Pendekar Gurun Neraka Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka Jilid 15 karya Batara
PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 15
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka
“SlAN-SU, kenapa kau cegah perbuatannya? Kenapa kau biarkan teecu hidup menderita sengsara? Biarlah teecu dibunuhnya, biarlah teecu mati di tangannya! Huh huh hukk...!" gadis ini mengguguk dengan pundak berguncang-guncang.

Bu-beng Sian-su, pendatang ini, melangkah maju dengan mulut tersenyum ramah. Disentuhnya pundak gadis itu dengan lembut, lalu terdengarlah kata-katanya yang halus perlahan, "Nona, Tuhan belum menghendaki kau kembali kepadaNya, bagaimana engkau ingin mati? Tidak, anak manis, tidak mungkin. Hentikanlah tangismu ini dan lihatlah dunia dengan mata terang. Hidup adalah seperti ini, suka-duka silih berganti. Kenapa harus tenggelam dalam kesedihan?"

Kakek sakti itu menepuk-nepuk perlahan pundak Pek Hong memberikan hiburannya, lalu manusia dewa ini menoleh ke arah Bu Kong dan murid Malaikat Gurun Neraka itu terkesiap. Begitu kakek ini menoleh, dua sorot cahaya putih menembus kabut halimun dan tanpa terasa dia berseru tertahan.

"Ahh..." Bu Kong melangkah mundur dan pemuda ini benar-benar terkejut sekali. Baru dipandang begitu saja dia sudah kaget, apalagi kalau kakek ini menyerang! Diam-diam Bu Kong tergetar dan dia teringat akan ceritera Pek Hong tentang seorang manusia dewa yang telah menolongnya keluar dari kota raja. Tanpa munculnya kakek ini, demikian menurut Pek Hong, kemungkinan lolos dari kota raja yang terkepung ribuan perajurit Wu adalah tipis sekali. Untunglah kakek sakti itu datang dalam saat yang tepat sehingga mereka semua dapat keluar dengan selamat.

Maka begitu manusia dewa ini memandangnya, Bu Kong cepat menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya. "Locianpwe, mohon dimaafkan segala kesalahan teecu yang tidak dapat menahan diri. Apakah benar locianpwe ini Bu-beng Sian-su yang telah menolong teecu dari kota raja Wu beberapa waktu yang lalu? Kalau benar, di sini teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi Sian-su yang sebesar gunung!"

Kakek itu terkekeh lembut. "Anak muda, demikian kuatnya kau terikat oleh budi, dan agaknya demikian kuat pula engkau terikat oleh dendam. Ahh, sungguh sayang..." Bu-beng Sian-su menghela napas lalu melanjutkan kata-katanya lagi, "Akan tetapi, kebanyakan manusia memang harus mengalami seperti apa yang kau rasakan. Ini agaknya sudah menjadi kodrat Alam, siapa mampu mencegah? Yap-goanswe, ucapan terima kasihmu terhadapku kulihat agak berat sebelah, ketahuilah bahwa bukan aku saja yang menolongmu dari tawanan musuh, akan tetapi masih banyak orang lain. Dan diantaranya adalah gadis ini! Kenapa terhadapku bersikap sedemikian hormat sedangkan terhadap gadis ini kau bersikap berlawanan? Bijaksanakah perbuatanmu ini? Sudah layakkah sikapmu ini?"

Teguran Bu-beng Sian-su itu seperti anak panah yang menancap di jantung, membuat pemuda ini merah mukanya tak mampu menjawab. Kepalanya semakin tunduk ke bawah seperti jago aduan yang baru saja kalah dan terkulai lehernya tanpa daya.

"Nah, inilah bukti bahwa kau terikat kuat oleh budi dan dendam. Ketahuilah anak muda, semua yang terjadi adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Apa yang dikehendaki terjadilah, dan apa yang tidak dikehendaki tidak mungkin terjadi. Kita manusia harus merasakan benar tentang hukum Alam ini agar kita dapat menerimanya dengan pikiran tetap jernih. Karena sekali kegelapan menguasai kita, tersesatlah perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Contohnya adalah dirimu ini. Nona itu telah menolongmu mati-matian, menyelamatkanmu dari istana Cheng-gan Sian-jin, membawamu kepada Dewa Monyet, menceritakan semua rahasia-rahasia tersembunyi yang belum dapat kau pecahkan, dan apa balasanmu? Makian dan tamparan! Ah, anak muda yang gagah perkasa, di manakah liang-sim (rasa budi)-mu itu? Bagaimana tanggapan gurumu kalau dia mengetahui apa yang kau lakukan ini? lngatlah, tanpa usaha mati-matian dari gadis itu engkau tentu sudah kembali ke alam asal. Budi nona ini jauh lebih besar daripada budi yang kulepaskan. Maka tidak sepatutnya apabila engkau membalasnya seperti itu."

"Sian-su, maafkan semua kesalahan-kesalahan teecu...” Bu Kong membenturkan jidatnya diatas tanah dan berkata dengan suara gemetar.

"Hmm, permintaan maaf itu sebenarnya adalah kesopanan terlambat. Dapatkah mengembalikan keadaan seperti semula? Anak muda, kembali di sini kau melakukan kesalahan. Kau minta maaf untuk kesalahanmu, akan tetapi berbareng juga melakukan kesalahan lagi. Kalau begini, apa bedanya itu?"

Bu Kong terkejut, mengangkat mukanya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Sian-su, kesalahan apalagi yang teecu perbuat? Kalau teecu tidak boleh minta maaf, lalu sikap apa yang harus teecu ambil? Kata,kata apa yang harus teecu katakan?"

Bu-beng Sian-su melangkah maju, dengan suara keren kakek ini menjawab, "Orang muda, apakah kau telah merasa berbuat sesuatu kesalahan terhadapku? Apakah engkau telah bersikap tidak pantas terhadapku?"

Bu Kong memandang dan mengingat-ingat, lalu menggelengkan kepalanya. "Seingat teecu, teecu tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Sian-su. Bukankah kita baru pertama kali ini berjumpa? Bagaimana teecu telah melakukan sesuatu kesalahan itu?"

"Nah, kalau sudah tahu begitu, mengapa minta maaf terhadapku? Kepada siapakah sebenarnya ucapan maaf ini ditujukan?”

Pemuda ini terkejut dan seketika dia tahu "kesalahan" apa yang dimaksudkan oleh kakek dewa itu. Dia telah bersikap tidak pantas terhadap Pek Hong, kenapa sekarang minta maaf kepada Bu-beng Sian-su? Sebagai pemuda yang menjunjung tinggi kegagahan serta kejujuran, cepat pemuda ini mengerti teguran kakek itu.

"Locianpwe, terima kasih atas nasehat ini dan sekarang teecu tahu apa kesalahan itu," Bu Kong bangkit berdiri, lalu menghampiri Pek Hong yang berdiri memandangnya dengan air muka pucat itu.

"Hong-moi," pemuda ini menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara menggetar, "aku sadar atas semua kesalahan yang telah kulakukan terhadapmu ini. Aku pemuda yang tak tahu diri, membalas budi dengan benci. Maafkanlah..." Bu Kong lalu membentur-benturkan dahinya sebanyak tujuh kali di atas tanah.

Pek Hong tidak menjawab, juga tidak menengok. Hatinya masih terlampau sakit dan nyeri menerima kenyataan ini, melihat betapa Yap-goanswe agaknya tidak dapat melupakan Siu Li dan tega menamparnya. Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa di dalam hati pemuda itu, cinta kasih Bu Kong tetap dijatuhkan terhadap Siu Li dan kepada dirinya pemuda ini hanya mempunyai sekedar rasa suka dan ikatan budi belaka.

Pek Hong seperti diremas perasaannya dan jantungnya tertusuk. Kedukaan besar menghimpit batinnya dan gadis ini mengeluh dengan tubuh menggigil. Perlahan-lahan air mata kembali memenuhi mukanya dan pandangannya kedepan menjadi buram, suram dan... "Oohhh...!" Pek Hong menjerit dan membalikkan tubuh, lari meninggalkan tempat itu dengan hati hancur.

"Hong-moi...!" Bu Kong berseru dan melompat bangun, akan tetapi gadis itu sama sekali tidak mau menoleh dan lenyap di kegelapan malam. Bu Kong termangu-mangu dan berdiri dengan mata terbelalak, hendak mengejar namun tiba-tiba teringat kepada Bu-beng Sian-su. Maka dia memutar tubuh untuk minta nasihat manusia dewa itu, akan tetapi... ternyata kakek sakti ini pun juga sudah tidak ada disitu lagi!

"Ahh...." sejenak bekas jenderal muda ini tertegun, dan akhirnya menarik napas berat. Perasaannya tidak karuan, kedukaan dan kekesalan menindih batinnya. Dia merasa tidak enak sekali terhadap murid Ta Bhok Hwesio yang telah berkali-kali menolongnya itu, akan tetapi kalau teringat betapa Pek Hong yang menjadi biang keladi buntungnya lengan Siu Li, pemuda ini tidak tahu lagi apakah kemarahannya terhadap gadis itu benar-benar sudah lenyap dari lubuk hatinya.

Pemuda ini termenung, memandang sekitar dengan perasaan kosong. Malam semakin gelap dan bulan di langit pekat tampak penuh bersinar-sinar. Betapa bedanya dia dengan bulan itu. Kalau dia berwajah muram adalah sang bulan bersinar cemerlang. Keadaannya lebih mirip dengan keadaan sang malam, demikian sunyi dan gelap, penuh kehampaan. Bulan, bahagiakah engkau? Agaknya begitulah, terbukti dari senyumnya yang penuh tawa di langit sana. Cahayanya yang kuning keemasan membuat sang dewi bulan tampak demikian cantik dan anggun, ayu mempesona.

Memandang sang dewi bulan ini tiba-tiba teringatlah dia akan pertemuannya dengan Siu Li dahulu. Betapa pada saat bulan seperti inilah dia membuka isi hatinya dan menikmati cinta kasih yang syahdu diantara mereka berdua, betapa pada saat sang dewi bulan seperti inilah dia untuk pertama kalinya merasakan lembutnya cinta dan halusnya bibir yang merah membasah.

Berasyik-masyuk pada saat bulan purnama seperti ini sungguh amat mengesankan. Semuanya serba indah, semuanya serba mempesona. Daun-daun pohon bergesek lirih seakan bercumbu, rumput-rumput melambai seakan mengajak semuanya untuk bersantai. Bulan, engkau teman untuk bercinta, pelengkap suasana yang indah mesra. Sinarmu membuat wajah kekasih tampak jelita dan rupawan, penuh daya tarik yang menggairahkan. Pengobar cinta pembangkit berahi remaja! Akan tetapi sekarang? Bu Kong mengeluh. Bulan juga masih yang dulu, tidak berobah. Bulan juga masih memberikan senyumnya kepada setiap orang, tidak berbeda. Hanya keadaannya yang berobah, dia yang berbeda.

"Li-moi...” teringat kepada kekasihnya yang buntung lengan kirinya itu membuat jantung pemuda ini seperti diremas, hatinya tersayat-sayat, bibirnya gemetar dan Bu Kong menggigil sambil memejamkan matanya. Betapa hebat penderitaan kekasihnya itu, dia dapat membayangkan. Betapa sengsara dan merana hati kekasihnya itu, dia dapat menggambarkan. Semuanya ini ganti-berganti muncul di kelopak matanya. Dia tahu, walaupun gadis itu berusaha untuk menutupinya, betapa cinta kasih di dalam hati kekasihnya terhadap dirinya masih tetap seperti dulu, masih sama dengan keadaan sang dewi bulan, masih lembut dan halus menyentuh perasaan.

Hal in i dapat diras akannya ketika tadi dia memeluk gadis itu, mendekapnya penuh kasih sayang dan rindu yang ditahan. Betapa gadis itu menggigil, betapa gadis itu mengeluh panjang pendek dan merintih seperti padang tandus yang butuh air hujan, seperti ladang yang minta disuburkan. Dan pada saat yang membuat semangatnya seakan melayang di sorga ke tujuh inilah tiba-tiba gadis itu berontak, merenggut lepas dirinya dari pelukan serta dekapannya.

Dan ini dilakukan Siu Li karena kekasihnya itu melihat sepasang mata lain sedang memandangnya berapi-api, mata yang penuh iri dan cemburu, mata Pek Hong murid tunggal hwesio Tibet itu! Beralih kepada bayangan murid Ta Bhok Hwesio itu kembali perasaan Bu Kong terguncang. Dia tahu bahwa dia telah menerima budi yang tidak sedikit dari gadis ini, gadis manis yang sejak dulu menaruh hati kepadanya. Kalau saja di sana tidak ada Siu Li, agaknya tidak sukar baginya untuk menerima uluran cinta gadis itu. Akan tetapi sayang gadis itu terlambat dan dia telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Siu Li. Mana mungkin dia harus membagi cintanya?

Bicara terus terang, dia memang suka kepada murid Ta Bhok Hwesio yang lincah jenaka itu. Tapi perasaan sukanya itu adalah terbatas dalam hubungan kakak beradik, sekali-kali bukan sebagai hubungan antara pria dan wanita. Maka tentu saja dia maklum betapa pahit kenyataan yang harus dihadapi gadis itu.

Kalau sudah begini, lalu apa yang harus dilakukannya? Bu Kong menggigit bibirnya, mengeraskan hatinya dan berbisik perlahan, "Hong-moi, harap kau maafkan aku. Biarlah segala budimu yang kuterima ini kelak akan kubayar di lain jelmaan. Aku tidak dapat mencinta wanita lain kecuali Siu Li. Hanya kematianlah yang dapat memisahkan kami!"

Pemuda itu mengepal tinju, mengusap air matanya dengan kepalan dan memandang bulan di atas sana, berkemak-kemik, "Bulan, kau menjadi saksi sumpahku. Aku tidak dapat mencintai wanita lain kecuali Siu Li. Kalau gadis itu mau menjadi isteriku, setiap rintangan akan kutentang. Akan tetapi kalau dia tidak mau, aku tidak akan menikah seumur hidup! Dan selama gadis itu masih hidup di dunia, aku bersumpah untuk menjauhkan diri dari belenggu asmara!"

Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu melompat dan berlari ke arah timur. Arah inilah yang tadi diambil Siu Li, maka dia hendak mengejar gadis itu. Keputusannya sudah bulat, dia hendak bertanya kepada gadis itu apakah cinta kasih diantara mereka dapat diteruskan ataukah tidak. Kalau tidak, dia akan menjauhkan diri dari dunia ramai, menjauhkan diri dari lika-liku asmara yang membuatnya sengsara. Tapi tentu saja semuanya ini baru dilaksanakan apabila dia telah membuat perhitungan dengan Cheng-gan Sian-jin dan sekutu-sekutunya.

Begitu pemuda ini pergi, seseorang muncul di tempat itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Orang ini sudah sejak tadi mengintai dan ketika mendengar sumpah bekas jenderal muda itu, orang ini menarik napas panjang. "Yap-goanswe, kembali kau mendekatkan diri dengan penderitaan. Kalau sudah begini, bagaimana engkau dapat mengenyam kebahagiaan? Ah, anak muda bernasib malang, mudah-mudahan cobaan hidup yang bertubi-tubi itu akan membuatmu semakin matang dan kelak tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Sayang, emas di tangan sendiri masih mencari-cari tembaga di luar..."

Orang ini bergumam perlahan dan setelah memandang bulan yang masih tetap tersenyum berseri-seri itu, dia berkelebat dan lenyap dari tempat itu, menuju ke timur dengan gerakan secepat iblis. Yang nampak hanyalah pakaiannya yang putih salju itu dan dipandang sepintas lalu, dia bagaikan hantu yang sedang terbang dipermukaan bumi untuk mencari mangsa.

* * * * * * * *

Gadis itu berlari cepat s ambil menahan isaknya. Wajahnya pucat, air mata memenuhi mukanya dan gadis ini menggigit bibir kuat-kuat agar tangisnya tidak meledak. Dan lengan kirinya yang buntung itu mudah bagi kita untuk menebak siapa kiranya gadis cantik ini. Dia bukan lain adalah Siu Li, puteri Panglima Ok yang baru saja meninggalkan Bukit Kayu Merah dengan hati hancur.

Pertemuannya dengan Bu Kong di kaki bukit itu meremas-remas perasaannya. Meskipun dia telah bersikap keras dan berpura-pura membenci pemuda itu sebagai musuh besar ayahnya, akan tetapi dia tetap tidak dapat menyembunyikan perasaan hatinya sendiri. Betapa ketika dia menerima pelukan serta dekapan yang penuh getaran kasih sayang dari pemuda itu dia mengeluh bahagia. Betapa dia seperti merasakan embun cinta kasih yang jatuh di atas tanah kering, betapa ia gemetar dan menggigil hampir lumpuh.

Semuanya ini menunjukkan bahwa dia tidak dapat melupakan kekasihnya itu begitu saja. Tidak dapat melenyapkan kenangan manis yang pernah mereka nikmati dahulu di waktu bulan purnama. Kini Bukit Ang bhok-san telah jauh ditinggalkannya Siu Li merasa dadanya sesak, napasnya megap-megap. Sebuah hutan di depannya tampak gelap kehitaman, seperti raksasa sedang tidur. Pohon-pohon besar yang memenuhi hutan ini memantulkan cahaya keemasan dari sang dewi bulan, daun-daunnya kuning berkilauan, bergerak-gerak diusap angin malam yang berhembus perlahan.

Kalau orang melihat siraman cahaya yang merata di atas pohon-pohon besar yang kuning keemasan itu, pasti mereka akan takjub dan memandang terbelalak. Betapa indahnya pemandangan ini, betapa mempesona. Akan tetapi, kalau orang menjatuhkan pandangannya ke lorong-lorong yang gelap gulita diantara pohon-pohon besar yang tak terjangkau sinar bulan purnama itu, mereka pasti akan merasa seram.

Bagian bawah hutan ini gelap sekali. Daun-daun pohon raksasa yang rimbun dan lebat menghalangi sorotan cahaya kuning dan sang dewi bulan sehingga keadaan di bawah itu mengandung suasana menyeramkan. Apalagi ketika terdengar suara-suara aneh di kegelapan itu, suara mendesis atau berkeratak, suara seperti setan yang sedang berjalan dan menginjak daun-daun kering, sungguh semuanya ini membuat bulu tengkuk meremang.

Akan tetapi Siu Li tidak memperdulikan semuanya itu. Kedukaan dan kekecewaan terlampau hebat dirasakannya sehingga untuk urusan mati hidup agaknya gadis ini sudah tidak perduli lagi. Dia mempercepat larinya, napasnya semakin terengah-engah dan dadanya semakin terasa sesak. Tangis yang dit ahan-tahan membuat gadis itu hampir pingsan dan kakinya gemetar terhuyung-huyung melangkah ke depan.

Dia memang tidak mau menangis di sembarang tempat. Dia mau menangis di dalam hut an yang gelap itu, tersembunyi dan jauh dari orang lain yang mungkin mendengarnya. Maka begitu kakinya sampai di mulut hutan yang gelap gulita ini, Siu Li terus menerobos masuk dan karena matanya sekarang tidak dapat memandang apa-apa lagi di depan, akhirnya dia menabrak sebatang pohon yang berdiri kokoh seperti seorang raksasa yang sedang berjaga di pintu gerbang sebuah istana.

"Bress...!" gadis itu mengeluh dan tersungkur roboh, menelungkup sambil memeluk batang pohon tua ini dengan air mata bercucuran. Sejenak matanya nanar dan membiarkan tubuhnya menelungkup di bawah pohon itu, lalu gadis ini menangis tersedu-sedu. Setelah kini mendapat tempat untuk menyalurkan himpitan batinnya, pecahlah tangisnya yang mengguguk dan meledak-ledak.

"Yap-koko... aduh, Yap-koko... jangan tinggalkan aku sendirian menderita begini... aku tidak kuat menahan... aku tidak kuat menahan... aduh Thian Yang Maha Kuasa, mengapa nasibku demikian buruk..? Mengapa tidak Kau cabut saja nyawa hamba agar terlepas dari semua kesengsaraan ini? Yap-koko, jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku, ohhh...!"

Gadis itu menjerit histeris dan mencengkeram akar pohon dengan mulut menyeringai. Tarikan mulutnya dan wajahnya yang sepucat wajah mayat ini membayangkan betapa hebat penderitaan batin. Siapapun juga pasti akan mencucurkan air mata melihat keadaan gadis cantik yang buntung lengan kirinya ini.

Dan jeritnya yang meninggi itu menambah suasana hutan semakin menyeramkan. Jerit ini seakan-akan jerit kuntilanak yang dibakar api neraka, atau mirip juga dengan jerit seorang ibu yang sedang melahirkan anaknya. Penuh kenyerian, penuh kepedihan dan penuh penderitaan. Siapapun juga yang melihat keadaan puteri Panglima Ok ini pasti akan hancur hatinya, bahkan seorang yang berhati sekeras baja sekalipun akan menjadi basah matanya.

Siu Li menegang, matanya terbelalak. Gadis ini sedang berada dalam puncak tertinggi masa kesengsaraannya, dan keadaan macam ini bagi seorang manusia adalah amat berbahaya sekali. Dapat membuat urat syaraf pecah dan katup jantung berhenti berdenyut! Kesedihan dan kepedihan bergolak di dalam hatinya, air mata seperti dikuras, membanjir laksana bendungan jebol. Siu Li merintih-rintih, mengerang dan bergulingan di atas tanah.

“Yap-koko, dimanakah kau kini...? Datanglah kekasihku... datanglah sayang... aku rindu sekali kepadamu... aku ingin sekali lagi melihat wajahmu sebelum ajalku tiba. Oh, Dewi Welas Asih, suruhlah dia datang kemari... aku tidak kuat... aku ingin mati... aku ingin mati dipelukannya. Yap-koko, dimanakah engkau...?”

Gadis itu mengeluh dan tiba-tiba, seperti orang kaget, mendadak Siu Li melompat bangun. Dia memandang batang raksasa itu dengan mata terbelalak, bibirnya gemetar, "Oh, Dewi Welas Asih, jangan... jangan panggil dia kemari... tidak... tidak... aku tidak mau. Dia telah hidup bahagia bersama calon isterinya, kenapa aku hendak mengganggu kebahagiaan mereka? Adik Hong jauh lebih pantas berada di sampingnya daripada aku anak seorang yang berwatak kotor ini. Thian Yang Maha Agung, biarlah mereka hidup bahagia... biarlah... aku rela... oh, kekasihku sayang, selamat tmggal... sampai jumpa kelak di alam sana... Yap-koko...!"

Siu Li melengking nyaring dan tiba-tiba gadis ini menubruk ke depan, membenturkan kepalanya ke batang pohon itu. Dia telah mengambil keputusan nekat, yakni hendak membunuh diri dengan jalan memecahkan kepalanya di pohon raksasa itu!

Dan pada saat yang menentukan inilah tiba-tiba dari mulut hutan berkelebat sesosok bayangan tinggi besar. Bayangan ini bukan lain adalah Bu Kong sendiri yang tadi mendengar jerit Siu Li yang pertama kalinya. Jerit inilah yang menuntun pemuda itu dan tentu saja dengan hati girang dia lalu menuju ke tempat ini dengan jantung berdebar tegang.

Dan ketika dia sampai di mulut hutan, Bu Kong dengan jelas mendengar semua kata-kata gadis itu dan tentu saja dia merasa seperti diremas-remas perasaannya. Suasana hutan yang sunyi membuat suara kekasihnya ini tertangkap jelas, dan dia terkesiap sekali ketika mendengar lengking Siu Li yang memanggil namanya itu.

"Li-moi, tahan...!" pemuda ini berteriak parau dan seperti burung rajawali menyambar mangsa, tubuhnya terbang ke depan dengan kecepatan kilat.

Siu Li kaget bukan main mendengar bentakan itu, namun semuanya sudah terlambat. Dia tidak dapat mengendalikan diri, hanya kejutan yang dialaminya membuat tenaganya sedikit tertahan. "Dukk!" batang pohon itu sudah ditumbuknya dan gadis ini tidak ingat apa-apa lagi, roboh terkapar mandi darah.

Bu Kong berseru tertahan, wajahnya pucat dan diam-diam pemuda ini hanya berharap mudah-mudahan pukulan jarak jauhnya tadi dapat mengurangi benturan yang nekat dilakukan kekasihnya itu. Maka dengan cepat dia melompat maju, berlutut di samping tubuh yang kepalanya penuh berlumuran darah itu. Sedetik semangatnya seakan terbang melayang, akan tetapi setelah dia memeriksa seksama, ternyata hanya kulit dahi gadis itu sajalah yang terluka. Tengkorak kepalanya tidak ada yang retak dan tentu saja kenyataan ini melegakan hatinya.

Bu Kong lalu mengeluarkan saputangannya, merobek ujung bajunya dan membalut luka itu untuk menghentikan mengalirnya darah. Kemudian pemuda ini menotok empat jalan darah penting di tengkuk untuk menenangkan guncangan syaraf kepala dan setelah itu dia mencari air agar kekasihnya ini cepat sadar.

Tidak berapa lama kemudian, Siu Li mengeluh perlahan, bulu mata bergerak-gerak dan akhirnya kelopak matanya itupun terbuka. Mula-mula yang dilhatnya adalah daun-daun pohon raksasa yang hijau gelap itu, lalu sedikit cahaya sinar bulan yang menyorot di celah-celah dedaunan yang rimbun. Sejenak gadis ini membiarkan matanya menikmati semuanya itu, pemandangan aneh yang belum pernah disaksikannya.

Sorot sinar bulan yang kuning keemasan di celah-celah dedaunan yang hijau gelap sungguh merupakan pemandangan yang luar biasa. Kesejukan dan kedamaian yang hening terdapat di situ, membuat perasaan tenteram dan aman, penuh kebahagian. Inikah sorga seperti yang disebut orang-orang di dunia itu? Kalau begitu, beginikah rasanya orang mati yang masuk sorga itu? Siu Li terbelalak dan gadis ini menjadi bengong.

"Li-moi... tiba-tiba suara yang halus penuh perasaan menyadarkan Siu Li dan gadis ini terkejut. Otomatis dia menoleh ke sebelah kanannya dan mata yang tadi terbelalak itu kini terbuka lebar.

"Yap-koko...!" gadis itu berseru dan terisak lalu menubruk kekasihnya ini penuh kebahagiaan. "Sudah matikah kita ini? Beginikah sorga yang digambarkan orang banyak itu? Ah, koko, aku ingin menikmatinya terus, aku ingin berada di sampingmu selamanya! Jangan tinggalkan aku lagi, koko... jangan biarkan aku merana sendirian lagi. Aku ingin tinggal di sorga ini, tidak mau kembali lagi ke dunia yang fana itu. Koko, kenapa kau menyusulku kemari? Dan... ehh, kenapa rohmu masih memakai baju?! Yap-koko...!"

Siu Li berteriak kaget dan seketika gadis ini melompat bangun. Sepasang mata yang tadi bersinar-sinar penuh kebahagiaan karena mengira bahwa dia sudah berada di alam baka ditemani kekasihnya itu sekarang berkedip-kedip cemas. Mata yang jeli itu berputar, memandang Bu Kong seperti memandang setan, menjelajahi pakaiannya, sepatunya, dan akhirnya melekat di baju bagian dada yang penuh darah.

"Ohh....!” Siu Li memekik tertahan dan mendekap mulutnya dengan tangan kanannya, lalu memandang keadaan dirinya sendiri, memandang pakaiannya yang juga penuh darah dan akhirnya memandang lengan kirinya yang buntung. Semakin lama gadis ini tampak semakin terkejut dan kegelisahan membayang di air mukanya. Dengan tubuh menggigil dan kaki gemetar Siu Li mengangkat tangan kanannya, lalu perlahan-lahan mencubit pangkal lengan kirinya yang buntung.

Menurut cerita yang didengar, kalau seseorang telah mati maka tidak ada lagi rasa sakit jasmani bagi roh yang telah meninggal. Dan kini untuk membuktikan apakah dirinya sudah mati atau belum, Siu Li lalu mencubit pangkal lengannya itu kuat-kuat, dan... "Aduhh....!" gadis ini menjerit dengan wajah pucat.

Cubitannya terasa sakit sekali dan ketika dia memandang, ternyata kulit dagingnya biru kehitaman! Jadi dengan adanya bukti ini, jelaslah sudah bahwa dia masih hidup di dunia, bukan di sorga seperti apa yang dirasakannya!

"Ahh...." Siu Li terhuyung-huyung dan kekecewaan besar melanda hatinya. Dia tadi mengira bahwa dia sudah hidup di alam lain, alam yang demikian penuh kedamaian dan kebahagiaan, alam yang ingin dinikmatinya sampai akhir jaman.

Akan tetapi agaknya apa yang dirasakan tadi hanyalah impian belaka, khayal seorang manusia yang baru sadar dari pingsannya. Tentu saja gadis ini merintih pilu. Segera kenyataan-kenyataan hidup seperti apa adanya masuk ke dalam kesadarannya dan Siu Li mengerang, terhuyung-huyung dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.

"Li-moi, sadarlah, tenangkanlah perasaanmu..." tiba-tiba sepasang lengan yang kokoh kuat menahan tubuh gadis ini dan Siu Li mengeluh.

"Yap-koko, ahh... kenapa aku tidak mati saja? Kenapa aku masih hidup dalam dunia yang penuh sengsara ini...? Aduh Thian Yang Ma ha Kuasa, mengapa tidak jadi Kau cabut saja nyawa hamba...?" gadis itu menangis sedih.

Bu Kong terharu. Dipeluknya tubuh yang menggigil ini dengan penuh kasih sayang, diusapnya rambut hitam yang panjang harum dan terurai lepas itu, dan akhirnya dikecupnya kening Siu Li penuh perasaan. "Li-moi, sudahlah. Tuhan belum menghendaki kau mati, kenapa bersedih? Hapuslah air matamu itu dan mari kita bicara dari hati ke hati dengan penuh kejujuran. Ketahuilah, aku menyusulmu kemari karena hendak meminta keputusanmu."

Siu Li mengerang tertahan. Kecupan mesra di keningnya itu membuat gadis itu seakan lumpuh dan dia tidak sanggup bicara apa-apa. dibiarkannya pemuda itu membelai punggungnya, dibiarkannya pemuda itu mengelus-elus rambutnya, dibiarkannya semua kebahagiaan ini menaungi dirinya.

Bu Kong memandang kekasihnya itu dengan penuh keharuan. Dilihatnya betapa gadis ini sudah tidak menangis lagi, akan tetapi kedua matanya masih berkaca-kaca, bening dan terang seperti gelas terisi air jernih. Wajah yang sayu pucat itu tertimpa sinar bulan yang sempat menerobos celah daun, kuning keemasan dan tampak sendu menyentuh hati.

Yap-koko..." akhirnya Siu Li berkata dengan suara menggetar, "kenapa engkau datang kemari? Kenapa engkau merenggut keputusan yang sudah kulaksanakan? Dan... dan... kenapa kautinggalkan adik Hong...?"

Bu Kong menarik napas panjang. Disebutnya nama Pek Hong ini membuat wajahnya muram dan sejenak dia tidak menjawab. "Li-moi...." akhirnya pemuda ini mengeluarkan suara. "Hanya satu saja jawaban dari semua pertanyaanmu itu. Aku datang kemari adalah karena aku cinta kepadamu. Aku menghalangi kenekatanmu tadi juga karena aku cinta kepadamu. Begitu pula kenapa aku meninggalkan Hong-moi juga karena aku mencinta dirimu. Li-moi, betapapun juga keadaan kita, aku tidak dapat menghapus cinta kasih yang telah bersemi di hatiku terhadap dirimu! Nah, inilah jawaban atas semua pertanyaanmu itu."

"Koko...." Siu Li terisak penuh kebahagiaan dan gadis ini menyusupkan mukanya di dada kekasihnya yang bidang, terayun dan terbuai oleh nikmatnya cinta asmara. Kata-kata pemuda itu seakan membuatnya terbang di tempat para dewa-dewi di mana tidak terdapat kedukaan, kesengsaraan maupun penderitaan.

Bu Kong menarik dirinya perlahan-lahan dan menuntun gadis itu mencari tempat duduk yang enak. Dipilihnya tempat yang agak terbuka dan tidak terlalu gelap dari mana sinar bulan menerangi tempat ini, lalu dengan muka sungguh-sungguh mulailah dia berkata.

"Li-moi, seperti yang kau tahu dan kau lihat sendiri, sesungguhnya cinta kasih diantara kita tidak mungkin diputuskan begitu saja. Meskipun diantara ayahmu dan aku pribadi ada permusuhan, akan tetapi ini semuanya disebabkan adanya kaitan dengan kerajaan. Dan sekarang kaulihat sendiri bahwa aku sudah tidak menjadi jenderal lagi. Sri baginda telah memecat diriku dan aku juga telah tidak menjadi pembantunya lagi. Maka tidak seharusnya kalau dalam persoalan ini kita lalu merusak kebahagiaan sendiri dan menghancurkan perasaan masing-masing gara-gara perbuatan orang lain."

Siu Li mengangkat mukanya, memandang pemuda itu dengan isak perlahan. Dia masih belum tahu kemana tujuan kata-kata itu, maka dia lalu bertanya, "Koko, kalau benar seperti apa yang kau katakan ini, lalu apakah yang kau kehendaki? Bagaimana sikap kita selanjutnya? Aku bingung, koko, aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Kau dan ayah... ah, mana mungkin bisa diselesaikan begitu saja? Kau pasti akan membalas perbuatannya. Kau telah terfitnah, dan kau tentu akan berusaha membersihkan diri. Kalau sudah begitu, kalau kau membalas dendam kepada ayah, mana mungkin pula aku berdiam diri? Koko, biar bagaimanapun juga dia adalah ayahku, tak mungkin aku menjadi seorang anak yang puthauw (tak berbakti)!"

Gadis itu menangis lagi dan Bu Kong menarik napas. "Li-moi, demi engkau aku rela berkorban! Dalam soal fitnah keji ini biarlah aku tidak akan mengikut-sertakan ayahmu. Akan tetapi tiga orang yang lain, terutama murid mendiang Ang-i Lo-mo itu, tidak mungkin kudiamkan saja! Aku pasti membuat perhitungan dengan mereka dan pada suatu hari kelak tentu aku akan membunuh orang-orang ini!"

"Akan tetapi…. akan tetapi... kalau ayah membela mereka dan bersetia kawan mengingat mereka adalah tiga orang panglima perang yang sudah lama bersatu diri, lalu apa yang bakal terjadi, Yap-koko? Ayah terlampau keras hatinya dan... aah... terus terang saja dia membencimu. Semenjak kekalahannya dahulu ayah merasa terpukul dan itulah sebabnya dia lalu mempergunakan siasat yang curang itu...."

Bu Kong merah mukanya dan pemuda ini mengepal tinju. "Li-moi, dengan menyampingkan ayahmu ini saja berarti aku sudah banyak mengalah. Menurut patut, diapun masuk perhitunganku ini karena dialah orang tertua yang tentunya mengatur semua rencana keji itu. Akan tetapi memandang mukamu, aku rela mengalah dan memaafkan semua perbuatannya. Namun kalau dia tidak tahu diri, kau tentunya maklum siapa yang keterlaluan dalam hal ini!"

Siu Li terisak. "Aku tahu, koko... aku tahu..."

"Nah, untuk mencegah kejadian inilah maka engkau amat diperlukan sekali, Li-moi. Kau harus dapat membujuk ayahmu itu, mengemukakan semua fakta dan menyadarkannya dari kekeliruan yang akan membuat persoalan ini semakin ruwet. Kalau dia ingin membahagiakan anaknya dan tidak ingin menyengsarakan dirimu, maka semua kata-katamu pasti diturut. Akan tetapi kalau dia lebih mementingkan diri sendiri, yahh.... apa boleh buat. Aku pun juga belum tahu bagaimana kelanjutan semua kejadian ini. Namun, Li-moi, sebaiknya kita jangan membayangkan hal-hal terlalu jauh. Baiklah kita anggap saja bahwa semuanya itu adalah kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Yang paling penting bagi kita adalah sekarang ini, persoalan kita berdua ini..."

Bu Kong berhenti sejenak kemudian melanjutkan sambil memandang gadis itu lekat-lekat dan memegang kedua pundaknya, "Li-moi, sungguh-sungguhkah engkau mencintaku?"

Siu Li mengangkat mukanya dan melihat tatapan mata yang bersinar-sinar itu, gadis ini menjadi merah pipinya dan menunduk. "Yap-koko, perlukah kujawab pertanyaanmu ini? Bukankah kau jauh lebih mengerti akan isi hatiku?"

"Benar, Li-moi, akan tetapi aku telah mengambil keputusan bulat yang telah lama kurencanakan, maka jawabanmu yang sungguh-sungguh amat kuperlukan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku ini, Li-moi, sungguh-sungguhkah engkau mencintaiku?” Bu Kong menyentuh dagu gadis itu dan mengangkatnya perlahan-lahan untuk beradu pandang.

"Koko...." Siu Li terisak dan menunduk malu. "Sejak pertama kali perjumpaan kita, aku tidak dapat melupakan dirimu, apalagikah arti dari semuanya ini? Demi kebahagiaanmu aku rela berkorban koko, apa saja, bahkan nyawaku sekalipun!"

Bu Kong mengangguk girang. "Bagus, jadi kau mau menjadi isteriku?" tanyanya kembali.

Siu Li menarik tubuhnya dan sekarang gadis ini memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Koko, dalam hal ini, mungkinkah kita bisa menjadi suami isteri? Ayahku memusuhimu dan..."

"Sstt, inilah tugasmu, Li-moi, kau perlu membujuknya," Bu Kong memotong dan mengulapkan tangannya. "Aku sudah mau menyampingkan dia dan memaafkan semua perbuatannya yang keji. Bukankah aku sudah mengalah cukup banyak?"

"Benar, tapi... tapi kalau ayah tidak berhasil kubujuk?" Siu Li bertanya dengan suara cemas.

"Kita tinggalkan dia dan kita mengasingkan diri jauh dari dunia ramai. Kita menikah di sebuah kuil dan semuanya tidak kita perdulikan lagi!"

"Ahh...!" gadis itu berseru terbelalak. "Mungkinkah ini, koko? Masa kita menikah tanpa persetujuan orang tua sama sekali?"

"Li-moi, kalau ayahmu tidak mau merestui, masih ada guruku yang kuyakin pasti akan merestui kita. Di samping itu, kita minta tolong kepada seorang hwesio atau nikouw umpamanya, untuk menjadi walimu. Bukankah dalam hal ini kita tidak mengalami kesukaran?"

Siu Li termenung, tidak menjawab. Apa yang diusulkan kekasihnya itu memang agaknya merupakan jalan tengah. Kalau ia tidak berhasil membujuk ayahnya, mau apa lagi? Perasaan seseorang sesungguhnya tidak selalu tetap. Hari ini tidak suka mungkin lima atau sepuluh tahun lagi suka. Hari ini ayahnya membenci Yap goanswe akan tetapi kalau mereka sudah terikat sebagai suami isteri barang lima atau sepuluh tahun lagi mungkin ayahnya itu dapat berobah pikirannya. Apalagi kalau mereka sudah mempunyai anak! Sampai di sini tiba-tba wajah gadis itu menjadi merah dan diam-diam ia mencaci diri sendiri yang tidak tahu malu. Persoalan menikah saja belum terlaksana bagaimana mau melamun yang tidak-tidak?

"Bagaimana, Li-moi?" Bu Kong yang tidak sabar menunggu keputusan kekasihnya ini bertanya. “Kalau kau setuju harap kau anggukkan kepala, akan tetapi kalau tidak setuju cukup kaugelengkan kepalamu saja."

Gadis itu mengangkat mukanya. "Koko, aku setuju bagaimana dan kalau tidak bagai mana pula?"

Bu Kong mengepal tinjunya dan duduk dengan tegak. "Li-moi," katanya sungguh-sungguh. "Aku telah mengambil keputusan bulat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kalau engkau setuju, maka semua halangan kita tentang bersama, kita atasi bersama. Dan masalah ayahmu, dengan memandang mukamu maka semua perbuatannya yang sudah-sudah tidak akan kuanggap lagi. Kalau engkau telah menjadi isteriku, baik dia masih memusuhiku atau tidak, dia adalah gak-hu (mertua) bagiku dan tidak mungkin lagi aku memusuhinya. Akan tetapi, kalau engkau tidak setuju, maka aku bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup dan akan mengasingkan diri di tempat sunyi sampai ajalku tiba, tapi tentu saja setelah aku membuat perhitungan dengan musuh-musuh besarku, termasuk ayahmu itu!”

Siu Li terbelalak dan gadis ini memandang Bu Kong dengan sinar mata tajam. Dia melihat kesungguhan ucapan itu, melihat mata yang berkilat seperti mata naga itu dan Siu Li percaya bahwa apa yang telah diucapkan pemuda ini pasti akan dikerjakan sungguh-sungguh, tidak main-main. Sejenak hatinya tergetar dan dia merasakan wibawa yang kuat seka li dari kekasihnya itu.

Akhirnya gadis ini menarik napas panjang. Dia cukup mengenal kekerasan hati kekasihnya itu yang sekali telah memutuskan sesuatu, tidak mungkin dapat ditekuk lagi. Kekerasan hati pemuda ini melebihi baja dan kalau ia renungkan, sesungguhnya keputusann Bu Kong ini amat meringankan hatinya. Betapa tidak? Pemuda itu mau menyudahi permusuhan dengan ayahnya, melupakan perbuatan-perbuatan ayahnya yang tidak terpuji asal dia sudah menjadi isterinya. Kalau sudah begini, mau apa lagi? Bukankah dia sendiri mencinta pemuda ini lahir batin?

"Koko..." Siu Li terisak, "budimu sungguh mulia. Kalau itu sudah menjadi tekadmu, apa lagi yang hendak kukatakan? Terserah kepadamu, koko, aku hanya mengikut saja..."

"Eh, mengikut bagaimana? Kau belum memberikan jawaban yang pasti. Mengangguk tidak menggelengkan kepala juga tidak. Bagaimana ini?" Bu Kong bertanya.

Gadis itu mengangkat mukanya. "Koko, aku setuju..." katanya lirih dan cepat menundukkan mukanya yang kemerahan.

Bu Kong menjadi girang mendengar jawaban ini dan hampir saja dia menari-nari. Akan tetapi dia menahan diri dan sengaja hendak menggoda kekasihnya ini, maka sambil berpura-pura cemberut dia menengadahkan wajah yang jelita itu dan bertanya. "Li-moi, kau ini bagaimana sih? Apa maksudmu dengan setuju tadi? Apakah maksudmu kau setuju kalau aku tidak menikah seumur hidup begitu? Demikiankah maksudmu itu?”

"Koko, kau ini terlalu sekali!" Siu Li memandang gemas. "Masa aku ingin membiarkan kau sengsara begitu rupa?"

"Jadi...?"

"Jadi..." Siu Li menirukan sambil mengerling.

"Kau mau menjadi isteriku?"

"Kalau kau suka!" Siu Li berkata manja.

"Suka? Ha ha ha! Siapa tidak suka kepadamu, moi-moi? Seribu kali kuucapkan kata-kata ini dan seribu kali itu pula aku tetap suka! Moi-moi, aku bukan hanya suka kepadamu, akan tetapi akupun cinta padamu.... kekasihku, aku cinta padamu..."

Bu Kong meraih dan memeluk gadis itu lalu menciumnya penuh kemesraan. Dunia seakan berputar dan Siu Li mengeluh penuh kebahagiaan. Kalau sudah begini, apalagi yang dapat membuat dua orang muda-mudi itu berduka? Mereka sudah bertekad untuk hidup bersama, mengatasi segala rintangan-rintangan bersama pula dan dengan kekuatan bersama mencoba untuk membangun mahligai rumah tangga!

Bulan di angkasa tersenyum gembira menyaksikan pertemuan dua buah hati yang saling mencinta ini dan sinarnya tampak semakin terang, kuning keemas-emasan. Betapa bahagianya hidup pada saat itu! Betapa inginnya kita turut mengecap kemanisan cinta seperti yang dialami dua orang muda-mudi ini. Namun sayang, tidak semua orang dapat menikmati seperti apa yang telah direguk sepasang merpati itu. Tidak semua orang dapat merasakan cinta kasih yang tidak bertepuk sebelah tangan.

Ada gembira ada sengsara, ada suka ada duka. Semuanya silih berganti muncul di atas bumi. Siapa dapat mencegah duka atau sengsara ag ar tempatnya selalu ditempati suka? Dan siapa pula mampu mencegah suka atau gembira agar tempatnya selalu ditempati duka? Tidak ada yang mampu. Dua unsur ini selalu bergerak, Im dan Yang, positip dan negatip, abadi di atas permukaan bumi!

Setelah Bu Kong mendapat kepastian dari kekasihnya bahwa gadis itu akan mencoba membujuk ayahnya agar mereka dapat hidup bahagia dengan restu orang tua, tidak lamapun mereka berpisah. Masing-masing masih mempunyai tugas yang harus diselesaikan, dan mereka harus melaksanakan dulu pekerjaan ini.

Siu Li sendiri sudah mantap hatinya untuk mengambil keputusan. Dia merasa bahwa apa yang sudah digariskan oleh kekasihnya sejalan pula dengan pikirannya, merupakan jalan tengah yang dianggapnya baik dan tepat. Dan kalau nanti usaha membujuk dan menyadarkan ayahnya ini tidak berhasil, dia akan pergi bersama pemuda itu ke tempat yang jauh dari keramaian dunia, jauh dan kerusuhan-kerusuhan manusia yang selalu membuat onar.

Keputusan mereka sudah bulat. Mereka tidak akan menghancurkan kebahagiaan yang sudah di ambang mata ini dengan halangan-halangan orang lain, bahkan oleh Panglima Ok sendiri. Jika orang tua itu berkeras kepala, masih ada jalan lain. Masih ada Malaikat Gurun Neraka di sana yang dapat merestui mereka, dan sebagai pelengkap atau syarat perkawinan, mereka dapat meminta tolong kepada seorang hwesio atau nikouw kuil untuk menjadi wali dari pihak wanita.

Hanya diam-diam Siu Li yang agak gelisah teringat kepada guru kekasihnya itu. Satu pertanyaan yang selalu mengganggunya selama ini, yakni: Maukah pendekar sakti itu mengabulkan permohonan mereka? Dia ngeri membayangkan guru pemuda itu menolak dan Siu Li menyimpan kegelisahan hatinya ini sendiri dan tidak mengutarakannya kepada Bu Kong. Dia tidak mau mencemaskan perasaan kekasihnya dengan hal-hal yang belum nyata. Apa yang akan mereka hadapi biarlah dihadapi saja, tidak perlu kiranya membayang-bayangkan kejadian yang mengecilkan hati.

Demikianlah, dengan adanya teead bersama yang sudah sebulat dan senyawa itu, dua orang muda-mudi ini menghadapi segala rintangan yang mungkin terjadi dengan perasaan tabah. Tadi sebelum berpisah masing-masing telah saling bersumpah disaksikan bulan purnama bahwa hanya kematianlah yang dapat memisahkan mereka dari ikatan suci ini dan tidak seekor setanpun selama mereka masih hidup akan mampu memutuskan rencana mereka itu!

Malam semakin larut dan Bu Kong memandang kepergian kekasihnya dengan perasaan berat dan penuh harap-harap cemas. Tugas kekasihnya ini cukup berat. Akan tetapi kalau berhasil, maka imbalan yang mereka perolehpun cukup sepadan. Namun kalau gagal... hemm... Bu Kong mengepal tinju dan pemuda ini mengeraskan dagunya.

"Kalau usahanya gagal, kita akan mencari orang lain sebagai pengganti orang tua yang tidak tahu diri itu!" Bu Kong bergumam dengan mata berkilat. "Kita harus berhasil.... harus, tidak boleh tidak!" Tiba,tiba, seperti jawaban bagi kata-kata pemuda ini, terdengar tawa lembut yang memecahkan kesunyian malam.

"Anak muda bersemangat baja, tekadmu yang berapi-api ini sungguh patut kuhargai. Semoga Tuhan mengabulkannya, siancai.....!" dan di balik pohon raksasa yang tadi dipergunakan Siu Li untuk membunuh diri itu muncul sesosok bayangan berpakaian putih yang wajahnya tertutup halimun.

"Bu-beng Siansu...!" Bu Kong berseru kaget dan melompat mundur, lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan manusia dewa yang maha sakti itu.

Bu-beng Siansu tertawa halus dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Orang muda, maafkan aku yang selalu membayangimu sejak tadi. Aku hanya ingin mendapatkan kesimpulan tentang kejadian-kejadian di masa mendatang yang mungkin akan kau hadapi. Dan sekarang aku menjadi jelas. Terimalah ini, siapa tahu kelak ada gunanya bagimu..."

Kakek itu mengulurkan tangan kanannya dan Bu Kong melihat selembar kulit kayu yang lunak di atas telapak tangan manusia dewa ini. Sejenak dia terbelalak tidak mengerti, akan tetapi melihat kakek itu memberikan benda aneh ini dengan sungguh-sungguh, maka diterimanya juga barang ini.

"Sian-su, benda apakah ini? Teecu tidak mengerti, mohon penjelasan Sian-su. Kalau teecu lihat, bukankah ini hanya selembar kulit kayu belaka?" Bu Kong bertanya dan mengangkat mukanya, mengerahkan tenaga saktinya ke mata untuk menembus kabut yang mengelilingi kakek itu namun usahanya ternyata tidak berhasil.

Bu-beng Sian-su terkekeh lembut mendengar ucapan pemuda itu. "Orang muda, harap kau ketahui bahwa setiap benda yang kuberikan kepada orang lain pasti merupakan benda berharga. Ketahuilah, meskipun yang kuberikan kepadamu ini hanya kulit kayu yang lunak belaka, akan tetapi sesungguhnya mengandung nilai yang tidak ada bandingannya! Keluarlah dari mulut hutan ini, berdirilah di tempat terang dan coba kau bolak-balik benda itu. Nah, selamat tinggal, sampai bertemu pada lain kesempatan!"

Bu Kong terkejut dan hendak memanggil, namun baru saja dia mengalihkan perhatiannya dari benda luar biasa itu kepada Bu-beng Sian-su, ternyata kakek dewa itu telah lenyap! Menghilangnya tokoh maha sakti itu seperti iblis saja, tidak tampak gerakan tubuhnya akan tetapi tahu-tahu sudah lenyap begitu saja!

Bekas jenderal muda ini berdiri dengan mata terbelalak, seoiah-olah tak mempercayai pandangan matanya sendiri, namun demikianlah kenyataannya. Bu-beng Sian-su telah lenyap seperti asap, dan kakek itu hanya meninggalkan pesan yang penuh teka-teki dan serba rahasia. Dia hanya disuruh keluar dari mulut hutan dan berdiri di tempat terang, lalu membolak-balik kulit kayu ini dan akan mendapat jawabannya!

Apa-apaan ini? Mengapa sikap manusia dewa itu demikian misterius? Kenapa pula dia harus berdiri di tempat terang? Apakah ada sesuatu yang bakal dilihatnya? Semua pertanyaan ini membuat Bu Kong berdebar tegang. Musuhkah yang akan datang mengeroyoknya? Siapa kira-kira? Cheng-gan Sian-jin? Dia tidak takut, malah kebetulan!

Maka dengan rasa ingin tahu yang amat besar pemuda ini lalu berkelebat keluar dari mulut hutan. Di sini cahaya bulan yang gemilang tidak mendapat penghalang. Semuanya serba terang, tersiram sinar bulan yang kuning keemasan. Bu Kong membalik-balik kulit kayu itu dan tiba-tiba pemuda ini terbelalak. Barang aneh pemberian manusia dewa itu ternyata bukan barang luar biasa. Benda ini benar-benar kulit kayu biasa saja, namun lunak seperti kulit kambing. Tidak ada apa-apanya yang aneh kecuali guratan-guratan kecil yang hampir tidak terlihat oleh mata. Dan ketika pemuda ini memperhatikan dengan seksama, ternyata guratan-guratan halus yang kecil sekali itu adalah kalimat-kalimat aneh, begini bunyinya:

"…mau…..! .... mau….! ....MAU!!"

Tentu saja Bu Kong tercengang. Apa arti dari tiga kalimat "mau" ini? Sementara dia bertanya-tanya sambil membalik permukaan sebelahnya, ditemuinya kalimat yang agak lengkap di sini yang berbunyi:

"Aku punya mau....!

Diapun punya mau....!

.....??!?

.....MAU!!"


Sampai di sini pemuda itu benar-benar dibuat bingung. Kalau yang pertama dia hanya menemui tiga kata "mau" pada permukaan yang satu, adalah di permukaan yang lain dia telah menemukan kalimat-kalimat yang lebih sempurna. Namun, karena baris ketiga hanya terisi titik-titik yang penuh tanda tanya dan baris keempat juga hanya terdapat kata "mau" lagi, Bu Kong tak dapat memecahkan keganjilan luar biasa itu.

Barang apa ini? Pemuda itu mengerutkan alisnya. Dan tadi kakek dewa itu mengatakan bahwa benda ini mempunyai nilai yang tidak ada bandingannya! Ah, tidak membualkah Bu-beng Sian-su? Tidak main-mainkah kakek itu?

Penulis berani menjawab: Tidak! Bu-beng Sian-su memang bersungguh-sungguh dan apa yang dikatakan manusia dewa itu memang benar. Sesungguhnyalah rahasia yang terdapat di kulit kayu yang kini dipegang oleh bekas jenderal muda itu mempunyai nilai yang tiada bandingannya.

Para pembaca yang budiman, sekarang mulai terpecahkanlah syair luar biasa yang telah penulis letakkan pada jilid pertama dahulu. Bukankah anda lihat bahwa di halaman depan pada jilid pertama dahulu terdapat sebait kalimat yang berbunyi:

“.... mau...!

.... mau…!

....??!?

....MAU!!"

Nah, bukankah begitu yang anda lihat, para pembaca? Dan sekarang dua baris pertama telah diisi oleh Bu-beng Sian-su. Tinggal baris ketiga dan keempat yang masih kosong. Dapatkah kira-kira anda menebaknya? Kalau belum, baiklah anda bersabar dahulu. Beberapa jilid lagi Bu-beng Sian-su akan muncul kembali dan di akhir cerita inilah, seperti yang menjadi ciri khas penulis, anda akan mendapatkan kejutan yang benar-benar luar biasa, yang akan membuat anda semua tertegun dan mau tak mau pasti akan mengatakan BENAR! Tidak percaya? Anda buktikan saja!

Sementara itu, Bu Kong yang sama sekali masih tidak mengerti dan meraba-raba dalam gelap melihat kalimat-kalimat ganjil itu, termangu-mangu sambil membolak-balik kulit kayu ini. Dia berusaha memeras otaknya untuk memecahkan teka-teki itu namun tetap saja tidak berhasil. Dan sementara dia termangu-mangu inilah tiba-tiba Bu Kong mendengar desir angin yang amat halus di belakangnya. Cepat pemuda ini memutar tubuh dan..... Bu Kong terkejut bukan main.

Seorang laki-laki setengah umur yang gagah perkasa berdiri di situ, sikapnya tenang akan tetapi penuh wibawa, pakaiannya berjubah biru gelap, matanya mencorong tajam seperti mata naga dan jenggot pendeknya agak bergoyang-goyang tertiup angin malam.

"Suhu....!" pemuda itu berseru kaget dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki tua yang gagah perkasa dan angker ini karena dia bukan lain adalah Malaikat Gurun Neraka sendiri!

"Hemm, kau sudah sembuh?" Malaikat Gurun Neraka mengebutkan lengan bajunya dan mengangguk. "Mana Pek Hong?"

Pertanyaan ini membuat Bu Kong tergagap dan sejenak dia tak mampu menjawab. Pendekar sakti itu mengerutkan alisnya dan kembali bertanya, “Kong-ji, mana nona Hong?"

Bu Kong menelan ludah, kemudian setelah menenangkan jantungnya yang berdegup tidak karuan dia menjawab, “Suhu, teecu mohon maaf. Adik Hong telah pergi meninggalkan teecu dan ketika teecu memanggil, ia tidak mau berhenti..."

"Hemm, ada apa kalau begitu? Kau telah menyakiti hatinya?" Malaikat Gurun Neraka membentak dan Bu Kong menunduk.

"Benar suhu, teecu telah berbuat salah kepadanya...."

"Apa yang kau lakukan?"

"Teecu...teecu telah....telah menamparnya, suhu!"

"Hehh?" pendekar sakti itu terkejut dan memandang marah. "Kong-ji, apa yang menyebabkan dirimu membalas kebaikan gadis itu dengan perlakuan yang kurang ajar ini?"

Bentakan bengis ini membuat Bu Kong tergetar hatinya, namun dengan sikap tabah dia lalu menjawab, "Suhu, harap diampunkan dosa teecu yang pada saat itu tidak dapat menahan diri karena dibakar kemarahan yang amat sangat. Akan tetapi biarpun begitu, teecu tetap merasa bersalah dan telah minta maaf kepada Hong-moi. Dia telah membuntungi lengan.... kekasih teecu, atau setidak-tidaknya menjadi pangkal dari peristiwa ini. Itulah sebabnya mengapa teecu menjadi mata gelap dan tidak mampu mengendalikan diri lagi. Suhu, harap dimaafkan kekeliruan teecu ini..." Bu Kong menyentuhkan dahinya di atas tanah.

Malaikat Gurun Neraka tertegun. Penjelasan muridnya ini diam-diam membuatnya kaget juga dan ada rasa tidak enak di hatinya. Meskipun dia dapat menduga siapa "kekasih" yang dimaksudkan oleh muridnya itu, namun tetap saja dia bertanya, "Siapa kekasihmu itu? Kenapa lohu tidak mengetahuinya?"

Bu Kong mengangkat mukanya, memandang wajah suhunya yang angker dan dia melihat betapa sinar mata gurunya ini memandangnya setajam pisau. Maka dia lalu menundukkan mukanya dan dengan suara perlahan dan agak menggetar dia menjawab, "Suhu, dia bukan lain adalah murid mendiang Mo-i Thai-houw sendiri...."

"Hemm, puteri Panglima Ok itu? Apakah kau tidak gila, muridku? Dia adalah musuhmu, bagaimana engkau hendak menikah dengan gadis itu?"

"Yang menjadi musuh teecu adalah ayahnya, suhu, bukan puterinya!" Bu Kong membantah.

"Baik, boleh kau bilang begitu. Akan tetapi, apakah ayahnya akan menyetujui niatmu ini?"

"Kalau ayahnya tidak setuju, teecu berdua telah bertekad untuk minta bantuan suhu dan seorang hwesio atau nikouw buat meresmikan pernikahan ini!"

"Ah, sedemikian nekat rencanamu itu?" pendekar sakti ini kaget juga dan agak terbelalak, lalu mendengus. "Dan bagaimana jika aku tidak mengabulkan permintaanmu ini?"

"Suhu...!" Bu Kong terkejut dan mengangkat mukanya, memandang gurunya dengan muka berobah pucat. Hal ini duluar perkiraannya, maka tentu saja dia terkesiap.

Pendekar sakti itu kembali mendengus. "Aku hanya bertanya bagaimana kalau misalnya aku menolak, kenapa terkejut? Apakah yang kau pikirkan selama ini hanya perjodohanmu selalu? Tidak adakah tugas-tugas penting yang harus kau dahulukan sehingga belum apa-apa sudah hendak menikah? Kong-ji, pikiran macam apa ini? Tidak ingatkah engkau akan fitnahan orang yang harus kau bersihkan? Tidak ingatkah engkau akan Cheng-gan Sian-jin dan para begundalnya?"

Teguran Malaikat Gurun Neraka ini dikeluar kan dengan sikap keras dan jelas tampak bahwa pendekar ini marah, maka Bu Kong cepat menundukkan mukanya sambil berkata, "Suhu, harap diampunkan jika teecu khilaf. Sesungguhnya, bukan maksud teecu untuk segera menikah. Itu semua hanyalah rencana-rencana yang teecu pikirkan, dimana semua rencana ini baru akan teecu laksanakan apabila tugas-tugas teecu sudah selesai. Teecu sendiri sudah bersumpah tidak akan menikah jika musuh-musuh teecu belum roboh di tangan teecu. Maka harap suhu maklum."

"Hemm, bagus kalau begitu. Dan sekarang, apa yang hendak kau kerjakan?"

Dengan suara tegas dan mata berkilat Bu Kong menjawab, "Teecu hendak mencari Cheng-gan Sian-jin untuk membuat perhitungan!"

Pendekar sakti itu tertawa mengejek. "Huhh, dengan kepandaian yang kau miliki sekarang ini hendak melawan Cheng-gan Sian-jin? Apakah kau minta roboh di tangannya lagi?"

"Teecu tidak takut, suhu. Apalagi kalau suhu selalu mendampingi teecu!"

Tiba-tiba Malaikat Gurun Neraka menarik muka dan membentak, "Bu Kong, ucapan apa ini? Apakah kau hendak menjadi anak kecil yang harus selalu dituntun orang tuanya?"

Pemuda itu terkejut dan cepat menjawab sambil menggelengkan kepala, "Ah, tidak suhu, bukan begitu maksud teecu! Teecu hanya hendak mengatakan kepada suhu bahwa biar menghadapi Cheng-gan Sian-jin sekalipun teecu tidak gentar. Dan kalau suhu merasa kepandaian teecu masih rendah, bukankah dengan adanya suhu di dekat teecu maka suhu dapat memberikan petunjuk-petunjuk agar teecu dapat mengalahkan musuh besar teecu itu?"

"Hemm, biarpun begitu aku tetap tidak suka untuk mendampingi seorang murid yang sedang bertanding dengan lawannya. Kau harus mampu mengatasi musuhmu, baik aku ada di situ maupun tidak. Dan kalau kau merasa diri sendiri kurang kuat, satu-satunya jalan hanyalah memperkuat diri sendiri sampai dapat mengatasi kepandaian lawan."

"Jadi, maksud suhu hendak memberikan tambahan ilmu silat kepada teecu?" Bu Kong bertanya girang dan karena dia sudah cukup mengenal watak gurunya ini, maka meskipun orang tua itu marah-marah kepadanyapun pemuda ini tidak terlalu gelisah.

Pendekar sakti itu mengangguk. "Betul, aku hendak mewariskan tiga jurus terakhir dari ilmu Silat Lui-kong Ciang-hoat."

"Ahh...!" Bu Kong berseru kaget dan melompat bangun. "Suhu, kalau begitu Lui-kong ciang-hoat yang teecu miliki ini masih belum lengkap?"

Pendekar itu kembali mengangguk. "Benar, ilmu yang kuwariskan kepadamu itu masih belum lengkap. Aku belum berani menurunkan seluruhnya kepadamu karena tiga jurus terakhir ini adalah jurus-jurus yang paling dahsyat dan luar biasa, juga cara melatihnya berat sekali, harus menunggu badai di gurun pasir dan baru pada saat bencana alam ini tiba, kita dapat melatihnya."

Bu Kong sudah menjadi girang dan dia berlutut di depan kaki gurunya sambil berkata, "Suhu, terima kasih atas kepercayaan suhu terhadap teecu. Mudah-mudahan berkat bantuan suhu maka teecu berhasil mewarisi tiga jurus terakhir itu!"

"Sudahlah, jangan terlampau gembira dulu. Tugasmu amat berat, dan hanya dengan tiga jurus inti inilah maka kau akan dapat mengalahkan Cheng-gan Sian-jin. Kalau saja aku tidak mendengar uraian Phoa-lojin tentang dirimu yang tertimpa fitnah, jangan harap aku akan menurunkan kepandaian ini. Ilmu silat terakhir ini yang merupakan inti dari Lui-kong Ciang-hoat, adalah ilmu sakti yang luar biasa, tidak patut dimiliki oleh orang-orang berwatak kotor. Maka itulah sebabnya aku amat berhati-hati sekali dan tidak mudah memberikannya kepadamu. Syukurlah, sekarang semuanya sudah cukup jelas bagiku dan aku tidak ragu-ragu lagi dalam memberikan inti Ilmu Silat Lui-kong Ciang-hoat ini. Hanya sayang satu orang yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa yang menimpa dirimu itu belum terjawab. Bukankah engkau sudah mendengar pula cerita ini dari murid Ta Bhok Hwesio itu?"

Kata-kata terakhir dari gurunya ini mengingatkan Bu Kong dan pemuda itu melompat berdiri sambil mengepal tinju. "Suhu, teecu memang sudah mendengar semua cerita ini dan sekarang teecu tahu siapa pemuda yang dilihat oleh kakek Phoa itu!"

"Ehh, kau tahu?” Malaikat Gurun Neraka terkejut. "Siapa dia?"

"Dia bukan lain adalah murid mendiang Ang-i Lo-mo, suhu!"

Pendekar sakti itu mengeluarkan seruan heran, "Apa? Murid mendiang Ang-i Lo-mo?"

Bu Kong mengangguk dan pemuda ini lalu menceritakan dugaan Pek Hong yang dibenarkan pula oleh Siu Li. Dan dari Siu Li inilah dia mendapatkan keterangan-keterangan lebih jelas lagi sehingga semua rahasia yang selama ini menyelimuti dirinya sudah terbuka dengan terang. "Dan pemuda itu bernama Pouw Kwi, suhu, demikian menurut keterangan yang teecu peroleh."

"Hemm, ternyata banyak lika-likunya di sini. Sungguh aku sendiri tidak menyangka bahwa iblis tua itu masih meninggalkan seorang murid. Kalau begitu siasat yang mereka atur bersama ini sungguh rapi dan hebat sekali, hebat dan juga keji sehingga akupun hampir-hampir saja terjebak dan hendak membunuh murid sendiri! Ah, sungguh hanya manusia-manusia berotak iblis saja yang dapat menghasilkan siasat-siasat keji begini."

Malaikat Guru n Neraka mengangguk-angguk dan diam-diam hatinya berdesir. Hampir saja dia melakukan kesalahan yang amat besar dalam hidupnya, membunuh murid sendiri yang tidak bersalah. Dengan adanya kenyataan ini maka kasih sayang terhadap murid tunggalnya itu semakin besar dan diam-diam dia telah memutuskan untuk menggembleng muridnya itu sekuat tenaga agar mewarisi tiga inti ilmu silat terakhir dari Lui-kong ciang-hoat.

Cheng-gan Sian-jin adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya sekali. Kalau dia mau, agaknya dia dapat membunuh tokoh sesat itu. Namun dia sengaja hendak menyuruh muridnya ini turun tangan karena pemuda itulah yang mempunyai dendam langsung dengan Cheng-gan Sian-jin. Dan untuk ini dia akan menggembleng muridnya itu di padang pasir!

"Eh, Kong-ji, apa yang kau pegang itu?" tiba-tiba pendekar ini berseru kaget dan memandang terbelalak kearah kulit kayu yang masih dipegang Bu Kong. Benda itu mengingatkannya akan kulit kayu dari Bu-beng Sian-su yang sampai saat itupun masih disimpannya baik-baik. Maka tentu saja dia agak kaget melihat benda serupa yang dipegang muridnya.

Bu Kong melangkah maju, mengangsurkan pemberian kakek dewa itu sambil berkata, "Suhu, teecu sendiri sebenarnya tidak mengerti sama sekali. Benda ini teecu dapat dari locianpwe Bu-beng Sian-su. Katanya merupakan benda yang tiada nilainya, akan tetapi kalau teecu lihat, mengapa tidak ada sesuatunya yang istimewa? Apakah suhu dapat melihat keistimewaannya seperti yang dikatakan kakek itu?"

Malaikat Gurun Neraka menerima "barang ajaib” ini dan cepat dia meneliti. Dan seperti juga muridnya, dia menemukan tulisan-tulisan ganjil di permukaan kulit kayu itu dan pendekar ini tercengang. "Ahh...!” hanya ini yang diserukan dan dia memandang Bu Kong dengan sinar mata tajam. "Kong-ji, apa saja yang dikatakan manusia dewa itu kepadamu?"

"Tidak banyak, suhu. Katanya dia melihat hal-hal di masa depan yang mempunyai hubungan erat dengan teecu. Entah apa maksudnya teecu sendiri masih bingung. Dapatkah suhu menerangkan?"

Pendekar sakti itu tersenyum. "Aku sendiri masih belum jelas, namun setengah bagian agaknya sudah bisa kutebak. Bu-beng Sian-su memang orang luar biasa, kecerdasannya sungguh mengagumkan!"

"Kalau begitu bagaimana dugaan Suhu sebagai jawaban rahasia ini?” Bu Kong bertanya dan dia memandang gurunya penuh perhatian. Kalau Bu-beng Sian-su mengatakan benda itu kelak mempunyai sangkut-paut erat dengan dirinya, tentu saja dia tertarik sekali dan ingin segera mengetahui jawabannya.

Akan tetapi Malaikat Gurun Neraka menggeleng. "Kong-ji, aku baru menduganya saja, dan itupun masih setengah-setengah. Tidak, aku belum berani mengatakannya dan biarlah kelak kau sendiri yang mendapatkan jawaban ini. Agaknya Bu-beng Sian-su masih akan menemui dirimu lagi pada suatu hari."

"Ah, benar suhu! Kakek itu memang mengatakan sebelum berpisah bahwa dia akan menjumpai teecu lagi di lain kesempatan!" Bu Kong terkejut dan berseru heran.

"Nah, itulah dia," kata pendekar ini. "Jadi rupanya tebakanku tidak akan jauh meleset. Sudahlah, kita sama-sama lihat saja nanti dan pesanku, harap kau berhati-hati. Kakek itu tidak pernah keluar percuma, dan apa yang diberikan kepada orang lain pasti berguna bagi yang bersangkutan. Seperti juga ini, dia memberikan pula kepada ku kalimat-kalimat ganjil yang jawabannya sampai sekarang belum mampu kupecahkan."

Pendekar sakti ini mengeluarkan kulit kayu yang dulu dirobeknya dari sebatang pohon dan memberikan benda itu kepada muridnya. Bu Kong cepat menerima dan ketika dia membaca lima baris tulisan halus dan indah itu, diapun terbelalak.

"Sesungguhnyalah bumi langit Maha Pemurah

Membiarkan manusia berbuat sesukanya

Jahat? Boleh!

Baik? Juga boleh!

Mengapa....??"


Bu Kong menjadi penasaran dan gemas sekali setelah membaca lima baris kalimat itu yang tidak disertai jawaban. Dia memandang gurunya dan bertanya, "Suhu, tidak dapatkah suhu meraba-raba jawaban ini?"

Pendekar sakti itu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Belum, aku belum mampu menyentuh jawabannya. Sayang ketika Bu-beng Sian-su menemui dirimu aku tidak sempat bertemu muka. Kalau tidak, tentu akan kutanyakan jawaban dari kalimat-kalimat itu."

Bu Kong menyerahkan kembali benda itu kepada suhunya dan Malaikat Gurun Neraka juga mengembalikan kulit kayu muridnya. "Kong-ji, harap kau simpan baik-baik pemberian kakek itu. Aku yakin tidak lama lagi kaupun pasti segera menerima jawabannya. Nah, sekarang kita pulang. Badai di padang pasir menurut perhitunganku tidak lama lagi akan tiba dan kau harus mencurahkan segenap perhatian dan semangat untuk menerima tiga jurus terakhir ini!"

"Baik, suhu," pemuda itu menganggukkan kepalanya dan segera dua orang ini meninggalkan hutan menuju ke utara.

* * * * * * * *

Seperti kita ketahui, Gurun Neraka atau Gurun Takla ini adalah sebuah padang pasir jauh di utara Tiongkok sana, atau tepatnya, gurun itu terletak di sebelah barat laut Tiongkok, sebuah lautan pasir yang membentang luas sampai di kaki langit. Selama ini gurun itu merupakan daerah mati, sunyi dari kaum khafilah yang biasanya suka menyeberang bersama onta-onta mereka. Hal ini tidak aneh mengingat bahwa gurun itu benar-benar merupakan gurun yang amat ganas sekali.

Siapa tidak mengenal Gurun Neraka? Siapa tidak mengenal kedahsyatan alam di padang pasir ini? Hampir semua khafilah tahu belaka! Konon menurut kabar dari mulut ke mulut, lautan pasir yang amat luas itu di siang harinya memercikkan bunga-bunga api dari kejauhan dan di waktu malam, bunga-bunga api yang terlihat pada siang harinya itu berobah menjadi butiran-butiran es yang berkilauan seperti air jernih!

Indah tampaknya, akan tetapi, woww....! Bahaya siap mengancam siapa saja! Itulah sebabnya mengapa daerah ini akhirnya menjadi daerah yang sunyi dan mati, sepi dari lalu lintas orang banyak. Siapa mau mempertaruhkan nyawa di tempat sedemikian ganasnya? Tidak ada satu orangpun!

Tapi tentu saja hal ini merupakan pengecualian bagi orang-orang tertentu, yakni misalnya si Malaikat Gurun Neraka bersama muridnya yang gagah perkasa itu, juga beberapa tokoh-tokoh sakti seperti Ta Bhok Hwesio atau yang lain-lainnya. Hanya tokoh-tokoh besar begini jarang sekali datang kalau tidak mempunyai keperluan penting, dan daerah ini bagi orang biasa adalah daerah bahaya.

Siang hari itu 'bola api langit' alias sang dewa matahari sedang bertahta di cakrawala dengan sikap garang. Sinarnya yang terik merata di permukaan gurun, dan betul seperti kata orang, di tengah-tengah padang pasir itu tampak percikan bunga-bunga api yang indah berwarna-warni. Kepulan uap mendidih merupakan fata morgana yang ajaib di atas lautan pasir itu, sebuah pemandangan yang menarik untuk disaksikan dari jauh namun yang menakutkan untuk didekati.

Dan agak mengherankan. Jauh di tengah-tengah sana, merupakan setitik kecil bayangan gelap, duduk bersila seorang pemuda dengan sikap samadhi. Duduknya tegak, kedua mata terpejam rapat, dada hampir tidak tampak berombak dan kedua lengan tertumpang di atas paha. Melihat pemuda ini duduk dikelilingi oleh bunga-bunga api yang memercik kesana kemari, sungguh orang akan menduga bahwa yang berada di tengah-tengah gurun itu agaknya seorang dewa yang sedang bertapa di atas bumi. Betapa tidak? Tubuh yang duduk tegak tanpa bergerak itu seakan-akan sebuah patung batu pualam, dan bunga-bunga api yang meloncat-loncat di sekeliling tubuhnya itu seolah-olah melindungi dirinya dari marabahaya. Sungguh pemandangan yang amat indah dan menakjubkan!

Kalau bukan seorang dewa atau sebangsanya, siapa lagi yang dapat duduk di atas gurun berapi itu? Demikian tentunya pendapat orang lain yang kebetulan menyaksikan hal ini. Namun bagi para pembaca tentunya sudah tidak asing lagi dan anda pasti dapat menebak tepat bahwa pemuda yang sedang bersamadhi di tengah padang pasir itu pastilah Yap Bu Kong adanya!

Benar, dugaan ini memang tidak salah. Seperti telah diceritakan di atas, Malaikat Gurun Neraka membawa pulang murid tunggalnya itu untuk menerima gemblengan terakhir, yakni tiga jurus inti dari Ilmu Silat Lui-kong Ciang-hoat. Akan tetapi karena ilmu silat terakhir ini amat berat sekali dan juga berbahaya sebab harus dilatih pada saat Gurun Neraka sedang dilanda badai, maka sebelum ilmu mujijat itu di turunkan oleh gurunya pemuda ini disuruh bersamadhi selama tujuh hari penuh di tengah-tengah gurun.

Sungguh latihan yang berat sekali. Namun karena sudah berkali-kali Bu Kong dilatih samadhi oleh gurunya di padang pasir ini, maka sengatan pasir-pasir berapi itu baginya tidak berpengaruh apa-apa. Hanya satu yang dirasakan agak mengganggu, yakni rasa haus. Selama tujuh hari tujuh malam duduk diam di atas gurun seperti Gurun Neraka itu betul-betul bukan latihan mudah. Kalau siang tenggorokan terasa kering, ludah mengental dan sebagai ganti air untuk pelepas dahaga yang tidak tersedia di situ, pemuda ini hanya bertahan dengan menjilat keringat yang menetes-netes dari keningnya! Benar-benar luar biasa!

Sedangkan di malam hari, pada saat cuaca gelap gulita dan hawa menjadi luar biasa dinginnya, Bu Kong duduk tenang dan mengatur pernapasan untuk menghangatkan tubuh dari serangan kabut yang muncul di permukaan gurun. Kabut-kabut inilah yang tampak oleh orang lain seperti butiran-butiran es yang berkilauan. Rupanya uap mendidih yang merupakan fatamorgana di siang harinya itu mengendap di atas jutaan pasir dan ketika hawa dingin menyerang, uap ini lalu memantulkan cahaya putih seperti air jernih yang berkilau-kilauan.

Suasana di siang hari itu sunyi senyap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Semuanya serba mati, hening dan amat mencekam. Kalau ada yang bergerak, satu-satunya benda yang bergerak ialah pasir-pasir di gurun itu yang dihembus angin lalu, berdesir dan bergulung lembut bagaikan ombak samudera di pantai.

Hari itu samadhi murid Malaikat Gurun Neraka ini merupakan hari ketujuh, jadi hari terakhir. Dan di tepi gurun, agak jauh ke sana, sebuah hutan menghijau rimbun. Di hutan inilah Bu Kong pertama kalinya berjumpa dengan Siu Li yang pada waktu itu datang bersama-sama Fan Li serta lima puluhan pasukan Yueh untuk mengabarkan pengkhianatan thaikam Lie Fung. Semuanya ini telah diceritakan dalam "Hancurnya Sebuah Kerajaan" jiiid pertama yang lalu, dan tempat itu bagi Bu Kong merupakan tempat yang mengesankan hatinya.

Seperti juga keadaan gurun ini, hutan itupun sunyi dan mati. Hanya tiupan angin sajalah yang menggerak-gerakkan daun pohon dan sesekali merontokkan daun-daun yang sudah menguning tua. Biasanya hutan itu selalu demikian keadaannya, hening dan sunyi senyap. Akan tetapi seperti juga keadaan-keadaan yang ada di dalam dunia ini, agaknya tidak ada sesuatu yang bersifat abadi. Selalu ada-ada saja perobahan yang terjadi, baik yang dialami oleh manusia serta mahluk-mahluk hidup lainnya, maupun yang dialami oleh alam sendiri.

Hutan yang tadi sunyi tanpa suara itu tiba-tiba dikejutkan oleh jerit seekor rusa yang mendadak melompat keluar dari kerimbunan semak-semak belukar. Binatang ini berlari cepat dengan keempat kakinya yang panjang itu, menerobos sana menyusup sini seakan-akan sedang menyelamatkan diri dari ancaman bahaya.

Apa yang terjadi? Kenapa rusa itu berteriak ketakutan? Kalau kita meneliti maka jawaban dari pertanyaan ini akan segera terjawab. Kiranya seekor harimau loreng sebesar anak lembu mengaum di belakang rusa itu! Ah, inilah dia yang menyebabkan perobahan suasana di dalam hutan. Dan begitu dua ekor binatang ini kejar-kejaran, segeralah ketenangan hutan terganggu. Semuanya tiba-tiba menjadi gaduh, jerit rusa serta aum harimau loreng itu memenuhi isi hutan dan kekacauanpun terjadilah.

Agaknya dunia ini di man-mana sama saja. Asal ada gerakan di situ pula pasti ada keributan. Harimau loreng yang kelaparan itu mengejar mangsanya secepat angin, akan tetapi rusa adalah binatang yang terkenal cepat pula larinya. Apalagi merasa jiwanya terancam, binatang ini melesat ke depan secepat terbang dan keempat kakinya seakan-akan melayang di atas permukaan tanah.

Kejar-kejaran yang seru terjadi di hutan ini, yang satu hendak merenggut nyawa, sedangkan yang lain hendak mempertahankan nyawa. Keduanya sama-sama cepat dan lincah sehingga jarak diantara mereka tetap bertahan. Namun sayang, rusa yang sedang ketakutan dan gugup itu tiba-tiba terperosok. Kaki depannya tertekuk dan tak ampun lagi tubuhnya terjungkal roboh! Tentu saja harimau itu mengaum girang. Sekali lompat si raja rimba ini menerkam mangsanya dengan sikap buas.

"Wuut..... cratt...!"

Kedua kaki depannya yang mengulur cakar setajam pisau itu menancap di punggung rusa dan binatang itu memekik kesakitan. Tubuhnya menggeliat, meronta dan dengan sekuat tenaga rusa itu membalikkan badannya dan mendupak. Gerakan ini mengakibatkan daging punggungnya terobek namun cakar yang menancap itupun terlepas.

Tentu saja harimau itu marah. Mangsa yang sudah ditangkap kini lolos lagi dan rusa itu melarikan diri sambil menjerit-jerit. Darah di punggung membasahi tanah, deras mengalir dari daging yang terobek lebar itu dan hal ini membuat harimau loreng semakin buas. Mencium darah segar dari calon mangsanya itu membuat air liur raja hutan ini menetes-netes turun dan tiba-tiba dia mengaum dahsyat...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.