Tapak Tangan Hantu Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“JANGAN sendiri-sendiri. Jangan berpencar. Gabung serangan dan awas Kim-kang-ciang pemuda!”

Semua mengangguk. Mereka terkejut bahwa dengan lengan buntungnya itu pemuda ini mampu merobohkan mereka. Si Naga Pembunuh itu benar-benar lihai. Tapi karena mereka adalah orang-orang gagah dan Kim-kang-ciang yang dimiliki pemuda itu sudah dikenal mereka, kini membuktikan dan melihat betapa hebat pukulan pemuda itu maka mereka yang tidak terlampau keras dihajar Giam Liong bangkit berdiri lagi dan menyerang.

Giam Liong tidak bersikap telengas dan mengatur tenaganya sedemikian rupa, sayang di terima salah dan dianggap lemah, mungkin disangka bahwa tenaganya hanya sekuat itu saja. Maka ketika dia mengelak dan langkah saktinya Pek-poh-sin-kun bekerja kembali, semua terkejut karena begitu cepat dia bergeser dan berpindah tempat maka Giam Liong mendengus dan lengan kirinya yang buntung mengebut dan menyambar lebih kuat. Ujung lengan baju ini tiba-tiba mengembung dan terisi tenaga begitu kuat yang seekor gajahpun bakal roboh dipukul.

"Kwan Tek, dan kau Ceng Ting. Tanpa pelajaran agaknya kalian masih terus mendesak orang. Baiklah, maaf aku bersikap keras dan sekarang kalian semua harus roboh!”

Sembilan orang itu menjerit dan berteriak. Toya dan pedang bertemu lengan baju kosong itu tapi begitu bertemu serentak senjata mereka mencelat. Lengan baju itu mengembung dan hawa sakti yang berada di dalam inilah yang luar biasa. Hawa sakti itu menghantam mereka dan semua terbanting roboh. Dan ketika lengan atau pundak mereka patah, semua merintih dan pucat maka Giam Liong berdiri tegak telah menyelesaikan pertandingan.

“Lihat,” pemuda itu menahan marah. “Kalau aku mau, kalian bersembilan tak mungkin hidup, Kwan Tek Sianjin. Buka mata dan otak kalian bahwa aku masih berbaik hati. Nah, kukatakan sekali lagi bahwa bukan aku yang membunuh orang-orang kalian itu dan katakan kepada ketua bahwa Naga Pembunuh bukan orang yang akan lari dari tanggung jawab!"

Semua bergetar dan ngeri. Kwan Tek dan Ceng Ting Hwesio pucat dan mereka gentar. Nyata, Naga Pembunuh ini bukan tandingan mereka. Namun karena luka di leher masing-masing murid itu adalah bekas Golok Maut, dan hanya si buntung itulah yang memiliki maka Kwan Tek maupun Ceng Ting Hwesio tak mau bergeser. Mereka tetap menuduh namun kali ini disimpan di dalam hati. Betapapun mereka kalah. Betapapun mereka telah pecundang. Biarlah ketua dan tokoh-tokoh partai yang turun tangan nanti. Maka ketika mereka tak menjawab namun pandang mata mereka masih tak melepaskan tuduhan, Yu Yin marah melihat ini maka wanita itu berkelebat dan pedang hitam di tangannya akan menusuk lawan.

“Giam Liong, mata mereka ini seperti anjing tak kenal budi. Mereka masih menyimpan tuduhan kepadamu. Biarlah kucungkil seorang sebelah dan nanti mereka baru tahu adat!”

Namun Giam Liong menyambar dan menahan isterinya itu. Pemuda buntung ini mencegah, dia tak mau isterinya berbuat kejam. Dan ketika dia merampas dan menyimpan pedang hitam itu maka Giam Liong berseru memutar tubuh. “Yu Yin, tak perlu. Orang benar kelak diketahui juga. Biarlah mereka melotot dan kita pergi!”

Si buntung sudah membawa dan mengajak isterinya keluar. Mereka meninggalkan tempat itu dan Giam Liong tak mau ribut-ribut lagi. Musuh sudah dirobohkan. Tapi ketika sang isteri meronta dan mereka keluar hutan ternyata Yu Yin berseru bahwa ia hendak ke kota raja. Bukan jalan itutujuannya.

“Aku tak mau pulang, aku ingin ke kota raja. Kau tak berhak memaksaku, Giam Liong. Aku akan mencari anakku Sin Gak!”

“Hm, Giam Liong berkerut, wajahnya memerah. “Kau isteriku, Yu Yin. Kau harus tunduk kepadaku. Kita ke Lembah Iblis dulu baru setelah itu ke kota raja.”

“Tidak. Sekali aku bilang tidak tetap tidak. Kau ayah tak berperasaan. Kau laki-laki yang tak pernah mengandung dan merasakan bagaimana susahnya seorang ibu. Tidak, nyawapun kupertaruhkan di sini, Giam Liong. Sin Gak segala-galanya bagiku. Kau bersamaku ke kota raja atau kita sendiri-sendiri di sini!”

“Yu Yin...!”

Wanita itu tersedu-sedu. Yu Yin tak mau dengar kata-kata suaminya lagi karena begitu selesai iapun membalik dan meloncat pergi. Yu Yin terbang meninggalkan suaminya. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan membentak isterinya itu maka si buntung ini sudah menghadang di depan. Matanya menyorotkan sinar garang.

“Yu Yin, berhenti. Selamanya kita belum pernah berpisah dan jangan kau bergerak sendiri-sendiri. Aku juga sayang anakku Sin Gak, tapi ke Lembah Iblis lebih penting bagi kita untuk menemukan sikap. Kau turut kata-kataku dan jangan kira aku tak sayang anakku sendiri!”

“Kalau begitu kita ke kota raja dulu. Kau lebih memberatkan sebuah senjata daripada sebuah nyawa, Giam Liong. Kau bilang sayang anak tapi buktinya lain! Aku tak mau ke Lembah Iblis kecuali setelah ke kota raja!”

“Urusan Sin Gak dapat ditunda, anak itu toh sudah lama di tangan orang lain. ”

“Bagus, dan karena itu mau memperpanjang lagi? Ah, hati seorang ibu tak kuat membiarkan ini, Giam Liong. Kau laki-laki tak dapat merasakannya. Bagiku Sin Gak segala-galanya atau kau harus merobohkan aku!” dan Yu Yin yang berteriak melihat suaminya hendak menangkap tiba-tiba menerjang dan berkelit. Wanita ini marah besar dan Giam Liong terkejut. Ia memang hendak menangkap dan memaksa isterinya itu. Tapi ketika sang isteri melawan dan membalasnya, Yu Yin kalap maka pedang dicabut dan wanita ini memekik.

“Giam Liong, kau atau aku mampus!”

Giam Liong berubah. Kalau isterinya sudah seperti ini maka keadaan benar-benar gawat. Yu Yin akan nekat melakukan segala-galanya dan pemuda ini tiba-tiba sedih. Tak dapat disangkal bahwa ia amat mencinta isterinya ini. Tapi kalau sang isteri kini membantah dan bahkan siap membunuhnya, kalau ia melarang maka Giam Liong melompat mundur dan menangkis pedang hitam itu. Ia tadi menyerahkan kembali pedang itu kepada isterinya.

“Baik, kau dan aku berbeda pendapat, Yu Yin. Kita berselisih faham. Tapi aku tak mau kau kurang ajar kepada suami dan pergilah ke kota raja... plak!” Giam Liong menampar pundak isterinya itu, roboh dan menjerit namun Yu Yin bergulingan menyambar senjatanya lagi.

Pedang ini terlepas tapi disambar lagi. Dan ketika wanita itu menggigil meloncat bangun, Giam Liong tegak memberi jalan maka Yu Yin mengeluh dan melompat pergi, lewat di samping suaminya itu, menangis. “Giam Liong, maafkan aku. Tapi kau tak dapat memaksaku. Kau pergilah ke Lembah Iblis dan susullah aku di kota raja, kalau kau mau!” dan mengguguk meninggalkan pemuda itu si buntung ini tegak dengan alis mata berkerut-kerut.

Sekian tahun hidup bersama tiba-tiba kini harus berpisah. Naga Pembunuh yang keras dan tegar ini tiba-tiba menitikkan air mata. Ada keharuan tapi juga kemarahan di situ. Namun karena dia laki-laki dan harga dirinya tersinggung, Giam Liong tegak sampai isterinya lenyap maka barulah pemuda itu memutar tubuh dan bergerak ke barat. Ia tak mau menyusul isterinya kalau belum ke Lembah Iblis dulu. Ia marah bahwa Yu Yin mengajaknya bertengkar. Dan ketika ia berkelebat dan mempergunakan kepandaiannya menuju Lembah Iblis maka si buntung itu tak perduli lagi isterinya yang menuju utara.

* * * * * * * *

Giam Liong tertegun di sepasang makam tua itu. Di bawah pohon kelengkeng, terkejut mengawasi galian tanah merah pemuda ini terbelalak melihat apa yang dicari hilang. Golok Maut, benda yang ditanam dan disembunyikan di antara makam kakek gurunya tak ada. Dulu benda itu disimpan dan ditanam setelah sebelumnya dibungkus kain merah. Yang tinggal hanyalah kain itu sementara isinya hilang. Dia telah kembali ke Lembah Iblis untuk membuktikan dugaan. Dan ketika darahnya berdesir karena benda itu hilang, Golok Maut benar-benar telah dicuri orang maka Giam Liong membalik karena secepat itu juga telinganya mendengar gerakan beberapa orang. Dan....

“Ini dia!” bentakan dan makian terdengar mengejutkan. “Kau ternyata benar di tempatmu lagi, Naga Pembunuh. Siancai, pinto datang menuntut tanggung jawab!”

“Dan pinto juga. Omitohud...!” bayangan-bayangan lain berkelebatan, tak kurang dari tujuh puluh orang. “Pinceng juga menuntut tanggung jawab, Sin-sicu. Kenapa kau membunuh murid-murid kami dan berlaku telengas!”

Giam Liong dikepung dan tahu-tahu sudah di tengah lingkaran. Tujuh puluhan orang, terdiri dari para hwesio dan tosu serta orang-orang gagah lain tampak berdiri dengan wajah tidak bersahabat. Rata-rata muka mereka gelap dan membayangkan kemarahan. Semua memandangnya penuh benci. Sorot mata itu seperti sekelompok harimau ganas! Tapi ketika Giam Liong menekan debar hatinya dan hilang kaget, dia sadar setelah semua itu berada dimakam maka dia membalik dan menghadapi dua orang pertama ini, tosu bermuka merah dan hwesio gemuk pendek memegang tasbeh.

“Hm, Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Totiang kiranya, ketua-ketua Lu-tong dan Khong-tong yang terhormat. Ada apa kalian datang dan memasuki Lembah Iblis, jiwi-picu (dua ketua). Dan kenapa pula banyak kawan kalian bawa. Ada maksud apa!”

“Tak usah berpura-pura!” seorang tosu di belakang ketua, yang pundaknya dibebat membentak, maju dengan muka marah. “Kau tahu bahwa kami datang untuk menuntut tanggung jawab, Sin Giam Liong. Dan inilah ketua-ketua kami yang akan bicara sendiri denganmu. Kau sombong, mengandalkan kepandaian. Sekarang ketua kami menuntut dan tak usah berpura-pura untuk tidak tahu segala!”

“Hm, Kwan Tek Sianjin rupanya, orang tidak tahu diri. Kau datang malah menyebar penyakit, totiang. Dulu kuampuni tapi sekarang datang membawa lebih banyak kawan. Bagus, aku tak perlu berpura-pura karena aku baru kali ini berhadapan dengan ketua-ketua Khong-tong atau Lu-tong, dalam persoalan ini. Tak usah kau banyak mulut karena yang kutanya bukan kau!” Giam Liong mendengus, marah kepada tosu itu sementara Ceng Ting Hwesio, sute dari Ceng Tong Hwesio juga tampak di situ.

Hwesio ini mengkeret dan menyembunyikan muka di balik suhengnya yang pendek gemuk. Ketua Lu-tong itu memang pendek gemuk. Maka ketika Giam Liong menghadapi dua orang ini dan tidak memandang lagi tosu kurus itu, Ceng Tong dan Ho Heng Tojin mengetukkan tongkat maka Ceng Tong Hwesio berseru,

“Naga Pembunuh, kau tahu bahwa kami datang untuk urusan pembunuhan. Kau membantai dan membunuh-bunuhi murid kami seperti mendiang ayahmu dulu membunuh-bunuhi orang lain. Omitohud, apakah ini harus dijawab dan dikatakan lagi? Pinceng bersama yang terhormat ketua Khong-tong minta pertanggungjawabanmu, juga sekalian orang gagah disini. Mereka minta pertanggungjawabanmu dan sekarang harus kau pertimbangkan apakah menyerah baik-baik atau melawan dan melepas lagi nafsu jahatmu itu!”

“Hm, mendiang ayahku tak usah disebut-sebut. Yang mati sudah tidak mengganggu yang hidup lagi, Ceng Tong lo-suhu. Harap tahu aturan dan tidak menyakiti perasaan. Aku tidak merasa melakukan seperti yang kalian tuduhkan, dan akupun sudah bicara itu kepada pembantu-pembantu kalian. Heran bahwa kalian masih dapat dibawa ke mari bagai kerbau dicucuk hidungnya. Apakah Kwan Tek Sianjin dan Ceng Ting Hwesio tidak memberi tahu!”

“Omitohud, bicara dan bukti tidak sama! Kau menyangkal tapi bukti mengatakan lain, Naga Pembunuh. Murid-murid kami jelas terbunuh oleh Golok Maut milikmu dan tak usah berkelit!”

“Benar, dan pinto juga merasa yang sama. Luka yang ditimbulkan senjatamu meninggalkan bekas khusus, Naga Pembunuh, dan di dunia ini hanya kau seorang yang memiliki senjata itu. Kau pemilik Golok Maut!”

“Hm-hm, itu tak kusangkal,” Giam Liong mengangguk-angguk, suara dan makian gaduh dibelakang, kini orang-orang di belakang dua tokoh itu berseru dan menguatkan kata-kata Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio. “Tapi ketahuilah bahwa aku benar-benar tak melakukan itu, jiwi-paicu. Lihat bahwa senjata itu kukubur tapi telah dicuri orang. Lihat tanah yang kugali ini dan betapa tinggal kain pembungkusnya saja!”

“Jangan gampang dipercaya!” suara di belakang tiba-tiba membakar. “Semua itu bisa dibuat-buat, jiwi-paicu. Siapa tahu Naga Pembunuh ini takut melihat jumlah kita yang banyak!”

Suara dan pekik lain tiba-tiba membumbung. Seruan orang pertama itu disusul seruan-seruan senada yang menganggap betul. Giam Liong menunjukkan bekas galian itu tapi orang-orang di belakang tak percaya. Dua ketua tampak berkerut kening tapi mereka terpengaruh oleh suara-suara ini. Dan karena itu dinilai betul karena siapa tahu Naga Pembunuh ini berdalih, mencari akal dan hanya ingin menyelamatkan diri maka Ceng Tong Hwesio mengetrikkan tasbehnya sementara Ho Heng Tojin menancapkan tongkat semakin dalam. Ribut di belakang mereka itu merangsang emosi.

“Naga Pembunuh, kami tak dapat percaya akan apa yang kau katakan. Bisa saja semua ini hanya akalmu. Pinceng tak dapat menerima karena jelas kematian anak-anak murid pinceng dikarenakan Golok Mautmu!”

“Dan pinto juga. Kalaupun benar golokmu hilang maka kau tetap memikul kesalahan, Naga Pembunuh. Kenapa golokmu hilang dan kau tidak hati-hati. Senjata bagi seorang laki-laki tiada ubahnya nyawa!”

Giam Liong berkerut dan mendengar suara-suara gaduh. Orang-orang di belakang dua ketua itu membetulkan dan tetap saja dia dituntut. Senjata bagi seorang laki-laki adalah nyawa kedua, kalau sampai hilang maka pemilik pulalah yang salah. Dan ketika ia marah karena tak digubris, semua maju dan bersikap makin mengancam maka Giam Liong tertawa mengejek mendengar Ceng Tong Hwesio menyuruhnya menyerah.

“Naga Pembunuh, betul tidaknya senjatamu hilang dapat diketahui nanti. Sekarang menyerahlah dan biar kami periksa dirimu baik-naik!”

“Benar, menyerahlah, Naga Pembunuh. Atau kau semakin berat kalau melawan kami!”

Si buntung ini tak dapat menahan diri lagi. Tasbeh di tangan ketua Lu-tong-pai itu semakin berketrik keras ketika mendekatinya. Tongkat di tangan ketua Khong-tong juga bergetar siap menusuk. Dan karena puluhan orang di belakang ketua itu juga sudah mencabut senjata, mereka berseru dan menggerak-gerakkan senjata itu maka Giam Liong tak dapat membiarkan jari si hwesio yang tiba-tiba menerkamnya, disusul oleh gerakan Ho Heng Tojin yang juga meloncat dan menyambar pundaknya.

“Ceng Tong Hwesio, Ho Heng Tojin, kalian benar-benar para ketua yang tak dapat membuka mata baik-baik. Aku tak sudi ditangkap. Aku tak sudi diadili. Aku tidak bersalah dan jangan kalian kurang ajar....wush-bret!” dan Giam Liong yang mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya untuk mengelak dan melepaskan diri tiba-tiba membuat dua jari ketua itu saling terkam dan mengenai satu dengan yang lain.

Ceng Tong dan Ho Heng Tojin tentu saja terkejut karena begitu cepatnya Giam Liong bergerak. Pemuda itu tahu-tahu lenyap di depan mereka, terganti tangan rekan yang membentur dan menerkam tangan sendiri. Lalu ketika mereka membalik dan melihat Giam Liong bersinar ke kiri, menyerang dan bergerak lagi maka bukan hanya jari tangan yang bekerja melainkan juga tongkat dan tasbeh. Tujuh puluh orang di belakang mereka juga bersorak dan menerjang!

“Lu-tong-paicu (ketua Lu-tong), tangkap dan robohkan Naga Pembunuh ini. Jangan biarkan ia lolos!”

“Benar, dan habisi saja di sini, paicu. Lempar mayatnya di lubang galiannya itu!”

Giam Liong marah. Kalau lawan sudah seperti ini maka kesabaranpun benar-benar habis. Ia dipojokkan dan harus melawan. Maka begitu diserang dan golok atau senjata lain menyambar, yang paling berbahaya adalah tongkat dan tasbeh di tangan dua ketua maka Giam Liong membentak dan begitu dia berkelit maka langkah sakti Pek-poh-sin-kunpun bekerja.

“Wut-wut!”

Pemuda inipun menyelinap dan masuk dalam gulungan hujan senjata. Kecepatannya bergerak benar- benar mengagumkan karena begitu dia membentak segala senjata lewat di sisinya dengan cepat. Hanya tasbeh dan tongkat di tangan dua ketua itulah yang mengejar dan mampu mengikutinya. Tapi ketika Giam Liong menggerakkan tangan dan mengebut maka dua senjata itu terpental dan ketua Lu-tong maupun Khong-tong terkejut.

“Plak-plak!”

Kebutan ini panas dan menggetarkan pergelangan. Dua ketua terkejut tapi masing-masing berseru keras. Giam Liong yang menyelinap dan mengelak hujan senjata dikejar lagi, kini tangan kiri dua ketua itu bergerak melepas pukulan sinkang. Namun ketika Giam Liong membalik dan menerima itu maka dua ketua ini terhuyung dan Giam Liong harus melayani hujan senjata yang tiada henti. Selanjutnya si buntung ini melengking dan jantung para pengeroyok seakan rontok mendengar pekikannya. Saicu-hokang atau Aum Singa dikeluarkan dan separoh dari pengeroyok terjengkang.

Dan ketika mereka menjerit dan berteriak kaget maka sisanya dikebut dan terjungkal bergulingan. Sepak terjang Giam Liong luar biasa sekali tapi dari semua pengeroyok tak ada yang luka sungguh-sungguh. Lagi-lagi Giam Liong membuktikan watak besarnya dengan mengalah. Pemuda ini tahu bahwa orang-orang itu salah paham. Sekarang dia yakin bahwa seseorang mencuri goloknya, membunuh dan melakukan kekejian sementara dia menerima getah. Dan ketika dia juga mengebut dua ketua Lu-tong dan Khong-tong sampai terpelanting, mereka ini masih bukan tandingan si Naga Pembunuh maka Giam Liong berseru dan melompat turun, lari menuruni lembah.

“Ceng Tong, Ho Heng totiang, jangan kalian mendesak dan memaksa aku. Hilangnya senjata ini memang salahku, dan akan kucari manusia jahanam itu. Biarlah kutangkap maling busuk itu dan kelak kubuktikan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah!”

Semua orang terkejut dan berteriak-teriak. Mereka dapat bangun lagi karena kibasan atau kebutan Giam Liong tidak membahayakan. Maka ketika mereka mengejar dan Giam Liong menjauh agar mereka tak mengotori makam, tempat itu adalah peristirahatan bagi kakek dan nenek gurunya maka Giam Liong melarikan diri dan sengaja menjauh agar tak bertempur di sana. Pemuda ini hanya menyangka bahwa mereka itu sajalah yang datang. Tapi ketika di bawah lembah muncul bayangan-bayangan lain, tak kurang dari dua atau tiga ratus orang maka Giam Liong berubah karena seluruh anak murid Khong-tong dan Lu-tong rupanya berjaga di situ, yakni para tosu dan hwesio yang membiarkan ketuanya berangkat sementara mereka disuruh menunggu di situ.

“Naga Pembunuh, jangan lari!”

“Naga Pembunuh, hadapi kami dulu dan mana tanggung jawabmu kepada ketua!”

Pedang dan toya berkelebatan ditimpa sinar matahari. Mereka adalah para hwesio atau tosu muda di mana kini tiba-tiba bergerak dan muncul setelah melihat pemuda itu meninggalkan pertempuran. Giam Liong sama sekali tak menduga bahwa pengikut dua partai itu dikerahkan di situ, bersembunyi. Maka ketika mereka berloncatan dan menghambur dari bawah ke atas, membentak dan menyambut larinya maka Giam Liong menjadi marah namun tetap menjaga pukulan dia mengibas dan merobohkan anak-anak murid itu.

“Kalian juga manusia-manusia bodoh. Enyahlah, dan jangan ganggu aku... plak-plak!” pedang dan toya mencelat terlempar, tak sanggup bertemu kebutan ujung lengan baju itu namun jumlah mereka yang banyak menjadi penghalang. Giam Liong tak mungkin lolos kalau tidak menyibak ratusan orang-orang itu. Dan ketika apa boleh buat dia harus berlaku sedikit kejam dan para murid menjerit dan mengaduh bertemu tamparan-tamparan tangannya maka lima puluh orang terlempar ke kiri kanan namun bayangan dua ketua Lu-tong dan Khong-tong datang.

“Naga Pembunuh, jangan hanya menghadapi anak-anak. Hadapilah kami berdua dan mana kegagahanmu!”

Giam Liong marah dan menggeram. Ia tersusul dan dua ketua itu melepas pukulan. Ho Heng Tojin bahkan sudah mencabut pedang di tangan kanan dengan memindahkan tongkat di tangan kiri. Dan ketika Giam Liong membalik karena dua pukulan itu amat berbahaya, deru angin sambarannya membuat bajunya tertiup kencang maka Giam Liong mengerahkan Kim-kang-ciang dan lengan baju buntung bagian kirinya itu mengembung ketika menangkis dan menyambut pukulan dua ketua, lengan kanannya sendiri bergerak jauh lebih kuat disertai bentakan.

“Haiiittt duk-dukk!”

Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio berteriak. Mereka terbanting dan terlempar bergulingan oleh Kim-kang-ciang yang dahsyat itu. Giam Liong mengerahkan enam bagian tenaganya hingga dua ketua terlempar. Tapi karena gangguan ini membuat yang lain maju meluruk dan mereka sudah dekat, berteriak dan bersorak sorai maka Giam Liong tak dapat melarikan diri lagi dan harus menghadapi keroyokan orang-orang marah ini.

Naga Pembunuh itu juga menjadi marah dan sepasang matanya mencorong berkilat-kilat. Kalau sudah begini pemuda ini tak mungkin mau mengampuni lagi. Lawan mendesak dan terlalu menyudutkannya. Maka ketika dia membentak dan Saicu-hokang itu dikeluarkan lagi, suaranya bagai aum singa yang dahsyat maka orang-orang itu tersentak dan ketika mereka terhuyung mundur maka sepasang lengan baju pemuda ini meledak menyambar mereka.

“Plak-plakk!”

Teriakan ngeri dan jerit kesakitan terdengar. Tiga puluh orang roboh dan mencelat, mereka terbanting dengan tangan atau kaki patah-patah. Dan ketika dengan langkah-langkah Pek-poh-sin-kun si buntung itu bergerak dan berpindah-pindah tempat maka pukulan atau tamparan ujung bajunya tak dapat dihindari lagi. Murid-murid Khong-tong ataupun Lu-tong jatuh, orang-orang kang-ouw yang juga dikebut terlempar bergulingan. Dan ketika jalan terbuka lebar karena sisanya menyingkir maka Giam Liong berkelebat dan meninggalkan lawan. Namun dua ketua maju mencegat.

“Naga Pembunuh, jangan lari. Masih ada kami di sini!”

Giam Liong menggeram. Dua ketua ini benar-benar mengganggu dan memang hanya merekalah yang patut diperhitungkan. Ujung tasbeh diketrik dan senjata di tangan ketua Lu-tong itu tiba-tiba menyambar. Tapi ketika Giam Liong mengelak dan menangkis maka tasbeh terpental tapi senjata di tangan ketua Khong- tong bergerak. Pedang mendesing sementara tongkat ditangan kiri menderu. Sama-sama dahsyat!

“Hm!” Giam Liong menjadi panas. “Kalian orang-orang tak tahu diri, Ho Heng Tojin. Kalau aku mau aku dapat membunuh kalian. Dan kalian buta. Baiklah lihat apa yang kulakukan dan mampukah senjatamu itu melukai aku...bluk-tak!” tongkat dan pedang diterima Giam Liong, bukan ditangkis melainkan dengan tubuhnya. Dan ketika tongkat terpental sementara pedangnya patah, Giam Liong mengerahkan sinkang menunjukkan kekebalan maka ketua Khong-tong itu terkejut dan sementara dia berseru tertahan tahu-tahu jari Giam liong menotok pundaknya.

“Auh!” Sang ketua terbanting dan roboh. Ho Heng Tojin tak menyangka bahwa sedemikian hebat pemuda itu. Pedangnya diterima kekebalan dan kini iapun terguling. Kalau si buntung mau totokan bukan ke pundak melainkan ulu hati. Dapat dibayangkan kalau jari pemuda itu mengenai ulu hatinya, tentu tembus dan seketika dia binasa! Dan ketika tosu itu roboh sementara anak murid menjerit, Ceng Tong Hwesio tertegun dan membelalakkan mata maka Giam Liong mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya mendekat.

“Dan kau... kaupun tak tahu diri, Ceng Tong Hwesio. Kalau aku kejam tentu kalian sudah bertemu Golok Mautku. Tapi tidak, golok itu tak di tanganku. Aku sudah bicara dan biarlah kau roboh oleh jariku ini saja... set-set!” langkah sakti pemuda itu mengejutkan si hwesio, tahu-tahu sudah berada dekat dan si hwesio mengelak namun jari sudah di depan hidung. Giam Liong agaknya mau mencoblos hidungnya!

Dan ketika hwesio itu berseru keras dan tentu saja menggerakkan tasbehnya, hwesio ini kaget dan marah ternyata jari- jari Giam Liong membuat tasbeh itu pecah. Talinya hancur dan biji tasbeh berhamburan. Dan ketika dia tersentak dan kaget sekali maka jari Giam Liong tetap saja menotok keningnya, naik ke atas hidung.

“Bluk!”

Hwesio itu terjengkang dan mengeluh. Dua pimpinan sekarang roboh dan Giam Liong tertawa dingin. Deru atau lemparan senjata ditangkis, sebagian dibiarkan mengenai punggung karena murid-murid Khong- tong maupun lu-tong membela ketua mereka itu. Dan ketika semua patah-patah dan gentar menjauhkan diri, jalan terbuka dan bebas maka Giam Liong mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya untuk lolos,

“Saudara-saudara, kalian semua salah paham. Aku tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan percayalah kepadaku. Golok Mautku dicuri orang, dan dia inilah yang memakai namaku. Biar kubekuk dia dan kelak kubuktikan bahwa aku bersih!”

Giam Liong meluncur dan mempergunakan ilmunya keluar dari lembah. Sekarang orang-orang itu tak mungkin mencegahnya lagi karena pimpinannya sudah dirobohkan. Mereka berani karena adanya dua ketua Lu-tong dan Bu-tong itu. Dan ketika sebentar kemudian Giam Liong lenyap dan meninggalkan lembah, tak ada pertempuran di situ maka mereka menolong teman-teman yang terluka sementara anak murid Khong- tong dan Lu-tong menolong ketua mereka.

“Omitohud, Naga Pembunuh itu benar-benar lihai!”

“Siancai, ia benar-benar berkepandaian tinggi. Ah, pinto rasanya harus belajar puluhan tahun untuk menandingi anak muda itu, Ceng Tong lo-suhu. Sungguh memalukan bahwa setua ini dirobohkan anak muda!”

“Ya, dan pinceng juga malu. Apalagi dengan bantuan begini banyak orang. Ah, rasanya tak mungkin menandingi anak itu, Ho Heng totiang. Agaknya paling baik kita minta bantuan seseorang!”

“Siapa?”

“Hek-yan-pangcu, ayah angkatnya itu. Siapa lagi yang dapat menandingi kalau bukan ketua Hek-yan- pang!”

Dan ketika semua terkejut dan mengangguk-angguk, rasa penasaran merobah hati dua orang ketua ini maka hari itu juga Ho Heng Tojin maupun Ceng Tong Hwesio melanjutkan pengejaran. Mereka tak mau lagi tahu akan golok yang hilang. Kekalahan mereka di tangan anak muda itu menjadikan penasaran. Kalaupun Giam Liong tak melakukan semua kejahatan itu maka mereka tetap saja akan mengejar-ngejar anak muda ini, untuk menebus malu!

Maka ketika semua turun bukit dan dua ketua menuju Hek-yan-pang maka tentu saja Beng Tan kaget sekali akan berita yang didengarini. Ceng Tong maupun Ho Heng lebih menitikberatkan pada persoalan hinaan. Bahwa mereka telah dirobohkan dan dibuat malu anak muda itu. Dan ketika mereka ditanya apa sebab-sebab permusuhan maka keduanya menjawab bahwa Giam Liong membunuh anak-anak murid kedua partai, bahkan juga orang-orang lain. Tak menyebut-nyebut bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan menggunakan Golok Maut, karena golok itu telah dinyatakan hilang oleh Giam Liong.

“Tak masuk akal, tak dapat kupercaya! Ah, anak itu baru beberapa waktu yang lalu datang ke sini, jiwi-paicu, dan sikap atau wataknya baik-baik saja. Tak kulihat kebuasan itu. Barangkali kalian salah dan keliru menduga orang!”

“Hm, kami mungkin keliru. Tapi apakah orang-orang lain itu juga keliru, taihiap? Apakah ratusan orang ini keliru juga dan kami bohong? Putera angkatmu itu bukan hanya membunuh-bunuhi murid-murid dua partai, melainkan juga orang-orang kang-ouw lain seperti mendiang ayahnya dulu. Kami khawatir bahwa penyakit gila ayahnya dulu turun lagi. Dan taihiap tentu harus turun tangan sebagaimana layaknya kaum pendekar, tak membela atau melindungi pemuda itu karena ia putera angkatmu!”

“Hm-hm, jiwi-paicu tak usah khawatir. Hubungan kami ayah dan anak tak bakal menggoyahkan rasa kebenaran, Ho Heng totiang. Biarpun anak sendiri kalau salah harus dihukum. Tapi ini keterangan sepihak, dan aku tidak yakin. Baiklah jiwi terima janjiku dulu bahwa aku pasti turun tangan. Hek-yan-pang sedang kosong, puteraku Han Han sedang keluar. Nanti kalau dia kembali tentu aku atau dia akan mencari Giam Liong!”

Dua ketua itu harus puas. Mereka akhirnya mundur setelah tahu pula bahwa Hek-yan-pang sedang dirundung duka. Ju-taihiap itu sedang kehilangan isterinya dan musuh yang kuat datang mengganggu. Tapi karena kepentingan diri sendiri biasanya jauh lebih kuat daripada kepentingan atau memikirkan persoalan orang lain maka dua ketua itu pamit dan Hek-yan-pang guncang oleh berita ini.

Giam Liong menjadi iblis? Pemuda itu membunuh-bunuhi orang kang-ouw seperti yang dikabarkan dua ketua Lu-tong dan Khong-tong? Tak masuk akal. Tapi karena mendiang ayah kandungnya Si Golok Maut Sin Hauw juga pernah membunuh-bunuhi orang, melampiaskan dendam atas sakit hati maka mereka tergetar jangan-jangan “penyakit turunan” itu kumat. Dan kalau begini tentu bahaya. Dunia kang-ouw bakal guncang dan orang-orang persilatan geger.

Tapi karena Beng Tan tak percaya begitu saja dan pendekar ini akan pergi menyelidiki maka hamilnya Tang Siu membuat pendekar in irepot. Dia melepas janjinya dan menunggu dulu di rumah. Menantu perempuannya sedang berbadan dua dan tak enak kalau meninggalkannya sendirian. Biarlah Han Han datang dan pemuda itu atau dia yang pergi. Maka ketika dua tosu dan hwesio itu pergi, Hek-yan-pang terguncang oleh berita ini maka Giam Liong sendiri justeru terkejut dan terguncang berulang-ulang oleh kejadian demi kejadian yang di alami.

Mula-mula dia diganggu murid-murid Khong-tong dan Lu-tong. Lalu ketuanya yang sampai menyusul ke Lembah Iblis. Dan ketika hari itu dia meninggalkan lawan-lawannya untuk berangkat ke kota raja maka di sepanjang jalan pemuda ini dihadang banyak orang-orang kang-ouw yang menuntut dan menagih jiwa!

Ternyata puluhan bahkan ratusan orang berjajar menanti. Di sepanjang menuju ke kota raja itu Giam Liong bertempur dan menghadapi lawan-lawan berat. Di antaranya ketua Hek-liong-pang yang dulu dibabat dan dibunuh ayahnya, sudah berganti ketua baru dan ketua inilah yang menghadang perjalanannya. Bukan hanya sekedar ketua melainkan dengan seluruh anggotanya, tak kurang dari empat ratus orang!

Dan ketika Giam Liong nyaris tak dapat melepaskan diri dan untung berkat Pek-poh-sin-kunnya yang luar biasa ia berhasil lolos dan keluar dari kepungan orang-orang Hek-liong-pang itu maka Giam Liong compang-camping dan menggigil mengerotokkan buku-buku jarinya. Kalau saja dia tidak tahu bahwa orang-orang itu salah paham dan terhasut tentu tangan besinya bakal keluar. Tentu dia betul-betul akan melakukan pembunuhan dan orang-orang itu dibasminya.

Tapi karena dia tahu betul bahwa sebuah kesalah pahaman sedang terjadi dan seseorang berwatak iblis mencelakai dirinya, merusak dan membunuh orang-orang lain dengan Golok Maut curian maka Giam Liong lelah ketika terhuyung-huyung sampai di kota raja. Dia terpaksa meninggalkan lawan-lawannya karena teringat isterinya. Di mana-mana muncul musuh-musuh baru dan pemuda ini merasa terjepit. Dia geram dan marah sekali kepada penjahat di balik peristiwa ini. Apa jadinya kalau dia menurunkan tangan besi dan membunuh orang-orang Hek-liong-pang itu.

Tentu keadaan semakin buruk. Dan ketika dia mempergunakan kesaktiannya dan segala bacokan senjata tajam tak ada yang mampu melukai, bergerak dengan langkah-langkah sakti Pek-poh-sin-kun untuk menerobos musuh maka ketika senja mulai tiba dan ia sampai di kota raja dengan keringat membasahi tubuh mendadak sesosok bayangan berkelebat dan Han Han, saudara sekaligus sahabatnya muncul, tepat di gerbang pintu masuk.

“Hm, dari mana, Giam Liong. Mau ke mana!”

Giam Liong terkejut. Dia menoleh dan kaget tapi seketika girang bahwa itulah Han Han. Pemuda itu berdiri di pilar tembok dan menghadang, tenang namun wajahnya dingin. Dan ketika Giam Liong tak jadi memanggil karena di belakang pemuda itu muncul orang-orang lain, dua di antaranya adalah Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin maka pemuda ini tertegun dan berhenti. Pandang matanya seketika bersinar.

“Hm, kau, Han Han. Ada apa di sini. Dan orang-orang itu, kaukah pembawanya?”

“Benar,” Ho Heng Tojin berseru dan mendahului lantang. “Kami bertemu dan minta tolong Ju- siauwhiap ini, Naga Pembunuh. Kami telah bertemu ayahnya dan mendapat petunjuk. Sekarang kau tak dapat lolos karena hari ini pasti tertangkap!”

“Omitohud, pinceng tak usah malu. Kami secara kebetulan bertemu saudaramu ini, sin Giam Liong. Dan sekarang pinceng ulangi lagi agar kau menyerah baik-baik!”

“Hm,” Giam Liong mendengus, tak perduli hwesio itu. "Kau di sini dikemudikan kerbau-kerbau tolol ini, Han Han? Kau mau menangkap aku atas permintaan mereka?”

Han Han berkerut, wajahnya jelas menampakkan ketidaksenangan. Wajah itu gelap sementara Pedang Matahari tersembul di punggung. Tak biasanya Han han memasang pedang itu sedemikian rupa kalau tidak untuk maksud-maksud tertentu. Mungkin untuk penggetar jiwa lawan, karena Giam Liong memang tergetar dan tak nyaman memandang pedang itu, pedang yang selama ini merupakan tandingan Golok Maut!

Hanya itulah satu-satunya senjata di muka bumi yang dapat mengimbangi Golok Maut. Tapi karena golok itu tak ada di tangan dan Giam Liong akhirnya menenangkan debaran hatinya maka saudaranya itu berhenti dan memandang dengan tajam. Han Han melindungi orang-orang itu dengan melangkah empat tindak.

“Giam Liong, tak kusangka bahwa kekejianmu muncul lagi. Kau telengas, kau pembunuh berdarah dingin. Ada apa kau membunuh-bunuhi murid-murid Khong-tong dan Lu-tong seperti ini? Apa salah mereka hingga tanpa dosa kau bantai? Aku sudah mendengar sepak terjangmu, Giam Liong, tapi mula-mula tak percaya. Baru setelah kudengar omongan dua orang ciangbunjin (ketua) ini barulah aku tak usah ragu. Aku diminta menangkap dan mengadilimu di Khong-tong. Aku meminta tanggung jawabmu kenapa kau sekeji ini. Apakah kau tak pernah merasa puas kalau lama tidak menghirup darah orang!”

“Ha-ha!” Giam Liong tiba-tiba tertawa bergelak, penuh sakit hati tapi juga pedih. “Kau dan orang-orang ini sama bodoh, Han Han. Kau kiranya telah menjadi manusia tak berotak yang tidak dapat berpikir panjang. Ha, dengarlah. Ku ulangi sekali lagi bahwa itu bukan perbuatanku. Ada seseorang memfitnahku. Aku menerima getah busuk. Aku...”

“Bohong!” Ho Heng Tojin membentak dan tiba-tiba mendahului, sudah mencabut pedang dan tongkat dikedua tangannya. “Muak aku mendengar sangkalanmu, Naga Pembunuh. Dari dulu sampai sekarang sama saja. Kau berusaha mengelak tapi tak pernah menangkap orang yang kau maksud itu. Terimalah, pinto tak perlu banyak cakap karena kau harus mati atau pinto yang mampus!” dan pedang yang mendesing serta tongkat yang menderu membuat Giam Liong marah dan mengelak, dikejar dan pemuda ini menangkis. Dan karena ia sudah berkali-kali menghajar dan melampiaskan marah pada tosu ini maka begitu menangkis begitu pula tongkat dan pedang patah!

“Pletak!”

Ho Heng berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Ia berani karena ada Han Han di situ. Sudah diketahui bahwa pemuda ini sama lihai dengan Giam Liong. Tapi ketika pemuda itu tak bergerak membantunya dan membiarkan pedang serta tongkatnya patah, ketua Khong-tong ini pucat maka dia bergulingan meloncat bangun dan sudah mencabut pedang dan tongkatnya yang baru, menegur Han Han.

“Ju-siauwhiap, kenapa kau diam dan tak membantu pinto. Apakah hubungan saudara di antara kalian membuatmu ragu!”

“Hm,” Han Han menggeleng, menatap ketua Khong-tong itu penuh sesal. “Kau lancang memotong pembicaraan, totiang. Betapapun aku masih bicara dengan Giam Liong. Harap mundur dan biarkan aku menanyainya dulu.”

Tosu ini merah padam. Ia melirik kearah temannya Ceng Tong Hwesio pun mengangguk. Hwesio itu mengetrikkan tasbehnya yang baru dan bersiap-siap. Mereka khawatir dua saudara itu tak segera bertanding. Jangan-jangan alasan Giam Liong melemahkan putera Ju-taihiap itu. Maka ketika Han Han bergerak dan menghadapi Giam Liong kembali, hwesio gemuk pendek ini mengikuti maka Ceng Tong Hwesio berseru, membela temannya.

“Siauwhiap, sudah kau ketahui bahwa Naga Pembunuh ini membunuh orang dimana-mana. Ia bisa saja menyangkal dan mengelak tuduhan, namun bukti lebih dari cukup. Tangkap saja dan tak usah banyak bicara!”

“Hm, aku lebih tahu. Mundur dan biar kudengar alasannya, Ceng Tong lo-suhu, betapapun tak mungkin dia menghindar kalau bersalah. Harap kalian tidak mengganggu kami dan membiarkan kami bicara dulu.”

Hwesio itu mengumpat. Kalau saja ia mampu menghadapi Giam Liong tentu sudah diserang dan dihajarnya lawannya itu. Namun karena Si Naga Pembunuh ini benar-benar lihai dan bantuan anak muda itu benar-benar diharapkan, betapapun ia tahu diri maka Ceng Tong Hwesio akhirnya membiarkan dua orang muda itu bicara.

“Giam Liong, telah kudengar bahwa kau membunuh-bunuhi anak-anak murid Khong-tong dan Lu-tong, begitu pula orang-orang lain yang membuatku heran. Sekarang kau ada di sini, kebetulan sekali. Bicaralah dengan jujur dan apa alasanmu membunuh-bunuhi orang itu!”

“Hm, sudah kukatakan bahwa aku tak membunuh-bunuhi orang. Kalau aku membunuh-bunuhi mereka apakah dua orang ini masih hidup? Aku difitnah, Han han, seseorang merusak namaku. Sudah kubilang berkali-kali kepada mereka ini bahwa aku tak melakukan perbuatan itu. Mereka tak percaya!”

“Hm, tentu saja tidak. Luka yang ditimbulkan jelas akibat Golok Mautmu, Giam Liong, dan aku juga melihat begitu. Hanya kaulah yang memiliki golok itu dan kau pula yang menyimpannya!”

“Benar, tapi golok ituhilang!”

“Hilang?”

“Bohong!” Ceng Tong Hwesio kali ini bicara. “Tak ada senjata yang hilang dari tuannya, Ju- siauwhiap. Senjata adalah nyawa bagi kita. Naga pembunuh ini sengaja mencari-cari dalih agar lepas dari tuduhan!”

“Tutup mulutmu!” Giam Liong tak dapat menahan marah. “Aku bicara dengan Han Han, hwesio busuk. Jangan lancang atau kau tak memberi kesempatan membela diri!”

“Hm,” Han Han mengangguk, menyuruh hwesio itu mundur. “Apa yang dikatakannya benar, lo-suhu. Seorang pesakitan berhak membela diri, meskipun menghadapi tuduhan berat. Kau mundurlah dan biar kudengar bicaranya.”

Hwesio itu merah padam. Sama seperti Ho Heng Tojin iapun akhirnya menerima malu. Dan ketika ia mundur namun sepasang matanya menyorotkan dendam, ia harus membiarkan dua orang muda itu bicara lagi maka Giam Liong menghadapi Han Han dan bicara dengan suara dingin.

“Kerbau-kerbau tolol ini maunya mencekik orang lain saja, padahal tak memiliki kepandaian berarti. Hm, kuberitahukan terus terang padamu, Han Han, bahwa golokku memang hilang dan dicuri seseorang. Aku tak tahu siapa dia tapi kini kuselidiki. Kau tahu bahwa golok itu kusimpan dan kukubur di Lembah Iblis. Sejak aku membunuh Kedok Hitam senjata itu tak kupergunakan lagi. Kalau kini golok itu mencari darah maka pemegangnya bukan aku melainkan orang lain itu. Percaya atau tidak terserah, tapi aku bukan manusia yang lari dari tanggung jawab kalau itu benar kulakukan!”

Han Han tertegun. Sejenak kilatan matanya berseri karena kata-kata dan sikap Giam Liong gagah sekali. Dia tahu baik siapa Giam Liong ini dan tentu saja segera menoleh pada ketua-ketua Khong-tong dan Lu-tong itu. Mereka tak memberi tahu sama sekali bahwa Golok Maut dicuri orang. Ini dia tak tahu. Dan karena Giam Liong sudah memberi tahu dua orang ketua itu tapi mereka menyembunyikan ini, entah untuk maksud apa maka dia menegur,

“Lo-suhu, dan kau Ho Heng totiang. Ternyata kalian mendapat tahu bahwa Golok Maut dicuri orang. Seingatku Giam Liong tak mempergunakan lagi senjatanya itu setelah membunuh Kedok Hitam, musuh besarnya. Kenapa kalian tak memberi tahu ini dan diam-diam saja? Apakah kalian penasaran oleh kekalahan kalian di Lembah Iblis?”

“Hm, kalah menang suatu hal yang lumrah. Kalau betul golok itu dicuri orang kenapa dibiarkan saja dan sampai membunuh-bunuhi banyak jiwa tak berdosa? Kalaupun kami tak menuntut bukan dia pembunuhnya tapi kami berhak menegur dan memeriksanya, siauwhiap, sebab senjata itu adalah miliknya dan kenapa sampai tercuri. Kami memang telah diberi tahu tapi alasan ini tak dapat kami terima sepenuhnya. Bukankah bisa saja dia mengelak dan coba melepaskan diri dari tuduhan!”

“Benar,” Ho Heng kini menyambung, penuh semangat. “Senjata hilang setelah memakan banyak jiwa, Ju-siauwhiap. Kalau tidak begini barangkali tak pernah diketahui orang bahwa Golok Maut itu dicuri. Naga Pembunuh ini pemiliknya, dan senjata itu telah meminta banyak korban. Kami sebagai yang dirugikan tentunya ingin memeriksa dan membuktikan apakah benar hilang dicuri. Tapi dia tak mau kami periksa dan selalu kabur kalau bertemu! Apakah ini bukan alasan yang dicari-cari? Kalau Naga Pembunuh bersih biarlah ia kami tangkap dan periksa, jangan malah meninggalkan urusan dan lari!”

“Hm, aku lari karena tak mau berurusan dengan orang-orang picik macam kalian!” Giam Liong membentak. “Aku ada urusan yang lebih penting, Ceng Tong Hwesio, menyusul dan mencari isteriku di kota raja. Kalau aku tertahan kalian dan melayani penuh emosi jangan-jangan aku benar-benar membunuh kalian dan memberatkan keadaan!”

Hwesio itu melotot. Tapi ketika ia hendak membalas tiba-tiba dari dalam pintu gerbang berkelebat seseorang dengan seruan menggigil, jatuh berguling,

“Giam Liong, seseorang melukaiku. Aku..... ah, aku hampir mendapatkan Sin Gak!”

Semua terkejut. Giam Liong yang marah mendamprat hwesio itu tiba-tiba berubah pucat melihat bayangan ini. Ia ternyata Yu Yin dan isterinya itu mandi darah, roboh dan menggapai-gapai sementara di tangannya terdapat sobekan kain hitam. Dan ketika Giam Liong berkelebat sementara Han Han berseru tertahan, bergerak dan menolong wanita itu maka Yu Yin ternyata roboh pingsan dengan tubuh penuh luka-luka. Semuanya bekas bacokan golok!

“Hm, apa yang terjadi,” Han Han pucat dan berubah. “Isterimu luka parah, Giam Liong. Ia ia kena babatan Golok Maut!”

Giam Liong melotot dan pandang matanya penuh kegusaran. Ia melihat keadaan isterinya itu dan sekali lihat saja iapun tahu bahwa isterinya terbabat Golok Maut. Darah yang semula membasahi kulit daging mendadak mengering sekejap. Bercak dan noda-noda itupun kering dengan cepat, padahal pakaian itu basah penuh keringat. Dan ketika Giam Liong mengeluarkan gerengan aneh dan dari kerongkongan pemuda ini muncul suara seperti biruang, wajahnya mengerikan maka tiba-tiba dari balik pintu gerbang sesosok bayangan berkelebat sembunyi.

“Siapa kau!” Giam Liong menyambar dan mencelat bagai kilat cepatnya, melewati Han Han. “Keluar kau, tikus busuk. Atau mampus tinggal nama!” dan ketika terdengar jeritan dan teriakan tertahan, seseorang ditangkap maka Han Han berkelebat dan seorang berpakain perwira menggigil di cengkeraman Giam Liong, wajahnya pucat pasi.

“Am..... ampun. Ak.... aku hanya dibawa isterimu, Sin-taihiap. Ak aku tak tahu apa-apa!”

Giam Liong membanting dan menginjak perwira ini. Dia ternyata adalah Ta-ciangkun komandan kota Ci-bun. Han Han juga mengenal orang ini karena beberapa perwira adalah kenalan ayahnya juga, ketika dulu ayahnya masih menjadi pembantu kaisar dan masuk keluar istana. Maka ketika ia terkejut dan terbelalak memandang perwira itu maka berturut-turut Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin berkelebat menyusul. Han Han menyambar dan membawa masuk Yu Yin yang luka parah.

“Ada apa kau di sini. Ada apa sembunyi-sembunyi! Katakan apa maksudmu, orang she Ta, dan bagaimana isteriku luka parah!”

“Ia..... ia bertempur dengan seseorang. Aku.... aku hanya menonton dari jauh. Ohh, lepaskan cengkeramanmu, Sin-taihiap. Aduh, mati aku.!”

Han Han bergerak dan memegang lengan Giam Liong, menyabarkan. “Lepaskanlah dia, Giam Liong. Jangan kuat-kuat mencengkeram. Kita tanyai baik-baik dan yakinlah bahwa perwira ini tak akan bohong.”

Giam Liong melepas dan mendorong jatuh perwira itu. Ta-ciangkun merintih dan tampak ketakutan. Berhadapan dengan si buntung ini membuat ia ngeri. Maklum, Giam Liong terkenal sebagai pemuda keras yang berwatak dingin. Mata yang mencorong berkilat-kilat itu saja sudah cukup membuat merinding. Kalau tak ada Han han di situ barangkali perwira ini pingsan. Dan ketika Han Han memegang pundaknya dan menyuruh ia bercerita maka perwira itu menerangkan.

“Siauw-hujin (nyonya muda) menangkap dan minta aku mengantar mencari Siauw Hong. Kami.... kami masuk istana. Tapi ketika Siauw Hong berhasil ditemukan ternyata seseorang datang dan menyerang hujin (nyonya). Aku tak tahu siapa dia namun Sin Gak putera siauw-hujin ada di situ. Mereka bertempur hebat. Tapi karena lawan rupanya lebih lihai dan siauw-hujin tak mampu menandingi maka hujin roboh dan.... dan Golok Maut itu di tangan orang itu.!”

“Hm, dengar,” Giam Liong membalik dan menghadapi orang-orang itu, juga Han Han. “Buka dan lihat baik-baik mata dan telinga kalian, Ceng Tong Hwesio. Dengar bahwa isteriku sendiripun menjadi korban Golok Maut. Golok itu di tangan orang lain. Kini golok itu melukai isteriku dan entah dia dapat hidup atau tidak. Kalian orang-orang tua berotak kerbau dan tidak berperasaan. Lihat isteriku sendiri menjadi korban!”

Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin terkesima. Mereka itu melihat keadaan sang nyonya dan kebetulan saat itu Sin-hujin sadar. Yu Yin mengeluh dan membuka mata. Tapi begitu ia melihat Giam Liong tiba-tiba iapun menangis tersedu-sedu.

“Giam Liong, aku.... aku tak menurut nasihatmu. Aku... aku terlampau cemas akan Sin Gak. Orang itu.... jahanam itu, dia.... dia ada diistana. Dia dia membawa golokmu!”

“Sudah kudengar,” Giam Liong mendekap dan memeluk isterinya ini, gemetar. “Dan kau... lukamu parah sekali, Yu Yin. Aku hendak bercerita bahwa sejak di Lembah Iblis aku sudah dikejar-kejar orang. Lihat, ini ketua Khong-tong dan Lu-tong. Mereka menuduhku membunuh-bunuhi murid mereka dan mengeroyok aku sampai habis sabar. Ah, kalau saja orang-orang ini tidak buta!”

Yu Yin mengguguk dan mengeluh. Ia balas memeluk suaminya namun luka di leher dan punggungnya terkuak lebar. Sayatan di situ besar dan panjang, bahkan daging pundaknya cuwil. Dan ketika Giam Liong merebahkan isterinya ini mengambil obat luka ternyata Han han mendahului dan merobek bajunya sendiri untuk pembebat.

“Giam Liong, maaf. Aku dan orang-orang ini salah kira. Kau ternyata benar. Biar kutolong isterimu, Giam Liong. Berikan padaku dan lihat betapa lukanya parah!”

Namun Giam Liong tiba-tiba bangkit berdiri. Sebersit ingatan berkelebat. Dan ketika ia menyerahkan isterinya kepada Han Han tiba-tiba pemuda itu berkelebat menyambar Ta-ciangkun. “Han Han, kau tolong dulu isteriku ini. Aku akan masuk istana mencari jahanam itu!”

Giam Liong lenyap dan membawa Ta-ciangkun yang berteriak. Perwira ini disambar dan tahu-tahu diangkat tengkuknya, dibawa terbang memasuki kota raja bagai kelinci disambar burung garuda. Dan ketika perwira itu menjerit-jerit namun Giam Liong menyuruhnya diam, sang perwira berteriak karena dua jari pemuda itu panas membakar penuh sinkang maka Giam Liong sadar dan menarik tenaga saktinya itu. Dalam marah dan beringasnya ia seakan mencengkeram seorang musuh.

“Maaf, jangan berkaok-kaok, Ta-ciangkun. Aku membawamu ke istana untuk menunjukkan di mana isteriku bertemu jahanam itu. Kau harus tunjukkan tempatnya atau nanti semua tempat ku obrak-abrik!”

Ta-ciangkun mengeluh. Sekarang cengkeraman dikendorkan namun bekas jari-jari pemuda itu membuatnya sakit juga. Jari si buntung ini seakan tang baja yang menjepit kulit, sakit dan pedih. Tapi ketika cengkeraman itu dikendorkan dan ia tak seberapa kesakitan maka mereka sudah memasuki istana dan bagai elang menyambar tahu-tahu Giam Liong telah melayang turun melewati tembok tinggi.

“Katakan, di mana tempat itu. Cepat atau nanti kepalamu kuhancurkan!”

“Di.... di taman margasatwa. Di belakang istana, taihiap, di tempat kaisar memelihara segala macam binatang untuk hiburan!”

“Di taman margasatwa? Maksudmu kebun binatang?”

“Beb... betul. Di sana, taihiap. Di sekumpulan anjing dan hewan-hewan liar!”

Giam Liong menyambar dan melayang naik lagi. Taman margasatwa itu terletak di bagian paling belakang dan dia heran tapi tak banyak pikir. Kaisar memang membuat semacam taman luas khusus binatang peliharaan mulai dari tang buas-buas sampai yang jinak. Harimau dan ular sampai gajah ada di situ. Mereka dikerangkeng dan hanya beberapa saja yang dibiarkan bebas berkeliaran, seperti misalnya itik Ho-nan, itik berbulu hijau kuning yang indah dan lucu, juga beberapa ayam hutan yang masih liar namun tidak berbahaya bagi manusia. Dan ketika Giam Liong memasuki ini dan berkelebat melayang turun maka geram dan suara-suara gaduh menyambutnya. Ular mendesis dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.

“Di situ...” Ta-ciangkun menunjuk, gemetar. “Di dekat kandang harimau itu, taihiap. Di sebelah kumpulan anjing hutan!”

Giam Liong meliar. Ia melihat bekas-bekas pertempuran dan ketika suara-suara binatang semakin riuh tiba-tiba pintu taman terbuka. Seorang pawang, sekaligus penjaga muncul. Ini adalah Pek-wan yang bertanggung jawab di situ. Ia datang karena suara riuh binatang-binatang itu. Dan ketika ia tertegun melihat Giam Liong di situ, juga Ta-ciangkun yang dikenalnya maka ia berseru dan berlari-lari.

“Hei, apa kalian lakukan. Ada apa membuat ribut binatang!”

Giam Liong tak perduli. Ia bertanya kepada Ta-ciangkun di mana kira-kira orang itu sekarang. Tapi karena Ta-ciangkun tak tahu dan bingung maka Giam Liong menjadi marah kepada petugas kebun binatang itu, yang sudah mendekat.

“Kau..!” Giam Liong menyambar dan membentak orang ini. “Aku mencari orang yang melukai isteriku, tikus busuk. Mana dia dan tunjukkan padaku. Atau semua kandang kuobrak-abrik dan kau rasakan akibatnya!”

“Eh, ini.... eh, bukankah kau adalah Naga Pembunuh Si-taihiap! Eh, ampun, taihiap.... aku tak tahu apa-apa dan tak mengerti maksudmu. Siapa yang kau cari dan kapan ada di sini. Aku tak tahu!”

Giam Liong melempar orang ini menumbuk dinding macan. Suara berdebuk membuat hewan-hewan ganas itu meraung dan lari berputar-putar. Mereka terkejut tapi juga marah oleh tindakan ini. Taman margasatwa itu jadi hingar-bingar. Dan ketika Giam Liong memekik-mekik dan memanggil lawannya itu, tak tahu siapa dia maka kandang ular tiba-tiba terbuka dan disusul kemudian oleh pintu-pintu kandang lain. Entah siapa membukanya.

“Heii, celaka! Eh, ular-ularku lepas!” Si petugas kebun binatang melonjak kaget.

Giam Liong sendiri berkelebatan dari satu kandang ke kandang lain, memekik dan mencari orang yang bertempur dengan isterinya itu. Maka ketika semua binatang tiba-tiba lepas, ular dan harimau berlarian keluar maka Ta-ciangkun pucat mukanya dan berlari ke pintu di mana pawang atau penjaga kebun binatang itu masuk. Pintu itu masih terbuka dan dengan beberapa lompatan lagi dia akan selamat. Tapi ketika seseorang tiba-tiba berkelebat dan suara keras menutup pintu itu, mengganjal dari luar maka Ta-ciangkun berteriak dan seseorang berkedok hitam sempat dilihatnya sejenak.

“Heii, kau. Ada apa menutup pintunya.Buka buka cepat!”

Namun pintu mengganjal rapat. Jeruji besi yang memalang pintu itu amat kokoh. Didobrak-dobrak tetap saja tak bergeming. Dan ketika perwira ini hendak meloncat naik tiba-tiba belasan ekor monyet menubruk dirinya, cecowetan. Binatang ini ketakutan dan Ta-ciangkun terkejut. Dia risih dan geli, juga kaget. Dan ketika dia harus melempar binatang-binatang itu sambil memaki-maki, ada yang menggigit dan mencakar dirinya maka seekor harimau tiba-tiba mengaum dan melayang terbang menubruk dirinya.

“Aiihhh. !” perwira ini pucat dan ngeri. Dia masih diguncang oleh peristiwa siauw-hujin, lalu sikap dan kebengisan Giam Liong. Maka ketika tiba-tiba pegangannya pada pintu lepas, jatuh ke bawah maka saat itulah dia sudah diterkam dan digigit raja hutan ini, bergulingan dan berteriak kaget sementara binatang lain berteriak gaduh membisingkan suasana. Teriakan atau jeritan Ta-ciangkun tertindih. Celaka sekali.

Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan Han Han muncul di situ maka pemuda baju putih ini menendang raja hutan itu sementara tangannya menarik Ta-ciangkun dari pergumulan. Baju dan pakaian perwira ini robek-robek, pundak dan pipinya juga luka berdarah. Namun ketika Han Han menyelamatkannya berjungkir balik, keluar dari pintu yang tinggi maka perwira itu roboh dan menggigil.

“Dia dia ada di sini. Orang itu menutup pintu besi itu!”

“Dia siapa,” Han Han berseru, suaranya keras melawan kegaduhan suara binatang yang menjerit-jerit, juga aum atau gerengan singa.

“Dia orang yang dicari-cari Naga Pembunuh itu, kongcu. Orang berkeduk hitam itu. Tadi aku melihatnya sekilas dan dia tersenyum seperti iblis!”

“Dan di mana Giam Liong!”

“Ada di dalam...”

“Baik, pergi dari sini secepatnya, ciangkun. Kenapa dia harus membukai pintu kandang melepaskan semua binatang itu!” Han Han berkelebat dan masuk kembali ke tempat gaduh itu, membuat Ta-ciangkun terbelalak karena seperti burung saja pemuda ini melayang dan turun melewati puncak pintu yang tinggi. Pintu itu harus dia panjat naik kalau ingin keluar, tembok sekeliling taman margasatwa inipun tingginya tak kurang dari lima meter!

Maka ketika begitu mudahnya Han Han masuk dan keluar, perwira ini kagum maka dia segera angkat kaki dan lari terbirit-birit. Cukup bertemu sekali saja dengan peristiwa semacam ini. Biarlah seumur hidup tak perlu dia jumpai lagi kejadian seperti ini. Tapi ketika dia hampir menabrak seseorang dalam berlari kencang, hiruk-pikuk di taman margasatwa itu menutup segala-galanya maka Ta- ciangkun berteriak dan otomatis tangannya menahan kedepan.

“Heii..!”

Tapi perwira ini malah jatuh terpelanting. Dia disambut tangan lain dan begitu bersentuhan mendadak dia kesakitan dan menjerit. Entah bagaimana tahu-tahu dirinya terbanting roboh. Dan ketika perwira ini meloncat bangun dan terhuyung mau memaki tiba-tiba jantungnya seakan berhenti berdetak karena orang yang di depannya itu bukan lain si bayangan hitam. Orang yang tadi mengganjal pintu besi!

“Hm, heh-heh...!” tawa itu membuat tengkuk si perwira terasa seram, dingin! “Kau yang membawa Naga Pembunuh itu ke sini? Kau yang menjadi penunjuk jalan hingga dia mengganggu ketenanganku? Bagus, lancang benar kau, Ta-ciangkun. Sungguh berani mati. Kau sudah bosan hidup hingga agaknya tak memikirkan keselamatan dirimu!”

“Si.... siapa kau!” perwira ini akhirnya membentak memberanikan diri, meraba pinggang tapi senjatanya tak ada di situ, hilang di jalan. Ia lupa! “Kau iblis menakut-nakuti orang, jahanam keparat. Dan agaknya kau pula yang membuka semua pintu kandang!”

“Heh-heh, benar. Aku ingin melihat Naga Pembunuh itu dikeroyok binatang-binatang buas, Ta-ciangkun. Lebih-lebih kau yang tentu akan lebih cepat mampus. Sayang, kau lolos. Pemuda baju putih itu menolongmu tapi tak mungkin sekarang kau selamat singg!” seberkas cahaya putih menyambar, dicabut dari punggung dan Ta-ciangkun pucat melihat ini. Itulah Golok Maut, golok penghisap darah! Dan ketika perwira ini menggigil dan berteriak, sayang teriakannya terpotong oleh sinar putih berkeredep maka tahu-tahu lengannya putus dibabat senjata tajam itu.

“Heh-heh, kematian harus kau terima perlahan-lahan, Ta-ciangkun. Terlalu enak kalau terlalu cepat. Nah, berikan tanganmu dan rasakan ini... crat!” tangan perwira itu terbang ketika secara otomatis menyambut golok. Dia menangkis tapi malah celaka. Dan ketika perwira itu menjerit dan bergulingan, dibacok dan menangkis lagi maka tangannya kedua menjadi korban.

Ta-ciangkun kesakitan hebat dan menjerit-jerit. Sayang, jeritannya tertutup oleh hiruk-pikuk suara binatang. Pek-wan si pawang masih sibuk memanggil-manggil piaraannya sambil berlarian ke sana ke mari. Dan ketika suara binatang tak segaduh tadi lagi maka tubuh perwira ini sudah menjadi empat potong dan masing-masing kaki atau tangannya putus. Tentu saja tewas!

“Giam Liong, lihat ini!”

Dua bayangan berkelebat. Han Han akhirnya berhasil menemui temannya itu ketika Giam Liong melengking-lengking memutari delapan penjuru taman. Pemuda ini berkelebatan memanggil-manggil musuhnya sampai kemudian Han Han datang. Pemuda itu menegur kenapa kawannya membukai pintu kandang, melepas semua binatang buas dan Giam Liong tentu saja marah. Ia tak membuka pintu-pintu kandang dan Han Han berkerut kening. Tapi ketika Han Han teringat cerita Ta-ciangkun betapa seseorang berjubah hitam mengganjal dan mau mencelakai perwira itu maka Giam Liong terbelalak dan mencari di mana perwira itu.

‘Dia sudah kukeluarkan, hampir saja tewas ditubruk harimau. Orang itu masih ternyata masih di sini, Giam Liong, tapi jangan merepotkan orang lain dengan membuat gaduh di sini. Mari kita berputar dan cari dia di kiri kanan. Kita bertemu di pintu masuk!”

Han Han berkelebat dan tak mau banyak bicara lagi. Ia tak ingin temannya bertindak serampangan dan taman margasatwa itu hancur. Kalau Giam Liong tak dikendalikan emosinya bisa-bisa seluruh istana rusak. Maka ketika dia membantu dan tiba di pintu besi, Giam Liong juga berkelebat dan menemukan sosok mayat di situ maka keduanya tertegun karena Ta-ciangkun sudah tak bernyawa!

“Ia tewas, baru saja. Dan.... dan Golok Maut itu yang membantainya! Ah, keji sekali, Giam Liong. Tak kusangka bahwa orang itu membunuhnya!”

Giam Liong tertegun, tapi mukanya membesi. “Kau..., dimana kau tinggalkan isteriku, Han Han? Mana Yu Yin?”

Han Han bagai diingatkan. “Ia kutitipkan pada Ho Heng Tojin dan kawan-kawan. Yu Yin menyuruhku mengejarmu. Ada sesuatu yang hendak disampaikan!”

“Di mana sekarang?”

“Di luar tembok ini, mari!” dan Han Han yang kecut melihat itu tiba-tiba berkelebat dan membawa Giam Liong keluar. Tembok tinggi dilompati dan tepat bersamaan itu terdengar jerit seseorang. Suaranya seperti Ho Heng Tojin! Dan ketika mereka mempercepat gerakan dan melayang turun ternyata ketua Khong- tong itu roboh disusul oleh Ceng Tong Hwesio dan orang-orang lain, mandi darah!

Tapak Tangan Hantu Jilid 08

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“JANGAN sendiri-sendiri. Jangan berpencar. Gabung serangan dan awas Kim-kang-ciang pemuda!”

Semua mengangguk. Mereka terkejut bahwa dengan lengan buntungnya itu pemuda ini mampu merobohkan mereka. Si Naga Pembunuh itu benar-benar lihai. Tapi karena mereka adalah orang-orang gagah dan Kim-kang-ciang yang dimiliki pemuda itu sudah dikenal mereka, kini membuktikan dan melihat betapa hebat pukulan pemuda itu maka mereka yang tidak terlampau keras dihajar Giam Liong bangkit berdiri lagi dan menyerang.

Giam Liong tidak bersikap telengas dan mengatur tenaganya sedemikian rupa, sayang di terima salah dan dianggap lemah, mungkin disangka bahwa tenaganya hanya sekuat itu saja. Maka ketika dia mengelak dan langkah saktinya Pek-poh-sin-kun bekerja kembali, semua terkejut karena begitu cepat dia bergeser dan berpindah tempat maka Giam Liong mendengus dan lengan kirinya yang buntung mengebut dan menyambar lebih kuat. Ujung lengan baju ini tiba-tiba mengembung dan terisi tenaga begitu kuat yang seekor gajahpun bakal roboh dipukul.

"Kwan Tek, dan kau Ceng Ting. Tanpa pelajaran agaknya kalian masih terus mendesak orang. Baiklah, maaf aku bersikap keras dan sekarang kalian semua harus roboh!”

Sembilan orang itu menjerit dan berteriak. Toya dan pedang bertemu lengan baju kosong itu tapi begitu bertemu serentak senjata mereka mencelat. Lengan baju itu mengembung dan hawa sakti yang berada di dalam inilah yang luar biasa. Hawa sakti itu menghantam mereka dan semua terbanting roboh. Dan ketika lengan atau pundak mereka patah, semua merintih dan pucat maka Giam Liong berdiri tegak telah menyelesaikan pertandingan.

“Lihat,” pemuda itu menahan marah. “Kalau aku mau, kalian bersembilan tak mungkin hidup, Kwan Tek Sianjin. Buka mata dan otak kalian bahwa aku masih berbaik hati. Nah, kukatakan sekali lagi bahwa bukan aku yang membunuh orang-orang kalian itu dan katakan kepada ketua bahwa Naga Pembunuh bukan orang yang akan lari dari tanggung jawab!"

Semua bergetar dan ngeri. Kwan Tek dan Ceng Ting Hwesio pucat dan mereka gentar. Nyata, Naga Pembunuh ini bukan tandingan mereka. Namun karena luka di leher masing-masing murid itu adalah bekas Golok Maut, dan hanya si buntung itulah yang memiliki maka Kwan Tek maupun Ceng Ting Hwesio tak mau bergeser. Mereka tetap menuduh namun kali ini disimpan di dalam hati. Betapapun mereka kalah. Betapapun mereka telah pecundang. Biarlah ketua dan tokoh-tokoh partai yang turun tangan nanti. Maka ketika mereka tak menjawab namun pandang mata mereka masih tak melepaskan tuduhan, Yu Yin marah melihat ini maka wanita itu berkelebat dan pedang hitam di tangannya akan menusuk lawan.

“Giam Liong, mata mereka ini seperti anjing tak kenal budi. Mereka masih menyimpan tuduhan kepadamu. Biarlah kucungkil seorang sebelah dan nanti mereka baru tahu adat!”

Namun Giam Liong menyambar dan menahan isterinya itu. Pemuda buntung ini mencegah, dia tak mau isterinya berbuat kejam. Dan ketika dia merampas dan menyimpan pedang hitam itu maka Giam Liong berseru memutar tubuh. “Yu Yin, tak perlu. Orang benar kelak diketahui juga. Biarlah mereka melotot dan kita pergi!”

Si buntung sudah membawa dan mengajak isterinya keluar. Mereka meninggalkan tempat itu dan Giam Liong tak mau ribut-ribut lagi. Musuh sudah dirobohkan. Tapi ketika sang isteri meronta dan mereka keluar hutan ternyata Yu Yin berseru bahwa ia hendak ke kota raja. Bukan jalan itutujuannya.

“Aku tak mau pulang, aku ingin ke kota raja. Kau tak berhak memaksaku, Giam Liong. Aku akan mencari anakku Sin Gak!”

“Hm, Giam Liong berkerut, wajahnya memerah. “Kau isteriku, Yu Yin. Kau harus tunduk kepadaku. Kita ke Lembah Iblis dulu baru setelah itu ke kota raja.”

“Tidak. Sekali aku bilang tidak tetap tidak. Kau ayah tak berperasaan. Kau laki-laki yang tak pernah mengandung dan merasakan bagaimana susahnya seorang ibu. Tidak, nyawapun kupertaruhkan di sini, Giam Liong. Sin Gak segala-galanya bagiku. Kau bersamaku ke kota raja atau kita sendiri-sendiri di sini!”

“Yu Yin...!”

Wanita itu tersedu-sedu. Yu Yin tak mau dengar kata-kata suaminya lagi karena begitu selesai iapun membalik dan meloncat pergi. Yu Yin terbang meninggalkan suaminya. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan membentak isterinya itu maka si buntung ini sudah menghadang di depan. Matanya menyorotkan sinar garang.

“Yu Yin, berhenti. Selamanya kita belum pernah berpisah dan jangan kau bergerak sendiri-sendiri. Aku juga sayang anakku Sin Gak, tapi ke Lembah Iblis lebih penting bagi kita untuk menemukan sikap. Kau turut kata-kataku dan jangan kira aku tak sayang anakku sendiri!”

“Kalau begitu kita ke kota raja dulu. Kau lebih memberatkan sebuah senjata daripada sebuah nyawa, Giam Liong. Kau bilang sayang anak tapi buktinya lain! Aku tak mau ke Lembah Iblis kecuali setelah ke kota raja!”

“Urusan Sin Gak dapat ditunda, anak itu toh sudah lama di tangan orang lain. ”

“Bagus, dan karena itu mau memperpanjang lagi? Ah, hati seorang ibu tak kuat membiarkan ini, Giam Liong. Kau laki-laki tak dapat merasakannya. Bagiku Sin Gak segala-galanya atau kau harus merobohkan aku!” dan Yu Yin yang berteriak melihat suaminya hendak menangkap tiba-tiba menerjang dan berkelit. Wanita ini marah besar dan Giam Liong terkejut. Ia memang hendak menangkap dan memaksa isterinya itu. Tapi ketika sang isteri melawan dan membalasnya, Yu Yin kalap maka pedang dicabut dan wanita ini memekik.

“Giam Liong, kau atau aku mampus!”

Giam Liong berubah. Kalau isterinya sudah seperti ini maka keadaan benar-benar gawat. Yu Yin akan nekat melakukan segala-galanya dan pemuda ini tiba-tiba sedih. Tak dapat disangkal bahwa ia amat mencinta isterinya ini. Tapi kalau sang isteri kini membantah dan bahkan siap membunuhnya, kalau ia melarang maka Giam Liong melompat mundur dan menangkis pedang hitam itu. Ia tadi menyerahkan kembali pedang itu kepada isterinya.

“Baik, kau dan aku berbeda pendapat, Yu Yin. Kita berselisih faham. Tapi aku tak mau kau kurang ajar kepada suami dan pergilah ke kota raja... plak!” Giam Liong menampar pundak isterinya itu, roboh dan menjerit namun Yu Yin bergulingan menyambar senjatanya lagi.

Pedang ini terlepas tapi disambar lagi. Dan ketika wanita itu menggigil meloncat bangun, Giam Liong tegak memberi jalan maka Yu Yin mengeluh dan melompat pergi, lewat di samping suaminya itu, menangis. “Giam Liong, maafkan aku. Tapi kau tak dapat memaksaku. Kau pergilah ke Lembah Iblis dan susullah aku di kota raja, kalau kau mau!” dan mengguguk meninggalkan pemuda itu si buntung ini tegak dengan alis mata berkerut-kerut.

Sekian tahun hidup bersama tiba-tiba kini harus berpisah. Naga Pembunuh yang keras dan tegar ini tiba-tiba menitikkan air mata. Ada keharuan tapi juga kemarahan di situ. Namun karena dia laki-laki dan harga dirinya tersinggung, Giam Liong tegak sampai isterinya lenyap maka barulah pemuda itu memutar tubuh dan bergerak ke barat. Ia tak mau menyusul isterinya kalau belum ke Lembah Iblis dulu. Ia marah bahwa Yu Yin mengajaknya bertengkar. Dan ketika ia berkelebat dan mempergunakan kepandaiannya menuju Lembah Iblis maka si buntung itu tak perduli lagi isterinya yang menuju utara.

* * * * * * * *

Giam Liong tertegun di sepasang makam tua itu. Di bawah pohon kelengkeng, terkejut mengawasi galian tanah merah pemuda ini terbelalak melihat apa yang dicari hilang. Golok Maut, benda yang ditanam dan disembunyikan di antara makam kakek gurunya tak ada. Dulu benda itu disimpan dan ditanam setelah sebelumnya dibungkus kain merah. Yang tinggal hanyalah kain itu sementara isinya hilang. Dia telah kembali ke Lembah Iblis untuk membuktikan dugaan. Dan ketika darahnya berdesir karena benda itu hilang, Golok Maut benar-benar telah dicuri orang maka Giam Liong membalik karena secepat itu juga telinganya mendengar gerakan beberapa orang. Dan....

“Ini dia!” bentakan dan makian terdengar mengejutkan. “Kau ternyata benar di tempatmu lagi, Naga Pembunuh. Siancai, pinto datang menuntut tanggung jawab!”

“Dan pinto juga. Omitohud...!” bayangan-bayangan lain berkelebatan, tak kurang dari tujuh puluh orang. “Pinceng juga menuntut tanggung jawab, Sin-sicu. Kenapa kau membunuh murid-murid kami dan berlaku telengas!”

Giam Liong dikepung dan tahu-tahu sudah di tengah lingkaran. Tujuh puluhan orang, terdiri dari para hwesio dan tosu serta orang-orang gagah lain tampak berdiri dengan wajah tidak bersahabat. Rata-rata muka mereka gelap dan membayangkan kemarahan. Semua memandangnya penuh benci. Sorot mata itu seperti sekelompok harimau ganas! Tapi ketika Giam Liong menekan debar hatinya dan hilang kaget, dia sadar setelah semua itu berada dimakam maka dia membalik dan menghadapi dua orang pertama ini, tosu bermuka merah dan hwesio gemuk pendek memegang tasbeh.

“Hm, Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Totiang kiranya, ketua-ketua Lu-tong dan Khong-tong yang terhormat. Ada apa kalian datang dan memasuki Lembah Iblis, jiwi-picu (dua ketua). Dan kenapa pula banyak kawan kalian bawa. Ada maksud apa!”

“Tak usah berpura-pura!” seorang tosu di belakang ketua, yang pundaknya dibebat membentak, maju dengan muka marah. “Kau tahu bahwa kami datang untuk menuntut tanggung jawab, Sin Giam Liong. Dan inilah ketua-ketua kami yang akan bicara sendiri denganmu. Kau sombong, mengandalkan kepandaian. Sekarang ketua kami menuntut dan tak usah berpura-pura untuk tidak tahu segala!”

“Hm, Kwan Tek Sianjin rupanya, orang tidak tahu diri. Kau datang malah menyebar penyakit, totiang. Dulu kuampuni tapi sekarang datang membawa lebih banyak kawan. Bagus, aku tak perlu berpura-pura karena aku baru kali ini berhadapan dengan ketua-ketua Khong-tong atau Lu-tong, dalam persoalan ini. Tak usah kau banyak mulut karena yang kutanya bukan kau!” Giam Liong mendengus, marah kepada tosu itu sementara Ceng Ting Hwesio, sute dari Ceng Tong Hwesio juga tampak di situ.

Hwesio ini mengkeret dan menyembunyikan muka di balik suhengnya yang pendek gemuk. Ketua Lu-tong itu memang pendek gemuk. Maka ketika Giam Liong menghadapi dua orang ini dan tidak memandang lagi tosu kurus itu, Ceng Tong dan Ho Heng Tojin mengetukkan tongkat maka Ceng Tong Hwesio berseru,

“Naga Pembunuh, kau tahu bahwa kami datang untuk urusan pembunuhan. Kau membantai dan membunuh-bunuhi murid kami seperti mendiang ayahmu dulu membunuh-bunuhi orang lain. Omitohud, apakah ini harus dijawab dan dikatakan lagi? Pinceng bersama yang terhormat ketua Khong-tong minta pertanggungjawabanmu, juga sekalian orang gagah disini. Mereka minta pertanggungjawabanmu dan sekarang harus kau pertimbangkan apakah menyerah baik-baik atau melawan dan melepas lagi nafsu jahatmu itu!”

“Hm, mendiang ayahku tak usah disebut-sebut. Yang mati sudah tidak mengganggu yang hidup lagi, Ceng Tong lo-suhu. Harap tahu aturan dan tidak menyakiti perasaan. Aku tidak merasa melakukan seperti yang kalian tuduhkan, dan akupun sudah bicara itu kepada pembantu-pembantu kalian. Heran bahwa kalian masih dapat dibawa ke mari bagai kerbau dicucuk hidungnya. Apakah Kwan Tek Sianjin dan Ceng Ting Hwesio tidak memberi tahu!”

“Omitohud, bicara dan bukti tidak sama! Kau menyangkal tapi bukti mengatakan lain, Naga Pembunuh. Murid-murid kami jelas terbunuh oleh Golok Maut milikmu dan tak usah berkelit!”

“Benar, dan pinto juga merasa yang sama. Luka yang ditimbulkan senjatamu meninggalkan bekas khusus, Naga Pembunuh, dan di dunia ini hanya kau seorang yang memiliki senjata itu. Kau pemilik Golok Maut!”

“Hm-hm, itu tak kusangkal,” Giam Liong mengangguk-angguk, suara dan makian gaduh dibelakang, kini orang-orang di belakang dua tokoh itu berseru dan menguatkan kata-kata Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio. “Tapi ketahuilah bahwa aku benar-benar tak melakukan itu, jiwi-paicu. Lihat bahwa senjata itu kukubur tapi telah dicuri orang. Lihat tanah yang kugali ini dan betapa tinggal kain pembungkusnya saja!”

“Jangan gampang dipercaya!” suara di belakang tiba-tiba membakar. “Semua itu bisa dibuat-buat, jiwi-paicu. Siapa tahu Naga Pembunuh ini takut melihat jumlah kita yang banyak!”

Suara dan pekik lain tiba-tiba membumbung. Seruan orang pertama itu disusul seruan-seruan senada yang menganggap betul. Giam Liong menunjukkan bekas galian itu tapi orang-orang di belakang tak percaya. Dua ketua tampak berkerut kening tapi mereka terpengaruh oleh suara-suara ini. Dan karena itu dinilai betul karena siapa tahu Naga Pembunuh ini berdalih, mencari akal dan hanya ingin menyelamatkan diri maka Ceng Tong Hwesio mengetrikkan tasbehnya sementara Ho Heng Tojin menancapkan tongkat semakin dalam. Ribut di belakang mereka itu merangsang emosi.

“Naga Pembunuh, kami tak dapat percaya akan apa yang kau katakan. Bisa saja semua ini hanya akalmu. Pinceng tak dapat menerima karena jelas kematian anak-anak murid pinceng dikarenakan Golok Mautmu!”

“Dan pinto juga. Kalaupun benar golokmu hilang maka kau tetap memikul kesalahan, Naga Pembunuh. Kenapa golokmu hilang dan kau tidak hati-hati. Senjata bagi seorang laki-laki tiada ubahnya nyawa!”

Giam Liong berkerut dan mendengar suara-suara gaduh. Orang-orang di belakang dua ketua itu membetulkan dan tetap saja dia dituntut. Senjata bagi seorang laki-laki adalah nyawa kedua, kalau sampai hilang maka pemilik pulalah yang salah. Dan ketika ia marah karena tak digubris, semua maju dan bersikap makin mengancam maka Giam Liong tertawa mengejek mendengar Ceng Tong Hwesio menyuruhnya menyerah.

“Naga Pembunuh, betul tidaknya senjatamu hilang dapat diketahui nanti. Sekarang menyerahlah dan biar kami periksa dirimu baik-naik!”

“Benar, menyerahlah, Naga Pembunuh. Atau kau semakin berat kalau melawan kami!”

Si buntung ini tak dapat menahan diri lagi. Tasbeh di tangan ketua Lu-tong-pai itu semakin berketrik keras ketika mendekatinya. Tongkat di tangan ketua Khong-tong juga bergetar siap menusuk. Dan karena puluhan orang di belakang ketua itu juga sudah mencabut senjata, mereka berseru dan menggerak-gerakkan senjata itu maka Giam Liong tak dapat membiarkan jari si hwesio yang tiba-tiba menerkamnya, disusul oleh gerakan Ho Heng Tojin yang juga meloncat dan menyambar pundaknya.

“Ceng Tong Hwesio, Ho Heng Tojin, kalian benar-benar para ketua yang tak dapat membuka mata baik-baik. Aku tak sudi ditangkap. Aku tak sudi diadili. Aku tidak bersalah dan jangan kalian kurang ajar....wush-bret!” dan Giam Liong yang mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya untuk mengelak dan melepaskan diri tiba-tiba membuat dua jari ketua itu saling terkam dan mengenai satu dengan yang lain.

Ceng Tong dan Ho Heng Tojin tentu saja terkejut karena begitu cepatnya Giam Liong bergerak. Pemuda itu tahu-tahu lenyap di depan mereka, terganti tangan rekan yang membentur dan menerkam tangan sendiri. Lalu ketika mereka membalik dan melihat Giam Liong bersinar ke kiri, menyerang dan bergerak lagi maka bukan hanya jari tangan yang bekerja melainkan juga tongkat dan tasbeh. Tujuh puluh orang di belakang mereka juga bersorak dan menerjang!

“Lu-tong-paicu (ketua Lu-tong), tangkap dan robohkan Naga Pembunuh ini. Jangan biarkan ia lolos!”

“Benar, dan habisi saja di sini, paicu. Lempar mayatnya di lubang galiannya itu!”

Giam Liong marah. Kalau lawan sudah seperti ini maka kesabaranpun benar-benar habis. Ia dipojokkan dan harus melawan. Maka begitu diserang dan golok atau senjata lain menyambar, yang paling berbahaya adalah tongkat dan tasbeh di tangan dua ketua maka Giam Liong membentak dan begitu dia berkelit maka langkah sakti Pek-poh-sin-kunpun bekerja.

“Wut-wut!”

Pemuda inipun menyelinap dan masuk dalam gulungan hujan senjata. Kecepatannya bergerak benar- benar mengagumkan karena begitu dia membentak segala senjata lewat di sisinya dengan cepat. Hanya tasbeh dan tongkat di tangan dua ketua itulah yang mengejar dan mampu mengikutinya. Tapi ketika Giam Liong menggerakkan tangan dan mengebut maka dua senjata itu terpental dan ketua Lu-tong maupun Khong-tong terkejut.

“Plak-plak!”

Kebutan ini panas dan menggetarkan pergelangan. Dua ketua terkejut tapi masing-masing berseru keras. Giam Liong yang menyelinap dan mengelak hujan senjata dikejar lagi, kini tangan kiri dua ketua itu bergerak melepas pukulan sinkang. Namun ketika Giam Liong membalik dan menerima itu maka dua ketua ini terhuyung dan Giam Liong harus melayani hujan senjata yang tiada henti. Selanjutnya si buntung ini melengking dan jantung para pengeroyok seakan rontok mendengar pekikannya. Saicu-hokang atau Aum Singa dikeluarkan dan separoh dari pengeroyok terjengkang.

Dan ketika mereka menjerit dan berteriak kaget maka sisanya dikebut dan terjungkal bergulingan. Sepak terjang Giam Liong luar biasa sekali tapi dari semua pengeroyok tak ada yang luka sungguh-sungguh. Lagi-lagi Giam Liong membuktikan watak besarnya dengan mengalah. Pemuda ini tahu bahwa orang-orang itu salah paham. Sekarang dia yakin bahwa seseorang mencuri goloknya, membunuh dan melakukan kekejian sementara dia menerima getah. Dan ketika dia juga mengebut dua ketua Lu-tong dan Khong-tong sampai terpelanting, mereka ini masih bukan tandingan si Naga Pembunuh maka Giam Liong berseru dan melompat turun, lari menuruni lembah.

“Ceng Tong, Ho Heng totiang, jangan kalian mendesak dan memaksa aku. Hilangnya senjata ini memang salahku, dan akan kucari manusia jahanam itu. Biarlah kutangkap maling busuk itu dan kelak kubuktikan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah!”

Semua orang terkejut dan berteriak-teriak. Mereka dapat bangun lagi karena kibasan atau kebutan Giam Liong tidak membahayakan. Maka ketika mereka mengejar dan Giam Liong menjauh agar mereka tak mengotori makam, tempat itu adalah peristirahatan bagi kakek dan nenek gurunya maka Giam Liong melarikan diri dan sengaja menjauh agar tak bertempur di sana. Pemuda ini hanya menyangka bahwa mereka itu sajalah yang datang. Tapi ketika di bawah lembah muncul bayangan-bayangan lain, tak kurang dari dua atau tiga ratus orang maka Giam Liong berubah karena seluruh anak murid Khong-tong dan Lu-tong rupanya berjaga di situ, yakni para tosu dan hwesio yang membiarkan ketuanya berangkat sementara mereka disuruh menunggu di situ.

“Naga Pembunuh, jangan lari!”

“Naga Pembunuh, hadapi kami dulu dan mana tanggung jawabmu kepada ketua!”

Pedang dan toya berkelebatan ditimpa sinar matahari. Mereka adalah para hwesio atau tosu muda di mana kini tiba-tiba bergerak dan muncul setelah melihat pemuda itu meninggalkan pertempuran. Giam Liong sama sekali tak menduga bahwa pengikut dua partai itu dikerahkan di situ, bersembunyi. Maka ketika mereka berloncatan dan menghambur dari bawah ke atas, membentak dan menyambut larinya maka Giam Liong menjadi marah namun tetap menjaga pukulan dia mengibas dan merobohkan anak-anak murid itu.

“Kalian juga manusia-manusia bodoh. Enyahlah, dan jangan ganggu aku... plak-plak!” pedang dan toya mencelat terlempar, tak sanggup bertemu kebutan ujung lengan baju itu namun jumlah mereka yang banyak menjadi penghalang. Giam Liong tak mungkin lolos kalau tidak menyibak ratusan orang-orang itu. Dan ketika apa boleh buat dia harus berlaku sedikit kejam dan para murid menjerit dan mengaduh bertemu tamparan-tamparan tangannya maka lima puluh orang terlempar ke kiri kanan namun bayangan dua ketua Lu-tong dan Khong-tong datang.

“Naga Pembunuh, jangan hanya menghadapi anak-anak. Hadapilah kami berdua dan mana kegagahanmu!”

Giam Liong marah dan menggeram. Ia tersusul dan dua ketua itu melepas pukulan. Ho Heng Tojin bahkan sudah mencabut pedang di tangan kanan dengan memindahkan tongkat di tangan kiri. Dan ketika Giam Liong membalik karena dua pukulan itu amat berbahaya, deru angin sambarannya membuat bajunya tertiup kencang maka Giam Liong mengerahkan Kim-kang-ciang dan lengan baju buntung bagian kirinya itu mengembung ketika menangkis dan menyambut pukulan dua ketua, lengan kanannya sendiri bergerak jauh lebih kuat disertai bentakan.

“Haiiittt duk-dukk!”

Ho Heng dan Ceng Tong Hwesio berteriak. Mereka terbanting dan terlempar bergulingan oleh Kim-kang-ciang yang dahsyat itu. Giam Liong mengerahkan enam bagian tenaganya hingga dua ketua terlempar. Tapi karena gangguan ini membuat yang lain maju meluruk dan mereka sudah dekat, berteriak dan bersorak sorai maka Giam Liong tak dapat melarikan diri lagi dan harus menghadapi keroyokan orang-orang marah ini.

Naga Pembunuh itu juga menjadi marah dan sepasang matanya mencorong berkilat-kilat. Kalau sudah begini pemuda ini tak mungkin mau mengampuni lagi. Lawan mendesak dan terlalu menyudutkannya. Maka ketika dia membentak dan Saicu-hokang itu dikeluarkan lagi, suaranya bagai aum singa yang dahsyat maka orang-orang itu tersentak dan ketika mereka terhuyung mundur maka sepasang lengan baju pemuda ini meledak menyambar mereka.

“Plak-plakk!”

Teriakan ngeri dan jerit kesakitan terdengar. Tiga puluh orang roboh dan mencelat, mereka terbanting dengan tangan atau kaki patah-patah. Dan ketika dengan langkah-langkah Pek-poh-sin-kun si buntung itu bergerak dan berpindah-pindah tempat maka pukulan atau tamparan ujung bajunya tak dapat dihindari lagi. Murid-murid Khong-tong ataupun Lu-tong jatuh, orang-orang kang-ouw yang juga dikebut terlempar bergulingan. Dan ketika jalan terbuka lebar karena sisanya menyingkir maka Giam Liong berkelebat dan meninggalkan lawan. Namun dua ketua maju mencegat.

“Naga Pembunuh, jangan lari. Masih ada kami di sini!”

Giam Liong menggeram. Dua ketua ini benar-benar mengganggu dan memang hanya merekalah yang patut diperhitungkan. Ujung tasbeh diketrik dan senjata di tangan ketua Lu-tong itu tiba-tiba menyambar. Tapi ketika Giam Liong mengelak dan menangkis maka tasbeh terpental tapi senjata di tangan ketua Khong- tong bergerak. Pedang mendesing sementara tongkat ditangan kiri menderu. Sama-sama dahsyat!

“Hm!” Giam Liong menjadi panas. “Kalian orang-orang tak tahu diri, Ho Heng Tojin. Kalau aku mau aku dapat membunuh kalian. Dan kalian buta. Baiklah lihat apa yang kulakukan dan mampukah senjatamu itu melukai aku...bluk-tak!” tongkat dan pedang diterima Giam Liong, bukan ditangkis melainkan dengan tubuhnya. Dan ketika tongkat terpental sementara pedangnya patah, Giam Liong mengerahkan sinkang menunjukkan kekebalan maka ketua Khong-tong itu terkejut dan sementara dia berseru tertahan tahu-tahu jari Giam liong menotok pundaknya.

“Auh!” Sang ketua terbanting dan roboh. Ho Heng Tojin tak menyangka bahwa sedemikian hebat pemuda itu. Pedangnya diterima kekebalan dan kini iapun terguling. Kalau si buntung mau totokan bukan ke pundak melainkan ulu hati. Dapat dibayangkan kalau jari pemuda itu mengenai ulu hatinya, tentu tembus dan seketika dia binasa! Dan ketika tosu itu roboh sementara anak murid menjerit, Ceng Tong Hwesio tertegun dan membelalakkan mata maka Giam Liong mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya mendekat.

“Dan kau... kaupun tak tahu diri, Ceng Tong Hwesio. Kalau aku kejam tentu kalian sudah bertemu Golok Mautku. Tapi tidak, golok itu tak di tanganku. Aku sudah bicara dan biarlah kau roboh oleh jariku ini saja... set-set!” langkah sakti pemuda itu mengejutkan si hwesio, tahu-tahu sudah berada dekat dan si hwesio mengelak namun jari sudah di depan hidung. Giam Liong agaknya mau mencoblos hidungnya!

Dan ketika hwesio itu berseru keras dan tentu saja menggerakkan tasbehnya, hwesio ini kaget dan marah ternyata jari- jari Giam Liong membuat tasbeh itu pecah. Talinya hancur dan biji tasbeh berhamburan. Dan ketika dia tersentak dan kaget sekali maka jari Giam Liong tetap saja menotok keningnya, naik ke atas hidung.

“Bluk!”

Hwesio itu terjengkang dan mengeluh. Dua pimpinan sekarang roboh dan Giam Liong tertawa dingin. Deru atau lemparan senjata ditangkis, sebagian dibiarkan mengenai punggung karena murid-murid Khong- tong maupun lu-tong membela ketua mereka itu. Dan ketika semua patah-patah dan gentar menjauhkan diri, jalan terbuka dan bebas maka Giam Liong mempergunakan Pek-poh-sin-kunnya untuk lolos,

“Saudara-saudara, kalian semua salah paham. Aku tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan percayalah kepadaku. Golok Mautku dicuri orang, dan dia inilah yang memakai namaku. Biar kubekuk dia dan kelak kubuktikan bahwa aku bersih!”

Giam Liong meluncur dan mempergunakan ilmunya keluar dari lembah. Sekarang orang-orang itu tak mungkin mencegahnya lagi karena pimpinannya sudah dirobohkan. Mereka berani karena adanya dua ketua Lu-tong dan Bu-tong itu. Dan ketika sebentar kemudian Giam Liong lenyap dan meninggalkan lembah, tak ada pertempuran di situ maka mereka menolong teman-teman yang terluka sementara anak murid Khong- tong dan Lu-tong menolong ketua mereka.

“Omitohud, Naga Pembunuh itu benar-benar lihai!”

“Siancai, ia benar-benar berkepandaian tinggi. Ah, pinto rasanya harus belajar puluhan tahun untuk menandingi anak muda itu, Ceng Tong lo-suhu. Sungguh memalukan bahwa setua ini dirobohkan anak muda!”

“Ya, dan pinceng juga malu. Apalagi dengan bantuan begini banyak orang. Ah, rasanya tak mungkin menandingi anak itu, Ho Heng totiang. Agaknya paling baik kita minta bantuan seseorang!”

“Siapa?”

“Hek-yan-pangcu, ayah angkatnya itu. Siapa lagi yang dapat menandingi kalau bukan ketua Hek-yan- pang!”

Dan ketika semua terkejut dan mengangguk-angguk, rasa penasaran merobah hati dua orang ketua ini maka hari itu juga Ho Heng Tojin maupun Ceng Tong Hwesio melanjutkan pengejaran. Mereka tak mau lagi tahu akan golok yang hilang. Kekalahan mereka di tangan anak muda itu menjadikan penasaran. Kalaupun Giam Liong tak melakukan semua kejahatan itu maka mereka tetap saja akan mengejar-ngejar anak muda ini, untuk menebus malu!

Maka ketika semua turun bukit dan dua ketua menuju Hek-yan-pang maka tentu saja Beng Tan kaget sekali akan berita yang didengarini. Ceng Tong maupun Ho Heng lebih menitikberatkan pada persoalan hinaan. Bahwa mereka telah dirobohkan dan dibuat malu anak muda itu. Dan ketika mereka ditanya apa sebab-sebab permusuhan maka keduanya menjawab bahwa Giam Liong membunuh anak-anak murid kedua partai, bahkan juga orang-orang lain. Tak menyebut-nyebut bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan menggunakan Golok Maut, karena golok itu telah dinyatakan hilang oleh Giam Liong.

“Tak masuk akal, tak dapat kupercaya! Ah, anak itu baru beberapa waktu yang lalu datang ke sini, jiwi-paicu, dan sikap atau wataknya baik-baik saja. Tak kulihat kebuasan itu. Barangkali kalian salah dan keliru menduga orang!”

“Hm, kami mungkin keliru. Tapi apakah orang-orang lain itu juga keliru, taihiap? Apakah ratusan orang ini keliru juga dan kami bohong? Putera angkatmu itu bukan hanya membunuh-bunuhi murid-murid dua partai, melainkan juga orang-orang kang-ouw lain seperti mendiang ayahnya dulu. Kami khawatir bahwa penyakit gila ayahnya dulu turun lagi. Dan taihiap tentu harus turun tangan sebagaimana layaknya kaum pendekar, tak membela atau melindungi pemuda itu karena ia putera angkatmu!”

“Hm-hm, jiwi-paicu tak usah khawatir. Hubungan kami ayah dan anak tak bakal menggoyahkan rasa kebenaran, Ho Heng totiang. Biarpun anak sendiri kalau salah harus dihukum. Tapi ini keterangan sepihak, dan aku tidak yakin. Baiklah jiwi terima janjiku dulu bahwa aku pasti turun tangan. Hek-yan-pang sedang kosong, puteraku Han Han sedang keluar. Nanti kalau dia kembali tentu aku atau dia akan mencari Giam Liong!”

Dua ketua itu harus puas. Mereka akhirnya mundur setelah tahu pula bahwa Hek-yan-pang sedang dirundung duka. Ju-taihiap itu sedang kehilangan isterinya dan musuh yang kuat datang mengganggu. Tapi karena kepentingan diri sendiri biasanya jauh lebih kuat daripada kepentingan atau memikirkan persoalan orang lain maka dua ketua itu pamit dan Hek-yan-pang guncang oleh berita ini.

Giam Liong menjadi iblis? Pemuda itu membunuh-bunuhi orang kang-ouw seperti yang dikabarkan dua ketua Lu-tong dan Khong-tong? Tak masuk akal. Tapi karena mendiang ayah kandungnya Si Golok Maut Sin Hauw juga pernah membunuh-bunuhi orang, melampiaskan dendam atas sakit hati maka mereka tergetar jangan-jangan “penyakit turunan” itu kumat. Dan kalau begini tentu bahaya. Dunia kang-ouw bakal guncang dan orang-orang persilatan geger.

Tapi karena Beng Tan tak percaya begitu saja dan pendekar ini akan pergi menyelidiki maka hamilnya Tang Siu membuat pendekar in irepot. Dia melepas janjinya dan menunggu dulu di rumah. Menantu perempuannya sedang berbadan dua dan tak enak kalau meninggalkannya sendirian. Biarlah Han Han datang dan pemuda itu atau dia yang pergi. Maka ketika dua tosu dan hwesio itu pergi, Hek-yan-pang terguncang oleh berita ini maka Giam Liong sendiri justeru terkejut dan terguncang berulang-ulang oleh kejadian demi kejadian yang di alami.

Mula-mula dia diganggu murid-murid Khong-tong dan Lu-tong. Lalu ketuanya yang sampai menyusul ke Lembah Iblis. Dan ketika hari itu dia meninggalkan lawan-lawannya untuk berangkat ke kota raja maka di sepanjang jalan pemuda ini dihadang banyak orang-orang kang-ouw yang menuntut dan menagih jiwa!

Ternyata puluhan bahkan ratusan orang berjajar menanti. Di sepanjang menuju ke kota raja itu Giam Liong bertempur dan menghadapi lawan-lawan berat. Di antaranya ketua Hek-liong-pang yang dulu dibabat dan dibunuh ayahnya, sudah berganti ketua baru dan ketua inilah yang menghadang perjalanannya. Bukan hanya sekedar ketua melainkan dengan seluruh anggotanya, tak kurang dari empat ratus orang!

Dan ketika Giam Liong nyaris tak dapat melepaskan diri dan untung berkat Pek-poh-sin-kunnya yang luar biasa ia berhasil lolos dan keluar dari kepungan orang-orang Hek-liong-pang itu maka Giam Liong compang-camping dan menggigil mengerotokkan buku-buku jarinya. Kalau saja dia tidak tahu bahwa orang-orang itu salah paham dan terhasut tentu tangan besinya bakal keluar. Tentu dia betul-betul akan melakukan pembunuhan dan orang-orang itu dibasminya.

Tapi karena dia tahu betul bahwa sebuah kesalah pahaman sedang terjadi dan seseorang berwatak iblis mencelakai dirinya, merusak dan membunuh orang-orang lain dengan Golok Maut curian maka Giam Liong lelah ketika terhuyung-huyung sampai di kota raja. Dia terpaksa meninggalkan lawan-lawannya karena teringat isterinya. Di mana-mana muncul musuh-musuh baru dan pemuda ini merasa terjepit. Dia geram dan marah sekali kepada penjahat di balik peristiwa ini. Apa jadinya kalau dia menurunkan tangan besi dan membunuh orang-orang Hek-liong-pang itu.

Tentu keadaan semakin buruk. Dan ketika dia mempergunakan kesaktiannya dan segala bacokan senjata tajam tak ada yang mampu melukai, bergerak dengan langkah-langkah sakti Pek-poh-sin-kun untuk menerobos musuh maka ketika senja mulai tiba dan ia sampai di kota raja dengan keringat membasahi tubuh mendadak sesosok bayangan berkelebat dan Han Han, saudara sekaligus sahabatnya muncul, tepat di gerbang pintu masuk.

“Hm, dari mana, Giam Liong. Mau ke mana!”

Giam Liong terkejut. Dia menoleh dan kaget tapi seketika girang bahwa itulah Han Han. Pemuda itu berdiri di pilar tembok dan menghadang, tenang namun wajahnya dingin. Dan ketika Giam Liong tak jadi memanggil karena di belakang pemuda itu muncul orang-orang lain, dua di antaranya adalah Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin maka pemuda ini tertegun dan berhenti. Pandang matanya seketika bersinar.

“Hm, kau, Han Han. Ada apa di sini. Dan orang-orang itu, kaukah pembawanya?”

“Benar,” Ho Heng Tojin berseru dan mendahului lantang. “Kami bertemu dan minta tolong Ju- siauwhiap ini, Naga Pembunuh. Kami telah bertemu ayahnya dan mendapat petunjuk. Sekarang kau tak dapat lolos karena hari ini pasti tertangkap!”

“Omitohud, pinceng tak usah malu. Kami secara kebetulan bertemu saudaramu ini, sin Giam Liong. Dan sekarang pinceng ulangi lagi agar kau menyerah baik-baik!”

“Hm,” Giam Liong mendengus, tak perduli hwesio itu. "Kau di sini dikemudikan kerbau-kerbau tolol ini, Han Han? Kau mau menangkap aku atas permintaan mereka?”

Han Han berkerut, wajahnya jelas menampakkan ketidaksenangan. Wajah itu gelap sementara Pedang Matahari tersembul di punggung. Tak biasanya Han han memasang pedang itu sedemikian rupa kalau tidak untuk maksud-maksud tertentu. Mungkin untuk penggetar jiwa lawan, karena Giam Liong memang tergetar dan tak nyaman memandang pedang itu, pedang yang selama ini merupakan tandingan Golok Maut!

Hanya itulah satu-satunya senjata di muka bumi yang dapat mengimbangi Golok Maut. Tapi karena golok itu tak ada di tangan dan Giam Liong akhirnya menenangkan debaran hatinya maka saudaranya itu berhenti dan memandang dengan tajam. Han Han melindungi orang-orang itu dengan melangkah empat tindak.

“Giam Liong, tak kusangka bahwa kekejianmu muncul lagi. Kau telengas, kau pembunuh berdarah dingin. Ada apa kau membunuh-bunuhi murid-murid Khong-tong dan Lu-tong seperti ini? Apa salah mereka hingga tanpa dosa kau bantai? Aku sudah mendengar sepak terjangmu, Giam Liong, tapi mula-mula tak percaya. Baru setelah kudengar omongan dua orang ciangbunjin (ketua) ini barulah aku tak usah ragu. Aku diminta menangkap dan mengadilimu di Khong-tong. Aku meminta tanggung jawabmu kenapa kau sekeji ini. Apakah kau tak pernah merasa puas kalau lama tidak menghirup darah orang!”

“Ha-ha!” Giam Liong tiba-tiba tertawa bergelak, penuh sakit hati tapi juga pedih. “Kau dan orang-orang ini sama bodoh, Han Han. Kau kiranya telah menjadi manusia tak berotak yang tidak dapat berpikir panjang. Ha, dengarlah. Ku ulangi sekali lagi bahwa itu bukan perbuatanku. Ada seseorang memfitnahku. Aku menerima getah busuk. Aku...”

“Bohong!” Ho Heng Tojin membentak dan tiba-tiba mendahului, sudah mencabut pedang dan tongkat dikedua tangannya. “Muak aku mendengar sangkalanmu, Naga Pembunuh. Dari dulu sampai sekarang sama saja. Kau berusaha mengelak tapi tak pernah menangkap orang yang kau maksud itu. Terimalah, pinto tak perlu banyak cakap karena kau harus mati atau pinto yang mampus!” dan pedang yang mendesing serta tongkat yang menderu membuat Giam Liong marah dan mengelak, dikejar dan pemuda ini menangkis. Dan karena ia sudah berkali-kali menghajar dan melampiaskan marah pada tosu ini maka begitu menangkis begitu pula tongkat dan pedang patah!

“Pletak!”

Ho Heng berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Ia berani karena ada Han Han di situ. Sudah diketahui bahwa pemuda ini sama lihai dengan Giam Liong. Tapi ketika pemuda itu tak bergerak membantunya dan membiarkan pedang serta tongkatnya patah, ketua Khong-tong ini pucat maka dia bergulingan meloncat bangun dan sudah mencabut pedang dan tongkatnya yang baru, menegur Han Han.

“Ju-siauwhiap, kenapa kau diam dan tak membantu pinto. Apakah hubungan saudara di antara kalian membuatmu ragu!”

“Hm,” Han Han menggeleng, menatap ketua Khong-tong itu penuh sesal. “Kau lancang memotong pembicaraan, totiang. Betapapun aku masih bicara dengan Giam Liong. Harap mundur dan biarkan aku menanyainya dulu.”

Tosu ini merah padam. Ia melirik kearah temannya Ceng Tong Hwesio pun mengangguk. Hwesio itu mengetrikkan tasbehnya yang baru dan bersiap-siap. Mereka khawatir dua saudara itu tak segera bertanding. Jangan-jangan alasan Giam Liong melemahkan putera Ju-taihiap itu. Maka ketika Han Han bergerak dan menghadapi Giam Liong kembali, hwesio gemuk pendek ini mengikuti maka Ceng Tong Hwesio berseru, membela temannya.

“Siauwhiap, sudah kau ketahui bahwa Naga Pembunuh ini membunuh orang dimana-mana. Ia bisa saja menyangkal dan mengelak tuduhan, namun bukti lebih dari cukup. Tangkap saja dan tak usah banyak bicara!”

“Hm, aku lebih tahu. Mundur dan biar kudengar alasannya, Ceng Tong lo-suhu, betapapun tak mungkin dia menghindar kalau bersalah. Harap kalian tidak mengganggu kami dan membiarkan kami bicara dulu.”

Hwesio itu mengumpat. Kalau saja ia mampu menghadapi Giam Liong tentu sudah diserang dan dihajarnya lawannya itu. Namun karena Si Naga Pembunuh ini benar-benar lihai dan bantuan anak muda itu benar-benar diharapkan, betapapun ia tahu diri maka Ceng Tong Hwesio akhirnya membiarkan dua orang muda itu bicara.

“Giam Liong, telah kudengar bahwa kau membunuh-bunuhi anak-anak murid Khong-tong dan Lu-tong, begitu pula orang-orang lain yang membuatku heran. Sekarang kau ada di sini, kebetulan sekali. Bicaralah dengan jujur dan apa alasanmu membunuh-bunuhi orang itu!”

“Hm, sudah kukatakan bahwa aku tak membunuh-bunuhi orang. Kalau aku membunuh-bunuhi mereka apakah dua orang ini masih hidup? Aku difitnah, Han han, seseorang merusak namaku. Sudah kubilang berkali-kali kepada mereka ini bahwa aku tak melakukan perbuatan itu. Mereka tak percaya!”

“Hm, tentu saja tidak. Luka yang ditimbulkan jelas akibat Golok Mautmu, Giam Liong, dan aku juga melihat begitu. Hanya kaulah yang memiliki golok itu dan kau pula yang menyimpannya!”

“Benar, tapi golok ituhilang!”

“Hilang?”

“Bohong!” Ceng Tong Hwesio kali ini bicara. “Tak ada senjata yang hilang dari tuannya, Ju- siauwhiap. Senjata adalah nyawa bagi kita. Naga pembunuh ini sengaja mencari-cari dalih agar lepas dari tuduhan!”

“Tutup mulutmu!” Giam Liong tak dapat menahan marah. “Aku bicara dengan Han Han, hwesio busuk. Jangan lancang atau kau tak memberi kesempatan membela diri!”

“Hm,” Han Han mengangguk, menyuruh hwesio itu mundur. “Apa yang dikatakannya benar, lo-suhu. Seorang pesakitan berhak membela diri, meskipun menghadapi tuduhan berat. Kau mundurlah dan biar kudengar bicaranya.”

Hwesio itu merah padam. Sama seperti Ho Heng Tojin iapun akhirnya menerima malu. Dan ketika ia mundur namun sepasang matanya menyorotkan dendam, ia harus membiarkan dua orang muda itu bicara lagi maka Giam Liong menghadapi Han Han dan bicara dengan suara dingin.

“Kerbau-kerbau tolol ini maunya mencekik orang lain saja, padahal tak memiliki kepandaian berarti. Hm, kuberitahukan terus terang padamu, Han Han, bahwa golokku memang hilang dan dicuri seseorang. Aku tak tahu siapa dia tapi kini kuselidiki. Kau tahu bahwa golok itu kusimpan dan kukubur di Lembah Iblis. Sejak aku membunuh Kedok Hitam senjata itu tak kupergunakan lagi. Kalau kini golok itu mencari darah maka pemegangnya bukan aku melainkan orang lain itu. Percaya atau tidak terserah, tapi aku bukan manusia yang lari dari tanggung jawab kalau itu benar kulakukan!”

Han Han tertegun. Sejenak kilatan matanya berseri karena kata-kata dan sikap Giam Liong gagah sekali. Dia tahu baik siapa Giam Liong ini dan tentu saja segera menoleh pada ketua-ketua Khong-tong dan Lu-tong itu. Mereka tak memberi tahu sama sekali bahwa Golok Maut dicuri orang. Ini dia tak tahu. Dan karena Giam Liong sudah memberi tahu dua orang ketua itu tapi mereka menyembunyikan ini, entah untuk maksud apa maka dia menegur,

“Lo-suhu, dan kau Ho Heng totiang. Ternyata kalian mendapat tahu bahwa Golok Maut dicuri orang. Seingatku Giam Liong tak mempergunakan lagi senjatanya itu setelah membunuh Kedok Hitam, musuh besarnya. Kenapa kalian tak memberi tahu ini dan diam-diam saja? Apakah kalian penasaran oleh kekalahan kalian di Lembah Iblis?”

“Hm, kalah menang suatu hal yang lumrah. Kalau betul golok itu dicuri orang kenapa dibiarkan saja dan sampai membunuh-bunuhi banyak jiwa tak berdosa? Kalaupun kami tak menuntut bukan dia pembunuhnya tapi kami berhak menegur dan memeriksanya, siauwhiap, sebab senjata itu adalah miliknya dan kenapa sampai tercuri. Kami memang telah diberi tahu tapi alasan ini tak dapat kami terima sepenuhnya. Bukankah bisa saja dia mengelak dan coba melepaskan diri dari tuduhan!”

“Benar,” Ho Heng kini menyambung, penuh semangat. “Senjata hilang setelah memakan banyak jiwa, Ju-siauwhiap. Kalau tidak begini barangkali tak pernah diketahui orang bahwa Golok Maut itu dicuri. Naga Pembunuh ini pemiliknya, dan senjata itu telah meminta banyak korban. Kami sebagai yang dirugikan tentunya ingin memeriksa dan membuktikan apakah benar hilang dicuri. Tapi dia tak mau kami periksa dan selalu kabur kalau bertemu! Apakah ini bukan alasan yang dicari-cari? Kalau Naga Pembunuh bersih biarlah ia kami tangkap dan periksa, jangan malah meninggalkan urusan dan lari!”

“Hm, aku lari karena tak mau berurusan dengan orang-orang picik macam kalian!” Giam Liong membentak. “Aku ada urusan yang lebih penting, Ceng Tong Hwesio, menyusul dan mencari isteriku di kota raja. Kalau aku tertahan kalian dan melayani penuh emosi jangan-jangan aku benar-benar membunuh kalian dan memberatkan keadaan!”

Hwesio itu melotot. Tapi ketika ia hendak membalas tiba-tiba dari dalam pintu gerbang berkelebat seseorang dengan seruan menggigil, jatuh berguling,

“Giam Liong, seseorang melukaiku. Aku..... ah, aku hampir mendapatkan Sin Gak!”

Semua terkejut. Giam Liong yang marah mendamprat hwesio itu tiba-tiba berubah pucat melihat bayangan ini. Ia ternyata Yu Yin dan isterinya itu mandi darah, roboh dan menggapai-gapai sementara di tangannya terdapat sobekan kain hitam. Dan ketika Giam Liong berkelebat sementara Han Han berseru tertahan, bergerak dan menolong wanita itu maka Yu Yin ternyata roboh pingsan dengan tubuh penuh luka-luka. Semuanya bekas bacokan golok!

“Hm, apa yang terjadi,” Han Han pucat dan berubah. “Isterimu luka parah, Giam Liong. Ia ia kena babatan Golok Maut!”

Giam Liong melotot dan pandang matanya penuh kegusaran. Ia melihat keadaan isterinya itu dan sekali lihat saja iapun tahu bahwa isterinya terbabat Golok Maut. Darah yang semula membasahi kulit daging mendadak mengering sekejap. Bercak dan noda-noda itupun kering dengan cepat, padahal pakaian itu basah penuh keringat. Dan ketika Giam Liong mengeluarkan gerengan aneh dan dari kerongkongan pemuda ini muncul suara seperti biruang, wajahnya mengerikan maka tiba-tiba dari balik pintu gerbang sesosok bayangan berkelebat sembunyi.

“Siapa kau!” Giam Liong menyambar dan mencelat bagai kilat cepatnya, melewati Han Han. “Keluar kau, tikus busuk. Atau mampus tinggal nama!” dan ketika terdengar jeritan dan teriakan tertahan, seseorang ditangkap maka Han Han berkelebat dan seorang berpakain perwira menggigil di cengkeraman Giam Liong, wajahnya pucat pasi.

“Am..... ampun. Ak.... aku hanya dibawa isterimu, Sin-taihiap. Ak aku tak tahu apa-apa!”

Giam Liong membanting dan menginjak perwira ini. Dia ternyata adalah Ta-ciangkun komandan kota Ci-bun. Han Han juga mengenal orang ini karena beberapa perwira adalah kenalan ayahnya juga, ketika dulu ayahnya masih menjadi pembantu kaisar dan masuk keluar istana. Maka ketika ia terkejut dan terbelalak memandang perwira itu maka berturut-turut Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin berkelebat menyusul. Han Han menyambar dan membawa masuk Yu Yin yang luka parah.

“Ada apa kau di sini. Ada apa sembunyi-sembunyi! Katakan apa maksudmu, orang she Ta, dan bagaimana isteriku luka parah!”

“Ia..... ia bertempur dengan seseorang. Aku.... aku hanya menonton dari jauh. Ohh, lepaskan cengkeramanmu, Sin-taihiap. Aduh, mati aku.!”

Han Han bergerak dan memegang lengan Giam Liong, menyabarkan. “Lepaskanlah dia, Giam Liong. Jangan kuat-kuat mencengkeram. Kita tanyai baik-baik dan yakinlah bahwa perwira ini tak akan bohong.”

Giam Liong melepas dan mendorong jatuh perwira itu. Ta-ciangkun merintih dan tampak ketakutan. Berhadapan dengan si buntung ini membuat ia ngeri. Maklum, Giam Liong terkenal sebagai pemuda keras yang berwatak dingin. Mata yang mencorong berkilat-kilat itu saja sudah cukup membuat merinding. Kalau tak ada Han han di situ barangkali perwira ini pingsan. Dan ketika Han Han memegang pundaknya dan menyuruh ia bercerita maka perwira itu menerangkan.

“Siauw-hujin (nyonya muda) menangkap dan minta aku mengantar mencari Siauw Hong. Kami.... kami masuk istana. Tapi ketika Siauw Hong berhasil ditemukan ternyata seseorang datang dan menyerang hujin (nyonya). Aku tak tahu siapa dia namun Sin Gak putera siauw-hujin ada di situ. Mereka bertempur hebat. Tapi karena lawan rupanya lebih lihai dan siauw-hujin tak mampu menandingi maka hujin roboh dan.... dan Golok Maut itu di tangan orang itu.!”

“Hm, dengar,” Giam Liong membalik dan menghadapi orang-orang itu, juga Han Han. “Buka dan lihat baik-baik mata dan telinga kalian, Ceng Tong Hwesio. Dengar bahwa isteriku sendiripun menjadi korban Golok Maut. Golok itu di tangan orang lain. Kini golok itu melukai isteriku dan entah dia dapat hidup atau tidak. Kalian orang-orang tua berotak kerbau dan tidak berperasaan. Lihat isteriku sendiri menjadi korban!”

Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin terkesima. Mereka itu melihat keadaan sang nyonya dan kebetulan saat itu Sin-hujin sadar. Yu Yin mengeluh dan membuka mata. Tapi begitu ia melihat Giam Liong tiba-tiba iapun menangis tersedu-sedu.

“Giam Liong, aku.... aku tak menurut nasihatmu. Aku... aku terlampau cemas akan Sin Gak. Orang itu.... jahanam itu, dia.... dia ada diistana. Dia dia membawa golokmu!”

“Sudah kudengar,” Giam Liong mendekap dan memeluk isterinya ini, gemetar. “Dan kau... lukamu parah sekali, Yu Yin. Aku hendak bercerita bahwa sejak di Lembah Iblis aku sudah dikejar-kejar orang. Lihat, ini ketua Khong-tong dan Lu-tong. Mereka menuduhku membunuh-bunuhi murid mereka dan mengeroyok aku sampai habis sabar. Ah, kalau saja orang-orang ini tidak buta!”

Yu Yin mengguguk dan mengeluh. Ia balas memeluk suaminya namun luka di leher dan punggungnya terkuak lebar. Sayatan di situ besar dan panjang, bahkan daging pundaknya cuwil. Dan ketika Giam Liong merebahkan isterinya ini mengambil obat luka ternyata Han han mendahului dan merobek bajunya sendiri untuk pembebat.

“Giam Liong, maaf. Aku dan orang-orang ini salah kira. Kau ternyata benar. Biar kutolong isterimu, Giam Liong. Berikan padaku dan lihat betapa lukanya parah!”

Namun Giam Liong tiba-tiba bangkit berdiri. Sebersit ingatan berkelebat. Dan ketika ia menyerahkan isterinya kepada Han Han tiba-tiba pemuda itu berkelebat menyambar Ta-ciangkun. “Han Han, kau tolong dulu isteriku ini. Aku akan masuk istana mencari jahanam itu!”

Giam Liong lenyap dan membawa Ta-ciangkun yang berteriak. Perwira ini disambar dan tahu-tahu diangkat tengkuknya, dibawa terbang memasuki kota raja bagai kelinci disambar burung garuda. Dan ketika perwira itu menjerit-jerit namun Giam Liong menyuruhnya diam, sang perwira berteriak karena dua jari pemuda itu panas membakar penuh sinkang maka Giam Liong sadar dan menarik tenaga saktinya itu. Dalam marah dan beringasnya ia seakan mencengkeram seorang musuh.

“Maaf, jangan berkaok-kaok, Ta-ciangkun. Aku membawamu ke istana untuk menunjukkan di mana isteriku bertemu jahanam itu. Kau harus tunjukkan tempatnya atau nanti semua tempat ku obrak-abrik!”

Ta-ciangkun mengeluh. Sekarang cengkeraman dikendorkan namun bekas jari-jari pemuda itu membuatnya sakit juga. Jari si buntung ini seakan tang baja yang menjepit kulit, sakit dan pedih. Tapi ketika cengkeraman itu dikendorkan dan ia tak seberapa kesakitan maka mereka sudah memasuki istana dan bagai elang menyambar tahu-tahu Giam Liong telah melayang turun melewati tembok tinggi.

“Katakan, di mana tempat itu. Cepat atau nanti kepalamu kuhancurkan!”

“Di.... di taman margasatwa. Di belakang istana, taihiap, di tempat kaisar memelihara segala macam binatang untuk hiburan!”

“Di taman margasatwa? Maksudmu kebun binatang?”

“Beb... betul. Di sana, taihiap. Di sekumpulan anjing dan hewan-hewan liar!”

Giam Liong menyambar dan melayang naik lagi. Taman margasatwa itu terletak di bagian paling belakang dan dia heran tapi tak banyak pikir. Kaisar memang membuat semacam taman luas khusus binatang peliharaan mulai dari tang buas-buas sampai yang jinak. Harimau dan ular sampai gajah ada di situ. Mereka dikerangkeng dan hanya beberapa saja yang dibiarkan bebas berkeliaran, seperti misalnya itik Ho-nan, itik berbulu hijau kuning yang indah dan lucu, juga beberapa ayam hutan yang masih liar namun tidak berbahaya bagi manusia. Dan ketika Giam Liong memasuki ini dan berkelebat melayang turun maka geram dan suara-suara gaduh menyambutnya. Ular mendesis dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.

“Di situ...” Ta-ciangkun menunjuk, gemetar. “Di dekat kandang harimau itu, taihiap. Di sebelah kumpulan anjing hutan!”

Giam Liong meliar. Ia melihat bekas-bekas pertempuran dan ketika suara-suara binatang semakin riuh tiba-tiba pintu taman terbuka. Seorang pawang, sekaligus penjaga muncul. Ini adalah Pek-wan yang bertanggung jawab di situ. Ia datang karena suara riuh binatang-binatang itu. Dan ketika ia tertegun melihat Giam Liong di situ, juga Ta-ciangkun yang dikenalnya maka ia berseru dan berlari-lari.

“Hei, apa kalian lakukan. Ada apa membuat ribut binatang!”

Giam Liong tak perduli. Ia bertanya kepada Ta-ciangkun di mana kira-kira orang itu sekarang. Tapi karena Ta-ciangkun tak tahu dan bingung maka Giam Liong menjadi marah kepada petugas kebun binatang itu, yang sudah mendekat.

“Kau..!” Giam Liong menyambar dan membentak orang ini. “Aku mencari orang yang melukai isteriku, tikus busuk. Mana dia dan tunjukkan padaku. Atau semua kandang kuobrak-abrik dan kau rasakan akibatnya!”

“Eh, ini.... eh, bukankah kau adalah Naga Pembunuh Si-taihiap! Eh, ampun, taihiap.... aku tak tahu apa-apa dan tak mengerti maksudmu. Siapa yang kau cari dan kapan ada di sini. Aku tak tahu!”

Giam Liong melempar orang ini menumbuk dinding macan. Suara berdebuk membuat hewan-hewan ganas itu meraung dan lari berputar-putar. Mereka terkejut tapi juga marah oleh tindakan ini. Taman margasatwa itu jadi hingar-bingar. Dan ketika Giam Liong memekik-mekik dan memanggil lawannya itu, tak tahu siapa dia maka kandang ular tiba-tiba terbuka dan disusul kemudian oleh pintu-pintu kandang lain. Entah siapa membukanya.

“Heii, celaka! Eh, ular-ularku lepas!” Si petugas kebun binatang melonjak kaget.

Giam Liong sendiri berkelebatan dari satu kandang ke kandang lain, memekik dan mencari orang yang bertempur dengan isterinya itu. Maka ketika semua binatang tiba-tiba lepas, ular dan harimau berlarian keluar maka Ta-ciangkun pucat mukanya dan berlari ke pintu di mana pawang atau penjaga kebun binatang itu masuk. Pintu itu masih terbuka dan dengan beberapa lompatan lagi dia akan selamat. Tapi ketika seseorang tiba-tiba berkelebat dan suara keras menutup pintu itu, mengganjal dari luar maka Ta-ciangkun berteriak dan seseorang berkedok hitam sempat dilihatnya sejenak.

“Heii, kau. Ada apa menutup pintunya.Buka buka cepat!”

Namun pintu mengganjal rapat. Jeruji besi yang memalang pintu itu amat kokoh. Didobrak-dobrak tetap saja tak bergeming. Dan ketika perwira ini hendak meloncat naik tiba-tiba belasan ekor monyet menubruk dirinya, cecowetan. Binatang ini ketakutan dan Ta-ciangkun terkejut. Dia risih dan geli, juga kaget. Dan ketika dia harus melempar binatang-binatang itu sambil memaki-maki, ada yang menggigit dan mencakar dirinya maka seekor harimau tiba-tiba mengaum dan melayang terbang menubruk dirinya.

“Aiihhh. !” perwira ini pucat dan ngeri. Dia masih diguncang oleh peristiwa siauw-hujin, lalu sikap dan kebengisan Giam Liong. Maka ketika tiba-tiba pegangannya pada pintu lepas, jatuh ke bawah maka saat itulah dia sudah diterkam dan digigit raja hutan ini, bergulingan dan berteriak kaget sementara binatang lain berteriak gaduh membisingkan suasana. Teriakan atau jeritan Ta-ciangkun tertindih. Celaka sekali.

Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan Han Han muncul di situ maka pemuda baju putih ini menendang raja hutan itu sementara tangannya menarik Ta-ciangkun dari pergumulan. Baju dan pakaian perwira ini robek-robek, pundak dan pipinya juga luka berdarah. Namun ketika Han Han menyelamatkannya berjungkir balik, keluar dari pintu yang tinggi maka perwira itu roboh dan menggigil.

“Dia dia ada di sini. Orang itu menutup pintu besi itu!”

“Dia siapa,” Han Han berseru, suaranya keras melawan kegaduhan suara binatang yang menjerit-jerit, juga aum atau gerengan singa.

“Dia orang yang dicari-cari Naga Pembunuh itu, kongcu. Orang berkeduk hitam itu. Tadi aku melihatnya sekilas dan dia tersenyum seperti iblis!”

“Dan di mana Giam Liong!”

“Ada di dalam...”

“Baik, pergi dari sini secepatnya, ciangkun. Kenapa dia harus membukai pintu kandang melepaskan semua binatang itu!” Han Han berkelebat dan masuk kembali ke tempat gaduh itu, membuat Ta-ciangkun terbelalak karena seperti burung saja pemuda ini melayang dan turun melewati puncak pintu yang tinggi. Pintu itu harus dia panjat naik kalau ingin keluar, tembok sekeliling taman margasatwa inipun tingginya tak kurang dari lima meter!

Maka ketika begitu mudahnya Han Han masuk dan keluar, perwira ini kagum maka dia segera angkat kaki dan lari terbirit-birit. Cukup bertemu sekali saja dengan peristiwa semacam ini. Biarlah seumur hidup tak perlu dia jumpai lagi kejadian seperti ini. Tapi ketika dia hampir menabrak seseorang dalam berlari kencang, hiruk-pikuk di taman margasatwa itu menutup segala-galanya maka Ta- ciangkun berteriak dan otomatis tangannya menahan kedepan.

“Heii..!”

Tapi perwira ini malah jatuh terpelanting. Dia disambut tangan lain dan begitu bersentuhan mendadak dia kesakitan dan menjerit. Entah bagaimana tahu-tahu dirinya terbanting roboh. Dan ketika perwira ini meloncat bangun dan terhuyung mau memaki tiba-tiba jantungnya seakan berhenti berdetak karena orang yang di depannya itu bukan lain si bayangan hitam. Orang yang tadi mengganjal pintu besi!

“Hm, heh-heh...!” tawa itu membuat tengkuk si perwira terasa seram, dingin! “Kau yang membawa Naga Pembunuh itu ke sini? Kau yang menjadi penunjuk jalan hingga dia mengganggu ketenanganku? Bagus, lancang benar kau, Ta-ciangkun. Sungguh berani mati. Kau sudah bosan hidup hingga agaknya tak memikirkan keselamatan dirimu!”

“Si.... siapa kau!” perwira ini akhirnya membentak memberanikan diri, meraba pinggang tapi senjatanya tak ada di situ, hilang di jalan. Ia lupa! “Kau iblis menakut-nakuti orang, jahanam keparat. Dan agaknya kau pula yang membuka semua pintu kandang!”

“Heh-heh, benar. Aku ingin melihat Naga Pembunuh itu dikeroyok binatang-binatang buas, Ta-ciangkun. Lebih-lebih kau yang tentu akan lebih cepat mampus. Sayang, kau lolos. Pemuda baju putih itu menolongmu tapi tak mungkin sekarang kau selamat singg!” seberkas cahaya putih menyambar, dicabut dari punggung dan Ta-ciangkun pucat melihat ini. Itulah Golok Maut, golok penghisap darah! Dan ketika perwira ini menggigil dan berteriak, sayang teriakannya terpotong oleh sinar putih berkeredep maka tahu-tahu lengannya putus dibabat senjata tajam itu.

“Heh-heh, kematian harus kau terima perlahan-lahan, Ta-ciangkun. Terlalu enak kalau terlalu cepat. Nah, berikan tanganmu dan rasakan ini... crat!” tangan perwira itu terbang ketika secara otomatis menyambut golok. Dia menangkis tapi malah celaka. Dan ketika perwira itu menjerit dan bergulingan, dibacok dan menangkis lagi maka tangannya kedua menjadi korban.

Ta-ciangkun kesakitan hebat dan menjerit-jerit. Sayang, jeritannya tertutup oleh hiruk-pikuk suara binatang. Pek-wan si pawang masih sibuk memanggil-manggil piaraannya sambil berlarian ke sana ke mari. Dan ketika suara binatang tak segaduh tadi lagi maka tubuh perwira ini sudah menjadi empat potong dan masing-masing kaki atau tangannya putus. Tentu saja tewas!

“Giam Liong, lihat ini!”

Dua bayangan berkelebat. Han Han akhirnya berhasil menemui temannya itu ketika Giam Liong melengking-lengking memutari delapan penjuru taman. Pemuda ini berkelebatan memanggil-manggil musuhnya sampai kemudian Han Han datang. Pemuda itu menegur kenapa kawannya membukai pintu kandang, melepas semua binatang buas dan Giam Liong tentu saja marah. Ia tak membuka pintu-pintu kandang dan Han Han berkerut kening. Tapi ketika Han Han teringat cerita Ta-ciangkun betapa seseorang berjubah hitam mengganjal dan mau mencelakai perwira itu maka Giam Liong terbelalak dan mencari di mana perwira itu.

‘Dia sudah kukeluarkan, hampir saja tewas ditubruk harimau. Orang itu masih ternyata masih di sini, Giam Liong, tapi jangan merepotkan orang lain dengan membuat gaduh di sini. Mari kita berputar dan cari dia di kiri kanan. Kita bertemu di pintu masuk!”

Han Han berkelebat dan tak mau banyak bicara lagi. Ia tak ingin temannya bertindak serampangan dan taman margasatwa itu hancur. Kalau Giam Liong tak dikendalikan emosinya bisa-bisa seluruh istana rusak. Maka ketika dia membantu dan tiba di pintu besi, Giam Liong juga berkelebat dan menemukan sosok mayat di situ maka keduanya tertegun karena Ta-ciangkun sudah tak bernyawa!

“Ia tewas, baru saja. Dan.... dan Golok Maut itu yang membantainya! Ah, keji sekali, Giam Liong. Tak kusangka bahwa orang itu membunuhnya!”

Giam Liong tertegun, tapi mukanya membesi. “Kau..., dimana kau tinggalkan isteriku, Han Han? Mana Yu Yin?”

Han Han bagai diingatkan. “Ia kutitipkan pada Ho Heng Tojin dan kawan-kawan. Yu Yin menyuruhku mengejarmu. Ada sesuatu yang hendak disampaikan!”

“Di mana sekarang?”

“Di luar tembok ini, mari!” dan Han Han yang kecut melihat itu tiba-tiba berkelebat dan membawa Giam Liong keluar. Tembok tinggi dilompati dan tepat bersamaan itu terdengar jerit seseorang. Suaranya seperti Ho Heng Tojin! Dan ketika mereka mempercepat gerakan dan melayang turun ternyata ketua Khong- tong itu roboh disusul oleh Ceng Tong Hwesio dan orang-orang lain, mandi darah!