Tapak Tangan Hantu Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 35
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“SIAPA di antara kalian dapat membantuku,” sinar itu telah berubah ujud menjadi seorang kakek bermuka merah, gagah dengan alis tebal di atas kening. “Cepat katakan dan jangan buang waktu, jiwi-enghiong. Siapa di antara kalian bersedia kupakai tubuhnya!”

“Song-bun-liong (Naga Berkabung)!” Naga Pembunuh Giam Liong berseru cepat. “Ah, biar kau pakai tubuhku, locianpwe. Apa yang harus kulakukan!”

“Bagus, buka jalan darah pi-kak-hiat mu. Aku masuk dan jangan buang tempo lagi!” kakek itu melesat ketika si Naga Pembunuh menohok daerah yang dimaksud, yakni atas jakun di puncak tenggorok.

Dan begitu kakek itu lenyap memasuki Giam Liong maka si Naga Pembunuh berdiri dan bergoyang-goyang sejenak, kehilangan kesadaran akan tetapi sedetik kemudian mulut itu terkekeh. Tawa Giam Liong adalah tawa seorang kakek, wajahnyapun menjadi merah dengan sepasang mata yang lebih mencorong. Lalu ketika si buntung ini berkelebat dan melayang ke puncak pohon maka ia menyambar Mo-bin-jin yang memasuki wadag muridnya itu, yang sedang bertempur sengit dengan si nenek Hek-i Hong-li.

“Heh-heh, kau selalu mengacau lebih dulu. Kau selalu membantu dan membela sam-sute yang sesat, ji-te (saudara kedua). Di mana-mana tak mau sudah dan membuat onar. Ayolah, kita selesaikan dan kali ini pertandingan akhir... desss!”

Thai Bang Kok Hu alias Mo-bin-jin berteriak keras, dihantam atau dibentur Arca Emas dan tubuh Song-bun-liong tak mungkin dikelit. Saat itu ia sedang menghindari ledakan cambuk Hek-i Hong-li, tahu-tahu kakek ini menyambar dan sang suheng menumbuknya dengan ilmu Arca Emas itu, Kim-kong-ciok. Dan ketika ia mencelat dan terguling-guling maka nenek Hek-i Hong-li terkekeh, mengejar.

“Bagus, kau membantuku, suheng, terima kasih. Kita lenyapkan jahanam ini dan selanjutnya kita tenang di alam lain.”

Raksasa tinggi besar itu menggeram. Ia meloncat bangun ketika Hek-i Hong-li mengejar, langsung menggerakkan gada dan mementalkan senjata di tangan nenek itu. Dan ketika ia membentak dan balas menerjang lawan maka Hek-i Hong-li melengking berkelebatan cepat, langsung mengeluarkan Bu-bian- kangnya itu.

“Suheng, kau di belakang, biar aku di depan. Keluarkan semua kepandaian kita dan bunuh keparat jahanam ini!”

“Hargh, curang. Licik! Kalian tak dapat membunuhku begitu saja, sumoi, masih ada saudaraku yang akan membantu. Awas, aku memanggil dan ia datang!”

Terdengar ledakan ketika Hutan Iblis roboh. Raung dan lolong srigala tiba-tiba saja memenuhi tempat itu, suaranya menggetarkan akan tetapi langit tiba-tiba gelap gulita. Bersamaan dengan pekik dahsyat raksasa itu terdengar deru bagai gemuruh ombak laut selatan, cahaya menyilaukan berpijar di langit dengan warna biru merah kuning. Dan ketika terdengar ledakan amat dahsyat seakan menyambut suara Mo-bin-jin maka tampaklah segumpal asap meluncur dengan amat cepatnya menuju tempat itu, asap yang diiringi warna biru kuning dan merah.

“Siapa mengganggu saudaraku dengan curang. Heh, kalian kiranya, Song-bun-liong, tak tahu malu. Aku datang dan lihat kesaktianku...clap!” asap hitam itu menghilang ke bawah dan tiba-tiba muncullah seekor mahluk buas dengan amat menyeramkannya, seekor srigala hitam tinggi besar yang matanya berkilau-kilauan. Binatang ini setinggi dua meter dan melesatlah dia menyambar kakek itu.

Dan ketika Song- bun-liong terkejut sementara Mo-bin-jin tertawa bergelak maka kakek itu mengelak sementara Hek-i Hong-li tak mengeroyok lagi karena suhengnya sudah bertempur dengan mahluk jadi-jadian itu, Mo-bin-lo yang memasuki tubuh seekor srigala dan menyerang kakek ini agar tidak mengeroyok Mo-bin-jin.

“Heh-heh, satu lawan satu. Sekarang kau tak dapat mengharapkan bantuan suheng, sumoi. Kau atau aku mampus!”

“Bagus, siapa takut. Kepandaianmu setingkat, ji-heng, jangan sombong. Hari ini aku akan mengadu jiwa dan kau atau aku roboh!”

“Ha-ha-heh-heh, kau singa betina yang tak surut semangat. Baik, hari inipun aku tak mau mengampunimu lagi, sumoi. Betapapun aku telah memperdalam kepandaianku dan kau saudara muda harus tunduk kepada yang tua.... whheeeeerrrr!”

Gada menyambar amat dahsyat tapi nenek itu mengelak. Ia balas menggerakkan ikat pinggangnya akan tetapi senjata itu mental balik bertemu tubuh lawan yang atos. Lalu ketika si raksasa tertawa bergelak dan mencuatkan sinar-sinar Sin-ci-bengnya maka nenek ini berlompatan dan dari tangan kirinya berhamburan pula jarum-jarum Touw-beng-tok-ciam, ganas dan cepat dan pertandingan berjalan semakin mendebarkan. Masing-masing tak mau mengalah dan baik Hek-i Hong-li maupun suhengnya mengertak gigi. Lalu ketika masing-masing berkelebatan mendahului yang lain maka pertempuran antara Song-bun-liong melawan Mo-bin-lo juga tak kalah menegangkan.

Akhirnya kakek ini mencabut golok dan Giam-to alias Golok Maut berkeredep. Terdengar suara berdengung ketika membelah udara. Akan tetapi ketika lawan tiba-tiba terkekeh dan berseru nyaring maka golok yang biasanya tajam dan amat ampuh itu mental bertemu tubuh berbulu. “Crat!” bunga api malah berpijar. Kakek ini merah padam dan lawan tergelak-gelak. Itulah ciptaan Mo-bin-lo yang tentu saja tak dapat dipakai melawan pemiliknya. Golok Maut mandul. Dan ketika saking gemasnya kakek ini menyambit dan melontarkan golok itu, ditangkap gigi-gigi menyeringai maka Naga Berkabung tak mempergunakan apa-apa lagi, andalannya ialah sepasang kaki tangannya itu.

“Bagus, kaupun tak pernah lalai membantu saudaramu yang sesat. Sekarang kita bertempur mati hidup, Mo-bin-lo, kau atau aku roboh!”

“Ha-ha, Golok Mautku tak mempan. Kau ketakutan, Song-bun-liong, aku akan mengantarmu ke akherat. Ayolah, kau atau aku mampus.... plakk!”

Dan golok yang mental bertemu Kim-kong-ciok membuat Mo-bin-lo kagum, membentak dan menerjang lagi dan Ju-taihiap tak mampu melihat pertandingan itu lagi. Awan telah menjadi gelap dan langitpun hitam pekat sementara yang tampak hanyalah sinar terang dari senjata yang beradu. Golok di tangan Mo-bin-lo tak mampu melukai tubuh si Naga Berkabung sementara kakek itu juga hanya membuat terhuyung lawannya dengan pukulannya Kian-kun-siu (Sapu Jagad). Baik Mo-bin-lo maupun Naga Berkabung sama-sama memiliki kepandaian berimbang.

Dan ketika mereka mulai mengeluarkan pukulan-pukulan sihir bertenaga gaib, meledak dan menjadi asap warna-warni maka bentakan atau pertandingan dua orang ini hanya dapat didengar suaranya saja. Dan sementara mereka bertanding begitu hebat maka di pihak Hek-i Hong-li juga terjadi pertarungan mati hidup yang amat mendebarkan, begitu pula Te-gak Mo-ki yang kini berhadapan dengan Sian-eng-jin yang mempergunakan tubuh muridnya.

Mereka berenam ini silih berganti naik turun dan ledakan atau bunyi-bunyi menggetarkan kian memacu jantung saja. Satu kali Hek-i Hong-li terpental oleh ayunan gada, melayang ke arah Te-gak Mo-ki yang bertanding seru dengan Sian-eng-jin. Dan karena nenek itu membenci Te-gak Mo-ki sama seperti membenci Mo-bin-jin maka ikat pinggangnya tiba-tiba menyambar dan tahu-tahu membelit leher si banci ini.

“Ngekk!” Te-gak Mo-ki terkejut. Untunglah Mo-bin-jin yang mengejar si nenek tak membiarkan hal itu berlama-lama, sekali menggereng raksasa hitam besar ini melompat. Dan ketika Hek-i Hong-li berkelit menyelamatkan kepalanya, berarti melepas ikat pinggangnya pula maka Te-gak Mo-ki melotot memaki nenek itu.

“Jahanam, keparat curang. Sebaiknya kita beradu punggung, suheng, betina ini tak malu-malu mempergunakan kelicikan.”

“Baik, kita hadapi berdua. Marilah beradu punggung dan robohkan mereka!” ajakan bersambut, Mo-bin-jin membentak mengayun gadanya lagi dan kini dua orang itu beradu punggung.

Hek-i Hong-li terkekeh sementara nenek itu tak perduli kata-kata lawannya, ia menyerang dan kembali berkelebatan mengelilingi lawan. Dan ketika Sian-eng-jin tertawa dan mengikuti gerak nenek ini akhirnya di sini empat orang terlibat dalam sebuah pertandingan seru. Akan tetapi Te-gak Mo-ki bukanlah tokoh licik kalau ia tak dijuluki Siluman Akherat. Diam-diam mencari lubang kesempatan, ia tak pernah membuang perhatiannya kepada pertempuran.

Setelah ia bahu-membahu dengan suhengnya Mo-bin-jin sesungguhnya kedudukannya menjadi kuat, hanya karena yang dihadapi adalah saudara seperguruan sendiri yang sudah sama-sama tahu kelebihan dan kekurangannya, maka pertandingan berjalan lama, alot. Namun karena ia berotak encer dan segala akal licik selalu tersedia maka tiba-tiba ia berseru menuding, kebetulan di sebelah sana Song-bun-liong terhuyung oleh adu tenaga yang amat kuat.

“Heii, suheng celaka, ji-heng. Mati dia!”

Seruan ini mengejutkan Hek-i Hong-li. Sebagaimana diketahui nenek ini menaruh cinta yang dalam kepada si Naga Berkabung. Sampai tuapun cintanya tak berkurang. Maka ketika tiba-tiba lawan menuding kaget dan kebetulan saat itu terdengar keluhan Song-bun-liong otomatis nenek ini menoleh dan saat itulah Te-gak Mo-ki melancarkan pukulannya secara diam-diam, dahsyat. Tangan kanan melepas Mo-seng-ciang (Pukulan Tangan Hantu) sementara tangan kiri menghantam dengan pukulan Semut Api.

“Awas, sumoi!”

Nenek itu terkejut bukan main. Seruan temannya agar ia mengelak atau menangkis tak sempat lagi dilakukan. Sian-eng-jin atau Bayangan Dewa kebetulan saja melirik sekilas, jadi tahu serangan curang itu dan berteriak pada sumoinya. Akan tetapi karena Hek-i Hong-li terlanjur menoleh dan itulah yang dikehendaki Te-gak Mo-ki, laki-laki ini memang licik maka pukulannya mendarat di tubuh nenek itu tapi bersamaan itu Sian-eng-jin juga menggebuk tubuhnya. Pek-mo-in-kang menghantam punggung sebelah kiri.

“Dess-bukk!”

Hek-i Hong-li terhuyung dan melotot. Ia kena serangan curang tapi lawan juga mengeluh dihantam Pek-mo-in-kang. Betapapun pukulan itu menggetarkan isi dadanya. Dan ketika si nenek menggigit bibir sementara Te-gak Mo-ki juga meringis maka Mo-bin-jin menyambar dengan gadanya menghantam Sian-eng-jin.

“Plak!” kakek ini menangkis dan terhuyung. Raksasa itu tertawa bergelak dan mengejar lagi akan tetapi ikat pinggang Hek-i Hong-li melejit tanpa suara, tahu-tahu menjerat belakang lehernya. Akan tetapi karena kulit leher ini licin maka Hek-be-kang alias ilmu Belut Hitam menyelamatkan raksasa itu.

“Ha-ha, tenagamu sudah lemah. Kau tak dapat menarik putus, Hek-i Hong-li, Pukulan sute membuatmu terguncang!”

“Keparat, jangan banyak omong. Sam-suheng juga meringis dihantam Pek-mo-in-kang, ji-heng. Aku terguncang iapun menderita!”

“Ha-ha, tapi aku akan merobohkanmu. Kau nenek bawel yang selalu cerewet. Minggirlah, atau kau mampus!” gada menyambar lagi dan kali ini nenek itu mengelak. Di sana suhengnya berhadapan dengan Te-gak Mo-ki dan tampak jelas laki-laki ini menahan sakit. Napasnya sesak. Dan ketika Hek-i Hong-li berkelebatan mengandalkan Bu-bian-kang akhirnya Mo-bin-jin menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar.

“Heh, tak boleh kucing-kucingan terus. Kau hadapi aku dan jangan berputar-putar!” raksasa itu membentak dan tiba-tiba ia melakukan perobahan. Dari kedua telapaknya muncul uap merah berbau amis, kian lama kian tebal dan akhirnya didorongkan ke arah nenek itu. Dan ketika Hek-i Hong-li menjerit karena itulah Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat (Ilmu Darah Iblis Pembusuk Tulang) maka ia melempar tubuh bergulingan dan pukulan itu menghantam hangus sebatang pohon besar.

“Bresss!” pohon itu tumbang dan hancur isi dalamnya. Kulit dan dagingnya menjadi bubuk sementara bau anyir tercium di situ, bau darah. Dan ketika nenek itu meloncat bangun namun dikejar lagi, raksasa ini menyimpan gadanya maka ia tertawa menggosok-gosok kedua tangannya itu, mendorong.

“Ha-ha, jangan melarikan diri. Tangkis pukulanku, sumoi, ayo tangkis dan terima ini!”

Namun Hek-i Hong-li membentak nyaring. Ia dikejar dan tiba-tiba berseru melengking, mengibas ujung rambutnya dan lenyap meninggalkan lawan. Dan ketika Mo-bin-jin tertegun berhenti menyerang maka nenek itu muncul lagi menghantam tengkuknya, tepat di belakang.

“Plak!” Raksasa ini melenguh. Ia terhuyung akan tetapi tak apa-apa, membalik dan cepat menyambar nenek itu melepas Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya. Tapi ketika si nenek menghilang lagi dan lenyap dipukul maka raksasa ini menggereng dan memaki-maki. Hek-iHong-li mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya (Ilmu Menghilang Di Balik Kabut Darah), penangkal Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang mengerikan itu.

“Licik, curang. Kau tak tahu malu, sumoi, diserang selalu menghilang. Ayo hadapi aku dan jangan sembunyi!”

“Hi-hik, kau yang bodoh. Aku di sini, ji-heng. Lihat!” nenek itu muncul lagi dan sebuah tamparannya mengenai bahu. Bukan sembarang tamparan melainkan bersama cengkeraman Toat-beng-liong-jiauw-kang. Besipun akan patah dihantam nenek ini. Akan tetapi karena lawan memiliki Hek-be-kang dan ilmu itu membuat kulitnya licin, lagi-lagi gagal maka nenek itu kecewa dan Mo-bin-jin tertawa bergelak, menyambar namun nenek itu menghilang lagi.

“Heh, bagus, jangan lari dan coba terima ini!”

Akan tetapi Hek-i Hong-li telah lenyap mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya. Pertandingan menjadi seru dan berimbang sementara Sian-eng-jin masih menghadapi perlawanan kokoh Te-gak Mo-ki. Biarpun laki-laki ini telah menerima hantaman Pek-mo-in-kang namun harus di akui sinkangnya kuat juga. Kini percikan Keringat Sakti (Sin-can-po-he) berhamburan pula, bahkan Te-gak Mo-ki ini menggosok-gosok kedua telapaknya mengeluarkan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat.

Jelas di antara Te-gak Mo-ki dengan Mo-bin-jin terjadi tukar-menukar ilmu, raksasa itu mendapat Hek-be-kang, alias Belut Hitam sementara ini Mo-hiat-hu- kut-tai-hoat, sebuah ilmu ampuh yang amat berbahaya dan keji bukan main. Pohonpun remuk kulit dan dagingnya, apalagi manusia. Dan ketika Sian-eng-jin terkejut melihat itu maka kakek inipun mengeluarkan Hiat-sun-tai-hoatnya, ilmu yang juga dipunyai Hek-i Hong-li.

“Keparat, licik. Jangan sembunyi dan lari seperti penakut, Sian-eng-jin. Keluarlah dan hadapi aku!”

“Tak usah banyak mulut. Kalau kau mampu robohkanlah aku, sam-heng. Banyak bicara bukan laku seorang gagah!”

“Bagus, aku akan merobohkanmu, dan kali ini tak mungkin luput!” Te-gak Mo-ki menyerang lagi akan tetapi setiap ia mengeluarkan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya itu maka lawan menghilang di balik Hiat-sun- tai-hoat. Memang inilah satu-satunya penangkal ilmu keji itu, Te-gak Mo-ki menggeram-geram. Dan ketika di sana pertandingan antara Mo-bin-lo melawan Naga Berkabung juga berlangsung sengit dan seru akhirnya si banci ini membentak dan mengeluarkan sihirnya, Jin-seng-sut (Ilmu Merubah Ujud).

“Aku menjadi Naga!”

Keluarlah seekor naga menyambar kakek ini. Lidah api dari mulut naga yang terbuka menjilat lebih dahulu wajah kakek itu, sedetik kakek ini terkejut. Akan tetapi karena masing-masing dari Ngo-cia Thian-it (Lima Rasul) juga memiliki Jin-seng-sut maka kakek itupun membentak merubah ujudnya.

“Aku Rajawali!”

Bertarunglah naga dan rajawali dengan sama-sama buas. Sian-eng-jin telah berubah menjadi rajawali dan kepakan sayapnya yang dahsyat menghembus lidah api dari naga Te-gak Mo-ki. Bahkan rajawali ini menerkam dan menancapkan kuku-kukunya di tubuh naga, terbang dan naik tinggi siap menghempaskan naga itu agar binasa. Namun ketika sang naga terbanting dan belum menyentuh bumi, meledak dan berubah ujud maka naga menjadi garuda dan dengan pekikan suaranya melesat dan menyambar rajawali itu.

Bertandinglah dua hewan buas ini. Masing-masing mengelepakkan sayap dan menyambarkan kuku-kukunya yang tajam, saling patuk dan hantam sampai bulu-bulunya rontok. Dan ketika mereka menjadi gundul dan jatuh ke bumi maka ujud mereka. kembali semula dan masing-masing telah menjadi Te-gak Mo- ki dan Sian-eng-jin.

Tak kalah dengan pertarungan ini adalah Hek-i Hong-li dan Mo-bin-jin. Penasaran bahwa Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya mandul bertemu Hiat-sun-tai-hoat akhirnya raksasa inipun menggereng dan berkemak-kemik. Ia meledakkan kedua tangannya dan tiba-tiba lenyap. Raksasa ini mengeluarkan Jin-seng-sut. Dan ketika si nenek tertegun celingukan ke sana ke mari mendadak sebatang pohon bergerak dan menyambarnya. Mo-bin-jin ternyata berubah ujud menjadi pohon di sebelah nenek itu.

“Wherrrr!”

Hek-i Hong-li tentu saja memaki-maki. Iapun membentak dan menghilang pula, bukan mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya melainkan Jin-seng-sut. Nenek ini tiba-tiba menjadi sebuah batu hitam. Lalu ketika pohon itu kehilangan lawan berhenti tertegun maka batu ini bergerak dan terbang menghantam pohon itu.

“Bruukkkk!” pohon tumbang dan batu juga hancur. Masing-masing kembali ke ujud semula dan Mo-bin-jin memekik-mekik. Dia ganti tertipu. Dan ketika keduanya kembali bertanding dan sama-sama kuat maka di pihak Naga Berkabung juga telah terjadi permainan sihir dimana masing-masing berubah ujud dan ingin mengalahkan satu sama lain. Mo-bin-lo memulai dulu. Ia lenyap membubung ke atas, melesat membentuk asap hitam menghilang di langit gelap. Akan tetapi ketika tiba-tiba menukik sinar berapi dari sepotong halilintar, dahsyat menyambar lawan maka Song-bun-liong membentak dan lenyap menjadi sepotong karet tebal.

“Dar!” Sinar api mental ke atas. Halilintar kembali menjadi Mo-bin-lo dan raksasa itu meluncur ke bawah. Lawan diterkam dan hendak ditelan bulat-bulat. Akan tetapi ketika Song-bun-liong menggeliat dan menjadi seekor landak, besar dengan duri-durinya yang tajam maka lawan mengaduh dan injakan berubah menjadi tendangan. Namun sang landak berkelit dan menjadi Song-bun-liong lagi. Mo-bin-lo merubah ujudnya menjadi harimau dan ular akan tetapi Song-bun-liong mengimbangi dengan menjadi badak dan burung pelatuk. Harimau dihajar cula badak sementara ular dipatuk dan dibawa terbang ke atas.

Dan ketika kembali Mo-bin- lo menjadi asalnya lagi maka tak terasa pertempuran berjalan dua hari dua malam. Hutan Iblis tak keruan ujudnya dan matahari tak mampu menembus pekatnya awan hitam. Awan ini berasal dari ledakan-ledakan asap sihir dan juga pukulan-pukulan dahsyat. Enam orang sakti itu begitu marah dan masing-masing tak ingat diri lagi. Segala kepandaian dan kesaktian dikeluarkan. Dan ketika tiba pada hari ketiga di mana masing-masing sudah bermandi keringat, Ju-taihiap yang menonton dua kali terguling pening maka Te-gak Mo-ki tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh pada teman-temannya, berupa siulan atau lengking halus tanda bahaya.

“Ji-heng, Mo-bin-lo, ke marilah kalian. Putar satu angin dorong ke tiga sasaran!”

Dua orang itu terkejut. Mereka menoleh namun tiba-tiba berseri girang, Te-gak Mo-ki memberi isyarat. Dan ketika masing- masing memekik dan meloncat di kiri kanan si banci ini, saling mengadu telapak tangan tiba-tiba ketiganya tertawa bergelak. Asap meledak dan menyelubungi ketiganya yang sudah bergerak bersamaan.

“Bagus, kita uji coba pukulan gabungan. Ha-ha, kau benar, sute, aku lupa. Wah, kali ini tentu hebat dan mereka rasakan kehebatan kita!”

Song-bun-liong dan lain-lain terkejut. Mereka merasakan sesuatu yang tidak enak namun masing-masing mengejar pula lawan mereka. Mo-bin-lo disambar Naga Berkabung sementara Sian-eng-jin menyambar Te-gak Mo-ki. Mereka tak tahu apa yang hendak dilakukan lawan begitu pula Hek-i Hong-li. Nenek inipun membentak mengejar Mo-bin-jin. Namun ketika masing-masing menangkis dan berbareng dengan itu keluarlah dorongan Mo-seng-ciang (Tapak Tangan Hantu) maka ketiganya terpekik karena dari masing-masing adu tenaga itu mereka mencelat dan terbanting. Mo-bin-jin maupun Te-gak Mo-ki dan Mo- bin-lo telah saling menyatukan tenaga hingga lawan berhadapan sekaligus dengan tiga orang setelah adu tepukan tadi.

“Desss!”

Naga Berkabung dan dua rekannya mengeluh. Mereka melempar tubuh bergulingan mengelak serangan lain dan meloncat bangun dengan tubuh terhuyung, masing-masing kaget karena dari adu tenaga itu seakan mereka berhadapan dengan tiga lawan sekaligus, inilah yang tak diduga. Dan ketika ketiganya menyerang lagi namun ditangkis, kembali mereka terbanting dan bergulingan sadarlah Song-bun-liong bahwa sesuatu telah dilatih tiga orang ini secara diam-diam, yakni menggabung dan menyatukan tenaga untuk akhirnya membuang itu kepada mereka. Hal yang sama sekali belum mereka miliki!

“Ah, kita gabung kekuatan kita pula. Jangan sendiri-sendiri dan menyerang perorangan, sute. Bergandengan tangan dan salurkan sinkang!”

“Benar, tapi mereka sudah terlatih. Mereka sama-sama memiliki Tapak Tangan Hantu, suheng, sedang kita tak mempunyai Ilmu yang sama!”

“Keparat, kita sama-sama memiliki Bu-bian-kang. Pergunakan ilmu itu dan hancurkan mereka!”

“Hm!” Song-bun-liong menggeleng. “Bu-bian-kang hanya ilmu meringankan tubuh, sumoi, bukan pukulan atau serangan. Hati-hati, mereka menyerang lagi!”

Tiga orang itu, berkelit dan Hek-i Hong-li melempar tubuh bergulingan. Mukanya pucat karena sadar bahwa omongan sang suheng benar, Bu-bian-kang hanya ilmu meringankan tubuh, bukan pukulan atau serangan. Dan ketika ia mulai gentar menghadapi kenyataan ini maka tiba-tiba pihak mereka terdesak dan Sian-eng-jin maupun dirinya hanya mengelak dan berkelit melulu, menangkis berarti terbanting.

Pucatlah nenek ini. Song-bun-liong juga gelisah sementara Sian-eng-jin memutar otak dengan kening berkeringat. Kalau tahu begini tentu mereka melatih ilmu yang sama pula, menggabung dan menghantam perpaduan Mo-seng-ciang yang amat dahsyat itu. Tapi karena mereka memiliki kepandaian berlainan, Hek-i Hong-li dengan Siau-hun-bi-kiong-hoatnya sementara ia Pek-mo-in-kang dan suhengnya Kian-kun-siu maka mereka terdesak dan baru pertama ini mereka akan kalah dan bakal roboh. Keunggulan berada di pihak yang sesat!

“Ha-ha, tahu rasa sekarang. Lihat apa yang kalian derita, suheng. Sebentar lagi kami akan merobohkanmu dan membunuh kalian. Ha-ha, kedudukan kita sekarang berbeda!” Mo-bin-jin, yang merasa menang dan sombong berseru mengejek Naga Berkabung, suhengnya.

Memang harus diakui bahwa tiga orang itu terdesak hebat, kedudukan sekarang berubah. Namun karena Song-bun-liong dan sute serta sumoinya memiliki Bu-bian-kang, betapapun ini menyelamatkan mereka maka biarpun terdesak tiga orang lawan itu tak mampu segera merobohkan. Song-bun-liong serta sumoi dan sutenya bersifat bertahan.

“Keparat, selalu menghindar, kucing-kucingan. He, bersikaplah gagah dan jantan, Song-bun-liong. Mana watak ksatriamu, jangan pengecut!” Mo-bin-lo, yang tak sabar dan menjadi marah memaki lawannya. Mereka terus mendesak dan mendesak akan tetapi tiga orang ini belum roboh juga, ini akibat Bu-bian-kang yang hebat itu. Namun karena betapapun serangan di pihak mereka, musuh hanya bertahan dan mengelak sana-sini maka keadaan Song-bun-liong berbahaya dan mencemaskan, apalagi ketika Mo-seng-ciang mengepung dan mencegat jalan lari mereka.

Te-gak Mo-ki akhirnya tak kalah gemas dan laki-laki ini mencabut sesuatu. Sebuah kipas kecil, lancip dan berbau harum dikeluarkan. Tangan merogoh dan mencabut lagi dua kipas lain. Lalu ketika ia melemparkan itu kepada temannya, di tangkap dan digosok-gosok maka si banci ini berseru agar masing-masing menerbangkan benda itu kepada lawan mereka.

“Pergunakan Hui-si-sut, kacau konsentrasi mereka!”

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin mengangguk. Mereka berseru melepas kipas, terbang berputaran di sekeliling lawan mereka. Dan ketika suara mengaung dan bau harum membuat pening, tiga orang itu terkejut maka Mo-seng-ciang didorongkan ke depan memaksa lawan menangkis.

“Dess!” Song-bun-liong terhuyung dan pucat. Mo-seng-ciang jauh lebih berbahaya dibanding kipas yang menyambar-nyambar. Kipas itu seakan hidup namun mengacau saja, yang amat berbahaya adalah pukulan Tapak Hantu itu. Maka ketika ia menangkis dan dibuat terhuyung, kipas menyambar dan mematuk kepala, maka ia mengelak dan benar saja lawan mengejar lagi dengan pukulan berbahaya itu.

“Dukkk!”

Lagi-lagi kakek ini terhuyung. Hanya berkat kekerasan hatinya saja ia tidak sampai terpental, sementara Hek-i Hong-li dan sutenya terpelanting di sana. Dan ketika kakek ini tegak lagi menerima serangan-serangan lain, terhuyung dan akhirnya terpelanting Te-gak Mo-ki terkekeh-kekeh.

“Hi-hik, tak akan mampu bertahan lagi. Menyerahlah, suheng, takluk sajalah. Kalau baik-baik menyerah dan berlutut mengaku kalah kami akan mengampunimu. Heh-heh, jangan keras kepala.”

“Benar, kaupun begitu. Berlutut dan menyerah baik-baik, sumoi. Cium kakiku. Baru begitu aku mengampunimu!”

“Heh-heh, tidak untuk Sian-eng-jin ini. Ia akan kuhabisi, sute, kukerat dagingnya. Biarpun minta ampun tak ada gunanya lagi!”

Mo-bin-lo tergelak, merasa di atas angin sementara Sian-eng-jin jatuh bangun. Golok Maut yang dikeluarkan dan menyambar-nyambar akhirnya membuat kulitnya berdarah, kekebalan telah melemah di tubuh kakek ini. Akan tetapi ketika Song-bun-liong membentak dan menyerang raksasa itu, Sian-eng-jin diminta menghadapi Te-gak Mo-ki maka Golok Maut menyambar dan membabat bahu kakek ini.

“Ha-ha, sama saja. Kami telah memiliki satu ilmu untuk menghadapi kalian, Naga Berkabung, sementara kalian terpecah-pecah. Terimalah, kaupun akan kukerat dagingmu.... crat!''

Segumpal daging segar melayang dari bahu kakek ini, terhuyung dan menjadi marah akan tetapi dorongan Mo-seng-ciang di tangan lawan membuat ia kewalahan. Punggung belakang kembali terbacok golok penghisap darah itu. Dan ketika kakek ini tersuruk-suruk dan jatuh bangun, di sana sute dan sumoinya juga sama saja mendadak terdengar jerit tangis dan pekik seseorang. Sebuah bayangan merah berkelebat.

“Giam Liong, tangkap dan pergunakan ini!”

Song-bun-liong, yang mempergunakan tubuh Giam Liong terkejut. Sebuah cahaya putih menyambar, ditangkap dan ternyata sebuah guci. Dan ketika guci itu berdengung bergerak-gerak, Golok Maut tergetar dan berbunyi aneh, maka Mo-bin-lo terpekik dan seketika pucat, berubah.

“Guci Penghisap Roh!”

Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin terkejut. Berbareng dengan datangnya guci itu maka suasana berubah. Langit yang gelap dan hitam mendadak terang, sinar matahari menguak masuk dan menembus tempat pertandingan itu. Dan ketika Golok Maut tiba-tiba terlepas dan terbang memasuki guci ini, disusul tubuh Mo-bin-lo yang gemetaran dan terhuyung maju maka raksasa itu berteriak ketika bersamaan dengan itu terdengar bunyi seruling mendayu-dayu.

“Tidak... jahanam keparat, tidak...!”

“Oohhh....!” dua yang lain mendadak pucat, juga berubah. “Kau.... kau. jahanam terkutuk, Bu-beng Sian-su. Kau lagi-lagi mencampuri kami. Pergi... pergi!”

Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin mendadak ketakutan. Mo-seng-ciang mereka yang semula ganas menyambar-nyambar tiba-tiba saja selalu berbelok memasuki guci putih itu, betapapun mereka mengarahkan pukulan kepada lawan mereka namun aneh bin ajaib Mo-seng-ciang menuju mulut guci. Seakan tersedot kekuatan gaib Pukulan Tapak Hantu itu melenceng, jatuh dan masuk ke dalam guci.

Dan ketika Song-bun-liong sendiri tertegun terheran-heran, suara suling kian dekat maka tampaklah di atas bukit sesosok bayangan bersila dengan tenang, sikapnya lembut sementara wajahnya tertutup halimun tebal. Suling melengking naik turun mendesak dan menggiring pukulan Tangan Hantu ke guci di tangan Naga Berkabung.

“Tidak, keparat tidak, Sian-su. Kau jangan mencampuri kami!”

“Benar, kakek terkutuk, ohh!” Mo-bin-jin terhuyung-huyung dan mempertahankan dirimati-matian agar tidak mendekati guci. “Kau mengganggu dan selalu mencampuri kami, Bu-beng Sian-su. Kau kakek jahanam selalu membela suheng. Ah, tidak... aku tak mau!” Namun teriakan atau seruan raksasa ini sia-sia. Golok Maut, yang sudah terhisap dan memasuki guci ini bergetar-getar dan berusaha meloloskan diri pula.

Guci berdengung dan memperdengarkan suara semakin aneh, ditambah bunyi suling menjadi irama tersendiri seakan gemuruh sungai Huang-ho. Bagi Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan bunyi itu membuat panas, mereka gemetaran dan menggigil mendorong-dorong tangan agar tidak mendekati mulut guci. Aneh, guci ini mengeluarkan sinar delapan warna yang membuat tiga orang itu silau, warna putih paling kuat dan terasa panas bagi Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan. Dan ketika mereka terhuyung dan tersedot ke depan, Mo-bin-lo lebih dulu masuk maka raksasa ini lenyap dan Song-bun-liong berseru kaget gucinya terasa berat.

“Slap!” Raksasa itu memasuki guci. Aneh dan menggelikan, tubuh Mo-bin-lo tampak kecil dan mungil, raksasa itu bergerak-gerak di dalam guci akan tetapi tidak dapat keluar. Ia melolong dan meraung-raung. Dan ketika Mo-bin-jin terpekik dan melesat pula ke dalam guci maka Te-gak Mo-ki gemetaran dengan muka pucat.

“Ampun, tidak... jangan, Sian-su... jangan!”

Yang kebingungan adalah Naga Berkabung. Dua raksasa itu memasuki gucinya, ia merasa berat dan semakin berat. Dan ketika Sian-eng-jin dan Hek-i Hong-li tertegun memandang kejadian itu, Te-gak Mo-ki tersedot dan meronta-ronta mendadak ia melesat dan terbang pula terhisap guci aneh ini.

“Jahanam!” Kutuk itu sempat dilontarkan. Te-gak Mo-ki sudah amblas di dalam guci dan tiga orang ini tiba-tiba menjadi kerdil semua.

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin berteriak-teriak, mereka bergerak dan berputaran di dalam guci. Dan ketika Song-bun-liong terduduk oleh beratnya guci, tiga orang itu naik turun tak keruan mendadak guci terlepas dan menyambar kakek di atas bukit itu, kakek yang masih meniup suling dengan lembut.

“Blarr!” guci menghantam dan meledak akan tetapi tidak pecah. Tiga orang di dalam meraung-raung dan gerakan mereka membuat guci terputar pula, naik dan kembali menyambar kakek itu. Akan tetapi ketika sang kakek masih tenang meniup suling, guci terpental dan jatuh ke tanah maka tiga orang di dalamnya berteriak-teriak dan memaki-maki. Kini alunan suling kakek itu merendah namun menggetarkan jantung.

“Aduh, keparat. Tobat, Bu-beng Sian-su. ..tobat. Bebaskan kami dari sini!”

“Benar, keluarkan kami dari tempat ini, kakek jahanam. Kami bersumpah tak akan mengganggu siapapun lagi. Lepaskanlah kami!”

Akan tetapi kakek itu masih meniup suling dengan tenangnya. Nadanya semakin rendah dan rendah hingga tiga orang di dalam guci menggerung-gerung. Di dalam itu irama suling semakin hebat kalau di luar dapat menyebar dan pecah ke mana-mana. Maka ketika ketiganya meraung-raung dan tersiksa begitu hebat, guci melonjak dan menari-nari mengikuti gerakan mereka, maka kakek itu bangkit berdiri dan meninggalkan puncak bukit dengan wajah seakan tak ada penyesalan. Dan hebatnya, guci itupun melompat-lompat dan berjalan mengikuti kakek ini.

“Ampun, bebaskan kami. Keluarkan kami dari tempat neraka ini, Bu-beng Sian-su. Kami siap mematuhi perintahmu dan menjadi budakmu!”

“Atau kau bunuh kami. Aduh, panas sekali, kakek jahanam. Terkutuk kau. Keparat!”

Umpat dan rintih silih berganti. Kakek itu terus berjalan dan tidak memperdulikan sementara guci terisi tiga orang sesat itu melompat-lompat. Semakin cepat kakek itu melangkah semakin cepat mereka mengejar. Lucu, sekaligus mengerikan. Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah si Naga Berkabung maka kakek ini gemetar menghadang Bu-beng Sian-su, terbata-bata.

“Maafkan aku yang bodoh. Kalau boleh kuminta bebaskanlah mereka, Sian-su. Ampunilah mereka karena betapapun mereka saudara-saudaraku juga.”

“Benar,” Sian-eng-jin tahu-tahu muncul, berkelebat disamping suhengnya ini. “Mendengarkan ratapan mereka rasanya tak kuat hati ini, Sian-su. Heran bahwa kau seakan tak berperikemanusiaan dan membiarkan mereka tersiksa.”

“Suheng!” Hek-i Hong-li tiba-tiba membentak, muncul pula di situ. “Apa yang kalian lakukan ini dan tidak ingatkah kalian kejahatan dan dosa mereka. Dihukum seribu kalipun masih belum cukup, aku mendukung apa yang dilakukan kakek ini!”

“Tidak, aku tak kuat mendengarkan. Kalau mereka dibiarkan tersiksa lebih baik dibunuh, sumoi, tapi Sian-su tak melakukan itu.”

“Sian-su tak melakukan karena kematian hanya di tangan Yang Memberi Hidup. Kalian gila minta setan-setan itu di bebaskan!”

“Kalau begitu biar aku masuk sekalian. Betapapun mereka saudaraku, sumoi. Sebagai saudara tua aku wajib melindungi dan membela mereka!” kakek ini berkelebat, tiba-tiba masuk ke dalam guci dan berteriaklah nenek itu melihat sang suheng berkumpul bersama musuh-musuhnya.

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin tertawa bergelak, menerkam dan menyerang kakek ini. Dan ketika Song-bun-liong terkejut dan menyelamatkan diri maka Sian-eng-jin berseru keras dan masuk pula ke dalam guci.

“Aku tak dapat membiarkan suheng dalam bahaya. Kalau kau ikut silakan masuk. sumoi. Ini tugas kita menolong saudara tua!”

Hek-i Hong-li menjerit. Sian-eng-jin lenyap ke dalam guci dan disambut Te-gak Mo-ki. Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin menerkam Naga Berkabung. Sikap mereka buas, taring dan liur jelas menanti daging empuk kakek ini. Dan ketika pertempuran terjadi lagi di dalam guci, aneh sekali, maka nenek itu melengking dan masuk pula kedalam.

“Bangsat jahanam. Lihat apa yang mereka lakukan, suheng. Patutkah kau bela iblis-iblis macam ini!”

“Ha-ha, seru. Sekarang kita sama-sama tak dapat keluar, sumoi. Di sini kita bertempur mati hidup. Ayo, lanjutkan!”

Enam orang itu bertanding lagi. Song-bun-liong menghadapi Mo-bin-lo dan kadang-kadang Mo-bin-jin, sementara nenek Hek-i Hong-li berhadapan dengan Te-gak Mo-ki. Tiga iblis yang semula merintih dan mengiba-iba ini mendadak menjadi buas kembali, mereka menyerang dan mendesak lawan mereka itu. Akan tetapi ketika Bu-beng Sian-su membalik dan menangkap guci, mengguncangnya dua kali maka semua berteriak karena kehilangan keseimbangan. Song-bun-liong dan Sian-eng-jin serta Hek-i Hong-li terlempar keluar.

“Kalian masuk bukan kehendak guci ini. Yang buruk berkawan yang buruk, Naga Berkabung. Semua perbuatan dipetik oleh penanamnya. Keluarlah, tempat kalian bukan di situ!”

Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan menjerit marah. Mereka tak dapat keluar karena kejahatan mereka tersedot guci itu, benda ini bagai besi sembrani menghisap segala yang hitam. Maka ketika mereka terpelanting dan jatuh bangun di dalam, Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin mengumpat caci, mendadak kakek ini berseru melemparkan guci ke atas, tinggi sekali.

“Janji dan sumpah kalian tak pernah ditepati. Sekarang pergilah dan tak ada tempat di bumi ini lagi untuk kalian!”

Song-bun-liong terbelalak. Tiba-tiba tanpa diduga ia membentak mengejar guci itu, wajah Te-gak Mo-ki mengiba-iba. Dan ketika ia menyusul dan menangkap bibir guci, Te-gak Mo-ki berseri dan menangkap tangannya mendadak laki-laki itu memberosot dan keluar dari guci.

“Terima kasih, suheng. Kau. membantuku!”

Akan tetapi yang tak diduga adalah kejadian berikut.Te-gak Mo-ki yang keluar dan lolos dari guci mendadak disambar kakinya oleh Mo-bin-jin. Raksasa inipun memberosot dan ikut keluar, jatuh ke bumi. Dan ketika Mo-bin-jin tertawa bergelak sementara guci terus melesat dan lenyap di langit biru, Mo-bin-lo dan Golok Maut hilang di angkasa maha luas, maka raksasa itu tiba-tiba menghantam kepala suhengnya ketika sama-sama meluncur ke bumi, turun dengan begitu cepatnya.

“Ha-ha, kesempatan kita sekarang. Pukul mampus dia, sute, nanti yang lain!”

Song-bun-liong terkejut. Dia tak menyangka sama sekali bahwa di saat seperti itu dirinya diserang. Te-gak Mo-ki menyeringai dan tiba-tiba menyambar dadanya. Pukulan Tapak Hantu dilepas. Dan ketika kakek ini terbelalak menerima pukulan, tak mampu berkelit atau menangkis, maka ia mengerahkan sinkang namun Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas) tak dapat dipakai berbareng menerima dua serangan dahsyat itu. Betapapun sinkang atau kekuatan mereka berimbang.

“Desss!”

Kakek ini terbanting lebih dulu. Ia mengeluh dan Hek-i Hong-li memekik melihat kejadian itu. Dan ketika Mo-bin-jin maupun Te-gak Mo-ki juga sudah jatuh ke tanah, maka nenek itu mencelat dan sepasang telunjuknya mencoblos mata Te-gak Mo-ki, cepat bukan main, juga ganas tak alang-kepalang.

“Crot!” Jeritan ngeri terdengar memecah sisi bukit. Te-gak Mo-ki yang tak mungkin mengelak terkena sambaran nenek ini, biji matanya pecah. Akan tetapi karena ia sempat melihat berkelebatnya nenek itu dan menggerakkan tangannya, maka Mo-seng-ciang menghantam perut nenek ini tepat mengenai pusar.

“Dess!” nenek itu terhuyung. Mo-seng-ciang, Tapak Tangan Hantu yang amat kuat menghantam dirinya, bukan di sembarang tempat melainkan pusar, titik segala tenaga di mana sinkang terkumpul. Maka ketika ia mengeluh dan jatuh terduduk, Te-gak Mo-ki mengerang kesakitan tiba-tiba nenek ini terguling dan roboh entah hidup atau mati.

“Keparat!” Sian-eng-jin marah melengking cemas. Ia berkelebat dan menghantam Te-gak Mo-ki yang buta kedua matanya. Laki-laki itu tak mungkin mengelak dan menerima Pek-mo-in-kang. Pukulan dingin itu membuatnya tersentak, kaku dan kehijauan dan tiba-tiba roboh, terdengar suara gemeratak dari tengkorak kepala yang retak. Namun di saat laki-laki ini terguling dan mengeluarkan keluhan pendek mendadak saja Mo-bin-jin menyambar dan kelima jarinya mencengkeram kepala kakek ini dengan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat. Jari-jari itu semerah darah dan amis serta berbau busuk.

“Kau membunuh suteku!”

Kakek ini berusaha menangkis, membalik. Akan tetapi karena lawan sudah demikian dekat dan jari-jari itupun berkerotok penuh kemarahan maka sia-sia kakek ini menangkis dan kelima jari itu tetap menuju sisi kepalanya.

“Awas, sute!” teriakan Song-bun-liong sia-sia. Kelima jari itu tetap menyambar bagian kiri kepala kakek ini dan tepat sekali menancap di telinga. Jari tengah langsung menusuk dan menancap lubang telinga. Dan ketika Sian-eng-jin mengeluh dan roboh maka Naga Berkabung meloncat dan tiba-tiba ibu jarinya menggurat punggung kiri dari atas ke bawah. Tampak sinar keemasan memancar di ibu jari pendekar sakti ini.

“Aughhh....!” Mo-bin-jin berteriak. Dari guratan itu punggung kirinya patah, itulah Kim-kong-ciok-kang (Tenaga Arca Emas) yang dikerahkan pendekar ini dalam sisa-sisa tenaganya. Ia menggurat dengan seluruh kesaktiannya dan raksasa itu terluka. Kalau tidak tewas, seumur hidup ia bakal cacad, semper alias menyeret tubuh ketika berjalan seperti ayam rusak sebelah sayapnya. Guratan itu tak mungkin disembuhkan dan itulah yang dirasakan raksasa ini. Ia mengaduh, terpelanting. Namun ketika ia meloncat bangun dan lari dengan tubuh miring-miring, jatuh bangun maka raksasa itu lenyap. meninggalkan bukit. Song-bun-liong roboh dan mengeluh di dekat Sian-eng-jin.

“Sute!”

Tiba-tiba Sian-eng-jin bergerak. Kakek yang telinga kirinya dicengkeram Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat itu ternyata belum tewas. Ia merintih dan bangkit menuju suhengnya. Dan ketika sang suheng merayap namun jatuh lagi, berusaha memapak atau mendekati sutenya ini maka Sian-eng-jin gemetar menuding.

“Sumoi... isterimu!”

“Ya, aku tahu. Ia... ia terluka, sute.... berat. Kita... kita tak mungkin disini lagi.“

“Tapi kita perlu menemuinya. Kita dekati dia, suheng, lihat keadaannya.“

“Mari, aughh!” lalu ketika dua orang ini berhasil berangkulan dan bangkit serta terhuyung menuju Hek-i Hong-li ternyata nenek itu tiba-tiba menggeliat.

“Sumoi !”

“Isteriku...!”

Entah kekuatan gaib apa yang membuat Hek-i Hong-li tiba-tiba bangkit. Pukulan Tangan Hantu yang membuatnya serasa hancur bagian dalam tiba-tiba membuat ia memperoleh kekuatan. Panggilan Naga Berkabung itulah yang terutama, panggilan terhadap isteri! Dan ketika ia membalik dan duduk berseri, dua laki-laki itu telah roboh di dekatnya maka nenek ini menangis namun penuh bahagia, suaranya tersedak-sedak.

“Twa-heng, kau... kau memanggilku apa? Isteri? Hi-hiik...! Panggil aku sekali lagi, twa-heng... panggil aku seperti itu!”

“Uhh, kau... sumoi cerewet. Kita sama-sama menghadapi maut, sumoi, jangan macam-macam. Aku.... ughh, dadaku sakit...!” Song-bun-liong muntah darah, melengos tak memandang nenek itu dan wajah Hek-i Hong-li berubah.

Nenek itu menggeram. Akan tetapi ketika Sian-eng-jin mencengkeram lengannya dan terbatuk-batuk, Song-bun-liong semakin parah maka kakek ini membujuk. “Sumoi, suheng tak pernah senang menunjukkan kemesraan di depan orang lain, kau tahu itu. Jangan menuntut macam-macam dan tolonglah dia... lihat lukanya!”

Nenek ini bergumam. Ia reda lagi dan beringsut mendekati Naga Berkabung. Kakek ini muntah darah lagi. Lalu ketika nenek itu terisak mengelus punggungnya, Sian-eng-jin tersenyum tiba-tiba kakek itu melambai pada suhengnya.

“Suheng, aku dulu!”

Song-bun-liong terkejut. Kakek yang pucat ini mengeluh, bersamaan itu sutenya roboh. Seberkas sinar keluar dari telinga kiri. Itulah roh Sian-eng-jin. Dan ketika Hek-i Hong-li terkejut dan berseru tertahan mendadak suhengnya mencengkeram dan berseru, “Hong-moi, aku menyusul sute!”

Nenek ini menjerit. Robohnya Song-bun-liong membuat ia tersedu. Panggilan itu adalah nama kecilnya, biasa diucapkan pada saat-saat berdua, saat bermesraan. Maka ketika ia menjerit dan balas mencengkeram mendadak nenek inipun berseru, “Song-ko, aku ikut!” dan begitu ia roboh dan terguling di atas suaminya maka seberkas cahaya melesat dari pusar, tepatnya dari jalan darah Yu-seng-hiat.

“Giok Cheng!”

“Sin Gak!”

“Giam Liong!”

Berturut-turut tiga nama disebut ketika empat bayangan berkelebat. Robohnya tiga tubuh yang terguling itu menghentikan gerakan angin dan udara secara serentak. Pohon-pohon yang semula berdesah mendadak diam mematung. Air sungai yang mula-mula berkericik tiba-tiba mendadak diam. Segala yang hidup maupun mati di atas permukaan bumi sekonyong-konyong sirap, suasana begitu hening dan amat mencekam.

Maka ketika terdengar teriakan dan jeritan disusul bayangan berlompatan, Ju-taihiap dan Han Han serta isterinya dan Bi Hong melesat hampir berbareng maka semua kegaiban yang semula menguasai tempat itu sirna seketika dan yang tampak sekarang adalah Giam Liong dan Sin Gak serta Giok Cheng yang roboh tumpang-tindih. Giok Cheng menindih Sin Gak sementara Giam Liong sejengkal saja dari tubuh puteranya. Roh dari orang-orang sakti telah meninggalkan mereka, yang ada tinggallah tubuh-tubuh yang terluka dari Naga Pembunuh dan puteranya serta Giok Cheng.

Sedu-sedan tak dapat ditahan lagi. Bi Hong, yang tentu saja paling cepat dibanding yang lain telah menyambar tubuh Sin Gak dari pelukan Giok Cheng. Roh Sian-eng-jin telah meninggalkan muridnya sebagaimana roh Hek-i Hong-li meninggalkan Giok Cheng. Masing-masing, yang semula masuk lewat telinga kiri dan pusar telah keluar pula lewat jalan itu. Naga Berkabung meninggalkan tubuh Giam Liong lewat pi-kak-hiat, yakni daerah sekitar jakun.

Dan karena masing-masing telah meninggalkan tubuh yang dipinjam dan kembali ke alam kelanggengan maka akibat atau resiko dari semua kejadian itu dirasakan pemilik tubuh yang bersangkutan. Sin Gak misalnya, yang tertusuk telinga kirinya maka menjadi tuli bagian ini. Seumur hidup telinga itu tak berfungsi lagi, rusak oleh tusukan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang keji.

Sementara Giok Cheng, yang dipakai gurunya dan kena cengkeraman Tapak Tangan Hantu pusarnya hangus dan terbakar. Dalam saat-saat tertentu gadis ini akan menderita kesakitan, sebagian usus dan dinding rahimnya rusak, karena itu tak mungkin ia dapat memiliki keturunan.

Dan Giam Liong, yang dipakai oleh si Naga Berkabung setelah dihantam Mo-seng-ciang dua tulang dadanya patah. Naga Pembunuh ini terluka cukup parah dan napasnya megap-megap, pingsan dan pucat dan sebagian dari paru-parunya terbakar. Pria ini akan menderita ampeg dada dan kalaupun sembuh jalannya akan terbungkuk, karena sebagian dari dadanya melesak ke dalam.

Maka ketika semua menangis dan menolong orang-orang yang dicinta, Bi Hong menolong Sin Gak sementara Han Han dan ayahnya melihat keadaan Giam Liong maka Tang Siu atau nyonya Han Han tentu saja menolong puterinya sendiri.

“Giok Cheng... Giok Cheng, kau jangan tinggalkan ibu. Ooh, jangan kau mati, puteriku, jangan kau pergi. Ibu tak punya siapa-siapa selain kau!”

“Harap ayah obati Giam Liong,” Han Han bingung melepaskan diri. “Aku melihat isteriku, ayah, apa yang terjadi pula dengan Giok Cheng.”

“Baik, kau pergilah. Aku akan menolong saudaramu ini, Han Han, setelah itu kulihat cucuku.”

Han Han bangkit setelah menjejalkan obat. Isterinya menggerung-gerung dan panik. Giok Cheng tak bergerak-gerak juga. Namun ketika ia berlutut dan memeriksa puterinya mendadak Han Han teringat kakek di atas bukit itu.

“Sian-su...“ katanya, “ Kita bawa kepada Sian-su, niocu, jangan menangis saja dan diamlah. Masih ada harapan!”

Nyonya itu sadar. Tiba-tiba ia menoleh dan melihat kakek itu di atas bukit. Bu-beng Sian-su tampak termenung dan menghela napas panjang pendek berulang-ulang. Lalu ketika nyonya ini bangkit dan berlari terbang segera ia berlutut dan mengguguk di depan kakek itu. “Puteriku, anakku... oohhh, tolonglah Giok Cheng, Sian-su. Tolonglah dia. Aku tak mau kehilangan puteriku satu-satunya!”

“Benar, dan Sin Gak!” Bi Hong tiba-tiba berkelebat di belakang nyonya ini, membawa pemuda itu. “Tolonglah Sin Gak, Sian-su. Dia jangan mati!”

“Pergi kau!” Ju-hujin tiba-tiba membentak. “Kau biang penyakit semuanya ini, Bi Hong. Kau merampas hak puteriku Giok Cheng!”

“Bibi tak usah bicara macam-macam!” Bi Hong berseru dan balas membentak wanita itu. “Yang sakit biarkan sembuh dan urusan lain dibicarakan belakangan!”

“Kau...kau hendak kurang ajar kepadaku?”

“Kau yang tak tahu diri, bibi. Melihat orang-orang ini terluka parah kau bicara yang tidak perlu didahulukan. Kita sembuhkan dulu orang-orang yang kita cinta baru yang lain belakangan!”

“Hi-hik, aduh.... heh-heh-heh, dia benar, Ju-hujin. Yang sakit kita sembuhkan dulu dan urusan pribadi belakangan. Aduh...oohh, sembuhkan pula Naga Pembunuh ini, Sian-su... aku... aku tak mau kehilangan dia!” Su Giok, gadis yang terluka itu tiba-tiba naik keatas dan membawa Giam Liong. Tadi ia merampas pendekar itu dari tangan Ju-taihiap. Maka ketika ia terhuyung dan jatuh dua kali, terkekeh dan menyeringai menahan sakit maka Han Han berkelebat menekan pundak isterinya.

Sang ayah juga menyusul dan membungkuk di depan kakek dewa itu. “Maafkan kami,” Ju-taihiap mewakili dengan suara penuh duka, serak. “Menantuku terbawa perasaannya sendiri, Sian-su, ia sedang panik. Kau tolonglah kami semua dan biar kami masing-masing tenang. Aku yang tua menjadi malu akan ribut-ribut ini.”

“Tak apa,” kakek itu tersenyum, tiba-tiba membalik. “Sebaiknya kita pulang ke Hek-yan-pang, Ju-taihiap, dan di sana mengobati mereka. Marilah, tempat ini penuh dosa. Aku mendahului.”

“Sian-su!” Ju-hujin terpekik, kakek itu tiba-tiba lenyap. “Bagaimana puteriku Giok Cheng!”

“Aku menunggu kalian di Hek-yan-pang. Pulang dan semua ke sana, hujin, kutunggu semua.”

“Tapi... tapi...”

“Sudahlah,” Han Han memeluk dan menahan isterinya ini. “Sian-su telah bicara, niocu, kita tinggal melaksanakan. Mari pulang dan bawa semua ke sana.”

“Tapi Giok Cheng, ia...ia lukanya berat!”

“Bukan hanya. Giok Cheng, isteriku, Giam Liong dan Sin Gak juga berat.”

“Tapi... tapi ia anakku satu-satunya. Bagaimana kalau mati. Ah, kakek itu seharusnya menolong disini, suamiku, sekarang, bukan nanti atau besok. Kakek itu ternyata kejam, Bu-beng Sian-su tak berperasaan, oohhhhh!” dan ketika nyonya itu terguling dan roboh ternyata wanita ini tak kuat menahan kecemasannya akan puterinya.

Han Han menjadi sibuk melihat isterinya pingsan, Bi Hong diam-diam berjebi di sana. Begitu tebal ego wanita itu, yang diingat dan ingin diselamatkan hanya dirinya sendiri. Tapi ketika Ju-taihiap bergerak dan meminta tubuh Giok Cheng maka Han Han diminta menolong isterinya itu, diam-diam pendekar tua ini juga malu oleh sikap menantunya.

Dan Su Giok tiba-tiba terkekeh. “Hi-hik, kakek itu memang aneh. Ada yang sekarat masih juga ditunda. Eh, bagaimana denganmu, Bi Hong. Apakah kau akan membawa Sin Gak ke Hek-yan-pang?”

“Aku akan membawanya ke sana. Bagaimana denganmu, enci, kaupun terluka. Mari kutolong dan kau kupapah di sini.”

“Heh-heh, aku bisa jalan sendiri. Aku akan membawa si Naga Pembunuh ini, Bi Hong, tak perlu bantuanmu. Aku pergi dan akan kumintai tolong kakek itu, atau kudamprat nanti!” lalu ketika gadis ini memondong dan membawa si Naga Pembunuh, tersuruk dan terhuyung-huyung maka Ju-taihiap bingung melihat itu. Gadis itu sesungguhnya tak mungkin kuat.

“Su Giok, sebaiknya kau dibantu. Berikan Giam Liong kepadaku atau Han Han!”

“Tidak, mati hidup aku ingin bersamanya. Hi-hik, tak perlu mengurus orang lain, Ju-taihiap, urus saja dirimu sendiri. Aku, ughh...!” gadis itu terbatuk. “Mati hidup ingin bersama orang yang kucinta!”

Jago pedang ini membelalakkan mata. Ia menarik napas dalam-dalam melihat gadis itu memanggul dan menuruni bukit dengan sukar, tiga kali terjatuh. Namun karena ia tak berani menolong maklum kekerasan gadis itu maka Ju-taihiap diam saja sementara Han Han celakanya belum juga menyadarkan isterinya yang pingsan. Dan Bi Hong tiba-tiba bergerak memanggul Sin Gak, bercucuran air mata, terisak.

“Ju-lo-enghiong, aku dapat membawa Giok Cheng kalau kau mau menolong enci Su Giok. Kasihan dia, jatuh bangun.”

“Mana mungkin, ia tak mau ditolong. Justeru kau sama-sama wanita, nona, tolonglah dia dan biar Sin Gak kubawa.”

“Tidak, Sin Gak bagianku. Kalau begitu kudekati dia dan biar kubantu!” ternyata Bi Hong yang tak tega melihat keadaan Su Giok tak dapat pula mendahului gadis baju merah itu. Bi Hong menyambar dan menahan tubuh gadis ini berkali-kali, tak perduli tepisan dan bentakan marah gadis itu.

Dan ketika akhirnya Su Giok menyerah dan menangis pula maka gadis ini sempoyongan memanggil-manggil nama Giam Liong. Jelas betapa ia mencintai Naga Pembunuh ini namun Giam Liong tak bergerak dengan wajah semakin pucat. Seharusnya pertolongan cepat dilakukan, perjalanan Su Giok lambat sekali. Dan ketika Ju-taihiap bingung membawa Giok Cheng tiba-tiba Tang Siu sadar, langsung menanyakan Giok Cheng.

“Mana anakku, bagaimana dia. Sudahkah kalian bawa ke Sian-su, Han-ko. Mana Giok Cheng!”

“Sabar, ayah membawanya. Kita tak dapat melakukan perjalanan cepat, niocu. Giam Liong dan Sin Gak berada di depan.

“Kalian, ah kalian berjalan seperti siput? Giok Cheng tak segera kalian bawa pulang? Keparat, biarkan aku membawanya, Han-ko. Aku tak mau Giok Cheng mati. Lepaskan!” sang nyonya tiba-tiba memberosot, lepas dari pegangan suaminya dan melengkinglah wanita itu menyambar Giok Cheng.

Ju-taihiap terkejut namun tahu-tahu gadis itu telah disambar ibunya. Dan ketika nyonya ini memekik dan terbang turun bukit maka ia menyambar bagai kijang betina, langsung menuju Hek-yan-pang.

“Niocu!”

Akan tetapi seruan Han Han tak digubris isterinya. Justeru wanita itu mengguguk dan tersedu-sedu serta memaki suaminya yang dikata lamban. Sudah tahu anak sekarat dibiarkan berlama-lama. Dan ketika nyonya itu menghilang sementara Han Han tertegun maka Ju-taihiap ikut terpukul dan terguncang, tiba-tiba bergerak dan mencengkeram lengan puteranya.

“Kau susul isterimu, biar aku di sini!”

“Tidak, ayah saja yang menyusul Siu-moi. Aku menjaga dan mengawasi di sini. Aku tak dapat meninggalkan Giam Liong maupun Sin Gak, ayah, mereka juga sama-sama butuh perhatian!”

“Tapi ia isterimu!”

“Siu-moi mementingkan diri pribadi, aku malu oleh kelakuannya. Biar ayah saja yang menyusul dan aku mengiringi anak-anak ini.”

“Ah, tapi kau lebih berkepentingan, Han Han, paling tidak Giok Cheng puteri tunggalmu!”

“Yang berkepentingan bukan hanya kita. Sin Gak dan ayahnya ini bukanlah orang lain, ayah. Giam Liong adalah saudaraku juga. Silakan ayah pergi dan aku belakangan.”

“Han Han!”

“Tidak, sekali lagi tidak, ayah. Kau yang pergi atau kita sama-sama di sini!”

Ju-taihiap tertegun, wajahnya berubah-ubah. Sebagai pendekar tentu saja dia tahu sikap keras puteranya ini. Han Han malu harus meninggalkan Giam Liong dan Sin Gak, padahal mereka juga sama-sama butuh perhatian dan pertolongan. Namun karena ia juga tak dapat menyalahkan sikap Tang Siu sebagai ibu, yang khawatir dan cemas oleh bahaya yang mengancam puterinya akhirnya jago tua ini mengangguk dan berkata, suaranya jelas menahan sesuatu yang berat, sesuatu di persimpangan jalan.

“Baiklah, aku tak tahu siapa lebih benar dalam hal ini. Keteguhanmu mengendalikan kepentingan pribadi mengagumkan aku, Han Han, namun sebagai kakek aku harus melihat cucuku pula. Baiklah aku susul isterimu dan kau cepatlah datang ke Hek-yan-pang!”

“Silakan ayah pergi. Siu-moi membuat aku malu, ayah, paling tidak kepada Bi Hong dan Su Giok. Aku akan di sini menjaga keponakan dan saudaraku pula.” Han Han bersikap dingin, mengangguk kepada sang ayah dan Ju-taihiap melompat memutar tubuh.

Ju-taihiap terpukul dan terguncang oleh kejadian itu, siapakah yang benar antara Han Han dan isterinya. Dan ketika jago tua itu lenyap sementara Bi Hong mendengarkan kagum, diam-diam simpati dan hormatnya timbul maka ia tiba-tiba berkata bahwa iapun dapat mempercepat perjalanan.

“Kalau paman mau membawa paman Giam Liong maka enci Giok dapat kutuntun dan menyusul Giok Cheng. Sekarang maukah paman membawa paman Giam Liong.”

Akan tetapi Su Giok melotot. “Apa, kau mau memisahkan aku dari Naga Pembunuh ini? Jangan coba-coba, kau atau aku mampus di sini, Bi Hong. Kalau ingin cepat menemui Sian-su pergilah, aku tidak menyuruh kalian mengawal!”

“Sudahlah, sudah.” Han Han maklum dan tak mau berdebat. “Luka-lukamu sendiri butuh perhatian, Su Giok, kalau itu keinginanmu terakhir biarlah kau bawa dia. Aku tak akan merebut.”

“Hi-hik, bagus, tapi jangan salahkan aku kalau ada apa-apa. Siapa yang menyelamatkan Giam Liong dengan lemparan Guci Penghisap Roh tadi!”

Bi Hong menarik napas panjang. Memang dari sinilah asal mula pertandingan berakhir. Kalau Su Giok tidak melemparkan Guci Penghisap Roh dan tiga iblis itu tak lumpuh ilmunya maka Naga Pembunuh dan lain-lain bisa lebih berbahaya lagi. Mereka telah terdesak oleh gabungan Mo-seng-ciang yang dilakukan Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin serta Te-gak Mo-ki. Karena inilah kedudukan tiga dari Ngo-cia Thian-it terdesak, padahal biasanya mereka selalu berimbang.

Dan karena jasa gadis itu memang besar dan hanya karena kemuliaan serta keluhuran Naga Berkabung maka kakek itu dicurangi Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin, disusul oleh kemarahan Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin maka pertandingan berakhir dengan tragis dan pihak yang menang malah menjadi sampyuh bersama musuh-musuh mereka. Hek-i Hong-li dan Song-bun-liong serta Sian-eng-jin menjadi korban.

Tiga orang ini berjalan meninggalkan bukit. Hutan Iblis, yang hancur dan berada di balik bukit telah dilupakan Bi Hong dan lain-lain. Bahkan Han Han sampai lupa kepada mayat Majikan Hutan Iblis, yang tewas setelah dihantam Sian-eng-jin. Maka ketika mereka terus berjalan sementara Bi Hong tak dapat meninggalkan Su Giok, yang membawa ayah kekasihnya maka Han Han muram di belakang dan mengikuti saja kedua gadis ini.

Akan tetapi Su Giok akhirnya tak kuat. Gadis ini telah terkena Mo-seng-ciang yang dilancarkan Majikan Hutan Iblis, sebelum laki-laki itu dimasuki roh gurunya, Te-gak Mo-ki. Maka ketika sehari perjalanan dilakukan dengan lambat, Bi Hong menyalurkan sinkangnya untuk menolong Sin Gak secara darurat maka gadis baju merah itu roboh dan terpelantinglah Giam Liong dari pondongannya.

“Aduh, mataku gelap. Ooh, terima Naga Pembunuh ini, Bi Hong dadaku sesak!”

Benar saja, gadis itu batuk dan melontakkan darah. Sesungguhnya gadis ini terlalu memaksa diri dan malah memperberat penyakitnya dengan membawa orang lain. Ia terjungkal dan Han Han menyambar tubuhnya. Dan ketika Bi Hong terpaksa meletakkan Sin Gak menolong gadis itu, sebagai sesama wanita tentu saja lebih leluasa dibanding Han Han maka gadis ini menangis melihat keadaan murid Hek-i Hong-li ini. Wajah Su Giok pucat sekali.

“Enci Giok, kau terlalu keras kepala. Kau tak menurut nasihatku. Lihat apa yang terjadi kalau sudah begini.”

“Heh-heh hi-hik, jangan marahi aku. Sesungguhnya aku tahu saat ajalku, Bi Hong, lukaku berat. Tapi... tapi aku ingin membawa orang yang kucinta selama mungkin. Aku, uhh...!” gadis ini menggeliat, napasnya terengah-engah. “Aku tak kuat, Bi Hong, tenagaku hanya sampai disini. Kalian... kalian bawalah dia cepat ke Hek-yan-pang. Katakan... aku mencintainya sampai akhir hayatku...!”

“Enci Giok!”

“Heh-heh, kau... kaupun mencintai Sin Gak seperti aku mencintai ayahnya, Bi Hong. Aku... aku tak menyalahkan yang namanya cinta. Tapi... tapi Giok Cheng ah, sumoiku itupun mencintai Sin Gak, Bi Hong. Kau... kau berilah kesempatan agar ia berbahagia!”

“Enci Giok!”

“Sst, aku mau mati. Kau bisakah kau memenuhi permintaanku, Bi Hong, orang yang putus cinta sakit sekali. Seperti... seperti aku, augh... dadaku... dadaku sesak. Kalau... kalau kau mau berikanlah Sin Gak kepada sumoiku Giok Cheng. Ia... ia akan mati kalau tidak bersanding Sin Gak !”

“Enci Giok!”

“Tidak, aku ingin memberikan sesuatu kepada sumoiku itu. Aku menyayangi Giok Cheng, Bi Hong, ia tiada ubahnya adik kandungku sendiri. Kau.... kau berjanjilah berikan Sin Gak kepada sumoiku itu. Atau... atau aku tak mati meram!”

Bi Hong tersedu-sedu. Pembicaraan sudah beralih ke masalah cinta dan ini berat sekali. Susah payah ia ingin menyelamatkan Sin Gak tapi kalau sembuh diberikan ke orang lain, siapa tidak sakit! Tapi melihat penderitaan Su Giok betapa gadis itu mendelik dan kejang-kejang, melotot dan bertanya janjinya tiba-tiba Bi Bong yang biasa mementingkan orang lain menomor duakan diri sendiri tiba-tiba berseru, persis seperti gurunya yang tak ingat kesenangan diri sendiri, jawaban yang membuat Han Han tergetar dan terkesiap.

“Baik, aku berjanji, enci Giok. Aku rela menyerahkan kebahagiaanku kepada Giok Cheng. Kau pergilah dengan tenang dan Sin Gak akan kulepaskan...!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 35

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 35
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“SIAPA di antara kalian dapat membantuku,” sinar itu telah berubah ujud menjadi seorang kakek bermuka merah, gagah dengan alis tebal di atas kening. “Cepat katakan dan jangan buang waktu, jiwi-enghiong. Siapa di antara kalian bersedia kupakai tubuhnya!”

“Song-bun-liong (Naga Berkabung)!” Naga Pembunuh Giam Liong berseru cepat. “Ah, biar kau pakai tubuhku, locianpwe. Apa yang harus kulakukan!”

“Bagus, buka jalan darah pi-kak-hiat mu. Aku masuk dan jangan buang tempo lagi!” kakek itu melesat ketika si Naga Pembunuh menohok daerah yang dimaksud, yakni atas jakun di puncak tenggorok.

Dan begitu kakek itu lenyap memasuki Giam Liong maka si Naga Pembunuh berdiri dan bergoyang-goyang sejenak, kehilangan kesadaran akan tetapi sedetik kemudian mulut itu terkekeh. Tawa Giam Liong adalah tawa seorang kakek, wajahnyapun menjadi merah dengan sepasang mata yang lebih mencorong. Lalu ketika si buntung ini berkelebat dan melayang ke puncak pohon maka ia menyambar Mo-bin-jin yang memasuki wadag muridnya itu, yang sedang bertempur sengit dengan si nenek Hek-i Hong-li.

“Heh-heh, kau selalu mengacau lebih dulu. Kau selalu membantu dan membela sam-sute yang sesat, ji-te (saudara kedua). Di mana-mana tak mau sudah dan membuat onar. Ayolah, kita selesaikan dan kali ini pertandingan akhir... desss!”

Thai Bang Kok Hu alias Mo-bin-jin berteriak keras, dihantam atau dibentur Arca Emas dan tubuh Song-bun-liong tak mungkin dikelit. Saat itu ia sedang menghindari ledakan cambuk Hek-i Hong-li, tahu-tahu kakek ini menyambar dan sang suheng menumbuknya dengan ilmu Arca Emas itu, Kim-kong-ciok. Dan ketika ia mencelat dan terguling-guling maka nenek Hek-i Hong-li terkekeh, mengejar.

“Bagus, kau membantuku, suheng, terima kasih. Kita lenyapkan jahanam ini dan selanjutnya kita tenang di alam lain.”

Raksasa tinggi besar itu menggeram. Ia meloncat bangun ketika Hek-i Hong-li mengejar, langsung menggerakkan gada dan mementalkan senjata di tangan nenek itu. Dan ketika ia membentak dan balas menerjang lawan maka Hek-i Hong-li melengking berkelebatan cepat, langsung mengeluarkan Bu-bian- kangnya itu.

“Suheng, kau di belakang, biar aku di depan. Keluarkan semua kepandaian kita dan bunuh keparat jahanam ini!”

“Hargh, curang. Licik! Kalian tak dapat membunuhku begitu saja, sumoi, masih ada saudaraku yang akan membantu. Awas, aku memanggil dan ia datang!”

Terdengar ledakan ketika Hutan Iblis roboh. Raung dan lolong srigala tiba-tiba saja memenuhi tempat itu, suaranya menggetarkan akan tetapi langit tiba-tiba gelap gulita. Bersamaan dengan pekik dahsyat raksasa itu terdengar deru bagai gemuruh ombak laut selatan, cahaya menyilaukan berpijar di langit dengan warna biru merah kuning. Dan ketika terdengar ledakan amat dahsyat seakan menyambut suara Mo-bin-jin maka tampaklah segumpal asap meluncur dengan amat cepatnya menuju tempat itu, asap yang diiringi warna biru kuning dan merah.

“Siapa mengganggu saudaraku dengan curang. Heh, kalian kiranya, Song-bun-liong, tak tahu malu. Aku datang dan lihat kesaktianku...clap!” asap hitam itu menghilang ke bawah dan tiba-tiba muncullah seekor mahluk buas dengan amat menyeramkannya, seekor srigala hitam tinggi besar yang matanya berkilau-kilauan. Binatang ini setinggi dua meter dan melesatlah dia menyambar kakek itu.

Dan ketika Song- bun-liong terkejut sementara Mo-bin-jin tertawa bergelak maka kakek itu mengelak sementara Hek-i Hong-li tak mengeroyok lagi karena suhengnya sudah bertempur dengan mahluk jadi-jadian itu, Mo-bin-lo yang memasuki tubuh seekor srigala dan menyerang kakek ini agar tidak mengeroyok Mo-bin-jin.

“Heh-heh, satu lawan satu. Sekarang kau tak dapat mengharapkan bantuan suheng, sumoi. Kau atau aku mampus!”

“Bagus, siapa takut. Kepandaianmu setingkat, ji-heng, jangan sombong. Hari ini aku akan mengadu jiwa dan kau atau aku roboh!”

“Ha-ha-heh-heh, kau singa betina yang tak surut semangat. Baik, hari inipun aku tak mau mengampunimu lagi, sumoi. Betapapun aku telah memperdalam kepandaianku dan kau saudara muda harus tunduk kepada yang tua.... whheeeeerrrr!”

Gada menyambar amat dahsyat tapi nenek itu mengelak. Ia balas menggerakkan ikat pinggangnya akan tetapi senjata itu mental balik bertemu tubuh lawan yang atos. Lalu ketika si raksasa tertawa bergelak dan mencuatkan sinar-sinar Sin-ci-bengnya maka nenek ini berlompatan dan dari tangan kirinya berhamburan pula jarum-jarum Touw-beng-tok-ciam, ganas dan cepat dan pertandingan berjalan semakin mendebarkan. Masing-masing tak mau mengalah dan baik Hek-i Hong-li maupun suhengnya mengertak gigi. Lalu ketika masing-masing berkelebatan mendahului yang lain maka pertempuran antara Song-bun-liong melawan Mo-bin-lo juga tak kalah menegangkan.

Akhirnya kakek ini mencabut golok dan Giam-to alias Golok Maut berkeredep. Terdengar suara berdengung ketika membelah udara. Akan tetapi ketika lawan tiba-tiba terkekeh dan berseru nyaring maka golok yang biasanya tajam dan amat ampuh itu mental bertemu tubuh berbulu. “Crat!” bunga api malah berpijar. Kakek ini merah padam dan lawan tergelak-gelak. Itulah ciptaan Mo-bin-lo yang tentu saja tak dapat dipakai melawan pemiliknya. Golok Maut mandul. Dan ketika saking gemasnya kakek ini menyambit dan melontarkan golok itu, ditangkap gigi-gigi menyeringai maka Naga Berkabung tak mempergunakan apa-apa lagi, andalannya ialah sepasang kaki tangannya itu.

“Bagus, kaupun tak pernah lalai membantu saudaramu yang sesat. Sekarang kita bertempur mati hidup, Mo-bin-lo, kau atau aku roboh!”

“Ha-ha, Golok Mautku tak mempan. Kau ketakutan, Song-bun-liong, aku akan mengantarmu ke akherat. Ayolah, kau atau aku mampus.... plakk!”

Dan golok yang mental bertemu Kim-kong-ciok membuat Mo-bin-lo kagum, membentak dan menerjang lagi dan Ju-taihiap tak mampu melihat pertandingan itu lagi. Awan telah menjadi gelap dan langitpun hitam pekat sementara yang tampak hanyalah sinar terang dari senjata yang beradu. Golok di tangan Mo-bin-lo tak mampu melukai tubuh si Naga Berkabung sementara kakek itu juga hanya membuat terhuyung lawannya dengan pukulannya Kian-kun-siu (Sapu Jagad). Baik Mo-bin-lo maupun Naga Berkabung sama-sama memiliki kepandaian berimbang.

Dan ketika mereka mulai mengeluarkan pukulan-pukulan sihir bertenaga gaib, meledak dan menjadi asap warna-warni maka bentakan atau pertandingan dua orang ini hanya dapat didengar suaranya saja. Dan sementara mereka bertanding begitu hebat maka di pihak Hek-i Hong-li juga terjadi pertarungan mati hidup yang amat mendebarkan, begitu pula Te-gak Mo-ki yang kini berhadapan dengan Sian-eng-jin yang mempergunakan tubuh muridnya.

Mereka berenam ini silih berganti naik turun dan ledakan atau bunyi-bunyi menggetarkan kian memacu jantung saja. Satu kali Hek-i Hong-li terpental oleh ayunan gada, melayang ke arah Te-gak Mo-ki yang bertanding seru dengan Sian-eng-jin. Dan karena nenek itu membenci Te-gak Mo-ki sama seperti membenci Mo-bin-jin maka ikat pinggangnya tiba-tiba menyambar dan tahu-tahu membelit leher si banci ini.

“Ngekk!” Te-gak Mo-ki terkejut. Untunglah Mo-bin-jin yang mengejar si nenek tak membiarkan hal itu berlama-lama, sekali menggereng raksasa hitam besar ini melompat. Dan ketika Hek-i Hong-li berkelit menyelamatkan kepalanya, berarti melepas ikat pinggangnya pula maka Te-gak Mo-ki melotot memaki nenek itu.

“Jahanam, keparat curang. Sebaiknya kita beradu punggung, suheng, betina ini tak malu-malu mempergunakan kelicikan.”

“Baik, kita hadapi berdua. Marilah beradu punggung dan robohkan mereka!” ajakan bersambut, Mo-bin-jin membentak mengayun gadanya lagi dan kini dua orang itu beradu punggung.

Hek-i Hong-li terkekeh sementara nenek itu tak perduli kata-kata lawannya, ia menyerang dan kembali berkelebatan mengelilingi lawan. Dan ketika Sian-eng-jin tertawa dan mengikuti gerak nenek ini akhirnya di sini empat orang terlibat dalam sebuah pertandingan seru. Akan tetapi Te-gak Mo-ki bukanlah tokoh licik kalau ia tak dijuluki Siluman Akherat. Diam-diam mencari lubang kesempatan, ia tak pernah membuang perhatiannya kepada pertempuran.

Setelah ia bahu-membahu dengan suhengnya Mo-bin-jin sesungguhnya kedudukannya menjadi kuat, hanya karena yang dihadapi adalah saudara seperguruan sendiri yang sudah sama-sama tahu kelebihan dan kekurangannya, maka pertandingan berjalan lama, alot. Namun karena ia berotak encer dan segala akal licik selalu tersedia maka tiba-tiba ia berseru menuding, kebetulan di sebelah sana Song-bun-liong terhuyung oleh adu tenaga yang amat kuat.

“Heii, suheng celaka, ji-heng. Mati dia!”

Seruan ini mengejutkan Hek-i Hong-li. Sebagaimana diketahui nenek ini menaruh cinta yang dalam kepada si Naga Berkabung. Sampai tuapun cintanya tak berkurang. Maka ketika tiba-tiba lawan menuding kaget dan kebetulan saat itu terdengar keluhan Song-bun-liong otomatis nenek ini menoleh dan saat itulah Te-gak Mo-ki melancarkan pukulannya secara diam-diam, dahsyat. Tangan kanan melepas Mo-seng-ciang (Pukulan Tangan Hantu) sementara tangan kiri menghantam dengan pukulan Semut Api.

“Awas, sumoi!”

Nenek itu terkejut bukan main. Seruan temannya agar ia mengelak atau menangkis tak sempat lagi dilakukan. Sian-eng-jin atau Bayangan Dewa kebetulan saja melirik sekilas, jadi tahu serangan curang itu dan berteriak pada sumoinya. Akan tetapi karena Hek-i Hong-li terlanjur menoleh dan itulah yang dikehendaki Te-gak Mo-ki, laki-laki ini memang licik maka pukulannya mendarat di tubuh nenek itu tapi bersamaan itu Sian-eng-jin juga menggebuk tubuhnya. Pek-mo-in-kang menghantam punggung sebelah kiri.

“Dess-bukk!”

Hek-i Hong-li terhuyung dan melotot. Ia kena serangan curang tapi lawan juga mengeluh dihantam Pek-mo-in-kang. Betapapun pukulan itu menggetarkan isi dadanya. Dan ketika si nenek menggigit bibir sementara Te-gak Mo-ki juga meringis maka Mo-bin-jin menyambar dengan gadanya menghantam Sian-eng-jin.

“Plak!” kakek ini menangkis dan terhuyung. Raksasa itu tertawa bergelak dan mengejar lagi akan tetapi ikat pinggang Hek-i Hong-li melejit tanpa suara, tahu-tahu menjerat belakang lehernya. Akan tetapi karena kulit leher ini licin maka Hek-be-kang alias ilmu Belut Hitam menyelamatkan raksasa itu.

“Ha-ha, tenagamu sudah lemah. Kau tak dapat menarik putus, Hek-i Hong-li, Pukulan sute membuatmu terguncang!”

“Keparat, jangan banyak omong. Sam-suheng juga meringis dihantam Pek-mo-in-kang, ji-heng. Aku terguncang iapun menderita!”

“Ha-ha, tapi aku akan merobohkanmu. Kau nenek bawel yang selalu cerewet. Minggirlah, atau kau mampus!” gada menyambar lagi dan kali ini nenek itu mengelak. Di sana suhengnya berhadapan dengan Te-gak Mo-ki dan tampak jelas laki-laki ini menahan sakit. Napasnya sesak. Dan ketika Hek-i Hong-li berkelebatan mengandalkan Bu-bian-kang akhirnya Mo-bin-jin menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar.

“Heh, tak boleh kucing-kucingan terus. Kau hadapi aku dan jangan berputar-putar!” raksasa itu membentak dan tiba-tiba ia melakukan perobahan. Dari kedua telapaknya muncul uap merah berbau amis, kian lama kian tebal dan akhirnya didorongkan ke arah nenek itu. Dan ketika Hek-i Hong-li menjerit karena itulah Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat (Ilmu Darah Iblis Pembusuk Tulang) maka ia melempar tubuh bergulingan dan pukulan itu menghantam hangus sebatang pohon besar.

“Bresss!” pohon itu tumbang dan hancur isi dalamnya. Kulit dan dagingnya menjadi bubuk sementara bau anyir tercium di situ, bau darah. Dan ketika nenek itu meloncat bangun namun dikejar lagi, raksasa ini menyimpan gadanya maka ia tertawa menggosok-gosok kedua tangannya itu, mendorong.

“Ha-ha, jangan melarikan diri. Tangkis pukulanku, sumoi, ayo tangkis dan terima ini!”

Namun Hek-i Hong-li membentak nyaring. Ia dikejar dan tiba-tiba berseru melengking, mengibas ujung rambutnya dan lenyap meninggalkan lawan. Dan ketika Mo-bin-jin tertegun berhenti menyerang maka nenek itu muncul lagi menghantam tengkuknya, tepat di belakang.

“Plak!” Raksasa ini melenguh. Ia terhuyung akan tetapi tak apa-apa, membalik dan cepat menyambar nenek itu melepas Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya. Tapi ketika si nenek menghilang lagi dan lenyap dipukul maka raksasa ini menggereng dan memaki-maki. Hek-iHong-li mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya (Ilmu Menghilang Di Balik Kabut Darah), penangkal Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang mengerikan itu.

“Licik, curang. Kau tak tahu malu, sumoi, diserang selalu menghilang. Ayo hadapi aku dan jangan sembunyi!”

“Hi-hik, kau yang bodoh. Aku di sini, ji-heng. Lihat!” nenek itu muncul lagi dan sebuah tamparannya mengenai bahu. Bukan sembarang tamparan melainkan bersama cengkeraman Toat-beng-liong-jiauw-kang. Besipun akan patah dihantam nenek ini. Akan tetapi karena lawan memiliki Hek-be-kang dan ilmu itu membuat kulitnya licin, lagi-lagi gagal maka nenek itu kecewa dan Mo-bin-jin tertawa bergelak, menyambar namun nenek itu menghilang lagi.

“Heh, bagus, jangan lari dan coba terima ini!”

Akan tetapi Hek-i Hong-li telah lenyap mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya. Pertandingan menjadi seru dan berimbang sementara Sian-eng-jin masih menghadapi perlawanan kokoh Te-gak Mo-ki. Biarpun laki-laki ini telah menerima hantaman Pek-mo-in-kang namun harus di akui sinkangnya kuat juga. Kini percikan Keringat Sakti (Sin-can-po-he) berhamburan pula, bahkan Te-gak Mo-ki ini menggosok-gosok kedua telapaknya mengeluarkan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat.

Jelas di antara Te-gak Mo-ki dengan Mo-bin-jin terjadi tukar-menukar ilmu, raksasa itu mendapat Hek-be-kang, alias Belut Hitam sementara ini Mo-hiat-hu- kut-tai-hoat, sebuah ilmu ampuh yang amat berbahaya dan keji bukan main. Pohonpun remuk kulit dan dagingnya, apalagi manusia. Dan ketika Sian-eng-jin terkejut melihat itu maka kakek inipun mengeluarkan Hiat-sun-tai-hoatnya, ilmu yang juga dipunyai Hek-i Hong-li.

“Keparat, licik. Jangan sembunyi dan lari seperti penakut, Sian-eng-jin. Keluarlah dan hadapi aku!”

“Tak usah banyak mulut. Kalau kau mampu robohkanlah aku, sam-heng. Banyak bicara bukan laku seorang gagah!”

“Bagus, aku akan merobohkanmu, dan kali ini tak mungkin luput!” Te-gak Mo-ki menyerang lagi akan tetapi setiap ia mengeluarkan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya itu maka lawan menghilang di balik Hiat-sun- tai-hoat. Memang inilah satu-satunya penangkal ilmu keji itu, Te-gak Mo-ki menggeram-geram. Dan ketika di sana pertandingan antara Mo-bin-lo melawan Naga Berkabung juga berlangsung sengit dan seru akhirnya si banci ini membentak dan mengeluarkan sihirnya, Jin-seng-sut (Ilmu Merubah Ujud).

“Aku menjadi Naga!”

Keluarlah seekor naga menyambar kakek ini. Lidah api dari mulut naga yang terbuka menjilat lebih dahulu wajah kakek itu, sedetik kakek ini terkejut. Akan tetapi karena masing-masing dari Ngo-cia Thian-it (Lima Rasul) juga memiliki Jin-seng-sut maka kakek itupun membentak merubah ujudnya.

“Aku Rajawali!”

Bertarunglah naga dan rajawali dengan sama-sama buas. Sian-eng-jin telah berubah menjadi rajawali dan kepakan sayapnya yang dahsyat menghembus lidah api dari naga Te-gak Mo-ki. Bahkan rajawali ini menerkam dan menancapkan kuku-kukunya di tubuh naga, terbang dan naik tinggi siap menghempaskan naga itu agar binasa. Namun ketika sang naga terbanting dan belum menyentuh bumi, meledak dan berubah ujud maka naga menjadi garuda dan dengan pekikan suaranya melesat dan menyambar rajawali itu.

Bertandinglah dua hewan buas ini. Masing-masing mengelepakkan sayap dan menyambarkan kuku-kukunya yang tajam, saling patuk dan hantam sampai bulu-bulunya rontok. Dan ketika mereka menjadi gundul dan jatuh ke bumi maka ujud mereka. kembali semula dan masing-masing telah menjadi Te-gak Mo- ki dan Sian-eng-jin.

Tak kalah dengan pertarungan ini adalah Hek-i Hong-li dan Mo-bin-jin. Penasaran bahwa Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya mandul bertemu Hiat-sun-tai-hoat akhirnya raksasa inipun menggereng dan berkemak-kemik. Ia meledakkan kedua tangannya dan tiba-tiba lenyap. Raksasa ini mengeluarkan Jin-seng-sut. Dan ketika si nenek tertegun celingukan ke sana ke mari mendadak sebatang pohon bergerak dan menyambarnya. Mo-bin-jin ternyata berubah ujud menjadi pohon di sebelah nenek itu.

“Wherrrr!”

Hek-i Hong-li tentu saja memaki-maki. Iapun membentak dan menghilang pula, bukan mempergunakan Hiat-sun-tai-hoatnya melainkan Jin-seng-sut. Nenek ini tiba-tiba menjadi sebuah batu hitam. Lalu ketika pohon itu kehilangan lawan berhenti tertegun maka batu ini bergerak dan terbang menghantam pohon itu.

“Bruukkkk!” pohon tumbang dan batu juga hancur. Masing-masing kembali ke ujud semula dan Mo-bin-jin memekik-mekik. Dia ganti tertipu. Dan ketika keduanya kembali bertanding dan sama-sama kuat maka di pihak Naga Berkabung juga telah terjadi permainan sihir dimana masing-masing berubah ujud dan ingin mengalahkan satu sama lain. Mo-bin-lo memulai dulu. Ia lenyap membubung ke atas, melesat membentuk asap hitam menghilang di langit gelap. Akan tetapi ketika tiba-tiba menukik sinar berapi dari sepotong halilintar, dahsyat menyambar lawan maka Song-bun-liong membentak dan lenyap menjadi sepotong karet tebal.

“Dar!” Sinar api mental ke atas. Halilintar kembali menjadi Mo-bin-lo dan raksasa itu meluncur ke bawah. Lawan diterkam dan hendak ditelan bulat-bulat. Akan tetapi ketika Song-bun-liong menggeliat dan menjadi seekor landak, besar dengan duri-durinya yang tajam maka lawan mengaduh dan injakan berubah menjadi tendangan. Namun sang landak berkelit dan menjadi Song-bun-liong lagi. Mo-bin-lo merubah ujudnya menjadi harimau dan ular akan tetapi Song-bun-liong mengimbangi dengan menjadi badak dan burung pelatuk. Harimau dihajar cula badak sementara ular dipatuk dan dibawa terbang ke atas.

Dan ketika kembali Mo-bin- lo menjadi asalnya lagi maka tak terasa pertempuran berjalan dua hari dua malam. Hutan Iblis tak keruan ujudnya dan matahari tak mampu menembus pekatnya awan hitam. Awan ini berasal dari ledakan-ledakan asap sihir dan juga pukulan-pukulan dahsyat. Enam orang sakti itu begitu marah dan masing-masing tak ingat diri lagi. Segala kepandaian dan kesaktian dikeluarkan. Dan ketika tiba pada hari ketiga di mana masing-masing sudah bermandi keringat, Ju-taihiap yang menonton dua kali terguling pening maka Te-gak Mo-ki tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh pada teman-temannya, berupa siulan atau lengking halus tanda bahaya.

“Ji-heng, Mo-bin-lo, ke marilah kalian. Putar satu angin dorong ke tiga sasaran!”

Dua orang itu terkejut. Mereka menoleh namun tiba-tiba berseri girang, Te-gak Mo-ki memberi isyarat. Dan ketika masing- masing memekik dan meloncat di kiri kanan si banci ini, saling mengadu telapak tangan tiba-tiba ketiganya tertawa bergelak. Asap meledak dan menyelubungi ketiganya yang sudah bergerak bersamaan.

“Bagus, kita uji coba pukulan gabungan. Ha-ha, kau benar, sute, aku lupa. Wah, kali ini tentu hebat dan mereka rasakan kehebatan kita!”

Song-bun-liong dan lain-lain terkejut. Mereka merasakan sesuatu yang tidak enak namun masing-masing mengejar pula lawan mereka. Mo-bin-lo disambar Naga Berkabung sementara Sian-eng-jin menyambar Te-gak Mo-ki. Mereka tak tahu apa yang hendak dilakukan lawan begitu pula Hek-i Hong-li. Nenek inipun membentak mengejar Mo-bin-jin. Namun ketika masing-masing menangkis dan berbareng dengan itu keluarlah dorongan Mo-seng-ciang (Tapak Tangan Hantu) maka ketiganya terpekik karena dari masing-masing adu tenaga itu mereka mencelat dan terbanting. Mo-bin-jin maupun Te-gak Mo-ki dan Mo- bin-lo telah saling menyatukan tenaga hingga lawan berhadapan sekaligus dengan tiga orang setelah adu tepukan tadi.

“Desss!”

Naga Berkabung dan dua rekannya mengeluh. Mereka melempar tubuh bergulingan mengelak serangan lain dan meloncat bangun dengan tubuh terhuyung, masing-masing kaget karena dari adu tenaga itu seakan mereka berhadapan dengan tiga lawan sekaligus, inilah yang tak diduga. Dan ketika ketiganya menyerang lagi namun ditangkis, kembali mereka terbanting dan bergulingan sadarlah Song-bun-liong bahwa sesuatu telah dilatih tiga orang ini secara diam-diam, yakni menggabung dan menyatukan tenaga untuk akhirnya membuang itu kepada mereka. Hal yang sama sekali belum mereka miliki!

“Ah, kita gabung kekuatan kita pula. Jangan sendiri-sendiri dan menyerang perorangan, sute. Bergandengan tangan dan salurkan sinkang!”

“Benar, tapi mereka sudah terlatih. Mereka sama-sama memiliki Tapak Tangan Hantu, suheng, sedang kita tak mempunyai Ilmu yang sama!”

“Keparat, kita sama-sama memiliki Bu-bian-kang. Pergunakan ilmu itu dan hancurkan mereka!”

“Hm!” Song-bun-liong menggeleng. “Bu-bian-kang hanya ilmu meringankan tubuh, sumoi, bukan pukulan atau serangan. Hati-hati, mereka menyerang lagi!”

Tiga orang itu, berkelit dan Hek-i Hong-li melempar tubuh bergulingan. Mukanya pucat karena sadar bahwa omongan sang suheng benar, Bu-bian-kang hanya ilmu meringankan tubuh, bukan pukulan atau serangan. Dan ketika ia mulai gentar menghadapi kenyataan ini maka tiba-tiba pihak mereka terdesak dan Sian-eng-jin maupun dirinya hanya mengelak dan berkelit melulu, menangkis berarti terbanting.

Pucatlah nenek ini. Song-bun-liong juga gelisah sementara Sian-eng-jin memutar otak dengan kening berkeringat. Kalau tahu begini tentu mereka melatih ilmu yang sama pula, menggabung dan menghantam perpaduan Mo-seng-ciang yang amat dahsyat itu. Tapi karena mereka memiliki kepandaian berlainan, Hek-i Hong-li dengan Siau-hun-bi-kiong-hoatnya sementara ia Pek-mo-in-kang dan suhengnya Kian-kun-siu maka mereka terdesak dan baru pertama ini mereka akan kalah dan bakal roboh. Keunggulan berada di pihak yang sesat!

“Ha-ha, tahu rasa sekarang. Lihat apa yang kalian derita, suheng. Sebentar lagi kami akan merobohkanmu dan membunuh kalian. Ha-ha, kedudukan kita sekarang berbeda!” Mo-bin-jin, yang merasa menang dan sombong berseru mengejek Naga Berkabung, suhengnya.

Memang harus diakui bahwa tiga orang itu terdesak hebat, kedudukan sekarang berubah. Namun karena Song-bun-liong dan sute serta sumoinya memiliki Bu-bian-kang, betapapun ini menyelamatkan mereka maka biarpun terdesak tiga orang lawan itu tak mampu segera merobohkan. Song-bun-liong serta sumoi dan sutenya bersifat bertahan.

“Keparat, selalu menghindar, kucing-kucingan. He, bersikaplah gagah dan jantan, Song-bun-liong. Mana watak ksatriamu, jangan pengecut!” Mo-bin-lo, yang tak sabar dan menjadi marah memaki lawannya. Mereka terus mendesak dan mendesak akan tetapi tiga orang ini belum roboh juga, ini akibat Bu-bian-kang yang hebat itu. Namun karena betapapun serangan di pihak mereka, musuh hanya bertahan dan mengelak sana-sini maka keadaan Song-bun-liong berbahaya dan mencemaskan, apalagi ketika Mo-seng-ciang mengepung dan mencegat jalan lari mereka.

Te-gak Mo-ki akhirnya tak kalah gemas dan laki-laki ini mencabut sesuatu. Sebuah kipas kecil, lancip dan berbau harum dikeluarkan. Tangan merogoh dan mencabut lagi dua kipas lain. Lalu ketika ia melemparkan itu kepada temannya, di tangkap dan digosok-gosok maka si banci ini berseru agar masing-masing menerbangkan benda itu kepada lawan mereka.

“Pergunakan Hui-si-sut, kacau konsentrasi mereka!”

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin mengangguk. Mereka berseru melepas kipas, terbang berputaran di sekeliling lawan mereka. Dan ketika suara mengaung dan bau harum membuat pening, tiga orang itu terkejut maka Mo-seng-ciang didorongkan ke depan memaksa lawan menangkis.

“Dess!” Song-bun-liong terhuyung dan pucat. Mo-seng-ciang jauh lebih berbahaya dibanding kipas yang menyambar-nyambar. Kipas itu seakan hidup namun mengacau saja, yang amat berbahaya adalah pukulan Tapak Hantu itu. Maka ketika ia menangkis dan dibuat terhuyung, kipas menyambar dan mematuk kepala, maka ia mengelak dan benar saja lawan mengejar lagi dengan pukulan berbahaya itu.

“Dukkk!”

Lagi-lagi kakek ini terhuyung. Hanya berkat kekerasan hatinya saja ia tidak sampai terpental, sementara Hek-i Hong-li dan sutenya terpelanting di sana. Dan ketika kakek ini tegak lagi menerima serangan-serangan lain, terhuyung dan akhirnya terpelanting Te-gak Mo-ki terkekeh-kekeh.

“Hi-hik, tak akan mampu bertahan lagi. Menyerahlah, suheng, takluk sajalah. Kalau baik-baik menyerah dan berlutut mengaku kalah kami akan mengampunimu. Heh-heh, jangan keras kepala.”

“Benar, kaupun begitu. Berlutut dan menyerah baik-baik, sumoi. Cium kakiku. Baru begitu aku mengampunimu!”

“Heh-heh, tidak untuk Sian-eng-jin ini. Ia akan kuhabisi, sute, kukerat dagingnya. Biarpun minta ampun tak ada gunanya lagi!”

Mo-bin-lo tergelak, merasa di atas angin sementara Sian-eng-jin jatuh bangun. Golok Maut yang dikeluarkan dan menyambar-nyambar akhirnya membuat kulitnya berdarah, kekebalan telah melemah di tubuh kakek ini. Akan tetapi ketika Song-bun-liong membentak dan menyerang raksasa itu, Sian-eng-jin diminta menghadapi Te-gak Mo-ki maka Golok Maut menyambar dan membabat bahu kakek ini.

“Ha-ha, sama saja. Kami telah memiliki satu ilmu untuk menghadapi kalian, Naga Berkabung, sementara kalian terpecah-pecah. Terimalah, kaupun akan kukerat dagingmu.... crat!''

Segumpal daging segar melayang dari bahu kakek ini, terhuyung dan menjadi marah akan tetapi dorongan Mo-seng-ciang di tangan lawan membuat ia kewalahan. Punggung belakang kembali terbacok golok penghisap darah itu. Dan ketika kakek ini tersuruk-suruk dan jatuh bangun, di sana sute dan sumoinya juga sama saja mendadak terdengar jerit tangis dan pekik seseorang. Sebuah bayangan merah berkelebat.

“Giam Liong, tangkap dan pergunakan ini!”

Song-bun-liong, yang mempergunakan tubuh Giam Liong terkejut. Sebuah cahaya putih menyambar, ditangkap dan ternyata sebuah guci. Dan ketika guci itu berdengung bergerak-gerak, Golok Maut tergetar dan berbunyi aneh, maka Mo-bin-lo terpekik dan seketika pucat, berubah.

“Guci Penghisap Roh!”

Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin terkejut. Berbareng dengan datangnya guci itu maka suasana berubah. Langit yang gelap dan hitam mendadak terang, sinar matahari menguak masuk dan menembus tempat pertandingan itu. Dan ketika Golok Maut tiba-tiba terlepas dan terbang memasuki guci ini, disusul tubuh Mo-bin-lo yang gemetaran dan terhuyung maju maka raksasa itu berteriak ketika bersamaan dengan itu terdengar bunyi seruling mendayu-dayu.

“Tidak... jahanam keparat, tidak...!”

“Oohhh....!” dua yang lain mendadak pucat, juga berubah. “Kau.... kau. jahanam terkutuk, Bu-beng Sian-su. Kau lagi-lagi mencampuri kami. Pergi... pergi!”

Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin mendadak ketakutan. Mo-seng-ciang mereka yang semula ganas menyambar-nyambar tiba-tiba saja selalu berbelok memasuki guci putih itu, betapapun mereka mengarahkan pukulan kepada lawan mereka namun aneh bin ajaib Mo-seng-ciang menuju mulut guci. Seakan tersedot kekuatan gaib Pukulan Tapak Hantu itu melenceng, jatuh dan masuk ke dalam guci.

Dan ketika Song-bun-liong sendiri tertegun terheran-heran, suara suling kian dekat maka tampaklah di atas bukit sesosok bayangan bersila dengan tenang, sikapnya lembut sementara wajahnya tertutup halimun tebal. Suling melengking naik turun mendesak dan menggiring pukulan Tangan Hantu ke guci di tangan Naga Berkabung.

“Tidak, keparat tidak, Sian-su. Kau jangan mencampuri kami!”

“Benar, kakek terkutuk, ohh!” Mo-bin-jin terhuyung-huyung dan mempertahankan dirimati-matian agar tidak mendekati guci. “Kau mengganggu dan selalu mencampuri kami, Bu-beng Sian-su. Kau kakek jahanam selalu membela suheng. Ah, tidak... aku tak mau!” Namun teriakan atau seruan raksasa ini sia-sia. Golok Maut, yang sudah terhisap dan memasuki guci ini bergetar-getar dan berusaha meloloskan diri pula.

Guci berdengung dan memperdengarkan suara semakin aneh, ditambah bunyi suling menjadi irama tersendiri seakan gemuruh sungai Huang-ho. Bagi Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan bunyi itu membuat panas, mereka gemetaran dan menggigil mendorong-dorong tangan agar tidak mendekati mulut guci. Aneh, guci ini mengeluarkan sinar delapan warna yang membuat tiga orang itu silau, warna putih paling kuat dan terasa panas bagi Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan. Dan ketika mereka terhuyung dan tersedot ke depan, Mo-bin-lo lebih dulu masuk maka raksasa ini lenyap dan Song-bun-liong berseru kaget gucinya terasa berat.

“Slap!” Raksasa itu memasuki guci. Aneh dan menggelikan, tubuh Mo-bin-lo tampak kecil dan mungil, raksasa itu bergerak-gerak di dalam guci akan tetapi tidak dapat keluar. Ia melolong dan meraung-raung. Dan ketika Mo-bin-jin terpekik dan melesat pula ke dalam guci maka Te-gak Mo-ki gemetaran dengan muka pucat.

“Ampun, tidak... jangan, Sian-su... jangan!”

Yang kebingungan adalah Naga Berkabung. Dua raksasa itu memasuki gucinya, ia merasa berat dan semakin berat. Dan ketika Sian-eng-jin dan Hek-i Hong-li tertegun memandang kejadian itu, Te-gak Mo-ki tersedot dan meronta-ronta mendadak ia melesat dan terbang pula terhisap guci aneh ini.

“Jahanam!” Kutuk itu sempat dilontarkan. Te-gak Mo-ki sudah amblas di dalam guci dan tiga orang ini tiba-tiba menjadi kerdil semua.

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin berteriak-teriak, mereka bergerak dan berputaran di dalam guci. Dan ketika Song-bun-liong terduduk oleh beratnya guci, tiga orang itu naik turun tak keruan mendadak guci terlepas dan menyambar kakek di atas bukit itu, kakek yang masih meniup suling dengan lembut.

“Blarr!” guci menghantam dan meledak akan tetapi tidak pecah. Tiga orang di dalam meraung-raung dan gerakan mereka membuat guci terputar pula, naik dan kembali menyambar kakek itu. Akan tetapi ketika sang kakek masih tenang meniup suling, guci terpental dan jatuh ke tanah maka tiga orang di dalamnya berteriak-teriak dan memaki-maki. Kini alunan suling kakek itu merendah namun menggetarkan jantung.

“Aduh, keparat. Tobat, Bu-beng Sian-su. ..tobat. Bebaskan kami dari sini!”

“Benar, keluarkan kami dari tempat ini, kakek jahanam. Kami bersumpah tak akan mengganggu siapapun lagi. Lepaskanlah kami!”

Akan tetapi kakek itu masih meniup suling dengan tenangnya. Nadanya semakin rendah dan rendah hingga tiga orang di dalam guci menggerung-gerung. Di dalam itu irama suling semakin hebat kalau di luar dapat menyebar dan pecah ke mana-mana. Maka ketika ketiganya meraung-raung dan tersiksa begitu hebat, guci melonjak dan menari-nari mengikuti gerakan mereka, maka kakek itu bangkit berdiri dan meninggalkan puncak bukit dengan wajah seakan tak ada penyesalan. Dan hebatnya, guci itupun melompat-lompat dan berjalan mengikuti kakek ini.

“Ampun, bebaskan kami. Keluarkan kami dari tempat neraka ini, Bu-beng Sian-su. Kami siap mematuhi perintahmu dan menjadi budakmu!”

“Atau kau bunuh kami. Aduh, panas sekali, kakek jahanam. Terkutuk kau. Keparat!”

Umpat dan rintih silih berganti. Kakek itu terus berjalan dan tidak memperdulikan sementara guci terisi tiga orang sesat itu melompat-lompat. Semakin cepat kakek itu melangkah semakin cepat mereka mengejar. Lucu, sekaligus mengerikan. Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah si Naga Berkabung maka kakek ini gemetar menghadang Bu-beng Sian-su, terbata-bata.

“Maafkan aku yang bodoh. Kalau boleh kuminta bebaskanlah mereka, Sian-su. Ampunilah mereka karena betapapun mereka saudara-saudaraku juga.”

“Benar,” Sian-eng-jin tahu-tahu muncul, berkelebat disamping suhengnya ini. “Mendengarkan ratapan mereka rasanya tak kuat hati ini, Sian-su. Heran bahwa kau seakan tak berperikemanusiaan dan membiarkan mereka tersiksa.”

“Suheng!” Hek-i Hong-li tiba-tiba membentak, muncul pula di situ. “Apa yang kalian lakukan ini dan tidak ingatkah kalian kejahatan dan dosa mereka. Dihukum seribu kalipun masih belum cukup, aku mendukung apa yang dilakukan kakek ini!”

“Tidak, aku tak kuat mendengarkan. Kalau mereka dibiarkan tersiksa lebih baik dibunuh, sumoi, tapi Sian-su tak melakukan itu.”

“Sian-su tak melakukan karena kematian hanya di tangan Yang Memberi Hidup. Kalian gila minta setan-setan itu di bebaskan!”

“Kalau begitu biar aku masuk sekalian. Betapapun mereka saudaraku, sumoi. Sebagai saudara tua aku wajib melindungi dan membela mereka!” kakek ini berkelebat, tiba-tiba masuk ke dalam guci dan berteriaklah nenek itu melihat sang suheng berkumpul bersama musuh-musuhnya.

Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin tertawa bergelak, menerkam dan menyerang kakek ini. Dan ketika Song-bun-liong terkejut dan menyelamatkan diri maka Sian-eng-jin berseru keras dan masuk pula ke dalam guci.

“Aku tak dapat membiarkan suheng dalam bahaya. Kalau kau ikut silakan masuk. sumoi. Ini tugas kita menolong saudara tua!”

Hek-i Hong-li menjerit. Sian-eng-jin lenyap ke dalam guci dan disambut Te-gak Mo-ki. Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin menerkam Naga Berkabung. Sikap mereka buas, taring dan liur jelas menanti daging empuk kakek ini. Dan ketika pertempuran terjadi lagi di dalam guci, aneh sekali, maka nenek itu melengking dan masuk pula kedalam.

“Bangsat jahanam. Lihat apa yang mereka lakukan, suheng. Patutkah kau bela iblis-iblis macam ini!”

“Ha-ha, seru. Sekarang kita sama-sama tak dapat keluar, sumoi. Di sini kita bertempur mati hidup. Ayo, lanjutkan!”

Enam orang itu bertanding lagi. Song-bun-liong menghadapi Mo-bin-lo dan kadang-kadang Mo-bin-jin, sementara nenek Hek-i Hong-li berhadapan dengan Te-gak Mo-ki. Tiga iblis yang semula merintih dan mengiba-iba ini mendadak menjadi buas kembali, mereka menyerang dan mendesak lawan mereka itu. Akan tetapi ketika Bu-beng Sian-su membalik dan menangkap guci, mengguncangnya dua kali maka semua berteriak karena kehilangan keseimbangan. Song-bun-liong dan Sian-eng-jin serta Hek-i Hong-li terlempar keluar.

“Kalian masuk bukan kehendak guci ini. Yang buruk berkawan yang buruk, Naga Berkabung. Semua perbuatan dipetik oleh penanamnya. Keluarlah, tempat kalian bukan di situ!”

Te-gak Mo-ki dan kawan-kawan menjerit marah. Mereka tak dapat keluar karena kejahatan mereka tersedot guci itu, benda ini bagai besi sembrani menghisap segala yang hitam. Maka ketika mereka terpelanting dan jatuh bangun di dalam, Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin mengumpat caci, mendadak kakek ini berseru melemparkan guci ke atas, tinggi sekali.

“Janji dan sumpah kalian tak pernah ditepati. Sekarang pergilah dan tak ada tempat di bumi ini lagi untuk kalian!”

Song-bun-liong terbelalak. Tiba-tiba tanpa diduga ia membentak mengejar guci itu, wajah Te-gak Mo-ki mengiba-iba. Dan ketika ia menyusul dan menangkap bibir guci, Te-gak Mo-ki berseri dan menangkap tangannya mendadak laki-laki itu memberosot dan keluar dari guci.

“Terima kasih, suheng. Kau. membantuku!”

Akan tetapi yang tak diduga adalah kejadian berikut.Te-gak Mo-ki yang keluar dan lolos dari guci mendadak disambar kakinya oleh Mo-bin-jin. Raksasa inipun memberosot dan ikut keluar, jatuh ke bumi. Dan ketika Mo-bin-jin tertawa bergelak sementara guci terus melesat dan lenyap di langit biru, Mo-bin-lo dan Golok Maut hilang di angkasa maha luas, maka raksasa itu tiba-tiba menghantam kepala suhengnya ketika sama-sama meluncur ke bumi, turun dengan begitu cepatnya.

“Ha-ha, kesempatan kita sekarang. Pukul mampus dia, sute, nanti yang lain!”

Song-bun-liong terkejut. Dia tak menyangka sama sekali bahwa di saat seperti itu dirinya diserang. Te-gak Mo-ki menyeringai dan tiba-tiba menyambar dadanya. Pukulan Tapak Hantu dilepas. Dan ketika kakek ini terbelalak menerima pukulan, tak mampu berkelit atau menangkis, maka ia mengerahkan sinkang namun Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas) tak dapat dipakai berbareng menerima dua serangan dahsyat itu. Betapapun sinkang atau kekuatan mereka berimbang.

“Desss!”

Kakek ini terbanting lebih dulu. Ia mengeluh dan Hek-i Hong-li memekik melihat kejadian itu. Dan ketika Mo-bin-jin maupun Te-gak Mo-ki juga sudah jatuh ke tanah, maka nenek itu mencelat dan sepasang telunjuknya mencoblos mata Te-gak Mo-ki, cepat bukan main, juga ganas tak alang-kepalang.

“Crot!” Jeritan ngeri terdengar memecah sisi bukit. Te-gak Mo-ki yang tak mungkin mengelak terkena sambaran nenek ini, biji matanya pecah. Akan tetapi karena ia sempat melihat berkelebatnya nenek itu dan menggerakkan tangannya, maka Mo-seng-ciang menghantam perut nenek ini tepat mengenai pusar.

“Dess!” nenek itu terhuyung. Mo-seng-ciang, Tapak Tangan Hantu yang amat kuat menghantam dirinya, bukan di sembarang tempat melainkan pusar, titik segala tenaga di mana sinkang terkumpul. Maka ketika ia mengeluh dan jatuh terduduk, Te-gak Mo-ki mengerang kesakitan tiba-tiba nenek ini terguling dan roboh entah hidup atau mati.

“Keparat!” Sian-eng-jin marah melengking cemas. Ia berkelebat dan menghantam Te-gak Mo-ki yang buta kedua matanya. Laki-laki itu tak mungkin mengelak dan menerima Pek-mo-in-kang. Pukulan dingin itu membuatnya tersentak, kaku dan kehijauan dan tiba-tiba roboh, terdengar suara gemeratak dari tengkorak kepala yang retak. Namun di saat laki-laki ini terguling dan mengeluarkan keluhan pendek mendadak saja Mo-bin-jin menyambar dan kelima jarinya mencengkeram kepala kakek ini dengan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat. Jari-jari itu semerah darah dan amis serta berbau busuk.

“Kau membunuh suteku!”

Kakek ini berusaha menangkis, membalik. Akan tetapi karena lawan sudah demikian dekat dan jari-jari itupun berkerotok penuh kemarahan maka sia-sia kakek ini menangkis dan kelima jari itu tetap menuju sisi kepalanya.

“Awas, sute!” teriakan Song-bun-liong sia-sia. Kelima jari itu tetap menyambar bagian kiri kepala kakek ini dan tepat sekali menancap di telinga. Jari tengah langsung menusuk dan menancap lubang telinga. Dan ketika Sian-eng-jin mengeluh dan roboh maka Naga Berkabung meloncat dan tiba-tiba ibu jarinya menggurat punggung kiri dari atas ke bawah. Tampak sinar keemasan memancar di ibu jari pendekar sakti ini.

“Aughhh....!” Mo-bin-jin berteriak. Dari guratan itu punggung kirinya patah, itulah Kim-kong-ciok-kang (Tenaga Arca Emas) yang dikerahkan pendekar ini dalam sisa-sisa tenaganya. Ia menggurat dengan seluruh kesaktiannya dan raksasa itu terluka. Kalau tidak tewas, seumur hidup ia bakal cacad, semper alias menyeret tubuh ketika berjalan seperti ayam rusak sebelah sayapnya. Guratan itu tak mungkin disembuhkan dan itulah yang dirasakan raksasa ini. Ia mengaduh, terpelanting. Namun ketika ia meloncat bangun dan lari dengan tubuh miring-miring, jatuh bangun maka raksasa itu lenyap. meninggalkan bukit. Song-bun-liong roboh dan mengeluh di dekat Sian-eng-jin.

“Sute!”

Tiba-tiba Sian-eng-jin bergerak. Kakek yang telinga kirinya dicengkeram Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat itu ternyata belum tewas. Ia merintih dan bangkit menuju suhengnya. Dan ketika sang suheng merayap namun jatuh lagi, berusaha memapak atau mendekati sutenya ini maka Sian-eng-jin gemetar menuding.

“Sumoi... isterimu!”

“Ya, aku tahu. Ia... ia terluka, sute.... berat. Kita... kita tak mungkin disini lagi.“

“Tapi kita perlu menemuinya. Kita dekati dia, suheng, lihat keadaannya.“

“Mari, aughh!” lalu ketika dua orang ini berhasil berangkulan dan bangkit serta terhuyung menuju Hek-i Hong-li ternyata nenek itu tiba-tiba menggeliat.

“Sumoi !”

“Isteriku...!”

Entah kekuatan gaib apa yang membuat Hek-i Hong-li tiba-tiba bangkit. Pukulan Tangan Hantu yang membuatnya serasa hancur bagian dalam tiba-tiba membuat ia memperoleh kekuatan. Panggilan Naga Berkabung itulah yang terutama, panggilan terhadap isteri! Dan ketika ia membalik dan duduk berseri, dua laki-laki itu telah roboh di dekatnya maka nenek ini menangis namun penuh bahagia, suaranya tersedak-sedak.

“Twa-heng, kau... kau memanggilku apa? Isteri? Hi-hiik...! Panggil aku sekali lagi, twa-heng... panggil aku seperti itu!”

“Uhh, kau... sumoi cerewet. Kita sama-sama menghadapi maut, sumoi, jangan macam-macam. Aku.... ughh, dadaku sakit...!” Song-bun-liong muntah darah, melengos tak memandang nenek itu dan wajah Hek-i Hong-li berubah.

Nenek itu menggeram. Akan tetapi ketika Sian-eng-jin mencengkeram lengannya dan terbatuk-batuk, Song-bun-liong semakin parah maka kakek ini membujuk. “Sumoi, suheng tak pernah senang menunjukkan kemesraan di depan orang lain, kau tahu itu. Jangan menuntut macam-macam dan tolonglah dia... lihat lukanya!”

Nenek ini bergumam. Ia reda lagi dan beringsut mendekati Naga Berkabung. Kakek ini muntah darah lagi. Lalu ketika nenek itu terisak mengelus punggungnya, Sian-eng-jin tersenyum tiba-tiba kakek itu melambai pada suhengnya.

“Suheng, aku dulu!”

Song-bun-liong terkejut. Kakek yang pucat ini mengeluh, bersamaan itu sutenya roboh. Seberkas sinar keluar dari telinga kiri. Itulah roh Sian-eng-jin. Dan ketika Hek-i Hong-li terkejut dan berseru tertahan mendadak suhengnya mencengkeram dan berseru, “Hong-moi, aku menyusul sute!”

Nenek ini menjerit. Robohnya Song-bun-liong membuat ia tersedu. Panggilan itu adalah nama kecilnya, biasa diucapkan pada saat-saat berdua, saat bermesraan. Maka ketika ia menjerit dan balas mencengkeram mendadak nenek inipun berseru, “Song-ko, aku ikut!” dan begitu ia roboh dan terguling di atas suaminya maka seberkas cahaya melesat dari pusar, tepatnya dari jalan darah Yu-seng-hiat.

“Giok Cheng!”

“Sin Gak!”

“Giam Liong!”

Berturut-turut tiga nama disebut ketika empat bayangan berkelebat. Robohnya tiga tubuh yang terguling itu menghentikan gerakan angin dan udara secara serentak. Pohon-pohon yang semula berdesah mendadak diam mematung. Air sungai yang mula-mula berkericik tiba-tiba mendadak diam. Segala yang hidup maupun mati di atas permukaan bumi sekonyong-konyong sirap, suasana begitu hening dan amat mencekam.

Maka ketika terdengar teriakan dan jeritan disusul bayangan berlompatan, Ju-taihiap dan Han Han serta isterinya dan Bi Hong melesat hampir berbareng maka semua kegaiban yang semula menguasai tempat itu sirna seketika dan yang tampak sekarang adalah Giam Liong dan Sin Gak serta Giok Cheng yang roboh tumpang-tindih. Giok Cheng menindih Sin Gak sementara Giam Liong sejengkal saja dari tubuh puteranya. Roh dari orang-orang sakti telah meninggalkan mereka, yang ada tinggallah tubuh-tubuh yang terluka dari Naga Pembunuh dan puteranya serta Giok Cheng.

Sedu-sedan tak dapat ditahan lagi. Bi Hong, yang tentu saja paling cepat dibanding yang lain telah menyambar tubuh Sin Gak dari pelukan Giok Cheng. Roh Sian-eng-jin telah meninggalkan muridnya sebagaimana roh Hek-i Hong-li meninggalkan Giok Cheng. Masing-masing, yang semula masuk lewat telinga kiri dan pusar telah keluar pula lewat jalan itu. Naga Berkabung meninggalkan tubuh Giam Liong lewat pi-kak-hiat, yakni daerah sekitar jakun.

Dan karena masing-masing telah meninggalkan tubuh yang dipinjam dan kembali ke alam kelanggengan maka akibat atau resiko dari semua kejadian itu dirasakan pemilik tubuh yang bersangkutan. Sin Gak misalnya, yang tertusuk telinga kirinya maka menjadi tuli bagian ini. Seumur hidup telinga itu tak berfungsi lagi, rusak oleh tusukan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang keji.

Sementara Giok Cheng, yang dipakai gurunya dan kena cengkeraman Tapak Tangan Hantu pusarnya hangus dan terbakar. Dalam saat-saat tertentu gadis ini akan menderita kesakitan, sebagian usus dan dinding rahimnya rusak, karena itu tak mungkin ia dapat memiliki keturunan.

Dan Giam Liong, yang dipakai oleh si Naga Berkabung setelah dihantam Mo-seng-ciang dua tulang dadanya patah. Naga Pembunuh ini terluka cukup parah dan napasnya megap-megap, pingsan dan pucat dan sebagian dari paru-parunya terbakar. Pria ini akan menderita ampeg dada dan kalaupun sembuh jalannya akan terbungkuk, karena sebagian dari dadanya melesak ke dalam.

Maka ketika semua menangis dan menolong orang-orang yang dicinta, Bi Hong menolong Sin Gak sementara Han Han dan ayahnya melihat keadaan Giam Liong maka Tang Siu atau nyonya Han Han tentu saja menolong puterinya sendiri.

“Giok Cheng... Giok Cheng, kau jangan tinggalkan ibu. Ooh, jangan kau mati, puteriku, jangan kau pergi. Ibu tak punya siapa-siapa selain kau!”

“Harap ayah obati Giam Liong,” Han Han bingung melepaskan diri. “Aku melihat isteriku, ayah, apa yang terjadi pula dengan Giok Cheng.”

“Baik, kau pergilah. Aku akan menolong saudaramu ini, Han Han, setelah itu kulihat cucuku.”

Han Han bangkit setelah menjejalkan obat. Isterinya menggerung-gerung dan panik. Giok Cheng tak bergerak-gerak juga. Namun ketika ia berlutut dan memeriksa puterinya mendadak Han Han teringat kakek di atas bukit itu.

“Sian-su...“ katanya, “ Kita bawa kepada Sian-su, niocu, jangan menangis saja dan diamlah. Masih ada harapan!”

Nyonya itu sadar. Tiba-tiba ia menoleh dan melihat kakek itu di atas bukit. Bu-beng Sian-su tampak termenung dan menghela napas panjang pendek berulang-ulang. Lalu ketika nyonya ini bangkit dan berlari terbang segera ia berlutut dan mengguguk di depan kakek itu. “Puteriku, anakku... oohhh, tolonglah Giok Cheng, Sian-su. Tolonglah dia. Aku tak mau kehilangan puteriku satu-satunya!”

“Benar, dan Sin Gak!” Bi Hong tiba-tiba berkelebat di belakang nyonya ini, membawa pemuda itu. “Tolonglah Sin Gak, Sian-su. Dia jangan mati!”

“Pergi kau!” Ju-hujin tiba-tiba membentak. “Kau biang penyakit semuanya ini, Bi Hong. Kau merampas hak puteriku Giok Cheng!”

“Bibi tak usah bicara macam-macam!” Bi Hong berseru dan balas membentak wanita itu. “Yang sakit biarkan sembuh dan urusan lain dibicarakan belakangan!”

“Kau...kau hendak kurang ajar kepadaku?”

“Kau yang tak tahu diri, bibi. Melihat orang-orang ini terluka parah kau bicara yang tidak perlu didahulukan. Kita sembuhkan dulu orang-orang yang kita cinta baru yang lain belakangan!”

“Hi-hik, aduh.... heh-heh-heh, dia benar, Ju-hujin. Yang sakit kita sembuhkan dulu dan urusan pribadi belakangan. Aduh...oohh, sembuhkan pula Naga Pembunuh ini, Sian-su... aku... aku tak mau kehilangan dia!” Su Giok, gadis yang terluka itu tiba-tiba naik keatas dan membawa Giam Liong. Tadi ia merampas pendekar itu dari tangan Ju-taihiap. Maka ketika ia terhuyung dan jatuh dua kali, terkekeh dan menyeringai menahan sakit maka Han Han berkelebat menekan pundak isterinya.

Sang ayah juga menyusul dan membungkuk di depan kakek dewa itu. “Maafkan kami,” Ju-taihiap mewakili dengan suara penuh duka, serak. “Menantuku terbawa perasaannya sendiri, Sian-su, ia sedang panik. Kau tolonglah kami semua dan biar kami masing-masing tenang. Aku yang tua menjadi malu akan ribut-ribut ini.”

“Tak apa,” kakek itu tersenyum, tiba-tiba membalik. “Sebaiknya kita pulang ke Hek-yan-pang, Ju-taihiap, dan di sana mengobati mereka. Marilah, tempat ini penuh dosa. Aku mendahului.”

“Sian-su!” Ju-hujin terpekik, kakek itu tiba-tiba lenyap. “Bagaimana puteriku Giok Cheng!”

“Aku menunggu kalian di Hek-yan-pang. Pulang dan semua ke sana, hujin, kutunggu semua.”

“Tapi... tapi...”

“Sudahlah,” Han Han memeluk dan menahan isterinya ini. “Sian-su telah bicara, niocu, kita tinggal melaksanakan. Mari pulang dan bawa semua ke sana.”

“Tapi Giok Cheng, ia...ia lukanya berat!”

“Bukan hanya. Giok Cheng, isteriku, Giam Liong dan Sin Gak juga berat.”

“Tapi... tapi ia anakku satu-satunya. Bagaimana kalau mati. Ah, kakek itu seharusnya menolong disini, suamiku, sekarang, bukan nanti atau besok. Kakek itu ternyata kejam, Bu-beng Sian-su tak berperasaan, oohhhhh!” dan ketika nyonya itu terguling dan roboh ternyata wanita ini tak kuat menahan kecemasannya akan puterinya.

Han Han menjadi sibuk melihat isterinya pingsan, Bi Hong diam-diam berjebi di sana. Begitu tebal ego wanita itu, yang diingat dan ingin diselamatkan hanya dirinya sendiri. Tapi ketika Ju-taihiap bergerak dan meminta tubuh Giok Cheng maka Han Han diminta menolong isterinya itu, diam-diam pendekar tua ini juga malu oleh sikap menantunya.

Dan Su Giok tiba-tiba terkekeh. “Hi-hik, kakek itu memang aneh. Ada yang sekarat masih juga ditunda. Eh, bagaimana denganmu, Bi Hong. Apakah kau akan membawa Sin Gak ke Hek-yan-pang?”

“Aku akan membawanya ke sana. Bagaimana denganmu, enci, kaupun terluka. Mari kutolong dan kau kupapah di sini.”

“Heh-heh, aku bisa jalan sendiri. Aku akan membawa si Naga Pembunuh ini, Bi Hong, tak perlu bantuanmu. Aku pergi dan akan kumintai tolong kakek itu, atau kudamprat nanti!” lalu ketika gadis ini memondong dan membawa si Naga Pembunuh, tersuruk dan terhuyung-huyung maka Ju-taihiap bingung melihat itu. Gadis itu sesungguhnya tak mungkin kuat.

“Su Giok, sebaiknya kau dibantu. Berikan Giam Liong kepadaku atau Han Han!”

“Tidak, mati hidup aku ingin bersamanya. Hi-hik, tak perlu mengurus orang lain, Ju-taihiap, urus saja dirimu sendiri. Aku, ughh...!” gadis itu terbatuk. “Mati hidup ingin bersama orang yang kucinta!”

Jago pedang ini membelalakkan mata. Ia menarik napas dalam-dalam melihat gadis itu memanggul dan menuruni bukit dengan sukar, tiga kali terjatuh. Namun karena ia tak berani menolong maklum kekerasan gadis itu maka Ju-taihiap diam saja sementara Han Han celakanya belum juga menyadarkan isterinya yang pingsan. Dan Bi Hong tiba-tiba bergerak memanggul Sin Gak, bercucuran air mata, terisak.

“Ju-lo-enghiong, aku dapat membawa Giok Cheng kalau kau mau menolong enci Su Giok. Kasihan dia, jatuh bangun.”

“Mana mungkin, ia tak mau ditolong. Justeru kau sama-sama wanita, nona, tolonglah dia dan biar Sin Gak kubawa.”

“Tidak, Sin Gak bagianku. Kalau begitu kudekati dia dan biar kubantu!” ternyata Bi Hong yang tak tega melihat keadaan Su Giok tak dapat pula mendahului gadis baju merah itu. Bi Hong menyambar dan menahan tubuh gadis ini berkali-kali, tak perduli tepisan dan bentakan marah gadis itu.

Dan ketika akhirnya Su Giok menyerah dan menangis pula maka gadis ini sempoyongan memanggil-manggil nama Giam Liong. Jelas betapa ia mencintai Naga Pembunuh ini namun Giam Liong tak bergerak dengan wajah semakin pucat. Seharusnya pertolongan cepat dilakukan, perjalanan Su Giok lambat sekali. Dan ketika Ju-taihiap bingung membawa Giok Cheng tiba-tiba Tang Siu sadar, langsung menanyakan Giok Cheng.

“Mana anakku, bagaimana dia. Sudahkah kalian bawa ke Sian-su, Han-ko. Mana Giok Cheng!”

“Sabar, ayah membawanya. Kita tak dapat melakukan perjalanan cepat, niocu. Giam Liong dan Sin Gak berada di depan.

“Kalian, ah kalian berjalan seperti siput? Giok Cheng tak segera kalian bawa pulang? Keparat, biarkan aku membawanya, Han-ko. Aku tak mau Giok Cheng mati. Lepaskan!” sang nyonya tiba-tiba memberosot, lepas dari pegangan suaminya dan melengkinglah wanita itu menyambar Giok Cheng.

Ju-taihiap terkejut namun tahu-tahu gadis itu telah disambar ibunya. Dan ketika nyonya ini memekik dan terbang turun bukit maka ia menyambar bagai kijang betina, langsung menuju Hek-yan-pang.

“Niocu!”

Akan tetapi seruan Han Han tak digubris isterinya. Justeru wanita itu mengguguk dan tersedu-sedu serta memaki suaminya yang dikata lamban. Sudah tahu anak sekarat dibiarkan berlama-lama. Dan ketika nyonya itu menghilang sementara Han Han tertegun maka Ju-taihiap ikut terpukul dan terguncang, tiba-tiba bergerak dan mencengkeram lengan puteranya.

“Kau susul isterimu, biar aku di sini!”

“Tidak, ayah saja yang menyusul Siu-moi. Aku menjaga dan mengawasi di sini. Aku tak dapat meninggalkan Giam Liong maupun Sin Gak, ayah, mereka juga sama-sama butuh perhatian!”

“Tapi ia isterimu!”

“Siu-moi mementingkan diri pribadi, aku malu oleh kelakuannya. Biar ayah saja yang menyusul dan aku mengiringi anak-anak ini.”

“Ah, tapi kau lebih berkepentingan, Han Han, paling tidak Giok Cheng puteri tunggalmu!”

“Yang berkepentingan bukan hanya kita. Sin Gak dan ayahnya ini bukanlah orang lain, ayah. Giam Liong adalah saudaraku juga. Silakan ayah pergi dan aku belakangan.”

“Han Han!”

“Tidak, sekali lagi tidak, ayah. Kau yang pergi atau kita sama-sama di sini!”

Ju-taihiap tertegun, wajahnya berubah-ubah. Sebagai pendekar tentu saja dia tahu sikap keras puteranya ini. Han Han malu harus meninggalkan Giam Liong dan Sin Gak, padahal mereka juga sama-sama butuh perhatian dan pertolongan. Namun karena ia juga tak dapat menyalahkan sikap Tang Siu sebagai ibu, yang khawatir dan cemas oleh bahaya yang mengancam puterinya akhirnya jago tua ini mengangguk dan berkata, suaranya jelas menahan sesuatu yang berat, sesuatu di persimpangan jalan.

“Baiklah, aku tak tahu siapa lebih benar dalam hal ini. Keteguhanmu mengendalikan kepentingan pribadi mengagumkan aku, Han Han, namun sebagai kakek aku harus melihat cucuku pula. Baiklah aku susul isterimu dan kau cepatlah datang ke Hek-yan-pang!”

“Silakan ayah pergi. Siu-moi membuat aku malu, ayah, paling tidak kepada Bi Hong dan Su Giok. Aku akan di sini menjaga keponakan dan saudaraku pula.” Han Han bersikap dingin, mengangguk kepada sang ayah dan Ju-taihiap melompat memutar tubuh.

Ju-taihiap terpukul dan terguncang oleh kejadian itu, siapakah yang benar antara Han Han dan isterinya. Dan ketika jago tua itu lenyap sementara Bi Hong mendengarkan kagum, diam-diam simpati dan hormatnya timbul maka ia tiba-tiba berkata bahwa iapun dapat mempercepat perjalanan.

“Kalau paman mau membawa paman Giam Liong maka enci Giok dapat kutuntun dan menyusul Giok Cheng. Sekarang maukah paman membawa paman Giam Liong.”

Akan tetapi Su Giok melotot. “Apa, kau mau memisahkan aku dari Naga Pembunuh ini? Jangan coba-coba, kau atau aku mampus di sini, Bi Hong. Kalau ingin cepat menemui Sian-su pergilah, aku tidak menyuruh kalian mengawal!”

“Sudahlah, sudah.” Han Han maklum dan tak mau berdebat. “Luka-lukamu sendiri butuh perhatian, Su Giok, kalau itu keinginanmu terakhir biarlah kau bawa dia. Aku tak akan merebut.”

“Hi-hik, bagus, tapi jangan salahkan aku kalau ada apa-apa. Siapa yang menyelamatkan Giam Liong dengan lemparan Guci Penghisap Roh tadi!”

Bi Hong menarik napas panjang. Memang dari sinilah asal mula pertandingan berakhir. Kalau Su Giok tidak melemparkan Guci Penghisap Roh dan tiga iblis itu tak lumpuh ilmunya maka Naga Pembunuh dan lain-lain bisa lebih berbahaya lagi. Mereka telah terdesak oleh gabungan Mo-seng-ciang yang dilakukan Mo-bin-lo dan Mo-bin-jin serta Te-gak Mo-ki. Karena inilah kedudukan tiga dari Ngo-cia Thian-it terdesak, padahal biasanya mereka selalu berimbang.

Dan karena jasa gadis itu memang besar dan hanya karena kemuliaan serta keluhuran Naga Berkabung maka kakek itu dicurangi Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin, disusul oleh kemarahan Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin maka pertandingan berakhir dengan tragis dan pihak yang menang malah menjadi sampyuh bersama musuh-musuh mereka. Hek-i Hong-li dan Song-bun-liong serta Sian-eng-jin menjadi korban.

Tiga orang ini berjalan meninggalkan bukit. Hutan Iblis, yang hancur dan berada di balik bukit telah dilupakan Bi Hong dan lain-lain. Bahkan Han Han sampai lupa kepada mayat Majikan Hutan Iblis, yang tewas setelah dihantam Sian-eng-jin. Maka ketika mereka terus berjalan sementara Bi Hong tak dapat meninggalkan Su Giok, yang membawa ayah kekasihnya maka Han Han muram di belakang dan mengikuti saja kedua gadis ini.

Akan tetapi Su Giok akhirnya tak kuat. Gadis ini telah terkena Mo-seng-ciang yang dilancarkan Majikan Hutan Iblis, sebelum laki-laki itu dimasuki roh gurunya, Te-gak Mo-ki. Maka ketika sehari perjalanan dilakukan dengan lambat, Bi Hong menyalurkan sinkangnya untuk menolong Sin Gak secara darurat maka gadis baju merah itu roboh dan terpelantinglah Giam Liong dari pondongannya.

“Aduh, mataku gelap. Ooh, terima Naga Pembunuh ini, Bi Hong dadaku sesak!”

Benar saja, gadis itu batuk dan melontakkan darah. Sesungguhnya gadis ini terlalu memaksa diri dan malah memperberat penyakitnya dengan membawa orang lain. Ia terjungkal dan Han Han menyambar tubuhnya. Dan ketika Bi Hong terpaksa meletakkan Sin Gak menolong gadis itu, sebagai sesama wanita tentu saja lebih leluasa dibanding Han Han maka gadis ini menangis melihat keadaan murid Hek-i Hong-li ini. Wajah Su Giok pucat sekali.

“Enci Giok, kau terlalu keras kepala. Kau tak menurut nasihatku. Lihat apa yang terjadi kalau sudah begini.”

“Heh-heh hi-hik, jangan marahi aku. Sesungguhnya aku tahu saat ajalku, Bi Hong, lukaku berat. Tapi... tapi aku ingin membawa orang yang kucinta selama mungkin. Aku, uhh...!” gadis ini menggeliat, napasnya terengah-engah. “Aku tak kuat, Bi Hong, tenagaku hanya sampai disini. Kalian... kalian bawalah dia cepat ke Hek-yan-pang. Katakan... aku mencintainya sampai akhir hayatku...!”

“Enci Giok!”

“Heh-heh, kau... kaupun mencintai Sin Gak seperti aku mencintai ayahnya, Bi Hong. Aku... aku tak menyalahkan yang namanya cinta. Tapi... tapi Giok Cheng ah, sumoiku itupun mencintai Sin Gak, Bi Hong. Kau... kau berilah kesempatan agar ia berbahagia!”

“Enci Giok!”

“Sst, aku mau mati. Kau bisakah kau memenuhi permintaanku, Bi Hong, orang yang putus cinta sakit sekali. Seperti... seperti aku, augh... dadaku... dadaku sesak. Kalau... kalau kau mau berikanlah Sin Gak kepada sumoiku Giok Cheng. Ia... ia akan mati kalau tidak bersanding Sin Gak !”

“Enci Giok!”

“Tidak, aku ingin memberikan sesuatu kepada sumoiku itu. Aku menyayangi Giok Cheng, Bi Hong, ia tiada ubahnya adik kandungku sendiri. Kau.... kau berjanjilah berikan Sin Gak kepada sumoiku itu. Atau... atau aku tak mati meram!”

Bi Hong tersedu-sedu. Pembicaraan sudah beralih ke masalah cinta dan ini berat sekali. Susah payah ia ingin menyelamatkan Sin Gak tapi kalau sembuh diberikan ke orang lain, siapa tidak sakit! Tapi melihat penderitaan Su Giok betapa gadis itu mendelik dan kejang-kejang, melotot dan bertanya janjinya tiba-tiba Bi Bong yang biasa mementingkan orang lain menomor duakan diri sendiri tiba-tiba berseru, persis seperti gurunya yang tak ingat kesenangan diri sendiri, jawaban yang membuat Han Han tergetar dan terkesiap.

“Baik, aku berjanji, enci Giok. Aku rela menyerahkan kebahagiaanku kepada Giok Cheng. Kau pergilah dengan tenang dan Sin Gak akan kulepaskan...!”