Naga Pembunuh Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"OOHHHH...” gadis itu berseru panjang, tersedu-sedu. "Kau jahat, Giam Liong, kau kejam. Kau membiarkan aku membunuhmu padahal kau tahu tak mungkin aku dapat melakukan itu. Ooh... kau terluka. Lukamu mengeluarkan darah. Aduh, bagaimana ini, Giam Liong. Aku tak dapat menghentikan darahmu. Biar darah yang keluar kuganti dengan darahku... srat!" dan Yu Yin yang mengiris atau melukai lengannya sendiri, menempelkan atau memberikan darahnya ke luka Giam Liong lalu membuat Giam Liong terharu dan tiba-tiba mengeluh dan mendekap gadis ini.

Yu Yin memeluknya di situ sambil coba memampatkan luka, padahal ia tak coba menghentikan luka dengan sinkangnya, tentu saja gadis itu tak berhasil. Tapi begitu Yu Yin mengiris lengannya sendiri untuk pengganti darah yang keluar, Giam Liong terharu maka pemuda ini mengerahkan sinkangnya dan tiba-tiba darahpun mampat. Yu Yin dipeluk ketat.

"Yu Yin, dewiku... apa yang kita alami ini. Kutuk atau sumpah siapa yang mengenai kita ini? Aku... aku boleh kau bunuh, Yu Yin. Tapi... tapi musuh besarku ada di sana. Maukah kau membunuhnya atau bunuh saja aku!"

"Tidak... tidak!" Yu Yin menangis. "Aku tak dapat membunuhmu, Giam Liong. Lebih baik kaulah yang membunuh aku dan biarkan aku mati. Aku tahu dendammu, aku tahu sakit hatimu. Dan aku juga tak menyalahkan dirimu. Tapi kenapa kau melanggar janji dan menjilat ludah. Ini yang membuat aku menyesal!"

"Maaf," Giam Liong mengusap rambut kekasihnya, mencium. "Aku lupa, Yu Yin. Aku dibakar kemarahanku. Ibu... ibu telah meninggal!"

Giam Liong tiba-tiba mengguguk, mendorong atau melepaskan gadis itu dan sang kekasih terkejut melihat betapa pemuda yang biasanya tegar dan keras hati ini tiba-tiba berubah begitu cengeng. Giam Liong tak kuat lagi menahan perasaan lukanya teringat kematian si ibu. Kematian itu baru saja terjadi dan Giam Liong tak tahan. Kematian ibunya masih hangat. Tubuh ibunya itu di sana masih beum dingin! 

Maka ketika Giam Liong mengguguk karena kematian ibunya ini sungguh menyakitkan sekali, diperkosa atau digagahi Kedok Hitam maka Giam Liong sampai terguncang-guncang dan melipat mukanya di bawah kedua lutut, la terpukul hebat dan Yu Yin tertegun, sejenak kaget, heran. Tapi ketika gadis itu tahu penyebabnya dan tentu saja ia ikut sakit hati, kelakuan gurunya sungguh biadab maka gadis ini gemetar menghibur si pemuda.

"Sudahlah, aku tahu itu, Giam Liong. Dan aku juga mengutuk suhu. Tingkah laku guruku seperti binatang. Aku juga tak dapat menerima ini tapi sekarang kita bicarakan urusan kita berdua. Apakah kau masih akan ke kota raja dan melanggar janjimu!"

Giam Liong mengangkat mukanya, mata berkilat-kilat. "Aku sadar, Yu Yin. Sekarang aku sadar. Aku menarik niatku tapi besok pasti aku ke sana. Kutunggu beritamu dan selewatnya matahari tenggelam di barat aku akan mencari musuh besarku!"

"Bagus, dan kau tunggu aku di sini, Giam Liong. Ku usahakan sebelum matahari tenggelam aku telah membawa golokmu yang dirampas suhu. Begini baru aku senang!"

"Dan kau... kau tak dimusuhi gurumu itu? Tahukah kau siapa dia?"

"Guruku amat misterius, Giam Liong. Aku tak tahu tapi aku juga tak mau tahu. Masalah dimusuhi, hmm... akulah sekarang yang memusuhinya. Tindak-tanduknya sungguh terlalu."

Giam Liong memandang tajam. Ada rasa tak percaya tapi segera lenyap. Yu Yin bicara sungguh-sungguh. Dan ketika ia mengertak gigi dan bertanya bagaimana jika ia sampai membunuh si Kedok Hitam, apa reaksi gadis itu maka gadis ini menggigit bibir.

"Aku masih mempunyai ayah, dan ayahku itulah tumpuan hidupku terakhir. Aku tak akan menyaksikan kau membunuh guruku, Giam Liong. Karena aku juga tak senang melihat kejadian itu, meskipun aku juga menentang dan melawan kekejamannya!"

"Hm," Giam Liong tertawa pahit, yakin sudah bahwa Yu Yin benar-benar tak mengetahui siapa gurunya. "Kalau begitu pulanglah, Yu Yin. Tapi bagaimana kalau misalnya ayahmupun sampai terbunuh!"

"Kau hendak membunuh ayah pula? Apa salahnya? Bukankah ibumu terbunuh oleh guruku?"

"Hm, ayahmu itu licik dan banyak akal, Yu Yin. Agaknya dalam hal inipun ia pasti campur tangan. Bagaimana kalau misalnya ia terbunuh..."

"Kau tak boleh membunuhnya!" gadis itu membentak, memotong, wajah terbakar. "Kematian ayah dan ibumu adalah di tangan guruku, Giam Liong. Kalau kau sudah melampiaskan dendam tentunya kau tak usah mencari korban-korban lain agar aku tak usah mencap mu sebagai manusia biadab, haus darah!"

"Baiklah," Giam Liong tertawa getir, memejamkan mata. "Aku akan mencari gurumu, Yu Yin. Tapi kalau ayahmu sampai terlibat harap kau tidak menyalahkan aku. Yang aku cari adalah Kedok Hitam, yang membunuh dua orang tuaku!"

Gadis ini terisak, menyambar lengan Giam Liong. "Kau menyebut-nyebut ayahku ada apakah? Bukankah hanya guruku yang bermusuhan denganmu?"

"Sudahlah," Giam Liong membuka mata, wajah tiba-tiba begitu murung, gelap. "Persoalan kita sungguh persoalan pelik, Yu Yin. Aku tak mau bicara lagi tentang ini dan pulang serta kembalilah. Aku. aku hendak mengurus jenasah ibu dan menunggumu di sini sampai besok."

"Benar," gadis itu tiba-tiba terlonjak. "Aku juga hendak sembahyang di depan jenasah ibumu, Giam Liong. Mudah-mudahan aku dapat menjadi menantunya dan biar kubantu kau."

"Di sana sudah ada Chu-goanswe...”

"Dia bukan menantu atau calon menantu ibumu!"

"Benar, tapi—"

"Tapi apalagi? Bukankah kau masih mencintai aku, Giam Liong? Bukankah kita tetap dapat berdua?"

"Hm, baiklah. Mari ke sana, Yu Yin. Tapi setelah itu kau harus pulang!"

"Dan kau tak boleh nekat ke kota raja!"

"Baik-baik, tapi hanya sehari ini. Lebih dari itu sudah di luar batas perjanjian!"

Yu Yin terisak. Ia mengangguk dan teringat ini kesedihanpun timbul. Tapi menggigit bibir dan merasa gurunya keterlaluan, hinaan atau perkosaan itu merobek hatinya sebagai wanita maka gadis ini bergerak dan mendahului Giam Liong ke tempat Chu-goanswe. Giam Liong berkelebat dan tentu saja Chu-goanswe dan anak buahnya heran dan girang melihat kembalinya pemuda ini, yang tadi dipanggil-panggil tak mau datang. Tapi ketika melihat Yu Yin ada bersama pemuda itu, kebetulan jenasah Wi Hong juga baru saja dimasukkan peti maka Chu-goanswe bergerak dan berbisik di telinga pemuda itu, karena Giam Liong dan Yu Yin sudah berlutut bersebelahan.

"Siauw-hiap..."

"Aku tahu," Giam Liong memotong, menggeleng. "Yu Yin mencegahku ke kota raja, goanswe. Dan kini ingin berbelasungkawa untuk kematian ibu. Kau diamlah dan biarkan kami sembahyang!"

Terpaksa, menahan keheranan dan kerutan dalam di dahi dan kelopak matanya jenderal ini bersama anak buahnya memandang dua orang itu sembahyang di depan peti mati. Giam Liong harus menahan guncangan hatinya kuat-kuat kalau tak mau meletup lagi.

Yu Yin terbelalak dan tertegun sejenak tapi tiba-tiba menjerit dan roboh di peti mati, mengguguk dan memeluk mayat Wi Hong. Keadaan mayat itu sungguh menyedihkan dan otomatis Giam Liong mencucurkan air mata lagi. Tapi ketika hanya sebentar saja Yu Yin mengguguk karena segera ia memejamkan mata dan berkemak-kemik, bibirnya menggigil dan Giam Liong mendengar sumpah atau kutuk terhadap gurunya maka dengan menggigil gadis itu berkata, tersendat-sendat.

"Bibi, sudah kuberitahukan kepadamu agar tidak nekat memasuki istana. Tapi kau keras kepala. Kini apa yang kukhawatirkan terjadi, kau tewas. Aku menyesal tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongmu, bibi Wi Hong. Dan mungkin besok aku atau puteramu Giam Liong menyusul. Ah, hidup sungguh mengerikan. Manusia tak ubahnya srigala atau hewan-hewan haus darah. Aku memujikan agar arwahmu di tempat yang tenang. Sekali lagi maafkanlah aku yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongmu!" dan mencium lalu melepaskan mayat itu, Yu Yin bercucuran air mata lalu gadis ini berdiri dan bertanya kepada Giam Liong, di mana akan dimakamkan.

"Aku ingin menggali tanahnya, hitung-hitung penebus dosaku yang tak dapat berbuat apa-apa."

"Tanah galian sudah kami siapkan," Chu-goanswe tiba-tiba berkata, heran namun bersinar-sinar. "Di situ Sin-hujin akan kami kebumikan, nona. Tapi agaknya dengan kehadiranmu ini kami tetap tak dapat mengampuni gurumu!"

"Aku tahu, dan aku juga tidak mohonkan ampun untuk guruku!" gadis itu berkata, ketus. "Aku datang bukan untuk mengemis ampun, goanswe. Aku datang semata karena Giam Liong. Aku juga menentang dan tidak menyetujui sepak terjang guruku!" lalu malah dikira meminta keringanan, gurunya tetap bersalah maka Yu Yin tiba-tiba mengangkat peti jenasah dan dengan air mata membanjir ia melompat dan memasukkan mayat Wi Hong di tanah kubur.

Di situ ternyata sudah disiapkan makam untuk wanita ini dan Giam Liong tertegun, Yu Yin bekerja seorang diri, tak mau dibantu. Dan ketika jenasah sudah dimasukkan dan Giam Liong pun selesai sembahyang, mereka sama-sama berlutut di tempat makam maka Yu Yin sambil menangis menyambar cangkul dan menimbun tanah galian. Cepat sekali segunduk makam sudah terbuat, Yu Yin melempar cangkul dan sekali lagi menangis di situ. Lalu berlutut dan kembali mencium tanah, tanda penghormatan terakhir tiba-tiba gadis itu berkelebat dan gemetar melepas seruan,

"Giam Liong, terima kasih. Besok kita bertemu di tempat yang ditentukan dan tunggulah aku!"

Semua membelalakkan mata. Giam Liong berdiri dan gemetar menopang tubuh Jenasah ibunya telah dimakamkan dan itulah perbuatan Yu Yin. Tapi menahan haru dan berbagai macam perasaan yang bergolak, Giam Liong mengangguk dan membalas seruan maka pemuda itu berkata,

"Baik, terima kasih kembali, Yu Yin. Dan mudah-mudahan besok adalah hari yang baik untuk kita!"

Chu-goanswe dan anak buahnya mendelong. Mereka tahu siapa gadis itu namun mereka juga tahu bagaimana hubungan gadis ini dengan Si Naga Pembunuh. Kisah luar biasa terjadi di situ. Murid seorang musuh besar menjalin cinta dengan pemuda yang ayah ibunya dibunuh. Tapi begitu gadis itu pergi dan Giam Liong perlahan-lahan roboh, kakinya lemas maka Chu-goanswe bergerak dan menerima tubuh pemuda ini.

"Siauw-hiap, kenapa gadis itu dibiarkan pergi. Bukankah ia tawanan berharga bagi kita!"

"Tidak," Giam Liong memejamkan mata. "Ia pergi untuk mengambil Golok Mautku, goanswe. Begitu ia muncul maka besok aku menyerbu kota raja. Istana dan Kedok Hitam, akan kubakar hidup-hidup!"

"Kalau begitu besok kita menyerang?"

"Aku hanya hendak mencari musuh besarku itu. Kalau goanswe mau ikut dan membonceng silahkan. Tapi aku hanya mencari Kedok Hitam!"

"Bagus, tadi kami juga akan segera menyusul, siauw-hiap, begitu ibumu telah kami makamkan. Tapi kau kembali dan kini merencanakan serbuan. Tentu saja aku akan ikut dan kami semua siap membalas dendam!"

"Benar," para pejuang berteriak. "Melihat kematian ibumu kami tak akan undur, siauwhiap. Mati hidup kami bersamamu!"

"Kami ikut berbelasungkawa. Dan besok kami siap mati membela kebenaran!"

"Hidup Sin-siauwhiap!" "Hidup Si Naga Pembunuh!"

Dan ketika teriakan-teriakan atau pembakar semangat meledak di situ, Chu-goanswe dan anak buahnya mengacungkan tinju maka Giam Liong terbakar dan bangkit semangatnya. Ia tadi merasa lemah dan lunglai teringat kematian ibunya, juga sikap yang ditunjukkan Yu Yin. Tapi begitu Chu-goanswe dan anak buahnya bersorak riuh, mereka berteriak untuk menghancurkan istana dan Kedok Hitam maka Giam Liong berdiri lagi dan tegar bersinar-sinar, pandang matanya mencorong.

"Chu-goanswe, dan saudara-saudara sekalian, terima kasih atas perhatian kalian. Tapi tak perlu ribut-ribut karena sekarang juga kalian harus menyiapkan diri. Aku akan di mulut hutan dan kalau besok ada suara bergemuruh itulah tandanya kalian menyusul aku. Kalian tunggu saja di sini sampai matahari terbenam besok!"

Orang-orang itu terkejut. Giam Liong tiba-tiba berkelebat dan sudah lenyap meninggalkan mereka. Pemuda itu melesat dan hilang di depan. Dan ketika mereka terbelalak karena Giam Liong benar benar seperti iblis, meluncur dan lenyap di luar sana maka Giam Liong sendiri terbang dan menuju ke tempat di mana ia dan Yu Yin mula-mula bertemu. Di situ pemuda ini berhenti dan berkejap-kejap, mencari batu besar dan duduk. Dan ketika matanya tampak mencorong dan begitu hidup, membakar dan siap menghanguskan apa saja maka ditunggunya sang kekasih dengan sabar. Mereka telah berjanji dan masing-masing akan menanti.

Tapi karena penantian adalah siksaan yang paling berat, Giam Liong gelisah dan duduk bergeser-geser maka ia mencobloskan jari-jarinya ke batu hitam itu, menggurat dan membuat lekukan hingga terdapatlah semacam tempat duduk yang legok. Di situ pemuda ini amblas setengahnya lebih, tak tampak dari bawah tapi besok Yu Yin pasti akan meloncat dan naik ke sini.

Dan begitu Giam Liong menarik napas dan memejamkan mata, bersila, maka pemuda itu sudah duduk bagai arca dan tak bergeming lagi. Dengan samadhinya yang kuat dan konsentrasi penuh pemuda ini mematikan rasa. Dia tak akan bergerak-gerak lagi biarpun langit ambruk. Dan karena besok baru dia akan "hidup" dan bangkit lagi, menunggu matahari terbenam maka pemuda ini bagaikan raksasa yang sedang menahan marah. Atau, gunung berapi yang siap meletus. Dan begitu gunung atau raksasa itu bangkit melepaskan marahnya maka dunia tentu geger!

* * * * * * * *

Sore itu juga Yu Yin kembali ke kota raja. Hati gadis ini tak keruan dalam usahanya mencuri Golok Maut, golok yang dirampas suhunya itu. Tapi ketika ia melayang dan berjungkir balik memasuki tembok yang tinggi, daerah pintu gerbang yang dijaga ketat ternyata kedatangannya diketahui penjaga dan tahu-tahu tigapuluh orang muncul dan mengepungnya, hal yang tidak biasa.

"Maaf," seorang pengawal berkumis tebal menegur, membungkuk namun menyuruh anak buahnya bersiap-siap. "Kau darimana saja, Coa-siocia (nona Coa). Ayahmu mencari-cari dan memberi surat perintah agar kami menemukan dan membawamu ke istana.“

Yu Yin tertegun "Kau dari pasukan mana?"

"Kami dari pasukan Harimau Hitam, bawahan Houw-ciangkun!"

"Hm, aku berada di wilayahku sendiri, bukan di tempat musuh. Kenapa dicari dan harus dibawa segala. Aku memang akan menemui ayah dan pulang. Kalian tak usah macam-macam!"

"Maaf..." laki-laki itu bergerak, menghadang. "Kami sudah diperintahkan untuk membawamu ke sana, siocia. Ayahmu menunggu-nunggu dan mencari-cari. Kami dapat kena marah kalau tidak bersamamu kesana.”

"Kalian ini mau menangkap aku?"

"Maaf, bukan begitu..."

"Kalau tidak begitu tak usah cerewet, Aku memang mau pulang dan bertemu ayah." dan Yu Yin yang berkelebat dan mendorong pengawal itu lalu membentak dan marah karena merasa diancam. Meskipun kata-kata orang halus namun ada paksaan di situ, ini yang membuat gadis itu tidak senang. Tapi begitu ia mendorong dan yang lain bergerak, tigapuluh orang mengangkat senjata tiba-tiba semuanya sudah berseru agar dia tak pergi sendirian,

“Siocia, kami diperintahkan ayahmu. Berhenti dan bacalah surat ini!"

Yu Yin gusar, la membentak dan akhirnya menyerang orang-orang itu, menampar dan menendang karena tombak atau pedang coba mengancam. Dan begitu ia bergerak dan lima orang menjerit maka kepungan terbuka karena lima orang pertama ini terpelanting.

“Jahanam kalian, masa di rumah sendiri diperlakukan seperti musuh. Minggir....des-des-dess!" dan lima orang itu yang terlempar dan berteriak keras tahu-tahu memberi lowongan dan Yu Yin secepat kilat melesat. Ia marah karena tak biasanya ia diperlakukan seperti ini, tak perduli kepada surat dari ayahnya itu. Dan ketika berkelebat dan merobohkan lima orang, semua berseru kaget maka lima orang itu bangkit lagi dan mengejar. Sang pemimpin juga berseru memberi aba-aba.

"Heii, tunggu, siocia. Jangan biarkan kami sendiri!"

"Kerbau-kerbau dungu!" gadis itu marah. "Kalian jangan mengikuti aku atau nanti kulempar!"

"Tidak," sang pemimpin tetap berseru, mengejar. "Kami tak percaya kau kembali ke ayahmu, siocia. Tunggu atau nanti kami serang!"

"Bagus, coba serang dan lihat seberapa keberanian kalian!" Yu Yin membalik, gusar karena tiba-tiba sebatang tombak mendesing dan benar saja menyambarnya. Ia tentu saja marah dan seketika berhenti, menangkap dan segera mengamuk ketika orang orang itu mengejarnya. Dan ketika tombak di tangan menghantam atau membentur tombak-tombak pengawal, Yu Yin tidak berhenti di situ saja karena segera ia menusuk dan membalas, yang tadi melempar tombak ditusuk pahanya maka orang-orang ini berteriak dan menjerit kesakitan karena sebentar saja mereka dibuat jungkir balik oleh murid si Kedok Hitam ini.

"Trang, trang... aduh!" Tigapuluh orang itu pontang-panting. Yu Yin marah dan menghajar mereka dan ribut-ribut ini segera didengar oleh pasukan lain, berdatangan dan tiba-tiba saja seratus orang muncul. Dan ketika mereka membentak namun tertegun melihat puteri Coa-ongya ini, sang pemimpin mengaduh-aduh di sana maka pasukan baru yang mengepung dan melihat ini diserang pula oleh Yu Yin.

"Bagus, ayo tangkap aku dan serang pula. Awas nanti kulaporkan ayah dan kalian digantung."

Yang baru datang terkejut. Mereka mundur dan melonggarkan kepungan dan seorang perwira tiba-tiba muncul. Yu Yin berhadapan dengan perwira ini yang cepat-cepat menyuruh semua orang mundur, bentakannya penuh wibawa. Dan ketika perwira itu menjura dan meminta maaf, bicaranya hati-hati namun pandang matanya juga tak membiarkan Yu Yin lolos maka perwira ini berkata,

"Maaf, kau kiranya, siocia. Ada apa ribut-ribut dan menyerang orang-orang sendiri. Bukankah mereka bukan musuh."

"Bagus, kau, kapten Bu? Kau bilang bahwa ribut-ribut ini aku yang mulai? Eh, jaga mulutmu. Aku tak pernah memusuhi mereka ini melainkan mereka inilah yang kurang ajar dan hendak menangkap aku. Katanya mau dibawa kepada ayah, padahal aku justeru hendak ke sana. Nah, katakanlah siapa yang keterlaluan dan membuat ribut-ribut!"

"Maaf, siocia hendak menemui ayah siocia? Kalau begitu pasukan Harimau Hitam ini yang terlalu. Biarlah aku mengantar dan anggap saja perbuatan orang-orang ini tak ada."

"Kau mengantar? Aku dapat pulang sendiri!"

"Bukan begitu," sang perwira menggeleng. "Aku tak ingin kau diganggu atau dihadang pasukan pasukan lain, siocia. Mereka telah mendapat perintah ayahmu untuk mencari dan menemukan dirimu. Kabarnya kau keluar."

"Memang benar, aku keluar. Tapi kini aku sudah kembali. Apa-apaan sikap ayah dengan menyuruh orang mencari dan menangkap aku!"

"Bukan menangkap," kapten Bu buru-buru menjelaskan. "Kami diperintah untuk mencari dan mengajakmu pulang, siocia. Ayahmu khawatir kalau ada apa-apa denganmu. Kabarnya kau tidak pamit."

"Aku sudah biasa pergi tanpa pamit!" Yu Yin membentak, tetap marah. "Aku tak mau diantar, kapten Bu. Aku dapat pulang sendiri dan aku memang hendak menemui ayah. Minggir atau nanti kau kuhajar!" dan Yu Yin yang berkelebat dan mendorong perwira ini, yang terpaksa berkelit lalu melihat gadis itu lari dan menuju istana.

Sang perwira tertegun tapi tiba tiba ia menyebar orang-orangnya agar mengejar dalam bentuk kepungan lebar, ia sendiri sudah bergerak dan mengejar gadis itu, menyusul. Dan ketika Yu Yin menoleh dan marah diikuti, dari mana mana tiba-tiba juga muncul dan datang pasukan lain maka gadis ini membentak,

"Orang she Bu, jangan mengejarku. Aku bukan maling. Enyah atau nanti kutampar!"

"Maaf," kapten itu memperlambat lari. "Aku hanya menjagamu dari kesalahpahaman pasukan di depan, siocia. Lihat mereka muncul dari mana-mana!"

Benar saja, Yu Yin dikepung pengawal atau pasukan yang berdatangan. Kota raja benar-benar telah dijaga ketat namun begitu sang kapten membentak minggir maka orang-orang itupun menjauh. Yu Yin terbelalak dan merah mukanya. Ia seperti pesakitan saja, atau buron! Dan ketika dengan gemas ia malah menyerbu orang-orang itu, melabrak dan memaki-maki maka kapten Bu terkejut dan menyuruh semua mundur.

"Heii.. mundur... mundur. Siocia mau pulang!"

Namun begitu orang-orang itu mundur justeru Yu Yin mengejar dan menyerang. Ia jengkel dan gemas bahwa dirinya dikepung, dari mana-mana muncul pengawal. Dan ketika Bu-ciangbu atau kapten Bu ini terkejut dan tahu kemarahan si nona, berseru agar semua kembali ke posnya masing-masing maka barulah Yu Yin menghentikan amukannya karena semua orang tiba-tiba menghilang, masuk atau menyelinap ke tempat-tempat gelap.

"Keparat!" gadis ini membanting-banting kaki. "Aku tak mau diganggu siapapun, orang she Bu. Kaupun tidak. Hayo kau enyah atau aku melabrakmu!"

Terpaksa, melihat gadis itu mau marah lagi padahal sudah diredakan, kapten Bu mengangguk dan berkelebat maka perwira itupun tak tampak lagi namun Y u Yin tetap merasa diawasi dari kejauhan.

"Siluman, bedebah jahanam. Kalau kau memperlihatkan batang hidungmu lagi aku tak akan memberi ampun!"

Di tempat-tempat gelap semua mata terbelalak. Memang benar bahwa para pengawal atau Bu-ciangbu sendiri tak pergi jauh, mereka hanya bersembunyi dan semata tak memperlihatkan diri saja, khawatir gadis itu mengamuk. Dan begitu Yu Yin pergi dan berlari menuju istana maka aneh dan ajaib tak ada pengawal atau penjaga lagi. kecuali di depan gedung Coa-ongya.

"Ah, siocia datang. Benar, silahkan masuk, siocia. Kau telah ditunggu-tunggu ayahmu!"

Yu Yin mendengus. Ia tak menjawab seruan penjaga karena dengan muka merah dan marah ia telah berkelebat dan memasuki gedung ayahnya, gedung baru karena yang lama dulu dibakar atau dihancurkan para pejuang, ketika dulu mereka mengamuk dan dibantu Giam Liong. Dan ketika matanya yang tajam melihat bahwa di mana-mana sebenarnya bersembunyi pengawal pula, gedung ayahnya juga dijaga ketat maka Yu Yin langsung bergerak dan memasuki ruangan depan. Dan begitu ia masuk begitu pula ia berhadapan dengan ayahnya!

"Bagus, kelayapan dari mana saja!" sang ayah membentak, mengejutkan puterinya ini. "Dari mana kau, Yu Yin. Betulkah dari tempat pemberontak menemui Giam Liong!"

Gadis ini tertegun. "Ayah ada di sini. Bagus, kebetulan pula, ayah. Aku mau bicara dan minta bantuanmu!"

Namun baru saja gadis ini menyelesaikan seruannya tahu-tahu ia disambar dan sudah diangkat lalu didudukkan kursi. Gerakan ayahnya mengejutkan.

"Ayah... brukk!"

Yu Yin terpekik. Sang ayah tahu-tahu telah membantingnya di kursi, kecepatan dan tenaganya sungguh membuat sang anak terperanjat. Sikap atau kepandaian yang jelas dipunyai orang kang-ouw! Namun ketika gadis itu terpekik dan berseru tertahan, kepandaian ayahnya ini sungguh di luar dugaan maka ayahnya menotok pula dan mendesis.

"Kau tak boleh keluar dan sekarang juga di sini!"

Gadis ini tersentak untuk kedua kali. Belum apa-apa tahu-tahu ia tertotok, lumpuh dan lemas di kursi dengan mata terbelalak lebar. Ayahnya itu... kepandaian ayahnya itu... persis seperti gurunya! Namun ketika gadis ini terkejut dan membelalakkan mata, ayahnya dapat menotok dan melumpuhkan dia maka Yu Yin menjerit, "Ayah, apa yang kau lakukan ini. Kenapa kau merobohkan aku. Dari mana kau belajar silat selihai ini. Bukankah itu totokan It-yang-ci'"

"Hm, gurumu adalah saudaraku. Kau tak usah banyak mulut, Yu Yin. Kau telah mencoreng dan membuat malu ayahmu. Kau sudah tak boleh lagi berhubungan dengan Giam Liong dan besok kunikahkan!”

"Ayah...!"

"Dengar!" sang ayah tak perduli, merah padam. "Hari ini juga kau kupingit, Yu Yin. Hari ini juga ayahmu segera menerima lamaran Cai-ciangkun. Kau akan kunikahkan dengan puteranya dan besok sudah menjadi pengantin!"

Yu Yin seolah pingsan. Ia mendengar kata-kata ayahnya seolah geledek di siang bolong saja. Ia berteriak. Namun ketika ayahnya menotok dan It-yang-ci lagi-lagi bekerja, mengenai urat gagunya maka dengan bengis Coa-ongya mengultimatum.

"Kau tak layak bergaul dengan pemberontak. Kau tak layak bergaul dengan Giam Liong. Karena kau puteri seorang bangsawan maka besok kau akan kuikat perjodohan dengan putera Cai-ciangkun. Ia tampan dan gagah, cocok untukmu. Nah, malam ini kau beristirahat dan besok bersiap-siaplah menjadi pengantin!" dan berseru memanggil pelayan yang tergopoh-gopoh datang. Coa-ongya lalu memerintahkan agar puterinya itu dibawa ke kamar besar, kamar pengantin.

"Bawa dia ke belakang dan jaga baik-baik. Dan kau..." pangeran ini menunjuk pelayan yang lain. "Berikan suratku kepada Cai-ciangkun dan suruh ia ke sini secepat-cepatnya!"

"Ba... baik!" pelayan itu tergagap, menerima surat. "Hamba akan melaksanakannya, ongya. Tapi mohon dibantu pengawal!"

"Kau cari saja di luar. Aku tunggu di ruang dalam dan satu jam lagi Cai-ciang-kun harus sudah ada di sini, atau kepalamu kupotong."

Pelayan itu meleletkan lidah. Ia keluar dan berlari-lari menuruni anak tangga, jatuh dan terguling tapi bangun lagi tak perduli bajunya yang kotor. Dan ketika ia bergegas dan minta bantuan pengawal, surat dari Coa-ongya diperlihatkan maka tiga orang pengawal membantunya dan mengajak pergi.

"Tidak, jangan jalan kaki. Satu jam lagi Cai-ciangkun harus sudah ada di sini. Mana kusir kereta, mana Goh-lopek!"

"Kau mau berkendaraan? Seperti ong-ya?"

"Eh-eh... aku mau cepatnya, pengawal. Nanti aku celaka dan kalian juga."

"Tapi kau pelayan, tak pantas menunggang kereta. Kau jangan minta digampar!"

"Ah-eh..., kalau begitu bagaimana. Wah aku gugup!"

"Kita berkuda!" tiga pengawal bergerak dan tahu tugas yang amat penting, salah-salah diri sendiri kena hukuman. "Kau tak usah cecowetan seperti monyet, A-sam. Hayo naik dan kuantar!"

"Wah, berboncengan?"

"Cerewet, naik atau nanti kami tinggal!"

"Wah, he... jangan!" dan ketika kuda dikeprak dan mau mencongklang, pelayan ini gugup dan meloncat naik maka ia terjatuh karena keserimpet pelana. Tiga pengawal tertawa tapi yang punya kuda menolong, mencengkeram dan melempar naik pelayan itu. Dan ketika si pelayan menjerit namun sudah duduk di punggung kuda, terpental-pental seperti bayi belajar naik kuda maka tiga pengawal itu terbahak-bahak padahal si A-sam sendiri memekik-mekik dan berteriak ketakutan.

"He, jangan kencang-kencang. He, nanti aku jatuh lagi!"

"Ha-ha, salahmu. Pegang erat-erat tali kuda, A-sam. Kau sudah kami boncengkan dan jangan banyak mulut. Atau nanti kau benar-benar terlempar!"

Terpaksa, dengan ketakutan dan muka pucat laki-laki ini memegang erat-erat tali kuda. Demikian eratnya sampai kuda tercekik! Dan ketika kuda meringkik dan tentu saja berhenti, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi maka pengawal terkejut dan cepat menguasai keadaan.

"Bodoh, goblok dan tolol. Jangan cekik kudaku, A-sam. Nanti dia mati. He, pegang sewajarnya saja atau nanti kau kutendang!"

"Aku... aku takut jatuh...!"

"Kalau begitu kau di belakang. Dekap dan peluk pinggangku kuat-kuat... hup!" dan si A-sam yang disambar dan dipindah ke belakang akhirnya memeluk atau balas mencengkeram pinggang pengawal ini, kesakitan dan tiba-tiba si pengawal terkentut. Suaranya nyaring dan seperti bunyi bedil saja. Dua pengawal di depan tertawa bergelak. Kejadian itu seperti lelucon besar! Dan ketika A-sam memaki-maki dan otomatis mengendorkan cengkeramannya, hidung dimampatkan agar tidak mencium bau busuk maka pengawal yang membonceng ini ngakak dan mencengklak kudanya lagi.

"Ha-ha, itulah upahnya kalau terlampau kencang menjepit pinggangku. Apakah kau kira tidak sakit. He, peluk yang wajar-wajar saja, A-sam. Keringatmu bau dan tidak enak sekali. Kalau kau memelukku sampai tak dapat bernapas maka aku akan melepas kentut lagi!"

Tiga pengawal terguncang-guncang. Mereka geli dan juga lucu melihat tingkah si pelayan itu. Tadi mau menunggang kereta tapi sekarang malah ditembak kentut. Teman mereka itu memang juga nakal. Tapi ketika mereka melarikan kuda dengan kencang dan A-sam gemetaran panas dingin, memaki-maki maka di sana Yu Yin dibawa pelayan satunya dan dimasukkan ke kamar besar.

Kamar ini ternyata sudah dihias dan Yu Yin tertegun melihat itu. Kertas warna-warni, yang diatur indah di tengah-tengah kamar bergelantungan silang-menyilang. Suasana kamar ini persis kamar pengantin. Juga harum bunga-bunga dan wewangian yang ada di situ. Dan ketika gadis itu mengeluh namun tak dapat mengeluarkan suara, urat gagunya sudah ditotok sang ayah maka pelayan ini meletakkannya di pembaringan dan tiba-tiba muncul pelayan-pelayan lain yang merupakan dayang-dayang ayahnya.

"Siocia telah pulang. Ongya minta kita menjaga dan menemaninya di sini!"

"Ah, siocia telah datang? Bagus, kita dandani dia, Teng-hoa. Ayo percantik dirinya menyambut bakal temanten lelaki!"

"Hush, ongya marah-marah. Siocia dilumpuhkan. Lihat ia tak mampu bergerak!"

Empat pelayan yang datang terkejut. Mereka tadinya tak melihat keadaan gadis ini karena Yu Yin sudah diletakkan di pembaringan. Mereka bersuara riang dan saling menggoda satu sama lain. Tapi begitu mereka ditunjuk dan dayang dayang cantik ini membelalakkan mata, terkejut, maka mereka bingung ketika tiba-tiba gadis itu menangis. Air mata bercucuran!

"Ah, ada apa. Bagaimana ini!"

Namun mereka tak dapat berkomunikasi. Yu Yin ditotok dan satu-satunya pelampiasan adalah tangisnya itu. Yu Yin terkejut dan kaget serta marah bahwa ia tiba-tiba akan dinikahkan. Ayahnya menotok dan kini ia tak dapat melarikan diri. Teringatlah Yu Y in akan Giam Liong dan tak dapat ditahannya lagi segala kemarahan dan sesak di dada ditumpahkan dalam ujud tangis. Ia ingin berteriak dan menangis sekuat-kuatnya namun yang keluar hanya cucuran air matanya itu. Yu Yin merasa dalam bahaya. Dan ketika para dayang bingung dan tak tahu apa yang harus dikerjakan, mereka memijit-mijit serta mengelus-elus rambut gadis itu maka Yu Yin ah-uh-ah-uh ingin bicara.

"Celaka, kita tak mengerti. Apa yang diminta!"

"Akupun juga tidak. Ah, bagaimana ini, Lui-kim. Bagaimana kita tahu!"

"Bagaimana kalau meminta Pat-jiu Sian-ong. Barangkali locianpwe itu dapat menolong!"

"Hush, kau minta dibunuh ongya? Laki-laki tak boleh masuk ke sini, Lui-kim. Kecuali atas ijin ongya. Barangkali hanya locianpwe Kedok Hitam saja yang dapat dimintai tolong!"

"Benar, tapi, ah... Kedok Hitam tak kita ketahui dimana. Barangkali hanya ongya saja yang dapat kita mintai tolong!"

"Tidak, aku tak berani. Tadi ongya marah-marah, Lui-kim. Menemui ongya sama halnya mencari penyakit!"

"Kalau begitu bagaimana..."

"Ya, bagaimana. Aku juga tak tahu," dan ketika semua dayang ribut-ribut sendiri, tangis Yu Yin sungguh membuat mereka salah tingkah maka berkatalah seorang di antaranya akan sahabat atau teman karib Coa-siocia ini.

"Bagaimana kalau kita panggilkan Hui-siocia. Apakah kalian setuju!"

"Ah, puteri Hui-ongya? Benar, cocok sekali, Giok-pu. Tapi tanya dulu Coa-siocia ini. Apakah mau!"

Yu Yin tiba-tiba menghentikan tangisnya. Ia sedih dan bingung serta marah mendengar perjodohan itu. Seenaknya saja ayahnya akan menjodohkan dengan Cai-kongcu, putera Cai-ciangkun. Tapi begitu mendengar dayang bicara tentang Hui-sio-cia, sahabatnya, mendadak ia berseri dan ah-uh-ah-uh dengan muka girang.

"He, siocia mau bicara!"

Para dayang bergerak. Mereka girang melihat gadis ini tak menangis lagi dan kini penuh harapan memandang mereka. Dayang, yang tadi menyebut Hui-siocia dipandang, Yu Yin ah- uh-ah-uh menyuarakan mulutnya dan segera dayang itu bertanya apakah ia mau dipanggilkan Hui-siocia. Dan begitu Yu Yin mengangguk dan dayang itu girang, berlari dan keluar maka yang lain berseri dan ikut girang.

"Baik, ah, tunggu dulu, siocia. Aku akan memanggil Hui-siocia!"

Yu Yin berkedip-kedip. Secercah harapan timbul dan tiba-tiba semangatnya bangkit. Hui Kiok, sahabatnya, adalah satu-satunya teman yang selama ini ditinggalkannya. Sejak ia merat dan keluar dari istana maka sudah lama ia tak berjumpa lagi. Gadis itu adalah puteri pangeran Hui dan sama dengannya Hui-siocia juga mendapat tekanan dari orang tua. Baik dia maupun Hui Kiok adalah orang yang sama-sama tak punya ibu. Masing-masing ibu mereka telah meninggal. Tapi ketika tak lama kemudian dayang itu kembali sambil berlari-lari kecil, pucat, maka Yu Yin serasa dipukul kekecewaan berat mendengar bahwa Hui Kiok tak boleh datang.

"Ampun... maafkan aku..." dayang atau pelayan itu tersengal, menangis. "Hamba-hamba tak berhasil mengundang Hui-sio-cia, nona. Ayahnya marah-marah dan menolak keras. Katanya tanpa ijin atau surat dari ayahmu maka puterinya tak boleh datang."

"Oohhh...!" Yu Yin mengguguk, pecah lagi tangisnya. Ia tersedu-sedu dan habislah harapannya ketika setitik sinar terang itu dibunuh lagi. Ia tadinya mau minta tolong dan bantuan sahabatnya ini untuk melarikan diri. Sekarang tahulah dia kenapa ayahnya menyuruh pengawal mengikuti atau menggiring dirinya ke rumah. Kiranya urusan perjodohan itu. Ia hendak dinikahkan dengan Cai-kongcu? Dan ketika Yu Yin mengguguk dan putus asa, habislah harapannya bagaimana memberi tahu Giam Liong maka sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan lima dayang yang ada di situ sekonyong-konyong menjerit dan terlempar ke kiri kanan dikibas serangkum angin yang kuat.

"Jangan khawatir, aku akan menolongmu!"

Yu Yin terbelalak. Seorang gadis cantik, berbaju putih, tahu-tahu masuk dan merobohkan kelima dayang. Gerakannya luar biasa cepat dan para dayang tak tahu siapa ini karena mereka tiba-tiba terlempar dan roboh. Mereka menjerit dan pingsan, hanya sekilas melihat seorang gadis cantik berbaju putih. Mungkin dewi kahyangan! Dan ketika mereka mengeluh dan roboh tumpang-tindih, gadis itu berkelebat dan tiba di pembaringan Yu Yin maka ia membebaskan totokan namun jari-jarinya terpental.

"Ugh..!" gadis ini terbelalak. "Aku tak dapat membuka totokanmu. Tapi coba kubuka totokan urat gagumu!"

Yu Yin terbelalak lebar, la tak mengenal dan tak tahu siapa gadis baju putih ini. Gadis itu baru kali itu dilihatnya. Tapi ketika totokan urat gagunya terbuka dan gadis itu girang, Yu Yin dapat membuka mulutnya maka gadis ini berseru,

"Berhasil!"

Yu Yin mengangguk. Ia bertanya siapa gadis itu, suaranya serak karena masih bercampur oleh tangis dan harunya. Ia terharu bahwa di saat-saat kritis tiba-tiba saja seseorang muncul, dan orang itupun baru kali itu dikenalnya. Tapi ketika gadis itu tertawa dan balik bertanya bagaimana sekarang, ke mana dia membawa maka Yu Yin tertegun.

"Kau tak usah bertanya siapa aku. Yang jelas aku hendak menolongmu. Bukankah kau dipaksa menikah? Dan kau adalah Coa-siocia?"

"Benar, aku Yu Yin, sobat. Tak usah menyebutku siocia. Kau gadis persilatan dan gerak-gerikmu tangkas sekali. Akupun orang persilatan, bukan gadis bangsawan. Ke mana kau mau membawa aku tapi bisakah keluar kotaraja!"

"Wah, ribuan tentara mengepung. Kotaraja dijaga ketat. Aku tak dapat membawamu keluar!"

"Lalu bagaimana? Apa yang dapat kau lakukan?"

"Aku akan membawamu ke tempat Hui-siocia, sahabatmu itu. Maukah kau!"

"Hui Kiok? Ah, tentu saja. Tapi tempat itu jauh, empat blok dari sini. Lagi pula apakah kau tahu gedungnya!"

"Hm, aku telah mengetahui tempat tinggal sahabatmu itu, tadi dayang itu kukuntit. Baiklah kau tak usah banyak bicara dan bersiap-siaplah... wut!" gadis baju putih ini berkelebat, melesat keluar jendela tapi seorang dayang tiba tiba sadar. Ia melolong dan menjerit melihat Yu Yin dibawa terbang. Dan ketika gadis itu terkejut dan menoleh, dayang itu dikebut dengan tamparan jarak jauh maka Teng-hoa, dayang ini, roboh kembali.

Namun teriakan ini telah memanggil pengawal. Gadis baju putih yang berkelebat dan berjungkir balik keluar jendela itu dilihat bayangannya. Apalagi pakaiannya yang putih-putih nampak jelas. Dan ketika ia terkejut karena dua pengawal membentak dan menusukkan tombak, geger itu mengejutkan gedung Coa-ongya maka berturut-turut pengawal atau penjaga berdatangan.

"Keparat!" gadis ini marah "Kau mengacau gerakku, pengawal. Roboh dan sambutlah teman-temanmu itu... des-dess!" dua pengawal ini mencelat dan terlempar ke arah teman-temannya yang baru datang, menimpa dan lima pengawal di depan berteriak. Mereka roboh bersamaan dengan dua pengawal itu.

Dan ketika mereka bangkit lagi namun gadis itu berkelebat menghilang, naik dan melayang ke atas wuwungan maka di sinilah dia terbang dan melewati satu gedung ke gedung lain, cepat dan luar biasa sekali hingga Yu Yin yang ada di pondongannya kagum. Ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis baju putih ini hebat sekali, gerak atau langkah kakinya seperti kucing. Dan ketika pengawal berteriak-teriak di bawah, jauh tertinggal namun para pengawal lain dan perwira muncul membelalakkan mata, gadis baju putih itu memang luar biasa maka terdengar aba-aba agar semua melepas panah.

"Serang dengan panah. Kejar gadis itu!"

Gadis ini terkejut. Belasan panah tiba-tiba menyambar dan ia harus menangkis, melanjutkan larinya lagi namun dari kiri dan kanan gedung-gedung bangunan menyambar panah-panah lain. Ia sibuk. Dan ketika ia harus berhenti sejenak karena anak-anak panah itu juga menyambar Yu Yin di pondongannya, maka para perwira dan orang-orang bertubuh ringan berjungkir balik dan melayang naik ke atas genteng.

"Berhenti! Siapa kau...!"

Gadis ini marah, la harus melindungi Yu Yin pula kalau tak ingin anak panah melukai gadis di pondongannya itu, apa boleh buat mencabut pedang dan tiba-tiba tampaklah sinar putih bergulung naik turun. Dan ketika semua panah runtuh namun orang-orang bertubuh ringan dan perwira itu mengejarnya, mereka membentak dan menyerangnya maka gadis ini memekik dan tiba-tiba sebuah tusukan maut pecah ke delapan penjuru.

"Awas..!"

Aba-aba itu terlambat. Dua perwira yang menyerang dan coba merobohkan gadis ini tiba-tiba berteriak ketika delapan mata pedang pecah ke delapan penjuru angin, menusuk dan menikam dan mereka terlambat berkelit. Gerakan pedang itu amatlah cepat dan mereka tak mampu menghindar. Dan ketika dua tusukan melukai pundak mereka, dua perwira ini mengaduh dan terguling maka mereka terus meluncur dan berdebuk di atas tanah, jatuh dari tempat ketinggian itu. Mereka seketika pingsan namun gadis di atas wuwungan tak berhenti, berkelebat dan meng gerakkan pedangnya lagi seperti kesetanan. Dan ketika lawan dibuat terkejut dan mundur, gadis ini berseru keras maka ia pun sudah membalik dan melarikan diri lagi.

"Kejar!" tujuh orang berteriak marah. Mereka terkejut dan kagum tapi juga gusar melihat gadis baju putih ini melarikan diri. Mereka adalah seorang perwira dan enam orang kang-ouw. Itulah orang-orang yang membantu kerajaan karena upah yang tinggi. Tapi begitu mereka mengejar dan gadis baju putih ini mengelebatkan pedangnya, seorang di antara mereka kembali menjerit karena lengan tergores maka yang lain menjadi gentar namun juga bingung tak mau melepaskan musuh.

"Brett!"

Orang yang terkena ini mengeluh panjang. Iapun terpeleset dan jatuh bergulingan ke bawah, berdebuk namun bayangan-bayangan lain menggantikannya. Dari timur dan barat tiba-tiba muncul puluhan orang kang-ouw. Dan ketika Yu Yin terbelalak karena tak mungkin gadis ini lolos, gedung dan semua tempat dikepung rapat maka Yu Yin berbisik agar gadis itu melompat turun.

"Loncatlah ke bawah. Turun dan cari pohon pek kembar di belakang gedung ini. Lalu lari dan belok ke kiri dua kali!"

"Turun?" gadis itu terkejut. "Di bawah sana banyak orang, nona Coa. Kupikir justeru di atas sini tempat yang lebih aman!"

"Kau keliru. Mereka di bawah hanyalah pengawal-pengawal biasa, lain dengan orang-orang di atas ini. Kalau Pat-jiu-Sian-ong atau Lam-ciat sampai datang tentu kau celaka, apalagi guruku sendiri. Turunlah, dan jangan ragu-ragu!"

"Baik!" gadis itu membentak, menusuk dan membacok dengan tujuh gerakan menyilang. "Aku percaya padamu, Coa-siocia. Dan mudah-mudahan selamat!"

"Jangan panggil aku begitu," Yu Yin mendesis. "Namaku adalah Yu Yin, kau panggil saja aku Yu Yin...!"

Namun ketika gadis itu tertawa dan menjejakkan kakinya berjungkir balik, gerak pedangnya tadi membuat lawan-lawannya mundur sementara dua di antaranya kena tendangan maka gadis baju putih ini sudah meluncur dan turun ke bawah. Geraknya tak diduga dan pengawal dibawah tiba-tiba ternganga, seolah melihat dewi terjun dari langit. Namun begitu mereka sadar tapi terlambat, gadis itu menyapukan pedangnya ke arah mereka maka lima pengawal roboh dan Yu Yin terkekeh berseru agar temannya ini menuju dua pohon pek kembar itu.

"Bagus... hi-hik, bagus sekali. Tapi sekarang kau berlari ke pohon pek itu dan jangan hiraukan pengawal. Belok dua kali seperti kataku!"

"Eh, kau dapat tertawa?"

"Hi-hik, aku geli, sobat. Juga kagum. Kau hebat sekali. Eh, bagaimana aku harus memanggilmu!"

"Hm, kau panggil saja aku Tang Siu. Aku sebenarnya enggan memperkenalkan nama. Tapi karena kau gadis yang istimewa dan tak terikat kebangsawananmu itu baiklah kau panggil aku seperti namaku. Awas, aku mengikuti petunjukmu... wut-wut!" gadis ini sudah bergerak dan meninggalkan pengawal, lawan di atas genteng juga turun semua tapi mereka kalah cepat oleh gerakan gadis ini.

Tang Siu atau gadis baju putih ini sudah melesat dan terbang ke pohon yang ditunjuk Yu Yin, tahu-tahu sudah di bawah kerimbunan gelap dan lenyaplah ia di situ. Dan ketika pengejar berteriak dan menuju ke sini, Yu Yin sudah berkata agar gadis itu membelok dan melewati dua bangunan kecil maka selanjutnya Tang Siu diminta menerobos daun jendela dan keluar menuju lorong-lorong sebuah gedung.

"Jangan terpengaruh gunung-gunungan itu. Lari saja di bawah lampu-lampu teng itu dan jangan takut ketahuan!"

"Kau tidak bercanda?"

"Eh, aku lebih mengenal lingkungan istana ini daripada kau, Tang Siu. Aku tidak menjebakmu. Masuk ke lorong-lorong itu dan jangan takut ketahuan. Ini gedung pusaka!"

"Baik, aku sebenarnya juga tidak takut biarpun kau jebak. Aku juga sudah berkeliaran di kompleks istana ini beberapa hari yng lalu!" dan ketika benar saja gadis itu bergerak dan lari di lorong-lorong gedung ini, tempat itu terang-benderang oleh lampu-lampu teng yang bergelantungan di langit-langit ruangan maka Yu Yin mendongkol tapi tidak marah mendengar kata-kata temannya ini. Sahabat barunya ini rupanya memang pemberani namun juga sedikit sombong, atau mungkin harga dirinya tersinggung karena dua kali Yu Yin berkata tak usah takut. Dan ketika lorong terakhir hampir habis dan Yu Yin berseru agar masuk ke sebuah sumur, yang ada di ujung maka gadis itu tertegun.

"Apa?"

"Benar, kau masuk lubang sumur itu dan lompat saja. Di sana ada terowongan bawah tanah!"

Gadis ini berseri. Tadinya ia disangka bersembunyi saja di situ dan tentu saja ia mau menolak. Kalau begitu, daripada mendekam di sumur lebih baik melawan. Ia tak takut. Tapi ketika temannya berkata bahwa ada terowongan bawah tanah di situ, di sumur itu maka gadis ini tertawa dan secepat kilat iapun sudah terjun dan meloncat kedalam, tidak ragu-ragu.

"Byuurr...!"

Air mencipak kaget. Yu Yin terkekeh dan gadis itupun tertawa. Masing-masing sama geli, basah kuyup. Tapi ketika gadis ini melihat sebuah terowongan dan itulah kiranya yang dimaksud, Yu Yin membenarkan dan menyuruh ia masuk maka gadis baju putih ini sudah melompat dan selanjutnya memasuki atau berlari di terowongan ini, yang bersuasana remang-remang.

"Dari mana kau tahu ini. Tembus ke mana pula terowongan ini?"

"Hi-hik, terowongan ini tembus ke gedung Hui-ciangkun. Nanti di ujung kita sudah di kebun belakang panglima itu!"

"Eh, tempat temanmu itu? Hui-siocia?"

"Benar, di sana kita aman, Tang Siu, untuk sementara. Tapi untuk selanjutnya aku tak tahu!"

"Ah, sudahlah, itu cukup!" dan ketika gadis baju putih ini berlari dan terus mengikuti petunjuk Yu Yin, benar saja di ujung sana ia sudah melompat dan berada di kebun belakang yang cukup luas maka gadis ini tertawa dan girang.

"Kau benar, tempat ini aman. Tapi bagaimana sekarang mencari Hui-siocia itu!"

"Kamarnya di samping kiri, lewat buah kelengkeng itu. Ketuk jendelanya dan ia pasti ada!"

Gadis baju putih ini berseri-seri. Bahaya dan ancaman para pengawal sungguh membuat ia tak takut sama sekali, sikapnya tidak menunjukkan gentar dan Yu Yin kagum. Sahabat barunya ini benar-benar hebat, memiliki keberanian dan beberapa persamaan watak dengannya, antara lain suka menerabas-nerabas bahaya dan urusan nanti biarlah nanti. Dan ketika ia bergerak dan kembali mengikuti petunjuk Yu Yin, maka sampailah ia di tempat yang dimaksud dan sebuah jendela terlihat benderang di dekat sebuah pohon kelengkeng.

"Itu..?"

"Benar, ketuk tiga kali tapi dengan irama berbeda-beda. Pertama keras lalu perlahan dan keras lagi!"

"Ah, kau rupanya sudah mempunyai isyarat sendiri. Bagus, akan kucoba!" lalu mengetuk seperti yang dikata Yu Yin maka terbukalah jendela kamar dan seorang gadis tertegun di situ, gadis cantik berpakaian biru.

"'Siapa kau...?"

"Sst," Yu Yin diputar, kini menghadapi puteri Hui-ciangkun itu. "Ini aku, Hui Kiok. Dan ini temanku Tang Siu. Bolehkah aku masuk dan tutup jendela kamarmu!"

"Ah, kau?" gadis ini terkejut, tadi berseru tertahan melihat Tang Siu, gadis tak dikenal. "Kau, Yu Yin? Dan temanmu ini yang membuat gara-gara?"

"Cepat masukkan kami," Yu Yin tak sabar, berseru. "Ini Tang Siu yang menyelamatkan aku, Hui Kiok. Tutup jendela dan cepat masukkan kami."

Puteri Hui-ciangkun itu terbelalak. Ia sudah mendengar ribut-ribut di tempat Coa-ongya dan tentu saja juga mendengar akan sepak terjang Tang Siu. Hanya ia tak tahu siapa gadis baju putih ini tapi cepat bergerak dan menutup jendela kamar begitu dua orang itu melompat. Dan ketika Yu Yin sudah di kamar ini dan Tang Siu lega, gadis baju putih itu meletakkan temannya di pembaringan maka Hui Kiok tiba-tiba gemetar dan berseru,

"Yu Yin, aku... aku bisa kena marah. Maaf bahwa tadi aku tak dapat memenuhi panggilanmu karena ayahku takut dengan ayahmu. Aku tak bisa berbuat apa-apa!"

"Tak apa," Yu Yin lega, tapi kini mengeluh untuk urusan berikut. "Ayahku kejam sekali, Hui Kiok. Tapi aku senang sekarang sudah terlepas darinya. Dan ini atas pertolongan Tang Siu. Kenalkan, ia... eh, aku tak tahu siapa tuan penolongku ini. Aku tak tahu ia darimana!"

"Hm, aku Tang Siu, itu cukup. Aku enggan memperkenalkan asal-usulku, Yu Yin. Sebagai sesama gadis kang-ouw tentu kau mengerti ini."

"Ya, ya, maaf. Kau benar, Tang Siu, dan aku juga tak ingin tahu lebih jauh tentang dirimu. Tapi aku ingin berterima kasih. Ini Hui Kiok yang kuceritakan kepadamu itu, dia gadis baik. Jujur dan dapat dipercaya. Aku gembira dapat tiba di sini tapi bagaimana selanjutnya nasibku ini!" Yu Yin tiba-tiba menangis, teringat perjanjiannya dengan Giam Liong dan tersedu-sedulah dia terkoyak oleh kesedihan, apalagi oleh niat ayahnya yang hendak menjodohkannya dengan putera Cai-ciangkun itu, pemuda yang tak disuka! Dan ketika ia mengguguk dan Tang Siu maupun Hui Kiok sama-sama terkejut, Yu Yin menangis dengan keras maka kamar diketuk dan seorang wanita berusia empatpuluh lima tahun tiba-tiba muncul.

"Kiok-ji (anak Kiok), ada apa ribut-ribut? Siapa menangis itu...eh?" dan sang nyonya yang tertegun dan terbelalak melihat dua gadis di kamar puterinya tiba-tiba membuat Tang Siu terkesiap namun Hui Kiok sudah menubruk dan mendesah kepada wanita ini.

"Ibu, ini Yu Yin. Dia datang bersama temannya minta bantuan kita. Jangan ribut-ribut atau nanti diketahui ayah!"

"Yu Yin..?"

"Benar, dan ini nona Tang, ibu. Tang Siu sahabat Yu Yin. Ialah yang menyelamatkan Yu Yin dan membawanya kemari!"

"Ini... ini gadis pengacau itu? Ah, celaka, Hui Kiok. Ayahmu bisa marah dan mendapat celaka. Aduh, usir dia dan jangan tinggal di kamar ini. Aku... aku takut!"

"Bibi tak usah takut," Yu Yin tiba-tiba menghentikan tangisnya, terkejut karena tangisnya yang keras mengundang bahaya baru. "Ini tuan penolongku, bibi. Tanpa dia tak mungkin aku dapat keluar. Ah, sebaiknya bibi rahasiakan kedatangan kami dan jangan beritahukan kepada Hui-ciangkun. Atau nanti aku bunuh diri dan biar mati di sini saja!"

"Tidak, jangan..!" sang nyonya bingung, tiba-tiba menangis. "Persoalanmu sudah kami dengar, Yu Yin. Tapi., tapi kalau kau ada di sini dan diketahui ayahmu tentu kami sekeluarga mendapat celaka. Ah, bagaimana baiknya ini!"

"Bibi tak usah khawatir," Yu Yin menghibur. "Asal bibi atau Hui Kiok tak memberitahukan orang lain pasti tak akan ada apa-apa di sini. Sekarang baiknya bibi keluar dan tinggal di kamar bibi secara biasa-biasa saja, aku akan meminta temanku ini melakukan sesuatu."

Sang nyonya mengangguk. Ia melepaskan anaknya dan berkata bahwa tentu saja ia tak akan memberi tahu siapapun. Tapi ketika nyonya itu beringsut dan hendak pergi tiba-tiba Tang Siu mencegatnya.

"Yu Yin, apakah tidak sebaiknya Hui-hujin ini di sini saja. Bagaimana kalau ia membuat kekeliruan di luar!"

"Ah, jangan," Yu Yin terkejut, melihat sinar mata temannya yang mengandung curiga, khawatir. "Kalau bibi Hui ada di sini justeru Hui-ciangkun akan mencarinya, Tang Siu. Lepaskan dia dan ada Hui Kiok di sini. Tak perlu khawatir, Hui-hujin tentu tak ingin puterinya kau jadikan sandera!"

"Ah, jangan... tidak!" sang nyonya berseru, segera mengerti. "Aku tak mungkin memberi tahu siapapun, nona. Bahkan suamiku sendiri. Jangan takuti kami dengan mencelakai puteriku!"

Tang Siu mundur. Akhirnya dia mengalah dan wajahnya sedikit merah karena apa yang dia pikir ternyata dapat dibaca Yu Yin. Memang benar, ia ingin menyuruh nyonya itu tetap tinggal di situ agar tidak sampai bicara di luaran. Tapi karena Hui-ciangkun bakal mencari dan ini tentunya lebih merepotkan lagi, di situ ada Hui Kiok yang sewaktu-waktu dapat disandera, maka gadis ini mengangguk dan tersenyum, minggir.

"Baik, kau yang bertanggung jawab, Yu Yin. Kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!"

"Sudahlah, kau percaya kepadaku. Bibi Hui tak mungkin bicara di luar." dan ketika nyonya itu mengangguk dan keluar, gemetar maka Tang Siu menutup pintu kamar dan memandang gadis itu lagi, karena Yu Yin inilah sumber perhatiannya.

"Sekarang apalagi yang harus kulakukan. Berapa lama kita tinggal di sini."

"Kau tolong aku memberikan sinkang. Aku juga ingin bebas dan letakkan telapakmu di pusarku."

Tang Siu mengerutkan kening. Memberikan sinkang adalah pekerjaan berbahaya karena berarti mengurangi tenaga sendiri. Kalau ada apa-apa tentu dia celaka namun gadis ini mengangguk dan maju mendekat. Dan ketika dia meletakkan tangannya di pusar Yu Yin dan gadis itu terisak memberi tahu jalan-jalan darah yang harus dihangati maka Tang Siu kagum karena ada delapan jalan darah yang harus dibuka.

"Ah, pantas. Ini kiranya yang membuat aku tak mampu membuka totokanmu. Gurumu lihai sekali, Yu Yin. Ilmu totoknya sungguh luar biasa!"

"Bukan guruku, melainkan ayah..." Yu Yin berkata, terkejut kelepasan bicara. Dan ketika sahabatnya terbelalak dan heran serta kaget, Coa-ongya dikenal sebagai bangsawan yang tak kenal silat maka Yu Yin menangis dan memejamkan mata. "Maaf, konsentrasikan perhatianmu, Tang Siu, dan aku juga akan menerima aliran sinkangmu. Kita harus lolos dari sini, mencari Giam Liong!"

"Giam Liong? Si Naga Pembunuh itu?"

"Benar, ah... maaf, Tang Siu. Cepat alirkan sinkangmu dan jebol totokan keparat ini!"

Gadis baju putih itu tertegun. Ia terkejut mendengar nama Giam Liong dan sedetik darahnya berdesir. Justeru karena mendengar nama itulah dia sampai ke kota raja, bersembunyi dan berkeliaran tapi malam itu mendengar ribut-ribut tentang Yu Yin. Gadis ini dikejar-kejar pasukan dan dia merasa heran kenapa puteri seorang pangeran malah hendak ditangkap! Tapi ketika dia membuntuti dan akhirnya tahu, Coa-ongya kiranya hendak memaksa puterinya itu menikah dengan putera Cai-ciangkun maka turun tanganlah gadis itu setelah dengan amat hati-hati dia mengintai dan melakukan pengawasan dari jauh.

Kejadian di kamar depan tak dilihat gadis ini karena ketika Coa-ongya merobohkan puterinya memang tak ada orang lain di situ. Juga waktu itu gadis inipun sedang mencari tempat persembunyian yang baik, hal yang mudah dilakukan karena saat itu perhatian semua orang sedang tertuju kepada puteri Coa-ongya ini. Dan ketika akhirnya ia dapat memasuki kamar Yu Yin, merobohkan tapi sayang jeritan dayang membuat para pengawal bergerak maka gadis ini membawa Yu Yin dan selanjutnya ia di kamar Hui Kiok. Tak tahu bahwa Pat-jiu Sian-ong dan Lam ciat serta orang-orang lainnya lagi kelabakan mencari gadis baju putih ini.

Pat-jiu Sian-ong maupun Lam-ciat muncul terlambat karena kebetulan saat itu keduanya meronda di bagian timur dan utara. Yu Yin memasuki pintu gerbang barat tapi setelah ditangkap ayahnya sendiri dua kakek itu lalu kembali ke tempatnya masing-masing. Maka ketika Tang Siu muncul dan gadis baju putih ini melarikan Yu Yin, geger dan ribut-ribut itu terlambat mendatangkan kakek-kakek ini maka Tang Siu sudah menempelkan tangannya dan memberikan sinkang seperti yang diminta Yu Yin. Hui Kok mengawasi dengan tubuh panas dingin karena ia terbawa dalam persoalan berbahaya. Kamarnya dimasuki pengacau!

Namun karena Yu Yin ada di situ dan sahabatnya itulah yang bertanggung jawab, dia menggigil dan takut ketahuan orang lain maka pintu dan jendela ditutup rapat-rapat, bergerak ke sana ke mari dan Yu Yin maupun Tang Siu tak tahu. Dua gadis ini sudah sama sama memejamkan mata untuk memberi dan menerima sinkang. Tapi ketika enam jalan darah sudah bobol ditembus hawa sinkang dan tinggal dua jalan darah lagi, Yu Yin sudah mulai dapat bergerak namun belum sempurna mendadak terdengar ketukan di pintu dan seorang pelayan memberi tahu bahwa Hui-ciangkun ingin ketemu puterinya. Hal yang membuat gadis itu pucat!

"Siocia, ayahmu datang. Mohon dibukakan pintu dan kenapa kamarmu masih terang-benderang?"

Gadis ini terkejut. Ia pucat pasi dan tiba-tiba tak dapat menggerakkan tubuh sama sekali karena sekonyong-konyong ia berubah menjadi patung. Ayahnya, yang bengis dan garang datang. Dan ketika gadis itu tak dapat menjawab dan juga masih tak dapat bergerak-gerak, tubuh serasa kaku maka pintu kamar digedor.

"Hui Kiok, buka pintu. Ada apa kau di dalam. Buka!"

Gedoran atau ketukan pintu yang keras ini tiba-tiba membuat Hui K iok menangis. Bagai dipagut ular saja tiba-tiba ia berlari, bukan menuju pintu me lainkan ke arah dua temannya yang sedang mengalirkan sinkang. Dan begitu ia mengguguk dan terbata mengguncang-guncang Tang Siu maka gadis ini berseru, "Nona Tang, ayahku datang. Bagaimana ini. Bagaimana dengan kalian...!"

Tang Siu ambyar. Diguncang dan diremas remas seperti itu mendadak gadis ini membuka mata. Jalan darah ke tujuh sudah berhasil dibobol dan tinggal jalan darah kedelapan. Tinggal satu lagi! Tapi ketika ia mendengar tangis gadis itu dan gedoran di pintu, suara kasar dan keras di sana maka gadis ini tersentak dan Yu Yin juga membuka mata.

"Celaka...!" gadis ini marah. "Ada orang datang mengganggu, Yu Yin. Bagaimana ini!"

"Siapa itu?"

"Hui-ciangkun!"

"Keparat, bagaimana bisa datang? Siapa memberi tahu?"

"Entahlah, jalan darahmu tinggal satu lagi, Yu Yin, bagaimana ini. Apakah dihentikan dan kita usir panglima itu!"

Yu Yin tertegun. Tubuhnya sudah sembilan puluh persen dapat digerakkan kecuali tangan kirinya. Ia terkejut bagaimana panglima Hui muncul begitu cepat, padahal mestinya panglima itu di lain tempat dan mengejar-ngejar Tang Siu, tak mungkin menduga bahwa Tang Siu dan dirinya justeru ada di gedung panglima itu sendiri. Dan ketika pintu digedor-gedor dan suara orang berlarian mulai terdengar, itulah tentu pengawal atau pembantu-pembantu Hui-ciangkun ini maka Yu Yin pucat teringat Hui-hujin tadi. Ia lupa memberi tahu bahwa yang datang tadi bukanlah ibu kandung Hui Kiok, karena ibu sahabatnya ini telah meninggal. Dan karna Hui-ciang-kun memiliki beberapa isteri lagi di samping selir, dan itulah tadi isteri keduanya yang merupakan saudara dekat ibu kandung Hui Kiok maka sadarlah gadis ini bahwa tentu wanita itulah yang tadi memberitahu!

"Celaka!" Yu Yin merah padam. "Bagaimana menurut pendapatmu, Tang Siu.? Aku agaknya salah hitung!"

"Salah hitung bagaimana..."

"Hui-hujin tadi bukan ibu kandung Hui Kiok. Kalaupun kau mengancam gadis ini maka ia bukanlah puterinya. Ah, aku lupa, Tang Siu. Dan agaknya wanita itulah yang memberi tahu suaminya. Atau, mungkin juga suaminya kebetulan datang dan dia lalu memberitahu!"

"Begitukah? Kalau begitu biar kulabrak'"

"Tidak... jangan!" Hui Kiok berteriak, mencegah Tang Siu menendang pintu. "Ada jalan lain, Tang Siu. Kalian bersembunyi saja di belakang lemari besar itu. Lanjutkan pertolonganmu kepada Yu Yin!" dan menarik serta mendorong dua gadis itu ke lemari besar, Hui Kiok memadamkan lampu maka Tang Siu maupun Yu Yin tertegun disuruh begitu.

Tang Siu menggigit bibir dan mau menolak tapi Yu Yin berpikir lain. Jalan darahnya tinggal satu lagi yang harus dibuka. Disana masih ada Pat-jiu Sian-ong dan lain lain, juga gurunya. Dan karena ayahnya ternyata juga bukan orang sembarangan, ayahnyapun lihai selihai gurunya maka Yu Yin menyentak dan berlari ke belakang lemari besar.

"Tang Siu, sembunyi saja dulu di situ. Hui Kiok ada benarnya. Biarlah kau bebaskan aku dan nanti kita berdua dapat menerjang!"

Gadis baju putih ini menggeram. Ia marah sekali oleh dugaan tadi namun ia sudah ditarik dan dibawa kebelakang lemari besar itu. Apa boleh buat ia harus melanjutkan pertolongannya dan ada benarnya juga temannya ini. Ia tak akan mendapat beban lagi kalau Yu Yin sembuh. Totokan itu harus dibuka, tinggal sedikit lagi.

Dan ketika ia duduk dan cepat menempelkan lengan, Yu Yin gemetar dan menerima sinkangnya maka celaka sekali mereka berdua tak dapat mengkonsentrasikan diri. Jalan darah kedelapan tak dapat dibobo karena masing-masing sama tegang. Dan ketika mereka kebingungan harus menahan gejolak perasaan, di luar Hui-Ciang-kun marah dan tidak sabar maka didobraklah pintu itu dan seorang laki-laki tinggi besar menerjang masuk, tak perduli kamar yang gelap gulita.

"Hui Kiok, kau terlalu. Di mana kau dan apa yang kau lakukan di sini braakk!”

Naga Pembunuh Jilid 28

NAGA PEMBUNUH
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"OOHHHH...” gadis itu berseru panjang, tersedu-sedu. "Kau jahat, Giam Liong, kau kejam. Kau membiarkan aku membunuhmu padahal kau tahu tak mungkin aku dapat melakukan itu. Ooh... kau terluka. Lukamu mengeluarkan darah. Aduh, bagaimana ini, Giam Liong. Aku tak dapat menghentikan darahmu. Biar darah yang keluar kuganti dengan darahku... srat!" dan Yu Yin yang mengiris atau melukai lengannya sendiri, menempelkan atau memberikan darahnya ke luka Giam Liong lalu membuat Giam Liong terharu dan tiba-tiba mengeluh dan mendekap gadis ini.

Yu Yin memeluknya di situ sambil coba memampatkan luka, padahal ia tak coba menghentikan luka dengan sinkangnya, tentu saja gadis itu tak berhasil. Tapi begitu Yu Yin mengiris lengannya sendiri untuk pengganti darah yang keluar, Giam Liong terharu maka pemuda ini mengerahkan sinkangnya dan tiba-tiba darahpun mampat. Yu Yin dipeluk ketat.

"Yu Yin, dewiku... apa yang kita alami ini. Kutuk atau sumpah siapa yang mengenai kita ini? Aku... aku boleh kau bunuh, Yu Yin. Tapi... tapi musuh besarku ada di sana. Maukah kau membunuhnya atau bunuh saja aku!"

"Tidak... tidak!" Yu Yin menangis. "Aku tak dapat membunuhmu, Giam Liong. Lebih baik kaulah yang membunuh aku dan biarkan aku mati. Aku tahu dendammu, aku tahu sakit hatimu. Dan aku juga tak menyalahkan dirimu. Tapi kenapa kau melanggar janji dan menjilat ludah. Ini yang membuat aku menyesal!"

"Maaf," Giam Liong mengusap rambut kekasihnya, mencium. "Aku lupa, Yu Yin. Aku dibakar kemarahanku. Ibu... ibu telah meninggal!"

Giam Liong tiba-tiba mengguguk, mendorong atau melepaskan gadis itu dan sang kekasih terkejut melihat betapa pemuda yang biasanya tegar dan keras hati ini tiba-tiba berubah begitu cengeng. Giam Liong tak kuat lagi menahan perasaan lukanya teringat kematian si ibu. Kematian itu baru saja terjadi dan Giam Liong tak tahan. Kematian ibunya masih hangat. Tubuh ibunya itu di sana masih beum dingin! 

Maka ketika Giam Liong mengguguk karena kematian ibunya ini sungguh menyakitkan sekali, diperkosa atau digagahi Kedok Hitam maka Giam Liong sampai terguncang-guncang dan melipat mukanya di bawah kedua lutut, la terpukul hebat dan Yu Yin tertegun, sejenak kaget, heran. Tapi ketika gadis itu tahu penyebabnya dan tentu saja ia ikut sakit hati, kelakuan gurunya sungguh biadab maka gadis ini gemetar menghibur si pemuda.

"Sudahlah, aku tahu itu, Giam Liong. Dan aku juga mengutuk suhu. Tingkah laku guruku seperti binatang. Aku juga tak dapat menerima ini tapi sekarang kita bicarakan urusan kita berdua. Apakah kau masih akan ke kota raja dan melanggar janjimu!"

Giam Liong mengangkat mukanya, mata berkilat-kilat. "Aku sadar, Yu Yin. Sekarang aku sadar. Aku menarik niatku tapi besok pasti aku ke sana. Kutunggu beritamu dan selewatnya matahari tenggelam di barat aku akan mencari musuh besarku!"

"Bagus, dan kau tunggu aku di sini, Giam Liong. Ku usahakan sebelum matahari tenggelam aku telah membawa golokmu yang dirampas suhu. Begini baru aku senang!"

"Dan kau... kau tak dimusuhi gurumu itu? Tahukah kau siapa dia?"

"Guruku amat misterius, Giam Liong. Aku tak tahu tapi aku juga tak mau tahu. Masalah dimusuhi, hmm... akulah sekarang yang memusuhinya. Tindak-tanduknya sungguh terlalu."

Giam Liong memandang tajam. Ada rasa tak percaya tapi segera lenyap. Yu Yin bicara sungguh-sungguh. Dan ketika ia mengertak gigi dan bertanya bagaimana jika ia sampai membunuh si Kedok Hitam, apa reaksi gadis itu maka gadis ini menggigit bibir.

"Aku masih mempunyai ayah, dan ayahku itulah tumpuan hidupku terakhir. Aku tak akan menyaksikan kau membunuh guruku, Giam Liong. Karena aku juga tak senang melihat kejadian itu, meskipun aku juga menentang dan melawan kekejamannya!"

"Hm," Giam Liong tertawa pahit, yakin sudah bahwa Yu Yin benar-benar tak mengetahui siapa gurunya. "Kalau begitu pulanglah, Yu Yin. Tapi bagaimana kalau misalnya ayahmupun sampai terbunuh!"

"Kau hendak membunuh ayah pula? Apa salahnya? Bukankah ibumu terbunuh oleh guruku?"

"Hm, ayahmu itu licik dan banyak akal, Yu Yin. Agaknya dalam hal inipun ia pasti campur tangan. Bagaimana kalau misalnya ia terbunuh..."

"Kau tak boleh membunuhnya!" gadis itu membentak, memotong, wajah terbakar. "Kematian ayah dan ibumu adalah di tangan guruku, Giam Liong. Kalau kau sudah melampiaskan dendam tentunya kau tak usah mencari korban-korban lain agar aku tak usah mencap mu sebagai manusia biadab, haus darah!"

"Baiklah," Giam Liong tertawa getir, memejamkan mata. "Aku akan mencari gurumu, Yu Yin. Tapi kalau ayahmu sampai terlibat harap kau tidak menyalahkan aku. Yang aku cari adalah Kedok Hitam, yang membunuh dua orang tuaku!"

Gadis ini terisak, menyambar lengan Giam Liong. "Kau menyebut-nyebut ayahku ada apakah? Bukankah hanya guruku yang bermusuhan denganmu?"

"Sudahlah," Giam Liong membuka mata, wajah tiba-tiba begitu murung, gelap. "Persoalan kita sungguh persoalan pelik, Yu Yin. Aku tak mau bicara lagi tentang ini dan pulang serta kembalilah. Aku. aku hendak mengurus jenasah ibu dan menunggumu di sini sampai besok."

"Benar," gadis itu tiba-tiba terlonjak. "Aku juga hendak sembahyang di depan jenasah ibumu, Giam Liong. Mudah-mudahan aku dapat menjadi menantunya dan biar kubantu kau."

"Di sana sudah ada Chu-goanswe...”

"Dia bukan menantu atau calon menantu ibumu!"

"Benar, tapi—"

"Tapi apalagi? Bukankah kau masih mencintai aku, Giam Liong? Bukankah kita tetap dapat berdua?"

"Hm, baiklah. Mari ke sana, Yu Yin. Tapi setelah itu kau harus pulang!"

"Dan kau tak boleh nekat ke kota raja!"

"Baik-baik, tapi hanya sehari ini. Lebih dari itu sudah di luar batas perjanjian!"

Yu Yin terisak. Ia mengangguk dan teringat ini kesedihanpun timbul. Tapi menggigit bibir dan merasa gurunya keterlaluan, hinaan atau perkosaan itu merobek hatinya sebagai wanita maka gadis ini bergerak dan mendahului Giam Liong ke tempat Chu-goanswe. Giam Liong berkelebat dan tentu saja Chu-goanswe dan anak buahnya heran dan girang melihat kembalinya pemuda ini, yang tadi dipanggil-panggil tak mau datang. Tapi ketika melihat Yu Yin ada bersama pemuda itu, kebetulan jenasah Wi Hong juga baru saja dimasukkan peti maka Chu-goanswe bergerak dan berbisik di telinga pemuda itu, karena Giam Liong dan Yu Yin sudah berlutut bersebelahan.

"Siauw-hiap..."

"Aku tahu," Giam Liong memotong, menggeleng. "Yu Yin mencegahku ke kota raja, goanswe. Dan kini ingin berbelasungkawa untuk kematian ibu. Kau diamlah dan biarkan kami sembahyang!"

Terpaksa, menahan keheranan dan kerutan dalam di dahi dan kelopak matanya jenderal ini bersama anak buahnya memandang dua orang itu sembahyang di depan peti mati. Giam Liong harus menahan guncangan hatinya kuat-kuat kalau tak mau meletup lagi.

Yu Yin terbelalak dan tertegun sejenak tapi tiba-tiba menjerit dan roboh di peti mati, mengguguk dan memeluk mayat Wi Hong. Keadaan mayat itu sungguh menyedihkan dan otomatis Giam Liong mencucurkan air mata lagi. Tapi ketika hanya sebentar saja Yu Yin mengguguk karena segera ia memejamkan mata dan berkemak-kemik, bibirnya menggigil dan Giam Liong mendengar sumpah atau kutuk terhadap gurunya maka dengan menggigil gadis itu berkata, tersendat-sendat.

"Bibi, sudah kuberitahukan kepadamu agar tidak nekat memasuki istana. Tapi kau keras kepala. Kini apa yang kukhawatirkan terjadi, kau tewas. Aku menyesal tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongmu, bibi Wi Hong. Dan mungkin besok aku atau puteramu Giam Liong menyusul. Ah, hidup sungguh mengerikan. Manusia tak ubahnya srigala atau hewan-hewan haus darah. Aku memujikan agar arwahmu di tempat yang tenang. Sekali lagi maafkanlah aku yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongmu!" dan mencium lalu melepaskan mayat itu, Yu Yin bercucuran air mata lalu gadis ini berdiri dan bertanya kepada Giam Liong, di mana akan dimakamkan.

"Aku ingin menggali tanahnya, hitung-hitung penebus dosaku yang tak dapat berbuat apa-apa."

"Tanah galian sudah kami siapkan," Chu-goanswe tiba-tiba berkata, heran namun bersinar-sinar. "Di situ Sin-hujin akan kami kebumikan, nona. Tapi agaknya dengan kehadiranmu ini kami tetap tak dapat mengampuni gurumu!"

"Aku tahu, dan aku juga tidak mohonkan ampun untuk guruku!" gadis itu berkata, ketus. "Aku datang bukan untuk mengemis ampun, goanswe. Aku datang semata karena Giam Liong. Aku juga menentang dan tidak menyetujui sepak terjang guruku!" lalu malah dikira meminta keringanan, gurunya tetap bersalah maka Yu Yin tiba-tiba mengangkat peti jenasah dan dengan air mata membanjir ia melompat dan memasukkan mayat Wi Hong di tanah kubur.

Di situ ternyata sudah disiapkan makam untuk wanita ini dan Giam Liong tertegun, Yu Yin bekerja seorang diri, tak mau dibantu. Dan ketika jenasah sudah dimasukkan dan Giam Liong pun selesai sembahyang, mereka sama-sama berlutut di tempat makam maka Yu Yin sambil menangis menyambar cangkul dan menimbun tanah galian. Cepat sekali segunduk makam sudah terbuat, Yu Yin melempar cangkul dan sekali lagi menangis di situ. Lalu berlutut dan kembali mencium tanah, tanda penghormatan terakhir tiba-tiba gadis itu berkelebat dan gemetar melepas seruan,

"Giam Liong, terima kasih. Besok kita bertemu di tempat yang ditentukan dan tunggulah aku!"

Semua membelalakkan mata. Giam Liong berdiri dan gemetar menopang tubuh Jenasah ibunya telah dimakamkan dan itulah perbuatan Yu Yin. Tapi menahan haru dan berbagai macam perasaan yang bergolak, Giam Liong mengangguk dan membalas seruan maka pemuda itu berkata,

"Baik, terima kasih kembali, Yu Yin. Dan mudah-mudahan besok adalah hari yang baik untuk kita!"

Chu-goanswe dan anak buahnya mendelong. Mereka tahu siapa gadis itu namun mereka juga tahu bagaimana hubungan gadis ini dengan Si Naga Pembunuh. Kisah luar biasa terjadi di situ. Murid seorang musuh besar menjalin cinta dengan pemuda yang ayah ibunya dibunuh. Tapi begitu gadis itu pergi dan Giam Liong perlahan-lahan roboh, kakinya lemas maka Chu-goanswe bergerak dan menerima tubuh pemuda ini.

"Siauw-hiap, kenapa gadis itu dibiarkan pergi. Bukankah ia tawanan berharga bagi kita!"

"Tidak," Giam Liong memejamkan mata. "Ia pergi untuk mengambil Golok Mautku, goanswe. Begitu ia muncul maka besok aku menyerbu kota raja. Istana dan Kedok Hitam, akan kubakar hidup-hidup!"

"Kalau begitu besok kita menyerang?"

"Aku hanya hendak mencari musuh besarku itu. Kalau goanswe mau ikut dan membonceng silahkan. Tapi aku hanya mencari Kedok Hitam!"

"Bagus, tadi kami juga akan segera menyusul, siauw-hiap, begitu ibumu telah kami makamkan. Tapi kau kembali dan kini merencanakan serbuan. Tentu saja aku akan ikut dan kami semua siap membalas dendam!"

"Benar," para pejuang berteriak. "Melihat kematian ibumu kami tak akan undur, siauwhiap. Mati hidup kami bersamamu!"

"Kami ikut berbelasungkawa. Dan besok kami siap mati membela kebenaran!"

"Hidup Sin-siauwhiap!" "Hidup Si Naga Pembunuh!"

Dan ketika teriakan-teriakan atau pembakar semangat meledak di situ, Chu-goanswe dan anak buahnya mengacungkan tinju maka Giam Liong terbakar dan bangkit semangatnya. Ia tadi merasa lemah dan lunglai teringat kematian ibunya, juga sikap yang ditunjukkan Yu Yin. Tapi begitu Chu-goanswe dan anak buahnya bersorak riuh, mereka berteriak untuk menghancurkan istana dan Kedok Hitam maka Giam Liong berdiri lagi dan tegar bersinar-sinar, pandang matanya mencorong.

"Chu-goanswe, dan saudara-saudara sekalian, terima kasih atas perhatian kalian. Tapi tak perlu ribut-ribut karena sekarang juga kalian harus menyiapkan diri. Aku akan di mulut hutan dan kalau besok ada suara bergemuruh itulah tandanya kalian menyusul aku. Kalian tunggu saja di sini sampai matahari terbenam besok!"

Orang-orang itu terkejut. Giam Liong tiba-tiba berkelebat dan sudah lenyap meninggalkan mereka. Pemuda itu melesat dan hilang di depan. Dan ketika mereka terbelalak karena Giam Liong benar benar seperti iblis, meluncur dan lenyap di luar sana maka Giam Liong sendiri terbang dan menuju ke tempat di mana ia dan Yu Yin mula-mula bertemu. Di situ pemuda ini berhenti dan berkejap-kejap, mencari batu besar dan duduk. Dan ketika matanya tampak mencorong dan begitu hidup, membakar dan siap menghanguskan apa saja maka ditunggunya sang kekasih dengan sabar. Mereka telah berjanji dan masing-masing akan menanti.

Tapi karena penantian adalah siksaan yang paling berat, Giam Liong gelisah dan duduk bergeser-geser maka ia mencobloskan jari-jarinya ke batu hitam itu, menggurat dan membuat lekukan hingga terdapatlah semacam tempat duduk yang legok. Di situ pemuda ini amblas setengahnya lebih, tak tampak dari bawah tapi besok Yu Yin pasti akan meloncat dan naik ke sini.

Dan begitu Giam Liong menarik napas dan memejamkan mata, bersila, maka pemuda itu sudah duduk bagai arca dan tak bergeming lagi. Dengan samadhinya yang kuat dan konsentrasi penuh pemuda ini mematikan rasa. Dia tak akan bergerak-gerak lagi biarpun langit ambruk. Dan karena besok baru dia akan "hidup" dan bangkit lagi, menunggu matahari terbenam maka pemuda ini bagaikan raksasa yang sedang menahan marah. Atau, gunung berapi yang siap meletus. Dan begitu gunung atau raksasa itu bangkit melepaskan marahnya maka dunia tentu geger!

* * * * * * * *

Sore itu juga Yu Yin kembali ke kota raja. Hati gadis ini tak keruan dalam usahanya mencuri Golok Maut, golok yang dirampas suhunya itu. Tapi ketika ia melayang dan berjungkir balik memasuki tembok yang tinggi, daerah pintu gerbang yang dijaga ketat ternyata kedatangannya diketahui penjaga dan tahu-tahu tigapuluh orang muncul dan mengepungnya, hal yang tidak biasa.

"Maaf," seorang pengawal berkumis tebal menegur, membungkuk namun menyuruh anak buahnya bersiap-siap. "Kau darimana saja, Coa-siocia (nona Coa). Ayahmu mencari-cari dan memberi surat perintah agar kami menemukan dan membawamu ke istana.“

Yu Yin tertegun "Kau dari pasukan mana?"

"Kami dari pasukan Harimau Hitam, bawahan Houw-ciangkun!"

"Hm, aku berada di wilayahku sendiri, bukan di tempat musuh. Kenapa dicari dan harus dibawa segala. Aku memang akan menemui ayah dan pulang. Kalian tak usah macam-macam!"

"Maaf..." laki-laki itu bergerak, menghadang. "Kami sudah diperintahkan untuk membawamu ke sana, siocia. Ayahmu menunggu-nunggu dan mencari-cari. Kami dapat kena marah kalau tidak bersamamu kesana.”

"Kalian ini mau menangkap aku?"

"Maaf, bukan begitu..."

"Kalau tidak begitu tak usah cerewet, Aku memang mau pulang dan bertemu ayah." dan Yu Yin yang berkelebat dan mendorong pengawal itu lalu membentak dan marah karena merasa diancam. Meskipun kata-kata orang halus namun ada paksaan di situ, ini yang membuat gadis itu tidak senang. Tapi begitu ia mendorong dan yang lain bergerak, tigapuluh orang mengangkat senjata tiba-tiba semuanya sudah berseru agar dia tak pergi sendirian,

“Siocia, kami diperintahkan ayahmu. Berhenti dan bacalah surat ini!"

Yu Yin gusar, la membentak dan akhirnya menyerang orang-orang itu, menampar dan menendang karena tombak atau pedang coba mengancam. Dan begitu ia bergerak dan lima orang menjerit maka kepungan terbuka karena lima orang pertama ini terpelanting.

“Jahanam kalian, masa di rumah sendiri diperlakukan seperti musuh. Minggir....des-des-dess!" dan lima orang itu yang terlempar dan berteriak keras tahu-tahu memberi lowongan dan Yu Yin secepat kilat melesat. Ia marah karena tak biasanya ia diperlakukan seperti ini, tak perduli kepada surat dari ayahnya itu. Dan ketika berkelebat dan merobohkan lima orang, semua berseru kaget maka lima orang itu bangkit lagi dan mengejar. Sang pemimpin juga berseru memberi aba-aba.

"Heii, tunggu, siocia. Jangan biarkan kami sendiri!"

"Kerbau-kerbau dungu!" gadis itu marah. "Kalian jangan mengikuti aku atau nanti kulempar!"

"Tidak," sang pemimpin tetap berseru, mengejar. "Kami tak percaya kau kembali ke ayahmu, siocia. Tunggu atau nanti kami serang!"

"Bagus, coba serang dan lihat seberapa keberanian kalian!" Yu Yin membalik, gusar karena tiba-tiba sebatang tombak mendesing dan benar saja menyambarnya. Ia tentu saja marah dan seketika berhenti, menangkap dan segera mengamuk ketika orang orang itu mengejarnya. Dan ketika tombak di tangan menghantam atau membentur tombak-tombak pengawal, Yu Yin tidak berhenti di situ saja karena segera ia menusuk dan membalas, yang tadi melempar tombak ditusuk pahanya maka orang-orang ini berteriak dan menjerit kesakitan karena sebentar saja mereka dibuat jungkir balik oleh murid si Kedok Hitam ini.

"Trang, trang... aduh!" Tigapuluh orang itu pontang-panting. Yu Yin marah dan menghajar mereka dan ribut-ribut ini segera didengar oleh pasukan lain, berdatangan dan tiba-tiba saja seratus orang muncul. Dan ketika mereka membentak namun tertegun melihat puteri Coa-ongya ini, sang pemimpin mengaduh-aduh di sana maka pasukan baru yang mengepung dan melihat ini diserang pula oleh Yu Yin.

"Bagus, ayo tangkap aku dan serang pula. Awas nanti kulaporkan ayah dan kalian digantung."

Yang baru datang terkejut. Mereka mundur dan melonggarkan kepungan dan seorang perwira tiba-tiba muncul. Yu Yin berhadapan dengan perwira ini yang cepat-cepat menyuruh semua orang mundur, bentakannya penuh wibawa. Dan ketika perwira itu menjura dan meminta maaf, bicaranya hati-hati namun pandang matanya juga tak membiarkan Yu Yin lolos maka perwira ini berkata,

"Maaf, kau kiranya, siocia. Ada apa ribut-ribut dan menyerang orang-orang sendiri. Bukankah mereka bukan musuh."

"Bagus, kau, kapten Bu? Kau bilang bahwa ribut-ribut ini aku yang mulai? Eh, jaga mulutmu. Aku tak pernah memusuhi mereka ini melainkan mereka inilah yang kurang ajar dan hendak menangkap aku. Katanya mau dibawa kepada ayah, padahal aku justeru hendak ke sana. Nah, katakanlah siapa yang keterlaluan dan membuat ribut-ribut!"

"Maaf, siocia hendak menemui ayah siocia? Kalau begitu pasukan Harimau Hitam ini yang terlalu. Biarlah aku mengantar dan anggap saja perbuatan orang-orang ini tak ada."

"Kau mengantar? Aku dapat pulang sendiri!"

"Bukan begitu," sang perwira menggeleng. "Aku tak ingin kau diganggu atau dihadang pasukan pasukan lain, siocia. Mereka telah mendapat perintah ayahmu untuk mencari dan menemukan dirimu. Kabarnya kau keluar."

"Memang benar, aku keluar. Tapi kini aku sudah kembali. Apa-apaan sikap ayah dengan menyuruh orang mencari dan menangkap aku!"

"Bukan menangkap," kapten Bu buru-buru menjelaskan. "Kami diperintah untuk mencari dan mengajakmu pulang, siocia. Ayahmu khawatir kalau ada apa-apa denganmu. Kabarnya kau tidak pamit."

"Aku sudah biasa pergi tanpa pamit!" Yu Yin membentak, tetap marah. "Aku tak mau diantar, kapten Bu. Aku dapat pulang sendiri dan aku memang hendak menemui ayah. Minggir atau nanti kau kuhajar!" dan Yu Yin yang berkelebat dan mendorong perwira ini, yang terpaksa berkelit lalu melihat gadis itu lari dan menuju istana.

Sang perwira tertegun tapi tiba tiba ia menyebar orang-orangnya agar mengejar dalam bentuk kepungan lebar, ia sendiri sudah bergerak dan mengejar gadis itu, menyusul. Dan ketika Yu Yin menoleh dan marah diikuti, dari mana mana tiba-tiba juga muncul dan datang pasukan lain maka gadis ini membentak,

"Orang she Bu, jangan mengejarku. Aku bukan maling. Enyah atau nanti kutampar!"

"Maaf," kapten itu memperlambat lari. "Aku hanya menjagamu dari kesalahpahaman pasukan di depan, siocia. Lihat mereka muncul dari mana-mana!"

Benar saja, Yu Yin dikepung pengawal atau pasukan yang berdatangan. Kota raja benar-benar telah dijaga ketat namun begitu sang kapten membentak minggir maka orang-orang itupun menjauh. Yu Yin terbelalak dan merah mukanya. Ia seperti pesakitan saja, atau buron! Dan ketika dengan gemas ia malah menyerbu orang-orang itu, melabrak dan memaki-maki maka kapten Bu terkejut dan menyuruh semua mundur.

"Heii.. mundur... mundur. Siocia mau pulang!"

Namun begitu orang-orang itu mundur justeru Yu Yin mengejar dan menyerang. Ia jengkel dan gemas bahwa dirinya dikepung, dari mana-mana muncul pengawal. Dan ketika Bu-ciangbu atau kapten Bu ini terkejut dan tahu kemarahan si nona, berseru agar semua kembali ke posnya masing-masing maka barulah Yu Yin menghentikan amukannya karena semua orang tiba-tiba menghilang, masuk atau menyelinap ke tempat-tempat gelap.

"Keparat!" gadis ini membanting-banting kaki. "Aku tak mau diganggu siapapun, orang she Bu. Kaupun tidak. Hayo kau enyah atau aku melabrakmu!"

Terpaksa, melihat gadis itu mau marah lagi padahal sudah diredakan, kapten Bu mengangguk dan berkelebat maka perwira itupun tak tampak lagi namun Y u Yin tetap merasa diawasi dari kejauhan.

"Siluman, bedebah jahanam. Kalau kau memperlihatkan batang hidungmu lagi aku tak akan memberi ampun!"

Di tempat-tempat gelap semua mata terbelalak. Memang benar bahwa para pengawal atau Bu-ciangbu sendiri tak pergi jauh, mereka hanya bersembunyi dan semata tak memperlihatkan diri saja, khawatir gadis itu mengamuk. Dan begitu Yu Yin pergi dan berlari menuju istana maka aneh dan ajaib tak ada pengawal atau penjaga lagi. kecuali di depan gedung Coa-ongya.

"Ah, siocia datang. Benar, silahkan masuk, siocia. Kau telah ditunggu-tunggu ayahmu!"

Yu Yin mendengus. Ia tak menjawab seruan penjaga karena dengan muka merah dan marah ia telah berkelebat dan memasuki gedung ayahnya, gedung baru karena yang lama dulu dibakar atau dihancurkan para pejuang, ketika dulu mereka mengamuk dan dibantu Giam Liong. Dan ketika matanya yang tajam melihat bahwa di mana-mana sebenarnya bersembunyi pengawal pula, gedung ayahnya juga dijaga ketat maka Yu Yin langsung bergerak dan memasuki ruangan depan. Dan begitu ia masuk begitu pula ia berhadapan dengan ayahnya!

"Bagus, kelayapan dari mana saja!" sang ayah membentak, mengejutkan puterinya ini. "Dari mana kau, Yu Yin. Betulkah dari tempat pemberontak menemui Giam Liong!"

Gadis ini tertegun. "Ayah ada di sini. Bagus, kebetulan pula, ayah. Aku mau bicara dan minta bantuanmu!"

Namun baru saja gadis ini menyelesaikan seruannya tahu-tahu ia disambar dan sudah diangkat lalu didudukkan kursi. Gerakan ayahnya mengejutkan.

"Ayah... brukk!"

Yu Yin terpekik. Sang ayah tahu-tahu telah membantingnya di kursi, kecepatan dan tenaganya sungguh membuat sang anak terperanjat. Sikap atau kepandaian yang jelas dipunyai orang kang-ouw! Namun ketika gadis itu terpekik dan berseru tertahan, kepandaian ayahnya ini sungguh di luar dugaan maka ayahnya menotok pula dan mendesis.

"Kau tak boleh keluar dan sekarang juga di sini!"

Gadis ini tersentak untuk kedua kali. Belum apa-apa tahu-tahu ia tertotok, lumpuh dan lemas di kursi dengan mata terbelalak lebar. Ayahnya itu... kepandaian ayahnya itu... persis seperti gurunya! Namun ketika gadis ini terkejut dan membelalakkan mata, ayahnya dapat menotok dan melumpuhkan dia maka Yu Yin menjerit, "Ayah, apa yang kau lakukan ini. Kenapa kau merobohkan aku. Dari mana kau belajar silat selihai ini. Bukankah itu totokan It-yang-ci'"

"Hm, gurumu adalah saudaraku. Kau tak usah banyak mulut, Yu Yin. Kau telah mencoreng dan membuat malu ayahmu. Kau sudah tak boleh lagi berhubungan dengan Giam Liong dan besok kunikahkan!”

"Ayah...!"

"Dengar!" sang ayah tak perduli, merah padam. "Hari ini juga kau kupingit, Yu Yin. Hari ini juga ayahmu segera menerima lamaran Cai-ciangkun. Kau akan kunikahkan dengan puteranya dan besok sudah menjadi pengantin!"

Yu Yin seolah pingsan. Ia mendengar kata-kata ayahnya seolah geledek di siang bolong saja. Ia berteriak. Namun ketika ayahnya menotok dan It-yang-ci lagi-lagi bekerja, mengenai urat gagunya maka dengan bengis Coa-ongya mengultimatum.

"Kau tak layak bergaul dengan pemberontak. Kau tak layak bergaul dengan Giam Liong. Karena kau puteri seorang bangsawan maka besok kau akan kuikat perjodohan dengan putera Cai-ciangkun. Ia tampan dan gagah, cocok untukmu. Nah, malam ini kau beristirahat dan besok bersiap-siaplah menjadi pengantin!" dan berseru memanggil pelayan yang tergopoh-gopoh datang. Coa-ongya lalu memerintahkan agar puterinya itu dibawa ke kamar besar, kamar pengantin.

"Bawa dia ke belakang dan jaga baik-baik. Dan kau..." pangeran ini menunjuk pelayan yang lain. "Berikan suratku kepada Cai-ciangkun dan suruh ia ke sini secepat-cepatnya!"

"Ba... baik!" pelayan itu tergagap, menerima surat. "Hamba akan melaksanakannya, ongya. Tapi mohon dibantu pengawal!"

"Kau cari saja di luar. Aku tunggu di ruang dalam dan satu jam lagi Cai-ciang-kun harus sudah ada di sini, atau kepalamu kupotong."

Pelayan itu meleletkan lidah. Ia keluar dan berlari-lari menuruni anak tangga, jatuh dan terguling tapi bangun lagi tak perduli bajunya yang kotor. Dan ketika ia bergegas dan minta bantuan pengawal, surat dari Coa-ongya diperlihatkan maka tiga orang pengawal membantunya dan mengajak pergi.

"Tidak, jangan jalan kaki. Satu jam lagi Cai-ciangkun harus sudah ada di sini. Mana kusir kereta, mana Goh-lopek!"

"Kau mau berkendaraan? Seperti ong-ya?"

"Eh-eh... aku mau cepatnya, pengawal. Nanti aku celaka dan kalian juga."

"Tapi kau pelayan, tak pantas menunggang kereta. Kau jangan minta digampar!"

"Ah-eh..., kalau begitu bagaimana. Wah aku gugup!"

"Kita berkuda!" tiga pengawal bergerak dan tahu tugas yang amat penting, salah-salah diri sendiri kena hukuman. "Kau tak usah cecowetan seperti monyet, A-sam. Hayo naik dan kuantar!"

"Wah, berboncengan?"

"Cerewet, naik atau nanti kami tinggal!"

"Wah, he... jangan!" dan ketika kuda dikeprak dan mau mencongklang, pelayan ini gugup dan meloncat naik maka ia terjatuh karena keserimpet pelana. Tiga pengawal tertawa tapi yang punya kuda menolong, mencengkeram dan melempar naik pelayan itu. Dan ketika si pelayan menjerit namun sudah duduk di punggung kuda, terpental-pental seperti bayi belajar naik kuda maka tiga pengawal itu terbahak-bahak padahal si A-sam sendiri memekik-mekik dan berteriak ketakutan.

"He, jangan kencang-kencang. He, nanti aku jatuh lagi!"

"Ha-ha, salahmu. Pegang erat-erat tali kuda, A-sam. Kau sudah kami boncengkan dan jangan banyak mulut. Atau nanti kau benar-benar terlempar!"

Terpaksa, dengan ketakutan dan muka pucat laki-laki ini memegang erat-erat tali kuda. Demikian eratnya sampai kuda tercekik! Dan ketika kuda meringkik dan tentu saja berhenti, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi maka pengawal terkejut dan cepat menguasai keadaan.

"Bodoh, goblok dan tolol. Jangan cekik kudaku, A-sam. Nanti dia mati. He, pegang sewajarnya saja atau nanti kau kutendang!"

"Aku... aku takut jatuh...!"

"Kalau begitu kau di belakang. Dekap dan peluk pinggangku kuat-kuat... hup!" dan si A-sam yang disambar dan dipindah ke belakang akhirnya memeluk atau balas mencengkeram pinggang pengawal ini, kesakitan dan tiba-tiba si pengawal terkentut. Suaranya nyaring dan seperti bunyi bedil saja. Dua pengawal di depan tertawa bergelak. Kejadian itu seperti lelucon besar! Dan ketika A-sam memaki-maki dan otomatis mengendorkan cengkeramannya, hidung dimampatkan agar tidak mencium bau busuk maka pengawal yang membonceng ini ngakak dan mencengklak kudanya lagi.

"Ha-ha, itulah upahnya kalau terlampau kencang menjepit pinggangku. Apakah kau kira tidak sakit. He, peluk yang wajar-wajar saja, A-sam. Keringatmu bau dan tidak enak sekali. Kalau kau memelukku sampai tak dapat bernapas maka aku akan melepas kentut lagi!"

Tiga pengawal terguncang-guncang. Mereka geli dan juga lucu melihat tingkah si pelayan itu. Tadi mau menunggang kereta tapi sekarang malah ditembak kentut. Teman mereka itu memang juga nakal. Tapi ketika mereka melarikan kuda dengan kencang dan A-sam gemetaran panas dingin, memaki-maki maka di sana Yu Yin dibawa pelayan satunya dan dimasukkan ke kamar besar.

Kamar ini ternyata sudah dihias dan Yu Yin tertegun melihat itu. Kertas warna-warni, yang diatur indah di tengah-tengah kamar bergelantungan silang-menyilang. Suasana kamar ini persis kamar pengantin. Juga harum bunga-bunga dan wewangian yang ada di situ. Dan ketika gadis itu mengeluh namun tak dapat mengeluarkan suara, urat gagunya sudah ditotok sang ayah maka pelayan ini meletakkannya di pembaringan dan tiba-tiba muncul pelayan-pelayan lain yang merupakan dayang-dayang ayahnya.

"Siocia telah pulang. Ongya minta kita menjaga dan menemaninya di sini!"

"Ah, siocia telah datang? Bagus, kita dandani dia, Teng-hoa. Ayo percantik dirinya menyambut bakal temanten lelaki!"

"Hush, ongya marah-marah. Siocia dilumpuhkan. Lihat ia tak mampu bergerak!"

Empat pelayan yang datang terkejut. Mereka tadinya tak melihat keadaan gadis ini karena Yu Yin sudah diletakkan di pembaringan. Mereka bersuara riang dan saling menggoda satu sama lain. Tapi begitu mereka ditunjuk dan dayang dayang cantik ini membelalakkan mata, terkejut, maka mereka bingung ketika tiba-tiba gadis itu menangis. Air mata bercucuran!

"Ah, ada apa. Bagaimana ini!"

Namun mereka tak dapat berkomunikasi. Yu Yin ditotok dan satu-satunya pelampiasan adalah tangisnya itu. Yu Yin terkejut dan kaget serta marah bahwa ia tiba-tiba akan dinikahkan. Ayahnya menotok dan kini ia tak dapat melarikan diri. Teringatlah Yu Y in akan Giam Liong dan tak dapat ditahannya lagi segala kemarahan dan sesak di dada ditumpahkan dalam ujud tangis. Ia ingin berteriak dan menangis sekuat-kuatnya namun yang keluar hanya cucuran air matanya itu. Yu Yin merasa dalam bahaya. Dan ketika para dayang bingung dan tak tahu apa yang harus dikerjakan, mereka memijit-mijit serta mengelus-elus rambut gadis itu maka Yu Yin ah-uh-ah-uh ingin bicara.

"Celaka, kita tak mengerti. Apa yang diminta!"

"Akupun juga tidak. Ah, bagaimana ini, Lui-kim. Bagaimana kita tahu!"

"Bagaimana kalau meminta Pat-jiu Sian-ong. Barangkali locianpwe itu dapat menolong!"

"Hush, kau minta dibunuh ongya? Laki-laki tak boleh masuk ke sini, Lui-kim. Kecuali atas ijin ongya. Barangkali hanya locianpwe Kedok Hitam saja yang dapat dimintai tolong!"

"Benar, tapi, ah... Kedok Hitam tak kita ketahui dimana. Barangkali hanya ongya saja yang dapat kita mintai tolong!"

"Tidak, aku tak berani. Tadi ongya marah-marah, Lui-kim. Menemui ongya sama halnya mencari penyakit!"

"Kalau begitu bagaimana..."

"Ya, bagaimana. Aku juga tak tahu," dan ketika semua dayang ribut-ribut sendiri, tangis Yu Yin sungguh membuat mereka salah tingkah maka berkatalah seorang di antaranya akan sahabat atau teman karib Coa-siocia ini.

"Bagaimana kalau kita panggilkan Hui-siocia. Apakah kalian setuju!"

"Ah, puteri Hui-ongya? Benar, cocok sekali, Giok-pu. Tapi tanya dulu Coa-siocia ini. Apakah mau!"

Yu Yin tiba-tiba menghentikan tangisnya. Ia sedih dan bingung serta marah mendengar perjodohan itu. Seenaknya saja ayahnya akan menjodohkan dengan Cai-kongcu, putera Cai-ciangkun. Tapi begitu mendengar dayang bicara tentang Hui-sio-cia, sahabatnya, mendadak ia berseri dan ah-uh-ah-uh dengan muka girang.

"He, siocia mau bicara!"

Para dayang bergerak. Mereka girang melihat gadis ini tak menangis lagi dan kini penuh harapan memandang mereka. Dayang, yang tadi menyebut Hui-siocia dipandang, Yu Yin ah- uh-ah-uh menyuarakan mulutnya dan segera dayang itu bertanya apakah ia mau dipanggilkan Hui-siocia. Dan begitu Yu Yin mengangguk dan dayang itu girang, berlari dan keluar maka yang lain berseri dan ikut girang.

"Baik, ah, tunggu dulu, siocia. Aku akan memanggil Hui-siocia!"

Yu Yin berkedip-kedip. Secercah harapan timbul dan tiba-tiba semangatnya bangkit. Hui Kiok, sahabatnya, adalah satu-satunya teman yang selama ini ditinggalkannya. Sejak ia merat dan keluar dari istana maka sudah lama ia tak berjumpa lagi. Gadis itu adalah puteri pangeran Hui dan sama dengannya Hui-siocia juga mendapat tekanan dari orang tua. Baik dia maupun Hui Kiok adalah orang yang sama-sama tak punya ibu. Masing-masing ibu mereka telah meninggal. Tapi ketika tak lama kemudian dayang itu kembali sambil berlari-lari kecil, pucat, maka Yu Yin serasa dipukul kekecewaan berat mendengar bahwa Hui Kiok tak boleh datang.

"Ampun... maafkan aku..." dayang atau pelayan itu tersengal, menangis. "Hamba-hamba tak berhasil mengundang Hui-sio-cia, nona. Ayahnya marah-marah dan menolak keras. Katanya tanpa ijin atau surat dari ayahmu maka puterinya tak boleh datang."

"Oohhh...!" Yu Yin mengguguk, pecah lagi tangisnya. Ia tersedu-sedu dan habislah harapannya ketika setitik sinar terang itu dibunuh lagi. Ia tadinya mau minta tolong dan bantuan sahabatnya ini untuk melarikan diri. Sekarang tahulah dia kenapa ayahnya menyuruh pengawal mengikuti atau menggiring dirinya ke rumah. Kiranya urusan perjodohan itu. Ia hendak dinikahkan dengan Cai-kongcu? Dan ketika Yu Yin mengguguk dan putus asa, habislah harapannya bagaimana memberi tahu Giam Liong maka sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan lima dayang yang ada di situ sekonyong-konyong menjerit dan terlempar ke kiri kanan dikibas serangkum angin yang kuat.

"Jangan khawatir, aku akan menolongmu!"

Yu Yin terbelalak. Seorang gadis cantik, berbaju putih, tahu-tahu masuk dan merobohkan kelima dayang. Gerakannya luar biasa cepat dan para dayang tak tahu siapa ini karena mereka tiba-tiba terlempar dan roboh. Mereka menjerit dan pingsan, hanya sekilas melihat seorang gadis cantik berbaju putih. Mungkin dewi kahyangan! Dan ketika mereka mengeluh dan roboh tumpang-tindih, gadis itu berkelebat dan tiba di pembaringan Yu Yin maka ia membebaskan totokan namun jari-jarinya terpental.

"Ugh..!" gadis ini terbelalak. "Aku tak dapat membuka totokanmu. Tapi coba kubuka totokan urat gagumu!"

Yu Yin terbelalak lebar, la tak mengenal dan tak tahu siapa gadis baju putih ini. Gadis itu baru kali itu dilihatnya. Tapi ketika totokan urat gagunya terbuka dan gadis itu girang, Yu Yin dapat membuka mulutnya maka gadis ini berseru,

"Berhasil!"

Yu Yin mengangguk. Ia bertanya siapa gadis itu, suaranya serak karena masih bercampur oleh tangis dan harunya. Ia terharu bahwa di saat-saat kritis tiba-tiba saja seseorang muncul, dan orang itupun baru kali itu dikenalnya. Tapi ketika gadis itu tertawa dan balik bertanya bagaimana sekarang, ke mana dia membawa maka Yu Yin tertegun.

"Kau tak usah bertanya siapa aku. Yang jelas aku hendak menolongmu. Bukankah kau dipaksa menikah? Dan kau adalah Coa-siocia?"

"Benar, aku Yu Yin, sobat. Tak usah menyebutku siocia. Kau gadis persilatan dan gerak-gerikmu tangkas sekali. Akupun orang persilatan, bukan gadis bangsawan. Ke mana kau mau membawa aku tapi bisakah keluar kotaraja!"

"Wah, ribuan tentara mengepung. Kotaraja dijaga ketat. Aku tak dapat membawamu keluar!"

"Lalu bagaimana? Apa yang dapat kau lakukan?"

"Aku akan membawamu ke tempat Hui-siocia, sahabatmu itu. Maukah kau!"

"Hui Kiok? Ah, tentu saja. Tapi tempat itu jauh, empat blok dari sini. Lagi pula apakah kau tahu gedungnya!"

"Hm, aku telah mengetahui tempat tinggal sahabatmu itu, tadi dayang itu kukuntit. Baiklah kau tak usah banyak bicara dan bersiap-siaplah... wut!" gadis baju putih ini berkelebat, melesat keluar jendela tapi seorang dayang tiba tiba sadar. Ia melolong dan menjerit melihat Yu Yin dibawa terbang. Dan ketika gadis itu terkejut dan menoleh, dayang itu dikebut dengan tamparan jarak jauh maka Teng-hoa, dayang ini, roboh kembali.

Namun teriakan ini telah memanggil pengawal. Gadis baju putih yang berkelebat dan berjungkir balik keluar jendela itu dilihat bayangannya. Apalagi pakaiannya yang putih-putih nampak jelas. Dan ketika ia terkejut karena dua pengawal membentak dan menusukkan tombak, geger itu mengejutkan gedung Coa-ongya maka berturut-turut pengawal atau penjaga berdatangan.

"Keparat!" gadis ini marah "Kau mengacau gerakku, pengawal. Roboh dan sambutlah teman-temanmu itu... des-dess!" dua pengawal ini mencelat dan terlempar ke arah teman-temannya yang baru datang, menimpa dan lima pengawal di depan berteriak. Mereka roboh bersamaan dengan dua pengawal itu.

Dan ketika mereka bangkit lagi namun gadis itu berkelebat menghilang, naik dan melayang ke atas wuwungan maka di sinilah dia terbang dan melewati satu gedung ke gedung lain, cepat dan luar biasa sekali hingga Yu Yin yang ada di pondongannya kagum. Ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis baju putih ini hebat sekali, gerak atau langkah kakinya seperti kucing. Dan ketika pengawal berteriak-teriak di bawah, jauh tertinggal namun para pengawal lain dan perwira muncul membelalakkan mata, gadis baju putih itu memang luar biasa maka terdengar aba-aba agar semua melepas panah.

"Serang dengan panah. Kejar gadis itu!"

Gadis ini terkejut. Belasan panah tiba-tiba menyambar dan ia harus menangkis, melanjutkan larinya lagi namun dari kiri dan kanan gedung-gedung bangunan menyambar panah-panah lain. Ia sibuk. Dan ketika ia harus berhenti sejenak karena anak-anak panah itu juga menyambar Yu Yin di pondongannya, maka para perwira dan orang-orang bertubuh ringan berjungkir balik dan melayang naik ke atas genteng.

"Berhenti! Siapa kau...!"

Gadis ini marah, la harus melindungi Yu Yin pula kalau tak ingin anak panah melukai gadis di pondongannya itu, apa boleh buat mencabut pedang dan tiba-tiba tampaklah sinar putih bergulung naik turun. Dan ketika semua panah runtuh namun orang-orang bertubuh ringan dan perwira itu mengejarnya, mereka membentak dan menyerangnya maka gadis ini memekik dan tiba-tiba sebuah tusukan maut pecah ke delapan penjuru.

"Awas..!"

Aba-aba itu terlambat. Dua perwira yang menyerang dan coba merobohkan gadis ini tiba-tiba berteriak ketika delapan mata pedang pecah ke delapan penjuru angin, menusuk dan menikam dan mereka terlambat berkelit. Gerakan pedang itu amatlah cepat dan mereka tak mampu menghindar. Dan ketika dua tusukan melukai pundak mereka, dua perwira ini mengaduh dan terguling maka mereka terus meluncur dan berdebuk di atas tanah, jatuh dari tempat ketinggian itu. Mereka seketika pingsan namun gadis di atas wuwungan tak berhenti, berkelebat dan meng gerakkan pedangnya lagi seperti kesetanan. Dan ketika lawan dibuat terkejut dan mundur, gadis ini berseru keras maka ia pun sudah membalik dan melarikan diri lagi.

"Kejar!" tujuh orang berteriak marah. Mereka terkejut dan kagum tapi juga gusar melihat gadis baju putih ini melarikan diri. Mereka adalah seorang perwira dan enam orang kang-ouw. Itulah orang-orang yang membantu kerajaan karena upah yang tinggi. Tapi begitu mereka mengejar dan gadis baju putih ini mengelebatkan pedangnya, seorang di antara mereka kembali menjerit karena lengan tergores maka yang lain menjadi gentar namun juga bingung tak mau melepaskan musuh.

"Brett!"

Orang yang terkena ini mengeluh panjang. Iapun terpeleset dan jatuh bergulingan ke bawah, berdebuk namun bayangan-bayangan lain menggantikannya. Dari timur dan barat tiba-tiba muncul puluhan orang kang-ouw. Dan ketika Yu Yin terbelalak karena tak mungkin gadis ini lolos, gedung dan semua tempat dikepung rapat maka Yu Yin berbisik agar gadis itu melompat turun.

"Loncatlah ke bawah. Turun dan cari pohon pek kembar di belakang gedung ini. Lalu lari dan belok ke kiri dua kali!"

"Turun?" gadis itu terkejut. "Di bawah sana banyak orang, nona Coa. Kupikir justeru di atas sini tempat yang lebih aman!"

"Kau keliru. Mereka di bawah hanyalah pengawal-pengawal biasa, lain dengan orang-orang di atas ini. Kalau Pat-jiu-Sian-ong atau Lam-ciat sampai datang tentu kau celaka, apalagi guruku sendiri. Turunlah, dan jangan ragu-ragu!"

"Baik!" gadis itu membentak, menusuk dan membacok dengan tujuh gerakan menyilang. "Aku percaya padamu, Coa-siocia. Dan mudah-mudahan selamat!"

"Jangan panggil aku begitu," Yu Yin mendesis. "Namaku adalah Yu Yin, kau panggil saja aku Yu Yin...!"

Namun ketika gadis itu tertawa dan menjejakkan kakinya berjungkir balik, gerak pedangnya tadi membuat lawan-lawannya mundur sementara dua di antaranya kena tendangan maka gadis baju putih ini sudah meluncur dan turun ke bawah. Geraknya tak diduga dan pengawal dibawah tiba-tiba ternganga, seolah melihat dewi terjun dari langit. Namun begitu mereka sadar tapi terlambat, gadis itu menyapukan pedangnya ke arah mereka maka lima pengawal roboh dan Yu Yin terkekeh berseru agar temannya ini menuju dua pohon pek kembar itu.

"Bagus... hi-hik, bagus sekali. Tapi sekarang kau berlari ke pohon pek itu dan jangan hiraukan pengawal. Belok dua kali seperti kataku!"

"Eh, kau dapat tertawa?"

"Hi-hik, aku geli, sobat. Juga kagum. Kau hebat sekali. Eh, bagaimana aku harus memanggilmu!"

"Hm, kau panggil saja aku Tang Siu. Aku sebenarnya enggan memperkenalkan nama. Tapi karena kau gadis yang istimewa dan tak terikat kebangsawananmu itu baiklah kau panggil aku seperti namaku. Awas, aku mengikuti petunjukmu... wut-wut!" gadis ini sudah bergerak dan meninggalkan pengawal, lawan di atas genteng juga turun semua tapi mereka kalah cepat oleh gerakan gadis ini.

Tang Siu atau gadis baju putih ini sudah melesat dan terbang ke pohon yang ditunjuk Yu Yin, tahu-tahu sudah di bawah kerimbunan gelap dan lenyaplah ia di situ. Dan ketika pengejar berteriak dan menuju ke sini, Yu Yin sudah berkata agar gadis itu membelok dan melewati dua bangunan kecil maka selanjutnya Tang Siu diminta menerobos daun jendela dan keluar menuju lorong-lorong sebuah gedung.

"Jangan terpengaruh gunung-gunungan itu. Lari saja di bawah lampu-lampu teng itu dan jangan takut ketahuan!"

"Kau tidak bercanda?"

"Eh, aku lebih mengenal lingkungan istana ini daripada kau, Tang Siu. Aku tidak menjebakmu. Masuk ke lorong-lorong itu dan jangan takut ketahuan. Ini gedung pusaka!"

"Baik, aku sebenarnya juga tidak takut biarpun kau jebak. Aku juga sudah berkeliaran di kompleks istana ini beberapa hari yng lalu!" dan ketika benar saja gadis itu bergerak dan lari di lorong-lorong gedung ini, tempat itu terang-benderang oleh lampu-lampu teng yang bergelantungan di langit-langit ruangan maka Yu Yin mendongkol tapi tidak marah mendengar kata-kata temannya ini. Sahabat barunya ini rupanya memang pemberani namun juga sedikit sombong, atau mungkin harga dirinya tersinggung karena dua kali Yu Yin berkata tak usah takut. Dan ketika lorong terakhir hampir habis dan Yu Yin berseru agar masuk ke sebuah sumur, yang ada di ujung maka gadis itu tertegun.

"Apa?"

"Benar, kau masuk lubang sumur itu dan lompat saja. Di sana ada terowongan bawah tanah!"

Gadis ini berseri. Tadinya ia disangka bersembunyi saja di situ dan tentu saja ia mau menolak. Kalau begitu, daripada mendekam di sumur lebih baik melawan. Ia tak takut. Tapi ketika temannya berkata bahwa ada terowongan bawah tanah di situ, di sumur itu maka gadis ini tertawa dan secepat kilat iapun sudah terjun dan meloncat kedalam, tidak ragu-ragu.

"Byuurr...!"

Air mencipak kaget. Yu Yin terkekeh dan gadis itupun tertawa. Masing-masing sama geli, basah kuyup. Tapi ketika gadis ini melihat sebuah terowongan dan itulah kiranya yang dimaksud, Yu Yin membenarkan dan menyuruh ia masuk maka gadis baju putih ini sudah melompat dan selanjutnya memasuki atau berlari di terowongan ini, yang bersuasana remang-remang.

"Dari mana kau tahu ini. Tembus ke mana pula terowongan ini?"

"Hi-hik, terowongan ini tembus ke gedung Hui-ciangkun. Nanti di ujung kita sudah di kebun belakang panglima itu!"

"Eh, tempat temanmu itu? Hui-siocia?"

"Benar, di sana kita aman, Tang Siu, untuk sementara. Tapi untuk selanjutnya aku tak tahu!"

"Ah, sudahlah, itu cukup!" dan ketika gadis baju putih ini berlari dan terus mengikuti petunjuk Yu Yin, benar saja di ujung sana ia sudah melompat dan berada di kebun belakang yang cukup luas maka gadis ini tertawa dan girang.

"Kau benar, tempat ini aman. Tapi bagaimana sekarang mencari Hui-siocia itu!"

"Kamarnya di samping kiri, lewat buah kelengkeng itu. Ketuk jendelanya dan ia pasti ada!"

Gadis baju putih ini berseri-seri. Bahaya dan ancaman para pengawal sungguh membuat ia tak takut sama sekali, sikapnya tidak menunjukkan gentar dan Yu Yin kagum. Sahabat barunya ini benar-benar hebat, memiliki keberanian dan beberapa persamaan watak dengannya, antara lain suka menerabas-nerabas bahaya dan urusan nanti biarlah nanti. Dan ketika ia bergerak dan kembali mengikuti petunjuk Yu Yin, maka sampailah ia di tempat yang dimaksud dan sebuah jendela terlihat benderang di dekat sebuah pohon kelengkeng.

"Itu..?"

"Benar, ketuk tiga kali tapi dengan irama berbeda-beda. Pertama keras lalu perlahan dan keras lagi!"

"Ah, kau rupanya sudah mempunyai isyarat sendiri. Bagus, akan kucoba!" lalu mengetuk seperti yang dikata Yu Yin maka terbukalah jendela kamar dan seorang gadis tertegun di situ, gadis cantik berpakaian biru.

"'Siapa kau...?"

"Sst," Yu Yin diputar, kini menghadapi puteri Hui-ciangkun itu. "Ini aku, Hui Kiok. Dan ini temanku Tang Siu. Bolehkah aku masuk dan tutup jendela kamarmu!"

"Ah, kau?" gadis ini terkejut, tadi berseru tertahan melihat Tang Siu, gadis tak dikenal. "Kau, Yu Yin? Dan temanmu ini yang membuat gara-gara?"

"Cepat masukkan kami," Yu Yin tak sabar, berseru. "Ini Tang Siu yang menyelamatkan aku, Hui Kiok. Tutup jendela dan cepat masukkan kami."

Puteri Hui-ciangkun itu terbelalak. Ia sudah mendengar ribut-ribut di tempat Coa-ongya dan tentu saja juga mendengar akan sepak terjang Tang Siu. Hanya ia tak tahu siapa gadis baju putih ini tapi cepat bergerak dan menutup jendela kamar begitu dua orang itu melompat. Dan ketika Yu Yin sudah di kamar ini dan Tang Siu lega, gadis baju putih itu meletakkan temannya di pembaringan maka Hui Kiok tiba-tiba gemetar dan berseru,

"Yu Yin, aku... aku bisa kena marah. Maaf bahwa tadi aku tak dapat memenuhi panggilanmu karena ayahku takut dengan ayahmu. Aku tak bisa berbuat apa-apa!"

"Tak apa," Yu Yin lega, tapi kini mengeluh untuk urusan berikut. "Ayahku kejam sekali, Hui Kiok. Tapi aku senang sekarang sudah terlepas darinya. Dan ini atas pertolongan Tang Siu. Kenalkan, ia... eh, aku tak tahu siapa tuan penolongku ini. Aku tak tahu ia darimana!"

"Hm, aku Tang Siu, itu cukup. Aku enggan memperkenalkan asal-usulku, Yu Yin. Sebagai sesama gadis kang-ouw tentu kau mengerti ini."

"Ya, ya, maaf. Kau benar, Tang Siu, dan aku juga tak ingin tahu lebih jauh tentang dirimu. Tapi aku ingin berterima kasih. Ini Hui Kiok yang kuceritakan kepadamu itu, dia gadis baik. Jujur dan dapat dipercaya. Aku gembira dapat tiba di sini tapi bagaimana selanjutnya nasibku ini!" Yu Yin tiba-tiba menangis, teringat perjanjiannya dengan Giam Liong dan tersedu-sedulah dia terkoyak oleh kesedihan, apalagi oleh niat ayahnya yang hendak menjodohkannya dengan putera Cai-ciangkun itu, pemuda yang tak disuka! Dan ketika ia mengguguk dan Tang Siu maupun Hui Kiok sama-sama terkejut, Yu Yin menangis dengan keras maka kamar diketuk dan seorang wanita berusia empatpuluh lima tahun tiba-tiba muncul.

"Kiok-ji (anak Kiok), ada apa ribut-ribut? Siapa menangis itu...eh?" dan sang nyonya yang tertegun dan terbelalak melihat dua gadis di kamar puterinya tiba-tiba membuat Tang Siu terkesiap namun Hui Kiok sudah menubruk dan mendesah kepada wanita ini.

"Ibu, ini Yu Yin. Dia datang bersama temannya minta bantuan kita. Jangan ribut-ribut atau nanti diketahui ayah!"

"Yu Yin..?"

"Benar, dan ini nona Tang, ibu. Tang Siu sahabat Yu Yin. Ialah yang menyelamatkan Yu Yin dan membawanya kemari!"

"Ini... ini gadis pengacau itu? Ah, celaka, Hui Kiok. Ayahmu bisa marah dan mendapat celaka. Aduh, usir dia dan jangan tinggal di kamar ini. Aku... aku takut!"

"Bibi tak usah takut," Yu Yin tiba-tiba menghentikan tangisnya, terkejut karena tangisnya yang keras mengundang bahaya baru. "Ini tuan penolongku, bibi. Tanpa dia tak mungkin aku dapat keluar. Ah, sebaiknya bibi rahasiakan kedatangan kami dan jangan beritahukan kepada Hui-ciangkun. Atau nanti aku bunuh diri dan biar mati di sini saja!"

"Tidak, jangan..!" sang nyonya bingung, tiba-tiba menangis. "Persoalanmu sudah kami dengar, Yu Yin. Tapi., tapi kalau kau ada di sini dan diketahui ayahmu tentu kami sekeluarga mendapat celaka. Ah, bagaimana baiknya ini!"

"Bibi tak usah khawatir," Yu Yin menghibur. "Asal bibi atau Hui Kiok tak memberitahukan orang lain pasti tak akan ada apa-apa di sini. Sekarang baiknya bibi keluar dan tinggal di kamar bibi secara biasa-biasa saja, aku akan meminta temanku ini melakukan sesuatu."

Sang nyonya mengangguk. Ia melepaskan anaknya dan berkata bahwa tentu saja ia tak akan memberi tahu siapapun. Tapi ketika nyonya itu beringsut dan hendak pergi tiba-tiba Tang Siu mencegatnya.

"Yu Yin, apakah tidak sebaiknya Hui-hujin ini di sini saja. Bagaimana kalau ia membuat kekeliruan di luar!"

"Ah, jangan," Yu Yin terkejut, melihat sinar mata temannya yang mengandung curiga, khawatir. "Kalau bibi Hui ada di sini justeru Hui-ciangkun akan mencarinya, Tang Siu. Lepaskan dia dan ada Hui Kiok di sini. Tak perlu khawatir, Hui-hujin tentu tak ingin puterinya kau jadikan sandera!"

"Ah, jangan... tidak!" sang nyonya berseru, segera mengerti. "Aku tak mungkin memberi tahu siapapun, nona. Bahkan suamiku sendiri. Jangan takuti kami dengan mencelakai puteriku!"

Tang Siu mundur. Akhirnya dia mengalah dan wajahnya sedikit merah karena apa yang dia pikir ternyata dapat dibaca Yu Yin. Memang benar, ia ingin menyuruh nyonya itu tetap tinggal di situ agar tidak sampai bicara di luaran. Tapi karena Hui-ciangkun bakal mencari dan ini tentunya lebih merepotkan lagi, di situ ada Hui Kiok yang sewaktu-waktu dapat disandera, maka gadis ini mengangguk dan tersenyum, minggir.

"Baik, kau yang bertanggung jawab, Yu Yin. Kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!"

"Sudahlah, kau percaya kepadaku. Bibi Hui tak mungkin bicara di luar." dan ketika nyonya itu mengangguk dan keluar, gemetar maka Tang Siu menutup pintu kamar dan memandang gadis itu lagi, karena Yu Yin inilah sumber perhatiannya.

"Sekarang apalagi yang harus kulakukan. Berapa lama kita tinggal di sini."

"Kau tolong aku memberikan sinkang. Aku juga ingin bebas dan letakkan telapakmu di pusarku."

Tang Siu mengerutkan kening. Memberikan sinkang adalah pekerjaan berbahaya karena berarti mengurangi tenaga sendiri. Kalau ada apa-apa tentu dia celaka namun gadis ini mengangguk dan maju mendekat. Dan ketika dia meletakkan tangannya di pusar Yu Yin dan gadis itu terisak memberi tahu jalan-jalan darah yang harus dihangati maka Tang Siu kagum karena ada delapan jalan darah yang harus dibuka.

"Ah, pantas. Ini kiranya yang membuat aku tak mampu membuka totokanmu. Gurumu lihai sekali, Yu Yin. Ilmu totoknya sungguh luar biasa!"

"Bukan guruku, melainkan ayah..." Yu Yin berkata, terkejut kelepasan bicara. Dan ketika sahabatnya terbelalak dan heran serta kaget, Coa-ongya dikenal sebagai bangsawan yang tak kenal silat maka Yu Yin menangis dan memejamkan mata. "Maaf, konsentrasikan perhatianmu, Tang Siu, dan aku juga akan menerima aliran sinkangmu. Kita harus lolos dari sini, mencari Giam Liong!"

"Giam Liong? Si Naga Pembunuh itu?"

"Benar, ah... maaf, Tang Siu. Cepat alirkan sinkangmu dan jebol totokan keparat ini!"

Gadis baju putih itu tertegun. Ia terkejut mendengar nama Giam Liong dan sedetik darahnya berdesir. Justeru karena mendengar nama itulah dia sampai ke kota raja, bersembunyi dan berkeliaran tapi malam itu mendengar ribut-ribut tentang Yu Yin. Gadis ini dikejar-kejar pasukan dan dia merasa heran kenapa puteri seorang pangeran malah hendak ditangkap! Tapi ketika dia membuntuti dan akhirnya tahu, Coa-ongya kiranya hendak memaksa puterinya itu menikah dengan putera Cai-ciangkun maka turun tanganlah gadis itu setelah dengan amat hati-hati dia mengintai dan melakukan pengawasan dari jauh.

Kejadian di kamar depan tak dilihat gadis ini karena ketika Coa-ongya merobohkan puterinya memang tak ada orang lain di situ. Juga waktu itu gadis inipun sedang mencari tempat persembunyian yang baik, hal yang mudah dilakukan karena saat itu perhatian semua orang sedang tertuju kepada puteri Coa-ongya ini. Dan ketika akhirnya ia dapat memasuki kamar Yu Yin, merobohkan tapi sayang jeritan dayang membuat para pengawal bergerak maka gadis ini membawa Yu Yin dan selanjutnya ia di kamar Hui Kiok. Tak tahu bahwa Pat-jiu Sian-ong dan Lam ciat serta orang-orang lainnya lagi kelabakan mencari gadis baju putih ini.

Pat-jiu Sian-ong maupun Lam-ciat muncul terlambat karena kebetulan saat itu keduanya meronda di bagian timur dan utara. Yu Yin memasuki pintu gerbang barat tapi setelah ditangkap ayahnya sendiri dua kakek itu lalu kembali ke tempatnya masing-masing. Maka ketika Tang Siu muncul dan gadis baju putih ini melarikan Yu Yin, geger dan ribut-ribut itu terlambat mendatangkan kakek-kakek ini maka Tang Siu sudah menempelkan tangannya dan memberikan sinkang seperti yang diminta Yu Yin. Hui Kok mengawasi dengan tubuh panas dingin karena ia terbawa dalam persoalan berbahaya. Kamarnya dimasuki pengacau!

Namun karena Yu Yin ada di situ dan sahabatnya itulah yang bertanggung jawab, dia menggigil dan takut ketahuan orang lain maka pintu dan jendela ditutup rapat-rapat, bergerak ke sana ke mari dan Yu Yin maupun Tang Siu tak tahu. Dua gadis ini sudah sama sama memejamkan mata untuk memberi dan menerima sinkang. Tapi ketika enam jalan darah sudah bobol ditembus hawa sinkang dan tinggal dua jalan darah lagi, Yu Yin sudah mulai dapat bergerak namun belum sempurna mendadak terdengar ketukan di pintu dan seorang pelayan memberi tahu bahwa Hui-ciangkun ingin ketemu puterinya. Hal yang membuat gadis itu pucat!

"Siocia, ayahmu datang. Mohon dibukakan pintu dan kenapa kamarmu masih terang-benderang?"

Gadis ini terkejut. Ia pucat pasi dan tiba-tiba tak dapat menggerakkan tubuh sama sekali karena sekonyong-konyong ia berubah menjadi patung. Ayahnya, yang bengis dan garang datang. Dan ketika gadis itu tak dapat menjawab dan juga masih tak dapat bergerak-gerak, tubuh serasa kaku maka pintu kamar digedor.

"Hui Kiok, buka pintu. Ada apa kau di dalam. Buka!"

Gedoran atau ketukan pintu yang keras ini tiba-tiba membuat Hui K iok menangis. Bagai dipagut ular saja tiba-tiba ia berlari, bukan menuju pintu me lainkan ke arah dua temannya yang sedang mengalirkan sinkang. Dan begitu ia mengguguk dan terbata mengguncang-guncang Tang Siu maka gadis ini berseru, "Nona Tang, ayahku datang. Bagaimana ini. Bagaimana dengan kalian...!"

Tang Siu ambyar. Diguncang dan diremas remas seperti itu mendadak gadis ini membuka mata. Jalan darah ke tujuh sudah berhasil dibobol dan tinggal jalan darah kedelapan. Tinggal satu lagi! Tapi ketika ia mendengar tangis gadis itu dan gedoran di pintu, suara kasar dan keras di sana maka gadis ini tersentak dan Yu Yin juga membuka mata.

"Celaka...!" gadis ini marah. "Ada orang datang mengganggu, Yu Yin. Bagaimana ini!"

"Siapa itu?"

"Hui-ciangkun!"

"Keparat, bagaimana bisa datang? Siapa memberi tahu?"

"Entahlah, jalan darahmu tinggal satu lagi, Yu Yin, bagaimana ini. Apakah dihentikan dan kita usir panglima itu!"

Yu Yin tertegun. Tubuhnya sudah sembilan puluh persen dapat digerakkan kecuali tangan kirinya. Ia terkejut bagaimana panglima Hui muncul begitu cepat, padahal mestinya panglima itu di lain tempat dan mengejar-ngejar Tang Siu, tak mungkin menduga bahwa Tang Siu dan dirinya justeru ada di gedung panglima itu sendiri. Dan ketika pintu digedor-gedor dan suara orang berlarian mulai terdengar, itulah tentu pengawal atau pembantu-pembantu Hui-ciangkun ini maka Yu Yin pucat teringat Hui-hujin tadi. Ia lupa memberi tahu bahwa yang datang tadi bukanlah ibu kandung Hui Kiok, karena ibu sahabatnya ini telah meninggal. Dan karna Hui-ciang-kun memiliki beberapa isteri lagi di samping selir, dan itulah tadi isteri keduanya yang merupakan saudara dekat ibu kandung Hui Kiok maka sadarlah gadis ini bahwa tentu wanita itulah yang tadi memberitahu!

"Celaka!" Yu Yin merah padam. "Bagaimana menurut pendapatmu, Tang Siu.? Aku agaknya salah hitung!"

"Salah hitung bagaimana..."

"Hui-hujin tadi bukan ibu kandung Hui Kiok. Kalaupun kau mengancam gadis ini maka ia bukanlah puterinya. Ah, aku lupa, Tang Siu. Dan agaknya wanita itulah yang memberi tahu suaminya. Atau, mungkin juga suaminya kebetulan datang dan dia lalu memberitahu!"

"Begitukah? Kalau begitu biar kulabrak'"

"Tidak... jangan!" Hui Kiok berteriak, mencegah Tang Siu menendang pintu. "Ada jalan lain, Tang Siu. Kalian bersembunyi saja di belakang lemari besar itu. Lanjutkan pertolonganmu kepada Yu Yin!" dan menarik serta mendorong dua gadis itu ke lemari besar, Hui Kiok memadamkan lampu maka Tang Siu maupun Yu Yin tertegun disuruh begitu.

Tang Siu menggigit bibir dan mau menolak tapi Yu Yin berpikir lain. Jalan darahnya tinggal satu lagi yang harus dibuka. Disana masih ada Pat-jiu Sian-ong dan lain lain, juga gurunya. Dan karena ayahnya ternyata juga bukan orang sembarangan, ayahnyapun lihai selihai gurunya maka Yu Yin menyentak dan berlari ke belakang lemari besar.

"Tang Siu, sembunyi saja dulu di situ. Hui Kiok ada benarnya. Biarlah kau bebaskan aku dan nanti kita berdua dapat menerjang!"

Gadis baju putih ini menggeram. Ia marah sekali oleh dugaan tadi namun ia sudah ditarik dan dibawa kebelakang lemari besar itu. Apa boleh buat ia harus melanjutkan pertolongannya dan ada benarnya juga temannya ini. Ia tak akan mendapat beban lagi kalau Yu Yin sembuh. Totokan itu harus dibuka, tinggal sedikit lagi.

Dan ketika ia duduk dan cepat menempelkan lengan, Yu Yin gemetar dan menerima sinkangnya maka celaka sekali mereka berdua tak dapat mengkonsentrasikan diri. Jalan darah kedelapan tak dapat dibobo karena masing-masing sama tegang. Dan ketika mereka kebingungan harus menahan gejolak perasaan, di luar Hui-Ciang-kun marah dan tidak sabar maka didobraklah pintu itu dan seorang laki-laki tinggi besar menerjang masuk, tak perduli kamar yang gelap gulita.

"Hui Kiok, kau terlalu. Di mana kau dan apa yang kau lakukan di sini braakk!”