NAGA PEMBUNUH
JILID 16
KARYA BATARA
JILID 16
KARYA BATARA
"Heii. kalian! Tak usah ke sini. Tak perlu membantu aku dan hancurkan saja anak-anak murid Hek-yan-pang itu. Jangan ke mari!"
Sian-ong berteriak dan membentak-bentak dua pengemis tua itu. Dewa Lengan Delapan ini tak tahu bahwa dua temannya itu terpengaruh oleh sedotan Han Han, sudah mencoba untuk melepaskan diri namun aneh dan ajaib mereka tak mampu. Betapapun mereka berkutat tetap saja mereka tertarik ke tempat pertempuran itu, Sian-ong mengira akan dibantu padahal Toa-kai dan Ji-kai menggeram-geram disedot Han Han.
Dan ketika pemuda baju putih ini tertawa dan menangkis satu pukulan Sian-ong, yang tergetar dan terpental marah maka dua pengemis itu menggerakkan senjata mereka menghantam Han Han.
"Kau pemuda keparat, siluman!"
Han Han tak mengelak. Dia baru saja mendorong Pat-jiu Sian-ong dan kini menghadapi dua pengemis itu. Tongkat dan pedang di tangan dua kakek itu menyambar tapi dengan tenang Han Han menjentikkan kuku jarinya. Dan ketika dua pengemis itu berteriak karena telapak serasa pecah, sentilan atau jentikan kuku jari itu sungguh luar biasa kuat maka Pat-jiu Sian-ong maju lagi dan sadar bahwa Han Han kiranya memaksa dua temannya itu untuk berkumpul menjadi satu, menyuruh mengeroyok.
"Keparat, kau sombong dan pongah, anak muda. Tapi aku akan membunuhmu dan melipat punggungmu menjadi dua!"
"Hm, kaulah yang sombong. Kau tak tahu diri dan mengandalkan kekuatan, Pat-jiu Sian-ong. Kusuruh pergi baik-baik tak mau dan kini mengacau di tempat orang. Maaf, aku tak dapat membiarkan sepak terjangmu. des-dess!"
Si kakek gundul memekik lagi, terpental dan marah besar karena berkali-kali dia kalah tenaga. Sin-kang pemuda itu hebat sekali dan tak pernah dia menang. Tentu saja kakek itu mendelik. Dan ketika kembali dia berkelebat dan tubuhnya berputaran cepat, lengan menyambar-nyambar dari delapan penjuru mata angin maka kakek itu berseru agar Toa-sin-kai maupun adiknya menyerang pemuda ini dari kiri dan kanan.
"Aku akan menghadapinya di depan, kalian di kiri kanan saja. Awas, aku akan mengeluarkan semua kepandaianku untuk menghajar pemuda ini!"
Anak-anak murid terbelalak. Pat-jiu Sian-ong tiba-tiba berputaran begitu cepatnya sementara ujung lengan bajunya tiba-tiba kaku dan lurus menderu-deru. Setiap pukulan atau kibasan tentu menciptakan angin besar, karena beberapa anak murid masih juga terdorong dan Ki Bi yang ada di depan juga terhuyung dan membelalakkan matanya lebar-lebar. Sian-ong marah luar biasa dan kini bukan hanya lengannya saja yang bergerak-gerak melainkan juga ujung lengan bajunya. Sekali luput menyambar dan sebatang pohon berderak roboh. Anak-anak murid terpekik melihat kedahsyatan si kakek gundul ini. Pat-jiu Sian-ong memang luar biasa.
Tapi ketika Han Han mampu menghadapi semuanya itu dan lengan pemuda ini juga bergerak naik turun menympok atau mengibas, sama seperti kakek itu maka kedahsyatan Pat-jiu Sian-ong tertahan dan semua pukulannya yang mengerikan dan bergetar-getar mulai diredam pemuda baju putih ini. Mula-mula ujung lengan baju Pat-jiu Sian-ong meledak berkali-kali bertemu tangkisan pemuda itu, lunglai dan tak lagi kaku lurus seperti tadi. Dan ketika lengan kakek ini juga mulai menggantung karena setiap adu pukulan tentu membuat si kakek gundul menyeringai, tangannya bertemu benda panas yang membakar serta membuat ototnya sakit dan ngilu maka orang mulai melihat kakek itu terhuyung-huyung dan meringis menahan sakit.
Gempuran-gempuran pukulannya bertemu tenaga mujijat yang aneh dan mengejutkan. Kakek ini selalu tersentak kalau pukulannya tertahan sesuatu, dinding tenaga bagai tembok baja yang tak dapat ditembus. Dan ketika dari tembok tenaga itu muncul hawa panas membakar, mula-mula tak seberapa namun akhirnya mengembang ke kiri kanan, Toa-kai dan Ji-kai sendiri sampai mandi keringat merasakan hawa panas itu maka ujung baju Pat-jiu Sian-ong juga tak dapat diisi sinkang lagi karena setiap kaku dan dingin terisi penuh tenaga mendadak lembek dan lemas lagi bertemu hawa panas itu. Persis seperti bongkahan salju yang dipanasi matahari, cair dan lama-lama meleleh. Dan ketika kakek itu tak dapat mengeraskan ujung bajunya lagi karena didesak atau dipukul hawa panas, mukanya sendiri kemerahan dan seperti dibakar maka Ji-sin-kai dan Toa-sin-kai mulai jatuh bangun tak kuat menahan panas.
"Aduh, tongkatku hangus. Terbakar!"
"Benar, dan pedangkupun merah marong, suheng. Lihat, senjataku. tak dapat dipakai lagi!"
Pat-jiu Sian-ong terkejut. Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai sama-sama berteriak karena mendadak pedang dan tongkat mereka berobah. Tongkat menjadi hitam kemerah-merahan sementara pedang yang terbuat dari logam baja itu merah marong bagai dibakar. Itulah akibat panggangan hawa panas yang keluar dari tangan Han Han. Pemuda ini mengeluarkan Yang-sin-kang-nya hingga seluruh udara di tempat itu panas membara.
Ki Bi dan anak-anak murid Hek-yan-pang sendiri sampai terkejut karena mendadak baju atau pakaian Ji-sin kai hangus, menyala dan akhirnya berkobar sementara mereka sendiri mandi keringat diserang atau dibakar hawa panas itu. Dan ketika Toa-sin-kai maupun Ji-sin-kai tentu saja menjerit dan tak kuat memegang senjata mereka, tongkat hangus kemerah-merahan sementara pedang sudah menjadi marong dengan panas yang luar biasa maka dua pengemis itu membuang senjata mereka dan semakin kaget saja karena melihat baju sendiri berkobar seperti disulut.
"Hei, bajumu terbakar!"
"Kau juga!" Ji-sin-kai berseru, berteriak menuding suhengnya. "Celanamu berasap, suheng. Awas, kebakaran!"
Dua orang itu membanting tubuh bergulingan. Mereka ngeri dan ketakutan karena api tahu-tahu berkobar besar, cepat sekali dan sebentar saja sudah melahap semua bagian tubuh mereka. Ji-sin-kai dan Toa-sin-kai berteriak-teriak. Dan karena kebetulan mereka berada di dekat telaga dan itu cukup memberi pertolongan maka dua orang ini melempar tubuh mereka dan seketika mencebur di air.
"Byur-byurrr...!"
Semua mata terbelalak. Anak-anak murid tertawa geli karena betapapun hal itu lucu sekali. Dua pengemis tua ini yang tadi galak dan buas tiba-tiba saja sekarang berobah seperti dua ekor anjing yang kecemplung di air. Pakaian mereka basah kuyup namun bagian-bagian yang terbakar tak dapat diperbaiki lagi. Pan-Jiat Ji-sin-kai berlubang dan kulit yang' pucat serta keriput dari bokong pengemis tua ini membuat anak-anak murid tertawa. Mereka sungguh geli apalagi ketika Toa-sin-kai muncul dari dalam air, baju dibagian dada robek sementara celana kakek itu melorot turun. Nyaris memperlihatkan bagian yang seharusnya tak boleh diperlihatkan. Apalagi di situ banyak anak-anak murid wanita yang tak dapat menahan kekeh dan tawa mereka. Dan ketika kakek itu melompat keluar sementara sutenya juga mendelik memaki-maki, dua orang ini gentar memandang Han Han maka di sana Pat-jiu Sian-ong juga mengalami sesuatu yang membuatnya malu.
Han Han mengelak sebuah pukulannya yang dahsyat sambil meliukkan tubuh ke kiri. Pemuda ini merasa cukup melayani lawan dan kini ingin menyelesaikan pertandingan. Maka begitu serangan itu datang dan sebatang pohon kembali berderak roboh, Han Han mengelak dan tidak menyambut pukulan lawan maka saat itu Han Han bergerak dan melancarkan dua tusukan jari ke mata kakek ini. Tenaga Yang-sin-kang dipergunakan hingga suaranya bercuit dan mendesis.
"Sian-ong, cukup semuanya ini. Kita hentikan pertandingan dan kau pergilah... dess!"
Sian-ong terlempar dan mencelat. Kakek ini sudah berkali-kali merasakan gempuran Han Han. Hawa panas yang membakar itu saja sudah cukup membuat kulitnya kemerahan tak tahan, apalagi Han Han juga melumpuhkan sinkang di ujung lengan bajunya yang berkali-kali lemas, tak dapat kaku dan menegang lagi. Maka begitu pukulannya dikelit dan pemuda itu meliukkan tubuh, bergerak dan sudah menusuknya dengan dua jari tiba-tiba kakek tinggi besar ini terkejut karena tusukan itu sudah mengancam biji matanya. Sian-ong berteriak dan menangkis namun sebuah sapuan tiba-tiba membuatnya terpelanting. Dan ketika jari Han Han terus bergerak dan menuju ke tengah kening, mengejar, maka kakek gundul itu meramkan mata karena serangan sudah tak dapat dihindari.
"Cuss!" Kakek ini mengeluh dan terlempar. Ia tak mampu mengelak lagi karena ketika disapu tadi Han Han pun menyentuh jalan darah di mata kakinya. Rasa sakit dan pedih yang menyengat membuat kakek itu hampir berteriak, untung menggigigit bibir kuat-kuat dan jadilah kakek itu mengerang dengan suara ditahan. Dan ketika ia terbanting dan tak mampu bangun berdiri, mata kakinya retak sementara keningnya melesak ke dalam, Han Han merobah tusukan ke mata menjadi ke tengah kening maka murid-murid Hek-yan-pang bersorak melihat kakek itu roboh, merah dan pucat berganti-ganti.
"Hore, kakek iblis itu kalah. Pemuda ini menang!"
"Ya, dan dua pengemis sombong ini-pun seperti anjing kecemplung air. Bunuh mereka, pemuda itu membantu kita!"
Han Han terkejut. Mengusap keringat dan tersenyum memandang Pat-jiu Sian-ong mendadak anak-anak murid Hek-yan-pang bersorak-sorak dan maju menerjang. Tadi mereka takut-takut tapi begitu tiga orang ini roboh mendadak semuanya menjadi berani dan marah. Tiga orang itu telah membunuhi teman-teman mereka seperti orang membunuhi atau membabat ayam.
Ai Ling, sumoi dari Ki Bi itupun sudah melayang maju dan melepaskan serangan ke arah Ji-sin-kai, pedangnya menusuk dan siap mencoblos jantung pengemis ini, yang menggigil dan pucat dengan tubuh lemah. Maklumlah, hawa panas yang dikeluarkan Han Han telah menguras semua keringat kakek ini hingga Ji-sin-kai seolah-olah "kering". Tapi begitu pedang berkelebat dan anak-anak murid yang lain juga menghambur dan ingin membunuh Sian-ong, yang retak mata kakinya tiba-tiba menyambar puluhan batu-batu kecil disertai angin kuat yang membuat mundur anak-anak murid itu.
"Jangan membunuh, jangan menyerang lawan yang sudah kalah. Mundur... tak-tak-cringg!"
Ai Ling dan lain-lain terkejut. Murid-murid Hek-yan-pang tiba-tiba roboh berpelantingan disambar batu-batu kecil itu, terkena lemparan atau totokan jarak jauh. Dan ketika Ai Ling juga menjerit karena pedangnya terlepas, Ji-sin-kai terjengkang menyelamatkan diri maka Han Han sudah berkelebat dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dialah tadi yang menghalau murid-murid Hek-yan-pang itu.
"Mundur, jangan menyerang. Tak boleh ada darah yang tumpah lagi disini!"
Anak-anak murid tertegun. Ai Ling terbelalak tapi berseru tak puas, terhuyung melangkah menghampiri pemuda itu karena pukulan atau benturan batu hitam tadi membuat tubuhnya seakan disengat listrik, kejang dan sampai saat itu masih belum dapat memulihkan diri. Dan ketika wanita itu melotot dan menghadapi Han Han, anak-anak murid yang lain juga maju dan bergerak mengurung maka wanita ini berseru, menuding, pandang matanya berapi-api.
"Han Han, orang-orang ini telah membunuh dan membabat murid-murid Hek-yan-pang. Apakah pantas mereka diampuni dan dibiarkan hidup? Kalau kau melarang kami justeru aku ingin menyerangnya lagi. Mereka itu iblis-iblis kejam!"
"Maaf, barangkali aku dapat bicara dengan pimpinan sementara di tempat ini. Aku pribadi tak dapat melihat tumpahnya darah dan siapapun yang akan membunuh tentu kucegah, baik orang-orang itu maupun murid-murid Hek-yan-pang."
"Kau mau memusuhi kami?"
"Minggir..." sebuah tangan halus tiba-tiba mendorong wanita cantik itu, Ki Bi tahu-tahu menyeruak maju dan menggantikan sumoinya. "Anak muda ini betul, Ling moi. Dia telah membuktikan bahwa siapa pun yang akan membunuh yang lain maka dia akan mencegahnya. Biarkan aku bicara dengannya." dan ketika Ai Ling mundur dan melotot tak puas, pandang mata masih berapi-api maka Ki Bi, murid utama Hek-yan-pang yang menggantikan ketuanya itu menjura di depan Han Han.
"Sebelumnya biarlah kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu kepada kami semua. Kau benar. Darah tak boleh tumpah lagi di sini, Han Han. Dan karena kau telah mengambil alih permusuhan ini maka kami tunduk kepadamu. Tanpa bantuanmu tentu sumoiku Ai Ling tadi sudah celaka, mungkin tewas. Dan tanpa bantuanmu ini tentu anak-anak murid kami juga akan banyak yang tewas. Baiklah, kami serahkan Pat-jiu Sian-ong dan teman-temannya itu kepadamu, Han Han. Tapi kami minta keadilan agar hutang di sini juga dibayar setimpal!"
"Hm, bibi cukup bijaksana," Han Han lega, tersenyum memandang wanita ini. "Ada akibat tentu ada sebab, bibi. Urusan hutang-pihutang biarlah diselesaikan nanti oleh yang terhormat ketua Hek-yan-pang dengan kakek-kakek itu. Aku tak dapat memberi apa yang kau minta. Aku hanya ingin mencegah banjir darah di sini dan selanjutnya meredam keganasan kakek-kakek itu untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Dan karena Pat-jiu Sian-ong telah kurobohkan dan pertikaian ini sudah selesai, mereka adalah musuh-musuhku maka biarlah aku yang memutuskan dan mereka itu jangan dibunuh. Pat-jiu Sian-ong boleh datang lagi kalau ketua kalian datang, aku tak akan mencampuri. Tapi kalau kakek itu tak mau tahu dan ingin membuat onar lagi di sini tentu aku akan bertindak lebih keras dan tak akan membiarkan dia bersikap kurang ajar. Sekarang dia kubebaskan dan kuminta kalian tak mengganggu. Urusan boleh dilanjutkan lagi kalau ketua Hek-yan-pang-yang terhormat sudah pulang!"
Ki Bi mengangguk-angguk. Akhirnya ia melirik dan memberi tanda kepada sumoinya agar tidak membantah Han Han. Pemuda ini telah menolong mereka dan betapapun kata-katanya benar. Kalau tidak ada pemuda itu barangkali mereka semua terbunuh. Dan karena Han Han telah mengancam secara halus agar Pat-jiu Sian-ong tahu diri, atau pemuda itu akan memberi pelajaran lebih keras lagi maka wanita itu mundur dan menyuruh yang lain-lain juga menjauh, berbareng dengan bangkitnya kakek gundul itu yang terpincang dan merah padam, gusar namun tak berani menyerang Han Han!
"Anak muda, kau lihai tapi sombong. Baiklah, aku terima kekalahan tapi lain kali tak mungkin aku diam menerima hinaan begini lagi!"
"Hm, aku siap melayanimu kapanpun juga," Han Han membalik dan menghadapi kakek itu, Sian-ong sudah menguatkan hati menahan sakitnya. "Tapi kalau aku sombong kau salah, Sian-ong. Kaulah yang sombong dan sewenang-wenang. Kau telengas dan berjiwa kejam, mengandalkan kekuatan menindas yang lemah. Sudahlah, kau pergi dan kelak boleh ke mari lagi kalau yang terhormat ketua Hek-an-pang ada!"
Pat-jiu Sian-ong mendesis. Murid-murid Hek-yan-pang sudah memberi jalan namun mata mereka melotot. Kalau saja Han Han tak melarang mereka tentu anak-anak murid ini akan maju melabrak. Mereka melihat kesempatan baik mumpung si kakek gundul itu terluka. Ini sebenarnya bagus! Namun karena Han Han telah melarang mereka dan Ki Bi pun juga menyuruh mereka mundur, Ai Ling dan lain-lain akhirnya mengaku bahwa tanpa Han Han tak mungkin kakek itu pecundang maka begitu si kakek menggeram dan memutar tubuhnya maka berturut-turut Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai serta Sing Kok berkelebat pergi menyambar perahu. Mereka ini telah mengambil perahu milik Hek-yan-pang dan tak malu-malu mempergunakan barang orang.
Dan ketika perahu meluncur dan anak-anak murid menonton, Pat-jiu Sian-ong tak dihalangi dan akhirnya tiba di seberang maka kakek itu dan teman-temannya sudah berlompatan tanpa menoleh lagi ke belakang. Mereka telah pecundang dan hadirnya Han Han membuat niat mereka hancur. Kekalahan itu terasa bahkan lebih menyakitkan ketimbang bertemu yang terhormat ketua Hek-yan-pang sendiri. Maklumlah, mereka tak kenal siapa pemuda itu dan dari mana pula asalnya. Sungguh sial kalah di tangan seorang pemuda tak ternama!
Tapi begitu orang-orang itu lenyap dan Ki Bi kini memandang Han Han maka wanita itu membungkuk dan mengucap terimakasih. "Sungguh kedatanganmu bagai dewa penyelamat. Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami semua, Han Han. Dan sekarang mari kita kembali ke persoalan kita sendiri. Siapa kau ini dan bagaimana pula memiliki nama yang sama dengan putera ketua kami."
"Aku mencari wanita bernama Wi Hong”
"Tadi sudah kudengar. Dan maaf, apa perlumu mencari wanita ini!"
"Hm," Ai Ling tiba-tiba memotong. "Persilahkan dia masuk ke dalam, suci. Aku melihat Han Han ini seperti ada hubungan rapat dengan ketua kita!"
"Benar," sebuah suara lain tiba-tiba melengking, suara seorang anak murid wanita yang tak dapat menahan kagumnya kepada Han Han. "Pemuda ini mirip pang-cu kita, suci. Lihat wajah dan bentuk tubuhnya, begitu persis!"
"Ya, persis sekali. Mirip. Han-kongcu ini mirip ketua kita. Jangan-jangan dia adalah Han Han yang dulu diculik si Wi Hong itu!"
Dan ketika semua menyahut dan anak-anak murid menjadi ribut, wajah Han Han sebenarnya sudah menarik perhatian karena benar-benar mirip dengan ketua mereka maka Han Han sendiri tertegun dan terkejut mendengar seruan atau lengking pertama tadi. Bahwa dia diculik Wi Hong dan dia mungkin putera ketua Hek-yan-pang itu! Dan ketika ribut-ribut semakin menjadi karena anak-anak murid mengiyakan itu, Ki Bi dan Ai Ling lekat-lekat, memandang Han Han maka pemuda ini sendiri tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dan menggigil, mukanya pucat.
"Saudara-saudara, berhenti, jangan berisik. Biarkan aku bicara dengan bibi ini dan kalian diam!" lalu ketika semua orang diam dan Han Han menghadapi Ki Bi maka pemuda itu bertanya, suaranya jelas serak dan ditahan-tahan, "Tolong beritahukan kepadaku siapa wanita bernama Wi Hong ini. Aku mencarinya karena ada urusan pribadi denganku!"
"Hm, mari masuk ke dalam."
"Tidak, aku hanya mencari wanita ini, bibi. Setelah itu akan pergi!"
Ki Bi saling lirik dengan sumoinya, juga mulai terpengaruh. Tapi mengangguk dan menarik napas dalam-dalam wanita ini menjawab, "Baiklah, tapi sebelum itu bolehkah kutanya apa keperluanmu dengan wanita itu, Han Han. Apa maksudmu mencari dia."
"Aku mencari ayah ibuku!"
"Astaga!" Ai Ling kini menjerit. "Kalau begitu benar dugaan kami, Han Han. Kaulah putera pangcu. Ah, kau adalah Han Han yang dulu diculik bekas ketua kami. Benar, kau adalah Ju Han atau Han Han!" dan ketika wanita itu melonjak dan menubruk Han Han, tak dapat menahan dirinya lagi maka Han Han tiba-tiba "diserbu" dan diteriaki anak-anak murid yang lain. Mereka bersorak dan meneriaki bahwa inilah putera pangcu yang hilang.
Han Han sekonyong-konyong sudah dipeluk dan dirangkul puluhan orang, sebagian besar murid-murid wanita yang tentu saja membuat Han Han jengah, juga terkejut. Dan ketika pemuda itu diangkat dan disoraki berulang-ulang, kegembiraan tiba-tiba meledak dan pecah di tempat itu maka Ai Ling sudah meloncat dan membawa Han Han berjungkir balikt inggi, melepaskan diri dari serbuan murid-murid yang lain.
"Hore, ini adalah Ju-kongcu (tuan muda Ju). Dia adalah Han Han asli. Heii, kita bawa dia berputar-putar!" dan ketika benar saja Han Han sudah dibawa lari kencang dan berputar-putar, anak-anak murid melonjak dan mengikuti Ai Ling maka pemuda itu diarak atau dibawa keliling pulau.
Sebentar saja bunyi-bunyian dipukul dan apa saja yang dijumpai murid- murid ini ditabuh gencar. Gembreng dan piring riuh ditabuh, suaranya hingar-bingar dan kentongan atau apapun yang ada di situ menjadi alat-alat musik darurat yang dipukul sekenanya saja. Anak-anak murid menyambut kegembiraan itu dengan cara mereka sendiri, sementara Han Han tertegun dan terpaku dipundak Ai Ling, tak bergerak, terhenyak. Tapi ketika dua kali putaran sudah dilalui dan Han Han sadar tiba-tiba pemuda ini melepaskan diri dan menekan pundak Ai Ling, mukanya merah pucat berganti-ganti. Han Han sedang dilanda keharuan tapi juga sekaligus kebingungan yang menegangkan. Dia putera ketua Hek-yan-pang!
"Cukup... cukup!" Han Han berjungkir balik dan melayang turun di tempat ketinggian. "Aku bingung tapi girang menerima semuanya ini, bibi Ai Ling. Tapi ceritakan kepadaku bagaimana semuanya ini. Benarkah aku putera Hek-yan-pangcu dan apakah kalian tidak keliru!"
"Tak mungkin keliru!" Ai Ling berkelebat dan mengiringi pemuda itu pula. "Kau adalah putera pangcu yang hilang, Han Han. Kau adalah bocah yang dulu diculik bekas ketua kami!"
"Benar, kau adalah Han-kongcu yang asli. Kau bukan keturunan Si Golok Maut. Kau mirip dan persis sekali dengan ketua kami di waktu muda!"
"Hm, ceritakan kepadaku.... ceritakan cepat bagaimana itu. Aku tak sabar!" dan Han Han yang menggigil dan dipeluk Ai Ling, memandang murid-murid di bawah yang berteriak-teriak dan berseru menyebut namanya sudah didekati Ki Bi yang berkelebat datang.
"Han Han, kau benar adalah putera ketua kami yang hilang. Setelah kau menyebut-nyebut Wi Hong dan mengatakan ingin mencari orang tuamu lewat wanita ini maka kau adalah anak yang dulu diculiknya itu. Wi Hong telah membuat malapetaka di sini. Sebaiknya kau dengar ceritaku dan biarlah murid-murid itu kusuruh diam!"
Dan ketika Ki Bi membentak dan mengulapkan lengannya kebawah, anak-anak murid terbelalak dan tak membuat kegaduhan lagi maka segera Ki Bi menceritakan peristiwa itu, disambung Ai Ling yang tak tahan untuk menceritakan juga dan jadilah dua wanita itu ganti-berganti menceritakan kepada Han Han. Han Han mendengarkan dengan muka berubah-ubah sebentar pucat sebentar merah, maklumlah, Wi Hong menculiknya untuk ditukar dengan anaknya sendiri. Tapi ketika semua itu selesai didengarkan dan Han Han menggigil menguasai dirinya maka bertanyalah dia di mana wanita bernama Wi Hong itu.
"Kami tak tahu, tapi mungkin di kota raja."
"Dan Han Han yang dulu ada di sini itu?"
"Dia Giam Liong putera Si Golok Maut itu, Han Han. Kepandaiannya luar biasa dan ayahmu sendiri sampai kalah. Anak ini ikut ibunya!"
"Kemungkinan mereka ke kota raja, mencari Coa-ongya," Ai Ling menyambung, mukanya pucat. "Ibu dan anak ini baru saja ke sini, Han Han. Dan mereka mengobrak-abrik kita. Ayah ibumu dibuat malu!"
"Dan kau harus membalas wanita itu, Wi Hong sungguh membuat susah!"
"Tapi ia bekas ketua di sini..."
"Benar, duapuluh tahun yang lalu. Tapi setelah itu diambil alih ibumu, Han Han. Dan karena ibumu menikah dengan ayahmu maka ayahmulah yang kini memimpin kami!"
"Dan Wi Hong katanya gila..."
"Itupun benar, tapi sekarang tidak. Setelah bertemu dengan puteranya itu rupanya wanita itu telah sembuh!"
"Hm, baiklah. Dan sekarang di mana ayah ibuku itu? Kemana mereka pergi?" Han Han berdebar cemas, ingin berjumpa dengan ayah ibunya dan tentu saja kerinduan besar mencekam hatinya. Sekarang dia mendapat titik terang dan ingin benar rasanya berjumpa dengan ayah ibunya itu. Han Han tak sabar dan ingin sekali la bertatap rupa. Semua murid mengatakan bahwa wajahnya mirip dengan ayahnya itu. Ah, betapa inginnya bertemu. Betapa tak sabar untuk segera bertatap muka! Dan ketika Ki Bi mengangguk dan bersinar memandangnya maka Ai Ling lagi-lagi mendahului.
"Ayah ibumu ke kota raja, menyusul Giam Liong!"
"Untuk apa?" Han Han terkejut, tertegun.
"Kami tak tahu, Han Han. Tapi yang jelas agaknya ingin melindungi Coa-ongya. Dulu ayahmu adalah pembantu dekat Coa-ongya dan kini ingin menyelamatkannya dari tangan Giam Liong. Pemuda itu dingin sekali, dia kejam persis mendiang ayahnya Si Golok Maut!"
"Dan kau persis ayahmu, lembut dan murah hati," Ki Bi menyambung, memuji pemuda ini. "Hati-hatilah kalau bertemu pemuda itu, Han Han. Kami di sini tak ada yang dapat menandinginya dan entah bagaimana dengan kau!"
"Hm, baiklah. Terima kasih, bibi. Dan ini rupanya cukup. Aku ingin pergi sekarang juga!"
"Eh, kau mau ke kota raja?"
"Benar, aku tak tahan mencari ayah ibuku itu, bibi. Kalau benar aku putera Hek-yan-pangcu tentu saja aku ingin mengetahui ayah ibuku. Aku ingin berangkat sekarang juga!"
Han Han tak dapat dicegah. Anak-anak murid melihat pemuda itu melayang turun ke bawah, Ki Bi dan Ai Ling hendak menyambar namun si pemuda sudah turun. Dan ketika murid-murid kembali gaduh karena percakapan itu juga didengar, Han Han hendak meninggalkan mereka maka mereka tiba-tiba maju 'mengurung dan berseru,
"Ju-kongcu, bagaimana kami kalau kakek gundul dan teman-temannya itu datang lagi. Masa kau harus pergi setelah baru saja bertemu dengan kami!"
"Benar, jangan tinggalkan kami dulu, kongcu. Lindungilah kami dan biarlah kau yang memimpin di sini!"
"Tidak, maaf!" Han Han berkelit dan menghindari kerubungan anak-anak murid ini. "Ayah ibuku menyusul lawan berbahaya, saudara-saudara. Aku ingin membantunya dan kakek gundul itu tak mungkin berani ke sini setelah tadi kurobohkan. Mata kakinya tak akan sembuh dalam waktu seminggu!"
"Tapi kami butuh pemimpin!" Ai Ling sudah berseru dan melayang turun. "Mereka juga benar, Han Han. Tolong pikirkan itu dan jangan biarkan kami sendiri!"
"Maaf," Han Han tak dapat dicegah. "Keinginanku untuk bertemu ayah ibuku lebih besar, bibi. Kaiau ada musuh menyerbu kalian masih cukup banyak di sini!"
"Tapi kalau Pat-jiu Sian-ong dan teman-temannya itu tak dapat kami lawan!"
"Kalian menyingkir sementara waktu, tunggu aku dan ayah ibuku kembali!"
"Hm-hm, Han Han benar-benar sudah tak dapat dihalangi lagi," Ki Bi berkelebat dan juga melayang turun. "Baiklah, sumoi. Kita turut perintahnya karena betapapun kita adalah bawahan. Semua mundur dan jangan merubung!"
Han Han merah mukanya. "Maaf," katanya agak tersipu. "Aku tidak menganggap begitu, bibi. Sementara ini pemimpinnya adalah kau. Aku pendatang baru!"
"Tapi kau adalah putera pangcu!"
"Aku masih ingin membuktikannya lagi di depan ayah ibuku!" Han Han berseru. "Sementara ini anggap saja aku orang pendatang, bibi. Dan terima kasih kalau kalian dapat mengerti perasaanku. Sudahah, aku mau pergi dan tak akan lama-lama meninggalkan kalian!"
"Sungguh?"
"Tentu, bibi. Bukankah jelek-jelek aku masih harus melindungi tempat ini dari orang-orang macam Pat-jiu Sian-ong itu!" dan tak mau dicegah atau dihalangi lagi tiba-tiba Han Han berkelebat dan tahu-tahu duduk di atas perahu, gerakannya luar biasa cepat. Lalu begitu semua tersentak dan menoleh, Han Han tersenyum menggerakkan dayung maka pemuda itu mengayuh dan perahu tiba-tiba mencelat bagai dilempar tangan raksasa. Persis seperti dulu Giam Liong mendatangi tempat itu bersama ibunya.
"Bibi, selamat tinggal. Sampai bertemu lagi!"
Anak-anak murid terbelalak. Mereka mendecak melihat Han Han menggerakkan dayung hingga perahu melompat-lompat atau terbang di atas permukaan telaga. Setiap didayung tentu melesat duapuluhan meter. Bukan main! Dan ketika sebentar kemudian pemuda itu sudah berada di seberang sana dan meloncat keluar maka Han Han melambaikan tangan untuk akhirnya lenyap, seperti iblis!
"Saudara-saudara, selamat tinggal. Aku akan datang lagi tak lama kemudian. Jangan khawatir!"
Semua takjub dan bengong. Jarak telaga yang biasanya ditempuh lima sampai sepuluh menit ternyata ditempuh Han Han hanya dalam beberapa detik saja. Perahu yang ditumpangi pemuda itu terbang seperti setan dan tahu-tahu sudah ada di seberang, bukan main cepatnya. Tapi begitu pemuda itu menghilang dan lenyap meninggalkan salamnya, murid-murid sadar tiba-tiba mereka berteriak.
"Kongcu, jangan lama-lama. Bekuk musuh-musuh ayahmu!"
"Dan kudoakan tetap selamat, kongcu. Hati-hatilah, kami rindu...!"
Han Han tak mendengarkan ini. Dia tak tahu bahwa beberapa murid wanita tiba-tiba menangis. Mereka adalah murid-murid muda yang cantik-cantik dan gagah. Mereka itulah yang berbisik dan mengatakan rindu. Kegagahan dan ketampanan Han Han kiranya telah membuat beberapa murid wanita jatuh cinta! Tapi karena seruan itu diucapkan perlahan dan Han Han tak mendengar maka hanya beberapa murid itu saja yang saling lirik dan melempar pandang tak senang satu sama lain. Mereka ternyata sama-sama jatuh cinta kepada pemuda itu namun yang dicinta sudah terbang jauh.
Ki Bi dan sumoinya menarik napas dalam-dalam tapi sinar mata mereka berseri. Han Han, putera yang asli ternyata muncul. Benar-benar keturunan ketua mereka dan yang hebat lagi adalah kepandaian pemuda itu. Ah, Han Han memiliki kesaktian mentakjubkan yang membuat mereka sendiri kagum. Seorang diri Pat-jiu Sian-ong dan dua temannya dibuat jatuh bangun, padahal kakek gundul itu tak ada seorang pun di antara mereka yang mampu menghadapi. Tapi teringat bahwa putera Wi Hong juga amat luar biasa dan Giam Liong atau putera "palsu" dari ketua mereka juga amat hebat sekali, dan memiliki Golok Penghisap Darah atau Golok Maut maka Ki Bi dan sumoinya ngeri membayangkan bagaimana kalau dua pemuda ini sama-sama bertemu. Mana yang lebih hebat dan siapakah kira-kira yang akan muncul sebagai pemenang. Giam Liong ataukah Han Han! Dan ketika dua orang itu sama-sama berdebar membayangkan ini maka di kota raja terjadi geger yang mengguncangkan dunia kang-ouw!
Sudah lama kita tak mengikuti Giam Liong. Kini, meninggalkan sejenak Han Han yang juga ke kotaraja biarlah kita lihat bagaimana keadaan di istana kekaisaran, karena di tempat ini juga Giam Liong dan ibunya membuat ulah. Seperti diketahui, di samping kaisar sebagai pucuk pimpinan negara maka ada orang kedua yang juga berkuasa di tempat itu. Dan orang ini bukan lain adalah adik tiri sri baginda kaisar, pangeran Coa atau yang biasa disebut Coa-ongya.
Pangeran ini, bersama mendiang adiknya yang juga sama-sama keluarga dekat kaisar adalah orang yang amat berpengaruh di istana. Demikian besar pengaruh dua orang ini hingga dulu Coa-ongya maupun Ci-ongya, adiknya yang tewas terbunuh Golok Maut Sin Hauw memimpin pasukan besar-besaran untuk menumpas pemberontak. Di masa itu kekacauan masih timbul di sana-sini. Lima orang yang sama-sama memperebutkan kekuasaan tak henti-hentinya berperang. Tapi setelah Li Ko Yung berhasil menguasai Ho-nan dan Shan-si (baca: Golok Maut) maka empat yang lain tergeser dan akhirnya Li Ko Yung inilah yang menonjol dalam memiliki kekuasaan.
Apalagi setelah Chu Wen, musuh paling berat dari Li Ko Yung ini tewas dalam pembunuhan, para pembantunya melarikan diri dan terpecah-pecah tak keruan. Tapi karena kaisar yang sekarang tetap harus berhati-hati karena kelompok-kelompok "radikal" juga tetap menunggu kesempatan, siap merebut dan menumbangkan kekuasaan maka kaisar ini melalui Coa-ongya dan Ci-ongya membujuk banyak orang-orang pandai untuk ditarik sebagai pembantu.
Dan itu berhasil untuk beberapa waktu, sampai akhirnya muncul Golok Maut dan mengobrak-abrik istana habis-habisan, membunuh ratusan orang dan puluhan orang-orang pandai yang membantu kaisar. Tapi setelan Golok Maut sendiri tewas terbunjuh, di Lembah Iblis, maka untuk beberapa waktu lagi suasana di kota raja aman dan tak ada kerusuhan. Orang-orang lama ada beberapa yang meninggalkan istana, seperti misalnya pembantu-pembantu amat lihai dari Thian-tok, yakni Sudra dan Mindra yang dulu bertemu Giam Liong. Yang lain ada yang terbunuh tapi kepergian dua orang dari Thian-tok ini lebih disebabkan oleh adanya ketenangan di kotaraja.
Mereka ini memang kakek-kakek yang suka bermusuhan. Suka adu kepandaian dan kalau tak ada tokoh yang menonjol lagi maka mereka biasanya pergi mengembara. Itulah sebabnya ketika dulu mereka bertemu Giam Liong tiba-tiba saja mereka gatal untuk mencoba kepandaian pemuda ini, yang dapat mendorong dan memukul mundur mereka. Tapi karena mereka akhirnya kalah dan melarikan diri, Sudra dan Mindra diam-diam pucat melihat kemiripan wajah lawannya dengan mendiang Si Golok Maut Sin Hauw maka suatu hari mereka ke kota raja untuk menemui Coa-ongya, melaporkan hal itu.
Sebenarnya, dua orang ini enggan ke kota raja. Bukan apa-apa, tetapi masalahnya di sana "bersembunyi" seorang tokoh misterius yang membantu Coa-ongya. Dan justeru karena orang inilah mereka menjadi tak kerasan dan meninggalkan tempat itu. Tapi karena sekarang mereka pecundang di tangan Giam Liong dan hal itu sungguh membuat mereka penasaran, di dunia ini hanya beberapa orang saja yang dapat mengalahkan mereka maka dua orang kakek itu ingin melapor dan juga ingin "mengadu" tokoh misterius yang bersembunyi di tempat Coa-ongya itu dengan Giam Liong!
Seperti diketahui, akhir-akhir ini ada seorang tokoh amat lihai yang membayangi Coa-ongya. Dan tokoh itulah yang dulu membunuh Si Golok Maut. Tapi karena tokoh ini sombong dan congkak, tak memandang sebelah mata kepada dua kakek Thian-tok itu maka Mindra dan Sudra akhirnya meninggalkan istana karena rasa tak sukanya kepada Si Kedok Hitam itu, yang memang kepandaiannya masih di atas mereka. Dan karena kebetulan mereka lalu dikalahkan Giam Liong, bocah ingusan yang belum punya nama maka tiba-tiba dua orang kakek itu ingin membalas dendamnya kepada Si Kedok Hitam maupun Giam Liong untuk diadu dan saling dipertemukan. Dan untuk itu mereka harus menghadap Coa-ongya!
Maka begitulah, ketika pagi hari itu mereka menunggang keledainya dan berhenti di gedung Coa-ongya, para penjaga tertegun tapi segera mengenal dua kakek-kakek berhidung mancung ini maka Mindra berdua turun untuk minta diantar menghadap bekas majikannya.
"Kami ada keperluan penting. Tolong beri tahu bahwa kami ingin menghadap!"
Para penjaga mengangguk. Mereka sudah mengenal dan tahu siapa dua kakek-kakek lihai ini. Sudra dan Mindra adalah tokoh-tokoh India yang kepandaiannya amat tinggi, hanya di bawah Si Kedok Hitam saja. Maka begitu mereka datang dan minta menghadap, penjaga berlari melapor maka tak lama kemudian dua orang kakek itu sudah diperintahkan masuk ke dalam.
"Ji-wi (kalian berdua) ditunggu di ruang tengah. Ongya ada di sana!"
Dua kakek ini mengangguk. Mereka berseri dan tahu dimana ruang tengah itu, sudah pernah bekerja di tempat ini dan tentu saja tak perlu diantar lagi. Tapi berkerut khawatir bertemu Si Kedok Hitam, orang yang tak mereka sukai diam-diam Mindra berbisik apakah tak sebaiknya mereka pergi saja kalau bertemu si sombong itu.
"Kalau ongya mewakilkan Si Kedok Hitam barangkali kita kembali saja, tak usah bertemu!"
"Sst, jangan begitu. Justeru itu kebetulan, saudaraku. Kalau Kedok Hitam ada justeru kita dapat mengadu agar dia menghadapi bocah siluman itu, biar tahu rasa!"
"Jadi tak usah pergi?"
"Tidak, ini sama saja. Tapi, sst.... lihat itu. Ongya ternyata sendiri!"
Mindra berseri. Sudra sudah menudingdan orang yang mereka cari duduk memandang mereka yang menyingkap tirai. Ruang tengah itu memang diberi tirai sutera untuk penyekat dengan ruang yang lain, mereka sudah melihat bayangan pangeran itu dan kini sang pangeran bangkit berdiri begitu mereka datang. Dan ketika sang pangeran tertawa dan Sudra serta Mindra cepat membungkuk dari jauh, memberi hormat, maka Coa-ongya yang masih tampan dan berpakaian indah ini menegur.
"Hai, ada apa kalian datang, Mindra? Apa yang kalian bawa dan tumben mau ke sini lagi. Ha-ha, pasti berkeperluan penting. Mungkin kehabisan bekal di tengah jalan!"
"Maaf," dua kakek itu agak merah mukanya. "Kami datang bukan untuk minta sumbangan, pangeran. Melainkan sesuatu yang lain yang tentu mengejutkan paduka. Kami minta maaf kalau sekiranya mengganggu!"
"Hm, tidak. Tapi apa itu dan bagaimana bisa mengejutkan aku. Mari, duduk dahulu dan bagaimana sebelumnya kabar kalian!"
"Kami baik-baik saja, sehat-sehat tak kurang suatu apa."
Coa-ongya mempersilahkan mereka duduk. Kini pangeran memandang tajam dua orang ini dan Mindra maupun Sudra terkejut melihat sinar mata pangeran itu yang berkilat dan mencorong. Seperti orang yang memiliki lweekang tinggi, padahal pangeran itu tak bisa silat. Setidaknya, bukan orang yang ahli! Dan ketika mereka saling bertatap pandang namun dua kgkek ini tak kuat dan cepat menunduk, diam-diam heran dan kaget apakah sinar mata itu berkat tenaga sakti ataukah karena perbawanya sebagai seorang bangsawan agung maka dua orang itu saling lirik dan menjelajah seluruh ruangan dengan sudut-sudut mata mereka. Mencari apakah pengawal pribadi pangeran ini bersembunyi di situ. Si Kedok Hitam!
"la tak ada di sini," dua kakek itu terkejut, Coa-ongya dapat membawa isi hati mereka. "Kedok Hitam sedang kutugaskan di luar, Mindra. Tak perlu kalian cari dan tak usah takut-takut. Bicaralah, apa yang hendak kalian bicarakan!"
Dua kakek itu benar-benar kaget. Tiba-tiba saja mereka merasa ada sesuatu yang luar biasa yang dimiliki Coa-ongya ini. Pangeran itu seolah seorang ahli silat pandai yang dapat menangkap gerak-gerik atau isyarat tamunya. Tapi menganggap itu kebetulan saja karena pangeran ini memang pandai dan cerdik sebagaimana layaknya pembesar tinggi maka Mindra batuk-batuk menekan keterkejutannya tadi.
"Maaf, kami tak mencari pengawal paduka itu, pangeran, melainkan mencari paduka dan kini sudah bertemu di sini. Kami hendak melaporkan sesuatu yang amat penting bagi paduka, sesuatu yang juga tidak kami sangka!"
"Hm, apa itu. Dua kali kalian menyebut-nyebut namun masih juga belum memberitahu."
"Tentang Si Golok Maut. Dia hidup lagi!" Sudra kali ini bicara dan kata-katanya meluncur tak dapat ditahan lagi. Kakek ini gatal-gatal mulutnya untuk segera memberi tahu, membuat kejutan. Dan ketika benar saja tuan rumah tersentak dan mengeluarkan teriakan kaget, terlonjak dan berubah mendengar seruannya maka kakek itu melanjutkan, "Benar, Golok Maut hidup lagi, pangeran. Dan kami berdua baru saja bertemu, dikalahkan!"
"Ah, tapi... tapi dia sudah kubunuh!"
"Bukan paduka yang membunuh, melainkan Kedok Hitam!"
"Eh, ah... benar. Tapi sama saja, Sudra. Kedok Hitam pun orangku, seperti juga kalian yang menjadi pembantuku di sini. Berita kalian mustahil, bohong. Ha-ha ...!" dan Coa-ongya yang tertawa bergelak melepas kejutannya tiba-tiba membuat dua kakek itu tertegun karena ruangan tiba-tiba tergetar dan meja kursi berderak-derak. Tawa itu dilepas oleh seorang ahli khi-kang (tenaga suara)!
"Pangeran..!" Mindra dan Sudra melepas kekagetan mereka dengan pekik tertahan. "Paduka sekarang seorang ahli silat?"
"Eh!" pangeran itu sadar, menghentikan tawanya. "Aku bukan seorang ahli, Mihdra, melainkan bisa sedikit-sedikit saja, seperti yang kalian tahu..."
"Tapi tawa paduka penuh getaran tenaga sakti. Meja dan kursi ini berderak-derak!"
"Lupakan itu," Coa-ongya tiba-tiba mengerutkan kening, berusaha menyembunyikan sesuatu. "Kalaupun benar maka aku belajar dari pembantuku, Mindra. Kedok Hitam memberiku pelajaran sedikit-sedikit sekedar penjaga diri. Sudahlah, bagaimana dengan tadi dan apakah cerita kalian benar!"
"Tentu saja benar, kami tidak bohong. Dan justeru karena ini kami lalu datang ke mari daningin memberitahukan paduka agar berhati-hati. Golok Maut hidup lagi!"
Wajah sang pangeran berubah. Rupanya, dari semua pengalaman atau kejadian yang pernah menimpanya maka Golok Maut itulah yang paling mengesankan, juga menakutkan. Coa-ongya tampak pucat dan gemetar mendengar ini. Nama itu memang menyeramkan, terlampau menyeramkan! Tapi tersenyum berusaha menenangkan diri, kepercayaan kembali timbul maka pangeran berkata bahwa hal itu tak mungkin.
"Cerita kalian tak dapat kuterima. Semua orang tahu bahwa Golok Maut telah terbunuh, ribuan mata menyaksikan. Masa ada manusia hidup lagi? Kalian terpengaruh kejadian dulu, Sudra. Dan cerita ini akan menjadi bahan menggelikan. Sebaiknya tak usah mengatakan itu dan lebih baik katakan bahwa seseorang yang berwajah atau mirip Golok Maut telah bertemu dengan kalian. Nah, begini mungkin baru aku percaya!"
"Benar," dua orang itu tertegun. "Kami hendak mengatakannya seperti itu, ongya. Namun kalau wajah atau bentuk tubuhnya sama tentunya paduka maupun kami akan amat terkejut karena hal yang seperti ini rasanya sungguh tak mungkin!"
"Maksud kalian?"
"Kami bertemu pemuda yang mirip segala-galanya dengan mendiang Golok Maut, ongya. Wajah dan bentuk tubuhnya. Dan kami kalah!"
"Apakah kepandaiannya juga seperti Si Golok Maut?"
"Ini... ini tidak!" Sudra tergeragap. "Namun betapapun cukup menggetarkan, ong-ya. Pemuda itu amat lihai dan luar biasa sekali. Dan kami khawatir dia adalah jelmaan Si Golok Maut. Orang yang mati penasaran dapat hidup di dunia lagi dengan memakai tubuh atau wadag orang lain!"
"Aku tak percaya reinkarnasi," sang pangeran mengerutkan kening."Segala kepercayaan itu hanya ada pada bangsa kalian, Sudra. Orang-orang Thian-tok yang penuh khayal. Ceritakan saja kepadaku bagaimana asal mulanya!"
"Kami bertemu seorang gila..."
"Ha-ha, dan kalian ikut-ikutan gila!" sang pangeran memotong, tak dapat menahan geli hatinya.
"Nanti dulu," dua kakek itu menyergap. "Si gila ini bukan orang gila sembarangan, ongya. Dia adalah isteri Si Golok Maut, Wi Hong si bekas ketua Hek-yan-pang!"
"Hm!" Coa-ongya terkejut, tiba-tiba tak mengolok-olok dua kakek itu lagi. "Wi Hong? Si cantik berbaju merah itu?"
"Benar, dan dari sinilah awal mula cerita ini, ongya. Sampai akhirnya kami bertemu pemuda itu, yang juga dianggap Golok Maut oleh Wi Hong!"
"Lalu?" sang pangeran tampak berdebar, tegang. "Apa yang terjadi, Mindra? Kalian kalah dan melarikan diri?"
"Paduka tahu," Mindra tersipu namun berusaha menyombongkan diri. "Di dunia ini hanya segelintir saja yang dapat mengalahkan kami, ongya. Tiga orang saja yang benar-benar membuat kami takluk luar dalam. Yakni Si Golok Maut Sin Hauw itu dan ketua Hek-yan-pang sekarang serta pembantu paduka Si Kedok Hitam. Lainnya, bukan apa-apa bagi kami!"
"Ya, aku tahu. Tapi kalian kalah dengan bocah yang seperti Si Golok Maut itu?"
"Benar, paduka. Dan kami sungguh menanggung malu. Agaknya, hanya Kedok Hitam pembantu paduka itulah yang mampu menandinginya. Hamba ke sini karena khawatir jangan-jangan pemuda itu akan melabrak paduka!"
"Tapi aku tak kenal padanya..."
"Tapi si Wi Hong yang gila itu telah akrab dengan pemuda ini. Bisa saja dia minta bantuan dan datang mengancam paduka!"
"Hm, kalian menakut-nakuti, membawa-bawa berita jelek!"
"Maaf, kami tak berusaha menakut-nakuti paduka, ongya. Sebaliknya justeru ingin mengingatkan paduka untuk bersikap waspada. Meskipun ada Kedok Hitam yang melindungi paduka!"
"Benar, dan kalau Kedok Hitam sedang bertugas dan keluar seperti ini tentunya paduka harus memasang kewaspadaan ekstra. Bagaimana kalau dia tiba-tiba datang!"
Coa-ongya berkilat pandang matanya. Mendengar dan melihat sikap dua kakek ini tiba-tiba dia menjadi tak tenang dan gelisah. Betapapun berita itu memang tak baik. Wi Hong, isteri mendiang Si Golok Maut tiba-tiba mengancam masa depannya. Ah, kenapa dulu tak dibunuhnya saja wanita itu? Kenapa dibiarkan hidup dan kini datang lagi? Tapi teringat bahwa wanita itu bekas ketua Hek-yan-pang dan suci (kakak seperguruan perempuan) dari isteri ketua Hek-yan-pang sekarang, Swi Cu atau Ju-hujin (nyonya Ju) maka pangeran itu mengepalkan tinju dan tampak gemas akan sesuatu, marah kepada seseorang.
"Kalian memang benar, pemberitahuan ini memang penting. Baiklah, terima kasih, Sudra. Dan apa sekarang yang hendak kalian lakukan."
"Kami tak hendak melakukan apa-apa. Kami hanya sekedar mengingatkan paduka, yang barangkali akan menyuruh atau menemukan Golok Maut muda itu!"
"Hm, aku sudah tua, Mindra. Dan aku tak akan mencari permusuhan dengan siapa pun. Aku sudah tenang dan tak akan mengikat permusuhan!"
"Tapi kalau paduka diganggu..."
"Itu lain, aku tentu saja tak akan tinggal diam!"
"Nah, itu yang kami maksud. Paduka memang harus waspada. Baiklah, keperluan kami sudah selesai, paduka. Barangkali kami minta diri dan seharusnya pergi."
"Nanti dulu!"sang pangeran mencegah dan menyambar dua orang itu, gerakannya mengejutkan, lagi-lagi membuat Sudra dan temannya tertegun. "Kalian datang tak usah buru-buru pergi, Mindra. Bagaimana kalau di sini dulu menemani aku!"
"Maksud paduka?" Mindra melepaskan diri, cengkeraman sudah mengendor.
"Aku ingin ditemani, Mindra. Tunggu sampai Kedok Hitam datang. Dua tiga hari ini aku kesunyian!"
"Tapi kami berdua kurang senang dengan pembantu paduka itu. Paduka tahu!"
"Hm, lain dulu lain sekarang, Mindra. Kalian jangan berkecil hati karena pembantuku itu tak sesombong yang kalian sangka. Aku dapat memberi tahu agar dia menghargai kalian. Tempat ini perlu orang-orang pandai seperti kalian berdua!"
"Tapi kalau dia tetap sombong?" Sudra kali ini bicara, matanya bersinar-sinar.
"Kalian boleh pergi, Sudra. Aku tak melarang. Ah, aku lupa memberi hadiah untuk laporan kalian ini. Terimalah..!" dan sepundi-pundi uang berkerincing yang dilempar ke kakek ini tiba-tiba ditangkap dan diterima Sudra, yang berkilat dan berseri-seri karena begitu mudah Coa-ongya memberi hadiah. Biasanya, pelit dan mahal!
Maka begitu uang diterima dan kakek itu tertawa mendadak kakek ini berseru kepada temannya. "Mindra, kalau pangeran benar tentunya tak apa kita sehari dua di sini. Lihat saja nanti. Kalau tidak kerasan boleh pergi. Bukankah begitu, ongya?"
"Benar, tapi kepergian kalian harus dengan alasan. Kalau seperti anak kecil tentu saja tak diijinkan. Kalian sanggup? Aku masih mempunyai sepundi-pundi lagi. Lihatlah!" dan pangeran yang kembali mengeluarkan dan menggemerincingkan uangnya akhirnya membuat Sudra terbelalak karena uang itu emas semua. Ditumpahkan di atas meja dan melototlah dua kakek itu oleh uang sebanyak ini. Sungguh itu pancingan yang menggiurkan. Dan karena mereka memang kakek-kakek yang gemar menikmati harta, Coa-ongya tersenyum dan tahu akan itu maka Sudra akhirnya terkekeh berseru girang.
"Baiklah, hamba tak menolak akan ini, pangeran. Tapi kalau Kedok Hitam tetap sombong dan tinggi hati kami akan pergi dan uang ini kami kembalikan!"
"Boleh, Kedok Hitam tak akan sombong kepada kalian. Jangan pergi dan bersenang-senanglah di sini!" dan ketika dua kakek itu girang dan saling membagi harta, uang itu sungguh banyak maka Coa-ongya mengikat dan berhasil menjinakkan kembali bekas dua pembantunya ini.
Mindra dan Sudra diminta tinggal di istana dan dua kakek itu diberi penghormatan berlebih. Ada kesan bahwa pangeran betul-betul membutuhkan dua orang ini. Entah karena adanya berita itu ataukah karena istana memang membutuhkan orang-orang pandai, padahal suasana aman. Tapi ketika dua orang itu kembali berjaya dan hidup sebagai pengawal pribadi, kembali mendampingi Coa-ongya sebagaimana dulu menjaga majikannya maka hari ketiga Kedok Hitam tiba-tiba muncul.
"Mindra, selamat datang. Pangeran memberi tahu dan terimalah hormatku!"
Dua kakek itu terkejut. Mereka sedang duduk-duduk di kamar, tugas belum ada dan tiga hari ini hanya bersenang-senang saja. Empat botol arak terguling isinya dan mereka asyik bermain dadu. Dua kakek ini ternyata bertaruh, main judi! Maka begitu bayangan hitam berkelebat dan pintu kamar tahu-tahu terbuka, Kedok Hitam muncul dan mengejutkan mereka maka tiba-tiba dua orang ini menyambar senjata mereka dan Sudra meledakkan cambuknya sementara Mindra menggeram mencabut nenggalanya, menggosok-gosok dengan sikap siap bertempur!
"Ah-ah, kita orang-orang sendiri!" Kedok Hitam, laki-laki itu, berseru dengan tawa yang ramah, matanya bercahaya dan berseri-seri. "Simpan senjata kalian, Sudra. Dan aku menganggap sama derajat dengan kalian. Ongya telah memberi tahu agar aku baik-baik menghargai kalian. Tenanglah, dan simpan senjata itu. Aku bukan datang untuk bermusuhan!"
"Hm!" Sudra mengejek dan mencoba membuktikan lawan. "Kau boleh bilang begitu, Kedok Hitam. Tapi biasanya kau tak memandang sebelah mata kepada kami. Hayo buktikan iktikad baikmu dengan berlutut meminta maaf!"
"Eh!" Mindra terkejut, tapi segera mengerti maksud temannya. "Bukan hanya berlutut, Sudra. Tapi juga mencium telapak kaki kita. Dulu dia pernah menendang kita sebanyak dua kali!"
"Hm-hm, tak usah kalian bergurau," laki-laki itu tertawa, aneh sekali tidak marah. "Kalau aku mencium kaki kalian apakah kalian juga mau balas mencium kakiku? Sudahlah, jangan berolok-olok, Sudra. Ada tugas dari ongya untuk kalian. Malam ini akan ada orang-orang menyatroni istana!"
Dua kakek itu tertegun. Biasanya, kalau mereka bersikap congkak maka lawan akan lebih congkak lagi. Kedok Hitam itu akan tersinggung dan marah, paling tidak menggeram dan mengumpat mereka. Belum pernah mereka melihat laki-laki yang misterius ini tertawa, padahal sekarang begitu bebas dan lebar! Maka begitu tercengang dan main-main mereka tak ditanggapi, Kedok Hitam berkata mendapat pesan Coa-ongya maka dua kakek itu saling pandang dan akhirnya menyimpan senjata. Sudra tak dapat menahan rasa herannya.
"Kedok Hitam, kau benar-benar lain dengan dulu. Rupanya sekarang sudah dapat menghargai orang lain dan tidak sombong!"
"Hm, kesombongan hanya akan menjatuhkan orang itu sendiri, Sudra. Aku dari dulu tak pernah sombong dan menghargai orang lain. Kalau dulu aku kurang menghargai kalian barangkali karena waktu itu kita sama-sama menghadapi ketegangan dengan adanya Si Golok Maut! Sudahlah, aku minta maaf kalau pernah keliru dan kini mari sama-sama membagi tugas dari ongya!"
"Hm, kau sudah dapat bersahabat dengan orang lain. Barangkali ketakutan mendengar berita yang kubawa kepada ongya!"
"Ha-ha, kenapa kau menduga begitu? Aku tak pernah takut kepada siapa pun, Mindra. Dari dulu atau sekarang!"
"Tapi kau takut kepada mendiang Si Golok Maut itu, juga kepada ketua Hek-yan-pang sekarang. Pek-jit-kiam Ju Beng Tan!"
"Hm, tak usah membuka-buka masa lalu, Mindra. Kaupun pernah takut kepadaku. Dari dulu atau mungkin juga masih sekarang!"
"Siapa bilang? Kau ternyata masih juga sombong... wut!" dan nenggala yang kembali ditarik dan ditusukkan kedepan tiba-tiba membuat Mindra gusar dan melotot menyerang lawannya itu. Bukan Kedok Hitam yang dibangkitkan kemarahannya melainkan dirinya sendiri! Tapi begitu lawan berkelit dan tertawa, Kedok Hitam menghindar maka tusukan menyambar angin kosong dan laki-laki itu berseru mengangkat kedua tangannya.
"Heii, tak perlu marah-marah, Mindra. Aku main-main dan jangan dimasukkan hati!"
"Tapi kata-katamu membakar!" kakek itu tak mau sudah, bergerak dan membentak lagi. "Terima dulu senjataku ini, Kedok Hitam. Baru setelah itu aku mau bicara...wut-trikk!"
Dan Kedok Hitam yang menangkis dan tak dapat menghindar lagi akhirnya menjentikkan kuku jarinya dan Mindra terpekik karena nenggalanya tergetar hebat, tertolak dan nyerong ke kiri dan menyambar saudaranya sendiri. Sentilan atau jentikan kuku jari itu ternyata hebat bukan main. Kedok Hitam rupanya tambah perkasa! Dan marah serta penasaran oleh ini, Mindra melengking dan berjungkir balik ke atas akhirnya dia menendang butir-butir dadu untuk dipakai menyerang lawannya pula, membantu nenggalanya setelah tadi dikelit atau diegos saudaranya. Maklumlah, Sudra harus menghindar kalau tak mau tertusuk!
"Kedok Hitam, kau lama-lama akhirnya mau pamer kepandaian. Baiklah, coba kelit ini dan jentik lagi dengan kuku jarimu... trang-trangg!" dan kuku jari yang kembali benar saja menolak nenggala, yang datang dan menusuk naik turun tiba-tiba membuat Kedok Hitam mengerutkan keningnya dan mulai marah.
Pembantu paling lihai dari Coa-ongya ini tiba-tiba membentak dan berkelebat pula mengiringi nenggala, berputaran tapi ruangan itu terlalu sempit, hampir saja dada kirinya menjadi korban. Dan ketika ia menampar hingga lawan terpelanting, Mindra kaget dan berteriak panjang tiba-tiba saja laki-laki berkedok ini telah menindih dan menekan serangan nenggala, melakukan tamparan-tamparan berat atau pukulan miring yang selalu menolak atau mementalkan nenggala itu. Mindra selalu berteriak karena senjatanya seolah ditekan batu berat ribuan kati, begitu hebat hingga tangannya gemetar dan lelah, hampir saja tak kuasa memegang senjatanya lagi. Namun ketika kakek itu memekik dan mengeluarkan kata-kata bantuan, dalam bahasanya sendiri tiba-tiba Sudra meledakkan cambuknya dan menerjang maju.
"Kedok Hitam, kau semakin sombong dan congkak. Minggir dan jangan tekan saudaraku..... tarr!" cambuk baja menyambar kepala, dikelit dan menghancurkan tembok yang seketika berlubang. Dan ketika cambuk itu kembali menyerang dan mengejar lawan, Kedok Hitam dikeroyok tiba-tiba lelaki itu marah dan berseru keras.
"Sudra, kalian selalu ingin mengeroyok. Baiklah, ruangan ini sempit. Mari keluar dan main-main di sana... plak-plak!"
Nenggala dan cambuk dikibas satu tamparan miring, terpental dan pemiliknya menjerit namun Kedok Hitam sudah menendang pintu melesat keluar, langsung kehalaman dan dua kakek ini berkelebat dan mengejar dirinya. Dan ketika Kedok Hitam tersenyum mengejek dan dua kakek itu mengejar tak mau banyak cakap, menggerakkan senjata masing-masing untuk menusuk dan melecut maka nenggala dan cambuk akhirnya bertubi-tubi menyerang orang nomor satu di istana ini, dikelit dan ditangkis dan segera Kedok Hitam melayani lawan dengan cepat. Laki-laki itu bergerak naik turun dan cambuk akhirnya diikuti gerakan tubuhnya yang terbang bagai burung besar, menyambar-nyambar dan kedua tangannya bergerak ke kiri kanan menghalau dua senjata itu. Dan ketika Sudra merasa betapa pukulan-pukulan lawan terasa berat menyambar, menahan atau mementalkan cambuknya maka kakek itu baru maklum kenapa saudaranya tertekan dan tertindih. Kiranya lawan memang semakin lihai!
"Mindra, lawan kita ini ternyata memang semakin lihai saja. Pantas dia begitu sombong!"
"Hm, atau kita yang memang semakin tua, Sudra. Kita tak sekuat dulu sementara orang ini sebenarnya tetap!"
"Ha-ha, tak perlu mencari-cari. Kalau kalian semakin tua justeru kalian harus semakin matang, Mindra. Kelemahan tenaga dapat ditutup dengan kematangan ilmu kepandaian!"
"Jadi kau menganggap kami kendor?"
"Tidak juga, melainkan akulah yang lebih maju sementara kalian tetap!"
"Sombong, kau memang pongah...dess!" dan nenggala yang menusuk namun bertemu telapak lawan, ditangkap dan dicengkeram tiba-tiba membuat Mindra terkejut karena tak dapat melepaskan diri. Senjata itu bertemu tangan lawan dan Kedok Hitam tak terluka, padahal dia menusuk dengan sekuat tenaganya. Jangankan manusia, kulit badakpun akan tembus ditusuk! Tapi begitu lawan memperlihatkan kesaktiannya dan Mindra merasa lengannya tergetar hebat, ada semacam tenaga yang membuatnya menggigil dan serasa melumpuhkan lengannya, kakek ini terkejut bukan main maka tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dari bawah menendang kemaluan lawan. Namun celaka, Kedok Hitam tertawa perlahan dan lutut kirinya tiba-tiba diangkat naik, menyambut atau bertemu dengan kaki lawan. Dan ketika nenggala tiba-tiba hancur ujungnya, Kedok Hitam mengerahkan sinkang hingga lawan kehilangan keseimbangan maka saat itulah lututnya bertemu dengan tendangan Mindra yang sudah miring dan tak tepat mengenai sasaran.
"Aduh!"
Kakek itu menjerit. Ujung kakinya seakan bertemu lapisan baja yang tebal dan kuat, begitu kuatnya hingga jari kelingkingnya berkeratak, patah! Dan ketika kakek itu terpekik dan roboh, lawan berputar dan menggerakkan kakinya yang lain maka Mindra terlempar dan terbanting tak mampu bertanding lagi.
"Dess!"
Sudra terbelalak melihat kejadian cepat itu. Hal ini memang terjadi beberapa detik saja dan berlangsung selama ia terhuyung ditangkis cambuknya. Kedok Hitam telah mendorong mundur kakek ini hingga dapat melayani Mindra secara berdepan. Itulah sebabnya Mindra tak dapat mengharap bantuan temannya karena saat itupun Sudra tertolak mempertahankan diri. Tapi begitu saudaranya terbanting dan merintih-rintih di sana, kakek ini marah dan gusar tiba-tiba ia melompat panjang dan tangan kirinyapun bergerak melancarkan pukulan Bintang Api (Hwi-seng-ciang).
"Kedok Hitam, kaupun robohlah... klap!”
Kedok Hitam tersenyum. Dia telah mengenal dua kakek ini seperti mengenal dirinya sendiri. Begitupun akan pukulan Bintang Api itu, yang menyambar dan melesat dari tangan kiri lawan dan memuncratkan enam cahaya menyilaukan seperti bintang-bintang berapi. Pukulan itu hebat dan berhawa panas, sementara cambukpun masih menjeletar menuju kepalanya. Serangan ini berbahaya dan ganas, intinya adalah mengarah jiwa. Tapi ketika Kedok Hitam mengegos dan ujung cambuk meledak di sisi kepala, cepat dan luar biasa tiba-tiba disergap dengan mulut, Sudra terpekik karena ujung cambuknya sudah digigit lawan maka saat itu Kedok Hitam menggerakkan kedua tangan "menangkap" bunga-bunga api sebanyak enam buah itu.
"Ces-ces-cess!"
Pukulan Bintang Api hancur bagai bertemu es dingin. Kedok Hitam memperlihatkan kepandaiannya dan Sudra terbelalak, waktu ini cukup bagi laki-laki itu melakukan gerakan mengejutkan, mulut dibuka dan ujung cambukpun ditiup menyambar muka Sudra. Dan ketika kakek itu terkejut karena tak sempat lagi menghindar, cambuk menjeletar dan mengenai mukanya maka segores luka panjang membekas di pipi kakek itu.
"Cukup... crat!" seruan itu mengakhiri jalannya pertandingan. Sudra terbanting dan roboh pula menjerit tertahan. Cambuk melukai dirinya sendiri dan dua kakek itu pucat menyaksikan kelihaian lawan. Kedok Hitam ternyata semakin hebat saja! Namun ketika laki-laki itu tertawa dan membungkuk menolong mereka, minta maaf, maka dua kakek ini tertegun dan melihat perobahan watak si Kedok Hitam yang pandai menarik hati.
"Maaf, kalian memang sudah mulai tua, Mindra. Kalah di tangan orang yang lebih muda tak usah dibuat penasaran. Kalaupun aku kelak tua tentu tenagaku juga lemah dan tak sekuat sekarang. Bangunlah, dan kita sudahi main-main ini. Ada tugas untuk kalian!"
"Hm!" Mindra terpincang membelalakkan mata, merah padam. "Kau sekarang rendah hati, Kedok Hitam. Pandai memuji orang lain. Baiklah, kami memang kalah padahal kau belum mengeluarkan ilmu golokmu!"
"Ah, sesama teman sendiri tak berani aku mempergunakan senjata. Lebih baik begini dan biar saja kalian mempergunakan cambuk. Mari dengarkan perintah ongya karena sebentar lagi kita akan disatroni musuh!"
Dua kakek itu menarik napas. Mereka akhirnya mengakui bahwa lawan memang terlampau hebat. Kedok Hitam ini belum mengeluarkan ilmu goloknya, karena tokoh itupun menandingi mendiang Si Golok Maut dengan ilmu golok yang luar biasa, mirip yang dipunyai mendiang Si Golok Maut itu. Dan ketika mereka bertanya siapa musuh yang akan datang menyatroni itu maka Kedok Hitam berkilat marah memberi tahu....
Sian-ong berteriak dan membentak-bentak dua pengemis tua itu. Dewa Lengan Delapan ini tak tahu bahwa dua temannya itu terpengaruh oleh sedotan Han Han, sudah mencoba untuk melepaskan diri namun aneh dan ajaib mereka tak mampu. Betapapun mereka berkutat tetap saja mereka tertarik ke tempat pertempuran itu, Sian-ong mengira akan dibantu padahal Toa-kai dan Ji-kai menggeram-geram disedot Han Han.
Dan ketika pemuda baju putih ini tertawa dan menangkis satu pukulan Sian-ong, yang tergetar dan terpental marah maka dua pengemis itu menggerakkan senjata mereka menghantam Han Han.
"Kau pemuda keparat, siluman!"
Han Han tak mengelak. Dia baru saja mendorong Pat-jiu Sian-ong dan kini menghadapi dua pengemis itu. Tongkat dan pedang di tangan dua kakek itu menyambar tapi dengan tenang Han Han menjentikkan kuku jarinya. Dan ketika dua pengemis itu berteriak karena telapak serasa pecah, sentilan atau jentikan kuku jari itu sungguh luar biasa kuat maka Pat-jiu Sian-ong maju lagi dan sadar bahwa Han Han kiranya memaksa dua temannya itu untuk berkumpul menjadi satu, menyuruh mengeroyok.
"Keparat, kau sombong dan pongah, anak muda. Tapi aku akan membunuhmu dan melipat punggungmu menjadi dua!"
"Hm, kaulah yang sombong. Kau tak tahu diri dan mengandalkan kekuatan, Pat-jiu Sian-ong. Kusuruh pergi baik-baik tak mau dan kini mengacau di tempat orang. Maaf, aku tak dapat membiarkan sepak terjangmu. des-dess!"
Si kakek gundul memekik lagi, terpental dan marah besar karena berkali-kali dia kalah tenaga. Sin-kang pemuda itu hebat sekali dan tak pernah dia menang. Tentu saja kakek itu mendelik. Dan ketika kembali dia berkelebat dan tubuhnya berputaran cepat, lengan menyambar-nyambar dari delapan penjuru mata angin maka kakek itu berseru agar Toa-sin-kai maupun adiknya menyerang pemuda ini dari kiri dan kanan.
"Aku akan menghadapinya di depan, kalian di kiri kanan saja. Awas, aku akan mengeluarkan semua kepandaianku untuk menghajar pemuda ini!"
Anak-anak murid terbelalak. Pat-jiu Sian-ong tiba-tiba berputaran begitu cepatnya sementara ujung lengan bajunya tiba-tiba kaku dan lurus menderu-deru. Setiap pukulan atau kibasan tentu menciptakan angin besar, karena beberapa anak murid masih juga terdorong dan Ki Bi yang ada di depan juga terhuyung dan membelalakkan matanya lebar-lebar. Sian-ong marah luar biasa dan kini bukan hanya lengannya saja yang bergerak-gerak melainkan juga ujung lengan bajunya. Sekali luput menyambar dan sebatang pohon berderak roboh. Anak-anak murid terpekik melihat kedahsyatan si kakek gundul ini. Pat-jiu Sian-ong memang luar biasa.
Tapi ketika Han Han mampu menghadapi semuanya itu dan lengan pemuda ini juga bergerak naik turun menympok atau mengibas, sama seperti kakek itu maka kedahsyatan Pat-jiu Sian-ong tertahan dan semua pukulannya yang mengerikan dan bergetar-getar mulai diredam pemuda baju putih ini. Mula-mula ujung lengan baju Pat-jiu Sian-ong meledak berkali-kali bertemu tangkisan pemuda itu, lunglai dan tak lagi kaku lurus seperti tadi. Dan ketika lengan kakek ini juga mulai menggantung karena setiap adu pukulan tentu membuat si kakek gundul menyeringai, tangannya bertemu benda panas yang membakar serta membuat ototnya sakit dan ngilu maka orang mulai melihat kakek itu terhuyung-huyung dan meringis menahan sakit.
Gempuran-gempuran pukulannya bertemu tenaga mujijat yang aneh dan mengejutkan. Kakek ini selalu tersentak kalau pukulannya tertahan sesuatu, dinding tenaga bagai tembok baja yang tak dapat ditembus. Dan ketika dari tembok tenaga itu muncul hawa panas membakar, mula-mula tak seberapa namun akhirnya mengembang ke kiri kanan, Toa-kai dan Ji-kai sendiri sampai mandi keringat merasakan hawa panas itu maka ujung baju Pat-jiu Sian-ong juga tak dapat diisi sinkang lagi karena setiap kaku dan dingin terisi penuh tenaga mendadak lembek dan lemas lagi bertemu hawa panas itu. Persis seperti bongkahan salju yang dipanasi matahari, cair dan lama-lama meleleh. Dan ketika kakek itu tak dapat mengeraskan ujung bajunya lagi karena didesak atau dipukul hawa panas, mukanya sendiri kemerahan dan seperti dibakar maka Ji-sin-kai dan Toa-sin-kai mulai jatuh bangun tak kuat menahan panas.
"Aduh, tongkatku hangus. Terbakar!"
"Benar, dan pedangkupun merah marong, suheng. Lihat, senjataku. tak dapat dipakai lagi!"
Pat-jiu Sian-ong terkejut. Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai sama-sama berteriak karena mendadak pedang dan tongkat mereka berobah. Tongkat menjadi hitam kemerah-merahan sementara pedang yang terbuat dari logam baja itu merah marong bagai dibakar. Itulah akibat panggangan hawa panas yang keluar dari tangan Han Han. Pemuda ini mengeluarkan Yang-sin-kang-nya hingga seluruh udara di tempat itu panas membara.
Ki Bi dan anak-anak murid Hek-yan-pang sendiri sampai terkejut karena mendadak baju atau pakaian Ji-sin kai hangus, menyala dan akhirnya berkobar sementara mereka sendiri mandi keringat diserang atau dibakar hawa panas itu. Dan ketika Toa-sin-kai maupun Ji-sin-kai tentu saja menjerit dan tak kuat memegang senjata mereka, tongkat hangus kemerah-merahan sementara pedang sudah menjadi marong dengan panas yang luar biasa maka dua pengemis itu membuang senjata mereka dan semakin kaget saja karena melihat baju sendiri berkobar seperti disulut.
"Hei, bajumu terbakar!"
"Kau juga!" Ji-sin-kai berseru, berteriak menuding suhengnya. "Celanamu berasap, suheng. Awas, kebakaran!"
Dua orang itu membanting tubuh bergulingan. Mereka ngeri dan ketakutan karena api tahu-tahu berkobar besar, cepat sekali dan sebentar saja sudah melahap semua bagian tubuh mereka. Ji-sin-kai dan Toa-sin-kai berteriak-teriak. Dan karena kebetulan mereka berada di dekat telaga dan itu cukup memberi pertolongan maka dua orang ini melempar tubuh mereka dan seketika mencebur di air.
"Byur-byurrr...!"
Semua mata terbelalak. Anak-anak murid tertawa geli karena betapapun hal itu lucu sekali. Dua pengemis tua ini yang tadi galak dan buas tiba-tiba saja sekarang berobah seperti dua ekor anjing yang kecemplung di air. Pakaian mereka basah kuyup namun bagian-bagian yang terbakar tak dapat diperbaiki lagi. Pan-Jiat Ji-sin-kai berlubang dan kulit yang' pucat serta keriput dari bokong pengemis tua ini membuat anak-anak murid tertawa. Mereka sungguh geli apalagi ketika Toa-sin-kai muncul dari dalam air, baju dibagian dada robek sementara celana kakek itu melorot turun. Nyaris memperlihatkan bagian yang seharusnya tak boleh diperlihatkan. Apalagi di situ banyak anak-anak murid wanita yang tak dapat menahan kekeh dan tawa mereka. Dan ketika kakek itu melompat keluar sementara sutenya juga mendelik memaki-maki, dua orang ini gentar memandang Han Han maka di sana Pat-jiu Sian-ong juga mengalami sesuatu yang membuatnya malu.
Han Han mengelak sebuah pukulannya yang dahsyat sambil meliukkan tubuh ke kiri. Pemuda ini merasa cukup melayani lawan dan kini ingin menyelesaikan pertandingan. Maka begitu serangan itu datang dan sebatang pohon kembali berderak roboh, Han Han mengelak dan tidak menyambut pukulan lawan maka saat itu Han Han bergerak dan melancarkan dua tusukan jari ke mata kakek ini. Tenaga Yang-sin-kang dipergunakan hingga suaranya bercuit dan mendesis.
"Sian-ong, cukup semuanya ini. Kita hentikan pertandingan dan kau pergilah... dess!"
Sian-ong terlempar dan mencelat. Kakek ini sudah berkali-kali merasakan gempuran Han Han. Hawa panas yang membakar itu saja sudah cukup membuat kulitnya kemerahan tak tahan, apalagi Han Han juga melumpuhkan sinkang di ujung lengan bajunya yang berkali-kali lemas, tak dapat kaku dan menegang lagi. Maka begitu pukulannya dikelit dan pemuda itu meliukkan tubuh, bergerak dan sudah menusuknya dengan dua jari tiba-tiba kakek tinggi besar ini terkejut karena tusukan itu sudah mengancam biji matanya. Sian-ong berteriak dan menangkis namun sebuah sapuan tiba-tiba membuatnya terpelanting. Dan ketika jari Han Han terus bergerak dan menuju ke tengah kening, mengejar, maka kakek gundul itu meramkan mata karena serangan sudah tak dapat dihindari.
"Cuss!" Kakek ini mengeluh dan terlempar. Ia tak mampu mengelak lagi karena ketika disapu tadi Han Han pun menyentuh jalan darah di mata kakinya. Rasa sakit dan pedih yang menyengat membuat kakek itu hampir berteriak, untung menggigigit bibir kuat-kuat dan jadilah kakek itu mengerang dengan suara ditahan. Dan ketika ia terbanting dan tak mampu bangun berdiri, mata kakinya retak sementara keningnya melesak ke dalam, Han Han merobah tusukan ke mata menjadi ke tengah kening maka murid-murid Hek-yan-pang bersorak melihat kakek itu roboh, merah dan pucat berganti-ganti.
"Hore, kakek iblis itu kalah. Pemuda ini menang!"
"Ya, dan dua pengemis sombong ini-pun seperti anjing kecemplung air. Bunuh mereka, pemuda itu membantu kita!"
Han Han terkejut. Mengusap keringat dan tersenyum memandang Pat-jiu Sian-ong mendadak anak-anak murid Hek-yan-pang bersorak-sorak dan maju menerjang. Tadi mereka takut-takut tapi begitu tiga orang ini roboh mendadak semuanya menjadi berani dan marah. Tiga orang itu telah membunuhi teman-teman mereka seperti orang membunuhi atau membabat ayam.
Ai Ling, sumoi dari Ki Bi itupun sudah melayang maju dan melepaskan serangan ke arah Ji-sin-kai, pedangnya menusuk dan siap mencoblos jantung pengemis ini, yang menggigil dan pucat dengan tubuh lemah. Maklumlah, hawa panas yang dikeluarkan Han Han telah menguras semua keringat kakek ini hingga Ji-sin-kai seolah-olah "kering". Tapi begitu pedang berkelebat dan anak-anak murid yang lain juga menghambur dan ingin membunuh Sian-ong, yang retak mata kakinya tiba-tiba menyambar puluhan batu-batu kecil disertai angin kuat yang membuat mundur anak-anak murid itu.
"Jangan membunuh, jangan menyerang lawan yang sudah kalah. Mundur... tak-tak-cringg!"
Ai Ling dan lain-lain terkejut. Murid-murid Hek-yan-pang tiba-tiba roboh berpelantingan disambar batu-batu kecil itu, terkena lemparan atau totokan jarak jauh. Dan ketika Ai Ling juga menjerit karena pedangnya terlepas, Ji-sin-kai terjengkang menyelamatkan diri maka Han Han sudah berkelebat dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dialah tadi yang menghalau murid-murid Hek-yan-pang itu.
"Mundur, jangan menyerang. Tak boleh ada darah yang tumpah lagi disini!"
Anak-anak murid tertegun. Ai Ling terbelalak tapi berseru tak puas, terhuyung melangkah menghampiri pemuda itu karena pukulan atau benturan batu hitam tadi membuat tubuhnya seakan disengat listrik, kejang dan sampai saat itu masih belum dapat memulihkan diri. Dan ketika wanita itu melotot dan menghadapi Han Han, anak-anak murid yang lain juga maju dan bergerak mengurung maka wanita ini berseru, menuding, pandang matanya berapi-api.
"Han Han, orang-orang ini telah membunuh dan membabat murid-murid Hek-yan-pang. Apakah pantas mereka diampuni dan dibiarkan hidup? Kalau kau melarang kami justeru aku ingin menyerangnya lagi. Mereka itu iblis-iblis kejam!"
"Maaf, barangkali aku dapat bicara dengan pimpinan sementara di tempat ini. Aku pribadi tak dapat melihat tumpahnya darah dan siapapun yang akan membunuh tentu kucegah, baik orang-orang itu maupun murid-murid Hek-yan-pang."
"Kau mau memusuhi kami?"
"Minggir..." sebuah tangan halus tiba-tiba mendorong wanita cantik itu, Ki Bi tahu-tahu menyeruak maju dan menggantikan sumoinya. "Anak muda ini betul, Ling moi. Dia telah membuktikan bahwa siapa pun yang akan membunuh yang lain maka dia akan mencegahnya. Biarkan aku bicara dengannya." dan ketika Ai Ling mundur dan melotot tak puas, pandang mata masih berapi-api maka Ki Bi, murid utama Hek-yan-pang yang menggantikan ketuanya itu menjura di depan Han Han.
"Sebelumnya biarlah kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu kepada kami semua. Kau benar. Darah tak boleh tumpah lagi di sini, Han Han. Dan karena kau telah mengambil alih permusuhan ini maka kami tunduk kepadamu. Tanpa bantuanmu tentu sumoiku Ai Ling tadi sudah celaka, mungkin tewas. Dan tanpa bantuanmu ini tentu anak-anak murid kami juga akan banyak yang tewas. Baiklah, kami serahkan Pat-jiu Sian-ong dan teman-temannya itu kepadamu, Han Han. Tapi kami minta keadilan agar hutang di sini juga dibayar setimpal!"
"Hm, bibi cukup bijaksana," Han Han lega, tersenyum memandang wanita ini. "Ada akibat tentu ada sebab, bibi. Urusan hutang-pihutang biarlah diselesaikan nanti oleh yang terhormat ketua Hek-yan-pang dengan kakek-kakek itu. Aku tak dapat memberi apa yang kau minta. Aku hanya ingin mencegah banjir darah di sini dan selanjutnya meredam keganasan kakek-kakek itu untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Dan karena Pat-jiu Sian-ong telah kurobohkan dan pertikaian ini sudah selesai, mereka adalah musuh-musuhku maka biarlah aku yang memutuskan dan mereka itu jangan dibunuh. Pat-jiu Sian-ong boleh datang lagi kalau ketua kalian datang, aku tak akan mencampuri. Tapi kalau kakek itu tak mau tahu dan ingin membuat onar lagi di sini tentu aku akan bertindak lebih keras dan tak akan membiarkan dia bersikap kurang ajar. Sekarang dia kubebaskan dan kuminta kalian tak mengganggu. Urusan boleh dilanjutkan lagi kalau ketua Hek-yan-pang-yang terhormat sudah pulang!"
Ki Bi mengangguk-angguk. Akhirnya ia melirik dan memberi tanda kepada sumoinya agar tidak membantah Han Han. Pemuda ini telah menolong mereka dan betapapun kata-katanya benar. Kalau tidak ada pemuda itu barangkali mereka semua terbunuh. Dan karena Han Han telah mengancam secara halus agar Pat-jiu Sian-ong tahu diri, atau pemuda itu akan memberi pelajaran lebih keras lagi maka wanita itu mundur dan menyuruh yang lain-lain juga menjauh, berbareng dengan bangkitnya kakek gundul itu yang terpincang dan merah padam, gusar namun tak berani menyerang Han Han!
"Anak muda, kau lihai tapi sombong. Baiklah, aku terima kekalahan tapi lain kali tak mungkin aku diam menerima hinaan begini lagi!"
"Hm, aku siap melayanimu kapanpun juga," Han Han membalik dan menghadapi kakek itu, Sian-ong sudah menguatkan hati menahan sakitnya. "Tapi kalau aku sombong kau salah, Sian-ong. Kaulah yang sombong dan sewenang-wenang. Kau telengas dan berjiwa kejam, mengandalkan kekuatan menindas yang lemah. Sudahlah, kau pergi dan kelak boleh ke mari lagi kalau yang terhormat ketua Hek-an-pang ada!"
Pat-jiu Sian-ong mendesis. Murid-murid Hek-yan-pang sudah memberi jalan namun mata mereka melotot. Kalau saja Han Han tak melarang mereka tentu anak-anak murid ini akan maju melabrak. Mereka melihat kesempatan baik mumpung si kakek gundul itu terluka. Ini sebenarnya bagus! Namun karena Han Han telah melarang mereka dan Ki Bi pun juga menyuruh mereka mundur, Ai Ling dan lain-lain akhirnya mengaku bahwa tanpa Han Han tak mungkin kakek itu pecundang maka begitu si kakek menggeram dan memutar tubuhnya maka berturut-turut Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai serta Sing Kok berkelebat pergi menyambar perahu. Mereka ini telah mengambil perahu milik Hek-yan-pang dan tak malu-malu mempergunakan barang orang.
Dan ketika perahu meluncur dan anak-anak murid menonton, Pat-jiu Sian-ong tak dihalangi dan akhirnya tiba di seberang maka kakek itu dan teman-temannya sudah berlompatan tanpa menoleh lagi ke belakang. Mereka telah pecundang dan hadirnya Han Han membuat niat mereka hancur. Kekalahan itu terasa bahkan lebih menyakitkan ketimbang bertemu yang terhormat ketua Hek-yan-pang sendiri. Maklumlah, mereka tak kenal siapa pemuda itu dan dari mana pula asalnya. Sungguh sial kalah di tangan seorang pemuda tak ternama!
Tapi begitu orang-orang itu lenyap dan Ki Bi kini memandang Han Han maka wanita itu membungkuk dan mengucap terimakasih. "Sungguh kedatanganmu bagai dewa penyelamat. Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami semua, Han Han. Dan sekarang mari kita kembali ke persoalan kita sendiri. Siapa kau ini dan bagaimana pula memiliki nama yang sama dengan putera ketua kami."
"Aku mencari wanita bernama Wi Hong”
"Tadi sudah kudengar. Dan maaf, apa perlumu mencari wanita ini!"
"Hm," Ai Ling tiba-tiba memotong. "Persilahkan dia masuk ke dalam, suci. Aku melihat Han Han ini seperti ada hubungan rapat dengan ketua kita!"
"Benar," sebuah suara lain tiba-tiba melengking, suara seorang anak murid wanita yang tak dapat menahan kagumnya kepada Han Han. "Pemuda ini mirip pang-cu kita, suci. Lihat wajah dan bentuk tubuhnya, begitu persis!"
"Ya, persis sekali. Mirip. Han-kongcu ini mirip ketua kita. Jangan-jangan dia adalah Han Han yang dulu diculik si Wi Hong itu!"
Dan ketika semua menyahut dan anak-anak murid menjadi ribut, wajah Han Han sebenarnya sudah menarik perhatian karena benar-benar mirip dengan ketua mereka maka Han Han sendiri tertegun dan terkejut mendengar seruan atau lengking pertama tadi. Bahwa dia diculik Wi Hong dan dia mungkin putera ketua Hek-yan-pang itu! Dan ketika ribut-ribut semakin menjadi karena anak-anak murid mengiyakan itu, Ki Bi dan Ai Ling lekat-lekat, memandang Han Han maka pemuda ini sendiri tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dan menggigil, mukanya pucat.
"Saudara-saudara, berhenti, jangan berisik. Biarkan aku bicara dengan bibi ini dan kalian diam!" lalu ketika semua orang diam dan Han Han menghadapi Ki Bi maka pemuda itu bertanya, suaranya jelas serak dan ditahan-tahan, "Tolong beritahukan kepadaku siapa wanita bernama Wi Hong ini. Aku mencarinya karena ada urusan pribadi denganku!"
"Hm, mari masuk ke dalam."
"Tidak, aku hanya mencari wanita ini, bibi. Setelah itu akan pergi!"
Ki Bi saling lirik dengan sumoinya, juga mulai terpengaruh. Tapi mengangguk dan menarik napas dalam-dalam wanita ini menjawab, "Baiklah, tapi sebelum itu bolehkah kutanya apa keperluanmu dengan wanita itu, Han Han. Apa maksudmu mencari dia."
"Aku mencari ayah ibuku!"
"Astaga!" Ai Ling kini menjerit. "Kalau begitu benar dugaan kami, Han Han. Kaulah putera pangcu. Ah, kau adalah Han Han yang dulu diculik bekas ketua kami. Benar, kau adalah Ju Han atau Han Han!" dan ketika wanita itu melonjak dan menubruk Han Han, tak dapat menahan dirinya lagi maka Han Han tiba-tiba "diserbu" dan diteriaki anak-anak murid yang lain. Mereka bersorak dan meneriaki bahwa inilah putera pangcu yang hilang.
Han Han sekonyong-konyong sudah dipeluk dan dirangkul puluhan orang, sebagian besar murid-murid wanita yang tentu saja membuat Han Han jengah, juga terkejut. Dan ketika pemuda itu diangkat dan disoraki berulang-ulang, kegembiraan tiba-tiba meledak dan pecah di tempat itu maka Ai Ling sudah meloncat dan membawa Han Han berjungkir balikt inggi, melepaskan diri dari serbuan murid-murid yang lain.
"Hore, ini adalah Ju-kongcu (tuan muda Ju). Dia adalah Han Han asli. Heii, kita bawa dia berputar-putar!" dan ketika benar saja Han Han sudah dibawa lari kencang dan berputar-putar, anak-anak murid melonjak dan mengikuti Ai Ling maka pemuda itu diarak atau dibawa keliling pulau.
Sebentar saja bunyi-bunyian dipukul dan apa saja yang dijumpai murid- murid ini ditabuh gencar. Gembreng dan piring riuh ditabuh, suaranya hingar-bingar dan kentongan atau apapun yang ada di situ menjadi alat-alat musik darurat yang dipukul sekenanya saja. Anak-anak murid menyambut kegembiraan itu dengan cara mereka sendiri, sementara Han Han tertegun dan terpaku dipundak Ai Ling, tak bergerak, terhenyak. Tapi ketika dua kali putaran sudah dilalui dan Han Han sadar tiba-tiba pemuda ini melepaskan diri dan menekan pundak Ai Ling, mukanya merah pucat berganti-ganti. Han Han sedang dilanda keharuan tapi juga sekaligus kebingungan yang menegangkan. Dia putera ketua Hek-yan-pang!
"Cukup... cukup!" Han Han berjungkir balik dan melayang turun di tempat ketinggian. "Aku bingung tapi girang menerima semuanya ini, bibi Ai Ling. Tapi ceritakan kepadaku bagaimana semuanya ini. Benarkah aku putera Hek-yan-pangcu dan apakah kalian tidak keliru!"
"Tak mungkin keliru!" Ai Ling berkelebat dan mengiringi pemuda itu pula. "Kau adalah putera pangcu yang hilang, Han Han. Kau adalah bocah yang dulu diculik bekas ketua kami!"
"Benar, kau adalah Han-kongcu yang asli. Kau bukan keturunan Si Golok Maut. Kau mirip dan persis sekali dengan ketua kami di waktu muda!"
"Hm, ceritakan kepadaku.... ceritakan cepat bagaimana itu. Aku tak sabar!" dan Han Han yang menggigil dan dipeluk Ai Ling, memandang murid-murid di bawah yang berteriak-teriak dan berseru menyebut namanya sudah didekati Ki Bi yang berkelebat datang.
"Han Han, kau benar adalah putera ketua kami yang hilang. Setelah kau menyebut-nyebut Wi Hong dan mengatakan ingin mencari orang tuamu lewat wanita ini maka kau adalah anak yang dulu diculiknya itu. Wi Hong telah membuat malapetaka di sini. Sebaiknya kau dengar ceritaku dan biarlah murid-murid itu kusuruh diam!"
Dan ketika Ki Bi membentak dan mengulapkan lengannya kebawah, anak-anak murid terbelalak dan tak membuat kegaduhan lagi maka segera Ki Bi menceritakan peristiwa itu, disambung Ai Ling yang tak tahan untuk menceritakan juga dan jadilah dua wanita itu ganti-berganti menceritakan kepada Han Han. Han Han mendengarkan dengan muka berubah-ubah sebentar pucat sebentar merah, maklumlah, Wi Hong menculiknya untuk ditukar dengan anaknya sendiri. Tapi ketika semua itu selesai didengarkan dan Han Han menggigil menguasai dirinya maka bertanyalah dia di mana wanita bernama Wi Hong itu.
"Kami tak tahu, tapi mungkin di kota raja."
"Dan Han Han yang dulu ada di sini itu?"
"Dia Giam Liong putera Si Golok Maut itu, Han Han. Kepandaiannya luar biasa dan ayahmu sendiri sampai kalah. Anak ini ikut ibunya!"
"Kemungkinan mereka ke kota raja, mencari Coa-ongya," Ai Ling menyambung, mukanya pucat. "Ibu dan anak ini baru saja ke sini, Han Han. Dan mereka mengobrak-abrik kita. Ayah ibumu dibuat malu!"
"Dan kau harus membalas wanita itu, Wi Hong sungguh membuat susah!"
"Tapi ia bekas ketua di sini..."
"Benar, duapuluh tahun yang lalu. Tapi setelah itu diambil alih ibumu, Han Han. Dan karena ibumu menikah dengan ayahmu maka ayahmulah yang kini memimpin kami!"
"Dan Wi Hong katanya gila..."
"Itupun benar, tapi sekarang tidak. Setelah bertemu dengan puteranya itu rupanya wanita itu telah sembuh!"
"Hm, baiklah. Dan sekarang di mana ayah ibuku itu? Kemana mereka pergi?" Han Han berdebar cemas, ingin berjumpa dengan ayah ibunya dan tentu saja kerinduan besar mencekam hatinya. Sekarang dia mendapat titik terang dan ingin benar rasanya berjumpa dengan ayah ibunya itu. Han Han tak sabar dan ingin sekali la bertatap rupa. Semua murid mengatakan bahwa wajahnya mirip dengan ayahnya itu. Ah, betapa inginnya bertemu. Betapa tak sabar untuk segera bertatap muka! Dan ketika Ki Bi mengangguk dan bersinar memandangnya maka Ai Ling lagi-lagi mendahului.
"Ayah ibumu ke kota raja, menyusul Giam Liong!"
"Untuk apa?" Han Han terkejut, tertegun.
"Kami tak tahu, Han Han. Tapi yang jelas agaknya ingin melindungi Coa-ongya. Dulu ayahmu adalah pembantu dekat Coa-ongya dan kini ingin menyelamatkannya dari tangan Giam Liong. Pemuda itu dingin sekali, dia kejam persis mendiang ayahnya Si Golok Maut!"
"Dan kau persis ayahmu, lembut dan murah hati," Ki Bi menyambung, memuji pemuda ini. "Hati-hatilah kalau bertemu pemuda itu, Han Han. Kami di sini tak ada yang dapat menandinginya dan entah bagaimana dengan kau!"
"Hm, baiklah. Terima kasih, bibi. Dan ini rupanya cukup. Aku ingin pergi sekarang juga!"
"Eh, kau mau ke kota raja?"
"Benar, aku tak tahan mencari ayah ibuku itu, bibi. Kalau benar aku putera Hek-yan-pangcu tentu saja aku ingin mengetahui ayah ibuku. Aku ingin berangkat sekarang juga!"
Han Han tak dapat dicegah. Anak-anak murid melihat pemuda itu melayang turun ke bawah, Ki Bi dan Ai Ling hendak menyambar namun si pemuda sudah turun. Dan ketika murid-murid kembali gaduh karena percakapan itu juga didengar, Han Han hendak meninggalkan mereka maka mereka tiba-tiba maju 'mengurung dan berseru,
"Ju-kongcu, bagaimana kami kalau kakek gundul dan teman-temannya itu datang lagi. Masa kau harus pergi setelah baru saja bertemu dengan kami!"
"Benar, jangan tinggalkan kami dulu, kongcu. Lindungilah kami dan biarlah kau yang memimpin di sini!"
"Tidak, maaf!" Han Han berkelit dan menghindari kerubungan anak-anak murid ini. "Ayah ibuku menyusul lawan berbahaya, saudara-saudara. Aku ingin membantunya dan kakek gundul itu tak mungkin berani ke sini setelah tadi kurobohkan. Mata kakinya tak akan sembuh dalam waktu seminggu!"
"Tapi kami butuh pemimpin!" Ai Ling sudah berseru dan melayang turun. "Mereka juga benar, Han Han. Tolong pikirkan itu dan jangan biarkan kami sendiri!"
"Maaf," Han Han tak dapat dicegah. "Keinginanku untuk bertemu ayah ibuku lebih besar, bibi. Kaiau ada musuh menyerbu kalian masih cukup banyak di sini!"
"Tapi kalau Pat-jiu Sian-ong dan teman-temannya itu tak dapat kami lawan!"
"Kalian menyingkir sementara waktu, tunggu aku dan ayah ibuku kembali!"
"Hm-hm, Han Han benar-benar sudah tak dapat dihalangi lagi," Ki Bi berkelebat dan juga melayang turun. "Baiklah, sumoi. Kita turut perintahnya karena betapapun kita adalah bawahan. Semua mundur dan jangan merubung!"
Han Han merah mukanya. "Maaf," katanya agak tersipu. "Aku tidak menganggap begitu, bibi. Sementara ini pemimpinnya adalah kau. Aku pendatang baru!"
"Tapi kau adalah putera pangcu!"
"Aku masih ingin membuktikannya lagi di depan ayah ibuku!" Han Han berseru. "Sementara ini anggap saja aku orang pendatang, bibi. Dan terima kasih kalau kalian dapat mengerti perasaanku. Sudahah, aku mau pergi dan tak akan lama-lama meninggalkan kalian!"
"Sungguh?"
"Tentu, bibi. Bukankah jelek-jelek aku masih harus melindungi tempat ini dari orang-orang macam Pat-jiu Sian-ong itu!" dan tak mau dicegah atau dihalangi lagi tiba-tiba Han Han berkelebat dan tahu-tahu duduk di atas perahu, gerakannya luar biasa cepat. Lalu begitu semua tersentak dan menoleh, Han Han tersenyum menggerakkan dayung maka pemuda itu mengayuh dan perahu tiba-tiba mencelat bagai dilempar tangan raksasa. Persis seperti dulu Giam Liong mendatangi tempat itu bersama ibunya.
"Bibi, selamat tinggal. Sampai bertemu lagi!"
Anak-anak murid terbelalak. Mereka mendecak melihat Han Han menggerakkan dayung hingga perahu melompat-lompat atau terbang di atas permukaan telaga. Setiap didayung tentu melesat duapuluhan meter. Bukan main! Dan ketika sebentar kemudian pemuda itu sudah berada di seberang sana dan meloncat keluar maka Han Han melambaikan tangan untuk akhirnya lenyap, seperti iblis!
"Saudara-saudara, selamat tinggal. Aku akan datang lagi tak lama kemudian. Jangan khawatir!"
Semua takjub dan bengong. Jarak telaga yang biasanya ditempuh lima sampai sepuluh menit ternyata ditempuh Han Han hanya dalam beberapa detik saja. Perahu yang ditumpangi pemuda itu terbang seperti setan dan tahu-tahu sudah ada di seberang, bukan main cepatnya. Tapi begitu pemuda itu menghilang dan lenyap meninggalkan salamnya, murid-murid sadar tiba-tiba mereka berteriak.
"Kongcu, jangan lama-lama. Bekuk musuh-musuh ayahmu!"
"Dan kudoakan tetap selamat, kongcu. Hati-hatilah, kami rindu...!"
Han Han tak mendengarkan ini. Dia tak tahu bahwa beberapa murid wanita tiba-tiba menangis. Mereka adalah murid-murid muda yang cantik-cantik dan gagah. Mereka itulah yang berbisik dan mengatakan rindu. Kegagahan dan ketampanan Han Han kiranya telah membuat beberapa murid wanita jatuh cinta! Tapi karena seruan itu diucapkan perlahan dan Han Han tak mendengar maka hanya beberapa murid itu saja yang saling lirik dan melempar pandang tak senang satu sama lain. Mereka ternyata sama-sama jatuh cinta kepada pemuda itu namun yang dicinta sudah terbang jauh.
Ki Bi dan sumoinya menarik napas dalam-dalam tapi sinar mata mereka berseri. Han Han, putera yang asli ternyata muncul. Benar-benar keturunan ketua mereka dan yang hebat lagi adalah kepandaian pemuda itu. Ah, Han Han memiliki kesaktian mentakjubkan yang membuat mereka sendiri kagum. Seorang diri Pat-jiu Sian-ong dan dua temannya dibuat jatuh bangun, padahal kakek gundul itu tak ada seorang pun di antara mereka yang mampu menghadapi. Tapi teringat bahwa putera Wi Hong juga amat luar biasa dan Giam Liong atau putera "palsu" dari ketua mereka juga amat hebat sekali, dan memiliki Golok Penghisap Darah atau Golok Maut maka Ki Bi dan sumoinya ngeri membayangkan bagaimana kalau dua pemuda ini sama-sama bertemu. Mana yang lebih hebat dan siapakah kira-kira yang akan muncul sebagai pemenang. Giam Liong ataukah Han Han! Dan ketika dua orang itu sama-sama berdebar membayangkan ini maka di kota raja terjadi geger yang mengguncangkan dunia kang-ouw!
* * * * * * *
Sudah lama kita tak mengikuti Giam Liong. Kini, meninggalkan sejenak Han Han yang juga ke kotaraja biarlah kita lihat bagaimana keadaan di istana kekaisaran, karena di tempat ini juga Giam Liong dan ibunya membuat ulah. Seperti diketahui, di samping kaisar sebagai pucuk pimpinan negara maka ada orang kedua yang juga berkuasa di tempat itu. Dan orang ini bukan lain adalah adik tiri sri baginda kaisar, pangeran Coa atau yang biasa disebut Coa-ongya.
Pangeran ini, bersama mendiang adiknya yang juga sama-sama keluarga dekat kaisar adalah orang yang amat berpengaruh di istana. Demikian besar pengaruh dua orang ini hingga dulu Coa-ongya maupun Ci-ongya, adiknya yang tewas terbunuh Golok Maut Sin Hauw memimpin pasukan besar-besaran untuk menumpas pemberontak. Di masa itu kekacauan masih timbul di sana-sini. Lima orang yang sama-sama memperebutkan kekuasaan tak henti-hentinya berperang. Tapi setelah Li Ko Yung berhasil menguasai Ho-nan dan Shan-si (baca: Golok Maut) maka empat yang lain tergeser dan akhirnya Li Ko Yung inilah yang menonjol dalam memiliki kekuasaan.
Apalagi setelah Chu Wen, musuh paling berat dari Li Ko Yung ini tewas dalam pembunuhan, para pembantunya melarikan diri dan terpecah-pecah tak keruan. Tapi karena kaisar yang sekarang tetap harus berhati-hati karena kelompok-kelompok "radikal" juga tetap menunggu kesempatan, siap merebut dan menumbangkan kekuasaan maka kaisar ini melalui Coa-ongya dan Ci-ongya membujuk banyak orang-orang pandai untuk ditarik sebagai pembantu.
Dan itu berhasil untuk beberapa waktu, sampai akhirnya muncul Golok Maut dan mengobrak-abrik istana habis-habisan, membunuh ratusan orang dan puluhan orang-orang pandai yang membantu kaisar. Tapi setelan Golok Maut sendiri tewas terbunjuh, di Lembah Iblis, maka untuk beberapa waktu lagi suasana di kota raja aman dan tak ada kerusuhan. Orang-orang lama ada beberapa yang meninggalkan istana, seperti misalnya pembantu-pembantu amat lihai dari Thian-tok, yakni Sudra dan Mindra yang dulu bertemu Giam Liong. Yang lain ada yang terbunuh tapi kepergian dua orang dari Thian-tok ini lebih disebabkan oleh adanya ketenangan di kotaraja.
Mereka ini memang kakek-kakek yang suka bermusuhan. Suka adu kepandaian dan kalau tak ada tokoh yang menonjol lagi maka mereka biasanya pergi mengembara. Itulah sebabnya ketika dulu mereka bertemu Giam Liong tiba-tiba saja mereka gatal untuk mencoba kepandaian pemuda ini, yang dapat mendorong dan memukul mundur mereka. Tapi karena mereka akhirnya kalah dan melarikan diri, Sudra dan Mindra diam-diam pucat melihat kemiripan wajah lawannya dengan mendiang Si Golok Maut Sin Hauw maka suatu hari mereka ke kota raja untuk menemui Coa-ongya, melaporkan hal itu.
Sebenarnya, dua orang ini enggan ke kota raja. Bukan apa-apa, tetapi masalahnya di sana "bersembunyi" seorang tokoh misterius yang membantu Coa-ongya. Dan justeru karena orang inilah mereka menjadi tak kerasan dan meninggalkan tempat itu. Tapi karena sekarang mereka pecundang di tangan Giam Liong dan hal itu sungguh membuat mereka penasaran, di dunia ini hanya beberapa orang saja yang dapat mengalahkan mereka maka dua orang kakek itu ingin melapor dan juga ingin "mengadu" tokoh misterius yang bersembunyi di tempat Coa-ongya itu dengan Giam Liong!
Seperti diketahui, akhir-akhir ini ada seorang tokoh amat lihai yang membayangi Coa-ongya. Dan tokoh itulah yang dulu membunuh Si Golok Maut. Tapi karena tokoh ini sombong dan congkak, tak memandang sebelah mata kepada dua kakek Thian-tok itu maka Mindra dan Sudra akhirnya meninggalkan istana karena rasa tak sukanya kepada Si Kedok Hitam itu, yang memang kepandaiannya masih di atas mereka. Dan karena kebetulan mereka lalu dikalahkan Giam Liong, bocah ingusan yang belum punya nama maka tiba-tiba dua orang kakek itu ingin membalas dendamnya kepada Si Kedok Hitam maupun Giam Liong untuk diadu dan saling dipertemukan. Dan untuk itu mereka harus menghadap Coa-ongya!
Maka begitulah, ketika pagi hari itu mereka menunggang keledainya dan berhenti di gedung Coa-ongya, para penjaga tertegun tapi segera mengenal dua kakek-kakek berhidung mancung ini maka Mindra berdua turun untuk minta diantar menghadap bekas majikannya.
"Kami ada keperluan penting. Tolong beri tahu bahwa kami ingin menghadap!"
Para penjaga mengangguk. Mereka sudah mengenal dan tahu siapa dua kakek-kakek lihai ini. Sudra dan Mindra adalah tokoh-tokoh India yang kepandaiannya amat tinggi, hanya di bawah Si Kedok Hitam saja. Maka begitu mereka datang dan minta menghadap, penjaga berlari melapor maka tak lama kemudian dua orang kakek itu sudah diperintahkan masuk ke dalam.
"Ji-wi (kalian berdua) ditunggu di ruang tengah. Ongya ada di sana!"
Dua kakek ini mengangguk. Mereka berseri dan tahu dimana ruang tengah itu, sudah pernah bekerja di tempat ini dan tentu saja tak perlu diantar lagi. Tapi berkerut khawatir bertemu Si Kedok Hitam, orang yang tak mereka sukai diam-diam Mindra berbisik apakah tak sebaiknya mereka pergi saja kalau bertemu si sombong itu.
"Kalau ongya mewakilkan Si Kedok Hitam barangkali kita kembali saja, tak usah bertemu!"
"Sst, jangan begitu. Justeru itu kebetulan, saudaraku. Kalau Kedok Hitam ada justeru kita dapat mengadu agar dia menghadapi bocah siluman itu, biar tahu rasa!"
"Jadi tak usah pergi?"
"Tidak, ini sama saja. Tapi, sst.... lihat itu. Ongya ternyata sendiri!"
Mindra berseri. Sudra sudah menudingdan orang yang mereka cari duduk memandang mereka yang menyingkap tirai. Ruang tengah itu memang diberi tirai sutera untuk penyekat dengan ruang yang lain, mereka sudah melihat bayangan pangeran itu dan kini sang pangeran bangkit berdiri begitu mereka datang. Dan ketika sang pangeran tertawa dan Sudra serta Mindra cepat membungkuk dari jauh, memberi hormat, maka Coa-ongya yang masih tampan dan berpakaian indah ini menegur.
"Hai, ada apa kalian datang, Mindra? Apa yang kalian bawa dan tumben mau ke sini lagi. Ha-ha, pasti berkeperluan penting. Mungkin kehabisan bekal di tengah jalan!"
"Maaf," dua kakek itu agak merah mukanya. "Kami datang bukan untuk minta sumbangan, pangeran. Melainkan sesuatu yang lain yang tentu mengejutkan paduka. Kami minta maaf kalau sekiranya mengganggu!"
"Hm, tidak. Tapi apa itu dan bagaimana bisa mengejutkan aku. Mari, duduk dahulu dan bagaimana sebelumnya kabar kalian!"
"Kami baik-baik saja, sehat-sehat tak kurang suatu apa."
Coa-ongya mempersilahkan mereka duduk. Kini pangeran memandang tajam dua orang ini dan Mindra maupun Sudra terkejut melihat sinar mata pangeran itu yang berkilat dan mencorong. Seperti orang yang memiliki lweekang tinggi, padahal pangeran itu tak bisa silat. Setidaknya, bukan orang yang ahli! Dan ketika mereka saling bertatap pandang namun dua kgkek ini tak kuat dan cepat menunduk, diam-diam heran dan kaget apakah sinar mata itu berkat tenaga sakti ataukah karena perbawanya sebagai seorang bangsawan agung maka dua orang itu saling lirik dan menjelajah seluruh ruangan dengan sudut-sudut mata mereka. Mencari apakah pengawal pribadi pangeran ini bersembunyi di situ. Si Kedok Hitam!
"la tak ada di sini," dua kakek itu terkejut, Coa-ongya dapat membawa isi hati mereka. "Kedok Hitam sedang kutugaskan di luar, Mindra. Tak perlu kalian cari dan tak usah takut-takut. Bicaralah, apa yang hendak kalian bicarakan!"
Dua kakek itu benar-benar kaget. Tiba-tiba saja mereka merasa ada sesuatu yang luar biasa yang dimiliki Coa-ongya ini. Pangeran itu seolah seorang ahli silat pandai yang dapat menangkap gerak-gerik atau isyarat tamunya. Tapi menganggap itu kebetulan saja karena pangeran ini memang pandai dan cerdik sebagaimana layaknya pembesar tinggi maka Mindra batuk-batuk menekan keterkejutannya tadi.
"Maaf, kami tak mencari pengawal paduka itu, pangeran, melainkan mencari paduka dan kini sudah bertemu di sini. Kami hendak melaporkan sesuatu yang amat penting bagi paduka, sesuatu yang juga tidak kami sangka!"
"Hm, apa itu. Dua kali kalian menyebut-nyebut namun masih juga belum memberitahu."
"Tentang Si Golok Maut. Dia hidup lagi!" Sudra kali ini bicara dan kata-katanya meluncur tak dapat ditahan lagi. Kakek ini gatal-gatal mulutnya untuk segera memberi tahu, membuat kejutan. Dan ketika benar saja tuan rumah tersentak dan mengeluarkan teriakan kaget, terlonjak dan berubah mendengar seruannya maka kakek itu melanjutkan, "Benar, Golok Maut hidup lagi, pangeran. Dan kami berdua baru saja bertemu, dikalahkan!"
"Ah, tapi... tapi dia sudah kubunuh!"
"Bukan paduka yang membunuh, melainkan Kedok Hitam!"
"Eh, ah... benar. Tapi sama saja, Sudra. Kedok Hitam pun orangku, seperti juga kalian yang menjadi pembantuku di sini. Berita kalian mustahil, bohong. Ha-ha ...!" dan Coa-ongya yang tertawa bergelak melepas kejutannya tiba-tiba membuat dua kakek itu tertegun karena ruangan tiba-tiba tergetar dan meja kursi berderak-derak. Tawa itu dilepas oleh seorang ahli khi-kang (tenaga suara)!
"Pangeran..!" Mindra dan Sudra melepas kekagetan mereka dengan pekik tertahan. "Paduka sekarang seorang ahli silat?"
"Eh!" pangeran itu sadar, menghentikan tawanya. "Aku bukan seorang ahli, Mihdra, melainkan bisa sedikit-sedikit saja, seperti yang kalian tahu..."
"Tapi tawa paduka penuh getaran tenaga sakti. Meja dan kursi ini berderak-derak!"
"Lupakan itu," Coa-ongya tiba-tiba mengerutkan kening, berusaha menyembunyikan sesuatu. "Kalaupun benar maka aku belajar dari pembantuku, Mindra. Kedok Hitam memberiku pelajaran sedikit-sedikit sekedar penjaga diri. Sudahlah, bagaimana dengan tadi dan apakah cerita kalian benar!"
"Tentu saja benar, kami tidak bohong. Dan justeru karena ini kami lalu datang ke mari daningin memberitahukan paduka agar berhati-hati. Golok Maut hidup lagi!"
Wajah sang pangeran berubah. Rupanya, dari semua pengalaman atau kejadian yang pernah menimpanya maka Golok Maut itulah yang paling mengesankan, juga menakutkan. Coa-ongya tampak pucat dan gemetar mendengar ini. Nama itu memang menyeramkan, terlampau menyeramkan! Tapi tersenyum berusaha menenangkan diri, kepercayaan kembali timbul maka pangeran berkata bahwa hal itu tak mungkin.
"Cerita kalian tak dapat kuterima. Semua orang tahu bahwa Golok Maut telah terbunuh, ribuan mata menyaksikan. Masa ada manusia hidup lagi? Kalian terpengaruh kejadian dulu, Sudra. Dan cerita ini akan menjadi bahan menggelikan. Sebaiknya tak usah mengatakan itu dan lebih baik katakan bahwa seseorang yang berwajah atau mirip Golok Maut telah bertemu dengan kalian. Nah, begini mungkin baru aku percaya!"
"Benar," dua orang itu tertegun. "Kami hendak mengatakannya seperti itu, ongya. Namun kalau wajah atau bentuk tubuhnya sama tentunya paduka maupun kami akan amat terkejut karena hal yang seperti ini rasanya sungguh tak mungkin!"
"Maksud kalian?"
"Kami bertemu pemuda yang mirip segala-galanya dengan mendiang Golok Maut, ongya. Wajah dan bentuk tubuhnya. Dan kami kalah!"
"Apakah kepandaiannya juga seperti Si Golok Maut?"
"Ini... ini tidak!" Sudra tergeragap. "Namun betapapun cukup menggetarkan, ong-ya. Pemuda itu amat lihai dan luar biasa sekali. Dan kami khawatir dia adalah jelmaan Si Golok Maut. Orang yang mati penasaran dapat hidup di dunia lagi dengan memakai tubuh atau wadag orang lain!"
"Aku tak percaya reinkarnasi," sang pangeran mengerutkan kening."Segala kepercayaan itu hanya ada pada bangsa kalian, Sudra. Orang-orang Thian-tok yang penuh khayal. Ceritakan saja kepadaku bagaimana asal mulanya!"
"Kami bertemu seorang gila..."
"Ha-ha, dan kalian ikut-ikutan gila!" sang pangeran memotong, tak dapat menahan geli hatinya.
"Nanti dulu," dua kakek itu menyergap. "Si gila ini bukan orang gila sembarangan, ongya. Dia adalah isteri Si Golok Maut, Wi Hong si bekas ketua Hek-yan-pang!"
"Hm!" Coa-ongya terkejut, tiba-tiba tak mengolok-olok dua kakek itu lagi. "Wi Hong? Si cantik berbaju merah itu?"
"Benar, dan dari sinilah awal mula cerita ini, ongya. Sampai akhirnya kami bertemu pemuda itu, yang juga dianggap Golok Maut oleh Wi Hong!"
"Lalu?" sang pangeran tampak berdebar, tegang. "Apa yang terjadi, Mindra? Kalian kalah dan melarikan diri?"
"Paduka tahu," Mindra tersipu namun berusaha menyombongkan diri. "Di dunia ini hanya segelintir saja yang dapat mengalahkan kami, ongya. Tiga orang saja yang benar-benar membuat kami takluk luar dalam. Yakni Si Golok Maut Sin Hauw itu dan ketua Hek-yan-pang sekarang serta pembantu paduka Si Kedok Hitam. Lainnya, bukan apa-apa bagi kami!"
"Ya, aku tahu. Tapi kalian kalah dengan bocah yang seperti Si Golok Maut itu?"
"Benar, paduka. Dan kami sungguh menanggung malu. Agaknya, hanya Kedok Hitam pembantu paduka itulah yang mampu menandinginya. Hamba ke sini karena khawatir jangan-jangan pemuda itu akan melabrak paduka!"
"Tapi aku tak kenal padanya..."
"Tapi si Wi Hong yang gila itu telah akrab dengan pemuda ini. Bisa saja dia minta bantuan dan datang mengancam paduka!"
"Hm, kalian menakut-nakuti, membawa-bawa berita jelek!"
"Maaf, kami tak berusaha menakut-nakuti paduka, ongya. Sebaliknya justeru ingin mengingatkan paduka untuk bersikap waspada. Meskipun ada Kedok Hitam yang melindungi paduka!"
"Benar, dan kalau Kedok Hitam sedang bertugas dan keluar seperti ini tentunya paduka harus memasang kewaspadaan ekstra. Bagaimana kalau dia tiba-tiba datang!"
Coa-ongya berkilat pandang matanya. Mendengar dan melihat sikap dua kakek ini tiba-tiba dia menjadi tak tenang dan gelisah. Betapapun berita itu memang tak baik. Wi Hong, isteri mendiang Si Golok Maut tiba-tiba mengancam masa depannya. Ah, kenapa dulu tak dibunuhnya saja wanita itu? Kenapa dibiarkan hidup dan kini datang lagi? Tapi teringat bahwa wanita itu bekas ketua Hek-yan-pang dan suci (kakak seperguruan perempuan) dari isteri ketua Hek-yan-pang sekarang, Swi Cu atau Ju-hujin (nyonya Ju) maka pangeran itu mengepalkan tinju dan tampak gemas akan sesuatu, marah kepada seseorang.
"Kalian memang benar, pemberitahuan ini memang penting. Baiklah, terima kasih, Sudra. Dan apa sekarang yang hendak kalian lakukan."
"Kami tak hendak melakukan apa-apa. Kami hanya sekedar mengingatkan paduka, yang barangkali akan menyuruh atau menemukan Golok Maut muda itu!"
"Hm, aku sudah tua, Mindra. Dan aku tak akan mencari permusuhan dengan siapa pun. Aku sudah tenang dan tak akan mengikat permusuhan!"
"Tapi kalau paduka diganggu..."
"Itu lain, aku tentu saja tak akan tinggal diam!"
"Nah, itu yang kami maksud. Paduka memang harus waspada. Baiklah, keperluan kami sudah selesai, paduka. Barangkali kami minta diri dan seharusnya pergi."
"Nanti dulu!"sang pangeran mencegah dan menyambar dua orang itu, gerakannya mengejutkan, lagi-lagi membuat Sudra dan temannya tertegun. "Kalian datang tak usah buru-buru pergi, Mindra. Bagaimana kalau di sini dulu menemani aku!"
"Maksud paduka?" Mindra melepaskan diri, cengkeraman sudah mengendor.
"Aku ingin ditemani, Mindra. Tunggu sampai Kedok Hitam datang. Dua tiga hari ini aku kesunyian!"
"Tapi kami berdua kurang senang dengan pembantu paduka itu. Paduka tahu!"
"Hm, lain dulu lain sekarang, Mindra. Kalian jangan berkecil hati karena pembantuku itu tak sesombong yang kalian sangka. Aku dapat memberi tahu agar dia menghargai kalian. Tempat ini perlu orang-orang pandai seperti kalian berdua!"
"Tapi kalau dia tetap sombong?" Sudra kali ini bicara, matanya bersinar-sinar.
"Kalian boleh pergi, Sudra. Aku tak melarang. Ah, aku lupa memberi hadiah untuk laporan kalian ini. Terimalah..!" dan sepundi-pundi uang berkerincing yang dilempar ke kakek ini tiba-tiba ditangkap dan diterima Sudra, yang berkilat dan berseri-seri karena begitu mudah Coa-ongya memberi hadiah. Biasanya, pelit dan mahal!
Maka begitu uang diterima dan kakek itu tertawa mendadak kakek ini berseru kepada temannya. "Mindra, kalau pangeran benar tentunya tak apa kita sehari dua di sini. Lihat saja nanti. Kalau tidak kerasan boleh pergi. Bukankah begitu, ongya?"
"Benar, tapi kepergian kalian harus dengan alasan. Kalau seperti anak kecil tentu saja tak diijinkan. Kalian sanggup? Aku masih mempunyai sepundi-pundi lagi. Lihatlah!" dan pangeran yang kembali mengeluarkan dan menggemerincingkan uangnya akhirnya membuat Sudra terbelalak karena uang itu emas semua. Ditumpahkan di atas meja dan melototlah dua kakek itu oleh uang sebanyak ini. Sungguh itu pancingan yang menggiurkan. Dan karena mereka memang kakek-kakek yang gemar menikmati harta, Coa-ongya tersenyum dan tahu akan itu maka Sudra akhirnya terkekeh berseru girang.
"Baiklah, hamba tak menolak akan ini, pangeran. Tapi kalau Kedok Hitam tetap sombong dan tinggi hati kami akan pergi dan uang ini kami kembalikan!"
"Boleh, Kedok Hitam tak akan sombong kepada kalian. Jangan pergi dan bersenang-senanglah di sini!" dan ketika dua kakek itu girang dan saling membagi harta, uang itu sungguh banyak maka Coa-ongya mengikat dan berhasil menjinakkan kembali bekas dua pembantunya ini.
Mindra dan Sudra diminta tinggal di istana dan dua kakek itu diberi penghormatan berlebih. Ada kesan bahwa pangeran betul-betul membutuhkan dua orang ini. Entah karena adanya berita itu ataukah karena istana memang membutuhkan orang-orang pandai, padahal suasana aman. Tapi ketika dua orang itu kembali berjaya dan hidup sebagai pengawal pribadi, kembali mendampingi Coa-ongya sebagaimana dulu menjaga majikannya maka hari ketiga Kedok Hitam tiba-tiba muncul.
"Mindra, selamat datang. Pangeran memberi tahu dan terimalah hormatku!"
Dua kakek itu terkejut. Mereka sedang duduk-duduk di kamar, tugas belum ada dan tiga hari ini hanya bersenang-senang saja. Empat botol arak terguling isinya dan mereka asyik bermain dadu. Dua kakek ini ternyata bertaruh, main judi! Maka begitu bayangan hitam berkelebat dan pintu kamar tahu-tahu terbuka, Kedok Hitam muncul dan mengejutkan mereka maka tiba-tiba dua orang ini menyambar senjata mereka dan Sudra meledakkan cambuknya sementara Mindra menggeram mencabut nenggalanya, menggosok-gosok dengan sikap siap bertempur!
"Ah-ah, kita orang-orang sendiri!" Kedok Hitam, laki-laki itu, berseru dengan tawa yang ramah, matanya bercahaya dan berseri-seri. "Simpan senjata kalian, Sudra. Dan aku menganggap sama derajat dengan kalian. Ongya telah memberi tahu agar aku baik-baik menghargai kalian. Tenanglah, dan simpan senjata itu. Aku bukan datang untuk bermusuhan!"
"Hm!" Sudra mengejek dan mencoba membuktikan lawan. "Kau boleh bilang begitu, Kedok Hitam. Tapi biasanya kau tak memandang sebelah mata kepada kami. Hayo buktikan iktikad baikmu dengan berlutut meminta maaf!"
"Eh!" Mindra terkejut, tapi segera mengerti maksud temannya. "Bukan hanya berlutut, Sudra. Tapi juga mencium telapak kaki kita. Dulu dia pernah menendang kita sebanyak dua kali!"
"Hm-hm, tak usah kalian bergurau," laki-laki itu tertawa, aneh sekali tidak marah. "Kalau aku mencium kaki kalian apakah kalian juga mau balas mencium kakiku? Sudahlah, jangan berolok-olok, Sudra. Ada tugas dari ongya untuk kalian. Malam ini akan ada orang-orang menyatroni istana!"
Dua kakek itu tertegun. Biasanya, kalau mereka bersikap congkak maka lawan akan lebih congkak lagi. Kedok Hitam itu akan tersinggung dan marah, paling tidak menggeram dan mengumpat mereka. Belum pernah mereka melihat laki-laki yang misterius ini tertawa, padahal sekarang begitu bebas dan lebar! Maka begitu tercengang dan main-main mereka tak ditanggapi, Kedok Hitam berkata mendapat pesan Coa-ongya maka dua kakek itu saling pandang dan akhirnya menyimpan senjata. Sudra tak dapat menahan rasa herannya.
"Kedok Hitam, kau benar-benar lain dengan dulu. Rupanya sekarang sudah dapat menghargai orang lain dan tidak sombong!"
"Hm, kesombongan hanya akan menjatuhkan orang itu sendiri, Sudra. Aku dari dulu tak pernah sombong dan menghargai orang lain. Kalau dulu aku kurang menghargai kalian barangkali karena waktu itu kita sama-sama menghadapi ketegangan dengan adanya Si Golok Maut! Sudahlah, aku minta maaf kalau pernah keliru dan kini mari sama-sama membagi tugas dari ongya!"
"Hm, kau sudah dapat bersahabat dengan orang lain. Barangkali ketakutan mendengar berita yang kubawa kepada ongya!"
"Ha-ha, kenapa kau menduga begitu? Aku tak pernah takut kepada siapa pun, Mindra. Dari dulu atau sekarang!"
"Tapi kau takut kepada mendiang Si Golok Maut itu, juga kepada ketua Hek-yan-pang sekarang. Pek-jit-kiam Ju Beng Tan!"
"Hm, tak usah membuka-buka masa lalu, Mindra. Kaupun pernah takut kepadaku. Dari dulu atau mungkin juga masih sekarang!"
"Siapa bilang? Kau ternyata masih juga sombong... wut!" dan nenggala yang kembali ditarik dan ditusukkan kedepan tiba-tiba membuat Mindra gusar dan melotot menyerang lawannya itu. Bukan Kedok Hitam yang dibangkitkan kemarahannya melainkan dirinya sendiri! Tapi begitu lawan berkelit dan tertawa, Kedok Hitam menghindar maka tusukan menyambar angin kosong dan laki-laki itu berseru mengangkat kedua tangannya.
"Heii, tak perlu marah-marah, Mindra. Aku main-main dan jangan dimasukkan hati!"
"Tapi kata-katamu membakar!" kakek itu tak mau sudah, bergerak dan membentak lagi. "Terima dulu senjataku ini, Kedok Hitam. Baru setelah itu aku mau bicara...wut-trikk!"
Dan Kedok Hitam yang menangkis dan tak dapat menghindar lagi akhirnya menjentikkan kuku jarinya dan Mindra terpekik karena nenggalanya tergetar hebat, tertolak dan nyerong ke kiri dan menyambar saudaranya sendiri. Sentilan atau jentikan kuku jari itu ternyata hebat bukan main. Kedok Hitam rupanya tambah perkasa! Dan marah serta penasaran oleh ini, Mindra melengking dan berjungkir balik ke atas akhirnya dia menendang butir-butir dadu untuk dipakai menyerang lawannya pula, membantu nenggalanya setelah tadi dikelit atau diegos saudaranya. Maklumlah, Sudra harus menghindar kalau tak mau tertusuk!
"Kedok Hitam, kau lama-lama akhirnya mau pamer kepandaian. Baiklah, coba kelit ini dan jentik lagi dengan kuku jarimu... trang-trangg!" dan kuku jari yang kembali benar saja menolak nenggala, yang datang dan menusuk naik turun tiba-tiba membuat Kedok Hitam mengerutkan keningnya dan mulai marah.
Pembantu paling lihai dari Coa-ongya ini tiba-tiba membentak dan berkelebat pula mengiringi nenggala, berputaran tapi ruangan itu terlalu sempit, hampir saja dada kirinya menjadi korban. Dan ketika ia menampar hingga lawan terpelanting, Mindra kaget dan berteriak panjang tiba-tiba saja laki-laki berkedok ini telah menindih dan menekan serangan nenggala, melakukan tamparan-tamparan berat atau pukulan miring yang selalu menolak atau mementalkan nenggala itu. Mindra selalu berteriak karena senjatanya seolah ditekan batu berat ribuan kati, begitu hebat hingga tangannya gemetar dan lelah, hampir saja tak kuasa memegang senjatanya lagi. Namun ketika kakek itu memekik dan mengeluarkan kata-kata bantuan, dalam bahasanya sendiri tiba-tiba Sudra meledakkan cambuknya dan menerjang maju.
"Kedok Hitam, kau semakin sombong dan congkak. Minggir dan jangan tekan saudaraku..... tarr!" cambuk baja menyambar kepala, dikelit dan menghancurkan tembok yang seketika berlubang. Dan ketika cambuk itu kembali menyerang dan mengejar lawan, Kedok Hitam dikeroyok tiba-tiba lelaki itu marah dan berseru keras.
"Sudra, kalian selalu ingin mengeroyok. Baiklah, ruangan ini sempit. Mari keluar dan main-main di sana... plak-plak!"
Nenggala dan cambuk dikibas satu tamparan miring, terpental dan pemiliknya menjerit namun Kedok Hitam sudah menendang pintu melesat keluar, langsung kehalaman dan dua kakek ini berkelebat dan mengejar dirinya. Dan ketika Kedok Hitam tersenyum mengejek dan dua kakek itu mengejar tak mau banyak cakap, menggerakkan senjata masing-masing untuk menusuk dan melecut maka nenggala dan cambuk akhirnya bertubi-tubi menyerang orang nomor satu di istana ini, dikelit dan ditangkis dan segera Kedok Hitam melayani lawan dengan cepat. Laki-laki itu bergerak naik turun dan cambuk akhirnya diikuti gerakan tubuhnya yang terbang bagai burung besar, menyambar-nyambar dan kedua tangannya bergerak ke kiri kanan menghalau dua senjata itu. Dan ketika Sudra merasa betapa pukulan-pukulan lawan terasa berat menyambar, menahan atau mementalkan cambuknya maka kakek itu baru maklum kenapa saudaranya tertekan dan tertindih. Kiranya lawan memang semakin lihai!
"Mindra, lawan kita ini ternyata memang semakin lihai saja. Pantas dia begitu sombong!"
"Hm, atau kita yang memang semakin tua, Sudra. Kita tak sekuat dulu sementara orang ini sebenarnya tetap!"
"Ha-ha, tak perlu mencari-cari. Kalau kalian semakin tua justeru kalian harus semakin matang, Mindra. Kelemahan tenaga dapat ditutup dengan kematangan ilmu kepandaian!"
"Jadi kau menganggap kami kendor?"
"Tidak juga, melainkan akulah yang lebih maju sementara kalian tetap!"
"Sombong, kau memang pongah...dess!" dan nenggala yang menusuk namun bertemu telapak lawan, ditangkap dan dicengkeram tiba-tiba membuat Mindra terkejut karena tak dapat melepaskan diri. Senjata itu bertemu tangan lawan dan Kedok Hitam tak terluka, padahal dia menusuk dengan sekuat tenaganya. Jangankan manusia, kulit badakpun akan tembus ditusuk! Tapi begitu lawan memperlihatkan kesaktiannya dan Mindra merasa lengannya tergetar hebat, ada semacam tenaga yang membuatnya menggigil dan serasa melumpuhkan lengannya, kakek ini terkejut bukan main maka tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dari bawah menendang kemaluan lawan. Namun celaka, Kedok Hitam tertawa perlahan dan lutut kirinya tiba-tiba diangkat naik, menyambut atau bertemu dengan kaki lawan. Dan ketika nenggala tiba-tiba hancur ujungnya, Kedok Hitam mengerahkan sinkang hingga lawan kehilangan keseimbangan maka saat itulah lututnya bertemu dengan tendangan Mindra yang sudah miring dan tak tepat mengenai sasaran.
"Aduh!"
Kakek itu menjerit. Ujung kakinya seakan bertemu lapisan baja yang tebal dan kuat, begitu kuatnya hingga jari kelingkingnya berkeratak, patah! Dan ketika kakek itu terpekik dan roboh, lawan berputar dan menggerakkan kakinya yang lain maka Mindra terlempar dan terbanting tak mampu bertanding lagi.
"Dess!"
Sudra terbelalak melihat kejadian cepat itu. Hal ini memang terjadi beberapa detik saja dan berlangsung selama ia terhuyung ditangkis cambuknya. Kedok Hitam telah mendorong mundur kakek ini hingga dapat melayani Mindra secara berdepan. Itulah sebabnya Mindra tak dapat mengharap bantuan temannya karena saat itupun Sudra tertolak mempertahankan diri. Tapi begitu saudaranya terbanting dan merintih-rintih di sana, kakek ini marah dan gusar tiba-tiba ia melompat panjang dan tangan kirinyapun bergerak melancarkan pukulan Bintang Api (Hwi-seng-ciang).
"Kedok Hitam, kaupun robohlah... klap!”
Kedok Hitam tersenyum. Dia telah mengenal dua kakek ini seperti mengenal dirinya sendiri. Begitupun akan pukulan Bintang Api itu, yang menyambar dan melesat dari tangan kiri lawan dan memuncratkan enam cahaya menyilaukan seperti bintang-bintang berapi. Pukulan itu hebat dan berhawa panas, sementara cambukpun masih menjeletar menuju kepalanya. Serangan ini berbahaya dan ganas, intinya adalah mengarah jiwa. Tapi ketika Kedok Hitam mengegos dan ujung cambuk meledak di sisi kepala, cepat dan luar biasa tiba-tiba disergap dengan mulut, Sudra terpekik karena ujung cambuknya sudah digigit lawan maka saat itu Kedok Hitam menggerakkan kedua tangan "menangkap" bunga-bunga api sebanyak enam buah itu.
"Ces-ces-cess!"
Pukulan Bintang Api hancur bagai bertemu es dingin. Kedok Hitam memperlihatkan kepandaiannya dan Sudra terbelalak, waktu ini cukup bagi laki-laki itu melakukan gerakan mengejutkan, mulut dibuka dan ujung cambukpun ditiup menyambar muka Sudra. Dan ketika kakek itu terkejut karena tak sempat lagi menghindar, cambuk menjeletar dan mengenai mukanya maka segores luka panjang membekas di pipi kakek itu.
"Cukup... crat!" seruan itu mengakhiri jalannya pertandingan. Sudra terbanting dan roboh pula menjerit tertahan. Cambuk melukai dirinya sendiri dan dua kakek itu pucat menyaksikan kelihaian lawan. Kedok Hitam ternyata semakin hebat saja! Namun ketika laki-laki itu tertawa dan membungkuk menolong mereka, minta maaf, maka dua kakek ini tertegun dan melihat perobahan watak si Kedok Hitam yang pandai menarik hati.
"Maaf, kalian memang sudah mulai tua, Mindra. Kalah di tangan orang yang lebih muda tak usah dibuat penasaran. Kalaupun aku kelak tua tentu tenagaku juga lemah dan tak sekuat sekarang. Bangunlah, dan kita sudahi main-main ini. Ada tugas untuk kalian!"
"Hm!" Mindra terpincang membelalakkan mata, merah padam. "Kau sekarang rendah hati, Kedok Hitam. Pandai memuji orang lain. Baiklah, kami memang kalah padahal kau belum mengeluarkan ilmu golokmu!"
"Ah, sesama teman sendiri tak berani aku mempergunakan senjata. Lebih baik begini dan biar saja kalian mempergunakan cambuk. Mari dengarkan perintah ongya karena sebentar lagi kita akan disatroni musuh!"
Dua kakek itu menarik napas. Mereka akhirnya mengakui bahwa lawan memang terlampau hebat. Kedok Hitam ini belum mengeluarkan ilmu goloknya, karena tokoh itupun menandingi mendiang Si Golok Maut dengan ilmu golok yang luar biasa, mirip yang dipunyai mendiang Si Golok Maut itu. Dan ketika mereka bertanya siapa musuh yang akan datang menyatroni itu maka Kedok Hitam berkilat marah memberi tahu....