Tapak Tangan Hantu Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 12
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
HEK-YAN-PANG gempar. Pembunuhan atas diri Kim-sim Tojin menjalar cepat. Semua anak murid segera tahu dan pucat serta kagetlah mereka melihat isi keranjang hitam itu. Tubuh Kim-sim Tojin telah dipotong-potong sementara kepalanya mendelik di keranjang lain. Jelas kakek itu digorok, keji! Dan ketika beberapa murid wanita pingsan dan roboh tak kuat, pemandangan itu sungguh mengerikan maka Han Han yang tertegun dan pucat melihat ini menggigil dan hampir tak percaya.

Namun benar. Itu adalah kepala Kim-sim Tojin. Potongan kaki dan tangan di sana itu juga milik kakek ini. Ketika disatukan begitu pas dan cocok. Dan karena pakaian pertapa yang dikenakan mayat itu adalah pakaian kakek itu pula, tak pelak Kim-sim Tojin dibunuh maka Han Han mengeluh dan terhuyung menutupi muka.

Isterinya menjerit ketika sadar. Wanita ini histeris dan melolong-lolong. Mimpinya itu menjadi kenyataan. Ada empat buntalan hitam di sudut telaga. Empat keranjang menjadi isi dari tubuh dan kepala gurunya. Dan ketika nyonya itu melengking dan menjerit-jerit, kematian ini sungguh mengguncang sukma maka Tang Siu tiba-tiba berkelebat dan mencabut pedang sambil berteriak-teriak.

“Majikan Hutan Iblis, bedebah kau. Keparat binatang jahanam kau. Keluarlah, bayar jiwa guruku dengan jiwamu. Keluarlah, ini aku Tang Siu!”

Han Han bergerak dan memanggil isterinya. Ia mengejar sementara anak-anak murid melempar tubuh bergulingan. Mereka yang di depan dibabat pedang itu, sang nyonya kalap. Dan ketika Han Han berkelebat dan berjungkir balik di depan isterinya maka pedang menyambar dan Han Han berseru, menangkis, isterinya kesetanan.

“Siu-moi, ini aku. Han Han! Tahan dan jangan ke mana-mana, kembalilah.... siut-plak!” Han Han mengelak dan menampar pedang isterinya, tadi ditusuk dan dibabat dan isterinya seakan tak mengenal orang. Siapapun di depan dianggapnya musuh, begitu gelap jalan pikiran nyonya itu. Tapi ketika Han Han berhasil menangkis dan pedang mencelat, terlepas dari tangan maka wanita itu mengguguk dan Han Han mencengkeram isterinya ini. Mereka tiba di tepi telaga.

“Ingat ,jangan kalap. sadarlah. Ini aku Han Han, moi-moi, bukan lawan. Kembali dan jangan keluar dari markas!”

Nyonya itu menggigit dan mencabik-cabik pakaian Han Han. Han Han mengerahkan sinkang hingga semua gigitan mental, kulit tubuhnya menjadi alot dan keras. Tapi ketika pakaiannya cabik-cabik dan sang isteri demikian kesetanan maka iapun menotok roboh dan apa boleh buat melumpuhkan isterinya ini.

Hari itu Hek-yan-pang berkabung. Kematian Kim-sim Tojin yang demikian mengerikan membuat anak murid ngeri. Mereka marah tapi juga gentar menghadapi Majikan Hutan Iblis itu. Lawan terlampau hebat dan kejam. Dan ketika hari itu juga jenasah Kim-sim Tojin dirawat, kakek itu dimakamkan di tempat makam pendiri Hek-yan-pang maka Kun-lun diberi tahu dan sepuluh hari kemudian tiga tokoh datang.

Han Han tak kuasa bicara dan menceritakan. Isterinya mengguguk dan tersedu-sedu. Tiga orang itu adalah Keng Hwat Taisu dan wakilnya, pimpinan dan tokoh-tokoh Kun-lun. Tapi ketika semua harus diceritakan dan betapapun Han Han harus menguatkan hati, ia muram dan sedih berganti-ganti maka tiga tokoh Kun-lun itu tertegun merangkapkan tangan.

“Siancai, mati hidup di tangan Tuhan. Kim-sim-sute sudah dipanggil Khaliknya, Han-siauwhiap, kami dapat menerima. Tapi pembunuh yang melakukan pembunuhan itu rasanya terlalu kejam. Kami tak dapat berdiam diri dan harus bergerak!”

“Benar, dan pinto akan menangkap orang itu, mengadilinya. Perbuatannya di luar batas dan sungguh di luar perikemanusiaan!”

“Dan pinto akan datang ke Hutan Iblis, di mana tempat itu dan biar kami semua menghajarnya!”

Han Han terbata-bata. Dia segera berkata bahwa Hutan Iblis cukup jauh dari situ, dulu sudah dilakukan pencarian namun orang itu tak ada. Ayahnyapun sekarang sedang pergi dan belum pulang mencari orang ini. Dia tak dapat pergi karena harus menjaga perkumpulannya, isteri dan anak-anak murid di situ harus dilindungi. Dan ketika ketiga tokoh itu mengangguk-angguk dan maklum, berdoa di makam Kim-sim Tojin lalu pergi maka Han Han bingung mengepal tinju. Dia tak dapat pergi kalau ayahnya belum kembali. Apa yang harus dilakukan. Dan ketika dia termenung dan duduk tak bergerak maka isterinya, Tang Siu, pergi dari rumah menyusul tokoh-tokoh Kun- lun itu. Membawa Giok Cheng!

“Celaka, gila! Bagaimana ini!” Han Han terkesiap dan kaget. Seorang anak murid berlari-lari dan murid inilah yang memberi tahu kepergian siauw-hujin (nyonya muda). Tang Siu lewat belakang rumah dan mengejar tokoh-tokoh Kun-lun itu, supek dan susioknya. Dan ketika dia menendang seorang murid tercebur dan berteriak-teriak menyelamatkan diri maka murid inilah yang menghadap Han Han dan melapor. Pakaiannya basah kuyup.

“Hujin..... hujin pergi. Dia.... dia menyusul tiga locianpwe tadi!”

Han Han mencelat dari kursinya. Ia berseru keras dan mengejar, secepat kilat di tepi telaga dan saat itu semua murid berhamburan. Mereka juga mendengar itu. Dan ketika Han Han bergerak dan meninggalkan pulau, pemuda itu meluncur di atas permukaan air seperti tak berbobot maka murid-murid meratap dan berseru, yang di seberang telaga diteriaki agar menahan tuan muda itu.

“Siauwhiap, jangan tinggalkan kami. Jangan biarkan kami dibantai Majikan Hutan Iblis. Kembalilah....toloong!”

Han Han tertegun. Jerit dan tangis itu mengingatkannya. Maka ketika ia berhenti dan membalik di tepi telaga, murid-murid berlarian maka mereka menjatuhkan diri berlutut dengan wajah memelas.

“Siauwhiap silakan bunuh kami saja kalau begitu. Kami lebih baik mati di tangan siauwhiap daripada mati di tangan Majikan Hutan Iblis!”

Pemuda ini menggigil. Tiba-tiba dia dihadapkan pada dua kesulitan berbareng. Isterinya ataukah anak- anak murid ini. Tapi karena isterinya lebih penting dan anak-anak murid diurus belakangan maka Han Han berseru agar mereka pergi dan meninggalkan markas dulu.

“Aku harus mengejar isteriku, kalian tahu itu. Ia membawa Giok Cheng. Sebaiknya kalian pergi juga dan tinggalkan markas dan nanti kembali lagi kalau aku atau ayah datang!”

“Siauwhiap hendak membubarkan Hek-yan-pang?”

“Sementara ini, Lin-cu. Aku tak mungkin memecah diriku menjadi dua untuk sekaligus memperhatikan kalian dan isteriku. Tinggalkanlah Hek-yan-pang, kalian pergi dulu ke tempat saudara- saudara kalian dan nanti kembali setelah aku atau ayah tiba!”

Jerit tangis menghambur lagi. Mereka mengguguk dan sakit mendengar ini. Hek-yan-pang adalah kampung halaman mereka, bahkan juga tumpah darah mereka. Tapi karena keadaan demikian gawat dan ditinggal pemuda ini amatlah berbahaya untuk sendirian saja, merekapun patuh meskipun dengan berat hati maka Han Han meninggalkan mereka berkelebat pergi.

Anak-anak murid meraung namun perintah Han Han adalah benar. Betapapun tak mungkin pemuda itu memecah dirinya menjadi dua. Tak mungkin pemuda itu menyelamatkan isterinya sementara di tempat ini mereka juga butuh pertolongan. Maka begitu pemuda itu meninggalkan mereka dan satu per satu anak-anak murid memanggul buntalan, Hek-yan-pang bubar untuk sementara maka Han Han sendiri sudah terbang menyusul isterinya.

Perbuatan isterinya itu membuat Han Han marah dan khawatir. Siapa tidak khawatir kalau isteri dan anaknya melabrak musuh seperti Majikan Hutan Iblis itu, biarpun di sana ada Keng Hwat Taisu dan wakil- wakilnya. Maka ketika Han Han bergerak dan mengerahkan ilmu lari cepatnya, terbang seperti angin maka di sana tokoh-tokoh Kun-lun ini gigit jari. Majikan Hutan Iblis tak ada!

* * * * * * * *

“Bakar saja hutan ini!” Tang Siu berseru kepada susiok dan supeknya. “Hancurkan hutan ini, supek. Bumi hanguskan agar tak menjadi sarangnya!”

Tiga tokoh itu tertegun. Mereka sudah tiba di tempat ini lebih cepat setelah adanya Tang Siu. Mereka disusul dan mula-mula terkejut. Tapi ketika Tang Siu berbohong bahwa kedatangannya disetujui Han Han, suaminya itu menjaga Hek-yan-pang maka ketua dan wakil ketua Kun-lun ini menarik napas dalam. Pikiran sendiri sedang kusut atas kematian Kim-sim Tojin itu.

“Baiklah, kalau kau mendapat perkenan suamimu tentu saja pinto bertiga tak keberatan, Tang Siu. Hanya jangan gegabah membakar hutan karena bisa mencelakai yang lain.”

“Benar, dusun di sekitar sini bisa kena. Kebakaran bisa merembet jauh!”

“Ah, mereka sudah pergi mengungsi. Pohon besar di tengah hutan itu membawa pengaruh terkutuk, supek. Ada semacam kekuatan hitam di situ. Bakar saja hutan ini dan jangan khawatir pada penduduk. Mereka tak ada lagi yang berani tinggal di sekitar sini!”

Nyonya itu sudah bergerak dan membakar hutan. Tanpa menanti persetujuan susiok atau supeknya lagi dia sudah melempar api ke dalam hutan. Bunyi berkeratak disusul menjalarnya api dengan cepat. Naga merah tiba-tiba membubung! Dan ketika hutan terbakar dengan cepat dan Keng Hwat Taisu bersama dua sutenya terkejut, kemarahan di mata wanita itu tak dapat dibendung lagi maka tokoh Kun-lun ini merangkapkan tangannya.

“Siancai, perang telah dimulai. Tapi perbuatanmu sembrono, Tang Siu. Tak boleh tempat lain terjadi kebakaran pula. Sute, jaga di empat penjuru agar api hanya menghabiskan tempat ini!”

Dua tosu bergerak. Mereka sudah tak dapat mencegah perbuatan Tang Siu karena api sudah berkobar cepat. Kayu-kayu kering dilalap jago merah dan karena di tempat itu juga terdapat tulang-belulang manusia, hal inilah yang membuat kemarahan di hati tokoh-tokoh Kun-lun berkobar maka mereka mendiamkan saja perbuatan Tang Siu namun menjaga agar supaya Hutan Iblis itu saja yang dilanda api merah.

Tang Siu tegak berapi-api. Gemuruh dan berkerataknya hutan itu seperti gemuruh dan berkerataknya hatinya sendiri. Pohon demi pohon disambar jago merah, sebentar kemudian api menjilat-jilat ke langit. Dahsyat! Kalau tokoh-tokoh Kun-lun itu tak menjaga baik-baik tentu dusun dan tempat-tempat sekitarnya dilalap jago merah ini. Tempat yang sudah kosong itu memang ditinggalkan penghuninya namun betapapun juga kebakaran bisa melanda ke kota.

Hutan Iblis adalah hutan yang cukup besar dan cukup ganas kalau dimakan jago merah. Api menjilat-jilat dan dalam jarak puluhan kilo bisa dilihat. Betapa hebatnya. Dan ketika terdengar suara berkerasak dan berdebum, pohon raksasa di tengah hutan itu roboh maka terdengar jerit atau semacam lengking aneh menyayat hati.

“Aiiiikkk!”

Tokoh dan wakil Kun-lun itu meremang. Suara yang mereka dengar seperti suara hantu tercekik, atau anjing yang melolong lalu tiba-tiba menguik, mati. Mungkin dimartil orang! Dan ketika gedebuk robohnya pohon raksasa itu terasa sampai di luar hutan, getaran suaranya membuat tiga orang itu terpental maka Tang Siu sendiri terlempar dan terguling-guling roboh. Bumi seakan dihantam palu godam seberat ribuan ton!

“Buuummmmm !”

Suara itu benar-benar mengerikan. Orang yang tak kuat akan segera kuncup nyalinya, pingsan. Keng Hwat dan sutenya juga tergetar namun karena mereka orang-orang kang-ouw berkepandaian maka suara itu hanya mengejutkan saja. Mereka bergerak dan berpindah-pindah tempat, menjaga api. Dan ketika kebetulan Han Han datang dan tak melihat orang-orang ini, pemuda itu melihat besarnya api yang berkobar-kobar maka Han Han mengeluh dan mengira isterinya Keng Hwat Taisu pergi.

Han Han yakin bahwa isterinya dan tokoh-tokoh Kun-lun itulah yang membakar Hutan Iblis. Dia ngeri melihat api yang menjilat-jilat ke angkasa. Dan karena seluruh tempat itu penuh dengan api dan Han Han tak dapat melihat empat orang ini, mengira mereka pergi maka Han Hanpun bergerak dan meninggalkan Hutan Iblis. Pemuda ini bingung dan kecewa serta khawatir. Dia tak tahu lagi ke mana isterinya dan tokoh-tokoh Kun-lun itu pergi.

Dan karena ia harus mencari mereka terutama isterinya ini, dia tak mungkin lagi pulang maka Han Han berkelebat dan mencari sekenanya. Ia tak tahu bahwa Keng Hwat Taisu dan sutenya masih di situ, begitu juga isterinya. Dan ketika tiga hari kemudian api berhasil dikuasai, kebakaran tak mungkin menjalar ke tempat lain maka Hutan Iblis sudah menjadi tempat yang menyeramkan karena di segala penjuru hanya tinggal debu dan arang melulu, hitam. Hangus!

Keng Hwat Taisu menarik napas dalam-dalam. Wilayah dua ratus hektar telah menjadi hitam legam. Di sana-sini masih ada bara dan bunyi-bunyi berkeratak, namun kecil dan tak berarti. Dan ketika dua sutenya juga termenung dan menarik napas panjang, mereka tepekur melihat perbuatan nyonya muda itu maka ketua Kun-lun ini berkata bahwa sebaiknya mereka pulang dulu ke Kun-lun. Di sana anak murid menanti dan kepergian mereka juga dalam rangka menerima berita dariHek-yan-pang.

“Kita agaknya harus pulang dulu. Di sana kita atur siapa yang harus memimpin partai kalau pinto atau jiwi-sute sama-sama mencari manusia ini.”

“Benar, dan pinto rasa baik, suheng. Kita memang harus kembali karena kepergian kita hanya untuk memenuhi berita Hek-yan-pang.”

“Dan selanjutnya kita cari manusia iblis itu. Rasanya dengan bertiga kita dapat membekuknya!”

Sang ketua atau Keng Hwat Taisu mengangguk. Dia segera memberi tanda tapi melihat Tang Siu tiba- tiba tosu ini mengerutkan alisnya. Apakah nyonya ini tidak pulang. Maka membalik dan menghadapi nyonya itu tosu ini bertanya, “Kau... bagaimana, Tang Siu? Apakah ikut ke Kun-lun?”

“Teecu akan ikut supek. Ke manapun manusia iblis itu pergi teecu ingin bergabung dengan supek!”

“Kalau begitu marilah, tapi maaf kami tak dapat momong anakmu yang kecil itu.”

“Tak apa, supek. Aku dapat merawat anakku Giok Cheng. Mari kita pergi dan puas rasanya tempat ini dapat kubakar!”

Sang tosu menarik napas dalam. Kebencian dan kemarahan nyonya itu tak ditanggapi. Sebenarnya tak suka tosu ini akan dendam-mendendam. Maka berkelebat dan meninggalkan tempat itu akhirnya ketua Kun-lun ini mengajak semuanya berangkat. Hutan Iblis telah mereka bumi hanguskan dan tempat itu tak mungkin digunakan orang waras. Pohon raksasa di tengah hutan itupun sudah tumbang.

Dan ketika mereka pergi dan Tang Siu mengikuti susiok dan supeknya ini, dia begitu sakit hati akan kekejaman laki-laki itu maka di tengah jalan mereka tak mendengar apa-apa sampai ketika akhirnya berada di kaki gunung empat orang itu terkejut karena rintih dan ratap kesakitan terdengar di sana-sini. Puncak Kun-lun yang hijau segar berobah hitam dan berasap!

“Apa itu, apa yang terjadi!”

Ketua dan wakil ketua tersentak. Dua rintihan di kanan kiri didatangi. Keng Hwat dan sutenya berkelebat. Dan ketika mereka melihat empat anak murid terluka, dua di antaranya tewas dan mandi darah maka tosu ini terkejut dan kaget sekali.

“Suhu !”

“Susiok!”

Ketua dan wakil ketua tergetar. Keng Jin, adik seperguruan Keng Hwat Taisu pucat. Tosu itu bergerak dan sudah menyambar murid ini. Dan ketika murid itu mengaduh dan menangis pedih, sesenggukan maka tosu itu membentak bertanya apa yang terjadi. Kenapa murid itu luka-luka, cengeng.

“Apa yang terjadi. Kenapa kalian ada di sini!”

“Kami... kami bertempur!”

“Keparat, bertempur dengan saudara sendiri? Saling bunuh?”

“Bukan... bukan!Kami bertempur dan saling bunuh dengan orang jahat, susiok. Majikan Hutan Iblis datang ke mari dengan puluhan orang-orang sesat. Kami di gempur. Puncak dan markas dibakar!”

“Apa?”

“Benar, susiok, dan banyak saudara-saudara kami yang tewas. Orang-orang gila itu dan srigala-srigala kelaparan menyerang. Katanya membalas perbuatan susiok dan suhu yang membakar Hutan Iblis!”

Keng Jin Taisu mendelik. Tiba-tiba tosu ini melengking dan berkelebat ke atas. Dia melepaskan murid itu dan membentak keras. Dan ketika tubuhnya terbang kepuncak sementara Keng Hwat Taisu tertegun dan berobah, berita itu sungguh mengejutkan maka sutenya yang lain, Cin Tong Cinjin diminta menolong anak murid itu dan dia sendiri berkelebat dan menyusul sutenya.

Tang Siu juga bergerak dan melengking marah. Dan ternyata apa yang dilihat di atas sungguh mengerikan. Markas Kun-lun, yang berada di puncak dan selama bertahun-tahun ini aman dan tenteram sekarang sudah berobah hebat. Tembok dan rumah-rumah hancur. Puing-puing berserakan sementara mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, tak kurang dari seratus orang. Dan ketika Keng Hwat terbelalak dan tertegun di situ, melotot maka di pintu gerbang bangunan terlihat kepala diikat dan bergelantungan kena penggal.

“Sute!” Teriakan atau jerit kakek ini mirip keluhan tercekik. Tenggorokan kakek itu memang tak dapat mengeluarkan suara karena begitu kagetnya melihat tujuh kepala itu. Itu adalah tujuh adik seperguruannya yang selama ini menjaga partai. Kepandaian mereka setingkat di bawah Kim-sim Tojin tapi kalau mereka bergabung dia sendiri bukan lawan! Maka ketika kakek ini berteriak dan pucat, Keng Jin berkelebat dan berseru melihat itu maka dua orang ini bergerak dan tahu-tahu tali gantungan itu putus dibabat jari mereka.

Tang Siu terkesiap dan ngeri. Ia pun melihat ini dan itulah susiok-susioknya yang lain. Tokoh-tokoh andalan Kun-lun dibawa ketua dan wakil ketua. Maka begitu sang ketua mengeluh dan tujuh kepala itu diterima berdua, Keng Jin dan suhengnya menurunkan kepala-kepala itu maka dua orang ini sesenggukan dan untuk sejenak tokoh dan wakil tokoh itu tak mampu menguasai diri. Dan saat itu berdatanganlah tubuh-tubuh sempoyongan dengan kaki limbung. Mereka ini adalah murid-murid Kun-lun yang masih hidup, para tosu muda yang pada saat peristiwa melarikan diri.

Dan ketika mereka juga mengeluh dan menangis menjatuhkan diri berlutut, berada di belakang ketua dan wakil ketua itu maka Keng Hwat Taisu tiba-tiba sadar dan menghentikan tangisnya. Sutenya juga bergerak dan menoleh. Para murid Kun-lun itu begitu ketakutan, wajah mereka membayangkan kengerian dahsyat. Dan ketika dua pimpinan ini meloncat bangun dan membentak para murid, disuruh diam maka seorang di antaranya maju dan berderai air mata, melapor.

“Suhu, susiok... kami didatangi puluhan orang jahat. Mereka.... mereka dipimpin Majikan Hutan Iblis. Mereka... mereka datang bersama ratusan srigala yang buas. Kami... kami tak dapat melawan dan lari turun gunung!”

Keng Jin Taisu melototkan mata. Dia hampir tak dapat menguasai diri mendengar itu, tapi sang suheng yang bergerak dan menangkap lengannya tiba-tiba batuk-batuk dan bertanya menggigil,

“Cit Hok, kapan peristiwa ini terjadi? Kapan musuh-musuh kalian itu datang?”

“Tiga hari yang lalu, suhu, malam-malam. ”

“Dan kalian semua sudah melakukan perlawanan sekuat tenaga?”

“Ampun, lebih dari sebisanya, suhu. Tapi tapi iblis itu benar-benar lihai. Ia memiliki Golok Maut dan membunuh-bunuhi kami seperti orang membabat agar-agar!”

Keng Hwat Taisu memejamkan mata. Dia sudah mendengar bahwa golok setan itu sudah di tangan Majikan Hutan Iblis. Golok itu adalah milik Giam Liong tapi dicuri. Kini orang itu datang dan membalas perbuatannya. Hutan yang dibakar ditebus dengan nyawa dan tujuh tokoh Kun-lun. Tembok hancur berantakan dan puing-puing menghitam arang. Pembalasan itu lebih keji, berikut bunga! Namun ketika tosu ini mematung dan memandang anak murid itu dengan mata bercahaya, kilatan api memancar di mata ketua Kun-lun ini maka Cin Tong, sutenya kedua muncul.

Sama seperti suhengnya tosu ini mengeluarkan suara seperti tercekik. Mayat dan tubuh malang-melintang itu mengagetkannya. Dan ketika ia melihat tujuh kepala berjajar di tanah, kepala dari tujuh sutenya maka tosu ini membentak dan berkelebat maju.

“Siapa yang melakukan ini. Siapa yang membunuh Kun-lun Jit-hiap (Tujuh Pendekar Kun-lun)!”

Keng Hwat Taisu batuk-batuk. Amis dan bau darah mengental di situ. Udara gunung seakan berobah menjadi udara setan, amis dan memuakkan. Dan ketika ia menggigil dan menuding Cit Hok, murid itu maka murid ini menangis disusul isak dan sedu-sedan yang lain.

“Iblis itu.... pembunuh Kim-sim-sute.... ia.... ia datang kemari !”

Cin Tong Cinjin memekik. Ia gusar dan marah sudah mengira itu tapi tak urung darahnya mendidih juga. Di bawah gunung ia mendapat cerita sekilas. Murid yang ditolong ternyata pingsan, yang lain akhirnya tewas. Dan ketika di sepanjang jalan ia mendengar rintihan dan ratap memilukan, ternyata di mana-mana anak murid Kun-lun bergelimpangan maka tosu ini melesat ke atas dan di puncak gunung iapun bahkan melihat pemandangan lebih mengerikan, tujuh sutenya yang tinggal kepala buntung itu!

Tosu ini mendesis. Ia mengepal tinju dan jari-jaripun berkerotokan. Tangannya tiba-tiba bergerak ke belakang dan robohlah sebatang pohon besar menimpa reruntuhan puing. Suaranya berdebum mengejutkan murid-rnurid yang lain. Hampir saja tosu muda bernama Cit Hok itu tertimpa. Namun ketika Keng Hwat Taisu bergerak dan mencengkeram lengan sutenya ini, Keng Jin juga bergerak dan mencengkeram pundak yang lain maka ketua Kun-lun itu berkata dengan suara gemetar,

“Sute, tak ada gunanya marah-marah di sini. Musuh sudah pergi. Sebaiknya kita urus mayat di sini dan setelah itu mencari iblis keji ini!”

“Benar.” Keng Jin juga berseru. “Tak ada gunanya marah di sini, sute. Sebaiknya kita urus jenasah-jenasah ini dan atur anak murid kita!”

Sang tosu mengguguk. Ia tak kuat menahan perasaannya namun Keng Hwat Taisu menepuk sutenya. Sejenak saja tosu itu menangis lalu diam, sepasang matanya merah seperti api. Dan ketika dia melepaskan diri dan mendahului menyambar tujuh kepala itu, berturut-turut memasukkannya ke dalam lubang yang sudah dibuat maka Keng Jin dan suhengnya juga bergerak dan begitu pimpinan dan wakil pimpinan itu bekerja bergeraklah semua murid membantu ketuanya.

Di sini mereka diminta bercerita dan Keng Hwat Taisu menggigil menahan marah. Cerita yang didengar sungguh membakar. Namun karena Majikan Hutan Iblis kini juga membawa orang-orang sesat untuk menyerbu Kun-lun maka yang terjadi adalah kengerian dan rasa was-was yang besar!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti sejenak apa yang terjadi di Kun-lun ini. Dua hari yang lalu, malam-malam, datanglah segerombolan orang mendatangi markas besar partai ternama ini. Waktu itu tokoh-tokoh utamanya sedang pergi, yang memimpin adalah Kun-lun Jit-hiap atau Tujuh Pendekar Kun-lun itu. Dan ketika para murid yang menjaga gunung melihat puluhan obor bergerak-gerak, naik dan terus ke atas gunung maka mereka melapor dan sebagian ada yang turun, mencegat.

Puluhan obor membuat para murid curiga. Tak biasanya gunung tempat mereka tinggal didatangi orang, apalagi malam-malam. Dan karena mereka mengira penduduk dusun, begitu mula-mula mereka menyangka maka datangnya gerombolan orang-orang sesat ini dicegat belasan murid yang berkelebat turun gunung.

Orang-orang itu tak ada yang bicara dan hanya gerakan obor mereka yang memberi tahu. Selebihnya diam. Maka ketika belasan murid berkelebat turun dan langsung menghadang, serentak obor-obor itu berhenti maka seorang murid Kun-lun bertanya, suaranya nyaring, berwibawa,

”Maaf, saudara-saudara dari manakah ini yang malam-malam datang ke tempat kami. Ada keperluan apa, berhenti dan mohon jawaban dulu!”

Namun yang didapat adalah dengus pendek. Seorang lelaki kekar, dengan kumis hitam tebal tiba-tiba mencabut golok. Tanpa ba-bi-bu lagi dia maju dan bergerak ke depan, golok diayun membacok anak murid Kun-lun itu. Dan ketika murid itu terkejut dan tentu saja mengelak, dikejar dan dibabat lagi akhirnya iapun mencabut pedang dan sekali tangkis golok dan pedang memuncratkan bunga api.

“Crangg!”

Suara ini bagaikan aba-aba bagi gerombolan itu. Yang ada di depan tiba tiba bergerak, meloncat dan menerjang maju. Dan ketika delapan golok membacok dan menusuk anak murid Kun-lun itu, murid yang lain tentu saja marah dan berteriak maka mereka membantu suheng mereka itu namun semua pembawa obor tiba-tiba bergerak dan menyerang!

“Cring-crang-brett!”

Jerit dan pekik kesakitan segera terdengar. Belasan murid Kun-lun yang tiba-tiba harus berhadapan dengan tujuh puluhan orang mendadak terlempar dan terjengkang. Lawan yang mereka hadapi ternyata bukan orang-orang biasa karena masing-masing bertenaga kuat sekali. Si kumis lebat, yang akhirnya ditangkis dan menambah tenaganya sudah membuat terpental pedang di tangan si tosu. Tosu itu menjerit dan terhuyung. Dan karena saat itu yang lain bergerak dan menusuk maju maka tosu ini menjadi korban dan dialah orang pertama yang robek perutnya.

“Augh!” Jerit dan pekik itu disusul oleh jerit dan pekik-pekik yang lain. Bagai hewan-hewan buas tujuh puluhan orang itu melabrak maju. Oborpun ada yang dipakai senjata, tak ampun membakar lawan dan yang kena wajahnya berteriak-teriak. Ini disusul oleh sulutan ke tubuh yang lain, membakar dan mengenai baju atau pakaian para tosu yang roboh.

Dan ketika mereka itu dijilat api dan bergulingan melolong-lolong, obor yang satu disabetkan dan menghajar tubuh yang lain maka para tosu dari Kun-lun ini menjadi manusia obor yang tak dapat menyelamatkan diri lagi. Tawa dan kekeh pendek-pendek terdengar dari mulut orang-orang itu. Para pembawa obor ini mengejar dan menjilat-jilatkan api obornya ke tubuh lawan.

Dan karena jumlah mereka demikian banyak sehingga para tosu dikeroyok tujuh atau delapan orang, merekapun juga tak menyangka bahwa lawan yang datang adalah orang-orang buas bukannya penduduk dusun maka belasan tosu itu menggelepar dan mereka yang roboh dipukul kepalanya lalu terbakar dan ditambus hidup-hidup.

“Tolong.... toloong !” Jerit dan pekik itu menggugah kesunyian malam. Sebenarnya Kun-lun dalam keadaan hening setelah itu. Waktu malam digunakan untuk beristirahat atau bermuja semedi. Tapi begitu teriakan dan jerit lolong itu menggugah yang lain, para pembawa obor bersorak menyiksa lawan tiba-tiba terdengar geraman bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan. Geram seperti srigala lapar.

“Jangan berhenti di sini. Naik dan terus ke atas!”

Orang-orang itu tiba-tiba diam. Mereka terkejut dan cepat membentuk barisan lagi, merapikan diri dan naik lagi keatas dengan cepat. Tubuh belasan murid yang terbakar itu tak dihiraukan lagi. Mereka diam saja ketika dua di antara itu bergulingan berteriak-teriak, menggelinding dan masuk jurang. Dan ketika dua bola api meluncur dan lenyap diiringi teriakan panjang, itulah tubuh api dua murid Kun-lun maka para pembawa obor ini bergerak dan mendaki jalanan berbatu dengan langkah ringan dan cepat.

Mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan karena dari gerak dan langkah kaki itu terlihat sebagai orang-orang terlatih. Begitupun sikap dan gerak diam itu, bagaikan sepasukan perang yang sudah terlatih baik. Maju dan siap gempur! Namun karena teriakan dan lolong murid-murid Kun-lun didengar di atas, yang lari melapor pun sudah masuk buru-buru maka Kun-lun Jit-hiap yang tertegun mendengar itu sudah meloncat bangun dan meninggalkan samadhi mereka.

Sama sekali tak disangka bahwa yang datang adalah gerombolan iblis. Pelapor belum tahu apakah itu kawan atau lawan. Maka ketika tujuh pendekar itu bergerak keluar dari kamar masing-masing, para murid disiapkan dan mencabut senjata masing-masing maka di saat itulah terdengar lolong dan raung srigala.

Suaranya begitu menyeramkan dan menggetarkan puncak, apalagi ketika di empat penjuru juga terdengar lolong atau raung itu. Dan ketika suara itu berbareng dikeluarkan oleh puluhan atau bahkan ratusan srigala maka puncak Kun-lun tergetar hebat dan genting-genting berjatuhan tak kuat menahan getar suara ini. Dahsyat mengerikan, apalagi di malam seperti itu!

“Awas, berjaga-jaga. Siapkan senjata dan turun!”

Namun para pembawa obor muncul di tikungan. Mereka itu sudah bergerak cepat dan satu dua murid yang menghadang di jalanan menjadi korban kekejaman mereka. Sekali tusuk atau sabet tubuh-tubuh bergelimpangan. Gerak mereka itu begitu cepat dan mengejutkan, seperti Iblis. Dan ketika mereka itu muncul di tikungan dan Yang Tek Cinjin, orang termuda duri Kun-lun Jit-hiap terkejut membelalakkan mata maka mereka itu, puluhan orang itu sudah berdiri di depannya berjajar. Diam dan tak bergerak bagai patung-patung batu!

“Siapa kalian!”

Bentakan itu tak disambut suara apapun. Mereka ini, orang-orang ini diam membisu tanpa jawab. Tapi ketika tosu itu berkelebat maju dan murid-murid juga berdatangan maka mereka memecah diri dan tahu-tahu, mengepung dalam barisan.

“Keparat!” tosu itu marah dan gusar. “Kalian siluman-siluman dari mana, tikus-tikus busuk. Apa yang kalian kehendaki dan siapa pemimpin kalian!”

“Mereka membunuh murid-murid di bawah!” seorang berlari dan melapor. “Mereka membantai Sam-siok suheng dan kawan-kawan, susiok. Mereka keji dan tak berperasaan!”

”Apa?”

“Benar, Sam-siok suheng dan kawan-kawan terbunuh. Mereka dibakar!”

Yang Tek Cinjin terkejut. Saat itu raung dan lolong srigala makin menghebat. Para murid yang ada di situ berteriak, ada ratusan mata api di tempat itu. Dan ketika pantulan cahaya warna-warni ini disusul gereng dan lolong menggetarkan mendadak bola-bola api itu meloncat dan terdengar aba-aba bernada dingin.

“Serbu...!”

Puluhan pembawa obor bergerak. Serentak dengan mereka ini meloncatlah ratusan srigala dari semak- semak belukar. Mereka itu tahu-tahu di situ dan bola-bola mata mereka inilah yang terlihat para anak murid Kun-lun-pai. Bola-bola itu tak berkedip dan sejenak para murid mengira mata harimau. Tapi begitu mereka itu berhamburan dan rupanya menunggu komando, begitu pula para pembawa obor ini maka semua terkejut diterkam dan di gigit srigala.

“Keparat!” Yang Tek Cinjin bergerak dan marah sekali. Tosu ini sudah akan menyerang para pembawa obor itu ketika dari kiri kanan berhamburan binatang-binatang buas itu. Satu di antaranya yang berwarna hitam meloncat, tinggi dan tahu-tahu keempat kaki berkuku tajam mencakar. Sekali kena tentu robek. Tapi ketika tosu ini berkelit dan pedang di tangannya membabat, tepat mengenai kaki depan binatang itu maka sang tosu terkejut karena binatang itu kebal.

“Tak!” pedangnya mental. Si anjing meraung dan terpelanting, tidak apa-apa dan kini menerjang lagi bagai gila. Tosu ini membabat dan lagi-lagi mental. Dan ketika para pembawa obor bergerak dan menyerangnya pula, srigala hitam itu menggonggong dan menggigitnya maka celana belakang tosu ini sobek.

“Brett!”

Si tosu mencak-mencak. Bokongnya kelihatan dan tertawalah para anak murid melihat susiok mereka itu. Betapapun hal ini menggelikan. Tapi ketika para pembawa obor tak ada yang tertawa dan tosu itu membentak anak murid maka mereka ganti berteriak sendiri karena di gigit dan diterjang srigala-srigala itu. Jumlahnya tak kurang dari empat ratus ekor.

“Aduh, mati aku..... bret-brett!” para murid bergulingan diterkam sekian banyaknya srigala. Mereka sekarang tak dapat mentertawai susiok mereka itu karena masing-masing menghadapi lawan berbahaya.

Para pembawa obor, yang sudah bergerak dan mencabut senjata mereka tak kalah ganas dengan anjing-anjing liar ini. Merekapun tiada ubahnya orang-orang kesetanan yang haus darah. Yang Tek Cinjin dikeroyok namun saat itu muncul enam bayangan lain, enan dari Kun-lun Jit-hiap. Dan ketika mereka itu berseru keras dan menyerang gerombolan ini maka Yang Tek Cinjin bergulingan karena yang paling berbahaya ternyata adalah srigala hitam kebal senjata itu.

“Dia... dia srigala siluman. Awas, hati-hati dan bunuh dia!”

Namun enam dari Kun-lun tak sempat memperhatikan. Mereka itu baru saja menolong sute dan murid-murid mereka ketika tiba-tiba saja dari kiri kanan berlompatan srigala-srigala lain. Ada merah dan coklat serta kuning, juga putih dan abu-abu yang semuanya ganas dan menerkam orang ini bagai hewan- hewan tak takut mati. Dan ketika enam orang itu menggerakkan pedang namun mental bertemu kulit yang atos, hewan-hewan itu kebal maka terdengar lolong dan suitan panjang.

“Bunuh, gigit mereka!”

Para srigala ini meraung. Mereka seakan menjadi lebih buas lagi ketika melompat dan menggigit. Taring-taring putih panjang menerkam enam orang tosu itu. Dan ketika mereka mengelak dan membacok lagi, mental, maka anjing-anjing itu membalik dan para murid yang berada di dekat mereka diterkam dan digigit. Dan begitu terdengar teriakan dan jerit kesakitan maka para pembawa obor juga menyeringai dan menerjang dengan gigi mereka pula, menerkam dan menggigit.

“Iblis! Mereka ini iblis! Awas, kita kedatangan orang-orang yang kemasukan ilmu hitam!” Pek Kiat Tojin, orang tertua dari Kun-lun Jit-hiap berseru keras. Ia terkejut dan kaget bukan main karena para pembawa obor itu berubah seperti anjing-anjing liar pula. Golok masih tetap di tangan tapi gigi mereka itulah yang kini menjadi penggantinya. Siapa yang diterkam langsung digigit dan disentak. Setiap sentakan tentu membawa daging atau darah segar. Dan ketika para murid menjadi gempar sementara lolong dan raung semakin dahsyat maka malam menggetarkan di puncak Kun-lun itu tak bakal dilupakan seumur hidup.

Pek Kiat Tojin, orang tertua yang menghadapi srigala abu-abu terkejut dan kaget sekali. Tujuh kali ia membacok namun tujuh kali pula pedangnya mental. Yang terakhir malah membalik dan nyaris membabat hidungnya sendiri. Dan ketika dia terbelalak sementara murid-murid berteriak dan menjerit, mereka bingung dan gugup oleh banyaknya hewan-hewan buas itu maka mereka yang roboh segera dikerubut dan dada serta isi perut berhamburan. Dilalap!

“Ganas! Semua masuk ke dalam! Menyingkir!!” sang tosu berseru dan pucat serta kaget sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa lawan yang datang adalah demikian mengerikan. Para pembawa obor itu juga menggigit dan melakukan yang sama seperti apa yang dilakukan srigala-srigala itu. Mereka merobek dan mengunyah isi perut. Jantung dan usus di makan begitu saja, mentah-mentah. Seperti iblis!

Dan ketika para anak murid muntah-muntah dan Yang Tek Cinjin terdesak oleh srigala hitam, juga tiga di antara pembawa obor maka semua murid berhamburan dan masuk ke dalam. Pek Kiat Tojin melindungi mereka dengan memutar pedang secepat kitiran, begitu juga saudara-saudaranya yang lain. Namun Yang Tek Cinjin menjadi korban. Orang termuda dari Kun-lun Jit-hiap ini penasaran. Dia membacok srigala hitam itu sampai belasan kali. Dan karena dia juga marah terhadap tiga pembawa obor itu, kemarahannya ditimpakan kepada mereka ini maka melengking berjungkir balik tosu itu menyerang dari atas.

“Bles-bles-bless!”

Pedang si tosu mengenai ubun-ubun. Dia melakukan jurus paling ampuh dari ilmu silatnya Kun-lun Kiam-hoat, yakni jurus Kecapung Menyambar Bulan. Jurus ini harus dilakukan dengan meloncat ke atas dan ketika meluncur turun pedangpun menukik ke bawah. Tiga orang itu kehilangan lawan dan tak tahu lawan sudah di atas. Kejadian berlangsung hanya sekian detik saja. Maka ketika tosu itu meluncur turun dan ujung pedang menikam ubun-ubun, tiga orang itu roboh dengan keluhan tertahan maka tosu itu menginjak tanah kembali namun srigala hitam menubruk dan menggigitnya dari belakang.

“Brett!” Bokong si tosu menjadi sasaran. Bokong ini sudah berlubang dan tentu saja Yang Tek Canjin terkejut. Dia membalik dan menendang. Tapi ketika sebutir batu hitam meluncur menghantam belakang lututnya, seketika kaki yang diangkat naik tak dapat ditarik lagi maka srigala itu menerkam selangkangannya dan bagian paling rahasia dari tosu ini menjadi korban.

“Augh!”

Sepotong benda terlepas dan tubuh tosu itu. Orang akan ngeri melihat betapa darah memuncrat dari bagian ini, disusul oleh robohnya tosu itu dan menubruknya para srigala yang lain. Rupanya srigala hitam memperoleh kemenangan, dia mengigit dan melolong menelan benda itu, berdiri dengan kaki depan terangkat dan kawan-kawannya menggonggong, riuh, membalik dan menubruk tosu itu dan selanjutnya potongan daging berhamburan ke mana-mana. Yang Tek Cinjin tiba-tiba tewas secara mengerikan. Perutnya terburai dan dada pun berlubang, isinya sudah dicabut dan para srigala itu beramai-ramai menggigit bagian tubuh tosu ini.

Sang tosu binasa secara menyedihkan. Dan ketika semua mata melotot dan hampir saja Hek CiangTojin menolong sutenya, Pek Kiat Tojin membentak dan menyambar lengan saudaranya ini maka apa boleh buat semua orang membiarkan Yang Tek Cinjin menjadi korban.

”Masuk ke dalam, masuk! Jangan di luar dan berkumpul di dalam!”

“Tapi.... tapi jit-sute (adik ketujuh)”

“Tak dapat kita selamatkan lagi. Masuk ke dalam, sute. Bahaya terlalu besar dan jangan hiraukan yang lain!”

Tosu ini mengguguk. Ia menutupi mukanya dan dibawa meloncat dan segera mereka menutup pintu gedung rapat-rapat. Di empat penjuru para murid juga menutup pintu yang lain. Tapi ketika tiba-tiba terdengar tawa aneh dan seseorang berada di tiang belandar, berdiri dengan muka tertutup kedok karet maka Pek Kiat Tojin dan lain-lain terkejut, apalagi ketika dengan beraninya orang itu melayang turun dan jubahnya yang hitam berkibar bagai sayap kelelawar.

“Kun-lun Jit-hiap, kalian semua harus mati. Buka pintu dan biarkan anak-anakku mendapatkan makanannya!”

Semua tosu terkejut. Di luar terdengar suara gaduh ketika srigala menggonggong dan menyalak-nyalak. Para pembawa obor menggedor-gedor dan menendangi semua pintu. Nanum karena pintu itu terbuat dari kayu tebal dan engselnyapun amat kokoh kuat, terbuat dari baja pilihan maka ketika semua ribut-ribut membuka pintu justeru kehadiran orang aneh di dalam ruangan ini mengejutkan mereka. Kapan iblis ini datang!

“Siapa kau!” Hek Ciang Tojin membentak dan melompat maju, pedang bergetar dan siap menusuk. Tapi ketika laki-laki itu tertawa dan Pek Kiat Tojin terkesiap teringat sesuatu tiba-tiba orang tertua dari Kun-lun Jit-hiap ini berseru. “Kau Majikan Hutan Iblis!”

“Heh-heh, benar,” Semua terkejut. "Dan kau tentu Pek Kiat Tojin. Bagus, giliranmu mati terakhir, tosu bau. Kau boleh mengiring di belakang arwah-arwah sutemu.”

“Keparat, dia... dia ini Majikan Hutan Iblis? Dia ini yang membunuh Kim-sim-suheng?”

“Benar, sute, tapi hati-hati dan jangan sembrono... singg!” Hek Ciang Tojin sudah membentak dan menusuk maju. Ia kaget dan marah sekali dan omongan sang suheng yang belum selesai tak didengar lagi. Ia menerjang dan menusuk laki-laki itu. Tapi ketika dengan mudah laki-laki ini berkelit dan pedang menyambar angin kosong, sang tosu membalik dan menyerang lagi maka empat kali berturut-turut semua serangan itu luput dan tak mengenai sasarannya.

“Heh-heh, para tosu hidung kerbau tak pantas menjadi penghuni Kun-lun. Kalian serahkan diri saja baik-baik dan biar anak-anakku menggigit jantung kalian tanpa merobek-robek isi perut.”

“Jahanam. keparat terkutuk. Kau iblis tak berperikemanusiaan, srigala siluman. Jangan harap kau lolos karena di sini kau akan mat...i plak!” Hek Ciang Tojin menghentikan seruannya karena tiba-tiba terpekik dan tersentak kaget.

Lawan menangkis dan pedang pun terpental. Ia merasa telapaknya pedas dan hampir saja melepaskan senjata. Begitu kuatnya tangkisan itu, padahal hanya dengan ujung lengan baju. Dan ketika tosu itu terhuyung sementara lawan terkekeh, tak mungkin lagi Pek Kiat Tojin dan adik-adiknya berdiam diri maka enam dari Tujuh Pendekar Kun-lun ini membentak maju. Mereka sudah menyerang dan laki-laki itupun berkelebat.

Para murid berteriak tapi pintu digedor-gedor. Satu di antaranya hampir terbuka. Dan ketika Pek Kiat berseru agar pintu dijaga baik-baik, biarlah mereka menonton dan melihat saja pertandingan itu maka orang ini sudah dikeroyok tapi jubahnya yang berkibaran naik turun menutupi pandangan membuat enam tosu terkejut dan ditangkis serta terpental.

“Ha-ha, kalian tak mungkin dapat melawan aku. Keng Hwat Taisu pun tak mungkin menang. Robohlah dan menyerahlah baik-baik atau kalian mati dengan rasa penasaran....cring-plak-plakk!”

Pek Kiat Tojin dan kawan-kawan terhuyung. Mereka merasa pedas telapak tangannya namun tentu saja menerjang kembali. Laki-laki itu mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya. Semua senjata tajam dibabat dan mencelat. Dan ketika semua tosu terkejut karena tangan itu bagaikan pedang, mampu membuat pedang di tangan para tosu terlepas maka Pek Kiat Tojin bergulingan namun lawan tiba-tiba lenyap. Mereka semua menyambar senjata masing-masing yang terlempar ke tanah, meloncat bangun dan terbelalak.

“Ke mana dia. Mana iblis itu!”

“Kami... kami hanya melihatnya hilang di sana. Ia menerobos wuwungan!”

Tosu ini terkejut. Semua mendongak ke atas dan tiba-tiba tampak lubang itu. Dengan kepandaiannya yang luar biasa rupanya orang ini melesat dan lenyap di sana, padahal tempat itu demikian tingginya tak kurang dari delapan meter. Sekali menjejakkan kaki dapat meluncur lurus dan terbang ke atas bagaikan siluman bukanlah pekerjaan mudah. Hanya orang yang benar-benar memiliki kesaktian hebat saja dapat melakukan itu. Dan ketika semua tertegun kenapa orang itu menghilang, tak mungkin dia melarikan diri maka cahaya merah tiba-tiba membias lebar dan api berkobar di luar gedung.

“Kebakaran! Api! Tempat ini dibakar!”

Pek Kiat lagi-lagi terkejut. Dia adalah orang tertua dan pemimpin di situ. Guncangan demi guncangan yang diterimanya ini benar-benar membuatnya shock. Tadi Majikan Hutan Iblis itu telah memperlihatkan kehebatannya dengan menangkis enam pedang sekaligus, hanya dengan telapak kosong dan akibatnya mereka semua terlempar, pedang terlepas dan ketika mereka bergulingan meloncat bangun tahu-tahu orang itu tak ada.

Kini di luar gedung tampak cahaya api membias kemerah-merahan, cepat dan segera berkobar besar dan saat itu terdengar tawa panjang. Pintu utama disambar angin dingin, dahsyat berkeratak dan akhirnya jebol. Dan ketika seonggok bara merah melesat ke dalam, sepotong kayu besar dilempar orang dari luar maka Pek Kiat Tojin berseru keras membanting tubuh.

“Awas!”

Namun sutenya kalah cepat. Hek Ciang Tojin, orang keenam berteriak ngeri. Potongan kayu menyala itu menyambar tubuhnya, dielak sang suheng tapi mengenai dirinya. Dan ketika kayu sepanjang dua meter itu menancap di dada sang tosu, naik dan terbawa terbang ke dinding maka kayu menyala itu akhirnya berhenti dan menancap tembok. Ujungnya menembus dada tosu ini dan tubuh Hek Ciang Tojin tampak bergantungan sementara apinya padam terganti cucuran darah yang deras mengalir dari bagian tubuh yang berlubang itu.

“Sute!”

Tentu saja semua gempar. Pemandangan di atas tembok itu mengerikan. Tubuh sang tosu lunglai tertusuk mirip sate dengan sunduk (biting) raksasa. Roh tosu itu tentu saja melayang seketika. Jiwanya tak mungkin selamat. Dan ketika semua melotot namun gonggong dan riuh srigala menyerbu mereka, pintu utama dijebol orang maka para pembawa obor juga berlompatan dan mereka ini masuk dengan wajah dingin.

Pek Kiat Tojin tak dapat menahan marahnya lagi. Dia tahu bahwa itulah perbuatan Majikan Hutan Iblis. Kalau bukan orang itu tak mungkin pintu utama bisa dijebol. Hanya orang bertenaga gajah saja mampu melakukan itu. Maka membentak dan menyambut orang-orang itu, memutar pedang dan membacok serta menusuk maka tosu ini sudah berjibaku lagi dengan kemarahan meluap-luap.

Lima adiknya yang lain juga melakukan hal yang sama dan para murid tak ada waktu lagi untuk berpikir jauh. Mereka sudah diserbu dan percuma saja meloloskan diri. Pintu utama dijebol. Dan karena srigala-srigala itu sudah melompat dan menubruk mereka, yang tak dapat berkelit segera roboh dan terpelanting maka di ruangan ini terjadi saling bunuh yang amat mengerikan. Dan api di luar sudah merayap masuk, cepat sekali.

“Keluar ! Keluar dari tempat ini. Jangan didalam!”

Sekarang Pek Kiat Tojin memberi perintah berlawanan. Tadi tosu itu menyuruh masuk tetapi sekarang justeru menyuruh keluar. Ini memang mungkin saja dilakukan karena gedung itu mulai terbakar. Dengan api yang berkobar cepat tak mungkin mereka bertahan lagi. Asap dan hawa panas amat mengganggu, mereka sudah batuk-batuk sementara srigala dan jauh berbeda maka lima tosu pimpinan itu bekerja ekstra keras menghalau serbuan dan keroyokan lawan.

Srigala dan para pembawa obor biasa-biasa saja. Mereka bagai hewan-hewan siluman yang tak perduli asap atau api, begitu kesetanan dan heran juga bahwa srigala yang buas itu tak takut api. Ini bukan lain karena kuatnya pengaruh ilmu hitam yang dimiliki Majikan Hutan Iblis itu. Dari jauh laki-laki ini menonton dan berkemak-kemik, sesekali tangannya mendorong dan melepas uap hitam. Ada bau busuk dan amis di situ.

Dan ketika Pek Kiat Tojin dan kawan-kawan berkelebatan keluar, lawan menyusul dan gonggong serta riuh srigala itu mengejar para murid maka gedung mulai ambruk dan bunyi berdebum serta robohnya kayu-kayu belandar membuat perasaan tergetar dan ngeri. Pek Kiat Tojin mengamuk dengan hebat. Tosu ini berhasil merobohkan lima di antara belasan pengeroyok. Tapi karena srigala abu-abu kembali mengganggu dan menyerangnya, sementara yang lain juga mengalami hal yang sama dan tak kebal senjata membuat mereka benar-benar kerepotan.

Belasan kali pedang mereka terpental bertemu kulit tubuh yang atos itu. Dan ketika satu dua para pembawa obor juga ada yang dapat dirobohkan namun jeritan dan pekik para murid membuat tokoh-tokoh Kun-lun ini gelisah, korban di pihak mereka jauh lebih banyak dibanding lawan maka terdengar tawa aneh dan bayangan hitam dari Majikan Hutan Iblis itu berkelebat.

“Minggir kalian semua. Habisi anak-anak murid Kun-lun itu!”

Para pembawa obor mencelat. Srigala abu-abu dan coklat serta kuning juga terlempar. Dengan wajah dingin namun mata buas laki-laki itu berdiri di depan Pek Kiat Tojin. Dan karena kebetulan lawan yang paling utama ini di depan hidungnya, sang tosu membentak dan menikam maju maka di sana empat adiknya yang lain kehilangan lawan karena semua menyingkir dan menyerang anak-anak murid.

Khi Bun Tojin, orang kedua tadinya hendak mengejar dan memaki orang-orang ini. Dia hendak merobohkan sebisanya kalau saja saat itu tidak terdengar teriakan kaget suhengnya. Sebuah benda berkelebat dan sinar putih menyambut pedang si tosu, putus dan bergulinganlah Pek Kiat Tojin menyelamatkan diri. Dan ketika tosu itu meloncat bangun dan Khi Bun Tojin menoleh, melihat sebatang golok berkeredep di tangan laki-laki ini maka keduanya berteriak mengejutkan yang lain.

“Golok Maut...!”

Tiga sute yang lain menengok. Mereka juga hendak mengejar para pembawa obor itu, menolong dan menyelamatkan anak-anak murid ketika terdengar seruan itu. Dan ketika mereka menoleh dan melihat benda itu, golok bersinar yang baru saja menebas buntung pedang suheng mereka maka Pek Kiat Tojin menggigil dengan pedang yang tinggal gagangnya.

“Kau. kau membawa Golok Maut. Itu milik Si Naga Pembunuh Giam Liong!

“Heh-heh, tak usah banyak cakap. Sekarang kalian berlima hadapi aku, tosu-tosu bau. Suheng kalian Keng Hwat Taisu membakar tempat tinggalku, membumihanguskan. Sekarang aku membalas dan menagih berikut bunganya!”

Pek Kiat Tojin melengking. Ia menyambar sebuah pedang anak murid yang tewas dan menerjang maju lagi. Empat adiknya mengikuti dan mengeroyok. Tapi ketika satu per satu menghadapi kilatan cahaya putih itu, putus bertemu Golok Maut maka Pek Kiat Tojin berseru agar jangan beradu senjata, bergulingan menyambar pedang yang lain lagi.

“Jangan hadapi Golok Maut itu, jangan beradu senjata. Ambil senjata yang lain lagi dan pergunakan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Unsur)!”

Lima tosu bergerak cepat. Mereka meloncat bangun setelah bergulingan dibabat Golok Maut. Laki- laki itu menangkis demikian enaknya, tertawa dan mendengus pendek namun segera mereka mencari senjata yang lain lagi. Di situ banyak pedang anak murid yang terlempar, yakni mereka yang roboh dan tewas tak mampu mempertahankan diri. Dan ketika lima tosu itu menerjang lagi dan kini mereka bergabung mainkan Jit-seng-tin, sayang hanya lima orang saja karena dua di antara mereka sudah tewas maka tubuh mereka berkelebatan naik turun dan selalu menarik serangan kalau Golok Maut bekerja.

Majikan Hutan Iblis tertawa dingin dan memindahkan golok itu ke tangan kiri. Kini dengan tangan kanannya ia menangkis, membuka telapak tangan itu dan karena bukan Golok Maut maka Pek Kiat Tojin dan adik-adiknya berani. Tapi ketika pedang terpental dan lagi-lagi hampir terlepas dari pegangan, mereka terkejut maka telapak itu tiba-tiba menghitam dan laki-laki ini berseru.

“Ajal sudah dekat. Awas bersiap-siaplah menghadapi kematian!”

Lima tosu itu marah. Mereka selalu waspada terhadap golok di tangan kiri namun juga berhati-hati terhadap telapak lawan yang sudah menghitam. Tiba-tiba angin menyambar dan bau busuk serta amis menusuk hidung. Pek Kiat Tojin yang mengelak hampir muntah-muntah. Dan ketika sutenya juga melempar muka sambil menutup hidung maka telapak itu tiba-tiba menyambar lagi dan orang kelima dari mereka, Cek Tik Tojin menerima pukulan pertama.

“Hek-mo-ciang!”

Itu seruan laki-laki ini sendiri. Telapak itu menyambar dada si tosu dan Cek Tik Tojin mencoba mengelak. Dia tak berani menangkis karena sinkang lawan amat kuat sekali. Dengan pedangnya saja ia tak mampu menahan tangkisan tangan telanjang itu, apalagi tangan itu kini menyambarnya. Namun ketika ia coba berkelit dan kaget karena napasnya sesak, bau amis menyesakkan dada maka tosu ini terbelalak karena ia tiba-tiba seakan terpaku.

“Sute!”

Tosu ini melotot. Seruan suhengnya yang melotot melihat sutenya tak melempar tubuh membuat Pek Kiat Tojin kaget sekali. Apa-apaan sutenya itu, kenapa malah bengong. Tapi karena tosu ini tak tahu bahwa saat itu Cek Tik Tojin menghisap hawa beracun, paru-parunya menjadi penuh dan tak dapat bergerak maka saat itulah telapak tangan yang hitam itu mengenai dada.

“Plak!” perlahan saja tamparan ini, namun tubuh si tosu yang tiba-tiba terlempar dan melayang ke belakang tiba-tiba diikuti sinar putih berkeredep dan sebelum tubuh itu jatuh ke tanah maka kepalanya mencelat dan menggelinding dengan mata melotot. Kejadian berlangsung cepat dan Pek Kiat Tojin berseru tertahan. Namun ketika ia membentak dan sinar golok menyambar dadanya, dielak dan Hek-mo-ciang menyambar Tik Beng Tojin maka orang keempat inipun menjerit namun sekejap itu jeritannya putus dihentikan kepalanya yang terbabat.

“Crass!”

Dua kali kejadian berulang di depan mata. Cek Tik Tojin dan Tik Beng Tojin tiba-tiba saja sudah terbanting tak bernyawa dengan kepala mencelat. Tubuh mereka terjengkang, darah menyemprot dari luka di leher itu. Dan ketika Pek Kiat Tojin berseru kaget namun Hek-mo-ciang kembali menyambar, mengagetkan adiknya nomor tiga maka Bun Ceng Tojin, tosu ini tak dapat mengelak karena hawa beracun yang amis dan busuk itu terhisap olehnya. Sama seperti Cek Tik Tojin tadi iapun sesak napas.

Pukulan itu keji, sebelum mengenai tubuh saja sudah membuat orang tak mampu bergerak, paru-paru terisi oleh hawa busuk, uap beracun itu. Dan ketika iapun terjengkang namun sebelum itu kepalanya putus menggelinding, Golok Maut telah bicara maka Khi Bun Tojin dan Pek Kiat Tojin pucat sekali.

Dua orang ini menjadi ngeri dan sekilas ada pikiran untuk lari. Namun karena mereka orang-orang gagah dan Pek Kiat Tojin menjadi beringas, bersama adiknya ia membentak dan melepas pedang maka di saat pedang meluncur ke dada orang itu merekapun mengangkat lengan menghantam dengan maksud untuk mengadu jiwa.

Namun Majikan Hutan Iblis ini benar-benar luar biasa. Dua pedang yang disambitkan lawannya itu diterima dengan tawa aneh, dia tak mengelak atau menangkis. Dan ketika pedang mengenai dadanya namun patah, kesaktian yang mengagumkan melindungi dadanya maka dua pukulan itu diterima dan. Pek Kiat Tojin maupun sutenya berseru kaget karena ke dua lengan mereka lengket tak dapat dilepaskan.

“Des-dess!”

Laki-laki itu tertawa dingin. Pek Kiat Tojin dan sutenya meronta namun laki-laki itu menghembuskan mulutnya. Sekarang bau yang amat luar biasa busuk menyambar, langsung dari pusatnya. Dan ketika dua tosu itu muntah karena bau mulut laki-laki itu melebihi bangkai, sungguh mengerikan sekalimaka mereka melihat sinar berkeredep dan kata-kata mengerikan.

“Pek Kiat Tojin orang terakhir. Nah, terimalah kematian kalian dan kupenuhi janjiku!”

Dua orang ini sudah terbang sebagian nyawanya. Mencium bau busuk itu saja mereka seakan sudah pingsan, apalagi tangan yang lengket di dada itu. Dari situ menyedot tenaga panas yang membuat mereka mengeluh. Tangan mereka bagai dibakar saja. Dan ketika sinar putih itu berkelebat dan kepala Khi Bun Tojin putus lebih dulu, disusul oleh Pek Kiat Tojin yang sudah tak dapat berbuat apa-apa maka dua pimpinan Kun-lun ini roboh dan tubuh mereka ditendang laki-laki itu, ditubruk dan dijadikan rebutan srigala buas untuk dicabik dan dimakan dagingnya.

Berakhirlah sudah kengerian di puncak Kun-lun ini. Satu per satu tujuh pimpinan itu dibunuh. Gedung roboh dan api menjalar ke yang lain. Para murid yang tersisa melarikan diri. Mereka ngeri dan seram oleh peristiwa itu. Dan karena malam membantu mereka dan banyak diantaranya yang melempar tubuh ke jurang, patah-patah dan keesokannya merayap terseok-seok maka itulah yang dilihat Cin Tong Cinjin dan Keng HwatTaisu.

Anak murid yang bercerita ini tersedu-sedu. Dia sendiri luka-luka dan babak-belur. Wajah dan tubuhnya kehitaman, kotor. Dan ketika Keng Hwat Taisu menarik napas dalam-dalam sementara adiknya menggigil dan mengerotokkan buku-buku jari, wajah itu menjadi merah gelap maka anak murid ini minta ampun tak mampu mempertahankan partainya.

“Teecu.... teecu semua minta ampun. Teecu terpaksa melarikan diri karena kalau tidak begitu tentu menjadi korban. Siapa yang nanti melapor kepada suhu kalau semua murid binasa!”

“Hm, bangkitlah. Pinto dapat mengerti perasaanmu, Cit Hok. Dan untuk sementara ini barangkali Kun-lun hanya tinggal nama. Kita telah kehilangan begitu banyak orang, iblis itu benar-benar amat keji. Biarlah kita berkabung tujuh hari dan setelah itu pinto bertiga harus mencari jahanam keparat ini. Beristirahatlah, ceritamu sudah lengkap!”

Murid ini tersedu. Mayat dan semua yang luka-luka akhirnya dibereskan. Tujuh kepala dari Kun-lun Jit-hiap juga telah dimakamkan. Dan ketika hari itu Kun-lun benar-benar berkabung selama tujuh hari, Keng Hwat Taisu menahan rencananya untuk turun gunung maka suasana menyedihkan benar-benar terdapat di sini dan dibantu murid-murid yang masih ada Kun-lun pun dibangun lagi dan gedung yang runtuh menjadi saksi sejarah bagi partai yang sedang dirundung malang ini.

Keng Hwat Taisu menunda perjalanannya sampai masa berkabung habis. Keng Jin Taisu dan Cin Tong Cinjin setiap hari mengepal tinju. Mereka dendam dan marah sekali. Dan ketika masa perkabungan habis dan Keng Hwat meneruskan niatnya, Cin Tong dan Keng Jin Taisu ikut bersamanya maka Kun-lun ditinggal pimpinannya dan para murid disuruh merawat dan menjaga gunung saja.

“Pinto akan mencari manusia iblis itu, kalian jaga dan awasi saja tempat ini. Peliharalah ladang dan lahan pertanian kita. Jadikan itu sumber nafkah kalian. Kalau ada apa-apa yang tak dapat di atasi sebaiknya kalian menyingkir dan tunggu saja kedatangan kami.”

Para murid menangis. Sebenarnya mereka tak setuju ditinggal pergi. Cin Tong atau Keng Jin Taisu diminta tinggal. Namun karena dua tosu itu mengkhawatirkan keselamatan ketua mereka, sedang mereka sendiri masih ragu dapatkah berdua menghadapi Majikan Hutan Iblis itu maka pilihan tak ada lagi kecuali harus keluar dan turun gunung bertiga.

“Kami tak mungkin diam saja di sini. Kalian tahu betapa lihainya orang itu. Dan karena kami harus berangkat dan mencari bantuan di luar, barangkali tenaga kami bertiga juga masih tidak cukup biarlah kalian jaga tempat ini dulu dan jangan khawatir bahwa kami akan dapat menjaga diri. Cit Hok sementara memimpin kalian semua, tunduk dan taatilah dia sebagai saudara tertua. Kalau ada apa-apa sebaiknya dimusyawarahkan bersama dan jangan saling bertengkar. Sudah, kami pergi!”

Tiga pimpinan itu berkelebat. Wejangan Keng Jin Taisu ini memang beralasan. Dialah yang meninggalkan dan nasihat. Dan begitu tiga orang ini berkelebat dan turun gunung maka Kun-lun kembali sunyi namun anak murid menaruh harapan karena kalau tiga pimpinan itu mencari tenaga bantuan di luar barangkali Majikan Hutan Iblis itu dapat dibasmi dan kekuatan mereka dapat diandalkan. Namun apa yang terjadi?

Ternyata ada perobahan yang mengejutkan. Karena begitu tiga tokoh ini turun gunung mencari lawan mereka itu sambil mengumpulkan tenaga bantuan ternyata beberapa ketua partai bahkan memusuhi mereka. Mula-mula adalah Kiang-san, lalu Hoa-san dan terakhir Khong-tong-san. Dan ketika tiga orang ini malah diserang dan terpaksa menyelamatkan diri meninggalkan tempat-tempat itu maka Keng Hwat Taisu memburu napasnya melihat betapa tokoh dan para ketua partai-partai itu sudah tidak wajar sikapnya.

“Aneh, Kiang Bhong Tojin memusuhi kita habis-habisan. Dia hendak menangkap dan membunuh kita!”

“Benar, dan sikap Hoa-san-paicu (ketua Hoa-san) juga tidak sewajarnya, suheng. Mereka seperti orang kesurupan dan pandang mata mereka liar!”

“Dan Khong Ting Cinjin juga serupa. Dia tidak mengenal kita! Ah, apa yang terjadi?”

Tiga orang ini tak tahu. Mereka terbelalak dan keheran-heranan serta menahan penasaran besar bahwa ketiga sahabat mereka itu, yang dulu begitu akrab dan menjalin tali persaudaraan yang kuat tiba-tiba sekarang seperti musuh bebuyutan. Kedatangan mereka disambut dengan senjata.

Dan ketika tiga orang ini keheran-heranan dan bingung serta tidak mengerti, mereka tak tahu bahwa Majikan Hutan Iblis telah berhasil memasuki sukma tiga ketua-ketua partai itu dengan ilmu hitam Beng-jong-kwi-kang (Tenaga Setan Penembus Roh), ilmu yang membuat para srigala begitu buas dan kebal senjata maka di tempat lain Giam Liong juga menemukan hal aneh yang hampir serupa...

Tapak Tangan Hantu Jilid 12

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 12
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
HEK-YAN-PANG gempar. Pembunuhan atas diri Kim-sim Tojin menjalar cepat. Semua anak murid segera tahu dan pucat serta kagetlah mereka melihat isi keranjang hitam itu. Tubuh Kim-sim Tojin telah dipotong-potong sementara kepalanya mendelik di keranjang lain. Jelas kakek itu digorok, keji! Dan ketika beberapa murid wanita pingsan dan roboh tak kuat, pemandangan itu sungguh mengerikan maka Han Han yang tertegun dan pucat melihat ini menggigil dan hampir tak percaya.

Namun benar. Itu adalah kepala Kim-sim Tojin. Potongan kaki dan tangan di sana itu juga milik kakek ini. Ketika disatukan begitu pas dan cocok. Dan karena pakaian pertapa yang dikenakan mayat itu adalah pakaian kakek itu pula, tak pelak Kim-sim Tojin dibunuh maka Han Han mengeluh dan terhuyung menutupi muka.

Isterinya menjerit ketika sadar. Wanita ini histeris dan melolong-lolong. Mimpinya itu menjadi kenyataan. Ada empat buntalan hitam di sudut telaga. Empat keranjang menjadi isi dari tubuh dan kepala gurunya. Dan ketika nyonya itu melengking dan menjerit-jerit, kematian ini sungguh mengguncang sukma maka Tang Siu tiba-tiba berkelebat dan mencabut pedang sambil berteriak-teriak.

“Majikan Hutan Iblis, bedebah kau. Keparat binatang jahanam kau. Keluarlah, bayar jiwa guruku dengan jiwamu. Keluarlah, ini aku Tang Siu!”

Han Han bergerak dan memanggil isterinya. Ia mengejar sementara anak-anak murid melempar tubuh bergulingan. Mereka yang di depan dibabat pedang itu, sang nyonya kalap. Dan ketika Han Han berkelebat dan berjungkir balik di depan isterinya maka pedang menyambar dan Han Han berseru, menangkis, isterinya kesetanan.

“Siu-moi, ini aku. Han Han! Tahan dan jangan ke mana-mana, kembalilah.... siut-plak!” Han Han mengelak dan menampar pedang isterinya, tadi ditusuk dan dibabat dan isterinya seakan tak mengenal orang. Siapapun di depan dianggapnya musuh, begitu gelap jalan pikiran nyonya itu. Tapi ketika Han Han berhasil menangkis dan pedang mencelat, terlepas dari tangan maka wanita itu mengguguk dan Han Han mencengkeram isterinya ini. Mereka tiba di tepi telaga.

“Ingat ,jangan kalap. sadarlah. Ini aku Han Han, moi-moi, bukan lawan. Kembali dan jangan keluar dari markas!”

Nyonya itu menggigit dan mencabik-cabik pakaian Han Han. Han Han mengerahkan sinkang hingga semua gigitan mental, kulit tubuhnya menjadi alot dan keras. Tapi ketika pakaiannya cabik-cabik dan sang isteri demikian kesetanan maka iapun menotok roboh dan apa boleh buat melumpuhkan isterinya ini.

Hari itu Hek-yan-pang berkabung. Kematian Kim-sim Tojin yang demikian mengerikan membuat anak murid ngeri. Mereka marah tapi juga gentar menghadapi Majikan Hutan Iblis itu. Lawan terlampau hebat dan kejam. Dan ketika hari itu juga jenasah Kim-sim Tojin dirawat, kakek itu dimakamkan di tempat makam pendiri Hek-yan-pang maka Kun-lun diberi tahu dan sepuluh hari kemudian tiga tokoh datang.

Han Han tak kuasa bicara dan menceritakan. Isterinya mengguguk dan tersedu-sedu. Tiga orang itu adalah Keng Hwat Taisu dan wakilnya, pimpinan dan tokoh-tokoh Kun-lun. Tapi ketika semua harus diceritakan dan betapapun Han Han harus menguatkan hati, ia muram dan sedih berganti-ganti maka tiga tokoh Kun-lun itu tertegun merangkapkan tangan.

“Siancai, mati hidup di tangan Tuhan. Kim-sim-sute sudah dipanggil Khaliknya, Han-siauwhiap, kami dapat menerima. Tapi pembunuh yang melakukan pembunuhan itu rasanya terlalu kejam. Kami tak dapat berdiam diri dan harus bergerak!”

“Benar, dan pinto akan menangkap orang itu, mengadilinya. Perbuatannya di luar batas dan sungguh di luar perikemanusiaan!”

“Dan pinto akan datang ke Hutan Iblis, di mana tempat itu dan biar kami semua menghajarnya!”

Han Han terbata-bata. Dia segera berkata bahwa Hutan Iblis cukup jauh dari situ, dulu sudah dilakukan pencarian namun orang itu tak ada. Ayahnyapun sekarang sedang pergi dan belum pulang mencari orang ini. Dia tak dapat pergi karena harus menjaga perkumpulannya, isteri dan anak-anak murid di situ harus dilindungi. Dan ketika ketiga tokoh itu mengangguk-angguk dan maklum, berdoa di makam Kim-sim Tojin lalu pergi maka Han Han bingung mengepal tinju. Dia tak dapat pergi kalau ayahnya belum kembali. Apa yang harus dilakukan. Dan ketika dia termenung dan duduk tak bergerak maka isterinya, Tang Siu, pergi dari rumah menyusul tokoh-tokoh Kun- lun itu. Membawa Giok Cheng!

“Celaka, gila! Bagaimana ini!” Han Han terkesiap dan kaget. Seorang anak murid berlari-lari dan murid inilah yang memberi tahu kepergian siauw-hujin (nyonya muda). Tang Siu lewat belakang rumah dan mengejar tokoh-tokoh Kun-lun itu, supek dan susioknya. Dan ketika dia menendang seorang murid tercebur dan berteriak-teriak menyelamatkan diri maka murid inilah yang menghadap Han Han dan melapor. Pakaiannya basah kuyup.

“Hujin..... hujin pergi. Dia.... dia menyusul tiga locianpwe tadi!”

Han Han mencelat dari kursinya. Ia berseru keras dan mengejar, secepat kilat di tepi telaga dan saat itu semua murid berhamburan. Mereka juga mendengar itu. Dan ketika Han Han bergerak dan meninggalkan pulau, pemuda itu meluncur di atas permukaan air seperti tak berbobot maka murid-murid meratap dan berseru, yang di seberang telaga diteriaki agar menahan tuan muda itu.

“Siauwhiap, jangan tinggalkan kami. Jangan biarkan kami dibantai Majikan Hutan Iblis. Kembalilah....toloong!”

Han Han tertegun. Jerit dan tangis itu mengingatkannya. Maka ketika ia berhenti dan membalik di tepi telaga, murid-murid berlarian maka mereka menjatuhkan diri berlutut dengan wajah memelas.

“Siauwhiap silakan bunuh kami saja kalau begitu. Kami lebih baik mati di tangan siauwhiap daripada mati di tangan Majikan Hutan Iblis!”

Pemuda ini menggigil. Tiba-tiba dia dihadapkan pada dua kesulitan berbareng. Isterinya ataukah anak- anak murid ini. Tapi karena isterinya lebih penting dan anak-anak murid diurus belakangan maka Han Han berseru agar mereka pergi dan meninggalkan markas dulu.

“Aku harus mengejar isteriku, kalian tahu itu. Ia membawa Giok Cheng. Sebaiknya kalian pergi juga dan tinggalkan markas dan nanti kembali lagi kalau aku atau ayah datang!”

“Siauwhiap hendak membubarkan Hek-yan-pang?”

“Sementara ini, Lin-cu. Aku tak mungkin memecah diriku menjadi dua untuk sekaligus memperhatikan kalian dan isteriku. Tinggalkanlah Hek-yan-pang, kalian pergi dulu ke tempat saudara- saudara kalian dan nanti kembali setelah aku atau ayah tiba!”

Jerit tangis menghambur lagi. Mereka mengguguk dan sakit mendengar ini. Hek-yan-pang adalah kampung halaman mereka, bahkan juga tumpah darah mereka. Tapi karena keadaan demikian gawat dan ditinggal pemuda ini amatlah berbahaya untuk sendirian saja, merekapun patuh meskipun dengan berat hati maka Han Han meninggalkan mereka berkelebat pergi.

Anak-anak murid meraung namun perintah Han Han adalah benar. Betapapun tak mungkin pemuda itu memecah dirinya menjadi dua. Tak mungkin pemuda itu menyelamatkan isterinya sementara di tempat ini mereka juga butuh pertolongan. Maka begitu pemuda itu meninggalkan mereka dan satu per satu anak-anak murid memanggul buntalan, Hek-yan-pang bubar untuk sementara maka Han Han sendiri sudah terbang menyusul isterinya.

Perbuatan isterinya itu membuat Han Han marah dan khawatir. Siapa tidak khawatir kalau isteri dan anaknya melabrak musuh seperti Majikan Hutan Iblis itu, biarpun di sana ada Keng Hwat Taisu dan wakil- wakilnya. Maka ketika Han Han bergerak dan mengerahkan ilmu lari cepatnya, terbang seperti angin maka di sana tokoh-tokoh Kun-lun ini gigit jari. Majikan Hutan Iblis tak ada!

* * * * * * * *

“Bakar saja hutan ini!” Tang Siu berseru kepada susiok dan supeknya. “Hancurkan hutan ini, supek. Bumi hanguskan agar tak menjadi sarangnya!”

Tiga tokoh itu tertegun. Mereka sudah tiba di tempat ini lebih cepat setelah adanya Tang Siu. Mereka disusul dan mula-mula terkejut. Tapi ketika Tang Siu berbohong bahwa kedatangannya disetujui Han Han, suaminya itu menjaga Hek-yan-pang maka ketua dan wakil ketua Kun-lun ini menarik napas dalam. Pikiran sendiri sedang kusut atas kematian Kim-sim Tojin itu.

“Baiklah, kalau kau mendapat perkenan suamimu tentu saja pinto bertiga tak keberatan, Tang Siu. Hanya jangan gegabah membakar hutan karena bisa mencelakai yang lain.”

“Benar, dusun di sekitar sini bisa kena. Kebakaran bisa merembet jauh!”

“Ah, mereka sudah pergi mengungsi. Pohon besar di tengah hutan itu membawa pengaruh terkutuk, supek. Ada semacam kekuatan hitam di situ. Bakar saja hutan ini dan jangan khawatir pada penduduk. Mereka tak ada lagi yang berani tinggal di sekitar sini!”

Nyonya itu sudah bergerak dan membakar hutan. Tanpa menanti persetujuan susiok atau supeknya lagi dia sudah melempar api ke dalam hutan. Bunyi berkeratak disusul menjalarnya api dengan cepat. Naga merah tiba-tiba membubung! Dan ketika hutan terbakar dengan cepat dan Keng Hwat Taisu bersama dua sutenya terkejut, kemarahan di mata wanita itu tak dapat dibendung lagi maka tokoh Kun-lun ini merangkapkan tangannya.

“Siancai, perang telah dimulai. Tapi perbuatanmu sembrono, Tang Siu. Tak boleh tempat lain terjadi kebakaran pula. Sute, jaga di empat penjuru agar api hanya menghabiskan tempat ini!”

Dua tosu bergerak. Mereka sudah tak dapat mencegah perbuatan Tang Siu karena api sudah berkobar cepat. Kayu-kayu kering dilalap jago merah dan karena di tempat itu juga terdapat tulang-belulang manusia, hal inilah yang membuat kemarahan di hati tokoh-tokoh Kun-lun berkobar maka mereka mendiamkan saja perbuatan Tang Siu namun menjaga agar supaya Hutan Iblis itu saja yang dilanda api merah.

Tang Siu tegak berapi-api. Gemuruh dan berkerataknya hutan itu seperti gemuruh dan berkerataknya hatinya sendiri. Pohon demi pohon disambar jago merah, sebentar kemudian api menjilat-jilat ke langit. Dahsyat! Kalau tokoh-tokoh Kun-lun itu tak menjaga baik-baik tentu dusun dan tempat-tempat sekitarnya dilalap jago merah ini. Tempat yang sudah kosong itu memang ditinggalkan penghuninya namun betapapun juga kebakaran bisa melanda ke kota.

Hutan Iblis adalah hutan yang cukup besar dan cukup ganas kalau dimakan jago merah. Api menjilat-jilat dan dalam jarak puluhan kilo bisa dilihat. Betapa hebatnya. Dan ketika terdengar suara berkerasak dan berdebum, pohon raksasa di tengah hutan itu roboh maka terdengar jerit atau semacam lengking aneh menyayat hati.

“Aiiiikkk!”

Tokoh dan wakil Kun-lun itu meremang. Suara yang mereka dengar seperti suara hantu tercekik, atau anjing yang melolong lalu tiba-tiba menguik, mati. Mungkin dimartil orang! Dan ketika gedebuk robohnya pohon raksasa itu terasa sampai di luar hutan, getaran suaranya membuat tiga orang itu terpental maka Tang Siu sendiri terlempar dan terguling-guling roboh. Bumi seakan dihantam palu godam seberat ribuan ton!

“Buuummmmm !”

Suara itu benar-benar mengerikan. Orang yang tak kuat akan segera kuncup nyalinya, pingsan. Keng Hwat dan sutenya juga tergetar namun karena mereka orang-orang kang-ouw berkepandaian maka suara itu hanya mengejutkan saja. Mereka bergerak dan berpindah-pindah tempat, menjaga api. Dan ketika kebetulan Han Han datang dan tak melihat orang-orang ini, pemuda itu melihat besarnya api yang berkobar-kobar maka Han Han mengeluh dan mengira isterinya Keng Hwat Taisu pergi.

Han Han yakin bahwa isterinya dan tokoh-tokoh Kun-lun itulah yang membakar Hutan Iblis. Dia ngeri melihat api yang menjilat-jilat ke angkasa. Dan karena seluruh tempat itu penuh dengan api dan Han Han tak dapat melihat empat orang ini, mengira mereka pergi maka Han Hanpun bergerak dan meninggalkan Hutan Iblis. Pemuda ini bingung dan kecewa serta khawatir. Dia tak tahu lagi ke mana isterinya dan tokoh-tokoh Kun-lun itu pergi.

Dan karena ia harus mencari mereka terutama isterinya ini, dia tak mungkin lagi pulang maka Han Han berkelebat dan mencari sekenanya. Ia tak tahu bahwa Keng Hwat Taisu dan sutenya masih di situ, begitu juga isterinya. Dan ketika tiga hari kemudian api berhasil dikuasai, kebakaran tak mungkin menjalar ke tempat lain maka Hutan Iblis sudah menjadi tempat yang menyeramkan karena di segala penjuru hanya tinggal debu dan arang melulu, hitam. Hangus!

Keng Hwat Taisu menarik napas dalam-dalam. Wilayah dua ratus hektar telah menjadi hitam legam. Di sana-sini masih ada bara dan bunyi-bunyi berkeratak, namun kecil dan tak berarti. Dan ketika dua sutenya juga termenung dan menarik napas panjang, mereka tepekur melihat perbuatan nyonya muda itu maka ketua Kun-lun ini berkata bahwa sebaiknya mereka pulang dulu ke Kun-lun. Di sana anak murid menanti dan kepergian mereka juga dalam rangka menerima berita dariHek-yan-pang.

“Kita agaknya harus pulang dulu. Di sana kita atur siapa yang harus memimpin partai kalau pinto atau jiwi-sute sama-sama mencari manusia ini.”

“Benar, dan pinto rasa baik, suheng. Kita memang harus kembali karena kepergian kita hanya untuk memenuhi berita Hek-yan-pang.”

“Dan selanjutnya kita cari manusia iblis itu. Rasanya dengan bertiga kita dapat membekuknya!”

Sang ketua atau Keng Hwat Taisu mengangguk. Dia segera memberi tanda tapi melihat Tang Siu tiba- tiba tosu ini mengerutkan alisnya. Apakah nyonya ini tidak pulang. Maka membalik dan menghadapi nyonya itu tosu ini bertanya, “Kau... bagaimana, Tang Siu? Apakah ikut ke Kun-lun?”

“Teecu akan ikut supek. Ke manapun manusia iblis itu pergi teecu ingin bergabung dengan supek!”

“Kalau begitu marilah, tapi maaf kami tak dapat momong anakmu yang kecil itu.”

“Tak apa, supek. Aku dapat merawat anakku Giok Cheng. Mari kita pergi dan puas rasanya tempat ini dapat kubakar!”

Sang tosu menarik napas dalam. Kebencian dan kemarahan nyonya itu tak ditanggapi. Sebenarnya tak suka tosu ini akan dendam-mendendam. Maka berkelebat dan meninggalkan tempat itu akhirnya ketua Kun-lun ini mengajak semuanya berangkat. Hutan Iblis telah mereka bumi hanguskan dan tempat itu tak mungkin digunakan orang waras. Pohon raksasa di tengah hutan itupun sudah tumbang.

Dan ketika mereka pergi dan Tang Siu mengikuti susiok dan supeknya ini, dia begitu sakit hati akan kekejaman laki-laki itu maka di tengah jalan mereka tak mendengar apa-apa sampai ketika akhirnya berada di kaki gunung empat orang itu terkejut karena rintih dan ratap kesakitan terdengar di sana-sini. Puncak Kun-lun yang hijau segar berobah hitam dan berasap!

“Apa itu, apa yang terjadi!”

Ketua dan wakil ketua tersentak. Dua rintihan di kanan kiri didatangi. Keng Hwat dan sutenya berkelebat. Dan ketika mereka melihat empat anak murid terluka, dua di antaranya tewas dan mandi darah maka tosu ini terkejut dan kaget sekali.

“Suhu !”

“Susiok!”

Ketua dan wakil ketua tergetar. Keng Jin, adik seperguruan Keng Hwat Taisu pucat. Tosu itu bergerak dan sudah menyambar murid ini. Dan ketika murid itu mengaduh dan menangis pedih, sesenggukan maka tosu itu membentak bertanya apa yang terjadi. Kenapa murid itu luka-luka, cengeng.

“Apa yang terjadi. Kenapa kalian ada di sini!”

“Kami... kami bertempur!”

“Keparat, bertempur dengan saudara sendiri? Saling bunuh?”

“Bukan... bukan!Kami bertempur dan saling bunuh dengan orang jahat, susiok. Majikan Hutan Iblis datang ke mari dengan puluhan orang-orang sesat. Kami di gempur. Puncak dan markas dibakar!”

“Apa?”

“Benar, susiok, dan banyak saudara-saudara kami yang tewas. Orang-orang gila itu dan srigala-srigala kelaparan menyerang. Katanya membalas perbuatan susiok dan suhu yang membakar Hutan Iblis!”

Keng Jin Taisu mendelik. Tiba-tiba tosu ini melengking dan berkelebat ke atas. Dia melepaskan murid itu dan membentak keras. Dan ketika tubuhnya terbang kepuncak sementara Keng Hwat Taisu tertegun dan berobah, berita itu sungguh mengejutkan maka sutenya yang lain, Cin Tong Cinjin diminta menolong anak murid itu dan dia sendiri berkelebat dan menyusul sutenya.

Tang Siu juga bergerak dan melengking marah. Dan ternyata apa yang dilihat di atas sungguh mengerikan. Markas Kun-lun, yang berada di puncak dan selama bertahun-tahun ini aman dan tenteram sekarang sudah berobah hebat. Tembok dan rumah-rumah hancur. Puing-puing berserakan sementara mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, tak kurang dari seratus orang. Dan ketika Keng Hwat terbelalak dan tertegun di situ, melotot maka di pintu gerbang bangunan terlihat kepala diikat dan bergelantungan kena penggal.

“Sute!” Teriakan atau jerit kakek ini mirip keluhan tercekik. Tenggorokan kakek itu memang tak dapat mengeluarkan suara karena begitu kagetnya melihat tujuh kepala itu. Itu adalah tujuh adik seperguruannya yang selama ini menjaga partai. Kepandaian mereka setingkat di bawah Kim-sim Tojin tapi kalau mereka bergabung dia sendiri bukan lawan! Maka ketika kakek ini berteriak dan pucat, Keng Jin berkelebat dan berseru melihat itu maka dua orang ini bergerak dan tahu-tahu tali gantungan itu putus dibabat jari mereka.

Tang Siu terkesiap dan ngeri. Ia pun melihat ini dan itulah susiok-susioknya yang lain. Tokoh-tokoh andalan Kun-lun dibawa ketua dan wakil ketua. Maka begitu sang ketua mengeluh dan tujuh kepala itu diterima berdua, Keng Jin dan suhengnya menurunkan kepala-kepala itu maka dua orang ini sesenggukan dan untuk sejenak tokoh dan wakil tokoh itu tak mampu menguasai diri. Dan saat itu berdatanganlah tubuh-tubuh sempoyongan dengan kaki limbung. Mereka ini adalah murid-murid Kun-lun yang masih hidup, para tosu muda yang pada saat peristiwa melarikan diri.

Dan ketika mereka juga mengeluh dan menangis menjatuhkan diri berlutut, berada di belakang ketua dan wakil ketua itu maka Keng Hwat Taisu tiba-tiba sadar dan menghentikan tangisnya. Sutenya juga bergerak dan menoleh. Para murid Kun-lun itu begitu ketakutan, wajah mereka membayangkan kengerian dahsyat. Dan ketika dua pimpinan ini meloncat bangun dan membentak para murid, disuruh diam maka seorang di antaranya maju dan berderai air mata, melapor.

“Suhu, susiok... kami didatangi puluhan orang jahat. Mereka.... mereka dipimpin Majikan Hutan Iblis. Mereka... mereka datang bersama ratusan srigala yang buas. Kami... kami tak dapat melawan dan lari turun gunung!”

Keng Jin Taisu melototkan mata. Dia hampir tak dapat menguasai diri mendengar itu, tapi sang suheng yang bergerak dan menangkap lengannya tiba-tiba batuk-batuk dan bertanya menggigil,

“Cit Hok, kapan peristiwa ini terjadi? Kapan musuh-musuh kalian itu datang?”

“Tiga hari yang lalu, suhu, malam-malam. ”

“Dan kalian semua sudah melakukan perlawanan sekuat tenaga?”

“Ampun, lebih dari sebisanya, suhu. Tapi tapi iblis itu benar-benar lihai. Ia memiliki Golok Maut dan membunuh-bunuhi kami seperti orang membabat agar-agar!”

Keng Hwat Taisu memejamkan mata. Dia sudah mendengar bahwa golok setan itu sudah di tangan Majikan Hutan Iblis. Golok itu adalah milik Giam Liong tapi dicuri. Kini orang itu datang dan membalas perbuatannya. Hutan yang dibakar ditebus dengan nyawa dan tujuh tokoh Kun-lun. Tembok hancur berantakan dan puing-puing menghitam arang. Pembalasan itu lebih keji, berikut bunga! Namun ketika tosu ini mematung dan memandang anak murid itu dengan mata bercahaya, kilatan api memancar di mata ketua Kun-lun ini maka Cin Tong, sutenya kedua muncul.

Sama seperti suhengnya tosu ini mengeluarkan suara seperti tercekik. Mayat dan tubuh malang-melintang itu mengagetkannya. Dan ketika ia melihat tujuh kepala berjajar di tanah, kepala dari tujuh sutenya maka tosu ini membentak dan berkelebat maju.

“Siapa yang melakukan ini. Siapa yang membunuh Kun-lun Jit-hiap (Tujuh Pendekar Kun-lun)!”

Keng Hwat Taisu batuk-batuk. Amis dan bau darah mengental di situ. Udara gunung seakan berobah menjadi udara setan, amis dan memuakkan. Dan ketika ia menggigil dan menuding Cit Hok, murid itu maka murid ini menangis disusul isak dan sedu-sedan yang lain.

“Iblis itu.... pembunuh Kim-sim-sute.... ia.... ia datang kemari !”

Cin Tong Cinjin memekik. Ia gusar dan marah sudah mengira itu tapi tak urung darahnya mendidih juga. Di bawah gunung ia mendapat cerita sekilas. Murid yang ditolong ternyata pingsan, yang lain akhirnya tewas. Dan ketika di sepanjang jalan ia mendengar rintihan dan ratap memilukan, ternyata di mana-mana anak murid Kun-lun bergelimpangan maka tosu ini melesat ke atas dan di puncak gunung iapun bahkan melihat pemandangan lebih mengerikan, tujuh sutenya yang tinggal kepala buntung itu!

Tosu ini mendesis. Ia mengepal tinju dan jari-jaripun berkerotokan. Tangannya tiba-tiba bergerak ke belakang dan robohlah sebatang pohon besar menimpa reruntuhan puing. Suaranya berdebum mengejutkan murid-rnurid yang lain. Hampir saja tosu muda bernama Cit Hok itu tertimpa. Namun ketika Keng Hwat Taisu bergerak dan mencengkeram lengan sutenya ini, Keng Jin juga bergerak dan mencengkeram pundak yang lain maka ketua Kun-lun itu berkata dengan suara gemetar,

“Sute, tak ada gunanya marah-marah di sini. Musuh sudah pergi. Sebaiknya kita urus mayat di sini dan setelah itu mencari iblis keji ini!”

“Benar.” Keng Jin juga berseru. “Tak ada gunanya marah di sini, sute. Sebaiknya kita urus jenasah-jenasah ini dan atur anak murid kita!”

Sang tosu mengguguk. Ia tak kuat menahan perasaannya namun Keng Hwat Taisu menepuk sutenya. Sejenak saja tosu itu menangis lalu diam, sepasang matanya merah seperti api. Dan ketika dia melepaskan diri dan mendahului menyambar tujuh kepala itu, berturut-turut memasukkannya ke dalam lubang yang sudah dibuat maka Keng Jin dan suhengnya juga bergerak dan begitu pimpinan dan wakil pimpinan itu bekerja bergeraklah semua murid membantu ketuanya.

Di sini mereka diminta bercerita dan Keng Hwat Taisu menggigil menahan marah. Cerita yang didengar sungguh membakar. Namun karena Majikan Hutan Iblis kini juga membawa orang-orang sesat untuk menyerbu Kun-lun maka yang terjadi adalah kengerian dan rasa was-was yang besar!

* * * * * * * *

Mari kita ikuti sejenak apa yang terjadi di Kun-lun ini. Dua hari yang lalu, malam-malam, datanglah segerombolan orang mendatangi markas besar partai ternama ini. Waktu itu tokoh-tokoh utamanya sedang pergi, yang memimpin adalah Kun-lun Jit-hiap atau Tujuh Pendekar Kun-lun itu. Dan ketika para murid yang menjaga gunung melihat puluhan obor bergerak-gerak, naik dan terus ke atas gunung maka mereka melapor dan sebagian ada yang turun, mencegat.

Puluhan obor membuat para murid curiga. Tak biasanya gunung tempat mereka tinggal didatangi orang, apalagi malam-malam. Dan karena mereka mengira penduduk dusun, begitu mula-mula mereka menyangka maka datangnya gerombolan orang-orang sesat ini dicegat belasan murid yang berkelebat turun gunung.

Orang-orang itu tak ada yang bicara dan hanya gerakan obor mereka yang memberi tahu. Selebihnya diam. Maka ketika belasan murid berkelebat turun dan langsung menghadang, serentak obor-obor itu berhenti maka seorang murid Kun-lun bertanya, suaranya nyaring, berwibawa,

”Maaf, saudara-saudara dari manakah ini yang malam-malam datang ke tempat kami. Ada keperluan apa, berhenti dan mohon jawaban dulu!”

Namun yang didapat adalah dengus pendek. Seorang lelaki kekar, dengan kumis hitam tebal tiba-tiba mencabut golok. Tanpa ba-bi-bu lagi dia maju dan bergerak ke depan, golok diayun membacok anak murid Kun-lun itu. Dan ketika murid itu terkejut dan tentu saja mengelak, dikejar dan dibabat lagi akhirnya iapun mencabut pedang dan sekali tangkis golok dan pedang memuncratkan bunga api.

“Crangg!”

Suara ini bagaikan aba-aba bagi gerombolan itu. Yang ada di depan tiba tiba bergerak, meloncat dan menerjang maju. Dan ketika delapan golok membacok dan menusuk anak murid Kun-lun itu, murid yang lain tentu saja marah dan berteriak maka mereka membantu suheng mereka itu namun semua pembawa obor tiba-tiba bergerak dan menyerang!

“Cring-crang-brett!”

Jerit dan pekik kesakitan segera terdengar. Belasan murid Kun-lun yang tiba-tiba harus berhadapan dengan tujuh puluhan orang mendadak terlempar dan terjengkang. Lawan yang mereka hadapi ternyata bukan orang-orang biasa karena masing-masing bertenaga kuat sekali. Si kumis lebat, yang akhirnya ditangkis dan menambah tenaganya sudah membuat terpental pedang di tangan si tosu. Tosu itu menjerit dan terhuyung. Dan karena saat itu yang lain bergerak dan menusuk maju maka tosu ini menjadi korban dan dialah orang pertama yang robek perutnya.

“Augh!” Jerit dan pekik itu disusul oleh jerit dan pekik-pekik yang lain. Bagai hewan-hewan buas tujuh puluhan orang itu melabrak maju. Oborpun ada yang dipakai senjata, tak ampun membakar lawan dan yang kena wajahnya berteriak-teriak. Ini disusul oleh sulutan ke tubuh yang lain, membakar dan mengenai baju atau pakaian para tosu yang roboh.

Dan ketika mereka itu dijilat api dan bergulingan melolong-lolong, obor yang satu disabetkan dan menghajar tubuh yang lain maka para tosu dari Kun-lun ini menjadi manusia obor yang tak dapat menyelamatkan diri lagi. Tawa dan kekeh pendek-pendek terdengar dari mulut orang-orang itu. Para pembawa obor ini mengejar dan menjilat-jilatkan api obornya ke tubuh lawan.

Dan karena jumlah mereka demikian banyak sehingga para tosu dikeroyok tujuh atau delapan orang, merekapun juga tak menyangka bahwa lawan yang datang adalah orang-orang buas bukannya penduduk dusun maka belasan tosu itu menggelepar dan mereka yang roboh dipukul kepalanya lalu terbakar dan ditambus hidup-hidup.

“Tolong.... toloong !” Jerit dan pekik itu menggugah kesunyian malam. Sebenarnya Kun-lun dalam keadaan hening setelah itu. Waktu malam digunakan untuk beristirahat atau bermuja semedi. Tapi begitu teriakan dan jerit lolong itu menggugah yang lain, para pembawa obor bersorak menyiksa lawan tiba-tiba terdengar geraman bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan. Geram seperti srigala lapar.

“Jangan berhenti di sini. Naik dan terus ke atas!”

Orang-orang itu tiba-tiba diam. Mereka terkejut dan cepat membentuk barisan lagi, merapikan diri dan naik lagi keatas dengan cepat. Tubuh belasan murid yang terbakar itu tak dihiraukan lagi. Mereka diam saja ketika dua di antara itu bergulingan berteriak-teriak, menggelinding dan masuk jurang. Dan ketika dua bola api meluncur dan lenyap diiringi teriakan panjang, itulah tubuh api dua murid Kun-lun maka para pembawa obor ini bergerak dan mendaki jalanan berbatu dengan langkah ringan dan cepat.

Mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan karena dari gerak dan langkah kaki itu terlihat sebagai orang-orang terlatih. Begitupun sikap dan gerak diam itu, bagaikan sepasukan perang yang sudah terlatih baik. Maju dan siap gempur! Namun karena teriakan dan lolong murid-murid Kun-lun didengar di atas, yang lari melapor pun sudah masuk buru-buru maka Kun-lun Jit-hiap yang tertegun mendengar itu sudah meloncat bangun dan meninggalkan samadhi mereka.

Sama sekali tak disangka bahwa yang datang adalah gerombolan iblis. Pelapor belum tahu apakah itu kawan atau lawan. Maka ketika tujuh pendekar itu bergerak keluar dari kamar masing-masing, para murid disiapkan dan mencabut senjata masing-masing maka di saat itulah terdengar lolong dan raung srigala.

Suaranya begitu menyeramkan dan menggetarkan puncak, apalagi ketika di empat penjuru juga terdengar lolong atau raung itu. Dan ketika suara itu berbareng dikeluarkan oleh puluhan atau bahkan ratusan srigala maka puncak Kun-lun tergetar hebat dan genting-genting berjatuhan tak kuat menahan getar suara ini. Dahsyat mengerikan, apalagi di malam seperti itu!

“Awas, berjaga-jaga. Siapkan senjata dan turun!”

Namun para pembawa obor muncul di tikungan. Mereka itu sudah bergerak cepat dan satu dua murid yang menghadang di jalanan menjadi korban kekejaman mereka. Sekali tusuk atau sabet tubuh-tubuh bergelimpangan. Gerak mereka itu begitu cepat dan mengejutkan, seperti Iblis. Dan ketika mereka itu muncul di tikungan dan Yang Tek Cinjin, orang termuda duri Kun-lun Jit-hiap terkejut membelalakkan mata maka mereka itu, puluhan orang itu sudah berdiri di depannya berjajar. Diam dan tak bergerak bagai patung-patung batu!

“Siapa kalian!”

Bentakan itu tak disambut suara apapun. Mereka ini, orang-orang ini diam membisu tanpa jawab. Tapi ketika tosu itu berkelebat maju dan murid-murid juga berdatangan maka mereka memecah diri dan tahu-tahu, mengepung dalam barisan.

“Keparat!” tosu itu marah dan gusar. “Kalian siluman-siluman dari mana, tikus-tikus busuk. Apa yang kalian kehendaki dan siapa pemimpin kalian!”

“Mereka membunuh murid-murid di bawah!” seorang berlari dan melapor. “Mereka membantai Sam-siok suheng dan kawan-kawan, susiok. Mereka keji dan tak berperasaan!”

”Apa?”

“Benar, Sam-siok suheng dan kawan-kawan terbunuh. Mereka dibakar!”

Yang Tek Cinjin terkejut. Saat itu raung dan lolong srigala makin menghebat. Para murid yang ada di situ berteriak, ada ratusan mata api di tempat itu. Dan ketika pantulan cahaya warna-warni ini disusul gereng dan lolong menggetarkan mendadak bola-bola api itu meloncat dan terdengar aba-aba bernada dingin.

“Serbu...!”

Puluhan pembawa obor bergerak. Serentak dengan mereka ini meloncatlah ratusan srigala dari semak- semak belukar. Mereka itu tahu-tahu di situ dan bola-bola mata mereka inilah yang terlihat para anak murid Kun-lun-pai. Bola-bola itu tak berkedip dan sejenak para murid mengira mata harimau. Tapi begitu mereka itu berhamburan dan rupanya menunggu komando, begitu pula para pembawa obor ini maka semua terkejut diterkam dan di gigit srigala.

“Keparat!” Yang Tek Cinjin bergerak dan marah sekali. Tosu ini sudah akan menyerang para pembawa obor itu ketika dari kiri kanan berhamburan binatang-binatang buas itu. Satu di antaranya yang berwarna hitam meloncat, tinggi dan tahu-tahu keempat kaki berkuku tajam mencakar. Sekali kena tentu robek. Tapi ketika tosu ini berkelit dan pedang di tangannya membabat, tepat mengenai kaki depan binatang itu maka sang tosu terkejut karena binatang itu kebal.

“Tak!” pedangnya mental. Si anjing meraung dan terpelanting, tidak apa-apa dan kini menerjang lagi bagai gila. Tosu ini membabat dan lagi-lagi mental. Dan ketika para pembawa obor bergerak dan menyerangnya pula, srigala hitam itu menggonggong dan menggigitnya maka celana belakang tosu ini sobek.

“Brett!”

Si tosu mencak-mencak. Bokongnya kelihatan dan tertawalah para anak murid melihat susiok mereka itu. Betapapun hal ini menggelikan. Tapi ketika para pembawa obor tak ada yang tertawa dan tosu itu membentak anak murid maka mereka ganti berteriak sendiri karena di gigit dan diterjang srigala-srigala itu. Jumlahnya tak kurang dari empat ratus ekor.

“Aduh, mati aku..... bret-brett!” para murid bergulingan diterkam sekian banyaknya srigala. Mereka sekarang tak dapat mentertawai susiok mereka itu karena masing-masing menghadapi lawan berbahaya.

Para pembawa obor, yang sudah bergerak dan mencabut senjata mereka tak kalah ganas dengan anjing-anjing liar ini. Merekapun tiada ubahnya orang-orang kesetanan yang haus darah. Yang Tek Cinjin dikeroyok namun saat itu muncul enam bayangan lain, enan dari Kun-lun Jit-hiap. Dan ketika mereka itu berseru keras dan menyerang gerombolan ini maka Yang Tek Cinjin bergulingan karena yang paling berbahaya ternyata adalah srigala hitam kebal senjata itu.

“Dia... dia srigala siluman. Awas, hati-hati dan bunuh dia!”

Namun enam dari Kun-lun tak sempat memperhatikan. Mereka itu baru saja menolong sute dan murid-murid mereka ketika tiba-tiba saja dari kiri kanan berlompatan srigala-srigala lain. Ada merah dan coklat serta kuning, juga putih dan abu-abu yang semuanya ganas dan menerkam orang ini bagai hewan- hewan tak takut mati. Dan ketika enam orang itu menggerakkan pedang namun mental bertemu kulit yang atos, hewan-hewan itu kebal maka terdengar lolong dan suitan panjang.

“Bunuh, gigit mereka!”

Para srigala ini meraung. Mereka seakan menjadi lebih buas lagi ketika melompat dan menggigit. Taring-taring putih panjang menerkam enam orang tosu itu. Dan ketika mereka mengelak dan membacok lagi, mental, maka anjing-anjing itu membalik dan para murid yang berada di dekat mereka diterkam dan digigit. Dan begitu terdengar teriakan dan jerit kesakitan maka para pembawa obor juga menyeringai dan menerjang dengan gigi mereka pula, menerkam dan menggigit.

“Iblis! Mereka ini iblis! Awas, kita kedatangan orang-orang yang kemasukan ilmu hitam!” Pek Kiat Tojin, orang tertua dari Kun-lun Jit-hiap berseru keras. Ia terkejut dan kaget bukan main karena para pembawa obor itu berubah seperti anjing-anjing liar pula. Golok masih tetap di tangan tapi gigi mereka itulah yang kini menjadi penggantinya. Siapa yang diterkam langsung digigit dan disentak. Setiap sentakan tentu membawa daging atau darah segar. Dan ketika para murid menjadi gempar sementara lolong dan raung semakin dahsyat maka malam menggetarkan di puncak Kun-lun itu tak bakal dilupakan seumur hidup.

Pek Kiat Tojin, orang tertua yang menghadapi srigala abu-abu terkejut dan kaget sekali. Tujuh kali ia membacok namun tujuh kali pula pedangnya mental. Yang terakhir malah membalik dan nyaris membabat hidungnya sendiri. Dan ketika dia terbelalak sementara murid-murid berteriak dan menjerit, mereka bingung dan gugup oleh banyaknya hewan-hewan buas itu maka mereka yang roboh segera dikerubut dan dada serta isi perut berhamburan. Dilalap!

“Ganas! Semua masuk ke dalam! Menyingkir!!” sang tosu berseru dan pucat serta kaget sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa lawan yang datang adalah demikian mengerikan. Para pembawa obor itu juga menggigit dan melakukan yang sama seperti apa yang dilakukan srigala-srigala itu. Mereka merobek dan mengunyah isi perut. Jantung dan usus di makan begitu saja, mentah-mentah. Seperti iblis!

Dan ketika para anak murid muntah-muntah dan Yang Tek Cinjin terdesak oleh srigala hitam, juga tiga di antara pembawa obor maka semua murid berhamburan dan masuk ke dalam. Pek Kiat Tojin melindungi mereka dengan memutar pedang secepat kitiran, begitu juga saudara-saudaranya yang lain. Namun Yang Tek Cinjin menjadi korban. Orang termuda dari Kun-lun Jit-hiap ini penasaran. Dia membacok srigala hitam itu sampai belasan kali. Dan karena dia juga marah terhadap tiga pembawa obor itu, kemarahannya ditimpakan kepada mereka ini maka melengking berjungkir balik tosu itu menyerang dari atas.

“Bles-bles-bless!”

Pedang si tosu mengenai ubun-ubun. Dia melakukan jurus paling ampuh dari ilmu silatnya Kun-lun Kiam-hoat, yakni jurus Kecapung Menyambar Bulan. Jurus ini harus dilakukan dengan meloncat ke atas dan ketika meluncur turun pedangpun menukik ke bawah. Tiga orang itu kehilangan lawan dan tak tahu lawan sudah di atas. Kejadian berlangsung hanya sekian detik saja. Maka ketika tosu itu meluncur turun dan ujung pedang menikam ubun-ubun, tiga orang itu roboh dengan keluhan tertahan maka tosu itu menginjak tanah kembali namun srigala hitam menubruk dan menggigitnya dari belakang.

“Brett!” Bokong si tosu menjadi sasaran. Bokong ini sudah berlubang dan tentu saja Yang Tek Canjin terkejut. Dia membalik dan menendang. Tapi ketika sebutir batu hitam meluncur menghantam belakang lututnya, seketika kaki yang diangkat naik tak dapat ditarik lagi maka srigala itu menerkam selangkangannya dan bagian paling rahasia dari tosu ini menjadi korban.

“Augh!”

Sepotong benda terlepas dan tubuh tosu itu. Orang akan ngeri melihat betapa darah memuncrat dari bagian ini, disusul oleh robohnya tosu itu dan menubruknya para srigala yang lain. Rupanya srigala hitam memperoleh kemenangan, dia mengigit dan melolong menelan benda itu, berdiri dengan kaki depan terangkat dan kawan-kawannya menggonggong, riuh, membalik dan menubruk tosu itu dan selanjutnya potongan daging berhamburan ke mana-mana. Yang Tek Cinjin tiba-tiba tewas secara mengerikan. Perutnya terburai dan dada pun berlubang, isinya sudah dicabut dan para srigala itu beramai-ramai menggigit bagian tubuh tosu ini.

Sang tosu binasa secara menyedihkan. Dan ketika semua mata melotot dan hampir saja Hek CiangTojin menolong sutenya, Pek Kiat Tojin membentak dan menyambar lengan saudaranya ini maka apa boleh buat semua orang membiarkan Yang Tek Cinjin menjadi korban.

”Masuk ke dalam, masuk! Jangan di luar dan berkumpul di dalam!”

“Tapi.... tapi jit-sute (adik ketujuh)”

“Tak dapat kita selamatkan lagi. Masuk ke dalam, sute. Bahaya terlalu besar dan jangan hiraukan yang lain!”

Tosu ini mengguguk. Ia menutupi mukanya dan dibawa meloncat dan segera mereka menutup pintu gedung rapat-rapat. Di empat penjuru para murid juga menutup pintu yang lain. Tapi ketika tiba-tiba terdengar tawa aneh dan seseorang berada di tiang belandar, berdiri dengan muka tertutup kedok karet maka Pek Kiat Tojin dan lain-lain terkejut, apalagi ketika dengan beraninya orang itu melayang turun dan jubahnya yang hitam berkibar bagai sayap kelelawar.

“Kun-lun Jit-hiap, kalian semua harus mati. Buka pintu dan biarkan anak-anakku mendapatkan makanannya!”

Semua tosu terkejut. Di luar terdengar suara gaduh ketika srigala menggonggong dan menyalak-nyalak. Para pembawa obor menggedor-gedor dan menendangi semua pintu. Nanum karena pintu itu terbuat dari kayu tebal dan engselnyapun amat kokoh kuat, terbuat dari baja pilihan maka ketika semua ribut-ribut membuka pintu justeru kehadiran orang aneh di dalam ruangan ini mengejutkan mereka. Kapan iblis ini datang!

“Siapa kau!” Hek Ciang Tojin membentak dan melompat maju, pedang bergetar dan siap menusuk. Tapi ketika laki-laki itu tertawa dan Pek Kiat Tojin terkesiap teringat sesuatu tiba-tiba orang tertua dari Kun-lun Jit-hiap ini berseru. “Kau Majikan Hutan Iblis!”

“Heh-heh, benar,” Semua terkejut. "Dan kau tentu Pek Kiat Tojin. Bagus, giliranmu mati terakhir, tosu bau. Kau boleh mengiring di belakang arwah-arwah sutemu.”

“Keparat, dia... dia ini Majikan Hutan Iblis? Dia ini yang membunuh Kim-sim-suheng?”

“Benar, sute, tapi hati-hati dan jangan sembrono... singg!” Hek Ciang Tojin sudah membentak dan menusuk maju. Ia kaget dan marah sekali dan omongan sang suheng yang belum selesai tak didengar lagi. Ia menerjang dan menusuk laki-laki itu. Tapi ketika dengan mudah laki-laki ini berkelit dan pedang menyambar angin kosong, sang tosu membalik dan menyerang lagi maka empat kali berturut-turut semua serangan itu luput dan tak mengenai sasarannya.

“Heh-heh, para tosu hidung kerbau tak pantas menjadi penghuni Kun-lun. Kalian serahkan diri saja baik-baik dan biar anak-anakku menggigit jantung kalian tanpa merobek-robek isi perut.”

“Jahanam. keparat terkutuk. Kau iblis tak berperikemanusiaan, srigala siluman. Jangan harap kau lolos karena di sini kau akan mat...i plak!” Hek Ciang Tojin menghentikan seruannya karena tiba-tiba terpekik dan tersentak kaget.

Lawan menangkis dan pedang pun terpental. Ia merasa telapaknya pedas dan hampir saja melepaskan senjata. Begitu kuatnya tangkisan itu, padahal hanya dengan ujung lengan baju. Dan ketika tosu itu terhuyung sementara lawan terkekeh, tak mungkin lagi Pek Kiat Tojin dan adik-adiknya berdiam diri maka enam dari Tujuh Pendekar Kun-lun ini membentak maju. Mereka sudah menyerang dan laki-laki itupun berkelebat.

Para murid berteriak tapi pintu digedor-gedor. Satu di antaranya hampir terbuka. Dan ketika Pek Kiat berseru agar pintu dijaga baik-baik, biarlah mereka menonton dan melihat saja pertandingan itu maka orang ini sudah dikeroyok tapi jubahnya yang berkibaran naik turun menutupi pandangan membuat enam tosu terkejut dan ditangkis serta terpental.

“Ha-ha, kalian tak mungkin dapat melawan aku. Keng Hwat Taisu pun tak mungkin menang. Robohlah dan menyerahlah baik-baik atau kalian mati dengan rasa penasaran....cring-plak-plakk!”

Pek Kiat Tojin dan kawan-kawan terhuyung. Mereka merasa pedas telapak tangannya namun tentu saja menerjang kembali. Laki-laki itu mendengus dan tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya. Semua senjata tajam dibabat dan mencelat. Dan ketika semua tosu terkejut karena tangan itu bagaikan pedang, mampu membuat pedang di tangan para tosu terlepas maka Pek Kiat Tojin bergulingan namun lawan tiba-tiba lenyap. Mereka semua menyambar senjata masing-masing yang terlempar ke tanah, meloncat bangun dan terbelalak.

“Ke mana dia. Mana iblis itu!”

“Kami... kami hanya melihatnya hilang di sana. Ia menerobos wuwungan!”

Tosu ini terkejut. Semua mendongak ke atas dan tiba-tiba tampak lubang itu. Dengan kepandaiannya yang luar biasa rupanya orang ini melesat dan lenyap di sana, padahal tempat itu demikian tingginya tak kurang dari delapan meter. Sekali menjejakkan kaki dapat meluncur lurus dan terbang ke atas bagaikan siluman bukanlah pekerjaan mudah. Hanya orang yang benar-benar memiliki kesaktian hebat saja dapat melakukan itu. Dan ketika semua tertegun kenapa orang itu menghilang, tak mungkin dia melarikan diri maka cahaya merah tiba-tiba membias lebar dan api berkobar di luar gedung.

“Kebakaran! Api! Tempat ini dibakar!”

Pek Kiat lagi-lagi terkejut. Dia adalah orang tertua dan pemimpin di situ. Guncangan demi guncangan yang diterimanya ini benar-benar membuatnya shock. Tadi Majikan Hutan Iblis itu telah memperlihatkan kehebatannya dengan menangkis enam pedang sekaligus, hanya dengan telapak kosong dan akibatnya mereka semua terlempar, pedang terlepas dan ketika mereka bergulingan meloncat bangun tahu-tahu orang itu tak ada.

Kini di luar gedung tampak cahaya api membias kemerah-merahan, cepat dan segera berkobar besar dan saat itu terdengar tawa panjang. Pintu utama disambar angin dingin, dahsyat berkeratak dan akhirnya jebol. Dan ketika seonggok bara merah melesat ke dalam, sepotong kayu besar dilempar orang dari luar maka Pek Kiat Tojin berseru keras membanting tubuh.

“Awas!”

Namun sutenya kalah cepat. Hek Ciang Tojin, orang keenam berteriak ngeri. Potongan kayu menyala itu menyambar tubuhnya, dielak sang suheng tapi mengenai dirinya. Dan ketika kayu sepanjang dua meter itu menancap di dada sang tosu, naik dan terbawa terbang ke dinding maka kayu menyala itu akhirnya berhenti dan menancap tembok. Ujungnya menembus dada tosu ini dan tubuh Hek Ciang Tojin tampak bergantungan sementara apinya padam terganti cucuran darah yang deras mengalir dari bagian tubuh yang berlubang itu.

“Sute!”

Tentu saja semua gempar. Pemandangan di atas tembok itu mengerikan. Tubuh sang tosu lunglai tertusuk mirip sate dengan sunduk (biting) raksasa. Roh tosu itu tentu saja melayang seketika. Jiwanya tak mungkin selamat. Dan ketika semua melotot namun gonggong dan riuh srigala menyerbu mereka, pintu utama dijebol orang maka para pembawa obor juga berlompatan dan mereka ini masuk dengan wajah dingin.

Pek Kiat Tojin tak dapat menahan marahnya lagi. Dia tahu bahwa itulah perbuatan Majikan Hutan Iblis. Kalau bukan orang itu tak mungkin pintu utama bisa dijebol. Hanya orang bertenaga gajah saja mampu melakukan itu. Maka membentak dan menyambut orang-orang itu, memutar pedang dan membacok serta menusuk maka tosu ini sudah berjibaku lagi dengan kemarahan meluap-luap.

Lima adiknya yang lain juga melakukan hal yang sama dan para murid tak ada waktu lagi untuk berpikir jauh. Mereka sudah diserbu dan percuma saja meloloskan diri. Pintu utama dijebol. Dan karena srigala-srigala itu sudah melompat dan menubruk mereka, yang tak dapat berkelit segera roboh dan terpelanting maka di ruangan ini terjadi saling bunuh yang amat mengerikan. Dan api di luar sudah merayap masuk, cepat sekali.

“Keluar ! Keluar dari tempat ini. Jangan didalam!”

Sekarang Pek Kiat Tojin memberi perintah berlawanan. Tadi tosu itu menyuruh masuk tetapi sekarang justeru menyuruh keluar. Ini memang mungkin saja dilakukan karena gedung itu mulai terbakar. Dengan api yang berkobar cepat tak mungkin mereka bertahan lagi. Asap dan hawa panas amat mengganggu, mereka sudah batuk-batuk sementara srigala dan jauh berbeda maka lima tosu pimpinan itu bekerja ekstra keras menghalau serbuan dan keroyokan lawan.

Srigala dan para pembawa obor biasa-biasa saja. Mereka bagai hewan-hewan siluman yang tak perduli asap atau api, begitu kesetanan dan heran juga bahwa srigala yang buas itu tak takut api. Ini bukan lain karena kuatnya pengaruh ilmu hitam yang dimiliki Majikan Hutan Iblis itu. Dari jauh laki-laki ini menonton dan berkemak-kemik, sesekali tangannya mendorong dan melepas uap hitam. Ada bau busuk dan amis di situ.

Dan ketika Pek Kiat Tojin dan kawan-kawan berkelebatan keluar, lawan menyusul dan gonggong serta riuh srigala itu mengejar para murid maka gedung mulai ambruk dan bunyi berdebum serta robohnya kayu-kayu belandar membuat perasaan tergetar dan ngeri. Pek Kiat Tojin mengamuk dengan hebat. Tosu ini berhasil merobohkan lima di antara belasan pengeroyok. Tapi karena srigala abu-abu kembali mengganggu dan menyerangnya, sementara yang lain juga mengalami hal yang sama dan tak kebal senjata membuat mereka benar-benar kerepotan.

Belasan kali pedang mereka terpental bertemu kulit tubuh yang atos itu. Dan ketika satu dua para pembawa obor juga ada yang dapat dirobohkan namun jeritan dan pekik para murid membuat tokoh-tokoh Kun-lun ini gelisah, korban di pihak mereka jauh lebih banyak dibanding lawan maka terdengar tawa aneh dan bayangan hitam dari Majikan Hutan Iblis itu berkelebat.

“Minggir kalian semua. Habisi anak-anak murid Kun-lun itu!”

Para pembawa obor mencelat. Srigala abu-abu dan coklat serta kuning juga terlempar. Dengan wajah dingin namun mata buas laki-laki itu berdiri di depan Pek Kiat Tojin. Dan karena kebetulan lawan yang paling utama ini di depan hidungnya, sang tosu membentak dan menikam maju maka di sana empat adiknya yang lain kehilangan lawan karena semua menyingkir dan menyerang anak-anak murid.

Khi Bun Tojin, orang kedua tadinya hendak mengejar dan memaki orang-orang ini. Dia hendak merobohkan sebisanya kalau saja saat itu tidak terdengar teriakan kaget suhengnya. Sebuah benda berkelebat dan sinar putih menyambut pedang si tosu, putus dan bergulinganlah Pek Kiat Tojin menyelamatkan diri. Dan ketika tosu itu meloncat bangun dan Khi Bun Tojin menoleh, melihat sebatang golok berkeredep di tangan laki-laki ini maka keduanya berteriak mengejutkan yang lain.

“Golok Maut...!”

Tiga sute yang lain menengok. Mereka juga hendak mengejar para pembawa obor itu, menolong dan menyelamatkan anak-anak murid ketika terdengar seruan itu. Dan ketika mereka menoleh dan melihat benda itu, golok bersinar yang baru saja menebas buntung pedang suheng mereka maka Pek Kiat Tojin menggigil dengan pedang yang tinggal gagangnya.

“Kau. kau membawa Golok Maut. Itu milik Si Naga Pembunuh Giam Liong!

“Heh-heh, tak usah banyak cakap. Sekarang kalian berlima hadapi aku, tosu-tosu bau. Suheng kalian Keng Hwat Taisu membakar tempat tinggalku, membumihanguskan. Sekarang aku membalas dan menagih berikut bunganya!”

Pek Kiat Tojin melengking. Ia menyambar sebuah pedang anak murid yang tewas dan menerjang maju lagi. Empat adiknya mengikuti dan mengeroyok. Tapi ketika satu per satu menghadapi kilatan cahaya putih itu, putus bertemu Golok Maut maka Pek Kiat Tojin berseru agar jangan beradu senjata, bergulingan menyambar pedang yang lain lagi.

“Jangan hadapi Golok Maut itu, jangan beradu senjata. Ambil senjata yang lain lagi dan pergunakan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh Unsur)!”

Lima tosu bergerak cepat. Mereka meloncat bangun setelah bergulingan dibabat Golok Maut. Laki- laki itu menangkis demikian enaknya, tertawa dan mendengus pendek namun segera mereka mencari senjata yang lain lagi. Di situ banyak pedang anak murid yang terlempar, yakni mereka yang roboh dan tewas tak mampu mempertahankan diri. Dan ketika lima tosu itu menerjang lagi dan kini mereka bergabung mainkan Jit-seng-tin, sayang hanya lima orang saja karena dua di antara mereka sudah tewas maka tubuh mereka berkelebatan naik turun dan selalu menarik serangan kalau Golok Maut bekerja.

Majikan Hutan Iblis tertawa dingin dan memindahkan golok itu ke tangan kiri. Kini dengan tangan kanannya ia menangkis, membuka telapak tangan itu dan karena bukan Golok Maut maka Pek Kiat Tojin dan adik-adiknya berani. Tapi ketika pedang terpental dan lagi-lagi hampir terlepas dari pegangan, mereka terkejut maka telapak itu tiba-tiba menghitam dan laki-laki ini berseru.

“Ajal sudah dekat. Awas bersiap-siaplah menghadapi kematian!”

Lima tosu itu marah. Mereka selalu waspada terhadap golok di tangan kiri namun juga berhati-hati terhadap telapak lawan yang sudah menghitam. Tiba-tiba angin menyambar dan bau busuk serta amis menusuk hidung. Pek Kiat Tojin yang mengelak hampir muntah-muntah. Dan ketika sutenya juga melempar muka sambil menutup hidung maka telapak itu tiba-tiba menyambar lagi dan orang kelima dari mereka, Cek Tik Tojin menerima pukulan pertama.

“Hek-mo-ciang!”

Itu seruan laki-laki ini sendiri. Telapak itu menyambar dada si tosu dan Cek Tik Tojin mencoba mengelak. Dia tak berani menangkis karena sinkang lawan amat kuat sekali. Dengan pedangnya saja ia tak mampu menahan tangkisan tangan telanjang itu, apalagi tangan itu kini menyambarnya. Namun ketika ia coba berkelit dan kaget karena napasnya sesak, bau amis menyesakkan dada maka tosu ini terbelalak karena ia tiba-tiba seakan terpaku.

“Sute!”

Tosu ini melotot. Seruan suhengnya yang melotot melihat sutenya tak melempar tubuh membuat Pek Kiat Tojin kaget sekali. Apa-apaan sutenya itu, kenapa malah bengong. Tapi karena tosu ini tak tahu bahwa saat itu Cek Tik Tojin menghisap hawa beracun, paru-parunya menjadi penuh dan tak dapat bergerak maka saat itulah telapak tangan yang hitam itu mengenai dada.

“Plak!” perlahan saja tamparan ini, namun tubuh si tosu yang tiba-tiba terlempar dan melayang ke belakang tiba-tiba diikuti sinar putih berkeredep dan sebelum tubuh itu jatuh ke tanah maka kepalanya mencelat dan menggelinding dengan mata melotot. Kejadian berlangsung cepat dan Pek Kiat Tojin berseru tertahan. Namun ketika ia membentak dan sinar golok menyambar dadanya, dielak dan Hek-mo-ciang menyambar Tik Beng Tojin maka orang keempat inipun menjerit namun sekejap itu jeritannya putus dihentikan kepalanya yang terbabat.

“Crass!”

Dua kali kejadian berulang di depan mata. Cek Tik Tojin dan Tik Beng Tojin tiba-tiba saja sudah terbanting tak bernyawa dengan kepala mencelat. Tubuh mereka terjengkang, darah menyemprot dari luka di leher itu. Dan ketika Pek Kiat Tojin berseru kaget namun Hek-mo-ciang kembali menyambar, mengagetkan adiknya nomor tiga maka Bun Ceng Tojin, tosu ini tak dapat mengelak karena hawa beracun yang amis dan busuk itu terhisap olehnya. Sama seperti Cek Tik Tojin tadi iapun sesak napas.

Pukulan itu keji, sebelum mengenai tubuh saja sudah membuat orang tak mampu bergerak, paru-paru terisi oleh hawa busuk, uap beracun itu. Dan ketika iapun terjengkang namun sebelum itu kepalanya putus menggelinding, Golok Maut telah bicara maka Khi Bun Tojin dan Pek Kiat Tojin pucat sekali.

Dua orang ini menjadi ngeri dan sekilas ada pikiran untuk lari. Namun karena mereka orang-orang gagah dan Pek Kiat Tojin menjadi beringas, bersama adiknya ia membentak dan melepas pedang maka di saat pedang meluncur ke dada orang itu merekapun mengangkat lengan menghantam dengan maksud untuk mengadu jiwa.

Namun Majikan Hutan Iblis ini benar-benar luar biasa. Dua pedang yang disambitkan lawannya itu diterima dengan tawa aneh, dia tak mengelak atau menangkis. Dan ketika pedang mengenai dadanya namun patah, kesaktian yang mengagumkan melindungi dadanya maka dua pukulan itu diterima dan. Pek Kiat Tojin maupun sutenya berseru kaget karena ke dua lengan mereka lengket tak dapat dilepaskan.

“Des-dess!”

Laki-laki itu tertawa dingin. Pek Kiat Tojin dan sutenya meronta namun laki-laki itu menghembuskan mulutnya. Sekarang bau yang amat luar biasa busuk menyambar, langsung dari pusatnya. Dan ketika dua tosu itu muntah karena bau mulut laki-laki itu melebihi bangkai, sungguh mengerikan sekalimaka mereka melihat sinar berkeredep dan kata-kata mengerikan.

“Pek Kiat Tojin orang terakhir. Nah, terimalah kematian kalian dan kupenuhi janjiku!”

Dua orang ini sudah terbang sebagian nyawanya. Mencium bau busuk itu saja mereka seakan sudah pingsan, apalagi tangan yang lengket di dada itu. Dari situ menyedot tenaga panas yang membuat mereka mengeluh. Tangan mereka bagai dibakar saja. Dan ketika sinar putih itu berkelebat dan kepala Khi Bun Tojin putus lebih dulu, disusul oleh Pek Kiat Tojin yang sudah tak dapat berbuat apa-apa maka dua pimpinan Kun-lun ini roboh dan tubuh mereka ditendang laki-laki itu, ditubruk dan dijadikan rebutan srigala buas untuk dicabik dan dimakan dagingnya.

Berakhirlah sudah kengerian di puncak Kun-lun ini. Satu per satu tujuh pimpinan itu dibunuh. Gedung roboh dan api menjalar ke yang lain. Para murid yang tersisa melarikan diri. Mereka ngeri dan seram oleh peristiwa itu. Dan karena malam membantu mereka dan banyak diantaranya yang melempar tubuh ke jurang, patah-patah dan keesokannya merayap terseok-seok maka itulah yang dilihat Cin Tong Cinjin dan Keng HwatTaisu.

Anak murid yang bercerita ini tersedu-sedu. Dia sendiri luka-luka dan babak-belur. Wajah dan tubuhnya kehitaman, kotor. Dan ketika Keng Hwat Taisu menarik napas dalam-dalam sementara adiknya menggigil dan mengerotokkan buku-buku jari, wajah itu menjadi merah gelap maka anak murid ini minta ampun tak mampu mempertahankan partainya.

“Teecu.... teecu semua minta ampun. Teecu terpaksa melarikan diri karena kalau tidak begitu tentu menjadi korban. Siapa yang nanti melapor kepada suhu kalau semua murid binasa!”

“Hm, bangkitlah. Pinto dapat mengerti perasaanmu, Cit Hok. Dan untuk sementara ini barangkali Kun-lun hanya tinggal nama. Kita telah kehilangan begitu banyak orang, iblis itu benar-benar amat keji. Biarlah kita berkabung tujuh hari dan setelah itu pinto bertiga harus mencari jahanam keparat ini. Beristirahatlah, ceritamu sudah lengkap!”

Murid ini tersedu. Mayat dan semua yang luka-luka akhirnya dibereskan. Tujuh kepala dari Kun-lun Jit-hiap juga telah dimakamkan. Dan ketika hari itu Kun-lun benar-benar berkabung selama tujuh hari, Keng Hwat Taisu menahan rencananya untuk turun gunung maka suasana menyedihkan benar-benar terdapat di sini dan dibantu murid-murid yang masih ada Kun-lun pun dibangun lagi dan gedung yang runtuh menjadi saksi sejarah bagi partai yang sedang dirundung malang ini.

Keng Hwat Taisu menunda perjalanannya sampai masa berkabung habis. Keng Jin Taisu dan Cin Tong Cinjin setiap hari mengepal tinju. Mereka dendam dan marah sekali. Dan ketika masa perkabungan habis dan Keng Hwat meneruskan niatnya, Cin Tong dan Keng Jin Taisu ikut bersamanya maka Kun-lun ditinggal pimpinannya dan para murid disuruh merawat dan menjaga gunung saja.

“Pinto akan mencari manusia iblis itu, kalian jaga dan awasi saja tempat ini. Peliharalah ladang dan lahan pertanian kita. Jadikan itu sumber nafkah kalian. Kalau ada apa-apa yang tak dapat di atasi sebaiknya kalian menyingkir dan tunggu saja kedatangan kami.”

Para murid menangis. Sebenarnya mereka tak setuju ditinggal pergi. Cin Tong atau Keng Jin Taisu diminta tinggal. Namun karena dua tosu itu mengkhawatirkan keselamatan ketua mereka, sedang mereka sendiri masih ragu dapatkah berdua menghadapi Majikan Hutan Iblis itu maka pilihan tak ada lagi kecuali harus keluar dan turun gunung bertiga.

“Kami tak mungkin diam saja di sini. Kalian tahu betapa lihainya orang itu. Dan karena kami harus berangkat dan mencari bantuan di luar, barangkali tenaga kami bertiga juga masih tidak cukup biarlah kalian jaga tempat ini dulu dan jangan khawatir bahwa kami akan dapat menjaga diri. Cit Hok sementara memimpin kalian semua, tunduk dan taatilah dia sebagai saudara tertua. Kalau ada apa-apa sebaiknya dimusyawarahkan bersama dan jangan saling bertengkar. Sudah, kami pergi!”

Tiga pimpinan itu berkelebat. Wejangan Keng Jin Taisu ini memang beralasan. Dialah yang meninggalkan dan nasihat. Dan begitu tiga orang ini berkelebat dan turun gunung maka Kun-lun kembali sunyi namun anak murid menaruh harapan karena kalau tiga pimpinan itu mencari tenaga bantuan di luar barangkali Majikan Hutan Iblis itu dapat dibasmi dan kekuatan mereka dapat diandalkan. Namun apa yang terjadi?

Ternyata ada perobahan yang mengejutkan. Karena begitu tiga tokoh ini turun gunung mencari lawan mereka itu sambil mengumpulkan tenaga bantuan ternyata beberapa ketua partai bahkan memusuhi mereka. Mula-mula adalah Kiang-san, lalu Hoa-san dan terakhir Khong-tong-san. Dan ketika tiga orang ini malah diserang dan terpaksa menyelamatkan diri meninggalkan tempat-tempat itu maka Keng Hwat Taisu memburu napasnya melihat betapa tokoh dan para ketua partai-partai itu sudah tidak wajar sikapnya.

“Aneh, Kiang Bhong Tojin memusuhi kita habis-habisan. Dia hendak menangkap dan membunuh kita!”

“Benar, dan sikap Hoa-san-paicu (ketua Hoa-san) juga tidak sewajarnya, suheng. Mereka seperti orang kesurupan dan pandang mata mereka liar!”

“Dan Khong Ting Cinjin juga serupa. Dia tidak mengenal kita! Ah, apa yang terjadi?”

Tiga orang ini tak tahu. Mereka terbelalak dan keheran-heranan serta menahan penasaran besar bahwa ketiga sahabat mereka itu, yang dulu begitu akrab dan menjalin tali persaudaraan yang kuat tiba-tiba sekarang seperti musuh bebuyutan. Kedatangan mereka disambut dengan senjata.

Dan ketika tiga orang ini keheran-heranan dan bingung serta tidak mengerti, mereka tak tahu bahwa Majikan Hutan Iblis telah berhasil memasuki sukma tiga ketua-ketua partai itu dengan ilmu hitam Beng-jong-kwi-kang (Tenaga Setan Penembus Roh), ilmu yang membuat para srigala begitu buas dan kebal senjata maka di tempat lain Giam Liong juga menemukan hal aneh yang hampir serupa...