PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 09
KARYA BATARA
JILID 09
KARYA BATARA
KEJADIAN ini berlangsung dengan tidak tergesa-gesa dan seandainya ada orang yang hendak menghalangi, tentu masih bisa. Akan tetapi, nyatanya tidak ada seorangpun yang melakukan hal itu. Entah mengapa, semenjak munculnya Bu-beng Siansu di situ, hawa panas membakar dari semua orang yang bertempur mendadak lenyap dan suasana di tempat itu menjadi adem.
Kehadiran manusia dewa ini menimbulkan suatu kesejukan aneh di dalam hati setiap orang, mengusir semua api dendam dan ketika Bu-beng Sian-su tadi meminta dengan suara yang begitu halus lembut agar Yap-goanswe diserahkan kepadanya, tanpa sesadar mereka sendiri orang-orang itupun manggut-manggutkan kepalanya!
Tentu saja peristiwa ini sungguh luar biasa ganjilnya. Yap-goanswe yang mereka tawan itu adalah seorang musuh, mereka dapatkan dengan susah payah. Sekarang, diminta dengan begitu saja oleh manusia dewa itu, orang-orang inipun tidak ada yang menolak dan merelakan permintaan Bu-beng Kuncu itu dengan ikhlas! Mana ada kejadian yang begitu ajaib?
Ta Bhok Hwesio dan teman-temannya melenggong. Apa yang mereka saksikan ini hampir-hampir tidak dapat mereka percayai. Akan tetapi, memang demikianlah kenyataannya. Yap-goanswe dengan cara yang demikian mudah, berkat pertolongan manusia dewa itu, kini telah dibawa oleh wakilnya sendiri. Fan Li telah menyelamatkan pemuda itu dan kini bayangan mereka bersama Hek-ma telah lama lenyap.
Sementara hwesio ini terbelalak dan berdiri menjublak di tempatnya, tiba-tiba manusia dewa itu menoleh kearahnya dan berkata perlahan, "Lo-suhu, tujuan hati kalian semua telah selesai, mengapa masih berdiri di sini? Pergilah kalian ke tempat masing-masing dan agaknya Phoa-enghiong akan dapat memberikan petunjuk berharga bagimu."
Ta Bhok Hwesio terkejut dan segera dia menjadi sadar. Yap-goanswe telah berhasil dibawa pergi, kenapa mereka melenggong saja di situ? Bukankah ini suatu kesempatan bagus untuk segera pergi sementara pengaruh Bu-beng Siansu masih mencekam orang-orang dari Kerajaan Wu ini?"
Begitu sadar, hwesio ini cepat bergerak. Bersama teman-temannya, dia lalu menjura dengan penuh hormat dan kagum kepada manusia dewa itu dan berkata, "Sungguh pinceng mendapat penghormatan besar sekali malam ini dengan kehadiran Siansu. Mewakili teman-teman, pinceng tak lupa menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan Siansu dan semoga kami semua tetap selalu di jalan terang, Omitohud...!"
Demikianlah, satu-persatu orang-orang itupun lalu melangkah cepat meninggalkan kota raja melalui pintu gerbang yang sudah ambruk dan sebentar saja bayangan mereka lenyap ditelan kegelapan malam. Hati masing-masing orang diliputi bermacam perasaan dengan adanya peristiwa luar biasa itu, ada perasaan gentar, kagum, hormat dan lain-lainnya lagi yang menjadi satu bercampur aduk di dalam hati mereka.
Para panglima muda dan perwira dari Kerajaan Wu beserta seluruh pasukan hanya memandang kepergian Ta Bhok Hwesio dan teman-temannya dengan pandangan ganjil. Mereka ini sedang dikuasai oleh pengaruh yang keluar dari tubuh Bu-beng Sian-su, pengaruh yang menyatakan bahwa tidak ada gunanya bagi diri pribadi untuk melanjutkan saling bunuh-membunuh ini. Entah mengapa, tiba-tiba saja orang-orang itu seakan-akan kehilangan kesadaran diri sendiri dan semangat mereka seluruhnya lekat kepada Bu-beng Kuncu.
Akan tetapi, setelah musuh-musuh mereka pergi, Bu-beng Siansu yang tadi masih berdiri di situ sekonyong-konyong juga lenyap! Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana menghilangnya manusia dewa itu dan bersama lenyapnya sang bijaksana ini, orang orang itupun menjadi gempar.
"Ehh, kenapa kita melepaskan musuh?" Panglima Ok yang berada di tengah-tengah pasukannya, tiba-tiba membentak gusar. Tadi dia seperti mengalami sebuah mimpi, maka begitu mimpi itu lenyap dan kesadarannya pulih, tentu saja panglima ini berteriak-teriak seperti orang kebakaran jenggot.
Dan semua perwirapun juga terkejut. "Heii, mereka kabur semua. Hayo kejar, tangkap dan bunuh mereka!"
Terjadilah saling ribut diantara orang -orang ini dan segera mereka berteriak-teriak mengejar. Semua orang lalu berlari keluar dan Panglima Ok bersama beberapa orang pembantunya yang berkepandaian tinggi, juga mengejar sambil mengumpat caci.
Namun, di malam yang segelap itu, bagaimana mereka dapat melakukan pengejaran dengan baik? Ok ciangkun yang uring-uringan ini lalu memerintahkan pasukannya agar membawa obor dan mereka terus mengejar sampai di dalam hutan yang gelap. Berkat ribuan obor yang dinyalakan, tiba-tiba saja hutan itu menjadi terang benderang dan kegaduhan segera terdengar di tempat ini. Bukannya musuh yang mereka temukan, melainkan binatang-binatang hutan yang menjerit-jerit ketakutan diserbu pasukan Wu!
Semua binatang hutan bangun dan tampak kaget. Kijang, harimau, ular, kera dan lain-lain berserabutan lari menyelamatkan diri dan para perajurit yang marah itu kini mengganti arah sasaran mereka. Tidak dapat membunuh musuhpun baiklah, asal sebagai gantinya bisa mendapatkan daging buruan binatang-binatang hutan itu.
Maka, semalam suntuk mereka menggerebek hutan dan akhirnya menjelang pagi, orang-orang itupun kembali dengan tangan hampa. Wajah mereka pucat kurang tidur, tubuh letih dan beberapa orang diantaranya ada yang terluka ketika memburu binatang hutan. Mereka telah mendapatkan empat ekor harimau, tujuh ekor ular sawah dan sebelas ekor kera yang mereka bunuh untuk melampiaskan kemarahan karena tidak berhasil menangkap musuh. Dan hasil buruan inilah yang mereka bawa pulang untuk dipanggang dagingnya atau dijemur dijadikan dendeng.
Agaknya sudah terlalu lama kita meninggalkan pertempuran yang terjadi antara dua orang jago besar itu, dimana Cheng-gan Sian-jin kemudian lari jatuh bangun dikejar pukulan Lui-kong Ciang hoat yang dilancarkan Malaikat Gurun Neraka. Pendekar sakti ini memang telah mengambil keputusan bulat bahwa dia hendak menurunkan tangan maut terhadap lawan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, Cheng-gan Sian-jin betul-betul seorang yang amat luar biasa sekali. Berkali-kali dia berhasil menyelamatkan diri dan serangan, petir pendekar itu tidak mengenai tubuhnya secara telak. Namun, karena harus selalu bergulingan menghindarkan diri, akhirnya pakaian kakek ini pecah di sana-sini dan robek tidak karuan. Bahkan, satu kali ketika dia kurang cepat mengelak, pukulan halilintar Malaikat Gurun Neraka menyambar bajunya dan seketika pakaiannya itu terbakar! Tentu saja Cheng-gan Sian-jin kelabakan dan karena dia tidak mau tubuhnya dimakan api, dengan nekat dia lalu membuangnya dan kini dia berlari setengah telanjang!
Ginkang yang dilakukan oleh dua orang sakti itu memang benar-benar sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sekali. Gerakan Cheng-gan Sian-jin yang melesat secepat iblis ini membuat tubuh kakek itu lenyap sekejap saja, Cui-beng Ginkang atau Ginkang Pengejar Arwah yang dimiliki Cheng-gan Sian-jin memang tiada bandingannya. Malaikat Gurun Neraka sendiri diam-diam merasa kagum di dalam hatinya, namun diam-diam diapun juga merasa prihatin sekali mengapa ilmu setinggi itu dimiliki oleh seorang kakek yang seperti iblis ini.
Untunglah, mengandalkan Jouw -sang-hui(Terbang Di Atas Rumput) yang dikerahkannya sepenuh tenaga, dia tidak sampai kehilangan jejak musuhnya. Kejar -kejaran yang terjadi diantara dua orang tokoh ini berlangsung sengit sampai akhirnya Cheng-gan Sian jin tiba di pintu gerbang utara. Kakek ini berkaok-kaok menyuruh pasukan mengeroyok pendekar itu dan dia segera melesat ke atas tembok benteng yang tinggi.
Namun kalau dia saja tidak mampu menghadapi pendekar sakti itu, bagaimana perajurit-perajurit biasa dapat menahan Malaikat Gurun Neraka? Sekali mengeluarkan jengekan dari hidungnya pendekar ini telah melewati perajurit-perajurit itu dan tubuhnya melayang cepat mengejar Cheng-gan Sian-jin di atas benteng. Gerakan dua orang ini bukan main pesatnya, seperti asap yang sebentar tampak dan kemudian sudah tidak tampak lagi. Bahkan para perajurit itu mengira bahwa yang baru saja berkelebat di depan mereka tadi bukanlah bayangan manusia, melainkan bayangan iblis yang gentayangan di malam hari!
Akhirnya, Cheng-gan Sian-jin yang sudah mulai putus asa dan tersengal-sengal napasnya itu tiba di luar sebuah hutan lebat. Kakek ini menjadi girang dan dia mempercepat larinya. Kalau dia berhasil memasuki hutan itu, pasti pendekar itu tidak akan mampu mencari jejaknya.
Malaikat Gurun Neraka juga melihat hal ini, dan pendekar itu menjadi mendongkol sekali. Kalau Cheng-gan Sian-jin dapat lebih dulu menyelinap di dalam hutan itu, tentu dia tidak mungkin dapat meneruskan pengejarannya. Menghadapi seorang kakek iblis yang banyak akal seperti Cheng-gan Sian-jin ini sungguh harus berhati-hati dan tidak boleh lengah.
Maka, pendekar ini tiba-tiba mengeluarkan seruan melengking tinggi menusuk telinga dan kedua kakinya melompat berbareng, terangkat bersama dan terbang dengan amat cepatnya. Inilah gerakan melayang yang disebut "Pentalkan Meteor Lontarkan Tubuh", salah satu sikap ilmu ginkang Jouw-sang hui-teng. Gerakan ini menggunakan semua tenaga dan kedua tangan ikut bekerja dengan jalan menghantam tanah untuk menimbulkan daya pental. Maka hebatnya bukan kepalang dan tahu-tahu Cheng-gan Sian-jin merasa betapa angin dingin berkesiur di sampingnya.
Bagaikan setan yang muncul di siang hari, tiba-tiba saja tubuh Malaikat Gurun Neraka telah menghadang di muka si datuk sesat. Kejut Cheng-gan Sian-jin bukan main hebatnya dan kakek ini meraung seperti singa lapar. Pada saat itu dia sedang mengapung di udara, maka tubuh lawan yang tahu-tahu menghadang ini tidak dapat dielakkan lagi dari benturan.
"Blangggg!"
Cheng-gan Sian-jin terpental bergulingan sedangkan tubuh pendekar itu hanya bergoyang perlahan. Dan sementara kakek iblis itu terlempar, Maiaikat Gurun Neraka mengeluarkan bentakan menggeledek dan kedua tangannya bergerak. Seleret cahaya berkilau menyambar tubuh Cheng gan Sian-jin yang bergulingan di atas tanah dan tanpa ampun lagi pukulan petir pendekar itu menghantam kaki si datuk sesat.
"Darr! Krekkk-auhhh....!" Cheng-gan Sian-jin menggerung dahsyat sehingga bumi bergetar seakan diguncang gempa, dan kaki kiri kakek itu hancur dan remuk tulang-tulangnya! Pukulan Lui-kong Ciang-hoat kali ini mendapatkan sasarannya dan kakek itu merasa betapa dia seolah-olah dijilat kilatan halilintar. Rasa nyeri dan sakit yang amat sangat membuat Cheng-gan Sian jin meluap kemarahannya dan kakek ini menjadi mata gelap.
Tiba-tiba dia tertawa bergelak dengan suara yang amat menyeramkan, lalu melompat bangun! Dengan satu kaki yang sudah remuk tulang-tulangnya ternyata masih mampu berdiri dengan baik, hal ini betul -betul membayangkan bahwa kakek itu memang manusia yang luar biasa sekali.
"Malaikat Gurun Neraka, aku akan mengadu jiwa denganmu!" kakek itu memekik buas dan mencelat kedepan, kedua tangannya dengan jari-jari renggang mencengkeram lawan dan angin pukulan tajam bersiutan menyambar wajah Malaikat Gurun Neraka.
Sedetik pendekar itu terkejut, akan tetapi lalu mendengus. Cengkeraman si kakek iblis jelas adalah merupakan serangan adu jiwa. Cheng-gan Sian-jin mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyerang, dan ini membuat bagian depan tubuh terbuka. Akan tetapi, kalau dia menyerang bagian yang lowong ini, tentu serangan lawan itupun akan mengenai dirinya.
Maka pendekar inipun lalu mengelit ke samping dan kaki kanannya bergerak cepat menendang perut kakek itu. Akan tetapi, sungguh di lu ar dugaan. Begitu terkamannya luput, mendadak saja tubuh Cheng -gan Sian-jin yang telah melompat di tengah udara ini menggeliat dan membalik lalu menghantam tiba-tiba dengan telapak tangan miring ke arah tengkuk pendekar sakti itu!
Inilah perobahan serangan yang sungguh luar biasa sekali. Dari cengkeraman yang luput diganti dengan hantaman sisi tangan miring seperti golok di saat tubuh masih mengapung di udara, benar-benar amatlah hebat. Dan hanya orang yang telah memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya saja yang dapat melakukan gerakan yang disebut Hoan-sin-tiauw-to (Balikkan Tubuh Sabetkan Golok) itu.
Malaikat Gurun Neraka yang sama sekali tidak mengira kejadian ini, tidak sempat mengelak dan untuk melindungi diri dari ancaman pukulan maut itu, pendekar ini mengerahkan sinkangnya menjaga diri.
"Plakk! Dukk!"
Dua kali terdengar suara saling hantam ini dan Cheng-gan Sian-jin mengeluh tertahan. Perutnya bertemu dengan kaki pendekar itu dan rasa sakit yang amat sangat membuatnya seakan kejang. Kakek ini merasa betapa seolah-olah seluruh isi perutnya hancur berantakan dan dia mendelik, terlempar dan terbanting diatas tanah.
Akan tetapi serangan Hoan-sin-tiauw-to itupun juga tidak sia-sia. Tengkuk pendekar sakti itu terpukul dan pria yang gagah perkasa ini merasa seakan-akan dihantam palu godam. Meskipun dia telah melindungi diri dengan sinkangnya, tetap saja pukulan lawan terasa amat berat dan tubuhnya terputar dua kali dengan mata berkunang. Namun biarpun pendekar ini juga terkena pukulan, keadaannya tidaklah seberat lawannya. Maka cepat dia menarik napas panjang satu kali dan rasa sakit di tengkuknya itupun hilang. Kini dia menghampiri tubuh si datuk sesat dengan mata mencorong. Cheng-gan Sian-jin terbelalak, dia tak dapat bangun karena tendangan maut itu benar -benar membuatnya lumpuh.
“Malaikat Gurun Neraka, apakah kau tidak malu siap menurunkan tangan maut kepada seorang lawan yang tidak berdaya?” Cheng-gan Sian-jin berteriak dengan mata mendelik penuh kemarahan.
Akan tetapi pendekar itu tidak menjawab, bahkan sinar matanya semakin berkilat mengerikan dan hati kakek iblis itu menjadi gentar. Langkah lambat-lambat dari pendekar ini membuat jantung Cheng-gan Sian-jin seolah berhenti berdenyut dan ketika pendekar itu telah tiba dalam jarak satu meter, Malaikat Gurun Neraka berhenti. “Seorang iblis macammu ini tidak layak hidup di bumi lagi, Cheng-gan Sian-jin, maka terimalah kematianmu!" pendekar itu mendesis dan secepat kilat dia melancarkan pukulan petir yang amat mengerikan itu.
"Darrr…!” Ledakan nyaring terdengar dan api menyambar dari kedua telapak tangan Malaikat Gurun Neraka seperti cahaya halilintar di tengah gemuruhnya hujan lebat.
Cheng-gan Sian-jin hendak menggulingkan tubuh mengelak, akan tetapi tiba-tiba dia menyeringai kesakitan. Isi perutnya yang serasa hancur itu membuat dia benar-benar tak berdaya, apalagi kaki kirinya tiba-tiba terasa nyeri bukan main sampai terasa menusuk jantung, maka dengan mata melotot penuh kebencian dia menerima serangan maut itu.
"Desss!" Debu mengepul dan tampak asap mendidih ketika pukulan petir ini menghantam tanah. Akan tetapi tubuh Cheng-gan Sian-jin yang tadi terlentang tak berdaya dengan mulut menyeringai, tiba-tiba saja lenyap tak ada bekasnya! Dan sebagai gantinya, tanah dimana kakek iblis itu tadi berbaring, terhajar pukulan maut ini dan muncratlah letikan api yang membuat tanah bekas robohnya Cheng-gan Sian-jin itu hangus seperti disambar halilintar!
"Ihh....!” pendekar ini mengeluarkan seruan kaget dan secepat kilat dia membalikkan tubuh. Tadi ketika pukulannya tiba, dia melihat berkelebatnya sebuah bayangan yang luar biasa cepatnya menyambar tempat itu dan tahu-tahu tubuh si kakek iblis lenyap. Sekarang, setelah dia memutar tubuh menengok, pendekar ini tertegun dengan mata terbelalak ketika melihat betapa seorang laki-laki telah berdiri di tempat itu dengan sikap yang amat tenang, sementara tubuh Cheng-gan Sian-jin menggeletak tak jauh dari orang ini!
“Ahh...!” Malaikat Gurun Neraka surut setindak dan memandang ke depan dengan mata tidak berkedip. Apa yang dilihatnya itu memang sungguh luar biasa dan tak terasa lagi pendekar sakti ini berdetak jantungnya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia melihat seorang manusia yang tubuhnya mengeluarkan cahaya gemilang sedemikian rupa dan sinar kesuciannya memancar terang, membuat kepekatan malam terusir dan tempat itu menjadi terang seperti disinari cahaya bulan yang sejuk keemasan.
Sementara pendekar itu berdiri terbelalak, laki-laki ini yang sebenarnya bukan lain adalah Bu-beng Siansu adanya, melangkah ke depan dengan tindakan perlahan dan tertawa lirih sambil berkata, "Harap taihiap maafkan kelancanganku. Sebenarnya, bukanlah atas kehendakku pribadi aku menyelamatkan Cheng-gan Sian-jin dari maut, akan tetapi semata-mata kehendak Tuhan Yang Maha Welas Asih. Taihiap, mengingat kebesaran hatimu dan watakmu sebagai seorang pendekar besar, bolehkah aku mohonkan ampun bagi manusia yarg sedang berjalan di dalam kegelapan ini?"
Malaikat Gurun Neraka tertegun, lalu menarik napas panjang menenangkan guncangan hatinya berjumpa dengan manusia suci ini dan dia menjawab, "Bukti apakah yang dapat anda berikan kepadaku bahwa ini bukanlah kehendak anda pribadi melainkan kehendak Tuhan Yang Maha Welas Asih? Kalau saja aku boleh mendengar, agaknya akupun tidak akan berani menolak."
Bu-beng Siansu tertawa lembut karena dia maklum apa sebetulnya makna dari ucapan pendekar itu. Dia tidak segera menjawab, melainkan menengadah ke atas dan seperti orang bernyanyi dia bersyair,
"Duhai langit dan bumi apa sajakah yang telah kau berikan kepada kami.
Kehidupan, kesenangan, kemuliaan.
Agaknya begitulah... namun, apakah yang kami berikan kepadamu.
Belum ada... belum ada...
Ohh langit dan bumi dapatkah kau maafkan kami?
Kami manusia temaha, kami manusia loba dan agaknya sampai di ujung kuburpun kami tak mampu membalas semua pemberianmu ini!"
Malaikat Gurun Neraka mendengarkan syair itu dengan seksama namun dia tidak mengerti hubungannya kalimat-kalimat itu dengan pertanyaannya. Dia menunggu sampai Bu-beng Siansu selesai bersyair dan kini manusia dewa itu kembali menghadapinya.
"Taihiap," kakek itu bertanya halus, "dapatkah engkau menangkap inti jawabanku melalui syair ini?"
Malaikat Gurun Neraka tercengang, tidak mengira bahwa syair yang dinyanyikan oleh Bu-beng Siansu itu ternyata mengandung jawaban untuk pertanyaannya tadi. Tentu saja dia terkejut karena memang dia tidak tahu, maka dengan terus terang pendekar ini menjawab, "Maaf, Siansu, aku belum dapat menangkap inti syair itu...."
Bu-beng Siansu menghela napas panjang. "Baiklah," katanya, "nantipun jawabannya akan muncul sendiri. Sekarang, kembali kepada permintaanku tadi, maukah taihiap membebaskan musuhmu itu? Membunuh sesama manusia adalah sungguh perbuatan yang amat ganas sekali, taihiap, dan engkaupun tentu memakluminya, bukan?"
Diingatkan kepada persoalan Cheng -gan Sian-jin membuat wajah pendekar ini tiba-tiba menjadi keras. Dia memandang kakek dewa itu dengan sinar mencorong dan dengan suara berat dia berkata, "Apa yang diucapkan Siansu memang benar. Akan tetapi, apakah Siansu hendak membutakan mata bahwa Cheng-gan Sian jin telah banyak melakukan keganasan-keganasan seperti yang Siansu katakan itu? Dia bukan lagi merupakan seorang manusia, akan tetapi iblis sendiri yang merajalela! Siansu mengingatkan aku dan kini seolah-olah membelanya, apakah tindakan Siansu ini tidak berat sebelah? Apakah Siansu lupa bahwa tugas seorang pendekar adalah melenyapkan segala anasir-anasir jahat di muka bumi? Dengan membela manusia semacam itu, berarti Siansu menanggung resiko yang amat berat sekali dan aku telah mengambil keputusan bulat untuk mengenyahkan iblis ini dari muka bumi. Terlalu banyak kesalahan-kesalahan yang dibuatnya dan akhir-akhir ini dia bahkan berani mengganggu muridku! Nah, apakah semua ini telah Siansu ketahui?"
Ucapan penuh semangat yang timbul dari kemarahan itu membuat wajah Malaikat Gurun Neraka berapi-api dan sinar matanya yang mencorong seperti mata naga ini memandang Bu-beng siansu tanpa berkedip. Mendengar semua kata-kata yang meluncur seperti berondongan peluru dari mulut pendekar itu, Bu-beng Siansu bersikap tenang, malah tiba-tiba tertawa. Halus dan enak ketawanya, empuk dan memiliki pengaruh menyejukkan sehingga suasana panas yang ditimbulkan oleh luapan emosi Malaikat Gurun Neraka mendadak lenyap seperti disapu angin semilir.
“Taihiap, kau betul-betul mengagumkan hatiku. Pantaslah kalau orang menyebutmu sebagai sang naga dari utara. Semangatmu tinggi watakmu teguh, tidak mudah ditekuk oleh segala macam bujukan. Hemm, kau memang pantas mendapat gelar pendekar sakti..."
Bu-beng Sian-su berhenti sejenak, memandang dengan bersinar-sinar dan mulut tersenyum kearah pendekar sakti itu dan Malaikat Gurun Neraka terkejut ketika tiba-tiba tampak sorot cahaya timbul dari dalam kabut yang melindungi wajah si manusia dewa ini. Tadi dia telah mengerahkan kekuatan batinnya untuk menjenguk ke balik halimun itu, akan tetapi dia kurang berhasil dan yang tampak olehnya adalah sebuah wajah yang samar-samar bentuknya. Sekarang, mendadak dia dapat melihat jelas wajah di balik kabut itu dan pendekar sakti ini mengeluarkan seruan tertahan.
Bu-beng Sian-su ternyata memiliki wajah yang luar biasa cerahnya, matanya bersinar gaib, bening mencorong akan tetapi mengandung sinar kelembutan yang amat dalam, tampan dan kulit mukanya tanpa keriput. Rambutnya hitam, alisnya juga hitam dan wajah pria ini segar seperti anak muda tujuh belasan tahun!
Ah, mana mungkin ada kejadian demikian anehnya? Nama manusia dewa itu telah muncul lama sekali, puluhan tahun yang lalu, bahkan ketika gurunya sendiri masih hidup! Kalau ditaksir, usia Bu-beng Sian-su tentunya sudah lebih dari seratus tahun. Akan tetapi... wajah itu... wajah yang demikian segar gemilang itu... bagaimana orang dapat percaya akan kenyataan ini? Malaikat Gurun Neraka terpukau di tempatnya dan dia tidak tahu apakah Bu-beng Sian-su ini seorang anak muda ataukah seorang kakek tua!
Namun penglihatan luar biasa itu hanya sekejap saja karena Bu-beng Sian-su memang sengaja "membuka diri" di depan pendekar sakti ini, di lain kejap kemudian Malaikat Gurun Neraka kembali melihat wajah yang samar-samar dibalik kabut itu. Manusia dewa ini telah "menutup diri” kembali dan tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjenguk wajahnya. Bagi orang-orang biasa, wajahnya akan sama sekali tidak nampak, dan hanya bagi orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi sajalah yang akan dapat menerobos halimun gaibnya, dan itupun hanya samar-samar belaka.
Sementara pendekar sakti itu berdiri bengong, tiba-tiba Bu-beng Siansu mengajukan pertanyaan ganjil, "Taihiap, siapakah sebenarnya yang memberimu ilmu kepandaian ini?”
Pertanyaan ini dilancarkan tiba-tiba dan Malaikat Gurun Neraka terkejut. "Apa... apa maksud Siansu?" pendekar itu tergagap akan tetapi cepat dia telah dapat menenangkan diri.
Bu-beng Siansu tersenyum. "Aku bertanya, siapakah yang memberikan semua kepandaian yang taihiap miliki sekarang ini?"
“Hemm, tentu saja guruku sendiri. Ada apakah Siansu menanyakan hal yang terasa aneh ini?”
Kakek itu tidak menjawab melainkan meneruskan dengan pertanyaan berikutnya, "Dan siapakah yang mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki oleh guru taihiap dulu?”
Kini Malaikat Gurun Neraka yang tidak menjawab, pendekar ini bahkan mengerutkan alisnya dan dia memandang penuh keheranan akan pertanyaan sang bijaksana itu.
Melihat betapa pendekar itu berdiam diri dan kini memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, Bu beng Sian-su tertawa. "Taihiap, aku akan memulai untuk memberikan bukti kepadamu bahwa pertolongan yang kulakukan atas diri Cheng-gan Sian-jin sungguh-sungguh bukan kehendakku pribadi melainkan kehendak Yang Maha Welas Asih. Nah, untuk mengerti lebih lanjut, harap taihiap jawab semua pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Jangan ragu-ragu atau curiga, aku tidak main-main dan tidak membohong."
Merah wajah pendekar ini. Memang dia menaruh prasangka terhadap manusia dewa itu, akan tetapi mendengar kesungguhan kalimat orang, dia menghilangkan semua dugaannya dan mengangguk. "Baiklah," katanya dengan suara rendah, "coba Sian-su ulangi sekali lagi pertanyaan Sian-su dari semula."
Kakek itu menarik napas panjang, lalu dengan pertanyaannya semula, "Taihiap, dari siapakah engkau mendapatkan ilmu-ilmu kepandaian yang kaumiliki sekarang ini?”
"Dari guruku sendiri."
"Dan tahukah taihiap dari siapa pula guru taihiap dulu mendapatkan ilmu-ilmunya?"
"Dari suhu beliau, yakni kakek guruku."
"Dan dari siapa kakek guru taihiap mendapatkan ilmu-ilmunya?"
“Tentu saja dari guru kakek guruku itu, sucouw yang hidup kurang lebih duaratus tahun lalu."
"Dan dari siapakah sucouw taihiap mendapatkan ilmu-ilmunya?"
Diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang kian lama kian meningkat ke atas ini Malaikat Gurun Neraka terbelalak. Kalau saja dia tidak merasakan bahwa Bu-beng Sian-su bersungguh-sungguh dalam pertanyaannya itu, tentu dia menganggap bahwa orang telah bermain-main dengan dirinya! Mana ada pertanyaan yang tiada habis-habisnya semacam ini? Sejenak pendekar itu tak mampu menjawab dan Bu-beng Sian-su terkekeh lembut.
"Taihiap," katanya sambil tertawa, "kau telah menjebak dirimu sendiri dengan jawaban-jawaban yang kurang tepat. Kalau aku terus bertanya siapakah guru-guru mbah-buyutmu itu, kutanggung kaupun akan selalu mengatakan 'guru dari sucouw A' atau ‘guru dari susiok-couw B’. Jelas tanya-jawab kita akan memakan waktu yang umurnya sama dengan umur dunia sendiri. Taihiap telah menjerat diri dengan jawaban yang kurang jitu dan taihiap tentu akan kebingungan sendiri. Hemm, baiklah, coba taihiap dengarkan bait pertama dari syairku ini...."
Bu-beng Sian-su berhenti sebentar dan tiba-tiba saja Malaikat Gurun Neraka merasa tertarik sekali dengan tanya-jawab yang pendek-pendek tadi. Entah mengapa, gerak-gerik dan sikap manusia dewa yang penuh diselimuti rahasia gaib ini membuatnya terangsang untuk mengetahui apakah sebenarnya yang menjadi maksud tujuan Bu beng Sian-su itu. Maka pendekar ini lalu memandang penuh perhatian dan diapun mendengarkan dengan seksama ketika sang bijaksana ini mulai mengulang syairnya.
"Taihiap, coba dengarkan baik-baik," Bu beng Sian-su berkata perlahan dan kakek ini lalu mulai membacakan bait pertama dari syairnya seperti orang bernyanyi. “Duhai langit dan bumi, apa sajakah yang telah kau berikan kepada kami? Kehidupan, kesenangan, kemuliaan...?"
Sampai di sini, kakek itu berhenti, tidak melanjutkan ke bait-bait berikutnya dan memandang ke arah Malaikat Gurun Neraka yang melihat semua kejadian ini dengan mata terbelalak. "Taihiap, dapatkah engkau mengerti atau setidak-tidaknya menyentuh apa yang kumaksudkan?" tanyanya halus.
Pendekar itu menggeleng kepala. "Kata-kata Siansu mengandung rahasia rumit, terus terang aku belum berhasil menebaknya," jawabnya singkat.
"Hemm, kalau begitu begini saja. Taihiap, bagaimanakah pendapatmu tentang bait pertama ini? Dapatkah kau merasakan kebenaran yang mencakup di dalamnya? Tidak benarkah kalau kukatakan betapa bumi dan langit telah memberikan kehidupan, kesenangan dan kemuliaan kepada manusia?"
Malaikat Gurun Neraka mengangguk. "Apa yang dikatakan Sian-su memang benar, akan tetapi agaknya kurang lengkap. Selain kesenangan dan kemuliaan, bukankah bumi dan langit juga memberikan kesusahan dan kehinaan?"
Tiba-tiba Bu-beng Sian-su tertawa. "Ah, taihiap memiliki batin yang cukup cerdas. Akan tetapi, bukankah kesenangan, kemuliaan, kesusahan dan kehinaan itu sudah termasuk dalam kata 'kehidupan'? Taihiap, sebagai seorang yang telah matang lahir batin, bukankah taihiap tahu bahwa kehidupan ini adalah seperti itu? Manusia hidup memang harus mengalami susah-senang mulia-hina. Bukankah ini semua adalah hidup? Mengapa taihiap hendak memisah-misahkannya?"
"Bukan aku yang memisah-misahkannya, Sian-su, melainkan Sian-su sendirilah! Bait pertama itulah buktinya. Sian-su melepas kata-kata 'kesenangan' dan kemuliaan' dari kata 'kehidupan'. Nah, siapakah yang sengaja memisah-misahkan di sini?"
Mendengar bantahan yang nadanya agak ngotot itu, Bu-beng Sian-su tak dapat menahan geli hatinya. Kakek ini tertawa ramah dan berkata, "Ah, ternyata taihiap sungguh mempunyai kecerdasan batin yang amat teliti. Memang aku sengaja melakukan hal itu agar lebih mudah diserap artinya oleh orang lain. Akan tetapi, harap taihiap melihatnya, bukankah aku meletakkan kata 'kehidupan' di depan sendiri? Nah, ini berarti bahwa kata-kata berikutnya merupakan rangkaian belaka dari kalimat di muka. Maksudku, dengan rangkaian kata-kata di belakang, kalimat itu akan menjadi lebih jelas bagi yang kurang memiliki kecerdasan batin. Dapatkah taihiap mengerti tentang apa kumaksudkan?"
Pendekar sakti itu menganggukkan kepalanya. “Sampa i di sini, aku paham, Sian-su."
"Hemm, baiklah. Jadi taihiap mengakui apabila kukatakan bahwa kehidupan ini pemberian bumi dan langit?"
"Agaknya begitulah."
“ Eh, mengapa taihiap masih mengatakan ‘agaknya’? Taihiap meragukan kenyataan ini? Bukankah hal ini sudah amat gamblang sekali dan tidak perlu kita berbimbang hati lagi, taihiap?" Bu-beng Siansu mencela dan nadanya setengah menegur.
Terpaksa pendekar itu tidak mampu menolak dan dengan anggukan mantap diapun mengiakan. “Apa yang diucapkan Siansu tepat adanya, aku menyetujuinya."
“Nah, sekarang, ingin aku bertanya. Taihiap, di dalam kehidupan ataukah kematian pada saat ini?"
"Aku berada di dalam kehidupan."
"Bagus, tanya jawab kita mulai lancar. Dan semua kepandaian taihiap yang taihiap miliki, tidakkah taihiap dahulu mengalami susah-senang-mulia-hina ketika memperolehnya? Apakah sama sekali tidak ada perjuangan di situ? Ataukah untuk mencapai tingkat seperti yang telah taihiap punyai, dari dulu sampai sekarang hanya kesenangan dan kemuliaan melulu yang taihiap peroleh?"
"Tidak, melainkan keempat-empatnya. Dalam menggembleng diri, dalam belajar menuntut ilmu dalam hampir segala hal, aku tidak terlepas dari susah-senang-mulia-hina."
"Dan dimana taihiap belajar?"
"Maksud Siansu?" Malaikat Gurun Neraka bertanya heran dan tidak segera menjawab pertanyaan ini.
"Maksudku, dimanakah ketika itu taihiap mempelajarinya?"
"Ah, tentu saja di tempat tinggal guruku.”
"Dan tempat tinggal gurumu itu dimana, taihiap? Di tengah udara? Di langit? Ataukah di bumi?”
Pendekar ini terbelalak dan tanya jawab ini tiba-tiba mulai dapat ditangkap kemana tujuannya. Hanya dia masih merabanya secara samar-samar dan pertanyaan itu dengan suara perlahan dijawabnya, "Di bumi...."
"Bagus! Taihiap mulai menyentuh apa yang kumaksudkan. Di bumi, betapa tepatnya jawaban ini. Taihiap kini tentu tahu bahwa kalau tidak ada bumi untuk tempat berpijak pada waktu taihiap melatih ilmu, agaknya taihiap tidak dapat memiliki kepandaian. Dan makan-minum taihiap untuk melangsungkan kehidupan ini, bukankah dari bumi juga? Pepohonan yang menghasilkan buah-buah segar untuk manusia, diberikan oleh bumi. Pohon-pohon raksasa yang menghasilkan kayu untuk rumah, juga diberikan oleh bumi ini, belum termasuk tanaman sayur-mayur, air untuk mandi dan minum, binatang yang dagingnya dapat dimakan, semuanya... semuanya itu diberikan oleh bumi. Taihiap, dapat anda lihat, betapa bumi telah memberikan semuanya kepada kita untuk merasakan kehidupan! Tidak benarkah ini?"
“Apa yang Sian-su katakan memang benar," pendekar itu menjawab dan sepasang matanya bersinar-sinar aneh.
"Nah, itu semua baru setengah keterangan, masih belum lengkap benar. Sekarang aku hendak melengkapinya, harap taihiap dengarkan baik-baik. Coba taihiap jawab pertanyaan ini. Di manakah bintang-bintang menempel? Di manakah matahari dan bulan berada?"
Tanpa ragu Malaikat Gurun Neraka menjawab, "Di langit!"
"Aha, jawaban yang amat cepat dan tepat,” Bu -beng Sian-su tertawa geli melihat jawaban yang meluncur tanpa dipikir lagi itu. "Dan sekarang dimanakah taihiap pernah menyaksikan berkelebatnya halilintar?"
Pertanyaan ini mengejutkan hati pendekar itu dan otomatis dia teringat kepada ilmu simpanannya yang disebut Lui-kong Ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar). Sejenak dia tertegun kemudian dengan suara perlahan dia menjawab, "Juga di langit, Sian-su, di cakrawala…”
"Cocok sekali!" manusia dewa itu berseru. "Dan sekarang taihiap dapat lihat, betapa langitpun telah membantu kehidupan manusia di bumi. Taihiap, seandainya... ini seandainya saja... jika langit tidak ada, mungkinkah taihiap mampu menciptakan Lui-kong Ciang-hoat yang amat dahsyat dan mengerikan itu? Jika langit seandainya tidak ada, mungkinkah taihiap dapat melihat layang-layang yang diciptakan manusia? Jika seandainya langit tidak ada, mungkinkah taihiap dapat menyaksikan burung hong dan burung-burung lain di cakrawala? Dan, jika seandainya langit tidak ada, mungkinkah terdapat hawa udara yang setiap saat kita hirup? Mungkinkah taihiap dapat menyaksikan kelap-kelipnya bintang? Menyaksikan sinar keemasan purnama? Dan, yang terakhir sekali, seandainya langit tidak ada dan tidak mendapat matahari di atas sana, mungkinkah kehidupan ini masih dapat berlangsung sampai sekarang?”
Kini sepasang mata pendekar sakti itu kian lama kian terbelalak dan dia memandang bu-beng Sian-su dengan wajah sedikit pucat. Uraian panjang lebar dari manusia dewa ini membuatnya semakin mengerti tentang apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh kakek yang luar biasa itu dan terasa lagi hatinya tergetar. Dia melihat sesuatu yang mengerikan di dalam kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya tiba-tiba takut akan sesuatu dan pendekar ini tidak berani mengeluarkan suara, dia menunggu kelanjutan ceramah ini.
Bu-beng Sian-su tersenyum, menarik napas panjang lalu meneruskan, "Nah, taihiap, sekarang kau dapat melihat dengan jelas sekali bahwa di samping bumi, langitpun juga telah memberikan kepada manusia apa-apa yang dibutuhkannya. Bumi demikian murah kepada kita, dan langit pun tiada beda. Bumi dan langit telah memberikan segala-galanya kepada manusia, akan tetapi apakah yang manusia berikan kepadanya?”
Manusia dewa itu menghentikan kata-katanya, lalu tiba-tiba bertanya kepada Malaikat Gurun Neraka, "Taihiap, kalau sekarang bumi dan langit minta sesuatu kepadamu, masihkah engkau hendak menolaknya?"
Pendekar itu tercekat, tak terasa dia melangkah mundur. Bu-beng Sian-su telah berbicara panjang lebar dan dia tahu, siapakah yang dimaksudkan dengan bumi dan langit itu. Bukan lain adalah Tuhan sendiri! Kakek luar biasa itu mengambil nama lain dari Yang Maha Welas Asih, sebagaimana bangsa-bangsa lain di bumi mempunyai nama sendiri-sendiri tentang Tuhan Seru Sekalian Alam.
"Apa... apa yang Sian-su maksudkan?" dia bertanya dengan mata terbelalak.
Kakek dewa itu kembali tersenyum, "Taihiap, seandainya bumi dan langit minta agar kau membebaskan manusia yang sedang berjalan dalam kegelapan ini, maukah engkau memberikannya?"
"Akan tetapi, yang minta bukanlah bumi dan langit, melainkan Sian-su!" pendekar itu membantah.
"Ah, taihiap masih dibungkus emosi, kurang jernih pikirannya. Malalkat Gurun Neraka, percayakah engkau akan adanya suatu kebetulan di bumi ini? Adakah sebenarnya kebetulan itu sendiri tanpa adanya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa? Bisakah 'kebetulan' itu sendiri berjalan kalau Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya? Malaikat Gurun Neraka, coba kau jawab pertanyaanku ini. Apakah kedatanganku kemari ini adalah sungguh-sungguh kebetulan ataukah memang karena kehendak Yang Maha Kuasa?"
Bentakan yang dikeluarkan oleh Bu-beng Sian-su ini benar-benar mengejutkan pendekar sakti itu. Tadi kakek ini selalu berbicara halus dan ramah, akan tetapi sekarang tampak demikian garang dan dia benar-benar kaget bukan main. "Sian-su..."
"Jangan banyak tanya!" kakek itu membentak. "Kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apakah kedatanganku kemari adalah kebetulan ataukah karena memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa?"
Malaikat Gurun Neraka tersudut, dia tak mampu menjawab. Sebagai orang yang percaya penuh akan ke kuasaan Yang Maha Tinggi, mana...
(Halaman 36 - 37 hilang…)
...taihiap suka, boleh taihiap pergi ke sebelah tenggara dari sini yang jaraknya kurang lebih tujuh puluh li. Murid taihiap ada di sana bersama orang-orang lain. Dan pesanku, harap taihiap menahan diri dalam perjumpaan taihiap dengan murid taihiap yang gagah perkasa itu. Jangan terburu nafsu menjatuhkan hukuman. Ingat, manusia terlalu lemah terhadap nafsu-nafsu yang ada di dalam diri sendiri, baik nafsu amarah, nafsu dendam, ambisi, dan lain-lainnya. Nah, selamat tinggal...!" Kakek itu bergerak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap.
Pendekar ini memandang kagum dan mau tak mau dia harus mengakui bahwa manusia dewa itu memang betul-betul orang luar biasa. Apalagi ketika dia menengok, tubuh Cheng-gan Sian-jin yang tadi pingsan di situ, juga sudah dibawa pergi oleh Bu-beng Sian-su tanpa dia sempat melihat kapankah kakek itu menyambar tubuh si kakek iblis!
Dan percakapan yang tidak begitu lama dengan Bu-beng Sian-su tadi ternyata membawa perobahan besar di dalam dirinya. Pendekar ini menarik napas panjang. Terngiang di telinganya akan wejangan manusia dewa itu betapa kehidupan yang dirasakan dan dialami oleh manusia adalah pemberian bumi dan langit. Betapa kepandaian yang diperolehnya itupun sebenarnya adalah atas kemurahan dan bantuan bumi langit.
Tanpa kemurahan bumi langit, manusia tidak akan dapat merasakan apakah arti kehidupan ini. Dan semua yang terjadi di sekitarnya, sesungguhnya bukan lain juga atas kehendak bumi langit, termasuk peristiwa yang menimpa muridnya!
Sampai di sini wajah pendekar itu menjadi pucat. Dia amat mencinta murid tunggalnya itu, amat menyayang dan semua ilmu-ilmunya telah diberikannya kepada pemuda itu. Akan tetapi murid yang amat dikasihi dan disayang itu telah mencoreng mukanya dengan noda kotor berupa perjinaan keji! Tertusuk perasaan pendekar ini dan terdapat kenyerian di dalam hatinya.
Apakah inipun juga atas kehendak bumi langit? Agaknya begitulah. Bukankah tidak ada satu kejadianpun yang bisa dikatakan 'kebetulan'? Bukankah sebenarnya semua yang bergerak dan terjadi ini adalah kemauan Yang Maha Kuasa? Akan tetapi, pemberian bumi langit kali ini terasa pahit dan tidak menyenangkan. Namun, bukankah inilah yang disebut keh idupan? Adakah manusia hidup yang tidak pernah mengalami hal-hal tidak menyenangkan? Mustahil!
Seperti kata Bu-beng Sian-su tadi, hidup adalah senang-susah-mulia-hina. Dan ini memang benar. Mana ada orang senang melulu di dunia ini? Akan tetapi sebaliknya, mana ada orang susah melulu di dunia ini? Hidup mencakup kesemuanya itu dan dia harus menerima kenyataan ini. Menentang kenyataan agaknya sama halnya dengan menentang garis Alam!
Bumi dan langit memberikan segala-galanya kepada manusia. Akan tetapi di pihak manusia sendiri, apakah yang telah diberikannya kepada bumi dan langit? Belum ada... belum ada... demikian menurut syair Bu-beng Sian-su tadi. Dan ini rupanya benar. Kalau toh ada, yang diberikan kepada bumi dan langit oleh manusia adalah sampah-sampah kotor berupa segala macam perbuatan-perbuatan jahat yang timbul dari akal busuk manusia.
Dan ini semua mungkin karena kelemahan manusia sendiri terhadap nafsu-nafsunya yang terlalu mengejar kesenangan. Manusia terlalu temahak, manusia terlalu loba, demikian Bu-beng Sian-su tadi berkata pula. Dan agaknya semua inipun juga betul. Manusia tidak pernah mengenal kepuasan, terlalu tamak, serakah dan angkara murka. Akan tetapi, salahkah manusia? Bukankah semua yang terjadi itupun sebenarnya adalah kehendak bumi langit?
Sampai di sini tiba-tiba pendekar itu tersentak kaget dan mukanya berobah. Bukankah kalau bumi langit menghendaki semuanya baik pasti dapat? Akan tetapi mengapa bumi langit seolah-olah membiarkan manusia bebas dan liar semau-maunya dalam mengumbar nafsu kejahatannya yang tiada kunjung padam? Kalau dilihat begini, meskipun manusia boleh disalahkan, akan tetapi tidak bisa disalahkan mutlak! Ahh, agaknya inilah yang membuat Bu-beng Sian-su tadi turun tangan menyelamatkan Cheng-gan Sian-jin. Seberat-beratnya dosa manusia, akan tetapi kesalahannya tidak bisa dibilang mutlak karena bukankah semua perbuatannya yang terjadi itupun adalah atas kehendak bumi langit? Tanpa kehendak bumi langit, tidak akan terjadi apapun!
Ingatan ini benar-benar membuat hati pendekar itu terkejut sekali. Dia tiba-tiba merasa gelisah, juga bingung tanpa diketahui sebab-sebabnya. Mengapa bumi langit membiarkan semuanya ini? Mengapa? Inilah pertanyaan yang menghantui pikirannya. Mendadak, tanpa disengaja, mata pendekar yang amat tajam ini melihat coretan huruf di kulit sebatang pohon. Sekali lompat dia mendekati tempat itu dan sekarang tampaklah olehnya lima buah kalimat tertulis, rapi dan halus di kulit pohon ini, dan yang mengejutkan hati pendekar itu adalah kenyataan betapa tulisan ini merupakan pertanyaan yang sama dengan apa yang direnungkannya!
Tentu saja Malaikat Gurun Neraka terbelalak dan sekali pandang dia maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu-beng Sian-su. Dia menjadi heran dan takjub bukan main karena agaknya manusia dewa itu dapat meneropong isi hatinya dengan jitu. Cepat pendekar ini membaca dan lima baris kalimat itu berbunyi:
"Sesungguhnyalah bumi langit Maha Pemurah, Membiarkan manusia berbuat sesukanya, Jahat? Boleh! Baik? Juga boleh!, Mengapa....??"
Hanya inilah yang tertulis di situ dan Bu-beng Sian-su tidak memberikan jawabannya. Diam diam Malaikat Gurun Neraka menjadi penasaran sekali. Kalau manusia dewa itu berani menuliskan pertanyaan ini tentu diapun mempunyai jawabannya. Akan tetapi, mengapa tidak dijawab sekalian? Pendekar ini menjadi gemas. Pertanyaan dalam kalimat itu persis dengan pikirannya dan dia belum mengetahui jawabannya. Sedangkan Bu-beng Sian-su sudah tahu akan tetapi tidak mau memberitahunya. Tentu saja dia merasa penasaran sekali. Kalau saja dia tahu kemana gerangan manusia dewa itu berada, tentu dia akan mencarinya.
Namun, siapa mampu mencari Bu-beng Sian-su kalau kakek dewa itu sendiri tidak menghendaki dirinya muncul di depan orang lain? Perjumpaannya dengan kakek suci tadi saja sudah bisa dibilang merupakan anugerah baginya. Sesungguhnyalah tidak gampang bertemu dengan Sang Bijaksana ini, dan kalau tidak ada jodoh agaknya sukar untuk menjumpai manusia itu.
Memang, apa yang diduga oleh Malaikat Gurun Neraka tepat adanya. Jawaban dari lima baris kalimat di atas sebenarnya hanya terdiri dari enam perkataan, dan kalau saja pendekar itu tahu, tentu dia akan tercengang keheranan! Apakah enam perkataan yang merupakan kunci jawaban bagi kalimat-kalimat tersebut? Biarlah di lain kesempatan dalam ceritera berikutnya penulis akan memberitahukan hal ini kepada anda semua. Harap para pembaca bersabar hati.
Dan kalau tiba saatnya anda ketahui, penulis yakin bahwa anda tentu akan terkejut dan tercengang keheranan membuktikan betapa tepatnya jawaban Bu-beng Sian-su itu. Sekarang baiklah kita ikuti saja pendekar sakti ini, dimana setelah memeras otaknya mencoba mencari jawaban dari tulisan Bu-beng Sian-su itu tidak berhasil, pendekar ini lalu merobek kulit pohon itu dan menyimpan kalimat misterius itu di dalam saku bajunya.
Kemudian setelah berpikir sejenak, Malaikat Gurun Neraka lalu berkelebat ke arah tenggara. Tujuh puluh li dari tempat ini, demikian Bu-beng Siansu tadi berkata, dia akan bertemu dengan muridnya itu bersama beberapa orang lain. Dan pendekar sakti ini sebelumnya memang sudah tahu bahwa ketika dia memasuki gedung Cheng-gan Sian-jin dan bertanding melawan kakek iblis itu, dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang dimana diantaranya dia melihat Ta Bhok Hwesio di situ. Kepala yang gundul dan bentuk tubuhnya yang pendek ini memang membuat hwesio itu mudah dikenal. Itulah sebabnya mengapa pendekar ini berani meninggalkan muridnya menggeletak pingsan di ruangan itu karena dia tahu bahwa hwesio itu pasti tidak akan tinggal diam.
Pemuda baju biru itu kabur dengan cepat. Kuda hitamnya yang tinggi besar terbang seperti anak panah terlepas dari busur. Malam cukup gelap, akan tetapi mereka ini dapat meluncur sedemikian mudahnya di daerah perbukitan itu. Jelas bahwa penunggangnya telah hapal di luar kepala lika-liku jalanan ini.
Siapakah mereka? Bukan lain adalah Fan Li, wakil dan sekaligus pembantu setia dari Yap-goanswe. Baru saja dia memasuki sarang harimau, dan tanpa adanya bantuan Bu beng Siansu, tentu tidak akan dapat dia membawa pergi bekas jenderal muda yang masih pingsan itu dengan cara demikian mudah.
Kejadian yang baru saja dialaminya ini diam -diam membuatnya merasa tegang bukan main. Bayangkan saja, mendobrak pintu gerbang dan memasuki sarang musuh serta melihat ribuan pasukan Wu yang memandangnya dengan mata beringas sungguh dapat menciutkan nyali. Kalau saja di belakangnya tidak ada Bu-beng Siansu, perbuatan yang dilakukannya itu tentu akan dipikirkannya seribu kali terlebih dahulu sebelum bertindak.
Namun, semuanya itu telah berlalu dan sekarang dia dapat menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi hatinya bahwa dia dapat membebaskan Yap goanswe dari tangan musuh. Akan tetapi, melihat betapa pemuda itu pucat pias seperti mayat dan napasnya lemah, mau tak mau hati Fan Li gelisah juga. Bu-beng Sian-su memerintahkan dia kabur ke arah tenggara, tujuh puluh li dari kota raja.
Dia tidak tahu apakah yang akan dijumpainya di sana. Namun, kepercayaan yang sudah bulat terhadap manusia dewa itu tidak membuat pemuda ini ragu-ragu. Apa yang dikatakan Bu-beng Siansu tentu membawa kegunaan, maka secara membuta diapun melaksanakan pekerjaan ini.
Akhirnya, setelah dia melakukan perjalanan yang cukup jauh itu, sampailah Fan Li ke sebuah hutan kecil. Sebuah kelenteng kuno berdiri tak jauh di depan hutan itu, dan ini cocok dengan petunjuk Sian-su. Cepat ia membalapkan kudanya dan tidak lama kemudian merekapun telah tiba di halaman kelenteng itu.
"Hek-ma, kita turun di sini dan menanti teman-teman," Fan Li melompat turun dan berkata kepada kuda hitam itu yang meringkik nyaring.
Hek-ma memang seekor kuda yang luar biasa, perkataan manusia dia mampu mengertinya dengan baik dan Fan Li yang dulu selalu berdekatan dengan Yap-goanswe, juga dikenal oleh kuda ini sebagai sahabat tuan mudanya.
Sambil memanggul tubuh Bu Kong, Fan Li melangkah memasuki kelenteng kuno itu. Cepat pemuda ini membersihkan lantai ruangan yang penuh debu, lalu dia membentangkan mantelnya dan membaringkan Yap-goanswe di situ.
Sejenak dia memandang wajah tampan yang pucat itu, menarik napas melihat betapa pakaian jenderal muda ini setengah telanjang dan di dahinya terdapat garis-garis tekanan batin. Semuda itu Yap goanswe sudah harus mengalami pukulan batin bertubi-tubi, hal ini sungguh membuat hatinya ikut prihatin.
Seperti orang-orang lainnya pula, Fan Li pun tahu betapa tuduhan keji menimpa diri Yap-goanswe. Bahkan sebagai orang yang paling dekat dengan pemuda itu, agaknya Fan Li mengerti lebih baik daripada orang-orang lain yang mendengar berita di luaran yang tentu saja telah diberi bumbu -bumbu tambahan. Dan kembali pemuda ini menarik napas berat.
Diam-diam diapun ikut tertekan batinnya. Yap-goanswe selain sebagai atasannya, juga merupakan sahabat yang paling dia cinta dan hormati. Watak yang gagah perkasa dan jujur penuh keberanian dari jenderal muda ini membuatnya kagum. Dan diapun sukar untuk mempercaya kekejian yang telah dilakukan oleh pemuda ini. Fan Li tahu betul siapa Yap-goanswe. Seorang yang gagah perkasa dan pendekar sejati, yang berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, bahkan dulu pernah dia melihat betapa jenderal muda ini berlutut minta maaf kepada seorang anak kecil yang menangis menggerung-gerung karena permainannya diinjak kaki Hek-ma yang sedang berlari cepat!
Bayangkan, seorang jenderal muda sudi melompat turun dari atas kudanya dan berlutut minta maaf kepada seorang anak kecil berusia lima enam tahun hanya karena merasa bahwa dialah yang salah! Mana ada kejadian begini rupa dan mengagumkan di dunia ini?
Kalau benar pemuda itu bersalah, tidak mungkin Yap-goanswe mengingkarinya. Dia pasti akan mengakui semua perbuatannya dan kalau memang hukuman yang akan ditimpakan kepada dirinya, kepalanyapun jenderal muda itu rela serahkan! Akan tetapi, ketika dulu sri baginda melemparkan tuduhan, Yap-goanswe menolaknya tegas. Bahkan pemuda ini dengan mata berapi-api membalas pandang mata sri baginda dengan kepala dikedikkan! Mana ada kejadian yang demikian rupa di dunia ini?
Perlu diketahui bahwa pada jaman itu raja adalah seorang yang tidak bisa dibantah omongannya. Sekali raja memutuskan, semuanyapun akan dijalankan dengan patuh, baik tindakan raja ini benar maupun salah. Namun, Yap-goanswe ternyata pemuda yang betul-betul istimewa. Merasa bahwa dirinya di pihak benar, dengan keberanian yang luar biasa jenderal muda ini berani menolak semua tuduhan raja dan adu pandang dengan sri baginda, persis seperti dua ekor jago siap tempur!
Sampai di sini sepasang mata Fan Li bersinar-sinar. Betapa hebat dan mengagumkan murid tunggal Malaikat Gurun Neraka ini, maka sungguh sayang bahwa pemuda sehebat itu telah meninggalkan istana gara-gara tuduhan keji. Teringat betapa Yap-goanswe masih belum sadarkan diri, Fan Li lalu menggerakkan jari tangannya menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu agar siuman kembali.
Dan pada saat itulah mendadak Hek-ma yang berada di luar meringkik panjang. Fan Li terkejut, akan tetapi mendengar ringkik Hek-ma yang gembira, dia menjadi tenang kembali. Hal ini hanya menandakan bahwa yang datang bukanlah lawan melainkan kawan. Betul saja, belum lenyap suara Hek-ma, tiba-tiba dari luar melayang masuk seorang gadis berbaju hijau.
Pakaiannya basah penuh keringat, rambutnya kusut dan napasnya agak terengah-engah. Gadis ini bukan lain adalah Kwan Pek Hong, murid Ta Bhok Hwesio yang mengerahkan semua kepandaian ginkangnya untuk mengejar Hek-ma. Cantik dan menggairahkan gadis ini dalam keadaan seperti itu, akan tetapi wajahnya membayangkan kegelisahan. Baru saja dia memasuki ruangan dalam dan melihat Fan Li berlutut di depan pemuda yang masih pingsan itu, Pek Hong sudah berseru dari jauh,
"Fan-ciangkun, bagaimana keadaannya?"
Fan Li menoleh dan mencoba untuk tersenyum, "Dia belum sadar, nona, akan tetapi kukira keadaannya tidaklah terlalu berbahaya..."
"Hemm, anak muda yang sembrono, pukulan batin yang dideritanya itu bisa mengguncang syaraf ingatannya, siapa bilang tidak berbahaya? Boleh jadi tubuhnya tidak apa-apa, akan tetapi kesehatan jiwanya bisa terganggu!" tiba-tiba terdengar teguran ini dari luar ruangan kele nteng dan Fan Li terkejut.
Cepat dia menoleh dan tampaklah dua orang melangkah masuk dengan langkah tenang dan di belakang dua orang itu berjalan seorang pemuda berbaju putih. Mereka ini bukan lain adalah Ta Bhok Hwesio dan Phoa-lojin, kakek berpakaian nelayan dari Pulau Cemara bersama Gin-ciam Siucai Hok Sun.
Yang mengeluarkan seruan tadi adalah kakek Phoa dan tentu saja Fan Li terkejut. "Apa....apa maksud locianpwe?" tanyanya. "Terganggu kesehatan jiwanya? Apakah locianpwe hendak mengartikan bahwa Yap-goanswe bisa miring otaknya dan menjadi gila?"
"Begitulah," Phoa-lojin mengangguk. "Kalau tidak mendapat pertolongan secepatnya, pemuda itu bakal terkena gangguan jiwa dan agaknya bantuan pertama yang paling penting sekarang ini adalah menotok tiga belas jalan darah di bagian depan tubuhnya. Akan tetapi..."
Phoa-lojin menghentikan kata-katanya dan tidak melanjutkan. Kakek ini mengerutkan keningnya dan matanya menjelajahi seluruh ruangan, lalu menarik napas berat dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pek Hong sudah dari tadi berobah wajahnya dan menjadi pucat mendengar betapa Yap-goanswe bisa menjadi gila kalau tidak segera ditolong. Sekarang, melihat betapa kakek itu menghela napas berulang-ulang, dia benar-benar merasa gelisah sekali.
"Locianpwe, kalau kita tahu bahwa dia harus ditotok sebanyak tigabelas kali sebagai langkah pengobatan pertama, mengapa tidak segera kita kerjakan? Jalan-jalan darah manakah yang harus ditotok? Biarlah aku yang melakukannya dan locianpwe yang memberikan petunjuk," gadis itu berkata dengan muka cemas.
Phoa-lojin menoleh, tersenyum penuh arti dan menjawab, "Nona, menurut perasaanku memang agaknya engkaulah yang harus bertugas di sini, akan tetapi, hawa sakti yang mengalir di dalam tubuh pemuda itu berbeda dengan orang-orang lain. Dia mendapat gemblengan tenaga Yang-kang yang luar biasa dari gurunya sehingga di dalam darahnya mengalir tenaga panas yang amat hebat. Kita bukan ahli tenaga Yang, dan selain gurunya sendiri, siapa mampu memberikan totokan di tigabelas jalan darah itu? Harap nona bersabar dan mudah-mudahan Thian mengabulkan maksud nona."
Ucapan terakhir ini mengandung arti yang luas sekali dan seketika pipi gadis itu bersemu dadu. Mukanya menjadi merah dan Pek Hong menundukkan kepalanya. Sungguh kakek Phoa ini dapat mempergunakan kata "mudah-mudahan Thian mengabulkan maksud nona" dengan tepat sekali, jitu mengenai sasarannya dan dia menjadi jengah bukan main.
Sementara itu, Fan Li yang mendengarkan keterangan kakek ini juga tertegun, lalu dia bertanya, "Locianpwe, kalau tadi dikatakan bahwa totokan di tigabelas jalan darahnya merupakan langkah pertama, kalau begitu locianpwe maksudkan bahwa setelah itu Yap-goanswe masih harus melakukan pengobatan-pengobatan berikutnya?"
Phoa-lojin mengangguk. "Begitulah, Fan-ciangkun, dan orang satu-satunya yang paling tepat dalam memberikan pertolongan berikutnya ini hanyalah si Dewa Monyet di Ang-bhok-san (Bukit Kayu Merah). Akan tetapi orang itu memiliki watak yang aneh bukan main. Biar Malaikat Gurun Neraka sendiri yang datang, belum tentu dia mau mengobati muridnya ini. Yap-goanswe selain terguncang oleh pikiran batin yang berat, juga tubuhnya telah kemasukan racun jahat yang bekerja lambat. Hemm, Cheng-gan Sian-jin memang manusia iblis, entah racun apa yang dicekokkan ke dalam mulut pemuda itu. Lihat, di bawah pelupuk matanya terdapat enam bintik hitam sebesar ujung jarum. Ini berarti bahwa telah enam hari racun itu bekerja...."
Fan Li cepat memeriksa dan memang betul, di bawah pelupuk mata Bu Kong terdapat enam titik kecil yang kalau tidak dilihat dari dekat sungguh tidak akan terlihat oleh mata manusia. Bagaimana Phoa-lojin dapat mengetahuinya? Pemuda ini menjadi heran dan juga kagum.
"Wah, habis kalau begitu apa yang bisa kita kerjakan, Lojin?" tiba-tiba Ta Bhok Hwesio nyeletuk. "Dan berapa lama racun jahat itu akan merenggut korbannya?"
Wajah hwesio inipun juga tampak gelisah dan tanpa sebab dia lalu menggaruk-garuk gundulnya yang mengkilat itu. Kalau saja keadaan di situ tidak demikian menegangkan, agaknya orang akan tertawa geli melihat tingkah laku kakek yang lucu ini. Sudah menjadi kebiasaan Ta Bhok Hwesio jika dia merasa gelisah tentu secara tidak sadar akan menggaruk-garuk kepalanya yang pelontos itu.
Phoa-lojin mengerutkan alisnya. "Kalau rabaanku tidak salah, racun semacam itu akan bekerja selama tujuh hari. Dan pada hari ke tujuh, orang yang terkena racun ini akan mulai merasakan akibatnya dan pada hari ke delapan dia akan segera binasa dengan tubuh membusuk."
"Ahhh....!" semua orang berseru kaget dan terkejut bukan kepalang mendengar keterangan Phoa-lojin. Yap-goanswe sudah terkena enam hari, berarti hanya sisa satu hari besok saja dan kalau tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, jenderal muda itu akan mati!
Pek Hong yang ikut mendengarkan semuanya ini, tersirap darahnya dan gadis itu menjerit tertahan. Sepasang matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan, bibirnya menggigil dan mukanya menjadi pucat. Hok Sun yang melihat keadaan gadis ini, tiba-tiba terasa nyeri hatinya dan maklumlah dia apa yang sedang bergolak di dalam hati gadis jelita itu.
Akan tetapi, pemuda ini bukanlah seorang yang sempit pandangan. Meskipun dia tahu betapa perasaannya sedikit terluka menyaksikan sikap Pek Hong terhadap murid Malaikat Gurun Neraka itu, akan tetapi Hok Sun dapat segera mengendalikan sikap egoisnya. Dia tahu bahwa Yap-goanswe adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, agaknya jauh lebih patut menjadi sisihan dara itu daripada dirinya sendiri. Keselamatan jiwa pemuda itu benar-benar perlu ditolong, dan dia akan mengesampingkan semua pikiran negatipnya.
"Suhu, kalau demikian dugaan suhu, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" pemuda ini melangkah maju dan bertanya kepada gurunya. "Menilik keterangan suhu, keadaan Yap-goanswe sungguh amatlah gawat, teecu sendiri tidak sampai mengiranya begitu. Padahal, jarak dari sini ke Ang-bhok-san juga tidak pendek, apalagi Takla Sin jin belum kemari. Menurut perhitungan, mestinya Malaikat Gurun Neraka telah selesai membereskan musuhnya, namun mengapa beliau tidak datang kemari? Atau jangan-jangan beliau memang tidak mau kemari, suhu?"
Phoa-lojin menoleh kepada muridnya ini, tersenyum dan berkata, "Hal itu tidak perlu terlalu kita cemaskan. Pendekar besar itu pasti datang, kalau tidak, masa dia menyatroni gedung Cheng-gan Sian-jin? Bukankah maksud kedatangannya adalah untuk membebaskan muridnya ini? Yang lohu cemaskan justeru penerimaan Si Dewa Monyet di Ang-bhok-san itu. Entah dia mau menolong orang tidak? Kalau dia menolak, hal ini sungguh menyulitkan..."
"Hemm, kalau aku yang mendatangi tempatnya dan memaksa, masa monyet itu tetap keras kepala?" Ta Bhok Hwesio menyela dengan suara keras dan sinar matanya berkilat.
"Ahh, lo-heng belum mengenal wataknya. Biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat lo-heng, akan tetapi keras kepalanya Si Dewa Monyet itu sungguh melebihi batu. Biar dia diancam golok di kulit lehernyapun dia akan tertawa-tawa dan malah memaki-makimu. Dalam hal ini hanya ada satu jalan saja, yakni memegang kelemahannya dan satu-satunya orang yang dapat kesana hanya muridmu itu, lo-heng..."
"Hahh? Maksudmu Dewa Monyet itu gampang dilumpuhkan oleh perempuan?" Ta Bhok Hwesio mengangkat alisnya yang putih tanda tercengang.
"Tidak seluruhnya benar, lo-heng, akan tetapi memang muridmu itulah yang kulihat satu-satunya orang yang dapat melumpuhkan kakek aneh itu. Sudahlah, urusan Kauw-sian (Dewa Monyet) kita bicarakan nanti saja. Yang penting pada saat ini adalah menotok tigabelas jalan darah di tubuhnya dan biarlah kita tunggu kedatangan guru pemuda ini."
Baru saja ucapan yang dikeluarkan oleh kakek Phoa selesai, tiba-tiba terdengar suara yang amat dingin, "Hemm, biarkan saja dia mampus, untuk apa kita meributkan jiwanya? Seorang murid durhaka semacam itu tidak perlu mendapatkan perhatian ji-wi (anda berdua) yang demikian besar!"
Angin dingin berkesiur dan tiba-tiba Malaikat Gurun Neraka telah muncul di tempat itu seperti gerakan iblis. Semua orang terkejut dan cepat menengok, dan mereka melihat betapa wajah pendekar sakti itu tampak merah dan membesi.
Akan tetapi, kalau semua orang tampak kaget mendengar ucapan pendekar itu, adalah Phoa-lojin tenang-tenang saja dan kakek ini tersenyum menyambut, menjura di depan pendekar sakti itu sambil berkata,
"Aha, selamat berjumpa kembali, taihiap! Sungguh amat kebetulan sekali, di saat kami menunggu-nunggu, taihiap muncul pada saat yang tepat. Sekarang memang musim Yang-hong (angin panas), dimana-mana kepala orang terasa pusing. Akan tetapi, seorang pendekar besar seperti taihiap yang memiliki Im-sim (hati dingin) begini masa juga terpengaruh oleh adanya musim Yang-hong? Ha-ha-ha...!"
Malaikat Gurun Neraka melengak heran, namun melihat penghormatan orang, diapun cepat membalas. "Sungguh aku tidak mengira bahwa to-heng telah mencapaikan diri jauh-jauh keluar dari Pulau Cemara yang indah hanya untuk ikut memikirkan muridku yang tersesat. Terima kasih atas perhatian to-heng dan apa maksud to-heng tadi bahwa sekarang adalah musim Yang-hong?" pendekar ini bertanya dan sinar matanya memandang tajam.
Phoa-lojin menarik napas dan dengan suara penuh penyesalan dia menjawab, "Taihiap, kau tahu, betapa muridmu itu adalah seorang jenderal muda yang amat ditakuti musuh. Dia terkenal sekali akan kepandaiannya dalam ilmu perang, juga ilmu silatnya tinggi. Di samping itu, muridmu inipun tersohor sebagai pemuda yang jujur dan berani, gagah perkasa. Masa terhadap berita burung yang ditiupkan oleh Yang-Hong (angin panas) begitu kau lantas percaya?"
"Memang mula-mula aku tidak percaya dan itulah sebabnya mengapa aku lalu keluar untuk menyelidiki kebenaran berita ini. Akan tetapi ketika aku tiba di gedung Cheng-gan Sian-jin dan melihat dia... tidur sepembaringan dengan murid iblis tua itu, apakah to-heng menyangsikan penglihatanku? Dia murid keparat, mencoreng muka guru dengan perbuatan laknat! Inilah jelas aku tidak bisa mengampuninya lagi. Seorang murid yang telah menyeleweng sedemikian jauh hanya patut dihukum mati atas semua dosanya!"
Kata-kata yang diucapkan oleh pendekar itu tampak tegas dan berapi-api dan Pek Hong yang mendengar betapa pemuda itu tidur sepembaringan dengan murid Cheng-gan Sian-jin, menjadi pucat wajahnya dan perasaannya tertikam. Kembali jenderal muda yang dicintanya itu berjina. Terkutuk! Gadis ini mengepal tinju dan sinar matanya berkilat penuh kemarahan.
Memang ketika dia datang kesana, dia sama sekali tidak melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Pakaian Yap-goanswe yang robek-robek itu dikiranya karena siksaan musuh. Sungguh tidak dinyana bahwa robeknya pakaian yang membuat tubuh pemuda itu setengah telanjang adalah karena perjinaannya dengan Tok -sim Sian-li!
Kalau tahu begini, tentu dia tidak akan sudi menolong! Seketika gadis ini menangis di dalam hati dan matanya basah. Betapa Yap-goanswe berulang-ulang menyakiti hatinya. Mula-mula kenyataan betapa pemuda itu mempunyai kekasih lain dan dia bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi ketika dia tahu duduknya persoalan, tahu betapa Siu Li sengaja menjebak jenderal itu dalam jerat asmaranya karena menjalankan siasat ayahnya yang menjadi musuh Kerajaan Yueh, seketika lukanya menjadi sembuh dan dia kembali mempunyai harapan baru terhadap pemuda itu.
Dari kejadian ini Pek Hong yakin bahwa Yap-goanswe tentu akan membenci setan perempuan yang menipunya itu. Dan ini membangkitkan harapannya. Akan tetapi, baru saja dia merasa girang karena kenyataan itu, tiba-tiba saja dia mendengar betapa Yap-goanswe melarikan diri dari istana karena bermain gila dengan Bwee Li, itu selir terkasih Yun Chang! Berita ini tentu saja amat mengejutkan dan sekaligus menyakitkan. Perasaan kecewanya tiba-tiba kambuh dan rasa marah membuat dadanya seakan meledak.
Namun disamping itu, diam-diam gadis ini masih menaruh kesangsian akan kebenaran berita itu. Dia tahu betul watak Yap-goanswe, kejujurannya, keberaniannya dan tanggung jawabnya yang besar. Masa pemuda gagah perkasa itu mampu melakukan perbuatan memalukan ini? Akan tetapi, kalau tidak benar, kenapa dia meninggalkan istana sambil membawa Bwee Li, seolah-olah kabur sambil menculik isteri orang?
Sungguh dia tidak mengerti dan itulah sebabnya mengapa dia lalu mencari pemuda ini untuk ditanya duduk persoalannya. Sungguh tidak diduga, belum lagi hal ini menjadi jelas, guru pemuda itu mengatakan kepada mereka betapa Bu Kong tidur sepembaringan dengan murid Cheng-gan Sian jin! Hati siapa tidak akan sakit dan benci setengah mati? Kalau orang lain yang bilang, mungkin dia menaruh keraguan hati. Akan tetapi, kalau guru dari orang yang bersangkutan sendiri sudah berkata demikian, masa dia harus menyangsikannya lagi?
Pek Hong menjerit di dalam hatinya dan air mata kini bercucuran membasahi pipinya yang halus. Bibirnya gemetar, wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan caci maki yang tidak bersuara dan akhirnya gadis ini tidak tahan lagi, terisak dan lari keluar.
"Suhu, aku tidak mau membawanya ke Ang-bhok-san, aku tidak sudi, huh-huhh hukk….!” gadis itu menjerit dan tangisnya pecah, berkelebat meninggalkan ruangan kelenteng.
Ta Bhok Hwesio terkejut, akan tetapi dia tidak sempat mencegah . "Hong-ji, kau belum mendengarkan selengkapnya, kenapa pergi?" kakek ini berteriak.
Namun Pek Hong tidak menjawab dan hanya tangisnya yang mengguguk itulah yang terdengar dan akhirnya lenyap. Gadis itu telah pergi, dan siapa dapat membujuknya? Totokan di tigabelas jalan darah saja belum dilakukan. Dan melihat gelagatnya, agaknya Malaikat Gurun Neraka sendiri tidak mau mengerjakan totokan ini. Dan sekarang disusul kepergian murid perempuannya itu. Andaikata pemuda itu sudah mendapat pertolongan pertama, lalu siapa yang mampu membawanya ke Ang-bhok-san?
Menurut Phoa-lojin, yang paling tepat membawa tubuh pemuda ini untuk diobati hanya lah Pek-hong d an sekarang gadis itu sudah me nyatakan tid ak sudi. Siapa berani menanggung selesainya pengobatan ini? Kalau kejadian sudah sampai begini macam, harapan hidup bagi Yap-goanswe sudah tidak ada lagi!
"Hem, biarkanlah dia pergi, lo-heng, toh ini memang lebih baik. Muridmu itu jauh lebih berharga daripada muridku, tidak perlu disesalkan, " Malaikat Gurun Neraka berkata dingin dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.
"Ah, taihiap terlalu tergesa-gesa dan masih diliputi hawa amarah. Dengan cara begini, bagaimana segala kegelapan dapat dijernihkan?" Ta Bhok Hwesio memandang pendekar itu dengan mata marah dan Malaikat Gurun Neraka terkejut melihat sinar mata orang berkilat-kilat.
"Ehh, apa maksud lo-heng?" pendekar itu bertanya. Belum pernah selama pergaulannya dengan hwesio Tibet ini kakek gundul itu memperlihatkan sikap yang demikian berani dan agak kasar.
Mata hwesio ini melotot dan dengan suara keras dia menjawab, "Aku mau mengatakan bahwa kali ini sikap taihiap terburu-buru! Sudah tahukah taihiap akan segala duduknya perkara? Sudah tahukah taihiap akan semua peristiwa-peristiwa tersembunyi yang melatarbelakangi semua kejadian ini? Tahukah taihiap? Tahukah? Dan kalau taihiap belum tahu semuanya itu, mengapa berani bersikap seperti ini? Taihiap terlalu dibungkus emosi dan datang ke sini dengan bibit kemarahan, taihiap kali ini terpaksa kukatakan menjadi seorang manusia lemah karena tidak mampu mengendalikan hawa amarah...!"
Kehadiran manusia dewa ini menimbulkan suatu kesejukan aneh di dalam hati setiap orang, mengusir semua api dendam dan ketika Bu-beng Sian-su tadi meminta dengan suara yang begitu halus lembut agar Yap-goanswe diserahkan kepadanya, tanpa sesadar mereka sendiri orang-orang itupun manggut-manggutkan kepalanya!
Tentu saja peristiwa ini sungguh luar biasa ganjilnya. Yap-goanswe yang mereka tawan itu adalah seorang musuh, mereka dapatkan dengan susah payah. Sekarang, diminta dengan begitu saja oleh manusia dewa itu, orang-orang inipun tidak ada yang menolak dan merelakan permintaan Bu-beng Kuncu itu dengan ikhlas! Mana ada kejadian yang begitu ajaib?
Ta Bhok Hwesio dan teman-temannya melenggong. Apa yang mereka saksikan ini hampir-hampir tidak dapat mereka percayai. Akan tetapi, memang demikianlah kenyataannya. Yap-goanswe dengan cara yang demikian mudah, berkat pertolongan manusia dewa itu, kini telah dibawa oleh wakilnya sendiri. Fan Li telah menyelamatkan pemuda itu dan kini bayangan mereka bersama Hek-ma telah lama lenyap.
Sementara hwesio ini terbelalak dan berdiri menjublak di tempatnya, tiba-tiba manusia dewa itu menoleh kearahnya dan berkata perlahan, "Lo-suhu, tujuan hati kalian semua telah selesai, mengapa masih berdiri di sini? Pergilah kalian ke tempat masing-masing dan agaknya Phoa-enghiong akan dapat memberikan petunjuk berharga bagimu."
Ta Bhok Hwesio terkejut dan segera dia menjadi sadar. Yap-goanswe telah berhasil dibawa pergi, kenapa mereka melenggong saja di situ? Bukankah ini suatu kesempatan bagus untuk segera pergi sementara pengaruh Bu-beng Siansu masih mencekam orang-orang dari Kerajaan Wu ini?"
Begitu sadar, hwesio ini cepat bergerak. Bersama teman-temannya, dia lalu menjura dengan penuh hormat dan kagum kepada manusia dewa itu dan berkata, "Sungguh pinceng mendapat penghormatan besar sekali malam ini dengan kehadiran Siansu. Mewakili teman-teman, pinceng tak lupa menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan Siansu dan semoga kami semua tetap selalu di jalan terang, Omitohud...!"
Demikianlah, satu-persatu orang-orang itupun lalu melangkah cepat meninggalkan kota raja melalui pintu gerbang yang sudah ambruk dan sebentar saja bayangan mereka lenyap ditelan kegelapan malam. Hati masing-masing orang diliputi bermacam perasaan dengan adanya peristiwa luar biasa itu, ada perasaan gentar, kagum, hormat dan lain-lainnya lagi yang menjadi satu bercampur aduk di dalam hati mereka.
Para panglima muda dan perwira dari Kerajaan Wu beserta seluruh pasukan hanya memandang kepergian Ta Bhok Hwesio dan teman-temannya dengan pandangan ganjil. Mereka ini sedang dikuasai oleh pengaruh yang keluar dari tubuh Bu-beng Sian-su, pengaruh yang menyatakan bahwa tidak ada gunanya bagi diri pribadi untuk melanjutkan saling bunuh-membunuh ini. Entah mengapa, tiba-tiba saja orang-orang itu seakan-akan kehilangan kesadaran diri sendiri dan semangat mereka seluruhnya lekat kepada Bu-beng Kuncu.
Akan tetapi, setelah musuh-musuh mereka pergi, Bu-beng Siansu yang tadi masih berdiri di situ sekonyong-konyong juga lenyap! Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana menghilangnya manusia dewa itu dan bersama lenyapnya sang bijaksana ini, orang orang itupun menjadi gempar.
"Ehh, kenapa kita melepaskan musuh?" Panglima Ok yang berada di tengah-tengah pasukannya, tiba-tiba membentak gusar. Tadi dia seperti mengalami sebuah mimpi, maka begitu mimpi itu lenyap dan kesadarannya pulih, tentu saja panglima ini berteriak-teriak seperti orang kebakaran jenggot.
Dan semua perwirapun juga terkejut. "Heii, mereka kabur semua. Hayo kejar, tangkap dan bunuh mereka!"
Terjadilah saling ribut diantara orang -orang ini dan segera mereka berteriak-teriak mengejar. Semua orang lalu berlari keluar dan Panglima Ok bersama beberapa orang pembantunya yang berkepandaian tinggi, juga mengejar sambil mengumpat caci.
Namun, di malam yang segelap itu, bagaimana mereka dapat melakukan pengejaran dengan baik? Ok ciangkun yang uring-uringan ini lalu memerintahkan pasukannya agar membawa obor dan mereka terus mengejar sampai di dalam hutan yang gelap. Berkat ribuan obor yang dinyalakan, tiba-tiba saja hutan itu menjadi terang benderang dan kegaduhan segera terdengar di tempat ini. Bukannya musuh yang mereka temukan, melainkan binatang-binatang hutan yang menjerit-jerit ketakutan diserbu pasukan Wu!
Semua binatang hutan bangun dan tampak kaget. Kijang, harimau, ular, kera dan lain-lain berserabutan lari menyelamatkan diri dan para perajurit yang marah itu kini mengganti arah sasaran mereka. Tidak dapat membunuh musuhpun baiklah, asal sebagai gantinya bisa mendapatkan daging buruan binatang-binatang hutan itu.
Maka, semalam suntuk mereka menggerebek hutan dan akhirnya menjelang pagi, orang-orang itupun kembali dengan tangan hampa. Wajah mereka pucat kurang tidur, tubuh letih dan beberapa orang diantaranya ada yang terluka ketika memburu binatang hutan. Mereka telah mendapatkan empat ekor harimau, tujuh ekor ular sawah dan sebelas ekor kera yang mereka bunuh untuk melampiaskan kemarahan karena tidak berhasil menangkap musuh. Dan hasil buruan inilah yang mereka bawa pulang untuk dipanggang dagingnya atau dijemur dijadikan dendeng.
* * * * * * * *
Agaknya sudah terlalu lama kita meninggalkan pertempuran yang terjadi antara dua orang jago besar itu, dimana Cheng-gan Sian-jin kemudian lari jatuh bangun dikejar pukulan Lui-kong Ciang hoat yang dilancarkan Malaikat Gurun Neraka. Pendekar sakti ini memang telah mengambil keputusan bulat bahwa dia hendak menurunkan tangan maut terhadap lawan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, Cheng-gan Sian-jin betul-betul seorang yang amat luar biasa sekali. Berkali-kali dia berhasil menyelamatkan diri dan serangan, petir pendekar itu tidak mengenai tubuhnya secara telak. Namun, karena harus selalu bergulingan menghindarkan diri, akhirnya pakaian kakek ini pecah di sana-sini dan robek tidak karuan. Bahkan, satu kali ketika dia kurang cepat mengelak, pukulan halilintar Malaikat Gurun Neraka menyambar bajunya dan seketika pakaiannya itu terbakar! Tentu saja Cheng-gan Sian-jin kelabakan dan karena dia tidak mau tubuhnya dimakan api, dengan nekat dia lalu membuangnya dan kini dia berlari setengah telanjang!
Ginkang yang dilakukan oleh dua orang sakti itu memang benar-benar sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sekali. Gerakan Cheng-gan Sian-jin yang melesat secepat iblis ini membuat tubuh kakek itu lenyap sekejap saja, Cui-beng Ginkang atau Ginkang Pengejar Arwah yang dimiliki Cheng-gan Sian-jin memang tiada bandingannya. Malaikat Gurun Neraka sendiri diam-diam merasa kagum di dalam hatinya, namun diam-diam diapun juga merasa prihatin sekali mengapa ilmu setinggi itu dimiliki oleh seorang kakek yang seperti iblis ini.
Untunglah, mengandalkan Jouw -sang-hui(Terbang Di Atas Rumput) yang dikerahkannya sepenuh tenaga, dia tidak sampai kehilangan jejak musuhnya. Kejar -kejaran yang terjadi diantara dua orang tokoh ini berlangsung sengit sampai akhirnya Cheng-gan Sian jin tiba di pintu gerbang utara. Kakek ini berkaok-kaok menyuruh pasukan mengeroyok pendekar itu dan dia segera melesat ke atas tembok benteng yang tinggi.
Namun kalau dia saja tidak mampu menghadapi pendekar sakti itu, bagaimana perajurit-perajurit biasa dapat menahan Malaikat Gurun Neraka? Sekali mengeluarkan jengekan dari hidungnya pendekar ini telah melewati perajurit-perajurit itu dan tubuhnya melayang cepat mengejar Cheng-gan Sian-jin di atas benteng. Gerakan dua orang ini bukan main pesatnya, seperti asap yang sebentar tampak dan kemudian sudah tidak tampak lagi. Bahkan para perajurit itu mengira bahwa yang baru saja berkelebat di depan mereka tadi bukanlah bayangan manusia, melainkan bayangan iblis yang gentayangan di malam hari!
Akhirnya, Cheng-gan Sian-jin yang sudah mulai putus asa dan tersengal-sengal napasnya itu tiba di luar sebuah hutan lebat. Kakek ini menjadi girang dan dia mempercepat larinya. Kalau dia berhasil memasuki hutan itu, pasti pendekar itu tidak akan mampu mencari jejaknya.
Malaikat Gurun Neraka juga melihat hal ini, dan pendekar itu menjadi mendongkol sekali. Kalau Cheng-gan Sian-jin dapat lebih dulu menyelinap di dalam hutan itu, tentu dia tidak mungkin dapat meneruskan pengejarannya. Menghadapi seorang kakek iblis yang banyak akal seperti Cheng-gan Sian-jin ini sungguh harus berhati-hati dan tidak boleh lengah.
Maka, pendekar ini tiba-tiba mengeluarkan seruan melengking tinggi menusuk telinga dan kedua kakinya melompat berbareng, terangkat bersama dan terbang dengan amat cepatnya. Inilah gerakan melayang yang disebut "Pentalkan Meteor Lontarkan Tubuh", salah satu sikap ilmu ginkang Jouw-sang hui-teng. Gerakan ini menggunakan semua tenaga dan kedua tangan ikut bekerja dengan jalan menghantam tanah untuk menimbulkan daya pental. Maka hebatnya bukan kepalang dan tahu-tahu Cheng-gan Sian-jin merasa betapa angin dingin berkesiur di sampingnya.
Bagaikan setan yang muncul di siang hari, tiba-tiba saja tubuh Malaikat Gurun Neraka telah menghadang di muka si datuk sesat. Kejut Cheng-gan Sian-jin bukan main hebatnya dan kakek ini meraung seperti singa lapar. Pada saat itu dia sedang mengapung di udara, maka tubuh lawan yang tahu-tahu menghadang ini tidak dapat dielakkan lagi dari benturan.
"Blangggg!"
Cheng-gan Sian-jin terpental bergulingan sedangkan tubuh pendekar itu hanya bergoyang perlahan. Dan sementara kakek iblis itu terlempar, Maiaikat Gurun Neraka mengeluarkan bentakan menggeledek dan kedua tangannya bergerak. Seleret cahaya berkilau menyambar tubuh Cheng gan Sian-jin yang bergulingan di atas tanah dan tanpa ampun lagi pukulan petir pendekar itu menghantam kaki si datuk sesat.
"Darr! Krekkk-auhhh....!" Cheng-gan Sian-jin menggerung dahsyat sehingga bumi bergetar seakan diguncang gempa, dan kaki kiri kakek itu hancur dan remuk tulang-tulangnya! Pukulan Lui-kong Ciang-hoat kali ini mendapatkan sasarannya dan kakek itu merasa betapa dia seolah-olah dijilat kilatan halilintar. Rasa nyeri dan sakit yang amat sangat membuat Cheng-gan Sian jin meluap kemarahannya dan kakek ini menjadi mata gelap.
Tiba-tiba dia tertawa bergelak dengan suara yang amat menyeramkan, lalu melompat bangun! Dengan satu kaki yang sudah remuk tulang-tulangnya ternyata masih mampu berdiri dengan baik, hal ini betul -betul membayangkan bahwa kakek itu memang manusia yang luar biasa sekali.
"Malaikat Gurun Neraka, aku akan mengadu jiwa denganmu!" kakek itu memekik buas dan mencelat kedepan, kedua tangannya dengan jari-jari renggang mencengkeram lawan dan angin pukulan tajam bersiutan menyambar wajah Malaikat Gurun Neraka.
Sedetik pendekar itu terkejut, akan tetapi lalu mendengus. Cengkeraman si kakek iblis jelas adalah merupakan serangan adu jiwa. Cheng-gan Sian-jin mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyerang, dan ini membuat bagian depan tubuh terbuka. Akan tetapi, kalau dia menyerang bagian yang lowong ini, tentu serangan lawan itupun akan mengenai dirinya.
Maka pendekar inipun lalu mengelit ke samping dan kaki kanannya bergerak cepat menendang perut kakek itu. Akan tetapi, sungguh di lu ar dugaan. Begitu terkamannya luput, mendadak saja tubuh Cheng -gan Sian-jin yang telah melompat di tengah udara ini menggeliat dan membalik lalu menghantam tiba-tiba dengan telapak tangan miring ke arah tengkuk pendekar sakti itu!
Inilah perobahan serangan yang sungguh luar biasa sekali. Dari cengkeraman yang luput diganti dengan hantaman sisi tangan miring seperti golok di saat tubuh masih mengapung di udara, benar-benar amatlah hebat. Dan hanya orang yang telah memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya saja yang dapat melakukan gerakan yang disebut Hoan-sin-tiauw-to (Balikkan Tubuh Sabetkan Golok) itu.
Malaikat Gurun Neraka yang sama sekali tidak mengira kejadian ini, tidak sempat mengelak dan untuk melindungi diri dari ancaman pukulan maut itu, pendekar ini mengerahkan sinkangnya menjaga diri.
"Plakk! Dukk!"
Dua kali terdengar suara saling hantam ini dan Cheng-gan Sian-jin mengeluh tertahan. Perutnya bertemu dengan kaki pendekar itu dan rasa sakit yang amat sangat membuatnya seakan kejang. Kakek ini merasa betapa seolah-olah seluruh isi perutnya hancur berantakan dan dia mendelik, terlempar dan terbanting diatas tanah.
Akan tetapi serangan Hoan-sin-tiauw-to itupun juga tidak sia-sia. Tengkuk pendekar sakti itu terpukul dan pria yang gagah perkasa ini merasa seakan-akan dihantam palu godam. Meskipun dia telah melindungi diri dengan sinkangnya, tetap saja pukulan lawan terasa amat berat dan tubuhnya terputar dua kali dengan mata berkunang. Namun biarpun pendekar ini juga terkena pukulan, keadaannya tidaklah seberat lawannya. Maka cepat dia menarik napas panjang satu kali dan rasa sakit di tengkuknya itupun hilang. Kini dia menghampiri tubuh si datuk sesat dengan mata mencorong. Cheng-gan Sian-jin terbelalak, dia tak dapat bangun karena tendangan maut itu benar -benar membuatnya lumpuh.
“Malaikat Gurun Neraka, apakah kau tidak malu siap menurunkan tangan maut kepada seorang lawan yang tidak berdaya?” Cheng-gan Sian-jin berteriak dengan mata mendelik penuh kemarahan.
Akan tetapi pendekar itu tidak menjawab, bahkan sinar matanya semakin berkilat mengerikan dan hati kakek iblis itu menjadi gentar. Langkah lambat-lambat dari pendekar ini membuat jantung Cheng-gan Sian-jin seolah berhenti berdenyut dan ketika pendekar itu telah tiba dalam jarak satu meter, Malaikat Gurun Neraka berhenti. “Seorang iblis macammu ini tidak layak hidup di bumi lagi, Cheng-gan Sian-jin, maka terimalah kematianmu!" pendekar itu mendesis dan secepat kilat dia melancarkan pukulan petir yang amat mengerikan itu.
"Darrr…!” Ledakan nyaring terdengar dan api menyambar dari kedua telapak tangan Malaikat Gurun Neraka seperti cahaya halilintar di tengah gemuruhnya hujan lebat.
Cheng-gan Sian-jin hendak menggulingkan tubuh mengelak, akan tetapi tiba-tiba dia menyeringai kesakitan. Isi perutnya yang serasa hancur itu membuat dia benar-benar tak berdaya, apalagi kaki kirinya tiba-tiba terasa nyeri bukan main sampai terasa menusuk jantung, maka dengan mata melotot penuh kebencian dia menerima serangan maut itu.
"Desss!" Debu mengepul dan tampak asap mendidih ketika pukulan petir ini menghantam tanah. Akan tetapi tubuh Cheng-gan Sian-jin yang tadi terlentang tak berdaya dengan mulut menyeringai, tiba-tiba saja lenyap tak ada bekasnya! Dan sebagai gantinya, tanah dimana kakek iblis itu tadi berbaring, terhajar pukulan maut ini dan muncratlah letikan api yang membuat tanah bekas robohnya Cheng-gan Sian-jin itu hangus seperti disambar halilintar!
"Ihh....!” pendekar ini mengeluarkan seruan kaget dan secepat kilat dia membalikkan tubuh. Tadi ketika pukulannya tiba, dia melihat berkelebatnya sebuah bayangan yang luar biasa cepatnya menyambar tempat itu dan tahu-tahu tubuh si kakek iblis lenyap. Sekarang, setelah dia memutar tubuh menengok, pendekar ini tertegun dengan mata terbelalak ketika melihat betapa seorang laki-laki telah berdiri di tempat itu dengan sikap yang amat tenang, sementara tubuh Cheng-gan Sian-jin menggeletak tak jauh dari orang ini!
“Ahh...!” Malaikat Gurun Neraka surut setindak dan memandang ke depan dengan mata tidak berkedip. Apa yang dilihatnya itu memang sungguh luar biasa dan tak terasa lagi pendekar sakti ini berdetak jantungnya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia melihat seorang manusia yang tubuhnya mengeluarkan cahaya gemilang sedemikian rupa dan sinar kesuciannya memancar terang, membuat kepekatan malam terusir dan tempat itu menjadi terang seperti disinari cahaya bulan yang sejuk keemasan.
Sementara pendekar itu berdiri terbelalak, laki-laki ini yang sebenarnya bukan lain adalah Bu-beng Siansu adanya, melangkah ke depan dengan tindakan perlahan dan tertawa lirih sambil berkata, "Harap taihiap maafkan kelancanganku. Sebenarnya, bukanlah atas kehendakku pribadi aku menyelamatkan Cheng-gan Sian-jin dari maut, akan tetapi semata-mata kehendak Tuhan Yang Maha Welas Asih. Taihiap, mengingat kebesaran hatimu dan watakmu sebagai seorang pendekar besar, bolehkah aku mohonkan ampun bagi manusia yarg sedang berjalan di dalam kegelapan ini?"
Malaikat Gurun Neraka tertegun, lalu menarik napas panjang menenangkan guncangan hatinya berjumpa dengan manusia suci ini dan dia menjawab, "Bukti apakah yang dapat anda berikan kepadaku bahwa ini bukanlah kehendak anda pribadi melainkan kehendak Tuhan Yang Maha Welas Asih? Kalau saja aku boleh mendengar, agaknya akupun tidak akan berani menolak."
Bu-beng Siansu tertawa lembut karena dia maklum apa sebetulnya makna dari ucapan pendekar itu. Dia tidak segera menjawab, melainkan menengadah ke atas dan seperti orang bernyanyi dia bersyair,
"Duhai langit dan bumi apa sajakah yang telah kau berikan kepada kami.
Kehidupan, kesenangan, kemuliaan.
Agaknya begitulah... namun, apakah yang kami berikan kepadamu.
Belum ada... belum ada...
Ohh langit dan bumi dapatkah kau maafkan kami?
Kami manusia temaha, kami manusia loba dan agaknya sampai di ujung kuburpun kami tak mampu membalas semua pemberianmu ini!"
Malaikat Gurun Neraka mendengarkan syair itu dengan seksama namun dia tidak mengerti hubungannya kalimat-kalimat itu dengan pertanyaannya. Dia menunggu sampai Bu-beng Siansu selesai bersyair dan kini manusia dewa itu kembali menghadapinya.
"Taihiap," kakek itu bertanya halus, "dapatkah engkau menangkap inti jawabanku melalui syair ini?"
Malaikat Gurun Neraka tercengang, tidak mengira bahwa syair yang dinyanyikan oleh Bu-beng Siansu itu ternyata mengandung jawaban untuk pertanyaannya tadi. Tentu saja dia terkejut karena memang dia tidak tahu, maka dengan terus terang pendekar ini menjawab, "Maaf, Siansu, aku belum dapat menangkap inti syair itu...."
Bu-beng Siansu menghela napas panjang. "Baiklah," katanya, "nantipun jawabannya akan muncul sendiri. Sekarang, kembali kepada permintaanku tadi, maukah taihiap membebaskan musuhmu itu? Membunuh sesama manusia adalah sungguh perbuatan yang amat ganas sekali, taihiap, dan engkaupun tentu memakluminya, bukan?"
Diingatkan kepada persoalan Cheng -gan Sian-jin membuat wajah pendekar ini tiba-tiba menjadi keras. Dia memandang kakek dewa itu dengan sinar mencorong dan dengan suara berat dia berkata, "Apa yang diucapkan Siansu memang benar. Akan tetapi, apakah Siansu hendak membutakan mata bahwa Cheng-gan Sian jin telah banyak melakukan keganasan-keganasan seperti yang Siansu katakan itu? Dia bukan lagi merupakan seorang manusia, akan tetapi iblis sendiri yang merajalela! Siansu mengingatkan aku dan kini seolah-olah membelanya, apakah tindakan Siansu ini tidak berat sebelah? Apakah Siansu lupa bahwa tugas seorang pendekar adalah melenyapkan segala anasir-anasir jahat di muka bumi? Dengan membela manusia semacam itu, berarti Siansu menanggung resiko yang amat berat sekali dan aku telah mengambil keputusan bulat untuk mengenyahkan iblis ini dari muka bumi. Terlalu banyak kesalahan-kesalahan yang dibuatnya dan akhir-akhir ini dia bahkan berani mengganggu muridku! Nah, apakah semua ini telah Siansu ketahui?"
Ucapan penuh semangat yang timbul dari kemarahan itu membuat wajah Malaikat Gurun Neraka berapi-api dan sinar matanya yang mencorong seperti mata naga ini memandang Bu-beng siansu tanpa berkedip. Mendengar semua kata-kata yang meluncur seperti berondongan peluru dari mulut pendekar itu, Bu-beng Siansu bersikap tenang, malah tiba-tiba tertawa. Halus dan enak ketawanya, empuk dan memiliki pengaruh menyejukkan sehingga suasana panas yang ditimbulkan oleh luapan emosi Malaikat Gurun Neraka mendadak lenyap seperti disapu angin semilir.
“Taihiap, kau betul-betul mengagumkan hatiku. Pantaslah kalau orang menyebutmu sebagai sang naga dari utara. Semangatmu tinggi watakmu teguh, tidak mudah ditekuk oleh segala macam bujukan. Hemm, kau memang pantas mendapat gelar pendekar sakti..."
Bu-beng Sian-su berhenti sejenak, memandang dengan bersinar-sinar dan mulut tersenyum kearah pendekar sakti itu dan Malaikat Gurun Neraka terkejut ketika tiba-tiba tampak sorot cahaya timbul dari dalam kabut yang melindungi wajah si manusia dewa ini. Tadi dia telah mengerahkan kekuatan batinnya untuk menjenguk ke balik halimun itu, akan tetapi dia kurang berhasil dan yang tampak olehnya adalah sebuah wajah yang samar-samar bentuknya. Sekarang, mendadak dia dapat melihat jelas wajah di balik kabut itu dan pendekar sakti ini mengeluarkan seruan tertahan.
Bu-beng Sian-su ternyata memiliki wajah yang luar biasa cerahnya, matanya bersinar gaib, bening mencorong akan tetapi mengandung sinar kelembutan yang amat dalam, tampan dan kulit mukanya tanpa keriput. Rambutnya hitam, alisnya juga hitam dan wajah pria ini segar seperti anak muda tujuh belasan tahun!
Ah, mana mungkin ada kejadian demikian anehnya? Nama manusia dewa itu telah muncul lama sekali, puluhan tahun yang lalu, bahkan ketika gurunya sendiri masih hidup! Kalau ditaksir, usia Bu-beng Sian-su tentunya sudah lebih dari seratus tahun. Akan tetapi... wajah itu... wajah yang demikian segar gemilang itu... bagaimana orang dapat percaya akan kenyataan ini? Malaikat Gurun Neraka terpukau di tempatnya dan dia tidak tahu apakah Bu-beng Sian-su ini seorang anak muda ataukah seorang kakek tua!
Namun penglihatan luar biasa itu hanya sekejap saja karena Bu-beng Sian-su memang sengaja "membuka diri" di depan pendekar sakti ini, di lain kejap kemudian Malaikat Gurun Neraka kembali melihat wajah yang samar-samar dibalik kabut itu. Manusia dewa ini telah "menutup diri” kembali dan tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjenguk wajahnya. Bagi orang-orang biasa, wajahnya akan sama sekali tidak nampak, dan hanya bagi orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi sajalah yang akan dapat menerobos halimun gaibnya, dan itupun hanya samar-samar belaka.
Sementara pendekar sakti itu berdiri bengong, tiba-tiba Bu-beng Siansu mengajukan pertanyaan ganjil, "Taihiap, siapakah sebenarnya yang memberimu ilmu kepandaian ini?”
Pertanyaan ini dilancarkan tiba-tiba dan Malaikat Gurun Neraka terkejut. "Apa... apa maksud Siansu?" pendekar itu tergagap akan tetapi cepat dia telah dapat menenangkan diri.
Bu-beng Siansu tersenyum. "Aku bertanya, siapakah yang memberikan semua kepandaian yang taihiap miliki sekarang ini?"
“Hemm, tentu saja guruku sendiri. Ada apakah Siansu menanyakan hal yang terasa aneh ini?”
Kakek itu tidak menjawab melainkan meneruskan dengan pertanyaan berikutnya, "Dan siapakah yang mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki oleh guru taihiap dulu?”
Kini Malaikat Gurun Neraka yang tidak menjawab, pendekar ini bahkan mengerutkan alisnya dan dia memandang penuh keheranan akan pertanyaan sang bijaksana itu.
Melihat betapa pendekar itu berdiam diri dan kini memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, Bu beng Sian-su tertawa. "Taihiap, aku akan memulai untuk memberikan bukti kepadamu bahwa pertolongan yang kulakukan atas diri Cheng-gan Sian-jin sungguh-sungguh bukan kehendakku pribadi melainkan kehendak Yang Maha Welas Asih. Nah, untuk mengerti lebih lanjut, harap taihiap jawab semua pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Jangan ragu-ragu atau curiga, aku tidak main-main dan tidak membohong."
Merah wajah pendekar ini. Memang dia menaruh prasangka terhadap manusia dewa itu, akan tetapi mendengar kesungguhan kalimat orang, dia menghilangkan semua dugaannya dan mengangguk. "Baiklah," katanya dengan suara rendah, "coba Sian-su ulangi sekali lagi pertanyaan Sian-su dari semula."
Kakek itu menarik napas panjang, lalu dengan pertanyaannya semula, "Taihiap, dari siapakah engkau mendapatkan ilmu-ilmu kepandaian yang kaumiliki sekarang ini?”
"Dari guruku sendiri."
"Dan tahukah taihiap dari siapa pula guru taihiap dulu mendapatkan ilmu-ilmunya?"
"Dari suhu beliau, yakni kakek guruku."
"Dan dari siapa kakek guru taihiap mendapatkan ilmu-ilmunya?"
“Tentu saja dari guru kakek guruku itu, sucouw yang hidup kurang lebih duaratus tahun lalu."
"Dan dari siapakah sucouw taihiap mendapatkan ilmu-ilmunya?"
Diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang kian lama kian meningkat ke atas ini Malaikat Gurun Neraka terbelalak. Kalau saja dia tidak merasakan bahwa Bu-beng Sian-su bersungguh-sungguh dalam pertanyaannya itu, tentu dia menganggap bahwa orang telah bermain-main dengan dirinya! Mana ada pertanyaan yang tiada habis-habisnya semacam ini? Sejenak pendekar itu tak mampu menjawab dan Bu-beng Sian-su terkekeh lembut.
"Taihiap," katanya sambil tertawa, "kau telah menjebak dirimu sendiri dengan jawaban-jawaban yang kurang tepat. Kalau aku terus bertanya siapakah guru-guru mbah-buyutmu itu, kutanggung kaupun akan selalu mengatakan 'guru dari sucouw A' atau ‘guru dari susiok-couw B’. Jelas tanya-jawab kita akan memakan waktu yang umurnya sama dengan umur dunia sendiri. Taihiap telah menjerat diri dengan jawaban yang kurang jitu dan taihiap tentu akan kebingungan sendiri. Hemm, baiklah, coba taihiap dengarkan bait pertama dari syairku ini...."
Bu-beng Sian-su berhenti sebentar dan tiba-tiba saja Malaikat Gurun Neraka merasa tertarik sekali dengan tanya-jawab yang pendek-pendek tadi. Entah mengapa, gerak-gerik dan sikap manusia dewa yang penuh diselimuti rahasia gaib ini membuatnya terangsang untuk mengetahui apakah sebenarnya yang menjadi maksud tujuan Bu beng Sian-su itu. Maka pendekar ini lalu memandang penuh perhatian dan diapun mendengarkan dengan seksama ketika sang bijaksana ini mulai mengulang syairnya.
"Taihiap, coba dengarkan baik-baik," Bu beng Sian-su berkata perlahan dan kakek ini lalu mulai membacakan bait pertama dari syairnya seperti orang bernyanyi. “Duhai langit dan bumi, apa sajakah yang telah kau berikan kepada kami? Kehidupan, kesenangan, kemuliaan...?"
Sampai di sini, kakek itu berhenti, tidak melanjutkan ke bait-bait berikutnya dan memandang ke arah Malaikat Gurun Neraka yang melihat semua kejadian ini dengan mata terbelalak. "Taihiap, dapatkah engkau mengerti atau setidak-tidaknya menyentuh apa yang kumaksudkan?" tanyanya halus.
Pendekar itu menggeleng kepala. "Kata-kata Siansu mengandung rahasia rumit, terus terang aku belum berhasil menebaknya," jawabnya singkat.
"Hemm, kalau begitu begini saja. Taihiap, bagaimanakah pendapatmu tentang bait pertama ini? Dapatkah kau merasakan kebenaran yang mencakup di dalamnya? Tidak benarkah kalau kukatakan betapa bumi dan langit telah memberikan kehidupan, kesenangan dan kemuliaan kepada manusia?"
Malaikat Gurun Neraka mengangguk. "Apa yang dikatakan Sian-su memang benar, akan tetapi agaknya kurang lengkap. Selain kesenangan dan kemuliaan, bukankah bumi dan langit juga memberikan kesusahan dan kehinaan?"
Tiba-tiba Bu-beng Sian-su tertawa. "Ah, taihiap memiliki batin yang cukup cerdas. Akan tetapi, bukankah kesenangan, kemuliaan, kesusahan dan kehinaan itu sudah termasuk dalam kata 'kehidupan'? Taihiap, sebagai seorang yang telah matang lahir batin, bukankah taihiap tahu bahwa kehidupan ini adalah seperti itu? Manusia hidup memang harus mengalami susah-senang mulia-hina. Bukankah ini semua adalah hidup? Mengapa taihiap hendak memisah-misahkannya?"
"Bukan aku yang memisah-misahkannya, Sian-su, melainkan Sian-su sendirilah! Bait pertama itulah buktinya. Sian-su melepas kata-kata 'kesenangan' dan kemuliaan' dari kata 'kehidupan'. Nah, siapakah yang sengaja memisah-misahkan di sini?"
Mendengar bantahan yang nadanya agak ngotot itu, Bu-beng Sian-su tak dapat menahan geli hatinya. Kakek ini tertawa ramah dan berkata, "Ah, ternyata taihiap sungguh mempunyai kecerdasan batin yang amat teliti. Memang aku sengaja melakukan hal itu agar lebih mudah diserap artinya oleh orang lain. Akan tetapi, harap taihiap melihatnya, bukankah aku meletakkan kata 'kehidupan' di depan sendiri? Nah, ini berarti bahwa kata-kata berikutnya merupakan rangkaian belaka dari kalimat di muka. Maksudku, dengan rangkaian kata-kata di belakang, kalimat itu akan menjadi lebih jelas bagi yang kurang memiliki kecerdasan batin. Dapatkah taihiap mengerti tentang apa kumaksudkan?"
Pendekar sakti itu menganggukkan kepalanya. “Sampa i di sini, aku paham, Sian-su."
"Hemm, baiklah. Jadi taihiap mengakui apabila kukatakan bahwa kehidupan ini pemberian bumi dan langit?"
"Agaknya begitulah."
“ Eh, mengapa taihiap masih mengatakan ‘agaknya’? Taihiap meragukan kenyataan ini? Bukankah hal ini sudah amat gamblang sekali dan tidak perlu kita berbimbang hati lagi, taihiap?" Bu-beng Siansu mencela dan nadanya setengah menegur.
Terpaksa pendekar itu tidak mampu menolak dan dengan anggukan mantap diapun mengiakan. “Apa yang diucapkan Siansu tepat adanya, aku menyetujuinya."
“Nah, sekarang, ingin aku bertanya. Taihiap, di dalam kehidupan ataukah kematian pada saat ini?"
"Aku berada di dalam kehidupan."
"Bagus, tanya jawab kita mulai lancar. Dan semua kepandaian taihiap yang taihiap miliki, tidakkah taihiap dahulu mengalami susah-senang-mulia-hina ketika memperolehnya? Apakah sama sekali tidak ada perjuangan di situ? Ataukah untuk mencapai tingkat seperti yang telah taihiap punyai, dari dulu sampai sekarang hanya kesenangan dan kemuliaan melulu yang taihiap peroleh?"
"Tidak, melainkan keempat-empatnya. Dalam menggembleng diri, dalam belajar menuntut ilmu dalam hampir segala hal, aku tidak terlepas dari susah-senang-mulia-hina."
"Dan dimana taihiap belajar?"
"Maksud Siansu?" Malaikat Gurun Neraka bertanya heran dan tidak segera menjawab pertanyaan ini.
"Maksudku, dimanakah ketika itu taihiap mempelajarinya?"
"Ah, tentu saja di tempat tinggal guruku.”
"Dan tempat tinggal gurumu itu dimana, taihiap? Di tengah udara? Di langit? Ataukah di bumi?”
Pendekar ini terbelalak dan tanya jawab ini tiba-tiba mulai dapat ditangkap kemana tujuannya. Hanya dia masih merabanya secara samar-samar dan pertanyaan itu dengan suara perlahan dijawabnya, "Di bumi...."
"Bagus! Taihiap mulai menyentuh apa yang kumaksudkan. Di bumi, betapa tepatnya jawaban ini. Taihiap kini tentu tahu bahwa kalau tidak ada bumi untuk tempat berpijak pada waktu taihiap melatih ilmu, agaknya taihiap tidak dapat memiliki kepandaian. Dan makan-minum taihiap untuk melangsungkan kehidupan ini, bukankah dari bumi juga? Pepohonan yang menghasilkan buah-buah segar untuk manusia, diberikan oleh bumi. Pohon-pohon raksasa yang menghasilkan kayu untuk rumah, juga diberikan oleh bumi ini, belum termasuk tanaman sayur-mayur, air untuk mandi dan minum, binatang yang dagingnya dapat dimakan, semuanya... semuanya itu diberikan oleh bumi. Taihiap, dapat anda lihat, betapa bumi telah memberikan semuanya kepada kita untuk merasakan kehidupan! Tidak benarkah ini?"
“Apa yang Sian-su katakan memang benar," pendekar itu menjawab dan sepasang matanya bersinar-sinar aneh.
"Nah, itu semua baru setengah keterangan, masih belum lengkap benar. Sekarang aku hendak melengkapinya, harap taihiap dengarkan baik-baik. Coba taihiap jawab pertanyaan ini. Di manakah bintang-bintang menempel? Di manakah matahari dan bulan berada?"
Tanpa ragu Malaikat Gurun Neraka menjawab, "Di langit!"
"Aha, jawaban yang amat cepat dan tepat,” Bu -beng Sian-su tertawa geli melihat jawaban yang meluncur tanpa dipikir lagi itu. "Dan sekarang dimanakah taihiap pernah menyaksikan berkelebatnya halilintar?"
Pertanyaan ini mengejutkan hati pendekar itu dan otomatis dia teringat kepada ilmu simpanannya yang disebut Lui-kong Ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar). Sejenak dia tertegun kemudian dengan suara perlahan dia menjawab, "Juga di langit, Sian-su, di cakrawala…”
"Cocok sekali!" manusia dewa itu berseru. "Dan sekarang taihiap dapat lihat, betapa langitpun telah membantu kehidupan manusia di bumi. Taihiap, seandainya... ini seandainya saja... jika langit tidak ada, mungkinkah taihiap mampu menciptakan Lui-kong Ciang-hoat yang amat dahsyat dan mengerikan itu? Jika langit seandainya tidak ada, mungkinkah taihiap dapat melihat layang-layang yang diciptakan manusia? Jika seandainya langit tidak ada, mungkinkah taihiap dapat menyaksikan burung hong dan burung-burung lain di cakrawala? Dan, jika seandainya langit tidak ada, mungkinkah terdapat hawa udara yang setiap saat kita hirup? Mungkinkah taihiap dapat menyaksikan kelap-kelipnya bintang? Menyaksikan sinar keemasan purnama? Dan, yang terakhir sekali, seandainya langit tidak ada dan tidak mendapat matahari di atas sana, mungkinkah kehidupan ini masih dapat berlangsung sampai sekarang?”
Kini sepasang mata pendekar sakti itu kian lama kian terbelalak dan dia memandang bu-beng Sian-su dengan wajah sedikit pucat. Uraian panjang lebar dari manusia dewa ini membuatnya semakin mengerti tentang apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh kakek yang luar biasa itu dan terasa lagi hatinya tergetar. Dia melihat sesuatu yang mengerikan di dalam kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya tiba-tiba takut akan sesuatu dan pendekar ini tidak berani mengeluarkan suara, dia menunggu kelanjutan ceramah ini.
Bu-beng Sian-su tersenyum, menarik napas panjang lalu meneruskan, "Nah, taihiap, sekarang kau dapat melihat dengan jelas sekali bahwa di samping bumi, langitpun juga telah memberikan kepada manusia apa-apa yang dibutuhkannya. Bumi demikian murah kepada kita, dan langit pun tiada beda. Bumi dan langit telah memberikan segala-galanya kepada manusia, akan tetapi apakah yang manusia berikan kepadanya?”
Manusia dewa itu menghentikan kata-katanya, lalu tiba-tiba bertanya kepada Malaikat Gurun Neraka, "Taihiap, kalau sekarang bumi dan langit minta sesuatu kepadamu, masihkah engkau hendak menolaknya?"
Pendekar itu tercekat, tak terasa dia melangkah mundur. Bu-beng Sian-su telah berbicara panjang lebar dan dia tahu, siapakah yang dimaksudkan dengan bumi dan langit itu. Bukan lain adalah Tuhan sendiri! Kakek luar biasa itu mengambil nama lain dari Yang Maha Welas Asih, sebagaimana bangsa-bangsa lain di bumi mempunyai nama sendiri-sendiri tentang Tuhan Seru Sekalian Alam.
"Apa... apa yang Sian-su maksudkan?" dia bertanya dengan mata terbelalak.
Kakek dewa itu kembali tersenyum, "Taihiap, seandainya bumi dan langit minta agar kau membebaskan manusia yang sedang berjalan dalam kegelapan ini, maukah engkau memberikannya?"
"Akan tetapi, yang minta bukanlah bumi dan langit, melainkan Sian-su!" pendekar itu membantah.
"Ah, taihiap masih dibungkus emosi, kurang jernih pikirannya. Malalkat Gurun Neraka, percayakah engkau akan adanya suatu kebetulan di bumi ini? Adakah sebenarnya kebetulan itu sendiri tanpa adanya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa? Bisakah 'kebetulan' itu sendiri berjalan kalau Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya? Malaikat Gurun Neraka, coba kau jawab pertanyaanku ini. Apakah kedatanganku kemari ini adalah sungguh-sungguh kebetulan ataukah memang karena kehendak Yang Maha Kuasa?"
Bentakan yang dikeluarkan oleh Bu-beng Sian-su ini benar-benar mengejutkan pendekar sakti itu. Tadi kakek ini selalu berbicara halus dan ramah, akan tetapi sekarang tampak demikian garang dan dia benar-benar kaget bukan main. "Sian-su..."
"Jangan banyak tanya!" kakek itu membentak. "Kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apakah kedatanganku kemari adalah kebetulan ataukah karena memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa?"
Malaikat Gurun Neraka tersudut, dia tak mampu menjawab. Sebagai orang yang percaya penuh akan ke kuasaan Yang Maha Tinggi, mana...
(Halaman 36 - 37 hilang…)
...taihiap suka, boleh taihiap pergi ke sebelah tenggara dari sini yang jaraknya kurang lebih tujuh puluh li. Murid taihiap ada di sana bersama orang-orang lain. Dan pesanku, harap taihiap menahan diri dalam perjumpaan taihiap dengan murid taihiap yang gagah perkasa itu. Jangan terburu nafsu menjatuhkan hukuman. Ingat, manusia terlalu lemah terhadap nafsu-nafsu yang ada di dalam diri sendiri, baik nafsu amarah, nafsu dendam, ambisi, dan lain-lainnya. Nah, selamat tinggal...!" Kakek itu bergerak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap.
Pendekar ini memandang kagum dan mau tak mau dia harus mengakui bahwa manusia dewa itu memang betul-betul orang luar biasa. Apalagi ketika dia menengok, tubuh Cheng-gan Sian-jin yang tadi pingsan di situ, juga sudah dibawa pergi oleh Bu-beng Sian-su tanpa dia sempat melihat kapankah kakek itu menyambar tubuh si kakek iblis!
Dan percakapan yang tidak begitu lama dengan Bu-beng Sian-su tadi ternyata membawa perobahan besar di dalam dirinya. Pendekar ini menarik napas panjang. Terngiang di telinganya akan wejangan manusia dewa itu betapa kehidupan yang dirasakan dan dialami oleh manusia adalah pemberian bumi dan langit. Betapa kepandaian yang diperolehnya itupun sebenarnya adalah atas kemurahan dan bantuan bumi langit.
Tanpa kemurahan bumi langit, manusia tidak akan dapat merasakan apakah arti kehidupan ini. Dan semua yang terjadi di sekitarnya, sesungguhnya bukan lain juga atas kehendak bumi langit, termasuk peristiwa yang menimpa muridnya!
Sampai di sini wajah pendekar itu menjadi pucat. Dia amat mencinta murid tunggalnya itu, amat menyayang dan semua ilmu-ilmunya telah diberikannya kepada pemuda itu. Akan tetapi murid yang amat dikasihi dan disayang itu telah mencoreng mukanya dengan noda kotor berupa perjinaan keji! Tertusuk perasaan pendekar ini dan terdapat kenyerian di dalam hatinya.
Apakah inipun juga atas kehendak bumi langit? Agaknya begitulah. Bukankah tidak ada satu kejadianpun yang bisa dikatakan 'kebetulan'? Bukankah sebenarnya semua yang bergerak dan terjadi ini adalah kemauan Yang Maha Kuasa? Akan tetapi, pemberian bumi langit kali ini terasa pahit dan tidak menyenangkan. Namun, bukankah inilah yang disebut keh idupan? Adakah manusia hidup yang tidak pernah mengalami hal-hal tidak menyenangkan? Mustahil!
Seperti kata Bu-beng Sian-su tadi, hidup adalah senang-susah-mulia-hina. Dan ini memang benar. Mana ada orang senang melulu di dunia ini? Akan tetapi sebaliknya, mana ada orang susah melulu di dunia ini? Hidup mencakup kesemuanya itu dan dia harus menerima kenyataan ini. Menentang kenyataan agaknya sama halnya dengan menentang garis Alam!
Bumi dan langit memberikan segala-galanya kepada manusia. Akan tetapi di pihak manusia sendiri, apakah yang telah diberikannya kepada bumi dan langit? Belum ada... belum ada... demikian menurut syair Bu-beng Sian-su tadi. Dan ini rupanya benar. Kalau toh ada, yang diberikan kepada bumi dan langit oleh manusia adalah sampah-sampah kotor berupa segala macam perbuatan-perbuatan jahat yang timbul dari akal busuk manusia.
Dan ini semua mungkin karena kelemahan manusia sendiri terhadap nafsu-nafsunya yang terlalu mengejar kesenangan. Manusia terlalu temahak, manusia terlalu loba, demikian Bu-beng Sian-su tadi berkata pula. Dan agaknya semua inipun juga betul. Manusia tidak pernah mengenal kepuasan, terlalu tamak, serakah dan angkara murka. Akan tetapi, salahkah manusia? Bukankah semua yang terjadi itupun sebenarnya adalah kehendak bumi langit?
Sampai di sini tiba-tiba pendekar itu tersentak kaget dan mukanya berobah. Bukankah kalau bumi langit menghendaki semuanya baik pasti dapat? Akan tetapi mengapa bumi langit seolah-olah membiarkan manusia bebas dan liar semau-maunya dalam mengumbar nafsu kejahatannya yang tiada kunjung padam? Kalau dilihat begini, meskipun manusia boleh disalahkan, akan tetapi tidak bisa disalahkan mutlak! Ahh, agaknya inilah yang membuat Bu-beng Sian-su tadi turun tangan menyelamatkan Cheng-gan Sian-jin. Seberat-beratnya dosa manusia, akan tetapi kesalahannya tidak bisa dibilang mutlak karena bukankah semua perbuatannya yang terjadi itupun adalah atas kehendak bumi langit? Tanpa kehendak bumi langit, tidak akan terjadi apapun!
Ingatan ini benar-benar membuat hati pendekar itu terkejut sekali. Dia tiba-tiba merasa gelisah, juga bingung tanpa diketahui sebab-sebabnya. Mengapa bumi langit membiarkan semuanya ini? Mengapa? Inilah pertanyaan yang menghantui pikirannya. Mendadak, tanpa disengaja, mata pendekar yang amat tajam ini melihat coretan huruf di kulit sebatang pohon. Sekali lompat dia mendekati tempat itu dan sekarang tampaklah olehnya lima buah kalimat tertulis, rapi dan halus di kulit pohon ini, dan yang mengejutkan hati pendekar itu adalah kenyataan betapa tulisan ini merupakan pertanyaan yang sama dengan apa yang direnungkannya!
Tentu saja Malaikat Gurun Neraka terbelalak dan sekali pandang dia maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu-beng Sian-su. Dia menjadi heran dan takjub bukan main karena agaknya manusia dewa itu dapat meneropong isi hatinya dengan jitu. Cepat pendekar ini membaca dan lima baris kalimat itu berbunyi:
"Sesungguhnyalah bumi langit Maha Pemurah, Membiarkan manusia berbuat sesukanya, Jahat? Boleh! Baik? Juga boleh!, Mengapa....??"
Hanya inilah yang tertulis di situ dan Bu-beng Sian-su tidak memberikan jawabannya. Diam diam Malaikat Gurun Neraka menjadi penasaran sekali. Kalau manusia dewa itu berani menuliskan pertanyaan ini tentu diapun mempunyai jawabannya. Akan tetapi, mengapa tidak dijawab sekalian? Pendekar ini menjadi gemas. Pertanyaan dalam kalimat itu persis dengan pikirannya dan dia belum mengetahui jawabannya. Sedangkan Bu-beng Sian-su sudah tahu akan tetapi tidak mau memberitahunya. Tentu saja dia merasa penasaran sekali. Kalau saja dia tahu kemana gerangan manusia dewa itu berada, tentu dia akan mencarinya.
Namun, siapa mampu mencari Bu-beng Sian-su kalau kakek dewa itu sendiri tidak menghendaki dirinya muncul di depan orang lain? Perjumpaannya dengan kakek suci tadi saja sudah bisa dibilang merupakan anugerah baginya. Sesungguhnyalah tidak gampang bertemu dengan Sang Bijaksana ini, dan kalau tidak ada jodoh agaknya sukar untuk menjumpai manusia itu.
Memang, apa yang diduga oleh Malaikat Gurun Neraka tepat adanya. Jawaban dari lima baris kalimat di atas sebenarnya hanya terdiri dari enam perkataan, dan kalau saja pendekar itu tahu, tentu dia akan tercengang keheranan! Apakah enam perkataan yang merupakan kunci jawaban bagi kalimat-kalimat tersebut? Biarlah di lain kesempatan dalam ceritera berikutnya penulis akan memberitahukan hal ini kepada anda semua. Harap para pembaca bersabar hati.
Dan kalau tiba saatnya anda ketahui, penulis yakin bahwa anda tentu akan terkejut dan tercengang keheranan membuktikan betapa tepatnya jawaban Bu-beng Sian-su itu. Sekarang baiklah kita ikuti saja pendekar sakti ini, dimana setelah memeras otaknya mencoba mencari jawaban dari tulisan Bu-beng Sian-su itu tidak berhasil, pendekar ini lalu merobek kulit pohon itu dan menyimpan kalimat misterius itu di dalam saku bajunya.
Kemudian setelah berpikir sejenak, Malaikat Gurun Neraka lalu berkelebat ke arah tenggara. Tujuh puluh li dari tempat ini, demikian Bu-beng Siansu tadi berkata, dia akan bertemu dengan muridnya itu bersama beberapa orang lain. Dan pendekar sakti ini sebelumnya memang sudah tahu bahwa ketika dia memasuki gedung Cheng-gan Sian-jin dan bertanding melawan kakek iblis itu, dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang dimana diantaranya dia melihat Ta Bhok Hwesio di situ. Kepala yang gundul dan bentuk tubuhnya yang pendek ini memang membuat hwesio itu mudah dikenal. Itulah sebabnya mengapa pendekar ini berani meninggalkan muridnya menggeletak pingsan di ruangan itu karena dia tahu bahwa hwesio itu pasti tidak akan tinggal diam.
* * * * * * * *
Pemuda baju biru itu kabur dengan cepat. Kuda hitamnya yang tinggi besar terbang seperti anak panah terlepas dari busur. Malam cukup gelap, akan tetapi mereka ini dapat meluncur sedemikian mudahnya di daerah perbukitan itu. Jelas bahwa penunggangnya telah hapal di luar kepala lika-liku jalanan ini.
Siapakah mereka? Bukan lain adalah Fan Li, wakil dan sekaligus pembantu setia dari Yap-goanswe. Baru saja dia memasuki sarang harimau, dan tanpa adanya bantuan Bu beng Siansu, tentu tidak akan dapat dia membawa pergi bekas jenderal muda yang masih pingsan itu dengan cara demikian mudah.
Kejadian yang baru saja dialaminya ini diam -diam membuatnya merasa tegang bukan main. Bayangkan saja, mendobrak pintu gerbang dan memasuki sarang musuh serta melihat ribuan pasukan Wu yang memandangnya dengan mata beringas sungguh dapat menciutkan nyali. Kalau saja di belakangnya tidak ada Bu-beng Siansu, perbuatan yang dilakukannya itu tentu akan dipikirkannya seribu kali terlebih dahulu sebelum bertindak.
Namun, semuanya itu telah berlalu dan sekarang dia dapat menarik napas panjang. Kelegaan memenuhi hatinya bahwa dia dapat membebaskan Yap goanswe dari tangan musuh. Akan tetapi, melihat betapa pemuda itu pucat pias seperti mayat dan napasnya lemah, mau tak mau hati Fan Li gelisah juga. Bu-beng Sian-su memerintahkan dia kabur ke arah tenggara, tujuh puluh li dari kota raja.
Dia tidak tahu apakah yang akan dijumpainya di sana. Namun, kepercayaan yang sudah bulat terhadap manusia dewa itu tidak membuat pemuda ini ragu-ragu. Apa yang dikatakan Bu-beng Siansu tentu membawa kegunaan, maka secara membuta diapun melaksanakan pekerjaan ini.
Akhirnya, setelah dia melakukan perjalanan yang cukup jauh itu, sampailah Fan Li ke sebuah hutan kecil. Sebuah kelenteng kuno berdiri tak jauh di depan hutan itu, dan ini cocok dengan petunjuk Sian-su. Cepat ia membalapkan kudanya dan tidak lama kemudian merekapun telah tiba di halaman kelenteng itu.
"Hek-ma, kita turun di sini dan menanti teman-teman," Fan Li melompat turun dan berkata kepada kuda hitam itu yang meringkik nyaring.
Hek-ma memang seekor kuda yang luar biasa, perkataan manusia dia mampu mengertinya dengan baik dan Fan Li yang dulu selalu berdekatan dengan Yap-goanswe, juga dikenal oleh kuda ini sebagai sahabat tuan mudanya.
Sambil memanggul tubuh Bu Kong, Fan Li melangkah memasuki kelenteng kuno itu. Cepat pemuda ini membersihkan lantai ruangan yang penuh debu, lalu dia membentangkan mantelnya dan membaringkan Yap-goanswe di situ.
Sejenak dia memandang wajah tampan yang pucat itu, menarik napas melihat betapa pakaian jenderal muda ini setengah telanjang dan di dahinya terdapat garis-garis tekanan batin. Semuda itu Yap goanswe sudah harus mengalami pukulan batin bertubi-tubi, hal ini sungguh membuat hatinya ikut prihatin.
Seperti orang-orang lainnya pula, Fan Li pun tahu betapa tuduhan keji menimpa diri Yap-goanswe. Bahkan sebagai orang yang paling dekat dengan pemuda itu, agaknya Fan Li mengerti lebih baik daripada orang-orang lain yang mendengar berita di luaran yang tentu saja telah diberi bumbu -bumbu tambahan. Dan kembali pemuda ini menarik napas berat.
Diam-diam diapun ikut tertekan batinnya. Yap-goanswe selain sebagai atasannya, juga merupakan sahabat yang paling dia cinta dan hormati. Watak yang gagah perkasa dan jujur penuh keberanian dari jenderal muda ini membuatnya kagum. Dan diapun sukar untuk mempercaya kekejian yang telah dilakukan oleh pemuda ini. Fan Li tahu betul siapa Yap-goanswe. Seorang yang gagah perkasa dan pendekar sejati, yang berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, bahkan dulu pernah dia melihat betapa jenderal muda ini berlutut minta maaf kepada seorang anak kecil yang menangis menggerung-gerung karena permainannya diinjak kaki Hek-ma yang sedang berlari cepat!
Bayangkan, seorang jenderal muda sudi melompat turun dari atas kudanya dan berlutut minta maaf kepada seorang anak kecil berusia lima enam tahun hanya karena merasa bahwa dialah yang salah! Mana ada kejadian begini rupa dan mengagumkan di dunia ini?
Kalau benar pemuda itu bersalah, tidak mungkin Yap-goanswe mengingkarinya. Dia pasti akan mengakui semua perbuatannya dan kalau memang hukuman yang akan ditimpakan kepada dirinya, kepalanyapun jenderal muda itu rela serahkan! Akan tetapi, ketika dulu sri baginda melemparkan tuduhan, Yap-goanswe menolaknya tegas. Bahkan pemuda ini dengan mata berapi-api membalas pandang mata sri baginda dengan kepala dikedikkan! Mana ada kejadian yang demikian rupa di dunia ini?
Perlu diketahui bahwa pada jaman itu raja adalah seorang yang tidak bisa dibantah omongannya. Sekali raja memutuskan, semuanyapun akan dijalankan dengan patuh, baik tindakan raja ini benar maupun salah. Namun, Yap-goanswe ternyata pemuda yang betul-betul istimewa. Merasa bahwa dirinya di pihak benar, dengan keberanian yang luar biasa jenderal muda ini berani menolak semua tuduhan raja dan adu pandang dengan sri baginda, persis seperti dua ekor jago siap tempur!
Sampai di sini sepasang mata Fan Li bersinar-sinar. Betapa hebat dan mengagumkan murid tunggal Malaikat Gurun Neraka ini, maka sungguh sayang bahwa pemuda sehebat itu telah meninggalkan istana gara-gara tuduhan keji. Teringat betapa Yap-goanswe masih belum sadarkan diri, Fan Li lalu menggerakkan jari tangannya menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu agar siuman kembali.
Dan pada saat itulah mendadak Hek-ma yang berada di luar meringkik panjang. Fan Li terkejut, akan tetapi mendengar ringkik Hek-ma yang gembira, dia menjadi tenang kembali. Hal ini hanya menandakan bahwa yang datang bukanlah lawan melainkan kawan. Betul saja, belum lenyap suara Hek-ma, tiba-tiba dari luar melayang masuk seorang gadis berbaju hijau.
Pakaiannya basah penuh keringat, rambutnya kusut dan napasnya agak terengah-engah. Gadis ini bukan lain adalah Kwan Pek Hong, murid Ta Bhok Hwesio yang mengerahkan semua kepandaian ginkangnya untuk mengejar Hek-ma. Cantik dan menggairahkan gadis ini dalam keadaan seperti itu, akan tetapi wajahnya membayangkan kegelisahan. Baru saja dia memasuki ruangan dalam dan melihat Fan Li berlutut di depan pemuda yang masih pingsan itu, Pek Hong sudah berseru dari jauh,
"Fan-ciangkun, bagaimana keadaannya?"
Fan Li menoleh dan mencoba untuk tersenyum, "Dia belum sadar, nona, akan tetapi kukira keadaannya tidaklah terlalu berbahaya..."
"Hemm, anak muda yang sembrono, pukulan batin yang dideritanya itu bisa mengguncang syaraf ingatannya, siapa bilang tidak berbahaya? Boleh jadi tubuhnya tidak apa-apa, akan tetapi kesehatan jiwanya bisa terganggu!" tiba-tiba terdengar teguran ini dari luar ruangan kele nteng dan Fan Li terkejut.
Cepat dia menoleh dan tampaklah dua orang melangkah masuk dengan langkah tenang dan di belakang dua orang itu berjalan seorang pemuda berbaju putih. Mereka ini bukan lain adalah Ta Bhok Hwesio dan Phoa-lojin, kakek berpakaian nelayan dari Pulau Cemara bersama Gin-ciam Siucai Hok Sun.
Yang mengeluarkan seruan tadi adalah kakek Phoa dan tentu saja Fan Li terkejut. "Apa....apa maksud locianpwe?" tanyanya. "Terganggu kesehatan jiwanya? Apakah locianpwe hendak mengartikan bahwa Yap-goanswe bisa miring otaknya dan menjadi gila?"
"Begitulah," Phoa-lojin mengangguk. "Kalau tidak mendapat pertolongan secepatnya, pemuda itu bakal terkena gangguan jiwa dan agaknya bantuan pertama yang paling penting sekarang ini adalah menotok tiga belas jalan darah di bagian depan tubuhnya. Akan tetapi..."
Phoa-lojin menghentikan kata-katanya dan tidak melanjutkan. Kakek ini mengerutkan keningnya dan matanya menjelajahi seluruh ruangan, lalu menarik napas berat dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pek Hong sudah dari tadi berobah wajahnya dan menjadi pucat mendengar betapa Yap-goanswe bisa menjadi gila kalau tidak segera ditolong. Sekarang, melihat betapa kakek itu menghela napas berulang-ulang, dia benar-benar merasa gelisah sekali.
"Locianpwe, kalau kita tahu bahwa dia harus ditotok sebanyak tigabelas kali sebagai langkah pengobatan pertama, mengapa tidak segera kita kerjakan? Jalan-jalan darah manakah yang harus ditotok? Biarlah aku yang melakukannya dan locianpwe yang memberikan petunjuk," gadis itu berkata dengan muka cemas.
Phoa-lojin menoleh, tersenyum penuh arti dan menjawab, "Nona, menurut perasaanku memang agaknya engkaulah yang harus bertugas di sini, akan tetapi, hawa sakti yang mengalir di dalam tubuh pemuda itu berbeda dengan orang-orang lain. Dia mendapat gemblengan tenaga Yang-kang yang luar biasa dari gurunya sehingga di dalam darahnya mengalir tenaga panas yang amat hebat. Kita bukan ahli tenaga Yang, dan selain gurunya sendiri, siapa mampu memberikan totokan di tigabelas jalan darah itu? Harap nona bersabar dan mudah-mudahan Thian mengabulkan maksud nona."
Ucapan terakhir ini mengandung arti yang luas sekali dan seketika pipi gadis itu bersemu dadu. Mukanya menjadi merah dan Pek Hong menundukkan kepalanya. Sungguh kakek Phoa ini dapat mempergunakan kata "mudah-mudahan Thian mengabulkan maksud nona" dengan tepat sekali, jitu mengenai sasarannya dan dia menjadi jengah bukan main.
Sementara itu, Fan Li yang mendengarkan keterangan kakek ini juga tertegun, lalu dia bertanya, "Locianpwe, kalau tadi dikatakan bahwa totokan di tigabelas jalan darahnya merupakan langkah pertama, kalau begitu locianpwe maksudkan bahwa setelah itu Yap-goanswe masih harus melakukan pengobatan-pengobatan berikutnya?"
Phoa-lojin mengangguk. "Begitulah, Fan-ciangkun, dan orang satu-satunya yang paling tepat dalam memberikan pertolongan berikutnya ini hanyalah si Dewa Monyet di Ang-bhok-san (Bukit Kayu Merah). Akan tetapi orang itu memiliki watak yang aneh bukan main. Biar Malaikat Gurun Neraka sendiri yang datang, belum tentu dia mau mengobati muridnya ini. Yap-goanswe selain terguncang oleh pikiran batin yang berat, juga tubuhnya telah kemasukan racun jahat yang bekerja lambat. Hemm, Cheng-gan Sian-jin memang manusia iblis, entah racun apa yang dicekokkan ke dalam mulut pemuda itu. Lihat, di bawah pelupuk matanya terdapat enam bintik hitam sebesar ujung jarum. Ini berarti bahwa telah enam hari racun itu bekerja...."
Fan Li cepat memeriksa dan memang betul, di bawah pelupuk mata Bu Kong terdapat enam titik kecil yang kalau tidak dilihat dari dekat sungguh tidak akan terlihat oleh mata manusia. Bagaimana Phoa-lojin dapat mengetahuinya? Pemuda ini menjadi heran dan juga kagum.
"Wah, habis kalau begitu apa yang bisa kita kerjakan, Lojin?" tiba-tiba Ta Bhok Hwesio nyeletuk. "Dan berapa lama racun jahat itu akan merenggut korbannya?"
Wajah hwesio inipun juga tampak gelisah dan tanpa sebab dia lalu menggaruk-garuk gundulnya yang mengkilat itu. Kalau saja keadaan di situ tidak demikian menegangkan, agaknya orang akan tertawa geli melihat tingkah laku kakek yang lucu ini. Sudah menjadi kebiasaan Ta Bhok Hwesio jika dia merasa gelisah tentu secara tidak sadar akan menggaruk-garuk kepalanya yang pelontos itu.
Phoa-lojin mengerutkan alisnya. "Kalau rabaanku tidak salah, racun semacam itu akan bekerja selama tujuh hari. Dan pada hari ke tujuh, orang yang terkena racun ini akan mulai merasakan akibatnya dan pada hari ke delapan dia akan segera binasa dengan tubuh membusuk."
"Ahhh....!" semua orang berseru kaget dan terkejut bukan kepalang mendengar keterangan Phoa-lojin. Yap-goanswe sudah terkena enam hari, berarti hanya sisa satu hari besok saja dan kalau tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, jenderal muda itu akan mati!
Pek Hong yang ikut mendengarkan semuanya ini, tersirap darahnya dan gadis itu menjerit tertahan. Sepasang matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan, bibirnya menggigil dan mukanya menjadi pucat. Hok Sun yang melihat keadaan gadis ini, tiba-tiba terasa nyeri hatinya dan maklumlah dia apa yang sedang bergolak di dalam hati gadis jelita itu.
Akan tetapi, pemuda ini bukanlah seorang yang sempit pandangan. Meskipun dia tahu betapa perasaannya sedikit terluka menyaksikan sikap Pek Hong terhadap murid Malaikat Gurun Neraka itu, akan tetapi Hok Sun dapat segera mengendalikan sikap egoisnya. Dia tahu bahwa Yap-goanswe adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, agaknya jauh lebih patut menjadi sisihan dara itu daripada dirinya sendiri. Keselamatan jiwa pemuda itu benar-benar perlu ditolong, dan dia akan mengesampingkan semua pikiran negatipnya.
"Suhu, kalau demikian dugaan suhu, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" pemuda ini melangkah maju dan bertanya kepada gurunya. "Menilik keterangan suhu, keadaan Yap-goanswe sungguh amatlah gawat, teecu sendiri tidak sampai mengiranya begitu. Padahal, jarak dari sini ke Ang-bhok-san juga tidak pendek, apalagi Takla Sin jin belum kemari. Menurut perhitungan, mestinya Malaikat Gurun Neraka telah selesai membereskan musuhnya, namun mengapa beliau tidak datang kemari? Atau jangan-jangan beliau memang tidak mau kemari, suhu?"
Phoa-lojin menoleh kepada muridnya ini, tersenyum dan berkata, "Hal itu tidak perlu terlalu kita cemaskan. Pendekar besar itu pasti datang, kalau tidak, masa dia menyatroni gedung Cheng-gan Sian-jin? Bukankah maksud kedatangannya adalah untuk membebaskan muridnya ini? Yang lohu cemaskan justeru penerimaan Si Dewa Monyet di Ang-bhok-san itu. Entah dia mau menolong orang tidak? Kalau dia menolak, hal ini sungguh menyulitkan..."
"Hemm, kalau aku yang mendatangi tempatnya dan memaksa, masa monyet itu tetap keras kepala?" Ta Bhok Hwesio menyela dengan suara keras dan sinar matanya berkilat.
"Ahh, lo-heng belum mengenal wataknya. Biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat lo-heng, akan tetapi keras kepalanya Si Dewa Monyet itu sungguh melebihi batu. Biar dia diancam golok di kulit lehernyapun dia akan tertawa-tawa dan malah memaki-makimu. Dalam hal ini hanya ada satu jalan saja, yakni memegang kelemahannya dan satu-satunya orang yang dapat kesana hanya muridmu itu, lo-heng..."
"Hahh? Maksudmu Dewa Monyet itu gampang dilumpuhkan oleh perempuan?" Ta Bhok Hwesio mengangkat alisnya yang putih tanda tercengang.
"Tidak seluruhnya benar, lo-heng, akan tetapi memang muridmu itulah yang kulihat satu-satunya orang yang dapat melumpuhkan kakek aneh itu. Sudahlah, urusan Kauw-sian (Dewa Monyet) kita bicarakan nanti saja. Yang penting pada saat ini adalah menotok tigabelas jalan darah di tubuhnya dan biarlah kita tunggu kedatangan guru pemuda ini."
Baru saja ucapan yang dikeluarkan oleh kakek Phoa selesai, tiba-tiba terdengar suara yang amat dingin, "Hemm, biarkan saja dia mampus, untuk apa kita meributkan jiwanya? Seorang murid durhaka semacam itu tidak perlu mendapatkan perhatian ji-wi (anda berdua) yang demikian besar!"
Angin dingin berkesiur dan tiba-tiba Malaikat Gurun Neraka telah muncul di tempat itu seperti gerakan iblis. Semua orang terkejut dan cepat menengok, dan mereka melihat betapa wajah pendekar sakti itu tampak merah dan membesi.
Akan tetapi, kalau semua orang tampak kaget mendengar ucapan pendekar itu, adalah Phoa-lojin tenang-tenang saja dan kakek ini tersenyum menyambut, menjura di depan pendekar sakti itu sambil berkata,
"Aha, selamat berjumpa kembali, taihiap! Sungguh amat kebetulan sekali, di saat kami menunggu-nunggu, taihiap muncul pada saat yang tepat. Sekarang memang musim Yang-hong (angin panas), dimana-mana kepala orang terasa pusing. Akan tetapi, seorang pendekar besar seperti taihiap yang memiliki Im-sim (hati dingin) begini masa juga terpengaruh oleh adanya musim Yang-hong? Ha-ha-ha...!"
Malaikat Gurun Neraka melengak heran, namun melihat penghormatan orang, diapun cepat membalas. "Sungguh aku tidak mengira bahwa to-heng telah mencapaikan diri jauh-jauh keluar dari Pulau Cemara yang indah hanya untuk ikut memikirkan muridku yang tersesat. Terima kasih atas perhatian to-heng dan apa maksud to-heng tadi bahwa sekarang adalah musim Yang-hong?" pendekar ini bertanya dan sinar matanya memandang tajam.
Phoa-lojin menarik napas dan dengan suara penuh penyesalan dia menjawab, "Taihiap, kau tahu, betapa muridmu itu adalah seorang jenderal muda yang amat ditakuti musuh. Dia terkenal sekali akan kepandaiannya dalam ilmu perang, juga ilmu silatnya tinggi. Di samping itu, muridmu inipun tersohor sebagai pemuda yang jujur dan berani, gagah perkasa. Masa terhadap berita burung yang ditiupkan oleh Yang-Hong (angin panas) begitu kau lantas percaya?"
"Memang mula-mula aku tidak percaya dan itulah sebabnya mengapa aku lalu keluar untuk menyelidiki kebenaran berita ini. Akan tetapi ketika aku tiba di gedung Cheng-gan Sian-jin dan melihat dia... tidur sepembaringan dengan murid iblis tua itu, apakah to-heng menyangsikan penglihatanku? Dia murid keparat, mencoreng muka guru dengan perbuatan laknat! Inilah jelas aku tidak bisa mengampuninya lagi. Seorang murid yang telah menyeleweng sedemikian jauh hanya patut dihukum mati atas semua dosanya!"
Kata-kata yang diucapkan oleh pendekar itu tampak tegas dan berapi-api dan Pek Hong yang mendengar betapa pemuda itu tidur sepembaringan dengan murid Cheng-gan Sian-jin, menjadi pucat wajahnya dan perasaannya tertikam. Kembali jenderal muda yang dicintanya itu berjina. Terkutuk! Gadis ini mengepal tinju dan sinar matanya berkilat penuh kemarahan.
Memang ketika dia datang kesana, dia sama sekali tidak melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Pakaian Yap-goanswe yang robek-robek itu dikiranya karena siksaan musuh. Sungguh tidak dinyana bahwa robeknya pakaian yang membuat tubuh pemuda itu setengah telanjang adalah karena perjinaannya dengan Tok -sim Sian-li!
Kalau tahu begini, tentu dia tidak akan sudi menolong! Seketika gadis ini menangis di dalam hati dan matanya basah. Betapa Yap-goanswe berulang-ulang menyakiti hatinya. Mula-mula kenyataan betapa pemuda itu mempunyai kekasih lain dan dia bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi ketika dia tahu duduknya persoalan, tahu betapa Siu Li sengaja menjebak jenderal itu dalam jerat asmaranya karena menjalankan siasat ayahnya yang menjadi musuh Kerajaan Yueh, seketika lukanya menjadi sembuh dan dia kembali mempunyai harapan baru terhadap pemuda itu.
Dari kejadian ini Pek Hong yakin bahwa Yap-goanswe tentu akan membenci setan perempuan yang menipunya itu. Dan ini membangkitkan harapannya. Akan tetapi, baru saja dia merasa girang karena kenyataan itu, tiba-tiba saja dia mendengar betapa Yap-goanswe melarikan diri dari istana karena bermain gila dengan Bwee Li, itu selir terkasih Yun Chang! Berita ini tentu saja amat mengejutkan dan sekaligus menyakitkan. Perasaan kecewanya tiba-tiba kambuh dan rasa marah membuat dadanya seakan meledak.
Namun disamping itu, diam-diam gadis ini masih menaruh kesangsian akan kebenaran berita itu. Dia tahu betul watak Yap-goanswe, kejujurannya, keberaniannya dan tanggung jawabnya yang besar. Masa pemuda gagah perkasa itu mampu melakukan perbuatan memalukan ini? Akan tetapi, kalau tidak benar, kenapa dia meninggalkan istana sambil membawa Bwee Li, seolah-olah kabur sambil menculik isteri orang?
Sungguh dia tidak mengerti dan itulah sebabnya mengapa dia lalu mencari pemuda ini untuk ditanya duduk persoalannya. Sungguh tidak diduga, belum lagi hal ini menjadi jelas, guru pemuda itu mengatakan kepada mereka betapa Bu Kong tidur sepembaringan dengan murid Cheng-gan Sian jin! Hati siapa tidak akan sakit dan benci setengah mati? Kalau orang lain yang bilang, mungkin dia menaruh keraguan hati. Akan tetapi, kalau guru dari orang yang bersangkutan sendiri sudah berkata demikian, masa dia harus menyangsikannya lagi?
Pek Hong menjerit di dalam hatinya dan air mata kini bercucuran membasahi pipinya yang halus. Bibirnya gemetar, wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan caci maki yang tidak bersuara dan akhirnya gadis ini tidak tahan lagi, terisak dan lari keluar.
"Suhu, aku tidak mau membawanya ke Ang-bhok-san, aku tidak sudi, huh-huhh hukk….!” gadis itu menjerit dan tangisnya pecah, berkelebat meninggalkan ruangan kelenteng.
Ta Bhok Hwesio terkejut, akan tetapi dia tidak sempat mencegah . "Hong-ji, kau belum mendengarkan selengkapnya, kenapa pergi?" kakek ini berteriak.
Namun Pek Hong tidak menjawab dan hanya tangisnya yang mengguguk itulah yang terdengar dan akhirnya lenyap. Gadis itu telah pergi, dan siapa dapat membujuknya? Totokan di tigabelas jalan darah saja belum dilakukan. Dan melihat gelagatnya, agaknya Malaikat Gurun Neraka sendiri tidak mau mengerjakan totokan ini. Dan sekarang disusul kepergian murid perempuannya itu. Andaikata pemuda itu sudah mendapat pertolongan pertama, lalu siapa yang mampu membawanya ke Ang-bhok-san?
Menurut Phoa-lojin, yang paling tepat membawa tubuh pemuda ini untuk diobati hanya lah Pek-hong d an sekarang gadis itu sudah me nyatakan tid ak sudi. Siapa berani menanggung selesainya pengobatan ini? Kalau kejadian sudah sampai begini macam, harapan hidup bagi Yap-goanswe sudah tidak ada lagi!
"Hem, biarkanlah dia pergi, lo-heng, toh ini memang lebih baik. Muridmu itu jauh lebih berharga daripada muridku, tidak perlu disesalkan, " Malaikat Gurun Neraka berkata dingin dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.
"Ah, taihiap terlalu tergesa-gesa dan masih diliputi hawa amarah. Dengan cara begini, bagaimana segala kegelapan dapat dijernihkan?" Ta Bhok Hwesio memandang pendekar itu dengan mata marah dan Malaikat Gurun Neraka terkejut melihat sinar mata orang berkilat-kilat.
"Ehh, apa maksud lo-heng?" pendekar itu bertanya. Belum pernah selama pergaulannya dengan hwesio Tibet ini kakek gundul itu memperlihatkan sikap yang demikian berani dan agak kasar.
Mata hwesio ini melotot dan dengan suara keras dia menjawab, "Aku mau mengatakan bahwa kali ini sikap taihiap terburu-buru! Sudah tahukah taihiap akan segala duduknya perkara? Sudah tahukah taihiap akan semua peristiwa-peristiwa tersembunyi yang melatarbelakangi semua kejadian ini? Tahukah taihiap? Tahukah? Dan kalau taihiap belum tahu semuanya itu, mengapa berani bersikap seperti ini? Taihiap terlalu dibungkus emosi dan datang ke sini dengan bibit kemarahan, taihiap kali ini terpaksa kukatakan menjadi seorang manusia lemah karena tidak mampu mengendalikan hawa amarah...!"