Tapak Tangan Hantu Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 29
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“CERITA tentang apa itu,” sang ayah mengerutkan kening.

“Ya, cerita tentang cinta, antara pria dengan wanita dan pria dengan pria!”

“Hm, coba ceritakan itu. Apa kata suhumu.”

“Dikatakan bahwa cinta cenderung menuntut, bahwa cinta antara anak manusia dikotori hawa nafsu. Aku ngeri kalau teringat ini dan karena itu sedang kuselidiki apakah aku juga memiliki cinta seperti itu!”

Sang ayah tertegun, tampaknya terkejut. ”Lalu?”

“Lalu aku tentu saja tak mau seperti ini, ayah. Aku ingin mencinta dan dicinta secara bersih. Sekarang aku mulai mengerti dan menangkap apa yang dimaksud suhu!”

“Bagus, lanjutkan lagi,” sang ayah bersinar-sinar, rupanya tertarik. “Apalagi yang kau tangkap dan mengerti tentang ini, Sin Gak, mungkin aku dapat belajar lagi.”

“Suhu mengatakan bahwa cinta antar anak manusia diliputi kekotoran hawa nafsu. Mereka dikatakan tak memiliki sesuatu yang agung karena semata menuruti nafsu rendah hewaniah. Aku teringat ini dan ngeri dan mencoba melihat apakah betul begitu. Dan agaknya aku mulai melihat sesuatu yang menggetarkan hatiku.”

“Hm-hm, rupanya wejangan gurumu sudah demikian mendalam. Aku pribadi tak mendapat pelajaran khusus tentang ini, coba kau lanjutkan lagi.”

“Suhu menceritakan kepadaku tiga hal: Ego, Nafsu dan Kemarahan. Konon ketiganya berkait amat erat dalam masalah cinta ini. Dan karena masing-masing berhubungan tiada ubahnya mata rantai yang selalu terkait maka aku dapat merasakan ini dan mulai melihat pada bukti sepak terjang Giok Cheng!”

“Ah, hebat sekali. Kau sudah mempergunakan orang lain sebagai obyek pandanganmu!”

“Benar..., dan untuk itu aku ngeri, ayah. Aku mulai meragukan cinta gadis itu sebagai bekal membangun rumah tangga.”

“Tunggu, kau sendiri belum menyatakan apakah kau mencintai gadis itu atau tidak!”

“Aku sudah menjawab bahwa aku sedang menyelidiki. Aku ingin menemukan adakah cinta di hatiku kepada Giok Cheng atau tidak. Kalau ada, apakah seperti yang dikatakan suhu, cinta yang semata didorong nafsu rendah hewaniah.”

“Hm-hm.....!” Giam Liong tergetar setengah seram. “Kalau semua orang dianggap seperti itu maka akupun kena, Gak-ji. Jangan-jangan cintaku kepada mendiang ibumu dulu juga naluri hewaniah itu!”

“Aku tak bermaksud merendahkan ayah, aku hanya mengatakan apa yang pernah dikatakan suhu.”

“Betul, sekarang lanjutkan lagi.”

“Cinta antara anak manusia tak lepas dari mata rantai ini, sumber utamanya adalah Ego. Kalau Ego merasa diganggu maka dia menjadi marah. “

“Tunggu, apa yang kau maksud Ego!”

“Maaf, bukan aku, ayah, melainkan suhu.”

“Ya-ya, kata suhumu. Apa maksudnya Ego itu!”

“Ego adalah Aku, tepatnya rasa ke-Aku-an. Karena Aku bersemayam di hati manusia maka Ego ini menjadi begitu penting dan ingin menguasai segalanya. Dalam hal cinta dia berhubungan dengan Nafsu, maksudnya adalah nafsu berahi. Dan karena masih ada lagi seorang temannya yang bernama Kemarahan maka ketiganya berkait dan satu sama lain begitu dekat untuk meledak dan menghancurkan kalau menerima kegagalan!”

“Hm, perlahan sedikit. Kau tiba-tiba seperti gurumu atau kakek tua penuh nasihat. Coba jelaskan dan uraikan itu seperti yang kau tahu.”

“Aku hanya memindahkan pengetahuan yang kudapat dari guruku.”

“Tak apa. Kaupun hidup dan mulai mendapat pengalaman, Gak-Ji. Apa yang kau katakan pasti juga sesuai dengan isi jiwamu. Cobalah kau uraikan bagaimana menurut gurumu dan contoh apa yang pernah ia ambil!”

“Suhu mengambil contoh hubungan asmara antara supek dengan sukouw (bibi guru),” Sin Gak agak merah, tersipu. “Juga Te-gak Mo-ki yang masih termasuk uwa guruku itu. Melihat mereka inilah suhu menemukan model cinta yang dilakukan manusia, ayah, bahwa sebagian besar mereka seperti itu pula. Tak lepas dari Ego, Nafsu dan Marah. Dan yang mendominir mereka adalah Berahi, hampir sebagian besar cinta didorong Berahi!”

“Hm-hm, tanpa itu tak mungkin berkembang. Tanpa Berahi manusia tak akan ada, Sin Gak, semuanya mati dan tak akan berketurunan lagi. Apanya yang salah!”

“Tunggu, manusia bukanlah binatang. Manusia adalah mahluk hidup yang diberi akal pikiran, ayah, di samping perasaan. Kita tak boleh bersikap hewaniah karena kita bukan hewan!”

Sang ayah terkejut, berkedip-kedip.

“Cinta antara manusia memang tak akan terlepas dari Berahi namun ini tak boleh menjadi pendorong utama. Kalau kita melakukan itu maka kita tiada ubahnya binatang. Bukankah binatang sekedar bercinta karena dorongan berahinya!”

“Hm-hm, benar..... kau benar. Lanjutkan lagi, puteraku. Aku tiba-tiba tertarik dan ingin mendengar ini.”

“Aku menganggap bahwa apa yang dikata suhu benar. Sekarang aku mulai mengerti. Dan karena manusia bukan hewan maka cinta di antara pria wanita tak boleh didominir berahi ini. Cinta harus timbul dari Hati, bukan Ego!”

Giam Liong bergerak. Sampai di sini puteranya tampak berapi-api dan iapun menjadi tergetar. Wajah puteranya itu bercahaya sementara sepasang mata itu mencorong berkilat-kilat. Menghadapi puteranya seperti ini tiada ubahnya menghadapi seekor harimau muda penuh enerji, siap melompat dan menerkam korbannya. Dan ketika ia berseru perlahan dengan pandang mata takjub maka iapun bertanya apa perbedaan Ego danvHati.

“Kau mengingatkan aku akan seseorang yang memberi wejangan-wejangan bijak. Katakan di mana perbedaan cinta yang timbul dari Hati dan Ego!”

“Cinta dari Hati bersifat memberi, sementara cinta dari Ego bersifat menuntut. Nah, itulah yang kutahu dari suhu, ayah, dan aku benar-benar merasakan ini di hati Giok Cheng.”

“Apa yang kau tangkap dari gadis itu.”

“Tuntutan!”

“Dan apa yang kau rasa dari murid si Naga Berkabung Song-bun-liong.”

“Aku belum tahu.”

“Bagus, kalau begitu bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gak-ji. Bagaimana kira-kira cintamu!”

“Aku harus memberi cinta yang berasal dari Hati, ayah, bukan Ego. Tapi terus terang aku tak tahu apakah cinta itu ada di hatiku atau tidak, sudah berkembang atau belum, karena aku sendiri tak tahu apakah cintaku sudah bersemi atau masih tidur dan belum tergerak!”

“Ah, ha-ha! Kau tiba-tiba seperti pendeta yang melampaui usiamu sebenarnya, Gak-ji. Tiba-tiba saja kau melebihi pamanmu Han Han. Ah, tentu dia akan senang sekali mendengar semuanya ini dari mulutmu. Kau berbakat menjadi filsuf!”

“Maaf, aku hanya mendengarnya dari suhuku. Aku hanya mulai mendapat pengertian dan kesadaran akan ini, ayah, karena itu masalah ini aku sungguh amat berhati-hati sekali. Sekarang bagaimana pendapat ayah setelah mengetahui ini.”

“Kau luar biasa, kau melebihi ayahmu. Beruntung aku mempunyai putera sepertimu ini!”

“Ah, aku tidak bertanya itu. Aku bertanya bagaimana pendapat ayah setelah mendengar semuanya ini, maksudku apakah ayah masih selalu mendesakku untuk bertanya tentang cintaku kepada Giok Cheng.”

“Hm-hm, baik, aku sekarang tiba-tiba penasaran. Bukan oleh urusan itu akan tetapi membuktikan gerak-gerikmu dalam masalah ini. Dengarkan....!” sang ayah duduk dan mulai berseri-seri Lagi. “Semua kata-katamu dapat kumengerti dan kupahami, Sin Gak, dan mendengar itu membuat aku jadi merinding sendiri. Aku sekarang memberi kebebasan, tidak mengikat. Urusan Giok Cheng biarlah kau selesaikan sendiri dan aku tak akan banyak ikut campur. Aku mulai dapat mengerti, mulai dapat memahami. Sebelum aku benar-benar menyerahkan ini sepenuhnya kepadamu jawablah siapa yang lebih kau suka antara Giok Cheng dan Bi Hong. Aku bertanya suka, bukan cinta. Nah, siapa yang lebih kau suka di antara dua gadis ini!”

Sin Gak mengerutkan kening. Ia tak tahu apa maksud ayahnya tapi diam-diam mencari jawaban juga. Kalau mau jujur maka ia lebih suka Bi Hong, bukan apa-apa melainkan semata karena mereka sudah berkenalan agak lama. Dengan Giok Cheng pertemuannya dimulai di Hek-yan-pang, itupun diawali dengan kesan yang kurang enak karena gadis itu berkesan angkuh. Adanya Su Giok membuat suasana lebih tak bersahabat lagi, apalagi setelah ia di serang dan ayahnya dimaki-maki. Maka menarik napas dalam dan berkata sejujurnya iapun menjawab bahwa ia lebih suka gadis itu.

“Aku lebih suka Bi Hong, tapi bukan berarti membenci Giok Cheng.”

Wajah sang ayah tergetar. Giam Liong menekan perasaannya yang tertusuk sedikit tapi pria inipun sudah menguasai hatinya lagi. Dari situ ia mendapat kesimpulan bahwa tali perjodohan rupanya sukar dipertahankan lagi. Mana mungkin memaksa anaknya kalau lebih menyukai gadis lain. Maka mengangguk dan bangkit berdiri tiba-tiba ia berkata, “Baiklah, kita cari gadis itu, Gak-ji. Agaknya ia memang lebih cocok untukmu daripada Giok Cheng!”

“Sin Gak terkejut. Tak disangkanya sang ayah begitu ringan dan tiba-tiba menyuruhnya mencari Bi Hong. Entah bagaimana tiba-tiba hatinya berdesir, ada rasa nikmat dan bahagia. Tapi karena ia belum tentu mencintai gadis itu dan masalah cinta benar-benar hendak diputuskannya secara hati-hati maka ia menggeleng dan bertanya.

“Kenapa ayah menyuruhku seperti itu. Bukankah sudah kukatakan bahwa kedua-duanya belum kurasakan cinta.”

“Benar, tapi aku ingin tahu kelanjutannya, Sin Gak, betapapun hal ini harus diputuskan. Bibimu Tang Siu ngotot melepaskan tali jodoh, tapi pamanmu Han Han bersikeras mempertahankan. Aku tak mau terombang-ambing, akupun harus mendapat kepastian. Dan kau dekatilah gadis itu untuk menentukan masa depan!”

“Jadi ayah bermaksud mengikatku dengan Bi Hong kalau aku mencintainya?”

“Benar, Sin Gak, dan kita tak perlu lagi mengingat keluarga Hek-yan-pang. Aku tak enak karena betapapun pamanmu Han Han seperti saudaraku sendiri!”

“Hm, cinta tak dapat dipaksa.“

“Aku tidak memaksa!”

“Tapi kau menghendaki aku mencari gadis itu, ayah, berarti menyuruhku mencintainya!”

“Ha-ha, goblok. Seribu kali aku menyuruhmu kalau kau sendiri tak ada cinta tak mungkin berhasil, Sin Gak. Aku sebagai orang tua hanya ingin melihat perkembanganmu, melihat bentuk atau model cintamu. Nah, ini yang membuatku ingin tahu dan penasaran tadi!”

Sin Gak tiba-tiba tersenyum, kemerahan. “Ayah hendak melihatku dari Ego atau Hati?”

“Ya, itu!”

“Akan kubuktikan, tapi tentu dari Hati. Baiklah kita cari Bi Hong tapi ayah jangan kecewa kalau nanti perkembangannya lain.”

“Maksudmu?”

“Misalnya saja perasaanku hanya sebatas suka, bukan cinta.”

“Baik, aku tahu, Gak-ji, dan tiba-tiba kulihat betapa kau benar-benar sudah dewasa. Ah, kau bukan anak kecil lagi!” lalu ketika Giam Liong menepuk puteranya bangkit berdiri segera ia berkelebat meninggalkan hutan di luar dusun itu, tertawa, disusul puteranya dan habislah percakapan tentang ikatan jodoh itu dan Giam Liong benar-benar menyerahkan sepenuhnya urusan kepada puteranya.

Percekcokan di Hek-yan-pang tak mengenakkan hati dan Naga Pembunuh ini diam-diam mendongkol. juga. Kalau saja tak ada Han Han di sana tentu ia menerima tegas. Gadis lain juga masih banyak! Maka ketika percakapan itu selesai dan ia ingin melihat gerak-gerik puteranya maka Giam Liong membawa puteranya ini ke Hutan Iblis.

“Sambil mencari gadis itu kita ke Hutan Iblis. Di sanalah dulu jahanam itu bercokol pertama kalinya!”

Pemuda ini mengangguk saja. Bergerak di samping ayahnya mengikuti berlari cepat ia tak banyak bicara lagi. Sekarang mukanya tiba-tiba memerah. Ia telah bicara begitu ceplas-ceplos masalah cinta. Untunglah karena ayahnya dapat menerima dan cukup terbuka iapun tak perlu begitu malu. Bahkan ia beruntung ayahnya memberi kebebasan, sekarang ia tak terikat lagi. Dan ketika mereka meluncur dan lenyap di luar dusun itu maka Sin Gak melamun membayangkan wajah Bi Hong yang cantik jenaka itu, gagah dan berkepandaian tinggi tapi wajah lain tiba-tiba muncul.

Giok Cheng! Itulah wajah seorang dara yang tak kalah cantik namun bersikap angkuh. Agaknya sebagai puteri ketua Hek-yan-pang membuat gadis itu merasa diri lebih tinggi, apalagi setelah menjadi murid nenek sakti Hek-i Hong-li. Betapa bedanya dengan Bi Hong lincah dan suka meledek dengan sekali waktu membanting-banting kaki. Sin Gak tersenyum dan tiba-tiba berdebar lagi. Siapakah yang dia cinta di antara dua gadis ini? Bi Hong? Agaknya begitu. Namun tangannya merogoh saputangan Giok Cheng dan cukilan dinding kamar, tergetar dan menghentikan lamunan dan tiba-tiba ayahnya berseru keras mempercepat gerakannya. Ada dua kepulan asap di depan. Dan ketika ia bergerak dan cepat langkahnya maka mereka mengejar dan bayangan dua gadis itupun buyar.

* * * * * * * *
Tak ada yang mereka dapatkan dari dua kepulan debu tersebut. Sin Gak mengimbangi ayahnya dan bersikap asal berendeng membuat mereka kehilangan jejak. Sang ayah penasaran. Dan ketika betul-betul dua kepulan debu itu lenyap dan mereka tak mendapatkan apa-apa maka Naga Pembunuh ini menghentikan langkahnya dan merasa kaget serta heran.

“Tak biasanya aku gagal mengejar seseorang. Ibliskah itu tadi!”

Sin Gak tak tertarik, masih acuh. “Untuk apa mencari mereka, ayah, mungkin hanya serombongan piauwsu (pengantar barang).”

“Apalagi mereka Kalau hanya serombongan piauwsu tentunya justeru dapat kita kejar, Gak-ji. Tidakkah kau merasa heran dan ganjil tentang ini. Kepulan debu itu lenyap!”

“Sudahlah, bukankah kita akan ke Hutan Iblis. Masa hendak membelokkan kaki hanya untuk urusan tak jelas.”

“Aku penasaran tak mampu mengejar itu. Mereka menghilang begitu saja seperti siluman. Aku tertarik!”

Akan tetapi Sin Gak tak menaruh perhatian. Setelah mereka berhenti dan lamunan kembali kepada wajah-wajah cantik itu maka Sin Gak tak memperdulikan sekeliling. Ia menikmati kesendiriannya dalam bayang-bayang dua gadis itu. Tapi ketika ayahnya menarik lengannya dan menuding ke kanan mendadak kepulan debu itu tampak lagi.

“Itu, di sana!”

Sang ayah berkelebat. Sin Gak terkejut lalu mengikuti pula, sebenarnya ia dapat bergerak lebih cepat akan tetapi sengaja ia tak mau meninggalkan ayahnya ini. Ilmu lari cepatnya Sian-eng-sut akan mampu membuatnya melampaui semuanya, kalau perlu ia dapat menyamai kecepatan cahaya! Maka ketika ia bergerak agak ogah-ogahan dan mengikuti asal jadi ternyata di luar hutan mereka kehilangan jejak lagi. Giam Liong tertegun dan berhenti menghadapi puteranya ini.

“Lihat, tidakkah kau merasa aneh. Orang itu lenyap lagi, Gak-ji, apakah ia siluman. Tidak dapatkah kau menyusulnya dan mencari tahu siapa dia. Aku curiga!”

Sekarang Sin Gak membuang lamunannya. Iapun terkejut dan merasa aneh bahwa kejaran ayahnya tak membawa hasil. Ayahnya ini sudah dinilainya berkepandaian tinggi dan cukup. Maka terkejut bahwa kepulan debu itu lenyap lagi akhirnya iapun tertarik dan penasaran juga. “Coba ayah tunggu sebentar di sini, aku akan melihat dari atas pohon.”

Giam Liong mengangguk. Puteranya lenyap dan tahu-tahu berada di pucuk dedaunan paling tinggi. Iapun tak, mau kalah dan meloncat pula ke atas. Tapi ketika ia hanya berada di bawah puteranya dan melihat betapa tubuh puteranya tak bergoyang di atas daun kecil itu maka iapun menjadi kagum dan saat itu pemuda ini berseru,

“Ia di sebelah selatan!”

Sang pemuda menyambar ke bawah. Bagai rajawali saja tahu-tahu pemuda ini meluncur turun, sang ayah ditarik dan berkelebatlah pemuda itu menuju selatan. Hampir Giam Liong berteriak kaget tak menyentuh tanah, tubuhnya melayang diangkat puteranya dan saat itulah Sin Gak mendemonstrasikan kepandaiannya di depan sang ayah. Inilah Sian-eng-sut alias Ilmu Bayangan Dewa, melesat dan menyambar bagai siluman saja. Dan ketik ia tak lama kemudian kepulan debu itu tampak lagi dan samar-samar Giam Liong melihat dua orang di sana maka pendekar ini terkejut karena kalau tidak salah lihat di depan itu berkelebat seorang pemuda tinggi besar menggandeng seorang lain yang perawakannya sedang, entah laki- laki atau perempuan ia kurang jelas.

“Cepat, siapa mereka itu. Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya, Gak-ji, seperti kau saja. Sepasang kakinya seakan tak menyentuh tanah!”

Sin Gak membelalakkan mata. Akhirnya dengan Sian-eng-sut ia mampu mengejar. Jarak sudah diperpendek tapi tiba-tiba pemuda tinggi besar itu menoleh. Rupanya ia mendengar atau tahu dikejar orang lain, terbukti menggeram dan teman di sebelahnya itupun menoleh. Tapi begitu orang kedua ini menjerit bertemu Giam Liong, Naga Pembunuh terkejut dan heran melihat seorang pria pesolek berusia tigapuluhan tahun mendadak pemuda raksasa bermuka hitam itu menggerakkan tangan ke belakang dan berhamburanlah benda-benda putih kecil seperti serpihan tulang.

“Trik-trik-trikk!”

Giam Liong terkejut dan berteriak keras ketika ia menangkis benda-benda ini. Ia terlempar dan kalau saja tangannya tidak berpegangan Sin Gak mungkin ia terbanting ke belakang. Serpihan tulang itu menyambarnya begitu kuat dan tajam hingga ujung bajunya robek. Baru serpihan tulang saja ia hampir celaka. Dan ketika Sin Gak mengebutkan lengannya dan runtuhlah serpihan yang lain maka raksasa muda itu terkejut tapi temannya rupanya mengajaknya cepat-cepat pergi.

Sin Gak tertegun. Lawan telah meneruskan larinya lagi dan sang ayah mengusap keringat. Ia tergetar melihat sinar buas pada pandang mata lawannya itu, seperti singa jantan sedang kelaparan saja. Dan ketika ayahnya juga bergidik dan mengebutkan pakaiannya dari debu, turun kembali maka Giam Liong juga seram oleh sikap dan pandang mata buas pemuda tinggi besar itu.

“Iblis, pemuda itu luar biasa sekali. Ia begitu dingin dan tak berperasaan!”

“Hm, perlukah kita teruskan pengejaran,” Sin Gak ragu dan khawatir memandang ayahnya ini. “Kita tak kenal-mengenal dengan mereka, ayah. Tak enak juga rasanya memburu orang. Kita di pihak salah.”

“Si pesolekitu.” Giam Liong menuding dan mengingat-ingat. “Ia tampaknya ketakutan melihataku, Gak-ji, serasa ku kenal. Entah siapa dan rasanya pernah, lihat wajah itu!”

“Kalau begitu perlukah dikejar lagi.”

“Kupikir begitu, tapi hati-hati, jangan terlampau dekat!”

“Baiklah,” pemuda ini mengangguk., “Kalau begitu mari kejar mereka, ayah, tapi hati-hati jangan menangkis lagi. Biarkan aku saja.”

Sang ayah mengangguk. Masih terasa oleh pendekar ini betapa telapaknya pedas dan seakan pecah. Sungguh tak disangkanya raksasa muda tadi demikian hebat tenaganya. Serpihan tulang yang tipis dan kecil-kecil itu seakan tombak-tombak pendek yang menghantam kuat. Ia tergetar namun juga penasaran, ada perasaan marah di hati. Dan ketika puteranya bergerak dan ia kembali diangkat, itulah satu-satunya cara mengikuti Sian-eng-sut maka mereka akhirnya melihat dua orang itu lagi namun jaraknya sudah amat jauh. Lawan rupanya mengerahkan semua kepandaiannya dan bergerak secepat kilat menyambar.

“Hm, aku tak akan mampu memperpendek jarak lagi. Dengan ilmu lari cepat ini kita tak mungkin mendekati mereka, ayah. Satu-satunya jalan harus melalui Jin-seng-sut. Coba masukkan tanganmu ke saku bajuku dan harap ayah pejamkan mata!”

Giam Liong terbelalak. Ia telah melihat puteranya berjuang mati-matian akan tetapi jarak di antara mereka benar-benar tak dapat diperpendek lagi. Di sini terjadi adu ilmu lari cepat dan Giam Liong benar-benar takjub bukan main. Tubuh puteranya melesat seperti bayang-bayang akan tetapi lawan di depan juga tak kalah hebatnya.

Pemuda itupun hanya merupakan titik hitam dan tiga kali nyaris lenyap. Hanya karena ia membawa seseorang maka ilmu lari cepatnya agak terganggu, terlihat dan dikejar lagi namun Sin Gak tak lebih dari itu. Jarak mereka tetap jauh. Maka ketika tiba-tiba pemuda ini hendak mengerahkan Jin-seng-sut dan itulah kesaktian berbau sihir, Giam Liong tergetar maka tiba-tiba saja pendekar ini memejamkan mata dan memasukkan tangannya ke saku baju puteranya.

“Baiklah, hati-hatilah, anakku. Betapapun orang di depan itu amat luar biasa sekali dan rupanya berbahaya dan ganas!”

Sin Gak tak menjawab ini. Ia sebenarnya tegang dan kaget serta marah. Selama ini belum pernah ia mengeluarkan Jin-seng-sut karena cukup dengan Sian-eng-sut saja ia mampu berkelebat secepat cahaya. Akan tetapi raksasa muda di depan itu, ah! Ia teringat sesuatu dan mengeluarkan keringat dingin. Apakah itu seorang murid dari Ngo-cia Thian-it lagi? Sudah empat orang muncul sekarang ini, lima dengan Majikan Hutan Iblis yang diduga sebagai pewaris Te-gak Mo-ki. Maka ketika tiba-tiba ia menjadi penasaran dan marah serta gemas iapun tiba-tiba meledakkan tangannya dan pemuda ini lenyap berubah sebungkus asap menerjang ke depan, cepat bukan main.

“Aiihhhhh.....!” sang ayah terpekik dan kaget. Bukan apa-apa melainkan karena saat itu pendekar inipun lenyap menjadi sebungkus asap putih, tak berbobot dan saat itulah Giam Liong teringat dibawa terbang Song-bun-liong si kakek gagah perkasa. Ia mengalami hal serupa dengan puteranya ini dan tidak memiliki berat tubuh lagi. Ia seakan sukma melesat dengan amat cepat sekali, begitu cepat hingga tahu-tahu sudah menyusul raksasa muda itu. Tapi ketika puteranya melewati lawan dan jelas dua orang itu kaget bukan main, si pesolek berteriak nyaring maka pemuda tinggi besar itu menepukkan tangannya dan blarr, lenyaplah pemuda itu menjadi sebungkus asap hitam menerjang puteranya.

“Wusshh!”

Sin Gak mengelak dan terkejut mengangkat tangan kiri ke atas. Lawan menyambar dan menembus tubuh mereka dan Giam Liong terbelalak ngeri. Begitu saja tubuh mereka dilewati dan lolos, lawan sudah berkelebat dan meluncur ke depan. Dan ketika pemuda itu tertawa bergelak dan pendekar ini mengusap keringat dingin maka Sin Gak membentak dan mengejar lagi.

“Kalian berdua berhentilah!”

“Ha-ha, kalian berdua kejarlah lagi. Ayo, kau tentu Sin Gak adanya, dan itu ayahmu Giam Liong, ha-ha!”

Ayah dan anak terkejut sekali. Ternyata mereka sudah dikenal dan Giam Liong tiba-tiba teringat siapa lelaki pesolek seperti wadam itu. Inilah Siauw Hong, orang yang dulu menculik puteranya itu. Maka ketika ia membentak dan berseru keras segera ia memberi tahu puteranya bahwa banci itu adalah tangan kanan Majikan Hutan Iblis.

“Dia Siauw Hong, penculikmu dulu. Ah, benar, ingat aku. Dia Siauw Hong, Gak-ji, orang yang dulu membawamu lari itu. Kejar, tangkap mereka!”

Akan tetapi Sin Gak membelalakkan mata. Setelah ia mengeluarkan Jin-seng-sut dan lawan membalas serta mengeluarkan ilmu yang sama maka yakinlah dia bahwa pemuda seperti raksasa itu adalah murid di antara dua supeknya, entah Te-gak Mo-ki atau Mo-bin-jin. Maka membentak berseru keras tiba-tiba tangan kanannya bergerak melepas Pek-mo-in-kang.

“Berhenti, sebutkan dirimu dan dari mana kau mencuri Jin-seng-sut!”

“Ha-ha, tak usah sombong. Hari ini aku terburu-buru, Sin Gak, tak ada waktu untuk melayanimu. Pergilah dan jangan kira aku takut... desss!” lawan membalik dan mengibaskan tangan kanannya pula dan bertemulah Pek-mo-in-kang dengan asap hitam bergumpal-gumpal.

Asap itu meledak dan pecah dan Sin Gak terhuyung. Lawan lari lagi dan si pesolek begitu ketakutan. Ia meminta agar meninggalkan ayah dan anak ini dan raksasa muda itu mengangguk. Setelah Sin Gak melewati kepalanya maka ayah dan anak sama-sama melihat wajah hitam mengkilap dari seorang pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal sementara bola matanya sebesar jengkol, melotot dan kemerah-merahan dan wajah itupun cukup membuat ngeri orang yang melihat. Belum bentuk kaki dan lengan yang besar-besar, betis sebesar kepala anjing dengan lengan berotot melingkar-lingkar.

Pemuda ini benar-benar raksasa muda yang dahsyat dan siapapun ngeri berhadapan dengannya. Matanya yang bulat melotot itu tak pernah berkedip, biji matanya seakan hendak meloncat keluar dan pemuda ini benar-benar buruk dan menyeramkan. Sepasang matanya ganas menyambar dan bibir itu tak bisa merapat, memperlihatkan giginya yang kuning dekil dan berbau. Tawanya membawa uap busuk hingga Giam Liong menutupi hidung. Sin Gak pun hendak muntah-muntah. Namun karena si pesolek adalah Siauw Hong dan Sin Gak tentu saja merasa berkepentingan, itulah tangan kanan Majikan Hutan Iblis maka pemuda ini tiba-tiba berkata kepada ayahnya apakah dia boleh bergerak sendirian dulu, ayahnya diturunkan disitu.

“Aku tak bebas kalau bersama ayah, bagaimana kalau ayah turun dan aku mengejar sendiri.”

“Baik, turunkan aku. Melihat si banci itu tiba-tiba darahku mendidih, Sin Gak, hadapilah raksasa itu biar Siauw Hong bagianku.”

Sin Gak melepaskan ayahnya. Ia melempar ayahnya tinggi-tinggi ke udara sementara tubuhnya melesat dua kali lebih cepat. Tanpa ayahnya lagi tentu saja gerakannya lebih luar biasa, lawan terkejut ketika tahu-tahu ia telah berjungkir balik dan turun di depan lawannya ini. Lalu ketika raksasa itu terpekik menghantam Sin Gak maka pemuda ini menyambut dan kali ini dua tangannya maju mendorong.

“Bressss!”

Dua cahaya hitam putih meledak amat dahsyat. Udara tertutup gumpalan asap dan raksasa muda itu terpelanting, ia tak kuat menghadapi dua lengan Sin Gak yang maju berbareng. Dan ketika ia melengking dan suaranya dahsyat memekakkan telinga, Sin Gak berkelebat maka ia telah berdiri di depan lawannya dengan mata bersinar-sinar.

“Kau murid supek Mo-bin-jin, bagus, aku telah mengetahui.”

“Dan kau murid jahanam Sian-eng-jin. Keparat, terima pukulanku, Sin Gak, kami telah tahu bahwa kau memiliki Pek-mo-in-kang. Harghhhhh !” raksasa itu menubruk dan menggeram amat marah. Iatelah dihalangi dan tak mungkin lari, mau tidak mau harus berhadapan dulu dengan lawannya ini dan Sin Gak berkelit. Dan ketika si raksasa membalik dan tertawa mendorong dua tangannya lagi maka Sin Gak membungkuk dan menerima pukulan lawan sekaligus menjajal dan mengetahui tingkatannya.

“Desss!”

Pemuda ini bergoyang-goyang akan tetapi lawan terjengkang dan bergulingan. Hawa dingin Pek-mo-in-kang menyergap lebih kuat dan raksasa itu menggigil kedinginan, ia harus melempar tubuh dan kaget sekali. Namun ketika ia meloncat bangun dan mencabut senjatanya, sepasang gada hitam maka tawanya menggetarkan gunung ketika menerjang dan tidak banyak bicara lagi. Sin Gak menutupi hidung melawan rasa muntah. Busuk sekali, bau mulut pemuda itu.

“Ha-ha... hyahhh! Terima dan Mampus kau, bocah. Mari kuremukkan kepalamu dan mana si tua bangka Sian-eng-jin...blaarrr!” api memuncrat disusul ledakan amat kuat. Batu hitam di belakang Sin Gak hancur lebur ditimpa gada itu dan selanjutnya senjata ini menyerang lagi. Angin sambarannya menderu bagai topan dahsyat, tenaga ayunannya juga dahsyat mengerikan sanggup menghancurleburkan bukit.

Dan ketika dari senjata itulah Sin Gak mengenal lawannya, inilah ciri-ciri murid Mo-bin-jin maka pemuda itu mengelak maju mundur dan kedua tangannya menerima dan membalas dengan pukulan-pukulan dingin Awan Iblis. Pukulan ini didapatnya dari latihan terakhir, tapi yang lebih hebat lagi adalah warisan tenaga gurunya itu.

Si raksasa berteriak dan terjungkal ketika gada bertemu telapak tangan. Ada tenaga dorong amat kuat memukul balik senjata hitam legam itu, membuat pemiliknya terpelanting akan tetapi raksasa ini hebat sekali. Ia bergulingan meloncat bangun menyerang lagi, dua kali Sin Gak menampar pundaknya akan tetapi lawan tak merasa apa-apa. Nyata lawan memiliki tubuh kebal berkat latihan yang matang. Namun karena hawa dingin pukulan itu menembus tulang sumsum, si raksasa menggigil maka setelah meloncat dan menyerang lagi hawa dingin itupun punah dan Sin Gak kagum akan daya tahan lawannya ini.

“Kau suteku, tapi sute murtad. Heh, ini suhengmu Thai Bang Kok Hu, Sin Gak, tak tahu hormat menyerang saudara tua dan serampangan saja. Berhenti, atau mampus kau!”

Gada meledak menyambar batu hitam dan Sin Gak berkelebat dengan amat cepat ke belakang punggung. Ia penasaran juga akan kehebatan lawannya ini dan memencet tulang belakang. Di situ ia mengeraskan jarinya menotok jalan darah Yang-ce-hiat, biasanya orang akan roboh dan merasa tulang serasa dilolosi, terbakar. Tapi ketika lawan hanya menggeliat dan lagi-lagi membalik dan menghantamnya akhirnya pemuda ini mengerutkan keningnya juga.

Hebat memang raksasa ini. Gerak-geriknya mengingatkan Sin Gak akan cerita gurunya tentang supeknya nomor dua, Mo-bin-jin. Kira-kira seperti inilah sepak terjang supeknya itu, kasar dan buas namun berbahaya dan mematikan. Kalau bukan dia yang menerima dan menyambut pukulan gada itu tentu remuk. Senjata di tangan lawannya ini menderu dan berkesiur amat dahsyat merobohkan apa saja.

Batu dan segala macam pasir berhamburan, tempat itu sudah penuh debu dan ini justeru berbahaya karena di balik debu dan segala yang menghalang pandangan itu dapat saja gada mengerikan itu menimpa kepala. Untunglah dengan kepandaiannya mengelak dan berkelebatan cepat ia mampu menghindar, Sin Gak memiliki sepasang mata tajam untuk melihat gerak-gerik lawannya itu. Dan ketika ia berkelebatan dan satu ketika menerima pukulan gada maka Sin Gak terdorong dan harus diakui bahwa lawan benar-benar bertenaga gajah.

“Plak!” telapaknya terasa panas menyambut benda berat itu. Ia telah mengerahkan Pek-mo-in-kangnya untuk menerima pukulan itu, tetap saja tergetar dan lawan tertawa tergelak-gelak. Tawa itu menyemburkan bau busuk luar biasa yang mengharuskan pemuda ini menahan napasnya.

Tapi ketika Sin Gak maju kembali dan mainkan Silat Bayangan Dewa maka lawan tak dapat tertawa lagi karena dengan gerakan cepat ia berkelebat dan mengirim atau membalas pukulan lawan dengan tepukan atau tamparan, totokan dan sikutan dan semua itu tentu saja dengan pengerahan Pek-mo-in-kang. Dari lengan pemuda ini muncul uap dingin yang kian tebal, udara di sekitar mereka perlahan-lahan beku dan daun-daun pohon menjadi kaku.

Sambaran gada tak lagi dapat menggoyangkan pucuk-pucuk daun di atas, raksasa itu terbelalak dan merah mukanya dan tiba- tiba ia membentak. Tangan kirinya bergerak menyambarkan benda-benda putih berkilau, senjata gelap berupa serpihan tulang-tulang mengerikan itu. Namun ketika Sin Gak mengibas dan meruntuhkan semua itu maka lawan melotot dan menjadi gusar.

Akan tetapi bukan hal mudah bagi Sin Gak untuk mengalahkan lawannya ini. Meskipun tamparan atau tepukannya mendarat di tubuh lawan akan tetapi raksasa itu memiliki kulit dan daging yang atos. Berapa kali tamparannya mental bertemu tubuh seperti karet, meskipun lawan meringis tak tahan disambar hawa dinginnya. Dan ketika mereka bertanding sama-sama cepat dan saling ngotot untuk memperoleh kemenangan maka di tempat lain si wadam bertemu Giam Liong.

“Hm!” Giam Liong berapi memandang lawannya ini. “Sekarang aku ingat semua, Siauw Hong. Kaulah orang pertama yang menjadi gara-gara. Serahkan kepalamu dan katakan di mana majikanmu!”

Si banci ini ngeri. Sinar putih berkelebat dan itulah Golok Maut yang berhawa menyeramkan. Melihat golok itu dicabut seakan melihat dewa el-maut saja, si banci membalik dan lari. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan membentak laki-laki ini maka golok menyambar dan si banci bergulingan minta tolong.

“Aduh, tolong, Kok Hu...bret!”

Pundak laki-laki itu terbabat dan si banci berteriak ngeri. Ia bergulingan mendekati temannya dan si raksasa terbelalak. Giam Liong mengejar dan membentak lawannya ini dan matanya bersinar membunuh. Akan tetapi ketika lawan bergulingan dan mengelak serta meloncat bangun maka That Bang Kok Hu, raksasa muda itu menangkis serangan Giam Liong, empat benda putih berkeredep menyambar.

“Mundur...tring-tring-trangg!”

Giam Liong terkejut. Ia terhuyung oleh tangkisan tulang-tulang kecil itu namun Sin Gak membentak menyerang lawan. Si banci berlindung dan berputaran di punggung temannya dan Giam Liong berhati-hati. Raksasa itu kembali menangkis dan membuatnya mundur. Dan karena Siauw Hong berlari kucing-kucingan licik menyelinap ke sana-sini maka sulit juga bagi Giam Liong menghajar lawannya.

“Jangan lari, pengecut. Ke sini, Siauw Hong, mana keberanianmu ketika menculik puteraku dulu. Ayo, jangan berlindung di belakang temanmu!”

Akan tetapi si banci sudah terlalu gantar menghadapi Golok Maut itu. Dua kali ia terbabat dan itu cukup, diam-diam ia mengeluh. Dan karena satu-satunya jalan hanya berlarian di sekitar temannya, di situlah Giam Liong ditangkis dan terpental akhirnya si banci ini berteriak agar temannya meninggalkan Sin Gak.

“Twa-heng akan marah kepadaku kalau kita tak segera datang. Tinggalkan saja mereka ini, Kok Hu. Cepat kita pulang dan temui Twa-heng!”

Tingkah si banci ini memang mengganggu. Baik si raksasa maupun Giam Liong sama-sama tak senang. Kok Hu terganggu karena pertandingannya dengan Sin Gak sementara Giam Liong tak berani terlalu dekat karena timpukan tulang si raksasa membuat tangannya yang memegang golok perih sekali. Ia terkejut karena telapaknya lecet. Dan ketika berkali-kali Siauw Hong mengganggu dan berteriak-teriak akhirnya raksasa ini menggeram melepas tiga senjata rahasia ke arah pendekar itu.

“Mundur atau kau mampus!”

Giam Liong terkejut. Tiga sinar putih menyambar depan mukanya dengan cepat sekali, mata leher dan dada. Padahal tadinya raksasa muda itu menimpuk atau selalu menyerang senjatanya. Maka ketika ia berseru keras menangkis tiga tulang ini maka pendekar itu terkejut karena baru dua kali meruntuhkan dua senjata rahasia mendadak goloknya terlepas dan benda ketiga meluncur cepat menuju dadanya.

“Tring-trang!”

Bukan hanya Giam Liong yang terkejut. Sin Gak, yang melihat betapa ayahnya menangkis tiga tulang itu diam-diarn khawatir dan terkejut. Tak mungkin ayahnya menangkis tiga senjata rahasia itu, yang dilontarkan dengan tenaga dahsyat dan batu pun dapat berlubang. Seharusnya ayahnya mengelak dan membuang diri. Maka ketika benar saja hanya dua senjata rahasia yang berhasil ditangkis, itupun membuat telapak yang lecet menjadi pecah maka golok ayahnya terlepas dan sinar ketiga itu bercuit menyambar dada.

“Awas!” Sin Gak tak dapat berdiam diri. Ia membentak mengebutkan lengannya dan meluncurlah pukulan jarak jauh menampar tulang itu. Akan tetapi karena sambitan itu amat kuatnya dan tulang hanya bergeser miring maka benda ini akhirnya menancap di pundak sang ayah dan Giam Liong jatuh terduduk.

“Ha-ha-ha!” Thai Bang Kok Hu berjungkir balik meloncat mundur. “Lain kali kita bertemu lagi, Sin Gak, atau ayahmu mampus!”

Raksasa itu terbang menyambar temannya. Ia telah merobohkan Giam Liong dan Naga Pembunuh ini pucat. Cepat sekali pundak kirinya membengkak, hitam dan ia merasa nyeri yang hebat. Tulang itu ternyata beracun. Tapi ketika Sin Gak meloncat mendekati ayahnya dan cepat mencabut tulang itu maka pemuda ini menempelkan lengannya menyedot racun.

“Harap tahan napas dan tolak dari dalam. Kita harus cepat mengeluarkan racunnya, ayah. Jangan berpikir yang lain!”

Sang ayah mengangguk. Giam Liong merasa tak ada artinya lagi di hadapan anak-anak muda sekarang. Setelah ia dirobohkan pemuda tinggi besar itu dan Sin Gak menolongnya maka pendekar ini mengeluh. Kepandaiannya sudah tidak berarti lagi di hadapan generasi baru, ia seakan begitu lemah dan bodoh. Dan ketika ia memejamkan mata dan menolak racun akhirnya darah hitam keluar dari luka kecil itu, darah yang mengeluarkan bau busuk. Lalu ketika ia bangkit terhuyung dengan wajah muram maka ia memungut tulang kecil itu, terkejut karena tulang itu adalah potongan kecil dari tangan seorang bayi.

“Keji, sungguh iblis. Ternyata senjata rahasianya terbuat dari tulang anak kecil, Gak-ji, dan ia merendamnya dengan racun. Ah, siapa dia dan hebat sekali!”

“Ia murid supek Mo-bin-jin. Lengkaplah sudah murid-murid Ngo-cia Thian-it, ayah. Semuanya sudah keluar dan satu demi satu unjuk gigi. Ia berbahaya, dan aku belum dapat merobohkannya.”

“Dan ia bersama Siauw Hong, tentu ke Hutan Iblis!”

“Benar, dan kita akan ke sana. Mari kita kejar dan temukan mereka.”

“Nanti dulu, pikiranku berubah. Kita tak boleh langsung kesana dan cari dulu bala bantuan!”

“Maksud ayah?”

“Raksasa muda itu hebat sekali, Gak-ji, aku jelas tak mampu menandingi. Kalau ia bersama Majikan Hutan Iblis dan kau dikeroyok tentu celaka. Tidak, aku tak mau mengorbankan dirimu. Kita cari dulu Bi Hong dan temukan gadis itu!”

Pemuda ini tertegun. Tiba-tiba ia sadar dan mengangguk. Alangkah berbahayanya kalau Majikan Hutan Iblis itu bergabung dengan lawannya tadi, sama seperti dulu ketika Majikan Hutan Iblis dikeroyok Giok Cheng dan Su Giok. Maka termenung dan menarik napas dalam akhirnya ia berkata, “Baiklah, kau benar, ayah, meskipun aku pribadi tidak takut. Kita cari dulu Bi Hong tapi di mana gadis itu.”

“Siapa tahu, atau kita berpencar saja dan bertemu di Hutan Iblis, tak jauh dari Ci-bun. Kau ke kanan aku ke kiri. Kita bertemu di sana!”

“Hm, kita berpisah?”

“Kau bukan anak kecil lagi, Sin Gak sebelumnya juga sudah pernah berjalan sendiri!”

“Tapi aku tak ingin meninggalkan ayah. “

“Aku juga bukan anak kecil, aku masih didampingi senjataku ini. Sudahlah kita bertemu di tempat itu dan siapa lebih dulu bertemu Bi Hong harap ceritakan itu!”

Sin Gak dengan berat mengangguk. Apa boleh buat ia menyetujui juga rencana ayahnya ini. Siapa lebih dulu menemui Bi Hong langsung saja menceritakan musuh baru itu. Dan ketika ayahnya berkelebat menyambar goloknya lagi akhirnya pemuda inipun bergerak dan seiring tapi berpisah tempat. Dan karena ayahnya sudah sembuh dari cengkeraman racun maka Sin Gak pun tak begitu khawatir dan berkelebat pula berpencar meninggalkan tempat itu.

* * * * * * * *

Marilah kita lihat gadis murid si Naga Berkabung ini. Setelah ia meninggalkan hutan tak mau mendengar kata-kata Sin Gak lagi Bi Hong terisak berlari cepat. Ia merasa kecewa juga malu. Kenapa ia harus teringat pemuda itu kalau sudah jelas pemuda itu sudah terikat jodoh dengan keluarga Hek-yan-pang? Kenapa ia lalu kembali dan menuju bekas perpisahannya dulu dengan Sin Gak? Dan pemuda itupun tiba-tiba juga ada di situ!

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa diam-diam murid Song-bun-liong ini jatuh cinta. Sejak pertemuannya dan pertandingannya pertama dulu dengan Sin Gak gadis ini menaruh kekaguman besar. Semula ia terkejut bahwa ada seorang pemuda lihai mampu mengimbanginya, padahal ia murid Ngo-cia Thian-it. Tapi setelah ia tahu bahwa pemuda itu juga murid Ngo-cia Thian-it dari tokoh yang lain, Si Bayangan Dewa maka gadis ini diam-diam girang karena sesungguhnya ia dan Sin Gak tak berbeda jauh. Dan Sin Gak memiliki pula Bu-bian-kang, ilmu tanpa bobot itu!

Tapi kegembiraan gadis ini menjadi terganggu setelah ia tahu betapa pemuda, yang dikaguminya itu telah dijodohkan orang tuanya. Dan gadis pilihan itu ternyata Giok Cheng, sumoinya lain guru, murid dari bibi-gurunya Hek-i Hong-li! Ada rasa panas membakar ketika mula-mula ia tahu ini. Ada rasa tak suka, cemburu! Tapi ketika ia melempar tubuh, di bawah sebatang pohon dan menyendiri di situ, menarik kuat-kuat segala nafsu hati, maka ia segera membayangkan wajah gurunya yang sareh dan sabar.

“Orang hidup selalu dipenuhi persoalan, tak habis-habisnya. Dan sebagian besar persoalan itu selalu bersumber pada kepentingan diri pribadi. Nah, berhati-hatilah apabila kau mengalami hal ini, muridku, waspadalah dan selalulah teringat Kebenaran karena hanya dengan Kebenaran tindak-tandukmu tak membuahkan akibat buruk di kelak kemudian hari. Ingat dan camkan itu bahwa kepentingan pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri tidaklah baik. Manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang seharusnya membagi kepentingannya dengan kepentingan orang lain. Dengan begini kau tak akan serakah, ingat dan selalu waspada bahwa suatu saat semuanya itu menghasilkan buah. Yang buruk akan menerima buruk dan yang baik akan menerima baik. Manusia hidup hanya sekedar mengisi aliran sungainya dengan benih-benih perbuatannya. Keserakahan dan ketamakan hanya akan membawa akibat kesengsaraan belaka. Ingat dan waspadalah akan itu.”

Bi Hong mengangguk-angguk. Waktu itu ia sudah dapat diajak bicara dan cukup dewasa. Dalam setiap wejangan gurunya ini ia selalu menaruh perhatian. Maka ketika hari itu gurunya tampak tersenyum dan membelai rambutnya maka tiba-tiba gurunya ini berkata tentang asmara.

“Kau sudah berusia delapan belas tahun, mekar bagai bunga yang semerbak. Di saat inilah kau akan memasuki dunia aneh tapi nikmat, akan jatuh cinta. Hati-hatilah kalau sudah menentukan pilihan seorang pemuda karena sekali terikat tali perkawinan maka susah senang mengikuti seumur hidup.”

“Ihh!” ia terkejut, seketika merah mukanya. “Suhu bicara apa?”

“Heh-heh, aku bicara apa adanya. Benih cinta akan muncul di hatimu, Bi Hong, bukan cinta kepada guru melainkan cinta kepada pria, cinta asmara. Ingatlah bahwa dalam hal inipun kau harus berpijak kepada Kebenaran. Hati-hati dan lihatlah jangan sampai terjebak kepentingan pribadi.”

“Aku tak mau jatuh cinta, dan aku tak akan jatuh cinta!” waktu itu ia mengomel dan semakin semburat. “Aku tak suka bicara ini, suhu, yang lain saja!”

“Hm-hm, mana mungkin itu. Kau sudah dewasa, Bi Hong, kau sudah berkembang bak sekuntum bunga mawar. Kalau kau tidak jatuh cinta maka orang lain yang jatuh cinta.”

“Ah, suhu tak usah bicara itu. Aku malu!”

Namun gurunya terkekeh. Dengan lembut dan penuh sayang gurunya ini meraih kepalanya, kembali mengusap dan mengelus rambut hitam gemuk itu. Lalu ketika ia menyembunyikan muka di kaki gurunya itu maka gurunya tertawa. “Dengar, aku tidak bergurau. Cinta adalah segala-galanya dalam hidup ini, Bi Hong, cinta adalah sumber kehidupan. Tahukah kau bahwa tanpa cinta kehidupan ini tak akan ada, hampa. Tanpa cinta manusia telah menjadi mati dan kering. Cinta sungguh segala-galanya!”

Dia masih tak berani mengangkat muka, mendengarkan saja.

“Lihat bunga-bungaan dan serangga itu. Tanpa cinta dan kasih sayang mereka tak akan berkembang. Kalau kau tak menyiraminya setiap hari maka mereka akan layu dan mati.”

Ia mendengarkan saja, lagi-lagi tak berani mengangkat muka.

“Dan kau, tanpa cinta dan kasih sayang di hatiku apakah masih hidup, Bi Hong. Kalau dulu aku membiarkanmu di jalanan menggelandang maka hidupmu tak akan lama. Kau bocah kecil penuh kudisan. Kau tak ada yang menghiraukan dan kurus kering merana.”

Sampai di sini Bi Hong terisak. Waktu itu teringatlah dia akan kesengsaraannya di masa kecil. Orang tuanya meninggal dunia oleh wabah penyakit, ia luntang-lantung mengais makanan sampai akhirnya bertemu gurunya ini. Dan ketika ia tiba-tiba menangis dan tersedu memeluk gurunya maka kakek itu tersenyum mengusap-usap lembut.

“Nah, lihat benarnya ucapanku. Cinta adalah segala-galanya, Bi Hong, tapi dengan cinta pula manusia terjebak dan menderita.”

“Apa maksud suhu,” gadis itu mengangkat muka, air matanya membasahi pipi. “Kenapa cinta menjebak dan membuat manusia menderita. Bukankah cinta adalah hidup!”

“Hm, begitu seharusnya. Tapi cinta yang ini buatan manusia, muridku. Cinta yang ini terbungkus kepentingan nafsu pribadi. Karena itu dengarkan baik-baik, agar kau tidak terjebak.”

Bi Hong menarik tubuhnya dari pelukan gurunya. Ia akhirnya heran juga mendengar ini, sebelum itu sudah berkali-kali mendapat wejangan tentang cinta. Betapa tanpa cinta bunga-bunga itu akan layu kekeringan. Betapa tanpa cinta semua yang bergerak dan ada di atas bumi ini akan mati dan merana. Maka ketika tiba-tiba gurunya bicara tentang cinta yang lain, cinta buatan manusia maka ia terheran dan membelalakkan matanya yang indah bulat itu, sepasang mata jeli dan bening bak bintang kejora.

“Aku tak mengerti bagaimana itu, dapatkah suhu memberi contoh!”

“Hm, contohnya adalah diriku ini. Masih ingatkah kau akan bibi gurumu Hek-i Hong-li?”

Gadis ini mengangguk, semburat. “Isteri suhu itu?”

“Benar, dia. Tapi apa yang terjadi, Bi Hong. Aku merasa dikejar-kejar dan akhirnya beginilah nasibku. Bibimu itu terlampau memaksa dan mementingkan dirinya sendiri. Ia selalu mengejar-ngejar aku, merepotkan aku.”

Bi Hong menunduk. Sebagai murid Ngo-cia Thian-it tentu saja ia sudah mendengar kisah sedih itu, betapa bibi gurunya Hek-i Hong-li mengejar-ngejar gurunya, berhasil dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Tapi heran dan belum mengerti ke mana arah gurunya hendak bicara maka ia mendengarkan saja.

“Apa yang kau tangkap dari kisahku ini. Bagaimana pendapatmu tentang bibi gurumu Hek-i Hong-li.”

“Hm,” Bi Hong terkejut juga. “Cintanya yang besar kepadamu, suhu. Kasih sayangnya yang luar biasa!”

“Salah!” kakek itu tertawa. “Salah besar, muridku. Justeru sebaliknya, bibi gurumu itu mencintai dan menyayang dirinya sendiri, aku hanyalah alat!”

“Ah!” gadis ini terbelalak. “Mana bisa begitu, suhu? Bukankah ia mati-matian membelamu dari Te-gak Mo-ki dan sutemu Mo-bin-jin?”

“Benar, itu lain lagi. Pertandingan di antara kami tak ada hubungannya dengan ini, Bi Hong, maksudku dengan apa yang sekarang ingin kubicarakan ini. Wajar apabila sumoiku membantuku dari keroyokan dua orang musuh.”

Bi Hong terheran-heran. “Kalau begitu bagaimana.”

“Dengar, aku hendak mengupas ini. Setelah aku tepekur dan merenungkan itu maka kudapat jawabnya. Tak dapat kusangkal bahwa dulu sumoiku itu kuanggap mencintaiku, lahir batin. Tapi setelah aku bertapa dan merenung kudapatkan sesuatu yang lain sama sekali, Bi Hong, sesuatu yang terselubung. Dan selubung inilah yang sekarang hendak kubuka!”

“Hm, coba suhu ceritakan itu.”

“Ya, memang akan kuceritakan, tapi sebelum itu coba kau ingat bagaimana dulu bibi-gurumu itu mengejar-ngejar aku. Apa yang melandasinya.”

“Cinta, tentu cinta!”

“Kau terlalu bersemangat. Ha-ha, tadi kau tak suka bicara ini, Bi Hong, sekarang tiba-tiba saja begitu menggebu. Eh, kau tentu mulai membayangkan asmara pula, hubungan dengan pria yang kau cinta atau pemuda pujaanmu itu!”

Gadis ini tersipu-sipu. Tak dapat disangkal bahwa sejak ia berangkat remaja telah ada semacam dorongan di hati untuk memperhatikan hal-hal kecil yang berhubungan dengan ini. Misalnya saja ketika seekor kupu-kupu besar hinggap kupu-kupu betina, atau seekor ayam jantan yang gagah menerkam ayam betina dan duduk di punggungnya, juga sepasang, lebah atau hewan-hewan lain yang berkerumun menghisap madu di antara putik putik sari. Diam-diam ia memperhatikan ini dan timbullah rangsang aneh bagaimana kalau ia menjadi kupu-kupu betina itu misalnya, atau ayam betina yang jinak menyerahkan diri.

Tentu saja ia melihat semua itu tanpa sepengetahuan gurunya dan diam-diam wajahnya memerah. Ada hasrat aneh untuk ikut-ikutan seperti itu, rasa nikmat yang tak dikenalnya dan malam harinya tiba-tiba saja ia bermimpi. Ayam jantan berubah menjadi seorang pemuda gagah dan berkenalanlah ia dengan pemuda itu, asyik-masyuk bicara itu sampai berpegangan tangan pula. Tapi ketika ia hendak digigit dan pemuda itu melompat ke punggungnya mendadak ia menjerit dan mimpi itupun buyar!

“Heh-heh, bagaimana? Kaupun merasakan sebagaimana layaknya anak-anak muda lain, bukan? Tak usah malu. Setiap manusia mengalami hal yang sama, muridku, itu sesuatu yang wajar dan pasti terjadi. Tapi ada yang berbahaya di sini, kalau orang mulai jatuh cinta dan merasakan jatuh cinta!”

Bi Hong masih kemerah-merahan, menunduk.

“Tahukah kau apa yang berbahaya itu.”

Gadis ini menggeleng.

“Masuknya kepentingan pribadi itu, Bi Hong. Rasa ingin disenangkan diri sendiri!”

Gadis ini terkejut, mengangkat muka.

“Ya,” gurunya menyambung. “Rasa ingin disenangkan itulah yang berbahaya, sebab kalau tidak dituruti maka ia akan meledak dan berobah menjadi kemarahan, benci. Karena itu berhati-hatilah kalau kelak kau jatuh cinta, karena cinta tidak harus selalu menuntut, iapun memberi, dan memberi adalah pengorbanan!”

Bi Hong sudah dapat menguasai hatinya lagi, terbelalak. Ia mendengarkan kata demi kata dari mulut gurunya ini dan terguncang. Ada sesuatu yang membuatnya tergetar. Tapi karena ia masih belum mengerti sepenuhnya dan merasa samar-samar, iapun memandang saja maka ia tak memberi jawaban atau komentar. Biasanya kalau sudah begini gurunya akan menjelaskan sendiri.

“Lihat dan rasakan kelak, buktikanlah kebenarannya. Pria wanita di dunia ini sama saja, muridku, mereka rata-rata ingin disenangkan dirinya sendiri. Cinta yang ada di hati mereka bukan lagi cinta murni, cinta mereka adalah cinta yang berpusat pada kepentingan diri sendiri!”

“Hm, bagaimana suhu bisa bicara seperti itu. Dapatkah suhu menjelaskan yang lebih dekat.”

“Bibi-gurumu itulah contohnya. Ia sebenarnya menuju kepada pemuasan kepentingan dirinya sendiri, Bi Hong, bukan kepentingan orang lain. Dan karena ia mementingkan dan memuaskan dirinya sendiri maka perkawinan kami berantakan. Ia selalu ingin menang!”

“Hm!” gadis ini bersinar-sinar, tajam memandang gurunya. “Bagaimana suhu dapat mengatakan itu? Apakah karena semata ia tak mau tunduk?”

“Bukan, bukan masalah ini. Sumoiku itu memang tak pernah mau tunduk kepada orang lain, Bi Hong, ia memang keras kepala dan kepala batu. Akan tetapi dalam persoalan ini ia harus melihat kepentingan orang lain, bukan hanya kepentingan dirinya pribadi!”

“Aku belum mengerti, coba suhu jelaskan.”

“Baik, begini. Bukankah sudah kujelaskan bahwa sesungguhnya aku tak mau kawin lagi. Aku tak ingin menikah setelah isteriku pertama meninggal dunia. Aku bersumpah waktu itu. Tapi karena bibi gurumu itu ngotot mengejar-ngejar aku maka akhirnya aku terjebak setelah di dalam jurang itu ia mengancam bunuh diri.”

Bi Hong mengangguk. Sampai di sini ia telah paham, gurunya telah bercerita tentang itu. Tapi karena ia diam saja sebagai pendengar yang baik maka ia tak berkomentar sepatahpun.

“Nah, di situlah awalnya. Sumoiku itu terlalu mementingkan dirinya sendiri, ia tak mau tahu kepentinganku. Kalau saja ia dapat menghargai kepentinganku dan hidup tak mau menikah lagi mungkin aku tak merasa didesak dan dipojokkan sedemikian rupa. Dan akhirnya semua itupun terjadi!”

“Jadi maksud suhu bibi-guru Hek-i Hong-li salah?”

“Ya, jelas sekali, Bi Hong, ia terlalu menuruti adatnya sendiri. Aku ternyata hanya alat, alat pemuas keinginannya sendiri.”

“Tunggu, untuk ini aku kurang mengerti. Bagaimana suhu mengatakan itu!”

“Begini, sejak aku menjadi suhengnya maka sesungguhnya aku tak mau berdekatan lagi dengan yang namanya asmara, Bi Hong, aku masih terpukul oleh kematian isteriku dulu. Aku bersumpah untuk tidak menikah lagi, janji atau sumpah sebagai pernyataan setiaku kepada isteri. Tapi nasib membawaku lain, sumoiku tergila-gila kepadaku. Aku tak tahu apa yang menyebabkan ia seperti itu mungkin saja karena kesetiaanku memegang cinta.”

“Benar,” Bi Hong mengangguk, setuju, “pria sepertimu sulit dicari, suhu, belum tentu satu di antara seribu. Akupun kagum!”

“Hm, aku tak tahu itu. Yang jelas aku telah melanggar sumpahku, Bi Hong, dan ini karena bibi gurumu itu. Ia terlalu mendesak, tak mau tahu kepentinganku.”

“Agaknya tak dapat terlampau disalahkan. Orang mencinta tentunya begitu, suhu, apalagi kalau kadarnya berat. Aku agaknya tak menyalahkan bibi guru!”

“Hm, tunggu, ada sesuatu yang tidak kau ketahui. Cinta bibi-gurumu bersifat menuntut, Bi Hong, dan inilah jeleknya. Bahaya terbuka, dan rumah tangga akhirnya celaka.”

“Aku tak melihat itu!”

“Kau tergesa memotong. Dengar dan perhatikan baik-baik, muridku, justeru di sini aku hendak memberitahu. Aku tak ingin kalau kau kelak seperti bibi-gurumu itu!”

Bi Hong terkejut, membelalakkan matanya.

“Dengarlah,” sang guru melanjutkan. “Dulu ini belum kuketahui tapi sekarang mataku terbuka lebar. Apa yang dilakukan sumoiku ternyata pemuasan kepentingan dirinya pribadi. Ia tidak mencintaiku karena sebenarnya ia mencintai dirinya sendiri. Aku hanya alat, alat yang dipakainya!”

“Hm,” Bi Hong tak menjawab, diam saja.

“Dulu aku tak tahu ini karena memang belum ada kesadaran, muridku, tapi setelah aku tua dan merenung bertahun-tahun maka kudapatlah jawabannya. Bibi-gurumu itu benar-benar mengejar kepentingannya pribadi.”

“Coba suhu jelaskan, di mana letak kepentingan pribadinya itu,” Bi Hong tak sabar dan akhirnya bertanya.

“Letaknya adalah di dalam Aku, pusat dari segala keinginan manusia. Dan karena Aku ini telah keluar dari rel kebenarannya maka sumoiku melenceng dan ia membabi-buta memenuhi nafsunya. Gurumu menjadi korban.”

“Hm, masih kurang jelas. Aku masih bingung, suhu. Apa itu Aku, baru kali ini kau mengulas.”

“Benar, tapi dengarkan sajalah. Aku adalah kata lain dari Ego, berpusat di otak. Aku adalah yang berhubungan dengan akal dan pikiran manusia namun acap kali menyertakan rasa. Dan karena ia menarik rasa yang seharusnya bersumber di Hati maka Aku mengobrak-abrik keseimbangan manusia!”

“Tunggu, aku merasa mendapat pelajaran baru. Perlahan sedikit dan coba bedakan keduanya dengan jelas„ suhu. Aku masih bingung tapi samar-samar menangkap!”

“Begini, kau memiliki sesuatu, misalkan saja setangkai mawar indah, baru kau petik dari kebunmu. Kalau tiba-tiba saja seseorang menyambar dan merampas milikmu maka apa yang kau lakukan, muridku, tidakkah kau marah dan akan mengejarnya.”

“Benar, tentu saja kukejar, kutangkap!”

“Bagus, tapi bagaimana kalau kau mempunyai namun tidak memiliki? Bagaimana kalau misalnya bunga mawar itu adalah titipan dariku? Kau memegang bunga mawar itu, muridku, namun bukan milikmu. Dan untuk ini sikapmu tentu lain. Perampas itu mungkin kau biarkan, lapor kepadaku. Atau mungkin kau tetap mengejarnya karena semata merasa tanggung jawab dititipi. Nah, kau bisa mempunyai sesuatu namun tidak memiliki atau kau benar-benar memiliki dan rasa milik ini muncul dari Ego, sang Aku!”

Bi Hong terkejut, kepalanya tiba-tiba pening, merasa berat. “Aku belum dapat mengikuti semua kata- katamu, suhu, akan tetapi beberapa di antaranya mulai kutangkap.”

“Tidak apa, nanti akhirnya mengerti juga. Aku hendak memberitahukan kepadamu bahwa ada dua perbedaan mendasar dari persoalan ini, yakni rasa milik yang timbul dari ke-Aku-an dan rasa punya namun tidak memiliki yang timbul dari Hati, Rasa.”

“Hm-hm, kepalaku berdenyut. ini wejanganmu berat, suhu. Sukar ku kunyah!”

“Dengarkan saja, kunyah belakangan. Aku hendak kembali kepada persoalan bibimu itu, Bi Hong, bahwa ia telah terbawa ke-Aku-annya melenceng begitu jauh hingga sang Rasa ditunggangi, diperbudak. Ia mencintai aku berdasarkan otaknya bukan mencintai aku berdasarkan Hatinya!”

Bi Hong terkejut, sedikit tersentak. Tapi karena ia masih merasa pening maka ia mendengarkan saja. Berat sekali baginya mengunyah itu.

“Kau dapat mengikuti ini?”

“Ya, perlahan-lahan saja.”

“Baik,” sang guru tersenyum. “Bukan makananmu untuk diajak bicara seperti ini, Bi Hong, tapi kuperlukan agar kau tidak terjerumus seperti bibimu. Dengarkan, apa yang kau lakukan apabila seorang pemuda tiba-tiba menolak cintamu!”

Gadis ini terkejut, mengangkat mukanya. “Apa apa suhu bilang?” Ia tergeragap.

“Aku bertanya apa yang kau lakukan bila seorang pemuda menolak cintamu. Apakah kau mengejar-ngejarnya.”

“Tidak, tidak, tentu tidak!”

“Tapi kau kelewat berat mencinta, kadarnya berbobot.”

“Ah, aku tak mau melakukan itu, suhu. Lebih baik mati!”

“Bagus, sekarang bagaimana kalau misalnya kau tiba-tiba adalah bibi-gurumu Hek-i Hong-li itu. Kau ternyata mengejar-ngejar aku.”

“Aku... aku...” gadis ini tertegun. “Apa maksudmu dengan ini, suhu. Kenapa kau memisalkan aku!”

“Jawab saja jangan bertanya, nanti pasti mengerti.”

Gadis ini pucat. Tiba-tiba ia merasa tersudut dan gemetar memandang gurunya itu. Aneh sekali bahwa gurunya tiba-tiba mengajak ia bicara seperti ini. Ia di misalkan bibi-gurunya! Dan karena ia tak mau namun sang suhu mendesak dan menyuruh ia menjawab akhirnya mengeluh dan membuang muka. “Aku tak tahu, aku bingung!”

“Kalau begitu tak akan keluar jawabannya, kau selamanya tak akan mengerti.”

“Ah, kau membuatku takut, suhu. Aku ngeri!”

“Ha-ha, Ini hanya permisalan saja. Hayo kau jawab dan tak perlu takut-takut. Misalkan dirimu adalah sumoiku itu, kau telah mengejar-ngejar aku, mendesakku. Sekarang apa jawabmu kalau kejadiannya seperti ini. Bukankah sebenarnya nafsumulah yang bicara, bukannya hati nurani. Dan karena nafsu berhubungan erat dengan Ego maka kau marah dan kecewa karena merasa tak dipenuhi, ha-ha!”

Bi Hong terkejut, tiba-tiba membelalakkan mata. Ia berdesir merasakan sesuatu dan mendadak memandang gurunya dengan muka yang merah. Tiba-tiba ia merasa sakit hati dikatakan seperti itu. Ia tak kecewa! Maka menggoyang lengan berseru keras buru-buru ia memprotes, “Suhu, aku tak merasa kecewa, aku tak merasa marah. Siapa bilang aku kecewa dan marah karena tak dipenuhi!”

“Ha-ha, masih bodoh, tolol dan goblok. Kalau kau masih sebagai Bi Hong memang perasaan itu tak ada, bocah bengal. Tapi kalau kau adalah sumoiku maka perasaan itu lekat dan amat kuat. Kau tak mendengarkan kata-kataku tadi bahwa kau berlagaklah sebagai bibi-gurumu itu. Kau bukan Bi Hong, kau adalah sumoiku Hek-i Hong-li...!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 29

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 29
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“CERITA tentang apa itu,” sang ayah mengerutkan kening.

“Ya, cerita tentang cinta, antara pria dengan wanita dan pria dengan pria!”

“Hm, coba ceritakan itu. Apa kata suhumu.”

“Dikatakan bahwa cinta cenderung menuntut, bahwa cinta antara anak manusia dikotori hawa nafsu. Aku ngeri kalau teringat ini dan karena itu sedang kuselidiki apakah aku juga memiliki cinta seperti itu!”

Sang ayah tertegun, tampaknya terkejut. ”Lalu?”

“Lalu aku tentu saja tak mau seperti ini, ayah. Aku ingin mencinta dan dicinta secara bersih. Sekarang aku mulai mengerti dan menangkap apa yang dimaksud suhu!”

“Bagus, lanjutkan lagi,” sang ayah bersinar-sinar, rupanya tertarik. “Apalagi yang kau tangkap dan mengerti tentang ini, Sin Gak, mungkin aku dapat belajar lagi.”

“Suhu mengatakan bahwa cinta antar anak manusia diliputi kekotoran hawa nafsu. Mereka dikatakan tak memiliki sesuatu yang agung karena semata menuruti nafsu rendah hewaniah. Aku teringat ini dan ngeri dan mencoba melihat apakah betul begitu. Dan agaknya aku mulai melihat sesuatu yang menggetarkan hatiku.”

“Hm-hm, rupanya wejangan gurumu sudah demikian mendalam. Aku pribadi tak mendapat pelajaran khusus tentang ini, coba kau lanjutkan lagi.”

“Suhu menceritakan kepadaku tiga hal: Ego, Nafsu dan Kemarahan. Konon ketiganya berkait amat erat dalam masalah cinta ini. Dan karena masing-masing berhubungan tiada ubahnya mata rantai yang selalu terkait maka aku dapat merasakan ini dan mulai melihat pada bukti sepak terjang Giok Cheng!”

“Ah, hebat sekali. Kau sudah mempergunakan orang lain sebagai obyek pandanganmu!”

“Benar..., dan untuk itu aku ngeri, ayah. Aku mulai meragukan cinta gadis itu sebagai bekal membangun rumah tangga.”

“Tunggu, kau sendiri belum menyatakan apakah kau mencintai gadis itu atau tidak!”

“Aku sudah menjawab bahwa aku sedang menyelidiki. Aku ingin menemukan adakah cinta di hatiku kepada Giok Cheng atau tidak. Kalau ada, apakah seperti yang dikatakan suhu, cinta yang semata didorong nafsu rendah hewaniah.”

“Hm-hm.....!” Giam Liong tergetar setengah seram. “Kalau semua orang dianggap seperti itu maka akupun kena, Gak-ji. Jangan-jangan cintaku kepada mendiang ibumu dulu juga naluri hewaniah itu!”

“Aku tak bermaksud merendahkan ayah, aku hanya mengatakan apa yang pernah dikatakan suhu.”

“Betul, sekarang lanjutkan lagi.”

“Cinta antara anak manusia tak lepas dari mata rantai ini, sumber utamanya adalah Ego. Kalau Ego merasa diganggu maka dia menjadi marah. “

“Tunggu, apa yang kau maksud Ego!”

“Maaf, bukan aku, ayah, melainkan suhu.”

“Ya-ya, kata suhumu. Apa maksudnya Ego itu!”

“Ego adalah Aku, tepatnya rasa ke-Aku-an. Karena Aku bersemayam di hati manusia maka Ego ini menjadi begitu penting dan ingin menguasai segalanya. Dalam hal cinta dia berhubungan dengan Nafsu, maksudnya adalah nafsu berahi. Dan karena masih ada lagi seorang temannya yang bernama Kemarahan maka ketiganya berkait dan satu sama lain begitu dekat untuk meledak dan menghancurkan kalau menerima kegagalan!”

“Hm, perlahan sedikit. Kau tiba-tiba seperti gurumu atau kakek tua penuh nasihat. Coba jelaskan dan uraikan itu seperti yang kau tahu.”

“Aku hanya memindahkan pengetahuan yang kudapat dari guruku.”

“Tak apa. Kaupun hidup dan mulai mendapat pengalaman, Gak-Ji. Apa yang kau katakan pasti juga sesuai dengan isi jiwamu. Cobalah kau uraikan bagaimana menurut gurumu dan contoh apa yang pernah ia ambil!”

“Suhu mengambil contoh hubungan asmara antara supek dengan sukouw (bibi guru),” Sin Gak agak merah, tersipu. “Juga Te-gak Mo-ki yang masih termasuk uwa guruku itu. Melihat mereka inilah suhu menemukan model cinta yang dilakukan manusia, ayah, bahwa sebagian besar mereka seperti itu pula. Tak lepas dari Ego, Nafsu dan Marah. Dan yang mendominir mereka adalah Berahi, hampir sebagian besar cinta didorong Berahi!”

“Hm-hm, tanpa itu tak mungkin berkembang. Tanpa Berahi manusia tak akan ada, Sin Gak, semuanya mati dan tak akan berketurunan lagi. Apanya yang salah!”

“Tunggu, manusia bukanlah binatang. Manusia adalah mahluk hidup yang diberi akal pikiran, ayah, di samping perasaan. Kita tak boleh bersikap hewaniah karena kita bukan hewan!”

Sang ayah terkejut, berkedip-kedip.

“Cinta antara manusia memang tak akan terlepas dari Berahi namun ini tak boleh menjadi pendorong utama. Kalau kita melakukan itu maka kita tiada ubahnya binatang. Bukankah binatang sekedar bercinta karena dorongan berahinya!”

“Hm-hm, benar..... kau benar. Lanjutkan lagi, puteraku. Aku tiba-tiba tertarik dan ingin mendengar ini.”

“Aku menganggap bahwa apa yang dikata suhu benar. Sekarang aku mulai mengerti. Dan karena manusia bukan hewan maka cinta di antara pria wanita tak boleh didominir berahi ini. Cinta harus timbul dari Hati, bukan Ego!”

Giam Liong bergerak. Sampai di sini puteranya tampak berapi-api dan iapun menjadi tergetar. Wajah puteranya itu bercahaya sementara sepasang mata itu mencorong berkilat-kilat. Menghadapi puteranya seperti ini tiada ubahnya menghadapi seekor harimau muda penuh enerji, siap melompat dan menerkam korbannya. Dan ketika ia berseru perlahan dengan pandang mata takjub maka iapun bertanya apa perbedaan Ego danvHati.

“Kau mengingatkan aku akan seseorang yang memberi wejangan-wejangan bijak. Katakan di mana perbedaan cinta yang timbul dari Hati dan Ego!”

“Cinta dari Hati bersifat memberi, sementara cinta dari Ego bersifat menuntut. Nah, itulah yang kutahu dari suhu, ayah, dan aku benar-benar merasakan ini di hati Giok Cheng.”

“Apa yang kau tangkap dari gadis itu.”

“Tuntutan!”

“Dan apa yang kau rasa dari murid si Naga Berkabung Song-bun-liong.”

“Aku belum tahu.”

“Bagus, kalau begitu bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gak-ji. Bagaimana kira-kira cintamu!”

“Aku harus memberi cinta yang berasal dari Hati, ayah, bukan Ego. Tapi terus terang aku tak tahu apakah cinta itu ada di hatiku atau tidak, sudah berkembang atau belum, karena aku sendiri tak tahu apakah cintaku sudah bersemi atau masih tidur dan belum tergerak!”

“Ah, ha-ha! Kau tiba-tiba seperti pendeta yang melampaui usiamu sebenarnya, Gak-ji. Tiba-tiba saja kau melebihi pamanmu Han Han. Ah, tentu dia akan senang sekali mendengar semuanya ini dari mulutmu. Kau berbakat menjadi filsuf!”

“Maaf, aku hanya mendengarnya dari suhuku. Aku hanya mulai mendapat pengertian dan kesadaran akan ini, ayah, karena itu masalah ini aku sungguh amat berhati-hati sekali. Sekarang bagaimana pendapat ayah setelah mengetahui ini.”

“Kau luar biasa, kau melebihi ayahmu. Beruntung aku mempunyai putera sepertimu ini!”

“Ah, aku tidak bertanya itu. Aku bertanya bagaimana pendapat ayah setelah mendengar semuanya ini, maksudku apakah ayah masih selalu mendesakku untuk bertanya tentang cintaku kepada Giok Cheng.”

“Hm-hm, baik, aku sekarang tiba-tiba penasaran. Bukan oleh urusan itu akan tetapi membuktikan gerak-gerikmu dalam masalah ini. Dengarkan....!” sang ayah duduk dan mulai berseri-seri Lagi. “Semua kata-katamu dapat kumengerti dan kupahami, Sin Gak, dan mendengar itu membuat aku jadi merinding sendiri. Aku sekarang memberi kebebasan, tidak mengikat. Urusan Giok Cheng biarlah kau selesaikan sendiri dan aku tak akan banyak ikut campur. Aku mulai dapat mengerti, mulai dapat memahami. Sebelum aku benar-benar menyerahkan ini sepenuhnya kepadamu jawablah siapa yang lebih kau suka antara Giok Cheng dan Bi Hong. Aku bertanya suka, bukan cinta. Nah, siapa yang lebih kau suka di antara dua gadis ini!”

Sin Gak mengerutkan kening. Ia tak tahu apa maksud ayahnya tapi diam-diam mencari jawaban juga. Kalau mau jujur maka ia lebih suka Bi Hong, bukan apa-apa melainkan semata karena mereka sudah berkenalan agak lama. Dengan Giok Cheng pertemuannya dimulai di Hek-yan-pang, itupun diawali dengan kesan yang kurang enak karena gadis itu berkesan angkuh. Adanya Su Giok membuat suasana lebih tak bersahabat lagi, apalagi setelah ia di serang dan ayahnya dimaki-maki. Maka menarik napas dalam dan berkata sejujurnya iapun menjawab bahwa ia lebih suka gadis itu.

“Aku lebih suka Bi Hong, tapi bukan berarti membenci Giok Cheng.”

Wajah sang ayah tergetar. Giam Liong menekan perasaannya yang tertusuk sedikit tapi pria inipun sudah menguasai hatinya lagi. Dari situ ia mendapat kesimpulan bahwa tali perjodohan rupanya sukar dipertahankan lagi. Mana mungkin memaksa anaknya kalau lebih menyukai gadis lain. Maka mengangguk dan bangkit berdiri tiba-tiba ia berkata, “Baiklah, kita cari gadis itu, Gak-ji. Agaknya ia memang lebih cocok untukmu daripada Giok Cheng!”

“Sin Gak terkejut. Tak disangkanya sang ayah begitu ringan dan tiba-tiba menyuruhnya mencari Bi Hong. Entah bagaimana tiba-tiba hatinya berdesir, ada rasa nikmat dan bahagia. Tapi karena ia belum tentu mencintai gadis itu dan masalah cinta benar-benar hendak diputuskannya secara hati-hati maka ia menggeleng dan bertanya.

“Kenapa ayah menyuruhku seperti itu. Bukankah sudah kukatakan bahwa kedua-duanya belum kurasakan cinta.”

“Benar, tapi aku ingin tahu kelanjutannya, Sin Gak, betapapun hal ini harus diputuskan. Bibimu Tang Siu ngotot melepaskan tali jodoh, tapi pamanmu Han Han bersikeras mempertahankan. Aku tak mau terombang-ambing, akupun harus mendapat kepastian. Dan kau dekatilah gadis itu untuk menentukan masa depan!”

“Jadi ayah bermaksud mengikatku dengan Bi Hong kalau aku mencintainya?”

“Benar, Sin Gak, dan kita tak perlu lagi mengingat keluarga Hek-yan-pang. Aku tak enak karena betapapun pamanmu Han Han seperti saudaraku sendiri!”

“Hm, cinta tak dapat dipaksa.“

“Aku tidak memaksa!”

“Tapi kau menghendaki aku mencari gadis itu, ayah, berarti menyuruhku mencintainya!”

“Ha-ha, goblok. Seribu kali aku menyuruhmu kalau kau sendiri tak ada cinta tak mungkin berhasil, Sin Gak. Aku sebagai orang tua hanya ingin melihat perkembanganmu, melihat bentuk atau model cintamu. Nah, ini yang membuatku ingin tahu dan penasaran tadi!”

Sin Gak tiba-tiba tersenyum, kemerahan. “Ayah hendak melihatku dari Ego atau Hati?”

“Ya, itu!”

“Akan kubuktikan, tapi tentu dari Hati. Baiklah kita cari Bi Hong tapi ayah jangan kecewa kalau nanti perkembangannya lain.”

“Maksudmu?”

“Misalnya saja perasaanku hanya sebatas suka, bukan cinta.”

“Baik, aku tahu, Gak-ji, dan tiba-tiba kulihat betapa kau benar-benar sudah dewasa. Ah, kau bukan anak kecil lagi!” lalu ketika Giam Liong menepuk puteranya bangkit berdiri segera ia berkelebat meninggalkan hutan di luar dusun itu, tertawa, disusul puteranya dan habislah percakapan tentang ikatan jodoh itu dan Giam Liong benar-benar menyerahkan sepenuhnya urusan kepada puteranya.

Percekcokan di Hek-yan-pang tak mengenakkan hati dan Naga Pembunuh ini diam-diam mendongkol. juga. Kalau saja tak ada Han Han di sana tentu ia menerima tegas. Gadis lain juga masih banyak! Maka ketika percakapan itu selesai dan ia ingin melihat gerak-gerik puteranya maka Giam Liong membawa puteranya ini ke Hutan Iblis.

“Sambil mencari gadis itu kita ke Hutan Iblis. Di sanalah dulu jahanam itu bercokol pertama kalinya!”

Pemuda ini mengangguk saja. Bergerak di samping ayahnya mengikuti berlari cepat ia tak banyak bicara lagi. Sekarang mukanya tiba-tiba memerah. Ia telah bicara begitu ceplas-ceplos masalah cinta. Untunglah karena ayahnya dapat menerima dan cukup terbuka iapun tak perlu begitu malu. Bahkan ia beruntung ayahnya memberi kebebasan, sekarang ia tak terikat lagi. Dan ketika mereka meluncur dan lenyap di luar dusun itu maka Sin Gak melamun membayangkan wajah Bi Hong yang cantik jenaka itu, gagah dan berkepandaian tinggi tapi wajah lain tiba-tiba muncul.

Giok Cheng! Itulah wajah seorang dara yang tak kalah cantik namun bersikap angkuh. Agaknya sebagai puteri ketua Hek-yan-pang membuat gadis itu merasa diri lebih tinggi, apalagi setelah menjadi murid nenek sakti Hek-i Hong-li. Betapa bedanya dengan Bi Hong lincah dan suka meledek dengan sekali waktu membanting-banting kaki. Sin Gak tersenyum dan tiba-tiba berdebar lagi. Siapakah yang dia cinta di antara dua gadis ini? Bi Hong? Agaknya begitu. Namun tangannya merogoh saputangan Giok Cheng dan cukilan dinding kamar, tergetar dan menghentikan lamunan dan tiba-tiba ayahnya berseru keras mempercepat gerakannya. Ada dua kepulan asap di depan. Dan ketika ia bergerak dan cepat langkahnya maka mereka mengejar dan bayangan dua gadis itupun buyar.

* * * * * * * *
Tak ada yang mereka dapatkan dari dua kepulan debu tersebut. Sin Gak mengimbangi ayahnya dan bersikap asal berendeng membuat mereka kehilangan jejak. Sang ayah penasaran. Dan ketika betul-betul dua kepulan debu itu lenyap dan mereka tak mendapatkan apa-apa maka Naga Pembunuh ini menghentikan langkahnya dan merasa kaget serta heran.

“Tak biasanya aku gagal mengejar seseorang. Ibliskah itu tadi!”

Sin Gak tak tertarik, masih acuh. “Untuk apa mencari mereka, ayah, mungkin hanya serombongan piauwsu (pengantar barang).”

“Apalagi mereka Kalau hanya serombongan piauwsu tentunya justeru dapat kita kejar, Gak-ji. Tidakkah kau merasa heran dan ganjil tentang ini. Kepulan debu itu lenyap!”

“Sudahlah, bukankah kita akan ke Hutan Iblis. Masa hendak membelokkan kaki hanya untuk urusan tak jelas.”

“Aku penasaran tak mampu mengejar itu. Mereka menghilang begitu saja seperti siluman. Aku tertarik!”

Akan tetapi Sin Gak tak menaruh perhatian. Setelah mereka berhenti dan lamunan kembali kepada wajah-wajah cantik itu maka Sin Gak tak memperdulikan sekeliling. Ia menikmati kesendiriannya dalam bayang-bayang dua gadis itu. Tapi ketika ayahnya menarik lengannya dan menuding ke kanan mendadak kepulan debu itu tampak lagi.

“Itu, di sana!”

Sang ayah berkelebat. Sin Gak terkejut lalu mengikuti pula, sebenarnya ia dapat bergerak lebih cepat akan tetapi sengaja ia tak mau meninggalkan ayahnya ini. Ilmu lari cepatnya Sian-eng-sut akan mampu membuatnya melampaui semuanya, kalau perlu ia dapat menyamai kecepatan cahaya! Maka ketika ia bergerak agak ogah-ogahan dan mengikuti asal jadi ternyata di luar hutan mereka kehilangan jejak lagi. Giam Liong tertegun dan berhenti menghadapi puteranya ini.

“Lihat, tidakkah kau merasa aneh. Orang itu lenyap lagi, Gak-ji, apakah ia siluman. Tidak dapatkah kau menyusulnya dan mencari tahu siapa dia. Aku curiga!”

Sekarang Sin Gak membuang lamunannya. Iapun terkejut dan merasa aneh bahwa kejaran ayahnya tak membawa hasil. Ayahnya ini sudah dinilainya berkepandaian tinggi dan cukup. Maka terkejut bahwa kepulan debu itu lenyap lagi akhirnya iapun tertarik dan penasaran juga. “Coba ayah tunggu sebentar di sini, aku akan melihat dari atas pohon.”

Giam Liong mengangguk. Puteranya lenyap dan tahu-tahu berada di pucuk dedaunan paling tinggi. Iapun tak, mau kalah dan meloncat pula ke atas. Tapi ketika ia hanya berada di bawah puteranya dan melihat betapa tubuh puteranya tak bergoyang di atas daun kecil itu maka iapun menjadi kagum dan saat itu pemuda ini berseru,

“Ia di sebelah selatan!”

Sang pemuda menyambar ke bawah. Bagai rajawali saja tahu-tahu pemuda ini meluncur turun, sang ayah ditarik dan berkelebatlah pemuda itu menuju selatan. Hampir Giam Liong berteriak kaget tak menyentuh tanah, tubuhnya melayang diangkat puteranya dan saat itulah Sin Gak mendemonstrasikan kepandaiannya di depan sang ayah. Inilah Sian-eng-sut alias Ilmu Bayangan Dewa, melesat dan menyambar bagai siluman saja. Dan ketik ia tak lama kemudian kepulan debu itu tampak lagi dan samar-samar Giam Liong melihat dua orang di sana maka pendekar ini terkejut karena kalau tidak salah lihat di depan itu berkelebat seorang pemuda tinggi besar menggandeng seorang lain yang perawakannya sedang, entah laki- laki atau perempuan ia kurang jelas.

“Cepat, siapa mereka itu. Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya, Gak-ji, seperti kau saja. Sepasang kakinya seakan tak menyentuh tanah!”

Sin Gak membelalakkan mata. Akhirnya dengan Sian-eng-sut ia mampu mengejar. Jarak sudah diperpendek tapi tiba-tiba pemuda tinggi besar itu menoleh. Rupanya ia mendengar atau tahu dikejar orang lain, terbukti menggeram dan teman di sebelahnya itupun menoleh. Tapi begitu orang kedua ini menjerit bertemu Giam Liong, Naga Pembunuh terkejut dan heran melihat seorang pria pesolek berusia tigapuluhan tahun mendadak pemuda raksasa bermuka hitam itu menggerakkan tangan ke belakang dan berhamburanlah benda-benda putih kecil seperti serpihan tulang.

“Trik-trik-trikk!”

Giam Liong terkejut dan berteriak keras ketika ia menangkis benda-benda ini. Ia terlempar dan kalau saja tangannya tidak berpegangan Sin Gak mungkin ia terbanting ke belakang. Serpihan tulang itu menyambarnya begitu kuat dan tajam hingga ujung bajunya robek. Baru serpihan tulang saja ia hampir celaka. Dan ketika Sin Gak mengebutkan lengannya dan runtuhlah serpihan yang lain maka raksasa muda itu terkejut tapi temannya rupanya mengajaknya cepat-cepat pergi.

Sin Gak tertegun. Lawan telah meneruskan larinya lagi dan sang ayah mengusap keringat. Ia tergetar melihat sinar buas pada pandang mata lawannya itu, seperti singa jantan sedang kelaparan saja. Dan ketika ayahnya juga bergidik dan mengebutkan pakaiannya dari debu, turun kembali maka Giam Liong juga seram oleh sikap dan pandang mata buas pemuda tinggi besar itu.

“Iblis, pemuda itu luar biasa sekali. Ia begitu dingin dan tak berperasaan!”

“Hm, perlukah kita teruskan pengejaran,” Sin Gak ragu dan khawatir memandang ayahnya ini. “Kita tak kenal-mengenal dengan mereka, ayah. Tak enak juga rasanya memburu orang. Kita di pihak salah.”

“Si pesolekitu.” Giam Liong menuding dan mengingat-ingat. “Ia tampaknya ketakutan melihataku, Gak-ji, serasa ku kenal. Entah siapa dan rasanya pernah, lihat wajah itu!”

“Kalau begitu perlukah dikejar lagi.”

“Kupikir begitu, tapi hati-hati, jangan terlampau dekat!”

“Baiklah,” pemuda ini mengangguk., “Kalau begitu mari kejar mereka, ayah, tapi hati-hati jangan menangkis lagi. Biarkan aku saja.”

Sang ayah mengangguk. Masih terasa oleh pendekar ini betapa telapaknya pedas dan seakan pecah. Sungguh tak disangkanya raksasa muda tadi demikian hebat tenaganya. Serpihan tulang yang tipis dan kecil-kecil itu seakan tombak-tombak pendek yang menghantam kuat. Ia tergetar namun juga penasaran, ada perasaan marah di hati. Dan ketika puteranya bergerak dan ia kembali diangkat, itulah satu-satunya cara mengikuti Sian-eng-sut maka mereka akhirnya melihat dua orang itu lagi namun jaraknya sudah amat jauh. Lawan rupanya mengerahkan semua kepandaiannya dan bergerak secepat kilat menyambar.

“Hm, aku tak akan mampu memperpendek jarak lagi. Dengan ilmu lari cepat ini kita tak mungkin mendekati mereka, ayah. Satu-satunya jalan harus melalui Jin-seng-sut. Coba masukkan tanganmu ke saku bajuku dan harap ayah pejamkan mata!”

Giam Liong terbelalak. Ia telah melihat puteranya berjuang mati-matian akan tetapi jarak di antara mereka benar-benar tak dapat diperpendek lagi. Di sini terjadi adu ilmu lari cepat dan Giam Liong benar-benar takjub bukan main. Tubuh puteranya melesat seperti bayang-bayang akan tetapi lawan di depan juga tak kalah hebatnya.

Pemuda itupun hanya merupakan titik hitam dan tiga kali nyaris lenyap. Hanya karena ia membawa seseorang maka ilmu lari cepatnya agak terganggu, terlihat dan dikejar lagi namun Sin Gak tak lebih dari itu. Jarak mereka tetap jauh. Maka ketika tiba-tiba pemuda ini hendak mengerahkan Jin-seng-sut dan itulah kesaktian berbau sihir, Giam Liong tergetar maka tiba-tiba saja pendekar ini memejamkan mata dan memasukkan tangannya ke saku baju puteranya.

“Baiklah, hati-hatilah, anakku. Betapapun orang di depan itu amat luar biasa sekali dan rupanya berbahaya dan ganas!”

Sin Gak tak menjawab ini. Ia sebenarnya tegang dan kaget serta marah. Selama ini belum pernah ia mengeluarkan Jin-seng-sut karena cukup dengan Sian-eng-sut saja ia mampu berkelebat secepat cahaya. Akan tetapi raksasa muda di depan itu, ah! Ia teringat sesuatu dan mengeluarkan keringat dingin. Apakah itu seorang murid dari Ngo-cia Thian-it lagi? Sudah empat orang muncul sekarang ini, lima dengan Majikan Hutan Iblis yang diduga sebagai pewaris Te-gak Mo-ki. Maka ketika tiba-tiba ia menjadi penasaran dan marah serta gemas iapun tiba-tiba meledakkan tangannya dan pemuda ini lenyap berubah sebungkus asap menerjang ke depan, cepat bukan main.

“Aiihhhhh.....!” sang ayah terpekik dan kaget. Bukan apa-apa melainkan karena saat itu pendekar inipun lenyap menjadi sebungkus asap putih, tak berbobot dan saat itulah Giam Liong teringat dibawa terbang Song-bun-liong si kakek gagah perkasa. Ia mengalami hal serupa dengan puteranya ini dan tidak memiliki berat tubuh lagi. Ia seakan sukma melesat dengan amat cepat sekali, begitu cepat hingga tahu-tahu sudah menyusul raksasa muda itu. Tapi ketika puteranya melewati lawan dan jelas dua orang itu kaget bukan main, si pesolek berteriak nyaring maka pemuda tinggi besar itu menepukkan tangannya dan blarr, lenyaplah pemuda itu menjadi sebungkus asap hitam menerjang puteranya.

“Wusshh!”

Sin Gak mengelak dan terkejut mengangkat tangan kiri ke atas. Lawan menyambar dan menembus tubuh mereka dan Giam Liong terbelalak ngeri. Begitu saja tubuh mereka dilewati dan lolos, lawan sudah berkelebat dan meluncur ke depan. Dan ketika pemuda itu tertawa bergelak dan pendekar ini mengusap keringat dingin maka Sin Gak membentak dan mengejar lagi.

“Kalian berdua berhentilah!”

“Ha-ha, kalian berdua kejarlah lagi. Ayo, kau tentu Sin Gak adanya, dan itu ayahmu Giam Liong, ha-ha!”

Ayah dan anak terkejut sekali. Ternyata mereka sudah dikenal dan Giam Liong tiba-tiba teringat siapa lelaki pesolek seperti wadam itu. Inilah Siauw Hong, orang yang dulu menculik puteranya itu. Maka ketika ia membentak dan berseru keras segera ia memberi tahu puteranya bahwa banci itu adalah tangan kanan Majikan Hutan Iblis.

“Dia Siauw Hong, penculikmu dulu. Ah, benar, ingat aku. Dia Siauw Hong, Gak-ji, orang yang dulu membawamu lari itu. Kejar, tangkap mereka!”

Akan tetapi Sin Gak membelalakkan mata. Setelah ia mengeluarkan Jin-seng-sut dan lawan membalas serta mengeluarkan ilmu yang sama maka yakinlah dia bahwa pemuda seperti raksasa itu adalah murid di antara dua supeknya, entah Te-gak Mo-ki atau Mo-bin-jin. Maka membentak berseru keras tiba-tiba tangan kanannya bergerak melepas Pek-mo-in-kang.

“Berhenti, sebutkan dirimu dan dari mana kau mencuri Jin-seng-sut!”

“Ha-ha, tak usah sombong. Hari ini aku terburu-buru, Sin Gak, tak ada waktu untuk melayanimu. Pergilah dan jangan kira aku takut... desss!” lawan membalik dan mengibaskan tangan kanannya pula dan bertemulah Pek-mo-in-kang dengan asap hitam bergumpal-gumpal.

Asap itu meledak dan pecah dan Sin Gak terhuyung. Lawan lari lagi dan si pesolek begitu ketakutan. Ia meminta agar meninggalkan ayah dan anak ini dan raksasa muda itu mengangguk. Setelah Sin Gak melewati kepalanya maka ayah dan anak sama-sama melihat wajah hitam mengkilap dari seorang pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal sementara bola matanya sebesar jengkol, melotot dan kemerah-merahan dan wajah itupun cukup membuat ngeri orang yang melihat. Belum bentuk kaki dan lengan yang besar-besar, betis sebesar kepala anjing dengan lengan berotot melingkar-lingkar.

Pemuda ini benar-benar raksasa muda yang dahsyat dan siapapun ngeri berhadapan dengannya. Matanya yang bulat melotot itu tak pernah berkedip, biji matanya seakan hendak meloncat keluar dan pemuda ini benar-benar buruk dan menyeramkan. Sepasang matanya ganas menyambar dan bibir itu tak bisa merapat, memperlihatkan giginya yang kuning dekil dan berbau. Tawanya membawa uap busuk hingga Giam Liong menutupi hidung. Sin Gak pun hendak muntah-muntah. Namun karena si pesolek adalah Siauw Hong dan Sin Gak tentu saja merasa berkepentingan, itulah tangan kanan Majikan Hutan Iblis maka pemuda ini tiba-tiba berkata kepada ayahnya apakah dia boleh bergerak sendirian dulu, ayahnya diturunkan disitu.

“Aku tak bebas kalau bersama ayah, bagaimana kalau ayah turun dan aku mengejar sendiri.”

“Baik, turunkan aku. Melihat si banci itu tiba-tiba darahku mendidih, Sin Gak, hadapilah raksasa itu biar Siauw Hong bagianku.”

Sin Gak melepaskan ayahnya. Ia melempar ayahnya tinggi-tinggi ke udara sementara tubuhnya melesat dua kali lebih cepat. Tanpa ayahnya lagi tentu saja gerakannya lebih luar biasa, lawan terkejut ketika tahu-tahu ia telah berjungkir balik dan turun di depan lawannya ini. Lalu ketika raksasa itu terpekik menghantam Sin Gak maka pemuda ini menyambut dan kali ini dua tangannya maju mendorong.

“Bressss!”

Dua cahaya hitam putih meledak amat dahsyat. Udara tertutup gumpalan asap dan raksasa muda itu terpelanting, ia tak kuat menghadapi dua lengan Sin Gak yang maju berbareng. Dan ketika ia melengking dan suaranya dahsyat memekakkan telinga, Sin Gak berkelebat maka ia telah berdiri di depan lawannya dengan mata bersinar-sinar.

“Kau murid supek Mo-bin-jin, bagus, aku telah mengetahui.”

“Dan kau murid jahanam Sian-eng-jin. Keparat, terima pukulanku, Sin Gak, kami telah tahu bahwa kau memiliki Pek-mo-in-kang. Harghhhhh !” raksasa itu menubruk dan menggeram amat marah. Iatelah dihalangi dan tak mungkin lari, mau tidak mau harus berhadapan dulu dengan lawannya ini dan Sin Gak berkelit. Dan ketika si raksasa membalik dan tertawa mendorong dua tangannya lagi maka Sin Gak membungkuk dan menerima pukulan lawan sekaligus menjajal dan mengetahui tingkatannya.

“Desss!”

Pemuda ini bergoyang-goyang akan tetapi lawan terjengkang dan bergulingan. Hawa dingin Pek-mo-in-kang menyergap lebih kuat dan raksasa itu menggigil kedinginan, ia harus melempar tubuh dan kaget sekali. Namun ketika ia meloncat bangun dan mencabut senjatanya, sepasang gada hitam maka tawanya menggetarkan gunung ketika menerjang dan tidak banyak bicara lagi. Sin Gak menutupi hidung melawan rasa muntah. Busuk sekali, bau mulut pemuda itu.

“Ha-ha... hyahhh! Terima dan Mampus kau, bocah. Mari kuremukkan kepalamu dan mana si tua bangka Sian-eng-jin...blaarrr!” api memuncrat disusul ledakan amat kuat. Batu hitam di belakang Sin Gak hancur lebur ditimpa gada itu dan selanjutnya senjata ini menyerang lagi. Angin sambarannya menderu bagai topan dahsyat, tenaga ayunannya juga dahsyat mengerikan sanggup menghancurleburkan bukit.

Dan ketika dari senjata itulah Sin Gak mengenal lawannya, inilah ciri-ciri murid Mo-bin-jin maka pemuda itu mengelak maju mundur dan kedua tangannya menerima dan membalas dengan pukulan-pukulan dingin Awan Iblis. Pukulan ini didapatnya dari latihan terakhir, tapi yang lebih hebat lagi adalah warisan tenaga gurunya itu.

Si raksasa berteriak dan terjungkal ketika gada bertemu telapak tangan. Ada tenaga dorong amat kuat memukul balik senjata hitam legam itu, membuat pemiliknya terpelanting akan tetapi raksasa ini hebat sekali. Ia bergulingan meloncat bangun menyerang lagi, dua kali Sin Gak menampar pundaknya akan tetapi lawan tak merasa apa-apa. Nyata lawan memiliki tubuh kebal berkat latihan yang matang. Namun karena hawa dingin pukulan itu menembus tulang sumsum, si raksasa menggigil maka setelah meloncat dan menyerang lagi hawa dingin itupun punah dan Sin Gak kagum akan daya tahan lawannya ini.

“Kau suteku, tapi sute murtad. Heh, ini suhengmu Thai Bang Kok Hu, Sin Gak, tak tahu hormat menyerang saudara tua dan serampangan saja. Berhenti, atau mampus kau!”

Gada meledak menyambar batu hitam dan Sin Gak berkelebat dengan amat cepat ke belakang punggung. Ia penasaran juga akan kehebatan lawannya ini dan memencet tulang belakang. Di situ ia mengeraskan jarinya menotok jalan darah Yang-ce-hiat, biasanya orang akan roboh dan merasa tulang serasa dilolosi, terbakar. Tapi ketika lawan hanya menggeliat dan lagi-lagi membalik dan menghantamnya akhirnya pemuda ini mengerutkan keningnya juga.

Hebat memang raksasa ini. Gerak-geriknya mengingatkan Sin Gak akan cerita gurunya tentang supeknya nomor dua, Mo-bin-jin. Kira-kira seperti inilah sepak terjang supeknya itu, kasar dan buas namun berbahaya dan mematikan. Kalau bukan dia yang menerima dan menyambut pukulan gada itu tentu remuk. Senjata di tangan lawannya ini menderu dan berkesiur amat dahsyat merobohkan apa saja.

Batu dan segala macam pasir berhamburan, tempat itu sudah penuh debu dan ini justeru berbahaya karena di balik debu dan segala yang menghalang pandangan itu dapat saja gada mengerikan itu menimpa kepala. Untunglah dengan kepandaiannya mengelak dan berkelebatan cepat ia mampu menghindar, Sin Gak memiliki sepasang mata tajam untuk melihat gerak-gerik lawannya itu. Dan ketika ia berkelebatan dan satu ketika menerima pukulan gada maka Sin Gak terdorong dan harus diakui bahwa lawan benar-benar bertenaga gajah.

“Plak!” telapaknya terasa panas menyambut benda berat itu. Ia telah mengerahkan Pek-mo-in-kangnya untuk menerima pukulan itu, tetap saja tergetar dan lawan tertawa tergelak-gelak. Tawa itu menyemburkan bau busuk luar biasa yang mengharuskan pemuda ini menahan napasnya.

Tapi ketika Sin Gak maju kembali dan mainkan Silat Bayangan Dewa maka lawan tak dapat tertawa lagi karena dengan gerakan cepat ia berkelebat dan mengirim atau membalas pukulan lawan dengan tepukan atau tamparan, totokan dan sikutan dan semua itu tentu saja dengan pengerahan Pek-mo-in-kang. Dari lengan pemuda ini muncul uap dingin yang kian tebal, udara di sekitar mereka perlahan-lahan beku dan daun-daun pohon menjadi kaku.

Sambaran gada tak lagi dapat menggoyangkan pucuk-pucuk daun di atas, raksasa itu terbelalak dan merah mukanya dan tiba- tiba ia membentak. Tangan kirinya bergerak menyambarkan benda-benda putih berkilau, senjata gelap berupa serpihan tulang-tulang mengerikan itu. Namun ketika Sin Gak mengibas dan meruntuhkan semua itu maka lawan melotot dan menjadi gusar.

Akan tetapi bukan hal mudah bagi Sin Gak untuk mengalahkan lawannya ini. Meskipun tamparan atau tepukannya mendarat di tubuh lawan akan tetapi raksasa itu memiliki kulit dan daging yang atos. Berapa kali tamparannya mental bertemu tubuh seperti karet, meskipun lawan meringis tak tahan disambar hawa dinginnya. Dan ketika mereka bertanding sama-sama cepat dan saling ngotot untuk memperoleh kemenangan maka di tempat lain si wadam bertemu Giam Liong.

“Hm!” Giam Liong berapi memandang lawannya ini. “Sekarang aku ingat semua, Siauw Hong. Kaulah orang pertama yang menjadi gara-gara. Serahkan kepalamu dan katakan di mana majikanmu!”

Si banci ini ngeri. Sinar putih berkelebat dan itulah Golok Maut yang berhawa menyeramkan. Melihat golok itu dicabut seakan melihat dewa el-maut saja, si banci membalik dan lari. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan membentak laki-laki ini maka golok menyambar dan si banci bergulingan minta tolong.

“Aduh, tolong, Kok Hu...bret!”

Pundak laki-laki itu terbabat dan si banci berteriak ngeri. Ia bergulingan mendekati temannya dan si raksasa terbelalak. Giam Liong mengejar dan membentak lawannya ini dan matanya bersinar membunuh. Akan tetapi ketika lawan bergulingan dan mengelak serta meloncat bangun maka That Bang Kok Hu, raksasa muda itu menangkis serangan Giam Liong, empat benda putih berkeredep menyambar.

“Mundur...tring-tring-trangg!”

Giam Liong terkejut. Ia terhuyung oleh tangkisan tulang-tulang kecil itu namun Sin Gak membentak menyerang lawan. Si banci berlindung dan berputaran di punggung temannya dan Giam Liong berhati-hati. Raksasa itu kembali menangkis dan membuatnya mundur. Dan karena Siauw Hong berlari kucing-kucingan licik menyelinap ke sana-sini maka sulit juga bagi Giam Liong menghajar lawannya.

“Jangan lari, pengecut. Ke sini, Siauw Hong, mana keberanianmu ketika menculik puteraku dulu. Ayo, jangan berlindung di belakang temanmu!”

Akan tetapi si banci sudah terlalu gantar menghadapi Golok Maut itu. Dua kali ia terbabat dan itu cukup, diam-diam ia mengeluh. Dan karena satu-satunya jalan hanya berlarian di sekitar temannya, di situlah Giam Liong ditangkis dan terpental akhirnya si banci ini berteriak agar temannya meninggalkan Sin Gak.

“Twa-heng akan marah kepadaku kalau kita tak segera datang. Tinggalkan saja mereka ini, Kok Hu. Cepat kita pulang dan temui Twa-heng!”

Tingkah si banci ini memang mengganggu. Baik si raksasa maupun Giam Liong sama-sama tak senang. Kok Hu terganggu karena pertandingannya dengan Sin Gak sementara Giam Liong tak berani terlalu dekat karena timpukan tulang si raksasa membuat tangannya yang memegang golok perih sekali. Ia terkejut karena telapaknya lecet. Dan ketika berkali-kali Siauw Hong mengganggu dan berteriak-teriak akhirnya raksasa ini menggeram melepas tiga senjata rahasia ke arah pendekar itu.

“Mundur atau kau mampus!”

Giam Liong terkejut. Tiga sinar putih menyambar depan mukanya dengan cepat sekali, mata leher dan dada. Padahal tadinya raksasa muda itu menimpuk atau selalu menyerang senjatanya. Maka ketika ia berseru keras menangkis tiga tulang ini maka pendekar itu terkejut karena baru dua kali meruntuhkan dua senjata rahasia mendadak goloknya terlepas dan benda ketiga meluncur cepat menuju dadanya.

“Tring-trang!”

Bukan hanya Giam Liong yang terkejut. Sin Gak, yang melihat betapa ayahnya menangkis tiga tulang itu diam-diarn khawatir dan terkejut. Tak mungkin ayahnya menangkis tiga senjata rahasia itu, yang dilontarkan dengan tenaga dahsyat dan batu pun dapat berlubang. Seharusnya ayahnya mengelak dan membuang diri. Maka ketika benar saja hanya dua senjata rahasia yang berhasil ditangkis, itupun membuat telapak yang lecet menjadi pecah maka golok ayahnya terlepas dan sinar ketiga itu bercuit menyambar dada.

“Awas!” Sin Gak tak dapat berdiam diri. Ia membentak mengebutkan lengannya dan meluncurlah pukulan jarak jauh menampar tulang itu. Akan tetapi karena sambitan itu amat kuatnya dan tulang hanya bergeser miring maka benda ini akhirnya menancap di pundak sang ayah dan Giam Liong jatuh terduduk.

“Ha-ha-ha!” Thai Bang Kok Hu berjungkir balik meloncat mundur. “Lain kali kita bertemu lagi, Sin Gak, atau ayahmu mampus!”

Raksasa itu terbang menyambar temannya. Ia telah merobohkan Giam Liong dan Naga Pembunuh ini pucat. Cepat sekali pundak kirinya membengkak, hitam dan ia merasa nyeri yang hebat. Tulang itu ternyata beracun. Tapi ketika Sin Gak meloncat mendekati ayahnya dan cepat mencabut tulang itu maka pemuda ini menempelkan lengannya menyedot racun.

“Harap tahan napas dan tolak dari dalam. Kita harus cepat mengeluarkan racunnya, ayah. Jangan berpikir yang lain!”

Sang ayah mengangguk. Giam Liong merasa tak ada artinya lagi di hadapan anak-anak muda sekarang. Setelah ia dirobohkan pemuda tinggi besar itu dan Sin Gak menolongnya maka pendekar ini mengeluh. Kepandaiannya sudah tidak berarti lagi di hadapan generasi baru, ia seakan begitu lemah dan bodoh. Dan ketika ia memejamkan mata dan menolak racun akhirnya darah hitam keluar dari luka kecil itu, darah yang mengeluarkan bau busuk. Lalu ketika ia bangkit terhuyung dengan wajah muram maka ia memungut tulang kecil itu, terkejut karena tulang itu adalah potongan kecil dari tangan seorang bayi.

“Keji, sungguh iblis. Ternyata senjata rahasianya terbuat dari tulang anak kecil, Gak-ji, dan ia merendamnya dengan racun. Ah, siapa dia dan hebat sekali!”

“Ia murid supek Mo-bin-jin. Lengkaplah sudah murid-murid Ngo-cia Thian-it, ayah. Semuanya sudah keluar dan satu demi satu unjuk gigi. Ia berbahaya, dan aku belum dapat merobohkannya.”

“Dan ia bersama Siauw Hong, tentu ke Hutan Iblis!”

“Benar, dan kita akan ke sana. Mari kita kejar dan temukan mereka.”

“Nanti dulu, pikiranku berubah. Kita tak boleh langsung kesana dan cari dulu bala bantuan!”

“Maksud ayah?”

“Raksasa muda itu hebat sekali, Gak-ji, aku jelas tak mampu menandingi. Kalau ia bersama Majikan Hutan Iblis dan kau dikeroyok tentu celaka. Tidak, aku tak mau mengorbankan dirimu. Kita cari dulu Bi Hong dan temukan gadis itu!”

Pemuda ini tertegun. Tiba-tiba ia sadar dan mengangguk. Alangkah berbahayanya kalau Majikan Hutan Iblis itu bergabung dengan lawannya tadi, sama seperti dulu ketika Majikan Hutan Iblis dikeroyok Giok Cheng dan Su Giok. Maka termenung dan menarik napas dalam akhirnya ia berkata, “Baiklah, kau benar, ayah, meskipun aku pribadi tidak takut. Kita cari dulu Bi Hong tapi di mana gadis itu.”

“Siapa tahu, atau kita berpencar saja dan bertemu di Hutan Iblis, tak jauh dari Ci-bun. Kau ke kanan aku ke kiri. Kita bertemu di sana!”

“Hm, kita berpisah?”

“Kau bukan anak kecil lagi, Sin Gak sebelumnya juga sudah pernah berjalan sendiri!”

“Tapi aku tak ingin meninggalkan ayah. “

“Aku juga bukan anak kecil, aku masih didampingi senjataku ini. Sudahlah kita bertemu di tempat itu dan siapa lebih dulu bertemu Bi Hong harap ceritakan itu!”

Sin Gak dengan berat mengangguk. Apa boleh buat ia menyetujui juga rencana ayahnya ini. Siapa lebih dulu menemui Bi Hong langsung saja menceritakan musuh baru itu. Dan ketika ayahnya berkelebat menyambar goloknya lagi akhirnya pemuda inipun bergerak dan seiring tapi berpisah tempat. Dan karena ayahnya sudah sembuh dari cengkeraman racun maka Sin Gak pun tak begitu khawatir dan berkelebat pula berpencar meninggalkan tempat itu.

* * * * * * * *

Marilah kita lihat gadis murid si Naga Berkabung ini. Setelah ia meninggalkan hutan tak mau mendengar kata-kata Sin Gak lagi Bi Hong terisak berlari cepat. Ia merasa kecewa juga malu. Kenapa ia harus teringat pemuda itu kalau sudah jelas pemuda itu sudah terikat jodoh dengan keluarga Hek-yan-pang? Kenapa ia lalu kembali dan menuju bekas perpisahannya dulu dengan Sin Gak? Dan pemuda itupun tiba-tiba juga ada di situ!

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa diam-diam murid Song-bun-liong ini jatuh cinta. Sejak pertemuannya dan pertandingannya pertama dulu dengan Sin Gak gadis ini menaruh kekaguman besar. Semula ia terkejut bahwa ada seorang pemuda lihai mampu mengimbanginya, padahal ia murid Ngo-cia Thian-it. Tapi setelah ia tahu bahwa pemuda itu juga murid Ngo-cia Thian-it dari tokoh yang lain, Si Bayangan Dewa maka gadis ini diam-diam girang karena sesungguhnya ia dan Sin Gak tak berbeda jauh. Dan Sin Gak memiliki pula Bu-bian-kang, ilmu tanpa bobot itu!

Tapi kegembiraan gadis ini menjadi terganggu setelah ia tahu betapa pemuda, yang dikaguminya itu telah dijodohkan orang tuanya. Dan gadis pilihan itu ternyata Giok Cheng, sumoinya lain guru, murid dari bibi-gurunya Hek-i Hong-li! Ada rasa panas membakar ketika mula-mula ia tahu ini. Ada rasa tak suka, cemburu! Tapi ketika ia melempar tubuh, di bawah sebatang pohon dan menyendiri di situ, menarik kuat-kuat segala nafsu hati, maka ia segera membayangkan wajah gurunya yang sareh dan sabar.

“Orang hidup selalu dipenuhi persoalan, tak habis-habisnya. Dan sebagian besar persoalan itu selalu bersumber pada kepentingan diri pribadi. Nah, berhati-hatilah apabila kau mengalami hal ini, muridku, waspadalah dan selalulah teringat Kebenaran karena hanya dengan Kebenaran tindak-tandukmu tak membuahkan akibat buruk di kelak kemudian hari. Ingat dan camkan itu bahwa kepentingan pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri tidaklah baik. Manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang seharusnya membagi kepentingannya dengan kepentingan orang lain. Dengan begini kau tak akan serakah, ingat dan selalu waspada bahwa suatu saat semuanya itu menghasilkan buah. Yang buruk akan menerima buruk dan yang baik akan menerima baik. Manusia hidup hanya sekedar mengisi aliran sungainya dengan benih-benih perbuatannya. Keserakahan dan ketamakan hanya akan membawa akibat kesengsaraan belaka. Ingat dan waspadalah akan itu.”

Bi Hong mengangguk-angguk. Waktu itu ia sudah dapat diajak bicara dan cukup dewasa. Dalam setiap wejangan gurunya ini ia selalu menaruh perhatian. Maka ketika hari itu gurunya tampak tersenyum dan membelai rambutnya maka tiba-tiba gurunya ini berkata tentang asmara.

“Kau sudah berusia delapan belas tahun, mekar bagai bunga yang semerbak. Di saat inilah kau akan memasuki dunia aneh tapi nikmat, akan jatuh cinta. Hati-hatilah kalau sudah menentukan pilihan seorang pemuda karena sekali terikat tali perkawinan maka susah senang mengikuti seumur hidup.”

“Ihh!” ia terkejut, seketika merah mukanya. “Suhu bicara apa?”

“Heh-heh, aku bicara apa adanya. Benih cinta akan muncul di hatimu, Bi Hong, bukan cinta kepada guru melainkan cinta kepada pria, cinta asmara. Ingatlah bahwa dalam hal inipun kau harus berpijak kepada Kebenaran. Hati-hati dan lihatlah jangan sampai terjebak kepentingan pribadi.”

“Aku tak mau jatuh cinta, dan aku tak akan jatuh cinta!” waktu itu ia mengomel dan semakin semburat. “Aku tak suka bicara ini, suhu, yang lain saja!”

“Hm-hm, mana mungkin itu. Kau sudah dewasa, Bi Hong, kau sudah berkembang bak sekuntum bunga mawar. Kalau kau tidak jatuh cinta maka orang lain yang jatuh cinta.”

“Ah, suhu tak usah bicara itu. Aku malu!”

Namun gurunya terkekeh. Dengan lembut dan penuh sayang gurunya ini meraih kepalanya, kembali mengusap dan mengelus rambut hitam gemuk itu. Lalu ketika ia menyembunyikan muka di kaki gurunya itu maka gurunya tertawa. “Dengar, aku tidak bergurau. Cinta adalah segala-galanya dalam hidup ini, Bi Hong, cinta adalah sumber kehidupan. Tahukah kau bahwa tanpa cinta kehidupan ini tak akan ada, hampa. Tanpa cinta manusia telah menjadi mati dan kering. Cinta sungguh segala-galanya!”

Dia masih tak berani mengangkat muka, mendengarkan saja.

“Lihat bunga-bungaan dan serangga itu. Tanpa cinta dan kasih sayang mereka tak akan berkembang. Kalau kau tak menyiraminya setiap hari maka mereka akan layu dan mati.”

Ia mendengarkan saja, lagi-lagi tak berani mengangkat muka.

“Dan kau, tanpa cinta dan kasih sayang di hatiku apakah masih hidup, Bi Hong. Kalau dulu aku membiarkanmu di jalanan menggelandang maka hidupmu tak akan lama. Kau bocah kecil penuh kudisan. Kau tak ada yang menghiraukan dan kurus kering merana.”

Sampai di sini Bi Hong terisak. Waktu itu teringatlah dia akan kesengsaraannya di masa kecil. Orang tuanya meninggal dunia oleh wabah penyakit, ia luntang-lantung mengais makanan sampai akhirnya bertemu gurunya ini. Dan ketika ia tiba-tiba menangis dan tersedu memeluk gurunya maka kakek itu tersenyum mengusap-usap lembut.

“Nah, lihat benarnya ucapanku. Cinta adalah segala-galanya, Bi Hong, tapi dengan cinta pula manusia terjebak dan menderita.”

“Apa maksud suhu,” gadis itu mengangkat muka, air matanya membasahi pipi. “Kenapa cinta menjebak dan membuat manusia menderita. Bukankah cinta adalah hidup!”

“Hm, begitu seharusnya. Tapi cinta yang ini buatan manusia, muridku. Cinta yang ini terbungkus kepentingan nafsu pribadi. Karena itu dengarkan baik-baik, agar kau tidak terjebak.”

Bi Hong menarik tubuhnya dari pelukan gurunya. Ia akhirnya heran juga mendengar ini, sebelum itu sudah berkali-kali mendapat wejangan tentang cinta. Betapa tanpa cinta bunga-bunga itu akan layu kekeringan. Betapa tanpa cinta semua yang bergerak dan ada di atas bumi ini akan mati dan merana. Maka ketika tiba-tiba gurunya bicara tentang cinta yang lain, cinta buatan manusia maka ia terheran dan membelalakkan matanya yang indah bulat itu, sepasang mata jeli dan bening bak bintang kejora.

“Aku tak mengerti bagaimana itu, dapatkah suhu memberi contoh!”

“Hm, contohnya adalah diriku ini. Masih ingatkah kau akan bibi gurumu Hek-i Hong-li?”

Gadis ini mengangguk, semburat. “Isteri suhu itu?”

“Benar, dia. Tapi apa yang terjadi, Bi Hong. Aku merasa dikejar-kejar dan akhirnya beginilah nasibku. Bibimu itu terlampau memaksa dan mementingkan dirinya sendiri. Ia selalu mengejar-ngejar aku, merepotkan aku.”

Bi Hong menunduk. Sebagai murid Ngo-cia Thian-it tentu saja ia sudah mendengar kisah sedih itu, betapa bibi gurunya Hek-i Hong-li mengejar-ngejar gurunya, berhasil dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Tapi heran dan belum mengerti ke mana arah gurunya hendak bicara maka ia mendengarkan saja.

“Apa yang kau tangkap dari kisahku ini. Bagaimana pendapatmu tentang bibi gurumu Hek-i Hong-li.”

“Hm,” Bi Hong terkejut juga. “Cintanya yang besar kepadamu, suhu. Kasih sayangnya yang luar biasa!”

“Salah!” kakek itu tertawa. “Salah besar, muridku. Justeru sebaliknya, bibi gurumu itu mencintai dan menyayang dirinya sendiri, aku hanyalah alat!”

“Ah!” gadis ini terbelalak. “Mana bisa begitu, suhu? Bukankah ia mati-matian membelamu dari Te-gak Mo-ki dan sutemu Mo-bin-jin?”

“Benar, itu lain lagi. Pertandingan di antara kami tak ada hubungannya dengan ini, Bi Hong, maksudku dengan apa yang sekarang ingin kubicarakan ini. Wajar apabila sumoiku membantuku dari keroyokan dua orang musuh.”

Bi Hong terheran-heran. “Kalau begitu bagaimana.”

“Dengar, aku hendak mengupas ini. Setelah aku tepekur dan merenungkan itu maka kudapat jawabnya. Tak dapat kusangkal bahwa dulu sumoiku itu kuanggap mencintaiku, lahir batin. Tapi setelah aku bertapa dan merenung kudapatkan sesuatu yang lain sama sekali, Bi Hong, sesuatu yang terselubung. Dan selubung inilah yang sekarang hendak kubuka!”

“Hm, coba suhu ceritakan itu.”

“Ya, memang akan kuceritakan, tapi sebelum itu coba kau ingat bagaimana dulu bibi-gurumu itu mengejar-ngejar aku. Apa yang melandasinya.”

“Cinta, tentu cinta!”

“Kau terlalu bersemangat. Ha-ha, tadi kau tak suka bicara ini, Bi Hong, sekarang tiba-tiba saja begitu menggebu. Eh, kau tentu mulai membayangkan asmara pula, hubungan dengan pria yang kau cinta atau pemuda pujaanmu itu!”

Gadis ini tersipu-sipu. Tak dapat disangkal bahwa sejak ia berangkat remaja telah ada semacam dorongan di hati untuk memperhatikan hal-hal kecil yang berhubungan dengan ini. Misalnya saja ketika seekor kupu-kupu besar hinggap kupu-kupu betina, atau seekor ayam jantan yang gagah menerkam ayam betina dan duduk di punggungnya, juga sepasang, lebah atau hewan-hewan lain yang berkerumun menghisap madu di antara putik putik sari. Diam-diam ia memperhatikan ini dan timbullah rangsang aneh bagaimana kalau ia menjadi kupu-kupu betina itu misalnya, atau ayam betina yang jinak menyerahkan diri.

Tentu saja ia melihat semua itu tanpa sepengetahuan gurunya dan diam-diam wajahnya memerah. Ada hasrat aneh untuk ikut-ikutan seperti itu, rasa nikmat yang tak dikenalnya dan malam harinya tiba-tiba saja ia bermimpi. Ayam jantan berubah menjadi seorang pemuda gagah dan berkenalanlah ia dengan pemuda itu, asyik-masyuk bicara itu sampai berpegangan tangan pula. Tapi ketika ia hendak digigit dan pemuda itu melompat ke punggungnya mendadak ia menjerit dan mimpi itupun buyar!

“Heh-heh, bagaimana? Kaupun merasakan sebagaimana layaknya anak-anak muda lain, bukan? Tak usah malu. Setiap manusia mengalami hal yang sama, muridku, itu sesuatu yang wajar dan pasti terjadi. Tapi ada yang berbahaya di sini, kalau orang mulai jatuh cinta dan merasakan jatuh cinta!”

Bi Hong masih kemerah-merahan, menunduk.

“Tahukah kau apa yang berbahaya itu.”

Gadis ini menggeleng.

“Masuknya kepentingan pribadi itu, Bi Hong. Rasa ingin disenangkan diri sendiri!”

Gadis ini terkejut, mengangkat muka.

“Ya,” gurunya menyambung. “Rasa ingin disenangkan itulah yang berbahaya, sebab kalau tidak dituruti maka ia akan meledak dan berobah menjadi kemarahan, benci. Karena itu berhati-hatilah kalau kelak kau jatuh cinta, karena cinta tidak harus selalu menuntut, iapun memberi, dan memberi adalah pengorbanan!”

Bi Hong sudah dapat menguasai hatinya lagi, terbelalak. Ia mendengarkan kata demi kata dari mulut gurunya ini dan terguncang. Ada sesuatu yang membuatnya tergetar. Tapi karena ia masih belum mengerti sepenuhnya dan merasa samar-samar, iapun memandang saja maka ia tak memberi jawaban atau komentar. Biasanya kalau sudah begini gurunya akan menjelaskan sendiri.

“Lihat dan rasakan kelak, buktikanlah kebenarannya. Pria wanita di dunia ini sama saja, muridku, mereka rata-rata ingin disenangkan dirinya sendiri. Cinta yang ada di hati mereka bukan lagi cinta murni, cinta mereka adalah cinta yang berpusat pada kepentingan diri sendiri!”

“Hm, bagaimana suhu bisa bicara seperti itu. Dapatkah suhu menjelaskan yang lebih dekat.”

“Bibi-gurumu itulah contohnya. Ia sebenarnya menuju kepada pemuasan kepentingan dirinya sendiri, Bi Hong, bukan kepentingan orang lain. Dan karena ia mementingkan dan memuaskan dirinya sendiri maka perkawinan kami berantakan. Ia selalu ingin menang!”

“Hm!” gadis ini bersinar-sinar, tajam memandang gurunya. “Bagaimana suhu dapat mengatakan itu? Apakah karena semata ia tak mau tunduk?”

“Bukan, bukan masalah ini. Sumoiku itu memang tak pernah mau tunduk kepada orang lain, Bi Hong, ia memang keras kepala dan kepala batu. Akan tetapi dalam persoalan ini ia harus melihat kepentingan orang lain, bukan hanya kepentingan dirinya pribadi!”

“Aku belum mengerti, coba suhu jelaskan.”

“Baik, begini. Bukankah sudah kujelaskan bahwa sesungguhnya aku tak mau kawin lagi. Aku tak ingin menikah setelah isteriku pertama meninggal dunia. Aku bersumpah waktu itu. Tapi karena bibi gurumu itu ngotot mengejar-ngejar aku maka akhirnya aku terjebak setelah di dalam jurang itu ia mengancam bunuh diri.”

Bi Hong mengangguk. Sampai di sini ia telah paham, gurunya telah bercerita tentang itu. Tapi karena ia diam saja sebagai pendengar yang baik maka ia tak berkomentar sepatahpun.

“Nah, di situlah awalnya. Sumoiku itu terlalu mementingkan dirinya sendiri, ia tak mau tahu kepentinganku. Kalau saja ia dapat menghargai kepentinganku dan hidup tak mau menikah lagi mungkin aku tak merasa didesak dan dipojokkan sedemikian rupa. Dan akhirnya semua itupun terjadi!”

“Jadi maksud suhu bibi-guru Hek-i Hong-li salah?”

“Ya, jelas sekali, Bi Hong, ia terlalu menuruti adatnya sendiri. Aku ternyata hanya alat, alat pemuas keinginannya sendiri.”

“Tunggu, untuk ini aku kurang mengerti. Bagaimana suhu mengatakan itu!”

“Begini, sejak aku menjadi suhengnya maka sesungguhnya aku tak mau berdekatan lagi dengan yang namanya asmara, Bi Hong, aku masih terpukul oleh kematian isteriku dulu. Aku bersumpah untuk tidak menikah lagi, janji atau sumpah sebagai pernyataan setiaku kepada isteri. Tapi nasib membawaku lain, sumoiku tergila-gila kepadaku. Aku tak tahu apa yang menyebabkan ia seperti itu mungkin saja karena kesetiaanku memegang cinta.”

“Benar,” Bi Hong mengangguk, setuju, “pria sepertimu sulit dicari, suhu, belum tentu satu di antara seribu. Akupun kagum!”

“Hm, aku tak tahu itu. Yang jelas aku telah melanggar sumpahku, Bi Hong, dan ini karena bibi gurumu itu. Ia terlalu mendesak, tak mau tahu kepentinganku.”

“Agaknya tak dapat terlampau disalahkan. Orang mencinta tentunya begitu, suhu, apalagi kalau kadarnya berat. Aku agaknya tak menyalahkan bibi guru!”

“Hm, tunggu, ada sesuatu yang tidak kau ketahui. Cinta bibi-gurumu bersifat menuntut, Bi Hong, dan inilah jeleknya. Bahaya terbuka, dan rumah tangga akhirnya celaka.”

“Aku tak melihat itu!”

“Kau tergesa memotong. Dengar dan perhatikan baik-baik, muridku, justeru di sini aku hendak memberitahu. Aku tak ingin kalau kau kelak seperti bibi-gurumu itu!”

Bi Hong terkejut, membelalakkan matanya.

“Dengarlah,” sang guru melanjutkan. “Dulu ini belum kuketahui tapi sekarang mataku terbuka lebar. Apa yang dilakukan sumoiku ternyata pemuasan kepentingan dirinya pribadi. Ia tidak mencintaiku karena sebenarnya ia mencintai dirinya sendiri. Aku hanya alat, alat yang dipakainya!”

“Hm,” Bi Hong tak menjawab, diam saja.

“Dulu aku tak tahu ini karena memang belum ada kesadaran, muridku, tapi setelah aku tua dan merenung bertahun-tahun maka kudapatlah jawabannya. Bibi-gurumu itu benar-benar mengejar kepentingannya pribadi.”

“Coba suhu jelaskan, di mana letak kepentingan pribadinya itu,” Bi Hong tak sabar dan akhirnya bertanya.

“Letaknya adalah di dalam Aku, pusat dari segala keinginan manusia. Dan karena Aku ini telah keluar dari rel kebenarannya maka sumoiku melenceng dan ia membabi-buta memenuhi nafsunya. Gurumu menjadi korban.”

“Hm, masih kurang jelas. Aku masih bingung, suhu. Apa itu Aku, baru kali ini kau mengulas.”

“Benar, tapi dengarkan sajalah. Aku adalah kata lain dari Ego, berpusat di otak. Aku adalah yang berhubungan dengan akal dan pikiran manusia namun acap kali menyertakan rasa. Dan karena ia menarik rasa yang seharusnya bersumber di Hati maka Aku mengobrak-abrik keseimbangan manusia!”

“Tunggu, aku merasa mendapat pelajaran baru. Perlahan sedikit dan coba bedakan keduanya dengan jelas„ suhu. Aku masih bingung tapi samar-samar menangkap!”

“Begini, kau memiliki sesuatu, misalkan saja setangkai mawar indah, baru kau petik dari kebunmu. Kalau tiba-tiba saja seseorang menyambar dan merampas milikmu maka apa yang kau lakukan, muridku, tidakkah kau marah dan akan mengejarnya.”

“Benar, tentu saja kukejar, kutangkap!”

“Bagus, tapi bagaimana kalau kau mempunyai namun tidak memiliki? Bagaimana kalau misalnya bunga mawar itu adalah titipan dariku? Kau memegang bunga mawar itu, muridku, namun bukan milikmu. Dan untuk ini sikapmu tentu lain. Perampas itu mungkin kau biarkan, lapor kepadaku. Atau mungkin kau tetap mengejarnya karena semata merasa tanggung jawab dititipi. Nah, kau bisa mempunyai sesuatu namun tidak memiliki atau kau benar-benar memiliki dan rasa milik ini muncul dari Ego, sang Aku!”

Bi Hong terkejut, kepalanya tiba-tiba pening, merasa berat. “Aku belum dapat mengikuti semua kata- katamu, suhu, akan tetapi beberapa di antaranya mulai kutangkap.”

“Tidak apa, nanti akhirnya mengerti juga. Aku hendak memberitahukan kepadamu bahwa ada dua perbedaan mendasar dari persoalan ini, yakni rasa milik yang timbul dari ke-Aku-an dan rasa punya namun tidak memiliki yang timbul dari Hati, Rasa.”

“Hm-hm, kepalaku berdenyut. ini wejanganmu berat, suhu. Sukar ku kunyah!”

“Dengarkan saja, kunyah belakangan. Aku hendak kembali kepada persoalan bibimu itu, Bi Hong, bahwa ia telah terbawa ke-Aku-annya melenceng begitu jauh hingga sang Rasa ditunggangi, diperbudak. Ia mencintai aku berdasarkan otaknya bukan mencintai aku berdasarkan Hatinya!”

Bi Hong terkejut, sedikit tersentak. Tapi karena ia masih merasa pening maka ia mendengarkan saja. Berat sekali baginya mengunyah itu.

“Kau dapat mengikuti ini?”

“Ya, perlahan-lahan saja.”

“Baik,” sang guru tersenyum. “Bukan makananmu untuk diajak bicara seperti ini, Bi Hong, tapi kuperlukan agar kau tidak terjerumus seperti bibimu. Dengarkan, apa yang kau lakukan apabila seorang pemuda tiba-tiba menolak cintamu!”

Gadis ini terkejut, mengangkat mukanya. “Apa apa suhu bilang?” Ia tergeragap.

“Aku bertanya apa yang kau lakukan bila seorang pemuda menolak cintamu. Apakah kau mengejar-ngejarnya.”

“Tidak, tidak, tentu tidak!”

“Tapi kau kelewat berat mencinta, kadarnya berbobot.”

“Ah, aku tak mau melakukan itu, suhu. Lebih baik mati!”

“Bagus, sekarang bagaimana kalau misalnya kau tiba-tiba adalah bibi-gurumu Hek-i Hong-li itu. Kau ternyata mengejar-ngejar aku.”

“Aku... aku...” gadis ini tertegun. “Apa maksudmu dengan ini, suhu. Kenapa kau memisalkan aku!”

“Jawab saja jangan bertanya, nanti pasti mengerti.”

Gadis ini pucat. Tiba-tiba ia merasa tersudut dan gemetar memandang gurunya itu. Aneh sekali bahwa gurunya tiba-tiba mengajak ia bicara seperti ini. Ia di misalkan bibi-gurunya! Dan karena ia tak mau namun sang suhu mendesak dan menyuruh ia menjawab akhirnya mengeluh dan membuang muka. “Aku tak tahu, aku bingung!”

“Kalau begitu tak akan keluar jawabannya, kau selamanya tak akan mengerti.”

“Ah, kau membuatku takut, suhu. Aku ngeri!”

“Ha-ha, Ini hanya permisalan saja. Hayo kau jawab dan tak perlu takut-takut. Misalkan dirimu adalah sumoiku itu, kau telah mengejar-ngejar aku, mendesakku. Sekarang apa jawabmu kalau kejadiannya seperti ini. Bukankah sebenarnya nafsumulah yang bicara, bukannya hati nurani. Dan karena nafsu berhubungan erat dengan Ego maka kau marah dan kecewa karena merasa tak dipenuhi, ha-ha!”

Bi Hong terkejut, tiba-tiba membelalakkan mata. Ia berdesir merasakan sesuatu dan mendadak memandang gurunya dengan muka yang merah. Tiba-tiba ia merasa sakit hati dikatakan seperti itu. Ia tak kecewa! Maka menggoyang lengan berseru keras buru-buru ia memprotes, “Suhu, aku tak merasa kecewa, aku tak merasa marah. Siapa bilang aku kecewa dan marah karena tak dipenuhi!”

“Ha-ha, masih bodoh, tolol dan goblok. Kalau kau masih sebagai Bi Hong memang perasaan itu tak ada, bocah bengal. Tapi kalau kau adalah sumoiku maka perasaan itu lekat dan amat kuat. Kau tak mendengarkan kata-kataku tadi bahwa kau berlagaklah sebagai bibi-gurumu itu. Kau bukan Bi Hong, kau adalah sumoiku Hek-i Hong-li...!”