PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 13
KARYA BATARA
JILID 13
KARYA BATARA
DEMlKlANLAH, tanpa banyak bicara lagi gadis itu lalu menyalakan perapian dan mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Meskipun mula mula tengkuknya agak merinding ketika memegang tubuh tiga ekor binatang itu, akan tetapi setelah ia mengupas kulitnya sehingga tampak dagingnya yang putih bersih, lenyaplah perasaan jijiknya. Dalam keadaan seperti itu daging tiga ekor binatang inipun tidak banyak bedanya dengan daging kelinci atau ular.
Sementara itu di lain tempat, Dewa Monyet sedang memandang penuh perhatian ke arah pasiennya yang mulai bergerak-gerak di tali gantungan. Sepasang mata kakek ini tak pernah berkedip, wajahnya agak tegang namun sinar matanya berseri gembira. Seperti juga tabib tabib lain, kakek inipun memiliki watak yang tidak jauh berbeda, yakni akan merasa gembira dan bangga apabila pasien yang diobatin ya dapat sembuh. Dan agaknya bekas jenderal muda itupun juga menunjukkan tanda tanda yang menggirangkan hati ini.
Pek Hong sendiri yang bekerja di perapian juga tampak tegang. Sambil memasak ang-sio-bak gadis ini selalu menengok keadaan Bu Kong dengan penuh harapan . Dua orang ini memandang tanpa mengeluarkan suara dan mata merekapun hampir jarang berkejap.
Akhirnya, setelah menunggu sampai lima menit lamanya, guncangan tali di atas belandar semakin kuat. Mereka melihat betapa tubuh Yap goanswe mengejang dan meronta, lalu terdengar pemuda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan membuka matanya. Berbareng dengan sadarnya pemuda ini, tiba tiba perut pemuda itupun menggelogok, suaranya seperti kawah berapi di dalam perut gunung.
"Uhh..." pemuda itu mengerang, mulutnya menyeringai dan sepasang matanya berputar liar. Keadaannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu membuat pemuda ini merasa seakan berdiri di awang awang, bumi berputar dan tempat pijakannyapun juga terasa tidak tetap, selalu bergoyang goyang.
"Yap koko...! " Pek Hong yang tidak tahan lagi lalu bangkit berdiri dan berseru, maksudnya hendak mendekati pemuda itu. Namun, sebelum gadis ini melangkah maju, tiba tiba Dewa Monyet berteriak memperingatkan.
"Hujin, jangan dekati dulu! Sebentar lagi dia akan memuntahkan semua racun yang berkumpul di dalam perutnya. Sedikit saja kau kecipratan lohu tidak berani menjamin apakah dapat menyelamatkan dirimu dari cengkeraman Giam-lo-ong (maut)! Cepat mundur dan urus masakan buat suamimu itu...!"
Teriakan ini membuat murid Ta Bhok Hwesio itu terkejut dan wajahnya berobah. Sejenak gadis ini tertegun, tidak jadi melangkah maju dan akhirnya dengan muka pucat Pek Hong mundur lagi dan tidak berani melanggar larangan kakek itu.
Dan baru saja seruan Dewa Monyet selesai diucapkan, suara menggelogok di perut Bu Kong terdengar semakin menghebat. Pemuda itu merintih dan menggeliat geliat, tubuhnya menggelepar, wajahnya penuh keringat dan tampaknya menderita sekali. Perutnya melilit dan sakit bukan main, ususnya seakan kan dirantas dari dalam, nyeri dan tak tertahankan.
"Aduh, Hong moi... aughh... perutku... perutku sakit sekali, ohhh... kenapa begini? Kepalaku pusing, bumi berputaran..., panas... panas... aku haus... haus... aduhh!"
Bersama dengan pekik terakhir ini tiba tiba tubuh pemuda itu mengejang kaku dan sepasang matanya mendelik, tampak kesakitan sekali dan... "huaakk!" dari dalam perutnya keluar cairan hitam yang terlontar membasahi lantai kamar.
Sungguh mengejutkan. Begitu muntahan pemuda ini jatuh di atas lantai, tiba tiba tampak kepulan asap hitam semu kehijauan memenuhi lantai kamar. Tentu saja penglihatan ini membuat Pek Hong kaget sekali. Dari sini saja t ahulah gadis itu bahwa racun yang terminum oleh murid Malaikat Gurun Neraka itu benar benar racun yang amat ganas!
"Ohh...!" Pek Hong terbelalak ngeri dan gadis ini mendekap mulutnya dengan muka berobah, sementara Bu Kong sendiri terus muntah-muntah dengan amat hebatnya. Dan pemuda itu tampak menderita sekali. Tubuhnya meronta ronta dan perutnya menggelogok tiada henti. Isi perutnya dikuras habis habisan. Cairan hitam dari racun Jit-coa-tok terus dimuntahkan dan tersiar bau amis yaug amat busuk memenuhi kamar.
Hampir saja Pek Hong juga ikut muntah muntah melihat semuanya ini. Namun dengan mengeraskan hati gadis itu dapat menahan rasa mual dan bau busuk yaag merangsang hidung dan akhirnya, setelah belasan kali Bu Kong muntah muntah, cairan yang dikeluarkan dari dalam perutnya sudah tidak ada lagi.
Dua kali muntahan terakhir adalah cairan kekuning-kuningan yang tidak berbau busuk seperti cairan hitam tadi, dan ini menandakan bahwa sisa sisa racun yang mengeram di perut pemuda itu sudah habis dimuntahkan.
Dewa Monyet mengangguk angguk. "Bagus, selesai sudah..... ha ha ha, pengobatan lohu tidak sia sia. Cheng-gan Sian-jin, kalau saja engkau tahu bahwa musuhmu ini berhasil lohu selamatkan dari cengkeraman Giam-lo-ong, tentu matamu akan melotot seperti ikan emas. Heh heh heh...!"
Kakek itu terkekeh dengan muka gembira dan tiba tiba watak monyetnya timbul. Saking girang dan senangnya melihat keberhasilan us ahanya dalam menolong pemuda itu, kakek ini tiba tiba meloncat dan menari-nari seperti kera!
"Kerr! Lohu berhasil....! Heh heh, lohu berhasil...!" Dewa Monyet berteriak-teriak dan Pek Hong yang masih dicekam ketegangan mau tak mau merasa geli melihat tindak tanduk kakek itu.
Meskipun kakek monyet ini agak menjijikkan dan membuat dia merasa muak setiap kali teringat betapa kakek itu telah menelan mentah mentah lima ekor anak tikus yang masih merah, akan tetapi dia toh merupakan bintang penolong Yap goanswe. Maka, melihat ulah kakek sinting itu Pek Hong tidak banyak berkomentar dan gadis ini hanya memandang dengan mata disipukan.
Akhirnya, kakek itu berhenti menari dan tiba tiba menggaplok kepalanya sendiri. "Uwahh, pekerjaan belum selesai bagaimana boleh bersenang senang? Ehh, hujin, kenapa engkau tidak menegur lohu yang kesetanan? Lihat, suamimu pingsan di atas sana dan tampak lemas kehabisan tenaga. Kenapa engkau diam saja? Hayo ambilkan mangkok obat dan siapkan ang-sio-baknya!"
Kakek itu berseru gembira dan tubuhnya meloncat ke atas belandar, tangan kanannya bergerak menyabet tali gantungan. Terdengar suara "wut" ketika angin pukulan kakek ini menyambar dan tiba tiba tali yang dibacok denga n sisi telapa k tangan miring itu putus menjadi dua.
Dan bersamaan dengan putusnya tali ini, tubuh pemuda itupun terpelanting ke bawah. Namun sebelum tubuh Bu Kong jatuh di atas lantai, tangan kiri Dewa Monyet bergerak cepat dan sekali sambar saja kakek itu telah membawa tubuh pasiennya yang pingsan melompat di sebelah sana, menyeberangi cairan hitam berbau busuk yang memenuhi lantai di tengah kamar.
Kemudian dengan mulut terkekeh kekeh kakek ini membaringkan pemuda itu di atas dipan dan setelah mengurut sejenak di bagian dada untuk melonggarkan pernapasan Bu Kong, kakek ini menerima mangkok obat yang disodorkan Pek Hong kepadanya.
"Hayo minum, anak muda. Jangan sungkan sungkan dan habiskan saja, heh heh...!" kakek itu terkekeh dan dia seperti bicara dengan orang yang sadar saja, padahal pemuda itu masih pingsan dan memejamkan matanya tanpa bergerak.
Oleh sebab itu, kakek ini lalu membuka mulut pasiennya dan dengan paksa dia menuangkan obat di dalam mangkok ke dalam mulut Bu Kong. Seteguk demi seteguk dia meminumkan obat itu dan benar saja, begitu isi mangkok habis dituangkan, selang beberapa jenak kemudian pemuda itu sadar dan membuka mata.
"Ha-ha, apa lohu bilang tadi kepada hujin? Obat ini amat mustajab sekali dan biarpun agak menjijikkan, namun obat adalah obat! Sekali diminumkan pasti penyakit akan hilang ketakutan. Nah, hujin percaya tidak? Heh-heh-heh..."
Kakek itu tertawa gembira dan kembali menari sambil menggaruk-garuk kepalanya. Pek Hong tidak mengerti apakah kepala kakek itu banyak kutunya ataukah tidak sehingga suka main garuk kepala, akan tetapi gadis ini tidak memperdulikan hal itu. Dia terlampau gembira melihat kenyataan betapa Yap-goanswe sudah sembuh kembali. Wajah yang tadi pucat dan berwarna pelangi itu sekarang sudah tampak merah sehat dan sepasang mata bekas jenderal muda itupun kini juga sudah mencorong hidup seperti biasanya.
"Yap-koko....." gadis ini melangkah maju dan dia tidak sanggup melanjutkan seruannya karena ia merasa betapa tenggorokannya tercekik. Kegembiraan serta keharuan besar membuatisaknya naik dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Betapa dengan susah-payah dia membawa pemuda ini ke Ang-bhok-san, betapa bermacam-macam percobaan harus dia lalui. Maka, herankah kita ka lau melihat gadis itu bergembira dan terharu? Gembira karena berhasil menolong kekasihnya dari cengkeraman elmaut dan terharu karena menyaksikan semua penderitaan yang dialami pemuda itu?
Karena sekarang rahasia yang menyelimuti diri pemuda ini sudah sebagian besar diketahuinya, maka Pek Hong tidak dapat menahan diri lagi. Sambil mengeluh gadis itu menubruk dan berlutut di tepi pembaringan, menangis terisak-isak.
Teringatlah murid Ta Bhok Hwesio ini akan semua fitnah keji yang dilontarkan musuh kepada pemuda itu. Betapa Wu-sam-tai ciangkun melakukan perbuatan yang amat pengecut dan tidak tahu malu. Betapa bekas jenderal muda itu didesas-desuskan orang akan perjinaannya dengan Bwee Li dan wanita-wanita cantik lainnya. Dan... betapa dia sendiri telah bermaksud untuk membunuh pemuda ini terdorong api kemarahan serta kebenciannya terhadap Yap goanswe mendengar berita berita di luaran yang amat menusuk perasaannya itu!
Sekarang, setelah dia mulai dapat menyingkap tabir rahasia ini, gadis itu malah merasa terpukul. Betapa dia hampir saja melakukan dosa tak berampun kepada pemuda yang sama sekali tak bersalah ini. Betapa dia hampir saja terjerumus ke dalam pikiran jahat terhadap murid Malaikat Gurun Neraka yang tertimpa fitnah keji ini!
Siapa yang tidak akan merasa bersalah? Siapa yang tidak akan tertekan batinnya? Itulah sebabnya mengapa Pek Hong lalu terisak-usak di tepi pembaringan sambil menutupi mukanya karena dia merasa ngeri membayangkan kejadian-kejadian di masa mendatang yang hampir-hampir saja dilakukannya. Kalau saja tidak ada Phoa-lojin yang menerangkan semua peristiwa ini, kalau saja kakek dari Pulau Cemara itu tidak muncul diantara mereka, ahh... ngeri dia membayangkan akibatnya!
Betul nasihat suhunya dahulu yang pernah berkata, "Hong-ji, jangan kau mengeruhkan pikiranmu dengan kesimpulan-kesimpulan yang tidak mempunyai bukti selengkapnya. Apa yang kau lihat dan kau dengar sekarang ini tentang diri Yap-goanswe belumlah jelas secara keseluruhan. Karena, bukankah dari pihak yang bersangkutan sendiri engkau belum mendengar keterangannya? Nah, berhati-hatilah muridku, sebab pada umumnya berita burung yang ditiupkan orang kepada kita terlebih nyaring dibandingkan kenyataannya. Ingatlah ini!"
Demikianlah nas ihat suhunya dahulu yang kini terngiang kembali di telinganya. Dan ternyata kata-kata orang tua itu memang tepat. Tiupan mulut orang lain memang tidak boleh dijadikan pegangan untuk menentukan sesuatu sikap. Salah benar orang lain tidak tahu secara keseluruhan karena di dalam setiap persoalan terkandung dan tersembunyi rahasia-rahasia yang pelik.
Sementara itu, melihat betapa gadis ini menangis terisak-isak di tepi pembaringan sedangkan si Kakek bermuka monyet malah menari-nari sambil terkekeh seperti orang gila, Bu Kong sejenak merasa bengong dan memandang semuanya itu dengan mata terbelalak.
Kesadaran pemuda ini sudah pulih seperti sedia kala, maka dia dapat mengingat semua kejadian yang dialaminya. Dia tahu betapa murid Ta Bhok Hwesio itu telah membawanya kemari untuk menolongnya dari bahaya keracunan. Dan ketika dia mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, dia merasa betapa kesehatannya benar-benar juga sudah pulih. Tidak ada lagi rasa sesak di dada kalau dia mencoba menarik napas panjang, dan tidak ada lagi pula rasa nyeri yang menusuk di ulu hatinya.
Tentu saja pemuda ini merasa girang. Dia sudah terbebas dari racun jahat yang diminumkan Cheng-gan Sian-jin kepadanya. Dan Dewa Monyet itulah yang menolongnya. Maka kalau sekarang dia melihat kakek itu menari-nari di tengah ruangan, dia tidaklah terlalu merasa heran. Tabib mana pun kalau berhasil menyembuhkan pasiennya pasti juga akan merasakan kegembiraan itu. Hanya bedanya, mereka tentu saja tidak akan menari monyet seperti kakek yang agaknya tidak beres otaknya ini!
Maka amatlah mengherankan kalau sekarang melihat Pek Hong menangis terisak-iak di situ. Ada apakah? Mengapa gadis cantik ini tampak berduka? Apakah Dewa Monyet kembali menghina gadis itu?
Teringatlah pemuda ini ketika Pek Hong pertama kali berjumpa dengan kakek itu. Betapa terjadi keganjilan-keganjilan diantara mereka, betapa hampir saja terjadi bentrokan sengit diantara dua orang ini. Untunglah, pada saat-saat yang amat gawat itu muncul seseorang yang berhasil menundukkan kebinalan Dewa Monyet yang entah mengapa tampak ketakutan dan jerih terhadap orang yang baru datang itu. Dan orang yang dimaksudkan ini bukan lain adalah Siu Li, gadis jelita puteri Ok-ciangkun yang tidak dapat dilupakannya itu!
Sampai di sini ingatannya tiba-tiba jantung Bu Kong berdebar keras. Dia memandang sekeliling tempat itu mencari-cari, namun bayangan Siu Li sama sekali tidak kelihatan. Kemanakah gadis itu? Pergi meninggalkan mereka? Agaknya begitulah. Dan muka Bu Kong segera menjadi merah ketika dia teringat betapa pengakuan dirinya sebagai suami murid Ta Bhok Hwesio ini didengar oleh Siu Li. Bahkan hebatnya, gadis itupun menyatakan diri menjadi saksi atas ucapannya itu untuk menundukkan Dewa Monyet agar suka mengobatinya sampai sembuh!
Perlahan-lahan warna merah di wajah pemuda ini menjalar sampai ke telinganya. Dia merasa betapa dia merupakan seorang pemuda yang berwatak rendah, hina dan tidak tahu malu. Hanya untuk mendapatkan pertolongan orang lain terhadap diri pribadi dia sampai tidak segan-segan melakukan perbuatan yang memalukan itu.
Akan tetapi, benarkah demikian? Tidak! Pemuda ini mengepal tinju. Dia melakukan semuanya hanya untuk menjaga muka Pek Hong dari hinaan orang. Gadis yang telah mati-matian menolongnya ini telah mengakui diri sebagai isterinya di depan Dewa Monyet. Dan hal itupun dilakukan Pek Hong karena desakan kakek monyet ini!
Jadi, siapakah yang bersalah? Dewa Monyet itulah! Kakek sinting yang tidak tahu malu itulah yang menjepit keadaan mereka menjadi begini! Akan tetapi kakek monyet ini pulalah yang telah membebaskannya dari cengkeraman racun Cheng-gan Sian-jin. Tanpa kakek ini, agaknya dia telah rebah menjadi sesosok mayat yang tidak ada harganya lagi!
Kalau sudah begini siapakah yang bersalah? Seumpama Dewa Monyet bersalah, kakek itu telah menebusnya dengan pengobatan yang diberikannya hingga berhasil. Dia telah sembuh berkat pertolongan kakek itu. Kalau toh ada perhitungan hutang-piutang, semua sisa-sisa pinjaman diantara mereka sudah impas. Mau apa lagi?
Sampai di sini Bu Kong tertegun bingung. Semula dia memandang dengan s nar mata berapi-api kepada kakek itu, hendak melompat dan menerjang setan tua yang membuat keadaannya serba runyam itu. Namun, ketika diingatnya bahwa kakek ini memang orang yang tidak waras, haruskah dia menyerang orang seperti itu?
Bayangkan saja, dia yang dikenal orang sebagai Yap-goanswe yang gagah perkasa dari Kerajaan Yueh, hendak menyerang orang gila! Kalau hal itu terjadi, bukankah hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain belaka? Kalau hal ini dilakukannya, ya itu menyerang orang gila, lalu bukankah dirinya sendiri juga pantas dicap sebagai orang gila?
Orang waras menyerang orang gila, inilah kejadian yang betul-betul gila! Dan dia ternyata hampir saja kejangkitan penyakit "gila" dari kakek sinting ini. Ceaka! Tidak. Dia tidak boleh ikut-ikutan menjadi gila. Peristiwa akhir-akhir ini saja sudah cukup membuat dia hampir gila, masa ditambah oleh sedikit ulah dari orang "gila” dia lalu harus betul‐betul menjadi gila?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak, suaranya keras bergemuruh sehingga Dewa Monyet yang masih terkekeh itu terkejut, dan otomatis menghentikan jogetnya. Pek Hong sendiri yang tadi menangis juga seketika sirap tanpa suara dan gadis ini mengangkat mukanya dengan kaget.
"Ha ha ha, orang waras menyerang orang gila, bukankah ini kejadian yang amat gila sekali? Dewa monyet, bagaimana menurut pendapatmu tentang hal ini? Tidak tepatkah kata-kataku itu?” Bu Kong melompat bangun dari atas pembaringan sambil bertanya kepada kakek itu.
Pemuda ini mulutnya saja yang ketawa akan tetapi wajahnya meringis. Sungguh sukar untuk menduga keadaannya. Entah dia sedang bergirang mengingat ketawanya itu ataukah dia sedang berduka kalau melihat wajahnya yang meringis seperti orang kebingungan ini.
Sejenak bola mata yang bulat dari kakek itu berputar, tanda dia tercengang dan terheran-heran oleh sikap yang luar biasa dari pasiennya ini. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang terkandung di balik pertanyaan itu, namun karena pertanyaan tentang "gila " ini diajukan kepada orang gila pula, maka jawabannya juga gila-gilaan.
"Heh-heh-heh, lohu agak bingung oleh pertanyaanmu ini, orang muda. Akan tetapi, kalau ada orang sehat menyerang orang gila, memang boleh dikatakan bahwa ini suatu kejadian yang benar-benar gila! Menurut lohu, seharusnya orang gilalah yang mestinya menyerang orang sehat karena orang-orang sehat itu biasanya hanya sehat lahirnya tapi gila batinnya. Seperti hujin ini misalnya, ia memang sehat tapi dalamnya gila. Coba lihat, suami sudah sembuh tapi dia menangis. Suami sedang sakit dia juga menangis. Lalu kalau semua peristiwa dihadapi dengan tangis melulu, bukankah jelas bahwa hujin ini orang gila? Ini tidak cocok, salah besar sekali! Lebih baik contoh saja lohu. Lihat, pernahkah lohu menangis? Tidak, lohu tidak mau melakukan kegilaan ini karena sesungguhnya lohu bukan orang gila. Dan daripada orang-orang sehat yang sebenarnya gila ini dibiarkan berkeliaran di muka bumi, bukankah lebih baik dibunuh saja oleh orang-orang gila yang sehat batinnya? Ha-ha-heh-heh, inilah pendapat lohu tentang orang gila, anak muda, kerrr.... hiehh... hiehh.... kerr!"
Dewa Monyet terkekeh dan melompat-lompat sambil menepuk pantatnya, tampak kegirangan setelah "berkhotbah" tentang orang gila yang selama ini menjadi pegangannya!
Tentu saja yang paling naik darah adalah Pek Hong. Yap-goanswe yang bertanya tapi malah dia yang dijadikan sasaran jawaban! Siapa tidak naik pitam?
Sementara itu di lain tempat, Dewa Monyet sedang memandang penuh perhatian ke arah pasiennya yang mulai bergerak-gerak di tali gantungan. Sepasang mata kakek ini tak pernah berkedip, wajahnya agak tegang namun sinar matanya berseri gembira. Seperti juga tabib tabib lain, kakek inipun memiliki watak yang tidak jauh berbeda, yakni akan merasa gembira dan bangga apabila pasien yang diobatin ya dapat sembuh. Dan agaknya bekas jenderal muda itupun juga menunjukkan tanda tanda yang menggirangkan hati ini.
Pek Hong sendiri yang bekerja di perapian juga tampak tegang. Sambil memasak ang-sio-bak gadis ini selalu menengok keadaan Bu Kong dengan penuh harapan . Dua orang ini memandang tanpa mengeluarkan suara dan mata merekapun hampir jarang berkejap.
Akhirnya, setelah menunggu sampai lima menit lamanya, guncangan tali di atas belandar semakin kuat. Mereka melihat betapa tubuh Yap goanswe mengejang dan meronta, lalu terdengar pemuda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan membuka matanya. Berbareng dengan sadarnya pemuda ini, tiba tiba perut pemuda itupun menggelogok, suaranya seperti kawah berapi di dalam perut gunung.
"Uhh..." pemuda itu mengerang, mulutnya menyeringai dan sepasang matanya berputar liar. Keadaannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu membuat pemuda ini merasa seakan berdiri di awang awang, bumi berputar dan tempat pijakannyapun juga terasa tidak tetap, selalu bergoyang goyang.
"Yap koko...! " Pek Hong yang tidak tahan lagi lalu bangkit berdiri dan berseru, maksudnya hendak mendekati pemuda itu. Namun, sebelum gadis ini melangkah maju, tiba tiba Dewa Monyet berteriak memperingatkan.
"Hujin, jangan dekati dulu! Sebentar lagi dia akan memuntahkan semua racun yang berkumpul di dalam perutnya. Sedikit saja kau kecipratan lohu tidak berani menjamin apakah dapat menyelamatkan dirimu dari cengkeraman Giam-lo-ong (maut)! Cepat mundur dan urus masakan buat suamimu itu...!"
Teriakan ini membuat murid Ta Bhok Hwesio itu terkejut dan wajahnya berobah. Sejenak gadis ini tertegun, tidak jadi melangkah maju dan akhirnya dengan muka pucat Pek Hong mundur lagi dan tidak berani melanggar larangan kakek itu.
Dan baru saja seruan Dewa Monyet selesai diucapkan, suara menggelogok di perut Bu Kong terdengar semakin menghebat. Pemuda itu merintih dan menggeliat geliat, tubuhnya menggelepar, wajahnya penuh keringat dan tampaknya menderita sekali. Perutnya melilit dan sakit bukan main, ususnya seakan kan dirantas dari dalam, nyeri dan tak tertahankan.
"Aduh, Hong moi... aughh... perutku... perutku sakit sekali, ohhh... kenapa begini? Kepalaku pusing, bumi berputaran..., panas... panas... aku haus... haus... aduhh!"
Bersama dengan pekik terakhir ini tiba tiba tubuh pemuda itu mengejang kaku dan sepasang matanya mendelik, tampak kesakitan sekali dan... "huaakk!" dari dalam perutnya keluar cairan hitam yang terlontar membasahi lantai kamar.
Sungguh mengejutkan. Begitu muntahan pemuda ini jatuh di atas lantai, tiba tiba tampak kepulan asap hitam semu kehijauan memenuhi lantai kamar. Tentu saja penglihatan ini membuat Pek Hong kaget sekali. Dari sini saja t ahulah gadis itu bahwa racun yang terminum oleh murid Malaikat Gurun Neraka itu benar benar racun yang amat ganas!
"Ohh...!" Pek Hong terbelalak ngeri dan gadis ini mendekap mulutnya dengan muka berobah, sementara Bu Kong sendiri terus muntah-muntah dengan amat hebatnya. Dan pemuda itu tampak menderita sekali. Tubuhnya meronta ronta dan perutnya menggelogok tiada henti. Isi perutnya dikuras habis habisan. Cairan hitam dari racun Jit-coa-tok terus dimuntahkan dan tersiar bau amis yaug amat busuk memenuhi kamar.
Hampir saja Pek Hong juga ikut muntah muntah melihat semuanya ini. Namun dengan mengeraskan hati gadis itu dapat menahan rasa mual dan bau busuk yaag merangsang hidung dan akhirnya, setelah belasan kali Bu Kong muntah muntah, cairan yang dikeluarkan dari dalam perutnya sudah tidak ada lagi.
Dua kali muntahan terakhir adalah cairan kekuning-kuningan yang tidak berbau busuk seperti cairan hitam tadi, dan ini menandakan bahwa sisa sisa racun yang mengeram di perut pemuda itu sudah habis dimuntahkan.
Dewa Monyet mengangguk angguk. "Bagus, selesai sudah..... ha ha ha, pengobatan lohu tidak sia sia. Cheng-gan Sian-jin, kalau saja engkau tahu bahwa musuhmu ini berhasil lohu selamatkan dari cengkeraman Giam-lo-ong, tentu matamu akan melotot seperti ikan emas. Heh heh heh...!"
Kakek itu terkekeh dengan muka gembira dan tiba tiba watak monyetnya timbul. Saking girang dan senangnya melihat keberhasilan us ahanya dalam menolong pemuda itu, kakek ini tiba tiba meloncat dan menari-nari seperti kera!
"Kerr! Lohu berhasil....! Heh heh, lohu berhasil...!" Dewa Monyet berteriak-teriak dan Pek Hong yang masih dicekam ketegangan mau tak mau merasa geli melihat tindak tanduk kakek itu.
Meskipun kakek monyet ini agak menjijikkan dan membuat dia merasa muak setiap kali teringat betapa kakek itu telah menelan mentah mentah lima ekor anak tikus yang masih merah, akan tetapi dia toh merupakan bintang penolong Yap goanswe. Maka, melihat ulah kakek sinting itu Pek Hong tidak banyak berkomentar dan gadis ini hanya memandang dengan mata disipukan.
Akhirnya, kakek itu berhenti menari dan tiba tiba menggaplok kepalanya sendiri. "Uwahh, pekerjaan belum selesai bagaimana boleh bersenang senang? Ehh, hujin, kenapa engkau tidak menegur lohu yang kesetanan? Lihat, suamimu pingsan di atas sana dan tampak lemas kehabisan tenaga. Kenapa engkau diam saja? Hayo ambilkan mangkok obat dan siapkan ang-sio-baknya!"
Kakek itu berseru gembira dan tubuhnya meloncat ke atas belandar, tangan kanannya bergerak menyabet tali gantungan. Terdengar suara "wut" ketika angin pukulan kakek ini menyambar dan tiba tiba tali yang dibacok denga n sisi telapa k tangan miring itu putus menjadi dua.
Dan bersamaan dengan putusnya tali ini, tubuh pemuda itupun terpelanting ke bawah. Namun sebelum tubuh Bu Kong jatuh di atas lantai, tangan kiri Dewa Monyet bergerak cepat dan sekali sambar saja kakek itu telah membawa tubuh pasiennya yang pingsan melompat di sebelah sana, menyeberangi cairan hitam berbau busuk yang memenuhi lantai di tengah kamar.
Kemudian dengan mulut terkekeh kekeh kakek ini membaringkan pemuda itu di atas dipan dan setelah mengurut sejenak di bagian dada untuk melonggarkan pernapasan Bu Kong, kakek ini menerima mangkok obat yang disodorkan Pek Hong kepadanya.
"Hayo minum, anak muda. Jangan sungkan sungkan dan habiskan saja, heh heh...!" kakek itu terkekeh dan dia seperti bicara dengan orang yang sadar saja, padahal pemuda itu masih pingsan dan memejamkan matanya tanpa bergerak.
Oleh sebab itu, kakek ini lalu membuka mulut pasiennya dan dengan paksa dia menuangkan obat di dalam mangkok ke dalam mulut Bu Kong. Seteguk demi seteguk dia meminumkan obat itu dan benar saja, begitu isi mangkok habis dituangkan, selang beberapa jenak kemudian pemuda itu sadar dan membuka mata.
"Ha-ha, apa lohu bilang tadi kepada hujin? Obat ini amat mustajab sekali dan biarpun agak menjijikkan, namun obat adalah obat! Sekali diminumkan pasti penyakit akan hilang ketakutan. Nah, hujin percaya tidak? Heh-heh-heh..."
Kakek itu tertawa gembira dan kembali menari sambil menggaruk-garuk kepalanya. Pek Hong tidak mengerti apakah kepala kakek itu banyak kutunya ataukah tidak sehingga suka main garuk kepala, akan tetapi gadis ini tidak memperdulikan hal itu. Dia terlampau gembira melihat kenyataan betapa Yap-goanswe sudah sembuh kembali. Wajah yang tadi pucat dan berwarna pelangi itu sekarang sudah tampak merah sehat dan sepasang mata bekas jenderal muda itupun kini juga sudah mencorong hidup seperti biasanya.
"Yap-koko....." gadis ini melangkah maju dan dia tidak sanggup melanjutkan seruannya karena ia merasa betapa tenggorokannya tercekik. Kegembiraan serta keharuan besar membuatisaknya naik dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Betapa dengan susah-payah dia membawa pemuda ini ke Ang-bhok-san, betapa bermacam-macam percobaan harus dia lalui. Maka, herankah kita ka lau melihat gadis itu bergembira dan terharu? Gembira karena berhasil menolong kekasihnya dari cengkeraman elmaut dan terharu karena menyaksikan semua penderitaan yang dialami pemuda itu?
Karena sekarang rahasia yang menyelimuti diri pemuda ini sudah sebagian besar diketahuinya, maka Pek Hong tidak dapat menahan diri lagi. Sambil mengeluh gadis itu menubruk dan berlutut di tepi pembaringan, menangis terisak-isak.
Teringatlah murid Ta Bhok Hwesio ini akan semua fitnah keji yang dilontarkan musuh kepada pemuda itu. Betapa Wu-sam-tai ciangkun melakukan perbuatan yang amat pengecut dan tidak tahu malu. Betapa bekas jenderal muda itu didesas-desuskan orang akan perjinaannya dengan Bwee Li dan wanita-wanita cantik lainnya. Dan... betapa dia sendiri telah bermaksud untuk membunuh pemuda ini terdorong api kemarahan serta kebenciannya terhadap Yap goanswe mendengar berita berita di luaran yang amat menusuk perasaannya itu!
Sekarang, setelah dia mulai dapat menyingkap tabir rahasia ini, gadis itu malah merasa terpukul. Betapa dia hampir saja melakukan dosa tak berampun kepada pemuda yang sama sekali tak bersalah ini. Betapa dia hampir saja terjerumus ke dalam pikiran jahat terhadap murid Malaikat Gurun Neraka yang tertimpa fitnah keji ini!
Siapa yang tidak akan merasa bersalah? Siapa yang tidak akan tertekan batinnya? Itulah sebabnya mengapa Pek Hong lalu terisak-usak di tepi pembaringan sambil menutupi mukanya karena dia merasa ngeri membayangkan kejadian-kejadian di masa mendatang yang hampir-hampir saja dilakukannya. Kalau saja tidak ada Phoa-lojin yang menerangkan semua peristiwa ini, kalau saja kakek dari Pulau Cemara itu tidak muncul diantara mereka, ahh... ngeri dia membayangkan akibatnya!
Betul nasihat suhunya dahulu yang pernah berkata, "Hong-ji, jangan kau mengeruhkan pikiranmu dengan kesimpulan-kesimpulan yang tidak mempunyai bukti selengkapnya. Apa yang kau lihat dan kau dengar sekarang ini tentang diri Yap-goanswe belumlah jelas secara keseluruhan. Karena, bukankah dari pihak yang bersangkutan sendiri engkau belum mendengar keterangannya? Nah, berhati-hatilah muridku, sebab pada umumnya berita burung yang ditiupkan orang kepada kita terlebih nyaring dibandingkan kenyataannya. Ingatlah ini!"
Demikianlah nas ihat suhunya dahulu yang kini terngiang kembali di telinganya. Dan ternyata kata-kata orang tua itu memang tepat. Tiupan mulut orang lain memang tidak boleh dijadikan pegangan untuk menentukan sesuatu sikap. Salah benar orang lain tidak tahu secara keseluruhan karena di dalam setiap persoalan terkandung dan tersembunyi rahasia-rahasia yang pelik.
Sementara itu, melihat betapa gadis ini menangis terisak-isak di tepi pembaringan sedangkan si Kakek bermuka monyet malah menari-nari sambil terkekeh seperti orang gila, Bu Kong sejenak merasa bengong dan memandang semuanya itu dengan mata terbelalak.
Kesadaran pemuda ini sudah pulih seperti sedia kala, maka dia dapat mengingat semua kejadian yang dialaminya. Dia tahu betapa murid Ta Bhok Hwesio itu telah membawanya kemari untuk menolongnya dari bahaya keracunan. Dan ketika dia mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, dia merasa betapa kesehatannya benar-benar juga sudah pulih. Tidak ada lagi rasa sesak di dada kalau dia mencoba menarik napas panjang, dan tidak ada lagi pula rasa nyeri yang menusuk di ulu hatinya.
Tentu saja pemuda ini merasa girang. Dia sudah terbebas dari racun jahat yang diminumkan Cheng-gan Sian-jin kepadanya. Dan Dewa Monyet itulah yang menolongnya. Maka kalau sekarang dia melihat kakek itu menari-nari di tengah ruangan, dia tidaklah terlalu merasa heran. Tabib mana pun kalau berhasil menyembuhkan pasiennya pasti juga akan merasakan kegembiraan itu. Hanya bedanya, mereka tentu saja tidak akan menari monyet seperti kakek yang agaknya tidak beres otaknya ini!
Maka amatlah mengherankan kalau sekarang melihat Pek Hong menangis terisak-iak di situ. Ada apakah? Mengapa gadis cantik ini tampak berduka? Apakah Dewa Monyet kembali menghina gadis itu?
Teringatlah pemuda ini ketika Pek Hong pertama kali berjumpa dengan kakek itu. Betapa terjadi keganjilan-keganjilan diantara mereka, betapa hampir saja terjadi bentrokan sengit diantara dua orang ini. Untunglah, pada saat-saat yang amat gawat itu muncul seseorang yang berhasil menundukkan kebinalan Dewa Monyet yang entah mengapa tampak ketakutan dan jerih terhadap orang yang baru datang itu. Dan orang yang dimaksudkan ini bukan lain adalah Siu Li, gadis jelita puteri Ok-ciangkun yang tidak dapat dilupakannya itu!
Sampai di sini ingatannya tiba-tiba jantung Bu Kong berdebar keras. Dia memandang sekeliling tempat itu mencari-cari, namun bayangan Siu Li sama sekali tidak kelihatan. Kemanakah gadis itu? Pergi meninggalkan mereka? Agaknya begitulah. Dan muka Bu Kong segera menjadi merah ketika dia teringat betapa pengakuan dirinya sebagai suami murid Ta Bhok Hwesio ini didengar oleh Siu Li. Bahkan hebatnya, gadis itupun menyatakan diri menjadi saksi atas ucapannya itu untuk menundukkan Dewa Monyet agar suka mengobatinya sampai sembuh!
Perlahan-lahan warna merah di wajah pemuda ini menjalar sampai ke telinganya. Dia merasa betapa dia merupakan seorang pemuda yang berwatak rendah, hina dan tidak tahu malu. Hanya untuk mendapatkan pertolongan orang lain terhadap diri pribadi dia sampai tidak segan-segan melakukan perbuatan yang memalukan itu.
Akan tetapi, benarkah demikian? Tidak! Pemuda ini mengepal tinju. Dia melakukan semuanya hanya untuk menjaga muka Pek Hong dari hinaan orang. Gadis yang telah mati-matian menolongnya ini telah mengakui diri sebagai isterinya di depan Dewa Monyet. Dan hal itupun dilakukan Pek Hong karena desakan kakek monyet ini!
Jadi, siapakah yang bersalah? Dewa Monyet itulah! Kakek sinting yang tidak tahu malu itulah yang menjepit keadaan mereka menjadi begini! Akan tetapi kakek monyet ini pulalah yang telah membebaskannya dari cengkeraman racun Cheng-gan Sian-jin. Tanpa kakek ini, agaknya dia telah rebah menjadi sesosok mayat yang tidak ada harganya lagi!
Kalau sudah begini siapakah yang bersalah? Seumpama Dewa Monyet bersalah, kakek itu telah menebusnya dengan pengobatan yang diberikannya hingga berhasil. Dia telah sembuh berkat pertolongan kakek itu. Kalau toh ada perhitungan hutang-piutang, semua sisa-sisa pinjaman diantara mereka sudah impas. Mau apa lagi?
Sampai di sini Bu Kong tertegun bingung. Semula dia memandang dengan s nar mata berapi-api kepada kakek itu, hendak melompat dan menerjang setan tua yang membuat keadaannya serba runyam itu. Namun, ketika diingatnya bahwa kakek ini memang orang yang tidak waras, haruskah dia menyerang orang seperti itu?
Bayangkan saja, dia yang dikenal orang sebagai Yap-goanswe yang gagah perkasa dari Kerajaan Yueh, hendak menyerang orang gila! Kalau hal itu terjadi, bukankah hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain belaka? Kalau hal ini dilakukannya, ya itu menyerang orang gila, lalu bukankah dirinya sendiri juga pantas dicap sebagai orang gila?
Orang waras menyerang orang gila, inilah kejadian yang betul-betul gila! Dan dia ternyata hampir saja kejangkitan penyakit "gila" dari kakek sinting ini. Ceaka! Tidak. Dia tidak boleh ikut-ikutan menjadi gila. Peristiwa akhir-akhir ini saja sudah cukup membuat dia hampir gila, masa ditambah oleh sedikit ulah dari orang "gila” dia lalu harus betul‐betul menjadi gila?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak, suaranya keras bergemuruh sehingga Dewa Monyet yang masih terkekeh itu terkejut, dan otomatis menghentikan jogetnya. Pek Hong sendiri yang tadi menangis juga seketika sirap tanpa suara dan gadis ini mengangkat mukanya dengan kaget.
"Ha ha ha, orang waras menyerang orang gila, bukankah ini kejadian yang amat gila sekali? Dewa monyet, bagaimana menurut pendapatmu tentang hal ini? Tidak tepatkah kata-kataku itu?” Bu Kong melompat bangun dari atas pembaringan sambil bertanya kepada kakek itu.
Pemuda ini mulutnya saja yang ketawa akan tetapi wajahnya meringis. Sungguh sukar untuk menduga keadaannya. Entah dia sedang bergirang mengingat ketawanya itu ataukah dia sedang berduka kalau melihat wajahnya yang meringis seperti orang kebingungan ini.
Sejenak bola mata yang bulat dari kakek itu berputar, tanda dia tercengang dan terheran-heran oleh sikap yang luar biasa dari pasiennya ini. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang terkandung di balik pertanyaan itu, namun karena pertanyaan tentang "gila " ini diajukan kepada orang gila pula, maka jawabannya juga gila-gilaan.
"Heh-heh-heh, lohu agak bingung oleh pertanyaanmu ini, orang muda. Akan tetapi, kalau ada orang sehat menyerang orang gila, memang boleh dikatakan bahwa ini suatu kejadian yang benar-benar gila! Menurut lohu, seharusnya orang gilalah yang mestinya menyerang orang sehat karena orang-orang sehat itu biasanya hanya sehat lahirnya tapi gila batinnya. Seperti hujin ini misalnya, ia memang sehat tapi dalamnya gila. Coba lihat, suami sudah sembuh tapi dia menangis. Suami sedang sakit dia juga menangis. Lalu kalau semua peristiwa dihadapi dengan tangis melulu, bukankah jelas bahwa hujin ini orang gila? Ini tidak cocok, salah besar sekali! Lebih baik contoh saja lohu. Lihat, pernahkah lohu menangis? Tidak, lohu tidak mau melakukan kegilaan ini karena sesungguhnya lohu bukan orang gila. Dan daripada orang-orang sehat yang sebenarnya gila ini dibiarkan berkeliaran di muka bumi, bukankah lebih baik dibunuh saja oleh orang-orang gila yang sehat batinnya? Ha-ha-heh-heh, inilah pendapat lohu tentang orang gila, anak muda, kerrr.... hiehh... hiehh.... kerr!"
Dewa Monyet terkekeh dan melompat-lompat sambil menepuk pantatnya, tampak kegirangan setelah "berkhotbah" tentang orang gila yang selama ini menjadi pegangannya!
Tentu saja yang paling naik darah adalah Pek Hong. Yap-goanswe yang bertanya tapi malah dia yang dijadikan sasaran jawaban! Siapa tidak naik pitam?
“Keparat! Tua bangka tidak tahu malu, berani kau mencaci maki seperti itu di depanku? Haiiit...!" gadis ini berteriak marah dan tubuhnya melesat ke depan sepesat anak panah dan tangan kanannya menampar muka kakek itu.
Serangan ini kuat lagi cepat sekali, dan Dewa monyet yang tidak mengenal kelihaian murid Ta Bhok Hwesio itu, sama sekali tidak mengira bahwa Pek Hong akan melancarkan serangan yang sehebat ini. Maka tanpa sempat mengelak lagi pipi kirinya menjadi sasaran lawan. Terdengar suara "plakk!" keras sekali dan kakek itu terpelanting jatuh!
"Uwahh, hebat.... hebat dan tangkas bukan main. Heh heh heh, orang sehat menyerang orang gila, bukankah ini kejadian yang gila-gilaan sekali, anak muda?" kakek itu melompat bangun dan mengusap pipi kirinya yang matang kebiruan. Dia masih terkekeh-kekeh, namun sepasang matanya yang bulat kecil itu menyinarkan api kemarahan.
Diam-diam kakek ini terkejut sekali. Sungguh dia tidak menyangka bahwa wanita cantik yang tiba-tiba menjadi galak itu dapat menampar mukanya dalam sekali gebrak. Karena terlalu memandangg rendah dan melihat gadis itu selama ini tampak penurut dan dipandangnya sebagai waitta lemah, maka dia harus menerima pukulan itu. Tentu saja kakek ini kaget bukan kepalang. Lompatan yang sepesat burung walet dari gadis itu benar-benar menunjukkan kemahiran ginkangnya yang luar biasa, dan hal ini sungguh di luar dugaannya.
Dia tidak tahu bahwa ginkang Coan-goat-hui (Terbang Menerjang Bulan) yang dimiliki oleh gadis ini memang bukan ginkang sembarangan. Kepandaian ini dapat membuat gadis itu melesat ke depan dengan kecepatan kilat, seolah-olah terbang saja. Itulah sebabnya tidak terlalu mengherankan apabila Dewa Monyet yang sama sekali tidak mengenal kelihaian gadis ini harus menerima tamparan yang membuat pipinya panas dan matang kebiruan.
Pek Hong yang berhasil menampar muka kakek itu dengan pukulan keras, masih kurang puas. Omongan liar dan seenak perut sendiri yang diucapkan kakek itu masih membuat kemarahannya berkobar. Maka dia hendak menerjang lagi. Namun, sebelum dia melompat maju, tiba-tiba tangannya dipegang dari belakang dengan jepitan kuat. Bu Kong telah berada di sampingnya dan pemuda ini memandangnya dengan alis berkerut.
"Hong-moi, kenapa kau membalas kebaikan orang dengan pukulan?” pemuda itu menegur.
Pek Hong membelalakkan matanya yang berapi-api dan sambil membanting kaki kirinya ia menjawab marah, "Baik apanya, Yap koko? Dia telah menghinaku secara terang-terangan, mencaci maki diriku dengan mengatakannya sebagai orang gila. Dan hal ini kau sebut baik? Begitukah? Jadi kaupun hendak mengatakan bahwa aku ini memang gila?"
Hampir saja tangisnya meledak lagi dan Bu Kong menarik napas panjang. Dia tahu bahwa gadis cantik ini marah sekali mendengar kata-kata Dewa Monyet yang amat menyinggung perasaan. Akan tetapi, bukankah omongan manusia sinting macam itu tidak perlu dimasukkan hati?
"Sstt, Hong-moi, jangan membuat keributan di sini. Bagaimanapun juga kakek itu telah membantumu, membantu kita berdua. Masa kita hendak membalasnya dengan sikap t dak pantas?"
"Perduli apa? Dia tua bangka yang tidak tahu malu! Dia telah menghina dan mempermainkan diriku sesuka hati. Masa aku harus diam saja? Yap-koko, kakek jahanam ini sama sekali tidak melepas budi kepadaku, maka kalau sekarang akupun menghajar dirinya yang telah berkali-kali bersikap tidak pantas kepadaku, kukira hal ini sudah selayaknya. Apakah kau hendak membelanya?"
Dua pasang mata beradu pandang dan Bu Kong melihat betapa sepasang mata indah itu mengeluarkan api kemarahan yang berkobar-kobar. Pemuda ini terkejut, akan tetapi dia dapat menenangkan perasaannya yang bergetar. Dengan lembut dia menekan telapak tangan untuk menenangkan hatinya, lalu berkata dengan suara perlahan,
"Hong-moi, aku tahu akan semua kejadian yang kaualami. Memang sebenarnya akulah yang berhutang budi kepada kakek itu, bukan engkau. Akan tetapi, bukankah kedatanganmu ke sini adalah untuk minta pertolongannya? Nah, meskipun bukan engkau yang secara langsung menerima budinya, akan tetapi bagaimanapun juga dia telah membantu kita. Memandang muka ku, masa engkau masih hendak nekat menyerang kakek itu? Hong-moi, kau tahu bahwa Kauw-sian orang yang tidak waras pikirannya, apakah engkaupun hendak meladeni orang semacam itu? Orang sehat menyerang orang gila, hal ini sungguh akan membuat bahan tertawaan orang belaka!"
Dengan kata-katanya ini pemuda itu berarti telah mengatakan bahwa sebagai orang yang sehat pikiran tidak seharusnyalah Pek Hong mengumbar kemarahan terhadap seorang gila seperti Dewa Monyet yang jelas agak terganggu p ikirannya itu.
Dan Pek Hong yang mendengar uraian ini serta tekanan lembut pada telapak tangannya itu berhasil diredakan kemarahannya. Gadis ini merasa betapa getaran halus yang hangat memasuki lengannya dan seketika api kemarahannya padam. Pandangan mata yang lembut mesra dan penuh pengertian dari pemuda itu membuat gadis ini tidak kuat memandang lebih lama lagi dan tanpa terasa ia menundukkan kepalanya.
"Yap-koko, maafkan aku...." bisiknya lirih dan Pek Hong menekan guncangan hatinya yang tiba- tiba berdebar tidak karuan ketika beradu pandang dengan murid Malaikat Gurun Neraka yang penuh pengaruh itu.
"Heh heh heh, kalian dua orang ini ternyata manusia-manusia gila semua. Berani kalian mengatakan lohu orang gila, heh? Keparat! Ditolong orang malah membalas makian, setan...!" Dewa Monyet mengumpat marah karena biarpun Bu Kong berbicara dengan suara perlahan, namun telinga kakek yang amat tajam itu dapat mendengar semua pembicaraan tadi.
Bu Kong memutar tubuh dan menghadapi kakek ini. "Maaf, Kauw-sian, bukan maksudku untuk mengeruhkan suasana di tempat ini. Apalagi, betapapun juga engkau telah menolong diriku. Aku bukan orang yang tidak kenal budi, maka sudah selayaknyalah kalau aku mengucapkan terima kasih atas semua jerih payahmu ini. Akan tetapi, selain melepas budi, engkaupun telah melepas malapetaka kepadaku. Sepatutnya di sini akupun pantas untuk membuat perhitungan denganmu. Namun, karena engkau telah mengembalikan jiwaku dari maut, biarlah hutang piutang diantara kita dianggap lunas saja. Nah, selamat tinggal, aku tidak akan mengganggumu lagi....!"
Pemuda ini membalikkan tubuh dan menyambar tangan Pek Hong untuk diajak pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru selangkah dia berjalan, tiba-tiba Dewa Monyet terkekeh dan melompat maju menghadang dua orang ini sambil bertolak pinggang. "Heh-heh, anak muda sombong! Setelah kau memaki lohu masa hendak pergi sedemikian mudahnya? Eitt, sabar dulu, tangan lohu gatal-gatal. Terus terang lohu ingin menggebuk kalian dua orang gila ini sepuasnya. Heh-heh... kerrr!"
Kakek itu berjingkrak sambil mengebutkan lengan bajunya dan tiba-tiba meluncur belasan bulu monyet ke arah dua orang muda-mudi itu. Tentu saja Pek Hong naik darah lagi diserang secara tiba-tiba dengan senjata rahasia aneh berapa bulu-bulu monyet ini. Kiranya di balik lengan baju kakek itu tersembunyi bulu-bulu kera yang coklat kemerahan itu.
"Tua bangka tidak tahu diri, kau benar-benar hendak merasakan hajaran dari kami? Baiklah, rasakan ini....!" gadis itu membentak dan sekali tangannya meraup, belasan bulu monyet itu ditangkapnya lalu disambitkan kembali ke arah kakek itu dengan kecepatan kilat.
"Wut-wut-wutt!”
Belasan senjata rahasia berupa bulu-bulu halus itu mendadak mengeluarkan suara bercuitan dan berobah kaku seperti paku-paku baja, menyambar Dewa Monyet yang terkejut menyak sikan hal ini. "Eihh, hebat juga... uwahh!" kakek itu berteriak memuji dan dia menghembuskan jubahnya untuk menangkis.
"Crit-crit-critt!" Dewa Monyet berseru kaget karena tiba-tiba saja jubah yang dikembangkan untuk menangkis bulu-bulu monyetnya itu mendadak berlubang dan senjata-senjata rahasia ini masih terus menembus ke dalam hendak menusuk kulit dagingnya!
"Siluman...!" kakek itu menjerit dan terpaksa dia membanting tubuhnya bergulingan untuk menyelamatkan diri, baru setelah itu melompat bangun dengan muka berobah. Kalau tadi dia telah menyaksikan kelihaian gin-kang "nyonya" ini, adalah sekarang dia melihat demonstrasi tenaga lweekang yang hebat sekali!
"Uhh, sialan, hampir saja lohu jadi korban!” kakek itu bersungut-sungut dan matanya berputar liar. "Anak anak muda, kalian kiranya orang-orang gila yang lihai sekali. Sudah lama lohu tidak pernah bertanding, maka biarlah hari ini lohu ingin melemas kan otot-otot dan tulang yang sudah rapuh ini..." dan ka kek itu lalu terkekeh sambil memutari dua orang lawannya, sepasang matanya berkedip-kedip dan kadang-kadang menyipit, kedua lengannya yang panjang menjuntai itu bergerak-gerak naik turun dengan sikap cakar monyet.
Karena serangan balasan Pek Hong tadi cepat sekali datangnya, kakek ini tidak tahu dengan apakah yang laki-laki itu menerima kebutan senjata rahasianya. Dia hanya melihat betapa bulu-bulu monyet yang tadi menyambar pemuda itu semuanya runtuh ke bawah dan menggeletak di atas lantai di depan kaki pemuda itu.
Dewa Monyet tidak tahu betapa hanya dengan meniupkan mulutnya saja Bu Kong telah berhasil meruntuhkan semua bulu-bulu monyet yang menyambar tiba, dan inilah demonstrasi kekuatan khikang tingkat tinggi. Hal ini dilakukan Bu Kong karena dia memang sengaja hendak membuktikan apakah kekuatannya benar-benar sudah pulih kembali atau kah belum. Dan ternyata hasil dari tiupan mulutnya itu memuaskan sekali.
Tentu saja hal ini menggirangkan hatinya, mau tak mau dia merasa kagum terhadap kakek monyet yang kini mengambil sikap bermusuhan dengan mereka itu. Dewa Monyet ini benar-benar orang yang kukoai sekali, wataknya ganjil dan liar seperti monyet-monyet di hutan . Namun meskipun begitu dia tetap tidak ingin bermusuhan dengan kakek ini, apalagi orang telah menolong dia dari cengkeraman maut.
Oleh sebab itu, melihat betapa Pek Hong hendak melayani kakek itu yang terkekeh-kekeh memutari mereka mencari kesempatan bagus untuk menyerang secara tiba-tiba, pemuda ini cepat menarik tangan gadis itu dan mengangkat tangan ke ata s sebagai isyarat. "Kauw-sian, tahan dulu!" Bu Kong berseru. "Kalau kau hendak mengadu kepandaian dengan kami, harap kita atur sebaik mungkin agar pertandingan ini bersifat latihan! Dengar, aku hendak bicara..."
Kakek itu berhenti dan berdiri berhadapan dengan pemuda ini sambil terkekeh. "Apa lagi yang hendak kau bicarakan, anak muda? Bersifat latihan maupun sungguh-sungguh lohu tidak perduli. Masalah kau yang akan mampus ataukah lohu yang bakal sekarat juga tidak menjadi soal. Bicara apalagi? Heh heh heh..."
"Tidak, aku tidak menghendaki salah satu diantara kita terluka. Kalau engkau yang terluka bukankah aku akan dicap orang sebagai pemuda yang tidak kenal budi? Dan sebaliknya, jika aku yang terluka maka tidak ada gunanya kau orang tua tadi telah mati-matian menyembuhkan aku. Dewa Monyet, karena kami masih mempunyai banyak urusan, maka biarlah pertandingan ini kita batasi sebanyak lima jurus saja. Cukup asal masing-masing sama puas maka kita sudahi pertandingan ini. Nah, aku telah mengajukan syarat untuk bertanding sebanyak lima jurus saja, dan sebagai imbangannya, aku hendak mendengar macam pertandingan apakah yang akan kau ajukan."
Ucapan ini tegas dan kakek itu tertawa bergelak, "Ha ha ha, kau orang gila yang cerdik sekali, anak muda! Bilang saja terus terang kepada lohu bahwa kalian berdua punya urusan pribadi setelah sekian lama menahan rindu, nah, bukankah dugaan lohu ini tepat sekali? Mengapa harus berputar-putar dengan mengajukan syarat untuk bertanding sebanyak lima jurus saja? Hahh, anak muda sekarang tukang bohong semua, pandai berbelit-belit seperti ular! Keerrrr....!"
Dewa Monyet mengeluarkan jeritan kera yang keras sekali dan tiba-tiba di luar pondok terdengar suara gaduh. Ketika dua orang muda ini menengok, muka mereka berubah karena di muka rumah itu muncul ratusan ekor monyet yang bercecowetan ramai. Kiranya Dewa Monyet telah mengurung mereka dengan anak buahnya yang jumlahnya ratusan ekor itu. Pek Hong menjadi merah mukanya dan gadis ini membentak,
"Kauw-sian, apakah engkau hendak mengandalkan anak buah mu yang menjijikkan itu? Awas, sekali aku kehilangan kesabaran, jangan salahkan kalau kubunuh mampus semua monyet-monyetmu itu!"
"Heh heh, siapa mengandalkan anak buah? Aku hanya hendak menjaga kalian kabur dari sini kalau pertaruhan ini kumenangkan."
"Apa maksudmu, Dewa Monyet?" Bu Kong melangkah maju dan bertanya, sengaja mengalingi Pek Hong karena dia khawatir gadis itu akan mendahuluinya. Dia cukup mengenal watak dara ini, yang dapat menjadi galak kalau kemarahannya meledak.
"Anak muda," Dewa Monyet berkata sambil menyeringai, "karena engkau telah mengajukan syarat bertanding sebanyak lima jurus, maka akupun hendak mengajukan syarat pula, yakni siapa yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Nah, beranikah kau menerima syaratku ini?"
"Apa? Yang menang harus tunduk kepada yang kalah?" Bu Kong terkejut dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Gila!" Pek Hong juga berseru. "Mana ada peraturan begini? Hanya orang-orang yang tidak sehat otaknya sajalah yang sudi bertanding macam itu!"
"Ha ha heh heh, kalian takut? Kalau begitu sia-sia guru kalian mengajar silat. Lihat anak-anak buahku itu, meskipun mereka telah dibuat jatuh bangun oleh hujin ini, akan tetapi mereka tetap berani lagi untuk maju. Sekali lohu memberi aba-aba, pasti mereka semua akan maju menyerang! Masa kalian manusia kalah berani dengan hewan? Uwahh, kalau benar demikian maka julukan pendekar muda yang menempel di tubuh kalian harus dibuang saja!"
Kakek itu terkekeh-kekeh dan sikapnya menghina sekali. Kiranya, walau pun otaknya tidak beres, namun Dewa Monyet ini memiliki kecerdikan juga. Tadi ketika saling gebrak dengan murid Ta Bhok Hwesio itu, diam-diam kakek ini terkejut sekali. Naga-naganya, kepandaian "nyonya" itu tidak di sebelah bawah murid Mo-i Thai-houw. Kalau sang isteri saja sudah sedemikian hebat, suaminya itu tentu lebih hebat lagi. Dan hal ini dapat dibuktikannya ketika dia mengobati Bu Kong, di mana dia merasa getaran tenaga sakti pemuda itu di permukaan kulit.
Dari getaran hawa lweekang yang melawan racun Jit-coa-tok itu kakek ini dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Diam-diam dia merasa kaget. Denyut urat nadi pokok yang tadi disentuhnya menunjukkan tanda-tanda bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti Yang-kang (Panas) yang hebat. Dan ini setanding sekali kalau diadu dengan tenaga Im (Dingin) yang dimiliki Mo-i Thai-houw.
Itulah sebabnya mengapa kakek ini mengajukan syarat bahwa siapa yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Dia bukan orang bodoh, maka belum bertempur saja dia sebenarnya sudah tahu dia bukan lawan pemuda yang menyimpan tenaga sinkang sehebat itu. Dan kebetulan sekali, pemuda itu telah mendahului mengajukan syarat dan sekarang dia yang diminta untuk mengajukan syarat lain buat mengimbanginya.
Inilah kesempatan bagus sekali dan membayangkan bahwa dia pasti berhasil dengan akalnya itu, kakek ini terkekeh-kekeh gembira. Keberhasilannya sudah di ambang mata dan tidak lama lagi dia tentu akan dapat mempergunakan pemuda itu untuk menandingi Mo-i Thai-houw!
"Ha ha, orang muda, bagaimana jawabmu? Menyerah sebelum bertanding adalah watak seorang pengecut. Dan tidak berani menerima syarat yang diajukan lawan adalah watak penjilat! Terserah, engkau hendak menerima ataukah menolak lohu tinggal menanti jawabanmu, heh heh heh!" Kakek itu terpingkal-pingkal dan Pek Hong sudah merah mukanya mendengar semua omongan dan syarat yang gila-gilaan ini.
"Dewa Monyet, kau tua bangka pengecut! Tahu bukan lawan Yap-koko maka kau lalu membalik peraturan umum menjadi peraturan gila seenak perutmu sendiri. Cihh, watak apa ini? Bukankah ini lebih pengecut dari pengecut? Lebih penjilat dari penjilat?"
"Ehh, mana bisa lohu dibilang pengecut?" kakek itu membantah dan matanya mendelik. “Kalau pengecut tidak mungkin menantang, dan lohu di sini malah berdiri sebagai penantang! Suamimu itulah yang pengecut kalau tidak berani menerima tantangan lohu dan menyerah kalah sebelum bertanding!"
"Cihh, silat lidah yang tak bertulang!" Pek Hong membanting kakinya. "Sudah jelas kau menggunakan akal licik masih tidak mau disebut pengecut. Bukankah ini menunjukkan watakmu busuk dan tidak tahu malu? Yap-koko, daripada kita melayani orang gila seperti ini lebih kita pergi saja...!"
Dengan sikap marah gadis itu lalu menarik tangan Bu Kong untuk diajak pergi. Namun Murid Malaikat Gurun Neraka ini malah tersenyum-senyum dan melepaskan pegangan Pek Hong dengan sikap halus.
"Hog-moi, aku sudah berjanji dengan dia dan sekali janji diucapkan tidak mungkin ditarik kembali. Bagi seorang pendekar berlaku motto ini: It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (sekali keluarkan ucapan empat ekor kuda sekalipun tak akan mampu menarik kembali). Masa engkau tidak mengetahuinya?"
"Akan tetapi kakek itu curang!" Pek Hong penasaran dan membantah dengan suara keras. "Dan menghadapi manusia curang seperti ini tidak perlu kita berpegang teguh kepada kebenaran. Yap-koko, kau..."
"Sstt, Hong-moi, sabarlah," Bu Kong memotong dan memegang lengan gadis yang marah-marah itu. "Kalau dia mempunyai akal masa kita juga tidak punya?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara lirih sekali sehingga Dewa Monyet sendiri tidak mendengar jelas. Pek Hong terbelalak, terkejut dan tercengang keheranan, apalagi ketika tiba-tiba pemuda itu mengedipkan matanya. "Aku ada akal bagus, harap kau jalankan perintah ini untuk mengimbangi kecerdikannya," demikian Bu Kong melanjutkan kata-katanya dan kali ini pemuda itu mempergunakan ilmunya Coan-im-jip-bit sehingga yang mendengar bicaranya hanya gadis itu saja.
Pek Hong yang masih terkejut keheranan ini tidak mampu mengeluarkan bantahan lagi. Dan Bu Kong sendiri memang tidak memberi banyak kesempatan kepada gadis itu untuk banyak bertanya. Pemuda ini dengan gerakan tidak kentara lalu pura-pura menggenggam tangan Pek Hong dan menyuruhnya minggir.
“Hong-moi, Kauw-sian telah mengajukan syaratnya dan aku tidak mungkin menolaknya. Dia telah menerima syaratku dan sebagai imbalannya akupun tentu saja harus menerima apa yang dikatakannya. Nah, sekarang minggirlah, lihat saja apa yang terjadi di antara kita."
Dengan gerakan halus pemuda itu lalu mendorong Pek Hong ke tepi, dan Dewa Monyet tidak mengetahui betapa dengan gerakan jari tangan yang tersembunyi Bu Kong telah menyisipkan sehelai bulu monyet yang tadi dijepit di jari-jari tangannya kepada murid Ta Bhok Hwesio ini. Lalu dengan gerakan bibir yang tidak kentara pemuda itu mengirimkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada Pek Hong dan berbisik perlahan,
"Jangan khawatir, aku pasti kalah bertanding asal kau membantuku. Bulu monyet itu nanti pergunakan sebagai senjata rahasia, sambitkan ke jalan darah it-ceng-hiat di belakang lututku. Akan tetapi, lihat dulu keadaan, dan aku akan memasang diri sedemikian rupa agar kau dapat dengan leluasa menyambitkan bulu monyet itu di belakang lutut. Nah, Hong-moi, laksanakan perintahku ini sebaik mungkin dan hati-hati..."
Demikianlah pesan Bu Kong melalui ilmunya mengirimkan suara, dan seketika wajah Pek Hong berseri-seri. Betapa cerdiknya bekas jenderal muda ini! Sungguh dia kagum sekali. Maka tanpa banyak cakap lagi gadis inipun lalu menepi dan memandang dua orang yang akan bertanding dengan syarat di luar kebiasaan itu, yakni yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Mana dunia ini ada pertandingan gila seperti itu? Dan hanya orang-orang gila seperti kakek bermuka monyet itulah yang sanggup mengandalkan hal-ha l semacam ini.
"Ha ha ha, engkau berani menerima syaratku, anak muda?" Dewa Monyet tertawa girang. "Bagus sekali, tidak percuma kau menjadi seorang laki-laki. Tadi lohu sudah khawatir kalau kau menolak karena hanya orang banci sajalah yang tidak berani menerima tantangan orang lain!"
Pemuda ini tersenyum. "Kauw-sian, aku bukan seorang banci, maka tentu saja kuterima semua permintaanmu itu. Sekarang kita hendak adu kepalan ataukah memakai senjata?"
"Uwahh, semuanya sama saja bagi lohu!" kakek itu berseru. "Main kepalan boleh main senjatapun lohu tidak menolak, heh heh heh..."
"Hemm, kalau begitu biarlah kita adu kepalan saja," sahut Bu Kong tenang. "Dengan demikian kulit kita tidak akan terluka. Bagaimana?"
"Boleh," kakek itu menjawab. "Dan kebetulan sekali lohu memang sudah lama tidak menerima gebukan! Nah, anak muda, mari kita mulai...”
Kakek itu terkekeh kemudian mundur tiga langkah lalu maju lagi setengah tindak. Dia memasang kuda-kuda aneh yang lucu, yakni kaki kiri disentuhkan lutut kanan, pantat agak menungging dan matanya menjuling ke tengah, lalu tangan kiri menggaruk-garuk rambut sedangkan tangan kanan terjulur ke depan seperti pengemis minta sedekah!
Pek Hong yang melihat pasangan kuda-kuda ini tidak dapat menahan geli hatinya lagi dan gadis inipun terkekeh. "Hi hikk, kakek sinting memasang kuda-kuda Monyet Kelaparan Minta Tahi! Sungguh indah...!" serunya mengejek.
Dewa Monyet melotot ke arah gadis ini. “Siapa minta tahi ? Huhh, anak-anak buahku tidak ada yang serakus itu. Makanan mereka selalu buah-buah segar yang mengandung empat sehat lima sempurna. Masa hujin lancang bicara seperti itu? Awas, kalau lohu menangkan pertandingan ini maka lohu hendak menjadikan dirimu pacar Siau-ji!”
Pek Hong mencibir. "Cihh, kalau kau yang menang justeru kau harus tunduk kepada yang kalah. Masa kau hendak menjilat ludah sendiri?"
Kakek itu tertegun, sepasang matanya terbelalak. "Siluman....!" makinya gemas. "Perempuan memang cerewet dan kau ini agaknya lebih cerewet dari nenek-nenek bawel!" kakek itu bersungut-sungut.
“Sudahlah, Kauw-sian. Buat apa kau melayani dia? Kau hendak bertanding silat ataukah bertanding lidah?"
Teguran Bu Kong ini membuat kakek itu memekik marah dan tiba-tiba saja dia melompat kedepan. "Kerr...! Jaga ini, anak muda, haiittt...!" Kaki kiri yang tadi disentuhkan lutut kanan itu mendadak dilempar merupakan tendangan keatas, sementara tangan kiri yang tadi garuk-garuk kepala juga mencengkeram dada dan tangan kanannya yang tadi seperti minta sedekah itu tahu-tahu menyodok lambung. Tiga buah serangan ini dilancarkan saling susul dan angin pukulan kuat menyambar tiba.
"Bagus, lihai sekali!" Bu Kong memuji dan cepat pemuda ini mengelak. Tendangan lawan yang mengarah dagunya dikelit ke samping sedangkan cengkeraman serta sodokan ke ulu hati itu ditangkis sambil mengerahkan tenaga empat bagian.
"Plak-plakk!"
Dua pasang tangan beradu dan pemuda ini terkejut ketika lengannya terpental. Nyata, dengan pengerahan tenaga empat bagian saja dia masih kurang kuat untuk menghadapi kakek ini. Dan hebatnya, begitu lengannya terdorong ke samping, tiba-tiba sambil terkekeh menyeramkan kakek itu merobah cengkeraman kedua tangannya menjadi tusukan dua jari mencolok mata dengan kecepatan kilat!
"Aihh...!" Bu Kong berseru kaget dan karena jarak sudah terlalu dekat, cepat pemuda ini mengelak dengan jalan membanting diri di atas lantai. Dua kali dia menggelinding menjauhi lawan dan selamatlah dia dari colokan berbahaya tadi.
"Satu jurus...!" Dewa Monyet berseru dan diam-diam kakek ini agak merasa kecewa. Kalau dalam satu gebrakan saja pemuda itu sudah dibuat jungkir balik seperti ini, maka dugaannya bahwa pemuda itu berkepandaian tinggi rupanya meleset. Dan kalau benar-benar pemuda ini masih di bawah tingkatnya, tentu saja tidak dapat diharapkan buat menghadapi Mo-i Thai-houw. Kalau begitu, lebih baik dia membunuh mampus saja anak muda yang tidak ada gunanya ini! Tiba-tiba kakek itu menjadi beringas dan sambil melengking nyaring dia menerjang maju.
"Awas anak muda, jurus kedua!" kakek itu berteriak. Kali ini karena ingin mengetahui sampai di mana kepandaian lawan, maka Dewa Monyet melancarkan serangan secara sungguh-sungguh. Dia tidak mau memberi hati, dan jurus kedua inipun dilakukan dengan sekuat tenaga. Kalau pemuda itu tidak kuat bertahan, biarlah mampus saja dalam dua jurus. Dan mengenai yang wanita, kalau dia terdesak, mudah baginya untuk mengerahkan pasukan monyetnya untuk maju mengeroyok. Demikianlah keputusan kakek ini.
Maka terjangan dalam jurus kedua ini memang hebat bukan main. Kakek itu melancarkan tipu yang disebut Sin-kauw-coan-mo (Kera Sakti Menerjang iblis) tangan kanan terbuka dengan telapak lebar menghantam batok kepala, sedangkan tangan kiri menusuk dengan empat jari lurus seperti baja ke arah pusar lawan. Serangan ini cukup keji dan ganas. Sekali kena sasaran tentu batok kepala akan hancur dan usus berhamburan.
Bu Kong sendiri merasa terkejut melihat serangan yang amat kejam ini. Diam-diam dia merasa tidak suka akan kegan asan lawan. Maka untuk memberi hajaran setimpal dia sengaja tidak menghindar. Pemuda ini mengerahkan lweekangnya melindungi perut, menerima tusukan empat jari tangan yang berobah seperti batang baja itu. Sementara di lain pihak, hantaman ke batok kepalanya dia kelit sedikit dan diterima dengan pundaknya.
"Eihh...?!" Dewa Monyet sempat berseru kaget. Sama sekali kakek ini tidak menyangka bahwa dua buah serangannya yang amat dahsyat itu bakal diterima lawan dengan cara demikian. Tadinya dia menduga bahwa pemuda itu pasti akan melompat untuk menghindarkan diri atau menggerakkan lengannya menangkis. Dan kalau hal ini dilakukan lawan, dia sudah siap untuk menggerakkan kakinya secara tiba-tiba menghantam selangkangan pemuda itu.
Maka betapa herannya kakek ini ketika melihat Bu Kong sama sekali tidak mengelak dan berdiri tenang ditempatnya menerima dua macam serangannya dengan mata tak berkedip. Hal ini membuat kakek itu penasaran dan ingin tahu. Jika lawan berani menerima hantamannya, agaknya pemuda itu memang bukan orang sembarangan. Dan hal ini membuat kakek itu menjadi girang. Inilah yang dikehendakinya, yakni melihat sampai dimanakah kehebatan pemuda itu. Apakah patut kalau kelak dia mengajukan pemuda ini untuk menghadapi Mo-i Thai-houw yang dia tahu memiliki kesaktian luar biasa itu.
"Plak-dess!”
Dua macam serangan ini tiba hampir berbareng. Telapak tangan kanan Dewa Monyet menghantam pundak kiri pemuda itu, sedangkan tusukan empat jari kirinya yang sekeras baja itu bertemu dengan perut lawan. Dan kakek ini menjerit kaget. Pundak lawan yang dihantam tangannya mendadak terasa selunak kapas dan tenaga pukulannya yang dilakukan sekuatnya itu amblas seperti masuk ke dalam samudera. Dan belum lagi rasa kagetnya hilang, tiba-tiba dari pundak pemuda itu muncul suatu tenaga tolak yang luar biasa hebatnya. Kiranya Bu Kong telah mengeluarkan ilmunya yang bersifat "menghisap" dan "melontar".
Dengan kepandaiannya ini, pemuda itu menerima pukulan Dewa Monyet yang bersifat keras dan "menghisapnya" ke dalam, lalu sementara kakek itu terkejut, tenaga pukulan lawan yang dihisap kemudian dipantulkan dan dilontarkan kembali ke arah pemiliknya. Ilmu kepandaian ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang telah mencapai tingkat teratas dalam pengendalian tenaga lweekang. Dan sebagai murid tunggal Malaikat Gurun Neraka yang menjadi tokoh besar di utara, tentu saja kepandaian macam ini sudah diwariskan pendekar sakti itu kepada muridnya.
Dewa Monyet yang sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu mahir mengendalikan tenaga dalamnya, sudah tidak keburu lagi untuk menghindar. Tusukan empat jarinya ke perut bertemu dengan kulit yang penuh hawa sakti, persis seperti menusuk karet saja. Begitu menusuk begitu mental kembali. Dan ketika lawan melontarkan pukulannya yang membalik ini, kakek itu berteriak dan terjengkang roboh.
"Bresss!" Dewa Monyet terguling-guling dan kakek ini mengeluh dengan mata terbelalak. Ketika dia melompat berdiri, tubuhnya agak terhuyung-huyung namun bola matanya yang meliar itu tampak berseri gembira. "Uwahh, hebat sekali kau, anak muda! Kalau kau bertangan kejam, tidak mustahil lohu sudah menggeletak tak bernyawa di tempat ini, ha ha ha...!”
Kakek itu tertawa bergelak dan ucapannya ini tadi memang masuk di akal. Kalau pemuda itu tidak mengendalikan diri, agaknya pukulan yang membalik tadi akan merusak isi dadanya. Namun Bu Kong tidak menghiraukan pujian ini, bahkan dengan alis berkerut dia berkata,
"Kauw-sian, kau ganas sekali. Kalau orang lain yang menerima serangan macam itu, bukankah dia akan tewas tanpa dosa? Pertandingan ini sifatnya hanyalah pibu, bukan untuk melampiaskan dendam. Mengapa kau begitu keji?"
"Heh heh heh, keji atau tidak itu adalah pendapat masing-masing orang. Ilmu silat rata-rata menyembunyikan kekejaman. Tewas atau tidak itulah resikonya, kenapa marah-marah kepada lohu? Anak muda, kau hebat sekali, lohu senang melihatnya. Tetapi kita baru bergebrak dua jurus. Yang pertama kau roboh dan yang kedua kalinya lohu yang terlempar. Berarti diantara kita masih seri. Hayo, kita lanjutkan lagi permainan ini!"
Tanpa menunggu lawan membuka mulut kakek itu sudah menerjang lagi sambil terkekeh-kekeh. Karena sekarang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memang benar-benar hebat ilmu kepandaiannya, maka kakek itupun lalu menyerang sekuat tenaga. Dia masih belum puas, dan dia hendak melihat dan menjajal kepandaian pemuda itu sepuas mungkin.
Maka terjangannya kali ini jauh lebih berbahaya dan lebih ganas dari serangan pertama maupun kedua. Sepasang kaki tangan kakek itu bergerak cepat, menghantam dan mendorong, menampar dan menyabet, semua ditujukan bertubi-tubi ke bagian tubuh mematikan. Angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat, jubah longgarnya berkibaran dan tubuh kakek ini beterbangan mengitari lawan dengan amat cepatnya.
Dan hebatnya, setiap kali serangan tentu diiringi dengan pekik monyetnya yang parau menyeramkan itu sehingga gerakan kakek ini mirip dengan seekor kera besar yang menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Sungguh sepak terjang yang ganas sekali, juga liar dan membingungkan lawan karena kakek itu telah lenyap bentuknya berobah menjadi bayangan cepat seperti iblis.
"Bagus...!" Bu Kong berseru memuji melihat kehebatan lawannya ini dan dari semua serangan-serangan itu maklumlah pemuda ini bahwa kakek itu memang bukan orang sembarangan. Mulailah dia bergerak mengikuti gerakan lawan, mengerahkan ginkangnya untuk menandingi kecepatan Dewa Monyet yang segesit kera terbang itu.
Maka terjadilah pertandingan seru di antara dua orang ini. Kecepatan dilawan kecepatan, pukulan dilawan dengan tangkisan dan tendangan dibalas dengan tendangan pula sehingga terdengarlah suara beradunya tulang-tulang kaki maupun lengan! Sungguh pertandingan yang tampak seru bukan main. Pek Hong yang menonton di pinggiran membuka mata lebar-lebar dan bersikap waspada karena dia tahu bahwa kakek gila itu acap kali mempunyai tindakan tiba-tiba yang licik. Dan inilah yang harus diperhatikannya.
Apa yang diduga oleh gadis ini ternyata terbukti. Baru dalam melancarkan serangan jurus ketiga saja kakek itu sudah menampakkan kecurangannya. Ketika dia melompat sambil menendang leher dari udara, kakek itu berteriak menyeramkan dan kedua lengannya yang panjang berbulu itu menyambar rambut Bu Kong untuk dijambak. Serangan ini persis monyet buas dan kasar, namun amat berbahaya sekali bagi lawan.
Namun Bu Kong yang melihat serangan ini tidak menghindar. Dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya menghantam tendangan terbang yang mengarah lehernya itu, sementara tangan kirinya disiapkan untuk menyambut lengan panjang Si Dewa Monyet yang hendak mencengkeram rambutnya.
Dan pada saat itulah terjadinya kecurangan ini. Tendangan kaki yang tadi melonjor lurus seperti kayu itu mendadak ditekuk oleh kakek ini, dan tendangan yang sudah dilancarkan setengah jalan itu dibatalkan. Sebaliknya, kaki kanan tiba-tiba mencuat dan sekonyong-konyong dari bawah sepatu kakek itu meluncur cahaya putih yang gemerlapan menyambar ulu hati, sementara kedua lengannya dikebutkan ke depan dan berhamburanlah bulu-bulu monyet yang melesat menghujani muka pemuda itu!
Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan sekali. Pek Hong sampai menjerit keras dan gadis itu marah bukan main, mukanya pucat dan hampir saja ia melesat ke depan untuk menolong. Namun murid Malaikat Gurun Neraka itu benar-benar pemuda yang hebat dan mengagumkan. Meskipun hatinya mencelos melihat belati pendek yang meluncur dari bawah sepatu Dewa Monyet ke arah ulu hatinya dalam serangan tak terduga, akan tetapi dia dapat bersikap tenang. Dan inilah modal pokok yang berhasil menyelamatkannya.
Maka ketika belati itu menyambar dalam jarak sedemikian dekatnya dan dia sendiri sudah tidak sempat mengelak, pemuda ini tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan tangan kanan yang sudah diangkat ke atas untuk menangkis tendangan tadi sekarang menyampok ke bawah secepat kilat.
"Plakk...!" dengan tepat belati itu dipukul dan senjata pendek ini tiba-tba membalik dan mendengung menyambar tenggorokan Dewa Monyet sendiri! Sementara itu, sambaran bulu-bulu monyet yang dikebutkan dari balik jubah kakek ini sudah meluncur tiba. Akan tetapi, bentakan yang tadi dikeluarkan Bu Kong bukan sekedar bentakan penambah semangat belaka. Tidak. Bentakan itu sebenarnya merupakan tiupan khikang yang dilakukan pemuda ini untuk menghalau hujan senjata rahasia berupa bulu-bulu monyet yang merah kecoklatan itu. Maka begitu suara ini dikeluarkan, seketika rambut-rambut halus itu tertahan di udara dan akhirnya runtuh di atas lantai sebelum mengenai muka pemuda sakti ini.
"Aiihhh...!" Dewa Monyet berteriak kaget. Kakek itu bukan hanya kaget karena bulu-bulu monyetnya runtuh ke bawah, akan tetapi juga kaget karena mendapat serangan balasan dari belatinya sendiri yang menyambar tenggorokan. Tentu saja kakek ini terkejut bukan main . Dua buah serangannya tadi, yakni tendangan terbang ke arah leher dan cengkeraman untuk menjambak rambut lawan sebenarnya hanyalah serangan tipuan belaka. Yang benar ialah bahwa dia hendak menyerang dengan senjata-senjata rahasianya itu yang disembunyikan dalam jubah serta telapak sepatunya.
Itulah sebabnya begitu senjata rahasia diluncurkan, seketika dia menghentikan serangan palsunya dan menunggu hasil dari serangan senjata gelapnya yang dilakukan tiba-tiba itu. Sama sekali tak disangkanya bahwa semua kecurangannya itu sia-sia belaka. Malah sekarang belati pendek yang tajam berkilauan itu menyambar dirinya sendiri dengan kecepatan kilat.
"Brett!" kakek ini sudah mengelak, namun karena gugup dan kurang cepat, leher bajunya di"makan" belati dan kulit lehernya tergores sehingga berdarah sementara belati itu sendiri terus meluncur dan akhirnya menancap dan bergoyang-goyang di dinding pondok yang terbuat dari kayu merah itu!
"Hebat..." Dewa Monyet mendesis dengan mata terbelalak dan sejenak kakek ini tertegun dengan muka pucat. Sedikit saja dia terlambat, tentu tenggorokannya sudah ditembus belati pendeknya itu.
Namun kakek ini memang orang yang keras hati dan nekat. Begitu dia sadar, kembali tubuhnya sudah menerjang maju dan berteriak kalap. Karena sekarang maklum bahwa dibantu dengan am-gi (senjata gelap) sudah tidak ada gunanya, maka sepenuhnya kakek itu mengandalkan ilmu silatnya. Semua kepandaian sekarang dikeluarkan dan rasa penasaran bercampur girang membuat kakek ini menyerang membabi buta.
Karena dilanda emosi yang meluap-luap, seketika kakek itu lupa bahwa kalau dia berhasil merobohkan pemuda ini maka justeru dialah yang bakal dianggap kalah dalam pertaruhan. Rasa penasaran bercampur kemarahan melihat betapa hampir saja dia tewas disambar pisau belati tadi membuat Dewa Monyet melancarkan serangan bertubi-tubi dengan muka merah dan mata melotot. Kakek ini tidak menghiraukan segala sesuatunya lagi dan sambil memekik-mekik dia menerjang buas seperti monyet liar.
Tentu saja Bu Kong kewalahan, juga agak bingung. Kalau menurutkan kemarahannya melihat keganasan kakek ini, pemuda itu sudah hampir melancarkan pukulan-pukulan maut. Akan tetapi dia masih ingat akan isi perjanjian dalam pertaruhan mereka ini, maka tentu saja dia harus dapat menahan dan sekaligus mengendalikan diri. Sekali salah turun tangan, tentu kakek itu kalah. Dan apabila hal ini terjadi, maka tentu saja yang menang nantinya harus tunduk kepada yang kalah. Mana dia mau? Kakek itu wataknya tidak genah, dan kalau dia harus tunduk kepada segala perintah Dewa Monyet, bukankah semuanya bakal runyam?
Tidak, tidak boleh begitu. Dia harus "kalah" akan tetapi menang daripada "menang" akan tetapi kalah. Namun untuk melakukan hal inipun dia harus berhati-hati. Dalam pertemuan tenaga dengan kakek itu dia merasakan betapa pukulan lawannya ini mantap dan berat. Setelah dia mengerahkan tenaga tujuh bagian barulah dia dapat mengimbangi kakek itu. Maka segera dicarinyalah kesempatan untuk "kalah" akan tetapi menang ini. Tepat pada jurus kelima dia harus "kalah", dan agaknya untuk itu dia harus sedikit berkorban. Tidak apa-apalah. Yang tujuh bagian dia kerahkan untuk menahan sedangkan sisa tenaga tiga bagian dia siapkan untuk cadangan.
Sebenarnya, kalau saja pemuda ini bersungguh-sungguh maka Dewa Monyet itu masih bukan tandingannya. Serangan-serangan ganas kakek itu baru dihadapinya dengan ilmu silat Khong-ji-ciang (llmu Silat Hawa Kosong) karena ilmu silat inilah yang paling tepat buat bertahan. Dan sekali-kali dia mencampurnya dengan jurus-jurus Cap-jiu-kun agar desakan lawan tidak terlalu berat.
Hanya ginkang kakek itulah yang boleh diperhatikan, juga serangan-serangan gelapnya. Agaknya karena berkumpul dengan monyet-monyet liar maka kakek ini memiliki tubuh yang gesit dan otot-otot yang lentur, gampang melompat dan mencakar dengan gerakan tiba-tiba dan ringan. Itulah sebabnya ketika kakek itu kembali menyerangnya dengan cepat dan kuat maka pemuda ini bersikap waspada. Dewa Monyet sekarang menyerangnya secara berputar. Tubuhnya terbang mengeliling dan kesepuluh kuku-kuku jarinya yang tajam seperti cakar itu mengancam perut, dada, leher serta mukanya.
Dan yang membuat bising adalah pekik monyetnya yang persis binatang liar itu. Bahkan kadang-kadang kakek ini mendupak, berjengkelit dan bergulingan di atas lantai atau melompat tiba-tiba sambil menggereng. Sungguh sepak terjangnya ini tidak lumrah orang waras dan pantas disebut orang gila. Akhirnya jurus keempat dengan cepat telah mereka lalui. Kini pertandingan sudah menginjak jurus kelima dan Bu Kong lalu mengerahkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada Pek Hong yang berdiri menonton.
"Hong-moi, siapkan bulu monyet tadi, aku akan membelakangimu dan begitu jurus kelima ini habis, totok belakang lututku agar aku roboh. Nah, bersiaplah..."
Berdebar jantung gadis ini. Dia harus menjalankan perintah itu, akan tetapi dengan perhitungan yang tepat. Totokan yang dilakukannya harus diatur, tidak boleh terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lemah. Harus pas, yakni totokan yang dilakukan hanya akan membuat kelumpuhan beberapa detik saja bagi Yap-goanswe. Terlalu keras sedikit bakal membuat pemuda itu sukar membebaskan jalan darahnya dan kalau Dewa Monyet menyusuli dengan serangan maut, pemuda itu tentu celaka.
Maka dengan muka tegang Pek Hong lalu bersiap-siap. Bulu monyet yang dijepit diantara jari tengah dan ibu jarinya bergetar, siap untuk dijentikkan ke belakang lutut pemuda itu. Dan kesempatan yang tidak lama ini tibalah. Dewa Monyet yang bergulingan di atas lantai itu tiba-tiba mencelat sambil mengeluarkan pekik buas. Muka kakek ini tampak beringas dan matanya melotot merah. Agaknya karena belum dapat mendesak lawan yang pantas menjadi muridnya itu membuat kakek ini penasaran sekali. Maka ketika melancarkan serangan sambil melompat itu tiba-tiba kakek ini membarengi sambil meludah!
"Cuhhh!" Ludah diletupkan dan meluncur seperti peluru kendali. Sebagian memang dilancarkan karena merupakan alat penyerang, namun sebagian lagi disebabkan sebagai pelampias rasa marah. Tentu saja Bu Kong yang sama sekali tidak menyangka hal ini menjadi terkejut. Pukulan jarak jauh lawan menghantam dengan kekuatan dahsyat, dan dia sudah mempersiapkan tenaganya sebanyak tujuh bagian untuk menyambut serangan kakek itu. Maka, letupan riak Dewa Monyet yang menyambar mata kirinya ini hampir saja membuatnya celaka.
"Aihh...!” pemuda itu berseru keras dan melompat setengah lingkaran, mengelak dari sasaran ludah kental sementara kedua tangannya cepat bergerak ke depan menangkis serangan lweekang lawan. Dengan gerakan tubuhnya ini, maka Dewa Monyet yang tadi posisinya berada di belakang Pek Hong sekarang berbalik berada di depan dan Bu Kong menempati kedudukan kakek tadi, menghalangi pandangan Dewa Monyet ke arah gadis itu apabila Pek Hong menjalankan perintahnya.
"Bress!" Kedua pukulan bertemu di udara dan pada saat yang sudah diperhitungkan inilah tiba-tiba Pek Hong menjentikkan bulu monyet di tangannya itu ke jalan darah Ih-ceng-hiat di belakang lutut Bu Kong sambil berteriak, "Lima jurus...!"
Dan terjadilah seperti apa yang direncanakan pemuda itu. Karena tadinya pemuda ini mengerahkan tenaga tujuh bagian untuk menahan, maka begitu belakang lututnya ditotok senjata rahasia Pek Hong, seketika aliran tenaga dalamnya macet. Tentu saja hal ini mempengaruhi pertahanannya terhadap dorongan Dewa Monyet. Kalau tadi serangan kakek itu terhenti di tengah jalan, sekarang tiba-tiba pukulannya meluncur ke depan tanpa penghalang karena daya tahan lawan mendadak lenyap.
Akibatnya, tubuh Bu Kong terlempar jauh dan pemuda ini terpental bergulingan menabrak dinding sambil mengaduh. Dewa Monyet terkejut dan berdiri terbelalak, memandang kejadian yang tidak disangka-sangkanya ini. Kakek itu tidak mengira bahwa dorongan lawan yang tadi amat kuatnya menahan serangannya itu tiba-tiba saja lenyap tanpa bekas. Bagaimana bisa ada kejadian macam ini? Mengapa tenaga pemuda itu sekonyong-konyong hilang tanpa sebab sehingga serangannya dengan telak membuat lawannya itu terpelanting?
Tentu saja Dewa Monyet tidak habis mengerti akan semua keanehan ini. Karena tadi bernafsu sekali untuk menyerang pemuda itu karena dia yakin bahwa dia pasti kalah, maka ketika tiba-tiba dia kehilangan perlawanan musuhnya itu membuat kakek ini bahkan terdorong ke depan dan pukulan lweekangnya semakin hebat seakan-akan menjadi dua kali lipat lebih kuat daripada semula.
Dan ini berarti bahwa dialah yang keluar sebagai pemenang! Seharusnya, dalam pertandingan pibu yang umum dilakukan orang, pihak pemenang mestinya akan bangga dengan hasil ini. Akan tetapi karena kakek itu telah membalik sifat pertaruhan dengan caranya sendiri, maka kemenangannya ini bahkan membuat dia marah!
Tidak mungkin bisa terjadi hal ini. Dia t idak percaya. Pemuda itu pasti menjalankan siasat curang! Tapi siasat apakah? Dapatkah dia buktikan? Inilah yang membuat kakek itu tertegun. Dari rabaannya ketika dia mengobati pemuda itu, Dewa Monyet merasakan getaran tenaga sakti yang hebat sekali dari pemuda ini.
Dari getaran itu saja kakek ini tahu bahwa kepandaian anak muda itu setidak-tidaknya berada dua tingkat di atas kepandaiannya sendiri. Masa sekarang akan roboh sedemikian rupa pada pertandingan akhir tadi? Akan tetapi begitulah kenyataannya. Dia telah menang dan seperti kata-katanya sendiri, yang menang harus tunduk terhadap yang kalah!
"Hik-hikk, Dewa Monyet, mengapa kau melototi kami? Dia sudah kalah dan buktinya jelas terpampang di depan mata. Lihat, dia roboh di sana dan kau masih berdiri disini. Bukankah ini bukti yang gamblang sekali?" Pek Hong terkekeh mentertawakan kakek itu dengan muka berseri.
Dewa Monyet mendelik. "Kau... setan muda banyak akal, kenapa kau kalah? Kenapa kau hendak mengelabuhi lohu?" kakek itu marah-marah sambil mengepal tinjunya.
Bu Kong bangkit berdiri. Sejenak dia menarik napas dalam-dalam untuk melegakan dadanya yang sesak dan sedikit nyeri, lalu menghadapi kakek ini. "Kauw-sian, siapa mengelabuhi siapa? Engkau adalah seorang locianpwe tingkat atas, kepandaianmu hebat dan aku betul-betul kagum. Masa seorang sakti seperti dirimu dapat dikelabuhi orang muda? Tidak, Kauw-sian, aku memang menyerah kalah. Engkau orang tua benar-benar hebat sekali, tidak percuma engkau disebut sebagai golongan tingkat atas. Biarlah dengan selesainya pibu ini maka perhitungan kita dianggap lunas saja. Tidak ada yang tunduk terhadap yang lain dan tidak ada pula yang memerintah terhadap yang lain. Nah, sekarang ijinkanlah kami pergi..."
Dewa Monyet tertegun mendengar ucapan ini, akan tetapi sebelum dia membuka mulut tiba-tiba Pek Hong berteriak. "Wahh, mana bisa begitu? Kalau benar dia dianggap tokoh tingkat atas, tidak mungkin dia akan menelan ludahnya sendiri. Pertandingan dilakukan dengan taruhan, dan yang mengajukan syarat-syarat taruhan adalah kakek itu sendiri. Masa sekarang dia hendak menjilat ludah dan tidak tunduk kepada yang kalah? Ciss, kalau engkau sampai melakukan hal ini sungguh tidak patut engkau disebut locianpwe. Dewa Monyet, bahkan biar oleh pasukanmu sendiri itu! Kalau seorang pemimpin bersikap sepengecut ini, adakah anak buah yang dapat menghargainya?"
Kata-kata ini tajam bukan main dan sekaligus menyinggung harga diri dan kewibawaan kakek itu. Meskipun wataknya agak gila-gilaan, namun sekali disinggung-singgung harga dirinya sebagai pemimpin, kegagahan kakek ini timbul. Jelek-jelek dia adalah pemimpin sebuah pasukan, biarpun pasukan monyet! Maka dengan mata berapi dan kepala dikedikkan kakek ini berkata keras.
"Hujin, jaga mulutmu itu! Lohu bukan orang rendah dan tidak nanti lohu akan menjilat ludah sendiri. Karena kenyataan membuktikan lohu berdiri sebagai pemenang, maka lohu akan menepati janji untuk tunduk kepada yang kalah. Nah, anak muda, sejak saat ini lohu akan tunduk dan mentaati semua perintahmu, apapun yang kau kehendaki! Nyawa lohu? Lohu persiapkan! Pasukan lohu? Lohu sediakan! Nah, lohu sudah berkata dan semuanya menanti keputusanmu..." dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kong!
Tentu saja pemuda ini terkejut. "Eh-eh, Kauw-sian, jangan begitu... jangan begitu... hayo bangkit, jangan berlutut. Kalau diambil kepantasannya malah akulah yang seharusnya berlutut kepadamu, bukan engkau. Engkau telah menyelamatkan jiwaku, engkau adalah bintang penolongku. Masa aku harus menerima penghormatan ini?"
Dengan gugup Bu Kong lalu maju ke depan mengangkat bangun kakek itu. Akan tetapi, begitu dia membungkukkan tubuh untuk menarik Dewa Monyet, tiba-tiba Dewa Monyet terkekeh menyeramkan dan mendadak kakek ini menghantamkan kedua tangannya ke arah dada pemuda itu! Inilah serangan tiba-tiba yang amat berbahaya sekali, dan Bu Kong terkejut bukan kepalang. Karena dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek ini akan melakukan kecurangan itu, maka dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak.
"Blukkk...!” Dadanya serasa pecah dan pemuda ini terpental roboh bergulingan sambil mengeluh. Pukulan itu hebat bukan main, maka dia serasa dihantam palu godam. Dewa Monyet agaknya telah mengerahkan semua kekuatannya untuk memukul tadi, dan hal ini memang benar.
Tentu saja Bu Kong marah sekali. Kecurangan yang di luar batas ini membuat darah pemuda itu mendidih. Sudah cukup banyak dia mengalah terhadap kakek ini, namun orang tua itu rupanya tidak tahu diri. Untunglah, meskipun dia tidak bersiap-siap untuk menerima pukulan tadi, akan tetapi tenaga sakti di dalam tubuhnya telah bekerja secara otomatis. Dan inilah yang menyelamatkannya. Iweekang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi sekali, hampir menyamai gurunya sendiri. Maka meskipun hantaman Dewa Monyet dengan telak mengenai dadanya, akan tetapi tenaga lweekang di tubuh pemuda ini telah melindungi isi dadanya dari pukulan yang amat dahsyat itu.
Dewa Monyet mengira bahwa kali ini pemuda itu pasti akan terluka parah dengan jantung terguncang karena dia memang telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk merobohkan pemuda itu. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya kakek ini ketika dia melihat pemuda yang tadi roboh terguling-guling itu tiba-tiba melompat bangun dengan muka merah dan mata berapi-api!
"Ahh...!" kakek ini memandang terbelalak dan dia tertegun di tempatnya.
Bu Kong melangkah maju perlahan-lahan dan Dewa Monyet mundur-mundur ke belakang dengan muka ngeri. "Dewa Monyet, perbuatanmu ini benar-benar di luar batas kesabaran seseorang. Berkali-kali aku mengalah karena mengingat jasamu kepadaku, namun kau agaknya tidak tahu diri. Setelah kau selamatkan jiwaku dari maut, apakah engkau menghendaki aku kembali kepada maut? Orang tua berhati keji, watakmu benar-benar seperti iblis saja. Kau telah memukul satu kali, maka biarlah kuberikan kesempatan bagimu untuk memukulku lagi sebanyak dua kali. Apabila aku tidak kuat bertahan, maka biarlah maut menjemputku lagi seperti yang kau inginkan. Akan tetapi kalau aku dapat bertahan, maka hutang nyawa diantara kita lunas dan jika lain kali kita bertemu muka, jangan salahkan aku kalau kelak aku menuntut kekejamanmu ini!"
Ancaman ini membuat kakek itu tergetar dan sepasang matanya berputar liar. Namun hanya sejenak saja kakek itu terkejut karena beberapa detik kemudian kakek ini tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Bola matanya yang tadi meliar itu sekonyong-konyong tenang kembali dan tampaklah sekarang kecerdikannya sebagai orang waras.
"Ha ha ha, anak muda perkasa, kau memang benar-benar hebat sekali! Kalau dari tadi kau memperlihatkan kesaktianmu ini, bukankah lohu tidak akan melakukan kecurangan itu? Kaulah yang salah, kenapa bersikap pura-pura? Terus terang lohu penasaran sekali maka itulah sebabnya kuserang dirimu secara tiba-tiba. Jika kau mampus oleh pukulanku tadi, berarti tidak pantas engkau menjadi majikanku. Akan tetapi, kalau terjadi hal sebaliknya maka lohu tidak usah malu untuk menjadi hambamu! Nah, inilah alasan lohu mengapa lohu menyerangmu itu, anak muda!"
Dewa Monyet lalu terkekeh-kekeh dan kakek ini melompat maju. Bu Kong tertegun mendengar kata-kata itu dan pemuda ini bersiap-siap ketika melihat kakek itu mendekatinya. Watak yang luar biasa serta sukar ditebak dari orang tua ini mengundang kewaspadaannya. Dan dia tidak perlu merasa heran kalau tiba-tiba kakek inipun lalu memukulnya lagi seperti permintaannya itu. Tetapi kali ini dugaan Bu Kong ternyata meleset. Kakek itu tidak berbuat apa apa, juga tidak me nyerangnya. Begitu melompat maju Dewa Monyet yang berwatak ganjil ini sudah menjatuhkan diri berlutut untuk kedua kalinya di depan pemuda itu dan mulutnya bersumpah.
"Yap-siauwhiap (pendekar muda she Yap), hari ini dengan sungguh-sungguh dan tekad bulat aku menepati janjiku sendiri untuk mengabdi kepadamu. Dengan seluruh kemampuanku aku akan membantumu sebagaimana halnya seorang hamba membantu tuannya. Dan apabila sumpahku ini tidak ada buktinya, biarlah Kauw-ce-thian kelak menghukum diriku seberat-beratnya dan aku dijadikan anjing atau kudanya!"
Sumpah ini diucapkan dengan suara sungguh-sungguh dan mau tak mau Bu Kong terkejut. Pada jaman itu, sumpah untuk menjadi anjing atau kuda di jelmaan lain adalah sangat mengerikan sekali bagi Bangsa Tiongkok. Apalagi Dewa Monyet bersumpah atas nama Kauw ce-thian yang menjadi tokoh dewa pujaannya. Sumpah ini berat sekali, begitu berkhianat tentu akan kena petuahnya sendiri.
Maka kata-kata yang telah diucapkan oleh kakek itu tidak boleh tidak harus dipercayai. Namun, Pek Hong yang masih naik pitam teringat akan kecurangan kakek ini yang hampir saja membuat Bu Kong celaka, tidak mau percaya begitu saja. Gadis ini melompat ke depan dan dengan suara bengis membentak.
"Dewa Monyet, sumpahmu telah kami dengar dan seperti omonganmu sendiri, apapun yang diperintahkan majikanmu kau akan menjalaninya. Nah, coba sekarang buktikan dulu, tabas telinga kirimu itu dan serahkan kepada kami!"
Dewa Monyet terkejut, menoleh kepada gadis ini. Sejenak mereka saling pandang namun akhirnya kakek itu menundukkan kepalanya terlebih dahulu. Wanita itu adalah "hujin" (nyonya) dari pemuda ini, maka meskipun dia bersumpah di depan si suami, namun karena sang "hujin" itupun bukan orang luar dan bisa disebut majikannya pula, kakek ini tidak membantah.
"Baiklah, kalau hujin menghendaki bukti, lohu pasti memberikannya," kakek itu menjawab dengan suara tenang dan tidak tampak jerih. "Jangankan telinga, bahkan seandainya lohu diminta buat menyerahkan nyawa sekalipun pasti akan lohu berikan. Kenapa takut?"
Lalu kakek itu meraba jubahnya dan mengeluarkan sebuah pisau kecil. Pisau ini biasa digunakan apabila dia mencari obat-obat an dan mengupas atau merajangnya. Dan sekarang pisau itu hendak digunakannya untuk memotong telinga kiri sebagai bukti sumpahnya didepan dua orang muda-mudi itu. Tentu saja keadaan agak menegangkan.
Pek Hong bersiap-siap karena dia menjaga jangan-jangan kakek itu kembali akan menyerang secara curang dengan pisau itu, sedangkan Bu Kong sendiri yang semenjak tadi menyaksikan gerak-gerik Dewa Monyet juga menaruh kewaspadaannya.
“Siauw-ya (tuan muda), lihatlah bukti sumpah lohu!” Dewa monyet berseru dan secepat kilat kakek ini benar-benar menggerakkan pisau kecil itu memotong telinga kirinya...!
Diam-diam kakek ini terkejut sekali. Sungguh dia tidak menyangka bahwa wanita cantik yang tiba-tiba menjadi galak itu dapat menampar mukanya dalam sekali gebrak. Karena terlalu memandangg rendah dan melihat gadis itu selama ini tampak penurut dan dipandangnya sebagai waitta lemah, maka dia harus menerima pukulan itu. Tentu saja kakek ini kaget bukan kepalang. Lompatan yang sepesat burung walet dari gadis itu benar-benar menunjukkan kemahiran ginkangnya yang luar biasa, dan hal ini sungguh di luar dugaannya.
Dia tidak tahu bahwa ginkang Coan-goat-hui (Terbang Menerjang Bulan) yang dimiliki oleh gadis ini memang bukan ginkang sembarangan. Kepandaian ini dapat membuat gadis itu melesat ke depan dengan kecepatan kilat, seolah-olah terbang saja. Itulah sebabnya tidak terlalu mengherankan apabila Dewa Monyet yang sama sekali tidak mengenal kelihaian gadis ini harus menerima tamparan yang membuat pipinya panas dan matang kebiruan.
Pek Hong yang berhasil menampar muka kakek itu dengan pukulan keras, masih kurang puas. Omongan liar dan seenak perut sendiri yang diucapkan kakek itu masih membuat kemarahannya berkobar. Maka dia hendak menerjang lagi. Namun, sebelum dia melompat maju, tiba-tiba tangannya dipegang dari belakang dengan jepitan kuat. Bu Kong telah berada di sampingnya dan pemuda ini memandangnya dengan alis berkerut.
"Hong-moi, kenapa kau membalas kebaikan orang dengan pukulan?” pemuda itu menegur.
Pek Hong membelalakkan matanya yang berapi-api dan sambil membanting kaki kirinya ia menjawab marah, "Baik apanya, Yap koko? Dia telah menghinaku secara terang-terangan, mencaci maki diriku dengan mengatakannya sebagai orang gila. Dan hal ini kau sebut baik? Begitukah? Jadi kaupun hendak mengatakan bahwa aku ini memang gila?"
Hampir saja tangisnya meledak lagi dan Bu Kong menarik napas panjang. Dia tahu bahwa gadis cantik ini marah sekali mendengar kata-kata Dewa Monyet yang amat menyinggung perasaan. Akan tetapi, bukankah omongan manusia sinting macam itu tidak perlu dimasukkan hati?
"Sstt, Hong-moi, jangan membuat keributan di sini. Bagaimanapun juga kakek itu telah membantumu, membantu kita berdua. Masa kita hendak membalasnya dengan sikap t dak pantas?"
"Perduli apa? Dia tua bangka yang tidak tahu malu! Dia telah menghina dan mempermainkan diriku sesuka hati. Masa aku harus diam saja? Yap-koko, kakek jahanam ini sama sekali tidak melepas budi kepadaku, maka kalau sekarang akupun menghajar dirinya yang telah berkali-kali bersikap tidak pantas kepadaku, kukira hal ini sudah selayaknya. Apakah kau hendak membelanya?"
Dua pasang mata beradu pandang dan Bu Kong melihat betapa sepasang mata indah itu mengeluarkan api kemarahan yang berkobar-kobar. Pemuda ini terkejut, akan tetapi dia dapat menenangkan perasaannya yang bergetar. Dengan lembut dia menekan telapak tangan untuk menenangkan hatinya, lalu berkata dengan suara perlahan,
"Hong-moi, aku tahu akan semua kejadian yang kaualami. Memang sebenarnya akulah yang berhutang budi kepada kakek itu, bukan engkau. Akan tetapi, bukankah kedatanganmu ke sini adalah untuk minta pertolongannya? Nah, meskipun bukan engkau yang secara langsung menerima budinya, akan tetapi bagaimanapun juga dia telah membantu kita. Memandang muka ku, masa engkau masih hendak nekat menyerang kakek itu? Hong-moi, kau tahu bahwa Kauw-sian orang yang tidak waras pikirannya, apakah engkaupun hendak meladeni orang semacam itu? Orang sehat menyerang orang gila, hal ini sungguh akan membuat bahan tertawaan orang belaka!"
Dengan kata-katanya ini pemuda itu berarti telah mengatakan bahwa sebagai orang yang sehat pikiran tidak seharusnyalah Pek Hong mengumbar kemarahan terhadap seorang gila seperti Dewa Monyet yang jelas agak terganggu p ikirannya itu.
Dan Pek Hong yang mendengar uraian ini serta tekanan lembut pada telapak tangannya itu berhasil diredakan kemarahannya. Gadis ini merasa betapa getaran halus yang hangat memasuki lengannya dan seketika api kemarahannya padam. Pandangan mata yang lembut mesra dan penuh pengertian dari pemuda itu membuat gadis ini tidak kuat memandang lebih lama lagi dan tanpa terasa ia menundukkan kepalanya.
"Yap-koko, maafkan aku...." bisiknya lirih dan Pek Hong menekan guncangan hatinya yang tiba- tiba berdebar tidak karuan ketika beradu pandang dengan murid Malaikat Gurun Neraka yang penuh pengaruh itu.
"Heh heh heh, kalian dua orang ini ternyata manusia-manusia gila semua. Berani kalian mengatakan lohu orang gila, heh? Keparat! Ditolong orang malah membalas makian, setan...!" Dewa Monyet mengumpat marah karena biarpun Bu Kong berbicara dengan suara perlahan, namun telinga kakek yang amat tajam itu dapat mendengar semua pembicaraan tadi.
Bu Kong memutar tubuh dan menghadapi kakek ini. "Maaf, Kauw-sian, bukan maksudku untuk mengeruhkan suasana di tempat ini. Apalagi, betapapun juga engkau telah menolong diriku. Aku bukan orang yang tidak kenal budi, maka sudah selayaknyalah kalau aku mengucapkan terima kasih atas semua jerih payahmu ini. Akan tetapi, selain melepas budi, engkaupun telah melepas malapetaka kepadaku. Sepatutnya di sini akupun pantas untuk membuat perhitungan denganmu. Namun, karena engkau telah mengembalikan jiwaku dari maut, biarlah hutang piutang diantara kita dianggap lunas saja. Nah, selamat tinggal, aku tidak akan mengganggumu lagi....!"
Pemuda ini membalikkan tubuh dan menyambar tangan Pek Hong untuk diajak pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru selangkah dia berjalan, tiba-tiba Dewa Monyet terkekeh dan melompat maju menghadang dua orang ini sambil bertolak pinggang. "Heh-heh, anak muda sombong! Setelah kau memaki lohu masa hendak pergi sedemikian mudahnya? Eitt, sabar dulu, tangan lohu gatal-gatal. Terus terang lohu ingin menggebuk kalian dua orang gila ini sepuasnya. Heh-heh... kerrr!"
Kakek itu berjingkrak sambil mengebutkan lengan bajunya dan tiba-tiba meluncur belasan bulu monyet ke arah dua orang muda-mudi itu. Tentu saja Pek Hong naik darah lagi diserang secara tiba-tiba dengan senjata rahasia aneh berapa bulu-bulu monyet ini. Kiranya di balik lengan baju kakek itu tersembunyi bulu-bulu kera yang coklat kemerahan itu.
"Tua bangka tidak tahu diri, kau benar-benar hendak merasakan hajaran dari kami? Baiklah, rasakan ini....!" gadis itu membentak dan sekali tangannya meraup, belasan bulu monyet itu ditangkapnya lalu disambitkan kembali ke arah kakek itu dengan kecepatan kilat.
"Wut-wut-wutt!”
Belasan senjata rahasia berupa bulu-bulu halus itu mendadak mengeluarkan suara bercuitan dan berobah kaku seperti paku-paku baja, menyambar Dewa Monyet yang terkejut menyak sikan hal ini. "Eihh, hebat juga... uwahh!" kakek itu berteriak memuji dan dia menghembuskan jubahnya untuk menangkis.
"Crit-crit-critt!" Dewa Monyet berseru kaget karena tiba-tiba saja jubah yang dikembangkan untuk menangkis bulu-bulu monyetnya itu mendadak berlubang dan senjata-senjata rahasia ini masih terus menembus ke dalam hendak menusuk kulit dagingnya!
"Siluman...!" kakek itu menjerit dan terpaksa dia membanting tubuhnya bergulingan untuk menyelamatkan diri, baru setelah itu melompat bangun dengan muka berobah. Kalau tadi dia telah menyaksikan kelihaian gin-kang "nyonya" ini, adalah sekarang dia melihat demonstrasi tenaga lweekang yang hebat sekali!
"Uhh, sialan, hampir saja lohu jadi korban!” kakek itu bersungut-sungut dan matanya berputar liar. "Anak anak muda, kalian kiranya orang-orang gila yang lihai sekali. Sudah lama lohu tidak pernah bertanding, maka biarlah hari ini lohu ingin melemas kan otot-otot dan tulang yang sudah rapuh ini..." dan ka kek itu lalu terkekeh sambil memutari dua orang lawannya, sepasang matanya berkedip-kedip dan kadang-kadang menyipit, kedua lengannya yang panjang menjuntai itu bergerak-gerak naik turun dengan sikap cakar monyet.
Karena serangan balasan Pek Hong tadi cepat sekali datangnya, kakek ini tidak tahu dengan apakah yang laki-laki itu menerima kebutan senjata rahasianya. Dia hanya melihat betapa bulu-bulu monyet yang tadi menyambar pemuda itu semuanya runtuh ke bawah dan menggeletak di atas lantai di depan kaki pemuda itu.
Dewa Monyet tidak tahu betapa hanya dengan meniupkan mulutnya saja Bu Kong telah berhasil meruntuhkan semua bulu-bulu monyet yang menyambar tiba, dan inilah demonstrasi kekuatan khikang tingkat tinggi. Hal ini dilakukan Bu Kong karena dia memang sengaja hendak membuktikan apakah kekuatannya benar-benar sudah pulih kembali atau kah belum. Dan ternyata hasil dari tiupan mulutnya itu memuaskan sekali.
Tentu saja hal ini menggirangkan hatinya, mau tak mau dia merasa kagum terhadap kakek monyet yang kini mengambil sikap bermusuhan dengan mereka itu. Dewa Monyet ini benar-benar orang yang kukoai sekali, wataknya ganjil dan liar seperti monyet-monyet di hutan . Namun meskipun begitu dia tetap tidak ingin bermusuhan dengan kakek ini, apalagi orang telah menolong dia dari cengkeraman maut.
Oleh sebab itu, melihat betapa Pek Hong hendak melayani kakek itu yang terkekeh-kekeh memutari mereka mencari kesempatan bagus untuk menyerang secara tiba-tiba, pemuda ini cepat menarik tangan gadis itu dan mengangkat tangan ke ata s sebagai isyarat. "Kauw-sian, tahan dulu!" Bu Kong berseru. "Kalau kau hendak mengadu kepandaian dengan kami, harap kita atur sebaik mungkin agar pertandingan ini bersifat latihan! Dengar, aku hendak bicara..."
Kakek itu berhenti dan berdiri berhadapan dengan pemuda ini sambil terkekeh. "Apa lagi yang hendak kau bicarakan, anak muda? Bersifat latihan maupun sungguh-sungguh lohu tidak perduli. Masalah kau yang akan mampus ataukah lohu yang bakal sekarat juga tidak menjadi soal. Bicara apalagi? Heh heh heh..."
"Tidak, aku tidak menghendaki salah satu diantara kita terluka. Kalau engkau yang terluka bukankah aku akan dicap orang sebagai pemuda yang tidak kenal budi? Dan sebaliknya, jika aku yang terluka maka tidak ada gunanya kau orang tua tadi telah mati-matian menyembuhkan aku. Dewa Monyet, karena kami masih mempunyai banyak urusan, maka biarlah pertandingan ini kita batasi sebanyak lima jurus saja. Cukup asal masing-masing sama puas maka kita sudahi pertandingan ini. Nah, aku telah mengajukan syarat untuk bertanding sebanyak lima jurus saja, dan sebagai imbangannya, aku hendak mendengar macam pertandingan apakah yang akan kau ajukan."
Ucapan ini tegas dan kakek itu tertawa bergelak, "Ha ha ha, kau orang gila yang cerdik sekali, anak muda! Bilang saja terus terang kepada lohu bahwa kalian berdua punya urusan pribadi setelah sekian lama menahan rindu, nah, bukankah dugaan lohu ini tepat sekali? Mengapa harus berputar-putar dengan mengajukan syarat untuk bertanding sebanyak lima jurus saja? Hahh, anak muda sekarang tukang bohong semua, pandai berbelit-belit seperti ular! Keerrrr....!"
Dewa Monyet mengeluarkan jeritan kera yang keras sekali dan tiba-tiba di luar pondok terdengar suara gaduh. Ketika dua orang muda ini menengok, muka mereka berubah karena di muka rumah itu muncul ratusan ekor monyet yang bercecowetan ramai. Kiranya Dewa Monyet telah mengurung mereka dengan anak buahnya yang jumlahnya ratusan ekor itu. Pek Hong menjadi merah mukanya dan gadis ini membentak,
"Kauw-sian, apakah engkau hendak mengandalkan anak buah mu yang menjijikkan itu? Awas, sekali aku kehilangan kesabaran, jangan salahkan kalau kubunuh mampus semua monyet-monyetmu itu!"
"Heh heh, siapa mengandalkan anak buah? Aku hanya hendak menjaga kalian kabur dari sini kalau pertaruhan ini kumenangkan."
"Apa maksudmu, Dewa Monyet?" Bu Kong melangkah maju dan bertanya, sengaja mengalingi Pek Hong karena dia khawatir gadis itu akan mendahuluinya. Dia cukup mengenal watak dara ini, yang dapat menjadi galak kalau kemarahannya meledak.
"Anak muda," Dewa Monyet berkata sambil menyeringai, "karena engkau telah mengajukan syarat bertanding sebanyak lima jurus, maka akupun hendak mengajukan syarat pula, yakni siapa yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Nah, beranikah kau menerima syaratku ini?"
"Apa? Yang menang harus tunduk kepada yang kalah?" Bu Kong terkejut dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Gila!" Pek Hong juga berseru. "Mana ada peraturan begini? Hanya orang-orang yang tidak sehat otaknya sajalah yang sudi bertanding macam itu!"
"Ha ha heh heh, kalian takut? Kalau begitu sia-sia guru kalian mengajar silat. Lihat anak-anak buahku itu, meskipun mereka telah dibuat jatuh bangun oleh hujin ini, akan tetapi mereka tetap berani lagi untuk maju. Sekali lohu memberi aba-aba, pasti mereka semua akan maju menyerang! Masa kalian manusia kalah berani dengan hewan? Uwahh, kalau benar demikian maka julukan pendekar muda yang menempel di tubuh kalian harus dibuang saja!"
Kakek itu terkekeh-kekeh dan sikapnya menghina sekali. Kiranya, walau pun otaknya tidak beres, namun Dewa Monyet ini memiliki kecerdikan juga. Tadi ketika saling gebrak dengan murid Ta Bhok Hwesio itu, diam-diam kakek ini terkejut sekali. Naga-naganya, kepandaian "nyonya" itu tidak di sebelah bawah murid Mo-i Thai-houw. Kalau sang isteri saja sudah sedemikian hebat, suaminya itu tentu lebih hebat lagi. Dan hal ini dapat dibuktikannya ketika dia mengobati Bu Kong, di mana dia merasa getaran tenaga sakti pemuda itu di permukaan kulit.
Dari getaran hawa lweekang yang melawan racun Jit-coa-tok itu kakek ini dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Diam-diam dia merasa kaget. Denyut urat nadi pokok yang tadi disentuhnya menunjukkan tanda-tanda bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti Yang-kang (Panas) yang hebat. Dan ini setanding sekali kalau diadu dengan tenaga Im (Dingin) yang dimiliki Mo-i Thai-houw.
Itulah sebabnya mengapa kakek ini mengajukan syarat bahwa siapa yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Dia bukan orang bodoh, maka belum bertempur saja dia sebenarnya sudah tahu dia bukan lawan pemuda yang menyimpan tenaga sinkang sehebat itu. Dan kebetulan sekali, pemuda itu telah mendahului mengajukan syarat dan sekarang dia yang diminta untuk mengajukan syarat lain buat mengimbanginya.
Inilah kesempatan bagus sekali dan membayangkan bahwa dia pasti berhasil dengan akalnya itu, kakek ini terkekeh-kekeh gembira. Keberhasilannya sudah di ambang mata dan tidak lama lagi dia tentu akan dapat mempergunakan pemuda itu untuk menandingi Mo-i Thai-houw!
"Ha ha, orang muda, bagaimana jawabmu? Menyerah sebelum bertanding adalah watak seorang pengecut. Dan tidak berani menerima syarat yang diajukan lawan adalah watak penjilat! Terserah, engkau hendak menerima ataukah menolak lohu tinggal menanti jawabanmu, heh heh heh!" Kakek itu terpingkal-pingkal dan Pek Hong sudah merah mukanya mendengar semua omongan dan syarat yang gila-gilaan ini.
"Dewa Monyet, kau tua bangka pengecut! Tahu bukan lawan Yap-koko maka kau lalu membalik peraturan umum menjadi peraturan gila seenak perutmu sendiri. Cihh, watak apa ini? Bukankah ini lebih pengecut dari pengecut? Lebih penjilat dari penjilat?"
"Ehh, mana bisa lohu dibilang pengecut?" kakek itu membantah dan matanya mendelik. “Kalau pengecut tidak mungkin menantang, dan lohu di sini malah berdiri sebagai penantang! Suamimu itulah yang pengecut kalau tidak berani menerima tantangan lohu dan menyerah kalah sebelum bertanding!"
"Cihh, silat lidah yang tak bertulang!" Pek Hong membanting kakinya. "Sudah jelas kau menggunakan akal licik masih tidak mau disebut pengecut. Bukankah ini menunjukkan watakmu busuk dan tidak tahu malu? Yap-koko, daripada kita melayani orang gila seperti ini lebih kita pergi saja...!"
Dengan sikap marah gadis itu lalu menarik tangan Bu Kong untuk diajak pergi. Namun Murid Malaikat Gurun Neraka ini malah tersenyum-senyum dan melepaskan pegangan Pek Hong dengan sikap halus.
"Hog-moi, aku sudah berjanji dengan dia dan sekali janji diucapkan tidak mungkin ditarik kembali. Bagi seorang pendekar berlaku motto ini: It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (sekali keluarkan ucapan empat ekor kuda sekalipun tak akan mampu menarik kembali). Masa engkau tidak mengetahuinya?"
"Akan tetapi kakek itu curang!" Pek Hong penasaran dan membantah dengan suara keras. "Dan menghadapi manusia curang seperti ini tidak perlu kita berpegang teguh kepada kebenaran. Yap-koko, kau..."
"Sstt, Hong-moi, sabarlah," Bu Kong memotong dan memegang lengan gadis yang marah-marah itu. "Kalau dia mempunyai akal masa kita juga tidak punya?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara lirih sekali sehingga Dewa Monyet sendiri tidak mendengar jelas. Pek Hong terbelalak, terkejut dan tercengang keheranan, apalagi ketika tiba-tiba pemuda itu mengedipkan matanya. "Aku ada akal bagus, harap kau jalankan perintah ini untuk mengimbangi kecerdikannya," demikian Bu Kong melanjutkan kata-katanya dan kali ini pemuda itu mempergunakan ilmunya Coan-im-jip-bit sehingga yang mendengar bicaranya hanya gadis itu saja.
Pek Hong yang masih terkejut keheranan ini tidak mampu mengeluarkan bantahan lagi. Dan Bu Kong sendiri memang tidak memberi banyak kesempatan kepada gadis itu untuk banyak bertanya. Pemuda ini dengan gerakan tidak kentara lalu pura-pura menggenggam tangan Pek Hong dan menyuruhnya minggir.
“Hong-moi, Kauw-sian telah mengajukan syaratnya dan aku tidak mungkin menolaknya. Dia telah menerima syaratku dan sebagai imbalannya akupun tentu saja harus menerima apa yang dikatakannya. Nah, sekarang minggirlah, lihat saja apa yang terjadi di antara kita."
Dengan gerakan halus pemuda itu lalu mendorong Pek Hong ke tepi, dan Dewa Monyet tidak mengetahui betapa dengan gerakan jari tangan yang tersembunyi Bu Kong telah menyisipkan sehelai bulu monyet yang tadi dijepit di jari-jari tangannya kepada murid Ta Bhok Hwesio ini. Lalu dengan gerakan bibir yang tidak kentara pemuda itu mengirimkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada Pek Hong dan berbisik perlahan,
"Jangan khawatir, aku pasti kalah bertanding asal kau membantuku. Bulu monyet itu nanti pergunakan sebagai senjata rahasia, sambitkan ke jalan darah it-ceng-hiat di belakang lututku. Akan tetapi, lihat dulu keadaan, dan aku akan memasang diri sedemikian rupa agar kau dapat dengan leluasa menyambitkan bulu monyet itu di belakang lutut. Nah, Hong-moi, laksanakan perintahku ini sebaik mungkin dan hati-hati..."
Demikianlah pesan Bu Kong melalui ilmunya mengirimkan suara, dan seketika wajah Pek Hong berseri-seri. Betapa cerdiknya bekas jenderal muda ini! Sungguh dia kagum sekali. Maka tanpa banyak cakap lagi gadis inipun lalu menepi dan memandang dua orang yang akan bertanding dengan syarat di luar kebiasaan itu, yakni yang menang harus tunduk kepada yang kalah! Mana dunia ini ada pertandingan gila seperti itu? Dan hanya orang-orang gila seperti kakek bermuka monyet itulah yang sanggup mengandalkan hal-ha l semacam ini.
"Ha ha ha, engkau berani menerima syaratku, anak muda?" Dewa Monyet tertawa girang. "Bagus sekali, tidak percuma kau menjadi seorang laki-laki. Tadi lohu sudah khawatir kalau kau menolak karena hanya orang banci sajalah yang tidak berani menerima tantangan orang lain!"
Pemuda ini tersenyum. "Kauw-sian, aku bukan seorang banci, maka tentu saja kuterima semua permintaanmu itu. Sekarang kita hendak adu kepalan ataukah memakai senjata?"
"Uwahh, semuanya sama saja bagi lohu!" kakek itu berseru. "Main kepalan boleh main senjatapun lohu tidak menolak, heh heh heh..."
"Hemm, kalau begitu biarlah kita adu kepalan saja," sahut Bu Kong tenang. "Dengan demikian kulit kita tidak akan terluka. Bagaimana?"
"Boleh," kakek itu menjawab. "Dan kebetulan sekali lohu memang sudah lama tidak menerima gebukan! Nah, anak muda, mari kita mulai...”
Kakek itu terkekeh kemudian mundur tiga langkah lalu maju lagi setengah tindak. Dia memasang kuda-kuda aneh yang lucu, yakni kaki kiri disentuhkan lutut kanan, pantat agak menungging dan matanya menjuling ke tengah, lalu tangan kiri menggaruk-garuk rambut sedangkan tangan kanan terjulur ke depan seperti pengemis minta sedekah!
Pek Hong yang melihat pasangan kuda-kuda ini tidak dapat menahan geli hatinya lagi dan gadis inipun terkekeh. "Hi hikk, kakek sinting memasang kuda-kuda Monyet Kelaparan Minta Tahi! Sungguh indah...!" serunya mengejek.
Dewa Monyet melotot ke arah gadis ini. “Siapa minta tahi ? Huhh, anak-anak buahku tidak ada yang serakus itu. Makanan mereka selalu buah-buah segar yang mengandung empat sehat lima sempurna. Masa hujin lancang bicara seperti itu? Awas, kalau lohu menangkan pertandingan ini maka lohu hendak menjadikan dirimu pacar Siau-ji!”
Pek Hong mencibir. "Cihh, kalau kau yang menang justeru kau harus tunduk kepada yang kalah. Masa kau hendak menjilat ludah sendiri?"
Kakek itu tertegun, sepasang matanya terbelalak. "Siluman....!" makinya gemas. "Perempuan memang cerewet dan kau ini agaknya lebih cerewet dari nenek-nenek bawel!" kakek itu bersungut-sungut.
“Sudahlah, Kauw-sian. Buat apa kau melayani dia? Kau hendak bertanding silat ataukah bertanding lidah?"
Teguran Bu Kong ini membuat kakek itu memekik marah dan tiba-tiba saja dia melompat kedepan. "Kerr...! Jaga ini, anak muda, haiittt...!" Kaki kiri yang tadi disentuhkan lutut kanan itu mendadak dilempar merupakan tendangan keatas, sementara tangan kiri yang tadi garuk-garuk kepala juga mencengkeram dada dan tangan kanannya yang tadi seperti minta sedekah itu tahu-tahu menyodok lambung. Tiga buah serangan ini dilancarkan saling susul dan angin pukulan kuat menyambar tiba.
"Bagus, lihai sekali!" Bu Kong memuji dan cepat pemuda ini mengelak. Tendangan lawan yang mengarah dagunya dikelit ke samping sedangkan cengkeraman serta sodokan ke ulu hati itu ditangkis sambil mengerahkan tenaga empat bagian.
"Plak-plakk!"
Dua pasang tangan beradu dan pemuda ini terkejut ketika lengannya terpental. Nyata, dengan pengerahan tenaga empat bagian saja dia masih kurang kuat untuk menghadapi kakek ini. Dan hebatnya, begitu lengannya terdorong ke samping, tiba-tiba sambil terkekeh menyeramkan kakek itu merobah cengkeraman kedua tangannya menjadi tusukan dua jari mencolok mata dengan kecepatan kilat!
"Aihh...!" Bu Kong berseru kaget dan karena jarak sudah terlalu dekat, cepat pemuda ini mengelak dengan jalan membanting diri di atas lantai. Dua kali dia menggelinding menjauhi lawan dan selamatlah dia dari colokan berbahaya tadi.
"Satu jurus...!" Dewa Monyet berseru dan diam-diam kakek ini agak merasa kecewa. Kalau dalam satu gebrakan saja pemuda itu sudah dibuat jungkir balik seperti ini, maka dugaannya bahwa pemuda itu berkepandaian tinggi rupanya meleset. Dan kalau benar-benar pemuda ini masih di bawah tingkatnya, tentu saja tidak dapat diharapkan buat menghadapi Mo-i Thai-houw. Kalau begitu, lebih baik dia membunuh mampus saja anak muda yang tidak ada gunanya ini! Tiba-tiba kakek itu menjadi beringas dan sambil melengking nyaring dia menerjang maju.
"Awas anak muda, jurus kedua!" kakek itu berteriak. Kali ini karena ingin mengetahui sampai di mana kepandaian lawan, maka Dewa Monyet melancarkan serangan secara sungguh-sungguh. Dia tidak mau memberi hati, dan jurus kedua inipun dilakukan dengan sekuat tenaga. Kalau pemuda itu tidak kuat bertahan, biarlah mampus saja dalam dua jurus. Dan mengenai yang wanita, kalau dia terdesak, mudah baginya untuk mengerahkan pasukan monyetnya untuk maju mengeroyok. Demikianlah keputusan kakek ini.
Maka terjangan dalam jurus kedua ini memang hebat bukan main. Kakek itu melancarkan tipu yang disebut Sin-kauw-coan-mo (Kera Sakti Menerjang iblis) tangan kanan terbuka dengan telapak lebar menghantam batok kepala, sedangkan tangan kiri menusuk dengan empat jari lurus seperti baja ke arah pusar lawan. Serangan ini cukup keji dan ganas. Sekali kena sasaran tentu batok kepala akan hancur dan usus berhamburan.
Bu Kong sendiri merasa terkejut melihat serangan yang amat kejam ini. Diam-diam dia merasa tidak suka akan kegan asan lawan. Maka untuk memberi hajaran setimpal dia sengaja tidak menghindar. Pemuda ini mengerahkan lweekangnya melindungi perut, menerima tusukan empat jari tangan yang berobah seperti batang baja itu. Sementara di lain pihak, hantaman ke batok kepalanya dia kelit sedikit dan diterima dengan pundaknya.
"Eihh...?!" Dewa Monyet sempat berseru kaget. Sama sekali kakek ini tidak menyangka bahwa dua buah serangannya yang amat dahsyat itu bakal diterima lawan dengan cara demikian. Tadinya dia menduga bahwa pemuda itu pasti akan melompat untuk menghindarkan diri atau menggerakkan lengannya menangkis. Dan kalau hal ini dilakukan lawan, dia sudah siap untuk menggerakkan kakinya secara tiba-tiba menghantam selangkangan pemuda itu.
Maka betapa herannya kakek ini ketika melihat Bu Kong sama sekali tidak mengelak dan berdiri tenang ditempatnya menerima dua macam serangannya dengan mata tak berkedip. Hal ini membuat kakek itu penasaran dan ingin tahu. Jika lawan berani menerima hantamannya, agaknya pemuda itu memang bukan orang sembarangan. Dan hal ini membuat kakek itu menjadi girang. Inilah yang dikehendakinya, yakni melihat sampai dimanakah kehebatan pemuda itu. Apakah patut kalau kelak dia mengajukan pemuda ini untuk menghadapi Mo-i Thai-houw yang dia tahu memiliki kesaktian luar biasa itu.
"Plak-dess!”
Dua macam serangan ini tiba hampir berbareng. Telapak tangan kanan Dewa Monyet menghantam pundak kiri pemuda itu, sedangkan tusukan empat jari kirinya yang sekeras baja itu bertemu dengan perut lawan. Dan kakek ini menjerit kaget. Pundak lawan yang dihantam tangannya mendadak terasa selunak kapas dan tenaga pukulannya yang dilakukan sekuatnya itu amblas seperti masuk ke dalam samudera. Dan belum lagi rasa kagetnya hilang, tiba-tiba dari pundak pemuda itu muncul suatu tenaga tolak yang luar biasa hebatnya. Kiranya Bu Kong telah mengeluarkan ilmunya yang bersifat "menghisap" dan "melontar".
Dengan kepandaiannya ini, pemuda itu menerima pukulan Dewa Monyet yang bersifat keras dan "menghisapnya" ke dalam, lalu sementara kakek itu terkejut, tenaga pukulan lawan yang dihisap kemudian dipantulkan dan dilontarkan kembali ke arah pemiliknya. Ilmu kepandaian ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang telah mencapai tingkat teratas dalam pengendalian tenaga lweekang. Dan sebagai murid tunggal Malaikat Gurun Neraka yang menjadi tokoh besar di utara, tentu saja kepandaian macam ini sudah diwariskan pendekar sakti itu kepada muridnya.
Dewa Monyet yang sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu mahir mengendalikan tenaga dalamnya, sudah tidak keburu lagi untuk menghindar. Tusukan empat jarinya ke perut bertemu dengan kulit yang penuh hawa sakti, persis seperti menusuk karet saja. Begitu menusuk begitu mental kembali. Dan ketika lawan melontarkan pukulannya yang membalik ini, kakek itu berteriak dan terjengkang roboh.
"Bresss!" Dewa Monyet terguling-guling dan kakek ini mengeluh dengan mata terbelalak. Ketika dia melompat berdiri, tubuhnya agak terhuyung-huyung namun bola matanya yang meliar itu tampak berseri gembira. "Uwahh, hebat sekali kau, anak muda! Kalau kau bertangan kejam, tidak mustahil lohu sudah menggeletak tak bernyawa di tempat ini, ha ha ha...!”
Kakek itu tertawa bergelak dan ucapannya ini tadi memang masuk di akal. Kalau pemuda itu tidak mengendalikan diri, agaknya pukulan yang membalik tadi akan merusak isi dadanya. Namun Bu Kong tidak menghiraukan pujian ini, bahkan dengan alis berkerut dia berkata,
"Kauw-sian, kau ganas sekali. Kalau orang lain yang menerima serangan macam itu, bukankah dia akan tewas tanpa dosa? Pertandingan ini sifatnya hanyalah pibu, bukan untuk melampiaskan dendam. Mengapa kau begitu keji?"
"Heh heh heh, keji atau tidak itu adalah pendapat masing-masing orang. Ilmu silat rata-rata menyembunyikan kekejaman. Tewas atau tidak itulah resikonya, kenapa marah-marah kepada lohu? Anak muda, kau hebat sekali, lohu senang melihatnya. Tetapi kita baru bergebrak dua jurus. Yang pertama kau roboh dan yang kedua kalinya lohu yang terlempar. Berarti diantara kita masih seri. Hayo, kita lanjutkan lagi permainan ini!"
Tanpa menunggu lawan membuka mulut kakek itu sudah menerjang lagi sambil terkekeh-kekeh. Karena sekarang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memang benar-benar hebat ilmu kepandaiannya, maka kakek itupun lalu menyerang sekuat tenaga. Dia masih belum puas, dan dia hendak melihat dan menjajal kepandaian pemuda itu sepuas mungkin.
Maka terjangannya kali ini jauh lebih berbahaya dan lebih ganas dari serangan pertama maupun kedua. Sepasang kaki tangan kakek itu bergerak cepat, menghantam dan mendorong, menampar dan menyabet, semua ditujukan bertubi-tubi ke bagian tubuh mematikan. Angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat, jubah longgarnya berkibaran dan tubuh kakek ini beterbangan mengitari lawan dengan amat cepatnya.
Dan hebatnya, setiap kali serangan tentu diiringi dengan pekik monyetnya yang parau menyeramkan itu sehingga gerakan kakek ini mirip dengan seekor kera besar yang menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Sungguh sepak terjang yang ganas sekali, juga liar dan membingungkan lawan karena kakek itu telah lenyap bentuknya berobah menjadi bayangan cepat seperti iblis.
"Bagus...!" Bu Kong berseru memuji melihat kehebatan lawannya ini dan dari semua serangan-serangan itu maklumlah pemuda ini bahwa kakek itu memang bukan orang sembarangan. Mulailah dia bergerak mengikuti gerakan lawan, mengerahkan ginkangnya untuk menandingi kecepatan Dewa Monyet yang segesit kera terbang itu.
Maka terjadilah pertandingan seru di antara dua orang ini. Kecepatan dilawan kecepatan, pukulan dilawan dengan tangkisan dan tendangan dibalas dengan tendangan pula sehingga terdengarlah suara beradunya tulang-tulang kaki maupun lengan! Sungguh pertandingan yang tampak seru bukan main. Pek Hong yang menonton di pinggiran membuka mata lebar-lebar dan bersikap waspada karena dia tahu bahwa kakek gila itu acap kali mempunyai tindakan tiba-tiba yang licik. Dan inilah yang harus diperhatikannya.
Apa yang diduga oleh gadis ini ternyata terbukti. Baru dalam melancarkan serangan jurus ketiga saja kakek itu sudah menampakkan kecurangannya. Ketika dia melompat sambil menendang leher dari udara, kakek itu berteriak menyeramkan dan kedua lengannya yang panjang berbulu itu menyambar rambut Bu Kong untuk dijambak. Serangan ini persis monyet buas dan kasar, namun amat berbahaya sekali bagi lawan.
Namun Bu Kong yang melihat serangan ini tidak menghindar. Dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya menghantam tendangan terbang yang mengarah lehernya itu, sementara tangan kirinya disiapkan untuk menyambut lengan panjang Si Dewa Monyet yang hendak mencengkeram rambutnya.
Dan pada saat itulah terjadinya kecurangan ini. Tendangan kaki yang tadi melonjor lurus seperti kayu itu mendadak ditekuk oleh kakek ini, dan tendangan yang sudah dilancarkan setengah jalan itu dibatalkan. Sebaliknya, kaki kanan tiba-tiba mencuat dan sekonyong-konyong dari bawah sepatu kakek itu meluncur cahaya putih yang gemerlapan menyambar ulu hati, sementara kedua lengannya dikebutkan ke depan dan berhamburanlah bulu-bulu monyet yang melesat menghujani muka pemuda itu!
Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan sekali. Pek Hong sampai menjerit keras dan gadis itu marah bukan main, mukanya pucat dan hampir saja ia melesat ke depan untuk menolong. Namun murid Malaikat Gurun Neraka itu benar-benar pemuda yang hebat dan mengagumkan. Meskipun hatinya mencelos melihat belati pendek yang meluncur dari bawah sepatu Dewa Monyet ke arah ulu hatinya dalam serangan tak terduga, akan tetapi dia dapat bersikap tenang. Dan inilah modal pokok yang berhasil menyelamatkannya.
Maka ketika belati itu menyambar dalam jarak sedemikian dekatnya dan dia sendiri sudah tidak sempat mengelak, pemuda ini tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan tangan kanan yang sudah diangkat ke atas untuk menangkis tendangan tadi sekarang menyampok ke bawah secepat kilat.
"Plakk...!" dengan tepat belati itu dipukul dan senjata pendek ini tiba-tba membalik dan mendengung menyambar tenggorokan Dewa Monyet sendiri! Sementara itu, sambaran bulu-bulu monyet yang dikebutkan dari balik jubah kakek ini sudah meluncur tiba. Akan tetapi, bentakan yang tadi dikeluarkan Bu Kong bukan sekedar bentakan penambah semangat belaka. Tidak. Bentakan itu sebenarnya merupakan tiupan khikang yang dilakukan pemuda ini untuk menghalau hujan senjata rahasia berupa bulu-bulu monyet yang merah kecoklatan itu. Maka begitu suara ini dikeluarkan, seketika rambut-rambut halus itu tertahan di udara dan akhirnya runtuh di atas lantai sebelum mengenai muka pemuda sakti ini.
"Aiihhh...!" Dewa Monyet berteriak kaget. Kakek itu bukan hanya kaget karena bulu-bulu monyetnya runtuh ke bawah, akan tetapi juga kaget karena mendapat serangan balasan dari belatinya sendiri yang menyambar tenggorokan. Tentu saja kakek ini terkejut bukan main . Dua buah serangannya tadi, yakni tendangan terbang ke arah leher dan cengkeraman untuk menjambak rambut lawan sebenarnya hanyalah serangan tipuan belaka. Yang benar ialah bahwa dia hendak menyerang dengan senjata-senjata rahasianya itu yang disembunyikan dalam jubah serta telapak sepatunya.
Itulah sebabnya begitu senjata rahasia diluncurkan, seketika dia menghentikan serangan palsunya dan menunggu hasil dari serangan senjata gelapnya yang dilakukan tiba-tiba itu. Sama sekali tak disangkanya bahwa semua kecurangannya itu sia-sia belaka. Malah sekarang belati pendek yang tajam berkilauan itu menyambar dirinya sendiri dengan kecepatan kilat.
"Brett!" kakek ini sudah mengelak, namun karena gugup dan kurang cepat, leher bajunya di"makan" belati dan kulit lehernya tergores sehingga berdarah sementara belati itu sendiri terus meluncur dan akhirnya menancap dan bergoyang-goyang di dinding pondok yang terbuat dari kayu merah itu!
"Hebat..." Dewa Monyet mendesis dengan mata terbelalak dan sejenak kakek ini tertegun dengan muka pucat. Sedikit saja dia terlambat, tentu tenggorokannya sudah ditembus belati pendeknya itu.
Namun kakek ini memang orang yang keras hati dan nekat. Begitu dia sadar, kembali tubuhnya sudah menerjang maju dan berteriak kalap. Karena sekarang maklum bahwa dibantu dengan am-gi (senjata gelap) sudah tidak ada gunanya, maka sepenuhnya kakek itu mengandalkan ilmu silatnya. Semua kepandaian sekarang dikeluarkan dan rasa penasaran bercampur girang membuat kakek ini menyerang membabi buta.
Karena dilanda emosi yang meluap-luap, seketika kakek itu lupa bahwa kalau dia berhasil merobohkan pemuda ini maka justeru dialah yang bakal dianggap kalah dalam pertaruhan. Rasa penasaran bercampur kemarahan melihat betapa hampir saja dia tewas disambar pisau belati tadi membuat Dewa Monyet melancarkan serangan bertubi-tubi dengan muka merah dan mata melotot. Kakek ini tidak menghiraukan segala sesuatunya lagi dan sambil memekik-mekik dia menerjang buas seperti monyet liar.
Tentu saja Bu Kong kewalahan, juga agak bingung. Kalau menurutkan kemarahannya melihat keganasan kakek ini, pemuda itu sudah hampir melancarkan pukulan-pukulan maut. Akan tetapi dia masih ingat akan isi perjanjian dalam pertaruhan mereka ini, maka tentu saja dia harus dapat menahan dan sekaligus mengendalikan diri. Sekali salah turun tangan, tentu kakek itu kalah. Dan apabila hal ini terjadi, maka tentu saja yang menang nantinya harus tunduk kepada yang kalah. Mana dia mau? Kakek itu wataknya tidak genah, dan kalau dia harus tunduk kepada segala perintah Dewa Monyet, bukankah semuanya bakal runyam?
Tidak, tidak boleh begitu. Dia harus "kalah" akan tetapi menang daripada "menang" akan tetapi kalah. Namun untuk melakukan hal inipun dia harus berhati-hati. Dalam pertemuan tenaga dengan kakek itu dia merasakan betapa pukulan lawannya ini mantap dan berat. Setelah dia mengerahkan tenaga tujuh bagian barulah dia dapat mengimbangi kakek itu. Maka segera dicarinyalah kesempatan untuk "kalah" akan tetapi menang ini. Tepat pada jurus kelima dia harus "kalah", dan agaknya untuk itu dia harus sedikit berkorban. Tidak apa-apalah. Yang tujuh bagian dia kerahkan untuk menahan sedangkan sisa tenaga tiga bagian dia siapkan untuk cadangan.
Sebenarnya, kalau saja pemuda ini bersungguh-sungguh maka Dewa Monyet itu masih bukan tandingannya. Serangan-serangan ganas kakek itu baru dihadapinya dengan ilmu silat Khong-ji-ciang (llmu Silat Hawa Kosong) karena ilmu silat inilah yang paling tepat buat bertahan. Dan sekali-kali dia mencampurnya dengan jurus-jurus Cap-jiu-kun agar desakan lawan tidak terlalu berat.
Hanya ginkang kakek itulah yang boleh diperhatikan, juga serangan-serangan gelapnya. Agaknya karena berkumpul dengan monyet-monyet liar maka kakek ini memiliki tubuh yang gesit dan otot-otot yang lentur, gampang melompat dan mencakar dengan gerakan tiba-tiba dan ringan. Itulah sebabnya ketika kakek itu kembali menyerangnya dengan cepat dan kuat maka pemuda ini bersikap waspada. Dewa Monyet sekarang menyerangnya secara berputar. Tubuhnya terbang mengeliling dan kesepuluh kuku-kuku jarinya yang tajam seperti cakar itu mengancam perut, dada, leher serta mukanya.
Dan yang membuat bising adalah pekik monyetnya yang persis binatang liar itu. Bahkan kadang-kadang kakek ini mendupak, berjengkelit dan bergulingan di atas lantai atau melompat tiba-tiba sambil menggereng. Sungguh sepak terjangnya ini tidak lumrah orang waras dan pantas disebut orang gila. Akhirnya jurus keempat dengan cepat telah mereka lalui. Kini pertandingan sudah menginjak jurus kelima dan Bu Kong lalu mengerahkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada Pek Hong yang berdiri menonton.
"Hong-moi, siapkan bulu monyet tadi, aku akan membelakangimu dan begitu jurus kelima ini habis, totok belakang lututku agar aku roboh. Nah, bersiaplah..."
Berdebar jantung gadis ini. Dia harus menjalankan perintah itu, akan tetapi dengan perhitungan yang tepat. Totokan yang dilakukannya harus diatur, tidak boleh terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lemah. Harus pas, yakni totokan yang dilakukan hanya akan membuat kelumpuhan beberapa detik saja bagi Yap-goanswe. Terlalu keras sedikit bakal membuat pemuda itu sukar membebaskan jalan darahnya dan kalau Dewa Monyet menyusuli dengan serangan maut, pemuda itu tentu celaka.
Maka dengan muka tegang Pek Hong lalu bersiap-siap. Bulu monyet yang dijepit diantara jari tengah dan ibu jarinya bergetar, siap untuk dijentikkan ke belakang lutut pemuda itu. Dan kesempatan yang tidak lama ini tibalah. Dewa Monyet yang bergulingan di atas lantai itu tiba-tiba mencelat sambil mengeluarkan pekik buas. Muka kakek ini tampak beringas dan matanya melotot merah. Agaknya karena belum dapat mendesak lawan yang pantas menjadi muridnya itu membuat kakek ini penasaran sekali. Maka ketika melancarkan serangan sambil melompat itu tiba-tiba kakek ini membarengi sambil meludah!
"Cuhhh!" Ludah diletupkan dan meluncur seperti peluru kendali. Sebagian memang dilancarkan karena merupakan alat penyerang, namun sebagian lagi disebabkan sebagai pelampias rasa marah. Tentu saja Bu Kong yang sama sekali tidak menyangka hal ini menjadi terkejut. Pukulan jarak jauh lawan menghantam dengan kekuatan dahsyat, dan dia sudah mempersiapkan tenaganya sebanyak tujuh bagian untuk menyambut serangan kakek itu. Maka, letupan riak Dewa Monyet yang menyambar mata kirinya ini hampir saja membuatnya celaka.
"Aihh...!” pemuda itu berseru keras dan melompat setengah lingkaran, mengelak dari sasaran ludah kental sementara kedua tangannya cepat bergerak ke depan menangkis serangan lweekang lawan. Dengan gerakan tubuhnya ini, maka Dewa Monyet yang tadi posisinya berada di belakang Pek Hong sekarang berbalik berada di depan dan Bu Kong menempati kedudukan kakek tadi, menghalangi pandangan Dewa Monyet ke arah gadis itu apabila Pek Hong menjalankan perintahnya.
"Bress!" Kedua pukulan bertemu di udara dan pada saat yang sudah diperhitungkan inilah tiba-tiba Pek Hong menjentikkan bulu monyet di tangannya itu ke jalan darah Ih-ceng-hiat di belakang lutut Bu Kong sambil berteriak, "Lima jurus...!"
Dan terjadilah seperti apa yang direncanakan pemuda itu. Karena tadinya pemuda ini mengerahkan tenaga tujuh bagian untuk menahan, maka begitu belakang lututnya ditotok senjata rahasia Pek Hong, seketika aliran tenaga dalamnya macet. Tentu saja hal ini mempengaruhi pertahanannya terhadap dorongan Dewa Monyet. Kalau tadi serangan kakek itu terhenti di tengah jalan, sekarang tiba-tiba pukulannya meluncur ke depan tanpa penghalang karena daya tahan lawan mendadak lenyap.
Akibatnya, tubuh Bu Kong terlempar jauh dan pemuda ini terpental bergulingan menabrak dinding sambil mengaduh. Dewa Monyet terkejut dan berdiri terbelalak, memandang kejadian yang tidak disangka-sangkanya ini. Kakek itu tidak mengira bahwa dorongan lawan yang tadi amat kuatnya menahan serangannya itu tiba-tiba saja lenyap tanpa bekas. Bagaimana bisa ada kejadian macam ini? Mengapa tenaga pemuda itu sekonyong-konyong hilang tanpa sebab sehingga serangannya dengan telak membuat lawannya itu terpelanting?
Tentu saja Dewa Monyet tidak habis mengerti akan semua keanehan ini. Karena tadi bernafsu sekali untuk menyerang pemuda itu karena dia yakin bahwa dia pasti kalah, maka ketika tiba-tiba dia kehilangan perlawanan musuhnya itu membuat kakek ini bahkan terdorong ke depan dan pukulan lweekangnya semakin hebat seakan-akan menjadi dua kali lipat lebih kuat daripada semula.
Dan ini berarti bahwa dialah yang keluar sebagai pemenang! Seharusnya, dalam pertandingan pibu yang umum dilakukan orang, pihak pemenang mestinya akan bangga dengan hasil ini. Akan tetapi karena kakek itu telah membalik sifat pertaruhan dengan caranya sendiri, maka kemenangannya ini bahkan membuat dia marah!
Tidak mungkin bisa terjadi hal ini. Dia t idak percaya. Pemuda itu pasti menjalankan siasat curang! Tapi siasat apakah? Dapatkah dia buktikan? Inilah yang membuat kakek itu tertegun. Dari rabaannya ketika dia mengobati pemuda itu, Dewa Monyet merasakan getaran tenaga sakti yang hebat sekali dari pemuda ini.
Dari getaran itu saja kakek ini tahu bahwa kepandaian anak muda itu setidak-tidaknya berada dua tingkat di atas kepandaiannya sendiri. Masa sekarang akan roboh sedemikian rupa pada pertandingan akhir tadi? Akan tetapi begitulah kenyataannya. Dia telah menang dan seperti kata-katanya sendiri, yang menang harus tunduk terhadap yang kalah!
"Hik-hikk, Dewa Monyet, mengapa kau melototi kami? Dia sudah kalah dan buktinya jelas terpampang di depan mata. Lihat, dia roboh di sana dan kau masih berdiri disini. Bukankah ini bukti yang gamblang sekali?" Pek Hong terkekeh mentertawakan kakek itu dengan muka berseri.
Dewa Monyet mendelik. "Kau... setan muda banyak akal, kenapa kau kalah? Kenapa kau hendak mengelabuhi lohu?" kakek itu marah-marah sambil mengepal tinjunya.
Bu Kong bangkit berdiri. Sejenak dia menarik napas dalam-dalam untuk melegakan dadanya yang sesak dan sedikit nyeri, lalu menghadapi kakek ini. "Kauw-sian, siapa mengelabuhi siapa? Engkau adalah seorang locianpwe tingkat atas, kepandaianmu hebat dan aku betul-betul kagum. Masa seorang sakti seperti dirimu dapat dikelabuhi orang muda? Tidak, Kauw-sian, aku memang menyerah kalah. Engkau orang tua benar-benar hebat sekali, tidak percuma engkau disebut sebagai golongan tingkat atas. Biarlah dengan selesainya pibu ini maka perhitungan kita dianggap lunas saja. Tidak ada yang tunduk terhadap yang lain dan tidak ada pula yang memerintah terhadap yang lain. Nah, sekarang ijinkanlah kami pergi..."
Dewa Monyet tertegun mendengar ucapan ini, akan tetapi sebelum dia membuka mulut tiba-tiba Pek Hong berteriak. "Wahh, mana bisa begitu? Kalau benar dia dianggap tokoh tingkat atas, tidak mungkin dia akan menelan ludahnya sendiri. Pertandingan dilakukan dengan taruhan, dan yang mengajukan syarat-syarat taruhan adalah kakek itu sendiri. Masa sekarang dia hendak menjilat ludah dan tidak tunduk kepada yang kalah? Ciss, kalau engkau sampai melakukan hal ini sungguh tidak patut engkau disebut locianpwe. Dewa Monyet, bahkan biar oleh pasukanmu sendiri itu! Kalau seorang pemimpin bersikap sepengecut ini, adakah anak buah yang dapat menghargainya?"
Kata-kata ini tajam bukan main dan sekaligus menyinggung harga diri dan kewibawaan kakek itu. Meskipun wataknya agak gila-gilaan, namun sekali disinggung-singgung harga dirinya sebagai pemimpin, kegagahan kakek ini timbul. Jelek-jelek dia adalah pemimpin sebuah pasukan, biarpun pasukan monyet! Maka dengan mata berapi dan kepala dikedikkan kakek ini berkata keras.
"Hujin, jaga mulutmu itu! Lohu bukan orang rendah dan tidak nanti lohu akan menjilat ludah sendiri. Karena kenyataan membuktikan lohu berdiri sebagai pemenang, maka lohu akan menepati janji untuk tunduk kepada yang kalah. Nah, anak muda, sejak saat ini lohu akan tunduk dan mentaati semua perintahmu, apapun yang kau kehendaki! Nyawa lohu? Lohu persiapkan! Pasukan lohu? Lohu sediakan! Nah, lohu sudah berkata dan semuanya menanti keputusanmu..." dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kong!
Tentu saja pemuda ini terkejut. "Eh-eh, Kauw-sian, jangan begitu... jangan begitu... hayo bangkit, jangan berlutut. Kalau diambil kepantasannya malah akulah yang seharusnya berlutut kepadamu, bukan engkau. Engkau telah menyelamatkan jiwaku, engkau adalah bintang penolongku. Masa aku harus menerima penghormatan ini?"
Dengan gugup Bu Kong lalu maju ke depan mengangkat bangun kakek itu. Akan tetapi, begitu dia membungkukkan tubuh untuk menarik Dewa Monyet, tiba-tiba Dewa Monyet terkekeh menyeramkan dan mendadak kakek ini menghantamkan kedua tangannya ke arah dada pemuda itu! Inilah serangan tiba-tiba yang amat berbahaya sekali, dan Bu Kong terkejut bukan kepalang. Karena dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek ini akan melakukan kecurangan itu, maka dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak.
"Blukkk...!” Dadanya serasa pecah dan pemuda ini terpental roboh bergulingan sambil mengeluh. Pukulan itu hebat bukan main, maka dia serasa dihantam palu godam. Dewa Monyet agaknya telah mengerahkan semua kekuatannya untuk memukul tadi, dan hal ini memang benar.
Tentu saja Bu Kong marah sekali. Kecurangan yang di luar batas ini membuat darah pemuda itu mendidih. Sudah cukup banyak dia mengalah terhadap kakek ini, namun orang tua itu rupanya tidak tahu diri. Untunglah, meskipun dia tidak bersiap-siap untuk menerima pukulan tadi, akan tetapi tenaga sakti di dalam tubuhnya telah bekerja secara otomatis. Dan inilah yang menyelamatkannya. Iweekang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi sekali, hampir menyamai gurunya sendiri. Maka meskipun hantaman Dewa Monyet dengan telak mengenai dadanya, akan tetapi tenaga lweekang di tubuh pemuda ini telah melindungi isi dadanya dari pukulan yang amat dahsyat itu.
Dewa Monyet mengira bahwa kali ini pemuda itu pasti akan terluka parah dengan jantung terguncang karena dia memang telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk merobohkan pemuda itu. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya kakek ini ketika dia melihat pemuda yang tadi roboh terguling-guling itu tiba-tiba melompat bangun dengan muka merah dan mata berapi-api!
"Ahh...!" kakek ini memandang terbelalak dan dia tertegun di tempatnya.
Bu Kong melangkah maju perlahan-lahan dan Dewa Monyet mundur-mundur ke belakang dengan muka ngeri. "Dewa Monyet, perbuatanmu ini benar-benar di luar batas kesabaran seseorang. Berkali-kali aku mengalah karena mengingat jasamu kepadaku, namun kau agaknya tidak tahu diri. Setelah kau selamatkan jiwaku dari maut, apakah engkau menghendaki aku kembali kepada maut? Orang tua berhati keji, watakmu benar-benar seperti iblis saja. Kau telah memukul satu kali, maka biarlah kuberikan kesempatan bagimu untuk memukulku lagi sebanyak dua kali. Apabila aku tidak kuat bertahan, maka biarlah maut menjemputku lagi seperti yang kau inginkan. Akan tetapi kalau aku dapat bertahan, maka hutang nyawa diantara kita lunas dan jika lain kali kita bertemu muka, jangan salahkan aku kalau kelak aku menuntut kekejamanmu ini!"
Ancaman ini membuat kakek itu tergetar dan sepasang matanya berputar liar. Namun hanya sejenak saja kakek itu terkejut karena beberapa detik kemudian kakek ini tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Bola matanya yang tadi meliar itu sekonyong-konyong tenang kembali dan tampaklah sekarang kecerdikannya sebagai orang waras.
"Ha ha ha, anak muda perkasa, kau memang benar-benar hebat sekali! Kalau dari tadi kau memperlihatkan kesaktianmu ini, bukankah lohu tidak akan melakukan kecurangan itu? Kaulah yang salah, kenapa bersikap pura-pura? Terus terang lohu penasaran sekali maka itulah sebabnya kuserang dirimu secara tiba-tiba. Jika kau mampus oleh pukulanku tadi, berarti tidak pantas engkau menjadi majikanku. Akan tetapi, kalau terjadi hal sebaliknya maka lohu tidak usah malu untuk menjadi hambamu! Nah, inilah alasan lohu mengapa lohu menyerangmu itu, anak muda!"
Dewa Monyet lalu terkekeh-kekeh dan kakek ini melompat maju. Bu Kong tertegun mendengar kata-kata itu dan pemuda ini bersiap-siap ketika melihat kakek itu mendekatinya. Watak yang luar biasa serta sukar ditebak dari orang tua ini mengundang kewaspadaannya. Dan dia tidak perlu merasa heran kalau tiba-tiba kakek inipun lalu memukulnya lagi seperti permintaannya itu. Tetapi kali ini dugaan Bu Kong ternyata meleset. Kakek itu tidak berbuat apa apa, juga tidak me nyerangnya. Begitu melompat maju Dewa Monyet yang berwatak ganjil ini sudah menjatuhkan diri berlutut untuk kedua kalinya di depan pemuda itu dan mulutnya bersumpah.
"Yap-siauwhiap (pendekar muda she Yap), hari ini dengan sungguh-sungguh dan tekad bulat aku menepati janjiku sendiri untuk mengabdi kepadamu. Dengan seluruh kemampuanku aku akan membantumu sebagaimana halnya seorang hamba membantu tuannya. Dan apabila sumpahku ini tidak ada buktinya, biarlah Kauw-ce-thian kelak menghukum diriku seberat-beratnya dan aku dijadikan anjing atau kudanya!"
Sumpah ini diucapkan dengan suara sungguh-sungguh dan mau tak mau Bu Kong terkejut. Pada jaman itu, sumpah untuk menjadi anjing atau kuda di jelmaan lain adalah sangat mengerikan sekali bagi Bangsa Tiongkok. Apalagi Dewa Monyet bersumpah atas nama Kauw ce-thian yang menjadi tokoh dewa pujaannya. Sumpah ini berat sekali, begitu berkhianat tentu akan kena petuahnya sendiri.
Maka kata-kata yang telah diucapkan oleh kakek itu tidak boleh tidak harus dipercayai. Namun, Pek Hong yang masih naik pitam teringat akan kecurangan kakek ini yang hampir saja membuat Bu Kong celaka, tidak mau percaya begitu saja. Gadis ini melompat ke depan dan dengan suara bengis membentak.
"Dewa Monyet, sumpahmu telah kami dengar dan seperti omonganmu sendiri, apapun yang diperintahkan majikanmu kau akan menjalaninya. Nah, coba sekarang buktikan dulu, tabas telinga kirimu itu dan serahkan kepada kami!"
Dewa Monyet terkejut, menoleh kepada gadis ini. Sejenak mereka saling pandang namun akhirnya kakek itu menundukkan kepalanya terlebih dahulu. Wanita itu adalah "hujin" (nyonya) dari pemuda ini, maka meskipun dia bersumpah di depan si suami, namun karena sang "hujin" itupun bukan orang luar dan bisa disebut majikannya pula, kakek ini tidak membantah.
"Baiklah, kalau hujin menghendaki bukti, lohu pasti memberikannya," kakek itu menjawab dengan suara tenang dan tidak tampak jerih. "Jangankan telinga, bahkan seandainya lohu diminta buat menyerahkan nyawa sekalipun pasti akan lohu berikan. Kenapa takut?"
Lalu kakek itu meraba jubahnya dan mengeluarkan sebuah pisau kecil. Pisau ini biasa digunakan apabila dia mencari obat-obat an dan mengupas atau merajangnya. Dan sekarang pisau itu hendak digunakannya untuk memotong telinga kiri sebagai bukti sumpahnya didepan dua orang muda-mudi itu. Tentu saja keadaan agak menegangkan.
Pek Hong bersiap-siap karena dia menjaga jangan-jangan kakek itu kembali akan menyerang secara curang dengan pisau itu, sedangkan Bu Kong sendiri yang semenjak tadi menyaksikan gerak-gerik Dewa Monyet juga menaruh kewaspadaannya.
“Siauw-ya (tuan muda), lihatlah bukti sumpah lohu!” Dewa monyet berseru dan secepat kilat kakek ini benar-benar menggerakkan pisau kecil itu memotong telinga kirinya...!