Tapak Tangan Hantu Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 13
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
MULA-MULA pemuda ini meninggalkan kota raja dengan sakit hati yang hebat. Kematian isterinya benar-benar memukul dan si buntung yang dulu pada dasarnya ganas dan kejam ini menjadi beringas kembali. Sikap jinak dan lembut yang akhir-akhir ini merobah kekerasan wataknya sekarang lenyap lagi.

Naga Pembunuh ini berkilat-kilat, wajahnya dingin dan mata yang mencorong bak mata seekor naga terluka itu mengerikan. Mata itu seakan melahap siapa saja yang ada di depan. Giam Liong telah kembali seperti dulu, dingin dan tak perdulian. Dan ketika hari itu dia bermaksud ke selatan mencari lawannya. Dan tiba-tiba di sebuah perkampungan di sudut dusun dia berhenti.

Tangis dan jerit melengking-lengking ini membuat Giam Liong menoleh. Dusun itu sunyi, hanya suara itulah yang ada. Maka ketika dia berhenti dan mengerutkan kening, tangis atau jerit itu menggugah keinginan tahunya maka di sudut dusun itu seorang gadis menggerung-gerung dan meratapi seorang kakek yang telah tewas, mandi darah.

“Kong-kong, jangan mati. Jangan pejamkan matamu. Bukalah, ini aku Su Giok. Ooh, jangan tinggalkan aku, kong-kong jangan tinggalkan aku!”

Giam Liong tersenyum dingin. Dia melihat gadis itu meraung-raung dan meratapi kematian kakeknya dengan sedih. Suara dan tangis itu benar-benar menyayat. Namun karena hatinya sedang luka dan ia pun baru saja kematian isterinya tersayang maka melihat orang lain kematian keluarganya ia pun tenang dan dingin- dingin saja. Gadis itu masih muda dan tak heran kalau tidak kuat menerima pukulan batin. Ia pun hampir gila oleh kematian isterinya.

Maka tersenyum dan menyeringai dingin ia pun tak ambil perhatian lagi dan meneruskan perjalanannya, kebetulan harus melewati gadis itu pula dan dengan tenang ia melangkah. Tangis dan ratap gadis itu semakin menyayat-nyayat, tapi senyum dan pandang mata Giam Liong semakin dingin. Ia acuh. Tapi ketika gadis itu memutar kepala dan melihat kedatangannya, tangis dan ratap berhenti sejenak maka gadis ini melotot melihat betapa si buntung yang acuh itu lewat begitu saja dengan bibir mengejek. Dan ia tiba-tiba meloncat bangun.

“Siapa kau. Apakah suruhan jahanam keparat itu!”

Giam Liong tak menjawab. Ia mempercepat langkahnya dan tertawa dingin. Bicara dengan gadis itu tak ada gunanya, lebih baik menyingkir. Tapi ketika gadis itu berjungkir balik dan turun di depannya, mencegat maka sebatang pedang telah menggigil di tangan kanannya. Gadis ini marah benar melihat betapa seorang pria lewat tanpa memperhatikan kesusahan dirinya. Begitu dingin, tak berperasaan.

“Kau... kau tak berjantung. Kau tentu suruhan jahanam Majikan Hutan Iblis itu untuk menyakiti aku. Mampuslah!” pedang bergerak dan menyambar.

Giam Liong terkejut dan tentu saja mengelak, bukan oleh serangan pedang itu melainkan oleh ucapan atau kata-kata ini. Serangan pedang itu baginya tak berarti apa-apa tapi justeru kata-kata itu yang mengena dihatinya. Majikan Hutan Iblis, ah! Maka mengelak dan membuka matanya lebih lebar dia tiba-tiba berseru, masih tak menghiraukan gerakan pedang yang bertubi-tubi,

“Kakekmu dibunuh laki-laki itu? Kalian bermusuhan?”

“Tak usah banyak bicara, tak perlu berpura-pura. Mampus dan terbanglah ke neraka, jahanam keparat. Kau dan Majikan Hutan Iblis sama saja... plak!” namun pedang yang akhirnya ditangkis dan terlepas dari gadis itu membuat si gadis berteriak dan terpelanting, roboh bergulingan meloncat bangun dan di sana gadis itu terbelalak pucat. Tak disangkanya bahwa dengan sekali tangkisan saja pedangnya mencelat. Lawan ternyata lihai luar biasa! Tapi ketika ia melengking dan mau menyerang lagi, menggerak-gerakkan kedua tangan untuk menerjang maju maka lawan berkelebat dan tahu-tahu menangkap lengannya, begitu cepatnya.

“Di mana Majikan Hutan Iblis itu sekarang. Cepat, katakan di mana dia!”

Gadis ini mengaduh. Cengkeraman atau tangkapan Giam Liong amatlah kuatnya. Kemarahan yang berkobar membuat si buntung ini lupa diri. Tapi ketika gadis itu berteriak dan mengaduh, ia sadar maka Giam Liong mengendorkan cengkeramannya namun tetap saja gadis itu tak dapat meronta lepas.

“Kau... kau siapa! Apakah kau bukan suruhan orang itu!”

“Hm, aku musuh besarnya, nona. Aku akan mencincangnya hancur bila ia ada di sini. Katakan, dimana ia sekarang dan kapan kakekmu ini terbunuh!”

“Kakek terbunuh dua jam yang lalu. Dia kejam dan tak berperikemanusiaan. Lepaskan aku dan siapa kau!”

Giam Liong melepaskan cengkeraman. Kalau dua jam yang lalu musuh sudah pergi maka percuma baginya mengejar. Sudah terlalu jauh. Namun matanya yang berkilat dan mencorong bagai naga membuat gadis didepannya sekarang sadar, ngeri. Tadi tak takut karena menganggap si buntung itu musuh, suruhan lawan.

“Kau... kau siapa. Bolehkah aku tahu kenapa kaupun memusuhi Majikan Hutan Iblis!”

“Hm, kau sendiri, bagaimana ada di tempat ini? Mengapa dusun ini kosong?” Giam Liong tak menjawab, balik bertanya.

“Aku dan kakekku lewat di dusun ini ketika jerit dan tangis terdengar. Segerombolan srigala mengganggu, kami menghajar tapi ternyata itulah anak buah Majikan Hutan Iblis. Aku mengajak kakek lari tapi terlambat. Penduduk sudah cerai-berai ketika tiba-tiba jahanam itu muncul!”

“Dan dia membunuh kakekmu?”

“Benar, dan juga hampir membunuh aku!”

“Tapi kau masih hidup!”

“Waktu itu tidak, aku sudah di ambang kematian. Tapi suara yang-khim tiba-tiba membuat jahanam itu tertegun dan melarikan diri!”

“Yang-khim?”

“Ya, suara yang-khim, sobat aneh. Orang itu ketakutan dan lari pergi. Kau siapakah dan kenapa tak memperkenalkan diri atau namamu!”

“Hm, aku orang she Sin, datang memang untuk mencari jahanam keparat itu. Kalau kau masih hidup maka itu adalah keberuntunganmu yang besar. Aneh bahwa dengan suara yang-khim saja lawanmu pergi.”

“Aku juga tak mengerti, tapi eh, itu suara yang-khim itu!”

Giam Liong terkejut. Di luar dusun, di saat mereka bercakap-cakap tiba-tiba terdengar bunyi berdenting senar-senar yang-khim. Suara yang-khim atau kecapi ini merdu dan nyaring, tajam menusuk telinga namun lembut menyusup hati. Dan ketika Giam Liong tertegun namun gadis itu melompat mendahului, berkelebat dan berseru girang maka gadis itu berteriak memanggil orang ini.

“Inkong (tuan penolong), terima kasih atas pertolonganmu!”

Giam Liong bergerak dan menyusul. Gadis itu terkejut karena bayangan hitam mendahuluinya, Giam Liong sudah melihat seseorang duduk di atas batu hitarn besar, seorang kakek yang memberikan punggungnya dan kakek itulah yang menjentikkan senar-senar yang-khimnya dengan merdu namun nyaring. Tapi ketika Giam Liong berkelebat ke sini dan akan melewati kakek itu mendadak kakek itu membalik dan....wutt, tahu-tahu lenyap dan pergi ke arah dari mana dia datang, ke dusun itu!

“Heh-heh, belum waktunya bertemu. Ada jodoh ada rejeki. Maaf, lindungi dan perhatikan gadis itu, Naga Pembunuh. Aku capai menjaganya dua jam. Giliranmu sekarang dan jaga dia baik-baik!”

Giam Liong terkejut bukan main. Dia telah melewati kepala kakek itu dan akan turun di depannya ketika tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan membalik. Kesiur anginnya seakan diketahui. Dan ketika kakek itu berkelebat dan turun bagai burung menyambar, ke arah ari mana dia datang maka Giam Liong tentu saja kembali mendapat punggung kakek itu namun sekilas ia melihat wajah yang tertutup halimun dengan sepasang bola mata yang menembus lembut, lunak namun tajam.

“Sian-su.!” Giam Liong tergetar hebat. Seketika dia tersentak dan maklum dengan siapa dia berhadapan. Kiranya Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang sakti itu. Namun karena dia tak mendapat kesempatan lebih banyak dan kakek itupun baru kali itu dijumpai, kakek ini seolah dewa dalam dongeng maka gadis baju merah, yang tiba dan melayang ke atas batu hitam terkejut dan membelalakkan mata memandang Giam Liong, mendengar seruan dan tawa lembut kakek itu.

“Kau.... kau Si Naga Pembunuh Giam Liong? Kau pemuda yang dicari-cari kakekku itu? Ooh, tak kuduga, Sin-taihiap. Kiranya kau orangnya!”

Namun Giam Liong terpaku memandang kepergian kakek ini. Suara yang-khim dan hebatnya kesaktian kakek ini lenyap dari hadapannya benar-benar membuat Giam Liong tertegun. Dia kagum bukan main, takjub! Tak banyak orang yang dapat melakukan itu di depannya, Ju-taihiap sendiri juga tidak. Tapi ketika isak dan tangis di bawah menyadarkannya, gadis itu berlutut dan memeluk kakinya maka si buntung ini sadar. Kata-kata penuh kagum namun juga kecewa terdengar dari mulut gadis itu.

“Sin-taihiap..... Naga Pembunuh, kau kiranya yang dicari kong-kong? Kau datang setelah kakekku binasa? Ah, tak beruntung nasib kami, Sin-taihiap. Tapi kejam benar kalau kau tak perduli nasibku. Kau dapat melenggang seenaknya saja ketika aku tersedu-sedu meratapi kematian kakekku. Kau seolah tak berperasaan!"

“Hm,” Giam Liong melepaskan diri, menarik kakinya. “Kau sekarang sudah tahu aku, nona. Tapi tidak tahukah kau siapa kakek yang membawa yang-khim itu!”

“Aku tak perduli. Aku telah menemukan dirimu dan sekarang akan melanjutkan permintaan kakek. Kau tolonglah aku dan balaskan sakit hati ayah dan ibuku, juga kakekku itu. Aku tak dapat menghadapi manusia iblis itu karena kepandaiannya amat tinggi. Aku tak mungkin membalas dendam!”

“Hm, bangkitlah. Aku memang akan menangkap dan membunuh manusia jahanam itu, tapi bukan untukmu, melainkan untukku. Kalau kau sudah merasa tak mampu menghadapi lawanmu itu sebaiknya kau kembali dan pulang ke rumahmu.”

“Pulang?” mata itu terbelalak, tiba-tiba berapi. “Aku tak mau pulang, Naga Pembunuh. Aku tak mau kembali ke utara setelah semua kejadian ini. Kau dan ketua Hek-yan-pang itu kiranya sama. Sama-sama tak berperasaan, sama-sama beku. Aku memang berkepandaian rendah tapi itu bukan berarti maksud balas dendamku habis. Aku akan mencari orang lain untuk maksud ini!” dan turun dengan air mata bercucuran, marah dan kecewa menghadapi Giam Liong akhirnya gadis itu kembali ke dusun menyambar mayat kakeknya, berkelebat dan lari menuju arah yang lain dan Giam Liong tertegun.

Kekerasan gadis itu tampak nyata, keras dan agak tinggi hati. Dan karena merasa agak tak enak telah menyinggung perasaan orang, dia berkelebat dan turun mengejar maka Giam Liong telah melewati atas kepala gadis ini. “Tunggu, kita bicara sebentar. Apa maksudmu menyebut-nyebut nama ketua Hek-yan-pang. Apakah kau sudah pergi kesana. Siapakah sebenarnya kau ini!”

“Minggir, tak usah banyak bicara!” gadis itu membentak. “Aku Su Giok bukan pengemis yang harus meminta-minta belas kasihan, Naga Pembunuh. Meskipun kau lihai tapi bukan berarti boleh menghina orang seenaknya!”

Namun Giam Liong menangkap dan mengelak serangan gadis ini. Sekali dia memutar maka tubuhpun sudah di belakang, punggung gadis itu ditepuk. Dan ketika gadis ini mengeluh terjerembab ke depan, mayat kakeknya terlepas namun Giam Liong sudah menangkap maka pemuda ini menarik napas dalam bersikap agak lembut.

“Maafkan aku, aku sendiripun sedang berduka. Isteriku tewas juga oleh Majikan Hutan Iblis itu. Kau katakanlah siapa kalian berdua ini dan siapakah kakekmu yang tewas ini. Kenapa kau menyebut-nyebut ketuaHek-yan-pang.”

Gadis itu merebut mayat kakeknya. Dia sudah berdiri lagi setelah terjerembab. Hampir saja hidungnya mencium tanah. Dan ketika ia berapi-api memandang Giam Liong, menuding maka ia membentak dengan penuh kecewa, “Sin Giam Liong, aku dan kakekku lama sekali mencari-cari dirimu. Tidak usah malu, kami berdua ingin minta pertolonganmu. Tapi melihat sikapmu yang demikian dingin dan tidak berperasaan ini mau rasanya aku berteriak kepada kakek bahwa orang yang diharap-harapkan ini bukanlah manusia yang punya perasaan. Kau beku seperti batu. Kau sama saja seperti Ju-taihiap ketua Hek-yan-pang itu. Aku tak sudi merengek kepada kalian lagi yang kupikir adalah orang-orang gagah!”

“Hm, aku telah membuatmu marah. Maaf. Ketahuilah bahwa hatiku sendiripun sedang pepat. Isteriku juga baru saja tewas oleh Majikan Hutan Iblis ini. Kalau kau atau kakekmu telah pergi ke Hek-yan-pang dan menemui ketua Hek-yan-pang di sana tentu kalian orang-orang yang sudah dikenal juga. Bolehkah aku tahu siapa kakekmu ini? Bolehkah kutahu siapa kalian berdua?”

Gadis ini tersedu. Setelah dia melihat sikap Giam Liong yang agak lembut reda juga kemarahannya. Tapi karena ia masih tersinggung dan tak mau banyak bicara maka ia menjawab ketus, “Kakekku adalah Pek-lui-kong jago utara. Tapi kau barangkali belum pernah mendengar namanya karena kepandaiannya memang tidak setinggi dirimu. Minggir, biarkan aku lewat, Naga Pembunuh. Dan jangan harap aku minta pertolonganmu lagi!”

Giam Liong didorong dan terhuyung. Ia terkejut oleh pengakuan gadis ini dan teringatlah Giam Liong oleh cerita ayah angkatnya. Ah, ini kiranya cucu kakek gagah itu. Su Giok! Dan menyesal bahwa baru sekarang ia ingat, gadis ini terlanjur marah maka Giam Liong berkelebat dan tiba-tiba menahan lengan itu, dari belakang. “Maaf, kau kiranya, nona. Ayah angkatku telah bercerita dan aku sekarang ingat bahwa kau kiranya putera paman Su Tong. Maaf, kembali sebentar dan dengarlah!”

Namun Su Giok membentak dan membalik. Ia mengayun kakinya dan menendang selangkangan lawan. Ia terlanjur marah. Namun ketika Giam Liong mengelak dan menotok kaki itu maka gadis ini menjerit dan roboh terjengkang, mayat kakeknya lagi-lagi terlepas. Akan tetapi Giam Liong menyambar dan menyelamatkan keduanya. Dengan cepat ia mengusap kaki itu lagi hingga si gadis mampu berdiri, meskipun dengan terpincang-pincang. Dan ketika ia membawa mayat itu dan menghela napas maka Giam Liong berkata biarlah mayat itu dikubur dulu, tak usah dibawa kemana-mana.

“Kakekmu sudah tewas, tak usah dibawa-bawa. Biarlah kubantu kau menguburkan jenasahnya dan harap maafkan aku.”

Su Giok menangis. Setelah dua kali dibuat tak berdaya namun Naga Pembunuh itu benar-benar tak menyakiti hatinya lagi, ia menutupi muka maka Giam Liong menggali dan meletakkan jenasah kakek ini. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu ketika Giam Liong selesai membuat lubang. Namun ketika Giam Liong mengangkat dan meletakkan jenasah ini ke dalam lubang maka gadis itu menjerit melompat bangun.

“Jangan kubur kakekku sendirian. Jangan biarkan ia sendiri. Biar aku menemaninya dan kau kuburlah aku pula!”

Giam Liong terkejut. Gadis ini melompat dan masuk ke dalam lubang, mengguguk, tersedu-sedu dan merangkuli mayat itu seperti gila. Tapi ketika ia menyambar dan membujuk halus maka ia berkata bahwa hal itu tidak benar. “Kau tak perlu terlalu bersedih. Orang hidup bakal mati. Naiklah, dan biarkan kakekmu beristirahat tenang, nona. Atau nanti arwahnya penasaran dan kacau di alam baka.”

Gadis itu meronta dan masih hendak terjun. Giam Liong mencengkeram dan menepuk ubun-ubun, Su Giok mengeluh dan pingsan. Dan ketika pemuda itu menarik napas dalam-dalam tapi menguruk lubang dengan perasaan tetap maka dia menyadarkan gadis itu lagi setelah selesai, mengurut tengkuknya.

“Maaf, aku akan menolongmu. Tapi ceritakan siapa keluargamu yang masih ada. Aku bersedih atas kematian kong-kongmu, tapi ia sudah tak mungkin kembali dan tunjukkan bahwa kau keturunan Su- enghiong yang gagah!”

Su Giok tak dapat berkata-kata. Untuk sejenak ia mengguguk dan meraung-raung. Tapi ketika sadar bahwa semuanya itu tak bakal menolong, kakeknya tak mungkin hidup maka air mata yang mulai habis membuat dia menghentikan tangisnya juga, bangkit berdiri, wajah merah padam dengan mata berapi-api. “Aku akan membunuh jahanam itu. Aku akan membalas dendam. Biar aku atau dia yang mati!”

“Aku akan menolongmu,” Giam Liong menarik napas dalam. “Sekarang ceritakan siapa keluargamu yang masih tinggal, nona. Dan mari kuantar menemui keluargamu itu.”

“Aku tak memiliki keluarga lagi, aku sebatangkara. Aku... aku tak akan pulang dan tak mungkin pulang. Jahanam itu telah membuat aku sengsara!”

“Kau sebatangkara?” Giam Liong mengerutkan kening. “Kakek atau ayahmu tak memiliki keluarga lain?”

“Paman dan bibiku terbunuh, Sin-taihiap. Hanya kakekku itulah yang satu-satunya masih hidup. Ia kong-kongku, juga guruku. Namun jahanam Majikan Hutan Iblis itu telah membunuhnya pula!”

“Hm, kalau begitu ke mana kau mau pergi. Adakah suatu tujuan yang dapat kuantar.”

“Aku tak ke mana-mana. Aku hanya ingin mencari dan membalas musuhku. Tapi.... tapi aku menyadari kepandaianku. Barangkali aku harus mencari orang lain untuk menambah ilmuku. Kau lanjutkanlah perjalananmu dan biar aku melanjutkan perjalananku pula, sendiri!”

Giam Liong terkejut. Gadis itu bergerak dan melangkah pergi tapi tiba-tiba membalik lagi. Ia teringat sesuatu. Dan ketika ia membungkuk dan menjura di depan Giam Liong maka ia berkata, “Aku lupa mengucapkan terima kasih. Maaf, sekarang kuucapkan terima kasih dan mudah-mudahan budi baikmu dapat kubalas kelak.”

Giam Liong kembali membelalakkan mata. Gadis ini membalik dan melangkah lagi lalu tiba-tiba berkelebat. Ia berdiri, mau memanggil. Tapi ketika ia menahan mulutnya dan tak jadi berseru, ia laki-laki sementara gadis itu perempuan maka Giam Liong membatalkan niatnya dan senyum dingin kembali membayang. Ia tak ingat akan pesan kakek dewa itu dan rupanya juga tak tertarik. Cucu Pek-lui-kong itu telah sebatangkara, biarlah! Maka membalik dan menggerakkan kaki ke tempat lain si buntung ini juga tak memperdulikan lagi gadis baju merah itu. Acuh.

“Hm, benar-benar tak berjantung, tak berperasaan. Pantas kau mendapat julukan demikian mengerikan, Naga Pembunuh. Kau lupa pesanan seseorang!”

Giam Liong terkejut. Baru saja ia berjalan sepuluh tindak tiba-tiba terdengar dengus dan kata-kata dingin itu, tidak keras namun cukup menyentak. Ia membalik dan bagai iblis saja tahu-tahu seorang nenek berpakaian serba hitam berdiri di belakangnya, tak ada semeter! Dan ketika ia terkejut bukan main bagaimana nenek ini dapat muncul tanpa diketahui, bagaimana telinganya tak mendengar kesiur angin dingin maka Giam Liong tertegun dan membelalakkan mata. Seorang nenek yang cantik meskipun tua!

“Kau... kau siapa. Apa maksud kata-katamu!”

“Hi-hik, bocah edan. Bocah tak berperasaan. Untuk apa kau tanya-tanya tentang aku kalau hatimu sebeku dan sedingin ini, Naga Pembunuh. Kau tak usah tahu seperti aku juga tak usah tahu kenapa kau melupakan pesanan Sian-su!”

“Sian-su?” Giam Liong mengerutkan kening. “Dia pesan apa dan bagaimana kau tahu? Kau sudah lama di sini?”

“Heh, kau benar-benar menyimpan otakmu. Dengar, jelas sekali Sian-su berpesan agar kau menjaga dan melindungi gadis itu, Naga Pembunuh. Tapi kau membiarkannya saja pergi. Kau bersikap baik sebentar tapi kemudian jahat lagi. Kau bocah tak berjantung. Kau tak punya liang-sim (hati nurani)!”

Marah juga Giam Liong dimaki-maki seperti ini. Ia teringat bahwa tadi memang ia disuruh menjaga dan melindungi gadis itu. Tapi karena ia laki-laki sementara gadis itu wanita, ia baru saja kematian isterinya maka ia tak mengacuhkan itu dan bukan salah dirinya kalau ia membiarkan gadis itu sendiri. Bukankah tadi ia sudah menawarkan pulang. Bukankah ia sudah siap mengantar kalau gadis itu memiliki sanak saudara. Dan karena tak mungkin ia harus mengawal seperti adik atau isterinya sendiri maka ia tertawa mengejek memandang nenek aneh ini.

“Kaupun rupanya tak waras, sinting. Kau nenek gila yang datang-datang langsung memaki orang lain. Hm, apa perdulimu tentang itu, nenek aneh. Aku memiliki alasan sendiri kenapa membiarkan gadis itu. Aku sudah menawarkan jasa, tapi ia menolak. Dan karena ia bukan adik atau saudaraku maka kubiarkan ia sendiri dan apa perdulimu tentang ini!”

“Heh-heh, bagus. Tapi kau bocah tak tahu budi! Tahukah kau berapa lama Sian-su menunggumu. Heh, dua jam ia di sini, bocah. Dua jam ia menjaga dan menunggumu agar dapat mewakilinya. Dan setiap keinginan Sian-su tentu ada maksudnya, terutama bagimu. Beranikah kau menyepelekan perintahnya sementara dulu orang tuamu diselamatkan dan dihidupkan kembali oleh kakek ini. Jawab, punya perasaankah kau ini!”

Giam Liong terkejut. Si nenek tiba-tiba bicara tentang mendiang ayahnya pula pada tiga puluh atau empat puluh tahun. Berarti ia berhadapan dengan tokoh tua! Dan tertegun bahwa nenek ini rupanya tahu semua, sementara ia tak tahu siapa nenek ini maka Giam Liong menahan marah ketika bertanya, “Maaf, siapakah locianpwe gerangan. Aku belum merasa kenal, tapi locianpwe sudah tahu semua. Bolehkah aku tahu nama locianpwe yang mulia? Atau locianpwe hanya pandai bicara tak pandai menunjukkan kepandaian?”

“Heh-heh, anak lancang. Bocah edan! Baik kalau kau ingin tahu namaku, Giam Liong. Aku adalah Hek-i Hong-li (Bidadari Baju Hitam) yang dulu pada seratus tahun lewat membuat geger dunia kang-ouw. Waktu itu kau dan ayahmu belum ada, kakekmupun barangkali masih berupa anak kecil. Tapi karena jelas namaku jauh lebih hebat daripada namamu, kau bocah ingusan yang tak ada artinya maka jangan sombong bahwa dengan kepandaianmu sekarang ini kau dapat mengalahkan aku. Boleh coba sepuluh jurus saja, seranglah dan aku mengaku kalah kalau kau dapat menyentuh ujung bajuku!”

Giam Liong terbelalak. Ia tak pernah mendengar nama ini tapi kalau benar nenek itu bukan pembual tentu kesaktiannya hebat sekali. Seratus tahun yang lewat telah dapat membuat nama besar tentu bukan main-main. Dan teringat betapa tadi nenek ini muncul secara tiba-tiba, ia tak mendengar sedikitpun angin gerakan maka Giam Liong mundur dengan muka berubah. Sejenak ia tergetar, mau percaya. Tapi begitu sadar bahwa ia tak perlu takut, betapapun tingginya nenek ini ia belum melihat secara penuh maka Giam Liong tertawa mengejek dan panas oleh tantangan itu. Masa sepuluh jurus ia tak mampu menyentuh ujung baju, padahal ia memiliki ilmu langkah sakti Pek-poh-sin-kun (Seratus Langkah)!

“Hm, besar dan memanaskan sekali omonganmu ini. Kau nenek takabur. Baik, aku jadi ingin coba-coba menerima tantanganmu, Hek-i-locianpwe. Apakah benar dalam sepuluh jurus aku tak mampu menangkapmu. Tapi katakan bagaimana kalau aku mampu, apa yang kau perbuat!”

“Aku mencium bokongmu, kucuci dan kusiapkan makan minummu seumur hidup. Hi-hik tapi bagaimana kalau kau gagal?”

Giam Liong terkejut, merah padam dengan cepat, terbakar. “Aku mencium bokongmu pula, nenek sombong. Dan kucuci serta kusiapkan makan minummu seumur hidup!”

“Hi-hik, bagus, heh-heh....! Tapi tak usah sejauh itu. Kau cukup mencium bokongku saja, Naga Pembunuh, mencuci dan menyediakan makan minumku tak usah, apalagi seumur hidup. Wah, berdekatan dengan dirimu saja aku sudah tak suka, apalagi harus seumur hidup. Tidak, kau mencium bokongku saja dan tak apa seorang cucu mencium pantat neneknya! Heh-heh, mulailah dan coba tangkap aku!”

Giam Liong mendidih. Ia benar-benar terhina dan tertantang oleh nenek ini. Ia tak tahu siapa Hek-i Hong-li ini namun iapun tak takut meskipun si nenek berkepandaian tinggi. Di dunia ini paling-paling mati! Maka membentak dan tak menunggu lagi ia sudah bergerak dan sekali mengeluarkan Pek-poh-sin-kunnya kakipun sudah mengeluarkan suara “set” ketika bergeser dan maju mendekat, cepat luar bisa.

“Awas, aku mulai!”

Si nenek mengebutkan baju. Ia terkekeh ketika Giam Liong menyambar, baju dikebutkan dan sengaja disuruh tangkap. Tapi ketika baju itu tertarik mundur karena si nenek juga mundur, otomatis luput maka Giam Liong tersentak melihat gerakan si nenek yang tak kalah cepat.

“Satu...!”

Pemuda ini gagal. Ia merah padam tapi membentak maju lagi. Kali ini dua langkah Pek-poh-sin-kun digerakkan sekaligus. Tapi ketika si nenek melejit dan mengelak luar biasa cepat maka dua terkaman ini juga luput.

“Dua...!”

Giam Liong terbelalak. Ia hampir tak percaya namun benar-benar terbukti, tentu saja marah dan bergerak lebih cepat lagi. Tapi ketika nenek itu berkelit dan mundur lagi lebih cepat, semakin cepat Giam Liong semakin cepat pula nenek ini, maka si nenek sudah seakan menjadi bayang-bayang hitam yang tak dapat ditangkap, tubuhnya kian lama berubah seperti asap!

“Enam.....tujuh. sembilan! Hi-hik, tinggal sejurus lagi dan kau mencium bokongku!”

Giam Liong pucat. Ilmu Seratus Langkah Sakti itu, Pek-poh-sin-kun tiba-tiba seakan tak berdaya menghadapi nenek lihai ini. Semakin dia bernafsu menangkap semakin luar biasa gerakan nenek itu. Dan terakhir nenek ini sudah seperti asap tipis, bukan manusia lagi melainkan uap! Dan ketika hitungan tiba pada angka sembilan dan Giam Liong terkejut serta penasaran, sungguh ia hampir tak percaya maka tiba-tiba ia melakukan gerak tipuan di mana pada hitungan ke sepuluh ia menubruk ke kiri padahal sebenarnya ke kanan.

“Wherrrr!”

Baju itu tertangkap. Si nenek juga terkejut dan berseru keras. Giam Liong melakukan langkah yang disebut Menangkap Bulan Merogoh Dewa, gerakan mengecoh yang membuat si nenek terpekik. Tapi ketika baju tertangkap namun Giam Liong serasa menembus benda keras, tangan itu tak memegang apa-apa maka ia menghentikan gerakan dan terdengar ledakan di mana nenek itu sudah terkekeh di sana, bertolak pinggang.

“Hi-hik, bagaimana. Mampukah kau menangkap ujung bajuku!”

“Kau.... kau menggunakan ilmu hitam. Kau tak jujur, Hek-i-locianpwe. Kau menggunakan ilmu hitam!”

“Hi-hik, bocah tolol memang begini. Kau akui atau tidak ilmuku jelas di atasmu, Giam Liong. Hitam atau putih hanyalah nama. Perjanjian kita tidak bersyarat macam-macam, hanya kau mampu atau tidak, itu saja. Kalau kau berdalih untuk tidak mengakui kekalahan aku juga tak menuntutmu. Tak usah melotot!”

Giam Liong kaget bukan main. Ia akhirnya gagal dan nenek ini menang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa ilmu langkah saktinya tak mempan. Mana mungkin menangkap seseorang yang sudah berbentuk asap. Nenek ini seakan menjadi mahluk halus, roh! Dan sadar bahwa ia kalah, nenek itu betul maka Giam Liong berlutut dan merah padam.

“Baik, akupun tahu diri. Aku bukan laki-laki pengecut, locianpwe. Ilmu hitam atau tidak aku telah gagal menangkap ujung bajumu. Aku kalah. Aku akan menepati janjiku dan siap mencium bokongmu!”

“Heh-heh, bocah tidak waras. Sinting! Kau boleh berlutut dan memenuhi janjimu, Naga Pembunuh. Tapi siapa sudi memberikan bokongku untuk kau cium. Menyentuh ujung bajuku saja tidak patut, apalagi menyentuh tubuhku. Pergilah dan awas beberapa tahun lagi... dess!” Giam Liong mencelat dan terlempar.

Nenek itu menggerakkan kakinya dan pemuda ini tertendang. Giam Liong berjungkir balik melayang turun. Dan ketika ia terbelalak dan nenek itu lenyap, ia menarik napas dalam-dalam maka seorang lain tiba-tiba terkekeh dan batuk-batuk.

“Heh-heh, baik juga anak muda ini. Cukup luhur! Eh, bagaimana tendangan Hong-li tadi, bocah she Sin. Bagaimana kalau dengan tendanganku... dess!”

Giam Liong terlempar dan mencelat lagi. Ia baru saja melayang turun ketika seorang kakek aneh, berwajah merah muncul di situ. Kakek inipun tahu-tahu di belakangnya dan ketika ia menoleh kaki itupun bergerak cepat. Ia tak mungkin menghindar dan terlempar tinggi. Tapi ketika ia berteriak dan berjungkir balik melayang turun, kakek itu tertawa-tawa maka ia melotot melihat kakek ini mencomot ikat pinggangnya, tahu-tahu terlepas, begitu saja.

“Ha-ha, ikat pinggangmu ini yang membuat kau kelebihan berat badan. Aih, pantas kau tak mampu mengimbangi kecepatan Hong-li. Bodoh, kau anak bodoh, Giam Liong. Tapi kau anak baik yang jujur mengakui kekalahan. Ha-ha, kau jujur menepati janji pula. Tapi kalau aku tentu sudi kau cium bokongku. Hayo, kita bertaruh lagi dan main-main seperti nenek itu!”

Giam Liong tersentak. Untuk kedua kalinya ia merasa bertemu dengan orang-orang luar biasa. Kaget dia. Tapi melihat kakek itu merampas ikat pinggangnya dan ia merasa marah, entah kapan kakek itu mencabut ikat pinggangnya maka ia membentak dan maju merampas. “Kau orang tua sialan, berikan sabukku dan siapakah kau!”

“Eiitt, nanti dulu. Aku bersungguh-sungguh. Sabuk ini tak perlu dipakai lagi dan biar kubuang!”

Giam Liong terkejut. Ikat pinggangnya dilempar dan demikian tinggi benda itu meluncur ke atas, lenyap dan akhirnya hilang menembus langit. Bukan main! Dan ketika ia tertegun tapi kakek itu terkekeh-kekeh, ia ditepuk maka pemuda ini sadar lagi dan membelalakkan matanya.

“Kita main-main, semacam petak-umpetlah. Kau kejar aku dan nanti aku mengejarmu. Kalau kau dapat menangkap ujung bajuku pula aku memberimu hadiah. Tapi kalau kau tidak berhasil kau harus memberikan sesuatu kepadaku pula. Bagaimana bocah?”

Giam Liong tertegun. “Locianpwe siapakah? Kenapa main-main dengan anak muda?”

“Ha-ha, aku adalah aku. Jangan pilih kasih. Ayo tangkap aku atau aku bersembunyi dulu... wutt!”

kakek itu lenyap, entah bersembunyi di mana dan Giam Liong terkejut. Seperti siluman atau iblis saja kakek ini menghilang, padahal dia bukanlah anak kecil! Dan ketika Giam Liong celingukan dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari maka kakek itu berseru, suaranya tak dapat ditentukan, berputar-putar.

“Heii, ayo cari aku. Atau nanti kuketok kepalamu!”

Giam Liong terkejut. Ia tak tahu di mana kakek itu dan terdengar lagi seruan itu, kini marah. Dan ketika ia tetap tak dapat mencari dan bingung serta kagum maka kakek itu tahu-tahu muncul lagi di depannya seperti iblis, langsung saja mengetok kepala.

“Kurang ajar, susah-susah bersembunyi tak kau cari juga. Heii, ini aku, anak muda. Kau menerima hukuman ketok kepala... tok!” benar saja, kepala atau ubun-ubun pemuda ini diketok. Tampaknya biasa saja tapi Giam Liong terhuyung. Telunjuk kakek itu membuat ia kiut-miut! Dan ketika ia marah tapi kakek itu tertawa-tawa, Giam Liong mendesis tak diperdulikan maka kakek itu berseru,

“Begini saja, kita main seperti nenek itu. Kalau kau dapat menangkap bajuku maka hadiahnya sebuah ilmu. Tapi kalau kau tak berhasil maka anakmu kuambil murid. Bagaimana?”

Giam Liong mendidih. Berhadapan dengan orang-orang tua ini ia seakan anak-anak yang tak dihargai. Naga Pembunuh, julukan yung diperoleh, seakan tak berarti bagi kakek itu, juga nenek yang berjuluk Hek-i Hong-li. Maka membentak dan menerjang maju ia sudah menerkam kakek ini. “Kau tua bangka tak punya aturan. Siapapun adanya kau, aku tak takut, locianpwe. Mampuslah atau kau pergi!”

“Heii..!” si kakek melompat, luput. “Kita hanya main-main, bocah, bukan menyerang. Seperti nenek tadi saja dan kau pegang bajuku!”

“Cukup hinaan ini. Kau pergi atau mampus.... wutt!” dan Giam Liong yang menyerang dan menggerakkan Seratus Langkah Saktinya tiba-tiba dibuat terkejut dan kaget oleh elakan si kakek, luput dan mengenai angin lagi dan kakek itu kini bergerak maju mundur sambil berteriak-teriak.

Pek-poh-sin-kun, ilmu langkah saktinya tak dipandang mata. Dan ketika Giam Liong penasaran tapi juga marah di permainkan lawan mendadak pemuda ini melepas jurus-jurus lihai dari ilmu silatnya Kim-kang-ciang (Tangan Emas), naik turun menyambar-nyambar namun si kakek tiba-tiba tertawa bergelak. Ia melesat dan hilang. Dan ketika Giam Liong tertegun menghentikan gerakan maka kakek itu muncul di belakangnya menjewer telinganya.

“Ha-ha, Kim-kang-ciang, Tangan Emas. Dari mana kau curi ilmu ini dan kapan mendapatkannya!”

Giam Liong marah. Ia terkejut dan membentak dan otomatis membalik. Pek-poh-sin-kun kembali dikerjakan. Tapi ketika kakek itu menghilang dan muncul lagi, mencubit atau mengetok maka Giam Liong tak mampu mencari lawan yang lenyap dan muncul seperti iblis. "Keparat, beranimu hanya bersembunyi saja. Ayo, keluar dan hadapi aku, kakek tengik. Jangan berpetak-umpet seperti anak kecil. Ayo, balas dan tangkis seranganku!”

Luar biasa, kakek itu muncul lagi, bukan di belakang melainkan di depan. Dan ketika Giam Liong menghantam dan melepas pukulannya, kali ini disertai bentakan Sai-cu Ho-kang maka kakek itu terbahak dan menjulurkan lengannya, tak tergetar sama sekali oleh Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dahsyat itu.

“Ha-ha, boleh... mari, mari pukulanmu dan lihat tenaga si tua ini... dess!”

Giam Liong tersentak dan tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, lembut namun kuat menerima pukulannya dan tiba-tiba ia terbanting! Begitu kuat bantingan itu hingga ia terguling-guling. Dan ketika ia meloncat bangun namun si kakek mengejar, dipukul dan menangkis lagi maka ia terlempar dan terguling-guling lagi, jatuh bangun disambut kekeh atau tawa kakek nakal itu, mengejar dan dipukul tapi selalu si buntung ini terlempar. Dan ketika Giam Liong maklum bahwa ia berhadapan dengan tokoh lihai maka Giam Liong melempar tubuh ke kiri untuk kemudian menyambar dan mematahkan sebatang dahan pohon, berjungkir balik memegang itu seperti golok.

“Bagus, ha-ha, bagus sekali. Kau rupanya mau mainkan Im-kan-to-hoat (Golok Akherat). Bagus, ayo main-main dan perlihatkan ilmumu itu, bocah. Sekali tersabet saja biar aku mengaku kalah. Ayo, kejar dan serang lagi!"

Giam Liong terbakar. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh luar biasa. Tapi karena bukan wataknya untuk menyerah begitu saja dan ia belum mengeluarkan ilmu andalannya ini, biarpun yang ada di tangan hanyalah sepotong kayu namun senjata itu dapat berubah sehebat pedang pusaka maka Giam Liong membentak dan sekali ia berseru keras tubuhpun berkelebat dengan serangan ganas. Dahan di tangannya itu membacok dan mendesing bagai golok sungguhan!

“Ah, ha-ha.... ini lebih hebat, tapi masih tak cukup kuat. Golok Mautmu hilang dicuri orang, anak muda, tak apa dan ini sebenarnya cukup, untuk orang lain, tapi bukan untukku. Karena gerakanmu masih lamban dan siku kananmu itu terlalu tertekuk.... crakk!” pohon di belakang si kakek terbabat, roboh dan putus namun Giam Liong kaget bukan main melihat si kakek menghilang.

Senjata di tangan menghadap ke depan tapi yang menjadi sasaran adalah pohon itu, bukan lawannya. Dan ketika ia membalik dan mengejar lagi, mendengar tawa di belakang maka bertubi-tubi Giam Liong menusuk dan membabat, gagal dan hilang dan kekek itu melompat-lompat secara aneh. Satu kali bahkan memapak senjatanya tapi yang dibacok hanya bayang-bayang. Kini Giam Liong melihat bahwa perlahan-lahan kakek ini berubah ujud, kian lama kian tipis menyerupai uap putih. Badan kasarnya hilang! Dan ketika Giam Liong terkejut dan membelalakkan mata, ia teringat lagi nenek sakti Hek-i Hong-li maka ia berseru keras mengakhiri serangannya, menjebak atau menjepit kakek itu dengan jurus Dewa Maut Mengadu Jiwa!

“Mampus atau aku yang, roboh!”

”Ha-ha, nekat. Tapi biarlah kita hentikan main-main ini dan lihat senjatamu menancap diperut...bless!” dahan atau senjata yang dipakai menusuk itu menghunjam perut si kakek, tak mungkin dihindarkan lagi karena dari delapan penjuru Giam Liong telah mengurung kakek ini. Ia melepas serangan maut sementara bagian kiri tubuhnya juga terbuka, kakek itu menancapkan jari-jarinya di sini. Dan ketika Giam Liong merasa sakit namun terbelalak tak melihat darah keluar, kakek itu tertawa bergelak maka perut digelembungkan ke depan dan. Giam Liong tertiup angin kencang berikut senjatanya pula. Perut itu seolah balon ditiup.

“Aiihhh...bresss!”

Giam Liong terguling-guling dan pening. Kepalanya terantuk batu besar dan berhenti di sini, benjut. Senjatanya patah menjadi tiga dan ia seakan mimpi menghadapi kakek sakti ini. Itu seakan sihir! Tapi ketika ia terhuyung dan bangkit duduk, kakek itu berkelebat maka diusapnya kepala pemuda ini dan benjut itu hilang.

“Heh-heh, tak perlu malu-malu. Kau bukan lawanku, Naga Pembunuh, tak mungkin kau menang biarpun kau memperdalam ilmumu lima puluh tahun lagi. Kau dan anak-anak muda sekarang tiada ubahnya anak-anak kecil bagi kami, tak usah penasaran. Kau jawablah sekarang bagaimana kalau anakmu itu kuambil murid!”

“Aku... aku mengaku kalah. Tapi siapa nama locianpwe yang mulia agar aku tahu!”

“Heh-heh, seratus tahun yang lewat orang menyebutku Sian-eng-jin (Manusia Bayangan Dewa), tapi sekarang nama itu tak ada yang kenal kecuali nenek moyangmu yang masuk kubur. Heh-heh, bagaimana, anak muda. Bolehkah anakmu kuambil dan kujadikan murid!”

“Anak laki-laki ku diculik orang.”

“Mudah, aku tahu dan tak usah ribut! Jawab saja sekarang bagaimana jawabanmu!”

Giam Liong tertegun. Sebenarnya, satu di antara tugasnya adalah mencari anak laki-lakinya yang diculik itu. Berbulan-bulan ini dia gagal, bahkan isterinya akhirnya tewas menjadi korban. Dan menarik napas dalam menyadari hebatnya kakek muka merah ini, lagi-lagi ia tak pernah mendengar julukan itu maka Giam Liong menunduk dan sejenak terjadi pertentangan batin. Sebenarnya, menuruti kemauan diri sendiri tentu saja ia tak rela anaknya di bawa orang lain. Tapi karena menyadari bahwa kakek ini benar-benar hebat dan tentu tak sukar merampas anaknya dari Majikan Hutan Iblis itu, biarlah hitung-hitung sebegai pembayar jasanya maka pemuda ini mengangguk.

“Baiklah,” Giam Liong berat hati juga. “Kusetujui permintaanmu, locianpwe. Tapi satu yang ingin kuminta, temukan dulu aku dengan anakku itu sebelum kau bawa!”

“Ha-ha, begitu? Mudah! Tentu!”

“Kapan locianpwe memberikannya?”

“Wah, sekarang juga. dapat, bocah. Aku ingin mengimbangi Hek-i Hong-li tadi agar tidak kalah!”

Giam Liong terkejut. Dia terbelalak ketika mendengar kata-kata itu, kakek ini seakan main-main. Tapi ketika si kakek menyambarkan lengannya ke kiri dan terdengar deru angin menyambar, di hutan kecil di luar dusun itu kakek ini mengarahkan ujung bajunya tiba-tiba terdengar pekik atau jerit bayi yang tahu-tahu digulung dan digubat lengan baju ini.

“Ha-ha, inilah. Lihat, apakah bukan anakmu!”

Giam Liong tersentak. Seakan sihir saja seorang anak laki-laki telah berada di gulungan lengan baju kakek ini. Sian-eng-jin, kakek itu tahu-tahu telah membawa puteranya yang menangis keras. Itulah Sin Gak, anaknya lelaki. Dan ketika Giam Liong terkesiap namun tentu saja menyambar dan menerima itu, anak itu melayang ke arahnya maka Giam Liong girang luar biasa mendapatkan anaknya ini. “Sin Gak...!”

“Ha-ha, betul. Dan kuambil itu dari majikan gila itu. Heii, lihat dan teliti apakah betul anakmu, bocah. Kalau sudah betul kembalikan padaku!”

Naga Pembunuh ini bengong. Sin Gak, anaknya, yang dicari berbulan-bulan dan amat dikhawatiri itu ternyata tahu-tahu sudah ada di tangannya. Dia seakan mimpi. Tapi ketika dicobanya mencubit dan anak itu menangis keras, melengking-lengking maka Giam Liong terharu dan tiba-tiba diciuminya anaknya ini. Air matapun bercucuran. “Ooh, benar. Dia... anakku Sin Gak, locianpwe. Dia puteraku! Bagaimana kau mendapatkannya dan apakah Majikan Hutan Iblis itu tak menyerangmu!”

“Ha-ha, anak banci itu bisa apa. Dikeroyok seribu silumanpun aku tak mungkin kalah, bocah. Berikan anakmu dan perjanjian kita selesai!”

“Nanti dulu...!” anak tahu-tahu direbut. “Aku belum puas, locianpwe. Berapa lama kau membawa anakku!”

“Ha-ha, barangkali lima tahun. Tapi barangkali juga lebih. Sudahlah dan jangan lama-lama memandang atau nanti kau tak jadi memberikan anakmu... wut!” dan si kakek yang berkelebat dan lenyap membawa anak itu tiba-tiba membuat Giam Liong berteriak dan mengejar.

“Locianpwe, tunggu. Masa tak ada batas waktu yang pasti!”

“Ha-ha, semuanya tergantung Hong-li. Kalau kau mau bertanya yang pasti silakan bertanya nenek itu, bocah. Selamat tinggal dan jangan tarik janjimu!”

Giam Liong melengking. Ia mengejar dan berkelebat mengerahkan semua ilmu lari cepatnya namun kakek itu tahu-tahu memasuki hutan. Sekejap saja ia lenyap dan Giam Liong kehilangan jejak. Dan ketika Giam Liong menggigil dan tertegun di mulut hutan, sungguh tak diduganya ada kejadian demikian cepat maka ia termangu dan menitikkan air mata. Puteranya telah ditemukan namun lenyap kembali dibawa orang lain. Bedanya kali ini tidak secara sembunyi-sembunyi. Kakek sakti itu, Sian-eng-jin telah mengikatnya dengan sebuah perjanjian, terang-terangan meminta.

Dan ketika Naga Pembunuh ini bingung dan terhenyak disitu, tak ayal lagi ia terhuyung dan mengeluh panjang pendek maka Giam Liong memasuki hutan dengan harapan menemukan kakek itu lagi. Wajahnya pucat, bibirpun gemetaran. Namun ketika ia keluar dan menyeberang di sebelah sana, kakek itu tak ditemukannya lagi maka pemuda ini mengguguk dan menjatuhkan diri di bawah pohon. Tak dapat dicegah lagi si buntung ini diremas-remas. Ia bingung dan luka oleh kejadian silih berganti itu.

Dan ketika ia mengguguk dan sendirian meratap mendadak Su Giok, gadis itu muncul dari dalam hutan. Gadis baju merah ini mengejek. Ia tertawa mendengar tangis dan ratap itu. Giam Liong benar-benar terpukul. Dan ketika pemuda ini menoleh dan mengangkat wajahnya, tertegun melihat gadis itu maka cucu Pek-lui-kong ini melenggang santai dan lewat di depan lawan dengan sikap acuh, dingin.

“Su Giok!”

Gadis itu tak menoleh. Ia terus berjalan dan bersikap acuh, dipanggil tapi terus melenggang sampai akhirnya tiba di sebuah pohon besar. Dan ketika Giam Liong meloncat bangun dan berkelebat mengejar, berteriak tiba-tiba bayangan hitam terkekeh dan lewat menyusulnya dengan lebih cepat lagi.

“Heh-heh, tak usah mengejar kalau tak mau dipanggil. Jaga lima tahun lagi, bocah. Lihat betapa muridku tak akan merengek-rengek lagi kepada orang lain!”

Giam Liong tertegun. Hek-i Hong-li, nenek sakti itu tiba-tiba muncul lagi dengan amat cepatnya. Dia menyambar dan membawa Su Giok seperti kilat, lenyap dan entah ke mana lagi dia tak tahu. Dan ketika pemuda ini menjublak dan pucat, bengong, maka ada semacam perasaan bersalah di hati Giam Liong kenapa diapun mula-mula bersikap begitu dingin dan acuh terhadap Su Giok, yakni ketika gadis itu kematian kakeknya dan menangisi jenasah. Giam Liong pucat merasa dibalas, ia tergetar. Dan menggigil mendengar gadis itu diaku murid, ternyata nenek sakti itu mengambil Su Giok maka diam-diam ada perasaan tak nyaman yang mengganggu hati.

Giam Liong merasa bahwa kelak akan ada peristiwa tak enak, ia harus siap. Dan kosong memandang ke depan tiba-tiba semangat si buntung inipun terbang. Ia seakan lumpuh, jatuh dan duduk lagi di tanah. Tapi ketika Giam Liong sadar dan menggigit bibir, masih ada tugas di sana maka iapun terhuyung meneruskan langkah, terseok, jalan selangkah demi selangkah seraya memikirkan orang-orang sakti ini. Kecut hatinya bahwa harus berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Kenapa selama ini tak pernah ia dengar.

Dan ketika ia meneruskan perjalanan dan bertanya-tanya, Sin Gak sudah diketahui nasibnya namun Golok Maut dan kematian isterinya harus dibalas maka Giam Liong berdetak dan seminggu kemudian ia mendengar hal-hal aneh di dunia kang-ouw. Betapa para ketua tokoh partai-partai terkenal tiba-tiba memusuhi pendekar. Betapa satu demi satu orang-orang itu bahkan mengelompokkan diri dan kebal terhadap senjata-senjata tajam, bersikap aneh dan liar sampai akhirnya turun gunung mencari dirinya! Dan ketika suatu pagi ia tiba di lereng gunung di wilayah Kong-san maka puluhan orang tiba-tiba muncul dan mencegat.

“Berhenti, serahkan nyawamu!”

Giam Liong bagai mimpi. Ia dikurung dan tahu-tahu bagaikan seekor harimau masuk perangkap. Ia mengenal Kong San Lojin di situ, ketua Kong-san-pai. Dan ketika ia terbelalak namun kakek itu bersikap dingin, murid-muridnya yang bergerak dan maju membentak, maka Giam Liong berkilat dan merah mukanya. Tanpa menunggu apa-apa lagi ia berkelebat, tangan mendorong dan melempar orang-orang itu mendekati Kong San Lojin. Tapi ketika mereka berteriak dan melompat bangun, tak apa-apa maka Giam Liong tertegun dan sudah dikeroyok, menangkis dan membalas tapi orang-orang itu bangun lagi. Setiap terpelanting atau roboh oleh pukulan Giam Liong para murid Kong-san-pai ini bergerek lagi.

Giam Liong melihat kekebalan aneh melindungi orang-orang itu. Dan ketika dia menjadi marah dan memperhebat serangannya maka langkah sakti Pek-poh-sin-kun membuat orang-orang itu menjerit didahului si buntung, roboh dan pingsan karena pukulan Giam Liong lebih berat. Pemuda itu mengerahkan sinkangnya hingga para murid mengaduh dan terbanting, tubuh tidak luka namun getaran pukulan itu mengguncang otak, menembus kekebalan kulit juga.

Dan ketika Giam Liong berhasil mendekati Kong San Lojin dan kakek itu membentak maju menerjang maka Giam Liong terbelalak karena terhadap kakek ini pukulan-pukulannya tidak mempan. Si kakek bermata liar dan sorot pandangnya buas, gigi menyeringai dan Giam Liong seolah melihat taring di situ. Namun ketika Giam Liong menyambar senjata seorang anak murid yang terlempar dan dengan senjata ini ia mainkan silat Golok Akherat, membentak dan marah kepada ketua Kong-san-pai itu maka si kakek terkejut dan mengelak sana-sini, terdesak dan dua bacokan membuat bajunya robek, kulit pundak tidak apa- apa dan Giam Liong mendelik.

Kalau saja ia tak tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar di sikap ketua Kong-san-pai ini tentu ia mencoblos mata itu, bagian inilah yang tak mungkin dilindungi kekebalan. Maka ketika Giam Liong mendesak dan sekali lagi membabat leher ketua itu, si ketua terbanting namun tidak apa- apa maka Giam Liong menendang kakek itu sampai si kakek mencelat dan bergulingan, berkelebat dan meninggalkan orang-orang itu namun orang-orang Kong-san-pai ini mengejar. Mereka berteriak-teriak dan bagai orang kesetanan saja. Tapi Giam Liong yang bergerak lebih cepat dengan ilmunya meringankan tubuh akhirnya meninggalkan orang-orang itu namun di tempat yang lain muncul lawan-lawan baru yang semua menyerang dan mengejar-ngejarnya.

Giam Liong melotot. Hwesio dan tosu silih berganti datang kepadanya. Ada Kiang Bhong Tojin di situ, ada Hoa-san Cinjin dan lain-lain. Dan ketika terakhir dia bertemu dengan Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin, ketua Lu-tong dan Khong-tong akhirnya Giam Liong terhenyak seakan tak percaya. Orang- orang itu datang mengeroyok seperti hewan-hewan kelaparan.

“Bunuh Si Naga Pembunuh ini. Serang dia...!”

Giam Liong terkejut. Dua orang terakhir itu seolah tak mengenal dirinya lagi dan bergerak memimpin anak muridnya. Baik Ceng Tong Hwesio maupun Ho Heng Tojin sama-sama berputar matanya, liar. Dan ketika Giam Liong menangkis dan lawan terpental, mengelak dan membalas namun dua orang itu kebal senjata maka Giam Liong sadar bahwa seperti yang lain dua orang inipun dikuasai pengaruh hitam.

Giam Liong berkelebat dan mengamuk dan tandangnya membuat lawan menjerit. Mereka terlempar dan terbanting oleh pukulan atau tendangan pemuda ini. Namun ketika mereka bergerak dan melompat bangun lagi, dua orang ketua itu juga bergulingan dan meloncat bangun maka dengan marah mereka menyerang lebih hebat dan ganas. Kekebalan aneh itu yang membuat Giam Liong kewalahan.

“Cringgg-tak-tak-brett!”

Hanya baju atau pakaian mereka yang robek. Senjata di tangan Giam Liong memang bukan Golok Maut dan pemuda ini tak mampu menembus kekebalan aneh itu, tangkisan atau tusukannya tak membuat dua ketua itu luka. Tapi karena tenaga yang dimiliki amat hebat dan betapapun dua orang itu terhuyung dan melotot mundur maka mereka maju lagi dan bentakan atau teriakan muncul disertai bayangan-bayangan lain. Entah bagaimana tahu-tahu pengeroyok bertambah jumlahnya, kian lama kian banyak hingga tak kurang dari tiga ratus orang mengeroyok pemuda ini.

Dan ketika Giam Liong pucat dan menjadi marah, apa boleh buat ia harus merobohkan lawan maka mata, daerah yang tak mungkin dilindungi kekebalan itu menjadi incarannya. Dia dikepung dan tak dapat meloloskan diri kalau tidak membuka jalan darah. Ia harus kejam. Maka ketika Giam Liong membentak dan menujukan serangan pada bagian lemah ini, tujuh murid roboh dengan mata tercongkel maka barulah para pengeroyok gentar dan berteriak-teriak.

Mereka mundur dan Giam Liong menggerakkan senjatanya tiada henti. Yang roboh oleh golok ditendang agar mencelat. Mereka tak boleh menghalang jalan. Dan ketika dengan cara begini ia mampu membuka kepungan, dua ketua juga gentar maka Giam Liong lolos namun seseorang menghadang di depan. Seorang lelaki berjubah hitam, jubah kelelawar!

“Ha-ha, kau memang hebat, kepandaianmu cukup tinggi. Kau lolos dari mereka, Naga Pembunuh, tapi tak mungkin lolos dari aku. Bersiaplah, kematian sudah dekat... singgg!”

Sinar putih berkelebet dan Giam Liong terkejut bukan main. Itulah Golok Maut yang dicuri orang ini, bergerak dan menyambar kepalanya dengan cepet sekali. Ia baru saja keluar dari kepungan murid-murid Khong-tong dan Lu-tong ketika tiba-tiba Majikan Hutan Iblis ini di sini. Ia terang-terangan dihadang! Dan ketika Giam Liong membentak dan tentu saja mengelak, tahu hebatnya golok itu maka ia bergerak dengan langkah Pek-poh-sin-kun ketika lawan mulai menerjang, mengejar.

“Bagus, kau di sini, manusia iblis. Lama aku mencarimu tak pernah ketemu. Sekarang kau datang dan mari kita selesaikan urusan kita... wut-set!” Giam Liong melangkah mengelak dengan muka merah padam, cepat dan mundur serta maju lagi ketika golok menyambar dan mendesing naik turun. Ia marah dan mendelik betapa lawan yang dicari-cari ini mendadak muncul di situ. Tapi ketika lawan tertawa bergelak dan maju dengan gerakan-gerakan lebih cepat, Golok Maut di tangan mendesak dan membuat Giam Liong mundur-mundur maka laki-laki itu mengejek dengan suara riang,

“Kau mau membunuh aku? Kau ingin membalas dendam? Ha-ha, tak mungkin dapat. Anak dan isterimu telah kukirim ke neraka, Giam Liong, dan giliranmu untuk menyusul mereka. Mampuslah!” dan golok yang mendesing menuju leher pemuda ini segera dielak Giam Liong tapi tangan kiri lawan menampar, mencegat jalan pemuda itu dan Giam Liong naik darah. Ia membentak dan membalik menyambut pukulan itu, cepat sekali. Dan ketika suara benturan terdengar menggetarkan maka laki-laki itu terpental sementara Giam Liong terhuyurg setindak.

“Plak!”

Adu tenaga itu menunjukkan bahwa Giam Liong menang setingkat. Lawan terpental tapi maju lagi dengan marah, melengking. Dan ketika golok juga menyambar kembali dan inilah pertemuan pertama dua musuh besar itu, Giam Liong mengelak dan menangkis pukulan lawan maka Ceng Tong Hwesio, juga Ho Heng Tojin berkelebat menonton dan aneh sekali mareka itu menunduk hormat di depan laki-laki berjubah kelelawar ini.

“Tai-cu (Majikan), apa yang harus kami lakukan setelah kau di sini!”

“Hah, mundur saja. Kalian bodoh! Lihat aku membunuh si buntung ini, Ceng Tong Hwesio. Dan kalian jaga agar dia tidak melarikan diri!”

“Keparat!” Giam Liong membentak. “Jadi kau memperalat orang-orang ini, manusia iblis? Kau melepaskan Beng-jong-kwi-kangmu kepada mereka?”

“Ha-ha, pandai. Kau pintar dan mengetahui ilmuku, Giam Liong. Benar sekali. Aku sudah menundukkan orang-orang itu dan hanya tinggal beberapa saja yang belum. Dan aku akan menguasai dunia. Ha-ha, dengan Golok Maut dan Beng-jong-kwi-kang aku akan merobohkan orang-orang terkenal di dunia. Tapi orang seperti kau yang menentang dan memusuhiku harus mampus.... wherrr-singgg-plakkk!” jubah dan golok menyambar hampir berbareng, nyaris menutupi pandangan Giam Liong dan pemuda itu berteriak melempar tubuh.

Sinar berkeredap dari Golok Maut menyambar keningnya, Giam Liong tak berani menangkis karena tahu betapa berbahayanya senjata itu. Golok Maut bukan barang main-main. Dan ketika ia bergulingan dan dikejar lawan, kini permainan golok yang indah dan hebat dikeluarkan laki-laki ini maka Giam Liong terbelalak karena laki-laki itu mainkan Im-kan-to-hoat, meskipun belum sempurna.

“Kau.... kau benar-benar keparat. Di samping mencuri golokku kau juga mencuri Im-kan-to-hoat, manusia iblis. Kau benar-benar binatang tak tahu malu... bret-plakk!” Giam Liong menangkis dan melempar tubuh bergulingan lagi, dikejar dan marah tapi sambaran Golok Maut tak berani disambut. Bajunya robek namun ia selamat, menangkis pukulan lawan dan laki-laki itu berseru kagum.

Betapapun sudah tiga kali si buntung ini mengelak dan menangkis. Golok di tangan Giam Liong tak berani diadu dengan golok di tangan lawan karena jelas akan putus. Maka ketika Giam Liong hanya mempergunakan itu di saat-saat penting saja dan ia bergulingan menjauhkan diri, tak sengaja mendekati Ceng Tong Hwesio yang berdiri di sebelah kiri maka hwesio itu membentak dan menggerakkan toya menusuk.

“Cranggg!”

Toya terbabat golok di tangan Giam Liong. Pemuda ini bergulingan meloncat bangun ketika diserang, menangkis dan senjata di tangan ketua Lu-tong-pai itu putus. Namun ketika Giam Liong hendak membalas sudah dikejar lawannya kembali, Majikan Hutan Iblis itu memaki dan menendang Ceng Tong Hwesio yang mencelat bergulingan maka pemuda ini sudah menghadapi lawannya kembali, mengelak dan maju mundur mengandalkan langkah-langkah saktinya Pek-poh-sin-kun.

“Keparat, tak usah dibantu dulu. Pemuda ini belum roboh atau melarikan diri!”

Giam Liong terbakar. Ia benar-benar melihat betapa ketua Lu-tong dan lain-lainnya itu di bawah pengaruh Majikan Hutan Iblis ini. Beng-jong-kwi-kang, ilmu jahat penembus roh ternyata telah menguasai orang-orang itu. Semangat atau roh dari Ceng Tong maupun Ho Heng Tojin telah dihilangkan ilmu sesat ini. Ho Heng dan lain-lainnya itu akan tunduk kepada Majikan Hutan Iblis, sang penguasa tunggal. Dan ketika ia harus sibuk mengelak sana-sini serangan-serangan lawan terutama sambaran Golok Maut itu maka Giam Liong benar-benar mendidih karena ia diserang oleh ilmu peninggalan ayahnya, Silat Golok Maut.

Silat yang dimainkan laki-laki itu benar-benar hebat meskipun kurang matang. Giam Liong sebagai pewaris Im-kan-to- hoat tentu saja dapat mengelak atau menghindar. Tapi karena tangan kiri laki-laki itu sering mencegat dan bergerak memotong, ia dipaksa untuk berhadapan kembali dengan Golok Maut itu maka tentu saja Giam Liong terdesak dan dua kali ia menangkis dengan goloknya, patah dan golok itu kian pendek saja.

Ho Heng Tojin, dan orang-orang itu menonton bagai arca-arca tak bergerak. Mereka takut dan hormat kepada laki-laki aneh ini, pria bertopeng karet yang memiliki Beng-jong-kwi-kang. Dan ketika Giam Liong terdesak namun masih selalu dapat bertahan, sinkangnya lebih kuat daripada sinkang lawan hingga pertemuan tangan mereka selalu membuat laki-laki itu terpental atau terdorong mundur maka pertandingan menjadi ramai dan laki-laki itu menggeram.

Namun Giam Liong sendiri juga marah sekali. Sekarang ia berhadapan dengan musuh besarnya namun ia di buat tak berdaya. Golok Maut itulah yang membuat Giam Liong tak berani main-main. Ia kenal betul golok itu, golok ciptaan Mo-bin-lo yang amat dahsyat, yang mampu menghirup darah lawan sampai kering. Maka ketika ia mainkan langkah-langkah saktinya Pek-poh-sin-kun dan ilmu silat inilah yang menyelamatkannya dari sambaran golok yang mendesing naik turun, juga menyilang dan menggunting bagai paruh burung buas maka laki-laki itu melotot dan mulailah ia menggosok-gosok tangan kirinya. Uap hitam mulai mengebul.

“Bagus, kau hebat. Tapi lihat para ketua partai dan anak muridnya itu. Kau telah terkepung dan tak mungkin melarikan diri, Giam Liong. Kau akan mati. Ha-ha, kau akan menyusul anak dan isterimu!”

“Tak usah omong kosong!” Giam Liong membentak. “Anakku telah tak ada di tanganmu, jahanam keparat. Sin Gak telah dibawa Sian-eng-jin. Kau telah dikalahkan kakek itu!

Laki-laki ini terkejut. Ia terbelalak dan sejenak menahan serangannya memandang Giam Liong. Naga Pembunuh itu marah besar, kata-katanya keras. Dan ketika ia tertegun tapi menyerang lagi, tertawa bergelak maka ia berseru bahwa tak usah bohong lagi.

“Baik, kuakui saja. Ha-ha, kau benar. Rupanya kau sudah tahu, Giam Liong. Tapi kakek itu tak mungkin membantumu. Ia terikat sumpahnya. Ha-ha, dilanggar atau tidak tapi kau tetap mampus...singgg!”

Golok yang menyambar dari atas ke bawah tiba-tiba disusul gerakan tangan kiri yang sudah berubah hitam, menghantam Giam Liong mencegat jalan lari dan Giam Liong terkejut. Bau busuk tercium keras, hampir ia muntah. Namun karena golok lebih berbahaya dan itu yang harus dihindari, ia membalik dan menghadapi pukulan ini maka Hek-mo-ciang, serangan jahat itu ditangkis.

“Desss!” dan Giam Liong tak dapat menarik tangannya. Secepat kilat lawan sudah mencengkeram dan saat itu keduanya sama-sama tergetar. Giam Liong terkejut karena ini perangkap lawan yarg berbahaya. Dan ketika benar saja laki-laki itu tertawa aneh dan Golok Maut menyambar datang, tak mungkin ia mengelak atau menghindar maka Giam Liong membentak dan apa boleh buat menyambut golok itu dengan golok di tangannya sendiri, kaki menendang dan tepat sekali mengenai lutut lawan. Kesempatan untuk menarik tangan memuta tubuh.

“Crangg-dess!”

Giam Liong melempar tubuh bergulingan. Ia mengeluarkan keringat dingin karena berkat perhitungannya yang tepat ia berhasil membuat sambaran golok meleset. Golok itu terbawa lawan yang terhuyung. Lutut yang ditendang tak membuat Majikan Hutan Iblis itu roboh, meskipun ia menyeringai kesakitan. Dan ketika Giam Liong bergulingan meloncat bangun namun lawan terkekek mengejar, agak terpincang maka Giam Liong kembali hendak dijebak dan diajak bertanding rapat, mundur dan menjauh namun lawan selalu mendesak.

Akibatnya pemuda ini marah sekali dan golok di tangan pun tinggal gagangnya. Golok itu putus disambar Giam-to (Golok Maut). Dan ketika Giam Liong membuang sisa senjata ini dan untuk selanjutnya ia mengelak sana-sini dengan Pek-pok-sin-kunnya maka tiba-tiba berkelebat bayangan dan seruan nyaring. Ho Heng Tojin dan anak muridnya tiba-tiba berpelantingan.

”Giam Liong, jangan takut. Aku datang. Terimalah pedang ini menghadapi lawanmu yang kejam!” Sinar putih kebiruan menyambar dan datang. Ju-taihiap, ketua Hek-yan-pang tiba-tiba muncul. Pendekar itu melontar pedangnya sebelum mendekati Giam Liong. Ia merobohkan orang-orang di depan dengan kaki tangannya. Dan ketika pedang menyambar dan disambut Giam Liong, kebetulan Golok Maut mendesing di atas kepala maka Giam Liong menggerakkan pedang ini menangkis mengerahkan sinkangnya...

Tapak Tangan Hantu Jilid 13

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 13
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
MULA-MULA pemuda ini meninggalkan kota raja dengan sakit hati yang hebat. Kematian isterinya benar-benar memukul dan si buntung yang dulu pada dasarnya ganas dan kejam ini menjadi beringas kembali. Sikap jinak dan lembut yang akhir-akhir ini merobah kekerasan wataknya sekarang lenyap lagi.

Naga Pembunuh ini berkilat-kilat, wajahnya dingin dan mata yang mencorong bak mata seekor naga terluka itu mengerikan. Mata itu seakan melahap siapa saja yang ada di depan. Giam Liong telah kembali seperti dulu, dingin dan tak perdulian. Dan ketika hari itu dia bermaksud ke selatan mencari lawannya. Dan tiba-tiba di sebuah perkampungan di sudut dusun dia berhenti.

Tangis dan jerit melengking-lengking ini membuat Giam Liong menoleh. Dusun itu sunyi, hanya suara itulah yang ada. Maka ketika dia berhenti dan mengerutkan kening, tangis atau jerit itu menggugah keinginan tahunya maka di sudut dusun itu seorang gadis menggerung-gerung dan meratapi seorang kakek yang telah tewas, mandi darah.

“Kong-kong, jangan mati. Jangan pejamkan matamu. Bukalah, ini aku Su Giok. Ooh, jangan tinggalkan aku, kong-kong jangan tinggalkan aku!”

Giam Liong tersenyum dingin. Dia melihat gadis itu meraung-raung dan meratapi kematian kakeknya dengan sedih. Suara dan tangis itu benar-benar menyayat. Namun karena hatinya sedang luka dan ia pun baru saja kematian isterinya tersayang maka melihat orang lain kematian keluarganya ia pun tenang dan dingin- dingin saja. Gadis itu masih muda dan tak heran kalau tidak kuat menerima pukulan batin. Ia pun hampir gila oleh kematian isterinya.

Maka tersenyum dan menyeringai dingin ia pun tak ambil perhatian lagi dan meneruskan perjalanannya, kebetulan harus melewati gadis itu pula dan dengan tenang ia melangkah. Tangis dan ratap gadis itu semakin menyayat-nyayat, tapi senyum dan pandang mata Giam Liong semakin dingin. Ia acuh. Tapi ketika gadis itu memutar kepala dan melihat kedatangannya, tangis dan ratap berhenti sejenak maka gadis ini melotot melihat betapa si buntung yang acuh itu lewat begitu saja dengan bibir mengejek. Dan ia tiba-tiba meloncat bangun.

“Siapa kau. Apakah suruhan jahanam keparat itu!”

Giam Liong tak menjawab. Ia mempercepat langkahnya dan tertawa dingin. Bicara dengan gadis itu tak ada gunanya, lebih baik menyingkir. Tapi ketika gadis itu berjungkir balik dan turun di depannya, mencegat maka sebatang pedang telah menggigil di tangan kanannya. Gadis ini marah benar melihat betapa seorang pria lewat tanpa memperhatikan kesusahan dirinya. Begitu dingin, tak berperasaan.

“Kau... kau tak berjantung. Kau tentu suruhan jahanam Majikan Hutan Iblis itu untuk menyakiti aku. Mampuslah!” pedang bergerak dan menyambar.

Giam Liong terkejut dan tentu saja mengelak, bukan oleh serangan pedang itu melainkan oleh ucapan atau kata-kata ini. Serangan pedang itu baginya tak berarti apa-apa tapi justeru kata-kata itu yang mengena dihatinya. Majikan Hutan Iblis, ah! Maka mengelak dan membuka matanya lebih lebar dia tiba-tiba berseru, masih tak menghiraukan gerakan pedang yang bertubi-tubi,

“Kakekmu dibunuh laki-laki itu? Kalian bermusuhan?”

“Tak usah banyak bicara, tak perlu berpura-pura. Mampus dan terbanglah ke neraka, jahanam keparat. Kau dan Majikan Hutan Iblis sama saja... plak!” namun pedang yang akhirnya ditangkis dan terlepas dari gadis itu membuat si gadis berteriak dan terpelanting, roboh bergulingan meloncat bangun dan di sana gadis itu terbelalak pucat. Tak disangkanya bahwa dengan sekali tangkisan saja pedangnya mencelat. Lawan ternyata lihai luar biasa! Tapi ketika ia melengking dan mau menyerang lagi, menggerak-gerakkan kedua tangan untuk menerjang maju maka lawan berkelebat dan tahu-tahu menangkap lengannya, begitu cepatnya.

“Di mana Majikan Hutan Iblis itu sekarang. Cepat, katakan di mana dia!”

Gadis ini mengaduh. Cengkeraman atau tangkapan Giam Liong amatlah kuatnya. Kemarahan yang berkobar membuat si buntung ini lupa diri. Tapi ketika gadis itu berteriak dan mengaduh, ia sadar maka Giam Liong mengendorkan cengkeramannya namun tetap saja gadis itu tak dapat meronta lepas.

“Kau... kau siapa! Apakah kau bukan suruhan orang itu!”

“Hm, aku musuh besarnya, nona. Aku akan mencincangnya hancur bila ia ada di sini. Katakan, dimana ia sekarang dan kapan kakekmu ini terbunuh!”

“Kakek terbunuh dua jam yang lalu. Dia kejam dan tak berperikemanusiaan. Lepaskan aku dan siapa kau!”

Giam Liong melepaskan cengkeraman. Kalau dua jam yang lalu musuh sudah pergi maka percuma baginya mengejar. Sudah terlalu jauh. Namun matanya yang berkilat dan mencorong bagai naga membuat gadis didepannya sekarang sadar, ngeri. Tadi tak takut karena menganggap si buntung itu musuh, suruhan lawan.

“Kau... kau siapa. Bolehkah aku tahu kenapa kaupun memusuhi Majikan Hutan Iblis!”

“Hm, kau sendiri, bagaimana ada di tempat ini? Mengapa dusun ini kosong?” Giam Liong tak menjawab, balik bertanya.

“Aku dan kakekku lewat di dusun ini ketika jerit dan tangis terdengar. Segerombolan srigala mengganggu, kami menghajar tapi ternyata itulah anak buah Majikan Hutan Iblis. Aku mengajak kakek lari tapi terlambat. Penduduk sudah cerai-berai ketika tiba-tiba jahanam itu muncul!”

“Dan dia membunuh kakekmu?”

“Benar, dan juga hampir membunuh aku!”

“Tapi kau masih hidup!”

“Waktu itu tidak, aku sudah di ambang kematian. Tapi suara yang-khim tiba-tiba membuat jahanam itu tertegun dan melarikan diri!”

“Yang-khim?”

“Ya, suara yang-khim, sobat aneh. Orang itu ketakutan dan lari pergi. Kau siapakah dan kenapa tak memperkenalkan diri atau namamu!”

“Hm, aku orang she Sin, datang memang untuk mencari jahanam keparat itu. Kalau kau masih hidup maka itu adalah keberuntunganmu yang besar. Aneh bahwa dengan suara yang-khim saja lawanmu pergi.”

“Aku juga tak mengerti, tapi eh, itu suara yang-khim itu!”

Giam Liong terkejut. Di luar dusun, di saat mereka bercakap-cakap tiba-tiba terdengar bunyi berdenting senar-senar yang-khim. Suara yang-khim atau kecapi ini merdu dan nyaring, tajam menusuk telinga namun lembut menyusup hati. Dan ketika Giam Liong tertegun namun gadis itu melompat mendahului, berkelebat dan berseru girang maka gadis itu berteriak memanggil orang ini.

“Inkong (tuan penolong), terima kasih atas pertolonganmu!”

Giam Liong bergerak dan menyusul. Gadis itu terkejut karena bayangan hitam mendahuluinya, Giam Liong sudah melihat seseorang duduk di atas batu hitarn besar, seorang kakek yang memberikan punggungnya dan kakek itulah yang menjentikkan senar-senar yang-khimnya dengan merdu namun nyaring. Tapi ketika Giam Liong berkelebat ke sini dan akan melewati kakek itu mendadak kakek itu membalik dan....wutt, tahu-tahu lenyap dan pergi ke arah dari mana dia datang, ke dusun itu!

“Heh-heh, belum waktunya bertemu. Ada jodoh ada rejeki. Maaf, lindungi dan perhatikan gadis itu, Naga Pembunuh. Aku capai menjaganya dua jam. Giliranmu sekarang dan jaga dia baik-baik!”

Giam Liong terkejut bukan main. Dia telah melewati kepala kakek itu dan akan turun di depannya ketika tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan membalik. Kesiur anginnya seakan diketahui. Dan ketika kakek itu berkelebat dan turun bagai burung menyambar, ke arah ari mana dia datang maka Giam Liong tentu saja kembali mendapat punggung kakek itu namun sekilas ia melihat wajah yang tertutup halimun dengan sepasang bola mata yang menembus lembut, lunak namun tajam.

“Sian-su.!” Giam Liong tergetar hebat. Seketika dia tersentak dan maklum dengan siapa dia berhadapan. Kiranya Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang sakti itu. Namun karena dia tak mendapat kesempatan lebih banyak dan kakek itupun baru kali itu dijumpai, kakek ini seolah dewa dalam dongeng maka gadis baju merah, yang tiba dan melayang ke atas batu hitam terkejut dan membelalakkan mata memandang Giam Liong, mendengar seruan dan tawa lembut kakek itu.

“Kau.... kau Si Naga Pembunuh Giam Liong? Kau pemuda yang dicari-cari kakekku itu? Ooh, tak kuduga, Sin-taihiap. Kiranya kau orangnya!”

Namun Giam Liong terpaku memandang kepergian kakek ini. Suara yang-khim dan hebatnya kesaktian kakek ini lenyap dari hadapannya benar-benar membuat Giam Liong tertegun. Dia kagum bukan main, takjub! Tak banyak orang yang dapat melakukan itu di depannya, Ju-taihiap sendiri juga tidak. Tapi ketika isak dan tangis di bawah menyadarkannya, gadis itu berlutut dan memeluk kakinya maka si buntung ini sadar. Kata-kata penuh kagum namun juga kecewa terdengar dari mulut gadis itu.

“Sin-taihiap..... Naga Pembunuh, kau kiranya yang dicari kong-kong? Kau datang setelah kakekku binasa? Ah, tak beruntung nasib kami, Sin-taihiap. Tapi kejam benar kalau kau tak perduli nasibku. Kau dapat melenggang seenaknya saja ketika aku tersedu-sedu meratapi kematian kakekku. Kau seolah tak berperasaan!"

“Hm,” Giam Liong melepaskan diri, menarik kakinya. “Kau sekarang sudah tahu aku, nona. Tapi tidak tahukah kau siapa kakek yang membawa yang-khim itu!”

“Aku tak perduli. Aku telah menemukan dirimu dan sekarang akan melanjutkan permintaan kakek. Kau tolonglah aku dan balaskan sakit hati ayah dan ibuku, juga kakekku itu. Aku tak dapat menghadapi manusia iblis itu karena kepandaiannya amat tinggi. Aku tak mungkin membalas dendam!”

“Hm, bangkitlah. Aku memang akan menangkap dan membunuh manusia jahanam itu, tapi bukan untukmu, melainkan untukku. Kalau kau sudah merasa tak mampu menghadapi lawanmu itu sebaiknya kau kembali dan pulang ke rumahmu.”

“Pulang?” mata itu terbelalak, tiba-tiba berapi. “Aku tak mau pulang, Naga Pembunuh. Aku tak mau kembali ke utara setelah semua kejadian ini. Kau dan ketua Hek-yan-pang itu kiranya sama. Sama-sama tak berperasaan, sama-sama beku. Aku memang berkepandaian rendah tapi itu bukan berarti maksud balas dendamku habis. Aku akan mencari orang lain untuk maksud ini!” dan turun dengan air mata bercucuran, marah dan kecewa menghadapi Giam Liong akhirnya gadis itu kembali ke dusun menyambar mayat kakeknya, berkelebat dan lari menuju arah yang lain dan Giam Liong tertegun.

Kekerasan gadis itu tampak nyata, keras dan agak tinggi hati. Dan karena merasa agak tak enak telah menyinggung perasaan orang, dia berkelebat dan turun mengejar maka Giam Liong telah melewati atas kepala gadis ini. “Tunggu, kita bicara sebentar. Apa maksudmu menyebut-nyebut nama ketua Hek-yan-pang. Apakah kau sudah pergi kesana. Siapakah sebenarnya kau ini!”

“Minggir, tak usah banyak bicara!” gadis itu membentak. “Aku Su Giok bukan pengemis yang harus meminta-minta belas kasihan, Naga Pembunuh. Meskipun kau lihai tapi bukan berarti boleh menghina orang seenaknya!”

Namun Giam Liong menangkap dan mengelak serangan gadis ini. Sekali dia memutar maka tubuhpun sudah di belakang, punggung gadis itu ditepuk. Dan ketika gadis ini mengeluh terjerembab ke depan, mayat kakeknya terlepas namun Giam Liong sudah menangkap maka pemuda ini menarik napas dalam bersikap agak lembut.

“Maafkan aku, aku sendiripun sedang berduka. Isteriku tewas juga oleh Majikan Hutan Iblis itu. Kau katakanlah siapa kalian berdua ini dan siapakah kakekmu yang tewas ini. Kenapa kau menyebut-nyebut ketuaHek-yan-pang.”

Gadis itu merebut mayat kakeknya. Dia sudah berdiri lagi setelah terjerembab. Hampir saja hidungnya mencium tanah. Dan ketika ia berapi-api memandang Giam Liong, menuding maka ia membentak dengan penuh kecewa, “Sin Giam Liong, aku dan kakekku lama sekali mencari-cari dirimu. Tidak usah malu, kami berdua ingin minta pertolonganmu. Tapi melihat sikapmu yang demikian dingin dan tidak berperasaan ini mau rasanya aku berteriak kepada kakek bahwa orang yang diharap-harapkan ini bukanlah manusia yang punya perasaan. Kau beku seperti batu. Kau sama saja seperti Ju-taihiap ketua Hek-yan-pang itu. Aku tak sudi merengek kepada kalian lagi yang kupikir adalah orang-orang gagah!”

“Hm, aku telah membuatmu marah. Maaf. Ketahuilah bahwa hatiku sendiripun sedang pepat. Isteriku juga baru saja tewas oleh Majikan Hutan Iblis ini. Kalau kau atau kakekmu telah pergi ke Hek-yan-pang dan menemui ketua Hek-yan-pang di sana tentu kalian orang-orang yang sudah dikenal juga. Bolehkah aku tahu siapa kakekmu ini? Bolehkah kutahu siapa kalian berdua?”

Gadis ini tersedu. Setelah dia melihat sikap Giam Liong yang agak lembut reda juga kemarahannya. Tapi karena ia masih tersinggung dan tak mau banyak bicara maka ia menjawab ketus, “Kakekku adalah Pek-lui-kong jago utara. Tapi kau barangkali belum pernah mendengar namanya karena kepandaiannya memang tidak setinggi dirimu. Minggir, biarkan aku lewat, Naga Pembunuh. Dan jangan harap aku minta pertolonganmu lagi!”

Giam Liong didorong dan terhuyung. Ia terkejut oleh pengakuan gadis ini dan teringatlah Giam Liong oleh cerita ayah angkatnya. Ah, ini kiranya cucu kakek gagah itu. Su Giok! Dan menyesal bahwa baru sekarang ia ingat, gadis ini terlanjur marah maka Giam Liong berkelebat dan tiba-tiba menahan lengan itu, dari belakang. “Maaf, kau kiranya, nona. Ayah angkatku telah bercerita dan aku sekarang ingat bahwa kau kiranya putera paman Su Tong. Maaf, kembali sebentar dan dengarlah!”

Namun Su Giok membentak dan membalik. Ia mengayun kakinya dan menendang selangkangan lawan. Ia terlanjur marah. Namun ketika Giam Liong mengelak dan menotok kaki itu maka gadis ini menjerit dan roboh terjengkang, mayat kakeknya lagi-lagi terlepas. Akan tetapi Giam Liong menyambar dan menyelamatkan keduanya. Dengan cepat ia mengusap kaki itu lagi hingga si gadis mampu berdiri, meskipun dengan terpincang-pincang. Dan ketika ia membawa mayat itu dan menghela napas maka Giam Liong berkata biarlah mayat itu dikubur dulu, tak usah dibawa kemana-mana.

“Kakekmu sudah tewas, tak usah dibawa-bawa. Biarlah kubantu kau menguburkan jenasahnya dan harap maafkan aku.”

Su Giok menangis. Setelah dua kali dibuat tak berdaya namun Naga Pembunuh itu benar-benar tak menyakiti hatinya lagi, ia menutupi muka maka Giam Liong menggali dan meletakkan jenasah kakek ini. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu ketika Giam Liong selesai membuat lubang. Namun ketika Giam Liong mengangkat dan meletakkan jenasah ini ke dalam lubang maka gadis itu menjerit melompat bangun.

“Jangan kubur kakekku sendirian. Jangan biarkan ia sendiri. Biar aku menemaninya dan kau kuburlah aku pula!”

Giam Liong terkejut. Gadis ini melompat dan masuk ke dalam lubang, mengguguk, tersedu-sedu dan merangkuli mayat itu seperti gila. Tapi ketika ia menyambar dan membujuk halus maka ia berkata bahwa hal itu tidak benar. “Kau tak perlu terlalu bersedih. Orang hidup bakal mati. Naiklah, dan biarkan kakekmu beristirahat tenang, nona. Atau nanti arwahnya penasaran dan kacau di alam baka.”

Gadis itu meronta dan masih hendak terjun. Giam Liong mencengkeram dan menepuk ubun-ubun, Su Giok mengeluh dan pingsan. Dan ketika pemuda itu menarik napas dalam-dalam tapi menguruk lubang dengan perasaan tetap maka dia menyadarkan gadis itu lagi setelah selesai, mengurut tengkuknya.

“Maaf, aku akan menolongmu. Tapi ceritakan siapa keluargamu yang masih ada. Aku bersedih atas kematian kong-kongmu, tapi ia sudah tak mungkin kembali dan tunjukkan bahwa kau keturunan Su- enghiong yang gagah!”

Su Giok tak dapat berkata-kata. Untuk sejenak ia mengguguk dan meraung-raung. Tapi ketika sadar bahwa semuanya itu tak bakal menolong, kakeknya tak mungkin hidup maka air mata yang mulai habis membuat dia menghentikan tangisnya juga, bangkit berdiri, wajah merah padam dengan mata berapi-api. “Aku akan membunuh jahanam itu. Aku akan membalas dendam. Biar aku atau dia yang mati!”

“Aku akan menolongmu,” Giam Liong menarik napas dalam. “Sekarang ceritakan siapa keluargamu yang masih tinggal, nona. Dan mari kuantar menemui keluargamu itu.”

“Aku tak memiliki keluarga lagi, aku sebatangkara. Aku... aku tak akan pulang dan tak mungkin pulang. Jahanam itu telah membuat aku sengsara!”

“Kau sebatangkara?” Giam Liong mengerutkan kening. “Kakek atau ayahmu tak memiliki keluarga lain?”

“Paman dan bibiku terbunuh, Sin-taihiap. Hanya kakekku itulah yang satu-satunya masih hidup. Ia kong-kongku, juga guruku. Namun jahanam Majikan Hutan Iblis itu telah membunuhnya pula!”

“Hm, kalau begitu ke mana kau mau pergi. Adakah suatu tujuan yang dapat kuantar.”

“Aku tak ke mana-mana. Aku hanya ingin mencari dan membalas musuhku. Tapi.... tapi aku menyadari kepandaianku. Barangkali aku harus mencari orang lain untuk menambah ilmuku. Kau lanjutkanlah perjalananmu dan biar aku melanjutkan perjalananku pula, sendiri!”

Giam Liong terkejut. Gadis itu bergerak dan melangkah pergi tapi tiba-tiba membalik lagi. Ia teringat sesuatu. Dan ketika ia membungkuk dan menjura di depan Giam Liong maka ia berkata, “Aku lupa mengucapkan terima kasih. Maaf, sekarang kuucapkan terima kasih dan mudah-mudahan budi baikmu dapat kubalas kelak.”

Giam Liong kembali membelalakkan mata. Gadis ini membalik dan melangkah lagi lalu tiba-tiba berkelebat. Ia berdiri, mau memanggil. Tapi ketika ia menahan mulutnya dan tak jadi berseru, ia laki-laki sementara gadis itu perempuan maka Giam Liong membatalkan niatnya dan senyum dingin kembali membayang. Ia tak ingat akan pesan kakek dewa itu dan rupanya juga tak tertarik. Cucu Pek-lui-kong itu telah sebatangkara, biarlah! Maka membalik dan menggerakkan kaki ke tempat lain si buntung ini juga tak memperdulikan lagi gadis baju merah itu. Acuh.

“Hm, benar-benar tak berjantung, tak berperasaan. Pantas kau mendapat julukan demikian mengerikan, Naga Pembunuh. Kau lupa pesanan seseorang!”

Giam Liong terkejut. Baru saja ia berjalan sepuluh tindak tiba-tiba terdengar dengus dan kata-kata dingin itu, tidak keras namun cukup menyentak. Ia membalik dan bagai iblis saja tahu-tahu seorang nenek berpakaian serba hitam berdiri di belakangnya, tak ada semeter! Dan ketika ia terkejut bukan main bagaimana nenek ini dapat muncul tanpa diketahui, bagaimana telinganya tak mendengar kesiur angin dingin maka Giam Liong tertegun dan membelalakkan mata. Seorang nenek yang cantik meskipun tua!

“Kau... kau siapa. Apa maksud kata-katamu!”

“Hi-hik, bocah edan. Bocah tak berperasaan. Untuk apa kau tanya-tanya tentang aku kalau hatimu sebeku dan sedingin ini, Naga Pembunuh. Kau tak usah tahu seperti aku juga tak usah tahu kenapa kau melupakan pesanan Sian-su!”

“Sian-su?” Giam Liong mengerutkan kening. “Dia pesan apa dan bagaimana kau tahu? Kau sudah lama di sini?”

“Heh, kau benar-benar menyimpan otakmu. Dengar, jelas sekali Sian-su berpesan agar kau menjaga dan melindungi gadis itu, Naga Pembunuh. Tapi kau membiarkannya saja pergi. Kau bersikap baik sebentar tapi kemudian jahat lagi. Kau bocah tak berjantung. Kau tak punya liang-sim (hati nurani)!”

Marah juga Giam Liong dimaki-maki seperti ini. Ia teringat bahwa tadi memang ia disuruh menjaga dan melindungi gadis itu. Tapi karena ia laki-laki sementara gadis itu wanita, ia baru saja kematian isterinya maka ia tak mengacuhkan itu dan bukan salah dirinya kalau ia membiarkan gadis itu sendiri. Bukankah tadi ia sudah menawarkan pulang. Bukankah ia sudah siap mengantar kalau gadis itu memiliki sanak saudara. Dan karena tak mungkin ia harus mengawal seperti adik atau isterinya sendiri maka ia tertawa mengejek memandang nenek aneh ini.

“Kaupun rupanya tak waras, sinting. Kau nenek gila yang datang-datang langsung memaki orang lain. Hm, apa perdulimu tentang itu, nenek aneh. Aku memiliki alasan sendiri kenapa membiarkan gadis itu. Aku sudah menawarkan jasa, tapi ia menolak. Dan karena ia bukan adik atau saudaraku maka kubiarkan ia sendiri dan apa perdulimu tentang ini!”

“Heh-heh, bagus. Tapi kau bocah tak tahu budi! Tahukah kau berapa lama Sian-su menunggumu. Heh, dua jam ia di sini, bocah. Dua jam ia menjaga dan menunggumu agar dapat mewakilinya. Dan setiap keinginan Sian-su tentu ada maksudnya, terutama bagimu. Beranikah kau menyepelekan perintahnya sementara dulu orang tuamu diselamatkan dan dihidupkan kembali oleh kakek ini. Jawab, punya perasaankah kau ini!”

Giam Liong terkejut. Si nenek tiba-tiba bicara tentang mendiang ayahnya pula pada tiga puluh atau empat puluh tahun. Berarti ia berhadapan dengan tokoh tua! Dan tertegun bahwa nenek ini rupanya tahu semua, sementara ia tak tahu siapa nenek ini maka Giam Liong menahan marah ketika bertanya, “Maaf, siapakah locianpwe gerangan. Aku belum merasa kenal, tapi locianpwe sudah tahu semua. Bolehkah aku tahu nama locianpwe yang mulia? Atau locianpwe hanya pandai bicara tak pandai menunjukkan kepandaian?”

“Heh-heh, anak lancang. Bocah edan! Baik kalau kau ingin tahu namaku, Giam Liong. Aku adalah Hek-i Hong-li (Bidadari Baju Hitam) yang dulu pada seratus tahun lewat membuat geger dunia kang-ouw. Waktu itu kau dan ayahmu belum ada, kakekmupun barangkali masih berupa anak kecil. Tapi karena jelas namaku jauh lebih hebat daripada namamu, kau bocah ingusan yang tak ada artinya maka jangan sombong bahwa dengan kepandaianmu sekarang ini kau dapat mengalahkan aku. Boleh coba sepuluh jurus saja, seranglah dan aku mengaku kalah kalau kau dapat menyentuh ujung bajuku!”

Giam Liong terbelalak. Ia tak pernah mendengar nama ini tapi kalau benar nenek itu bukan pembual tentu kesaktiannya hebat sekali. Seratus tahun yang lewat telah dapat membuat nama besar tentu bukan main-main. Dan teringat betapa tadi nenek ini muncul secara tiba-tiba, ia tak mendengar sedikitpun angin gerakan maka Giam Liong mundur dengan muka berubah. Sejenak ia tergetar, mau percaya. Tapi begitu sadar bahwa ia tak perlu takut, betapapun tingginya nenek ini ia belum melihat secara penuh maka Giam Liong tertawa mengejek dan panas oleh tantangan itu. Masa sepuluh jurus ia tak mampu menyentuh ujung baju, padahal ia memiliki ilmu langkah sakti Pek-poh-sin-kun (Seratus Langkah)!

“Hm, besar dan memanaskan sekali omonganmu ini. Kau nenek takabur. Baik, aku jadi ingin coba-coba menerima tantanganmu, Hek-i-locianpwe. Apakah benar dalam sepuluh jurus aku tak mampu menangkapmu. Tapi katakan bagaimana kalau aku mampu, apa yang kau perbuat!”

“Aku mencium bokongmu, kucuci dan kusiapkan makan minummu seumur hidup. Hi-hik tapi bagaimana kalau kau gagal?”

Giam Liong terkejut, merah padam dengan cepat, terbakar. “Aku mencium bokongmu pula, nenek sombong. Dan kucuci serta kusiapkan makan minummu seumur hidup!”

“Hi-hik, bagus, heh-heh....! Tapi tak usah sejauh itu. Kau cukup mencium bokongku saja, Naga Pembunuh, mencuci dan menyediakan makan minumku tak usah, apalagi seumur hidup. Wah, berdekatan dengan dirimu saja aku sudah tak suka, apalagi harus seumur hidup. Tidak, kau mencium bokongku saja dan tak apa seorang cucu mencium pantat neneknya! Heh-heh, mulailah dan coba tangkap aku!”

Giam Liong mendidih. Ia benar-benar terhina dan tertantang oleh nenek ini. Ia tak tahu siapa Hek-i Hong-li ini namun iapun tak takut meskipun si nenek berkepandaian tinggi. Di dunia ini paling-paling mati! Maka membentak dan tak menunggu lagi ia sudah bergerak dan sekali mengeluarkan Pek-poh-sin-kunnya kakipun sudah mengeluarkan suara “set” ketika bergeser dan maju mendekat, cepat luar bisa.

“Awas, aku mulai!”

Si nenek mengebutkan baju. Ia terkekeh ketika Giam Liong menyambar, baju dikebutkan dan sengaja disuruh tangkap. Tapi ketika baju itu tertarik mundur karena si nenek juga mundur, otomatis luput maka Giam Liong tersentak melihat gerakan si nenek yang tak kalah cepat.

“Satu...!”

Pemuda ini gagal. Ia merah padam tapi membentak maju lagi. Kali ini dua langkah Pek-poh-sin-kun digerakkan sekaligus. Tapi ketika si nenek melejit dan mengelak luar biasa cepat maka dua terkaman ini juga luput.

“Dua...!”

Giam Liong terbelalak. Ia hampir tak percaya namun benar-benar terbukti, tentu saja marah dan bergerak lebih cepat lagi. Tapi ketika nenek itu berkelit dan mundur lagi lebih cepat, semakin cepat Giam Liong semakin cepat pula nenek ini, maka si nenek sudah seakan menjadi bayang-bayang hitam yang tak dapat ditangkap, tubuhnya kian lama berubah seperti asap!

“Enam.....tujuh. sembilan! Hi-hik, tinggal sejurus lagi dan kau mencium bokongku!”

Giam Liong pucat. Ilmu Seratus Langkah Sakti itu, Pek-poh-sin-kun tiba-tiba seakan tak berdaya menghadapi nenek lihai ini. Semakin dia bernafsu menangkap semakin luar biasa gerakan nenek itu. Dan terakhir nenek ini sudah seperti asap tipis, bukan manusia lagi melainkan uap! Dan ketika hitungan tiba pada angka sembilan dan Giam Liong terkejut serta penasaran, sungguh ia hampir tak percaya maka tiba-tiba ia melakukan gerak tipuan di mana pada hitungan ke sepuluh ia menubruk ke kiri padahal sebenarnya ke kanan.

“Wherrrr!”

Baju itu tertangkap. Si nenek juga terkejut dan berseru keras. Giam Liong melakukan langkah yang disebut Menangkap Bulan Merogoh Dewa, gerakan mengecoh yang membuat si nenek terpekik. Tapi ketika baju tertangkap namun Giam Liong serasa menembus benda keras, tangan itu tak memegang apa-apa maka ia menghentikan gerakan dan terdengar ledakan di mana nenek itu sudah terkekeh di sana, bertolak pinggang.

“Hi-hik, bagaimana. Mampukah kau menangkap ujung bajuku!”

“Kau.... kau menggunakan ilmu hitam. Kau tak jujur, Hek-i-locianpwe. Kau menggunakan ilmu hitam!”

“Hi-hik, bocah tolol memang begini. Kau akui atau tidak ilmuku jelas di atasmu, Giam Liong. Hitam atau putih hanyalah nama. Perjanjian kita tidak bersyarat macam-macam, hanya kau mampu atau tidak, itu saja. Kalau kau berdalih untuk tidak mengakui kekalahan aku juga tak menuntutmu. Tak usah melotot!”

Giam Liong kaget bukan main. Ia akhirnya gagal dan nenek ini menang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa ilmu langkah saktinya tak mempan. Mana mungkin menangkap seseorang yang sudah berbentuk asap. Nenek ini seakan menjadi mahluk halus, roh! Dan sadar bahwa ia kalah, nenek itu betul maka Giam Liong berlutut dan merah padam.

“Baik, akupun tahu diri. Aku bukan laki-laki pengecut, locianpwe. Ilmu hitam atau tidak aku telah gagal menangkap ujung bajumu. Aku kalah. Aku akan menepati janjiku dan siap mencium bokongmu!”

“Heh-heh, bocah tidak waras. Sinting! Kau boleh berlutut dan memenuhi janjimu, Naga Pembunuh. Tapi siapa sudi memberikan bokongku untuk kau cium. Menyentuh ujung bajuku saja tidak patut, apalagi menyentuh tubuhku. Pergilah dan awas beberapa tahun lagi... dess!” Giam Liong mencelat dan terlempar.

Nenek itu menggerakkan kakinya dan pemuda ini tertendang. Giam Liong berjungkir balik melayang turun. Dan ketika ia terbelalak dan nenek itu lenyap, ia menarik napas dalam-dalam maka seorang lain tiba-tiba terkekeh dan batuk-batuk.

“Heh-heh, baik juga anak muda ini. Cukup luhur! Eh, bagaimana tendangan Hong-li tadi, bocah she Sin. Bagaimana kalau dengan tendanganku... dess!”

Giam Liong terlempar dan mencelat lagi. Ia baru saja melayang turun ketika seorang kakek aneh, berwajah merah muncul di situ. Kakek inipun tahu-tahu di belakangnya dan ketika ia menoleh kaki itupun bergerak cepat. Ia tak mungkin menghindar dan terlempar tinggi. Tapi ketika ia berteriak dan berjungkir balik melayang turun, kakek itu tertawa-tawa maka ia melotot melihat kakek ini mencomot ikat pinggangnya, tahu-tahu terlepas, begitu saja.

“Ha-ha, ikat pinggangmu ini yang membuat kau kelebihan berat badan. Aih, pantas kau tak mampu mengimbangi kecepatan Hong-li. Bodoh, kau anak bodoh, Giam Liong. Tapi kau anak baik yang jujur mengakui kekalahan. Ha-ha, kau jujur menepati janji pula. Tapi kalau aku tentu sudi kau cium bokongku. Hayo, kita bertaruh lagi dan main-main seperti nenek itu!”

Giam Liong tersentak. Untuk kedua kalinya ia merasa bertemu dengan orang-orang luar biasa. Kaget dia. Tapi melihat kakek itu merampas ikat pinggangnya dan ia merasa marah, entah kapan kakek itu mencabut ikat pinggangnya maka ia membentak dan maju merampas. “Kau orang tua sialan, berikan sabukku dan siapakah kau!”

“Eiitt, nanti dulu. Aku bersungguh-sungguh. Sabuk ini tak perlu dipakai lagi dan biar kubuang!”

Giam Liong terkejut. Ikat pinggangnya dilempar dan demikian tinggi benda itu meluncur ke atas, lenyap dan akhirnya hilang menembus langit. Bukan main! Dan ketika ia tertegun tapi kakek itu terkekeh-kekeh, ia ditepuk maka pemuda ini sadar lagi dan membelalakkan matanya.

“Kita main-main, semacam petak-umpetlah. Kau kejar aku dan nanti aku mengejarmu. Kalau kau dapat menangkap ujung bajuku pula aku memberimu hadiah. Tapi kalau kau tidak berhasil kau harus memberikan sesuatu kepadaku pula. Bagaimana bocah?”

Giam Liong tertegun. “Locianpwe siapakah? Kenapa main-main dengan anak muda?”

“Ha-ha, aku adalah aku. Jangan pilih kasih. Ayo tangkap aku atau aku bersembunyi dulu... wutt!”

kakek itu lenyap, entah bersembunyi di mana dan Giam Liong terkejut. Seperti siluman atau iblis saja kakek ini menghilang, padahal dia bukanlah anak kecil! Dan ketika Giam Liong celingukan dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari maka kakek itu berseru, suaranya tak dapat ditentukan, berputar-putar.

“Heii, ayo cari aku. Atau nanti kuketok kepalamu!”

Giam Liong terkejut. Ia tak tahu di mana kakek itu dan terdengar lagi seruan itu, kini marah. Dan ketika ia tetap tak dapat mencari dan bingung serta kagum maka kakek itu tahu-tahu muncul lagi di depannya seperti iblis, langsung saja mengetok kepala.

“Kurang ajar, susah-susah bersembunyi tak kau cari juga. Heii, ini aku, anak muda. Kau menerima hukuman ketok kepala... tok!” benar saja, kepala atau ubun-ubun pemuda ini diketok. Tampaknya biasa saja tapi Giam Liong terhuyung. Telunjuk kakek itu membuat ia kiut-miut! Dan ketika ia marah tapi kakek itu tertawa-tawa, Giam Liong mendesis tak diperdulikan maka kakek itu berseru,

“Begini saja, kita main seperti nenek itu. Kalau kau dapat menangkap bajuku maka hadiahnya sebuah ilmu. Tapi kalau kau tak berhasil maka anakmu kuambil murid. Bagaimana?”

Giam Liong mendidih. Berhadapan dengan orang-orang tua ini ia seakan anak-anak yang tak dihargai. Naga Pembunuh, julukan yung diperoleh, seakan tak berarti bagi kakek itu, juga nenek yang berjuluk Hek-i Hong-li. Maka membentak dan menerjang maju ia sudah menerkam kakek ini. “Kau tua bangka tak punya aturan. Siapapun adanya kau, aku tak takut, locianpwe. Mampuslah atau kau pergi!”

“Heii..!” si kakek melompat, luput. “Kita hanya main-main, bocah, bukan menyerang. Seperti nenek tadi saja dan kau pegang bajuku!”

“Cukup hinaan ini. Kau pergi atau mampus.... wutt!” dan Giam Liong yang menyerang dan menggerakkan Seratus Langkah Saktinya tiba-tiba dibuat terkejut dan kaget oleh elakan si kakek, luput dan mengenai angin lagi dan kakek itu kini bergerak maju mundur sambil berteriak-teriak.

Pek-poh-sin-kun, ilmu langkah saktinya tak dipandang mata. Dan ketika Giam Liong penasaran tapi juga marah di permainkan lawan mendadak pemuda ini melepas jurus-jurus lihai dari ilmu silatnya Kim-kang-ciang (Tangan Emas), naik turun menyambar-nyambar namun si kakek tiba-tiba tertawa bergelak. Ia melesat dan hilang. Dan ketika Giam Liong tertegun menghentikan gerakan maka kakek itu muncul di belakangnya menjewer telinganya.

“Ha-ha, Kim-kang-ciang, Tangan Emas. Dari mana kau curi ilmu ini dan kapan mendapatkannya!”

Giam Liong marah. Ia terkejut dan membentak dan otomatis membalik. Pek-poh-sin-kun kembali dikerjakan. Tapi ketika kakek itu menghilang dan muncul lagi, mencubit atau mengetok maka Giam Liong tak mampu mencari lawan yang lenyap dan muncul seperti iblis. "Keparat, beranimu hanya bersembunyi saja. Ayo, keluar dan hadapi aku, kakek tengik. Jangan berpetak-umpet seperti anak kecil. Ayo, balas dan tangkis seranganku!”

Luar biasa, kakek itu muncul lagi, bukan di belakang melainkan di depan. Dan ketika Giam Liong menghantam dan melepas pukulannya, kali ini disertai bentakan Sai-cu Ho-kang maka kakek itu terbahak dan menjulurkan lengannya, tak tergetar sama sekali oleh Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dahsyat itu.

“Ha-ha, boleh... mari, mari pukulanmu dan lihat tenaga si tua ini... dess!”

Giam Liong tersentak dan tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, lembut namun kuat menerima pukulannya dan tiba-tiba ia terbanting! Begitu kuat bantingan itu hingga ia terguling-guling. Dan ketika ia meloncat bangun namun si kakek mengejar, dipukul dan menangkis lagi maka ia terlempar dan terguling-guling lagi, jatuh bangun disambut kekeh atau tawa kakek nakal itu, mengejar dan dipukul tapi selalu si buntung ini terlempar. Dan ketika Giam Liong maklum bahwa ia berhadapan dengan tokoh lihai maka Giam Liong melempar tubuh ke kiri untuk kemudian menyambar dan mematahkan sebatang dahan pohon, berjungkir balik memegang itu seperti golok.

“Bagus, ha-ha, bagus sekali. Kau rupanya mau mainkan Im-kan-to-hoat (Golok Akherat). Bagus, ayo main-main dan perlihatkan ilmumu itu, bocah. Sekali tersabet saja biar aku mengaku kalah. Ayo, kejar dan serang lagi!"

Giam Liong terbakar. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh luar biasa. Tapi karena bukan wataknya untuk menyerah begitu saja dan ia belum mengeluarkan ilmu andalannya ini, biarpun yang ada di tangan hanyalah sepotong kayu namun senjata itu dapat berubah sehebat pedang pusaka maka Giam Liong membentak dan sekali ia berseru keras tubuhpun berkelebat dengan serangan ganas. Dahan di tangannya itu membacok dan mendesing bagai golok sungguhan!

“Ah, ha-ha.... ini lebih hebat, tapi masih tak cukup kuat. Golok Mautmu hilang dicuri orang, anak muda, tak apa dan ini sebenarnya cukup, untuk orang lain, tapi bukan untukku. Karena gerakanmu masih lamban dan siku kananmu itu terlalu tertekuk.... crakk!” pohon di belakang si kakek terbabat, roboh dan putus namun Giam Liong kaget bukan main melihat si kakek menghilang.

Senjata di tangan menghadap ke depan tapi yang menjadi sasaran adalah pohon itu, bukan lawannya. Dan ketika ia membalik dan mengejar lagi, mendengar tawa di belakang maka bertubi-tubi Giam Liong menusuk dan membabat, gagal dan hilang dan kekek itu melompat-lompat secara aneh. Satu kali bahkan memapak senjatanya tapi yang dibacok hanya bayang-bayang. Kini Giam Liong melihat bahwa perlahan-lahan kakek ini berubah ujud, kian lama kian tipis menyerupai uap putih. Badan kasarnya hilang! Dan ketika Giam Liong terkejut dan membelalakkan mata, ia teringat lagi nenek sakti Hek-i Hong-li maka ia berseru keras mengakhiri serangannya, menjebak atau menjepit kakek itu dengan jurus Dewa Maut Mengadu Jiwa!

“Mampus atau aku yang, roboh!”

”Ha-ha, nekat. Tapi biarlah kita hentikan main-main ini dan lihat senjatamu menancap diperut...bless!” dahan atau senjata yang dipakai menusuk itu menghunjam perut si kakek, tak mungkin dihindarkan lagi karena dari delapan penjuru Giam Liong telah mengurung kakek ini. Ia melepas serangan maut sementara bagian kiri tubuhnya juga terbuka, kakek itu menancapkan jari-jarinya di sini. Dan ketika Giam Liong merasa sakit namun terbelalak tak melihat darah keluar, kakek itu tertawa bergelak maka perut digelembungkan ke depan dan. Giam Liong tertiup angin kencang berikut senjatanya pula. Perut itu seolah balon ditiup.

“Aiihhh...bresss!”

Giam Liong terguling-guling dan pening. Kepalanya terantuk batu besar dan berhenti di sini, benjut. Senjatanya patah menjadi tiga dan ia seakan mimpi menghadapi kakek sakti ini. Itu seakan sihir! Tapi ketika ia terhuyung dan bangkit duduk, kakek itu berkelebat maka diusapnya kepala pemuda ini dan benjut itu hilang.

“Heh-heh, tak perlu malu-malu. Kau bukan lawanku, Naga Pembunuh, tak mungkin kau menang biarpun kau memperdalam ilmumu lima puluh tahun lagi. Kau dan anak-anak muda sekarang tiada ubahnya anak-anak kecil bagi kami, tak usah penasaran. Kau jawablah sekarang bagaimana kalau anakmu itu kuambil murid!”

“Aku... aku mengaku kalah. Tapi siapa nama locianpwe yang mulia agar aku tahu!”

“Heh-heh, seratus tahun yang lewat orang menyebutku Sian-eng-jin (Manusia Bayangan Dewa), tapi sekarang nama itu tak ada yang kenal kecuali nenek moyangmu yang masuk kubur. Heh-heh, bagaimana, anak muda. Bolehkah anakmu kuambil dan kujadikan murid!”

“Anak laki-laki ku diculik orang.”

“Mudah, aku tahu dan tak usah ribut! Jawab saja sekarang bagaimana jawabanmu!”

Giam Liong tertegun. Sebenarnya, satu di antara tugasnya adalah mencari anak laki-lakinya yang diculik itu. Berbulan-bulan ini dia gagal, bahkan isterinya akhirnya tewas menjadi korban. Dan menarik napas dalam menyadari hebatnya kakek muka merah ini, lagi-lagi ia tak pernah mendengar julukan itu maka Giam Liong menunduk dan sejenak terjadi pertentangan batin. Sebenarnya, menuruti kemauan diri sendiri tentu saja ia tak rela anaknya di bawa orang lain. Tapi karena menyadari bahwa kakek ini benar-benar hebat dan tentu tak sukar merampas anaknya dari Majikan Hutan Iblis itu, biarlah hitung-hitung sebegai pembayar jasanya maka pemuda ini mengangguk.

“Baiklah,” Giam Liong berat hati juga. “Kusetujui permintaanmu, locianpwe. Tapi satu yang ingin kuminta, temukan dulu aku dengan anakku itu sebelum kau bawa!”

“Ha-ha, begitu? Mudah! Tentu!”

“Kapan locianpwe memberikannya?”

“Wah, sekarang juga. dapat, bocah. Aku ingin mengimbangi Hek-i Hong-li tadi agar tidak kalah!”

Giam Liong terkejut. Dia terbelalak ketika mendengar kata-kata itu, kakek ini seakan main-main. Tapi ketika si kakek menyambarkan lengannya ke kiri dan terdengar deru angin menyambar, di hutan kecil di luar dusun itu kakek ini mengarahkan ujung bajunya tiba-tiba terdengar pekik atau jerit bayi yang tahu-tahu digulung dan digubat lengan baju ini.

“Ha-ha, inilah. Lihat, apakah bukan anakmu!”

Giam Liong tersentak. Seakan sihir saja seorang anak laki-laki telah berada di gulungan lengan baju kakek ini. Sian-eng-jin, kakek itu tahu-tahu telah membawa puteranya yang menangis keras. Itulah Sin Gak, anaknya lelaki. Dan ketika Giam Liong terkesiap namun tentu saja menyambar dan menerima itu, anak itu melayang ke arahnya maka Giam Liong girang luar biasa mendapatkan anaknya ini. “Sin Gak...!”

“Ha-ha, betul. Dan kuambil itu dari majikan gila itu. Heii, lihat dan teliti apakah betul anakmu, bocah. Kalau sudah betul kembalikan padaku!”

Naga Pembunuh ini bengong. Sin Gak, anaknya, yang dicari berbulan-bulan dan amat dikhawatiri itu ternyata tahu-tahu sudah ada di tangannya. Dia seakan mimpi. Tapi ketika dicobanya mencubit dan anak itu menangis keras, melengking-lengking maka Giam Liong terharu dan tiba-tiba diciuminya anaknya ini. Air matapun bercucuran. “Ooh, benar. Dia... anakku Sin Gak, locianpwe. Dia puteraku! Bagaimana kau mendapatkannya dan apakah Majikan Hutan Iblis itu tak menyerangmu!”

“Ha-ha, anak banci itu bisa apa. Dikeroyok seribu silumanpun aku tak mungkin kalah, bocah. Berikan anakmu dan perjanjian kita selesai!”

“Nanti dulu...!” anak tahu-tahu direbut. “Aku belum puas, locianpwe. Berapa lama kau membawa anakku!”

“Ha-ha, barangkali lima tahun. Tapi barangkali juga lebih. Sudahlah dan jangan lama-lama memandang atau nanti kau tak jadi memberikan anakmu... wut!” dan si kakek yang berkelebat dan lenyap membawa anak itu tiba-tiba membuat Giam Liong berteriak dan mengejar.

“Locianpwe, tunggu. Masa tak ada batas waktu yang pasti!”

“Ha-ha, semuanya tergantung Hong-li. Kalau kau mau bertanya yang pasti silakan bertanya nenek itu, bocah. Selamat tinggal dan jangan tarik janjimu!”

Giam Liong melengking. Ia mengejar dan berkelebat mengerahkan semua ilmu lari cepatnya namun kakek itu tahu-tahu memasuki hutan. Sekejap saja ia lenyap dan Giam Liong kehilangan jejak. Dan ketika Giam Liong menggigil dan tertegun di mulut hutan, sungguh tak diduganya ada kejadian demikian cepat maka ia termangu dan menitikkan air mata. Puteranya telah ditemukan namun lenyap kembali dibawa orang lain. Bedanya kali ini tidak secara sembunyi-sembunyi. Kakek sakti itu, Sian-eng-jin telah mengikatnya dengan sebuah perjanjian, terang-terangan meminta.

Dan ketika Naga Pembunuh ini bingung dan terhenyak disitu, tak ayal lagi ia terhuyung dan mengeluh panjang pendek maka Giam Liong memasuki hutan dengan harapan menemukan kakek itu lagi. Wajahnya pucat, bibirpun gemetaran. Namun ketika ia keluar dan menyeberang di sebelah sana, kakek itu tak ditemukannya lagi maka pemuda ini mengguguk dan menjatuhkan diri di bawah pohon. Tak dapat dicegah lagi si buntung ini diremas-remas. Ia bingung dan luka oleh kejadian silih berganti itu.

Dan ketika ia mengguguk dan sendirian meratap mendadak Su Giok, gadis itu muncul dari dalam hutan. Gadis baju merah ini mengejek. Ia tertawa mendengar tangis dan ratap itu. Giam Liong benar-benar terpukul. Dan ketika pemuda ini menoleh dan mengangkat wajahnya, tertegun melihat gadis itu maka cucu Pek-lui-kong ini melenggang santai dan lewat di depan lawan dengan sikap acuh, dingin.

“Su Giok!”

Gadis itu tak menoleh. Ia terus berjalan dan bersikap acuh, dipanggil tapi terus melenggang sampai akhirnya tiba di sebuah pohon besar. Dan ketika Giam Liong meloncat bangun dan berkelebat mengejar, berteriak tiba-tiba bayangan hitam terkekeh dan lewat menyusulnya dengan lebih cepat lagi.

“Heh-heh, tak usah mengejar kalau tak mau dipanggil. Jaga lima tahun lagi, bocah. Lihat betapa muridku tak akan merengek-rengek lagi kepada orang lain!”

Giam Liong tertegun. Hek-i Hong-li, nenek sakti itu tiba-tiba muncul lagi dengan amat cepatnya. Dia menyambar dan membawa Su Giok seperti kilat, lenyap dan entah ke mana lagi dia tak tahu. Dan ketika pemuda ini menjublak dan pucat, bengong, maka ada semacam perasaan bersalah di hati Giam Liong kenapa diapun mula-mula bersikap begitu dingin dan acuh terhadap Su Giok, yakni ketika gadis itu kematian kakeknya dan menangisi jenasah. Giam Liong pucat merasa dibalas, ia tergetar. Dan menggigil mendengar gadis itu diaku murid, ternyata nenek sakti itu mengambil Su Giok maka diam-diam ada perasaan tak nyaman yang mengganggu hati.

Giam Liong merasa bahwa kelak akan ada peristiwa tak enak, ia harus siap. Dan kosong memandang ke depan tiba-tiba semangat si buntung inipun terbang. Ia seakan lumpuh, jatuh dan duduk lagi di tanah. Tapi ketika Giam Liong sadar dan menggigit bibir, masih ada tugas di sana maka iapun terhuyung meneruskan langkah, terseok, jalan selangkah demi selangkah seraya memikirkan orang-orang sakti ini. Kecut hatinya bahwa harus berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Kenapa selama ini tak pernah ia dengar.

Dan ketika ia meneruskan perjalanan dan bertanya-tanya, Sin Gak sudah diketahui nasibnya namun Golok Maut dan kematian isterinya harus dibalas maka Giam Liong berdetak dan seminggu kemudian ia mendengar hal-hal aneh di dunia kang-ouw. Betapa para ketua tokoh partai-partai terkenal tiba-tiba memusuhi pendekar. Betapa satu demi satu orang-orang itu bahkan mengelompokkan diri dan kebal terhadap senjata-senjata tajam, bersikap aneh dan liar sampai akhirnya turun gunung mencari dirinya! Dan ketika suatu pagi ia tiba di lereng gunung di wilayah Kong-san maka puluhan orang tiba-tiba muncul dan mencegat.

“Berhenti, serahkan nyawamu!”

Giam Liong bagai mimpi. Ia dikurung dan tahu-tahu bagaikan seekor harimau masuk perangkap. Ia mengenal Kong San Lojin di situ, ketua Kong-san-pai. Dan ketika ia terbelalak namun kakek itu bersikap dingin, murid-muridnya yang bergerak dan maju membentak, maka Giam Liong berkilat dan merah mukanya. Tanpa menunggu apa-apa lagi ia berkelebat, tangan mendorong dan melempar orang-orang itu mendekati Kong San Lojin. Tapi ketika mereka berteriak dan melompat bangun, tak apa-apa maka Giam Liong tertegun dan sudah dikeroyok, menangkis dan membalas tapi orang-orang itu bangun lagi. Setiap terpelanting atau roboh oleh pukulan Giam Liong para murid Kong-san-pai ini bergerek lagi.

Giam Liong melihat kekebalan aneh melindungi orang-orang itu. Dan ketika dia menjadi marah dan memperhebat serangannya maka langkah sakti Pek-poh-sin-kun membuat orang-orang itu menjerit didahului si buntung, roboh dan pingsan karena pukulan Giam Liong lebih berat. Pemuda itu mengerahkan sinkangnya hingga para murid mengaduh dan terbanting, tubuh tidak luka namun getaran pukulan itu mengguncang otak, menembus kekebalan kulit juga.

Dan ketika Giam Liong berhasil mendekati Kong San Lojin dan kakek itu membentak maju menerjang maka Giam Liong terbelalak karena terhadap kakek ini pukulan-pukulannya tidak mempan. Si kakek bermata liar dan sorot pandangnya buas, gigi menyeringai dan Giam Liong seolah melihat taring di situ. Namun ketika Giam Liong menyambar senjata seorang anak murid yang terlempar dan dengan senjata ini ia mainkan silat Golok Akherat, membentak dan marah kepada ketua Kong-san-pai itu maka si kakek terkejut dan mengelak sana-sini, terdesak dan dua bacokan membuat bajunya robek, kulit pundak tidak apa- apa dan Giam Liong mendelik.

Kalau saja ia tak tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar di sikap ketua Kong-san-pai ini tentu ia mencoblos mata itu, bagian inilah yang tak mungkin dilindungi kekebalan. Maka ketika Giam Liong mendesak dan sekali lagi membabat leher ketua itu, si ketua terbanting namun tidak apa- apa maka Giam Liong menendang kakek itu sampai si kakek mencelat dan bergulingan, berkelebat dan meninggalkan orang-orang itu namun orang-orang Kong-san-pai ini mengejar. Mereka berteriak-teriak dan bagai orang kesetanan saja. Tapi Giam Liong yang bergerak lebih cepat dengan ilmunya meringankan tubuh akhirnya meninggalkan orang-orang itu namun di tempat yang lain muncul lawan-lawan baru yang semua menyerang dan mengejar-ngejarnya.

Giam Liong melotot. Hwesio dan tosu silih berganti datang kepadanya. Ada Kiang Bhong Tojin di situ, ada Hoa-san Cinjin dan lain-lain. Dan ketika terakhir dia bertemu dengan Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin, ketua Lu-tong dan Khong-tong akhirnya Giam Liong terhenyak seakan tak percaya. Orang- orang itu datang mengeroyok seperti hewan-hewan kelaparan.

“Bunuh Si Naga Pembunuh ini. Serang dia...!”

Giam Liong terkejut. Dua orang terakhir itu seolah tak mengenal dirinya lagi dan bergerak memimpin anak muridnya. Baik Ceng Tong Hwesio maupun Ho Heng Tojin sama-sama berputar matanya, liar. Dan ketika Giam Liong menangkis dan lawan terpental, mengelak dan membalas namun dua orang itu kebal senjata maka Giam Liong sadar bahwa seperti yang lain dua orang inipun dikuasai pengaruh hitam.

Giam Liong berkelebat dan mengamuk dan tandangnya membuat lawan menjerit. Mereka terlempar dan terbanting oleh pukulan atau tendangan pemuda ini. Namun ketika mereka bergerak dan melompat bangun lagi, dua orang ketua itu juga bergulingan dan meloncat bangun maka dengan marah mereka menyerang lebih hebat dan ganas. Kekebalan aneh itu yang membuat Giam Liong kewalahan.

“Cringgg-tak-tak-brett!”

Hanya baju atau pakaian mereka yang robek. Senjata di tangan Giam Liong memang bukan Golok Maut dan pemuda ini tak mampu menembus kekebalan aneh itu, tangkisan atau tusukannya tak membuat dua ketua itu luka. Tapi karena tenaga yang dimiliki amat hebat dan betapapun dua orang itu terhuyung dan melotot mundur maka mereka maju lagi dan bentakan atau teriakan muncul disertai bayangan-bayangan lain. Entah bagaimana tahu-tahu pengeroyok bertambah jumlahnya, kian lama kian banyak hingga tak kurang dari tiga ratus orang mengeroyok pemuda ini.

Dan ketika Giam Liong pucat dan menjadi marah, apa boleh buat ia harus merobohkan lawan maka mata, daerah yang tak mungkin dilindungi kekebalan itu menjadi incarannya. Dia dikepung dan tak dapat meloloskan diri kalau tidak membuka jalan darah. Ia harus kejam. Maka ketika Giam Liong membentak dan menujukan serangan pada bagian lemah ini, tujuh murid roboh dengan mata tercongkel maka barulah para pengeroyok gentar dan berteriak-teriak.

Mereka mundur dan Giam Liong menggerakkan senjatanya tiada henti. Yang roboh oleh golok ditendang agar mencelat. Mereka tak boleh menghalang jalan. Dan ketika dengan cara begini ia mampu membuka kepungan, dua ketua juga gentar maka Giam Liong lolos namun seseorang menghadang di depan. Seorang lelaki berjubah hitam, jubah kelelawar!

“Ha-ha, kau memang hebat, kepandaianmu cukup tinggi. Kau lolos dari mereka, Naga Pembunuh, tapi tak mungkin lolos dari aku. Bersiaplah, kematian sudah dekat... singgg!”

Sinar putih berkelebet dan Giam Liong terkejut bukan main. Itulah Golok Maut yang dicuri orang ini, bergerak dan menyambar kepalanya dengan cepet sekali. Ia baru saja keluar dari kepungan murid-murid Khong-tong dan Lu-tong ketika tiba-tiba Majikan Hutan Iblis ini di sini. Ia terang-terangan dihadang! Dan ketika Giam Liong membentak dan tentu saja mengelak, tahu hebatnya golok itu maka ia bergerak dengan langkah Pek-poh-sin-kun ketika lawan mulai menerjang, mengejar.

“Bagus, kau di sini, manusia iblis. Lama aku mencarimu tak pernah ketemu. Sekarang kau datang dan mari kita selesaikan urusan kita... wut-set!” Giam Liong melangkah mengelak dengan muka merah padam, cepat dan mundur serta maju lagi ketika golok menyambar dan mendesing naik turun. Ia marah dan mendelik betapa lawan yang dicari-cari ini mendadak muncul di situ. Tapi ketika lawan tertawa bergelak dan maju dengan gerakan-gerakan lebih cepat, Golok Maut di tangan mendesak dan membuat Giam Liong mundur-mundur maka laki-laki itu mengejek dengan suara riang,

“Kau mau membunuh aku? Kau ingin membalas dendam? Ha-ha, tak mungkin dapat. Anak dan isterimu telah kukirim ke neraka, Giam Liong, dan giliranmu untuk menyusul mereka. Mampuslah!” dan golok yang mendesing menuju leher pemuda ini segera dielak Giam Liong tapi tangan kiri lawan menampar, mencegat jalan pemuda itu dan Giam Liong naik darah. Ia membentak dan membalik menyambut pukulan itu, cepat sekali. Dan ketika suara benturan terdengar menggetarkan maka laki-laki itu terpental sementara Giam Liong terhuyurg setindak.

“Plak!”

Adu tenaga itu menunjukkan bahwa Giam Liong menang setingkat. Lawan terpental tapi maju lagi dengan marah, melengking. Dan ketika golok juga menyambar kembali dan inilah pertemuan pertama dua musuh besar itu, Giam Liong mengelak dan menangkis pukulan lawan maka Ceng Tong Hwesio, juga Ho Heng Tojin berkelebat menonton dan aneh sekali mareka itu menunduk hormat di depan laki-laki berjubah kelelawar ini.

“Tai-cu (Majikan), apa yang harus kami lakukan setelah kau di sini!”

“Hah, mundur saja. Kalian bodoh! Lihat aku membunuh si buntung ini, Ceng Tong Hwesio. Dan kalian jaga agar dia tidak melarikan diri!”

“Keparat!” Giam Liong membentak. “Jadi kau memperalat orang-orang ini, manusia iblis? Kau melepaskan Beng-jong-kwi-kangmu kepada mereka?”

“Ha-ha, pandai. Kau pintar dan mengetahui ilmuku, Giam Liong. Benar sekali. Aku sudah menundukkan orang-orang itu dan hanya tinggal beberapa saja yang belum. Dan aku akan menguasai dunia. Ha-ha, dengan Golok Maut dan Beng-jong-kwi-kang aku akan merobohkan orang-orang terkenal di dunia. Tapi orang seperti kau yang menentang dan memusuhiku harus mampus.... wherrr-singgg-plakkk!” jubah dan golok menyambar hampir berbareng, nyaris menutupi pandangan Giam Liong dan pemuda itu berteriak melempar tubuh.

Sinar berkeredap dari Golok Maut menyambar keningnya, Giam Liong tak berani menangkis karena tahu betapa berbahayanya senjata itu. Golok Maut bukan barang main-main. Dan ketika ia bergulingan dan dikejar lawan, kini permainan golok yang indah dan hebat dikeluarkan laki-laki ini maka Giam Liong terbelalak karena laki-laki itu mainkan Im-kan-to-hoat, meskipun belum sempurna.

“Kau.... kau benar-benar keparat. Di samping mencuri golokku kau juga mencuri Im-kan-to-hoat, manusia iblis. Kau benar-benar binatang tak tahu malu... bret-plakk!” Giam Liong menangkis dan melempar tubuh bergulingan lagi, dikejar dan marah tapi sambaran Golok Maut tak berani disambut. Bajunya robek namun ia selamat, menangkis pukulan lawan dan laki-laki itu berseru kagum.

Betapapun sudah tiga kali si buntung ini mengelak dan menangkis. Golok di tangan Giam Liong tak berani diadu dengan golok di tangan lawan karena jelas akan putus. Maka ketika Giam Liong hanya mempergunakan itu di saat-saat penting saja dan ia bergulingan menjauhkan diri, tak sengaja mendekati Ceng Tong Hwesio yang berdiri di sebelah kiri maka hwesio itu membentak dan menggerakkan toya menusuk.

“Cranggg!”

Toya terbabat golok di tangan Giam Liong. Pemuda ini bergulingan meloncat bangun ketika diserang, menangkis dan senjata di tangan ketua Lu-tong-pai itu putus. Namun ketika Giam Liong hendak membalas sudah dikejar lawannya kembali, Majikan Hutan Iblis itu memaki dan menendang Ceng Tong Hwesio yang mencelat bergulingan maka pemuda ini sudah menghadapi lawannya kembali, mengelak dan maju mundur mengandalkan langkah-langkah saktinya Pek-poh-sin-kun.

“Keparat, tak usah dibantu dulu. Pemuda ini belum roboh atau melarikan diri!”

Giam Liong terbakar. Ia benar-benar melihat betapa ketua Lu-tong dan lain-lainnya itu di bawah pengaruh Majikan Hutan Iblis ini. Beng-jong-kwi-kang, ilmu jahat penembus roh ternyata telah menguasai orang-orang itu. Semangat atau roh dari Ceng Tong maupun Ho Heng Tojin telah dihilangkan ilmu sesat ini. Ho Heng dan lain-lainnya itu akan tunduk kepada Majikan Hutan Iblis, sang penguasa tunggal. Dan ketika ia harus sibuk mengelak sana-sini serangan-serangan lawan terutama sambaran Golok Maut itu maka Giam Liong benar-benar mendidih karena ia diserang oleh ilmu peninggalan ayahnya, Silat Golok Maut.

Silat yang dimainkan laki-laki itu benar-benar hebat meskipun kurang matang. Giam Liong sebagai pewaris Im-kan-to- hoat tentu saja dapat mengelak atau menghindar. Tapi karena tangan kiri laki-laki itu sering mencegat dan bergerak memotong, ia dipaksa untuk berhadapan kembali dengan Golok Maut itu maka tentu saja Giam Liong terdesak dan dua kali ia menangkis dengan goloknya, patah dan golok itu kian pendek saja.

Ho Heng Tojin, dan orang-orang itu menonton bagai arca-arca tak bergerak. Mereka takut dan hormat kepada laki-laki aneh ini, pria bertopeng karet yang memiliki Beng-jong-kwi-kang. Dan ketika Giam Liong terdesak namun masih selalu dapat bertahan, sinkangnya lebih kuat daripada sinkang lawan hingga pertemuan tangan mereka selalu membuat laki-laki itu terpental atau terdorong mundur maka pertandingan menjadi ramai dan laki-laki itu menggeram.

Namun Giam Liong sendiri juga marah sekali. Sekarang ia berhadapan dengan musuh besarnya namun ia di buat tak berdaya. Golok Maut itulah yang membuat Giam Liong tak berani main-main. Ia kenal betul golok itu, golok ciptaan Mo-bin-lo yang amat dahsyat, yang mampu menghirup darah lawan sampai kering. Maka ketika ia mainkan langkah-langkah saktinya Pek-poh-sin-kun dan ilmu silat inilah yang menyelamatkannya dari sambaran golok yang mendesing naik turun, juga menyilang dan menggunting bagai paruh burung buas maka laki-laki itu melotot dan mulailah ia menggosok-gosok tangan kirinya. Uap hitam mulai mengebul.

“Bagus, kau hebat. Tapi lihat para ketua partai dan anak muridnya itu. Kau telah terkepung dan tak mungkin melarikan diri, Giam Liong. Kau akan mati. Ha-ha, kau akan menyusul anak dan isterimu!”

“Tak usah omong kosong!” Giam Liong membentak. “Anakku telah tak ada di tanganmu, jahanam keparat. Sin Gak telah dibawa Sian-eng-jin. Kau telah dikalahkan kakek itu!

Laki-laki ini terkejut. Ia terbelalak dan sejenak menahan serangannya memandang Giam Liong. Naga Pembunuh itu marah besar, kata-katanya keras. Dan ketika ia tertegun tapi menyerang lagi, tertawa bergelak maka ia berseru bahwa tak usah bohong lagi.

“Baik, kuakui saja. Ha-ha, kau benar. Rupanya kau sudah tahu, Giam Liong. Tapi kakek itu tak mungkin membantumu. Ia terikat sumpahnya. Ha-ha, dilanggar atau tidak tapi kau tetap mampus...singgg!”

Golok yang menyambar dari atas ke bawah tiba-tiba disusul gerakan tangan kiri yang sudah berubah hitam, menghantam Giam Liong mencegat jalan lari dan Giam Liong terkejut. Bau busuk tercium keras, hampir ia muntah. Namun karena golok lebih berbahaya dan itu yang harus dihindari, ia membalik dan menghadapi pukulan ini maka Hek-mo-ciang, serangan jahat itu ditangkis.

“Desss!” dan Giam Liong tak dapat menarik tangannya. Secepat kilat lawan sudah mencengkeram dan saat itu keduanya sama-sama tergetar. Giam Liong terkejut karena ini perangkap lawan yarg berbahaya. Dan ketika benar saja laki-laki itu tertawa aneh dan Golok Maut menyambar datang, tak mungkin ia mengelak atau menghindar maka Giam Liong membentak dan apa boleh buat menyambut golok itu dengan golok di tangannya sendiri, kaki menendang dan tepat sekali mengenai lutut lawan. Kesempatan untuk menarik tangan memuta tubuh.

“Crangg-dess!”

Giam Liong melempar tubuh bergulingan. Ia mengeluarkan keringat dingin karena berkat perhitungannya yang tepat ia berhasil membuat sambaran golok meleset. Golok itu terbawa lawan yang terhuyung. Lutut yang ditendang tak membuat Majikan Hutan Iblis itu roboh, meskipun ia menyeringai kesakitan. Dan ketika Giam Liong bergulingan meloncat bangun namun lawan terkekek mengejar, agak terpincang maka Giam Liong kembali hendak dijebak dan diajak bertanding rapat, mundur dan menjauh namun lawan selalu mendesak.

Akibatnya pemuda ini marah sekali dan golok di tangan pun tinggal gagangnya. Golok itu putus disambar Giam-to (Golok Maut). Dan ketika Giam Liong membuang sisa senjata ini dan untuk selanjutnya ia mengelak sana-sini dengan Pek-pok-sin-kunnya maka tiba-tiba berkelebat bayangan dan seruan nyaring. Ho Heng Tojin dan anak muridnya tiba-tiba berpelantingan.

”Giam Liong, jangan takut. Aku datang. Terimalah pedang ini menghadapi lawanmu yang kejam!” Sinar putih kebiruan menyambar dan datang. Ju-taihiap, ketua Hek-yan-pang tiba-tiba muncul. Pendekar itu melontar pedangnya sebelum mendekati Giam Liong. Ia merobohkan orang-orang di depan dengan kaki tangannya. Dan ketika pedang menyambar dan disambut Giam Liong, kebetulan Golok Maut mendesing di atas kepala maka Giam Liong menggerakkan pedang ini menangkis mengerahkan sinkangnya...