Tapak Tangan Hantu Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“SELAMAT datang. Aduh, lama kau tak menampakkan dirimu, Giam Liong. Syukur tak ada sesuatu mengganggu dirimu. Ha-ha, ini tentu puteramu Sin Gak seperti diceritakan Cu Pin itu. Wah, gagah dan tampan seperti ayahnya. Mari masuk masuk!”

Berbeda dengan isterinya yang bermuka gelap dan berapi memandang Sin Gak maka tuan rumah berseri-seri dan justeru gembira bukan main. Han Han telah menyambut Giam Liong dan merangkul erat saudaranya ini. Mereka memang sudah seperti sekandung saja, tidurpun pernah sekamar. Dan ketika Sin Gak cepat memberi hormat kepada pamannya ini, kagumlah dia akan sikap ramah dan tawa yang hangat itu maka tuan rumah melepaskan ayahnya menghadapi pemuda ini. Han Hanpun kagum akan keponakannya ini, diam-diam melihat sorot mata mencorong dan sekali beradu pandang maklumlah dia bahwa pemuda ini orang yang berisi.

“Masuklah, tak usah sungkan-sungkan. Cu Pin telah menceritakan semuanya kepadaku, Sin Gak, dan aku berterima kasih atas bantuanmu kepada mereka. Marilah, kita masuk!” berkata begini tuan rumah menahan tubuh si pemuda yang membungkuk memberi hormat. Han Han pun mengerahkan sinkangnya untuk menggagalkan maksud pemuda itu, di samping merasa tak perlu juga tentu saja menguji putera Si Naga Pembunuh ini. Tapi ketika ia terkejut betapa tenaganya tertolak oleh tenaga pemuda itu, sinkangnya dilawan sinkang amat kuat hingga ia tak mampu mencegah maka pemuda itu tetap menjura dan berkata kepadanya, seakan tak perduli atau pura-pura tak tahu perbuatannya tadi.

“Harap paman maafkan aku. Kalau ada sesuatu yang tak patut kulakukan harap paman memberi tahu. Bantuanku kepada bibi Cu Pin tak ada artinya, mungkin ia terlalu berlebihan.”

“Ha-ha, hebat!” Han Han menarik cepat tangannya itu. “Kau rendah hati dan luar biasa, Sin Gak, tak memalukan ayahmu sebagai putera seorang gagah perkasa. Ayo, masuk dan kita bicara di dalam!”

“Nanti dulu, biar ia tahu bahwa ini bibinya Tang Siu,” Giam Liong berkata dan tiba-tiba menahan sejenak. “Inilah bibimu yang kuceritakan itu, Sin Gak, iapun wanita perkasa murid Kun-lun!”

“Ha-ha, benar. Tapi tak ada artinya dibanding ayahmu. Aih, aku lupa dan perkenalkan juga!”

Sorot benci itu meredup sejenak. Dipandang suaminya dan Giam Liong tentu saja wanita ini tak memperlihatkan lagi sinar kemarahannya. Hanya Sin Gak lah yang tahu betapa dia amat tak senang. Maka ketika pemuda itu menjura dan membungkuk di depannya nyonya ini cepat mengibaskan lengan.

“Sudahlah, mari masuk dan aku sudah tahu. Biar kusiapkan minuman untuk kalian dan harap bicara di dalam.”

Han Han belum curiga sikap isterinya. Giam Liongpun belum tahu karena sesungguhnya yang tahu hanya Sin Gak. Pemuda itulah yang mendapat bidikan langsung, dialah yang merasakan. Maka ketika nyonya rumah meninggalkan tamunya dan Han Han mengajak ke dalam maka asyiklah mereka terlibat percakapan hangat, sampai akhirnya Giam Liong menanyakan mana adanya Giok Cheng.

“Oh, dia? Ha-ha-ha, biar kutanya ibunya!” tepat di saat sang nyonya menghidangkan minuman Han Hanpun bertanya, “Hei, mana puteri kita Giok Cheng, niocu. Panggil dan suruh menghadap pamannya Giam Liong. Masa ia tak muncul!”

“Giok Cheng sedang berburu bersama temannya. Maaf ia belum dapat kupanggil, suamiku. Silahkan minum dulu dan aku sibuk di dapur.”

Han Han tertegun. Ia teringat bahwa puterinya tadi masih di kamar, masa begitu cepat tiba-tiba pergi. Namun karena mungkin malu bertemu Sin Gak, calon jodoh yang sudah ditunangkan maka ia tersenyum dan tertawa, lagi-lagi belum curiga. “Ah, anak itu benar-benar seperti bocah kecil saja. Baiklah, tak apa. Tapi setelah kaupun selesai harap ke sini, niocu, temani tamu kita dan ngobrol bersama!”

“Tak usah repot-repot,” Giam Liong pun tersenyum dan belum curiga. “Kedatangan kami bukan untuk disambut makanan enak, Tang Siu. Apapun kami mau asal suasana ini tetap hangat dan gembira.”

“Ha-ha, benar. Ah, sudahlah biarkan ia di dapur dan aku ingin bebek panggang untuk hari ini. Masaklah yang lezat dan undang kami secepatnya begitu selesai!”

Nyonya rumah membalik dengan satu kilatan ke arah Sin Gak. Lagi-lagi dua pria itu tak melihatnya dan Sin Gak tergetar. Kilatan mata itu begitu penuh benci dan marah, pemuda ini menunduk dan menekan perasaannya yang tidak enak. Tiba-tiba saja ia merasa dadanya tak enak. Sesak! Maka ketika ayah dan pamannya bercakap-cakap dan iapun sendiri di situ, bangkitlah pemuda ini meminta ijin maka Sin Gak pura-pura ingin menemui Cu Pin, juga beberapa murid lain yang pernah dikenalnya di situ.

“Ah, boleh, silakan. Cu Pin ada di belakang, Sin Gak, masuk saja. Biar aku bercakap-cakap dengan ayahmu!”

Pemuda ini mengangguk. Ia melihat betapa pamannya Han Han itu benar-benar seorang pria ramah yang cukup menyenangkan. Kalau saja sikap isterinya juga begitu! Maka ketika ia berkelebat dan membiarkan ayahnya bercakap-cakap maka pemuda ini bukannya menuju belakang melainkan justeru keluar menyeberangi pulau. Beberapa murid menyapanya dan pemuda ini mengangguk dingin. Sikap nyonya rumah membuatnya marah juga. Dingin dibalas dingin! Dan ketika para murid itu tertegun melihat sikapnya yang acuh seperti itu maka merekapun gentar dan surut tak berani mengajak bercakap-cakap.

Sin Gak menuju hutan kecil di luar Hek-yan-pang. Diam-diam ia tak percaya kalau Giok Cheng ke hutan. Masa ada tamu kok malah pergi. Maka bermaksud menyelidiki kebenaran itu dan mengintai diam- diam iapun hendak membuktikan kata-kata nyonya rumah dan hutan itu ternyata sepi-sepi saja. Tak ada Giok Cheng di situ, tak ada orang berburu! Dan ketika ia berhenti dan kebetulan tiba di tempat di mana dulu ia berpisah dengan Bi Hong maka di sini pemuda itu tertegun di sebatang pohon dan saat itu secara tak diduga mendadak muncullah gadis berbaju hitam putih itu, tersenyum dan muncul di balik pohon besar di mana ia hendak duduk!

“Bi Hong!”

Gadis itu tersenyum dengan amat manisnya. Sin Gak benar-benar terkejut dan membelalakkan matanya dan ia kaget sekali. Sungguh tak diduganya di belakang pohon itu ada gadis ini. Maka ketika ia tertegun dan gadis itu melangkah lembut maka gadis ini mengangguk dan menyapanya pula. Senyum manis itu mengembang disertai sepasang bola mata indah berseri-seri.

“Ya, aku, Sin Gak. Ada apa kau di sini dan kenapa pula di tempat bekas perpisahan kita ini. Apa yang kau cari.”

“Aku, eh... aku...“ Sin Gak tergagap. “Aku mencari Giok Cheng, Bi Hong, katanya berburu. Tapi gadis itu tak ada di sini, ibunya bohong!”

“Hm, kau mencari gadis itu? Kau mencari tunanganmu itu?”

Pemuda ini tergetar. Sepasang mata bola yang tadi berseri dan indah itu mendadak lenyap terganti sikap dan pandang mata dingin. Bi Hong tiba-tiba menjadi kaku dan tidak senang. Tapi karena ia mencari gadis itu semata membuktikan omongan ibunya maka ia menggeleng menarik napas dalam.

“Aku mencari hanya untuk membuktikan kata-kata ibunya saja. Tentang tunangan,ah rasanya tak mungkin!”

Aneh, sepasang mata itu tiba-tiba berseri lagi. Bi Hong yang tadi gelap mendadak cerah. Mulut yang cemberut dan ditekuk itu sekarang berubah ceria. Senyum itu mengembang lagi. Dan ketika Sin Gak merasa diaduk-aduk dan tak keruan rasanya maka gadis ini melempar tubuh duduk di rumput tebal. Gadis itu terkekeh.

“Hi-hik, kenapa tak mungkin, Sin Gak. Bukankah ia calon jodohmu. Orang tua kalian sudah saling menjodohkan. Ia cantik dan gagah, kenapa tak mungkin!”

“Entahlah,” Sin Gak duduk dan tak terasa mengikuti gadis ini, seakan dihipnotis. “Ibunya begitu benci dan tak senang kepadaku, Bi Hong. Mungkin ada kesalahan yang kulakukan.”

“Kesalahan apa! Kau pemuda baik-baik dan tahu menjaga perasaan orang. Kalau kedatanganmu disambut muka gelap dan bibir cemberut maka itu bukan salahmu. Kulihat itu tadi di dalam pulau!”

“Eh, kau tahu?” Sin Gak terkejut. “Berarti sudah lama kau di sini, Bi Hong, apa yang kau cari!”

Gadis ini memandang Sin Gak, lalu tiba-tiba melengos. “Entahlah, aku tak tahu apa yang kucari karena tiba-tiba saja aku ingin datang kesini.”

“Bi Hong...“ Sin Gak tiba-tiba berdebar. “Kau tahu bahwa kira-kira aku ke sini? Firasatmu mengatakan bahwa aku pasti ke sini?”

Gadis itu menunduk, menggeleng. “Aku tak tahu, Sin Gak. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Yang jelas, aku... aku tak tenang.“

“Karena apa?”

“Aku juga tak tahu.“

“Eh, kalau begitu sama!”

“Apanya yang sama?”

“Perasaan tak tenang itu, rasa gelisah itu. Aku juga tak tenang dan tahu apa yang menyebabkan aku tiba-tiba begini!”

“Hm, bagaimana perasaanmu sejak kita terpisah.”

“Gundah.”

''Apa yang kau ingat-ingat? Gadis kekasihmu itu?”

“Hm, jangan bicara tentang Giok Cheng. Aku waktu itu mencari dan ingin menemukan ayahku, Bi Hong. Barangkali untuk ini aku gelisah.”

“Kau kau tak ingataku?”

Sin Gak berdesir. Kata-kata itu diluncurkan begitu saja dan iapun terkejut. Bukan hanya Sin Gak akan tetapi Bi Hong sendiri tampaknya juga terkejut. Ia seakan tak sadar saja bicara seperti itu, muka gadis inipun tiba-tiba menjadi merah. Akan tetapi ketika Sin Gak mengangguk dan bicara jujur maka iapun gembira meskipun semburat.

“Ya, aku selalu teringat kau. Mungkin galakmu itu, ketika kau marah-marah kupegang tanganmu!”

Kekeh tertahan terdengar lepas. Bi Hong meloncat bangun dan tiba-tiba memutar tubuh, lari dan meninggalkan pemuda itu. Lalu ketika Sin Gak terkejut dan berseru memanggil maka pemuda inipun bangkit berdiri dan mengejar.

“Hei, ada apa, Bi Hong. Kenapa pergi!”

Gadis itu terus lari. Ia terkekeh-kekeh dan Sin Gak pun gemas. Mereka berkelebatan melewati pohon-pohon besar, berputar dan akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Lalu ketika Sin Gak terheran dan menyambar lengan gadis ini maka pemuda itu berseru apa yang dimaui gadis ini.

“Berhenti, kenapa kau tertawa-tawa. Jangan membuatku penasaran dan kenapa kau berlari!”

Gadis ini membalik, tak melepaskan tangannya. Sin Gak terkejut dan sadar dan otomatis melepaskan genggamannya itu. Pemuda inipun memerah mukanya. Namun ketika gadis itu menarik napas dalam dan berkata bahwa ia sekarang tak marah-marah lagi, buktinya ia membiarkan saja pemuda itu menangkap lengannya maka Sin Gak mundur dan tergetar dengan jantung berdegup kencang.

“Dulu aku marah karena siapapun tak boleh memegang tanganku. Kaulah laki-laki pertama yang menggenggam tanganku. Karena kau baik dan tidak bermaksud kurang ajar maka aku sekarang tak marah-marah lagi, Sin Gak, dan itu sudah kubuktikan sekarang ini. Kau pegang lagipun aku tak marah, aku suka!”

Pemuda ini berdebar dan merah sekali. Ia duduk dan membelalakkan mata dan gadis inipun mengikutinya. Sebagai murid Si Naga Berkabung dan berkesan bebas tampaknya Bi Hong memang tidak malu-malu, apalagi pemuda di depannya itu bukan orang lain, masih kerabat perguruan. Tapi karena Sin Gak selamanya belum bergaul dengan wanita dan iapun merasa canggung dan panas mukanya, lain dengan gadis ini yang biasa dengan gurunya maka untuk sejenak Sin Gak tak mampu bicara apa-apa dan dibuat terbengong-bengong tapi juga panas wajahnya mendengar ucapan blak-blakan itu. Terang-terangan Bi Hong menyatakan suka kalau dipegang-pegang!

Akan tetapi Sin Gak juga murid seorang tokoh aneh. Iapun telah digembleng lahir batin. Maka sedetik setelah ia lenyap jengahnya pemuda inipun tertawa. “Kau bikin aku merinding. Menggenggam tanganmu seperti memegang sutera lembut, Bi Hong. Kalau dulu aku menangkapmu karena ingin mengajakmu meninggalkan Giok Cheng dan sucinya itu, bukan apa-apa. Sedang tadi, ah, kau membuatku penasaran. Akupun menangkap karena penasaran!”

“Karena aku tertawa tadi?”

“Ya.”

“Aku geli! Aku geli melihat sikapmu yang aneh dan tentu saja aku tertawa!”

“Apa yang aneh yang tadi kulakukan?”

“Pengakuanmu bahwa kau selalu teringat aku!”

“Eh, kau yang bertanya dulu!”

“Tapi seharusnya tak usah kau jawab. Aku jadi geli, geli melihat mukamu yang kemerah-merahan itu. Hi-hik, seperti udang rebus!” lalu ketika gadis ini kembali terkekeh dan terpingkal-pingkal maka Sin Gak pun tertawa dan melihat bahwa gadis ini benar-benar lain dengan Giok Cheng yang bersikap pendiam dan angkuh itu. Gadis di depannya ini bebas lepas seperti burung keluar sarangnya, bernyanyi dan berceloteh begitu gembiranya. Akan tetapi ketika tiba-tiba tawa itu terhenti terganti wajah murung maka Sin Gak terkejut karena tawa yang berderai itu mendadak terganti tangis dan isak sedih.

“Sin Gak, kau beruntung. Kau kau masih memiliki ayah!”

“Hm, apa ini. Kenapa kau menangis setelah tertawa begitu geli.”

“Aku teringat keluargaku, suhuku.”

“Kau sudah ditinggalkan suhumu?”

“Sama seperti kau, Sin Gak, kalau tidak masa kita bisa keluar.”

“Hm, ya-ya, betul. Lalu, hmm... apakah kau tak mempunyai ayah ibu.”

“Aku sudah yatim-piatu ketika diambil suhu. Dan kini tiba-tiba aku merasa sebatangkara setelah suhupun pergi.”

“Bi Hong“ tak terasa Sin Gak memegang tangan gadis ini lagi, penuh keharuan. “Hidup akhirnya harus sendirian saja, siapapun akan ditinggalkan orang-orang yang dicinta. Kalau akupun masih mempunyai ayah maka semata keberuntungan saja. Sudahlah jangan sedih karena bukankah ada aku di sini, kita masih juga keluarga, paling tidak sebagai murid-murid keturunan Ngo-cia Thian-it!”

Bukan main terharunya gadis itu. Tangis itupun berderai lagi dan Bi Hong tersedu, menjatuhkan mukanya dan mereka tiba-tiba sudah berpelukan. Dalam sekejap itu mereka tak merasa sendirian lagi, ada kawan dan sahabat tersayang. Tapi ketika mereka berpelukan dan Sin Gak berdebar penuh kasih, tak terasa jarinya sudah mengusap dan mengelus rambut hitam lembut itu mendadak berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu Giok Cheng dan ibunya muncul di situ.

“Bagus, lihat apa yang terjadi di sini. Bagaimana paman Giam Liong menyatakan seperti itu kalau puteranya bergila-gilaan dengan perempuan lain, ibu. Lihat perbuatannya dan tidakkah keluarga Sin menghina kita!”

Bukan main kagetnya Sin Gak dan Bi Hong. Mereka sedang tenggelam ke dalam kesyahduan alami ketika tiba-tiba saja Giok Cheng dan ibunya muncul di situ. Bukan maksud mereka untuk bermesra-mesraan sebagaimana layaknya dua muda-mudi. Mereka berpelukan karena semata ada keharuan. Sin Gak memeluk karena kasihan gadis itu sebatangkara sementara Bi Hong karena merasa ada yang mengasihani, lebih dari itu agaknya belum. Maka ketika tiba-tiba ibu dan anak muncul dan wajah keduanya tentu saja merah padam, Sin Gak meloncat bangun maka Tang Siu menuding telunjuk dan membentaknya,

“Sin Gak, apa yang kau lakukan di sini. Pantaskah kedatangan kalian ayah dan anak kalau kenyataannya kau galang-gulung dengan wanita lain. Berani kau menghina Giok Cheng dan merendahkan aku!” dan menerjang serta menampar pemuda itu wanita ini tampak marah bukan main sementara sang pemuda tak menghindar atau mengelak serangan ini. Tepat sekali pipi Sin Gak kena tampar, meledak dan kalau bukan pemuda ini tentu pecah pipinya. Dan ketika Sin Gak terhuyung sementara Bi Hong menjerit kaget maka gadis itu berkelebat dan menarik tangan pemuda ini.

“Mundur, jangan biarkan serangan itu!”

Akan tetapi kemarahan sang nyonya menjadi-jadi. Melihat betapa gadis ini melindungi dan menarik Sin Gak tak ampun lagi hati yang panas menjadi semakin panas. Tang Siu berkelebat dan menampar lagi, kali ini ke wajah Bi Hong. Akan tetapi karena Bi Hong bukanlah Sin Gak dan tentu saja menangkis makabwanita itu berteriak dan terjengkang.

“Plak!”

Tang Siu bergulingan meloncat bangun. Wanita ini kaget sekali akan tetapi Giok Cheng menjadi marah. Gadis ini tentu saja tak mau ibunya dihina dan iapun melengking menyambar lawan. Bi Hong dipukul dari samping. Namun ketika gadis itu mengelak dan menangkis maka Bi Hong pun tak mau mengalah dan ganti membalas hingga akhirnya merekapun bertempur!

“Bi Hong, Giok Cheng, berhenti! Jangan kalian bertempur dan berhenti!”

Yang kelabakan tentu saja Sin Gak yang ada di situ. Tak disangkanya bahwa ia kepergok ibu dan anak seperti itu. Diam-diam ia menyesal kenapa ia lengah. Barangkali rasa mabok berpeluk-pelukan itulah yang membuat dirinya hanyut, getar darah mudanya memang terbawa sekali, indah melayang-layang hingga lupa keadaan sekeliling. Mereka sesungguhnya di tempat terbuka. Maka ketika ibu dan anak tiba-tiba muncul dan tentulah ia di duga berkasih-kasihan, merahlah pemuda ini maka ia yang bermaksud melerai pertempuran mendadak diterjang sang ibu.

“Kau tak perlu berpura-pura bersikap baik. Sekarang semua kata-kata Giok Cheng terbukti. Ayo kau layani aku dan atau aku yang mampus!”

“Bibi !”

“Aku bukan bibimu. Mampus atau kau segera minta ampun kepada kami sekeluarga!” pedang mendesing dengan amat cepat dan tahu-tahu nyonya rumah sudah menyerang begitu ganasnya. Melihat betapa pemuda ini berpelukan dengan gadis lain sudah membuat nyonya ini terbakar. Sekaranglah dia melihat dengan mata kepala sendiri kata-kata puterinya. Ibu mana tak marah melihat calon menantu bergila-gilaan dengan wanita lain. Tapi karena Sin Gak bukan pemuda sembarangan dan pemuda inipun sebenarnya tak sengaja juga, pertemuannya dengan Bi Hong bukan sengaja diadakan maka Sin Gak berkelebat dan pedang yang menyambar sudah lewat di sisinya mengenai sebatang pohon yang roboh terbabat, berseru,

“Bibi, jangan kalap. Pertemuan kami bukan disengaja. Tahan pedangmu dan dengarkan dulu kata-kataku!”

“Tak ada yang mau dengar. Baik-baik ayahmu bicara tentang perjodohan tapi di sini kau main gila, Sin Gak, enak saja kau menghina keluarga Ju-taihiap. Mampus dan tak usah banyak mulut atau kau robohkan aku...sing-crat!” dahan sebatang pohon lain putus terpapas dan sibuklah Sin Gak menyabarkan nyonya yang marah. Usahanya sia-sia saja dan mengeluhlah dia. Keadaan sungguh tidak menguntungkan. Dan ketika dia mengelak sana-sini sementara pertandingan di antara Bi Hong dengan Giok Cheng semakin menghebat saja maka iapun berseru meninggalkan nyonya itu, menyambar Bi Hong.

“Berhenti dan jangan serang dia. Kita pergi!”

Akan tetapi Bi Hong meronta. Ia menepis pemuda itu dan Giok Cheng pun tak mau diam. Gadis ini juga menyerang Sin Gak. Dan ketika pemuda itu berkelit sementara nyonya rumah mengejar lagi maka ibu dan anak bersatu-padu menyerang dua orang ini.

“Tak perlu lari kalau memang jantan. Biar ayahmu tahu dulu dan bagaimana tanggung jawab keluarga Sin!”

Pucatlah pemuda ini. Ia sudah diterjang lagi dan pedang si nyonya menyambar naik turun. Bi Hong juga sudah diserang Giok Cheng. Dan karena gadis itu melayani dan membalas serta berkelebatan menyambar-nyambar, maka Giok Chengpun melengking-lengking membuat Sin Gak khawatir karena suara itu bisa didengar ayahnya atau pamannya Han Han.

“Bi Hong, jangan layani lawanmu. Pergi dan kita tinggalkan saja tempat ini!”

“Tidak, ia mendesakku dan menyerangku duluan, Sin Gak, melarikan diri hanya disangka takut saja. Kita hajar mereka dan kau robohkan pula wanita sombong tu!”

Sin Gak benar-benar merasa runyam. Giok Cheng semakin marah ibunya dimaki wanita sombong sementara Sin Gak sendiri lebih banyak menghindar dan tidak melayani nyonya rumah. Sejak mula keadaannya sudah tidak menguntungkan. Dan ketika ia menjadi bingung tak diberi kesempatan menjelaskan duduk persoalan maka apa yang dikhawatirkan benar saja terjadi. Ayah dan pamannya itu berkelebat datang.

“Sin Gak, apa yang terjadi. Kenapa kau bermusuhan dengan bibimu!”

“Dan kau, siapa lawanmu ini, Giok Cheng. Berhenti dan jangan serang-menyerang!”

Dua pendekar ini berkelebat ke masing-masing anaknya dan Giam Liong sudah mencengkeram dan mendorong mundur puteranya. Ia menangkis pedang sang nyonya hingga Tang Siu menjerit terpental. Tapi ketika di sana Han Han terdorong dan bertemu angin kuat dari dua gadis itu maka pendekar ini membelalakkan mata dan saat itulah Sin Gak menyambar dan menghentikan serangan Bi Hong.

“Berhenti dan dengar kata-kataku. Kita tidak bersalah!”

Bi Hong baru mau berhenti. Di sana, Giok Cheng ditarik ayahnya sementara ia dicengkeram Sin Gak, kedua-duanya bagai dua singa betina yang sama-sama lapar, juga sama-sama siap bertarung sampai titik darah penghabisan! Dan ketika dua-duanya gemetar menahan marah maka Han Han dan Giam Liong mengerutkan kening dengan muka merah. Han Han bahkan tampak khawatir dan cemas, menegur puterinya.

“Apa yang kau lakukan di sini. Kenapa ribut-ribut dan membawa ibumu memusuhi Sin Gak.”

“Tanya kepada ibu, apa yang dia lihat!”

Han Han terkejut. Puterinya begitu kasar sementara matanya berapi-api memandang gadis baju hitam putih itu. Kalau saja urusan tak demikian serius tentu puterinya ini tak akan bersikap seperti itu, pendekar ini terkejut. Dan ketika dia berdebar memandang sang isteri maka dengan langkah lebar dan galak wanita itu menudingkan pedangnya ke wajah Sin Gak dan Bi Hong.

“Mereka ini berpelukan dan bermesraan di sini. Sin Gak tak tahu malu menghancurkan niat baik ayahnya sendiri. Kami keluarga Ju tak dapat menerima dan menuntut tanggung jawab!” lalu menghadapi si buntung dengan wajah terbakar nyonya ini melanjutkan, “Giam Liong, niat baikmu dalam urusan perjodohan tampaknya tak dapat lagi kuterima. Puteramu main gila dengan perempuan lain, entah bagaimana cara kau mendidiknya. Puteriku Giok Cheng tak apa putus dengar keluarga Sin karena di dunia ini bukan hanya kalian laki-laki!”

Wajah Si Naga Pembunuh berubah. Sejak pertama kali melihat gadis baju hitam putih itu sesungguhnya Giam Liong sudah berdebar. Sin Gak telah sedikit bercerita tentang gadis ini tapi belum begitu panjang lebar. Kiranya inilah murid Si Naga Berkabung Song-bun-liong ini. Teringatlah dia ketika dulu ditolong kakek sakti itu. Dan ketika ia tergetar dan todongan demi todongan kata-kata tajam nyonya itu membuat mukanya merah maka tiba-tiba ia membalik dan betapapun tak dapat membenarkan puteranya sendiri, kalau benar begitu.

“Sin Gak, apa yang kau lakukan di sini. Sedemikian burukkah watakmu hingga membuat malu orang tuamu sendiri. Ceritakan kejadian ini dan bagaimana bisa begitu!”

Sin Gak menarik napas dalam. Semua orang memandangnya penuh perhatian dengan mata berbeda-beda. Giok Cheng dan ibunya tentu saja pandang mata penuh benci, gadis itu merasa dikhianati. Tapi Han Han yang melihat betapa pemuda ini bersikap tenang dan kelihatan menguasai keadaan diam-diam menjadi kagum dan ada simpatik. Betapapun pemuda itu gagah dan wajahnya yang jantan mengingatkan kepada ayahnya sendiri, si buntung itu.

“Maafkan kalau perkembangan dari cerita ini menjadi tajam. Aku sesungguhnya tak sengaja bertemu Bi Hong, ayah, kebetulan saja bertemu di sini. Kami bercakap-cakap dan tiba-tiba saja muncul mereka ini.“

“Kalian bukan bercakap-cakap, kalian berpelukan!” Tang Siu membentak.

“Benar, mereka itu bermesraan di sini, ayah. Kalau sekedar bercakap-cakap tentu tak membuat kami marah!” Giok Cheng menyambung.

“Hm!” Giam Liong melompat, mencengkeram bahu puteranya itu. “Kau membuat malu dan marah ayahmu, Sin Gak, bukankah kau sudah tahu ikatan jodoh antara dirimu dengan Giok Cheng. Kenapa melakukan itu!”

“Tunggu!” Sin Gak berkelit dan melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya. “Kami berpelukan bukan sebagaimana yang disangka mereka, ayah. Aku memeluknya karena haru!”

“Bagus, haru karena ketahuan. Kalau tidak tentu berlanjut ciuman. Cih, tak usah malu-malu dan membuang dalih kosong, Sin Gak. Bersikaplah jantan sebagai mana ayahmu. Kau harus jujur!” sang nyonya mendamprat dengan mata berapi-api dan pemuda inipun merah padam. Ia dicaci dan dimaki habis-habisan, betapapun juga kemarahannya timbul. Tapi ketika ia bertemu pandang dengan ayahnya dan wajah itu membuatnya iba, sang ayah tampak begitu sakit maka ia mengedikkan kepala berseru lantang.

“Bibi Tang Siu tak usah berapi-api, aku tetap menjunjung kebenaran dan kejujuran di atas segala-galanya. Ketahuilah apa yang kukatakan adalah sebenarnya saja, bibi. Kami sedang berbicara tentang keadaan kami yang membuat kami haru. Bi Hong bercerita tentang ayah ibunya yang tiada. Bi Hong bercerita tentang suhunya yang telah meninggalkan dirinya pula. Dan karena ia merasa yatim-piatu dan sebatangkara maka ia menangis dan akupun terbawa ke dalam keharuan. Aku merasakan bagaimana dukanya tak berayah ibu lagi. Aku juga dapat merasakan seandainya aku tak memiliki ayah lagi. Dan karena aku merasa haru dan kasihan maka kamipun berpelukan dan tak kusangkal bahwa itu memang kami lakukan, tapi dasarnya bukan seperti yang dituduhkan tadi!”

Pucatlah wajah Tang Siu. Ia memang tak mengetahui asal mula percakapan itu dan karena sebelumnya Giok Cheng sudah bercerita tentang “pacar” baru Sin Gak maka ia terbawa saja. Emosinya meledak ketika dilihatnya Sin Gak memeluk gadis itu. Dan karena apa yang dilihat sungguh membuat ia marah maka iapun menganggap benarlah apa yang selama ini dikatakan puterinya. Keturunan Giam Liong itu pemuda bergajulan! Kemarahan membuat ia tak mau berpikir panjang lagi dan diseranglah pemuda itu. Ia merasa direndahkan. Keluarga Ju serasa dipermainkan.

Tapi ketika Sin Gak memberi jawaban dan semua itu dikatakan dengan tegas dan penuh kejujuran, sungguh-sungguh maka wanita inipun terhenyak, sementara Bi Hong dan Giok Cheng merah padam di sana. Ada perbedaan menyolok di antara dua gadis ini. Bi Hong jengah oleh bicara Sin Gak yang blak-blakan di hadapan orang-orang tua itu sementara Giok Cheng diam-diam lega tapi masih juga cemburu. Ia lega bahwa Sin Gak ternyata hanya sebatas itu. Tapi Bi Hong yang sedikit kecewa karena Sin Gak semata memeluknya karena haru, bukan cinta maka iapun terpukul dan saat itu dua orang tua di sana mengangguk-angguk. Han Han dan Giam Liong lega.

“Hm, begitu kiranya, bagus. Tapi betapapun kau harus minta maaf kepada bibimu Tang Siu dan Giok Cheng.”

“Tidak usah!” nyonya rumah membuat kejutan dengan seruan lantang. “Giok Cheng telah menyatakan kepada kami bahwa ikatan jodoh diputuskan saja, Giam Liong. Kami keluarga Ju tetap saja tak dapat menerima sikap puteramu ini. Perjodohan diputuskan!”

“Niocu!”

“Ibu...!”

Han Han terkejut menyambar isterinya itu. Giok Cheng meloncat pergi dan tersedu-sedu dan orang tak tahu apa yang ada di hati gadis ini. Sesungguhnya Giok Cheng tak marah lagi setelah tahu duduk persoalannya. Sesungguhnya gadis itu mengharap perjodohan tetap dilanjutkan. Tapi, ketika ibunya tiba-tiba berkata seperti itu dan iapun menjerit kaget maka tak ayal iapun memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan hati seperti disayat-sayat.

Dan lain Giok Cheng lain pula Bi Hong! Gadis ini berseri-seri mendengar ikatan jodoh yang putus. Ia begitu gembira hingga kegembiraan ini memancar di wajahnya. Giam Liong berkerut memandang gadis itu. Tapi ketika di sana Han Han mencengkeram isterinya dan terkejut menggelengkan kepala maka pendekar ini berseru,

“Tidak, aku pribadi tak suka ini. Kalau ini semata kehendakmu sendiri maka tak dapat kubenarkan sikapmu ini, niocu. Semuanya sudah jelas sekarang, kenapa dibuat keruh lagi. Perjodohan tetap saja dilanjutkan dan apa yang terjadi ini anggap saja sebuah kesalahpahaman!”

“Hm, kesalahpahaman apa kalau puteri kita Giok Cheng tak mau lagi. Sin Gak sudah pandai bergaul dengan wanita lain, suamiku, ini bisa berbahaya untuk keutuhan rumah tangganya kelak. Daripada lebih parah lebih baik diputuskan sekarang saja!”

“Aku tak percaya Sin Gak seperti itu, kau masih saja bersikap memusuhi!”

“Aku hanya bicara apa adanya, daripada kecewa dibelakang hari!”

“Tidak, tidak. Kita tak boleh gegabah dan aku yakin Giok Cheng masih suka!” ketika suami isteri itu ribut sendiri membuat Bi Hong menjadi pucat maka Giam Liong menghadapi puteranya dengan sikap keren, wajahnya gelap dan tampak tak senang.

“Sin Gak, bagaimana tanggapanmu kalau bibimu Tang Siu memutuskan ikatan jodoh. Apa yang kau lakukan!”

“Aku menyerahkan kepada ayah, terserah ayah.”

“Bukan kepadaku, bocah, melainkan jawabanmu. Apakah kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Aku tak tahu.”

“Bagus, kalau begitu kau mencintai gadis ini!”

“Akupun tak tahu.”

“Eh, jawab yang benar, Sin Gak, ini bukan main-main. Jawab yang jujur bagaimana kalau bibimu Tang Siu memutuskan ikatan jodoh!”

“Aku mengembalikan kepada yang bersangkutan saja.”

“Kalau begitu kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Aku tak tahu, ayah, aku masih bingung.”

“Hm!” sampai di sini tiba-tiba Bi Hong berkelebat meninggalkan tempat itu. Gadis ini akhirnya tak tahan setelah Sin Gak memberi ketidakpastian, padahal ia semula berharap dan girang oleh putusnya ikatan jodoh itu. Maka ketika ia memutar tubuhnya dan terisak meninggalkan tempat itu akhirnya Han Han yang mendengar percakapan ayah dan anak maju mendekat, Tang Siupun berkelebat meninggalkan tempat itu, masih dengan marah dan mata berapi-api.

“Agaknya urusan ini tak dapat diselesaikan sekarang. Biarlah kita biarkan anak-anak muda ini menentukan sendiri, Giam Liong, aku pribadi tetap mempertahankan ikatan jodoh. Semua kata-kata isteriku berisi emosi saja, harap maafkan dia. Daripada berdebat tiada guna marilah kita pulang dan kita lanjutkan lagi pembicaraan tentang musuh kita Majikan Hutan Iblis itu.”

Tapi Naga Pembunuh terlanjur sakit hati oleh sikap nyonya rumah. Giam Liong menggeleng dan menolak permintaan ini ia tak mau kembali. Maka ketika ia menjawab biarlah ia pergi maka Han Han tentu saja kecewa,

“Tidak, terima kasih. Ternyata ada perkembangan yang tidak kuduga, Han Han. Sin Gak belum banyak bercerita tentang ini kepadaku. Dan isterimu begitu sengit, kami keluarga Sin tentu juga tak akan merengek-rengek kepada keluargamu. Biarlah urusan ini kita tutup sementara dan kau benar, musuh kita masih ada di depan. Kita cari Majikan Hutan Iblis dan selesaikan dulu urusan ini!” lalu menyambar puteranya tak mau di situ lagi, Si Naga Pembunuh ini tak banyak bicara, jelas tersinggung oleh kata-kata nyonya rumah dan Han Han pun terkejut.

Ia menyesal dan tentu saja tak menghalangi kepergian orang. Ia kenal baik siapa laki-laki buntung itu. Orang yang amat keras dan harus berhati-hati sekali menghadapinya. Maka ketika ia memandang kepergian ayah dan anak dan mereka itu menghilang di luar hutan akhirnya apa boleh buat pendekar inipun kembali ke rumahnya dan di sana ia melihat isterinya tersedu-sedu.

“Giok Cheng pergi, ia meninggalkah surat ini. Aku harus menyusulnya dan biar kau di rumah dulu!”

“Tunggu, apa yang ia katakan!” Han Han menyambar dan mencegah isterinya ini, surat puterinya dibaca. “Astaga, kau benar-benar gegabah, niocu. Apa yang kubilang. Ah, mari kita kejar dan kau harus minta maaf kepadanya!”

Sang nyonya mengguguk dan menubruk suaminya ini. Ternyata Giok Cheng memberi tahu ayah ibunya bahwa kalau Sin Gak tak mencintai gadis lain tentu saja ia mau melanjutkan ikatan jodoh itu. Sikap dan keputusan ibunya dirasa sepihak saja, Giok Cheng sudah mengetahui siapa Sin Gak. Maka ketika ia merasa kecewa kenapa ibunya ngotot, semata tak mau kalah dengan anak muda maka Giok Cheng hendak mencukur rambutnya saja menjadi nikouw (pertapa wanita), menuju kuil Thian-lim-si.

“Aku tak ingin menikah saja seumur hidup, biarlah aku menjadi nikouw. Selamat tinggal ayah dan ibu dan maafkan aku yang ingin mengabdi sebagai pendeta!”

Jerit dan pekik nyonya itu mengejutkan semua murid-murid Hek-yan-pang. Tentu saja tidak sejauh ini sang ibu mendorong puterinya. Kalau perjodohan dengan keluarga Sin gagal masih banyak keluarga lain yang dapat mereka cari. Keinginan Giok Cheng membuat nyonya itu ngeri, ia bakal tak dapat menimang cucu. Maka ketika ia keluar dan bertemu suaminya di pintu, disambar dan ditahan segera saja surat itu diberikan dan Han Han pun terkejut oleh sikap puterinya ini. Ia bakal kehilangan keturunan, Giok Cheng adalah satu-satunya puteri tunggal. Maka ketika ia berkelebat dan cepat menuju Thian-lim-si maka di tempat lain seorang nikouw tua termangu-mangu menghadapi seorang gadis muda yang tersedu-sedu dan berlutut di bawah kakinya.

“Siancai, Giok Cheng siocia kiranya. Aduh, ada persoalan apa kau seperti ini, anak baik. Bangun dan duduklah dan ceritakan kepada pinni (aku).”

Giok Cheng tak dapat berkata-kata dan tiba-tiba mengeluh roboh. Gadis ini sesungguhnya terpukul oleh sikap yang di ambil ibunya tadi, tak dapat menyalahkan karena dialah yang sesungguhnya mula-mula memutuskan ikatan jodoh. Tapi setelah ia tahu bahwa Sin Gak tak ada apa-apa, sekedar kasihan dan hanya terharu maka kepercayaannya tentu saja bangkit lagi dan entah kenapa tiba-tiba iapun tak rela kalau pemuda itu sampai terlalu akrab dengan Bi Hong. Ia akan mendapatkan pemuda itu sebagaimana dulu keinginan orang-orang tua. Betapapun pemuda itu calon jodohnya sendiri.

Tapi begitu ibunya bersikap keras dan ia merasa hancur, tak dapat disangkal bahwa tiba-tiba ia tak mau kehilangan Sin Gak maka kehadiran Bi Hong membuatnya gelisah dan ia ingin ikatan jodoh dilanjutkan lagi. Apalagi karena hubungan Sin Gak bukan sebagaimana yang diduga, bukan hubungan asmara.

Namun sikap ibunya membuat berantakan. Sang ibu masih tak mau kalah dan jatuh gengsi. Meskipun pemuda itu telah menerangkan duduk persoalannya tapi sebagai “angkatan tua” ia tak boleh kehilangan muka. Sang ibu telah berapi-api memutuskan ikatan jodoh itu, sulit menelan ludah kembali. Maka ketika dengan garang keputusan tetap harus keputusan, sang ibu tentu saja tak tahu perobahan sikap sang anak maka di sinilah Tang Siu terkejut dan panik serta bingung. Bagaimana sih sebenarnya kemauan puterinya itu!

Di kuil ini Giok Cheng jatuh pingsan. Nikouw tua itu, Pouw Pouw Nikouw tentu saja mengenal gadis ini sebagai cucu Ju-taihiap yang gagah perkasa. Setelah gadis itu kembali ke Hek-yan-pang dan tinggal di sana maka iapun bertemu lagi. Maka ketika hari itu tiba-tiba gadis ini datang dan menangis tersedu-sedu, mengejutkan dan membuatnya heran maka nikouw ini sendiri cepat menolong dan menyuruh seorang murid mengambil segelas air dingin. Dengan kesabaran dan kelembutannya nikouw ini menyadarkan Giok Cheng. Akhirnya gadis itu siuman lagi. Namun ketika ia tersedu-sedu dan kembali menubruk nikouw ini maka nenek yang sabar itu mengusap-usap rambutnya.

“Tenanglah, apa yang terjadi. Ceritakan kepada pinni segala penderitaanmu anak baik. Pinni akan membantu dan mendengarkanmu. Duduklah dan katakanlah baik-baik, ada apa gerangan.”

Usapan lembut dan kata-kata sejuk ini akhirnya berhasil juga. Giok Cheng menghentikan tangisnya dan melepaskan diri. Dan ketika ia bertemu sepasang mata lembut dan betapa mata itu menyejukan hatinya maka iapun menahan segala sesak dada dengan satu jawaban singkat. “Aku ingin menjadi murid Thian-lim-si!”

“Siancai, maksudmu menjadi nikouw?”

“Ya, benar, suthai. Aku ingin menjadi nikouw dan mengikuti jejakmu di sini. Aku ingin menggundul kepala!”

Tiba-tiba tersenyumlah wajah ramai itu. Hanya sedetik saja wanita ini kaget namun selanjutnya ia berseri-seri. Gadis itu dipandangnya geli. Lalu ketika ia bangkit dan menyodorkan segelas air dingin pimpinan Thian-lim-si inipun berkata, “Seorang pertapa bukan pelarian. Calon pertapa adalah mereka yang bukan sedang dilanda putus asa atau kekecewaan hidup. Pinni tak melihat tanda-tanda seperti itu pada dirimu, Giok Cheng. Menjadi pertapa karena putus asa atau kecewa hanya akan melahirkan putus asa dan kecewa yang baru. Siancai, kau tak berbakat sebagai nikouw!”

Giok Cheng terkejut, membelalakkan mata. Namun ketika ia diminta minum air dingin itu dan meneguknya seteguk maka iapun bangkit berdiri dengan penasaran. “Suthai, aku ingin menjadi nikouw atas kehendakku sendiri. Aku ingin menggundul rambut juga atas keinginanku sendiri. Kenapa tak boleh dan kau melarangku. Bukankah yang tak boleh adalah mereka yang dipaksa!”

“Heh-heh, itu memang benar. Tapi keadaanmu inipun juga sama, Giok Cheng, bedanya bukan dipaksa dari luar, melainkan oleh keadaan. Dan keadaan itu sesungguhnya mengujimu untuk tabah dalam hidup atau tidak. Ah, pinni tak melihat kau berbakat menjadi pendeta.”

“Tapi aku ingin menjadi pendeta, aku tak ingin kawin!”

“Hm-hm, ini kiranya. Baiklah, anak manis, kau sudah mulai bicara tentang itu, berarti kau sedang menghadapi kekecewaan dengan seorang pemuda. Baiklak coba kau ceritakan kepada pinni seberapa berat penderitaanmu ini. Agaknya kau baru saja patah hati.”

Mengguguklah gadis itu. Pouw Pouw Nikouw cepat mengerti keadaan dan pengalamannya yang luas membuat nikouw itu tahu sekelebatan. Tak perlu lagi gadis ini menyembunyikan diri dan diceritakanlah semuanya dari awal sampai akhir. Lalu ketika nikouw ini mengangguk-angguk dan bergumam berulang kali akhirnya Giok Cheng memeluk dan meratap di kaki nenek itu. Inilah orang yang ia percaya dapat menyelesaikan masalahnya.

“Aku tak ingin lagi menyaksikan hidup, rasanya ingin bunuh diri saja. Aku tak rela gadis itu menjadi isterinya, suthai, tapi karena ibu sudah memutuskan seperti itu dan aku merasa hancur maka lebih baik aku di sini saja atau mati. Sekarang potonglah rambutku dan biarkan aku menjadi muridmu!”

“Siancai, Tuhan Maha Agung. Urusanmu berat, Giok Cheng, tapi bukannya tak dapat diselesaikan. Pinni dapat mengerti dan pinni akan bicara dengan kedua orang tuamu, tapi sekali lagi kau tak dapat mencukur rambut di sini. Ini sebuah pelarian.”

“Tapi aku ingin melepaskan diriku!” gadis itu mengguguk. “Atau aku bunuh diri, suthai, atau aku memotong rambutku sendiri!”

“Giok Cheng!”

Gadis itu meloncat bangun, beringas dan berlari menuju ruang dalam mengambil gunting. Ia menabrak beberapa nikouw muda dan tentu saja mereka itu berteriak. Gadis ini benar-benar kalap. Tapi ketika nikouw itu bergerak dan mengejar cepat, Giok Cheng sudah mengambil gunting maka nikouw itu berseru bahwa cara seperti itu tidaklah benar.

“Menjadi nikouw harus menjalani serangkaian upacara, bukan asal gundul. Sia-sia kau melakukan ini karena perbuatanmu tidak sah!”

“Lalu bagaimana?” gadis itu berteriak. “Kau ingin aku bunuh diri di sini?”

“Tenanglah, berikan gunting itu kepada pinni. Kalau kau benar-benar ingin menjadi nikouw maka segala nasihat kata-kata pinni harus kau turut, Giok Cheng, atau kau tak akan memperoleh apa-apa dan semua sakit hatimu tak terselesaikan. Berikan kepada pinni dan beristirahat dulu di sini barang sehari!”

Giok Cheng tersedu. Ia teringat bahwa nikouw ini adalah pimpinan Thian-lim-si. Tanpa restu dan perkenan nikouw ini percuma saja ia mencukur rambut. Maka ketika ia melempar gunting itu amblas menembus tembok, para nikouw meleletkan lidah maka nenek ini mengulapkan lengan menyuruh murid- muridnya pergi.

Giok Cheng dipeluk dan berkali-kali nenek ini harus menghibur. Ia memerintahkan gadis itu tenang. Lalu ketika ia mengajak Giok Cheng ke ruang samadhi dan membaca doa maka di balik dupa harum gadis ini akhirnya terduduk, jinak dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk sampai akhirnya tertidur. Diam-diam nikouw ini mengurut tengkuk Giok Cheng sampai gadis itu terlelap. Orang yang kelelahan batin biasanya mudah sekali capai. Maka ketika gadis itu tidur dan nikouw ini cepat memanggil seorang muridnya maka ia buru-buru membuat surat agar ayah dan ibu gadis itu datang.

“Katakan bahwa puterinya kelelahan di sini. Pinni hendak bicara secara pribadi dengan Ju-siauw-hiap maupun Ju-hujin. Cepat antarkan dan cepat pulang!”

Akan tetapi nikouw ini tertegun. Di depan pintu, di ruang dalam telah muncul sepasang suami isteri itu. Han Han dan isterinya telah datang ke situ. Dan ketika nikouw ini menyambut dan buru-buru merangkapkan lengan maka ketua Thian-lim-si ini memberi isyarat.

“Harap ji-wi tidak berisik, Cheng-siocia tertidur kelelahan. Marilah kita bicara di ruang sebelah dan harap dengarkan kata-kata pinni.”

Han Han telah mengenal baik nikouw ini. Sebagai tetangga desa terpisah sebuah hutan maka Pouw Pouw Nikouw bukanlah orang asing. Kerap nikouw ini dipanggil apabila ada upacara keagamaan. Murid-murid Hek-yan-pang pun sering minta petunjuknya dalam hal-hal rohani. Maka ketika ia duduk di ruang sebelah dan nikouw itu bercerita panjang lebar maka sang isteri terisak sementara ia tertegun melirik isterinya itu.

“Apa kataku, Giok Cheng mencintai Sin Gak. Kalau pemuda itu menolak hanya gara-gara sikapmu sungguh perlu di sesalkan sekali, niocu. Inilah kalau kau terburu-buru tak mau mendengar nasihatku.”

“Tapi anak itu sendiri minta diputuskan, aku hanya menyampaikan saja!”

“Benar, itu dulu, sebelum kalian tahu sejauh mana hubungan Sin Gak dengan Bi Hong itu. Dan sekarang anak kita hancur perasaannya, kau harus memperbaikinya lagi dan menumbuhkan semangatnya.”

“Sudahlah, ji-wi (kalian berdua) tak perlu bertengkar. Apa yang sudah terjadi tetap terjadi, siauwhiap, pinni pikir tak perlu diributkan. Sekarang adalah mencari jalan bagaimana kesalahan itu diperbaiki lagi, tanpa merugikan kedua belah pihak. Dan pinni pikir tak seharusnya pula ji-wi merengek-rengek pada pemuda itu. Betapapun harga diri harus tetap dijunjung.”

“Benar,” Han Han sependapat dengan omongan ini. “Kau tidak salah, suthai, betapapun kami adalah pihak perempuan. Sekarang bagaimana menurut pinni dan apa yang harus kami lakukan.”

“Garis besarnya dua macam saja, siauwhiap mendekati ayah pemuda itu dan puteri siauwhiap dibekali kekuatan batin.”

“Kenapa kekuatan batin,” Tang Siu bertanya, menghapus air matanya.

“Batin perlu diperkuat untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan, hujin, dan agaknya biarlah Cheng-siocia bersama pinni di sini. Kegagalan dan keberhasilan adalah dua hal yang selalu mengisi hidup manusia, kalau kita hanya suka menerima senangnya saja dan menolak yang tidak senang maka kita tak menghayati artinya hidup. Gadis itu harus dibekali kekuatan batin.”

“Baiklah,” Han Han setuju. “Lagi-lagi kau benar, suthai, aku dapat mengerti. Sekarang bolehkah kami menemui anak itu karena kamipun hendak memberinya, nasihat.”

“Cheng-siocia sedang tidur, ji-wi harap, bersabar agar tidak terjadi guncangan jiwa.”

Han Han kembali menarik napas dalam. Akhirnya dalam percakapan dengan nikouw ini diperoleh nasihat-nasihat baik yang patut diterima. Dia diminta mendekati ayah pemuda itu dan bicara secara hati-hati. Intinya tetap melaksanakan ikatan jodoh dan semua yang lewat hanyalah ledakan emosi. Untunglah dengan Naga Pembunuh itu mereka masih saudara, jadi bisa bicara secara baik-baik. Dan ketika Giok Cheng biarlah tinggal di situ menerima gemblengan batin, ajaran agama dan rohani maka Han Han benar-benar sependapat dan mengangguk-angguk.

Akhirnya puteri mereka ditemui pula. Giok Cheng terkejut melihat ayah ibunya di situ, baru bangun dan sudah didampingi Pouw Pouw Nikouw. Tapi ketika ibunya menangis dan menubruk serta memeluknya maka di saat seperti itu Han Han cepat-cepat keluar dan membiarkan ibu dan anak bicara bebas. Di sini sang ibu meminta maaf. Giok Cheng memeluk ibunya pula dan sejenak bertangis-tangisan. Mereka saling menumpahkan penyesalan. Tapi ketika gadis itu mendorong ibunya dan berkata ingin menjadi nikouw, tak perlu menyesali yang lewat maka dengan mata bercucuran gadis itu memandang Pouw Pouw Nikouw.

“Aku sudah mulai kerasan di sini, ibu tak usah mencegahku. Aku sudah mulai mengikuti petunjuk-petunjuk suthai, ibu. Pergilah dan tenangkan hatimu. Aku tak akan mengingat Sin Gak lagi.”

“Bodoh, tidak. Kau anak tunggalku, Giok Cheng, tak boleh berpikiran sesempit ini. Ketahuilah bahwa Sin Gak tak mencintai gadis itu!”

Mata yang redup itu mendadak bersinar. Giok Cheng terkejut dan merasa mendapat harapan baru, tiba-tiba ia tertegun. Tapi ketika ia menggeleng menganggap ibunya bohong, hanya menghibur saja maka sang ibu harus menegaskan apa yang didengarnya itu, yakni percakapan Giam Liong dengan puteranya.

“Ibu tidak menghibur, ibu bicara sungguh-sungguh. Pemuda itu hanya berkawan biasa, Giok Cheng, dan tali ikatan jodoh dapat diteruskan lagi. Nanti ayahmu yang bicara kepada pamanmu Giam Liong, kesempatan ini masih dapat kau raih. Hanya kami harus berhati-hati karena betapapun keluarga kita harus mempunyai harga diri. Kau tak boleh menjadi nikouw, ibumu akan memperbaiki lagi hubungan yang rusak!”

Mata itu bersinar-sinar lagi. Betapa jelas bahwa Giok Cheng menjadi girang, semua ini tak luput dari pandangan Pouw Pouw Nikouw. Tapi ketika nikouw itu mengedip agar sang ibu tak terlalu bicara banyak, cukup yang pokok-pokok saja maka nikouw ini berdehem bahwa Giok Cheng menunggu di situ melihat hasil kerja orang-orang tua.

“Pinni telah berjanji kepada ayahmu untuk membimbingmu kerohanian di sini. Sambil menunggu ikatan jodoh lagi kau dapat tinggal bersama pinni. Nah, tenang dan belajarlah baik-baik di tempat ini, Giok Cheng. Memperdalam agama mempertebal iman perlu dilakukan setiap orang.”

“Tapi kalau gagal?”

“Ibu akan berjuang habis-habisan, tak akan gagal!”

“Baiklah,” gadis itu terbujuk. “Aku menuruti kata-katamu, ibu.Tapi kalau gagal, kalau gagal aku benar-benar akan menjadi nikouw!”

“Siancai!” Pouw Pouw Nikouw tertawa riang. “Menjadi pertapa atau tidak sama-sama mempunyai kewajiban hidup. Semua itu tak perlu dicemaskan, Giok Cheng, tenang dan sabarlah bersama pinni. Asal kau tetap di sini pinni akan memperkuat batinmu. Tapi berjanjilah kau akan menunggu ayah ibumu di sini.”

“Benar,” sang ibu berseru pula. “Kau harus menunggu kami di sini, Giok Cheng, jangan ke mana-mana. Atau nanti kami marah!”

Gadis ini mengangguk. Ia terbujuk dan diam-diam dua orang tua itu sama-sama menjadi girang. Han Han akhirnya muncul menepuk-nepuk pundak puterinya ini. Dan ketika semua dirasa cukup dan selesai maka berkelebatlah suami isteri itu meninggalkan puteri mereka. Tang Siu telah mewanti-wanti agar segala perintah Pouw Pouw Nikouw dijalankan, gadis itu mengangguk dan meminta agar ibunya tak lama-lama pula. Sesekali ia boleh pulang ke Hek-yan-pang. Dan ketika sebulan kemudian Giok Cheng benar-benar mendapatkan ketenangan batin, bujukan dan kelembutan Pouw Pouw Nikouw meresap di hatinya maka pada bulan kedua datanglah bencana itu. Munculnya Su Giok, sang suci!

Sebenarnya gadis ini tak berniat lagi meninggalkan kuil. Ia benar-benar merasa tenteram dan tenang bersama Pouw Pouw Nikouw. Ia memiliki kepercayaan pula kepada ibunya. Betapapun ia berharap perjodohannya dengan Sin Gak dapat berlangsung. Tak dapat disangkal sesungguhnya ia mencintai pemuda itu. Tapi ketika malam itu sucinya datang dan berkelebat di kamarnya maka ketenangan yang sudah didapat mendadak goncang lagi.

“Sumoi, apa yang kau lakukan di sini. Bodoh amat, tidur seperti kucing malas. Bangun, kekasihmu galang-gulung dengan gadis baju hitam putih itu. Ia kena pelet!"

Giok Cheng terkejut ketika tiba-tiba saja kakak seperguruannya itu muncul di situ. Ia meloncat bangun dan sucinya sudah bersinar-sinar di tengah kamar, bertolak pinggang. Dan ketika ia bertanya apa yang terjadi dan apa yang dimaksud sucinya maka Su Giok berkata bahwa semua itu sia-sia.

“Tidur dan bermalasan saja di sini tiada guna. Hutan Iblis geger. Sin Gak kian mesra dengan gadis siluman itu sementara kau menunggu sia-sia di sini!”

“Apa yang ia lakukan? Dan kau. kau tahu aku disini?”

“Aku mencarimu di Hek-yan-pang, dan mendengar kau di sini. Sekaranglah saatnya kita bertindak dan lihat apa yang kuperoleh ini!”

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dan tertegunlah Giok Cheng melihat sebuah benda mirip pot bunga, putih mengkilap dan menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu kamar. Benda ini tampaknya biasa-biasa saja akan tetapi sucinya begitu gembira. Wajah sucinya itu berseri dan tertawa-tawa. Dan ketika ia bertanya apakah itu dan sucinya menepuk pundaknya maka ia diminta agar meninggalkan dan menuju Hutan Iblis.

“Sekarang kita melakukan pembalasan. Kita hajar Sin Gak dan gadis itu sekaligus jahanam yang membunuh ayah ibuku!”

“Nanti dulu, apa yang kau bawa itu. Kau tampak begitu gembira dan penuh keyakinan, suci. Apa yang membuatmu begini.”

“Eh, kau tak tahu ini?”

“Tidak.”

“Subo yang memberiku, coba tebak!”

“Aku tak tahu.“

“Hi-hik, inilah Guci Penghisap Roh. Dengan ini kita mengalahkan Beng-jong-kwi-kang, sumoi, juga semua ilmu yang dimiliki Majikan Hutan Iblis itu. Ia akan kuhancurkan, dan bantu aku menghajar lainnya!”

“Guci Penghisap Roh?”

“Ya, yang dulu mengalahkan Golok Penghisap Darah itu, Golok Maut. Kita dapat menghancurkan musuh-musuh kita dan Sin Gak pun dapat kita jebloskan di sini. Hi-hik, kita akan membayar semua kekalahan kita!”

Giok Cheng terkejut dan tiba-tiba gembira sekali. Ia tentu saja tahu akan ini seperti halnya Sin Gak mendengar cerita gurunya. Guci Penghisap Roh adalah guci penakluk Mo-bin-lo, pencipta Golok Maut. Dan karena guci itu menghisap roh-roh jahat sehingga orang seperti Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin menjadi gentar maka Giok Cheng berseri wajahnya dan menyambar guci itu.

Akan tetapi sang sucimengelak. “Jangan jangan pegang, tak boleh disentuh banyak tangan.Cukup kau lihat dari jauh saja dan jangan menyentuhnya. Nanti kesaktiannya berkurang. Aku harus berpantang sesuatu memegang benda ini!”

Giok Cheng tertegun, tapi menghela napas. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan, suci, kenapa malam-malam kau datang kesini.”

“Pertama kau harus keluar dari tempat ini, apa-apaan mengeram seperti ayam kampung!”

“Ah, tak bisa.”

“Apanya yang tak bisa? Siapa yang melarang?”

“Aku aku menunggu ibuku, suci, dia belum datang.”

“Urusan Sin Gak? Bodoh, tolol kau, mau saja ditipu. Mana mungkin mengikat pemuda itu kalau kau membiarkan ia terikat dengan gadis lain! He, buka mata dan telingamu baik-baik, sumoi. Pemuda itu sekarang kian akrab dengan murid supek Song-bun-liong itu. Mereka mengepung Hutan Iblis, tiap hari tidur dan makan bersama. Ayo buktikan kata-kataku kalau tidak percaya!”

Bagai petir menggelegar di siang bolong tubuh Giok Cheng seakan disentak saja. Ia terbelalak dan menjadi pucat dan tiba-tiba limbung. Kalau saja sucinya tidak cepat menangkap tentu ia terguling. Dan ketika sejenak gadis itu merasa gelap sementara sucinya mengomel panjang pendek maka ia mendengar kata-kata yang membuatnya sakit bukan main.

“Kau anak kecil tak punya otak, bisamu dikibuli orang tua saja. Mari buktikan di Hutan Iblis dan lihat betapa pemuda itu kian mesra dengan Bi Hong!”

Langit seakan runtuh. Benteng dan segala tanggul kokoh tiba-tiba seakan jebol. Kata-kata ini terasa amat menyakitkan bagi Giok Cheng melebihi segala tusukan pedang berkarat. Ia begitu pedih, menyeringai dan akhirnya menjerit. Dan ketika ia melompat dan terbang keluar kamar maka seisi Thian-lim-si terkejut oleh pekiknya yang menggetarkan kuil.

“Suci, aku akan membuktikan segala omonganmu. Kalau kau bohong maka aku akan membunuhmu!”

“Boleh!” kekeh dan tawa ini tak kalah menyeramkan bagi para nikouw itu. “Kalau aku bohong tak usah kau membunuhku, sumoi, aku sendiri akan menyerahkan kepalaku!”

Terdengarlah jerit atau lengking kemarahan itu lagi. Giok Cheng seakan kalap kemasukan setan, ia menyambar dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Lalu ketika ia melewati pohon-pohon menyelinap bagai kuntilanak gentayangan, naik turun bukit disusul bayangan kedua yang tak kalah mengerikannya maka dua orang murid Hek-i Hong-li ini lenyap tak berbekas seperti siluman saja.

Su Giok terkekeh-kekeh dan Giok Cheng membalik menampar sucinya itu, ditangkis dan terpental lalu gadis baju merah ini berjungkir balik meluncur ke Hutan Iblis. Dan ketika Giok Cheng menyusulnya dan bergeraklah mereka dengan amat cepatnya maka Thian-lim-si gempar karena jendela bekas kamar Giok Cheng hancur. Tadi diterjang begitu saja oleh keturunan Hek-yan-pang ini.

“Celaka, Cheng-siocia pergi. Ia mengobrak-abrik isi kamar!”

“Dan ia tampaknya marah sekali. Kaca jendela hancur!”

Pouw Pouw Nikouw tertegun dan terbelalak di depan kamar gadis ini. Ia merasa gagal menenangkan sebuah gunung es dan kini gunung itu siap meledak. Ia tak tahu apa yang terjadi namun dapat menduga dan menyimpulkan. Ia mendengar suara kedua di situ, orang yang dipanggil suci. Dan ketika ia termangu-mangu namun dapat menguasai perasaannya kembali, apa yang terjadi haruslah terjadi maka nikouw ini masuk ke kamarnya kembali untuk bersamadhi.

Bukan mencari ketenangan sendiri melainkan justeru untuk ketenangan dan ketenteraman gadis itu. Ia telah mulai merasa sayang dan suka kepada cucu Ju-taihiap ini. Dan ketika ia membakar hio lebih banyak dan melayang-layang bersama asap dupa itu maka Giok Cheng bersama sucinya telah melesat ke Hutan Iblis.

* * * * * * * *

Marilah kita ikuti perjalanan Sin Gak. Setelah nyonya rumah begitu berapi-api memutuskan ikatan jodoh maka pemuda ini menerima pukulan berat. Pertama dari ayahnya. Sejak itu sang ayah bermuka gelap dan memandangnya tak senang, dingin. Hal ini tidak aneh karena peristiwa itu memukul Si Naga Pembunuh ini juga. Siapa tidak terkejut kalau tiba-tiba semuanya berakhir begitu. Bukankah kedatangannya di Hek-yan-pang untuk memperkokoh ikatan jodoh, bukan malah membuyarkannya.

Maka ketika Tang Siu mengeluarkan kata-kata begitu tajam dan menghina mereka, menyatakan bahwa di dunia ini bukan hanya keluarga Sin saja yang laki-laki maka Giam Liong cukup terpukul dan hanya karena adanya Han Han membuat pria bertemperamen tinggi ini bersabar diri, apalagi karena Han Han sendiri jelas terang-terangan ingin mempertahankan ikatan jodoh itu. Peristiwa itu harap dianggap sebagai sebuah kesalahpahaman belaka.

Tapi yang menjengkelkan bagi pendekar ini justeru sikap puteranya. Seteleh mereka meninggalkan hutan itu dan Giam Liong berhenti di luar dusun maka puteranya disuruh duduk. Sin Gak seperti pesakitan saja. Dan ketika sang ayah juga duduk dan berkerut-kerut maka sekali lagi Naga Pembunuh ini bertanya apakah puteranya itu tak mencintai Giok Cheng.

“Jawab pertanyaanku sekali lagi, apakah kau tak mencintai Giok Cheng atau sebaliknya.”

“Aku tak tahu. Aku tak dapat memberi jawaban apa-apa selama masih bingung begini, ayah. Aku sungguh tak tahu.”

“Hm, begitu jawabanmu berulang-ulang. Baik, katakan apakah hatimu sakit diputuskan perjodohan ini, Sin Gak. Sakit atau tidak!”

“Sakit juga.”

“Kalau begitu kau mencintai gadis itu!”

“Aku tak tahu.”

Giam Liong menampar puteranya ini. Saking gemas dan kecewa ia membuat puteranya terpelanting, celakanya keluarlah saputangan Giok Cheng yang disimpan pemuda ini. Dan ketika sang ayah menyambar dan melihatnya bersinar mendadak pria ini tertegun. “Saputangan Giok Cheng!”

Puteranya memerah. Memang itulah saputangan Giok Cheng dan Sin Gak tak mungkin menyangkal pula. Ia mengangguk. Dan ketika sang ayah berseri dan tertawa tiba-tiba harapan di wajah itu tumbuh lagi. “Ha-ha, kalian anak-anak muda sekarang sungguh membuat orang tua bingung lihat, apa artinya ini kalau kau menyimpan saputangan Giok Cheng, Sin Gak, bukankah itu tanda cinta. Ah, kita kembali saja ke Hek-yan-pang dan bilang saja kepada pamanmu Han Han!”

Sin Gak terkejut. Wajah berseri dan girang itu membuntnya terharu. Betapa besar keinginan ayahnya untuk berbesan dengan Hek-yan-pang. Tapi teringat guratan Giok Cheng di dinding kamar iapun menggeleng dan berkata perlahan, “Nanti dulu. Jangan tergesa dan buru-buru, ayah. Sesungguhnya aku mendapatkan itu secara kebetulan saja. Lihat ini!”

Sin Gak melempar potongan batu kepada ayahnya. Sang ayah menangkap dan membaca dan tiba-tiba gelap lagi. Wajah yang sudah berseri-seri itu kembali muram, agak menghitam. Dan ketika Giam Liong bertanya dari mana puteranya mendapatkan semua itu maka dengan jujur Sin Gak mengaku.

“Di kamar di mana kita menginap di Kun-lun. Aku menemukannya secara tak sengaja. Kamarku ternyata bekas kamar Giok Cheng.”

“Hm, begitu? Semakin membuat orang tua pusing. Ah, tingkah kalian anak-anak muda ini sulit diikuti, Sin Gak, jauh amat dengan ketika ibumu dan aku dulu. Kami tak membuat yang lain bingung, kami apa adanya!”

Sin Gak diam saja, meminta barang-barang itu dikembalikan lagi. Dan ketika sang ayah memberikan namun bertanya untuk apa menyimpan itu maka Sin Gak mengangkat bahu menyatakan tak tahu.

“Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin kelak kukembalikan kepada pemiliknya.”

“Hm, menyimpan benda orang berarti menyukai orang itu. Buat apa susah-susah kalau tak suka dan tak cinta, Sin Gak, untuk apa menyimpan segala!”

“Aku tak tahu, aku belum mengenalnya.”

“Baik, bagaimana sekarang kalau dengan murid supekmu Song-bun-liong itu!”

“Aku merasa kasihan.“

“Juga cinta?”

“Hm, kau selalu mendesakku. Untuk cinta aku benar-benar tak tahu, sesungguhnya masih kuselidiki juga. Aku teringat cerita suhu tentang cinta. Dan aku tiba-tiba ngeri...!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 28

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“SELAMAT datang. Aduh, lama kau tak menampakkan dirimu, Giam Liong. Syukur tak ada sesuatu mengganggu dirimu. Ha-ha, ini tentu puteramu Sin Gak seperti diceritakan Cu Pin itu. Wah, gagah dan tampan seperti ayahnya. Mari masuk masuk!”

Berbeda dengan isterinya yang bermuka gelap dan berapi memandang Sin Gak maka tuan rumah berseri-seri dan justeru gembira bukan main. Han Han telah menyambut Giam Liong dan merangkul erat saudaranya ini. Mereka memang sudah seperti sekandung saja, tidurpun pernah sekamar. Dan ketika Sin Gak cepat memberi hormat kepada pamannya ini, kagumlah dia akan sikap ramah dan tawa yang hangat itu maka tuan rumah melepaskan ayahnya menghadapi pemuda ini. Han Hanpun kagum akan keponakannya ini, diam-diam melihat sorot mata mencorong dan sekali beradu pandang maklumlah dia bahwa pemuda ini orang yang berisi.

“Masuklah, tak usah sungkan-sungkan. Cu Pin telah menceritakan semuanya kepadaku, Sin Gak, dan aku berterima kasih atas bantuanmu kepada mereka. Marilah, kita masuk!” berkata begini tuan rumah menahan tubuh si pemuda yang membungkuk memberi hormat. Han Han pun mengerahkan sinkangnya untuk menggagalkan maksud pemuda itu, di samping merasa tak perlu juga tentu saja menguji putera Si Naga Pembunuh ini. Tapi ketika ia terkejut betapa tenaganya tertolak oleh tenaga pemuda itu, sinkangnya dilawan sinkang amat kuat hingga ia tak mampu mencegah maka pemuda itu tetap menjura dan berkata kepadanya, seakan tak perduli atau pura-pura tak tahu perbuatannya tadi.

“Harap paman maafkan aku. Kalau ada sesuatu yang tak patut kulakukan harap paman memberi tahu. Bantuanku kepada bibi Cu Pin tak ada artinya, mungkin ia terlalu berlebihan.”

“Ha-ha, hebat!” Han Han menarik cepat tangannya itu. “Kau rendah hati dan luar biasa, Sin Gak, tak memalukan ayahmu sebagai putera seorang gagah perkasa. Ayo, masuk dan kita bicara di dalam!”

“Nanti dulu, biar ia tahu bahwa ini bibinya Tang Siu,” Giam Liong berkata dan tiba-tiba menahan sejenak. “Inilah bibimu yang kuceritakan itu, Sin Gak, iapun wanita perkasa murid Kun-lun!”

“Ha-ha, benar. Tapi tak ada artinya dibanding ayahmu. Aih, aku lupa dan perkenalkan juga!”

Sorot benci itu meredup sejenak. Dipandang suaminya dan Giam Liong tentu saja wanita ini tak memperlihatkan lagi sinar kemarahannya. Hanya Sin Gak lah yang tahu betapa dia amat tak senang. Maka ketika pemuda itu menjura dan membungkuk di depannya nyonya ini cepat mengibaskan lengan.

“Sudahlah, mari masuk dan aku sudah tahu. Biar kusiapkan minuman untuk kalian dan harap bicara di dalam.”

Han Han belum curiga sikap isterinya. Giam Liongpun belum tahu karena sesungguhnya yang tahu hanya Sin Gak. Pemuda itulah yang mendapat bidikan langsung, dialah yang merasakan. Maka ketika nyonya rumah meninggalkan tamunya dan Han Han mengajak ke dalam maka asyiklah mereka terlibat percakapan hangat, sampai akhirnya Giam Liong menanyakan mana adanya Giok Cheng.

“Oh, dia? Ha-ha-ha, biar kutanya ibunya!” tepat di saat sang nyonya menghidangkan minuman Han Hanpun bertanya, “Hei, mana puteri kita Giok Cheng, niocu. Panggil dan suruh menghadap pamannya Giam Liong. Masa ia tak muncul!”

“Giok Cheng sedang berburu bersama temannya. Maaf ia belum dapat kupanggil, suamiku. Silahkan minum dulu dan aku sibuk di dapur.”

Han Han tertegun. Ia teringat bahwa puterinya tadi masih di kamar, masa begitu cepat tiba-tiba pergi. Namun karena mungkin malu bertemu Sin Gak, calon jodoh yang sudah ditunangkan maka ia tersenyum dan tertawa, lagi-lagi belum curiga. “Ah, anak itu benar-benar seperti bocah kecil saja. Baiklah, tak apa. Tapi setelah kaupun selesai harap ke sini, niocu, temani tamu kita dan ngobrol bersama!”

“Tak usah repot-repot,” Giam Liong pun tersenyum dan belum curiga. “Kedatangan kami bukan untuk disambut makanan enak, Tang Siu. Apapun kami mau asal suasana ini tetap hangat dan gembira.”

“Ha-ha, benar. Ah, sudahlah biarkan ia di dapur dan aku ingin bebek panggang untuk hari ini. Masaklah yang lezat dan undang kami secepatnya begitu selesai!”

Nyonya rumah membalik dengan satu kilatan ke arah Sin Gak. Lagi-lagi dua pria itu tak melihatnya dan Sin Gak tergetar. Kilatan mata itu begitu penuh benci dan marah, pemuda ini menunduk dan menekan perasaannya yang tidak enak. Tiba-tiba saja ia merasa dadanya tak enak. Sesak! Maka ketika ayah dan pamannya bercakap-cakap dan iapun sendiri di situ, bangkitlah pemuda ini meminta ijin maka Sin Gak pura-pura ingin menemui Cu Pin, juga beberapa murid lain yang pernah dikenalnya di situ.

“Ah, boleh, silakan. Cu Pin ada di belakang, Sin Gak, masuk saja. Biar aku bercakap-cakap dengan ayahmu!”

Pemuda ini mengangguk. Ia melihat betapa pamannya Han Han itu benar-benar seorang pria ramah yang cukup menyenangkan. Kalau saja sikap isterinya juga begitu! Maka ketika ia berkelebat dan membiarkan ayahnya bercakap-cakap maka pemuda ini bukannya menuju belakang melainkan justeru keluar menyeberangi pulau. Beberapa murid menyapanya dan pemuda ini mengangguk dingin. Sikap nyonya rumah membuatnya marah juga. Dingin dibalas dingin! Dan ketika para murid itu tertegun melihat sikapnya yang acuh seperti itu maka merekapun gentar dan surut tak berani mengajak bercakap-cakap.

Sin Gak menuju hutan kecil di luar Hek-yan-pang. Diam-diam ia tak percaya kalau Giok Cheng ke hutan. Masa ada tamu kok malah pergi. Maka bermaksud menyelidiki kebenaran itu dan mengintai diam- diam iapun hendak membuktikan kata-kata nyonya rumah dan hutan itu ternyata sepi-sepi saja. Tak ada Giok Cheng di situ, tak ada orang berburu! Dan ketika ia berhenti dan kebetulan tiba di tempat di mana dulu ia berpisah dengan Bi Hong maka di sini pemuda itu tertegun di sebatang pohon dan saat itu secara tak diduga mendadak muncullah gadis berbaju hitam putih itu, tersenyum dan muncul di balik pohon besar di mana ia hendak duduk!

“Bi Hong!”

Gadis itu tersenyum dengan amat manisnya. Sin Gak benar-benar terkejut dan membelalakkan matanya dan ia kaget sekali. Sungguh tak diduganya di belakang pohon itu ada gadis ini. Maka ketika ia tertegun dan gadis itu melangkah lembut maka gadis ini mengangguk dan menyapanya pula. Senyum manis itu mengembang disertai sepasang bola mata indah berseri-seri.

“Ya, aku, Sin Gak. Ada apa kau di sini dan kenapa pula di tempat bekas perpisahan kita ini. Apa yang kau cari.”

“Aku, eh... aku...“ Sin Gak tergagap. “Aku mencari Giok Cheng, Bi Hong, katanya berburu. Tapi gadis itu tak ada di sini, ibunya bohong!”

“Hm, kau mencari gadis itu? Kau mencari tunanganmu itu?”

Pemuda ini tergetar. Sepasang mata bola yang tadi berseri dan indah itu mendadak lenyap terganti sikap dan pandang mata dingin. Bi Hong tiba-tiba menjadi kaku dan tidak senang. Tapi karena ia mencari gadis itu semata membuktikan omongan ibunya maka ia menggeleng menarik napas dalam.

“Aku mencari hanya untuk membuktikan kata-kata ibunya saja. Tentang tunangan,ah rasanya tak mungkin!”

Aneh, sepasang mata itu tiba-tiba berseri lagi. Bi Hong yang tadi gelap mendadak cerah. Mulut yang cemberut dan ditekuk itu sekarang berubah ceria. Senyum itu mengembang lagi. Dan ketika Sin Gak merasa diaduk-aduk dan tak keruan rasanya maka gadis ini melempar tubuh duduk di rumput tebal. Gadis itu terkekeh.

“Hi-hik, kenapa tak mungkin, Sin Gak. Bukankah ia calon jodohmu. Orang tua kalian sudah saling menjodohkan. Ia cantik dan gagah, kenapa tak mungkin!”

“Entahlah,” Sin Gak duduk dan tak terasa mengikuti gadis ini, seakan dihipnotis. “Ibunya begitu benci dan tak senang kepadaku, Bi Hong. Mungkin ada kesalahan yang kulakukan.”

“Kesalahan apa! Kau pemuda baik-baik dan tahu menjaga perasaan orang. Kalau kedatanganmu disambut muka gelap dan bibir cemberut maka itu bukan salahmu. Kulihat itu tadi di dalam pulau!”

“Eh, kau tahu?” Sin Gak terkejut. “Berarti sudah lama kau di sini, Bi Hong, apa yang kau cari!”

Gadis ini memandang Sin Gak, lalu tiba-tiba melengos. “Entahlah, aku tak tahu apa yang kucari karena tiba-tiba saja aku ingin datang kesini.”

“Bi Hong...“ Sin Gak tiba-tiba berdebar. “Kau tahu bahwa kira-kira aku ke sini? Firasatmu mengatakan bahwa aku pasti ke sini?”

Gadis itu menunduk, menggeleng. “Aku tak tahu, Sin Gak. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Yang jelas, aku... aku tak tenang.“

“Karena apa?”

“Aku juga tak tahu.“

“Eh, kalau begitu sama!”

“Apanya yang sama?”

“Perasaan tak tenang itu, rasa gelisah itu. Aku juga tak tenang dan tahu apa yang menyebabkan aku tiba-tiba begini!”

“Hm, bagaimana perasaanmu sejak kita terpisah.”

“Gundah.”

''Apa yang kau ingat-ingat? Gadis kekasihmu itu?”

“Hm, jangan bicara tentang Giok Cheng. Aku waktu itu mencari dan ingin menemukan ayahku, Bi Hong. Barangkali untuk ini aku gelisah.”

“Kau kau tak ingataku?”

Sin Gak berdesir. Kata-kata itu diluncurkan begitu saja dan iapun terkejut. Bukan hanya Sin Gak akan tetapi Bi Hong sendiri tampaknya juga terkejut. Ia seakan tak sadar saja bicara seperti itu, muka gadis inipun tiba-tiba menjadi merah. Akan tetapi ketika Sin Gak mengangguk dan bicara jujur maka iapun gembira meskipun semburat.

“Ya, aku selalu teringat kau. Mungkin galakmu itu, ketika kau marah-marah kupegang tanganmu!”

Kekeh tertahan terdengar lepas. Bi Hong meloncat bangun dan tiba-tiba memutar tubuh, lari dan meninggalkan pemuda itu. Lalu ketika Sin Gak terkejut dan berseru memanggil maka pemuda inipun bangkit berdiri dan mengejar.

“Hei, ada apa, Bi Hong. Kenapa pergi!”

Gadis itu terus lari. Ia terkekeh-kekeh dan Sin Gak pun gemas. Mereka berkelebatan melewati pohon-pohon besar, berputar dan akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Lalu ketika Sin Gak terheran dan menyambar lengan gadis ini maka pemuda itu berseru apa yang dimaui gadis ini.

“Berhenti, kenapa kau tertawa-tawa. Jangan membuatku penasaran dan kenapa kau berlari!”

Gadis ini membalik, tak melepaskan tangannya. Sin Gak terkejut dan sadar dan otomatis melepaskan genggamannya itu. Pemuda inipun memerah mukanya. Namun ketika gadis itu menarik napas dalam dan berkata bahwa ia sekarang tak marah-marah lagi, buktinya ia membiarkan saja pemuda itu menangkap lengannya maka Sin Gak mundur dan tergetar dengan jantung berdegup kencang.

“Dulu aku marah karena siapapun tak boleh memegang tanganku. Kaulah laki-laki pertama yang menggenggam tanganku. Karena kau baik dan tidak bermaksud kurang ajar maka aku sekarang tak marah-marah lagi, Sin Gak, dan itu sudah kubuktikan sekarang ini. Kau pegang lagipun aku tak marah, aku suka!”

Pemuda ini berdebar dan merah sekali. Ia duduk dan membelalakkan mata dan gadis inipun mengikutinya. Sebagai murid Si Naga Berkabung dan berkesan bebas tampaknya Bi Hong memang tidak malu-malu, apalagi pemuda di depannya itu bukan orang lain, masih kerabat perguruan. Tapi karena Sin Gak selamanya belum bergaul dengan wanita dan iapun merasa canggung dan panas mukanya, lain dengan gadis ini yang biasa dengan gurunya maka untuk sejenak Sin Gak tak mampu bicara apa-apa dan dibuat terbengong-bengong tapi juga panas wajahnya mendengar ucapan blak-blakan itu. Terang-terangan Bi Hong menyatakan suka kalau dipegang-pegang!

Akan tetapi Sin Gak juga murid seorang tokoh aneh. Iapun telah digembleng lahir batin. Maka sedetik setelah ia lenyap jengahnya pemuda inipun tertawa. “Kau bikin aku merinding. Menggenggam tanganmu seperti memegang sutera lembut, Bi Hong. Kalau dulu aku menangkapmu karena ingin mengajakmu meninggalkan Giok Cheng dan sucinya itu, bukan apa-apa. Sedang tadi, ah, kau membuatku penasaran. Akupun menangkap karena penasaran!”

“Karena aku tertawa tadi?”

“Ya.”

“Aku geli! Aku geli melihat sikapmu yang aneh dan tentu saja aku tertawa!”

“Apa yang aneh yang tadi kulakukan?”

“Pengakuanmu bahwa kau selalu teringat aku!”

“Eh, kau yang bertanya dulu!”

“Tapi seharusnya tak usah kau jawab. Aku jadi geli, geli melihat mukamu yang kemerah-merahan itu. Hi-hik, seperti udang rebus!” lalu ketika gadis ini kembali terkekeh dan terpingkal-pingkal maka Sin Gak pun tertawa dan melihat bahwa gadis ini benar-benar lain dengan Giok Cheng yang bersikap pendiam dan angkuh itu. Gadis di depannya ini bebas lepas seperti burung keluar sarangnya, bernyanyi dan berceloteh begitu gembiranya. Akan tetapi ketika tiba-tiba tawa itu terhenti terganti wajah murung maka Sin Gak terkejut karena tawa yang berderai itu mendadak terganti tangis dan isak sedih.

“Sin Gak, kau beruntung. Kau kau masih memiliki ayah!”

“Hm, apa ini. Kenapa kau menangis setelah tertawa begitu geli.”

“Aku teringat keluargaku, suhuku.”

“Kau sudah ditinggalkan suhumu?”

“Sama seperti kau, Sin Gak, kalau tidak masa kita bisa keluar.”

“Hm, ya-ya, betul. Lalu, hmm... apakah kau tak mempunyai ayah ibu.”

“Aku sudah yatim-piatu ketika diambil suhu. Dan kini tiba-tiba aku merasa sebatangkara setelah suhupun pergi.”

“Bi Hong“ tak terasa Sin Gak memegang tangan gadis ini lagi, penuh keharuan. “Hidup akhirnya harus sendirian saja, siapapun akan ditinggalkan orang-orang yang dicinta. Kalau akupun masih mempunyai ayah maka semata keberuntungan saja. Sudahlah jangan sedih karena bukankah ada aku di sini, kita masih juga keluarga, paling tidak sebagai murid-murid keturunan Ngo-cia Thian-it!”

Bukan main terharunya gadis itu. Tangis itupun berderai lagi dan Bi Hong tersedu, menjatuhkan mukanya dan mereka tiba-tiba sudah berpelukan. Dalam sekejap itu mereka tak merasa sendirian lagi, ada kawan dan sahabat tersayang. Tapi ketika mereka berpelukan dan Sin Gak berdebar penuh kasih, tak terasa jarinya sudah mengusap dan mengelus rambut hitam lembut itu mendadak berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu Giok Cheng dan ibunya muncul di situ.

“Bagus, lihat apa yang terjadi di sini. Bagaimana paman Giam Liong menyatakan seperti itu kalau puteranya bergila-gilaan dengan perempuan lain, ibu. Lihat perbuatannya dan tidakkah keluarga Sin menghina kita!”

Bukan main kagetnya Sin Gak dan Bi Hong. Mereka sedang tenggelam ke dalam kesyahduan alami ketika tiba-tiba saja Giok Cheng dan ibunya muncul di situ. Bukan maksud mereka untuk bermesra-mesraan sebagaimana layaknya dua muda-mudi. Mereka berpelukan karena semata ada keharuan. Sin Gak memeluk karena kasihan gadis itu sebatangkara sementara Bi Hong karena merasa ada yang mengasihani, lebih dari itu agaknya belum. Maka ketika tiba-tiba ibu dan anak muncul dan wajah keduanya tentu saja merah padam, Sin Gak meloncat bangun maka Tang Siu menuding telunjuk dan membentaknya,

“Sin Gak, apa yang kau lakukan di sini. Pantaskah kedatangan kalian ayah dan anak kalau kenyataannya kau galang-gulung dengan wanita lain. Berani kau menghina Giok Cheng dan merendahkan aku!” dan menerjang serta menampar pemuda itu wanita ini tampak marah bukan main sementara sang pemuda tak menghindar atau mengelak serangan ini. Tepat sekali pipi Sin Gak kena tampar, meledak dan kalau bukan pemuda ini tentu pecah pipinya. Dan ketika Sin Gak terhuyung sementara Bi Hong menjerit kaget maka gadis itu berkelebat dan menarik tangan pemuda ini.

“Mundur, jangan biarkan serangan itu!”

Akan tetapi kemarahan sang nyonya menjadi-jadi. Melihat betapa gadis ini melindungi dan menarik Sin Gak tak ampun lagi hati yang panas menjadi semakin panas. Tang Siu berkelebat dan menampar lagi, kali ini ke wajah Bi Hong. Akan tetapi karena Bi Hong bukanlah Sin Gak dan tentu saja menangkis makabwanita itu berteriak dan terjengkang.

“Plak!”

Tang Siu bergulingan meloncat bangun. Wanita ini kaget sekali akan tetapi Giok Cheng menjadi marah. Gadis ini tentu saja tak mau ibunya dihina dan iapun melengking menyambar lawan. Bi Hong dipukul dari samping. Namun ketika gadis itu mengelak dan menangkis maka Bi Hong pun tak mau mengalah dan ganti membalas hingga akhirnya merekapun bertempur!

“Bi Hong, Giok Cheng, berhenti! Jangan kalian bertempur dan berhenti!”

Yang kelabakan tentu saja Sin Gak yang ada di situ. Tak disangkanya bahwa ia kepergok ibu dan anak seperti itu. Diam-diam ia menyesal kenapa ia lengah. Barangkali rasa mabok berpeluk-pelukan itulah yang membuat dirinya hanyut, getar darah mudanya memang terbawa sekali, indah melayang-layang hingga lupa keadaan sekeliling. Mereka sesungguhnya di tempat terbuka. Maka ketika ibu dan anak tiba-tiba muncul dan tentulah ia di duga berkasih-kasihan, merahlah pemuda ini maka ia yang bermaksud melerai pertempuran mendadak diterjang sang ibu.

“Kau tak perlu berpura-pura bersikap baik. Sekarang semua kata-kata Giok Cheng terbukti. Ayo kau layani aku dan atau aku yang mampus!”

“Bibi !”

“Aku bukan bibimu. Mampus atau kau segera minta ampun kepada kami sekeluarga!” pedang mendesing dengan amat cepat dan tahu-tahu nyonya rumah sudah menyerang begitu ganasnya. Melihat betapa pemuda ini berpelukan dengan gadis lain sudah membuat nyonya ini terbakar. Sekaranglah dia melihat dengan mata kepala sendiri kata-kata puterinya. Ibu mana tak marah melihat calon menantu bergila-gilaan dengan wanita lain. Tapi karena Sin Gak bukan pemuda sembarangan dan pemuda inipun sebenarnya tak sengaja juga, pertemuannya dengan Bi Hong bukan sengaja diadakan maka Sin Gak berkelebat dan pedang yang menyambar sudah lewat di sisinya mengenai sebatang pohon yang roboh terbabat, berseru,

“Bibi, jangan kalap. Pertemuan kami bukan disengaja. Tahan pedangmu dan dengarkan dulu kata-kataku!”

“Tak ada yang mau dengar. Baik-baik ayahmu bicara tentang perjodohan tapi di sini kau main gila, Sin Gak, enak saja kau menghina keluarga Ju-taihiap. Mampus dan tak usah banyak mulut atau kau robohkan aku...sing-crat!” dahan sebatang pohon lain putus terpapas dan sibuklah Sin Gak menyabarkan nyonya yang marah. Usahanya sia-sia saja dan mengeluhlah dia. Keadaan sungguh tidak menguntungkan. Dan ketika dia mengelak sana-sini sementara pertandingan di antara Bi Hong dengan Giok Cheng semakin menghebat saja maka iapun berseru meninggalkan nyonya itu, menyambar Bi Hong.

“Berhenti dan jangan serang dia. Kita pergi!”

Akan tetapi Bi Hong meronta. Ia menepis pemuda itu dan Giok Cheng pun tak mau diam. Gadis ini juga menyerang Sin Gak. Dan ketika pemuda itu berkelit sementara nyonya rumah mengejar lagi maka ibu dan anak bersatu-padu menyerang dua orang ini.

“Tak perlu lari kalau memang jantan. Biar ayahmu tahu dulu dan bagaimana tanggung jawab keluarga Sin!”

Pucatlah pemuda ini. Ia sudah diterjang lagi dan pedang si nyonya menyambar naik turun. Bi Hong juga sudah diserang Giok Cheng. Dan karena gadis itu melayani dan membalas serta berkelebatan menyambar-nyambar, maka Giok Chengpun melengking-lengking membuat Sin Gak khawatir karena suara itu bisa didengar ayahnya atau pamannya Han Han.

“Bi Hong, jangan layani lawanmu. Pergi dan kita tinggalkan saja tempat ini!”

“Tidak, ia mendesakku dan menyerangku duluan, Sin Gak, melarikan diri hanya disangka takut saja. Kita hajar mereka dan kau robohkan pula wanita sombong tu!”

Sin Gak benar-benar merasa runyam. Giok Cheng semakin marah ibunya dimaki wanita sombong sementara Sin Gak sendiri lebih banyak menghindar dan tidak melayani nyonya rumah. Sejak mula keadaannya sudah tidak menguntungkan. Dan ketika ia menjadi bingung tak diberi kesempatan menjelaskan duduk persoalan maka apa yang dikhawatirkan benar saja terjadi. Ayah dan pamannya itu berkelebat datang.

“Sin Gak, apa yang terjadi. Kenapa kau bermusuhan dengan bibimu!”

“Dan kau, siapa lawanmu ini, Giok Cheng. Berhenti dan jangan serang-menyerang!”

Dua pendekar ini berkelebat ke masing-masing anaknya dan Giam Liong sudah mencengkeram dan mendorong mundur puteranya. Ia menangkis pedang sang nyonya hingga Tang Siu menjerit terpental. Tapi ketika di sana Han Han terdorong dan bertemu angin kuat dari dua gadis itu maka pendekar ini membelalakkan mata dan saat itulah Sin Gak menyambar dan menghentikan serangan Bi Hong.

“Berhenti dan dengar kata-kataku. Kita tidak bersalah!”

Bi Hong baru mau berhenti. Di sana, Giok Cheng ditarik ayahnya sementara ia dicengkeram Sin Gak, kedua-duanya bagai dua singa betina yang sama-sama lapar, juga sama-sama siap bertarung sampai titik darah penghabisan! Dan ketika dua-duanya gemetar menahan marah maka Han Han dan Giam Liong mengerutkan kening dengan muka merah. Han Han bahkan tampak khawatir dan cemas, menegur puterinya.

“Apa yang kau lakukan di sini. Kenapa ribut-ribut dan membawa ibumu memusuhi Sin Gak.”

“Tanya kepada ibu, apa yang dia lihat!”

Han Han terkejut. Puterinya begitu kasar sementara matanya berapi-api memandang gadis baju hitam putih itu. Kalau saja urusan tak demikian serius tentu puterinya ini tak akan bersikap seperti itu, pendekar ini terkejut. Dan ketika dia berdebar memandang sang isteri maka dengan langkah lebar dan galak wanita itu menudingkan pedangnya ke wajah Sin Gak dan Bi Hong.

“Mereka ini berpelukan dan bermesraan di sini. Sin Gak tak tahu malu menghancurkan niat baik ayahnya sendiri. Kami keluarga Ju tak dapat menerima dan menuntut tanggung jawab!” lalu menghadapi si buntung dengan wajah terbakar nyonya ini melanjutkan, “Giam Liong, niat baikmu dalam urusan perjodohan tampaknya tak dapat lagi kuterima. Puteramu main gila dengan perempuan lain, entah bagaimana cara kau mendidiknya. Puteriku Giok Cheng tak apa putus dengar keluarga Sin karena di dunia ini bukan hanya kalian laki-laki!”

Wajah Si Naga Pembunuh berubah. Sejak pertama kali melihat gadis baju hitam putih itu sesungguhnya Giam Liong sudah berdebar. Sin Gak telah sedikit bercerita tentang gadis ini tapi belum begitu panjang lebar. Kiranya inilah murid Si Naga Berkabung Song-bun-liong ini. Teringatlah dia ketika dulu ditolong kakek sakti itu. Dan ketika ia tergetar dan todongan demi todongan kata-kata tajam nyonya itu membuat mukanya merah maka tiba-tiba ia membalik dan betapapun tak dapat membenarkan puteranya sendiri, kalau benar begitu.

“Sin Gak, apa yang kau lakukan di sini. Sedemikian burukkah watakmu hingga membuat malu orang tuamu sendiri. Ceritakan kejadian ini dan bagaimana bisa begitu!”

Sin Gak menarik napas dalam. Semua orang memandangnya penuh perhatian dengan mata berbeda-beda. Giok Cheng dan ibunya tentu saja pandang mata penuh benci, gadis itu merasa dikhianati. Tapi Han Han yang melihat betapa pemuda ini bersikap tenang dan kelihatan menguasai keadaan diam-diam menjadi kagum dan ada simpatik. Betapapun pemuda itu gagah dan wajahnya yang jantan mengingatkan kepada ayahnya sendiri, si buntung itu.

“Maafkan kalau perkembangan dari cerita ini menjadi tajam. Aku sesungguhnya tak sengaja bertemu Bi Hong, ayah, kebetulan saja bertemu di sini. Kami bercakap-cakap dan tiba-tiba saja muncul mereka ini.“

“Kalian bukan bercakap-cakap, kalian berpelukan!” Tang Siu membentak.

“Benar, mereka itu bermesraan di sini, ayah. Kalau sekedar bercakap-cakap tentu tak membuat kami marah!” Giok Cheng menyambung.

“Hm!” Giam Liong melompat, mencengkeram bahu puteranya itu. “Kau membuat malu dan marah ayahmu, Sin Gak, bukankah kau sudah tahu ikatan jodoh antara dirimu dengan Giok Cheng. Kenapa melakukan itu!”

“Tunggu!” Sin Gak berkelit dan melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya. “Kami berpelukan bukan sebagaimana yang disangka mereka, ayah. Aku memeluknya karena haru!”

“Bagus, haru karena ketahuan. Kalau tidak tentu berlanjut ciuman. Cih, tak usah malu-malu dan membuang dalih kosong, Sin Gak. Bersikaplah jantan sebagai mana ayahmu. Kau harus jujur!” sang nyonya mendamprat dengan mata berapi-api dan pemuda inipun merah padam. Ia dicaci dan dimaki habis-habisan, betapapun juga kemarahannya timbul. Tapi ketika ia bertemu pandang dengan ayahnya dan wajah itu membuatnya iba, sang ayah tampak begitu sakit maka ia mengedikkan kepala berseru lantang.

“Bibi Tang Siu tak usah berapi-api, aku tetap menjunjung kebenaran dan kejujuran di atas segala-galanya. Ketahuilah apa yang kukatakan adalah sebenarnya saja, bibi. Kami sedang berbicara tentang keadaan kami yang membuat kami haru. Bi Hong bercerita tentang ayah ibunya yang tiada. Bi Hong bercerita tentang suhunya yang telah meninggalkan dirinya pula. Dan karena ia merasa yatim-piatu dan sebatangkara maka ia menangis dan akupun terbawa ke dalam keharuan. Aku merasakan bagaimana dukanya tak berayah ibu lagi. Aku juga dapat merasakan seandainya aku tak memiliki ayah lagi. Dan karena aku merasa haru dan kasihan maka kamipun berpelukan dan tak kusangkal bahwa itu memang kami lakukan, tapi dasarnya bukan seperti yang dituduhkan tadi!”

Pucatlah wajah Tang Siu. Ia memang tak mengetahui asal mula percakapan itu dan karena sebelumnya Giok Cheng sudah bercerita tentang “pacar” baru Sin Gak maka ia terbawa saja. Emosinya meledak ketika dilihatnya Sin Gak memeluk gadis itu. Dan karena apa yang dilihat sungguh membuat ia marah maka iapun menganggap benarlah apa yang selama ini dikatakan puterinya. Keturunan Giam Liong itu pemuda bergajulan! Kemarahan membuat ia tak mau berpikir panjang lagi dan diseranglah pemuda itu. Ia merasa direndahkan. Keluarga Ju serasa dipermainkan.

Tapi ketika Sin Gak memberi jawaban dan semua itu dikatakan dengan tegas dan penuh kejujuran, sungguh-sungguh maka wanita inipun terhenyak, sementara Bi Hong dan Giok Cheng merah padam di sana. Ada perbedaan menyolok di antara dua gadis ini. Bi Hong jengah oleh bicara Sin Gak yang blak-blakan di hadapan orang-orang tua itu sementara Giok Cheng diam-diam lega tapi masih juga cemburu. Ia lega bahwa Sin Gak ternyata hanya sebatas itu. Tapi Bi Hong yang sedikit kecewa karena Sin Gak semata memeluknya karena haru, bukan cinta maka iapun terpukul dan saat itu dua orang tua di sana mengangguk-angguk. Han Han dan Giam Liong lega.

“Hm, begitu kiranya, bagus. Tapi betapapun kau harus minta maaf kepada bibimu Tang Siu dan Giok Cheng.”

“Tidak usah!” nyonya rumah membuat kejutan dengan seruan lantang. “Giok Cheng telah menyatakan kepada kami bahwa ikatan jodoh diputuskan saja, Giam Liong. Kami keluarga Ju tetap saja tak dapat menerima sikap puteramu ini. Perjodohan diputuskan!”

“Niocu!”

“Ibu...!”

Han Han terkejut menyambar isterinya itu. Giok Cheng meloncat pergi dan tersedu-sedu dan orang tak tahu apa yang ada di hati gadis ini. Sesungguhnya Giok Cheng tak marah lagi setelah tahu duduk persoalannya. Sesungguhnya gadis itu mengharap perjodohan tetap dilanjutkan. Tapi, ketika ibunya tiba-tiba berkata seperti itu dan iapun menjerit kaget maka tak ayal iapun memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan hati seperti disayat-sayat.

Dan lain Giok Cheng lain pula Bi Hong! Gadis ini berseri-seri mendengar ikatan jodoh yang putus. Ia begitu gembira hingga kegembiraan ini memancar di wajahnya. Giam Liong berkerut memandang gadis itu. Tapi ketika di sana Han Han mencengkeram isterinya dan terkejut menggelengkan kepala maka pendekar ini berseru,

“Tidak, aku pribadi tak suka ini. Kalau ini semata kehendakmu sendiri maka tak dapat kubenarkan sikapmu ini, niocu. Semuanya sudah jelas sekarang, kenapa dibuat keruh lagi. Perjodohan tetap saja dilanjutkan dan apa yang terjadi ini anggap saja sebuah kesalahpahaman!”

“Hm, kesalahpahaman apa kalau puteri kita Giok Cheng tak mau lagi. Sin Gak sudah pandai bergaul dengan wanita lain, suamiku, ini bisa berbahaya untuk keutuhan rumah tangganya kelak. Daripada lebih parah lebih baik diputuskan sekarang saja!”

“Aku tak percaya Sin Gak seperti itu, kau masih saja bersikap memusuhi!”

“Aku hanya bicara apa adanya, daripada kecewa dibelakang hari!”

“Tidak, tidak. Kita tak boleh gegabah dan aku yakin Giok Cheng masih suka!” ketika suami isteri itu ribut sendiri membuat Bi Hong menjadi pucat maka Giam Liong menghadapi puteranya dengan sikap keren, wajahnya gelap dan tampak tak senang.

“Sin Gak, bagaimana tanggapanmu kalau bibimu Tang Siu memutuskan ikatan jodoh. Apa yang kau lakukan!”

“Aku menyerahkan kepada ayah, terserah ayah.”

“Bukan kepadaku, bocah, melainkan jawabanmu. Apakah kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Aku tak tahu.”

“Bagus, kalau begitu kau mencintai gadis ini!”

“Akupun tak tahu.”

“Eh, jawab yang benar, Sin Gak, ini bukan main-main. Jawab yang jujur bagaimana kalau bibimu Tang Siu memutuskan ikatan jodoh!”

“Aku mengembalikan kepada yang bersangkutan saja.”

“Kalau begitu kau tak mencintai Giok Cheng!”

“Aku tak tahu, ayah, aku masih bingung.”

“Hm!” sampai di sini tiba-tiba Bi Hong berkelebat meninggalkan tempat itu. Gadis ini akhirnya tak tahan setelah Sin Gak memberi ketidakpastian, padahal ia semula berharap dan girang oleh putusnya ikatan jodoh itu. Maka ketika ia memutar tubuhnya dan terisak meninggalkan tempat itu akhirnya Han Han yang mendengar percakapan ayah dan anak maju mendekat, Tang Siupun berkelebat meninggalkan tempat itu, masih dengan marah dan mata berapi-api.

“Agaknya urusan ini tak dapat diselesaikan sekarang. Biarlah kita biarkan anak-anak muda ini menentukan sendiri, Giam Liong, aku pribadi tetap mempertahankan ikatan jodoh. Semua kata-kata isteriku berisi emosi saja, harap maafkan dia. Daripada berdebat tiada guna marilah kita pulang dan kita lanjutkan lagi pembicaraan tentang musuh kita Majikan Hutan Iblis itu.”

Tapi Naga Pembunuh terlanjur sakit hati oleh sikap nyonya rumah. Giam Liong menggeleng dan menolak permintaan ini ia tak mau kembali. Maka ketika ia menjawab biarlah ia pergi maka Han Han tentu saja kecewa,

“Tidak, terima kasih. Ternyata ada perkembangan yang tidak kuduga, Han Han. Sin Gak belum banyak bercerita tentang ini kepadaku. Dan isterimu begitu sengit, kami keluarga Sin tentu juga tak akan merengek-rengek kepada keluargamu. Biarlah urusan ini kita tutup sementara dan kau benar, musuh kita masih ada di depan. Kita cari Majikan Hutan Iblis dan selesaikan dulu urusan ini!” lalu menyambar puteranya tak mau di situ lagi, Si Naga Pembunuh ini tak banyak bicara, jelas tersinggung oleh kata-kata nyonya rumah dan Han Han pun terkejut.

Ia menyesal dan tentu saja tak menghalangi kepergian orang. Ia kenal baik siapa laki-laki buntung itu. Orang yang amat keras dan harus berhati-hati sekali menghadapinya. Maka ketika ia memandang kepergian ayah dan anak dan mereka itu menghilang di luar hutan akhirnya apa boleh buat pendekar inipun kembali ke rumahnya dan di sana ia melihat isterinya tersedu-sedu.

“Giok Cheng pergi, ia meninggalkah surat ini. Aku harus menyusulnya dan biar kau di rumah dulu!”

“Tunggu, apa yang ia katakan!” Han Han menyambar dan mencegah isterinya ini, surat puterinya dibaca. “Astaga, kau benar-benar gegabah, niocu. Apa yang kubilang. Ah, mari kita kejar dan kau harus minta maaf kepadanya!”

Sang nyonya mengguguk dan menubruk suaminya ini. Ternyata Giok Cheng memberi tahu ayah ibunya bahwa kalau Sin Gak tak mencintai gadis lain tentu saja ia mau melanjutkan ikatan jodoh itu. Sikap dan keputusan ibunya dirasa sepihak saja, Giok Cheng sudah mengetahui siapa Sin Gak. Maka ketika ia merasa kecewa kenapa ibunya ngotot, semata tak mau kalah dengan anak muda maka Giok Cheng hendak mencukur rambutnya saja menjadi nikouw (pertapa wanita), menuju kuil Thian-lim-si.

“Aku tak ingin menikah saja seumur hidup, biarlah aku menjadi nikouw. Selamat tinggal ayah dan ibu dan maafkan aku yang ingin mengabdi sebagai pendeta!”

Jerit dan pekik nyonya itu mengejutkan semua murid-murid Hek-yan-pang. Tentu saja tidak sejauh ini sang ibu mendorong puterinya. Kalau perjodohan dengan keluarga Sin gagal masih banyak keluarga lain yang dapat mereka cari. Keinginan Giok Cheng membuat nyonya itu ngeri, ia bakal tak dapat menimang cucu. Maka ketika ia keluar dan bertemu suaminya di pintu, disambar dan ditahan segera saja surat itu diberikan dan Han Han pun terkejut oleh sikap puterinya ini. Ia bakal kehilangan keturunan, Giok Cheng adalah satu-satunya puteri tunggal. Maka ketika ia berkelebat dan cepat menuju Thian-lim-si maka di tempat lain seorang nikouw tua termangu-mangu menghadapi seorang gadis muda yang tersedu-sedu dan berlutut di bawah kakinya.

“Siancai, Giok Cheng siocia kiranya. Aduh, ada persoalan apa kau seperti ini, anak baik. Bangun dan duduklah dan ceritakan kepada pinni (aku).”

Giok Cheng tak dapat berkata-kata dan tiba-tiba mengeluh roboh. Gadis ini sesungguhnya terpukul oleh sikap yang di ambil ibunya tadi, tak dapat menyalahkan karena dialah yang sesungguhnya mula-mula memutuskan ikatan jodoh. Tapi setelah ia tahu bahwa Sin Gak tak ada apa-apa, sekedar kasihan dan hanya terharu maka kepercayaannya tentu saja bangkit lagi dan entah kenapa tiba-tiba iapun tak rela kalau pemuda itu sampai terlalu akrab dengan Bi Hong. Ia akan mendapatkan pemuda itu sebagaimana dulu keinginan orang-orang tua. Betapapun pemuda itu calon jodohnya sendiri.

Tapi begitu ibunya bersikap keras dan ia merasa hancur, tak dapat disangkal bahwa tiba-tiba ia tak mau kehilangan Sin Gak maka kehadiran Bi Hong membuatnya gelisah dan ia ingin ikatan jodoh dilanjutkan lagi. Apalagi karena hubungan Sin Gak bukan sebagaimana yang diduga, bukan hubungan asmara.

Namun sikap ibunya membuat berantakan. Sang ibu masih tak mau kalah dan jatuh gengsi. Meskipun pemuda itu telah menerangkan duduk persoalannya tapi sebagai “angkatan tua” ia tak boleh kehilangan muka. Sang ibu telah berapi-api memutuskan ikatan jodoh itu, sulit menelan ludah kembali. Maka ketika dengan garang keputusan tetap harus keputusan, sang ibu tentu saja tak tahu perobahan sikap sang anak maka di sinilah Tang Siu terkejut dan panik serta bingung. Bagaimana sih sebenarnya kemauan puterinya itu!

Di kuil ini Giok Cheng jatuh pingsan. Nikouw tua itu, Pouw Pouw Nikouw tentu saja mengenal gadis ini sebagai cucu Ju-taihiap yang gagah perkasa. Setelah gadis itu kembali ke Hek-yan-pang dan tinggal di sana maka iapun bertemu lagi. Maka ketika hari itu tiba-tiba gadis ini datang dan menangis tersedu-sedu, mengejutkan dan membuatnya heran maka nikouw ini sendiri cepat menolong dan menyuruh seorang murid mengambil segelas air dingin. Dengan kesabaran dan kelembutannya nikouw ini menyadarkan Giok Cheng. Akhirnya gadis itu siuman lagi. Namun ketika ia tersedu-sedu dan kembali menubruk nikouw ini maka nenek yang sabar itu mengusap-usap rambutnya.

“Tenanglah, apa yang terjadi. Ceritakan kepada pinni segala penderitaanmu anak baik. Pinni akan membantu dan mendengarkanmu. Duduklah dan katakanlah baik-baik, ada apa gerangan.”

Usapan lembut dan kata-kata sejuk ini akhirnya berhasil juga. Giok Cheng menghentikan tangisnya dan melepaskan diri. Dan ketika ia bertemu sepasang mata lembut dan betapa mata itu menyejukan hatinya maka iapun menahan segala sesak dada dengan satu jawaban singkat. “Aku ingin menjadi murid Thian-lim-si!”

“Siancai, maksudmu menjadi nikouw?”

“Ya, benar, suthai. Aku ingin menjadi nikouw dan mengikuti jejakmu di sini. Aku ingin menggundul kepala!”

Tiba-tiba tersenyumlah wajah ramai itu. Hanya sedetik saja wanita ini kaget namun selanjutnya ia berseri-seri. Gadis itu dipandangnya geli. Lalu ketika ia bangkit dan menyodorkan segelas air dingin pimpinan Thian-lim-si inipun berkata, “Seorang pertapa bukan pelarian. Calon pertapa adalah mereka yang bukan sedang dilanda putus asa atau kekecewaan hidup. Pinni tak melihat tanda-tanda seperti itu pada dirimu, Giok Cheng. Menjadi pertapa karena putus asa atau kecewa hanya akan melahirkan putus asa dan kecewa yang baru. Siancai, kau tak berbakat sebagai nikouw!”

Giok Cheng terkejut, membelalakkan mata. Namun ketika ia diminta minum air dingin itu dan meneguknya seteguk maka iapun bangkit berdiri dengan penasaran. “Suthai, aku ingin menjadi nikouw atas kehendakku sendiri. Aku ingin menggundul rambut juga atas keinginanku sendiri. Kenapa tak boleh dan kau melarangku. Bukankah yang tak boleh adalah mereka yang dipaksa!”

“Heh-heh, itu memang benar. Tapi keadaanmu inipun juga sama, Giok Cheng, bedanya bukan dipaksa dari luar, melainkan oleh keadaan. Dan keadaan itu sesungguhnya mengujimu untuk tabah dalam hidup atau tidak. Ah, pinni tak melihat kau berbakat menjadi pendeta.”

“Tapi aku ingin menjadi pendeta, aku tak ingin kawin!”

“Hm-hm, ini kiranya. Baiklah, anak manis, kau sudah mulai bicara tentang itu, berarti kau sedang menghadapi kekecewaan dengan seorang pemuda. Baiklak coba kau ceritakan kepada pinni seberapa berat penderitaanmu ini. Agaknya kau baru saja patah hati.”

Mengguguklah gadis itu. Pouw Pouw Nikouw cepat mengerti keadaan dan pengalamannya yang luas membuat nikouw itu tahu sekelebatan. Tak perlu lagi gadis ini menyembunyikan diri dan diceritakanlah semuanya dari awal sampai akhir. Lalu ketika nikouw ini mengangguk-angguk dan bergumam berulang kali akhirnya Giok Cheng memeluk dan meratap di kaki nenek itu. Inilah orang yang ia percaya dapat menyelesaikan masalahnya.

“Aku tak ingin lagi menyaksikan hidup, rasanya ingin bunuh diri saja. Aku tak rela gadis itu menjadi isterinya, suthai, tapi karena ibu sudah memutuskan seperti itu dan aku merasa hancur maka lebih baik aku di sini saja atau mati. Sekarang potonglah rambutku dan biarkan aku menjadi muridmu!”

“Siancai, Tuhan Maha Agung. Urusanmu berat, Giok Cheng, tapi bukannya tak dapat diselesaikan. Pinni dapat mengerti dan pinni akan bicara dengan kedua orang tuamu, tapi sekali lagi kau tak dapat mencukur rambut di sini. Ini sebuah pelarian.”

“Tapi aku ingin melepaskan diriku!” gadis itu mengguguk. “Atau aku bunuh diri, suthai, atau aku memotong rambutku sendiri!”

“Giok Cheng!”

Gadis itu meloncat bangun, beringas dan berlari menuju ruang dalam mengambil gunting. Ia menabrak beberapa nikouw muda dan tentu saja mereka itu berteriak. Gadis ini benar-benar kalap. Tapi ketika nikouw itu bergerak dan mengejar cepat, Giok Cheng sudah mengambil gunting maka nikouw itu berseru bahwa cara seperti itu tidaklah benar.

“Menjadi nikouw harus menjalani serangkaian upacara, bukan asal gundul. Sia-sia kau melakukan ini karena perbuatanmu tidak sah!”

“Lalu bagaimana?” gadis itu berteriak. “Kau ingin aku bunuh diri di sini?”

“Tenanglah, berikan gunting itu kepada pinni. Kalau kau benar-benar ingin menjadi nikouw maka segala nasihat kata-kata pinni harus kau turut, Giok Cheng, atau kau tak akan memperoleh apa-apa dan semua sakit hatimu tak terselesaikan. Berikan kepada pinni dan beristirahat dulu di sini barang sehari!”

Giok Cheng tersedu. Ia teringat bahwa nikouw ini adalah pimpinan Thian-lim-si. Tanpa restu dan perkenan nikouw ini percuma saja ia mencukur rambut. Maka ketika ia melempar gunting itu amblas menembus tembok, para nikouw meleletkan lidah maka nenek ini mengulapkan lengan menyuruh murid- muridnya pergi.

Giok Cheng dipeluk dan berkali-kali nenek ini harus menghibur. Ia memerintahkan gadis itu tenang. Lalu ketika ia mengajak Giok Cheng ke ruang samadhi dan membaca doa maka di balik dupa harum gadis ini akhirnya terduduk, jinak dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk sampai akhirnya tertidur. Diam-diam nikouw ini mengurut tengkuk Giok Cheng sampai gadis itu terlelap. Orang yang kelelahan batin biasanya mudah sekali capai. Maka ketika gadis itu tidur dan nikouw ini cepat memanggil seorang muridnya maka ia buru-buru membuat surat agar ayah dan ibu gadis itu datang.

“Katakan bahwa puterinya kelelahan di sini. Pinni hendak bicara secara pribadi dengan Ju-siauw-hiap maupun Ju-hujin. Cepat antarkan dan cepat pulang!”

Akan tetapi nikouw ini tertegun. Di depan pintu, di ruang dalam telah muncul sepasang suami isteri itu. Han Han dan isterinya telah datang ke situ. Dan ketika nikouw ini menyambut dan buru-buru merangkapkan lengan maka ketua Thian-lim-si ini memberi isyarat.

“Harap ji-wi tidak berisik, Cheng-siocia tertidur kelelahan. Marilah kita bicara di ruang sebelah dan harap dengarkan kata-kata pinni.”

Han Han telah mengenal baik nikouw ini. Sebagai tetangga desa terpisah sebuah hutan maka Pouw Pouw Nikouw bukanlah orang asing. Kerap nikouw ini dipanggil apabila ada upacara keagamaan. Murid-murid Hek-yan-pang pun sering minta petunjuknya dalam hal-hal rohani. Maka ketika ia duduk di ruang sebelah dan nikouw itu bercerita panjang lebar maka sang isteri terisak sementara ia tertegun melirik isterinya itu.

“Apa kataku, Giok Cheng mencintai Sin Gak. Kalau pemuda itu menolak hanya gara-gara sikapmu sungguh perlu di sesalkan sekali, niocu. Inilah kalau kau terburu-buru tak mau mendengar nasihatku.”

“Tapi anak itu sendiri minta diputuskan, aku hanya menyampaikan saja!”

“Benar, itu dulu, sebelum kalian tahu sejauh mana hubungan Sin Gak dengan Bi Hong itu. Dan sekarang anak kita hancur perasaannya, kau harus memperbaikinya lagi dan menumbuhkan semangatnya.”

“Sudahlah, ji-wi (kalian berdua) tak perlu bertengkar. Apa yang sudah terjadi tetap terjadi, siauwhiap, pinni pikir tak perlu diributkan. Sekarang adalah mencari jalan bagaimana kesalahan itu diperbaiki lagi, tanpa merugikan kedua belah pihak. Dan pinni pikir tak seharusnya pula ji-wi merengek-rengek pada pemuda itu. Betapapun harga diri harus tetap dijunjung.”

“Benar,” Han Han sependapat dengan omongan ini. “Kau tidak salah, suthai, betapapun kami adalah pihak perempuan. Sekarang bagaimana menurut pinni dan apa yang harus kami lakukan.”

“Garis besarnya dua macam saja, siauwhiap mendekati ayah pemuda itu dan puteri siauwhiap dibekali kekuatan batin.”

“Kenapa kekuatan batin,” Tang Siu bertanya, menghapus air matanya.

“Batin perlu diperkuat untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan, hujin, dan agaknya biarlah Cheng-siocia bersama pinni di sini. Kegagalan dan keberhasilan adalah dua hal yang selalu mengisi hidup manusia, kalau kita hanya suka menerima senangnya saja dan menolak yang tidak senang maka kita tak menghayati artinya hidup. Gadis itu harus dibekali kekuatan batin.”

“Baiklah,” Han Han setuju. “Lagi-lagi kau benar, suthai, aku dapat mengerti. Sekarang bolehkah kami menemui anak itu karena kamipun hendak memberinya, nasihat.”

“Cheng-siocia sedang tidur, ji-wi harap, bersabar agar tidak terjadi guncangan jiwa.”

Han Han kembali menarik napas dalam. Akhirnya dalam percakapan dengan nikouw ini diperoleh nasihat-nasihat baik yang patut diterima. Dia diminta mendekati ayah pemuda itu dan bicara secara hati-hati. Intinya tetap melaksanakan ikatan jodoh dan semua yang lewat hanyalah ledakan emosi. Untunglah dengan Naga Pembunuh itu mereka masih saudara, jadi bisa bicara secara baik-baik. Dan ketika Giok Cheng biarlah tinggal di situ menerima gemblengan batin, ajaran agama dan rohani maka Han Han benar-benar sependapat dan mengangguk-angguk.

Akhirnya puteri mereka ditemui pula. Giok Cheng terkejut melihat ayah ibunya di situ, baru bangun dan sudah didampingi Pouw Pouw Nikouw. Tapi ketika ibunya menangis dan menubruk serta memeluknya maka di saat seperti itu Han Han cepat-cepat keluar dan membiarkan ibu dan anak bicara bebas. Di sini sang ibu meminta maaf. Giok Cheng memeluk ibunya pula dan sejenak bertangis-tangisan. Mereka saling menumpahkan penyesalan. Tapi ketika gadis itu mendorong ibunya dan berkata ingin menjadi nikouw, tak perlu menyesali yang lewat maka dengan mata bercucuran gadis itu memandang Pouw Pouw Nikouw.

“Aku sudah mulai kerasan di sini, ibu tak usah mencegahku. Aku sudah mulai mengikuti petunjuk-petunjuk suthai, ibu. Pergilah dan tenangkan hatimu. Aku tak akan mengingat Sin Gak lagi.”

“Bodoh, tidak. Kau anak tunggalku, Giok Cheng, tak boleh berpikiran sesempit ini. Ketahuilah bahwa Sin Gak tak mencintai gadis itu!”

Mata yang redup itu mendadak bersinar. Giok Cheng terkejut dan merasa mendapat harapan baru, tiba-tiba ia tertegun. Tapi ketika ia menggeleng menganggap ibunya bohong, hanya menghibur saja maka sang ibu harus menegaskan apa yang didengarnya itu, yakni percakapan Giam Liong dengan puteranya.

“Ibu tidak menghibur, ibu bicara sungguh-sungguh. Pemuda itu hanya berkawan biasa, Giok Cheng, dan tali ikatan jodoh dapat diteruskan lagi. Nanti ayahmu yang bicara kepada pamanmu Giam Liong, kesempatan ini masih dapat kau raih. Hanya kami harus berhati-hati karena betapapun keluarga kita harus mempunyai harga diri. Kau tak boleh menjadi nikouw, ibumu akan memperbaiki lagi hubungan yang rusak!”

Mata itu bersinar-sinar lagi. Betapa jelas bahwa Giok Cheng menjadi girang, semua ini tak luput dari pandangan Pouw Pouw Nikouw. Tapi ketika nikouw itu mengedip agar sang ibu tak terlalu bicara banyak, cukup yang pokok-pokok saja maka nikouw ini berdehem bahwa Giok Cheng menunggu di situ melihat hasil kerja orang-orang tua.

“Pinni telah berjanji kepada ayahmu untuk membimbingmu kerohanian di sini. Sambil menunggu ikatan jodoh lagi kau dapat tinggal bersama pinni. Nah, tenang dan belajarlah baik-baik di tempat ini, Giok Cheng. Memperdalam agama mempertebal iman perlu dilakukan setiap orang.”

“Tapi kalau gagal?”

“Ibu akan berjuang habis-habisan, tak akan gagal!”

“Baiklah,” gadis itu terbujuk. “Aku menuruti kata-katamu, ibu.Tapi kalau gagal, kalau gagal aku benar-benar akan menjadi nikouw!”

“Siancai!” Pouw Pouw Nikouw tertawa riang. “Menjadi pertapa atau tidak sama-sama mempunyai kewajiban hidup. Semua itu tak perlu dicemaskan, Giok Cheng, tenang dan sabarlah bersama pinni. Asal kau tetap di sini pinni akan memperkuat batinmu. Tapi berjanjilah kau akan menunggu ayah ibumu di sini.”

“Benar,” sang ibu berseru pula. “Kau harus menunggu kami di sini, Giok Cheng, jangan ke mana-mana. Atau nanti kami marah!”

Gadis ini mengangguk. Ia terbujuk dan diam-diam dua orang tua itu sama-sama menjadi girang. Han Han akhirnya muncul menepuk-nepuk pundak puterinya ini. Dan ketika semua dirasa cukup dan selesai maka berkelebatlah suami isteri itu meninggalkan puteri mereka. Tang Siu telah mewanti-wanti agar segala perintah Pouw Pouw Nikouw dijalankan, gadis itu mengangguk dan meminta agar ibunya tak lama-lama pula. Sesekali ia boleh pulang ke Hek-yan-pang. Dan ketika sebulan kemudian Giok Cheng benar-benar mendapatkan ketenangan batin, bujukan dan kelembutan Pouw Pouw Nikouw meresap di hatinya maka pada bulan kedua datanglah bencana itu. Munculnya Su Giok, sang suci!

Sebenarnya gadis ini tak berniat lagi meninggalkan kuil. Ia benar-benar merasa tenteram dan tenang bersama Pouw Pouw Nikouw. Ia memiliki kepercayaan pula kepada ibunya. Betapapun ia berharap perjodohannya dengan Sin Gak dapat berlangsung. Tak dapat disangkal sesungguhnya ia mencintai pemuda itu. Tapi ketika malam itu sucinya datang dan berkelebat di kamarnya maka ketenangan yang sudah didapat mendadak goncang lagi.

“Sumoi, apa yang kau lakukan di sini. Bodoh amat, tidur seperti kucing malas. Bangun, kekasihmu galang-gulung dengan gadis baju hitam putih itu. Ia kena pelet!"

Giok Cheng terkejut ketika tiba-tiba saja kakak seperguruannya itu muncul di situ. Ia meloncat bangun dan sucinya sudah bersinar-sinar di tengah kamar, bertolak pinggang. Dan ketika ia bertanya apa yang terjadi dan apa yang dimaksud sucinya maka Su Giok berkata bahwa semua itu sia-sia.

“Tidur dan bermalasan saja di sini tiada guna. Hutan Iblis geger. Sin Gak kian mesra dengan gadis siluman itu sementara kau menunggu sia-sia di sini!”

“Apa yang ia lakukan? Dan kau. kau tahu aku disini?”

“Aku mencarimu di Hek-yan-pang, dan mendengar kau di sini. Sekaranglah saatnya kita bertindak dan lihat apa yang kuperoleh ini!”

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dan tertegunlah Giok Cheng melihat sebuah benda mirip pot bunga, putih mengkilap dan menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu kamar. Benda ini tampaknya biasa-biasa saja akan tetapi sucinya begitu gembira. Wajah sucinya itu berseri dan tertawa-tawa. Dan ketika ia bertanya apakah itu dan sucinya menepuk pundaknya maka ia diminta agar meninggalkan dan menuju Hutan Iblis.

“Sekarang kita melakukan pembalasan. Kita hajar Sin Gak dan gadis itu sekaligus jahanam yang membunuh ayah ibuku!”

“Nanti dulu, apa yang kau bawa itu. Kau tampak begitu gembira dan penuh keyakinan, suci. Apa yang membuatmu begini.”

“Eh, kau tak tahu ini?”

“Tidak.”

“Subo yang memberiku, coba tebak!”

“Aku tak tahu.“

“Hi-hik, inilah Guci Penghisap Roh. Dengan ini kita mengalahkan Beng-jong-kwi-kang, sumoi, juga semua ilmu yang dimiliki Majikan Hutan Iblis itu. Ia akan kuhancurkan, dan bantu aku menghajar lainnya!”

“Guci Penghisap Roh?”

“Ya, yang dulu mengalahkan Golok Penghisap Darah itu, Golok Maut. Kita dapat menghancurkan musuh-musuh kita dan Sin Gak pun dapat kita jebloskan di sini. Hi-hik, kita akan membayar semua kekalahan kita!”

Giok Cheng terkejut dan tiba-tiba gembira sekali. Ia tentu saja tahu akan ini seperti halnya Sin Gak mendengar cerita gurunya. Guci Penghisap Roh adalah guci penakluk Mo-bin-lo, pencipta Golok Maut. Dan karena guci itu menghisap roh-roh jahat sehingga orang seperti Te-gak Mo-ki dan Mo-bin-jin menjadi gentar maka Giok Cheng berseri wajahnya dan menyambar guci itu.

Akan tetapi sang sucimengelak. “Jangan jangan pegang, tak boleh disentuh banyak tangan.Cukup kau lihat dari jauh saja dan jangan menyentuhnya. Nanti kesaktiannya berkurang. Aku harus berpantang sesuatu memegang benda ini!”

Giok Cheng tertegun, tapi menghela napas. “Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan, suci, kenapa malam-malam kau datang kesini.”

“Pertama kau harus keluar dari tempat ini, apa-apaan mengeram seperti ayam kampung!”

“Ah, tak bisa.”

“Apanya yang tak bisa? Siapa yang melarang?”

“Aku aku menunggu ibuku, suci, dia belum datang.”

“Urusan Sin Gak? Bodoh, tolol kau, mau saja ditipu. Mana mungkin mengikat pemuda itu kalau kau membiarkan ia terikat dengan gadis lain! He, buka mata dan telingamu baik-baik, sumoi. Pemuda itu sekarang kian akrab dengan murid supek Song-bun-liong itu. Mereka mengepung Hutan Iblis, tiap hari tidur dan makan bersama. Ayo buktikan kata-kataku kalau tidak percaya!”

Bagai petir menggelegar di siang bolong tubuh Giok Cheng seakan disentak saja. Ia terbelalak dan menjadi pucat dan tiba-tiba limbung. Kalau saja sucinya tidak cepat menangkap tentu ia terguling. Dan ketika sejenak gadis itu merasa gelap sementara sucinya mengomel panjang pendek maka ia mendengar kata-kata yang membuatnya sakit bukan main.

“Kau anak kecil tak punya otak, bisamu dikibuli orang tua saja. Mari buktikan di Hutan Iblis dan lihat betapa pemuda itu kian mesra dengan Bi Hong!”

Langit seakan runtuh. Benteng dan segala tanggul kokoh tiba-tiba seakan jebol. Kata-kata ini terasa amat menyakitkan bagi Giok Cheng melebihi segala tusukan pedang berkarat. Ia begitu pedih, menyeringai dan akhirnya menjerit. Dan ketika ia melompat dan terbang keluar kamar maka seisi Thian-lim-si terkejut oleh pekiknya yang menggetarkan kuil.

“Suci, aku akan membuktikan segala omonganmu. Kalau kau bohong maka aku akan membunuhmu!”

“Boleh!” kekeh dan tawa ini tak kalah menyeramkan bagi para nikouw itu. “Kalau aku bohong tak usah kau membunuhku, sumoi, aku sendiri akan menyerahkan kepalaku!”

Terdengarlah jerit atau lengking kemarahan itu lagi. Giok Cheng seakan kalap kemasukan setan, ia menyambar dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Lalu ketika ia melewati pohon-pohon menyelinap bagai kuntilanak gentayangan, naik turun bukit disusul bayangan kedua yang tak kalah mengerikannya maka dua orang murid Hek-i Hong-li ini lenyap tak berbekas seperti siluman saja.

Su Giok terkekeh-kekeh dan Giok Cheng membalik menampar sucinya itu, ditangkis dan terpental lalu gadis baju merah ini berjungkir balik meluncur ke Hutan Iblis. Dan ketika Giok Cheng menyusulnya dan bergeraklah mereka dengan amat cepatnya maka Thian-lim-si gempar karena jendela bekas kamar Giok Cheng hancur. Tadi diterjang begitu saja oleh keturunan Hek-yan-pang ini.

“Celaka, Cheng-siocia pergi. Ia mengobrak-abrik isi kamar!”

“Dan ia tampaknya marah sekali. Kaca jendela hancur!”

Pouw Pouw Nikouw tertegun dan terbelalak di depan kamar gadis ini. Ia merasa gagal menenangkan sebuah gunung es dan kini gunung itu siap meledak. Ia tak tahu apa yang terjadi namun dapat menduga dan menyimpulkan. Ia mendengar suara kedua di situ, orang yang dipanggil suci. Dan ketika ia termangu-mangu namun dapat menguasai perasaannya kembali, apa yang terjadi haruslah terjadi maka nikouw ini masuk ke kamarnya kembali untuk bersamadhi.

Bukan mencari ketenangan sendiri melainkan justeru untuk ketenangan dan ketenteraman gadis itu. Ia telah mulai merasa sayang dan suka kepada cucu Ju-taihiap ini. Dan ketika ia membakar hio lebih banyak dan melayang-layang bersama asap dupa itu maka Giok Cheng bersama sucinya telah melesat ke Hutan Iblis.

* * * * * * * *

Marilah kita ikuti perjalanan Sin Gak. Setelah nyonya rumah begitu berapi-api memutuskan ikatan jodoh maka pemuda ini menerima pukulan berat. Pertama dari ayahnya. Sejak itu sang ayah bermuka gelap dan memandangnya tak senang, dingin. Hal ini tidak aneh karena peristiwa itu memukul Si Naga Pembunuh ini juga. Siapa tidak terkejut kalau tiba-tiba semuanya berakhir begitu. Bukankah kedatangannya di Hek-yan-pang untuk memperkokoh ikatan jodoh, bukan malah membuyarkannya.

Maka ketika Tang Siu mengeluarkan kata-kata begitu tajam dan menghina mereka, menyatakan bahwa di dunia ini bukan hanya keluarga Sin saja yang laki-laki maka Giam Liong cukup terpukul dan hanya karena adanya Han Han membuat pria bertemperamen tinggi ini bersabar diri, apalagi karena Han Han sendiri jelas terang-terangan ingin mempertahankan ikatan jodoh itu. Peristiwa itu harap dianggap sebagai sebuah kesalahpahaman belaka.

Tapi yang menjengkelkan bagi pendekar ini justeru sikap puteranya. Seteleh mereka meninggalkan hutan itu dan Giam Liong berhenti di luar dusun maka puteranya disuruh duduk. Sin Gak seperti pesakitan saja. Dan ketika sang ayah juga duduk dan berkerut-kerut maka sekali lagi Naga Pembunuh ini bertanya apakah puteranya itu tak mencintai Giok Cheng.

“Jawab pertanyaanku sekali lagi, apakah kau tak mencintai Giok Cheng atau sebaliknya.”

“Aku tak tahu. Aku tak dapat memberi jawaban apa-apa selama masih bingung begini, ayah. Aku sungguh tak tahu.”

“Hm, begitu jawabanmu berulang-ulang. Baik, katakan apakah hatimu sakit diputuskan perjodohan ini, Sin Gak. Sakit atau tidak!”

“Sakit juga.”

“Kalau begitu kau mencintai gadis itu!”

“Aku tak tahu.”

Giam Liong menampar puteranya ini. Saking gemas dan kecewa ia membuat puteranya terpelanting, celakanya keluarlah saputangan Giok Cheng yang disimpan pemuda ini. Dan ketika sang ayah menyambar dan melihatnya bersinar mendadak pria ini tertegun. “Saputangan Giok Cheng!”

Puteranya memerah. Memang itulah saputangan Giok Cheng dan Sin Gak tak mungkin menyangkal pula. Ia mengangguk. Dan ketika sang ayah berseri dan tertawa tiba-tiba harapan di wajah itu tumbuh lagi. “Ha-ha, kalian anak-anak muda sekarang sungguh membuat orang tua bingung lihat, apa artinya ini kalau kau menyimpan saputangan Giok Cheng, Sin Gak, bukankah itu tanda cinta. Ah, kita kembali saja ke Hek-yan-pang dan bilang saja kepada pamanmu Han Han!”

Sin Gak terkejut. Wajah berseri dan girang itu membuntnya terharu. Betapa besar keinginan ayahnya untuk berbesan dengan Hek-yan-pang. Tapi teringat guratan Giok Cheng di dinding kamar iapun menggeleng dan berkata perlahan, “Nanti dulu. Jangan tergesa dan buru-buru, ayah. Sesungguhnya aku mendapatkan itu secara kebetulan saja. Lihat ini!”

Sin Gak melempar potongan batu kepada ayahnya. Sang ayah menangkap dan membaca dan tiba-tiba gelap lagi. Wajah yang sudah berseri-seri itu kembali muram, agak menghitam. Dan ketika Giam Liong bertanya dari mana puteranya mendapatkan semua itu maka dengan jujur Sin Gak mengaku.

“Di kamar di mana kita menginap di Kun-lun. Aku menemukannya secara tak sengaja. Kamarku ternyata bekas kamar Giok Cheng.”

“Hm, begitu? Semakin membuat orang tua pusing. Ah, tingkah kalian anak-anak muda ini sulit diikuti, Sin Gak, jauh amat dengan ketika ibumu dan aku dulu. Kami tak membuat yang lain bingung, kami apa adanya!”

Sin Gak diam saja, meminta barang-barang itu dikembalikan lagi. Dan ketika sang ayah memberikan namun bertanya untuk apa menyimpan itu maka Sin Gak mengangkat bahu menyatakan tak tahu.

“Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin kelak kukembalikan kepada pemiliknya.”

“Hm, menyimpan benda orang berarti menyukai orang itu. Buat apa susah-susah kalau tak suka dan tak cinta, Sin Gak, untuk apa menyimpan segala!”

“Aku tak tahu, aku belum mengenalnya.”

“Baik, bagaimana sekarang kalau dengan murid supekmu Song-bun-liong itu!”

“Aku merasa kasihan.“

“Juga cinta?”

“Hm, kau selalu mendesakku. Untuk cinta aku benar-benar tak tahu, sesungguhnya masih kuselidiki juga. Aku teringat cerita suhu tentang cinta. Dan aku tiba-tiba ngeri...!”