X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Tapak Tangan Hantu Jilid 33

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut episode Tapak Tangan Hantu Karya Batara
TAPAK TANGAN HANTU
JILID 33
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“PEMBUNUHAN... pembunuhan...!”

Teriakan atau seruan Ge-busu ini mengejutkan yang lain-lain. Pengawal berhamburan dan saat itu Yauw-ongya menggapai-gapai. Dengan suara terputus ia bertanya tentang Giam Liong, akan tetapi karena komandan itu gugup dan tidak berpikir panjang maka ia menangkap bahwa yang dimaksud majikannya adalah si pembunuh itu. Giam Liong yang membunuh majikannya.

“Baik, hamba akan cari orang itu. Akan hamba kepung dan tangkap si Naga Pembunuh itu, ongya. Akan kami laporkan ke istana!”

“Dia...dia...Giam Liong.”

“Ya-ya, Naga Pembunuh itu, Giam Liong. Akan hamba cari dan tangkap dia, ongya. Dia mencelakai paduka. He, cari dan tangkap orang itu dan tolong panggilkan tabib Yo-siok!”

Demikian terburu-buru dan gugup komandan pendek gemuk ini hingga ia berlarian ke sana ke mari. Anak buahnya sudah berdatangan dan tentu saja merekapun mendengar kata-kata itu. Semua orang menjadi marah dan Giam Liong disangka pembunuhnya. Tapi ketika mereka mencari dan si buntung itu tak ada, juga anak dan gadis cantik itu maka mereka terkejut dan menyambut ketika justeru pendekar itu datang dan kembali ke gedung. Alangkah beraninya!

Namun mereka bukan apa-apa bagi pendekar ini dan Bi Hong. Giam Liong benar-benar terkejut ketika Yauw Kam dan anak-anak perempuan Yauw-ongya memaki-makinya. Mereka begitu marah dan menyebut ia pembunuh. Namun karena kesalahpahaman sedang terjadi dan susah menjelaskan itu di saat seperti itu maka pendekar ini sudah keluar akan tetapi terbelalak karena gabungan pasukan istana menunggunya di depan. Tak kurang dari tiga ratus orang!

Akan tetapi Bi Hong mendahului ayah kekasihnya ini. Giam Liong sudah mencabut Golok Maut dan sekali ia mengeluarkan itu biasanya tak pernah golok kering. Golok Maut itu akan bersimbah darah dan membawa bencana. Maka ketika Bi Hong berkelebat dan menangkis semua senjata penyerang maka gadis ini menampar dan meraup serta mengembalikan semua panah api atau golok terbang.

Hal ini mengejutkan pengawal dan belasan di antara mereka berteriak kaget. Bahkan kuda tungganganpun meringkik panjang. Panah atau huito-huito kecil itu terpental dan menancap di tubuh, masing-masing, dua di antara sekian banyak kuda tertancap pantatnya. Maka ketika mereka meloncat dan kabur dengan pekik kesakitan, tuannya berteriak kaget maka mencongklangnya dua kuda ini menepis pengawal yang tak mau diterjang.

“Heii, minggir. Awas!”

Bi Hong mempergunakan kesempatan ini. Terjangan dua kuda disusul kelebatnya bayangan gadis itu, juga si Naga Pembunuh. Giam Liong ditarik dan disentak gadis ini mengikuti larinya dua kuda itu. Dan ketika tangan gadis ini menghalau dan masih menangkis semua senjata lawan, Giam Liong juga memutar Golok Mautnya menangkis serangan yang lain maka dalam gemasnya Naga Pembunuh ini membabat bahu seorang pengawal yang kebetulan paling dekat. Celaka sekali justeru Ge-busu.

“Golok ini harus diberi minuman dulu, biar aku memberinya sekedar pelepas haus...crat!” gumpalan daging itu meloncat tinggi disusul pekik pemiliknya.

Darah memuncrat dan Ge-busu tentu saja melempar tubuh bergulingan. Ia memaki-maki. Namun ketika ia meloncat bangun lawan sudah lenyap, pintu gerbang diterjang dan semua minggir maka dua orang ini menempel larinya kuda yang kabur tak keruan. Pemiliknya terlempar dan jatuh terbanting berteriak-teriak, bukan oleh kalapnya kuda melainkan justeru oleh bayangan si Naga Pembunuh di belakang mereka itu.

“Keparat, jahanam terkutuk. Biar aku mampus kalau isteri mudaku sudah nenek-nenek!”

Dua orang itu melempar tubuh mereka hingga babak-belur lecet-lecet. Bi Hong marah namun geli mendengar kata-kata pengawal itu, dasar lelaki. Dan ketika ia menarik dan terus membawa lari temannya ini maka Bi Hong menuju pintu utara namun tiba di sana pintu gerbang ditutup. Berlapis orang menjaga dan menyambut mereka.

“Itu, awas gadis itu. Naga Pembunuh di belakangnya!”

“Benar, serang dan hujani panah, kawan-kawan. Jangan biarkan menerobos!”

Bi Hong tertegun dan memutar tubuhnya. Lapis demi lapis di pintu gerbang utara ini terlalu banyak sekali. Tak kurang dari sebelas lapis dengan masing-masing dijaga lima puluh orang. Dan karena bukan maksudnya untuk membuka jalan darah, ia cemas sekali merasakan tangan Naga Pembunuh yang gemetar tak tahan maka ia memilih untuk lari dan menuju pintu lain.

“Untuk apa berputar. Sikat dan bunuh mereka, Bi Hong. Biarkan aku menerjang!"

“Tidak, paman tak boleh mencelakai mereka. Pengawal itu hanya orang-orang suruhan, paman, bukan musuh kita. Masih, ada tempat lain dan kita menuju pintu gerbang timur!”

Akan tetapi sama saja. Di tempat ini, entah bagaimana telah berkumpul ratusan orang menunggu mereka. Di sini mereka bersorak dan berteriak-teriak melihat gadis dan temannya ini. Panah dan hujan tombak kembali menyambar. Akah tetapi ketika Bi Hong mengebut dan meruntuhkan semua itu, berbalik dan menuju pintu selatan maka gadis ini mulai berkerut karena di sini pun kedatangan mereka telah ditunggu.

“Itu, awas si Naga Pembunuh. Mereka datang!”

Bi Hong membalik dan menuju pintu gerbang barat. Di sini tiba-tiba ia merasa bahwa punggungnya diikuti seseorang. Giam Liong mulai tak sabar dan menggeram-geram. Dan ketika mereka tiba di barat namun sama saja, delapan penjuru telah dikepung maka Naga Pembunuh melepaskan dirinya dan saat itu sesosok bayangan tinggi besar berkelebat.

“Ha-ha, ke mana kalian lari. Di sini atau di sana sama saja, Bi Hong, menyerahlah dan kalian akan ditangkap baik-baik meskipun telah membunuh Siauw-ongya!”

Bi Hong terkejut. Thai Bang Kok Hu, raksasa muda itu muncul di antara pengawal yang berteriak- teriak. Lari ke pintu barat sama saja bagi mereka, bahkan pasukan di pintu timur dan selatan juga mengejar, begitu pula yang ada di utara. Dan ketika di sini seribu orang mengancam mereka, tak ada jalan lain kecuali menerobos dan membuka jalan darah maka gadis itu mengerutkan kening karena temannya telah menerjang dan menyambut orang-orang itu. Thai Bang Kok Hu menghadangnya dan tak mungkin ia mencegah ayah kekasihnya itu.

“Paman, jangan membunuh. Robohkan dan lukai saja!”

“Ha-ha, semakin besar dosanya. Dia akan ditangkap dan dirobohkan pengawal, Bi Hong, dan akan semakin berat kalau membunuh lagi. Biarlah ia menghadapi pengawal dan kau menghadapi aku... wut!”

sepasang telapak lebar raksasa ini menyambar dan Bi Hong berkelit. Ia tak mungkin lagi mencegah temannya karena Naga Pembunuh membentak dan menggerakkan goloknya itu. Giam Liong sudah marah sekali dikepung demikian banyak orang. Dan ketika ia berkelit namun dikejar lagi, akhirnya menangkis dan sama-sama terhuyung maka Naga Pembunuh membabatkan goloknya dan seorang musuh roboh.

“Crat!” Pinggang orang itu putus. Teriakan ngeri membuat yang lain terkejut akan tetapi pria ini sudah menerjang dan berkelebat membelah kepungan. Tanpa ampun lagi Naga Pembunuh memutar dan mengayun-ayunkan goloknya itu. Dan ketika sinar beringas dan hawa kekejaman tak dapat dicegah lagi, Golok Maut semakin bersinar di tangan tuannya maka setiap mencium darah golok itu semakin terang dan berseri-seri, mengkilap.

“Majulah, dan semua akan kubunuh. Ayo halangi aku dan jangan lari, tikus-tikus busuk. Siapa bilang aku membunuh Yauw-ongya!”

Gentar dan mundurlah orang-orang itu melihat kelebatan golok. Di tangan Naga Pembunuh golok ini seakan hidup dan menyatu dengan pemiliknya. Darah yang memuncrat terhisap kering. Golok tetap bersih dan malah berkilauan. Akan tetapi karena komandan dan para perwira membentak dari belakang, mereka berteriak-teriak sambil melepas serangan dari jauh maka anak buah terpaksa maju lagi dan inilah makanan empuk bagi Giam Liong, sampai akhirnya belasan laki-laki berseragam baju besi meloncat dan mengepungnya. Merekapun memakai topi besi dan itulah pasukan khusus istana, Hek-eng-bu-su (Pengawal Garuda Hitam).

“Sin-taihiap, kau melanggar perjanjian kita. Kau menarik omonganmu sendiri. Menyerahlah baik-baik atau kami mengepungmu mati hidup!”

Satu di antara pasukan berseragam itu berseru dan menyabet dengan golok bertangkai panjang. Inilah pimpinannya bernama Hek-eng-sin-busu, seorang perwira kelas tinggi dan kedudukannya setingkat dengan panglima muda. Ia kenal baik dengan pendekar itu dan Giam Liong mengerutkan kening. Dulu ia pernah berjanji untuk tidak mengacau lagi, apalagi membunuh dan merobohkan pengawal kerajaan. Akan tetapi karena ia dikepung dan diserang dari delapan penjuru, tak merasa bersalah dan tidak mulai dulu maka ia membentak bahwa lawanlah yang tidak menepati janji.

“Aku diserang dan harus membela diri. Kalian yang memaksa aku berbuat begini, Hek-eng-sin-busu. Aku tak membunuh siapapun apalagi Yauw-ongya. Ia sahabatku!”

“Hal itu dapat diusut. Menyerahlah baik-baik dan kami akan memperlakukanmu sebagaimana biasanya menangkap terdakwa. Jangan melawan, Sin-taihiap. Atau kami merobohkanmu... trang-crak!”

Golok bertemu golok dan senjata di tangan laki-laki itu putus. Bukan hanya golok melainkan tangkainya pula, nyaris mengenai pergelangan Hek-eng-sin-busu ini hingga perwira itu berteriak. Ia melepaskan senjatanya karena Golok Maut demikian tajam meneruskan gerakan, menyambar menuju ke bawah dan dilemparnya tubuhnya bergulingan. Dan ketika sekejap itu saja ia kehilangan senjata, maka teman-temannya yang lain tak kalah kaget karena sekali dibabat saja tombak atau pedang mereka kutung semua.

“Minggir, hati-hati. Ambil senjata baru!”

Tanpa diperintah lagi mereka bergulingan menyelamatkan diri. Golok di tangan Naga Pembunuh itu berkelebatan dengan sinarnya yang menyilaukan, untunglah pasukan menyerang lagi dan panah serta senjata lain berhamburan. Dan ketika pendekar itu menangkis dan semua patah-patah maka Giam Liong telah mendekati pintu gerbang siap untuk membuka dan keluar.

“Awas, jangan sampai lolos. Lepaskan panah api!”

Giam Liong menggeram. Hek-eng-sin-busu telah menyerangnya lagi dan panah-panah api menyambar dari segala penjuru. Bukan puluhan melainkan ratusan. Dan ketika tak mungkin semua ditangkis runtuh maka satu dua mengenai tubuhnya dan pakaian pendekar initerbakar. “Keparat!” Giam Liong melengking dan semakin beringas.

“Kubunuh tikus-tikus busuk. Jangan bersikap licik dan kukembalikan panah kalian!” Naga Pembunuh mempergunakan punggung golok untuk mementalkan panah-panah itu dan mencelatlah mereka menuju pemiliknya. Jerit dan pekik kesakitan terdengar. Dan ketika beberapa di antaranya terbakar pula maka mereka berlarian dan mencebur ke dalarn air.

Bi Hong memperhatikan semua itu dengan cemas. Ia sudah menghadapi lawannya yang tertawa-tawa ini dengan berkelebatan mengelak dan membalas. Kian-kun-siu, ilmu andalannya menghalau semua pukulan-pukulan lawan. Akan tetapi ketika Thai Bang Kok Hu mengerotokkan sepuluh ruas jarinya dan muncullah uap merah berbau amis maka gadis ini terkejut karena lawan mengeluarkan ilmunya yang berbahaya yang disebut Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat (Ilmu Darah Iblis Pembusuk Tulang).

“Plak-dukk!” pukulan itu menggetarkan tubuhnya dan lengan yang bertemu jari-jari raksasa itu berbau amis. Bau ini menempel dan tentu saja membuat Bi Hong jijik, ia mual dan muak. Dan ketika ia membentak dan mengerahkan Bu-bian-kangnya untuk berkelebatan menyambar-nyambar maka ia tak mau bersentuhan lagi dengan tubuh lawan yang amis itu.

Lawan tergelak-gelak. “Ha-ha, ayo. Sambut dan terima pukulanku, suciku yang manis. Kita lihat siapa yang unggul dan akan memperoleh kemenangan. Kali ini aku bersungguh-sungguh!”

“Jangan sombong, tutup mulutmu. Tak kunyana kau berada di sini, Kok Hu. Kalau begitu semuanya ini sudah kalian rencanakan. Mana Yu Bin dan kenapa ia tak keluar mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kau dan temanmu membunuh Yauw-ongya!”

“Ha-ha, pembunuh itu si Naga Pembunuh. Kau dan orang tua itu memasuki istana tanpa ijin, Bi Hong, ini saja sudah cukup untuk menangkap kalian. Tak perlu kau membela temanmu itu dan justeru menyerahlah baik-baik daripada aku merobohkanmu dan membuatmu malu. Di sini tak mungkin kau lolos!”

“Tutup mulut, jangan cerewet!” dan Bi Hong yang berkelebatan cepat memutari lawan tiba-tiba mendaratkan sebuah tamparan ketengkuk raksasa ini, licin dan meleset dan ia terkejut karena itulah Hek-be-kang. Ilmu Belut ini membuat si raksasa terhuyung sedikit namun tidak apa-apa, ia licin dan kebal. Dan ketika raksasa itu tertawa dan membalik serta membalas maka Bi Hong menghindar dan berkelebatan lagi memukul sana-sini. Bu-bian-kangnya kelewat cepat dan gerakan tubuhnya yang melayang-layang benar-benar seakan tanpa bobot.

“Plak-plak!” Untuk kesekian kalinya lagi ia marah. Pundak dan punggung itu licin sekali dan pukulannya meleset. Biarpun begitu si raksasa terhuyung juga, bahkan hampir terjelungup. Hal ini tidak aneh karena jari yang lentik halus itu sesungguhnya terisi sinkang kuat sekali. Meskipun tidak roboh akan tetapi raksasa ini kesakitan, kulitnya pedas dan panas. Dan karena ia tak dapat membalas gadis itu sudah berkelebatan lagi, menggeram dan menggerak-gerakkan kedua lengannya mendorong dan menerkam namun Bi Hong tak mau beradu kulit maka pemuda ini memaki-maki sementara diam-diam ia gelisah tak tahu ke mana Sin Gak.

Pemuda ini tak muncul juga dan aneh bagi sang ayah. Giam Liong diam-diam mengharap puteranya itu karena dengan bantuan puteranya tentu musuh cepat dipukul mundur. Ia sendiri tak takut keroyokan itu akan tetapi gelisah juga. Kalau terus begini ia bakal melakukan pembunuhan besar-besaran.

Hek-eng-sin-busu akhirnya terluka oleh sabetan goloknya, begitu juga beberapa perwira yang dikenal namun mereka itu berteriak-teriak menyuruh pasukan maju. Luka di tubuh mereka justeru membuat mereka ini marah, hilanglah kesabaran Hek-eng-sin-busu dan dipanggillah pasukan berkuda itu. Dan ketika pasukan ini menerjang dan Giam Liong terkejut maka ringkik dan derap mereka mengganggu pandangannya. Sebentar kemudian ia dikepung puluhan kuda hingga tak mampu melihat ke depan.

“Crat-crat!”

Kaki kuda menjadi sasarannya terpelanting akan tetapi dari celah-celah ini rnenyambar hujan senjata yang lain. Giam Liong melindungi tubuhnya dengan sinkang dan pedang atau tombak terpental. Akan tetapi karena panah api terus mengganggu dan ia tak mungkin mengelak maka bajunya habis terbakar dan ia setengah telanjang. Naga Pembunuh tinggal berpakaian robek-robek, lucu, namun juga menyedihkan.

Akhirnya Giam Liong menyambar seekor kuda. Dengan bentakan dan kemarahannya ia melayang dan membacok penunggangnya. Belum apa-apa sang penunggang menjerit dan melempar tubuh bergulingan. Dan ketika ia turun dan ganti di pelana maka si buntung ini menjepit perut kuda menerjang pasukan.

“Minggir, atau kalian mampus!”

Hek-eng-busu dan lain-lain terkejut. Mereka tak menyangka Naga Pembunuh merampas seekor kuda, tandangnya tentu saja semakin mengerikan dan putaran goloknya begitu cepat. Kini dengan leluasa pria itu menerjang ke sana ke mari. Dan ketika semua mundur dan pasukan panah cerai-berai, Giam Liong menerjang mereka ini akhirnya terbuka sebuah lubang dan pintu gerbang ditinggalkan pemiliknya.

“Bi Hong, kita keluar!”

Gadis itu menoleh. Naga Pembunuh telah tiba di tempat ini dan sekali ia menggerakkan goloknya maka gembok besar putus terbabat, begitu tajam golok itu. Dan ketika Giam Liong menggerakkan goloknya lagi dan pintu menjadi hancur maka si buntung ini meloloskan diri akan tetapi Bi Hong justeru mendapat tambahan lawan baru, Giok Cheng!

“Bagus, gadis ini memang sombong. Mari kubantu kau merobohkannya, Thai Bang Kok Hu, dan biar pekerjaanmu cepat selesai!” bayangan hijau menyambar dan Giok Cheng, gadis atau murid nenek Hek-i Hong-li itu muncul. Ia berkelebat dengan ikat pinggangnya dan Bi Hong terkejut mendengar ledakan. Tahu- tahu dari samping kirinya ia diserang, telinga kiri menjadi sasaran dan tentu saja ia terkejut dan mengelak. Akan tetapi ketika ia dikejar dan senjata itu bagai ular hidup, menyambar dan membuat ia marah maka ia menangkis dan Giok Cheng terpental namun Thai Bang Kok Hu tertawa bergelak, mendapat kesempatan.

“Ha, sumoiku yang manis kiranya, murid sukouw (bibi) Hek-i Hong-li. Bagus, serang dan robohkan gadis ini, Giok Cheng Aku telah mendengar tentang dirimu dari suteku Yu Bin... wut-plak!

Bi Hong menjadi gugup dan menangkis serta menolak pukulan raksasa muda ini. Lengannya harus bersentuhan lagi dan ia tergetar. hidungnya ditutup. Bau amis membuat ia serasa muntah. Dan ketika ia sudah diserang lagi dan Giok Cheng meledak-ledakkan senjatanya itu maka puteri ketua Hek-yan-pang ini tertawa dingin. Matanya penuh kebencian dan marah memandang Bi Hong.

Bi Hong terdesak dan membelalakkan mata. Untunglah dengan Bu-bian-kang ia bergerak ke sana ke mari menghindari pukulan-pukulan berbahaya. Giok Cheng berkelebatan mempergunakan Coan-po-gin-kangnya, tak mau kalah namun harus mengakui bahwa ilmu meringankan tubuhnya itu setingkat di bawah Bu-bian-kang.

Ilmu Tanpa Bobot ini membuat Bi Hong melayang-layang seringan kapas, kini setiap pukulan membuat gadis itu terdorong dan sulit disentuh. Namun karena Thai Bang Kok Hu ada di situ dan raksasa ini mengejar dan mencegat sana-sini maka Bi Hong tak dapat keluar ketika Giam Liong telah lolos dan membuka pintu gerbang.

“Heii !” pendekar itu berseru. “Siapa lawanmu, Bi Hong. Keluar dan cepat kesini!”

“Dia Giok Cheng!” gadis itu berseru. Dia datang dan menghalangiku, paman. Pergilah dan cari Sin Gak dan suruh ia cepat ke mari!”

“Bagus, Sin Gak Sin Gak!Kau tak malu merampas milik orang, Bi Hong. Wanita macam apa kau ini. Cih, aku akan membunuhmu sebelum Sin Gak datang...wiirrr-plak!”

Ikat pinggang menyambar dan Bi Hong mengelak akan tetapi pukulan Thai Bang Kok Hu menderu. Disuruh menangkis yang mana tentu saja ia memilih Giok Cheng. Bi Hong jijik bersentuhan dengan raksasa muda itu. Maka ketika ia menangkis dan mengelak pukulan di belakang, pukulan raksasa itu meledak dan menghantam pecah tanah berlubang maka Giok Cheng terhuyung sementara Bi Hong merah padam.

“Hm, cinta membuatmu buta. Dulu kau sendiri yang memutuskan hubunganmu, Giok Cheng, kenapa marah-marah. Aku tak merampasnya dan silakan ambil kembali kalau Sin Gak mau!”

“Kau pengganggunya, kalau tak ada kau tentu aku tak memutuskan hubunganku. Mampuslah, Bi Hong, kau siluman betina perampas kekasih orang!”

Bi Hong mengelak dan semakin merah namun ia memaklumi sikap gadis ini. Terbukalah matanya betapa ego menggelapkan puteri ketua Hek-yan-pang ini. Dibawah didikan dan watak Hek-i Hong-li tak aneh kalau Giok Cheng berubah. Seharusnya sebagai puteri seorang pendekar macam Pek-jit-kiam Ju-taihiap ia berwatak baik dan halus, tapi Giok Cheng sekarang bukan Giok Cheng puteri Ju-taihiap. Gadis yang ada ini duplikat Hek-i Hong-li dan semuanya mirip nenek itu. Maka ketika ia menarik napas panjang namun mengelak dan menangkis serangan lawan akhirnya ia merasa tak ada gunanya melayani gadis itu. Giok Cheng sedang cemburu dan panas terbakar.

“Bi Hong!” tiba-tiba bentakan Naga Pembunuh terdengar lagi. “Keluarlah dan tinggalkan mereka. Aku tak dapat meninggalkanmu!”

“Paman cari Sin Gak,” gadis itu berseru. “Mereka mengepung dan menutup jalan keluarku, paman. Dalam waktu singkat tak mungkin aku mampu. Pergilah dan selamatkan dirimu dan cari Sin Gak!"

Giam Liong bingung. Ia memutar kudanya menghadapi pintu gerbang dan ragu untuk masuk kembali. Pasukan berteriak-teriak tapi pintu gerbang yang sempit tak leluasa menyerang pendekar itu. Giam Liong membacok dan hanya melukai daun pintu selebar tubuhnya. Maka ketika Bi Hong mendapat lawan baru dan ia terkejut karena itulah Giok Cheng tiba-tiba mendengar desing sebuah anak panah dan sinar hitam menyambar lehernya.

“Trangg!” ia menangkis akan tetapi telapaknya beset. Golok hampir saja terlepas dan ia terkejut bukan main. Dan ketika ia menoleh dan melihat sesosok bayangan hitam di sana, di dekat hutan kecil maka menyambar sinar kedua dan bersamaan itu terdengar seruan puteranya,

“Awas, ayah!”

Naga Pembunuh menangkis akan tetapi kali ini goloknya mencelat. Panah hitam menyambarnya kuat dan itu kiranya Majikan Hutan Iblis. Di bawah bayang-bayang rembulan bersinar buram ia melihat laki-laki itu. Tawa dingin terdengar kemudian lenyap. Dan ketika ia tertegun sementara puteranya lenyap lagi maka pintu gerbang dibuka lebar-lebar dan pasukan menyerbu keluar.

“Naga Pembunuh, menyerahlah. Kami akan mintakan ampun di hadapan sri baginda apabila kau menyerah baik-baik”

“Hm, kalian tikus-tikus keparat,” Giam Liong manyambar dan memungut goloknya lagi, telapak terasa pedih. “Tak perlu minta ampun kalau merasa tak bersalah, Pu-ciangkun. Maju dan siapa takut menghadapi kalian!”

Pasukan berteriak ketika si buntung itu menerjang dan memapak mareka. Tanpa gentar atau takut sedikitpun Giam Liong menyerbu mereka, golok menusuk dan membabat dan robohlah mereka yang ada di depan. Pendekar ini tak mau meninggalkan Bi Hong sendirian. Dan ketika pasukan cerai-berai sementara Bi Hong membelalakkan matanya maka gadis itu berseru agar orang tua itu tak perlu masuk lagi.

“Aku harus menolongmu, aku harus membantumu. Kalau mereka ini mengeroyokmu biarlah satu di antaranya bagianku, Bi Hong, jelek-jelek aku memiliki kepandaian juga meskipun tidak setinggi kalian!”

“Tidak, jangan ke sini. Cari dan temukan Sin Gak, paman. Aku dapat menghadapi mereka!”

“Anak itu baru saja lewat, ia mengejar Majikan Hutan Iblis. Sudahlah tak perlu kau mencegah karena aku tak perlu takut terhadap tikus-tikus ini...sing-crat!”

Seorang berteriak dan roboh terjungkal dan dengan kudanya Giam Liong terus maju. Ia tak mau memperdulikan seruan Bi Hong dan gadis itu harus keluar bersamanya, atau biar mereka sama-sama di situ dan ia akan menghadapi Giok Cheng. Giam Liong menjadi marah dan ingin menegur gadis ini kenapa mempersulit persoalan. Thai Bang Kok Hu adalah pemuda jahat dan tak pantas gadis itu membantu musuh. Tapi ketika ia menerjang dan masuk kembali tiba-tiba Pu-ciangkun memberi aba-aba agar menjepret kuda. Tiga panah meluncur dan Giam Liong tak dapat mencegah ini, perut dan kaki kuda tertembus. Dan ketika binatang itu roboh dan ia terpaksa berjungkir balik maka Naga Pembunuh ini marah.

“Bagus, aku dapat mencari yang lain. Bunuh dan robohkan semua kuda di sini, ciangkun, dan jangan kira aku tak dapat mendekati gadis itu!” Naga Pembunuh berkelebat dan merampas kuda lain ketika pemiliknya berteriak dan melempar tubuh babak-belur. Golok berkelebat dan siapa tak takut itu. Dan ketika dengan kuda baru Giam Liong menerjang lagi maka Pu-ciangkun memberi aba-aba agar binatang itu dipanah pula. Naga Pembunuh jauh lebih berbahaya kalau di atas kuda.

“Sing-trakk!” Giam Liong harus meruntuhkan panah-panah itu kalau tak ingin kudanya menjadi korban. Akan tetapi karena hujan serangan masih terus menuju dirinya dan ia harus melindungi pula akhirnya kuda kedua roboh dan meringkik. Tujuh panah menancap dan Giam Liong turun berjungkir balik. Pria ini menjadi merah kehitam-hitaman, menerjang dan mencari kuda yang lain dan baru setelah berganti enam kali ia berhasil mendekati Bi Hong. Dan ketika di sini ia menendang kuda itu dan menyerang gadis ini maka Giok Cheng terkejut dan mengelak, mukanya berubah.

“Tak pantas kau membantu jahanan ini. Pemuda itu sahabat Majikan Hutan Iblis, Giok Cheng, dan laki-laki itu telah membunuh nenekmu. Biarlah kau hadapi aku dan kau atau aku yang roboh!”

“Paman, jangan ikut campur. Aku berurusan sendiri dengan Bi Hong!” gadis itu terkejut, mengelak dan dikejar lagi dan akhirnya ia menghantam pergelangan lawan dengan ujung ikat pinggangnya. Mudah saja bagi gadis ini menghadapi Giam Liong, kepandaiannya sudah di atas pendekar itu dan Naga Pembunuh terhuyung. Tapi ketika Giam Liong maju lagi Giok Cheng terisak maka pendekar iti membentak bahwa bukan saatnya melepaskan urusan pribadi.

“Aku tahu maksudmu, tapi bukan sekarang saatnya. Tinggalkan Bi Hong atau kau berhadapan dengan aku....singgg!' Golok Maut menyambar dan Giok Cheng tak berani menyambut. Biarpun ia dapat menangkis akan tetapi tak mungkin ikat pinggangnya mampu menghadapi golok ampuh itu. Golok itu ciptaan Mo-bin-lo saudara Mo-bin-jin, ketajamannya luar biasa tapi yang lebih lagi adalah perbawanya yang ganas. Golok itu haus darah. Maka ketika ia mengelak dan menangis merasa sakit akhirnya iapun berkelebat dan meninggalkan pertandingan.

“Baiklah, kau membela gadis ini, paman, sikapmu pilih kasih. Aku akan melaporkannya kepada ibu tapi lain kali tak akan kuampuni siluman betina itu!”

“Heii...!” Kok Hu terkejut. “Ke mana kau, Giok Cheng, bantu aku merobohkan gadis sombong ini. Aku suhengmu!”

“Suheng gombal!” Giok Cheng menumpahkan marah. “Kalau kau pemuda baik-baik tak seharusnya membantu Majikan Hutan Iblis, Kok Hu. Dia pembunuh nenekku dan awas kau!”

Kok Hu melotot lebar. Ia akan tertawa ketika tiba-tiba gadis itu mengibaskan lengannya. Sambil berlari Giok Cheng menghamburkan Touw-beng-tok-ciam (Jarum Penembus Roh), belasan jumlahnya dan berkeredep menyerang tubuhnya dari bawah ke atas. Dan ketika ia berteriak tentu saja mengebut, saat itulah Bi Hong bernapas lega maka gadis ini berseru perlahan dan tahu-tahu lenyap di belakang pemuda tinggi besar ini, menampar kepala.

“Kaupun selalu curang dan licik kepadaku. Terimalah ini, Kok Hu, dan nanti kita bertemu lagi....plak!” Raksasa itu terpelanting dan mengaduh-aduh akan tetapi Bi Hong tidak mengejar atau melepas serangan lagi. Gadis ini berkelebat menyambar si Naga Pembunuh. Dan ketika ia meloncat dan mendorong ke kiri kanan maka musuh terbanting dan terlempar kesana-sini.

“Tak perlu kita di sini lagi. Giok Cheng menuruti perintahmu, paman, mari kita cari Sin Gak dan biar tikus-tikus busuk ini kembali pulang!”

Dorongan atau kibasan Bi Hong adalah Kian-kun-siu (Sapu Jagad). Masih dalam batas pengendalian dan tidak terlalu keras gadis itu meroboh-robohkan pengawal. Ini saja sudah membuat mereka kesakitan dan menjerit. Dan ketika Giam Liong juga mengayunkan Golok Mautnya membuat giris, Bi Hong berkelebat mempergunakan Bu-bian-kangnya maka tak ada yang mampu mengejar apalagi mencegahnya. Bi Hong lolos di pintu gerbang dan Giam Liong lega. Dua orang ini tak menghiraukan pengawal yang berterlak-teriak dan jatuh bangun menyerang di belakang. Dan ketika mereka berhasil meninggalkan tempat itu dan lolos dengan selamat maka Giam Liong menunjuk hutan kecil di depan.

“Tadi Sin Gak di sana, bersama Majikan Hutan Iblis itu!”

“Baik, kita kejar. Tapi simpan kembali golokmu itu, paman. Mengerikan sekali.”

“Hm, golok ini semakin ampuh jika menghirup banyak darah musuh. Tanganku masih berat dan enggan memasukkannya, Bi Hong, biar saja nanti.”

“Tidak, tak ada lagi musuh di sini. Paman masukkan golok itu karena aku tak tahan perbawanya yang menyeramkan. Ia Golok Iblis!”

“Baiklah, tapi kalau ada musuh jangan salahkan aku, Bi Hong. Di sampingnya aku merasa tenang dan aman!”

Bi Hong merinding. Ia seram dan ngeri karena golok yang sudah bersimbah darah itu tetap kering dan bersih. Semakin meminum darah segar seakan bertambah cemerlang dan ampuh saja. Hawa dingin golok itu yang membuatnya tak suka. Maka ketika ia menyuruh simpan dan golok lenyap di belakang punggung, mereka berdua sudah memasuki hutan kecil itu dan tertegun tak melihat siapa-siapa di sini.

Dua jam gadis itu memutari hutan dan celingukan namun Sin Gak tak ada. Dan ketika pagi mulai tiba dan Giam Liong pun cemas mendadak berkelebat bayangan orang dan Han Han serta isterinya muncul.

“Han Han!”

“Giam Liong!”

Dua bersaudara itu girang. Mereka sudah saling sambar namun Giam Liong melihat wajah saudaranya yang pucat. Tang Siu tiba-tiba menangis. Dan ketika Bi Hong tertegun dan tak enak bertemu dua orang ini maka Han Han bertanya apakah mereka bertemu Giok Cheng.

“Aku mendengar ribut-ribut, katanya Yauw-ongya tewas. Aku percaya bukan perbuatanmu, Giam Liong, dan tahukah kau di mana puteriku Giok Cheng!”

“Hm, semalam di pintu barat, sekarang sudah pergi. Ada apa dan kenapa wajahmu pucat, Han Han, isterimu juga menangis.”

“Ayah... ayah...!” nyonya itu tiba-tiba mengguguk. “Ayah ditangkap jahanam itu, Giam Liong. Kami mencari Giok Cheng agar menolong kakeknya!”

“Apa, ayah ditawan Majikan Hutan Iblis?”

“Benar,” Han Han lesu dan mengangguk, tinju pun dikepal. “Ayah dibawa dan ditangkap jahanam ini, Giam Liong. Kami sudah mencarinya di Hutan Iblis namun kosong. Kami mendengar ribut-ribut di kota raja kemudian mengikutinya, dan kami akhirnya mendengar pembunuhan Yauw-ongya itu.”

“Benar, keparat terkutuk. Aku disangka membunuhnya, Han Han, padahal mana mungkin. Dia paman isteriku Yu Yin, masa aku demikian gila!”

“Tapi Ge-busu mendengar itu."

“Maksudmu?”

“Sebelum ajal Yauw-ongya menyebut-nyebut namamu.”

“Ah, tentu mau memanggil aku, tapi waktu itu aku ketaman margasatwa. Pantas kalau aku dituduh dan sekarang aku mengerti kenapa kesalahpahaman itu terjadi!” Giam Liong menepuk dahinya sendiri dan mengertilah dia kenapa tiba-tiba dirinya diserang dan dituduh pengawal itu. Sekarang ia paham kenapa seisi rumah memaki-maki. Dan ketika ia menceritakan itu kepada Han Han dan pendekar ini mengangguk-angguk maka Han Han menarik napas dalam, sejak mula memang tak percaya kalau Giam Liong membunuh pangeran itu.

“Hm, benar, dan aku juga merasa aneh. Pantas kalau kau dituduh karena Yauw-ongya menyebut-nyebut namamu. Tentu pangeran itu bermaksud memanggilmu namun Ge-busu salah paham, Giam Liong Sekarang di mana puteramu dan, eh mana pula Bi Hong!”

Giam Liong terkejut. Sibuk bercerita sendiri tiba-tiba mereka kehilangan gadis itu. Diam-diam Bi Hong berkelebat menghilang setelah ia mendengar ditangkapnya Ju-taihiap. Maka ketika semua terkejut namun Ju-hujin justeru merasa girang maka nyonya ini berkata biarlah tak usah menghiraukan gadis itu.

“Tadi aku sempat melihatnya, tapi karena ia tak pamit dan pergi begitu saja biarlah ia pergi. Sekarang bagaimana dengan ayah dan mana pula si Giok Cheng itu. Ia meninggalkan rumah tanpa pamit!”

Giam Liong tertegun, sementara Han Han mengerutkan kening.

“Anak itu, tak enak kami berada di sini, Giam Liong. Maaf bila kami mengganggu.”

“Tidak, tidak, tak apa,” Giam Liong cepat menguasai hatinya lagi meskipun diam-diam kecewa. “Isterimu benar, Han Han. Kita harus mencari dan menyelamatkan ayah. Kalian tak akan menemukannya di Hutan Iblis karena tempat itu memang sudah kosong. Aku dan Sin Gak juga ke sana tapi hanya bertemu Thai Bang Kok Hu itu.”

“Siapa Thai Bang Kok Hu itu.”

“Murid Mo-bin-jin, orang kedua Ngo-cia Thian-it!”

“Ah, jadi murid-murid Ngo-cia Thian-it keluar semua? Bagaimana pemuda itu?”

“Lihai dan tinggi besar, seperti raksasa. Aku tak mampu menahan pukulannya ketika ia menyerang. Anak-anak muda sekarang hebat-hebat dan kita ini rasanya begitu renta!”

Giam Liong menceritakan sedikit tentang pemuda raksasa ini dan Han Han maupun isterinya terbelalak. Kalau Naga Pembunuh merasa jerih seperti itu dapat dibayangkan betapa lihai dan hebatnya pemuda itu. Namun karena puteri mereka sendiri juga sudah menjadi seorang dara lihai yang kepandaiannya di atas mereka sendiri maka Han Han mengangguk-angguk dan menjadi muram.

“Lengkaplah sudah pewaris Lima Rasul. Kita orang-orang tua bukan apa-apa lagi dibanding anak-anak muda itu, Giam Liong, tapi betapapun tak boleh kejahatan sewenang-wenang di depan kita. Kita tak perlu takut membela kebenaran, betapapun hebatnya musuh!”

“Aku tidak takut, hanya merasa ngeri saja. Raksasa itu jelmaan gurunya, Han Han, melihat pemuda ini seperti membayangan orang kedua Ngo-cia Thian-It itu. Hidungnya pesek dengan bibir tebal tapi kesaktiannya luar biasa.”

“Hm, sekarang bagaimana dengan ayah, juga Giok Cheng!”

“Tentu saja kita cari, dan bagaimana kalau Giam Liong ikut bersama kita.”

“Aku tak keberatan,” Giam Liong mengangguk, tak mungkin mengharap Bi Hong lagi kalau gadis itu tidak muncul atas kehendaknya sendiri. “Mari kita berangkat, Han Han. Tapi coba ceritakan bagaimana ayah tertangkap!”

“Baiklah, mari kita bicara sambil jalan.” lalu ketika pendekar ini berkelebat menyambar lengan isterinya, maka kisah singkat diceritakan sambil mencari kakek itu atau Giok Cheng.

* * * * * * * *

Hek-yan-pang sudah pulih lagi sejak Giok Cheng dan Su Giok menghalau Majikan Hutan Iblis. Ju-taihiap, yang pulang setelah bepergian sana-sini tentu saja girang bertemu cucu perempuannya itu, Sekian lama mereka berpisah, sekian tahun kakek dan cucunya tak bertemu. Dan ketika pendekar itu tahu betapa lihainya gadis ini maka Ju-taihiap bangga akan cucu satu-satunya ini. Akan tetapi ia mengerutkan kening ketika mendengar bentrokan dengan keluarga Naga Pembunuh.

Han Han menceritakannya dengan jujur dan apa adanya, tidak mengurangi atau menambahi. Dan ketika jago pedang yang hampir enampuluh tahun ini menarik napas dalam-dalam maka ia kecewa kenapa Giok Cheng terburu-buru seperti itu, juga sang menantu yang tampaknya membela anak perempuannya itu.

“Seharusnya puterimu dan isterimu tak perlu secepat itu. Anak muda memang cepat terbakar dan cemburu. Bukankan semuanya dapat dibicarakan baik-baik, Han Han, apalagi kalau Sin Gak segagah dan sehebat itu. Mencari pemuda seperti ini tidak gampang, apalagi murid Ngo-cia Thian-it. Ah, Giok Cheng menuruti kemarahannya saja dan menyesal ia nanti. Masa memutuskan secara sepihak!”

“Itulah, tapi aku dan Giam Liong masih dapat berunding, ayah, maksudku aku ingin tetap menjalin perjodohan itu dan mempererat hubungan persaudaraan. Hanya ibunya itu yang gampang tergosok dan kelewat sayang anak. Omongan Giok Cheng diterimanya begitu saja.”

“Hm, sekarang di mana Naga Pembunuh itu, juga Sin Gak.”

“Mereka pergi“

“Ya-ya, aku tahu. Maksudku ke mana ia pergi mungkinkah disuruh kembali lagi. Aku ingin bicara empat mata dengannya!”

Han Han mengerutkan kening. “Tentunya ke Hutan Iblis, bukankah musuh kita itu masih hidup.”

“Kalau begitu bagaimana jika kau mengejarnya sebentar, atau aku saja yang ke sana.”

“Tidak, ayah baru datang. Kau beristirahat dan biar di sini saja, ayah, aku dapat melakukan pekerjaan itu.”

“Baiklah, dan panggil isterimu, lalu Giok Cheng.”

“Ayah mau apa.”

“Sekedar memperlengkap keterangan. Mungkin ada apa-apa yang tidak diberitahukan isterimu kepadamu.”

“Hm, isteriku selalu terbuka. Kupikir tak mungkin ada yang disembunyikan, ayah, tapi baiklah kupanggil dia.”

“Dan Giok Cheng belakangan saja, jangan bersamaan!”

Han Han mengangguk dan keluar. Tak lama ia sudah kembali dengan isterinya itu dan sang nyonya tampak cemberut. Tentu saja wanita ini sudah diberi tahu bahwa pembicaraan akan berkisar pada masalah perjodohan itu, antara Giok Cheng dengan Sin Gak. Dan ketika Ju-taihiap berdehem melihat wajah menantunya ini maka iapun mulai bicara kalem kenapa persoalan itu bisa hancur.

“Kudengar kau membela puterimu Giok Cheng, sekarang hubungan dengan keluarga Sin buruk. Coba apa alasanmu membela puterimu, Tang Siu, tidakkah sekedar menurutkan nafsu marah belaka.”

“Siapa tak akan marah!” nyonya itu berseru dan langsung saja berapi. “Pemuda itu pacaran dengan wanita lain, gak-hu. Bukankah ia tahu bahwa Giok Cheng calon jodohnya. Tak seharusnya pemuda itu membakar Giok Cheng dengan sikap seperti itu. Aku membela puteriku karena tanda-tanda seperti itu bukan calon suami yang baik!”

“Tapi katanya gadis itu dengan Sin Gak teman biasa saja.”

“Ah, biasa apa. Duduk mereka mepet-mepet, gak-hu, sikap merekapun mesra. Bagiku tak usah dilanjutkan dan biar cari yang lain saja!”

“Nah,” Han Han memotong dan memandang ayahnya itu. “Isteriku ini keras dan selalu begitu, ayah, padahal Giok Cheng ternyata mencintai Sin Gak. Hanya karena panas dan terbakar ia buru-buru memutuskan itu, ibunya tergosok.”

“Eh, ibu mana tak menghiraukan tangis anaknya. Aku wanita, suamiku, kami sama-sama perempuan dapat menghayati cemburu tidak seperti laki-laki. Betapapun aku juga tak senang Sin Gak berdua-duaan dengan wanita lain, sama tak senangnya kalau kaupun didekati atau mendekati wanita lain!”

“Eh-eh, omongan apa ini. Aku tak ikut-ikut, niocu, kita bicara soal anak-anak muda.”

“Sama saja, kalian membicarakan Giok Cheng. Dan karena ia wanita maka aku jadi tersinggung!”

“Sudahlah, aku mengundangmu bukan untuk bertengkar. Aku tidak menyuruh kau memusuhi suamimu sendiri, Tang Siu, hanya ingin mendengar dan melengkapi keterangan tentang cucuku Giok Cheng, tidak lebih.”

“Maaf,” wanita itu menunduk. “Aku emosi, gak-hu. Entahlah aku mudah meledak kalau diajak bicara tentang Sin Gak. Ia kuanggap tak tahu diri, sudah ditunangkan masih juga bergaul dengan wanita lain?”

“Hm, mereka saudara seperguruan, bukan orang lain pula. Kalau mereka bercakap-cakap dan tampak akrab tentunya wajar, menantuku. Hanya kalian atau Giok Cheng yang mungkin kelewat perasa, begitu saja cemburu.”

“Tidak, mereka lebih dari sekedar teman. Aku menyaksikan sendiri mereka berpegangan tangan, gak-hu, pandangan mereka mesra. Berani sumpah mereka itu saling jatuh hati. Sin Gak tak kuat imannya sedang gadis bernama Bi Hong itu siluman betina pengganggu kebahagiaan orang lain!”

Ju-taihiap dan puteranya saling pandang. Sedetik saja mereka sudah tahu bahwa pembicaraan tak akan berakhir dengan baik, ini karena wanita itu terlalu bernafsu dan emosi. Maka tersenyum dan mengangguk-angguk akhirnya kakek itu memberi isyarat agar Han Han membawa isterinya keluar saja.

“Baiklah, cukup. Kalau begitu bocah itu yang memang tak tahu diuntung. Kurang ajar dia.”

Aneh, Tang Siu bersinar-sinar. Wanita ini gembira bahwa ayah mertuanya akhirnya setuju dengan pandangannya. Sin Gak memang kurang ajar, salah-salah di kelak kemudian hari menjadi pemuda mata keranjang! Maka ketika ia tersenyum dibawa suaminya, merasakan kemenangan maka giliran Giok Cheng dipanggil kakeknya itu.

“Cucuku yang manis, ceritakanlah kekurangajaran Sin Gak kepadaku di sini. Aku heran ibumu begitu marah-marah, tentu pemuda itu kelewat menyakitimu.”

Giok Cheng mengguguk. Ayahnya keluar dan ia sendirian saja dengan kakeknya itu. Nada dan bicara kakeknya sudah berpihak kepadanya. Maka ketika ia seakan didukung dan sikap kakeknya bernada membela langsung saja ia menubruk dan menangis di kaki kakeknya ini.

“Kong-kong benar, Sin Gak memang terlalu. Ia mempermainkan dan menyakiti aku, kong-kong. Dia...dia bermesraan dengan gadis lain!”

“Hm, ayah ibumu sudah bercerita. Tapi katakanlah apakah tak ada lagi cinta di hatimu. Benarkah perasaanmu sudah lenyap melihat kekurangajaran pemuda itu.”

“Aku... aku...“ gadis ini semburat. “Kalau saja ia tak melakukan itu tentu aku tak akan marah, kong-kong. Tapi ia berbuat seperti itu!”

“Jadi kau akan menerimanya kalau pemuda itu tak menyakiti hatimu? Kau tak menolak kalau kong-kongmu mengusahakan perjodohanmu pulih kembali?”

Giok Cheng terkejut, membelalakkan mata. Akan tetapi ketika ia mengeluh dan tak menjawab maka gadis ini menyembunyikan lagi mukanya di kaki kakeknya itu. Sekejap saja jago tua ini tahu bahwa cucunya masih mencintai Sin Gak!

“Kau adalah cucuku satu-satunya,” sang kakek mengelus. “Kebahagiaan atau kesusahanmu tentu ikut kurasakan, Giok Cheng, kembalilah dan biar kubicarakan ini dengan ayahmu, tapi diam dan jangan bicara banyak dengan ibumu.”

Gadis itu melompat keluar. Ia malu dan jengah sekali akan tetapi untunglah kakeknya bukan orang yang suka menggoda. Tak dapat disangkal bahwa diam-diam ia amat mencintai Sin Gak. Cinta itu bermula ketika ia merasa tak menang menghadapi pemuda itu, kepandaiannya ternyata kalah matang. Tapi ketika tiba-tiba muncul si Bi Hong itu dan betapa dua orang itu tampaknya sudah kenal akrab, panaslah hatinya maka ia cemburu dan merasa terbakar. Kalau saja tak ada Bi Hong di sana!

Aneh, cinta memang aneh. Kalau saja murid Hek-i Hong-li ini tak bertemu Bi Hong mungkin cintanya biasa-biasa saja terhadap Sin Gak. Tapi begitu ada saingan dan ia merasa diacuhkan mendadak bergolaklah darah yang mendidih dan ingin merebut Sin Gak, apabila pemuda itu adalah calon jodohnya sejak kecil.

Apa-apaan si Bi Hong itu, enak saja merampas kekasih orang. Tapi ketika Sin Gak meninggalkannya dan intim dengan gadis itu mendadak saja Giok Cheng bergemuruh dan ia benar-benar tak rela kalau Sin Gak galang-gulung dengan gadis berbaju hitam putih itu, apalagi ternyata gadis itupun lebih unggul darinya. Ilmunya seusap di atas, sama dengan Sin Gak!

Giok Cheng benar-benar terbakar dan sejak itu ia gelisah sendirian. Acap kali didalam kamarnya ia bercermin, cantik manakah dirinya dengan Bi Hong. Dan ketika ia tak mau kalah dan banyak orang mengatakan ia cantik, cuping hidung itu berkembang-kempis maka ia mendengus bahwa ia tak kalah dengan Bi Hong.

“Mana kekuranganku dibanding gadis itu. Paling-paling ilmu silatku selisih sedikit, suci, karena Bi Hong dan Sin Gak memiliki Bu-bian-kang. Kalau subo sudah memberikan ini kepada kita maka kepandaiankupun setingkat. Sombong benar gadis itu!”

Giok Cheng pernah bicara kepada sucinya dan Su Giok tentu saja mengangguk-angguk. Ngo-cia Thian-it adalah orang-orang sejajar dan tak ada di antara mereka yang unggul atau lemah. Tingkat kepandaian mereka imbang. Maka ketika hanya untuk ilmu meringankan tubuh ini mereka kalah, subo mereka belum mengajarkan maka gadis baju merah itu berkata bahwa ia akan pulang dan protes.

“Kau benar, subo lupa. Kita hanya belum mendapatkan ilmu itu, sumoi, kalau sudah maka tingkat kita tentu sama. Guru kita saja sejajar!”

“Ya, dan gadis itu sudah sombong bukan main. Kalau aku sudah memiliki Bu-bian-kang pula akan kuajak ia bertanding mati hidup!”

Giok Cheng termenung lagi di depan cermin. Sucinya membelanya dan ia merasa lega. Tapi karena sang suci sudah pergi dan ia sendirian bersama ayah ibunya maka ia bimbang dan gelisah kalau teringat hubungan Sin Gak dengan Bi Hong. Haruskah ia gigit jari? Dapatkah ia mencari pengganti Sin Gak? Rasanya tak dapat. Maka ketika kakeknya memanggil dan ada secercah harapan di situ, ia mulai berseri maka di ruang depan ayahnya berhadapan dengan kakeknya itu.

“Kau benar, Giok Cheng masih mencintai Sin Gak. Kemarahan dan kebencian gadis itu hanya semata cemburu, Han Han bukan karena tiadanya cinta. Isterimu tak dapat membedakan ini dan menganggap puterimu sudah tak mau lagi menyambung ikatan jodoh. Ia diam dan malu-malu ketika kutanya tadi. Kalau tidak setuju tentu langsung menolak.”

“Kalau begitu apa yang hendak ayah lakukan.”

“Kucari Giam Liong dan kubujuk agar puteranya menyambung ikatan jodoh itu, kecuali...kecuali kata-kata isterimu benar dan pemuda itu jatuh cinta kepada wanita lain!''

“Ya, kalau ini yang terjadi maka salah kita, ayah, maksudku Giok Cheng dan ibunya itu. Mereka terlalu keras.”

“Hm, kuharap tidak begitu, dan aku pergi sendiri!”

“Sebaiknya ayah tinggal disini saja.”

“Tidak, mungkin memandang mukaku anak itu mau melunak hatinya, Han Han, jelek-jelek iapun telah disakiti isterimu.”

Han Han tak dapat membantah. Sebenarnya dia ingin pergi mewakili tapi kalau ayahnya ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan Giam Liong tentu saja ia tak dapat menolak. Justeru itu lebih baik, siapa tahu Giam Liong dan puteranya melunak. Maka ketika sang ayah pergi dan Han Han menyertakan seorang murid untuk teman perjalanan Ju-taihiap tertegun dan tentu saja mula-mula tak setuju.

“Apa-apaan ini, kenapa dikawal!”

“Tidak, bukan begitu. Murid ini hanya untuk suruhan kalau ada sesuatu yang penting, ayah, siapa tahu di perjalanan menemukan berita atau hal-hal penting.”

“Hm, baiklah, tapi lucu rasanya disertai pembantu!” jago tua itu akhirnya menerima setelah Han Han berkata bahwa ayahnya sekarang sudah tua, tidak seperti dulu ketika muda dan sedang kuat-kuatnya. Siapa tahu di perjalanan masuk angin, sang murid dapat disuruh memijit-mijit, atau kerokan! Dan ketika pendekar itu tertawa dan berangkat maka Han Han lega karena sesungguhnya ia mengkhawatirkan Majikan Hutan Iblis itu. Betapapun yang satu ini belum terselesaikan dan tuntas!

Benar saja, belum tiga hari datanglah murid pelayan itu. Hek-yan-pang menjadi kaget ketika dengan bersimbah darah murid ini jatuh terhuyung. Ia terbata-bata mencari Han Han, tubuhnya penuh luka-luka dan pakaian serta wajahnya penuh darah. Dan ketika semua menjadi kaget dan Han Han berkelebat muncul, Giok Cheng tak ada di rumah maka murid itu tersungkur di ruang depan.

“Taihiap.... lo-taihiap, ia...ia bertemu celaka, pangcu. Kami bertemu iblis jahanam itu!”

“Apa yang terjadi, kapan terjadinya!” Han Han menyambar dan memeriksa murid akan tetapi wajahnya terkesiap. Di samping luka juga terdapat bintik-bintik merah seperti gigitan semut berbisa. Murid itu berkelojotan dan tampaknya susah payah menceritakan keadaannya. Dan ketika ia berhasil sementara nyonya rumah berkelebat menyusu,l maka Tang Siu terpekik melihat murid ini luka-luka, sendiri.

“Mana gak-hu, mana ayah!”

“Taihiap... lo-taihiap, ia...ia dibawa Majikan Hutan Iblis, hujin. Kami bertemu dan lo-taihiap roboh. Hamba dibiarkan hidup untuk melaporkan ini!”

“Keparat, bedebah jahanam. Kapan dan di mana terjadinya itu, Ek Siok. Apa yang ia lakukan kepada gak-hu!”

“Hanya ditangkap, lalu dibawa entah ke mana. Hamba....hamba tak dapat berbuat apa-apa dan maafkan hamba...”

Murid itu roboh dan terguling. Ia sempat menunjuk-nunjuk ke selatan lalu sekarat dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Ju-hujin melengking. Dan ketika murid yang lain menangis dan berteriak pula maka Han Han tertegun dan isterinya tiba-tiba berkelebat keluar.

“Manusia iblis, keparat kau!”

“Niocu!” Han Han bergerak dan menyambar isterinya ini. Nyonya itu kalap dan meronta-ronta akan tetapi sekali Han Han menepuk tengkuknya maka sang isteri roboh. Dalam keadaan seperti itu lebih baik isterinya pingsan. Dan ketika berkelebat dan kembali ke dalam maka ia mencari puterinya namun baru diketahuinya bahwa Giok Cheng pergi tanpa pamit, tak tahu bahwa semalam sucinya datang ke situ dan memberi tahu betapa Sin Gak dan Bi Hong bermesra-mesraan di Hutan Iblis!

“Ke mana Giok Cheng, ke mana nona!”

“Tak ada, semalam pergi. Kami hanya sempat melihat bayangannya, pangcu, setelah itu tak tahu.”

Han Han gelisah dan marah. Dalam saat seperti itu seharusnya puterinya ada di tempat. Giok Cheng itulah yang dapat diandalkan. Namun karena puterinya pergi dan ia bergegas serta buru-buru maka ia menyadarkan isterinya lagi dan ternyata isterinya sudah tahu bahwa puteri mereka pergi.

“Su Giok membawanya semalam, katanya sebentar. Aku tak tahu dan tak dapat mencegah mereka.”

“Dan ayah diculik! Celaka, kita harus bergerak cepat, niocu. Kita ke Hutan Iblis karena ke mana lagi dibawa kalau bukan ke sarangnya!”

Wanita itu tersedu-sedu. Tentu saja ia marah dan cemas teringat kematian gak-bonya (ibu mertua) dulu. Kalau Han Han tidak mencegahnya mungkin ia sudah terbang meninggalkan Hek-yan-pang. Dan ketika dengan bergegas suami isteri itu meninggalkan markas, Han Han menyambar Pek-jit-kiamnya dan tertegun memandang Pedang Matahari itu maka ia sadar dan merasa sebuah kesalahan telah dilakukan tanpa sengaja.

“Ah, Pek-jit-kiam masih di sini, seharusnya ia dibawa ayah!”

Namun semua tak dapat ditunda-tunda. Han Han lupa bahwa pedang itu seharusnya dibawa ayahnya. Dalam keadaan terburu-buru ia kelupaan membawa itu, ayahnya juga rupanya tak berpikir terlalu jauh dan hanya ingin mengejar si Naga Pembunuh Giam Liong. Urusan Giok Cheng mengancam keselamatan orang tua itu sekarang. Maka ketika ia berkelebat dan meninggalkan Hek-yan-pang sambil berpesan kepada para murid untuk berhati-hati maka hari itu juga Han Han mencari ayahnya dan akhirnya bertemu Giam Liong di hutan kecil itu.

* * * * * * * *

“Begitulah,” Han Han mengakhiri ceritanya. “Ayah diculik Majikan Hutan Iblis ini, Giam Liong, dan kami telah ke sana tapi tempat itu kosong. Kami mencari lagi dan akhirnya mendengar peristiwa di kota raja itu, bertemu denganmu dan, sekarang kita di sini.”

“Hm, kenapa ayah keluar,” Giam Liong mengerutkan kening, Han Han belum bercerita jelas karena sang isteri ada di situ.

“Ia berburu dan ingin mencari daging harimau, Giam Liong. Katanya sudah lama ingin menikmati itu untuk mempertahankan kebugaran tubuh. Ayah akhir-akhir ini sakit-sakitan, sering masuk angin.”

“Hm, aneh, kenapa tidak menyuruh orang lain saja. Bukankah banyak murid di sana.”

Han Han mengedip. Terpaksa ia harus berterus terang dan untuk ini tiba-tiba menyuruh isterinya menyiapkan makanan. Mereka berada di luar hutan dan duduk di bawah sebuah batu besar. Pohon di dekat mereka merupakan peneduh dan tempat itu enak. Seekor kelinci hutan tiba-tiba meloncat. Dan ketika Tang Siu berkelebat namun binatang itu menyelinap bersembunyi maka di sinilah Han Han berbisik secara hati-hati, betapapun tak mau harga diri keluarganya hancur.

“Ayah mencarimu,” katanya perlahan. “Dan ingin membicarakan masalah Giok Cheng.”

Giam Liong terkejut, mengerutkan kening.

“Hm, agaknya aku harus mewakilinya, Giam Liong, biarlah kukatakan bahwa seperti keinginanku dulu urusan jodoh ingin disambung. Giok Cheng, ia... ia mencintai Sin Gak. Kemarahan dan emosinya dulu semata berdasar cemburu. Kakeknya ingin memulihkan dan membahagiakan cucunya. Tapi, hmm... kami juga ingin memastikan bagaimanakah sebenarnya puteramu Sin Gak itu. Maksudku apakah hubungannya dengan Bi Hong biasa-biasa saja atau serius!”

Giam Liong berdetak, merasa harus buka kartu pula. Dan karena ia orang jujur yang menyukai keterbukaan maka ia menjawab dengan hati-hati pula, “Han Han, maafkan sebelumnya. Aku pribadi belum mengetahui perasaan Sin Gak tapi sejak kekasaran anak isterimu dulu tampaknya puteraku beralih perhatian. Hubungannya dengan Bi Hong memang semakin dekat, tapi aku pribadi tak banyak mencampuri. Kalau kau ingin tahu ini dengan jelas tentu saja harus bertanya kepada Sin Gak.”

“Aku bukan ayahnya.”

“Maaf, aku yang bertanya. Tapi karena ia tak ada di sini, maka aku tak tahu bagaimana sesungguhnya, kecuali bahwa mereka akrab dan mungkin cenderung ke sana.”

Han Han menahan perihnya hati. “Mereka telah saling mencinta?”

“Baiklah kukatakan di sini. Sin Gak sedang menjajaki cintanya, Han Han, kepada siapakah ia menjatuhkan pilihan. Menurutku ketentuan terakhir belum terjadi, tapi kalau puterimu tak memutuskan hubungan itu dan marah-marah kemungkinan Sin Gak patuh kepada omongan kita. Semua menjadi berubah, namun urusan ini kuserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Bukankah mereka itu yang nanti mengalami.”

“Hm,” Han Han sedikit terhibur, secercah harapan timbul. “Kalau Sin Gak belum memutuskan pilihannya berarti ada harapan perjodohan ini disambung. Giam Liong, tapi kalau ia mencintai Bi Hong tentu Giok Cheng harus tahu diri, betapapun keluarga kami tak boleh mendesak-desak.”

“Maaf, keluarga Ju dan Sin bukanlah orang lain lagi. Kita tetap dekat meskipun tali perjodohan tak tersambung, Han Han. Kita tetaplah saudara!”

“Ya, terima kasih. Tapi, hmm.... sudahlah, isteriku datang.” Han Han tak meneruskan kata-katanya karena sesungguhnya perih juga kalau Sin Gak terlepas dari tangannya. Pengganti pemuda itu tak ada. Alangkah tepat dan membahagiakan kalau pemuda itu dapat menjadi menantunya. Tak ada pemuda sehebat itu!

Dan ketika sang isteri kembali dan Tang Siu membawa dua ekor kelinci gemuk maka nyonya ini sudah menyiapkan api unggun dan Han Han membantu isterinya memanggang sarapan pagi itu. Dua laki-laki ini bersikap biasa-biasa saja dan Ju-hujin tak melihat perobahan yang menyolok, padahal diam-diam sang suami khawatir dan cemas memikirkan nasib puterinya itu, perjodohannya dengan Sin Gak. Dan ketika semua selesai dan melanjutkan perjalanan lagi maka Giam Liong bertanya ke mana mereka sekarang.

“Bagaimana pendapatmu,” pria itu balik bertanya.

“Mungkin kau yang lebih tepat, Giam Liong. Coba katakan ke mana kita pergi.”

“Sebaiknya ke Hutan Iblis saja.”

“Tempat itu kosong. Tak ada penghuninya di sana, Giam Liong. Percuma!” Ju-hujin memotong.

“Hm, itu kemarin. Sekarang belum tentu, Tang Siu, betapapun kupikir tempat itu harus didatangi lagi. Sin Gak mengejar musuhnya itu, tentu akhirnya ke sana. Tapi kalau kalian berpikir lain terserah.”

“Benar, sekarang ada perobahan. Anak-anak muda itu telah bermunculan di sini, niocu, bahkan Giok Cheng juga semalam di kota raja. Coba kita ke sana dan mari berangkat. Perhitungan Giam Liong rasanya tak meleset.”

Bergeraklah mereka itu. Han Han berdebar merasa sesuatu dan entah kenapa tiba-tiba ia menjadi tegang. Setelah sarapan mendadak saja ia merasa telinga kirinya berdengung. Lalu ketika telinga kanan juga berdengung dan berkerutlah alisnya maka dalam waktu bersamaan si Naga Pembunuh juga berhenti.

“Ada apa,” sang nyonya bertanya.

“Hatiku berdebar. Aku tak enak dan merasakan sesuatu yang lain, Tang Siu, tiba-tiba aku cemas kepada Sin Gak. Ia seakan memanggil-manggil.”

“Aku juga. Rasanya telingaku mendengar suara Giok Cheng, Giam Liong, perasaanku juga tak enak!”

“Kalau begitu mari kita pergi. Jantungku serasa berdentang-dentang!” Giam Liong tak menunggu waktu lagi dan tiba-tiba berkelebat. Serentak dengan ini Han Han pun mengangguk, pendekar itu menyambar lengan isterinya dan bergeraklah ia menyusul si buntung itu. Lalu ketika mereka berendeng dan Tang Siu diseret suaminya maka wanita itu berseru agar tak perlu terburu-buru.

“Kakiku, aduh... kalian ini seperti dikejar setan, Han Han. Ada apa dan pelan sedikit. Tak lari gunung dikejar!”

“Aku mengikuti Giam Liong. Ia begitu cepat dan terbuiru-buru, niocu, tentu ada apa-apa.”

“Tapi kakiku.... ah!”

Han Han mengangkat isterinya ini dan tiba-tiba sang isteri berseru terkejut karena kini dengan kecepatan tinggi Han Han melayang di atas permukaan tanah. Mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya tingkat tinggi, jago muda Hek-yan-pang ini melesat. Naga Pembunuh telah jauh didepan. Dan ketika Han Han berhasil menyusul sementara isterinya tak berteriak-teriak lagi maka dua orang ini bergerak bagai siluman dan Giam Liong sekejap melirik saudaranya ini. Masing-masing ternyata telah menangkap firasat bahaya akan putera-puteri mereka.

“Han Han, aku semakin tak enak!”

“Ya, aku juga. Anak-anak itu, ah....pasti ada apa-apa.”

Lalu ketika keduanya menambah kecepatan dan menyambar bagai iblis kesiangan maka perjalanan yang seharusnya ditempuh beberapa hari itu berlangsung hanya seperempatnya saja. Pek-jit-kiam di punggung jago Hek-yan-pang ini berketrik sementara Golok Maut di belakang Naga Pembunuh juga berbunyi aneh. Bunyi-bunyian itu jelas bukan karena gerakan tubuh melainkan isyarat rahasia akan datangnya bahaya.

Sesuatu yang mencekam tengah terjadi. Dan ketika dua orang ini tak berhenti dan Ju- hujin lelah di bahu suaminya maka pagi berikutnya ketika pohon besar di tengah Hutan Iblis terlihat dari kejauhan maka bersamaan itu terdengar lengking dan pekik gegap-gempita. Bagai terjadinya perang raksasa tampaklah bayangan menyambar-nyambar, hitam putih dan merah serta hijau.

Di atas hutan itu terdapat kepulan asap aneh, sebentar membentuk bayangan manusia lalu sekejap kemudian seperti seekor binatang atau anjing. Hal itu diiringi bentakan dan benturan tenaga sakti. Dan ketika dua orang ini terbelalak dan cepat mengerahkan sinkang melindungi isi dada dari seruan atau pekik melengking-lengking itu, maka Ju-hujin mengeluh dan ia tiba-tiba roboh. Lengking atau suara itu ternyata merupakan serangan tenaga sakti yang amat hebat sekali. Nyonya ini jatuh terduduk.

“Niocu!”

“Han Han!”

Han Han tak jadi menyambar isterinya ini. Tang Siu duduk bersila dan cepat mengerahkan tenaga batinnya menahan suara-suara dahsyat itu. Gempuran khikang (suara sakti) amatlah hebatnya hingga Hutan Iblis berderak-derak. Di angkasa, di atas hutan itu sambar-menyambar enam bayangan yang amat cepatnya. Han Han terbelalak ketika mengenal bahwa satu di antara bayangan itu adalah Giok Cheng. Bayangan hijau itu ternyata puterinya. Dan ketika ia terbelalak mengenal bayangan merah, Su Giok maka ia tertegun karena bayangan putih dan hitam ternyata adalah Sin Gak dan Bi Hong yang dikeroyok oleh empat orang termasuk laki-laki berjubah hitam dan seorang pemuda tinggi besar yang baru kali itu dilihatnya.

“Majikan Hutan Iblis!”

“Ya, dan itu Thai Bang Kok Hu. Itulah murid Mo-bin-jin!”

“Tapi... tapi Giok Cheng bergabung dengan orang-orang itu. Ah, ia mengeroyok Sin Gak dan Bi Hong. Giam Liong, keparat bocah ini!”

“Ia lebih banyak menyerang Bi Hong, dan Sin Gak... ah, ia menghadapi Majikan Hutan Iblis dan Su Giok...!”