Tapak Tangan Hantu Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Episode Tapak Tangan Hantu Jilid 09 karya Batara
Sonny Ogawa
TAPAK TANGAN HANTU
JILID 09
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“GIAM LIONG!”

Si buntung itu mengangguk. Dua ketua merintih dan bersimbah darah sementara yang lain terkapar dan hilang kaki tangannya. Peristiwa keji terjadi di sini. Han Han berkelebat sementara Naga Pembunuh itu juga menyusul dengan tak kalah cepatnya. Mereka melihat teman atau bekas teman ini menggeliat.

Pundak Ceng Tong Hwesio terkupas tebal sementara ketua Khong-tong hilang rambutnya. Tosu itu terluka panjang bagian lengan hingga ke bawah, darah mengalir deras namun kemudian kering. Dua tokoh itu merintih- rintih. Namun ketika dua anak muda itu menolong dan menotok perdarahan mereka, Han Han dan Giam Liong sudah membebat luka dua orang ini maka Han Han bertanya apa yang terjadi sementara Giam Liong meliar matanya mencari sang isteri.

“Kami.....kami bertemu manusia iblis itu. Golok Maut ditangannya. Ia... ia hebat. Naga Pembunuh benar, Han-kongcu. Orang lain mencuri goloknya dan mempergunakan senjata itu!”

“Dia siapa!”

“Manusia berkedok, berjubah hitam... ia.... ia marah kepada kami....ia...”

“Ia hampir membunuh!” Ho Heng, ketua Khong-tong berseru. Ia menyambung kata-kata temannya ini tapi tiba-tiba terdengar bentakan Giam Liong di mana isterinya. Han Han terkejut dan menoleh. Dan ketika Ho Heng maupun Ceng Tong juga terbelalak maka si buntung itu geram memandang mereka. Wajah dan matanya menyerobotkan nafsu membunuh yang besar.

“Di mana isteriku. Di mana ia. Kalian katanya membawa isteriku, Ho Heng Tojin. Di mana ia dan katakan cepat!”

“Kami..... kami tadi merawatnya di sini. Isterimu roboh dan pingsan lagi, Giam-siauwhiap.Tapi ia... ia dibawa manusia iblis itu!”

“Dibawa ke mana?”

“Ke situ...!”

Belum ucapan itu selesai Giam Liong berkelebat dan lenyap. Ho Heng menunjuk arah kiri dan si buntung itu bergerak menghilang. Han Han terkejut tapi bangkit berdiri pula, berseru pada dua ketua Khong- tong dan Lu-tong itu agar menolong yang lain karena ia mengejar dan menyusul Giam Liong. Yu Yin ternyata dibawa manusia berkedok itu dan timbul penyesalannya. Tadi dia yang merawat wanita itu tapi kemudian diserahkannya kepada Ho Heng Tojin. Tosu dan kawan-kawannya itulah yang dititipi. Maka ketika Yu Yin lenyap dan tentu saja ia ikut merasa bersalah, tuduhannya kepada Giam Liong berbalik menjadi rasa salah maka pemuda ini menyesal dan ia mendengar gerengan pendek ketika Giam Liong berkelebat dan menyusup sebuah semak belukar.

“Yu Yin...!”

Han Han berdesir. Ia berkelebat dan sudah meloncat kesini dan melihat wanita itu tertelungkup. Kepalanya gundul karena sudah dibabat atau dicukur Golok Maut. Bukan main! Dan ketika pemuda ini berlutut sementara Giam Liong mengeluarkan erengan-erengan aneh, Naga Pembunuh itu tampak terbakar mendidih maka Giam Liong menotok isterinya dan wanita itupun sadar. Ternyata wanita ini masih hidup, biarpun napasnya satu-satu.

“Giam Liong.....kau, oohhh... !”

Giam Liong mendekap kepala isterinya itu. Si buntung mengguguk dan sedu-sedan tak dapat ditahan lagi. Bendungan air mata itu jebol. Dan ketika Han Han juga menangis dan tak tahan oleh kesedihan ini, suami isteri itu sungguh mengalami nasib malang maka Yu Yin mengguguk dipeluk suaminya itu. Tangisnya meledak dan suaranyapun putus-putus.

“Aku.... aku serasa mengenal orang itu. Dia.... dia kerabat istana, Giam Liong. Manusia sinting! Dia.... dia marah kepadaku.”

“Tak usah bicara,” si suami mengecup dan mencium kening isterinya, air mata membanjir. “Kau luka parah, Yu Yin. Kau terbabat Golok Maut. Katakan saja siapa orang itu dan akan kubasmi dia!”

“Aku.... aku belum tahu. Tapi kau harus dengar ceritaku. Aduh.... lambungku sakit, Giam Liong.... mataku gelap....!” wanita itu roboh dan kejang-kejang.

Giam Liong melihat ke bawah dan lambung atau perut isterinya itu rupanya terkuak lebar. Perut itu sobek! Dan ketika Giam Liong mengguguk namun pancaran kemarahannya jelas besar sekali, mata pemuda itu rasanya sanggup membakar gunung maka Han Han maju menolong dan merobek kain bajunya.

“Giam Liong, isterimu tak boleh banyak bicara. Tapi ia rupanya mempunyai sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Ah, coba bebat dulu dengan ini dan kita hentikan pendarahannya.”

Giam Liong memeluk dan menciumi isterinya itu. Kedukaan dan kemarahan menjadi satu. Si buntung itu sedang menahan perasaan yang meledak-ledak. Tapi ketika Han Han menolong dan ia membiarkan itu, Yu Yin mengeluh dan membuka mata maka wanita ini menggeliat dan tetap ingin bicara.

“Aku..... aku pasti mati. Luka ku tak mungkin tertolong. Dengar.... dengar ceritaku, Giam Liong. Rahasia ini ada di istana!”

Giam Liong mendorong dan melepaskan isterinya itu. Matanya terbelalak sementara Han Han berdesir. Apa maksud kata-kata itu. Dan ketika dengan susah payah wanita ini coba duduk, roboh dan akhirnya jatuh dipangkuan si buntung maka Yu Yin menelan ludah dan matanya redup kehilangan cahaya. Jelas dia sedang mengumpulkan kekuatan.

“Sebaiknya kau tak perlu banyak bicara,” Han Han kasihan. “Lukamu amat hebat, Yu Yin. Tidakkah kau ingin beristirahat dulu.”

“Tidak.... tidak. Aku, oohh.... bantu aku menyangga tubuhku, Giam Liong. Biarkan aku rebah di dadamu. Sin Gak, anak kita harus ditemukan!”

Giam Liong menjepit belakang pundak isterinya itu. Ia menggigit bibir dan menahan segala perasaan yang bergolak karena sang isteri demikian menderita. Kalau saja tak ada berita penting yang mungkin harus diketahui iapun tak akan membiarkan isterinya banyak bicara. Luka-luka isterinya parah dan ia tahu bahwa sang isteri tak mungkin berusia lama. Kemarahannya pada musuh amat hebatnya. Tapi karena ia harus menekan semuanya itu dan sang isteri benar, sesuatu yang penting harus diketahui sebelum isterinya menghembuskan napasnya terakhir maka si buntung ini membiarkan saja air matanya mengucur ketika isterinya mulai bercerita.

* * * * * * * *

Ternyata Yu Yin wanita yang keras hati ini memang benar-benar kembali ke kota raja. Setelah pertengkarannya yang hebat dengan suami dan ia nekat pergi sendiri, Giam Liong menuju Lembah Iblis maka wanita itu berkelebat menuju ke kota raja mempergunakan ilmu lari cepatnya. Yu Yin marah kepada suaminya itu dan tetap bertekad menemukan anaknya dulu. Sin Gak baginya adalah segala-galanya. Mati hidup anak itu tiada ubahnya mati hidup sendiri. Apapun akan dilawan, termasuk ketika berbeda pendapat dengan suaminya. Maka ketika ia meninggalkan Giam Liong dan berpisah jalan, ia menuju kota raja maka tiba-tiba wanita ini teringat Ta-ciangkun. Dan kebetulan bayangan perwira itu baru saja merangkak keluar semak kerimbunan belukar, tadi di lempar Giam Liong.

“Kau ikut bersamaku!” Yu Yin bergerak dan menyambar laki-laki itu. “Panggil dan jalankan rencana kita semula, ciangkun. Bawa Siauw Hong kepadaku!”

Perwira itu menjerit. Setelah ia dilempar dan dibebaskan Giam Liong, jatuh tunggang-langgang dan menghindar dari orang-orang Khong-tong maupun Lu-tong maka perwira ini tak menyangka bakalan ketemu siauw-hujin (sang nyonya). Ia baru saja mengeluh dan mengumpat Giam Liong ketika tiba-tiba nyonya itu berkelebat, datang dan menyambarnya dan kontan ia pucat melihat siapa penawannya itu. Ia baru saja memaki-maki suami nyonya ini. Maka ketika Yu Yin membentaknya dan perwira itu ketakutan, pucat dan lumpuh maka ia mengeluh panjang pendek meminta ampun, mengira nyonya itu akan menghajarnya karena ia memaki-maki Giam Liong.

“Ampun..... ampun, hujin. Aku tak akan memaki-maki suamimu lagi. Ampun...!”

“Tak usah cerewet. Aku juga sedang marah kepada suamiku itu, ciangkun. Kau maki-makipun boleh! Memang dia kejam dan tak kenal perasaan. Nah, maki-makilah kalau kurang. Aku tidak apa-apa!”

Perwira ini membelalak. Ia tentu saja tak mau percaya itu dan menganggap si nyonya main-main. Mungkin sengaja begitu agar ia dapat dibunuh! Maka ketika ia merintih dan justeru tutup mulut, makiannya tak terdengar maka Yu Yin membawanya terbang sementara nyonya itu mengomel.

“Heh, kenapa berhenti? Takut? Ayo, maki sepuas-puasmu, cingkun. Maki kalau kurang!”

“Tidak, tidak....ampun....aku. aku tak berani lagi, hujin. Aku menyesal. Tapi hendak kau bawa kemana aku dan mana suamimu itu!”

“Ia laki-laki tak punya perasaan. Mau menangnya sendiri saja. Heh, kau ikut aku ke kota raja, cingkun. Cari dan dapatkan Siauw Hong itu untuk hadapkan padaku!”

“Hujin mau ke sana?”

“Ya, bukankah dirimu di sini karena urusan itu? Aku harus mendapatkan Siauw Hong. Cari dan bawa banci itu atau lehermu kupatahkan!”

Ta-ciangkun berteriak. Tanpa sengaja lehernya tiba-tiba saja benar hendak dipatahkan. Jari-jari nyonya itu mencengkeram dan menjepit, bukan main kuatnya. Tapi ketika nyonya itu melepaskan jepitannya dan ancaman ini cukup, sang perwira tak berani main-main maka Yu Yin meneruskan larinya sambil diam-diam tersenyum. Marahnya kepada Giam Liong agak berkurang.

“Kau jangan macam-macam atau nanti lehermu benar-benar patah!”

Perwira ini mengangguk-angguk. Seperti ayam menotol padi ia mengiyakan setiap omongan nyonya muda itu. Ia sudah dibawa jauh dari tempat tinggalnya. Dan ketika Yu Yin mulai memasuki kota raja dan jantung nyonya itu berdebar karena teringat masa lalu, orang-orang yang dibenci dan disuka di kota ini maka ia melempar perwira itu setelah tiba di kompleks istana.

“Cari dan dapatkan si banci itu. Kutunggu malam nanti di sini!”

Perwira itu mengangguk-angguk. Ia tak berani mengeluh dibanting seperti itu. Cukup baginya berbuat menyenangkan dan tunduk. Maka ketika ia terhuyung berdiri sementara nyonya itu berkelebat menghilang, heran dia maka perwira ini tiba-tiba berteriak dan bertanya,

“Heii, tunggu dulu, hujin. Bolehkah kutanya sesuatu!”

Yu Yin berkelebat dan balik lagi. Gerakan si nyonya yang begitu cepat membuat perwira ini meleletkan lidah. Hilang dan munculnya nyonya ini seperti iblis saja. Namun ketika ia dibentak dan ditanya mau bertanya apa maka buru-buru ia membungkuk dan menjawab,

“Anu... eh, aku.... eh aku mau bertanya hujin sendiri mau ke mana. Bagaiman kira-kira kalau siang nanti orang itu sudah kubawa. Bagaimana mencari hujin.”

“Hm, usahakan malam saja, ciangkun. Biar tak ada orang tahu. Aku sendiri mau berputar-putar di seputar sini mencari orang itu juga. Kau cerewet dan banyak omong!”

“Maaf, eh... maaf, hujin. Kalau begitu baiklah kuusahakan seperti kata-katamu dan nanti malam kutemui kau di sini. Tapi kalau tidak berhasil tentu kau tak marah kepadaku, bukan?”

“Kalau orang itu memang tak ada di sini tentu saja aku tak marah. Tapi kalau ia ada di sini dan kau main-main, hmm jangan tanya akibatnya!”

Ta-ciangkun meleletkan lidahnya lagi. Sang nyonya berkelebat dan lenyap lagi dan bergeraklah dia memutar tubuh. Berada di istana bukanlah asing baginya. Diapun sering keluar masuk di sini. Namun karena kali ini ia sedang “bertugas” tidak resmi, kedatangannya bukan dipanggil atasan melainkan atas paksaan nyonya itu maka ia mengangguk dan menarik napas dalam-dalam untuk kemudian meloncat dan lenyap ke dalam, mulai menjalankan tugas.

Yu Yin sendiri memang benar berputar-putar tapi tidaklah lama. Istana amat luas dan tiba-tiba ia ingat akan seseorang. Ada yang dapat dimintainya tolong lagi. Hui Kiok! Ia teringat sahabatnya itu dan tiba-tiba melayanglah tubuhnya turun ke bawah. Ia tiba di sebuah gedung indah bercat biru, tidak besar namun cukup sejuk dan segar dengan taman-taman kecil di samping dan depan rumah. Dan ketika ia berkelebat dan masuk bagai siluman, nyelonong tanpa permisi maka seorang menjerit kecil ketika hampir ditabrak, muncul dari balik tikungan dengan seorang bocah perempuan mungil di tangan.

“Aih, siapa kau. Jahanam!”

Yu Yin tertegun. Jerit atau suara itu dikenal dan tiba-tiba meledaklah kekehnya. Seorang wanita cantik, sebaya dengannya tampak terkejut di tikungan itu. Ia wanita berpakaian sutera putih yang halus dan bertubuh lembut. Wanita ini sedang menyusui bayinya dan spontan menutupi bagian buah dadanya melihat orang lain di situ. Tapi ketika Yu Yin terkekeh dan wanita ini tertegun, mata yang semula terkejut dan membelalak itu berobah berseri-seri mendadak wanita ini menghambur dan makian berobah kegembiraan.

“Yu Yin.!”

“Hui Kiok!”

Dua wanita itu berpeluk-pelukan. Mereka begitu gembira hingga si bayi terhimpit. Yu Yin terkekeh dan menciumi wanita itu. Tapi ketika si bayi menangis dan mereka sadar, saling melepaskan diri maka wanita ini mencubit dan memukul Yu Yin gemas.

“Kau kurang ajar benar. Bikin kaget saja! Ah, bagaimana kau tiba-tiba ada di sini, Yu Yin? Mana suamimu Giam Liong? Apa yang kau lakukan?”

“Hi-hik, memberondong dengan pertanyaan. Eh, bagaimana aku menyebutmu, Hui Kiok. Bibi ataukah cici. Wah, kau isteri pamanku Yauw-ongya. Bagaimana ini!”

“Hush, sebut saja aku seperti dulu. Aku bukanlah bibimu, Yu Yin, aku sahabatmu. Kau masih sama seperti dulu dan nakal serta suka membuat kaget orang. Eh, mana suamimu dan apakah kau sendirian. Apa yang kau lakukan. Tak mungkin kau kangen kepadaku!”

“Hm-hm, aku memang ada perlu. Tapi ini anakmu yang mungil, Hui Kiok. Siapa namanya. Eh, kau rupanya baru melahirkan beberapa bulan. Ini tentu anak pertama!”

“Tidak, ia anak ketiga. Namanya Yauw Tien, Yu Yin, panggilannya Tien Tien. Kau, eh., ada apa!”

Wanita itu membalik. Yu Yin memandang belakang punggungnya karena saat itu muncullah seorang laki-laki muda yang cakap dan halus gerak-geriknya. Laki-laki inilah yang dilihat Yu Yin dan karena itu ia memandang ke belakang, tak menghiraukan nyonya rumah. Lalu ketika nyonya rumah membalik dan memandang maka Yu Yin sudah memberi hormat dan berseru, sikapnya tidak main-main.

“Paman Yauw !”

Laki-laki itu, Yauw-ongya, tersenyum lebar. Ia berada di dalam ketika tiba-tiba adiknya tadi berteriak dan memaki seseorang. Ia mengira pelayan kurang ajar atau apa. Maka ketika ia muncul dan yang dilihat adalah Yu Yin, keponakannya yang lenyap tak memberi kabar maka pangeran muda ini tertawa dan maju menepuk pundak tamunya.

“Ha-ha, kaukah? Pantas, ada kau selalu ramai, Yu Yin. Seperti burung berkicau saja. Hai, selamat datang. Tapi mana suamimu Giam-siauwhiap!”

Giam Liong memang mendapat panggilan siauwhiap (pendekar muda). Meskipun Yu Yin keponakannya tapi terhadap Naga Pembunuh itu tentu saja pangeran ini tak berani sembarangan. Yang keponakan adalah wanita ini, suaminya orang lain. Dan karena Naga Pembunuh bukan orang sembarangan, rasa hormat harus tetap dijaga maka pangeran itu menengok dan heran tak melihat Giam Liong, terkejut dan menoleh karena Yu Yin tiba-tiba menangis!

Dan ketika nyonya itu mengguguk dan mengejutkan suami isteri ini, suasana gembira mendadak berubah maka Yauw-ongya yang menarik napas dalam mengira Yu Yin sedang bertengkar dengan suami cepat-cepat memberi tanda agar tamunya itu dibawa ke dalam.

“Eh-eh, rupanya bertengkar. Rumah tangga memang begitu. Hui Kiok, bawa ia ke dalam dan biar kuperiksa barangkali suaminya di luar!”

Namun pangeran ini tentu saja tak dapat menemukan Giam Liong. Pemuda itu memang tak ada di situ karena sedang pergi ke Lembah Iblis. Yu Yin hanya sendiri. Maka ketika pangeran itu masuk lagi ke dalam dengan alis berkerut, di sana Yu Yin duduk menghapus air mata maka isterinya menghibur dan melepas kata-kata sareh.

“Yu Yin, kau rupanya meninggalkan suamimu. Kalian agaknya habis bertengkar. Sudahlah, diam dan tenanglah di sini. Lihat anakku ikut menangis!”

Yu Yin menghentikan tangisnya. Si bocah di pangkuan ibunya memang benar menangis, dua anak lain muncul dan Yu Yin melihat seorang anak lelaki berusia lima tahun berlari-lari mendahului seorang anak perempuan lain berusia tiga tahunan, berteriak memanggil ayah ibu mereka dan itu kiranya anak-anak lain dari pasangan ini. Maka ketika Yu Yin tertegun dan melihat betapa bahagianya suami isteri itu, teringat keadaan diri sendiri dan seakan teriris tiba-tiba ia tak dapat menahan diri lagi dan menangis. Teringat anaknya Sin Gak!

“Eh, kalian jangan di sini harap bermain-main di luar. Siong-hwa, bawa anak-anak ini keluar!” Yauw-ongya, yang kembali mengerutkan kening melihat tangis itu sudah cepat memanggil pelayan dan melepaskan putera-puterinya.

Wanita itu muncul dan membawa pergi majikan-majikan mudanya. Dan ketika semua pergi dan tinggallah mereka bertiga, maka Yauw-ongya bangkit berdiri dan mengedip pada isterinya agar isterinya itulah yang menghibur. Rupanya ada urusan berat yang mengganjal.

“Kau temani tamu kita dulu. Biar kubuatkan minuman!”

Tuan rumah pergi dan memberi kesempatan. Yu Yin memang sedih dan perginya sang paman membuat dia tak merasa canggung. Berhadapan dengan Hui Kiok tentu saja dirasa lebih membebaskan. Maka ketika Hui Kiok bangkit memegang lengannya, sebagai sesama wanita mereka dapat saling merasakan maka Yu Yin diminta menceritakan persoalannya dan akan dibantu seberapa bisa.

“Aku tak berani mencampuri urusan rumah tanggamu terlalu dalam. Tapi kalau ada sesuatu yang dapat kutolong harap kau ceritakan padaku, Yu Yin. Kita sahabat sejak muda da ingat tak perlu ada sungkan di antara kita.”

Yu Yin menghentikan tangisnya, mendongak.

“Kau tentu bertengkar dengan suamimu, bukan? Kau meninggalkannya dan merasa jengkel?”

“Aku. aku memang bertengkar. Tapi bukan urusan kecil, Hui Kiok. Melainkan urusan besar!”

“Hm, seberapa besarnya,” wanita ini tersenyum. “Suami isteri biasa begitu, Yu Yin, tapi tak ada persoalan yang tak dapat diputuskan. Sudahlah, kalau boleh aku tahu ceritakan padaku dan ringankanlah perasaan hatimu. Apa yang terjadi dan kenapa kau yang tadi begitu gembira tiba-tiba sekarang begini sedih!”

“Aku kehilangan anakku.”

“Anak? Eh!” wanita ini terkejut. “Kau sudah berputera, Yu Yin. Kalau begitu di mana dia. mana keponakanku itu!”

“Dia hilang, diculik orang !” Yu Yin tiba-tiba menahan perasaan hatinya lagi. “Aku bertengkar soal ini, Hui Kiok, dan betapa sakit hatiku bahwa Giam Liong lebih memberatkan urusan lain daripada anak!”

Nyonya rumah berubah. Kalau sudah begini maka memang dapat disimpulkan bahwa urusannya besar. Dia terkejut dan girang bahwa Yu Yin ternyata sudah berputera. Tapi begitu puteranya diculik orang iapun tiba-tiba diam dan gemetar, duduk. Coba memandang wajah sahabatnya itu tapi Yu Yin benar-benar muram. Air mata mau mengucur lagi. Maka ketika ia duduk dan mengulurkan lengan, disentuhnya bahu sahabatnya itu maka Hui Kiok bertanya seolah tak percaya,

“Yu Yin, kau kehilangan anak? Kau bilang bahwa puteramu diculik? Hm, siapa berani melakukan itu, Yu Yin, dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Bukankah kalian suami isteri orang-orang gagah tiada tandingannya!”

“Hm, musuh ada di mana-mana. Kami boleh jadi suami isteri berkepandaian tinggi, Hui Kiok, tapi jangan bilang bahwa kami tiada tandingan. Aku dan suamiku nyatanya kehilangan anak. Jahanam itu memang manusia berani mati!”

“Anakmu itu laki-laki ataukah perempuan?”

“Laki-laki, Sin Gak. Namanya Sin Gak!”

“Hm, tentu persis ayahnya, gagah dan pemberani. Tapi kenapa kau ke sini? Apakah jejaknya di sini?”

“Betul, kau cerdas, Hui Kiok, dari dulu mudah menangkap kesimpulan. Aku datang memang untuk membekuk jahanam itu. Jejaknya di sini. Tapi barangkali kau dapat menolongku!”

“Aku?” Hui Kiok tiba-tiba tersenyum. “Jangan main-main, Yu Yin. Apa dayaku wanita lemah begini. Aku tak bisa ilmu silat, aku wanita biasa. Mana mungkin disuruh menangkap atau membekuk orang jahat!”

“Tidak, bukan begitu. Yang kumaksud adalah kau menolongku mencari orang ini, Hui Kiok. Ia orang istana. Ia berkeliaran keluar tapi tentu kembali ke sini. Nah, kau cari tahulah tentang orang ini sementara aku juga tidak tinggal diam!”

Suara batuk-batuk memotong percakapan. “Maaf, boleh aku masuk, Yu Yin? Kusiapkan minuman, kau tampaknya haus!”

Dua wanita itu menoleh. Yauw-ongya, tuan rumah, membawa penampan sendiri dengan tiga cangkir minuman hangat. Ia datang dan melihat keadaan. Rupanya tak berani gegabah. Beginilah sifat pangeran yang tahu sopan-santun itu. Ia tak akan mengganggu meskipun di rumahnya sendiri. Dan ketika Yu Yin mengangguk maka masuklah dia meletakkan minuman itu, siap pergi lagi.

“Nanti dulu,” sang isteri mencegah. “Ada berita penting, suamiku. Barangkali, eh.... Yu Yin tak keberatan!” Nyonya rumah menoleh dan meminta tanda. Ia, sebagaimana suaminya juga orang yang penuh pengertian. Hui Kiok memandang Yu Yin apakah setuju. Dan ketika Yu Yin mengangguk merasa keluarga sendiri maka giranglah nyonya rumah menarik lengan suaminya.

“Duduklah. duduklah, Yu Yin membawa berita penting. Ia bukan sekedar bertengkar. Ia kehilangan anak!”

“Apa?”

“Benar, duduklah, suamiku. Yu Yin sedang gelisah kehilangan anaknya. Kita diminta bantuannya dan mungkin dapat menolong!”

Pangeran itu terhenyak. Ia duduk dan akhirnya mencari tahu, mendengarkan dan heran serta kaget sekali bahwa penculik dinyatakan orang istana. Ia seakan tak percaya. Dan ketika ia bertanya siapa penculik itu maka Yu Yin bangkit menjawab, mengepal tinju,

“Siauw Hong!”

“Siauw Hong...?” sang pangeran terbelalak, mengingat-ingat. “Siauw Hong siapa, Yu Yin? Orang mana ini?”

“Ia orang istana, orang sinting. Paman barangkali tak ingat karena ia adalah Siauw Hong si banci!”

“Astaga, orang itu? Yang tinggal di belakang istana? Yang sering bersolek dan bergincu tiada ubahnya wanita!”

“Benar, dia itu, paman. Dan Siauw Hong ini pandai silat. Sedikit banyak ia cukup lihai!”

Pangeran tertegun. Ia segera teringat akan si banci yang memang masih kerabat istana itu, diberi tempat dibelakang karena nyeleneh, lain sendiri. Si banci ini berkumpul dengan banci-banci lain dan para thaikam (kaum kebiri) muda. Mereka mendapat tempat dibelakang agar tidak memalukan istana. Siauw Hong ini bekas putera seorang selir yang meninggal dunia, masa kecilnya di bawah didikan para thaikam dan karena ia berkumpul dengan para kebiri itu maka perkembangan jiwanya tumbuh ganjil, laki tidak perempuanpun bukan. Itulah Siauw Hong. Maka ketika Yu Yin menunjuk orang ini dan aneh benar bahwa si banci menculik anak kecil maka Yauw-ongya menarik napas dalam-dalam dan penasaran juga.

“Kurang ajar, si banci itu melewati batas. Baik, akan kucari dia, Yu Yin, dan apakah anakmu itu laki- laki atau perempuan!”

“Ia laki-laki, Sin Gak. Namanya Sin Gak!” sang isteri menjawab mendahului.

“Hm, laki-laki? Bagus sekali, tentu seperti ayahnya. Pantas, ibu mana yang tidak akan bingung! Baik, kau tunggu disini, Yu Yin, sekarang juga kuperintahkan orang mencarinya!”

Namun Yu Yin mencegah. “Tunggu, nanti dulu, paman. Sekarang juga ada orang yang kusuruh mencari. Ia Ta-ciangkun!”

“Apa? Komandan Ci-bun itu?”

“Benar, ia kupanggil dan kubawa kemari, paman. Aku butuh bantuannya karena sebagai orang dalam istana tentu gerak-geriknya lebih bebas, jauh lebih bebas daripada aku yang sekarang ini sudah di luar lingkungan!”

“Hm-hm, kau tidak ingat kepadaku rupanya...”

“Aku lupa. Waktu itu aku sedang bingung dan marah. Aku gelisah.”

“Baik, dan omong-omong kenapa kau tak bersama suamimu? Apakah Giam Liong tak sayang anak?”

Yu Yin terisak. “Ia pun tentu sayang anak, paman. Hanya waktu itu ada perbedaan pendapat yang tajam di antara kami. Ia kembali ke Lembah Iblis.”

“Kembali ke Lembah Iblis? Jadi sebenarnya kalian sudah seperjalanan?”

“Benar.”

“Kalau begitu kenapa kembali?”

“Ada yang hendak diselidiki. Ia mendapat tuduhan membunuh-bunuhi orang dengan Golok Maut.”

“Astaga, ada-ada saja persoalan di dunia ini. Bukankah golok itu sudah disimpan dan tak dipergunakannya?”

“Benar, paman, dan karena itu dia curiga golok itu dicuri orang. Khong-tong dan Lu-tong mengejar-ngejarnya. Dia penasaran dan kini menyelidiki apakah benar seseorang mencuri golok itu untuk dipakai dan mempergunakan namanya!”

“Hm-hm, gawat. Kalau suamimu sampai mengamuk dan marah besar tak ada di dunia ini yang dapat melawannya. Hanya ayah dan saudara angkatnya saja rupanya mampu meredam. Aneh, orang jahat macam apa yang menjahili kalian ini!”

Yu Yin tak menjawab. Ia masih terisak namun tiba-tiba tuan rumah bangkit lagi. Ia ditahan dan tadi duduk dicegah. Namun ketika ia bangkit dan bersinar-sinar dengan kening berkerut maka pangeran itu berkata bahwa tak ada jeleknya untuk mengirim orang dan mencari tahu tentang Siauw Hong ini.

“Aku hanya ingin mengutus orang untuk pergi menyelidiki saja. Kau diamlah di sini, jangan berbuat apa-apa. Silakan minum dan biar aku membantu sebisaku!”

Yu Yin akhirnya mengangguk. Ia tak mau kalau pamannya ini yang pergi langsung. Tapi kalau pamannya menyuruh orang tentu saja ia tak keberatan. Hanya ketika pamannya itu berada di luar pintu ia cepat-cepat berkata, “Paman, harap orang itu hanya pergi menyelidiki saja. Jangan menangkap. Siauw Hong cukup berbahaya dan aneh. Aku saja yang membekuk dan nanti menangkapnya!”

“Tahu, aku tahu. Orangku ini hanya pergi menyelidiki saja, Yu Yin, tak akan kusuruh menangkap. Salah-salah ia celaka dan bakal membawa persoalan baru saja!”

Yu Yin lega dan sang paman sudah menutup pintu. Ia berdua lagi dan hari itu nyonya muda ini ditemani sahabatnya. Hui Kiok ramah dan pandai menghibur. Mereka memang sahabat sejak kecil. Dan ketika malam tiba dan Yu Yin teringat perjanjiannya dengan Ta-ciangkun maka nyonya itu berkelebat dan memberi tahu sahabatnya bahwa ia akan menemui Ta-ciangkun. Kabar dari suruhan Yauw-ongya juga kebetulan belum kembali.

“Aku tak akan lama, aku hanya menemui dan mencari kabar saja. Tunggu di sini, Hui Kiok. Tak lama aku tentu kembali!”

Nyonya rumah berdebar. Diam-diam wanita inipun cemas dan gelisah. Bayangan hitam terlihat di wajahnya. Namun ketika tak lama kemudian Yu Yin kembali dan ia lega ternyata wanita ini gagal karena Ta-ciangkun belum menemukan jejak.

“Keparat itu tak ada, tampaknya belum pulang. Ta-ciangkun memberi tahu mungkin tiga sampai lima hari ini si jahanam akan muncul, Hui Kiok. Ia akan menyembahyangi makam ibunya seperti yang ia lakukan setiap bulannya!”

“Hm, benar,” Yauw-ongya muncul, juga mengangguk. “Kabar yang kau terima betul Yu Yin. Orangku juga berkata begitu karena dalam beberapa hari ini Siauw Hong akan sembahyang di makam ibunya. Ia melakukan itu setiap bulan, saat bulan purnama penuh!”

Yu Yin menoleh. Ia girang karena Ta-ciangkun tak bohong. Tadinya ia khawatir bahwa jangan-jangan perwira itu membuat-buat. Siapa tahu ia bohong dan perwira itu mengada-ada. Maka ketika sang paman muncul dan memberi ketegasan, ia lega maka kepercayaannya terhadap Ta-ciangkun pulih lagi dan dalam tiga hari ini gerak-gerik lawan terus dimonitor.

Malam itu Yu Yin beristirahat dan ia betul-betul melepas lelah. Capai rasanya seluruh tubuh ini. Dan ketika hari demi hari dilewatkan sementara hari ketiga lewat dengan cepat, disusul hari keempat namun si jahanam belum muncul maka Yu Yin was-was juga dan akhirnya tak sabar.

“Ta-ciangkun sudah memberi tahu kepadaku di mana kamar jahanam itu. Biar kutunggu dia di sana dan kutangkap begitu muncul!”

“Ah, kau mau meninggalkan kami? Kau tak menunggu di sini saja?”

“Habis sabarku, paman. Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku akan ke sana dan bersembunyi menunggu kedatangannya!”

Yauw-ongya menarik napas dalam. Ia dapat memaklumi gelisahnya hati seorang ibu. Wanita mana yang tak akan panik kalau anaknya hilang. Dan karena penculiknya sudah diketahui tinggal menangkap, ia mengangguk-angguk maka diberinya nasihat wanita muda itu. “Baiklah, tapi jangan lupa kami, Yu Yin. Beritahulah kami apa saja yang mengganggumu. Aku akan datang begitu kau mendapat kesulitan.”

Yu Yin mengucap terima kasih. Tiga hari menunggu tak menentu sungguh membuat kesabarannya habis. Siauw Hong itu jahanam benar. Maka ketika ia berkelebat dan berseru kepada Hui Kiok, berjanji akan datang lagi begitu selesai maka nyonya itupun lenyap sementara pangeran dan isterinya menahan cemas. Hui Kiok bahkan terisak.

“Mudah-mudahan ia selamat. Mudah-mudahan tak ada apa-apa. Kau bantulah ia kalau ada kesulitan, suamiku. Atau pasanglah orang untuk melihat gerak-geriknya.”

“Aku akan melakukan itu. Jangan khawatir, isteriku. Tapi betapapun kurasa Yu Yin wanita yang pandai menjaga diri. Sudahlah, kita berdoa dan semoga anaknya yang hilang ketemu lagi!”

Dua orang itu masuk. Mereka mengambil hio dan bersembahyang sementara Yu Yin sendiri sudah melayang melewati tembok tinggi untuk kemudian berjungkir balik menuju bangun di belakang istana dekat kebun binatang. Siauw Hong ditempatkan di situ dan di sanalah ia menyusup. Banci itu akan ditangkap dan dibekuknya. Sudah terkepal tinjunya untuk memberi hajaran berat. Paling sedikit ia akan mematahkan tangan lawannya itu. Tangan itulah yang menculik Sin Gak.

Dan ketika tak lama kemudian nyonya ini sudah memasuki daerah belakang istana, sebuah rumah kecil dengan halaman yang suram menyambut dirinya maka Yu Yin berkelebat dan masuk ke sebuah ruangan gelap berjendela sempit. Dia sudah menyelidiki bahwa inilah kamar Siauw Hong. Di situlah si banci biasanya tinggal kalau tidak kelayapan. Dan ketika ia menyelinap dan mendengar kekeh di sebelah ruangan ini, karena rumah itu terdiri dari enam atau tujuh kamar maka Yu Yin melengos muak melihat dua orang banci lain sedang bercumbu dan bermesraan dengan dua pengawal istana, yang sedang bebas tugas.

“Ih, hi-hikk! Jangan terburu, Kwa-ko. Jangan terlampau beringas. Pelan-pelan kita bermain cinta dulu jangan langsung ke sasaran. Ihh, pahaku geli. Jangan nyelonong ke sana dulu!”

Yu Yin membuang muka. Kalau saja tak ada niatan menunggu Siauw Hong tentu ia akan keluar dan menjauhi tempat ini. Sudah diketahuinya bahwa belakang istana memang untuk orang-orang begitu. Istana menyimpan pula banci-banci begini hasil produk pangeran-pangeran amburadul, kaum hidung belang yang tidak saja bercumbu dengan wanita melainkan juga dengan sesama pria. Ada ketidakberesan jiwa pada orang-orang seperti itu, yang meskipun dibungkus kehormatan oleh pangkat dan gelar namun sesungguhnya mereka itu orang-orang buangan yang tidak laku di masyarakat.

Pelariannya ya sesama jenis. Dan ketika ia menutup pintu dengan kesal, hampir membanting namun sadar bahwa tak boleh ia menutup pintu dengan kesal, hampir membanting namun sadar bahwa tak boleh ia mengejutkan penghuni lain maka bulan di atas sana yang mulai muncul dengan sinarnya yang kuning keemasan membuat nyonya ini tegang karena katanya begitu bulan sudah penuh Siauw Hong pun akan muncul.

“Dia akan sembahyang di makam ibunya. Kebiasaan begini sudah dilakukannya sejak kecil, setiap bulan. Maka hati-hatilah kalau dia datang karena tentu ia kaget melihat dirimu di dalam kamar!”

Yu Yin mengangguk tak acuh. Ia tak perlu takut karena dulu si banci itu sudah dihajar dan dikejarnya. Hanya karena kelicikan banci itulah maka buruannya hilang. Kali ini ia tak akan melepaskan lagi. Dan ketika Yu Yin bersembunyi di balik sebuah lemari, kamar itu gelap namun untung cahaya bulan di atas sana menerobos kaca jendela, masuk dan memberikan penerangan remang-remang maka ia menunggu dan bersabar ketika pelan tetapi pasti bulan naik semakin tinggi dan penuh, bulat seperti roti dadar.

Dan Yu Yin harus menekan jijiknya ketika kekeh dan suara-suara di luar berubah erangan erotis. Dua mahluk di luar rupanya sudah mencapai klimaks puncak permainan cinta mereka dan erang atau rintihan itu berubah menjadi suara gaduh yang panjang. Bangku tempat mereka bercumbu rupanya terbalik! Sumpah dan makian akhirnya meledak. Tapi ketika di pihak lain terdengar kekeh dan tawa geli, pasangan yang lain rupanya melihat itu maka Yu Yin muak menahan perut mualnya membayangkan seolah tingkah banci-banci tidak normal itu. Mereka sungguh bejat!

Namun nyonya ini tiba-tiba mendengar jerit dan pekik tertahan. Seseorang membentak dan dua pasangan diluar berdebuk. Rupanya mereka dibanting atau ditendang seseorang. Dan ketika suara-suara itu lenyap terganti rintih minta ampun maka Yu Yin hampir berjingkrak mendengar nama Siauw Hong disebut-sebut.

“Ampun.... am... ampun. kami tidak memakai bangkumu, Siauw Hong. Kami memakai bangku kami sendiri. Lihat, bangku itu masih utuh!”

“Keparat, tapi kalian mengotori bangku itu. Lihat, pakaian kalian berhamburan di atasnya. Bersihkan, atau nanti kubunuh!”

“Ampun... jangan, Siauw Hong.... jangan. Baik baik kami bersihkan dan lihat sudah kami ambil!”

suara pantat ditendang disusul jerit kecil lagi. Siauw Hong rupanya menendang orang itu karena bangku panjangnya dikotori. Dia merasa kotor meskipun hanya dilampiri pakaian saja. Bangku itu tidak dipakai untuk bermain cinta. Dan ketika pakaian diambil sementara banci yang berurusan buru-buru mengenakan pakaian, pergi bersama temannya mendadak Siauw Hong memanggil dan marahnya terganti senyum dan tawa lebar.

“Kau.., jangan pergi dulu. Heh-heh, kau Kwa-bun, bukan? Kau pengawal kaputran yang berjaga di samping gedung? Hei, ke mari dulu, Kwa-bun. Kau sudah bersenang-senang dengan A-him dan sekarang coba bantu aku mengurus barang-barang!”

“Aku. aku bisa bantu apa?”

“Heh, bukankah kau dapat membawakan hio dan perlengkapan sembahyang? Aku mau ke makam, Kwa-bun, tolong bantu aku dan bawakan barang-barang keperluanku!”

Pengawal bersama Kwa-bun itu rupanya ketakutan. Yu Yin mendengar orang mengiyakan berulang-ulang dan pintupun lalu dibuka. Dua orang masuk. Lalu ketika si banci terkekeh dan mengusap pinggul laki-laki itu, Kwa-bun berjengit mendadak Siauw Hong berhenti dan tiba-tiba ia memeluk serta menciumi pengawal muda ini. Terdengar jerit dan pekik tertahan lagi.

“Aku... augh, augh! Aku letih, Siauw Hong. Aku capai! Aku baru digempur A-him!”

“Hi-hik, bohong. Kau kuat dan perkasa, Kwa-bun. Dengus dan degup jantungmu masih memburu. Hayo, layani aku atau nanti kubunuh!”

Terdengar suara gedobrakan dan Yu Yin melongok. Siauw Hong, orang yang dicarinya itu ternyata sudah bergumul dengan si pengawal muda. Siauw Hong mendekap dan menggelut kasar. Melihat ini Yu Yin pucat. Sekarang ia bukan hanya sekedar mendengar melainkan melihat. Adegan cinta sesama lelaki terpampang jelas. Homo! Dan ketika Siauw Hong terkekeh dan melepas bajunya, merobek dan merenggut lepas pula pakaian lawan maka si banci bertindak demonstratif dengan menggigiti bagian-bagian tubuh lawannya.

“Hi-hik... heh-heh.... ayo kau terkam aku, Kwa-bun. Terkam aku! Jadilah laki-laki dan bersikaplah jantan!”

Yu Yin tak dapat menahan diri lagi. Dua laki-laki yang sudah sama telanjang membuat mukanya merah padam. Beginilah kiranya banci main cinta. Dan ketika ia keluar dan membentak, dua orang yang bergulingan itu ditendang dan mencelat maka Siauw Hong yang tak menyangka sama sekali kehadiran wanita ini pucat berseru keras melempar tubuh keluar.

“Aihh, Giam-hujin (nyonya Giam) ada di sini..... bluk-dess!” dua orang itu menabrak dinding dan kalang kabut. Yang paling kaget tentu saja adalah Siauw Hong. Banci itu bergulingan meloncat bangun namun celaka sekali keserimpet celana lawan, jatuh dan meloncat bangun lagi lalu berteriak keras melarikan diri. Ia lupa bahwa dirinya telanjang bulat. Banci ini tak sadar bahwa ia sama sekali belum berpakaian.

Tapi ketika Yu Yin mengejar dan berkelebat di belakang orang, menendang lutut banci itu hingga terjerembab maka Yu Yin menyambar pakaian orang itu menutupinya di atas tubuh. “Siauw Hong, sekarang kau tak dapat melarikan diri. Bangkit dan pakai pakaianmu dan serahkan anakku Sin Gak!”

Banci itu menggigil. Ia melotot melihat kiri kanan. Ia mengira Giam Liong ada di situ. Tapi melihat tak ada siapa-siapa kecuali nyonya ini mendadak ia bangkit lagi dan lintang-pukang telanjang bulat.Tak mau atau barangkali tak perduli pakaiannya itu.

“Twa-heng..... twa-heng, tolong.... ada Giam-hujin disini!”

Yu Yin terbelalak. Kalau saja ia tak sedang mencari anaknya mau ia terkekeh-kekeh melihat kejadian itu. Bokong si jahanam ternyata tepos, mirip papan tua yang keropos. Tapi karena ia sedang marah dan larinya banci itu membuat ia meledak, Yu Yin tak perduli lagi lawan yang berbugil ria tiba-tiba berkelebat dan jungkir balik di depan laki-laki ini, tangan melancarkan Hek-tok-kang.

“Siauw Hong, berhenti. Atau kau mampus!”

Si banci terkejut. Ia melihat lawan tahu-tahu di depan hidung, si nyonya meluncur dan mendorongkan tangan kirinya pula. Telapak hitam yang menyambarkan bau amis membuat si banci semakin terkejut lagi. Dan ketika ia menjerit dan menangkis, mau tak mau memapak pukulan itu maka ia terjengkang dan Yu Yin harus membuang muka melihat bagian tubuh si banci yang amat menjijikan.

“Dess!”

Siauw Hong terbanting dan bergulingan lagi. Ia mengeluh namun Yu Yin berkelebat melepas totokan. Pundak si banci kena. Dan ketika si banci menggeliat dan Yu Yin melempar pakaian laki-laki itu maka dengan bengis sang nyonya membentak,

“Serahkan anakku atau kau mampus kukerat tubuhmu. Mana Sin Gak!”

“Am.... ampun....!” si banci mengeluh. “A... anakmu tak ada di sini, hujin. Dia.... dia dibawa Twa-heng!”

“Siapa itu Twa-heng, aku tak perduli Twa-heng! Kau yang membawa dan menculik anakku, Siauw Hong. Kau pula yang harus mengembalikan. Nah, mana atau lehermu kutusuk!” Yu Yin mencabut pedang dan menekankan ujungnya ke leher lawan.

Si banci merintih dan darah mengucur sedikit, tidak banyak namun sudah cukup membuat si banci ini meratap. Dan ketika ia meliar ke kiri kanan dan mengucap kata- kata tak jelas, Yu Yin menjadi tak sabar maka nyonya itu mengiris dan banci ini menjerit seakan nyawanya terbang dari tubuh.

“Aduh. ampun, hujin. Ampun. Aku hanya disuruhTwa-heng!”

“Hm, siapa itu Twa-heng. Di mana dia! Kau jangan pura-pura atau nanti pedangku menembus jantungmu!”

Banci ini menggigil. Ia sudah merasakan kelihaian si nyonya dan berkali-kali mendapat hajaran. Hanya berkat kecerdikan dan kelicikannya saja ia berhasil lolos. Kali inipun ia harus lolos lagi. Tapi ketika pedang bergerak dan menekan jantungnya, ia sudah berkali-kali membuat marah nyonya itu maka banci ini meratap dan tiba-tiba berlutut dengan bokong menungging. Bokong itu masih bugil!

“Hujin, ampun.... aku bersumpah. Anakmu benar tak ada di tanganku karena dibawa Twa-heng. Ia menyuruhku. Aku boleh dibunuh tapi kau akan sia-sia mendapatkan anakmu. Berilah aku kesempatan memanggil Twa-heng dan kau boleh bertemu dengannya!”

“Hm, kau mau lari?”

“Tidak... tidak! Sumpah mati aku tak mungkin lari, hujin. Di sini ada kau yang senantiasa mengancamku. Aku hanya akan menunjukkan di mana anakmu tapi selanjutnya kau sendirilah yang harus berusaha!”

Yu Yin gemas. Ia menggerakkan pedangnya dan bahu si banci itupun sobek. Segumpal daging mencelat di udara. Dan ketika si banci berteriak dan mengaduh-aduh, pedang itu siap membabat lagi maka terdengar suara mirip geram binatang.

“Siauw Hong, bawa wanita itu ke sini. Biarkan ia bertemu aku!”

“Nah,itu. itu Twa-heng! Ia memanggilmu, hujin. Mari kesana dan kita lihat anakmu!”

Yu Yin bergerak menotok lagi lawannya ini. Tadi ia membebaskan karena pedang mengganti kedudukan. Kini seseorang berseru dari jauh dan ia terkejut tak dapat menentukan arah. Seruan itu seperti dari dalam kubur, atau dalam tanah. Dan ketika ia tersentak namun marah sekali, ia menendang dan menyuruh banci itu berpakaian maka Siauw Hong buru-buru mengenakan pakaian dengan sebelah tangan atau tubuh yang lain lumpuh.

“Kali ini kau tak akan dapat meloloskan diri lagi. Bawa aku kepadanya dan tunjukkan jahanam itu. Kalau anakku kalian ganggu kepalamu lebih dulu putus. Nah, berdiri dan antar aku kepadanya, Siauw Hong. Cepat dan jangan mengulur-ulur waktu!”

Si banci jatuh bangun. Ia merintih namun secercah kegembiraan terpancar diwajahnya. Yu Yin mengeluarkan rantai perak dan tahu-tahu melilitkan ini ke leher si banci, melemparkannya bagai orang melasso seekor kuda. Dan ketika si banci terbelalak namun tak mampu berbuat apa-apa, Yu Yin membentak agar cepat jalan maka banci ini terbata ingin ke kamarnya dulu.

“Aku harus mengambil hio dan perlengkapan sembahyang. Kita ke makam membawa itu dulu!”

“Kau cerewet tak mau cepat?”

“Tidak tidak. Eh, ini syarat menemui Twa-heng, hujin. Ia harus mencium bau dupa atau nanti tak mau ditemui!”

Yu Yin tertegun. Si banci kelihatan sungguh-sungguh dan iapun mengangguk. Akhirnya ia membawa tawanan memasuki kamarnya. Dan ketika Siauw Hong mengambil hio dan perlengkapan sembahyang, tempat abu atau guci-guci kecil maka ia keluar lagi dan kali ini tampak tergesa-gesa, diburu waktu.

“Aku harus menemui Twa-heng. Aku terlambat. Ia bisa marah. mari, mari hujin. Kita cepat-cepat kesana dan biarkan aku bebas sedikit!”

Yu Yin menyentak dan mengendalikan tawanannya itu. Si banci mau lari cepat namun tertahan di belakang, jatuh dan lari lagi dan nyonya ini melihat kesungguhan lawan. Siauw Hong tampak ketakutan dan ngeri. Ia melotot ingin cepat-cepat. Dan ketika akhirnya Yu Yin melonggarkan rantai itu dan membiarkan lawan berlari cepat maka mereka melewati semak gerumbul untuk akhirnya tiba di luar tembok istana di mana sebuah makam tiba-tiba terdapat.

“Celaka, aku lupa membawa api! Eh, kau bisa membuatkan apinya, hujin? Hio ini harus dibakar. Bulan di atas sudah purnama!”

Yu Yin menahan gemas. Ia sudah tegang dibawa ke lawan yang lain dan ingin cepat-cepat mendapatkan anaknya. Melihat gerak-gerik dan kesungguhan si banci ini maka ia mau percaya bahwa anaknya tak di tangan Siauw Hong. Anaknya di tangan orang lain. Dan ketika ia menabas sebuah batu hitam sebagai jawaban Siauw Hong, bunga api memuncrat menyambar hio itu maka Siauw Hong girang melihat hionya terbakar.

“Bagus, terima kasih!” si banci berlari dan berlutut didepan makam itu. Ada bau-bauan tak enak seperti mayat busuk. Yu Yin mengerutkan kening dan merasa seram. Kalau saja ia tak berurusan dengan si banci ini tentu ia tak sudi datang malam-malam di sebuah makam tak dikenal. Ia melihat makam itu tak terurus tapi cukup bagus. Batu marmernya masih mengkilap. Dan ketika si banci menggoyang hio sambil berkemak-kemik, memutar dan menaik turunkannya ke delapan penjuru maka berserulah banci itu ke tanah.

“Twa-heng, aku sudah datang. Inilah tamumu dan harap kau keluar. Maaf keterlambatanku diganggu Giam-hujin ini hingga tak tepat waktu!”

“Hm, kau bersenang-senang dengan bocah she Kwa. Lupa kepadaku. Lihat orang itu, Siauw Hong. Dan jaga jangan sampai kau menjadi ini...bluk!” sesosok mayat terlempar dan terbanting di depan Siauw Hong.

Yu Yin terkejut dan mundur dengan muka berubah sementara si banci berteriak menjerit keras. Itulah mayat Kwa-bun! Dan ketika Siauw Hong terhenyak dan jatuh terduduk, sungguh tak disangka maka sosok bayangan hitam tahu-tahu muncul di atas makam itu, seperti iblis.

“Twa-heng !”

Yu Yin tersentak dan mundur lagi. Di makam itu, di atas tanahnya berdiri bayangan seperti hantu berjubah hitam. Wajahnya tertutup kedok karet namun sepasang matanya mencorong bagai mata iblis, merah menyala dan Yu Yin membentak mengeluarkan pedangnya. Ia membentak untuk mengusir rasa takut, juga gentar atau perasaan apa saja karena Yu Yin tiba-tiba gemetar melihat bayangan ini. Ia seakan bukan berhadapan dengan manusia melainkan iblis, iblis yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya. Namun ketika ia berhasil menguasai diri dan teriakan Siauw Hong tadi menyebut laki-laki ini maka nyonya itu berkelebat maju ke depan. Teringat puteranya tiba-tiba keberaniannya muncul.

“Manusia jahanam, mana anakku Sin Gak. Kembalikan dan apa maksudmu menculik anakku!”

“Hm, heh-heh...” laki-laki itu tiba-tiba membalik, membelakangi nyonya ini. Kau tak perlu tanya kepadaku, Yu Yin, melainkan jawablah kenapa kau tak bersetia kepada ayahmu. Kau anak terkutuk, tak berbakti. Kau menjadi isteri dari orang yang membunuh ayahmu!”

“Siapa kau!” Yu Yin kaget, berseru marah. “Urusan rumah tanggaku tak perlu kau campuri, manusia iblis. Kau...” Yu Yin tiba-tiba menghentikan bentakannya. Angin berdesir dan jubah yang dipakai laki-laki itu mendadak berkibar. Gambar sebuah kelelawar tampak di situ, di jubah hitam itu. Dan ketika Yu Yin berseru kaget karena itulah majikan Hutan Iblis, ciri-ciri ini pernah didengar dari Ju-taihiap dan Tang Siu maka ia melompat mundur bagai menginjak ular berbisa. “Kau. majikan Hutan Iblis!”

“Heh-heh, sudah kenal?” lelaki itu membalikkan tubuhnya lagi, berhadapan. “Benar, aku pemilik Hutan Iblis, Yu Yin. Dan kau anak tak berbakti yang tak bersetia kepada mendiang ayahmu sendiri!!”

Yu Yin membentak berseru marah. Tiba-tiba ia menjadi marah begitu tahu bahwa orang ini adalah pembunuh Ju-hujin, ibu atau ibu angkat suaminya sendiri. Maka begitu ia melengking dan menggerakkan pedang, berkelebat ke atas makam itu maka tanpa banyak bicara lagi ia melancarkan tusukan maut namun lawan mengelak dan mundur selangkah, dikejar dan ditusuk lagi dan tiba-tiba lelaki itu mendengus. Ia menggerakkan ujung jubahnya menangkis. Dan ketika terdengar suara keras di mana pedang nyonya itu terpental maka Yu Yin terpelanting dan kaget bergulingan menjauhkan diri.

“Plakk!”

Tangkisan ini bagai lempengan baja mengenai pedangnya. Telapak si nyonya pedas terbakar dan hampir saja pedang di tangannya itu lepas. Yu Yin kaget bukan main dan berseru tertahan. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan mendengar tawa dingin lawan maka laki-laki itu berseru agar ia menyerahkan diri.

“Kau tak menang melawanku, kau bukan tandingan. Ikut dan menyerahlah kepadaku, Yu Yin. Kudidik kau dan anakmu untuk membalas dendam.”

“Jahanam” nyonya itu melengking. “Kau atau aku mampus, iblis keparat. Mana anakku dan jangan macam-macam singg!” pedang kembali bergerak dan kali ini sang nyonya melakukan jurus Kun-tek-giam-ong (Raja Akherat Membuka Pintu). Jurus ini sebenarnya jurus dari ilmu silat Golok Maut namun penggunaannya dengan pedang, bahayanya sama besar meskipun beda senjata. Namun ketika laki-laki itu tertawa mengejek dan berkelit tenang, dikejar dan akhirnya menjentikkan kuku jarinya maka pedang sang nyonya terpental dan Yu Yin kaget untuk kedua kalinya.

“Ting!”

Suara itu bagai jentikan senar yang-khim. Yu Yin merasa betapa kuatnya sinkang lawan dan ia terhuyung. Bertemu dengan kuku jari saja ia kalah, nyonya ini pucat. Namun ketika ia melengking dan membentak kembali, menerjang dan menggerakkan tangan kiri untuk melepas pukulan-pukulan Hek-tok- kang maka pedang di tangan kanan bergerak naik turun sementara pukulan tangan kiri menderu dan mengeluarkan uap hitam.

“Hm, ilmu ayahmu masih kau pakai. Bagus, tapi semakin menunjukkan betapa tak berbudinya kau, Yu Yin. Pembunuh yang membunuh ayahmu justeru sekarang menjadi suamimu. Kau tak boleh diberi ampun. Dosamu bertambah besar. Biar anakmu menjadi muridku dan kau ibunya menyusul ke alam baka plak-tringg!” pedang tersampok dan mental lagi, kaget bertemu jentikan kuku jari sementara pukulan-pukulan Hek-tok-kang dikibas dan dihalau. Uap hitam membuyar bertemu kibasan lengan jubah laki-laki itu.

Dan ketika Yu Yin terpekik karena tubuhnya terhuyung dan mau jatuh maka sang nyonya menjadi melotot karena orang itu bicara seolah kepada anggota keluarganya sendiri. Ia tidak tahu siapa laki-laki ini namun jelas ia amatlah lihai. Pukulan-pukulan Hek-tok-kangnya terhembus pula sementara pedang tertolak oleh semacam angin kuat luar biasa. Ia terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika ia memekik dan merobah gerakan, hek-tok-kang diganti Kim-kang-ciang (Pukulan Tangan Emas) maka laki-laki itupun tertawa mengejek dengan kata-kata dingin.

“Hm, kau benar-benar mahir menguasai ilmu orang tuamu? Kau mainkan Kim-kang-ciang untuk merobohkan aku? Jangan ngimpi, akupun dapat melakukan seperti apa yang kau lakukan, bocah. Lihat dan rasakan iniplak-dess!”

Yu Yin menjerit dan terlempar. Wanita itu kaget bukan main ketika lengan kiri lawan bergerak dengan pukulan Hek-tok-kang. Tangan kanannya mengebut dan keluarlah sinar emas dari Kim-kang-ciang. Lawan ternyata mahir pula dua ilmu pukulan itu! Dan karena sinkangnya kalah kuat dan berkali-kali ia terpelanting dan terhuyung-huyung makaketika kali ini ia terbanting dan menjerit keras nyonya itupun kehilangan pedangnya yang mencelat dari tangan.

“Horee... bocah ini tahu rasa!”

Yu Yin pucat dan merah berganti-ganti. Ia bergulingan meneruskan lemparan itu namun ketika ia meloncat bangun tiba-tiba dari jauh meluncur sinar kuning menotoknya. Laki-laki itu menyerang dari jauh. Namun karena ia memiliki Pi-ki-huhiat dan ilmu ini menolongnya maka ketika totokan mengenai pundaknya jalan darahnyapun menutup dan totokan itu gagal.

“Tuk!”

Sang nyonya dapat berdiri meskipun terhuyung, yu Yin terbelalak karena itulah It-yang-ci. Totokan satu jari itu milik ayahnya dan kini tiba-tiba di tangan orang lain. Siapa tidak kaget! Maka ketika ia terbelalak dan menjublak bengong, muka pucat berubah-ubah maka ia bertanya dengan suara menggigil.

“Kau. kau siapa. Kau memiliki ilmu-ilmu ayah. Kau rupanya pencuri!”

“Hm, heh-heh....! Kau akan tahu aku kalau bersedia ikut denganku, Yu Yin. Jawablah dan biar aku bersabar sejenak.”

“Kau manusia jahanam. Kau menculik anakku. Kau iblis pembunuh, manusia keparat. Tak perlu membujuk atau mengancamku. Kau atau aku yang mati!” dan ketika si nyonya berkelebat dan menyambar pedangnya lagi, pedang itu jatuh tak jauh darinya maka Yu Yin sudah menerjang dan memaki lawannya lagi.

Siauw Hong, yang tadi bersorak tampak meleletkan lidah. Ia melihat betapa gagah dan beraninya nyonya ini. Namun ketika ia melihat mayat Kwa-bun mendadak ia mengguguk dan menangisi pengawal muda ini. Ia tak perduli lagi kepada pertandingan dan mulutnya menggerung-gerung. Kegilaannya kumat. Namun ketika sebuah kebutan menampar dirinya dari jarak jauh, si banci mencelat maka majikan Hutan Iblis itu berseru agar cepat-cepat sembahyang di makam.

“Ibumu bisa mendelik melihat kau menangisi bocah tak berguna itu. Sembahyang dan pasang hiomu lagi, Siauw Hong. Minta agar Dewa Maut bersiap menerima sebuah nyawa lagi!” “Kau. kau mau membunuh Giam-hujin?”

“Tak perlu banyak mulut. Pasang hio dan suruh Giam-lo-ong (Dewa Maut) menyiapkan diri, Siauw Hong. Beri tahu bahwa sebuah nyawa akan kuantar padanya!”

Siauw Hong berjingkrak dan mengangguk. Ia terkekeh sementara matanya masih bercucuran. Yu Yin marah sekali mendengar pembicaraan itu. Maklum, dirinyalah yang dimaksud. Ia akan diantar ke akherat! Namun ketika ia melengking dan menerjang lagi, pedang bergerak menyambar-nyambar maka Pek-poh-sin-kun, silat Seratus Langkah yang dipelajarinya dari sang suami dipergunakan. Yu Yin pucat menghadapi lawan yang lihai ini karena berkali-kali ia jatuh bangun. Orang itu memiliki pula pukulan-pukulan Kim- kang-ciang dan Hek-tok-kang, bahkan jauh di atas dirinya.

Dan karena tak ada ilmu lain yang dapat dipergunakan, lawan mengenal semua ilmu silatnya maka Pek-poh-sin-kun itulah yang dipergunakan dan benar saja lawan terkejut dan membelalakkan mata. Sekarang nyonya muda itu dapat berkelit dan menghindar. Langkah-langkah saktinya bekerja dengan amat luar biasa. Namun karena Yu Yin belum menguasai benar ilmu itu, ia belum lama mempelajari ini maka ketika beberapa gerak kaku yang diperlihatkan diketahui lawan maka laki-laki itu terkekeh dan mengeluarkan suara dari hidung.

“Hm, Pek-poh-sin-kun? Andalan suamimu? Heh-heh, kau belum menguasai benar ilmu ini, Yu Yin. Sayang dan kau tak mungkin terus-terusan berkelit!”

Yu Yin terkejut. Langkah-langkahnya mulai dikenal dan karena lawan adalah orang berkepandaian tinggi maka sejurus saja laki-laki ini mampu mengetahui keadaan. Ia melihat kelemahan itu. Dan ketika ia tertawa dan membentak mendorongkan tangan kiri maka bau amis menyambar dan Hek-mo-ciang atau Pukulan Tapak Hantu keluar.

“Heh-heh, roboh dan terima pukulanku, Yu Yin. Inilah ilmu yang belum kau kenal dan awas!”

Sang nyonya menjerit. Bersama dengan dorongan tangan kiri itu menyambar bau amis yang membuat ia hampir muntah-muntah. Yu Yin teringat cerita Ju-taihiap bahwa yang paling berbahaya dari majikan Hutan Iblis ini adalah Hek-mo-ciangnya. Selama ini ia belum melihat dan baru kali itu menerima. Benar saja, bersama pukulan itu menyambar bau busuk seperti bangkai. Wanita paling tak kuat mencium segala bau seperti ini, kontan saja menjerit dan kacaulah langkah sakti Pek-poh-sin-kun. Dan ketika lawan terbahak menyeramkan sementara si nyonya terhuyung maka plak, satu pukulan mendarat dipipi.

Yu Yin terjengkang dan bergulingan. Ia kaget sekali dan menjerit pucat, dikejar dan satu pukulan lagi mengenai bahu kirinya. Dan ketika Yu Yin melotot karena harus mengelak sana-sini, dalam keadaan bergulingan begitu ia tak mungkin mainkan langkah saktinya maka sebuah sinar berkeredep dan Yu Yin berteriak melihat Giam-to (Golok Maut).

“Aiihhhh...!” Nyonya itu seakan terbang semangatnya. Ia melihat benda itu berkelebat dan kaget setengah mati. Dalam keadaan seperti itu teringat ia akan Giam Liong. Benar, suaminya benar. Golok Maut itu sudah jatuh ketangan orang lain. Dan ketika ia bergulingan sana-sini, pedang digerakkan sekenanya menangkis dan membacok maka tas, pedang itu putus seperti agar-agar dibabat pisau tajam.

Selanjutnya ia menjerit ketika satu bacokan mengenai lengannya, disusul oleh tusukan dan babatan yang semuanya itu sia-sia dikelit. Sisa pedangnya sudah lepas dan jatuh di tanah. Yu Yin dalam keadaan bahaya. Tapi ketika nyonya itui bergulingan sambil merintih dan menjerit, lawan mempermainkan hingga sebentar kemudian ia mandi darah mendadak terdengar bentakan dan puluhan pengawal muncul. Yauw-ongya berada di situ berteriak keras.

“Manusia kejam, berhenti! Manusia iblis, hentikan perbuatanmu...!”

Laki-laki ini terkejut dan menoleh. Ia tak menyangka bahwa di tempat itu tiba-tiba muncul pasukan pengawal di bawah pimpinan Yauw-ongya. Pangeran inilah yang datang atas rasa khawatir dan cemas. Hui Kiok menyuruhnya keluar dan mencari tahu di belakang istana, di tempat Siauw Hong itu. Tapi karena di sana tak ada apa-apa kecuali kamar yang porak-poranda, Yauw-ongya mendengar bentakan dan lengkingan di makam itu maka ia membawa tujuh puluh lima orang untuk kemudian melihat keponakannya sedang bergulingan menerima tusukan dan bacokan. Dan senjata yang dipakai adalah Golok Maut, golok berdarah!

Yu Yin benar-benar siap menerima ajal. Ia sudah luka-luka dan hanya berkat keberanian serta kegagahannyalah ia mampu bertahan. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka. Dan tepat ia tak mampu mengelak sebuah serangan lagi mendadak muncullah pasukan pengawal itu yang menghentikan kebengisan majikan Hutan Iblis ini. Ia siap menusuk dada nyonya itu dengan satu serangan terakhir. Lawan tak mungkin lagi mengelak karena mandi darah. Tapi ketika ia hendak menyelesaikan tugasnya dan datang pasukan itu tiba- tiba lelaki ini menghentikan gerakannya dan tawa aneh disertai gonggong menyeramkan keluar dari tenggorokannya.

“Heh-heh, kita harus pergi, Siauw Hong. Pergi. Ayo, biarkan mereka riuh dan kita pergi.... huk-hukk...aunggg!”

Semua tertegun. Tawa dan gonggong itu membuat pengawal berhenti. Mereka tertegun, terbelalak. Dan ketika mereka berhenti itulah maka laki-laki ini memutar tubuh dan berkelebat lenyap. Siauw Hong disambar dan dibawal ari.

“Anakku....oh, anakku..., tidak!”

Yu Yin bangkit dan tiba-tiba berteriak. Dalam keadaan seperti itupun nyonya ini masih teringat puteranya dan mengejar. Ia jatuh namun mengejar lagi, berteriak dan memaki majikan Hutan Iblis itu. Dan ketika pasukan sadar dan Yauw-ongya berseru keras, semua mengejar maka nyonya yang luka-luka ini ternyata masih hebat dibanding para pengawal itu.

Yu Yin mampu melewati tembok pagar dan melayang turun di sana, berdebuk dan mengejar lagi dan ributlah pengawal melihat itu. Mereka kagum dan berdecak menyaksikan nyonya gagah ini. Dan ketika mereka mengejar dan melompati tembok tinggi, banyak yang terpelanting kaget maka nyonya itu melihat bayangan lawan memasuki semak gerumbul dan sesosok kecil anak laki-laki tiba-tiba disambar dan menjerit.

“Ibu...!”

“Sin Gak!”

Bayangan ini menumbuhkan kekuatan luar biasa pada nyonya muda itu. Yu Yin melihat betapa anak laki-lakinya dipondong si jubah hitam itu, berkelebat dan melewati lagi tembok pemisah yang lebih tinggi lagi. Siauw hong diseret dan dibawa melayang naik, kakinya menghantam tembok dan si banci itu menjerit. Tapi ketika ia sudah disendal dan Yu Yin berteriak-teriak mengejar, suara anaknya tak terdengar lagi karena mungkin ditotok maka bagai gila nyonya itu mengejar dan pengawal di belakangpun mengikuti.

Teriakan atau jeritan nyonya ini menjadi pegangan. Istana gempar karena malam itu para pengawal berlari-larian menyebut-nyebut maling. Mereka gaduh berteriak-teriak. Dan ketika di sana Yu Yin jatuh bangun mengejar anaknya, sayang bayangan hitam itu melompati tembok istana untuk akhirnya menghilang maka nyonya ini tersedu-sedu keluar pula dari istana.

Yu Yin jatuh bangun dengan wajah mengerikan. Tubuh yang penuh luka-luka ini semakin mengerikan saja. Dan ketika ia tiba di pintu gerbang kota di mana suaminya saat itu sedang bertengkar dengan orang-orang Khong-tong dan Lu-tong maka ambruklah nyonya itu sementara Ta-ciangkun bersembunyi dan menyaksikan ini dari jauh, ikut mengejar dan Yauw-ongya bingung tak melihat wanita itu lagi...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.