Naga Pembunuh Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 31
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"TOBAT, aku menyerah. Minta ampun. Lepaskan aku!"

"Hm, tak ada ampun!" Giam Liong muak dan benci memandang lawannya itu, sikapnya menjadi lebih beringas. "Kau harus minta ampun terlebih dahulu kepada ayah ibuku di akherat, Kedok Hitam. Dan baru setelah itu kepadaku!"

"Aduh, kau terkutuk. Kau bocah keparat. Kau...crep.”

Kedok Hitam menjerit, Giam Liong melepas golok terbangnya lagi dan kini menancap di pipi. Dari samping pemuda itu menyerang lawannya. Dan ketika lawan terjungkal namun lari lagi, hebat dan mengagumkan maka laki-laki ini menuju ke Timur. Ia telah melewati ratusan kepala dan ribuan orang yang menonton terbelalak. Kejar-kejaran itu mendebarkan sekali. Golok Maut di tangan Giam Liong tetap bersinar-sinar dan cahaya dari golok ini memantul menyilaukan mata. Semua merasa ngeri dan bergidik. Naga Pembunuh benar-benar siap menghabisi lawannya.

Celakalah Kedok Hitam itu. Dan ketika laki-laki ini melompati pintu gerbang dan turun di luar, lari sekencang-kencangnya maka dia coba menyusup dimalam gelap namun Giam Liong terlalu dekat jaraknya. Sebatang hui-to kembali menyambar dan laki-laki itu roboh. Hebatnya masih dapat berdiri lagi dan lari kesetanan.

Kedok Hitam rupanya mendapat tenaga mujijat yang luar biasa, bukan untuk dipakai bertanding melainkan untuk melarikan diri. Dan ketika Giam Liong kembali kagum karena laki-laki itu mampu melesat kencang, terbang bagai harimau bersayap maka dia melepas lagi dua golok terbangnya mengenai paha lawan. Kedok Hitam menjerit namun masih dapat berlari, bahkan kian kencang. Dan ketika malam itu laki-laki ini terus ke timur dan berteriak mengiba-iba, malam berganti pagi maka Giam Liong terkejut karena tiba-tiba saja mereka tiba di telaga Hek-yan-pang!

“Heii..!" Giam Liong terkejut dan sadar. "Berhenti kau, Kedok Hitam. Ada apa datang kesitu!"

Namun laki-laki itu mengeluarkan lengkingan panjang pendek. Dia sudah memanggil-manggil Pek-jit-kiam Ju Beng Tan dan Giam Liong berubah karena ayah angkatnya muncul, berkelebat dan tampak di seberang sana. Dan ketika dua bayangan lain juga bergerak dan muncul, itulah Han Han dan bibinya Swi Cu maka berturut-turut anak-anak murid Hek-yan-pang bermunculan dan telaga tiba-tiba penuh orang.

"Ju-taihiap, tolonglah aku. Giam Liong hendak membunuhku.... byurr!" laki-laki, itu terjun ke telaga, menyambar dan buru-buru menyergap sebuah perahu dan anak murid Hek-yan-pang berteriak karena ditendang dari perahunya. Kedok Hitam panik. Dan ketika laki-laki itu mendayung dan cepat serta pucat ia menuju seberang, Beng Tan dan lain-lain terbelalak di sana maka Giam Liong marah besar dan melempar dua potong papan kecil, mengejar dan berjungkir balik di atas telaga, meluncur.

"Kedok Hitam, kau pengecut. Ada apa membawa-bawa orang lain. Berhentilah, dan terima ini!"

Tiga golok bercuit... Kedok Hitam mengelak namun hui-to itu tiba-tiba membalik. Laki-laki ini kaget karena Giam Liong ternyata mempergunakan kepandaiannya yang jarang digunakan, membuat golok seperti bernyawa dan kini, menyambar kembali laki-laki itu, bukan main kagetnya. Dan ketika dia harus menangkis namun tenaga terlampau lemah, golok melesat dan menyambar di samping maka daun telinga putus, terpenggal dari tempatnya.

"Aduh, ampun, Giam Liong. Tobaat...”

Beng Tan dan anak isterinya terkejut. Kedok Hitam yang sudah bermandi darah benar-benar pagi itu membuat geger, la datang dengan keadaan menyedihkan, mukanya pucat pasi. Pundak dan pipinya juga tertembus golok kecil. Dan ketika Giam Liong mendengus dan bergerak-gerak di air dengan amat cepatnya mengejar, maka lawan benar-benar serasa terbang nyawanya mendengar bentakan pemuda itu, dingin dan menggetarkan bulu kuduk.

"Kedok Hitam, siapapun tak dapat mencampuri urusan kita. Kau telah membunuh ayah dan ibuku. Dan kaupun memperkosa ibuku sebelum mati. Ajalmu sudah dekat, berhenti dan terimalah!"

Laki-laki ini berteriak. Dia sudah hampir di seberang ketika tiba-tiba tiga hui-to kecil menyambarnya lagi. Senjata-senjata itu mendahului Giam Liong sebelum pemiliknya datang. Dan karena Kedok Hitam tak mungkin menangkis kecuali mengelak, golok lewat di sisinya dengan cepat tiba-tiba seperti tadi hui-to-hui-to terbang ini membalik dan kembali menyambar dari depan.

"Ju-taihiap, tolong!"

Beng Tan tak sempat bergerak. Bentakan atau seruan Giam-Liong tadi membuatnya tertegun. Kabar bahwa Wi Hong dibunuh dan diperkosa laki-laki ini membuatnya merah. Kedok Hitam sungguh keji. Dan ketika Swi Cu maupun Han Han juga begitu, terbelalak dan kaget maka jeritan ngeri terdengar ketika hidung laki-laki itu terpapas.

"Crass!"

Kedok Hitam terjungkal. Sekarang ia terlempar dari perahunya namun tepat sekali di sebarang, la terbanting dan roboh di dekat ayah dan anak. Dan ketika ia mengeluh dan bindeng, darah memenuhi muka dan pakaiannya maka Giam Liong tertawa bergelak dan menyambar ke depan. Golok Penghisap Darah berkelebat.

"Kedok Hitam, sekarang terimalah kematianmu!"

Laki-laki ini tak sempat mengelak. Kalaupun ia mampu mengelak maka tak mungkin ia lebih cepat dari golok. Senjata di tangan Giam Liong bergerak bagai kilat menyambar, desingnya mengerikan. Tapi ketika laki-laki itu terjerembab dan terbeliak menyaksikan sambaran golok, hidung dan telinganya deras mengucurkan darah maka berkelebat cahaya putih dan bentakan yang menggetarkah telaga.

"Giam Liong, jangan bersikap kejam."

Ledakan atau dentangan memekakkan telinga. Giam Liong sendiri kaget ketika tiba-tiba dari arah kiri menyambar pedang yang menyilaukan mata, pedang di tangan Han Han yang dikenalnya sebagai Pedang Matahari, pedang ayah angkatnya tapi yang kini rupanya dimiliki sang anak kandung. Dan ketika suara beradunya dua senjata ditangan mereka begitu kerasnya, bunga api memuncrat dan masing-masing sama terpental, terbanting bergulingan maka Giam Liong berseru keras sementara Han Han juga berjungkir balik dan telapak kedua anak muda itu sama-sama terasa panas, terbakar.

"Crangggg !"

Golok Maut dan Pedang Matahari menggetarkan semua orang. Beng Tan dan isterinya sampai terhuyung mundur sementara anak-anak murid Hek-yan-pang terlempar ke sana ke mari. Suara dahsyat dari beradunya dua senjata ampuh itu, bagai halilintar menyambar, ledakannya benar-benar menggetarkan telaga. Air di tepian sampai muncrat tinggi, begitu hebatnya! Tapi ketika dua anak muda itu sama-sama berdiri lagi, Han Han sudah berjungkir balik dan melayang turun sementara Giam Liong menggigil disana, berketruk, maka Giam. Liong marah bukan main kepada pemuda baju putih ini, putera ayah angkatnya.

"Han Han, kau jangan ikut campur. Atau aku tak, mengingat siapa kau!"

"Maaf," Han Han bergidik dan seram melihat wajah dan kemarahan Giam Liong ini, mata yang seperti setan. "Aku tak akan mencampuri kalau kau tak di sini, Giam Liong. Tapi nyatanya kau telah datang ke Hek-yan-pang. Dan kami sebagai tuan rumah tentu tak dapat membiarkan pembunuhan di gepan mata. Urusanmu tak akan kucampuri, kalau kalian di luar. Dan karena kau sudah datang di sini maka kau dan dia kuanggap tamu. Tak akan dibeda-bedakan."

"Tapi aku datang bukan untuk bertamu. Aku mengejar musuhku ini. Kalau begitu lempar dia ke seberang dan jangan ikut campur.”

"Aku tak dapat memaksa. Kalau Kedok Hitam tak mau pergi maka dia adalah tamuku. Silahkan kau tunggu di seberang atau sama-sama menjadi tamu disini."

"Kau… kau..!" Giam Liong tak dapat bicara, tiba-tiba membalik dan menghadap bekas ayahnya. Dan ketika sepasang matanya membuat Beng Tan mundur selangkah, sinar mata itu benar-benar penuh api maka Giam Liong berkata, menggigil, menahan marah yang meledak-ledak,

"Ayah, apakah sikapmu sama seperti Han Han? Apakah kau juga akan melindungi dan membela jahanam ini? Kutegaskan di sini bahwa apapun akan kulakukan untuk membunuh musuhku ini, ayah. Jangankan di Hek-yan-pang, di istana pun aku tak gentar. Aku telah bersumpah untuk membunuh dan membalas dendamku. Nah, aku mohon jawabanmu apakah kau juga akan bersikap seperti Han Han. Tak usah berbelit-belit karena siapapun tahu bahwa jahanam ini sengaja datang ke Hek-yan-pang bukan sebagai tamu melainkan memang ingin minta perlindungan. Aku masih menghormat dan memandang mukamu!"

Beng Tan menarik napas dalam-dalam. Akhirnya ia dapat menenangkan diri dan sang isteri yang digamit agar tidak ikut bicara disuruhnya diam. Sesungguhnya siapapun gentar menyaksikan sikap Giam Liong ini. Si Naga Pembunuh akan menerjang siapa saja yang berani menghalanginya, termasuk dirinya sendiri. Dan karena Beng Tan tahu baik watak anak angkatnya ini, pendiam namun bergemuruh maka ia coba bersikap obyektif dan netral. Kedok Hitam memang terlalu jahat dan tak patut dilindungi. Han Han, puteranya, belum tahu benar watak laki-laki itu. Tapi karena ia juga dapat memahami watak anaknya yang tak mungkin membiarkan keberingasan membabi-buta di situ, anaknya terpengaruh iba dan ngeri melihat penderitaan Kedok Hitam, puteranya juga benar maka ia berkata dengan suara datar, namun penuh wibawa.

"Giam Liong, akupun tak takut akan ancaman mu. Mati bagi seorang gagah bukanlah apa-apa. Tapi karena urusan ini sudah melibatkan kami, langsung atau tidak maka meskipun kau benar tapi Han Han juga tidak salah. Diundang atau tidak, bermaksud minta perlindungan atau tidak nyata-nyata kalian telah datang di Hek-yan-pang. Nah, aku akan bersikap netral di sini. Kau boleh mengemukakan segala alasanmu tapi betapapun tentunya kau juga harus menghormat dan menghargai hak kami, penguasa wilayah Hek-yan-pang. Dan karena baik kau maupun Han Han sama-sama memiliki kebenaran, aku tak akan campur tangan biarlah kau selesaikan urusan itu dengan Han Han. Aku akan berdiri di luar, tidak memihak. Kalian selesaikan sendiri masalah itu sebagaimana layaknya seorang gagah. Kau turuti kata-kata Han Han atau Han Han siap menerima kemarahanmu!"

"Ayah tak menyuruh minggir Han Han?”

“Aku tak berhak menyuruhnya, Giam Liong. lapun benar karena ia merasa sebagai pemilik wilayah ini. Tapi karena kaupun juga benar bahwa kedatangan Kedok Hitam bukan sebagai tamu melainkan sebagai orang yang minta perlindungan, nah, Han Han rupanya hendak melindunginya maka silahkan kau selesaikan urusan itu dengannya atau kau tunggu di seberang sampai Kedok Hitam keluar!"

Giam Liong mengeluarkan erangan aneh. la terpukul oleh kata-kata ini namun dilihatnya bahwa kata-kata itupun betul. Sebagai pemilik Hek-yan-pang yang wilayahnya didatangi orang tentu saja pemilik berhak mengusir atau menerima, melawan atau melindungi. Dan marah bahwa Kedok Hitam sungguh licik, laki-laki itu tertawa dan terbatuk di sana, bukan main bencinya Giam Liong maka pemuda itu membentak.

"Kedok Hitam, jangan buru-buru tertawa. Betapapun aku akan membunuhmu. Kalau Han Han melindungimu bersyukurlah bahwa nyawamu masih diberi sedikit umur panjang!"

"Heh-heh ugh!" laki-laki itw tersedak, girang dan sejenak dapat melupakan sakitnya. "Kau telah mendengar kata-kata itu sendiri, Giam Liong. Hek-yan-pang membantuku. Kau harus berhadapan dengan mereka dulu kalau ingin membunuhku. Ugh.. jasa baik ini tentu tak akan kulupakan dan kelak sri baginda akan kuberi laporan agar menganugerahkan pangkat besar!"

"Kau tak usah banyak mulut!" Beng Tan membentak dan tak senang. "Hek-yan-pang tak pernah membela atau melindungi orang jahat, Kedok Hitam. Yang berbuat disini adalah puteraku sebagai pribadi, bukan membawa-bawa Hek-yan-pang. Ia bergerak semata atas dasar perikemanusiaan, rasa iba dan kasihannya melihat dirimu di ancam bahaya!"

Laki-laki ini tertawa sumbang, la mengerang dan merintih lagi merasakan sakitnya, duduk bersandar dan membalut luka-lukanya, sendiri. Keadaannya mengenaskan dan siapapun tentu kasihan. Memang benar kata-kata Beng Tan tadi. Namun karena semua orang juga tahu bahwa laki-laki ini amatlah jahatnya, culas dan curang maka tak ada yang menolong dan Han Han yang melindungi dan membelanya semata merasa ngeri dan bergidik melihat keganasan Giam Liong.

Musuh yang sudah terpapas daun telinga dan hidungnya masih juga dikejar-kejar, belum lagi beberapa golok terbang yang menancap di pipi dan pundak. Ah, semua ini membuat watak mulia Han Han bangkit. Ia tak dapat membiarkan kekejaman itu berlangsung di depan mata. Lain halnya kalau Giam Liong menyiksa atau membunuh lawannya di luar sana. Dan karena lain Han Han lain pula Giam Liong, masing-masing pemuda itu mempunyai watak sendiri-sendiri maka Giam Liong sudah berhadapan dengan calon lawannya ini. Untuk kedua kali berhadapan sebagai musuh!

"Han Han," suara Giam Liong berat dan terdengar dingin, kemarahannya masih tetap berkobar."Apakah kau tetap melindungi dan hendak membela jahanam ini? Apakah kau tak dapat membiarkan aku menyelesaikan dendamku dan nanti kita selesaikan urusan kita sendiri?"

"Maaf," Han Han menarik napas dalam-dalam. "Aku melihatmu terlalu kejam dan tak berperasaan, Giam Liong. Sungguh ngeri hatiku melihat apa yang kau lakukan kepada lawanmu ini. Lihat, ia luka-luka dan sudah terpapas hidung dan telinganya. Tapi masih juga kau kejar-kejar. Ia telah bertobat dan minta ampun namun kau tetap juga menyerangnya. Hm, aku tak dapat melihat semuanya ini dan hatiku berontak. Kau tunggulah di luar sana kalau ingin membunuh. Tapi kalau kau bersikeras dan hendak membunuh di sini, ada aku di sini maka tentu saja aku tak akan tinggal diam. Kau berada di wilayah Hek-yan-pang, wilayah ayah ibuku. Harap kau tahu ini dan terserah mana yang hendak kau pilih."

"Baik!" Giam Liong bergetar menggerakkan Golok Mautnya, mata mencorong bagai naga sakti, berkilat-kilat. "Kau dan aku rupanya sama-sama teguh pendirian, Han Han, kita sudah sama-sama tak ada titik temu. Mari se lesaikan persoalan ini secara gagah dan kau atau aku yang roboh memperebutkan jahanam itu!"

"Aku tak berebut. Aku hanya membela kebenaran sesuai kata hatiku”

"Tak usah banyak cakap. Cukup kita bicara. Han Han. kau atau aku yang mati, awas...!" dan Golok Maut yang berdesing menyambar Han Han, bergerak dengan kecepatan kilat tiba-tiba sudah melesat dan bagai halilintar menyambar tahu-tahu membabat leher pemuda ini. Giam Liong tak mau banyak bicara lagi dan ia sudah berseru memperingatkan. Percuma adu debat. Han Han akan membela pendiriannya seteguh dia membela pendiriannya pula.

Dan ketika Golok Maut bicara dan inilah penyelesaian secara laki-laki, dia atau Han Han yang roboh memperebutkan Kedok Hitam maka Han Han mengelak namun golok mengejar juga, melompat tapi tetap diburu dan yang di arah adalah lehernya. Kalau sudah begini Giam Liong benar-benar seekor Naga Pembunuh, siapapun akan diterkam dan dilahapnya. Dan karena serangan itu berbahaya dan dua kali berkelit tetap juga dikejar, hawa dingin Golok Maut membuat bulu kuduk meremang maka Han Han menangkis dan untuk kedua kalinya dua senjata yang sama-sama ampuh itu bertemu.

"Cranggg!"

Anak murid terpelanting. Han Han tergetar sementara Giam Liong juga terhuyung, membentak dan maju lagi dan Beng Tan maupun isterinya harus mundur dengan muka pucat. Swi Cu menjerit kecil ketika puteranya tadi menangkis. Lelatu api yang muncrat dari kedua senjata ditangan masing-masing pemuda itu membuat yang lain berteriak. Apalagi dentang senjatanya memekakkan telinga. Dan ketika selanjutnya Giam Liong sudah menyerang dan membacok lagi, cepat dan bertubi-tubi sementara lawan mengelak dan mundur menangkis, denting demi denting terdengar lagi maka Swi Cu terbelalak melihat puteranya itu.

"Han Han, pergunakan Pek-jit Kiam-sut. Cepat, jangan mundur-mundur dan balas lawanmu itu!"

"Hm, benar," sang ayah juga gatal. "Pergunakan Pek-jit Kiam-sut yang telah kau pelajari dari aku, Han Han. Jangan terlambat atau nanti kau tak dapat menahan desakan lawanmu!"

Benar saja, Han Han tiba-tiba terdesak. Giam Liong yang menyerang dengan kemarahan membubung tinggi sudah langsung mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari ilmu sillatnya Golok Akherat, Im-kan-to-hoat. Didorong oleh semangat balas dendamnya yang tinggi tiba-tiba membuat pemuda ini bagai seekor harimau kelaparan, membacok dan menusuk dan sebentar kemudian sudah berkelebatan mengelilingi lawan. Dan karena sepak terjang atau tandang Giam Liong benar-benar luar biasa, Golok Maut di tangannya itu benar-benar berbahaya sekali maka Han Han terdesak dan pemuda yang semula berkelit dan maju mundur dengan sering menangkis itu menjadi pihak yang bertahan dan sang ibu sering menjerit kalau Han Han hampir saja terlambat dan keserempet Golok Maut.

"Bret-bret!"

Ujung baju dan mata kancing pemuda itu terbabat. Beng Tan sendiri menahan napas dan hampir berteriak oleh terlambatnya sang anak. Giam Liong sudah kesetanan. Dan ketika Han Han menyadari keadaan dan pedang berkelebat ke sekeliling penjuru, apa boleh buat dia harus melepaskan diri dari kungkungan sinar golok akhirnya pemuda ini membentak nyaring dan tiba-tiba mengeluarkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit). Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh dan hanya dengan cara itu ia dapat melepaskan diri. Dan ketika benar saja tubuhnya melesat dan terbang ke segala penjuru, gerakan atau tubuh Giam Liong diikuti pemuda ini tiba-tiba saja Han Han sudah berubah menjadi bayangan putih yang menyambar-nyambar naik turun.

"Giam Liong, keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!"

Giam Liong terbelalak. Lawan yang semula berada di balik bayang-bayang Golok Mautnya mendadak keluar, melesat dan lolos dan Hui-thian-sin-tiauw yang diperlihatkan lawannya ini amatlah luar biasa. Han Han yang semula terkurung tiba-tiba lepas. Namun karena Giam Liong juga bukan pemuda sembarangan dan untuk menghadapi ini ia harus mengeluarkan ilmu saktinya Seratus Langkah, Pek-poh-sin-kun maka Han Han berseru kaget ketika tiba-tiba Giam Liong mencelat-celat dan ganti membayanginya dengan seruan tinggi.

"Han Han, jangan sombong. Aku juga mempunyai ilmu serupa yang akan menandingi kecepatanmu... sret-sret!" kaki Giam Liong seperti karet, membal dan mencelat-celat dan Han Han tentu saja terkejut.

Ayah ibunya di sana juga terbelalak dan Beng Tan menjadi kagum. Kiranya di tengah pengembaraannya itu Giam Liong menambah ilmunya, maju dan demikian mentakjubkan karena selama ini sang pendekar belum melihat ilmu itu. Ilmu ini dipelajari Giam Liong dari kitab kecil di sumur tua, peninggalan ayahnya yang dulu belum sempat dipelajari. Kini pemuda itulah yang mempelajari dan Ju-taihiap menjadi kagum. Kalau dulu mendiang Sin Hauw menguasai ilmu ini tentu dia kalah. Beng Tan benar-benar takjub. Tapi ketika Hui-thian-sin-kun ternyata mampu mengimbangi Pek-poh-sin-kun atau barangkali Pek-poh-sin-kun yang berhasil menyamai Hui-thian-sin-tiauw, dua anak muda itu bergerak sama cepatnya dengan tubuh menyambar-nyambar maka siapapun akhirnya tak memperhatikan lagi si Kedok Hitam yang perlahan-lahan mulai beringsut dari tempat itu.

Asyik dan tegangnya pertandingan dua pemuda ini membuat yang lain-lain lengah. Mereka tak melihat betapa Kedok Hitam menyelinap dan akhirnya menghilang, masuk ke markas Hek-yan-pang dan di situlah laki-laki ini menyelamatkan diri. Ia tak tanggung-tanggung karena memasuki kamar ketua, kamar Beng Tan pribadi. Dan ketika dua pemuda itu bertempur kian sengit, laki-laki ini merintih dan mengeluh di dalam kamar maka kebetulan seorang murid memergokinya melihat bercak-bercak darah dikamar ketuanya.

"Heii..!" murid wanita itu menjerit. "Kau, Kedok Hitam? Keluarlah, ini kamar ketua!"

Namun Kedok Hitam tertawa sengau. Ia tak dapat bicara atau tertawa baik gara-gara hidungnya yang terpapas itu. Namun karena kepandaiannya masih tinggi dan menghadapi murid rendahan begini tentu saja ia masih terlalu lihai maka ia menyambar dan murid wanita itu tahu-tahu di toloknya roboh.

"Kau... kau tolonglah aku. Carikan obat yang paling manjur dan diamlah di sini bersama aku. Awas, jangan berteriak atau nanti aku membunuhmu!"

Murid wanita ini menggigil. Ia roboh sekali ditotok dan pucatlah, mukanya melihat wajah mengerikan itu. Sadarlah dia bahwa Kedok Hitam masih terlalu lihai. Namun karena ia tak berdaya dan laki-laki itu rupanya hanya ingin minta tolong, membebaskan totokannya dan berkata agar dia diam maka murid wanita yang cantik dan berkulit halus ini gemetar.

"Aku... aku tak akan berteriak. Tapi... tapi lepaskan cengkeramanmu di punggung!"

"Kau mau, menolongku? Kau mau membantu aku mengobati luka-lukaku?"

"Mmm.... mau, Kedok Hitam. Tapi lepaskan tanganmu. Aku kesakitan!"

"Baik, dan berdiam di sini dulu bersama aku. Jangan macam-macam atau nanti kubunuh!"

"Tapi kita di kamar ketua. Aku takut!"

"Bodoh. Justeru di kamar ini banyak obat-obat mujarabnya. Heh, carikan obat untuk luka-luka luarku, nona. Dan siapa namamu?!”

"Aku... aku Thio Leng. Kau jangan membuat aku takut!"

"Heh-heh, aku tak pernah membuat kau takut. Asal kau menurut dan memenuhi perintah-perintahku maka tak perlu aku menakutimu. Hayo, bantu aku dan carikan obat pengering luka. Luka-lukaku masih berdarah."

Thio Leng, anak murid wanita itu mengangguk. Ia agak besar hati dan lega karena Kedok Hitam yang dikabarkan jahat ini ternyata baik-baik saja. Hanya ia merasa seram oleh luka-luka di tubuh dan mukanya itu. Jijik juga melihat hidung dan daun telinga yang putus. Namun karena orang tak berbuat jahat dan ia dimintai tolong, iba dan kasihannya muncul maka iapun membantu dan mencarikan obat. Semua itu ia temukan di kamar ketua dan dengan cepat ia mengolesi semua luka-luka itu.

Benar saja, luka-luka itu mengering, cepat sekali. Darah tak mengucur lagi namun gadis ini tak tahu betapa sejak tadi gerak-geriknya diperhatikan. Sorot mata aneh memancar dari balik si Kedok Hitam. Lengan dan jari-jari lentik menjadi perhatiannya. Dan ketika gadis itu juga harus membungkuk untuk mengobati luka di pundak dan pangkal lengan, rambut dan pundaknya yang harum merangsang birahi maka Kedok Hitam tiba-tiba tertawa dan secepat kilat menotoknya roboh.

"Cukup, lukaku sembuh. Heh-heh, kau cantik sekali, anak manis. Aku tiba-tiba jatuh cinta kepadamu!"

Gadis ini menjerit, la kaget dan berteriak tapi Kedok Hitam bergerak lebih cepat. Urat gagu gadis itu ditotok. Dan ketika Thio Leng meronta namun roboh di paha laki-laki ini, Kedok Hitam merasa aman dan lega di kamar itu maka laki-laki yang semalam ketakutan dan lari dikejar-kejar Giam Liong ini minta imbalannya. Hiburan segar!

"Heh-heh, tak usah meronta atau berteriak, Thio Leng. Aku telah menotokmu. Aih, kulitmu begini segar dan halus. Dan tubuhmu, aduh... mengilar aku. Kau masih perawan!"

Thio Leng pucat pasi.Ia tak menyangka dan menduga bahwa Kedok Hitam yang semula dianggapnya baik tiba-tiba berobah menjadi srigala lapar. Laki-laki itu terkekeh dan tawanya yang bindeng tak keruan membuatnya ketakutan. Kalau ada petir menyambar, rasanya ia lebih baik mati disambar, bukan roboh di tangan laki-laki ini. Dan ketika Kedok Hitam menggerayangi tubuhnya dan mulai membuka kancing-kancing bajunya, mencium dan mendengus maka murid Hek-yan-pang yang sial ini terbelalak lebar-lebar. Ia melotot dan menangis namun suara yang dikeluarkan kuat-kuat untuk berteriak dan menjerit tak mau keluar. Ia benar-benar tertotok luar dalam. Tubuh dan urat gagunya lumpuh.

Dan ketika dengan mata terbelalak ia mulai ditelanjangi, Kedok Hitam tertawa dan membenamkan mukanya di dada gadis itu maka Thio Leng seakan pingsan merasa remasan-remasan kasar di tempat terlarang, la menangis dan menjerit namun tak ada suara keluar. Ia meronta dan menggelepar namun tubuh diam saja menerima terkaman-terkaman lawan. Dan ketika jerit tertahan terdengar di situ, gadis ini merasakan sakit yang luar biasa tiba-tiba gadis itu pingsan dan Kedok Hitam beringas mengerjai korbannya. Laki-laki ini benar keji dan rupanya kehidupan di istana tak dapat ditinggalkannya.

Di sana setiap perempuan gampang saja diambil. Bahkan selir-selir kaisar sekalipun. Dan ketika ia tertawa-tawa menggagahi korbannya, iblis benar-benar memasuki tubuhnya maka laki-laki ini lengah akan keadaan sekeliling. Ia dengan buas tengah melahap gadis manis itu. Rasa aman dan lega bahwa Giam Liong dihadapi Han Han, juga Beng Tan dan isteri serta murid-muridnya kalau Giam Liong berani bertindak kelewatan membuat laki-laki ini lupa daratan. Ia begitu mabok mempermainkan korbannya. Begitu keji memperkosa dan menggagahi murid Hek-yan-pang ini sampai pingsan berkali-kali.

Thio Leng sadar dan menjerit lagi setiap siuman, gadis itu seolah gila. Dan ketika totokan akhirnya buyar, pengaruh totokan itu tak dapat lama karena tenaga Kedok Hitam tidaklah seperti biasanya, laki-laki ini sesungguhnya sudah lemah dan habis tenaga dikejar-kejar Giam Liong maka jerit atau teriakan Thio Leng memecah ke segala penjuru, untuk terakhir kalinya.

"Tolong... tolong. Kedok Hitam di sini!"

Laki-laki itu terkejut. Ia ceroboh dan terlalu gegabah kalau menganggap dirinya aman total. Ia tak tahu bahwa beberapa saat setelah dirinya lenyap maka Giam Liong yang pertama kali tersentak dan terbelalak lebar tiba-tiba kaget bukan main kehilangan lawannya itu. Han Han bukanlah musuhnya karena pemuda itu hanya bertindak sebagai pembela saja. Musuh besarnya adalah si Kedok Hitam itu, laki-laki yang membunuh dan memperkosa ibunya. Maka begitu Giam Liong terkejut dan tak melihat laki-laki ini, membentak dan melakukan tusukan silang di mana Han Han dipaksa mundur dan menangkis maka Giam Liong berjungkir balik dan berteriak mengguntur.

"Han Han, mana si Kedok Hitam!"

Han Han terkejut. Ia sudah mulai berkeringat menghadapi lawannya ini. Giam Liong sungguh hebat dan gagah. Tapi begitu Giam Liong berjungkir balik dan marah memandang bekas si Kedok Hitam, tempat itu telah kosong maka Beng Tan dan anak muridnya tersentak.

"Eh, ke mana dia?"

"Benar, laki-laki itu tak ada!"

Murid-murid Hek-yan-pang geger. Mereka terkejut dan heran sekali bagaimana laki-laki itu pergi. Tapi ketika sadar bahwa pertandingan itulah yang terlalu menarik perhatian, semua tertuju dan memandang ke sini maka Giam Liong marah sekali kehilangan lawannya itu.

"Han Han, kau harus bertanggung jawab kalau ia lolos. Awas kau, nanti kita bertemu lagi!"

Han Han tertegun. Ia terbelalak dan kaget juga, Kedok Hitam ternyata pergi. Tapi begitu Giam Liong meloncat dan meninggalkannya, mata pemuda itu bagai elang mencium mangsa maka Giam Liong melihat percikan-percikan darah di rumput dan tanah-tanah kering. Bagai harimau mengendus daging segar cuping hidung pemuda ini bergerak-gerak. Giam Liong berkelebat dan mengikuti bercak-bercak darah itu. Dan ketika Han Han juga berkelebat dan menyusul pemuda ini, Beng Tan dan lain-lain juga tak mau ketinggalan maka mereka terbelalak melihat bercak darah itu menuju markas.

Beng Tan menahan napas melihat Giam Liong menggereng-gereng. Seluruh wajah dan tubuh pemuda ini memancarkan api, berkilau-kilauan. Menakutkan. Dan ketika bercak darah itu hilang dan timbul lagi di tempat lain, Giam Liong terus mencari dan hidungnya mengeluarkan asap maka saat itulah terdengar jeritan Thio Leng. Giam Liong berkelebat ke tempat ini dan Golok Penghisap Darah tiba-tiba mendengung. Ada sesuatu yang memancar di badan golok itu, semacam sinar terang yang kemerah-merahan. Dan karena jerit itu di kamar Beng Tan dan Giam Liong tak sungkan-sungkan mendobrak kamar ini, Beng Tan dan isterinya terkejut dan marah maka di situ Kedok Hitam sedang bergegas menyelinapkan diri, masuk ke kolong tempat tidur. Thio Leng dicekik dan mati dengan urat pecah!

"Kedok Hitam, kau jahanam keparat!"

Bentakan atau seruan Giam Liong ini mengguntur. Pemuda itu menerjang dan Kedok Hitam pucat pasi. Ia menyesal kenapa totokannya tak tahan lama. Ia terkejut ketika Giam Liong menjebol pintu kamar, berarti pemuda itu meninggalkan lawannya dan saat itu Han Han dan ayah ibunya masuk. Tiga orang ini berkelebat di belakang Giam Liong, dan alangkah berubahnya wajah mereka melihat kejadian di dalam kamar. Thio Leng, murid Hek-yan-pang, membujur kaku dengan tubuh telanjang bulat. Bekas dan kekejian di dalam kamar itu sungguh terkutuk. Apalagi ini adalah kamar pribadi ketua Hek-yan-pang. Bukan main bejat dan tidak tahu hormatnya laki-laki itu.

Swi Cu, sang isteri, sampai mendelik mengepal tinju. Wanita ini tiba-tiba teringat peristiwa hampir duapuluh tahun yang lalu ketika dia juga hampir diganggu laki-laki itu. Kedok Hitam yang tak bermoral! Dan ketika wanita ini memekik dan tubuhnya berkelebat ke depan, Giam Liong membacok tempat tidur namun laki-laki itu meloncat dan bergulingan di sebelah sana maka wanita ini mengambil bagian dan kemarahannya tak dapat ditahan.

"Kedok Hitam, kau keji dan tak berperikemanusiaan!”

Kedok Hitam terkejut. Saat itu ia menghindar dari bacokan Giam Liong namun ditendang nyonya ini, mencelat dan membentur tembok dan selanjutnya Swi Cu melengking-lengking mengejar lawan. Nyonya yang semula menahan diri tiba-tiba kini meledak. Han Han, yang terhenyak dan tak menyangka kekejian Kedok Hitam sampai bengong. Ia sungguh tak mengira bahwa laki-laki yang dibelanya itu malah menghina keluarganya. Kamar pribadi ayahnya dipakai untuk memperkosa. Dan ketika pemuda itu tertegun sementara ibunya melengking-lengking dengan kemarahan luar biasa, Beng Tan merah padam dan pucat berganti-ganti maka Giam Liong yang melihat campur tangan wanita ini tiba-tiba berkelebat, mendorong.

"Bibi, serahkan anjing ini kepadaku!"

Swi Cu terjengkang. Ia berteriak dan marah kepada Giam Liong namun pemuda itu sudah meloncat ke arah lawan. Kakinya bergerak dengan langkah sakti Pek-poh-sin-kun dan Kedok Hitam tahu-tahu pucat mukanya melihat pemuda ini. Ia kepepet di tembok. Dan ketika ia melotot melihat kerjanya Golok Maut, yang menyambar dan membacok lehernya maka laki-laki ini melolong, tangannya menangkis.

"Ju-taihiap, toloong...!"

Tangan itu putus. Dalam panik dan ketakutannya laki-laki ini menyambut Golok Maut, tentu saja tak kuat dan siku ke bawah terlempar mencelat. Sekali bacok Giam Liong telah membuat laki-laki itu menjerit dan roboh terbanting, bergulingan. Namun ketika Giam Liong mengejar dan laki-laki ini semakin ngeri, Giam Liong mengeluarkan tawa aneh maka kaki kanannya menjadi sasaran dan selanjutnya laki-laki ini menjadi bulan-bulanan kemarahan Giam Liong. Kamar itu besar namun tidak cukup besar bagi Kedok Hitam melarikan diri. Ke manapun ia melempar tubuh ke situ pula ia membentur tembok atau meja kursi.

Akibatnya tentu saja fatal dan Giam Liong telah membuntungi kaki tangannya. Tubuh yang semula gagah dan tinggi itu sekarang menjadi pendek. Golok Maut telah menabas paha dan kedua pangkal lengan laki-laki ini. Dan ketika untuk terakhir kalinya Giam Liong tertawa bergelak menyambar kedok laki-laki itu, merenggut dan membukanya maka bersamaan itu goloknya menyilang ke kiri kanan ke bawah pusar laki-laki itu, sebelum akhirnya dilepas dan membabat leher.

"Coa-ongya, sekarang aku menepati janjiku. crat-crat!"

Bergumpal daging mengiringi pekik ngeri laki-laki ini. Giam Liong, yang bagai harimau haus darah tiba-tiba telah mengakhiri kebuasannya dengan bacokan ke bagian rahasia laki-laki itu. Darah dan potongan daging muncrat ke mana-mana. Swi Cu menjerit dan menutupi muka melihat ini. Pemandangan itu sungguh membuat orang merasa ngeri, juga muntah. Dan ketika benar saja nyonya itu membalik dan muntah-muntah bagian yang amat dibenci Giam Liong telah menjadi cacahan perkedel maka kepala Kedok Hitam mencelat dan menggelinding di lantai, berhenti dan menumbuk dinding dan Han Han terbeliak dengan muka merah kehitam-hitaman. Pembantaian paling sadis terjadi di depan matanya. Ia sejak tadi terkesima dan seakan melihat mimpi buruk akan apa yang ada di depan matanya ini.

Tapi begitu pembantaian itu selesai dan Han Han tersentak, ayahnya juga terkejut dan berseru keras maka pemandangan lebih mengerikan lagi terpampang di depan mata. Dan itu adalah perbuatan Giam Liong yang di luar dugaan. Karena begitu lawan berhasil dirobohkan dan Golok Maut menancap di dinding, bergetar dan bergoyang setelah membabat kepala Kedok Hitam maka Giam Liong berlutut dan menghirup darah lawan. Pemuda itu tertawa dan menangis dan kedua tangannya ditengadahkan ke atas. Dan ketika ayah dan anak terpaku tak dapat bergerak maka terdengarlah tawa atau tangis Giam Liong itu.

"Ibu... ayah... lihatlah. Aku telah membunuh musuh besarku ini. Lihatlah ia telah kucincang dan aku mereguk darahnya. Ha-ha, aku telah memenuhi sumpahku, ibu. Dan aku sekarang keramas darahnya!"

Benar saja, Giam Liong meraup dan keramas darah lawan. Ia berlutut di batang leher yang deras mengucurkan darah itu dan di sinilah ia menggelogok dan mencuci dendamnya. Api kebencian itu telah lumat. Dendam dan sakit hati itu telah terbalas. Tapi ketika semua orang merasa ngeri dan seram oleh tingkah laku pemuda ini, Giam Liong bagai binatang buas yang menikmati daging segar maka berkelebat sesosok bayangan dan jeritan nyaring.

"Giam Liong...!"

Semua menoleh dan terkejut. Seorang gadis cantik, yang awut-awutan dan lusuh pakaiannya tiba-tiba berteriak dan masuk ke kamar itu. Giam Liong juga menengok dan dua pasang mata beradu di udara, Dan begitu masing-masing sama terkejut dan tersentak, gadis ini merasa ngeri oleh sikap Giam Liong maka pandangannya bertumbuk oleh sebuah kepala di atas lantai, juga Golok Maut yang masih bergetar dan menancap tembok. Dan begitu ia mengamati kepala itu dan wajah yang rusak segera dikenalnya, itulah wajah ayahnya maka gadis ini menjerit, histeri.

"Ayahhh...!"

Semua meremang dan berdiri bulu kuduknya. Yu Yin, gadis itu, menambah suasana lebih memukau lagi. Gadis ini menubruk dan mengguguk di situ, memeluk dan menciumi kepala tanpa tubuh ini dan siapapun mengkirik mendengar jerit tangisnya. Gadis ini seperti kesurupan. Tapi begitu ia mendongak dan melihat Golok Maut, golok yang masih bergoyang dan bergetar menancap tembok tiba-tiba ia meloncat dan berteriak nyaring.

"Giam Liong, kau membunuh ayahku!", dan bergerak serta menyentak golok itu, membalik, tiba-tiba Yu Yin telah menerjang dan membabat leher Giam Liong. Gadis ini marah bukan main oleh kematian ayahnya. Guncangan yang amat berat memukulnya. Ia betul-betul shock. Tapi ketika golok menyambar dan Giam Liong tetap berlutut, pemuda itu membelalakkan mata maka Han Han dan ayahnya kaget berseru keras.

"Giam Liong, awas...!"

Namun Giam Liong tak bergeming. Pemuda ini mengalami perubahan psikis setelah pembunuhan itu dilakukan. Jiwa yang semula penuh dendam dan api mendadak padam. Apalagi setelah kekasihnya datang ke situ, melihat dan menyaksikan apa yang dia lakukan. Dan karena yang dibunuh adalah ayah kekasihnya pula, orang tua gadis itu maka detak bagai palu godam menghantam pemuda ini. Api kebencian dan dendam mendadak sirna. Giam Liong tertusuk oleh pandang mata kekasihnya pandang mata kaget dan ngeri serta macam-macam lagi yang bercampur-aduk.

Saat itu juga semacam kepedihan merobek hati pemuda ini. Giam Liong tiba-tiba ingin bunuh diri! Dan ketika kebetulan kekasihnya itu menerjang dan Golok Maut dicabut dan dibacokkan ke lehernya, pemuda ini tak ingin mengelak maka golok membabat dan sinar putih panjang meluncur keleher pemuda ini. Sekali tersabet tentu Giam Liong menggelinding kepalanya. Tapi ketika bayangan putih bergerak dan itulah Han Han yang sadar lebih dulu disusul ayahnya yang bergerak dan menotok pundak Yu Yin maka Giam Liong selamat tapi Golok tetap menyambar ke kiri. Putuslah lengan Giam Liong.

"Crak!"

Jerit dan pekik sana-sini menggema di ruangan itu Giam Liong seketika roboh dan mandi darah dan Yu Yin menjerit sama seperti Giam Liong iapun tadinya penuh marah dan benci. Tapi begitu pemuda itu menerima serangannya dan tidak mengelak atau menangkis, Giam Liong sengaja menyerahkan kepalanya maka Yu Yin terpekik dan berseru tertahan. Pukulan Han Han membuat bacokannya melenceng sementara totokan Ju-taihiap membuatnya roboh. Golok mencelat dan dirampas pendekar itu. Dan ketika Yu Yin menjerit dan sadar akan tindakannya, kemarahan berubah menjadi kecemasan tiba-tiba gadis itu meraung.

"Giam Liong,... Giam Liong.... jangan tinggalkan aku. Jangan mati!"

Kamar itu menjadi ribut. Tangis dan raungan Yu Yin memenuhi segalanya dan heran serta mengejutkan mendadak ia lepas. Totokan Beng Tan melumpuhkannya tapi dengan Pi-ki-hu-hiatnya ia mampu membebaskan diri. Inilah keistimewaan gadis itu. Dan ketika Yu Yin sudah meloncat lagi dan menubruk Giam Liong, menguguk dan tersedu-sedu memeluk pemuda itu mendadak ia membenturkan dahinya dan ingin mati bersama, mengira pemuda itu tewas.

"Giam Liong, tunggu aku. Biar kita beriring ke akherat!"

Namun sesosok bayangan lain berkelebat. Tang Siu, gadis baju putih membentak dan berseru nyaring. Sesungguhnya gadis ini ada di belakang dan kini mencengkeram Yu Yin, tepat di saat temannya itu membenturkan dahi. Dan ketika gerakan Tang Siu amatlah tepat karena saat itu Han Han dan ayah ibunya membelalakkan mata, kamar pribadi ini penuh gelimang darah dan bau anyir maka Yu Yin tersentak dan terangkat naik. Gadis itu terkejut dan marah, menjerit dan meronta namun Tang Siu memberi tahu bahwa Giam Liong masih hidup. Pemuda itu hanya pingsan dengan buntungnya lengan, juga tentunya peristiwa demi peristiwa yang bertubi dialami.

Dan ketika Han Han dan ayahnya juga bergerak dan mencengkeram puteri Coa-ongya ini, darah di tubuh Giam Liong bukanlah darahnya sendiri melainkan bercampur dengan darah orang lain maka gadis itu tertegun namun air mata tetap deras mengucur. Dan Ju-taihiap berkata dengan suara serak, menggigil.

"Dia benar, Giam Liong masih hidup. Tapi siapakah temanmu ini."

Yu Yin menangis. Ia mengguguk dan tak menjawab dan tiba-tiba pingsan. Kecemasan dan kegembiraan bercampur menjadi satu, juga kekagetannya melihat kematian ayahnya itu. Dan ketika ia roboh namun Tang Siu memeluknya, Han Han tertegun dan berkejap gembira maka pemuda inilah yang menjawab, lirih,

"Inilah gadis yang kuceritakan itu, ayah. Inilah Tang Siu yang dulu menolongku dari tangan Eng Hwa. Ia gadis gagah perkasa yang mengagumkan hatiku!"

"Hm, dia kiranya? Gagah sekali. Tapi maaf, kita harus keluar dari kamar ini dan biarkan murid-murid membersihkan dahulu!"

Tang Siu buru-buru memberi hormat, dijawab anggukan dan gadis itu saling lirik dengan Han Han. Tak diduganya pemuda itu ada di sini, dan kiranya pemuda ini adalah putera ketua Hek-yan-pang, pemuda gagah yang ayahnya juga memiliki nama besar! Dan ketika Han Han mengangguk dan memberi isyarat kepadanya, kejadian mengerikan di kamar itu harus dibersihkan maka Tang Siu ditemani Han Han sementara Beng Tan dan isterinya menolong Giam Liong. Betapapun rasa tak senang mengganggu suami isteri itu namun dendam dan kemarahan pemuda itu dapat diterima.

Swi Cu yang mendengar kematian sucinya diam-diam menangis. Giam Liong dan ibunya sebenarnya dalam penderitaan batin. Dan karena perbuatan Kedok Hitam juga sungguh keji sekali, di saat terakhir masih memperkosa dan menghina mereka maka Beng Tan dan isterinya yang menolong Giam Liong menjadi iba melihat buntungnya lengan kiri pemuda itu. Meskipun semula mereka merasa tak setuju dan ngeri oleh tindak-tanduk pemuda ini namun sekarang semuanya telah berakhir. Bahkan, Giam Liong tadi siap menyerahkan nyawanya di tangan Yu Yin. Tanda bahwa sesungguhnya pemuda itu tak akan menjadi "iblis" kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar hebat terjadi, penderitaan dan kisah malangnya ditinggal ayah ibu. Dan ketika semua murid membersihkan kamar ketua, kamar bekas pembantaian amat mengerikan maka Giam Liong sendiri mendapat perawatan bekas ayah angkatnya.

* * * * * * * *

Tiga hari kemudian. Suasana di Hek-yan-pang masih diliputi mendung perkabungan. Thio Leng, anak murid Hek-yan-pang yang tewas telah dimakamkan sebagaimana mestinya. Anak-anak murid tak ada yang berwajah cerah namun kejadian itu menjadi pembicaraan bisik-bisik di antara sesama mereka. Keberingasan Giam Liong dalam membunuh Kedo kHitam ramai membuat anak murid bergidik. Kedok Hitam juga sudah dimakamkan dan atas permintaan Yu Yin gadis itu menghendaki jenasah ayahnya dikubur di hutan di luar Hek-yan-pang.

Yu Yin telah mendengar cerita tentang ayahnya dan gadis ini malu bukan main. Perbuatan ayahnya yang memperkosa murid Hek-yan-pang sungguh menampar. Teringatlah dia akan beberapa saputangan hitam di kamar ayahnya, saputangan yang biasa dipakai gurunya si Kedok Hitam yang ternyata juga adalah ayahnya sendiri. Gadis ini terhuyung dan menutupi muka ketika mendengar cerita itu. Han Han lah yang bercerita didampingi Tang Siu, karena dua orang itulah yang selalu menemani dan menjaganya. Dua hari ini Yu Yin selalu menangis saja. Dan ketika di sana Giam Liong terserang demam, tak sadar dan menggigil maka Yu Yin terisak-isak melihat buntungnya lengan pemuda itu, air mata jatuh berderai.

"Bagaimana dengan dia, apakah betul tidak apa-apa...?"

"Giam Liong akan sembuh. Tapi guncangan jiwanya masih bergetar, nona. Harap kau menjauh dulu dan biarkan ia bersama kami," Beng Tan, yang merawat dan menjaga pemuda itu minta agar Yu Yin tidak sering menengok. Pendekar itu khawatir ada apa-apa yang tidak baik, kalau nanti dua orang muda itu sendirian bertemu. Dan karena demam yang dialami pemuda ini juga butuh pengamatan cermat supaya tidak meninggi maka sang pendekar memberi isyarat puteranya agar Han Han membawa dulu puteri Coa-ongya itu ke tempat, lain, bersama Tang Siu. Dan Han Han mengerti.

"Benar, biarlah kita serahkan mereka, Yu Yin. Biarkan ayah yang nanti memberi tahu kalau Giam Liong sudah sembuh betul. Lengannya yang luka itu juga butuh perawatan serius."

"Dan aku yang membuntunginya. Ooh, aku menyesal, Han Han. Aku ingin menukarnya dengan tanganku sendiri. Ooh, aku berdosa kepada Giam Liong!"

"Hm, sudahlah. Semua dalam keadaan tak sadar. Kalau sadar tentu tidak begitu. Mari kita keluar dan berjaga di tempatmu saja."

Yu Yin terisak-isak. Dia juga baru saja sembuh dari demam setelah peristiwa hebat itu terjadi. Pukulan dan guncangan menghantam batinnya. Kalau tak ada Han Han dan ayah ibunya di situ barangkali ia dapat gila. Dan karena Tang Siu juga selalu menghibur dan inilah teman wanita satu-satunya yang paling setia, Yu Yin dapat menumpahkan perasaannya di situ maka kepada gadis inilah Yu Yin berbagi duka.

"Aku malu kepada Ju-taihiap. Aku sebenarnya ingin menyingkir jauh-jauh!"

"Kenapa?"

"Ah, sepak terjang ayahku membuatku malu seumur hidup, Tang Siu. Bayangkan ia telah menghina keluarga ini padahal Han Han membelanya!"

"Hm, sudahlah. Tak usah kita bicarakan ayahmu, Yu Yin. Apa yang telah lewat tak usah dibicarakan lagi. Aku ingin bertanya apa yang akan kau lakukan kalau nanti Giam Liong sembuh."

"Aku... aku..." gadis itu berhenti, tiba-tiba bercucuran air mata. "Aku ingin minta maaf, Tang Siu. Tapi aku tak dapat mengembalikan lengannya itu!"

"Bagus, kau tak akan membunuhnya, bukan?"

"Apa? Gila! Aku tak mungkin melakukan itu. Aku tahu sepak terjang ayahku yang sebenarnya!"

"Kalau begitu aku tak khawatir lagi. Dan aku dapat melepasmu bersama Giam Liong tanpa ganjalan lagi."

"Kau mau ke mana?" Yu Yin tiba-tiba tertegun mencengkeram gadis ini. "Bicaramu aneh, Tang Siu. Kau seolah mau pergi!"

Gadis ini menarik napas dalam, tersenyum, pahit. "Kau menghendaki bagaimana, Yu Yin? Masa kita harus selalu berkumpul berdua? Aku sudah rindu guruku, aku ingin pulang ke Kun-lun. Dan tentunya tak mungkin kita harus terus-terusan di sini. Ini rumah orang, kita tamu. Kaupun harus pergi kalau Giam Liong sembuh!”

Yu Yin tiba-tiba sadar. Mendadak ia menjerit dan memeluk kencang temannya ini. Perpisahan itu tiba-tiba terasa dan Yu Yin mengguguk. Namun ketika dengan lembut gadis Kun-lun ini membelai rambutnya maka Tang Siu berkata,

"Yu Yin, tak ada orang berkumpul selamanya, seperti juga tak ada orang berpisah selamanya. Kalau kau sudah tidak mengganggu Giam Liong lagi aku lega dan tidak merasa khawatir. Kita tentu harus berpisah. Aku bertahan disini semata karena ingin menemanimu. Aku turut prihatin atas nasib burukmu."

"Terimakasih. Tapi.... tapi tak kuat rasanya kalau aku berpisah denganmu, Tang Siu. Kau sahabat dan pelindungku paling setia. Aku berhutang banyak budi kepadamu!"

"Hush, omongan apa ini? Kau dan aku sama-sama wanita, Yu Yin, dan aku dapat merasakan penderitaanmu. Kita berjodoh untuk bertemu, dan aku kagum kepadamu!”

"Kagum? Ah, kagum kepada seorang puteri manusia sesat? Aduh, jangan mengejekku, Tang Siu. Akulah yang kagum dan hormat kepadamu. Kau benar-benar seorang pendekar gagah dan gadis mengagumkan. Aku iri kepada orang tuamu yang melahirkanmu!"

"Hm, aku tak tahu siapa orang tuaku. Aku sudah diambil murid sejak kecil oleh guruku. Sudahlah, aku benar-benar kagum kepadamu, Yu Yin. Kagum bahwa kau berbeda jauh dengan ayahmu. Kau sebutir mutiara di tengah-tengah lumpur yang kotor. Dan kau tak terpikat oleh segala kesenangan atau kemewahan istana. Kau puteri bangsawan yang bersahaja. Dan inilah yang mengagumkan hatiku!"

"Ah, tak seberapa dibanding dirimu, Tang Siu. Aku merasa tetap ditempeli dosa ayahku itu. Apa kata orang kalau ingat kekejamannya!"

"Orang tak akan mengingat-ingat itu. Kau adalah pribadi yang lain dan tidak seperti ayahmu. Kau berbeda! Kau sekuntum mawar harum yang kebetulan hidup di tengah-tengah pecomberan!"

"Sudahlah, tak usah memuji-mujiku, Tang Siu. Yang jelas aku tak mau lagi tinggal di istana. Segala gelar dan sisa-sisa kebangsawananku akan kucopot. Aku ingin hidup jauh dari istana, sebagai wanita biasa!"

"Maksudmu kau tak pulang ke rumah?"

"Benar."

"Kalau begitu ke mana?"

"Aku hendak mengikuti Giam Liong, Ke mana dia pergi kesitulah aku hidup, Aku... aku ingin menebus dosa kepadanya!"

Tang Siu terharu. Tiba-tiba ia memeluk dan mencium sahabatnya ini. Air mata meleleh dan cinta yang besar dilihatnya di situ. Memang sejak dulu Giam Liong dan gadis ini sebenarnya saling cinta. Dan teringat betapa Yu Yin siap menerjang bahaya demi pujaannya itu, tak takut dan gentar membela Giam Liong maka bayangan Han Han muncul. Tadi pemuda itu meninggalkan mereka sebentar.

"Ayah memanggil Yu Yin, sendiri. Mohon kalian keluar dan aku ingin bercakap-cakap sebentar denganmu."

Tang Siu tertegun. "Yu Yin?"

"Ya, ia, Tang Siu. Dan aku ingin bercakap-cakap sebentar denganmu. Ada sesuatu yang penting!"

Dua gadis itu bangkit berdiri. Yu Yin malah girang karena mungkin Giam Liong sudah sadar. Dan begitu Han Han mempersilahkannya dan ia bergerak keluar, menghapus air matanya maka Han Han mengajak Tang Siu ke taman, di belakang bangunan. Dan ketika gadis ini mengikuti dan berdebar karena ada sesuatu yang dirasakan, Han Han tidak seperti biasa dan dua kali menumbuk batu, terpelanting dan hampir jatuh maka di sebuah tanaman anggrek pemuda ini berhenti. Dan alangkah herannya Tang Siu melihat wajah Han Han yang merah dan pucat berganti-ganti.

"Eh, kau sakit, Han Han? Kau tidak enak badan? Kau mau diserang demam juga?"

"Tidak," suara Han Han gemetar dan seperti orang kedinginan, menggigil. "Aku ... aku hendak bertanya kepadamu, Tang Siu. Benarkah kau hendak pulang ke Kun-lun!"

"Eh!" gadis ini terkejut, melengak. "Kau mendengar pembicaraan itu?"

"Maaf, tadi aku hendak masuk ketika kalian tampak berangkulan, Tang Siu. Aku berhenti di luar dan terpaksa menunggu. Dan... dan aku mendengar kata-katamu tadi."

"Hm, ada apakah," gadis ini tak mengerti, merasa heran. "Bukankah wajar dan itu bukan hal aneh. Masa aku harus selalu menumpang di Hek-yan-pang. Aku tamu, malah sebenarnya tak diundang!"

"Kau. kau tidak senang di sini?"

Gadis ini terkejut, dua mata beradu. Dan ketika Tang Siu melihat sorot aneh di mata Han Han, seperti bingung atau penuh permohonan maka dia menahan detak jantungnya karena tiba-tiba ada sambaran mesra di mata putera ketua Hek-yan-pang ini. Dan Tang Siu tiba-tiba menggigil, ikut tak keruan.

"Han Han, apa sebenarnya maksudmu. Aku jadi bingung mendengar kata-katamu. Apa yang hendak kau tuju!"

"Aku... aku..." Han Han tercekik. "Aku sedih mendengar kata-katamu tadi, Tang Siu. Apakah kau tak kerasan disini, tak senang!"

"Tentu saja aku senang, tapi..."

"Tapi bagaimana kalau tidak buru-buru pergi dulu? Aku mengharap lebih lama lagi kau tinggal di sini, Tang Siu. Syukur kalau selamanya?"

"Han Han...!"

Namun Han Han tiba-tiba menyambar dan mencekal lengannya. Ada sesuatu yang berat diperjuangkan pemuda itu dan ketika Tang Siu terkejut tiba-tiba Han Han menggenggamnya erat-erat. Aneh sekali, Han Han tiba-tiba menangis! Dan ketika pemuda itu memejamkan mata dan Tang Siu tak mampu melepaskan tangannya, gadis ini berdetak dan menggigil maka Han Han berkata, terputus-putus, tersedak,

"Tang Siu, aku.... aku hendak menyatakan apa yang selama ini mengganggu perasaanku. Aku... aku hendak menyatakan cinta! Apakah kau menerima cintaku? Apakah... apakah kau mau tinggal lebih lama disini? Aku butuh jawabanmu, Tang Siu. Atau nanti aku bisa mati berdiri dihimpit perasaan ini!"

Tang Siu menjerit tertahan. Rasa heran dan kagetnya tiba-tiba menjadi perasaan terkejut. Mukanya seketika merah padam dan tiba-tiba ia membetot lepas tangannya itu. Dan ketika Han Han terkejut dan membuka mata, ia menyatakan cinta bagai seorang dusun berhadapan dengan seorang panglima perang maka Han Han tersentak melihat gadis itu melarikan diri, menangis, masuk kamar!

"Tang Siu...!"

Putera Ju-taihiap yang gagah ini berdetak. Ia kaget dan penasaran oleh sikap gadis ini dan Han Han tentu saja mengejar. Han Han jatuh lagi ketika keserimpet akar-akaran, gugup dan bangun dan mengejar lagi dengan muka berubah. Ada rasa takut di hati pemuda itu. Ada rasa terpukul. Dan ketika hampir saja Han Han menabrak pintu kamar yang dibanting, pemuda ini berteriak maka dilihatnya gadis Kun-lun itu mengguguk di tempat tidur. Kepalanya dibenamkan di bawah bantal!

"Tang Siu, aku... aku salah apa..." Han Han lupa menutup pintu kamar, berlutut dan bertanya dan mukapun merah pucat tak keruan. Seumur hidup baru kali ini menyatakan cinta tiba-tiba saja mendapat sambutan seperti itu. Kontan Han Han bingung. Dan ketika murid Yang Im Cinjin ini berbisik dan kembali bertanya, gemetar, aneh sekali Tang Siu malah tersedu-sedu. Dan Han Han malah mematung.

"Sst...!" sebuah panggilan tiba-tiba mengejutkan. "Kemari, Han Han. Tinggalkan dia sebentar!"

Han Han menoleh. Dia kaget lupa menutup pintu kamar dan Ki Bi, bibinya muncul di situ. Dan ketika wanita itu menggapainya agar dia keluar, Han Han bangkit dan membiarkan Tang Siu mengguguk maka di luar pintu kamar wanita itu berbisik,

"Berikan bunga ini kepadanya. Kalau dia menolak berarti tak cinta tapi kalau diterima berarti cintamu tak bertepuk sebelah tangan!"

"Bibi tahu?"

"Aku pernah muda, Han Han, dan aku tentu saja tahu watak wanita. Berikanlah, dan cepat masuk lagi!"

Sang bibi menghilang. Di genggaman tangan Han Han terdapat setangkai mawar merah yang segar dan sedang berkembang. Harumnya menyengat hidung dan Han Han kagum sekali akan bunga ini. Namun, menggigil dan masuk lagi, berjingkat, Han Han kembali berlutut dan isak atau tangis gadis itu reda. Rupanya Tang Siu heran dan curiga juga kenapa suara Han Han tiba-tiba hilang. Ke manakah pemuda, itu. Dan ketika ia menggerakkan kepalanya dan melirik, dari bawah bantal, mendadak saja Han Han menyusup di situ dan dua-duanya terkejut. Lucu. Dan Tang Siu tiba-tiba terkekeh, kaget tak dapat menahan geli!

"Heii...!" keberanian Han Han seketika bangkit, gadis itu meloncat dan lari keluar kamar. "Ada apa, Tang Siu. Kenapa menangis dan kini tertawa. Tunggu, aku membawa sekuntum bunga!"

Namun gadis itu tak menoleh. Han Han harus berjungkir balik dan menghadang di depan kalau ingin menghentikan gadis ini. Dan ketika benar saja Tang Siu menjerit hampir menabraknya, gadis itu menahan larinya maka Han Han gembira menawarkan bunga mawarnya itu. Sikap Tang Siu mengembalikan keberaniannya.

"Aku hendak mengulang pertanyaanku tadi. Kalau kau menerimanya harap terimalah persembahan ini. Namun kalau kau menolaknya harap dibanting dan dicampakkan!"

Tang Siu tertegun. Ia merah padam melihat mata Han Han yang bersinar-sinar. Mata itu masih lembut dan penuh mesra, tak mampu ia melawannya. Dan ketika ia menunduk dan Han Han menyusupkan bunga mawarnya, bau harum menyengit hidung tiba-tiba Tang Siu menangis dan memejamkan mata. Mawar itu dicekal erat-erat!

"Ting Siu...!" Han Han girang bukan main. Hatinya serasa melonjak dan tentu saja pemuda ini melompat. Dan ketika ia menubruk dan menyambar kekasihnya, Tang Siu tersedu-sedan maka Han Han bertanya kenapa gadis itu menangis.

"Aku... aku bahagia..."

"Bahagia?"

"Ya, sekarang tercapai keinginanku, Han Han. Kenapa baru sekarang kau bilang. Aku... aku sebenarnya menunggu-nunggu..!"

"Ha-ha, kau malah membuat aku bingung. Aduh, tadinya kusangka ditolak, Tang Siu. Dan aku jadi gemetar tak keruan. Eh, kau harus dihukum!" dan Han Han yang memberanikan diri mencium pipi si gadis tiba-tiba membuat Tang Siu menjerit dan meronta, tak dilepaskan dan Han Han mencium lagi dan akhirnya dua muda-mudi ini tertawa. Kegembiraan dan kebahagiaan besar terjadi disitu. Han Han nyaris mabok. Dan ketika ia hendak mencium bibir kekasihnya namun Tang Siu berontak, ada orang di belakang maka Han Han menurunkan kekasihnya dan dengan tersipu-sipu ia melihat bibinya di situ, Ki Bi.

"Maaf, kau dipanggil ayahmu, Han Han. Ada sesuatu yang hendak dibicarakan."

"Tak usah, aku sudah di sini!" ketua Hek-yan-pang tahu-tahu muncul, berdiri di belakang Ki Bi, seperti setan. "Ada panggilan untukmu, Han Han. Ada tamu penting. Dan kalian rupanya sudah saling mengikat janji!"

"Ah," Han Han dan Tang Siu tersipu-sipu, apalagi gadis ini, seperti kepiting direbus!

"Tamu siapa, ayah. Dan kenapa kau sendiri sampai datang memanggilku!"

"Aku tak sabar menyuruh bibimu Ki Bi. Dan aku ingin memanggilmu sendiri. Giam Liong telah sadar dan iapun ingin bertemu denganmu."

"Giam Liong? Bagus, aku ke sana, ayah. Tapi bagaimana dengan Yu Yin!"

"Ia sudah di sana."

"Dan ibu?"

"Ibu mu juga di sana. Sudahlah, cepat datang dan kuberitahukan ibumu bahwa sebentar lagi ia akan bermenantu!" Beng Tan tersenyum dan berkelebat, lenyap meninggalkan dua muda-mudi itu dan Ki Bi tertawa ditahan.

Wanita inipun berkelebat dan lenyap meninggalkan Han Han dan Tang Siu malu bukan main diketahui orang-orang tua itu. Dan ketika ia mendesis mencubit Han Han, bertanya apakah ayahnya tadi tahu ia mencium pipinya maka Han Han tertawa lebar.

"Memangnya kenapa? Kau kini kekasihku, moi-moi. Dan tak apa ayah ibuku tahu. Toh nanti aku harus menciummu lagi di pelaminan!"

"Apa? Di depan banyak orang? Cih, tak tahu malu. Jangan kurang ajar!"

"Eit-eit, ini adat, peraturan. Masa aku harus mencium nenek-nenek kalau yang bersanding adalah isteriku yang cantik ini. Ha-ha... aduh, tobat, Siu-moi. Ampun, lepaskan cubitanmu. Aduh, bengkak tanganku!"

Ternyata saking gemas dan malunya gadis ini mencubit Han Han. Begitu orang-orang tua itu pergi kontan Tang Siu melampiaskan jengah dan malunya kepada Han Han. Ia mencubit begitu keras sampai kulit Han Han matang biru. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan melolong-lolong, anak murid berdatangan maka. Tang Siu melepaskan cubitannya dan Han Han tertawa menggoda.

"Hayo, cubit lagi. Biar mereka menjadi saksi!"

Tang Siu merah padam. Akhirnya ia melompat dan pergi dari tempat itu sambil memaki Han Han. Murid-murid tertegun tapi tertawa melihat apa yang terjadi. Kiranya putera Hek-yan-pang ini telah mendapatkan pujaannya. Diam-diam di tempat itu memang telah tersebar bisik-bisik bahwa alangkah cocoknya putera ketua mereka bersanding dengan murid dari Kun-lun itu. Kejadian di kota raja telah mereka dengar dan keberanian serta kelihaian Tang Siu menjadi buah bibir. Dan ketika kongcu merek bercanda riang dengan gadis ini, melompat dan pergi maka Han Han sendiri sudah tidak ragu-ragu atau canggung lagi mendekati kekasihnya.

Dengan terang-terangan ia menggandeng dan membawa kekasihnya itu, mesra. Anak-anak murid perempuan banyak yang iri namun mereka tahu keadaan. Diri mereka tidak cukup pantas dibandingkan putera sang ketua yang gagah dan tinggi kepandaiannya itu. Dan ketika Han Han masuk dan memenuhi panggilan ayahnya, sang kekasih mula-mula malu dan likat tiba-tiba sang calon ibu mertua bangkit dan berdiri, menyambut.

"Han Han, ibu mengucap gembira bahwa kau telah mendapatkan pasangan yang cocok. Ayahmu telah memberi tahu dan biarkan ia duduk di dekat ibu. Lihatlah, siapa yang datang!"

Han Han dan Tang Siu merah semburat. Gadis ini masih berdenyar-denyar oleh kebahagiaannya sendiri tapi begitu ia memandang seorang kakek berjubah emas mendadak gadis ini terkejut. Seorang tosu berwajah lembut ada di situ, duduk dekat ketua Hek-yan-pang. Dan ketika Han Han juga terkejut karena seorang kakek lain bermuka merah duduk di sebelah kanan ayahnya, tersenyum dan berseri-seri, mendadak dua muda-muda ini langsung menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu...!"

"Suhu!"

Hampir serempak keduanya berseru. Han Han, yang mengenal gurunya di situ langsung memberi hormat dan terkejut. Sementara kekasihnya, yang juga melihat gurunya di situ langsung memberi hormat dan girang bukan main. Gadis ini tak menyangka bahwa Kim-sim Tojin, gurunya, muncul dan datang di Hek-yan-pang. Dan ketika ia menubruk dan dielus-elus gurunya, Yang Im Cinjin tertawa dan menepuk-nepuk pundak Han Han maka kakek itu berseru,

"Han Han, lama sekali pinto harus menemui Kim-sim totiang. Pinto jauh-jauh hari telah memberikan lamaran, mendahului ayah ibumu. Maaf kalau pinto dianggap lancang tapi kini pinto telah membuktikan kepada Kim-sim totiang bahwa apa yang pinto lihat adalah benar!"

"Ha-ha, Yang Im toheng sungguh waspada, aku kalah. Tapi bagaimana, tak ingin bukti kalau ini menyangkut kebahagiaan anak-anak muda. Maaf, selanjutnya biar Kuserahkan muridku ini, toheng. Urusan cinta adalah urusan anak muda. Nanti akan pinto tanya dan beri jawabannya!"

Dua kakek-kakek itu tertawa bergelak. Mereka rupanya sudah tahu lebih dulu dan Han Han maupun Tang Siu saling lirik dengan muka kemerah-merahan. Baru sekaranglah Han Han tahu guru dari kekasihnya ini, seperti juga Tang Siu yang baru kali itu mengenal Yang Im Cinjin atau Im Yang Cinjin ini, karena kakek sakti itu memang sering disebut dengan dua nama. Namun ketika seseorang terisak di sana, Yu Yin terlihat dua muda-mudi ini maka semua terdiam dan Han Han tertegun melihat Giam Liong, yang duduk disudut, lengan kirinya terbalut.

Naga Pembunuh Jilid 31

NAGA PEMBUNUH
JILID 31
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"TOBAT, aku menyerah. Minta ampun. Lepaskan aku!"

"Hm, tak ada ampun!" Giam Liong muak dan benci memandang lawannya itu, sikapnya menjadi lebih beringas. "Kau harus minta ampun terlebih dahulu kepada ayah ibuku di akherat, Kedok Hitam. Dan baru setelah itu kepadaku!"

"Aduh, kau terkutuk. Kau bocah keparat. Kau...crep.”

Kedok Hitam menjerit, Giam Liong melepas golok terbangnya lagi dan kini menancap di pipi. Dari samping pemuda itu menyerang lawannya. Dan ketika lawan terjungkal namun lari lagi, hebat dan mengagumkan maka laki-laki ini menuju ke Timur. Ia telah melewati ratusan kepala dan ribuan orang yang menonton terbelalak. Kejar-kejaran itu mendebarkan sekali. Golok Maut di tangan Giam Liong tetap bersinar-sinar dan cahaya dari golok ini memantul menyilaukan mata. Semua merasa ngeri dan bergidik. Naga Pembunuh benar-benar siap menghabisi lawannya.

Celakalah Kedok Hitam itu. Dan ketika laki-laki ini melompati pintu gerbang dan turun di luar, lari sekencang-kencangnya maka dia coba menyusup dimalam gelap namun Giam Liong terlalu dekat jaraknya. Sebatang hui-to kembali menyambar dan laki-laki itu roboh. Hebatnya masih dapat berdiri lagi dan lari kesetanan.

Kedok Hitam rupanya mendapat tenaga mujijat yang luar biasa, bukan untuk dipakai bertanding melainkan untuk melarikan diri. Dan ketika Giam Liong kembali kagum karena laki-laki itu mampu melesat kencang, terbang bagai harimau bersayap maka dia melepas lagi dua golok terbangnya mengenai paha lawan. Kedok Hitam menjerit namun masih dapat berlari, bahkan kian kencang. Dan ketika malam itu laki-laki ini terus ke timur dan berteriak mengiba-iba, malam berganti pagi maka Giam Liong terkejut karena tiba-tiba saja mereka tiba di telaga Hek-yan-pang!

“Heii..!" Giam Liong terkejut dan sadar. "Berhenti kau, Kedok Hitam. Ada apa datang kesitu!"

Namun laki-laki itu mengeluarkan lengkingan panjang pendek. Dia sudah memanggil-manggil Pek-jit-kiam Ju Beng Tan dan Giam Liong berubah karena ayah angkatnya muncul, berkelebat dan tampak di seberang sana. Dan ketika dua bayangan lain juga bergerak dan muncul, itulah Han Han dan bibinya Swi Cu maka berturut-turut anak-anak murid Hek-yan-pang bermunculan dan telaga tiba-tiba penuh orang.

"Ju-taihiap, tolonglah aku. Giam Liong hendak membunuhku.... byurr!" laki-laki, itu terjun ke telaga, menyambar dan buru-buru menyergap sebuah perahu dan anak murid Hek-yan-pang berteriak karena ditendang dari perahunya. Kedok Hitam panik. Dan ketika laki-laki itu mendayung dan cepat serta pucat ia menuju seberang, Beng Tan dan lain-lain terbelalak di sana maka Giam Liong marah besar dan melempar dua potong papan kecil, mengejar dan berjungkir balik di atas telaga, meluncur.

"Kedok Hitam, kau pengecut. Ada apa membawa-bawa orang lain. Berhentilah, dan terima ini!"

Tiga golok bercuit... Kedok Hitam mengelak namun hui-to itu tiba-tiba membalik. Laki-laki ini kaget karena Giam Liong ternyata mempergunakan kepandaiannya yang jarang digunakan, membuat golok seperti bernyawa dan kini, menyambar kembali laki-laki itu, bukan main kagetnya. Dan ketika dia harus menangkis namun tenaga terlampau lemah, golok melesat dan menyambar di samping maka daun telinga putus, terpenggal dari tempatnya.

"Aduh, ampun, Giam Liong. Tobaat...”

Beng Tan dan anak isterinya terkejut. Kedok Hitam yang sudah bermandi darah benar-benar pagi itu membuat geger, la datang dengan keadaan menyedihkan, mukanya pucat pasi. Pundak dan pipinya juga tertembus golok kecil. Dan ketika Giam Liong mendengus dan bergerak-gerak di air dengan amat cepatnya mengejar, maka lawan benar-benar serasa terbang nyawanya mendengar bentakan pemuda itu, dingin dan menggetarkan bulu kuduk.

"Kedok Hitam, siapapun tak dapat mencampuri urusan kita. Kau telah membunuh ayah dan ibuku. Dan kaupun memperkosa ibuku sebelum mati. Ajalmu sudah dekat, berhenti dan terimalah!"

Laki-laki ini berteriak. Dia sudah hampir di seberang ketika tiba-tiba tiga hui-to kecil menyambarnya lagi. Senjata-senjata itu mendahului Giam Liong sebelum pemiliknya datang. Dan karena Kedok Hitam tak mungkin menangkis kecuali mengelak, golok lewat di sisinya dengan cepat tiba-tiba seperti tadi hui-to-hui-to terbang ini membalik dan kembali menyambar dari depan.

"Ju-taihiap, tolong!"

Beng Tan tak sempat bergerak. Bentakan atau seruan Giam-Liong tadi membuatnya tertegun. Kabar bahwa Wi Hong dibunuh dan diperkosa laki-laki ini membuatnya merah. Kedok Hitam sungguh keji. Dan ketika Swi Cu maupun Han Han juga begitu, terbelalak dan kaget maka jeritan ngeri terdengar ketika hidung laki-laki itu terpapas.

"Crass!"

Kedok Hitam terjungkal. Sekarang ia terlempar dari perahunya namun tepat sekali di sebarang, la terbanting dan roboh di dekat ayah dan anak. Dan ketika ia mengeluh dan bindeng, darah memenuhi muka dan pakaiannya maka Giam Liong tertawa bergelak dan menyambar ke depan. Golok Penghisap Darah berkelebat.

"Kedok Hitam, sekarang terimalah kematianmu!"

Laki-laki ini tak sempat mengelak. Kalaupun ia mampu mengelak maka tak mungkin ia lebih cepat dari golok. Senjata di tangan Giam Liong bergerak bagai kilat menyambar, desingnya mengerikan. Tapi ketika laki-laki itu terjerembab dan terbeliak menyaksikan sambaran golok, hidung dan telinganya deras mengucurkan darah maka berkelebat cahaya putih dan bentakan yang menggetarkah telaga.

"Giam Liong, jangan bersikap kejam."

Ledakan atau dentangan memekakkan telinga. Giam Liong sendiri kaget ketika tiba-tiba dari arah kiri menyambar pedang yang menyilaukan mata, pedang di tangan Han Han yang dikenalnya sebagai Pedang Matahari, pedang ayah angkatnya tapi yang kini rupanya dimiliki sang anak kandung. Dan ketika suara beradunya dua senjata ditangan mereka begitu kerasnya, bunga api memuncrat dan masing-masing sama terpental, terbanting bergulingan maka Giam Liong berseru keras sementara Han Han juga berjungkir balik dan telapak kedua anak muda itu sama-sama terasa panas, terbakar.

"Crangggg !"

Golok Maut dan Pedang Matahari menggetarkan semua orang. Beng Tan dan isterinya sampai terhuyung mundur sementara anak-anak murid Hek-yan-pang terlempar ke sana ke mari. Suara dahsyat dari beradunya dua senjata ampuh itu, bagai halilintar menyambar, ledakannya benar-benar menggetarkan telaga. Air di tepian sampai muncrat tinggi, begitu hebatnya! Tapi ketika dua anak muda itu sama-sama berdiri lagi, Han Han sudah berjungkir balik dan melayang turun sementara Giam Liong menggigil disana, berketruk, maka Giam. Liong marah bukan main kepada pemuda baju putih ini, putera ayah angkatnya.

"Han Han, kau jangan ikut campur. Atau aku tak, mengingat siapa kau!"

"Maaf," Han Han bergidik dan seram melihat wajah dan kemarahan Giam Liong ini, mata yang seperti setan. "Aku tak akan mencampuri kalau kau tak di sini, Giam Liong. Tapi nyatanya kau telah datang ke Hek-yan-pang. Dan kami sebagai tuan rumah tentu tak dapat membiarkan pembunuhan di gepan mata. Urusanmu tak akan kucampuri, kalau kalian di luar. Dan karena kau sudah datang di sini maka kau dan dia kuanggap tamu. Tak akan dibeda-bedakan."

"Tapi aku datang bukan untuk bertamu. Aku mengejar musuhku ini. Kalau begitu lempar dia ke seberang dan jangan ikut campur.”

"Aku tak dapat memaksa. Kalau Kedok Hitam tak mau pergi maka dia adalah tamuku. Silahkan kau tunggu di seberang atau sama-sama menjadi tamu disini."

"Kau… kau..!" Giam Liong tak dapat bicara, tiba-tiba membalik dan menghadap bekas ayahnya. Dan ketika sepasang matanya membuat Beng Tan mundur selangkah, sinar mata itu benar-benar penuh api maka Giam Liong berkata, menggigil, menahan marah yang meledak-ledak,

"Ayah, apakah sikapmu sama seperti Han Han? Apakah kau juga akan melindungi dan membela jahanam ini? Kutegaskan di sini bahwa apapun akan kulakukan untuk membunuh musuhku ini, ayah. Jangankan di Hek-yan-pang, di istana pun aku tak gentar. Aku telah bersumpah untuk membunuh dan membalas dendamku. Nah, aku mohon jawabanmu apakah kau juga akan bersikap seperti Han Han. Tak usah berbelit-belit karena siapapun tahu bahwa jahanam ini sengaja datang ke Hek-yan-pang bukan sebagai tamu melainkan memang ingin minta perlindungan. Aku masih menghormat dan memandang mukamu!"

Beng Tan menarik napas dalam-dalam. Akhirnya ia dapat menenangkan diri dan sang isteri yang digamit agar tidak ikut bicara disuruhnya diam. Sesungguhnya siapapun gentar menyaksikan sikap Giam Liong ini. Si Naga Pembunuh akan menerjang siapa saja yang berani menghalanginya, termasuk dirinya sendiri. Dan karena Beng Tan tahu baik watak anak angkatnya ini, pendiam namun bergemuruh maka ia coba bersikap obyektif dan netral. Kedok Hitam memang terlalu jahat dan tak patut dilindungi. Han Han, puteranya, belum tahu benar watak laki-laki itu. Tapi karena ia juga dapat memahami watak anaknya yang tak mungkin membiarkan keberingasan membabi-buta di situ, anaknya terpengaruh iba dan ngeri melihat penderitaan Kedok Hitam, puteranya juga benar maka ia berkata dengan suara datar, namun penuh wibawa.

"Giam Liong, akupun tak takut akan ancaman mu. Mati bagi seorang gagah bukanlah apa-apa. Tapi karena urusan ini sudah melibatkan kami, langsung atau tidak maka meskipun kau benar tapi Han Han juga tidak salah. Diundang atau tidak, bermaksud minta perlindungan atau tidak nyata-nyata kalian telah datang di Hek-yan-pang. Nah, aku akan bersikap netral di sini. Kau boleh mengemukakan segala alasanmu tapi betapapun tentunya kau juga harus menghormat dan menghargai hak kami, penguasa wilayah Hek-yan-pang. Dan karena baik kau maupun Han Han sama-sama memiliki kebenaran, aku tak akan campur tangan biarlah kau selesaikan urusan itu dengan Han Han. Aku akan berdiri di luar, tidak memihak. Kalian selesaikan sendiri masalah itu sebagaimana layaknya seorang gagah. Kau turuti kata-kata Han Han atau Han Han siap menerima kemarahanmu!"

"Ayah tak menyuruh minggir Han Han?”

“Aku tak berhak menyuruhnya, Giam Liong. lapun benar karena ia merasa sebagai pemilik wilayah ini. Tapi karena kaupun juga benar bahwa kedatangan Kedok Hitam bukan sebagai tamu melainkan sebagai orang yang minta perlindungan, nah, Han Han rupanya hendak melindunginya maka silahkan kau selesaikan urusan itu dengannya atau kau tunggu di seberang sampai Kedok Hitam keluar!"

Giam Liong mengeluarkan erangan aneh. la terpukul oleh kata-kata ini namun dilihatnya bahwa kata-kata itupun betul. Sebagai pemilik Hek-yan-pang yang wilayahnya didatangi orang tentu saja pemilik berhak mengusir atau menerima, melawan atau melindungi. Dan marah bahwa Kedok Hitam sungguh licik, laki-laki itu tertawa dan terbatuk di sana, bukan main bencinya Giam Liong maka pemuda itu membentak.

"Kedok Hitam, jangan buru-buru tertawa. Betapapun aku akan membunuhmu. Kalau Han Han melindungimu bersyukurlah bahwa nyawamu masih diberi sedikit umur panjang!"

"Heh-heh ugh!" laki-laki itw tersedak, girang dan sejenak dapat melupakan sakitnya. "Kau telah mendengar kata-kata itu sendiri, Giam Liong. Hek-yan-pang membantuku. Kau harus berhadapan dengan mereka dulu kalau ingin membunuhku. Ugh.. jasa baik ini tentu tak akan kulupakan dan kelak sri baginda akan kuberi laporan agar menganugerahkan pangkat besar!"

"Kau tak usah banyak mulut!" Beng Tan membentak dan tak senang. "Hek-yan-pang tak pernah membela atau melindungi orang jahat, Kedok Hitam. Yang berbuat disini adalah puteraku sebagai pribadi, bukan membawa-bawa Hek-yan-pang. Ia bergerak semata atas dasar perikemanusiaan, rasa iba dan kasihannya melihat dirimu di ancam bahaya!"

Laki-laki ini tertawa sumbang, la mengerang dan merintih lagi merasakan sakitnya, duduk bersandar dan membalut luka-lukanya, sendiri. Keadaannya mengenaskan dan siapapun tentu kasihan. Memang benar kata-kata Beng Tan tadi. Namun karena semua orang juga tahu bahwa laki-laki ini amatlah jahatnya, culas dan curang maka tak ada yang menolong dan Han Han yang melindungi dan membelanya semata merasa ngeri dan bergidik melihat keganasan Giam Liong.

Musuh yang sudah terpapas daun telinga dan hidungnya masih juga dikejar-kejar, belum lagi beberapa golok terbang yang menancap di pipi dan pundak. Ah, semua ini membuat watak mulia Han Han bangkit. Ia tak dapat membiarkan kekejaman itu berlangsung di depan mata. Lain halnya kalau Giam Liong menyiksa atau membunuh lawannya di luar sana. Dan karena lain Han Han lain pula Giam Liong, masing-masing pemuda itu mempunyai watak sendiri-sendiri maka Giam Liong sudah berhadapan dengan calon lawannya ini. Untuk kedua kali berhadapan sebagai musuh!

"Han Han," suara Giam Liong berat dan terdengar dingin, kemarahannya masih tetap berkobar."Apakah kau tetap melindungi dan hendak membela jahanam ini? Apakah kau tak dapat membiarkan aku menyelesaikan dendamku dan nanti kita selesaikan urusan kita sendiri?"

"Maaf," Han Han menarik napas dalam-dalam. "Aku melihatmu terlalu kejam dan tak berperasaan, Giam Liong. Sungguh ngeri hatiku melihat apa yang kau lakukan kepada lawanmu ini. Lihat, ia luka-luka dan sudah terpapas hidung dan telinganya. Tapi masih juga kau kejar-kejar. Ia telah bertobat dan minta ampun namun kau tetap juga menyerangnya. Hm, aku tak dapat melihat semuanya ini dan hatiku berontak. Kau tunggulah di luar sana kalau ingin membunuh. Tapi kalau kau bersikeras dan hendak membunuh di sini, ada aku di sini maka tentu saja aku tak akan tinggal diam. Kau berada di wilayah Hek-yan-pang, wilayah ayah ibuku. Harap kau tahu ini dan terserah mana yang hendak kau pilih."

"Baik!" Giam Liong bergetar menggerakkan Golok Mautnya, mata mencorong bagai naga sakti, berkilat-kilat. "Kau dan aku rupanya sama-sama teguh pendirian, Han Han, kita sudah sama-sama tak ada titik temu. Mari se lesaikan persoalan ini secara gagah dan kau atau aku yang roboh memperebutkan jahanam itu!"

"Aku tak berebut. Aku hanya membela kebenaran sesuai kata hatiku”

"Tak usah banyak cakap. Cukup kita bicara. Han Han. kau atau aku yang mati, awas...!" dan Golok Maut yang berdesing menyambar Han Han, bergerak dengan kecepatan kilat tiba-tiba sudah melesat dan bagai halilintar menyambar tahu-tahu membabat leher pemuda ini. Giam Liong tak mau banyak bicara lagi dan ia sudah berseru memperingatkan. Percuma adu debat. Han Han akan membela pendiriannya seteguh dia membela pendiriannya pula.

Dan ketika Golok Maut bicara dan inilah penyelesaian secara laki-laki, dia atau Han Han yang roboh memperebutkan Kedok Hitam maka Han Han mengelak namun golok mengejar juga, melompat tapi tetap diburu dan yang di arah adalah lehernya. Kalau sudah begini Giam Liong benar-benar seekor Naga Pembunuh, siapapun akan diterkam dan dilahapnya. Dan karena serangan itu berbahaya dan dua kali berkelit tetap juga dikejar, hawa dingin Golok Maut membuat bulu kuduk meremang maka Han Han menangkis dan untuk kedua kalinya dua senjata yang sama-sama ampuh itu bertemu.

"Cranggg!"

Anak murid terpelanting. Han Han tergetar sementara Giam Liong juga terhuyung, membentak dan maju lagi dan Beng Tan maupun isterinya harus mundur dengan muka pucat. Swi Cu menjerit kecil ketika puteranya tadi menangkis. Lelatu api yang muncrat dari kedua senjata ditangan masing-masing pemuda itu membuat yang lain berteriak. Apalagi dentang senjatanya memekakkan telinga. Dan ketika selanjutnya Giam Liong sudah menyerang dan membacok lagi, cepat dan bertubi-tubi sementara lawan mengelak dan mundur menangkis, denting demi denting terdengar lagi maka Swi Cu terbelalak melihat puteranya itu.

"Han Han, pergunakan Pek-jit Kiam-sut. Cepat, jangan mundur-mundur dan balas lawanmu itu!"

"Hm, benar," sang ayah juga gatal. "Pergunakan Pek-jit Kiam-sut yang telah kau pelajari dari aku, Han Han. Jangan terlambat atau nanti kau tak dapat menahan desakan lawanmu!"

Benar saja, Han Han tiba-tiba terdesak. Giam Liong yang menyerang dengan kemarahan membubung tinggi sudah langsung mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari ilmu sillatnya Golok Akherat, Im-kan-to-hoat. Didorong oleh semangat balas dendamnya yang tinggi tiba-tiba membuat pemuda ini bagai seekor harimau kelaparan, membacok dan menusuk dan sebentar kemudian sudah berkelebatan mengelilingi lawan. Dan karena sepak terjang atau tandang Giam Liong benar-benar luar biasa, Golok Maut di tangannya itu benar-benar berbahaya sekali maka Han Han terdesak dan pemuda yang semula berkelit dan maju mundur dengan sering menangkis itu menjadi pihak yang bertahan dan sang ibu sering menjerit kalau Han Han hampir saja terlambat dan keserempet Golok Maut.

"Bret-bret!"

Ujung baju dan mata kancing pemuda itu terbabat. Beng Tan sendiri menahan napas dan hampir berteriak oleh terlambatnya sang anak. Giam Liong sudah kesetanan. Dan ketika Han Han menyadari keadaan dan pedang berkelebat ke sekeliling penjuru, apa boleh buat dia harus melepaskan diri dari kungkungan sinar golok akhirnya pemuda ini membentak nyaring dan tiba-tiba mengeluarkan Hui-thian-sin-tiauwnya (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit). Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh dan hanya dengan cara itu ia dapat melepaskan diri. Dan ketika benar saja tubuhnya melesat dan terbang ke segala penjuru, gerakan atau tubuh Giam Liong diikuti pemuda ini tiba-tiba saja Han Han sudah berubah menjadi bayangan putih yang menyambar-nyambar naik turun.

"Giam Liong, keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!"

Giam Liong terbelalak. Lawan yang semula berada di balik bayang-bayang Golok Mautnya mendadak keluar, melesat dan lolos dan Hui-thian-sin-tiauw yang diperlihatkan lawannya ini amatlah luar biasa. Han Han yang semula terkurung tiba-tiba lepas. Namun karena Giam Liong juga bukan pemuda sembarangan dan untuk menghadapi ini ia harus mengeluarkan ilmu saktinya Seratus Langkah, Pek-poh-sin-kun maka Han Han berseru kaget ketika tiba-tiba Giam Liong mencelat-celat dan ganti membayanginya dengan seruan tinggi.

"Han Han, jangan sombong. Aku juga mempunyai ilmu serupa yang akan menandingi kecepatanmu... sret-sret!" kaki Giam Liong seperti karet, membal dan mencelat-celat dan Han Han tentu saja terkejut.

Ayah ibunya di sana juga terbelalak dan Beng Tan menjadi kagum. Kiranya di tengah pengembaraannya itu Giam Liong menambah ilmunya, maju dan demikian mentakjubkan karena selama ini sang pendekar belum melihat ilmu itu. Ilmu ini dipelajari Giam Liong dari kitab kecil di sumur tua, peninggalan ayahnya yang dulu belum sempat dipelajari. Kini pemuda itulah yang mempelajari dan Ju-taihiap menjadi kagum. Kalau dulu mendiang Sin Hauw menguasai ilmu ini tentu dia kalah. Beng Tan benar-benar takjub. Tapi ketika Hui-thian-sin-kun ternyata mampu mengimbangi Pek-poh-sin-kun atau barangkali Pek-poh-sin-kun yang berhasil menyamai Hui-thian-sin-tiauw, dua anak muda itu bergerak sama cepatnya dengan tubuh menyambar-nyambar maka siapapun akhirnya tak memperhatikan lagi si Kedok Hitam yang perlahan-lahan mulai beringsut dari tempat itu.

Asyik dan tegangnya pertandingan dua pemuda ini membuat yang lain-lain lengah. Mereka tak melihat betapa Kedok Hitam menyelinap dan akhirnya menghilang, masuk ke markas Hek-yan-pang dan di situlah laki-laki ini menyelamatkan diri. Ia tak tanggung-tanggung karena memasuki kamar ketua, kamar Beng Tan pribadi. Dan ketika dua pemuda itu bertempur kian sengit, laki-laki ini merintih dan mengeluh di dalam kamar maka kebetulan seorang murid memergokinya melihat bercak-bercak darah dikamar ketuanya.

"Heii..!" murid wanita itu menjerit. "Kau, Kedok Hitam? Keluarlah, ini kamar ketua!"

Namun Kedok Hitam tertawa sengau. Ia tak dapat bicara atau tertawa baik gara-gara hidungnya yang terpapas itu. Namun karena kepandaiannya masih tinggi dan menghadapi murid rendahan begini tentu saja ia masih terlalu lihai maka ia menyambar dan murid wanita itu tahu-tahu di toloknya roboh.

"Kau... kau tolonglah aku. Carikan obat yang paling manjur dan diamlah di sini bersama aku. Awas, jangan berteriak atau nanti aku membunuhmu!"

Murid wanita ini menggigil. Ia roboh sekali ditotok dan pucatlah, mukanya melihat wajah mengerikan itu. Sadarlah dia bahwa Kedok Hitam masih terlalu lihai. Namun karena ia tak berdaya dan laki-laki itu rupanya hanya ingin minta tolong, membebaskan totokannya dan berkata agar dia diam maka murid wanita yang cantik dan berkulit halus ini gemetar.

"Aku... aku tak akan berteriak. Tapi... tapi lepaskan cengkeramanmu di punggung!"

"Kau mau, menolongku? Kau mau membantu aku mengobati luka-lukaku?"

"Mmm.... mau, Kedok Hitam. Tapi lepaskan tanganmu. Aku kesakitan!"

"Baik, dan berdiam di sini dulu bersama aku. Jangan macam-macam atau nanti kubunuh!"

"Tapi kita di kamar ketua. Aku takut!"

"Bodoh. Justeru di kamar ini banyak obat-obat mujarabnya. Heh, carikan obat untuk luka-luka luarku, nona. Dan siapa namamu?!”

"Aku... aku Thio Leng. Kau jangan membuat aku takut!"

"Heh-heh, aku tak pernah membuat kau takut. Asal kau menurut dan memenuhi perintah-perintahku maka tak perlu aku menakutimu. Hayo, bantu aku dan carikan obat pengering luka. Luka-lukaku masih berdarah."

Thio Leng, anak murid wanita itu mengangguk. Ia agak besar hati dan lega karena Kedok Hitam yang dikabarkan jahat ini ternyata baik-baik saja. Hanya ia merasa seram oleh luka-luka di tubuh dan mukanya itu. Jijik juga melihat hidung dan daun telinga yang putus. Namun karena orang tak berbuat jahat dan ia dimintai tolong, iba dan kasihannya muncul maka iapun membantu dan mencarikan obat. Semua itu ia temukan di kamar ketua dan dengan cepat ia mengolesi semua luka-luka itu.

Benar saja, luka-luka itu mengering, cepat sekali. Darah tak mengucur lagi namun gadis ini tak tahu betapa sejak tadi gerak-geriknya diperhatikan. Sorot mata aneh memancar dari balik si Kedok Hitam. Lengan dan jari-jari lentik menjadi perhatiannya. Dan ketika gadis itu juga harus membungkuk untuk mengobati luka di pundak dan pangkal lengan, rambut dan pundaknya yang harum merangsang birahi maka Kedok Hitam tiba-tiba tertawa dan secepat kilat menotoknya roboh.

"Cukup, lukaku sembuh. Heh-heh, kau cantik sekali, anak manis. Aku tiba-tiba jatuh cinta kepadamu!"

Gadis ini menjerit, la kaget dan berteriak tapi Kedok Hitam bergerak lebih cepat. Urat gagu gadis itu ditotok. Dan ketika Thio Leng meronta namun roboh di paha laki-laki ini, Kedok Hitam merasa aman dan lega di kamar itu maka laki-laki yang semalam ketakutan dan lari dikejar-kejar Giam Liong ini minta imbalannya. Hiburan segar!

"Heh-heh, tak usah meronta atau berteriak, Thio Leng. Aku telah menotokmu. Aih, kulitmu begini segar dan halus. Dan tubuhmu, aduh... mengilar aku. Kau masih perawan!"

Thio Leng pucat pasi.Ia tak menyangka dan menduga bahwa Kedok Hitam yang semula dianggapnya baik tiba-tiba berobah menjadi srigala lapar. Laki-laki itu terkekeh dan tawanya yang bindeng tak keruan membuatnya ketakutan. Kalau ada petir menyambar, rasanya ia lebih baik mati disambar, bukan roboh di tangan laki-laki ini. Dan ketika Kedok Hitam menggerayangi tubuhnya dan mulai membuka kancing-kancing bajunya, mencium dan mendengus maka murid Hek-yan-pang yang sial ini terbelalak lebar-lebar. Ia melotot dan menangis namun suara yang dikeluarkan kuat-kuat untuk berteriak dan menjerit tak mau keluar. Ia benar-benar tertotok luar dalam. Tubuh dan urat gagunya lumpuh.

Dan ketika dengan mata terbelalak ia mulai ditelanjangi, Kedok Hitam tertawa dan membenamkan mukanya di dada gadis itu maka Thio Leng seakan pingsan merasa remasan-remasan kasar di tempat terlarang, la menangis dan menjerit namun tak ada suara keluar. Ia meronta dan menggelepar namun tubuh diam saja menerima terkaman-terkaman lawan. Dan ketika jerit tertahan terdengar di situ, gadis ini merasakan sakit yang luar biasa tiba-tiba gadis itu pingsan dan Kedok Hitam beringas mengerjai korbannya. Laki-laki ini benar keji dan rupanya kehidupan di istana tak dapat ditinggalkannya.

Di sana setiap perempuan gampang saja diambil. Bahkan selir-selir kaisar sekalipun. Dan ketika ia tertawa-tawa menggagahi korbannya, iblis benar-benar memasuki tubuhnya maka laki-laki ini lengah akan keadaan sekeliling. Ia dengan buas tengah melahap gadis manis itu. Rasa aman dan lega bahwa Giam Liong dihadapi Han Han, juga Beng Tan dan isteri serta murid-muridnya kalau Giam Liong berani bertindak kelewatan membuat laki-laki ini lupa daratan. Ia begitu mabok mempermainkan korbannya. Begitu keji memperkosa dan menggagahi murid Hek-yan-pang ini sampai pingsan berkali-kali.

Thio Leng sadar dan menjerit lagi setiap siuman, gadis itu seolah gila. Dan ketika totokan akhirnya buyar, pengaruh totokan itu tak dapat lama karena tenaga Kedok Hitam tidaklah seperti biasanya, laki-laki ini sesungguhnya sudah lemah dan habis tenaga dikejar-kejar Giam Liong maka jerit atau teriakan Thio Leng memecah ke segala penjuru, untuk terakhir kalinya.

"Tolong... tolong. Kedok Hitam di sini!"

Laki-laki itu terkejut. Ia ceroboh dan terlalu gegabah kalau menganggap dirinya aman total. Ia tak tahu bahwa beberapa saat setelah dirinya lenyap maka Giam Liong yang pertama kali tersentak dan terbelalak lebar tiba-tiba kaget bukan main kehilangan lawannya itu. Han Han bukanlah musuhnya karena pemuda itu hanya bertindak sebagai pembela saja. Musuh besarnya adalah si Kedok Hitam itu, laki-laki yang membunuh dan memperkosa ibunya. Maka begitu Giam Liong terkejut dan tak melihat laki-laki ini, membentak dan melakukan tusukan silang di mana Han Han dipaksa mundur dan menangkis maka Giam Liong berjungkir balik dan berteriak mengguntur.

"Han Han, mana si Kedok Hitam!"

Han Han terkejut. Ia sudah mulai berkeringat menghadapi lawannya ini. Giam Liong sungguh hebat dan gagah. Tapi begitu Giam Liong berjungkir balik dan marah memandang bekas si Kedok Hitam, tempat itu telah kosong maka Beng Tan dan anak muridnya tersentak.

"Eh, ke mana dia?"

"Benar, laki-laki itu tak ada!"

Murid-murid Hek-yan-pang geger. Mereka terkejut dan heran sekali bagaimana laki-laki itu pergi. Tapi ketika sadar bahwa pertandingan itulah yang terlalu menarik perhatian, semua tertuju dan memandang ke sini maka Giam Liong marah sekali kehilangan lawannya itu.

"Han Han, kau harus bertanggung jawab kalau ia lolos. Awas kau, nanti kita bertemu lagi!"

Han Han tertegun. Ia terbelalak dan kaget juga, Kedok Hitam ternyata pergi. Tapi begitu Giam Liong meloncat dan meninggalkannya, mata pemuda itu bagai elang mencium mangsa maka Giam Liong melihat percikan-percikan darah di rumput dan tanah-tanah kering. Bagai harimau mengendus daging segar cuping hidung pemuda ini bergerak-gerak. Giam Liong berkelebat dan mengikuti bercak-bercak darah itu. Dan ketika Han Han juga berkelebat dan menyusul pemuda ini, Beng Tan dan lain-lain juga tak mau ketinggalan maka mereka terbelalak melihat bercak darah itu menuju markas.

Beng Tan menahan napas melihat Giam Liong menggereng-gereng. Seluruh wajah dan tubuh pemuda ini memancarkan api, berkilau-kilauan. Menakutkan. Dan ketika bercak darah itu hilang dan timbul lagi di tempat lain, Giam Liong terus mencari dan hidungnya mengeluarkan asap maka saat itulah terdengar jeritan Thio Leng. Giam Liong berkelebat ke tempat ini dan Golok Penghisap Darah tiba-tiba mendengung. Ada sesuatu yang memancar di badan golok itu, semacam sinar terang yang kemerah-merahan. Dan karena jerit itu di kamar Beng Tan dan Giam Liong tak sungkan-sungkan mendobrak kamar ini, Beng Tan dan isterinya terkejut dan marah maka di situ Kedok Hitam sedang bergegas menyelinapkan diri, masuk ke kolong tempat tidur. Thio Leng dicekik dan mati dengan urat pecah!

"Kedok Hitam, kau jahanam keparat!"

Bentakan atau seruan Giam Liong ini mengguntur. Pemuda itu menerjang dan Kedok Hitam pucat pasi. Ia menyesal kenapa totokannya tak tahan lama. Ia terkejut ketika Giam Liong menjebol pintu kamar, berarti pemuda itu meninggalkan lawannya dan saat itu Han Han dan ayah ibunya masuk. Tiga orang ini berkelebat di belakang Giam Liong, dan alangkah berubahnya wajah mereka melihat kejadian di dalam kamar. Thio Leng, murid Hek-yan-pang, membujur kaku dengan tubuh telanjang bulat. Bekas dan kekejian di dalam kamar itu sungguh terkutuk. Apalagi ini adalah kamar pribadi ketua Hek-yan-pang. Bukan main bejat dan tidak tahu hormatnya laki-laki itu.

Swi Cu, sang isteri, sampai mendelik mengepal tinju. Wanita ini tiba-tiba teringat peristiwa hampir duapuluh tahun yang lalu ketika dia juga hampir diganggu laki-laki itu. Kedok Hitam yang tak bermoral! Dan ketika wanita ini memekik dan tubuhnya berkelebat ke depan, Giam Liong membacok tempat tidur namun laki-laki itu meloncat dan bergulingan di sebelah sana maka wanita ini mengambil bagian dan kemarahannya tak dapat ditahan.

"Kedok Hitam, kau keji dan tak berperikemanusiaan!”

Kedok Hitam terkejut. Saat itu ia menghindar dari bacokan Giam Liong namun ditendang nyonya ini, mencelat dan membentur tembok dan selanjutnya Swi Cu melengking-lengking mengejar lawan. Nyonya yang semula menahan diri tiba-tiba kini meledak. Han Han, yang terhenyak dan tak menyangka kekejian Kedok Hitam sampai bengong. Ia sungguh tak mengira bahwa laki-laki yang dibelanya itu malah menghina keluarganya. Kamar pribadi ayahnya dipakai untuk memperkosa. Dan ketika pemuda itu tertegun sementara ibunya melengking-lengking dengan kemarahan luar biasa, Beng Tan merah padam dan pucat berganti-ganti maka Giam Liong yang melihat campur tangan wanita ini tiba-tiba berkelebat, mendorong.

"Bibi, serahkan anjing ini kepadaku!"

Swi Cu terjengkang. Ia berteriak dan marah kepada Giam Liong namun pemuda itu sudah meloncat ke arah lawan. Kakinya bergerak dengan langkah sakti Pek-poh-sin-kun dan Kedok Hitam tahu-tahu pucat mukanya melihat pemuda ini. Ia kepepet di tembok. Dan ketika ia melotot melihat kerjanya Golok Maut, yang menyambar dan membacok lehernya maka laki-laki ini melolong, tangannya menangkis.

"Ju-taihiap, toloong...!"

Tangan itu putus. Dalam panik dan ketakutannya laki-laki ini menyambut Golok Maut, tentu saja tak kuat dan siku ke bawah terlempar mencelat. Sekali bacok Giam Liong telah membuat laki-laki itu menjerit dan roboh terbanting, bergulingan. Namun ketika Giam Liong mengejar dan laki-laki ini semakin ngeri, Giam Liong mengeluarkan tawa aneh maka kaki kanannya menjadi sasaran dan selanjutnya laki-laki ini menjadi bulan-bulanan kemarahan Giam Liong. Kamar itu besar namun tidak cukup besar bagi Kedok Hitam melarikan diri. Ke manapun ia melempar tubuh ke situ pula ia membentur tembok atau meja kursi.

Akibatnya tentu saja fatal dan Giam Liong telah membuntungi kaki tangannya. Tubuh yang semula gagah dan tinggi itu sekarang menjadi pendek. Golok Maut telah menabas paha dan kedua pangkal lengan laki-laki ini. Dan ketika untuk terakhir kalinya Giam Liong tertawa bergelak menyambar kedok laki-laki itu, merenggut dan membukanya maka bersamaan itu goloknya menyilang ke kiri kanan ke bawah pusar laki-laki itu, sebelum akhirnya dilepas dan membabat leher.

"Coa-ongya, sekarang aku menepati janjiku. crat-crat!"

Bergumpal daging mengiringi pekik ngeri laki-laki ini. Giam Liong, yang bagai harimau haus darah tiba-tiba telah mengakhiri kebuasannya dengan bacokan ke bagian rahasia laki-laki itu. Darah dan potongan daging muncrat ke mana-mana. Swi Cu menjerit dan menutupi muka melihat ini. Pemandangan itu sungguh membuat orang merasa ngeri, juga muntah. Dan ketika benar saja nyonya itu membalik dan muntah-muntah bagian yang amat dibenci Giam Liong telah menjadi cacahan perkedel maka kepala Kedok Hitam mencelat dan menggelinding di lantai, berhenti dan menumbuk dinding dan Han Han terbeliak dengan muka merah kehitam-hitaman. Pembantaian paling sadis terjadi di depan matanya. Ia sejak tadi terkesima dan seakan melihat mimpi buruk akan apa yang ada di depan matanya ini.

Tapi begitu pembantaian itu selesai dan Han Han tersentak, ayahnya juga terkejut dan berseru keras maka pemandangan lebih mengerikan lagi terpampang di depan mata. Dan itu adalah perbuatan Giam Liong yang di luar dugaan. Karena begitu lawan berhasil dirobohkan dan Golok Maut menancap di dinding, bergetar dan bergoyang setelah membabat kepala Kedok Hitam maka Giam Liong berlutut dan menghirup darah lawan. Pemuda itu tertawa dan menangis dan kedua tangannya ditengadahkan ke atas. Dan ketika ayah dan anak terpaku tak dapat bergerak maka terdengarlah tawa atau tangis Giam Liong itu.

"Ibu... ayah... lihatlah. Aku telah membunuh musuh besarku ini. Lihatlah ia telah kucincang dan aku mereguk darahnya. Ha-ha, aku telah memenuhi sumpahku, ibu. Dan aku sekarang keramas darahnya!"

Benar saja, Giam Liong meraup dan keramas darah lawan. Ia berlutut di batang leher yang deras mengucurkan darah itu dan di sinilah ia menggelogok dan mencuci dendamnya. Api kebencian itu telah lumat. Dendam dan sakit hati itu telah terbalas. Tapi ketika semua orang merasa ngeri dan seram oleh tingkah laku pemuda ini, Giam Liong bagai binatang buas yang menikmati daging segar maka berkelebat sesosok bayangan dan jeritan nyaring.

"Giam Liong...!"

Semua menoleh dan terkejut. Seorang gadis cantik, yang awut-awutan dan lusuh pakaiannya tiba-tiba berteriak dan masuk ke kamar itu. Giam Liong juga menengok dan dua pasang mata beradu di udara, Dan begitu masing-masing sama terkejut dan tersentak, gadis ini merasa ngeri oleh sikap Giam Liong maka pandangannya bertumbuk oleh sebuah kepala di atas lantai, juga Golok Maut yang masih bergetar dan menancap tembok. Dan begitu ia mengamati kepala itu dan wajah yang rusak segera dikenalnya, itulah wajah ayahnya maka gadis ini menjerit, histeri.

"Ayahhh...!"

Semua meremang dan berdiri bulu kuduknya. Yu Yin, gadis itu, menambah suasana lebih memukau lagi. Gadis ini menubruk dan mengguguk di situ, memeluk dan menciumi kepala tanpa tubuh ini dan siapapun mengkirik mendengar jerit tangisnya. Gadis ini seperti kesurupan. Tapi begitu ia mendongak dan melihat Golok Maut, golok yang masih bergoyang dan bergetar menancap tembok tiba-tiba ia meloncat dan berteriak nyaring.

"Giam Liong, kau membunuh ayahku!", dan bergerak serta menyentak golok itu, membalik, tiba-tiba Yu Yin telah menerjang dan membabat leher Giam Liong. Gadis ini marah bukan main oleh kematian ayahnya. Guncangan yang amat berat memukulnya. Ia betul-betul shock. Tapi ketika golok menyambar dan Giam Liong tetap berlutut, pemuda itu membelalakkan mata maka Han Han dan ayahnya kaget berseru keras.

"Giam Liong, awas...!"

Namun Giam Liong tak bergeming. Pemuda ini mengalami perubahan psikis setelah pembunuhan itu dilakukan. Jiwa yang semula penuh dendam dan api mendadak padam. Apalagi setelah kekasihnya datang ke situ, melihat dan menyaksikan apa yang dia lakukan. Dan karena yang dibunuh adalah ayah kekasihnya pula, orang tua gadis itu maka detak bagai palu godam menghantam pemuda ini. Api kebencian dan dendam mendadak sirna. Giam Liong tertusuk oleh pandang mata kekasihnya pandang mata kaget dan ngeri serta macam-macam lagi yang bercampur-aduk.

Saat itu juga semacam kepedihan merobek hati pemuda ini. Giam Liong tiba-tiba ingin bunuh diri! Dan ketika kebetulan kekasihnya itu menerjang dan Golok Maut dicabut dan dibacokkan ke lehernya, pemuda ini tak ingin mengelak maka golok membabat dan sinar putih panjang meluncur keleher pemuda ini. Sekali tersabet tentu Giam Liong menggelinding kepalanya. Tapi ketika bayangan putih bergerak dan itulah Han Han yang sadar lebih dulu disusul ayahnya yang bergerak dan menotok pundak Yu Yin maka Giam Liong selamat tapi Golok tetap menyambar ke kiri. Putuslah lengan Giam Liong.

"Crak!"

Jerit dan pekik sana-sini menggema di ruangan itu Giam Liong seketika roboh dan mandi darah dan Yu Yin menjerit sama seperti Giam Liong iapun tadinya penuh marah dan benci. Tapi begitu pemuda itu menerima serangannya dan tidak mengelak atau menangkis, Giam Liong sengaja menyerahkan kepalanya maka Yu Yin terpekik dan berseru tertahan. Pukulan Han Han membuat bacokannya melenceng sementara totokan Ju-taihiap membuatnya roboh. Golok mencelat dan dirampas pendekar itu. Dan ketika Yu Yin menjerit dan sadar akan tindakannya, kemarahan berubah menjadi kecemasan tiba-tiba gadis itu meraung.

"Giam Liong,... Giam Liong.... jangan tinggalkan aku. Jangan mati!"

Kamar itu menjadi ribut. Tangis dan raungan Yu Yin memenuhi segalanya dan heran serta mengejutkan mendadak ia lepas. Totokan Beng Tan melumpuhkannya tapi dengan Pi-ki-hu-hiatnya ia mampu membebaskan diri. Inilah keistimewaan gadis itu. Dan ketika Yu Yin sudah meloncat lagi dan menubruk Giam Liong, menguguk dan tersedu-sedu memeluk pemuda itu mendadak ia membenturkan dahinya dan ingin mati bersama, mengira pemuda itu tewas.

"Giam Liong, tunggu aku. Biar kita beriring ke akherat!"

Namun sesosok bayangan lain berkelebat. Tang Siu, gadis baju putih membentak dan berseru nyaring. Sesungguhnya gadis ini ada di belakang dan kini mencengkeram Yu Yin, tepat di saat temannya itu membenturkan dahi. Dan ketika gerakan Tang Siu amatlah tepat karena saat itu Han Han dan ayah ibunya membelalakkan mata, kamar pribadi ini penuh gelimang darah dan bau anyir maka Yu Yin tersentak dan terangkat naik. Gadis itu terkejut dan marah, menjerit dan meronta namun Tang Siu memberi tahu bahwa Giam Liong masih hidup. Pemuda itu hanya pingsan dengan buntungnya lengan, juga tentunya peristiwa demi peristiwa yang bertubi dialami.

Dan ketika Han Han dan ayahnya juga bergerak dan mencengkeram puteri Coa-ongya ini, darah di tubuh Giam Liong bukanlah darahnya sendiri melainkan bercampur dengan darah orang lain maka gadis itu tertegun namun air mata tetap deras mengucur. Dan Ju-taihiap berkata dengan suara serak, menggigil.

"Dia benar, Giam Liong masih hidup. Tapi siapakah temanmu ini."

Yu Yin menangis. Ia mengguguk dan tak menjawab dan tiba-tiba pingsan. Kecemasan dan kegembiraan bercampur menjadi satu, juga kekagetannya melihat kematian ayahnya itu. Dan ketika ia roboh namun Tang Siu memeluknya, Han Han tertegun dan berkejap gembira maka pemuda inilah yang menjawab, lirih,

"Inilah gadis yang kuceritakan itu, ayah. Inilah Tang Siu yang dulu menolongku dari tangan Eng Hwa. Ia gadis gagah perkasa yang mengagumkan hatiku!"

"Hm, dia kiranya? Gagah sekali. Tapi maaf, kita harus keluar dari kamar ini dan biarkan murid-murid membersihkan dahulu!"

Tang Siu buru-buru memberi hormat, dijawab anggukan dan gadis itu saling lirik dengan Han Han. Tak diduganya pemuda itu ada di sini, dan kiranya pemuda ini adalah putera ketua Hek-yan-pang, pemuda gagah yang ayahnya juga memiliki nama besar! Dan ketika Han Han mengangguk dan memberi isyarat kepadanya, kejadian mengerikan di kamar itu harus dibersihkan maka Tang Siu ditemani Han Han sementara Beng Tan dan isterinya menolong Giam Liong. Betapapun rasa tak senang mengganggu suami isteri itu namun dendam dan kemarahan pemuda itu dapat diterima.

Swi Cu yang mendengar kematian sucinya diam-diam menangis. Giam Liong dan ibunya sebenarnya dalam penderitaan batin. Dan karena perbuatan Kedok Hitam juga sungguh keji sekali, di saat terakhir masih memperkosa dan menghina mereka maka Beng Tan dan isterinya yang menolong Giam Liong menjadi iba melihat buntungnya lengan kiri pemuda itu. Meskipun semula mereka merasa tak setuju dan ngeri oleh tindak-tanduk pemuda ini namun sekarang semuanya telah berakhir. Bahkan, Giam Liong tadi siap menyerahkan nyawanya di tangan Yu Yin. Tanda bahwa sesungguhnya pemuda itu tak akan menjadi "iblis" kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar hebat terjadi, penderitaan dan kisah malangnya ditinggal ayah ibu. Dan ketika semua murid membersihkan kamar ketua, kamar bekas pembantaian amat mengerikan maka Giam Liong sendiri mendapat perawatan bekas ayah angkatnya.

* * * * * * * *

Tiga hari kemudian. Suasana di Hek-yan-pang masih diliputi mendung perkabungan. Thio Leng, anak murid Hek-yan-pang yang tewas telah dimakamkan sebagaimana mestinya. Anak-anak murid tak ada yang berwajah cerah namun kejadian itu menjadi pembicaraan bisik-bisik di antara sesama mereka. Keberingasan Giam Liong dalam membunuh Kedo kHitam ramai membuat anak murid bergidik. Kedok Hitam juga sudah dimakamkan dan atas permintaan Yu Yin gadis itu menghendaki jenasah ayahnya dikubur di hutan di luar Hek-yan-pang.

Yu Yin telah mendengar cerita tentang ayahnya dan gadis ini malu bukan main. Perbuatan ayahnya yang memperkosa murid Hek-yan-pang sungguh menampar. Teringatlah dia akan beberapa saputangan hitam di kamar ayahnya, saputangan yang biasa dipakai gurunya si Kedok Hitam yang ternyata juga adalah ayahnya sendiri. Gadis ini terhuyung dan menutupi muka ketika mendengar cerita itu. Han Han lah yang bercerita didampingi Tang Siu, karena dua orang itulah yang selalu menemani dan menjaganya. Dua hari ini Yu Yin selalu menangis saja. Dan ketika di sana Giam Liong terserang demam, tak sadar dan menggigil maka Yu Yin terisak-isak melihat buntungnya lengan pemuda itu, air mata jatuh berderai.

"Bagaimana dengan dia, apakah betul tidak apa-apa...?"

"Giam Liong akan sembuh. Tapi guncangan jiwanya masih bergetar, nona. Harap kau menjauh dulu dan biarkan ia bersama kami," Beng Tan, yang merawat dan menjaga pemuda itu minta agar Yu Yin tidak sering menengok. Pendekar itu khawatir ada apa-apa yang tidak baik, kalau nanti dua orang muda itu sendirian bertemu. Dan karena demam yang dialami pemuda ini juga butuh pengamatan cermat supaya tidak meninggi maka sang pendekar memberi isyarat puteranya agar Han Han membawa dulu puteri Coa-ongya itu ke tempat, lain, bersama Tang Siu. Dan Han Han mengerti.

"Benar, biarlah kita serahkan mereka, Yu Yin. Biarkan ayah yang nanti memberi tahu kalau Giam Liong sudah sembuh betul. Lengannya yang luka itu juga butuh perawatan serius."

"Dan aku yang membuntunginya. Ooh, aku menyesal, Han Han. Aku ingin menukarnya dengan tanganku sendiri. Ooh, aku berdosa kepada Giam Liong!"

"Hm, sudahlah. Semua dalam keadaan tak sadar. Kalau sadar tentu tidak begitu. Mari kita keluar dan berjaga di tempatmu saja."

Yu Yin terisak-isak. Dia juga baru saja sembuh dari demam setelah peristiwa hebat itu terjadi. Pukulan dan guncangan menghantam batinnya. Kalau tak ada Han Han dan ayah ibunya di situ barangkali ia dapat gila. Dan karena Tang Siu juga selalu menghibur dan inilah teman wanita satu-satunya yang paling setia, Yu Yin dapat menumpahkan perasaannya di situ maka kepada gadis inilah Yu Yin berbagi duka.

"Aku malu kepada Ju-taihiap. Aku sebenarnya ingin menyingkir jauh-jauh!"

"Kenapa?"

"Ah, sepak terjang ayahku membuatku malu seumur hidup, Tang Siu. Bayangkan ia telah menghina keluarga ini padahal Han Han membelanya!"

"Hm, sudahlah. Tak usah kita bicarakan ayahmu, Yu Yin. Apa yang telah lewat tak usah dibicarakan lagi. Aku ingin bertanya apa yang akan kau lakukan kalau nanti Giam Liong sembuh."

"Aku... aku..." gadis itu berhenti, tiba-tiba bercucuran air mata. "Aku ingin minta maaf, Tang Siu. Tapi aku tak dapat mengembalikan lengannya itu!"

"Bagus, kau tak akan membunuhnya, bukan?"

"Apa? Gila! Aku tak mungkin melakukan itu. Aku tahu sepak terjang ayahku yang sebenarnya!"

"Kalau begitu aku tak khawatir lagi. Dan aku dapat melepasmu bersama Giam Liong tanpa ganjalan lagi."

"Kau mau ke mana?" Yu Yin tiba-tiba tertegun mencengkeram gadis ini. "Bicaramu aneh, Tang Siu. Kau seolah mau pergi!"

Gadis ini menarik napas dalam, tersenyum, pahit. "Kau menghendaki bagaimana, Yu Yin? Masa kita harus selalu berkumpul berdua? Aku sudah rindu guruku, aku ingin pulang ke Kun-lun. Dan tentunya tak mungkin kita harus terus-terusan di sini. Ini rumah orang, kita tamu. Kaupun harus pergi kalau Giam Liong sembuh!”

Yu Yin tiba-tiba sadar. Mendadak ia menjerit dan memeluk kencang temannya ini. Perpisahan itu tiba-tiba terasa dan Yu Yin mengguguk. Namun ketika dengan lembut gadis Kun-lun ini membelai rambutnya maka Tang Siu berkata,

"Yu Yin, tak ada orang berkumpul selamanya, seperti juga tak ada orang berpisah selamanya. Kalau kau sudah tidak mengganggu Giam Liong lagi aku lega dan tidak merasa khawatir. Kita tentu harus berpisah. Aku bertahan disini semata karena ingin menemanimu. Aku turut prihatin atas nasib burukmu."

"Terimakasih. Tapi.... tapi tak kuat rasanya kalau aku berpisah denganmu, Tang Siu. Kau sahabat dan pelindungku paling setia. Aku berhutang banyak budi kepadamu!"

"Hush, omongan apa ini? Kau dan aku sama-sama wanita, Yu Yin, dan aku dapat merasakan penderitaanmu. Kita berjodoh untuk bertemu, dan aku kagum kepadamu!”

"Kagum? Ah, kagum kepada seorang puteri manusia sesat? Aduh, jangan mengejekku, Tang Siu. Akulah yang kagum dan hormat kepadamu. Kau benar-benar seorang pendekar gagah dan gadis mengagumkan. Aku iri kepada orang tuamu yang melahirkanmu!"

"Hm, aku tak tahu siapa orang tuaku. Aku sudah diambil murid sejak kecil oleh guruku. Sudahlah, aku benar-benar kagum kepadamu, Yu Yin. Kagum bahwa kau berbeda jauh dengan ayahmu. Kau sebutir mutiara di tengah-tengah lumpur yang kotor. Dan kau tak terpikat oleh segala kesenangan atau kemewahan istana. Kau puteri bangsawan yang bersahaja. Dan inilah yang mengagumkan hatiku!"

"Ah, tak seberapa dibanding dirimu, Tang Siu. Aku merasa tetap ditempeli dosa ayahku itu. Apa kata orang kalau ingat kekejamannya!"

"Orang tak akan mengingat-ingat itu. Kau adalah pribadi yang lain dan tidak seperti ayahmu. Kau berbeda! Kau sekuntum mawar harum yang kebetulan hidup di tengah-tengah pecomberan!"

"Sudahlah, tak usah memuji-mujiku, Tang Siu. Yang jelas aku tak mau lagi tinggal di istana. Segala gelar dan sisa-sisa kebangsawananku akan kucopot. Aku ingin hidup jauh dari istana, sebagai wanita biasa!"

"Maksudmu kau tak pulang ke rumah?"

"Benar."

"Kalau begitu ke mana?"

"Aku hendak mengikuti Giam Liong, Ke mana dia pergi kesitulah aku hidup, Aku... aku ingin menebus dosa kepadanya!"

Tang Siu terharu. Tiba-tiba ia memeluk dan mencium sahabatnya ini. Air mata meleleh dan cinta yang besar dilihatnya di situ. Memang sejak dulu Giam Liong dan gadis ini sebenarnya saling cinta. Dan teringat betapa Yu Yin siap menerjang bahaya demi pujaannya itu, tak takut dan gentar membela Giam Liong maka bayangan Han Han muncul. Tadi pemuda itu meninggalkan mereka sebentar.

"Ayah memanggil Yu Yin, sendiri. Mohon kalian keluar dan aku ingin bercakap-cakap sebentar denganmu."

Tang Siu tertegun. "Yu Yin?"

"Ya, ia, Tang Siu. Dan aku ingin bercakap-cakap sebentar denganmu. Ada sesuatu yang penting!"

Dua gadis itu bangkit berdiri. Yu Yin malah girang karena mungkin Giam Liong sudah sadar. Dan begitu Han Han mempersilahkannya dan ia bergerak keluar, menghapus air matanya maka Han Han mengajak Tang Siu ke taman, di belakang bangunan. Dan ketika gadis ini mengikuti dan berdebar karena ada sesuatu yang dirasakan, Han Han tidak seperti biasa dan dua kali menumbuk batu, terpelanting dan hampir jatuh maka di sebuah tanaman anggrek pemuda ini berhenti. Dan alangkah herannya Tang Siu melihat wajah Han Han yang merah dan pucat berganti-ganti.

"Eh, kau sakit, Han Han? Kau tidak enak badan? Kau mau diserang demam juga?"

"Tidak," suara Han Han gemetar dan seperti orang kedinginan, menggigil. "Aku ... aku hendak bertanya kepadamu, Tang Siu. Benarkah kau hendak pulang ke Kun-lun!"

"Eh!" gadis ini terkejut, melengak. "Kau mendengar pembicaraan itu?"

"Maaf, tadi aku hendak masuk ketika kalian tampak berangkulan, Tang Siu. Aku berhenti di luar dan terpaksa menunggu. Dan... dan aku mendengar kata-katamu tadi."

"Hm, ada apakah," gadis ini tak mengerti, merasa heran. "Bukankah wajar dan itu bukan hal aneh. Masa aku harus selalu menumpang di Hek-yan-pang. Aku tamu, malah sebenarnya tak diundang!"

"Kau. kau tidak senang di sini?"

Gadis ini terkejut, dua mata beradu. Dan ketika Tang Siu melihat sorot aneh di mata Han Han, seperti bingung atau penuh permohonan maka dia menahan detak jantungnya karena tiba-tiba ada sambaran mesra di mata putera ketua Hek-yan-pang ini. Dan Tang Siu tiba-tiba menggigil, ikut tak keruan.

"Han Han, apa sebenarnya maksudmu. Aku jadi bingung mendengar kata-katamu. Apa yang hendak kau tuju!"

"Aku... aku..." Han Han tercekik. "Aku sedih mendengar kata-katamu tadi, Tang Siu. Apakah kau tak kerasan disini, tak senang!"

"Tentu saja aku senang, tapi..."

"Tapi bagaimana kalau tidak buru-buru pergi dulu? Aku mengharap lebih lama lagi kau tinggal di sini, Tang Siu. Syukur kalau selamanya?"

"Han Han...!"

Namun Han Han tiba-tiba menyambar dan mencekal lengannya. Ada sesuatu yang berat diperjuangkan pemuda itu dan ketika Tang Siu terkejut tiba-tiba Han Han menggenggamnya erat-erat. Aneh sekali, Han Han tiba-tiba menangis! Dan ketika pemuda itu memejamkan mata dan Tang Siu tak mampu melepaskan tangannya, gadis ini berdetak dan menggigil maka Han Han berkata, terputus-putus, tersedak,

"Tang Siu, aku.... aku hendak menyatakan apa yang selama ini mengganggu perasaanku. Aku... aku hendak menyatakan cinta! Apakah kau menerima cintaku? Apakah... apakah kau mau tinggal lebih lama disini? Aku butuh jawabanmu, Tang Siu. Atau nanti aku bisa mati berdiri dihimpit perasaan ini!"

Tang Siu menjerit tertahan. Rasa heran dan kagetnya tiba-tiba menjadi perasaan terkejut. Mukanya seketika merah padam dan tiba-tiba ia membetot lepas tangannya itu. Dan ketika Han Han terkejut dan membuka mata, ia menyatakan cinta bagai seorang dusun berhadapan dengan seorang panglima perang maka Han Han tersentak melihat gadis itu melarikan diri, menangis, masuk kamar!

"Tang Siu...!"

Putera Ju-taihiap yang gagah ini berdetak. Ia kaget dan penasaran oleh sikap gadis ini dan Han Han tentu saja mengejar. Han Han jatuh lagi ketika keserimpet akar-akaran, gugup dan bangun dan mengejar lagi dengan muka berubah. Ada rasa takut di hati pemuda itu. Ada rasa terpukul. Dan ketika hampir saja Han Han menabrak pintu kamar yang dibanting, pemuda ini berteriak maka dilihatnya gadis Kun-lun itu mengguguk di tempat tidur. Kepalanya dibenamkan di bawah bantal!

"Tang Siu, aku... aku salah apa..." Han Han lupa menutup pintu kamar, berlutut dan bertanya dan mukapun merah pucat tak keruan. Seumur hidup baru kali ini menyatakan cinta tiba-tiba saja mendapat sambutan seperti itu. Kontan Han Han bingung. Dan ketika murid Yang Im Cinjin ini berbisik dan kembali bertanya, gemetar, aneh sekali Tang Siu malah tersedu-sedu. Dan Han Han malah mematung.

"Sst...!" sebuah panggilan tiba-tiba mengejutkan. "Kemari, Han Han. Tinggalkan dia sebentar!"

Han Han menoleh. Dia kaget lupa menutup pintu kamar dan Ki Bi, bibinya muncul di situ. Dan ketika wanita itu menggapainya agar dia keluar, Han Han bangkit dan membiarkan Tang Siu mengguguk maka di luar pintu kamar wanita itu berbisik,

"Berikan bunga ini kepadanya. Kalau dia menolak berarti tak cinta tapi kalau diterima berarti cintamu tak bertepuk sebelah tangan!"

"Bibi tahu?"

"Aku pernah muda, Han Han, dan aku tentu saja tahu watak wanita. Berikanlah, dan cepat masuk lagi!"

Sang bibi menghilang. Di genggaman tangan Han Han terdapat setangkai mawar merah yang segar dan sedang berkembang. Harumnya menyengat hidung dan Han Han kagum sekali akan bunga ini. Namun, menggigil dan masuk lagi, berjingkat, Han Han kembali berlutut dan isak atau tangis gadis itu reda. Rupanya Tang Siu heran dan curiga juga kenapa suara Han Han tiba-tiba hilang. Ke manakah pemuda, itu. Dan ketika ia menggerakkan kepalanya dan melirik, dari bawah bantal, mendadak saja Han Han menyusup di situ dan dua-duanya terkejut. Lucu. Dan Tang Siu tiba-tiba terkekeh, kaget tak dapat menahan geli!

"Heii...!" keberanian Han Han seketika bangkit, gadis itu meloncat dan lari keluar kamar. "Ada apa, Tang Siu. Kenapa menangis dan kini tertawa. Tunggu, aku membawa sekuntum bunga!"

Namun gadis itu tak menoleh. Han Han harus berjungkir balik dan menghadang di depan kalau ingin menghentikan gadis ini. Dan ketika benar saja Tang Siu menjerit hampir menabraknya, gadis itu menahan larinya maka Han Han gembira menawarkan bunga mawarnya itu. Sikap Tang Siu mengembalikan keberaniannya.

"Aku hendak mengulang pertanyaanku tadi. Kalau kau menerimanya harap terimalah persembahan ini. Namun kalau kau menolaknya harap dibanting dan dicampakkan!"

Tang Siu tertegun. Ia merah padam melihat mata Han Han yang bersinar-sinar. Mata itu masih lembut dan penuh mesra, tak mampu ia melawannya. Dan ketika ia menunduk dan Han Han menyusupkan bunga mawarnya, bau harum menyengit hidung tiba-tiba Tang Siu menangis dan memejamkan mata. Mawar itu dicekal erat-erat!

"Ting Siu...!" Han Han girang bukan main. Hatinya serasa melonjak dan tentu saja pemuda ini melompat. Dan ketika ia menubruk dan menyambar kekasihnya, Tang Siu tersedu-sedan maka Han Han bertanya kenapa gadis itu menangis.

"Aku... aku bahagia..."

"Bahagia?"

"Ya, sekarang tercapai keinginanku, Han Han. Kenapa baru sekarang kau bilang. Aku... aku sebenarnya menunggu-nunggu..!"

"Ha-ha, kau malah membuat aku bingung. Aduh, tadinya kusangka ditolak, Tang Siu. Dan aku jadi gemetar tak keruan. Eh, kau harus dihukum!" dan Han Han yang memberanikan diri mencium pipi si gadis tiba-tiba membuat Tang Siu menjerit dan meronta, tak dilepaskan dan Han Han mencium lagi dan akhirnya dua muda-mudi ini tertawa. Kegembiraan dan kebahagiaan besar terjadi disitu. Han Han nyaris mabok. Dan ketika ia hendak mencium bibir kekasihnya namun Tang Siu berontak, ada orang di belakang maka Han Han menurunkan kekasihnya dan dengan tersipu-sipu ia melihat bibinya di situ, Ki Bi.

"Maaf, kau dipanggil ayahmu, Han Han. Ada sesuatu yang hendak dibicarakan."

"Tak usah, aku sudah di sini!" ketua Hek-yan-pang tahu-tahu muncul, berdiri di belakang Ki Bi, seperti setan. "Ada panggilan untukmu, Han Han. Ada tamu penting. Dan kalian rupanya sudah saling mengikat janji!"

"Ah," Han Han dan Tang Siu tersipu-sipu, apalagi gadis ini, seperti kepiting direbus!

"Tamu siapa, ayah. Dan kenapa kau sendiri sampai datang memanggilku!"

"Aku tak sabar menyuruh bibimu Ki Bi. Dan aku ingin memanggilmu sendiri. Giam Liong telah sadar dan iapun ingin bertemu denganmu."

"Giam Liong? Bagus, aku ke sana, ayah. Tapi bagaimana dengan Yu Yin!"

"Ia sudah di sana."

"Dan ibu?"

"Ibu mu juga di sana. Sudahlah, cepat datang dan kuberitahukan ibumu bahwa sebentar lagi ia akan bermenantu!" Beng Tan tersenyum dan berkelebat, lenyap meninggalkan dua muda-mudi itu dan Ki Bi tertawa ditahan.

Wanita inipun berkelebat dan lenyap meninggalkan Han Han dan Tang Siu malu bukan main diketahui orang-orang tua itu. Dan ketika ia mendesis mencubit Han Han, bertanya apakah ayahnya tadi tahu ia mencium pipinya maka Han Han tertawa lebar.

"Memangnya kenapa? Kau kini kekasihku, moi-moi. Dan tak apa ayah ibuku tahu. Toh nanti aku harus menciummu lagi di pelaminan!"

"Apa? Di depan banyak orang? Cih, tak tahu malu. Jangan kurang ajar!"

"Eit-eit, ini adat, peraturan. Masa aku harus mencium nenek-nenek kalau yang bersanding adalah isteriku yang cantik ini. Ha-ha... aduh, tobat, Siu-moi. Ampun, lepaskan cubitanmu. Aduh, bengkak tanganku!"

Ternyata saking gemas dan malunya gadis ini mencubit Han Han. Begitu orang-orang tua itu pergi kontan Tang Siu melampiaskan jengah dan malunya kepada Han Han. Ia mencubit begitu keras sampai kulit Han Han matang biru. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan melolong-lolong, anak murid berdatangan maka. Tang Siu melepaskan cubitannya dan Han Han tertawa menggoda.

"Hayo, cubit lagi. Biar mereka menjadi saksi!"

Tang Siu merah padam. Akhirnya ia melompat dan pergi dari tempat itu sambil memaki Han Han. Murid-murid tertegun tapi tertawa melihat apa yang terjadi. Kiranya putera Hek-yan-pang ini telah mendapatkan pujaannya. Diam-diam di tempat itu memang telah tersebar bisik-bisik bahwa alangkah cocoknya putera ketua mereka bersanding dengan murid dari Kun-lun itu. Kejadian di kota raja telah mereka dengar dan keberanian serta kelihaian Tang Siu menjadi buah bibir. Dan ketika kongcu merek bercanda riang dengan gadis ini, melompat dan pergi maka Han Han sendiri sudah tidak ragu-ragu atau canggung lagi mendekati kekasihnya.

Dengan terang-terangan ia menggandeng dan membawa kekasihnya itu, mesra. Anak-anak murid perempuan banyak yang iri namun mereka tahu keadaan. Diri mereka tidak cukup pantas dibandingkan putera sang ketua yang gagah dan tinggi kepandaiannya itu. Dan ketika Han Han masuk dan memenuhi panggilan ayahnya, sang kekasih mula-mula malu dan likat tiba-tiba sang calon ibu mertua bangkit dan berdiri, menyambut.

"Han Han, ibu mengucap gembira bahwa kau telah mendapatkan pasangan yang cocok. Ayahmu telah memberi tahu dan biarkan ia duduk di dekat ibu. Lihatlah, siapa yang datang!"

Han Han dan Tang Siu merah semburat. Gadis ini masih berdenyar-denyar oleh kebahagiaannya sendiri tapi begitu ia memandang seorang kakek berjubah emas mendadak gadis ini terkejut. Seorang tosu berwajah lembut ada di situ, duduk dekat ketua Hek-yan-pang. Dan ketika Han Han juga terkejut karena seorang kakek lain bermuka merah duduk di sebelah kanan ayahnya, tersenyum dan berseri-seri, mendadak dua muda-muda ini langsung menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu...!"

"Suhu!"

Hampir serempak keduanya berseru. Han Han, yang mengenal gurunya di situ langsung memberi hormat dan terkejut. Sementara kekasihnya, yang juga melihat gurunya di situ langsung memberi hormat dan girang bukan main. Gadis ini tak menyangka bahwa Kim-sim Tojin, gurunya, muncul dan datang di Hek-yan-pang. Dan ketika ia menubruk dan dielus-elus gurunya, Yang Im Cinjin tertawa dan menepuk-nepuk pundak Han Han maka kakek itu berseru,

"Han Han, lama sekali pinto harus menemui Kim-sim totiang. Pinto jauh-jauh hari telah memberikan lamaran, mendahului ayah ibumu. Maaf kalau pinto dianggap lancang tapi kini pinto telah membuktikan kepada Kim-sim totiang bahwa apa yang pinto lihat adalah benar!"

"Ha-ha, Yang Im toheng sungguh waspada, aku kalah. Tapi bagaimana, tak ingin bukti kalau ini menyangkut kebahagiaan anak-anak muda. Maaf, selanjutnya biar Kuserahkan muridku ini, toheng. Urusan cinta adalah urusan anak muda. Nanti akan pinto tanya dan beri jawabannya!"

Dua kakek-kakek itu tertawa bergelak. Mereka rupanya sudah tahu lebih dulu dan Han Han maupun Tang Siu saling lirik dengan muka kemerah-merahan. Baru sekaranglah Han Han tahu guru dari kekasihnya ini, seperti juga Tang Siu yang baru kali itu mengenal Yang Im Cinjin atau Im Yang Cinjin ini, karena kakek sakti itu memang sering disebut dengan dua nama. Namun ketika seseorang terisak di sana, Yu Yin terlihat dua muda-mudi ini maka semua terdiam dan Han Han tertegun melihat Giam Liong, yang duduk disudut, lengan kirinya terbalut.