Tapak Tangan Hantu Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 25
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“HM!” itu saja yang keluar dari mulut Sin Gak. “Lalu apa lagi?”

“Banyak, kongcu, tapi agaknya kau harus melihat sendiri. Kami para murid wanita menjadi ketakutan kalau sudah tertangkap iblis itu. Ia kejam dan tak berperasaan!”

Sin Gak mencorong matanya. Ia sudah mendengar cukup banyak dan teringat pesan gurunya, bahwa ia harus membela yang lemah membantu yang perlu ditolong. Setelah ia tiba di Hek-yan-pang dan mendengar kisah dirinya sesungguhnya ia merasa rindu dan ingin bertemu ayahnya itu. Jadi ia adalah putera Giam Liong, si Naga Pembunuh. Dan berkerut kenapa ayahnya berjuluk seperti itu, ia merasa heran akhirnya ia bertanya apa yang sebaiknya dilakukan disitu.

”Baiklah, sudah kudengar semua. Lalu bagaimana selanjutnya menurut bibi. Apakah kita mencari iblis itu atau menunggu saja di sini.”

“Kongcu sendiri bagaimana, kami menyerahkannya kepadamu!”

“Hm,” Sin Gak berpikir sejenak. “ sebenarnya aku pribadi hendak mencari dan menemukan ayahku, bibi. Tapi karena jelek-jelek ia putera Hek-yan-pang baik kutunda maksudku dan kubela perkumpulan ini. Aku akan mencari iblis itu!“

“Kalau begitu kami gembira, kongcu tak usah pergi!”

“Maksudmu?”

“Setiap bulan purnama iblis itu datang ke mari, kongcu, kami cerai-berai di saat ia datang. Ia dapat kau temui karena pasti datang ke mari!”

“Begitukah? Baik, dan kapan bulan purnama itu, dan apa perlunya ia datang ke mari.”

“Ia datang untuk memperkuat ilmu hitamnya, dan segerombolan srigala akan selalu menyertai!”

“Tapi siapa yang berani tinggal di pulau. Kami terutama wanita akan lari, kongcu. Ia menghisap dan menyedot habis darah korbannya!

Sin Gak terkejut. ia memandang pembicara ini dan yang lain serentak menggigil, Cu Pin juga mengangguk. Dan ketika pemuda itu bertanya lebih lanjut maka murid wanita Hek-yan-pang ini gemetar bicara.

"Ia mencari wanita dan menangkap seorang di antara kami. Kalau sudah tertangkap maka korban akan digigit dan dihisap tengkuknya. Ia memperkuat ilmu hitamnya di saat bulan purnama, dan kami pasti menyingkir sebelum hari itu!”

“Baiklah, benar-benar keji. Akan kulihat dan kuhadapi iblis itu, bibi, tak usah kalian takut. Sekarang katakan berapa hari lagi saat bulan purnama itu.”

“Empat hari lagi.”

“Hm, cukup bagiku. Ada berapa wanita di sini dan kalian dekat-dekat saja denganku. Jangan pergi jauh. Mulai hari ini aku akan menyiapkan sesuatu dan kalian tenang-tenang sajalah. Aku melindungi!”

Sin Gak bangkit dan bersinar-sinar. Akhirnya ia menyuruh orang-orang itu tenang dan minta mereka membersihkan gedung itu. Ada tujuh wanita di situ termasuk Cu Pin, yang lain adalah laki-laki. Dan karena pemuda ini telah membuat pagar gaib di mana orang tak dapat masuk atau keluar seenaknya, akhirnya di ruangan itulah mereka berkumpul maka menunggu bulan purnama itu Sin Gak duduk bersila memperkuat getaran batinnya sementara diam-diam di sudut utara ia memberikan celah agar Majikan Hutan Iblis itu datang dan dapat masuk. Atau siapapun tak dapat mendekati pulau itu karena ia telah memasang Pat-gen-sin-hoat-sut (Pagar Sihir Delapan Penjuru Bumi) yang amat kuat!

* * * * * * * *

Bulan purnama itu datang. Langit terlihat cerah dan menyenangkan di mana sinar bulan yang keemasan menyapu permukaan bumi dengan amat indahnya. Bintang bertaburan merata dan jengkerik serta binatang malam bernyanyi riang. Tak ada tanda-tanda bahwa malam akan berlangsung secara menyeramkan. Yang terjadi justeru pemandangan indah yang penuh pesona, warna keemasan di pucuk-pucuk daun dan angin sepoi lembut mengiring bagai musik ringan. Di saat seperti itu yang terasa adalah kedamaian dan rasa bahagia, bersuasana romantis dan empat pasangan dari murid-murid Hek-yan-pang bahkan saling peluk dan menghibur.

Malam memang terasa begitu indah sehingga pasangan-pasangan ini lupa bahwa di balik itu akan terjadi sebuah tragedi. Mereka terbawa dan hanyut oleh gesekan lembut angin malam, terbuai warna keemasan dari sinar bulan yang menyapu pucuk-pucuk dedaunan. Bahkan permukaan bumi sendiri terasa begitu segar dan indah. Dan karena mereka percaya akan kesaktian Sin Gak, pagar gaib yang disebarkannya ke sekeliling pulau maka mereka merasa begitu aman karena selama beberapa hari ini mereka merasakan ketenangan dan keamanan yang meyakinkan. Bahkan para srigala itu tak kedengaran suaranya lagi sejak diusir dan dihajar Sin Gak.

Pat-gen-sin-hoat-sut memang ilmu gaib yang istimewa. Ilmu ini berdasarkan kekuatan batin untuk melindungi diri, juga dapat untuk melindungi orang lain di balik sebuah bangunan. Sekali terpasang orangpun tak dapat masuk, kecuali mereka yang memiliki kesaktian berimbang atau pemilik ilmu ini melepaskan sebuah celah untuk dimasuki.

Dan karena ilmu ini dapat menimbulkan ketenteraman dan rasa aman bagi yang dilindungi, pelawan atau penghancur ilmu sirep maka orang yang berada di dalam ilmu ini bagai berada di tengah taman istana yang sekelilingnya penuh pengawal. Berlindung di balik ilmu ini sama dengan berlindung di sebuah istana yang dijaga berlapis-lapis. Semutpun tak dapat masuk!

Akan tetapi berkelebat sebuah bayangan. Empat pasangan lelaki-perempuan yang sedang berasyik-masyuk terbuai alam indah mendadak dikejutkan sebuah bentakan. Cu Pin, wanita Hek-yan-pang itu tahu-tahu berdiri di situ, di tengah taman bunga. Lalu ketika empat pasangan ini terkejut melompat bangun maka wanita ini berseru bahwa siapapun tak boleh meninggalkan ruangan.

“Kalian tak tahu diri, siapa memerintahkan keluar. Ayo masuk dan berkumpul di dalam, jangan diluar!”

“Kami merasa bahagia,” satu dari empat orang itu berkata, membantah. “Malam ini suasana begini romantis, enci. Bulan bersinar dengan amat indahnya. Kami tak takut karena ada Sin-kongcu di sini!”

“Tak tahu bahaya. Sudah kubilang bahwa siapapun tak boleh keluar, A-thai, tidak ingatkah kalian bahwa kita tak boleh jauh-jauh dengan Sin-kongcu. Masuk, atau aku melapor ke dalam!” wanita itu membentak.

“Baiklah, maaf. Kami hanya ingin menikmati sebuah suasana lain di malam bulan purnama ini. Kami tentu saja tak membantah Sin-kongcu,” dan masuk serta menggandeng pasangannya murid itupun tak banyak bicara, disusul yang lain dan wanita itupun berkelebat mendahului.

Malam itu memang suasana amat menyejukkan dan nikmat sekali bagi pasangan-pasangan baru untuk bercengkerama, apalagi bagi mereka yang sudah bertahun-tahun ini tak memperoleh ketenangan. Malam seperti itu rasanya tak ingin dilewatkan begitu saja. Pengaruh Pat-gen-sin-hoat-sut demikian tinggi. Tapi karena Cu Pin adalah pimpinan di situ dan semua harus tunduk, wanita inilah yang berkepandaian paling tinggi maka adik-adiknya menurut dan di ruangan dalam itu berkumpul saudara-saudara yang lain memandang mereka.

Sin Gak, yang masih bersila tampak tenang di sudut. Empat hari ini pemuda itu tak membuka mata dan membuat murid-murid kagum. Napas pemuda itu yang halus hampir tak kentara. Semacam hawa menyejukkan keluar dari tubuh pemuda ini. Dan ketika empat pasangan itu masuk dan duduk bergandengan mesra, memandang pemuda itu dengan wajah penuh kepercayaan maka Sin Gak sendiri merasakan sesuatu yang mulai tidak wajar.

Mula-mula adalah tiupan angin dingin. Angin ini berkesiur lembut dan menyentuh bulu-bulu halus sampai meremang. Orang tak akan merasa ketika tahu-tahu bulu di tubuhnya berdiri. Lalu ketika tiupan angin dingin itu juga disusul hawa aneh yang membuat mata merasa kantuk, keinginan tidur tiba-tiba merayap di situ maka para murid termasuk empat pasangan itu mulai menguap!

Tak ada yang sadar ini kecuali Cu Pin. Wanita itu, sebagai murid tertua Hek-yan-pang yang sudah berkali-kali menerima serangan segera terkejut oleh tanda-tanda tidak wajar ini. Bulan purnama naik semakin tinggi dan diam-diam wanita ini berdebar. Menurut kebiasaan, seperti yang sudah-sudah maka akan terdengar gonggong srigala disusul raung dan lolong riuh. Kalau sudah begitu maka hatipun bakal dicekam ketegangan. Siapapun menjadi seram.

Namun karena tak ada lolongan riuh dan empat hari ini suara srigala juga tak pernah kedengaran lagi, pagar yang dipasang Sin Gak benar-benar membangkitkan kepercayaan maka wanita cantik berusia tigapuluhan tahun ini lega akan tetapi kesiur angin dingin itu membuatnya gelisah. Apalagi ketika murid-murid di situ menguap dan jatuh tertidur.

“Kongcu!” Cu Pin berkelebat dan memanggil Sin Gak. Berturut-turut empat pasangan dan lain-lainnya roboh. Kesiur angin lembut itu begitu menyejukkan hingga membuat bulu mata tertutup. Dalam keadaan seperti itu nikmat benar rasanya tidur! Maka ketika wanita ini terkejut karena iapun tiba-tiba mengantuk, Sin Gak diam saja tak bergerak akhirnya wanita ini terguncang dan menepuk bahu pemuda itu.

“Kongcu...!”

Sin Gak membuka mata. Aneh, bertemu dengan sepasang mata pemuda ini mendadak kantuk wanita itu lenyap. Mata yang mencorong itu memasukkan tenaga sakti, dingin namun kuat dan justeru membuyarkan hawa dingin pengaruh sirep. Sin Gak memang sengaja membuka bagian utara dari ilmunya Pat-gen-sin-hoat-sut agar musuh dapat masuk, termasuk ilmu sirep berhawa dingin sejuk itu. Maka ketika ia ditepuk dan Cu Pin hampir roboh, pemuda ini membuka mata maka dengan sepasang matanya itu ia melenyapkan pengaruh sirep dan wanita itupun merasa segar kembali.

“Mereka... mereka....!” wanita ini masih menggigil, menuding. “Saudara-saudaraku yang lain itu ah, mereka tertidur, kongcu. Musuh mulai datang!”

“Tenanglah,” Sin Gak tersenyum, mengangguk. “Aku sudah tahu, bibi. Hanya katamu biasanya didahului gonggongan srigala.”

“Benar, tapi...tapi ini tidak. Biasanya memang begitu, kongcu, srigala akan riuh rendah menakutkan kita. Tapi pengaruh ilmu hitam mulai masuk. Aku merasakan itu!”

“Tenanglah, aku sengaja membuka satu lubang. Duduk dan bersamadhilah di situ, bibi. Pertahankan kekuatanmu untuk tidak meninggalkan ruangan ini. Tutup dan tulikan telinga dan jangan dengarkan apa-apa.”

“Dan mereka itu?”

“Akan kusadarkan nanti, pada saatnya. Biarlah tidur dan menikmati mimpi indah.”

Wanita ini terbelalak. Saat itulah berkesiur angin lebih dingin namun pemuda ini tenang-tenang saja. Demikian tenang sikapnya hingga wanita ini malu sendiri. Ia begitu ketakutan. Dan ketika ia menarik napas membuang ketegangan, Sin Gak menyuruhnya duduk akhirnya wanita itu bersila di belakang pemuda ini, tak berani jauh! “Aku takut, iblis itu lihai sekali!”

“Kalau begitu bibi boleh tidur, telanlah obat ini.”

Cu Pin tertegun. Sin Gak memberinya sebuah pil hitam dan ia menerima, akan ditelan. Tapi ketika teringat bahwa ia ingin tahu bagaimana pemuda itu menghancurkan lawan maka obat itu tak jadi ditelan dan disimpannya saja. “Aku aku tak akan takut. Biar kubangkitkan keberanian dan kulihat bagaimana kau mengalahkan lawanmu!”

“Kalau begitu bibi duduk tenang, jangan melihat keluar dan tutup mata rapat-rapat. Tulikan telinga.”

Wanita ini mengangguk. Ia sudah bersila dan memejamkan mata, keteganganpun tak dapat diatasinya lagi. Ia mengigil. Dan ketika Sin Gak memejamkan matanya lagi dan duduk tak bergeming, bagai arca batu adalah wanita ini tak keruan perasaannya dan berkali-kali membuka sepasang matanya keluar pintu, apalagi ketika terdengar suara berkeresek dan muncullah sosok hitam di luar pintu.

“Ahhh!” Wanita ini tak dapat menahan mulutnya. Ia mengeluarkan seruan kaget ketika di pintu itu, berdiri bergoyang-goyang muncullah berjubah hitam berambut model kuda. Wajah itu memucat dingin namun sepasang matanya mencorong hidup, bibir tersenyum mengejek dan wanita ini hampir menjerit. Namun ketika tak dapat berteriak karena mulutnya serasa terkunci, Cu Pin hendak meloncat bangun namun kedua kakinya melekat tak dapat ditarik maka terkekeh tanpa suara laki-laki itu melambai kepadanya.

“Ke sinilah,” bisikan itu lembut namun serak. “Ke sinilah, Cu Pin. Tidakkah kau rindu kepadaku di saat bulan purnama ini. BangkitIah, kita keluar.”

Wanita itu meronta. Ia telah melanggar pantangan Sin Gak agar menutup mata dan menulikan telinga. Pengaruh gaib dari sepasang mata iblis itu membetotnya, ia berteriak namun tak ada suara yang keluar. Dan ketika mendadak kakinya dapat digerakkan namun ia melangkah maju, bergerak dan tersedot lambaian tangan itu maka wanita ini menjerit-jerit namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

“Tidak.......tidak !”

Akan tetapi sepasang mata itu menguasainya. Bibir yang tersenyum melebar dan akhirnya tertawa membuat wanita ini tiba-tiba hilang semangat. Dalam ketakutan yang hebat akhirnya wanita ini tak sadar. Masuklah ia ke dalam ilmu hitam yang amat kuat. Dan ketika ia melangkah dan ditangkap laki-laki ini, Majikan Hutan Iblis maka robohlah wanita itu didekapan sepasang lengan kokoh.

“Heh-heh, cantik dan manis. Kau masih menggairahkan hati lelaki, Cu Pin, marilah keluar dan kita bercumbu di sana.”

Wanita ini menurut saja. Akhirnya ia kehilangan kesadaran setelah semangat dan pikirannya dicengkeram lawan. Wanita itu masuk dalam ilmu hitam yang amat kuat, begitu kuatnya hingga ia rebah di pundak lelaki ini. Dan ketika di luar rumah Majikan Hutan Iblis ini terkekeh dan berhenti menatap bulan yang bundar, mendorong dan melepaskan dirinya maka laki-laki itu bertanya apakah wanita itu mencintainya.

“Kita akan melangsungkan cumbu rayu di bawah Dewi Bulan. Jawablah apakah kau mencintaiku atau tidak.”

“Aku... aku mencintaimu....” wanita itu berdesah. “Aku rela menyerahkan diri di bawah Dewi Bulan!”

“Heh-heh, benarkah? Kalau begitu peluklah aku, cium aku!”

Wanita ini bergerak. Ia tadi memegang pundak lawannya dengan mata berkejap-kejap, mulut itu terbuka dan desis aneh keluar tertahan. Cu Pin yang tampak seperti patung hidup ini berpandangan kosong, ia benar-benar tak sadar akan dirinya itu. Namun ketika ia mengangguk dan merebahkan diri, memeluk dan hendak mencium laki-laki itu mendadak terdengar bentakan dan bayangan Sin Gak.

“Bibi Cu Pin!”

Hebat bentakan itu. Sin Gak mengerahkan khikangnya hingga suaranya menggema dahsyat, hutan tergetar dan pulau seakan roboh. Dan ketika pemuda itu menyambar dan menampar laki-laki ini, bergerak begitu cepatnya, maka wanita itu tahu-tahu sadar dan berada di tangan Sin Gak, sementara tangan yang lain dari pemuda itu menampar atau menghantam kepala.

“Plakk!”

Laki-laki itu terpelanting dan berseru kaget. Bersamaan dengan ini terdengarlah gonggong dan raung srigala, suaranya memekakkan telinga dan sadarlah para murid yang terkena sirep. Mereka ini terbius angin dingin pembawa kantuk, meloncat dan berteriak namun sebenarnya bentakan dan suara pemuda itulah yang membuyarkan segalanya. Srigala atau anjing-anjing liar yang dibungkam majikannya tak dapat menahan diri lagi, mereka pecah dan lari berserabutan. Dan ketika hutan menjadi gaduh oleh lolong mereka, laki-laki itu meloncat bangun maka Cu Pin gemetar di lengan kanan Sin Gak.

“Dia dia hendak membunuhku. Apa yang dia lakukan kepadaku!”

“Kau selamat. Kau tak menghiraukan kata-kataku tadi, bibi, jangan lihat dan dengarkan apapun di tempat ini. Kau menjauhlah dan lihat saudara-saudaramu bangun semua. Jaga di sudut utara karena hanya tempat itu yang mampu diterobos musuh!”

Terdengar lolong dan pekik dahsyat. Di bawah sinar bulan purnama, di balik bayang-bayang bintang yang bertaburan di angkasa mendadak bergulung awan hitam berbukit-bukit. Awan ini muncul dari delapan penjuru ketika laki-laki itu meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar biru mencuat tajam, meledak dan muncullah awan-awan hitam itu. Lalu ketika awan-awan ini bergerak dan menutupi pulau, bintang dan bulan tak mampu menembus kepekatannya maka menjeritlah murid-murid Hek-yan-pang karena keadaan yang semula terang keemas-emasan mendadak menjadi hitam dan gelap gulita, apalagi lolong dan raung itu semakin riuh!

Namun Sin Gak tak membiarkan semuanya ini terjadi. Maklum bahwa kekuatan sihir bekerja di atas pulau mendadak iapun meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar putih bagai petir, meledak dan menghantam awan bergulung-gulung itu hingga pecah. Dan ketika bintang dan bulan tampak menerangi lagi, semakin benderang maka terdengar pekikan dan sesosok tubuh hitam mencelat menubruk pemuda ini.

“Kau kiranya jahanam usil itu. Mampuslah!”

Sin Gak tak mengelak. Raung dan lolong srigala memenuhi Hek-yan-pang. Di bawah permukaan bintang dan bulan tampak moncong-moncong berenang di permukaan air, cepat dan menaiki pulau akan tetapi bintang-binatang ini menjerit. Mereka terbentur pagar gaib Pat-gen-sin-hoat-sut, panas menyengat dan semua mundur. Mereka yang nekat malah hangus, terbakar.

Dan ketika sekejap kemudian binatang-binatang ini menjadi panik, hanya mereka di bagian utara yang mampu menerobos masuk maka murid-murid Hek-yan-pang menyambut dan berteriak-teriak. Di tangan mereka terdapat sebatang sapu lidi yang mengeluarkan hawa dingin berkeredap bagai memancarkan cahaya gaib. Senjata yang telah diberikan Sin Gak setelah sebelumnya “diisi” kekuatan batin dan tenaga Pek-mo-in-kang.

“Prat-pratt!”

Binatang-binatang itu terjengkang. Aneh dan mengherankan binatang yang biasanya kebal dan tahan bacokan senjata tajam itu kini berteriak dipukul sapu lidi. Kulit mereka seketika pecah. Dan ketika binatang itu tunggang-langgang meninggalkan lawannya, melolong-lolong maka Sin Gak sendiri membalik menerima hantaman atau pukulan lawan.

“Dess!”

Dua orang ini bergoyang-goyang. Sin Gak yang mengerahkan sinkangnya dan membalik dengan cepat menangkis dengan tepat pukulan lawannya itu. Bau amis menyambar namun ia meniup, telapaknya bertemu telapak lawan. Tapi ketika lawan terkekeh dan maju lagi, membentak dan menggerak-gerakkan tangannya ke angkasa maka langit menjadi gelap lagi oleh awan hitam bergulung-gulung.

“Heh-heh, luar biasa. Tapi kau akan mampus oleh pukulanku!”

Sin Gak terkejut. Sekali lagi ia cepat menggerakkan lengan ke atas. Ujung bajunya berkibar dan meniup dahsyat. Dan ketika sekali lagi terdengar ledakan kuat, cahaya putih menyambar dari telapak pemuda itu maka awan hitam terpental dan pecah lagi. Namun di saat itu lawan yang berkelebat di balik asap hitam sudah berada di belakang Sin Gak mencengkeram dan hendak menghancurkan kepala pemuda ini.

“Kress-augh!”

Pek-mo-in-kang melindungi. Meskipun tak sempat berkelit dan dicengkeram dari belakang namun pemuda ini sudah menutup semua aliran darah dengan cepat. Tubuh dan kulitnya mengeras, tidak sekedar keras melainkan dingin, sedingin es. Maka ketika lawan terkejut berseru keras, kulit pemuda itu tak dapat dihancurkannya maka Sin Gak menggerakkan kaki ke belakang dan tepat sekali ia menghantam selangkangan lawan.

“Dess!”

Lawan terbanting dan bergulingan. Sin Gak terkejut karena lawan tak apa-apa, merasa daerah bawah perut kosong. Dan maklum bahwa lawan menarik kemaluannya di bawah pusar, semacam kantong penyelamat maka pemuda itu tak mau menunggu waktu lagi dan berkelebat mengejar. Lawan meledakkan tangan dan membuat langit gelap gulita lagi.

“Ha-ha, kau hebat, tapi tak mungkin mengalahkan aku!” Bintang dan bulan tertutup cahayanya lagi. Sin Gak menjadi gemas karena dua kali ia bekerja sia-sia. Lawan kembali menutup tempat itu dengan awan hitam. Namun ketika ia membuang secabik kain membuat langit kembali terang, bintang dan bulan menyorotkan cahayanya keemasan akhirnya lawan tak mampu lagi melepas kekuatan hitamnya, selalu pecah dan meledak dihantam pemuda itu. Dan karena Sin Gak juga bergerak dan menyerang lawan maka laki-laki jubah hitam ini memekik dan menjadi ganas.

“Plak-dukk!”

Dua-duanya terpental. Sin Gak mempergunakan Pek-mo-in-kangnya hingga lawan terkejut. Majikan Hutan Iblis itu terdorong jauh ke belakang. Dan ketika lawan terbelalak dan melengking penasaran, berkelebat dan menerjang lagi maka Sin Gak mengimbangi dan segera keduanya bertanding amat cepat, pukul-memukul dan saling mengelak untuk akhirnya yang kelihatan hanya bayangan hitam dan putih. Dengan Pek-mo-in-kangnya pemuda ini menolak semua pukulan, hawa dingin dari Pek-mo-in-kang itupun semakin dingin saja. Dan ketika berkali-kali lawan terpental sementara Sin Gak hanya tergetar dan terhuyung maka lawan melolong dan Sin Gak merasa seram.

“Plak-dukk!”

Untuk kesekian kalinya lagi dua lengan mereka bertemu. Kali ini, penasaran oleh kekuatan Pek-mo-in-kang maka Majikan Hutan Iblis itu menggetarkan lengannya dua kali. Cairan berminyak tiba-tiba melumuri permukaan kulitnya, licin dan terpeleset hingga Sin Gak terkejut karena lengan itu meluncur ditangkis kuat, menyambar dan menuju dadanya hingga ia membentak berkelit mundur. Lalu ketika dengan lengan dan tubuh yang licin itu lawan menyerang membuat tangkisan Sin Gak meleset maka terbeliaklah pemuda ini teringat cerita gurunya.

“Hek-be-kang!”

“Heh-heh!” lelaki itu tertawa. “Kau tahu? Bagus, ini betul Hek-be-kang, anak muda. Siapa kau dan bagaimana kau dapat menandingi aku. Katakan sebelum kubunuh!”

Sin Gak mencorong matanya. Setelah ia yakin bahwa lawan memiliki Hek-be-kang maka ia pun maklum siapa yang ada di hadapannya ini. Murid Te-gak Mo-ki! Maka membentak berseru keras ia pun berkelebatan mengerahkan Bu-bian-kang alias Ilmu Tanpa Bobot.

“He!” lelaki itu terkejut. “Kau memiliki Bu-bian-kang? Keparat, siapa kau!”

Majikan Hutan Iblis inipun tak mau tinggal diam. Tadinya ia bergerak dan menangkis semua pukulan Sin Gak mengandalkan Hek-be-kang, sia-sia dan Sin Gak menjadi marah karena pukulannya meleset. Tapi begitu ia berkelebatan dengan Bu-bian-kang dan lawan menjadi terkejut, ia merobah serangannya dengan tusukan ke mata atau lubang hidung maka tiga kali hampir saja pemuda itu berhasil dan membuat lawan merasa kaget.

Akan tetapi Majikan Hutan Iblis ini memang bukan orang sembarangan. Membentak dan berkelit dari tusukan-tusukan lawan ia pun menggosok-gosok kedua tangannya. Cepat sekali kedua telapaknya menjadi hitam. Lalu ketika ia meraung dan berseru keras maka telapak itu menyambar dan menghantam Sin Gak.

“Desss!”

Sin Gak bergoyang. Mo-seng-ciang (Pukulan Tapak Hantu) menyambar mukanya. ia menangkis dan secepat itu lawan mencengkeram. Sepuluh jari mereka bertemu dan terdengar suara berkeratak. Pek-mo-in-kang yang dingin bersambut dengan Tapak Tangan Hantu yang panas, bau amis menyambar dan hampir pemuda ini muntah. Lawan tertawa bergelak dan bau mulut itulah yang amat busuk. Mulut itu seperti bau bangkai.

Namun ketika Sin Gak menutup hidungnya dan mengerahkan sinkang, saling dorong dan menatap wajah maka pemuda ini berhadapan dengan seraut muka berkedok yang tipis berkerut dengan sepasang mata berputaran ganas, kejam.

“Kau akan kubunuh, heh-heh , kau akan kubunuh!”

Sin Gak tak mau menjawab. Bau busuk menyambar kuat namun ia menutup hidung. Lawan dipandangnya mencorong dan sedetik laki-laki itu tertegun. Wajah pemuda itu dingin dan keras. Wajah itu seperti Giam Liong. Dan ketika lelaki ini terkejut dan membelalakkan mata, barulah ia ingat maka ia tertegun heran sekaligus mengingat-ingat sesuatu.

“Kau...kau anak yang diambil kakek busuk Sian-eng-jin. Kau bocah itu!”

Sin Gak tersenyum dingin. Dalam adu tenaga itu ia merasa mendapat kekuatan, lawan rupanya tercengang dan terkejut hingga berkurang tenaganya. Dan ketika ia tak menyia-nyiakan kesempatan dan menambah tenaga, lawan berseru keras maka secepat kilat laki-laki jubah hitam itu menarik kedua tangannya membanting tubuh bergulingan

“Kau Sin Gak...desss!”

Pek-mo-in-kang menghajar tempat di mana laki-laki itu tadi berdiri. Demikian kuat pukulan ini hingga tanah berlubang, laki-laki itu bergulingan meloncat bangun. Lalu ketika ia terbelalak dan seakan gentar, teringat peristiwa belasan tahun lalu maka ia mengeluh dan mengeluarkan lolong panik, rendah dan menyayat. Dan ketika Sin Gak masih tertegun heran mendadak laki-laki itu memutar tubuh meloncat pergi. Srigala yang diserang anak-anak murid Hek-yan-pang juga berserabutan dan tunggang-langgang.

Akan tetapi terlihat sinar hitam panjang. Di bawah cahaya keemasan bulan bundar meledaklah suara yang amat keras. Suara itu membuat srigala terpekik dan roboh, tujuh di antaranya terlempar dan mencelat ke dalam telaga. Lalu ketika Majikan Hutan Iblis menoleh dan tampak terkejut, maka tahu-tahu sesosok tubuh langsing menyambar dan menyerang mukanya, disusul oleh bayangan merah yang mencegat larinya pula.

“Kau iblis jahanam itu, mampuslah!”

Sin Gak tertegun. Seorang gadis cantik, tujuh atau delapan belas tahun menyerang laki-laki ini dengan sebuah ikat pinggang hitam. Ikat pinggang itu panjang dan menyambar bagai ular, tahu-tahu sudah di depan hidung. Tapi ketika laki-laki ini mengelak dan membuang mukanya maka senjata itu mengikuti di manabakhirnya ia menjadi marah dan menangkis.

“Tarr!”

Ujung bajunya robek. Terkejut dan melompat ke kiri, akhirnya laki-laki ini mengelak dan menghindar sana-sini. Gadis baju hijau itu sudah menyerangnya lagi dengan cepat. Ujung ikat pinggang itu meledak-ledak menyambar tubuhnya. Dan ketika ia menangkis dan gadis itu terhuyung maka ia membentak dan melepas Mo-seng-ciangnya.

”Awas!” gadis baju merah berkelebat. Terkejut oleh pukulan itu gadis ini mengangkat kedua lengannya, menangkis dan terpental dan saat itu Sin Gak berkelebat.

Ia melihat sesuatu dirogoh lawan, di sambitkan dan menyambarlah sinar-sinar hitam ke arah dua orang itu. Dan ketika Sin Gak membentak dan menangkis paku-paku beracun ini, lengan baju pemuda itu dikebutkan maka Majikan Hutan Iblis terbelalak dan mengumpat lalu memutar tubuh melarikan diri.

“Jangan lari!” Sin Gak marah berseru keras. Ia telah sadar dan tidak menghiraukan lagi gadis baju merah dan hijau. Ia telah membantu meruntuhkan paku-paku beracun itu. Tapi ketika lawan terkekeh dan melempar sesuatu tiba-tiba meledaklah sebuah benda dan di tempat itu muncullah Majikan Hutan Iblis yang lain.

“Heh-heh, mana yang kau kejar, bocah. Dia atau aku!”

Sin Gak tertegun. Di depannya terdapat dua kembar yang sama. Satu ke arah timur sedang yang lain ke utara. Dan karena yang timur lebih dekat maka pemuda inipun berkelebat dan menangkap pundak lawannya. “Berhenti!”

Akan tetapi lawannya lenyap. Sebagai gantinya tampaklah ikat rambut hitam, tertangkap di tangan pemuda ini. Dan ketika Sin Gak terkejut dan sadar maka iapun membalik dan membuang hasil tangkapan itu. “Keparat, kau penipu!”

Akan tetapi di mana-mana muncul Majikan Hutan Iblis Kembar. Dua gadis baju merah dan hijau yang sadar pula akhirnya mengejar lawan. Mereka membentak dan menyerang laki-laki itu. Namun ketika benda-benda hitam menyambar mereka, meledak dan menjadi sosok seperti tuannya maka dua orang ini terkecoh dan yang mereka tangkap ternyata hanya sehelai daun atau potongan kain hitam. Sin Gak sadar dan terkejut menuju arah utara, tempat inilah yang dibiarkannya kosong dan merupakan satu-satunya lubang terbuka. Namun ketika di sini ia tak melihat lawannya lagi, iblis itu lenyap meninggalkan Hek-yan-pang maka berkelebatlah bayangan baju merah dan hijau itu.

“Mana dia, mana jahanam keparat itu!”

Sin Gak memutar tubuh. Di sini ia terpesona oleh hidung mancung dan pipi kemerah-merahan gadis baju hijau. Di bawah sinar bulan tampak betapa cantik dan gagahnya gadis ini, anak rambutnya menjuntai manis di dahi. Namun ketika ia tak menjawab dan berkelebat bayangan-bayangan lain, Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-pang maka wanita itu terbelalak memandang gadis baju hijau ini.

“Kau...kau Giok Cheng!”

Gadis ini terkejut. Cu Pin, wanita itu menjerit dan menubruk dirinya. Lalu ketika yang lain juga terkejut dan berseru mengiyakan maka semua menjatuhkan diri berlutut dan memanggil gadis ini.

“Cheng-siocia (nona Cheng)!”

Tertegunlah Sin Gak. Tiba-tiba ia berdebar keras memandang gadis baju hijau itu. Alangkah cantik dan gagahnya gadis ini di bawah sinar bulan purnama, apalagi ikat pinggang hitam itu belum disimpannya lagi. Cantik dan gagah! Dan ketika ia berdebar karena inilah calon jodohnya, puteri dari pamannya Han Han maka Cu Pin dan teman-temannya menangis sesenggukan, antara girang dan sedih.

“Siocia terlambat datang. Ayah ibumu......kakekmu ,ah. mereka semua telah meninggalkan tempat ini. Siocia. Hek-yan-pang sepi dan mati selama bertahun-tahun. Majikan Hutan Iblis itu menteror kami. Untunglah Sin-kongcu ini datang membantu. Ia putera pamanmu Giam Liong!

Bukan hanya Giok Cheng yang terkejut. Gadis baju merah, yang sejak tadi tertegun dan mengerutkan kening tiba-tiba mengeluarkan pandangan berapi. Wajah Sin Gak persis ayahnya. Dan karena ia bukan lain adalah Su Giok, cucu Pek-lui-kong yang dulu diacuhkan Giam Liong maka gadis ini menjadi benci kepada Sin Gak, bergerak dan tahu-tahu berkacak pinggang di depan pemuda itu.

“Hm, kau kiranya bocah yang hilang itu. Kau Sin Gak. Bagus, ada apa kau datang di tempat ini, bocah. Apakah tenagamu dapat dipakai menyelamatkan Hek-yan-pang. Kau tak usah sombong, kalau kami tak datang nyawamu telah terbang ke akherat. Pergilah mencari ayahmu dan jangan berlagak di rumah orang. Giok Cheng telah datang, kau tak berhak lagi tinggal disini!”

Sin Gak terkejut. Ia tentu saja tak tahu kemarahan gadis ini kepada ayahnya. Su Giok telah berusia dua puluh tujuh tahun dan tampak keras serta galak. Di bawah gemblengan Hek-i Hong-li gadis ini semakin galak saja, ia adalah suci (kakak seperguruan) Giok Cheng. Maka merasa berhak dan benci kepada Giam Liong, sesungguhnya diam-diam gadis ini menaruh kekecewaan berat kepada si Naga Pembunuh itu maka Sin Gak justeru terkejut dan merah mukanya, menoleh dan memandang gadis ini.

“Enci siapakah, kenapa bicara kasar dan tampak marah-marah kepadaku.”

“Hm, aku Su Giok, suci Giok Cheng. Aku tak senang kepada ayahmu dan kepadamu, Sin Gak. Ayahmu adalah orang sombong yang tentu tak jauh berbeda denganmu. Pergilah dan jangan di sini lagi, Giok Cheng telah kembali ke Hek-yan-pang!”

Sekali lagi Sin Gak terkejut. Tiba-tiba mukanya menjadi dingin dan gelap. Ia tak menyangka bahwa wanita ini adalah suci Giok Cheng, berarti murid Hek-i Hong-li pula. Dan merasa bahwa nenek itu bibi gurunya, ia menaruh hormat maka iapun tertawa dingin dan kekagumannya kepada Giok Cheng pun padam. Kalau sucinya sombong tentu sumoinya juga sombong!

“Aku ke sini sebenarnya mencari ayahku, bukan hendak menumpang dan berlindung di Hek-yan-pang. Kalau kau menganggap ayahku sombong tentu ada alasannya, Su Giok. Akupun dapat menganggapmu sombong dengan sikap dan kata-katamu ini. Baiklah aku pergi dan jangan harap bertemu kalian lagi.”

“Tunggu!” gadis itu membentak, Sin Gak sudah memutar tubuh. “Di mana aturan dan sopan-santunmu, Sin Gak. Begitukah ayahmu mengajar. Berapa usiamu hingga enak saja kau menyebut namaku!”

“Hm,” Sin Gak tertawa, dingin, matanya berkilat. “Orang dihormati bukan karena usia dan kedudukannya, Su Giok, melainkan oleh sikap dan sepak terjangnya. Kau adalah murid bibi Hek-i Hong-li, berarti aku suhengmu. Entah siapa yang tak tahu sopan santun kau ataukah aku!”

Gadis ini terkejut. Ia tentu saja tak tahu bahwa pemuda di depannya itu adalah murid Sian-eng-jin si Bayangan Dewa. Gurunya adalah sumoi dari kakek sakti itu. Dan karena kakek itu adalah uwa gurunya, supek maka tentu saja Sin Gak merupakan suhengnya. Pemuda itu lebih “tua” dilihat dari urutan perguruan! “Kau kau siapa? Kau murid yang mana?”

“Aku tak perlu memberi tahu. Sekedar pemberitahuan ini cukup. Nah, sekarang pergi dan biarlah kita tak usah bertemu lagi.” Sin Gak memutar tubuhnya berkelebat pergi, tertawa dingin dan tak menghiraukan tatapan kaget gadis baju merah itu dan Giok Cheng. Tapi begitu ia meloncat tiba-tiba Su Giok mengejarnya dan mencengkeram bahunya.

“Kau jangan mengada-ada, tunjukkan kepandaianmu dan biar kulihat... wut!”

Sin Gak mengelak. Dengan mudah ia berkelit, tak mau membalas. Tapi ketika dikejar dan gadis itu bertambah marah. membentak dan melengking tinggi maka kelima jari gadis itu bergerak ke bawah dan tahu-tahu belakang lutut pemuda ini dicengkeram. Sin Gak menjadi marah dan terganggu, ia membalik dan cepat mengayun lengan. Pek-mo-in-kang menyambar. Dan ketika gadis itu tergetar dan terdorong mundur, terbelalak maka gadis ini menjadi gusar dan berkelebat maju lagi, jari telunjuknya menusuk sementara ibu jari menyontek dan menyambar muka Sin Gak.

“Plak-plak!”

Sin Gak menjadi marah dan membalas juga. Ia menambah tenaganya hingga pukulannya semakin dingin. Tapi ketika gadis itu terpental dan menyerang lagi, berkelebat cepat akhirnya bayangan merah menyambar naik turun dan pemuda itu lenyap terbungkus bayangan lawan.

“Kau kiranya murid supek Sian-eng-jin. Bagus, kudengar tentang Pek-mo-in-kang yang dimilikinya, Sin Gak. Kau telah mempelajari ilmu itu. Marilah bertanding dan lihat murid siapa yang lebih lihai!”

Sin Gak marah. Ia membentak dan mengimbangi lawan berkelebatan cepat. Sian-eng-sut atau Ilmu Bayangan Dewa dikeluarkan, menyambar dan menangkis serta membalas gadis itu. Lalu ketika bayangan merah terpental oleh bayangan putih, kini tampaklah oleh pemuda itu di balik serangan-serangan lawan maka keduanya bertanding hebat dan Giok Cheng lah yang tertegun.

Sebenarnya, begitu mendengar bahwa pemuda sederhana berbaju putih ini adalah Sin Gak ia sudah merasa panas pipinya. Siapa yang tak tahu urusan jodoh itu. Ayah ibunya sudah bilang. Tapi ketika sucinya bertanding dan menghadapi pemuda itu, Sin Gak membalas dan ternyata pemuda itu adalah murid supeknya Sian-eng-jin maka diam-diam gadis ini menjadi bingung dan gelisah, apalagi ketika dua kali pukulan Sin Gak membuat sucinya terpental berjungkir balik. Dalam hal sinkang ternyata pemuda itu lebih unggul tak aneh karena Sin Gak telah memperoleh inti dari tenaga Awan Iblis yang memasuki tubuhnya.

“Heh, jangan sombong. Kau boleh mengeluarkan semua kepandaianmu, Sin Gak, dan jagalah sekarang balasanku. Kepandaianku adalah ini..... tar-tar!” Ikat pinggang meledak di udara, dicabut dan menyambar tapi Sin Gak mengelak.

Sama seperti Giok Cheng maka murid-murid Hek-i Hong-li ini memiliki kepandaian khas, yakni permainan senjata panjang itu. Dan ketika Su Giok melengking dan menyambar-nyambar, dari lengan Sin Gak keluar tenaga dorong yang membuat ia penasaran maka tampak bahwa dalam kepandaian pemuda ini dapat mengatasi lawannya, kokoh dan lebih kuat!

Giok Cheng kagum. Mau tak mau ia menjadi begitu penuh perhatian memandang jalannya pertandingan ini. Hawa dingin yang menyambar dari lengan pemuda itu kian kuat saja, akhirnya mendorong mundur murid-murid Hek-yan-pang dan Giok Cheng sendiri harus mengerahkan sinkangnya bertahan. Lama-lama ia menjadi beku oleh sambaran angin pukulan pemuda itu, padahal Sin Gak belum mengeluarkan semua tenaganya. Dan ketika tampak bahwa pemuda itu tak dapat didesak.

Sian-eng-sut atau Bayangan Dewa dapat mengatasi kecepatan lawan maka Pek-mo-in-kang mampu menghalau semua serangan-serangan ikat pinggang panjang itu, hal yang membuat gadis baju merah melengking-lengking dan memperhebat serangannya, namun Sin Gak menjaga diri dengan rapat. Dorongan angin pukulannya membuat ujung senjata lawan terpental, bahkan membalik dan menyambar tuannya sendiri. Dan ketika gadis itu menjadi marah dan penasaran maka Giok Cheng diteriaki agar maju membantu.

“Tak pantas kau melihat sucimu di buat malu orang. Maju dan bantu aku, Giok Cheng, jangan menonton saja. Atau aku menghajarmu nanti!”

Giok Cheng panas mukanya. Sebenarnya, kalau ia mau jujur maka kesalahan terletak pada sucinya ini. Sucinya itulah yang bersikap kasar dan keterlaluan, Sin Gak tak bisa disalahkan. Maka berseru bahwa biarlah pemuda itu pergi, tak guna membuang tenaga ternyata seruan gadis ini membuat sucinya meledak marah.

“Kau tak mau membantuku? Kau tergila-gila kepada calon jodohmu ini? Heh, ia tak pantas untukmu, Giok Cheng, sombong seperti ayahnya. Masih banyak pemuda lain dan jangan tergerak oleh ketampanannya!”

Wajah gadis ini terbakar. Ia malu bukan main oleh kata-kata sucinya itu, juga marah. Maka membentak dan berkelebat maju apa boleh buat ia menyerang Sin Gak. “Baiklah, ini sekedar kesetiaanku sebagai saudara muda, suci. Tapi betapapun kau juga tak benar. Kau yang mengganggunya terlebih dahulu, seharusnya malu kita mengeroyoknya!”

“Heh, jangan banyak cakap. Ia bakal membuat malu kita berdua. Robohkan dan bunuh dia!”

Sin Gak tertawa dingin. Tahulah dia sekarang watak dua gadis ini. Giok Cheng, puteri pamannya Han Han itu ternyata lebih halus. Sebenarnya ia mulai tergetar oleh sikap dan kata-kata gadis ini. Tapi karena ia terus diserang dan lawan semakin kalap, ia harus, bergerak lebih cepat maka datangnya Giok Cheng membuat ia tertekan.

“Plak-plak!”

Ia tergetar dan terdorong mundur. Dari kiri ia menangkis Giok Cheng sementara dari kanan menyambar pukulan Su Giok, ia membagi tenaga dan akibatnya iapun terhuyung. Dan ketika Giok Cheng terpaksa membantu sucinya menghindar kata-kata yang membuat telinganya merah maka Sin Gak tentu saja terdesak dan pemuda inipun marah.

Namun dua gadis itu sudah berkelebatan menyerang dari delapan penjuru. Giok Cheng tak mengeluarkan senjatanya namun cukup berat bagi Sin Gak untuk bertahan, betapapun yang dihadapi adalah murid-murid Hek-i Hong-li yang lihai. Dan ketika pemuda ini terdesak dan terus tertekan, dua kali senjata Su Giok menyengat tubuhnya maka berkelebat bayangan lain membentak lawan-lawan Sin Gak ini.

“Tak tahu malu, dua lawan satu. Cih, mana kegagahan dan muka kalian, tikus-tikus busuk. Lepaskan pemuda ini atau aku membelanya!”

Giok Cheng dan Su Giok terkejut. Menyambar bagai walet lincah masuklah di situ seorang gadis cantik berpakaian hitam putih. Rambut yang dikepang dua itu menyambar ke kiri kanan menghantam mereka, lurus kaku bagai tombak-tombak pendek. Dan ketika mereka menangkis dan sama-sama terpental, tentu saja kaget maka Sin Gak tertegun karena itulah gadis di kota Ceng-kiang, gadis yang memiliki Bu-bian-kang dan telah bertanding hebat dengannya.

“Kau..?!”

“Ya, aku. Maaf tak dapat kudiamkan ketidakadilan berjalan di sini dan mari kita hadapi mereka!” Gadis itu berkelebatan dan menyerang lawan-lawannya lagi.

Sin Gak terbelalak dan masih tertegun dan ia tak melihat betapa wajah Giok Cheng terbakar. Pipi halus yang kemerah-merahan itu mendadak menjadi hitam. Giok Cheng mendengar dan melihat percakapan dua orang muda itu. Dan karena mereka tampaknya sudah kenal baik dan suara gadis itupun terdengar manja dan genit, begitu menurut Giok Cheng maka tiba-tiba saja gadis ini menjadi cemburu dan marah!

"Kau siapa dan kenapa ikut-ikutan di sini. Ini rumahku, tempat tinggalku. Kau siluman betina dari mana yang berani mengacau tempat orang!” Giok Cheng mencabut senjata dan berubah sikap. Kalau tadi lemah lembut dan masih halus maka sekarang perobahan mendadak terjadi dengan cepat. Gadis ini menggerakkan ikat pinggangnya menyambar lawan, menotok dan menuju pinggang akan tetapi gadis baju hitam putih itu terkekeh. Tawanya mengejek, membuat Giok Cheng semakin terbakar saja. Dan ketika gadis itu mengibaskan rambutnya dan bertemu ikat pinggang, sama-sama terpental maka pertandingan tiba-tiba pecah karena Giok Cheng sudah menghadapi gadis ini.

“Plak-plak!”

Dua gadis itu sama-sama terhuyung. Giok Cheng marah dan menyerang lagi namun lawan tak mau diam, iapun membalas dan meledak atau menggerakkan rambutnya itu. Dan ketika dua gadis ini bertanding cepat sementara Sin Gak tertegun menghadapi Su Giok, gadis ini juga marah dan terbelalak di sana maka tampaklah bahwa Giok Cheng masih seusap di bawah gadis baju hitam putih itu.

“Hi-hik, kepandaianmu belum sempurna. Ayo belajar dan tingkatkan lagi dan baru menghadapi aku.... plak-plak!” rambut mementalkan ikat pinggang dan senjata itu membalik menyambar muka Giok Cheng sendiri.

Sekejap mereka sudah saling tangkis dan serang-menyerang namun tampak bahwa Giok Cheng terpental mundur. Ia kalah tenaga. Dan ketika gadis itu melengking marah dan mempercepat serangannya maka di sana Sin Gak menghalau serangan-serangan Su Giok dan Pek-mo-in-kangnya kembali membuat gadis itu penasaran.

Kini empat orang ini disibukkan perasaan berlain-lainan. Su Giok, yang tak mampu mendesak Sin Gak dan jelas bahwa pemuda itu tak mengeluarkan semua kepandaiannya dibuat penasaran dan marah di samping malu. Ia tak tahu bahwa Sian-eng-jin telah menggembleng pemuda ini melebihi Hek-i Hong-li menggembleng dirinya. Nenek itu masih ragu memberikan semua kepandaiannya, tidak seperti kakek itu yang bahkan membantu mendapatkan inti tenaga Pek-mo-in-kang kepada Sin Gak. Mewarisi tenaga ini sama dengan mewarisi sinkang tiga puluh tahun yang dilatih seseorang.

Itulah sebabnya Sin Gak lebih kuat dan daya tahannya juga tinggi, tidak seperti dua gadis itu karena Hek-i Hong-li sendiri sesungguhnya baru menurunkan sembilan bagian saja dari ilmunya. Nenek itu masih pelit. Maka ketika Giok Cheng maupun Su Giok tak mampu mendesak lawan, bahkan Giok Cheng tertekan dan sibuk menghindari serangan-serangan lawan maka di pihak lain Su Giok juga terdesak dan terpental oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang dikeluarkan Sin Gak.

Lain Su Giok lain pula Giok Cheng. Gadis ini, yang melihat datangnya gadis baju hitam putih sudah dibuat cemburu dan panas ketika Sin Gak dan temannya sudah saling kenal. Ia tiba-tiba dibakar perasaan tak keruan melihat bakal kekasihnya itu bicara dengan gadis hitam putih ini. Kemarahannya semakin meledak setelah ia terpental berkali-kali oleh rambut hitam tebal itu. Dan karena ia menjadi marah dan mempercepat serangan maka gadis baju hitam ini sendiri tertawa berkelebatan mengelak dan membalas, hal yang membuat Giok Cheng terbakar!

Kalau saja gadis baju hitam ini tak datang sebenarnya Giok Cheng hendak membiarkan Sin Gak pergi. Secara diam-diam dan tak kentara ia akan memberi lubang kesempatan kepada pemuda itu. Biarlah Sin Gak pergi dan lain kali mereka bertemu lagi. Betapapun ia terkejut dan girang bahwa calon jodohnya itu murid Sian-eng-jin, supeknya. Tapi begitu gadis baju hitam muncul dan Sin Gak tampak akrab maka kecemburuannya tak dapat dicegah lagi dan mendadak ia ingin menangkap dan tidak membiarkan Sin Gak pergi. Ia akan mencari tahu sampai seberapa jauh hubungan pemuda itu dengan gadis baju hitam ini!

Akan tetapi yang dihadapi Giok Cheng adalah murid si Naga Berkabung. Gadis itu mempergunakan Bu-bian-kangnya untuk menghadapi lawan sementara Giok Cheng maupun Su Giok tak mendapatkan ini dari subo mereka. Hek-i Hong-li menyimpan ilmu itu untuk diri sendiri. Maka ketika Giok Cheng merasa silau oleh bayangan lawan, juga pukulan-pukulannya terpental bertemu lawan maka Kim-kong-ciok atau ilmu Arca Emas membuat gadis baju hitam ini, Bi Hong, terlalu tangguh bagi Giok Cheng. Perlahan tetapi pasti ia terdesak, ikat pinggagnya banyak tak berdaya menghadapi gadis baju itu. Dan ketika satu kali senjatanya membalik bertemu Arca Emas, ia terkejut maka lawan tertawa menggerakkan lengan kiri mengebut mukanya.

“Robohlah!”

Itulah Kian-kun-siu (Lengan Baju Sapu Jagad). Jari gadis ini menampar sementara lengan bajunya bergerak mendahului. Giok Cheng berkelit namun rambut mencegat dari kiri. Dan ketika ia menangkis namun terpelanting, pucatlah gadis itu maka Su Giok juga terbanting oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang amat kuat.

“Desss!”

Dua gadis itu terguling-guling. Su Giok yang marah dan meloncat bangun lagi mulai gentar menghadapi Sin Gak. Pemuda ini kuat sekali sinkangnya. Tapi karena mundur berarti malu, ia akan bertempur sampai mati maka gadis itu menyerang lagi dan Giok Cheng juga seperti sucinya itu, bangun dan meledak-ledakkan lagi senjatanya.

Kau atau aku yang mampus!”

Bi Hong tertawa. Sebenarnya harus di akui bahwa Giok Cheng adalah lawan yang kuat. Hanya karena ia memiliki Bu-bian-kang dan gadis itu tidak maka ia di atas angin. Maka ketika gadis itu menyerang lagi dan ia berkelebat melepas Kian-kun-siu maka lagi-lagi Giok Cheng terpelanting dan kaget serta marah.

Hal ini dilihat Sin Gak. Setelah ia menghadapi Su Giok dan masing-masing mendapat lawan maka Sin Gak melihat pertandingan itu. Sebenarnya, teringat pertemuannya dengan gadis baju hitam itu Sin Gak menaruh rasa marah. Ia masih penasaran dan ingin bertanding lagi. Tapi ketika lawan tahu-tahu datang dan membantu dirinya, hilanglah kemarahannya maka iapun bingung melihat Giok Cheng terdesak, apalagi setelah pakaian dan wajah gadis itu kotor kena debu.

Sin Gak menjadi kasihan. Setelah dua gadis itu bertanding sulitlah baginya membela satu pihak. Ia telah tahu bahwa masing-masing adalah saudara seperguruan, bahkan kalau diurut secara “pangkat” maka gadis baju hitam itu adalah sucinya, kakak seperguruan. Tapi karena ia tak senang dengan sebut-menyebut ini, seperti juga ia tak akan bersombong dianggap suheng maka mulailah Sin Gak berpikir meninggalkan saja tempat itu. Dan begitu ia menetapkan keputusan iapun membentak dan menghalau lagi serangan Su Giok.

“Enci, kau tak dapat menahanku di sini, cukup kita main-main. Biarkan aku pergi dan ingat bahwa kita masih sama-sama saudara seperguruan!”

Gadis itu terpekik. Sin Gak menambah tenaganya hingga hawa dingin menusuk tulang. Giginya berketrukan. Dan ketika ia mengelak namun terdorong juga, akhirnya melempar tubuh bergulingan Sin Gak pun tak membuang-buang waktu lagi berkelebat ke arah gadis baju hitam putih itu, menarik tangannya.

“Cukup, tak usah main-main lagi di sini. Mari kita pergi dan jangan hiraukan mereka!”

Gadis ini terkejut. Saat itu melepas Kian-kun-siu mendorong Giok Cheng, rambutnya meledak menghalau ikat pinggang. Maka ketika Sin Gak tahu-tahu berkelebat menarik tangannya dan menotok pergelangan, melumpuhkan serangannya maka ia pun menjerit dan marah. Giok Cheng terhuyung. Dan karena gerakan Sin Gak amat cepat dan tak diduga-duga, iapun tertangkap maka pemuda ini menarik lengannya dan sudah dibawa pergi.

“Lepaskan!” Sin Gak tak mau. “He, lepaskan tanganku, Sin Gak. Biar kuhajar gadis itu lagi!”

Sin Gak tertegun, namun berkelebat dan meninggalkan pulau. “Kau tahu namaku?”

“Aku sudah ada di sini sejak Majikan Hutan Iblis itu datang. Tapi dua gadis siluman itu mendahului, aku menunggu di belakang!”

“Hm, begitukah'? Baik, kalau begitu semakin banyak pertanyaanku. Jangan hiraukan mereka dan mari kita pergi!”

Gadis itu meronta namun Sin Gak mempererat cengkeramannya. Ia menindas debaran hatinya menekan kulit lengan yang lembut. Dalam keadaan biasa tentu pemuda ini tak akan melakukan itu. Dan ketika gadis ini marah-marah dan menamparnya, Sin Gak tetap berlari akhirnya gadis ini terisak membiarkan pemuda itu membawanya keluar pulau.

Sin Gak membuang sisa Pat-gen-sin-hoat-sutnya. Ia merasa tak ada perlunya lagi menggunakan ilmu itu, lawan telah pergi. Dan karena di Hek-yan-pang telah ada Giok Cheng dan Su Giok, ia tak menghiraukan panggilan Cu Pin maka Giok Cheng merah padam meloncat bangun, gemetar dan menangis melihat betapa Sin Gak membawa lari gadis baju hitam putih itu. Pegangan yang dirasa Giok Cheng sebagai genggaman mesra seorang pria terhadap wanita!

“Dia... dia akan kubunuh. Keparat mereka berdua itu!”

“Dan gadis siluman itu mampu menghadapi kita. Ah, rupanya subo bersikap tak adil, Giok Cheng, ada sesuatu yang tak beres di sini. Kita tak mampu mengalahkan Sin Gak!”

Giok Cheng tersedu-sedu. Akhirnya setelah Sin Gak lenyap dan ia tak mampu mengejar, perasaannya tertusuk-tusuk melihat pemuda itu menggandeng orang lain maka gadis ini menaruh kebencian yang dalam. Tiba-tiba saja ia begitu marah kepada pemuda itu, tiba-tiba saja ia benci kepada perjodohan yang diikatkan ayah ibunya kepadanya. Maka ketika ia berkelebat dan masuk kedalam, Su Giok menyusul dan merah mukanya maka dua gadis ini dibakar kemarahannya sendiri-sendiri.

Su Giok tentang penasarannya kepada Sin Gak itu. ia akan melapor gurunya dan protes. Dan karena malam itu kebetulan saja ia datang, mengantar sumoinya ini kembali ke orang tuanya maka malam itu di Hek-yan-pang Su Giok justeru mendengar bahwa Ju-taihiap dan anak menantunya pergi lama sekali. Di sini gadis baju merah ini tertegun. Ia mengerutkan kening namun sekejap kemudian tak perduli. Sesungguhnya ia tak begitu berurusan dengan Hek-yan-pang, yang berkepentingan adalah sumoinya.

Maka ketika keesokannya ia berpamit dan menemui sumoinya itu, hendak kembali kepada gurunya maka gadis itu berkata bahwa mereka berpisah saja. Giok Cheng masih membendul dan sakit hatinya.

“Lihat, keturunan orang she Sin itu memang sombong dan betul-betul tak perlu dibaiki. Enak saja ia memegang-megang tangan orang lain di depan kekasihnya sendiri. Orang seperti itu tak perlu dipikirkan lagi, Giok Cheng, lain kali ambil perhitungan lagi. Aku hendak kembali kepada subo, melapor. Aku penasaran akan kejadian ini dan bagaimana kita tak mampu menghadapi lawan-lawan kita, bukankah subo mengatakan bahwa di antara subo dan paman-paman guru setingkat. Kau carilah orang tuamu dan cukup kuantar sampai sini!”

Giok Cheng mengangguk. Memang kebetulan saja kalau malam tadi ia bertemu Sin Gak. Mereka mendengar lolong srigala dan ribut-ribut, datang dan melihat itu tapi yang lebih menyakitkan adalah hadirnya gadis hitam putih itu. Ia masih tak tahu siapa gadis ini. Dan karena ayah ibunya tak ada di situ, ia akan mencari sendiri maka ia bangkit dan mengantar sucinya itu, mengusap airmata.

“Suci tak perlu melaporkan pemuda itu, maksudku keberadaannya dengan gadis baju hitam itu. Aku pribadi tak akan melupakan ini, suci, akan kucari ayah ibuku dan kuminta agar tali perjodohan diputus. Aku benci Sin Gak, aku benci kelakuannya!”

“Dan seperti itulah ayahnya dulu. Ayahnya juga gampang menyakiti hati wanita, Giok Cheng, tak akan kulupa peristiwa itu. Sudahlah betul kata subo bahwa laki-laki adalah mahluk yang menyebalkan. Kita berpisah!”

Giok Cheng mengangguk. Sucinya berkelebat dan meninggalkan Hek-yan-pang sementara gadis ini masih termangu-mangu di situ. Apa yang terjadi ini disaksikan pula oleh Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-pang yang lain. Dan ketika semua menjadi terkejut dan berdebar tak enak, ikatan jodoh benar-benar terancam hancur maka sehari setelah membuang risaunya di situ Giok Cheng pun meninggalkan Hek-yan-pang. Menurut Cu Pin ibu dan ayahnya berada di Kun-lun atau Lam-hai!

* * * * * * * *

Sin Gak berhenti di tengah hutan itu. Kini ia melepaskan pegangannya sementara pipinya bengap kiri kanan. Dua kali ia ditampar gadis itu. Dan ketika masing-masing berhadapan dan gadis itu bersinar-sinar, marah maka Sin Gak justeru sebaliknya dan bersikap lembut, menarik napas dua kali.

“Maafkan aku, tapi kita sekarang bebas. Nah, lampiaskan marahmu kepadaku dan kali ini aku benar-benar tak menghalangimu.”

Gadis itu maju, berkacak pinggang. “Sin Gak, apa kewenanganmu hingga berani memegang-megang tanganku? Siapa suruh kau begitu lancang? Tahukah kau bahwa belum pernah seumur hidupku orang lain memegang-megang aku? Apakah kau minta mampus?”

“Hm, aku sudah minta maaf, boleh di tampar kalau masih kurang. Aku tak bermaksud menghina atau menyakitimu, nona. Aku tak mau kita bertempur sendiri sesama saudara seperguruan. Aku justeru hendak bertanya murid siapakah kau ini. Siapakah namamu dan maukah kau berterus terang.”

“Terus terang tentang apa. Bukankah kau tahu!”

“Aku hanya tahu sebagian saja, menebak-nebak. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu itu aku mulai menduga bahwa kau murid supek Song-bun-liong. Benarkah ini dan sekarang siapa namamu. Kau sudah tahu aku.”

“Hm-hm, aku Bi Hong. Karena tebakanmu benar biarlah kujawab itu. Sekarang apa maumu dengan membawaku ke tengah hutan ini. Kau sudah mengajakku menjauhi gadis-gadis siluman itu!”

“Bi Hong? Hm, nama yang bagus. Aku ingin bertanya lagi. Bagaimana kau ada di sana dan tiba-tiba muncul.”

“Aku berurusan dengan Majikan Hutan Iblis itu!”

“Dan kau tidak muncul setelah dia datang?”

“Eh, aku melihat dua bayangan gadis-gadis siluman itu, Sin Gak. Kusangka mereka temannya!”

“Apa urusanmu dengan Majikan Hutan Iblis itu?”

“Dan apa keperluanmu mengetahui ini?”

Sin Gak tersenyum. Berhadapan dan bercakap-cakap dengan gadis baju hitam ini ternyata membuka mata hatinya bahwa sesungguhnya gadis di depannya ini kocak dan pandai bicara. Dulu ia menganggap buruk ketika gadis ini menculik Lauw-lopek, menyangka yang bukan-bukan. Tapi ketika gadis ini malah menolong dan menyembuhkan kakek itu, ia mulai tertarik maka di bawah bulan purnama di tengah hutan itu ia semakin kagum. Gadis ini lincah dan sesungguhnya periang.

“He, jangan melotot saja tak menjawab pertanyaan orang. Sekarang apa perlumu mengetahui urusan pribadiku!”

“Aku merasa tak begitu perlu,” Sin Gak akhirnya jujur menjawab. “Hanya aku merasa heran kenapa kau seakan mengikuti perjalananku.”

“Heh? Mengikutimu? Jangan sombong! Aku tak merasa mengikutimu, Sin Gak, justeru akulah yang heran ketika kau menuju Hek-yan-pang. Aku tak mengira kau berurusan pula dengan manusia iblis itu!”

“Baiklah, rupanya kita bersamaan.”

“Tidak, kau katanya mencari orang tuamu!”

“Hm,” Si Gak menarik napas, pandang matanya tiba-tiba redup. “Kau benar, Bi Hong dan aneh bahwa kau cukup banyak tahu tentang aku. Di Hek-yan-pang aku gagal, malah bertemu Majikan Hutan Iblis itu."

“Aku tahu karena kebetulan saja aku mendengar, dan tak kusangka bahwa kau adalah putera si Naga Pembunuh!”

Sin Gak mengerutkan kening. Kata-kata gadis ini terdengar agak mengejek, ia tak senang. Tapi ketika gadis itu mengibaskan rambut dan gerakan ini tampak begitu mempesona, ia terpaku maka gadis itu bergerak memutar tubuh, meloncat pergi.

“Kupikir pertemuan ini cukup, kumaafkan perbuatanmu tadi. Sudahlah kita berpisah dan aku tak ingin membantumu lagi!”

Sin Gak hendak memanggil. Ia siap menggerakkan lengan dan mengejar ketika tiba-tiba ia tertegun kepada dirinya sendiri. Ada apakah ia hendak memanggil dan mendekati gadis itu? Bukankah gadis itu tampak tak senang setelah mengetahui siapa ayahnya? Maka berhenti dan tak jadi bergerak pemuda inipun mematung di situ, sampai tiba-tiba ia membalik dan secepat kilat menerkam seseorang di balik gerumbul dedaunan.

“Siapa kau!”

Orang itu kaget. Ia berseru memanggil Sin Gak dan pemuda ini terkejut karena itulah Ke Ke Cinjin. Tosu ini bersembunyi dan merangkak di gerumbul dedaunan. Ia meringis tengkuknya dicengkeram. Dan ketika Sin Gak melepaskan cengkeramannya dan tosu ini menggeleng-geleng kepala, membuang rasa sakit maka tosu itu minta maaf dan buru-buru memberi hormat.

“Maaf, pinto tak sengaja. Pinto mengikutimu setelah kau meninggalkan Hek-yan-pang. Pinto melihat pertandinganmu yang mengagumkan itu, Sin-hiante, dan kau kiranya putera si Naga Pembunuh Giam Liong. Ah, pantas, kau hebat sekali!”

“Totiang melakukan apa,” Sin Gak tak senang juga. Kenapa bersembunyi dan ada di sini.”

“Aku mengikutimu ke Hek-yan-pang, tapi bersembunyi diluar saja. Dan karena gadis itu tiba-tiba datang dan pinto takut, maka pinto bersembunyi dan mengintai saja.”

“Hm, aku tak berurusan dengan Hek-yan-pang lagi. Aku hendak pergi dan mencari ayahku, totiang. Agaknya kita tak dapat bersama-sama.”

“Tunggu!” tosu itu berseru. “Aku tahu di mana ayahmu berada, hiante. Kalau dulu kutahu siapa dirimu ini tentu kuberitahukan di mana ayahmu itu. Ia bersembunyi di sebuah tempat!”

“Kau tak bohong?” Sin Gak tertegun.

“Wah, apakah pinto juga bohong memberitahu Hek-yan-pang ini? Pinto memberimu ancer-ancer, hiante, dan kau menemukan itu. Kalau pinto bohong masa kau menemukan Hek-yan-pang!”

“Baiklah,” Sin Gak mangangguk. “Di mana ayahku itu coba totiang katakan.”

“Sebaiknya pinto mengantarmu ke sana, tempatnya rumit dan tidak sembarang orang tahu. Bukan maksudku agar bersama-sama denganmu, anak muda, melainkan karena tempat itu sukar diketahui orang. Ayahmu bertapa...!”

Tapak Tangan Hantu Jilid 25

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 25
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“HM!” itu saja yang keluar dari mulut Sin Gak. “Lalu apa lagi?”

“Banyak, kongcu, tapi agaknya kau harus melihat sendiri. Kami para murid wanita menjadi ketakutan kalau sudah tertangkap iblis itu. Ia kejam dan tak berperasaan!”

Sin Gak mencorong matanya. Ia sudah mendengar cukup banyak dan teringat pesan gurunya, bahwa ia harus membela yang lemah membantu yang perlu ditolong. Setelah ia tiba di Hek-yan-pang dan mendengar kisah dirinya sesungguhnya ia merasa rindu dan ingin bertemu ayahnya itu. Jadi ia adalah putera Giam Liong, si Naga Pembunuh. Dan berkerut kenapa ayahnya berjuluk seperti itu, ia merasa heran akhirnya ia bertanya apa yang sebaiknya dilakukan disitu.

”Baiklah, sudah kudengar semua. Lalu bagaimana selanjutnya menurut bibi. Apakah kita mencari iblis itu atau menunggu saja di sini.”

“Kongcu sendiri bagaimana, kami menyerahkannya kepadamu!”

“Hm,” Sin Gak berpikir sejenak. “ sebenarnya aku pribadi hendak mencari dan menemukan ayahku, bibi. Tapi karena jelek-jelek ia putera Hek-yan-pang baik kutunda maksudku dan kubela perkumpulan ini. Aku akan mencari iblis itu!“

“Kalau begitu kami gembira, kongcu tak usah pergi!”

“Maksudmu?”

“Setiap bulan purnama iblis itu datang ke mari, kongcu, kami cerai-berai di saat ia datang. Ia dapat kau temui karena pasti datang ke mari!”

“Begitukah? Baik, dan kapan bulan purnama itu, dan apa perlunya ia datang ke mari.”

“Ia datang untuk memperkuat ilmu hitamnya, dan segerombolan srigala akan selalu menyertai!”

“Tapi siapa yang berani tinggal di pulau. Kami terutama wanita akan lari, kongcu. Ia menghisap dan menyedot habis darah korbannya!

Sin Gak terkejut. ia memandang pembicara ini dan yang lain serentak menggigil, Cu Pin juga mengangguk. Dan ketika pemuda itu bertanya lebih lanjut maka murid wanita Hek-yan-pang ini gemetar bicara.

"Ia mencari wanita dan menangkap seorang di antara kami. Kalau sudah tertangkap maka korban akan digigit dan dihisap tengkuknya. Ia memperkuat ilmu hitamnya di saat bulan purnama, dan kami pasti menyingkir sebelum hari itu!”

“Baiklah, benar-benar keji. Akan kulihat dan kuhadapi iblis itu, bibi, tak usah kalian takut. Sekarang katakan berapa hari lagi saat bulan purnama itu.”

“Empat hari lagi.”

“Hm, cukup bagiku. Ada berapa wanita di sini dan kalian dekat-dekat saja denganku. Jangan pergi jauh. Mulai hari ini aku akan menyiapkan sesuatu dan kalian tenang-tenang sajalah. Aku melindungi!”

Sin Gak bangkit dan bersinar-sinar. Akhirnya ia menyuruh orang-orang itu tenang dan minta mereka membersihkan gedung itu. Ada tujuh wanita di situ termasuk Cu Pin, yang lain adalah laki-laki. Dan karena pemuda ini telah membuat pagar gaib di mana orang tak dapat masuk atau keluar seenaknya, akhirnya di ruangan itulah mereka berkumpul maka menunggu bulan purnama itu Sin Gak duduk bersila memperkuat getaran batinnya sementara diam-diam di sudut utara ia memberikan celah agar Majikan Hutan Iblis itu datang dan dapat masuk. Atau siapapun tak dapat mendekati pulau itu karena ia telah memasang Pat-gen-sin-hoat-sut (Pagar Sihir Delapan Penjuru Bumi) yang amat kuat!

* * * * * * * *

Bulan purnama itu datang. Langit terlihat cerah dan menyenangkan di mana sinar bulan yang keemasan menyapu permukaan bumi dengan amat indahnya. Bintang bertaburan merata dan jengkerik serta binatang malam bernyanyi riang. Tak ada tanda-tanda bahwa malam akan berlangsung secara menyeramkan. Yang terjadi justeru pemandangan indah yang penuh pesona, warna keemasan di pucuk-pucuk daun dan angin sepoi lembut mengiring bagai musik ringan. Di saat seperti itu yang terasa adalah kedamaian dan rasa bahagia, bersuasana romantis dan empat pasangan dari murid-murid Hek-yan-pang bahkan saling peluk dan menghibur.

Malam memang terasa begitu indah sehingga pasangan-pasangan ini lupa bahwa di balik itu akan terjadi sebuah tragedi. Mereka terbawa dan hanyut oleh gesekan lembut angin malam, terbuai warna keemasan dari sinar bulan yang menyapu pucuk-pucuk dedaunan. Bahkan permukaan bumi sendiri terasa begitu segar dan indah. Dan karena mereka percaya akan kesaktian Sin Gak, pagar gaib yang disebarkannya ke sekeliling pulau maka mereka merasa begitu aman karena selama beberapa hari ini mereka merasakan ketenangan dan keamanan yang meyakinkan. Bahkan para srigala itu tak kedengaran suaranya lagi sejak diusir dan dihajar Sin Gak.

Pat-gen-sin-hoat-sut memang ilmu gaib yang istimewa. Ilmu ini berdasarkan kekuatan batin untuk melindungi diri, juga dapat untuk melindungi orang lain di balik sebuah bangunan. Sekali terpasang orangpun tak dapat masuk, kecuali mereka yang memiliki kesaktian berimbang atau pemilik ilmu ini melepaskan sebuah celah untuk dimasuki.

Dan karena ilmu ini dapat menimbulkan ketenteraman dan rasa aman bagi yang dilindungi, pelawan atau penghancur ilmu sirep maka orang yang berada di dalam ilmu ini bagai berada di tengah taman istana yang sekelilingnya penuh pengawal. Berlindung di balik ilmu ini sama dengan berlindung di sebuah istana yang dijaga berlapis-lapis. Semutpun tak dapat masuk!

Akan tetapi berkelebat sebuah bayangan. Empat pasangan lelaki-perempuan yang sedang berasyik-masyuk terbuai alam indah mendadak dikejutkan sebuah bentakan. Cu Pin, wanita Hek-yan-pang itu tahu-tahu berdiri di situ, di tengah taman bunga. Lalu ketika empat pasangan ini terkejut melompat bangun maka wanita ini berseru bahwa siapapun tak boleh meninggalkan ruangan.

“Kalian tak tahu diri, siapa memerintahkan keluar. Ayo masuk dan berkumpul di dalam, jangan diluar!”

“Kami merasa bahagia,” satu dari empat orang itu berkata, membantah. “Malam ini suasana begini romantis, enci. Bulan bersinar dengan amat indahnya. Kami tak takut karena ada Sin-kongcu di sini!”

“Tak tahu bahaya. Sudah kubilang bahwa siapapun tak boleh keluar, A-thai, tidak ingatkah kalian bahwa kita tak boleh jauh-jauh dengan Sin-kongcu. Masuk, atau aku melapor ke dalam!” wanita itu membentak.

“Baiklah, maaf. Kami hanya ingin menikmati sebuah suasana lain di malam bulan purnama ini. Kami tentu saja tak membantah Sin-kongcu,” dan masuk serta menggandeng pasangannya murid itupun tak banyak bicara, disusul yang lain dan wanita itupun berkelebat mendahului.

Malam itu memang suasana amat menyejukkan dan nikmat sekali bagi pasangan-pasangan baru untuk bercengkerama, apalagi bagi mereka yang sudah bertahun-tahun ini tak memperoleh ketenangan. Malam seperti itu rasanya tak ingin dilewatkan begitu saja. Pengaruh Pat-gen-sin-hoat-sut demikian tinggi. Tapi karena Cu Pin adalah pimpinan di situ dan semua harus tunduk, wanita inilah yang berkepandaian paling tinggi maka adik-adiknya menurut dan di ruangan dalam itu berkumpul saudara-saudara yang lain memandang mereka.

Sin Gak, yang masih bersila tampak tenang di sudut. Empat hari ini pemuda itu tak membuka mata dan membuat murid-murid kagum. Napas pemuda itu yang halus hampir tak kentara. Semacam hawa menyejukkan keluar dari tubuh pemuda ini. Dan ketika empat pasangan itu masuk dan duduk bergandengan mesra, memandang pemuda itu dengan wajah penuh kepercayaan maka Sin Gak sendiri merasakan sesuatu yang mulai tidak wajar.

Mula-mula adalah tiupan angin dingin. Angin ini berkesiur lembut dan menyentuh bulu-bulu halus sampai meremang. Orang tak akan merasa ketika tahu-tahu bulu di tubuhnya berdiri. Lalu ketika tiupan angin dingin itu juga disusul hawa aneh yang membuat mata merasa kantuk, keinginan tidur tiba-tiba merayap di situ maka para murid termasuk empat pasangan itu mulai menguap!

Tak ada yang sadar ini kecuali Cu Pin. Wanita itu, sebagai murid tertua Hek-yan-pang yang sudah berkali-kali menerima serangan segera terkejut oleh tanda-tanda tidak wajar ini. Bulan purnama naik semakin tinggi dan diam-diam wanita ini berdebar. Menurut kebiasaan, seperti yang sudah-sudah maka akan terdengar gonggong srigala disusul raung dan lolong riuh. Kalau sudah begitu maka hatipun bakal dicekam ketegangan. Siapapun menjadi seram.

Namun karena tak ada lolongan riuh dan empat hari ini suara srigala juga tak pernah kedengaran lagi, pagar yang dipasang Sin Gak benar-benar membangkitkan kepercayaan maka wanita cantik berusia tigapuluhan tahun ini lega akan tetapi kesiur angin dingin itu membuatnya gelisah. Apalagi ketika murid-murid di situ menguap dan jatuh tertidur.

“Kongcu!” Cu Pin berkelebat dan memanggil Sin Gak. Berturut-turut empat pasangan dan lain-lainnya roboh. Kesiur angin lembut itu begitu menyejukkan hingga membuat bulu mata tertutup. Dalam keadaan seperti itu nikmat benar rasanya tidur! Maka ketika wanita ini terkejut karena iapun tiba-tiba mengantuk, Sin Gak diam saja tak bergerak akhirnya wanita ini terguncang dan menepuk bahu pemuda itu.

“Kongcu...!”

Sin Gak membuka mata. Aneh, bertemu dengan sepasang mata pemuda ini mendadak kantuk wanita itu lenyap. Mata yang mencorong itu memasukkan tenaga sakti, dingin namun kuat dan justeru membuyarkan hawa dingin pengaruh sirep. Sin Gak memang sengaja membuka bagian utara dari ilmunya Pat-gen-sin-hoat-sut agar musuh dapat masuk, termasuk ilmu sirep berhawa dingin sejuk itu. Maka ketika ia ditepuk dan Cu Pin hampir roboh, pemuda ini membuka mata maka dengan sepasang matanya itu ia melenyapkan pengaruh sirep dan wanita itupun merasa segar kembali.

“Mereka... mereka....!” wanita ini masih menggigil, menuding. “Saudara-saudaraku yang lain itu ah, mereka tertidur, kongcu. Musuh mulai datang!”

“Tenanglah,” Sin Gak tersenyum, mengangguk. “Aku sudah tahu, bibi. Hanya katamu biasanya didahului gonggongan srigala.”

“Benar, tapi...tapi ini tidak. Biasanya memang begitu, kongcu, srigala akan riuh rendah menakutkan kita. Tapi pengaruh ilmu hitam mulai masuk. Aku merasakan itu!”

“Tenanglah, aku sengaja membuka satu lubang. Duduk dan bersamadhilah di situ, bibi. Pertahankan kekuatanmu untuk tidak meninggalkan ruangan ini. Tutup dan tulikan telinga dan jangan dengarkan apa-apa.”

“Dan mereka itu?”

“Akan kusadarkan nanti, pada saatnya. Biarlah tidur dan menikmati mimpi indah.”

Wanita ini terbelalak. Saat itulah berkesiur angin lebih dingin namun pemuda ini tenang-tenang saja. Demikian tenang sikapnya hingga wanita ini malu sendiri. Ia begitu ketakutan. Dan ketika ia menarik napas membuang ketegangan, Sin Gak menyuruhnya duduk akhirnya wanita itu bersila di belakang pemuda ini, tak berani jauh! “Aku takut, iblis itu lihai sekali!”

“Kalau begitu bibi boleh tidur, telanlah obat ini.”

Cu Pin tertegun. Sin Gak memberinya sebuah pil hitam dan ia menerima, akan ditelan. Tapi ketika teringat bahwa ia ingin tahu bagaimana pemuda itu menghancurkan lawan maka obat itu tak jadi ditelan dan disimpannya saja. “Aku aku tak akan takut. Biar kubangkitkan keberanian dan kulihat bagaimana kau mengalahkan lawanmu!”

“Kalau begitu bibi duduk tenang, jangan melihat keluar dan tutup mata rapat-rapat. Tulikan telinga.”

Wanita ini mengangguk. Ia sudah bersila dan memejamkan mata, keteganganpun tak dapat diatasinya lagi. Ia mengigil. Dan ketika Sin Gak memejamkan matanya lagi dan duduk tak bergeming, bagai arca batu adalah wanita ini tak keruan perasaannya dan berkali-kali membuka sepasang matanya keluar pintu, apalagi ketika terdengar suara berkeresek dan muncullah sosok hitam di luar pintu.

“Ahhh!” Wanita ini tak dapat menahan mulutnya. Ia mengeluarkan seruan kaget ketika di pintu itu, berdiri bergoyang-goyang muncullah berjubah hitam berambut model kuda. Wajah itu memucat dingin namun sepasang matanya mencorong hidup, bibir tersenyum mengejek dan wanita ini hampir menjerit. Namun ketika tak dapat berteriak karena mulutnya serasa terkunci, Cu Pin hendak meloncat bangun namun kedua kakinya melekat tak dapat ditarik maka terkekeh tanpa suara laki-laki itu melambai kepadanya.

“Ke sinilah,” bisikan itu lembut namun serak. “Ke sinilah, Cu Pin. Tidakkah kau rindu kepadaku di saat bulan purnama ini. BangkitIah, kita keluar.”

Wanita itu meronta. Ia telah melanggar pantangan Sin Gak agar menutup mata dan menulikan telinga. Pengaruh gaib dari sepasang mata iblis itu membetotnya, ia berteriak namun tak ada suara yang keluar. Dan ketika mendadak kakinya dapat digerakkan namun ia melangkah maju, bergerak dan tersedot lambaian tangan itu maka wanita ini menjerit-jerit namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

“Tidak.......tidak !”

Akan tetapi sepasang mata itu menguasainya. Bibir yang tersenyum melebar dan akhirnya tertawa membuat wanita ini tiba-tiba hilang semangat. Dalam ketakutan yang hebat akhirnya wanita ini tak sadar. Masuklah ia ke dalam ilmu hitam yang amat kuat. Dan ketika ia melangkah dan ditangkap laki-laki ini, Majikan Hutan Iblis maka robohlah wanita itu didekapan sepasang lengan kokoh.

“Heh-heh, cantik dan manis. Kau masih menggairahkan hati lelaki, Cu Pin, marilah keluar dan kita bercumbu di sana.”

Wanita ini menurut saja. Akhirnya ia kehilangan kesadaran setelah semangat dan pikirannya dicengkeram lawan. Wanita itu masuk dalam ilmu hitam yang amat kuat, begitu kuatnya hingga ia rebah di pundak lelaki ini. Dan ketika di luar rumah Majikan Hutan Iblis ini terkekeh dan berhenti menatap bulan yang bundar, mendorong dan melepaskan dirinya maka laki-laki itu bertanya apakah wanita itu mencintainya.

“Kita akan melangsungkan cumbu rayu di bawah Dewi Bulan. Jawablah apakah kau mencintaiku atau tidak.”

“Aku... aku mencintaimu....” wanita itu berdesah. “Aku rela menyerahkan diri di bawah Dewi Bulan!”

“Heh-heh, benarkah? Kalau begitu peluklah aku, cium aku!”

Wanita ini bergerak. Ia tadi memegang pundak lawannya dengan mata berkejap-kejap, mulut itu terbuka dan desis aneh keluar tertahan. Cu Pin yang tampak seperti patung hidup ini berpandangan kosong, ia benar-benar tak sadar akan dirinya itu. Namun ketika ia mengangguk dan merebahkan diri, memeluk dan hendak mencium laki-laki itu mendadak terdengar bentakan dan bayangan Sin Gak.

“Bibi Cu Pin!”

Hebat bentakan itu. Sin Gak mengerahkan khikangnya hingga suaranya menggema dahsyat, hutan tergetar dan pulau seakan roboh. Dan ketika pemuda itu menyambar dan menampar laki-laki ini, bergerak begitu cepatnya, maka wanita itu tahu-tahu sadar dan berada di tangan Sin Gak, sementara tangan yang lain dari pemuda itu menampar atau menghantam kepala.

“Plakk!”

Laki-laki itu terpelanting dan berseru kaget. Bersamaan dengan ini terdengarlah gonggong dan raung srigala, suaranya memekakkan telinga dan sadarlah para murid yang terkena sirep. Mereka ini terbius angin dingin pembawa kantuk, meloncat dan berteriak namun sebenarnya bentakan dan suara pemuda itulah yang membuyarkan segalanya. Srigala atau anjing-anjing liar yang dibungkam majikannya tak dapat menahan diri lagi, mereka pecah dan lari berserabutan. Dan ketika hutan menjadi gaduh oleh lolong mereka, laki-laki itu meloncat bangun maka Cu Pin gemetar di lengan kanan Sin Gak.

“Dia dia hendak membunuhku. Apa yang dia lakukan kepadaku!”

“Kau selamat. Kau tak menghiraukan kata-kataku tadi, bibi, jangan lihat dan dengarkan apapun di tempat ini. Kau menjauhlah dan lihat saudara-saudaramu bangun semua. Jaga di sudut utara karena hanya tempat itu yang mampu diterobos musuh!”

Terdengar lolong dan pekik dahsyat. Di bawah sinar bulan purnama, di balik bayang-bayang bintang yang bertaburan di angkasa mendadak bergulung awan hitam berbukit-bukit. Awan ini muncul dari delapan penjuru ketika laki-laki itu meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar biru mencuat tajam, meledak dan muncullah awan-awan hitam itu. Lalu ketika awan-awan ini bergerak dan menutupi pulau, bintang dan bulan tak mampu menembus kepekatannya maka menjeritlah murid-murid Hek-yan-pang karena keadaan yang semula terang keemas-emasan mendadak menjadi hitam dan gelap gulita, apalagi lolong dan raung itu semakin riuh!

Namun Sin Gak tak membiarkan semuanya ini terjadi. Maklum bahwa kekuatan sihir bekerja di atas pulau mendadak iapun meledakkan tangannya. Dari telapaknya menyambar sinar putih bagai petir, meledak dan menghantam awan bergulung-gulung itu hingga pecah. Dan ketika bintang dan bulan tampak menerangi lagi, semakin benderang maka terdengar pekikan dan sesosok tubuh hitam mencelat menubruk pemuda ini.

“Kau kiranya jahanam usil itu. Mampuslah!”

Sin Gak tak mengelak. Raung dan lolong srigala memenuhi Hek-yan-pang. Di bawah permukaan bintang dan bulan tampak moncong-moncong berenang di permukaan air, cepat dan menaiki pulau akan tetapi bintang-binatang ini menjerit. Mereka terbentur pagar gaib Pat-gen-sin-hoat-sut, panas menyengat dan semua mundur. Mereka yang nekat malah hangus, terbakar.

Dan ketika sekejap kemudian binatang-binatang ini menjadi panik, hanya mereka di bagian utara yang mampu menerobos masuk maka murid-murid Hek-yan-pang menyambut dan berteriak-teriak. Di tangan mereka terdapat sebatang sapu lidi yang mengeluarkan hawa dingin berkeredap bagai memancarkan cahaya gaib. Senjata yang telah diberikan Sin Gak setelah sebelumnya “diisi” kekuatan batin dan tenaga Pek-mo-in-kang.

“Prat-pratt!”

Binatang-binatang itu terjengkang. Aneh dan mengherankan binatang yang biasanya kebal dan tahan bacokan senjata tajam itu kini berteriak dipukul sapu lidi. Kulit mereka seketika pecah. Dan ketika binatang itu tunggang-langgang meninggalkan lawannya, melolong-lolong maka Sin Gak sendiri membalik menerima hantaman atau pukulan lawan.

“Dess!”

Dua orang ini bergoyang-goyang. Sin Gak yang mengerahkan sinkangnya dan membalik dengan cepat menangkis dengan tepat pukulan lawannya itu. Bau amis menyambar namun ia meniup, telapaknya bertemu telapak lawan. Tapi ketika lawan terkekeh dan maju lagi, membentak dan menggerak-gerakkan tangannya ke angkasa maka langit menjadi gelap lagi oleh awan hitam bergulung-gulung.

“Heh-heh, luar biasa. Tapi kau akan mampus oleh pukulanku!”

Sin Gak terkejut. Sekali lagi ia cepat menggerakkan lengan ke atas. Ujung bajunya berkibar dan meniup dahsyat. Dan ketika sekali lagi terdengar ledakan kuat, cahaya putih menyambar dari telapak pemuda itu maka awan hitam terpental dan pecah lagi. Namun di saat itu lawan yang berkelebat di balik asap hitam sudah berada di belakang Sin Gak mencengkeram dan hendak menghancurkan kepala pemuda ini.

“Kress-augh!”

Pek-mo-in-kang melindungi. Meskipun tak sempat berkelit dan dicengkeram dari belakang namun pemuda ini sudah menutup semua aliran darah dengan cepat. Tubuh dan kulitnya mengeras, tidak sekedar keras melainkan dingin, sedingin es. Maka ketika lawan terkejut berseru keras, kulit pemuda itu tak dapat dihancurkannya maka Sin Gak menggerakkan kaki ke belakang dan tepat sekali ia menghantam selangkangan lawan.

“Dess!”

Lawan terbanting dan bergulingan. Sin Gak terkejut karena lawan tak apa-apa, merasa daerah bawah perut kosong. Dan maklum bahwa lawan menarik kemaluannya di bawah pusar, semacam kantong penyelamat maka pemuda itu tak mau menunggu waktu lagi dan berkelebat mengejar. Lawan meledakkan tangan dan membuat langit gelap gulita lagi.

“Ha-ha, kau hebat, tapi tak mungkin mengalahkan aku!” Bintang dan bulan tertutup cahayanya lagi. Sin Gak menjadi gemas karena dua kali ia bekerja sia-sia. Lawan kembali menutup tempat itu dengan awan hitam. Namun ketika ia membuang secabik kain membuat langit kembali terang, bintang dan bulan menyorotkan cahayanya keemasan akhirnya lawan tak mampu lagi melepas kekuatan hitamnya, selalu pecah dan meledak dihantam pemuda itu. Dan karena Sin Gak juga bergerak dan menyerang lawan maka laki-laki jubah hitam ini memekik dan menjadi ganas.

“Plak-dukk!”

Dua-duanya terpental. Sin Gak mempergunakan Pek-mo-in-kangnya hingga lawan terkejut. Majikan Hutan Iblis itu terdorong jauh ke belakang. Dan ketika lawan terbelalak dan melengking penasaran, berkelebat dan menerjang lagi maka Sin Gak mengimbangi dan segera keduanya bertanding amat cepat, pukul-memukul dan saling mengelak untuk akhirnya yang kelihatan hanya bayangan hitam dan putih. Dengan Pek-mo-in-kangnya pemuda ini menolak semua pukulan, hawa dingin dari Pek-mo-in-kang itupun semakin dingin saja. Dan ketika berkali-kali lawan terpental sementara Sin Gak hanya tergetar dan terhuyung maka lawan melolong dan Sin Gak merasa seram.

“Plak-dukk!”

Untuk kesekian kalinya lagi dua lengan mereka bertemu. Kali ini, penasaran oleh kekuatan Pek-mo-in-kang maka Majikan Hutan Iblis itu menggetarkan lengannya dua kali. Cairan berminyak tiba-tiba melumuri permukaan kulitnya, licin dan terpeleset hingga Sin Gak terkejut karena lengan itu meluncur ditangkis kuat, menyambar dan menuju dadanya hingga ia membentak berkelit mundur. Lalu ketika dengan lengan dan tubuh yang licin itu lawan menyerang membuat tangkisan Sin Gak meleset maka terbeliaklah pemuda ini teringat cerita gurunya.

“Hek-be-kang!”

“Heh-heh!” lelaki itu tertawa. “Kau tahu? Bagus, ini betul Hek-be-kang, anak muda. Siapa kau dan bagaimana kau dapat menandingi aku. Katakan sebelum kubunuh!”

Sin Gak mencorong matanya. Setelah ia yakin bahwa lawan memiliki Hek-be-kang maka ia pun maklum siapa yang ada di hadapannya ini. Murid Te-gak Mo-ki! Maka membentak berseru keras ia pun berkelebatan mengerahkan Bu-bian-kang alias Ilmu Tanpa Bobot.

“He!” lelaki itu terkejut. “Kau memiliki Bu-bian-kang? Keparat, siapa kau!”

Majikan Hutan Iblis inipun tak mau tinggal diam. Tadinya ia bergerak dan menangkis semua pukulan Sin Gak mengandalkan Hek-be-kang, sia-sia dan Sin Gak menjadi marah karena pukulannya meleset. Tapi begitu ia berkelebatan dengan Bu-bian-kang dan lawan menjadi terkejut, ia merobah serangannya dengan tusukan ke mata atau lubang hidung maka tiga kali hampir saja pemuda itu berhasil dan membuat lawan merasa kaget.

Akan tetapi Majikan Hutan Iblis ini memang bukan orang sembarangan. Membentak dan berkelit dari tusukan-tusukan lawan ia pun menggosok-gosok kedua tangannya. Cepat sekali kedua telapaknya menjadi hitam. Lalu ketika ia meraung dan berseru keras maka telapak itu menyambar dan menghantam Sin Gak.

“Desss!”

Sin Gak bergoyang. Mo-seng-ciang (Pukulan Tapak Hantu) menyambar mukanya. ia menangkis dan secepat itu lawan mencengkeram. Sepuluh jari mereka bertemu dan terdengar suara berkeratak. Pek-mo-in-kang yang dingin bersambut dengan Tapak Tangan Hantu yang panas, bau amis menyambar dan hampir pemuda ini muntah. Lawan tertawa bergelak dan bau mulut itulah yang amat busuk. Mulut itu seperti bau bangkai.

Namun ketika Sin Gak menutup hidungnya dan mengerahkan sinkang, saling dorong dan menatap wajah maka pemuda ini berhadapan dengan seraut muka berkedok yang tipis berkerut dengan sepasang mata berputaran ganas, kejam.

“Kau akan kubunuh, heh-heh , kau akan kubunuh!”

Sin Gak tak mau menjawab. Bau busuk menyambar kuat namun ia menutup hidung. Lawan dipandangnya mencorong dan sedetik laki-laki itu tertegun. Wajah pemuda itu dingin dan keras. Wajah itu seperti Giam Liong. Dan ketika lelaki ini terkejut dan membelalakkan mata, barulah ia ingat maka ia tertegun heran sekaligus mengingat-ingat sesuatu.

“Kau...kau anak yang diambil kakek busuk Sian-eng-jin. Kau bocah itu!”

Sin Gak tersenyum dingin. Dalam adu tenaga itu ia merasa mendapat kekuatan, lawan rupanya tercengang dan terkejut hingga berkurang tenaganya. Dan ketika ia tak menyia-nyiakan kesempatan dan menambah tenaga, lawan berseru keras maka secepat kilat laki-laki jubah hitam itu menarik kedua tangannya membanting tubuh bergulingan

“Kau Sin Gak...desss!”

Pek-mo-in-kang menghajar tempat di mana laki-laki itu tadi berdiri. Demikian kuat pukulan ini hingga tanah berlubang, laki-laki itu bergulingan meloncat bangun. Lalu ketika ia terbelalak dan seakan gentar, teringat peristiwa belasan tahun lalu maka ia mengeluh dan mengeluarkan lolong panik, rendah dan menyayat. Dan ketika Sin Gak masih tertegun heran mendadak laki-laki itu memutar tubuh meloncat pergi. Srigala yang diserang anak-anak murid Hek-yan-pang juga berserabutan dan tunggang-langgang.

Akan tetapi terlihat sinar hitam panjang. Di bawah cahaya keemasan bulan bundar meledaklah suara yang amat keras. Suara itu membuat srigala terpekik dan roboh, tujuh di antaranya terlempar dan mencelat ke dalam telaga. Lalu ketika Majikan Hutan Iblis menoleh dan tampak terkejut, maka tahu-tahu sesosok tubuh langsing menyambar dan menyerang mukanya, disusul oleh bayangan merah yang mencegat larinya pula.

“Kau iblis jahanam itu, mampuslah!”

Sin Gak tertegun. Seorang gadis cantik, tujuh atau delapan belas tahun menyerang laki-laki ini dengan sebuah ikat pinggang hitam. Ikat pinggang itu panjang dan menyambar bagai ular, tahu-tahu sudah di depan hidung. Tapi ketika laki-laki ini mengelak dan membuang mukanya maka senjata itu mengikuti di manabakhirnya ia menjadi marah dan menangkis.

“Tarr!”

Ujung bajunya robek. Terkejut dan melompat ke kiri, akhirnya laki-laki ini mengelak dan menghindar sana-sini. Gadis baju hijau itu sudah menyerangnya lagi dengan cepat. Ujung ikat pinggang itu meledak-ledak menyambar tubuhnya. Dan ketika ia menangkis dan gadis itu terhuyung maka ia membentak dan melepas Mo-seng-ciangnya.

”Awas!” gadis baju merah berkelebat. Terkejut oleh pukulan itu gadis ini mengangkat kedua lengannya, menangkis dan terpental dan saat itu Sin Gak berkelebat.

Ia melihat sesuatu dirogoh lawan, di sambitkan dan menyambarlah sinar-sinar hitam ke arah dua orang itu. Dan ketika Sin Gak membentak dan menangkis paku-paku beracun ini, lengan baju pemuda itu dikebutkan maka Majikan Hutan Iblis terbelalak dan mengumpat lalu memutar tubuh melarikan diri.

“Jangan lari!” Sin Gak marah berseru keras. Ia telah sadar dan tidak menghiraukan lagi gadis baju merah dan hijau. Ia telah membantu meruntuhkan paku-paku beracun itu. Tapi ketika lawan terkekeh dan melempar sesuatu tiba-tiba meledaklah sebuah benda dan di tempat itu muncullah Majikan Hutan Iblis yang lain.

“Heh-heh, mana yang kau kejar, bocah. Dia atau aku!”

Sin Gak tertegun. Di depannya terdapat dua kembar yang sama. Satu ke arah timur sedang yang lain ke utara. Dan karena yang timur lebih dekat maka pemuda inipun berkelebat dan menangkap pundak lawannya. “Berhenti!”

Akan tetapi lawannya lenyap. Sebagai gantinya tampaklah ikat rambut hitam, tertangkap di tangan pemuda ini. Dan ketika Sin Gak terkejut dan sadar maka iapun membalik dan membuang hasil tangkapan itu. “Keparat, kau penipu!”

Akan tetapi di mana-mana muncul Majikan Hutan Iblis Kembar. Dua gadis baju merah dan hijau yang sadar pula akhirnya mengejar lawan. Mereka membentak dan menyerang laki-laki itu. Namun ketika benda-benda hitam menyambar mereka, meledak dan menjadi sosok seperti tuannya maka dua orang ini terkecoh dan yang mereka tangkap ternyata hanya sehelai daun atau potongan kain hitam. Sin Gak sadar dan terkejut menuju arah utara, tempat inilah yang dibiarkannya kosong dan merupakan satu-satunya lubang terbuka. Namun ketika di sini ia tak melihat lawannya lagi, iblis itu lenyap meninggalkan Hek-yan-pang maka berkelebatlah bayangan baju merah dan hijau itu.

“Mana dia, mana jahanam keparat itu!”

Sin Gak memutar tubuh. Di sini ia terpesona oleh hidung mancung dan pipi kemerah-merahan gadis baju hijau. Di bawah sinar bulan tampak betapa cantik dan gagahnya gadis ini, anak rambutnya menjuntai manis di dahi. Namun ketika ia tak menjawab dan berkelebat bayangan-bayangan lain, Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-pang maka wanita itu terbelalak memandang gadis baju hijau ini.

“Kau...kau Giok Cheng!”

Gadis ini terkejut. Cu Pin, wanita itu menjerit dan menubruk dirinya. Lalu ketika yang lain juga terkejut dan berseru mengiyakan maka semua menjatuhkan diri berlutut dan memanggil gadis ini.

“Cheng-siocia (nona Cheng)!”

Tertegunlah Sin Gak. Tiba-tiba ia berdebar keras memandang gadis baju hijau itu. Alangkah cantik dan gagahnya gadis ini di bawah sinar bulan purnama, apalagi ikat pinggang hitam itu belum disimpannya lagi. Cantik dan gagah! Dan ketika ia berdebar karena inilah calon jodohnya, puteri dari pamannya Han Han maka Cu Pin dan teman-temannya menangis sesenggukan, antara girang dan sedih.

“Siocia terlambat datang. Ayah ibumu......kakekmu ,ah. mereka semua telah meninggalkan tempat ini. Siocia. Hek-yan-pang sepi dan mati selama bertahun-tahun. Majikan Hutan Iblis itu menteror kami. Untunglah Sin-kongcu ini datang membantu. Ia putera pamanmu Giam Liong!

Bukan hanya Giok Cheng yang terkejut. Gadis baju merah, yang sejak tadi tertegun dan mengerutkan kening tiba-tiba mengeluarkan pandangan berapi. Wajah Sin Gak persis ayahnya. Dan karena ia bukan lain adalah Su Giok, cucu Pek-lui-kong yang dulu diacuhkan Giam Liong maka gadis ini menjadi benci kepada Sin Gak, bergerak dan tahu-tahu berkacak pinggang di depan pemuda itu.

“Hm, kau kiranya bocah yang hilang itu. Kau Sin Gak. Bagus, ada apa kau datang di tempat ini, bocah. Apakah tenagamu dapat dipakai menyelamatkan Hek-yan-pang. Kau tak usah sombong, kalau kami tak datang nyawamu telah terbang ke akherat. Pergilah mencari ayahmu dan jangan berlagak di rumah orang. Giok Cheng telah datang, kau tak berhak lagi tinggal disini!”

Sin Gak terkejut. Ia tentu saja tak tahu kemarahan gadis ini kepada ayahnya. Su Giok telah berusia dua puluh tujuh tahun dan tampak keras serta galak. Di bawah gemblengan Hek-i Hong-li gadis ini semakin galak saja, ia adalah suci (kakak seperguruan) Giok Cheng. Maka merasa berhak dan benci kepada Giam Liong, sesungguhnya diam-diam gadis ini menaruh kekecewaan berat kepada si Naga Pembunuh itu maka Sin Gak justeru terkejut dan merah mukanya, menoleh dan memandang gadis ini.

“Enci siapakah, kenapa bicara kasar dan tampak marah-marah kepadaku.”

“Hm, aku Su Giok, suci Giok Cheng. Aku tak senang kepada ayahmu dan kepadamu, Sin Gak. Ayahmu adalah orang sombong yang tentu tak jauh berbeda denganmu. Pergilah dan jangan di sini lagi, Giok Cheng telah kembali ke Hek-yan-pang!”

Sekali lagi Sin Gak terkejut. Tiba-tiba mukanya menjadi dingin dan gelap. Ia tak menyangka bahwa wanita ini adalah suci Giok Cheng, berarti murid Hek-i Hong-li pula. Dan merasa bahwa nenek itu bibi gurunya, ia menaruh hormat maka iapun tertawa dingin dan kekagumannya kepada Giok Cheng pun padam. Kalau sucinya sombong tentu sumoinya juga sombong!

“Aku ke sini sebenarnya mencari ayahku, bukan hendak menumpang dan berlindung di Hek-yan-pang. Kalau kau menganggap ayahku sombong tentu ada alasannya, Su Giok. Akupun dapat menganggapmu sombong dengan sikap dan kata-katamu ini. Baiklah aku pergi dan jangan harap bertemu kalian lagi.”

“Tunggu!” gadis itu membentak, Sin Gak sudah memutar tubuh. “Di mana aturan dan sopan-santunmu, Sin Gak. Begitukah ayahmu mengajar. Berapa usiamu hingga enak saja kau menyebut namaku!”

“Hm,” Sin Gak tertawa, dingin, matanya berkilat. “Orang dihormati bukan karena usia dan kedudukannya, Su Giok, melainkan oleh sikap dan sepak terjangnya. Kau adalah murid bibi Hek-i Hong-li, berarti aku suhengmu. Entah siapa yang tak tahu sopan santun kau ataukah aku!”

Gadis ini terkejut. Ia tentu saja tak tahu bahwa pemuda di depannya itu adalah murid Sian-eng-jin si Bayangan Dewa. Gurunya adalah sumoi dari kakek sakti itu. Dan karena kakek itu adalah uwa gurunya, supek maka tentu saja Sin Gak merupakan suhengnya. Pemuda itu lebih “tua” dilihat dari urutan perguruan! “Kau kau siapa? Kau murid yang mana?”

“Aku tak perlu memberi tahu. Sekedar pemberitahuan ini cukup. Nah, sekarang pergi dan biarlah kita tak usah bertemu lagi.” Sin Gak memutar tubuhnya berkelebat pergi, tertawa dingin dan tak menghiraukan tatapan kaget gadis baju merah itu dan Giok Cheng. Tapi begitu ia meloncat tiba-tiba Su Giok mengejarnya dan mencengkeram bahunya.

“Kau jangan mengada-ada, tunjukkan kepandaianmu dan biar kulihat... wut!”

Sin Gak mengelak. Dengan mudah ia berkelit, tak mau membalas. Tapi ketika dikejar dan gadis itu bertambah marah. membentak dan melengking tinggi maka kelima jari gadis itu bergerak ke bawah dan tahu-tahu belakang lutut pemuda ini dicengkeram. Sin Gak menjadi marah dan terganggu, ia membalik dan cepat mengayun lengan. Pek-mo-in-kang menyambar. Dan ketika gadis itu tergetar dan terdorong mundur, terbelalak maka gadis ini menjadi gusar dan berkelebat maju lagi, jari telunjuknya menusuk sementara ibu jari menyontek dan menyambar muka Sin Gak.

“Plak-plak!”

Sin Gak menjadi marah dan membalas juga. Ia menambah tenaganya hingga pukulannya semakin dingin. Tapi ketika gadis itu terpental dan menyerang lagi, berkelebat cepat akhirnya bayangan merah menyambar naik turun dan pemuda itu lenyap terbungkus bayangan lawan.

“Kau kiranya murid supek Sian-eng-jin. Bagus, kudengar tentang Pek-mo-in-kang yang dimilikinya, Sin Gak. Kau telah mempelajari ilmu itu. Marilah bertanding dan lihat murid siapa yang lebih lihai!”

Sin Gak marah. Ia membentak dan mengimbangi lawan berkelebatan cepat. Sian-eng-sut atau Ilmu Bayangan Dewa dikeluarkan, menyambar dan menangkis serta membalas gadis itu. Lalu ketika bayangan merah terpental oleh bayangan putih, kini tampaklah oleh pemuda itu di balik serangan-serangan lawan maka keduanya bertanding hebat dan Giok Cheng lah yang tertegun.

Sebenarnya, begitu mendengar bahwa pemuda sederhana berbaju putih ini adalah Sin Gak ia sudah merasa panas pipinya. Siapa yang tak tahu urusan jodoh itu. Ayah ibunya sudah bilang. Tapi ketika sucinya bertanding dan menghadapi pemuda itu, Sin Gak membalas dan ternyata pemuda itu adalah murid supeknya Sian-eng-jin maka diam-diam gadis ini menjadi bingung dan gelisah, apalagi ketika dua kali pukulan Sin Gak membuat sucinya terpental berjungkir balik. Dalam hal sinkang ternyata pemuda itu lebih unggul tak aneh karena Sin Gak telah memperoleh inti dari tenaga Awan Iblis yang memasuki tubuhnya.

“Heh, jangan sombong. Kau boleh mengeluarkan semua kepandaianmu, Sin Gak, dan jagalah sekarang balasanku. Kepandaianku adalah ini..... tar-tar!” Ikat pinggang meledak di udara, dicabut dan menyambar tapi Sin Gak mengelak.

Sama seperti Giok Cheng maka murid-murid Hek-i Hong-li ini memiliki kepandaian khas, yakni permainan senjata panjang itu. Dan ketika Su Giok melengking dan menyambar-nyambar, dari lengan Sin Gak keluar tenaga dorong yang membuat ia penasaran maka tampak bahwa dalam kepandaian pemuda ini dapat mengatasi lawannya, kokoh dan lebih kuat!

Giok Cheng kagum. Mau tak mau ia menjadi begitu penuh perhatian memandang jalannya pertandingan ini. Hawa dingin yang menyambar dari lengan pemuda itu kian kuat saja, akhirnya mendorong mundur murid-murid Hek-yan-pang dan Giok Cheng sendiri harus mengerahkan sinkangnya bertahan. Lama-lama ia menjadi beku oleh sambaran angin pukulan pemuda itu, padahal Sin Gak belum mengeluarkan semua tenaganya. Dan ketika tampak bahwa pemuda itu tak dapat didesak.

Sian-eng-sut atau Bayangan Dewa dapat mengatasi kecepatan lawan maka Pek-mo-in-kang mampu menghalau semua serangan-serangan ikat pinggang panjang itu, hal yang membuat gadis baju merah melengking-lengking dan memperhebat serangannya, namun Sin Gak menjaga diri dengan rapat. Dorongan angin pukulannya membuat ujung senjata lawan terpental, bahkan membalik dan menyambar tuannya sendiri. Dan ketika gadis itu menjadi marah dan penasaran maka Giok Cheng diteriaki agar maju membantu.

“Tak pantas kau melihat sucimu di buat malu orang. Maju dan bantu aku, Giok Cheng, jangan menonton saja. Atau aku menghajarmu nanti!”

Giok Cheng panas mukanya. Sebenarnya, kalau ia mau jujur maka kesalahan terletak pada sucinya ini. Sucinya itulah yang bersikap kasar dan keterlaluan, Sin Gak tak bisa disalahkan. Maka berseru bahwa biarlah pemuda itu pergi, tak guna membuang tenaga ternyata seruan gadis ini membuat sucinya meledak marah.

“Kau tak mau membantuku? Kau tergila-gila kepada calon jodohmu ini? Heh, ia tak pantas untukmu, Giok Cheng, sombong seperti ayahnya. Masih banyak pemuda lain dan jangan tergerak oleh ketampanannya!”

Wajah gadis ini terbakar. Ia malu bukan main oleh kata-kata sucinya itu, juga marah. Maka membentak dan berkelebat maju apa boleh buat ia menyerang Sin Gak. “Baiklah, ini sekedar kesetiaanku sebagai saudara muda, suci. Tapi betapapun kau juga tak benar. Kau yang mengganggunya terlebih dahulu, seharusnya malu kita mengeroyoknya!”

“Heh, jangan banyak cakap. Ia bakal membuat malu kita berdua. Robohkan dan bunuh dia!”

Sin Gak tertawa dingin. Tahulah dia sekarang watak dua gadis ini. Giok Cheng, puteri pamannya Han Han itu ternyata lebih halus. Sebenarnya ia mulai tergetar oleh sikap dan kata-kata gadis ini. Tapi karena ia terus diserang dan lawan semakin kalap, ia harus, bergerak lebih cepat maka datangnya Giok Cheng membuat ia tertekan.

“Plak-plak!”

Ia tergetar dan terdorong mundur. Dari kiri ia menangkis Giok Cheng sementara dari kanan menyambar pukulan Su Giok, ia membagi tenaga dan akibatnya iapun terhuyung. Dan ketika Giok Cheng terpaksa membantu sucinya menghindar kata-kata yang membuat telinganya merah maka Sin Gak tentu saja terdesak dan pemuda inipun marah.

Namun dua gadis itu sudah berkelebatan menyerang dari delapan penjuru. Giok Cheng tak mengeluarkan senjatanya namun cukup berat bagi Sin Gak untuk bertahan, betapapun yang dihadapi adalah murid-murid Hek-i Hong-li yang lihai. Dan ketika pemuda ini terdesak dan terus tertekan, dua kali senjata Su Giok menyengat tubuhnya maka berkelebat bayangan lain membentak lawan-lawan Sin Gak ini.

“Tak tahu malu, dua lawan satu. Cih, mana kegagahan dan muka kalian, tikus-tikus busuk. Lepaskan pemuda ini atau aku membelanya!”

Giok Cheng dan Su Giok terkejut. Menyambar bagai walet lincah masuklah di situ seorang gadis cantik berpakaian hitam putih. Rambut yang dikepang dua itu menyambar ke kiri kanan menghantam mereka, lurus kaku bagai tombak-tombak pendek. Dan ketika mereka menangkis dan sama-sama terpental, tentu saja kaget maka Sin Gak tertegun karena itulah gadis di kota Ceng-kiang, gadis yang memiliki Bu-bian-kang dan telah bertanding hebat dengannya.

“Kau..?!”

“Ya, aku. Maaf tak dapat kudiamkan ketidakadilan berjalan di sini dan mari kita hadapi mereka!” Gadis itu berkelebatan dan menyerang lawan-lawannya lagi.

Sin Gak terbelalak dan masih tertegun dan ia tak melihat betapa wajah Giok Cheng terbakar. Pipi halus yang kemerah-merahan itu mendadak menjadi hitam. Giok Cheng mendengar dan melihat percakapan dua orang muda itu. Dan karena mereka tampaknya sudah kenal baik dan suara gadis itupun terdengar manja dan genit, begitu menurut Giok Cheng maka tiba-tiba saja gadis ini menjadi cemburu dan marah!

"Kau siapa dan kenapa ikut-ikutan di sini. Ini rumahku, tempat tinggalku. Kau siluman betina dari mana yang berani mengacau tempat orang!” Giok Cheng mencabut senjata dan berubah sikap. Kalau tadi lemah lembut dan masih halus maka sekarang perobahan mendadak terjadi dengan cepat. Gadis ini menggerakkan ikat pinggangnya menyambar lawan, menotok dan menuju pinggang akan tetapi gadis baju hitam putih itu terkekeh. Tawanya mengejek, membuat Giok Cheng semakin terbakar saja. Dan ketika gadis itu mengibaskan rambutnya dan bertemu ikat pinggang, sama-sama terpental maka pertandingan tiba-tiba pecah karena Giok Cheng sudah menghadapi gadis ini.

“Plak-plak!”

Dua gadis itu sama-sama terhuyung. Giok Cheng marah dan menyerang lagi namun lawan tak mau diam, iapun membalas dan meledak atau menggerakkan rambutnya itu. Dan ketika dua gadis ini bertanding cepat sementara Sin Gak tertegun menghadapi Su Giok, gadis ini juga marah dan terbelalak di sana maka tampaklah bahwa Giok Cheng masih seusap di bawah gadis baju hitam putih itu.

“Hi-hik, kepandaianmu belum sempurna. Ayo belajar dan tingkatkan lagi dan baru menghadapi aku.... plak-plak!” rambut mementalkan ikat pinggang dan senjata itu membalik menyambar muka Giok Cheng sendiri.

Sekejap mereka sudah saling tangkis dan serang-menyerang namun tampak bahwa Giok Cheng terpental mundur. Ia kalah tenaga. Dan ketika gadis itu melengking marah dan mempercepat serangannya maka di sana Sin Gak menghalau serangan-serangan Su Giok dan Pek-mo-in-kangnya kembali membuat gadis itu penasaran.

Kini empat orang ini disibukkan perasaan berlain-lainan. Su Giok, yang tak mampu mendesak Sin Gak dan jelas bahwa pemuda itu tak mengeluarkan semua kepandaiannya dibuat penasaran dan marah di samping malu. Ia tak tahu bahwa Sian-eng-jin telah menggembleng pemuda ini melebihi Hek-i Hong-li menggembleng dirinya. Nenek itu masih ragu memberikan semua kepandaiannya, tidak seperti kakek itu yang bahkan membantu mendapatkan inti tenaga Pek-mo-in-kang kepada Sin Gak. Mewarisi tenaga ini sama dengan mewarisi sinkang tiga puluh tahun yang dilatih seseorang.

Itulah sebabnya Sin Gak lebih kuat dan daya tahannya juga tinggi, tidak seperti dua gadis itu karena Hek-i Hong-li sendiri sesungguhnya baru menurunkan sembilan bagian saja dari ilmunya. Nenek itu masih pelit. Maka ketika Giok Cheng maupun Su Giok tak mampu mendesak lawan, bahkan Giok Cheng tertekan dan sibuk menghindari serangan-serangan lawan maka di pihak lain Su Giok juga terdesak dan terpental oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang dikeluarkan Sin Gak.

Lain Su Giok lain pula Giok Cheng. Gadis ini, yang melihat datangnya gadis baju hitam putih sudah dibuat cemburu dan panas ketika Sin Gak dan temannya sudah saling kenal. Ia tiba-tiba dibakar perasaan tak keruan melihat bakal kekasihnya itu bicara dengan gadis hitam putih ini. Kemarahannya semakin meledak setelah ia terpental berkali-kali oleh rambut hitam tebal itu. Dan karena ia menjadi marah dan mempercepat serangan maka gadis baju hitam ini sendiri tertawa berkelebatan mengelak dan membalas, hal yang membuat Giok Cheng terbakar!

Kalau saja gadis baju hitam ini tak datang sebenarnya Giok Cheng hendak membiarkan Sin Gak pergi. Secara diam-diam dan tak kentara ia akan memberi lubang kesempatan kepada pemuda itu. Biarlah Sin Gak pergi dan lain kali mereka bertemu lagi. Betapapun ia terkejut dan girang bahwa calon jodohnya itu murid Sian-eng-jin, supeknya. Tapi begitu gadis baju hitam muncul dan Sin Gak tampak akrab maka kecemburuannya tak dapat dicegah lagi dan mendadak ia ingin menangkap dan tidak membiarkan Sin Gak pergi. Ia akan mencari tahu sampai seberapa jauh hubungan pemuda itu dengan gadis baju hitam ini!

Akan tetapi yang dihadapi Giok Cheng adalah murid si Naga Berkabung. Gadis itu mempergunakan Bu-bian-kangnya untuk menghadapi lawan sementara Giok Cheng maupun Su Giok tak mendapatkan ini dari subo mereka. Hek-i Hong-li menyimpan ilmu itu untuk diri sendiri. Maka ketika Giok Cheng merasa silau oleh bayangan lawan, juga pukulan-pukulannya terpental bertemu lawan maka Kim-kong-ciok atau ilmu Arca Emas membuat gadis baju hitam ini, Bi Hong, terlalu tangguh bagi Giok Cheng. Perlahan tetapi pasti ia terdesak, ikat pinggagnya banyak tak berdaya menghadapi gadis baju itu. Dan ketika satu kali senjatanya membalik bertemu Arca Emas, ia terkejut maka lawan tertawa menggerakkan lengan kiri mengebut mukanya.

“Robohlah!”

Itulah Kian-kun-siu (Lengan Baju Sapu Jagad). Jari gadis ini menampar sementara lengan bajunya bergerak mendahului. Giok Cheng berkelit namun rambut mencegat dari kiri. Dan ketika ia menangkis namun terpelanting, pucatlah gadis itu maka Su Giok juga terbanting oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang amat kuat.

“Desss!”

Dua gadis itu terguling-guling. Su Giok yang marah dan meloncat bangun lagi mulai gentar menghadapi Sin Gak. Pemuda ini kuat sekali sinkangnya. Tapi karena mundur berarti malu, ia akan bertempur sampai mati maka gadis itu menyerang lagi dan Giok Cheng juga seperti sucinya itu, bangun dan meledak-ledakkan lagi senjatanya.

Kau atau aku yang mampus!”

Bi Hong tertawa. Sebenarnya harus di akui bahwa Giok Cheng adalah lawan yang kuat. Hanya karena ia memiliki Bu-bian-kang dan gadis itu tidak maka ia di atas angin. Maka ketika gadis itu menyerang lagi dan ia berkelebat melepas Kian-kun-siu maka lagi-lagi Giok Cheng terpelanting dan kaget serta marah.

Hal ini dilihat Sin Gak. Setelah ia menghadapi Su Giok dan masing-masing mendapat lawan maka Sin Gak melihat pertandingan itu. Sebenarnya, teringat pertemuannya dengan gadis baju hitam itu Sin Gak menaruh rasa marah. Ia masih penasaran dan ingin bertanding lagi. Tapi ketika lawan tahu-tahu datang dan membantu dirinya, hilanglah kemarahannya maka iapun bingung melihat Giok Cheng terdesak, apalagi setelah pakaian dan wajah gadis itu kotor kena debu.

Sin Gak menjadi kasihan. Setelah dua gadis itu bertanding sulitlah baginya membela satu pihak. Ia telah tahu bahwa masing-masing adalah saudara seperguruan, bahkan kalau diurut secara “pangkat” maka gadis baju hitam itu adalah sucinya, kakak seperguruan. Tapi karena ia tak senang dengan sebut-menyebut ini, seperti juga ia tak akan bersombong dianggap suheng maka mulailah Sin Gak berpikir meninggalkan saja tempat itu. Dan begitu ia menetapkan keputusan iapun membentak dan menghalau lagi serangan Su Giok.

“Enci, kau tak dapat menahanku di sini, cukup kita main-main. Biarkan aku pergi dan ingat bahwa kita masih sama-sama saudara seperguruan!”

Gadis itu terpekik. Sin Gak menambah tenaganya hingga hawa dingin menusuk tulang. Giginya berketrukan. Dan ketika ia mengelak namun terdorong juga, akhirnya melempar tubuh bergulingan Sin Gak pun tak membuang-buang waktu lagi berkelebat ke arah gadis baju hitam putih itu, menarik tangannya.

“Cukup, tak usah main-main lagi di sini. Mari kita pergi dan jangan hiraukan mereka!”

Gadis ini terkejut. Saat itu melepas Kian-kun-siu mendorong Giok Cheng, rambutnya meledak menghalau ikat pinggang. Maka ketika Sin Gak tahu-tahu berkelebat menarik tangannya dan menotok pergelangan, melumpuhkan serangannya maka ia pun menjerit dan marah. Giok Cheng terhuyung. Dan karena gerakan Sin Gak amat cepat dan tak diduga-duga, iapun tertangkap maka pemuda ini menarik lengannya dan sudah dibawa pergi.

“Lepaskan!” Sin Gak tak mau. “He, lepaskan tanganku, Sin Gak. Biar kuhajar gadis itu lagi!”

Sin Gak tertegun, namun berkelebat dan meninggalkan pulau. “Kau tahu namaku?”

“Aku sudah ada di sini sejak Majikan Hutan Iblis itu datang. Tapi dua gadis siluman itu mendahului, aku menunggu di belakang!”

“Hm, begitukah'? Baik, kalau begitu semakin banyak pertanyaanku. Jangan hiraukan mereka dan mari kita pergi!”

Gadis itu meronta namun Sin Gak mempererat cengkeramannya. Ia menindas debaran hatinya menekan kulit lengan yang lembut. Dalam keadaan biasa tentu pemuda ini tak akan melakukan itu. Dan ketika gadis ini marah-marah dan menamparnya, Sin Gak tetap berlari akhirnya gadis ini terisak membiarkan pemuda itu membawanya keluar pulau.

Sin Gak membuang sisa Pat-gen-sin-hoat-sutnya. Ia merasa tak ada perlunya lagi menggunakan ilmu itu, lawan telah pergi. Dan karena di Hek-yan-pang telah ada Giok Cheng dan Su Giok, ia tak menghiraukan panggilan Cu Pin maka Giok Cheng merah padam meloncat bangun, gemetar dan menangis melihat betapa Sin Gak membawa lari gadis baju hitam putih itu. Pegangan yang dirasa Giok Cheng sebagai genggaman mesra seorang pria terhadap wanita!

“Dia... dia akan kubunuh. Keparat mereka berdua itu!”

“Dan gadis siluman itu mampu menghadapi kita. Ah, rupanya subo bersikap tak adil, Giok Cheng, ada sesuatu yang tak beres di sini. Kita tak mampu mengalahkan Sin Gak!”

Giok Cheng tersedu-sedu. Akhirnya setelah Sin Gak lenyap dan ia tak mampu mengejar, perasaannya tertusuk-tusuk melihat pemuda itu menggandeng orang lain maka gadis ini menaruh kebencian yang dalam. Tiba-tiba saja ia begitu marah kepada pemuda itu, tiba-tiba saja ia benci kepada perjodohan yang diikatkan ayah ibunya kepadanya. Maka ketika ia berkelebat dan masuk kedalam, Su Giok menyusul dan merah mukanya maka dua gadis ini dibakar kemarahannya sendiri-sendiri.

Su Giok tentang penasarannya kepada Sin Gak itu. ia akan melapor gurunya dan protes. Dan karena malam itu kebetulan saja ia datang, mengantar sumoinya ini kembali ke orang tuanya maka malam itu di Hek-yan-pang Su Giok justeru mendengar bahwa Ju-taihiap dan anak menantunya pergi lama sekali. Di sini gadis baju merah ini tertegun. Ia mengerutkan kening namun sekejap kemudian tak perduli. Sesungguhnya ia tak begitu berurusan dengan Hek-yan-pang, yang berkepentingan adalah sumoinya.

Maka ketika keesokannya ia berpamit dan menemui sumoinya itu, hendak kembali kepada gurunya maka gadis itu berkata bahwa mereka berpisah saja. Giok Cheng masih membendul dan sakit hatinya.

“Lihat, keturunan orang she Sin itu memang sombong dan betul-betul tak perlu dibaiki. Enak saja ia memegang-megang tangan orang lain di depan kekasihnya sendiri. Orang seperti itu tak perlu dipikirkan lagi, Giok Cheng, lain kali ambil perhitungan lagi. Aku hendak kembali kepada subo, melapor. Aku penasaran akan kejadian ini dan bagaimana kita tak mampu menghadapi lawan-lawan kita, bukankah subo mengatakan bahwa di antara subo dan paman-paman guru setingkat. Kau carilah orang tuamu dan cukup kuantar sampai sini!”

Giok Cheng mengangguk. Memang kebetulan saja kalau malam tadi ia bertemu Sin Gak. Mereka mendengar lolong srigala dan ribut-ribut, datang dan melihat itu tapi yang lebih menyakitkan adalah hadirnya gadis hitam putih itu. Ia masih tak tahu siapa gadis ini. Dan karena ayah ibunya tak ada di situ, ia akan mencari sendiri maka ia bangkit dan mengantar sucinya itu, mengusap airmata.

“Suci tak perlu melaporkan pemuda itu, maksudku keberadaannya dengan gadis baju hitam itu. Aku pribadi tak akan melupakan ini, suci, akan kucari ayah ibuku dan kuminta agar tali perjodohan diputus. Aku benci Sin Gak, aku benci kelakuannya!”

“Dan seperti itulah ayahnya dulu. Ayahnya juga gampang menyakiti hati wanita, Giok Cheng, tak akan kulupa peristiwa itu. Sudahlah betul kata subo bahwa laki-laki adalah mahluk yang menyebalkan. Kita berpisah!”

Giok Cheng mengangguk. Sucinya berkelebat dan meninggalkan Hek-yan-pang sementara gadis ini masih termangu-mangu di situ. Apa yang terjadi ini disaksikan pula oleh Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-pang yang lain. Dan ketika semua menjadi terkejut dan berdebar tak enak, ikatan jodoh benar-benar terancam hancur maka sehari setelah membuang risaunya di situ Giok Cheng pun meninggalkan Hek-yan-pang. Menurut Cu Pin ibu dan ayahnya berada di Kun-lun atau Lam-hai!

* * * * * * * *

Sin Gak berhenti di tengah hutan itu. Kini ia melepaskan pegangannya sementara pipinya bengap kiri kanan. Dua kali ia ditampar gadis itu. Dan ketika masing-masing berhadapan dan gadis itu bersinar-sinar, marah maka Sin Gak justeru sebaliknya dan bersikap lembut, menarik napas dua kali.

“Maafkan aku, tapi kita sekarang bebas. Nah, lampiaskan marahmu kepadaku dan kali ini aku benar-benar tak menghalangimu.”

Gadis itu maju, berkacak pinggang. “Sin Gak, apa kewenanganmu hingga berani memegang-megang tanganku? Siapa suruh kau begitu lancang? Tahukah kau bahwa belum pernah seumur hidupku orang lain memegang-megang aku? Apakah kau minta mampus?”

“Hm, aku sudah minta maaf, boleh di tampar kalau masih kurang. Aku tak bermaksud menghina atau menyakitimu, nona. Aku tak mau kita bertempur sendiri sesama saudara seperguruan. Aku justeru hendak bertanya murid siapakah kau ini. Siapakah namamu dan maukah kau berterus terang.”

“Terus terang tentang apa. Bukankah kau tahu!”

“Aku hanya tahu sebagian saja, menebak-nebak. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu itu aku mulai menduga bahwa kau murid supek Song-bun-liong. Benarkah ini dan sekarang siapa namamu. Kau sudah tahu aku.”

“Hm-hm, aku Bi Hong. Karena tebakanmu benar biarlah kujawab itu. Sekarang apa maumu dengan membawaku ke tengah hutan ini. Kau sudah mengajakku menjauhi gadis-gadis siluman itu!”

“Bi Hong? Hm, nama yang bagus. Aku ingin bertanya lagi. Bagaimana kau ada di sana dan tiba-tiba muncul.”

“Aku berurusan dengan Majikan Hutan Iblis itu!”

“Dan kau tidak muncul setelah dia datang?”

“Eh, aku melihat dua bayangan gadis-gadis siluman itu, Sin Gak. Kusangka mereka temannya!”

“Apa urusanmu dengan Majikan Hutan Iblis itu?”

“Dan apa keperluanmu mengetahui ini?”

Sin Gak tersenyum. Berhadapan dan bercakap-cakap dengan gadis baju hitam ini ternyata membuka mata hatinya bahwa sesungguhnya gadis di depannya ini kocak dan pandai bicara. Dulu ia menganggap buruk ketika gadis ini menculik Lauw-lopek, menyangka yang bukan-bukan. Tapi ketika gadis ini malah menolong dan menyembuhkan kakek itu, ia mulai tertarik maka di bawah bulan purnama di tengah hutan itu ia semakin kagum. Gadis ini lincah dan sesungguhnya periang.

“He, jangan melotot saja tak menjawab pertanyaan orang. Sekarang apa perlumu mengetahui urusan pribadiku!”

“Aku merasa tak begitu perlu,” Sin Gak akhirnya jujur menjawab. “Hanya aku merasa heran kenapa kau seakan mengikuti perjalananku.”

“Heh? Mengikutimu? Jangan sombong! Aku tak merasa mengikutimu, Sin Gak, justeru akulah yang heran ketika kau menuju Hek-yan-pang. Aku tak mengira kau berurusan pula dengan manusia iblis itu!”

“Baiklah, rupanya kita bersamaan.”

“Tidak, kau katanya mencari orang tuamu!”

“Hm,” Si Gak menarik napas, pandang matanya tiba-tiba redup. “Kau benar, Bi Hong dan aneh bahwa kau cukup banyak tahu tentang aku. Di Hek-yan-pang aku gagal, malah bertemu Majikan Hutan Iblis itu."

“Aku tahu karena kebetulan saja aku mendengar, dan tak kusangka bahwa kau adalah putera si Naga Pembunuh!”

Sin Gak mengerutkan kening. Kata-kata gadis ini terdengar agak mengejek, ia tak senang. Tapi ketika gadis itu mengibaskan rambut dan gerakan ini tampak begitu mempesona, ia terpaku maka gadis itu bergerak memutar tubuh, meloncat pergi.

“Kupikir pertemuan ini cukup, kumaafkan perbuatanmu tadi. Sudahlah kita berpisah dan aku tak ingin membantumu lagi!”

Sin Gak hendak memanggil. Ia siap menggerakkan lengan dan mengejar ketika tiba-tiba ia tertegun kepada dirinya sendiri. Ada apakah ia hendak memanggil dan mendekati gadis itu? Bukankah gadis itu tampak tak senang setelah mengetahui siapa ayahnya? Maka berhenti dan tak jadi bergerak pemuda inipun mematung di situ, sampai tiba-tiba ia membalik dan secepat kilat menerkam seseorang di balik gerumbul dedaunan.

“Siapa kau!”

Orang itu kaget. Ia berseru memanggil Sin Gak dan pemuda ini terkejut karena itulah Ke Ke Cinjin. Tosu ini bersembunyi dan merangkak di gerumbul dedaunan. Ia meringis tengkuknya dicengkeram. Dan ketika Sin Gak melepaskan cengkeramannya dan tosu ini menggeleng-geleng kepala, membuang rasa sakit maka tosu itu minta maaf dan buru-buru memberi hormat.

“Maaf, pinto tak sengaja. Pinto mengikutimu setelah kau meninggalkan Hek-yan-pang. Pinto melihat pertandinganmu yang mengagumkan itu, Sin-hiante, dan kau kiranya putera si Naga Pembunuh Giam Liong. Ah, pantas, kau hebat sekali!”

“Totiang melakukan apa,” Sin Gak tak senang juga. Kenapa bersembunyi dan ada di sini.”

“Aku mengikutimu ke Hek-yan-pang, tapi bersembunyi diluar saja. Dan karena gadis itu tiba-tiba datang dan pinto takut, maka pinto bersembunyi dan mengintai saja.”

“Hm, aku tak berurusan dengan Hek-yan-pang lagi. Aku hendak pergi dan mencari ayahku, totiang. Agaknya kita tak dapat bersama-sama.”

“Tunggu!” tosu itu berseru. “Aku tahu di mana ayahmu berada, hiante. Kalau dulu kutahu siapa dirimu ini tentu kuberitahukan di mana ayahmu itu. Ia bersembunyi di sebuah tempat!”

“Kau tak bohong?” Sin Gak tertegun.

“Wah, apakah pinto juga bohong memberitahu Hek-yan-pang ini? Pinto memberimu ancer-ancer, hiante, dan kau menemukan itu. Kalau pinto bohong masa kau menemukan Hek-yan-pang!”

“Baiklah,” Sin Gak mangangguk. “Di mana ayahku itu coba totiang katakan.”

“Sebaiknya pinto mengantarmu ke sana, tempatnya rumit dan tidak sembarang orang tahu. Bukan maksudku agar bersama-sama denganmu, anak muda, melainkan karena tempat itu sukar diketahui orang. Ayahmu bertapa...!”