untuk membakar kapal-kapal perang itu setelah kita semua berada di daratan seberang.”

“Akan tetapi, goanswe, untuk apa itu semua?”

“Untuk menambah semangat perjuangan! Bukankah sudah kukatakan tadi?”

“Goanswe...” Fan Li hendak bertanya kembali, akan tetapi, Bu Kong mengibaskan tangannya.

“Sudahlah! Jangan kau bertanya-tanya lagi. Semua yang kulakukan adalah demi kalian. Otakku masih tetap waras dan apa yang kulakukan semuanya mengandung maksud tertentu.”

Pemuda itu membalikkan tubuh dan keluar dari kemah panglima muda ini, membiarkan Fan Li berdiri mematung dengan mata melotot. Itulah kejadian pada malam harinya dan keesokan paginya seperti perintah jenderal muda itu, angkatan perang Yueh yang terdiri dari selaksa orang ini telah bergerak menuju pantai daratan besar seberang lautan.

Karena armada ini melakukan perjalanan cepat, akhirnya tidak sampai sore hari sudah seratus kapal perang itu telah tiba di pantai Laut Tung-hai. Seluruh perajurit berlompatan turun dan tidak ada sisa satu orangpun di kapal. Panji-panji dan segala ransum yang ada di atas kapalpun dibersihkan dan seratus kapal itu berderet rapi dari Utara sampai Selatan.

Bu Kong bersama empat orang panglima utamanya berdiri di atas batu karang, memandang semua kesibukan pasukan itu. Dan akhirnya, setelah semua orang berbaris membentuk empat persegi panjang menghadap sang jenderal besar ini barulah pemuda itu mengangkat tangan kirinya sebagai isyarat dan mulai bicara.

“Saudara-saudara seluruh angkatan perang Yueh, tekad apakah yang kalian bawa dalam menghadapi pintu gerbang pertempuran dengan musuh ini? Apakah kalian ada niat untuk melarikan diri kalau bertemu lawan kuat dan mundur seperti anjing digebuk?” demikian pemuda itu mulai melancarkan kata-katanya yang tajam.

“Tidak! Kami akan bertempur sampai mati dan tidak akan mundur hingga tetes darah terakhir....!” jawaban yang menggelegar dari semua perajurit ini menggetarkan seluruh daratan dan Bu Kong tersenyum aneh dengan mata bersinar.

“Hemm, benarkah? Apakah kalian tidak bicara kosong? Bagaimana kalau kalian bicara putih di hadapanku dan kemudian mengatakan hitam kalau berada dipunggungku!”

“Yap-goanswe, kami semua telah bertekad untuk mempertaruhkan nyawa dalam merebut kembali kota raja. Oleh sebab itu, tidak mungkin kami akan khianat terhadap janji sendiri. Pasukan Yueh bukanlah pasukan yang takut mati, dan kami siap mengorbankan apapun demi bangkitnya kerajaan kita!”

Teriakan ini dikeluarkan oleh Kok Hun dan panglima tinggi besar itu berseru gagah sambil mengangkat penggada besi hitamnya. Suaranya yang dikeluarkan dengan pekik menggeledek itu disambut meriah oleh para perajurit dan segera terdengar teriakan-teriakan mereka,

“Benar. Kami siap mengorbankan apapun demi negara, goanswe!”

“Benar. Kamipun siap menyerahkan harta dan nyawa untuk bangkitnya Kerajaan Yuen yang jaya...!”

“Goanswe, kami tidak takut mati dan kalau kami sampai melarikan diri menghadapi musuh yang kuat, biarlah aku mencincang hancur tubuhku ini...!”

Demikianlah, bermacam-macam teriakan dikeluarkan oleh orang-orang itu, namun satupun maksudnya tidak ada yang berbeda. Semuanya menyatakan siap berkorban, apapun juga korban itu.

“Bagus....!” Bu Kong mengangkat tangannya dan berseru dengan wajah berseri, kemudian pemuda inipun melanjutkan kata-katanya dengan suara menggeledek. “Pasukan Yueh yang gagah berani, benar-benarkah bahwa kalian siap berkorban, apapun juga korban itu yang meliputi harta dan nyawa?”

“Kami siap, goanswe...!” pekik yang serentak dan selaksa perajurit itu membuat Bu Kong tiba-tiba tertawa bergelak.

“Ha-ha, bagus! Kalian memang tidak percuma menjadi anak-anak buahku yang gagah berani. Heii, pasukan Yueh, untuk membuktikan kata-kata dan janji kalian ini, sekarang kalian lihatlah...!” jenderal muda itu bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari tengah barisan muncul sekelompok pasukan baju hitam.

Mereka ini terdiri dari orang-orang bertubuh tegap dan langkah kaki mereka yang ringan gesit seperti langkah kucing hitam itu menunjukkan bahwa orang-orang ini bukanlah orang sembarangan. Dan hal ini memang benar karena mereka itulah pelukan inti yang disebut Pasukan Baju Hitam oleh Yap-goanswe.

Segera semua orang terpusat perhatiannya kepada pasukan istimewa ini dan mereka melihat betapa tiap-tiap orang dan pasukan baju hitam itu memegang busur serta tiga batang anak panah berapi. Dan di balik punggung mereka, sebilah sabit panjang bercangak dua tersembul di atas pundak, tajam berkilauan tertimpa cahaya matahari.

“Pasukan Baju Hitam!” demikian jenderal muda itu berseru dengan suara keren. “Tiga macam peraturan apakah yang selama ini kucamkan kepada kalian?”

Serentak dua ratus orang ini mengedikkan kepala dan dengan pandangan tajam ke depan mereka menjawab. “Satu, kami harus membela negara dengan taruhan nyawa! Dua, kami harus taat terhadap atasan yang mulia (Yap-goanswe)! Dan tiga, kami harus berjuang sekuat tenaga!”

“Bagus, dan apa hukuman bagi kalian yang melanggar peraturan nomor dua?”

“Memotong lidah yang tak dapat dipercaya!”

Semua orang mengkirik mendengar jawaban itu namun tidak ada satupun yang bersuara. Bu Kong mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sikap puas dan tiba-tiba pemuda ini menyapu seluruh pasukan yang ada di tempat itu dengan sinar mata mencorong kemudian memberi perintah kepada pasukan inti.

“Pasukan Baju Hitam, untuk membuktikan janji teman-teman kalian yang lain, maka kuperintahkan di sini kepada kalian untuk membakar semua kapal perang yang ada di sini. Cepat...!”

Seruan ini benar-benar seperti geledek di siang bolong bagi selaksa perajurit itu, akan tetapi, Pasukan Baju Hitam sendiri tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya sedikit perobahan yang tampak di wajah dua ratus orang itu, namun, segera mereka biasa kembali seperti tidak mendengar hal-hal yang mengejutkan. Setelah mereka menyatakan “Kami siap menjalankan perintah”, dua ratus busur diangkat dan enam ratus panah berapi berhamburan ke arah tiang layar kapal yang tegak menjulang tinggi!

Kejadian ini berlangsung dalam sekejap saja dan karena semua orang masih tertegun dan bengong mendengar perintah jenderal muda itu yang benar-benar di luar dugaan, maka merekapun tidak sempat mencegah. Begitu pula halnya dengan empat orang panglima utama Bu Kong yang ada di atas batu karang. Kecuali Fan Li yang sebelumnya memang sudah tahu, tiga orang rekannya yang lain rata-rata mengeluarkan seruan kaget dan menjublak di tempat itu dengan mata melotot.

Mereka melihat betapa kain layar di atas tiang menjadi sasaran utama dari panah-panah berapi itu dan kemudian mulailah api menjilat kayu-kayu kapal perang yang telah mereka buat dengan susah payah itu! Dan beberapa menit kemudian, api mengeluarkan suara bergemeratak disusul asap hitam membubung ke langit biru. Semuanya ini terasa mimpi saja dan Kok Hun yang paling berangasan di antara mereka semua, merupakan orang yang sadar terlebih dahulu.

“Goanswe, kau gila?” panglima tinggi besar ini berteriak sambil menudingkan tangannya ke arah kapal-kapal yang dibakar itu, dan mukanya tampak merah sekali.

Akan tetapi, Bu Kong sama sekali tidak menghiraukan teriakan panglima muda ini. bahkan mendorong Kok Hun kesamping. “Kok-ciangkun, minggirlah...! Bukankah kau sendiri tadi sudah berkata untuk siap mengorbankan apapun juga? Nah, mengapa sekarang berteriak-teriak seperti kambing kebakaran jenggot? Ini adalah ujian bagi kalian dan semua yang menentang, berarti dia bukan anak buah Yap-goanswe yang selalu menepati janji...”

Pendekar Gurun Neraka Jilid 18

PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Naraka
PEMUDA tinggi besar ini terbelalak dan memandang Wen-taijin dengan mata tak berkedip, tampak tertarik sekali. Sebagai seorang "pembabat hutan", tentu saja cerita tentang sebuah kapak pusaka membuat pemuda itu mengilar. Akan tetapi, karena dia memang belum tahu, maka raksasa ini menggelengkan kepalanya dan bertanya, “Tidak, taijin, hamba tidak tahu. Kapak apakah itu yang paduka katakan dapat menggirangkan hati hamba?”

Wen-taijin tersenyum lebar. “Lek Hui, kapak itu bukan lain adalah Kapak Delapan Dewa!”

“Hahh...?” Lek Hui mengeluarkan teriakan kaget dan matanya melotot. “Kapak Delapan Dewa, taijin?” Bukankah kapak itu sudah lenyap limapuluh tahun yang lampau semenjak Bhok-lo (Si Tua Kayu) Kiu Tong meninggal dunia?”

Kini Kou Cien yang menyela, “Lek Hui, agaknya karena engkau terlalu lama tinggal di luar Tiong-goan maka tidak lagi mendengar kelanjutan cerita tentang kapak pusaka itu. Ketahuilah, sejak meninggalnya Bhok-lo limapuluh tahun yang lalu itu, kapak itu dipegang oleh putera tunggal yang bernama Kiu Hun. Akan tetapi, sayang, Kiu Hun terjerat rayuan seorang wanita iblis berwajah cantik berjuluk Bi-yan-cu yang memang mengincar senjata pusaka itu. Akhirnya, setelah Kiu Hun roboh di bawah telapak kakinya, Bi-yan-cu lalu meracuni putera Kiu Tong itu dan merampas Kapak Delapan Dewa. Kemudian, dua tahun yang lalu orang mendengar bahwa Bi-yan-cu tewas di tangan Cheng-gan Sian-jin dan datuk sesat itulah yang akhirnya mendapatkan kapak pusaka lalu menyerahkannya kepada Raja Muda Kung Cu Kwang melalui Wu-sam-tai-ciang-kun.”

“Ah, begitukah?” Lek Hui terbelalak. “Bi-yan-cu memang pantas mampus karena dia mengangkangi pusaka orang lain secara tidak syah. Akan tetapi, Cheng-gan Sian-jin juga bukan manusia baik-baik dan hamba akan berusaha untuk membunuh iblis tua itu! Pangeran, kalau hamba berhasil, bukankah paduka tetap memenuhi janji untuk memberikan kapak pusaka itu kepada hamba?”

Pangeran Kou Cien tertawa. “Lek Hui, kalau Cheng-gan Sian-jin dan teman-temannya dapat dibasmi, tentu saja aku tidak pelit buat memberikan pusaka itu. Apalagi pemilik aslinya sudah tidak ada dan engkau memang patut memiliki senjata itu. Kepada siapa lagi kapak pusaka itu harus kuberikan kalau bukan kepada dirimu?”

Lek Hui girang sekali dan raksasa muda ini mencemplak kudanya sambil tertawa bergelak. “Bagus, pangeran, terima kasih atas janji paduka ini dan percayalah, hamba sanggup untuk membasmi musuh-musuh paduka itu, ha-ha-ha...!”

Pemuda ini lalu terbang bersama kudanya dan Wen-taijin saling pandang bersama Pangeran Kou Cien, lalu masing-masing tersenyum puas dan tampak gembira. Memang inilah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita, yakni membakar semangat para pembantu sehingga mereka itu siap untuk mengorbankan nyawa sekalipun bagi berhasilnya cita-cita menggempur Wu-sam-tai-ciangkun! Dan memang bantuan orang pandai seperti murid Pendekar Kepala Batu ini benar-benar amat diperlukan sekali oleh mereka, apalagi kalau Pendekar Kepala Batu sendiri mau ikut menerjunkan diri dalam peperangan, tentu hasil yang akan mereka peroleh menjadi jauh lebih memuaskan lagi.

Namun, Pangeran Kou Cen dan Wen-taijin cukup maklum akan watak orang orang sakti seperti guru Lek Hui itu, dan mereka tidak berani main paksa. Adalah sudah amat menggembirakan sekali bahwa Ciok-thouw Taihiap telah mengirimkan muridnya untuk membantu mereka, dan biarlah jika mereka masih tidak sanggup mengalahkan musuh, barulah dicari akal buat "membakar" pendekar lain yang gampang tersinggung untuk membantu mereka.

Tiga orang ini segera menendang perut kuda mereka mengejar Lek Hui yang tertawa-tawa di depan, mendekati batu karang di mana Yap-goanswe tampak berdiri dengan alis berkerut. Agaknya ada apa-apa yang dilihat atau dipikirkan jenderal muda itu, maka pangeran itu cepat membedal kudanya lari menghampiri. Memang apa yang diduga pangeran ini tepat. Ada sesuatu yang sedang dilihat dan dipikirkan oleh Pendekar Gurun Neraka atau yang kini kembali diangkat sebagai jenderal oleh Pangeran Kou Cien itu, sesuatu yang membuat pemuda ini berdebar.

Dan hal ini bukan lain adalah perihal kembalinya jenderal muda itu ke tengah-tengah pasukannya, hal yang membuat perasaannya agak tegang. Seperti diketahui, dalam cerita "Hancurnya Sebuah Kerajaan” yang lalu jenderal muda itu telah berpisah dengan anak-anak buahnya dalam keadaan yang amat buruk dan tidak menyenangkan. Dan itu semua bukan lain adalah gara-gara tuduhan mendiang Sri Baginda Yun Chang akibat fitnah keji Wu-sam-tai-ciangkun.

Tuduhan Raja Muda Yun Chang yang menyatakan dirinya berjina dengan Bwee Li pada waktu itu benar-benar amat mengejutkan hati Bu Kong yang baru saja masuk ke dalam istana untuk menghadap sri baginda. Masih teringat dengan baik oleh pemuda itu betapa orang-orang istana pada waktu itu memandangnya dengan muka gelap dan mata penuh kebencian. Bahkan tiga orang pembantunya yang paling dekat, kecuali Fan Li, juga memandang seperti orang memandang kotoran busuk di pecomberan. Betapa mata mereka memandang dengan penuh kejijikan, dan kekecewaan yang amat sangat terbayang di mata tiga orang itu yang bukan lain adalah Panglima Tang Bouw, Panglima Kok Hun serta Panglima Ong.

Bersama Fan Li, mereka berempat adalah pembantu-pembantu setianya yang amat disuka. Akan tetapi, semenjak peristiwa jahanam itu, tiga dari empat orang pembantunya berbalik seratus delapan puluh derajat kepada dirinya dan sikap bermusuhan memancar dari mata tiga orang pembantunya itu. Pemuda ini memang tahu bahwa para pembantunya itu adalah orang-orang yang paling benci terhadap kejahatan dan kemunafikan.

Padahal mereka memandang dirinya sebagai jenderal yang didewa-dewakan oleh seluruh pasukan, pemuda yang tersohor dingin terhadap wanita. Siapa tahu, orang yang didewa-dewakan ini ternyata adalah pemuda yang berpura-pura alim saja padahal di dalam hatinya penuh dengan pikiran busuk sehingga tidak segan-segan untuk berjina dengan selir junjungan mereka sendiri.

Kenyataan ini memang membuat semacam "shock" bagi anak buah dan pasukan Yueh, maka tidaklah terlalu heran kalau mereka itu memandang dirinya dengan penuh kebencian. Akan tetapi, sekarang, bagaimanakah sambutan bekas anak-anak buahnya itu? Masih adakah di antara mereka yang tidak menyenanginya. Masih adakah di antara mereka yang membencinya? Diam-diam jenderal muda ini tersenyum pahit. Perbuatan Wu-sam-tai-ciangkun benar-benar keji sekali. Fitnah yang dilempar tidak hanya menimpa dirinya saja, akan tetapi, akibatnyapun juga ikut-ikut menyeret orang lain.

Seperti misalnya pasukan Yueh ini gara-gara fitnah itulah maka dia bersumpah untuk tidak lagi berhubungan dengan pasukan Yueh yang pada waktu itu dipimpin oleh Sri Baginda Yun Chang. Dan seandainya raja muda itu masih hidup, biar pasukan Yueh minta dia kembali ke tengah-tengah mereka sampai menunggu dengan air mata berdarah sekalipun belum tentu pemuda ini sudi!

Akan tetapi, syukurlah, keadaan telah merobah mereka sedemikian rupa. Pasukan Yueh sekarang bukanlah "pasukan Yun Chang" karena raja muda itu telah tewas ketika Wu-sam-tai-ciangkun menyerbu kota raja. Dan ini berarti sumpahnya tidak dijilat kembali karena bekas anak-anak buahnya sekarang adalah "pasukan Kou Cien". Dengan demikian, dia dapat mendekati pasukannya seperti dulu dan dapat berada di tengah-tengah mereka.

Namun, bagaimanakah sambutan mereka nanti? Inilah yang agak menegangkan Bu Kang dan membuat pemuda itu mengerutkan alis. Satu jam sudah dia berada di atas batu karang itu, selain untuk melihat kemungkinan-kemungkinan bagi mendaratnya pasukan yang akan dipimpinnya dari Pulau Cemara, juga karena dia dibimbangkan perasaan ini. Sungguh mati, kalau Kou Cien tidak mendebatnya sedemikan rupa pada waktu mereka bertemu di luar Gurun Neraka, agaknya Bu Kong lebih baik bekerja sendiri dengan caranya sendiri pula.

Tidak pernah terpikir olehnya bahwa kelak dia masih harus kembali dan dapat berada di tengah-tengah anak buahnya lagi. Maka perubahan yang agak mendadak ini sejenak membuatnya bingung dan resah, apalagi ketika mendengar berita ditangkapnya Siu Li oleh Ok-ciangkun. Berita ini benar-benar mengejutkan sekali, persis seperti apa yang pernah diduganya ketika dia baru saja berhasil menguasai tiga jurus sakti inti Lui-kong Ciang-hoat. Akan tetapi, yang paling membuat jenderal muda itu mendidih adalah berita tentang perbuatan Ok-ciangkun yang hendak memaksa puterinya menikah dengan Pouw Kwi.

Hal ini sungguh membuat kemarahannya menggelegak dan kalau saja dia tidak "diikat" oleh Pangeran Kou Cien dengan jabatan yang telah diberikan di atas pundaknya, agaknya Bu Kong sudah terbang ke kota raja menghabisi musuh-musuhnya dan membebaskan Siu Li dari cengkeraman ayahnya. Akan tetapi, celaka, Pangeran Kou Cien rupanya orang yang amat cerdik.

Terbukti bahwa Fan Li baru memberitahukan berita ditangkapnya gadis itu setelah dia diangkat sebagai jenderal. Dengan begini, tentu saja dia tidak dapat ”lari” seenaknya karena ikatan antara dia dengan pasukan pangeran itu telah terjadi. Dengan demikian, dia tidak bisa berbuat seperti kalau dia masih bebas sebagai orang kang-ouw.

Diam-diam Bu Kong menyesalkan Fan Li yang tidak segera menceritakan peristiwa itu kepadanya. Kalau tidak, tentu dia dapat segera menuju ke kota raja dan mencari kekasihnya di sana. Akan tetapi, jenderal ini akhirnya menarik napas panjang karena dia maklum bahwa semua sikap yang diambil pangeran itu memang rupanya sudah direncanakan.

Pangeran Kou Cien memang cerdik, hal ini Bu Kong sudah tahu. Apalagi ditambah dengan Wen-taijin yang selalu berada di samping pangeran itu, maka tidak heran kalau dari otak dua orang tokoh Yueh ini muncul gagasan-gagasan matang yang membuat keberhasilan rencana-rencana mereka. Dan Fan Li tentu sudah dipesan oleh pangeran itu agar menceritakan tentang Siu Li setelah dia berjanji membantu pangeran itu. Sungguh akal yang cerdik dan tidak kentara sehingga diam-diam jenderal muda itu merasa gemas terhadap pangeran itu. Namun syukurlah, bahwa pangeran ini tidak seperti mendiang Raja Muda Yun Chang.

Kalau Yun Chang adalah seorarg raja muda yang agak sembrono dan mau main menang sendiri, adalah Pangeran Kou Cien itu merupakan pangeran yang selalu berhati-hati dan tidak segan-segan apabila dibetulkan sikapnya oleh orang lain. Seperti misalnya Wen-taijin itu. Berapa kali sudah bangsawan tua ini memperingatkan pangeran itu akan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya dan tidak pernah pangeran itu marah-marah.

Kou Cien adalah seorarg pangeran yang terbuka sikapnya dan sebenarnya di antara pangeran ini dengan kakak tirinya, yaitu Raja Muda Yun Chang, terdapat ketidakcocokan sikap. Itulah sebabnya mengapa pangeran ini jarang sekali muncul di istana dan ketika terjadi teristiwa Bwee Li, pangeran ini sama sekali tidak tampak di istana.

Dari hubungannya bersama Wen-taijin yang sering memberinya nasihat itulah Bu Kong tahu akan watak Pangeran Kou Cien. Diam-diam pemuda ini merasa suka, apalagi pangeran itu adalah seorang pangeran yang ramah-tamah dan sering dia diundang ke gedung pangeran itu dalam perjamuan makan. Semuanya ini terjadi hampir setahun yang lalu dan setelah dia meninggalkan istana, Bu Kong sudah tidak pernah bertemu lagi dengan dua orang bangsawan itu. Dan, baru pada tiga hari yang lalu mereka kembali berjumpa secara tiba-tiba.

Kini, atas ajakan pangeran itu, dia telah berdiri di pantai Laut Tung-hai untuk menemui pasukannya di Pulau Cemara. Tentu saja jenderal muda itu agak tegang, namun mengingat sikap sang pangeran sendiri terhadap dirinya, akhirnya Bu Kong dapat menindas perasaan tidak enak di dalam hatinya. Dia sudah datang, dan biarlah dia lihat saja apa perkembangannya nanti. Kalau anak-anak buahnya bersikap seperti sang pangeran sendiri, inilah hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi kalau mereka masih membencinya, banyak kesempatan baginya untuk meninggalkan orang-orang itu dan pergi sendiri ke kota raja untuk menolong Siu Li.

Dengan pikiran yang sudah bulat dan mantap ini perasaan jenderai muda itu menjadi tenang. Pulau Cemara samar-samar tampak dari kejauhan, dan dia memandang ke sekeliling mencari perahu. Akan tetapi, aneh, pantai ini sama sekali mati. Tidak tampak perkampungan nelayan di situ, dan tentu saja tidak tampak pula perahu-perahu layar. Dia menjadi bingung karena kalau tidak ada sebuahpun perahu di tempat ini, lalu bagaimana mereka dapat menyeberang?

Dan pada saat dia sedang berpikir itulah Pangeran Kou Cien bersama rombongannya datang. Suara ketawa Lek Hui yang bergelak telah mendahului orangnya dan Bu Kong tersenyum kecil. Sikap raksasa muda yang agak kasar namun terbuka ini menarik perhatiannya. Diam-diam dia merasa girang bahwa pangeran telah mendapatkan seorang pengawal pribadi macam pemuda tinggi besar itu. Dari kepandaian mengukur tenaga beberapa hari yang lalu, Bu Kong tahu bahwa murid Ciok-thouw Taihiap ini cukup berisi dan dapat diandalkan.

Maka tentu saja dia merasa gembira karena kalau di tempat mereka ada pemuda seperti itu, berani kedudukannya menjadi bertambah kuat. Hanya dia masih sangsi apakah Lek Hui betul-betul mampu menandingi Cheng-gan Sian-jun yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian itu.

Tiba-tiba, bertepatan dengan datangnya rombongan sang pangeran, mendadak muncul dua buah perahu layar di tengah laut. Bu Kong terkejut dan dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya dua buah perahu layar itu memasang bendera hijau dan mereka datang dari arah Pulau Cemara. Tentu saja jenderal itu berdebar dan menjadi girang. Apalagi ketika dilihatnya betapa dua buah perahu itu sedang menuju ke pantai!

“Ahh...!” Bu Kong mengeluarkan seruan tertahan dan Pangeran Kou Cien yang telah sampai di bawah batu karang berteriak nyaring, “Goanswe, apa yang kau lihat? Kenapa kau termenung di situ?”

Bu Kong menoleh, kemudian melompat turun dan menjura. “Pangeran, hamba melihat dua buah perahu layar menuju ke mari. Apa yang hendak paduka lakukan?”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ha, apa yang hendak kulakukan? Tentu saja mencari perahu untuk menyeberang!”

“Akan tetapi, pangeran,” jenderal ini mengerutkan alisnya. “Di tempat ini sama sekali tidak ada perahu. Kaum nelayan juga tidak tampak dan di mana kita bisa memperolehnya?”

“Eh, bukankah kau bilang ada dua perahu sedang menuju ke mari? Nah, kenapa tidak mempergunakan mereka saja?” jawab pangeran itu dengan wajah berseri.

Bu Kong terbelalak. “Namun kita belum tahu perahu siapakah itu, pangeran. Apakah paduka hendak memerintahkan untuk menangkap dan merampas dua buah perahu itu?"

Melihat alis jenderal muda ini mengernyit. Pangeran Kou Cien tiba-tiba tertawa. “Goanswe, siapa yang bilang begitu? Aku tidak berkata demikian!”

“Memang betul paduka tidak berkata demikian, akan tetapi, sikap paduka menunjukkan tanda-tanda demikian,” pemuda ini membantah dan Lek Hui yang suka tertawa itu kini kembali tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Yap-goanswe memang berwatak mulia! Kalau pangeran hendak menyuruh dia merampas perahu orang lain agaknya dia tentu menolak. Mengapa pangeran, tidak terus terang saja? Eh, Goanswe, bukankah perahu yang menuju ke mari itu bertanda jangkar di atas tiang?”

Bu Kong terkejut dan menoleh ke arah raksasa muda ini. Sebenarnya perahu di tengah laut masih jauh, namun berkat ketajaman matanya dia memang melihat tanda jangkar di atas tiang layar itu. Bagaimana Lek Hui yang belum melihat sudah tahu? Oleh karena merasa heran Bu Kong malah balas bertanya, “Auw-twako, bagaimana kau bisa tahu? Apakah itu perahu-perahu kita sendiri? Kulihat mereka muncul dan arah Pulau Cemara.”

Kini Wen-taijin yang melangkah maju sambil menganggukkan kepalanya pembesar ini berkata, “Goanswe, dugaanmu memang tidak keliru. Pangeran telah memerintahkan agar hari ini Ong-ciangkun menunggu kedatangan kami di sini. Itulah sebabnya mengapa pangeran tenang-tenang saja meskipun tidak melihat perahu nelayan karena kami telah membawa perahu sendiri. Semenjak terjadinya badai beberapa waktu yang lalu, kaum nelayan tidak berani lagi mendekat pantai dan hal ini bagi kami malah kebetulan karena dengan demikian, gerakan kita nanti tidak terganggu.”

“Oo, begitukah?” Bu Kong tercengang dan sekarang dia mengerti. Namun, mendengar hal bahwa Ong-ciangkun berada di salah satu perahu itu untuk menjemput kedatangan mereka, jenderal itu segera teringat akan wajah panglima muda itu dan diam-diam hatinya berdebar.

Panglima Ong adalah seorang panglima muda, murid Hui-to Lo-kai yang tewas dalam pertempuran sengit beberapa waktu yang lalu. Bahkan panglima itupun menderita cacad seumur hidup karena lengan kanannya buntung dibabat pedang Siu Li. Maka kini mendengar bahwa panglima muda itu yang datang, pemuda ini menjadi tegang juga. Teringat dia akan sikap panglima itu ketika tuduhan Yun Chang dilontarkan. Betapa pembantunya ini memandang dengan sinar mata tak acuh dan muak terhadap dirinya yang disangkanya benar-benar berjina dengan selir sri baginda itu.

Sekarang, bagaimanakah sambutan panglima muda itu? Bu Kong tahu bahwa Panglima Ong adalah seorang laki-laki berwatak gagah. Buntungnya lengan dibacok Siu Li dulu sama sekali tidak membuatnya dendam karena hal itu terjadi dalam peperangan. Dan bagi seorang perajurit, resiko cacat atau nyawa terbang sekalipun tidak menjadi soal karena hal itu memang biasa saja terjadi.

Namun, dalam masalah pribadi yang menyangkut nama baik diri atasannya yang munafik, bagi Ong-ciangkun adalah hal lain yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dari dalam hatinya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau panglima muda itu menjadi marah ketika mendengar bahwa Yap-goanswe yang diagung-agungkan sebagai dewanya perang ini ternyata sampai hati berbuat yang tidak senonoh. Berjina dengan selir raja. Betapa hina dan memalukan perbuatan itu!

Sekarang, kembali Bu Kong akan berjumpa dengan bekas pembantunya ini. Bagaimanakah sambutannya? Masih berang? Masih memandangnya dengan sorot tak acuh dan sinis? Entahlah! Bu Kong menarik napas panjang. Dia belum dapat memastikan sikap apa yang akan diperlihatkan oleh panglima muda itu, namun dia sendiri bersikap tenang dan ingin melihat keadaan. Sikap Pangeran Kou Cien sedikit banyak merupakan jaminan bagi dirinya, maka agaknya tidak perlu dia terlalu cemas.

Sementara itu, Lek Hui yang merasa gembira karena ada perahu datang, sudah melompat di atas batu karang yang tadi dipakai Bu Kong. Sambil tertawa-tawa pemuda tinggi besar ini mengeluarkan sebuah kain merah dan sambil mengebutkan kain itu raksasa muda ini berteriak ke tengah laut dengan suaranya yang menggeledek, “Heii, Ong-ciangkun...! Cepat dayung perahu kalian. Lihat, pangeran telah datang bersama Yap-goanswe...!”

Karena murid Ciok-thouw Taihiap ini mengerahkan tenaga khi-kang dalam seruannya, maka teriakannya itu menggetarkan permukaan laut dan terdengar sampai jauh. Semua orang merasa kagum melihat kehebatan suara yang menggelegar dari pemuda ini dan merekapun lalu berlompatan di atas batu-batu karang yang banyak terdapat di situ dan ikut melambai-lambaikan saputangan yang mereka bawa.

Kini tampaklah perahu layar di tengah laut itu tiba-tiba bergerak lebih cepat. Agaknya teriakan dahsyat yang dikeluarkan Lek Hui tadi sampai ke telinga mereka atau agaknya kain merah yang menyolok warnanya itu tampak dari kejauhan, dan kini perahu yang ada di sebelah kanan tiba-tiba melepaskan sebuah panah hijau di atas laut. Itulah pertanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu melihat rombongan sang pangeran di pantai daratan besar dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka mendayung perahu sekuat tenaga. Sepuluh orang bekerja keras dan masing-masing membantu tiupan angin laut dengan dayung mereka sehingga dua buah perahu itu meluncur seperti torpedo.

Bu Kong berdiri tegak di atas batu karang dengan hati berdebar dan mata hampir tak pernah berkedip. Dua buah perahu di tengah lautan lepas itu kini semakin dekat dan orang-orangnyapun juga tampak lebih jelas. Dengan sepasang matanya yang tajam luar biasa, jenderal ini melihat betapa seorang panglima berpakaian kuning tampak memberi aba-aba kepada sembilan orang anak buahnya dengan tergesa-gesa. Usianya masih cukup muda, tidak lebih dari dua puluh lima tahun dan mukanya yang putih itu cakap sekali, namun lengan kanannya buntung. Inilah dia Panglima Ong yang dipanggil-panggil Lek Hui tadi.

Perahu layar itu bergerak cepat di atas laut dan tidak sampai duapuluh menit kemudian, sepuluh orang penumpangnya telah dapat melihat jelas wajah sang pangeran serta rombongannya yang berada di atas batu-batu karang. Saat inilah yang merupakan puncak ketegangan bagi Bu Kong. Pemuda itu melihat betapa orang-orang di dalam perahu melotot matanya dan ketika mereka membentur diri jenderal ini yang berdiri tegak di atas batu karang, sedetik tampak kekagetan di wajah orang-orang itu.

Namun, hal ini hanya berlangsung sekejap saja karena begitu orang-orang itu sadar, Ong-ciangkun yang berada paling depan di kepala perahu sudah berteriak dengan suara parau, “Yap-goanswe...!” dan segera orang-orang lainnnyapun juga berteriak memanggil nama jenderal muda itu.

Bu Kong merasa "plong" dan dia melihat dengan penuh keharuan betapa sepuluh orang im mendaratkan perahu secara tergesa-gesa di pantai sehingga hampir saja mereka terguling dan serentak semua orang berlompatan turun menghampiri pemuda ini sambil melemparkan dayung masing-masing.

“Yap-goanswe...!”

“Hidup Yap-goanswe...!”

Teriakan dan pekik ini saling susul-menyusul dan tampak betapa kegembiraan besar melanda sepuluh orang itu. Bahkan Panglima Ong yang pertama kali meneriakkan nama Yap-goanswe sudah tidak sabar menunggu perahu mendarat. Panglima ini sambil berteriak parau telah menceburkan diri di air laut dan kini dengan pakaian basah kuyup berlari-lari menghampiri batu karang di mana jenderal muda itu berdiri!

Bu Kong terharu bukan main dan dia tak dapat menahan perasaannya lagi. Melihat betapa Ong-ciangkun berlari-lari menghampirinya dengan pakaian basah kuyup, pemuda ini melompat turun dari atas batu karang.

“Yap goanswe....! Puja-puji kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa kau mau kembali kepada kami! Oh, Dewata Yang Agung, terima kasih... terima kasih...!” Panglima Ong berseru dengan suara serak dan begitu muncul dari dalam air, panglima ini menubruk jenderal muda itu dan berlutut sambil mencucurkan air mata kebahagiaan!

Sementara itu, sembilan orang anak buah Ong-ciangkun yang juga berlari-lari menghampiri jenderal ini telah tiba, dan serentak semua memekikkan nama dewa perang itu sambil membanting tubuh berlutut.

“Yap-goanswe, terima kasih kepada segala dewa bahwa engkau mau datang kepada kami orang-orang berdosa ini...!”

“Yap-goanswe, harap kau ampunkan kami, orang-orang yang mudah percaya hasutan ini. Semoga dengan kembalimu ini, kami dapat menuntut balas terhadap musuh yang amat keji...!”

“Yap-goanswe, kalau kau tidak mau mengampuni kami, biarlah kami membunuh diri di hadapanmu sebagai penebus dosa!”

“Benar, kami rela menebus dosa, goanswe! Kalau kau tak dapat memaafkan kami, detik ini juga aku akan menyerahkan kepalaku kepadamu!”

Demikianlah, teriakan tak mau kalah itu membuat suasana tiba-tiba menjadi gaduh dan Bu Kong tersentuh hatinya. Sepuluh orang itu rata-rata telah menyatakan penyesalan mereka yang mudah percaya hasutan musuh, dan kini mereka rela membunuh diri di hadapannya kalau dia menghendaki! Nyatalah sekarang olehnya bahwa bekas anak-anak buahnya itu ternyata masih tetap seperti dulu, masih setia dan memiliki tanggung jawab besar atas perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan.

Tentu saja Bu Kong terharu dan pemuda ini meramkan matanya. Sambutan yang demikian hangat serta penuh kesetiaan itu menusuk hatinya. Dia hendak bicara, namun tenggorokannya tersekat. Dan melihat betapa orang-orang itu berlutut sambil mencucurkan air mata memandang dirinya penuh harap-harap cemas, jenderal ini menjadi basah pula matanya.

“Kawan-kawan...” akhirnya Bu Kong membuka matanya dan berkata dengan suara gemetar, “Bangunluh kalian semua. Tidak ada yang bersalah di antara kalian, tidak ada yang berdosa. Semua yang terjadi di antara kita adalah salah paham belaka. Sekarang bangkitlah, beri hormat dahulu kepada pangeran, nanti kita bicara lagi...!”

Kata-kata ini membuat sepuluh orang itu seperti disengat ular berbisa saking kagetnya dan Panglima Ong-lah yang tampak paling terkejut. Benar, saking gembiranya dan terharunya melihat Yap-goanswe mau datang di tengah-tengah mereka, rombongan ini telah melupakan Pangeran Kou Cien yang berdiri di situ! Tentu saja panglima itu kaget dan wajahnya menjadi pucat. Karena diliputi perasaan yang meluap, mereka semua telah memberikan hormat terlebih dahulu kepada Yap-goanswe, bukan kepada sang pangeran! Hal ini dapat dianggap melanggar sopan-santun kemiliteran dan Panglima Ong cepat berdiri dan dengan tergopoh-gopoh menghampiri pangeran itu yang merupakan tokoh utama bagi pasukan Yueh.

“Pangeran, hamba sekalian telah melakukan kesalahan. Kalau paduka hendak menurunkan hukuman, hamba akan menerimanya secara jujur...” panglima muda ini berlutut di depan kaki Kou Cen dan diturut pula oleh sembilan orang anak buahnya.

Akan tetapi, Kou Cien adalah seorang pangeran bijaksana. Dia maklum apa yang menyebabkan orang-orang ini melupkan dirinya, maka tentu saja dia tidak tersinggung. Kini mendengar ucapan Panglima Ong yang mewakili teman-temannya itu, pangeran ini malah tertawa. “Ong-ciangkun, bangunlah. Tidak ada yang bersalah di antara kita, tidak ada yang berdosa. Ha-ha, bukankah demikian kata-kata Yap-goanswe tadi? Nah, aku percaya akan kata-katanya itu dan apa yang terjadi hanyalah luapan emosi belaka! Eh, Yap-goanswe, bukankah demikian keadaannya?”

Pangeran itu menoleh ke arah Bu Kong dan mengangkat tangan kirinya menyuruh orang-orang ini bangun. Bu Kong tersenyum mendengar pangeran itu menirukan kata-katanya akan tetapi, dengan sungguh-sungguh dia menjawab, “Pangeran, apa yang paduka katakan memang tepat. Semua di antara kita adalah orang-orang yang penuh emosi. Namun, kalau kita dapat menahan diri, agaknya semua itu tidaklah sampai terjadi. Bukankah demikian, Wen-taijin?”

Pembesar tua ini batuk-batuk, agak terkejut karena jenderal muda ini bertanya kepadanya secara tiba-tiba. “Ehem, apa yang goanswe katakan memang benar. Kita memang orang-orang yang mudah dipengaruhi emosi. Akan tetapi, kalau kita tidak dipengaruhi emosi begini, bukankah goanswe dan kami mungkin tidak akan bersatu kembali?”

Pangeran Kou Cien tertawa lebar. “Ha-ha, Paman Wen memang pintar! Dengan kata-katanya ini, bukankah dia hendak mengingatkan kita bahwa Yap-goanswe masih ditunggu-tunggu oleh pasukannya di Pulau Cemara? Eh, Ong-ciangkun, bukankah dugaan kami ini benar? Salahkah kalau kukatakan bahwa selaksa orang di Pulau Cemara sedang menantikan datangnya persatuan ama mereka dengan Yap-goanswe?”

Ong-ciangkun menjura dengan penuh hormat. “Pangeran, kata-kata paduka memang benar. Hampir sebulan mereka menunggu-nunggu hadirnya Yap-goanswe ditengah-tengah mereka seperti dulu dengan perasaan gelisah, dan tadi pagi Tan-ciangkun bersama rekan hamba Panglima Tang Bouw menyeberang kemari. Mereka dengan penuh harap menantikan kedatangan Yap-goanswe, bahkan Tan-ciangkun berkata bahwa kalau Yap-goanswe tidak mau datang karena sikap kita yang keliru dahulu, Tan-ciangkun akan membunuh diri sebagai rasa penyesalannya terhadap Yap-goanswe.”

Bu Kong terkejut dan memandang panglima itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi, Ong-ciangkun juga memandangnya dan di kedua mata panglima muda ini terbayang penyesalan mendalam. Maka ketika melihat betapa jenderal itu memandangnya, Panglima Ong berkata lagi dengan suara sungguh-sungguh,

“Goanswe, apa yang kukatakan di sini tidaklah main-main. Kalau usaha pangeran tidak berhasil, hal ini tentu disebabkan karena kesalahan kami tiga orang panglima yang dulu telah menyakiti hatimu. Oleh sebab itu, kami bertiga telah bersepakat untuk membunuh diri sebagai rasa penyesalan kami jika sang pangeran tak berhasil mengundang engkau ke mari!”

“Ong-ciangkun....!” Bu Kong berseru kaget dengan wajah berobah, akan tetapi, Ong-ciangkun sendiri sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. “Goanswe, dengan terus terang kuakui di sini bahwa kami dahulu memang membencimu ketika mendengar tuduhan mendiang sri baginda. Kami berdosa kepadamu yang ternyata sama sekali tak bersalah sedikitpun. Dan kini, akibat dari sikap kami itu telah menghancurkan pasukan Yueh dan kalau bukan engkau yang turun tangan, mana kami mampu, goanswe? Kami berdosa besar kepadamu dan kini untuk menebus semua dosa-dosa itu kami siap mengorbankan nyawa. Goanswe, dapatkah kau maafkan kesalahan kami ini?”

Bu Kong membungkukkan tubuhnya dan cepat mengangkat bangun panglima muda itu, kemudian dengan suara terharu dia berkata, “Ong-ciangkun seperti tadi telah kukatakan kepada kalian semua, bahwa tidak ada yang bersalah di sini. Peristiwa-peristiwa yang menimpa kita adalah hasil siasat musuh belaka. Kepada merekalah kita harus menuntut balas. Akan tetapi, kalau kau benar-benar merasa menyesal dalam hal ini, baiklah, kumaafkan semua kesalahan kalian tiga orang pembantuku yang biasanya bersikap jujur. Sekarang bangkitlah, ciangkun, jangan terlalu ditindih perasaan yang berlebih-lebihan. Bukankah kau tadi berkata bahwa teman-teman lain di Pulau Cemara masih menantikan kedatangan kita? Nah, bangunlah, mari kita temui mereka bersama-sama sang pangeran...”

Panglima Ong bangkit berdiri, dan kini tampak betapa wajahnya berseri gembira. “Goanswe, kebijaksanaanmu benar-benar menyentuh hatiku. Sungguh kau patut menjadi pimpinan kami orang-orang yang sempit pikiran ini. Terima kasih, goanswe.... terima kasih. Semoga dengan tambahan engkau di tengah-tengah kami maka pasukan kita akan jaya seperti semula!”

Bu Kong tersenyum dan Pangeran Kou Cien bertepuk tangan. “Ha-ha, harap ciangkun tidak usah khawatir!” kata pangeran itu sambil tertawa. “Kutanggung bahwa hadirnya Yap-goanswe di tengah-tengah kalian ini pasti akan membuat pasukan Yueh jaya sepanjang masa. Bukankah begitu, Paman Wen?”

Wen Chung tersenyum. “Begitulah, pangeran. Dan hamba yakin bahwa kita akan dapat berdiri kembali berkat bantuan Yap-goanswe.”

Mendengar pujian dua orang itu, muka Bu Kong menjadi merah dan pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya sambil menjawab, “Ji-wi (Anda berdua) terlalu memuji setinggi langit kepadaku. Kalau aku berhasil, inilah hanya berkat kerja sama belaka dengan para panglima serta pasukan Yueh sendiri. Oleh sebab itu, merekapun berhak mendapatkan penghargaan. Pangeran, tidakkah kita segera berangkat saja?”

Kalimat terakhir ini membelokkan pembicaraan karena Bu Kong memang merasa kikuk kalau orang selalu memuja-muji dirinya. Oleh sebab itu, dengan pertanyaan ini sekaligus semua orang diarahkan pikirannya kepada maksud semula dan Pangeran Kou Cien mengangguk sambil tersenyum.

“Ah, goanswe benar. Hampir saja kita berlarut-larut membicarakan hal-hal yang kurang perlu. Eh, Ong-ciangkun, bukankah dua buah perahu kalian sanggup memuat kita semua yang berada di sini berikut kudanya?”

Panglima Ong membungkukkan tubuhnya. “Tidak perlu khawatir, pangeran. Parahu yang kami persiapkan untuk paduka serombongan ini cukup besar. Silahkan paduka naik dan biarlah lima ekor kuda ini bersama kami di satu perahu.”

“Ah, kau mau berkumpul dengan kuda-kuda kami yang berkeringat ini, ciangkun?” Pangeran Kuo Cien tertawa. “Aha, bagus sekali kalau begitu. Tubuhmu yang basah kuyup ini memang pantas kalau dicampur dengan lima ekor kuda yang juga penuh peluh, ha-ha!”

Pangeran itu tertawa geli dan semua orang juga ikut ketawa mendengar olok-olok ini. Panglima Ong sendiri tampak menyeringai kecut dan untunglah bahwa sang pangeran tidak menggodanya lagi dan kini telah menghampiri perahu sambil tersenyum-senyum.

Demikianlah, satu persatu rombongan ini masuk ke dalam perahu dan Ong-ciangkun memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mendayung perahu yang ditumpangi pangeran, sementara dia sendiri berada di perahu lain bersama sisa anak buahnya. Perahu meluncur lain dan mulailah mereka meninggalkan daratan besar menuju ke Pulau Cemara. Pantai yang tadi tampak luas kini semakin lama semakin mengecil dan menciut sampai akhirnya hilang karena menjadi satu dengan laut di kaki langit sana.

Gerakan pasukan Yueh dalam cita-citanya menggempur Wu-sam-tai-ciangkun dimulailah. Dan ini diawali dengan hadirnya kembali Jenderal Muda Yap yang gagah perkasa itu di tempat anak-anak buahnya. Namun, berhasilkah kiranya cita-cita mereka ini? Kita lihat saja...

Untuk mempersingkat waktu agaknya tidak perlu di sini kita menceritakan sambutan yang diperoleh Yap-goanswe dan anak-anak buahnya di Pulau Cemara. Sama seperti sambutan Ong-ciangkun di tepi pantai daratan besar yang penuh kegembiraan dan semangat, begitu pula adanya sambutan anak-anak-buah Bu Kong ketika tiba di Pulau Cemara. Bahkan kalau dibandingkan, sambutan yang diterimanya di pulau ini jauh lebih hebat. Dan hal ini dapat dimaklumi karena selaksa perajurit itu tidak ada satupun yang ketinggalan dalam mengelu-elukan kedatangan jenderal mereka ini.

Pulau Cemara tiba-tiba menjadi gaduh dan bising dengan tambur-tambur serta genderang yang dipukul gencar. Pekik serta sorak “Hidup Yap-goanswe!” berkumandang di mana-mana dan Bu Kong sendiri sudah diangkat oleh dua orang panglima tinggi besar yang bukan lain adalah Kok Hun dan Tang Bouw, dibawa lari berputar-putar ke tengah pulau sambil tertawa bergolak namun air mata bercucuran!

Kebahagiaan serta kegembiraan yang meluap-luap dari dua orang panglima itu menbuat mereka tertawa sambil menangis. dan Bu Kong benar-benar terharu bukan main mendapat sambutan sedemikian rupa. Nyatalah olehnya bahwa di sinipun pasukan Yueh benar-benar masih mencintai dirinya sebagai pemimpin besar yang disegani serta dihormati!

Dan pada malam harinya, untuk merayakan persatuan yang terjalin di antara jenderal muda itu dengan pasukan Yueh, Pangeran Kou Cien mengadakan jamuan pesta yang meriah. Diadakannya semacam panggung terbuka ditempat itu dan musik serta nyanyian-nyanyian perang diperdengarkan di sini sehingga semangat setiap orang menjadi semakin berkobar.

Berada kembali di tengah-tengah pasukannya inilah Bu Kong mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat menggembirakan sekali dengan hadirnya beberapa orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi. Pertama-tama sekali tentu saja Phoa-lojin dan muridnya yang merupakan tuan rumah asli, di mana Bu Kong telah menghaturkan rasa terima kasihnya yang amat besar kepada guru dan murid itu.

Lalu hadirnya seorang ketua partai yang benar-benar sama sekali tidak disangka oleh Bu Kong, yakni Kim-sin Sian-jin dari Kong-thong-pai! Kakek ini datang berdua dengan murid kepalanya yang masih hidup, yaitu San Kok Tojin, yang dulu mengalami luku parah akibat pukulan Tok-hiat-jiu dari Tok-sim Sian-li.

Seperti kita ketahui dalam jilid kelima, Ketua Kong-thong-pai ini mengalami sakit hati yang sedalam lautan terhadap Cheng-gan Sian-jin berikut para pembantunya. Gara-gara perbuatan iblis tua itulah maka partai Kong-thong hancur berantakan. Dan pada saat terakhir di mana dia meledakkan bangsal agung, ketua Kong-thong-pai inipun terjerumus ke dalam sumur jebakan yang amat dalam.

Untunglah, karena dia tahu akan seluk-beluk rahasia yang dipasang di tempat itu, kakek ini berhasil keluar dengan tubuh luka dalam. Hantaman Cheng-gan Sian-jin yang amat dahsyat membuat Kim-sin Sian-jin harus beristirahat dua minggu lebih dan baru lukanya sembuh kembali. Dapat dibayangkan betapa sedih dan marahnya kakek itu ketika melihat betapa hampir semua muridnya tewas dalam pertandingan membela partai ini. Dan hanya beberapa orang saja yang menderita luka-luka ringan, di mana mereka ini oleh Kim-sin Sian-jin akhirnya disuruh pergi karena untuk sementara Kong-thong-pai dibubarkan!

Sakit hati yang kelewat sangat membuat Ketua Kong-thong-pai ini bersumpah untuk tidak menjabat sebagai ketua lagi kalau belum berhasil membunuh Cheng-gan Sian-jin. Oleh sebab itu, ditemani oleh Sun Kok Tojin yang juga luka-luka parah, Kim-sin Sian-jin menghilang selama beberapa bulan, bertapa untuk memperdalam kepandaiannya. Dan baru setelah merasa diri sendiri kuat, kakek ini muncul kembali dengan maksud membalas dendam.

Akan tetapi, seperti kita ketahui tidak mudah bagi orang luar membuat perhitungan dengan Cheng-gan Sian-jin yang menjadi koksu di Kerajaan Wu. Hal inipun juga dirasakan oleh Kim-sin Sian-jin. Menyerang datuk iblis itu seorang diri di sarangnya yang penuh dengan orang-orang pandai itu sungguh bukan perbuatan bjaksana. Oleh sebab itu, adalah amat kebetulan sekali bagi Ketua Kong-thong-pai ini ketika pada suatu hari dia berjumpa dengan Phoa-lojin. Kakek nelayan dari Pulau Cemara inilah yang membujuknya untuk bergabung dengan pasukan Kou Cien yang pada saat itu sedang menyusun kekuatan.

Tentu saja usul ini diterima dengan gembira dan segera Kim-sin Sian-jin pergi ke markas pusat sementara pasukan pangeran itu. Memang, kalau dia dapat bekerja sama dengan sebuah barisan besar yang juga sama-sama bermaksud menyerbu kota raja, maka hal ini benar-benar amat menggirangkan. Apalagi Kim-sin Sian-jin sendiri sedikit banyak sudah mengenal Pangeran Kou Cien yang bijaksana dan ramah-tamah terhadap orang-orang lain, maka tanpa ragu-ragu lagi kakek inipun menggabungkan diri.

Demikianlah, akhirnya bekas Ketua Kong-thong-pai ini berada di Pulau Cemara, ikut membantu Kou Cien. Dan beberapa hari kemudian, datanglah susul menyusul orang-orang dari partai Go-bi, Hoa-san, Kun-lun dan lain-lain ke Pulau Cemara untuk bergabung dengan pasukan Yueh dalam rencananya menggempur kota raja.

Hal ini benar-benar mengejutkan dan menggirangkan hati Pangeran Kou Cien. Kiranya, karena sama-sama mengalami sakit hati akibat perbuatan Cheng-gan Sian-jin yang mengumbar angkara murkanya, orang-orang dari partai yang dihancurkan itu kini bersatu padu untuk membalas dendam. Tentu saja kedudukan pasukan Yueh menjadi semakin kuat dengan munculnya orang-orang pandai dan golongan kang-ouw itu. Dan Pangeran Kou Cien sendiri sudah hendak memerintahkan agar para pembantunya mulai mengadakan serangan besar-besaran.

Akan tetapi, empat orang panglima muda menolak usulnya ini. Mereka mengatakan bahwa meskipun kedudukan pasukan Yueh kini cukup kuat, namun seorang pemimpin pandai yang benar-benar cakap belum ada di antara mereka. Oleh sebab itu, empat orang panglima ini mengusulkan supaya mencari saja Yap-goanswe dan mengundang pemuda itu sebagai pucuk pimpinan pasukan.

“Pangeran, harap paduka ingat bahwa musuh yang kita hadapi adalah orang-orang yang amat lihai dan licik. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan kecurangan apapun, seperti contohnya fitnah yang dilemparkan ke Yap-goanswe itu. Dapat pangeran lihat apa akibatnya kini semua menjadi terpecah belah dan istana sendiri direbut musuh. Dan ini semua karena tidak adanya Yap-goanswe di tempat kita yang amat mereka takuti. Oleh sebab itu, mengapa tidak mengundang Yap-goanswe saja agar memimpin kita? Wu-sam-tai-ciangkun telah menjalankan siasat 'mengusir singa dari kandang' dan begitu siasatnya berhasil, kita benar-benar menjadi korban. Maka pangeran, kita harus dapat mencari Yap-goanswe dan meminta kepada pemuda itu untuk kembali kepada kita. Dengan demikian, pertempuran yang akan kita lakukan jauh lebih meyakinkan daripada kalau kita maju sendiri tanpa adanya Yap-goanswe di samping kita. Hanya inilah satu-satunya jalan agar kita dapat menggempur Wu habis-habisan, dan kalau pangeran berhasil menarik Yap-goanswe kemari, kita sekalian hendak meminta maaf atas semua dosa-dosa kita kepadanya dahulu.”

Demikianlah usul yang diajukan oleh empat orang panglima muda itu dan Kou Cien melihat kebenarannya. Memang, nama Yap-goanswe bukanlah nama sembarangan. Jenderal muda itu memiliki pengaruh dan wibawa yang kuat, baik terhadap kawan maupun lawan. Oleh sebab itu, tidak ada jeleknya kalau dia menunda rencananya mengadakan serangan besar-besaran dengan menunggu datangnya Yap-goanswe.

Karena alasan yang diajukan oleh para pembantunya tepat, Pangeran Kou Cien setuju. Segera dia memerintahkan beberapa petugas untuk pergi mencari Yap-goanswe, akan tetapi, Wen-taijin tiba-tiba mencegahnya sambil berkata,

“Pangeran, kalau paduka ingin berhasil maka menurut pendapat hamba, padukalah yang harus maju sendiri. Paduka tahu, Yap-goanswe adalah seorang pemuda yang keras hati dan keras semangat, hal ini kita semua sudah sama tahu. Maka kenapa hendak mengutus orang lain? Kalau paduka setuju, hamba mengusulkan agar paduka bersama Fan-ciangkun disertai pengawal pribadi paduka pergi sendiri saja menemui Yap-goanswe. Dan kalau sekiranya paduka menghendaki, hambapun siap mengantar paduka menemui pemuda itu. Bukankah dengan demikian maka keberhasilan usaha ini jauh lebih memuaskan daripada paduka serahkan kepada orang lain?”

Pangeran Kou Cien terkejut, akan tetapi, segera dia sadar dan menjadi girang. Betul, kalau dia menyuruh petugas-petugas biasa saja untuk mengundang Yap-goanswe, agaknya hanya kegagalanlah yang bakal mereka temui. Lain halnya jika dia sendiri yang maju, apalagi masih ditambah dengan Fan Li yang merupakan sahabat dekat jenderal muda itu dan Wen-taijin yang sendiri yang sedikit banyak menanam "jasa" kepada pemuda itu. Bukankah jalan ini akan jauh lebih berhasil kalau dia sendiri yang mencari?

Itulah sebabnya mengapa pangeran ini lalu berangkat ke Gurun Neraka bersama tiga orang pembantunya dan di sana akhirnya berhasil menundukkan murid Malaikat Gurun Neraka itu. Diam-diam pangeran ini mengakui kebenaran yang dikemukakan oleh Wen-taijin. Kalau saja orang lain yang dia suruh, agaknya debatan keras yang dilancarkan oleh pemuda ini benar-benar akan membuat petugasnya mati kutu dan pulang dengan tangan hampa.

Namun, syukurluh, pemuda yang keras hati dan tidak gampang menyerah itu kini telah berada di tengah-tengah mereka semua. Dan pangeran ini melihat betapa perbedaan menyolok tampak di antara pasukannya itu dengan hadirnya jenderal muda ini. Kalau dulu meskipun orang-orang itu memiliki semangat, namun hampir tiap wajah rata-rata menunjukkan rasa jerih dan bimbang dalam menghadapi musuh. Akan tetapi, begitu Yap-goanswe berada di pulau ini, tiba-tiba saja wajah seluruh perajurit yang tadinya dibayangi keragu-raguan dan perasaan gentar itu lenyap, terganti dengan wajah yang berseri-seri dan mata berkilat penuh kepercayaan terhadap diri sendiri.

Inilah satu langkah positif yang bagi Pangeran Kou Cien sudah dianggap sebagai satu titik meyakinkan ke arah kemenangan. Dia dapat membayangkan bahwa kalau pasukan Yueh ini maju dengan wajah yang diliputi rasa gentar mengingat adanya tokoh-tokoh iblis di Kerajaan Wu, tentu saja hal ini amat buruk pengaruhnya. Akan tetapi, kalau kini mereka dapat maju dengan wajah berseri dan rasa gentar lenyap seperti awan tipis disapu angin dengan hadirnya Yap-goanswe di tempat itu, hal itu merupakan harapan besar bagi keberhasilan cita-cita mereka.

Itulah sebabnya diam-diam pangeran ini merasa girang dan amat berterima kasih sekali atas nasihat Wen-taijin yang telah diikutinya. Kehadiran Yap-goanswe ditengah-tengah anak buahnya ini menumbuhkan semangat empat sampai lima kali lipat kepada seluruh pasukan, dan malam itu tampaklah jenderal muda yang gagah perkasa ini duduk bersama pembantu-pembantu utamanya membicarakan siasat-siasat perang sambil makan minum dalam meja perjamuan.

Pangeran Kou Cien memandang dari meja seberang dengan wajah berseri dan pangeran ini sendiri sedang bercakap-cakap dengan Wen-taijin serta tokoh-tokoh kang-ouw tingkat atas, seperti Phoa-lojin, Kim-sin Sian-jin dan orang lain. Mereka memang tidak mau mengganggu pembicaraan Yap-goanswe, maka itulah sebabnya merekapun duduk dalam meja yang berlainan.

Sementara itu, Bu Kong yang bercakap-cakap dengan empat orang pembantu utamanya ini tampak serius. Dia sedang membicarakan rencana-rencananya kepada para pembantunya itu dan segera terlihatlah lima orang tokoh militer ini dalam pembicaraan yang asyik.

“Su-wi-ciangkun (empat orang panglima).” demikian mula-mula pemuda itu membuka suara, “Ada tiga macam tugas penting yang hendak kuberikan kepada kalian. Pertama-tama, kalian harus menyiapkan dua ratus orang perajurit pilihan untukku setelah pesta berakhir. Kedua, kalian harus membuatkan seratus kapal perang yang bagus dan kuat, sedangkan yang ketiga adalah melatih pasukan kita mulai besok pagi dengan bentuk formasi delapan segi. Dapatkah kiranya kalian menjalankan tiga macam tugas ini? Dan perlu kutambahkan, bahwa pekerjaan nomor dua dan nomor tiga harus selesai dalam waktu dua minggu?”

Empat orang panglima itu terkejut dan memandang Bu Kong dengan mata terbelalak. “Seratus kapal perang, goanswe?” empat orang panglima ini bertanya hampir serempak dan semuanya mengandung keheranan.

Bu Kong menganggukkan kepalanya. “Ya, kenapa kalian terkejut?” pemuda itu balas bertanya.

Kini Kok Hun yang mendahului rekan-rekannya dan panglima tinggi besar yang mukanya penuh brewok itu menjawab dengan suara penasaran, “Goanswe, bukannya waktu yang kau berikan ini yang membuat kami kaget, namun, melainkan perintahmu untuk membuat seratus kapal perang itu! Kalau kami membuat lagi seratus kapal yang bagus dan indah seperti permintaanmu, lalu hendak diapakan perahu-perahu besar yang sementara ini sudah kita punya? Kalau kita ingin menyeberang, kiranya cukup dengan perahu-perahu lama yang ada di sini dan tidak perlu membuat perahu baru!”

Bu Kong tersenyum. Dia cukup mengenal watak Kok-ciangkun yang suka bicara jujur dan blak-blakan ini, maka diapun tidak merasa tersinggung. Sebelum berkata sesuatu, jenderal muda ini kembali memandang empat orang pembantu utamanya itu satu-persatu. “Sam-wi ciangkun (tiga panglima yang lain), apakah kalianpun juga sependapat dengan pernyataan Kok-ciangkun tadi? Memang dilihat sepintas lalu pekerjaan membuat seratus kapal perang ini tampaknya hanya membuang-buang waktu saja. Akan tetapi, harap kalian ketahui, bahwa perintahku ini mengandung muksud tertentu yang belum tiba saatnya kalian ketahui sekarang ini. Pendeknya yang ingin kuminta, dapatkah kalian mengerjakan tugas nomor dua itu sesuai keinginanku? Perahu lama dapat kalian rombak menjadi perahu-perahu baru!”

Karena jenderal muda itu memandang mereka dengan sinar mata tajam, meskipun mereka agak kurang setuju namun mendengar bahwa di balik pembuatan kapal-kapal perang itu tersembunyi suatu maksud tertentu yang belum dikatakan oleh Yap-goanswe, akhirnya empat orang panglima muda inipun menganggukkan kepalanya.

“Goanswe, bukannya kami menolak, akan tetapi, kami semua sebenarnya ingin mengetahui apa sesungguhnya yang kau rencanakan dalam perintah ini. Sebagai pembantu-pembantu utamamu, bukankah kami berhak untuk mengetahuinya?” Kok Hun yang masih penasaran itu kembali bertanya.

Bu Kong memandang panglima tinggi besar ini. “Kok-ciangkun, seperti telah kukatakan tadi, kalian semua belum waktunya untuk mendengarkan rahasia ini. Sebuah kejutan akan kubuat dan kalau kalian sekarang tahu, mungkin kalian akan menghalang-halangi semua rencanaku yang dapat berakibat buruk. Maka harap kalian bersabar dan tunggulah, begitu kita semua tiba di daratan besar, jawaban segera kuberikan dan kalian akan melihatnya sendiri. Bukankah kalian tidak menolak permintaanku ini dan sanggup menyelesaikannya dalam waktu dua minggu?”

Akhirnya empat orang itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah goanswe, kami menyanggupinya!” kata mereka hampir berbareng.

“Nah, bagus kalau begitu.” Bu Kong berseru girang. “Dan tentunya kalianpun dapat pula menyiapkan dua ratus orang setelah pesta berakhir, bukan?”

“Dapat, goanswe. Akan tetapi untuk apakah?” kini Panglima Tang yang bertanya.

Bu Kong memandang pembantunya ini dia dengan mulut tersenyum menjawab. “Aku hendak melatih mereka sebagai pasukan inti. Maka itulah sebabnya mengapa mereka harus sudah dipilih malam ini juga sehingga besok aku dapat turun tangan sendiri menggembleng mereka!”

“Ah, begitukah?” empat orang ini terkejut dan sejenak terbelalak, namun, segera mereka menjadi girang bukan main. Kata-kata jenderal muda ini memang mengejutkan sekali karena selama mereka berkumpul, belum pernah Yap-goanswe turun sendiri untuk melatih sebuah pasukan. Biasanya pemuda ini hanya memberikan teori-teorinya kepada para pembantunya dan bawahannya inilah yang menjalankan tugas.

Kini, tanpa mereka duga Yap-goanswe akan turun tangan sendiri, bahkan melatih dua ratus perajurit puluhan untuk dijadikan pasukan inti! Kalau hal ini sudah dilaksanakan mereka dapat membayangkan bahwa pasukan hasil didikan jenderal perang yang gagah perkasa itu tentu akan merupakan pasukan yang benar-benar kuat dan hebat.

“Ha-ha, goanswe sungguh membuat kejutan bagi kami!” Kok Han yang tak dapat menahan kegirangan hatinya itu sudah tertawa bergelak sambil bertepuk tangan. “Kalau kini pasukan Yueh dilengkapi sebuah pasukan inti hasil gemblengan Yap-goanswe, dapat kita pastikan bahwa Wu-sam-tai-ciangkun bersama antek-anteknya bakal terjepit seperti tikus masuk perangkap. Ha ha, bagus goanswe... bagus, kami setuju sekali!"

Tiga orang panglima lain juga berseri girang dan mereka memandang Bu Kong dengan mata bersinar-sinar. Akan tetapi, pemuda itu sendiri tidak menghiraukan pujian Kok Hun ini dan mengangkat tangannya.

“Kok-ciangkun. harap jangan berbesar hati dulu. Aku telah memutuskan hal ini karena untuk berjaga-jaga agar tidak seorangpun musuh-musuh besar kita lolos. Karena itulah aku merasakan perlunya sebuah pasukan inti untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan buruk. Di samping itu, mulai besok kalian semua harus bersungguh-sungguh dalam melatih pasukan kita yang lain dalam barisan delapan segi. Kota raja harus kita kurung dan semua serangan akan kita tujukan ke satu arah. Oleh sebab itu, formasi yang hendak kugunakan dalam serangan besar-besaran ke kota raja nanti adalah bentuk delapan segi itu. Dan kalian harus melatih mereka dengan disiplin tinggi dan semangat meluap. Aku tidak dapat mengawasi karena harus menggembleng pasukan inti, maka pekerjaan "mendidik" pasukan lain itu kuserahkan kepada kalian. Bukankah kalian juga akan menyanggupi tugas nomor tiga ini dengan baik?”

“Dapat, goanswe. Dan percayalah, kamipun juga akan berjuang sekuat tenaga agar selaksa pasukan kita menjadi perajurit-perajurit yang dapat diandalkan.”

“Bagus, aku percaya janji kalian ini,” Bu Kong menjawab dengan wajah puas. “Dan jangan kalian lupa, pasukanpun perlu dididik latihan ilmu silat, bukan hanya melulu ilmu barisan saja. Oleh sebab itu, hendak kumohon kepada tokoh-tokoh yang ada di sini seperti Kim-sin Sian-jin locianpwe dan orang-orang lainnya agar mereka sudi turun tangan menggembleng pasukan kita dalam ilmu silat ini sehingga merekapun akan merjadi orang-orang yang tangguh dalam pertempuran perorangan. Bukankah kalian tidak keberatan kalau tokoh-tokoh kang-ouw di sini mencampuri tugas kalian dalam melatih perajurit?”

“Ah, tidak goanswe. Bahkan kami akan merasa gembira dan bangga sekali kalau para locianpwe di sini mau membantu kami!” empat orang panglima itu berseru dan Bu Kong menjadi lega mendengar kata-kata yang dikeluarkan dengan hati yang tulus ini.

Oleh sebab itu, diapun dapat melanjutkan pembicaraan-pembicaraan berikutnya dengan suasana santai setelah tiga macam tugas pokok tadi disanggupi empat orang pembantu utamanya ini. Mereka lalu membicarakan situasi musuh, kota-kota apa yang menjadi benteng pertahanan bagi Wu-sam-tai-ciangkun dan mana pula kiranya yang harus mereka serang terlebih dahulu.

Dan ternyata dari hasil pembicaraan ini Bu Kong mengetahui adanya tujuh kota utama yang dijadikan benteng pertahanan Kerajan Wu di luar batas kota raja. Dua terletak berderetan di bagian Utara, lalu dua lagi di bagian Barat dan sisanya berada di sebelah Selatan dan Timur. Dan yang amat menggirangkan adalah kenyataan bahwa benteng pertahanan di Timur ini justeru hanya sebuah kota saja, yaitu kota Koan-yang!

Agaknya karena bagian Timur ini berupa lautan, Wu-sam-tai-ciangkun hanya mendirikan sebuah benteng pertahanan yang justeru paling lemah karena dari arah Timur inilah pasukan Yueh hendak mulai mengadakan serangan besar-besaran. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Bu Kong dan mulailah dia merencanakan siasat-siasatnya untuk mengadakan pembalasan terhadap musuh itu.

Jenderal ini dapat menduga bahwa karena sebelah timur adalah lautan, maka Wu-sam-tai-ciangkun tidak begitu menaruh perhatian karena biasanya bagian daratlah yang dijadikan kekuatan musuh. Dan hal ini memang dapat dimaklumi mengingat bahwa daratan besar sana banyak tempat-tempat strategisnya berupa hutan-hutan lebat ataupun pegunungan-pegunungan luas yang dapat dipergunakan untuk mendirikan kekuatan militer.

Dan tentu saja Wu-sam-tai-ciangkun tidak menduga sedikitpun juga bahwa sisa-sisa angkatan perang Yueh yang dihancurkan itu kini telah menyusun kekuatan di luar daratan besar, yaitu Pulau Cemara yang terletak di seberang lautan bagian Timur!

Hal ini bagi Bu Kong sudah merupakan satu keuntungan besar dan dia percaya bahwa gerakannya kali ini tidak mungkin gagal. Dia telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, seperti misalnya menciptakan pasukan inti yang terdiri dari dua ratus orang, lalu latihan perang dalam formasi delapan segi serta didikan ilmu silat dari tokoh-tokoh pandai kepada anak-anak buahnya.

Semuanya ini memungkinkan satu keberhasilan usahanya dalam menggempur Wu-sam-tai-ciangkun bersama antek-anteknya, maka Bu Kong merasa yakin bahwa dalam walau dua minggu berikutnya tepat sebelum Ok-ciangkun memaksa Siu Li dalam pernikahannya dengan iblis jahanam murid mendiang Ang-i Lo-mo itu, ia sudah berada di kota raja!

Berpikir sampai di sini, Bu Kong mengepalkan tinjunya dengan gemas. Kemarahannya terhadap Wu-sam-tai-ciangkun, terutama Panglima Ok membuat mukanya merah sekali. Akan tetapi, karena di situ terdapat banyak orang, pemuda ini dapat menahan diri dan tidak mengumbar kemarahannya.

Malam itu pesta berakhir dengan wajah gembira dan semua orang kembali ke kemahnya masing-masing dengan wajah puas. Persatuan telah terjalin di antara mereka dengan Yap-goanswe, maka semua perwira dan para panglima merasa semangat mereka semakin berkobar. Hadirnya jenderal muda itu di tengah-tengah mereka benar-benar membuat pasukan ini seperti harimau tumbuh sayap, oleh sebab itu, tidak heran kalau setiap orang sudah membayangkan bahwa mereka pasti dapat membalas dendam dan menang!

* * * * * * * *

Dua minggu kemudian. Waktu dua minggu sebenarnya bukanlah waktu yang terlampau panjang, apalagi bagi su-wi-ciangkun (empat orang panglima Yap-goanswe yang diberi tugas-tugas berat dalam melatih pasukan serta membuat seratus buah kapal perang. Akan tetapi, karena empat orang panglima itu menyadari bahwa waktu memang sudah terlalu singkat bagi Bu Kong untuk segera mulai melakukan missinya menyerang Kerajaan Wu, di mana salah seorang panglimanya menangkap kekasih jenderal muda itu, maka empat orang inipun juga bekerja keras agar pekerjaan merekapun dapat selesai dalam waktu yang sudah ditentukan oleh atasan mereka.

Dan untunglah, berkat adanya kerja sama yang baik diantara mereka serta bawahan, akhirnya tepat pada minggu yang terakhir itu selesailah sudah gemblengan lerhadap seluruh pasukan serta pembuatan seratus kapal perang!

Hal ini amat menggembirakan hati Fan Li dan ketiga orang temannya, dan di malam harinya mereka menemui Yap-goanswe untuk melaporkan kesemuanya itu. Namun, alangkah heran empat orang ini ketika mereka melihat wajah jenderal muda itu sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan. Hanya sekejap wajahnya berseri mendengar perajurit-perajurit sudah dilatih siang malam, akan tetapi, segera wajahnya muram ketika mendengar selesainya seratus kapal perang yang telah mereka buat dengan kerja keras itu.

“Goanswe....” demikian Kok Hun yang mulai membuka suara menyatakan keheranannya, “Mengapa engkau tampak murung mendengar seratus kapal perang telah siap di pinggir pantai? Apakah ada sesuatu yang mengecewakan hatimu? Atau model kapal-kapal itu yang tidak memuaskan seleramu?”

Bu Kong menggelengkan kepalanya. “Tidak Kok-ciangkun, bahkan aku amat bangga dan girang melihat hasil kerja kalian semua yang demikian sungguh-sungguh. Dan justeru kerja keras kalian inilah yang membuat aku agak tidak enak hati. Akan tetapi, demi semangat perjuangan ini semua memang harus kulakukan!”

Bu Kong mengepal tinjunya dan sinar matanya tajam mencorong. Empat orang pembantunya yang mendengar kalimat terakhir menjadi tercengang dan saling pandang. Mereka benar-benar merasa aneh bahwa Yap-goanswe justeru merasa murung melihat mereka kerja keras. Bukankan inipun adalah atas perintah pemuda itu sendiri? Mengapa merasa tidak enak hati? Aneh sekali!

“Goanswe....” kini Panglima Tang yang maju. “Kata-katamu terdengar janggal sekali. Bukankan engkau sendiri yang menghendaki agar kami semua bekerja keras? Kini kami telah melaksanakan tugas yang kau berikan itu, dan kau malah tidak enak hati dan murung. Kalau boleh kami tahu, demi semangat perjuangan apakah engkau tadi berkata demikian?”

Jenderal muda itu menatap panglima ini sejenak dan akhirnya menghela napas panjang. “Tang-ciangkun, sesungguhnya diam-diam aku merasa kasihan kepada kalian yang telah mati-matian bekerja keras, kasihan kepada kapal-kapal perang itu. Namun.... ahh, sudahlah, jangan kalian bertanya lagi tentang hal ini! Empat belas hari kalian telah bekerja berat dan malam ini kalian tentu lelah. Oleh sebab itu, harap kalian beristirahat di tempat masing-masing sebelum kita besok pagi-pagi berangkat. Dan untuk Fan-ciangkun, harap sediakan enam ratus batang anak-anak panah berapi dan berikan itu kepada dua ratus pasukan inti yang berada di samping kemah sang pangeran. Malam ini aku hendak mengaso dan sebelum kalianpun beristirahat, harap beritahu kepada seluruh pasukan bahwa besok pagi-pagi semua kemah harus sudah dirobohkan dan bersih dari permukaan tanah! Nah, mengertikah kalian? Aku tidak mau diganggu lagi dan silahkan kalian mengaso...”

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya mempersilahkan dan Kok Hun yang sudah siap membuka mulutnya inipun tiba-tiba mengurungkan maksudnya untuk bertanya. Kalau Yap-goanswe sudah bilang tidak mau diganggu, maka siapapun mengerti bahwa jenderal itu sedang dilanda perasaan resahnya dan benar-benar tidak mau diganggu. Oleh sebab itu, empat orang panglima muda itu akhirnya saling pandang sekejap lalu menjura dan mengundurkan diri, di mana mereka itu saling kasak-kusuk sendiri di luar membicarakan ucapan Yap-goanswe benar-benar terasa aneh!

Bayangkan, Yap-goanswe merasa kasihan kepada kapal-kapal perang yang sudah dibuat! Apa-apaan ini? Mengapa jenderal muda itu merasa kasihan terhadap benda-benda mati yang kini berderet di pantai laut itu? Hanya Fan Li seorang yang diam-diam merasa tergetar hatinya mendapatkan perintah untuk menyiapkan enam ratus batang anak-anak panah berapi.

“Apakah.... apakah Yap-goanswe hendak...?” sampai disini Fan Li menggoyang kepalanya keras-keras dan membuang dugaannya yang buruk. Sebagai orang yang paling dekat dengan jenderal muda itu, maka panglima muda ini sedikit banyak mengenal watak-watak Yap-goanswe. Perintah memberikan enam ratus batang anak-anak panah berapi kepada dua ratus pasukan inti itu membuat pembantu utama Bu Kang ini mempunyai dugaan mengejutkan. Akan tetapi, karena Fan Li menganggap bahwa tidak mungkin hal itu akan dilakuan Yap-goanswe, maka pemuda itu membuang dugaannya yang jelek itu jauh-jauh.

“Tidak... tidak mungkin...!” demikian Fan Li berkata didalam hatinya. “Tidak mungkin Yap-goanswe akan... membakar seratus kapal perang yang telah dibuat dengan susah payah itu. Apa alasannya? Apa maksudnya? Akan tetapi, kalau tidak mungkin, lalu mengapa harus merasa kasihan kepada tenaga-tenaga mereka yang telah bekerja keras membuat kapal-kapal itu? Dan mengapa pula jenderal muda itu merasa kasihan kepada kapal-kapal perang yang telah mereka buat?”

Pertanyaan yang silih berganti ini membuat Fan Li bingung dan akhirnya pemuda itu tertidur dengan mimpi buruk. Da melihat bahwa Yap-goanswe benar-benar memerintahkan untuk membakar kapal-kapal perang itu lalu di saat api sedang berkobar-kobar, tiba-tiba jenderal muda itu terjun ke lautan api serta menjalankan mati-obong (membakar diri hidup-hidup)!

Tentu saja Fan Li terkejut dan pemuda ini berteriak, melompat bangun dengan mata melotot dan... Yap-goanswe berdiri di depannya dengan mulut tersenyum! Kembali pemuda itu terkejut dan mengucek-ucek matanya, akan tetapi, kali ini dia tidak sedang bermimpi. Yap-goanswe memang berada di depannya dan jenderal muda itu melangkah maju sambil menyentuh pundaknya.

“Fan-ciangkun, apa yang kau impikan?" Kudengar kau mengigau berulang-ulang dan terakhir kali malah berteriak mengejutkan aku yang sedang bersamadhi. Agaknya kau bermimpi buruk, ya? Kukira tadi ada serangan gelap dari musuh!”

Fan Li tersipu-sipu dan cepat memberi hormat. “Goanswe... maaf... aku memang bermimpi buruk. Aku melihat kau, ah.... dan.... kapal-kapal itu, ahh....!” pemuda itu tergagap dan tidak melanjutkan ceritanya.

Bu Kong memandang tajam, “Kenapa dengan aku? Kenapa dengan kapal-kapal itu?”

Fan Li menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu dia menjawab perlahan, hampir berbisik, “Goanswe, aku melihat kau mati-obong. Kau terjun ke lautan api kapal-kapal perang yang kau perintahkan bakar. Karena kaget, aku berteriak dan... begitulah, kau sudah di sini secara tiba-tiba....”

“Hemm...” Bu Kong bergumam. “Agaknya kau mempunyai firasat yang tajam! Akan tetapi, sudahlah, tidak semua mimpi mempunyai ramalan tepat. Fan-ciangkun, tidurlah, tenangkan hatimu. Akupun hendak kembali bersamadhi.”

Bu Kong membalikkan tubuhnya namun Fan Li tiba-tiba berseru perlahan. “Goanswe....!” dan panglima muda ini lalu melompat ke depan.

Jenderal muda itu terkejut, akan tetapi, dia berhenti juga. Dilihatnya Fan Li memandangnya lekat-lekat dengan mata terbelalak, dan dengan suara agak gemetar pemuda itu berkata, “Goanswe, apa maksud kata-katamu bahwa aku memiliki firasat yang tajam? Apakah.... apakah kau memang benar-benar hendak.... hendak membakar kapal-kapal itu...?”

Bu Kong terkejut sekali dan sedetik wajahnya berobah, namun dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dengan tajam dia memandang panglima muda yang sudah amat mengenal dirinya itu, kemudian dengan suara perlahan pula dia menjawab, “Ciang-kun, mengapa kau bisa menduga begitu? Apa alasanmu?”

Fan Li menegang tubuhnya. “Panah-panah berapi yang kau minta itu, goanwse! Perintahmu berikut ucapanmu yang mengatakan kasihan kepada tenaga-tenaga kami yang telah mau mati-matian bekerja keras dan kasihan pula kepada kapal-kapal perang yang selesai dibuat, semuanya itu membuat aku menduga bahwa engkau akan... engkau akan...”

Panglima muda itu serasa tercekik dan dia tidak mampu melanjutkan kata-kata ini. Bu Kong mengerutkan alisnya dan tiba-tiba bertanya, “Fan-ciangkun, mengapa kau terlalu memikirkan hal-hal yang belum nyata? Kalaupun aku hendak melakukan perbuatan itu, hal inipun tentunya karena didorong alasan yang kuat!”

“Jadi.... jadi kau hendak membakar kapal-kapal perang itu, goanswe?" Fan Li terbelalak dan wajah panglima ini pucat sekali.

Bu Kong mengangguk kepalanya. “Begitulah!”

Fan Li hampir saja berteriak kaget, namun, dia masih ingat bahwa di sekitar mereka terdapat banyak orang. Maka dia hanya dapat berkata dengan suara gagap. “Goanswe, kau... kau... tidak gilakah perbuatan ini... Mati-matian kita mengerjakannya dan kau hendak membakarnya. Lalu dengan apa kita besok berangkat?”

Jenderal muda itu tersenyum. Dengan suara lirih dia menjawab, “Fan-ciangkun, rahasia ini sebenarnya baru besok boleh kalian ketahui. Akan tetapi, untukmu biarlah mendapat keistimewaan. Kapal-kapal itu baru kusuruh bakar setelah kita semua berada di pantai seberang. Nah, mengertikah engkau?”

“Akan tetapi, gosnswe, dengan alasan apa kau memerintahkan hal yang tampaknya gila-gilaan ini?”

“Dengan alasan demi semangat perjuangan.”

“Demi semangat perjuangan?” Fan Li melengong dan menjadi bengong. Meskipun dia sudah cukup mengenal watak pemuda itu, tetap saja dia tidak dapat menangkap apa sebenarnya arti kalimat itu.

“Ya demi semangat perjuangan!” Bu Kong, menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat. “Dan harap kau ingat, apa yang kau dengar malam ini jangan dikatakan dulu kepada orang lain. Bukankah kalian semua ingin menang? Bukankah kalian semua ingin merebut kembali kota raja? Nah, untuk semuanya itu, maka satu-satunya syarat paling bagus adalah memerintahkan mereka untuk membakar kapal-kapal perang itu setelah kita semua berada di daratan seberang.”

“Akan tetapi, goanswe, untuk apa itu semua?”

“Untuk menambah semangat perjuangan! Bukankah sudah kukatakan tadi?”

“Goanswe...” Fan Li hendak bertanya kembali, akan tetapi, Bu Kong mengibaskan tangannya.

“Sudahlah! Jangan kau bertanya-tanya lagi. Semua yang kulakukan adalah demi kalian. Otakku masih tetap waras dan apa yang kulakukan semuanya mengandung maksud tertentu.”

Pemuda itu membalikkan tubuh dan keluar dari kemah panglima muda ini, membiarkan Fan Li berdiri mematung dengan mata melotot. Itulah kejadian pada malam harinya dan keesokan paginya seperti perintah jenderal muda itu, angkatan perang Yueh yang terdiri dari selaksa orang ini telah bergerak menuju pantai daratan besar seberang lautan.

Karena armada ini melakukan perjalanan cepat, akhirnya tidak sampai sore hari sudah seratus kapal perang itu telah tiba di pantai Laut Tung-hai. Seluruh perajurit berlompatan turun dan tidak ada sisa satu orangpun di kapal. Panji-panji dan segala ransum yang ada di atas kapalpun dibersihkan dan seratus kapal itu berderet rapi dari Utara sampai Selatan.

Bu Kong bersama empat orang panglima utamanya berdiri di atas batu karang, memandang semua kesibukan pasukan itu. Dan akhirnya, setelah semua orang berbaris membentuk empat persegi panjang menghadap sang jenderal besar ini barulah pemuda itu mengangkat tangan kirinya sebagai isyarat dan mulai bicara.

“Saudara-saudara seluruh angkatan perang Yueh, tekad apakah yang kalian bawa dalam menghadapi pintu gerbang pertempuran dengan musuh ini? Apakah kalian ada niat untuk melarikan diri kalau bertemu lawan kuat dan mundur seperti anjing digebuk?” demikian pemuda itu mulai melancarkan kata-katanya yang tajam.

“Tidak! Kami akan bertempur sampai mati dan tidak akan mundur hingga tetes darah terakhir....!” jawaban yang menggelegar dari semua perajurit ini menggetarkan seluruh daratan dan Bu Kong tersenyum aneh dengan mata bersinar.

“Hemm, benarkah? Apakah kalian tidak bicara kosong? Bagaimana kalau kalian bicara putih di hadapanku dan kemudian mengatakan hitam kalau berada dipunggungku!”

“Yap-goanswe, kami semua telah bertekad untuk mempertaruhkan nyawa dalam merebut kembali kota raja. Oleh sebab itu, tidak mungkin kami akan khianat terhadap janji sendiri. Pasukan Yueh bukanlah pasukan yang takut mati, dan kami siap mengorbankan apapun demi bangkitnya kerajaan kita!”

Teriakan ini dikeluarkan oleh Kok Hun dan panglima tinggi besar itu berseru gagah sambil mengangkat penggada besi hitamnya. Suaranya yang dikeluarkan dengan pekik menggeledek itu disambut meriah oleh para perajurit dan segera terdengar teriakan-teriakan mereka,

“Benar. Kami siap mengorbankan apapun demi negara, goanswe!”

“Benar. Kamipun siap menyerahkan harta dan nyawa untuk bangkitnya Kerajaan Yuen yang jaya...!”

“Goanswe, kami tidak takut mati dan kalau kami sampai melarikan diri menghadapi musuh yang kuat, biarlah aku mencincang hancur tubuhku ini...!”

Demikianlah, bermacam-macam teriakan dikeluarkan oleh orang-orang itu, namun satupun maksudnya tidak ada yang berbeda. Semuanya menyatakan siap berkorban, apapun juga korban itu.

“Bagus....!” Bu Kong mengangkat tangannya dan berseru dengan wajah berseri, kemudian pemuda inipun melanjutkan kata-katanya dengan suara menggeledek. “Pasukan Yueh yang gagah berani, benar-benarkah bahwa kalian siap berkorban, apapun juga korban itu yang meliputi harta dan nyawa?”

“Kami siap, goanswe...!” pekik yang serentak dan selaksa perajurit itu membuat Bu Kong tiba-tiba tertawa bergelak.

“Ha-ha, bagus! Kalian memang tidak percuma menjadi anak-anak buahku yang gagah berani. Heii, pasukan Yueh, untuk membuktikan kata-kata dan janji kalian ini, sekarang kalian lihatlah...!” jenderal muda itu bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari tengah barisan muncul sekelompok pasukan baju hitam.

Mereka ini terdiri dari orang-orang bertubuh tegap dan langkah kaki mereka yang ringan gesit seperti langkah kucing hitam itu menunjukkan bahwa orang-orang ini bukanlah orang sembarangan. Dan hal ini memang benar karena mereka itulah pelukan inti yang disebut Pasukan Baju Hitam oleh Yap-goanswe.

Segera semua orang terpusat perhatiannya kepada pasukan istimewa ini dan mereka melihat betapa tiap-tiap orang dan pasukan baju hitam itu memegang busur serta tiga batang anak panah berapi. Dan di balik punggung mereka, sebilah sabit panjang bercangak dua tersembul di atas pundak, tajam berkilauan tertimpa cahaya matahari.

“Pasukan Baju Hitam!” demikian jenderal muda itu berseru dengan suara keren. “Tiga macam peraturan apakah yang selama ini kucamkan kepada kalian?”

Serentak dua ratus orang ini mengedikkan kepala dan dengan pandangan tajam ke depan mereka menjawab. “Satu, kami harus membela negara dengan taruhan nyawa! Dua, kami harus taat terhadap atasan yang mulia (Yap-goanswe)! Dan tiga, kami harus berjuang sekuat tenaga!”

“Bagus, dan apa hukuman bagi kalian yang melanggar peraturan nomor dua?”

“Memotong lidah yang tak dapat dipercaya!”

Semua orang mengkirik mendengar jawaban itu namun tidak ada satupun yang bersuara. Bu Kong mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sikap puas dan tiba-tiba pemuda ini menyapu seluruh pasukan yang ada di tempat itu dengan sinar mata mencorong kemudian memberi perintah kepada pasukan inti.

“Pasukan Baju Hitam, untuk membuktikan janji teman-teman kalian yang lain, maka kuperintahkan di sini kepada kalian untuk membakar semua kapal perang yang ada di sini. Cepat...!”

Seruan ini benar-benar seperti geledek di siang bolong bagi selaksa perajurit itu, akan tetapi, Pasukan Baju Hitam sendiri tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya sedikit perobahan yang tampak di wajah dua ratus orang itu, namun, segera mereka biasa kembali seperti tidak mendengar hal-hal yang mengejutkan. Setelah mereka menyatakan “Kami siap menjalankan perintah”, dua ratus busur diangkat dan enam ratus panah berapi berhamburan ke arah tiang layar kapal yang tegak menjulang tinggi!

Kejadian ini berlangsung dalam sekejap saja dan karena semua orang masih tertegun dan bengong mendengar perintah jenderal muda itu yang benar-benar di luar dugaan, maka merekapun tidak sempat mencegah. Begitu pula halnya dengan empat orang panglima utama Bu Kong yang ada di atas batu karang. Kecuali Fan Li yang sebelumnya memang sudah tahu, tiga orang rekannya yang lain rata-rata mengeluarkan seruan kaget dan menjublak di tempat itu dengan mata melotot.

Mereka melihat betapa kain layar di atas tiang menjadi sasaran utama dari panah-panah berapi itu dan kemudian mulailah api menjilat kayu-kayu kapal perang yang telah mereka buat dengan susah payah itu! Dan beberapa menit kemudian, api mengeluarkan suara bergemeratak disusul asap hitam membubung ke langit biru. Semuanya ini terasa mimpi saja dan Kok Hun yang paling berangasan di antara mereka semua, merupakan orang yang sadar terlebih dahulu.

“Goanswe, kau gila?” panglima tinggi besar ini berteriak sambil menudingkan tangannya ke arah kapal-kapal yang dibakar itu, dan mukanya tampak merah sekali.

Akan tetapi, Bu Kong sama sekali tidak menghiraukan teriakan panglima muda ini. bahkan mendorong Kok Hun kesamping. “Kok-ciangkun, minggirlah...! Bukankah kau sendiri tadi sudah berkata untuk siap mengorbankan apapun juga? Nah, mengapa sekarang berteriak-teriak seperti kambing kebakaran jenggot? Ini adalah ujian bagi kalian dan semua yang menentang, berarti dia bukan anak buah Yap-goanswe yang selalu menepati janji...”