Tapak Tangan Hantu Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 30
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
GADIS ini terbelalak dengan muka merah. Memang benar bahwa ia lupa berlagak sebagai orang lain. Tadi ia merasa sebagai dirinya sendiri. Maka ketika gurunya terbahak dan menuding mukanya tiba-tiba iapun sadar bahwa seruannya tadi bukanlah mewakili bibi-gurunya itu. “Hm, kalau begini, ya ya aku menyerah.”

“Menyerah bagaimana?”

“Menyerah bahwa aku mengejar-ngejar suhu.”

“Kurang lengkap, sebutkan bahwa pengejaran itu karena Egomu tadi, nafsu kepentinganmu pribadi!”

“Ya, betul.”

“Betul apanya.”

“Betul karena kepentinganku pribadi itu. Tapi, kepentingan apa yang kau maksud di sini, suhu? Aku kurang jelas.”

“Bodoh, kepentingan untuk menyenangkan dirimu itu. Kepentingan yang tak mau perduli kepentingan orang lain dan akibatnya memaksa atau mengejar-ngejar aku itu. Bibi-gurumu Hek-i Hong-li mencintai dirinya sendiri, aku hanyalah alat. Dan karena pengejaran itu bersumber pada Aku..., Ego... maka cintanyapun berasal dari Ego dan ciri-cirinya adalah menuntut. Nah, jelas atau tidak!”

Gadis ini termangu-mangu, mengangguk. Wejangan itu terlalu berat baginya akan tetapi sedikit- sedikit iapun mengerti. Ada penjelasan tegas tentang Ego ini, yakni sifatnya yang menuntut. Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mulai menyibak sebuah misteri iapun merasa betapa wejangan gurunya itu ada benarnya. “Baik, sekarang aku mulai mengerti, namun masih ada yang lain yang belum suhu ceritakan, yakni tentang Hati. Coba suhu terangkan tentang ini, dan apa bedanya dengan Ego.”

“Hm, betul, perbedaannya menyolok. Kalau cinta yang berasal Ego bersifat menuntut adalah cinta yang bersumber dari Hati sifatnya memberi. Cinta yang ini tulus keluar dari sayang yang murni, artinya tak dicampuri rasa Aku dan selamanya memberi. Cinta seperti ini adalah cinta seorang ibu kepada anaknya, Bi Hong, kasih yang tulus dan hanya ingin memberi dan menjaga, melindungi. Sama sekali tak ada kepentingan si Aku dan jauh dari tuntutan. Hanya kau seorang ibu sudah dimasuki untung, rugi dan cinta Ego mengotori cinta Hati maka cinta yang murni itu lenyap dan ini tentu saja sudah lain. Tapi aku tak bicara ini!”

Bi Hong mengangguk-angguk, sepasang matanya mulai bersinar. “Jadi itukah perbedaan dasar di antara kedua cinta itu?”

“Ya, memberi dan menuntut. Yang satu keluar dari Hati sedang yang lain berasal dari Ego, Otak!”

“Hm, aku mengerti, sekarang aku mengerti. Sudah banyak yang mulai kutungkap dari wejanganmu, suhu, terima kasih. Tapi betapapun aku masih akan menimbanya lagi dari pengalaman.”

“Tentu, hidup adalah gerak. Hidup adalah pengalaman. Namun mengalami pengalaman tanpa menyadari akan inti sari pengalaman itu adalah percuma, muridku. Karena itu camkan bahwa mengalami pengalaman harus kau sertai dengan kesadaran akan pengalaman itu sendiri. Tanpa ini percuma, pengalaman boleh seribu kali masuk namun tanpa kesadaran akan pengalaman itu kau tak akan mendapatkan apa-apa!”

Bi Hong mengangguk-angguk, kagum. Ia semakin melihat betapa berbobotnya wejangan gurunya ini. Setelah sekian tahun berkumpul baru kali itulah suhunya bicara panjang lebar, nasihat atau wejangan yang berat dikunyah. Namun karena ia mulai mengerti dan dapat melihat kebenaran itu, menjadi kagum maka hari itu ketika ia duduk di bawah sebatang pohon menikmati semilirnya angin ia menerka-nerka sendiri seperti apakah cintanya terhadap Sin Gak yang gagah perkasa itu, pemuda yang dikagumi dan sekaligus pria pertama di mana ia mulai jatuh cinta!

Seperti apakah cintanya itu? Ego atau Hati? Kalau ia mau jujur maka sebenarnya dua-duanya ada. Ya Ego ya Hati. Tak dapat disangkal ia ingin menuntut agar pemuda itu mencintainya seorang, bukan Giok Cheng. Tapi teringat betapa pemuda itu sudah dijodohkan sejak semula oleh orang tua masing-masing maka ia harus tahu diri dan mundur, bukan memaksa. Dan teringat wajah gurunya lagi tiba-tiba ia teringat wejangan lain seperti ini.

“Pria wanita acap kali salah menurutkan cintanya. Mereka terlibat emosi. Kalau benar mereka mencinta dapatkah seumur hidup mempertahankan dan menjaganya? Kenyataannya tidak, muridku. Di tengah jalan atau di akhir perjalanan seringkali terjadi perobahan dahsyat. Mereka tiba-tiba saja berbalik dan menjadi musuh!”

“Apa yang suhu maksudkan. Bagaimana cinta berobah menjadi sebuah permusuhan.”

“Ya, ini kenyataan pahit, tapi berulang-ulang terjadi pada generasi dan generasi berikutnya. Aku teringat ketika dulu seorang pemuda pernah kutolong dari ancaman maut. Ia seorang petani muda yang mencintai seorang kembang dusun. Sayang karena gadis itu sudah diberikan kepada seorang laki-laki kaya maka mereka memberontak dan melarikan diri. Pemuda ini nekat melarikan kekasihnya dikejar tukang-tukang pukul hartawan itu, tertangkap dan dihajar dan tentu ia binasa kalau aku tidak datang. Dan ketika aku menolong mereka dan akhirnya dua muda-mudi ini kuselamatkan jiwanya ternyata lima tahun kemudian menyia-nyiakan isterinya dengan kawin lagi!”

“Apa, kawin lagi? Menyia-nyiakan isterinya?”

”Begitulah, aku juga tertegun lima tahun kemudian menemui mereka, muridku. Sang isteri kurus kering dan tersedu-sedu menggendong anaknya yang kecil. Mereka cekcok hebat gara-gara sang suami kawin lagi. Padahal dulu begitu saling mencinta dan berjanji sehidup semati.”

“Cinta gombal itu, bukan cinta sejati. Masa orang mencinta kok begitu. Omong kosong!”

“Hm, inilah kenyataannya. Dan itu pengalaman mengesankan bagiku. Coba kau pikir adakah cinta atau tidak di hati petani muda itu sesungguhnya, maksudku lima tahun sebelum itu.”

“Tak mungkin, tak ada cinta. Laki-laki itu pembohong dan pembual, suhu. Dia hanya berpura-pura saja!”

“Tidak, kalau dia berpura-pura tentu tak akan nekat melarikan kekasihnya, Bi Hong. Tapi waktu itu dia berani berkorban jiwa. Apa artinya itu kalau bukan cinta.”

“Tapi cintanya kotor!”

“Nanti dulu. Jangan terburu menyerang. Waktu itu cintanya terlihat sungguh-sungguh, muridku, siapapun akan merinding melihat dia berani melawan tukang-tukang pukul hartawan. Dia bersungguh-sungguh, kaupun akan percaya itu. Tapi setelah aku merenung, kudapatlah jawabannya yang lebih jauh.”

“Apa itu,” sang murid tertegun. “Yang namanya cinta harus dibela sampai mati, bukan seumur jagung begitu. Aku jadi heran kenapa terjadi perubahan ini dan kenapa pria itu kawin lagi.”

“Coba kau renungkan dulu, apakah cinta petani itu main-main saja.“

“Tadinya aku berpikir begitu.“

“Dan kalau begitu tentunya tak nekat melarikan anak orang.”

“Benar, melihat di sini berarti laki-laki kekasihnya sungguh-sungguh. Tapi kenapa bisa terjadi begitu, suhu, kenapa dia harus kawin lagi dan menyia-nyiakan isterinya?”

“Hm, perkawinan seperti orang dengan sebuah benteng. Sewaktu belum masuk maka orang ingin menjenguk dan mengetahuinya, muridku. Tapi setelah masuk tiba-tiba merasa terikat dan dihukum seumur hidup.”

“Apa?”

“Tunggu, sabar. Manusia memang aneh. Sekarang aku jadi geli kalau memikirkan ini, muridku. Manusia memiliki angan-angan kosong yang sebelum dicapai selalu ingin diisinya lebih dahulu. Tapi begitu dia tahu dan repotnya rumah tangga tiba-tiba dia ingin keluar lagi dari benteng itu. Aku lalu teringat petani muda ini dan seperti itulah kira-kira.”

“Coba suhu jelaskan lebih lengkap, aku kok merasa bingung.”

“Begini, petani muda itu, seperti kebanyakan muda-mudi pacaran selalu memiliki cita-cita muluk yang serba menyenangkan. Cita-cita mereka begitu indah hingga terasa menggantung di langit-langit amat tinggi. Cita-cita atau angan-angan itu dibarengi dorongan berahi. Dan karena berahi membawa nikmat maka mereka tiba-tiba mabok dan kehilangan kontrol dirinya. Semakin melambung angan-angan itu semakin tinggi seseorang dinina bobokkan. Tapi begitu dia terjatuh dan sadar terbanting di bawah tiba-tiba saja dia melihat bahwa apa yang dicapai atau didapat ternyata kosong. Ini menimbulkan frustrasi. Dan karena dia terlanjur merasa nikmat dan bahagia dengan angan-angannya pertama itu maka diapun mencoba mengisi lagi sukma dan kalbunya dengan angan-angan atau cita-cita yang indah itu. Dicarinya korban baru. Diincarnya pasangan baru yang kira-kira cocok untuk dirinya nanti. Dan ketika ia mulai jatuh dan bangun lagi dimabok kesenanganya yang kosong ini maka seumur hidup rumah tangga sejati tak pernah dinikmatinya lagi. Ia lalu menjadi pemburu dan pengejar angan-angan kosong. Manusia telah terjebak oleh kebodohannya sendiri bersumber dari Egonya itu. Kita dikibuli!”

“Hm-hm, jangan terlampau cepat. Kali ini wejanganmu mendirikan bulu kuduk, suhu. Aku merasa seram. Coba kau ulangi dan jelaskan lagi dengan itu.”

"Baiklah kembali kepada petani muda itu. Dulu, sewaktu ia mencintai dan bertekad menyunting kembang desa ini yang ada hanyalah angan-angan serba muluk yang amat memabokkan. Kebetulan ia tak bertepuk sebelah tangan, gadis itupun menyambut. Tapi ketika sang ayah menyerahkan kepada si hartawan kaya tiba-tiba pemberontakan itupun mulai terjadi.”

“Tunggu, ada apa sang ayah menyerahkan anak gadisnya kepada si hartawan!”

“Hm, masalah hutang. Ayah gadis ini terlibat hutang dengan majikannya sendiri, muridku, dan untuk mengambil jalan pintas ia menyerahkan anak gadisnya. Hartawan itu memintanya.”

Bi Hong bersinar-sinar. Tiba-tiba mukanya menjadi merah betapa enaknya ayah gadis itu menyerahkan anak perempuannya pelepas hutang. Sungguh tak bertanggung jawab. Tapi ketika gurunya tersenyum menepuk pundaknya ia sadar lagi.

“Di dunia ini uang dan perempuan saling berkait. Kau tak usah marah-marah kepada kakek petani itu, muridku, kejadiannya sudah lewat.”

“Tapi aku menjadi panas, enak benar orang tuanya menyerahkan anak gadis!”

“Sudahlah, kita kembali kepada persoalan petani muda itu. Apakah kau tak ingin mendengarnya.”

“Ya, coba suhu lanjutkan. Ada apa dengan petani muda itu, kenapa dia kawin lagi!”

“Katanya karena meragukan keperawanan isterinya. Gadis itu pernah disekap di rumah sang hartawan dan petani muda ini kecewa. Tapi setelah aku selidiki ternyata dia bohong.”

Gadis ini semburat. Tiba-tiba dia menjadi jengah ketika gurunya bicara tentang keperawanan. Hampir dia meloncat dan pergi saja dari situ. Malu rasanya bicara tentang ini. Tapi ketika ia tertegun mendengar kata-kata terakhir itu, bahwa si petani berbohong maka tiba-tiba Bi Hong terkejut mengerutkan kening.

“Apa yang dia lakukan, kebohongan apa yang dia perbuat.”

“Kebiasaan lelaki. Petani muda ini ternyata sudah mulai bosan dengan isterinya Bi Hong, dan ia mulai tergila-gila dan tertarik kepada wanita baru. Aku tahu setelah bertanya kepada isterinya dan menyelidiki itu. Ternyata angan-angan indah dan kosong dulu hendak diisi lagi oleh petani muda ini. Ia tergelincir oleh nafsu kesenangannya yang berpusat pada Ego, berahinya bangkit dan timbul gairah setelah isteri terasa membosankan!”

“Hm, Bi Hong menjadi marah. “Begitukah kiranya mereka itu, suhu, hanya mengejar kesenangan dan pelampiasan diri sendiri. Sungguh kurang ajar petani muda itu!”

“Tapi herannya dulu ia membela sang kekasih mati-matian. Waktu itu aku terkecoh dan merasa cintanya murni.”

“Lalu apa yang suhu kerjakan, tidakkah laki-laki itu dibunuh saja!”

“Hm, tidak. Aku diam saja.”

“Apa, suhu diam? Suhu membiarkan sebuah kekejaman lewat begitu saja? Suhu tak menolong wanita malang itu?”

“Heh-heh, cerita sepihak membuat orang lain mudah emosi. Kalau aku membunuh petani itu maka dosaku bertumpuk-tumpuk, muridku. Itu urusan rumah tangga mereka, urusan pridadi. Aku diam saja karena akhirnya kulihat pula kesalahan wanita itu!”

Bi Hong tertegun. “Kesalahan apa.”

“Tak pandai menjaga dan memelihara suasana rumah tangga. Banyak ibu-ibu melalaikan ini, Bi Hong, dan akibatnya suami menoleh keluar. Wanita itu tak lagi secantik dan semenarik dulu. Setelah mempunyai anak satu maka ia tak merawat tubuhnya agar segar dan dicintai suami. Ia melakukan kesalahan besar yang fatal. Cermin keindahannya hancur oleh ketidaktahuannya ini. Ia menganggap bahwa setelah menjadi suami isteri maka tugaspun selesai, tak ada lagi persoalan. Padahal tanpa menjaga dan merawat keindahan tubuhnya itu biasanya suami lalu menjadi jemu dan mencari ganti diluar.”

“Kalau begitu cinta si petani itu didorong berahi belaka, cintanya cinta nafsu!”

“Begitulah orang hidup. Berahi seperti nafsu-nafsu yang lain, muridku, keluar relnya bila tidak dijaga. Tapi karena tanpa berahi tak mungkin manusia memiliki keturunan dan berkembang maka sesungguhnya yang satu ini penting juga. Hanya jangan sampai dia menjadi nomor satu.”

"Kalau begitu berkaitan lagi dengan Ego, bagaimana ini!”

“Jelas, berahi berkaitan dengan Ego, pusatnya di syaraf otak. Kalau otak sudah mengangan-angankan sesuatu yang indah dan orang mabok oleh keindahan ini maka siapapun lupa diri karena berahi menyertakan pula nikmat. Nikmat inilah yang membuat manusia ternina-bobok, dan sekali ia tak mampu mengendalikan dirinya maka si Aku-pun bekerja dengan amat kuatnya untuk mendorong manusia melakukan apa yang diinginkan. Lepas dari ini manusia lebih buas dari binatang.”

Bi Hong ngeri, membelalakkan mata. Ia sendiri belum tahu bagaimana berahi itu akan tetapi kalau kadang-kadang ia berdesir melihat ayam jantan melompat di punggung ayam betina iapun merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding. Ada semacam perasaan nikmat ditambah takut-takut menguasai dirinya. Ada sesuatu yang tidak dikenal namun hinggap membuat perasaannya menjadi syur. Barangkali itulah berahi! Maka ketika ia menunduk dan kemerah-merahan, pembicaraan ini membuatnya jengah maka gurunya melanjutkan lagi tentang petani muda itu.

“Lima tahun setelah kutemui mereka kudapatlah pelajaran baru. Hidup berumah tangga memang tidak gampang. Dan ketika aku mengamati dan mempelajari suami isteri itu maka kudapat beberapa yang menjadi kesalahan mereka. Pertama...“ kakek itu menarik napas dalam. “Nafsu berahi tak boleh mendominir cinta kasih anak-anak manusia ini. Hidup berumah tangga adalah sebuah kehidupan di mana dua watak dan dua pribadi berbeda mencoba untuk mendapatkan kesamaan. Kalau pada mulanya mereka sudah mabok terlebih dahulu oleh rangsangan berahi ini, ternina bobok oleh segala yang indah-indah saja padahal setiap individu pasti memiliki cacad dan kelemahan maka mereka sudah dibutakan berahinya itu untuk kelak menjadi menyesal setelah yang buruk-buruk diketahui.”

Bi Hong mengangguk-angguk, setuju.

“Dan kedua,” kakek itu melanjutkan, “Awal sebuah rumah tangga harus dimulai dengan kejujuran. Tanpa kejujuran semuanya bakal berantakan. Tapi karena kejujuran saja tak banyak menolong kalau tidak disertai komunikasi timbal balik maka inilah butir ketiga dari syarat membangun rumah tangga yang bahagia. Aku merasa itulah yang pokok yang tidak kutemukan pada pasangan suami isteri muda itu!”

Bi Hong terbelalak, termangu-mangu. Iapun mulai hanyut oleh wejangan-wejangan gurunya ini dan ia melihat kebenaran di situ. Tapi memandang suhunya bersinar-sinar ia bertanya, suaranya penuh keinginan tahu, “Suhu, apa yang kau maksud dengan komunikasi timbal balik itu. Apa yang hendak kau artikan di sini.”

“Artinya jelas, suami isteri harus dapat berbicara setiap masalah dengan tingkat pengertian yang tidak terlalu jauh. Kalau sang isteri tak dapat mengikuti pembicaraan suami atau suami tak dapat mengerti pembicaraan isteri karena masing-masing memiliki tingkat pendidikan yang terlalu jauh maka komunikasi tak dapat berjalan, muridku. Untuk ini aku teringat kisah Pangeran Li Ong!”

“Ada apa dengan pangeran itu, dan siapa pula dia.”

“Dia adalah saudara nomor satu atau adik kandung kaisar, tinggalnya di kota raja. Suatu hari ketika dia berburu tiba-tiba seekor harimau menerkamnya. Pangeran ini luka-luka, untunglah pengawalnya sigap menyelamatkannya dari serangan harimau ganas itu. Dan ketika ia dibawa ke sebuah dusun untuk mendapat pengobatan maka kebetulan ia bertemu dengan seorang gadis desa yang memikat hatinya. Sang pangeran tertaut, apalagi gadis dan ayahnya itu menolongnya pula memberi resep dedaunan yang manjur. Dan ketika ia sembuh dan pulang ke kota raja ternyata pangeran ini tak dapat melupakan gadis itu dan akhirnya kembali untuk meminang.”

“Hm, bahagia sekali gadis itu!”

“Begitulah anggapan orang. Tapi, rumah tangga tak semudah itu, muridku, persoalan dan peristiwa selalu ada. Dan suatu hari terjadilah kehancuran ini, ketika ia diminta mewakili pangeran yang sakit untuk meresmikan panen raya di kota raja.”

“Apa yang terjadi!” Bi Hong bertanya cemas.

“Sebuah kisah memalukan. Ia tak dapat menjalankan tugasnya di hadapan sekian banyak menteri dan pembesar setempat. Ia tak dapat baca tulis!”

Bi Hong berdetak. Tiba-tiba ia dapat membayangkan apa yang terjadi saat itu, betapa isteri seorang pangeran yang berkedudukan tinggi dan dihormati banyak orang mengalami pukulan batin di depan orang lain. Dan ketika ia menghela napas dan ikut bersedih maka gurunya menyambung.

“Lihatlah akibat dari tingkat derajat seseorang yang bagaikan bumi dengan langit itu. Kalau pangeran tak beristerikan seorang gadis dusun yang begitu bodoh dan bersahaja tentu hal-hal seperti ini tak akan terjadi, Bi Hong. Kalau sudah begini dapatlah kau bayangkan, mungkinkah Pangeran Li Ong dapat bercakap-cakap dengan isterinya itu secara baik. Mana mungkin di antara mereka terdapat komunikasi timbal balik, padahal sebuah rumah tangga yang bahagia memerlukan itu!”

Bi Hong mengangguk-angguk, lagi-lagi merasa benar.

“Nah, sekarang kau tahu bahwa sebuah perkawinan bukan hanya sex dan sex melulu, muridku. Sebuah rumah tangga membutuhkan pula piranti yang lain, pelengkap yang lain. Dan celakanya anak-anak manusia ini melupakan itu. Mereka menomorsatukan berahi, mereka menomor satukan kesenangan diri pribadi yang berpusat pada Ego. Kalau sudah begitu mana mungkin rumah tangga dapat langgeng karena kesenangan atau sex sifatnya pelengkap saja, bukan yang utama. Yang utama adalah kasih atau cinta yang berasal dari Hati, karena dengan kasih atau cinta ini maka ia selalu memberi dan memberi, menjaga dan melindungi. Lain dengan cinta Ego yang selalu menuntut dan tak pernah kenal puas itu! Paham?”

Bi Hong mengangguk-angguk, terisak. Tiba-tiba ia teringat kasih sayang gurunya ini yang begitu besar. Teringat betapa kebaikan gurunya tanpa pamrih dan selalu memberi dan memberi. Gurunya adalah laki-laki yang sikap dan kata-katanya sama. Gurunya tak pernah berbeda antara tindakan dan kata-kata. Maka ketika ia menangis dan menubruk gurunya itu sejenak pembicaraanpun menjadi buyar dan kakek ini mengelus-elus rambutnya.

“Sudahlah, sekarang yang terakhir. Duduk dan dengarkan baik-baik. Aku hendak menutup dengan nasihat utama,” kakek ini mendorong dan akhirnya menepuk-nepuk pundak muridnya itu. “Kalau satu saat kau mencintai seseorang tapi karena satu dan lain hal orang itu tak dapat membalas cintamu maka lakukanlah sesuatu yang agung dan luhur. Apa kira-kira yang akan kau lakukan bila satu saat kau patah hati?”

Gadis ini ngeri, terbelalak. “Suhu sebaiknya jangan bicara seperti itu!”

“Heh-heh, keberhasilan dan kegagalan adalah dua saudara kandung yang selalu isi-mengisi di kehidupan ini. Kalau kau hanya mau enaknya saja tak mau menerima yang lain maka kau tak adil, Bi Hong. Sikap itu keliru, tidak ksatria. Coba hadapilah semuanya ini dengan pikiran jernih dan angkatlah dadamu. Bukan kau seorang yang patah hati di dunia ini, banyak yang lain.”

“Tapi aku tak mau bicara tentang itu, aku takut!”

“Ha-ha, takut karena belum dihadapi. Kalau sudah dan masuk ke situ maka takut itu hilang, muridku, yang ada justeru pengamatan dan kesadaran. Justeru kau bersiap-siap sejak sekarang agar tidak terjeblos ke dalam tindakan keliru. Jangan seperti mereka yang bunuh diri hanya karena putus cinta!”

“Hm, aku tak akan bunuh diri!” gadis ini tiba-tiba menjadi panas. “Kalau terpaksa begitu paling-paling aku menyingkir, suhu, buat apa tenggelam dalam kesedihan berlarut-larut. Aku tak akan bunuh diri!”

“Bagus, ha-ha, sudah bangkit kegagahanmu. Nah, itu betul tapi efek sampingan dari ini yang tak boleh tinggal di hatimu. Buanglah, lenyapkan kemarahan itu. Marah hanya menimbulknn benci!”

Gadis ini mengedikkan kepala dengan mata bersinar-sinar. Ia tiba-tiba menjadi panas disangka seperti itu. Siapa bunuh diri hanya karena masalah cinta! Maka ketika ia duduk dengan tegak sementara gurunya terkekeh-kekeh, geli oleh sikapnya maka gurunya ini mengangguk dan berkata,

“Bagus, cocok. Memalukan sekali kalau kau sebagai murid Si Naga Berkabung bunuh diri hanya masalah cinta. Eh, tapi bukan ini yang hendak kutekankan, muridku, melainkan sikap positip yang seharusnya dilakukan orang-orang gagah. Tahukah kau apa itu.”

“Tidak, apa itu.”

“Bukan lain sifat dari cinta itu sendiri, memberi. Cinta yang berasal dari Hati dan bukan egois biasanya akan melakukan ini, yakni memberi kebahagiaan kepada orang yang dicinta untuk menemukan kebahagiaannya. Kalau pemuda yang kau cinta itu merasa lebih berbahagia dengan gadis yang dicintanya maka biarkanlah ia berbahagia dan tak perlu kita bersakit hati saja. Kau mengerti?”

Gadis ini tertegun, mengangguk.

“Tapi hati-hatilah,” sang guru meneruskan. “Biasanya hanya orang yang sudah mencapai tingkat batin cukup tinggi yang mampu melakukan ini, muridku, yang belum biasanya masih akan diganggu dan digoda oleh Aku. Kalau masih begini maka ingat-ingat sajalah bentuk cintamu itu. Kalau masih dari Hati dan benar dari Hati maka tak ada bedanya kekasih kita bahagia dengan orang lain atau kita sendiri!”

“Hm,” waktu itu Bi Hong mengangguk ringan, belum merasakan sendiri apa yang namanya cinta. “Kupikir semua orang mudah melakukan itu, suhu, dan akupun yakin dapat melakukan itu. Kalau seorang pemuda menolak cintaku memangnya kenapa harus dikejar-kejar? Sombong dia nanti, semakin tinggi hati!”

“Heh-heh, jangan bicara begitu ringan. Yang belum merasakan tak dapat merasakannya, muridku. Tapi kalau sudah merasakan sungguh langit rasanya berjungkir balik. Pengaruh cinta ini amat kuat bagi manusia, orang waras bisa edan dan yang edan semakin edan!”

Gadis ini tersenyum geli. Pembicaraan berakhir dan waktu itu ia gampang saja menerima nasihat terakhir ini, maklum ia belum merasakan apa yang namanya cinta pria wanita itu. Tapi ketika sekarang ia duduk di bawah pohon merasakan semuanya itu, betapa ia mulai jatuh cinta kepada seorang pria dan pria itu agaknya tak dapat membalas cintanya tiba-tiba saja ia merasa perih dan sakit! Ada perasaan menusuk di situ, ada perasaan duka. Dan ketika ia memejamkan mata teringat Sin Gak yang gagah perkasa itu tiba-tiba ia merasa hatinya hancur dan tak terasa lagi ia terisak tertahan dengan hati seakan diremas-remas.

“Bi Hong!”

Gadis ini tersedu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ia tertawa ke dalam kesedihannya dan suara itu rasanya seperti suara Sin Gak. Dalam kesedihan ini tiba-tiba wajah Sin Gak seakan dapat bicara, ia merasa dipanggil. Dan ketika ia menutupi mukanya dan menangis lagi maka untuk kedua kali pemuda itu seakan memanggilnya.

“Bi Hong!”

Bi Hong menjadi sedih. Panggilan itu seakan sungguh-sungguh terjadi dan ia mengguguk. Rupanya terbawa ke dalam kesedihannya segala seakan menjadi nyata. Bayangan wajah pemuda itu memanggilnya begitu lembut. Akan tetapi ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya dan saat itulah ia merasa kaget, membuka mata dan meloncat bangun maka pemuda yang dibayangkannya itu ternyata benar-benar ada dan kini berdiri di depannya dengan mata begitu lembut dan mesra.

“Sin Gak!”

Air mata itupun seketika lenyap diusap. Bi Hong kaget bukan main bahwa Sin Gak benar-benar di depannya. Terbawa oleh lamunannya dan wajah si pemuda tiba-tiba semuanya menjadi kenyataan. Pemuda itu benar-benar ada di situ. Dan ketika ia menggigil dengan mata kemerah-merahan sementara pipinya basah air mata maka Sin Gak memegang tangannya berkata lembut, rupanya sudah lama di situ.

“Aku melihatmu melamun sendirian, tak sampai hati. Tapi ketika kau menangis dan begitu sedih maka akupun datang. Maaf, kebetulan aku melihatmu di sini, Bi Hong. Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan.”

“Kau....” gadis ini tertegun. “sudah lama disini?”

“Belum begitu lama, dan kau ada apa menangis, Bi Hong? Apa yang membuatmu sedih?”

“Aku... aku teringat guruku. Ia meninggalkan aku selama-lamanya. Hm, kedatanganmu benar-benar mengagetkan, Sin Gak, mana ayahmu dan pamanmu itu. Juga calon mertuamu yang galak!” Bi Hong akhirnya dapat menguasai diri dan berbohonglah dia menjawab pertanyaan pemuda itu. Tentu saja ia tak akan mengaku bahwa ia menangis teringat pemuda ini, menangis karena merasa patah hati!

Dan Sin Gak yang percaya dan menarik napas dalam lalu melepaskan tangannya, mengangguk. “Hm, pantas, kau begitu sedih. Tapi yang pergi tak akan kembali, Bi Hong, biarlah tak perlu membawa duka. Ayah menyuruh aku mencarimu dan kebetulan kutemukan kau di sini.”

“Kau... ayahmu, eh... menyuruhmu mencariku?”

“Benar, ada sesuatu yang penting.”

“Hm, ada apa. Bukankah kau dan ayahmu bersama-sama pamanmu Han Han dan isterinya yang manis itu. Mana calon mertuamu, itu!”

“Tak usah mereka kau sebut-sebut lagi. Aku dan ayah telah meninggalkan Hek-yan-pang, Bi Hong, dan kini menuju Hutan Iblis. Tapi di tengah jalan aku bertemu seseorang, dan aku ingin bantuan darimu.”

Gadis ini terbelalak. Ia telah menghapus semua air matanya dan tidak menangis lagi. Sepasang mata bola yang indah jernih itu melebar, bening dan terkejut serta heran bahwa pemuda ini disuruh ayahnya untuk mencarinya. Ada apa! Dan ketika ia berdebar namun menekan debarannya maka Bi Hong bertanya apa yang dimaksud pemuda itu. “Kau membuatku bingung. Apa maksud ayahmu dan kenapa kau mencariku? Tidakkah kau bersama Giok Cheng?”

“Hm, jangan sebut-sebut gadis itu. Aku meninggalkan Hek-yan-pang dengan perasaan tidak enak, Bi Hong, tapi tak usahlah kita bicara ini. Aku mencarimu karena minta bantuanmu menghadapi Majikan Hutan Iblis itu. Ia dibantu murid supek Mo-bin-jin.”

Di sini Bi Hong terkejut. Bibir yang semula mengejek menyebut nama Giok Cheng tiba-tiba berubah menjadi kaget, alis itu berkerut. Dan ketika gadis ini mundur dan memandang Sin Gak maka ia bertanya apakah Sin Gak bicara sungguh-sungguh, maklum selama ini tak ada yang tahu bahwa supek mereka. Mo-bin-jin mempunyai murid.

“Aku sungguh-sungguh, dan aku telah bertemu dengannya. Dan karena ayah mengajakku ke Hutan Iblis untuk mencari jahanam itu maka ayah khawatir mengenai diriku dan menyuruhku mencarimu untuk bersama-sama menghadapi lawan-lawan yang amat berat ini.”

“Hm, siapa murid itu, laki-laki atau perempuan!”

“Laki-laki, tinggi besar seperti gurunya. Namanya Thai Bang Kok Hu, Bi Hong, dan kepandaiannya hebat sekali. Kami telah bertemu.”

“Dan kau kalah?”

“Tidak, belum penentuan. Waktu itu kami bertemu di tengah jalan dan ia bersama Siauw Hong yang dulu menculikku. Si banci ini tangan kanan Majikan Hutan Iblis, kami bertemu secara tak sengaja dan akhirnya mereka melarikan diri.” Sin Gak lalu menceritakan ini dan gadis itu tentu saja mendengarkan dengan tertarik. Alis yang hitam kecil itu sering terangkat naik. Tapi ketika Sin Gak mengakhiri ceritanya dan ia mengangguk-angguk maka ada sesuatu yang aneh yang dirasakannya.

“Kau,” matanya tajam dan tiba-tiba memandang pemuda ini. “Kenapa kau dan ayahmu mencari aku, Sin Gak, bukankah ada Giok Cheng yang dapat kau minta bantuannya. Iapun lihai dan dapat diandalkan. Ada apa ayahmu menyuruhmu mencari aku. Kalian sepertinya mempunyai sesuatu!”

“Hm!” Sin Gak cerdik mengelak. “Kami dan keluarga Hek-yan-pang tak ada kecocokan, Bi Hong, lagi pula bibi Tang Siu memusuhiku. Untuk apa ke sana kalau hanya bertikai saja. Lebih baik mencarimu karena kita ada kecocokan.”

“Tapi di sana ada pula Su Giok!”

“Apalagi gadis itu. Kau tahu sendiri ia memusuhi ayahku habis-habisan, Bi Hong, mana mungkin minta bantuan. Sudahlah kau mau menerimaku atau tidak.”

“Menerimamu?”

“Ya, menerima permintaan tolong ini. Aku tidak takut meskipun dikeroyok tapi tentunya berbahaya juga. Ayah juga ke sana melalui jalan lain.”

“Hm!” gadis ini sadar. Tadi terbawa perasaannya sendiri tentang yang tidak-tidak, menangkap arti menerima itu dengan kata-kata lain. Maka ketika ia semburat dan Sin Gak hanya meminta tolong akhirnya ia mengangguk dan berkata, lirih, “Baiklah, kalau itu maksudmu biarlah kutemani kau ke Hutan Iblis. Tapi kalau ada sesuatu dengan keluarga Hek-yan-pang aku tak mau dikatakan yang tidak-tidak!”

“Hm, siapapun tak dapat memaksa orang lain dalam masalah perjodohan. Kalau itu maksudmu aku yang maju ke depan, Bi Hong. Ayah juga sudah memberi kebebasan kepadaku dan ini tak perlu di ungkit-ungkit. Bibi Tang Siu telah memutuskan ikatan itu!”

“Tapi pamanmu Han Han memintanya kembali!”

“Sudahlah aku tak ingin bicara ini dan sekarang mari kita ke Hutan Iblis. Aku tak senang, ada yang lain yang lebih penting dan aku bebas menentukan jodoh!”

Ada kegembiraan di wajah Bi Hong Wajah yang semula lemas dan agak ogah-ogahan itu mendadak berseri. Mata itu lebih hidup dan bercahaya dan tiba-tiba bibir gadis inipun tersenyum. Sin Gak menyatakan sendiri bebas memilih jodoh, betapa nikmatnya itu! Dan karena ini adalah sepercik harapan dan timbullah kembali angan-angannya yang indah maka Bi Hong bergerak ketika pemuda itu berkelebat menuju Hutan Iblis.

Ternyata dua muda-mudi ini mendapatkan banyak kecocokan dalam banyak hal. Pertama adalah ilmu kepandaian mereka. Sin Gak tak dapat menyatakan menang dalam ilmu lari cepatnya misalnya. Kalaupun dia memiliki kelebihan maka itu adalah masalah sinkang, inipun hanya seusap saja. Dan karena masing-masing berwatak sederhana di mana dalam perjalanan ini Bi Hong tak rewel masalah makanan, apapun mau maka Sin Gak tersenyum dan kagum akan kebersahajaan sikap gadis ini. Dalam perjalanan hari kedua mereka jauh dari kota dan dusun, hanya menemukan ketela dan sedikit ubi-ubian, tak ada binatang atau hewan buruan yang dapat ditangkap.

“Memangnya ada apa dengan ubi-ubian ini? Direbuspun cukup, Sin Gak. Justeru aku khawatir kau yang tak suka.” gadis itu tertawa, duduk di bawah sebuah batu hitam merebus ketela manis. Kebetulan juga mereka menemukan kaleng bekas, dapat untuk merebus air. Dan ketika Sin Gak duduk terbengong melihat jari cekatan itu merebus ubi ia terkagum-kagum.

“Bagaimana kalau tidak ada kaleng bekas ini,” tanyanya mencoba.

“Gampang,” gadis itu terkekeh. “Ditambus saja, Sin Gak, matang di dalam. Sama saja. Kenapa kau bingung bukankah di mana-mana ada makanan. Asal kita tak rewel dan mau apa adanya tentu perutpun kenyang. He, apakah kau dengan gurumu tak pernah menikmati seperti ini!”

“Hm, tentu saja sering,” pemuda itu tersenyum. “Tapi kami laki-laki, Bi Hong, sedang kau wanita. Mana harus demikian sederhana mendapatkan makanan.”

“Ah, suhu tak pernah mengajariku rewel. Dulu di hutan aku pernah disuruh menghisap pelepah sebatang pohon, Sin Gak, mencari air. Dan pernah pula makan daun-daun muda penangsel perut. Dalam keadaan serba darurat kita tak boleh rewel. Ubi ini lebih dari cukup dan rasanyapun manis. Cobalah, yang ini sudah matang!”

Sin Gak bersinar kagum. Dengan enak saja jari itu mengambil ubi rebus di air mendidih. Ketela itu amatlah panas namun Sin Gak menerimanya. Bukanlah pamer kalau gadis ini mencelupkan jari di air mendidih, hanya orang lain tentu terbelalak melihat perbuatannya itu Lalu ketika masih begitu panasnya Sin Gak dan mengupas dan menggigit ketela rebus ini maka orang tentu merasa ngeri apakah mulut pemuda itu tidak terbakar!

“Ha-ha, betul. Manis sekali, Bi Hong, manis pemberinya!”

“Ih, jangan merayu. Biarkan dingin dulu tentu lebih manis.”

“Tidak, beginipun manis. Ah, luar biasa bagiku karena rasanya tiba-tiba begitu enak dan nikmat sekali!”

Sin Gak menghabiskan ketela rebus itu, minta dan diberi lagi dan tertawa-tawalah Bi Hong betapa masih panas-panas begitu Sin Gak melahap dan menghabiskan lima ubi besar. Pujian tadi membuatnya girang dan gadis mana tak senang disebut manis, apalagi oleh pemuda yang diam-diam dicintanya. Dan ketika mereka kenyang dengan makanan begitu bersahaja maka Sin Gak bangkit mencari air minum. Tadi kawannya yang mendapatkan makanan.

“Tunggulah sebentar di sini, ku ambilkan penawar haus.”

Bi Hong mengangguk. Tak lama kemudian pemuda itu telah muncul lagi, membawa dua conthong air di daun talas. Lalu ketika Sin Gak memberikannya kepada temannya dan Bi Hong membasahi tenggorokannya dengan segar maka Sin Gak kagum betapa leher yang jenjang itu bergerak-gerak.

“Hi-hik, segar sekali, sesegar pemberinya!”

“Hm,, ada-ada saja. Di tengah terik panas begini mana mungkin tubuhku segar, Bi Hong, belum juga mandi. Kita masing-masing kepanasan!”

“Tapi wajahmu begitu segar, tentu kau mencuci mukamu.”

“Ya, boleh kuambil lagi kalau kaupun suka. Mari, biar kuambil seconthong lagi!” lalu ketika pemuda itu berkelebat lenyap dan kembali dengan seconthong besar air maka Bi Hong berseri-seri merasa dilayani begitu lembut.

“Kau seperti suhu, tak jemu melayani wanita manja. Ih, terima kasih, Sin Gak, sekarang akupun segar, hi-hik !” tak hanya wajahnya melainkan rambutpun dibasahi. Bi Hong lalu mengibas-ngibaskan rambutnya ini dan Sin Gak memandang penuh kagum. Ia begitu terpesona oleh gerak dan keceriaan gadis ini. Tapi ketika gadis itu memandangnya dan ia tersipu maka Sin Gak melengos dan bertanya apakah perjalanan dilanjutkan lagi.

“Terserah padamu, tapi bagaimana dengan ayahmu nanti.”

“Ayah tak akan bergerak sebelum aku datang. Tapi kalau kau masih ingin megaso akupun tak buru-buru, Bi Hong, terserah kau.”

“Kita sudah makan, lanjutkan perjalanan saja. Mari!”

Bi Hong berkelebat dan kali ini pemuda itu mengikuti gerakannya. Dalam perjalanan hari kedua ini mereka mulai akrab, masing-masing mulai lebih mengenal yang lain dan Bi Hong tentu saja gembira. Tak terasa ia menjadi semakin tertarik dan jatuh hati kepada pemuda ini. Dan ketika malam tiba Sin Gak bingung mencarikan selimut, akhirnya memberikan baju luarnya untuk pembungkus tubuh maka di bawah sinar api unggun gadis ini merasa tertegun, terharu bukan main.

“Aku menyesal belum juga sampai di kota Ci-bun. Kalau kita, sudah di sana dan mencari penginapan mungkin kau tak kedinginan seperti ini, Bi Hong. Pakailah baju luarku ini dan maaf bahwa tempat tidurmu hanya tumpukan rumput kering belaka.”

Gadis ini bersinar-sinar. Sin Gak telah menyiapkan tumpukan rumput kering untuknya, membuat api unggun dan menyuruhnya tidur sementara pemuda itu duduk bersila di dekat api unggun. Wajah itu tampak lebih gagah ditimpa cahaya kemerahan, lembut dan entah kenapa begitu penuh perhatian kepadanya. Bi Hong terharu. Dan ketika ia malah tak dapat tidur dan meloncat bangun maka iapun turut berdiang dan mengembalikan baju luar pemuda itu.

”Kau menyiksa diri, nanti kedinginan. Biarlah kau pakai bajumu dan aku dapat menghangatkan diri dengan sinkang!”

Pemuda ini terkejut, mengerutkan kening. “Bajuku bau?”

“Hi-hik, siapa bilang? Aku hanya tak sampai hati melihat kau kedinginan nanti. Sudahlah kau pakai bajumu itu dan kalau kau tidak mengantuk aku masih ingin bercakap-cakap!”

Sin Gak tersenyum, menerima bajunya “Kau ingin bercakap-cakap tentang apa, tidakkah mengantuk dan tidur saja.”

“Aku ingin ngobrol apa saja, terutama kenapa kau begitu baik kepadaku!”

“Hm!” wajah Sin Gak memerah, gadis itu memandangnya tak sungkan-sungkan lagi. “Kebaikan yang kulakukan tak pernah kucatat, Bi Hong. Bukankah kita masih saudara seperguruan dan kupikir wajar jika aku melakukan ini. Justeru pertanyaanmu aneh, masa begitu saja kau anggap baik!”

“Tapi sikapmu lain. Aku, hmm... aku merasa ada yang lain di sini. Pokoknya lain. Kau memperhatikan aku lebih dari biasanya!”

Sin Gak berdebar, mengangkat mukanya dan tak ayal lagi sepasang mata mereka bertemu dan pemuda ini berdetak melihat betapa dengan tajam dan penuh selidik gadis itu memandangnya tak seperti biasanya. Bagai pedang saja sepasang mata itu menodongnya, Sin Gak tiba-tiba merasa gugup. Dan ketika ia melengos dan menarik napas dalam maka Bi Hong mendekat dan kata-katanya membuat pemuda ini terkejut setengah mati.

“Sin Gak, aku bukan anak kecil yang bisa kau kibuli begitu saja. Kita sudah sama-sama dewasa. Terus terang aku tak percaya alasanmu kemarin tentang mencari aku. Kau dan ayahmu menyembunyikan sesuatu, sekarang cobalah bicara jujur dan katakan apa di balik maksudmu ini dan mendekati aku!”

Pemuda ini seakan dipukul berdentang-dentang. Tak disangkanya bahwa maksudnya untuk menjajaki cinta diketahui, paling tidak sudah ditangkap gadis itu. Dan ketika ia kembali memandang dan dua pasang mata beradu akhirnya pemuda ini memerah dan ia gemetar. “Hm!” tarikan napas itu untuk menenangkan guncangan. “Besok kita sudah sampai di Hutan Iblis, Bi Hong, sekarang tiba-tiba saja kau mengajak bicara yang lain. Aku tak mengerti maksudmu apakah yang kau kehendaki.”

“Tak usah berpura-pura. Aku tak tahu tapi menangkap sesuatu yang kau sembunyikan, Sin Gak. Kau dan ayahmu sengaja menyelidiki aku, entah apa. Cobalah kau bicara terus terang atau kita mulai dulu dengan keluarga Hek-yan-pang itu!”

Sin Gak tersudut, terdesak. Dia adalah pemuda jujur dan tak biasanya menyembunyikan sesuatu. Itulah sebabnya akhirnya Bi Hong menangkap sesuatu ini, jajak-cinta yang ingin diketahui dan mau tidak mau harus mencari dan mendekati gadis ini. Maka ketika ia terbatuk dan pura-pura menyodokkan api unggun, menambah kayu maka dia menjadi gugup dan untuk sejenak tak mampu menjawab.

“Aku merasa yakin bahwa ini ada kaitannya dengan peristiwa di Hek-yan-pang itu. Cobalah kau ceritakan dan kita bicara jujur saja. Kau dan aku adalah sama-sama orang gagah!”

“Baiklah,” Sin Gak menekan debaran jantungnva. “Kau gadis luar biasa yang baru kali ini kukenal, Bi Hong, juga cerdik dan cerdas menangkap sesuatu. Tak kusangkal bahwa semua ini ada kaitannya dengan Hek-yan-pang, maksudku dengan Giok Cheng.”

“Hm!” gadis itu menjadi merah, hatipun tiba-tiba berdegup kencang. “Apa yang kuduga ternyata benar, Sin Gak, pasti itu. Apa lagi!”

“Ya, tapi ayah yang menyuruhku ini, maksudku, hmm... mencari dan mendekatimu untuk mengenal lebih baik.“

“Maksudmu hendak membandingkan dengan Giok Cheng itu? Mencari kelemahan dan kekuranganku untuk dibandingkan dengan puteri ketua Hek-yan-pang yang terhormat itu?”

“Bukan, bukan..... kau jangan salah paham dan buru-buru memvonis seperti itu. Aku tidak bermaksud begitu, Bi Hong, bukan mencari kelemahan dan kekuranganmu. Melainkan.... hm, justeru mencari kecocokan!”

Ada membersit cahaya berseri pada wajah itu. Gadis yang semula tampak emosi dan mulai marah ini tiba-tiba tertegun. Matanya terbelalak memandang Sin Gak. Namun ketika pandang mata itu melembut dan bersinar lunak, wajah itu tersipu dan akhirnya menunduk maka gadis ini bertanya apa yang dimaksud Sin Gak.

“Aku kurang jelas dengan kata-katamu tadi. Apa yang kau maksud dengam kecocokan. Dan lagi bagaimana sikap kalian terhadap keluarga Hek-yan-pang. Tentu ini yang harus kau mulai!”

“Benar, memang dimulai dari sini. Aku sekarang mendapatkan kebebasan dari ayahku untuk masa depanku sendiri, Bi Hong, maksudnya tak terikat lagi dengan perjodoban yang dibuat orang tuaku. Aku sekarang bebas, mau bersama Giok Cheng atau gadis lain sepenuhnya terserah kepadaku. Hanya aku menjadi takut setelah mendapat wejangan dari guruku.”

“Hm, wejangan apa itu.”

“Tentang Ego, cinta dan Ego.”

“Eh,” gadis ini mengangkat kepalanya. “Mirip benar dengan yang kudapat dari guruku, Sin Gak. Suhu juga pernah bicara tentang Ego dan cinta. Tapi coba kau katakan apakah yang kau maksud itu sama atau bukan!”

Sin Gak tertegun, sepasang matanya menjadi bersinar-sinar. “Hm, menurutmu sendiri bagaimana dengan dua hal itu, Bi Hong. Maksudku bagaimana pendapatmu pribadi tentang ini.”

“Aku setuju dengan wejangan suhu, tapi sebaiknya kau dulu yang bicara itu!”

“Bagaimana aku memulainya. Jujur saja akupun sebenarnya sedang mencari dan menghayati ini, menyelidiki diriku sendiri.”

“Maksudmu?”

Wajah Sin Gak memerah. “Aku tak tahu apakah aku mencintai Giok Cheng atau tidak, Bi Hong. Namun melihat kejadian terakhir aku merasa jauh.“

“Hm!” gadis itu bersemu dadu, cahaya matanya berkilat dan berseri-seri. “Bagaimana kau tak mencintai gadis segagah dan secantik Giok Cheng, Sin Gak, apalagi kalian berdua sudah diikat orang tua masing-masing. Justeru bodoh kalau kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Cinta rasanya tak tumbuh begitu saja. Cinta adalah sesuatu yang rumit dan membingungkan, Bi Hong. Kalau tak hati-hati menjalankannya bisa celaka seumur hidup. Aku tak berani gegabah.”

“Tapi orang tuamu sudah mengikatmu sejak lahir!”

“Itu dulu, sebelum kami sama-sama dewasa. Tapi setelah kami dewasa dan melihatnya dengan kacamata masing-masing maka terdapat beberapa hal yang justeru membuatku khawatir.”

“Dan itu karena aku! Menyesal juga kenapa tiba-tiba aku ke Hek-yan-pang. Hm, kebahagiaanmu jadi terusik oleh kehadiranku, Sin Gak. Tahu begini tak usah aku datang!”

“Tidak, jangan terlampau menyalahkan diri sendiri. Kau hanya sebab peristiwa yang berkembang, Bi Hong, bukan biang keladinya. Aku tak menyalahkan dirimu justeru menyalahkan Giok Cheng. Ia terbawa Ego-nya, melenceng dan bersikap berlebihan.”

“Hm, apakah kau tak mencintai gadis itu.”

“Mungkin tidak.”

“Tapi ia mencintaimu, Sin Gak. Ia cemburu melihat kau dan aku bersama!”

“Inilah yang membuat aku ngeri teringat wejangan suhu. Cinta seperti ini tak dapat membahagiakan rumah tangga, Bi Hong. Cinta seperti itu bersumber pada tuntutan dan Ego. Aku khawatir!”

Gadis itu tertegun. Pandang mata Sin Gak merenung jauh dan ia berdebar. Jawaban “mungkin” berarti mengambang. Sin Gak masih ragu terhadap cintanya kepada puteri ketua Hek-yan-pang itu. Entah kenapa ia menjadi panas, padahal tadi ia seolah membodoh-bodohkan pemuda itu mengapa gadis secantik Giok Cheng harus ditolak! Maka ketika ia mulai terbawa dan tentu saja ingin mengorek lebih jauh, apa sebenarnya yang dimaksud pemuda ini iapun bertanya bagaimana kalau begitu. Apakah ada gadis lain yang mungkin dicinta pemuda ini!

“Biasanya laki-laki menyatakan tak suka kalau sudah mempunyai pilihan lain. Dan kau agaknya tak mencintai gadis itu karena memiliki calon yang baru. Apakah ada yang lain yang mulai menarik hatimu, Sin Gak? Mungkin karena ini kau tak suka kepada Giok Cheng?”

Todongan ini terang-terangan dan tak sungkan-sungkan lagi. Bi Hong adalah seorang gadis yang bicara ceplas-ceplos dan sikap gurunya sehari-hari besar pula pengaruhnya. Song-bun-liong Si Naga Berkabung itulah yang mengajari muridnya bicara tanpa sungkan. Maka ketika gadis itu menodong Sin Gak dengan kata-kata yang langsung dan tidak perlu berputar-putar lagi maka Sin Gak memerah wajahnya dan harus diakui bahwa itu memang betul, sebab kalau tak ada gadis ini mungkin saja cintanya kepada Giok Cheng mutlak seorang!

“Bagaimana?” gadis itu bertanya, si pemuda diam saja. “Biasanya laki-laki begitu, Sin Gak. Ada yang lain maka yang lama terasa membosankan. Siapa gadis yang beruntung itu dan alangkah bahagianya mendapatkan perhatianmu!”

Sin Gak semakin merah. Kata-kata gadis ini semakin tajam saja dan menyengat. Tapi karena tidak semua kata-kata itu betul dan ia tentu saja menolak maka pemuda ini menggeleng, matanya barsinar-sinar. “Aku tidak seperti laki-laki yang kau sebutkan itu. Entah dari mana kau mendapat contohnya. Tak kusangkal aku tertarik gadis lain, Bi Hong, tapi itupun masih taraf penjajakan. Aku sedang menyelidiki cintaku apakah benar atau tidak, sehat atau hanya mementingkan kesenangan diri belaka!”

“Hebat, seperti guruku. Kau tiba-tiba seakan pendeta yang bijak dan hati-hati, Sin Gak, menarik benar. Eh, siapa gadis beruntung yang kau perhatikan itu. Lucu kenapa masih taraf penjajakan pula. Apakah dia jelek!"

“Hm, bukan dia, melainkan diriku sendiri. Aku sedang menjajaki cintaku sekaligus apakah cintaku terbalas pula.”

“Ah, kau belum mengetahuinya?”

“Belum, tapi dapat kukira-kira.”

“Bagus, bagaimana kiranya. Dia menyambut atau tidak!”

“Aku tak tahu,” Sin Gak tersenyum, mulai merasa gadis ini bersandiwara pula. “Aku dan dia baru sama-sama kenal, Bi Hong, tapi harus kuakui hatiku tergetar olehnya.”

“Hm, siapa gadis itu. Beruntung benar!”

“Tak perlu kusebut namanya dulu. Kalau kau bagaimana, apakah kira-kira gadis itu menyambutku atau tidak.”

“Mana kutahu? Kau tak menyebutnya siapa, Sin Gak, tapi tak sukar bagi gadis manapun untuk jatuh cinta kepadamu. Kau tampan dan gagah, kepandaianmu tinggi. Akupun hampir tak menang melawanmu!”

Sin Gak tertawa. Pembicaraan yang semula serius tiba-tiba menjadi menggelikan di tengah jalan. Masing-masing sudah melontarkan pujian dengan cara memutar. Namun karena gadis itu masih bersandiwara dan matanya nakal menggoda dia maka Sin Gak pun pura-pura tak mengerti dan kembali pembicaraan berputar pada Giok Cheng.

“Aku tak membenci Giok Cheng, juga bukannya tak suka. Hanya karena dia begitu angkuh dan tinggi hati maka aku kurang cocok dengannya. Kupikir aku lebih cocok dengan gadis-gadis sederhana yang sepertimu ini, namun karena cinta bukan semata kecocokan watak karena ada hal-hal lain yang harus dipenuhi maka tentu saja aku tak gegabah dan inilah yang kumaksud bahwa aku sedang menyelidiki ini.”

“Hm,” Bi Hong mulai merasa dirinya dituju. “Coba kau sebutkan hal-hal apa itu, mungkin aku perlu tahu.”

“Pertama adalah pengertian. Kalau aku berwatak keras dan gadis itu juga keras tapi tak memiliki pengertian maka hal ini berbahaya, tak mungkin hubungan bisa lama.”

“Betul, dan kedua?”

“Aku dan dia harus memiliki dasar-dasar cinta yang sama, Bi Hong, maksudku tak boleh didominir Ego.”

“Hm, Ego. Coba kau sebutkan dan terangkan itu, aku sekarang bertanya!”

“Aku menjelaskan saja apa yang pernah kudengar dari guruku. Ego adalah pusat tuntutan, pemenuhan kebutuhan si Aku. Kalau ini mendominir cinta lebih baik tak usah saja!”

Bi Hong mengangguk, bersinar-sinar. Sampai di sini ia merasa bahwa pemuda ini sejalan dengan gurunya, atau lebih tepat, guru pemuda itu sejalan dan sependapat dengan gurunya. Ini menarik. Maka ketika ia mengangguk dan memandang bersinar-sinar iapun bertanya lagi bagaimana selanjutnya. “Kau mengatakan cinta tak boleh didominir Ego, kalau begitu bagaimana sebaiknya!”

“Cinta yang baik berasal dari Hati, sifatnya memberi. Dan karena cinta ini lebih agung daripada cinta Ego maka itulah yang harus dilakukan.”

“Bagus, sama dengan wejangan guruku. Eh, kalau begitu ada persamaan di antara kita, Sin Gak. Gurukupun bicara tentang Ego dan cinta seperti ini. Kalau aku tidak mendengarmu tentu kukira kau mendapatkannya dari guruku!”

“Apa saja kata gurumu.”

“Ya Ego dan Hati itu. Dua-duanya menyebut cinta tapi dasar atau intinya berbeda. Yang satu menuntut yang lain memberi!”

“Ah, cocok, gurukupun berkata seperti itu. Hei, kalau begitu kau yang melanjutkan, Bi Hong, tampaknya kau lebih tahu dari aku!”

“Hi-hik, kita tiba-tiba seperti pendeta saja. Tidak, kau yang melanjutkan, Sin Gak, aku hanya pendengar. Coba kau lanjutkan bagaimana itu.”

“Sudah kau jawab, ya itu tadi. Dan karena kau sudah tahu akupun tak perlu menerangkan.”

Sin Gak tertawa, gadis itupun tertawa dan tiba-tiba keduanya saling pandang dengan mesra. Ada kehangatan di antara mereka ketika tiba-tiba bicara tentang itu. Bi Hong tentu saja girang bukan main, inilah awal sebuah pengertian bagi mereka. Sebuah komunikasi timbal balik! Tapi ketika ia bertanya bagaimana sikap pemuda itu selanjutnya, bagaimana dengan Giok Cheng maka Sin Gak menarik napas panjang menjawab,

“Aku pribadi menganggap Giok Cheng seperti gurunya. Sifatnya penuh tuntutan, sumbernya Ego. Kalau sudah seperti ini buat apa aku melayani, Bi Hong. Aku teringat gurumu ketika dikejar-kejar gurunya itu. Tentu seperti itu kelak jika ia menjadi jodohku. Maksudku, tak lepas dari kepentingan diri sendiri dan menyenangkan diri sendiri.”

“Hm, betul,” gadis ini mengangguk-angguk. “Rupanya kau sudah tahu dari gurumu tentang kisah guruku dan sumoinya itu, Sin Gak. Kau benar bahwa sukouw Hek-i Hong-li terlalu menuntut kesenangan dirinya sendiri, kepentingan dirinya pribadi. Dan kalau sudah begini tentu keutuhan sebuah rumah tangga sukar dipertahankan lagi. Baiklah sebagai penutup bagaimana sikapmu sendiri kalau kau mencintai kekasihmu itu, dan siapa kiranya gadis yang beruntung itu!”

“Hm,” Sin Gak tersenyum-senyum, lagi-lagi sebuah sandiwara diputar-putar. “Sikapku jelas dalam hal ini, Bi Hong, kalau aku mencintai seseorang maka cinta dari Hatilah yang harus kuberikan, bukan Ego. Hanya cinta dari ini yang bisa membahagiakan, sifatnya memberi. Sedang gadis yang menggetarkan hatiku itu, ah. kau sudah tahu dan tak perlu kuberitahu.”

Bi Hong semburat. Kali ini Sin Gak memandangnya mesra dan pipi itupun seketika kemerah-merahan. Bukan sembunyi-sembunyi lagi pandang mata pemuda itu. Namun ketika Sin Gak menarik napas panjang dan balik bertanya bagaimana sikap gadis itu maka Bi Hong mengangkat mukanya memandang jauh ke kegelapan.

“Akupun sama seperti itu. Suhu telah memberiku nasihat yang bijak, Sin Gak, cinta yang baik harus berasal dari Hati. Tapi kalau satu dan lain hal aku mengganggu kebahagiaan orang yang kucinta itu maka lebih baik aku menyingkir dan membiarkan ia bahagia.”

Sin Gak menjadi terharu. Tentu saja ia tahu apa yang dimaksud gadis ini dan tanpa disadari tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu. Lengan yang lembut dan gemetar digenggamnya, gadis itu memandang dan tiba-tiba keduanya sama-sama merah. Lalu ketika dengan halus gadis ini menarik lengannya segera ia melompat pergi tidur berseru perlahan.

Sin Gak, aku mengantuk. Biarlah cukup pembicaraan kita disini dan selamat malam!”

Pemuda itu mengangguk. Dengan halus sekali masing-masing pihak telah saling memberi isyarat cinta. Belum ada kata-kata yang jelas dan tegas namun masing-masing telah sama tahu. Ada kebahagiaan di hati Bi Hong namun ada juga semacam rasa cemas. Ia khawatir bagaimana sikap Giok Cheng nanti. Maka ketika ia melompat tidur dan Sin Gak mengecilkan api unggun, duduk membelakangi punggung ternyata sukar bagi gadis ini memejamkan mata. Baru setelah ayam jantan berkokok gadis ini terlelap.

Sin Gak masih bersila mengosongkan pikiran. Dan ketika matahari menyinarkan cahayanya menembus kegelapan, Sin Gak bangkit namun gadis itu masih nyenyak maka menjelang datangnya monyet-monyet mencari buah barulah gadis itu melompat bangun.Kesiangan! Dan Sin Gak telah menyiapkan sesisir pisang dan beberapa buah-buahan segar di situ, juga air pencuci muka. Lalu ketika gadis ini tertegun tersipu merah, pemuda itu lebih dulu bangun maka Sin Gak tertawa berkata,

“Tidurmu nyenyak sekali, aku tak berani mengganggu. Silakan cuci muka dan itu sarapan kita.”

“Hm,” gadis Ini berkelebat malu. “Aku ingin mandi, Sin Gak, biarlah kau di sini dulu nanti aku kembali. Tolong jaga kalau ada orang!”

Sin Gak kagum. Masih seperti itu terasa terpesona. Rambut yang kusut dan mata sembab terasa manis dipandang. Maka ketika seperempat jam kemudian datanglah gadis ini lagi dengan tubuh segar bak sekuntum bunga, terkekeh dan membawa bau harum di situ Sin Gak semakin terpesona dan kagum lagi. Gadis ini telah muncul dengan baju bersih dan seuntai bunga di atas rambutnya.

“Hi-hik, sekarang baru tak malu. Ih, wanita harus bangun lebih dulu dibanding pria, Sin Gak. Sebenarnya akulah yang harus menyiapkan sarapan itu bukan dirimu. Terima kasih, aku tinggal enaknya!”

“Tak apa, kau lelap sekali. Aku tak ingin mengganggumu, Bi Hong, dan aku harus berebut dengan monyet-monyet itu mengambil pisang ini. Ayo, makanlah!”

Sin Gak tertawa, geli teringat betapa ia harus berebut dengan tiga monyet kecil menyambar pisang. Kalau ia terlambat tentu buah-buahan ini sudah dilahap mereka. Dan ketika Bi Hong juga tertawa namun menyuruhnya ia makan lebih dulu, melempar sebuah pisang maka dua muda-mudi ini akhirnya menikmati sarapan mereka yang sederhana. Tak ada canggung-canggung lagi di antara mereka, justeru masing-masing merasa begitu bebas dan enak bicara satu sama lain. Hubungan terasa lebih intim.

Lalu ketika perjalanan dilanjutkan dan di sinilah masing-masing mengenal lebih dalam maka Bi Hong maupun Sin Gak mengakui bahwa di antara mereka terdapat persamaan sikap dan watak, juga pandangan hidup. Siapa tak betah kalau melakukan perjalanan begini. Akhirnya mereka tiba di Ci-bun namun karena hari masih siang mereka meneruskan perjalanan. Tujuh puluh li sebelah selatan terdapatlah Hutan Iblis, inilah tempat yang hendak mereka tuju.

Dan ketika perjalanan terus dilanjutkan dan kini Sin Gak tak ragu-ragu lagi menggenggam tangan gadis itu, berkelebat mengerahkan kepandaian mereka maka tak terasa benih-benih cinta yang ada di hati mulai bersemi dan berkembang. Bahkan Sin Gak telah memeluk dan mendekap erat pinggang yang ramping itu, menyatakan cinta!

“Aku tak dapat berpura-pura lagi, aku tak dapat menahannya. Berhenti sebentar dan tatap mataku, Bi Hong, jawablah apakah kau membalas cintaku atau tidak!”

Tiga puluh li menjelang Hutan Iblis Sin Gak berhenti dan menggigil di luar sebuah dusun, terlindung di balik batu besar dan di sini pemuda itu tak dapat menahan perasaannya lagi. Sudah tiga hari ini mereka melakukan perjalanan bersama dan sama-sama mengetahui sikap dan sepak terjang masing-masing.

Bi Hong membiarkan saja tangannya digenggam dan di remas. Gadis itu membiarkan pula jari-jari Sin Gak mengait jarinya. Maka ketika tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memeluk pinggangnya, bertanya dengan suara menggigil dan parau apakah dia menerima cinta pemuda itu mendadak gadis ini tersedu dan tanpa terasa lagi ia menubruk dan merebahkan dirinya di dada pemuda itu.

“Sin Gak, kau.... kau tahu isi hatiku. Tapi bagaimana Giok Cheng, bagaimana sikapmu nanti!”

“Jawab pertanyaanku dulu. Maukah kau menerima cintaku, Bi Hong, dapatkah kau menerimanya. Giok Cheng urusan nanti!”

“Aku... aku tak dapat menerima kalau kau masih terikat perjodohan itu. Aku tak mau menyakiti orang lain!”

“Tapi Giok Cheng dan ibunya telah memutuskan ikatan itu!”

"Tapi ayahnya menyambung. Tidak... tidak, aku tak dapat menerima kalau kau masih terikat ini, Sin Gak. Aku tak mau menyakiti gadis itu karena ia mencintaimu pula!” Bi Hong melepaskan diri dan di sini gadis itu menutupi mukanya.

Sin Gak menggigil menahan berbagai perasaan namun tiba-tiba pemuda itu manyambar kembali gadis ini. Lalu ketika ia memegang pundak itu dan sepasang matanya bersinar penuh harap pemuda ini berkata,

“Bi Hong, kau tahu bahwa urusan Giok Cheng bukan urusan ayahnya. Paman Han Han boleh berharap tapi Giok Cheng dan ibunya sendiri telah memutuskan. Aku kini bebas, bahkan ayahku menyuruhku mencarimu untuk memastikan kepastian cinta. Nah, kini aku merasa aku mencintaimu. Aku tidak mencintai Giok Cheng melainkan mencintaimu. Dengan keluarga Hek-yan-pang aku tak punya urusan lagi. Apakah begini kau masih menolakku juga? Bukankah kesedianmu adalah bukti penerimaanmu? Aku mencintaimu, Bi Hong, bukan mencintai orang lain!”

Kebahagiaan dan sedu-sedan menjadi satu. Gadis mana yang tak akan begitu bahagia mendengar pangakuan cinta dari pemuda yang dikasihinya pula. Tapi ketika gadis ini mengangkat muka mendorong Sin Gak maka di antara derai air mata Bi Hong berkata,

“Nanti dulu, jangan menganggap kesediaanku menyertaimu adalah semata karena menerima cintamu. Kau dan aku di luar ini adalah saudara seperguruan, Sin Gak, melihat kau menempuh bahaya mana mungkin aku diam saja. Kalau kini kau menyatakan cintamu, baiklah terus terang saja kuterima, tapi... tapi dengan catatan Giok Cheng tak menjadi ganjalan bagi kita. Jelek-jelek dia sumoiku juga, aku tak mau menyakiti hatinya!”

Sin Gak tertegun, mengerutkan alisnya. Tapi menarik napas mengerti perasaan gadis ini akhirnya iapun mengangguk. “Hm, kau benar-benar gadis yang baik, jarang kutemukan seperti ini. Baiklah, lega rasanya menerima jawabmu tadi, Hong-moi. Tapi betapapun aku mencintaimu seorang. Aku merasa lebih cocok denganmu, bukan dengan Giok Cheng. Kalau gadis itu mengganggu kebahagiaan kita justeru ia yang tak tahu diri!”

“Tapi kita harus menyelesaikannya baik-baik. Apa gunanya kita bahagia kalau ada ganjalan seperti ini, Sin Gak. Betapapun ia bekas calon jodohmu juga.” Bi Hong terisak, menyadarkan Sin Gak dan pemuda itu menarik napas dalam.

Tiba-tiba ada kekecewaan mendalam mengapa kebahagiaannya dengan Bi Hong harus terganggu. Bukankah gadis itu dan ibunya sudah memutuskan tali ikatan jodoh. Dan ketika pemuda ini menggigit bibir menahan gemas akhirnya Sin Gak mencium punggung tangan itu berkata haru, Bi Hong memang gadis yang tak mementingkan diri sendiri...

Tapak Tangan Hantu Jilid 30

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 30
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
GADIS ini terbelalak dengan muka merah. Memang benar bahwa ia lupa berlagak sebagai orang lain. Tadi ia merasa sebagai dirinya sendiri. Maka ketika gurunya terbahak dan menuding mukanya tiba-tiba iapun sadar bahwa seruannya tadi bukanlah mewakili bibi-gurunya itu. “Hm, kalau begini, ya ya aku menyerah.”

“Menyerah bagaimana?”

“Menyerah bahwa aku mengejar-ngejar suhu.”

“Kurang lengkap, sebutkan bahwa pengejaran itu karena Egomu tadi, nafsu kepentinganmu pribadi!”

“Ya, betul.”

“Betul apanya.”

“Betul karena kepentinganku pribadi itu. Tapi, kepentingan apa yang kau maksud di sini, suhu? Aku kurang jelas.”

“Bodoh, kepentingan untuk menyenangkan dirimu itu. Kepentingan yang tak mau perduli kepentingan orang lain dan akibatnya memaksa atau mengejar-ngejar aku itu. Bibi-gurumu Hek-i Hong-li mencintai dirinya sendiri, aku hanyalah alat. Dan karena pengejaran itu bersumber pada Aku..., Ego... maka cintanyapun berasal dari Ego dan ciri-cirinya adalah menuntut. Nah, jelas atau tidak!”

Gadis ini termangu-mangu, mengangguk. Wejangan itu terlalu berat baginya akan tetapi sedikit- sedikit iapun mengerti. Ada penjelasan tegas tentang Ego ini, yakni sifatnya yang menuntut. Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mulai menyibak sebuah misteri iapun merasa betapa wejangan gurunya itu ada benarnya. “Baik, sekarang aku mulai mengerti, namun masih ada yang lain yang belum suhu ceritakan, yakni tentang Hati. Coba suhu terangkan tentang ini, dan apa bedanya dengan Ego.”

“Hm, betul, perbedaannya menyolok. Kalau cinta yang berasal Ego bersifat menuntut adalah cinta yang bersumber dari Hati sifatnya memberi. Cinta yang ini tulus keluar dari sayang yang murni, artinya tak dicampuri rasa Aku dan selamanya memberi. Cinta seperti ini adalah cinta seorang ibu kepada anaknya, Bi Hong, kasih yang tulus dan hanya ingin memberi dan menjaga, melindungi. Sama sekali tak ada kepentingan si Aku dan jauh dari tuntutan. Hanya kau seorang ibu sudah dimasuki untung, rugi dan cinta Ego mengotori cinta Hati maka cinta yang murni itu lenyap dan ini tentu saja sudah lain. Tapi aku tak bicara ini!”

Bi Hong mengangguk-angguk, sepasang matanya mulai bersinar. “Jadi itukah perbedaan dasar di antara kedua cinta itu?”

“Ya, memberi dan menuntut. Yang satu keluar dari Hati sedang yang lain berasal dari Ego, Otak!”

“Hm, aku mengerti, sekarang aku mengerti. Sudah banyak yang mulai kutungkap dari wejanganmu, suhu, terima kasih. Tapi betapapun aku masih akan menimbanya lagi dari pengalaman.”

“Tentu, hidup adalah gerak. Hidup adalah pengalaman. Namun mengalami pengalaman tanpa menyadari akan inti sari pengalaman itu adalah percuma, muridku. Karena itu camkan bahwa mengalami pengalaman harus kau sertai dengan kesadaran akan pengalaman itu sendiri. Tanpa ini percuma, pengalaman boleh seribu kali masuk namun tanpa kesadaran akan pengalaman itu kau tak akan mendapatkan apa-apa!”

Bi Hong mengangguk-angguk, kagum. Ia semakin melihat betapa berbobotnya wejangan gurunya ini. Setelah sekian tahun berkumpul baru kali itulah suhunya bicara panjang lebar, nasihat atau wejangan yang berat dikunyah. Namun karena ia mulai mengerti dan dapat melihat kebenaran itu, menjadi kagum maka hari itu ketika ia duduk di bawah sebatang pohon menikmati semilirnya angin ia menerka-nerka sendiri seperti apakah cintanya terhadap Sin Gak yang gagah perkasa itu, pemuda yang dikagumi dan sekaligus pria pertama di mana ia mulai jatuh cinta!

Seperti apakah cintanya itu? Ego atau Hati? Kalau ia mau jujur maka sebenarnya dua-duanya ada. Ya Ego ya Hati. Tak dapat disangkal ia ingin menuntut agar pemuda itu mencintainya seorang, bukan Giok Cheng. Tapi teringat betapa pemuda itu sudah dijodohkan sejak semula oleh orang tua masing-masing maka ia harus tahu diri dan mundur, bukan memaksa. Dan teringat wajah gurunya lagi tiba-tiba ia teringat wejangan lain seperti ini.

“Pria wanita acap kali salah menurutkan cintanya. Mereka terlibat emosi. Kalau benar mereka mencinta dapatkah seumur hidup mempertahankan dan menjaganya? Kenyataannya tidak, muridku. Di tengah jalan atau di akhir perjalanan seringkali terjadi perobahan dahsyat. Mereka tiba-tiba saja berbalik dan menjadi musuh!”

“Apa yang suhu maksudkan. Bagaimana cinta berobah menjadi sebuah permusuhan.”

“Ya, ini kenyataan pahit, tapi berulang-ulang terjadi pada generasi dan generasi berikutnya. Aku teringat ketika dulu seorang pemuda pernah kutolong dari ancaman maut. Ia seorang petani muda yang mencintai seorang kembang dusun. Sayang karena gadis itu sudah diberikan kepada seorang laki-laki kaya maka mereka memberontak dan melarikan diri. Pemuda ini nekat melarikan kekasihnya dikejar tukang-tukang pukul hartawan itu, tertangkap dan dihajar dan tentu ia binasa kalau aku tidak datang. Dan ketika aku menolong mereka dan akhirnya dua muda-mudi ini kuselamatkan jiwanya ternyata lima tahun kemudian menyia-nyiakan isterinya dengan kawin lagi!”

“Apa, kawin lagi? Menyia-nyiakan isterinya?”

”Begitulah, aku juga tertegun lima tahun kemudian menemui mereka, muridku. Sang isteri kurus kering dan tersedu-sedu menggendong anaknya yang kecil. Mereka cekcok hebat gara-gara sang suami kawin lagi. Padahal dulu begitu saling mencinta dan berjanji sehidup semati.”

“Cinta gombal itu, bukan cinta sejati. Masa orang mencinta kok begitu. Omong kosong!”

“Hm, inilah kenyataannya. Dan itu pengalaman mengesankan bagiku. Coba kau pikir adakah cinta atau tidak di hati petani muda itu sesungguhnya, maksudku lima tahun sebelum itu.”

“Tak mungkin, tak ada cinta. Laki-laki itu pembohong dan pembual, suhu. Dia hanya berpura-pura saja!”

“Tidak, kalau dia berpura-pura tentu tak akan nekat melarikan kekasihnya, Bi Hong. Tapi waktu itu dia berani berkorban jiwa. Apa artinya itu kalau bukan cinta.”

“Tapi cintanya kotor!”

“Nanti dulu. Jangan terburu menyerang. Waktu itu cintanya terlihat sungguh-sungguh, muridku, siapapun akan merinding melihat dia berani melawan tukang-tukang pukul hartawan. Dia bersungguh-sungguh, kaupun akan percaya itu. Tapi setelah aku merenung, kudapatlah jawabannya yang lebih jauh.”

“Apa itu,” sang murid tertegun. “Yang namanya cinta harus dibela sampai mati, bukan seumur jagung begitu. Aku jadi heran kenapa terjadi perubahan ini dan kenapa pria itu kawin lagi.”

“Coba kau renungkan dulu, apakah cinta petani itu main-main saja.“

“Tadinya aku berpikir begitu.“

“Dan kalau begitu tentunya tak nekat melarikan anak orang.”

“Benar, melihat di sini berarti laki-laki kekasihnya sungguh-sungguh. Tapi kenapa bisa terjadi begitu, suhu, kenapa dia harus kawin lagi dan menyia-nyiakan isterinya?”

“Hm, perkawinan seperti orang dengan sebuah benteng. Sewaktu belum masuk maka orang ingin menjenguk dan mengetahuinya, muridku. Tapi setelah masuk tiba-tiba merasa terikat dan dihukum seumur hidup.”

“Apa?”

“Tunggu, sabar. Manusia memang aneh. Sekarang aku jadi geli kalau memikirkan ini, muridku. Manusia memiliki angan-angan kosong yang sebelum dicapai selalu ingin diisinya lebih dahulu. Tapi begitu dia tahu dan repotnya rumah tangga tiba-tiba dia ingin keluar lagi dari benteng itu. Aku lalu teringat petani muda ini dan seperti itulah kira-kira.”

“Coba suhu jelaskan lebih lengkap, aku kok merasa bingung.”

“Begini, petani muda itu, seperti kebanyakan muda-mudi pacaran selalu memiliki cita-cita muluk yang serba menyenangkan. Cita-cita mereka begitu indah hingga terasa menggantung di langit-langit amat tinggi. Cita-cita atau angan-angan itu dibarengi dorongan berahi. Dan karena berahi membawa nikmat maka mereka tiba-tiba mabok dan kehilangan kontrol dirinya. Semakin melambung angan-angan itu semakin tinggi seseorang dinina bobokkan. Tapi begitu dia terjatuh dan sadar terbanting di bawah tiba-tiba saja dia melihat bahwa apa yang dicapai atau didapat ternyata kosong. Ini menimbulkan frustrasi. Dan karena dia terlanjur merasa nikmat dan bahagia dengan angan-angannya pertama itu maka diapun mencoba mengisi lagi sukma dan kalbunya dengan angan-angan atau cita-cita yang indah itu. Dicarinya korban baru. Diincarnya pasangan baru yang kira-kira cocok untuk dirinya nanti. Dan ketika ia mulai jatuh dan bangun lagi dimabok kesenanganya yang kosong ini maka seumur hidup rumah tangga sejati tak pernah dinikmatinya lagi. Ia lalu menjadi pemburu dan pengejar angan-angan kosong. Manusia telah terjebak oleh kebodohannya sendiri bersumber dari Egonya itu. Kita dikibuli!”

“Hm-hm, jangan terlampau cepat. Kali ini wejanganmu mendirikan bulu kuduk, suhu. Aku merasa seram. Coba kau ulangi dan jelaskan lagi dengan itu.”

"Baiklah kembali kepada petani muda itu. Dulu, sewaktu ia mencintai dan bertekad menyunting kembang desa ini yang ada hanyalah angan-angan serba muluk yang amat memabokkan. Kebetulan ia tak bertepuk sebelah tangan, gadis itupun menyambut. Tapi ketika sang ayah menyerahkan kepada si hartawan kaya tiba-tiba pemberontakan itupun mulai terjadi.”

“Tunggu, ada apa sang ayah menyerahkan anak gadisnya kepada si hartawan!”

“Hm, masalah hutang. Ayah gadis ini terlibat hutang dengan majikannya sendiri, muridku, dan untuk mengambil jalan pintas ia menyerahkan anak gadisnya. Hartawan itu memintanya.”

Bi Hong bersinar-sinar. Tiba-tiba mukanya menjadi merah betapa enaknya ayah gadis itu menyerahkan anak perempuannya pelepas hutang. Sungguh tak bertanggung jawab. Tapi ketika gurunya tersenyum menepuk pundaknya ia sadar lagi.

“Di dunia ini uang dan perempuan saling berkait. Kau tak usah marah-marah kepada kakek petani itu, muridku, kejadiannya sudah lewat.”

“Tapi aku menjadi panas, enak benar orang tuanya menyerahkan anak gadis!”

“Sudahlah, kita kembali kepada persoalan petani muda itu. Apakah kau tak ingin mendengarnya.”

“Ya, coba suhu lanjutkan. Ada apa dengan petani muda itu, kenapa dia kawin lagi!”

“Katanya karena meragukan keperawanan isterinya. Gadis itu pernah disekap di rumah sang hartawan dan petani muda ini kecewa. Tapi setelah aku selidiki ternyata dia bohong.”

Gadis ini semburat. Tiba-tiba dia menjadi jengah ketika gurunya bicara tentang keperawanan. Hampir dia meloncat dan pergi saja dari situ. Malu rasanya bicara tentang ini. Tapi ketika ia tertegun mendengar kata-kata terakhir itu, bahwa si petani berbohong maka tiba-tiba Bi Hong terkejut mengerutkan kening.

“Apa yang dia lakukan, kebohongan apa yang dia perbuat.”

“Kebiasaan lelaki. Petani muda ini ternyata sudah mulai bosan dengan isterinya Bi Hong, dan ia mulai tergila-gila dan tertarik kepada wanita baru. Aku tahu setelah bertanya kepada isterinya dan menyelidiki itu. Ternyata angan-angan indah dan kosong dulu hendak diisi lagi oleh petani muda ini. Ia tergelincir oleh nafsu kesenangannya yang berpusat pada Ego, berahinya bangkit dan timbul gairah setelah isteri terasa membosankan!”

“Hm, Bi Hong menjadi marah. “Begitukah kiranya mereka itu, suhu, hanya mengejar kesenangan dan pelampiasan diri sendiri. Sungguh kurang ajar petani muda itu!”

“Tapi herannya dulu ia membela sang kekasih mati-matian. Waktu itu aku terkecoh dan merasa cintanya murni.”

“Lalu apa yang suhu kerjakan, tidakkah laki-laki itu dibunuh saja!”

“Hm, tidak. Aku diam saja.”

“Apa, suhu diam? Suhu membiarkan sebuah kekejaman lewat begitu saja? Suhu tak menolong wanita malang itu?”

“Heh-heh, cerita sepihak membuat orang lain mudah emosi. Kalau aku membunuh petani itu maka dosaku bertumpuk-tumpuk, muridku. Itu urusan rumah tangga mereka, urusan pridadi. Aku diam saja karena akhirnya kulihat pula kesalahan wanita itu!”

Bi Hong tertegun. “Kesalahan apa.”

“Tak pandai menjaga dan memelihara suasana rumah tangga. Banyak ibu-ibu melalaikan ini, Bi Hong, dan akibatnya suami menoleh keluar. Wanita itu tak lagi secantik dan semenarik dulu. Setelah mempunyai anak satu maka ia tak merawat tubuhnya agar segar dan dicintai suami. Ia melakukan kesalahan besar yang fatal. Cermin keindahannya hancur oleh ketidaktahuannya ini. Ia menganggap bahwa setelah menjadi suami isteri maka tugaspun selesai, tak ada lagi persoalan. Padahal tanpa menjaga dan merawat keindahan tubuhnya itu biasanya suami lalu menjadi jemu dan mencari ganti diluar.”

“Kalau begitu cinta si petani itu didorong berahi belaka, cintanya cinta nafsu!”

“Begitulah orang hidup. Berahi seperti nafsu-nafsu yang lain, muridku, keluar relnya bila tidak dijaga. Tapi karena tanpa berahi tak mungkin manusia memiliki keturunan dan berkembang maka sesungguhnya yang satu ini penting juga. Hanya jangan sampai dia menjadi nomor satu.”

"Kalau begitu berkaitan lagi dengan Ego, bagaimana ini!”

“Jelas, berahi berkaitan dengan Ego, pusatnya di syaraf otak. Kalau otak sudah mengangan-angankan sesuatu yang indah dan orang mabok oleh keindahan ini maka siapapun lupa diri karena berahi menyertakan pula nikmat. Nikmat inilah yang membuat manusia ternina-bobok, dan sekali ia tak mampu mengendalikan dirinya maka si Aku-pun bekerja dengan amat kuatnya untuk mendorong manusia melakukan apa yang diinginkan. Lepas dari ini manusia lebih buas dari binatang.”

Bi Hong ngeri, membelalakkan mata. Ia sendiri belum tahu bagaimana berahi itu akan tetapi kalau kadang-kadang ia berdesir melihat ayam jantan melompat di punggung ayam betina iapun merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding. Ada semacam perasaan nikmat ditambah takut-takut menguasai dirinya. Ada sesuatu yang tidak dikenal namun hinggap membuat perasaannya menjadi syur. Barangkali itulah berahi! Maka ketika ia menunduk dan kemerah-merahan, pembicaraan ini membuatnya jengah maka gurunya melanjutkan lagi tentang petani muda itu.

“Lima tahun setelah kutemui mereka kudapatlah pelajaran baru. Hidup berumah tangga memang tidak gampang. Dan ketika aku mengamati dan mempelajari suami isteri itu maka kudapat beberapa yang menjadi kesalahan mereka. Pertama...“ kakek itu menarik napas dalam. “Nafsu berahi tak boleh mendominir cinta kasih anak-anak manusia ini. Hidup berumah tangga adalah sebuah kehidupan di mana dua watak dan dua pribadi berbeda mencoba untuk mendapatkan kesamaan. Kalau pada mulanya mereka sudah mabok terlebih dahulu oleh rangsangan berahi ini, ternina bobok oleh segala yang indah-indah saja padahal setiap individu pasti memiliki cacad dan kelemahan maka mereka sudah dibutakan berahinya itu untuk kelak menjadi menyesal setelah yang buruk-buruk diketahui.”

Bi Hong mengangguk-angguk, setuju.

“Dan kedua,” kakek itu melanjutkan, “Awal sebuah rumah tangga harus dimulai dengan kejujuran. Tanpa kejujuran semuanya bakal berantakan. Tapi karena kejujuran saja tak banyak menolong kalau tidak disertai komunikasi timbal balik maka inilah butir ketiga dari syarat membangun rumah tangga yang bahagia. Aku merasa itulah yang pokok yang tidak kutemukan pada pasangan suami isteri muda itu!”

Bi Hong terbelalak, termangu-mangu. Iapun mulai hanyut oleh wejangan-wejangan gurunya ini dan ia melihat kebenaran di situ. Tapi memandang suhunya bersinar-sinar ia bertanya, suaranya penuh keinginan tahu, “Suhu, apa yang kau maksud dengan komunikasi timbal balik itu. Apa yang hendak kau artikan di sini.”

“Artinya jelas, suami isteri harus dapat berbicara setiap masalah dengan tingkat pengertian yang tidak terlalu jauh. Kalau sang isteri tak dapat mengikuti pembicaraan suami atau suami tak dapat mengerti pembicaraan isteri karena masing-masing memiliki tingkat pendidikan yang terlalu jauh maka komunikasi tak dapat berjalan, muridku. Untuk ini aku teringat kisah Pangeran Li Ong!”

“Ada apa dengan pangeran itu, dan siapa pula dia.”

“Dia adalah saudara nomor satu atau adik kandung kaisar, tinggalnya di kota raja. Suatu hari ketika dia berburu tiba-tiba seekor harimau menerkamnya. Pangeran ini luka-luka, untunglah pengawalnya sigap menyelamatkannya dari serangan harimau ganas itu. Dan ketika ia dibawa ke sebuah dusun untuk mendapat pengobatan maka kebetulan ia bertemu dengan seorang gadis desa yang memikat hatinya. Sang pangeran tertaut, apalagi gadis dan ayahnya itu menolongnya pula memberi resep dedaunan yang manjur. Dan ketika ia sembuh dan pulang ke kota raja ternyata pangeran ini tak dapat melupakan gadis itu dan akhirnya kembali untuk meminang.”

“Hm, bahagia sekali gadis itu!”

“Begitulah anggapan orang. Tapi, rumah tangga tak semudah itu, muridku, persoalan dan peristiwa selalu ada. Dan suatu hari terjadilah kehancuran ini, ketika ia diminta mewakili pangeran yang sakit untuk meresmikan panen raya di kota raja.”

“Apa yang terjadi!” Bi Hong bertanya cemas.

“Sebuah kisah memalukan. Ia tak dapat menjalankan tugasnya di hadapan sekian banyak menteri dan pembesar setempat. Ia tak dapat baca tulis!”

Bi Hong berdetak. Tiba-tiba ia dapat membayangkan apa yang terjadi saat itu, betapa isteri seorang pangeran yang berkedudukan tinggi dan dihormati banyak orang mengalami pukulan batin di depan orang lain. Dan ketika ia menghela napas dan ikut bersedih maka gurunya menyambung.

“Lihatlah akibat dari tingkat derajat seseorang yang bagaikan bumi dengan langit itu. Kalau pangeran tak beristerikan seorang gadis dusun yang begitu bodoh dan bersahaja tentu hal-hal seperti ini tak akan terjadi, Bi Hong. Kalau sudah begini dapatlah kau bayangkan, mungkinkah Pangeran Li Ong dapat bercakap-cakap dengan isterinya itu secara baik. Mana mungkin di antara mereka terdapat komunikasi timbal balik, padahal sebuah rumah tangga yang bahagia memerlukan itu!”

Bi Hong mengangguk-angguk, lagi-lagi merasa benar.

“Nah, sekarang kau tahu bahwa sebuah perkawinan bukan hanya sex dan sex melulu, muridku. Sebuah rumah tangga membutuhkan pula piranti yang lain, pelengkap yang lain. Dan celakanya anak-anak manusia ini melupakan itu. Mereka menomorsatukan berahi, mereka menomor satukan kesenangan diri pribadi yang berpusat pada Ego. Kalau sudah begitu mana mungkin rumah tangga dapat langgeng karena kesenangan atau sex sifatnya pelengkap saja, bukan yang utama. Yang utama adalah kasih atau cinta yang berasal dari Hati, karena dengan kasih atau cinta ini maka ia selalu memberi dan memberi, menjaga dan melindungi. Lain dengan cinta Ego yang selalu menuntut dan tak pernah kenal puas itu! Paham?”

Bi Hong mengangguk-angguk, terisak. Tiba-tiba ia teringat kasih sayang gurunya ini yang begitu besar. Teringat betapa kebaikan gurunya tanpa pamrih dan selalu memberi dan memberi. Gurunya adalah laki-laki yang sikap dan kata-katanya sama. Gurunya tak pernah berbeda antara tindakan dan kata-kata. Maka ketika ia menangis dan menubruk gurunya itu sejenak pembicaraanpun menjadi buyar dan kakek ini mengelus-elus rambutnya.

“Sudahlah, sekarang yang terakhir. Duduk dan dengarkan baik-baik. Aku hendak menutup dengan nasihat utama,” kakek ini mendorong dan akhirnya menepuk-nepuk pundak muridnya itu. “Kalau satu saat kau mencintai seseorang tapi karena satu dan lain hal orang itu tak dapat membalas cintamu maka lakukanlah sesuatu yang agung dan luhur. Apa kira-kira yang akan kau lakukan bila satu saat kau patah hati?”

Gadis ini ngeri, terbelalak. “Suhu sebaiknya jangan bicara seperti itu!”

“Heh-heh, keberhasilan dan kegagalan adalah dua saudara kandung yang selalu isi-mengisi di kehidupan ini. Kalau kau hanya mau enaknya saja tak mau menerima yang lain maka kau tak adil, Bi Hong. Sikap itu keliru, tidak ksatria. Coba hadapilah semuanya ini dengan pikiran jernih dan angkatlah dadamu. Bukan kau seorang yang patah hati di dunia ini, banyak yang lain.”

“Tapi aku tak mau bicara tentang itu, aku takut!”

“Ha-ha, takut karena belum dihadapi. Kalau sudah dan masuk ke situ maka takut itu hilang, muridku, yang ada justeru pengamatan dan kesadaran. Justeru kau bersiap-siap sejak sekarang agar tidak terjeblos ke dalam tindakan keliru. Jangan seperti mereka yang bunuh diri hanya karena putus cinta!”

“Hm, aku tak akan bunuh diri!” gadis ini tiba-tiba menjadi panas. “Kalau terpaksa begitu paling-paling aku menyingkir, suhu, buat apa tenggelam dalam kesedihan berlarut-larut. Aku tak akan bunuh diri!”

“Bagus, ha-ha, sudah bangkit kegagahanmu. Nah, itu betul tapi efek sampingan dari ini yang tak boleh tinggal di hatimu. Buanglah, lenyapkan kemarahan itu. Marah hanya menimbulknn benci!”

Gadis ini mengedikkan kepala dengan mata bersinar-sinar. Ia tiba-tiba menjadi panas disangka seperti itu. Siapa bunuh diri hanya karena masalah cinta! Maka ketika ia duduk dengan tegak sementara gurunya terkekeh-kekeh, geli oleh sikapnya maka gurunya ini mengangguk dan berkata,

“Bagus, cocok. Memalukan sekali kalau kau sebagai murid Si Naga Berkabung bunuh diri hanya masalah cinta. Eh, tapi bukan ini yang hendak kutekankan, muridku, melainkan sikap positip yang seharusnya dilakukan orang-orang gagah. Tahukah kau apa itu.”

“Tidak, apa itu.”

“Bukan lain sifat dari cinta itu sendiri, memberi. Cinta yang berasal dari Hati dan bukan egois biasanya akan melakukan ini, yakni memberi kebahagiaan kepada orang yang dicinta untuk menemukan kebahagiaannya. Kalau pemuda yang kau cinta itu merasa lebih berbahagia dengan gadis yang dicintanya maka biarkanlah ia berbahagia dan tak perlu kita bersakit hati saja. Kau mengerti?”

Gadis ini tertegun, mengangguk.

“Tapi hati-hatilah,” sang guru meneruskan. “Biasanya hanya orang yang sudah mencapai tingkat batin cukup tinggi yang mampu melakukan ini, muridku, yang belum biasanya masih akan diganggu dan digoda oleh Aku. Kalau masih begini maka ingat-ingat sajalah bentuk cintamu itu. Kalau masih dari Hati dan benar dari Hati maka tak ada bedanya kekasih kita bahagia dengan orang lain atau kita sendiri!”

“Hm,” waktu itu Bi Hong mengangguk ringan, belum merasakan sendiri apa yang namanya cinta. “Kupikir semua orang mudah melakukan itu, suhu, dan akupun yakin dapat melakukan itu. Kalau seorang pemuda menolak cintaku memangnya kenapa harus dikejar-kejar? Sombong dia nanti, semakin tinggi hati!”

“Heh-heh, jangan bicara begitu ringan. Yang belum merasakan tak dapat merasakannya, muridku. Tapi kalau sudah merasakan sungguh langit rasanya berjungkir balik. Pengaruh cinta ini amat kuat bagi manusia, orang waras bisa edan dan yang edan semakin edan!”

Gadis ini tersenyum geli. Pembicaraan berakhir dan waktu itu ia gampang saja menerima nasihat terakhir ini, maklum ia belum merasakan apa yang namanya cinta pria wanita itu. Tapi ketika sekarang ia duduk di bawah pohon merasakan semuanya itu, betapa ia mulai jatuh cinta kepada seorang pria dan pria itu agaknya tak dapat membalas cintanya tiba-tiba saja ia merasa perih dan sakit! Ada perasaan menusuk di situ, ada perasaan duka. Dan ketika ia memejamkan mata teringat Sin Gak yang gagah perkasa itu tiba-tiba ia merasa hatinya hancur dan tak terasa lagi ia terisak tertahan dengan hati seakan diremas-remas.

“Bi Hong!”

Gadis ini tersedu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ia tertawa ke dalam kesedihannya dan suara itu rasanya seperti suara Sin Gak. Dalam kesedihan ini tiba-tiba wajah Sin Gak seakan dapat bicara, ia merasa dipanggil. Dan ketika ia menutupi mukanya dan menangis lagi maka untuk kedua kali pemuda itu seakan memanggilnya.

“Bi Hong!”

Bi Hong menjadi sedih. Panggilan itu seakan sungguh-sungguh terjadi dan ia mengguguk. Rupanya terbawa ke dalam kesedihannya segala seakan menjadi nyata. Bayangan wajah pemuda itu memanggilnya begitu lembut. Akan tetapi ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya dan saat itulah ia merasa kaget, membuka mata dan meloncat bangun maka pemuda yang dibayangkannya itu ternyata benar-benar ada dan kini berdiri di depannya dengan mata begitu lembut dan mesra.

“Sin Gak!”

Air mata itupun seketika lenyap diusap. Bi Hong kaget bukan main bahwa Sin Gak benar-benar di depannya. Terbawa oleh lamunannya dan wajah si pemuda tiba-tiba semuanya menjadi kenyataan. Pemuda itu benar-benar ada di situ. Dan ketika ia menggigil dengan mata kemerah-merahan sementara pipinya basah air mata maka Sin Gak memegang tangannya berkata lembut, rupanya sudah lama di situ.

“Aku melihatmu melamun sendirian, tak sampai hati. Tapi ketika kau menangis dan begitu sedih maka akupun datang. Maaf, kebetulan aku melihatmu di sini, Bi Hong. Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan.”

“Kau....” gadis ini tertegun. “sudah lama disini?”

“Belum begitu lama, dan kau ada apa menangis, Bi Hong? Apa yang membuatmu sedih?”

“Aku... aku teringat guruku. Ia meninggalkan aku selama-lamanya. Hm, kedatanganmu benar-benar mengagetkan, Sin Gak, mana ayahmu dan pamanmu itu. Juga calon mertuamu yang galak!” Bi Hong akhirnya dapat menguasai diri dan berbohonglah dia menjawab pertanyaan pemuda itu. Tentu saja ia tak akan mengaku bahwa ia menangis teringat pemuda ini, menangis karena merasa patah hati!

Dan Sin Gak yang percaya dan menarik napas dalam lalu melepaskan tangannya, mengangguk. “Hm, pantas, kau begitu sedih. Tapi yang pergi tak akan kembali, Bi Hong, biarlah tak perlu membawa duka. Ayah menyuruh aku mencarimu dan kebetulan kutemukan kau di sini.”

“Kau... ayahmu, eh... menyuruhmu mencariku?”

“Benar, ada sesuatu yang penting.”

“Hm, ada apa. Bukankah kau dan ayahmu bersama-sama pamanmu Han Han dan isterinya yang manis itu. Mana calon mertuamu, itu!”

“Tak usah mereka kau sebut-sebut lagi. Aku dan ayah telah meninggalkan Hek-yan-pang, Bi Hong, dan kini menuju Hutan Iblis. Tapi di tengah jalan aku bertemu seseorang, dan aku ingin bantuan darimu.”

Gadis ini terbelalak. Ia telah menghapus semua air matanya dan tidak menangis lagi. Sepasang mata bola yang indah jernih itu melebar, bening dan terkejut serta heran bahwa pemuda ini disuruh ayahnya untuk mencarinya. Ada apa! Dan ketika ia berdebar namun menekan debarannya maka Bi Hong bertanya apa yang dimaksud pemuda itu. “Kau membuatku bingung. Apa maksud ayahmu dan kenapa kau mencariku? Tidakkah kau bersama Giok Cheng?”

“Hm, jangan sebut-sebut gadis itu. Aku meninggalkan Hek-yan-pang dengan perasaan tidak enak, Bi Hong, tapi tak usahlah kita bicara ini. Aku mencarimu karena minta bantuanmu menghadapi Majikan Hutan Iblis itu. Ia dibantu murid supek Mo-bin-jin.”

Di sini Bi Hong terkejut. Bibir yang semula mengejek menyebut nama Giok Cheng tiba-tiba berubah menjadi kaget, alis itu berkerut. Dan ketika gadis ini mundur dan memandang Sin Gak maka ia bertanya apakah Sin Gak bicara sungguh-sungguh, maklum selama ini tak ada yang tahu bahwa supek mereka. Mo-bin-jin mempunyai murid.

“Aku sungguh-sungguh, dan aku telah bertemu dengannya. Dan karena ayah mengajakku ke Hutan Iblis untuk mencari jahanam itu maka ayah khawatir mengenai diriku dan menyuruhku mencarimu untuk bersama-sama menghadapi lawan-lawan yang amat berat ini.”

“Hm, siapa murid itu, laki-laki atau perempuan!”

“Laki-laki, tinggi besar seperti gurunya. Namanya Thai Bang Kok Hu, Bi Hong, dan kepandaiannya hebat sekali. Kami telah bertemu.”

“Dan kau kalah?”

“Tidak, belum penentuan. Waktu itu kami bertemu di tengah jalan dan ia bersama Siauw Hong yang dulu menculikku. Si banci ini tangan kanan Majikan Hutan Iblis, kami bertemu secara tak sengaja dan akhirnya mereka melarikan diri.” Sin Gak lalu menceritakan ini dan gadis itu tentu saja mendengarkan dengan tertarik. Alis yang hitam kecil itu sering terangkat naik. Tapi ketika Sin Gak mengakhiri ceritanya dan ia mengangguk-angguk maka ada sesuatu yang aneh yang dirasakannya.

“Kau,” matanya tajam dan tiba-tiba memandang pemuda ini. “Kenapa kau dan ayahmu mencari aku, Sin Gak, bukankah ada Giok Cheng yang dapat kau minta bantuannya. Iapun lihai dan dapat diandalkan. Ada apa ayahmu menyuruhmu mencari aku. Kalian sepertinya mempunyai sesuatu!”

“Hm!” Sin Gak cerdik mengelak. “Kami dan keluarga Hek-yan-pang tak ada kecocokan, Bi Hong, lagi pula bibi Tang Siu memusuhiku. Untuk apa ke sana kalau hanya bertikai saja. Lebih baik mencarimu karena kita ada kecocokan.”

“Tapi di sana ada pula Su Giok!”

“Apalagi gadis itu. Kau tahu sendiri ia memusuhi ayahku habis-habisan, Bi Hong, mana mungkin minta bantuan. Sudahlah kau mau menerimaku atau tidak.”

“Menerimamu?”

“Ya, menerima permintaan tolong ini. Aku tidak takut meskipun dikeroyok tapi tentunya berbahaya juga. Ayah juga ke sana melalui jalan lain.”

“Hm!” gadis ini sadar. Tadi terbawa perasaannya sendiri tentang yang tidak-tidak, menangkap arti menerima itu dengan kata-kata lain. Maka ketika ia semburat dan Sin Gak hanya meminta tolong akhirnya ia mengangguk dan berkata, lirih, “Baiklah, kalau itu maksudmu biarlah kutemani kau ke Hutan Iblis. Tapi kalau ada sesuatu dengan keluarga Hek-yan-pang aku tak mau dikatakan yang tidak-tidak!”

“Hm, siapapun tak dapat memaksa orang lain dalam masalah perjodohan. Kalau itu maksudmu aku yang maju ke depan, Bi Hong. Ayah juga sudah memberi kebebasan kepadaku dan ini tak perlu di ungkit-ungkit. Bibi Tang Siu telah memutuskan ikatan itu!”

“Tapi pamanmu Han Han memintanya kembali!”

“Sudahlah aku tak ingin bicara ini dan sekarang mari kita ke Hutan Iblis. Aku tak senang, ada yang lain yang lebih penting dan aku bebas menentukan jodoh!”

Ada kegembiraan di wajah Bi Hong Wajah yang semula lemas dan agak ogah-ogahan itu mendadak berseri. Mata itu lebih hidup dan bercahaya dan tiba-tiba bibir gadis inipun tersenyum. Sin Gak menyatakan sendiri bebas memilih jodoh, betapa nikmatnya itu! Dan karena ini adalah sepercik harapan dan timbullah kembali angan-angannya yang indah maka Bi Hong bergerak ketika pemuda itu berkelebat menuju Hutan Iblis.

Ternyata dua muda-mudi ini mendapatkan banyak kecocokan dalam banyak hal. Pertama adalah ilmu kepandaian mereka. Sin Gak tak dapat menyatakan menang dalam ilmu lari cepatnya misalnya. Kalaupun dia memiliki kelebihan maka itu adalah masalah sinkang, inipun hanya seusap saja. Dan karena masing-masing berwatak sederhana di mana dalam perjalanan ini Bi Hong tak rewel masalah makanan, apapun mau maka Sin Gak tersenyum dan kagum akan kebersahajaan sikap gadis ini. Dalam perjalanan hari kedua mereka jauh dari kota dan dusun, hanya menemukan ketela dan sedikit ubi-ubian, tak ada binatang atau hewan buruan yang dapat ditangkap.

“Memangnya ada apa dengan ubi-ubian ini? Direbuspun cukup, Sin Gak. Justeru aku khawatir kau yang tak suka.” gadis itu tertawa, duduk di bawah sebuah batu hitam merebus ketela manis. Kebetulan juga mereka menemukan kaleng bekas, dapat untuk merebus air. Dan ketika Sin Gak duduk terbengong melihat jari cekatan itu merebus ubi ia terkagum-kagum.

“Bagaimana kalau tidak ada kaleng bekas ini,” tanyanya mencoba.

“Gampang,” gadis itu terkekeh. “Ditambus saja, Sin Gak, matang di dalam. Sama saja. Kenapa kau bingung bukankah di mana-mana ada makanan. Asal kita tak rewel dan mau apa adanya tentu perutpun kenyang. He, apakah kau dengan gurumu tak pernah menikmati seperti ini!”

“Hm, tentu saja sering,” pemuda itu tersenyum. “Tapi kami laki-laki, Bi Hong, sedang kau wanita. Mana harus demikian sederhana mendapatkan makanan.”

“Ah, suhu tak pernah mengajariku rewel. Dulu di hutan aku pernah disuruh menghisap pelepah sebatang pohon, Sin Gak, mencari air. Dan pernah pula makan daun-daun muda penangsel perut. Dalam keadaan serba darurat kita tak boleh rewel. Ubi ini lebih dari cukup dan rasanyapun manis. Cobalah, yang ini sudah matang!”

Sin Gak bersinar kagum. Dengan enak saja jari itu mengambil ubi rebus di air mendidih. Ketela itu amatlah panas namun Sin Gak menerimanya. Bukanlah pamer kalau gadis ini mencelupkan jari di air mendidih, hanya orang lain tentu terbelalak melihat perbuatannya itu Lalu ketika masih begitu panasnya Sin Gak dan mengupas dan menggigit ketela rebus ini maka orang tentu merasa ngeri apakah mulut pemuda itu tidak terbakar!

“Ha-ha, betul. Manis sekali, Bi Hong, manis pemberinya!”

“Ih, jangan merayu. Biarkan dingin dulu tentu lebih manis.”

“Tidak, beginipun manis. Ah, luar biasa bagiku karena rasanya tiba-tiba begitu enak dan nikmat sekali!”

Sin Gak menghabiskan ketela rebus itu, minta dan diberi lagi dan tertawa-tawalah Bi Hong betapa masih panas-panas begitu Sin Gak melahap dan menghabiskan lima ubi besar. Pujian tadi membuatnya girang dan gadis mana tak senang disebut manis, apalagi oleh pemuda yang diam-diam dicintanya. Dan ketika mereka kenyang dengan makanan begitu bersahaja maka Sin Gak bangkit mencari air minum. Tadi kawannya yang mendapatkan makanan.

“Tunggulah sebentar di sini, ku ambilkan penawar haus.”

Bi Hong mengangguk. Tak lama kemudian pemuda itu telah muncul lagi, membawa dua conthong air di daun talas. Lalu ketika Sin Gak memberikannya kepada temannya dan Bi Hong membasahi tenggorokannya dengan segar maka Sin Gak kagum betapa leher yang jenjang itu bergerak-gerak.

“Hi-hik, segar sekali, sesegar pemberinya!”

“Hm,, ada-ada saja. Di tengah terik panas begini mana mungkin tubuhku segar, Bi Hong, belum juga mandi. Kita masing-masing kepanasan!”

“Tapi wajahmu begitu segar, tentu kau mencuci mukamu.”

“Ya, boleh kuambil lagi kalau kaupun suka. Mari, biar kuambil seconthong lagi!” lalu ketika pemuda itu berkelebat lenyap dan kembali dengan seconthong besar air maka Bi Hong berseri-seri merasa dilayani begitu lembut.

“Kau seperti suhu, tak jemu melayani wanita manja. Ih, terima kasih, Sin Gak, sekarang akupun segar, hi-hik !” tak hanya wajahnya melainkan rambutpun dibasahi. Bi Hong lalu mengibas-ngibaskan rambutnya ini dan Sin Gak memandang penuh kagum. Ia begitu terpesona oleh gerak dan keceriaan gadis ini. Tapi ketika gadis itu memandangnya dan ia tersipu maka Sin Gak melengos dan bertanya apakah perjalanan dilanjutkan lagi.

“Terserah padamu, tapi bagaimana dengan ayahmu nanti.”

“Ayah tak akan bergerak sebelum aku datang. Tapi kalau kau masih ingin megaso akupun tak buru-buru, Bi Hong, terserah kau.”

“Kita sudah makan, lanjutkan perjalanan saja. Mari!”

Bi Hong berkelebat dan kali ini pemuda itu mengikuti gerakannya. Dalam perjalanan hari kedua ini mereka mulai akrab, masing-masing mulai lebih mengenal yang lain dan Bi Hong tentu saja gembira. Tak terasa ia menjadi semakin tertarik dan jatuh hati kepada pemuda ini. Dan ketika malam tiba Sin Gak bingung mencarikan selimut, akhirnya memberikan baju luarnya untuk pembungkus tubuh maka di bawah sinar api unggun gadis ini merasa tertegun, terharu bukan main.

“Aku menyesal belum juga sampai di kota Ci-bun. Kalau kita, sudah di sana dan mencari penginapan mungkin kau tak kedinginan seperti ini, Bi Hong. Pakailah baju luarku ini dan maaf bahwa tempat tidurmu hanya tumpukan rumput kering belaka.”

Gadis ini bersinar-sinar. Sin Gak telah menyiapkan tumpukan rumput kering untuknya, membuat api unggun dan menyuruhnya tidur sementara pemuda itu duduk bersila di dekat api unggun. Wajah itu tampak lebih gagah ditimpa cahaya kemerahan, lembut dan entah kenapa begitu penuh perhatian kepadanya. Bi Hong terharu. Dan ketika ia malah tak dapat tidur dan meloncat bangun maka iapun turut berdiang dan mengembalikan baju luar pemuda itu.

”Kau menyiksa diri, nanti kedinginan. Biarlah kau pakai bajumu dan aku dapat menghangatkan diri dengan sinkang!”

Pemuda ini terkejut, mengerutkan kening. “Bajuku bau?”

“Hi-hik, siapa bilang? Aku hanya tak sampai hati melihat kau kedinginan nanti. Sudahlah kau pakai bajumu itu dan kalau kau tidak mengantuk aku masih ingin bercakap-cakap!”

Sin Gak tersenyum, menerima bajunya “Kau ingin bercakap-cakap tentang apa, tidakkah mengantuk dan tidur saja.”

“Aku ingin ngobrol apa saja, terutama kenapa kau begitu baik kepadaku!”

“Hm!” wajah Sin Gak memerah, gadis itu memandangnya tak sungkan-sungkan lagi. “Kebaikan yang kulakukan tak pernah kucatat, Bi Hong. Bukankah kita masih saudara seperguruan dan kupikir wajar jika aku melakukan ini. Justeru pertanyaanmu aneh, masa begitu saja kau anggap baik!”

“Tapi sikapmu lain. Aku, hmm... aku merasa ada yang lain di sini. Pokoknya lain. Kau memperhatikan aku lebih dari biasanya!”

Sin Gak berdebar, mengangkat mukanya dan tak ayal lagi sepasang mata mereka bertemu dan pemuda ini berdetak melihat betapa dengan tajam dan penuh selidik gadis itu memandangnya tak seperti biasanya. Bagai pedang saja sepasang mata itu menodongnya, Sin Gak tiba-tiba merasa gugup. Dan ketika ia melengos dan menarik napas dalam maka Bi Hong mendekat dan kata-katanya membuat pemuda ini terkejut setengah mati.

“Sin Gak, aku bukan anak kecil yang bisa kau kibuli begitu saja. Kita sudah sama-sama dewasa. Terus terang aku tak percaya alasanmu kemarin tentang mencari aku. Kau dan ayahmu menyembunyikan sesuatu, sekarang cobalah bicara jujur dan katakan apa di balik maksudmu ini dan mendekati aku!”

Pemuda ini seakan dipukul berdentang-dentang. Tak disangkanya bahwa maksudnya untuk menjajaki cinta diketahui, paling tidak sudah ditangkap gadis itu. Dan ketika ia kembali memandang dan dua pasang mata beradu akhirnya pemuda ini memerah dan ia gemetar. “Hm!” tarikan napas itu untuk menenangkan guncangan. “Besok kita sudah sampai di Hutan Iblis, Bi Hong, sekarang tiba-tiba saja kau mengajak bicara yang lain. Aku tak mengerti maksudmu apakah yang kau kehendaki.”

“Tak usah berpura-pura. Aku tak tahu tapi menangkap sesuatu yang kau sembunyikan, Sin Gak. Kau dan ayahmu sengaja menyelidiki aku, entah apa. Cobalah kau bicara terus terang atau kita mulai dulu dengan keluarga Hek-yan-pang itu!”

Sin Gak tersudut, terdesak. Dia adalah pemuda jujur dan tak biasanya menyembunyikan sesuatu. Itulah sebabnya akhirnya Bi Hong menangkap sesuatu ini, jajak-cinta yang ingin diketahui dan mau tidak mau harus mencari dan mendekati gadis ini. Maka ketika ia terbatuk dan pura-pura menyodokkan api unggun, menambah kayu maka dia menjadi gugup dan untuk sejenak tak mampu menjawab.

“Aku merasa yakin bahwa ini ada kaitannya dengan peristiwa di Hek-yan-pang itu. Cobalah kau ceritakan dan kita bicara jujur saja. Kau dan aku adalah sama-sama orang gagah!”

“Baiklah,” Sin Gak menekan debaran jantungnva. “Kau gadis luar biasa yang baru kali ini kukenal, Bi Hong, juga cerdik dan cerdas menangkap sesuatu. Tak kusangkal bahwa semua ini ada kaitannya dengan Hek-yan-pang, maksudku dengan Giok Cheng.”

“Hm!” gadis itu menjadi merah, hatipun tiba-tiba berdegup kencang. “Apa yang kuduga ternyata benar, Sin Gak, pasti itu. Apa lagi!”

“Ya, tapi ayah yang menyuruhku ini, maksudku, hmm... mencari dan mendekatimu untuk mengenal lebih baik.“

“Maksudmu hendak membandingkan dengan Giok Cheng itu? Mencari kelemahan dan kekuranganku untuk dibandingkan dengan puteri ketua Hek-yan-pang yang terhormat itu?”

“Bukan, bukan..... kau jangan salah paham dan buru-buru memvonis seperti itu. Aku tidak bermaksud begitu, Bi Hong, bukan mencari kelemahan dan kekuranganmu. Melainkan.... hm, justeru mencari kecocokan!”

Ada membersit cahaya berseri pada wajah itu. Gadis yang semula tampak emosi dan mulai marah ini tiba-tiba tertegun. Matanya terbelalak memandang Sin Gak. Namun ketika pandang mata itu melembut dan bersinar lunak, wajah itu tersipu dan akhirnya menunduk maka gadis ini bertanya apa yang dimaksud Sin Gak.

“Aku kurang jelas dengan kata-katamu tadi. Apa yang kau maksud dengam kecocokan. Dan lagi bagaimana sikap kalian terhadap keluarga Hek-yan-pang. Tentu ini yang harus kau mulai!”

“Benar, memang dimulai dari sini. Aku sekarang mendapatkan kebebasan dari ayahku untuk masa depanku sendiri, Bi Hong, maksudnya tak terikat lagi dengan perjodoban yang dibuat orang tuaku. Aku sekarang bebas, mau bersama Giok Cheng atau gadis lain sepenuhnya terserah kepadaku. Hanya aku menjadi takut setelah mendapat wejangan dari guruku.”

“Hm, wejangan apa itu.”

“Tentang Ego, cinta dan Ego.”

“Eh,” gadis ini mengangkat kepalanya. “Mirip benar dengan yang kudapat dari guruku, Sin Gak. Suhu juga pernah bicara tentang Ego dan cinta. Tapi coba kau katakan apakah yang kau maksud itu sama atau bukan!”

Sin Gak tertegun, sepasang matanya menjadi bersinar-sinar. “Hm, menurutmu sendiri bagaimana dengan dua hal itu, Bi Hong. Maksudku bagaimana pendapatmu pribadi tentang ini.”

“Aku setuju dengan wejangan suhu, tapi sebaiknya kau dulu yang bicara itu!”

“Bagaimana aku memulainya. Jujur saja akupun sebenarnya sedang mencari dan menghayati ini, menyelidiki diriku sendiri.”

“Maksudmu?”

Wajah Sin Gak memerah. “Aku tak tahu apakah aku mencintai Giok Cheng atau tidak, Bi Hong. Namun melihat kejadian terakhir aku merasa jauh.“

“Hm!” gadis itu bersemu dadu, cahaya matanya berkilat dan berseri-seri. “Bagaimana kau tak mencintai gadis segagah dan secantik Giok Cheng, Sin Gak, apalagi kalian berdua sudah diikat orang tua masing-masing. Justeru bodoh kalau kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Cinta rasanya tak tumbuh begitu saja. Cinta adalah sesuatu yang rumit dan membingungkan, Bi Hong. Kalau tak hati-hati menjalankannya bisa celaka seumur hidup. Aku tak berani gegabah.”

“Tapi orang tuamu sudah mengikatmu sejak lahir!”

“Itu dulu, sebelum kami sama-sama dewasa. Tapi setelah kami dewasa dan melihatnya dengan kacamata masing-masing maka terdapat beberapa hal yang justeru membuatku khawatir.”

“Dan itu karena aku! Menyesal juga kenapa tiba-tiba aku ke Hek-yan-pang. Hm, kebahagiaanmu jadi terusik oleh kehadiranku, Sin Gak. Tahu begini tak usah aku datang!”

“Tidak, jangan terlampau menyalahkan diri sendiri. Kau hanya sebab peristiwa yang berkembang, Bi Hong, bukan biang keladinya. Aku tak menyalahkan dirimu justeru menyalahkan Giok Cheng. Ia terbawa Ego-nya, melenceng dan bersikap berlebihan.”

“Hm, apakah kau tak mencintai gadis itu.”

“Mungkin tidak.”

“Tapi ia mencintaimu, Sin Gak. Ia cemburu melihat kau dan aku bersama!”

“Inilah yang membuat aku ngeri teringat wejangan suhu. Cinta seperti ini tak dapat membahagiakan rumah tangga, Bi Hong. Cinta seperti itu bersumber pada tuntutan dan Ego. Aku khawatir!”

Gadis itu tertegun. Pandang mata Sin Gak merenung jauh dan ia berdebar. Jawaban “mungkin” berarti mengambang. Sin Gak masih ragu terhadap cintanya kepada puteri ketua Hek-yan-pang itu. Entah kenapa ia menjadi panas, padahal tadi ia seolah membodoh-bodohkan pemuda itu mengapa gadis secantik Giok Cheng harus ditolak! Maka ketika ia mulai terbawa dan tentu saja ingin mengorek lebih jauh, apa sebenarnya yang dimaksud pemuda ini iapun bertanya bagaimana kalau begitu. Apakah ada gadis lain yang mungkin dicinta pemuda ini!

“Biasanya laki-laki menyatakan tak suka kalau sudah mempunyai pilihan lain. Dan kau agaknya tak mencintai gadis itu karena memiliki calon yang baru. Apakah ada yang lain yang mulai menarik hatimu, Sin Gak? Mungkin karena ini kau tak suka kepada Giok Cheng?”

Todongan ini terang-terangan dan tak sungkan-sungkan lagi. Bi Hong adalah seorang gadis yang bicara ceplas-ceplos dan sikap gurunya sehari-hari besar pula pengaruhnya. Song-bun-liong Si Naga Berkabung itulah yang mengajari muridnya bicara tanpa sungkan. Maka ketika gadis itu menodong Sin Gak dengan kata-kata yang langsung dan tidak perlu berputar-putar lagi maka Sin Gak memerah wajahnya dan harus diakui bahwa itu memang betul, sebab kalau tak ada gadis ini mungkin saja cintanya kepada Giok Cheng mutlak seorang!

“Bagaimana?” gadis itu bertanya, si pemuda diam saja. “Biasanya laki-laki begitu, Sin Gak. Ada yang lain maka yang lama terasa membosankan. Siapa gadis yang beruntung itu dan alangkah bahagianya mendapatkan perhatianmu!”

Sin Gak semakin merah. Kata-kata gadis ini semakin tajam saja dan menyengat. Tapi karena tidak semua kata-kata itu betul dan ia tentu saja menolak maka pemuda ini menggeleng, matanya barsinar-sinar. “Aku tidak seperti laki-laki yang kau sebutkan itu. Entah dari mana kau mendapat contohnya. Tak kusangkal aku tertarik gadis lain, Bi Hong, tapi itupun masih taraf penjajakan. Aku sedang menyelidiki cintaku apakah benar atau tidak, sehat atau hanya mementingkan kesenangan diri belaka!”

“Hebat, seperti guruku. Kau tiba-tiba seakan pendeta yang bijak dan hati-hati, Sin Gak, menarik benar. Eh, siapa gadis beruntung yang kau perhatikan itu. Lucu kenapa masih taraf penjajakan pula. Apakah dia jelek!"

“Hm, bukan dia, melainkan diriku sendiri. Aku sedang menjajaki cintaku sekaligus apakah cintaku terbalas pula.”

“Ah, kau belum mengetahuinya?”

“Belum, tapi dapat kukira-kira.”

“Bagus, bagaimana kiranya. Dia menyambut atau tidak!”

“Aku tak tahu,” Sin Gak tersenyum, mulai merasa gadis ini bersandiwara pula. “Aku dan dia baru sama-sama kenal, Bi Hong, tapi harus kuakui hatiku tergetar olehnya.”

“Hm, siapa gadis itu. Beruntung benar!”

“Tak perlu kusebut namanya dulu. Kalau kau bagaimana, apakah kira-kira gadis itu menyambutku atau tidak.”

“Mana kutahu? Kau tak menyebutnya siapa, Sin Gak, tapi tak sukar bagi gadis manapun untuk jatuh cinta kepadamu. Kau tampan dan gagah, kepandaianmu tinggi. Akupun hampir tak menang melawanmu!”

Sin Gak tertawa. Pembicaraan yang semula serius tiba-tiba menjadi menggelikan di tengah jalan. Masing-masing sudah melontarkan pujian dengan cara memutar. Namun karena gadis itu masih bersandiwara dan matanya nakal menggoda dia maka Sin Gak pun pura-pura tak mengerti dan kembali pembicaraan berputar pada Giok Cheng.

“Aku tak membenci Giok Cheng, juga bukannya tak suka. Hanya karena dia begitu angkuh dan tinggi hati maka aku kurang cocok dengannya. Kupikir aku lebih cocok dengan gadis-gadis sederhana yang sepertimu ini, namun karena cinta bukan semata kecocokan watak karena ada hal-hal lain yang harus dipenuhi maka tentu saja aku tak gegabah dan inilah yang kumaksud bahwa aku sedang menyelidiki ini.”

“Hm,” Bi Hong mulai merasa dirinya dituju. “Coba kau sebutkan hal-hal apa itu, mungkin aku perlu tahu.”

“Pertama adalah pengertian. Kalau aku berwatak keras dan gadis itu juga keras tapi tak memiliki pengertian maka hal ini berbahaya, tak mungkin hubungan bisa lama.”

“Betul, dan kedua?”

“Aku dan dia harus memiliki dasar-dasar cinta yang sama, Bi Hong, maksudku tak boleh didominir Ego.”

“Hm, Ego. Coba kau sebutkan dan terangkan itu, aku sekarang bertanya!”

“Aku menjelaskan saja apa yang pernah kudengar dari guruku. Ego adalah pusat tuntutan, pemenuhan kebutuhan si Aku. Kalau ini mendominir cinta lebih baik tak usah saja!”

Bi Hong mengangguk, bersinar-sinar. Sampai di sini ia merasa bahwa pemuda ini sejalan dengan gurunya, atau lebih tepat, guru pemuda itu sejalan dan sependapat dengan gurunya. Ini menarik. Maka ketika ia mengangguk dan memandang bersinar-sinar iapun bertanya lagi bagaimana selanjutnya. “Kau mengatakan cinta tak boleh didominir Ego, kalau begitu bagaimana sebaiknya!”

“Cinta yang baik berasal dari Hati, sifatnya memberi. Dan karena cinta ini lebih agung daripada cinta Ego maka itulah yang harus dilakukan.”

“Bagus, sama dengan wejangan guruku. Eh, kalau begitu ada persamaan di antara kita, Sin Gak. Gurukupun bicara tentang Ego dan cinta seperti ini. Kalau aku tidak mendengarmu tentu kukira kau mendapatkannya dari guruku!”

“Apa saja kata gurumu.”

“Ya Ego dan Hati itu. Dua-duanya menyebut cinta tapi dasar atau intinya berbeda. Yang satu menuntut yang lain memberi!”

“Ah, cocok, gurukupun berkata seperti itu. Hei, kalau begitu kau yang melanjutkan, Bi Hong, tampaknya kau lebih tahu dari aku!”

“Hi-hik, kita tiba-tiba seperti pendeta saja. Tidak, kau yang melanjutkan, Sin Gak, aku hanya pendengar. Coba kau lanjutkan bagaimana itu.”

“Sudah kau jawab, ya itu tadi. Dan karena kau sudah tahu akupun tak perlu menerangkan.”

Sin Gak tertawa, gadis itupun tertawa dan tiba-tiba keduanya saling pandang dengan mesra. Ada kehangatan di antara mereka ketika tiba-tiba bicara tentang itu. Bi Hong tentu saja girang bukan main, inilah awal sebuah pengertian bagi mereka. Sebuah komunikasi timbal balik! Tapi ketika ia bertanya bagaimana sikap pemuda itu selanjutnya, bagaimana dengan Giok Cheng maka Sin Gak menarik napas panjang menjawab,

“Aku pribadi menganggap Giok Cheng seperti gurunya. Sifatnya penuh tuntutan, sumbernya Ego. Kalau sudah seperti ini buat apa aku melayani, Bi Hong. Aku teringat gurumu ketika dikejar-kejar gurunya itu. Tentu seperti itu kelak jika ia menjadi jodohku. Maksudku, tak lepas dari kepentingan diri sendiri dan menyenangkan diri sendiri.”

“Hm, betul,” gadis ini mengangguk-angguk. “Rupanya kau sudah tahu dari gurumu tentang kisah guruku dan sumoinya itu, Sin Gak. Kau benar bahwa sukouw Hek-i Hong-li terlalu menuntut kesenangan dirinya sendiri, kepentingan dirinya pribadi. Dan kalau sudah begini tentu keutuhan sebuah rumah tangga sukar dipertahankan lagi. Baiklah sebagai penutup bagaimana sikapmu sendiri kalau kau mencintai kekasihmu itu, dan siapa kiranya gadis yang beruntung itu!”

“Hm,” Sin Gak tersenyum-senyum, lagi-lagi sebuah sandiwara diputar-putar. “Sikapku jelas dalam hal ini, Bi Hong, kalau aku mencintai seseorang maka cinta dari Hatilah yang harus kuberikan, bukan Ego. Hanya cinta dari ini yang bisa membahagiakan, sifatnya memberi. Sedang gadis yang menggetarkan hatiku itu, ah. kau sudah tahu dan tak perlu kuberitahu.”

Bi Hong semburat. Kali ini Sin Gak memandangnya mesra dan pipi itupun seketika kemerah-merahan. Bukan sembunyi-sembunyi lagi pandang mata pemuda itu. Namun ketika Sin Gak menarik napas panjang dan balik bertanya bagaimana sikap gadis itu maka Bi Hong mengangkat mukanya memandang jauh ke kegelapan.

“Akupun sama seperti itu. Suhu telah memberiku nasihat yang bijak, Sin Gak, cinta yang baik harus berasal dari Hati. Tapi kalau satu dan lain hal aku mengganggu kebahagiaan orang yang kucinta itu maka lebih baik aku menyingkir dan membiarkan ia bahagia.”

Sin Gak menjadi terharu. Tentu saja ia tahu apa yang dimaksud gadis ini dan tanpa disadari tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu. Lengan yang lembut dan gemetar digenggamnya, gadis itu memandang dan tiba-tiba keduanya sama-sama merah. Lalu ketika dengan halus gadis ini menarik lengannya segera ia melompat pergi tidur berseru perlahan.

Sin Gak, aku mengantuk. Biarlah cukup pembicaraan kita disini dan selamat malam!”

Pemuda itu mengangguk. Dengan halus sekali masing-masing pihak telah saling memberi isyarat cinta. Belum ada kata-kata yang jelas dan tegas namun masing-masing telah sama tahu. Ada kebahagiaan di hati Bi Hong namun ada juga semacam rasa cemas. Ia khawatir bagaimana sikap Giok Cheng nanti. Maka ketika ia melompat tidur dan Sin Gak mengecilkan api unggun, duduk membelakangi punggung ternyata sukar bagi gadis ini memejamkan mata. Baru setelah ayam jantan berkokok gadis ini terlelap.

Sin Gak masih bersila mengosongkan pikiran. Dan ketika matahari menyinarkan cahayanya menembus kegelapan, Sin Gak bangkit namun gadis itu masih nyenyak maka menjelang datangnya monyet-monyet mencari buah barulah gadis itu melompat bangun.Kesiangan! Dan Sin Gak telah menyiapkan sesisir pisang dan beberapa buah-buahan segar di situ, juga air pencuci muka. Lalu ketika gadis ini tertegun tersipu merah, pemuda itu lebih dulu bangun maka Sin Gak tertawa berkata,

“Tidurmu nyenyak sekali, aku tak berani mengganggu. Silakan cuci muka dan itu sarapan kita.”

“Hm,” gadis Ini berkelebat malu. “Aku ingin mandi, Sin Gak, biarlah kau di sini dulu nanti aku kembali. Tolong jaga kalau ada orang!”

Sin Gak kagum. Masih seperti itu terasa terpesona. Rambut yang kusut dan mata sembab terasa manis dipandang. Maka ketika seperempat jam kemudian datanglah gadis ini lagi dengan tubuh segar bak sekuntum bunga, terkekeh dan membawa bau harum di situ Sin Gak semakin terpesona dan kagum lagi. Gadis ini telah muncul dengan baju bersih dan seuntai bunga di atas rambutnya.

“Hi-hik, sekarang baru tak malu. Ih, wanita harus bangun lebih dulu dibanding pria, Sin Gak. Sebenarnya akulah yang harus menyiapkan sarapan itu bukan dirimu. Terima kasih, aku tinggal enaknya!”

“Tak apa, kau lelap sekali. Aku tak ingin mengganggumu, Bi Hong, dan aku harus berebut dengan monyet-monyet itu mengambil pisang ini. Ayo, makanlah!”

Sin Gak tertawa, geli teringat betapa ia harus berebut dengan tiga monyet kecil menyambar pisang. Kalau ia terlambat tentu buah-buahan ini sudah dilahap mereka. Dan ketika Bi Hong juga tertawa namun menyuruhnya ia makan lebih dulu, melempar sebuah pisang maka dua muda-mudi ini akhirnya menikmati sarapan mereka yang sederhana. Tak ada canggung-canggung lagi di antara mereka, justeru masing-masing merasa begitu bebas dan enak bicara satu sama lain. Hubungan terasa lebih intim.

Lalu ketika perjalanan dilanjutkan dan di sinilah masing-masing mengenal lebih dalam maka Bi Hong maupun Sin Gak mengakui bahwa di antara mereka terdapat persamaan sikap dan watak, juga pandangan hidup. Siapa tak betah kalau melakukan perjalanan begini. Akhirnya mereka tiba di Ci-bun namun karena hari masih siang mereka meneruskan perjalanan. Tujuh puluh li sebelah selatan terdapatlah Hutan Iblis, inilah tempat yang hendak mereka tuju.

Dan ketika perjalanan terus dilanjutkan dan kini Sin Gak tak ragu-ragu lagi menggenggam tangan gadis itu, berkelebat mengerahkan kepandaian mereka maka tak terasa benih-benih cinta yang ada di hati mulai bersemi dan berkembang. Bahkan Sin Gak telah memeluk dan mendekap erat pinggang yang ramping itu, menyatakan cinta!

“Aku tak dapat berpura-pura lagi, aku tak dapat menahannya. Berhenti sebentar dan tatap mataku, Bi Hong, jawablah apakah kau membalas cintaku atau tidak!”

Tiga puluh li menjelang Hutan Iblis Sin Gak berhenti dan menggigil di luar sebuah dusun, terlindung di balik batu besar dan di sini pemuda itu tak dapat menahan perasaannya lagi. Sudah tiga hari ini mereka melakukan perjalanan bersama dan sama-sama mengetahui sikap dan sepak terjang masing-masing.

Bi Hong membiarkan saja tangannya digenggam dan di remas. Gadis itu membiarkan pula jari-jari Sin Gak mengait jarinya. Maka ketika tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memeluk pinggangnya, bertanya dengan suara menggigil dan parau apakah dia menerima cinta pemuda itu mendadak gadis ini tersedu dan tanpa terasa lagi ia menubruk dan merebahkan dirinya di dada pemuda itu.

“Sin Gak, kau.... kau tahu isi hatiku. Tapi bagaimana Giok Cheng, bagaimana sikapmu nanti!”

“Jawab pertanyaanku dulu. Maukah kau menerima cintaku, Bi Hong, dapatkah kau menerimanya. Giok Cheng urusan nanti!”

“Aku... aku tak dapat menerima kalau kau masih terikat perjodohan itu. Aku tak mau menyakiti orang lain!”

“Tapi Giok Cheng dan ibunya telah memutuskan ikatan itu!”

"Tapi ayahnya menyambung. Tidak... tidak, aku tak dapat menerima kalau kau masih terikat ini, Sin Gak. Aku tak mau menyakiti gadis itu karena ia mencintaimu pula!” Bi Hong melepaskan diri dan di sini gadis itu menutupi mukanya.

Sin Gak menggigil menahan berbagai perasaan namun tiba-tiba pemuda itu manyambar kembali gadis ini. Lalu ketika ia memegang pundak itu dan sepasang matanya bersinar penuh harap pemuda ini berkata,

“Bi Hong, kau tahu bahwa urusan Giok Cheng bukan urusan ayahnya. Paman Han Han boleh berharap tapi Giok Cheng dan ibunya sendiri telah memutuskan. Aku kini bebas, bahkan ayahku menyuruhku mencarimu untuk memastikan kepastian cinta. Nah, kini aku merasa aku mencintaimu. Aku tidak mencintai Giok Cheng melainkan mencintaimu. Dengan keluarga Hek-yan-pang aku tak punya urusan lagi. Apakah begini kau masih menolakku juga? Bukankah kesedianmu adalah bukti penerimaanmu? Aku mencintaimu, Bi Hong, bukan mencintai orang lain!”

Kebahagiaan dan sedu-sedan menjadi satu. Gadis mana yang tak akan begitu bahagia mendengar pangakuan cinta dari pemuda yang dikasihinya pula. Tapi ketika gadis ini mengangkat muka mendorong Sin Gak maka di antara derai air mata Bi Hong berkata,

“Nanti dulu, jangan menganggap kesediaanku menyertaimu adalah semata karena menerima cintamu. Kau dan aku di luar ini adalah saudara seperguruan, Sin Gak, melihat kau menempuh bahaya mana mungkin aku diam saja. Kalau kini kau menyatakan cintamu, baiklah terus terang saja kuterima, tapi... tapi dengan catatan Giok Cheng tak menjadi ganjalan bagi kita. Jelek-jelek dia sumoiku juga, aku tak mau menyakiti hatinya!”

Sin Gak tertegun, mengerutkan alisnya. Tapi menarik napas mengerti perasaan gadis ini akhirnya iapun mengangguk. “Hm, kau benar-benar gadis yang baik, jarang kutemukan seperti ini. Baiklah, lega rasanya menerima jawabmu tadi, Hong-moi. Tapi betapapun aku mencintaimu seorang. Aku merasa lebih cocok denganmu, bukan dengan Giok Cheng. Kalau gadis itu mengganggu kebahagiaan kita justeru ia yang tak tahu diri!”

“Tapi kita harus menyelesaikannya baik-baik. Apa gunanya kita bahagia kalau ada ganjalan seperti ini, Sin Gak. Betapapun ia bekas calon jodohmu juga.” Bi Hong terisak, menyadarkan Sin Gak dan pemuda itu menarik napas dalam.

Tiba-tiba ada kekecewaan mendalam mengapa kebahagiaannya dengan Bi Hong harus terganggu. Bukankah gadis itu dan ibunya sudah memutuskan tali ikatan jodoh. Dan ketika pemuda ini menggigit bibir menahan gemas akhirnya Sin Gak mencium punggung tangan itu berkata haru, Bi Hong memang gadis yang tak mementingkan diri sendiri...