Tapak Tangan Hantu Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 14
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“CRANGGG!”

Bunga api berpijar. Benturan senjata itu mengejutkan semua pihak terutama sekali Majikan Hutan Iblis. Laki-laki itu berteriak keras karena golok di tangannya terpental. Sinar putih kebiruan di tangan Giam Liong itu demikian dahsyat, pedang di tangan pemuda itu mementalkan Golok Maut. Tapi ketika laki-laki itu berteriak keras dan berjungkir balik ke belakang, terbelalak, maka Giam Liong membentak maju dan dengan pedang di tangan pemuda ini mainkan Pek-jitcKiam-sut.

“Bagus, mari bertanding lagi. Kau memiliki tandingan dan lihat pedangku!”

Laki-laki ini berubah. Ia tak menyangka bahwa secepat itu Giam Liong memperbaiki diri. Kedatangan Ju-taihiap itulah penolongnya. Tapi menggeram dan menyambut terjangan pemuda itu, mengelak dan menangkis segera laki-laki ini bertanding dan melayani Giam Liong lagi, marah dan penasaran bahwa pemuda yang hampir dirobohkannya itu mendadak seperti harimau tumbuh sayap.

Kini Pek-jit-kiam di tangan pemuda itu bergulung-gulung naik turun menyambar dirinya, pecah dan sudah melakukan tusukan atau tikaman berbahaya, juga bacokan dan sinar senjata yang semua mengancam dirinya. Dan ketika ia menangkis namun selalu terpental, kalah kuat maka Golok Maut bergetar mundur dan permainan Im-kan-to- hoat yang belum sempurna membuat gerakan golok menyempit tertindih atau terdesak oleh gulungan pedang yang melebar panjang itu.

“Keparat!” lelaki ini mengutuk. “Jahanam kau, Giam Liong. Licik dan curang meminta bantuan orang!”

“Hm, tutup mulutmu. Kaulah yang curang dan licik, manusia iblis. Kau tak tahu malu menyuruh orang mengeroyokku. Kaulah yang akan menerima kematian sebagai hukumanmu!”

Laki-laki itu marah. Ia melengking menggerakkan Golok Maut menangkis Pedang Matahari. Saat itu Giam Liong melakukan gerak yang disebut Tujuh Bianglala Menerobos Bulan, sinar pedangnya pecah menjadi tujuh dan secepat kilat menyambar tujuh bagian di tubuh Majikan Hutan Iblis ini. Tapi ketika lawan mengelak dan menangkis mundur, tujuh kali Golok Maut bertemu Pedang Matahari maka tujuh sinar ini mendadak lenyap berganti satu cahaya tunggal yang menuju ulu hati lawan.

“Aiihhhh...!” Lawan melengking kaget. Ia terhuyung oleh tujuh tangkisan bertubi-tubi itu, bergetar dan mundur menyeringai sakit. Hek-mo-ciang, yang selalu siap di tangan kiri tak dapat dilepaskan. Gerakan pedang di tangan Giam Liong itu terlalu berbahaya. Maka ketika kini tiba-tiba pedang itu menyambar cepat setelah tujuh kali berturut-turut menyambar dirinya, dielak dan ditangkis tapi ia selalu terhuyung maka laki-laki itu pucat melihat jurus maut ini, tak ada jalan lain kecuali melempar tubuh bergulingan tapi Giam Liong mengejar, tetap membayangi dan melancarkan tusukan maut itu. Ujung pedang menuju ulu hati! Dan ketika laki-laki ini terbelalak dan menjadi nekat, Giam Liong terus mengejar maka ia menyambitkan golok itu untuk mengadu jiwa.

“Singggg!”

Giam Liong terkejut. Ia sudah beringas mengejar lawan dan gembira. Setelah Pek-jit-kiam di tangan ia benar-benar bagai harimau terluka, mampu menandingi Golok Maut dan tak takut lagi. Tapi ketika golok tiba-tiba dilempar dan menyambar cepat, ia bakal menusuk ulu hati lawan namun juga menerima sambitan berbahaya itu maka tak ada jalan lain baginya kecuali menarik serangan membalik menangkis Golok Maut ini.

“Cranggg!” Bunga api kembali berpijar. Begitu hebat tangkisan Giam Liong hingga golok mencelat tinggi, menyambar dan menusuk tembus pohon pek di belakang pemuda itu. Dan ketika pohon itu roboh dan tumbang, Giam Liong tergetar dan terhuyung dengan muka pucat maka di sana Ho Heng Tojin dan kawan-kawannya cerai-berai oleh amukan Ju-taihiap.

Majikan Hutan Iblis terbelalak dan pucat pasi. Kalau orang dapat melihat wajah di balik topeng karet itu tentu tampak betapa laki-laki ini menangis. Ia kaget dan pucat sekali oleh kejadian yang hampir menimpanya itu, penasaran dan marah serta perasaan lain yang bercampur aduk. Ia hampir tewas oleh kejaran Pek-jit-kiam. Kalau saja ia tak menyambitkan goloknya tentu ia roboh, meskipun Giam Liong juga roboh dan bakal terluka oleh Golok Maut yang disambitkan itu. Dan ketika pemuda itu tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tadi, pucat dan marah karena hampir saja menjadi korban maka laki-laki ini melolong dan memutar tubuh berkelebat lenyap. Raung dan lolong srigala tiba-tiba menggetarkan hutan.

“Giam Liong, bantu aku. Tangkap Ho Heng Tojin atau Ceng Tong Hwesio itu!”

Giam Liong menoleh. Ia terkejut oleh seruan ayahnya dan melihat betapa dua orang yang dimaksud tiba-tiba melarikan diri. Anak murid mereka, yang dihajar dan jatuh bangun oleh tamparan Ju-taihiap masih berbuat nekat. Mereka melindungi ketua mereka itu karena Ceng Tong Hwesio maupun Ho Heng Tojin tiba-tiba melarikan diri setelah Majikan Hutan Iblis juga lari. Mereka ini mengeroyok Ju-taihiap yang tidak menurunkan tangan besi, pendekar itu hanya menendang dan menampar yang kesemuanya itu tak mengarah jiwa.

Tapi karena mereka bangkit dan menyerang lagi, Ho Heng dan Ceng Tong akhirnya kabur maka pendekar ini menjadi marah dan apa boleh buat menambah tenaganya hingga tamparan atau tendangan kakinya membuat anak-anak murid itu berteriak karena pundak atau lengan mereka patah-patah. Kekebalan itu lenyap setelah Majikan Hutan Iblis pergi. Dan ketika Giam Liong berkelebat tapi menyambar Golok Mautnya dulu, kini senjata itu diperolehnya kembali setelah nyaris membunuhnya tadi maka pemuda ini berjungkir balik menghadang dua orang itu. Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio lari bersama-sama.

“Totiang, berhenti. Lihat anak murid kalian dan suruh mereka mundur!”

Dua orang itu terkejut. Bola mata yang tadi liar kini bergerak biasa lagi, wajar. Heng Tojin dan Ceng Tong Hwesio ini rupanya sadar setelah pengaruh Beng-jong-kwi-kang lenyap, hilang bersamaan dengan perginya Majikan Hutan Iblis itu. Maka ketika Giam Liong melayang di depan mereka dan turun dengan bentakan gemas, si buntung ini marah maka dua ketua itu berhenti namun masing-masing tiba-tiba membentak dan menyerang pemuda itu.

“Giam Liong, kami tak berurusan denganmu. Pergilah, atau kau mampus!”

“Hm!” Giam Liong menangkis. “Kalian rupanya sudah sadar, totiang. Bagus tapi dengar perintah ayahku tadi!” dan dua senjata yang putus bertemu Golok Maut disusul keluhan dan terbantingnya dua ketua itu ketika kaki pemuda ini menendang lutut.

Dua orang itu memang bukan tandingan Giam Liong dan ketika Giam Liong menyimpan senjatanya maka dua ketua ini merintih. Mereka sebenarnya malu mengapa menyerang Giam Liong, dalam keadaan tak sadar namun kini pengaruh hitam itu lenyap. Giam Liong tahu ini dan untung tidak membunuh mereka. Maka ketika pemuda itu maju mendekat dan lawan bangun kesakitan, memegangi lutut yang terkena tendangan Giam Liong maka si buntung ini berkata agar menghadap ayahnya dulu, suaranya keren.

“Lihat murid-murid kalian yang tak tahu diri itu. Suruh mereka mundur dan hadapi ayahku dulu!”

“Ampun.... maaf... kami malu menghadapi kalian, Naga Pembunuh. Kami dikuasai Majikan Hutan Iblis itu!”

“Aku tahu, kalau tidak tentu tak begini. Lekas dan suruh murid-murid kalian mundur, totiang. Dan pertanggungjawabkan kepada ayah semua perbuatan kalian ini!”

Dua orang itu tertatih. Akhirnya mereka memanggil murid-murid mereka itu, berseru dan membentak agar membuka kepungan terhadap Ju-taihiap. Dan ketika semua mundur dan melompat menyambar teman masing-masing, mata liar itu terganti biasa lagi maka dua ketua ini menjura di depan Ju-taihiap dan dengan suara gemetar memohon ampun.

“Ampunkan kami, kami berlaku salah. Kami semua dalam keadaan tak sadar, Hek-yan-pangcu. Dan terima kasih bahwa kami tak sampai dibunuh!”

“Hm, murid-murid kalian ini bandel sekali.” Ju-taihiap menegur kecewa. “Tapi kenapa kalian malah melarikan diri, Ho Heng totiang, bukankah seharusnya membawa murid-murid kalian ini!”

“Kami malu terhadap jiwi...” kakek itu menunduk. “Kami telah menyerang dan hampir mencelakai kalian, Ju-taihiap terutama sekali Si Naga Pembunuh ini. Kami menyesal, tapi sumpah bahwa kami melakukan itu dalam keadaan tak sadar!”

“Benar, pinceng juga begitu,” ketua Lu-tong-pai kini maju menyambung, muka pun merah. “Pinceng tak sadar akan apa yang kami lakukan, Ju-taihiap, kami terpengaruh ilmu hitam!”

“Aku tahu, sudahlah,” si jago pedang mengibaskan tangannya. “Hanya lain kali bersikaplah ksatria sedikit, Ceng Tong lo suhu, masa kalian meninggalkan para murid sementara kalian sendiri pergi!”

“Kami mengaku salah, maaf...”

“Kami merasa malu...!”

“Hm, sekarang apa yang akan kalian lakukan dan lupakan peristiwa tadi,” Ju-taihiap akhirnya kasihan, mengalihkan pembicaraan pada yang lain. “Sekarang harap waspada dan lebih hati-hatilah terhadap manusia itu, lo-suhu. Bagaimana sampai kalian terpengaruh!”

“Majikan Hutan Iblis itu datang di tempat kami, dan selanjutnya kami dirobohkan.”

“Benar, pinto juga begitu, Ju-taihiap, dan pinto ngeri terulang lagi!”

“Hm-hm!” pendekar itu mengangguk-angguk, memandang dua orang itu. “Kalau begitu bagaimana jika kalian berkumpul di Hek-yan-pang saja. Di sana kita bersatu dan mempertahankan diri!”

“Ah, taihiap hendak membuat repot diri sendiri?”

''Tidak, di sana ada puteraku Han Han, lo-suhu, dan aku sedia menerima kalian seperti halnya yang lain-lain!”

“Tapi pinceng sungkan...”

“Benar, pinto juga!” Ho Heng Tojin tiba-tiba berseru. “Maksud baikmu bagus sekali, taihiap, tapi bagaimana kami harus seperti itu!”

“Hm, yang kita hadapi adalah seorang manusia iblis yang amat berbahaya, licik dan curang. Aku mempunyai gagasan ini setelah melihat ketua-ketua yang lain roboh dan juga terpengaruh ilmu hitam Beng-jong-kwi-kang!”

“Ayah tahu?” Giam Liong tiba-tiba bertanya. “Mereka menyerang dan mengejar-ngejar aku, ayah. Rasanya baik kalau Lu-tong dan Khong-tong bergabung dulu di Hek-yan-pang. Mereka dapat menyelamatkan diri dari kekuatan jahat itu. Aku mendukung!”

“Hm, aku sudah tahu semua, dan aku semakin khawatir. Kubuntuti dan kucari Majikan Hutan Iblis ini, Giam Liong, sampai akhirnya ke sini. Kalau Ho Heng totiang maupun Ceng Tong lo-suhu tak perlu sungkan maka sekarang juga kubuatkan surat untuk Han Han di Hek-yan-pang. Aku sendiri masih bermaksud mengumpulkan yang lain-lain. Bagaimana dengan keinginan baikku ini!”

Dua ketua tertegun dan saling pandang. Kiranya mereka dicegat Giam Liong adalah untuk menerima kehendak ini. Ketua Hek-yan-pang itu hendak menyuruh mereka bersatu di Hek-yan-pang saja demi kebaikan bersama. Memang ini tawaran yang bagus dan amat berharga. Siapa tidak kenal kelihaian ayah dan anak ini. Tapi ketika mereka masih ragu-ragu sementara para murid mulai berseri gembira, Ho Heng dan rekannya belum menjawab maka Giam Liong maju bicara.

“Jiwi tak perlu malu hati. Jiwi boleh sungkan menerima ini namun harap ingat murid-murid jiwi di sini. Tawaran ayahku amat simpatik, tidak mengandung pamrih. Kalau kalian ingat akan nyawa murid-murid kalian tak usah ragu-ragu lagi dan sekarang berangkatlah. Biar ayah membuat surat pengantar!”

“Baiklah,” dua ketua itu akhirnya mengangguk. “Keselamatan murid-murid kami adalah hal yang lebih utama sekali, Giam-siauwhiap. Kalau kau sudah mengingatkan seperti ini tak perlu lagi kami berpanjang pikir. Terima kasih atas tawaran ini dan sekali lagi kami berdua menyatakan beribu terima kasih kepada kebaikan Ju-taihiap!”

“Hm, ini bukan kebaikan, ini kewajiban,” Ju-taihiap menjawab, lega, matanya gembira memandang Giam Liong. “Aku lupa akan tekanan pada maksud baikku, totiang, bahwa nyawa banyak orang jauh lebih berharga daripada seorang dua saja. Benar, kalian harap mengingat murid-murid kalian itu karena mereka adalah segala-galanya!”

Para murid bersorak gembira. Mereka tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan kegirangan akan maksud jago pedang itu. Kalau mereka dapat berkumpul dan berlindung di bawah bendera Hek-yan- pang tentu Majikan Hutan Iblis itu tak dapat mengganggu mereka lagi. Dan ketika ketua mereka juga membungkuk dan melipat tubuh dalam-dalam, menyatakan terima kasih maka Ju-taihiap segera membuat surat pengantar untuk putera kandungnya di sana, Han Han. Memberi tahu bahwa rombongan besar ini hendak tinggal di Hek-yan-pang, bergabung atau sebenarnya mencari perlindungan di bawah kekuatan Hek-yan-pang.

Pendekar itu sendiri masih pergi dan hendak melanjutkan perjalanan. Hancurnya pengaruh Beng-jong-kwi-kang di sini hendak diteruskan ke tempat lain, para ketua atau tokoh-tokoh persilatan, yang sudah dibetot semangatnya. Dan ketika pendekar itu menyerahkan surat itu dan Ho Heng serta Ceng Tong Hwesio membungkuk penuh hormat, disuruh pergi maka ketika orang-orang itu bergerak dan meninggalkan tempat itu maka Giam Liong menarik napas dalam-dalam dan menyerahkan kembali Pek-jit-kiam kepada ayah angkatnya ini.

“Terima kasih, ayah sudah menyelamatkan aku dari maut. Lega dan gembira sekali bertemu denganmu, ayah. Apakah ada kisah-kisah menarik seperti yang aku alami.”

“Hm, tak ada, semuanya menyebalkan. Apakah yang menarik dalam perjalananmu, Giam Liong. Aku tak mempunyai kisah apa-apa kecuali kabar tentang ketua-ketua partai itu, pengaruh Beng-jong-kwi kang!”

“Aku bertemu Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin,” Giam Liong coba memancing. “Dan yang lebih, utama lagi aku telah menemukan Sin Gak!”

“Apa? Kau telah menemukan puteramu itu? Di mana dia?”

“Dia dibawa kakek ini, ayah, Sian-eng-jin.”

“Hm, siapa Sian-eng-jin ini. Aku tak mengenal!”

“Ayah juga tak mendengar nama Hek-i Hong-li?”

“Bidadari Baju Hitam? Hm, tidak, siapa dia ini!” Ju-taihiap justeru mengerutkan alis.

“Mereka adalah orang-orang lihai, amat lihai. Aku dikalahkan dengan mudah!” Giam Liong menarik napas dalam, memandang ayahnya dan sang ayah terkejut memandang puteranya ini. Giam Liong begitu bersungguh-sungguh. Dan ketika pemuda itu tak meneruskan ceritanya dan sang ayah penasaran maka Ju-taihiap berseru,

“Kau dikalahkan dengan mudah? Kau tak mampu menandinginya? Ah, jangan main-main, Giam Liong. Kalau kau tak dapat mengalahkan mereka tentu aku lebih lagi!”

“Benar, aku benar-benar tak mampu menandingi, dan aku seperti anak kecil di hadapan kakek dan nenek siluman itu. Mereka betul-betul luar biasa, sakti!”

“Ah, siapa mereka ini, Giam Liong, dan bagaimana puteramu sampai dibawa kakek itu!”

“Aku bertemu secara kebetulan, dan mula-mula nenek baju hitam itu, Hek-i Hong-li ”

“Coba ceritakan, masa mereka demikian lihai!”

“Hm, bukan lihai lagi, ayah, melainkan sakti. Aku benar-benar kalah dan Pek-poh-sin-kun yang amat kuandalkan hanya diketawai mereka!”

Giam Liong lalu menceritakan kisah pertemuannya. Sang ayah terbelalak dan tak mau ditunda lagi. Dan ketika ia menceritakan betapa ia dipermainkan nenek itu, lalu si kakek sakti Sian-eng-jin maka di sini ia menyinggung pula masalah Sin Gak, puteranya.

“Aku tak tahu siapa mereka ini namun kesaktian mereka benar-benar luar biasa. Kakek sakti Sian-eng-jin itu minta puteraku untuk dijadikan muridnya, ayah, dan Majikan Hutan Iblis ketanggor bertemu kakek ini. Dari dialah Sin Gak diambil, dan karena aku kalah bertaruh maka puteraku kurelakan dibawa kakek itu.”

“Luar biasa, hampir tak dapat dipercaya! Ah, siapa mereka ini, Giam Liong, apakah bukan suami isteri. Aku belum mendengar tentang dua orang ini!”

“Aku juga belum, baru kali itu. Konon katanya mereka sudah berumur lebih dari seratus tahun dan mungkin hanya ayah dari kakek kita yang tahu nama ini!”

Ju-taihiap mendecak kagum. Kalau bukan Giam Liong yang bercerita mau rasanya ia tak mempercayai itu. Tapi yang bicara adalah Giam Liong, puteranya. Dan karena tak mungkin pemuda itu bohong maka pendekar ini mengangguk-angguk dan mendecak.

“Hebat, kalau begitu luar biasa sekali. Ah, mungkin hanya Sian-su yang tahu, Giam Liong, atau barangkali Im Yang Cinjin locianpwe!”

“Hm, mungkin saja. Tapi aku merasa aneh bahwa katanya kakek itu tak mungkin membantu orang- orang persilatan, ayah. Aku teringat kata-kata jahanam Majikan Hutan Iblis itu akan ini!”

“Hm, apa katanya.”

“Kakek itu terikat oleh semacam sumpah, tak mungkin turun ke dunia ramai lagi bergerak secara terang-terangan.”

“Boleh jadi, mungkin masuk akal juga. Tapi omongan iblis keparat itu jangan di percaya sepenuhnya, Giam Liong. Siapa tahu ia hendak mengecilkan hati kita!”

“Mungkin, tapi mungkin juga tidak. Kalau kita lihat betapa seratus tahun mereka tak muncul mungkin menunjukkan itu benar, ayah, manusia iblis itu tak bohong. Tapi aku penasaran kenapa Sin Gak harus dibawa!”

“Hm, tak perlu penasaran. Mendengar ceritamu tadi justeru aku merasa bersyukur, Giam Liong, anakmu bakal menjadi orang hebat yang melebihi dirimu kelak. Kau beruntung!”

“Tapi aku tak mengenal kakek itu, tak tahu apakah dia jahat atau tidak!”

“Hm, kupikir tidak. Kau tak diapa-apakan, Giam Liong, lagi pula kakek itu jujur dengan memberi tahu tentang puteramu. Ia bukan orang jahat!”

“Agaknya begitu, tapi siapa tahu...!”

“Hm, tak perlu bercuriga. Bahwa puteramu telah dirampasnya dari Majikan Hutan Iblis harusnya membuat kau berterima kasih, bersyukur. Tak baik berprasangka yang buruk-buruk, Giam Liong. Kakek itu orang aneh tapi jelas bukan orang jahat!”

“Ya, mudah-mudahan, tapi aku harus berpisah dari puteraku.”

“Sudahlah, jauh lebih beruntung daripada kalau Sin Gak di tangan Majikan Hutan Iblis. Eh, kau tak kenal rasa beruntung, Giam Liong. Masa begini sikapmu!”

“Maaf, aku terlanjur kecewa berulang-ulang, ayah, tapi kau benar. Baiklah, aku akan bersyukur dan merasakan keberuntungan ini. Mudah-mudahan Sin Gak mendapat nasib yang baik dan jauh lebih hebat daripada aku kelak!”

“Tentu, dan sekarang apa yang akan kau lakukan. Kau telah mendapatkan senjatamu kembali. Golok Maut itu telah di tangan!”

“Hm,” si buntung mengerutkan alis, pandang matanya berkilat. “Aku pribadi hendak mengejar dan mencari jahanam itu lagi, ayah. Dan dengan golok ini aku akan membuat perhitungan!”

“Bagaimana kalau kau membantu aku dulu. Aku juga akan mencari manusia iblis itu tapi di sepanjang jalan melakukan sesuatu.”

“Ayah hendak melakukan apa?”

“Seperti yang kulakukan kepada dua orang tadi, Giam Liong, membebaskan tokoh-tokoh dan ketua partai dari pengaruh Beng-jong-kwi-kang. Aku hendak menyuruh mereka berkumpul dan bersatu di Hek-yan-pang!”

“Hm, baik!” Giam Liong mengangguk dan maklum akan pentingnya urusan ini. “Kau sendirian rupanya akan terlalu repot, ayah, dengan aku membantumu agaknya pekerjaan kita lebih cepat. Kalau mereka dibiarkan begitu tentu menyusahkan aku juga, aku bakal dikejar-kejar. Aku terima dan itu bagus!”

“Tapi kau tak boleh membunuh!” sang ayah memandang tajam. “Golok di tanganmu bukan untuk bersimbah darah lagi, Giam Liong, cukup yang dulu-dulu itu. Kau hanya membantu aku menyadarkan dan membuyarkan pengaruh Beng-jong-kwi-kang. Lalu kita menyuruh mereka ke Hek-yan-pang agar dapat bergabung dan menjadi kesatuan yang kuat!”

“Aku tahu,” Giam Liong mengangguk. “Tapi untuk musuhku yang satu itu rupanya tak dapat kupenuhi, ayah. Aku ingin membabat tubuhnya!”

“Hm, itu urusan nanti. Dan kau beruntung bahwa kau sudah sendirian lagi!”

“Maksud ayah?”

“Golok Maut tak boleh dibawa oleh suami isteri, Giam Liong. Ingat kutuk atau tuahnya itu!”

Giam Liong tertegun. Tiba-tiba ia ingat dan meremang bulu tengkuknya. Golok ini memang golok yang luar biasa, tak boleh dipegang atau dipergunakan oleh orang yang terikat hubungan suami isteri, atau kaum lajang tapi yang melakukan hubungan suami isteri. Dan karena golok itu bakal membalas dengan caranya yang mengerikan, meminta korban dengan darah tuannya atau kekasih tuannya maka ia terkesiap tapi kemudian tenang lagi, mengangguk.

Ia telah kehilangan isterinya dan asal tak melanggar pantangan itu tentu tak akan kena kutuknya. Ayahnya tewaspun karena itu. Itulah sebabnya kenapa ia lalu mengubur atau menyembunyikan Golok Maut di Lembah Iblis, tak mau memakainya lagi setelah ia menikah. Maka ketika ia mengangguk dan teringat itu, diam-diam merasa seram tapi sekarang bebas lagi, ia boleh membawa dan mempergunakan golok ini asal tetap sendirian maka Giam Liong berkelebat dan mengajak ayahnya berangkat.

“Baik, aku mengerti, ayah, dan terima kasih atas peringatanmu!”

Jago pedang itu juga bergerak. Setelah ia menyimpan Pek-jit-kiam dan Giam Liong membawa Giam- to nya (Golok Maut) lagi maka kepercayaan di masing-masing pihak bertambah besar. Dengan senjata pusaka itu mereka tak perlu takut atau khawatir lagi menghadapi Majikan Hutan Iblis,. Bahkan mereka akan menjadi harimau tumbuh sayap, apalagi Giam Liong! Maka ketika dua orang itu bergerak meninggalkan hutan itu, mencari dan menemui tokoh-tokoh persilatan yang terkena pengaruh Beng-jong-kwi-kang maka benar saja dengan Pek-jit-kiam atau Golok Maut ayah dan anak angkat ini berhasil membebaskan orang-orang itu.

Satu demi satu para tokoh partai didatangi. Pengaruh Pek-jit-kiam terutama Golok Maut itu amat luar biasa. Kekebalan Beng-jong-kwi-kang ternyata tak mampu menahan ketajaman golok maut ini, robek dan siapapun gentar dan pucat. Dan ketika semuanya roboh dan anak-anak murid juga terbangun dari mimpi, Giam Liong dan Ju-taihiap berhasil membebaskan mereka maka jago pedang itu berkata agar semuanya pergi ke Hek-yan-pang.

“Kalian tak akan dapat mengatasi Majikan Hutan Iblis itu sendiri. Pergi dan berkumpullah di Hek-yan- pang. Di sana telah banyak saudara-saudara yang lain untuk bersatu dan menghadapi manusia iblis itu. Nah, berangkatlah dan temui puteraku Han Han. Ini surat dariku untuknya!”

Para ketua partai itu mengangguk-angguk. Setelah pengaruh Beng-jong-kwi-kang buyar dan kekebalan mereka ditembus Golok Maut maka seketika itu juga mereka tersentak dan sadar. Ketajaman golok itu benar-benar luar biasa karena Ju-taihiap lebih banyak memberikan kesempatan kepada Giam Liong untuk mempergunakan senjatanya. Pek-jit-kiam masih di tangan dan sekali dua saja dipakai. Golok Maut itulah yang banyak beraksi. Maka ketika mereka terkejut dan sadar, Majikan Hutan Iblis sejak saat itu juga tak pernah menampakkan diri maka pekerjaan ayah dan anak ini menjadi lebih mudah dan kekuatan hitam dari pengaruh jahat itu juga pudar tak sekuat biasanya.

Giam Liong membuat lawan semakin gentar dengan golok di tangannya itu. Si buntung ini benar-benar siap berubah menjadi Naga Pembunuh kalau mereka macam-macam. Tapi karena semuanya sudah sadar dan hadirnya Ju-taihiap di samping pemuda itu membuat Giam Liong mampu mengendalikan diri, betapapun dengan ayah di sampingnya itu pemuda ini tak seganas biasanya maka ketika semuanya selesai dan Hek-yan-pang menjadi penuh orang maka Ju-taihiap berhenti dan bertanya apa yang hendak dilakukan pemuda itu sekarang.

“Aku rupanya harus menemui Han Han sebentar, tugas membebaskan pengaruh Beng-jong-kwi-kang sudah selesai. Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Giam Liong, apakah turut bersamaku pulang dan di sana membuat rencana baru.”

“Hm, aku akan mencari orang ini sampai dapat. Aku belum menemukannya lagi, ayah, biarlah kau pulang dulu dan kita berpisah di sini. Dulupun aku sudah bertekad untuk tak mau sudah sebelum menghajar dan menemukannya!”

“Baiklah, aku tahu. Tapi hati-hati dan waspadalah, Giam Liong. Betapapun orang itu amat licik!”

“Terima kasih, dan selamat tinggal. ayah. Salamku untuk Han Han!”

Jago pedang itu mengangguk. Giam Liong akhirnya berkelebat dan kali ini mereka tak bersama-sama lagi. Perjalanan itu telah selesai, Giam Liong telah membantunya untuk membebaskan orang-orang dari pengaruh jahat Beng-jong-kwi-kang. Dan karena dia sendiri ingin kembali dan melihat Hek-yan-pang, entah setelah itu akan pergi lagi atau tidak maka kepergian Giam Liong dimengerti pendekar ini.

Giam Liong adalah anak muda yang pendendam dan berdarah panas. Dia adalah keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Maka ketika pemuda itu tak mau bersamanya dan percuma dibujuk untuk menengok Hek- yan-pang maka Ju-taihiap sendiri ingin kembali dan menemui puteranya Han Han. Dia sendiri telah berputar-putar untuk mencari Majikan Hutan Iblis itu, ketemu ketika Giam Liong bertanding hebat.

Tapi karena setelah itu lawan tak muncul lagi, menghilang dan lenyap menyembunyikan diri maka pendekar ini ingin beristirahat dulu sambil melihat keadaan rumahnya. Juga dia ingin menengok cucunya Giok Cheng, ada perasaan rindu atau kangen kepada cucu perempuannya itu. Maka ketika dia menarik napas dalam melihat kepergian Giam Liong, tak mungkin pemuda itu mau dibujuk lagi maka pendekar inipun menggerakkan kakinya menuju Hek-yan-pang.

Majikan Hutan Iblis tak muncul lagi sejak pertemuannya dengan Giam Liong. Golok Maut itu telah direbut kembali dan berada di tangan pemiliknya. Dan ketika pendekar itu disambut dengan gembira di Hek-yan-pang, anak dan mantunya turut menyambut maka semua bertanya tentang Naga Pembunuh itu. Han Han telah mendengar bahwa ayahnya bersama-sama Giam Liong.

“Hm, anak itu pergi, tak mau ke sini. Ia mencari dan hendak meneruskan perjalanannya, Han Han, dan bagaimana kalian sendiri di sini.

“Kami baik-baik saja, namun musuh tak berani datang. Ceng Tong lo-suhu dan Ho Heng totiang menunggu-nunggumu ayah, ingin bertanya bagaimana sebaiknya kalau Majikan Hutan Iblis tak menyatroni kita!”

“Benar,” ketua Khong-tong itu maju dan berseri-seri, mengepal tinju. “Kami di sini aman dan menenteramkan, taihiap. Tapi tak enak juga harus makan minum menganggur. Kami telah merepotkan Hek-yan-pang!”

n “Dan pinceng juga siap. Asal bersama taihiap atau Han-siauwhiap kami tak perlu takut lagi terhadap siapapun. Kami menunggu kepemimpinanmu!” Ceng Tong, hwesio Lu-tong itu menyambung. Ia bersama Ho Heng Tojin memang tenang dan tenteram di tempat itu.


“Aku ingin mengaso dulu. Biarlah sehari dua kita bicarakan lagi.”

“Tapi taihiap mau menerima, bukan? Bukankah sebaiknya kita menyerang dan mencari iblis itu?”

“Hm-hm, sudah sejauh ini baru sekali itu aku berhasil, totiang. Majikan Hutan Iblis itu tak mudah didapat kalau tidak atas kehendaknya sendiri. Sudahlah, nanti kita bicara lagi dan sekarang aku ingin bercakap-cakap dengan puteraku. Aku ingin mengaso.”

Semua orang mundur. Akhirnya mereka sadar bahwa pendekar itu harus diberi waktu, dia baru saja datang dan tak layak mendesaknya dengan kata-kata dan keinginan. Maka ketika pendekar itu masuk dan berdua dengan puteranya, ditemani menantunya maka keluarga ini melepas rindu dengan pertanyaan dan cerita sana-sini. Ternyata berkumpulnya para tokoh di situ menciptakan semangat tinggi. Mereka benar-benar terlindung dan aman di bawah naungan Hek-yan-pang. Nama besar Ju-taihiap maupun puteranya ternyata membawa kepercayaan diri.

Majikan Hutan Iblis tak berani mengganggu mereka dan Han Han menerima satu demi satu ketua-ketua partai yang terbebas dari pengaruh jahat Beng-jong-kwi-kang itu. Mereka bercerita tentang pertemuannya dengan Ju-taihiap, juga Giam Liong. Dan karena Hek-yan-pang akhirnya penuh dengan orang-orang kang-ouw ini, para pendekar maka kekuatan mereka menjadi bertambah dan Han Han merasa tenang dengan keadaan itu. Tapi ketika dia ganti bercerita akan tewasnya Kim-sim To-jin, guru isterinya maka Tang Siu yang berada di situ setelah tiga supeknya mengajak dia kembali membuat nyonya itu tersedu menutupi muka, tak tahan.

“Tadinya aku juga meninggalkan Hek-yan-pang. Tang Siu lari dan kukejar. Tapi ketika Hutan Iblis terbakar dan habis dimakan api, aku termenung mencari isteriku ini akhirnya tanggung jawabku akan rumah membuat aku pulang lagi. Kematian Kim-sim Tojin memang amat memukul, dan Siu-moi kiranya mengikuti Keng Hwat locianpwe. Dan karena aku harus menjaga anak murid dan menunggu ayah pulang maka sumoi dan supeknya akhirnya datang dan tinggal pula di sini, menceritakan bahwa Kun-lun juga menerima musibah!”

“Hm-hm, hebat sekali, dan sungguh keji Majikan Hutan Iblis itu. Untuk Kun-lun aku sudah mendengar, Han Han, tapi kematian Kim-sim Tojin baru kuketahui sekarang. Ah, bagaimana terjadinya!”

“Kami tak tahu bagaimana terjadinya, kecuali bahwa keesokannya tiba-tiba para murid menemukan empat keranjang berisi jenasah Kim-sim totiang itu. Kematiannya mengerikan, dicincang Golok Maut!”

“Dan jelas perbuatan Majikan Hutan Iblis itu. Keparat, orang itu sungguh binatang, Han Han, tapi sekarang Golok Maut telah di tangan Giam Liong kembali!”

“Ya, aku sudah dengar. Tapi sejak ayah pergi kami di Hek-yan-pang jatuh bangun menghadapi iblis itu. Kalau saja suhu Im Yang Cinjin tak datang menolong barangkali aku juga binasa dan sudah tinggal nama!”

“Dia datang ke sini?”

“Benar, ayah, dan aku hampir roboh!”

“Tapi kepandaianmu tinggi, kau setingkat di atas ayahmu!”

“Hm, ayah harus ingat. Waktu itu Golok Maut itu di tangan lawanku itu, sementara Pek-jit-kiam ayah bawa!”

“Ah, ah... benar! Aku lupa, Han Han. Tapi bukankah akhirnya kau selamat!”

“Benar, aku terpaksa memanggil suhu di Lam-hai. Keganasan Golok Maut itu yang amat mengerikan!”

“Dan dia rupanya tahu kalau aku pergi. Ah, licik dan curang sekali orang ini, Han Han. Pantas kalau Giam Liong tak mau melepaskannya!”

Malam itu ayah dan anak bertukar cerita. Ju-taihiap berubah dan tertegun mendengar kisah Hek-yan-pang, betapa setelah kepergiannya muncul Majikan Hutan Iblis itu, menyerang dan mengobrak-abrik anak murid dan hampir membunuh puteranya sendiri. Dan ketika ia menyesali kematian Kim-sim Tojin, kenapa tosu itu tak mau diajak Im Yang Cinjin maka di sini jago pedang itu menarik napas dalam.

“Agaknya semuanya ini memang harus terjadi. Kematian Kim-sim totiang sudah takdir. Tapi kenapa ia bertinggi hati, Han Han, bukankah gurumu sudah membujuknya dan akan membawanya ke Lam-hai. Sayang, ia harus tewas dan kita kehilangan seorang keluarga!”

“Benar, tapi itupun rupanya sudah nasib. Aku juga sudah membujuk dan memaksanya secara halus, ayah, namun gagal. Aku tak dapat berbuat apa-apa dan cegahan Siu-moi juga tak digubris. Mimpi itu menjadi kenyataan!”

“Hm, mimpi apa.”

“Tentang kematian Kim-sim totiang ini. Siu-moi sudah mengkhawatirkannya tapi kakek itu malah marah-marah. Takdir, kita tak dapat merobah takdir!”

Ju-taihiap mengangguk-angguk. Akhirnya dia memandang menantunya dan bertanya tentang nasib yang menimpa Kun-lun. Dia sudah mendengar namun baru garis besarnya saja. Dan ketika nyonya muda itu menceritakan peristiwa buruk di sana, betapa tujuh pimpinan Kun-lun terbunuh maka nyonya ini menahan tangis menggigit bibir.

“Supek Keng Hwat Taisu tadinya tak menyangka pembalasan itu, dan ini gara-gara aku juga. Aku yang mula-mula membakar Hutan Iblis itu, ayah, membumihanguskannya. Tapi ketika kami ke Kun-lun dan hendak meninggalkan pesan kepada anak murid ternyata tempat itu ganti dibumihanguskan dan dibakar. Aku menyesal sekali akan peristiwa di Kun-lun ini. Majikan Hutan Iblis itu benar-benar keparat dan amat keji!”

“Hm, dan kau sendiri, lalu apa yang kau perbuat, Han Han?”

“Aku mengejar isteriku, ayah, gagal. Untuk berhari-hari berkeliaran ke sana ke mari tapi akhirnya aku kembali lagi ke Hek-yan-pang. Tanggung jawab dan perlindunganku kepada anak murid memaksaku pulang!”

“Hm, semuanya serba buruk, membuat kita marah. Tapi ada yang baik, Han Han, yakni tentang kembalinya Sin Gak!”

“Ah, Giam Liong telah mendapatkan puteranya itu?”

“Benar, tapi sekarang lepas lagi...”

“Eh, apa maksud ayah? Lepas ke mana?”

“Ke orang lain, Han Han, dan ada berita baru yang menarik.”

“Apa itu,” Han Han menyergap. “Coba ayah ceritakan dan aku bingung bagaimana Sin Gak berpindah tangan!”

“Ada dua orang sakti muncul, namanya Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin.”

“Hek-i Hong-li? Siapa ini?”

“Aku juga baru kali ini mendengar, Han Han, tapi Giam Liong telah dirobohkannya.”

“Astaga, tidak main-main! Kalau begitu hebat sekali orang itu dan bagaimana Giam Liong bisa bertemu lawannya ini!”

“Aku juga tak tahu pasti, tapi yang jelas Giam Liong seperti anak kecil berhadapan dengan dua orang ini. Dan Sian-eng-jin yang merebut Sin Gak dari tangan Majikan Hutan Iblis, Han Han, tapi kakek itu lalu memintanya kepada Giam Liong setelah merobohkan pemuda itu!”

“Hm-hm, kalau begitu aku tentu juga bukan tandingannya. Ah, siapa mereka ini, ayah, apakah kau atau Giam Liong betul-betul tidak tahu!”

“Aku tidak tahu, barangkali Sian-su atau gurumu tahu.”

“Hm, suhu Im Yang Cinjin? Seingatku tak pernah bercerita, mungkin juga tidak tahu!”

“Kalau begitu Sian-su yang tahu. Mereka itu sudah ada sejak seratus tahun yang lalu, Han Han, berarti jamannya ayah dari kakek kita!”

“Hebat, dan setua itu muncul lagi di dunia persilatan. Entah apa maunya. Jangan-jangan membuat onar!”

“Kurasa tidak. Kakek dan nenek itu punya pantangan, Han Han, katanya tak boleh mencampuri urusan dunia lagi. Giam Liong mendengarnya ini dari Majikan Hutan Iblis!”

Han Han mengerutkan alisnya. Dia lalu mendengar cerita ayahnya tentang perkiraan itu, betapa laki-laki itu tak takut kepada Sian-eng-jin karena dikatakan disumpah tak boleh memasuki dunia kang-ouw lagi. Dan karena Giam Liong juga memiliki kepercayaan yang sama dari sikap dan tingkah laku dua orang sakti itu maka pendekar ini menutup dengan suara datar.

“Mudah-mudahan yang diperkirakan ini benar. Dan kalau itu benar maka ada untung dan ruginya. Ruginya adalah orang sehebat itu tak dapat dimintai tenaganya untuk menghadapi orang seperti Majikan Hutan Iblis, sedangkan untungnya adalah ada calon pengganti yang kelak ditunjukkan oleh putera Giam Liong itu.”

“Maksud ayah?”

“Sin Gak diambil sebagai murid. Han Han, dan tentu anak itu akan jauh melebihi kita!”

“Dan nenek itu,” Tang Siu tiba-tiba berseru. “Apakah tidak mempunyai murid, gak-hu. Kalau belum tentu Giok Cheng kuinginkan menjadi muridnya!”

“Hm!” Han Han terkejut. “Kau mau kehilangan anak kita? Kau tak ingin mendidik dan merawatnya sendiri?”

“Kalau kepandaianku tak nempil menghadapi orang seperti Majikan Hutan Iblis itu apa gunanya mendidik Giok Cheng, Han-ko. Jauh lebih baik di tangan nenek sesakti itu agar dapat membalas sakit hatiku!”

Han Han saling pandang dengan ayahnya. Dia mengerutkan kening mendengar kata-kata ini karena secara tersirat isterinya menyesalinya juga, bahwa dia tak mampu menangkap dan membunuh musuh itu. Dan karena kata-kata ini penuh emosi didorong oleh dendam belaka, sakit hati maka pemuda itu menarik napas panjang bicara dengan suara getir.

“Siu-moi, semua tahu bahwa lawan yang kita hadapi adalah orang yang amat berbahaya. Waktu itu dia membawa Golok Maut, padahal Pek-jit-kiam dibawa ayah. Kalau aku membawa Pek-jit-kiam atau musuhku itu tak membawa Golok Maut tentu aku dapat menangkap atau merobohkannya!”

“Aku tak menyalahkan dirimu, aku hanya menyesali kepandaianku yang rendah saja.”

“Ah, sudahlah, itupun tak perlu disesali, moi-moi. Sebenarnya kaupun bukan wanita sembarangan dibanding tokoh-tokoh persilatan yang ada. Kau masih lebih hebat daripada Ceng Tong Hwesio atau Ho Heng Tojin yang ada di sini misalnya!”

“Benar, tapi kita tak perlu mempersoalkan ini lagi. Malam sudah larut dan baiklah kita masing-masing beristirahat,” Ju-taihiap menyela dan menghabiskan percakapan itu. Pendekar ini bangkit dan masuk ke kamar dan pertemuan itupun berakhir.

Han Han memandang isterinya dan akhirnya mengajaknya masuk pula. Dan ketika semua tertidur namun nyonya itu tak dapat memejamkan mata, entah kenapa dia teringat cerita tentang nenek itu maka timbul keinginannya mudah-mudahan ia bertemu nenek itu dan akan menyerahkan Giok Cheng agar menjadi murid! Nyonya ini iri akan keberuntungan Sin Gak, di samping memang ingin membalaskan dendamnya atas tewasnya gurunya yang dikasihi. Maka ketika dia mendengar cerita tentang nenek sakti itu, betapa nenek itu dengan mudah mengalahkan Giam Liong maka dia mengharap mudah-mudahan ia bertemu nenek itu dan sang nenek sudi mengambil puterinya. Tak mau kalah kalau kelak putera Giam Liong menjadi orang luar biasa!

Ju-taihiap sendiri tentu saja tak mempunyai pikiran seperti ini karena masalah dendam rasanya dapat diatasi sendiri. Han Han puteranya juga berpikiran sama. Maka ketika keesokannya pendekar menemui tokoh-tokoh kang-ouw itu, diminta pendapatnya untuk memimpin mereka maka pendekar ini menarik napas dalam menyatakan kebingungannya.

“Aku pribadi tak menolak, tapi ke mana kita cari Majikan Hutan Iblis itu? Setelah tempat tinggalnya dibakar habis, kita tak tahu lagi di mana dia bersembunyi, cuwi enghiong. Bingung rasanya harus mencari orang ini. Apakah kita asal mencari saja.”

“Tidak, kita dapat memecah rombongan. Satu di bawah pimpinanmu sementara yang lain dipimpin puteramu, taihiap. Kalau orang ini tak ditangkap atau dibunuh tentu kami semua masih was-was dan dilanda rasa takut!”

“Dan kami mungkin masih bernaung di Hek-yan-pang sini, minta perlindungan!”

“Dan itu berarti merepotkan Ju-taihiap sekeluarga. Benar, kami telah sepakat untuk mencari dan mendapatkan keparat ini, taihiap, di bawah pimpinan kalian berdua ayah dan anak. Kami tak ingin membuat Hek-yan-pang repot setiap hari!”

Ju-taihiap tersenyum dan mengangguk memandang orang terakhir itu. Ia adalah Ho Heng Tojin dan tosu itu tampak bersemangat mengeluarkan kata-katanya. Ia didukung oleh seruan di sana-sini. Dan karena itu benar dan tak mungkin semua orang-orang kang-ouw ini harus bergerombol di Hek-yan-pang, mereka juga punya tugas dan pekerjaan sendiri-sendiri di tempat mereka akhirnya jago pedang ini menerima dan dua hari kemudian bersama puteranya dia memimpin orang-orang itu mencari dan menangkap musuh yang amat berbahaya ini.

Namun sebulan dicari jejak Majikan Hutan Iblis itu tak ada. Dilanjutkan sebulan lagi namun tetap tak menemukan jejak. Dan ketika setengah tahun kemudian orang itu tak didengar kabar beritanya, lenyap seperti siluman maka Ju-taihiap memutuskan untuk pulang kembali dan sewaktu-waktu melapor ke Hek-yan-pang kalau iblis itu datang mengganggu. Rasa putus asa dan harap-harap cemas meliputi wajah semua orang.

“Agaknya lawan kita ini ketakutan, dan tak mungkin kita harus terus seperti ini. Sebaiknya cuwi kembali dan bekerja di tempat masing-masing seperti biasa saja, Ho Heng totiang. Kalau ada apa-apa cepat kirim berita ke Hek-yan-pang. Secepatnya kami tentu datang!”

“Atau kami yang kembali ke Hek-yan-pang!” tosu itu berseru. “Asal kau tak segan menolong kami biarlah kami pulang, taihiap. Tak enak juga membuang-buang waktu dan tenaga di perjalanan yang sia-sia. Baiklah, bagaimana dengan Ceng Tong lo-suhu dan lain-lain!”

Semua ternyata setuju. Asal ada jaminan dari Ju-taihiap bahwa pendekar itu akan tetap turun tangan maka orang-orang itupun menerima usul ini. Mereka mantap. Dan ketika semua mulai percaya diri dan pulang ke tempat masing-masing, bulan demi bulan dilewatkan lagi tanpa gangguan maka ketenangan mulai menenteramkan orang-orang itu dan sampai setahun tak ada berita tentang Majikan Hutan Iblis ini.

Bagai ditelan bumi saja orang itu tak muncul lagi. Dan karena timbul dugaan bahwa lawan mereka itu takut, bersatunya ketua-ketua persilatan di bawah kelihaian Hek-yan-pang agaknya membuatnya gentar maka tahun kedua lewat tanpa apa-apa sampai tahun ketiga dan keempat. Ju-taihiap sendiri juga mencari bergantian dengan puteranya. Mereka tak pernah melupakan kewaspadaan. Tapi ketika sampai tahun kelima Majikan Hutan Iblis itu benar-benar lenyap tak diketahui rimbanya, perlahan-lahan perasaan semua orang pulih dan tenang kembali maka kewaspadaan akan inipun berkurang dan akhirnya Ju-taihiap sendiri merasa bosan dan menghentikan pencariannya.

Para ketua partai juga mulai melupakan itu dan menganggap bersatunya orang-orang gagah membuat laki-laki itu gentar. Mereka bersyukur dan semakin tenang saja. Dan ketika tahun-tahun dilewatkan lagi tanpa ada sesuatu yang penting, dunia kang-ouw benar-benar aman dan tenteram maka Majikan Hutan Iblis itu nyaris dilupakan orang kalau tak terjadi sesuatu yang lebih hebat lagi daripada dulu!

* * * * * * * *

Entah sudah berapa kali pergantian musim berputar di pulau kecil di tengah telaga itu. Hek-yan-pang juga mulai melupakan musuh mereka ini ketika pagi yang cerah itu seorang anak bermain-main di tepi telaga. Sebatang pancing, tanpa kail ditusuk dan ditancapkan berulang-ulang ke dalam air. Anak perempuan itu terkekeh-kekeh ketika ujung bambunya diangkat, seekor ikan menggelepar dan terdapat di situ. Dan ketika seorang inang pengasuh juga tertawa dan terkekeh-kekeh senang, duduk di atas perahu melayani gadis cilik ini maka anak perempuan itu berseru dan tiba-tiba melempar batang walesannya kepada si inang pengasuh.

“Heii, bibi A-kun juga harus melakukan yang sama, jangan menonton saja. Ayo tangkap dan tusuk ikan-ikan itu, bibi. Awas kulempar ini padamu!”

Sang inang pengasuh terkejut. Dia adalah murid perempuan Hek-yan-pang yang berkepandaian cukup tinggi, Li Kun namanya. Tapi menerima lemparan batang pancing yang begitu mendadak dan cepat, menyambar dan membuatnya terkejut maka inang pengasuh itu berseru keras dan merendahkan tubuh di papan perahu ia menangkap dan menggerakkan tangannya ke depan.

“Aihh, kau terlalu tiba-tiba, Cheng-siocia, nakal sekali. Uhh, biar kutangkap tapi jangan suruh aku memancing tanpa kail!”

Batang bambu itu tertangkap namun lontaran kiranya demikian kuat sekali. Tenaga anak perempuan itu hebat hingga perahu terdorong, bagai dipukul tangan raksasa. Dan ketika anak itu terkekeh-kekeh sementara inangnya berseru kagum, menghentikan gerakan perahu dengan menancapkan batang pancing ke dasar telaga maka wanita itu melompat dan tertawa-tawa. Hilang kagetnya.

“Kau semakin menguasai tenaga dalammu, aihh.... hebat sekali lontaran Im-yang-sin-kang mu itu. Wah, bibi hampir tak kuat, siocia. Ayahmu tentu bangga dan gembira melihat kemajuanmu ini!”

“Hi-hik, tapi bibi tak roboh. Ah, tenagaku masih kurang kuat, bibi A-kun. Kau dapat menangkapnya dengan baik!”

“Tapi perahuku terdorong, itu menunjukkan kemajuanmu!”

“Tidak, belum memuaskan. Seharusnya aku membuatmu roboh atau terjungkal ke dalam air!”

“Wah, tubuhku bisa basah kuyup, siocia, jangan nakal. Sudahlah kau hebat dan biar kubakar ikan ini untuk sarapan kita!” sang inang tertawa dan geli mendengar itu, menyambar dan meraih semua ikan hasil tangkapan namun gadis itu tiba-tiba berkelebat. Dia merampas semua itu dan membuangnya ke tanah. Lalu ketika dia menggeleng dan mengeraskan dagu maka dia berseru agar pengasuhnya itu memancing tanpa kail.

“Aku tak mau makan, belum lapar. Bibi harus menggantikan aku dan lihat berapa ikan bibi dapat!”

“Ah, untuk apa? Aku tak mendapat pelajaran Im-yang-sin-kang, siocia, tak mampu menggetarkan tenaga di dalam air. Aku tak dapat seperti dirimu!”

“Bibi belum mencoba, ayo lakukan dulu atau nanti aku marah!”

Terpaksa inang pengasuh ini bergerak dan tertawa masam. Dia menyambar batang pancing itu dan menusukkannya ke air, tiga empat kali namun tak seekor ikanpun didapat. Dan ketika dia menyeringai dan menarik pancingnya lagi maka dia berseru, “Nah, lihat tidak. Ikan-ikan itu terlalu licin dan sukar bagiku. Aku tak mampu melakukan seperti yang kau lakukan!”

“Kalau begitu kepandaianku lebih tinggi?”

“Tentu saja, siocia, hanya kau masih kecil, kurang matang, kurang pengalaman!”

“Coba kita buktikan!” dan gadis cilik itu yang, langsung menerjang dan berkelebat ke depan tiba-tiba memukul dan menendang inang pengasuhnya ini yang tentu saja berteriak dan mengelak sana-sini, tidak membalas namun semua serangan itu luput.

Giok Cheng, anak ini, penasaran sekali. Ia tiba-tiba berseru keras dan mempercepat gerakan. Dan ketika ia mengeluarkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit) dan inang pengasuh berteriak keras, gadis itu menyambar dan naik turun dengan cepat sekali maka inang pengasuhnya ini tak sanggup lagi mengikuti dan menjerit menerima tamparan atau tendangan-tendangan kilat, kecil namun panas dan berteriaklah inang pengasuh itu terhuyung ke sana ke mari.

Giok Cheng tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya saja, sampai akhirnya si inang pengasuh roboh. Dan ketika gadis itu menghentikan gerakannya dan puas berkacak pinggang, lawannya berkunang dan sakit oleh tamparan atau tendangan itu maka inang pengasuh ini berdiri dan memuji dengan tawa meringis.

“Tobat, bibi sakit semua. Aduh, cepat gerakanmu, siocia. Tentu yang kau mainkan tadi Hui-thian-sin- tiauw. Aih, hanya kau dan ibumu saja yang mendapatkan ilmu ini dari ayahmu. Tobat, jangun sakiti aku lagi dan lihat betapa tubuhku matang biru!”

“Hi-hik, maaf. Tadi kau mengelak dan meluputkan serangan-seranganku, bibi. Kau memandang rendah. Sekarang biarlah kugosok dan jangan beri tahu ibu!” gadis itu melangkah dan menyambar inang pengasuhnya ini, mengeluarkan sebotol arak dan menggosok-gosok sekujur tubuh yang kena pukulan. Lalu ketika dia mundur dan menyimpan araknya lagi, tertawa maka anak itu mengajak inangnya duduk, bercakap-cakap.

“Bagaimana pendapat bibi dengan ilmu meringankan tubuhku tadi, dan mana yang lebih hebat antara pukulanku dan ilmu meringankan tubuhku itu!”

“Wah, semuanya hebat, siocia, pukulanmu pedas dan panas. Sementara Hui-thian-sin-tiauw yang kau perlihatkan tadi amat cepat dan luar biasa. Aku sampai berkunang-kunang!”

“Apakah dapat menandingi Pek-poh-sin-kun?”

“Apa?”

“Aku mendengar hebatnya Pek-poh-sin-kun, bibi, dan berpikir apakah dengan Hui-thian-sin-tiauw yang kumiliki aku dapat mengalahkan lawanku, semisal kau memiliki ilmu itu!”

“Ah, kau bicara tentang ilmu sakti yang dimiliki pamanmu Giam Liong?”

“Benar, dan aku ingin tabu sekali bagaimana pamanku itu. Kenapa ia tak pernah datang!”

“Hm!” sang inang pengasuh tertegun. “Kalau kau bicara tentang pamanmu tentu saja kau bukan tandingan, siocia. Kau terlalu kecil untuknya. Yang dapat menandingi pamanmu itu hanya ayahmu seorang!”

“Kalau begitu hebat mana antara ayah dan paman!”

“Keduanya sama hebat. Eh, kenapa tiba-tiba kau bicara seperti ini. Aku takut salah omong!”

“Tidak, aku penasaran akan cerita ibu, bibi. Bahwa katanya di dunia ini ada orang yang masih lebih hebat lagi daripada ayah atau paman Giam Liong!”

“Siapa maksudmu? Apakah kakek dewa Bu-beng Sian-su?”

“Tidak, bukan, bukan itu. Aku tak tertarik kakek ini karena aku tertarik pada seorang nenek sakti yang sering dibicarakan ibu menjelang tidur!”

“Siapa dia?” sang inang mengerutkan kening. “Tak ada orang seperti yang kau bicarakan, siocia. Aku tak rnendengar nenek sakti kecuali cikal bakal Hek-yan-pang!”

“Aku tak tertarik pendiri Hek-yan-pang, aku tertarik pada nenek sakti Hek-i Hong-li!”

“Apa?”

“Sst, jangan keras-keras. Setiap malam ibu mendongengiku tentang nenek ini, bibi, berharap aku dapat menjadi muridnya. Katanya paman Giam Liong pernah dikalahkan dan ayah sendiri bukan tandingan!”

“Ah, kau ngawur. Tak ada nenek sakti Hek-i Hong-li didunia kang-ouw ini. Itu hanya dongeng!”

“Tapi kenapa ibu begitu serius?”

“Ibumu sekedar bercerita, siocia, sekedar memberimu hiburan. Aku tak percaya bahwa Naga Pembunuh Giam Liong dikalah orang. Tak pernah kudengar kabar itu. Kau hanya menerima dongeng!”

“Tapi aku percaya, ibu juga bersungguh-sungguh. Eh, kau jangan menganggap ibu bohong, bibi, atau nanti aku marah kepadamu!”

Anak perempuan itu bersinar-sinar. Inang pengasuhnya terkejut namun tiba-tiba tertawa. Dia harus cepat merobah sikap kalau Giok Cheng mulai bersinar-sinar, marah. Maka ketika dia mengangguk dan pura-pura terbawa, menangkap tangan kecil yang membentuk tinju itu inang pengasuh ini berseru,

“Heii, jangan marah. Aku juga percaya, siocia, tadi aku hanya main-main saja. Ayo kita bakar ikan ini dan sarapan!”

“Bibi percaya?” anak itu tak menghiraukan.

“Ya-ya, percaya!”

“Kalau begitu bibi harus membantu aku!”

“Membantu apa?” wanita itu menyambar dan mulai membuat api unggun, siap membakar ikan.

“Bibi harus mencarikan nenek itu untukku!”

“Apa?” jari-jari itu berjengit, tak jadi membuat api. “Menyuruhku mencari nenek itu? Kau gila? Eh, tidak. Jangan marah dulu, Giok Cheng. Aku kelepasan bicara...wut!” kayu yang dipegang dan dihantamkan anak itu dikelit wanita ini, mengelak tapi membiarkan hantaman kedua mengenai pundaknya. Dan ketika wanita itu meringis dan menahan pukulan ketiga, menangkap dan cepat membujuk maka dia berseru,

“Ampun, siocia, kau sudah menghajarku sekali. Jangan sakiti atau nanti kulaporkan kepada ayahmu!”

“Hm,” gadis itu cemberut, membuang kayunya. “Kau memakiku, bibi, nanti kulaporkan ibuku pula!”

“Sudahlah, maaf, aku terkejut mendengar permintaanmu tadi. Masa bibi harus mencari sementara tak tahu di mana nenek itu berada.”

“Kalau begitu bibi mau mengantarku?"

“Ke mana?”

“Mencari nenek itu. Aku ingin bertemu Hek-i Hong-li!”

Inang pengasuh ini pucat. Main-main yang disangkanya bakal berhenti di situ saja ternyata berlanjut dengan keinginan yang semakin gila ini. Giok Cheng akan mencari dan menemukan nenek dongeng itu. Sinting! Dan ketika ia terbelalak dan bingung, bagaimana harus menjawab maka anak itu memegang lengannya dan berkata, sungguh-sungguh.

“Aku tak mau kalah dengan Sin Gak, ibu mendukung. Kalau bibi mau mengantarku dan menemukan nenek ini tentu jasa bibi tak akan kulupakan seumur hidup. Nah, maukah bibi mengantar?”

“Ini.... ini...” pengasuh itu tergagap. “Kau harus membicarakannya dulu dengan ayah ibumu, Cheng-siocia. Aku tak berani lancang kalau tak ada perintah!”

“Ibu setuju, tapi ayah mungkin menolak. Kau harus membantuku, bibi, membujuk atau membawa lari aku saja. Kita Pergi!”

“Apa?”

“Kita merat, aku ingin bertemu benar dengan nenek sakti itu. Setiap malam ibu menceritakan kesaktian nenek ini!”

Sang inang pengasuh terhenyak. Ia melotot melihat betapa anak perempuan itu begitu bersungguh-sungguh. Kalau saja ia tak ingin membuat marah puteri majikannya ini tentu dimakinya anak itu. Wanita ini gemas. Tapi ketika ia bingung harus menjawab bagaimana mendadak berkelebat bayangan hitam dan seseorang tahu-tahu menyambar anak perempuan itu.

“Siocia...!”

Giok Cheng terkejut dan melempar tubuh ke kiri. Ia melihat bayangan itu dan menjadi kaget. Seruan inang pengasuhnya tadi disusul oleh tendangan di mana ia sudah membanting tubuh. Tapi ketika terdengar tawa dingin dan entah kenapa tubuhnya kaku tak dapat digerakkan tahu-tahu pundaknya dicengkeram dan gadis cilik ini jatuh di tangan lawan.

“Lepaskan majikanku!” inang pengasuh itu membentak dan secepat kilat mencabut pedang. Ia terdorong oleh angin sambaran laki-laki itu dan tak tahu siapa pria ini, maklum, begitu cepatnya laki-laki ini datang. Tapi ketika laki-laki itu mendengus dan menoleh ke belakang, wajah di balik topeng karet terlihat maka pedang yang sudah diayun dan siap membacok ini terhenti di tengah jalan. Li Kun sang inang pengasuh berteriak tertahan.

“Majikan Hutan Iblis!”

Pria itu tertawa aneh. Ia menggerakkan tangan kiri kedepan dan inang pengasuh itu mencelat terlempar. Li Kun, wanita ini terangkat dan terbang meluncur jauh, begitu jauh hingga melayang dan jatuh di kamar Ju-taihiap. Dan ketika suara berdebuk membuat pendekar itu terkejut dan meloncat bangun, pagi itu jago pedang ini masih duduk bersamadhi maka Li Kun yang merintih dan muntah darah menuding-nuding ke telaga.

“Giok Cheng.... nona.... dibawa Majikan Hutan Iblis...”

Ju-taihiap kaget bukan main. Ia seakan mendengar petir di siang bolong dan saat itu berkelebat bayangan menantunya. Tang Siu, yang juga terkejut dan kaget oleh suara berdebuk ini sudah keluar dan meloncat dari kamarnya. Dia sendirian di kamar karena Han Han suaminya sedang ke Lam-hai. Pemuda itu menengok gurunya. Maka ketika Li Kun menuding dan roboh di lantai, rupa-rupanya inang pengasuh itu luka berat maka nyonya ini melengking namun bayangan Ju-taihiap berkelebat lebih cepat lagi.

“Giok Cheng...!”

Teriakan atau jerit itu menggema di seluruh Hek-yan-pang. Pagi yang masih dingin dan berkabut itu menyentak murid-murid lain. Bayangan nyonya itu menyusul Ju-taihiap. Dan ketika mereka keluar dan berkelebatan dari kamar, menyusul dan gempar, oleh tewasnya Li Kun maka di sana Ju-taihiap sudah melihat laki-laki bertopeng itu menunggu dan tertawa mengejek. Cucu perempuannya dikempit dan tak dapat mengeluarkan suara.

“Giok Cheng..!” jago pedang ini juga berseru dan memanggil cucunya. Dia kaget sekali oleh berita tadi namun lebih kaget dan tersentak melihat Majikan Hutan Iblis ini. Laki-laki itu berdiri tegak dan sengaja menantinya. Tak ada takut atau gentar! Dan ketika dia melompat dan sekali terbang sudah berhadapan dengan lawannya ini, menggigil tak berani gegabah menyerang maka tawa yang aneh dan dingin itu terdengar.

“Bagus, mana Han Han puteramu itu. Suruh semuanya keluar. Ha-ha, pembalasanku tiba, Ju-taihiap. Lihat betapa hari ini aku menghancurkan Hek-yan-pang!”

“Keparat jahanam binatang!” Tang Siu menyusul dan terbang menyambar. “Lepaskan anakku, manusia iblis. Berani benar kau datang tapi hari ini kau mampus!”

Laki-laki itu tertawa dan tidak mengelak. ia menerima saja pukulan nyonya ini dan ketika sang nyonya menjerit pukulannya terpental maka secepat kilat laki-laki ini mengebutkan lengan bajunya. Kain itu melebar dan tahu-tahu menyambar wajah si nyonya, sekali kena tentu hancur. Tapi ketika Ju-taihiap berkelebat dan menarik menantunya ini, melepas Pek-lui-kang di tangan kiri menghantam ujung lengan baju itu maka Ju-taihiap tergetar dan hampir roboh. Kulit tangannya biru seakan menghantam lempengan baja.

“Minggir... plak!” Jago pedang itu terbelalak. Ia merasa sakit dan hampir berteriak menangkis lengan baju itu. Tenaga yang amat kuat menolak Pek-lui-kangnya. Dan ketika ia mendesis namun mencengkeram menantunya erat-erat, saat itu bayangan para murid berkelebatan dan mengurung tempat itu maka Ju-taihiap membentak dan menghadapi lawannya ini, diam-diam terkejut bukan main karena ada perobahan besar yang dirasa dari adu pukulan itu!

“Apa maksudmu menculik cucuku. Lepaskan Giok Cheng dan mari bertanding, manusia pengecut. Kenapa anak kecil kau bawa-bawa!”

“Ha-ha, mana puteramu. Apakah semua penghuni Hek-yan-pang telah berkumpul!”

“Keparat, kau sombong dan jumawa. Suamiku Han Han sedang pergi tapi aku dan gak-hu cukup menghajarmu di sini! Lepaskan aku, gak-hu. Lepaskan dan biar kubunuh jahanam ini!” Tang Siu, yang meronta dan menjerit melihat anaknya ditangkap berusaha melepaskan cengkeraman ayahnya. Dia marah sekali namun Ju-taihiap tak mau melepaskan. Dan ketika ia membentak namun didorong mundur, Ju-taihiap mencabut pedang maka Pek-jit-kiam berkeredep tapi aneh sekali Majikan Hutan Iblis itu tertawa, geli!

“Ha-ha, kau terlalu mengandalkan pedangmu itu. Bagus, maju dan rasakan kelihaianku sekarang, Ju-taihiap. Lihat betapa aku tak perlu takut lagi menghadapi pedangmu itu maupun Golok Maut!”

Ju-taihiap terkejut. Lawan menggosok-gosokkan tangannya dan asap hitam mengepul tipis, kian lama kian tebal dan akhirnya para murid terbatuk-batuk. Mereka mencium bau anyir di situ, amis namun juga wangi! Dan ketika dua macam bebauan ini bercampur aduk, Ju-taihiap terbelalak dan pucat maka pendekar itu tiba-tiba berseru keras dan ia berkelebat menusukkan pedangnya.

“Lihat seranganku!”

Laki-laki itu tak mengelak. Pek-jit-kiam, pedang pusaka itu menyambar amat cepat. Ju-taihiap didorong kekhawatirannya oleh nasib Giok Cheng. Cucunya itu tak bergerak entah mati atau masih hidup. Maka ketika ia mengeluarkan bentakan dan pedang menusuk ulu hati, cepat dan luar biasa maka pendekar ini terbelalak melihat lawan tak mengelak sama sekali.

“Cesss!”

Pedang itu seakan menusuk agar-agar tembus dan mencoblos punggung namun Majikan Hutan Iblis ini tidak roboh. Ia masih tegak, berdiri dengan tawa yang aneh itu. Tapi ketika Ju-taihiap terbeliak dan merasakan sesuatu yang tidak wajar maka tangan kiri laki-laki itu menampar dan pendekar ini terpelanting oleh sebuah tamparan yang amat kuat...

Tapak Tangan Hantu Jilid 14

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 14
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“CRANGGG!”

Bunga api berpijar. Benturan senjata itu mengejutkan semua pihak terutama sekali Majikan Hutan Iblis. Laki-laki itu berteriak keras karena golok di tangannya terpental. Sinar putih kebiruan di tangan Giam Liong itu demikian dahsyat, pedang di tangan pemuda itu mementalkan Golok Maut. Tapi ketika laki-laki itu berteriak keras dan berjungkir balik ke belakang, terbelalak, maka Giam Liong membentak maju dan dengan pedang di tangan pemuda ini mainkan Pek-jitcKiam-sut.

“Bagus, mari bertanding lagi. Kau memiliki tandingan dan lihat pedangku!”

Laki-laki ini berubah. Ia tak menyangka bahwa secepat itu Giam Liong memperbaiki diri. Kedatangan Ju-taihiap itulah penolongnya. Tapi menggeram dan menyambut terjangan pemuda itu, mengelak dan menangkis segera laki-laki ini bertanding dan melayani Giam Liong lagi, marah dan penasaran bahwa pemuda yang hampir dirobohkannya itu mendadak seperti harimau tumbuh sayap.

Kini Pek-jit-kiam di tangan pemuda itu bergulung-gulung naik turun menyambar dirinya, pecah dan sudah melakukan tusukan atau tikaman berbahaya, juga bacokan dan sinar senjata yang semua mengancam dirinya. Dan ketika ia menangkis namun selalu terpental, kalah kuat maka Golok Maut bergetar mundur dan permainan Im-kan-to- hoat yang belum sempurna membuat gerakan golok menyempit tertindih atau terdesak oleh gulungan pedang yang melebar panjang itu.

“Keparat!” lelaki ini mengutuk. “Jahanam kau, Giam Liong. Licik dan curang meminta bantuan orang!”

“Hm, tutup mulutmu. Kaulah yang curang dan licik, manusia iblis. Kau tak tahu malu menyuruh orang mengeroyokku. Kaulah yang akan menerima kematian sebagai hukumanmu!”

Laki-laki itu marah. Ia melengking menggerakkan Golok Maut menangkis Pedang Matahari. Saat itu Giam Liong melakukan gerak yang disebut Tujuh Bianglala Menerobos Bulan, sinar pedangnya pecah menjadi tujuh dan secepat kilat menyambar tujuh bagian di tubuh Majikan Hutan Iblis ini. Tapi ketika lawan mengelak dan menangkis mundur, tujuh kali Golok Maut bertemu Pedang Matahari maka tujuh sinar ini mendadak lenyap berganti satu cahaya tunggal yang menuju ulu hati lawan.

“Aiihhhh...!” Lawan melengking kaget. Ia terhuyung oleh tujuh tangkisan bertubi-tubi itu, bergetar dan mundur menyeringai sakit. Hek-mo-ciang, yang selalu siap di tangan kiri tak dapat dilepaskan. Gerakan pedang di tangan Giam Liong itu terlalu berbahaya. Maka ketika kini tiba-tiba pedang itu menyambar cepat setelah tujuh kali berturut-turut menyambar dirinya, dielak dan ditangkis tapi ia selalu terhuyung maka laki-laki itu pucat melihat jurus maut ini, tak ada jalan lain kecuali melempar tubuh bergulingan tapi Giam Liong mengejar, tetap membayangi dan melancarkan tusukan maut itu. Ujung pedang menuju ulu hati! Dan ketika laki-laki ini terbelalak dan menjadi nekat, Giam Liong terus mengejar maka ia menyambitkan golok itu untuk mengadu jiwa.

“Singggg!”

Giam Liong terkejut. Ia sudah beringas mengejar lawan dan gembira. Setelah Pek-jit-kiam di tangan ia benar-benar bagai harimau terluka, mampu menandingi Golok Maut dan tak takut lagi. Tapi ketika golok tiba-tiba dilempar dan menyambar cepat, ia bakal menusuk ulu hati lawan namun juga menerima sambitan berbahaya itu maka tak ada jalan lain baginya kecuali menarik serangan membalik menangkis Golok Maut ini.

“Cranggg!” Bunga api kembali berpijar. Begitu hebat tangkisan Giam Liong hingga golok mencelat tinggi, menyambar dan menusuk tembus pohon pek di belakang pemuda itu. Dan ketika pohon itu roboh dan tumbang, Giam Liong tergetar dan terhuyung dengan muka pucat maka di sana Ho Heng Tojin dan kawan-kawannya cerai-berai oleh amukan Ju-taihiap.

Majikan Hutan Iblis terbelalak dan pucat pasi. Kalau orang dapat melihat wajah di balik topeng karet itu tentu tampak betapa laki-laki ini menangis. Ia kaget dan pucat sekali oleh kejadian yang hampir menimpanya itu, penasaran dan marah serta perasaan lain yang bercampur aduk. Ia hampir tewas oleh kejaran Pek-jit-kiam. Kalau saja ia tak menyambitkan goloknya tentu ia roboh, meskipun Giam Liong juga roboh dan bakal terluka oleh Golok Maut yang disambitkan itu. Dan ketika pemuda itu tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tadi, pucat dan marah karena hampir saja menjadi korban maka laki-laki ini melolong dan memutar tubuh berkelebat lenyap. Raung dan lolong srigala tiba-tiba menggetarkan hutan.

“Giam Liong, bantu aku. Tangkap Ho Heng Tojin atau Ceng Tong Hwesio itu!”

Giam Liong menoleh. Ia terkejut oleh seruan ayahnya dan melihat betapa dua orang yang dimaksud tiba-tiba melarikan diri. Anak murid mereka, yang dihajar dan jatuh bangun oleh tamparan Ju-taihiap masih berbuat nekat. Mereka melindungi ketua mereka itu karena Ceng Tong Hwesio maupun Ho Heng Tojin tiba-tiba melarikan diri setelah Majikan Hutan Iblis juga lari. Mereka ini mengeroyok Ju-taihiap yang tidak menurunkan tangan besi, pendekar itu hanya menendang dan menampar yang kesemuanya itu tak mengarah jiwa.

Tapi karena mereka bangkit dan menyerang lagi, Ho Heng dan Ceng Tong akhirnya kabur maka pendekar ini menjadi marah dan apa boleh buat menambah tenaganya hingga tamparan atau tendangan kakinya membuat anak-anak murid itu berteriak karena pundak atau lengan mereka patah-patah. Kekebalan itu lenyap setelah Majikan Hutan Iblis pergi. Dan ketika Giam Liong berkelebat tapi menyambar Golok Mautnya dulu, kini senjata itu diperolehnya kembali setelah nyaris membunuhnya tadi maka pemuda ini berjungkir balik menghadang dua orang itu. Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio lari bersama-sama.

“Totiang, berhenti. Lihat anak murid kalian dan suruh mereka mundur!”

Dua orang itu terkejut. Bola mata yang tadi liar kini bergerak biasa lagi, wajar. Heng Tojin dan Ceng Tong Hwesio ini rupanya sadar setelah pengaruh Beng-jong-kwi-kang lenyap, hilang bersamaan dengan perginya Majikan Hutan Iblis itu. Maka ketika Giam Liong melayang di depan mereka dan turun dengan bentakan gemas, si buntung ini marah maka dua ketua itu berhenti namun masing-masing tiba-tiba membentak dan menyerang pemuda itu.

“Giam Liong, kami tak berurusan denganmu. Pergilah, atau kau mampus!”

“Hm!” Giam Liong menangkis. “Kalian rupanya sudah sadar, totiang. Bagus tapi dengar perintah ayahku tadi!” dan dua senjata yang putus bertemu Golok Maut disusul keluhan dan terbantingnya dua ketua itu ketika kaki pemuda ini menendang lutut.

Dua orang itu memang bukan tandingan Giam Liong dan ketika Giam Liong menyimpan senjatanya maka dua ketua ini merintih. Mereka sebenarnya malu mengapa menyerang Giam Liong, dalam keadaan tak sadar namun kini pengaruh hitam itu lenyap. Giam Liong tahu ini dan untung tidak membunuh mereka. Maka ketika pemuda itu maju mendekat dan lawan bangun kesakitan, memegangi lutut yang terkena tendangan Giam Liong maka si buntung ini berkata agar menghadap ayahnya dulu, suaranya keren.

“Lihat murid-murid kalian yang tak tahu diri itu. Suruh mereka mundur dan hadapi ayahku dulu!”

“Ampun.... maaf... kami malu menghadapi kalian, Naga Pembunuh. Kami dikuasai Majikan Hutan Iblis itu!”

“Aku tahu, kalau tidak tentu tak begini. Lekas dan suruh murid-murid kalian mundur, totiang. Dan pertanggungjawabkan kepada ayah semua perbuatan kalian ini!”

Dua orang itu tertatih. Akhirnya mereka memanggil murid-murid mereka itu, berseru dan membentak agar membuka kepungan terhadap Ju-taihiap. Dan ketika semua mundur dan melompat menyambar teman masing-masing, mata liar itu terganti biasa lagi maka dua ketua ini menjura di depan Ju-taihiap dan dengan suara gemetar memohon ampun.

“Ampunkan kami, kami berlaku salah. Kami semua dalam keadaan tak sadar, Hek-yan-pangcu. Dan terima kasih bahwa kami tak sampai dibunuh!”

“Hm, murid-murid kalian ini bandel sekali.” Ju-taihiap menegur kecewa. “Tapi kenapa kalian malah melarikan diri, Ho Heng totiang, bukankah seharusnya membawa murid-murid kalian ini!”

“Kami malu terhadap jiwi...” kakek itu menunduk. “Kami telah menyerang dan hampir mencelakai kalian, Ju-taihiap terutama sekali Si Naga Pembunuh ini. Kami menyesal, tapi sumpah bahwa kami melakukan itu dalam keadaan tak sadar!”

“Benar, pinceng juga begitu,” ketua Lu-tong-pai kini maju menyambung, muka pun merah. “Pinceng tak sadar akan apa yang kami lakukan, Ju-taihiap, kami terpengaruh ilmu hitam!”

“Aku tahu, sudahlah,” si jago pedang mengibaskan tangannya. “Hanya lain kali bersikaplah ksatria sedikit, Ceng Tong lo suhu, masa kalian meninggalkan para murid sementara kalian sendiri pergi!”

“Kami mengaku salah, maaf...”

“Kami merasa malu...!”

“Hm, sekarang apa yang akan kalian lakukan dan lupakan peristiwa tadi,” Ju-taihiap akhirnya kasihan, mengalihkan pembicaraan pada yang lain. “Sekarang harap waspada dan lebih hati-hatilah terhadap manusia itu, lo-suhu. Bagaimana sampai kalian terpengaruh!”

“Majikan Hutan Iblis itu datang di tempat kami, dan selanjutnya kami dirobohkan.”

“Benar, pinto juga begitu, Ju-taihiap, dan pinto ngeri terulang lagi!”

“Hm-hm!” pendekar itu mengangguk-angguk, memandang dua orang itu. “Kalau begitu bagaimana jika kalian berkumpul di Hek-yan-pang saja. Di sana kita bersatu dan mempertahankan diri!”

“Ah, taihiap hendak membuat repot diri sendiri?”

''Tidak, di sana ada puteraku Han Han, lo-suhu, dan aku sedia menerima kalian seperti halnya yang lain-lain!”

“Tapi pinceng sungkan...”

“Benar, pinto juga!” Ho Heng Tojin tiba-tiba berseru. “Maksud baikmu bagus sekali, taihiap, tapi bagaimana kami harus seperti itu!”

“Hm, yang kita hadapi adalah seorang manusia iblis yang amat berbahaya, licik dan curang. Aku mempunyai gagasan ini setelah melihat ketua-ketua yang lain roboh dan juga terpengaruh ilmu hitam Beng-jong-kwi-kang!”

“Ayah tahu?” Giam Liong tiba-tiba bertanya. “Mereka menyerang dan mengejar-ngejar aku, ayah. Rasanya baik kalau Lu-tong dan Khong-tong bergabung dulu di Hek-yan-pang. Mereka dapat menyelamatkan diri dari kekuatan jahat itu. Aku mendukung!”

“Hm, aku sudah tahu semua, dan aku semakin khawatir. Kubuntuti dan kucari Majikan Hutan Iblis ini, Giam Liong, sampai akhirnya ke sini. Kalau Ho Heng totiang maupun Ceng Tong lo-suhu tak perlu sungkan maka sekarang juga kubuatkan surat untuk Han Han di Hek-yan-pang. Aku sendiri masih bermaksud mengumpulkan yang lain-lain. Bagaimana dengan keinginan baikku ini!”

Dua ketua tertegun dan saling pandang. Kiranya mereka dicegat Giam Liong adalah untuk menerima kehendak ini. Ketua Hek-yan-pang itu hendak menyuruh mereka bersatu di Hek-yan-pang saja demi kebaikan bersama. Memang ini tawaran yang bagus dan amat berharga. Siapa tidak kenal kelihaian ayah dan anak ini. Tapi ketika mereka masih ragu-ragu sementara para murid mulai berseri gembira, Ho Heng dan rekannya belum menjawab maka Giam Liong maju bicara.

“Jiwi tak perlu malu hati. Jiwi boleh sungkan menerima ini namun harap ingat murid-murid jiwi di sini. Tawaran ayahku amat simpatik, tidak mengandung pamrih. Kalau kalian ingat akan nyawa murid-murid kalian tak usah ragu-ragu lagi dan sekarang berangkatlah. Biar ayah membuat surat pengantar!”

“Baiklah,” dua ketua itu akhirnya mengangguk. “Keselamatan murid-murid kami adalah hal yang lebih utama sekali, Giam-siauwhiap. Kalau kau sudah mengingatkan seperti ini tak perlu lagi kami berpanjang pikir. Terima kasih atas tawaran ini dan sekali lagi kami berdua menyatakan beribu terima kasih kepada kebaikan Ju-taihiap!”

“Hm, ini bukan kebaikan, ini kewajiban,” Ju-taihiap menjawab, lega, matanya gembira memandang Giam Liong. “Aku lupa akan tekanan pada maksud baikku, totiang, bahwa nyawa banyak orang jauh lebih berharga daripada seorang dua saja. Benar, kalian harap mengingat murid-murid kalian itu karena mereka adalah segala-galanya!”

Para murid bersorak gembira. Mereka tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan kegirangan akan maksud jago pedang itu. Kalau mereka dapat berkumpul dan berlindung di bawah bendera Hek-yan- pang tentu Majikan Hutan Iblis itu tak dapat mengganggu mereka lagi. Dan ketika ketua mereka juga membungkuk dan melipat tubuh dalam-dalam, menyatakan terima kasih maka Ju-taihiap segera membuat surat pengantar untuk putera kandungnya di sana, Han Han. Memberi tahu bahwa rombongan besar ini hendak tinggal di Hek-yan-pang, bergabung atau sebenarnya mencari perlindungan di bawah kekuatan Hek-yan-pang.

Pendekar itu sendiri masih pergi dan hendak melanjutkan perjalanan. Hancurnya pengaruh Beng-jong-kwi-kang di sini hendak diteruskan ke tempat lain, para ketua atau tokoh-tokoh persilatan, yang sudah dibetot semangatnya. Dan ketika pendekar itu menyerahkan surat itu dan Ho Heng serta Ceng Tong Hwesio membungkuk penuh hormat, disuruh pergi maka ketika orang-orang itu bergerak dan meninggalkan tempat itu maka Giam Liong menarik napas dalam-dalam dan menyerahkan kembali Pek-jit-kiam kepada ayah angkatnya ini.

“Terima kasih, ayah sudah menyelamatkan aku dari maut. Lega dan gembira sekali bertemu denganmu, ayah. Apakah ada kisah-kisah menarik seperti yang aku alami.”

“Hm, tak ada, semuanya menyebalkan. Apakah yang menarik dalam perjalananmu, Giam Liong. Aku tak mempunyai kisah apa-apa kecuali kabar tentang ketua-ketua partai itu, pengaruh Beng-jong-kwi kang!”

“Aku bertemu Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin,” Giam Liong coba memancing. “Dan yang lebih, utama lagi aku telah menemukan Sin Gak!”

“Apa? Kau telah menemukan puteramu itu? Di mana dia?”

“Dia dibawa kakek ini, ayah, Sian-eng-jin.”

“Hm, siapa Sian-eng-jin ini. Aku tak mengenal!”

“Ayah juga tak mendengar nama Hek-i Hong-li?”

“Bidadari Baju Hitam? Hm, tidak, siapa dia ini!” Ju-taihiap justeru mengerutkan alis.

“Mereka adalah orang-orang lihai, amat lihai. Aku dikalahkan dengan mudah!” Giam Liong menarik napas dalam, memandang ayahnya dan sang ayah terkejut memandang puteranya ini. Giam Liong begitu bersungguh-sungguh. Dan ketika pemuda itu tak meneruskan ceritanya dan sang ayah penasaran maka Ju-taihiap berseru,

“Kau dikalahkan dengan mudah? Kau tak mampu menandinginya? Ah, jangan main-main, Giam Liong. Kalau kau tak dapat mengalahkan mereka tentu aku lebih lagi!”

“Benar, aku benar-benar tak mampu menandingi, dan aku seperti anak kecil di hadapan kakek dan nenek siluman itu. Mereka betul-betul luar biasa, sakti!”

“Ah, siapa mereka ini, Giam Liong, dan bagaimana puteramu sampai dibawa kakek itu!”

“Aku bertemu secara kebetulan, dan mula-mula nenek baju hitam itu, Hek-i Hong-li ”

“Coba ceritakan, masa mereka demikian lihai!”

“Hm, bukan lihai lagi, ayah, melainkan sakti. Aku benar-benar kalah dan Pek-poh-sin-kun yang amat kuandalkan hanya diketawai mereka!”

Giam Liong lalu menceritakan kisah pertemuannya. Sang ayah terbelalak dan tak mau ditunda lagi. Dan ketika ia menceritakan betapa ia dipermainkan nenek itu, lalu si kakek sakti Sian-eng-jin maka di sini ia menyinggung pula masalah Sin Gak, puteranya.

“Aku tak tahu siapa mereka ini namun kesaktian mereka benar-benar luar biasa. Kakek sakti Sian-eng-jin itu minta puteraku untuk dijadikan muridnya, ayah, dan Majikan Hutan Iblis ketanggor bertemu kakek ini. Dari dialah Sin Gak diambil, dan karena aku kalah bertaruh maka puteraku kurelakan dibawa kakek itu.”

“Luar biasa, hampir tak dapat dipercaya! Ah, siapa mereka ini, Giam Liong, apakah bukan suami isteri. Aku belum mendengar tentang dua orang ini!”

“Aku juga belum, baru kali itu. Konon katanya mereka sudah berumur lebih dari seratus tahun dan mungkin hanya ayah dari kakek kita yang tahu nama ini!”

Ju-taihiap mendecak kagum. Kalau bukan Giam Liong yang bercerita mau rasanya ia tak mempercayai itu. Tapi yang bicara adalah Giam Liong, puteranya. Dan karena tak mungkin pemuda itu bohong maka pendekar ini mengangguk-angguk dan mendecak.

“Hebat, kalau begitu luar biasa sekali. Ah, mungkin hanya Sian-su yang tahu, Giam Liong, atau barangkali Im Yang Cinjin locianpwe!”

“Hm, mungkin saja. Tapi aku merasa aneh bahwa katanya kakek itu tak mungkin membantu orang- orang persilatan, ayah. Aku teringat kata-kata jahanam Majikan Hutan Iblis itu akan ini!”

“Hm, apa katanya.”

“Kakek itu terikat oleh semacam sumpah, tak mungkin turun ke dunia ramai lagi bergerak secara terang-terangan.”

“Boleh jadi, mungkin masuk akal juga. Tapi omongan iblis keparat itu jangan di percaya sepenuhnya, Giam Liong. Siapa tahu ia hendak mengecilkan hati kita!”

“Mungkin, tapi mungkin juga tidak. Kalau kita lihat betapa seratus tahun mereka tak muncul mungkin menunjukkan itu benar, ayah, manusia iblis itu tak bohong. Tapi aku penasaran kenapa Sin Gak harus dibawa!”

“Hm, tak perlu penasaran. Mendengar ceritamu tadi justeru aku merasa bersyukur, Giam Liong, anakmu bakal menjadi orang hebat yang melebihi dirimu kelak. Kau beruntung!”

“Tapi aku tak mengenal kakek itu, tak tahu apakah dia jahat atau tidak!”

“Hm, kupikir tidak. Kau tak diapa-apakan, Giam Liong, lagi pula kakek itu jujur dengan memberi tahu tentang puteramu. Ia bukan orang jahat!”

“Agaknya begitu, tapi siapa tahu...!”

“Hm, tak perlu bercuriga. Bahwa puteramu telah dirampasnya dari Majikan Hutan Iblis harusnya membuat kau berterima kasih, bersyukur. Tak baik berprasangka yang buruk-buruk, Giam Liong. Kakek itu orang aneh tapi jelas bukan orang jahat!”

“Ya, mudah-mudahan, tapi aku harus berpisah dari puteraku.”

“Sudahlah, jauh lebih beruntung daripada kalau Sin Gak di tangan Majikan Hutan Iblis. Eh, kau tak kenal rasa beruntung, Giam Liong. Masa begini sikapmu!”

“Maaf, aku terlanjur kecewa berulang-ulang, ayah, tapi kau benar. Baiklah, aku akan bersyukur dan merasakan keberuntungan ini. Mudah-mudahan Sin Gak mendapat nasib yang baik dan jauh lebih hebat daripada aku kelak!”

“Tentu, dan sekarang apa yang akan kau lakukan. Kau telah mendapatkan senjatamu kembali. Golok Maut itu telah di tangan!”

“Hm,” si buntung mengerutkan alis, pandang matanya berkilat. “Aku pribadi hendak mengejar dan mencari jahanam itu lagi, ayah. Dan dengan golok ini aku akan membuat perhitungan!”

“Bagaimana kalau kau membantu aku dulu. Aku juga akan mencari manusia iblis itu tapi di sepanjang jalan melakukan sesuatu.”

“Ayah hendak melakukan apa?”

“Seperti yang kulakukan kepada dua orang tadi, Giam Liong, membebaskan tokoh-tokoh dan ketua partai dari pengaruh Beng-jong-kwi-kang. Aku hendak menyuruh mereka berkumpul dan bersatu di Hek-yan-pang!”

“Hm, baik!” Giam Liong mengangguk dan maklum akan pentingnya urusan ini. “Kau sendirian rupanya akan terlalu repot, ayah, dengan aku membantumu agaknya pekerjaan kita lebih cepat. Kalau mereka dibiarkan begitu tentu menyusahkan aku juga, aku bakal dikejar-kejar. Aku terima dan itu bagus!”

“Tapi kau tak boleh membunuh!” sang ayah memandang tajam. “Golok di tanganmu bukan untuk bersimbah darah lagi, Giam Liong, cukup yang dulu-dulu itu. Kau hanya membantu aku menyadarkan dan membuyarkan pengaruh Beng-jong-kwi-kang. Lalu kita menyuruh mereka ke Hek-yan-pang agar dapat bergabung dan menjadi kesatuan yang kuat!”

“Aku tahu,” Giam Liong mengangguk. “Tapi untuk musuhku yang satu itu rupanya tak dapat kupenuhi, ayah. Aku ingin membabat tubuhnya!”

“Hm, itu urusan nanti. Dan kau beruntung bahwa kau sudah sendirian lagi!”

“Maksud ayah?”

“Golok Maut tak boleh dibawa oleh suami isteri, Giam Liong. Ingat kutuk atau tuahnya itu!”

Giam Liong tertegun. Tiba-tiba ia ingat dan meremang bulu tengkuknya. Golok ini memang golok yang luar biasa, tak boleh dipegang atau dipergunakan oleh orang yang terikat hubungan suami isteri, atau kaum lajang tapi yang melakukan hubungan suami isteri. Dan karena golok itu bakal membalas dengan caranya yang mengerikan, meminta korban dengan darah tuannya atau kekasih tuannya maka ia terkesiap tapi kemudian tenang lagi, mengangguk.

Ia telah kehilangan isterinya dan asal tak melanggar pantangan itu tentu tak akan kena kutuknya. Ayahnya tewaspun karena itu. Itulah sebabnya kenapa ia lalu mengubur atau menyembunyikan Golok Maut di Lembah Iblis, tak mau memakainya lagi setelah ia menikah. Maka ketika ia mengangguk dan teringat itu, diam-diam merasa seram tapi sekarang bebas lagi, ia boleh membawa dan mempergunakan golok ini asal tetap sendirian maka Giam Liong berkelebat dan mengajak ayahnya berangkat.

“Baik, aku mengerti, ayah, dan terima kasih atas peringatanmu!”

Jago pedang itu juga bergerak. Setelah ia menyimpan Pek-jit-kiam dan Giam Liong membawa Giam- to nya (Golok Maut) lagi maka kepercayaan di masing-masing pihak bertambah besar. Dengan senjata pusaka itu mereka tak perlu takut atau khawatir lagi menghadapi Majikan Hutan Iblis,. Bahkan mereka akan menjadi harimau tumbuh sayap, apalagi Giam Liong! Maka ketika dua orang itu bergerak meninggalkan hutan itu, mencari dan menemui tokoh-tokoh persilatan yang terkena pengaruh Beng-jong-kwi-kang maka benar saja dengan Pek-jit-kiam atau Golok Maut ayah dan anak angkat ini berhasil membebaskan orang-orang itu.

Satu demi satu para tokoh partai didatangi. Pengaruh Pek-jit-kiam terutama Golok Maut itu amat luar biasa. Kekebalan Beng-jong-kwi-kang ternyata tak mampu menahan ketajaman golok maut ini, robek dan siapapun gentar dan pucat. Dan ketika semuanya roboh dan anak-anak murid juga terbangun dari mimpi, Giam Liong dan Ju-taihiap berhasil membebaskan mereka maka jago pedang itu berkata agar semuanya pergi ke Hek-yan-pang.

“Kalian tak akan dapat mengatasi Majikan Hutan Iblis itu sendiri. Pergi dan berkumpullah di Hek-yan- pang. Di sana telah banyak saudara-saudara yang lain untuk bersatu dan menghadapi manusia iblis itu. Nah, berangkatlah dan temui puteraku Han Han. Ini surat dariku untuknya!”

Para ketua partai itu mengangguk-angguk. Setelah pengaruh Beng-jong-kwi-kang buyar dan kekebalan mereka ditembus Golok Maut maka seketika itu juga mereka tersentak dan sadar. Ketajaman golok itu benar-benar luar biasa karena Ju-taihiap lebih banyak memberikan kesempatan kepada Giam Liong untuk mempergunakan senjatanya. Pek-jit-kiam masih di tangan dan sekali dua saja dipakai. Golok Maut itulah yang banyak beraksi. Maka ketika mereka terkejut dan sadar, Majikan Hutan Iblis sejak saat itu juga tak pernah menampakkan diri maka pekerjaan ayah dan anak ini menjadi lebih mudah dan kekuatan hitam dari pengaruh jahat itu juga pudar tak sekuat biasanya.

Giam Liong membuat lawan semakin gentar dengan golok di tangannya itu. Si buntung ini benar-benar siap berubah menjadi Naga Pembunuh kalau mereka macam-macam. Tapi karena semuanya sudah sadar dan hadirnya Ju-taihiap di samping pemuda itu membuat Giam Liong mampu mengendalikan diri, betapapun dengan ayah di sampingnya itu pemuda ini tak seganas biasanya maka ketika semuanya selesai dan Hek-yan-pang menjadi penuh orang maka Ju-taihiap berhenti dan bertanya apa yang hendak dilakukan pemuda itu sekarang.

“Aku rupanya harus menemui Han Han sebentar, tugas membebaskan pengaruh Beng-jong-kwi-kang sudah selesai. Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Giam Liong, apakah turut bersamaku pulang dan di sana membuat rencana baru.”

“Hm, aku akan mencari orang ini sampai dapat. Aku belum menemukannya lagi, ayah, biarlah kau pulang dulu dan kita berpisah di sini. Dulupun aku sudah bertekad untuk tak mau sudah sebelum menghajar dan menemukannya!”

“Baiklah, aku tahu. Tapi hati-hati dan waspadalah, Giam Liong. Betapapun orang itu amat licik!”

“Terima kasih, dan selamat tinggal. ayah. Salamku untuk Han Han!”

Jago pedang itu mengangguk. Giam Liong akhirnya berkelebat dan kali ini mereka tak bersama-sama lagi. Perjalanan itu telah selesai, Giam Liong telah membantunya untuk membebaskan orang-orang dari pengaruh jahat Beng-jong-kwi-kang. Dan karena dia sendiri ingin kembali dan melihat Hek-yan-pang, entah setelah itu akan pergi lagi atau tidak maka kepergian Giam Liong dimengerti pendekar ini.

Giam Liong adalah anak muda yang pendendam dan berdarah panas. Dia adalah keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Maka ketika pemuda itu tak mau bersamanya dan percuma dibujuk untuk menengok Hek- yan-pang maka Ju-taihiap sendiri ingin kembali dan menemui puteranya Han Han. Dia sendiri telah berputar-putar untuk mencari Majikan Hutan Iblis itu, ketemu ketika Giam Liong bertanding hebat.

Tapi karena setelah itu lawan tak muncul lagi, menghilang dan lenyap menyembunyikan diri maka pendekar ini ingin beristirahat dulu sambil melihat keadaan rumahnya. Juga dia ingin menengok cucunya Giok Cheng, ada perasaan rindu atau kangen kepada cucu perempuannya itu. Maka ketika dia menarik napas dalam melihat kepergian Giam Liong, tak mungkin pemuda itu mau dibujuk lagi maka pendekar inipun menggerakkan kakinya menuju Hek-yan-pang.

Majikan Hutan Iblis tak muncul lagi sejak pertemuannya dengan Giam Liong. Golok Maut itu telah direbut kembali dan berada di tangan pemiliknya. Dan ketika pendekar itu disambut dengan gembira di Hek-yan-pang, anak dan mantunya turut menyambut maka semua bertanya tentang Naga Pembunuh itu. Han Han telah mendengar bahwa ayahnya bersama-sama Giam Liong.

“Hm, anak itu pergi, tak mau ke sini. Ia mencari dan hendak meneruskan perjalanannya, Han Han, dan bagaimana kalian sendiri di sini.

“Kami baik-baik saja, namun musuh tak berani datang. Ceng Tong lo-suhu dan Ho Heng totiang menunggu-nunggumu ayah, ingin bertanya bagaimana sebaiknya kalau Majikan Hutan Iblis tak menyatroni kita!”

“Benar,” ketua Khong-tong itu maju dan berseri-seri, mengepal tinju. “Kami di sini aman dan menenteramkan, taihiap. Tapi tak enak juga harus makan minum menganggur. Kami telah merepotkan Hek-yan-pang!”

n “Dan pinceng juga siap. Asal bersama taihiap atau Han-siauwhiap kami tak perlu takut lagi terhadap siapapun. Kami menunggu kepemimpinanmu!” Ceng Tong, hwesio Lu-tong itu menyambung. Ia bersama Ho Heng Tojin memang tenang dan tenteram di tempat itu.


“Aku ingin mengaso dulu. Biarlah sehari dua kita bicarakan lagi.”

“Tapi taihiap mau menerima, bukan? Bukankah sebaiknya kita menyerang dan mencari iblis itu?”

“Hm-hm, sudah sejauh ini baru sekali itu aku berhasil, totiang. Majikan Hutan Iblis itu tak mudah didapat kalau tidak atas kehendaknya sendiri. Sudahlah, nanti kita bicara lagi dan sekarang aku ingin bercakap-cakap dengan puteraku. Aku ingin mengaso.”

Semua orang mundur. Akhirnya mereka sadar bahwa pendekar itu harus diberi waktu, dia baru saja datang dan tak layak mendesaknya dengan kata-kata dan keinginan. Maka ketika pendekar itu masuk dan berdua dengan puteranya, ditemani menantunya maka keluarga ini melepas rindu dengan pertanyaan dan cerita sana-sini. Ternyata berkumpulnya para tokoh di situ menciptakan semangat tinggi. Mereka benar-benar terlindung dan aman di bawah naungan Hek-yan-pang. Nama besar Ju-taihiap maupun puteranya ternyata membawa kepercayaan diri.

Majikan Hutan Iblis tak berani mengganggu mereka dan Han Han menerima satu demi satu ketua-ketua partai yang terbebas dari pengaruh jahat Beng-jong-kwi-kang itu. Mereka bercerita tentang pertemuannya dengan Ju-taihiap, juga Giam Liong. Dan karena Hek-yan-pang akhirnya penuh dengan orang-orang kang-ouw ini, para pendekar maka kekuatan mereka menjadi bertambah dan Han Han merasa tenang dengan keadaan itu. Tapi ketika dia ganti bercerita akan tewasnya Kim-sim To-jin, guru isterinya maka Tang Siu yang berada di situ setelah tiga supeknya mengajak dia kembali membuat nyonya itu tersedu menutupi muka, tak tahan.

“Tadinya aku juga meninggalkan Hek-yan-pang. Tang Siu lari dan kukejar. Tapi ketika Hutan Iblis terbakar dan habis dimakan api, aku termenung mencari isteriku ini akhirnya tanggung jawabku akan rumah membuat aku pulang lagi. Kematian Kim-sim Tojin memang amat memukul, dan Siu-moi kiranya mengikuti Keng Hwat locianpwe. Dan karena aku harus menjaga anak murid dan menunggu ayah pulang maka sumoi dan supeknya akhirnya datang dan tinggal pula di sini, menceritakan bahwa Kun-lun juga menerima musibah!”

“Hm-hm, hebat sekali, dan sungguh keji Majikan Hutan Iblis itu. Untuk Kun-lun aku sudah mendengar, Han Han, tapi kematian Kim-sim Tojin baru kuketahui sekarang. Ah, bagaimana terjadinya!”

“Kami tak tahu bagaimana terjadinya, kecuali bahwa keesokannya tiba-tiba para murid menemukan empat keranjang berisi jenasah Kim-sim totiang itu. Kematiannya mengerikan, dicincang Golok Maut!”

“Dan jelas perbuatan Majikan Hutan Iblis itu. Keparat, orang itu sungguh binatang, Han Han, tapi sekarang Golok Maut telah di tangan Giam Liong kembali!”

“Ya, aku sudah dengar. Tapi sejak ayah pergi kami di Hek-yan-pang jatuh bangun menghadapi iblis itu. Kalau saja suhu Im Yang Cinjin tak datang menolong barangkali aku juga binasa dan sudah tinggal nama!”

“Dia datang ke sini?”

“Benar, ayah, dan aku hampir roboh!”

“Tapi kepandaianmu tinggi, kau setingkat di atas ayahmu!”

“Hm, ayah harus ingat. Waktu itu Golok Maut itu di tangan lawanku itu, sementara Pek-jit-kiam ayah bawa!”

“Ah, ah... benar! Aku lupa, Han Han. Tapi bukankah akhirnya kau selamat!”

“Benar, aku terpaksa memanggil suhu di Lam-hai. Keganasan Golok Maut itu yang amat mengerikan!”

“Dan dia rupanya tahu kalau aku pergi. Ah, licik dan curang sekali orang ini, Han Han. Pantas kalau Giam Liong tak mau melepaskannya!”

Malam itu ayah dan anak bertukar cerita. Ju-taihiap berubah dan tertegun mendengar kisah Hek-yan-pang, betapa setelah kepergiannya muncul Majikan Hutan Iblis itu, menyerang dan mengobrak-abrik anak murid dan hampir membunuh puteranya sendiri. Dan ketika ia menyesali kematian Kim-sim Tojin, kenapa tosu itu tak mau diajak Im Yang Cinjin maka di sini jago pedang itu menarik napas dalam.

“Agaknya semuanya ini memang harus terjadi. Kematian Kim-sim totiang sudah takdir. Tapi kenapa ia bertinggi hati, Han Han, bukankah gurumu sudah membujuknya dan akan membawanya ke Lam-hai. Sayang, ia harus tewas dan kita kehilangan seorang keluarga!”

“Benar, tapi itupun rupanya sudah nasib. Aku juga sudah membujuk dan memaksanya secara halus, ayah, namun gagal. Aku tak dapat berbuat apa-apa dan cegahan Siu-moi juga tak digubris. Mimpi itu menjadi kenyataan!”

“Hm, mimpi apa.”

“Tentang kematian Kim-sim totiang ini. Siu-moi sudah mengkhawatirkannya tapi kakek itu malah marah-marah. Takdir, kita tak dapat merobah takdir!”

Ju-taihiap mengangguk-angguk. Akhirnya dia memandang menantunya dan bertanya tentang nasib yang menimpa Kun-lun. Dia sudah mendengar namun baru garis besarnya saja. Dan ketika nyonya muda itu menceritakan peristiwa buruk di sana, betapa tujuh pimpinan Kun-lun terbunuh maka nyonya ini menahan tangis menggigit bibir.

“Supek Keng Hwat Taisu tadinya tak menyangka pembalasan itu, dan ini gara-gara aku juga. Aku yang mula-mula membakar Hutan Iblis itu, ayah, membumihanguskannya. Tapi ketika kami ke Kun-lun dan hendak meninggalkan pesan kepada anak murid ternyata tempat itu ganti dibumihanguskan dan dibakar. Aku menyesal sekali akan peristiwa di Kun-lun ini. Majikan Hutan Iblis itu benar-benar keparat dan amat keji!”

“Hm, dan kau sendiri, lalu apa yang kau perbuat, Han Han?”

“Aku mengejar isteriku, ayah, gagal. Untuk berhari-hari berkeliaran ke sana ke mari tapi akhirnya aku kembali lagi ke Hek-yan-pang. Tanggung jawab dan perlindunganku kepada anak murid memaksaku pulang!”

“Hm, semuanya serba buruk, membuat kita marah. Tapi ada yang baik, Han Han, yakni tentang kembalinya Sin Gak!”

“Ah, Giam Liong telah mendapatkan puteranya itu?”

“Benar, tapi sekarang lepas lagi...”

“Eh, apa maksud ayah? Lepas ke mana?”

“Ke orang lain, Han Han, dan ada berita baru yang menarik.”

“Apa itu,” Han Han menyergap. “Coba ayah ceritakan dan aku bingung bagaimana Sin Gak berpindah tangan!”

“Ada dua orang sakti muncul, namanya Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin.”

“Hek-i Hong-li? Siapa ini?”

“Aku juga baru kali ini mendengar, Han Han, tapi Giam Liong telah dirobohkannya.”

“Astaga, tidak main-main! Kalau begitu hebat sekali orang itu dan bagaimana Giam Liong bisa bertemu lawannya ini!”

“Aku juga tak tahu pasti, tapi yang jelas Giam Liong seperti anak kecil berhadapan dengan dua orang ini. Dan Sian-eng-jin yang merebut Sin Gak dari tangan Majikan Hutan Iblis, Han Han, tapi kakek itu lalu memintanya kepada Giam Liong setelah merobohkan pemuda itu!”

“Hm-hm, kalau begitu aku tentu juga bukan tandingannya. Ah, siapa mereka ini, ayah, apakah kau atau Giam Liong betul-betul tidak tahu!”

“Aku tidak tahu, barangkali Sian-su atau gurumu tahu.”

“Hm, suhu Im Yang Cinjin? Seingatku tak pernah bercerita, mungkin juga tidak tahu!”

“Kalau begitu Sian-su yang tahu. Mereka itu sudah ada sejak seratus tahun yang lalu, Han Han, berarti jamannya ayah dari kakek kita!”

“Hebat, dan setua itu muncul lagi di dunia persilatan. Entah apa maunya. Jangan-jangan membuat onar!”

“Kurasa tidak. Kakek dan nenek itu punya pantangan, Han Han, katanya tak boleh mencampuri urusan dunia lagi. Giam Liong mendengarnya ini dari Majikan Hutan Iblis!”

Han Han mengerutkan alisnya. Dia lalu mendengar cerita ayahnya tentang perkiraan itu, betapa laki-laki itu tak takut kepada Sian-eng-jin karena dikatakan disumpah tak boleh memasuki dunia kang-ouw lagi. Dan karena Giam Liong juga memiliki kepercayaan yang sama dari sikap dan tingkah laku dua orang sakti itu maka pendekar ini menutup dengan suara datar.

“Mudah-mudahan yang diperkirakan ini benar. Dan kalau itu benar maka ada untung dan ruginya. Ruginya adalah orang sehebat itu tak dapat dimintai tenaganya untuk menghadapi orang seperti Majikan Hutan Iblis, sedangkan untungnya adalah ada calon pengganti yang kelak ditunjukkan oleh putera Giam Liong itu.”

“Maksud ayah?”

“Sin Gak diambil sebagai murid. Han Han, dan tentu anak itu akan jauh melebihi kita!”

“Dan nenek itu,” Tang Siu tiba-tiba berseru. “Apakah tidak mempunyai murid, gak-hu. Kalau belum tentu Giok Cheng kuinginkan menjadi muridnya!”

“Hm!” Han Han terkejut. “Kau mau kehilangan anak kita? Kau tak ingin mendidik dan merawatnya sendiri?”

“Kalau kepandaianku tak nempil menghadapi orang seperti Majikan Hutan Iblis itu apa gunanya mendidik Giok Cheng, Han-ko. Jauh lebih baik di tangan nenek sesakti itu agar dapat membalas sakit hatiku!”

Han Han saling pandang dengan ayahnya. Dia mengerutkan kening mendengar kata-kata ini karena secara tersirat isterinya menyesalinya juga, bahwa dia tak mampu menangkap dan membunuh musuh itu. Dan karena kata-kata ini penuh emosi didorong oleh dendam belaka, sakit hati maka pemuda itu menarik napas panjang bicara dengan suara getir.

“Siu-moi, semua tahu bahwa lawan yang kita hadapi adalah orang yang amat berbahaya. Waktu itu dia membawa Golok Maut, padahal Pek-jit-kiam dibawa ayah. Kalau aku membawa Pek-jit-kiam atau musuhku itu tak membawa Golok Maut tentu aku dapat menangkap atau merobohkannya!”

“Aku tak menyalahkan dirimu, aku hanya menyesali kepandaianku yang rendah saja.”

“Ah, sudahlah, itupun tak perlu disesali, moi-moi. Sebenarnya kaupun bukan wanita sembarangan dibanding tokoh-tokoh persilatan yang ada. Kau masih lebih hebat daripada Ceng Tong Hwesio atau Ho Heng Tojin yang ada di sini misalnya!”

“Benar, tapi kita tak perlu mempersoalkan ini lagi. Malam sudah larut dan baiklah kita masing-masing beristirahat,” Ju-taihiap menyela dan menghabiskan percakapan itu. Pendekar ini bangkit dan masuk ke kamar dan pertemuan itupun berakhir.

Han Han memandang isterinya dan akhirnya mengajaknya masuk pula. Dan ketika semua tertidur namun nyonya itu tak dapat memejamkan mata, entah kenapa dia teringat cerita tentang nenek itu maka timbul keinginannya mudah-mudahan ia bertemu nenek itu dan akan menyerahkan Giok Cheng agar menjadi murid! Nyonya ini iri akan keberuntungan Sin Gak, di samping memang ingin membalaskan dendamnya atas tewasnya gurunya yang dikasihi. Maka ketika dia mendengar cerita tentang nenek sakti itu, betapa nenek itu dengan mudah mengalahkan Giam Liong maka dia mengharap mudah-mudahan ia bertemu nenek itu dan sang nenek sudi mengambil puterinya. Tak mau kalah kalau kelak putera Giam Liong menjadi orang luar biasa!

Ju-taihiap sendiri tentu saja tak mempunyai pikiran seperti ini karena masalah dendam rasanya dapat diatasi sendiri. Han Han puteranya juga berpikiran sama. Maka ketika keesokannya pendekar menemui tokoh-tokoh kang-ouw itu, diminta pendapatnya untuk memimpin mereka maka pendekar ini menarik napas dalam menyatakan kebingungannya.

“Aku pribadi tak menolak, tapi ke mana kita cari Majikan Hutan Iblis itu? Setelah tempat tinggalnya dibakar habis, kita tak tahu lagi di mana dia bersembunyi, cuwi enghiong. Bingung rasanya harus mencari orang ini. Apakah kita asal mencari saja.”

“Tidak, kita dapat memecah rombongan. Satu di bawah pimpinanmu sementara yang lain dipimpin puteramu, taihiap. Kalau orang ini tak ditangkap atau dibunuh tentu kami semua masih was-was dan dilanda rasa takut!”

“Dan kami mungkin masih bernaung di Hek-yan-pang sini, minta perlindungan!”

“Dan itu berarti merepotkan Ju-taihiap sekeluarga. Benar, kami telah sepakat untuk mencari dan mendapatkan keparat ini, taihiap, di bawah pimpinan kalian berdua ayah dan anak. Kami tak ingin membuat Hek-yan-pang repot setiap hari!”

Ju-taihiap tersenyum dan mengangguk memandang orang terakhir itu. Ia adalah Ho Heng Tojin dan tosu itu tampak bersemangat mengeluarkan kata-katanya. Ia didukung oleh seruan di sana-sini. Dan karena itu benar dan tak mungkin semua orang-orang kang-ouw ini harus bergerombol di Hek-yan-pang, mereka juga punya tugas dan pekerjaan sendiri-sendiri di tempat mereka akhirnya jago pedang ini menerima dan dua hari kemudian bersama puteranya dia memimpin orang-orang itu mencari dan menangkap musuh yang amat berbahaya ini.

Namun sebulan dicari jejak Majikan Hutan Iblis itu tak ada. Dilanjutkan sebulan lagi namun tetap tak menemukan jejak. Dan ketika setengah tahun kemudian orang itu tak didengar kabar beritanya, lenyap seperti siluman maka Ju-taihiap memutuskan untuk pulang kembali dan sewaktu-waktu melapor ke Hek-yan-pang kalau iblis itu datang mengganggu. Rasa putus asa dan harap-harap cemas meliputi wajah semua orang.

“Agaknya lawan kita ini ketakutan, dan tak mungkin kita harus terus seperti ini. Sebaiknya cuwi kembali dan bekerja di tempat masing-masing seperti biasa saja, Ho Heng totiang. Kalau ada apa-apa cepat kirim berita ke Hek-yan-pang. Secepatnya kami tentu datang!”

“Atau kami yang kembali ke Hek-yan-pang!” tosu itu berseru. “Asal kau tak segan menolong kami biarlah kami pulang, taihiap. Tak enak juga membuang-buang waktu dan tenaga di perjalanan yang sia-sia. Baiklah, bagaimana dengan Ceng Tong lo-suhu dan lain-lain!”

Semua ternyata setuju. Asal ada jaminan dari Ju-taihiap bahwa pendekar itu akan tetap turun tangan maka orang-orang itupun menerima usul ini. Mereka mantap. Dan ketika semua mulai percaya diri dan pulang ke tempat masing-masing, bulan demi bulan dilewatkan lagi tanpa gangguan maka ketenangan mulai menenteramkan orang-orang itu dan sampai setahun tak ada berita tentang Majikan Hutan Iblis ini.

Bagai ditelan bumi saja orang itu tak muncul lagi. Dan karena timbul dugaan bahwa lawan mereka itu takut, bersatunya ketua-ketua persilatan di bawah kelihaian Hek-yan-pang agaknya membuatnya gentar maka tahun kedua lewat tanpa apa-apa sampai tahun ketiga dan keempat. Ju-taihiap sendiri juga mencari bergantian dengan puteranya. Mereka tak pernah melupakan kewaspadaan. Tapi ketika sampai tahun kelima Majikan Hutan Iblis itu benar-benar lenyap tak diketahui rimbanya, perlahan-lahan perasaan semua orang pulih dan tenang kembali maka kewaspadaan akan inipun berkurang dan akhirnya Ju-taihiap sendiri merasa bosan dan menghentikan pencariannya.

Para ketua partai juga mulai melupakan itu dan menganggap bersatunya orang-orang gagah membuat laki-laki itu gentar. Mereka bersyukur dan semakin tenang saja. Dan ketika tahun-tahun dilewatkan lagi tanpa ada sesuatu yang penting, dunia kang-ouw benar-benar aman dan tenteram maka Majikan Hutan Iblis itu nyaris dilupakan orang kalau tak terjadi sesuatu yang lebih hebat lagi daripada dulu!

* * * * * * * *

Entah sudah berapa kali pergantian musim berputar di pulau kecil di tengah telaga itu. Hek-yan-pang juga mulai melupakan musuh mereka ini ketika pagi yang cerah itu seorang anak bermain-main di tepi telaga. Sebatang pancing, tanpa kail ditusuk dan ditancapkan berulang-ulang ke dalam air. Anak perempuan itu terkekeh-kekeh ketika ujung bambunya diangkat, seekor ikan menggelepar dan terdapat di situ. Dan ketika seorang inang pengasuh juga tertawa dan terkekeh-kekeh senang, duduk di atas perahu melayani gadis cilik ini maka anak perempuan itu berseru dan tiba-tiba melempar batang walesannya kepada si inang pengasuh.

“Heii, bibi A-kun juga harus melakukan yang sama, jangan menonton saja. Ayo tangkap dan tusuk ikan-ikan itu, bibi. Awas kulempar ini padamu!”

Sang inang pengasuh terkejut. Dia adalah murid perempuan Hek-yan-pang yang berkepandaian cukup tinggi, Li Kun namanya. Tapi menerima lemparan batang pancing yang begitu mendadak dan cepat, menyambar dan membuatnya terkejut maka inang pengasuh itu berseru keras dan merendahkan tubuh di papan perahu ia menangkap dan menggerakkan tangannya ke depan.

“Aihh, kau terlalu tiba-tiba, Cheng-siocia, nakal sekali. Uhh, biar kutangkap tapi jangan suruh aku memancing tanpa kail!”

Batang bambu itu tertangkap namun lontaran kiranya demikian kuat sekali. Tenaga anak perempuan itu hebat hingga perahu terdorong, bagai dipukul tangan raksasa. Dan ketika anak itu terkekeh-kekeh sementara inangnya berseru kagum, menghentikan gerakan perahu dengan menancapkan batang pancing ke dasar telaga maka wanita itu melompat dan tertawa-tawa. Hilang kagetnya.

“Kau semakin menguasai tenaga dalammu, aihh.... hebat sekali lontaran Im-yang-sin-kang mu itu. Wah, bibi hampir tak kuat, siocia. Ayahmu tentu bangga dan gembira melihat kemajuanmu ini!”

“Hi-hik, tapi bibi tak roboh. Ah, tenagaku masih kurang kuat, bibi A-kun. Kau dapat menangkapnya dengan baik!”

“Tapi perahuku terdorong, itu menunjukkan kemajuanmu!”

“Tidak, belum memuaskan. Seharusnya aku membuatmu roboh atau terjungkal ke dalam air!”

“Wah, tubuhku bisa basah kuyup, siocia, jangan nakal. Sudahlah kau hebat dan biar kubakar ikan ini untuk sarapan kita!” sang inang tertawa dan geli mendengar itu, menyambar dan meraih semua ikan hasil tangkapan namun gadis itu tiba-tiba berkelebat. Dia merampas semua itu dan membuangnya ke tanah. Lalu ketika dia menggeleng dan mengeraskan dagu maka dia berseru agar pengasuhnya itu memancing tanpa kail.

“Aku tak mau makan, belum lapar. Bibi harus menggantikan aku dan lihat berapa ikan bibi dapat!”

“Ah, untuk apa? Aku tak mendapat pelajaran Im-yang-sin-kang, siocia, tak mampu menggetarkan tenaga di dalam air. Aku tak dapat seperti dirimu!”

“Bibi belum mencoba, ayo lakukan dulu atau nanti aku marah!”

Terpaksa inang pengasuh ini bergerak dan tertawa masam. Dia menyambar batang pancing itu dan menusukkannya ke air, tiga empat kali namun tak seekor ikanpun didapat. Dan ketika dia menyeringai dan menarik pancingnya lagi maka dia berseru, “Nah, lihat tidak. Ikan-ikan itu terlalu licin dan sukar bagiku. Aku tak mampu melakukan seperti yang kau lakukan!”

“Kalau begitu kepandaianku lebih tinggi?”

“Tentu saja, siocia, hanya kau masih kecil, kurang matang, kurang pengalaman!”

“Coba kita buktikan!” dan gadis cilik itu yang, langsung menerjang dan berkelebat ke depan tiba-tiba memukul dan menendang inang pengasuhnya ini yang tentu saja berteriak dan mengelak sana-sini, tidak membalas namun semua serangan itu luput.

Giok Cheng, anak ini, penasaran sekali. Ia tiba-tiba berseru keras dan mempercepat gerakan. Dan ketika ia mengeluarkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit) dan inang pengasuh berteriak keras, gadis itu menyambar dan naik turun dengan cepat sekali maka inang pengasuhnya ini tak sanggup lagi mengikuti dan menjerit menerima tamparan atau tendangan-tendangan kilat, kecil namun panas dan berteriaklah inang pengasuh itu terhuyung ke sana ke mari.

Giok Cheng tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya saja, sampai akhirnya si inang pengasuh roboh. Dan ketika gadis itu menghentikan gerakannya dan puas berkacak pinggang, lawannya berkunang dan sakit oleh tamparan atau tendangan itu maka inang pengasuh ini berdiri dan memuji dengan tawa meringis.

“Tobat, bibi sakit semua. Aduh, cepat gerakanmu, siocia. Tentu yang kau mainkan tadi Hui-thian-sin- tiauw. Aih, hanya kau dan ibumu saja yang mendapatkan ilmu ini dari ayahmu. Tobat, jangun sakiti aku lagi dan lihat betapa tubuhku matang biru!”

“Hi-hik, maaf. Tadi kau mengelak dan meluputkan serangan-seranganku, bibi. Kau memandang rendah. Sekarang biarlah kugosok dan jangan beri tahu ibu!” gadis itu melangkah dan menyambar inang pengasuhnya ini, mengeluarkan sebotol arak dan menggosok-gosok sekujur tubuh yang kena pukulan. Lalu ketika dia mundur dan menyimpan araknya lagi, tertawa maka anak itu mengajak inangnya duduk, bercakap-cakap.

“Bagaimana pendapat bibi dengan ilmu meringankan tubuhku tadi, dan mana yang lebih hebat antara pukulanku dan ilmu meringankan tubuhku itu!”

“Wah, semuanya hebat, siocia, pukulanmu pedas dan panas. Sementara Hui-thian-sin-tiauw yang kau perlihatkan tadi amat cepat dan luar biasa. Aku sampai berkunang-kunang!”

“Apakah dapat menandingi Pek-poh-sin-kun?”

“Apa?”

“Aku mendengar hebatnya Pek-poh-sin-kun, bibi, dan berpikir apakah dengan Hui-thian-sin-tiauw yang kumiliki aku dapat mengalahkan lawanku, semisal kau memiliki ilmu itu!”

“Ah, kau bicara tentang ilmu sakti yang dimiliki pamanmu Giam Liong?”

“Benar, dan aku ingin tabu sekali bagaimana pamanku itu. Kenapa ia tak pernah datang!”

“Hm!” sang inang pengasuh tertegun. “Kalau kau bicara tentang pamanmu tentu saja kau bukan tandingan, siocia. Kau terlalu kecil untuknya. Yang dapat menandingi pamanmu itu hanya ayahmu seorang!”

“Kalau begitu hebat mana antara ayah dan paman!”

“Keduanya sama hebat. Eh, kenapa tiba-tiba kau bicara seperti ini. Aku takut salah omong!”

“Tidak, aku penasaran akan cerita ibu, bibi. Bahwa katanya di dunia ini ada orang yang masih lebih hebat lagi daripada ayah atau paman Giam Liong!”

“Siapa maksudmu? Apakah kakek dewa Bu-beng Sian-su?”

“Tidak, bukan, bukan itu. Aku tak tertarik kakek ini karena aku tertarik pada seorang nenek sakti yang sering dibicarakan ibu menjelang tidur!”

“Siapa dia?” sang inang mengerutkan kening. “Tak ada orang seperti yang kau bicarakan, siocia. Aku tak rnendengar nenek sakti kecuali cikal bakal Hek-yan-pang!”

“Aku tak tertarik pendiri Hek-yan-pang, aku tertarik pada nenek sakti Hek-i Hong-li!”

“Apa?”

“Sst, jangan keras-keras. Setiap malam ibu mendongengiku tentang nenek ini, bibi, berharap aku dapat menjadi muridnya. Katanya paman Giam Liong pernah dikalahkan dan ayah sendiri bukan tandingan!”

“Ah, kau ngawur. Tak ada nenek sakti Hek-i Hong-li didunia kang-ouw ini. Itu hanya dongeng!”

“Tapi kenapa ibu begitu serius?”

“Ibumu sekedar bercerita, siocia, sekedar memberimu hiburan. Aku tak percaya bahwa Naga Pembunuh Giam Liong dikalah orang. Tak pernah kudengar kabar itu. Kau hanya menerima dongeng!”

“Tapi aku percaya, ibu juga bersungguh-sungguh. Eh, kau jangan menganggap ibu bohong, bibi, atau nanti aku marah kepadamu!”

Anak perempuan itu bersinar-sinar. Inang pengasuhnya terkejut namun tiba-tiba tertawa. Dia harus cepat merobah sikap kalau Giok Cheng mulai bersinar-sinar, marah. Maka ketika dia mengangguk dan pura-pura terbawa, menangkap tangan kecil yang membentuk tinju itu inang pengasuh ini berseru,

“Heii, jangan marah. Aku juga percaya, siocia, tadi aku hanya main-main saja. Ayo kita bakar ikan ini dan sarapan!”

“Bibi percaya?” anak itu tak menghiraukan.

“Ya-ya, percaya!”

“Kalau begitu bibi harus membantu aku!”

“Membantu apa?” wanita itu menyambar dan mulai membuat api unggun, siap membakar ikan.

“Bibi harus mencarikan nenek itu untukku!”

“Apa?” jari-jari itu berjengit, tak jadi membuat api. “Menyuruhku mencari nenek itu? Kau gila? Eh, tidak. Jangan marah dulu, Giok Cheng. Aku kelepasan bicara...wut!” kayu yang dipegang dan dihantamkan anak itu dikelit wanita ini, mengelak tapi membiarkan hantaman kedua mengenai pundaknya. Dan ketika wanita itu meringis dan menahan pukulan ketiga, menangkap dan cepat membujuk maka dia berseru,

“Ampun, siocia, kau sudah menghajarku sekali. Jangan sakiti atau nanti kulaporkan kepada ayahmu!”

“Hm,” gadis itu cemberut, membuang kayunya. “Kau memakiku, bibi, nanti kulaporkan ibuku pula!”

“Sudahlah, maaf, aku terkejut mendengar permintaanmu tadi. Masa bibi harus mencari sementara tak tahu di mana nenek itu berada.”

“Kalau begitu bibi mau mengantarku?"

“Ke mana?”

“Mencari nenek itu. Aku ingin bertemu Hek-i Hong-li!”

Inang pengasuh ini pucat. Main-main yang disangkanya bakal berhenti di situ saja ternyata berlanjut dengan keinginan yang semakin gila ini. Giok Cheng akan mencari dan menemukan nenek dongeng itu. Sinting! Dan ketika ia terbelalak dan bingung, bagaimana harus menjawab maka anak itu memegang lengannya dan berkata, sungguh-sungguh.

“Aku tak mau kalah dengan Sin Gak, ibu mendukung. Kalau bibi mau mengantarku dan menemukan nenek ini tentu jasa bibi tak akan kulupakan seumur hidup. Nah, maukah bibi mengantar?”

“Ini.... ini...” pengasuh itu tergagap. “Kau harus membicarakannya dulu dengan ayah ibumu, Cheng-siocia. Aku tak berani lancang kalau tak ada perintah!”

“Ibu setuju, tapi ayah mungkin menolak. Kau harus membantuku, bibi, membujuk atau membawa lari aku saja. Kita Pergi!”

“Apa?”

“Kita merat, aku ingin bertemu benar dengan nenek sakti itu. Setiap malam ibu menceritakan kesaktian nenek ini!”

Sang inang pengasuh terhenyak. Ia melotot melihat betapa anak perempuan itu begitu bersungguh-sungguh. Kalau saja ia tak ingin membuat marah puteri majikannya ini tentu dimakinya anak itu. Wanita ini gemas. Tapi ketika ia bingung harus menjawab bagaimana mendadak berkelebat bayangan hitam dan seseorang tahu-tahu menyambar anak perempuan itu.

“Siocia...!”

Giok Cheng terkejut dan melempar tubuh ke kiri. Ia melihat bayangan itu dan menjadi kaget. Seruan inang pengasuhnya tadi disusul oleh tendangan di mana ia sudah membanting tubuh. Tapi ketika terdengar tawa dingin dan entah kenapa tubuhnya kaku tak dapat digerakkan tahu-tahu pundaknya dicengkeram dan gadis cilik ini jatuh di tangan lawan.

“Lepaskan majikanku!” inang pengasuh itu membentak dan secepat kilat mencabut pedang. Ia terdorong oleh angin sambaran laki-laki itu dan tak tahu siapa pria ini, maklum, begitu cepatnya laki-laki ini datang. Tapi ketika laki-laki itu mendengus dan menoleh ke belakang, wajah di balik topeng karet terlihat maka pedang yang sudah diayun dan siap membacok ini terhenti di tengah jalan. Li Kun sang inang pengasuh berteriak tertahan.

“Majikan Hutan Iblis!”

Pria itu tertawa aneh. Ia menggerakkan tangan kiri kedepan dan inang pengasuh itu mencelat terlempar. Li Kun, wanita ini terangkat dan terbang meluncur jauh, begitu jauh hingga melayang dan jatuh di kamar Ju-taihiap. Dan ketika suara berdebuk membuat pendekar itu terkejut dan meloncat bangun, pagi itu jago pedang ini masih duduk bersamadhi maka Li Kun yang merintih dan muntah darah menuding-nuding ke telaga.

“Giok Cheng.... nona.... dibawa Majikan Hutan Iblis...”

Ju-taihiap kaget bukan main. Ia seakan mendengar petir di siang bolong dan saat itu berkelebat bayangan menantunya. Tang Siu, yang juga terkejut dan kaget oleh suara berdebuk ini sudah keluar dan meloncat dari kamarnya. Dia sendirian di kamar karena Han Han suaminya sedang ke Lam-hai. Pemuda itu menengok gurunya. Maka ketika Li Kun menuding dan roboh di lantai, rupa-rupanya inang pengasuh itu luka berat maka nyonya ini melengking namun bayangan Ju-taihiap berkelebat lebih cepat lagi.

“Giok Cheng...!”

Teriakan atau jerit itu menggema di seluruh Hek-yan-pang. Pagi yang masih dingin dan berkabut itu menyentak murid-murid lain. Bayangan nyonya itu menyusul Ju-taihiap. Dan ketika mereka keluar dan berkelebatan dari kamar, menyusul dan gempar, oleh tewasnya Li Kun maka di sana Ju-taihiap sudah melihat laki-laki bertopeng itu menunggu dan tertawa mengejek. Cucu perempuannya dikempit dan tak dapat mengeluarkan suara.

“Giok Cheng..!” jago pedang ini juga berseru dan memanggil cucunya. Dia kaget sekali oleh berita tadi namun lebih kaget dan tersentak melihat Majikan Hutan Iblis ini. Laki-laki itu berdiri tegak dan sengaja menantinya. Tak ada takut atau gentar! Dan ketika dia melompat dan sekali terbang sudah berhadapan dengan lawannya ini, menggigil tak berani gegabah menyerang maka tawa yang aneh dan dingin itu terdengar.

“Bagus, mana Han Han puteramu itu. Suruh semuanya keluar. Ha-ha, pembalasanku tiba, Ju-taihiap. Lihat betapa hari ini aku menghancurkan Hek-yan-pang!”

“Keparat jahanam binatang!” Tang Siu menyusul dan terbang menyambar. “Lepaskan anakku, manusia iblis. Berani benar kau datang tapi hari ini kau mampus!”

Laki-laki itu tertawa dan tidak mengelak. ia menerima saja pukulan nyonya ini dan ketika sang nyonya menjerit pukulannya terpental maka secepat kilat laki-laki ini mengebutkan lengan bajunya. Kain itu melebar dan tahu-tahu menyambar wajah si nyonya, sekali kena tentu hancur. Tapi ketika Ju-taihiap berkelebat dan menarik menantunya ini, melepas Pek-lui-kang di tangan kiri menghantam ujung lengan baju itu maka Ju-taihiap tergetar dan hampir roboh. Kulit tangannya biru seakan menghantam lempengan baja.

“Minggir... plak!” Jago pedang itu terbelalak. Ia merasa sakit dan hampir berteriak menangkis lengan baju itu. Tenaga yang amat kuat menolak Pek-lui-kangnya. Dan ketika ia mendesis namun mencengkeram menantunya erat-erat, saat itu bayangan para murid berkelebatan dan mengurung tempat itu maka Ju-taihiap membentak dan menghadapi lawannya ini, diam-diam terkejut bukan main karena ada perobahan besar yang dirasa dari adu pukulan itu!

“Apa maksudmu menculik cucuku. Lepaskan Giok Cheng dan mari bertanding, manusia pengecut. Kenapa anak kecil kau bawa-bawa!”

“Ha-ha, mana puteramu. Apakah semua penghuni Hek-yan-pang telah berkumpul!”

“Keparat, kau sombong dan jumawa. Suamiku Han Han sedang pergi tapi aku dan gak-hu cukup menghajarmu di sini! Lepaskan aku, gak-hu. Lepaskan dan biar kubunuh jahanam ini!” Tang Siu, yang meronta dan menjerit melihat anaknya ditangkap berusaha melepaskan cengkeraman ayahnya. Dia marah sekali namun Ju-taihiap tak mau melepaskan. Dan ketika ia membentak namun didorong mundur, Ju-taihiap mencabut pedang maka Pek-jit-kiam berkeredep tapi aneh sekali Majikan Hutan Iblis itu tertawa, geli!

“Ha-ha, kau terlalu mengandalkan pedangmu itu. Bagus, maju dan rasakan kelihaianku sekarang, Ju-taihiap. Lihat betapa aku tak perlu takut lagi menghadapi pedangmu itu maupun Golok Maut!”

Ju-taihiap terkejut. Lawan menggosok-gosokkan tangannya dan asap hitam mengepul tipis, kian lama kian tebal dan akhirnya para murid terbatuk-batuk. Mereka mencium bau anyir di situ, amis namun juga wangi! Dan ketika dua macam bebauan ini bercampur aduk, Ju-taihiap terbelalak dan pucat maka pendekar itu tiba-tiba berseru keras dan ia berkelebat menusukkan pedangnya.

“Lihat seranganku!”

Laki-laki itu tak mengelak. Pek-jit-kiam, pedang pusaka itu menyambar amat cepat. Ju-taihiap didorong kekhawatirannya oleh nasib Giok Cheng. Cucunya itu tak bergerak entah mati atau masih hidup. Maka ketika ia mengeluarkan bentakan dan pedang menusuk ulu hati, cepat dan luar biasa maka pendekar ini terbelalak melihat lawan tak mengelak sama sekali.

“Cesss!”

Pedang itu seakan menusuk agar-agar tembus dan mencoblos punggung namun Majikan Hutan Iblis ini tidak roboh. Ia masih tegak, berdiri dengan tawa yang aneh itu. Tapi ketika Ju-taihiap terbeliak dan merasakan sesuatu yang tidak wajar maka tangan kiri laki-laki itu menampar dan pendekar ini terpelanting oleh sebuah tamparan yang amat kuat...