Naga Pembunuh Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HM, aku tak butuh berkenalan dengan nama-nama pemberontak. Kami ke mari untuk mencari Giam Liong, suci. Suruh dia keluar atau kami pergi!"

"Eh-eh, siapa yang berkenalan dengan para pemberontak? Mereka ini adalah para pejuang, sumoi. Justeru kehormatan besar bagimu dapat bertemu langsung dengan Chu-goanswe. Mereka bukan pemberontak"

"Aku tak butuh berkenalan dengan mereka. Kami datang untuk mencari Giam Liong. Suruh puteramu keluar atau kami pergi”

"Hi-hik, untuk apa? Untuk menerima lagi kekalahan?"

"Jangan sombong. Kalah menang adalah hal biasa bagi orang-orang gagah, suci. Di atas langit masih ada langit. Suamiku perlu untuk menyadarkan puteramu itu, agar tidak sesat!"

"Heh, sesat? Hi-hik kau lucu dan ngawur bicara, sumoi. Kalau bukan kau tentu sudah kutampar. Apa maksud suamimu dengan menyadarkan puteraku itu. Katakan saja di sini karena aku ibunya!"

"Hm, aku ingin bertemu Giam Liong langsung," Beng Tan bicara dan kini tampil ke depan, menggamit isterinya. "Kami tak ada urusan dengan siapa pun, VVi Hong. Tolong panggil puteramu atau kami pergi"

"Aku ibunya, sama saja!"

"Tidak, tidak sama. Aku tidak berbicara denganmu melainkan ingin bicara dengan puteramu itu. Kalau ia tak ada disini baiklah aku pergi dan lain kali saja kita ketemu!"

"Eh-eh, begitu enak? Jangan kurang ajar. Kami telah menyambutmu baik-baik, Hek-yan-pangcu. Dan jangan balas sambutan ini dengan sikapmu yang sombong. Kau tak boleh pergi kalau kami tidak mengizinkan!"

"Hm, apa maumu?"

"Kau telah menghina Chu-goanswe, menolak maksud hatinya yang baik. Dan karena kau adalah tamu sementara kami adalah tuan rumah maka kau harus tunduk kepada tuan rumah dan jangan bersikap seenak perutmu. Kau harus minta maaf dulu kepada Chu-goanswe.”

"Hm," Beng Tan mengejek. "Aku tak merasa berkenalan dengan orang yang kau sebut itu. Dan orang yang merasa Jenderal tapi belum pernah diangkat kaisar adalah orang liar. Kami tak dapat lama-lama di sini, Wi Hong. Dan maaf bahwa kami harus pergi!"

Beng Tan menarik isterinya, bergerak dan tahu-tahu meloncat tinggi di atas kepala orang-orang itu. Dan ketika mereka terkejut dan berteriak, ketua Hek-yan-pang ini telah meninggalkan mereka maka Beng Tan telah "terbang" dan melewati kepala orang-orang di situ untuk kembali ke sungai.

"Wut-wut..!"

Orang-orang itu terbelalak dan berseru keras. Beng Tan telah melewati kepala mereka dan tahu-tahu sudah di tepian sungai. Tapi begitu mereka sadar dan pendekar itu mengerutkan kening celingukan mencari perahu, perahu yang tadi sudah lenyap dan dipakai orang-orang berperahu di sana maka pengikut Chu-goanswe itu mengejar dan masing-masing menyerukan seruan marah.

"Tangkap, jangan sampai dia lolos?"

Chu-goanswe dan Wi Hong sendiri terkejut. Mereka tercekat oleh gerakan cepat pendekar ini. Chu-goanswe sampai kagum, maklum, baru pertama itu dia melihat dan bertemu ketua Hek-yan-pang ini, menyaksikan kelihaiannya. Tapi ketika dia sadar dan anak buahnya berteriak, semua memburu dan mengejar pendekar itu maka Wi Hong sendiri sudah melengking dan berkelebat kedepan.

"Beng Tan, jangan melarikan diri. Hadapi kami kalau gagah”

"Benar, jangan lari kalau berwatak ksatria,

Hek-yan-pangcu. Hadapi kami dan jangan terbirit-birit” "Hm, siapa terbirit-blriti!" Swi Cu membentak Chu-goanswe itu. "Kami bukan terbirit-birit melarikan diri, orang she Chu, melainkan menyelamatkan dirimu itu agar pedang kami tidak bicara!"

"Tidak, kalian tak boleh pergi. Pokoknya harus di sini dulu dan tunduk atau menghargai tuan rumah... singgg" dan Wi Hong yang membentak dan sudah mendahului yang lain-lain, melewati dan berjungkir balik di atas kepala orang-orang Chu-goanswe sudah menusuk dan menyerang Swi Cu.

Beng Tan belum diserang karena Swi Cu inilah yang lebih dekat, juga karena Beng Tan lebih ditakuti daripada Swi Cu. Dan ketika Swi Cu marah dan tentu saja membalik, mengelak sekaligus mencabut pedangnya maka dua batang pedang bertemu dan mengeluarkan suara nyaring diudara.

"Crangg...”

Bunga api berpijar. Wi Hong terkekeh dan menyerang lagi, cepat berkelebatan dan tahu-tahu sudah mengurung sumoinya itu dengan gulungan atau sambaran pedang yang naik turun. Dan ketika Swi Cu melengking dan tentu saja meladeni sucinya ini.

Beng Tan diserang dan dikeroyok anak buah Chu-goanswe, maka suami isteri itu tak jadi pergi dan mau tidak mau menghadapi orang-orang ini. Beng Tan mendengus dan cepat menggerakkan ujung bajunya ke sana ke mari. Dan ketika bunyi tamparan disusul teriakan atau jerit kaget orang- orang itu, yang terlempar atau terpelanting ke kiri kanan maka Wan Mo, Papan Besi yang menjadi pembantu Chu-goanswe itu membentak dan maju dengan senjatanya yang aneh, sepotong papan tebal segi empat.

"Hek-yan-pangcu, kau terlalu menghina kami. Coba kau hadapi ini dan perlihatkan kepandaianmu. plak-plak-plak!"

Beng Tan menangkis dan memutar tubuhnya. Dari sambaran angin atau serangan itu segera dia tahu bahwa laki-laki pendek gempal ini adalah yang terkuat di antara semuanya. Tapi karena ia tak takut dan ujung bajunya mengibas maka laki-laki itu terpental dan papan segi empat hampir saja terlepas. Wan Mo kaget!

"Jangan dihadapi sendirian. Keroyok dia.”

Inilah seruan atau teritekan Wi Hong. Wanita itu sendiri sudah bertanding dengan Swi Cu dan kakak beradik seperguruan ini berkelebatan menyambar-nyambar. Swi Cu menjadi marah setelah sucinya itu menyerang bertubi-tubi, tidak memberinya kesempatan dan jelas sucinya itu ingin merobohkan dirinya. Tapi karena ia sekarang bukan Swi Cu yang dulu dan nyonya Pek-jit-kiam ini sudah mendapat tambahan ilmu-ilmu dari suaminya, termasuk Pek-jit Kiam-hoat (Silat Pedang Matahari) maka begitu senjata di putar tiba-tiba pedang di tangan nyonya itu berkeredepan dan menyambar-nyambar memancarkan sinar bagai bianglala atau matahari berpijar.

"Crang-crangg...!"

Wi Hong mengumpat dan memaki sumoinya itu. Pedangnya terpental tapi pedang lawannya itupun tertahan. Ternyata, mereka berimbang. Dan karena dulu wanita ini di atas sumoinya dan sekarang tiba-tiba Swi Cu dapat melayani dan memiliki kepandaian sama tinggi maka Wi Hong memekik dan menjadi marah.

"Swi Cu, kau wanita tak tahu di untung. Awas, mampus kau!"

"Hm, kaulah yang tak tahu diri. Kau mengacau dan mempermainkan keluargaku, suci. Kau wanita iblis dan biadab.”

"Aih, keparat. Kubunuh kau dan awas pedangku bicara...crang-crangg!" dan pedang yang kembali bertemu dan terpental di udara tiba-tiba membuat Wi Hong semakin beringas karena sumoinya itu dapat menahan.

Swi Cu memang dapat menandingi sucinya ini dan sang suci naik pitam. Dulu sumoinya itu tak sekuat ini tentu berkat suaminya. Dan ketika wanita itu memekik dan menyerang lagi, ganas, maka dua wanita itu bertanding sementara Beng Tan memukul-mukulkan ujung bajunya mendorong atau melempar para pengeroyoknya itu.

"Mundur mundur, aku tak mau membunuh!"

Namun orang-orang itu nekat. Justeru kelemahan dan kemurahan hati pendekar ini membuat mereka berani menerjang maju lagi. Beng Tan tak membunuh mereka dan hal ini membuat mereka tidak tahu diri, menyangka atau menganggap pukulan-pukulan pendekar itu tidak kuat, buktinya mereka dapat bangun lagi setiap dirobohkan! Dan karena hal ini memang kelemahan hati pendekar itu, yang lembut dan berwata kasih maka Beng tan justeru gemas ketika orang-orang itu bangkit dan menyerangnya lagi.

"Mundur mundur, aku tak ingin membunuh kalian!"

"Cerewet!" satu di antara pengeroyok membentak. "Kau boleh bunuh kami kalau bisa, Pek-jit-kiam. Cabut pedangmu dan tunjukkan mana itu silat Pedang Matahari mu!"

Beng Tan marah. Sesabar-sabar pendekar ini akhirnya dia menjadi tak senang dan naik darah juga. Laki-laki itu, yang membentaknya, menusukkan tombak dan hampir saja mengenai telinganya. Dia mengebut senjata-senjata yang lain dan tahu-tahu tombak itu nyelonong dengan licik. Beng Tan tak senang! Dan ketika laki-laki itu membentak dan menyerangnya lagi, tombaknya tadi luput maka pendekar ini tiba-tiba berseru geram dan membalik serta menangkap tombak, mematahkannya.

"Kalian memang orang-orang tak tahu diri. Baik, lihat dan saksikan ini. Apakah tulang kalian lebih keras daripada besi...pletak…!” dan tombak yang patah menjadi dua tiba-tiba membuat pemiliknya terkejut dan berseru kaget, terjerumus dan Beng Tan menggerakkan kakinya menendang. Dan ketika laki-laki itu menjerit dan terlempar, tulang iganya patah maka Beng Tan sudah berkelebat dan menangkap serta mematah-matahkan senjata yang lain.

"Tak-tak-pletak!"

Para pengeroyok gentar. Setelah Beng Tan mematah-matahkan senjata mereka tiba-tiba saja mereka pucat dan jerih. Pendekar itu menendangi mereka pula dan sekarang berjatuhanlah tubuh-tubuh yang merintih. Kaki atau tangan mereka ikut patah-patah pula. Dan ketika orang-orang itu pucat dan ngeri memandang pendekar ini, yang lain mundur dan berteriak-teriak maka Beng Tan mengakhirinya dengan satu tangkapan ke pergelangan tangan si Papan Besi yang ditelikung kebelakang.

"Aku bukan pembunuh berdarah dingin. Mundurkan anak buahmu atau tubuhmu kulipat tiga!"

"Augh…” si Papan Besi meraung, papan tebalnya terlepas. "Hebat kau, Ju-taihiap. Tapi boleh bunuh aku dan tak mungkin aku menyuruh mereka mundur!"

"Kau tak mau tunduk?"

"Chu-goanswe yang berwenang, aku tak berani!" dan ketika Beng Tan tertegun dan tawanannya ini merintih, ia mengangkat naik telikungan itu maka sebatang panah besar tiba-tiba menyambar.

"Bret!" Beng Tan terkejut dan menampar. la menggerakkan tangannya yang lain dan bajunya robek tertembus. Anak panah itu menancap di situ. Dan ketika la membalik dan melihat Chu-goanswe, laki-laki tinggi besar itu maka Beng Tan marah dan tekukan pada diri tawanannya ditambah. Si Papan Besi berteriak dan tiba-tiba roboh, pergelangannya dipatahkan pendekar itu, pingsan! Dan ketika Beng Tan menendang dan Chu-goanswe terkejut, gendewa yang terpentang siap meluncur maka sebuah batu hitam telah menghantam pergelangan tangan jenderal itu hingga gendewanya terlepas. Chu-goanswe sendiri berteriak tertahan.

"Jangan berbuat curang, atau aku akan melukai semua orang di sini dan kalian tahu rasa!"

"Ah," laki-laki itu terbelalak, memungut gendewanya lagi. "Kau hebat, Pek-Jit-Hiam. Dan aku sebagai orang gagah mengaku kalah. Kau boleh pergi dan biar kuperintahkan semua anak buahku mundur!" dan membentak agar orang-orangnya mundur, laki-laki ini gentar oleh kehebatan si ketua Hek-yang-pang maka Beng Tan lega tapi Wi Hong melengking-lengking memaki jenderal itu.

"Heii, jangan enak bicara. Aku mati-matian bertanding di sini, goanswe. Serang dan bunuh laki-laki itu. Atau aku akan menghajar kalian!"

"Tidak," jenderal ini menggeleng, telah melihat dan sadar akan keadaan. "Pek-Jit-kiam telah bermurah hati kepada anak buahku, hujin. Nekat menyerang tentu mereka celaka. Aku tak mau mengorbankan anak buah.”

"Tapi aku mati-matian bertanding di sini.”

"Kau hentikan saja, biarkan Pek-jit-kiam dan isterinya pergi..."

"Ah, keparat kau, goanswe. Kau pengecut dan licik. Aku justeru akan membunuh lawanku ini.. cring-crangg!" dan pedang yang kembali bertemu dan saling bentur tiba-tiba membuat wanita itu marah dan menekan Swi Cu. Wanita ini didesak tapi Swi Cu tentu saja juga menjadi marah. Dan ketika tujuh sinar bergulung pecah dari pedang Wi Hong, sucinya itu melakukan jurus berbahaya maka wanita ini juga melengang dan tiba-tiba keduanya telah melancarkan serangan maut dari ilmu pedang maisng-masing.

"Berhenti" Beng Tan bergerak dan tak dapat membiarkan ini. Pendekar itu melihat Wi Hong mengeluarkan jurus dari silat golok Im-kan-to-hoat (Silat Golok Maut), pedang menyambar dengan gaya golok dan isterinya yang terkejut melihat serangan itu tiba-tiba juga mengeluarkan satu jurus maut dari ilmu Pedang Matahari. Keduanya siap mengadu jiwa dengan jurus simpanan masing-masing. Keduanya sama-sama marah dan tak mau lagi menghiraukan keselamatan, tentu saja berbahaya. Dan ketika Beng Tan terkeget dan tentu saja tak bakal mendiamkan ini, berkelebat dan menggerakkan kedua ujung bajunya maka tamparan bagai ledakan petir mengenai pedang Wi Hong maupun Swi Cu.

"Plak-plak...”

Dua wanita itu sama-sama menjerit. Baik Wi Hong maupun Swi Cu sama-sama terlempar, pedang mereka terlepas dari tangan dan dua wanita itu terbanting oleh tamparan Beng Tan. Dan ketika keduanya mengeluh dan meringis menahan sakit, Beng Tan bergerak dan menolong isterinya maka Wi Hong menangis dan bangkit memegangi pantatnya, terseok-seok.

"Keparat, licik dan curang kau, Beng Tan. Coba hadapi puteraku kalau menang. Kau laki-laki pengecut, beraninya hanya terhadap wanita!"

"Hm, aku memang hendak menemui Giam Liong. Suruh puteramu ke mari, Wi Hong. Dan jangan kau bertingkah kalau tidak ingin kuhajar!"

"Ah, keparat. Kau jahanam" dan Wi Hong yang membalik dan memekik marah, berkelebat pergi akhirnya meninggalkan tempat itu memanggil-manggil Giam Liong.

Beng Tan menunggu dan menarik napas dalam, Chu-goanswe dan lain-lain akhirnya pergi dan membiarkan pendekar itu berdua dengan isterinya. Tapi ketika sejam kemudian Giam Liong tak muncul juga, tempat itu sepi maka Beng Tan bergerak dan menepuk pundak isterinya.

"Kita pergi..." namun baru dia berkata begitu mendadak berkesiur angin dingin dan.... Giam Liong pun ada disitu, berdiri dengan kening berkerut-kerut. Caping melekat di atas kepalanya tapi sebadan wajah tertutup rapat!

"Maaf, selamat bertemu, ayah. Aku di sini dan baru sekarang dapat datang."

Beng Tan membalik. Dia terkejut oleh kesiur angin dingin itu dan lebih terkejut lagi melihat gaya atau munculnya pemuda ini. Seperti Si Golok Maut. Tapi ketika dia sadar dan Swi Cu juga kaget, gaya atau kemunculan Giam Liong sungguh seperti mendiang ayahnya maka Beng Tan sudah dapat menguasai keterkejutannya tadi dan berdehem batuk-batuk.

"Hm, kau, Giam Liong. Kenapa baru muncul sekarang!"

"Maaf, aku tak ada di tempat, ayah. Dan baru sekarang dapat datang. Apa maksud ayah dengan mencari-cariku?”

"Dia bukan ayahmu lagi!" Swi Cu menyemprot, panas teringat anaknya yang ditukar. "Kami bukan apa-apa mu lagi, Giam Liong. Dan tak perlu menyebut-nyebut itu."

"Hm, bibi masih galak, tapi aku masih ingat budi baik dan segala yang pernah dilimpahkan kepadaku. Aku masih menganggap suamimu seperti ayahku sendiri, bibi. Apalagi karena kau adalah sumoi ibuku."

"Tutup mulutmu, aku benci kepada ibumu itu!" namun ketika Beng Tan cepat-cepat menyambar dan menarik lengan isterinya ini, Giam Liong tak acuh dan dingin memandang mereka maka jago pedang ini mengangguk-angguk dan memandang bekas puteranya ini, sama-sama tajam dan angker!

"Giam Liong, kau sungguh seperti mendiang ayahmu. Gagah dan mengagumkan. Tapi kedatanganku bukan untuk memuji melainkan bicara denganmu tentang ikut masuknya kau ke kaum pemberontak”

"Maksud ayah?"

"Kau jangan terbujuk orang she Chu itu. Lepaskan dirimu dari mereka dan pisahkan urusan pribadi dengan urusan negara!"

"Hm, kupikir aku lebih tahu dari ayah. Aku hanya membantu orang yang kebetulan mendapat tekanan yang sama, ayah. Dan kupikir aku dapat membedakan mana urusan pribadi mana urusan negara.”

"Bagus, tapi kenapa kau bersama para pemberontak itu? Tidakkah kau tahu bahwa sejak dulu dinasti Chu adalah orang-orang pemberontak? Negara sudah aman dan tenteram, Giam Liong. Jangan bantu orang-orang itu agar tak ada perang atau kekacauan. Itu salah!"

"Hm, aku tak membantu pemberontak, aku membantu pejuang."

"Pejuang apa!" Swi Cu. tiba-tiba membentak, lagi-lagi mendahului suaminya. "Kau dan ayahmu sama saja, Giam Liong. Sama-sama keras kepala dan tak mudah disadarkan!"

"Sudahlah, kau tak usah bicara," Beng Tan terkejut dan mencengkeram isterinya ini. "Jangan gagalkan usahaku, niocu. Biarkan aku dengan Giam Liong."

Giam Liong mengangkat sedikit wajahnya. Pemuda itu tak bergeming oleh kata-kata atau bentakan wanita ini, tatapan matanya dingin dan tetap beku. Dan ketika di bibirnya tersungging senyuman dingin, sedingin es maka Beng Tan meminta maaf atas kekasaran isterinya tadi.

"Tak apa, aku sudah tahu. Silahkan ayah bicara lagi dan akan kudengarkan sampai selesai."

Beng Tan tertegun. Dia melihat persamaan watak dan sikap pemuda ini dengan mendiang Si Golok Maut, beku dan dingin serta tak acuh! Tapi ketika ia mengeretakkan giginya dan harus bicara maka pendekar inipun bicara, suaranya sudah mulai berubah dan berat serta kaku.

"Giam Liong, aku datang untuk menyadarkan dirimu agar tidak membantu pemberontak. Siapapun tahu bahwa Chu Kiang bukanlah pejuang melainkan pemberontak. Bagaimana kau tidak tahu bahwa orang itu pemberontak? Rakyat sudah aman dan tenteram, Giam Liong, dan kaisar telah berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang lalu. Sekarang ini tak ada yang patut disebut pejuang kecuali pemberontak. Chu Kiang adalah pemberontak dan kau jangan ikut membelanya!"

"Hm, pandangan kita berbeda. Justeru pejuang dan pemberontak tak dapat kau beda-bedakan, ayah. Orang yang kau sebut baik adalah jahat sedangkan yang jahat kau sebut baik. Aku justeru menganggap Chu-goanswe pejuang karena ia betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat, kepentingan masa depan!"

"Rakyat? Kepentingan masa depan? Ah, kau telah dibius laki-laki itu, Giam Liong. Kau ditipu. Kau tak tahu siapa pejuang siapa pemberontak. Pemberontak itu tak harus ada di masa aman. Orang she Chu itu pengacau! Dan pejuang, ah, apa yang harus diperjuangkan lagi? Rakyat tenang dan tenteram, Giam Liong. Tak ada yang diperjuangkan karena semuanya telah dipenuhi kaisar!"

"Hm, itu menurut pendapat ayah, pandangan ayah. Tapi apakah buktinya bisa begitu? Baik, kalau benar begitu coba berikan kepada kami Coa-ongya dan Kedok Hitam itu, ayah. Buktikan bahwa kaisar dapat memberikan semuanya kepada rakyat!"

Beng Tan tertegun.

"Ayah dapat mengusahakan ini?" Giam Liong tertawa, mengejek. "Coba buktikan kepadaku bahwa kaisar telah memenuhi semuanya kepada rakyat, ayah. Dan berikan kepadaku si Kedok Hitam yang keji itu. Rakyat yang tenteram tak boleh dihuni iblis seperti si Kedok Hitam itu. Dan Chu-goanswe tak menghendaki pula adanya Coa-ongya yang licik dan culas. Konon katanya dia amat mempengaruhi kaisar!"

"Hm-hm!" pendekar ini terpojok, bekas puteranya itu tiba-tiba saja pandai bicara. "Kau pintar dan maju bersilat lidah, Giam Liong. Tapi sebagian tak dapat diterima. Seperti halnya Kedok Hitam dan Coa-ongya itu. Mana mungkin aku memberikannya kepadamu? Mereka bukan benda mati, melainkan manusia hidup. Dan Coa-ongya pun adalah keluarga dekat sri baginda yang tak mungkin diminta begitu saja. Kau tidak tepat meminta bukti!"

"Ayah pandai mengelak," si pemuda tak mau kalah. "Kalau begitu begini saja, ayah. Bagaimana pendapat ayah tentang si Kedok Hitam atau Coa-ongya itu. Apakah mereka orang-orang baik yang memang pantas tinggal di istana. Apakah patut mereka itu memimpin atau melindungi rakyat?"

Beng Tan tertegun, matapun terbelalak, tak dapat menjawab.

"Bagaimana, ayah? Apakah ayah menilai orang-orang itu baik dan patut bersama rakyat? Apakah orang-orang macam begini tak sepantasnya ditendang atau dibunuh?”

"Hm, aku mengakui mereka itu memang orang-orang yang kurang baik, Giam Liong. Tapi itu adalah urusan mereka sendiri. Tak seharusnya urusan atau pandangan pribadi lalu dikembangkan menjadi urusan negara!"

"Tapi mereka bersembunyi di balik negara, mereka bersembunyi di balik kekuasaan kaisar!"

"Benar, tapi mereka tetaplah mereka, Giam Liong. Jangan lalu dikembangkan menjadi urusan negara. Pemberontakan atau calon pemberontakan yang dilakukan Chu-goanswe itu adalah salah. Dua orang yang jahat lalu semuanya hendak dibasmi! Apakah ini adil?"

"Kalau begitu serahkan dua orang itu kepada kami. Si Kedok Hitam dan Coa-ongya."

"Aku tak dapat melakukan ini," Beng Tan tiba-tiba bingung. "Aku mengaku bahwa mereka kurang baik tapi jangan seharusnya urusan pribadi dikembangkan menjadi sebuah pemberontakan!"

"Kalau begitu ayah tidak adil!“ Giam Liong tertawa dingin. "Jelas ada orang bersalah tapi masih juga dilindunginya. Hm, di sinilah letak perbedaan kita, ayah. Kau menghendaki ketidak kacauan namun justeru kau sendiri yang berbuat kacau!"

"Aku tidak berbuat atau berpikiran kacau. Aku hanya menghendaki bahwa urusanmu pribadi dengan si Kedok Hitam jangan dicampuradukkan dengan rencana pemberontakan!"

"Jadi ayah menghendaki aku berhadapan dengan si Kedok Hitam itu. Tidak melibatkan orang lain?”

"Ya, tentu saja!"

"Kalau si Kedok Hitam melibatkan orang lain, bukan aku."

"Maksudmu?"

"Lihat, laki-laki itu licik mengerahkan pengawal-pengawal istana, ayah. Bahwa ia tak ksatria dan menarik banyak orang untuk menghadapi aku. Kalau aku dikeroyok dan kemudian membabat mereka apakah ini salah? Bukankah aku sendirian sementara laki-laki pengecut itu dibantu banyak orang? Lihat, siapa yang tak adil dan melibatkan orang lain, ayah. Aku atau dia!"

Beng Tan tertegun.

"Dan ingat ketika dulu si Kedok Hitam membunuh ayahku. Dia datang dan mengeroyok bersama lima ribu pasukan. Apakah ini adil dan pantas? Apakah ini gagah dan ksatria? Aku pribadi siap bertindak dan berbuat secara ksatria, ayah. Tapi kalau lawan mempergunakan pasukan dan tentara kerajaan maka aku akan mengimbanginya dengan bergabung bersama Chu-goanswe dan orang-orangnya itu. Mereka juga membenci dan mengutuk istana!"

"Ah!" Beng Tan terkejut, termangu-mangu. "Tapi ini berarti kekacauan, Giam Liong. Ini berarti menyusahkan rakyat. Rakyat yang tidak berdosa bakal terseret dan terbawa-bawa. Ini yang tidak kukehendaki!"

"Kalau begitu ayah bawa si Kedok Hitam dan Coa-ongya itu. Kami berdua akan menghadapinya secara jantan, tidak membawa-bawa rakyat! Sanggup?"

Sang pendekar tertegun, pucat. "Giam Liong..." kata-kata ini berubah ngeri. "Beberapa saat saja kau meninggalkan kami tapi tiba-tiba sekarang kau demikian pandai bicara dan mengadu kata. Ah, apa yang harus kukatakan kepadamu? Aku hanya menghendaki agar urusanmu pribadi jangan dicampuradukkan dengan urusan pemberontakan. Kalau kau mau mencari si Kedok Hitam itu silahkan cari, tapi jangan bersama-sama Chu Kiang!"

"Tapi lawanku itu licik berlindung di balik jubah kaisar. Dia berlindung dan bersembunyi di balik ribuan pasukan. Apakah aku harus sendirian saja menghadapi orang selicik ini? Aku siap bertanding dan menyelesaikan urusan pribadiku secara ksatria, ayah. Tapi lawanku itu juga harus bersikap sama dan jangan licik bersembunyi di balik istana. Suruh dia keluar dan kita berdua mengadu jiwa!"

"Aku tak dapat mengajak Kedok Hitam ke mari. Dia bukan benda mati melainkan manusia hidup!"

"Kalau begitu jangan ayah menyalahkan aku kalau aku akan mendatangi istana dan mencarinya di sana. Chu-goanswe tentu membantuku karena ia juga ingin menangkap Coa-ongya!"

"Ah-ah, aku bingung..." sang pendekar menggigil ditempat. "Aku tahu dan mengerti bahwa dua orang itu memang bukan orang baik-baik, Giam Liong. Tapi rasanya tak mungkin bagiku membiarkan kau bersama pemberontak menyerbu istana. Itu pengacauan..”

"Kalau begitu ayah bujuk mereka kemari."

"Tak mungkin. Coa-ongya bangsawan terhormat yang tak mungkin mau ke s ini, Giam Liong. Dan Kedok Hitam, ah. dia tentu melindungi Coa-ongya. Aku tak dapat melakukan semuanya itu. Kau harus mendapatkannya sendiri, tapi jangan membawa-bawa pemberontak!"

"Tentu, kalau musuh-musuhku itu juga bukan manusia-manusia curang yang licik. Tapi kau tahu sendiri watak mereka, ayah. Bagaimana sepak terjang mereka menghadapi aku, mengeroyok dan lalu lari bersembunyi!"

"Hm, kau sudah gagal!" Swi Cu kini tiba-tiba bicara, mengejek suaminya. "Kau tak dapat memaksa anak ini, suamiku. Daripada capek lebih baik pulang!"

Beng Tan pucat. Akhirnya dia menjadi bingung oleh sergahan atau tanggapan pemuda ini. Giam Liong yang dulu tenang dan tak banyak bicara tiba-tiba kini dapat menangkis dan selalu memojokkannya. Dia benar-benar bingung. Dan karena dua orang itu memang licik dan licin. Kedok Hitam maupun Coa-ongya adalah orang-orang yang penuh tipu muslihat maka pendekar ini gemetar mencengkeram lengan isterinya, beradu pandang dengan bekas puteranya itu namun tatapan puteranya dingin dan tak dapat ditekuk. Pemuda itu mau tak membawa-bawa pemberontak asal Kedok Hitam maupun Coa-ongya juga tak membaw-bawa pasukan, hal yang tak mungkin dilakukan karena dua orang itu sama-sama penghuni istana. Dan ketika pendekar ini gemetar dan menggigil sendirian, tak dapat menjawab maka isterinya menarik mengajak pergi.

"Sudah, pembicaraan sudah selesai. Anak ini tak dapat dibujuk!"

"Tidak," pendekar itu tiba-tiba melepaskan diri "Aku sekali lagi hendak bicara, Giam Liong. Janganlah bawa-bawa pemberontak kalau ingin mencari Kedok Hitam. Pancing dan ajaklah dia keluar kalau ingin menyelesaikan urusan pribadi. Aku tak mau rakyat terbawa-bawa!"

"Ayah boleh sampaikan undanganku kepadanya. Kalau tiga hari ia tak datang di seberang hutan itu maka aku akan menyerbu istana dan menghadapinya di sana. Nah, terserah ayah apakah mau atau tidak!"

"Kau tetap bersama pemberontak?"

"Ayah ingin aku tidak bersama pemberontak?"

"Ya, tentu saja, Giam Liong. Aku tak mau kau mengguncang rakyat dengan sepak terjangmu!"

"Kalau begitu tolong ayah beri tahu si Kedok Hitam itu agar menemuiku di hutan seberang itu. Aku tak akan membawa-bawa Chu-goanswe asal dia datang sendiri!"

"Baik, akan kusampaikan, Giam Liong. Tapi jangan melanggar janjimu atau aku tak akan menghormatimu lagi sebagai pemuda gagah keturunan Sin Hauw!" dan bingung serta marah oleh kejadian yang amat ruwet ini, Beng Tan menyanggupi permintaan bekas puteranya maka pendekar itu berkelebat dan tiba-tiba meluncur ke sungai. Sebuah perahu terapung-apung di situ untuknya. Dan sekali ia meloncat perahu itupun sudah didayungnya dengan cepat.

"Giam Liong, aku akan membawa lawanmu itu di sini. Tunggulah tiga hari dan akan kuusahakan agar dia datang!"

"Baik, terima kasih, ayah. Tapi kalau ia tak datang tentu aku akan menyerbu istana!"

Beng Tan menggigit bibirnya. Geraham pendekar itu sampai berkeriuk ketika digerak-gerakkan. Banjir darah bakal terjadi kalau Giam Liong sampai menyerbu istana, sendirian saja sudah berbahaya apalagi kalau bersama pemberontak Chu Kilang. Dan karena ia ingin menyelamatkan rakyat dan tak ingin ada korban sia-sia, pendekar memang mulia maka Beng Tan cepat-cepat mendorong perahunya ke hutan di seberang, la meloncat dan berjungkar balik ketika perahunya masih beberapa meter dari tepian. Dan ketika isterinya terkejut dan ikut berjungkir balik, keluar dari perahu maka pendekar itu menyambar isterinya dan diajak terbang ke istana.

"Kita tak boleh menunda-nunda waktu lagi. Aku ingin mencegah peperangan?"

"Hm, perang dalam arti luas mungkin dapat kau cegah, suamiku. Tapi perang dalam arti sempit tak mungkin kau cegah. Giam Liong amat mendendam kematian ayahnya!"

"Aku akan membawa si Kedok Hitam itu. Aku akan menyuruhnya bertanding di sana. Tak boleh ada pertumpahan darah yang lain!"

"Kau sangka gampang? Hm, Kedok Hitam bukan orang gagah yang dapat bertindak ksatria, suamiku. Kaupun pasti gagal dan tak mungkin membujuknya. Pemberontak pasti menyerbu!"

"Ah, kau jangan membuat aku khawatir. Apa yang belum terjadi sebaiknya jangan dibayangkan terjadi dulu. Mari kita ke istana dan jangan membuatku gelisah... wut-wut!" dan Beng Tan yang mengajak isterinya "terbang" lalu meluncur dan sudah meninggalkan hutan.

* * * * * * * *

"Aku ingin bertemu dan bicara dengan Kedok Hitam," begitu Beng Tan berkata ketika berhadapan dengan Coa-ongya. Pendekar ini kembali ke istana dan saat itu juga minta bertemu Kedok Hitam ketika Coa-ongya bertanya apa keperluannya.

Pangeran itu mengerutkan kening dan memandang tajam penuh selidik, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan Yu Yin, gadis cantik itu, muncul. Dan ketika gadis ini terheran kenapa malam-maiam ayahnya menerima tamu maka Beng Tan terkejut ketika gadis itu berseru,

"Ah, Hek-yan-pangcu kiranya. Selamat malam, pangcu. Dan kau tentu tak akan bersembunyi di rumah Bo-ciangkun lagi!"

"Hm, maaf," Beng Tan mengangguk, isterinya juga mengerutkan kening. "Aku datang tak lagi sembunyi-sembunyi, nona. Karena aku memang ingin bertemu ayahmu. Selamat malam dan mudah-mudahan kedatanganku tak mengganggu."

"Ju-taihiap ada keperluan apa?” gadis itu bertanya kepada ayahnya. "Kenapa wajahnya tampak tegang!"

"Hm, ketua Hek-yan-pang ini ingin bertemu gurumu. Dia datang ingin bertemu Kedok Hitam, Yu Yin. Apakah gurumu ada di belakang dan dapatkah kau memberitahunya."

"Ingin bertemu suhu? Ah, tadi tak ada di belakang, tapi mungkin di lain tempat!"

"Kalau begitu coba tolong kau cari. Hek-yan-pangcu ada keperluan penting!"

"Baik, kucari, ayah. Dan akan kuberi tahu” gadis itu berkelebat, lenyap dan pendekar itu kembali berhadapan dengan Coa-ongya.

Dan ketika pangeran itu mengeluarkan senyum mengejek dan apakah keperluan pendekar itu tak dapat diutarakan saja kepadanya, Beng Tan menggeleng maka pangeran ini mengangguk dan berkata,

"Baiklah, kau tunggu di sini, taihiap. Aku akan mencarinya dan kau tentu ketemu!"

Beng Tan memandang gemas, la mendengar Isterinya mendengus pendek dan tiba-tiba muncul lagi puteri Coa-ongya itu, berkata bahwa gurunya tak ada dan bertanya di mana ayahnya tadi. Dan ketika pendekar ini menjawab bahwa ayah-nyapun pergi ke belakang, mencari Kedok Hitam maka gadis itu berkelebat lagi dan kini mencari ayahnya.

"Aku heran ke mana perginya suhu. Tapi ayah biasanya memang lebih tahu daripada aku. Baik, kau tunggu sebentar di situ, Hek-yan-pangcu. Ayah pasti akan segera kembali!"

Beng Tan mengangguk diam. Diam-diam ia saling pandang dengan isterinya, masing-masing menyorotkan rasa heran bahwa gadis itu tak tahu di mana Kedok Hitam. Tapi ketika mereka hendak berbisik dan menyatakan keheranan ini, bagaimana musuh dapat bersikap begitu cerdik tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Kedok Hitam, laki-laki tinggi tegap yang bermata seperti elang itu muncul, tanpa Coa-ongya.

"Hek-yan-pangcu, kau rupanya serius ingin bertemu dengan aku. Mari, kita keluar.”

Beng Tan tak terkejut, la melihat bayangan laki-laki ini dan si Kedok Hitam yang selalu menutupi mukanya dengan saputangan hitam itu sudah berkelebat, langsung keluar gedung. Dan ketika laki-laki itu melayang dan bergerak cepat di atas wuwungan, menuju ke selatan maka Beng Tan bergerak dan tiba-tiba pendekar inipun melesat keatas.

"Orang yang kita cari sudah muncul. Mari, kita kejar dia!"

Swi Cu terkejut. Kedok Hitam yang lama tidak mereka temui kini tiba-tiba sudah jauh di depan. Laki-laki itu berkelebatan dari satu rumah ke rumah lainnya, gerakannya bagai iblis. Tapi begitu suaminya menyendal dan mereka bergerak mengejar, Beng Tan telah berkelebat dan melayang naik di puncak wuwungan istana maka bayangan Kedok Hitam dikejar. Mula-mula jarak mereka cukup jauh dan lawan rupanya memang menguji, laki-laki itu sudah hampir lenyap di luar istana. Tapi begitu Beng Tan mengeluarkan seruan pendek dan mengerahkan segenap tenaganya, kaki tiba-tiba menjejak dan melesat puluhan meter, Swi Cu terbawa dan terangkat lebih tinggi tiba-tiba pendekar itu telah berada di belakang laki-laki ini dan Kedok Hitam terkejut.

“Aih, hebat. Kepandaianmu pun maju pesat, Hek-yan-pangcu. Tapi mari kita berputar-putar sebentar mencari tempat yang enak. Di luar pintu gerbang ada pesanggrahan kaisar di kala berburu."

Beng Tan mengeluarkan suara dari hidung. Berputar-putar sebentar berarti mengajak berlomba lari cepat, benar saja lawannya itu tancap gas dan melesat pula sejauh belasan meter. Sekali lompat tahu-tahu melewati pintu gerbang yang tinggi. Dan ketika laki-laki itu turun dan berjungkir balik di sana, meluncur dan terbang meninggalkan dirinya maka pendekar ini tertinggal dan cepat Beng Tan mengeluarkan bentakan panjang.

"Kedok Hitam, tak usah berbasa-basi. Kau ingin mengadu ilmu lari cepat dan mari berlomba!"

"Ha-ha, Ju-taihiap cepat tanggap. Ah, aku hanya ingin mengeluarkan keringat, taihiap, jangan terlalu perasa. Mari berputar-putar sebentar dan siapa lebih dulu sampai di pesanggrahan kaisar itu!"

Beng Tan terkejut. Lawan yang ada di depan tiba-tiba melesat dan terbang ke hutan kecil di pinggir sebuah sungai. Ada lampu kelap-kelip di sana karena itulah tempat kaisar beristirahat bila sedang berburu. Dan karena Kedok Hitam lebih dulu di depan dan jelas meninggalkannya di belakang, laki-laki itu licik mencari kemenangan tiba-tiba pendekar ini marah karena ditantang. Ia tak takut tapi watak licik lawan membuatnya gemas. Mana menantang sementara diri sendiri lebih dulu di depan? Bukankah itu mempergunakan kesempatan secara tak gagah. Tapi karena pendekar ini adalah ketua Hek-yan-pang yang berwatak gagah, tantangan itu diterima meskipun ia tertinggal belasan meter tiba-tiba Beng Tan mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya bergerak menghantam tanah.

"Blarr!"

Sinar keemasan mengejutkan Kedok Hitam. Laki-laki itu menoleh ketika tiba-tiba Beng Tan mengeluarkan kepandaiannya yang luar biasa, satu pukulan emas yang menghantam tanah. Dan ketika sinar emas itu melempar tubuh pendekar ini ke atas, Beng Tan mengeluarkan pukulan Kim-kong-to-lui (Sinar Emas Menghantam Guntur) maka tiba-tiba dengan daya lontar pukulan ini sang pendekar sudah melampaui dan lewat di atas kepala lawan.

"Heii..” Kedok Hitam terpekik kaget. Tentu saja ia kaget karena lawan yang tadinya ada di belakang mendadak sudah lewat di atas kepalanya, terlempar atau terdorong Kim-kong-to-lui itu. Dan ketika laki-laki ini membentak dan balas melepas pukulan ke tanah, sinar emas juga berkelebat menggetarkan bumi maka tubuh Kedok Hitam terlempar atau terbawa pukulan ini.

"Blar-blar…”

Beng Tan terkejut. Lawan mengeluarkan pukulannya pula dan angin pukulan itulah yang melempar si Kedok Hitam. Dan ketika laki-laki itu terbahak karena dapat menyusul, kini berendeng dan bersama Beng Tan maka Beng Tan berseru tertahan melepas Kim-kong-to-luinya lagi. Kedok Hitam melepas dua pukulannya sementara dia tadi hanya sekali, jadi laki-laki itu licik. Tapi begitu pendekar ini melepas pukulannya dan lawan terkejut, Beng Tan sudah di depan maka Kedok Hitam juga tak mau kalah dan melepas pukulannya ke tanah. Dua laki-laki ini terbawa atau terloncat oleh ledakan sinar emas itu, masing-masing terlempar dan sudah berjungkir balik meluncur lagi.

Dan ketika Swi Cu tertegun karena ia sudah dilepas suaminya, Beng Tan tak mau membawa beban maka Kedok Hitam maupun lawannya sudah beradu cepat ke hutan di pinggir sungai itu. Ledakan-ledakan emas melempar keduanya seperti cahaya petir menyambar-nyambar. Tapi ketika pukulan Beng Tan lebih keras dan hal itu berarti melempar pendekar ini lebih jauh, Kedok Hitam pucat maka tiba-tiba laki-laki itu melepas pukulannya ketika Beng Tan sudah hampir tiba di pesanggrahan itu, bukan ketanah melainkan ke tubuh pendekar ini!

“Haii...!" Swi Cu terpekik. Nyonya ini melihat ancaman ke tubuh suaminya dan Beng Tan juga terkejut oleh perbuatan si Kedok Hitam itu. Dari dulu sampai sekarang ternyata laki-laki ini curang! Tapi ketika Beng Tan membalik dan tentu saja mendengar kesiur angin pukulan itu, sang isteri memperingatkan dan marah kepada Kedok Hitam maka pendekar itu menangkis dan untuk ini tentu saja dia harus berhenti sebentar.

"Dess!"

Kedok Hitam tertawa bergelak. Dia terpental dan mempergunakan daya tolak ini melambung tinggi-tinggi, berjungkir balik dan melewati kepala Beng Tan. Dan ketika Beng Tan tertegun karena lawan sudah hinggap di bangunan kecil itu, pesanggrahan kaisar, maka lawan berseru kepadanya bahwa dia kalah.

"Bagus, tapi aku menang. Ha-ha, aku lebih dulu tiba di sini, Hek-yan-pangcu. Kau kalah dan nomor dua!"

"Hm, kau licik!" Beng Tan bergerak dan berkelebat memasuki pesanggrahan itu "Dari dulu sampai sekarang tetap saja kau curang, Kedok Hitam. Sungguh tak tahu malu!"

"Ha-ha, dalam adu kepandaian bukan hanya okol (tenaga) yang harus digunakan, tetapi juga akal. Kau kalah cerdik, pangcu, dan tak usah marah-marah kepadaku!"

"Baiklah, kau menang meskipun curang" dan ketika Swi Cu juga berkelebat dan memasuki rumah kecil ini, memaki si Kedok Hitam maka laki-laki itu tertawa dan bertanya, tak perduli kepada kemarahan nyonya itu.

"Katakan apa yang ingin kau bicarakan. Kukira cukup dan aman di sini.”

"Aku hendak menyampaikan tantangan Giam Liong," pendekar itu mengerutkan kening, mulai bicara. "Pemuda itu menantangmu di tepian hutan sana, Kedok Hitam. Kau diharap datang dan ditunggu dalam tiga hari ini. Kuharap kau datang atau pemuda itu akan mencarimu di istana dan Chu Kiang akan menungganginya sebagai pemberontak!"

"Kau hendak menyampaikan ini? Kau berpihak kepada pemuda itu?" Kedok Hitam terkejut, tak menyangka dan tiba-tiba saja ia marah memandang lawannya.

Tapi ketika Beng Tan menggeleng dan berkata bahwa ia tak membela siapa-siapa, hanya menyampaikan pesan maka pendekar itu menunjuk peristiwa lama. "Pemuda itu hendak menuntut balas, kau telah membunuh ayahnya. Dan karena kau amat bertanggung jawab dalam hal ini maka sudah wajar bila pemuda itu mencarimu. Aku tidak membela atau berpihak siapa-siapa, Kedok Hitam, melainkan semata ingin menjaga ketenangan rakyat. Chu Kiang telah membujuk dan mempengaruhinya. Dia bukan Si Golok Maut Sin Hauw yang bergerak sendiri!"

"Hm, tapi kau menyampaikan pesan ini," Kedok Hitam mengejek, mata bersinar-sinar, tetap marah. "Kau tak mau dibilang berpihak tapi kau mencari dan memberitahuku tantangannya, Hek-yan-pangcu. Berarti sama saja!"

"Kau tak mungkin muncul kalau pemuda itu mencari dan menantangmu di istana. Aku menengahinya agar rakyat tidak terlibat, Kedok Hitam. Dan pemuda itu juga berjanji untuk tidak membawa-bawa Chu Kiang asal kau datang, tidak bersama pasukan atau pengawal kerajaan" Beng Tan sengit, balas berkata keras dan tiba-tiba Swi Cu juga membentak agar Kedok Hitam tidak menyalahkan suaminya.

Nyonya itu berseru bahwa suaminya semata menjaga ketenteraman istana, atau semua bakal terlibat padahal yang membuat gara-gara hanya satu orang, laki-laki itu. Dan ketika Kedok Hitam tertegun karena nyonya ini berapi-api, menuding, maka Swi Cu menutup dengan satu kata-kata keras.

"Kalau kau benar-benar lelaki semestinya tak usah kau takut menerima tantangan ini, atau marah-marah kepada suamiku, menyalahkannya. Suamiku hanya ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan orang lain, Kedok Hitam. Baik pasukan istana maupun pemberontak Chu Kiang itu. Kau tentu tak takut kalau kau bukan pengecut!"

"Hm, aku tentu saja tak takut." Kedok Hitam terbakar, membentak. "Bocah itu atau siapapun tak perlu kutakuti, hujin. Segala macam pemberontak liar tentu akan kuhadapi. Dulu aku bertindak bukan atas nama pribadi, melainkan negara. Sungguh kurang ajar kalau bocah itu mau menantangku sebagai pribadi. Baik, siapa takut kepadanya? Hanya penyampaianmu ini akan kulaporkan kepada kaisar, Ju Beng Tan. Dan biar kaisar sendiri yang menilai sikapmu?”

"Cih, kenapa membawa-bawa kaisar? Kau selalu bersembunyi di balik kekuasaan orang lain, Kedok Hitam. Dari dulu sampai sekarang tetap saja sama. Siapa pun tahu bahwa kau membunuh mendiang Si Golok Maut Sin Hauw adalah atas dasar kekhawatiran dirimu menerima balasannya. Kau mempermainkan dan menghina keluarganya!"

"Tutup mulutmu!" Kedok Hitam tiba-tiba membentak. "Menghormati suamimu jangan mengungkit-ungkit masa lalu, hujin. Atau aku tak akan menghargaimu dan bersikap kasar”

"Bersikap kasar? Boleh, dari dulu sampai sekarang kau sebenarnya kasar, Kedok Hitam. Hanya berpura-pura halus saja kalau kau berjubah pangeran. Ayo, lepas kedokmu dan kita bertanding, seribu jurus!"

Beng Tan terkejut. Sang isteri tiba-tiba marah dan mencabut pedangnya, Kedok Hitam tampak pucat dan merah berganti-ganti. Tapi ketika nyonya itu melengking dan siap menyerang, jari dan kaki menggigil untuk bergerak tiba-tiba Beng Tan menyambar isterinya dan merebut pedang itu.

"Niocu, hentikan. Tak usah membawa-bawa nama jabatannya. Yang kita hadapi adalah Kedok Hitam dan bukannya pangeran. Ayo simpan pedangmu dan mundur!" tapi ketika sang isteri ditarik dan Kedok Hitam terlanjur marah, hampir saja menerkam tiba-tiba lelaki itu berkelebat dan keluar dari pesanggrahan kaisar.

"Hek-yan-pangcu, isterimu sungguh tak tahu adat. Baik-baik aku mengikuti kehendakmu tiba-tiba saja disini aku dihina. Baiklah tak usah kita bicara lagi dan katakan kepada bocah she Sin itu bahwa tiga hari lagi aku datang!"

Beng Tan tertegun, la menyesal bahwa isterinya bicara yang bukan seharusnya. Kedok Hitam adalah Kedok Hitam dan bukan orang lain, baik dalam "jubah" pangeran ataupun jubah kaisar. Tapi karena omongan telah dilepaskan dan Kedok Hitam marah bukan main, untung dapat mengendalikan diri karena ada ia di situ maka pendekar ini mencekal erat-erat pergelangan isteriny0 dan berseru memberi jawaban pada laki-laki itu,

"Kedok Hitam, kuhargai kejantanan dan kegagahanmu. Terimakasih bahwa kau mau menerima tantangan Giam Liong. Tapi harap jangan membawa-bawa pasukan atau pemuda itu juga akan membawa-bawa temannya, pemberontak Chu Kiang"

"Hm!" laki-laki itu mendengus dari jauh. "Aku pribadi tak akan membawa-bawa siapapun, Hek-yan-pangcu. Tapi yang jelas semuanya ini akan kulaporkan kepada kaisar!"

Beng Tan tertegun. Untuk kedua kali ia menerima jawaban licik yang licin. Kedok Hitam telah berjanji untuk tidak membawa-bawa orang lain tapi akan melaporkan semuanya ini kepada kaisar. Berarti, kaisar akan melakukan sesuatu dan itu berarti bantuan kepada si Kedok Hitam ini, meskipun Kedok Hitam telah mengatakan akan datang sendiri. Dan karena semuanya itu merupakan kata bercabang, Kedok Hitam sungguh licik maka Beng Tan mengerut-ngerutkan keningnya dan Swi Cu yang juga menangkap kata-kata yang tersirat lalu membanting dan memukul-mukulkan kakinya.

"Licik, pengecut. Bilang tak akan membawa-bawa orang lain tapi kaisar diberi tahu agar membantunya. Nah, apa yang sekarang akan kau lakukan, suamiku. Apakah membantu Giam Liong atau orang itu atau berdiam saja ditengah-tengah"

"Aku akan memberi tahu Giam Liong," Beng Tan menjadi khawatir. "Tapi aku juga tidak akan membantu anak itu selama Kedok Hitam berhadapan secara langsung!”

"Dan kau tak ingat anak kita sendiri? Tak segera mencari dan mencampuri urusan dua orang itu!"

"Hm, aku pribadi tak bermaksud mencampuri urusan ini, niocu, kalau semuanya berjalan secara jantan dan adil. Tapi kalau Kedok Hitam bersikap licik tentu saja aku harus bertindak!"

"Kau membantu Giam Liong?"

"Bukan Giam Liong, tapi keadilan!"

"Baiklah, dan kita tunggu waktu yang tiga hari itu. Setelah ini kita kerjakan urusan kita sendiri."

Beng Tan mengangguk. Dia sendiri sebenarnya tak akan mencampuri urusan dendam-mendendam itu apabila Kedok Hitam bersikap jantan. Tapi karena Kedok Hitam dikhawatirkan akan meminta bantuan kaisar, berarti akan melibatkan pasukan besar maka tentu pihak Giam Liong juga tak akan tinggal diam dengan majunya pemberontak She Chu. Jenderal itu telah mempengaruhi dan membujuk Giam Liong secara cerdik. Beng Tan sendiri tak tahu bahwa semuanya itu karena ajakan Wi Hong, ibu yang ingin puteranya kelak menjadi 'orang", berkedudukan dan mendapat pangkat dan semuanya itu tentu saja dapat diperoleh kalau membantu Chu Kiang, jenderal yang akan merebut kekuasaan itu.

Dan ketika Beng Tan khawatir karena Giam Liong kini diperalat orang lain, dipergunakan kepandaiannya maka pendekar itu bergerak dan mengajak isterinya kembali ke hutan di seberang di mana siang tadi mereka menemui anak itu. Namun celaka, Giam Liong tak mereka temui. Beng Tan juga sudah bergerak ke tengah hutan di mana gerombolan pemberontak kira-kira berada, tak ada dan nihillah pendekar ini mencari pemuda itu. Dan karena malam semakin larut sementara isterinya sudah tampak tak senang, lelah dan cemberut maka Beng Tan menghentikan usahanya dan mengajak isterinya beristirahat.

Dan sementara pendekar itu termangu-mangu dan menghabiskan waktu dengan perasaan tidak tenang, hari pertama akan datang maka di istana terjadi kegemparan dengan datangnya seseorang yang amat lihai!

Waktu itu, ketika Kedok Hitam meninggalkan pesanggrahan dengan marah besar, marah oleh kata-kata Swi Cu maka di istana datang seseorang yang terkekeh-kekeh. Orang itu datang dengan sikapnya yang menyeramkan, muncul begitu saja di depan pintu istana di hadapan belasan pengawal yang sedang berjaga. Dan ketika pengawal terkejut dan membentak kakek itu, seorang kakek berambut gimbal-gimbal maka kakek itu dicegat dan disuruh berhenti.

"Stop, mau ke mana dan siapa kau ini si gila kotor!"

"Ha-hah-he-heh...” kakek itu tertawa-tawa, rambut gimbalnya dikibaskan ke kanan kiri. "Aku mau menghadap kaisar, orang-orang tolol. Atau Kedok Hitam yang menjadi pembantu Coa-ongya. Aku mau melamar pekerjaan!"

"Pekerjaan apa!" pengawal membentak, tentu saja tak percaya. "Orang seperti kau tak dapat bekerja, tua gila. Pergi dan jangan main-main di sini!" pengawal itu menggerakkan tombaknya, maksudnya mau main-main dan mengancam tapi kakek itu tiba-tiba tertawa dan merampas. Dan ketika si pengawal terkejut karena tombaknya tahu-tahu telah berada di tangan kakek itu, cepat sekali, maka si kakek menekuk-nekuk patah dan melempar tombak rampasan itu, yang kini sudah menjadi tujuh potong.

"Heh-heh, kalian tikus-tikus busuk jangan berlagak didepanku. Bawa aku ke kaisar atau aku mencarinya sendiri!"

Para pengawal terkejut. Pemilik tombak tiba-tiba berteriak dan kaget sekali, mau merebut tapi kakek itu menendang. Dan ketika ia terbanting dan mengaduh di sana, tak dapat bangun berdiri maka teman-temannya tersentak dan otomatis bergerak dan mengurung. Kiranya kakek ini orang lihai!

"Kau siapa, apakah antek pemberontak Chu Kiang!"

"Chu Kiang? Heh-heh, orang yang baru saja mengobrak-abrik istana itu? Wah, keliru, tikus cilik. Aku bukan antek siapa-siapa dan justeru aku datang untuk menghadapi pemberontak itu. Aku ingin mengisi lowongan membantu kerajaan. Aku mau daftar dan menjadi orang nomor satu disini. Hayo, mana sri baginda atau Kedok Hitam yang katanya menjadi ketua panitia menguji orang-orang kang-ouw yang mau masuk!"

Para pengawal tertegun. Kakek yang seperti gila ini ternyata waras juga bicaranya. Bahkan sekarang mereka tahu bahwa kiranya kakek ini hendak melamar pekerjaan, yakni membantu kaisar untuk menghadapi pemberontak, setelah beberapa hari yang lalu mereka diobrak-abrik dan dibuat kalut. Tapi karena kakek ini tampaknya edan-edanan dan tidak mereka kenal, padahal setiap yang mendaftar harus ditanya dan dicatat dulu identitasnya maka mereka ragu dan sang komandan tiba-tiba mengedip agar kurungan dirapatkan.

"Heh, mau apa kalian ini. Kenapa tidak minggir dan malah mengurung rapat. Apa mau kuhajar!"

"Hm, maaf," sang komandan maju bicara, matanya bergerak-gerak tajam, dia memegang golok bertangkai panjang, gagangnya diberi benang warna-warni dan tampak gagah. "Kami tak mengenalmu dan tak tahu siapa kau, orang tua. Sebutkan dulu siapa dirimu dan kami akan melapor ke dalam."

"Weh, disuruh tunggu? Memangnya kalian orang-orang yang dapat bekerja cepat? Tidak, aku tak sabar disuruh menunggu, pengawal. Lebih baik cepat antar aku atau aku yang nanti akan mencari sendiri sri baginda kaisar. Atau, mana itu si Kedok Hitam!"

"Kalau begitu kami akan mengantar locianpwe," sang komandan tiba-tiba merubah sebutan, tidak lagi orang tua melainkan "locianpwe", sebutan hormat bagi orang-orang persilatan yang umumnya sudah tua, karena kakek ini tampaknya memang lihai. "Tapi sebaiknya beritahukan dulu identitas dirimu, locianpwe, agar kami dapat memberi tahu siapa dirimu."

"Weh, kalian tak perlu tahu sekarang. Namaku amat berharga. Biar di depan kaisar saja kuberi tahu!"

"Ah, tak dapat, locianpwe. Kami tentu kena marah!"

"Kau begitu cerewet?" kakek ini membentak, tiba-tiba tangannya bergerak dan sudah menangkap leher baju sang komandan, yang tentu saja kaget bukan main! "Kalau kau bukan calon anak buahku tentu kucekik mampus, tikus busuk. Ayo antar aku atau kupatahkan batang lehermu nanti... brukk!" sang komandan dilepas lagi, setengah dibanting dan komandan itu berteriak kaget karena kakinya hampir saja lumpuh.

Tentu saja dia marah namun juga gentar! Dan karena kakek ini rupanya bermaksud baik-baik dan ia harus hati-hati, kakek ini luar biasa dan amat lihai maka komandan itu buru-buru menegakkan tubuhnya dan dengan ramah namun menyimpan semacam dendam ia berkata, membungkuk, "Locianpwe sungguh tak sabar. Baik, baik. mari kuantar sendiri dan kita menghadap sri baginda!" lalu mengedip pada anak buahnya agar berjaga di situ, yang lain memberi tahu pasukan maka komandan ini mengajak si kakek menuju ke samping istana.

Kakek itu terkekeh-kekeh dan menyibaklah semua orang memberi! jalan. Dan ketika ia melangkah bagai langkah seorang panglima, tegap digagah-gagahkan maka sang komandan sudah membawanya ke tempat "sri baginda". Si kakek tak tahu bahwa ia ditipu, sang komandan membawanya ke sebuah asrama dimana orang-orang kang-ouw yang ingin membantu kaisar ditempatkan. Dan ketika di sudut-sudut jalan komandan ini bertemu dengan pengawal-pengawal yang lain, berkedip dan memberi tanda maka akhirnya secara diam-diam kakek itu diikuti oleh banyak orang, sampai dan berhenti di asrama ini dan berkerutlah kakek itu karena tempat ini merupakan gedung panjang yang terbagi oleh tiga ruangan besar. Di situ banyak orang bercakap-cakap dan sebagian lagi ada yang tidur-tiduran.

Gedung ini biasa saja dan tidak berkesan sebagaimana layaknya tempat tinggal kaisar. Tapi ketika dia juga berhenti karena pengantarnya sudah bercakap-cakap dengan seorang lain, yang berdiri dan menjaga di pintu masuk maka orang itu memandangnya dan tiba-tiba masuk ke dalam.

"Mana sri baginda, kenapa tidak tampak para dayang atau puteri-puteri cantik. Tempat macam apa ini!"

"Sabar," sang komandan tersenyum-senyum, di situ ada seratus lebih orang-orang kang-ouw. "Aku telah melaporkannya kepada atasanku, locrianpwe. Dan sekarang dia akan menyambut locianpwe sendiri. Lihat, dia keluar!”

Kakek itu mengerutkan kening. Laki-laki yang tadi diajak bercakap-cakap oleh komandan ini memang benar saja keluar, tapi bukan sendirian melainkan oleh puluhan orang di dalam. Maklum, tempat itu memang asrama, penampung orang-orang persilatan yang akan mencari kedudukan dan pangkat di situ, dengan membantu kaisar menghadapi pemberontak Chu Kiang. Dan ketika kakek itu tertegun karena tahu-tahu ia sudah dikurung semua orang menggeram dan mengeluarkan seruan-seruan marah maka laki-laki yang tadi dihadapi komandan sudah berdiri di depannya. sikapnya keren, marah.

“Kau katanya mau melamar pekerjaan, tapi malam-malam begini datang dan tidak mau menunggu besok. Apakah ini pantas kau lakukan, tua bangka? Mana sopan dan hormatmu kepada istana? Sri baginda sedang istirahat. Kalau kau benar-benar mau bekerja di sini silahkan robohkan mereka ini dan kau dapat menjadi yang nomor satu?"

"Eh, siapa mereka ini? Dan kenapa aku dimusuhi?"

"Kau tak mau menyebutkan dirimu, orang tua. Dan kau patut dicurigai dan ditangkap. Nah, sekarang menyerahlah atau kami akan membunuhmu!" berkata begitu tiba-tiba laki-laki ini mengangkat senjatanya dan seratus lebih orang-orang di situ membentak dan berlompatan menerjang.

"Hei... heii, apa-apaan ini. Kenapa kalian menyerang!"

"Tak usah banyak cakap!" orang-orang kang-ouw itu mulai berteriak-teriak, marah. "Kau sombong dan katanya lihai sekali, kakek siluman. Hayo tunjukkan kepada kami dan lihat seberapa kepandaianmu.... sing-singgg!" dan golok serta pedang yang sambar-menyambar membacok kakek ini tiba-tiba berhamburan dari segala penjuru.

Kakek itu terbelalak dan tiba-tiba matanya berkilat. Dia ternyata ditipu. Dan ketika sang komandan dilihatnya tertawa bergelak dan mundur, bersembunyi di balik orang-orang kang-ouw itu mendadak kakek ini membentak dan tubuhnya sekonyong-konyong lenyap, didahului sinar kuning keemasan. "Kau penipu, jahanam keparat?”

Para pengeroyok terkejut. Mereka tahu-tahu kehilangan kakek itu yang lenyap seperti siluman, benar-benar lenyap karena tubuhnya berobah sebagai asap halus, asap yang kuning keemasan itu. Dan ketika sang komandan terkejut karena asap ini menyambarnya, dia tak sempat mengelak tiba-tiba kakek itu muncul lagi dan sudah menangkap lehernya.

"Sekarang kau mampus!"

Sang komandan berteriak. Dia bermaksud membalas sakit hatinya ketika di pintu istana tadi, yakni ketika kakek itu menangkap dan mencekik lehernya. Tapi begitu kakek ini menghilang dan tahu-tahu muncul lagi lapisan pengeroyok diterobos begitu saja, seperti asap, maka komandan itu menjerit ketika tulang lehernya tiba-tiba patah dan kepalapun terkulai serta tentu saja tewas seketika.

"Nah, siapa mau seperti ini!" kakek itu melempar korbannya, mencelat dan sudah berkelebatan ke sana ke mari karena para pengeroyok tiba-tiba menjadi gempar. Sekejap saja kakek itu sudah membunuh sang komandan dan tentu saja orang-orang kang-ouw itu terkejut. Mereka kaget dan heran oleh gerakan cepat si kakek, menyerbu dan membentak dan kembali hujan senjata berdesing-desing menyambar kakek itu. Tapi ketika si kakek berkelebatan dan tak satupun senjata mengenai tubuhnya, kakek itu tertawa dan terkekeh- kekeh maka rambut gimbalnya meledak ke kiri kanan membalas.

"Ha-ha, ayo maju. Siapa kalian dan kenapa tidak berpakaian seperti pengawal!"

"Kami calon pembantu-pembantu kaisar. Kami orang-orang yang sudah diterima untuk menghadapi pemberontak.”

"Ah, kiranya tikus-tikus busuk dari dunia kang-ouw? Bagus, bagus... kalian harus tunduk kepadaku, anak-anak. Dan akulah yang akan memimpin... wut-wut-plak" dan rambut yang bergerak menjeletar menyambar-nyambar tiba-tiba sudah meledak dan membuat sembilan orang menjerit dan roboh. Mereka terkena sabetan atau pukulan rambut itu. Dan karena rambut gimbal-gimbal itu sudah berobah seperti kawat-kawat baja, bergumpal dan penuh tenaga sinkang maka mereka roboh dan tak dapat berdiri, pingsan.

Si Kakek benar-benar memberi pelajaran dan gentarlah yang lain ketika tujuh orang lagi berteriak dan roboh. Kulit mereka matang membiru. Tapi karena jumlah mereka masih banyak dan pasukan pengawal juga muncul, tempat itu segera penuh orang maka kakek itu dikepung dan dikeroyok.

“Bunuh, babat dia. jangan biarkan menyambar-nyambar!"

“Ha-ha. kalian tak tahu siapa aku. Boleh bunuh dan babat kalau bisa, kecoa-kecoa busuk. Tapi lihat bahwa aku sekarang menjadi seribu. si kakek meledakkan tangannya, bayangannya bergerak-gerak lebih cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjadi seribu orang. Dan ketika pengeroyok terkejut karena si kakek berjumlah amat banyak. Mereka malah dikeroyok dan menghadapi empat sampai enam orang seperti kakek gimbal-gimbal, maka seratus orang-orang kang-ouw itu berteriak dan tunggang-langgang, mawut!

"Iblis, kakek ini bukan manusia. Dia iblis!"

"Benar, dan hati-hati, kawan-kawan. Kita menghadapi siluman."

"Kerahkan pasukan, keroyok.... aduh!” dan para pengeroyok yang berteriak dan jatuh bangun akhirnya buyar dan kacau tidak karuan. Mereka kini malah dikeroyok seribu kakek gimbal-gimbal yang terkekeh-kekeh dan meledakkan rambutnya. Setiap disabet tentu mereka terjungkal. Dan ketika pasukan terbelalak dan kaget serta pucat, kakek itu berobah menjadi seribu orang maka seratus orang-orang kang-ouw itu tiba-tiba roboh dan tumpang-tindih. Tak ada satupun yang selamat!

"Serbu, panggil Kedok Hitam!"

Pengawal terkesima. Mereka terpukau dan mula-mula terkejut oleh kehebatan kakek ini. Si kakek bukan manusia melainkan rupanya benar-benar siluman. Tapi ketika terdengar bentakan dan laki-laki yang tadi bicara dengan sang komandan memberi aba-aba, dari belakang tiba-tiba berkelebat bayangan seorang gadis cantik maka pengawal tergugah dan gadis itu sendiri sudah menyambar dan menukik seperti burung.

"Siapa pengacau satu ini. Berani mencari mampus"

Si kakek terkejut. Dia sudah merobah dirinya menjadi seribu bayangan namun gadis yang baru datang menyambar ini langsung ke inti tubuhnya, tidak ke mana-mana melainkan langsung menukik ke tengah, karena memang di situlah dia berada. Dan ketika gadis itu membentak dan sebuah pukulan menyambar dingin, tentu saja dia menangkis maka gadis itu terpental sementara kakek itu sendiri terhuyung.

"Dukk!"

Gadis ini adalah Yu Yin. Dia berteriak tertahan ketika terlempar di udara, membentur tangan yang kuat dari kakek gimbal-gimbal itu. Tapi ketika gadis ini berjungkir balik dan menyerang lagi, langsung mencabut pedangnya maka sinar hitam menyambar-nyambar mengeliliingi kakek itu.

"Ah, silat pedang yang bagus. Ha-ha, ilmu pedang yang lihai!"

Gadis itu terkejut. Si kakek mengelak dan menghindar ke sana-sini sementara kuku-kuku jarinya mulai bergerak crang-cnng-crang-cring, menangkis pedangnya bila dikejar tak sempat mengelak. Dan ketika pengawal menyerbu dan membantu dirinya, kakek itu tak menjadi seribu lagi maka gadis ini membentak dan bertanya siapa lawannya itu...

Naga Pembunuh Jilid 21

NAGA PEMBUNUH
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HM, aku tak butuh berkenalan dengan nama-nama pemberontak. Kami ke mari untuk mencari Giam Liong, suci. Suruh dia keluar atau kami pergi!"

"Eh-eh, siapa yang berkenalan dengan para pemberontak? Mereka ini adalah para pejuang, sumoi. Justeru kehormatan besar bagimu dapat bertemu langsung dengan Chu-goanswe. Mereka bukan pemberontak"

"Aku tak butuh berkenalan dengan mereka. Kami datang untuk mencari Giam Liong. Suruh puteramu keluar atau kami pergi”

"Hi-hik, untuk apa? Untuk menerima lagi kekalahan?"

"Jangan sombong. Kalah menang adalah hal biasa bagi orang-orang gagah, suci. Di atas langit masih ada langit. Suamiku perlu untuk menyadarkan puteramu itu, agar tidak sesat!"

"Heh, sesat? Hi-hik kau lucu dan ngawur bicara, sumoi. Kalau bukan kau tentu sudah kutampar. Apa maksud suamimu dengan menyadarkan puteraku itu. Katakan saja di sini karena aku ibunya!"

"Hm, aku ingin bertemu Giam Liong langsung," Beng Tan bicara dan kini tampil ke depan, menggamit isterinya. "Kami tak ada urusan dengan siapa pun, VVi Hong. Tolong panggil puteramu atau kami pergi"

"Aku ibunya, sama saja!"

"Tidak, tidak sama. Aku tidak berbicara denganmu melainkan ingin bicara dengan puteramu itu. Kalau ia tak ada disini baiklah aku pergi dan lain kali saja kita ketemu!"

"Eh-eh, begitu enak? Jangan kurang ajar. Kami telah menyambutmu baik-baik, Hek-yan-pangcu. Dan jangan balas sambutan ini dengan sikapmu yang sombong. Kau tak boleh pergi kalau kami tidak mengizinkan!"

"Hm, apa maumu?"

"Kau telah menghina Chu-goanswe, menolak maksud hatinya yang baik. Dan karena kau adalah tamu sementara kami adalah tuan rumah maka kau harus tunduk kepada tuan rumah dan jangan bersikap seenak perutmu. Kau harus minta maaf dulu kepada Chu-goanswe.”

"Hm," Beng Tan mengejek. "Aku tak merasa berkenalan dengan orang yang kau sebut itu. Dan orang yang merasa Jenderal tapi belum pernah diangkat kaisar adalah orang liar. Kami tak dapat lama-lama di sini, Wi Hong. Dan maaf bahwa kami harus pergi!"

Beng Tan menarik isterinya, bergerak dan tahu-tahu meloncat tinggi di atas kepala orang-orang itu. Dan ketika mereka terkejut dan berteriak, ketua Hek-yan-pang ini telah meninggalkan mereka maka Beng Tan telah "terbang" dan melewati kepala orang-orang di situ untuk kembali ke sungai.

"Wut-wut..!"

Orang-orang itu terbelalak dan berseru keras. Beng Tan telah melewati kepala mereka dan tahu-tahu sudah di tepian sungai. Tapi begitu mereka sadar dan pendekar itu mengerutkan kening celingukan mencari perahu, perahu yang tadi sudah lenyap dan dipakai orang-orang berperahu di sana maka pengikut Chu-goanswe itu mengejar dan masing-masing menyerukan seruan marah.

"Tangkap, jangan sampai dia lolos?"

Chu-goanswe dan Wi Hong sendiri terkejut. Mereka tercekat oleh gerakan cepat pendekar ini. Chu-goanswe sampai kagum, maklum, baru pertama itu dia melihat dan bertemu ketua Hek-yan-pang ini, menyaksikan kelihaiannya. Tapi ketika dia sadar dan anak buahnya berteriak, semua memburu dan mengejar pendekar itu maka Wi Hong sendiri sudah melengking dan berkelebat kedepan.

"Beng Tan, jangan melarikan diri. Hadapi kami kalau gagah”

"Benar, jangan lari kalau berwatak ksatria,

Hek-yan-pangcu. Hadapi kami dan jangan terbirit-birit” "Hm, siapa terbirit-blriti!" Swi Cu membentak Chu-goanswe itu. "Kami bukan terbirit-birit melarikan diri, orang she Chu, melainkan menyelamatkan dirimu itu agar pedang kami tidak bicara!"

"Tidak, kalian tak boleh pergi. Pokoknya harus di sini dulu dan tunduk atau menghargai tuan rumah... singgg" dan Wi Hong yang membentak dan sudah mendahului yang lain-lain, melewati dan berjungkir balik di atas kepala orang-orang Chu-goanswe sudah menusuk dan menyerang Swi Cu.

Beng Tan belum diserang karena Swi Cu inilah yang lebih dekat, juga karena Beng Tan lebih ditakuti daripada Swi Cu. Dan ketika Swi Cu marah dan tentu saja membalik, mengelak sekaligus mencabut pedangnya maka dua batang pedang bertemu dan mengeluarkan suara nyaring diudara.

"Crangg...”

Bunga api berpijar. Wi Hong terkekeh dan menyerang lagi, cepat berkelebatan dan tahu-tahu sudah mengurung sumoinya itu dengan gulungan atau sambaran pedang yang naik turun. Dan ketika Swi Cu melengking dan tentu saja meladeni sucinya ini.

Beng Tan diserang dan dikeroyok anak buah Chu-goanswe, maka suami isteri itu tak jadi pergi dan mau tidak mau menghadapi orang-orang ini. Beng Tan mendengus dan cepat menggerakkan ujung bajunya ke sana ke mari. Dan ketika bunyi tamparan disusul teriakan atau jerit kaget orang- orang itu, yang terlempar atau terpelanting ke kiri kanan maka Wan Mo, Papan Besi yang menjadi pembantu Chu-goanswe itu membentak dan maju dengan senjatanya yang aneh, sepotong papan tebal segi empat.

"Hek-yan-pangcu, kau terlalu menghina kami. Coba kau hadapi ini dan perlihatkan kepandaianmu. plak-plak-plak!"

Beng Tan menangkis dan memutar tubuhnya. Dari sambaran angin atau serangan itu segera dia tahu bahwa laki-laki pendek gempal ini adalah yang terkuat di antara semuanya. Tapi karena ia tak takut dan ujung bajunya mengibas maka laki-laki itu terpental dan papan segi empat hampir saja terlepas. Wan Mo kaget!

"Jangan dihadapi sendirian. Keroyok dia.”

Inilah seruan atau teritekan Wi Hong. Wanita itu sendiri sudah bertanding dengan Swi Cu dan kakak beradik seperguruan ini berkelebatan menyambar-nyambar. Swi Cu menjadi marah setelah sucinya itu menyerang bertubi-tubi, tidak memberinya kesempatan dan jelas sucinya itu ingin merobohkan dirinya. Tapi karena ia sekarang bukan Swi Cu yang dulu dan nyonya Pek-jit-kiam ini sudah mendapat tambahan ilmu-ilmu dari suaminya, termasuk Pek-jit Kiam-hoat (Silat Pedang Matahari) maka begitu senjata di putar tiba-tiba pedang di tangan nyonya itu berkeredepan dan menyambar-nyambar memancarkan sinar bagai bianglala atau matahari berpijar.

"Crang-crangg...!"

Wi Hong mengumpat dan memaki sumoinya itu. Pedangnya terpental tapi pedang lawannya itupun tertahan. Ternyata, mereka berimbang. Dan karena dulu wanita ini di atas sumoinya dan sekarang tiba-tiba Swi Cu dapat melayani dan memiliki kepandaian sama tinggi maka Wi Hong memekik dan menjadi marah.

"Swi Cu, kau wanita tak tahu di untung. Awas, mampus kau!"

"Hm, kaulah yang tak tahu diri. Kau mengacau dan mempermainkan keluargaku, suci. Kau wanita iblis dan biadab.”

"Aih, keparat. Kubunuh kau dan awas pedangku bicara...crang-crangg!" dan pedang yang kembali bertemu dan terpental di udara tiba-tiba membuat Wi Hong semakin beringas karena sumoinya itu dapat menahan.

Swi Cu memang dapat menandingi sucinya ini dan sang suci naik pitam. Dulu sumoinya itu tak sekuat ini tentu berkat suaminya. Dan ketika wanita itu memekik dan menyerang lagi, ganas, maka dua wanita itu bertanding sementara Beng Tan memukul-mukulkan ujung bajunya mendorong atau melempar para pengeroyoknya itu.

"Mundur mundur, aku tak mau membunuh!"

Namun orang-orang itu nekat. Justeru kelemahan dan kemurahan hati pendekar ini membuat mereka berani menerjang maju lagi. Beng Tan tak membunuh mereka dan hal ini membuat mereka tidak tahu diri, menyangka atau menganggap pukulan-pukulan pendekar itu tidak kuat, buktinya mereka dapat bangun lagi setiap dirobohkan! Dan karena hal ini memang kelemahan hati pendekar itu, yang lembut dan berwata kasih maka Beng tan justeru gemas ketika orang-orang itu bangkit dan menyerangnya lagi.

"Mundur mundur, aku tak ingin membunuh kalian!"

"Cerewet!" satu di antara pengeroyok membentak. "Kau boleh bunuh kami kalau bisa, Pek-jit-kiam. Cabut pedangmu dan tunjukkan mana itu silat Pedang Matahari mu!"

Beng Tan marah. Sesabar-sabar pendekar ini akhirnya dia menjadi tak senang dan naik darah juga. Laki-laki itu, yang membentaknya, menusukkan tombak dan hampir saja mengenai telinganya. Dia mengebut senjata-senjata yang lain dan tahu-tahu tombak itu nyelonong dengan licik. Beng Tan tak senang! Dan ketika laki-laki itu membentak dan menyerangnya lagi, tombaknya tadi luput maka pendekar ini tiba-tiba berseru geram dan membalik serta menangkap tombak, mematahkannya.

"Kalian memang orang-orang tak tahu diri. Baik, lihat dan saksikan ini. Apakah tulang kalian lebih keras daripada besi...pletak…!” dan tombak yang patah menjadi dua tiba-tiba membuat pemiliknya terkejut dan berseru kaget, terjerumus dan Beng Tan menggerakkan kakinya menendang. Dan ketika laki-laki itu menjerit dan terlempar, tulang iganya patah maka Beng Tan sudah berkelebat dan menangkap serta mematah-matahkan senjata yang lain.

"Tak-tak-pletak!"

Para pengeroyok gentar. Setelah Beng Tan mematah-matahkan senjata mereka tiba-tiba saja mereka pucat dan jerih. Pendekar itu menendangi mereka pula dan sekarang berjatuhanlah tubuh-tubuh yang merintih. Kaki atau tangan mereka ikut patah-patah pula. Dan ketika orang-orang itu pucat dan ngeri memandang pendekar ini, yang lain mundur dan berteriak-teriak maka Beng Tan mengakhirinya dengan satu tangkapan ke pergelangan tangan si Papan Besi yang ditelikung kebelakang.

"Aku bukan pembunuh berdarah dingin. Mundurkan anak buahmu atau tubuhmu kulipat tiga!"

"Augh…” si Papan Besi meraung, papan tebalnya terlepas. "Hebat kau, Ju-taihiap. Tapi boleh bunuh aku dan tak mungkin aku menyuruh mereka mundur!"

"Kau tak mau tunduk?"

"Chu-goanswe yang berwenang, aku tak berani!" dan ketika Beng Tan tertegun dan tawanannya ini merintih, ia mengangkat naik telikungan itu maka sebatang panah besar tiba-tiba menyambar.

"Bret!" Beng Tan terkejut dan menampar. la menggerakkan tangannya yang lain dan bajunya robek tertembus. Anak panah itu menancap di situ. Dan ketika la membalik dan melihat Chu-goanswe, laki-laki tinggi besar itu maka Beng Tan marah dan tekukan pada diri tawanannya ditambah. Si Papan Besi berteriak dan tiba-tiba roboh, pergelangannya dipatahkan pendekar itu, pingsan! Dan ketika Beng Tan menendang dan Chu-goanswe terkejut, gendewa yang terpentang siap meluncur maka sebuah batu hitam telah menghantam pergelangan tangan jenderal itu hingga gendewanya terlepas. Chu-goanswe sendiri berteriak tertahan.

"Jangan berbuat curang, atau aku akan melukai semua orang di sini dan kalian tahu rasa!"

"Ah," laki-laki itu terbelalak, memungut gendewanya lagi. "Kau hebat, Pek-Jit-Hiam. Dan aku sebagai orang gagah mengaku kalah. Kau boleh pergi dan biar kuperintahkan semua anak buahku mundur!" dan membentak agar orang-orangnya mundur, laki-laki ini gentar oleh kehebatan si ketua Hek-yang-pang maka Beng Tan lega tapi Wi Hong melengking-lengking memaki jenderal itu.

"Heii, jangan enak bicara. Aku mati-matian bertanding di sini, goanswe. Serang dan bunuh laki-laki itu. Atau aku akan menghajar kalian!"

"Tidak," jenderal ini menggeleng, telah melihat dan sadar akan keadaan. "Pek-Jit-kiam telah bermurah hati kepada anak buahku, hujin. Nekat menyerang tentu mereka celaka. Aku tak mau mengorbankan anak buah.”

"Tapi aku mati-matian bertanding di sini.”

"Kau hentikan saja, biarkan Pek-jit-kiam dan isterinya pergi..."

"Ah, keparat kau, goanswe. Kau pengecut dan licik. Aku justeru akan membunuh lawanku ini.. cring-crangg!" dan pedang yang kembali bertemu dan saling bentur tiba-tiba membuat wanita itu marah dan menekan Swi Cu. Wanita ini didesak tapi Swi Cu tentu saja juga menjadi marah. Dan ketika tujuh sinar bergulung pecah dari pedang Wi Hong, sucinya itu melakukan jurus berbahaya maka wanita ini juga melengang dan tiba-tiba keduanya telah melancarkan serangan maut dari ilmu pedang maisng-masing.

"Berhenti" Beng Tan bergerak dan tak dapat membiarkan ini. Pendekar itu melihat Wi Hong mengeluarkan jurus dari silat golok Im-kan-to-hoat (Silat Golok Maut), pedang menyambar dengan gaya golok dan isterinya yang terkejut melihat serangan itu tiba-tiba juga mengeluarkan satu jurus maut dari ilmu Pedang Matahari. Keduanya siap mengadu jiwa dengan jurus simpanan masing-masing. Keduanya sama-sama marah dan tak mau lagi menghiraukan keselamatan, tentu saja berbahaya. Dan ketika Beng Tan terkeget dan tentu saja tak bakal mendiamkan ini, berkelebat dan menggerakkan kedua ujung bajunya maka tamparan bagai ledakan petir mengenai pedang Wi Hong maupun Swi Cu.

"Plak-plak...”

Dua wanita itu sama-sama menjerit. Baik Wi Hong maupun Swi Cu sama-sama terlempar, pedang mereka terlepas dari tangan dan dua wanita itu terbanting oleh tamparan Beng Tan. Dan ketika keduanya mengeluh dan meringis menahan sakit, Beng Tan bergerak dan menolong isterinya maka Wi Hong menangis dan bangkit memegangi pantatnya, terseok-seok.

"Keparat, licik dan curang kau, Beng Tan. Coba hadapi puteraku kalau menang. Kau laki-laki pengecut, beraninya hanya terhadap wanita!"

"Hm, aku memang hendak menemui Giam Liong. Suruh puteramu ke mari, Wi Hong. Dan jangan kau bertingkah kalau tidak ingin kuhajar!"

"Ah, keparat. Kau jahanam" dan Wi Hong yang membalik dan memekik marah, berkelebat pergi akhirnya meninggalkan tempat itu memanggil-manggil Giam Liong.

Beng Tan menunggu dan menarik napas dalam, Chu-goanswe dan lain-lain akhirnya pergi dan membiarkan pendekar itu berdua dengan isterinya. Tapi ketika sejam kemudian Giam Liong tak muncul juga, tempat itu sepi maka Beng Tan bergerak dan menepuk pundak isterinya.

"Kita pergi..." namun baru dia berkata begitu mendadak berkesiur angin dingin dan.... Giam Liong pun ada disitu, berdiri dengan kening berkerut-kerut. Caping melekat di atas kepalanya tapi sebadan wajah tertutup rapat!

"Maaf, selamat bertemu, ayah. Aku di sini dan baru sekarang dapat datang."

Beng Tan membalik. Dia terkejut oleh kesiur angin dingin itu dan lebih terkejut lagi melihat gaya atau munculnya pemuda ini. Seperti Si Golok Maut. Tapi ketika dia sadar dan Swi Cu juga kaget, gaya atau kemunculan Giam Liong sungguh seperti mendiang ayahnya maka Beng Tan sudah dapat menguasai keterkejutannya tadi dan berdehem batuk-batuk.

"Hm, kau, Giam Liong. Kenapa baru muncul sekarang!"

"Maaf, aku tak ada di tempat, ayah. Dan baru sekarang dapat datang. Apa maksud ayah dengan mencari-cariku?”

"Dia bukan ayahmu lagi!" Swi Cu menyemprot, panas teringat anaknya yang ditukar. "Kami bukan apa-apa mu lagi, Giam Liong. Dan tak perlu menyebut-nyebut itu."

"Hm, bibi masih galak, tapi aku masih ingat budi baik dan segala yang pernah dilimpahkan kepadaku. Aku masih menganggap suamimu seperti ayahku sendiri, bibi. Apalagi karena kau adalah sumoi ibuku."

"Tutup mulutmu, aku benci kepada ibumu itu!" namun ketika Beng Tan cepat-cepat menyambar dan menarik lengan isterinya ini, Giam Liong tak acuh dan dingin memandang mereka maka jago pedang ini mengangguk-angguk dan memandang bekas puteranya ini, sama-sama tajam dan angker!

"Giam Liong, kau sungguh seperti mendiang ayahmu. Gagah dan mengagumkan. Tapi kedatanganku bukan untuk memuji melainkan bicara denganmu tentang ikut masuknya kau ke kaum pemberontak”

"Maksud ayah?"

"Kau jangan terbujuk orang she Chu itu. Lepaskan dirimu dari mereka dan pisahkan urusan pribadi dengan urusan negara!"

"Hm, kupikir aku lebih tahu dari ayah. Aku hanya membantu orang yang kebetulan mendapat tekanan yang sama, ayah. Dan kupikir aku dapat membedakan mana urusan pribadi mana urusan negara.”

"Bagus, tapi kenapa kau bersama para pemberontak itu? Tidakkah kau tahu bahwa sejak dulu dinasti Chu adalah orang-orang pemberontak? Negara sudah aman dan tenteram, Giam Liong. Jangan bantu orang-orang itu agar tak ada perang atau kekacauan. Itu salah!"

"Hm, aku tak membantu pemberontak, aku membantu pejuang."

"Pejuang apa!" Swi Cu. tiba-tiba membentak, lagi-lagi mendahului suaminya. "Kau dan ayahmu sama saja, Giam Liong. Sama-sama keras kepala dan tak mudah disadarkan!"

"Sudahlah, kau tak usah bicara," Beng Tan terkejut dan mencengkeram isterinya ini. "Jangan gagalkan usahaku, niocu. Biarkan aku dengan Giam Liong."

Giam Liong mengangkat sedikit wajahnya. Pemuda itu tak bergeming oleh kata-kata atau bentakan wanita ini, tatapan matanya dingin dan tetap beku. Dan ketika di bibirnya tersungging senyuman dingin, sedingin es maka Beng Tan meminta maaf atas kekasaran isterinya tadi.

"Tak apa, aku sudah tahu. Silahkan ayah bicara lagi dan akan kudengarkan sampai selesai."

Beng Tan tertegun. Dia melihat persamaan watak dan sikap pemuda ini dengan mendiang Si Golok Maut, beku dan dingin serta tak acuh! Tapi ketika ia mengeretakkan giginya dan harus bicara maka pendekar inipun bicara, suaranya sudah mulai berubah dan berat serta kaku.

"Giam Liong, aku datang untuk menyadarkan dirimu agar tidak membantu pemberontak. Siapapun tahu bahwa Chu Kiang bukanlah pejuang melainkan pemberontak. Bagaimana kau tidak tahu bahwa orang itu pemberontak? Rakyat sudah aman dan tenteram, Giam Liong, dan kaisar telah berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang lalu. Sekarang ini tak ada yang patut disebut pejuang kecuali pemberontak. Chu Kiang adalah pemberontak dan kau jangan ikut membelanya!"

"Hm, pandangan kita berbeda. Justeru pejuang dan pemberontak tak dapat kau beda-bedakan, ayah. Orang yang kau sebut baik adalah jahat sedangkan yang jahat kau sebut baik. Aku justeru menganggap Chu-goanswe pejuang karena ia betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat, kepentingan masa depan!"

"Rakyat? Kepentingan masa depan? Ah, kau telah dibius laki-laki itu, Giam Liong. Kau ditipu. Kau tak tahu siapa pejuang siapa pemberontak. Pemberontak itu tak harus ada di masa aman. Orang she Chu itu pengacau! Dan pejuang, ah, apa yang harus diperjuangkan lagi? Rakyat tenang dan tenteram, Giam Liong. Tak ada yang diperjuangkan karena semuanya telah dipenuhi kaisar!"

"Hm, itu menurut pendapat ayah, pandangan ayah. Tapi apakah buktinya bisa begitu? Baik, kalau benar begitu coba berikan kepada kami Coa-ongya dan Kedok Hitam itu, ayah. Buktikan bahwa kaisar dapat memberikan semuanya kepada rakyat!"

Beng Tan tertegun.

"Ayah dapat mengusahakan ini?" Giam Liong tertawa, mengejek. "Coba buktikan kepadaku bahwa kaisar telah memenuhi semuanya kepada rakyat, ayah. Dan berikan kepadaku si Kedok Hitam yang keji itu. Rakyat yang tenteram tak boleh dihuni iblis seperti si Kedok Hitam itu. Dan Chu-goanswe tak menghendaki pula adanya Coa-ongya yang licik dan culas. Konon katanya dia amat mempengaruhi kaisar!"

"Hm-hm!" pendekar ini terpojok, bekas puteranya itu tiba-tiba saja pandai bicara. "Kau pintar dan maju bersilat lidah, Giam Liong. Tapi sebagian tak dapat diterima. Seperti halnya Kedok Hitam dan Coa-ongya itu. Mana mungkin aku memberikannya kepadamu? Mereka bukan benda mati, melainkan manusia hidup. Dan Coa-ongya pun adalah keluarga dekat sri baginda yang tak mungkin diminta begitu saja. Kau tidak tepat meminta bukti!"

"Ayah pandai mengelak," si pemuda tak mau kalah. "Kalau begitu begini saja, ayah. Bagaimana pendapat ayah tentang si Kedok Hitam atau Coa-ongya itu. Apakah mereka orang-orang baik yang memang pantas tinggal di istana. Apakah patut mereka itu memimpin atau melindungi rakyat?"

Beng Tan tertegun, matapun terbelalak, tak dapat menjawab.

"Bagaimana, ayah? Apakah ayah menilai orang-orang itu baik dan patut bersama rakyat? Apakah orang-orang macam begini tak sepantasnya ditendang atau dibunuh?”

"Hm, aku mengakui mereka itu memang orang-orang yang kurang baik, Giam Liong. Tapi itu adalah urusan mereka sendiri. Tak seharusnya urusan atau pandangan pribadi lalu dikembangkan menjadi urusan negara!"

"Tapi mereka bersembunyi di balik negara, mereka bersembunyi di balik kekuasaan kaisar!"

"Benar, tapi mereka tetaplah mereka, Giam Liong. Jangan lalu dikembangkan menjadi urusan negara. Pemberontakan atau calon pemberontakan yang dilakukan Chu-goanswe itu adalah salah. Dua orang yang jahat lalu semuanya hendak dibasmi! Apakah ini adil?"

"Kalau begitu serahkan dua orang itu kepada kami. Si Kedok Hitam dan Coa-ongya."

"Aku tak dapat melakukan ini," Beng Tan tiba-tiba bingung. "Aku mengaku bahwa mereka kurang baik tapi jangan seharusnya urusan pribadi dikembangkan menjadi sebuah pemberontakan!"

"Kalau begitu ayah tidak adil!“ Giam Liong tertawa dingin. "Jelas ada orang bersalah tapi masih juga dilindunginya. Hm, di sinilah letak perbedaan kita, ayah. Kau menghendaki ketidak kacauan namun justeru kau sendiri yang berbuat kacau!"

"Aku tidak berbuat atau berpikiran kacau. Aku hanya menghendaki bahwa urusanmu pribadi dengan si Kedok Hitam jangan dicampuradukkan dengan rencana pemberontakan!"

"Jadi ayah menghendaki aku berhadapan dengan si Kedok Hitam itu. Tidak melibatkan orang lain?”

"Ya, tentu saja!"

"Kalau si Kedok Hitam melibatkan orang lain, bukan aku."

"Maksudmu?"

"Lihat, laki-laki itu licik mengerahkan pengawal-pengawal istana, ayah. Bahwa ia tak ksatria dan menarik banyak orang untuk menghadapi aku. Kalau aku dikeroyok dan kemudian membabat mereka apakah ini salah? Bukankah aku sendirian sementara laki-laki pengecut itu dibantu banyak orang? Lihat, siapa yang tak adil dan melibatkan orang lain, ayah. Aku atau dia!"

Beng Tan tertegun.

"Dan ingat ketika dulu si Kedok Hitam membunuh ayahku. Dia datang dan mengeroyok bersama lima ribu pasukan. Apakah ini adil dan pantas? Apakah ini gagah dan ksatria? Aku pribadi siap bertindak dan berbuat secara ksatria, ayah. Tapi kalau lawan mempergunakan pasukan dan tentara kerajaan maka aku akan mengimbanginya dengan bergabung bersama Chu-goanswe dan orang-orangnya itu. Mereka juga membenci dan mengutuk istana!"

"Ah!" Beng Tan terkejut, termangu-mangu. "Tapi ini berarti kekacauan, Giam Liong. Ini berarti menyusahkan rakyat. Rakyat yang tidak berdosa bakal terseret dan terbawa-bawa. Ini yang tidak kukehendaki!"

"Kalau begitu ayah bawa si Kedok Hitam dan Coa-ongya itu. Kami berdua akan menghadapinya secara jantan, tidak membawa-bawa rakyat! Sanggup?"

Sang pendekar tertegun, pucat. "Giam Liong..." kata-kata ini berubah ngeri. "Beberapa saat saja kau meninggalkan kami tapi tiba-tiba sekarang kau demikian pandai bicara dan mengadu kata. Ah, apa yang harus kukatakan kepadamu? Aku hanya menghendaki agar urusanmu pribadi jangan dicampuradukkan dengan urusan pemberontakan. Kalau kau mau mencari si Kedok Hitam itu silahkan cari, tapi jangan bersama-sama Chu Kiang!"

"Tapi lawanku itu licik berlindung di balik jubah kaisar. Dia berlindung dan bersembunyi di balik ribuan pasukan. Apakah aku harus sendirian saja menghadapi orang selicik ini? Aku siap bertanding dan menyelesaikan urusan pribadiku secara ksatria, ayah. Tapi lawanku itu juga harus bersikap sama dan jangan licik bersembunyi di balik istana. Suruh dia keluar dan kita berdua mengadu jiwa!"

"Aku tak dapat mengajak Kedok Hitam ke mari. Dia bukan benda mati melainkan manusia hidup!"

"Kalau begitu jangan ayah menyalahkan aku kalau aku akan mendatangi istana dan mencarinya di sana. Chu-goanswe tentu membantuku karena ia juga ingin menangkap Coa-ongya!"

"Ah-ah, aku bingung..." sang pendekar menggigil ditempat. "Aku tahu dan mengerti bahwa dua orang itu memang bukan orang baik-baik, Giam Liong. Tapi rasanya tak mungkin bagiku membiarkan kau bersama pemberontak menyerbu istana. Itu pengacauan..”

"Kalau begitu ayah bujuk mereka kemari."

"Tak mungkin. Coa-ongya bangsawan terhormat yang tak mungkin mau ke s ini, Giam Liong. Dan Kedok Hitam, ah. dia tentu melindungi Coa-ongya. Aku tak dapat melakukan semuanya itu. Kau harus mendapatkannya sendiri, tapi jangan membawa-bawa pemberontak!"

"Tentu, kalau musuh-musuhku itu juga bukan manusia-manusia curang yang licik. Tapi kau tahu sendiri watak mereka, ayah. Bagaimana sepak terjang mereka menghadapi aku, mengeroyok dan lalu lari bersembunyi!"

"Hm, kau sudah gagal!" Swi Cu kini tiba-tiba bicara, mengejek suaminya. "Kau tak dapat memaksa anak ini, suamiku. Daripada capek lebih baik pulang!"

Beng Tan pucat. Akhirnya dia menjadi bingung oleh sergahan atau tanggapan pemuda ini. Giam Liong yang dulu tenang dan tak banyak bicara tiba-tiba kini dapat menangkis dan selalu memojokkannya. Dia benar-benar bingung. Dan karena dua orang itu memang licik dan licin. Kedok Hitam maupun Coa-ongya adalah orang-orang yang penuh tipu muslihat maka pendekar ini gemetar mencengkeram lengan isterinya, beradu pandang dengan bekas puteranya itu namun tatapan puteranya dingin dan tak dapat ditekuk. Pemuda itu mau tak membawa-bawa pemberontak asal Kedok Hitam maupun Coa-ongya juga tak membaw-bawa pasukan, hal yang tak mungkin dilakukan karena dua orang itu sama-sama penghuni istana. Dan ketika pendekar ini gemetar dan menggigil sendirian, tak dapat menjawab maka isterinya menarik mengajak pergi.

"Sudah, pembicaraan sudah selesai. Anak ini tak dapat dibujuk!"

"Tidak," pendekar itu tiba-tiba melepaskan diri "Aku sekali lagi hendak bicara, Giam Liong. Janganlah bawa-bawa pemberontak kalau ingin mencari Kedok Hitam. Pancing dan ajaklah dia keluar kalau ingin menyelesaikan urusan pribadi. Aku tak mau rakyat terbawa-bawa!"

"Ayah boleh sampaikan undanganku kepadanya. Kalau tiga hari ia tak datang di seberang hutan itu maka aku akan menyerbu istana dan menghadapinya di sana. Nah, terserah ayah apakah mau atau tidak!"

"Kau tetap bersama pemberontak?"

"Ayah ingin aku tidak bersama pemberontak?"

"Ya, tentu saja, Giam Liong. Aku tak mau kau mengguncang rakyat dengan sepak terjangmu!"

"Kalau begitu tolong ayah beri tahu si Kedok Hitam itu agar menemuiku di hutan seberang itu. Aku tak akan membawa-bawa Chu-goanswe asal dia datang sendiri!"

"Baik, akan kusampaikan, Giam Liong. Tapi jangan melanggar janjimu atau aku tak akan menghormatimu lagi sebagai pemuda gagah keturunan Sin Hauw!" dan bingung serta marah oleh kejadian yang amat ruwet ini, Beng Tan menyanggupi permintaan bekas puteranya maka pendekar itu berkelebat dan tiba-tiba meluncur ke sungai. Sebuah perahu terapung-apung di situ untuknya. Dan sekali ia meloncat perahu itupun sudah didayungnya dengan cepat.

"Giam Liong, aku akan membawa lawanmu itu di sini. Tunggulah tiga hari dan akan kuusahakan agar dia datang!"

"Baik, terima kasih, ayah. Tapi kalau ia tak datang tentu aku akan menyerbu istana!"

Beng Tan menggigit bibirnya. Geraham pendekar itu sampai berkeriuk ketika digerak-gerakkan. Banjir darah bakal terjadi kalau Giam Liong sampai menyerbu istana, sendirian saja sudah berbahaya apalagi kalau bersama pemberontak Chu Kilang. Dan karena ia ingin menyelamatkan rakyat dan tak ingin ada korban sia-sia, pendekar memang mulia maka Beng Tan cepat-cepat mendorong perahunya ke hutan di seberang, la meloncat dan berjungkar balik ketika perahunya masih beberapa meter dari tepian. Dan ketika isterinya terkejut dan ikut berjungkir balik, keluar dari perahu maka pendekar itu menyambar isterinya dan diajak terbang ke istana.

"Kita tak boleh menunda-nunda waktu lagi. Aku ingin mencegah peperangan?"

"Hm, perang dalam arti luas mungkin dapat kau cegah, suamiku. Tapi perang dalam arti sempit tak mungkin kau cegah. Giam Liong amat mendendam kematian ayahnya!"

"Aku akan membawa si Kedok Hitam itu. Aku akan menyuruhnya bertanding di sana. Tak boleh ada pertumpahan darah yang lain!"

"Kau sangka gampang? Hm, Kedok Hitam bukan orang gagah yang dapat bertindak ksatria, suamiku. Kaupun pasti gagal dan tak mungkin membujuknya. Pemberontak pasti menyerbu!"

"Ah, kau jangan membuat aku khawatir. Apa yang belum terjadi sebaiknya jangan dibayangkan terjadi dulu. Mari kita ke istana dan jangan membuatku gelisah... wut-wut!" dan Beng Tan yang mengajak isterinya "terbang" lalu meluncur dan sudah meninggalkan hutan.

* * * * * * * *

"Aku ingin bertemu dan bicara dengan Kedok Hitam," begitu Beng Tan berkata ketika berhadapan dengan Coa-ongya. Pendekar ini kembali ke istana dan saat itu juga minta bertemu Kedok Hitam ketika Coa-ongya bertanya apa keperluannya.

Pangeran itu mengerutkan kening dan memandang tajam penuh selidik, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan Yu Yin, gadis cantik itu, muncul. Dan ketika gadis ini terheran kenapa malam-maiam ayahnya menerima tamu maka Beng Tan terkejut ketika gadis itu berseru,

"Ah, Hek-yan-pangcu kiranya. Selamat malam, pangcu. Dan kau tentu tak akan bersembunyi di rumah Bo-ciangkun lagi!"

"Hm, maaf," Beng Tan mengangguk, isterinya juga mengerutkan kening. "Aku datang tak lagi sembunyi-sembunyi, nona. Karena aku memang ingin bertemu ayahmu. Selamat malam dan mudah-mudahan kedatanganku tak mengganggu."

"Ju-taihiap ada keperluan apa?” gadis itu bertanya kepada ayahnya. "Kenapa wajahnya tampak tegang!"

"Hm, ketua Hek-yan-pang ini ingin bertemu gurumu. Dia datang ingin bertemu Kedok Hitam, Yu Yin. Apakah gurumu ada di belakang dan dapatkah kau memberitahunya."

"Ingin bertemu suhu? Ah, tadi tak ada di belakang, tapi mungkin di lain tempat!"

"Kalau begitu coba tolong kau cari. Hek-yan-pangcu ada keperluan penting!"

"Baik, kucari, ayah. Dan akan kuberi tahu” gadis itu berkelebat, lenyap dan pendekar itu kembali berhadapan dengan Coa-ongya.

Dan ketika pangeran itu mengeluarkan senyum mengejek dan apakah keperluan pendekar itu tak dapat diutarakan saja kepadanya, Beng Tan menggeleng maka pangeran ini mengangguk dan berkata,

"Baiklah, kau tunggu di sini, taihiap. Aku akan mencarinya dan kau tentu ketemu!"

Beng Tan memandang gemas, la mendengar Isterinya mendengus pendek dan tiba-tiba muncul lagi puteri Coa-ongya itu, berkata bahwa gurunya tak ada dan bertanya di mana ayahnya tadi. Dan ketika pendekar ini menjawab bahwa ayah-nyapun pergi ke belakang, mencari Kedok Hitam maka gadis itu berkelebat lagi dan kini mencari ayahnya.

"Aku heran ke mana perginya suhu. Tapi ayah biasanya memang lebih tahu daripada aku. Baik, kau tunggu sebentar di situ, Hek-yan-pangcu. Ayah pasti akan segera kembali!"

Beng Tan mengangguk diam. Diam-diam ia saling pandang dengan isterinya, masing-masing menyorotkan rasa heran bahwa gadis itu tak tahu di mana Kedok Hitam. Tapi ketika mereka hendak berbisik dan menyatakan keheranan ini, bagaimana musuh dapat bersikap begitu cerdik tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Kedok Hitam, laki-laki tinggi tegap yang bermata seperti elang itu muncul, tanpa Coa-ongya.

"Hek-yan-pangcu, kau rupanya serius ingin bertemu dengan aku. Mari, kita keluar.”

Beng Tan tak terkejut, la melihat bayangan laki-laki ini dan si Kedok Hitam yang selalu menutupi mukanya dengan saputangan hitam itu sudah berkelebat, langsung keluar gedung. Dan ketika laki-laki itu melayang dan bergerak cepat di atas wuwungan, menuju ke selatan maka Beng Tan bergerak dan tiba-tiba pendekar inipun melesat keatas.

"Orang yang kita cari sudah muncul. Mari, kita kejar dia!"

Swi Cu terkejut. Kedok Hitam yang lama tidak mereka temui kini tiba-tiba sudah jauh di depan. Laki-laki itu berkelebatan dari satu rumah ke rumah lainnya, gerakannya bagai iblis. Tapi begitu suaminya menyendal dan mereka bergerak mengejar, Beng Tan telah berkelebat dan melayang naik di puncak wuwungan istana maka bayangan Kedok Hitam dikejar. Mula-mula jarak mereka cukup jauh dan lawan rupanya memang menguji, laki-laki itu sudah hampir lenyap di luar istana. Tapi begitu Beng Tan mengeluarkan seruan pendek dan mengerahkan segenap tenaganya, kaki tiba-tiba menjejak dan melesat puluhan meter, Swi Cu terbawa dan terangkat lebih tinggi tiba-tiba pendekar itu telah berada di belakang laki-laki ini dan Kedok Hitam terkejut.

“Aih, hebat. Kepandaianmu pun maju pesat, Hek-yan-pangcu. Tapi mari kita berputar-putar sebentar mencari tempat yang enak. Di luar pintu gerbang ada pesanggrahan kaisar di kala berburu."

Beng Tan mengeluarkan suara dari hidung. Berputar-putar sebentar berarti mengajak berlomba lari cepat, benar saja lawannya itu tancap gas dan melesat pula sejauh belasan meter. Sekali lompat tahu-tahu melewati pintu gerbang yang tinggi. Dan ketika laki-laki itu turun dan berjungkir balik di sana, meluncur dan terbang meninggalkan dirinya maka pendekar ini tertinggal dan cepat Beng Tan mengeluarkan bentakan panjang.

"Kedok Hitam, tak usah berbasa-basi. Kau ingin mengadu ilmu lari cepat dan mari berlomba!"

"Ha-ha, Ju-taihiap cepat tanggap. Ah, aku hanya ingin mengeluarkan keringat, taihiap, jangan terlalu perasa. Mari berputar-putar sebentar dan siapa lebih dulu sampai di pesanggrahan kaisar itu!"

Beng Tan terkejut. Lawan yang ada di depan tiba-tiba melesat dan terbang ke hutan kecil di pinggir sebuah sungai. Ada lampu kelap-kelip di sana karena itulah tempat kaisar beristirahat bila sedang berburu. Dan karena Kedok Hitam lebih dulu di depan dan jelas meninggalkannya di belakang, laki-laki itu licik mencari kemenangan tiba-tiba pendekar ini marah karena ditantang. Ia tak takut tapi watak licik lawan membuatnya gemas. Mana menantang sementara diri sendiri lebih dulu di depan? Bukankah itu mempergunakan kesempatan secara tak gagah. Tapi karena pendekar ini adalah ketua Hek-yan-pang yang berwatak gagah, tantangan itu diterima meskipun ia tertinggal belasan meter tiba-tiba Beng Tan mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya bergerak menghantam tanah.

"Blarr!"

Sinar keemasan mengejutkan Kedok Hitam. Laki-laki itu menoleh ketika tiba-tiba Beng Tan mengeluarkan kepandaiannya yang luar biasa, satu pukulan emas yang menghantam tanah. Dan ketika sinar emas itu melempar tubuh pendekar ini ke atas, Beng Tan mengeluarkan pukulan Kim-kong-to-lui (Sinar Emas Menghantam Guntur) maka tiba-tiba dengan daya lontar pukulan ini sang pendekar sudah melampaui dan lewat di atas kepala lawan.

"Heii..” Kedok Hitam terpekik kaget. Tentu saja ia kaget karena lawan yang tadinya ada di belakang mendadak sudah lewat di atas kepalanya, terlempar atau terdorong Kim-kong-to-lui itu. Dan ketika laki-laki ini membentak dan balas melepas pukulan ke tanah, sinar emas juga berkelebat menggetarkan bumi maka tubuh Kedok Hitam terlempar atau terbawa pukulan ini.

"Blar-blar…”

Beng Tan terkejut. Lawan mengeluarkan pukulannya pula dan angin pukulan itulah yang melempar si Kedok Hitam. Dan ketika laki-laki itu terbahak karena dapat menyusul, kini berendeng dan bersama Beng Tan maka Beng Tan berseru tertahan melepas Kim-kong-to-luinya lagi. Kedok Hitam melepas dua pukulannya sementara dia tadi hanya sekali, jadi laki-laki itu licik. Tapi begitu pendekar ini melepas pukulannya dan lawan terkejut, Beng Tan sudah di depan maka Kedok Hitam juga tak mau kalah dan melepas pukulannya ke tanah. Dua laki-laki ini terbawa atau terloncat oleh ledakan sinar emas itu, masing-masing terlempar dan sudah berjungkir balik meluncur lagi.

Dan ketika Swi Cu tertegun karena ia sudah dilepas suaminya, Beng Tan tak mau membawa beban maka Kedok Hitam maupun lawannya sudah beradu cepat ke hutan di pinggir sungai itu. Ledakan-ledakan emas melempar keduanya seperti cahaya petir menyambar-nyambar. Tapi ketika pukulan Beng Tan lebih keras dan hal itu berarti melempar pendekar ini lebih jauh, Kedok Hitam pucat maka tiba-tiba laki-laki itu melepas pukulannya ketika Beng Tan sudah hampir tiba di pesanggrahan itu, bukan ketanah melainkan ke tubuh pendekar ini!

“Haii...!" Swi Cu terpekik. Nyonya ini melihat ancaman ke tubuh suaminya dan Beng Tan juga terkejut oleh perbuatan si Kedok Hitam itu. Dari dulu sampai sekarang ternyata laki-laki ini curang! Tapi ketika Beng Tan membalik dan tentu saja mendengar kesiur angin pukulan itu, sang isteri memperingatkan dan marah kepada Kedok Hitam maka pendekar itu menangkis dan untuk ini tentu saja dia harus berhenti sebentar.

"Dess!"

Kedok Hitam tertawa bergelak. Dia terpental dan mempergunakan daya tolak ini melambung tinggi-tinggi, berjungkir balik dan melewati kepala Beng Tan. Dan ketika Beng Tan tertegun karena lawan sudah hinggap di bangunan kecil itu, pesanggrahan kaisar, maka lawan berseru kepadanya bahwa dia kalah.

"Bagus, tapi aku menang. Ha-ha, aku lebih dulu tiba di sini, Hek-yan-pangcu. Kau kalah dan nomor dua!"

"Hm, kau licik!" Beng Tan bergerak dan berkelebat memasuki pesanggrahan itu "Dari dulu sampai sekarang tetap saja kau curang, Kedok Hitam. Sungguh tak tahu malu!"

"Ha-ha, dalam adu kepandaian bukan hanya okol (tenaga) yang harus digunakan, tetapi juga akal. Kau kalah cerdik, pangcu, dan tak usah marah-marah kepadaku!"

"Baiklah, kau menang meskipun curang" dan ketika Swi Cu juga berkelebat dan memasuki rumah kecil ini, memaki si Kedok Hitam maka laki-laki itu tertawa dan bertanya, tak perduli kepada kemarahan nyonya itu.

"Katakan apa yang ingin kau bicarakan. Kukira cukup dan aman di sini.”

"Aku hendak menyampaikan tantangan Giam Liong," pendekar itu mengerutkan kening, mulai bicara. "Pemuda itu menantangmu di tepian hutan sana, Kedok Hitam. Kau diharap datang dan ditunggu dalam tiga hari ini. Kuharap kau datang atau pemuda itu akan mencarimu di istana dan Chu Kiang akan menungganginya sebagai pemberontak!"

"Kau hendak menyampaikan ini? Kau berpihak kepada pemuda itu?" Kedok Hitam terkejut, tak menyangka dan tiba-tiba saja ia marah memandang lawannya.

Tapi ketika Beng Tan menggeleng dan berkata bahwa ia tak membela siapa-siapa, hanya menyampaikan pesan maka pendekar itu menunjuk peristiwa lama. "Pemuda itu hendak menuntut balas, kau telah membunuh ayahnya. Dan karena kau amat bertanggung jawab dalam hal ini maka sudah wajar bila pemuda itu mencarimu. Aku tidak membela atau berpihak siapa-siapa, Kedok Hitam, melainkan semata ingin menjaga ketenangan rakyat. Chu Kiang telah membujuk dan mempengaruhinya. Dia bukan Si Golok Maut Sin Hauw yang bergerak sendiri!"

"Hm, tapi kau menyampaikan pesan ini," Kedok Hitam mengejek, mata bersinar-sinar, tetap marah. "Kau tak mau dibilang berpihak tapi kau mencari dan memberitahuku tantangannya, Hek-yan-pangcu. Berarti sama saja!"

"Kau tak mungkin muncul kalau pemuda itu mencari dan menantangmu di istana. Aku menengahinya agar rakyat tidak terlibat, Kedok Hitam. Dan pemuda itu juga berjanji untuk tidak membawa-bawa Chu Kiang asal kau datang, tidak bersama pasukan atau pengawal kerajaan" Beng Tan sengit, balas berkata keras dan tiba-tiba Swi Cu juga membentak agar Kedok Hitam tidak menyalahkan suaminya.

Nyonya itu berseru bahwa suaminya semata menjaga ketenteraman istana, atau semua bakal terlibat padahal yang membuat gara-gara hanya satu orang, laki-laki itu. Dan ketika Kedok Hitam tertegun karena nyonya ini berapi-api, menuding, maka Swi Cu menutup dengan satu kata-kata keras.

"Kalau kau benar-benar lelaki semestinya tak usah kau takut menerima tantangan ini, atau marah-marah kepada suamiku, menyalahkannya. Suamiku hanya ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan orang lain, Kedok Hitam. Baik pasukan istana maupun pemberontak Chu Kiang itu. Kau tentu tak takut kalau kau bukan pengecut!"

"Hm, aku tentu saja tak takut." Kedok Hitam terbakar, membentak. "Bocah itu atau siapapun tak perlu kutakuti, hujin. Segala macam pemberontak liar tentu akan kuhadapi. Dulu aku bertindak bukan atas nama pribadi, melainkan negara. Sungguh kurang ajar kalau bocah itu mau menantangku sebagai pribadi. Baik, siapa takut kepadanya? Hanya penyampaianmu ini akan kulaporkan kepada kaisar, Ju Beng Tan. Dan biar kaisar sendiri yang menilai sikapmu?”

"Cih, kenapa membawa-bawa kaisar? Kau selalu bersembunyi di balik kekuasaan orang lain, Kedok Hitam. Dari dulu sampai sekarang tetap saja sama. Siapa pun tahu bahwa kau membunuh mendiang Si Golok Maut Sin Hauw adalah atas dasar kekhawatiran dirimu menerima balasannya. Kau mempermainkan dan menghina keluarganya!"

"Tutup mulutmu!" Kedok Hitam tiba-tiba membentak. "Menghormati suamimu jangan mengungkit-ungkit masa lalu, hujin. Atau aku tak akan menghargaimu dan bersikap kasar”

"Bersikap kasar? Boleh, dari dulu sampai sekarang kau sebenarnya kasar, Kedok Hitam. Hanya berpura-pura halus saja kalau kau berjubah pangeran. Ayo, lepas kedokmu dan kita bertanding, seribu jurus!"

Beng Tan terkejut. Sang isteri tiba-tiba marah dan mencabut pedangnya, Kedok Hitam tampak pucat dan merah berganti-ganti. Tapi ketika nyonya itu melengking dan siap menyerang, jari dan kaki menggigil untuk bergerak tiba-tiba Beng Tan menyambar isterinya dan merebut pedang itu.

"Niocu, hentikan. Tak usah membawa-bawa nama jabatannya. Yang kita hadapi adalah Kedok Hitam dan bukannya pangeran. Ayo simpan pedangmu dan mundur!" tapi ketika sang isteri ditarik dan Kedok Hitam terlanjur marah, hampir saja menerkam tiba-tiba lelaki itu berkelebat dan keluar dari pesanggrahan kaisar.

"Hek-yan-pangcu, isterimu sungguh tak tahu adat. Baik-baik aku mengikuti kehendakmu tiba-tiba saja disini aku dihina. Baiklah tak usah kita bicara lagi dan katakan kepada bocah she Sin itu bahwa tiga hari lagi aku datang!"

Beng Tan tertegun, la menyesal bahwa isterinya bicara yang bukan seharusnya. Kedok Hitam adalah Kedok Hitam dan bukan orang lain, baik dalam "jubah" pangeran ataupun jubah kaisar. Tapi karena omongan telah dilepaskan dan Kedok Hitam marah bukan main, untung dapat mengendalikan diri karena ada ia di situ maka pendekar ini mencekal erat-erat pergelangan isteriny0 dan berseru memberi jawaban pada laki-laki itu,

"Kedok Hitam, kuhargai kejantanan dan kegagahanmu. Terimakasih bahwa kau mau menerima tantangan Giam Liong. Tapi harap jangan membawa-bawa pasukan atau pemuda itu juga akan membawa-bawa temannya, pemberontak Chu Kiang"

"Hm!" laki-laki itu mendengus dari jauh. "Aku pribadi tak akan membawa-bawa siapapun, Hek-yan-pangcu. Tapi yang jelas semuanya ini akan kulaporkan kepada kaisar!"

Beng Tan tertegun. Untuk kedua kali ia menerima jawaban licik yang licin. Kedok Hitam telah berjanji untuk tidak membawa-bawa orang lain tapi akan melaporkan semuanya ini kepada kaisar. Berarti, kaisar akan melakukan sesuatu dan itu berarti bantuan kepada si Kedok Hitam ini, meskipun Kedok Hitam telah mengatakan akan datang sendiri. Dan karena semuanya itu merupakan kata bercabang, Kedok Hitam sungguh licik maka Beng Tan mengerut-ngerutkan keningnya dan Swi Cu yang juga menangkap kata-kata yang tersirat lalu membanting dan memukul-mukulkan kakinya.

"Licik, pengecut. Bilang tak akan membawa-bawa orang lain tapi kaisar diberi tahu agar membantunya. Nah, apa yang sekarang akan kau lakukan, suamiku. Apakah membantu Giam Liong atau orang itu atau berdiam saja ditengah-tengah"

"Aku akan memberi tahu Giam Liong," Beng Tan menjadi khawatir. "Tapi aku juga tidak akan membantu anak itu selama Kedok Hitam berhadapan secara langsung!”

"Dan kau tak ingat anak kita sendiri? Tak segera mencari dan mencampuri urusan dua orang itu!"

"Hm, aku pribadi tak bermaksud mencampuri urusan ini, niocu, kalau semuanya berjalan secara jantan dan adil. Tapi kalau Kedok Hitam bersikap licik tentu saja aku harus bertindak!"

"Kau membantu Giam Liong?"

"Bukan Giam Liong, tapi keadilan!"

"Baiklah, dan kita tunggu waktu yang tiga hari itu. Setelah ini kita kerjakan urusan kita sendiri."

Beng Tan mengangguk. Dia sendiri sebenarnya tak akan mencampuri urusan dendam-mendendam itu apabila Kedok Hitam bersikap jantan. Tapi karena Kedok Hitam dikhawatirkan akan meminta bantuan kaisar, berarti akan melibatkan pasukan besar maka tentu pihak Giam Liong juga tak akan tinggal diam dengan majunya pemberontak She Chu. Jenderal itu telah mempengaruhi dan membujuk Giam Liong secara cerdik. Beng Tan sendiri tak tahu bahwa semuanya itu karena ajakan Wi Hong, ibu yang ingin puteranya kelak menjadi 'orang", berkedudukan dan mendapat pangkat dan semuanya itu tentu saja dapat diperoleh kalau membantu Chu Kiang, jenderal yang akan merebut kekuasaan itu.

Dan ketika Beng Tan khawatir karena Giam Liong kini diperalat orang lain, dipergunakan kepandaiannya maka pendekar itu bergerak dan mengajak isterinya kembali ke hutan di seberang di mana siang tadi mereka menemui anak itu. Namun celaka, Giam Liong tak mereka temui. Beng Tan juga sudah bergerak ke tengah hutan di mana gerombolan pemberontak kira-kira berada, tak ada dan nihillah pendekar ini mencari pemuda itu. Dan karena malam semakin larut sementara isterinya sudah tampak tak senang, lelah dan cemberut maka Beng Tan menghentikan usahanya dan mengajak isterinya beristirahat.

Dan sementara pendekar itu termangu-mangu dan menghabiskan waktu dengan perasaan tidak tenang, hari pertama akan datang maka di istana terjadi kegemparan dengan datangnya seseorang yang amat lihai!

Waktu itu, ketika Kedok Hitam meninggalkan pesanggrahan dengan marah besar, marah oleh kata-kata Swi Cu maka di istana datang seseorang yang terkekeh-kekeh. Orang itu datang dengan sikapnya yang menyeramkan, muncul begitu saja di depan pintu istana di hadapan belasan pengawal yang sedang berjaga. Dan ketika pengawal terkejut dan membentak kakek itu, seorang kakek berambut gimbal-gimbal maka kakek itu dicegat dan disuruh berhenti.

"Stop, mau ke mana dan siapa kau ini si gila kotor!"

"Ha-hah-he-heh...” kakek itu tertawa-tawa, rambut gimbalnya dikibaskan ke kanan kiri. "Aku mau menghadap kaisar, orang-orang tolol. Atau Kedok Hitam yang menjadi pembantu Coa-ongya. Aku mau melamar pekerjaan!"

"Pekerjaan apa!" pengawal membentak, tentu saja tak percaya. "Orang seperti kau tak dapat bekerja, tua gila. Pergi dan jangan main-main di sini!" pengawal itu menggerakkan tombaknya, maksudnya mau main-main dan mengancam tapi kakek itu tiba-tiba tertawa dan merampas. Dan ketika si pengawal terkejut karena tombaknya tahu-tahu telah berada di tangan kakek itu, cepat sekali, maka si kakek menekuk-nekuk patah dan melempar tombak rampasan itu, yang kini sudah menjadi tujuh potong.

"Heh-heh, kalian tikus-tikus busuk jangan berlagak didepanku. Bawa aku ke kaisar atau aku mencarinya sendiri!"

Para pengawal terkejut. Pemilik tombak tiba-tiba berteriak dan kaget sekali, mau merebut tapi kakek itu menendang. Dan ketika ia terbanting dan mengaduh di sana, tak dapat bangun berdiri maka teman-temannya tersentak dan otomatis bergerak dan mengurung. Kiranya kakek ini orang lihai!

"Kau siapa, apakah antek pemberontak Chu Kiang!"

"Chu Kiang? Heh-heh, orang yang baru saja mengobrak-abrik istana itu? Wah, keliru, tikus cilik. Aku bukan antek siapa-siapa dan justeru aku datang untuk menghadapi pemberontak itu. Aku ingin mengisi lowongan membantu kerajaan. Aku mau daftar dan menjadi orang nomor satu disini. Hayo, mana sri baginda atau Kedok Hitam yang katanya menjadi ketua panitia menguji orang-orang kang-ouw yang mau masuk!"

Para pengawal tertegun. Kakek yang seperti gila ini ternyata waras juga bicaranya. Bahkan sekarang mereka tahu bahwa kiranya kakek ini hendak melamar pekerjaan, yakni membantu kaisar untuk menghadapi pemberontak, setelah beberapa hari yang lalu mereka diobrak-abrik dan dibuat kalut. Tapi karena kakek ini tampaknya edan-edanan dan tidak mereka kenal, padahal setiap yang mendaftar harus ditanya dan dicatat dulu identitasnya maka mereka ragu dan sang komandan tiba-tiba mengedip agar kurungan dirapatkan.

"Heh, mau apa kalian ini. Kenapa tidak minggir dan malah mengurung rapat. Apa mau kuhajar!"

"Hm, maaf," sang komandan maju bicara, matanya bergerak-gerak tajam, dia memegang golok bertangkai panjang, gagangnya diberi benang warna-warni dan tampak gagah. "Kami tak mengenalmu dan tak tahu siapa kau, orang tua. Sebutkan dulu siapa dirimu dan kami akan melapor ke dalam."

"Weh, disuruh tunggu? Memangnya kalian orang-orang yang dapat bekerja cepat? Tidak, aku tak sabar disuruh menunggu, pengawal. Lebih baik cepat antar aku atau aku yang nanti akan mencari sendiri sri baginda kaisar. Atau, mana itu si Kedok Hitam!"

"Kalau begitu kami akan mengantar locianpwe," sang komandan tiba-tiba merubah sebutan, tidak lagi orang tua melainkan "locianpwe", sebutan hormat bagi orang-orang persilatan yang umumnya sudah tua, karena kakek ini tampaknya memang lihai. "Tapi sebaiknya beritahukan dulu identitas dirimu, locianpwe, agar kami dapat memberi tahu siapa dirimu."

"Weh, kalian tak perlu tahu sekarang. Namaku amat berharga. Biar di depan kaisar saja kuberi tahu!"

"Ah, tak dapat, locianpwe. Kami tentu kena marah!"

"Kau begitu cerewet?" kakek ini membentak, tiba-tiba tangannya bergerak dan sudah menangkap leher baju sang komandan, yang tentu saja kaget bukan main! "Kalau kau bukan calon anak buahku tentu kucekik mampus, tikus busuk. Ayo antar aku atau kupatahkan batang lehermu nanti... brukk!" sang komandan dilepas lagi, setengah dibanting dan komandan itu berteriak kaget karena kakinya hampir saja lumpuh.

Tentu saja dia marah namun juga gentar! Dan karena kakek ini rupanya bermaksud baik-baik dan ia harus hati-hati, kakek ini luar biasa dan amat lihai maka komandan itu buru-buru menegakkan tubuhnya dan dengan ramah namun menyimpan semacam dendam ia berkata, membungkuk, "Locianpwe sungguh tak sabar. Baik, baik. mari kuantar sendiri dan kita menghadap sri baginda!" lalu mengedip pada anak buahnya agar berjaga di situ, yang lain memberi tahu pasukan maka komandan ini mengajak si kakek menuju ke samping istana.

Kakek itu terkekeh-kekeh dan menyibaklah semua orang memberi! jalan. Dan ketika ia melangkah bagai langkah seorang panglima, tegap digagah-gagahkan maka sang komandan sudah membawanya ke tempat "sri baginda". Si kakek tak tahu bahwa ia ditipu, sang komandan membawanya ke sebuah asrama dimana orang-orang kang-ouw yang ingin membantu kaisar ditempatkan. Dan ketika di sudut-sudut jalan komandan ini bertemu dengan pengawal-pengawal yang lain, berkedip dan memberi tanda maka akhirnya secara diam-diam kakek itu diikuti oleh banyak orang, sampai dan berhenti di asrama ini dan berkerutlah kakek itu karena tempat ini merupakan gedung panjang yang terbagi oleh tiga ruangan besar. Di situ banyak orang bercakap-cakap dan sebagian lagi ada yang tidur-tiduran.

Gedung ini biasa saja dan tidak berkesan sebagaimana layaknya tempat tinggal kaisar. Tapi ketika dia juga berhenti karena pengantarnya sudah bercakap-cakap dengan seorang lain, yang berdiri dan menjaga di pintu masuk maka orang itu memandangnya dan tiba-tiba masuk ke dalam.

"Mana sri baginda, kenapa tidak tampak para dayang atau puteri-puteri cantik. Tempat macam apa ini!"

"Sabar," sang komandan tersenyum-senyum, di situ ada seratus lebih orang-orang kang-ouw. "Aku telah melaporkannya kepada atasanku, locrianpwe. Dan sekarang dia akan menyambut locianpwe sendiri. Lihat, dia keluar!”

Kakek itu mengerutkan kening. Laki-laki yang tadi diajak bercakap-cakap oleh komandan ini memang benar saja keluar, tapi bukan sendirian melainkan oleh puluhan orang di dalam. Maklum, tempat itu memang asrama, penampung orang-orang persilatan yang akan mencari kedudukan dan pangkat di situ, dengan membantu kaisar menghadapi pemberontak Chu Kiang. Dan ketika kakek itu tertegun karena tahu-tahu ia sudah dikurung semua orang menggeram dan mengeluarkan seruan-seruan marah maka laki-laki yang tadi dihadapi komandan sudah berdiri di depannya. sikapnya keren, marah.

“Kau katanya mau melamar pekerjaan, tapi malam-malam begini datang dan tidak mau menunggu besok. Apakah ini pantas kau lakukan, tua bangka? Mana sopan dan hormatmu kepada istana? Sri baginda sedang istirahat. Kalau kau benar-benar mau bekerja di sini silahkan robohkan mereka ini dan kau dapat menjadi yang nomor satu?"

"Eh, siapa mereka ini? Dan kenapa aku dimusuhi?"

"Kau tak mau menyebutkan dirimu, orang tua. Dan kau patut dicurigai dan ditangkap. Nah, sekarang menyerahlah atau kami akan membunuhmu!" berkata begitu tiba-tiba laki-laki ini mengangkat senjatanya dan seratus lebih orang-orang di situ membentak dan berlompatan menerjang.

"Hei... heii, apa-apaan ini. Kenapa kalian menyerang!"

"Tak usah banyak cakap!" orang-orang kang-ouw itu mulai berteriak-teriak, marah. "Kau sombong dan katanya lihai sekali, kakek siluman. Hayo tunjukkan kepada kami dan lihat seberapa kepandaianmu.... sing-singgg!" dan golok serta pedang yang sambar-menyambar membacok kakek ini tiba-tiba berhamburan dari segala penjuru.

Kakek itu terbelalak dan tiba-tiba matanya berkilat. Dia ternyata ditipu. Dan ketika sang komandan dilihatnya tertawa bergelak dan mundur, bersembunyi di balik orang-orang kang-ouw itu mendadak kakek ini membentak dan tubuhnya sekonyong-konyong lenyap, didahului sinar kuning keemasan. "Kau penipu, jahanam keparat?”

Para pengeroyok terkejut. Mereka tahu-tahu kehilangan kakek itu yang lenyap seperti siluman, benar-benar lenyap karena tubuhnya berobah sebagai asap halus, asap yang kuning keemasan itu. Dan ketika sang komandan terkejut karena asap ini menyambarnya, dia tak sempat mengelak tiba-tiba kakek itu muncul lagi dan sudah menangkap lehernya.

"Sekarang kau mampus!"

Sang komandan berteriak. Dia bermaksud membalas sakit hatinya ketika di pintu istana tadi, yakni ketika kakek itu menangkap dan mencekik lehernya. Tapi begitu kakek ini menghilang dan tahu-tahu muncul lagi lapisan pengeroyok diterobos begitu saja, seperti asap, maka komandan itu menjerit ketika tulang lehernya tiba-tiba patah dan kepalapun terkulai serta tentu saja tewas seketika.

"Nah, siapa mau seperti ini!" kakek itu melempar korbannya, mencelat dan sudah berkelebatan ke sana ke mari karena para pengeroyok tiba-tiba menjadi gempar. Sekejap saja kakek itu sudah membunuh sang komandan dan tentu saja orang-orang kang-ouw itu terkejut. Mereka kaget dan heran oleh gerakan cepat si kakek, menyerbu dan membentak dan kembali hujan senjata berdesing-desing menyambar kakek itu. Tapi ketika si kakek berkelebatan dan tak satupun senjata mengenai tubuhnya, kakek itu tertawa dan terkekeh- kekeh maka rambut gimbalnya meledak ke kiri kanan membalas.

"Ha-ha, ayo maju. Siapa kalian dan kenapa tidak berpakaian seperti pengawal!"

"Kami calon pembantu-pembantu kaisar. Kami orang-orang yang sudah diterima untuk menghadapi pemberontak.”

"Ah, kiranya tikus-tikus busuk dari dunia kang-ouw? Bagus, bagus... kalian harus tunduk kepadaku, anak-anak. Dan akulah yang akan memimpin... wut-wut-plak" dan rambut yang bergerak menjeletar menyambar-nyambar tiba-tiba sudah meledak dan membuat sembilan orang menjerit dan roboh. Mereka terkena sabetan atau pukulan rambut itu. Dan karena rambut gimbal-gimbal itu sudah berobah seperti kawat-kawat baja, bergumpal dan penuh tenaga sinkang maka mereka roboh dan tak dapat berdiri, pingsan.

Si Kakek benar-benar memberi pelajaran dan gentarlah yang lain ketika tujuh orang lagi berteriak dan roboh. Kulit mereka matang membiru. Tapi karena jumlah mereka masih banyak dan pasukan pengawal juga muncul, tempat itu segera penuh orang maka kakek itu dikepung dan dikeroyok.

“Bunuh, babat dia. jangan biarkan menyambar-nyambar!"

“Ha-ha. kalian tak tahu siapa aku. Boleh bunuh dan babat kalau bisa, kecoa-kecoa busuk. Tapi lihat bahwa aku sekarang menjadi seribu. si kakek meledakkan tangannya, bayangannya bergerak-gerak lebih cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjadi seribu orang. Dan ketika pengeroyok terkejut karena si kakek berjumlah amat banyak. Mereka malah dikeroyok dan menghadapi empat sampai enam orang seperti kakek gimbal-gimbal, maka seratus orang-orang kang-ouw itu berteriak dan tunggang-langgang, mawut!

"Iblis, kakek ini bukan manusia. Dia iblis!"

"Benar, dan hati-hati, kawan-kawan. Kita menghadapi siluman."

"Kerahkan pasukan, keroyok.... aduh!” dan para pengeroyok yang berteriak dan jatuh bangun akhirnya buyar dan kacau tidak karuan. Mereka kini malah dikeroyok seribu kakek gimbal-gimbal yang terkekeh-kekeh dan meledakkan rambutnya. Setiap disabet tentu mereka terjungkal. Dan ketika pasukan terbelalak dan kaget serta pucat, kakek itu berobah menjadi seribu orang maka seratus orang-orang kang-ouw itu tiba-tiba roboh dan tumpang-tindih. Tak ada satupun yang selamat!

"Serbu, panggil Kedok Hitam!"

Pengawal terkesima. Mereka terpukau dan mula-mula terkejut oleh kehebatan kakek ini. Si kakek bukan manusia melainkan rupanya benar-benar siluman. Tapi ketika terdengar bentakan dan laki-laki yang tadi bicara dengan sang komandan memberi aba-aba, dari belakang tiba-tiba berkelebat bayangan seorang gadis cantik maka pengawal tergugah dan gadis itu sendiri sudah menyambar dan menukik seperti burung.

"Siapa pengacau satu ini. Berani mencari mampus"

Si kakek terkejut. Dia sudah merobah dirinya menjadi seribu bayangan namun gadis yang baru datang menyambar ini langsung ke inti tubuhnya, tidak ke mana-mana melainkan langsung menukik ke tengah, karena memang di situlah dia berada. Dan ketika gadis itu membentak dan sebuah pukulan menyambar dingin, tentu saja dia menangkis maka gadis itu terpental sementara kakek itu sendiri terhuyung.

"Dukk!"

Gadis ini adalah Yu Yin. Dia berteriak tertahan ketika terlempar di udara, membentur tangan yang kuat dari kakek gimbal-gimbal itu. Tapi ketika gadis ini berjungkir balik dan menyerang lagi, langsung mencabut pedangnya maka sinar hitam menyambar-nyambar mengeliliingi kakek itu.

"Ah, silat pedang yang bagus. Ha-ha, ilmu pedang yang lihai!"

Gadis itu terkejut. Si kakek mengelak dan menghindar ke sana-sini sementara kuku-kuku jarinya mulai bergerak crang-cnng-crang-cring, menangkis pedangnya bila dikejar tak sempat mengelak. Dan ketika pengawal menyerbu dan membantu dirinya, kakek itu tak menjadi seribu lagi maka gadis ini membentak dan bertanya siapa lawannya itu...