Pendekar Gurun Neraka Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka Karya Batara
“WUUTTT... plakk!"

Tendangan Hek-mo-ko bertemu dengan telapak tangan Ta Bhok Hwesio yang cepat menggerakkan lengannya untuk menangkis serangan lawan, dan iblis hitam itu berteriak tertahan karena kakinya terpental dan hampir saja dia terpelanting!

Tentu saja Hek-mo-ko terkejut dan sejenak dia terbelalak, tidak menyangka bahwa dalam gebrakan pertama ini dia telah dibuat kaget oleh lawannya, namun kemudian dengan marah dia menerjang lagi. Hek-mo-ko melompat dan segera kaki tangannya melancarkan pukulan-pukulan dahsyat. Dan sepak terjang pembantu Cheng gan Sian-jin ini memang cukup hebat. Dari kedua lengannya menyambar angin pukulan yang membuat jubah Ta Bhok Hwesio berkibaran seperti bendera.

Akan tetapi, Ta Bhok Hwesio yang diserang segencar dan seganas itu oleh Hek-mo-ko, tampak tenang-tenang saja, tubuhnya berkelebatan kesana kemari dan dengan ginkangnya yang disebut Coan-goat-hui (Terbang Menerjang Bulan), tubuh kakek ini bergerak lincah diantara sambaran-sambaran serangan kaki tangan lawannya dan tidak pernah satu kalipun pukulan Hek-mo-ko mengenai kulitnya. Bahkan, sambil tertawa-tawa kakek yang berwatak gembira ini mulai memanaskan perut lawan dengan ejekan-ejekannya.

"Ha, Setan Hitam, gerakanmu kurang cepat, terlalu lamban seperti kerbau hamil. Dengan gerakan semalas ini, bagaimana kau dapat merobohkan pinceng? Hayo, empos semangat dan percepat gerakan, kalau tidak, nanti pinceng sendiri yang akan memberi pelajaran kepadamu, ha-ha-ha...!"

Ejekan-ejekan semacam ini membuat muka Hek-mo-ko menjadi semakin gelap. Dia berteriak keras dan memperhebat serangan-serangannya sehingga jari-jarinya sampai mengeluarkan suara berkerotokan, namun tetap saja dia tidak berhasil menyentuh tubuh hwesio gendut pendek itu. Lawannya ini seperti kecapung saja ringannya, baru tersambar angin pukulan lweekangnya saja sudah terdorong mundur! Bagaimana dia akan mampu merobohkan lawan yang seperti itu?

Akhirnya, saking marahnya Hek-mo-ko tiba-tiba menggereng dan mencabut senjatanya yang mengerikan. yakni sarung tangan berkuku panjang berwarna hitam. Dengan sepasang senjatanya ini, serangan Hek-mo-ko tampak lebih ganas dan buas dan Ta Bhok Hwesio sendiri yang tadi tertawa-tawa menggoda, sekarang mengerutkan alisnya yang putih itu dan kakek ini tidak berani main-main lagi. Biar bagaimanapun juga, lawannya itu bukan orang sembarangan.

Memang mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, selama ini dia berhasil mengelak dan melompat kesana-sini menggemaskan lawan. Akan tetapi, dengan sarung tangan berkuku panjang itu, Hek-mo-ko seakan-akan telah memanjangkan lengannya dan sekali dia kurang cepat mengelak, tentu akan terkena senjata lawan. Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang keluar dari senjata itu, maklumlah kakek ini b ahwa sarung tangan yang menyambar-nyambar dari empat penjuru dengan gerakan mengurung itu mengandung racun berbahaya.

"Hemm, dasar golongan iblis, bertempurpun masih harus mempergunakan racun berbau kentut busuk. Eh, Mo-ko, hati-hati dengan senjatamu itu, pinceng khawatir senjata makan tuan!"

Seruan hwesio itu disusul dengan bunyi berketrik dan tiba-tiba saja di tangan Kakek ini tampak seuntai tasbeh putih yang biasanya dibuat alat berdoa oleh para pendeta Buddha. Dan bersamaan dengan munculnya tasbeh yang sebenarnya merupakan senjata utama bagi kakek itu, terdengarlah angin bercuit tajam dan ketika sepasang sarung berkuku panjang milik Hek - mo-ko menyambar ubun-ubun kepalanya, kakek ini tidak mengelak seperti biasanya dan menyambut serangan maut itu dengan putaran tasbehnya yang melakukan gerak melingkar dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat.

"Triktrikk...wiirrr... aihhh!" Hek-mo-ko berteriak keras dan iblis hitam ini kaget bukan main. Sarung tangannya terpental ketika bertemu dengan tasbeh lawan dan dia merasa betapa tenaga tangkisan hwesio itu sedemikian kuatnya sehingga kedua tangannya sejenak terasa lumpuh. Dan pada saat itu, dimana posisinya amat buruk karena lengannya terpental ke atas sehingga bagian dadanya tidak terlindung, tangan kiri hwesio itu menampar dan kaki kanannya menendang dari samping. Dua buah serangan ini merupakan serangan kilat yang tidak sempat lagi dihindarkan oleh Hek-mo-ko, dan dia hanya mampu mengerahkan lweekang untuk melindungi bagian tubuhnya dari serangan lawan.

"Des-dess!"

Hek-mo ko mengeluarkan keluhan tertahan dan tubuhnya terlempar ke belakang empat meter jauhnya. Akan tetapi, iblis ini memang betul-betul lihai. Walaupun dia terlempar akibat tendangan lawan, dia dapat berjungkir balik di udara sehingga tidak sampai terbanting dan dapat jatuh dengan kaki terlebih dahulu. Kini Hek-mo-ko benar-benar terkejut. Baru sekali hwesio itu mengeluarkan senjatanya, dan dia sudah harus menerima dua kali hantaman berturut-turut!

"Kau... siapakah, keledai gundul?" Hek-mo-ko membentak dengan mata mendelik, marah akan tetapi juga gentar. "Kenapa kau menyatroni kami dan mencampuri urusan koksu? Tidak tahukah engkau bahwa dengan melibatkan diri di sini berarti engkau mengikat permusuhan dengan Cheng-gan Sian-jin pemimpin kami!"

Ucapan yang maksudnya menggertak untuk menakut-nakuti ini malah diganda ketawa oleh kakek itu, "Ha, Setan Hitam, jangan kau coba-coba menggertak pinceng dengan nama koksu. Apakah yang kau andalkan dari pemimpinmu itu? Bukankah sekarang dia lari terkencing-kencing dikejar Malaikat Gurun Neraka? Apakah engkau pun hendak mencontoh perbuatannya? Ha-ha-ha, kalau itu yang kau kehendaki, hayo lakukanlah. Biar pinceng yang mengejar-ngejarmu dari belakang seperti orang mengejar anjing kudisan!”

Ta Bhok Hwesio terkekeh geli, memandang Hek-mo-ko dengan mata memain. Akan tetapi bagi Hek-mo-ko sendiri, dia menjadi meluap kemarahannya. Ejekan hwesio itu benar-benar kelewat batas. Belum pernah selama hidupnya dia dihina orang seperti ini, maka tentu saja dia naik pitam. Boleh jadi lawannya itu lihai, akan tetapi masa dia harus takut? Bukankah dia berada di sarang sendiri dan banyak teman-teman yang akan membantu? Maka sambil berteriak marah pembantu Cheng-gan Sian-jin ini menerjang.

"Keparat, keledai gundul bermulut tajam! Aku akan mencabut lidahmu yang tak bertulang itu dan akan kuganyang bersama darahmu. Hyaatttt...!" Hek-mo-ko melompat seperti harimau buas dan kuku-kuku panjang di ujung jarinya mencengkeram mulut lawan karena dia benar-benar hendak membuktikan ancamannya, yakni mencabut lidah hwesio yang amat dibencinya itu!

Akan tetapi Ta Bhok Hwesio sendiri yang diserang seganas itu, sikapnya masih tenang -tenang saja. Bahkan hwesio ini mengejek, "Wah, kiranya kau inipun juga suka minum darah orang? Hihh, mengerikan sekali. Kalau begitu kau ini benar-benar keturunan iblis, Mo-ko, bukan keturunan manusia. Padahal iblis sendiri tempatnya di neraka, bukan di sini. Bagaimana kau bisa keluyuran di bumi? Hayo kembali, biar pinceng antar engkau ke sana. Haittt!"

Hwesio Tibet ini tiba-tiba melengking tinggi dan tubuhnya bergerak, berputar seperti gasing dan sedetik kemudian lenyaplah dia menjadi bayangan putih yang berputaran cepat. Hek-mo-ko terkejut melihat perobahan lawan. Dia tidak tahu bahwa Ta Bhok Hwesio telah mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat, yakni yang disebut Hong-thian-lo-hai-kun (Badai Mengamuk di Samudera), sebuah ilmu silat tingkat tinggi yang mengandung penuh tenaga sinkang.

Dengan ilmunya ini, hwesio sakti itu sanggup menciptakan pusaran angin puyuh yang dapat menyedot semua benda yang berada dalam jarak satu meter dengan dirinya. Juga disamping itu, dengan tubuh berputaran cepat seperti ini, dia dapat melancarkan serangan tak terduga dari segala arah. Maka tidaklah heran apabila iblis hitam itu menjadi kaget karena begitu cengkeramannya telah mendekati lawan, tiba-tiba saja angin yang amat kuat menyambar dan hendak menyedotnya untuk ikut berpusing bersama hwesio itu!

"Aihhh….!" Hek mo-ko berseru keras dan mukanya berobah. Dia sudah terlanjur melompat, tidak mungkin lagi baginya untuk menghentikan gerakannya di tengah jalan. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah terus menghantam secara nekat dan untuk mencegah agar tubuhnya tidak terbawa pusaran angin lawan, Hek-mo-ko cepat mengerahkan tenaga Jeng kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk memberatkan tubuh.

Namun apa yang dikerjakan oleh pembantu Cheng-gan Sian-jin ini terlalu tergesa-gesa. Selain itu juga dalam hal tenaga sinkang dia masih di bawah lawannya, apalagi dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh). Ta Bhok Hwesio adalah seorang tokoh tingkat atas, kepandaiannya paling tidak masih dua tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan Hek-mo-ko. Maka tidaklah heran kalau hwesio Tibet ini mampu mempermainkan lawannya. Kalau saja dia mau, tentu sudah dari tadi kakek ini merobohkan Hek-mo-ko.

Akan tetapi, dasar hwesio ini berwatak periang dan suka main-main, maka dia sengaja hendak menggoda iblis hitam ini sepuas hati. Baru setelah Hek-mo-ko mengeluarkan senjata beracunnya yang berbau amis, Ta Bhok Hwesio tidak mau main-main lebih lama lagi dan hendak segera merobohkan pembantu Cheng gan Sian-jin ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar jeritan beberapa orang kang-ouw yang terdesak oleh keroyokan-keroyokan Liong tung Lo-kai dan kawan-kawannya serta melihat betapa di luar kamar yang terbakar ini datang perwira-perwira istana bersama ratusan perajurit anak buah mereka.

Semuanya ini menggerakkan hati kakek itu agar dia secepat mungkin menyudahi permainannya. Itulah sebabnya begitu Hek-mo-ko menerjang maju dengan sikap buas, kakek ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya Hong-thian-lo-hai-kun untuk menyelesaikan pertandingan ini. Dan memang hebat kesudahannya. Dengan tubuh berpusing seperti itu dan memutar tasbeh di tangannya membentuk sinar perak yang berkilauan lebar, pandangan Hek-mo-ko menjadi kabur. Ta Bhok Hwesio mengerahkan tenaga sinkangnya sembilan bagian sehingga tasbeh di tangan kanannya mencicit nyaring dan ketika sepuluh kuku baja itu menyambar, kakek ini menyambut dengan babatan tajam dan tangan kirinya tiba-tiba bergerak melakukan pukulan yang disebut Hai-liong-hut-mauw (Naga Laut Mengebut Bulu).

“Crik-crik-crikk... prasss!"

Gebrakan ini berlangsung dengan luar biasa cepatnya, hampir-hampir tidak dapat diikuti pandangan mata. Sepuluh kuku panjang di tangan Hek-mo-ko bertemu dengan babatan tasbeh putih yang bercuitan seperti pisau tajam dan kuku-kuku beracun itu putus berhamburan! Sarung tangan Hek-mo-ko dalam sedetik saja telah menjadi "gundul" dan sementara iblis hitam ini kaget setengah mati, pukulan Hai-liong hut-mauw dari tangan kiri Ta Bhok Hwesio menghantam pundaknya.

"Plakk! Aduhh...!" Hek-mo-ko berteriak ngeri, seakan-akan kejatuhan gunung ambruk dan tanpa dapat dicegah lagi, mulutnya melontarkan darah segar. "Uakkk!" Hek-mo-ko menyemburkan darah hidup dan Ta Bhok Hwesio yang tidak mau memberi hati lagi, menggerakkan kakinya yang bersarang di perut lawan.

"Blekk!" tubuh iblis hitam itu terlempar jauh, membentur dinding dan menjerit satu kali lalu diam tak berkutik lagi, pingsan di atas lantai dengan luka dalam yang amat parah.

Ta Bhok Hwesio menarik napas panjang, sejenak memandang ke arah tubuh yang menelungkup diam itu dan menyimpan tasbehnya. Pukulan sinkangnya tadi tidak dapat dibuat main-main. Sekali lawan terkena, tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Hek-mo-ko agaknya memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tidak langsung lewas oleh serangannya dan hanya pingsan saja. Ini membuktikan bahwa pembantu Cheng-gan Sian jin itu memang cukup hebat. Namun biar bagaimana kebalnya sekalipun, pukulan Hai-liong-hui-mauw itu telah menimbulkan luka dalam yang amat berat bagi Hek mo ko. Dalam beberapa jam saja, apabila dia tidak mendapat pertolongan, tentu nyawanya tak dapat dipertahankan lagi.

"Omitohud, semoga pinceng tidak menyalahi jalan Sang Buddha..." hwesio ini berkata perlahan seperti menyesali diri sendiri dan cepat dia menengok ketika mendengar suara gaduh dari luar.

Dan kakek ini terkejut sekali ketika melihat masuknya para perwira dan perajurit istana yang berlompatan ke dalam ruangan besar itu, dan di antara orang -orang ini, Ta Bhok Hwesio melihat seorang panglima tua tinggi kurus yang membawa sebatang tombak panjang beronce merah. Inilah Ok-ciangkun (Panglima Ok), panglima tertua dari Wu-sam tai-ciangkun yang amat terkenal dengan permainan tombaknya yang konon dikabarkan orang dapat "terbang" sendiri itu!

"Ahh...!" Ta Bhok Hwesio berseru perlahan dan cepat dia berteriak ke arah teman-temannya, "Heiii, para sobat semua, harap kalian tinggalkan tempat ini! Cari jalan sendiri-sendiri dan mundur...!"

Setelah berseru demikian, kakek ini berkelebat ke depan dan sekali kedua lengannya mengibas, Liong-tung Lo kai, Hwa-tok-ciang dan teman-temannya yang mengeroyok orang-orang kang-ouw itu terpental ke belakang. "Para sicu semua, hayo kalian cepat tinggalkan ruangan ini. Biar pinceng yang menahan mereka!" kakek itu kembali berteriak dan tubuhnya bergerak cepat menyambar-nyambar musuh. Dengan angin pukulan jubahnya, hwesio sakti ini membuat anak buah Cheng-gan Sian-jin roboh terguling-guling.

"Hwesio keparat, berani kau mengacau kembali di tempat kami?" tiba-tiba terdengar bentakan dan sinar panjang berekor merah mengaung menyambar punggung kakek ini.

Ta Bhok Hwesio terkejut akan tetapi dia cukup waspada. Pada saat itu dia sedang mendorongkan kedua tangannya ke depan, maka dia tidak sempat membalikkan tubuh. Namun dasar kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka mendapat bokongan serangan itu dia sama sekali tidak menjadi gugup. Kaki kanannya tiba-tiba bergerak ke belakang, mendepak ke atas tinggi sekali seperti sikap seekor kuda menyepak tonggeret... "traangg!" tombak panjang yang diluncurkan panglima Ok itu terpental!

"Ha-ha-ha, Ok ciangkun, tombakmu itu sungguh lihai sekali. Agaknya dia benar-benar mempunyai sayap dan dapat terbang sendiri seperti dikabarkan orang, amat patut sekali jika dipakai untuk menyerang orang yang sedang tidur!" kakek ini tertawa bergelak dan memutar tubuhnya, dan ucapannya yang terakhir itu jelas merupakan sindiran tajam bagi panglima ini. Dan memang Ta Bhok Hwesio yang merasa mendongkol karena dibokong itu sengaja mengejek Panglima Ok untuk melampiaskan kemendongkolannya. Ok-ciangkun telah menyerangnya pada saat dia membelakangi panglima itu, bukankah hal ini hampir sama dengan menyerang orang yang sedang tidur?

Sindiran ini membuat muka panglima tinggi kurus itu menjadi merah dan sinar matanya berapi-api ketika dia memandang si "keledai gundul". Beberapa waktu yang lalu ketika Yueh belum jatuh dan pasukannya masih dipimpin oleh Jenderal Yap, dia telah berkali-kali bertemu dengan hwesio yang amat lihai ini. Kakek itu bersama murid perempuannya telah membantu musuh dan tidak sedikit kerugian yang harus dideritanya. Kini, secara tidak tersangka-sangka kembali dia bertemu dengan hwesio itu. Bukankah ini suatu kesempatan yang amat bagus sekali untuk membalas kekalahan-kekalahannya dahulu?

"Hwesio murtad, kau di mana-mana selalu memusuhi kami. Dulu kami masih suka mengampunimu dan membiarkan engkau melarikan diri. Akan tetapi sekarang jangan harap kau akan dapat lolos lagi. Menyerahlah, atau senjataku akan mengantarmu menghadap Giam-lo-ong!" panglima ini membentak dan melangkah maju.

Ta Bhok Hwesio membelalakkan matanya, "Huwaduhh, bukan main! Kau bilang bahwa pinceng pernah melarikan diri darimu, Ok ciangkun? Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Dan kau masih menambahinya dengan mengatakan pernah memberi ampun kepadaku. Hebat, sungguh hebat sekali. Lalatpun kalau mendengar kata-katamu ini tentu akan tertawa terbahak-bahak, ha-ha-ha!” kakek itu tertawa keras saking gelinya dan air matanya sampai keluar bercucuran.

Panglima tua ini mendelik saking marahnya. Sikap hwesio itu dianggapnya terlalu menghina, apalagi setelah dia melangkah dekat, kakek itu bahkan tertawa-tawa sedemikian rupa sambil memegangi perutnya dengan kepala menunduk menghadap lantai. Bukankah ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dirinya? Kalau hwesio itu berani bersikap seakan-akan tidak menjaga pertahanan diri sendiri, hal ini hanya dapat diartikan bahwa kakek ini memang sama sekali tidak menganggapnya sebagai musuh yang berarti, tiada ubahnya dengan seorang anak kecil yang masih belum bisa apa-apa untuk melakukan perbuatan sesuatu! Ini benar-benar menyinggung perasaan panglima itu dan sekali dia menggetarkan lengannya, tombaknya menyambar batok kepala hwesio itu dengan kecepatan kilat.

"Singgg....!" tombak berdesing nyaring dan Ta Bhok Hwesio yang masih tertawa-tawa itu seolah-olah tidak mengetahui betapa ubun-ubun kepalanya disambar tombak Panglima Ok Ciat. Baru setelah senjata itu tinggal satu jari dengan kulit kepalanya, hwesio yang suka main-main ini menghentikan ketawanya dan menengadah ke depan. Pada saat itu tombak terbang milik sang panglima telah datang dan tiba-tiba kakek ini membuka mulutnya sambil menggeser tubuh sedikit ke sebelah kiri dan...

"Capp...!" tombak Panglima Ok digigit oleh gigi-giginya yang masih utuh! Sungguh perbuatan ini amat luar biasa beraninya karena sedikit saja kurang tepat, tentu mulut kakek itu akan ditoblos tombak seperti orang membuat sate kambing!

Panglima tinggi kurus itu terkejut bukan kepalang. Sama sekaii dia tidak mengira bahwa tombaknya akan disambut oleh gigi kakek itu yang kini sambil meringis mempertunjukkan kepadanya bahwa kakek ini masih belum ompong! Tentu saja demonstrasi hwesio itu mengejutkan semua orang dan Ok-ciangkun sendiri begitu kagetnya hilang, lalu mengeluarkan teriakan keras dan menarik tombaknya.

Sendalan tiba-tiba ini dilakukan dengan sekuat tenaga, dan kalau Ta Bhok Hwesio tetap mempertahankan, tentu gigi kakek itu akan patah-patah. Namun hwesio ini memang tidak bermaksud demikian. Begitu Panglima Ok menarik tombaknya, kakek ini tiba-tiba tertawa dan membuka mulutnya sehingga senjata panglima itu terbetot ke belakang. Hal ini menyebabkan tubuh Ok-ciangkun hampir saja terjengkang dan kalau panglima itu tidak berseru keras sambil memutar tubuh untuk mematahkan daya pental, tentu dia akan jatuh terbanting!

"Keparat! Setan jahanam...!” Panglima Ok berteriak gusar dan tombak yang sudah dipegangnya kembali ini mengaung di udara lalu tiba-tiba menukik dan menyerang Ta Bhok Hwesio dengan enam kali tusukan berantai.

"Hayaa...! Hebat sekali, betul-betul bisa terbang!" kakek itu berkaok-kaok dan cepat tubuhnya melompat-lompat seperti katak diserang ular. Memang lucu melihat sikap hwesio itu. Mulutnya menjerit-jerit seperti orang ketakutan, akan tetapi kedua tangannya selalu melakukan tangkisan dengan tenaga lweekang dan setiap kali tombak hendak menikam tubuhnya, selalu senjata itu terpental balik seolah-olah diusir angin keras.

Bukan main marahnya panglima tinggi kurus ini. Enam tikaman berantainya yang susul-menyusul selalu kandas di tengah jalan akibat tangkisan lweekang hwesio itu. Dia menjadi marah sekali dan karena tidak sabar lagi, juga gemas mendengar kakek itu selalu berkaok-kaok membisingkan telinga, panglima ini tiba-tiba memberi aba-aba kepada anak buahnya yang tadi berdiri menonton untuk ikut maju mengeroyok kakek ini!

“Serang dan bunuh dia! Tidak perlu ditangkap hidup-hidup!" Panglima Ok berseru marah dan empat orang perwira yang berdiri paling dekat, menerjang dengan pedang di tangan. Gerakan mereka serempak, senjata mereka datang dari empat penjuru mata angin dan dalam sekejap mata saja hwesio itu terkurung di tengah tengah.

"Aihh... aihh... gimana sih kalian ini? Kenapa untuk menyerang seorang tua bangka macam pinceng harus maju berdulu-duluan seperti anjing berebut tulang? Ehh, Ok-ciangkun, anak buahmu ini belum mandi semua, kenapa disuruh maju ke sini? Lihat, keringat mereka bau sekali, persis seperti tahi anjing. Sorry, pinceng hendak bersin sebentar... hwacinggg!"

Dan betul saja, tiba-tiba kakek itu bersin sebanyak empat kali dengan suara keras! Akan tetapi hebatnya, begitu kakek ini bersin, begitu pula dari kedua lubang hidungnya moncrot ingus setengah kental yang menyambar muka empat orang anak buah Panglima Ok ini.

"Tup tup-tup-tupp!" empat kali berturut-turut ingus kakek itu melesat dan tiga buah diantaranya melekat di pelupuk mata tiga orang perwira, membuat orang-orang ini kelabakan karena mata mereka lekat tak dapat dibuka! Dan lucunya, yang seorang lagi kena "stroop" persis di lubang hidungnya, membuat orang ini tersumbat pernapasannya dan terbatuk-batuk!

Tentu saja keadaan ini luar biasa lucunya dan menggemparkan. Empat orang perwira itu menyerang hampir berbareng, dan dalam keadaan yang hampir berbarengan pula pada saat mereka melompat setengah jalan, tahu-tahu disembur ingus hwesio yang memang kadang kadang kumat watak nakalnya itu! Bagaimana orang tidak akan geli? Akan tetapi Ok-ciangkun sama sekali tidak merasa geli. Panglima ini bahkan semakin marah dan dari luar lingkaran, tombaknya menyambar tanpa suara menusuk punggung kakek itu.

"Wuttt....!" perlahan sekali suara ini, akan tetapi telinga Ta Bhok Hwesio yang luar biasa tajamnya tidak dapat dibohongi. Kakek ini sedang tertawa-tawa dan dua orang perwira di depannya ditubruk dan diangkat lehernya, seperti orang memegangi boneka. Dan pada saat tombak Ok-ciangkun menyambar punggungnya, tanpa membalikkan tubuh kakek ini melempar dua orang perwira itu ke belakang, dijadikan perisai untuk menangkis serangan Panglima Ok.

“Trot-crot!"

Tanpa ampun lagi tombak terbang Ok-ciangkun mengenai sasaran. Akan tetapi bukannya tubuh si hwesio yang tertusuk, melainkan dua orang anak buahnya sendiri. Kontan dua orang perwira itu menjerit dan mereka roboh mandi darah!

"Lhohh, kenapa kau membunuh bawahanmu sendiri, Ok-ciangkun? Wahh, celaka, sang panglima agaknya telah menjadi gila!"

Kakek ini terbelalak seperti orang keheranan, akan tetapi Panglima Ok Ciat yang telah naik darah dan amat marah sekali karena dipermainkan lawannya itu tidak mau banyak cakap. Bersama para perwira lain yang masih ada, panglima tinggi kurus ini menyerang dahsyat dan tombaknya menyambar - nyambar di udara. Kadangkala menusuk, menikam dan tidak jarang mematuk-matuk seperti paruh rajawali menyambar mangsa.

Dan ilmu tombak panglima ini memang cukup hebat. Diam-diam Ta Bhok Hwesio merasa kagum juga. Berada di tangan yang gagah seperti Panglima Ok itu, senjata panjang ini tidak boleh dibuat main-main. Dan sekarang panglima itu lebih banyak melepaskan tombaknya daripada dipegang, dan ini bisa terjadi karena di ujung gagang tombak, terdapat seutas tali baja yang amat halus sekali sehingga hampir-hampir tidak kelihatan oleh mata. Dengan adanya penyambung yang mirip benang kawat inilah maka panglima itu mampu meluncurkan tombaknya di udara, membuat tombaknya seolah-olah terbang! Dan inilah sebabnya mengapa dia disohorkan orang memiliki senjata pusaka tombak terbang. Kiranya karena adanya tali baja itulah!

Segera kakek ini dibuat sibuk oleh keroyokan musuh. Dia harus memasang mata dan telinga tajam-tajam untuk mengetahui sambaran-sambaran senjata lawan, terutama sekali dia harus waspada terhadap serangan Panglima Ok yang acap kali meluncurkan tombak terbangnya tanpa suara. Memang betul bahwa anak-anak buah panglima itu dibuat bulan-bulanan oleh Ta Bhok Hwesio, namun karena setiap kali roboh satu muncul yang lain sebagai penggantinya, maka kakek ini kewalahan juga. Musuh datang membanjir seakan-akan tiada habisnya, padahal dia tentu saja tidak mungkin melawan ratusan orang terus-menerus.

Hwesio ini memang sengaja mencari sebanyak-banyak lawan hanya karena untuk memberi kelonggaran napas bagi teman-temannya yang lain, agar mereka itu dapat lolos dengan lebih gampang. Sementara itu, pertandingan yang terjadi di antara Tok sim Sian-li dengan Hok Sun juga tidak kalah serunya. Kedua orang muda ini bertempur dengan sengit, terutama Lie Lan yang merasa amat marah karena Yap-goanswe dilarikan orang. Gadis ini melancarkan pukulan-pukulan Tok-hiat-jiu dan angin panas yang amis memuakkan seperti bau darah membuat Hok Sun hampir muntah-muntah.

Akan tetapi murid Phoa-lojin itu ternyata bukan pemuda sembarangan. Dengan kipas hitam dan jarum peraknya, pemuda ini berhasil menangkis balik dan juga membalas serangan-serangan lawan dengan tidak kalah hebatnya. Kebutan kipas hitamnya sedikit banyak berhasil mengusir bau amis yang keluar dari kedua lengan Tok-sim Sian-li, dan dengan jarum peraknya dia melakukan serangan bertubi-tubi.

Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, dalam hal ilmu silat dua orang muda ini tidak berselisih jauh. Phoa-lojin adalah seorang tokoh tua yang telah lama menyembunyikan diri di Pulau Cemara. Tukang gwamia ini memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan Ta Bhok Hwesio. Maka muridnya itupun juga bukan seorang pemuda yang berkepandaian rendah. Bisa dibilang semua ilmu silatnya telah diwariskan kepada pemuda itu, kecuali ilmu ramal tentunya karena ilmu ini bukanlah ilmu yang bisa dipelajari begitu saja tanpa pembawaan dari lahir, ilmu meramal tidak mungkin akan dapat dimiliki orang-orang biasa.

Dan diantara semua kepandaiannya yang diajarkan kepada Hok Sun, yang paling mahir dimainkan pemuda itu adalah permainan kipas dan jarum perak. Memang pemuda ini adalah keturunan seorang siucai (pelajar), maka agaknya bakat-bakat orang tuanya menurun kepadanya. Itulah sebabnya maka Phoa lojin yang memiliki bermacam-macam ilmu, lalu menurunkan dua ilmu silat khusus yang dinamakan Lo-thian San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Langit) dan Jing-sin-ciam-hoat (Ilmu Silat Seribu Jarum Sakti).

Dengan dua ilmu silat kipas dan jarum peraknya ini, Hok Sun telah merobohkan banyak penjahat sehingga dia dijuluki orang Gin-ciam Siucai atau Pelajar Berjarum Perak. Dan memang hebat pemuda ini, sekali dia mainkan ilmu silat jarum dan kipasnya, maka senjata kecil itu akan berobah menjadi cahaya keperakan yang berkeredepan seakan-akan seribu batang jarum kecil yang menyambar-nyambar lawan dengan kecepatan luar biasa. Apalagi kalau dia barengi dengan permainan kipas hitam, maka senjatanya ini merupakan awan lebar yang menutupi mata lawan sehingga dengan mudah dia akan melancarkan serangan tak terduga.

Akan tetapi, menghadapi murid tunggal Cheng-gan Sian-jin si gembong iblis, kali ini Hok Sun benar-benar ketemu tanding. Lawannya itu memiliki kelebihan ginkang yang amat luar biasa sekali. Gadis itu bergerak seperti burung walet, tubuhnya melesat kesana kemari dengan gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya sehingga serangan kipas hitam dan jarum peraknya selalu gagal.

Mengandalkan ilmu ginkangnya yang disebut Cui beng Ginkang atau Ginkang Pengejar Roh, Lie Lan atau Tok - sim Sian-li itu benar-benar hebat sekali. Apalagi setelah gadis ini mengeluarkan pukulan-pukulan Tok-hiat jiu yang amat dahsyat, perlahan-lahan Hok Sun mulai terdesak. Dengan mati-matian pemuda ini melindungi diri dari sambaran pukulan lawan karena mencium baunya, Hok Sun maklum bahwa pukulan gadis itu mengandung racun darah yang jahat sekali.

Pernah dulu gurunya bercerita tentang ilmu yang amat ganas ini, dan diam-diam hatinya bergidik ngeri. Konon kabarnya jika orang terkena Pukulan Darah Beracun ini, tubuh yang bersangkutan akan terserang gatal-gatal seperti digigiti semut api dan perlahan-lahan tubuh orang itu akan pecah pembuluh darahnya dan seluruh pori-porinya akan dirembesi darah beracun! Teringat sampai di sini, muka Hok Sun menjadi pucat dan dengan seluruh kemampuannya dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan memutar kipas hitam serta jarum peraknya.

"Gadis siluman, aku akan mengadu nyawa denganmu!" pemuda itu berteriak marah dan penasaran sekali. Masa dia akan kalah oleh gadis cantik berhati iblis ini? Padahal selama petualangannya di dunia kang-ouw, belum pernah dia bertemu tanding yang setimpal. Maka kenyataan betapa dia malah terdesak oleh lawannya itu membuat Hok Sun menjadi marah dan gemas sekali.

Sebaliknya, Lie Lan sendiri yang telah dibakar kemarahan dan cemburu melihat Bu Kong dilarikan gadis baju hijau tanpa dia dapat berbuat sesuatu karena dihalang-halangi pemuda ini, juga semakin berkobar kemarahannya. Enam puluh jurus sudah mereka bertanding, dan dia masih juga belum dapat merobohkan pemuda baju putih ini. Pukulan-pukulan Tok-hiat-jiu yang dilakukannya belum pernah mengenai lawan dengan telak, paling-paling angin pukulannya saja yang menyerempet. Dan walaupun hal ini telah membuat pemuda itu terhuyung-huyung dan terdesak akan tetapi lawannya itu masih belum roboh.

Maka saking marah dan penasarannya, gadis ini tiba-tiba melengking tinggi dan tangan kirinya bergerak. Sebuah bendera kecil segi tiga tahu-tahu telah berada ditangannya dan dengan senjata keramat ini, gadis itu lalu menerjang kembali dengan lebih hebat lagi.

“Bendera Iblis!" Hok Sun berseru kaget dan sepasang matanya terbelalak gentar. Sudah lama dia mendengar tentang bendera pusaka Cheng-gan Sian-jin ini yang telah merobohkan entah berapa banyak orang lihai, dan karena hatinya terguncang, hampir saja dia kurang cepat mengelak.

"Wutt-brett!"

"Aihh....!" Hok Sun berteriak kaget dan dia melompat ke belakang. Baju di pundak kanannya robek disambar bendera kecil itu dan sedikit saja dia terlambat, tentu daging pundaknya akan hancur dibabat Bendera Iblis!

Tentu saja kenyataan ini membuat pemuda itu terkejut sekali. Tadi sebelum lawan mengeluarkan bendera saja dia sudah terdesak mundur dan kewalahan. Dan yang paling membuatnya bingung adalah bau amis yang menyambar-nyambar dari kedua lengan gadis itu. Hal ini membuatnya ingin muntah-muntah dan hanya berkat kebutan kipas serta menahan napas saja dia berhasil mempertahankan diri. Akan tetapi kalau dia terus-menerus menahan napas, bagaimana mungkin dia akan kuat bertahan? Inilah yang membuat Hok Sun gelisah.

Seperti kita ketahui dalam jilid ke tujuh, Cheng gan Sian-jin dalam pertandingannya yang amat hebat melawan Malaikat Gurun Neraka tidak pernah mengeluarkan bendera keramatnya. Hal ini disebabkan karena bendera pusaka itu oleh Cheng -gan Sian-jin diberikan kepada muridnya. Dalam anggapan datuk sesat ini yang terlalu bersikap jumawa, dia merasa tidak perlu mengeluarkan bendera pusakanya itu. Untuk orang seperti dia, benda apa saja dapat dipergunakan sebagai senjata. Misalnya saja seperti pengikat rambut dan tongkat ular serta tasbeh hitamnya. Bukankah tiga macam senjata ini sudah lebih daripada cukup untuk menghadapi Malaikat Gurun Neraka? Apalagi disampingnya masih terdapat beberapa anak buahnya yang memiliki kepandaian tinggi.

Sama sekali Cheng-gan Sian-jin tidak mengira bahwa Malaikat Gurun Neraka ternyata merupakan manusia luar biasa yang jarang dicari tandingannya. Dia malah dibuat kalang kabut dan baru sekali ini, selain manusia berkedok dulu, kakek itu harus mengakui keunggulan lawan. Dia terpaksa lari terbirit-birit menjauhi pukulan halilintar yang meledak-ledak di kedua tangan pendekar sakti itu!

Sekarang, dengan Bendera Iblis di tangan, sepak terjang Tok-sim Sian-li menjadi jauh lebih ganas dan mengerikan. Perlu diketahui bahwa sebenarnya bendera pusaka ini telah diisi mantra-mantra ilmu hitam oleh Cheng-gan Sian-jin, maka tidaklah heran kalau benda itu memiliki pengaruh yang mengerikan bagi lawan. Belasan tahun lamanya Cheng-gan Sian-jin bertapa semenjak kekalahannya dulu dan bendera keramatnya diisi dengan kekuatan-kekuatan hitam hasil tapanya yang amat tekun.

Bendera Iblis di tangan Lie Lan adalah bendera asli yang dulu dibawa-bawa gurunya untuk menundukkan ketua-ketua partai persilatan dan benda ini mengeluarkan pengaruh yang mengguncang batin bagi pihak musuh. Maka tidaklah heran kalau perbawa hitam yang ada di bendera itu membuat batin Hok Sun bergetar. Senjata itu seolah-olah memiliki pengaruh mengerikan, setiap kali menyambar seakan-akan mempunyai hawa gaib yang melumpuhkan semangatnya. Inilah sebabnya mengapa ketika tadi bendera itu berkelebat, Hok Sun kurang cepat mengelak karena kedua kakinya mendadak menggigil tanpa dikehendaki.

Dengan begini, tentu saja keadaan pemuda itu semakin terdesak hebat. Mulailah dia mengeluh d an setiap kali dia menangkis dengan kebutan kipasnya, lengannya gemetar setengah lumpuh. Bahkan suatu ketika dalam pertemuan langsung dimana gadis itu menyerang ganas dengan bendera keramat menghantam kepalanya, kipas yang dipakai menangkis tiba-tiba terlepas dari tangannya dan terpental jauh.

"Ahhh....!" Hok Sun berseru kaget dengan muka pucat dan pada saat itu, Tok sim Sian-li memutar senjatanya dan dengan gagang bendera gadis ini menusuk dahi Hok Sun dengan kecepatan kilat!

"Mampuslah....!" murid Cheng-gan Sian-jin itu berteriak girang dan mulutnya menyeringai seperti kuntianak haus darah.

Hok Sun yang berada di ambang maut ini ternyata masih cukup hebat. Melihat betapa serangan itu datang mengancam dahinya, pemuda ini berteriak dan jarum perak di tangan kirinya menangkis cepat dan dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menyelamatkan diri.

"Trakk!" gagang Bendera Iblis berhasil ditangkis, akan tetapi karena jarum di tangan Gin-ciam Siucai jauh lebih kecil dan ringan, maka Hok Sun tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kali ini jarum peraknya juga terlepas karena tangkisan yang amat keras itu membuat telapaknya pecah berdarah.

"Hi-hi-hikk, pemuda tolol, terimalah kematianmu dengan mata meram!" Tok-sim Sian-li terkekeh dan melengking nyaring, berkelebat ke depan dan menyerang pemuda itu dengan dua pukulan maut. Bendera Iblis di tangan kanan menyambar ubun-ubun sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan Tok-hiat-jiu ke arah lambung Hok Sun.

Murid Phoa-lojin ini terbelalak, dia sedang terhuyung-huyung akibat menangkis tadi, maka dua buah serangan maut yang dilakukan oleh gadis itu sudah tidak sempat dielakkan lagi. Apalagi dua buah senjatanya sudah terlepas semua, bagaimana akan sanggup melawan murid Cheng-gan Sian-jin yang seperti siluman betina ini? Maka dia menerima datangnya maut ini dengan mata membuka lebar dan sikap tabah.

“Plakk! Desss! Aiihhhh....!"

Lie Lan menjerit dan tubuhnya terpental. Sesosok bayangan kecil kurus tiba-tiba berkelebat menangkis dua buah serangannya tadi dan gadis ini kaget bukan main. Dia merasa betapa telapak tangan kanannya pedas dan hampir saja Bendera yang dipegangnya terlempar. Tentu saja Lie Lan terkejut dan gadis ini berjungkir balik untuk mematahkan tangkisan yang luar biasa kuatnya itu dan memandang ke depan.

Dan gadis ini berdiri terbelalak ketika dia melihat seorang laki-laki tua berpakaian nelayan berdiri di depan pemuda yang menjadi lawannya itu. Kakek ini kecil kurus, tangan kanannya memegang papan catur yang tadi dipakai menangkis bendera keramatnya dan melihat bentuk tubuh serta pakaiannya yang sederhana, tidak nampak suatu keistimewaan apapun. Akan tetapi, ternyata kakek kurus sederhana ini telah membuatnya terpental dan dari tangkisan tadi, Lie Lan maklum bahwa kakek berpakaian nelayan itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat sekali.

Kakek ini bukan lain adalah Phoa-lojin, guru Gin-ciam Siucai Hok Sun. Dalam pertandingan kacau-balau di tempat itu, kakek ini juga tidak tinggal diam. Dia melompat mendekati wanita berambut keemasan yang dikenalnya sebagai tokoh dari tujuh propinsi itu, yakni Kim-bian atau Si Rase Emas. Beberapa tahun yang lalu, pernah dia bertemu dengan Si Rase Emas ini yang menculik dua orang pemuda tampan untuk dijadikan mangsa nafsu berahinya, akan tetapi dia berhasil menghalangi dan membebaskan dua orang pemuda itu dari cengkeraman wanita ganas ini.

Dan sekarang, secara tak terduga-duga kembali dia melihat munculnya wanita ini sebagai anak buah Cheng-gan Sian-jin si pentolan kaum sesat. Phoa-lojin tahu bahwa Si Rase Emas itu adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan agaknya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Hek-mo-ko yang dilayani Ta Bhok Hwesio yang mempermainkan lawannya sambil tertawa-tawa. Itulah sebabnya mengapa kakek ini lalu menghadapi Kim -bian yang tentu saja amat terkejut melihat hadirnya kakek berpakaian nelayan yang dulu pernah mengalahkannya itu.

Tanpa banyak cakap Si Rase Emas lalu maju menerjang dan seperti biasa, dia mempergunakan sepasang sabuk hitamnya yang mengandung racun masih dibantu pula dengan permainan rambutnya yang panjang keemasan. Kim-bian menyerang kakek itu dengan kemarahan meluap, terutama ketika dia teringat betapa kakek ini dulu berani menghalang-halangi maksudnya, kebencian wanita ini semakin menjadi-jadi.

Akan tetapi, seperti juga tujuh tahun yang lewat, sekarangpun dia masih tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan dialah yang terdesak hebat oleh pukulan-pukulan kakek itu yang setiap kali menggerakkan lengannya, tentu dibarengi oleh hawa lweekang yang membuat dadanya sesak. Sambaran angin pukulan Phoa-lojin terlalu berat bagi Si Rase Emas dan akhirnya, tidak sampai tigapuluh jurus mereka bertanding, Kim-bian harus mengakui keunggulan lawannya dan dia muntah darah terkena pukulan sakti kakek itu. Malah sepasang sabuknya putus dijambret dan belasan helai rambut emasnya berodol dicengkeram kakek berpakaian nelayan ini!

Tentu saja wanita itu gentar. Sambil menjerit setengah menangis, dia lalu memutar tubuh dan meloncat pergi meninggalkan Phoa-lojin. Sementara itu, Hek-tung Lo-kai dan teman-temannya yang lain menghadapi orang-orang kang-ouw yang datang menyerbu dan karena anak buah Cheng-gan Sian-jin ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka mereka itu berhasil mendesak musuh dan beberapa orang kang-ouw malah dapat mereka lukai.

Pertempuran yang kacau balau dan ruangan yang terbakar itu mengundang datangnya para perajurit dan perwira-perwira mereka. Dan Phoa-lojin terkejut sekali melihat betapa tempat itu telah dikurung ratusan perajurit bersenjata dan tampaklah ribuan obor menyala terang dipasang di sekeliling gedung milik Cheng gan Sian-jin ini. Kakek ini terkejut dan wajahnya berobah. Untunglah pada saat itu si hwesio Tibet telah berhasil merobohkan Hek-mo ko dan kini menerjang ke arah Liong-tung Lo-kai untuk menggempur desakan mereka terhadap orang-orang kang-ouw.

Melihat betapa orang-orang kang-ouw yang menyerbu itu kini dapat bernapas longgar dan mentaati perintah Ta Bhok Hwesio untuk keluar dari tempat itu dan beramai-ramai membuka jalan darah dengan merobohkan perajurit-perajurit yang berani menghadang, Phoa-lojin menarik napas lega. Akan tetapi, ketika kakek ini menoleh dan menyaksikan betapa muridnya nyaris terancam malapetaka di tangan gadis lihai yang amat ganas itu, Phoa-lojin terkejut sekali.

Sepak terjang murid perempuan Cheng-gan Sian jin itu sungguh telengas bukan kepalang. Kipas Hok Sun sudah terlempar dan kini jarum peraknya juga terpental ketika membentur Bendera Iblis di tangan Tok-sim Sian-li. Maka tanpa ayal lagi kakek ini lalu berkelebat ke depan dengan kecepatan luar biasa dan dengan tepat dia berhasil menyelamatkan nyawa murid tunggalnya itu. Kini kakek itu berdiri melindungi Hok Sun dan tanpa menoleh Phoa-lojin lalu berkata.

“Hok Sun, cepat ambil senjatamu yang terlempar itu dan pergilah ke bagian barat. Biar aku yang menghadapi nona ini!" kata-kata ini diucapkan dengan nada tergesa-gesa dan pemuda itu lalu bangkit berdiri dan melompat bangun.

Hok Sun maklum bahwa kalau gurunya berbicara seperti itu, tentu ada sesuatu yang agaknya harus dilakukan. Dia tidak banyak membantah dan segera memungut dua buah senjatanya dan melompat pergi. "Baik, suhu," pemuda itu menjawab dan tubuhnya berkelebat ke bagian barat dan sama sekali tidak menengok lagi ke arah Lie Lan.

Tentu saja Lie Lan marah sekali. "Mau lari kemana kau?" gadis ini membentak dan tangannya bergerak. Belasan sinar kuning berkeredepan ke depan menyambar punggung Hok Sun. Itulah Ui-tok-ciam (jarum racun kuning) yang dimiliki gadis ini sebagai amgi (senjata gelap).

Akan tetapi Phoa-lojin tidak membiarkan jarum-jarum halus itu mengganggu perjalanan muridnya. Kakek ini mengeluarkan seruan perlahan dan tangan kanannya mengebut ke arah jarum-jarum itu dan..... semua jarum halus ini runtuh di atas lantai.

"Kau...! Keparat tua bangka sialan!" Lie Lan memaki dan dengan gemas dia lalu menyerang kakek itu. Gerakannya cepat, loncatannyapun kuat. Bendera Iblis di tangannya menderu menyambar wajah kakek ini dan tangan kirinya bergerak menghantam lambung dengan pukulan Tok-hiat-jiu yang mengeluarkan bau amis memuakkan itu.

"Hemm, nona yang ganas sekali, juga keji!" Kakek Phoa berseru dan dia mengangkat papan caturnya, menangkis sambaran bendera keramat dan tangan kirinya mendorong ke depan menyambut serangan Tok-hiat jiu.

"Plak-desss!"

Lie Lan memekik nyaring, Bendera Iblis di tangan kanannya terpental dan gadis ini merasa betapa telapak tangannya pedas dan ngilu sekali. Dan gadis ini semakin terkejut ketika melihat betapa kakek itu berani menerima pukulan Tok-hiat-jiu yang dilancarkannya dengan sikap demikian tenang. Sedetik mukanya berobah karena kalau ada lawan yang berani menerima pukulannya ini, berarti bahwa kakek itu betul-betul bukan orang sembarangan.

Dan betul saja, begitu tangan kirinya bertemu dengan telapak kakek itu, gadis ini merasa betapa pukulannya yang amat dahsyat itu seakan-akan bertemu dengan kapas yang amat lunak dan dalam, membuat pukulannya seperti lenyap ke dalam sebuah samudera dan sebelum dia hilang kagetnya, tiba-tiba saja dari telapak tangan lawan muncul tenaga yang amat kuat mendorong dari dalam!

Inilah sejenis pukulan lweekang yang dinamakan orang "Melenturkan Karet melentingkan Busur", sebuah ilmu silat yang amat langka dipunyai orang dan konon kabarnya telah lenyap ratusan tahun yang lalu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya murid Cheng -gan Sian-jin itu ketika tiba-tiba pukulan Tok-hiat-jiunya yang amblas ke dalam telapak lawan, mendadak mental dan menghantam dirinya dengan kekuatan dua kali lipat daripada semula!

"Aihhh! Bresss...!"

Lie Lan menjerit dengan muka pucat dan tubuh gadis ini terlempar ke belakang dengan amat kuatnya. Dia tidak dapat menahan diri karena Tok-hiat-jiu yang membalik dan menghantam diri sendiri itu sama sekali di luar dugaannya. Maka, tanpa ampun lagi gadis ini terbanting di atas lantai dan seluruh tubuhnya membengkak merah karena racun Tok-hiat-jiu yang terpukul balik!

Kenyataan ini membuat Lie Lan terbelalak dan gadis itu mengeluh. Dia tahu apa yang telah terjadi. Pukulan Darah Beracun telah menyerang dirinya sendiri dan kalau dia tidak cepat bertindak, dalam waktu sekejap saja tentu pembuluh-pembuluh darah di tubuhnya akan pecah! Maka tanpa menghiraukan segala sesuatu di sekelilingnya gadis ini lalu duduk bersila dan menelan obat penawar, kemudian memejamkan mata mengerahkan sinkang untuk mengobati luka dalam yang amat berbahaya itu.

Phoa-lojin memandang dan kakek ini tidak melanjutkan serangannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata perlahan, "Sungguh sayang seorang gadis secantik ini harus berjalan di tempat gelap. Nona, kau agaknya memang telah ditakdirkan untuk mengalami banyak penderitaan. Agaknya dosa-dosa orang tuamu harus kau pikul di dunia ini, hemm...."

Dan sejenak kakek ini memejamkan matanya seolah-olah mengheningkan cipta lalu alisnya berkerut dan membuka kembali matanya. Dia tadi sedang menarik ilham untuk mengetahui keadaan sekeliling dan tiba-tiba wajah kakek ini berseri.

Sementara itu, Ta Bhok Hwesio yang dikeroyok banyak orang berteriak-teriak dan tubuhnya berkelebatan cepat diantara sambaran senjata musuh. Sebenarnya, kalau hwesio ini mau, tentu saja dia dapat meninggalkan para pengeroyoknya dan melarikan diri. Akan tetapi, karena orang-orang kang-ouw tadi belum semuanya keluar, maka dia sengaja melayani musuh-musuhnya ini. Mengandalkan kecepatan ginkangnya, Ta Bhok Hwesio melayang-layang seperti burung di udara dan selama ini belum ada satupun senjata yang berhasil mengenai dirinya. Bahkan, dengan kebutan ujung jubahnya kakek ini membuat semua senjata mental balik dan melukai tubuh pemiliknya.

Hal ini membuat Panglima Ok marah bukan main. Tombak terbangnya yang biasanya amat diandalkan itu ternyata sama sekali tidak berdaya terhadap hwesio Tibet yang amat lihai ini. Maka satu-satunya jalan baginya ialah mengerahkan semua para pembantunya agar hwesio itu kehabisan napas dan dikuras tenaganya. Dan betul saja, setelah kini orang-orang kang-ouw sudah tidak tampak lagi di situ dan api yang membakar ruangan besar ini berhasil dipadamkan, sekarang kakek itu tidak dapat keluar dari kepungan musuh yang amat tebal!

Hwesio tua ini mulai mendongkol dan kalau tadi dia hanya merobohkan tanpa membunuh sehingga orang-orang ini masih mampu melompat bangun dan menyerangnya kembali, adalah sekarang dia terpaksa bersikap keras. Dia sudah mulai lelah, akal licik Ok-ciangkun termakan olehnya dan kalau dia tidak cepat-cepat keluar dari kepungan, tentu dia benar-benar terancam bahaya. Apalagi teriakan-teriakan panglima itu yang berkali-kali menyuruh agar dia "dibacok mampus" atau "disate kambing", hwesio ini tidak mau main-main lagi.

"Sialan, kalian ini kerbau-kerbau dungu semua. Kalau pinceng tidak ditahan oleh perasaan welas asih, bagaimana kalian akan mampu bangkit lagi? Heii, Ok-ciangkun, suruh anak buahmu ini mundur, jika tidak, hooo, pinceng terpaksa melakukan pantangan membunuh!" Ta Bhok Hwesio berseru sementara kedua lengannya mengibas. Sebelas orang musuh terlempar bagaikan disapu angin puyuh dan kakek ini melompat ke depan.

"Hemm, keledai gundul, muridmu telah mengacau di perkumpulanku, bagaimana kau minta bebas? Hayo bayar dulu dengan nyawamu!" Liong-tung Lo-kai yang tadi disambar bergulingan oleh hawa pukulan hwesio ini, berteriak dari samping dan menyerang dengan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) sehingga tongkat ketuanya itu mengeluarkan angin menderu. Dan pada saat itu, dari sebelah kanan Mo-kiam Sie Giam Tun yang juga merasa sakit hati kepada hwesio ini karena dulu dia dipermainkan gadis baju hijau yang menjadi murid kakek itu, mengayun pedangnya membacok pundak dengan kecepatan kilat.

Dua buah serangan ini dilakukan hampir serentak dan baru saja meluncur setengah jalan, sekonyong-konyong disusul ledakan selendang sutera dan sambaran kebutan ekor kuda yang dikerjakan Hwa tok-ciang si tokoh banci. Tentu saja tiga macam serangan yang beruntun ini amat hebat sekali. Ta Bhok Hwesio terkejut dan kakek ini mengeluarkan seruan keras. Tongkat Kepala Naga yang menyambar kepalanya dihindarkan dengan cara menarik leher ke samping dan ketika senjata itu lewat di sisinya, secepat kilat tangan kanan hwesio ini menyambar dan tongkat itu dicengkeramnya! Sementara itu, pada detik berikutnya, pedang Hek-mo-kiam di tangan Sie Giam Tun tiba dan kakek ini menyendal Tongkat kepala Naga kuat-kuat untuk dihantamkan kepada pedang hitam.

"Hehh?!"

"Traanggg! Oohhh!" Liong-tung Lo-kai dan Si Pedang Setan berteriak kaget ketika senjata mereka saling pukul sehingga menerbitkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuh mereka mencelat didupak kaki si hwesio yang menyerampang cepat. Gerakan ini dilakukan Ta Bhok Hwesio dengan kecepatan luar biasa dan menyusul kemudian, ketika selendang di tangan si banci meledak dan kebutan ekor kudanya menotok ulu hati, hwesio ini menggeram marah dan tanpa menghiraukan dua serangan mematikan itu, dia melangkah maju dan kedua tangannya mencengkeram pinggang Hwa-tok-ciang lalu diangkat dan dibanting!

"Heiiiii....??" si banci berseru kaget dan heran, dia hendak melompat mundur, namun terlambat. Selendang suteranya mengenai pelipis kakek itu dan tepat mengenai jalan darah, akan tetapi sama sekali tidak merobohkan hwesio sakti ini. Malah, totokan kebutan ekor kudanya yang juga mengenai ulu hati hwesio itu, hanya mengeluarkan suara "tess" perlahan seolah-olah bertemu dengan benda karet yang lunak dan sama sekali tidak menimbulkan bekas apa-apa pula.

Ta Bhok Hwesio telah menggunakan ilmunya memindahkan jalan darah, maka itulah sebabnya mengapa serangan si banci ini tidak mempengaruhinya. Bahkan sekarang Hwa-tok cianglah yang berteriak ketakutan karena tanpa sempat mengelak lagi, pinggangnya dicengkeram dan dia dibanting oleh kakek itu.

"Bresss! Adoouhh...!" si banci melolong dan pinggangnya patah, berkelojotan sejenak lalu diam tak berkutik lagi, tewas dengan mata melotot!

Peristiwa ini berlangsung dengan luar biasa cepatnya dan tidak ada satu orangpun yang sanggup menolong. Ta Bhok Hwesio yang sudah mulai gusar karena diserang terus-menarus, mulai menurunkan tangan besinya dan para pengeroyoknya m ulai menjadi gentar.

Panglima Ok terkesiap melihat tewasnya Hwa-tok-ciang di tangan hwesio kosen itu dan tiba-tiba panglima itu menangkap seorang perajurit yang berada di dekatnya. Sementara si perajurit terkejut mengapa dirinya dicengkeram oleh atasannya ini, Ok-ciangkun mengeluarkan bentakan perlahan dan tubuh perajurit itu tahu-tahu dilontarkan ke arah si hwesio.

"Aiihhh...!" perajurit itu berteriak ngeri dan dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dilemparkan kepada hwesio yang sedang marah ini sama saja dengan menyerahkannya kepada seekor singa!

Ta Bhok hwesio sejenak tertegun, tidak mengerti kenapa Panglima Ok melemparkan anak buahnya ini. Akan tetapi, tanpa banyak cakap dia menyambut dan menangkap leher baju orang, lalu melontarkannya jauh keluar kepungan musuh sehingga perajurit itu memekik dan terbanting dengan tulang patah-patah.

Dan inilah sebenarnya saat yang dinanti-nanti oleh Ok-ciangkun. Begitu hwesio ini tertarik perhatiannya kepada si perajurit dan sekejap pandangan matanya terhalang, tiba-tiba panglima tinggi kurus yang merasa amat geram dan penasaran itu menggerakkan lengannya secepat kilat. Tombaknya diluncurkan mengikuti tubuh perajurit yang sengaja dikorbankannya itu dan karena terhalang badan anak buahnya, maka Ta Bhok Hwesio yang sama sekali tidak menyangka akal muslihat ini dibuat mencelos hatinya ketika tiba-tiba mata tombak sudah berada di depan dadanya!

"Singggg...!” Tombak terbang sang panglima sekonyong-konyong mendesing setelah mendekati sasarannya dan muka hwesio sakti itu berobah. Kagetnya bukan kepalang karena dia sama sekali sudah tidak ada waktu untuk meloncat. Satu-satunya jalan hanyalah mengerahkan kekuatan lweekangnya untuk melindungi diri dari ancaman mata tombak. Dan inipun cepat dilakukan oleh kakek ini.

"Crapppp....!” Ta Bhok Hwesio menggereng dahsyat, tombak terbang Ok-ciangkun memang berhasil ditahannya sehingga tidak sampai menembus jantung, akan tetapi toh senjata itu menancap satu senti di dalam kulit dagingnya! Darah mengucur keluar dan kakek ini naik darah.

"Bagus, kalian semua memang minta mampus! Baiklah, pinceng akan menuruti kemauan kalian. Haaiiittt....!”

Ta Bhok Hwesio memekik dengan seruan mengguntur, tangannya meraih dan secepat kilat kakek ini telah mencabut tombak yang menancap di dadanya itu. Darah mengucur semakin deras dan hal ini agaknya membuat hwesio ini menjadi beringas. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, kakek ini lalu menerjang ke depan dan tombak rampasannya diputar sehingga mengeluarkan suara mengaung-aung.

Gegerlah keadaan di situ. Para perajurit dan perwira yang memang sudah merasa jerih terhadap hwesio sakti ini, sekarang saling berteriak-teriak ramai dan berlompatan mundur melarikan diri.

Ok-ciangkun terkejut. Tadi dia merasa pasti bahwa lawannya itu akan roboh dan disate oleh tombak terbangnya yang meluncur di balik halangan tubuh perajurit yang dilemparkannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa kakek itu kiranya betul-betul hebat sekali dan tenaga lweekangnya amat kuat sehingga dapat menahan tikaman senjatanya. Luka yang diderita oleh hwesio itu meskipun mengeluarkan banyak darah, akan tetapi sebenarnya hanya merupakan luka kulit yang kurang berarti. Akan tetapi, kalau darah terus - menerus keluar, tentu saja keadaan kakek itu bukannya tidak berbahaya.

Sekarang, melihat betapa Ta Bhok Hwesio menggereng dan tampak murka sekali, mau tak mau hati panglima ini menjadi gentar juga. Tadi dilawan oleh sekian banyak orang, hwesio itu masih dapat bertahan dan sikapnya penuh main-main. Kini, setelah kakek itu dikuasai kemarahan yang meluap dan anak-anak buahnya pada melarikan diri ketakutan, bagaimana dia berani menghadapi kakek itu seorang diri? Sayang dua orang rekannya, yakni Panglima Kiang dan Panglima Han, pada waktu itu sedang menjalankan tugas di luar memenuhi perintah rahasia sri baginda. Kalau tidak, dengan adanya dua orang panglima itu dia tentu akan dapat menundukkan hwesio yang lihai bukan main ini.

Maka yang segera dilakukan oleh Panglima Ok yang licik ini adalah menyelinap kabur! Dia tidak mau mengambil resiko terlalu berat, akan tetapi dia akan melakukan sesuatu untuk merobohkan kakek itu. Dan ini mengharuskan dia menjalankan siasat perang, yakni membiarkan hwesio itu keluar dari ruangan ini dan begitu tiba di luar, dia hendak memerintahkan barisan pendam yang bersembunyi di sekeliling gedung itu untuk menyerang dengan anak-anak panah! Inilah yang paling menguntungkan bagi pihaknya. Melawan seorang tokoh kangouw yang kawakan macam hwesio itu tidak boleh dilakukan dari jarak dekat, namun harus diserang dari jarak jauh.

"Semua pasukan, mundurrr...!" Ok-ciangkun memberi aba-aba dan tubuhnya lenyap di balik sebuah pintu tembusan.

Para perajurit yang mendengar perintah ini, tanpa diulang dua kali sudah berserabutan seperti anjing buduk dikejar ular berbisa. Akan tetapi yang dapat melarikan diri dari amukan Ta Bhok Hwesio hanyalah orang-orang yang berada di bagian belakang. Sedangkan yang berada dibagian depan, semuanya sudah roboh malang-melintang diserampang atau ditusuk tombak yang menyambar-nyambar dari tangan kakek sakti itu. Bahkan Liong-tung Lo-kai dan Mo-kiam Sie Giam Tun sendiri yang menyaksikan tewasnya Hwa tok ciang dalam segebrakan tadi, sudah lama menghilang, mendahului Ok-ciangkun ke tempat aman!

Dan pada saat itulah Phoa-lojin juga baru saja berhasil merobohkan Lie Lan dengan pukulan sinkangnya. Kakek ini sejenak bengong di tempatnya melihat betapa seperti orang kalap, temannya itu mengejar -ngejar musuh dan ada empat puluh orang lebih mandi darah di ruangan ini. Tentu saja kakek itu terkejut. Bukanlah maksudnya untuk membunuh-bunuhi orang di kompleks istana ini. Yang membuatnya datang kemari adalah untuk menolong Yap-goanswe dan sedikit memberi hajaran kepada anak buah Cheng-gan Sian-jin. Mengenai para perajurit? Ah, sekilaspun tidak ada maksudnya untuk mengamuk dan membunuh-bunuhi orang-orang tak berdosa itu. Perajurit lawannya perajurit, hal itu bukan bagian mereka. Akan tetapi mengapa Ta Bhok Hwesio yang biasanya suka ugal-ugalan ini marah sekali?

"Oohhh...!” akhirnya kakek ini mengerti ketika dia melihat darah yang keluar dari luka di dada sahabatnya itu. Kiranya hwesio Tibet ini terluka dan karena naik darah, mengamuklah dia sejadi-jadinya di tempat itu. "Lo-heng, hentikan sepak terjangmu yang salah kaprah ini!" Phoa lojin berseru dan tubuhnya melayang ringan mendekati hwesio itu.

Akan tetapi Ta Bhok Hwesio yang sudah murka, begitu mendengar desir angin di dekatnya, segera mengira kedatangan musuh baru. Tanpa menghiraukan teriakan si kakek nelayan, hwesio ini membalikkan tubuh dan tombaknya menusuk dengan kecepatan luar biasa. "Mampus kau...!!"

"Ehh...?” Phoa-lojin terkejut dan terpaksa dia mengangkat papan caturnya dan bertemulah dua macam senjata itu di tengah udara.

"Prakk!" terdengar suara beradunya tombak dan papan catur, dan Ta Bhok Hwesio mencelat mundur karena tombaknya patah-patah sedangkan papan catur di tangan kakek Phoa hancur berantakan! Ta Bhok Hwesio terperanjat dan ketika dia melihat siapa yang diserangnya ini, matanya terbelalak dan api kemarahannya padam.

"Tua bangka sinting, kenapa kau menyerang aku?" katanya melotot.

Phoa-lojin tersenyum. "Lo-heng, siapa menyerang siapa? Bukankah engkau sendiri yang malah menyerang aku? Sungguh lucu, kau yang menyerang malah aku yang ditegur!"

Hwesio Tibet itu membelalakkan matanya dan akhirnya tertawa meringis. "Wah, betul juga, aku tadi lupa diri, maaf!"

Ucapannya ini membuat Phoa-lojin tertawa geli. "Sudahlah, kau kakek gendut dimana-mana selalu bikin onar. Hayo balut lukamu itu dan kita keluar. Menurut perasaanku, bagian barat akan menguntungkan kita, cepat, sebelum Ok-ciangkun merepotkan kita lagi."

Ta Bhok Hwesio mengepal tinjunya teringat kepada panglima licik itu. "Hem, aku bahkan ingin mengetok batok kepalanya yang curang itu!" katanya bersungut-sungut akan tetapi tangannya bekerja merawat luka di dadanya sehingga darah berhenti mengalir.

Dua orang ini lalu bergerak meninggalkan ruangan itu, dan seperti petunjuk Phoa lojin, mereka berkelebat ke arah barat. Dengan kepandaian mereka yang tinggi itu dalam sekejap telah tiba diluar dan begitu muncul, tiba-tiba terdengar menjepretnya ratusan anak panah menuju ke arah mereka!

“Sialan, tua bangka bangkotan, mengapa mematahkan tombakku tadi,” katanya mengomel. “Kalau tidak khan bisa untuk membantai tikus-tikus ini!” mulutnya mengomel namun tubuhnya tidak tinggal diam, bagai seekor burung rajawali, kakek ini melompat kesana-sini dan kedua lengannya menyampok runtuh anak-anak panah yang menyerang.

Phoa lojin juga mencontoh perbuatan temannya dan sambil tertawa kakek ini menyahut, “Loheng, kaupun juga menghancurkan papan caturku. Kalau tidak, bukankan aku tidak akan melompat-lompat seperti katak begini? Lihat kita sekarang dijadikan boneka sasaran oleh orang-orang itu. Hayo naik ke atas!”

Setelah berseru demikian, kakek itu mengebut runtuh anak-anak panah yang menyambar dan sekali totol kakinya, tubuh kakek ini melayang ke atas genteng. Ta Bhok Hwesio juga tertawa terbahak namun sebelum dia melayang naik, ia menggerakkan kedua lengannya untuk menangkap anak panah dengan sekali raup. Kemudian dengan menggunakan ginkangnya melayang ke atas sambil menyambitkan anak panah yang tadi berhasil ditangkapnya ke arah para pemanah itu.

Terdengarlah pekik -pekik kesakitan disana-sini. Dua puluh lebih anak panah telah meluncur melesat tiga empat kali lebih cepat daripada waktu dibidikkan, maka tidaklah heran para pemiliknya tidak mampu berkelit dan limabelas orang roboh dengan jantung tertembus anak panah, sedangkan selebihnya ada yang menancap di leher, pundak, paha dan seorang yang pada waktu itu kebetulan sedang menungging untuk mengambil panah cadangan, menjerit keras karena pantatnya ditusuk sebatang anak panah yang disambitkan hwesio itu!

Ta Bhok Hwesio bergelak ketawa dan tubuhnya telah hinggap dengan ringan di atas rumah. Dua orang kakek ini lalu cepat mengerahkan ginkang mereka meninggalkan tempat itu. Tubuh mereka merupakan bayangan hitam yang berkelebatan seperti iblis dan sebentar saja dua orang kakek ini telah lenyap. Sambil berlari, hwesio itu tertawa-tawa geli teringat betapa anak panahnya menancap di pantat perajurit tadi dan kalau saja Phoa-lojin tidak mengomelinya panjang pendek, agaknya hwesio ini masih mau banyak main-main dan menyambitkan anak-anak panah ke pantat musuh-musuhnya.

"Lo-heng, jangan banyak bergurau. Ingat, kita masih berada di sarang lawan dan seluruh pasukan kota raja telah bangun. Lihatlah, empat pintu gerbangpun tertutup rapat dan kalau kita tidak cepat bertindak, bukankah kita tidak akan dapat keluar dengan selamat?" Phoa-lojin menegur temannya ini.

Ta Bhok Hwesio tidak menjawab dan matanya memandang ke depan. Tiba-tiba dia teringat kepada murid perempuannya. Wah, kalau pintu gerbang ditutup, bagaimana Pek Hong dapat keluar? Seketika mukanya berobah dan sikapnya menjadi serius sekali. "Lo-jin, bagaimana dengan muridku itu?" tanyanya ingin tahu. Sahabatnya ini adalah seorang ahli ramal, dan sudah banyak bukti-bukti yang harus dia akui. Sekarang, teringat akan nasib muridnya ini dia lalu bertanya kepada Phoa lojin yang memiliki pengetahuan gaib akan hal-hal di muka maupun yang di belakang.

"Hemm, muridmu itu kelabakan, dia terkurung di bagian barat. Itulah sebabnya mengapa aku mengajakmu ke sana dan jangan banyak bergurau lagi."

Mendengar keterangan ini wajah Ta Bhok Hwesio menjadi pucat dan hatinya gelisah bukan main. "Wahh, kalau begitu kita harus segera menolongnya!" serunya gugup dan seketika kakek ini tancap gas, lari seperti terbang mendahului temannya!

Phoa-lojin menggeleng-geleng kepala melihat ulah hwesio itu dan segera diapun menambah ginkangnya dan berkelebat menyusul Ta Bhok Hwesio yang telah jauh meluncur di depan seperti anak panah terlepas dari busur.

Ketika mereka sampai di pintu gerbang bagian barat, betul saja, Ta Bhok Hwesio melihat kegaduhan di tempat ini. Pek Hong dikeroyok banyak orang dan gadis itu tampak kewalahan. Hebatnya, meskipun ia dikeroyok banyak musuh, sama sekali gadis itu tidak mau melepaskan Bu Kong yang tetap dipanggulnya, sepak terjangnya persis seekor harimau betina, dengan rantai perak di tangan kanan gadis itu membabat lawan yang berani mendekat. Tubuhnya mandi keringat, akan tetapi dengan penuh semangat dia melengking-engking dan berkelebatan diantara sambaran senjata lawan tanpa kenal menyerah!

Sejenak hwesio ini memandang dengan wajah berseri gembira, girang dan juga kagum. Akan tetapi diam-diam diapun kembali mengagumi ketepatan Phoa-lojin yang dapat menebak semua kejadian dengan amat jitu seolah-olah peristiwa itu tadi telah tampak jelas di depan matanya. Dan ketika kakek ini menoleh ke kiri, di situpun murid Phoa-lojin juga dikepung banyak musuh dan pemuda ini dengan tangkas mainkan kipas hitam dan jarum peraknya. Lalu, sedikit berjauhan dari tempat dua orang muda ini bertempur, tampak beberapa orang kang-ouw yang tadi keluar dari gedung kuning juga mati-matian membuka jalan darah agar dapat meloloskan diri dari tempat itu.

"Ha-ha-ha, Phoa-lojin, ramalanmu benar-benar jitu sekali. Sekarang, setelah kita sampai di sini, hayo kita berlumba, siapa kiranya yang lebih dulu berhasil menolong murid masing-masing!"

Ta Bhok Hwesio melayang dari atas genteng sambil tertawa bergelak, tubuhnya menyambar ke bawah seperti sikap seekor burung besar menerkam domba. Kedua tangannya mendorong dan serangkum angin pukulan yang luar biasa hebatnya membuat duapuluh pengeroyok Pek Hong menjerit dan terlempar bergulingan. Tidak berhenti sampai di sini saja, kakek itu lalu menggerakkan kedua kaki tangannya berganti-ganti dan tubuh orang-orang itupun terpental seperti bola ditendang dan terjungkal dengan tulang-tulang patah!

"Suhu...!" Pek Hong menoleh dan berteriak girang, seketika semangatnya meluap melihat betapa gurunya datang pada saat yang tepat. Dia sudah mulai kebingungan dan gelisah melihat pengeroyokan musuh yang amat banyak. Jatuh satu maju dua, roboh empat maju sepuluh. Kalau begini terus-terusan, bukankah keadaannya runyam sekali?

Syukurlah, pada saat dia dicekam kecemasan dan telah mengambil tekad untuk bertempur sampai mati, suhunya tiba-tiba datang menolong. Gadis ini lalu memekik nyaring dan rantai peraknya menyambar dahsyat. Lima perajurit roboh terjungkal dihantam senjatanya dan Pek Hong lalu berkelebatan cepat mengandalkan ginkangnya yang disebut Coan-goat-hui. Mulailah gadis ini mengamuk dengan amat hebatnya, seolah-olah dia memiliki tenaga baru yang masih segar. Hal ini disebabkan dengan adanya gurunya di situ, dimana kehadiran Ta Bhok Hwesio menimbulkan kegembiraan dan semangat tinggi.

Di lain tempat, Phoa-lojin juga sudah melayang turun dan kakek ini mengibas kesana kemari merobohkan pengeroyok muridnya sehingga Hok Sun dapat bernapas lega. Akan tetapi seperti tadi telah dikatakan, musuh yang berada di situ terlampau banyak. Roboh satu maju dua, jatuh sepuluh maju duapuluh. Phoa - lojin yang tidak mau menurunkan tangan kejam, kewalahan juga menghadapi perajurit-perajurit yang nekat ini.

Tiba-tiba, pada saat yang amat gawat itu, mendadak pintu gerbang yang tertutup rapat meledak dengan suara keras. Semua orang terkejut karena ledakan yang terdengar ini menggetarkan tanah di sekelilingnya dan otomatis semua pertempuran yang terjadi di tempat ini terhenti. Ratusan pasang mata memandang terbelalak ketika daun pintu yang amat besar dan berat itu roboh. Debu mengepul dan suara ambruknya pintu gerbang ini menimbulkan hiruk-pikuk luar biasa.

Seorang pemuda baju biru muncul tiba-tiba dari luar pintu gerbang memasuki tempat itu. Dia menunggang seekor kuda tinggi besar berbulu hitam yang meringkik nyaring. Gagah dan hebat sekali kuda ini. Bulu surinya yang panjang itu riap-riapan, tubuhnya kokoh kuat dan larinya mirip kuda terbang! Tidak tampak keempat kakinya menginjak bumi, seolah-olah kuda hitam tinggi besar ini melayang di atas permukaan tanah. Sekali lihat saja orang akan segera tahu bahwa kuda hitam itu jelas adalah seekor kuda yang amat hebat dan langka.

"Hek-ma....!" tiba-tiba Pek Hong berseru nyaring dan gadis ini melompat ke depan sehingga rambutnya berkibar di belakang kepalanya. Saking girangnya mengenal kuda hitam itu, loncatan gadis ini luar biasa sekali. Tubuhnya seakan-akan dilontarkan jauh ke muka dan Hek-ma yang mendengar panggilan ini, terbang ke arah gadis itu sambil meringkik panjang.

Memang benar, kuda ini bukan lain adalah Hek-ma (Si Hitam), milik Jenderal Muda Yap Bu Kong dan yang dulu menjadi pembantu setia ketika jenderal itu memimpin pasukan Yueh membasmi musuh. Bagi para pembaca yang telah menikmati ceritera "Hancurnya Sebuah Kerajaan", tentu tidak akan melupakan kuda istimewa ini.

Inilah seekor kuda yang amat langka dicari, keturunan asli dari Liong kut-ma (Kuda Bertulang Naga) yang dulu dimiliki oleh Pangeran Yalu Chih dari Tibet seratus tahun yang lalu! Hek-ma adalah seekor kuda yang betul-betul hebat. Dalam peperangan antar kerajaan, kuda ini menjadi tunggangan pribadi Yap-goanswe yang tahan bacokan senjata tajam!

Seperti kita ketahui bersama, sebenarnya kuda ini adalah hadiah dari Ta Bhok Hwesio yang dulu kalah bertaruh melawan Malaikat Gurun Neraka. Hek-ma adalah keturunan langsung dari Liong-kut-ma yang konon dikabarkan orang mampu terbang ke langit sap ke tujuh! Dongeng rakyat Tibet tentang kuda ini sudah tersebar dimana-mana dan menimbulkan bentrokan antar pangeran yang ingin merebut kuda itu dari Pangeran Yalu Chih sehingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Ta Bhok Hwesio yang juga ada di situ, tercengang keheranan melihat munculnya kuda ini. Akan tetapi, melihat pemuda baju biru di atas punggung Hek-ma, dia terbelalak kaget. Dia mengenal pemuda tegap gagah ini karena pemuda itu bukan lain adalah Fan Li, pembantu setia atau wakil dari Yap-goanswe!

"Ahhh....!" kakek ini berseru keheranan akan tetapi hatinya menjadi gembira bukan main. Dengan munculnya pemuda itu, terutama datangnya Hek-ma ke tempat ini, sungguh amat menguntungkan baginya. Hanya yang dia herankan, bagaimana pemuda baju biru itu mampu menjebol pintu gerbang yang kokoh ini? Sepengetahuannya, Fan Li adalah seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian begitu tinggi. Ilmu silatnya biasa saja dan hanya dalam ilmu perang dia memang memiliki kecakapan khusus, agaknya karena sehari-harinya dia selalu berdekatan dengan Yap-goanswe.

Sementara semua orang bengong dengan adanya kejadian tak disangka ini, tiba-tiba muncul kegemparan baru. Peristiwa berikutnya ini benar-benar mengguncangkan hati semua orang, bahkan Ta Bhok Hwesio sendiri sampai mengeluarkan seruan tertahan. Apa yang mereka lihat? Bukan lain adalah munculnya sesosok bayangan yang gerakannya seperti iblis di belakang pemuda baju biru itu. Bayangan ini melayang ringan di atas permukaan tanah, tidak nampak kakinya menginjak bumi dan yang membuat semua orang memandang dengan muka pucat adalah karena bayangan ini tidak kelihatan kepalanya!

Tentu saja penglihatan itu membuat semua orang terpaku. Mereka hendak berteriak, namun mulut mereka terkancing rapat. Lidah mereka kelu tak dapat digerakkan. Karena bayangan ini muncul dari tempat gelap, maka kepalanya yang tidak nampak itu seakan-akan merupakan sebatang tubuh yang bergerak tanpa kepala, seperti roh penasaran atau setan jejadian!

Akan tetapi, setelah bayangan ini memasuki pintu gerbang dan lampu-lampu penerangan menimpa tubuhnya, tahulah semua orang bahwa sosok tubuh itu sebenarnya mempunyai kepala, hanya saja kepala orang aneh ini tidak kelihatan karena tertutup semacam kabut putih yang menyelimuti wajahnya.

"Bu-beng Sian-su...!" tiba-tiba terdengar teriakan ini yang keluar dari mulut Ta Bhok Hwesio. Kakek inilah yang pertama-tama berseru keras dan semua orang yang mendengar seruannya kaget bukan main dan berdiri dengan mata terbuka lebar.

Memang, siapakah yang belum pernah mendengar nama Bu-beng Sian-su (Manusia Dewa Tanpa Nama) atau ada pula yang menyebutnya sebagai Bu beng Kuncu (Sang Bijaksana Tanpa Nama)? Agaknya di seluruh daratan Tiong-goan tidak ada orang yang belum pernah mendengar nama manusia luar biasa itu.

Hanya, karena Bu beng Sian su ini jarang sekali menampakkan diri di depan orang banyak dan telah bertahun-tahun tidak ada kabar beritanya, maka lama-lama orang menganggap bahwa manusia dewa itu sudah lenyap. Bahkan, berangsur-angsur generasi berikutnya yang mendengar tentang nama ini dari cerita orang-orang tua mereka, menganggap bahwa manusia dewa itu hanya sebagai dongeng belaka.

Sungguh tidak dinyana bahwa pada malam hari itu manusia ajaib ini datang berkunjung di kota raja! Siapa yang tidak terkejut setengah mati? Ta Bhok Hwesio sendiri yang menyaksikan kehadiran Bu-beng Sian-su secara tiba-tiba ini, tertegun di tempatnya dan tak terasa lagi hatinya tergetar. Perbawa manusia dewa itu sungguh luar biasa, hwesio ini saja terpengaruh, apalagi orang-orang lain yang ada di situ. Mereka ini tak terasa lagi telah melangkah mundur seakan-akan gentar didatangi seorang malaikat dari langit yang hendak memberikan hukumannya kepada orang-orang bersalah!

Sekarang tahulah Ta Bhok Hwesio siapa kiranya yang telah merobohkan pintu gerbang sedemikian mudahnya. Tentu Bu-beng Sian-su! Siapa lagi? Dan tebakan kakek ini memang tepat. Manusia dewa itulah yang menyuruh Fan Li datang ke kota raja bersama Hek-ma untuk menolong Yap Bu Kong yang tertawan musuh.

Perjumpaan kembali antara Fan Li dengan Bu-beng Sian-su cukup panjang, maka baiklah kiranya kita uraikan saja di belakang. Pada saat itu, sementara semua orang terpaku di tempatnya dan keadaan luar biasa heningnya karena tidak ada seorangpun yang mengeluarkan suara, tampak manusia dewa itu mengangkat tangan kirinya ke atas dan terdengarlah ucapannya yang lirih akan tetapi jelas tertangkap telinga ribuan manusia di tempat itu.

"Para sahabat semua, harap kalian hentikan pertempuran ini. Tidak ada gunanya bagi diri pribadi untuk mengumbar nafsu bunuh-membunuh diantara sesama manusia. Kami datang untuk membawa pergi pemuda yang malang itu, harap kalian menaruh hati kasihan dan merelakannya..." Bu -beng Sian-su menghentikan kata-katanya, kabut yang membungkus kepalanya bergerak ke kanan, menoleh ke arah Fan Li dan melanjutkan, "Fan ciangkun, sekarang naikkan tubuh sahabatmu itu dan pergilah seperti yang telah kukatakan tadi."

Fan Li mengangguk, menerima tubuh Yap-goanswe dari panggulan Pek Hong yang telah mendekati mereka dan berdiri mematung dengan mata terbelalak memandang semua keajaiban ini, lalu kabur dengan cepat meninggalkan tempat itu. Hanya saja ketika tadi menerima tubuh Bu Kong, Fan Li sempat berbisik perlahan kepada gadis itu,

"Nona Hong, susullah kami tujuhpuluh li di sebelah tenggara kota raja." dan pemuda itupun lalu pergi dari tempat itu...

Pendekar Gurun Neraka Jilid 08

PENDEKAR GURUN NERAKA
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka Karya Batara
“WUUTTT... plakk!"

Tendangan Hek-mo-ko bertemu dengan telapak tangan Ta Bhok Hwesio yang cepat menggerakkan lengannya untuk menangkis serangan lawan, dan iblis hitam itu berteriak tertahan karena kakinya terpental dan hampir saja dia terpelanting!

Tentu saja Hek-mo-ko terkejut dan sejenak dia terbelalak, tidak menyangka bahwa dalam gebrakan pertama ini dia telah dibuat kaget oleh lawannya, namun kemudian dengan marah dia menerjang lagi. Hek-mo-ko melompat dan segera kaki tangannya melancarkan pukulan-pukulan dahsyat. Dan sepak terjang pembantu Cheng gan Sian-jin ini memang cukup hebat. Dari kedua lengannya menyambar angin pukulan yang membuat jubah Ta Bhok Hwesio berkibaran seperti bendera.

Akan tetapi, Ta Bhok Hwesio yang diserang segencar dan seganas itu oleh Hek-mo-ko, tampak tenang-tenang saja, tubuhnya berkelebatan kesana kemari dan dengan ginkangnya yang disebut Coan-goat-hui (Terbang Menerjang Bulan), tubuh kakek ini bergerak lincah diantara sambaran-sambaran serangan kaki tangan lawannya dan tidak pernah satu kalipun pukulan Hek-mo-ko mengenai kulitnya. Bahkan, sambil tertawa-tawa kakek yang berwatak gembira ini mulai memanaskan perut lawan dengan ejekan-ejekannya.

"Ha, Setan Hitam, gerakanmu kurang cepat, terlalu lamban seperti kerbau hamil. Dengan gerakan semalas ini, bagaimana kau dapat merobohkan pinceng? Hayo, empos semangat dan percepat gerakan, kalau tidak, nanti pinceng sendiri yang akan memberi pelajaran kepadamu, ha-ha-ha...!"

Ejekan-ejekan semacam ini membuat muka Hek-mo-ko menjadi semakin gelap. Dia berteriak keras dan memperhebat serangan-serangannya sehingga jari-jarinya sampai mengeluarkan suara berkerotokan, namun tetap saja dia tidak berhasil menyentuh tubuh hwesio gendut pendek itu. Lawannya ini seperti kecapung saja ringannya, baru tersambar angin pukulan lweekangnya saja sudah terdorong mundur! Bagaimana dia akan mampu merobohkan lawan yang seperti itu?

Akhirnya, saking marahnya Hek-mo-ko tiba-tiba menggereng dan mencabut senjatanya yang mengerikan. yakni sarung tangan berkuku panjang berwarna hitam. Dengan sepasang senjatanya ini, serangan Hek-mo-ko tampak lebih ganas dan buas dan Ta Bhok Hwesio sendiri yang tadi tertawa-tawa menggoda, sekarang mengerutkan alisnya yang putih itu dan kakek ini tidak berani main-main lagi. Biar bagaimanapun juga, lawannya itu bukan orang sembarangan.

Memang mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, selama ini dia berhasil mengelak dan melompat kesana-sini menggemaskan lawan. Akan tetapi, dengan sarung tangan berkuku panjang itu, Hek-mo-ko seakan-akan telah memanjangkan lengannya dan sekali dia kurang cepat mengelak, tentu akan terkena senjata lawan. Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang keluar dari senjata itu, maklumlah kakek ini b ahwa sarung tangan yang menyambar-nyambar dari empat penjuru dengan gerakan mengurung itu mengandung racun berbahaya.

"Hemm, dasar golongan iblis, bertempurpun masih harus mempergunakan racun berbau kentut busuk. Eh, Mo-ko, hati-hati dengan senjatamu itu, pinceng khawatir senjata makan tuan!"

Seruan hwesio itu disusul dengan bunyi berketrik dan tiba-tiba saja di tangan Kakek ini tampak seuntai tasbeh putih yang biasanya dibuat alat berdoa oleh para pendeta Buddha. Dan bersamaan dengan munculnya tasbeh yang sebenarnya merupakan senjata utama bagi kakek itu, terdengarlah angin bercuit tajam dan ketika sepasang sarung berkuku panjang milik Hek - mo-ko menyambar ubun-ubun kepalanya, kakek ini tidak mengelak seperti biasanya dan menyambut serangan maut itu dengan putaran tasbehnya yang melakukan gerak melingkar dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat.

"Triktrikk...wiirrr... aihhh!" Hek-mo-ko berteriak keras dan iblis hitam ini kaget bukan main. Sarung tangannya terpental ketika bertemu dengan tasbeh lawan dan dia merasa betapa tenaga tangkisan hwesio itu sedemikian kuatnya sehingga kedua tangannya sejenak terasa lumpuh. Dan pada saat itu, dimana posisinya amat buruk karena lengannya terpental ke atas sehingga bagian dadanya tidak terlindung, tangan kiri hwesio itu menampar dan kaki kanannya menendang dari samping. Dua buah serangan ini merupakan serangan kilat yang tidak sempat lagi dihindarkan oleh Hek-mo-ko, dan dia hanya mampu mengerahkan lweekang untuk melindungi bagian tubuhnya dari serangan lawan.

"Des-dess!"

Hek-mo ko mengeluarkan keluhan tertahan dan tubuhnya terlempar ke belakang empat meter jauhnya. Akan tetapi, iblis ini memang betul-betul lihai. Walaupun dia terlempar akibat tendangan lawan, dia dapat berjungkir balik di udara sehingga tidak sampai terbanting dan dapat jatuh dengan kaki terlebih dahulu. Kini Hek-mo-ko benar-benar terkejut. Baru sekali hwesio itu mengeluarkan senjatanya, dan dia sudah harus menerima dua kali hantaman berturut-turut!

"Kau... siapakah, keledai gundul?" Hek-mo-ko membentak dengan mata mendelik, marah akan tetapi juga gentar. "Kenapa kau menyatroni kami dan mencampuri urusan koksu? Tidak tahukah engkau bahwa dengan melibatkan diri di sini berarti engkau mengikat permusuhan dengan Cheng-gan Sian-jin pemimpin kami!"

Ucapan yang maksudnya menggertak untuk menakut-nakuti ini malah diganda ketawa oleh kakek itu, "Ha, Setan Hitam, jangan kau coba-coba menggertak pinceng dengan nama koksu. Apakah yang kau andalkan dari pemimpinmu itu? Bukankah sekarang dia lari terkencing-kencing dikejar Malaikat Gurun Neraka? Apakah engkau pun hendak mencontoh perbuatannya? Ha-ha-ha, kalau itu yang kau kehendaki, hayo lakukanlah. Biar pinceng yang mengejar-ngejarmu dari belakang seperti orang mengejar anjing kudisan!”

Ta Bhok Hwesio terkekeh geli, memandang Hek-mo-ko dengan mata memain. Akan tetapi bagi Hek-mo-ko sendiri, dia menjadi meluap kemarahannya. Ejekan hwesio itu benar-benar kelewat batas. Belum pernah selama hidupnya dia dihina orang seperti ini, maka tentu saja dia naik pitam. Boleh jadi lawannya itu lihai, akan tetapi masa dia harus takut? Bukankah dia berada di sarang sendiri dan banyak teman-teman yang akan membantu? Maka sambil berteriak marah pembantu Cheng-gan Sian-jin ini menerjang.

"Keparat, keledai gundul bermulut tajam! Aku akan mencabut lidahmu yang tak bertulang itu dan akan kuganyang bersama darahmu. Hyaatttt...!" Hek-mo-ko melompat seperti harimau buas dan kuku-kuku panjang di ujung jarinya mencengkeram mulut lawan karena dia benar-benar hendak membuktikan ancamannya, yakni mencabut lidah hwesio yang amat dibencinya itu!

Akan tetapi Ta Bhok Hwesio sendiri yang diserang seganas itu, sikapnya masih tenang -tenang saja. Bahkan hwesio ini mengejek, "Wah, kiranya kau inipun juga suka minum darah orang? Hihh, mengerikan sekali. Kalau begitu kau ini benar-benar keturunan iblis, Mo-ko, bukan keturunan manusia. Padahal iblis sendiri tempatnya di neraka, bukan di sini. Bagaimana kau bisa keluyuran di bumi? Hayo kembali, biar pinceng antar engkau ke sana. Haittt!"

Hwesio Tibet ini tiba-tiba melengking tinggi dan tubuhnya bergerak, berputar seperti gasing dan sedetik kemudian lenyaplah dia menjadi bayangan putih yang berputaran cepat. Hek-mo-ko terkejut melihat perobahan lawan. Dia tidak tahu bahwa Ta Bhok Hwesio telah mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat, yakni yang disebut Hong-thian-lo-hai-kun (Badai Mengamuk di Samudera), sebuah ilmu silat tingkat tinggi yang mengandung penuh tenaga sinkang.

Dengan ilmunya ini, hwesio sakti itu sanggup menciptakan pusaran angin puyuh yang dapat menyedot semua benda yang berada dalam jarak satu meter dengan dirinya. Juga disamping itu, dengan tubuh berputaran cepat seperti ini, dia dapat melancarkan serangan tak terduga dari segala arah. Maka tidaklah heran apabila iblis hitam itu menjadi kaget karena begitu cengkeramannya telah mendekati lawan, tiba-tiba saja angin yang amat kuat menyambar dan hendak menyedotnya untuk ikut berpusing bersama hwesio itu!

"Aihhh….!" Hek mo-ko berseru keras dan mukanya berobah. Dia sudah terlanjur melompat, tidak mungkin lagi baginya untuk menghentikan gerakannya di tengah jalan. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah terus menghantam secara nekat dan untuk mencegah agar tubuhnya tidak terbawa pusaran angin lawan, Hek-mo-ko cepat mengerahkan tenaga Jeng kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk memberatkan tubuh.

Namun apa yang dikerjakan oleh pembantu Cheng-gan Sian-jin ini terlalu tergesa-gesa. Selain itu juga dalam hal tenaga sinkang dia masih di bawah lawannya, apalagi dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh). Ta Bhok Hwesio adalah seorang tokoh tingkat atas, kepandaiannya paling tidak masih dua tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan Hek-mo-ko. Maka tidaklah heran kalau hwesio Tibet ini mampu mempermainkan lawannya. Kalau saja dia mau, tentu sudah dari tadi kakek ini merobohkan Hek-mo-ko.

Akan tetapi, dasar hwesio ini berwatak periang dan suka main-main, maka dia sengaja hendak menggoda iblis hitam ini sepuas hati. Baru setelah Hek-mo-ko mengeluarkan senjata beracunnya yang berbau amis, Ta Bhok Hwesio tidak mau main-main lebih lama lagi dan hendak segera merobohkan pembantu Cheng gan Sian-jin ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar jeritan beberapa orang kang-ouw yang terdesak oleh keroyokan-keroyokan Liong tung Lo-kai dan kawan-kawannya serta melihat betapa di luar kamar yang terbakar ini datang perwira-perwira istana bersama ratusan perajurit anak buah mereka.

Semuanya ini menggerakkan hati kakek itu agar dia secepat mungkin menyudahi permainannya. Itulah sebabnya begitu Hek-mo-ko menerjang maju dengan sikap buas, kakek ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya Hong-thian-lo-hai-kun untuk menyelesaikan pertandingan ini. Dan memang hebat kesudahannya. Dengan tubuh berpusing seperti itu dan memutar tasbeh di tangannya membentuk sinar perak yang berkilauan lebar, pandangan Hek-mo-ko menjadi kabur. Ta Bhok Hwesio mengerahkan tenaga sinkangnya sembilan bagian sehingga tasbeh di tangan kanannya mencicit nyaring dan ketika sepuluh kuku baja itu menyambar, kakek ini menyambut dengan babatan tajam dan tangan kirinya tiba-tiba bergerak melakukan pukulan yang disebut Hai-liong-hut-mauw (Naga Laut Mengebut Bulu).

“Crik-crik-crikk... prasss!"

Gebrakan ini berlangsung dengan luar biasa cepatnya, hampir-hampir tidak dapat diikuti pandangan mata. Sepuluh kuku panjang di tangan Hek-mo-ko bertemu dengan babatan tasbeh putih yang bercuitan seperti pisau tajam dan kuku-kuku beracun itu putus berhamburan! Sarung tangan Hek-mo-ko dalam sedetik saja telah menjadi "gundul" dan sementara iblis hitam ini kaget setengah mati, pukulan Hai-liong hut-mauw dari tangan kiri Ta Bhok Hwesio menghantam pundaknya.

"Plakk! Aduhh...!" Hek-mo-ko berteriak ngeri, seakan-akan kejatuhan gunung ambruk dan tanpa dapat dicegah lagi, mulutnya melontarkan darah segar. "Uakkk!" Hek-mo-ko menyemburkan darah hidup dan Ta Bhok Hwesio yang tidak mau memberi hati lagi, menggerakkan kakinya yang bersarang di perut lawan.

"Blekk!" tubuh iblis hitam itu terlempar jauh, membentur dinding dan menjerit satu kali lalu diam tak berkutik lagi, pingsan di atas lantai dengan luka dalam yang amat parah.

Ta Bhok Hwesio menarik napas panjang, sejenak memandang ke arah tubuh yang menelungkup diam itu dan menyimpan tasbehnya. Pukulan sinkangnya tadi tidak dapat dibuat main-main. Sekali lawan terkena, tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Hek-mo-ko agaknya memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tidak langsung lewas oleh serangannya dan hanya pingsan saja. Ini membuktikan bahwa pembantu Cheng-gan Sian jin itu memang cukup hebat. Namun biar bagaimana kebalnya sekalipun, pukulan Hai-liong-hui-mauw itu telah menimbulkan luka dalam yang amat berat bagi Hek mo ko. Dalam beberapa jam saja, apabila dia tidak mendapat pertolongan, tentu nyawanya tak dapat dipertahankan lagi.

"Omitohud, semoga pinceng tidak menyalahi jalan Sang Buddha..." hwesio ini berkata perlahan seperti menyesali diri sendiri dan cepat dia menengok ketika mendengar suara gaduh dari luar.

Dan kakek ini terkejut sekali ketika melihat masuknya para perwira dan perajurit istana yang berlompatan ke dalam ruangan besar itu, dan di antara orang -orang ini, Ta Bhok Hwesio melihat seorang panglima tua tinggi kurus yang membawa sebatang tombak panjang beronce merah. Inilah Ok-ciangkun (Panglima Ok), panglima tertua dari Wu-sam tai-ciangkun yang amat terkenal dengan permainan tombaknya yang konon dikabarkan orang dapat "terbang" sendiri itu!

"Ahh...!" Ta Bhok Hwesio berseru perlahan dan cepat dia berteriak ke arah teman-temannya, "Heiii, para sobat semua, harap kalian tinggalkan tempat ini! Cari jalan sendiri-sendiri dan mundur...!"

Setelah berseru demikian, kakek ini berkelebat ke depan dan sekali kedua lengannya mengibas, Liong-tung Lo kai, Hwa-tok-ciang dan teman-temannya yang mengeroyok orang-orang kang-ouw itu terpental ke belakang. "Para sicu semua, hayo kalian cepat tinggalkan ruangan ini. Biar pinceng yang menahan mereka!" kakek itu kembali berteriak dan tubuhnya bergerak cepat menyambar-nyambar musuh. Dengan angin pukulan jubahnya, hwesio sakti ini membuat anak buah Cheng-gan Sian-jin roboh terguling-guling.

"Hwesio keparat, berani kau mengacau kembali di tempat kami?" tiba-tiba terdengar bentakan dan sinar panjang berekor merah mengaung menyambar punggung kakek ini.

Ta Bhok Hwesio terkejut akan tetapi dia cukup waspada. Pada saat itu dia sedang mendorongkan kedua tangannya ke depan, maka dia tidak sempat membalikkan tubuh. Namun dasar kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka mendapat bokongan serangan itu dia sama sekali tidak menjadi gugup. Kaki kanannya tiba-tiba bergerak ke belakang, mendepak ke atas tinggi sekali seperti sikap seekor kuda menyepak tonggeret... "traangg!" tombak panjang yang diluncurkan panglima Ok itu terpental!

"Ha-ha-ha, Ok ciangkun, tombakmu itu sungguh lihai sekali. Agaknya dia benar-benar mempunyai sayap dan dapat terbang sendiri seperti dikabarkan orang, amat patut sekali jika dipakai untuk menyerang orang yang sedang tidur!" kakek ini tertawa bergelak dan memutar tubuhnya, dan ucapannya yang terakhir itu jelas merupakan sindiran tajam bagi panglima ini. Dan memang Ta Bhok Hwesio yang merasa mendongkol karena dibokong itu sengaja mengejek Panglima Ok untuk melampiaskan kemendongkolannya. Ok-ciangkun telah menyerangnya pada saat dia membelakangi panglima itu, bukankah hal ini hampir sama dengan menyerang orang yang sedang tidur?

Sindiran ini membuat muka panglima tinggi kurus itu menjadi merah dan sinar matanya berapi-api ketika dia memandang si "keledai gundul". Beberapa waktu yang lalu ketika Yueh belum jatuh dan pasukannya masih dipimpin oleh Jenderal Yap, dia telah berkali-kali bertemu dengan hwesio yang amat lihai ini. Kakek itu bersama murid perempuannya telah membantu musuh dan tidak sedikit kerugian yang harus dideritanya. Kini, secara tidak tersangka-sangka kembali dia bertemu dengan hwesio itu. Bukankah ini suatu kesempatan yang amat bagus sekali untuk membalas kekalahan-kekalahannya dahulu?

"Hwesio murtad, kau di mana-mana selalu memusuhi kami. Dulu kami masih suka mengampunimu dan membiarkan engkau melarikan diri. Akan tetapi sekarang jangan harap kau akan dapat lolos lagi. Menyerahlah, atau senjataku akan mengantarmu menghadap Giam-lo-ong!" panglima ini membentak dan melangkah maju.

Ta Bhok Hwesio membelalakkan matanya, "Huwaduhh, bukan main! Kau bilang bahwa pinceng pernah melarikan diri darimu, Ok ciangkun? Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Dan kau masih menambahinya dengan mengatakan pernah memberi ampun kepadaku. Hebat, sungguh hebat sekali. Lalatpun kalau mendengar kata-katamu ini tentu akan tertawa terbahak-bahak, ha-ha-ha!” kakek itu tertawa keras saking gelinya dan air matanya sampai keluar bercucuran.

Panglima tua ini mendelik saking marahnya. Sikap hwesio itu dianggapnya terlalu menghina, apalagi setelah dia melangkah dekat, kakek itu bahkan tertawa-tawa sedemikian rupa sambil memegangi perutnya dengan kepala menunduk menghadap lantai. Bukankah ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dirinya? Kalau hwesio itu berani bersikap seakan-akan tidak menjaga pertahanan diri sendiri, hal ini hanya dapat diartikan bahwa kakek ini memang sama sekali tidak menganggapnya sebagai musuh yang berarti, tiada ubahnya dengan seorang anak kecil yang masih belum bisa apa-apa untuk melakukan perbuatan sesuatu! Ini benar-benar menyinggung perasaan panglima itu dan sekali dia menggetarkan lengannya, tombaknya menyambar batok kepala hwesio itu dengan kecepatan kilat.

"Singgg....!" tombak berdesing nyaring dan Ta Bhok Hwesio yang masih tertawa-tawa itu seolah-olah tidak mengetahui betapa ubun-ubun kepalanya disambar tombak Panglima Ok Ciat. Baru setelah senjata itu tinggal satu jari dengan kulit kepalanya, hwesio yang suka main-main ini menghentikan ketawanya dan menengadah ke depan. Pada saat itu tombak terbang milik sang panglima telah datang dan tiba-tiba kakek ini membuka mulutnya sambil menggeser tubuh sedikit ke sebelah kiri dan...

"Capp...!" tombak Panglima Ok digigit oleh gigi-giginya yang masih utuh! Sungguh perbuatan ini amat luar biasa beraninya karena sedikit saja kurang tepat, tentu mulut kakek itu akan ditoblos tombak seperti orang membuat sate kambing!

Panglima tinggi kurus itu terkejut bukan kepalang. Sama sekaii dia tidak mengira bahwa tombaknya akan disambut oleh gigi kakek itu yang kini sambil meringis mempertunjukkan kepadanya bahwa kakek ini masih belum ompong! Tentu saja demonstrasi hwesio itu mengejutkan semua orang dan Ok-ciangkun sendiri begitu kagetnya hilang, lalu mengeluarkan teriakan keras dan menarik tombaknya.

Sendalan tiba-tiba ini dilakukan dengan sekuat tenaga, dan kalau Ta Bhok Hwesio tetap mempertahankan, tentu gigi kakek itu akan patah-patah. Namun hwesio ini memang tidak bermaksud demikian. Begitu Panglima Ok menarik tombaknya, kakek ini tiba-tiba tertawa dan membuka mulutnya sehingga senjata panglima itu terbetot ke belakang. Hal ini menyebabkan tubuh Ok-ciangkun hampir saja terjengkang dan kalau panglima itu tidak berseru keras sambil memutar tubuh untuk mematahkan daya pental, tentu dia akan jatuh terbanting!

"Keparat! Setan jahanam...!” Panglima Ok berteriak gusar dan tombak yang sudah dipegangnya kembali ini mengaung di udara lalu tiba-tiba menukik dan menyerang Ta Bhok Hwesio dengan enam kali tusukan berantai.

"Hayaa...! Hebat sekali, betul-betul bisa terbang!" kakek itu berkaok-kaok dan cepat tubuhnya melompat-lompat seperti katak diserang ular. Memang lucu melihat sikap hwesio itu. Mulutnya menjerit-jerit seperti orang ketakutan, akan tetapi kedua tangannya selalu melakukan tangkisan dengan tenaga lweekang dan setiap kali tombak hendak menikam tubuhnya, selalu senjata itu terpental balik seolah-olah diusir angin keras.

Bukan main marahnya panglima tinggi kurus ini. Enam tikaman berantainya yang susul-menyusul selalu kandas di tengah jalan akibat tangkisan lweekang hwesio itu. Dia menjadi marah sekali dan karena tidak sabar lagi, juga gemas mendengar kakek itu selalu berkaok-kaok membisingkan telinga, panglima ini tiba-tiba memberi aba-aba kepada anak buahnya yang tadi berdiri menonton untuk ikut maju mengeroyok kakek ini!

“Serang dan bunuh dia! Tidak perlu ditangkap hidup-hidup!" Panglima Ok berseru marah dan empat orang perwira yang berdiri paling dekat, menerjang dengan pedang di tangan. Gerakan mereka serempak, senjata mereka datang dari empat penjuru mata angin dan dalam sekejap mata saja hwesio itu terkurung di tengah tengah.

"Aihh... aihh... gimana sih kalian ini? Kenapa untuk menyerang seorang tua bangka macam pinceng harus maju berdulu-duluan seperti anjing berebut tulang? Ehh, Ok-ciangkun, anak buahmu ini belum mandi semua, kenapa disuruh maju ke sini? Lihat, keringat mereka bau sekali, persis seperti tahi anjing. Sorry, pinceng hendak bersin sebentar... hwacinggg!"

Dan betul saja, tiba-tiba kakek itu bersin sebanyak empat kali dengan suara keras! Akan tetapi hebatnya, begitu kakek ini bersin, begitu pula dari kedua lubang hidungnya moncrot ingus setengah kental yang menyambar muka empat orang anak buah Panglima Ok ini.

"Tup tup-tup-tupp!" empat kali berturut-turut ingus kakek itu melesat dan tiga buah diantaranya melekat di pelupuk mata tiga orang perwira, membuat orang-orang ini kelabakan karena mata mereka lekat tak dapat dibuka! Dan lucunya, yang seorang lagi kena "stroop" persis di lubang hidungnya, membuat orang ini tersumbat pernapasannya dan terbatuk-batuk!

Tentu saja keadaan ini luar biasa lucunya dan menggemparkan. Empat orang perwira itu menyerang hampir berbareng, dan dalam keadaan yang hampir berbarengan pula pada saat mereka melompat setengah jalan, tahu-tahu disembur ingus hwesio yang memang kadang kadang kumat watak nakalnya itu! Bagaimana orang tidak akan geli? Akan tetapi Ok-ciangkun sama sekali tidak merasa geli. Panglima ini bahkan semakin marah dan dari luar lingkaran, tombaknya menyambar tanpa suara menusuk punggung kakek itu.

"Wuttt....!" perlahan sekali suara ini, akan tetapi telinga Ta Bhok Hwesio yang luar biasa tajamnya tidak dapat dibohongi. Kakek ini sedang tertawa-tawa dan dua orang perwira di depannya ditubruk dan diangkat lehernya, seperti orang memegangi boneka. Dan pada saat tombak Ok-ciangkun menyambar punggungnya, tanpa membalikkan tubuh kakek ini melempar dua orang perwira itu ke belakang, dijadikan perisai untuk menangkis serangan Panglima Ok.

“Trot-crot!"

Tanpa ampun lagi tombak terbang Ok-ciangkun mengenai sasaran. Akan tetapi bukannya tubuh si hwesio yang tertusuk, melainkan dua orang anak buahnya sendiri. Kontan dua orang perwira itu menjerit dan mereka roboh mandi darah!

"Lhohh, kenapa kau membunuh bawahanmu sendiri, Ok-ciangkun? Wahh, celaka, sang panglima agaknya telah menjadi gila!"

Kakek ini terbelalak seperti orang keheranan, akan tetapi Panglima Ok Ciat yang telah naik darah dan amat marah sekali karena dipermainkan lawannya itu tidak mau banyak cakap. Bersama para perwira lain yang masih ada, panglima tinggi kurus ini menyerang dahsyat dan tombaknya menyambar - nyambar di udara. Kadangkala menusuk, menikam dan tidak jarang mematuk-matuk seperti paruh rajawali menyambar mangsa.

Dan ilmu tombak panglima ini memang cukup hebat. Diam-diam Ta Bhok Hwesio merasa kagum juga. Berada di tangan yang gagah seperti Panglima Ok itu, senjata panjang ini tidak boleh dibuat main-main. Dan sekarang panglima itu lebih banyak melepaskan tombaknya daripada dipegang, dan ini bisa terjadi karena di ujung gagang tombak, terdapat seutas tali baja yang amat halus sekali sehingga hampir-hampir tidak kelihatan oleh mata. Dengan adanya penyambung yang mirip benang kawat inilah maka panglima itu mampu meluncurkan tombaknya di udara, membuat tombaknya seolah-olah terbang! Dan inilah sebabnya mengapa dia disohorkan orang memiliki senjata pusaka tombak terbang. Kiranya karena adanya tali baja itulah!

Segera kakek ini dibuat sibuk oleh keroyokan musuh. Dia harus memasang mata dan telinga tajam-tajam untuk mengetahui sambaran-sambaran senjata lawan, terutama sekali dia harus waspada terhadap serangan Panglima Ok yang acap kali meluncurkan tombak terbangnya tanpa suara. Memang betul bahwa anak-anak buah panglima itu dibuat bulan-bulanan oleh Ta Bhok Hwesio, namun karena setiap kali roboh satu muncul yang lain sebagai penggantinya, maka kakek ini kewalahan juga. Musuh datang membanjir seakan-akan tiada habisnya, padahal dia tentu saja tidak mungkin melawan ratusan orang terus-menerus.

Hwesio ini memang sengaja mencari sebanyak-banyak lawan hanya karena untuk memberi kelonggaran napas bagi teman-temannya yang lain, agar mereka itu dapat lolos dengan lebih gampang. Sementara itu, pertandingan yang terjadi di antara Tok sim Sian-li dengan Hok Sun juga tidak kalah serunya. Kedua orang muda ini bertempur dengan sengit, terutama Lie Lan yang merasa amat marah karena Yap-goanswe dilarikan orang. Gadis ini melancarkan pukulan-pukulan Tok-hiat-jiu dan angin panas yang amis memuakkan seperti bau darah membuat Hok Sun hampir muntah-muntah.

Akan tetapi murid Phoa-lojin itu ternyata bukan pemuda sembarangan. Dengan kipas hitam dan jarum peraknya, pemuda ini berhasil menangkis balik dan juga membalas serangan-serangan lawan dengan tidak kalah hebatnya. Kebutan kipas hitamnya sedikit banyak berhasil mengusir bau amis yang keluar dari kedua lengan Tok-sim Sian-li, dan dengan jarum peraknya dia melakukan serangan bertubi-tubi.

Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, dalam hal ilmu silat dua orang muda ini tidak berselisih jauh. Phoa-lojin adalah seorang tokoh tua yang telah lama menyembunyikan diri di Pulau Cemara. Tukang gwamia ini memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan Ta Bhok Hwesio. Maka muridnya itupun juga bukan seorang pemuda yang berkepandaian rendah. Bisa dibilang semua ilmu silatnya telah diwariskan kepada pemuda itu, kecuali ilmu ramal tentunya karena ilmu ini bukanlah ilmu yang bisa dipelajari begitu saja tanpa pembawaan dari lahir, ilmu meramal tidak mungkin akan dapat dimiliki orang-orang biasa.

Dan diantara semua kepandaiannya yang diajarkan kepada Hok Sun, yang paling mahir dimainkan pemuda itu adalah permainan kipas dan jarum perak. Memang pemuda ini adalah keturunan seorang siucai (pelajar), maka agaknya bakat-bakat orang tuanya menurun kepadanya. Itulah sebabnya maka Phoa lojin yang memiliki bermacam-macam ilmu, lalu menurunkan dua ilmu silat khusus yang dinamakan Lo-thian San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Langit) dan Jing-sin-ciam-hoat (Ilmu Silat Seribu Jarum Sakti).

Dengan dua ilmu silat kipas dan jarum peraknya ini, Hok Sun telah merobohkan banyak penjahat sehingga dia dijuluki orang Gin-ciam Siucai atau Pelajar Berjarum Perak. Dan memang hebat pemuda ini, sekali dia mainkan ilmu silat jarum dan kipasnya, maka senjata kecil itu akan berobah menjadi cahaya keperakan yang berkeredepan seakan-akan seribu batang jarum kecil yang menyambar-nyambar lawan dengan kecepatan luar biasa. Apalagi kalau dia barengi dengan permainan kipas hitam, maka senjatanya ini merupakan awan lebar yang menutupi mata lawan sehingga dengan mudah dia akan melancarkan serangan tak terduga.

Akan tetapi, menghadapi murid tunggal Cheng-gan Sian-jin si gembong iblis, kali ini Hok Sun benar-benar ketemu tanding. Lawannya itu memiliki kelebihan ginkang yang amat luar biasa sekali. Gadis itu bergerak seperti burung walet, tubuhnya melesat kesana kemari dengan gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya sehingga serangan kipas hitam dan jarum peraknya selalu gagal.

Mengandalkan ilmu ginkangnya yang disebut Cui beng Ginkang atau Ginkang Pengejar Roh, Lie Lan atau Tok - sim Sian-li itu benar-benar hebat sekali. Apalagi setelah gadis ini mengeluarkan pukulan-pukulan Tok-hiat jiu yang amat dahsyat, perlahan-lahan Hok Sun mulai terdesak. Dengan mati-matian pemuda ini melindungi diri dari sambaran pukulan lawan karena mencium baunya, Hok Sun maklum bahwa pukulan gadis itu mengandung racun darah yang jahat sekali.

Pernah dulu gurunya bercerita tentang ilmu yang amat ganas ini, dan diam-diam hatinya bergidik ngeri. Konon kabarnya jika orang terkena Pukulan Darah Beracun ini, tubuh yang bersangkutan akan terserang gatal-gatal seperti digigiti semut api dan perlahan-lahan tubuh orang itu akan pecah pembuluh darahnya dan seluruh pori-porinya akan dirembesi darah beracun! Teringat sampai di sini, muka Hok Sun menjadi pucat dan dengan seluruh kemampuannya dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan memutar kipas hitam serta jarum peraknya.

"Gadis siluman, aku akan mengadu nyawa denganmu!" pemuda itu berteriak marah dan penasaran sekali. Masa dia akan kalah oleh gadis cantik berhati iblis ini? Padahal selama petualangannya di dunia kang-ouw, belum pernah dia bertemu tanding yang setimpal. Maka kenyataan betapa dia malah terdesak oleh lawannya itu membuat Hok Sun menjadi marah dan gemas sekali.

Sebaliknya, Lie Lan sendiri yang telah dibakar kemarahan dan cemburu melihat Bu Kong dilarikan gadis baju hijau tanpa dia dapat berbuat sesuatu karena dihalang-halangi pemuda ini, juga semakin berkobar kemarahannya. Enam puluh jurus sudah mereka bertanding, dan dia masih juga belum dapat merobohkan pemuda baju putih ini. Pukulan-pukulan Tok-hiat-jiu yang dilakukannya belum pernah mengenai lawan dengan telak, paling-paling angin pukulannya saja yang menyerempet. Dan walaupun hal ini telah membuat pemuda itu terhuyung-huyung dan terdesak akan tetapi lawannya itu masih belum roboh.

Maka saking marah dan penasarannya, gadis ini tiba-tiba melengking tinggi dan tangan kirinya bergerak. Sebuah bendera kecil segi tiga tahu-tahu telah berada ditangannya dan dengan senjata keramat ini, gadis itu lalu menerjang kembali dengan lebih hebat lagi.

“Bendera Iblis!" Hok Sun berseru kaget dan sepasang matanya terbelalak gentar. Sudah lama dia mendengar tentang bendera pusaka Cheng-gan Sian-jin ini yang telah merobohkan entah berapa banyak orang lihai, dan karena hatinya terguncang, hampir saja dia kurang cepat mengelak.

"Wutt-brett!"

"Aihh....!" Hok Sun berteriak kaget dan dia melompat ke belakang. Baju di pundak kanannya robek disambar bendera kecil itu dan sedikit saja dia terlambat, tentu daging pundaknya akan hancur dibabat Bendera Iblis!

Tentu saja kenyataan ini membuat pemuda itu terkejut sekali. Tadi sebelum lawan mengeluarkan bendera saja dia sudah terdesak mundur dan kewalahan. Dan yang paling membuatnya bingung adalah bau amis yang menyambar-nyambar dari kedua lengan gadis itu. Hal ini membuatnya ingin muntah-muntah dan hanya berkat kebutan kipas serta menahan napas saja dia berhasil mempertahankan diri. Akan tetapi kalau dia terus-menerus menahan napas, bagaimana mungkin dia akan kuat bertahan? Inilah yang membuat Hok Sun gelisah.

Seperti kita ketahui dalam jilid ke tujuh, Cheng gan Sian-jin dalam pertandingannya yang amat hebat melawan Malaikat Gurun Neraka tidak pernah mengeluarkan bendera keramatnya. Hal ini disebabkan karena bendera pusaka itu oleh Cheng -gan Sian-jin diberikan kepada muridnya. Dalam anggapan datuk sesat ini yang terlalu bersikap jumawa, dia merasa tidak perlu mengeluarkan bendera pusakanya itu. Untuk orang seperti dia, benda apa saja dapat dipergunakan sebagai senjata. Misalnya saja seperti pengikat rambut dan tongkat ular serta tasbeh hitamnya. Bukankah tiga macam senjata ini sudah lebih daripada cukup untuk menghadapi Malaikat Gurun Neraka? Apalagi disampingnya masih terdapat beberapa anak buahnya yang memiliki kepandaian tinggi.

Sama sekali Cheng-gan Sian-jin tidak mengira bahwa Malaikat Gurun Neraka ternyata merupakan manusia luar biasa yang jarang dicari tandingannya. Dia malah dibuat kalang kabut dan baru sekali ini, selain manusia berkedok dulu, kakek itu harus mengakui keunggulan lawan. Dia terpaksa lari terbirit-birit menjauhi pukulan halilintar yang meledak-ledak di kedua tangan pendekar sakti itu!

Sekarang, dengan Bendera Iblis di tangan, sepak terjang Tok-sim Sian-li menjadi jauh lebih ganas dan mengerikan. Perlu diketahui bahwa sebenarnya bendera pusaka ini telah diisi mantra-mantra ilmu hitam oleh Cheng-gan Sian-jin, maka tidaklah heran kalau benda itu memiliki pengaruh yang mengerikan bagi lawan. Belasan tahun lamanya Cheng-gan Sian-jin bertapa semenjak kekalahannya dulu dan bendera keramatnya diisi dengan kekuatan-kekuatan hitam hasil tapanya yang amat tekun.

Bendera Iblis di tangan Lie Lan adalah bendera asli yang dulu dibawa-bawa gurunya untuk menundukkan ketua-ketua partai persilatan dan benda ini mengeluarkan pengaruh yang mengguncang batin bagi pihak musuh. Maka tidaklah heran kalau perbawa hitam yang ada di bendera itu membuat batin Hok Sun bergetar. Senjata itu seolah-olah memiliki pengaruh mengerikan, setiap kali menyambar seakan-akan mempunyai hawa gaib yang melumpuhkan semangatnya. Inilah sebabnya mengapa ketika tadi bendera itu berkelebat, Hok Sun kurang cepat mengelak karena kedua kakinya mendadak menggigil tanpa dikehendaki.

Dengan begini, tentu saja keadaan pemuda itu semakin terdesak hebat. Mulailah dia mengeluh d an setiap kali dia menangkis dengan kebutan kipasnya, lengannya gemetar setengah lumpuh. Bahkan suatu ketika dalam pertemuan langsung dimana gadis itu menyerang ganas dengan bendera keramat menghantam kepalanya, kipas yang dipakai menangkis tiba-tiba terlepas dari tangannya dan terpental jauh.

"Ahhh....!" Hok Sun berseru kaget dengan muka pucat dan pada saat itu, Tok sim Sian-li memutar senjatanya dan dengan gagang bendera gadis ini menusuk dahi Hok Sun dengan kecepatan kilat!

"Mampuslah....!" murid Cheng-gan Sian-jin itu berteriak girang dan mulutnya menyeringai seperti kuntianak haus darah.

Hok Sun yang berada di ambang maut ini ternyata masih cukup hebat. Melihat betapa serangan itu datang mengancam dahinya, pemuda ini berteriak dan jarum perak di tangan kirinya menangkis cepat dan dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menyelamatkan diri.

"Trakk!" gagang Bendera Iblis berhasil ditangkis, akan tetapi karena jarum di tangan Gin-ciam Siucai jauh lebih kecil dan ringan, maka Hok Sun tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kali ini jarum peraknya juga terlepas karena tangkisan yang amat keras itu membuat telapaknya pecah berdarah.

"Hi-hi-hikk, pemuda tolol, terimalah kematianmu dengan mata meram!" Tok-sim Sian-li terkekeh dan melengking nyaring, berkelebat ke depan dan menyerang pemuda itu dengan dua pukulan maut. Bendera Iblis di tangan kanan menyambar ubun-ubun sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan Tok-hiat-jiu ke arah lambung Hok Sun.

Murid Phoa-lojin ini terbelalak, dia sedang terhuyung-huyung akibat menangkis tadi, maka dua buah serangan maut yang dilakukan oleh gadis itu sudah tidak sempat dielakkan lagi. Apalagi dua buah senjatanya sudah terlepas semua, bagaimana akan sanggup melawan murid Cheng-gan Sian-jin yang seperti siluman betina ini? Maka dia menerima datangnya maut ini dengan mata membuka lebar dan sikap tabah.

“Plakk! Desss! Aiihhhh....!"

Lie Lan menjerit dan tubuhnya terpental. Sesosok bayangan kecil kurus tiba-tiba berkelebat menangkis dua buah serangannya tadi dan gadis ini kaget bukan main. Dia merasa betapa telapak tangan kanannya pedas dan hampir saja Bendera yang dipegangnya terlempar. Tentu saja Lie Lan terkejut dan gadis ini berjungkir balik untuk mematahkan tangkisan yang luar biasa kuatnya itu dan memandang ke depan.

Dan gadis ini berdiri terbelalak ketika dia melihat seorang laki-laki tua berpakaian nelayan berdiri di depan pemuda yang menjadi lawannya itu. Kakek ini kecil kurus, tangan kanannya memegang papan catur yang tadi dipakai menangkis bendera keramatnya dan melihat bentuk tubuh serta pakaiannya yang sederhana, tidak nampak suatu keistimewaan apapun. Akan tetapi, ternyata kakek kurus sederhana ini telah membuatnya terpental dan dari tangkisan tadi, Lie Lan maklum bahwa kakek berpakaian nelayan itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat sekali.

Kakek ini bukan lain adalah Phoa-lojin, guru Gin-ciam Siucai Hok Sun. Dalam pertandingan kacau-balau di tempat itu, kakek ini juga tidak tinggal diam. Dia melompat mendekati wanita berambut keemasan yang dikenalnya sebagai tokoh dari tujuh propinsi itu, yakni Kim-bian atau Si Rase Emas. Beberapa tahun yang lalu, pernah dia bertemu dengan Si Rase Emas ini yang menculik dua orang pemuda tampan untuk dijadikan mangsa nafsu berahinya, akan tetapi dia berhasil menghalangi dan membebaskan dua orang pemuda itu dari cengkeraman wanita ganas ini.

Dan sekarang, secara tak terduga-duga kembali dia melihat munculnya wanita ini sebagai anak buah Cheng-gan Sian-jin si pentolan kaum sesat. Phoa-lojin tahu bahwa Si Rase Emas itu adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan agaknya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Hek-mo-ko yang dilayani Ta Bhok Hwesio yang mempermainkan lawannya sambil tertawa-tawa. Itulah sebabnya mengapa kakek ini lalu menghadapi Kim -bian yang tentu saja amat terkejut melihat hadirnya kakek berpakaian nelayan yang dulu pernah mengalahkannya itu.

Tanpa banyak cakap Si Rase Emas lalu maju menerjang dan seperti biasa, dia mempergunakan sepasang sabuk hitamnya yang mengandung racun masih dibantu pula dengan permainan rambutnya yang panjang keemasan. Kim-bian menyerang kakek itu dengan kemarahan meluap, terutama ketika dia teringat betapa kakek ini dulu berani menghalang-halangi maksudnya, kebencian wanita ini semakin menjadi-jadi.

Akan tetapi, seperti juga tujuh tahun yang lewat, sekarangpun dia masih tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan dialah yang terdesak hebat oleh pukulan-pukulan kakek itu yang setiap kali menggerakkan lengannya, tentu dibarengi oleh hawa lweekang yang membuat dadanya sesak. Sambaran angin pukulan Phoa-lojin terlalu berat bagi Si Rase Emas dan akhirnya, tidak sampai tigapuluh jurus mereka bertanding, Kim-bian harus mengakui keunggulan lawannya dan dia muntah darah terkena pukulan sakti kakek itu. Malah sepasang sabuknya putus dijambret dan belasan helai rambut emasnya berodol dicengkeram kakek berpakaian nelayan ini!

Tentu saja wanita itu gentar. Sambil menjerit setengah menangis, dia lalu memutar tubuh dan meloncat pergi meninggalkan Phoa-lojin. Sementara itu, Hek-tung Lo-kai dan teman-temannya yang lain menghadapi orang-orang kang-ouw yang datang menyerbu dan karena anak buah Cheng-gan Sian-jin ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka mereka itu berhasil mendesak musuh dan beberapa orang kang-ouw malah dapat mereka lukai.

Pertempuran yang kacau balau dan ruangan yang terbakar itu mengundang datangnya para perajurit dan perwira-perwira mereka. Dan Phoa-lojin terkejut sekali melihat betapa tempat itu telah dikurung ratusan perajurit bersenjata dan tampaklah ribuan obor menyala terang dipasang di sekeliling gedung milik Cheng gan Sian-jin ini. Kakek ini terkejut dan wajahnya berobah. Untunglah pada saat itu si hwesio Tibet telah berhasil merobohkan Hek-mo ko dan kini menerjang ke arah Liong-tung Lo-kai untuk menggempur desakan mereka terhadap orang-orang kang-ouw.

Melihat betapa orang-orang kang-ouw yang menyerbu itu kini dapat bernapas longgar dan mentaati perintah Ta Bhok Hwesio untuk keluar dari tempat itu dan beramai-ramai membuka jalan darah dengan merobohkan perajurit-perajurit yang berani menghadang, Phoa-lojin menarik napas lega. Akan tetapi, ketika kakek ini menoleh dan menyaksikan betapa muridnya nyaris terancam malapetaka di tangan gadis lihai yang amat ganas itu, Phoa-lojin terkejut sekali.

Sepak terjang murid perempuan Cheng-gan Sian jin itu sungguh telengas bukan kepalang. Kipas Hok Sun sudah terlempar dan kini jarum peraknya juga terpental ketika membentur Bendera Iblis di tangan Tok-sim Sian-li. Maka tanpa ayal lagi kakek ini lalu berkelebat ke depan dengan kecepatan luar biasa dan dengan tepat dia berhasil menyelamatkan nyawa murid tunggalnya itu. Kini kakek itu berdiri melindungi Hok Sun dan tanpa menoleh Phoa-lojin lalu berkata.

“Hok Sun, cepat ambil senjatamu yang terlempar itu dan pergilah ke bagian barat. Biar aku yang menghadapi nona ini!" kata-kata ini diucapkan dengan nada tergesa-gesa dan pemuda itu lalu bangkit berdiri dan melompat bangun.

Hok Sun maklum bahwa kalau gurunya berbicara seperti itu, tentu ada sesuatu yang agaknya harus dilakukan. Dia tidak banyak membantah dan segera memungut dua buah senjatanya dan melompat pergi. "Baik, suhu," pemuda itu menjawab dan tubuhnya berkelebat ke bagian barat dan sama sekali tidak menengok lagi ke arah Lie Lan.

Tentu saja Lie Lan marah sekali. "Mau lari kemana kau?" gadis ini membentak dan tangannya bergerak. Belasan sinar kuning berkeredepan ke depan menyambar punggung Hok Sun. Itulah Ui-tok-ciam (jarum racun kuning) yang dimiliki gadis ini sebagai amgi (senjata gelap).

Akan tetapi Phoa-lojin tidak membiarkan jarum-jarum halus itu mengganggu perjalanan muridnya. Kakek ini mengeluarkan seruan perlahan dan tangan kanannya mengebut ke arah jarum-jarum itu dan..... semua jarum halus ini runtuh di atas lantai.

"Kau...! Keparat tua bangka sialan!" Lie Lan memaki dan dengan gemas dia lalu menyerang kakek itu. Gerakannya cepat, loncatannyapun kuat. Bendera Iblis di tangannya menderu menyambar wajah kakek ini dan tangan kirinya bergerak menghantam lambung dengan pukulan Tok-hiat-jiu yang mengeluarkan bau amis memuakkan itu.

"Hemm, nona yang ganas sekali, juga keji!" Kakek Phoa berseru dan dia mengangkat papan caturnya, menangkis sambaran bendera keramat dan tangan kirinya mendorong ke depan menyambut serangan Tok-hiat jiu.

"Plak-desss!"

Lie Lan memekik nyaring, Bendera Iblis di tangan kanannya terpental dan gadis ini merasa betapa telapak tangannya pedas dan ngilu sekali. Dan gadis ini semakin terkejut ketika melihat betapa kakek itu berani menerima pukulan Tok-hiat-jiu yang dilancarkannya dengan sikap demikian tenang. Sedetik mukanya berobah karena kalau ada lawan yang berani menerima pukulannya ini, berarti bahwa kakek itu betul-betul bukan orang sembarangan.

Dan betul saja, begitu tangan kirinya bertemu dengan telapak kakek itu, gadis ini merasa betapa pukulannya yang amat dahsyat itu seakan-akan bertemu dengan kapas yang amat lunak dan dalam, membuat pukulannya seperti lenyap ke dalam sebuah samudera dan sebelum dia hilang kagetnya, tiba-tiba saja dari telapak tangan lawan muncul tenaga yang amat kuat mendorong dari dalam!

Inilah sejenis pukulan lweekang yang dinamakan orang "Melenturkan Karet melentingkan Busur", sebuah ilmu silat yang amat langka dipunyai orang dan konon kabarnya telah lenyap ratusan tahun yang lalu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya murid Cheng -gan Sian-jin itu ketika tiba-tiba pukulan Tok-hiat-jiunya yang amblas ke dalam telapak lawan, mendadak mental dan menghantam dirinya dengan kekuatan dua kali lipat daripada semula!

"Aihhh! Bresss...!"

Lie Lan menjerit dengan muka pucat dan tubuh gadis ini terlempar ke belakang dengan amat kuatnya. Dia tidak dapat menahan diri karena Tok-hiat-jiu yang membalik dan menghantam diri sendiri itu sama sekali di luar dugaannya. Maka, tanpa ampun lagi gadis ini terbanting di atas lantai dan seluruh tubuhnya membengkak merah karena racun Tok-hiat-jiu yang terpukul balik!

Kenyataan ini membuat Lie Lan terbelalak dan gadis itu mengeluh. Dia tahu apa yang telah terjadi. Pukulan Darah Beracun telah menyerang dirinya sendiri dan kalau dia tidak cepat bertindak, dalam waktu sekejap saja tentu pembuluh-pembuluh darah di tubuhnya akan pecah! Maka tanpa menghiraukan segala sesuatu di sekelilingnya gadis ini lalu duduk bersila dan menelan obat penawar, kemudian memejamkan mata mengerahkan sinkang untuk mengobati luka dalam yang amat berbahaya itu.

Phoa-lojin memandang dan kakek ini tidak melanjutkan serangannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata perlahan, "Sungguh sayang seorang gadis secantik ini harus berjalan di tempat gelap. Nona, kau agaknya memang telah ditakdirkan untuk mengalami banyak penderitaan. Agaknya dosa-dosa orang tuamu harus kau pikul di dunia ini, hemm...."

Dan sejenak kakek ini memejamkan matanya seolah-olah mengheningkan cipta lalu alisnya berkerut dan membuka kembali matanya. Dia tadi sedang menarik ilham untuk mengetahui keadaan sekeliling dan tiba-tiba wajah kakek ini berseri.

Sementara itu, Ta Bhok Hwesio yang dikeroyok banyak orang berteriak-teriak dan tubuhnya berkelebatan cepat diantara sambaran senjata musuh. Sebenarnya, kalau hwesio ini mau, tentu saja dia dapat meninggalkan para pengeroyoknya dan melarikan diri. Akan tetapi, karena orang-orang kang-ouw tadi belum semuanya keluar, maka dia sengaja melayani musuh-musuhnya ini. Mengandalkan kecepatan ginkangnya, Ta Bhok Hwesio melayang-layang seperti burung di udara dan selama ini belum ada satupun senjata yang berhasil mengenai dirinya. Bahkan, dengan kebutan ujung jubahnya kakek ini membuat semua senjata mental balik dan melukai tubuh pemiliknya.

Hal ini membuat Panglima Ok marah bukan main. Tombak terbangnya yang biasanya amat diandalkan itu ternyata sama sekali tidak berdaya terhadap hwesio Tibet yang amat lihai ini. Maka satu-satunya jalan baginya ialah mengerahkan semua para pembantunya agar hwesio itu kehabisan napas dan dikuras tenaganya. Dan betul saja, setelah kini orang-orang kang-ouw sudah tidak tampak lagi di situ dan api yang membakar ruangan besar ini berhasil dipadamkan, sekarang kakek itu tidak dapat keluar dari kepungan musuh yang amat tebal!

Hwesio tua ini mulai mendongkol dan kalau tadi dia hanya merobohkan tanpa membunuh sehingga orang-orang ini masih mampu melompat bangun dan menyerangnya kembali, adalah sekarang dia terpaksa bersikap keras. Dia sudah mulai lelah, akal licik Ok-ciangkun termakan olehnya dan kalau dia tidak cepat-cepat keluar dari kepungan, tentu dia benar-benar terancam bahaya. Apalagi teriakan-teriakan panglima itu yang berkali-kali menyuruh agar dia "dibacok mampus" atau "disate kambing", hwesio ini tidak mau main-main lagi.

"Sialan, kalian ini kerbau-kerbau dungu semua. Kalau pinceng tidak ditahan oleh perasaan welas asih, bagaimana kalian akan mampu bangkit lagi? Heii, Ok-ciangkun, suruh anak buahmu ini mundur, jika tidak, hooo, pinceng terpaksa melakukan pantangan membunuh!" Ta Bhok Hwesio berseru sementara kedua lengannya mengibas. Sebelas orang musuh terlempar bagaikan disapu angin puyuh dan kakek ini melompat ke depan.

"Hemm, keledai gundul, muridmu telah mengacau di perkumpulanku, bagaimana kau minta bebas? Hayo bayar dulu dengan nyawamu!" Liong-tung Lo-kai yang tadi disambar bergulingan oleh hawa pukulan hwesio ini, berteriak dari samping dan menyerang dengan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) sehingga tongkat ketuanya itu mengeluarkan angin menderu. Dan pada saat itu, dari sebelah kanan Mo-kiam Sie Giam Tun yang juga merasa sakit hati kepada hwesio ini karena dulu dia dipermainkan gadis baju hijau yang menjadi murid kakek itu, mengayun pedangnya membacok pundak dengan kecepatan kilat.

Dua buah serangan ini dilakukan hampir serentak dan baru saja meluncur setengah jalan, sekonyong-konyong disusul ledakan selendang sutera dan sambaran kebutan ekor kuda yang dikerjakan Hwa tok-ciang si tokoh banci. Tentu saja tiga macam serangan yang beruntun ini amat hebat sekali. Ta Bhok Hwesio terkejut dan kakek ini mengeluarkan seruan keras. Tongkat Kepala Naga yang menyambar kepalanya dihindarkan dengan cara menarik leher ke samping dan ketika senjata itu lewat di sisinya, secepat kilat tangan kanan hwesio ini menyambar dan tongkat itu dicengkeramnya! Sementara itu, pada detik berikutnya, pedang Hek-mo-kiam di tangan Sie Giam Tun tiba dan kakek ini menyendal Tongkat kepala Naga kuat-kuat untuk dihantamkan kepada pedang hitam.

"Hehh?!"

"Traanggg! Oohhh!" Liong-tung Lo-kai dan Si Pedang Setan berteriak kaget ketika senjata mereka saling pukul sehingga menerbitkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuh mereka mencelat didupak kaki si hwesio yang menyerampang cepat. Gerakan ini dilakukan Ta Bhok Hwesio dengan kecepatan luar biasa dan menyusul kemudian, ketika selendang di tangan si banci meledak dan kebutan ekor kudanya menotok ulu hati, hwesio ini menggeram marah dan tanpa menghiraukan dua serangan mematikan itu, dia melangkah maju dan kedua tangannya mencengkeram pinggang Hwa-tok-ciang lalu diangkat dan dibanting!

"Heiiiii....??" si banci berseru kaget dan heran, dia hendak melompat mundur, namun terlambat. Selendang suteranya mengenai pelipis kakek itu dan tepat mengenai jalan darah, akan tetapi sama sekali tidak merobohkan hwesio sakti ini. Malah, totokan kebutan ekor kudanya yang juga mengenai ulu hati hwesio itu, hanya mengeluarkan suara "tess" perlahan seolah-olah bertemu dengan benda karet yang lunak dan sama sekali tidak menimbulkan bekas apa-apa pula.

Ta Bhok Hwesio telah menggunakan ilmunya memindahkan jalan darah, maka itulah sebabnya mengapa serangan si banci ini tidak mempengaruhinya. Bahkan sekarang Hwa-tok cianglah yang berteriak ketakutan karena tanpa sempat mengelak lagi, pinggangnya dicengkeram dan dia dibanting oleh kakek itu.

"Bresss! Adoouhh...!" si banci melolong dan pinggangnya patah, berkelojotan sejenak lalu diam tak berkutik lagi, tewas dengan mata melotot!

Peristiwa ini berlangsung dengan luar biasa cepatnya dan tidak ada satu orangpun yang sanggup menolong. Ta Bhok Hwesio yang sudah mulai gusar karena diserang terus-menarus, mulai menurunkan tangan besinya dan para pengeroyoknya m ulai menjadi gentar.

Panglima Ok terkesiap melihat tewasnya Hwa-tok-ciang di tangan hwesio kosen itu dan tiba-tiba panglima itu menangkap seorang perajurit yang berada di dekatnya. Sementara si perajurit terkejut mengapa dirinya dicengkeram oleh atasannya ini, Ok-ciangkun mengeluarkan bentakan perlahan dan tubuh perajurit itu tahu-tahu dilontarkan ke arah si hwesio.

"Aiihhh...!" perajurit itu berteriak ngeri dan dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dilemparkan kepada hwesio yang sedang marah ini sama saja dengan menyerahkannya kepada seekor singa!

Ta Bhok hwesio sejenak tertegun, tidak mengerti kenapa Panglima Ok melemparkan anak buahnya ini. Akan tetapi, tanpa banyak cakap dia menyambut dan menangkap leher baju orang, lalu melontarkannya jauh keluar kepungan musuh sehingga perajurit itu memekik dan terbanting dengan tulang patah-patah.

Dan inilah sebenarnya saat yang dinanti-nanti oleh Ok-ciangkun. Begitu hwesio ini tertarik perhatiannya kepada si perajurit dan sekejap pandangan matanya terhalang, tiba-tiba panglima tinggi kurus yang merasa amat geram dan penasaran itu menggerakkan lengannya secepat kilat. Tombaknya diluncurkan mengikuti tubuh perajurit yang sengaja dikorbankannya itu dan karena terhalang badan anak buahnya, maka Ta Bhok Hwesio yang sama sekali tidak menyangka akal muslihat ini dibuat mencelos hatinya ketika tiba-tiba mata tombak sudah berada di depan dadanya!

"Singggg...!” Tombak terbang sang panglima sekonyong-konyong mendesing setelah mendekati sasarannya dan muka hwesio sakti itu berobah. Kagetnya bukan kepalang karena dia sama sekali sudah tidak ada waktu untuk meloncat. Satu-satunya jalan hanyalah mengerahkan kekuatan lweekangnya untuk melindungi diri dari ancaman mata tombak. Dan inipun cepat dilakukan oleh kakek ini.

"Crapppp....!” Ta Bhok Hwesio menggereng dahsyat, tombak terbang Ok-ciangkun memang berhasil ditahannya sehingga tidak sampai menembus jantung, akan tetapi toh senjata itu menancap satu senti di dalam kulit dagingnya! Darah mengucur keluar dan kakek ini naik darah.

"Bagus, kalian semua memang minta mampus! Baiklah, pinceng akan menuruti kemauan kalian. Haaiiittt....!”

Ta Bhok Hwesio memekik dengan seruan mengguntur, tangannya meraih dan secepat kilat kakek ini telah mencabut tombak yang menancap di dadanya itu. Darah mengucur semakin deras dan hal ini agaknya membuat hwesio ini menjadi beringas. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, kakek ini lalu menerjang ke depan dan tombak rampasannya diputar sehingga mengeluarkan suara mengaung-aung.

Gegerlah keadaan di situ. Para perajurit dan perwira yang memang sudah merasa jerih terhadap hwesio sakti ini, sekarang saling berteriak-teriak ramai dan berlompatan mundur melarikan diri.

Ok-ciangkun terkejut. Tadi dia merasa pasti bahwa lawannya itu akan roboh dan disate oleh tombak terbangnya yang meluncur di balik halangan tubuh perajurit yang dilemparkannya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa kakek itu kiranya betul-betul hebat sekali dan tenaga lweekangnya amat kuat sehingga dapat menahan tikaman senjatanya. Luka yang diderita oleh hwesio itu meskipun mengeluarkan banyak darah, akan tetapi sebenarnya hanya merupakan luka kulit yang kurang berarti. Akan tetapi, kalau darah terus - menerus keluar, tentu saja keadaan kakek itu bukannya tidak berbahaya.

Sekarang, melihat betapa Ta Bhok Hwesio menggereng dan tampak murka sekali, mau tak mau hati panglima ini menjadi gentar juga. Tadi dilawan oleh sekian banyak orang, hwesio itu masih dapat bertahan dan sikapnya penuh main-main. Kini, setelah kakek itu dikuasai kemarahan yang meluap dan anak-anak buahnya pada melarikan diri ketakutan, bagaimana dia berani menghadapi kakek itu seorang diri? Sayang dua orang rekannya, yakni Panglima Kiang dan Panglima Han, pada waktu itu sedang menjalankan tugas di luar memenuhi perintah rahasia sri baginda. Kalau tidak, dengan adanya dua orang panglima itu dia tentu akan dapat menundukkan hwesio yang lihai bukan main ini.

Maka yang segera dilakukan oleh Panglima Ok yang licik ini adalah menyelinap kabur! Dia tidak mau mengambil resiko terlalu berat, akan tetapi dia akan melakukan sesuatu untuk merobohkan kakek itu. Dan ini mengharuskan dia menjalankan siasat perang, yakni membiarkan hwesio itu keluar dari ruangan ini dan begitu tiba di luar, dia hendak memerintahkan barisan pendam yang bersembunyi di sekeliling gedung itu untuk menyerang dengan anak-anak panah! Inilah yang paling menguntungkan bagi pihaknya. Melawan seorang tokoh kangouw yang kawakan macam hwesio itu tidak boleh dilakukan dari jarak dekat, namun harus diserang dari jarak jauh.

"Semua pasukan, mundurrr...!" Ok-ciangkun memberi aba-aba dan tubuhnya lenyap di balik sebuah pintu tembusan.

Para perajurit yang mendengar perintah ini, tanpa diulang dua kali sudah berserabutan seperti anjing buduk dikejar ular berbisa. Akan tetapi yang dapat melarikan diri dari amukan Ta Bhok Hwesio hanyalah orang-orang yang berada di bagian belakang. Sedangkan yang berada dibagian depan, semuanya sudah roboh malang-melintang diserampang atau ditusuk tombak yang menyambar-nyambar dari tangan kakek sakti itu. Bahkan Liong-tung Lo-kai dan Mo-kiam Sie Giam Tun sendiri yang menyaksikan tewasnya Hwa tok ciang dalam segebrakan tadi, sudah lama menghilang, mendahului Ok-ciangkun ke tempat aman!

Dan pada saat itulah Phoa-lojin juga baru saja berhasil merobohkan Lie Lan dengan pukulan sinkangnya. Kakek ini sejenak bengong di tempatnya melihat betapa seperti orang kalap, temannya itu mengejar -ngejar musuh dan ada empat puluh orang lebih mandi darah di ruangan ini. Tentu saja kakek itu terkejut. Bukanlah maksudnya untuk membunuh-bunuhi orang di kompleks istana ini. Yang membuatnya datang kemari adalah untuk menolong Yap-goanswe dan sedikit memberi hajaran kepada anak buah Cheng-gan Sian-jin. Mengenai para perajurit? Ah, sekilaspun tidak ada maksudnya untuk mengamuk dan membunuh-bunuhi orang-orang tak berdosa itu. Perajurit lawannya perajurit, hal itu bukan bagian mereka. Akan tetapi mengapa Ta Bhok Hwesio yang biasanya suka ugal-ugalan ini marah sekali?

"Oohhh...!” akhirnya kakek ini mengerti ketika dia melihat darah yang keluar dari luka di dada sahabatnya itu. Kiranya hwesio Tibet ini terluka dan karena naik darah, mengamuklah dia sejadi-jadinya di tempat itu. "Lo-heng, hentikan sepak terjangmu yang salah kaprah ini!" Phoa lojin berseru dan tubuhnya melayang ringan mendekati hwesio itu.

Akan tetapi Ta Bhok Hwesio yang sudah murka, begitu mendengar desir angin di dekatnya, segera mengira kedatangan musuh baru. Tanpa menghiraukan teriakan si kakek nelayan, hwesio ini membalikkan tubuh dan tombaknya menusuk dengan kecepatan luar biasa. "Mampus kau...!!"

"Ehh...?” Phoa-lojin terkejut dan terpaksa dia mengangkat papan caturnya dan bertemulah dua macam senjata itu di tengah udara.

"Prakk!" terdengar suara beradunya tombak dan papan catur, dan Ta Bhok Hwesio mencelat mundur karena tombaknya patah-patah sedangkan papan catur di tangan kakek Phoa hancur berantakan! Ta Bhok Hwesio terperanjat dan ketika dia melihat siapa yang diserangnya ini, matanya terbelalak dan api kemarahannya padam.

"Tua bangka sinting, kenapa kau menyerang aku?" katanya melotot.

Phoa-lojin tersenyum. "Lo-heng, siapa menyerang siapa? Bukankah engkau sendiri yang malah menyerang aku? Sungguh lucu, kau yang menyerang malah aku yang ditegur!"

Hwesio Tibet itu membelalakkan matanya dan akhirnya tertawa meringis. "Wah, betul juga, aku tadi lupa diri, maaf!"

Ucapannya ini membuat Phoa-lojin tertawa geli. "Sudahlah, kau kakek gendut dimana-mana selalu bikin onar. Hayo balut lukamu itu dan kita keluar. Menurut perasaanku, bagian barat akan menguntungkan kita, cepat, sebelum Ok-ciangkun merepotkan kita lagi."

Ta Bhok Hwesio mengepal tinjunya teringat kepada panglima licik itu. "Hem, aku bahkan ingin mengetok batok kepalanya yang curang itu!" katanya bersungut-sungut akan tetapi tangannya bekerja merawat luka di dadanya sehingga darah berhenti mengalir.

Dua orang ini lalu bergerak meninggalkan ruangan itu, dan seperti petunjuk Phoa lojin, mereka berkelebat ke arah barat. Dengan kepandaian mereka yang tinggi itu dalam sekejap telah tiba diluar dan begitu muncul, tiba-tiba terdengar menjepretnya ratusan anak panah menuju ke arah mereka!

“Sialan, tua bangka bangkotan, mengapa mematahkan tombakku tadi,” katanya mengomel. “Kalau tidak khan bisa untuk membantai tikus-tikus ini!” mulutnya mengomel namun tubuhnya tidak tinggal diam, bagai seekor burung rajawali, kakek ini melompat kesana-sini dan kedua lengannya menyampok runtuh anak-anak panah yang menyerang.

Phoa lojin juga mencontoh perbuatan temannya dan sambil tertawa kakek ini menyahut, “Loheng, kaupun juga menghancurkan papan caturku. Kalau tidak, bukankan aku tidak akan melompat-lompat seperti katak begini? Lihat kita sekarang dijadikan boneka sasaran oleh orang-orang itu. Hayo naik ke atas!”

Setelah berseru demikian, kakek itu mengebut runtuh anak-anak panah yang menyambar dan sekali totol kakinya, tubuh kakek ini melayang ke atas genteng. Ta Bhok Hwesio juga tertawa terbahak namun sebelum dia melayang naik, ia menggerakkan kedua lengannya untuk menangkap anak panah dengan sekali raup. Kemudian dengan menggunakan ginkangnya melayang ke atas sambil menyambitkan anak panah yang tadi berhasil ditangkapnya ke arah para pemanah itu.

Terdengarlah pekik -pekik kesakitan disana-sini. Dua puluh lebih anak panah telah meluncur melesat tiga empat kali lebih cepat daripada waktu dibidikkan, maka tidaklah heran para pemiliknya tidak mampu berkelit dan limabelas orang roboh dengan jantung tertembus anak panah, sedangkan selebihnya ada yang menancap di leher, pundak, paha dan seorang yang pada waktu itu kebetulan sedang menungging untuk mengambil panah cadangan, menjerit keras karena pantatnya ditusuk sebatang anak panah yang disambitkan hwesio itu!

Ta Bhok Hwesio bergelak ketawa dan tubuhnya telah hinggap dengan ringan di atas rumah. Dua orang kakek ini lalu cepat mengerahkan ginkang mereka meninggalkan tempat itu. Tubuh mereka merupakan bayangan hitam yang berkelebatan seperti iblis dan sebentar saja dua orang kakek ini telah lenyap. Sambil berlari, hwesio itu tertawa-tawa geli teringat betapa anak panahnya menancap di pantat perajurit tadi dan kalau saja Phoa-lojin tidak mengomelinya panjang pendek, agaknya hwesio ini masih mau banyak main-main dan menyambitkan anak-anak panah ke pantat musuh-musuhnya.

"Lo-heng, jangan banyak bergurau. Ingat, kita masih berada di sarang lawan dan seluruh pasukan kota raja telah bangun. Lihatlah, empat pintu gerbangpun tertutup rapat dan kalau kita tidak cepat bertindak, bukankah kita tidak akan dapat keluar dengan selamat?" Phoa-lojin menegur temannya ini.

Ta Bhok Hwesio tidak menjawab dan matanya memandang ke depan. Tiba-tiba dia teringat kepada murid perempuannya. Wah, kalau pintu gerbang ditutup, bagaimana Pek Hong dapat keluar? Seketika mukanya berobah dan sikapnya menjadi serius sekali. "Lo-jin, bagaimana dengan muridku itu?" tanyanya ingin tahu. Sahabatnya ini adalah seorang ahli ramal, dan sudah banyak bukti-bukti yang harus dia akui. Sekarang, teringat akan nasib muridnya ini dia lalu bertanya kepada Phoa lojin yang memiliki pengetahuan gaib akan hal-hal di muka maupun yang di belakang.

"Hemm, muridmu itu kelabakan, dia terkurung di bagian barat. Itulah sebabnya mengapa aku mengajakmu ke sana dan jangan banyak bergurau lagi."

Mendengar keterangan ini wajah Ta Bhok Hwesio menjadi pucat dan hatinya gelisah bukan main. "Wahh, kalau begitu kita harus segera menolongnya!" serunya gugup dan seketika kakek ini tancap gas, lari seperti terbang mendahului temannya!

Phoa-lojin menggeleng-geleng kepala melihat ulah hwesio itu dan segera diapun menambah ginkangnya dan berkelebat menyusul Ta Bhok Hwesio yang telah jauh meluncur di depan seperti anak panah terlepas dari busur.

Ketika mereka sampai di pintu gerbang bagian barat, betul saja, Ta Bhok Hwesio melihat kegaduhan di tempat ini. Pek Hong dikeroyok banyak orang dan gadis itu tampak kewalahan. Hebatnya, meskipun ia dikeroyok banyak musuh, sama sekali gadis itu tidak mau melepaskan Bu Kong yang tetap dipanggulnya, sepak terjangnya persis seekor harimau betina, dengan rantai perak di tangan kanan gadis itu membabat lawan yang berani mendekat. Tubuhnya mandi keringat, akan tetapi dengan penuh semangat dia melengking-engking dan berkelebatan diantara sambaran senjata lawan tanpa kenal menyerah!

Sejenak hwesio ini memandang dengan wajah berseri gembira, girang dan juga kagum. Akan tetapi diam-diam diapun kembali mengagumi ketepatan Phoa-lojin yang dapat menebak semua kejadian dengan amat jitu seolah-olah peristiwa itu tadi telah tampak jelas di depan matanya. Dan ketika kakek ini menoleh ke kiri, di situpun murid Phoa-lojin juga dikepung banyak musuh dan pemuda ini dengan tangkas mainkan kipas hitam dan jarum peraknya. Lalu, sedikit berjauhan dari tempat dua orang muda ini bertempur, tampak beberapa orang kang-ouw yang tadi keluar dari gedung kuning juga mati-matian membuka jalan darah agar dapat meloloskan diri dari tempat itu.

"Ha-ha-ha, Phoa-lojin, ramalanmu benar-benar jitu sekali. Sekarang, setelah kita sampai di sini, hayo kita berlumba, siapa kiranya yang lebih dulu berhasil menolong murid masing-masing!"

Ta Bhok Hwesio melayang dari atas genteng sambil tertawa bergelak, tubuhnya menyambar ke bawah seperti sikap seekor burung besar menerkam domba. Kedua tangannya mendorong dan serangkum angin pukulan yang luar biasa hebatnya membuat duapuluh pengeroyok Pek Hong menjerit dan terlempar bergulingan. Tidak berhenti sampai di sini saja, kakek itu lalu menggerakkan kedua kaki tangannya berganti-ganti dan tubuh orang-orang itupun terpental seperti bola ditendang dan terjungkal dengan tulang-tulang patah!

"Suhu...!" Pek Hong menoleh dan berteriak girang, seketika semangatnya meluap melihat betapa gurunya datang pada saat yang tepat. Dia sudah mulai kebingungan dan gelisah melihat pengeroyokan musuh yang amat banyak. Jatuh satu maju dua, roboh empat maju sepuluh. Kalau begini terus-terusan, bukankah keadaannya runyam sekali?

Syukurlah, pada saat dia dicekam kecemasan dan telah mengambil tekad untuk bertempur sampai mati, suhunya tiba-tiba datang menolong. Gadis ini lalu memekik nyaring dan rantai peraknya menyambar dahsyat. Lima perajurit roboh terjungkal dihantam senjatanya dan Pek Hong lalu berkelebatan cepat mengandalkan ginkangnya yang disebut Coan-goat-hui. Mulailah gadis ini mengamuk dengan amat hebatnya, seolah-olah dia memiliki tenaga baru yang masih segar. Hal ini disebabkan dengan adanya gurunya di situ, dimana kehadiran Ta Bhok Hwesio menimbulkan kegembiraan dan semangat tinggi.

Di lain tempat, Phoa-lojin juga sudah melayang turun dan kakek ini mengibas kesana kemari merobohkan pengeroyok muridnya sehingga Hok Sun dapat bernapas lega. Akan tetapi seperti tadi telah dikatakan, musuh yang berada di situ terlampau banyak. Roboh satu maju dua, jatuh sepuluh maju duapuluh. Phoa - lojin yang tidak mau menurunkan tangan kejam, kewalahan juga menghadapi perajurit-perajurit yang nekat ini.

Tiba-tiba, pada saat yang amat gawat itu, mendadak pintu gerbang yang tertutup rapat meledak dengan suara keras. Semua orang terkejut karena ledakan yang terdengar ini menggetarkan tanah di sekelilingnya dan otomatis semua pertempuran yang terjadi di tempat ini terhenti. Ratusan pasang mata memandang terbelalak ketika daun pintu yang amat besar dan berat itu roboh. Debu mengepul dan suara ambruknya pintu gerbang ini menimbulkan hiruk-pikuk luar biasa.

Seorang pemuda baju biru muncul tiba-tiba dari luar pintu gerbang memasuki tempat itu. Dia menunggang seekor kuda tinggi besar berbulu hitam yang meringkik nyaring. Gagah dan hebat sekali kuda ini. Bulu surinya yang panjang itu riap-riapan, tubuhnya kokoh kuat dan larinya mirip kuda terbang! Tidak tampak keempat kakinya menginjak bumi, seolah-olah kuda hitam tinggi besar ini melayang di atas permukaan tanah. Sekali lihat saja orang akan segera tahu bahwa kuda hitam itu jelas adalah seekor kuda yang amat hebat dan langka.

"Hek-ma....!" tiba-tiba Pek Hong berseru nyaring dan gadis ini melompat ke depan sehingga rambutnya berkibar di belakang kepalanya. Saking girangnya mengenal kuda hitam itu, loncatan gadis ini luar biasa sekali. Tubuhnya seakan-akan dilontarkan jauh ke muka dan Hek-ma yang mendengar panggilan ini, terbang ke arah gadis itu sambil meringkik panjang.

Memang benar, kuda ini bukan lain adalah Hek-ma (Si Hitam), milik Jenderal Muda Yap Bu Kong dan yang dulu menjadi pembantu setia ketika jenderal itu memimpin pasukan Yueh membasmi musuh. Bagi para pembaca yang telah menikmati ceritera "Hancurnya Sebuah Kerajaan", tentu tidak akan melupakan kuda istimewa ini.

Inilah seekor kuda yang amat langka dicari, keturunan asli dari Liong kut-ma (Kuda Bertulang Naga) yang dulu dimiliki oleh Pangeran Yalu Chih dari Tibet seratus tahun yang lalu! Hek-ma adalah seekor kuda yang betul-betul hebat. Dalam peperangan antar kerajaan, kuda ini menjadi tunggangan pribadi Yap-goanswe yang tahan bacokan senjata tajam!

Seperti kita ketahui bersama, sebenarnya kuda ini adalah hadiah dari Ta Bhok Hwesio yang dulu kalah bertaruh melawan Malaikat Gurun Neraka. Hek-ma adalah keturunan langsung dari Liong-kut-ma yang konon dikabarkan orang mampu terbang ke langit sap ke tujuh! Dongeng rakyat Tibet tentang kuda ini sudah tersebar dimana-mana dan menimbulkan bentrokan antar pangeran yang ingin merebut kuda itu dari Pangeran Yalu Chih sehingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Ta Bhok Hwesio yang juga ada di situ, tercengang keheranan melihat munculnya kuda ini. Akan tetapi, melihat pemuda baju biru di atas punggung Hek-ma, dia terbelalak kaget. Dia mengenal pemuda tegap gagah ini karena pemuda itu bukan lain adalah Fan Li, pembantu setia atau wakil dari Yap-goanswe!

"Ahhh....!" kakek ini berseru keheranan akan tetapi hatinya menjadi gembira bukan main. Dengan munculnya pemuda itu, terutama datangnya Hek-ma ke tempat ini, sungguh amat menguntungkan baginya. Hanya yang dia herankan, bagaimana pemuda baju biru itu mampu menjebol pintu gerbang yang kokoh ini? Sepengetahuannya, Fan Li adalah seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian begitu tinggi. Ilmu silatnya biasa saja dan hanya dalam ilmu perang dia memang memiliki kecakapan khusus, agaknya karena sehari-harinya dia selalu berdekatan dengan Yap-goanswe.

Sementara semua orang bengong dengan adanya kejadian tak disangka ini, tiba-tiba muncul kegemparan baru. Peristiwa berikutnya ini benar-benar mengguncangkan hati semua orang, bahkan Ta Bhok Hwesio sendiri sampai mengeluarkan seruan tertahan. Apa yang mereka lihat? Bukan lain adalah munculnya sesosok bayangan yang gerakannya seperti iblis di belakang pemuda baju biru itu. Bayangan ini melayang ringan di atas permukaan tanah, tidak nampak kakinya menginjak bumi dan yang membuat semua orang memandang dengan muka pucat adalah karena bayangan ini tidak kelihatan kepalanya!

Tentu saja penglihatan itu membuat semua orang terpaku. Mereka hendak berteriak, namun mulut mereka terkancing rapat. Lidah mereka kelu tak dapat digerakkan. Karena bayangan ini muncul dari tempat gelap, maka kepalanya yang tidak nampak itu seakan-akan merupakan sebatang tubuh yang bergerak tanpa kepala, seperti roh penasaran atau setan jejadian!

Akan tetapi, setelah bayangan ini memasuki pintu gerbang dan lampu-lampu penerangan menimpa tubuhnya, tahulah semua orang bahwa sosok tubuh itu sebenarnya mempunyai kepala, hanya saja kepala orang aneh ini tidak kelihatan karena tertutup semacam kabut putih yang menyelimuti wajahnya.

"Bu-beng Sian-su...!" tiba-tiba terdengar teriakan ini yang keluar dari mulut Ta Bhok Hwesio. Kakek inilah yang pertama-tama berseru keras dan semua orang yang mendengar seruannya kaget bukan main dan berdiri dengan mata terbuka lebar.

Memang, siapakah yang belum pernah mendengar nama Bu-beng Sian-su (Manusia Dewa Tanpa Nama) atau ada pula yang menyebutnya sebagai Bu beng Kuncu (Sang Bijaksana Tanpa Nama)? Agaknya di seluruh daratan Tiong-goan tidak ada orang yang belum pernah mendengar nama manusia luar biasa itu.

Hanya, karena Bu beng Sian su ini jarang sekali menampakkan diri di depan orang banyak dan telah bertahun-tahun tidak ada kabar beritanya, maka lama-lama orang menganggap bahwa manusia dewa itu sudah lenyap. Bahkan, berangsur-angsur generasi berikutnya yang mendengar tentang nama ini dari cerita orang-orang tua mereka, menganggap bahwa manusia dewa itu hanya sebagai dongeng belaka.

Sungguh tidak dinyana bahwa pada malam hari itu manusia ajaib ini datang berkunjung di kota raja! Siapa yang tidak terkejut setengah mati? Ta Bhok Hwesio sendiri yang menyaksikan kehadiran Bu-beng Sian-su secara tiba-tiba ini, tertegun di tempatnya dan tak terasa lagi hatinya tergetar. Perbawa manusia dewa itu sungguh luar biasa, hwesio ini saja terpengaruh, apalagi orang-orang lain yang ada di situ. Mereka ini tak terasa lagi telah melangkah mundur seakan-akan gentar didatangi seorang malaikat dari langit yang hendak memberikan hukumannya kepada orang-orang bersalah!

Sekarang tahulah Ta Bhok Hwesio siapa kiranya yang telah merobohkan pintu gerbang sedemikian mudahnya. Tentu Bu-beng Sian-su! Siapa lagi? Dan tebakan kakek ini memang tepat. Manusia dewa itulah yang menyuruh Fan Li datang ke kota raja bersama Hek-ma untuk menolong Yap Bu Kong yang tertawan musuh.

Perjumpaan kembali antara Fan Li dengan Bu-beng Sian-su cukup panjang, maka baiklah kiranya kita uraikan saja di belakang. Pada saat itu, sementara semua orang terpaku di tempatnya dan keadaan luar biasa heningnya karena tidak ada seorangpun yang mengeluarkan suara, tampak manusia dewa itu mengangkat tangan kirinya ke atas dan terdengarlah ucapannya yang lirih akan tetapi jelas tertangkap telinga ribuan manusia di tempat itu.

"Para sahabat semua, harap kalian hentikan pertempuran ini. Tidak ada gunanya bagi diri pribadi untuk mengumbar nafsu bunuh-membunuh diantara sesama manusia. Kami datang untuk membawa pergi pemuda yang malang itu, harap kalian menaruh hati kasihan dan merelakannya..." Bu -beng Sian-su menghentikan kata-katanya, kabut yang membungkus kepalanya bergerak ke kanan, menoleh ke arah Fan Li dan melanjutkan, "Fan ciangkun, sekarang naikkan tubuh sahabatmu itu dan pergilah seperti yang telah kukatakan tadi."

Fan Li mengangguk, menerima tubuh Yap-goanswe dari panggulan Pek Hong yang telah mendekati mereka dan berdiri mematung dengan mata terbelalak memandang semua keajaiban ini, lalu kabur dengan cepat meninggalkan tempat itu. Hanya saja ketika tadi menerima tubuh Bu Kong, Fan Li sempat berbisik perlahan kepada gadis itu,

"Nona Hong, susullah kami tujuhpuluh li di sebelah tenggara kota raja." dan pemuda itupun lalu pergi dari tempat itu...