Naga Pembunuh Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 27
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HEII, ada apa ini. Siapa yang mengamuk!"

Kakek itu terbelalak. Wi Hong, yang menerjang dan mengamuk mencerai beraikan pasukan sudah hampir mendekati istana dengan pedangnya yang bersimbah darah. Memang tak mungkin perajurit biasa menghadapi nyonya itu, apalagi dalam keadaan seperti singa betina yang haus darah itu. Singa yang marah dan sakit hati karena anaknya dikabarkan tewas terbunuh. Tapi begitu kakek itu muncul dan langsung berkelebat ke depan, pedang ditangkis dengan kebutan lengan baju maka Wi Hong terpental dan nyonya itu terkejut.

"Plak!"

Pat-jiu Sian-ong tertawa bergelak. Sekejap dia tahu siapa kiranya orang yang mengamuk ini, bukan lain Sin-hujin alias ibunya Giam Liong. Tentu saja dia girang! Dan ketika Wi Hong terhuyung dan terbelalak melihat si gundul itu, kakek yang dulu mengeroyok puteranya maka ia melengking dan disambarnya kakek ini dengan pedangnya lagi.

“Pat-jiu Sian-ong, mana puteraku. Siapa yang membunuh!"

"Ha-ha, si cantik kiranya. Aduh, kau seperti singa kelaparan, Sin-hujin. Bertambah marah bertambah cantik. Wah, Kedok Hitam maupun Coa-ongya tentu senang bertemu denganmu. Tapi kau telah membunuh banyak perajurit. Kau harus ditangkap atau menyerahlah baik-baik...plak-plak!" si gundul menangkis dan menghalau lagi serangan pedang, mengelak dan tertawa-tawa dan Wi Hong marah menerjang kakek ini.

Sekarang ia mendapat lawan tangguh namun hal itu tidak membuatnya gentar. Paling-paling ia mati, menyusul anaknya yang juga terbunuh. Dan ketika ia mengamuk dan Pat-jiu Sian-ong harus berhati-hati, nyonya itu mengeluarkan Im-kan-to-hoatnya dan Silat Golok Akherat itu naik turun bergulung-gulung, dimainkan dengan pedang namun bahayanya tak kalah dengan golok sendiri maka Pat-jiu Sian-ong mengerahkan ginkang dan dengan ilmu meringankan tubuhnya ini ia naik turun pula menghindari atau menangkis serangan-serangan lawan.

Kakek ini memiliki Pat-sian Sin-ong (Silat Delapan Dewa) dan dengan ilmunya itu ia menghadapi si nyonya. Pedang di tangan si nyonya bukanlah pedang pusaka dan karena itu tak perlu ia takut menangkis. Ujung lengan bajunya mengebut berkali-kali dan berkali-kali itu pula pedang si nyonya terpental. Kakek ini memang hebat dan masih di atas lawannya, apalagi dalam hal sinkang. Dan ketika Wi Hong mulai tergetar dan delapan kali nyonya itu terhuyung-huyung, ia kalah tenaga maka si kakek gundul menyuruh agar nyonya itu menyerah.

"Kau tak akan menang. Menyerah sajalah, secara baik-baik. Nanti akan kutangkap dan kubawa secara baik-baik pula, kepada Coa-ongya atau Kedok Hitam."

"Menyerah hidungmu!" Wi Hong melengking. "Lebih baik mati daripada menyerah, Pat-jiu Sian-ong. Kau setan gundul penjilat kerajaan!"

"Hm, dan kau penjilat Chu-goanswe," kakek itu marah. "Apa yang kau dapat dari pemberontak itu, Sin-hujin. Makan minumpun tak bisa di tempat yang enak. Kau tak tahu diri dan tak kenal disayang orang!"

"Aku tak butuh sayangmu. Kau boleh bunuh aku dan di mana puteraku Giam Liong. Siapa yang membunuh dan di mana mayatnya... plak-brett!"

Pat-jiu Sian-ong terlambat berkelit, robek ujung bajunya dan kakek itu marah karena lawan tak dapat dibujuk baik-baik. Ia merasa sayang dan eman-eman kalau wanita secantik ini harus roboh binasa. Tapi karena nyonya itu tak mau menyerah dan mau tak mau ia harus berlaku keras, pedang di tangan nyonya itu harus dirampas maka Pat-jiu Sian-ong mulai menggeram dan berkata bahwa dia akan merobohkan lawannya itu.

"Robohkanlah, aku tak takut. Siapa minta belas kasihanmu dan siapa sudi merengek-rengek!"

"Hm, baiklah," kakek ini melotot. "Aku akan membuatmu mati tidak hiduppun tidak, Sin-hujin. Awas aku merobohkanmu dan jangan menyesal kalau nanti kutelanjangi dirimu!"

"Si mulut kotor!" Wi Hong memekik. "Kau dan Kedok Hitam sama-sama bejat, Pat-jiu Sian-ong. Coba kalau ada puteraku di sini... wut-plak-plak!" dan si kakek yang tertawa dan menangkis serangan itu, merunduk dan mengibaskan lengannya dua kali, tiba-tiba menggubat dan menangkap pedang lawan. Wi Hong membentak dan kakipun bergerak menendang. Tapi ketika dengan mudah kakek itu mengelak dan ujung bajunya telah bertemu pedang, melilit dan tak mau melepaskan maka Wi Hong kaget karena pedangnya tak dapat ditarik. Ujung lengan baju menggugat dan berubahlah wajah wanita ini ketika si gundul tertawa bergelak. Dan ketika pasukan bersorak karena wanita itu berkutat, dua diantaranya maju dan hendak mencengkeram pantat Wi Hong tiba-tiba Wi Hong menggerakkan kakinya ke belakang dan seperti kuda menyepak ia membuat dua perajurit itu terjengkang.

"Dess!"

Sorak-sorai tiba-tiba terhenti. Pat-jiu Sian-ong berseru agar dua orang itu jangan mengganggu, terlambat dan kakek itu mendengus melihat dua perajurit ini terlempar. Dan ketika mereka muntah darah dan seketika pingsan, yang lain terkejut dan tak berani membokong maka kakek gundul berseru agar tak usah macam-macam.

"Lihat, apa kataku. Kalian tikus-tikus rendah yang tak berguna. Minggir dan jangan bantu aku. Wanita ini dapat kutangkap dan kurobohkan!"

Semua mundur. Akhirnya mereka hanya menonton dan Wi Hong pucat berkutat dengan kakek itu. Dia kalah tenaga dan mulai terbawa ke depan, tertarik dan kakek itu tertawa sambil memperkeras gubatannya. Dan ketika Wi Hong membentak karena ia terhuyung maju, sedikit lagi ia dapat disentuh dan dipegang lawannya maka tiba-tiba ia membuang tarikannya dan justeru mengikuti tarikan kakek itu untuk menusukkan pedangnya.

"Eiihhhh...!" si kakek terkejut. Pat-jiu Sian-ong memang tidak menduga dan secepat kilat kakek itu membuang tubuh ke samping. Pedang lewat di kiri tubuhnya namun karena ia tetap melilit dan menggubat pedang maka Wi Hong pun terbawa. Wanita ini terkejut dan marah. Si gundul cerdik! Namun karena ia mengikuti dan tak kalah cerdik, bergerak dan kembali menusukkan pedangnya maka Pat-jiu Sian-ong kewalahan dan dua kali ia tergurat pedang.

"Bret-bret!”

Kakek ini marah. Ia hendak mempermainkan lawan tak tahunya ia malah hampir menerima bahaya. Ujung bajunya robek dan berseru keraslah kakek itu membalas rasa malu, menarik dan membetot pedang ke kanan hingga Wi Hong terhuyung. Dan ketika wanita itu pucat karena tak mampu menahan tenaga lawan, si kakek gundul menambah sinkangnya maka sebuah tendangan membuat nyonya itu terpelanting tapi hebatnya gagang pedang tetap dicekal erat-erat.

"Dess!"

Wi Hong membuat Pat-jiu Sian-ong kagum. Kakek ini terbelalak karena wanita itu mempertahankan pedangnya mati-matian, sekali lagi membetot dan menendang tapi Wi Hong masih dapat bertahan. Dan ketika kakek itu gusar dan bergerak mengebutkan lengan bajunya yang satu, menotok dan menarik pedang dergan ujung lengan baju yang lain maka Wi Hong mengeluh karena keadaannya memang benar-benar sudah payah. Kakek ini bukan lawannya dan hanya sekali itu tadi saja ia sempat mengejutkan lawan. Selanjutnya Pat-jiu Sian-ong membalas dan bingunglah Wi Hong mengelak. Ia kalah cepat. Dan ketika totokan mengenai pundaknya dan tentu saja ia roboh, pedang terlepas dari tangannya maka Pat-jiu Sian-ong menendang dan wanita itu terbanting dan mengeluh pendek.

"Lepaskan pedangmu!"

Wi Hong tak mampu bertahan lagi. Memang lawan bukan tandingannya dan limapuluh jurus bertanding sudah dapat dianggap hebat. Kakek itu memang lihai. Dan ketika Pat-jiu Sian-ong bergerak dan menyambar wanita ini, memanggulnya di pundak maka kakek gundul itu berseru agar pasukan kembali berjaga-jaga. Pengacau telah tertangkap.

"Tak perlu lagi menonton. Aku akan membawanya ke dalam dan menyerahkannya kepada Coa-ongya atau Kedok Hitam!"

Semuanya mengangguk. Pengawal mundur ke tempatnya masing-masing dan bekas amukan Wi Hong dibersihkan. Yang luka-luka atau tewas dirawat, Wi Hong telah dirobohkan Pat-jiu Sian-ong dan tentu saja kakek itu mendapat pujian. Dan ketika kakek gundul ini berkelebat dan memasuki istana, membawa Wi Hong maka yang ditemui kakek itu adalah pengawal amat pribadi dari Coa-ongya. Kedok Hitam adanya!

* * * * * * * *

"Hm, bawa dia ke kamarku," Kedok Hitam menyeringai dan tertawa melihat tertangkapnya Wi Hong. "Bagus sekali kau menangkap wanita ini, Pat-jiu Sian-ong. Banyak hadiah untukmu menanti di istana. Masuklah, baringkan dia di pembaringan dan terima kasih untuk jasamu."

"Heh-heh, aku sebenarnya ingin menemui ongya. Tapi kalau kau di sini baik juga kuserahkan. Jangan lupa jasaku, Kedok Hitam. Dan hadiah apa kira-kira yang akan diberikan ongya kepadaku!"

"Hm, kau akan menerima limaribu tail emas, juga kedudukan sebagai komandan Hek-eng-busu (Pasukan Garuda Hitam). Aku akan memberitahukannya kepada ongya dan kau pasti dicatat!"

"Ha-ha, terima kasih, Kedok Hitam. Dan kuserahkan wanita ini kepadamu. Aku sebenarnya eman-eman. Kalau tidak ingat bahwa kau tentunya lebih berkepentingan tentu ingin kumiliki sendiri janda si Golok Maut ini. Lihat, betapa montok dan menggiurkan tubuhnya!"

Kedok Hitam tertawa. Ia menyuruh pergi kakek gundul itu dan Pat-jiu Sian-ong melompat keluar. Sebuah kecupan diberikannya di pipi Wi Hong dan wanita itu mendelik. Pat-jiu Sian-ong mencuri cium! Tapi ketika kakek itu lenyap dan Kedok Hitam tertawa, tak marah atau memaki justeru laki-laki ini mendekati dan mengelus pundak Wi Hong, yang tertotok urat gagunya.

"Ha-ha, tak usah marah, Wi Hong. Untuk kedua kalinya kita bertemu. Hm, ini jodoh. Agaknya kau dan aku berjodoh! Ha-ha, Pat-jiu Sian-ong memang benar, Wi Hong. Kau masih cantik dan menggairahkan. Hm, bagaimana kalau kau kuambil isteri dan segala permusuhan dilenyapkan!"

Wi Hong berteriak dan menjerit. Begitu totokan gagunya dibebaskan maka yang pertama keluar adalah jeritan atau teriakannya itu. Ia malu dan marah bertemu laki-laki ini, juga gelisah. Dulu Kedok Hitam hendak menggagahinya dan sekarang ia jatuh lagi di tangan lawannya ini, musuh yang telah membunuh suaminya. Dan ketika ia menjerit namun Kedok Hitam tertawa, menutup pintu kamar dan justeru kelihatannya senang kalau ia ketakutan maka Wi Hong menggigil dan terbelalak memandang laki-laki itu.

"Kedok Hitam, kau... kau mau apa.? Kenapa kau membawa aku ke kamarmu ini!"

"Ha-ha, inilah tanda cinta!" laki-laki itu tertawa, sepasang bola matanya bersinar-sinar, menakutkan. "Aku membawamu ke sini untuk mengulang permintaanku dulu, Wi Hong. Maukah kau menerima cintaku dan segala permusuhan di antara kita dilenyapkan!"

"Tak tahu malu!" wanita ini membentak, bangkit kemarahannya. "Kau laki-laki binatang yang tak punya otak, Kedok Hitam. Masakan aku sudi menerima tawaranmu. Kau membunuh suamiku. Kau telah membuatku sengsara!"

"Hm, yang membunuh suamimu adalah negara. Aku hanya diutus dan sebagai pelaksana, Wi Hong. Kau tak boleh menyalahkan aku karena aku hanyalah petugas!"

"Tapi kau manusia berwatak kejam. Kau mencincang dan menghabisi suamiku dengan tak berperikemanusiaan. Kau binatang, kau iblis laknat!"

"Hm, tak perlu memaki-maki. Kau tentu tak ingin kutotok lagi kalau masih ingin bicara, Wi Hong. Kita bicara baik-baik dan tak usah kau berteriak-teriak."

"Aku… aku benci padamu. Kau laki-laki terkutuk. Mana anakku Giam Liong dan siapa yang membunuhnya!"

"Hm, kau mencari Giam Liong?" laki-laki ini bersinar, wajahnya berseri. "Anakmu masih hidup, Wi Hong, dan tak ada yang membunuhnya karena kucegah. Kalau tidak tentu ia sudah menyusul ayahnya dan kau akan semakin bersedih lagi!"

"Anakku masih hidup?"

"Tentu saja."

"Tapi ia dikabarkan tewas. Kau dan orang-orangmu yang membunuh!"

“Itu hanya taktik saja," laki-laki ini tersenyum, tubuh dan kecantikan janda itu diperhatikannya baik-baik. Wi Hong belum merasa merinding. "Anakmu masih sehat dan berada di dalam tawananku, Wi Hong. Tapi tentu saja dapat sewaktu-waktu kubunuh kalau kau sebagai ibunya selalu memusuhi aku!"

"Apa maksudmu," Wi Hong menggigil, pucat dan merah berganti-ganti antara camas dan bingung. "Bicaramu selalu berputar-putar, Kedok Hitam. Katakan apa yang kau ingini dan benarkah Giam Liong masih hidup!"

"Tentu saja, puteramu masih hidup. Ia dikabarkan tewas agar barisan pemberontak terpukul dan jerih tak berani menyerang!"

"Maksudmu?"

"Ha-ha, Chu-goanswe dan pasukannya itu amat berani kalau puteramu ada di sana, Wi Hong. Tapi begitu dikabarkan tewas dan kubunuh tentu ia dan anak buahnya ketakutan. Puteramu semacam dewa sakti bagi mereka!"

Wi Hong tertegun, masih tak merasa pandang mata lawan yang mulai menyelusuri bagian-bagian tubuhnya. "Kau tak bohong?"

"Siapa bohong? Aku dapat membawa puteramu ke sini kalau kau ingin bukti!"

"Bawalah ia ke sini. Coba aku lihat”

"Begitu gampang? Ha-ha, kau demikian enak bicara, Wi Hong. Padahal kau dan puteramu adalah tawanan. Aku dapat mempertemukan kalian kalau satu permintaanku kau penuhi!"

"Permintaan apa," Wi Hong terkejut, sekarang sadar akan adanya sinar mata aneh lawannya itu. "Kalau pantas tentu kupenuhi, Kedok Hitam. Tapi kalau tidak pantas tentu saja kutolak."

"Hm, terserah," laki-laki itu tertawa, duduk dan mendekati Wi Hong, di pinggir pembaringan. "Pantas atau tidak terserah dirimu, Wi Hong. Tapi kalau ingin puteramu selamat tentunya kau tak usah bermacam-macam!"

Wi Hong tersentak. Lawan tiba-tiba sudah duduk begitu dekat dengannya dan Kedok Hitam membelai pundaknya. Wi Hong mengkirik! Dan ketika ia membentak agar lawan menjauh, tak usah menyentuh atau membelai tubuhnya maka dengan tenang laki-laki itu berkata,

“Ini rumahku, ini tempat tinggalku. Mau melakukan apa saja tentu tak ada yang melarang."

"Tapi jangan pegang-pegang tubuhku!"

"Ha-ha, kau tawananku, Wi Hong. Dipukul atau dibelai adalah hak-ku. Masa kau tak tahu!"

"Benar, tapi kau tentu juga tahu bahwa aku bukanlah wanita murahan!"

"Hm, justeru karena itu aku tertarik padamu, Wi Hong. Aku jadi tergila-gila kepadamu. Bagaimana kalau kau menjadi isteriku dan semua peristiwa lama dilupakan!"

Wi Hong menjerit. Kedok Hitam tiba-tiba mencium pipinya dan ia mengelak namun mengenai telinga. Rasanya membuat darah berdesir dan wanita itu berteriak. Tapi ketika lawan tertawa dan kembali meraih tubuhnya, diangkat dan diajak beradu muka maka Kedok Hitam mendesis, suaranya mulai menyeramkan.

"Wi Hong, aku dapat melakukan apa saja kepadamu. Bahkan membunuhmu! Tapi kalau kau dapat diajak bicara baik-baik dan kau mau menerima cintaku maka puteramu kubawa kesini dan kita membina keluarga bahagia!"

"Keparat, lepaskan aku. Kau manusia binatang!" Wi Hong menjerit dan meronta-ronta. Kedok Hitam memeluk dan menciumnya lagi. "Lepaskan aku, Kedok Hitam. Dan kau bunuh atau habisi aku. Aku tak sudi kau permainkan?"

"Hm," Kedok Hitam menyeringai, tawanya menakutkan. "Kau hebat dan luar biasa, Wi Hong. Tapi justeru karena ini aku jadi semakin tergila-gila. Bagaimana kalau aku memperkosamu!"

Wi Hong terkejut. Ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu karena Kedok Hitam mencengkeram dan melumpuhkan persendiannya. Ia merasa kesakitan tapi juga terbakar, di samping cemas. Dan ketika ia melihat mata laki-laki itu yang menyorotkan kebuasan, Kedok Hitam tak mungkin hanya bercanda saja maka diam-diam wanita ini mencari akal, coba mengulur waktu.

"Kedok Hitam, aku mau menuruti permintaanmu asal puteraku Giam Liong kulihat di sini. Buktikan ia masih, hidup dan menjadi tawananmu"

"Gampang," laki-laki itu tertawa. "Kalau kau minta tentang ini tentu mudah kulakukan, Wi Hong. Tapi kau juga jangan coba-coba lari kalau aku memanggil puteramu."

"Ia masih hidup? Benar-benar masih hidup?"

"Kau tak usah percaya dulu, nanti kubuktikan. Tapi bagaimana kalau ia kubawa ke mari dan betulkah kau mau menjadi isteriku!"

Wi Hong tertegun. Ini adalah kedua kalinya ia dipaksa menjawab keinginan laki-laki itu. Betapa inginnya ia menjerit dan melakukan tolakan. Ia tentu saja tak sudi! Tapi begitu ingat bahwa ia dapat dipaksa, diperkosa atau dihina laki-laki ini maka Wi Hong memejamkan mata dan ingin menangis kuat-kuat. Kalau sudah begitu maka ia ingin mati saja. Mati lebih baik daripada diperkosa. Tapi teringat bahwa kematian suaminya belum dibalas, juga bahwa katanya Giam Liong masih hidup maka wanita ini membuka kembali matanya dan dengan air mata bercucuran ia berkata,

"Kedok Hitam, kau terlalu memaksa. Tapi baiklah, kalau puteraku masih hidup. Biarlah aku memenuhi permintaanmu dan kau boleh menjadikan aku sebagai isterimu. Tapi tunjukkan bukti dulu dan mana puteraku Giam Liong!"

"Kau ingin bukti? Baik, sekarang juga kupanggil!"

Wi Hong berdetak. Untuk kesekian kalinya lagi ia dipukul perasaan bermacam-macam. Kedok Hitam bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan yang diberitahu agar memanggil Giam Liong, menyuruh atau membawa pemuda itu lewat Pat-jiu Sian-ong. Dan ketika pelayan muncul dan mengangguk, keluar dan menutup pintu kamar lagi maka Kedok Hitam tertawa berkata, tiba-tiba menyambar botol arak dan membuka tutupnya.

"Wi Hong, sudah lama perasaan rinduku ini kupendam. Kau sekarang sudah berjanji. Baiklah, tunggu kedatangan puteramu dan mari minum arak ini bersama sebagai pembukaan hubungan baik kita!"

Wi Hong terbelalak. la melihat Kedok Hitam sudah mengambil secawan kosong dan mengisinya dengan arak itu, mengambil cawan yang lain dan mengisinya pula untuk dirinya sendiri. Dan ketika Wi Hong dicekam perasaan bermacam-macam, antara girang dan kaget bahwa puteranya masih hidup, Kedok Hitam membawa dan akan membuktikan puteranya di situ maka wanita ini ragu-ragu dan bingung menerima arak yang disodorkan kepalanya.

“Mari, kita minum, Wi Hong. Dan lihat sebentar lagi puteramu datang!”

"Aku…. aku tak dapat minum..."

“Eh, kau mau menolak? Kau tak menepati janjimu sendiri untuk menjadi calon isteriku?”

Wanita ini tertegun.

“Kalau begitu aku juga membatalkan niatku membawa Giam Liong sini, Wi Hong. Dan kita satu-satu."

Wi Hong menggigit bibir. Ia membentak dan ingin memaki Kedok Hitam itu sehabis-habisnya. Ia ingin mencaci dan mengutuk. Namun karena keinginannya melihat puteranya amatlah besar, justru inilah yang membuat ia datang ke situ dan tertangkap maka Wanita ini mengertakkan gigi dan apa boleh buat ia menerima, langsung menggelogok isinya.

“Baik, kau laki-laki curang Kedok Hitam. Kau tak segan-segannya memaksa wanita untuk tunduk kepadamu Aku menerima arak ini tapi jangan minta yang macam-macam lagi selama puteraku Giam Liong belum berada di sini!"

Kedok Hitam tertawa bergelak. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dan menyambar wanita itu, memeluk dan mencium hingga Wi Hong terkejut, meronta dan arak di tangan laki-laki itupun tumpah. Dan ketika Kedok Hitam terkejut tapi mundur tertawa-tawa, tak jadi minum araknya maka Wi Hong tertegun karena kepala tiba-tiba dirasa pusing. Bumi cepat sekali berputar!

"Kedok Hitam, arak apa ini. Kenapa kepalaku pusing!"

"Ha-ha, itu arak penyegar semangat, Wi Hong. Kau benar-benar tak biasa minum arak hingga seteguk saja sudah merasa berputar. Maafkan aku dan biar kupegang pundakmu!"

Wi Hong terkejut. Ia merasa marah tapi begitu dipegang mendadak jantungnya berdesir. Sentuhan tangan lelaki itu bagai listrik kuat yang menyentuh tubuh yang lemah. Entah kenapa mendadak ia terguncang. Birahinya bangkit! Tapi ketika Wi Hong menindas perasaannya yang aneh itu dan kaget kenapa perasaannya tiba-tiba seperti itu, tak tahu malu maka pintu diketuk dan pelayan kembali muncul.

"Maaf, taihiap. Sin-enghiong (tuan gagah Sin) tak mau datang!"

"Ah, panggil dia. Suruh bahwa ibunya menunggu!"

"Baik," dan pelayan yang kembali lenyap dan menutup pintu kamar lalu dilanjutkan bisikan Kedok Hitam ke telinga nyonya ini.

"Dengar, puteramu tak mau datang, Wi Hong. Tapi sebentar lagi pasti muncul. Ah, kau cantik dan mengagumkan sekali!"

Wi Hong tersentak. Kedok Hitam tiba-tiba mencium bibirnya dan begitu dicium iapun roboh! Wi Hong kaget namun tak berdaya karena tiba-tiba hasrat birahinya muncul dengan kuat. Ia merasa pening namun nikmat menerima ciuman itu. Dan ketika tanpa sadar ia membalas dan mengeluh di pelukan laki-laki ini, Kedok Hitam meremas dan mulai membuka pakaiannya mendadak Wi Hong serasa lumpuh untuk menolak.

"Tidak..., jangan... jangan dulu!"

Hanya itu yang dikeluarkan. Wi Hong selanjutnya merasa nanar dan naik turun mengikuti gelombang-gelombang aneh. Kedok Hitam tiba-tiba menindih tubuhnya dan pakaiannyapun sudah dilepas semua. Dan ketika Wi Hong terkejut namun terbakar rangsangan yang diberikan laki-laki itu, berguling dan sempat meronta namun tak mampu melepaskan diri, selanjutnya ia terbawa dan mendidih oleh nafsunya yang berkobar maka Kedok Hitam memadamkan lampu dan keduanya bergulingan melepas hawa birahi.

Wi Hong tak tahu apa yang dilakukannya ini karena ia serasa melayang-layang di alam memabokkan. Pusing berat yang melanda kepalanya sedikit demi sedikit berangsur kurang kalau ia melepas berahinya. Dan ketika semalam suntuk mereka bermain cinta dan Wi Hong lupa akan "janji" si Kedok Hitam, janji yang katanya akan membawa Giam Liong ke situ maka wanita inipun menyambut tak kalah ganas ciuman-ciuman atau peluk ketat laki-laki itu. Wi Hong merasa bertemu dengan suaminya sendiri dan yang dipeluk atau dicium adalah suaminya itu.

Tapi ketika malam terganti pagi dan Wi Hong sadar, rasa pening sudah hilang terganti perasaan lunglai dan letih karena semalam "bertempur", wanita ini meloncat turun maka alangkah kagetnya ketika dia membuka jendela dan melihat bahwa laki-laki yang semalam dipeluk dan dilayaninya bercumbu itu adalah orang lain. Kedok Hitam!

"Kau...?" wanita ini kaget dan marah bukan main. Seketika dia ingat apa yang telah terjadi dan terbelalaklah matanya menatap meja. Arak di atas meja tinggal sedikit dan maklumlah dia apa yang terjadi. Lawan telah memberinya arak perangsang. Dan begitu ia menjerit dan melengking keras, Kedok Hitam masih tidur dan memeluk guling maka Wi Hong ingat segalanya dan tiba-tiba ia menyambar pakaiannya dan menghantam muka laki-laki itu, sekaligus merenggut kedoknya untuk diketahui siapakah gerangan si Kedok Hitam ini sebenarnya.

"Brett!"

Kedok Hitam menghindar dan secepat kilat menggulingkan tubuh ke kiri. Gerakan refleksnya sebagai seorang ahli silat kelas tinggi seketika membuat laki-laki itu sadar dari tidurnya. Teriakan atau pekikan nyaring Wi Hong menggugahnya. Dan ketika sambaran angin pukulan menghantam mukanya dan secepat itu pula ia membuka mata dan membanting tubuh ke kiri, selamat tapi sebagian kedoknya terobek maka Wi Hong terbelalak dan menggigil melihat wajah lawannya ini, wajah tampan seorang laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah...

"Kau!" Wi Hong membentak, menerjang dan mencabut pedangnya. "Kiranya kau, jahanam keparat. Dan aku telah menyerahkan diri pula kepadamu. Aiihhh, kubunuh kau... crat-crat!" dan pedang yang mengenai atau membacok dinding akhirnya disusul oleh pekikan atau jerit marah wanita ini. Wi Hong sungguh kaget oleh dua hal. Pertama adalah sambutan cintanya terhadap laki-laki itu dan kedua adalah melihat wajah laki-laki ini. Dia sungguh tak mengira bahwa si Kedok Hitam ternyata adalah orang itu juga, bangsawan istana yang dulu membuat suaminya dan keluarga suaminya berantakan maka Wi Hong melengking dan pedangnya yang membacok atau menusuk dengan amat cepatnya sudah menyerang laki-laki itu dengan tak kenal ampun.

Kedok Hitam baru saja bangun tidur dan ia masih geragapan, mengelak dan menghindar sana-sini dan jelas iapun kaget dan menyesal bahwa ia kesiangan. Sisa kain hitam di tangan wanita itu membuat laki-laki ini tak berkedip. Ia tiba-tiba menggeram dan membentak Wi Hong agar tidak menyerang. Tapi ketika wanita itu malah menjadi kalap dan lengking atau teriakannya menggetarkan ruangan, Wi Hong bagai orang kesetanan maka Kedok Hitam gelisah mendengar suara-suara di luar yang berlarian datang.

"Serahkan kain itu, nanti kita bicara lagi!"

"Binatang!" Wi Hong kalap. "Kau kiranya, bangsawan busuk. Kau kiranya yang bersembunyi dan bernama Kedok Hitam pula. Pantas, Beng Tan tak pernah memberi tahu aku karena Kedok Hitam kiranya adalah kau juga... plak-plak- plak!"

Kedok Hitam mulai menangkis dan marah kepada wanita ini. Wi Hong menyerangnya bertubi-tubi dan wanita itu tak dapat dibujuk untuk menghentikan serangan sejenak. Wi Hong mendelik gusar melihat lawannya ini, siapa gerangan dan kiranya adalah musuh besar suaminya juga. Dan ketika ia mengamuk sementara teriakan atau seruan-seruan diluar sudah sampai di pintu kamar, mereka hendak mendobrak dan meja kursi berantakan dibabat atau ditendang janda Si Golok Maut ini, keadaan sungguh mencekam maka Kedok Hitam tiba-tiba berkelebat keluar jendela dan membiarkan Wi Hong menyusulnya pula di saat pintu kamar didobrak orang.

"Heii, apa yang terjadi. Mana Kedok Hitam!"

Orang-orang tertegun. Kedok Hitam, yang melompat dan terbang keluar jendela disusul dan dikejar lawannya itu. Kedok Hitam tak berani menoleh karena mukanya terbuka sebagian. Ia harus mencari kedok lagi untuk menutupi mukanya. Dan ketika ia meluncur dan menghilang disamping rumah, lenyap namun diburu lawannya ini maka para pengawal dan Pat-jiu Sian-ongyang baru datang terbelalak melihat seisi kamar yang cerai-berai, begitu juga seprei atau tempat tidur yang morat-marit.

"Ha-ha, Kedok Hitam rupanya telah berhasil memikat si janda Golok Maut itu. Lihat, ia sekarang dikejar-kejar. Wanita itu telah jatuh cinta kepada Kedok Hitam!"

"Jaga mulutmu!" sesosok bayangan kuning berkelebat dan menegur si kakek gundul ini. "Janda Si Golok Maut itu bukan sedang jatuh cinta, Sian-ong, melainkan mengejar dan hendak membunuh Kedok Hitam. Mari, kita lihat dan kalau perlu bantu rekan kita itu!"

"Tapi wanita itu tak mungkin menang. Biarkan saja dan lihat Kedok Hitam akan menangkapnya kembali!"

"Tapi Kedok Hitam melarikan diri. Kalau tak ada apa-apa tak mungkin dia lari. Kejar, dan kita lihat mereka!"

Pat-jiu Sian-ong tertegun. Akhirnya ia mengangguk dan ingat juga akan itu, heran. Tak semestinya Kedok Hitam tunggang-langang menghadapi Sin-hujin itu, karena jelas kepandaian rekannya itu jauh di atas Sin-hujin. Dan tertarik serta merasa aneh akan ini, bayangan kuning sudah menghilang dan lenyap lebih dulu, itulah Lam-ciat si Hantu Selatan maka kakek gundul inipun bergerak dan ia melayang melewati jendela menyusul dua orang itu. Pat-jiu Sian-ong tak mengerti bahwa Kedok Hitam sibuk menyembunyikan diri. Kain hitamnya terenggut lepas dan orang lain tak boleh tahu siapa dia, inilah sebabnya.

Dan ketika kakek itu bergerak dan Lam-ciat serta para pengawal juga memburu, pagi itu mereka dikagetkan oleh jerit atau kemarahan Wi Hong maka Wi Hong sendiri memburu dan mengejar lawannya dengan muka beringas. Wanita ini membabat siapa saja yang ada di depan dan tujuh pengawal terpenggal. Seorang pelayan tergopoh-gopoh di tengah jalan tapi wanita itupun menggerakkan pedangnya hingga pelayan itu menjerit. Kepalanya sudah terlepas dan mencelat di sana. Wi Hong menjadi dewi maut!

Dan ketika Kedok Hitam marah namun harus mengambil kedoknya yang baru, ia bergerak dan lenyap memasuki sebuah kamar maka Wi Hong menendang kamar ini namun buruannya kosong. Wanita itu membentak-bentak namun yang datang justeru adalah Pat-jiu Sian-ong dan Lam-ciat, yang berkelebat dan memasuki kamar ini dengan penuh tanda tanya, heran dan khawatir kenapa Kedok Hitam harus terbirit-birit. Tapi ketika mereka diterjang dan Pat-jiu Sian-ong menangkis, Lam-ciat mengelak dan mendengus menghantam pedang wanita itu maka Kedok Hitam muncul kembali dan berseru kepada mereka,

"Biarkan ia bersamaku. Kalian minggir dan tak usah membantu."

"Eh!" Pat-jiu Sian-ong berseru. "Kenapa kau ini, Kedok Hitam. Apa yang menyebabkan kau terbirit-birit. Lihat, kekasihmu ini jadi marah-marah tak keruan. Mungkin kau tak memberinya jatah lengkap!"

"Ha-ha, mungkin saja," keheranan dan kekhawatiran Lam-ciat lenyap, tak melihat Giam Liong atau Si Naga Pembunuh di situ. "Kupikir Si Naga Pembunuh ada di sini, Kedok Hitam. Tak tahunya hanya siluman betina ini. Ahh, kau tentu telah menikmati malam yang indah bersamanya."

Wi Hong marah bukan main. Ia malah menjadi ejekan atau bahan olok-olok lelaki-lelaki di situ. Omongan si Hantu Selatan menghunjam hatinya, nyeri dan merobek dan Wi Hong masih mengejar dan menyerang kakek itu ketika Kedok Hitam menangkis. Dan ketika pedang terpental dan Wi Hong sudah berhadapan dengan laki-laki ini, musuh yang amat dibencinya maka Wi Hong berteriak dan menggerakkan pedang menusuk lagi.

"Bagus, kau datang, Kedok Hitam. Kubunuh kau... kubunuh kau!"

Namun Kedok Hitam mengelak dan menampar. Ia menangkis atau menghindar bacokan-bacokan pedang yang ganas, mengerutkan kening dan diam-diam ia merasa sayang bahwa perbuatannya semalam gagal menundukkan wanita ini. Ia berharap dapat melumpuhkan wanita itu setelah memiliki tubuhnya, tak tahunya Wi Hong bahkan semakin benci dan marah kepadanya. Dan ketika ia membentak agar wanita itu melepaskan pedang, tak digubris dan Wi Hong menyerang semakin kalap maka laki-laki ini tiba-tiba mencabut sesuatu dan Golok Maut sudah ada di tangannya, golok yang berkeredep dan menyilaukan mata, golok yang tentu saja dikenal Wi Hong. Golok puteranya!

"Giam-to (Golok Maut)!"

Kedok Hitam tertawa mengejek, la mengangguk dan berkata bahwa benar itulah Golok Maut, golok mendiang Sin Hauw dan sang nyonya melotot bagai tak percaya. Golok itu, golok yang dibawa puteranya tiba-tiba sudah ada ditangan lawan. Ini berarti Giam Liong mendapat celaka! Dan ketika nyonya itu memekik dan pucat melihat Golok Maut, benda yang ada di tangan laki-laki itu maka Wi Hong menjadi buas dan tiba-tiba menerjang dengan amat hebatnya.

"Ah, kau manusia binatang, Kedok Hitam. Kau manusia terkutuk. Kau membunuh puteraku. Biarlah kau bunuh aku sekalian atau aku membunuhmu.... sing..crang-crang!" dan pedang yang bertemu golok karena ditangkis dan disambut Kedok Hitam tiba-tiba membuat nyonya itu terpelanting karena pedang seketika patah menjadi dua, tinggal separoh namun Wi Hong meloncat bangun dan menyerang lagi. Dan ketika lawan kembali menangkis dan pedang tinggal gagangnya, Wi Hong menjerit dan berlaku nekat tiba-tiba wanita itu menubruk dan menimpukkan sisa pedangnya ke dada lawan.

"Kedok Hitam, kau boleh bunuh aku!"

Kedok Hitam mengerutkan kening. Sebenarnya ia tak ingin membunuh selain menakitt-nakuti wanita itu. Bayangan Giam Liong di belakang wanita ini membuat Kedok Hitam berpikir banyak. Kalau saja pemuda itu tak lolos tentu ia tak segan-segan membunuh. Wi Hong bakal menterornya dengan kebencian dan dendamnya yang sangat. Wanita ini melebihi ular berbisa. Tapi begitu Wi Hong menimpuknya dengan pedang buntung dan wanita itu menubruknya pula dengan pukulan berbahaya, Ang-in-kang atau Pukulan Awan Merah maka laki-laki ini membentak dan tubrukan wanita itu disambutnya dengan ujung golok. Timpukan pedang dikelit.

"Mundur, atau kau mati!"

Wi Hong terbelalak. Ia melihat lawan mengancam namun ia sudah terlanjur menubruk. Kalaupun mengelak, tetap saja ia terlambat. Entah lengan atau pundaknya bakal tergores. Dan karena ia marah dan beringas oleh golok di tangan lawan, menganggap puteranya benar-benar telah terbunuh maka wanita ini tak takut dan tetap saja menyambar ke depan, tangan kiri berusaha menolak golok dan tangan kanan melancarkan pukulan.

"Crep-dess!"

Wi Hong mengeluh dan Pat-jiu Sian-ong maupun yang lain-lain tertegun. Wanita gagah yang berulang kali menyatroni istana ini tertahan dan tergantung di udara, dadanya tembus tertusuk golok sementara jari kelingkingnya putus mencengkeram golok. Tadi Wi Hong menolak atau menghalau golok itu namun golok yang tegar dan tak bergeming di tangan si Kedok Hitam tetaplah tak mampu digeser. Golok itu kokoh di tangan yang kuat dan kelingking wanita ini putus, ketajaman Golok Maut siapapun tahu.

Dan ketika pukulan tangan kanannya mengenai tubuh lawan namun Kedok Hitam lagi-lagi tak bergeming, sinkangnya kuat menahan maka Wi Hong justeru menjadi korban dan tubuhnyapun terhenti di udara dengan posisi terangkat. Janda mendiang Si Golok Maut ini berkejap sejenak, mengerang dan mengeluh karena tusukan golok amatlah dalam. Ia tadi menubruk dengan kuat dan jadilah seperti tersate. Tapi begitu darah menyemprot dan membasahi baju si Kedok Hitam, laki-laki ini terkejut dan membelalakkan mata maka ia menurunkan goloknya dan robohlah wanita itu di lantai yang bersimbah darah.

"Bluk!"

Wi Hong berkelojotan. Janda Si Golok Maut ini merintih dan kejang-kejang. Rasa sakit yang sangat di dada kirinya membuat wanita itu sekarat. Ia berteriak tapi yang keluarlah hanyalah keluhan lirih. Dan ketika ia mendelik dan benci memandang lawan, Kedok Hitam mundur dan berkerut-kerut maka sesosok bayangan berkelebat dan Yu Yin, gadis cantik itu, muncul.

"Suhu...!"

Teriakan atau jerit panjang ini mengejutkan semuanya. Kedok Hitam menoleh dan tahu-tahu murid perempuannya telah ada di situ, berlutut dan memeriksa Wi Hong. Dan ketika didapatinya bahwa Wi Hong tak mungkin selamat, bekas tusukan itu amatlah dalam maka gadis ini tersedu-sedu dan meloncat bangun berdiri. Wi Hong sendiri menyeringai dan gelap pandang matanya.

"Kau... kau kejam!" Yu Yin berteriak kepada suhunya, "kau kejam, suhu. Kau tak berperasaan. Setelah semalam kau menodai wanita ini maka sekarang kau membunuhnya!"

Kedok Hitam terkejut, membelalakkan mata. "Kau mau campur urusan orang tua?"

"Ah," gadis ini membanting kaki. "Campur atau tidak aku adalah muridmu, suhu. Sepak terjangmu bakal melibatkan aku pula. Kau membunuh calon mertuaku. Kau kejam, kau tak berperasaan..!" namun ketika Kedok Hitam membentak dan berkelebat ke arah muridnya, marah mendengar Yu Yin menyebut-nyebut mertua maka gadis itu ditamparnya dan Yu Yin roboh terpelanting.

"Tutup mulutmu, atau nanti kau kubunuh pula."

"Bunuhlah, bunuhlah aku!" Yu Yin berteriak-teriak. "Kau boleh bunuh aku, suhu. Aku juga tak ingin hidup lagi setelah kau membunuh ibunya Giam Liong. Ah, kau menanam permusuhan semakin hebat dan rusak sudah hubunganku dengannya!" dan si gadis yang meloncat dan memaki-maki gurunya, marah dan menerjang ke depan tiba-tiba menubruk dan menyerang gurunya itu. Yu Yin baru saja mendengar ribut-ribut ini ketika semalam ia mendekati kamar gurunya, mendengar dengus dan gejolak nafsu dan tentu saja ia tahu apa yang terjadi. Ingin ia mendobrak pintu kamar itu namun didengarnya bisik-bisik Sin-hujin bahwa pergumulan itu bukanlah paksaan.

Yu Yin tak tahu bahwa gurunya mempergunakan arak birahi dan baru ketika ia menengok lagi tampaklah botol arak yang tumpah. Mukanya merah padam karena segera ia tahu apa yang dilakukan gurunya. Bisik-bisik dan desah cinta. Sin-hujin itu kiranya karena pengaruh arak, bukan atas dasar suka sama suka seperti yang semula dikiranya, karena diam-diam iapun juga heran dan tak senang bagaimana ibu kekasihnya itu dapat menerima begitu saja cinta gurunya. Bukankah Sin-hujin dan puteranya ini sama-sama membenci gurunya, juga ayahnya.

Dan ketika pagi itu ia mendengar rebut-ribut dan berlari ke arah kamar, tertegun melihat kamar yang porak-poranda dan arak yang terlempar di sudut, bau tajam dan menyengat menghantam hidungnya maka ia cepat-cepat menuju ke tempat itu namun sudah terlambat karena Sin-hujin dadanya tertembus golok! Yu Yin segera tahu bahwa gurunya benar-benar jahat sekali. Tadi malam menggauli Sin-hujin dan sekarang membunuhnya. Dan ketika ia berteriak dan memaki-maki gurunya, Kedok Hitam terkejut dan malu kepada Lam-ciat maupun Pat-jiu sian-ong maka laki-laki ini menggerakkan tangannya dan sekali tampar ia membuat muridnya kembali terbanting dan roboh.

"Yu Yin, tutup mulutmu. Atau nanti kujebloskan ke ruang bawah tanah!"

"Jebloskanlah, bunuhlah. Aku protes akan sepak terjangmu, suhu. Kau kejam dan tak berperasaan. Aku malu menjadi muridmu!"

Kedok Hitam melengking. Tiba-tiba ia dibuat merah kehitaman oleh maki-makian muridnya ini, bergerak dan menempeleng muridnya sampai terjengkang. Dan ketika Yu Yin mengaduh namun sang guru menambahinya lagi dengan satu tamparan di mulut, gadis itu berteriak dan terguling maka murid Kedok Hitam ini pingsan dan roboh di dekat Wi Hong.

Orang tak tahu lagi apakah wanita itu masih hidup atau tidak. Melihat lukanya tak mungkin ia selamat. Dan ketika Kedok Hitam menendang dan menangkap muridnya, mata berapi bagai seekor naga murka maka laki-laki itu berseru kepada Pat-jiu Sian-ong untuk membuang atau melempar Wi Hong ke hutan. Kakek gundul itu mengangguk namun ia ganti memerintahkan pengawal untuk membawa mayat wanita itu.

Wi Hong memang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Dan ketika Pat-jiu Sian-ong meninggalkan ruangan dan Lam-ciat juga menyeringai meninggalkan ruangan, semua pergi menyaksikan pagi berdarah maka Wi Hong sendiri sudah dilempar atau dibuang ke hutan oleh pengawal suruhan Pat-jiu Sian-ong. Dan begitu tempat itu sepi kembali dan pengawal atau istana membicarakan tewasnya wanita itu maka di hutan Wi Hong ditemukan oleh anak buah Chu-goanswe yang tentu saja geger!

* * * * * * * *

"Celaka, Sin-hujin tewas. Celaka, mayatnya ada di sini."

Begitu suara gaduh dan ramai ketika sore itu anak buah Chu-ngoanswe melihat. Mula-mula seorang pejuang meronda atau berjaga-jaga di tepi hutan, berindap dan mengawasi sekeliling karena siang tadi ia melihat serombongan pasukan kerajaan melempar sesuatu di luar hutan. Dan ketika ia menceritakan kepada temannya dan beberapa orang ikut, menyertai penjaga yang melihat ini maka mereka memeriksa dan alangkah kagetnya mereka ketika melihat mayat Sin-hujin di situ, di dekat semak-semak dengan pakaian tak keruan.

"Astaga, rupanya ia habis diperkosa!"

"Sst, hati-hati. Siapa mau memperkosa mayat!"

"Ah, bawa ia ke dalam, kawan-kawan. Laporkan kepada goanswe dan Sin-siauw-hiap. Celaka kalau ibunya sudah begini!"

Para pejuang geger. Kemarin mereka sudah melihat perginya wanita ini ke kota raja, melabrak dan mencari si Kedok Hitam menyangka puteranya terbunuh, padahal Sin-siauwhiap atau Si Naga Pembunuh juga baru saja datang ke tempat mereka, bertemu dan bercakap-cakap dengan Chu-goanswe tentang ibunya itu. Dan begitu mereka mengangkat dan membawa mayat ini, keadaan Wi Hong sungguh mengenaskan maka tiba-tiba Wi Hong membuka mata dan menggeliat.

"Tolong... siapa kalian...!"

Tiga pejuang ini berjengit. Mereka tak menyangka bahwa Sin-hujin masih hidup, melolong dan meluaskan "mayat" itu untuk lari tunggang-langgang. Sin-hujin berdebuk dan jatuh lagi tubuhnya, mengeluh. Tapi ketika tiga orang itu menoleh dan melihat keadaan ini, tertegun dan menghentikan lari mereka maka dengan muka pucat mereka memandang dan satu di antaranya berbisik bahwa Sin-Jiujin masih hidup.

"Bukan... bukan mayat hidup. Sin-hujin memang belum tewas. Ah, dan kita telah melepaskan tubuhnya begitu saja!"

"Tapi ia meringkuk di situ sejak siang tadi, tak bergerak-gerak. Jangan-jangan itu hantunya dan mayatnya bangkit lagi!"

"Tidak, tak mungkin, kawan. Hantunya atau bukan kita wajib menolong. Dia adalah ibunda Si Naga Pembunuh!"

"Jadi bagaimana?"

"Kita dekati lagi, kita lihat. Masa tiga laki-laki harus gentar menghadapi hantu!"

Tiga orang itu bergerak. Kawan mereka yang memimpin ini telah menimbulkan keberanian. Lagi pula, itu adalah Sin-hujin, sudah menjadi mayat atau belum haruslah mereka tolong. Keluhan atau gerakan wanita itu memang membuat mereka kaget. Dan karena tak mungkin ada mayat bisa bangun berdiri, mengeluh dan menggeliat seperti tadi maka tiga orang ini mendekat dan Wi Hong berkemak-kemik minta tolong.

"Aku... aku masih hidup, biarpun akan mati. Siapa kalian dan apakah dapat menemukan aku dengan anakku Giam Liong.”

"Ah, kami anak buah Chu-goanswe, hu-jin. Sungguh menyesal melihat kau dalam keadaan seperti ini di sini. Kami mengira kau telah tewas. Maaf kami akan membawamu dan menemui Sin-siauwhiap!"

Wi Hong bergerak keras. Begitu mendengar bahwa itu adalah kaum pejuang, anak buah Chu-goanswe mendadak ia serasa mempunyai kekuatan. Apalagi mendengar disebut-sebutnya nama puteranya di situ. Berarti Giam Liong ada dekat di situ. Dan ketika wajahnya bersinar dan muka yang tadi pucat dan hampir padam itu mendadak bercahaya, Wi Hong girang bukan main maka ia minta diantar dan dibawa ke tempat puteranya. Tak ingat atau tak heran bagaimana puteranya bisa "hidup" lagi, di tempat Chu-goanswe, padahal Golok Maut di tangan si Kedok Hitam!

"Antarkan aku... larikan kepadanya. Cepat, aku tak ingin terlambat!”

Tiga orang itu bergerak. Setelah mereka yakin bahwa Sin- hujin benar-benar hidup, meskipun luka parah tiga orang ini menjadi girang tapi juga cemas bukan main. Mereka tak berani lama-lama memandang bekas tusukan yang amat dalam itu dan ingin menyerahkannya kepada Chu-goanswe saja, juga Giam Liong yang ada di sana. Dan ketika mereka mengangkat dan membawa lari wanita ini, Wi Hong menahan sakit dan pingsan di tengah jalan maka wanita yang telah disangka tewas dan di buang ke hutan itu ternyata dapat bertahan dan masih hidup. Dalam keadaan setengah sadar setengah tidak wanita ini merasa bertemu dengan suaminya, diberi tahu bahwa puteranya masih ada di dunia dan karena itu Wi Hong tak ingin mati. Ia tak mau cepat-cepat meninggalkan raganya kalau belum bertemu dengan puteranya itu. Hebat kemauan batin wanita ini.

Dan ketika ia mengalami mati semu dan kematiannya itu disangka sungguh-sungguh, Pat-jiu Sin-ong tak memeriksa dan para pengawal adalah orang-orang tolol yang ceroboh maka justeru dibuangnya wanita ini ke hutan membuat anak buah Chu-gophswe melihatnya dan kini mengambil. Wi Hong setengah mati dan benar-benar sekarat. Dua kali ia dibayang-bayangi wajah suaminya yang siap menyongsong. Golok Maut tampak gagah di alam sana dan Wi Hong ingin menubruk. Tapi ketika berkali-kali suaminya itu menghilang dan menggoyang lengan, tak boleh buru-buru ke alam baka sebelum menemukan puteranya maka Wi Hong berjuang dengan maut dan anak buah Chu-goanswe yang ada di dalam hutan geger dan gempar.

"Sin-hujin datang.... Sin-hujin luka. Beri tahu Chu-goanswe dan mana Sin-siauw-hiap!"

Para pejuang berlompatan. Mereka itu melihat tiga teman mereka yang berlari-lari tergopot-gopoh, memanggil-manggil Chu-goanswe dan juga Sin-siauwhiap. Dan ketika semuanya keluar dan sebentar saja ratusan orang muncul, tigaratus lebih anak buah jenderal ini mengerubung maka tiga orang itu sudah di dekat kemah dan sesosok bayangan berkelebat dan langsung mendorong atau menyibak orang-orang ini, melihat Wi Hong yang mandi darah.

"Ibu..."

Jerit atau pekik tertahan itu serasa menggetarkan jantung. Giam Liong, Si Naga Pembunuh, muncul dan mendengar ribut-ribut ini. Pemuda ini sedang menghabiskan waktu dan gelisah mondar-mandir. Dia terikat perjanjiannya dengan Yu Yin, kekasih sekaligus juga anak musuh besarnya itu. Dan ketika hari kedua lewat dengan cepat tapi bagi Giam Liong dianggap lambat, detik demi detik dilalui dengan amat gelisah maka pemuda itu terkejut sekali mendengar namanya dipanggi-panggil dan tiga pejuang lari tergopoh-gopoh membawa seorang wanita. Wi Hong dibuatkan tandu darurat dan dengan tandu itulah wanita ini dilarikan. Dan begitu Giam Liong bergerak dan muncul, melihat keadaan ibunya yang parah maka pemuda itu roboh dan seketika ia mengguguk di atas tubuh ibunya ini. Wi Hong pingsan.

"Ibu.... ibu... siapa yang melakukan ini kepadamu. Jahanam siapa yang membuatmu begini!"

"Minggir," seorang laki-laki tinggi besar tiba-tiba menyibak pula, datang dan terkejut. "Apa yang terjadi, Sin-siauwhiap. Ada apa dengan ibumu...." tapi begitu menumbuk dan melihat wajah Wi Hong di atas tandu, wajah yang kehijauan dan pucat dengan luka dalam di dada maka Chu-goanswe, laki-laki tinggi besar ini tertegun. "Ah, ibumu luka berat, Sin-siauwhiap. Jangan hanya ditangisi dan dikeluhi saja. Biarkan aku menolong!"

Giam Liong, pemuda yang mengguguk itu menoleh. Tiba-tiba wajahnya beringas dan menakutkan bertemu laki-laki gagah ini. la melompat bangun dan berkelebat menghantam sebuah pohon besar di dekatnya. Dan ketika pohon itu ambruk tapi selanjutnya Giam Liong menumpahkan marah dan dendamnya dengan mengamuk disitu, berteriak dan memekik-mekik maka anak buah Chu-goanswe mundur karena sebentar saja belasan pohon tumbang, hiruk-pikuk dan membuat hutan menjadi gaduh karena kemarahan dan sakit hati pemuda ini tak tertahankan lagi.

Ibunya, ibu kandungnya dicelakai orang. Tak ada kemungkinan selamat karena sekali lihat Giam Liong segera tahu bahwa ibunya di ambang kematian. Chu-goanswe hanya sia-sia kalau ingin menolong ibunya. Tapi ketika ia mengamuk dan memekik-mekik di situ, menghantam dan merobohkan belasan pohon lagi yang tumbang berdebum tak keruan maka Chu-goanswe berteriak-teriak dan memanggil-manggil pemuda ini.

"Siauwhiap, Sin-siauwhiap... berhenti. Ibumu memanggilmu!"

Giam Liong berkelebat. Wajahnya begitu mengerikan ketika bergerak ke arah jenderal ini, membentak dan mencengkeram lehernya bertanya apa yang dia katakan tadi. Dan ketika Chu-goanswe pucat bahwa pemuda itu dipanggil ibunya, jenderal ini terbata dan tersedak-sedak maka ia menggigil menuding.

“lbumu... kau... kau dipanggil ibumu"

Giam Liong sadar. Tiba-tiba ia mendengar keluhan lirih dari ibunya yang tadi pingsan dan berada di antara mati dan hijdup tiba-tiba memanggilnya. Suara lirih itu tertangkap dan Giam Liong bergerak melepaskan cengkeramannya kepada Chu-goanswe ini, berlutut dan menangis memeluk ibunya. Dan ketika ibunya membuka mata dan benar saja memanggilnya, bibir yang pucat itu bergerak-gerak sukar, maka Giam Liong tak dapat menahan diri dan menubruk ibunya ini.

“Ibu..."

Wi Hong menangis. Wanita inipun tak dapat menahan harunya melihat sang putera. Keinginannya terkabul. Ia dapat bertahan sehari untuk bertemu puteranya itu. Dan ketika ia terbatuk dan terengah-engah, Giam Liong memeluk dan menciumi ibunya ini maka pemuda itu bertanya, wajahnya merah gelap.

“Ibu, siapa yang membuatmu seperti ini. Benarkah kau ke kota raja dan tidak mengikuti nasihat Chu-goanswe!"

"Oohh..." sang ibu menggeliat, mencengkeram rambut sang anak. "Aku... aku dipermalukan si Kedok Hitam, Giam Liong ibumu dipermainkan. Ia... ia mengganggu tubuhku...!"

"Ibu diapakan? Si Kedok Hitam? Sudah kuduga, pasti iblis itu! Kau tak perlu khawatir, ibu. Aku bersumpah untuk membunuh dan mencincangnya!"

"Tapi... tapi golokmu ada di sana. Bagaimana Golok Maut bisa di tangan laki-laki itu.!"

"Aku dijebak, ibu. Kedok Hitam bersikap curang. Aku sedang akan ke sana tapi terikat perjanjianku dengan Yu Yin."

"Ah, gadis cantik itu? Hi-hik, dia pantas menjadi isterimu, Giam Liong. Dia... dia telah membela ibumu dengan menyerang gurunya...augh!"

Giam Liong terkejut. Ibunya menggeliat dan berseru mengaduh karena tiba-tiba rasa nyeri dan sakit yang sangat menusuk dada. Wi Hong terlalu banyak bicara dan Giam Liong menekan dada ibunya ini. Pemuda itu menyalurkan hawa sakti dan disuruhnya ibunya tak banyak bicara. Tapi ketika Wi Hong mendapat tambahan tenaga dan menggeleng sambil terbatuk-batuk, menyeringai dan tertawa di antara rasa sakitnya maka wanita itu berseru,

"Tidak... tidak. Aku ingin bicara banyak kepadamu, Giam Liong, yang penting penting. Aku... aku, uhhh..!"

Giam Liong menangis. Ia bercucuran air mata melihat keadaan ibunya ini. Sesungguhnya ibunya tak boleh banyak bicara kalau ingin lebih lama. Tapi karena menyadari bahwa ada sesuatu yang penting hendak disampaikan ibunya itu, apa dan siapa maka pemuda ini mepotok tujuh jalan darah dan meminta untuk ibunya tidak tergesa-gesa.

"Baik, kau bicaralah, ibu, yang tenang. Jangan tergesa-gesa. Aku akan membantumu sebisa ku. Lukamu parah sekali. Heran bahwa kau masih dapat bertahan sampai sekarang!"

"Hi-hik, aku menunggumu, nak. Ibu tak mau mati kalau belum bertemu kau. Tuhan mengabulkan, dan aku puas!"

"Sudahlah, ibu mau bicara apa!"

"Benar, aku mau bicara. Aduh, dadaku sesak...!" namun ketika Giam Liong mengurut dan melegakan napas ibunya maka Wi Hong terbata-kata. "Dia... Kedok Hitam... ah, dia menggagahiku. Dia memperkosaku”

"Akan kupotong alat kelaminnya!" Giam Liong membentak, berseru merah padam. "Sudah kuduga bahwa bangsat keparat itu mengganggumu, ibu. Tapi bersumpah demi Langit dan Bumi aku akan memotong alat kelaminnya?"

"Hi-hik, benar. Dan kutungi kaki tangannya seperti ketika dulu dia membunuh ayahmu, Giam Liong. Balaskan sakit hati ayah ibu mu."

"Aku bersumpah!"

"Tapi aku senang..."

Giam liong tertegun.

"Aku senang laki-laki itu menggagahi ibumu, Giam Liong. Dia. hi-hik, dia akan kena tuah dari Golok Maut!"

"Maksud ibu?"

“Ah, pemegang golok itu tak boleh berhubungan dengan wanita, Giam Liong. Ini pantangannya. Lihat kejadian ketika dulu ayahmu menggauli ibu."

Giam Liong tertegun. Mula-mula dia merasa heran dan kaget kenapa ibunya senang diperkosa. Hampir saja dia marah dan memaki ibunya ini. Tapi ketika ibunya menjelaskan dan dia sadar, pemegang Golok Maut memang tak boleh berbuat intim dengan lawan jenis maka ibunya itu terengah dan menyeringai, tertawa.

"Lihat.... lihat kutukannya nanti, Giam Liong. Kedok Hitam pasti mampus disambar Golok Maut itu. Dia telah. melanggar larangannya... hi-hi, aku puas!"

"Tapi ibu dipermainkan. Ibu dihina!"

"Benar, dan aku... aduh, hatiku sakit sekali, Giam Liong. Aku benci tujuh turunan dengan laki-laki itu. Aku tak dapat membalas dendam!"

"Aku yang akan membalaskan dendam itu," Giam Liong borkata. "Tak usah kau khawatir, ibu. Aku telah bersumpah untuk menagih jiwa."

"Benar, dan kau... kau, ah!" Wi Hong tersedak, napasnya kembali megap-megap. "Kau tolong pula gadis cantik itu, Giam Liong. Yu Yin sungguh berbeda dengan ayahnya. Dia... dia tentu celaka."

"Ibu tak usah bicara tentang ini," Giam Liong mengerutkan kerang. "Hubunganku dengannya masih penuh duri!"

"Ah, dia gadis yang baik, calon isteri yang baik. Kalau kau dapat menjadi suaminya maka pesanku satu, Giam Liong. Buang atau kembalikan Golok Maut di Lembah Iblis. Orang yang sudah berkeluarga tak boleh membawa golok ini!"

Giam Liong menahan air matanya yang bercucuran. Bicara tentang Yu Yin justeru semakin menusuk pecasaannya saja. Kalau tidak karena Yu Yin tentu ia sudah menerjang ke kota raja, melabrak! Tapi karena waktu tiga hari belum habis dan gadis itu berjanji untuk merampas kembali Golok Maut yang dirampas Kedok Hitam, janji yang membuat masing-masing pihak harus menahan dan mengendalikan perasaan masing-masing maka Giam Liong penuh duka kalau ibunya membicarakan ini.

Dia tak tahu apakah bisa mereka bersatu. Cinta di masing-masing pihak memang telah sama-sama dalam namun ganjalan di masing-masing pihak juga sama besar. Gadis itu adalah murid Kedok Hitam, musuhnya. Dan ketika Giam Liong mengguguk karena ibunya minta dicium, gemetar dan meraih kepalanya maka perasaan pemuda ini benar-benar hancur ketika mendengar kata-kata ibunya itu.

"Giam Liong, ibu sudah tak kuat.... peluk dan ciumlah ibu. Aku... aku melihat bayang-bayang ayahmu?"

Giam Liong berguncang. Melihat dan merasakan keadaan ibunya ini tiba-tiba pemuda itu tak kuat. Didekap dan dipeluknya ibunya itu kuat-kuat. Giam Liong menangis dan menciumi ibunya. Dan ketika Wi Hong balas mencium dan tertawa aneh, Chu-goanswe dan para pejuang tak tahan hingga meruntuhkan air mata maka Wi Hong berbisik teringat sesuatu hal.

"Giam Liong, Kedok Hitam.... Kedok Hitam ternyata bukan orang lain. Dia adalah..."

Giam Liong terkejut. Ibunya berhenti dan tak meneruskan kata-katanya, terbatuk dan coba bicara lagi namun suaranya tiba-tiba hilang. Dan ketika pemuda itu tertegun karena ibunya berusaha sekuat tenaga namun gagal, Giam Liong menekan punggung ibunya agar ibunya dapat bicara lagi maka bagai geledek di siang bolong ia mendengar lanjutannya,

"...ia adalah Coa-ongya!"

Bentakan atau pekik menggelegar pecah dari mulut pemuda ini. Wi Hong sudah roboh dan wajah wanita itu tampak puas memberikan keterangan terakhir. Ia tak gagal! Dan ketika Giam Liong mencelat dan menggigil di sana, wajah berubah-ubah dengan amat hebatnya mendadak ia melengking dan terbang menuju kota raja. Mayat ibunya ditinggal!

"Siauwhiap...!"

Giam Liong tak mendengar atau memperdulikan seruan ini. Chu-goanswe, yang terkejut dan memanggil pemuda itu tak digubris. Jenderal ini dan para pejuang tak mendengar kata-kata Wi Hong tadi. Suara wanita itu amatlah lirih karena ia benar-benar sudah di ambang maut. Kalau Giam Liong tidak memberinya tenaga tentu ia tak dapat bicara. Tenaga wanita itu sudah habis.

Maka ketika Giam Liong mencelat dan mengeluarkan teriakan mengguntur, kata-kata atau keterangan ibunya tadi memang sungguh mengagetkan, ia tak menduga maka pemuda ini sudah terbang dan meluncur kekota raja. Giam Liong tak ingat lagi perjanjiannya dengan Yu Yin, dan ia juga agaknya tak perduli lagi dengan janji itu. Persetan dengan janji.

Namun ketika ia meluncur dan keluar hutan, gerakannya luar biasa cepat karena ia mengerahkan semua ilmu meringankan tubuhnya, ia tak sabar dan ingin mencari musuh besarnya mendadak jeritan wanita memanggilnya, jerit diiring isak tangis.

"Giam Liong...!"

Pemuda itu tertegun. Si Naga Pembunuh, yang membesi dan merah kehitaman wajahnya ini tiba-tiba berhenti dan membalik oleh panggilan itu, padahal tadi panggilan Chu-goanswe tak pernah digubris Dan ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah Yu Yin, suara yang sudah dikenal pemuda ini maka Giam Liong mendengus dan pancaran matanya yang penuh hawa membunuh membuat gadis itu terkejut dan seketika berhenti, mengguguk.

"Aku..., aku ada perlu sebentar. Istana dan gerbang kota raja dijaga ketat oleh tujuh lapis tentara. Sepuluh ribu orang dikerahkan. Kau jangan kesana!"

"Hm, apa perdulimu!" Giam Liong membentak, berseru dan tiba-tiba mencengkeram gadis ini. "Ayahmu telah membunuh ibuku, Yu Yin. Dan hutang jiwa harus dibayar jiwa. Aku tak perduli nasihatmu. Pergilah!"

Yu Yin menjerit. Ia dilempar dan dibuang jauh oleh Giam Liong, berjungkir balik tapi sudah turun di depan pemuda ini lagi. Dan ketika Giam Liong tertegun karena gadis itu menghalangi jalannya, Yu Yin tiba-tiba marah dan juga terhina oleh sikap Giam Liong maka gadis itu bertolak pinggang, mengedikkan kepala.

"Giam Liong, aku melarangmu ke sana. Atau kau bunuh dulu aku disini!"

"Kau... kau ada hak apa?" Giam Liong terkejut, marah. "Ini urusanku sendiri, Yu Yin. Tak usah ikut campur!"

"Urusanmu adalah urusanku juga. Aku berhak ikut campur!"

"Apa? Kau...vkau berani bicara seperti itu? Hak yang bagaimana?"

“Hak sebagai kekasih. Kau bagian dari hidupku dan mati hidupmu adalah urusanku juga!"

"Keparat!" Giam Liong membentak. "Ayahmu membunuh ibuku, Yu Yin. Tak ada urusan cinta di antara kita. Minggir, atau kau kuhajar!" dan Giam Liong yang menangkap atau menyambar kembali gadis ini lalu hendak melempar gadis itu agar tak menghalang8 jalan. Giam Liong marah karena kematian ibunya masih membuat darahnya mendidih. Ia bakal tak segan-segan pula menghajar gadis ini. Dan ketika Yu Yin mengelak namun ia menyambar lagi, tertangkap dan dilempar maka Yu Yin terbanting dan terguling-guling di sana. Giam Liong berkelebat dan terbang lagi ke kotaraja.

"Giam Liong, tunggu. Mana janjimu menunggu waktu tiga hari itu!"

"Hm, tak ada lagi janji di antara kita. Aku hendak membunuh musuh besarku, Yu Yin. Kau pergilah atau bantu ayahmu itu!"

"Keparat, kau tak pantas menjadi putera Si Golok Maut Sin Hauw. Janji yang sudah dikeluarkan ternyata dijilat kembali. Cih, kau manusia ingkar, Giam Liong. Ibumupun tentu tak bakal tenang di alam baka!"

Giam Liong berhenti. Bagai disentak rem yang amat kuat mendadak ia menahan larinya. Yu Yin mengejar dan berjungkir balik melewati atas kepalanya. Dan ketika mereka berhadapan lagi dan gadis itu tampak merah padam, sama seperti Giam Liong yang juga hangus dan merah kehitaman maka pemuda itu membentak, suaranya menggigil,

"Yu Yin, kau... kau bicara apa? Kau menyebut-nyebut ibuku?"

"Benar, ibumu tentu kecewa melihat sepak terjangmu, Giam Liong. Punya anak hanya sewayang ternyata penjilat ludah. Cih, akupun juga tak sudi mencintaimu lagi. Kau busuk dan memuakkan!"

"Aku juga tak mencintaimu. Kau anak musuh besarku!"

"Aku juga. Aku menyesal dan menarik semua cintaku yang pernah ada. Kita bertanding dan selesaikan permusuhan ini sebelum kau ke kota raja... srat!" dan Yu Yin yang mencabut pedang dan mengamuk menyerang pemuda ini lalu seperti gaya anak-anak remaja sekarang yang cengeng-cengeng.

Mereka masing-masing telah saling mengumpat dan menyatakan tidak cinta lagi, padahal berani sumpah perasaan itu masih lekat dan kuat di hati mereka. Dan ketika terbukti bahwa tusukan-tusukan Yu Yin hanya ke tempat-tempat ringan, sama sekali tak ada maksud-maksud membunuh sementara Giam Liong juga diminta membalas namun hanya mengelak dan berkelebatan ke sana ke mari maka Yu Yin menangis menyerang pemuda itu sambil membentak-bentak.

"Giam Liong, ayo kau balas aku... balas! Aku siap kau bunuh dan setelah itu pergilah ke kota raja. Aku muak melihat seorang penjilat ludah. Kau tak pantas menjadi putera ayah ibumu yang gagah. Kau tikus pecomberan”

"Hm," Giam Liong terpukul dan malu, kesadarannya mulai ada. "Lebih baik kau yang membunuh aku, Yu Yin. Arahkan pedangmu ke dada dan jangan sering-sering meleset!"

"Kau tak bersenjata, dan kepandaianmu jelas lebih tinggi daripada aku. Ayo, pukul dan bunuhlah aku. Aku ingin tahu bahwa kau benar-benar sudah tidak mencintai aku. Aku muak melihat tampangmu!"

"Hm, akupun juga sebal melihat dirimu, Yu Yin. Tapi kalau kau benar-benar tidak mencintai aku lagi coba kau buktikan dan tusuk dadaku... crat!" Giam Liong tidak menghindar, bahkan menyerahkan dadanya untuk ditusuk dan Yu Yin menjerit karena pedang tiba-tiba menancap disitu. Darah keluar! Dan ketika gadis ini melepaskan pedangnya sementara Giam Liong jatuh terduduk, terbelalak, maka gadis itu menangis dan menubruk Giam Liong!

Naga Pembunuh Jilid 27

NAGA PEMBUNUH
JILID 27
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HEII, ada apa ini. Siapa yang mengamuk!"

Kakek itu terbelalak. Wi Hong, yang menerjang dan mengamuk mencerai beraikan pasukan sudah hampir mendekati istana dengan pedangnya yang bersimbah darah. Memang tak mungkin perajurit biasa menghadapi nyonya itu, apalagi dalam keadaan seperti singa betina yang haus darah itu. Singa yang marah dan sakit hati karena anaknya dikabarkan tewas terbunuh. Tapi begitu kakek itu muncul dan langsung berkelebat ke depan, pedang ditangkis dengan kebutan lengan baju maka Wi Hong terpental dan nyonya itu terkejut.

"Plak!"

Pat-jiu Sian-ong tertawa bergelak. Sekejap dia tahu siapa kiranya orang yang mengamuk ini, bukan lain Sin-hujin alias ibunya Giam Liong. Tentu saja dia girang! Dan ketika Wi Hong terhuyung dan terbelalak melihat si gundul itu, kakek yang dulu mengeroyok puteranya maka ia melengking dan disambarnya kakek ini dengan pedangnya lagi.

“Pat-jiu Sian-ong, mana puteraku. Siapa yang membunuh!"

"Ha-ha, si cantik kiranya. Aduh, kau seperti singa kelaparan, Sin-hujin. Bertambah marah bertambah cantik. Wah, Kedok Hitam maupun Coa-ongya tentu senang bertemu denganmu. Tapi kau telah membunuh banyak perajurit. Kau harus ditangkap atau menyerahlah baik-baik...plak-plak!" si gundul menangkis dan menghalau lagi serangan pedang, mengelak dan tertawa-tawa dan Wi Hong marah menerjang kakek ini.

Sekarang ia mendapat lawan tangguh namun hal itu tidak membuatnya gentar. Paling-paling ia mati, menyusul anaknya yang juga terbunuh. Dan ketika ia mengamuk dan Pat-jiu Sian-ong harus berhati-hati, nyonya itu mengeluarkan Im-kan-to-hoatnya dan Silat Golok Akherat itu naik turun bergulung-gulung, dimainkan dengan pedang namun bahayanya tak kalah dengan golok sendiri maka Pat-jiu Sian-ong mengerahkan ginkang dan dengan ilmu meringankan tubuhnya ini ia naik turun pula menghindari atau menangkis serangan-serangan lawan.

Kakek ini memiliki Pat-sian Sin-ong (Silat Delapan Dewa) dan dengan ilmunya itu ia menghadapi si nyonya. Pedang di tangan si nyonya bukanlah pedang pusaka dan karena itu tak perlu ia takut menangkis. Ujung lengan bajunya mengebut berkali-kali dan berkali-kali itu pula pedang si nyonya terpental. Kakek ini memang hebat dan masih di atas lawannya, apalagi dalam hal sinkang. Dan ketika Wi Hong mulai tergetar dan delapan kali nyonya itu terhuyung-huyung, ia kalah tenaga maka si kakek gundul menyuruh agar nyonya itu menyerah.

"Kau tak akan menang. Menyerah sajalah, secara baik-baik. Nanti akan kutangkap dan kubawa secara baik-baik pula, kepada Coa-ongya atau Kedok Hitam."

"Menyerah hidungmu!" Wi Hong melengking. "Lebih baik mati daripada menyerah, Pat-jiu Sian-ong. Kau setan gundul penjilat kerajaan!"

"Hm, dan kau penjilat Chu-goanswe," kakek itu marah. "Apa yang kau dapat dari pemberontak itu, Sin-hujin. Makan minumpun tak bisa di tempat yang enak. Kau tak tahu diri dan tak kenal disayang orang!"

"Aku tak butuh sayangmu. Kau boleh bunuh aku dan di mana puteraku Giam Liong. Siapa yang membunuh dan di mana mayatnya... plak-brett!"

Pat-jiu Sian-ong terlambat berkelit, robek ujung bajunya dan kakek itu marah karena lawan tak dapat dibujuk baik-baik. Ia merasa sayang dan eman-eman kalau wanita secantik ini harus roboh binasa. Tapi karena nyonya itu tak mau menyerah dan mau tak mau ia harus berlaku keras, pedang di tangan nyonya itu harus dirampas maka Pat-jiu Sian-ong mulai menggeram dan berkata bahwa dia akan merobohkan lawannya itu.

"Robohkanlah, aku tak takut. Siapa minta belas kasihanmu dan siapa sudi merengek-rengek!"

"Hm, baiklah," kakek ini melotot. "Aku akan membuatmu mati tidak hiduppun tidak, Sin-hujin. Awas aku merobohkanmu dan jangan menyesal kalau nanti kutelanjangi dirimu!"

"Si mulut kotor!" Wi Hong memekik. "Kau dan Kedok Hitam sama-sama bejat, Pat-jiu Sian-ong. Coba kalau ada puteraku di sini... wut-plak-plak!" dan si kakek yang tertawa dan menangkis serangan itu, merunduk dan mengibaskan lengannya dua kali, tiba-tiba menggubat dan menangkap pedang lawan. Wi Hong membentak dan kakipun bergerak menendang. Tapi ketika dengan mudah kakek itu mengelak dan ujung bajunya telah bertemu pedang, melilit dan tak mau melepaskan maka Wi Hong kaget karena pedangnya tak dapat ditarik. Ujung lengan baju menggugat dan berubahlah wajah wanita ini ketika si gundul tertawa bergelak. Dan ketika pasukan bersorak karena wanita itu berkutat, dua diantaranya maju dan hendak mencengkeram pantat Wi Hong tiba-tiba Wi Hong menggerakkan kakinya ke belakang dan seperti kuda menyepak ia membuat dua perajurit itu terjengkang.

"Dess!"

Sorak-sorai tiba-tiba terhenti. Pat-jiu Sian-ong berseru agar dua orang itu jangan mengganggu, terlambat dan kakek itu mendengus melihat dua perajurit ini terlempar. Dan ketika mereka muntah darah dan seketika pingsan, yang lain terkejut dan tak berani membokong maka kakek gundul berseru agar tak usah macam-macam.

"Lihat, apa kataku. Kalian tikus-tikus rendah yang tak berguna. Minggir dan jangan bantu aku. Wanita ini dapat kutangkap dan kurobohkan!"

Semua mundur. Akhirnya mereka hanya menonton dan Wi Hong pucat berkutat dengan kakek itu. Dia kalah tenaga dan mulai terbawa ke depan, tertarik dan kakek itu tertawa sambil memperkeras gubatannya. Dan ketika Wi Hong membentak karena ia terhuyung maju, sedikit lagi ia dapat disentuh dan dipegang lawannya maka tiba-tiba ia membuang tarikannya dan justeru mengikuti tarikan kakek itu untuk menusukkan pedangnya.

"Eiihhhh...!" si kakek terkejut. Pat-jiu Sian-ong memang tidak menduga dan secepat kilat kakek itu membuang tubuh ke samping. Pedang lewat di kiri tubuhnya namun karena ia tetap melilit dan menggubat pedang maka Wi Hong pun terbawa. Wanita ini terkejut dan marah. Si gundul cerdik! Namun karena ia mengikuti dan tak kalah cerdik, bergerak dan kembali menusukkan pedangnya maka Pat-jiu Sian-ong kewalahan dan dua kali ia tergurat pedang.

"Bret-bret!”

Kakek ini marah. Ia hendak mempermainkan lawan tak tahunya ia malah hampir menerima bahaya. Ujung bajunya robek dan berseru keraslah kakek itu membalas rasa malu, menarik dan membetot pedang ke kanan hingga Wi Hong terhuyung. Dan ketika wanita itu pucat karena tak mampu menahan tenaga lawan, si kakek gundul menambah sinkangnya maka sebuah tendangan membuat nyonya itu terpelanting tapi hebatnya gagang pedang tetap dicekal erat-erat.

"Dess!"

Wi Hong membuat Pat-jiu Sian-ong kagum. Kakek ini terbelalak karena wanita itu mempertahankan pedangnya mati-matian, sekali lagi membetot dan menendang tapi Wi Hong masih dapat bertahan. Dan ketika kakek itu gusar dan bergerak mengebutkan lengan bajunya yang satu, menotok dan menarik pedang dergan ujung lengan baju yang lain maka Wi Hong mengeluh karena keadaannya memang benar-benar sudah payah. Kakek ini bukan lawannya dan hanya sekali itu tadi saja ia sempat mengejutkan lawan. Selanjutnya Pat-jiu Sian-ong membalas dan bingunglah Wi Hong mengelak. Ia kalah cepat. Dan ketika totokan mengenai pundaknya dan tentu saja ia roboh, pedang terlepas dari tangannya maka Pat-jiu Sian-ong menendang dan wanita itu terbanting dan mengeluh pendek.

"Lepaskan pedangmu!"

Wi Hong tak mampu bertahan lagi. Memang lawan bukan tandingannya dan limapuluh jurus bertanding sudah dapat dianggap hebat. Kakek itu memang lihai. Dan ketika Pat-jiu Sian-ong bergerak dan menyambar wanita ini, memanggulnya di pundak maka kakek gundul itu berseru agar pasukan kembali berjaga-jaga. Pengacau telah tertangkap.

"Tak perlu lagi menonton. Aku akan membawanya ke dalam dan menyerahkannya kepada Coa-ongya atau Kedok Hitam!"

Semuanya mengangguk. Pengawal mundur ke tempatnya masing-masing dan bekas amukan Wi Hong dibersihkan. Yang luka-luka atau tewas dirawat, Wi Hong telah dirobohkan Pat-jiu Sian-ong dan tentu saja kakek itu mendapat pujian. Dan ketika kakek gundul ini berkelebat dan memasuki istana, membawa Wi Hong maka yang ditemui kakek itu adalah pengawal amat pribadi dari Coa-ongya. Kedok Hitam adanya!

* * * * * * * *

"Hm, bawa dia ke kamarku," Kedok Hitam menyeringai dan tertawa melihat tertangkapnya Wi Hong. "Bagus sekali kau menangkap wanita ini, Pat-jiu Sian-ong. Banyak hadiah untukmu menanti di istana. Masuklah, baringkan dia di pembaringan dan terima kasih untuk jasamu."

"Heh-heh, aku sebenarnya ingin menemui ongya. Tapi kalau kau di sini baik juga kuserahkan. Jangan lupa jasaku, Kedok Hitam. Dan hadiah apa kira-kira yang akan diberikan ongya kepadaku!"

"Hm, kau akan menerima limaribu tail emas, juga kedudukan sebagai komandan Hek-eng-busu (Pasukan Garuda Hitam). Aku akan memberitahukannya kepada ongya dan kau pasti dicatat!"

"Ha-ha, terima kasih, Kedok Hitam. Dan kuserahkan wanita ini kepadamu. Aku sebenarnya eman-eman. Kalau tidak ingat bahwa kau tentunya lebih berkepentingan tentu ingin kumiliki sendiri janda si Golok Maut ini. Lihat, betapa montok dan menggiurkan tubuhnya!"

Kedok Hitam tertawa. Ia menyuruh pergi kakek gundul itu dan Pat-jiu Sian-ong melompat keluar. Sebuah kecupan diberikannya di pipi Wi Hong dan wanita itu mendelik. Pat-jiu Sian-ong mencuri cium! Tapi ketika kakek itu lenyap dan Kedok Hitam tertawa, tak marah atau memaki justeru laki-laki ini mendekati dan mengelus pundak Wi Hong, yang tertotok urat gagunya.

"Ha-ha, tak usah marah, Wi Hong. Untuk kedua kalinya kita bertemu. Hm, ini jodoh. Agaknya kau dan aku berjodoh! Ha-ha, Pat-jiu Sian-ong memang benar, Wi Hong. Kau masih cantik dan menggairahkan. Hm, bagaimana kalau kau kuambil isteri dan segala permusuhan dilenyapkan!"

Wi Hong berteriak dan menjerit. Begitu totokan gagunya dibebaskan maka yang pertama keluar adalah jeritan atau teriakannya itu. Ia malu dan marah bertemu laki-laki ini, juga gelisah. Dulu Kedok Hitam hendak menggagahinya dan sekarang ia jatuh lagi di tangan lawannya ini, musuh yang telah membunuh suaminya. Dan ketika ia menjerit namun Kedok Hitam tertawa, menutup pintu kamar dan justeru kelihatannya senang kalau ia ketakutan maka Wi Hong menggigil dan terbelalak memandang laki-laki itu.

"Kedok Hitam, kau... kau mau apa.? Kenapa kau membawa aku ke kamarmu ini!"

"Ha-ha, inilah tanda cinta!" laki-laki itu tertawa, sepasang bola matanya bersinar-sinar, menakutkan. "Aku membawamu ke sini untuk mengulang permintaanku dulu, Wi Hong. Maukah kau menerima cintaku dan segala permusuhan di antara kita dilenyapkan!"

"Tak tahu malu!" wanita ini membentak, bangkit kemarahannya. "Kau laki-laki binatang yang tak punya otak, Kedok Hitam. Masakan aku sudi menerima tawaranmu. Kau membunuh suamiku. Kau telah membuatku sengsara!"

"Hm, yang membunuh suamimu adalah negara. Aku hanya diutus dan sebagai pelaksana, Wi Hong. Kau tak boleh menyalahkan aku karena aku hanyalah petugas!"

"Tapi kau manusia berwatak kejam. Kau mencincang dan menghabisi suamiku dengan tak berperikemanusiaan. Kau binatang, kau iblis laknat!"

"Hm, tak perlu memaki-maki. Kau tentu tak ingin kutotok lagi kalau masih ingin bicara, Wi Hong. Kita bicara baik-baik dan tak usah kau berteriak-teriak."

"Aku… aku benci padamu. Kau laki-laki terkutuk. Mana anakku Giam Liong dan siapa yang membunuhnya!"

"Hm, kau mencari Giam Liong?" laki-laki ini bersinar, wajahnya berseri. "Anakmu masih hidup, Wi Hong, dan tak ada yang membunuhnya karena kucegah. Kalau tidak tentu ia sudah menyusul ayahnya dan kau akan semakin bersedih lagi!"

"Anakku masih hidup?"

"Tentu saja."

"Tapi ia dikabarkan tewas. Kau dan orang-orangmu yang membunuh!"

“Itu hanya taktik saja," laki-laki ini tersenyum, tubuh dan kecantikan janda itu diperhatikannya baik-baik. Wi Hong belum merasa merinding. "Anakmu masih sehat dan berada di dalam tawananku, Wi Hong. Tapi tentu saja dapat sewaktu-waktu kubunuh kalau kau sebagai ibunya selalu memusuhi aku!"

"Apa maksudmu," Wi Hong menggigil, pucat dan merah berganti-ganti antara camas dan bingung. "Bicaramu selalu berputar-putar, Kedok Hitam. Katakan apa yang kau ingini dan benarkah Giam Liong masih hidup!"

"Tentu saja, puteramu masih hidup. Ia dikabarkan tewas agar barisan pemberontak terpukul dan jerih tak berani menyerang!"

"Maksudmu?"

"Ha-ha, Chu-goanswe dan pasukannya itu amat berani kalau puteramu ada di sana, Wi Hong. Tapi begitu dikabarkan tewas dan kubunuh tentu ia dan anak buahnya ketakutan. Puteramu semacam dewa sakti bagi mereka!"

Wi Hong tertegun, masih tak merasa pandang mata lawan yang mulai menyelusuri bagian-bagian tubuhnya. "Kau tak bohong?"

"Siapa bohong? Aku dapat membawa puteramu ke sini kalau kau ingin bukti!"

"Bawalah ia ke sini. Coba aku lihat”

"Begitu gampang? Ha-ha, kau demikian enak bicara, Wi Hong. Padahal kau dan puteramu adalah tawanan. Aku dapat mempertemukan kalian kalau satu permintaanku kau penuhi!"

"Permintaan apa," Wi Hong terkejut, sekarang sadar akan adanya sinar mata aneh lawannya itu. "Kalau pantas tentu kupenuhi, Kedok Hitam. Tapi kalau tidak pantas tentu saja kutolak."

"Hm, terserah," laki-laki itu tertawa, duduk dan mendekati Wi Hong, di pinggir pembaringan. "Pantas atau tidak terserah dirimu, Wi Hong. Tapi kalau ingin puteramu selamat tentunya kau tak usah bermacam-macam!"

Wi Hong tersentak. Lawan tiba-tiba sudah duduk begitu dekat dengannya dan Kedok Hitam membelai pundaknya. Wi Hong mengkirik! Dan ketika ia membentak agar lawan menjauh, tak usah menyentuh atau membelai tubuhnya maka dengan tenang laki-laki itu berkata,

“Ini rumahku, ini tempat tinggalku. Mau melakukan apa saja tentu tak ada yang melarang."

"Tapi jangan pegang-pegang tubuhku!"

"Ha-ha, kau tawananku, Wi Hong. Dipukul atau dibelai adalah hak-ku. Masa kau tak tahu!"

"Benar, tapi kau tentu juga tahu bahwa aku bukanlah wanita murahan!"

"Hm, justeru karena itu aku tertarik padamu, Wi Hong. Aku jadi tergila-gila kepadamu. Bagaimana kalau kau menjadi isteriku dan semua peristiwa lama dilupakan!"

Wi Hong menjerit. Kedok Hitam tiba-tiba mencium pipinya dan ia mengelak namun mengenai telinga. Rasanya membuat darah berdesir dan wanita itu berteriak. Tapi ketika lawan tertawa dan kembali meraih tubuhnya, diangkat dan diajak beradu muka maka Kedok Hitam mendesis, suaranya mulai menyeramkan.

"Wi Hong, aku dapat melakukan apa saja kepadamu. Bahkan membunuhmu! Tapi kalau kau dapat diajak bicara baik-baik dan kau mau menerima cintaku maka puteramu kubawa kesini dan kita membina keluarga bahagia!"

"Keparat, lepaskan aku. Kau manusia binatang!" Wi Hong menjerit dan meronta-ronta. Kedok Hitam memeluk dan menciumnya lagi. "Lepaskan aku, Kedok Hitam. Dan kau bunuh atau habisi aku. Aku tak sudi kau permainkan?"

"Hm," Kedok Hitam menyeringai, tawanya menakutkan. "Kau hebat dan luar biasa, Wi Hong. Tapi justeru karena ini aku jadi semakin tergila-gila. Bagaimana kalau aku memperkosamu!"

Wi Hong terkejut. Ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu karena Kedok Hitam mencengkeram dan melumpuhkan persendiannya. Ia merasa kesakitan tapi juga terbakar, di samping cemas. Dan ketika ia melihat mata laki-laki itu yang menyorotkan kebuasan, Kedok Hitam tak mungkin hanya bercanda saja maka diam-diam wanita ini mencari akal, coba mengulur waktu.

"Kedok Hitam, aku mau menuruti permintaanmu asal puteraku Giam Liong kulihat di sini. Buktikan ia masih, hidup dan menjadi tawananmu"

"Gampang," laki-laki itu tertawa. "Kalau kau minta tentang ini tentu mudah kulakukan, Wi Hong. Tapi kau juga jangan coba-coba lari kalau aku memanggil puteramu."

"Ia masih hidup? Benar-benar masih hidup?"

"Kau tak usah percaya dulu, nanti kubuktikan. Tapi bagaimana kalau ia kubawa ke mari dan betulkah kau mau menjadi isteriku!"

Wi Hong tertegun. Ini adalah kedua kalinya ia dipaksa menjawab keinginan laki-laki itu. Betapa inginnya ia menjerit dan melakukan tolakan. Ia tentu saja tak sudi! Tapi begitu ingat bahwa ia dapat dipaksa, diperkosa atau dihina laki-laki ini maka Wi Hong memejamkan mata dan ingin menangis kuat-kuat. Kalau sudah begitu maka ia ingin mati saja. Mati lebih baik daripada diperkosa. Tapi teringat bahwa kematian suaminya belum dibalas, juga bahwa katanya Giam Liong masih hidup maka wanita ini membuka kembali matanya dan dengan air mata bercucuran ia berkata,

"Kedok Hitam, kau terlalu memaksa. Tapi baiklah, kalau puteraku masih hidup. Biarlah aku memenuhi permintaanmu dan kau boleh menjadikan aku sebagai isterimu. Tapi tunjukkan bukti dulu dan mana puteraku Giam Liong!"

"Kau ingin bukti? Baik, sekarang juga kupanggil!"

Wi Hong berdetak. Untuk kesekian kalinya lagi ia dipukul perasaan bermacam-macam. Kedok Hitam bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan yang diberitahu agar memanggil Giam Liong, menyuruh atau membawa pemuda itu lewat Pat-jiu Sian-ong. Dan ketika pelayan muncul dan mengangguk, keluar dan menutup pintu kamar lagi maka Kedok Hitam tertawa berkata, tiba-tiba menyambar botol arak dan membuka tutupnya.

"Wi Hong, sudah lama perasaan rinduku ini kupendam. Kau sekarang sudah berjanji. Baiklah, tunggu kedatangan puteramu dan mari minum arak ini bersama sebagai pembukaan hubungan baik kita!"

Wi Hong terbelalak. la melihat Kedok Hitam sudah mengambil secawan kosong dan mengisinya dengan arak itu, mengambil cawan yang lain dan mengisinya pula untuk dirinya sendiri. Dan ketika Wi Hong dicekam perasaan bermacam-macam, antara girang dan kaget bahwa puteranya masih hidup, Kedok Hitam membawa dan akan membuktikan puteranya di situ maka wanita ini ragu-ragu dan bingung menerima arak yang disodorkan kepalanya.

“Mari, kita minum, Wi Hong. Dan lihat sebentar lagi puteramu datang!”

"Aku…. aku tak dapat minum..."

“Eh, kau mau menolak? Kau tak menepati janjimu sendiri untuk menjadi calon isteriku?”

Wanita ini tertegun.

“Kalau begitu aku juga membatalkan niatku membawa Giam Liong sini, Wi Hong. Dan kita satu-satu."

Wi Hong menggigit bibir. Ia membentak dan ingin memaki Kedok Hitam itu sehabis-habisnya. Ia ingin mencaci dan mengutuk. Namun karena keinginannya melihat puteranya amatlah besar, justru inilah yang membuat ia datang ke situ dan tertangkap maka Wanita ini mengertakkan gigi dan apa boleh buat ia menerima, langsung menggelogok isinya.

“Baik, kau laki-laki curang Kedok Hitam. Kau tak segan-segannya memaksa wanita untuk tunduk kepadamu Aku menerima arak ini tapi jangan minta yang macam-macam lagi selama puteraku Giam Liong belum berada di sini!"

Kedok Hitam tertawa bergelak. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dan menyambar wanita itu, memeluk dan mencium hingga Wi Hong terkejut, meronta dan arak di tangan laki-laki itupun tumpah. Dan ketika Kedok Hitam terkejut tapi mundur tertawa-tawa, tak jadi minum araknya maka Wi Hong tertegun karena kepala tiba-tiba dirasa pusing. Bumi cepat sekali berputar!

"Kedok Hitam, arak apa ini. Kenapa kepalaku pusing!"

"Ha-ha, itu arak penyegar semangat, Wi Hong. Kau benar-benar tak biasa minum arak hingga seteguk saja sudah merasa berputar. Maafkan aku dan biar kupegang pundakmu!"

Wi Hong terkejut. Ia merasa marah tapi begitu dipegang mendadak jantungnya berdesir. Sentuhan tangan lelaki itu bagai listrik kuat yang menyentuh tubuh yang lemah. Entah kenapa mendadak ia terguncang. Birahinya bangkit! Tapi ketika Wi Hong menindas perasaannya yang aneh itu dan kaget kenapa perasaannya tiba-tiba seperti itu, tak tahu malu maka pintu diketuk dan pelayan kembali muncul.

"Maaf, taihiap. Sin-enghiong (tuan gagah Sin) tak mau datang!"

"Ah, panggil dia. Suruh bahwa ibunya menunggu!"

"Baik," dan pelayan yang kembali lenyap dan menutup pintu kamar lalu dilanjutkan bisikan Kedok Hitam ke telinga nyonya ini.

"Dengar, puteramu tak mau datang, Wi Hong. Tapi sebentar lagi pasti muncul. Ah, kau cantik dan mengagumkan sekali!"

Wi Hong tersentak. Kedok Hitam tiba-tiba mencium bibirnya dan begitu dicium iapun roboh! Wi Hong kaget namun tak berdaya karena tiba-tiba hasrat birahinya muncul dengan kuat. Ia merasa pening namun nikmat menerima ciuman itu. Dan ketika tanpa sadar ia membalas dan mengeluh di pelukan laki-laki ini, Kedok Hitam meremas dan mulai membuka pakaiannya mendadak Wi Hong serasa lumpuh untuk menolak.

"Tidak..., jangan... jangan dulu!"

Hanya itu yang dikeluarkan. Wi Hong selanjutnya merasa nanar dan naik turun mengikuti gelombang-gelombang aneh. Kedok Hitam tiba-tiba menindih tubuhnya dan pakaiannyapun sudah dilepas semua. Dan ketika Wi Hong terkejut namun terbakar rangsangan yang diberikan laki-laki itu, berguling dan sempat meronta namun tak mampu melepaskan diri, selanjutnya ia terbawa dan mendidih oleh nafsunya yang berkobar maka Kedok Hitam memadamkan lampu dan keduanya bergulingan melepas hawa birahi.

Wi Hong tak tahu apa yang dilakukannya ini karena ia serasa melayang-layang di alam memabokkan. Pusing berat yang melanda kepalanya sedikit demi sedikit berangsur kurang kalau ia melepas berahinya. Dan ketika semalam suntuk mereka bermain cinta dan Wi Hong lupa akan "janji" si Kedok Hitam, janji yang katanya akan membawa Giam Liong ke situ maka wanita inipun menyambut tak kalah ganas ciuman-ciuman atau peluk ketat laki-laki itu. Wi Hong merasa bertemu dengan suaminya sendiri dan yang dipeluk atau dicium adalah suaminya itu.

Tapi ketika malam terganti pagi dan Wi Hong sadar, rasa pening sudah hilang terganti perasaan lunglai dan letih karena semalam "bertempur", wanita ini meloncat turun maka alangkah kagetnya ketika dia membuka jendela dan melihat bahwa laki-laki yang semalam dipeluk dan dilayaninya bercumbu itu adalah orang lain. Kedok Hitam!

"Kau...?" wanita ini kaget dan marah bukan main. Seketika dia ingat apa yang telah terjadi dan terbelalaklah matanya menatap meja. Arak di atas meja tinggal sedikit dan maklumlah dia apa yang terjadi. Lawan telah memberinya arak perangsang. Dan begitu ia menjerit dan melengking keras, Kedok Hitam masih tidur dan memeluk guling maka Wi Hong ingat segalanya dan tiba-tiba ia menyambar pakaiannya dan menghantam muka laki-laki itu, sekaligus merenggut kedoknya untuk diketahui siapakah gerangan si Kedok Hitam ini sebenarnya.

"Brett!"

Kedok Hitam menghindar dan secepat kilat menggulingkan tubuh ke kiri. Gerakan refleksnya sebagai seorang ahli silat kelas tinggi seketika membuat laki-laki itu sadar dari tidurnya. Teriakan atau pekikan nyaring Wi Hong menggugahnya. Dan ketika sambaran angin pukulan menghantam mukanya dan secepat itu pula ia membuka mata dan membanting tubuh ke kiri, selamat tapi sebagian kedoknya terobek maka Wi Hong terbelalak dan menggigil melihat wajah lawannya ini, wajah tampan seorang laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah...

"Kau!" Wi Hong membentak, menerjang dan mencabut pedangnya. "Kiranya kau, jahanam keparat. Dan aku telah menyerahkan diri pula kepadamu. Aiihhh, kubunuh kau... crat-crat!" dan pedang yang mengenai atau membacok dinding akhirnya disusul oleh pekikan atau jerit marah wanita ini. Wi Hong sungguh kaget oleh dua hal. Pertama adalah sambutan cintanya terhadap laki-laki itu dan kedua adalah melihat wajah laki-laki ini. Dia sungguh tak mengira bahwa si Kedok Hitam ternyata adalah orang itu juga, bangsawan istana yang dulu membuat suaminya dan keluarga suaminya berantakan maka Wi Hong melengking dan pedangnya yang membacok atau menusuk dengan amat cepatnya sudah menyerang laki-laki itu dengan tak kenal ampun.

Kedok Hitam baru saja bangun tidur dan ia masih geragapan, mengelak dan menghindar sana-sini dan jelas iapun kaget dan menyesal bahwa ia kesiangan. Sisa kain hitam di tangan wanita itu membuat laki-laki ini tak berkedip. Ia tiba-tiba menggeram dan membentak Wi Hong agar tidak menyerang. Tapi ketika wanita itu malah menjadi kalap dan lengking atau teriakannya menggetarkan ruangan, Wi Hong bagai orang kesetanan maka Kedok Hitam gelisah mendengar suara-suara di luar yang berlarian datang.

"Serahkan kain itu, nanti kita bicara lagi!"

"Binatang!" Wi Hong kalap. "Kau kiranya, bangsawan busuk. Kau kiranya yang bersembunyi dan bernama Kedok Hitam pula. Pantas, Beng Tan tak pernah memberi tahu aku karena Kedok Hitam kiranya adalah kau juga... plak-plak- plak!"

Kedok Hitam mulai menangkis dan marah kepada wanita ini. Wi Hong menyerangnya bertubi-tubi dan wanita itu tak dapat dibujuk untuk menghentikan serangan sejenak. Wi Hong mendelik gusar melihat lawannya ini, siapa gerangan dan kiranya adalah musuh besar suaminya juga. Dan ketika ia mengamuk sementara teriakan atau seruan-seruan diluar sudah sampai di pintu kamar, mereka hendak mendobrak dan meja kursi berantakan dibabat atau ditendang janda Si Golok Maut ini, keadaan sungguh mencekam maka Kedok Hitam tiba-tiba berkelebat keluar jendela dan membiarkan Wi Hong menyusulnya pula di saat pintu kamar didobrak orang.

"Heii, apa yang terjadi. Mana Kedok Hitam!"

Orang-orang tertegun. Kedok Hitam, yang melompat dan terbang keluar jendela disusul dan dikejar lawannya itu. Kedok Hitam tak berani menoleh karena mukanya terbuka sebagian. Ia harus mencari kedok lagi untuk menutupi mukanya. Dan ketika ia meluncur dan menghilang disamping rumah, lenyap namun diburu lawannya ini maka para pengawal dan Pat-jiu Sian-ongyang baru datang terbelalak melihat seisi kamar yang cerai-berai, begitu juga seprei atau tempat tidur yang morat-marit.

"Ha-ha, Kedok Hitam rupanya telah berhasil memikat si janda Golok Maut itu. Lihat, ia sekarang dikejar-kejar. Wanita itu telah jatuh cinta kepada Kedok Hitam!"

"Jaga mulutmu!" sesosok bayangan kuning berkelebat dan menegur si kakek gundul ini. "Janda Si Golok Maut itu bukan sedang jatuh cinta, Sian-ong, melainkan mengejar dan hendak membunuh Kedok Hitam. Mari, kita lihat dan kalau perlu bantu rekan kita itu!"

"Tapi wanita itu tak mungkin menang. Biarkan saja dan lihat Kedok Hitam akan menangkapnya kembali!"

"Tapi Kedok Hitam melarikan diri. Kalau tak ada apa-apa tak mungkin dia lari. Kejar, dan kita lihat mereka!"

Pat-jiu Sian-ong tertegun. Akhirnya ia mengangguk dan ingat juga akan itu, heran. Tak semestinya Kedok Hitam tunggang-langang menghadapi Sin-hujin itu, karena jelas kepandaian rekannya itu jauh di atas Sin-hujin. Dan tertarik serta merasa aneh akan ini, bayangan kuning sudah menghilang dan lenyap lebih dulu, itulah Lam-ciat si Hantu Selatan maka kakek gundul inipun bergerak dan ia melayang melewati jendela menyusul dua orang itu. Pat-jiu Sian-ong tak mengerti bahwa Kedok Hitam sibuk menyembunyikan diri. Kain hitamnya terenggut lepas dan orang lain tak boleh tahu siapa dia, inilah sebabnya.

Dan ketika kakek itu bergerak dan Lam-ciat serta para pengawal juga memburu, pagi itu mereka dikagetkan oleh jerit atau kemarahan Wi Hong maka Wi Hong sendiri memburu dan mengejar lawannya dengan muka beringas. Wanita ini membabat siapa saja yang ada di depan dan tujuh pengawal terpenggal. Seorang pelayan tergopoh-gopoh di tengah jalan tapi wanita itupun menggerakkan pedangnya hingga pelayan itu menjerit. Kepalanya sudah terlepas dan mencelat di sana. Wi Hong menjadi dewi maut!

Dan ketika Kedok Hitam marah namun harus mengambil kedoknya yang baru, ia bergerak dan lenyap memasuki sebuah kamar maka Wi Hong menendang kamar ini namun buruannya kosong. Wanita itu membentak-bentak namun yang datang justeru adalah Pat-jiu Sian-ong dan Lam-ciat, yang berkelebat dan memasuki kamar ini dengan penuh tanda tanya, heran dan khawatir kenapa Kedok Hitam harus terbirit-birit. Tapi ketika mereka diterjang dan Pat-jiu Sian-ong menangkis, Lam-ciat mengelak dan mendengus menghantam pedang wanita itu maka Kedok Hitam muncul kembali dan berseru kepada mereka,

"Biarkan ia bersamaku. Kalian minggir dan tak usah membantu."

"Eh!" Pat-jiu Sian-ong berseru. "Kenapa kau ini, Kedok Hitam. Apa yang menyebabkan kau terbirit-birit. Lihat, kekasihmu ini jadi marah-marah tak keruan. Mungkin kau tak memberinya jatah lengkap!"

"Ha-ha, mungkin saja," keheranan dan kekhawatiran Lam-ciat lenyap, tak melihat Giam Liong atau Si Naga Pembunuh di situ. "Kupikir Si Naga Pembunuh ada di sini, Kedok Hitam. Tak tahunya hanya siluman betina ini. Ahh, kau tentu telah menikmati malam yang indah bersamanya."

Wi Hong marah bukan main. Ia malah menjadi ejekan atau bahan olok-olok lelaki-lelaki di situ. Omongan si Hantu Selatan menghunjam hatinya, nyeri dan merobek dan Wi Hong masih mengejar dan menyerang kakek itu ketika Kedok Hitam menangkis. Dan ketika pedang terpental dan Wi Hong sudah berhadapan dengan laki-laki ini, musuh yang amat dibencinya maka Wi Hong berteriak dan menggerakkan pedang menusuk lagi.

"Bagus, kau datang, Kedok Hitam. Kubunuh kau... kubunuh kau!"

Namun Kedok Hitam mengelak dan menampar. Ia menangkis atau menghindar bacokan-bacokan pedang yang ganas, mengerutkan kening dan diam-diam ia merasa sayang bahwa perbuatannya semalam gagal menundukkan wanita ini. Ia berharap dapat melumpuhkan wanita itu setelah memiliki tubuhnya, tak tahunya Wi Hong bahkan semakin benci dan marah kepadanya. Dan ketika ia membentak agar wanita itu melepaskan pedang, tak digubris dan Wi Hong menyerang semakin kalap maka laki-laki ini tiba-tiba mencabut sesuatu dan Golok Maut sudah ada di tangannya, golok yang berkeredep dan menyilaukan mata, golok yang tentu saja dikenal Wi Hong. Golok puteranya!

"Giam-to (Golok Maut)!"

Kedok Hitam tertawa mengejek, la mengangguk dan berkata bahwa benar itulah Golok Maut, golok mendiang Sin Hauw dan sang nyonya melotot bagai tak percaya. Golok itu, golok yang dibawa puteranya tiba-tiba sudah ada ditangan lawan. Ini berarti Giam Liong mendapat celaka! Dan ketika nyonya itu memekik dan pucat melihat Golok Maut, benda yang ada di tangan laki-laki itu maka Wi Hong menjadi buas dan tiba-tiba menerjang dengan amat hebatnya.

"Ah, kau manusia binatang, Kedok Hitam. Kau manusia terkutuk. Kau membunuh puteraku. Biarlah kau bunuh aku sekalian atau aku membunuhmu.... sing..crang-crang!" dan pedang yang bertemu golok karena ditangkis dan disambut Kedok Hitam tiba-tiba membuat nyonya itu terpelanting karena pedang seketika patah menjadi dua, tinggal separoh namun Wi Hong meloncat bangun dan menyerang lagi. Dan ketika lawan kembali menangkis dan pedang tinggal gagangnya, Wi Hong menjerit dan berlaku nekat tiba-tiba wanita itu menubruk dan menimpukkan sisa pedangnya ke dada lawan.

"Kedok Hitam, kau boleh bunuh aku!"

Kedok Hitam mengerutkan kening. Sebenarnya ia tak ingin membunuh selain menakitt-nakuti wanita itu. Bayangan Giam Liong di belakang wanita ini membuat Kedok Hitam berpikir banyak. Kalau saja pemuda itu tak lolos tentu ia tak segan-segan membunuh. Wi Hong bakal menterornya dengan kebencian dan dendamnya yang sangat. Wanita ini melebihi ular berbisa. Tapi begitu Wi Hong menimpuknya dengan pedang buntung dan wanita itu menubruknya pula dengan pukulan berbahaya, Ang-in-kang atau Pukulan Awan Merah maka laki-laki ini membentak dan tubrukan wanita itu disambutnya dengan ujung golok. Timpukan pedang dikelit.

"Mundur, atau kau mati!"

Wi Hong terbelalak. Ia melihat lawan mengancam namun ia sudah terlanjur menubruk. Kalaupun mengelak, tetap saja ia terlambat. Entah lengan atau pundaknya bakal tergores. Dan karena ia marah dan beringas oleh golok di tangan lawan, menganggap puteranya benar-benar telah terbunuh maka wanita ini tak takut dan tetap saja menyambar ke depan, tangan kiri berusaha menolak golok dan tangan kanan melancarkan pukulan.

"Crep-dess!"

Wi Hong mengeluh dan Pat-jiu Sian-ong maupun yang lain-lain tertegun. Wanita gagah yang berulang kali menyatroni istana ini tertahan dan tergantung di udara, dadanya tembus tertusuk golok sementara jari kelingkingnya putus mencengkeram golok. Tadi Wi Hong menolak atau menghalau golok itu namun golok yang tegar dan tak bergeming di tangan si Kedok Hitam tetaplah tak mampu digeser. Golok itu kokoh di tangan yang kuat dan kelingking wanita ini putus, ketajaman Golok Maut siapapun tahu.

Dan ketika pukulan tangan kanannya mengenai tubuh lawan namun Kedok Hitam lagi-lagi tak bergeming, sinkangnya kuat menahan maka Wi Hong justeru menjadi korban dan tubuhnyapun terhenti di udara dengan posisi terangkat. Janda mendiang Si Golok Maut ini berkejap sejenak, mengerang dan mengeluh karena tusukan golok amatlah dalam. Ia tadi menubruk dengan kuat dan jadilah seperti tersate. Tapi begitu darah menyemprot dan membasahi baju si Kedok Hitam, laki-laki ini terkejut dan membelalakkan mata maka ia menurunkan goloknya dan robohlah wanita itu di lantai yang bersimbah darah.

"Bluk!"

Wi Hong berkelojotan. Janda Si Golok Maut ini merintih dan kejang-kejang. Rasa sakit yang sangat di dada kirinya membuat wanita itu sekarat. Ia berteriak tapi yang keluarlah hanyalah keluhan lirih. Dan ketika ia mendelik dan benci memandang lawan, Kedok Hitam mundur dan berkerut-kerut maka sesosok bayangan berkelebat dan Yu Yin, gadis cantik itu, muncul.

"Suhu...!"

Teriakan atau jerit panjang ini mengejutkan semuanya. Kedok Hitam menoleh dan tahu-tahu murid perempuannya telah ada di situ, berlutut dan memeriksa Wi Hong. Dan ketika didapatinya bahwa Wi Hong tak mungkin selamat, bekas tusukan itu amatlah dalam maka gadis ini tersedu-sedu dan meloncat bangun berdiri. Wi Hong sendiri menyeringai dan gelap pandang matanya.

"Kau... kau kejam!" Yu Yin berteriak kepada suhunya, "kau kejam, suhu. Kau tak berperasaan. Setelah semalam kau menodai wanita ini maka sekarang kau membunuhnya!"

Kedok Hitam terkejut, membelalakkan mata. "Kau mau campur urusan orang tua?"

"Ah," gadis ini membanting kaki. "Campur atau tidak aku adalah muridmu, suhu. Sepak terjangmu bakal melibatkan aku pula. Kau membunuh calon mertuaku. Kau kejam, kau tak berperasaan..!" namun ketika Kedok Hitam membentak dan berkelebat ke arah muridnya, marah mendengar Yu Yin menyebut-nyebut mertua maka gadis itu ditamparnya dan Yu Yin roboh terpelanting.

"Tutup mulutmu, atau nanti kau kubunuh pula."

"Bunuhlah, bunuhlah aku!" Yu Yin berteriak-teriak. "Kau boleh bunuh aku, suhu. Aku juga tak ingin hidup lagi setelah kau membunuh ibunya Giam Liong. Ah, kau menanam permusuhan semakin hebat dan rusak sudah hubunganku dengannya!" dan si gadis yang meloncat dan memaki-maki gurunya, marah dan menerjang ke depan tiba-tiba menubruk dan menyerang gurunya itu. Yu Yin baru saja mendengar ribut-ribut ini ketika semalam ia mendekati kamar gurunya, mendengar dengus dan gejolak nafsu dan tentu saja ia tahu apa yang terjadi. Ingin ia mendobrak pintu kamar itu namun didengarnya bisik-bisik Sin-hujin bahwa pergumulan itu bukanlah paksaan.

Yu Yin tak tahu bahwa gurunya mempergunakan arak birahi dan baru ketika ia menengok lagi tampaklah botol arak yang tumpah. Mukanya merah padam karena segera ia tahu apa yang dilakukan gurunya. Bisik-bisik dan desah cinta. Sin-hujin itu kiranya karena pengaruh arak, bukan atas dasar suka sama suka seperti yang semula dikiranya, karena diam-diam iapun juga heran dan tak senang bagaimana ibu kekasihnya itu dapat menerima begitu saja cinta gurunya. Bukankah Sin-hujin dan puteranya ini sama-sama membenci gurunya, juga ayahnya.

Dan ketika pagi itu ia mendengar rebut-ribut dan berlari ke arah kamar, tertegun melihat kamar yang porak-poranda dan arak yang terlempar di sudut, bau tajam dan menyengat menghantam hidungnya maka ia cepat-cepat menuju ke tempat itu namun sudah terlambat karena Sin-hujin dadanya tertembus golok! Yu Yin segera tahu bahwa gurunya benar-benar jahat sekali. Tadi malam menggauli Sin-hujin dan sekarang membunuhnya. Dan ketika ia berteriak dan memaki-maki gurunya, Kedok Hitam terkejut dan malu kepada Lam-ciat maupun Pat-jiu sian-ong maka laki-laki ini menggerakkan tangannya dan sekali tampar ia membuat muridnya kembali terbanting dan roboh.

"Yu Yin, tutup mulutmu. Atau nanti kujebloskan ke ruang bawah tanah!"

"Jebloskanlah, bunuhlah. Aku protes akan sepak terjangmu, suhu. Kau kejam dan tak berperasaan. Aku malu menjadi muridmu!"

Kedok Hitam melengking. Tiba-tiba ia dibuat merah kehitaman oleh maki-makian muridnya ini, bergerak dan menempeleng muridnya sampai terjengkang. Dan ketika Yu Yin mengaduh namun sang guru menambahinya lagi dengan satu tamparan di mulut, gadis itu berteriak dan terguling maka murid Kedok Hitam ini pingsan dan roboh di dekat Wi Hong.

Orang tak tahu lagi apakah wanita itu masih hidup atau tidak. Melihat lukanya tak mungkin ia selamat. Dan ketika Kedok Hitam menendang dan menangkap muridnya, mata berapi bagai seekor naga murka maka laki-laki itu berseru kepada Pat-jiu Sian-ong untuk membuang atau melempar Wi Hong ke hutan. Kakek gundul itu mengangguk namun ia ganti memerintahkan pengawal untuk membawa mayat wanita itu.

Wi Hong memang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Dan ketika Pat-jiu Sian-ong meninggalkan ruangan dan Lam-ciat juga menyeringai meninggalkan ruangan, semua pergi menyaksikan pagi berdarah maka Wi Hong sendiri sudah dilempar atau dibuang ke hutan oleh pengawal suruhan Pat-jiu Sian-ong. Dan begitu tempat itu sepi kembali dan pengawal atau istana membicarakan tewasnya wanita itu maka di hutan Wi Hong ditemukan oleh anak buah Chu-goanswe yang tentu saja geger!

* * * * * * * *

"Celaka, Sin-hujin tewas. Celaka, mayatnya ada di sini."

Begitu suara gaduh dan ramai ketika sore itu anak buah Chu-ngoanswe melihat. Mula-mula seorang pejuang meronda atau berjaga-jaga di tepi hutan, berindap dan mengawasi sekeliling karena siang tadi ia melihat serombongan pasukan kerajaan melempar sesuatu di luar hutan. Dan ketika ia menceritakan kepada temannya dan beberapa orang ikut, menyertai penjaga yang melihat ini maka mereka memeriksa dan alangkah kagetnya mereka ketika melihat mayat Sin-hujin di situ, di dekat semak-semak dengan pakaian tak keruan.

"Astaga, rupanya ia habis diperkosa!"

"Sst, hati-hati. Siapa mau memperkosa mayat!"

"Ah, bawa ia ke dalam, kawan-kawan. Laporkan kepada goanswe dan Sin-siauw-hiap. Celaka kalau ibunya sudah begini!"

Para pejuang geger. Kemarin mereka sudah melihat perginya wanita ini ke kota raja, melabrak dan mencari si Kedok Hitam menyangka puteranya terbunuh, padahal Sin-siauwhiap atau Si Naga Pembunuh juga baru saja datang ke tempat mereka, bertemu dan bercakap-cakap dengan Chu-goanswe tentang ibunya itu. Dan begitu mereka mengangkat dan membawa mayat ini, keadaan Wi Hong sungguh mengenaskan maka tiba-tiba Wi Hong membuka mata dan menggeliat.

"Tolong... siapa kalian...!"

Tiga pejuang ini berjengit. Mereka tak menyangka bahwa Sin-hujin masih hidup, melolong dan meluaskan "mayat" itu untuk lari tunggang-langgang. Sin-hujin berdebuk dan jatuh lagi tubuhnya, mengeluh. Tapi ketika tiga orang itu menoleh dan melihat keadaan ini, tertegun dan menghentikan lari mereka maka dengan muka pucat mereka memandang dan satu di antaranya berbisik bahwa Sin-Jiujin masih hidup.

"Bukan... bukan mayat hidup. Sin-hujin memang belum tewas. Ah, dan kita telah melepaskan tubuhnya begitu saja!"

"Tapi ia meringkuk di situ sejak siang tadi, tak bergerak-gerak. Jangan-jangan itu hantunya dan mayatnya bangkit lagi!"

"Tidak, tak mungkin, kawan. Hantunya atau bukan kita wajib menolong. Dia adalah ibunda Si Naga Pembunuh!"

"Jadi bagaimana?"

"Kita dekati lagi, kita lihat. Masa tiga laki-laki harus gentar menghadapi hantu!"

Tiga orang itu bergerak. Kawan mereka yang memimpin ini telah menimbulkan keberanian. Lagi pula, itu adalah Sin-hujin, sudah menjadi mayat atau belum haruslah mereka tolong. Keluhan atau gerakan wanita itu memang membuat mereka kaget. Dan karena tak mungkin ada mayat bisa bangun berdiri, mengeluh dan menggeliat seperti tadi maka tiga orang ini mendekat dan Wi Hong berkemak-kemik minta tolong.

"Aku... aku masih hidup, biarpun akan mati. Siapa kalian dan apakah dapat menemukan aku dengan anakku Giam Liong.”

"Ah, kami anak buah Chu-goanswe, hu-jin. Sungguh menyesal melihat kau dalam keadaan seperti ini di sini. Kami mengira kau telah tewas. Maaf kami akan membawamu dan menemui Sin-siauwhiap!"

Wi Hong bergerak keras. Begitu mendengar bahwa itu adalah kaum pejuang, anak buah Chu-goanswe mendadak ia serasa mempunyai kekuatan. Apalagi mendengar disebut-sebutnya nama puteranya di situ. Berarti Giam Liong ada dekat di situ. Dan ketika wajahnya bersinar dan muka yang tadi pucat dan hampir padam itu mendadak bercahaya, Wi Hong girang bukan main maka ia minta diantar dan dibawa ke tempat puteranya. Tak ingat atau tak heran bagaimana puteranya bisa "hidup" lagi, di tempat Chu-goanswe, padahal Golok Maut di tangan si Kedok Hitam!

"Antarkan aku... larikan kepadanya. Cepat, aku tak ingin terlambat!”

Tiga orang itu bergerak. Setelah mereka yakin bahwa Sin- hujin benar-benar hidup, meskipun luka parah tiga orang ini menjadi girang tapi juga cemas bukan main. Mereka tak berani lama-lama memandang bekas tusukan yang amat dalam itu dan ingin menyerahkannya kepada Chu-goanswe saja, juga Giam Liong yang ada di sana. Dan ketika mereka mengangkat dan membawa lari wanita ini, Wi Hong menahan sakit dan pingsan di tengah jalan maka wanita yang telah disangka tewas dan di buang ke hutan itu ternyata dapat bertahan dan masih hidup. Dalam keadaan setengah sadar setengah tidak wanita ini merasa bertemu dengan suaminya, diberi tahu bahwa puteranya masih ada di dunia dan karena itu Wi Hong tak ingin mati. Ia tak mau cepat-cepat meninggalkan raganya kalau belum bertemu dengan puteranya itu. Hebat kemauan batin wanita ini.

Dan ketika ia mengalami mati semu dan kematiannya itu disangka sungguh-sungguh, Pat-jiu Sin-ong tak memeriksa dan para pengawal adalah orang-orang tolol yang ceroboh maka justeru dibuangnya wanita ini ke hutan membuat anak buah Chu-gophswe melihatnya dan kini mengambil. Wi Hong setengah mati dan benar-benar sekarat. Dua kali ia dibayang-bayangi wajah suaminya yang siap menyongsong. Golok Maut tampak gagah di alam sana dan Wi Hong ingin menubruk. Tapi ketika berkali-kali suaminya itu menghilang dan menggoyang lengan, tak boleh buru-buru ke alam baka sebelum menemukan puteranya maka Wi Hong berjuang dengan maut dan anak buah Chu-goanswe yang ada di dalam hutan geger dan gempar.

"Sin-hujin datang.... Sin-hujin luka. Beri tahu Chu-goanswe dan mana Sin-siauw-hiap!"

Para pejuang berlompatan. Mereka itu melihat tiga teman mereka yang berlari-lari tergopot-gopoh, memanggil-manggil Chu-goanswe dan juga Sin-siauwhiap. Dan ketika semuanya keluar dan sebentar saja ratusan orang muncul, tigaratus lebih anak buah jenderal ini mengerubung maka tiga orang itu sudah di dekat kemah dan sesosok bayangan berkelebat dan langsung mendorong atau menyibak orang-orang ini, melihat Wi Hong yang mandi darah.

"Ibu..."

Jerit atau pekik tertahan itu serasa menggetarkan jantung. Giam Liong, Si Naga Pembunuh, muncul dan mendengar ribut-ribut ini. Pemuda ini sedang menghabiskan waktu dan gelisah mondar-mandir. Dia terikat perjanjiannya dengan Yu Yin, kekasih sekaligus juga anak musuh besarnya itu. Dan ketika hari kedua lewat dengan cepat tapi bagi Giam Liong dianggap lambat, detik demi detik dilalui dengan amat gelisah maka pemuda itu terkejut sekali mendengar namanya dipanggi-panggil dan tiga pejuang lari tergopoh-gopoh membawa seorang wanita. Wi Hong dibuatkan tandu darurat dan dengan tandu itulah wanita ini dilarikan. Dan begitu Giam Liong bergerak dan muncul, melihat keadaan ibunya yang parah maka pemuda itu roboh dan seketika ia mengguguk di atas tubuh ibunya ini. Wi Hong pingsan.

"Ibu.... ibu... siapa yang melakukan ini kepadamu. Jahanam siapa yang membuatmu begini!"

"Minggir," seorang laki-laki tinggi besar tiba-tiba menyibak pula, datang dan terkejut. "Apa yang terjadi, Sin-siauwhiap. Ada apa dengan ibumu...." tapi begitu menumbuk dan melihat wajah Wi Hong di atas tandu, wajah yang kehijauan dan pucat dengan luka dalam di dada maka Chu-goanswe, laki-laki tinggi besar ini tertegun. "Ah, ibumu luka berat, Sin-siauwhiap. Jangan hanya ditangisi dan dikeluhi saja. Biarkan aku menolong!"

Giam Liong, pemuda yang mengguguk itu menoleh. Tiba-tiba wajahnya beringas dan menakutkan bertemu laki-laki gagah ini. la melompat bangun dan berkelebat menghantam sebuah pohon besar di dekatnya. Dan ketika pohon itu ambruk tapi selanjutnya Giam Liong menumpahkan marah dan dendamnya dengan mengamuk disitu, berteriak dan memekik-mekik maka anak buah Chu-goanswe mundur karena sebentar saja belasan pohon tumbang, hiruk-pikuk dan membuat hutan menjadi gaduh karena kemarahan dan sakit hati pemuda ini tak tertahankan lagi.

Ibunya, ibu kandungnya dicelakai orang. Tak ada kemungkinan selamat karena sekali lihat Giam Liong segera tahu bahwa ibunya di ambang kematian. Chu-goanswe hanya sia-sia kalau ingin menolong ibunya. Tapi ketika ia mengamuk dan memekik-mekik di situ, menghantam dan merobohkan belasan pohon lagi yang tumbang berdebum tak keruan maka Chu-goanswe berteriak-teriak dan memanggil-manggil pemuda ini.

"Siauwhiap, Sin-siauwhiap... berhenti. Ibumu memanggilmu!"

Giam Liong berkelebat. Wajahnya begitu mengerikan ketika bergerak ke arah jenderal ini, membentak dan mencengkeram lehernya bertanya apa yang dia katakan tadi. Dan ketika Chu-goanswe pucat bahwa pemuda itu dipanggil ibunya, jenderal ini terbata dan tersedak-sedak maka ia menggigil menuding.

“lbumu... kau... kau dipanggil ibumu"

Giam Liong sadar. Tiba-tiba ia mendengar keluhan lirih dari ibunya yang tadi pingsan dan berada di antara mati dan hijdup tiba-tiba memanggilnya. Suara lirih itu tertangkap dan Giam Liong bergerak melepaskan cengkeramannya kepada Chu-goanswe ini, berlutut dan menangis memeluk ibunya. Dan ketika ibunya membuka mata dan benar saja memanggilnya, bibir yang pucat itu bergerak-gerak sukar, maka Giam Liong tak dapat menahan diri dan menubruk ibunya ini.

“Ibu..."

Wi Hong menangis. Wanita inipun tak dapat menahan harunya melihat sang putera. Keinginannya terkabul. Ia dapat bertahan sehari untuk bertemu puteranya itu. Dan ketika ia terbatuk dan terengah-engah, Giam Liong memeluk dan menciumi ibunya ini maka pemuda itu bertanya, wajahnya merah gelap.

“Ibu, siapa yang membuatmu seperti ini. Benarkah kau ke kota raja dan tidak mengikuti nasihat Chu-goanswe!"

"Oohh..." sang ibu menggeliat, mencengkeram rambut sang anak. "Aku... aku dipermalukan si Kedok Hitam, Giam Liong ibumu dipermainkan. Ia... ia mengganggu tubuhku...!"

"Ibu diapakan? Si Kedok Hitam? Sudah kuduga, pasti iblis itu! Kau tak perlu khawatir, ibu. Aku bersumpah untuk membunuh dan mencincangnya!"

"Tapi... tapi golokmu ada di sana. Bagaimana Golok Maut bisa di tangan laki-laki itu.!"

"Aku dijebak, ibu. Kedok Hitam bersikap curang. Aku sedang akan ke sana tapi terikat perjanjianku dengan Yu Yin."

"Ah, gadis cantik itu? Hi-hik, dia pantas menjadi isterimu, Giam Liong. Dia... dia telah membela ibumu dengan menyerang gurunya...augh!"

Giam Liong terkejut. Ibunya menggeliat dan berseru mengaduh karena tiba-tiba rasa nyeri dan sakit yang sangat menusuk dada. Wi Hong terlalu banyak bicara dan Giam Liong menekan dada ibunya ini. Pemuda itu menyalurkan hawa sakti dan disuruhnya ibunya tak banyak bicara. Tapi ketika Wi Hong mendapat tambahan tenaga dan menggeleng sambil terbatuk-batuk, menyeringai dan tertawa di antara rasa sakitnya maka wanita itu berseru,

"Tidak... tidak. Aku ingin bicara banyak kepadamu, Giam Liong, yang penting penting. Aku... aku, uhhh..!"

Giam Liong menangis. Ia bercucuran air mata melihat keadaan ibunya ini. Sesungguhnya ibunya tak boleh banyak bicara kalau ingin lebih lama. Tapi karena menyadari bahwa ada sesuatu yang penting hendak disampaikan ibunya itu, apa dan siapa maka pemuda ini mepotok tujuh jalan darah dan meminta untuk ibunya tidak tergesa-gesa.

"Baik, kau bicaralah, ibu, yang tenang. Jangan tergesa-gesa. Aku akan membantumu sebisa ku. Lukamu parah sekali. Heran bahwa kau masih dapat bertahan sampai sekarang!"

"Hi-hik, aku menunggumu, nak. Ibu tak mau mati kalau belum bertemu kau. Tuhan mengabulkan, dan aku puas!"

"Sudahlah, ibu mau bicara apa!"

"Benar, aku mau bicara. Aduh, dadaku sesak...!" namun ketika Giam Liong mengurut dan melegakan napas ibunya maka Wi Hong terbata-kata. "Dia... Kedok Hitam... ah, dia menggagahiku. Dia memperkosaku”

"Akan kupotong alat kelaminnya!" Giam Liong membentak, berseru merah padam. "Sudah kuduga bahwa bangsat keparat itu mengganggumu, ibu. Tapi bersumpah demi Langit dan Bumi aku akan memotong alat kelaminnya?"

"Hi-hik, benar. Dan kutungi kaki tangannya seperti ketika dulu dia membunuh ayahmu, Giam Liong. Balaskan sakit hati ayah ibu mu."

"Aku bersumpah!"

"Tapi aku senang..."

Giam liong tertegun.

"Aku senang laki-laki itu menggagahi ibumu, Giam Liong. Dia. hi-hik, dia akan kena tuah dari Golok Maut!"

"Maksud ibu?"

“Ah, pemegang golok itu tak boleh berhubungan dengan wanita, Giam Liong. Ini pantangannya. Lihat kejadian ketika dulu ayahmu menggauli ibu."

Giam Liong tertegun. Mula-mula dia merasa heran dan kaget kenapa ibunya senang diperkosa. Hampir saja dia marah dan memaki ibunya ini. Tapi ketika ibunya menjelaskan dan dia sadar, pemegang Golok Maut memang tak boleh berbuat intim dengan lawan jenis maka ibunya itu terengah dan menyeringai, tertawa.

"Lihat.... lihat kutukannya nanti, Giam Liong. Kedok Hitam pasti mampus disambar Golok Maut itu. Dia telah. melanggar larangannya... hi-hi, aku puas!"

"Tapi ibu dipermainkan. Ibu dihina!"

"Benar, dan aku... aduh, hatiku sakit sekali, Giam Liong. Aku benci tujuh turunan dengan laki-laki itu. Aku tak dapat membalas dendam!"

"Aku yang akan membalaskan dendam itu," Giam Liong borkata. "Tak usah kau khawatir, ibu. Aku telah bersumpah untuk menagih jiwa."

"Benar, dan kau... kau, ah!" Wi Hong tersedak, napasnya kembali megap-megap. "Kau tolong pula gadis cantik itu, Giam Liong. Yu Yin sungguh berbeda dengan ayahnya. Dia... dia tentu celaka."

"Ibu tak usah bicara tentang ini," Giam Liong mengerutkan kerang. "Hubunganku dengannya masih penuh duri!"

"Ah, dia gadis yang baik, calon isteri yang baik. Kalau kau dapat menjadi suaminya maka pesanku satu, Giam Liong. Buang atau kembalikan Golok Maut di Lembah Iblis. Orang yang sudah berkeluarga tak boleh membawa golok ini!"

Giam Liong menahan air matanya yang bercucuran. Bicara tentang Yu Yin justeru semakin menusuk pecasaannya saja. Kalau tidak karena Yu Yin tentu ia sudah menerjang ke kota raja, melabrak! Tapi karena waktu tiga hari belum habis dan gadis itu berjanji untuk merampas kembali Golok Maut yang dirampas Kedok Hitam, janji yang membuat masing-masing pihak harus menahan dan mengendalikan perasaan masing-masing maka Giam Liong penuh duka kalau ibunya membicarakan ini.

Dia tak tahu apakah bisa mereka bersatu. Cinta di masing-masing pihak memang telah sama-sama dalam namun ganjalan di masing-masing pihak juga sama besar. Gadis itu adalah murid Kedok Hitam, musuhnya. Dan ketika Giam Liong mengguguk karena ibunya minta dicium, gemetar dan meraih kepalanya maka perasaan pemuda ini benar-benar hancur ketika mendengar kata-kata ibunya itu.

"Giam Liong, ibu sudah tak kuat.... peluk dan ciumlah ibu. Aku... aku melihat bayang-bayang ayahmu?"

Giam Liong berguncang. Melihat dan merasakan keadaan ibunya ini tiba-tiba pemuda itu tak kuat. Didekap dan dipeluknya ibunya itu kuat-kuat. Giam Liong menangis dan menciumi ibunya. Dan ketika Wi Hong balas mencium dan tertawa aneh, Chu-goanswe dan para pejuang tak tahan hingga meruntuhkan air mata maka Wi Hong berbisik teringat sesuatu hal.

"Giam Liong, Kedok Hitam.... Kedok Hitam ternyata bukan orang lain. Dia adalah..."

Giam Liong terkejut. Ibunya berhenti dan tak meneruskan kata-katanya, terbatuk dan coba bicara lagi namun suaranya tiba-tiba hilang. Dan ketika pemuda itu tertegun karena ibunya berusaha sekuat tenaga namun gagal, Giam Liong menekan punggung ibunya agar ibunya dapat bicara lagi maka bagai geledek di siang bolong ia mendengar lanjutannya,

"...ia adalah Coa-ongya!"

Bentakan atau pekik menggelegar pecah dari mulut pemuda ini. Wi Hong sudah roboh dan wajah wanita itu tampak puas memberikan keterangan terakhir. Ia tak gagal! Dan ketika Giam Liong mencelat dan menggigil di sana, wajah berubah-ubah dengan amat hebatnya mendadak ia melengking dan terbang menuju kota raja. Mayat ibunya ditinggal!

"Siauwhiap...!"

Giam Liong tak mendengar atau memperdulikan seruan ini. Chu-goanswe, yang terkejut dan memanggil pemuda itu tak digubris. Jenderal ini dan para pejuang tak mendengar kata-kata Wi Hong tadi. Suara wanita itu amatlah lirih karena ia benar-benar sudah di ambang maut. Kalau Giam Liong tidak memberinya tenaga tentu ia tak dapat bicara. Tenaga wanita itu sudah habis.

Maka ketika Giam Liong mencelat dan mengeluarkan teriakan mengguntur, kata-kata atau keterangan ibunya tadi memang sungguh mengagetkan, ia tak menduga maka pemuda ini sudah terbang dan meluncur kekota raja. Giam Liong tak ingat lagi perjanjiannya dengan Yu Yin, dan ia juga agaknya tak perduli lagi dengan janji itu. Persetan dengan janji.

Namun ketika ia meluncur dan keluar hutan, gerakannya luar biasa cepat karena ia mengerahkan semua ilmu meringankan tubuhnya, ia tak sabar dan ingin mencari musuh besarnya mendadak jeritan wanita memanggilnya, jerit diiring isak tangis.

"Giam Liong...!"

Pemuda itu tertegun. Si Naga Pembunuh, yang membesi dan merah kehitaman wajahnya ini tiba-tiba berhenti dan membalik oleh panggilan itu, padahal tadi panggilan Chu-goanswe tak pernah digubris Dan ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah Yu Yin, suara yang sudah dikenal pemuda ini maka Giam Liong mendengus dan pancaran matanya yang penuh hawa membunuh membuat gadis itu terkejut dan seketika berhenti, mengguguk.

"Aku..., aku ada perlu sebentar. Istana dan gerbang kota raja dijaga ketat oleh tujuh lapis tentara. Sepuluh ribu orang dikerahkan. Kau jangan kesana!"

"Hm, apa perdulimu!" Giam Liong membentak, berseru dan tiba-tiba mencengkeram gadis ini. "Ayahmu telah membunuh ibuku, Yu Yin. Dan hutang jiwa harus dibayar jiwa. Aku tak perduli nasihatmu. Pergilah!"

Yu Yin menjerit. Ia dilempar dan dibuang jauh oleh Giam Liong, berjungkir balik tapi sudah turun di depan pemuda ini lagi. Dan ketika Giam Liong tertegun karena gadis itu menghalangi jalannya, Yu Yin tiba-tiba marah dan juga terhina oleh sikap Giam Liong maka gadis itu bertolak pinggang, mengedikkan kepala.

"Giam Liong, aku melarangmu ke sana. Atau kau bunuh dulu aku disini!"

"Kau... kau ada hak apa?" Giam Liong terkejut, marah. "Ini urusanku sendiri, Yu Yin. Tak usah ikut campur!"

"Urusanmu adalah urusanku juga. Aku berhak ikut campur!"

"Apa? Kau...vkau berani bicara seperti itu? Hak yang bagaimana?"

“Hak sebagai kekasih. Kau bagian dari hidupku dan mati hidupmu adalah urusanku juga!"

"Keparat!" Giam Liong membentak. "Ayahmu membunuh ibuku, Yu Yin. Tak ada urusan cinta di antara kita. Minggir, atau kau kuhajar!" dan Giam Liong yang menangkap atau menyambar kembali gadis ini lalu hendak melempar gadis itu agar tak menghalang8 jalan. Giam Liong marah karena kematian ibunya masih membuat darahnya mendidih. Ia bakal tak segan-segan pula menghajar gadis ini. Dan ketika Yu Yin mengelak namun ia menyambar lagi, tertangkap dan dilempar maka Yu Yin terbanting dan terguling-guling di sana. Giam Liong berkelebat dan terbang lagi ke kotaraja.

"Giam Liong, tunggu. Mana janjimu menunggu waktu tiga hari itu!"

"Hm, tak ada lagi janji di antara kita. Aku hendak membunuh musuh besarku, Yu Yin. Kau pergilah atau bantu ayahmu itu!"

"Keparat, kau tak pantas menjadi putera Si Golok Maut Sin Hauw. Janji yang sudah dikeluarkan ternyata dijilat kembali. Cih, kau manusia ingkar, Giam Liong. Ibumupun tentu tak bakal tenang di alam baka!"

Giam Liong berhenti. Bagai disentak rem yang amat kuat mendadak ia menahan larinya. Yu Yin mengejar dan berjungkir balik melewati atas kepalanya. Dan ketika mereka berhadapan lagi dan gadis itu tampak merah padam, sama seperti Giam Liong yang juga hangus dan merah kehitaman maka pemuda itu membentak, suaranya menggigil,

"Yu Yin, kau... kau bicara apa? Kau menyebut-nyebut ibuku?"

"Benar, ibumu tentu kecewa melihat sepak terjangmu, Giam Liong. Punya anak hanya sewayang ternyata penjilat ludah. Cih, akupun juga tak sudi mencintaimu lagi. Kau busuk dan memuakkan!"

"Aku juga tak mencintaimu. Kau anak musuh besarku!"

"Aku juga. Aku menyesal dan menarik semua cintaku yang pernah ada. Kita bertanding dan selesaikan permusuhan ini sebelum kau ke kota raja... srat!" dan Yu Yin yang mencabut pedang dan mengamuk menyerang pemuda ini lalu seperti gaya anak-anak remaja sekarang yang cengeng-cengeng.

Mereka masing-masing telah saling mengumpat dan menyatakan tidak cinta lagi, padahal berani sumpah perasaan itu masih lekat dan kuat di hati mereka. Dan ketika terbukti bahwa tusukan-tusukan Yu Yin hanya ke tempat-tempat ringan, sama sekali tak ada maksud-maksud membunuh sementara Giam Liong juga diminta membalas namun hanya mengelak dan berkelebatan ke sana ke mari maka Yu Yin menangis menyerang pemuda itu sambil membentak-bentak.

"Giam Liong, ayo kau balas aku... balas! Aku siap kau bunuh dan setelah itu pergilah ke kota raja. Aku muak melihat seorang penjilat ludah. Kau tak pantas menjadi putera ayah ibumu yang gagah. Kau tikus pecomberan”

"Hm," Giam Liong terpukul dan malu, kesadarannya mulai ada. "Lebih baik kau yang membunuh aku, Yu Yin. Arahkan pedangmu ke dada dan jangan sering-sering meleset!"

"Kau tak bersenjata, dan kepandaianmu jelas lebih tinggi daripada aku. Ayo, pukul dan bunuhlah aku. Aku ingin tahu bahwa kau benar-benar sudah tidak mencintai aku. Aku muak melihat tampangmu!"

"Hm, akupun juga sebal melihat dirimu, Yu Yin. Tapi kalau kau benar-benar tidak mencintai aku lagi coba kau buktikan dan tusuk dadaku... crat!" Giam Liong tidak menghindar, bahkan menyerahkan dadanya untuk ditusuk dan Yu Yin menjerit karena pedang tiba-tiba menancap disitu. Darah keluar! Dan ketika gadis ini melepaskan pedangnya sementara Giam Liong jatuh terduduk, terbelalak, maka gadis itu menangis dan menubruk Giam Liong!