Tapak Tangan Hantu Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“HA-HA, heh-heh. Keluarkan semua kepandaianmu, Ju-taihiap. Mainkan Pek-jit Kiam-sutmu dan kita bertanding sampai kau atau aku mampus!”

Ju-taihiap merasa seram. Ia telah membacok tubuh manusia itu namun pedang di tangannya mental. Baju laki-laki itu robek namun kulit tubuhnya tak apa-apa. Sinkang laki-laki ini kuat sekali. Dan ketika ia mengelak dan mundur menjauhi uap busuk, gumpalan uap hitam yang keluar dari mulut laki-laki itu seperti bau bangkai maka lawan terkekeh-kekeh dan suara tawanya itu membuat Ju-taihiap menutup hidung. Bau itu semakin busuk dan membuat orang ingin muntah-muntah!

“Hayo, ha-ha..... hayo, Ju-taihiap. Maju dan jangan mundur-mundur. Hayo serang dan pakai pedangmu untuk membacok lagi!” lawan tertawa dan melakukan serangan-serangan seperti anjing.

Lompatan-lompatan dan cakaran kukunya masih amat berbahaya tapi bukan itu yang membuat Ju-taihiap mundur-mundur. Ia tak tahan oleh bau mulut lawan yang busuk. Setiap tertawa tentu bau itu menyerang hebat, menguar dan inilah yang membuat si jago pedang menjauhkan diri. Maka ketika lawan mengejek sementara anak muridnya mati-matian bertempur di sana, anak mantunya juga menusuk dan membacok srigala-srigala itu maka ia melindungi diri sambil mundur memutar pedang disangka takut dan terdesak, hal yanag membuat pendekar ini marah. “Kau tak usah banyak cakap. Maju dan robohkan aku, manusia iblis. Pedangku akan bicara kalau kau berani mendekat!”

“Ha-ha, begitukah? Baik, aku maju dan kau jangan mundur!” lelaki itu melompat dan memekik seperti anjing gila. Kaki dan tangannya sama-sama menekan tanah dan Ju-taihiap mengerutkan kening. Gaya itu benar-benar seperti gaya lompatan binatang. Dan karena lompatan itu disertai pekik seperti anjing marah, tahu-tahu meluncur dan menyambar dirinya maka Ju-taihiap menggerakkan pedang dan gemas tak mau mundur lagi iapun menangkis.

“Trakk!”

Sepuluh kuku jari menyambut pedangnya. Pedang dan kuku sama-sama terpental tapi lawan tiba-tiba mengeluarkan bentakan panjang. Suara “hahh” yang kuat meluncur bersama uap hitam, uap yang berbau busuk itu. Dan karena saat itu ia sedang tergetar dan tak mungkin mengelak, uap menyambar mukanya maka Ju-taihiap batuk-batuk dan pandang mata yang gelap membuat ia tak tahu akan adanya tendangan lutut dari bawah.

“Ngekk!”

Ju-taihiap terjengkang dan roboh. Ia kaget dan bergulingan dan saat itu lawan tertawa bergelak, mengejar dan mengeluarkan bentakannya lagi yang berbau busuk itu. Dan karena ia tak mungkin meloncat bangun karena lawan mencegat dan mengancam dengan kuku-kukunya maka Ju-taihiap menangkis dengan putaran pedang di mana ia semakin terlempar dan terpental karena mendadak tenaganya terasa berkurang oleh rasa pening dan batuk-batuk dari uap hitam itu, hal yang membuat sang pendekar terkejut karena sadar bahwa ia berada dalam bahaya. Uap atau bau busuk dari lawan itu ternyata beracun, gas atau hawa memuakkan yang membuat kepala dan pandang mata gelap!

“Ha-ha, kau tak dapat melindungi dirimu lagi. Kau akan mampus, Ju-taihiap.... kau akan mampus, plak-bret!” Ju-taihiap keteter dan kaget menangkis dua serangan lagi. Ia didesak dan terus bergulingan sementara pedang bergerak kian lemah. Pening dan pandang mata gelap itulah yang mengganggu. Tapi ketika pendekar ini mengeluh bahwa hawa beracun tersedot olehnya, ia tak diberi kesempatan memperbaiki posisi maka saat itulah anak mantunya datang dengan seruan kaget. Tang Siu melihat ayah mertuanya yang bergulingan tak dapat melompat bangun.

“Manusia iblis, kau jahanam terkutuk!”

Laki-laki ini kaget dan membalik. Pedang Tang Siu menyambar dan apa boleh buat dia harus menangkis, rangsekan kepada Ju-taihiap dihentikan. Dan ketika bunyi berketrik membuat pedang si nyonya terpental, kuku jari itu kuat melebihi baja maka majikan Hutan Iblis ini menggeram sementara Ju-taihiap mampu meloncat bangun, mendapat kesempatan.

“Tang Siu, hati-hati dengan bau mulutnya. Lindungi dan tutup hidungmu dengan saputangan!”

Ju-taihiap. Yang sudah merasa dan tahu bahaya uap hitam ini cepat menelan pil penawar sambil membebat hidungnya dengan saputangan. Ia meloncat bangun dan bersyukur bahwa menantunya datang menolong, membentak dan ganti menolong mantunya itu karena Tang Siu menjerit diserang kuku jari, terhuyung dan benar saja mendapat serangan uap hitam ketika lawan terbahak. Uap itu menyembur dan menyambar muka si nyonya. Tapi ketika Tang Siu jatuh terduduk dan lawan terkekeh, melompat dan hendak menusukkan kuku jarinya maka pendekar ini berkelebat dan pedang menangkis kuku-kuku hitam itu,

“Cranggg!”

Ju-taihiap sudah pulih tenaganya dan lawan terkejut. Manusia srigala itu terdorong mundur sementara Tang Siu melompat bangun. Ia diserang bau busuk dan tawa laki-laki itu membuatnya muntah-muntah. Nyonya ini pucat. Tapi ketika ayah mertuanya sudah menyerang laki-laki itu dan bau busuk ditahan penutup hidung, Ju-taihiap tak begitu terpengaruh maka Pek-jit Kiam-sut kembali naik turun bergulung-gulung dan laki-laki bertopeng itu terbelalak melihat uap hitamnya tak mempengaruhi jago pedang itu lagi. Dan Tang Siu juga melompat dan menerjangnya, marah oleh bau mulut laki-laki ini yang seperti bangkai.

“Gak-hu, iblis ini harus dibunuh. Ia tak boleh diberi ampun!”

“Benar, dan tujukan serangan-seranganmu ke mata atau lubang telinganya, Tang Siu. Ia cukup kebal kalau diserang tubuhnya!”

Tang Siu sudah melengking dan berkelebatan sambar-menyambar. Ilmunya, Im-hong-sau-hun-kiam keluar dengan hebat dan membuat lawan memekik. Ilmu ini adalah warisan Kim-sim Tojin dari Kun-lun yang kalau sudah dimainkan membuat sinar pedang bergulung-gulung bagai topan di tengah lautan, mengamuk dan membabat dan siapa lengah bakal roboh.

Dan karena wanita itu masih dibantu ayah mertuanya yang mainkan Pek-jit Kiam-sut dengan tak kalah hebat, bahkan lebih matang dan dua tingkat di atas kepandaian anak mantunya maka laki-laki srigala yang tadinya mendesak dan merangsek Ju-taihiap sekarang berbalik terangsek dan terdesak. Tang Siu sudah mempergunakan saputangan menutup hidung. Ia mengikuti petunjuk ayahnya karena empat kali pedangnya terpental membacok tubuh lawan, menyambar, dan kini menusuk atau menikam mata dan lubang telinga.

Ju-taihiap sendiri menujukan serangan- serangannya ke hidung atau mulut, sesekali menyambar mata atau lubang telinga kalau pedang di tangan mantunya terpental, kaget bertemu kuku-kuku jari lawan. Dan karena betapapun juga dua orang ini bukanlah orang-orang lemah, Ju-taihiap adalah seorang jago pedang sementara mantu perempuannya adalah murid tokoh Kun-lun yang lihai, permainan pedang mereka tak terpengaruh lagi oleh bau busuk mulut lawan dan berkali-kali bentakan lawan tak membuat mereka mundur maka ketika pedang bergulung dan naik turun menyambar tiba-tiba saja alis kiri laki-laki itu terkena pedang di tanganJu-taihiap.

“Cret!”

Alis ini luka! Laki-laki itu berteriak dan melompat mundur seperti anjing. Ia di kecoh pedang Tang Siu sementara pedang ayah mertuanya menyambar dan menusuk dari kiri, gerak pedang menggunting yang membuat manusia srigala itu bingung dan akibatnya menerima luka. Dan ketika ia melompat sementara Ju- taihiap membentak dan mengejar lawan, melihat kesempatan ini tak boleh disia-siakan maka lelaki itu marah dan tepat pedang menyambar Tang Siupun bergerak dari kanan ganti mengisi kesempatan yang diberikan ayah mertuanya.

“Cret!”

Alis yang kanan luka. Dengan gerak cepat ayah dan menantu susul-menyusul mengirim serangan, Ju- taihiap selalu menangkis kalau laki-laki itu mau menyerang anak mantunya. Dan karena hal ini selalu terjadi berulang-ulang sementara laki-laki itu menjadi marah dan naik pitam, dua alis matanya mengeluarkan darah maka ia melengking dan rambut ekor kuda dikibaskan ke depan dan pengikat rambutnya yang terbuat dari gelang besi sekonyong-konyong lepas dan menyambar Tang Siu,

“Awas Tang Siu..!”

Nyonya muda itu terkejut. Sinar hitam menyambar ke arahnya dan ia miringkan kepala, membacok dengan pedangnya tapi gelang rambut itu rupanya dikerahkan dengan tenaga luar biasa, membuat ia menjerit karena pedang di tangan tiba-tiba terlepas dan mencelat. Dan ketika ia terpelanting sementara Ju-taihiap kaget melihat laki-laki itu membalik, tertawa dan menyambar anak mantunya maka dengan buas laki-laki itu mengangkat kedua tangannya di mana warna hitam gelap memenuhi telapak tangan laki-laki itu seperti asap tebal yang mengeluarkan ledakan keras.

“Hek-mo-ciang (Tapak Tangan Hantu)!”

Ju-taihiap berteriak dan menimpukkan pedangnya. Dua telapak itu, yang gelap bersinar-sinar menyambar anak mantunya dengan cepat dan kuat sekali. Tang Siu sedang terpelanting dan tak mungkin mengelak serangan itu. Kalau nyonya itu bergulingan maka ia tetap dikejar tak ada kesempatan menangkis. Satu-satunya cara adalah menimpukkan pedang dan pendekar inipun mencelat ke depan menghantam punggung laki-laki itu.

Kalau lawan meneruskan serangannya maka Pek-lui-ciang bakal mengenai dadanya dan isi dada tentu rontok. Tang Siu akan celaka tapi lawan juga roboh. Maka ketika Ju-taihiap menimpukkan pedang dan sambaran pedang yang bercuit ini menyambar tengkuk, tepat di bawah pusat kematian di mana lawan tentu terkejut dan menangkis, berarti menunda serangan membalik ke belakang maka saat itulah jago pedang ini mencelat ke depan melepas pukulan Petirnya mendorong lawan yang menghantam pedangnya.

Perhitungan pendekar ini tepat karena ketika laki-laki itu membalik maka pedang ditangkis Hek-mo-ciang, patah dan terlempar menjadi dua namun saat itu Pek-lui-ciang menyusul. Laki-laki itu terkejut dan dua bola matanya berputar liar. Namun karena tak ada kesempatan menangkis dan Pek-lui-ciang harus diterima, pukulan itu mengiringi pedang maka ketika beradu seketika asap hitam membubung dan laki-laki itu mencelat sementara Ju-taihiap sendiri jatuh terduduk.

“Dess!”

Hebat sekali adu pukulan ini. Ju-taihiap, yang sudah mencuri kesempatan tetap saja tergetar dan jatuh terdorong. Lawan mencelat tapi anak mantunya selamat. Beradunya pukulan itu amat kuat sehingga udara di sekitar mereka meledak, pohon terguncang dan anak-anak murid atau para srigala terlempar. Mereka banyak yang jatuh ke telaga. Dan ketika Ju-taihiap terbelalak dan roboh terduduk, terbelalak memandang lawan yang mengeluh di sana maka laki-laki itu terbanting di atas sekawanan srigala dan terlempar ke telaga.

“Byurr!”

Asap gelap menghalangi pandangan sejenak. Sekumpulan srigala menguik seakan ikut merasakan kesakitan, lari dan berenang ke telaga sementara laki-laki itu tak tampak tubuhnya. Ia tenggelam namun tiba- tiba muncul kembali, bukan di tempat semula melainkan sepuluh tombak di sebelah kanan. Lalu ketika ia melolong dan lolongan ini diikuti lolongan anak buahnya, Ju-taihiap masih jatuh terduduk maka mendadak laki-laki itu menyemburkan jarum beracun lewat mulutnya, ke arah Ju-taihiap dan Tang Siu.

“Awas...!”

Ju-taihiap mengebut dan menggerakkan tangan kirinya. Ia meruntuhkan semua jarum-jarum itu di mana sebagian menyambar kembali ke telaga, mengenai laki-laki yang membuat manusia srigala ini meraung dan menyelam, lenyap dan tiba-tiba muncul di tengah sana untuk kemudian berenang seperti cara anjing berlari, cepat dan akhirnya meloncat ke darat untuk kemudian terbang meninggalkan pulau. Dan ketika lolong kecewanya serasa mencabik-cabik malam, semua srigala tiba-tiba berserabutan dan lari menyeberang telaga maka Tang Siu melempar tubuh bergulingan sementara anak-anak murid tertegun dan menjublak melihat itu. Enam puluh srigala berhasil mereka bunuh tapi tujuh di antara merekaluka-luka.

“Ju-taihiap, kau licik. Kau mengandalkan keroyokan. Awas, lain kali aku datang dan mencabut nyawamu lagi!”

Ju-taihiap bangkit berdiri dengan lutut terasa gemetar. Ia ngeri dan seram menghadapi manusia hewan ini dan bersyukur bahwa ada Tang Siu di situ. Kalau anak mantunya tidak di situ entahlah apa yang terjadi. Baru kali ini ia menghadapi pertandingan dengan seorang yang bukan manusia. Dan ketika ia lega bahwa anak mantunya selamat, Tang Siu meloncat bangun dan tak berani menangkis jarum-jarum itu, khawatir tenaganya kalah kuat dan itu memang tepat maka Ju-taihiap melihat anak-anak murid berlutut dan beberapa di antaranya menangis. “Kami.... kami masih akan menghadapi ancaman majikan Hutan Iblis itu lagi. Ah, jangan kau ke mana-mana, pangcu. Jangan tinggalkan kami dan membiarkan kami sendiri!”

“Hm, bangunlah. Bangkitlah kalian!” pendekar ini mengebut dan masih berdebar oleh sepak terjang manusia srigala itu. “Musuh sudah lewat, anak-anak. Tak ada yang tewas di antara kita. Kalian hanya tujuh yang luka-luka. Berdirilah dan nanti kutolong!”

Tujuh yang luka merintih. Mereka adalah para murid yang terlambat bangun oleh aji sirep. Mereka paling akhir melompat bangun dan menerima serangan para srigala. Kaki dan tangan mereka ada yang luka- luka. Namun karena anjing-anjing itu digebah teman-teman yang lain dan pertolongan inilah yang menyelamatkan mereka, menggigil dan berlutut di depan ketua maka Ju-taihiap menyuruh Tang Siu mengambil obat luka, obat luar.

Tujuh murid itu diobati dan malam itu semua orang gemetaran, bukan oleh dingin melainkan oleh takut. Majikan Hutan Iblis itu sungguh menyeramkan! Namun ketika pendekar ini berkata bahwa semalam itu dia akan berjaga, tadipun dia juga berjaga dan karena itu anak-anak murid selamat maka malam itu pendekar ini tidak tidur dan anak menantunya menemani.

Para murid juga tak dapat tidur karena siapa yang dapat tidur kalau teringat peristiwa itu. Air telaga yang berkecipak sedikit mencurigakan sudah membuat anak murid kaget, takut kalau-kalau para srigala datang lagi. Dan ketika malam itu dilewatkan dengan perasaan seram dan semua berlindung di belakang Ju- taihiap, hanya pendekar ini yang dapat bersikap tenang dan mampu menguasai keadaan maka esok dan selanjutnya Hek-yan-pang tak di ganggu manusia srigala lagi.

Selama seminggu jago pedang ini menjaga dengan penuh kewaspadaan dan Tang Siu merasa kasihan kepada ayah mertuanya itu. Ayahnya ini jarang tidur dan beristirahat. Ju-taihiap tak berani sembrono dan diam-diam khawatir sekali. Pedang pusakanya tak ada di tangan dan pedang biasa saja ternyata tak mampu menghadapi manusia srigala itu. Teringatlah pendekar ini betapa pedang biasanya akhirnya patah disambut Hek-mo-ciang.

Namun ketika sebulan tak ada apa-apa dan anak murid lega, pendekar ini juga lega maka semua mengharap agar iblis itu tak datang lagi sementara Han Han diharap agar cepat pulang. Dan ketika Tang Siu juga mengharap begitu sementara Ju- taihiap juga tidak jauh berbeda maka Han Han yang pergi ke Hutan Iblis justeru tak menemukan musuhnya ini karena manusia srigala itu ternyata sudah menyatroni Hek-yan-pang!

* * * * * * * *

Seperti petunjuk ayahnya pemuda ini pergi ke hutan itu dengan penuh kewaspadaan. Ia tak menyangka bahwa malam harinya musuh itu datang, sementara pagi harinya ia pergi. Dan ketika keesokannya Han Han sudah memasuki Ci-bun dan terus ke selatan ke dusun Lam-chung maka siang itu juga ia berkelebat di mulut Hutan Iblis.

Pohon raksasa di tengah hutan itu menjadi pedomannya. Pohon itu tampak dari kejauhan dan cabang-cabangnya yang tinggi serta berdaun lebat mudah dikenali dari luar dusun. Pohon itu tampak angker dan garang. Dan ketika ia memasuki hutan ini dan mendapatkan seperti apa yang didapat ayah ibunya, tulang atau tengkorak-tengkorak yang berserakan maka Han Han bergidik dan hawa dingin di mulut hutan membuat bulu tengkuknya cepat meremang. Ada bau busuk dan amis di situ. Ada bau darah kering dan bekas pakaian cabik-cabik.

Dan karena di luar mulut hutan ia sudah menyaksikan bekas-bekas kekejaman Hutan Iblis ini, penghuninya yang buas dan majikannya yang tidak lumrah manusia maka Han Han dapat menahan perasaannya ketika dia melihat belatung atau ulat-ulat menjijikan berlekatan di tubuh-tubuh mayat membusuk yang ada di sana-sini. Sama seperti ibunya iapun memasuki hutan dengan perasaan tegar. Han Han sama sekali tidak takut kecuali waspada.

Dan ketika akhirnya ia sampai di tengah hutan di mana pohon raksasa itu berdiri, ia tertegun melihat cabang-cabang pohon yang pernah dibabat ibunya maka di sini Han Han menarik napas dalam melihat bekas-bekas amukan ibunya di waktu yang lalu. Ayahnya sudah bercerita namun pohon raksasa itu sudah tumbuh lagi. Cabang-cabangnya yang dibabat sudah mulai bersemi, tegak menjulur seakan mengejek menyatakan tak takut, mentertawai mendiang ibunya dan Han Han mengepal tinju.

Apakah dia harus menumpahkan marah kepada pohon ini? Apakah dia harus melampiaskan dendam kebenciannya kepada penghuni Hutan Iblis ini? Tak ada faedahnya. Han Han mirip ayahnya yang lembut dan penyabar. Namun ketika dia termenung dan bunyi berkeresek yang amat perlahan di belakangnya membuat dia membalik dan tersentak dari alam lamunan mendadak seseorang telah menyerangnya dengan pisau belati menikam. Seseorang yang berkedok karet!

“Heiii...!” Han Han berseru dan mengelak. Ia tak sempat menangkis karena serangan dan datangnya orang itu tiba-tiba sekali. Ia tak mendengar apa-apa sebelumnya ketika orang ini muncul. Ia kaget dan tersentak dibuatnya. Dan ketika ia mengelak sementara pisau itu meluncur di samping pinggang, orang itu berteriak kecewa maka Han Han menggerakkan kakinya dan cepat sekali lututnya diangkat menghantam dagu orang ini.

“Dess!”

Orang itu menjerit dan terbanting, Han Han mengejar namun orang ini bergulingan, meloncat dan tiba-tiba lari ke balik pohon. Han Han tercengang karena lawan ternyata memiliki daya tahan kuat, terbukti tendangannya ke dagu tidak membuat orang itu roboh, bangun dan masih dapat lari dan ia membentak mengira orang ini majikan Hutan Iblis. Namun ketika orang itu lari dan Han Han berkelebat mengerahkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit) maka ginkang tingkat tinggi yang tiada bandingannya ini telah membuat Han Han berada di depan orang itu dan membentak lagi.

“Berhenti!”

Orang ini terkejut. Ia tak menyangka Han Han dapat bergerak secepat itu dan tahu-tahu memutar dari arah pohon yang berlainan. Ia serasa dipapak dan menghadapi pemuda itu dari depan, bukan lagi belakang. Dan ketika ia menangkis namun jari Han Han bergerak lebih cepat, pemuda itu menotok dan tepat mengenai pundak orang ini maka laki-laki itu roboh dan aneh sekali ia menjerit seperti suara wanita.

“Aihhh...!”

Han Han tertegun dan berhenti bergerak. Laki-laki atau orang yang jelas berpakaian laki-laki itu tiba-tiba menangis. Tanginya jelas tangis wanita! Dan ketika Han Han menjublak dan melihat bahwa orang ini tidak berjubah hitam, majikan Hutan Iblis berjubah hitam dan lawan jelas bukan majikan Hutan Iblis maka orang itu memaki-maki Han Han dengan suara melengking-lengking. Suara dan makiannya jelas suara wanita, juga gayanya.

“Biadab, kau. kau tak tahu malu. Eh, lepask anaku, anak muda. Bebaskan totokanmu dan lepaskan aku. Aih, kau manusia tak tahu malu yang berani menyerang orang secara gelap. Cih, lepaskan aku!”

Han Han bergerak. Ia membungkuk namun cepat ia merenggut topeng karet itu, berbareng dengan melepaskan totokan. Dan ketika orang itu bebas dan melompat berdiri, menjerit melihat Han Han menyambar topengnya maka Han Han tertegun melihat wajah halus dari seorang laki-laki yang bukan laki- laki.

“Banci!”

Han Han mundur dan merah mukanya. Ternyata orang ini adalah seorang banci yang wajah maupun matanya menunjukkan watak sinting. Orang itu mencak-mencak namun tiba-tiba terkekeh dan tertawa-tawa melihat Han Han terkejut, mundur dan terbelalak sementara ia terus menuding-nuding. Dan ketika Han Han tertegun karena lawan adalah banci, orang itu berputar dan menari-nari mendadak ketika ia membelakangi Han Han sekonyong-konyong tiga pisau berkelebat menyambar perut dan dada Han Han.

“Hi-hik, kau anak nakal. Hi-heh, kau anak sembrono. Eh, aku bukan banci, anak edan. Aku orang waras. Ih, kau tolol dan bodoh...siut-wut-wutt!”

Tiga pisau yang menyambar Han Han diluncurkan ketika orang itu menari-nari dan membelakangi Han Han. Tapi karena Han Han bukan pemuda biasa dan ia sudah sadar dari rasa bengongnya, sungguh tak disangka bahwa lawan adalah banci maka ketika pisau-pisau itu meluncur iapun mengibas dan tiga pisau itu patah-patah.

“Tak-tak-pletak!”

Orang itu terkejut dan kaget. Ia menjerit lalu tunggang-langgang. Ia telah menyerang Han Han secara gelap namun pemuda itu berhasil juga mematahkan serangannya. Dan ketika ia membalik dan mengitari pohon besar, berteriak-teriak maka Han Han mengejar dan berkelebat menangkap baju si bencong itu.

“Berhenti, kau siapa!”

Orang ini menangkis. Ia menggerakkan lengan ke belakang namun cengkeraman Han Han justeru membuat ia menjerit. Tangannya tertangkap dan dipencet pemuda itu. Dan ketika ia terpekik dan jatuh terduduk, Han Han menelikung tangannya maka air mata wanita mengalir dan orang itu mengaduh-aduh membuat bedak di mukanya luntur!

“Aduh, ampun... ampun, bocah ganteng... ampun....! lepaskan tanganmu dan jangan buat tanganku patah!”

“Hm, kau siapa!” Han Han membentak, jijik namun harus menahan perasaannya. Baru kali ini selama hidup ia berurusan dengan orang banci. Muka itu sekarang berkerut-kerut dan tampak buruk. Banci ini ternyata berusia sudah hampir empatpuluhan. Dan ketika ia mengendorkan telikungannya dan lawan merintih, ia roboh ditotok kedua kalinya maka Han Han bertanya siapa orang itu.

“Aku. aku Siauw Hong. Aku banci. Kau tahu itu dan kenapa bertanya lagi!”

“Hm, bagaimana kau ada di sini? Bagaimana kau dapat muncul tiba-tiba dan menyerang aku?”

Aneh, si banci itu tiba-tiba terkekeh. Han Han menjadi merah karena pandang mata orang berputar- putar. Di samping banci agaknya orang ini juga gila. Benar saja, orang tiba-tiba kencing. Kencing dalam keadaan telentang! Dan ketika Han Han menjadi semburat karena orang terkekeh-kekeh, pakaian itu basah kuyup maka banci ini minta agar Han Han mengambilkan air untuk ngompolnya.

“Anak bagus, eh... bocah ganteng. Tolong ambilkan air buat pipisku ini. Aduh, kau membuatku ketakutan. Kau membuat aku ingin berak-berak. Tolong ambilkan air atau kau bebaskan aku agar bisa berdiri. Uh, perutku mulas!”

Han Han muak namun juga geli. Ia membebaskan totokan dan mundur menjauh. Air kencing itu nyiprat-nyiprat, gila! Dan ketika orang itu melompat bangun dan tertawa-tawa, bergerak dan lari ke belakang pohon raksasa maka ia menyuruh Han Han menunggu karena mau menguras isi perutnya. Dan benar saja, suara kentut yang besar terdengar memberubut!

“Ha-ha,hi-hikk!Tunggu aku disitu dulu, anak muda. Aku mau berak atau kau boleh tungguin aku di sini brut-brutt!”

Han Han memutar tubuh dan berkelebat pergi. Tentu saja ia menyumpah-nyumpah dan tertawa kecut. Si banci itu di samping gila juga jorok. Kentut dan berak seenaknya saja sehingga membuat orang jijik, ingin muntah! Dan ketika ia masih mendengar kentut berbunyi nyaring, si banci itu jongkok dan membuang hajatnya maka Han Han meninggalkan tempat itu keluar mulut hutan. Ia tak melihat apa-apa lagi di Hutan Iblis ini kecuali tulang dan tengkorak-tengkorak.

Terakhir, ada si banci gila itu orang tidak waras, Han Han geli dan tertawa kecut maka ia meninggalkan Hutan Iblis untuk bertanya dan mencari jejak di mana musuhnya itu berada. Han Han sama sekali tidak mengira bahwa banci gila ini “orang penting”. Bahwa justeru dari orang itulah dia akan dapat menapaki jejak si majikan Hutan Iblis.

Dan ketika ia keluar dan kembali ke Ci-bun, di sini ia akan bertanya pada orang-orang kota maka sesosok bayangan ramping sekonyong-konyong berkelebat dari Ci-bun menuju Hutan Iblis. Dan belum sempat ia memperhatikan baik-baik maka seseorang lain berkelebat pula dan mengejar bayangan ramping itu. Senja telah mulai turun dan Han Han tertegun di pintu gerbang kota.

“Heii, tunggu, moi-moi. Tunggu aku!”

Seruan atau bentakan halus itu membuat Han Han benar-benar terkejut. Ia bukan terkejut oleh suara bentakan itu melainkan oleh gerak dua bayangan yang susul-menyusul itu. Gerakan mereka amat cepat dan tahu-tahu lenyap di kejauhan sana. Bayangan ramping itu berbaju biru dan Han Han tahu bahwa itu pastilah wanita. Sedangkan bayangan kedua yang juga lenyap dan lewat di depannya dengan amat cepat benar-benar seperti iblis dan Han Han berdetak karena ilmu meringankan tubuh yang dipakai orang-orang ini tidaklah di bawah ilmunya Hui-thian-sin-tiauw sendiri. Rajawali Sakti Terbang Ke Langit itu.

Maka penasaran dan kaget serta heran bahwa keduanya menuju arah selatan, Han Han menduga mereka menuju Hutan Iblis maka pemuda yang baru saja meninggalkan hutan itu lalu berbalik dan kembali ke sana. Dan Han Han mendengar lengkingan tanda marah dan gusar, suara dari wanita berbaju biru itu.

“Siauw Hong, kembalikan anakku. Jahanam keparat, kembalikan anakku!”

Han Han terkejut. Siauw Hong? Bukankah itu si banci gila yang ditemui di dalam hutan? Dan karena ia serasa mengenal suara wanita ini, lengking dan isak tangisnya maka Han Han berdetak dan mengejar. Namun ia terkejut karena lawan tak ada. Dua bayangan yang berkelebat dan keluar dari kota Ci-bun itu mendadak seperti lenyap ke dalam bumi saja. Begitu juga suara lengkingan dan panggilan wanita berbaju biru itu. Namun ketika Han Han tetap mengejar dan jalan itu tetap ke Hutan Iblis, akhirnya ia tiba dan lewat di dusun Lam-chung maka di sini telinga Han Han yang tajam mendengar bisikan dan suara ditahan.

“Sstt..!”

Hanya itu suara yang tertangkap. Han Han berhenti dan tentu saja menengok. Matahari sudah terbenam di barat dan cuaca remang-remang. Tapi karena Han Han tahu ada dua orang di situ, di balik rumah penduduk yang atapnya rusak-rusak maka Han Han berkelebat dan berjungkir balik melampaui bangunan rumah ini menuju belakang. Ia tak mau diintai dan justeru akan mengintai. Dua orang yang kejar-mengejar itu menarik hatinya, apalagi karena yang wanita menyebut-nyebut nama Siauw Hong, di banci gila yang jorok itu. Tapi begitu ia tiba di belakang dan turun dengan ringan, baru saja menginjakkan kaki di tanah tiba- tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan tegap meluncur dan menyerangnya. Lima jari tangan mencengkeram dan menyambar lehernya, angin cengkeramannya dahsyat dan kuat.

“Siapa kau, kenapa menguntit kami!”

Han Han terkejut dan berdetak. Ia mengenal suara ini namun pukulan sudah lebih dulu tiba, apa boleh buat ia harus menangkis kalau tak ingin dibekuk. Dan ketika ia berseru keras dan balas menangkis dengan cengkeraman pula, lima jari bertemu maka suara “krek” sama-sama mengejutkan mereka dan keduanya saling cengkeram tak mau melepas.

“Giam Liong...!”

“Han Han!”

Dua pemuda itu akhirnya sama-sama berseru hampir berbareng. Laki-laki penyergap ini, yang ternyata adalah seorang pemuda yang buntung sebelah kirinya akhirnya mengenal Han Han setelah sinar bintang menerangi wajah itu. Han Han mengenal lebih dulu dan lawan sedetik kemudian. Dan ketika lima jari yang saling cengkeram akhirnya dilepaskan, bayangan ramping berkelebat dan menahan tamparannya maka bayangan itu tertegun dan terpekik memanggil Han Han.

“Han Han...!”

“Yu Yin!”

Wanita atau bayangan biru itu mengguguk. Ia kalah cepat dengan pemuda buntung namun tadi ketika ia keluar ia siap menghantam Han Han dengan kemarahan ditahan. Mereka berdua ternyata sudah tahu kalau dikuntit tapi tak menyangka bahwa itulah Han Han, sementara Han Han sendiri tak menyangka bahwa yang dikejar adalah suami isteri muda si Naga Pembunuh Giam Liong dan isterinya, Yu Yin. Maka begitu saling mengenal dan masing-masing berteriak gembira, Yu Yin menubruk dan tersedu-sedu memeluk Han Han maka Giam Liong, si buntung yang tergetar namun berseri kemudian meremas hangat ini sudah terharu dan memeluk pula sahabatnya itu. Wajah pemuda ini bersinar dan untuk sekejap bercahaya gembira.

“Han Han, kau di sini? Kau kiranya yang mengutit kami? Ah, apa yang kau lakukan, Han Han? Kenapa membututi orang secara diam-diam? Kau sudah tidak punya kerjaan?”

“Benar, dan... dan... ah, mana isterimu Tang Siu, Han Han. Mana paman dan bibi Swi Cu. Kenapa kau sendirian disini!”

“Hm, kalian...” Han Han tak kalah haru, menepuk dan meremas-remas pundak sahabatnya ini, mata berkaca-kaca. “Apa, yang kau lakukan di sini, Giam Liong? Kenapa isterimu melengking menyebut Siauw Hong? Aku sudah mencari kalian sampai di Lembah Iblis, tapi kalian tak ada. Dan Tang Siu lalu mengajakku kembali kecewa tak menemukan kalian. Kalian sedang apakah?”

“Anakku hilang, Han Han. Puteraku diculik orang. Jahanam, keparat Siauw Hong itulah penculiknya!”

Yu Yin tiba-tiba melengking dan berkata mengejutkan Han Han. Pemuda yang tenang dan berwatak kalem ini tiba-tiba saja dibuat terkejut oleh lengking atau teriakan Yu Yin. Nyonya muda ini melepaskan diri dan berkata dengan suara tinggi, wajahnya merah terbakar. Tapi ketika Giam Liong, sang suami mencekal dan menahan lengan isterinya maka pemuda buntung itu menenangkan sang isteri.

“Sst, jangan berteriak-teriak. Ada Han Han di sini, Yu Yin. Ada sahabat kita yang dapat kita beri tahu tanpa harus bernada tinggi. Kita masuk dan bicara baik-baik, di dalam ada kursi."

Yu Yin mengguguk. Tiba-tiba nyonya muda itu menangis di pelukan suaminya sementara Han Han tertegun. Giam Liong sudah berputera? Anaknya diculik? Ah, ia baru akan menjadi calon ayah. Isterinya di rumah masih sedang hamil. Tapi ketika Giam Liong mengetuk bahunya dan diminta masuk, mereka memang masih di luar maka Han Han mengangguk dan melangkahkan kaki memasuki rumah ini. Rumah ini bukan rumah mereka karena ini adalah rumah penduduk dusun. Suasana di dalam gelap tapi Giam Liong menyalakan lampu, ada lampu minyak di situ. Dan ketika mereka duduk sementara Yu Yin masih menangis dan dirangkul suaminya maka Han Han melihat betapa wajah Si Naga Pembunuh ini mengeras. Ada bayang- bayang geram di situ. Mata yang tajam berkilat itu tampak menggetarkan menyembunyikan sesuatu yang dahsyat.

“Hm, bagaimana mulanya,” Han Han mendahului bertanya, suami isteri muda itu tampaknya masih sukar bicara. “Apa yang terjadi, Giam Liong. Bagaimana puteramu diculik.”

“Kejadiannya di Lembah Iblis,” si buntung mulai bercerita. “Waktu itu aku pergi mencari makanan, Han Han, seperti biasa kalau aku menyiapkan ransum untuk isteri dan puteraku yang masih kecil itu...”

“Tunggu, siapkah nama anakmu itu? Dia laki-laki?”

“Benar, anakku laki-laki, Han Han, dan namanya hm, kami beri nama Sin Gak! Kau sendiri, tentu sudah berputera juga, bukan? Siapa nama anakmu?”

“Hm, aku tak sepandai kalian,” Han Han tersenyum malu. “Kami lambat mempunyai anak, Giam Liong. Tapi isteriku sekarang sedang hamil. Aku belum berputera.”

“Ah, kita sama-sama menikah, sama-sama merayakan di hari yang sama. Kau belum berputera?”

“Belum, Giam Liong, tapi isteriku sekarang hamil, sebentar lagi sama saja. Kau lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana tadi.”

“Hm, puteraku. ini gara-gara kecerobohan Yu Yin. Dia meninggalkannya sejenak untuk mencarikan buah-buahan bagi Sin Gak. Dan ketika ia kembali ternyata anak itu sudah dibawa lari orang!” Si Naga Pembunuh menyalahkan isterinya sementara sang isteri tiba-tiba bangkit berdiri.

“Eh, jangan menyalahkan aku. Sin Gak merengek ingin buah, Giam Liong, dan mana ada ibu yang tega membiarkannya. Aku pergi karena selama ini tak pernah ada orang berani ke Lembah Iblis, apalagi menculik anak kita!”

“Sudahlah, sudah.” Han Han mengangkat dan menggoyang lengan, suami isteri itu mau bertengkar. “Tak guna salah-menyalahkan, Giam Liong. Isterimu benar dan kaupun juga tidak salah. Lalu bagaimana setelah itu.”

“Hm,” Si Naga Pembunuh malu, semburat. “Kau benar dan maaf sikapku tadi, Han Han. Bukannya aku hendak menyalahkan isteriku melainkan aku menyesal kenapa sampai terjadi begitu. Baiklah, aku tak tahu karena isterikulah yang menceritakannya. Ia menangis menggerung-gerung ketika aku tiba, menceritakan bahwa Sin Gak dibawa dan dilarikan orang. Dan karena waktu itu aku tak ada di rumah maka isteriku inilah yang lebih tahu daripada aku.”

“Penculiknya adalah Siauw Hong. Jahanam itulah yang membawa lari anakku. Awas, kalau ia berani mengganggu anakku selembar rambutnya saja akan kucincang dia seperti perkedel!”

“Siauw Hong? Apakah orang ini adalah laki-laki banci?”

“Eh!” Yu Yin terkejut, membelalakkan mata. “Kau tahu, Han Han? Kau lihat anakku itu? Benar, dia orangnya. Siauw Hong itu banci dan sinting. Mana dia dan di mana kau lihat!”

“Aku tidak melihat anakmu, tapi aku telah bertemu dengan laki-laki ini,” Han Han menarik napas. “Dan kalau betul orang itu yang kau maksud maka tadi kulihat dia di Hutan Iblis!”

“Hutan Iblis? Di mana itu?”

“Di luar dusun ini, Yu Yin, hutan yang memiliki pohon raksasa tinggi itu. Tapi sekarang mungkin ia sudah kabur. Aku tak tahu bahwa ia menculik anakmu. Dia he!”

Han Han menghentikan kata-katanya. Sin-hujin atau nyonya Sin itu sudah meloncat dan berkelebat keluar. Tanpa ba-bi-bu lagi nyonya itu melengking dan menuju Hutan Iblis. Keterangan sekelumit ini sudah dibawanya tanpa pelengkap lagi. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan memanggil isterinya, mendahului dan menyambar lengan isterinya itu maka Si Naga Pembunuh ini telah membawa masuk isterinya dan duduk lagi di ruangan itu dengan amat cepat dan luar biasa. Han Han kagum.

“Tunggu dan dengarkan. Cerita Han Han belum habis, Yu Yin. Percuma ke sana kalau kejadiannya sudah lama. Kau tak mungkin menemukan jahanam itu di Hutan Iblis!”

Yu Yin beringas, meronta. “Kau tidak cepat-cepat membantuku menemukan anak kita? Kau malah menahan aku di sini hingga jahanam itu dapat kabur? Lepaskanlah! Lepaskan aku, Giam Liong. Kucari dan kubunuh jahanam itu. Lepaskan aku!”

“Hm, sabar,” Han Han bicara dan maju melerai. “Giam Liong betul, Yu Yin. Kupikir si Siauw Hong itu tak ada lagi di hutan. Aku bertemu dia siang tadi dan kemungkinan sudah pergi. Kita tentukan dulu cara menangkapnya dan percayalah bahwa aku pasti membantu!”

“Nah, apa katanya,” si suami melepaskan cekalan, sang isteri terbelalak. “Percuma kalap dan berteriak-teriak membuang tenaga, Yu Yin. Kau dengarkan Han Han dan lihat ia mau membantu kita.”

“Tapi.... tapi anakku....” wanita itu menangis. “Terlalu lama di tangannya bisa celaka, Giam Liong. Kalian orang laki-laki tidak tahu perasaan wanita!”

“Hm, tidak. Kalau Siauw Hong berani mengganggu anak kita akan kucincang tubuhnya, kuhirup darahnya. Kegelisahanmu tak kalah besar dengan kegelisahanku, Yu Yin. Kalau Sin Gak diganggunya akan kurobek tubuh si banci itu menjadi empat potong!”

Han Han merinding. Melihat dan mendengar kata-kata itu mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika Si Naga Pembunuh ini menghirup darah musuh besarnya dan menelan jantung si Kedok Hitam. Giam Liong kalau sudah marah benar-benar mengerikan sekali. Si buntung ini dapat melakukan sesuatu yang tak biasa dilakukan manusia. Si buntung ini dapat menjadi iblis! Dan tak enak membayangkan itu cepat-cepat dia menekan kemarahan orang.

“Giam Liong, kupikir orang ini tak berani mengganggu anakmu terlampau jauh. Dan kalianpun rupanya cukup kenal si banci ini. Siapakah sesungguhnya dia dan ada apakah berani menculik Sin Gak?”

“Si banci ini dihitung-hitung ada hubungan keluarga dengan isteriku, meskipun jauh. Dia kerabat istana yang disingkirkan.”

“Ah, si banci ini orang istana? Pantas, dia begitu pesolek dan pakaiannyapun mahal!”

“Hm, kau sendiri, bagaimana dapat bertemu orang gila ini, Han Han? Dan apa perlumu keluyuran sampai di sini? Kau sendirian pula, meninggalkan isterimu. Hal yang tidak biasa dan pasti ada kepentingan!”

Mendadak Han Han memejamkan mata. Ditanya seperti itu tentu saja otomatis mengingatkan dia akan tugas utamanya. Dia mencari majikan Hutan Iblis karena orang inilah yang membunuh ibunya, juga murid- murid Hek-yan-pang termasuk bibinya Ki Bi. Dan ketika ia menutup muka dan tersedak, Han Han menahan perih yang hebat mendadak tanpa disadarinya lagi air matapun meleleh melalui celah-celah jarinya.

“Han Han!”

Giam Liong dan Yu Yin terkejut. Suami isteri itu kaget melihat Han Han menangis. Pemuda luar biasa ini, putera ketua Hek-yan-pang yang gagah mendadak mengguguk dan tersedu. Dan ketika Han Han menjatuhkan muka ke meja maka pemuda itu menangis seperti anak kecil!

“Han Han!” Giam Liong tak dapat menguasai diri lagi. Kalau sahabatnya ini menangis sampai begitu sedih pasti ada sesuatu yang hebat terjadi. Tak biasanya pemuda putera ketua Hek-yan-pang ini mengguguk. Maka ketika Giam Liong bangkit dan menyambar temannya, Yu Yin juga berdiri dan sejenak melupakan putera mereka maka Han Han terkejut ditepuk keras. Giam Liong berdiri di belakangnya dengan muka berubah.

“Han Han, apa yang terjadi? Kau... kau menangis seperti anak kecil? Maaf, apa yang terjadi, Han Han. Ceritakan kepada kami dan giliranmu untuk memberitahu kami. Ketahuilah bahwa sebenarnya kami akan berkunjung ke Hek-yan-pang menghadap ayah ibumu!”

“Ibu.... ibu...” Han Han tak dapat menguasai diri. “Ibu telah meninggal, Giam Liong. Ibu tewas dibunuh orang.”

“Apa?” meja berkeretak dan tiba-tiba roboh, keempat kakinya melesak dan patah dicengkeram si buntung ini, hancur. “Bibi.... bibi tewas dibunuh orang?Ibumu. ibumu.”

“Benar,” kali ini si buntung terhuyung dan Han Han bangkit berdiri, melihat wajah membesi dan pucat serta merah dari Si Naga Pembunuh itu. Giam Liong terpukul hebat dan tidak menyangka, menangis menabrak dinding. “Ibu telah tiada, Giam Liong. Kami.... kami kehilangan dia.”

“Ooohhhhh.!” ratap atau keluhan panjang itu terdengar menyayat. Giam Liong tiba-tiba roboh dan terduduk. Dan ketika ia terbelalak namun memejamkan mata mendadak si buntung ini mengguguk dan bersedu-sedu pula seperti Han Han. “Ibu... bibi!”

Dua pemuda itu bertangis-tangisan. Giam Liong memeluk dan mencengkeram Han Han dan terdengar suara tulang berderak ketika remasan atau cengkeraman kuat itu menancap di bahu Han Han. Kalau bukan pemuda ini yang menerima tentu tulang-tulang pundak itu hancur. Giam Liong mengerahkan Im-kangnya yang amat dahsyat ketika meremas-remas bahu sahabatnya ini. Batu sebesar gunungpun akan mampu diluluh lantakkan. Giam Liong sedang menahan kemarahan dan kekagetan yang hebat. Swi Cu adalah bibi sekaligus orang yang pernah menjadi ibu kandungnya, ketika dia disangka Han Han karena Han Han yang asli diculik ibunya, Wi Hong (baca Naga Pembunuh), bertahun-tahun hidup di Hek-yan-pang sebagai putera suami isteri gagah itu.

Maka begitu mendengar Swi Cu terbunuh dan wanita yang pernah menjadi ibunya itu tewas, Giam Liong kaget sekali maka ia tak dapat menahan diri dan kini mengguguk dan mengeluh panjang pendek. Dua pemuda yang sama-sama berkepandaian tinggi ini hanyut dalam kedukaan yang hebat, mereka sama-sama hancur. Tapi ketika Han Han lebih dulu menghentikan tangisnya, Giam Liong merintih dan tersedu-sedu dilantai maka pemuda itu bangkit berdiri menguasai dirinya lagi. Betapapun Han Han telah lebih dulu menguras air matanya dihek-yan-pang.

“Sudahlah,” Han Han gemetar, terharu oleh kedukaan sahabatnya ini. “Ibu telah berpulang, Giam Liong. Ia telah tenang di alam baka. Kejadian itu telah lewat dan hentikan tangismu.”

“Kau... kau...” wajah Giam Liong memerah, gelap ketika diangkat. “Kenapa tidak sejak tadi kau ceritakan ini, Han Han? Kau memukul aku. Kau selamanya lebih dulu memperhatikan kesedihan orang lain dan tidak pernah menonjolkan kesedihanmu sendiri. Ah, aku jadi malu bahwa kesusahanmu lebih dulu kau ketahui!”

“Maaf,” Han Han menggigit bibir. “Aku tak tahan melihat kedukaan isterimu tadi, Giam Liong. Aku sedih bahwa puteramu diculik orang.”

“Dan siapa pembunuh bibi Swi Cu itu!” wajah Giam Liong tiba-tiba membesi, maka itu mencorong dan menakutkan. “Katakan kepadaku, Han Han. Biar kucari dan kubinasakan orang itu. Sumpah dem itujuh turunan aku tak akan mengampuni jahanam ini krek!” Giam Liong meremas batu sekepalan, hancur dan membukanya dan Han Han berkerut melihat itu.

Kalau saja Giam Liong tidak beringas dan buas seperti ini tentu dia mau memberitahukan. Tapi sekarang? Ah, mencari musuh janganlah berlandaskan sakit hati atau dendam. Dia dan ayahnya telah sepakat bahwa majikan Hutan Iblis akan dicari dan dituntut tanggung jawabnya atas pembunuhan yang telah dilakukan. Tapi karena pencarian itu bukan berlandaskan dendam melainkan semata keadilan, menumpas yang jahat membela kebenaran maka Han Han jadi menggeleng melihat sikap Giam Liong ini, tak mau memberitahu. Dan ketika Giam Liong terbelalak dan marah kepadanya, mencengkeramnya maka si buntung itu mendesis.

“Han Han, siapa pembunuh bibi Swi Cu? Siapa jahanam keparat itu?”

“Aku belum tahu, aku masih mencarinya,” Han Han berbohong. “Aku tak tahu siapa dia, Giam Liong. Tapi nanti tentu ketemu.”

“Bohong, kau dusta!” bentakan itu mengetarkan. “Kau menyembunyikannya kepadaku, Han Han. Kau bohong! Kau tidak jujur kepadaku!”

“Terserah,” Han Han tersenyum getir. “Aku sudah menjawabnya, Giam Liong. Aku masih mencari musuh ini. Biarlah kutangani sendiri tak usah kau campuri. Kau harus mencari puteramu yang hilang.”

“Han Han!” suara Giam Liong tiba-tiba penuh geram. “Kau anggap apa aku ini? Apakah kematian ibumu boleh kulewatkan begitu saja? Tidak, ibumu adalah ibuku juga, Han Han. Bertahun-tahun aku hidup di Hek-yan-pang dan dibesarkannya. Dia adalah ibuku sekaligus bibiku. Dia orang tuaku. Aku akan mencari dan membunuh jahanam ini. Kalau kau tidak mau memberitahukannya aku akan ke Hek-yan-pang dan bertanya disana!”

Han Han mengerutkan kening. “Kau mau menemui ayah?”

“Aku akan ke sana, Han Han, sembahyang di makam bibi Swi Cu. Kalau kau tidak mau memberitahu pasti orang lain memberitahukannya!”

“Hm, mencari musuh jangan berlandaskan dendam,” Han Han berkata, watak ayahnya yang lemah lembut muncul. Beginilah memang putera si jago pedang Ju-taihiap ini. “Kau boleh saja mencarinya lewat keterangan orang lain, Giam Liong, tapi betapapun jangan penuhi benci atau dendam. Kematian ibu sudah takdir Yang Maha Kuasa, ia melanggar larangan ayah dan menerima akibat. Tapi sudahlah, aku tak suka kau mengulang sepak terjangmu yang lama.”

“Baiklah, ceritakan bagaimana kematiannya, Han Han. Atau untuk inipun kau tak suka memberitahu!”

“Hm, ibu. ibu mencari seseorang pembuat onar. Dia pergi tanpa ayah, melanggar larangannya. Dan ketika ia kembali maka ia luka-luka dan akhirnya tewas.”

“Siapa yang dicari?”

“Seseorang tokoh sesat.”

“Han Han,” suara si buntung meninggi. “Kau selalu menyembunyikan ini kepadaku. Apakah untuk inipun kau tak mau memberitahu terang-terangan?”

“Maaf, waktu itu aku tak ada di rumah, Giam Liong, aku sedang bepergian dengan Tang Siu, antara lain mengunjungi tempatmu di Lembah Iblis tapi kau tak ada. Dan ketika aku kembali maka semua itu terjadi. Aku tak dapat bercerita lebih kecuali ini."

“Baik, kalau begitu kutunda pencarianku sendiri, Han Han. Sekarang juga aku ke Hek-yan-pang dan kita berpisah!”

“Giam Liong !”

Si buntung membalik dan berkelebat. Ia marah kepada Han Han karena pemuda itu tak mau bicara terang-terangan. Yu Yin, sang isteri, tersedu dan menangis sendirian di sana, mendiamkan dua pemuda itu bertengkar karena nyonya muda inipun terpukul oleh berita itu. Maka ketika Giam Liong berkelebat dan menyambar isterinya, lenyap di luar rumah maka Han Han meloncat dan melihat si buntung itu melesat di kegelapan malam.

“Giam Liong, jangan bunuh orang dengan kejam. Ingat nasihat Sian-su bahwa ada akibat karena ada sebab. Jangan keluarkan watak sadismu!”

Giam Liong mendengus. Ia tak menjawab dan meluncur serta akhirnya lenyap di luar dusun. Lalu ketika Han Han termangu-mangu tak mengejar, mereka mempunyai urusan sendiri-sendiri maka Han Han pun kembali ke Ci-bun untuk mencari jejak majikan Hutan Iblis ini. Bahkan ia sekarang hendak mencari dan menemukan pula si banci Siauw Hong itu.

Gemas Han Han kalau teringat orang ini. Tak disangkanya bahwa si banci itu menculik Sin Gak, keponakannya. Kalau ia tahu begitu tentu tak mungkin ditinggalkannya begitu saja di hutan. Kencing atau berakpun akan ia tunggu, si banci itu kurang ajar! Dan ketika masing-masing mempunyai tujuannya sendiri sementara Han Han menginap di Ci-bun maka Hek-yan-pang kedatangan si buntung Giam Liong ini pada keesokan paginya.

* * * * * * * *

Banyak yang terbelalak ketika si buntung dan isterinya ini tiba di telaga. Murid-murid Hek-yan-pang, yang akhir-akhir ini banyak menerima musibah sejenak berdetak dan terkejut melihat munculnya pasangan orang muda yang datang seperti iblis itu. Wajah Giam Liong merah gelap sementara Yu Yin masih terisak-isak. Giam Liong masih marah kepada Han Han. Maka ketika ia tiba di Hek-yan-pang dan bertemu anak murid, tak banyak bicara dan menyambar perahu maka murid yang tertegun dan kaget melihat si buntung itu tiba-tiba mengenal tapi segera cemas melihat wajah yang gelap dan murung.

“Naga Pembunuh...!”

“Sin-siauwhiap (pendekar muda Sin)!”

Giam Liong tak menghiraukan dan memukul dayung ke permukaan telaga. Perahu melejit dan terbang ke depan begitu di dorong. Pukulan ke permukaan air itu menimbulkan tenaga dorong luar biasa di mana perahu tiba-tiba terangkat, terbang dan meluncur dan gegerlah murid-murid melihat itu. Mereka segera mengenal bekas putera Hek-yan-pang ini tapi karena wajah si Naga Pembunuh tampak merah dan gelap maka mereka salah duga. Sudah berkali-kali pemuda ini membuat ribut.

Maka begitu meluncur dan merampas perahu, tanpa ba-bi-bu lagi terbang menyeberang maka anak-anak murid salah kira dan mengeluarkan suitan-suitan panjang untuk memberitahu yang ada di pulau. Mereka mengira Giam Liong akan mengamuk karena wajah yang gelap dan tidak bersahabat itu menunjukkan tanda-tanda kemarahan.

Maka ketika mereka mengeluarkan suitan-suitan nyaring namun Giam Liong tidak perduli dan terus meluncur maka dengan beberapa kali memukul permukaan telaga dayungnya telah mengantar perahu itu ke tengah pulau. Di situ telah menanti banyak orang dan semuanya bersiap-siap. Tanda dari seberang telaga menunjukkan bahaya. Dan ketika dua bayangan berkelebat dan itulah ketua Hek-yan-pang dan mantu perempuannya, Ju-taihiap dan Tang Siu maka Giam Liong telah melompat dan meninggalkan perahu yang masih sepuluh meter dari darat.

“Ayah !”

“Tang Siu!”

Dua orang itu tertegun. Mata Ju-taihiap yang tajam akhirnya dapat mengenal siapa tamu-tamu mereka ini, begitu juga Tang Siu. Maka begitu Giam Liong melompat dan menyebut mereka, Yu Yin berteriak dan memanggil sahabatnya maka anak-anak murid yang tadinya tegang dan tak mengenal siapa dua pendatang ini mendadak berobah girang dan mereka berseru menyebut pemuda buntung gagah itu.

“Si Naga Pembunuh!”

“Giam Liong!”

Anak-anak murid bersorak. Mereka girang sekali melihat kehadiran pasangan orang muda ini dan ketegangan yang semula ada seketika lenyap. Dan ketika Giam Liong menubruk pendekar itu dan menyebut ayah, sebutan yang dulu sering dipakainya karena mereka pernah menjadi ayah dan anak maka Beng Tan yang terharu dan berkejap-kejap menerima anak muda ini hampir tak mampu bersuara saking gembira dan kangennya.

“Giam Liong, kau... kau yang datang? Kau bersama isterimu Yu Yin? Aduh, selamat datang, nak. Kau mengagetkan kami yang menyangka musuh!”

“Dan kau begini tiba-tiba. Kau semakin cantik tapi kusut! Eh, aku rindu padamu, Yu Yin. Aku dan Han-ko mencarimu di Lembah Iblis tapi kalian tak ada. Dari mana dan kenapa tak memberitahu. Kalian mengejutkan!” Tang Siu, yang gembira dan kangen melepas rindu lalu memeluk dan menciumi sahabatnya ini.

Tapi ketika Ju-taihiap sadar dan bertepuk tangan, anak murid riuh menyambut mereka maka pendekar itu mengajak masuk dan Giam Liong tergetar melihat wajah ayah angkatnya yang kusut dan tua ini. Pendekar pedang itu tampak menyembunyikan kedukaan!

“Ayah, mana mana ibu?”

“Hm, masuklah, duduk di dalam. Kedatangan kalian amat tiba-tiba, Giam Liong, menggembirakan tapi juga mengejutkan. Mari mari masuk dan kita bicara didalam!”

Sama seperti Han Han pendekar ini tak mau menonjolkan kepedihan pribadinya dulu. Ju-taihiap menyuruh dua orang muda itu duduk dan pelayanpun diminta mengeluarkan makan minum, duduk dan menemani dan bertanyalah pendekar itu bagaimana kabar keduanya. Sudah lama pasangan muda ini tak bertemu. Dan ketika Yu Yin tak kuat dan memeluk Tang Siu, bertanya apakah betul Ju-hujin meninggal maka tuan rumah terkejut dan Giam Liong pun tak mampu menahan runtuhnya air mata lagi.

“Ayah, ibu. ibu tewas? Ia dibunuh orang?”

“Astaga!” sang pendekar bangkit berdiri dan terbelalak, wajah seketika berubah. “Kalian. kalian tahu, Giam Liong? Kalian sudah mendengar ini?”

“Betul, Han Han yang bercerita, ayah. Kami bertemu di sebuah dusun dan Han Han tampak berkeliaran disitu.Kami kami ingin menyatakan bela-sungkawa!”

Sang pendekar terduduk dan berkejap-kejap. Sekarang ia menggigil dan tak dapat menahan perasaannya lagi. Hampir saja air matanya yang kering keluar lagi. Tapi ketika pendekar itu terbatuk dan menenangkan goncangan perasaannya, dua anak muda ini kiranya sudah tahu kematian isterinya maka ia memejamkan mata dan mengangguk, suaranya bergetar lirih ketika menjawab,

“Benar, bibi kalian Swi Cu telah tewas anak-anak. Tapi semuanya tak perlu ditangisi lagi. Yang lewat sudah lewat, semua orang pasti harus kembali ke asalnya.”

“Dan siapa pembunuh itu!” Yu Yin tiba-tiba berseru, tangisnya mengguguk. “Siapa jahanam keparat itu, paman. Kenapa bibi bisa terbunuh!”

“Hm,” sang pendekar berkerut. “Han Han tidak memberitahu kalian?”

“Tidak, Han Han menyembunyikannya. Kami ingin membalas dendam di samping urusan kami sendiri!”

Ju-taihiap terkejut dan memandang wanita muda itu. Sekilas dia memandang Giam Liong dan Giam Liong tampak menyesal memandang isterinya. Sebenarnya dia akan memancing ayah angkatnya ini untuk mengetahui pembunuh bibinya. Dia tak akan memberitahu bahwa Han Han tidak memberitahu mereka. Tapi karena isterinya sudah bicara dan itu terlanjur, sang ayah tertegun dan mengerutkan kening maka Giam Liong yang diam-diam khawatir ayah angkatnya ini tak memberitahu lalu benar saja terbukti dari kata-kata orang tua itu. Ju-taihiap segera menangkap apa maksud putera kandungnya.

“Hm, kami juga tak tahu siapa pembunuh itu, Yu Yin. Tapi sekarang Han Han mencarinya dan keluar meninggalkan rumah. Kalian rupanya bertemu dan bagaimana keadaannya.”

“Dia baik-baik saja,” Giam Liong kini bicara, memberi isyarat isterinya agar tidak main serobot. “Han Han dan kami bertemu di suatu tempat, ayah. Tapi agaknya aneh bahwa ayah maupun dia tidak tahu siapa pembunuh ini. Apakah ayah bicara jujur!”

“Hm, aku tak tahu siapa dia, Giam Liong, dan orang tua seperti aku rasanya tak perlu berbohong. Aku sungguh-sungguh tidak tahu siapakah sebenarnya pembunuh ini!”

Giam Liong tertegun. Dia tidak tahu bahwa yang dimaksud pendekar itu adalah tentang siapa sesungguhnya majikan Hutan Iblis itu. Ju-taihiap memang tidak berbohong bahwa untuk ini dia betul-betul tidak tahu. Manusia srigala itu memang misterius dan wajah di balik topeng karet itu juga belum pernah dibuka. Dan karena untuk inilah pendekar itu maksudkan, bukan siapa nama atau julukan pembunuh maka Ju-taihiap memang tidak berdusta dan Giam Liong tergelincir. Ini menunjukkan bahwa jago pedang itu orang yang cerdik.

Mendengar bahwa Han Han tak memberitahu siapa nama pembunuh maka segera jago pedang ini maklum bahwa Han Han tak menghendaki Giam Liong ikut campur. Dan itu tentu karena peristiwa lama, kekejaman atau kesadisan Giam Liong dalam membunuh musuh. Han Han dan dia adalah orang-orang yang tak tahan dengan segala macam kesadisan. Tentu untuk maksud inilah puteranya itu menyembunyikan nama pembunuh kepada Giam Liong. Dan karena ia setuju dan cepat tanggap akan maksud puteranya, Ju-taihiap mengerti dan sependapat dengan itu maka iapun berkata bahwa ia tak tahu siapa sesungguhnya majikan Hutan Iblis itu.

Giam Liong kalah pengalaman dan kalah matang. Ia tak tahu taktik memutar yang seperti berbelit ini. Maka ketika ia tertegun dan heran bahwa ayahnya tidak tahu, sama sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksud adalah misteri tentang siapa sesungguhnya wajah di balik topeng karet itu, pemuda ini kurang pengalaman maka iapun terbelalak tapi betapapun juga naluri pemuda ini menangkap sesuatu yang disembunyikan ayah angkatnya itu pula. Giam liong tidak mendesak dan Ju-taihiap merasa lega, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan memutar untuk menandingi kecerdikannya juga. Dan ketika di sana Yu Yin masih terisak-isak dan jago pedang itu teringat akan kata-kata si nyonya muda maka dia balik bertanya apa urusan yang dibawa pasangan ini.

“Kami, hmm kami tak punya urusan apa-apa, ayah, selain ingn berkunjung dan mencari kesegaran dengan jalan turun gunung.”

“Tapi isterimu tadi bicara tentang sesuatu urusan. Tentu penting dan ini yang kutanyakan!”

Giam Liong mengerutkan kening. Ayah angkatnya ini memang cerdik namun dalam keadaan seperti itu ia tak ingin menonjolkan kedukaan pribadinya, apalagi karena iapun menangkap sesuatu yang disembunyikan ayah angkatnya ini, tentang pembunuhan itu. Maka mengedip dan minta agar isterinya tidak bicara iapun menjawab setelah mendapat akal,

“Yang dimaksud adalah ingin mengunjungi istana, ayah. Yu Yin rindu kepada paman mudanya, Yauw-ongya itu.”

“Hm, pangeran muda itu? Yang dulu menolong kalian di rumah Hui-ciangkun?”

“Benar, dia ini. Dan sekarang bolehkah kami tahu di mana makam ibu. Kami ingin bersembahyang.”

Ju-taihiap menarik napas dalam. Ia juga tak menyangka bahwa kali ini Giam Liong pun mengakalinya. Cerdik dibalas cerdik! Dan ketika ia bangkit berdiri dan mereka berempat menuju belakang rumah maka di situ Giam Liong melihat makam Ju-hujin yang masih baru. Untuk kesekian kalinya Giam Liong tak dapat menahan runtuhnya air mata. Ia menggigil dan langsung mendeprok di makam itu. Dan ketika Yu Yin juga tersedu dan jatuh di makam maka mereka sudah menyalakan lilin dan pasangan muda ini sembahyang dengan air mata bercucuran.

Ju-taihiap hampir tak dapat menahan diri sementara Tang siu menangis di samping Yu Yin. Dua sahabat ini sama-sama sembahyang lagi, mereka berkemak-kemik. Tapi ketika semua selesai dan kembali lagi maka Giam Liong bertanya apakah boleh dia menginap.

“Kami ingin tinggal barang sehari dua. Apakah ayah tidak keberatan dan merasa terganggu.”

“Ah, omongan apa ini, Giam Liong? Dulu kau tahu bahwa ini adalah tempat tinggalmu. Bahkan ketika kau meninggalkan tempat ini kuminta agar kau tetap di sini bersama Han Han, tapi kau menolak! Nah, tinggal dan lakukanlah sesukamu, Giam Liong. Selamanyapun kau di sini aku tidak keberatan!”

“Terima kasih,” Giam Liong terharu, di tepuk-tepuk pundaknya. “Kau selalu baik, ayah. Terima kasih!”

Hari itu Giam Liong dan Yu Yin tinggal di sini. Dia minta maaf kalau ayahnya tersinggung. Tapi ketika Ju-taihiap tersenyum dan mendorong pemuda itu maka Giam Liong mendapat kamar di samping di mana dulu itu adalah bekas kamarnya sendiri.

“Kau seperti orang asing saja. Kau dan Han Han adalah anak-anakku sendiri, Giam Liong. Rumah ini adalah rumahmu pula. Tidurlah, beristirahatlah kalau capai!”

Giam Liong lega. Tapi ketika ia memandang sang isteri ternyata Yu Yin dibawa Tang Siu.

“Malam ini aku ingin tidur bersama Yu Yin. Biar Giam Liong tidur di kamarnya sendiri. Kau tidak keberatan bukan, Giam Liong?”

“Hm, si buntung ini tersenyum kecut. “Kalau Yu Yin suka boleh kau bawa, Tang Siu, asal tidak untuk selamanya!”

“Hi-hik, tak usah khawatir. Kalau selesai tentu kukembalikan!” dan karena suasana sudah tidak diliputi kedukaan lagi, betapapun mereka adalah orang-orang gagah yang mampu mengendalikan diri maka ketika malam tiba Giam Liong pun sendiri di kamarnya sementara sang isteri di kamar lain bersama Tang Siu.

Dua wanita itu memang sahabat karib yang begitu bertemu seperti saudara kandung saja, ngobrol dan bercakap-cakap dan di sini Yu Yin melepas penasarannya akan sikap suaminya. Giam Liong telah berbohong kepada ayahnya tadi. Dan ketika Tang Siu bertanya bukankah dulu Yu Yin sudah bersumpah untuk tidak ke istana maka Yu Yin uring-uringan mengomeli suaminya tadi.

“Itulah, siapa tidak mendongkol. Aku tak punya urusan apa-apa dengan istana, Tang Siu. Aku memang rindu kepada pamanku Yauw-ongya tapi aku tak berniat kesana. Entah kenapa Giam Liong bohong kepada ayah dengan memberitahu bahwa aku katanya mau keistana!”

“Hm, kalau begitu urusanmu itu bukan ke istana?”

“Tidak, melainkan mencari puteraku yang diculik orang. Anakku, Sin Gak, dibawa seorang jahanam keparat. Suamiku rupanya tak mau diketahui ayah karena kalian sedang berkabung!”

“Ah, kau.... kau sudah berputera? Kalian sudah mempunyai keturunan?” Tang Siu tentu saja terbelalak.

“Benar, dan maaf bahwa aku tidak memberitahu ini, Tang Siu. Giam Liong melarangku dan rupanya tak enak karena kematian bibi Swi Cu itu. Dan kau, bukankah juga sedang berbadan dua? Han Han memberitahukannya kepada kami!”

Tang Siu menangis. Tiba-tiba ia merasa terharu tapi juga kaget bahwa Yu Yin kehilangan anaknya, mencium dan mengucap selamat dan selanjutnya dia bertanya bagaimanakah asal mula kejadian itu. Yu Yin menganggap Tang Siu adalah sahabatnya sendiri, tak perlu berahasia. Maka ketika dia bercerita tapi berpesan agar jangan sampai diketahui Giam Liong, nanti suaminya marah maka malam itu dusta Giam Liong kepada ayah angkatnya diketahui. Dan berbareng dengan itu maka “kebohongan” Ju-taihiap juga diketahui pemuda buntung ini.

Karena ketika dua wanita itu bercakap-cakap di kamarnya Giam Liongpun berkelebat keluar dan mencari bibinya Ki Bi yang dulu adalah merupakan murid utama Hek-yan-pang, tak tahu bahwa wanita itu bersama beberapa murid utama Hek-yan-pang yang lain telah tewas terbunuh! Dan karena Giam Liong tentu saja tak mungkin menemukan wanita ini dan akhirnya menemukan murid lain, menangkap dan diajak bicara maka Giam Liong terhenyak dan diketahuilah siapa kiranya biang penyakit itu!

Tapak Tangan Hantu Jilid 06

TAPAK TANGAN HANTU
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“HA-HA, heh-heh. Keluarkan semua kepandaianmu, Ju-taihiap. Mainkan Pek-jit Kiam-sutmu dan kita bertanding sampai kau atau aku mampus!”

Ju-taihiap merasa seram. Ia telah membacok tubuh manusia itu namun pedang di tangannya mental. Baju laki-laki itu robek namun kulit tubuhnya tak apa-apa. Sinkang laki-laki ini kuat sekali. Dan ketika ia mengelak dan mundur menjauhi uap busuk, gumpalan uap hitam yang keluar dari mulut laki-laki itu seperti bau bangkai maka lawan terkekeh-kekeh dan suara tawanya itu membuat Ju-taihiap menutup hidung. Bau itu semakin busuk dan membuat orang ingin muntah-muntah!

“Hayo, ha-ha..... hayo, Ju-taihiap. Maju dan jangan mundur-mundur. Hayo serang dan pakai pedangmu untuk membacok lagi!” lawan tertawa dan melakukan serangan-serangan seperti anjing.

Lompatan-lompatan dan cakaran kukunya masih amat berbahaya tapi bukan itu yang membuat Ju-taihiap mundur-mundur. Ia tak tahan oleh bau mulut lawan yang busuk. Setiap tertawa tentu bau itu menyerang hebat, menguar dan inilah yang membuat si jago pedang menjauhkan diri. Maka ketika lawan mengejek sementara anak muridnya mati-matian bertempur di sana, anak mantunya juga menusuk dan membacok srigala-srigala itu maka ia melindungi diri sambil mundur memutar pedang disangka takut dan terdesak, hal yanag membuat pendekar ini marah. “Kau tak usah banyak cakap. Maju dan robohkan aku, manusia iblis. Pedangku akan bicara kalau kau berani mendekat!”

“Ha-ha, begitukah? Baik, aku maju dan kau jangan mundur!” lelaki itu melompat dan memekik seperti anjing gila. Kaki dan tangannya sama-sama menekan tanah dan Ju-taihiap mengerutkan kening. Gaya itu benar-benar seperti gaya lompatan binatang. Dan karena lompatan itu disertai pekik seperti anjing marah, tahu-tahu meluncur dan menyambar dirinya maka Ju-taihiap menggerakkan pedang dan gemas tak mau mundur lagi iapun menangkis.

“Trakk!”

Sepuluh kuku jari menyambut pedangnya. Pedang dan kuku sama-sama terpental tapi lawan tiba-tiba mengeluarkan bentakan panjang. Suara “hahh” yang kuat meluncur bersama uap hitam, uap yang berbau busuk itu. Dan karena saat itu ia sedang tergetar dan tak mungkin mengelak, uap menyambar mukanya maka Ju-taihiap batuk-batuk dan pandang mata yang gelap membuat ia tak tahu akan adanya tendangan lutut dari bawah.

“Ngekk!”

Ju-taihiap terjengkang dan roboh. Ia kaget dan bergulingan dan saat itu lawan tertawa bergelak, mengejar dan mengeluarkan bentakannya lagi yang berbau busuk itu. Dan karena ia tak mungkin meloncat bangun karena lawan mencegat dan mengancam dengan kuku-kukunya maka Ju-taihiap menangkis dengan putaran pedang di mana ia semakin terlempar dan terpental karena mendadak tenaganya terasa berkurang oleh rasa pening dan batuk-batuk dari uap hitam itu, hal yang membuat sang pendekar terkejut karena sadar bahwa ia berada dalam bahaya. Uap atau bau busuk dari lawan itu ternyata beracun, gas atau hawa memuakkan yang membuat kepala dan pandang mata gelap!

“Ha-ha, kau tak dapat melindungi dirimu lagi. Kau akan mampus, Ju-taihiap.... kau akan mampus, plak-bret!” Ju-taihiap keteter dan kaget menangkis dua serangan lagi. Ia didesak dan terus bergulingan sementara pedang bergerak kian lemah. Pening dan pandang mata gelap itulah yang mengganggu. Tapi ketika pendekar ini mengeluh bahwa hawa beracun tersedot olehnya, ia tak diberi kesempatan memperbaiki posisi maka saat itulah anak mantunya datang dengan seruan kaget. Tang Siu melihat ayah mertuanya yang bergulingan tak dapat melompat bangun.

“Manusia iblis, kau jahanam terkutuk!”

Laki-laki ini kaget dan membalik. Pedang Tang Siu menyambar dan apa boleh buat dia harus menangkis, rangsekan kepada Ju-taihiap dihentikan. Dan ketika bunyi berketrik membuat pedang si nyonya terpental, kuku jari itu kuat melebihi baja maka majikan Hutan Iblis ini menggeram sementara Ju-taihiap mampu meloncat bangun, mendapat kesempatan.

“Tang Siu, hati-hati dengan bau mulutnya. Lindungi dan tutup hidungmu dengan saputangan!”

Ju-taihiap. Yang sudah merasa dan tahu bahaya uap hitam ini cepat menelan pil penawar sambil membebat hidungnya dengan saputangan. Ia meloncat bangun dan bersyukur bahwa menantunya datang menolong, membentak dan ganti menolong mantunya itu karena Tang Siu menjerit diserang kuku jari, terhuyung dan benar saja mendapat serangan uap hitam ketika lawan terbahak. Uap itu menyembur dan menyambar muka si nyonya. Tapi ketika Tang Siu jatuh terduduk dan lawan terkekeh, melompat dan hendak menusukkan kuku jarinya maka pendekar ini berkelebat dan pedang menangkis kuku-kuku hitam itu,

“Cranggg!”

Ju-taihiap sudah pulih tenaganya dan lawan terkejut. Manusia srigala itu terdorong mundur sementara Tang Siu melompat bangun. Ia diserang bau busuk dan tawa laki-laki itu membuatnya muntah-muntah. Nyonya ini pucat. Tapi ketika ayah mertuanya sudah menyerang laki-laki itu dan bau busuk ditahan penutup hidung, Ju-taihiap tak begitu terpengaruh maka Pek-jit Kiam-sut kembali naik turun bergulung-gulung dan laki-laki bertopeng itu terbelalak melihat uap hitamnya tak mempengaruhi jago pedang itu lagi. Dan Tang Siu juga melompat dan menerjangnya, marah oleh bau mulut laki-laki ini yang seperti bangkai.

“Gak-hu, iblis ini harus dibunuh. Ia tak boleh diberi ampun!”

“Benar, dan tujukan serangan-seranganmu ke mata atau lubang telinganya, Tang Siu. Ia cukup kebal kalau diserang tubuhnya!”

Tang Siu sudah melengking dan berkelebatan sambar-menyambar. Ilmunya, Im-hong-sau-hun-kiam keluar dengan hebat dan membuat lawan memekik. Ilmu ini adalah warisan Kim-sim Tojin dari Kun-lun yang kalau sudah dimainkan membuat sinar pedang bergulung-gulung bagai topan di tengah lautan, mengamuk dan membabat dan siapa lengah bakal roboh.

Dan karena wanita itu masih dibantu ayah mertuanya yang mainkan Pek-jit Kiam-sut dengan tak kalah hebat, bahkan lebih matang dan dua tingkat di atas kepandaian anak mantunya maka laki-laki srigala yang tadinya mendesak dan merangsek Ju-taihiap sekarang berbalik terangsek dan terdesak. Tang Siu sudah mempergunakan saputangan menutup hidung. Ia mengikuti petunjuk ayahnya karena empat kali pedangnya terpental membacok tubuh lawan, menyambar, dan kini menusuk atau menikam mata dan lubang telinga.

Ju-taihiap sendiri menujukan serangan- serangannya ke hidung atau mulut, sesekali menyambar mata atau lubang telinga kalau pedang di tangan mantunya terpental, kaget bertemu kuku-kuku jari lawan. Dan karena betapapun juga dua orang ini bukanlah orang-orang lemah, Ju-taihiap adalah seorang jago pedang sementara mantu perempuannya adalah murid tokoh Kun-lun yang lihai, permainan pedang mereka tak terpengaruh lagi oleh bau busuk mulut lawan dan berkali-kali bentakan lawan tak membuat mereka mundur maka ketika pedang bergulung dan naik turun menyambar tiba-tiba saja alis kiri laki-laki itu terkena pedang di tanganJu-taihiap.

“Cret!”

Alis ini luka! Laki-laki itu berteriak dan melompat mundur seperti anjing. Ia di kecoh pedang Tang Siu sementara pedang ayah mertuanya menyambar dan menusuk dari kiri, gerak pedang menggunting yang membuat manusia srigala itu bingung dan akibatnya menerima luka. Dan ketika ia melompat sementara Ju- taihiap membentak dan mengejar lawan, melihat kesempatan ini tak boleh disia-siakan maka lelaki itu marah dan tepat pedang menyambar Tang Siupun bergerak dari kanan ganti mengisi kesempatan yang diberikan ayah mertuanya.

“Cret!”

Alis yang kanan luka. Dengan gerak cepat ayah dan menantu susul-menyusul mengirim serangan, Ju- taihiap selalu menangkis kalau laki-laki itu mau menyerang anak mantunya. Dan karena hal ini selalu terjadi berulang-ulang sementara laki-laki itu menjadi marah dan naik pitam, dua alis matanya mengeluarkan darah maka ia melengking dan rambut ekor kuda dikibaskan ke depan dan pengikat rambutnya yang terbuat dari gelang besi sekonyong-konyong lepas dan menyambar Tang Siu,

“Awas Tang Siu..!”

Nyonya muda itu terkejut. Sinar hitam menyambar ke arahnya dan ia miringkan kepala, membacok dengan pedangnya tapi gelang rambut itu rupanya dikerahkan dengan tenaga luar biasa, membuat ia menjerit karena pedang di tangan tiba-tiba terlepas dan mencelat. Dan ketika ia terpelanting sementara Ju-taihiap kaget melihat laki-laki itu membalik, tertawa dan menyambar anak mantunya maka dengan buas laki-laki itu mengangkat kedua tangannya di mana warna hitam gelap memenuhi telapak tangan laki-laki itu seperti asap tebal yang mengeluarkan ledakan keras.

“Hek-mo-ciang (Tapak Tangan Hantu)!”

Ju-taihiap berteriak dan menimpukkan pedangnya. Dua telapak itu, yang gelap bersinar-sinar menyambar anak mantunya dengan cepat dan kuat sekali. Tang Siu sedang terpelanting dan tak mungkin mengelak serangan itu. Kalau nyonya itu bergulingan maka ia tetap dikejar tak ada kesempatan menangkis. Satu-satunya cara adalah menimpukkan pedang dan pendekar inipun mencelat ke depan menghantam punggung laki-laki itu.

Kalau lawan meneruskan serangannya maka Pek-lui-ciang bakal mengenai dadanya dan isi dada tentu rontok. Tang Siu akan celaka tapi lawan juga roboh. Maka ketika Ju-taihiap menimpukkan pedang dan sambaran pedang yang bercuit ini menyambar tengkuk, tepat di bawah pusat kematian di mana lawan tentu terkejut dan menangkis, berarti menunda serangan membalik ke belakang maka saat itulah jago pedang ini mencelat ke depan melepas pukulan Petirnya mendorong lawan yang menghantam pedangnya.

Perhitungan pendekar ini tepat karena ketika laki-laki itu membalik maka pedang ditangkis Hek-mo-ciang, patah dan terlempar menjadi dua namun saat itu Pek-lui-ciang menyusul. Laki-laki itu terkejut dan dua bola matanya berputar liar. Namun karena tak ada kesempatan menangkis dan Pek-lui-ciang harus diterima, pukulan itu mengiringi pedang maka ketika beradu seketika asap hitam membubung dan laki-laki itu mencelat sementara Ju-taihiap sendiri jatuh terduduk.

“Dess!”

Hebat sekali adu pukulan ini. Ju-taihiap, yang sudah mencuri kesempatan tetap saja tergetar dan jatuh terdorong. Lawan mencelat tapi anak mantunya selamat. Beradunya pukulan itu amat kuat sehingga udara di sekitar mereka meledak, pohon terguncang dan anak-anak murid atau para srigala terlempar. Mereka banyak yang jatuh ke telaga. Dan ketika Ju-taihiap terbelalak dan roboh terduduk, terbelalak memandang lawan yang mengeluh di sana maka laki-laki itu terbanting di atas sekawanan srigala dan terlempar ke telaga.

“Byurr!”

Asap gelap menghalangi pandangan sejenak. Sekumpulan srigala menguik seakan ikut merasakan kesakitan, lari dan berenang ke telaga sementara laki-laki itu tak tampak tubuhnya. Ia tenggelam namun tiba- tiba muncul kembali, bukan di tempat semula melainkan sepuluh tombak di sebelah kanan. Lalu ketika ia melolong dan lolongan ini diikuti lolongan anak buahnya, Ju-taihiap masih jatuh terduduk maka mendadak laki-laki itu menyemburkan jarum beracun lewat mulutnya, ke arah Ju-taihiap dan Tang Siu.

“Awas...!”

Ju-taihiap mengebut dan menggerakkan tangan kirinya. Ia meruntuhkan semua jarum-jarum itu di mana sebagian menyambar kembali ke telaga, mengenai laki-laki yang membuat manusia srigala ini meraung dan menyelam, lenyap dan tiba-tiba muncul di tengah sana untuk kemudian berenang seperti cara anjing berlari, cepat dan akhirnya meloncat ke darat untuk kemudian terbang meninggalkan pulau. Dan ketika lolong kecewanya serasa mencabik-cabik malam, semua srigala tiba-tiba berserabutan dan lari menyeberang telaga maka Tang Siu melempar tubuh bergulingan sementara anak-anak murid tertegun dan menjublak melihat itu. Enam puluh srigala berhasil mereka bunuh tapi tujuh di antara merekaluka-luka.

“Ju-taihiap, kau licik. Kau mengandalkan keroyokan. Awas, lain kali aku datang dan mencabut nyawamu lagi!”

Ju-taihiap bangkit berdiri dengan lutut terasa gemetar. Ia ngeri dan seram menghadapi manusia hewan ini dan bersyukur bahwa ada Tang Siu di situ. Kalau anak mantunya tidak di situ entahlah apa yang terjadi. Baru kali ini ia menghadapi pertandingan dengan seorang yang bukan manusia. Dan ketika ia lega bahwa anak mantunya selamat, Tang Siu meloncat bangun dan tak berani menangkis jarum-jarum itu, khawatir tenaganya kalah kuat dan itu memang tepat maka Ju-taihiap melihat anak-anak murid berlutut dan beberapa di antaranya menangis. “Kami.... kami masih akan menghadapi ancaman majikan Hutan Iblis itu lagi. Ah, jangan kau ke mana-mana, pangcu. Jangan tinggalkan kami dan membiarkan kami sendiri!”

“Hm, bangunlah. Bangkitlah kalian!” pendekar ini mengebut dan masih berdebar oleh sepak terjang manusia srigala itu. “Musuh sudah lewat, anak-anak. Tak ada yang tewas di antara kita. Kalian hanya tujuh yang luka-luka. Berdirilah dan nanti kutolong!”

Tujuh yang luka merintih. Mereka adalah para murid yang terlambat bangun oleh aji sirep. Mereka paling akhir melompat bangun dan menerima serangan para srigala. Kaki dan tangan mereka ada yang luka- luka. Namun karena anjing-anjing itu digebah teman-teman yang lain dan pertolongan inilah yang menyelamatkan mereka, menggigil dan berlutut di depan ketua maka Ju-taihiap menyuruh Tang Siu mengambil obat luka, obat luar.

Tujuh murid itu diobati dan malam itu semua orang gemetaran, bukan oleh dingin melainkan oleh takut. Majikan Hutan Iblis itu sungguh menyeramkan! Namun ketika pendekar ini berkata bahwa semalam itu dia akan berjaga, tadipun dia juga berjaga dan karena itu anak-anak murid selamat maka malam itu pendekar ini tidak tidur dan anak menantunya menemani.

Para murid juga tak dapat tidur karena siapa yang dapat tidur kalau teringat peristiwa itu. Air telaga yang berkecipak sedikit mencurigakan sudah membuat anak murid kaget, takut kalau-kalau para srigala datang lagi. Dan ketika malam itu dilewatkan dengan perasaan seram dan semua berlindung di belakang Ju- taihiap, hanya pendekar ini yang dapat bersikap tenang dan mampu menguasai keadaan maka esok dan selanjutnya Hek-yan-pang tak di ganggu manusia srigala lagi.

Selama seminggu jago pedang ini menjaga dengan penuh kewaspadaan dan Tang Siu merasa kasihan kepada ayah mertuanya itu. Ayahnya ini jarang tidur dan beristirahat. Ju-taihiap tak berani sembrono dan diam-diam khawatir sekali. Pedang pusakanya tak ada di tangan dan pedang biasa saja ternyata tak mampu menghadapi manusia srigala itu. Teringatlah pendekar ini betapa pedang biasanya akhirnya patah disambut Hek-mo-ciang.

Namun ketika sebulan tak ada apa-apa dan anak murid lega, pendekar ini juga lega maka semua mengharap agar iblis itu tak datang lagi sementara Han Han diharap agar cepat pulang. Dan ketika Tang Siu juga mengharap begitu sementara Ju- taihiap juga tidak jauh berbeda maka Han Han yang pergi ke Hutan Iblis justeru tak menemukan musuhnya ini karena manusia srigala itu ternyata sudah menyatroni Hek-yan-pang!

* * * * * * * *

Seperti petunjuk ayahnya pemuda ini pergi ke hutan itu dengan penuh kewaspadaan. Ia tak menyangka bahwa malam harinya musuh itu datang, sementara pagi harinya ia pergi. Dan ketika keesokannya Han Han sudah memasuki Ci-bun dan terus ke selatan ke dusun Lam-chung maka siang itu juga ia berkelebat di mulut Hutan Iblis.

Pohon raksasa di tengah hutan itu menjadi pedomannya. Pohon itu tampak dari kejauhan dan cabang-cabangnya yang tinggi serta berdaun lebat mudah dikenali dari luar dusun. Pohon itu tampak angker dan garang. Dan ketika ia memasuki hutan ini dan mendapatkan seperti apa yang didapat ayah ibunya, tulang atau tengkorak-tengkorak yang berserakan maka Han Han bergidik dan hawa dingin di mulut hutan membuat bulu tengkuknya cepat meremang. Ada bau busuk dan amis di situ. Ada bau darah kering dan bekas pakaian cabik-cabik.

Dan karena di luar mulut hutan ia sudah menyaksikan bekas-bekas kekejaman Hutan Iblis ini, penghuninya yang buas dan majikannya yang tidak lumrah manusia maka Han Han dapat menahan perasaannya ketika dia melihat belatung atau ulat-ulat menjijikan berlekatan di tubuh-tubuh mayat membusuk yang ada di sana-sini. Sama seperti ibunya iapun memasuki hutan dengan perasaan tegar. Han Han sama sekali tidak takut kecuali waspada.

Dan ketika akhirnya ia sampai di tengah hutan di mana pohon raksasa itu berdiri, ia tertegun melihat cabang-cabang pohon yang pernah dibabat ibunya maka di sini Han Han menarik napas dalam melihat bekas-bekas amukan ibunya di waktu yang lalu. Ayahnya sudah bercerita namun pohon raksasa itu sudah tumbuh lagi. Cabang-cabangnya yang dibabat sudah mulai bersemi, tegak menjulur seakan mengejek menyatakan tak takut, mentertawai mendiang ibunya dan Han Han mengepal tinju.

Apakah dia harus menumpahkan marah kepada pohon ini? Apakah dia harus melampiaskan dendam kebenciannya kepada penghuni Hutan Iblis ini? Tak ada faedahnya. Han Han mirip ayahnya yang lembut dan penyabar. Namun ketika dia termenung dan bunyi berkeresek yang amat perlahan di belakangnya membuat dia membalik dan tersentak dari alam lamunan mendadak seseorang telah menyerangnya dengan pisau belati menikam. Seseorang yang berkedok karet!

“Heiii...!” Han Han berseru dan mengelak. Ia tak sempat menangkis karena serangan dan datangnya orang itu tiba-tiba sekali. Ia tak mendengar apa-apa sebelumnya ketika orang ini muncul. Ia kaget dan tersentak dibuatnya. Dan ketika ia mengelak sementara pisau itu meluncur di samping pinggang, orang itu berteriak kecewa maka Han Han menggerakkan kakinya dan cepat sekali lututnya diangkat menghantam dagu orang ini.

“Dess!”

Orang itu menjerit dan terbanting, Han Han mengejar namun orang ini bergulingan, meloncat dan tiba-tiba lari ke balik pohon. Han Han tercengang karena lawan ternyata memiliki daya tahan kuat, terbukti tendangannya ke dagu tidak membuat orang itu roboh, bangun dan masih dapat lari dan ia membentak mengira orang ini majikan Hutan Iblis. Namun ketika orang itu lari dan Han Han berkelebat mengerahkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit) maka ginkang tingkat tinggi yang tiada bandingannya ini telah membuat Han Han berada di depan orang itu dan membentak lagi.

“Berhenti!”

Orang ini terkejut. Ia tak menyangka Han Han dapat bergerak secepat itu dan tahu-tahu memutar dari arah pohon yang berlainan. Ia serasa dipapak dan menghadapi pemuda itu dari depan, bukan lagi belakang. Dan ketika ia menangkis namun jari Han Han bergerak lebih cepat, pemuda itu menotok dan tepat mengenai pundak orang ini maka laki-laki itu roboh dan aneh sekali ia menjerit seperti suara wanita.

“Aihhh...!”

Han Han tertegun dan berhenti bergerak. Laki-laki atau orang yang jelas berpakaian laki-laki itu tiba-tiba menangis. Tanginya jelas tangis wanita! Dan ketika Han Han menjublak dan melihat bahwa orang ini tidak berjubah hitam, majikan Hutan Iblis berjubah hitam dan lawan jelas bukan majikan Hutan Iblis maka orang itu memaki-maki Han Han dengan suara melengking-lengking. Suara dan makiannya jelas suara wanita, juga gayanya.

“Biadab, kau. kau tak tahu malu. Eh, lepask anaku, anak muda. Bebaskan totokanmu dan lepaskan aku. Aih, kau manusia tak tahu malu yang berani menyerang orang secara gelap. Cih, lepaskan aku!”

Han Han bergerak. Ia membungkuk namun cepat ia merenggut topeng karet itu, berbareng dengan melepaskan totokan. Dan ketika orang itu bebas dan melompat berdiri, menjerit melihat Han Han menyambar topengnya maka Han Han tertegun melihat wajah halus dari seorang laki-laki yang bukan laki- laki.

“Banci!”

Han Han mundur dan merah mukanya. Ternyata orang ini adalah seorang banci yang wajah maupun matanya menunjukkan watak sinting. Orang itu mencak-mencak namun tiba-tiba terkekeh dan tertawa-tawa melihat Han Han terkejut, mundur dan terbelalak sementara ia terus menuding-nuding. Dan ketika Han Han tertegun karena lawan adalah banci, orang itu berputar dan menari-nari mendadak ketika ia membelakangi Han Han sekonyong-konyong tiga pisau berkelebat menyambar perut dan dada Han Han.

“Hi-hik, kau anak nakal. Hi-heh, kau anak sembrono. Eh, aku bukan banci, anak edan. Aku orang waras. Ih, kau tolol dan bodoh...siut-wut-wutt!”

Tiga pisau yang menyambar Han Han diluncurkan ketika orang itu menari-nari dan membelakangi Han Han. Tapi karena Han Han bukan pemuda biasa dan ia sudah sadar dari rasa bengongnya, sungguh tak disangka bahwa lawan adalah banci maka ketika pisau-pisau itu meluncur iapun mengibas dan tiga pisau itu patah-patah.

“Tak-tak-pletak!”

Orang itu terkejut dan kaget. Ia menjerit lalu tunggang-langgang. Ia telah menyerang Han Han secara gelap namun pemuda itu berhasil juga mematahkan serangannya. Dan ketika ia membalik dan mengitari pohon besar, berteriak-teriak maka Han Han mengejar dan berkelebat menangkap baju si bencong itu.

“Berhenti, kau siapa!”

Orang ini menangkis. Ia menggerakkan lengan ke belakang namun cengkeraman Han Han justeru membuat ia menjerit. Tangannya tertangkap dan dipencet pemuda itu. Dan ketika ia terpekik dan jatuh terduduk, Han Han menelikung tangannya maka air mata wanita mengalir dan orang itu mengaduh-aduh membuat bedak di mukanya luntur!

“Aduh, ampun... ampun, bocah ganteng... ampun....! lepaskan tanganmu dan jangan buat tanganku patah!”

“Hm, kau siapa!” Han Han membentak, jijik namun harus menahan perasaannya. Baru kali ini selama hidup ia berurusan dengan orang banci. Muka itu sekarang berkerut-kerut dan tampak buruk. Banci ini ternyata berusia sudah hampir empatpuluhan. Dan ketika ia mengendorkan telikungannya dan lawan merintih, ia roboh ditotok kedua kalinya maka Han Han bertanya siapa orang itu.

“Aku. aku Siauw Hong. Aku banci. Kau tahu itu dan kenapa bertanya lagi!”

“Hm, bagaimana kau ada di sini? Bagaimana kau dapat muncul tiba-tiba dan menyerang aku?”

Aneh, si banci itu tiba-tiba terkekeh. Han Han menjadi merah karena pandang mata orang berputar- putar. Di samping banci agaknya orang ini juga gila. Benar saja, orang tiba-tiba kencing. Kencing dalam keadaan telentang! Dan ketika Han Han menjadi semburat karena orang terkekeh-kekeh, pakaian itu basah kuyup maka banci ini minta agar Han Han mengambilkan air untuk ngompolnya.

“Anak bagus, eh... bocah ganteng. Tolong ambilkan air buat pipisku ini. Aduh, kau membuatku ketakutan. Kau membuat aku ingin berak-berak. Tolong ambilkan air atau kau bebaskan aku agar bisa berdiri. Uh, perutku mulas!”

Han Han muak namun juga geli. Ia membebaskan totokan dan mundur menjauh. Air kencing itu nyiprat-nyiprat, gila! Dan ketika orang itu melompat bangun dan tertawa-tawa, bergerak dan lari ke belakang pohon raksasa maka ia menyuruh Han Han menunggu karena mau menguras isi perutnya. Dan benar saja, suara kentut yang besar terdengar memberubut!

“Ha-ha,hi-hikk!Tunggu aku disitu dulu, anak muda. Aku mau berak atau kau boleh tungguin aku di sini brut-brutt!”

Han Han memutar tubuh dan berkelebat pergi. Tentu saja ia menyumpah-nyumpah dan tertawa kecut. Si banci itu di samping gila juga jorok. Kentut dan berak seenaknya saja sehingga membuat orang jijik, ingin muntah! Dan ketika ia masih mendengar kentut berbunyi nyaring, si banci itu jongkok dan membuang hajatnya maka Han Han meninggalkan tempat itu keluar mulut hutan. Ia tak melihat apa-apa lagi di Hutan Iblis ini kecuali tulang dan tengkorak-tengkorak.

Terakhir, ada si banci gila itu orang tidak waras, Han Han geli dan tertawa kecut maka ia meninggalkan Hutan Iblis untuk bertanya dan mencari jejak di mana musuhnya itu berada. Han Han sama sekali tidak mengira bahwa banci gila ini “orang penting”. Bahwa justeru dari orang itulah dia akan dapat menapaki jejak si majikan Hutan Iblis.

Dan ketika ia keluar dan kembali ke Ci-bun, di sini ia akan bertanya pada orang-orang kota maka sesosok bayangan ramping sekonyong-konyong berkelebat dari Ci-bun menuju Hutan Iblis. Dan belum sempat ia memperhatikan baik-baik maka seseorang lain berkelebat pula dan mengejar bayangan ramping itu. Senja telah mulai turun dan Han Han tertegun di pintu gerbang kota.

“Heii, tunggu, moi-moi. Tunggu aku!”

Seruan atau bentakan halus itu membuat Han Han benar-benar terkejut. Ia bukan terkejut oleh suara bentakan itu melainkan oleh gerak dua bayangan yang susul-menyusul itu. Gerakan mereka amat cepat dan tahu-tahu lenyap di kejauhan sana. Bayangan ramping itu berbaju biru dan Han Han tahu bahwa itu pastilah wanita. Sedangkan bayangan kedua yang juga lenyap dan lewat di depannya dengan amat cepat benar-benar seperti iblis dan Han Han berdetak karena ilmu meringankan tubuh yang dipakai orang-orang ini tidaklah di bawah ilmunya Hui-thian-sin-tiauw sendiri. Rajawali Sakti Terbang Ke Langit itu.

Maka penasaran dan kaget serta heran bahwa keduanya menuju arah selatan, Han Han menduga mereka menuju Hutan Iblis maka pemuda yang baru saja meninggalkan hutan itu lalu berbalik dan kembali ke sana. Dan Han Han mendengar lengkingan tanda marah dan gusar, suara dari wanita berbaju biru itu.

“Siauw Hong, kembalikan anakku. Jahanam keparat, kembalikan anakku!”

Han Han terkejut. Siauw Hong? Bukankah itu si banci gila yang ditemui di dalam hutan? Dan karena ia serasa mengenal suara wanita ini, lengking dan isak tangisnya maka Han Han berdetak dan mengejar. Namun ia terkejut karena lawan tak ada. Dua bayangan yang berkelebat dan keluar dari kota Ci-bun itu mendadak seperti lenyap ke dalam bumi saja. Begitu juga suara lengkingan dan panggilan wanita berbaju biru itu. Namun ketika Han Han tetap mengejar dan jalan itu tetap ke Hutan Iblis, akhirnya ia tiba dan lewat di dusun Lam-chung maka di sini telinga Han Han yang tajam mendengar bisikan dan suara ditahan.

“Sstt..!”

Hanya itu suara yang tertangkap. Han Han berhenti dan tentu saja menengok. Matahari sudah terbenam di barat dan cuaca remang-remang. Tapi karena Han Han tahu ada dua orang di situ, di balik rumah penduduk yang atapnya rusak-rusak maka Han Han berkelebat dan berjungkir balik melampaui bangunan rumah ini menuju belakang. Ia tak mau diintai dan justeru akan mengintai. Dua orang yang kejar-mengejar itu menarik hatinya, apalagi karena yang wanita menyebut-nyebut nama Siauw Hong, di banci gila yang jorok itu. Tapi begitu ia tiba di belakang dan turun dengan ringan, baru saja menginjakkan kaki di tanah tiba- tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan tegap meluncur dan menyerangnya. Lima jari tangan mencengkeram dan menyambar lehernya, angin cengkeramannya dahsyat dan kuat.

“Siapa kau, kenapa menguntit kami!”

Han Han terkejut dan berdetak. Ia mengenal suara ini namun pukulan sudah lebih dulu tiba, apa boleh buat ia harus menangkis kalau tak ingin dibekuk. Dan ketika ia berseru keras dan balas menangkis dengan cengkeraman pula, lima jari bertemu maka suara “krek” sama-sama mengejutkan mereka dan keduanya saling cengkeram tak mau melepas.

“Giam Liong...!”

“Han Han!”

Dua pemuda itu akhirnya sama-sama berseru hampir berbareng. Laki-laki penyergap ini, yang ternyata adalah seorang pemuda yang buntung sebelah kirinya akhirnya mengenal Han Han setelah sinar bintang menerangi wajah itu. Han Han mengenal lebih dulu dan lawan sedetik kemudian. Dan ketika lima jari yang saling cengkeram akhirnya dilepaskan, bayangan ramping berkelebat dan menahan tamparannya maka bayangan itu tertegun dan terpekik memanggil Han Han.

“Han Han...!”

“Yu Yin!”

Wanita atau bayangan biru itu mengguguk. Ia kalah cepat dengan pemuda buntung namun tadi ketika ia keluar ia siap menghantam Han Han dengan kemarahan ditahan. Mereka berdua ternyata sudah tahu kalau dikuntit tapi tak menyangka bahwa itulah Han Han, sementara Han Han sendiri tak menyangka bahwa yang dikejar adalah suami isteri muda si Naga Pembunuh Giam Liong dan isterinya, Yu Yin. Maka begitu saling mengenal dan masing-masing berteriak gembira, Yu Yin menubruk dan tersedu-sedu memeluk Han Han maka Giam Liong, si buntung yang tergetar namun berseri kemudian meremas hangat ini sudah terharu dan memeluk pula sahabatnya itu. Wajah pemuda ini bersinar dan untuk sekejap bercahaya gembira.

“Han Han, kau di sini? Kau kiranya yang mengutit kami? Ah, apa yang kau lakukan, Han Han? Kenapa membututi orang secara diam-diam? Kau sudah tidak punya kerjaan?”

“Benar, dan... dan... ah, mana isterimu Tang Siu, Han Han. Mana paman dan bibi Swi Cu. Kenapa kau sendirian disini!”

“Hm, kalian...” Han Han tak kalah haru, menepuk dan meremas-remas pundak sahabatnya ini, mata berkaca-kaca. “Apa, yang kau lakukan di sini, Giam Liong? Kenapa isterimu melengking menyebut Siauw Hong? Aku sudah mencari kalian sampai di Lembah Iblis, tapi kalian tak ada. Dan Tang Siu lalu mengajakku kembali kecewa tak menemukan kalian. Kalian sedang apakah?”

“Anakku hilang, Han Han. Puteraku diculik orang. Jahanam, keparat Siauw Hong itulah penculiknya!”

Yu Yin tiba-tiba melengking dan berkata mengejutkan Han Han. Pemuda yang tenang dan berwatak kalem ini tiba-tiba saja dibuat terkejut oleh lengking atau teriakan Yu Yin. Nyonya muda ini melepaskan diri dan berkata dengan suara tinggi, wajahnya merah terbakar. Tapi ketika Giam Liong, sang suami mencekal dan menahan lengan isterinya maka pemuda buntung itu menenangkan sang isteri.

“Sst, jangan berteriak-teriak. Ada Han Han di sini, Yu Yin. Ada sahabat kita yang dapat kita beri tahu tanpa harus bernada tinggi. Kita masuk dan bicara baik-baik, di dalam ada kursi."

Yu Yin mengguguk. Tiba-tiba nyonya muda itu menangis di pelukan suaminya sementara Han Han tertegun. Giam Liong sudah berputera? Anaknya diculik? Ah, ia baru akan menjadi calon ayah. Isterinya di rumah masih sedang hamil. Tapi ketika Giam Liong mengetuk bahunya dan diminta masuk, mereka memang masih di luar maka Han Han mengangguk dan melangkahkan kaki memasuki rumah ini. Rumah ini bukan rumah mereka karena ini adalah rumah penduduk dusun. Suasana di dalam gelap tapi Giam Liong menyalakan lampu, ada lampu minyak di situ. Dan ketika mereka duduk sementara Yu Yin masih menangis dan dirangkul suaminya maka Han Han melihat betapa wajah Si Naga Pembunuh ini mengeras. Ada bayang- bayang geram di situ. Mata yang tajam berkilat itu tampak menggetarkan menyembunyikan sesuatu yang dahsyat.

“Hm, bagaimana mulanya,” Han Han mendahului bertanya, suami isteri muda itu tampaknya masih sukar bicara. “Apa yang terjadi, Giam Liong. Bagaimana puteramu diculik.”

“Kejadiannya di Lembah Iblis,” si buntung mulai bercerita. “Waktu itu aku pergi mencari makanan, Han Han, seperti biasa kalau aku menyiapkan ransum untuk isteri dan puteraku yang masih kecil itu...”

“Tunggu, siapkah nama anakmu itu? Dia laki-laki?”

“Benar, anakku laki-laki, Han Han, dan namanya hm, kami beri nama Sin Gak! Kau sendiri, tentu sudah berputera juga, bukan? Siapa nama anakmu?”

“Hm, aku tak sepandai kalian,” Han Han tersenyum malu. “Kami lambat mempunyai anak, Giam Liong. Tapi isteriku sekarang sedang hamil. Aku belum berputera.”

“Ah, kita sama-sama menikah, sama-sama merayakan di hari yang sama. Kau belum berputera?”

“Belum, Giam Liong, tapi isteriku sekarang hamil, sebentar lagi sama saja. Kau lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana tadi.”

“Hm, puteraku. ini gara-gara kecerobohan Yu Yin. Dia meninggalkannya sejenak untuk mencarikan buah-buahan bagi Sin Gak. Dan ketika ia kembali ternyata anak itu sudah dibawa lari orang!” Si Naga Pembunuh menyalahkan isterinya sementara sang isteri tiba-tiba bangkit berdiri.

“Eh, jangan menyalahkan aku. Sin Gak merengek ingin buah, Giam Liong, dan mana ada ibu yang tega membiarkannya. Aku pergi karena selama ini tak pernah ada orang berani ke Lembah Iblis, apalagi menculik anak kita!”

“Sudahlah, sudah.” Han Han mengangkat dan menggoyang lengan, suami isteri itu mau bertengkar. “Tak guna salah-menyalahkan, Giam Liong. Isterimu benar dan kaupun juga tidak salah. Lalu bagaimana setelah itu.”

“Hm,” Si Naga Pembunuh malu, semburat. “Kau benar dan maaf sikapku tadi, Han Han. Bukannya aku hendak menyalahkan isteriku melainkan aku menyesal kenapa sampai terjadi begitu. Baiklah, aku tak tahu karena isterikulah yang menceritakannya. Ia menangis menggerung-gerung ketika aku tiba, menceritakan bahwa Sin Gak dibawa dan dilarikan orang. Dan karena waktu itu aku tak ada di rumah maka isteriku inilah yang lebih tahu daripada aku.”

“Penculiknya adalah Siauw Hong. Jahanam itulah yang membawa lari anakku. Awas, kalau ia berani mengganggu anakku selembar rambutnya saja akan kucincang dia seperti perkedel!”

“Siauw Hong? Apakah orang ini adalah laki-laki banci?”

“Eh!” Yu Yin terkejut, membelalakkan mata. “Kau tahu, Han Han? Kau lihat anakku itu? Benar, dia orangnya. Siauw Hong itu banci dan sinting. Mana dia dan di mana kau lihat!”

“Aku tidak melihat anakmu, tapi aku telah bertemu dengan laki-laki ini,” Han Han menarik napas. “Dan kalau betul orang itu yang kau maksud maka tadi kulihat dia di Hutan Iblis!”

“Hutan Iblis? Di mana itu?”

“Di luar dusun ini, Yu Yin, hutan yang memiliki pohon raksasa tinggi itu. Tapi sekarang mungkin ia sudah kabur. Aku tak tahu bahwa ia menculik anakmu. Dia he!”

Han Han menghentikan kata-katanya. Sin-hujin atau nyonya Sin itu sudah meloncat dan berkelebat keluar. Tanpa ba-bi-bu lagi nyonya itu melengking dan menuju Hutan Iblis. Keterangan sekelumit ini sudah dibawanya tanpa pelengkap lagi. Tapi ketika Giam Liong berkelebat dan memanggil isterinya, mendahului dan menyambar lengan isterinya itu maka Si Naga Pembunuh ini telah membawa masuk isterinya dan duduk lagi di ruangan itu dengan amat cepat dan luar biasa. Han Han kagum.

“Tunggu dan dengarkan. Cerita Han Han belum habis, Yu Yin. Percuma ke sana kalau kejadiannya sudah lama. Kau tak mungkin menemukan jahanam itu di Hutan Iblis!”

Yu Yin beringas, meronta. “Kau tidak cepat-cepat membantuku menemukan anak kita? Kau malah menahan aku di sini hingga jahanam itu dapat kabur? Lepaskanlah! Lepaskan aku, Giam Liong. Kucari dan kubunuh jahanam itu. Lepaskan aku!”

“Hm, sabar,” Han Han bicara dan maju melerai. “Giam Liong betul, Yu Yin. Kupikir si Siauw Hong itu tak ada lagi di hutan. Aku bertemu dia siang tadi dan kemungkinan sudah pergi. Kita tentukan dulu cara menangkapnya dan percayalah bahwa aku pasti membantu!”

“Nah, apa katanya,” si suami melepaskan cekalan, sang isteri terbelalak. “Percuma kalap dan berteriak-teriak membuang tenaga, Yu Yin. Kau dengarkan Han Han dan lihat ia mau membantu kita.”

“Tapi.... tapi anakku....” wanita itu menangis. “Terlalu lama di tangannya bisa celaka, Giam Liong. Kalian orang laki-laki tidak tahu perasaan wanita!”

“Hm, tidak. Kalau Siauw Hong berani mengganggu anak kita akan kucincang tubuhnya, kuhirup darahnya. Kegelisahanmu tak kalah besar dengan kegelisahanku, Yu Yin. Kalau Sin Gak diganggunya akan kurobek tubuh si banci itu menjadi empat potong!”

Han Han merinding. Melihat dan mendengar kata-kata itu mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika Si Naga Pembunuh ini menghirup darah musuh besarnya dan menelan jantung si Kedok Hitam. Giam Liong kalau sudah marah benar-benar mengerikan sekali. Si buntung ini dapat melakukan sesuatu yang tak biasa dilakukan manusia. Si buntung ini dapat menjadi iblis! Dan tak enak membayangkan itu cepat-cepat dia menekan kemarahan orang.

“Giam Liong, kupikir orang ini tak berani mengganggu anakmu terlampau jauh. Dan kalianpun rupanya cukup kenal si banci ini. Siapakah sesungguhnya dia dan ada apakah berani menculik Sin Gak?”

“Si banci ini dihitung-hitung ada hubungan keluarga dengan isteriku, meskipun jauh. Dia kerabat istana yang disingkirkan.”

“Ah, si banci ini orang istana? Pantas, dia begitu pesolek dan pakaiannyapun mahal!”

“Hm, kau sendiri, bagaimana dapat bertemu orang gila ini, Han Han? Dan apa perlumu keluyuran sampai di sini? Kau sendirian pula, meninggalkan isterimu. Hal yang tidak biasa dan pasti ada kepentingan!”

Mendadak Han Han memejamkan mata. Ditanya seperti itu tentu saja otomatis mengingatkan dia akan tugas utamanya. Dia mencari majikan Hutan Iblis karena orang inilah yang membunuh ibunya, juga murid- murid Hek-yan-pang termasuk bibinya Ki Bi. Dan ketika ia menutup muka dan tersedak, Han Han menahan perih yang hebat mendadak tanpa disadarinya lagi air matapun meleleh melalui celah-celah jarinya.

“Han Han!”

Giam Liong dan Yu Yin terkejut. Suami isteri itu kaget melihat Han Han menangis. Pemuda luar biasa ini, putera ketua Hek-yan-pang yang gagah mendadak mengguguk dan tersedu. Dan ketika Han Han menjatuhkan muka ke meja maka pemuda itu menangis seperti anak kecil!

“Han Han!” Giam Liong tak dapat menguasai diri lagi. Kalau sahabatnya ini menangis sampai begitu sedih pasti ada sesuatu yang hebat terjadi. Tak biasanya pemuda putera ketua Hek-yan-pang ini mengguguk. Maka ketika Giam Liong bangkit dan menyambar temannya, Yu Yin juga berdiri dan sejenak melupakan putera mereka maka Han Han terkejut ditepuk keras. Giam Liong berdiri di belakangnya dengan muka berubah.

“Han Han, apa yang terjadi? Kau... kau menangis seperti anak kecil? Maaf, apa yang terjadi, Han Han. Ceritakan kepada kami dan giliranmu untuk memberitahu kami. Ketahuilah bahwa sebenarnya kami akan berkunjung ke Hek-yan-pang menghadap ayah ibumu!”

“Ibu.... ibu...” Han Han tak dapat menguasai diri. “Ibu telah meninggal, Giam Liong. Ibu tewas dibunuh orang.”

“Apa?” meja berkeretak dan tiba-tiba roboh, keempat kakinya melesak dan patah dicengkeram si buntung ini, hancur. “Bibi.... bibi tewas dibunuh orang?Ibumu. ibumu.”

“Benar,” kali ini si buntung terhuyung dan Han Han bangkit berdiri, melihat wajah membesi dan pucat serta merah dari Si Naga Pembunuh itu. Giam Liong terpukul hebat dan tidak menyangka, menangis menabrak dinding. “Ibu telah tiada, Giam Liong. Kami.... kami kehilangan dia.”

“Ooohhhhh.!” ratap atau keluhan panjang itu terdengar menyayat. Giam Liong tiba-tiba roboh dan terduduk. Dan ketika ia terbelalak namun memejamkan mata mendadak si buntung ini mengguguk dan bersedu-sedu pula seperti Han Han. “Ibu... bibi!”

Dua pemuda itu bertangis-tangisan. Giam Liong memeluk dan mencengkeram Han Han dan terdengar suara tulang berderak ketika remasan atau cengkeraman kuat itu menancap di bahu Han Han. Kalau bukan pemuda ini yang menerima tentu tulang-tulang pundak itu hancur. Giam Liong mengerahkan Im-kangnya yang amat dahsyat ketika meremas-remas bahu sahabatnya ini. Batu sebesar gunungpun akan mampu diluluh lantakkan. Giam Liong sedang menahan kemarahan dan kekagetan yang hebat. Swi Cu adalah bibi sekaligus orang yang pernah menjadi ibu kandungnya, ketika dia disangka Han Han karena Han Han yang asli diculik ibunya, Wi Hong (baca Naga Pembunuh), bertahun-tahun hidup di Hek-yan-pang sebagai putera suami isteri gagah itu.

Maka begitu mendengar Swi Cu terbunuh dan wanita yang pernah menjadi ibunya itu tewas, Giam Liong kaget sekali maka ia tak dapat menahan diri dan kini mengguguk dan mengeluh panjang pendek. Dua pemuda yang sama-sama berkepandaian tinggi ini hanyut dalam kedukaan yang hebat, mereka sama-sama hancur. Tapi ketika Han Han lebih dulu menghentikan tangisnya, Giam Liong merintih dan tersedu-sedu dilantai maka pemuda itu bangkit berdiri menguasai dirinya lagi. Betapapun Han Han telah lebih dulu menguras air matanya dihek-yan-pang.

“Sudahlah,” Han Han gemetar, terharu oleh kedukaan sahabatnya ini. “Ibu telah berpulang, Giam Liong. Ia telah tenang di alam baka. Kejadian itu telah lewat dan hentikan tangismu.”

“Kau... kau...” wajah Giam Liong memerah, gelap ketika diangkat. “Kenapa tidak sejak tadi kau ceritakan ini, Han Han? Kau memukul aku. Kau selamanya lebih dulu memperhatikan kesedihan orang lain dan tidak pernah menonjolkan kesedihanmu sendiri. Ah, aku jadi malu bahwa kesusahanmu lebih dulu kau ketahui!”

“Maaf,” Han Han menggigit bibir. “Aku tak tahan melihat kedukaan isterimu tadi, Giam Liong. Aku sedih bahwa puteramu diculik orang.”

“Dan siapa pembunuh bibi Swi Cu itu!” wajah Giam Liong tiba-tiba membesi, maka itu mencorong dan menakutkan. “Katakan kepadaku, Han Han. Biar kucari dan kubinasakan orang itu. Sumpah dem itujuh turunan aku tak akan mengampuni jahanam ini krek!” Giam Liong meremas batu sekepalan, hancur dan membukanya dan Han Han berkerut melihat itu.

Kalau saja Giam Liong tidak beringas dan buas seperti ini tentu dia mau memberitahukan. Tapi sekarang? Ah, mencari musuh janganlah berlandaskan sakit hati atau dendam. Dia dan ayahnya telah sepakat bahwa majikan Hutan Iblis akan dicari dan dituntut tanggung jawabnya atas pembunuhan yang telah dilakukan. Tapi karena pencarian itu bukan berlandaskan dendam melainkan semata keadilan, menumpas yang jahat membela kebenaran maka Han Han jadi menggeleng melihat sikap Giam Liong ini, tak mau memberitahu. Dan ketika Giam Liong terbelalak dan marah kepadanya, mencengkeramnya maka si buntung itu mendesis.

“Han Han, siapa pembunuh bibi Swi Cu? Siapa jahanam keparat itu?”

“Aku belum tahu, aku masih mencarinya,” Han Han berbohong. “Aku tak tahu siapa dia, Giam Liong. Tapi nanti tentu ketemu.”

“Bohong, kau dusta!” bentakan itu mengetarkan. “Kau menyembunyikannya kepadaku, Han Han. Kau bohong! Kau tidak jujur kepadaku!”

“Terserah,” Han Han tersenyum getir. “Aku sudah menjawabnya, Giam Liong. Aku masih mencari musuh ini. Biarlah kutangani sendiri tak usah kau campuri. Kau harus mencari puteramu yang hilang.”

“Han Han!” suara Giam Liong tiba-tiba penuh geram. “Kau anggap apa aku ini? Apakah kematian ibumu boleh kulewatkan begitu saja? Tidak, ibumu adalah ibuku juga, Han Han. Bertahun-tahun aku hidup di Hek-yan-pang dan dibesarkannya. Dia adalah ibuku sekaligus bibiku. Dia orang tuaku. Aku akan mencari dan membunuh jahanam ini. Kalau kau tidak mau memberitahukannya aku akan ke Hek-yan-pang dan bertanya disana!”

Han Han mengerutkan kening. “Kau mau menemui ayah?”

“Aku akan ke sana, Han Han, sembahyang di makam bibi Swi Cu. Kalau kau tidak mau memberitahu pasti orang lain memberitahukannya!”

“Hm, mencari musuh jangan berlandaskan dendam,” Han Han berkata, watak ayahnya yang lemah lembut muncul. Beginilah memang putera si jago pedang Ju-taihiap ini. “Kau boleh saja mencarinya lewat keterangan orang lain, Giam Liong, tapi betapapun jangan penuhi benci atau dendam. Kematian ibu sudah takdir Yang Maha Kuasa, ia melanggar larangan ayah dan menerima akibat. Tapi sudahlah, aku tak suka kau mengulang sepak terjangmu yang lama.”

“Baiklah, ceritakan bagaimana kematiannya, Han Han. Atau untuk inipun kau tak suka memberitahu!”

“Hm, ibu. ibu mencari seseorang pembuat onar. Dia pergi tanpa ayah, melanggar larangannya. Dan ketika ia kembali maka ia luka-luka dan akhirnya tewas.”

“Siapa yang dicari?”

“Seseorang tokoh sesat.”

“Han Han,” suara si buntung meninggi. “Kau selalu menyembunyikan ini kepadaku. Apakah untuk inipun kau tak mau memberitahu terang-terangan?”

“Maaf, waktu itu aku tak ada di rumah, Giam Liong, aku sedang bepergian dengan Tang Siu, antara lain mengunjungi tempatmu di Lembah Iblis tapi kau tak ada. Dan ketika aku kembali maka semua itu terjadi. Aku tak dapat bercerita lebih kecuali ini."

“Baik, kalau begitu kutunda pencarianku sendiri, Han Han. Sekarang juga aku ke Hek-yan-pang dan kita berpisah!”

“Giam Liong !”

Si buntung membalik dan berkelebat. Ia marah kepada Han Han karena pemuda itu tak mau bicara terang-terangan. Yu Yin, sang isteri, tersedu dan menangis sendirian di sana, mendiamkan dua pemuda itu bertengkar karena nyonya muda inipun terpukul oleh berita itu. Maka ketika Giam Liong berkelebat dan menyambar isterinya, lenyap di luar rumah maka Han Han meloncat dan melihat si buntung itu melesat di kegelapan malam.

“Giam Liong, jangan bunuh orang dengan kejam. Ingat nasihat Sian-su bahwa ada akibat karena ada sebab. Jangan keluarkan watak sadismu!”

Giam Liong mendengus. Ia tak menjawab dan meluncur serta akhirnya lenyap di luar dusun. Lalu ketika Han Han termangu-mangu tak mengejar, mereka mempunyai urusan sendiri-sendiri maka Han Han pun kembali ke Ci-bun untuk mencari jejak majikan Hutan Iblis ini. Bahkan ia sekarang hendak mencari dan menemukan pula si banci Siauw Hong itu.

Gemas Han Han kalau teringat orang ini. Tak disangkanya bahwa si banci itu menculik Sin Gak, keponakannya. Kalau ia tahu begitu tentu tak mungkin ditinggalkannya begitu saja di hutan. Kencing atau berakpun akan ia tunggu, si banci itu kurang ajar! Dan ketika masing-masing mempunyai tujuannya sendiri sementara Han Han menginap di Ci-bun maka Hek-yan-pang kedatangan si buntung Giam Liong ini pada keesokan paginya.

* * * * * * * *

Banyak yang terbelalak ketika si buntung dan isterinya ini tiba di telaga. Murid-murid Hek-yan-pang, yang akhir-akhir ini banyak menerima musibah sejenak berdetak dan terkejut melihat munculnya pasangan orang muda yang datang seperti iblis itu. Wajah Giam Liong merah gelap sementara Yu Yin masih terisak-isak. Giam Liong masih marah kepada Han Han. Maka ketika ia tiba di Hek-yan-pang dan bertemu anak murid, tak banyak bicara dan menyambar perahu maka murid yang tertegun dan kaget melihat si buntung itu tiba-tiba mengenal tapi segera cemas melihat wajah yang gelap dan murung.

“Naga Pembunuh...!”

“Sin-siauwhiap (pendekar muda Sin)!”

Giam Liong tak menghiraukan dan memukul dayung ke permukaan telaga. Perahu melejit dan terbang ke depan begitu di dorong. Pukulan ke permukaan air itu menimbulkan tenaga dorong luar biasa di mana perahu tiba-tiba terangkat, terbang dan meluncur dan gegerlah murid-murid melihat itu. Mereka segera mengenal bekas putera Hek-yan-pang ini tapi karena wajah si Naga Pembunuh tampak merah dan gelap maka mereka salah duga. Sudah berkali-kali pemuda ini membuat ribut.

Maka begitu meluncur dan merampas perahu, tanpa ba-bi-bu lagi terbang menyeberang maka anak-anak murid salah kira dan mengeluarkan suitan-suitan panjang untuk memberitahu yang ada di pulau. Mereka mengira Giam Liong akan mengamuk karena wajah yang gelap dan tidak bersahabat itu menunjukkan tanda-tanda kemarahan.

Maka ketika mereka mengeluarkan suitan-suitan nyaring namun Giam Liong tidak perduli dan terus meluncur maka dengan beberapa kali memukul permukaan telaga dayungnya telah mengantar perahu itu ke tengah pulau. Di situ telah menanti banyak orang dan semuanya bersiap-siap. Tanda dari seberang telaga menunjukkan bahaya. Dan ketika dua bayangan berkelebat dan itulah ketua Hek-yan-pang dan mantu perempuannya, Ju-taihiap dan Tang Siu maka Giam Liong telah melompat dan meninggalkan perahu yang masih sepuluh meter dari darat.

“Ayah !”

“Tang Siu!”

Dua orang itu tertegun. Mata Ju-taihiap yang tajam akhirnya dapat mengenal siapa tamu-tamu mereka ini, begitu juga Tang Siu. Maka begitu Giam Liong melompat dan menyebut mereka, Yu Yin berteriak dan memanggil sahabatnya maka anak-anak murid yang tadinya tegang dan tak mengenal siapa dua pendatang ini mendadak berobah girang dan mereka berseru menyebut pemuda buntung gagah itu.

“Si Naga Pembunuh!”

“Giam Liong!”

Anak-anak murid bersorak. Mereka girang sekali melihat kehadiran pasangan orang muda ini dan ketegangan yang semula ada seketika lenyap. Dan ketika Giam Liong menubruk pendekar itu dan menyebut ayah, sebutan yang dulu sering dipakainya karena mereka pernah menjadi ayah dan anak maka Beng Tan yang terharu dan berkejap-kejap menerima anak muda ini hampir tak mampu bersuara saking gembira dan kangennya.

“Giam Liong, kau... kau yang datang? Kau bersama isterimu Yu Yin? Aduh, selamat datang, nak. Kau mengagetkan kami yang menyangka musuh!”

“Dan kau begini tiba-tiba. Kau semakin cantik tapi kusut! Eh, aku rindu padamu, Yu Yin. Aku dan Han-ko mencarimu di Lembah Iblis tapi kalian tak ada. Dari mana dan kenapa tak memberitahu. Kalian mengejutkan!” Tang Siu, yang gembira dan kangen melepas rindu lalu memeluk dan menciumi sahabatnya ini.

Tapi ketika Ju-taihiap sadar dan bertepuk tangan, anak murid riuh menyambut mereka maka pendekar itu mengajak masuk dan Giam Liong tergetar melihat wajah ayah angkatnya yang kusut dan tua ini. Pendekar pedang itu tampak menyembunyikan kedukaan!

“Ayah, mana mana ibu?”

“Hm, masuklah, duduk di dalam. Kedatangan kalian amat tiba-tiba, Giam Liong, menggembirakan tapi juga mengejutkan. Mari mari masuk dan kita bicara didalam!”

Sama seperti Han Han pendekar ini tak mau menonjolkan kepedihan pribadinya dulu. Ju-taihiap menyuruh dua orang muda itu duduk dan pelayanpun diminta mengeluarkan makan minum, duduk dan menemani dan bertanyalah pendekar itu bagaimana kabar keduanya. Sudah lama pasangan muda ini tak bertemu. Dan ketika Yu Yin tak kuat dan memeluk Tang Siu, bertanya apakah betul Ju-hujin meninggal maka tuan rumah terkejut dan Giam Liong pun tak mampu menahan runtuhnya air mata lagi.

“Ayah, ibu. ibu tewas? Ia dibunuh orang?”

“Astaga!” sang pendekar bangkit berdiri dan terbelalak, wajah seketika berubah. “Kalian. kalian tahu, Giam Liong? Kalian sudah mendengar ini?”

“Betul, Han Han yang bercerita, ayah. Kami bertemu di sebuah dusun dan Han Han tampak berkeliaran disitu.Kami kami ingin menyatakan bela-sungkawa!”

Sang pendekar terduduk dan berkejap-kejap. Sekarang ia menggigil dan tak dapat menahan perasaannya lagi. Hampir saja air matanya yang kering keluar lagi. Tapi ketika pendekar itu terbatuk dan menenangkan goncangan perasaannya, dua anak muda ini kiranya sudah tahu kematian isterinya maka ia memejamkan mata dan mengangguk, suaranya bergetar lirih ketika menjawab,

“Benar, bibi kalian Swi Cu telah tewas anak-anak. Tapi semuanya tak perlu ditangisi lagi. Yang lewat sudah lewat, semua orang pasti harus kembali ke asalnya.”

“Dan siapa pembunuh itu!” Yu Yin tiba-tiba berseru, tangisnya mengguguk. “Siapa jahanam keparat itu, paman. Kenapa bibi bisa terbunuh!”

“Hm,” sang pendekar berkerut. “Han Han tidak memberitahu kalian?”

“Tidak, Han Han menyembunyikannya. Kami ingin membalas dendam di samping urusan kami sendiri!”

Ju-taihiap terkejut dan memandang wanita muda itu. Sekilas dia memandang Giam Liong dan Giam Liong tampak menyesal memandang isterinya. Sebenarnya dia akan memancing ayah angkatnya ini untuk mengetahui pembunuh bibinya. Dia tak akan memberitahu bahwa Han Han tidak memberitahu mereka. Tapi karena isterinya sudah bicara dan itu terlanjur, sang ayah tertegun dan mengerutkan kening maka Giam Liong yang diam-diam khawatir ayah angkatnya ini tak memberitahu lalu benar saja terbukti dari kata-kata orang tua itu. Ju-taihiap segera menangkap apa maksud putera kandungnya.

“Hm, kami juga tak tahu siapa pembunuh itu, Yu Yin. Tapi sekarang Han Han mencarinya dan keluar meninggalkan rumah. Kalian rupanya bertemu dan bagaimana keadaannya.”

“Dia baik-baik saja,” Giam Liong kini bicara, memberi isyarat isterinya agar tidak main serobot. “Han Han dan kami bertemu di suatu tempat, ayah. Tapi agaknya aneh bahwa ayah maupun dia tidak tahu siapa pembunuh ini. Apakah ayah bicara jujur!”

“Hm, aku tak tahu siapa dia, Giam Liong, dan orang tua seperti aku rasanya tak perlu berbohong. Aku sungguh-sungguh tidak tahu siapakah sebenarnya pembunuh ini!”

Giam Liong tertegun. Dia tidak tahu bahwa yang dimaksud pendekar itu adalah tentang siapa sesungguhnya majikan Hutan Iblis itu. Ju-taihiap memang tidak berbohong bahwa untuk ini dia betul-betul tidak tahu. Manusia srigala itu memang misterius dan wajah di balik topeng karet itu juga belum pernah dibuka. Dan karena untuk inilah pendekar itu maksudkan, bukan siapa nama atau julukan pembunuh maka Ju-taihiap memang tidak berdusta dan Giam Liong tergelincir. Ini menunjukkan bahwa jago pedang itu orang yang cerdik.

Mendengar bahwa Han Han tak memberitahu siapa nama pembunuh maka segera jago pedang ini maklum bahwa Han Han tak menghendaki Giam Liong ikut campur. Dan itu tentu karena peristiwa lama, kekejaman atau kesadisan Giam Liong dalam membunuh musuh. Han Han dan dia adalah orang-orang yang tak tahan dengan segala macam kesadisan. Tentu untuk maksud inilah puteranya itu menyembunyikan nama pembunuh kepada Giam Liong. Dan karena ia setuju dan cepat tanggap akan maksud puteranya, Ju-taihiap mengerti dan sependapat dengan itu maka iapun berkata bahwa ia tak tahu siapa sesungguhnya majikan Hutan Iblis itu.

Giam Liong kalah pengalaman dan kalah matang. Ia tak tahu taktik memutar yang seperti berbelit ini. Maka ketika ia tertegun dan heran bahwa ayahnya tidak tahu, sama sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksud adalah misteri tentang siapa sesungguhnya wajah di balik topeng karet itu, pemuda ini kurang pengalaman maka iapun terbelalak tapi betapapun juga naluri pemuda ini menangkap sesuatu yang disembunyikan ayah angkatnya itu pula. Giam liong tidak mendesak dan Ju-taihiap merasa lega, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan memutar untuk menandingi kecerdikannya juga. Dan ketika di sana Yu Yin masih terisak-isak dan jago pedang itu teringat akan kata-kata si nyonya muda maka dia balik bertanya apa urusan yang dibawa pasangan ini.

“Kami, hmm kami tak punya urusan apa-apa, ayah, selain ingn berkunjung dan mencari kesegaran dengan jalan turun gunung.”

“Tapi isterimu tadi bicara tentang sesuatu urusan. Tentu penting dan ini yang kutanyakan!”

Giam Liong mengerutkan kening. Ayah angkatnya ini memang cerdik namun dalam keadaan seperti itu ia tak ingin menonjolkan kedukaan pribadinya, apalagi karena iapun menangkap sesuatu yang disembunyikan ayah angkatnya ini, tentang pembunuhan itu. Maka mengedip dan minta agar isterinya tidak bicara iapun menjawab setelah mendapat akal,

“Yang dimaksud adalah ingin mengunjungi istana, ayah. Yu Yin rindu kepada paman mudanya, Yauw-ongya itu.”

“Hm, pangeran muda itu? Yang dulu menolong kalian di rumah Hui-ciangkun?”

“Benar, dia ini. Dan sekarang bolehkah kami tahu di mana makam ibu. Kami ingin bersembahyang.”

Ju-taihiap menarik napas dalam. Ia juga tak menyangka bahwa kali ini Giam Liong pun mengakalinya. Cerdik dibalas cerdik! Dan ketika ia bangkit berdiri dan mereka berempat menuju belakang rumah maka di situ Giam Liong melihat makam Ju-hujin yang masih baru. Untuk kesekian kalinya Giam Liong tak dapat menahan runtuhnya air mata. Ia menggigil dan langsung mendeprok di makam itu. Dan ketika Yu Yin juga tersedu dan jatuh di makam maka mereka sudah menyalakan lilin dan pasangan muda ini sembahyang dengan air mata bercucuran.

Ju-taihiap hampir tak dapat menahan diri sementara Tang siu menangis di samping Yu Yin. Dua sahabat ini sama-sama sembahyang lagi, mereka berkemak-kemik. Tapi ketika semua selesai dan kembali lagi maka Giam Liong bertanya apakah boleh dia menginap.

“Kami ingin tinggal barang sehari dua. Apakah ayah tidak keberatan dan merasa terganggu.”

“Ah, omongan apa ini, Giam Liong? Dulu kau tahu bahwa ini adalah tempat tinggalmu. Bahkan ketika kau meninggalkan tempat ini kuminta agar kau tetap di sini bersama Han Han, tapi kau menolak! Nah, tinggal dan lakukanlah sesukamu, Giam Liong. Selamanyapun kau di sini aku tidak keberatan!”

“Terima kasih,” Giam Liong terharu, di tepuk-tepuk pundaknya. “Kau selalu baik, ayah. Terima kasih!”

Hari itu Giam Liong dan Yu Yin tinggal di sini. Dia minta maaf kalau ayahnya tersinggung. Tapi ketika Ju-taihiap tersenyum dan mendorong pemuda itu maka Giam Liong mendapat kamar di samping di mana dulu itu adalah bekas kamarnya sendiri.

“Kau seperti orang asing saja. Kau dan Han Han adalah anak-anakku sendiri, Giam Liong. Rumah ini adalah rumahmu pula. Tidurlah, beristirahatlah kalau capai!”

Giam Liong lega. Tapi ketika ia memandang sang isteri ternyata Yu Yin dibawa Tang Siu.

“Malam ini aku ingin tidur bersama Yu Yin. Biar Giam Liong tidur di kamarnya sendiri. Kau tidak keberatan bukan, Giam Liong?”

“Hm, si buntung ini tersenyum kecut. “Kalau Yu Yin suka boleh kau bawa, Tang Siu, asal tidak untuk selamanya!”

“Hi-hik, tak usah khawatir. Kalau selesai tentu kukembalikan!” dan karena suasana sudah tidak diliputi kedukaan lagi, betapapun mereka adalah orang-orang gagah yang mampu mengendalikan diri maka ketika malam tiba Giam Liong pun sendiri di kamarnya sementara sang isteri di kamar lain bersama Tang Siu.

Dua wanita itu memang sahabat karib yang begitu bertemu seperti saudara kandung saja, ngobrol dan bercakap-cakap dan di sini Yu Yin melepas penasarannya akan sikap suaminya. Giam Liong telah berbohong kepada ayahnya tadi. Dan ketika Tang Siu bertanya bukankah dulu Yu Yin sudah bersumpah untuk tidak ke istana maka Yu Yin uring-uringan mengomeli suaminya tadi.

“Itulah, siapa tidak mendongkol. Aku tak punya urusan apa-apa dengan istana, Tang Siu. Aku memang rindu kepada pamanku Yauw-ongya tapi aku tak berniat kesana. Entah kenapa Giam Liong bohong kepada ayah dengan memberitahu bahwa aku katanya mau keistana!”

“Hm, kalau begitu urusanmu itu bukan ke istana?”

“Tidak, melainkan mencari puteraku yang diculik orang. Anakku, Sin Gak, dibawa seorang jahanam keparat. Suamiku rupanya tak mau diketahui ayah karena kalian sedang berkabung!”

“Ah, kau.... kau sudah berputera? Kalian sudah mempunyai keturunan?” Tang Siu tentu saja terbelalak.

“Benar, dan maaf bahwa aku tidak memberitahu ini, Tang Siu. Giam Liong melarangku dan rupanya tak enak karena kematian bibi Swi Cu itu. Dan kau, bukankah juga sedang berbadan dua? Han Han memberitahukannya kepada kami!”

Tang Siu menangis. Tiba-tiba ia merasa terharu tapi juga kaget bahwa Yu Yin kehilangan anaknya, mencium dan mengucap selamat dan selanjutnya dia bertanya bagaimanakah asal mula kejadian itu. Yu Yin menganggap Tang Siu adalah sahabatnya sendiri, tak perlu berahasia. Maka ketika dia bercerita tapi berpesan agar jangan sampai diketahui Giam Liong, nanti suaminya marah maka malam itu dusta Giam Liong kepada ayah angkatnya diketahui. Dan berbareng dengan itu maka “kebohongan” Ju-taihiap juga diketahui pemuda buntung ini.

Karena ketika dua wanita itu bercakap-cakap di kamarnya Giam Liongpun berkelebat keluar dan mencari bibinya Ki Bi yang dulu adalah merupakan murid utama Hek-yan-pang, tak tahu bahwa wanita itu bersama beberapa murid utama Hek-yan-pang yang lain telah tewas terbunuh! Dan karena Giam Liong tentu saja tak mungkin menemukan wanita ini dan akhirnya menemukan murid lain, menangkap dan diajak bicara maka Giam Liong terhenyak dan diketahuilah siapa kiranya biang penyakit itu!