Tapak Tangan Hantu Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 11
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“AUUNNGGG...!!”

Han Han kaget bukan main. Sekarang suara ini bukan seperti mimpi dan air telaga berkecipak. Belasan, bahkan puluhan kepala anjing muncul. Mereka berenang dan di belakang masih terdapat lagi yang lain. Seratus.... dua ratus..... ah, tak kurang dari empat ratus ekor! Han Han terkejut dan berubah. Bahaya telah datang! Dan ketika tepat ia menjublak dan melotot lebar maka enam ekor anjing sudah melompat dari air dan menyerangnya.

“Huk-huukkk!”

Han Han mengibas dan tak dapat berlama-lama lagi. Enam ekor anjing itu ditendang dan mereka mencelat menggonggong riuh. Tapi karena mereka anjing-anjing hutan yang ganas dan tak kenal takut, temannya yang lain juga sudah berlompatan dan maju menyerang maka Han Han dikeroyok dan pemuda itu berkelebat mengeluarkan bentakan tenaga saktinya, dahsyat menggetarkan malam.

“Bangun...!!”

Puluhan anjing terlempar dan terpelanting. Bentakan Han Han demikian dahsyat hingga dengan suaranya saja pemuda itu mampu membuat srigala-srigala itu terpental. Mereka menggonggong dan riuh sendiri. Suara itu menghempas mereka bagai topan meniup daun-daun kering. Dan karena suara ini membuyarkan pengaruh sirep dan anak-anak murid bagai mendengar genta di telinga mereka, spontan terkejut dan membuka mata maka Kim-sim Tojin juga mencelat dan terbangun dengan amat kagetnya.

“Aiihhhh...!” Kakek itu pucat melihat ratusan srigala tahu-tahu sudah di markas Hek-yan-pang. Mereka terguling-guling oleh bentakan suara Han Han dan khikang atau tenaga suara pemuda itu memang hebat sekali. Bukitpun bisa runtuh oleh suara dahsyatnya ini. Seluruh Hek-yan-pang tergetar dan pohon-pohon pun berderak roboh. Alangkah dahsyatnya suara pemuda itu. Dan ketika semua murid berloncatan bangun dan masing-masing terkejut oleh serbuan ini, kejadian serupa terulang lagi maka mereka berteriak mencabut senjata dan binatang buas yang sudah meloncat dan menyerang lagi itu disambut bentakan dan bacokan.

“Crat-crat!”

Dua di antaranya roboh. Kepala binatang itu menggelinding namun yang lain menyalak dan menyerbu lagi. Mereka bagai binatang-binatang kesetanan yang tak mengenal takut. Dan ketika anak murid bergerak dan menyambut serbuan ini, empat ratus srigala menerjang dan menyerbu markas maka Kim-sim Tojin, kakek gagah itu bergerak ke sana-sini melakukan tendangan dan pukulan.

Dia juga dikeroyok dan marah mendengar gonggong dan riuhnya binatang-binatang itu. Malam yang tenang tiba-tiba saja sudah diguncang oleh lolong dan raung binatang-binatang ini. Dan ketika kakek itu merobohkan tak kurang dari empat puluh ekor, anak-anak murid juga menyambut dan merobohkan hewan-hewan buas itu maka Han Han berkelebat dan memasuki kamarnya.

Dia sudah membuyarkan pengaruh sirep dan Kim-sim Tojin serta anak-anak murid berlompatan bangun. Ia tak mungkin harus menghadapi sekian banyak srigala-srigala itu sementara biang keladinya menyembunyikan diri. Majikan Hutan Iblis belum tampak dan ini yang paling berbahaya. Anjing-anjing itu hanya menurut tuannya dan merekapun dipengaruhi ilmu hitam.

Kalau tuannya tak dirobohkan maka anak buahnya tetap ganas dan beringas. Dan karena ia belum melihat bayangan isterinya sementara ia yakin bahwa isterinya pasti sudah bangun dan sadar, di sana ada Giok Cheng pula maka Han Han teringat anak perempuannya ini dan pintu kamar yang tertutup langsung ditendang.

“Braaakkk!”

Kamar itu kosong. Han Han pucat tak melihat anak isterinya di situ, berteriak dan memanggil namun tak ada jawaban. Dan ketika ia mendengar suara tawa dan kekeh menyeramkan, keluar dan berkelebat lagi maka ia bagai gila mencari dan memanggil anak isterinya itu. Riuh dan gonggong srigala benar-benar mengacau asal tawa dan kekeh menyeramkan itu.

“Siu-moi! Tang Siu!”

Sang isteri menghilang. Han Han mendobrak dan menendangi pintu-pintu kamar yang lain, berkelebat dan masuk keluar dengan pucat sekali. Baru kali ini ia merasa begitu cemas dan khawatir, perasaannya benar-benar diguncang. Dan ketika ia tiba di belakang dan menendang pintu terakhir maka dilihatnya isterinya itu berjalan mematung ke sebuah semak gerumbul gelap. Bagai orang tersihir!

“Siu-moi!”

Bentakan dan seruan Han Han ini ternyata tak mampu menggugah sang isteri. Tang Siu, wanita itu, tetap berjalan dan tenang melangkah. Pandang matanya ke depan sementara yang membuat Han Han mencelos adalah tidak adanya anak perempuan mereka. Giok Cheng, anak itu, tak ada bersama ibunya. Isterinya sendiri! Dan ketika Han Han berkelebat dan menampar kepala isterinya itu, tepat di ubun-ubun maka Tang Siu roboh dan terjerembab ke depan, mengeluh.

“Plak!”

Han Han pucat melihat kuatnya pengaruh ilmu hitam. Isterinya ini baru sadar setelah ditepuk kepalanya tadi. Ia menerkam dan menyambar isterinya itu. Dan ketika isterinya terkejut dan berseru keras, sadar, maka Tang Siu kaget bukan main kenapa ia menuju ke semak gerumbul itu. Seperti orang berpikiran kosong!

“Mana Giok Cheng! Ah, mana anakku?!”

“Ini yang hendak kutanya. Kau sendirian dan berjalan seperti orang tidak sadar Siu-moi. Apa yang terjadi. Mana anak kita Giok Cheng!”

“Aku... aku merasa seolah dimasuki segumpal asap hitam. Aku serasa mimpi. Aku, ooh... aku meninggalkan anakku itu di kamar, Han-ko. Ia masih sendiri. Giok Cheng....!!” dan sang nyonya yang berteriak dan melepaskan diri tiba-tiba menghambur dan memanggil nama anaknya dengan penuh khawatir.

Sekarang wanita itu baru sadar bahwa ia berada di bawah pengaruh ilmu hitam yang kuat, demikian jahatnya hingga ia tak ingat diri sendiri, apalagi anaknya! Namun ketika ia berkelebat ke kamar sementara anjing atau srigala-srigala buas itu sudah memasuki markas, mereka melolong dan menggonggong riuh maka pintu kamarnya yang tadi ditendang Han Han sudah menganga lebar dan anak perempuannya yang tadi disembunyikan di bawah kolong tempat tidur tak ada.

“Giok Cheng!”

Tang siu bagai gila. Wanita ini merunduk dan menendang tempat tidurnya itu, hiruk-pikuk namun sang anak tak ada. Han Han berkelebat pula memasuki kamar itu dan terbelalak. Ia tak tahu bahwa puterinya disembunyikan di kolong tempat tidur. Ia juga tidak melongok ke tempat itu, maklum, ia terburu-buru dan gelisah mencari isterinya. Maka ketika isterinya bagai gila mengobrak-abrik isi kamar, meja dan kursi ditendangi mencelat maka wanita ini menjerit dan menubruk Han Han, histeris.

“Ia, Giok Cheng tak ada! Ia kusembunyikan dikolong tempat tidur. Ooh, bantu aku mencari anak itu, Han-ko... bantu aku. Atau aku akan gila dan mati menjerit-jerit!”

Benar saja, wanita ini histeris dan menjerit-jerit. Ia berteriak dan melolong seperti srigala-srigala itu. Han Han pucat. Dan ketika ia kebingungan sementara sang isteri berteriak dan kalap, empat anjing di luar menerjang masuk maka nyonya itu melengking dan..... buk-buk-buk! ia pun sudah berkelebat dan menendang hancur kepala empat ekor binatang itu. Tang Siu sudah tak dapat menguasai diri dan meloncatlah nyonya itu bagai gila. Ia menjerit-jerit, membentak dan menendang setiap melihat srigala dan tewaslah binatang-binatang itu oleh amukannya yang dahsyat.

Han han berkelebat dan menyusul pula isterinya itu. Pemuda ini pucat. Ia melihat isterinya mengamuk dan begitulah kiranya kemarahan seorang ibu bila kehilangan anaknya. Isterinya itu bersikap histeris dengan mengangkat dan membanting hancur pula anjing-anjing hutan itu. Namun ketika terdengar jerit tangis bayi dan Han Han maupun isterinya sudah berkelebat ke situ, dua srigala berebut sebuah buntalan maka Tang Siu melengking dan Giok Cheng, anak yang dibungkus selimut tebal itu kiranya ada di situ. Jadi rebutan dua srigala merah yang saling gonggong dan gigit!

“Mampus kau, jahanam bedebah!”

Wanita ini berkelebat melebihi kecepatan Han Han. Anak yang dicari-cari ternyata ada di situ. Dua srigala yang saling gigit dan memperebutkan anak ini tak ayal lagi mendapat gempuran nyonya ini. Kaki sang nyonya menginjak sementara yang lain menghantam. Tumit kecil itu tepat mengenai kepala si binatang. Dan ketika dua srigala itu melolong dan menguik, yang terinjak seketika hancur kepalanya maka yang kena tendang mencelat dan berputar-putar.

“Giok Cheng...!” Sang nyonya sudah menyambar dan tersedu mendekap puterinya itu. Anak ini menangis dan wajah serta lengannya kena cakar, bukan main marahnya nyonya itu. Maka ketika ia mendelik melihat srigala yang ditendang itu bangun dan mengeram padanya tiba-tiba tanpa ampun ia meloncat dan mendahului menginjak leher binatang itu.

“Kau berani melukai anakku. Jahanam bedebah. Kau berani melukai Giok Cheng... krekk!” leher itu patah dan si anjing terkulai. Tang Siu tidak berhenti sampai di sini karena tiba-tiba ia mencabut pedang. Dua kali sinar putih berkelebat putuslah kaki depan binatang itu. Dan ketika ia masih menggerakkan pedangnya lagi dan kepala binatang itu mencelat, keadaan sungguh ngeri maka puluhan srigala tiba-tiba melolong dan menerjang nyonya itu, nyonya yang sedang kalap.

“Siu-moi, awas!”

Tang Siu beringas. Giok Cheng akhirnya menangis tak keruan dan riuh serta ributnya salak anjing membuat si anak ketakutan. Sang ibu yang beringas membuat keadaan lebih menyeramkan lagi. Dan ketika Han Han berteriak namun wanita ini meloncat dan menyambut dengan gerak menyilang, pedang itu berkelebat enam kali maka enam ekor anjing terbabat kepalanya dan menggelinding putus.

Namun Han Han tak mau isterinya mengamuk tak keruan. Dari kiri dan kanan terlihat puluhan srigala datang lagi. Mereka itu tak takut meskipun pedang telah bermandi darah. Binatang-binatang ini kemasukan ilmu hitam. Maka ketika ia membentak dan mendorong, puluhan binatang itu mencelat maka pemuda ini menyambar isterinya dan berseru agar membantu anak murid, berdekatan dengan gurunya pula.

“Tak perlu mengamuk di sini, tak ada gunanya. Anak kita sudah selamat dan bantulah murid-murid Hek-yan-pang dan Kim-sim locianpwe!”

“Biar, biarkan aku. Kubunuh dan kubantai binatang-binatang terkutuk ini, Han-ko. Mereka berani benar menculik anakku. Lihat, wajah dan lengan Giok Cheng lecet-lecet. Jahanam keparat mereka itu. Biar kubasmi dan kubunuh habis... crat-crat!”

Pedang masih bergerak dua kali, sempat merobohkan dua srigala lagi namun Han Han sudah menarik dan membawa isterinya ini pergi. Binatang itu hanya alat bagi majikannya sementara sang majikan belum ketemu. Itulah yang harus dicari dan ini yang amat penting. Dan tak mau isterinya membuang-buang waktu di situ, ia menarik dan menyendal tangan isterinya ini maka di depan terdengar jeritan dan pekik Kim-sim Tojin.

“Han Han, tolong!”

Pemuda itu berkelebat. Tawa dan kekeh itu tak terdengar lagi tertutup oleh riuh dan lolongan srigala- srigala ini. Teriakan Kim-sim Tojin kuat terdengar tanda betapa sesuatu mengerikan kakek itu. Tang Siu akhirnya sadar. Dan ketika mereka berdua datang di tempat itu dan tiga murid Hek-yan-pang roboh, di sana kakek itu menghadapi seekor srigala kuning maka Han Han terbelalak karena srigala itu tahan bacokan dan pukulan sinkang.

“Buk-bukk!”

Si kakek ngeri dan melotot. Lawannya, si kuning itu, terpental namun tak apa-apa, menggereng dan menubruk lagi untuk kemudian menerima pukulan dan jatuh terjengkang, bangun dan meloncat lagi hingga Kim-sim Tojin ngeri. Binatang ini tak apa-apa biarpun ditendang dan dipukul. Dan ketika mencabut pedang namun mental bertemu kulit si binatang yang atos, berteriak memanggil Han Han maka saat itulah pemuda ini muncul dan Tang Siu terbelalak melihat keadaan gurunya itu, yang bingung.

“Itu binatang paling kuat. Pinjam pedangmu dan biar kutusuk rongga mulutnya!” Han Han teringat cerita ayahnya dan berkelebat mendahului. Ia merebut pedang Tang Siu dan ketika binatang itu menyerang lagi maka ia memapak.

Kim-sim Tojin gemetar dan habis akal. Kakek ini dilanda kecemasan dan kebingungannya sendiri. Namun begitu Han Han berkelebat dan pedang menusuk rongga mulut binatang ini, srigala itu membuka mulut mengaum maka sekejap kemudian pedang itu menancap di pangkal tenggorok bagian dalam, menghunjam atau menusuk bagian berwarna hitam yang bersinar.

“Dar!” Ledakan disusul pecahnya kepala binatang itu. Darah memuncrat dan Han Han melompat minggir. Srigala kebal yang kuat ini ternyata memiliki kelemahan di situ, rongga tenggorokannya pusat ilmu hitam. Dan ketika Kim-sim Tojin berseru lega dan Han Han memberi tahu untuk menikam di tempat yang sama maka di luar telaga terdengar jerit dan lolong menggetarkan, dahsyat sekali. Sama dahsyat dengan suara bentakan Han Han ketika membuyarkan pengaruh sirep.

“Augghhh...!!”

Para murid roboh. Mereka tiba-tiba terguncang oleh pekik atau lolong ini. Ratusan srigala tiba-tiba berserabutan. Dan ketika Han Han menoleh dan terbelalak keluar telaga, terdengar kecipak dan bunyi menggelegak maka sesosok anjing, begitu rupanya, menyeruak dan berenang cepat sekali. Anjing yang panjang dan berkaki dua!

“Itu... itu dia!”

“Majikan Hutan Iblis!”

Han Han tergetar. Perasaannya terguncang dan darahnya tersirap. Sosok yang ternyata manusia namun berenang seperti anjing itu sudah sampai. Kepalanya muncul di permukaan dan sepasang matanya yang kemerahan bagai api itu menyambar dan menghanguskan siapa saja. Han Han dan semua yang berada di situ bergidik, merasa seram. Mahluk ini serasa bukan manusia melainkan iblis! Dan ketika orang itu meloncat keluar dan lolong atau raung srigala terdengar dari mulutnya, parau menggetarkan maka srigala-srigala yang tadi berhamburan sekonyong-konyong kembali dan menyerbu anak murid Hek-yan-pang itu.

“Auungggg!!”

Han Han mengelak. Bersamaan dengan suara itu maka Majikan Hutan Iblis ini menyambar. Tubuhnya mencelat dari tanah dan tahu-tahu menubruk. Gerakannya seperti anjing, melompat, tapi jauh lebih cepat dan tentu saja lebih mengerikan karena kedua tangannya yang terulur panjang itu mengeluarkan bunyi bercuit disertai bau amis. Telapak tangan itu tiba-tiba sudah menghitam. Dan ketika Han Han mengelak dan sambaran orang ini mengenai sebatang pohon di belakangnya, suara berdebum mengiringi suara ledakan maka pohon itu roboh dan Tang Siu menjerit karena tertimpa.

“Minggir!”

Wanita itu sudah melesat ke kiri. Han Han membentak isterinya dan cepat mendorong. Di situ pula ada anak-anak murid yang lain. Maka ketika pohon bergetar roboh sementara kulit batangnya hangus terbakar, betapa dahsyatnya pukulan itu, maka laki-laki itu tertawa nyaring dan suara tawanya mirip ringkik kuda betina, atau banci. Han Han membalik ke kiri ketika lawan mengejar, mengelak dan disergap lagi oleh sepasang lengan itu. Kuku-kukunya terulur hitam, Han Han terkejut. Dan karena tiga kali ia diserang dan tak mungkin mengelak terus, kali ini ia membungkuk dan menggerakkan tangan kirinya maka sambil membentak ia mengerahkan tenaga.

“Dukk!”

Han Han terhuyung. Hawa panas menjalar di lengannya dan ada gatal-gatal serta rasa panas. Ia terkejut, menepuk lengannya itu dan uap hitam menghilang. Pukulan lawan beracun! Dan ketika ia terbelalak sementara lawan terkekeh dan menyerang lagi, berkelebat dan memburunya maka dua kali Han Han menangkis lagi.

“Duk-dukk!”

Kali ini Han Han lebih siap. Ia mengerahkan tenaga Im-kang hingga hawa panas dipunahkan. Rasa gatal dan panas itu tak mengganggunya, sepasang lengannya berobah dingin. Dan ketika lawan terkejut tapi tertawa menggetarkan, seluruh telaga seakan berderak oleh tawanya yang penuh khikang ini maka Han Han berkelebatan karena lawan sudah terbang dan menyambar-nyambar di sekeliling dirinya.

“Heh-heh, bagus. Ini putera Ju-taihiap yang sakti. Bagus, kau hebat dan lebih pandai dari bapakmu, anak muda. Dan kaupun tampan. Heh-heh, aku tak akan membunuhmu kalau kau menyerah... duk-plak!”

Han Han mengerahkan Im-kangnya, terhuyung namun lawan juga terdorong mundur. Ia terbelalak karena lawan memandangnya dengan aneh. Sekarang masing-masing sudah berhadapan dan ia melihat jelas siapa Majikan Hutan Iblis ini, seorang lelaki berkedok karet dengan kuncir di belakang kepala, seperti ekor kuda dan jubah yang dipakai laki-laki itu berkibaran bagai bendera, menderu dan dapat menyerangnya pula dengan kibasan bagai sayap rajawali. Dan karena tubuh lelaki ini basah kuyup penuh air telaga, air itu bercipratan dan berpercikan ke sana ke mari maka air ini juga menyambar dan menyerangnya bagai butir-butir kerikil tajam.

“Plak-plak!” Han Han mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menghalau atau merontokkan percikan air beku ini. Ia mengerahkan Im-kang dan air itu hancur. Tapi ketika lawan tertawa aneh dan menyerang lagi, Kim-kang-ciang atau Sinar Emas menyambarnya dari delapan penjuru maka ia terkejut karena ilmu silat yang pernah dimiliki mendiang Kedok Hitam dari ayah Giam Liong dipunyai juga oleh Majikan Hutan Iblis ini. Tujuh kali tangkisan menunjukkan kuatnya tenaga lawan. Sinkang laki-laki itu hebat. Han Han tergetar dan terhuyung. Dan ketika lawan mempercepat gerakan dan tak ada cara lain untuk menandingi kecuali mengeluarkan ilmu silat andalannya maka Han Han melengking dan tubuhnya tiba-tiba bergerak naik turun bagai garuda menyambar-nyambar.

“Im-yang-sin-kun (Silat Sakti Im Yang)!” lelaki itu berseru dan kagum membelalakan mata.

Dari tubuh Han Han keluar deru angin dahsyat di mana kedua tangan atau kaki pemuda ini mengeluarkan hawa panas dan dingin berbeda-beda. Kaki dan tangan itu dapat silih berganti mengeluarkan dua tenaga sinkang berlainan. Dan ketika ia menangkis namun terpental kaget, Han Han membalas dan balik menyerangnya gencar maka Kim-kang-ciang terdesak dan laki-laki itu melotot.

“Des-plak!”

Hawa dingin dan panas membuat lelaki itu bingung. Ia terhuyung dan bayangan Han Han sudah berkelebat di sekeliling dirinya dengan cepat sekali. Bayangan pemuda ini sudah menjadi puluhan. Dan ketika ia terkejut dan mengeluarkan geram aneh, dingin dan panas berganti-ganti mendesaknya maka ia terkena pukulan tapi Han Han ganti terkejut karena lawan bertubuh kuat, kebal. Pukulan Han Han mental dan lelaki itu tertawa. Han Han menyerang lagi dan laki-laki itu tiba-tiba membentak. Ia merunduk dan tiba-tiba berjongkok seperti anjing, menggonggong. Lalu ketika ia melompat dan menyambut pukulan itu, bau amis menyambar maka Hek-mo-ciang, Pukulan Tangan Hantu meledak bertemu Im-yang-sin-kang.

Han Han terkejut karena mau muntah-muntah. Teringatlah ia akan cerita ayahnya betapa yang paling tidak disukai adalah bau dari pukulan Hek-mo-ciang ini. Sambutan lawan cukup hebat namun karena bau itu menusuk hidung, tentu saja konsentrasinya terganggu maka lawan dapat menghadapi dan Han Han tergetar dan surut selangkah. Lawan terkekeh dan kacaulah Im-yang-sin-kang. Bau amis itu semakin hebat hingga Tang Siu dan anak-anak murid di sekitar muntah-muntah. Mereka itu tak tahan. Han Han sendiri juga akhirnya mau muntah dan menahan napas. Tapi karena ini berarti pengacauan konsentrasi dan Im-yang-sin- kangnya tentu saja terganggu, dalam menahan napas berarti tenaga pun berkurang maka laki-laki itu menerjang dan desakan Han Han buyar kembali. Hek-mo-ciang menghantam dan dielak pemuda ini.

“Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku. Robohlah, dan menyerah baik-baik!”

Han Han terbelalak. Akhirnya ia berkelebatan mengelak sana-sini sementara pukulan atau balasannya kurang bertenaga. Gangguan bau amis itulah yang amat mengacau. Kalau ia membuka hidung maka iapun muntah. Benar-benar luar biasa bau itu. Amis dan busuk menjijikkan! Namun ketika ia membentak merobek ujung bajunya, membebat dan menutupi hidungnya maka iapun pulih kembali dan dapat mainkan Im-yang Sin-kang seperti semula.

“Hm!” laki-laki itu melotot. Ia marah namun sudah mempercepat gerakannya mengimbangi Han Han.

Pemuda itu berkelebatan lagi dan pukulan-pukulannya berbahaya. Lawan mulai terdesak dan seperti tadi, terhuyung dan mundur-mundur. Tapi ketika ia mengeluarkan gerengan aneh dan lolong putus-putus, di sana Kim-sim Tojin dan anak murid berteriak maka Han Han terkejut karena kakek itu dan lain-lain kalang-kabut. Srigala yang tadi menyerang buas kini lebih buas lagi. Lolong putus-putus itu disambut mereka dengan lolong putus-putus pula, dari luar telaga muncul empat srigala besar seperti anak kerbau.

Srigala ini berwarna hitam mengkilat dan melihat srigala ini mengingatkan orang akan srigala pertama di Hutan Iblis, bentuk dan tingginya sama. Dan ketika empat srigala itu meloncat dan para anak murid membacok namun mental, srigala itu kebal maka empat murid Hek-yan-pang menjerit ngeri diterkam dan dirobek tubuhnya.

“Krak-brett!”

Darah memuncrat ngeri. Empat anak itu roboh dan selanjutnya tubuh mereka dikoyak-koyak. Srigala dan kawan-kawannya itu bagai kesetanan merobek empat anak murid Hek-yan-pang ini. Bau darah mengundang yang lain untuk menerkam dan menggigit. Dan ketika di sana Tang Siu menjerit karena tubuh empat anak murid Hek-yan-pang itu sudah tak keruan bentuknya, daging dan jerohannya direbut oleh gigi- gigi tajam puluhan srigala maka korban mengerikan itu habis dalam sekejap.

“Aiihhhh....!” nyonya ini mencelat dan menggerakkan pedangnya. Ia sudah mencabut pedang dan mengamuk di situ. Sebelum empat srigala itu datang senjata ditangannya telah mengambil tak kurang dari tiga puluh srigala. Binatang-binatang itu terjengkang, kepala mereka putus terbabat. Tapi begitu empat yang hitam datang menyerang, tubuh mereka yang tinggi besar ini cukup membuat nyali kuncup maka empat korban pertama membuat sang nyonya marah bukan main dan begitu memekik ia berkelebat dan membacok empat binatang itu.

“Tak-tak!”

Pedang si nyonya mental. Tang Siu terkejut karena empat yang ini tidak seperti yang lain. Pedangnya bertemu kulit leher yang atos. Dan ketika ia terkejut sementara empat binatang itu marah, membalik dan mengaum panjang maka mereka menubruk dan menerkam nyonya ini. Namun Tang Siu adalah murid Kim-sim Tojin. Juga setelah dia menjadi menantu Ju-taihiap maka kepandaiannya tidak seperti dulu lagi. Nyonya ini juga isteri Han Han. Maka ketika ia berkelit dan menendang, pedangnya berkelebat lagi maka empat binatang itu terpelanting namun mereka bangun dan menyerang lagi, tak apa-apa.

“Des-takk!”

Pedang tak membawa hasil. Kaki sang nyonya yang membawa hasil namun empat ekor binatang itu hanya terlempar dan terguling-guling saja, bangun dan menyerang lagi dan selanjutnya nyonya ini mengamuk dan marah. Ia menusuk dan membacok namun semua sia-sia. Dan ketika nyonya itu dikeroyok dan empat srigala hitam ganti berganti menubruk, cakar dan mulut mereka memperlihatkan taring mengerikan maka Kim-sim Tojin tak dapat membiarkan muridnya dan berkelebat membantu.

“Tususk langit-langit mulutnya. Tikam atas lidahnya!”

Tang Siu teringat. Gurunya menendang dan dua di antara empat srigala itu mencelat. Dan ketika ia mengangguk dan satu di antara mereka meraung, mulut itu terbuka lebar-lebar maka ia menusuk namun alangkah kagetnya ketika pedang di tangannya tak membawa hasil. Binatang itu meloncat kaget dan kemudian bahkan menggigit patah pedangnya.

“Krak!”

Nyonya ini pucat. Di sana terdengar tawa panjang dan Majikan Hutan Iblis terkekeh-kekeh. Rupanya, pusat ilmu hitam itu sudah dipindah. Bukan lagi ditelapak atau rongga mulut melainkan entah di mana. Dan ketika nyonya itu menendang ditubruk yang lain, membalik dan meloncat menyelamatkan diri maka Kim- sim Tojin juga pucat karena tak mampu melumpuhkan srigala ketiga.

“Crat!”

Pedang si kakek melenceng ke dalam. Hewan itu terkejut namun tidak apa-apa, meloncat dan menggigit pula pedang itu, patah. Dan ketika si kakek mengelak ditubruk srigala keempat, menendang ketika srigala itu membalik dan menyerangnya lagi maka kakek ini dan Tang Siu kewalahan karena kehilangan senjata. Han Han di sana membelalakkan mata dan terkejut melihat isteri dan keadaan guru isterinya itu.

“Cari pedang lain, pergunakan senjata!”

Tang Siu ngeri. Teriakan suaminya di sambut lompatan ke kanan ke arah empat mayat itu. Empat anak murid Hek-yan-pang yang tewas itu terlempar senjatanya ketanah. Sang nyonya bergerak dan menendang senjata itu untuk kemudian menyambarnya. Orang tentu kagum melihat geraknya yang serba cekatan dan lincah. Dan ketika Kim-sim Tojin juga melakukan hal yang sama dan kakek itu ngeri tak dapat merobohkan binatang-binatang ini, titik kelemahan itu harus di cari maka kakek ini menggerakkan pedang secara serabutan dan menusuk sekenanya.

Tang Siu juga melakukan hal yang sama namun tiba-tiba terdengar geram dan lolong panjang pendek dari lelaki itu. Majikan Hutan Iblis memberi tanda kepada satu di antara srigala hitam lawan Kim-sim Tojin. Binatang itu mengeram dan membalik. Dan ketika sejenak ia tampak termangu namun kemudian melompat dan meninggalkan kakek itu maka ia menyerang Tang Siu dan yang disamping adalah Giok Cheng!

“Aiihhh...!” Wanita ini berkelit dan menendang. Binatang itu terlempar namun yang lain tiba-tiba melakukan hal yang sama.

Di sana geram dan lolong panjang pendek itu masih terdengar. Dan ketika dua srigala ini meloncat dan menyambar Giok Cheng, sekarang tiga hewan liar ini menujukan serangannya pada anak di gendongan ibunya maka Tang Siu menjerit dan marah bukan main. Nyonya ini mengelak dan menendang sementara pedangnya tak membawa apa-apa. Sembilan kali ia membacok namun sia-sia. Dan ketika di sana gurunya juga bingung namun marah menghadapi binatang yang kebal senjata, juga kebal pukulan maka Han Han tersentak melihat sinar putih tiba-tiba berkeredep dan membawa hawa maut.

“Kau tak mau menyerah, baik. Aku akan membunuhmu dan lihat apa ini srat!” Golok Maut atau Giam-to sudah berada di tangan orang itu.

Han Han terkejut bukan main karena golok tiba-tiba sudah menyambar. Tentu saja ia mengelak. Dan ketika lawan terkekeh dan ia dikejar, golok mendesing dan menyilang tiga kali maka Han Han membanting tubuh bergulingan.

“Crat-brett!” Ujung celananya terkena juga. Hampir ia terlambat dan selanjutnya Han Han melihat kilatan demi kilatan menyambar dirinya. Laki-laki itu terkekeh dan mendesinglah golok dengan amat ganasnya. Im-kan-to-hoat (Silat Golok Maut) memburu dan mengejarnya. Dan ketika Han Han bergulingan meloncat bangun dan mengibas dengan pukulan sinkang, masih juga ujung bajunya robek maka Han Han menyambar pedang seorang anak murid itu agar pergi dan mencari senjata yang lain, membentak dan dengan pedang di tangan coba menghadapi serbuan lawan. Dua kali ia mengelak namun dua kali ia harus menangkis. Pedangnya terbebat dan putus!

Dan karena Golok Maut bukan tandingan karena pedang di tangan adalah pedang biasa maka melengking mengandalkan sinkangnya Han Han mendorong dan menahan lawan. Laki-laki itu tertawa aneh dan tangan kiri bergerak pula. Hek-mo-ciang, Tapak Tangan Hantu itu dikerjakan bersama Im-kan-to- hoat, hebatnya bukan main dan pundak Han Han akhirnya terbabat. Pemuda itu berteriak dan terhuyung. Dan ketika pemuda ini terdesak dan sebentar kemudian mundur-mundur, di sana isteri dan mertuanya juga sibuk mempertahankan diri maka anak-anak murid berjatuhan dan pucatlah Han Han melihat keadaan.

Pek-jit-kiam, Pedang Matahari dibawa ayahnya. Dulu ayahnya juga terdesak hebat tak memegang senjata itu. Kalau saja lawan tak membawa Golok Maut kemungkinan besar Han Han dapat menandingi, karena ia sudah mulai dapat menahan bau amis dari Hek-mo-ciang itu, dengan menutup hidung. Dan karena ia melihat bahwa sinkang laki-laki ini seusap di bawahnya, dengan Im-yang-sinkang ia mampu mengatasi Hek-mo-ciang maka sekarang celaka baginya karena lawan mengeluarkan Golok Maut.

Giam-to atau Golok Maut itu senjata mengerikan. Tandingannya hanya Pek-jit-kiam. Dan karena sekali keluar tentu harus mencium darah, golok itu amat ganas dan berbahaya sekali maka pedang di tangan Han Han yang bukan pedang pusaka tak dapat menandingi golok di tangan lawannya itu. Han Han mengelak dan menangkis sana-sini sampai akhirnya pedang di tangannya tinggal gagangnya saja. Han Han pucat. Dan ketika satu bacokan lagi menyerempet telinganya, berdarah maka Han Han mengeluh dan terhuyung-huyung.

Susah. Ia boleh mahir mainkan Pek-jit Kiam-sut andalan ayahnya. Ia juga boleh mainkan Im-yang-sin-kun warisan gurunya. Namun karena Golok Maut adalah senjata luar biasa dan golok itu adalah ciptaan Mo-bin-lo, iblis raksasa yang hidup dalam jaman dongeng maka menghadapi senjata ini tanpa Pedang Matahari ibarat menghadapi golok ampuh dengan sebuah agar-agar. Pedang di tangan sudah terpenggal tinggal gagangnya dan Han Han melempar sisa senjatanya itu. Sambil bergulingan ia merebut pedang lain dari anak murid Hek-yan-pang.

Namun ketika semuanya itu tak membawa hasil dan tetap ia terdesak hebat, bahu dan telinganya robek berdarah maka Han Han menjadi pucat sementara isteri dan anaknya juga menghadapi bahaya dalam keroyokan empat srigala hitam yang kebal senjata itu. Han Han bingung. Sebenarnya, ilmu silatnya Im-yang-sin-kun adalah ilmu silat yang hebat. Hawa panas dan dingin dari ilmu silatnya itu dapat membeku dan mencairkan lautan. Dulu di Lam-hai (Laut Selatan) ia telah membuktikan itu.

Namun karena di situ banyak anak-anak murid, lagi pula bukan maksudnya untuk bertanding mati hidup maka kekuatan atau sinkang dari pukulan-pukulan Im-yang-sin-kun ini tak sepenuhnya dia keluarkan. Han Han hanya mengeluarkan delapan dari sepuluh bagian tenaganya, berarti masih ada sisa dua bagian lagi. Dari sini dapat diukur bahwa kalau lawan tidak membawa Giam-to atau Golok Maut mengerikan itu Han Han dapat mengatasi lawan.

Dengan delapan bagian tenaganya dia masih menang seusap. Tapi karena lawan memegang senjata maut itu dan Giam-to memang luar biasa, hawa atau sinar dingin dari golok ini cukup mengederkan nyali, kilatan cahayanya saja sudah sanggup merobohkan orang yang tak kuat wibawanya maka Han Han repot dan bingung menghadapi lawannya itu.

Ada dua kemungkinan sebagai jalan terakhir. Yakni pertama ialah mengeluarkan segenap Im-yang-sin-kunnya. Ini berarti dahsyat dari ilmu itu akan menyebar di seluruh pulau. Telaga di tempat itu bisa kering kena panas. Dan, ini yang lebih celaka, murid dan anak isterinya menjadi korban! Han Han tak berani mengeluarkan itu kecuali kalau dia sendirian, bertanding di tempat sepi umpamanya. Dan karena tak mungkin ia melakukan itu karena lawan selalu mengejar dan memburunya, ke manapun ia lari laki-laki itu selalu membayanginya maka keluar dari tempat itu adalah sia-sia. Sekarang tinggal kemungkinan kedua.

Kemungkinan ini adalah memanggil gurunya Im Yang Cinjin. Kakek itu, gurunya, adalah seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu luar biasa. Juga pengalamannya luas hingga kemungkinan ia dapat meminta bantuan gurunya itu. Dalam saat seperti ini tak ada lain jalan. Dulu, ketika ia bertanding mati hidup dengan Giam Liong juga gurunya itu muncul. Berkat bantuan gurunya ia dapat mengatasi kesulitan. Dan karena sekarang keadaan sudah amat memaksa, ia terjepit dan terdesak maka apa boleh buat Han Han mulai mencipta bayangan gurunya ini.

Dia adalah pemuda gemblengan lahir batin. Han Han memiliki kekuatan batin di mana dengan kekuatan ini ia dapat mengontak gurunya. Maka ketika ia terus terdesak sementara paha dan pinggangnya juga kembali robek berdarah, dua kali ia harus membanting tubuh bergulingan tiba-tiba pemuda itupun sudah berkemak-kemik dan lawan yang mencecar dengan tawanya yang mengerikan tertegun melihat pemuda itu memejamkan mata dan dengan cara seperti itu mampu mengelak atau menghindar bacokan-bacokannya. Han Han mengandalkan telinganya yang tajam!

“Heh, kau! Luar biasa sekali. Kau sedang mengeluarkan ilmu apa, anak muda. Kau tak mungkin berhasil mengatasi aku. Ha-ha, sebentar lagi kau mampus dan kelak Giam Liong pun juga akan mengalami nasib yang sama... wut-singg!” golok menyambar angin dan laki-laki itu terkejut.

Han Han mengelak sana-sini dengan mata terpejam sementara bibirnya komat-kamit sampai tergetar. Kalau bukan Han Han tak mungkin melakukan itu! Dan ketika laki-laki ini penasaran karena tujuh kali luput membacok Han Han, Hek-mo-ciangnya juga dapat dikelit dan dielak pemuda itu maka tiba-tiba dia membentak dan Golok Maut tiba-tiba dilepas, terbang menyambar.

“Mampus kau. Coba kau elak dan rasakan ini!”

Han Han sudah sampai pada puncak pemanggilannya. Ia menggigil dan gemetaran sementara lawan heran dan kaget. Semua serangan-serangannya gagal. Namun karena kali ini ia melepas golok itu dan ke manapun Han Han mengelak sudah siap ia papak dengan pukulan Tapak Hantu, tangan kiri dan kanan laki- laki ini sudah menghadang di samping Han Han maka saat itulah terdengar ledakan dan sesosok asap putih menyambut golok terbang ini.

“Siancai, golok berbahaya di tangan orang berbahaya. Kembalilah... dar!”

Seorang kakek berjubah putih tiba-tiba muncul dan mendorongkan tangannya. Kakek ini mengucapkan seruan nyaring dan Majikan Hutan Iblis itu terkejut. Golok tertahan dan menancap di telapak tangan itu. Namun ketika si kakek mengebut dan membentak maka Golok Maut terlepas dan saat itulah tubrukan atau terkaman laki-laki ini menghantam kakek itu sebagai ganti sergapannya terhadap Han Han, yang terhuyung dan jatuh terduduk

“Bresss!” Laki-laki itu terbanting dan roboh bergulingan. Tenaga amat kuat menerimanya dan berteriaklah dia dengan keras. Si kakek terluka telapaknya namun tetap saja hebat bukan main. Ia merasa benturan hingga Hek-mo-ciangnya membalik. Laki-laki itu menjerit. Dan ketika ia melempar tubuh dan melontakkan darah segar, meloncat bangun namun jatuh lagi maka ia terbelalak tapi tangan kirinya bergerak dan golok yang jatuh di tanah itu dihisapnya dengan pukulan jarak jauh.

“Wut!” Golok itu kembali dan berada di tangannya. Kakek di depan juga terhuyung dan pucat. Im Yang Cinjin, pertapa sakti ini tampak tergetar dan membelalakkan mata. Ia terpaksa menyambut Golok Maut namun tak mampu juga. Telapaknya tertusuk oleh senjata itu, tembus! Namun karena ia memiliki sinkang kuat dan dengan sinkangnya ini ia masih mampu mendorong mundur Majikan Hutan Iblis, laki-laki itu gentar maka ia ngeri dan melihat Han Han bangkit berdiri.

“Suhu...!”

Laki-laki itu terbelalak. Pertapa ini menoleh memandang muridnya dan Han Han menjatuhkan diri berlutut. Pertolongan telah datang. Dan ketika kesempatan itu dipergunakan laki-laki ini untuk membalik dan melolong memanggil srigala-srigalanya, melompat dan berkelebat keluar telaga tiba-tiba tangannya bergerak dan merebut Giok Cheng yang ada di tangan ibunya.

“Aiiihhhh...!” Sang ibu terkejut dan menjerit. Anak perempuan itu terbawa dan selimut pembungkusnya robek. Tang Siu kaget bukan main. Dan ketika ia melengking namun laki-laki itu terkekeh keluar pulau, melompat dan siap menculik anak ini maka Im Yang Cinjin, kakek yang terbelalak di situ tiba-tiba berkelebat dan berseru perlahan.

“Kembalikan anak itu!”

Laki-laki ini terkejut. Menghadapi pertapa itu ia paling gentar. Im Yang Cinjin ternyata adalah guru Han Han sementara pemuda itu sendiri belum mampu ia robohkan. Maka mendengar dan merasakan bentakan di belakang, kesiur angin dingin juga menyambarnya tiba-tiba lelaki itu memekik dan membalik menangkis pukulan itu.

“Dess!” ia pun terjengkang dan bergulingan. Si kakek berkelebat dan mengejar. Laki-laki ini marah. Dan ketika ia menangkis lagi dan terpental melolong gusar, tengkuk anak itu digigit tiba-tiba ia melempar Giok Cheng dan berseru, “Tangkaplah!”

Im Yang Cinjin terkejut. Ia melihat anak itu digigit dan tentu saja menjerit. Taring bagai srigala mencuat keluar. Namun karena Giok Cheng dilemparkan kepadanya dan ia harus menangkap, anak itu sudah diterima maka laki-laki itu mencebur ke telaga dan hilang bersama ratusan sisa srigalanya.

“Byur-byuurr...!”

Majikan dan anak buah sama-sama melompat. Mereka berenang cepat sementara malam menjelang pagi. Tangis dan keluh rintihan terdengar. Dan karena kakek itu tak mengejar sementara Tang Siu melompat melihat anaknya, Giok Cheng menangis dan semua orang mendekati kakek ini maka Im Yang Cinjin tertegun melihat sebuah luka di tengkuk si anak, menggosok namun tak mau hilang.

‘Hm, keji. Luka ini panas!”

“Giok Cheng, dia... dia apakan anakku? Oh, di apakan anakku, locianpwe? Apa yang dilakukan jahanam keparat itu?”

“Dia menggigit, ada luka kecil. Coba kuusap sekali lagi tapi aku tidak tahu apakah ada bahaya atau tidak!”

Tang Siu tersedu. Anaknya digosok dan diusap dan akhirnya diam. Sepintas, luka itu sudah tak berarti. Dan ketika kakek ini menyerahkan kepada ibunya sementara Kim-sim Tojin sudah mengusap peluh dan maju ke situ maka anak-anak murid yang lain menolong yang terluka dan tewas.

“Siancai, untung saudara Im Yang Cinjin datang. Kalau tidak entahlah apa jadinya dan betapa hebat Majikan Hutan Iblis itu!”

“Hm, apa yang terjadi. Siapa dia. Kenapa Han Han memanggil aku!”

“Dia manusia berilmu hitam,” Han Han menjawab dan menarik napas dalam. “Maaf bahwa aku memanggilmu, suhu. Teecu kewalahan menghadapi manusia iblis itu. Dia pembuat onar dan amat keji, datang dan kini mangacau Hek-yan-pang.”

“Dan dia membawa Golok Maut! Eh, bukankah golok itu milik Giam Liong?”

“Benar, suhu. Golok itu dicuri. Kami, ah. kami memang lagi dirundung malapetaka. Ayah tiada dan ibu tewas...! Han Han lalu menceritakan tentang garis besar kejadian itu. Betapa Majikan Hutan Iblis itu adalah orang berbahaya yang memusuhi Hek-yan-pang dan Giam Liong. Bahkan mencuri Golok Maut yang disembunyikan di dalam tanah dan membunuh-bunuhi orang-orang Khong-tong dan Lu-tong, juga orang-orang lain yang termasuk golongan pendekar dan baik-baik. Dan ketika cerita tiba pada tewasnya Swi Cu dan Yu Yin, dua orang yang dekat bagi Hek-yan-pang maka pertapa itu terbelalak dan terkejut sekali.

“Ah, jadi.... jadi isteri Giam Liong itu tewas pula? Dan ibumu.”

“Benar, kami sedang dilanda malapetaka, suhu. Kami sedang sial,” dan Han Han yang memotong serta menahan runtuhnya air mata lalu melihat kakek itu mengucap puja-puji.

“Thian Yang Maha Agung, kalau begitu benar kata-kata Sian-su. Dan pinto juga menerima firasat itu. Aih, pantas selama ini buih di Laut Selatan bergolak lebih dahsyat, Han Han. Dan pinto di dalam guha terganggu konsentrasinya, tak dapat bertapa! Dan anak ini, hmm... dia anakmu? Kenapa tak memberi tahu?”

“Maaf, suhu, banyak kerepotan yang mengganggu kami. Dan malam inipun kami menerima akibat dari kesalahan kami sendiri.”

Kim-sim Tojin berdetak. Ia merasa sambaran mata Han Han dan sadarlah kakek itu akan ulahnya. Juga Tang Siu. Dan karena Han Han tampak menyesali semua ini, keramaian itu adalah atas permintaan mereka maka Tang Siu terisak dan baru sekarang tahu kenapa suaminya ingin agar sang ayah datang dulu, baru mengadakan pesta.

“Hm, pinto sekarang mengerti kenapa kau tampak gelisah. Pinto baru sadar bahwa kau tak memegang Pek-jit-kiam, Han Han. Pinto terlalu mengagulkan diri dan menganggap enteng Majikan Hutan Iblis itu. Pinto terlalu percaya kepadamu!”

“Apa maksud kalian,” Im Yang Cinjin bertanya.

“Tak apa-apa,” Han Han menjawab, mendahului, tak enak juga karena secara halus sudah menegur mertuanya itu. “Kami hanya terlalu percaya diri, suhu. Hanya itu.”

“Tidak!” Kim-sim Tojin berseru. “Pinto yang menjadi gara-gara, Im Yang totiang. Han Han terlampau pinto pegang dan lupa bahwa dia tak membawa Pek-jit-kiam. Pinto minta agar meramaikan kelahiran Giok Cheng dengan pesta dan beginilah jadinya!”

“Dan aku membujuk pula suamiku,” Tang Siu terisak. “Baru aku sadar bahwa kecemasanmu beralasan, Han-ko. Lawan yang membawa Golok Maut tak kau tandingi dengan Pek-jit-kiam!”

“Hm, sudahlah. Semua sudah lewat dan harap lain kali kalian tak mendesakku lagi untuk hal-hal semacam.”

“Di mana Ju-taihiap,” Im Yang Cinjin bertanya lagi. “Ke mana perginya ayahmu itu!”

“Ayah mencari iblis ini,” Han Han menerangkan. “Kalau tahu ia datang tak mungkin ayah pergi, suhu. Ia membawa Pek-jit-kiam karena dulu ayah hampir roboh!”

“Hm, orang itu memang berbahaya. Dan pinto juga terluka,” kakek ini bersinar memandang telapak kanannya, yang berlubang. “Golok Maut terlalu dahsyat, Han Han. Dan pinto masih tak sanggup menerima keampuhan golok ciptaan Mo-bin-lo itu. Sungguh mengerikan, untung bukan Mo-bin-lo sendiri. Hm, kalau dia yang melontar tentu pinto tinggal nama!”

Han Han mengangguk. Ia mengucap terima kasih atas pertolongan gurunya itu dan malam itu juga mereka menolong murid-murid dan membersihkan tempat itu. Dari semua murid ternyata tujuh belas orang menjadi korban. Mereka tewas dan koyak-koyak tubuhnya. Perut dan segala isinya hilang. Betapa buasnya srigala-srigala itu. Dan ketika kakek ini menolong sampai pagi dan baru semuanya selesai, ratap tangis mengiringi kematian anak murid yang tewas maka Hek-yan-pang kembali berkabung dan Im Yang Cinjin bermuka muram melihat semuanya itu Kakek ini sehari tinggal di situ dan sebelum ia pulang dipanggilnya muridnya itu. Pagi itu ia bersiap-siap. Han Han berdua dengan gurunya. Dan ketika kakek ini menarik napas dalam-dalam dan memegang pundak muridnya maka dia berkata,

“Han Han, agaknya peristiwa tak kalah hebat bakal terjadi lagi di sini. Pinto mendapat firasat buruk. Hati-hatilah menjaga anakmu dan jangan biarkan ayah atau orang-orang dekatmu pergi.”

Han Han mengangguk.

“Kau teringat pesan Sian-su?”

Han Han menarik napas dalam, mengangkat mukanya. “Pesan mana, suhu?”

“Hm, kakek itu telah melarang ayah ibumu atau orang-orang dekat di sini bepergian. Dan mereka sekarang menjadi korban! Lihat Yu Yin dan ibumu itu!”

Han Han menunduk.

“Pinto sekarang mulai percaya, Han Han, dan pinto baru merasakan getaran-getaran bahaya itu. Sedangkan kakek dewa itu, ah. ia sudah lebih dulu tahu beberapa tahun yang lalu. Pinto harus mengakui keunggulannya!”

Han Han mengerutkan kening. Kalau gurunya memuji sedemikian rupa maka orang yang dipuji tentu hebat bukan main. Ia teringat Sian-su atau kakek dewa itu, guru ayahnya dan yang mukanya selalu tertutup halimun. Dan karena ia sendiri merasakan betapa hebatnya kakek ini, baik kepandaian terutama pelajaran hidupnya maka ia berguman dan mengangguk.

“Benar, Bu-beng Sian-su memang kakek dewa yang luar biasa sekali. Tapi apakah maksud suhu ingin berdua bicara dengan teecu (aku).”

“Hm, aku mulai menangkap apa yang ditangkap kakek itu. Maksudku, korban masih akan berjatuhan.”

Han Han tertegun, pandang matanya tiba-tiba berkilat. “Maksud suhu?”

“Ada sesuatu yang tidak enak kutangkap, Han Han. Tapi ini rahasia kita berdua. Ayahmu dan guru isterimu, ah..., aku tak berani mendahului kehendak Yang Maha Kuasa!”

“Suhu!” Han Han terkejut, bangkit berdiri. “Maksud suhu.?”

“Tenang, duduklah kembali, muridku. Ada akibat tentu ada sebab. Aku tak berani bicara terlampau jauh sebelum itu terbukti. Aku ingin berpesan agar ayahmu jangan boleh disuruh bepergian lagi biar tinggal di sini sampai batas waktu itu lewat. Sepuluh tahun!”

Han Han pucat. Ia terguncang oleh kata-kata gurunya ini dan sikap atau kata-kata gurunya itu demikian berkesan. Sebagai pemuda gemblengan tentu saja ia tahu di mana akhir kata-kata itu. Ayahnya dan Kim-sim Tojin di ambang maut! Tapi menenangkan perasaannya kembali dan duduk tak bergeming pemuda itu membuat kagum gurunya karena secepat itu pemuda ini mampu mengendalikan rasa.

“Hm, maaf. Sesuatu yang tidak enak memang bakal terjadi, Han Han. Aku tak berani melanjutkan karena kau tentu mengerti sendiri. Aku hanya minta agar ayah dan keluargamu dijaga baik-baik. Dan Kim-sim Tojin, hmm... akan pinto bujuk untuk tinggal di Lam-hai!”

Han Han tergetar. Dia meramkan mata dan tiba-tiba menahan sesuatu yang basah. Isyarat atau pesan gurunya itu benar-benar tak enak sekali. Ia harus siap dihantam gelombang badai yang datang! Tapi membuka dan memandang gurunya lagi pemuda ini berkata, agak menggigil, “Suhu, teecu dapat menangkap apa yang kau tangkap. Tapi teecu percaya padamu. Lalu apa yang harus teecu lakukan?”

“Kau tinggal di sini saja, Han Han. Lindungi keluargamu dan ayahmu kalau pulang.”

“Jadi teecu pun tak boleh keluar? Teecu biarkan saja Majikan Hutan Iblis itu gentayangan?”

Kakek itu tersenyum, menangkap rasa penasaran muridnya. “Tentu saja bukan begitu, Han Han. Hanya ada orang yang lebih cocok untuk itu, yang akan membereskan dan membuat perhitungan. Kalau kau ingin keluar sebaiknya hubungi aku dulu, aku yang berjaga disini.”

“Ah,” Han Han semburat. “Sampai sebegitu jauh?”

“Tak apa. Pinto bersedia datang ke sini, Han Han, kalau kau panggil. Tapi kalau tidak tentu saja tidak. Pinto pribadi siap menunda tapa kalau kau memerlukan.”

“Hm, suhu sebenarnya tak ingin terikat oleh hal-hal yang bersifat keduniawian. Suhu sudah tua. Bagaimana teecu berani mengganggu? Tidak, kalau tidak terpaksa sekali teecu tak mau mengganggumu, suhu. Hanya keadaan yang benar-benar mendesak yang dapat membuat teecu meminta tolong padamu!”

“Baiklah, aku sudah memberi kesanggupan. Dan barangkali sekarang pinto perlu berpamit pada yang lain...”

Sesosok bayangan berkelebat. Kim-sim Tojin, kakek itu datang dan muncul di ruangan itu. Kakek ini mencari Han Han dan kebetulan melihat, tak tahu adanya Im Yang Cinjin di situ. Tapi begitu ia mau mundur dan pertapa ini tertawa maka kakek itu dipanggil.

“Aha, Kim-sim Tojin kiranya. Mari masuk, kebetulan. Aku mau pamit, Tojin. Ada sedikit pula yang hendak kusampaikan!”

“Ah, Cinjin mau pulang? Tak menunggu sehari dua lagi? Kebetulan, aku juga mau kembali, Cinjin. Barangkali kita dapat bersama. Aku mencari Han Han karena ingin berpamit!”

Han Han terkejut. “Locianpwe juga mau pulang?”

“Cukup bagiku, Han Han. Majikan Hutan Iblis itu tak mungkin berani datang lagi. Kau dapat memanggil gurumu!”

“Hm,” Han Han berkerut, bayangan sang isteri muncul pula. “Jangan tergesa-gesa, locianpwe. Kau boleh tinggal di sini selama kau suka. Atau, hmm ...” Han Han teringat kata-kata gurunya. “Locianpwe boleh tinggal bersama suhu di Lam-hai!”

“Apa? Ha-ha! Si tua ini hendak disuruh bernaung seperti anak kecil? Kau hendak menyuruh pinto berlindung dibawah kesaktian gurumu? Wah, malu pinto melakukan itu, Han Han. Pinto bukan anak kecil. Di Kun-lun banyak teman dan kupikir cukup. Ah, kau tentu main-main!” dan Han Han yang tertegun dan memandang gurunya lalu menyesal kenapa malah mendahului keinginan gurunya. Dia bermaksud untuk meluweskan keadaan tak tahunya belum apa-apa ditolak. celaka! Tapi ketika gurunya tersenyum dan bangkit berdiri pertapa itu mengebutkan ujung lengan jubah.

“Tojin, bukan bernaung, melainkan menemani aku agar tak sendiri. Bagaimana kau salah tangkap dan menerima keliru? Han Han kasihan padaku, mencarikan teman. Kalau kau suka temanilah pinto agar tak sendirian di Lam-hai.”

“Ha-ha, pertapa macam kau justeru ingin sendiri, tak suka berdua. Tidak, pinto tak mau mengganggumu, Cinjin, terima kasih. Pinto ingin kembali dan beristirahat di Kun-lun. Pinto sudah melihat cucu pinto dan cukup. Giok Cheng sudah sehat!”

Im Yang Cinjin mengangguk-angguk. Sebagai orang waspada dia tak dapat mendesak lagi. Kakek itu sudah menentukan nasibnya sendiri! Dan ketika di sana Han Han tampak berobah namun ia memberi tanda, berbisik bahwa tak perlu mendesak kakek ini maka ia memutar tubuh dan menghadapi Tang Siu. Wanita muda itu menangis.

“Tang Siu, pinto mau kembali. Pinto juga merasa cukup di sini. Hati-hatilah menjaga anakmu dan barangkali gurumu mau bersama-sama!”

“Ah, ha-ha pinto pulang sendiri. Eh, kau malah mendahulu iaku, Cinjin. Aku mau berpamit malah kau mendahului. Wah, kukira kau masih di sini menjaga anak-anak!"

"Tidak, aku juga tak menyangka kalau kau mau pulang. Hmm, kalau begitu mari bersama-sama saja, Totiang. Kita seperjalanan dan setelah itu berpisah di Kun-lun!"

Kim-sim Tojin mengerutkan kening. Tiba-tiba saja kesombongannya bangkit. Ia merasa betapa secara cerdik namun halus sekali ia hendak "dikawal". Tiga kali orang menawarkan diri. Tapi karena ia tokoh Kun- lun dan jelek-jelek juga bukan orang lemah, hanya terhadap beberapa orang tertentu saja ia mengaku kalah maka kakek ini menggeleng dan berkata tegas. "Tidak, kalau kau pulang aku menunda niatku, Cinjin. Biarlah sehari dua lagi aku di sini. Kutarik pamitku. Kau silakan dulu dan nanti aku belakangan!"

"Hm," Im Yang Cinjin tak memaksa lagi, untuk kesekian kalinya usahanya gagal. "Baiklah, totiang. Kalau begitu aku dulu dan selamat tinggal!"

Han Han terkejut dan gurunya itu lenyap. Tanpa banyak bicara lagi gurunya ini berkelebat dan menggerakkan kaki. Sekali angkat sudah menghilang keluar. Dan ketika ia mengejar namun gurunya sudah di tepi telaga, mengembangkan lengan dan meluncur di permukaan air maka Han Han mengeluh dan memanggil gurunya itu. "Suhu...!"

Si kakek tak menoleh. Im Yang Cinjin hanya melambaikan tangan dan setelah itu meloncat ke darat, terbang dan menghilang di hutan. Dan ketika Kim-sim Tojin dan Tang Siu juga mengejar, melihat kakek itu maka Tang Siu menangis dan memeluk anaknya erat-erat.

"Han-ko, suhu.... suhu tak mau menemani kita. Ia juga hendak pergi. Cegahlah dia karena semalam aku bermimpi buruk!"

"Ha-ha, mimpi adalah kembang tidur! Semakin kau memaksa semakin pinto tak suka, Tang Siu. Kau seperti anak kecil yang masih merengek-rengek di bawah ketiak ibunya. Sudah, pinto hanya dua hari dan setelah itu juga kembali ke Kun-lun!"

Han Han mendekap isterinya. Dia jadi terkejut lagi mendengar ini, melihat si kakek melompat dan pergi dengan tak senang. Dan ketika ia mengajak masuk dan di kamar isterinya mengguguk maka isterinya itu bercerita bahwa Hek-yan-pang seolah ditutupi kain hitam raksasa.

"Aku... aku melihat peti mati. Puncak dan rumah-rumah kita ditutupi kain hitam berkabung. Aku takut, bercerita pada suhu tapi beliau malah marah-marah, mau pulang!"

“Hm, mimpi bisa karena tegangnya pikiran. Mimpi terjadi karena bisa saja seseorung ketakutan, muncul dan merefleksikan diri. Kau sekarang tak perlu gelisah, Siu-moi. Guruku sudah berjanji untuk datang sewaktu-waktu kalau kita perlu bantuannya. Tenanglah, hapus mimpi burukmu itu."

"Tapi, tapi aku tak dapat melupakannya. Mimpi itu terbawa terus, Han-ko. Aku takut!"

Han Han tak nyaman. Sang isteri sudah menangis dan Giok Cheng, anak mereka juga turut menangis. Anak itu tiba-tiba menjerit mengagetkan orang tuanya. Tang Siu tersentak. Tapi ketika Han Han melihat seekor semut merah di kaki anaknya, pantas anak itu menjerit maka Han Han menjumput dan membuang semut ini.

"Kegelisahanmu ditangkap anak kita. Lihat Giok Cheng tak mau diam. Sudahlah, pergi tidur, Siu-moi. Aku mau melihat di luar dan mengontrol anak-anak murid!"

Wanita itu tersedu. Tang Siu meletakkan anaknya dan menutupi bantal. Han Han berkelebat keluar. Dan ketika hari itu tak ada apa-apa dan hari kedua juga lewat dengan tenang maka Kim-sim Tojin yang uring-uringan muridnya mencegah pulang sudah menyiapkan buntalan dan pergi dengan bersungut.

"Pinto bukan anak kecil, pinto dapat menjaga diri. Pinto mau pulang ke Kun-lun dan di sana ada susiok dan supekmu yang menjadi teman. Kau tak usah seperti anak cengeng, Tang Siu. Tak biasanya kau begini. Pinto justeru gembira melihat kau dan anakmu selamat!"

"Tapi... tapi, suhu...!"

"Hm, mimpi buruk lagi? Mau bercerita bahwa sekarang mimpimu semakin seram dan ingin mencegah pinto pulang? Tidak, justeru aku tak senang dengan sikapmu ini, Tang Siu. Mana kegagahanmu sebagai murid Kim-sim Tojin. Terlebih lagi mana kegagahanmu sebagai menantu Ju-taihiap. Jangan buat malu suamimu pula!"

Tang Siu tersedu-sedu. Sebenarnya dia ingin bercerita bahwa mimpinya semalam memang lebih buruk lagi. Yang diimpikan adalah suhunya itu. Dia melihat suhunya tenggelam oleh banjir dan tiba-tiba di empat penjuru Hek-yan-pang adalah empat buntalan hitam. Buntalan itu berbau amis dan busuk. Dia takut. Tapi karena suhunya tampak marah dan dia takut bicara lagi, apa boleh buat menubruk dan memeluk suhunya erat-erat akhirnya wanita ini berkata,

"Baiklah, tapi tapi sering-seringlah kesini, suhu. Tengok cucumu Giok Cheng ini. Sebulan sekali harap kau berkunjung!"

"Ha-ha, bocah cengeng! Pinto tentu akan sering menengokmu, Tang Siu, menengok cucuku yang manis ini. Eh, sudahlah. Pinto harus pergi dan selamat tinggal!" kakek itu berkelebat dan mendorong muridnya. Ia tak mau terbawa oleh tangis muridnya karena diam-diam kakek inipun menitikkan air mata.

Hanya Han Han yang tahu betapa kakek itu tiba-tiba menangis. Han Han mengira tangis itu adalah karena haru terhadap tangis Tang Siu, tak tahu bahwa sebenarnya kakek ini menangis karena semalam ia juga bermimpi buruk!

Kim-sim Tojin seram oleh mimpinya semalam karena ia tiba-tiba seakan dikerubut srigala-srigala Hutan Iblis, sendiri dan dikoyak-koyak tubuhnya persis empat anak murid Hek-yan-pang dulu. Semalam ia terbangun dengan keringat dingin setelah beberapa malam sebelumnya ia juga bermimpi buruk, mendengar suara atau tawa dari kejauhan. Suara itu lamat-lamat sampai tapi tak ada ujudnya. Para pendiri Kun-lun dan ketua-ketua yang sudah meninggal seolah berdatangan menemuinya. Satu di antaranya adalah kakek gurunya, sesepuh Kun-lun yang meninggal tiga belas tahun yang lalu. Dan karena angka tiga belas dipercaya sebagai angka sial, kakek ini tergetar maka ia ingin cepat-cepat pulang untuk menenteramkan hati!

Di situ ia merasa malu. Ia seakan berlindung di balik Han Han. Dan karena dua hari yang lalu ia juga hendak diajak Im Yang Cinjin dan secara halus hendak dijaga keselamatannya, ia tak senang maka kakek ini ingin cepat-cepat pulang ke Kun-lun karena di sana ada para sute dan suhengnya. Jauh lebih baik berlindung di balik tokoh-tokoh Kun-lun itu daripada seorang anak muda macam Han Han, biarpun pemuda itu lebih tinggi kepandaiannya dari tokoh-tokoh Kun-lun. Maka ketika rengekan muridnya membuat ia semakin tak betah dan semalam ia ikut-ikutan bermimpi buruk, mungkin terbawa oleh mimpi Tang Siu maka kakek ini hendak membuang semua ketidakenakannya itu dengan cepat kembali ke Kun-lun.

Han Han dan Tang Siu memang tak dapat mencegah lagi kepergian kakek ini. Kim-sim Tojin bakal mendelik kalau dipaksa tinggal lagi. Kakek itu sudah mau pergi, biarlah pergi. Dan ketika Tang Siu mengguguk dan Han Han menyambar isterinya ini, isterinya roboh terhuyung maka Kim-sim Tojin di sana juga tak dapat membendung lagi air matanya yang deras!

Kakek ini jadi pilu dan tak nyaman oleh sikap muridnya. Dia merasa betapa sungguh-sungguh muridnya itu. Ia terharu, tapi juga gusar! Dan ketika ia berkelebat dan pergi menyeberangi telaga, perahu dikayuh dan akhirnya ditendang di tepian sana maka murid-murid mendelong dan menyaksikan perginya kakek itu dengan wajah kosong.

Tapi sesuatu yang hebat benar-benar terjadi. Tujuh hari setelah itu, ketika Hek-yan-pang kembali tenang dan murid-murid bekerja kembali mendadak dua di antara mereka menemukan keranjang hitam di barat telaga. Mereka sedang memancing dan menjala ikan ketika bau busuk tiba-tiba menampar hidung. Segerombol lalat merubungi sesuatu, didekati dan ternyata sebuah keranjang yang terapung timbul tenggelam di ceruk telaga. 

Dan ketika mereka mendekat dan tertegun oleh keranjang ini, saling pandang maka satu di antaranya memberanikan diri memeriksa isi keranjang itu. Keranjang ini tertutup dan baunya semakin busuk ketika didekati. Mereka penasaran. Tapi begitu satu di antara mereka membuka tutupnya maka terdengar jerit dan pekik kaget.

"Kim-sim totiang!"

Ternyata itu adalah kepala Kim-sim Tojin. Keranjang berbau busuk ini ternyata berisi kepala kakek itu, hanya kepalanya karena yang lain entah di mana! Dan ketika dua murid itu menjerit dan memutar perahu, berteriak-teriak maka di tiga penjuru yang lain juga terjadi kegemparan karena tiga dari masing-masing murid menemukan sepasang kaki dan tangan manusia.

"Pembunuhan..., ada pembunuhan!"

Yang mendapatkan kaki dan tangan tak tahu siapa. Mereka ini tidak seperti yang mendapatkan kepala, yang seketika tahu bahwa kepala itu adalah milik Kim-sim Tojin, kakek Kun-lun yang menjadi guru dari siauw-hujin (nyonya muda) mereka. Maka ketika mereka berteriak-teriak dan melapor ke dalam, Han Han berkelebat dan tertegun melihat tiga murid membawa kaki dan mayat manusia, juga badan yang sudah dipotong-potong maka murid yang menemukan kepala ambruk dan roboh di depan pemuda itu. Tang Siu berkelebat keluar.

"Kongcu..... ampun.... kami.... kami bertemu Kim-sim totiang !"

"Apa?" Tang Siu membentak, terkejut. "Kim-sim suhu? Maksudmu guruku?"

"Beb.... benar, hujin. Tapi...tapi..."

"Tapi apa, cepat bicara yang jelas!"

"Kami.... kami menemukan kepalanya. Maksud kami... dess!" murid itu mencelat.

Tang Siu melengking dan menendang murid ini, yang lain menunjuk-nunjuk dan menuding ke barat. Dan ketika murid itu disambar dan disuruh memberitahukan penemuannya maka Tang Siu menjerit bagai histeris melihat kepala gurunya di keranjang hitam itu. Keranjang yang penuh lalat.

"Suhu!" nyonya itu terguling dan roboh di atas perahu. Begitu kaget nyonya ini hingga mendelik dan pucat. Dan ketika ia berteriak namun suaranya hilang di tenggorokan, nyonya itu pingsan maka Han Han sudah berkelebat dan menyambar isterinya ini...

Tapak Tangan Hantu Jilid 11

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 11
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“AUUNNGGG...!!”

Han Han kaget bukan main. Sekarang suara ini bukan seperti mimpi dan air telaga berkecipak. Belasan, bahkan puluhan kepala anjing muncul. Mereka berenang dan di belakang masih terdapat lagi yang lain. Seratus.... dua ratus..... ah, tak kurang dari empat ratus ekor! Han Han terkejut dan berubah. Bahaya telah datang! Dan ketika tepat ia menjublak dan melotot lebar maka enam ekor anjing sudah melompat dari air dan menyerangnya.

“Huk-huukkk!”

Han Han mengibas dan tak dapat berlama-lama lagi. Enam ekor anjing itu ditendang dan mereka mencelat menggonggong riuh. Tapi karena mereka anjing-anjing hutan yang ganas dan tak kenal takut, temannya yang lain juga sudah berlompatan dan maju menyerang maka Han Han dikeroyok dan pemuda itu berkelebat mengeluarkan bentakan tenaga saktinya, dahsyat menggetarkan malam.

“Bangun...!!”

Puluhan anjing terlempar dan terpelanting. Bentakan Han Han demikian dahsyat hingga dengan suaranya saja pemuda itu mampu membuat srigala-srigala itu terpental. Mereka menggonggong dan riuh sendiri. Suara itu menghempas mereka bagai topan meniup daun-daun kering. Dan karena suara ini membuyarkan pengaruh sirep dan anak-anak murid bagai mendengar genta di telinga mereka, spontan terkejut dan membuka mata maka Kim-sim Tojin juga mencelat dan terbangun dengan amat kagetnya.

“Aiihhhh...!” Kakek itu pucat melihat ratusan srigala tahu-tahu sudah di markas Hek-yan-pang. Mereka terguling-guling oleh bentakan suara Han Han dan khikang atau tenaga suara pemuda itu memang hebat sekali. Bukitpun bisa runtuh oleh suara dahsyatnya ini. Seluruh Hek-yan-pang tergetar dan pohon-pohon pun berderak roboh. Alangkah dahsyatnya suara pemuda itu. Dan ketika semua murid berloncatan bangun dan masing-masing terkejut oleh serbuan ini, kejadian serupa terulang lagi maka mereka berteriak mencabut senjata dan binatang buas yang sudah meloncat dan menyerang lagi itu disambut bentakan dan bacokan.

“Crat-crat!”

Dua di antaranya roboh. Kepala binatang itu menggelinding namun yang lain menyalak dan menyerbu lagi. Mereka bagai binatang-binatang kesetanan yang tak mengenal takut. Dan ketika anak murid bergerak dan menyambut serbuan ini, empat ratus srigala menerjang dan menyerbu markas maka Kim-sim Tojin, kakek gagah itu bergerak ke sana-sini melakukan tendangan dan pukulan.

Dia juga dikeroyok dan marah mendengar gonggong dan riuhnya binatang-binatang itu. Malam yang tenang tiba-tiba saja sudah diguncang oleh lolong dan raung binatang-binatang ini. Dan ketika kakek itu merobohkan tak kurang dari empat puluh ekor, anak-anak murid juga menyambut dan merobohkan hewan-hewan buas itu maka Han Han berkelebat dan memasuki kamarnya.

Dia sudah membuyarkan pengaruh sirep dan Kim-sim Tojin serta anak-anak murid berlompatan bangun. Ia tak mungkin harus menghadapi sekian banyak srigala-srigala itu sementara biang keladinya menyembunyikan diri. Majikan Hutan Iblis belum tampak dan ini yang paling berbahaya. Anjing-anjing itu hanya menurut tuannya dan merekapun dipengaruhi ilmu hitam.

Kalau tuannya tak dirobohkan maka anak buahnya tetap ganas dan beringas. Dan karena ia belum melihat bayangan isterinya sementara ia yakin bahwa isterinya pasti sudah bangun dan sadar, di sana ada Giok Cheng pula maka Han Han teringat anak perempuannya ini dan pintu kamar yang tertutup langsung ditendang.

“Braaakkk!”

Kamar itu kosong. Han Han pucat tak melihat anak isterinya di situ, berteriak dan memanggil namun tak ada jawaban. Dan ketika ia mendengar suara tawa dan kekeh menyeramkan, keluar dan berkelebat lagi maka ia bagai gila mencari dan memanggil anak isterinya itu. Riuh dan gonggong srigala benar-benar mengacau asal tawa dan kekeh menyeramkan itu.

“Siu-moi! Tang Siu!”

Sang isteri menghilang. Han Han mendobrak dan menendangi pintu-pintu kamar yang lain, berkelebat dan masuk keluar dengan pucat sekali. Baru kali ini ia merasa begitu cemas dan khawatir, perasaannya benar-benar diguncang. Dan ketika ia tiba di belakang dan menendang pintu terakhir maka dilihatnya isterinya itu berjalan mematung ke sebuah semak gerumbul gelap. Bagai orang tersihir!

“Siu-moi!”

Bentakan dan seruan Han Han ini ternyata tak mampu menggugah sang isteri. Tang Siu, wanita itu, tetap berjalan dan tenang melangkah. Pandang matanya ke depan sementara yang membuat Han Han mencelos adalah tidak adanya anak perempuan mereka. Giok Cheng, anak itu, tak ada bersama ibunya. Isterinya sendiri! Dan ketika Han Han berkelebat dan menampar kepala isterinya itu, tepat di ubun-ubun maka Tang Siu roboh dan terjerembab ke depan, mengeluh.

“Plak!”

Han Han pucat melihat kuatnya pengaruh ilmu hitam. Isterinya ini baru sadar setelah ditepuk kepalanya tadi. Ia menerkam dan menyambar isterinya itu. Dan ketika isterinya terkejut dan berseru keras, sadar, maka Tang Siu kaget bukan main kenapa ia menuju ke semak gerumbul itu. Seperti orang berpikiran kosong!

“Mana Giok Cheng! Ah, mana anakku?!”

“Ini yang hendak kutanya. Kau sendirian dan berjalan seperti orang tidak sadar Siu-moi. Apa yang terjadi. Mana anak kita Giok Cheng!”

“Aku... aku merasa seolah dimasuki segumpal asap hitam. Aku serasa mimpi. Aku, ooh... aku meninggalkan anakku itu di kamar, Han-ko. Ia masih sendiri. Giok Cheng....!!” dan sang nyonya yang berteriak dan melepaskan diri tiba-tiba menghambur dan memanggil nama anaknya dengan penuh khawatir.

Sekarang wanita itu baru sadar bahwa ia berada di bawah pengaruh ilmu hitam yang kuat, demikian jahatnya hingga ia tak ingat diri sendiri, apalagi anaknya! Namun ketika ia berkelebat ke kamar sementara anjing atau srigala-srigala buas itu sudah memasuki markas, mereka melolong dan menggonggong riuh maka pintu kamarnya yang tadi ditendang Han Han sudah menganga lebar dan anak perempuannya yang tadi disembunyikan di bawah kolong tempat tidur tak ada.

“Giok Cheng!”

Tang siu bagai gila. Wanita ini merunduk dan menendang tempat tidurnya itu, hiruk-pikuk namun sang anak tak ada. Han Han berkelebat pula memasuki kamar itu dan terbelalak. Ia tak tahu bahwa puterinya disembunyikan di kolong tempat tidur. Ia juga tidak melongok ke tempat itu, maklum, ia terburu-buru dan gelisah mencari isterinya. Maka ketika isterinya bagai gila mengobrak-abrik isi kamar, meja dan kursi ditendangi mencelat maka wanita ini menjerit dan menubruk Han Han, histeris.

“Ia, Giok Cheng tak ada! Ia kusembunyikan dikolong tempat tidur. Ooh, bantu aku mencari anak itu, Han-ko... bantu aku. Atau aku akan gila dan mati menjerit-jerit!”

Benar saja, wanita ini histeris dan menjerit-jerit. Ia berteriak dan melolong seperti srigala-srigala itu. Han Han pucat. Dan ketika ia kebingungan sementara sang isteri berteriak dan kalap, empat anjing di luar menerjang masuk maka nyonya itu melengking dan..... buk-buk-buk! ia pun sudah berkelebat dan menendang hancur kepala empat ekor binatang itu. Tang Siu sudah tak dapat menguasai diri dan meloncatlah nyonya itu bagai gila. Ia menjerit-jerit, membentak dan menendang setiap melihat srigala dan tewaslah binatang-binatang itu oleh amukannya yang dahsyat.

Han han berkelebat dan menyusul pula isterinya itu. Pemuda ini pucat. Ia melihat isterinya mengamuk dan begitulah kiranya kemarahan seorang ibu bila kehilangan anaknya. Isterinya itu bersikap histeris dengan mengangkat dan membanting hancur pula anjing-anjing hutan itu. Namun ketika terdengar jerit tangis bayi dan Han Han maupun isterinya sudah berkelebat ke situ, dua srigala berebut sebuah buntalan maka Tang Siu melengking dan Giok Cheng, anak yang dibungkus selimut tebal itu kiranya ada di situ. Jadi rebutan dua srigala merah yang saling gonggong dan gigit!

“Mampus kau, jahanam bedebah!”

Wanita ini berkelebat melebihi kecepatan Han Han. Anak yang dicari-cari ternyata ada di situ. Dua srigala yang saling gigit dan memperebutkan anak ini tak ayal lagi mendapat gempuran nyonya ini. Kaki sang nyonya menginjak sementara yang lain menghantam. Tumit kecil itu tepat mengenai kepala si binatang. Dan ketika dua srigala itu melolong dan menguik, yang terinjak seketika hancur kepalanya maka yang kena tendang mencelat dan berputar-putar.

“Giok Cheng...!” Sang nyonya sudah menyambar dan tersedu mendekap puterinya itu. Anak ini menangis dan wajah serta lengannya kena cakar, bukan main marahnya nyonya itu. Maka ketika ia mendelik melihat srigala yang ditendang itu bangun dan mengeram padanya tiba-tiba tanpa ampun ia meloncat dan mendahului menginjak leher binatang itu.

“Kau berani melukai anakku. Jahanam bedebah. Kau berani melukai Giok Cheng... krekk!” leher itu patah dan si anjing terkulai. Tang Siu tidak berhenti sampai di sini karena tiba-tiba ia mencabut pedang. Dua kali sinar putih berkelebat putuslah kaki depan binatang itu. Dan ketika ia masih menggerakkan pedangnya lagi dan kepala binatang itu mencelat, keadaan sungguh ngeri maka puluhan srigala tiba-tiba melolong dan menerjang nyonya itu, nyonya yang sedang kalap.

“Siu-moi, awas!”

Tang Siu beringas. Giok Cheng akhirnya menangis tak keruan dan riuh serta ributnya salak anjing membuat si anak ketakutan. Sang ibu yang beringas membuat keadaan lebih menyeramkan lagi. Dan ketika Han Han berteriak namun wanita ini meloncat dan menyambut dengan gerak menyilang, pedang itu berkelebat enam kali maka enam ekor anjing terbabat kepalanya dan menggelinding putus.

Namun Han Han tak mau isterinya mengamuk tak keruan. Dari kiri dan kanan terlihat puluhan srigala datang lagi. Mereka itu tak takut meskipun pedang telah bermandi darah. Binatang-binatang ini kemasukan ilmu hitam. Maka ketika ia membentak dan mendorong, puluhan binatang itu mencelat maka pemuda ini menyambar isterinya dan berseru agar membantu anak murid, berdekatan dengan gurunya pula.

“Tak perlu mengamuk di sini, tak ada gunanya. Anak kita sudah selamat dan bantulah murid-murid Hek-yan-pang dan Kim-sim locianpwe!”

“Biar, biarkan aku. Kubunuh dan kubantai binatang-binatang terkutuk ini, Han-ko. Mereka berani benar menculik anakku. Lihat, wajah dan lengan Giok Cheng lecet-lecet. Jahanam keparat mereka itu. Biar kubasmi dan kubunuh habis... crat-crat!”

Pedang masih bergerak dua kali, sempat merobohkan dua srigala lagi namun Han Han sudah menarik dan membawa isterinya ini pergi. Binatang itu hanya alat bagi majikannya sementara sang majikan belum ketemu. Itulah yang harus dicari dan ini yang amat penting. Dan tak mau isterinya membuang-buang waktu di situ, ia menarik dan menyendal tangan isterinya ini maka di depan terdengar jeritan dan pekik Kim-sim Tojin.

“Han Han, tolong!”

Pemuda itu berkelebat. Tawa dan kekeh itu tak terdengar lagi tertutup oleh riuh dan lolongan srigala- srigala ini. Teriakan Kim-sim Tojin kuat terdengar tanda betapa sesuatu mengerikan kakek itu. Tang Siu akhirnya sadar. Dan ketika mereka berdua datang di tempat itu dan tiga murid Hek-yan-pang roboh, di sana kakek itu menghadapi seekor srigala kuning maka Han Han terbelalak karena srigala itu tahan bacokan dan pukulan sinkang.

“Buk-bukk!”

Si kakek ngeri dan melotot. Lawannya, si kuning itu, terpental namun tak apa-apa, menggereng dan menubruk lagi untuk kemudian menerima pukulan dan jatuh terjengkang, bangun dan meloncat lagi hingga Kim-sim Tojin ngeri. Binatang ini tak apa-apa biarpun ditendang dan dipukul. Dan ketika mencabut pedang namun mental bertemu kulit si binatang yang atos, berteriak memanggil Han Han maka saat itulah pemuda ini muncul dan Tang Siu terbelalak melihat keadaan gurunya itu, yang bingung.

“Itu binatang paling kuat. Pinjam pedangmu dan biar kutusuk rongga mulutnya!” Han Han teringat cerita ayahnya dan berkelebat mendahului. Ia merebut pedang Tang Siu dan ketika binatang itu menyerang lagi maka ia memapak.

Kim-sim Tojin gemetar dan habis akal. Kakek ini dilanda kecemasan dan kebingungannya sendiri. Namun begitu Han Han berkelebat dan pedang menusuk rongga mulut binatang ini, srigala itu membuka mulut mengaum maka sekejap kemudian pedang itu menancap di pangkal tenggorok bagian dalam, menghunjam atau menusuk bagian berwarna hitam yang bersinar.

“Dar!” Ledakan disusul pecahnya kepala binatang itu. Darah memuncrat dan Han Han melompat minggir. Srigala kebal yang kuat ini ternyata memiliki kelemahan di situ, rongga tenggorokannya pusat ilmu hitam. Dan ketika Kim-sim Tojin berseru lega dan Han Han memberi tahu untuk menikam di tempat yang sama maka di luar telaga terdengar jerit dan lolong menggetarkan, dahsyat sekali. Sama dahsyat dengan suara bentakan Han Han ketika membuyarkan pengaruh sirep.

“Augghhh...!!”

Para murid roboh. Mereka tiba-tiba terguncang oleh pekik atau lolong ini. Ratusan srigala tiba-tiba berserabutan. Dan ketika Han Han menoleh dan terbelalak keluar telaga, terdengar kecipak dan bunyi menggelegak maka sesosok anjing, begitu rupanya, menyeruak dan berenang cepat sekali. Anjing yang panjang dan berkaki dua!

“Itu... itu dia!”

“Majikan Hutan Iblis!”

Han Han tergetar. Perasaannya terguncang dan darahnya tersirap. Sosok yang ternyata manusia namun berenang seperti anjing itu sudah sampai. Kepalanya muncul di permukaan dan sepasang matanya yang kemerahan bagai api itu menyambar dan menghanguskan siapa saja. Han Han dan semua yang berada di situ bergidik, merasa seram. Mahluk ini serasa bukan manusia melainkan iblis! Dan ketika orang itu meloncat keluar dan lolong atau raung srigala terdengar dari mulutnya, parau menggetarkan maka srigala-srigala yang tadi berhamburan sekonyong-konyong kembali dan menyerbu anak murid Hek-yan-pang itu.

“Auungggg!!”

Han Han mengelak. Bersamaan dengan suara itu maka Majikan Hutan Iblis ini menyambar. Tubuhnya mencelat dari tanah dan tahu-tahu menubruk. Gerakannya seperti anjing, melompat, tapi jauh lebih cepat dan tentu saja lebih mengerikan karena kedua tangannya yang terulur panjang itu mengeluarkan bunyi bercuit disertai bau amis. Telapak tangan itu tiba-tiba sudah menghitam. Dan ketika Han Han mengelak dan sambaran orang ini mengenai sebatang pohon di belakangnya, suara berdebum mengiringi suara ledakan maka pohon itu roboh dan Tang Siu menjerit karena tertimpa.

“Minggir!”

Wanita itu sudah melesat ke kiri. Han Han membentak isterinya dan cepat mendorong. Di situ pula ada anak-anak murid yang lain. Maka ketika pohon bergetar roboh sementara kulit batangnya hangus terbakar, betapa dahsyatnya pukulan itu, maka laki-laki itu tertawa nyaring dan suara tawanya mirip ringkik kuda betina, atau banci. Han Han membalik ke kiri ketika lawan mengejar, mengelak dan disergap lagi oleh sepasang lengan itu. Kuku-kukunya terulur hitam, Han Han terkejut. Dan karena tiga kali ia diserang dan tak mungkin mengelak terus, kali ini ia membungkuk dan menggerakkan tangan kirinya maka sambil membentak ia mengerahkan tenaga.

“Dukk!”

Han Han terhuyung. Hawa panas menjalar di lengannya dan ada gatal-gatal serta rasa panas. Ia terkejut, menepuk lengannya itu dan uap hitam menghilang. Pukulan lawan beracun! Dan ketika ia terbelalak sementara lawan terkekeh dan menyerang lagi, berkelebat dan memburunya maka dua kali Han Han menangkis lagi.

“Duk-dukk!”

Kali ini Han Han lebih siap. Ia mengerahkan tenaga Im-kang hingga hawa panas dipunahkan. Rasa gatal dan panas itu tak mengganggunya, sepasang lengannya berobah dingin. Dan ketika lawan terkejut tapi tertawa menggetarkan, seluruh telaga seakan berderak oleh tawanya yang penuh khikang ini maka Han Han berkelebatan karena lawan sudah terbang dan menyambar-nyambar di sekeliling dirinya.

“Heh-heh, bagus. Ini putera Ju-taihiap yang sakti. Bagus, kau hebat dan lebih pandai dari bapakmu, anak muda. Dan kaupun tampan. Heh-heh, aku tak akan membunuhmu kalau kau menyerah... duk-plak!”

Han Han mengerahkan Im-kangnya, terhuyung namun lawan juga terdorong mundur. Ia terbelalak karena lawan memandangnya dengan aneh. Sekarang masing-masing sudah berhadapan dan ia melihat jelas siapa Majikan Hutan Iblis ini, seorang lelaki berkedok karet dengan kuncir di belakang kepala, seperti ekor kuda dan jubah yang dipakai laki-laki itu berkibaran bagai bendera, menderu dan dapat menyerangnya pula dengan kibasan bagai sayap rajawali. Dan karena tubuh lelaki ini basah kuyup penuh air telaga, air itu bercipratan dan berpercikan ke sana ke mari maka air ini juga menyambar dan menyerangnya bagai butir-butir kerikil tajam.

“Plak-plak!” Han Han mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menghalau atau merontokkan percikan air beku ini. Ia mengerahkan Im-kang dan air itu hancur. Tapi ketika lawan tertawa aneh dan menyerang lagi, Kim-kang-ciang atau Sinar Emas menyambarnya dari delapan penjuru maka ia terkejut karena ilmu silat yang pernah dimiliki mendiang Kedok Hitam dari ayah Giam Liong dipunyai juga oleh Majikan Hutan Iblis ini. Tujuh kali tangkisan menunjukkan kuatnya tenaga lawan. Sinkang laki-laki itu hebat. Han Han tergetar dan terhuyung. Dan ketika lawan mempercepat gerakan dan tak ada cara lain untuk menandingi kecuali mengeluarkan ilmu silat andalannya maka Han Han melengking dan tubuhnya tiba-tiba bergerak naik turun bagai garuda menyambar-nyambar.

“Im-yang-sin-kun (Silat Sakti Im Yang)!” lelaki itu berseru dan kagum membelalakan mata.

Dari tubuh Han Han keluar deru angin dahsyat di mana kedua tangan atau kaki pemuda ini mengeluarkan hawa panas dan dingin berbeda-beda. Kaki dan tangan itu dapat silih berganti mengeluarkan dua tenaga sinkang berlainan. Dan ketika ia menangkis namun terpental kaget, Han Han membalas dan balik menyerangnya gencar maka Kim-kang-ciang terdesak dan laki-laki itu melotot.

“Des-plak!”

Hawa dingin dan panas membuat lelaki itu bingung. Ia terhuyung dan bayangan Han Han sudah berkelebat di sekeliling dirinya dengan cepat sekali. Bayangan pemuda ini sudah menjadi puluhan. Dan ketika ia terkejut dan mengeluarkan geram aneh, dingin dan panas berganti-ganti mendesaknya maka ia terkena pukulan tapi Han Han ganti terkejut karena lawan bertubuh kuat, kebal. Pukulan Han Han mental dan lelaki itu tertawa. Han Han menyerang lagi dan laki-laki itu tiba-tiba membentak. Ia merunduk dan tiba-tiba berjongkok seperti anjing, menggonggong. Lalu ketika ia melompat dan menyambut pukulan itu, bau amis menyambar maka Hek-mo-ciang, Pukulan Tangan Hantu meledak bertemu Im-yang-sin-kang.

Han Han terkejut karena mau muntah-muntah. Teringatlah ia akan cerita ayahnya betapa yang paling tidak disukai adalah bau dari pukulan Hek-mo-ciang ini. Sambutan lawan cukup hebat namun karena bau itu menusuk hidung, tentu saja konsentrasinya terganggu maka lawan dapat menghadapi dan Han Han tergetar dan surut selangkah. Lawan terkekeh dan kacaulah Im-yang-sin-kang. Bau amis itu semakin hebat hingga Tang Siu dan anak-anak murid di sekitar muntah-muntah. Mereka itu tak tahan. Han Han sendiri juga akhirnya mau muntah dan menahan napas. Tapi karena ini berarti pengacauan konsentrasi dan Im-yang-sin- kangnya tentu saja terganggu, dalam menahan napas berarti tenaga pun berkurang maka laki-laki itu menerjang dan desakan Han Han buyar kembali. Hek-mo-ciang menghantam dan dielak pemuda ini.

“Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku. Robohlah, dan menyerah baik-baik!”

Han Han terbelalak. Akhirnya ia berkelebatan mengelak sana-sini sementara pukulan atau balasannya kurang bertenaga. Gangguan bau amis itulah yang amat mengacau. Kalau ia membuka hidung maka iapun muntah. Benar-benar luar biasa bau itu. Amis dan busuk menjijikkan! Namun ketika ia membentak merobek ujung bajunya, membebat dan menutupi hidungnya maka iapun pulih kembali dan dapat mainkan Im-yang Sin-kang seperti semula.

“Hm!” laki-laki itu melotot. Ia marah namun sudah mempercepat gerakannya mengimbangi Han Han.

Pemuda itu berkelebatan lagi dan pukulan-pukulannya berbahaya. Lawan mulai terdesak dan seperti tadi, terhuyung dan mundur-mundur. Tapi ketika ia mengeluarkan gerengan aneh dan lolong putus-putus, di sana Kim-sim Tojin dan anak murid berteriak maka Han Han terkejut karena kakek itu dan lain-lain kalang-kabut. Srigala yang tadi menyerang buas kini lebih buas lagi. Lolong putus-putus itu disambut mereka dengan lolong putus-putus pula, dari luar telaga muncul empat srigala besar seperti anak kerbau.

Srigala ini berwarna hitam mengkilat dan melihat srigala ini mengingatkan orang akan srigala pertama di Hutan Iblis, bentuk dan tingginya sama. Dan ketika empat srigala itu meloncat dan para anak murid membacok namun mental, srigala itu kebal maka empat murid Hek-yan-pang menjerit ngeri diterkam dan dirobek tubuhnya.

“Krak-brett!”

Darah memuncrat ngeri. Empat anak itu roboh dan selanjutnya tubuh mereka dikoyak-koyak. Srigala dan kawan-kawannya itu bagai kesetanan merobek empat anak murid Hek-yan-pang ini. Bau darah mengundang yang lain untuk menerkam dan menggigit. Dan ketika di sana Tang Siu menjerit karena tubuh empat anak murid Hek-yan-pang itu sudah tak keruan bentuknya, daging dan jerohannya direbut oleh gigi- gigi tajam puluhan srigala maka korban mengerikan itu habis dalam sekejap.

“Aiihhhh....!” nyonya ini mencelat dan menggerakkan pedangnya. Ia sudah mencabut pedang dan mengamuk di situ. Sebelum empat srigala itu datang senjata ditangannya telah mengambil tak kurang dari tiga puluh srigala. Binatang-binatang itu terjengkang, kepala mereka putus terbabat. Tapi begitu empat yang hitam datang menyerang, tubuh mereka yang tinggi besar ini cukup membuat nyali kuncup maka empat korban pertama membuat sang nyonya marah bukan main dan begitu memekik ia berkelebat dan membacok empat binatang itu.

“Tak-tak!”

Pedang si nyonya mental. Tang Siu terkejut karena empat yang ini tidak seperti yang lain. Pedangnya bertemu kulit leher yang atos. Dan ketika ia terkejut sementara empat binatang itu marah, membalik dan mengaum panjang maka mereka menubruk dan menerkam nyonya ini. Namun Tang Siu adalah murid Kim-sim Tojin. Juga setelah dia menjadi menantu Ju-taihiap maka kepandaiannya tidak seperti dulu lagi. Nyonya ini juga isteri Han Han. Maka ketika ia berkelit dan menendang, pedangnya berkelebat lagi maka empat binatang itu terpelanting namun mereka bangun dan menyerang lagi, tak apa-apa.

“Des-takk!”

Pedang tak membawa hasil. Kaki sang nyonya yang membawa hasil namun empat ekor binatang itu hanya terlempar dan terguling-guling saja, bangun dan menyerang lagi dan selanjutnya nyonya ini mengamuk dan marah. Ia menusuk dan membacok namun semua sia-sia. Dan ketika nyonya itu dikeroyok dan empat srigala hitam ganti berganti menubruk, cakar dan mulut mereka memperlihatkan taring mengerikan maka Kim-sim Tojin tak dapat membiarkan muridnya dan berkelebat membantu.

“Tususk langit-langit mulutnya. Tikam atas lidahnya!”

Tang Siu teringat. Gurunya menendang dan dua di antara empat srigala itu mencelat. Dan ketika ia mengangguk dan satu di antara mereka meraung, mulut itu terbuka lebar-lebar maka ia menusuk namun alangkah kagetnya ketika pedang di tangannya tak membawa hasil. Binatang itu meloncat kaget dan kemudian bahkan menggigit patah pedangnya.

“Krak!”

Nyonya ini pucat. Di sana terdengar tawa panjang dan Majikan Hutan Iblis terkekeh-kekeh. Rupanya, pusat ilmu hitam itu sudah dipindah. Bukan lagi ditelapak atau rongga mulut melainkan entah di mana. Dan ketika nyonya itu menendang ditubruk yang lain, membalik dan meloncat menyelamatkan diri maka Kim- sim Tojin juga pucat karena tak mampu melumpuhkan srigala ketiga.

“Crat!”

Pedang si kakek melenceng ke dalam. Hewan itu terkejut namun tidak apa-apa, meloncat dan menggigit pula pedang itu, patah. Dan ketika si kakek mengelak ditubruk srigala keempat, menendang ketika srigala itu membalik dan menyerangnya lagi maka kakek ini dan Tang Siu kewalahan karena kehilangan senjata. Han Han di sana membelalakkan mata dan terkejut melihat isteri dan keadaan guru isterinya itu.

“Cari pedang lain, pergunakan senjata!”

Tang Siu ngeri. Teriakan suaminya di sambut lompatan ke kanan ke arah empat mayat itu. Empat anak murid Hek-yan-pang yang tewas itu terlempar senjatanya ketanah. Sang nyonya bergerak dan menendang senjata itu untuk kemudian menyambarnya. Orang tentu kagum melihat geraknya yang serba cekatan dan lincah. Dan ketika Kim-sim Tojin juga melakukan hal yang sama dan kakek itu ngeri tak dapat merobohkan binatang-binatang ini, titik kelemahan itu harus di cari maka kakek ini menggerakkan pedang secara serabutan dan menusuk sekenanya.

Tang Siu juga melakukan hal yang sama namun tiba-tiba terdengar geram dan lolong panjang pendek dari lelaki itu. Majikan Hutan Iblis memberi tanda kepada satu di antara srigala hitam lawan Kim-sim Tojin. Binatang itu mengeram dan membalik. Dan ketika sejenak ia tampak termangu namun kemudian melompat dan meninggalkan kakek itu maka ia menyerang Tang Siu dan yang disamping adalah Giok Cheng!

“Aiihhh...!” Wanita ini berkelit dan menendang. Binatang itu terlempar namun yang lain tiba-tiba melakukan hal yang sama.

Di sana geram dan lolong panjang pendek itu masih terdengar. Dan ketika dua srigala ini meloncat dan menyambar Giok Cheng, sekarang tiga hewan liar ini menujukan serangannya pada anak di gendongan ibunya maka Tang Siu menjerit dan marah bukan main. Nyonya ini mengelak dan menendang sementara pedangnya tak membawa apa-apa. Sembilan kali ia membacok namun sia-sia. Dan ketika di sana gurunya juga bingung namun marah menghadapi binatang yang kebal senjata, juga kebal pukulan maka Han Han tersentak melihat sinar putih tiba-tiba berkeredep dan membawa hawa maut.

“Kau tak mau menyerah, baik. Aku akan membunuhmu dan lihat apa ini srat!” Golok Maut atau Giam-to sudah berada di tangan orang itu.

Han Han terkejut bukan main karena golok tiba-tiba sudah menyambar. Tentu saja ia mengelak. Dan ketika lawan terkekeh dan ia dikejar, golok mendesing dan menyilang tiga kali maka Han Han membanting tubuh bergulingan.

“Crat-brett!” Ujung celananya terkena juga. Hampir ia terlambat dan selanjutnya Han Han melihat kilatan demi kilatan menyambar dirinya. Laki-laki itu terkekeh dan mendesinglah golok dengan amat ganasnya. Im-kan-to-hoat (Silat Golok Maut) memburu dan mengejarnya. Dan ketika Han Han bergulingan meloncat bangun dan mengibas dengan pukulan sinkang, masih juga ujung bajunya robek maka Han Han menyambar pedang seorang anak murid itu agar pergi dan mencari senjata yang lain, membentak dan dengan pedang di tangan coba menghadapi serbuan lawan. Dua kali ia mengelak namun dua kali ia harus menangkis. Pedangnya terbebat dan putus!

Dan karena Golok Maut bukan tandingan karena pedang di tangan adalah pedang biasa maka melengking mengandalkan sinkangnya Han Han mendorong dan menahan lawan. Laki-laki itu tertawa aneh dan tangan kiri bergerak pula. Hek-mo-ciang, Tapak Tangan Hantu itu dikerjakan bersama Im-kan-to- hoat, hebatnya bukan main dan pundak Han Han akhirnya terbabat. Pemuda itu berteriak dan terhuyung. Dan ketika pemuda ini terdesak dan sebentar kemudian mundur-mundur, di sana isteri dan mertuanya juga sibuk mempertahankan diri maka anak-anak murid berjatuhan dan pucatlah Han Han melihat keadaan.

Pek-jit-kiam, Pedang Matahari dibawa ayahnya. Dulu ayahnya juga terdesak hebat tak memegang senjata itu. Kalau saja lawan tak membawa Golok Maut kemungkinan besar Han Han dapat menandingi, karena ia sudah mulai dapat menahan bau amis dari Hek-mo-ciang itu, dengan menutup hidung. Dan karena ia melihat bahwa sinkang laki-laki ini seusap di bawahnya, dengan Im-yang-sinkang ia mampu mengatasi Hek-mo-ciang maka sekarang celaka baginya karena lawan mengeluarkan Golok Maut.

Giam-to atau Golok Maut itu senjata mengerikan. Tandingannya hanya Pek-jit-kiam. Dan karena sekali keluar tentu harus mencium darah, golok itu amat ganas dan berbahaya sekali maka pedang di tangan Han Han yang bukan pedang pusaka tak dapat menandingi golok di tangan lawannya itu. Han Han mengelak dan menangkis sana-sini sampai akhirnya pedang di tangannya tinggal gagangnya saja. Han Han pucat. Dan ketika satu bacokan lagi menyerempet telinganya, berdarah maka Han Han mengeluh dan terhuyung-huyung.

Susah. Ia boleh mahir mainkan Pek-jit Kiam-sut andalan ayahnya. Ia juga boleh mainkan Im-yang-sin-kun warisan gurunya. Namun karena Golok Maut adalah senjata luar biasa dan golok itu adalah ciptaan Mo-bin-lo, iblis raksasa yang hidup dalam jaman dongeng maka menghadapi senjata ini tanpa Pedang Matahari ibarat menghadapi golok ampuh dengan sebuah agar-agar. Pedang di tangan sudah terpenggal tinggal gagangnya dan Han Han melempar sisa senjatanya itu. Sambil bergulingan ia merebut pedang lain dari anak murid Hek-yan-pang.

Namun ketika semuanya itu tak membawa hasil dan tetap ia terdesak hebat, bahu dan telinganya robek berdarah maka Han Han menjadi pucat sementara isteri dan anaknya juga menghadapi bahaya dalam keroyokan empat srigala hitam yang kebal senjata itu. Han Han bingung. Sebenarnya, ilmu silatnya Im-yang-sin-kun adalah ilmu silat yang hebat. Hawa panas dan dingin dari ilmu silatnya itu dapat membeku dan mencairkan lautan. Dulu di Lam-hai (Laut Selatan) ia telah membuktikan itu.

Namun karena di situ banyak anak-anak murid, lagi pula bukan maksudnya untuk bertanding mati hidup maka kekuatan atau sinkang dari pukulan-pukulan Im-yang-sin-kun ini tak sepenuhnya dia keluarkan. Han Han hanya mengeluarkan delapan dari sepuluh bagian tenaganya, berarti masih ada sisa dua bagian lagi. Dari sini dapat diukur bahwa kalau lawan tidak membawa Giam-to atau Golok Maut mengerikan itu Han Han dapat mengatasi lawan.

Dengan delapan bagian tenaganya dia masih menang seusap. Tapi karena lawan memegang senjata maut itu dan Giam-to memang luar biasa, hawa atau sinar dingin dari golok ini cukup mengederkan nyali, kilatan cahayanya saja sudah sanggup merobohkan orang yang tak kuat wibawanya maka Han Han repot dan bingung menghadapi lawannya itu.

Ada dua kemungkinan sebagai jalan terakhir. Yakni pertama ialah mengeluarkan segenap Im-yang-sin-kunnya. Ini berarti dahsyat dari ilmu itu akan menyebar di seluruh pulau. Telaga di tempat itu bisa kering kena panas. Dan, ini yang lebih celaka, murid dan anak isterinya menjadi korban! Han Han tak berani mengeluarkan itu kecuali kalau dia sendirian, bertanding di tempat sepi umpamanya. Dan karena tak mungkin ia melakukan itu karena lawan selalu mengejar dan memburunya, ke manapun ia lari laki-laki itu selalu membayanginya maka keluar dari tempat itu adalah sia-sia. Sekarang tinggal kemungkinan kedua.

Kemungkinan ini adalah memanggil gurunya Im Yang Cinjin. Kakek itu, gurunya, adalah seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu luar biasa. Juga pengalamannya luas hingga kemungkinan ia dapat meminta bantuan gurunya itu. Dalam saat seperti ini tak ada lain jalan. Dulu, ketika ia bertanding mati hidup dengan Giam Liong juga gurunya itu muncul. Berkat bantuan gurunya ia dapat mengatasi kesulitan. Dan karena sekarang keadaan sudah amat memaksa, ia terjepit dan terdesak maka apa boleh buat Han Han mulai mencipta bayangan gurunya ini.

Dia adalah pemuda gemblengan lahir batin. Han Han memiliki kekuatan batin di mana dengan kekuatan ini ia dapat mengontak gurunya. Maka ketika ia terus terdesak sementara paha dan pinggangnya juga kembali robek berdarah, dua kali ia harus membanting tubuh bergulingan tiba-tiba pemuda itupun sudah berkemak-kemik dan lawan yang mencecar dengan tawanya yang mengerikan tertegun melihat pemuda itu memejamkan mata dan dengan cara seperti itu mampu mengelak atau menghindar bacokan-bacokannya. Han Han mengandalkan telinganya yang tajam!

“Heh, kau! Luar biasa sekali. Kau sedang mengeluarkan ilmu apa, anak muda. Kau tak mungkin berhasil mengatasi aku. Ha-ha, sebentar lagi kau mampus dan kelak Giam Liong pun juga akan mengalami nasib yang sama... wut-singg!” golok menyambar angin dan laki-laki itu terkejut.

Han Han mengelak sana-sini dengan mata terpejam sementara bibirnya komat-kamit sampai tergetar. Kalau bukan Han Han tak mungkin melakukan itu! Dan ketika laki-laki ini penasaran karena tujuh kali luput membacok Han Han, Hek-mo-ciangnya juga dapat dikelit dan dielak pemuda itu maka tiba-tiba dia membentak dan Golok Maut tiba-tiba dilepas, terbang menyambar.

“Mampus kau. Coba kau elak dan rasakan ini!”

Han Han sudah sampai pada puncak pemanggilannya. Ia menggigil dan gemetaran sementara lawan heran dan kaget. Semua serangan-serangannya gagal. Namun karena kali ini ia melepas golok itu dan ke manapun Han Han mengelak sudah siap ia papak dengan pukulan Tapak Hantu, tangan kiri dan kanan laki- laki ini sudah menghadang di samping Han Han maka saat itulah terdengar ledakan dan sesosok asap putih menyambut golok terbang ini.

“Siancai, golok berbahaya di tangan orang berbahaya. Kembalilah... dar!”

Seorang kakek berjubah putih tiba-tiba muncul dan mendorongkan tangannya. Kakek ini mengucapkan seruan nyaring dan Majikan Hutan Iblis itu terkejut. Golok tertahan dan menancap di telapak tangan itu. Namun ketika si kakek mengebut dan membentak maka Golok Maut terlepas dan saat itulah tubrukan atau terkaman laki-laki ini menghantam kakek itu sebagai ganti sergapannya terhadap Han Han, yang terhuyung dan jatuh terduduk

“Bresss!” Laki-laki itu terbanting dan roboh bergulingan. Tenaga amat kuat menerimanya dan berteriaklah dia dengan keras. Si kakek terluka telapaknya namun tetap saja hebat bukan main. Ia merasa benturan hingga Hek-mo-ciangnya membalik. Laki-laki itu menjerit. Dan ketika ia melempar tubuh dan melontakkan darah segar, meloncat bangun namun jatuh lagi maka ia terbelalak tapi tangan kirinya bergerak dan golok yang jatuh di tanah itu dihisapnya dengan pukulan jarak jauh.

“Wut!” Golok itu kembali dan berada di tangannya. Kakek di depan juga terhuyung dan pucat. Im Yang Cinjin, pertapa sakti ini tampak tergetar dan membelalakkan mata. Ia terpaksa menyambut Golok Maut namun tak mampu juga. Telapaknya tertusuk oleh senjata itu, tembus! Namun karena ia memiliki sinkang kuat dan dengan sinkangnya ini ia masih mampu mendorong mundur Majikan Hutan Iblis, laki-laki itu gentar maka ia ngeri dan melihat Han Han bangkit berdiri.

“Suhu...!”

Laki-laki itu terbelalak. Pertapa ini menoleh memandang muridnya dan Han Han menjatuhkan diri berlutut. Pertolongan telah datang. Dan ketika kesempatan itu dipergunakan laki-laki ini untuk membalik dan melolong memanggil srigala-srigalanya, melompat dan berkelebat keluar telaga tiba-tiba tangannya bergerak dan merebut Giok Cheng yang ada di tangan ibunya.

“Aiiihhhh...!” Sang ibu terkejut dan menjerit. Anak perempuan itu terbawa dan selimut pembungkusnya robek. Tang Siu kaget bukan main. Dan ketika ia melengking namun laki-laki itu terkekeh keluar pulau, melompat dan siap menculik anak ini maka Im Yang Cinjin, kakek yang terbelalak di situ tiba-tiba berkelebat dan berseru perlahan.

“Kembalikan anak itu!”

Laki-laki ini terkejut. Menghadapi pertapa itu ia paling gentar. Im Yang Cinjin ternyata adalah guru Han Han sementara pemuda itu sendiri belum mampu ia robohkan. Maka mendengar dan merasakan bentakan di belakang, kesiur angin dingin juga menyambarnya tiba-tiba lelaki itu memekik dan membalik menangkis pukulan itu.

“Dess!” ia pun terjengkang dan bergulingan. Si kakek berkelebat dan mengejar. Laki-laki ini marah. Dan ketika ia menangkis lagi dan terpental melolong gusar, tengkuk anak itu digigit tiba-tiba ia melempar Giok Cheng dan berseru, “Tangkaplah!”

Im Yang Cinjin terkejut. Ia melihat anak itu digigit dan tentu saja menjerit. Taring bagai srigala mencuat keluar. Namun karena Giok Cheng dilemparkan kepadanya dan ia harus menangkap, anak itu sudah diterima maka laki-laki itu mencebur ke telaga dan hilang bersama ratusan sisa srigalanya.

“Byur-byuurr...!”

Majikan dan anak buah sama-sama melompat. Mereka berenang cepat sementara malam menjelang pagi. Tangis dan keluh rintihan terdengar. Dan karena kakek itu tak mengejar sementara Tang Siu melompat melihat anaknya, Giok Cheng menangis dan semua orang mendekati kakek ini maka Im Yang Cinjin tertegun melihat sebuah luka di tengkuk si anak, menggosok namun tak mau hilang.

‘Hm, keji. Luka ini panas!”

“Giok Cheng, dia... dia apakan anakku? Oh, di apakan anakku, locianpwe? Apa yang dilakukan jahanam keparat itu?”

“Dia menggigit, ada luka kecil. Coba kuusap sekali lagi tapi aku tidak tahu apakah ada bahaya atau tidak!”

Tang Siu tersedu. Anaknya digosok dan diusap dan akhirnya diam. Sepintas, luka itu sudah tak berarti. Dan ketika kakek ini menyerahkan kepada ibunya sementara Kim-sim Tojin sudah mengusap peluh dan maju ke situ maka anak-anak murid yang lain menolong yang terluka dan tewas.

“Siancai, untung saudara Im Yang Cinjin datang. Kalau tidak entahlah apa jadinya dan betapa hebat Majikan Hutan Iblis itu!”

“Hm, apa yang terjadi. Siapa dia. Kenapa Han Han memanggil aku!”

“Dia manusia berilmu hitam,” Han Han menjawab dan menarik napas dalam. “Maaf bahwa aku memanggilmu, suhu. Teecu kewalahan menghadapi manusia iblis itu. Dia pembuat onar dan amat keji, datang dan kini mangacau Hek-yan-pang.”

“Dan dia membawa Golok Maut! Eh, bukankah golok itu milik Giam Liong?”

“Benar, suhu. Golok itu dicuri. Kami, ah. kami memang lagi dirundung malapetaka. Ayah tiada dan ibu tewas...! Han Han lalu menceritakan tentang garis besar kejadian itu. Betapa Majikan Hutan Iblis itu adalah orang berbahaya yang memusuhi Hek-yan-pang dan Giam Liong. Bahkan mencuri Golok Maut yang disembunyikan di dalam tanah dan membunuh-bunuhi orang-orang Khong-tong dan Lu-tong, juga orang-orang lain yang termasuk golongan pendekar dan baik-baik. Dan ketika cerita tiba pada tewasnya Swi Cu dan Yu Yin, dua orang yang dekat bagi Hek-yan-pang maka pertapa itu terbelalak dan terkejut sekali.

“Ah, jadi.... jadi isteri Giam Liong itu tewas pula? Dan ibumu.”

“Benar, kami sedang dilanda malapetaka, suhu. Kami sedang sial,” dan Han Han yang memotong serta menahan runtuhnya air mata lalu melihat kakek itu mengucap puja-puji.

“Thian Yang Maha Agung, kalau begitu benar kata-kata Sian-su. Dan pinto juga menerima firasat itu. Aih, pantas selama ini buih di Laut Selatan bergolak lebih dahsyat, Han Han. Dan pinto di dalam guha terganggu konsentrasinya, tak dapat bertapa! Dan anak ini, hmm... dia anakmu? Kenapa tak memberi tahu?”

“Maaf, suhu, banyak kerepotan yang mengganggu kami. Dan malam inipun kami menerima akibat dari kesalahan kami sendiri.”

Kim-sim Tojin berdetak. Ia merasa sambaran mata Han Han dan sadarlah kakek itu akan ulahnya. Juga Tang Siu. Dan karena Han Han tampak menyesali semua ini, keramaian itu adalah atas permintaan mereka maka Tang Siu terisak dan baru sekarang tahu kenapa suaminya ingin agar sang ayah datang dulu, baru mengadakan pesta.

“Hm, pinto sekarang mengerti kenapa kau tampak gelisah. Pinto baru sadar bahwa kau tak memegang Pek-jit-kiam, Han Han. Pinto terlalu mengagulkan diri dan menganggap enteng Majikan Hutan Iblis itu. Pinto terlalu percaya kepadamu!”

“Apa maksud kalian,” Im Yang Cinjin bertanya.

“Tak apa-apa,” Han Han menjawab, mendahului, tak enak juga karena secara halus sudah menegur mertuanya itu. “Kami hanya terlalu percaya diri, suhu. Hanya itu.”

“Tidak!” Kim-sim Tojin berseru. “Pinto yang menjadi gara-gara, Im Yang totiang. Han Han terlampau pinto pegang dan lupa bahwa dia tak membawa Pek-jit-kiam. Pinto minta agar meramaikan kelahiran Giok Cheng dengan pesta dan beginilah jadinya!”

“Dan aku membujuk pula suamiku,” Tang Siu terisak. “Baru aku sadar bahwa kecemasanmu beralasan, Han-ko. Lawan yang membawa Golok Maut tak kau tandingi dengan Pek-jit-kiam!”

“Hm, sudahlah. Semua sudah lewat dan harap lain kali kalian tak mendesakku lagi untuk hal-hal semacam.”

“Di mana Ju-taihiap,” Im Yang Cinjin bertanya lagi. “Ke mana perginya ayahmu itu!”

“Ayah mencari iblis ini,” Han Han menerangkan. “Kalau tahu ia datang tak mungkin ayah pergi, suhu. Ia membawa Pek-jit-kiam karena dulu ayah hampir roboh!”

“Hm, orang itu memang berbahaya. Dan pinto juga terluka,” kakek ini bersinar memandang telapak kanannya, yang berlubang. “Golok Maut terlalu dahsyat, Han Han. Dan pinto masih tak sanggup menerima keampuhan golok ciptaan Mo-bin-lo itu. Sungguh mengerikan, untung bukan Mo-bin-lo sendiri. Hm, kalau dia yang melontar tentu pinto tinggal nama!”

Han Han mengangguk. Ia mengucap terima kasih atas pertolongan gurunya itu dan malam itu juga mereka menolong murid-murid dan membersihkan tempat itu. Dari semua murid ternyata tujuh belas orang menjadi korban. Mereka tewas dan koyak-koyak tubuhnya. Perut dan segala isinya hilang. Betapa buasnya srigala-srigala itu. Dan ketika kakek ini menolong sampai pagi dan baru semuanya selesai, ratap tangis mengiringi kematian anak murid yang tewas maka Hek-yan-pang kembali berkabung dan Im Yang Cinjin bermuka muram melihat semuanya itu Kakek ini sehari tinggal di situ dan sebelum ia pulang dipanggilnya muridnya itu. Pagi itu ia bersiap-siap. Han Han berdua dengan gurunya. Dan ketika kakek ini menarik napas dalam-dalam dan memegang pundak muridnya maka dia berkata,

“Han Han, agaknya peristiwa tak kalah hebat bakal terjadi lagi di sini. Pinto mendapat firasat buruk. Hati-hatilah menjaga anakmu dan jangan biarkan ayah atau orang-orang dekatmu pergi.”

Han Han mengangguk.

“Kau teringat pesan Sian-su?”

Han Han menarik napas dalam, mengangkat mukanya. “Pesan mana, suhu?”

“Hm, kakek itu telah melarang ayah ibumu atau orang-orang dekat di sini bepergian. Dan mereka sekarang menjadi korban! Lihat Yu Yin dan ibumu itu!”

Han Han menunduk.

“Pinto sekarang mulai percaya, Han Han, dan pinto baru merasakan getaran-getaran bahaya itu. Sedangkan kakek dewa itu, ah. ia sudah lebih dulu tahu beberapa tahun yang lalu. Pinto harus mengakui keunggulannya!”

Han Han mengerutkan kening. Kalau gurunya memuji sedemikian rupa maka orang yang dipuji tentu hebat bukan main. Ia teringat Sian-su atau kakek dewa itu, guru ayahnya dan yang mukanya selalu tertutup halimun. Dan karena ia sendiri merasakan betapa hebatnya kakek ini, baik kepandaian terutama pelajaran hidupnya maka ia berguman dan mengangguk.

“Benar, Bu-beng Sian-su memang kakek dewa yang luar biasa sekali. Tapi apakah maksud suhu ingin berdua bicara dengan teecu (aku).”

“Hm, aku mulai menangkap apa yang ditangkap kakek itu. Maksudku, korban masih akan berjatuhan.”

Han Han tertegun, pandang matanya tiba-tiba berkilat. “Maksud suhu?”

“Ada sesuatu yang tidak enak kutangkap, Han Han. Tapi ini rahasia kita berdua. Ayahmu dan guru isterimu, ah..., aku tak berani mendahului kehendak Yang Maha Kuasa!”

“Suhu!” Han Han terkejut, bangkit berdiri. “Maksud suhu.?”

“Tenang, duduklah kembali, muridku. Ada akibat tentu ada sebab. Aku tak berani bicara terlampau jauh sebelum itu terbukti. Aku ingin berpesan agar ayahmu jangan boleh disuruh bepergian lagi biar tinggal di sini sampai batas waktu itu lewat. Sepuluh tahun!”

Han Han pucat. Ia terguncang oleh kata-kata gurunya ini dan sikap atau kata-kata gurunya itu demikian berkesan. Sebagai pemuda gemblengan tentu saja ia tahu di mana akhir kata-kata itu. Ayahnya dan Kim-sim Tojin di ambang maut! Tapi menenangkan perasaannya kembali dan duduk tak bergeming pemuda itu membuat kagum gurunya karena secepat itu pemuda ini mampu mengendalikan rasa.

“Hm, maaf. Sesuatu yang tidak enak memang bakal terjadi, Han Han. Aku tak berani melanjutkan karena kau tentu mengerti sendiri. Aku hanya minta agar ayah dan keluargamu dijaga baik-baik. Dan Kim-sim Tojin, hmm... akan pinto bujuk untuk tinggal di Lam-hai!”

Han Han tergetar. Dia meramkan mata dan tiba-tiba menahan sesuatu yang basah. Isyarat atau pesan gurunya itu benar-benar tak enak sekali. Ia harus siap dihantam gelombang badai yang datang! Tapi membuka dan memandang gurunya lagi pemuda ini berkata, agak menggigil, “Suhu, teecu dapat menangkap apa yang kau tangkap. Tapi teecu percaya padamu. Lalu apa yang harus teecu lakukan?”

“Kau tinggal di sini saja, Han Han. Lindungi keluargamu dan ayahmu kalau pulang.”

“Jadi teecu pun tak boleh keluar? Teecu biarkan saja Majikan Hutan Iblis itu gentayangan?”

Kakek itu tersenyum, menangkap rasa penasaran muridnya. “Tentu saja bukan begitu, Han Han. Hanya ada orang yang lebih cocok untuk itu, yang akan membereskan dan membuat perhitungan. Kalau kau ingin keluar sebaiknya hubungi aku dulu, aku yang berjaga disini.”

“Ah,” Han Han semburat. “Sampai sebegitu jauh?”

“Tak apa. Pinto bersedia datang ke sini, Han Han, kalau kau panggil. Tapi kalau tidak tentu saja tidak. Pinto pribadi siap menunda tapa kalau kau memerlukan.”

“Hm, suhu sebenarnya tak ingin terikat oleh hal-hal yang bersifat keduniawian. Suhu sudah tua. Bagaimana teecu berani mengganggu? Tidak, kalau tidak terpaksa sekali teecu tak mau mengganggumu, suhu. Hanya keadaan yang benar-benar mendesak yang dapat membuat teecu meminta tolong padamu!”

“Baiklah, aku sudah memberi kesanggupan. Dan barangkali sekarang pinto perlu berpamit pada yang lain...”

Sesosok bayangan berkelebat. Kim-sim Tojin, kakek itu datang dan muncul di ruangan itu. Kakek ini mencari Han Han dan kebetulan melihat, tak tahu adanya Im Yang Cinjin di situ. Tapi begitu ia mau mundur dan pertapa ini tertawa maka kakek itu dipanggil.

“Aha, Kim-sim Tojin kiranya. Mari masuk, kebetulan. Aku mau pamit, Tojin. Ada sedikit pula yang hendak kusampaikan!”

“Ah, Cinjin mau pulang? Tak menunggu sehari dua lagi? Kebetulan, aku juga mau kembali, Cinjin. Barangkali kita dapat bersama. Aku mencari Han Han karena ingin berpamit!”

Han Han terkejut. “Locianpwe juga mau pulang?”

“Cukup bagiku, Han Han. Majikan Hutan Iblis itu tak mungkin berani datang lagi. Kau dapat memanggil gurumu!”

“Hm,” Han Han berkerut, bayangan sang isteri muncul pula. “Jangan tergesa-gesa, locianpwe. Kau boleh tinggal di sini selama kau suka. Atau, hmm ...” Han Han teringat kata-kata gurunya. “Locianpwe boleh tinggal bersama suhu di Lam-hai!”

“Apa? Ha-ha! Si tua ini hendak disuruh bernaung seperti anak kecil? Kau hendak menyuruh pinto berlindung dibawah kesaktian gurumu? Wah, malu pinto melakukan itu, Han Han. Pinto bukan anak kecil. Di Kun-lun banyak teman dan kupikir cukup. Ah, kau tentu main-main!” dan Han Han yang tertegun dan memandang gurunya lalu menyesal kenapa malah mendahului keinginan gurunya. Dia bermaksud untuk meluweskan keadaan tak tahunya belum apa-apa ditolak. celaka! Tapi ketika gurunya tersenyum dan bangkit berdiri pertapa itu mengebutkan ujung lengan jubah.

“Tojin, bukan bernaung, melainkan menemani aku agar tak sendiri. Bagaimana kau salah tangkap dan menerima keliru? Han Han kasihan padaku, mencarikan teman. Kalau kau suka temanilah pinto agar tak sendirian di Lam-hai.”

“Ha-ha, pertapa macam kau justeru ingin sendiri, tak suka berdua. Tidak, pinto tak mau mengganggumu, Cinjin, terima kasih. Pinto ingin kembali dan beristirahat di Kun-lun. Pinto sudah melihat cucu pinto dan cukup. Giok Cheng sudah sehat!”

Im Yang Cinjin mengangguk-angguk. Sebagai orang waspada dia tak dapat mendesak lagi. Kakek itu sudah menentukan nasibnya sendiri! Dan ketika di sana Han Han tampak berobah namun ia memberi tanda, berbisik bahwa tak perlu mendesak kakek ini maka ia memutar tubuh dan menghadapi Tang Siu. Wanita muda itu menangis.

“Tang Siu, pinto mau kembali. Pinto juga merasa cukup di sini. Hati-hatilah menjaga anakmu dan barangkali gurumu mau bersama-sama!”

“Ah, ha-ha pinto pulang sendiri. Eh, kau malah mendahulu iaku, Cinjin. Aku mau berpamit malah kau mendahului. Wah, kukira kau masih di sini menjaga anak-anak!"

"Tidak, aku juga tak menyangka kalau kau mau pulang. Hmm, kalau begitu mari bersama-sama saja, Totiang. Kita seperjalanan dan setelah itu berpisah di Kun-lun!"

Kim-sim Tojin mengerutkan kening. Tiba-tiba saja kesombongannya bangkit. Ia merasa betapa secara cerdik namun halus sekali ia hendak "dikawal". Tiga kali orang menawarkan diri. Tapi karena ia tokoh Kun- lun dan jelek-jelek juga bukan orang lemah, hanya terhadap beberapa orang tertentu saja ia mengaku kalah maka kakek ini menggeleng dan berkata tegas. "Tidak, kalau kau pulang aku menunda niatku, Cinjin. Biarlah sehari dua lagi aku di sini. Kutarik pamitku. Kau silakan dulu dan nanti aku belakangan!"

"Hm," Im Yang Cinjin tak memaksa lagi, untuk kesekian kalinya usahanya gagal. "Baiklah, totiang. Kalau begitu aku dulu dan selamat tinggal!"

Han Han terkejut dan gurunya itu lenyap. Tanpa banyak bicara lagi gurunya ini berkelebat dan menggerakkan kaki. Sekali angkat sudah menghilang keluar. Dan ketika ia mengejar namun gurunya sudah di tepi telaga, mengembangkan lengan dan meluncur di permukaan air maka Han Han mengeluh dan memanggil gurunya itu. "Suhu...!"

Si kakek tak menoleh. Im Yang Cinjin hanya melambaikan tangan dan setelah itu meloncat ke darat, terbang dan menghilang di hutan. Dan ketika Kim-sim Tojin dan Tang Siu juga mengejar, melihat kakek itu maka Tang Siu menangis dan memeluk anaknya erat-erat.

"Han-ko, suhu.... suhu tak mau menemani kita. Ia juga hendak pergi. Cegahlah dia karena semalam aku bermimpi buruk!"

"Ha-ha, mimpi adalah kembang tidur! Semakin kau memaksa semakin pinto tak suka, Tang Siu. Kau seperti anak kecil yang masih merengek-rengek di bawah ketiak ibunya. Sudah, pinto hanya dua hari dan setelah itu juga kembali ke Kun-lun!"

Han Han mendekap isterinya. Dia jadi terkejut lagi mendengar ini, melihat si kakek melompat dan pergi dengan tak senang. Dan ketika ia mengajak masuk dan di kamar isterinya mengguguk maka isterinya itu bercerita bahwa Hek-yan-pang seolah ditutupi kain hitam raksasa.

"Aku... aku melihat peti mati. Puncak dan rumah-rumah kita ditutupi kain hitam berkabung. Aku takut, bercerita pada suhu tapi beliau malah marah-marah, mau pulang!"

“Hm, mimpi bisa karena tegangnya pikiran. Mimpi terjadi karena bisa saja seseorung ketakutan, muncul dan merefleksikan diri. Kau sekarang tak perlu gelisah, Siu-moi. Guruku sudah berjanji untuk datang sewaktu-waktu kalau kita perlu bantuannya. Tenanglah, hapus mimpi burukmu itu."

"Tapi, tapi aku tak dapat melupakannya. Mimpi itu terbawa terus, Han-ko. Aku takut!"

Han Han tak nyaman. Sang isteri sudah menangis dan Giok Cheng, anak mereka juga turut menangis. Anak itu tiba-tiba menjerit mengagetkan orang tuanya. Tang Siu tersentak. Tapi ketika Han Han melihat seekor semut merah di kaki anaknya, pantas anak itu menjerit maka Han Han menjumput dan membuang semut ini.

"Kegelisahanmu ditangkap anak kita. Lihat Giok Cheng tak mau diam. Sudahlah, pergi tidur, Siu-moi. Aku mau melihat di luar dan mengontrol anak-anak murid!"

Wanita itu tersedu. Tang Siu meletakkan anaknya dan menutupi bantal. Han Han berkelebat keluar. Dan ketika hari itu tak ada apa-apa dan hari kedua juga lewat dengan tenang maka Kim-sim Tojin yang uring-uringan muridnya mencegah pulang sudah menyiapkan buntalan dan pergi dengan bersungut.

"Pinto bukan anak kecil, pinto dapat menjaga diri. Pinto mau pulang ke Kun-lun dan di sana ada susiok dan supekmu yang menjadi teman. Kau tak usah seperti anak cengeng, Tang Siu. Tak biasanya kau begini. Pinto justeru gembira melihat kau dan anakmu selamat!"

"Tapi... tapi, suhu...!"

"Hm, mimpi buruk lagi? Mau bercerita bahwa sekarang mimpimu semakin seram dan ingin mencegah pinto pulang? Tidak, justeru aku tak senang dengan sikapmu ini, Tang Siu. Mana kegagahanmu sebagai murid Kim-sim Tojin. Terlebih lagi mana kegagahanmu sebagai menantu Ju-taihiap. Jangan buat malu suamimu pula!"

Tang Siu tersedu-sedu. Sebenarnya dia ingin bercerita bahwa mimpinya semalam memang lebih buruk lagi. Yang diimpikan adalah suhunya itu. Dia melihat suhunya tenggelam oleh banjir dan tiba-tiba di empat penjuru Hek-yan-pang adalah empat buntalan hitam. Buntalan itu berbau amis dan busuk. Dia takut. Tapi karena suhunya tampak marah dan dia takut bicara lagi, apa boleh buat menubruk dan memeluk suhunya erat-erat akhirnya wanita ini berkata,

"Baiklah, tapi tapi sering-seringlah kesini, suhu. Tengok cucumu Giok Cheng ini. Sebulan sekali harap kau berkunjung!"

"Ha-ha, bocah cengeng! Pinto tentu akan sering menengokmu, Tang Siu, menengok cucuku yang manis ini. Eh, sudahlah. Pinto harus pergi dan selamat tinggal!" kakek itu berkelebat dan mendorong muridnya. Ia tak mau terbawa oleh tangis muridnya karena diam-diam kakek inipun menitikkan air mata.

Hanya Han Han yang tahu betapa kakek itu tiba-tiba menangis. Han Han mengira tangis itu adalah karena haru terhadap tangis Tang Siu, tak tahu bahwa sebenarnya kakek ini menangis karena semalam ia juga bermimpi buruk!

Kim-sim Tojin seram oleh mimpinya semalam karena ia tiba-tiba seakan dikerubut srigala-srigala Hutan Iblis, sendiri dan dikoyak-koyak tubuhnya persis empat anak murid Hek-yan-pang dulu. Semalam ia terbangun dengan keringat dingin setelah beberapa malam sebelumnya ia juga bermimpi buruk, mendengar suara atau tawa dari kejauhan. Suara itu lamat-lamat sampai tapi tak ada ujudnya. Para pendiri Kun-lun dan ketua-ketua yang sudah meninggal seolah berdatangan menemuinya. Satu di antaranya adalah kakek gurunya, sesepuh Kun-lun yang meninggal tiga belas tahun yang lalu. Dan karena angka tiga belas dipercaya sebagai angka sial, kakek ini tergetar maka ia ingin cepat-cepat pulang untuk menenteramkan hati!

Di situ ia merasa malu. Ia seakan berlindung di balik Han Han. Dan karena dua hari yang lalu ia juga hendak diajak Im Yang Cinjin dan secara halus hendak dijaga keselamatannya, ia tak senang maka kakek ini ingin cepat-cepat pulang ke Kun-lun karena di sana ada para sute dan suhengnya. Jauh lebih baik berlindung di balik tokoh-tokoh Kun-lun itu daripada seorang anak muda macam Han Han, biarpun pemuda itu lebih tinggi kepandaiannya dari tokoh-tokoh Kun-lun. Maka ketika rengekan muridnya membuat ia semakin tak betah dan semalam ia ikut-ikutan bermimpi buruk, mungkin terbawa oleh mimpi Tang Siu maka kakek ini hendak membuang semua ketidakenakannya itu dengan cepat kembali ke Kun-lun.

Han Han dan Tang Siu memang tak dapat mencegah lagi kepergian kakek ini. Kim-sim Tojin bakal mendelik kalau dipaksa tinggal lagi. Kakek itu sudah mau pergi, biarlah pergi. Dan ketika Tang Siu mengguguk dan Han Han menyambar isterinya ini, isterinya roboh terhuyung maka Kim-sim Tojin di sana juga tak dapat membendung lagi air matanya yang deras!

Kakek ini jadi pilu dan tak nyaman oleh sikap muridnya. Dia merasa betapa sungguh-sungguh muridnya itu. Ia terharu, tapi juga gusar! Dan ketika ia berkelebat dan pergi menyeberangi telaga, perahu dikayuh dan akhirnya ditendang di tepian sana maka murid-murid mendelong dan menyaksikan perginya kakek itu dengan wajah kosong.

Tapi sesuatu yang hebat benar-benar terjadi. Tujuh hari setelah itu, ketika Hek-yan-pang kembali tenang dan murid-murid bekerja kembali mendadak dua di antara mereka menemukan keranjang hitam di barat telaga. Mereka sedang memancing dan menjala ikan ketika bau busuk tiba-tiba menampar hidung. Segerombol lalat merubungi sesuatu, didekati dan ternyata sebuah keranjang yang terapung timbul tenggelam di ceruk telaga. 

Dan ketika mereka mendekat dan tertegun oleh keranjang ini, saling pandang maka satu di antaranya memberanikan diri memeriksa isi keranjang itu. Keranjang ini tertutup dan baunya semakin busuk ketika didekati. Mereka penasaran. Tapi begitu satu di antara mereka membuka tutupnya maka terdengar jerit dan pekik kaget.

"Kim-sim totiang!"

Ternyata itu adalah kepala Kim-sim Tojin. Keranjang berbau busuk ini ternyata berisi kepala kakek itu, hanya kepalanya karena yang lain entah di mana! Dan ketika dua murid itu menjerit dan memutar perahu, berteriak-teriak maka di tiga penjuru yang lain juga terjadi kegemparan karena tiga dari masing-masing murid menemukan sepasang kaki dan tangan manusia.

"Pembunuhan..., ada pembunuhan!"

Yang mendapatkan kaki dan tangan tak tahu siapa. Mereka ini tidak seperti yang mendapatkan kepala, yang seketika tahu bahwa kepala itu adalah milik Kim-sim Tojin, kakek Kun-lun yang menjadi guru dari siauw-hujin (nyonya muda) mereka. Maka ketika mereka berteriak-teriak dan melapor ke dalam, Han Han berkelebat dan tertegun melihat tiga murid membawa kaki dan mayat manusia, juga badan yang sudah dipotong-potong maka murid yang menemukan kepala ambruk dan roboh di depan pemuda itu. Tang Siu berkelebat keluar.

"Kongcu..... ampun.... kami.... kami bertemu Kim-sim totiang !"

"Apa?" Tang Siu membentak, terkejut. "Kim-sim suhu? Maksudmu guruku?"

"Beb.... benar, hujin. Tapi...tapi..."

"Tapi apa, cepat bicara yang jelas!"

"Kami.... kami menemukan kepalanya. Maksud kami... dess!" murid itu mencelat.

Tang Siu melengking dan menendang murid ini, yang lain menunjuk-nunjuk dan menuding ke barat. Dan ketika murid itu disambar dan disuruh memberitahukan penemuannya maka Tang Siu menjerit bagai histeris melihat kepala gurunya di keranjang hitam itu. Keranjang yang penuh lalat.

"Suhu!" nyonya itu terguling dan roboh di atas perahu. Begitu kaget nyonya ini hingga mendelik dan pucat. Dan ketika ia berteriak namun suaranya hilang di tenggorokan, nyonya itu pingsan maka Han Han sudah berkelebat dan menyambar isterinya ini...