Naga Pembunuh Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 20
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
TIGA laki-laki itu menjerit. Ruyung dan golok mereka menancap di pundakdan tentu saja mereka kesakitan, berteriak dan nyaris terjungkal kalau tidak cepat-cepat menelungkup. Dan ketika dengan menelungkup mereka meneruskan lari mereka, kuda dijepit kuat-kuat maka tiga laki-laki ini lenyap dan orang-orang terbelalak kagum memandang Swi Cu, yang sudah duduk kembali di samping suaminya.

"Hujin luar biasa, ah, aku si tua benar-benar kagum. Istana benar-benar membutuhkan tenaga seperti hujin ini. Pasti amat dihargai!"

"Hm, tutup mulutmu," Swi Cu membentak, pemilik kedai ini lagi-lagi bicara tentang istana yang butuh tenaga. "Aku tak suka kau bicara seperti itu, lopek. Aku tak menjual tenaga dan tak perlu dibutuhkan istana!"

"Ah, maaf... maaf...!" pemilik kedai ketakutan. "Aku orang bodoh hanya bicara apa adanya, hujin. Tak akan bicara kalau hujin tak suka. Sudahlah, apalagi yang hujin butuhkan dan apa yang dapat kubantu. Apakah hujin mau tambah arak!"

"Kami akan pergi," Beng Tan tiba-tiba bangkit dan berdiri, melempar sekeping emas. "Terima kasih untuk pelayananmu, lopek. Dan kami tak akan lagi mengganggu!"

"Ah, yang tadi sudah cukup!" pemilik kedai terkejut, buru-buru menyambar dan mengembalikan lagi uang itu.

Swi Cu tadi telah menancapkan uangnya di meja. "Yang tadi sudah cukup, taihiap. Dan tidak menerima uangpun aku si tua tak apa-apa. Aku sudah merasa bangga bahwa orang-orang sehebat ji-wi (kalian berdua) sudah mau memasuki warungku!"

"Hm, itu untuk tambahan modal," Beng Tan tersenyum dan berkelebat pergi, sudah menyambar isterinya. "Kami masih cukup dalam perjalanan, lopek. Biarkan itu dan terimalah!"

"Ooh..!" si tua terkejut, Beng Tan tahu-tahu lenyap. "Kalau begitu terima kasih, taihiap. Dan semoga selamat di perjalanan!"

Beng Tantak menjawab. Dia cepat-cepat membawa isterinya ini pergi karena sang isteri masih meradang. Tingkah tiga laki-laki kasar tadi masih membuat isterinya marah. Maka ketika dia menarik dan membawa isterinya pergi, pemilik kedai dan lain-lain berseru kagum maka pendekar ini melesat dan sudah menghilang di luar warung makan. Beng Tan menunjukkan ilmunya yang jauh lebih luar biasa dan tentu saja orang-orang di dalam warung terkesiap. Laki-laki itu tahu-tahu lenyap seperti siluman saja. Dan ketika suami isteri itu menjadi perbincangan dan Beng Tan meluncur ke kota raja maka Swi Cu mengomel dan cemberut sepanjang jalan dan sang suami menghibur agar tidak usah lagi mengingat-ingat peristiwa itu.

"Laki-laki kasar macam mereka memang biasanya begitu. Kau telah memberi pelajaran dan tak usah mengingat-ingatnya lagi. Mari, kita ke istana, niocu. Kita lihat dan selidiki apa yang terjadi!"

"Kau mau sekarang juga? tidak menunggu malam nanti?"

"Hm, kita Lihat-lihat sekarang, dari jauh saja. Malam nanti kita masuk dan selidiki lebih cermat!"

"Kalau begitu sesukamu. Tapi kalau ada lagi laki-laki kasar aku akan membunuh mereka!"

"Baiklah, baiklah... tapi tak akan ada lagi laki-laki kasar. Aku akan menghadapi mereka!" dan ketika Beng Tan tersenyum membawa isterinya, berkelebat dan melewati tembok gerbang yang tinggi maka suami isteri ini sudah memasuki kota raja dan beberapa penjaga terbelalak dan mengucek-ucek mata mereka apakah tadi mereka melihat burung terbang atau manusia yang terbang dan kemudian lenyap. Gerakan suami isteri ini memang seperti iblis saja!

"Nah, kita sudah masuk. Mari langsung saja ke istana."

Swi Cu tak menjawab. Ia membiarkan saja suaminya menarik dan membawa, berkelebat dan mereka sudah melewati semua tempat-tempat penjagaan dengan mudah. Dan ketika para penjaga juga terbelalak dan mengucek-ucek mata mereka, suami isteri ini lenyap seperti burung menyambar saja maka mereka bicara satu sama lain apakah tadi sedang melihat hantu.

"Astaga, mataku rusak. Tadi seakan ada dua orang menyambar tapi tahu-tahu mereka lenyap seperti siluman. Apakah tadi manusia atau siluman!"

"Benar, aku juga begitu, A-hiong. Tadi seakan ada dua orang menyambar dan lewat di depan kita tapi tahu-tahu hilang. Apakah siluman atau hantu ntasar!"

"Ah, kita lihat saja. Dia masuk wilayah kaputren!"

Tapi para penjaga ini tentu saja tak menemukan apa-apa. Beng Tan berkelebat dan sudah berada di tempat lain, memotong jalan dan mengenal daerah itu karena dulu pernah menjadi pelindung kaisar, di tempat ini. Dan ketika penjagaan demi penjagaan dilewati mudah, Beng Tan bergerak dari satu gedung ke gedung yang lain maka Swi Cu mengerutkan kening melihat suaminya itu tiba-tiba menuju ke belakang dan memasuki sebuah rumah kecil seperti sebuah paviliun.

"Sst, jangan berisik. Aku mencari Bo-ciangkun!"

"Siapa dia? Rumah siapa ini?"

"Ini tempat tinggalnya. Dia orang yang paling kupercaya dan jujur di sini. Awas, aku membuka pintunya!" dan baru saja Beng Tan menerobos masuk, bergerak dan menyelinap ke dalam tiba-tiba tujuh panah kecil menyambar dan menyerangnya dari dalam.

"Siapa itu, manusia kurang ajar!"

Beng Tan tertawa. Suara parau dan berat yang menyambutnya itu tiba-tiba langsung dikenal, mengebut dan tujuh panah kecil langsung, dirontokkan. Dan ketika Beng Tan berdiri dan menguak sebuah tirai dari kulit tiram, maka seorang laki-laki duduk memandanginya dengan kaget.

"Astaga, Ju-taihiap kiranya. Ah, Pek-jit-kiam Ju Beng Tan!" dan keras melempar kursinya, bangkit meloncat bangun tiba-tiba laki-laki ini menubruk dan mencengkeram Beng Tan, mengguncang-guncang dan tertawa bergelak dan tiba-tiba Beng Tan sudah dicium. Laki-laki itu begitu gembira sementara Beng Tan sendiri juga tertawa dan mencium pipi kakek ini yang penuh cambang. Dan ketika keduanya saling remas dan cengkeram maka Beng Tan minta maaf bahwa datang dengan cara begitu.

"Tak apa... tak apa. Ha-ha, aku tahu tindak-tandukmu dan sungguh kebetulan mau menemui aku yang kesepian ini!"

"Hm, apa yang kau lakukan di sini, Bo-ciangkun? Kenapa duduk merenung dan sendirian? Tapi kau masih lihai, telingamu tajam dan panah-panahmu tadi cukup kuat bertenaga!"

"Wah, bertenaga apanya? Buktinya rontok kau sentuh. Aku sudah tua dan tak seperti dulu. Lemah!"

"Ah, tidak," Beng Tan tertawa. "Sambaran anak panahmu masih kuat, ciang-kun. Kalau bukan aku barangkali roboh!"

"Hm, jangan panggil aku ciangkun (panglima)," kakek itu mengerutkan kening. "Aku sudah pensiun, taihiap. Dan hanya berkat kebaikan kaisar saja maka aku masih disini, tinggal di paviliun ini. Eh, siapa itu?" kakek ini tiba-tiba mengalihkan perhatian, melihat bayangan Swi Cu. "Kau membawa seorang wanita?"

"Maaf," Swi Cu muncul dan menjura, tadi menjaga atau mengamati sekeliling. "Aku Swi Cu, Bo-ciangkun. Kiranya kau yang disebut-sebut suamiku."

"Astaga! Ini Ju-hujin (nyonya Ju)? Wah, aku tak memiliki hidangan istimewa. Sungguh tamuku tamu-tamu agung. Ah, maaf... maaf, Ju-hujin. Aku tak tahu kedatanganmu dan suamimupun tidak menceritakannya!" dan si kakek yang buru-buru membungkuk dan membalas hormat lalu menegur Beng Tan kenapa tidak memberi tahu.

"Isteriku memang di luar, belum masuk. Tadi kusuruh tunggu sebentar dan melihat-lihat keadaan. Kami tak mau diketahui orang lain, pengawal-pengawalmu!"

"Ah, pengawal apa? Aku sudah pensiun, taihiap. Tak ada pengawal. Kalaupun ada belum tentu aku mau dijaga. Aku ingin bebas!"

"Ciangkun sudah pensiun?"

"Sudah kubilang, jangan panggil ciangkun. Aku sudah tidak bekerja lagi!"

"Tapi kau masih tinggal di sini, di lingkungan istana."

"Benar, semata berkat kebaikan kaisar, taihiap. Kalau tidak tentu aku tinggal di luar. Sudahlah, apa maksud kedatanganmu dan bagaimana tiba-tiba muncul secara mengejutkan!"

Beng Tan menarik napas dalam-dalam. Ditanya begini tentu saja dia teringat keperluannya, bahwa Giam Liong datang dan mengacau di istana. Dan ketika dia memandang isterinya dan melihat isterinya berkerut pula, dahi ditarik dalam maka pendekar ini bicara menjelaskan maksudnya.

"Aku datang untuk urusan pribadi, mungkin penting mungkin tidak. Bahwa kau tentu telah mendengar datangnya pemberontak-pemberontak Chu Wen yang diikuti seorang anak muda."

"Ah, itu? Tentu saja. Tapi mari duduk dulu. Aku lupa mempersilahkan kalian. Mari... mari hujin dan taihiap duduk. Aku akan mengambilkan minuman untuk ji-wi!"

"Tidak, tak usah...” Beng Tan buru-buru menggoyang lengan. "Kami baru saja mengisi perut, ciangkun. Kami tak perlu minum!"

"Hm, ciangkun... lagi-lagi ciangkun!" Kakek itu mengomel, tapi tertawa. "Aku, sudah bukan panglima lagi, taihiap. Aku seorang purnawirawan!"

"Tapi kau tetap tegar dan gagah. Kau masih seperti seorang panglima!"

"Ha-ha, panglima ompong. Baiklah, aku akan berangan-angan seperti masih seorang ciangkun dan teihiap boleh panggil. Hm, apa yang kita bicarakan tadi? Taihiap tanya apa?"

“Tentang datangnya pemberontak.”

“Oh-ya, ya. Tapi aku tak tahu banyak. Yang tahu banyak tentu saja Coa-ongya!"

“Hm, aku tak suka kepadanya, ciangkun, seperti kaupun juga."

"Sial, kenapa aku kau bawa-bawa? Aku memang tak suka kepadanya, taihiap. Tapi aku orang kecil dan tak bisa apa-apa. Aku mengetahui tentang kekacauan itu namun tak seberapa banyak yang kuketahui. Saat itu aku memadamkan gedung Coa-ongya yang terbakar!"

"Hm, dan siapa saja pengikut-pengikut Chu Wen itu?"

"Katanya banyak orang lihai, seperti si Pacul Sakti dan Tombak Maut.."

"Dan siapa pemimpinnya."

"Chu Kiang," kakek itu mengerutkan kening, mata bersinar marah. "Orang she Chu ini mengumpulkan banyak orang pandai, taihiap. Tapi satu di antaranya adalah pemuda luar biasa itu, di samping seorang wanita cantik. Aku mendengar bahwa dia adalah keturunan mendiang si Golok Maut!"

"Dia adalah Giam Liong, bocah yang dulu pernah kami asuh. Tapi sekarang membuat kerusuhan dan onar!" Swi Cu tiba-tiba berseru, mendahului suaminya.

Dan ketika Bo-ciangkun terkejut ia menambahi, berapi-api, "Kalau bocah itu datang lagi sebaiknya kita bunuh, ciangkun. Wanita cantik itu adalah ibunya yang jahat dan penghasut!"

"Kalau begitu suci (kakak seperguruan perempuan) hujin sendiri..."

"Aku tak mengakuinya lagi. Ia jahat dan curang!"

"Hm," Beng Tan menepuk dan meredakan isterinya, karena sang isteri tiba-tiba meradang dan mau menangis, teringat anaknya yang ditukar, hilang. "Kami ingin mengetahui di mana kira-kira Chu Kiang dan pengikutnya itu, ciangkun. Biarkan isteriku yang sedang emosionil ini. Kemana mereka itu sekarang. Dan bagaimana dengan Coa-ongya atau si Kedok Hitam."

"Kedok Hitam tak mampu menghadapi pemuda luar biasa itu, ia menghilang! Dan Coa-ongya, hmm... aku tak tahu ia di mana, taihiap. Yang jelas iapun lari dan bersembunyi seperti tikus!"

"Dan ke mana pemberontak-pemberontak itu lari."

"Aku tak ikut mengejar, tapi mereka keluar hutan sebelah barat."

"Dan tak ada pasukan yang mengejar?"

"Wah, mengejar bagaimana, taihiap? Dikibas dan dipukul dari jauh saja mereka itu mawut. Siapa berani bunuh diri mengejar pemuda itu. Pimpinan mereka sendiri saja tak ada yang berani mengejar!"

"Hm, kalau begitu bagaimana keadaan istana sekarang. Bagaimana dengan sri baginda dan kerabat-kerabat dekatnya."

"Hampir tak ada perobahan. Tapi sejak tewasnya Golok Maut itu maka tak ada pengacau atau pembuat onar yang berani datang, kecuali malam itu. Bocah keturunan Si Golok Maut itu!"

"Dan bagaimana dengan Kedok Hitam? Ia masih di sini?"

"Masih, taihiap. Tapi gerak-geriknya misterius sekali. Hanya beberapa waktu yang lalu datang dua kakek India itu menjadi pembantunya. Tapi mereka inipun tak dapat berbuat apa-apa kepada pemuda luar biasa itu. Semua orang tak berdaya!"

"Dan sekarang pemuda itu lolos..."

"Ya-ya, ia menyelamatkan pengikut-pengikut Chu Wen itu. Ia pergi!"

"Dan tak ada pembalasan dari pihak istana? Kaisar tak marah-marah?"

"Wah, sri baginda marah besar, taihiap. Dan Coa-ongya kabarnya didamprat habis-habisan. Ini persoalan lama yang bangkit kembali, lebih berbahaya daripada dulu!"

"Maksudmu?"

"Ah, Chu Kiang menarik pemuda ini sebagai tenaga andalan, taihiap. Dan itu lampu merah bagi istana. Pemberontak bisa mempergunakan tenaga pemuda ini untuk membuat perang. Dan rakyat di ambang kekacauan!"

"Benar, dan kau tak ingin menghalangi ini? Tak ingin membela negara?"

"Wah, aku tentu saja siap membantu, taihiap, dengan jiwa ragaku. Aku siap mengorbankan nyawa dan darah!"

"Bagus, aku juga begitu. Tapi persoalan sekarang bertumpang-tindih. Anak muda itu sebenarnya berurusan dengan Coa-ongya bukannya pemberontakan. Apakah ciangkun dapat melihat ini?"

"Hm, aku melihat. Tapi aku tak mengerti apa yang selanjutnya taihiap maksudkan. Apakah taihiap hendak memaksudkan agar persoalan ini dipilah, persoalan pribadi sebagai persoalan pribadi dan persoalan negara sebagai persoalan negara."

"Benar, anak itu telah terjebak Chu Kiang, ciangkun. Dan aku tahu bahwa selama ini dia bukan pengikut pemberontak atau pencetus kekacauan. Aku hendak membawanya kembali ke persoalan semula dan harap ciangkun bantu aku untuk menghadapi pengikut-pengikut Chu Wen itu!"

"Apa yang hendak kau lakukan?" sang isteri tiba-tiba bertanya, alis kembali berkerut dalam. "Giam Liong telah membantu pemberontak, suamiku. Dan anak itu sudah dicap sebagai pemberontak. Biarkan saja ia dengan Chu Kiang!"

"Tidak," Beng Tan menggelengkan kepalanya. "Aku tak ingin anak itu berbuat dosa atas muslihat orang lain, isteriku. Aku hendak menemui Giam Liong agar tidak melibatkan dirinya dengan generasi Chu Wen itu!"

"Tapi istana telah mencapnya sebagai pemberontak. Bocah itu tak mungkin selamat!"

"Hm, inilah yang hendak kubedakan, niocu. Kita sama tahu bahwa Giam Liong bertemu secara kebetulan dengan Chu Kiang. Dan kitapun tahu bahwa anak itu tidak bermaksud menjadi pemberontak, la datang ke sini karena urusannya dengan si Kedok Hitam, bukan yang lain!"

"Benar," Bo-ciangkun tiba-tiba berseru, membelalakkan mata. "Bocah itu memang datang untuk urusannya dengan si Kedok Hitam, taihiap. la hendak menuntut balas atas kematian ayahnya di tangan si Kedok Hitam!"

"Tapi Kedok Hitam akan berlindung di balik nama kaisar," Swi Cu tiba-tiba tak kalah sengit, juga berseru. "Dan persoalan ini tak mungkin dipilah, ciangkun. Kedok Hitam akan meminta perlindungan kaisar dan semua orang bisa dikerahkan untuk menghadapi pemuda itu!"

"Hm," Beng Tan mengerutkan kening, kali ini mukanya keruh. "Kedok Hitam memang bisa berdalih seperti itu, niocu. Tapi kita berdua tahu bahwa ia melakukan itu karena ambisi dan kebenciannya pribadi. Ia berkali-kali telah menipu dan memperdayai Golok Maut Sin Hauw. la laki-laki curang!"

"Siapa Kedok Hitam ini," Bo-ciangkun tiba-tiba menyela. "Ji-wi rupanya tahu dan mengenal baik. Apakah taihiap dapat memberitahunya?"

"Tidak," Beng Tan tertegun. "Sementara ini aku tak dapat memberitahumu, ciangkun. Tapi kelak mungkin kau akan tahu juga. Sekarang aku ingin minta bantuanmu bagaimana supaya Chu Kiang tak sampai mengikat pemuda ini. Pemberontak itu dapat menipunya!"

"Taihiap cari dan tangkap saja orang she Chu itu, tentu beres!"

"Dan di sana ada pemuda itu," Swi Cu tiba-tiba menjengek, mengejek. "Kau tak dapat memisah persoalan ini, suamiku. Biarkan saja seperti itu dan kita cari atau mintakan bantuan istana untuk membunuh orang-orang itu!"

"Ya, istana sedang mengumpulkan banyak orang-orang pandai. Kalau taihiap menghadap sri baginda atau Coa-ongya tentu taihiap akan disambut gembira. Apakah aku siap mengantar?"

"Nanti dulu," Beng Tan menggoyang lengan. "Tadi isteriku tak suka bergabung dengan istana, ciangkun. Bagaimana sekarang tiba-tiba ia ingin menghendaki itu!"

"Aku tidak menghendaki itu. Maksudku adalah kalau kau meminta bantuan istana boleh-boleh saja tapi kita jangan di bawah perintahnya. Kita tetap sendiri-sendiri. Aku tak sudi diperintah, biarpun oleh sri baginda sendiri!"

"Hm, begitukah? Tapi bertemu sri baginda tak mungkin kita diperintahnya. Baginda tentu akan menyerahkan ini kepadaku dan kita memimpin orang-orang lain!"

"Tapi setan si Kedok Hitam itu akan kembali melangkahimu," Swi Cu mengejek, mengingatkan peristiwa yang lalu. "Jangan lupa kepada yang lama, suamiku. Sri baginda nyatanya tak berbuat apa-apa ketika kewibawaanmu dilanggar!"

"Hm, benar," jago pedang ini mengerutkan kening. "Kalau begitu bagaimana baiknya? Aku hanya ingin melepaskan Giam Liong dari pemberontak Chu Kiang Itu. Dia tak boleh menjadi pemberontak karena bujukan orang lain!"

"Apa perdulimu? Bukankah bapaknya juga dicap pemberontak?"

"Hm, jelek-jelek dia pernah menjadi anak kita, niocu. Dan jelek-jelek ia adalah kemenakanmu. Ia putera dari sucimu."

"Aku tak perduli semuanya itu. Enci Wi Hong telah melukai dan menghancurkan perasaanku!"

"Ada sebab ada akibat, niocu. Ada perbuatan pasti ada alasan-alasannya. Aku pribadi tak dapat mendendamnya sejauh yang kau rasakan. Betapapun ia telah mewarisi ilmu-ilmu dan secara tidak langsung ia adalah anak didikku!"

"Tapi itu yang justeru membuat aku berang. Ibunya dengan licik menculik dan menukar anak kita, suamiku. Dan sekarang setelah ia pandai maka ia menjadi musuhmu. Aku benci ini, aku tak dapat melupakannya!"

"Apa yang telah terjadi?" Bo-ciangkun tiba-tiba bertanya, kembali menyela. "Rupanya ada peristiwa besar di keluarga taihiap!"

"Kami ditipu," Beng Tan tiba-tiba muram, malu dan juga sedih. "Ibu anak itu menukar dan menculik anak kami, ciangkun. Dan setelah ia besar maka ibunya datang dan memberi tahu. Isteriku terpukul."

"Ah, begitukah?"

"Ya," dan ketika Beng Tan menceritakan peristiwa itu, Bo-ciangkun terbelalak maka kakek bertubuh kekar ini menggeleng kepalanya berulang-ulang.

"Pantas... pantas. Pantas ia demikian lihai dan gagah. Kiranya telah mewarisi semua ilmu-ilmu taihiap!"

"Dan ia memiliki pula ilmu dari mendiang ayahnya. Anak itu lebih hebat dari aku!"

"Taihiap kalah?"

"Begitulah," Beng Tan tak perlu menutupi rahasia. "Aku telah dikalahkannya, ciangkun. Dan aku sekarang ingin tahu apa yang hendak dilakukannya. Aku tahu ia akan kekota raja karena pasti mencari Kedok Hitam. Tapi sebelum aku di sini ternyata aku mendengar bahwa anak itu telah membuat gempar, bersatu dengan pemberontak!"

"Ya-ya, dan Kedok Hitam juga tak mampu menandinginya, lari dan menyelamatkan diri. Kalau begitu bagaimana menurut taihiap? Aku tak dapat memberi saran karena taihiap tentunya lebih pandai daripada aku!"

"Hm, jangan begitu. Soal ilmu silat barangkali aku lebih pandai daripada dirimu, ciangkun. Tapi dalam tata keperajuritan jelas kau lebih hebat. Aku ingin bicara bagaimana kalau kau menghadapi Chu Kiang itu dan aku menarik Giam Liong dari sahabat barunya itu!"

"Apa-apaan ini!" sang isteri tiba-tiba kembali memprotes. "Untuk apa kau lakukan itu, suamiku. Biarkan saja ia sebagai pemberontak dan biar kaisar mencapnya sebagai antek Chu Wen!"

"Giam Liong masih kurang pengalaman," sang suami berkata sabar, pendekar ini memang lembut dan mulia hati. "Aku tak dapat membiarkan bekas putera kita itu sebagai pemberontak dan penyebab penderitaan rakyat kecil, niocu. Aku akan menyadarkannya dan coba menjauhkannya dari Chu Kiang. Kalau tidak berhasil maka aku akan membiarkannya dan selanjutnya terserah dirinya. Tapi aku akan berusaha, karena jelek-jelek dia pernah menjadi anakku juga, anak yang dekat denganku!"

"Tapi aku tak dapat membawa pasukan," Bo-ciangkun tiba-tiba berseru, mendahului sang nyonya yang kembali hendak membuka mulutnya. "Aku panglima yang sudah pensiun, taihiap. Aku sudah tak memiliki kekuasaan!"

"Tapi sri baginda masih menaruhmu di sini," Beng Tan tak perduli, mata bersinar-sinar. "Kalau aku menghadap dan memohon beliau tentu sri baginda memperkenankan, ciangkun. Kau sahabatku dan sri baginda tahu akan ini!"

"Benar, dan justeru karena sungkan kepadamu itulah maka aku diberi tempat tinggal di sini. Kalau tidak, tentu aku disuruh keluar!"

"Tapi aku yang tak setuju kau menemui Giam Liong!" Swi Cu bersuara, keras. "Bocah itu musuh kita, suamiku. Dia sudah bukan apa-apa lagi. Kau tak usah memperdulikannya!"

"Aku tak akan perduli kalau ia benar-benar orang lain. Tapi ia putera sucimu, dan mendiang ayahnya Sin Hauw adalah seorang gagah yang kukagumi. Tidak, aku tak dapat membiarkannya begitu saja, niocu. Aku akan berusaha menjauhkannya dari Chu Kiang selama ini bisa. Tapi kalau gagal, aku akan melepaskannya dan tak akan perduli. Ini keputusanku!"

Swi Cu terbelalak. Tiba-tiba ia merasa aneh dan tak mengerti sikap suaminya ini. Tak tahu bahwa diam-diam jago pedang ini memiliki kekaguman besar kepada Giam Liong. Pemuda itu anak didiknya. Pemuda itu telah mampu mengalahkannya! Dan karena bagi seorang pendekar amatlah mengagumi dan menghargai hal-hal macam begini, Beng Tan mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan perasaan keluarga maka dia merasa sayang kalau anak didiknya yang hebat itu sampai menjadi pemberontak. Dia dapat menerima dan membiarkan saja kalau Giam Liong membalas dendam kepada si Kedok Hitam, karena anak itu akan membalas kematian ayahnya.

Tapi kalau Giam Liong sampai menjadi pemberontak, mengacau dan mencelakakan rakyat kecil maka dia akan mencegah dan tak dapat menerima hal-hal seperti ini. Pemuda itu boleh saja melampiaskan dendam pribadi, orang per orang. Tapi kalau dia menjadi pengikut Chu Wen dan ini bakal menyengsarakan rakyat, peperangan atau pertumpahan darah pasti terjadi maka jago pedang ini tak dapat membiarkan hal itu di depan matanya. Dia akan mencegah dan Giam Liong akan ditemui. Dan karena sejak lama ia sudah membantu istana, pro kaisar yang sekarang daripada para pemberontak maka pendekar ini mengambil keputusan tetap bahwa ia akan mencari dan menemui pemuda itu.

Bukan untuk membalas kekalahannya melainkan semata mengingatkan pemuda itu akan bahayanya membantu pemberontak. Seumur hidup bakal dicap pemberontak dan anak cucupun akan dicap atau dicurigai sebagai pemberontak. Inilah yang tak dikehendaki pendekar itu. Maka ketika dia bersikap tegas dan sang isteri tertegun, Swi Cu tak dapat mengerti ini maka nyonya itu terbelalak dan kaget memandang suaminya. Belum pernah suaminya bersikap keras dan setegas ini, padahal baru saja dikalahkan Giam Liong! Tapi ketika ia menarik napas dalam-dalam dan tinggal menurut, tak baik bertengkar di hadapan orang lain maka ia membanting kaki sekedar menyatakan kesal.

"Baiklah, terserah dan sesukamu, suamiku. Tapi kalau ada apa-apa jangan salahkan aku. Jangan buang kekecewaanmu kepadaku!"

"Tidak," Beng Tan menarik napas dan mencekal lengan isterinya pula, sedikit melunakkan sikap. "Aku tahu ketidaksenanganmu, niocu. Maaf kalau kita berbeda pendapat. Tapi percayalah bahwa aku tak akan memaksa anak itu untuk menuruti nasihatku. Kalau aku gagal tentu aku tak akan bersikeras dan terserah anak itu!"

"Kau berjanji?"

"Tentu."

"Baik, kalau begitu mari segera mencari anak itu. Aku ingin kau cepat menyelesaikan urusanmu!"

"Nanti dulu," sang ciangkun berseru. "Kalian jangan buru-buru pergi, taihiap. Bagaimana aku setelah kalian ajak bicara seperti ini. Aku juga ingin menumpas pemberontak dan membunuh Chu Kiang!"

"Hm, sebaiknya kau membawa pasukan," Beng Tan bicara. "Sendiri menghadapi pemberontak itu tentu berbahaya, ciangkun. Aku ingin menemui dulu bekas anak didikku itu dan baru setelah itu mengurus Chu Kiang."

"Tapi aku ikut. Aku tak mau sendirian lagi setelah kalian datang!"

"Hm, ada orang!" Swi Cu tiba-tiba berseru, ribut-ribut itu hampir membuatnya lengah sekejap. "Kita kedatangan tamu, Bo-ciangkun. Aku bersembunyi dan siapa gadis itu!"

Beng Tan melihat dan terkejut. Di luar tampak bayangan seorang gadis dan tahu-tahu terdengar seruan nyaring. Dan ketika Bo-ciangkun juga terkejut karena seorang gadis muncul dan berkelebat di pintu rumahnya maka kakek ini bergerak dan Beng Tan sendiri sudah lenyap berkelebat.

"Paman Bo, pintu rumahmu terbuka. Apakah ada orang di sini!"

"Ah, ha-ha., Coa-siocia kiranya. Aih, kau membuat aku terkejut saja, siocia. Dari mana kau dan bagaimana tiba-tiba memperhatikan rumahku!" Bo-ciangkun berkelebat dan menyambut keluar, sudah berhadapan dengan seorang gadis cantik yang terbelalak dan lingak-linguk memperhatikan rumahnya.

Mata tajam gadis itu menyambar-nyambar dan Beng Tan diam-diam kagum karena gadis ini memiliki gerakan yang ringan dan gesit, cepat dan hampir dia terlambat kalau isterinya tidak berseru tadi. Isterinya lupa menutup pintu dan kini gadis itu menegur. Hm, siapa gerangan! Dan ketika Bo-ciangkun tertawa dan menyambut, berdiri menggoyang lengan maka bekas panglima yang sudah lama bersahabat dengan Beng Tan ini menggeleng.

"Tak ada siapa-siapa.... tak ada siapa-siapa. Ha-ha, aku baru saja mau berkebun, siocia, membuka pintu dan belum menutupnya lagi. Ah, kau rupanya melihat sesuatu yang mencurigakan sampai datang kesini!"

"Aku mendengar beberapa penjaga melihat hantu terbang. Cerita mereka aneh dan aku curiga bahwa ada orang mendatangi istana. Dan karena aku melihat pintu rumahmu terbuka maka aku ke sini untuk melihatnya!"

"Hantu terbang? Ha-ha, sungguh pengkhayal. Mereka itu penjaga-penjaga yang lamur, siocia. Barangkali sedang mimpi dan mengada-ada. Ah, mereka itu suka membuat cerita bohong dan membual. Aku tak melihat apa-apa dan jangan percaya mereka!"

"Tapi katanya ada dua orang mendatangi ke sini. Aku khawatir bahwa ada dua orang lihai menyelundup!"

"Ah, begitukah? Baik, kalau begitu aku turut berjaga-jaga. Siocia tak usah khawatir karena tempat ini aman!" Bo-ciangkun diam-diam terkejut, sadar bahwa yang dimaksud adalah tentu sepasang suami isteri itu.

Beng Tan sendiri juga terkejut karena dari situ tahulah dia bahwa penjagaan di istana amatlah ketatnya. Istana mengerahkan semua pengawal untuk berjaga setelah adanya kejadian semalam itu, peristiwa datangnya pemberontak dan hadirnya pemuda selihai Giam Liong. Dan ketika Beng Tan terkejut dan mengerutkan kening, isterinya berdebar dan menyenggol lengannya maka Bo-ciangkun mengangguk-angguk dan berkata lagi bahwa dia tak melihat apa yang dilihat para pengawal itu. Tempatnya aman dan tak ada siapa-siapa di situ. Dan ketika gadis itu mengangguk dari percaya, berkelebat pergi maka gadis itu berseru agar dia berhati-hati.

"Aku tak menganggap mereka bohong. Pasti ada orang lihai datang ke sini. Harap paman beri tahu aku kalau melihat dua orang itu!"

"Tentu," sang bekas panglima mengangguk. "Aku akan memukul tanda bahaya kalau diperlukan, siocia. Dan terima kasih untuk pemberitahuanmu!"

Gadis itu lenyap. Bo-ciangkun menghela napas dan sekarang masuk lagi ke dalam, dua tamunya keluar. Dan ketika Swi Cu bertanya siapa gadis cantik itu maka...

Ah, halaman 32-33 hilang lagi...

...."Kita tak perlu bicara tentang Kedok Hitam, ciangkun. Kita bicara saja tentang yang lain dan benar katamu bahwa sebaiknya kita cepat-cepat pergi. Gadis itu telah mencium jejakku, dia tak gampang percaya kepada laporan pengawal. Mari kita keluar dan kau ikut aku!"

"Benar, mari pergi, taihiap. Aku siap namun baru saja kata-kata. ini dihentikan mendadak terdengar seruan-seruan di luar dan tiba-tiba saja di sekeliling rumah itu muncul puluhan orang pengawal, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar yang brewokan dan bermata tajam.

"Rekan Bo, kami utusan sri baginda ingin bertemu yang terhormat Pek-jit-kiam Ju-taihiap!"

Beng Tan terkejut. Sebelum ia keluar tahu-tahu tempat itu telah dipenuhi banyak orang. Dan ketika, ia tertegun dan terbelalak, orang telah menyebut namanya maka perwira tinggi besar itu datang dan membungkuk di luar, penuh hormat.

"Ju-taihiap, sri baginda mohon bertemu denganmu. Aku Lim-ciangkun memberikan tanda kaisar!"

Beng Tan tertegun. Ia benar-benar kaget dan tercengang bahwa tiba-tiba saja kaisar telah mengutus orangnya. Begitu cepatnya! Tapi. ketika ia sadar dan Bo-ciangkun keluar, terkejut dan bertanya dari mana Lim-ciangkun itu tahu kedatangan tamunya maka perwira itu tersenyum menjawab berseri,

"Istana saat ini dijaga ketat, tak seekor semutpun ibaratnya dapat lolos. Sri baginda mendapat tahu dari Coa-ongya, rekan Bo. Dan Coa-ongya mendapat tahu dari Kedok Hitam. Bolehkah aku masuk atau Ju-taihiap menerima panggilan kaisar ini."

Beng Tan keluar. Akhirnya ia tahu apa yang terjadi. Bahwa bukan para pengawal yang tahu melainkan Kedok Hitam, berkat laporan pengawal. Atau, ini yang tepat, laporan dari muridnya itu, Yu Yin yang baru saja meninggalkan mereka! Dan sadar bahwa Kedok Hitam mengintainya di dekat situ, mungkin tadi bersama muridnya maka pendekar ini tersenyum kecut dan menyambut dengan hormat tanda panggilan kaisar itu, disusul isterinya.

"Luar biasa, Kedok Hitam benar-benar penjaga yang baik, Lim-ciangkun. Kedatanganku dapat diketahuinya dengan demikian cepat. Ah, kehormatan bagiku menerima panggilan kaisar. Aku akan ke sana meskipun sebenarnya aku akan segera pergi!"

"Terima kasih,"Lim-ciangkun tertawa gembira. "Tugasku telah selesai, taihiap. Mari bersama kami dan sri baginda tentu gembira menerima kedatanganmu!"

“Aku akan mendahului kalian," Beng Tan tak suka diantar. "Silahkan kalian kembali, ciangkun. Biar aku bersama isteriku ke sana!" dan sekali bergerak meninggalkan serambi tiba-tiba pendekar itu telah menyambar dan menarik isterinya.

Beng Tan melihat bahwa di mana-mana tiba-tiba muncul barisan pengawal. Di segala sudut ternyata sudah dikepung! Dan maklum bahwa ia tak boleh keluar, sebelum menemui kaisar maka dengan mendongkol pendekar ini menuju ke bangsal agung di mana biasanya kaisar menerima tamunya, berkelebat dan melewati orang-orang itu dan terbelalaklah orang-orang itu melihat gerakan pendekar ini yang amat luar biasa cepatnya. Seperti burung yang terbang dan lenyap! Dan ketika mereka saling berbisik dan sadar bahwa itulah kiranya "burung" atau "hantu" yang mereka lihat, Beng Tan memang luar biasa maka decak dan puji kagum terdengar di mulut orang-orang ini, para pengawal yang tadi berjaga.

"Ah, kiranya Pek-jit-kiam Ju-taihiap. Pantas, aku tak dapat mengikuti gerakannya yang seperti siluman!"

"Dan kiranya ini 'burung' yang kulihat itu. Kiranya yang terhormat ketua Hek-yan-pang!"

"Dan ia bersama isterinya. Ah, masih cantik dan gagah!"

Beng Tan tak menghiraukan omongan-omongan itu. Swi Cu sendiri tak perduli namun tentu saja diam-diam ia merasa senang karena dirinya dipuji masih cantik dan gagah. Ia memang masih cantik! Dan ketika dua orang itu berkelebat dan menghilang, Beng Tan sudah menuju ke bangsal agung, maka benar saja kaisar telah ada di situ, duduk didampingi Coa-ongya yang tersenyum simpul. Kaisar sendiri tampak berseri-seri dan gembira.

"Ha-ha, selamat datang, Pek-jit-kiam. Sungguh kebetulan dan kedatanganmu menggembirakan sekali. Bangkitlah, kau masih gagah dan tampan, begitu pula isterimu!"

Beng Tan disambut dan ditarik kaisar. Bersama isterinya pendekar ini berlutut tapi kaisar buru-buru turun dari kursinya, menyambut dan menarik dirinya. Dan ketika Coa-ongya juga bangkit dan menyambut maka suami isteri ini melirik pangeran itu, yang kian gagah dan tegap serta tentu mengherankan banyak orang bahwa pangeran yang satu ini berotot kencang serta bermata tajam, seperti mata rajawali!

"Kuhaturkan selamat datang pula," sang pangeran tertawa dan kagum memandang sang nyonya, Swi Cu yang gagah dan cantik. "Kalian berdua kian matang dan hebat saja, taihiap. Kalau tak ada penjagaan seketat ini tentu kami tak akan tahu kedatangan kalian!"

"Ah, kami tak merasa bertambah hebat, ongya, terima kasih. Kami justeru merasa bodoh bahwa kami diketahui. Pembantumu Kedok Hitam itu benar-benarlihai!"

"Ha-ha, mari duduk dan tak usah berbasa-basi," kaisar mengulapkan lengan dan mengusir atau menjauhkan pengawal-pengawal di situ. "Kedatanganmu bertepatan dengan musibah yang menimpa kami, Ju-taihiap. Dan kau tentu telah tahu dari sahabatmu Bo-ciangkun. Mari... mari duduk!"

Beng Tan tak dapat menolak dan mengangguk. Ia sudah duduk berhadapan dengan kaisar, tahu bahwa dengan kecerdikannya yang tinggi Kedok Hitam tahu siapa tamu di rumah Bo-ciangkun, karena memang ialah sahabat dari bekas panglima itu. Dan ketika ia ditemani pangeran she Coa dan kaisar menyatakan maksud undangannya, pembicaraan basa-basi sudah selesai maka terus saja kaisar ini menuju pada persoalan pokok. Bahwa istana butuh orang-orang pandai dan kaisar minta agar pendekar itu membantunya, seperti dulu. Dan ketika Beng Tan mengerutkan kening karena sesungguhnya ia tak ingin membantu istana, peristiwa belasan tahun yang lewat telah menggores perasaannya maka kaisar menutup dengan satu kata-kata memojokkan.

"Chu Kiang keturunan pemberontak telah datang ke sini. Dan ia dibantu pemuda lihai keturunan Si Golok Maut. Dan karena kudengar bahwa pemuda itu pernah menjadi murid Hek-yan-pang, muridmu, maka aku yakin bahwa, kau tak akan membiarkan nama Hek-yan-pang dicoreng pemuda ini yang membantu pemberontak. Aku tahu dan percaya bahwa Hek-yan-pang bukan orang-orang yang mudah dihasut pemberontak. Dan taihiap sebagai ketuanya tentu dapat membuktikan ini dengan menghadapi pemberontak, bukan membiarkan atau mendiamkan saja pemuda itu merajalela dan akhirnya membawa-bawa Hek-yan-pang yang taihiap pimpin!"

"Hm, harap sri baginda dapat membedakan masuknya pemuda itu sebagai pihak luar, bukan anggauta atau murid Hek-yan-pang. Sebab meskipun ia pernah menjadi murid Hek-yan-pang namun sesungguhnya semuanya itu terjadi karena kami tidak tahu. Kami tidak tahu bahwa ia sebenarnya putera mendiang Sin Hauw!"

Beng Tan menjawab, agak mendongkol karena kaisar bernada mengancam. Dengan halus kaisar telah mengingatkannya agar Hek-yan-pang tidak memihak pemuda itu, karena memihak berarti akan dicap sebagai pemberontak pula! Dan karena pendekar ini tak suka main sembunyi dan ia maklum bahwa kaisar tentu telah mendengar bahwa Giam Liong pernah menjadi puteranya, bukan sekedar murid maka terus terang saja dia menjawab dan berkata agak keras. Dia tak takut akan ancaman itu, bahwa Hek-yan-pang akan dicap sebagai pemberontak.

Tapi karena pada dasarnya ia memang tidak menyukai pemberontak she Cu, sejak dulu ia sudah membantu istana maka ia menangkis dan memandang kaisar dengan berani. Pandangan ini membuat kaisar mengangguk-angguk dan Coa-ongya tersenyum lebar. Dan ketika pendekar itu melepas kemendongkolannya dengan berkata seperti itu, kaisar tak usah main ancam maka kaisar tertawa...

Halaman 42-43 hilang

...pemuda itu tetap dapat ditangkap. Bergabung dengan pembantu hamba si Kedok Hitam tentu bocah itu dapat dikalahkan!"

"Atau Pek-jit-kiam ini mencoba dulu dengan isterinya..."

"Tak mungkin menang," Coa-ongya menggeleng, kening berkerut. "Di sana ada pula ibunya, sri baginda. Kalau Ju-hujin maju tentu wanita itu akan maju pula. Satu-satunya jalan ialah Kedok Hitam membantu Ju-taihiap ini. Tentu berhasil!"

"Hm, aku tak suka keroyokan," Beng Tan berkata marah, mukanya merah. "Bagi seorang gagah kalah tetaplah kalah, ongya. Jangan untuk mencari kemenangan lalu berbuat licik dan mengeroyok. Akui pantang melakukan itu!"

"Kalau begitu bagaimana pendapat taihiap. Apakah membiarkan saja pemuda itu dan Chu K iang menyerbu ke sini dan mengobrak-abrik istana. Ini sudah menyangkut keamanan negeri!"

"Benar," kaisar juga mengangguk. "Kalau pemuda itu dibiarkan tentu pemberontak menjadi kuat, taihiap. Dan kau sendiri mengatakan bahwa kau tak dapat mengalahkannya. Kau harus dibantu!"

"Tapi Hamba tak mau mengeroyok!"

"Tapi kau tak dapat mengalahkannya!”

"Benar, tapi demi negara hamba siap mengorbankan jiwa raga, sri baginda. Tapi sebelum hamba melakukan itu hamba akan menemui dan membujuk dulu pemuda itu. Giam Liong datang karena urusannya dengan si Kedok Hitam. Sebenarnya tak ada sangkut-pautnya dengan pemberontak Chu Kiang!"

"Hm, baik-baik. Kalau begitu bagaimana pendapatmu?"

"Hamba tetap mencari dan menemukan pemuda ini, membujuk dan mengingatkannya supaya menjauhi pemberontak. Urusan pribadi tak boleh dikembangkan dengan urusan negara. Anak itu akan hamba tarik!"

"Kalau ia tak mau?" Coa-ongya tiba-tiba mengejek. "Bapak dan anak sama-sama berwatak keras, Ju-taihiap, masing-masing tak gampang dibujuk. Sejak jaman kakeknya bocah itu memang sudah mewarisi kekerasan hati yang tak dapat ditekuk. Apalagi di sana ada ibunya!"

"Ini gara-gara pembantu ongya yang bernama Kedok Hitam itu!" Beng Tan tiba-tiba naik darah, teringat peristiwa belasan tahun yang lalu itu. "Kalau paduka tidak, mengirim dan licik berbuat curang tentu pemuda itu tak akan datang ke sini, ongya. Paduka telah membuat pemuda itu gila dendam dan ingin membalas kematian ayahnya. Paduka menjadi biang sebab!"

"Eh-eh, mendiang Sin Hauw adalah iblis yang harus dibasmi. Dia telah mengacau dan membunuh-bunuhi banyak orang di sini, Pek-jit-kiam. Dan adikku Ci Bao menjadi korban. Aku tak dapat membiarkan itu dan Si Golok Maut enak merajalela!"

"Tapi hamba telah menentukan pertarungan mati hidup. Golok Maut adalah bagian hamba dan bukan lalu diserang atau dikeroyok oleh limaribu pasukan. Paduka licik!"

"Eh-eh, aku mengirim pasukan atas ijin sri baginda, Ju-taihiap. Jangan lalu menyalahkan aku dan enak saja bicara!"

"Tapi paduka menarik keuntungan di air keruh, tidak sportif karena saat itu Golok Maut sedang luka-luka. Ia bagianku dan seharusnya tak usah paduka ikut campur. Ini pertandingan orang-orang gagah!"

"Hm, gagah atau tidak gagah bukan urusanku, taihiap. Aku hanya menjalankan titah sri baginda untuk melenyapkan Si Golok Maut itu. Kalau kau marah-marah kepadaku maka kau salah alamat. Kau harus marah-marah kepada sri baginda!"

"Sudahlah," Beng Tan tertegun. "Waktu itupun aku mengijinkan adikku demi membantumu juga, Ju-taihiap. Aku tak mau kehilangan seorang gagah macam dirimu ini. Kau tak dapat menyalahkan adikku karena ia hanya menjalankan perintah!"

"Kalau begitu paduka tak usah mengirim hamba dulu. Biar diselesaikan saja oleh pasukan kerajaan dan hamba tak usah dibuat malu!"

"Hm, aku pribadi tak bermaksud membuatmu malu, taihiap. Semuanya ini kulakukan karena demi dirimu juga. Aku terlalu sayang dan tak mau kehilangan dirimu. Itu alasanku!"

Beng Tan dijawil isterinya. Swi Cu khawatir karena melihat suaminya tiba-tiba marah dan melotot kepada Coa-ongya. Mereka sedang di istana dan tak seharusnya seorang tamu marah-marah di tempat orang, apalagi mereka diundang datang. Dan ketika Beng Tan sadar dan terkejut dijawil sang isteri, pandang matanya bergerak dan bertemu kaisar tiba- tiba ia menunduk dan menarik napas dalam-dalam, mendinginkan darah yang akan mendidih!

"Maaf, hamba khilaf sri baginda. Maaf dan ampunkan sikap hamba. Hamba memang tahu kebaikan hati paduka tapi hamba juga tahu bahwa Kedok Hitam yang licik dan culas itu sengaja mempergunakan kesempatan di dalam kesempitan. Hamba mohon pamit, dan biarlah sekarang juga hamba mencari anak itu!"

"Benar," Swi Cu kini bicara, sorot mata Coa-ongya tiba-tiba juga berubah dan garang. Dua orang itu seakan siap bermusuh! "Hamba ingin menemani suami hamba, sri baginda. Biarlah kami melaksanakan tugas dan mencari anak itu. Suami hamba tentu melaksanakan tugasnya dengan cara ksatria!"

"Hm, baiklah," kaisar mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan menghargai sikap suamimu, hujin. Dan Ju-taihiap memang seorang gagah sejati. Aku justeru semakin hormat dan mengaguminya. Tapi bagaimana kalau pemuda itu tak berhasil dibujuk. Ia akan merupakan musuh yang amat berbahaya bagi negara!"

"Hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba," Beng Tan berkata gagah. "Kalau anak itu tak dapat dibujuk dan ikut pemberontak tentu hamba akan berpihak di istana, sri baginda. Mati hidup tentu hamba ingin membela negara!"

"Bagus, kalau begitu berangkatlah. Aku memberi restu!"

Beng Tan mengangguk. Sang isteri sudah berdiri dan lega karena sri baginda sendiri sudah mengijinkan mereka pergi. Ini berarti permusuhan dengan Coa-ongya bisa dihindari. Dan ketika suami isteri itu memberi hormat dan ijin pergi, Beng Tan memang tak mau lama-lama tinggal di istana maka kaisar mengangguk dan mengulapkan lengannya, diam-diam melirik adiknya pangeran she Coa.

"Pergilah, dan terima kasih, Pek-Jit-kiam. Dan cepat kembali kalau ingin bantuan!"

Beng Tan sudah berkelebat. Meloncat dan menyambar isterinya tiba-tiba pendekar ini sudah lenyap dari depan sri baginda, menghilang dan keluar dari istana. Tapi ketika ia terbang dan melewati tembok istana, isterinya memperingatkan akan Bo-ciangkun yang mereka tinggal maka pendekar ini tertegun namun bergerak dan meneruskan langkahnya lagi.

"Kita biarkan dulu Bo-ciangkun itu. Aku tak ingin kesana lagi. Banyak orang mengawasi kita!"

"Kalau begitu langsung kita ke hutan?"

"Ya, kita cari Giam Liong, isteriku. Akan kutarik dia dari tangan Chu Kiang!"

"Ah, kau memang keras hati, keras kemauan. Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau nanti enci Wi Hong menyerang dan menghina aku!"

"Hm, sebisa mungkin aku menghindari pertandingan. Kedatangan kita hanya untuk menyadarkan Giam Liong!"

"Kalau gagal?"

"Kita pergi, dan baru akan berhadapan kembali kalau anak itu menyerang istana, resmi sebagai pemberontak!"

"Hm, baik. Dan mudah-mudahan gagal!" dan ketika Beng Tan terkejut mendengar kata-kata isterinya ini, Swi Cu melengos dan memandang arah lain maka pendekar itu menarik napas dalam-dalam namun mencengkeram dan menarik isterinya ini lagi, tidak menjawab atau memberi komentar dan tiba-tiba melayang ke atas seperti burung besar menyambar, tinggi melewati tembok gerbang yang dijaga belasan pengawal. Dan ketika pengawal-pengawal itu berseru kagum, sudah tahu bahwa itulah Pek-jit-kiam Ju Beng Tan yang amat lihai, lawan tanding Si Golok Maut yang seimbang maka Beng Tan meluncur dan sebentar saja sudah meninggalkan istana. Dan begitu pasangan suami isteri ini bergerak ke selatan menuju hutan di depan maka suami isteri itu lenyap dan tak kelihatan lagi, seperti iblis!

"Nah, di sini. Kita berhenti!" Beng Tan sudah memasuki hutan dan melihat tanda-tanda adanya manusia. "Bekas tempat ini diinjak-injak orang, isteriku. Giam Liong tentu di sini dan mari masuk ketengah!"

Swi Cu mengangguk. Nyonya itu juga melihat adanya tanda-tanda itu dan bahkan percikan darah kering. Dia menunjuk dan Beng Tan pun mengiyakan, pendekar itupun juga melihat. Tapi ketika mereka bergerak dan masuk ke tengah hutan itu diselidik ternyata tak ada apa-apanya dan sang pendekar mengerutkan kening.

"Melihat bekasnya, orang-orang itu pernah ke sini. Tapi di mana mereka dan kenapa tak ada orangnya? Mungkinkah mereka pergi?"

"Kita lihat saja. Mungkin saja mereka pergi atau mungkin juga masih ada di sini!" sang isteri berkelebat, gemas dan tak sabar karena Giam Liong maupun orang-orangnya pemberontak Chu Kiang itu tak ada, padahal melihat bekasnya tentu orang-orang itu ada. Dan ketika nyonya ini bergerak dan masuk lebih ke dalam, bekas-bekas api unggun juga terlihat olehnya mendadak dia tertegun ketika telinganya yang tajam menangkap suara perlahan di atas pohon di sebelah kirinya, suara orang mengintai!

"Turun!" Swi Cu tiba-tiba menyambit sehelai daun yang cepat dilontar. Nyonya ini membalik dan saat itu daun menyambar ke atas, cepat melebihi sebatang anak panah. Dan ketika terdengar teriakan dan seseorang roboh berdebuk, di sana suaminya juga membentak dan mengayun lengan ke atas maka seorang laki-laki juga terbanting dan jatuh dari pohon yang tinggi.

"Bluk!"

Dua laki-laki itu bersamaan terlempar. Mereka terjatuh oleh sambitan daun Swi Cu dan sambaran angin pukulan Beng Tan, pukulan jarak jauh dan tentu saja mereka berteriak karena gerakan dua suami isteri itu amat cepat, juga mengejutkan. Dan ketika Swi Cu maupun suaminya sudah bergerak dan menyambar dua laki-laki ini, mencengkeram dan menangkap lehernya maka dua laki-laki itu merintih namun mereka tampak bersikap gagah dan membentak.

"Siapa kalian, mau apa memasuki hutan ini!"

"Eh!" Swi Cu menghardik, memaki dua orang itu. "Kamilah yang seharusnya bertanya, tikus-tikus busuk. Bukan kalian atau siapapun. Siapa kalian dan kenapa bersembunyi di atas pohon itu. Apakah kalian orangnya pemberontak she Chu!"

Dua orang itu saling berkedip. Mereka tak mengenal dan tak tahu siapa wanita? dan laki-laki lihai itu. Tapi dibentak dan ditanya seperti itu tiba-tiba mereka mengedikkan atau mengangkat kepala dengan gagah.

"Kami tak tahu siapa itu pemberontak she Chu. Tapi kami adalah para pejuang!"

"Hm, pejuang apa?" Swi Cu gemas, membentak dan menendang pantat laki-laki yang ditangkap. "Di sini tak ada pejuang selain pemberontak, tikus-tikus busuk. Kalau begitu kalian adalah orang-orangnya Chu Kiang dan mana pemimpin kalian itu!"

"Aduh..!" laki-laki ini menjerit. "Siapa kau, siluman betina. Kenapa bicara sombong dan semena-mena. Hayo lepaskan aku dan jangan berbuat curang!"

"Benar," temannya juga berteriak, marah. "Lepaskan aku, laki-laki gagah, kalau kau jantan. Siapa kalian dan mau apa!”

"Hm," Beng Tan menyambar dan menarik isterinya yang mau menghajar laki-laki tangkapannya. "Mereka ini orang-orangnya Chu Kiang, niocu, dan kita belum ada urusan dengannya. Kita hendak mencari Giam Liong, bukan pemberontak sementara ini!"

"Kau tidak ingin menghajar mereka?" sang isteri sewot. "Tidak ingin menutup mulut mereka yang kurang ajar dan memaki kita berdua? Lepaskan, aku ingin memberi pelajaran lagi, suamiku. Dan kebetulan bahwa orang-orangnya Chu Kiang ada di sini!"

"Sabar, sementara ini kita mencari Giam Liong. Biarkan aku bicara dan jangan kau ikut campur," dan membalik menghadapi dua laki-laki itu, menyabarkan isterinya, pendekar ini sudah berkata,

"Kami ingin mencari Giam Liong, kalian tentu tahu. Nah, di mana pemuda itu dan dapatkah kalian mempertemukan aku dengannya."

"Kau siapa?" laki-laki kedua tertegun, heran bahwa Giam Liong yang ditakuti banyak orang justeru dicari laki-laki gagah ini. Rupanya hendak mencari penyakit! "Aku memang tahu pemuda itu namun tak akan memberitahumu kalau kau tak menyebutkan siapa dirimu!"

"Dia ketua Hek-yan-pang!" Swi Gu membentak, marah kepada orang itu. "Cepat kau bicara atau kusobek mulutmu nanti, tikus busuk. Hayo keterangan apa lagi yang kalian minta atau kami akan melenyapkan kalian!"

"Hek-yan-pangcu (ketua Hek-yan-pang)?" dua laki-laki itu terkejut, seketika tersentak dan berobah mukanya. "Dan kau kalau begitu adalah Ju-hujin?"

"Ya, mau bicara apalagi? Masih juga cerewet?"

"Ah, kalau begitu maafkan, hujin. Kami adalah orang-orangnya Chu-goanswe dan tentu saja tahu di mana adanya putera kalian itu. Sin-siauwhiap telah menceritakan hubungan ini dan selamat datang bahwa ji-wi menemui kami!"

"Siapa itu bicara memuakkan. Dia bukan puteraku dan aku adalah musuhnya!"

"Ah," Beng Tan cepat-cepat menangkap dan menenangkan isterinya itu. "Kalian tak usah menyebut-nyebut soal keluarga, sobat-sobat. Aku mencari Giam Liong untuk urusan pribadi. Cepat kalian katakan atau beri tahu kami di mana anak itu berada!"

Dua laki-laki itu tertegun. Mereka saling pandang dan kecut tapi juga tidak senang melihat kegalakan Swi Cu. Mereka telah mendengar bahwa Sin-siauwhiap atau Sin Giam Liong itu adalah orang yang pernah menjadi putera ketua Hek-yan-pang. Mereka tentu saja girang dan bangga bahwa orang-orang seperti ketua Hek-yan-pang ini datang, berarti kehormatan bagi mereka. Tapi ketika sikap isteri ketua Hek-yan-pang itu tampaknya bermusuhan dan mereka terbelalak, kaget, maka mereka saling pandang dan tiba-tiba keduanya saling berkedip. Biarkan nyonya atau pendekar itu bertemu Giam Liong, pemuda yang mereka ketahui kehebatannya!

"Baik," dua orang ini mengangguk. "Tentu saja kami akan mengantarkan kalian berdua, taihiap. Tapi bebaskan kami dan jangan kami ditotok!"

Beng Tan bergerak. Ia membebaskan dua orang itu dan lagi-lagi harus menyabarkan isterinya ketika isterinya ngomel-ngomel. Perempuan biasanya memang begitu, lebih cerewet! Dan ketika dua orang ini dibebaskan dan Beng Tan lega akan menemui Giam Liong, tentu saja tak takut kepada Chu Kiang maupun pengikut-pengikutnya maka dengan tenang ia mengikuti dua orang ini, yang sudah meloncat dan bangkit berdiri.

"Kami adalah pengintai-pengintai yang ditaruh di sini. Sin-siauwhiap dan Chu-goanswe sudah tidak di sini karena menyeberangi hutan."

"Hm, dari mana orang she Chu itu mendapat pangkat. Siapa yang memberinya julukan goanswe (jenderal)!"

Dua orang itu terkejut. Swi Cu membentak mereka dan mengata-ngatai pimpinan mereka. Tapi karena ketua dan isteri ketua Hek-yan-pang ini memang lihai, mereka telah merasakannya ketika bersembunyi di atas pohon tadi maka dua laki-laki ini tak menjawab dan menyelinap serta menerobos semak belukar keluar hutan. Bukan lewat jalan masuk melainkan terus menyeberang dan akhirnya tiba di hutan yang lain, hutan di luar hutan itu, terpisah oleh sebuah sungai lebar. Dan ketika mereka lenyap dan muncul lagi dengan sebuah perahu, kiranya tadi mengambil atau melepas tali pengikatnya maka dua laki-laki itu mempersilahkan suami isteri itu masuk.

"Mari, kita ke hutan di seberang. Silahkan taihiap masuk dan duduk disini!"

"Hm, jauhkah? Dan kalian hendak membawa kami ke mana? Ke orang she Chu itu atau ke Giam Liong?"

"Sin-siauwhiap tinggal bersama pimpinan kami, taihiap. Dan membawa taihiap ke sana tentu saja sekaligus membawa taihiap ke Chu-goanswe!"

"Kami tak ingin menemui orang she Chu itu. Nanti darah kami menggelegak!" Swi Cu membentak.

"Kalau begitu ji-wi akan kami antarkan kepada Sin-siauwhiap, di luar hutan itu. Nanti kami akan memanggilnya dan ji-wi menunggu!"

"Baik, antarkan kami, sobat. Dan jangan hiraukan isteriku!" Beng Tan tak ingin ribut-ribut, isterinya sekarang bertambah galak karena kekecewaannya kehilangan putera memang benar-benar menekan.

Swi Cu gampang marah dan mudah sekali naik pitam. Dan karena dia tak ingin dua orang itu dihajar, salah-salah dibunuh maka Beng Tan minta agar dua orang itu tidak usah banyak cakap dan cepat mengantarkannya saja. Dua laki-laki itu menurut dan mereka mendayung perahu, memotong sungai. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah menepi dan meloncat di tepian hutan ini, hutan yang lain maka Beng Tan berkelebat dan sudah lebih dulu mendarat, disusul isterinya.

"Nah, sesuai kata-katamu kami akan menunggu. Panggilkan Giam Liong dan cepat bawa ke mari!"

Dua laki-laki itu mengangguk. Mereka memang pengikut-pengikut Chu Kiang dan sebenarnya mereka adalah orang-orang gagah, tak biasa dihina atau direndahkan. Namun karena kali ini yang mereka hadapi adalah ketua Hek-yan-pang dan isterinya, orang yang masih merupakan keluarga atau sanak dekat Sin Giam Liong maka mereka menekan saja rasa tidak puas di hati untuk akhirnya berkelebat dan pergi. Beng Tan menunggu dan isterinya pun duduk menyendiri, mukanya merah gelap. Tanda isterinya itu tak senang dan sedang menahan-nahan marah. Ia harus membujuk. Dan ketika dua orang itu pergi dan Beng Tan mendekati isterinya, duduk dan menghela napas panjang maka dia berkata dan memegang lengan isterinya itu.

"Niocu, kuharap kau tidak akan bicara apa-apa kalau nanti aku bertemu Giam Liong. Diam dan duduk sajalah di sini. Aku juga tidak akan melakukan apa-apa. Harap kau turuti permintaanku ini dan setelah itu kita pergi!"

"Baik, tapi kalau pihak sana menghina atau mengejek aku tak mungkin aku berdiam diri. Lihat, orang-orang itu datang, suamiku. Para pemberontak itu rupanya mengepung kita!"

Beng Tan menengok. Ia mengerutkan kening ketika tiba-tiba saja dari dalam hutan berkelebatan orang-orang berpakaian hitam, datang dan tahu-tahu telah mengepung tempat itu. Dan ketika dari sungai juga meluncur perahu-perahu hitam, pendekar ini semakin mengerutkan kening maka terdengar kekeh dan tawa yang amat dikenal.

"Hi-hik, selamat datang, ketua Hek-yan-pang. Sungguh suatu kehormatan besar bahwa kau dan isterimu mencari kami. Tentu kau akan membantu perjuangan!"

Beng Tan terkejut. Wi Hong, wanita cantik itu tiba-tiba muncul Suci dari isterinya ini berkelebat dari dalam hutan dan tahu-tahu menegurnya. Dan ketika ia berdiri dan isterinyapun bangkit berdiri, gemetar, maka beberapa orang lain berkelebatan dan sudah mendampingi Wi Hong yang terkekeh-kekeh dan berdiri di depannya. Sombong bagai seorang ratu!

"Hek-yan-pangcu, kukenalkan ini kawan-kawanku. Ini adalah Chu-goanswe yang gagah dan itu si Papan Besi Wan Mo!"

"Hm," Beng Tan tertegun, tak melihat Giam Liong. "Mana Giam Liong dan kenapa orang-orang ini yang muncul? Aku tak butuh yang lain. Aku ingin bertemu Giam Liong!"

"Aku ibunya, sama saja," Wi Hong terkekeh, membalik dan mencari dua laki-laki yang tadi mengantar suami isteri ini yang muncul dan berdiri di samping teman-temannya. "Dua orang itu memberitahuku bahwa kau mencari Giam Liong, pangcu. Tapi karena puteraku sedang tidur maka biarlah aku yang menyambut dan menemuimu. Kami percaya bahwa kau tak membawa niat jahat!" lalu memandang dan tertawa kepada Swi Cu wanita ini berseru, maju mendekat. "Cu moi, kau datang di saat yang tepat. Kami butuh tenaga-tenaga seperti kalian dan Chu-goanswe tentu girang mendapat kehormatan dan kunjungan kalian”

“Benar” seorang laki-laki tinggi besar yang gagah, berdiri dan tersenyum disamping Wi Hong tiba-tiba menjura “Aku benar-benar mendapat kehormatan untuk kunjungan ini, ji-wi pangcu. Selamat datang dan perkenalkan bahwa aku adalah Chu Kiang...”

Naga Pembunuh Jilid 20

NAGA PEMBUNUH
JILID 20
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
TIGA laki-laki itu menjerit. Ruyung dan golok mereka menancap di pundakdan tentu saja mereka kesakitan, berteriak dan nyaris terjungkal kalau tidak cepat-cepat menelungkup. Dan ketika dengan menelungkup mereka meneruskan lari mereka, kuda dijepit kuat-kuat maka tiga laki-laki ini lenyap dan orang-orang terbelalak kagum memandang Swi Cu, yang sudah duduk kembali di samping suaminya.

"Hujin luar biasa, ah, aku si tua benar-benar kagum. Istana benar-benar membutuhkan tenaga seperti hujin ini. Pasti amat dihargai!"

"Hm, tutup mulutmu," Swi Cu membentak, pemilik kedai ini lagi-lagi bicara tentang istana yang butuh tenaga. "Aku tak suka kau bicara seperti itu, lopek. Aku tak menjual tenaga dan tak perlu dibutuhkan istana!"

"Ah, maaf... maaf...!" pemilik kedai ketakutan. "Aku orang bodoh hanya bicara apa adanya, hujin. Tak akan bicara kalau hujin tak suka. Sudahlah, apalagi yang hujin butuhkan dan apa yang dapat kubantu. Apakah hujin mau tambah arak!"

"Kami akan pergi," Beng Tan tiba-tiba bangkit dan berdiri, melempar sekeping emas. "Terima kasih untuk pelayananmu, lopek. Dan kami tak akan lagi mengganggu!"

"Ah, yang tadi sudah cukup!" pemilik kedai terkejut, buru-buru menyambar dan mengembalikan lagi uang itu.

Swi Cu tadi telah menancapkan uangnya di meja. "Yang tadi sudah cukup, taihiap. Dan tidak menerima uangpun aku si tua tak apa-apa. Aku sudah merasa bangga bahwa orang-orang sehebat ji-wi (kalian berdua) sudah mau memasuki warungku!"

"Hm, itu untuk tambahan modal," Beng Tan tersenyum dan berkelebat pergi, sudah menyambar isterinya. "Kami masih cukup dalam perjalanan, lopek. Biarkan itu dan terimalah!"

"Ooh..!" si tua terkejut, Beng Tan tahu-tahu lenyap. "Kalau begitu terima kasih, taihiap. Dan semoga selamat di perjalanan!"

Beng Tantak menjawab. Dia cepat-cepat membawa isterinya ini pergi karena sang isteri masih meradang. Tingkah tiga laki-laki kasar tadi masih membuat isterinya marah. Maka ketika dia menarik dan membawa isterinya pergi, pemilik kedai dan lain-lain berseru kagum maka pendekar ini melesat dan sudah menghilang di luar warung makan. Beng Tan menunjukkan ilmunya yang jauh lebih luar biasa dan tentu saja orang-orang di dalam warung terkesiap. Laki-laki itu tahu-tahu lenyap seperti siluman saja. Dan ketika suami isteri itu menjadi perbincangan dan Beng Tan meluncur ke kota raja maka Swi Cu mengomel dan cemberut sepanjang jalan dan sang suami menghibur agar tidak usah lagi mengingat-ingat peristiwa itu.

"Laki-laki kasar macam mereka memang biasanya begitu. Kau telah memberi pelajaran dan tak usah mengingat-ingatnya lagi. Mari, kita ke istana, niocu. Kita lihat dan selidiki apa yang terjadi!"

"Kau mau sekarang juga? tidak menunggu malam nanti?"

"Hm, kita Lihat-lihat sekarang, dari jauh saja. Malam nanti kita masuk dan selidiki lebih cermat!"

"Kalau begitu sesukamu. Tapi kalau ada lagi laki-laki kasar aku akan membunuh mereka!"

"Baiklah, baiklah... tapi tak akan ada lagi laki-laki kasar. Aku akan menghadapi mereka!" dan ketika Beng Tan tersenyum membawa isterinya, berkelebat dan melewati tembok gerbang yang tinggi maka suami isteri ini sudah memasuki kota raja dan beberapa penjaga terbelalak dan mengucek-ucek mata mereka apakah tadi mereka melihat burung terbang atau manusia yang terbang dan kemudian lenyap. Gerakan suami isteri ini memang seperti iblis saja!

"Nah, kita sudah masuk. Mari langsung saja ke istana."

Swi Cu tak menjawab. Ia membiarkan saja suaminya menarik dan membawa, berkelebat dan mereka sudah melewati semua tempat-tempat penjagaan dengan mudah. Dan ketika para penjaga juga terbelalak dan mengucek-ucek mata mereka, suami isteri ini lenyap seperti burung menyambar saja maka mereka bicara satu sama lain apakah tadi sedang melihat hantu.

"Astaga, mataku rusak. Tadi seakan ada dua orang menyambar tapi tahu-tahu mereka lenyap seperti siluman. Apakah tadi manusia atau siluman!"

"Benar, aku juga begitu, A-hiong. Tadi seakan ada dua orang menyambar dan lewat di depan kita tapi tahu-tahu hilang. Apakah siluman atau hantu ntasar!"

"Ah, kita lihat saja. Dia masuk wilayah kaputren!"

Tapi para penjaga ini tentu saja tak menemukan apa-apa. Beng Tan berkelebat dan sudah berada di tempat lain, memotong jalan dan mengenal daerah itu karena dulu pernah menjadi pelindung kaisar, di tempat ini. Dan ketika penjagaan demi penjagaan dilewati mudah, Beng Tan bergerak dari satu gedung ke gedung yang lain maka Swi Cu mengerutkan kening melihat suaminya itu tiba-tiba menuju ke belakang dan memasuki sebuah rumah kecil seperti sebuah paviliun.

"Sst, jangan berisik. Aku mencari Bo-ciangkun!"

"Siapa dia? Rumah siapa ini?"

"Ini tempat tinggalnya. Dia orang yang paling kupercaya dan jujur di sini. Awas, aku membuka pintunya!" dan baru saja Beng Tan menerobos masuk, bergerak dan menyelinap ke dalam tiba-tiba tujuh panah kecil menyambar dan menyerangnya dari dalam.

"Siapa itu, manusia kurang ajar!"

Beng Tan tertawa. Suara parau dan berat yang menyambutnya itu tiba-tiba langsung dikenal, mengebut dan tujuh panah kecil langsung, dirontokkan. Dan ketika Beng Tan berdiri dan menguak sebuah tirai dari kulit tiram, maka seorang laki-laki duduk memandanginya dengan kaget.

"Astaga, Ju-taihiap kiranya. Ah, Pek-jit-kiam Ju Beng Tan!" dan keras melempar kursinya, bangkit meloncat bangun tiba-tiba laki-laki ini menubruk dan mencengkeram Beng Tan, mengguncang-guncang dan tertawa bergelak dan tiba-tiba Beng Tan sudah dicium. Laki-laki itu begitu gembira sementara Beng Tan sendiri juga tertawa dan mencium pipi kakek ini yang penuh cambang. Dan ketika keduanya saling remas dan cengkeram maka Beng Tan minta maaf bahwa datang dengan cara begitu.

"Tak apa... tak apa. Ha-ha, aku tahu tindak-tandukmu dan sungguh kebetulan mau menemui aku yang kesepian ini!"

"Hm, apa yang kau lakukan di sini, Bo-ciangkun? Kenapa duduk merenung dan sendirian? Tapi kau masih lihai, telingamu tajam dan panah-panahmu tadi cukup kuat bertenaga!"

"Wah, bertenaga apanya? Buktinya rontok kau sentuh. Aku sudah tua dan tak seperti dulu. Lemah!"

"Ah, tidak," Beng Tan tertawa. "Sambaran anak panahmu masih kuat, ciang-kun. Kalau bukan aku barangkali roboh!"

"Hm, jangan panggil aku ciangkun (panglima)," kakek itu mengerutkan kening. "Aku sudah pensiun, taihiap. Dan hanya berkat kebaikan kaisar saja maka aku masih disini, tinggal di paviliun ini. Eh, siapa itu?" kakek ini tiba-tiba mengalihkan perhatian, melihat bayangan Swi Cu. "Kau membawa seorang wanita?"

"Maaf," Swi Cu muncul dan menjura, tadi menjaga atau mengamati sekeliling. "Aku Swi Cu, Bo-ciangkun. Kiranya kau yang disebut-sebut suamiku."

"Astaga! Ini Ju-hujin (nyonya Ju)? Wah, aku tak memiliki hidangan istimewa. Sungguh tamuku tamu-tamu agung. Ah, maaf... maaf, Ju-hujin. Aku tak tahu kedatanganmu dan suamimupun tidak menceritakannya!" dan si kakek yang buru-buru membungkuk dan membalas hormat lalu menegur Beng Tan kenapa tidak memberi tahu.

"Isteriku memang di luar, belum masuk. Tadi kusuruh tunggu sebentar dan melihat-lihat keadaan. Kami tak mau diketahui orang lain, pengawal-pengawalmu!"

"Ah, pengawal apa? Aku sudah pensiun, taihiap. Tak ada pengawal. Kalaupun ada belum tentu aku mau dijaga. Aku ingin bebas!"

"Ciangkun sudah pensiun?"

"Sudah kubilang, jangan panggil ciangkun. Aku sudah tidak bekerja lagi!"

"Tapi kau masih tinggal di sini, di lingkungan istana."

"Benar, semata berkat kebaikan kaisar, taihiap. Kalau tidak tentu aku tinggal di luar. Sudahlah, apa maksud kedatanganmu dan bagaimana tiba-tiba muncul secara mengejutkan!"

Beng Tan menarik napas dalam-dalam. Ditanya begini tentu saja dia teringat keperluannya, bahwa Giam Liong datang dan mengacau di istana. Dan ketika dia memandang isterinya dan melihat isterinya berkerut pula, dahi ditarik dalam maka pendekar ini bicara menjelaskan maksudnya.

"Aku datang untuk urusan pribadi, mungkin penting mungkin tidak. Bahwa kau tentu telah mendengar datangnya pemberontak-pemberontak Chu Wen yang diikuti seorang anak muda."

"Ah, itu? Tentu saja. Tapi mari duduk dulu. Aku lupa mempersilahkan kalian. Mari... mari hujin dan taihiap duduk. Aku akan mengambilkan minuman untuk ji-wi!"

"Tidak, tak usah...” Beng Tan buru-buru menggoyang lengan. "Kami baru saja mengisi perut, ciangkun. Kami tak perlu minum!"

"Hm, ciangkun... lagi-lagi ciangkun!" Kakek itu mengomel, tapi tertawa. "Aku, sudah bukan panglima lagi, taihiap. Aku seorang purnawirawan!"

"Tapi kau tetap tegar dan gagah. Kau masih seperti seorang panglima!"

"Ha-ha, panglima ompong. Baiklah, aku akan berangan-angan seperti masih seorang ciangkun dan teihiap boleh panggil. Hm, apa yang kita bicarakan tadi? Taihiap tanya apa?"

“Tentang datangnya pemberontak.”

“Oh-ya, ya. Tapi aku tak tahu banyak. Yang tahu banyak tentu saja Coa-ongya!"

“Hm, aku tak suka kepadanya, ciangkun, seperti kaupun juga."

"Sial, kenapa aku kau bawa-bawa? Aku memang tak suka kepadanya, taihiap. Tapi aku orang kecil dan tak bisa apa-apa. Aku mengetahui tentang kekacauan itu namun tak seberapa banyak yang kuketahui. Saat itu aku memadamkan gedung Coa-ongya yang terbakar!"

"Hm, dan siapa saja pengikut-pengikut Chu Wen itu?"

"Katanya banyak orang lihai, seperti si Pacul Sakti dan Tombak Maut.."

"Dan siapa pemimpinnya."

"Chu Kiang," kakek itu mengerutkan kening, mata bersinar marah. "Orang she Chu ini mengumpulkan banyak orang pandai, taihiap. Tapi satu di antaranya adalah pemuda luar biasa itu, di samping seorang wanita cantik. Aku mendengar bahwa dia adalah keturunan mendiang si Golok Maut!"

"Dia adalah Giam Liong, bocah yang dulu pernah kami asuh. Tapi sekarang membuat kerusuhan dan onar!" Swi Cu tiba-tiba berseru, mendahului suaminya.

Dan ketika Bo-ciangkun terkejut ia menambahi, berapi-api, "Kalau bocah itu datang lagi sebaiknya kita bunuh, ciangkun. Wanita cantik itu adalah ibunya yang jahat dan penghasut!"

"Kalau begitu suci (kakak seperguruan perempuan) hujin sendiri..."

"Aku tak mengakuinya lagi. Ia jahat dan curang!"

"Hm," Beng Tan menepuk dan meredakan isterinya, karena sang isteri tiba-tiba meradang dan mau menangis, teringat anaknya yang ditukar, hilang. "Kami ingin mengetahui di mana kira-kira Chu Kiang dan pengikutnya itu, ciangkun. Biarkan isteriku yang sedang emosionil ini. Kemana mereka itu sekarang. Dan bagaimana dengan Coa-ongya atau si Kedok Hitam."

"Kedok Hitam tak mampu menghadapi pemuda luar biasa itu, ia menghilang! Dan Coa-ongya, hmm... aku tak tahu ia di mana, taihiap. Yang jelas iapun lari dan bersembunyi seperti tikus!"

"Dan ke mana pemberontak-pemberontak itu lari."

"Aku tak ikut mengejar, tapi mereka keluar hutan sebelah barat."

"Dan tak ada pasukan yang mengejar?"

"Wah, mengejar bagaimana, taihiap? Dikibas dan dipukul dari jauh saja mereka itu mawut. Siapa berani bunuh diri mengejar pemuda itu. Pimpinan mereka sendiri saja tak ada yang berani mengejar!"

"Hm, kalau begitu bagaimana keadaan istana sekarang. Bagaimana dengan sri baginda dan kerabat-kerabat dekatnya."

"Hampir tak ada perobahan. Tapi sejak tewasnya Golok Maut itu maka tak ada pengacau atau pembuat onar yang berani datang, kecuali malam itu. Bocah keturunan Si Golok Maut itu!"

"Dan bagaimana dengan Kedok Hitam? Ia masih di sini?"

"Masih, taihiap. Tapi gerak-geriknya misterius sekali. Hanya beberapa waktu yang lalu datang dua kakek India itu menjadi pembantunya. Tapi mereka inipun tak dapat berbuat apa-apa kepada pemuda luar biasa itu. Semua orang tak berdaya!"

"Dan sekarang pemuda itu lolos..."

"Ya-ya, ia menyelamatkan pengikut-pengikut Chu Wen itu. Ia pergi!"

"Dan tak ada pembalasan dari pihak istana? Kaisar tak marah-marah?"

"Wah, sri baginda marah besar, taihiap. Dan Coa-ongya kabarnya didamprat habis-habisan. Ini persoalan lama yang bangkit kembali, lebih berbahaya daripada dulu!"

"Maksudmu?"

"Ah, Chu Kiang menarik pemuda ini sebagai tenaga andalan, taihiap. Dan itu lampu merah bagi istana. Pemberontak bisa mempergunakan tenaga pemuda ini untuk membuat perang. Dan rakyat di ambang kekacauan!"

"Benar, dan kau tak ingin menghalangi ini? Tak ingin membela negara?"

"Wah, aku tentu saja siap membantu, taihiap, dengan jiwa ragaku. Aku siap mengorbankan nyawa dan darah!"

"Bagus, aku juga begitu. Tapi persoalan sekarang bertumpang-tindih. Anak muda itu sebenarnya berurusan dengan Coa-ongya bukannya pemberontakan. Apakah ciangkun dapat melihat ini?"

"Hm, aku melihat. Tapi aku tak mengerti apa yang selanjutnya taihiap maksudkan. Apakah taihiap hendak memaksudkan agar persoalan ini dipilah, persoalan pribadi sebagai persoalan pribadi dan persoalan negara sebagai persoalan negara."

"Benar, anak itu telah terjebak Chu Kiang, ciangkun. Dan aku tahu bahwa selama ini dia bukan pengikut pemberontak atau pencetus kekacauan. Aku hendak membawanya kembali ke persoalan semula dan harap ciangkun bantu aku untuk menghadapi pengikut-pengikut Chu Wen itu!"

"Apa yang hendak kau lakukan?" sang isteri tiba-tiba bertanya, alis kembali berkerut dalam. "Giam Liong telah membantu pemberontak, suamiku. Dan anak itu sudah dicap sebagai pemberontak. Biarkan saja ia dengan Chu Kiang!"

"Tidak," Beng Tan menggelengkan kepalanya. "Aku tak ingin anak itu berbuat dosa atas muslihat orang lain, isteriku. Aku hendak menemui Giam Liong agar tidak melibatkan dirinya dengan generasi Chu Wen itu!"

"Tapi istana telah mencapnya sebagai pemberontak. Bocah itu tak mungkin selamat!"

"Hm, inilah yang hendak kubedakan, niocu. Kita sama tahu bahwa Giam Liong bertemu secara kebetulan dengan Chu Kiang. Dan kitapun tahu bahwa anak itu tidak bermaksud menjadi pemberontak, la datang ke sini karena urusannya dengan si Kedok Hitam, bukan yang lain!"

"Benar," Bo-ciangkun tiba-tiba berseru, membelalakkan mata. "Bocah itu memang datang untuk urusannya dengan si Kedok Hitam, taihiap. la hendak menuntut balas atas kematian ayahnya di tangan si Kedok Hitam!"

"Tapi Kedok Hitam akan berlindung di balik nama kaisar," Swi Cu tiba-tiba tak kalah sengit, juga berseru. "Dan persoalan ini tak mungkin dipilah, ciangkun. Kedok Hitam akan meminta perlindungan kaisar dan semua orang bisa dikerahkan untuk menghadapi pemuda itu!"

"Hm," Beng Tan mengerutkan kening, kali ini mukanya keruh. "Kedok Hitam memang bisa berdalih seperti itu, niocu. Tapi kita berdua tahu bahwa ia melakukan itu karena ambisi dan kebenciannya pribadi. Ia berkali-kali telah menipu dan memperdayai Golok Maut Sin Hauw. la laki-laki curang!"

"Siapa Kedok Hitam ini," Bo-ciangkun tiba-tiba menyela. "Ji-wi rupanya tahu dan mengenal baik. Apakah taihiap dapat memberitahunya?"

"Tidak," Beng Tan tertegun. "Sementara ini aku tak dapat memberitahumu, ciangkun. Tapi kelak mungkin kau akan tahu juga. Sekarang aku ingin minta bantuanmu bagaimana supaya Chu Kiang tak sampai mengikat pemuda ini. Pemberontak itu dapat menipunya!"

"Taihiap cari dan tangkap saja orang she Chu itu, tentu beres!"

"Dan di sana ada pemuda itu," Swi Cu tiba-tiba menjengek, mengejek. "Kau tak dapat memisah persoalan ini, suamiku. Biarkan saja seperti itu dan kita cari atau mintakan bantuan istana untuk membunuh orang-orang itu!"

"Ya, istana sedang mengumpulkan banyak orang-orang pandai. Kalau taihiap menghadap sri baginda atau Coa-ongya tentu taihiap akan disambut gembira. Apakah aku siap mengantar?"

"Nanti dulu," Beng Tan menggoyang lengan. "Tadi isteriku tak suka bergabung dengan istana, ciangkun. Bagaimana sekarang tiba-tiba ia ingin menghendaki itu!"

"Aku tidak menghendaki itu. Maksudku adalah kalau kau meminta bantuan istana boleh-boleh saja tapi kita jangan di bawah perintahnya. Kita tetap sendiri-sendiri. Aku tak sudi diperintah, biarpun oleh sri baginda sendiri!"

"Hm, begitukah? Tapi bertemu sri baginda tak mungkin kita diperintahnya. Baginda tentu akan menyerahkan ini kepadaku dan kita memimpin orang-orang lain!"

"Tapi setan si Kedok Hitam itu akan kembali melangkahimu," Swi Cu mengejek, mengingatkan peristiwa yang lalu. "Jangan lupa kepada yang lama, suamiku. Sri baginda nyatanya tak berbuat apa-apa ketika kewibawaanmu dilanggar!"

"Hm, benar," jago pedang ini mengerutkan kening. "Kalau begitu bagaimana baiknya? Aku hanya ingin melepaskan Giam Liong dari pemberontak Chu Kiang Itu. Dia tak boleh menjadi pemberontak karena bujukan orang lain!"

"Apa perdulimu? Bukankah bapaknya juga dicap pemberontak?"

"Hm, jelek-jelek dia pernah menjadi anak kita, niocu. Dan jelek-jelek ia adalah kemenakanmu. Ia putera dari sucimu."

"Aku tak perduli semuanya itu. Enci Wi Hong telah melukai dan menghancurkan perasaanku!"

"Ada sebab ada akibat, niocu. Ada perbuatan pasti ada alasan-alasannya. Aku pribadi tak dapat mendendamnya sejauh yang kau rasakan. Betapapun ia telah mewarisi ilmu-ilmu dan secara tidak langsung ia adalah anak didikku!"

"Tapi itu yang justeru membuat aku berang. Ibunya dengan licik menculik dan menukar anak kita, suamiku. Dan sekarang setelah ia pandai maka ia menjadi musuhmu. Aku benci ini, aku tak dapat melupakannya!"

"Apa yang telah terjadi?" Bo-ciangkun tiba-tiba bertanya, kembali menyela. "Rupanya ada peristiwa besar di keluarga taihiap!"

"Kami ditipu," Beng Tan tiba-tiba muram, malu dan juga sedih. "Ibu anak itu menukar dan menculik anak kami, ciangkun. Dan setelah ia besar maka ibunya datang dan memberi tahu. Isteriku terpukul."

"Ah, begitukah?"

"Ya," dan ketika Beng Tan menceritakan peristiwa itu, Bo-ciangkun terbelalak maka kakek bertubuh kekar ini menggeleng kepalanya berulang-ulang.

"Pantas... pantas. Pantas ia demikian lihai dan gagah. Kiranya telah mewarisi semua ilmu-ilmu taihiap!"

"Dan ia memiliki pula ilmu dari mendiang ayahnya. Anak itu lebih hebat dari aku!"

"Taihiap kalah?"

"Begitulah," Beng Tan tak perlu menutupi rahasia. "Aku telah dikalahkannya, ciangkun. Dan aku sekarang ingin tahu apa yang hendak dilakukannya. Aku tahu ia akan kekota raja karena pasti mencari Kedok Hitam. Tapi sebelum aku di sini ternyata aku mendengar bahwa anak itu telah membuat gempar, bersatu dengan pemberontak!"

"Ya-ya, dan Kedok Hitam juga tak mampu menandinginya, lari dan menyelamatkan diri. Kalau begitu bagaimana menurut taihiap? Aku tak dapat memberi saran karena taihiap tentunya lebih pandai daripada aku!"

"Hm, jangan begitu. Soal ilmu silat barangkali aku lebih pandai daripada dirimu, ciangkun. Tapi dalam tata keperajuritan jelas kau lebih hebat. Aku ingin bicara bagaimana kalau kau menghadapi Chu Kiang itu dan aku menarik Giam Liong dari sahabat barunya itu!"

"Apa-apaan ini!" sang isteri tiba-tiba kembali memprotes. "Untuk apa kau lakukan itu, suamiku. Biarkan saja ia sebagai pemberontak dan biar kaisar mencapnya sebagai antek Chu Wen!"

"Giam Liong masih kurang pengalaman," sang suami berkata sabar, pendekar ini memang lembut dan mulia hati. "Aku tak dapat membiarkan bekas putera kita itu sebagai pemberontak dan penyebab penderitaan rakyat kecil, niocu. Aku akan menyadarkannya dan coba menjauhkannya dari Chu Kiang. Kalau tidak berhasil maka aku akan membiarkannya dan selanjutnya terserah dirinya. Tapi aku akan berusaha, karena jelek-jelek dia pernah menjadi anakku juga, anak yang dekat denganku!"

"Tapi aku tak dapat membawa pasukan," Bo-ciangkun tiba-tiba berseru, mendahului sang nyonya yang kembali hendak membuka mulutnya. "Aku panglima yang sudah pensiun, taihiap. Aku sudah tak memiliki kekuasaan!"

"Tapi sri baginda masih menaruhmu di sini," Beng Tan tak perduli, mata bersinar-sinar. "Kalau aku menghadap dan memohon beliau tentu sri baginda memperkenankan, ciangkun. Kau sahabatku dan sri baginda tahu akan ini!"

"Benar, dan justeru karena sungkan kepadamu itulah maka aku diberi tempat tinggal di sini. Kalau tidak, tentu aku disuruh keluar!"

"Tapi aku yang tak setuju kau menemui Giam Liong!" Swi Cu bersuara, keras. "Bocah itu musuh kita, suamiku. Dia sudah bukan apa-apa lagi. Kau tak usah memperdulikannya!"

"Aku tak akan perduli kalau ia benar-benar orang lain. Tapi ia putera sucimu, dan mendiang ayahnya Sin Hauw adalah seorang gagah yang kukagumi. Tidak, aku tak dapat membiarkannya begitu saja, niocu. Aku akan berusaha menjauhkannya dari Chu Kiang selama ini bisa. Tapi kalau gagal, aku akan melepaskannya dan tak akan perduli. Ini keputusanku!"

Swi Cu terbelalak. Tiba-tiba ia merasa aneh dan tak mengerti sikap suaminya ini. Tak tahu bahwa diam-diam jago pedang ini memiliki kekaguman besar kepada Giam Liong. Pemuda itu anak didiknya. Pemuda itu telah mampu mengalahkannya! Dan karena bagi seorang pendekar amatlah mengagumi dan menghargai hal-hal macam begini, Beng Tan mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan perasaan keluarga maka dia merasa sayang kalau anak didiknya yang hebat itu sampai menjadi pemberontak. Dia dapat menerima dan membiarkan saja kalau Giam Liong membalas dendam kepada si Kedok Hitam, karena anak itu akan membalas kematian ayahnya.

Tapi kalau Giam Liong sampai menjadi pemberontak, mengacau dan mencelakakan rakyat kecil maka dia akan mencegah dan tak dapat menerima hal-hal seperti ini. Pemuda itu boleh saja melampiaskan dendam pribadi, orang per orang. Tapi kalau dia menjadi pengikut Chu Wen dan ini bakal menyengsarakan rakyat, peperangan atau pertumpahan darah pasti terjadi maka jago pedang ini tak dapat membiarkan hal itu di depan matanya. Dia akan mencegah dan Giam Liong akan ditemui. Dan karena sejak lama ia sudah membantu istana, pro kaisar yang sekarang daripada para pemberontak maka pendekar ini mengambil keputusan tetap bahwa ia akan mencari dan menemui pemuda itu.

Bukan untuk membalas kekalahannya melainkan semata mengingatkan pemuda itu akan bahayanya membantu pemberontak. Seumur hidup bakal dicap pemberontak dan anak cucupun akan dicap atau dicurigai sebagai pemberontak. Inilah yang tak dikehendaki pendekar itu. Maka ketika dia bersikap tegas dan sang isteri tertegun, Swi Cu tak dapat mengerti ini maka nyonya itu terbelalak dan kaget memandang suaminya. Belum pernah suaminya bersikap keras dan setegas ini, padahal baru saja dikalahkan Giam Liong! Tapi ketika ia menarik napas dalam-dalam dan tinggal menurut, tak baik bertengkar di hadapan orang lain maka ia membanting kaki sekedar menyatakan kesal.

"Baiklah, terserah dan sesukamu, suamiku. Tapi kalau ada apa-apa jangan salahkan aku. Jangan buang kekecewaanmu kepadaku!"

"Tidak," Beng Tan menarik napas dan mencekal lengan isterinya pula, sedikit melunakkan sikap. "Aku tahu ketidaksenanganmu, niocu. Maaf kalau kita berbeda pendapat. Tapi percayalah bahwa aku tak akan memaksa anak itu untuk menuruti nasihatku. Kalau aku gagal tentu aku tak akan bersikeras dan terserah anak itu!"

"Kau berjanji?"

"Tentu."

"Baik, kalau begitu mari segera mencari anak itu. Aku ingin kau cepat menyelesaikan urusanmu!"

"Nanti dulu," sang ciangkun berseru. "Kalian jangan buru-buru pergi, taihiap. Bagaimana aku setelah kalian ajak bicara seperti ini. Aku juga ingin menumpas pemberontak dan membunuh Chu Kiang!"

"Hm, sebaiknya kau membawa pasukan," Beng Tan bicara. "Sendiri menghadapi pemberontak itu tentu berbahaya, ciangkun. Aku ingin menemui dulu bekas anak didikku itu dan baru setelah itu mengurus Chu Kiang."

"Tapi aku ikut. Aku tak mau sendirian lagi setelah kalian datang!"

"Hm, ada orang!" Swi Cu tiba-tiba berseru, ribut-ribut itu hampir membuatnya lengah sekejap. "Kita kedatangan tamu, Bo-ciangkun. Aku bersembunyi dan siapa gadis itu!"

Beng Tan melihat dan terkejut. Di luar tampak bayangan seorang gadis dan tahu-tahu terdengar seruan nyaring. Dan ketika Bo-ciangkun juga terkejut karena seorang gadis muncul dan berkelebat di pintu rumahnya maka kakek ini bergerak dan Beng Tan sendiri sudah lenyap berkelebat.

"Paman Bo, pintu rumahmu terbuka. Apakah ada orang di sini!"

"Ah, ha-ha., Coa-siocia kiranya. Aih, kau membuat aku terkejut saja, siocia. Dari mana kau dan bagaimana tiba-tiba memperhatikan rumahku!" Bo-ciangkun berkelebat dan menyambut keluar, sudah berhadapan dengan seorang gadis cantik yang terbelalak dan lingak-linguk memperhatikan rumahnya.

Mata tajam gadis itu menyambar-nyambar dan Beng Tan diam-diam kagum karena gadis ini memiliki gerakan yang ringan dan gesit, cepat dan hampir dia terlambat kalau isterinya tidak berseru tadi. Isterinya lupa menutup pintu dan kini gadis itu menegur. Hm, siapa gerangan! Dan ketika Bo-ciangkun tertawa dan menyambut, berdiri menggoyang lengan maka bekas panglima yang sudah lama bersahabat dengan Beng Tan ini menggeleng.

"Tak ada siapa-siapa.... tak ada siapa-siapa. Ha-ha, aku baru saja mau berkebun, siocia, membuka pintu dan belum menutupnya lagi. Ah, kau rupanya melihat sesuatu yang mencurigakan sampai datang kesini!"

"Aku mendengar beberapa penjaga melihat hantu terbang. Cerita mereka aneh dan aku curiga bahwa ada orang mendatangi istana. Dan karena aku melihat pintu rumahmu terbuka maka aku ke sini untuk melihatnya!"

"Hantu terbang? Ha-ha, sungguh pengkhayal. Mereka itu penjaga-penjaga yang lamur, siocia. Barangkali sedang mimpi dan mengada-ada. Ah, mereka itu suka membuat cerita bohong dan membual. Aku tak melihat apa-apa dan jangan percaya mereka!"

"Tapi katanya ada dua orang mendatangi ke sini. Aku khawatir bahwa ada dua orang lihai menyelundup!"

"Ah, begitukah? Baik, kalau begitu aku turut berjaga-jaga. Siocia tak usah khawatir karena tempat ini aman!" Bo-ciangkun diam-diam terkejut, sadar bahwa yang dimaksud adalah tentu sepasang suami isteri itu.

Beng Tan sendiri juga terkejut karena dari situ tahulah dia bahwa penjagaan di istana amatlah ketatnya. Istana mengerahkan semua pengawal untuk berjaga setelah adanya kejadian semalam itu, peristiwa datangnya pemberontak dan hadirnya pemuda selihai Giam Liong. Dan ketika Beng Tan terkejut dan mengerutkan kening, isterinya berdebar dan menyenggol lengannya maka Bo-ciangkun mengangguk-angguk dan berkata lagi bahwa dia tak melihat apa yang dilihat para pengawal itu. Tempatnya aman dan tak ada siapa-siapa di situ. Dan ketika gadis itu mengangguk dari percaya, berkelebat pergi maka gadis itu berseru agar dia berhati-hati.

"Aku tak menganggap mereka bohong. Pasti ada orang lihai datang ke sini. Harap paman beri tahu aku kalau melihat dua orang itu!"

"Tentu," sang bekas panglima mengangguk. "Aku akan memukul tanda bahaya kalau diperlukan, siocia. Dan terima kasih untuk pemberitahuanmu!"

Gadis itu lenyap. Bo-ciangkun menghela napas dan sekarang masuk lagi ke dalam, dua tamunya keluar. Dan ketika Swi Cu bertanya siapa gadis cantik itu maka...

Ah, halaman 32-33 hilang lagi...

...."Kita tak perlu bicara tentang Kedok Hitam, ciangkun. Kita bicara saja tentang yang lain dan benar katamu bahwa sebaiknya kita cepat-cepat pergi. Gadis itu telah mencium jejakku, dia tak gampang percaya kepada laporan pengawal. Mari kita keluar dan kau ikut aku!"

"Benar, mari pergi, taihiap. Aku siap namun baru saja kata-kata. ini dihentikan mendadak terdengar seruan-seruan di luar dan tiba-tiba saja di sekeliling rumah itu muncul puluhan orang pengawal, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar yang brewokan dan bermata tajam.

"Rekan Bo, kami utusan sri baginda ingin bertemu yang terhormat Pek-jit-kiam Ju-taihiap!"

Beng Tan terkejut. Sebelum ia keluar tahu-tahu tempat itu telah dipenuhi banyak orang. Dan ketika, ia tertegun dan terbelalak, orang telah menyebut namanya maka perwira tinggi besar itu datang dan membungkuk di luar, penuh hormat.

"Ju-taihiap, sri baginda mohon bertemu denganmu. Aku Lim-ciangkun memberikan tanda kaisar!"

Beng Tan tertegun. Ia benar-benar kaget dan tercengang bahwa tiba-tiba saja kaisar telah mengutus orangnya. Begitu cepatnya! Tapi. ketika ia sadar dan Bo-ciangkun keluar, terkejut dan bertanya dari mana Lim-ciangkun itu tahu kedatangan tamunya maka perwira itu tersenyum menjawab berseri,

"Istana saat ini dijaga ketat, tak seekor semutpun ibaratnya dapat lolos. Sri baginda mendapat tahu dari Coa-ongya, rekan Bo. Dan Coa-ongya mendapat tahu dari Kedok Hitam. Bolehkah aku masuk atau Ju-taihiap menerima panggilan kaisar ini."

Beng Tan keluar. Akhirnya ia tahu apa yang terjadi. Bahwa bukan para pengawal yang tahu melainkan Kedok Hitam, berkat laporan pengawal. Atau, ini yang tepat, laporan dari muridnya itu, Yu Yin yang baru saja meninggalkan mereka! Dan sadar bahwa Kedok Hitam mengintainya di dekat situ, mungkin tadi bersama muridnya maka pendekar ini tersenyum kecut dan menyambut dengan hormat tanda panggilan kaisar itu, disusul isterinya.

"Luar biasa, Kedok Hitam benar-benar penjaga yang baik, Lim-ciangkun. Kedatanganku dapat diketahuinya dengan demikian cepat. Ah, kehormatan bagiku menerima panggilan kaisar. Aku akan ke sana meskipun sebenarnya aku akan segera pergi!"

"Terima kasih,"Lim-ciangkun tertawa gembira. "Tugasku telah selesai, taihiap. Mari bersama kami dan sri baginda tentu gembira menerima kedatanganmu!"

“Aku akan mendahului kalian," Beng Tan tak suka diantar. "Silahkan kalian kembali, ciangkun. Biar aku bersama isteriku ke sana!" dan sekali bergerak meninggalkan serambi tiba-tiba pendekar itu telah menyambar dan menarik isterinya.

Beng Tan melihat bahwa di mana-mana tiba-tiba muncul barisan pengawal. Di segala sudut ternyata sudah dikepung! Dan maklum bahwa ia tak boleh keluar, sebelum menemui kaisar maka dengan mendongkol pendekar ini menuju ke bangsal agung di mana biasanya kaisar menerima tamunya, berkelebat dan melewati orang-orang itu dan terbelalaklah orang-orang itu melihat gerakan pendekar ini yang amat luar biasa cepatnya. Seperti burung yang terbang dan lenyap! Dan ketika mereka saling berbisik dan sadar bahwa itulah kiranya "burung" atau "hantu" yang mereka lihat, Beng Tan memang luar biasa maka decak dan puji kagum terdengar di mulut orang-orang ini, para pengawal yang tadi berjaga.

"Ah, kiranya Pek-jit-kiam Ju-taihiap. Pantas, aku tak dapat mengikuti gerakannya yang seperti siluman!"

"Dan kiranya ini 'burung' yang kulihat itu. Kiranya yang terhormat ketua Hek-yan-pang!"

"Dan ia bersama isterinya. Ah, masih cantik dan gagah!"

Beng Tan tak menghiraukan omongan-omongan itu. Swi Cu sendiri tak perduli namun tentu saja diam-diam ia merasa senang karena dirinya dipuji masih cantik dan gagah. Ia memang masih cantik! Dan ketika dua orang itu berkelebat dan menghilang, Beng Tan sudah menuju ke bangsal agung, maka benar saja kaisar telah ada di situ, duduk didampingi Coa-ongya yang tersenyum simpul. Kaisar sendiri tampak berseri-seri dan gembira.

"Ha-ha, selamat datang, Pek-jit-kiam. Sungguh kebetulan dan kedatanganmu menggembirakan sekali. Bangkitlah, kau masih gagah dan tampan, begitu pula isterimu!"

Beng Tan disambut dan ditarik kaisar. Bersama isterinya pendekar ini berlutut tapi kaisar buru-buru turun dari kursinya, menyambut dan menarik dirinya. Dan ketika Coa-ongya juga bangkit dan menyambut maka suami isteri ini melirik pangeran itu, yang kian gagah dan tegap serta tentu mengherankan banyak orang bahwa pangeran yang satu ini berotot kencang serta bermata tajam, seperti mata rajawali!

"Kuhaturkan selamat datang pula," sang pangeran tertawa dan kagum memandang sang nyonya, Swi Cu yang gagah dan cantik. "Kalian berdua kian matang dan hebat saja, taihiap. Kalau tak ada penjagaan seketat ini tentu kami tak akan tahu kedatangan kalian!"

"Ah, kami tak merasa bertambah hebat, ongya, terima kasih. Kami justeru merasa bodoh bahwa kami diketahui. Pembantumu Kedok Hitam itu benar-benarlihai!"

"Ha-ha, mari duduk dan tak usah berbasa-basi," kaisar mengulapkan lengan dan mengusir atau menjauhkan pengawal-pengawal di situ. "Kedatanganmu bertepatan dengan musibah yang menimpa kami, Ju-taihiap. Dan kau tentu telah tahu dari sahabatmu Bo-ciangkun. Mari... mari duduk!"

Beng Tan tak dapat menolak dan mengangguk. Ia sudah duduk berhadapan dengan kaisar, tahu bahwa dengan kecerdikannya yang tinggi Kedok Hitam tahu siapa tamu di rumah Bo-ciangkun, karena memang ialah sahabat dari bekas panglima itu. Dan ketika ia ditemani pangeran she Coa dan kaisar menyatakan maksud undangannya, pembicaraan basa-basi sudah selesai maka terus saja kaisar ini menuju pada persoalan pokok. Bahwa istana butuh orang-orang pandai dan kaisar minta agar pendekar itu membantunya, seperti dulu. Dan ketika Beng Tan mengerutkan kening karena sesungguhnya ia tak ingin membantu istana, peristiwa belasan tahun yang lewat telah menggores perasaannya maka kaisar menutup dengan satu kata-kata memojokkan.

"Chu Kiang keturunan pemberontak telah datang ke sini. Dan ia dibantu pemuda lihai keturunan Si Golok Maut. Dan karena kudengar bahwa pemuda itu pernah menjadi murid Hek-yan-pang, muridmu, maka aku yakin bahwa, kau tak akan membiarkan nama Hek-yan-pang dicoreng pemuda ini yang membantu pemberontak. Aku tahu dan percaya bahwa Hek-yan-pang bukan orang-orang yang mudah dihasut pemberontak. Dan taihiap sebagai ketuanya tentu dapat membuktikan ini dengan menghadapi pemberontak, bukan membiarkan atau mendiamkan saja pemuda itu merajalela dan akhirnya membawa-bawa Hek-yan-pang yang taihiap pimpin!"

"Hm, harap sri baginda dapat membedakan masuknya pemuda itu sebagai pihak luar, bukan anggauta atau murid Hek-yan-pang. Sebab meskipun ia pernah menjadi murid Hek-yan-pang namun sesungguhnya semuanya itu terjadi karena kami tidak tahu. Kami tidak tahu bahwa ia sebenarnya putera mendiang Sin Hauw!"

Beng Tan menjawab, agak mendongkol karena kaisar bernada mengancam. Dengan halus kaisar telah mengingatkannya agar Hek-yan-pang tidak memihak pemuda itu, karena memihak berarti akan dicap sebagai pemberontak pula! Dan karena pendekar ini tak suka main sembunyi dan ia maklum bahwa kaisar tentu telah mendengar bahwa Giam Liong pernah menjadi puteranya, bukan sekedar murid maka terus terang saja dia menjawab dan berkata agak keras. Dia tak takut akan ancaman itu, bahwa Hek-yan-pang akan dicap sebagai pemberontak.

Tapi karena pada dasarnya ia memang tidak menyukai pemberontak she Cu, sejak dulu ia sudah membantu istana maka ia menangkis dan memandang kaisar dengan berani. Pandangan ini membuat kaisar mengangguk-angguk dan Coa-ongya tersenyum lebar. Dan ketika pendekar itu melepas kemendongkolannya dengan berkata seperti itu, kaisar tak usah main ancam maka kaisar tertawa...

Halaman 42-43 hilang

...pemuda itu tetap dapat ditangkap. Bergabung dengan pembantu hamba si Kedok Hitam tentu bocah itu dapat dikalahkan!"

"Atau Pek-jit-kiam ini mencoba dulu dengan isterinya..."

"Tak mungkin menang," Coa-ongya menggeleng, kening berkerut. "Di sana ada pula ibunya, sri baginda. Kalau Ju-hujin maju tentu wanita itu akan maju pula. Satu-satunya jalan ialah Kedok Hitam membantu Ju-taihiap ini. Tentu berhasil!"

"Hm, aku tak suka keroyokan," Beng Tan berkata marah, mukanya merah. "Bagi seorang gagah kalah tetaplah kalah, ongya. Jangan untuk mencari kemenangan lalu berbuat licik dan mengeroyok. Akui pantang melakukan itu!"

"Kalau begitu bagaimana pendapat taihiap. Apakah membiarkan saja pemuda itu dan Chu K iang menyerbu ke sini dan mengobrak-abrik istana. Ini sudah menyangkut keamanan negeri!"

"Benar," kaisar juga mengangguk. "Kalau pemuda itu dibiarkan tentu pemberontak menjadi kuat, taihiap. Dan kau sendiri mengatakan bahwa kau tak dapat mengalahkannya. Kau harus dibantu!"

"Tapi Hamba tak mau mengeroyok!"

"Tapi kau tak dapat mengalahkannya!”

"Benar, tapi demi negara hamba siap mengorbankan jiwa raga, sri baginda. Tapi sebelum hamba melakukan itu hamba akan menemui dan membujuk dulu pemuda itu. Giam Liong datang karena urusannya dengan si Kedok Hitam. Sebenarnya tak ada sangkut-pautnya dengan pemberontak Chu Kiang!"

"Hm, baik-baik. Kalau begitu bagaimana pendapatmu?"

"Hamba tetap mencari dan menemukan pemuda ini, membujuk dan mengingatkannya supaya menjauhi pemberontak. Urusan pribadi tak boleh dikembangkan dengan urusan negara. Anak itu akan hamba tarik!"

"Kalau ia tak mau?" Coa-ongya tiba-tiba mengejek. "Bapak dan anak sama-sama berwatak keras, Ju-taihiap, masing-masing tak gampang dibujuk. Sejak jaman kakeknya bocah itu memang sudah mewarisi kekerasan hati yang tak dapat ditekuk. Apalagi di sana ada ibunya!"

"Ini gara-gara pembantu ongya yang bernama Kedok Hitam itu!" Beng Tan tiba-tiba naik darah, teringat peristiwa belasan tahun yang lalu itu. "Kalau paduka tidak, mengirim dan licik berbuat curang tentu pemuda itu tak akan datang ke sini, ongya. Paduka telah membuat pemuda itu gila dendam dan ingin membalas kematian ayahnya. Paduka menjadi biang sebab!"

"Eh-eh, mendiang Sin Hauw adalah iblis yang harus dibasmi. Dia telah mengacau dan membunuh-bunuhi banyak orang di sini, Pek-jit-kiam. Dan adikku Ci Bao menjadi korban. Aku tak dapat membiarkan itu dan Si Golok Maut enak merajalela!"

"Tapi hamba telah menentukan pertarungan mati hidup. Golok Maut adalah bagian hamba dan bukan lalu diserang atau dikeroyok oleh limaribu pasukan. Paduka licik!"

"Eh-eh, aku mengirim pasukan atas ijin sri baginda, Ju-taihiap. Jangan lalu menyalahkan aku dan enak saja bicara!"

"Tapi paduka menarik keuntungan di air keruh, tidak sportif karena saat itu Golok Maut sedang luka-luka. Ia bagianku dan seharusnya tak usah paduka ikut campur. Ini pertandingan orang-orang gagah!"

"Hm, gagah atau tidak gagah bukan urusanku, taihiap. Aku hanya menjalankan titah sri baginda untuk melenyapkan Si Golok Maut itu. Kalau kau marah-marah kepadaku maka kau salah alamat. Kau harus marah-marah kepada sri baginda!"

"Sudahlah," Beng Tan tertegun. "Waktu itupun aku mengijinkan adikku demi membantumu juga, Ju-taihiap. Aku tak mau kehilangan seorang gagah macam dirimu ini. Kau tak dapat menyalahkan adikku karena ia hanya menjalankan perintah!"

"Kalau begitu paduka tak usah mengirim hamba dulu. Biar diselesaikan saja oleh pasukan kerajaan dan hamba tak usah dibuat malu!"

"Hm, aku pribadi tak bermaksud membuatmu malu, taihiap. Semuanya ini kulakukan karena demi dirimu juga. Aku terlalu sayang dan tak mau kehilangan dirimu. Itu alasanku!"

Beng Tan dijawil isterinya. Swi Cu khawatir karena melihat suaminya tiba-tiba marah dan melotot kepada Coa-ongya. Mereka sedang di istana dan tak seharusnya seorang tamu marah-marah di tempat orang, apalagi mereka diundang datang. Dan ketika Beng Tan sadar dan terkejut dijawil sang isteri, pandang matanya bergerak dan bertemu kaisar tiba- tiba ia menunduk dan menarik napas dalam-dalam, mendinginkan darah yang akan mendidih!

"Maaf, hamba khilaf sri baginda. Maaf dan ampunkan sikap hamba. Hamba memang tahu kebaikan hati paduka tapi hamba juga tahu bahwa Kedok Hitam yang licik dan culas itu sengaja mempergunakan kesempatan di dalam kesempitan. Hamba mohon pamit, dan biarlah sekarang juga hamba mencari anak itu!"

"Benar," Swi Cu kini bicara, sorot mata Coa-ongya tiba-tiba juga berubah dan garang. Dua orang itu seakan siap bermusuh! "Hamba ingin menemani suami hamba, sri baginda. Biarlah kami melaksanakan tugas dan mencari anak itu. Suami hamba tentu melaksanakan tugasnya dengan cara ksatria!"

"Hm, baiklah," kaisar mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan menghargai sikap suamimu, hujin. Dan Ju-taihiap memang seorang gagah sejati. Aku justeru semakin hormat dan mengaguminya. Tapi bagaimana kalau pemuda itu tak berhasil dibujuk. Ia akan merupakan musuh yang amat berbahaya bagi negara!"

"Hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba," Beng Tan berkata gagah. "Kalau anak itu tak dapat dibujuk dan ikut pemberontak tentu hamba akan berpihak di istana, sri baginda. Mati hidup tentu hamba ingin membela negara!"

"Bagus, kalau begitu berangkatlah. Aku memberi restu!"

Beng Tan mengangguk. Sang isteri sudah berdiri dan lega karena sri baginda sendiri sudah mengijinkan mereka pergi. Ini berarti permusuhan dengan Coa-ongya bisa dihindari. Dan ketika suami isteri itu memberi hormat dan ijin pergi, Beng Tan memang tak mau lama-lama tinggal di istana maka kaisar mengangguk dan mengulapkan lengannya, diam-diam melirik adiknya pangeran she Coa.

"Pergilah, dan terima kasih, Pek-Jit-kiam. Dan cepat kembali kalau ingin bantuan!"

Beng Tan sudah berkelebat. Meloncat dan menyambar isterinya tiba-tiba pendekar ini sudah lenyap dari depan sri baginda, menghilang dan keluar dari istana. Tapi ketika ia terbang dan melewati tembok istana, isterinya memperingatkan akan Bo-ciangkun yang mereka tinggal maka pendekar ini tertegun namun bergerak dan meneruskan langkahnya lagi.

"Kita biarkan dulu Bo-ciangkun itu. Aku tak ingin kesana lagi. Banyak orang mengawasi kita!"

"Kalau begitu langsung kita ke hutan?"

"Ya, kita cari Giam Liong, isteriku. Akan kutarik dia dari tangan Chu Kiang!"

"Ah, kau memang keras hati, keras kemauan. Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau nanti enci Wi Hong menyerang dan menghina aku!"

"Hm, sebisa mungkin aku menghindari pertandingan. Kedatangan kita hanya untuk menyadarkan Giam Liong!"

"Kalau gagal?"

"Kita pergi, dan baru akan berhadapan kembali kalau anak itu menyerang istana, resmi sebagai pemberontak!"

"Hm, baik. Dan mudah-mudahan gagal!" dan ketika Beng Tan terkejut mendengar kata-kata isterinya ini, Swi Cu melengos dan memandang arah lain maka pendekar itu menarik napas dalam-dalam namun mencengkeram dan menarik isterinya ini lagi, tidak menjawab atau memberi komentar dan tiba-tiba melayang ke atas seperti burung besar menyambar, tinggi melewati tembok gerbang yang dijaga belasan pengawal. Dan ketika pengawal-pengawal itu berseru kagum, sudah tahu bahwa itulah Pek-jit-kiam Ju Beng Tan yang amat lihai, lawan tanding Si Golok Maut yang seimbang maka Beng Tan meluncur dan sebentar saja sudah meninggalkan istana. Dan begitu pasangan suami isteri ini bergerak ke selatan menuju hutan di depan maka suami isteri itu lenyap dan tak kelihatan lagi, seperti iblis!

"Nah, di sini. Kita berhenti!" Beng Tan sudah memasuki hutan dan melihat tanda-tanda adanya manusia. "Bekas tempat ini diinjak-injak orang, isteriku. Giam Liong tentu di sini dan mari masuk ketengah!"

Swi Cu mengangguk. Nyonya itu juga melihat adanya tanda-tanda itu dan bahkan percikan darah kering. Dia menunjuk dan Beng Tan pun mengiyakan, pendekar itupun juga melihat. Tapi ketika mereka bergerak dan masuk ke tengah hutan itu diselidik ternyata tak ada apa-apanya dan sang pendekar mengerutkan kening.

"Melihat bekasnya, orang-orang itu pernah ke sini. Tapi di mana mereka dan kenapa tak ada orangnya? Mungkinkah mereka pergi?"

"Kita lihat saja. Mungkin saja mereka pergi atau mungkin juga masih ada di sini!" sang isteri berkelebat, gemas dan tak sabar karena Giam Liong maupun orang-orangnya pemberontak Chu Kiang itu tak ada, padahal melihat bekasnya tentu orang-orang itu ada. Dan ketika nyonya ini bergerak dan masuk lebih ke dalam, bekas-bekas api unggun juga terlihat olehnya mendadak dia tertegun ketika telinganya yang tajam menangkap suara perlahan di atas pohon di sebelah kirinya, suara orang mengintai!

"Turun!" Swi Cu tiba-tiba menyambit sehelai daun yang cepat dilontar. Nyonya ini membalik dan saat itu daun menyambar ke atas, cepat melebihi sebatang anak panah. Dan ketika terdengar teriakan dan seseorang roboh berdebuk, di sana suaminya juga membentak dan mengayun lengan ke atas maka seorang laki-laki juga terbanting dan jatuh dari pohon yang tinggi.

"Bluk!"

Dua laki-laki itu bersamaan terlempar. Mereka terjatuh oleh sambitan daun Swi Cu dan sambaran angin pukulan Beng Tan, pukulan jarak jauh dan tentu saja mereka berteriak karena gerakan dua suami isteri itu amat cepat, juga mengejutkan. Dan ketika Swi Cu maupun suaminya sudah bergerak dan menyambar dua laki-laki ini, mencengkeram dan menangkap lehernya maka dua laki-laki itu merintih namun mereka tampak bersikap gagah dan membentak.

"Siapa kalian, mau apa memasuki hutan ini!"

"Eh!" Swi Cu menghardik, memaki dua orang itu. "Kamilah yang seharusnya bertanya, tikus-tikus busuk. Bukan kalian atau siapapun. Siapa kalian dan kenapa bersembunyi di atas pohon itu. Apakah kalian orangnya pemberontak she Chu!"

Dua orang itu saling berkedip. Mereka tak mengenal dan tak tahu siapa wanita? dan laki-laki lihai itu. Tapi dibentak dan ditanya seperti itu tiba-tiba mereka mengedikkan atau mengangkat kepala dengan gagah.

"Kami tak tahu siapa itu pemberontak she Chu. Tapi kami adalah para pejuang!"

"Hm, pejuang apa?" Swi Cu gemas, membentak dan menendang pantat laki-laki yang ditangkap. "Di sini tak ada pejuang selain pemberontak, tikus-tikus busuk. Kalau begitu kalian adalah orang-orangnya Chu Kiang dan mana pemimpin kalian itu!"

"Aduh..!" laki-laki ini menjerit. "Siapa kau, siluman betina. Kenapa bicara sombong dan semena-mena. Hayo lepaskan aku dan jangan berbuat curang!"

"Benar," temannya juga berteriak, marah. "Lepaskan aku, laki-laki gagah, kalau kau jantan. Siapa kalian dan mau apa!”

"Hm," Beng Tan menyambar dan menarik isterinya yang mau menghajar laki-laki tangkapannya. "Mereka ini orang-orangnya Chu Kiang, niocu, dan kita belum ada urusan dengannya. Kita hendak mencari Giam Liong, bukan pemberontak sementara ini!"

"Kau tidak ingin menghajar mereka?" sang isteri sewot. "Tidak ingin menutup mulut mereka yang kurang ajar dan memaki kita berdua? Lepaskan, aku ingin memberi pelajaran lagi, suamiku. Dan kebetulan bahwa orang-orangnya Chu Kiang ada di sini!"

"Sabar, sementara ini kita mencari Giam Liong. Biarkan aku bicara dan jangan kau ikut campur," dan membalik menghadapi dua laki-laki itu, menyabarkan isterinya, pendekar ini sudah berkata,

"Kami ingin mencari Giam Liong, kalian tentu tahu. Nah, di mana pemuda itu dan dapatkah kalian mempertemukan aku dengannya."

"Kau siapa?" laki-laki kedua tertegun, heran bahwa Giam Liong yang ditakuti banyak orang justeru dicari laki-laki gagah ini. Rupanya hendak mencari penyakit! "Aku memang tahu pemuda itu namun tak akan memberitahumu kalau kau tak menyebutkan siapa dirimu!"

"Dia ketua Hek-yan-pang!" Swi Gu membentak, marah kepada orang itu. "Cepat kau bicara atau kusobek mulutmu nanti, tikus busuk. Hayo keterangan apa lagi yang kalian minta atau kami akan melenyapkan kalian!"

"Hek-yan-pangcu (ketua Hek-yan-pang)?" dua laki-laki itu terkejut, seketika tersentak dan berobah mukanya. "Dan kau kalau begitu adalah Ju-hujin?"

"Ya, mau bicara apalagi? Masih juga cerewet?"

"Ah, kalau begitu maafkan, hujin. Kami adalah orang-orangnya Chu-goanswe dan tentu saja tahu di mana adanya putera kalian itu. Sin-siauwhiap telah menceritakan hubungan ini dan selamat datang bahwa ji-wi menemui kami!"

"Siapa itu bicara memuakkan. Dia bukan puteraku dan aku adalah musuhnya!"

"Ah," Beng Tan cepat-cepat menangkap dan menenangkan isterinya itu. "Kalian tak usah menyebut-nyebut soal keluarga, sobat-sobat. Aku mencari Giam Liong untuk urusan pribadi. Cepat kalian katakan atau beri tahu kami di mana anak itu berada!"

Dua laki-laki itu tertegun. Mereka saling pandang dan kecut tapi juga tidak senang melihat kegalakan Swi Cu. Mereka telah mendengar bahwa Sin-siauwhiap atau Sin Giam Liong itu adalah orang yang pernah menjadi putera ketua Hek-yan-pang. Mereka tentu saja girang dan bangga bahwa orang-orang seperti ketua Hek-yan-pang ini datang, berarti kehormatan bagi mereka. Tapi ketika sikap isteri ketua Hek-yan-pang itu tampaknya bermusuhan dan mereka terbelalak, kaget, maka mereka saling pandang dan tiba-tiba keduanya saling berkedip. Biarkan nyonya atau pendekar itu bertemu Giam Liong, pemuda yang mereka ketahui kehebatannya!

"Baik," dua orang ini mengangguk. "Tentu saja kami akan mengantarkan kalian berdua, taihiap. Tapi bebaskan kami dan jangan kami ditotok!"

Beng Tan bergerak. Ia membebaskan dua orang itu dan lagi-lagi harus menyabarkan isterinya ketika isterinya ngomel-ngomel. Perempuan biasanya memang begitu, lebih cerewet! Dan ketika dua orang ini dibebaskan dan Beng Tan lega akan menemui Giam Liong, tentu saja tak takut kepada Chu Kiang maupun pengikut-pengikutnya maka dengan tenang ia mengikuti dua orang ini, yang sudah meloncat dan bangkit berdiri.

"Kami adalah pengintai-pengintai yang ditaruh di sini. Sin-siauwhiap dan Chu-goanswe sudah tidak di sini karena menyeberangi hutan."

"Hm, dari mana orang she Chu itu mendapat pangkat. Siapa yang memberinya julukan goanswe (jenderal)!"

Dua orang itu terkejut. Swi Cu membentak mereka dan mengata-ngatai pimpinan mereka. Tapi karena ketua dan isteri ketua Hek-yan-pang ini memang lihai, mereka telah merasakannya ketika bersembunyi di atas pohon tadi maka dua laki-laki ini tak menjawab dan menyelinap serta menerobos semak belukar keluar hutan. Bukan lewat jalan masuk melainkan terus menyeberang dan akhirnya tiba di hutan yang lain, hutan di luar hutan itu, terpisah oleh sebuah sungai lebar. Dan ketika mereka lenyap dan muncul lagi dengan sebuah perahu, kiranya tadi mengambil atau melepas tali pengikatnya maka dua laki-laki itu mempersilahkan suami isteri itu masuk.

"Mari, kita ke hutan di seberang. Silahkan taihiap masuk dan duduk disini!"

"Hm, jauhkah? Dan kalian hendak membawa kami ke mana? Ke orang she Chu itu atau ke Giam Liong?"

"Sin-siauwhiap tinggal bersama pimpinan kami, taihiap. Dan membawa taihiap ke sana tentu saja sekaligus membawa taihiap ke Chu-goanswe!"

"Kami tak ingin menemui orang she Chu itu. Nanti darah kami menggelegak!" Swi Cu membentak.

"Kalau begitu ji-wi akan kami antarkan kepada Sin-siauwhiap, di luar hutan itu. Nanti kami akan memanggilnya dan ji-wi menunggu!"

"Baik, antarkan kami, sobat. Dan jangan hiraukan isteriku!" Beng Tan tak ingin ribut-ribut, isterinya sekarang bertambah galak karena kekecewaannya kehilangan putera memang benar-benar menekan.

Swi Cu gampang marah dan mudah sekali naik pitam. Dan karena dia tak ingin dua orang itu dihajar, salah-salah dibunuh maka Beng Tan minta agar dua orang itu tidak usah banyak cakap dan cepat mengantarkannya saja. Dua laki-laki itu menurut dan mereka mendayung perahu, memotong sungai. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah menepi dan meloncat di tepian hutan ini, hutan yang lain maka Beng Tan berkelebat dan sudah lebih dulu mendarat, disusul isterinya.

"Nah, sesuai kata-katamu kami akan menunggu. Panggilkan Giam Liong dan cepat bawa ke mari!"

Dua laki-laki itu mengangguk. Mereka memang pengikut-pengikut Chu Kiang dan sebenarnya mereka adalah orang-orang gagah, tak biasa dihina atau direndahkan. Namun karena kali ini yang mereka hadapi adalah ketua Hek-yan-pang dan isterinya, orang yang masih merupakan keluarga atau sanak dekat Sin Giam Liong maka mereka menekan saja rasa tidak puas di hati untuk akhirnya berkelebat dan pergi. Beng Tan menunggu dan isterinya pun duduk menyendiri, mukanya merah gelap. Tanda isterinya itu tak senang dan sedang menahan-nahan marah. Ia harus membujuk. Dan ketika dua orang itu pergi dan Beng Tan mendekati isterinya, duduk dan menghela napas panjang maka dia berkata dan memegang lengan isterinya itu.

"Niocu, kuharap kau tidak akan bicara apa-apa kalau nanti aku bertemu Giam Liong. Diam dan duduk sajalah di sini. Aku juga tidak akan melakukan apa-apa. Harap kau turuti permintaanku ini dan setelah itu kita pergi!"

"Baik, tapi kalau pihak sana menghina atau mengejek aku tak mungkin aku berdiam diri. Lihat, orang-orang itu datang, suamiku. Para pemberontak itu rupanya mengepung kita!"

Beng Tan menengok. Ia mengerutkan kening ketika tiba-tiba saja dari dalam hutan berkelebatan orang-orang berpakaian hitam, datang dan tahu-tahu telah mengepung tempat itu. Dan ketika dari sungai juga meluncur perahu-perahu hitam, pendekar ini semakin mengerutkan kening maka terdengar kekeh dan tawa yang amat dikenal.

"Hi-hik, selamat datang, ketua Hek-yan-pang. Sungguh suatu kehormatan besar bahwa kau dan isterimu mencari kami. Tentu kau akan membantu perjuangan!"

Beng Tan terkejut. Wi Hong, wanita cantik itu tiba-tiba muncul Suci dari isterinya ini berkelebat dari dalam hutan dan tahu-tahu menegurnya. Dan ketika ia berdiri dan isterinyapun bangkit berdiri, gemetar, maka beberapa orang lain berkelebatan dan sudah mendampingi Wi Hong yang terkekeh-kekeh dan berdiri di depannya. Sombong bagai seorang ratu!

"Hek-yan-pangcu, kukenalkan ini kawan-kawanku. Ini adalah Chu-goanswe yang gagah dan itu si Papan Besi Wan Mo!"

"Hm," Beng Tan tertegun, tak melihat Giam Liong. "Mana Giam Liong dan kenapa orang-orang ini yang muncul? Aku tak butuh yang lain. Aku ingin bertemu Giam Liong!"

"Aku ibunya, sama saja," Wi Hong terkekeh, membalik dan mencari dua laki-laki yang tadi mengantar suami isteri ini yang muncul dan berdiri di samping teman-temannya. "Dua orang itu memberitahuku bahwa kau mencari Giam Liong, pangcu. Tapi karena puteraku sedang tidur maka biarlah aku yang menyambut dan menemuimu. Kami percaya bahwa kau tak membawa niat jahat!" lalu memandang dan tertawa kepada Swi Cu wanita ini berseru, maju mendekat. "Cu moi, kau datang di saat yang tepat. Kami butuh tenaga-tenaga seperti kalian dan Chu-goanswe tentu girang mendapat kehormatan dan kunjungan kalian”

“Benar” seorang laki-laki tinggi besar yang gagah, berdiri dan tersenyum disamping Wi Hong tiba-tiba menjura “Aku benar-benar mendapat kehormatan untuk kunjungan ini, ji-wi pangcu. Selamat datang dan perkenalkan bahwa aku adalah Chu Kiang...”