NAGA PEMBUNUH
JILID 11
KARYA BATARA
JILID 11
KARYA BATARA
"CLAP-CLAP!"perahu meluncur cepat. "Jangan membuat ribut, ibu. Ingat janjimu!"
"Hi-hik!" Wi Hong terkekeh, tak menjawab permintaan puteranya. "Lihat mereka terbirit-birit, Liong-ji. Ah, ingin kususul mereka dan menjungkir balikkan perahunya ke air. Ayo, cepat susul. Ibu ingin menenggelamkan mereka!"
"Hm, tidak," Han Han tentu saja tak mau. "Kita bukan berurusan dengan para murid, ibu, melainkan ingin menghadap ayah dan ibu Swi Cu. Pegang pinggiran perahu erat-erat karena aku akan terbang!"
Wi Hong terpekik. Perahu mendadak melesat ke atas dan tidak lagi menyentuh permukaan air. Han Han mengangkat perahunya tinggi-tinggi hingga perahu itu tak lagi meluncur di air. Setiap jatuh atau turun lagi maka Han Han memukulkan dayungnya ke bawah, air danau muncrat tinggi dan angin pukulan pemuda itulah yang membawa dan menerbangkan perahu ini seperti siluman. Dan ketika perahu anak murid tersusul dan perahu Han Han lewat di atasnya, anak-anak murid terbelalak dan bengong, takjub, maka Han Han sudah mendarat dan menjatuhkan perahunya dengan empuk di pulau.
"Han-kongcu datang..... ah, Han-kongcu datang...!"
Sama seperti di luar tadi maka disinipun Han Han disambut dengan teriakan dan seruan-seruan keras. Hanya kalau di luar tadi adalah teriakan atau seruan murid-murid lelaki maka disini semuanya perempuan. Mereka adalah penjaga atau anak-anak murid yang bertugas disitu, tentu saja melihat perahu Han Han yang terbang dan melewati perahu anak-anak murid lelaki. Mereka terkejut dan membelalakkan mata lebar-lebar. Tapi begitu tahu bahwa itulah Han Han, yang rambutnya memerah darah maka murid-murid wanita yang kagum dan sejenak takjub ini berseru kegirangan menyambut.
Namun mereka tertegun melihat Wi Hong, wanita di samping Han Han itu. Mula-mula mereka tak mengenal karena Wi Hong pun rambutnya memerah darah, ibu dan anak sama-sama mirip. Sedetik, mereka menyangka dua orang itu gila, mengecat rambutnya. Tapi ketika tahu bahwa Han Han tak suka main-main dan pemuda berwajah dingin itu datang dengan seorang wanita yang akhirnya dikenal sebagai bekas pangcu yang lama, Wi Hong tentu saja sudah dikenal bekas murid-muridnya sendiri maka ada diantara mereka yang tiba-tiba berkelebat melarikan diri sementara yang sudah didekati tak sempat untuk bersembunyi dan menjatuhkan diri berlutut, gentar.
"Pangcu....!" seruan lirih itu menyembunyikan ketakutan. "Selamat datang dan semoga sehat-sehat saja!"
"Siapa kau?" Wi Hong tak ingat dan menendang. "Menyebutku pangcu tapi hormat kepada orang lain. Minggir, dan enyahlah!"
Tiga orang terlempar. Mereka berdebuk dan mengaduh dan Han Han cepat memegang lengan ibunya itu. Di sini ibunya tiba-tiba tampak beringas dan tak kuasa menahan diri. Mata Wi Hong bersinar dan berkilat-kilat bagai mata harimau haus darah, Han Han mengingatkan ibunya untuk tidak membuat ribut, atau dia kembali dan tak akan menemui Beng Tan. Dan ketika Wi Hong terkejut dan sadar, terkekeh bertemu pandang dengan mata puteranya maka wanita ini menahan diri dan mengangguk.
"Baik, hi-hik. Aku hanya melempar mereka itu, Liong-ji, tak membunuh. Lihat, mereka tak apa-apa dan bangun berdiri!"
Memang benar, tiga anak murid Hek-yan-pang itu bangun berdiri, terhuyung, mau melarikan diri tapi menjatuhkan diri berlutut karena Wi Hong memandangnya penuh ancaman. Namun karena Han Han mencengkeram lengan ibunya dan dua orang itu lewat dengan cepat, melalui mereka maka tiga anak murid ini girang dan lega dan cepat-cepat meloncat bangun untuk melarikan diri.
"Celaka, kongcu datang bersama ketua yang lama. Pergi, cepat menyingkir!"
Di tengah pulau inipun terjadi kegemparan. Mereka sudah melihat Wi Hong dan tak berani bertemu muka. Mereka terkejut dan terheran-heran bagaimana bekas ketua lama itu dapat datang bersama Han Han. Tak pelak tentu terjadi keributan. Wi Hong selamanya begitu! Dan ketika Han Han melihat anak murid berlarian, semua ke dalam atau ke tengah pulau maka Beng Tan yang mendapat laporan segera tertegun.
Pagi itu pendekar ini sedang asyik minum kopi pemberian isterinya, menghirup perlahan-lahan dan kopi kental yang pahit-pahit manis itu terasa lezat. Nikmat diminum panas-panas di pagi yang masih dingin. Tapi begitu belasan anak murid muncul dan langsung menjatuhkan diri berlutut, berseru bahwa Wi Hong dan puteranya datang tiba-tiba pendekar ini tertegun dan bangkit berdiri. "Apa? Wi Hong? Bersama Han Han?"
"Beb.... benar!" anak-anak murid menggigil, tak dapat bicara lancar. "Han-kongcu datang bersama bekas ketua lama, pangcu. Mohon pangcu menemui karena kami ditendang dan dilempar-lempar!"
Dan saat itu berkelebat bayangan Swi Cu. Nyonya cantik yang mendengar ribut-ribut dan juga sedang hendak bertanya ini tiba-tiba melihat belasan anak-anak murid itu. Kebetulan, diapun datang. Dan ketika suaminya menengok dan wajah-wajah disitu tampak pucat dan ketakutan maka nyonya ini membentak bertanya apa yang terjadi.
"Ada apa ribut-ribut. Kenapa semua meluruk kesini seperti kedatangan harimau siluman!"
"Sabar," sang suami bergerak dan mencekal lengan isterinya itu. "Han Han datang, niocu. Tapi bersama seseorang."
"Han Han? Bocah tak tahu diri itu? Kenapa datang setelah minggat beberapa minggu? Biarkan saja, aku ingin mencekik batang lehernya!"
"Eh!" sang suami terkejut, membentak isterinya. "Jangan begitu, niocu. Tak baik berkata begitu di depan begini banyak anak-anak murid. Han Han adalah anak kita, keturunan kita. Betapapun dia harus kita sambut dan tak perlu marah-marah!"
"Hm, dan siapa seseorang itu. Apakah anak itu akan membuat onar lagi!"
"Sabar, Han Han tak akan membuat onar. Tapi orang yang datang bersamanya, hmm... ini kita harus hati-hati."
"Siapa dia?"
"Wi Hong."
"Apa?" sang isteri mencelat, langsung melepaskan cekalan suaminya. "Suci Wi Hong? Dia.... dia datang bersama Han Han? Mau apa?"
"Sabar," sang suami berkelebat, mencekal lengan isterinya itu. "Dia datang, niocu. Lihat, itu mereka!"
Dan ketika benar saja semua menoleh dan Swi Cu memandang ke depan, ke arah yang ditunjuk suaminya maka tertegunlah dia melihat Han Han mendatangi bersama sucinya itu, yang terkekeh-kekeh dan mendorong minggir semua anak-anak murid dan Swi Cu maupun suaminya terbelalak melihat rambut Han Han yang kemerah-merahan. Rambut puteranya itu seperti darah dan suami isteri ini semakin terbelalak saja karena Wi Hong, wanita itu, juga berambut kemerah-merahan seperti Han Han. Mata mereka yang tajam segera mengetahui bahwa rambut itu tidaklah di-cat.
Rambut itu memang merah seperti bermandi atau berminyak darah, bukan main heran tapi juga terkejutnya mereka. Dan ketika Han Han sudah dekat dan membungkuk di depan ayah ibunya, memberi hormat, maka pemuda itu menyatakan maaf dan selamat bertemu.
"Aku datang bersama ibu, harap ayah baik-baik saja."
"Apa?" Beng Tan terkejut, mengerutkan kening. "Ibu? Kau tahu siapa yang kau ajak ini, Han Han? Dan dari mana kau? Kenapa meninggalkan kami tanpa ijin?"
"Maaf," Han Han semburat. "Aku pergi karena sikapmu juga, ayah. Kau memusuhi dan tidak menyukaiku seperti ibu Swi Cu. Aku tak tahan, pergi tapi akhirnya kembali untuk bertanya siapa pembunuh ayah kandungku!"
"Prat!" Beng Tan menggetarkan jari dan berkelebat mencengkeram leher baju anaknya itu. "Apa kau bilang, Han Han? Ayah kandung? Pembunuh ayah kandung?"
"Hi-hik!" Wi Hong, yang terkekeh dan tertawa-tawa membiarkan ayah dan anak saling bicara kini menyergap maju, mengejutkan. "Tak usah heran tak usah bingung akan ini, Beng Tan. Hari ini rahasia besar hendak kubuka. Han Han bukanlah anakmu, dia puteraku, Giam Liong, Sin Giam Liong!"
"Wut!" Beng Tan berkelebat dan kini menyambar Wi Hong, melepaskan cengkeramannya kepada Han Han. "Apa kau bilang, Wi Hong? Rahasia besar? Han Han..... Han Han puteramu? Kau gila?"
"Lepaskan!" Wi Hong membentak dan menendang lawan. "Kita bicara baik-baik, Beng Tan. Dia adalah Giam Liong bukannya Han Han. Anak ini adalah benar anakku, putera yang kulahirkan dari kasih sayang Sin Hauw!" dan bergerak mendampingi Han Han, berlindung sekaligus waspada akan segala serangan, Wi Hong berapi-api memandang ketua Hek-yan-pang itu, tidak berkedip. "Ini adalah benar Giam Liong, anakku. Lihat wajah dan gerak-geriknya, lihat sikap dan pandang matanya. Apakah pantas sebagai puteramu? Dia adalah anakku, Beng Tan. Bocah yang kulahirkan dulu itu. Ini bukan Han Han melainkan Giam Liong!"
"Bohong, dusta!" Beng Tan merah padam membentak Wi Hong, tak dapat mengendalikan marahnya. "Kau membuat onar dan ribut, Wi Hong. Dari dulu sampai sekarang tak jera juga mencari permusuhan. Ah, kau harus ditangkap, dibuang jauh-jauh!" dan ketika Beng Tan berkelebat dan menyambar wanita itu, jari-jari berkerotok penuh hawa marah maka Wi Hong sudah diserang dan siap ditangkap.
Wi Hong terkejut dan mengelak namun jari-jari itu membayangi dirinya. Wanita ini kaget dan melempar tubuh namun kalah cepat. Jari-jari itu sudah menyambar baju pundaknya dan siap menembus daging.
Han Han terkejut melihat kemarahan ayahnya itu. Itulah Tiat-kang atau Tenaga Besi yang akan menghancurkan daging pundak ibunya. Maka ketika ibunya berteriak dan ayahnya tampak beringas, Han Han melompat maju tiba-tiba pemuda itu menangkis dan berseru keras agar ayahnya mundur. "Maaf, harap ayah mundur!"
Dukk! dua lengan yang beradu sama kuat akhirnya menggetarkan Beng Tan yang terdorong selangkah, juga Han Han yang merasakan betapa kuatnya tenaga ayahnya tadi. Tapi ketika Han Han berdiri tegak dan menarik napas dalam-dalam maka pemuda ini membungkuk.
"Ayah tak perlu menyerang ibu kandungku. Apa yang dikata adalah benar. Aku.... aku putera kandung ayahku Si Golok Maut. Aku keturunan keluarga Sin!"
Beng Tan terbelalak dan merah padam. Swi Cu melengking dan berkelebat maju, siap menggempur dan membela suami. Tapi ketika Beng Tan mencekal lengannya dan menyuruh mundur, wanita itu merah padam maka Wi Hong terkekeh dan memandang sumoinya.
"Swi Cu, tak perlu naik pitam. Ini adalah benar anakku sendiri, Giam Liong. Sedang maksud kedatangan kami ialah hendak bertanya kepada suamimu siapa pembunuh suamiku dulu!"
"Keparat, bedebah terkutuk!" Swi Cu membentak dan tak dapat menahan diri. "Kau tak tahu malu dan mencari keributan, suci. Kedatanganmu tak membawa maksud baik dan selamanya mencari permusuhan. Sekarang ceritakan bagaimana itu semuanya terjadi dan dimana anakku Han Han!"
"Benar," Beng Tan menggeram dan menahan marah. "Kedatanganmu aneh dan menusuk perasaan, Wi Hong. Kalau kau datang untuk merebut kedudukan ketua barangkali tak usah panjang lebar kuserahkan kepadamu, kalau murid-murid setuju. Tapi kalau kau datang dengan berita tentang Han Han menjadi Giam Liong dan itu bukanlah anak kami maka kau sungguh keji!"
"Hi-hik, tak perlu marah," Wi Hong terkekeh dan enak saja bicara, tak takut kepada Beng Tan karena dia tahu kepandaian puteranya sendiri, Han Han atau Giam Liong yang tadi telah mampu menunjukkan kelihaian yang meyakinkan, menangkis serangan Beng Tan hingga laki-laki itu terdorong. "Aku akan bicara baik-baik, Beng Tan. Kalau kau terima syukur, tidak diterimapun tak apa. Aku hendak bicara tentang kisah belasan tahun yang lalu, ketika aku datang kesini..."
"Hm, penculikan anak itu?"
"Benar, kau cerdas."
"Dan kau menukar bayi-bayi itu?"
"Ah, hi-hik. Kau luar biasa, Beng Tan. Belum diberi tahu sudah tahu lebih dulu. Ah, kau mengagumkan!" dan ketika Wi Hong terkekeh dan kagum akan pendekar ini, jago pedang yang berotak cerdas maka Swi Cu melengking dan tiba-tiba mencabut pedangnya untuk menusuk,langsung menyerang Wi Hong.
"Kalau begitu kau terkutuk, keji. Kau menukar anak dan mempermainkan aku, suci. Dan untuk dosa begini aku tak dapat memberi ampun..... singg!" dan pedang yang bergerak bagai awan putih tiba-tiba menyambar dan sudah mendekati tenggorokan Wi Hong.
Wanita itu terkejut dan mengelak namun Swi Cu sekarang bukanlah Swi Cu yang dulu, yang masih sumoinya dengan kepandaian khusus dari warisan Hek-yan-pang. Karena begitu mengelak dan mundur menjauh tiba-tiba Swi Cu menetakkan ke bawah dan dengan jurus Pek-jit Kiam-hiap atau silat Pedang Matahari sekonyong-konyong senjatanya itu sudah mendekati Wi Hong lagi dan kini menuju lambung.
"Aihhh.... tranggg!" Wi Hong mencabut pedang apa boleh buat menangkis. Dikejar dan diberondong dua jurus beruntun yang begitu cepatnya tiba-tiba Wi Hong tak dapat keluar. Muka dan belakang sudah penuh dengan bayang-bayang pedang dan mau tak mau dia harus mencabut pedangnya sendiri, menangkis. Tapi ketika dia terpelanting dan kaget berteriak keras maka Han Han sudah berkelebat dan menghadang di depan ibu kandungnya.
"Maaf, harap ibu Swi Cu tidak menyerang lagi."
"Terkutuk!" Swi Cu melengking dan bahkan menerjang Han Han. "Kalau kau bukan anakku malah kebetulan sekali, bocah. Gara-gara ibumu aku jadi menderita!" dan pedang yang bergerak menusuk mata tiba-tiba dikelit dan ditampar Han Han.
Pemuda ini bukanlah Wi Hong dan dia tahu jurus-jurus berikutnya, mendahului dan menampar pedang dan karena sinkangnya memang lebih kuat maka pedang di tangan Swi Cu seketika mencelat, jatuh dan terlepas dari tangannya. Dan ketika Swi Cu terpekik dan mundur terhuyung, marah sekali maka Han Han sudah memungut dan mengembalikan kembali pedang ibunya itu, ibu atau yang sebenarnya bibi karena Swi Cu adalah sumoi dari ibu kandungnya.
"Maaf," Han Han atau sekarang yang bernama Giam Liong ini menunjukkan muka sedih. "Aku tak ingin menimbulkan keributan, ibu. Aku datang hanya untuk berurusan dengan ayah, bertanya tentang siapa pembunuh ayah kandungku."
"Keparat, jangan panggil kami ayah ibumu!" Swi Cu membentak, menyambar dan menusukkan pedangnya lagi. "Kalau kau anak Sin Hauw maka pantas kau berdarah dingin, Giam Liong. Kiranya kau anak pembunuh itu dan bukan anak suamiku!"
Namun Giam Liong yang mengelak dan kembali menampar akhirnya membuat pedang runtuh dua kali, terbelalak dan mencorong matanya mendengar Swi Cu mengatakan ayahnya pembunuh, hal yang membuatnya marah! Tapi ketika Beng Tan bergerak dan menangkap isterinya, memungut dan menyambar pedang maka laki-laki itu berdiri dengan muka gelap, pandang matanyapun mulai mencorong menakutkan.
"Han Han, eh... Giam Liong! Jangan menghina isteriku kalau betul ingin berurusan denganku. Nah, katakan, apalagi maumu selain itu!"
Han Han, atau marilah kita sebut pemuda ini sebagai Giam Liong, karena dia memang keturunan Si Golok Maut Sin Hauw berdiri tegak berhadapan dengan bekas ayahnya itu. Agak sukar bagi Giam Liong untuk merobah sebutan, karena sudah terbiasa bertahun-tahun dia memanggil ayah dan ibu kepada laki-laki ini dan Swi Cu. Tapi karena Swi Cu memakinya sebagai anak pembunuh dan Giam Liong bangkit kemarahannya mendengar ini, ibunya tak mau lagi dipanggil sebagai ibu lalu berlutut sebelum menumpahkan kemarahannya, yang mulai berkobar.
"Maaf, ayah," pemuda itu masih tak bisa merobah sebutan. "Kalau aku datang membuat ribut sukalah dimaafkan. Aku dan ibu datang bukan untuk mengacau, melainkan bertanya siapa pembunuh ayahku. Kalau aku sudah mendapat keterangan tentu akan segera pergi."
"Begitu enak?" Swi Cu me lengking, akan menerjang tapi dicekal suaminya lagi. "Ibumu menculik anakku, Giam Liong. Dan dia harus mempertemukan aku dengan anakku itu. Kalau tidak, kalian berdua harus binasa disini, setidak-tidaknya ibumu!"
"Hi-hik!" Wi Hong tertawa, nyaring. "Jangan sombong dan mentang-mentang, Swi Cu. Jelek-jelek aku adalah sucimu, orang yang lebih tua darimu. Kalau kau mau menangkap atau membunuh aku maka kutanya apa kesalahanku!"
"Kau sudah tidak gila?"Swi Cu melotot, sejak tadi memperhatikan bahwa sucinya ini memang waras, dapat bicara baik.
Tapi Wi Hong yang mendelik dan bahkan gusar lalu melompat dan berapi-api di depannya, berkacak pinggang. "Apa? Gila? Kaulah yang edan, Swi Cu. Melihat saudara bernasib malang malah galang-gulung dan kawin dengan laki-laki yang merampas kedudukanku sebagai ketua. Kaulah yang tidak waras, kaulah yang tidak berotak! Kalau aku tidak bertemu puteraku ini barangkali aku tetap gila dan tak tahu kegilaanmu yang lebih dari aku karena membiarkan sucinya menderita dan menangis sendirian!"
"Hm, aku tak perduli kepadamu!" Swi Cu membentak, sakit hatinya karena sucinya ini ternyata telah mempermainkannya, menukar bayi. "Kau menderita dan sengsara adalah atas kesalahanmu sendiri, suci. Kalau kau tidak melanggar dan menyalahi peraturan partai tentunya kau tak akan melahirkan anak haram jadah ini!Siapa suruh kau menyerahkan kehormatan kepada Golok Maut si pembunuh itu? Siapa suruh kau bermain cinta hingga melahirkan anak tak berbudi ini? Kalau kau waras tak akan terjadi semuanya itu, suci. Tapi karena kau gila dan sengaja melanggar peraturan partai maka kau kena hukumannya. Itu salahmu, bukan salahku!"
"Apa?" Wi Hong terbelalak, hebat dan luar biasa sekali kata-kata sumoinya itu. "Kau.... kau menghina dan merendahkan aku sedemikian rupa? Kau.... kau memaki puteraku sebagai anak haram?"
"Kenapa tidak?" Swi Cu juga sudah terlanjur dibakar kemarahan hebat, atas hilang atau ditukarnya anaknya itu. "Di samping rendah dan memalukan ternyata kau culas, suci. Menukar anak dan memberikan anak jadahmu kepada kami. Sekarang, setelah besar tiba-tiba kau datang bersamanya seperti seekor harimau yang hendak menerkam majikannya yang memberinya minum atau makan bertahun-tahun!"
"Aiihhhhh....!" pekik atau lengking menggetarkan itu membuat anak-anak murid Hek-yan-pang terpelanting. Mereka terjerembab atau terjengkang oleh suara Wi Hong yang luar biasa ini, suara yang dilandasi khikang sepenuh tenaga. Wi Hong pucat dan merah berganti-ganti mendengar makian sumoinya itu. Mereka telah saling tuduh-menuduh.
Dan Giam Liong yang mendengarkan itu sampai menggigil dan berketrukan giginya. Kalau bukan wanita ini yang bicara barangkali dia akan berkelebat dan segera melepas pukulan maut. Di depan begitu banyak orang Swi Cu telah menghinanya sebagai anak haram jadah. Ah, betapa menyakitkan itu!
Dan ketika ibunya bergerak dan menerjang ke depan, ibu dan bibinyaitu memang sudah sama-sama berhadapan maka Giam Liong berputaran matanya bagai seekor harimau yang penuh nafsu, marah namun mengendalikan kemarahannya karena dilihatnya ayahnya bersiap-siap melindungi sang isteri, berjaga-jaga dari perbuatannya karena Beng Tan juga melihat perubahan hebat di wajah pemuda itu.
Giam Liong berkali-kali mengeluarkan geraman menggetarkan mendengar semua kata-kata isterinya tadi. Beng Tan sudah meremas dan mengguncang lengan isterinya dua kali untuk tidak mengeluarkan kata-kata tajam. Namun karena isterinya terpukul dan marah oleh perbuatan Wi Hong, yang menculik dan menukar anak maka Beng Tan yang diam-diam juga marah dan terpukul oleh kenyataan ini akhirnya membiarkan saja isterinya itu bicara semaunya, tak tahunya Wi Hong tiba-tiba memekik dahsyat membuat anak-anak murid terpelanting. Dan ketika wanita itu bergerak dan menyambar isterinya, terbang bagai garuda atau elang yang buas maka pedang di tangan Wi Hong menusuk dan bergerak tujuh kali, padahal isterinya tak bersenjata, pedang isterinya masih di tangannya.
"Bret-bret-bret!" Swi Cu terpekik dan membanting tubuh bergulingan. Kalau dia tidak bersenjata sementara sucinya menyerang begitu garang, dengan pedang di tangan maka serangan sucinya itu sungguh berbahaya sekali. Memang benar dia mendapat tambahan kepandaian dari suaminya, di samping ilmu-ilmunya sendiri dari Hek-yan-pang. Namun karena sucinya begitu beringas dan semua kata-katanya tadi membuat Wi Hong marah selangit, sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi maka Wi Hong mengejar dan mencaci-maki sumoinya itu, bergerak dan berkelebat dan pedang di tangan menikam bertubi-tubi kebawah.
Lima kali Swi Cu kalah cepat berkelit hingga baju dan sebagian kulitnya tertusuk. Swi Cu pucat karena sucinya mengejar dan ganas sekali menyerang. Tapi ketika nyonya itu kewalahan dan Wi Hong menggetar-getarkan ujung pedangnya seperti orang hendak mencincang bakso maka Beng Tan yang tak dapat melihat isterinya bergulingan tiba-tiba membentak dan melepaskan pukulan jarak jauh menghantam Wi Hong.
"Mundur!"
Wi Hong terpelanting. Pukulan bukan sembarang pukulan yang dilepas laki-laki itu memang tak dapat ditahan Wi Hong. Wanita ini terpelanting dan menjerit. Dan ketika dia melempar tubuh menjauh sementara Swi Cu sudah meloncat bangun dan ditolong suaminya maka Swi Cu merebut atau mengambil pedang ditangan suaminya itu.
"Kubunuh jahanam ini! Biar kubunuh dia!"
"Tidak, tahan!" Beng Tan membentak, menahan isterinya itu.
Dan ketika Swi Cu meronta namun suaminya menotok dan melumpuhkan dia maka pedang kembali direbut dan Beng Tan menghadapi Wi Hong, berapi-api. "Wi Hong, tak kusangka sedemikian keji dan culas hatimu. Kau menculik anak, menukar bayi kami. Dan setelah kini kau datang lagi maka keributan dan keonaran yang lagi-lagi kau buat. Hm, aku tak dapat membiarkan ini dan tak akan mengampunimu. Kau kutangkap dan harus dihukum. Kemana anak kami itu dan kau apakan dia!"
"Hi-hik, aku tak tahu!" Wi Hong berkelebat dan cepat bersembunyi di balik punggung puteranya, diam-diam gentar dan masih sangsi apakah Giam Liong mampu menghadapi pendekar itu, karena kepandaian Beng Tan sungguh hebat sekali.
Tapi ketika Beng Tan bergerak dan hendak menyambar lengannya, menangkap, maka Giam Liong bergerak dan menangkis lengan ayahnya itu.
"Maaf, kau tak dapat mengganggu ibu disini, ayah. Kalau ibu bersalah menukar bayi maka akulah yang bertanggung jawab. dukk!"
Beng Tan tergetar mundur,untuk kedua kali merasa tangkisan puteranya yang kuat. Giam Liong memang hampir setingkat dengannya. Dan karena anak itu mempelajari warisan sinkang di sumur tua, pelajaran yang ternyata dari ayah kandungnya sendiri maka Beng Tan pucat melihat kekuatan puteranya itu, sinkang Giam Liong yang sudah semakin hebat dengan tambahan warisan dari Si Golok Maut.
"Hm, kau membela ibumu, Giam Liong? Apa maksud kata-katamu dengan bertanggung jawab itu? Dan kau sekarang berani melawan aku?"
"Maaf," pemuda ini merah padam, sama seperti sang ayah, bingung di samping marah karena dia dan ibunya sudah dihina Swi Cu habis-habisan. "Aku bertanggung jawab artinya akan menebus kesalahan ibu, ayah. Yakni akan mencari dan mendapatkan puteramu itu. Aku tahu siapa yang mengambil!"
"Mengambil?" Beng Tan terkejut. "Jadi..... jadi puteraku jatuh ke tangan orang lain?"
"Benar."
"Keparat! Siapa itu?"
"Jangan diberi tahu!" Wi Hong tiba-tiba berseru, melompat dan berdiri di samping puteranya itu, terkekeh, mulai percaya bahwa puteranya dapat menghadapi pendekar ini. "Kalau dia tak mau menyebutkan siapa dan dimana pembunuh ayahmu itu maka tak usah kita memberitahunya, Liong-ji. Hutang satu bayar satu, hutang dua bayar dua!"
Giam Liong tertegun, sadar. Dan ketika dia mengangguk dan merasa ucapan ibunya benar, Beng Tan menggeram dan semakin marah, maka pendekar itu berkilat memandang Wi Hong.
"Hm, kalau begitu aku tak akan perduli lagi. Kau menukar dan menculik anakku, mempermainkan dan kini mengajak puteramu memusuhi aku. Baik, kau majulah, Giam Liong. Aku akan menghadapimu sebelum membekuk ibumu. Keluarkan semua kepandaian yang pernah kau dapatkan dariku!"
Pemuda itu terkejut. Bentakan dan kata-kata ayahnya ini menyadarkan sekaligus membuatnya tertegun. Ayahnya mengejek dan berkata bahwa kepandaian yang didapat akan dikeluarkannya untuk menghadapi ayahnya itu, jadi seperti murid melawan guru. Dan karena kata-kata itu menyiratkan ejekan bahwa dia tak berbudi, membalas air susu dengan tuba maka Giam Liong tertegun dan sejenak tak mampu menjawab, diam tak berbuat apa-apa. Tapi ibunya yang melengking dan tertawa nyaring tiba-tiba berseru mengingatkan dia akan musuh atau pembunuh ayah kandungnya.
"Tak perlu ragu. Kau membela dan melindungi ibumu, Liong-ji. Beng Tan ini hanya ayah angkat dan bukan apa-apa. Kalau dia pernah memberi budi maka itu adalah wajar karena dia merampas dan merebut kedudukan ibumu sebagai ketua disini. Nah, budinya itu sudah sepadan dengan apa yang ia peroleh disini. Kau berhutang budi kepadanya tapi iapun berhutang banyak kebaikan kepadaku. Impas!"
Giam Liong tertegun. Akhirnya dia sadar bahwa kata-kata ibunya pun ada benarnya. Penderitaan ibunya seolah sebagai "pembayaran budi" kepada ayah angkatnya ini. Sebab, kalau ibunya ada dan tinggal disitu tak mungkin Beng Tan dapat menjadi ketua. Laki-laki itu duduk karena ketidakmampuan ibunya pula, karena waktu itu ibunya gila dan terganggu jiwanya. Dan ketika dia menggigit bibir karena mau tak mau harus menghadapi ayahnya ini, ayah sekaligus guru yang telah menurunkan semua kepandaiannya maka Giam Liong berlutut dan mencium tanah, sekali lagi memberi hormat.
"Ayah, tak ingin rasanya aku bertanding denganmu. Tapi karena aku membela dan melindungi ibu kandungku maka kalau kau mau menangkapnya terpaksa aku tak dapat membiarkan. Aku telah berjanji untuk menebus dan membayar kesalahan ibu dengan menculik anakmu itu. Dan kalau kini kau tak mau memberi tahu siapa pembunuh ayahku maka dapat kuanggap kau hendak melindungi dan membelanya. Baik, silahkan maju, ayah. Dan boleh kau bunuh aku kalau bisa. Aku telah bertekad untuk mencari pembunuh ayahku, baik kau memberitahunya atau tidak!"
Beng Tan tergetar. Dua pasang mata mereka yang bentrok dan saling beradu pandang membuat dia menyaksikan tekad dan kebulatan hati pemuda itu. Mata Giam Liong mencorong dan melihat mata ini seperti melihat mata mendiang Si Golok Maut Sin Hauw. Sebenarnya ada kekaguman di hati pendekar ini melihat wajah dan sikap Giam Liong. Pemuda itu memang gagah dan jantan, mata dan gerak-geriknya telah menunjukkan hal itu, sama seperti mendiang ayahnya yang juga gagah dan jantan, perwira sebagai seorang laki-laki namun sayang kelewat ganas karena dendamnya yang setinggi langit.
Dan ngeri melihat sorot mata Giam Liong ketika membicarakan pembunuh ayahnya, mata yang berkilat dan mencorong berbahaya maka Beng Tan teringat ketika dua puluh tahun yang lalu dia juga berhadapan dengan ayah pemuda ini, Sin Hauw si Golok Maut!
Seperti itulah sikap dan sorot mata mendiang Sin Hauw. Sekali mempunyai keputusan tak akan sudah sebelum terlaksana, biarpun untuk itu darah dan nyawa sendiri dikorbankan! Maka ketika pandang mata dan sikap atau kata-kata Giam Liong persis ayahnya, mata yang bersorot buas dan penuh kebencian maka Beng Tan bergidik membayangkan apa yang akan terjadi. Diam-diam pendekar ini menekan rasa ngerinya. Diakui atau tidak, sebenarnya tak ada kemarahan atau kebencian kepada bekas puteranya ini. Bahkan, dia merasa sayang dan kasih kepada pemuda itu.
Giam Liong adalah pemuda pendiam dan penurut, juga amat rajin berlatih hingga dalam beberapa tahun saja sudah hampir menyamainya, hal yang mengagumkan hatinya. Tapi begitu diketahui bahwa pemuda ini bukan puteranya, putera kandung, maka Beng Tan menjadi kecewa dan marah berat, bukan kepada pemuda itu melainkan kepada Wi Hong. Ah, Wi Hong sungguh biang penyakit. Kalau tidak ditangkap atau dihukum tentu bakal membuat onar. Tapi karena menangkap wanita itu harus berhadapan dengan puteranya ini, pemuda yang telah dididik dan bahkan mendapat warisan dari mendiang ayahnya sendiri maka Beng Tan diam-diam sangsi apakah dapat dia mengalahkan pemuda itu.
Dari sorot mata dan sikap Giam Liong pendekar ini dapat merasakan adanya semacam kekuatan dahsyat pada sinkang bekas puteranya ini. Dua kali adu tenaga tadi telah menunjukkan itu. Giam Liong sekarang sungguh berbeda dengan Giam Liong beberapa waktu yang lalu, sebelum minggat atau meninggalkan Hek-yan-pang. Dan sadar bahwa selama itu tentu pemuda itu terus tekun berlatih dan mempelajari warisan kitab kecil, yang didapat dari sumur tua maka Beng Tan tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.
Hm, jangan-jangan dia akan berhadapan seperti ketika dengan mendiang Si Golok Maut dahulu. Pertandingan yang dahsyat dan tak ada yang kalah atau menang. Tapi karena dia sekarang bertambah tua sementara pemuda ini adalah anak muda yang sedang hebat-hebatnya, penuh vitalitas dan tenaga maka Beng Tan ragu apakah dia mampu menghadapi pemuda ini.
Namun Beng Tan adalah seorang jago yang bernama besar. Setelah Golok Maut tiada, diakui atau tidak, dialah orang terlihai saat itu. Dunia kang-ouw mengakuinya. Dan karena lawan sudah siap di depannya dan menangkap Wi Hong harus merobohkan pemuda itu, bekas putera yang kini akan bertarung membela kepentingan masing-masing maka pendekar itu bergerak dan sudah memasang kuda-kuda.
"Majulah!" sang ayah menantang. "Lama kita tidak bertanding, Giam Liong. Mari kesempatan ini kau isi dengan mengeluarkan semua kepandaianmu!"
Giam Liong bangkit berdiri. Setelah berlutut dan mencium tanah dia menganggap tak perlu sungkan lagi. Dia sudah minta maaf dan tentu saja dia tak akan membiarkan ibu kandungnya ditangkap. Ayahnya itu pasti akan menghukum ibunya dengan keras, apalagi Swi Cu, bibi atau bekas ibunya itu pula. Maka ketika sang ayah berdiri menantang dan kuda-kuda yang dipakai ayahnya adalah kuda-kuda bersudut, satu kaki ditekuk ke depan sementara pinggang ke atas tegak lurus, satu sikap bertahan sekaligus menyerang maka Giam Liong menarik napas dan memasang kuda-kuda sejajar, dua lengan diangkat sementara lengan yang satu ditarik ke dalam dengan kedua kaki bengkok ke depan, satu pasangan kuda-kuda yang menandingi kuda-kuda bersudut!
"Ayah saja yang memulai," pemuda itu berkata, tenang namun matanya mencorong lebih kuat, sikapdan kata-katanya membuat anak murid merinding karena terasa begitu dingin dan beku! "Aku mengalah tiga jurus, ayah. Setelah itu baru membalas!"
"Hm, kau yang datang, kau yang harus mulai lebih dulu!"
"Tapi ayah adalah orang yang lebih tua, harus kuhormati lebih dulu!"
"Tidak, aku tuan rumah, Giam Liong. Kali ini kau adalah tamu. Majulah, dan jangan banyak bicara!" tapi ketika Giam Liong hendak bergerak dan menyerang, pasangan kuda-kuda sudah siap berobah tiba-tiba Wi Hong berkelebat dan melengking ke depan.
"Tunggu!" wanita itu berseru. "Kalah menang harus ditentukan taruhan, Beng Tan. Sebelum dilanjutkan sebaiknya kalian masing-masing sama berjanji. Siapa yang kalah dialah yang harus menurut kepada yang menang. Dan aku hanya mengharap kau memberi tahu siapa pembunuh suamiku itu!"
"Betul," Giam Liong terkejut, sadar. "Bertanding tanpa memberi tahu keinginan masing-masing adalah percuma, ayah. Aku hanya ingin tahu siapa dan dimana pembunuh ayahku itu, kalau kau kalah. Tapi kalau kau menang terserah apa yang akan kau minta!"
"Hm," Beng Tan berpikir, juga terkejut. Tapi ketika dia belum menjawab tiba-tiba isterinya melengking. "Suamiku, tak perlu menuruti semua omongan itu. Kalau kau kalah biarlah mereka membunuh kita. Tapi kalau mereka kalah kitalah yang akan membunuhnya!"
"Hm!" Beng Tan menggeleng, tak setuju. "Bunuh-membunuh adalah pekerjaan yang tak kusukai, niocu. Kalau aku kalah dan mau dibunuh terserah, tapi kalau aku menang aku hanya meminta mereka tak meneruskan niatnya dan memberi tahu dimana anak kita itu! Bagaimana?"
"Tidak, aku tak setuju. Lebih baik kita mampus atau mereka!"
"Hi-hik!" Wi Hong terkekeh, meloncat dan kembali kedekat puteranya, melihat Swi Cu mau menggagalkan maksudnya. "Suamimu sudah bicara, Swi Cu. Dan aku menerima. Kalau kau menganggap suamimu bukan seorang penjilat ludah tantangannya kupenuhi. Aku siap menggagalkan maksudku bertanya tentang pembunuh itu kalau pihakku kalah, tapi kalau pihak kalian yang kalah maka suamimu harus memberi tahu siapa dan dimana pembunuh itu!"
"Aku tak dapat menerangkan siapa pembunuh ini, kecuali dimana kira-kira ia berada. Kalau kau bertanya siapa dia terus terang tak dapat kukatakan!" Beng Tan menukas, bersinar dan marah karena merasa dirinya direndahkan.
Wi Hong seolah menganggapnya sebagai pihak yang pasti kalah, demikian percaya kepada puteranya sendiri dan tentu saja pendekar itu merah mukanya. Tapi mengingat bahwa Giam Liong mendapatkan sebagian besar ilmu-ilmunya darinya, hal yang agak menenangkan pendekar ini maka dia menjawab sambil mengingatkan lawan. Dia tak mau memberi tahu siapa sebenarnya si Kedok Hitam itu kecuali dimana kira-kira ia berada, karena ia memang tak ingin memberi tahu siapa si Kedok Hitam itu, semata untuk menjaga keonaran atau banjir darah lagi. Tapi Wi Hong yang terkekeh dan mengejek kepadanya berkata bahwa itupun tak apa.
"Jangan sombong. Di dunia ini ada dua orang yang dapat kutanya, Beng Tan, bukan hanya dirimu saja. Kalau kau tak mau maka aku sudah memberi tahu kepada puteraku untuk ke kota raja, bertanya kepada Coa-ongya!"
Beng Tan terkejut. Perobahan wajah yang tampak jelas tiba-tiba membuat pendekar itu surut selangkah, kata-kata lawan membuatnya berdetak, kaget. Tapi ketika dia dapat menenangkan guncangan dirinya lagi dan berdiri tegak, muka sudah biasa maka pendekar itu berkilat dan menutup pembicaraan.
"Baik, kalau begitu tak perlu banyak mulut, Wi Hong. Kenapa kau kesini dan tidak ke Coa-ongya. Tentu kau takut menghadapi banyak orang dan merasa dapat menguasai aku. Majulah, suruh puteramu mulai!"
Wi Hong tertawa. Setelah Beng Tan menyetujui maksud hatinya dan taruhan itu dapat dibuat, yang kalah harus tunduk kepada yang menang maka harapan untuk mengetahui siapa dan dimana pembunuh suaminya itu dapat dilacak. Dia akan memulai ini bersama puteranya. Pergi ke istana pun dia tak takut, asal bersama puteranya yang lihai itu. Dan ketika dia mundur dan menepuk pundak puteranya, agar maju dan mulai menyerang maka Giam Liong diam-diam tertegun dan terkejut.
Tak ada maksud di hatinya untuk menggagalkan atau membatalkan mencari si pembunuh itu. Dia akan berusaha sampai titik darah terakhir untuk menemukan si Kedok Hitam. Dia sudah bersumpah! Tapi karena ibunya sudah menyatakan janji dan itu tak dapat ditarik lagi, diam-diam pemuda ini menyesali kesembronoan ibunya maka Giam Liong bertekad untuk memenangkan pertandingan. Apa boleh buat, dia harus mengalahkan ayahnya itu.
Bukan karena ambisi melainkan semata agar dapat mencari pembunuh ayah kandungnya. Ayahnya inilah orang yang paling tahu siapa pembunuh itu, orang yang hanya dikenal sebagai si Kedok Hitam. Dan ketika Giam Liong tak dapat mundur selain maju dan harus menang, keberingasan dan tekadnya tak dapat dicegah maka muka pemuda itupun menjadi merah sementara rambut di atas kepalanya berkilat-kilat seperti api yang marong (membara)!
"Baiklah, kita mulai, ayah. Dan cabut senjatamu agar kita segera menyelesaikan persoalan ini!"
"Tidak, kau saja yang mencabut senjatamu, Giam Liong. Pinjam pedang ibumu kalau kau tidak membawa!" Beng Tan berkata, tak tahu Golok Maut yang disembunyikan di balik punggung pemuda itu.
Giam Liong menyimpannya di balik bajunya yang kerombyong, longgar dan besar hingga tak dapat dilihat ayahnya itu, apa-lagi dia selalu berdepan dengan laki-laki ini, hingga punggungnya terlindung. Dan ketika Giam Liong tersenyum dan menggeleng,tak akan mencabut senjata sebelum diperlukan maka dia mengerotokkan buku-buku jari untuk menyerang tanpa senjata, kedua lenganpun tiba-tiba memerah seperti terbakar.
"Aku akan menyerang tanpa senjata, ayah. Kalau aku tak dapat merobohkanmu maka senjata baru kucabut belakangan. Awas, aku mulai!" dan Giam Liong yang berkelebat dan mendorong ibunya, agar menyingkir jauh tiba-tiba berseru dan melepas pukulan pertama.
Beng Tan menanti dan pendekar itu terkejut karena tiba-tiba berkesiur angin panas yang menyambar dirinya, bukan sekedar panas melainkan juga beserta uap merah. Itulah Ang-in-kang, Pukulan Awan Merah! Dan ketika pendekar ini berkelit namun angin pukulan itu terus menyambar, mengikuti maka apa boleh buat pendekar itu harus menangkis dan menggerakkan tangannya.
"Dukk!"
Anak-anak murid terpelanting. Bumi bergetar demikian kerasnya karena baik Beng Tan maupun Giam Liong sama-sama menambah tenaganya. Tadi dalam dua kali pukulan mereka sudah merasakan hebatnya tenaga lawan, kini menambah dan bermaksud mencapai kemenangan lebih dulu tapi masing-masing pihak ternyata berpikiran sama. Beng Tan juga ingin memenangkan pertandingan itu dan ketika melihat uap merah dia sudah cepat menambah dan mengerahkan sinkangnya, tak tahunya Giam Liong juga menambah kekuatannya hingga begitu bertemu tiba-tiba tanah tergetar dan terguncang keras.
Wi Hong sendiri sampai terpeleset dan hampir terjatuh! Dan ketika wanita itu terpekik namun dua orang itu sudah saling membentak dan bergebrak lebih jauh maka Giam Liong berkelebat mengelilingi ayahnya sambil melepas pukulan-pukulan Awan Merah. Lawan tak mau diam dan pendekar inipun membalas dan berkelebatan pula. Dan ketika masing-masing pihak melihat bahwa yang lain ingin mencapai kemenangan dan bergerak secepat mungkin maka mereka mengerahkan ginkang dan akhirnya lenyap berputaran bagai angin puyuh!
"Bagus!" Beng Tan memuji. "Kepandaianmu bertambah maju, Giam Liong. Kau semakin hebat tapi belum tentu dapat mengalahkan aku!"
"Hm, aku akan berusaha. Mati hidup demi mendiang orang tuaku, ayah. Kalau kau tak mau mengalah barangkali kau harus membunuhku!"
Keduanya sudah bertanding cepat. Beng Tan tak dapat berbicara lagi karena pukulan-pukulan puteranya semakin cepat. Uap merah di tangan Giam Liong semakin tebal dan panas, anak-anak murid terpaksa menjauh karena dari jarak beberapa tombak saja tubuh mereka serasa terbakar, bahkan, ada yang mulai melepuh! Dan ketika angin menderu-deru dan Wi Hong sendiri tak kuat menahan hawa panas itu maka wanita ini menjauhkan diri karena Beng Tan juga mengeluarkan Ang-in-kang untuk menandingi bekas puteranya itu.
"Duk-dukk!"
Pertandingan menjadi hebat. Dua orang itu akhirnya lenyap merupakan bayang-bayang hitam dan biru. Pendekar itu mengenakan pakaian biru dimana bayangannya ini berkelebatan mengimbangi bayangan lawan. Giam Liong berbaju hitam dan bayangan biru serta hitam berganti-ganti. Mereka saling desak namun bayangan biru kewalahan. Giam Liong mulai mengeluarkan pula warisan sinkang dari kitab kecil di sumur tua, yakni pelajaran Kim-kang-ciang atau Pukulan Tangan Emas. Dan karena pemuda itu berganti-ganti mengeluarkan dua pukulan berbahaya, Kim-kang-ciang akhirnya menyorotkan sinar emas dimana Beng Tan menjadi silau maka pendekar itu terkejut karena dia terdesak!
"Keparat!" pendekar itu memaki. "Kau telah hapal pelajaran mendiang ayahmu, Giam Liong. Kau menggabung dengan Ang-in-kang untuk mengalahkan aku. Ini Kim-kang-ciang!"
"Benar," Giam Liong berseri. "Meskipun kau merobek dan menghancurkan kitab itu namun isinya telah kuhapal, ayah. Betapapun aku ingin maju dan mengalahkanmu!"
"Tak mungkin, kita belum bergebrak sepenuhnya. Aku belum mengeluarkan pedangku..... duk-plak!" dan Beng Tan yang mengeluh dan terlempar ke belakang tiba-tiba bersuara keras karena digencet Kim-kang-ciang sekaligus Ang-in-kang. Dia sendiri hanya mengandalkan Ang-in-kang dan itu kalah kuat. Bekas puteranya benar-benar lihai dan pendekar itu terkejut. Dan ketika dua pukulan menyambarnya dari depan karena Giam Liong mendorongkan dua tangannya sekaligus, yang kiri dengan Kim-kang-ciang sedang yang kanan dengan Ang-in-kang maka sinar emas dari Kim-kang-ciang menyilaukan pendekar itu dimana dia akhirnya terbanting dan terlempar bergulingan.
"Maaf," Giam Liong mengejar, berkelebat memburu ayahnya itu. "Kau menyerahlah, ayah. Kita sudahi pertandingan ini!"
"Jangan sombong!" sang ayah membentak, bergulingan sambil mendorong kedua tangannya dari bawah, menyambut atau menolak dua pukulan puteranya. Dan ketika suara berdentam mengguncangkan tempat itu dan Giam Liong terhuyung mundur maka sang ayah sudah bergulingan meloncat bangun.
"Majulah!" wajah pendekar itu pucat. "Aku belum kalah, Giam Liong. Sinkangmu hebat sekali namun pertandingan belum selesai!"
"Aku tahu," Giam Liong kagum, ragu dan tak segera menyerang. "Kaupun hebat, ayah. Seranglah dan mulailah dulu... wut!"
Sang ayah tak menanti omongan itu habis, membentak dan berkelebat melepas pukulan dan Giam Liong mengelak. Dan ketika ayahnya mengejar dan memburu maka terpaksa dia menangkis dan ayahnya lagi-lagi terpental.
"Keparat!" Beng Tan mulai marah, menggigil mendengar kekeh Wi Hong. "Aku harus menghajarmu, Giam Liong. Cabut senjatamu dan kita mainkan Pek-jit Kiam-sut (Silat Pedang Matahari)!"
"Aku belum merasa perlu," Giam Liong menjawab, tenang, mulai yakin akan kemenangannya. "Kalau kau ingin mencabut silahkan cabut, ayah. Aku akan menandingimu kalau terdesak!"
"Sombong, kau mulai congkak!" dan sang pendekar yang kembali membentak dan menyerang pemuda ini lalu mengeluarkan ilmu-ilmu lain. Ang-in-kang mulai ditambah dengan tamparan-tamparan pedang. Kiam-ciang atau Tangan Pedang pendekar ini mulai dikeluarkan. Dan ketika bunyi bercuitan terdengar mengiringi pukulan menderu maka Kim-kang-ciang tertahan dan Giam Liong tak dapat mendesak ayahnya!
"Hm, hebat!" pemuda itu penasaran, terkejut. "Kau sungguh manusia jempolan, ayah. Tak bohong kalau kau disebut pendekar nomor satu!"
Beng Tan mendengus. Pendekar ini tak mau melayani dan Kiam-ciang di tangannya terus bercuitan menyambar-nyambar. Ternyata dengan itu dia dapat menahan Kim-kang-ciang. Pukulan sinar emas itu dapat dibelah dan dibuyarkannya, akibatnya Giam Liong tertegun dan memuji kagum. Bekas ayahnya ini memang hebat. Tapi ketika lawannya itu bergerak semakin cepat dan Tangan Pedang mulai mencicit dan mendesing, tangan itu berobah seolah sebatang pedang pusaka sendiri maka Giam Liong berseru keras berjungkir balik meloncat tinggi.
"Crat!"
Tanah di bawahnya memuncratkan lelatu api. Wi Hong terpekik sementara anak-anak murid sendiri berteriak ngeri. Mereka melihat Giam Liong nyaris terlambat dan disambar Tangan Pedang itu, yang mulai berkilauan dan berkilat bagai sebatang pedang. Dan ketika Giam Liong melayang turun tapi dikejar dan disambar bacokan ayahnya maka Giam Liong mengerahkan Tangan Pedangnya pula dan terdengarlah suara seperti dua batang pedang beradu.
"Cranggg!"
Orang-orang merasa tertegun. Giam Liong mengeluarkan kepandaian yang sama dengan ayahnya karena hanya dengan Tangan Pedang itulah dia mampu mengimbangi ayahnya. Guru dan murid benar-benar bertemu dan sang pendekar tertegun. Tapi ketika pendekar itu mendengus dan menyerang lagi, Kiam-ciang dihadapi dengan Kiam-ciang maka suara crang-cring memekakkan telinga dan dua orang itu bergerak semakin cepat.
"Keluarkan lagi kepandaian ayahmu!"
Beng Tan menantang, tertawa dan yakin dapat menahan bekas puteranya ini. "Kau tak dapat mengalahkan aku, Giam Liong. Menyerahlah dan buang keinginanmu untuk membalas dendam!"
Si pemuda merah padam. Giam Liong marah namun bekas ayahnya itu benar-benar dapat menahan dirinya, bahkan, dia akhirnya terdesak, karena sepasang lengan ayahnya bergerak-gerak dengan Kiam-ciang dan bercuitan menyambar-nyambar. Dalam hal ini dia kalah matang tapi pemuda itu tidaklah menyerah begitu saja. Karena ketika suatu kali dia tergetar mundur dan tangan kiri ayahnya menyambar dan membabat pundaknya tiba-tiba Giam Liong merobah gerakan dan dengan satu kaki terangkat ke atas tiba-tiba dia membalas dan menggempur ayahnya itu.
"Dess!"
Beng Tan mencelat kaget. Tangan Pedang disambut jurus yang aneh dan satu kaki Giam Liong menancap di dalam bumi. Aneh dan mengejutkan tiba-tiba pukulan pemuda itu bertambah dahsyat seolah mendapat bantuan siluman, menggetarkan dan membuat pendekaritu mencelat! Dan ketika Beng Tan terguling-guling dan pucat melompat bangun maka Giam Liong masih berdiri dengan satu kaki di atas kaki yang lain, tegak dan tak bergeming.
"Kim-kee-kang (Ilmu Ayam Emas)!" sang pendekar terkejut, membelalakkan mata lebar-lebar dan segera teringat ketika dulu dia juga pernah menghadapi gempuran macam ini, bukan dari siapa-siapa melainkan dari mendiang si Golok Maut Sin Hauw.
Kim-kee-kang akan menjadi demikian ampuh dan hebatnya kalau satu kaki sudah terbenam di bumi. Kaki itu akan menjadi demikian kuat dan seolah dipantek saja, akibatnya kekuatan itu tersalur dan dia dulu juga pernah terbanting. Kini dengan Giam Liong, anak Si Golok Maut! Dan ketika pendekar itu tertegun dan menjublak, pucat dan merah berganti-ganti maka Giam Liong menurunkan kakinya dan berseru,
"Menyerahlah, sekarang kau kalah, ayah. Inilah kepandaian dari mendiang orang tuaku seperti yang kau minta. Memang benar, Kim-kee-kang!" dan ketika pendekar itu mendelik dan marah, menggeram, tiba-tiba dia berteriak menggetarkan dan menerjang lagi.
"Aku belum kalah. Aku juga masih mempunyai ilmu yang lain, Giam Liong. Hati-hatilah!" dan secercah cahaya putih yang meledak dan menyambar tiba-tiba turun dan menghantam Giam Liong. Itulah Pek-lui-ciang (Tangan Kilat) yang hebatnya bukan alang-kepalang, datang menyambar dari atas dan Giam Liong terkejut melihat itu.
Apa boleh buat terpaksa dia mengangkat satu kakinya lagi untuk menyambut pukulan itu. Pek-lui-ciang memiliki inti kekuatan dari atas, sementara Kim-kee-kang dari bawah. Jadi, seolah bumi dengan kekuatan langit. Dan ketika Giam Liong terkejut tapi tak dapat berpikir panjang, ayahnya sudah berkelebat dan terbang di udara, melepas Pek-lui-ciang maka pemuda itu membenamkan kakinya semakin kokoh dan seluruh kekuatan bumi ditarik untuk menyambut pukulan Tangan Petir itu.
"Blarrr!"
Hebat dan luar biasa apa yang terjadi kali ini. Giam Liong mengeluh dan melesak kakinya, amblas dan terbenam semakin ke bawah. Dan ketika dua pukulan itu beradu dan sinar putih memecah di udara, anak-anak murid menjerit maka gelegar atau suara benturan dahsyat yang terjadi itu membuat Wi Hong terpelanting sementara anak-anak murid yang lain terbanting pingsan!
Kejadian selanjutnya tak dapat diikuti anak-anak murid lagi karena dengan marah dan geramnya pendekar itu sudah melepas pukulan-pukulan Pek-lui-ciang. Giam Liong menerima dan menahan, mengerikan sekali, melesak dan semakin melesak ke bawah hingga tak lama kemudian kedua lututnya sudah terbenam! Dan ketika Wi Hong menjerit-jerit karena puteranya bertahan dan bertahan maka Beng Tan yang menyerang dan melepas pukulan bertubi-tubi akhirnya juga menderita karena lawan semakin kokoh dan kokoh saja, meskipun terbenam dan tak dapat membalas. Dan karena pengerahan Pek-lui-ciang terlampau melewati batas, Swi Cu yang tertotok dan akhirnya dapat membebaskan dirinya melihat suaminya itu terhuyung dan roboh terduduk, tak mampu membinasakan Giam Liong!
"Oouhh...!" Swi Cu melenting dan meloncat bangun. Suaminya mandi keringat dan batuk-batuk, Giam Liong juga basah kuyup namun pemuda itu jelas tak sepayah lawannya. Beng Tan jatuh terduduk dan kehabisan tenaga, kalah kuat karena kalah muda. Dan ketika pendekar itu bersila dan memejamkan mata, Wi Hong berkelebat dan menyambar puteranya maka Giam Liong ditarik dan jatuh pula terduduk, merasakan gempuran-gempuran Pek-lui-ciang yang amat dahsyatnya!
"Aku ingin minum..." pemuda itu merintih dan merasakan tenggorokannya yang serasa kering terbakar. "Ambilkan aku air, ibu, dan biarkan aku beristirahat."
Murid-murid Hek-yan-pang gempar. Mereka yang tadi bersembunyi dan menonton di luar pagar tak sampai mencelat pingsan oleh benturan-benturan dahsyat itu, meskipun mereka juga menderita karena getaran-getaran suara pukulan itu seolah-olah menghentak jantung mereka, duduk dan bersila dan tak berani menonton lagi karena harus memusatkan konsentrasi pada keselamatan diri sendiri.
Tapi begitu Swi Cu memekik dan Wi Hong juga menjerit menyambar puteranya, pertandingan berhenti maka mereka bangkit berdiri dan alangkah ngeri serta gentarnya melihat teman-teman mereka yang lain sudah bergelimpangan dan pingsan dengan darah mengucur di mulut atau telinga.
"Cepat angkat dan bawa mereka menjauh. Jangan lagi disini!"
Ki Bi, murid utama Hek-yan-pang muncul dan berkelebat. Tadi wanita ini tak ada di pulau karena sedang pergi ke kota, berbelanja. Memang tak semua murid-murid utama ada disitu, di saat Giam Liong dan ibunya datang. Maka begitu Ki Bi mendengar dan melihat itu, diberi tahu bahwa bekas ketua lama dan Han-kongcu muncul, Ki Bi masih belum tahu bahwa Han Han adalah Giam Liong, putera mendiang Si Golok Maut maka wanita itu terbelalak dan terheran-heran serta kaget bagaimana Giam Liong sampai bertanding dengan ayahnya, digempur dan habis-habisan bertahan. Namun karena Ki Bi pernah menaruh hati kepada Beng Tan dan jatuh terduduknya pendekar itu membuat Ki Bi gelisah maka setelah menyuruh anak-anak murid menjauh segera wanita ini berkelebat membantu Swi Cu, yang menolong suaminya.
"Apa yang terjadi. Kenapa pangcu marah-marah dan hendak membunuh putera sendiri!"
"Keparat, dia bukan puteraku, Ki Bi. Anak itu adalah Giam Liong, putera Si Golok Maut Sin Hauw!"
"Giam Liong? Han-kongcu..."
"Dia bukan Han Han, dia anak wanita itu. Suciku itulah yang menukarnya di waktu bayi dan kini datang untuk membuat onar!"
Dan ketika Ki Bi tertegun dan bingung, seorang anak murid segera mendekati dan berbisik menceritakan asal mulanya maka Ki Bi terkejut dan membelalakkan matanya lebar-lebar. "Jadi.... jadi..."
"Benar," anak murid itu mengangguk, pucat dan tak berani keras-keras bicara. "Han-kongcu dibawa bekas ketua lama, toa-ci. Dan pemuda yang kita sangka Han kongcu ini ternyata putera ketua lama, kongcu ini ternyata putera ketua lama. Dia Sin-kongcu (tuan muda Sin), keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Bayi itu dulu ditukar!"
Wajah Ki Bi berubah. Segera dia mengerti dan duduk persoalan itu membuat mukanya pucat. Ki Bi memandang dua orang di depan sana, Wi Hong berlutut dan memberi minum puteranya. Tapi ketika wanita itu tertegun dan pucat, tak tahu apa yang harus dilakukan tiba-tiba Beng Tan sudah bangkit berdiri dan gemetar berpegangan pundak isterinya, geram memandang Giam Liong, mencabut Pek-jit-kiam, pedang yang menggetarkan itu!
"Giam Liong, pertandingan belum selesai. Satu di antara kita belum roboh. Majulah, dan kita selesaikan pertandingan ini!"
Giam Liong tergetar. Setelah diberi minum dan meneguk air dingin tiba-tiba tenggorokannya serasa segar kembali. Tenaganya pulih dan diam-diam pemuda itu memandang bekas ayahnya. Gempuran-gempuran Pek-lui-ciang yang demikian dahsyat dan menggetarkan hampir saja tak dapat ditahan. Untung, sinkang di tubuhnya kuat. Itulah berkat latihan telanjang bulat sambil berjungkir balik! Dan ketika ayahnya bangkit berdiri tapi Giam Liong terkejut karena ayahnya mencabut pedang yang mengerikan itu, Pedang Matahari yang membuat nama ayahnya terangkat tinggi dan dimalui orang maka pemuda itu berdetak dan merasa agaknya pertandingan puncak harus dimulai!
"Bangkitlah!" ayahnya kembali menantang. "Kalahkan aku dan kita tentukan pertandingan akhir, Giam Liong. Cabut senjatamu dan hadapi senjataku. Tentukan kalah menang dengan senjata!"
Pedang Matahari mencorong berkilat-kilat. Giam Liong terkejut karena ayahnya itu sudah sampai pada taraf kemarahan puncak, mau mengajaknya bertanding lagi setelah tadi tak mampu merobohkannya, meskipun dia pada pihak yang terdesak, tertekan. Tapi ngeri akan hasil akibat nanti, Giam Liong teringat budi dan kebaikan yang banyak diterima dari bekas ayah angkatnya ini tiba-tiba tergetar dan menggigil menjawab,
"Ayah, apakah tak sebaiknya kita sama-sama melihat keadaan? Bukankah kau tak dapat merobohkan aku dan kau menyerah saja? Aku tak sanggup menghadapimu dengan senjata, ayah. Aku takut harus melukaimu dan menyudahi saja pertandingan ini!"
"Aku belum kalah, kaupun tak dapat merobohkan aku! Tidak, perjanjian sudah dibuat, Giam Liong. Cabut senjatamu dan aku yakin akan dapat mengalahkan dirimu, meskipun barangkali terpaksa membunuhmu. Kau rupanya takut melihat Pek-jit-kiam!"
"Takut?" Giam Liong menggeleng. "Tidak, ayah, aku tak perlu takut. Justeru aku khawatir kau akan kalah dengan cara menyakitkan!"
"Apa maksudmu?" Beng Tan membentak, terbakar. "Tak perlu aku khawatir, bocah. Aku dapat melindungi diriku dan justeru kaulah yang rupanya takut menghadapi pedangku. Menyerahlah sebelum aku melukai atau membunuhmu!"
"Hm!" Giam Liong berkilat, ayahnya sudah mulai membakarnya pula, tak tahu akan Golok Penghisap Darah yang dia sembunyikan dipunggung. Ayahnya tentu tak akan menyangka kalau dia membawa senjata itu, Golok Maut yang bertuah. Dan ketika ibunya melengking dan membentak marah, marah oleh omongan Beng Tan yang dinilai merendahkan maka ibunya itu bergerak dan tahu-tahu menepuk punggungnya.
"Liong-ji, jangan biarkan singa ompong itu menghinamu lagi. Cabut Golok Mautmu dan tunjukkan kepada dia!"
Apa boleh buat, Giam Liong mencabut senjatanya. Dan begitu sinar putih berkeredep menyilaukan mata, menandingi sinar perak di tangan Beng Tan maka hawa dingin muncul berbarengan dengan dicabutnya golok itu, Golok Penghisap Darah, atau Giam-to (Golok Maut).
"Golok Maut...!"
Beng Tan dan yang lain-lain benar saja berteriak tertahan. Ki Bi, dan para murid senior lainnya segera tahu dan mengenal golok di tangan Giam Liong. Hawa dingin dan pancaran yang menyeramkan yang timbul dari golok itu seketika menyerang orang-orang disitu. Baru dicabut saja sinar seramnya tampak menggetarkan dan menusuk tulang. Dan ketika Beng Tan berseru kaget dan lain-lain tertegun pucat, tak menyangka, maka Wi Hong terkekeh dan berseru, nyaring,
"Lihat," wanita itu berseri-seri. "Golok Maut ada ditangan anakku, Beng Tan. Kalau kau menganggapnya takut maka kau adalah salah. Pedang Matahari akan ditandingi senjata di tangan puteraku ini, sama seperti dulu kau bertanding dengan mendiang suamiku. Tapi karena puteraku menang muda dan menang tenaga maka kau tentu tak dapat mengalahkannya dan lebih baik menyerah saja secara baik-baik. Golok dan warisan kitab telah kuserahkan kepadanya, tidak dapat membunuhmu sekarang tentu setahun dua tahun lagi dapat. Nah, terserah kau mau bertanding atau tidak!"
Beng Tan pucat. Kalau Golok Penghisap Darah ada ditangan Giam Liong maka ini sama halnya dengan di tangan mendiang Si Golok Maut sendiri. Wi Hong telah berkata bahwa golok dan warisan kitab mendiang suaminya sudah diberikan kepada puteranya itu, berarti Giam Liong akan menjadi hebat karena mewarisi dua kepandaian sekaligus. Satu Ilmu Pedang Matahari (Pek-jit Kiam-sut) dan yang satunya lagi Ilmu Golok Maut. Ah, itu benar-benar berbahaya sekali. Giam Liong bagaikan harimau tumbuh sayap. Dan karena pemuda itu di bawah bujukan ibunya, yang penuh dengki dan dendam maka pendekar ini tak dapat membayangkan apa jadinya dengan pemuda itu. Tentu lebih hebat dari mendiang ayahnya dulu. Lebih ganas dan buas!
Dan khawatir bahwa dunia kang-ouw akan guncang, Si Golok Maut muncul dalam puteranya yang lebih muda dan gagah maka timbul keinginan Beng Tan untuk membunuh pemuda ini. Giam Liong masih belum lama meninggalkan Hek-yan-pang, berarti, belum lama pula bertemu dengan ibu kandungnya. Dan karena perjumpaan itu belum lama dan ini berarti pemuda itu belum sepenuhnya mewarisi kepandaian mendiang ayahnya, Im-kan To-hoat (Silat Golok Dari Akherat) maka sinar mata Beng Tan mencorong ketika tiba-tiba saja nafsu membunuhnya timbul!
"Hm!" siapapun tiba-tiba tergetar mundur melihat sinar mata pendekar itu, nafsu membunuh yang berkilat berbahaya. "Sekarang aku tak lagi memandangmu sebagai bekas puteraku, Giam Liong, melainkan sebagai seorang calon pembuat ribut yang besar. Kau telah dibujuk ibumu untuk tenggelam dalam dendam. Kau telah dipenuhi hawa iblis untuk mencari dan menuntut pembunuh mendiang ayahmu. Tapi karena sikap dan perbuatanmu di luar batas kewajaran, ibumu menjejalimu dengan dendam dan dengki, maka aku terpaksa membunuhmu untuk mencegah adanya keributan yang akan kau timbulkan. Golok Maut ada di tanganmu, baik. Dan duapuluh tahun yang lalu aku juga pernah menantang mendiang ayahmu yang keburu tewas. Majulah, kita lihat siapa yang roboh, anak muda. Kau atau aku karena sekarang bukan sekedar pertandingan biasa karena aku melihat ancaman bahaya muncul dalam dirimu sebagai calon pembunuh yang berbahaya!"
Giam Liong mundur. Sikap dan sinar mata ayahnya yang berkilat penuh nafsu membunuh tiba-tiba membuat dia terkejut. Tadi, bekas ayahnya ini juga marah tapi tidak ada kilatan berbahaya seperti itu. Seolah, dia seekor ular yang harus dibasmi. Atau, harimau kelaparan yang akan dibantai! Dan tersinggung bahwa dia disebut calon pembunuh, padahal baginya wajar saja mencari dan menemukan pembunuh mendiang ayahnya itu maka Giam Liong pun tiba-tiba berkilat dan mencorong memandang bekas ayahnya itu.
"Ayah, kau telah menyebut-nyebut mendiang orang tuaku laki-laki, juga tantangan yang tak pernah terlaksana karena orang tuaku tewas terbunuh. Kalau sekarang kau ingin bertanding dan menganggap ini adalah pertandingan duapuluh tahun yang lalu, yang tak sempat dikerjakan ayahku biarlah aku sebagai puteranya meneruskan dan menerima tantanganmu. Kau telah mencabut Pek-jit-kiam, dan aku dengan senjata warisan ayahku dulu. Majulah, aku tak takut dan maaf kalau senjata di tanganku membeset atau melukai tubuhmu nanti!"
"Bagus, luka atau mati bukan apa-apa bagi seorang ksatria, Giam Liong. Kalau golokmu dapat melukai kulitku tentunya pedangku juga dapat melukai dirimu. Majulah, kita tentukan pertandingan akhir!"
Giam Liong bergerak. Ayah angkatnya itu juga bergerak dan Wi Hong maupun Swi Cu sama-sama terbelalak menyaksikan itu. Kalau dulu dua puluh tahun yang lalu yang berhadapan adalah sama-sama kekasih, karena Swi Cu juga belum menikah sementara mendiang Golok Maut Sin Hauw masih pacaran dengan Wi Hong, adalah sekarang laki-laki yang akan bertanding itu merupakan suami dan anak. Dua-duanya sama melekat dan agaknya justeru lebih kuat daripada sekedar kekasih. Dan ketika dua jago itu sudah berhadapan dan akan menggerakkan senjata masing masing, pedang dan golok saling mengintai maka Wi Hong terisak mencium puteranya, sebelum mundur...
"Hi-hik!" Wi Hong terkekeh, tak menjawab permintaan puteranya. "Lihat mereka terbirit-birit, Liong-ji. Ah, ingin kususul mereka dan menjungkir balikkan perahunya ke air. Ayo, cepat susul. Ibu ingin menenggelamkan mereka!"
"Hm, tidak," Han Han tentu saja tak mau. "Kita bukan berurusan dengan para murid, ibu, melainkan ingin menghadap ayah dan ibu Swi Cu. Pegang pinggiran perahu erat-erat karena aku akan terbang!"
Wi Hong terpekik. Perahu mendadak melesat ke atas dan tidak lagi menyentuh permukaan air. Han Han mengangkat perahunya tinggi-tinggi hingga perahu itu tak lagi meluncur di air. Setiap jatuh atau turun lagi maka Han Han memukulkan dayungnya ke bawah, air danau muncrat tinggi dan angin pukulan pemuda itulah yang membawa dan menerbangkan perahu ini seperti siluman. Dan ketika perahu anak murid tersusul dan perahu Han Han lewat di atasnya, anak-anak murid terbelalak dan bengong, takjub, maka Han Han sudah mendarat dan menjatuhkan perahunya dengan empuk di pulau.
"Han-kongcu datang..... ah, Han-kongcu datang...!"
Sama seperti di luar tadi maka disinipun Han Han disambut dengan teriakan dan seruan-seruan keras. Hanya kalau di luar tadi adalah teriakan atau seruan murid-murid lelaki maka disini semuanya perempuan. Mereka adalah penjaga atau anak-anak murid yang bertugas disitu, tentu saja melihat perahu Han Han yang terbang dan melewati perahu anak-anak murid lelaki. Mereka terkejut dan membelalakkan mata lebar-lebar. Tapi begitu tahu bahwa itulah Han Han, yang rambutnya memerah darah maka murid-murid wanita yang kagum dan sejenak takjub ini berseru kegirangan menyambut.
Namun mereka tertegun melihat Wi Hong, wanita di samping Han Han itu. Mula-mula mereka tak mengenal karena Wi Hong pun rambutnya memerah darah, ibu dan anak sama-sama mirip. Sedetik, mereka menyangka dua orang itu gila, mengecat rambutnya. Tapi ketika tahu bahwa Han Han tak suka main-main dan pemuda berwajah dingin itu datang dengan seorang wanita yang akhirnya dikenal sebagai bekas pangcu yang lama, Wi Hong tentu saja sudah dikenal bekas murid-muridnya sendiri maka ada diantara mereka yang tiba-tiba berkelebat melarikan diri sementara yang sudah didekati tak sempat untuk bersembunyi dan menjatuhkan diri berlutut, gentar.
"Pangcu....!" seruan lirih itu menyembunyikan ketakutan. "Selamat datang dan semoga sehat-sehat saja!"
"Siapa kau?" Wi Hong tak ingat dan menendang. "Menyebutku pangcu tapi hormat kepada orang lain. Minggir, dan enyahlah!"
Tiga orang terlempar. Mereka berdebuk dan mengaduh dan Han Han cepat memegang lengan ibunya itu. Di sini ibunya tiba-tiba tampak beringas dan tak kuasa menahan diri. Mata Wi Hong bersinar dan berkilat-kilat bagai mata harimau haus darah, Han Han mengingatkan ibunya untuk tidak membuat ribut, atau dia kembali dan tak akan menemui Beng Tan. Dan ketika Wi Hong terkejut dan sadar, terkekeh bertemu pandang dengan mata puteranya maka wanita ini menahan diri dan mengangguk.
"Baik, hi-hik. Aku hanya melempar mereka itu, Liong-ji, tak membunuh. Lihat, mereka tak apa-apa dan bangun berdiri!"
Memang benar, tiga anak murid Hek-yan-pang itu bangun berdiri, terhuyung, mau melarikan diri tapi menjatuhkan diri berlutut karena Wi Hong memandangnya penuh ancaman. Namun karena Han Han mencengkeram lengan ibunya dan dua orang itu lewat dengan cepat, melalui mereka maka tiga anak murid ini girang dan lega dan cepat-cepat meloncat bangun untuk melarikan diri.
"Celaka, kongcu datang bersama ketua yang lama. Pergi, cepat menyingkir!"
Di tengah pulau inipun terjadi kegemparan. Mereka sudah melihat Wi Hong dan tak berani bertemu muka. Mereka terkejut dan terheran-heran bagaimana bekas ketua lama itu dapat datang bersama Han Han. Tak pelak tentu terjadi keributan. Wi Hong selamanya begitu! Dan ketika Han Han melihat anak murid berlarian, semua ke dalam atau ke tengah pulau maka Beng Tan yang mendapat laporan segera tertegun.
Pagi itu pendekar ini sedang asyik minum kopi pemberian isterinya, menghirup perlahan-lahan dan kopi kental yang pahit-pahit manis itu terasa lezat. Nikmat diminum panas-panas di pagi yang masih dingin. Tapi begitu belasan anak murid muncul dan langsung menjatuhkan diri berlutut, berseru bahwa Wi Hong dan puteranya datang tiba-tiba pendekar ini tertegun dan bangkit berdiri. "Apa? Wi Hong? Bersama Han Han?"
"Beb.... benar!" anak-anak murid menggigil, tak dapat bicara lancar. "Han-kongcu datang bersama bekas ketua lama, pangcu. Mohon pangcu menemui karena kami ditendang dan dilempar-lempar!"
Dan saat itu berkelebat bayangan Swi Cu. Nyonya cantik yang mendengar ribut-ribut dan juga sedang hendak bertanya ini tiba-tiba melihat belasan anak-anak murid itu. Kebetulan, diapun datang. Dan ketika suaminya menengok dan wajah-wajah disitu tampak pucat dan ketakutan maka nyonya ini membentak bertanya apa yang terjadi.
"Ada apa ribut-ribut. Kenapa semua meluruk kesini seperti kedatangan harimau siluman!"
"Sabar," sang suami bergerak dan mencekal lengan isterinya itu. "Han Han datang, niocu. Tapi bersama seseorang."
"Han Han? Bocah tak tahu diri itu? Kenapa datang setelah minggat beberapa minggu? Biarkan saja, aku ingin mencekik batang lehernya!"
"Eh!" sang suami terkejut, membentak isterinya. "Jangan begitu, niocu. Tak baik berkata begitu di depan begini banyak anak-anak murid. Han Han adalah anak kita, keturunan kita. Betapapun dia harus kita sambut dan tak perlu marah-marah!"
"Hm, dan siapa seseorang itu. Apakah anak itu akan membuat onar lagi!"
"Sabar, Han Han tak akan membuat onar. Tapi orang yang datang bersamanya, hmm... ini kita harus hati-hati."
"Siapa dia?"
"Wi Hong."
"Apa?" sang isteri mencelat, langsung melepaskan cekalan suaminya. "Suci Wi Hong? Dia.... dia datang bersama Han Han? Mau apa?"
"Sabar," sang suami berkelebat, mencekal lengan isterinya itu. "Dia datang, niocu. Lihat, itu mereka!"
Dan ketika benar saja semua menoleh dan Swi Cu memandang ke depan, ke arah yang ditunjuk suaminya maka tertegunlah dia melihat Han Han mendatangi bersama sucinya itu, yang terkekeh-kekeh dan mendorong minggir semua anak-anak murid dan Swi Cu maupun suaminya terbelalak melihat rambut Han Han yang kemerah-merahan. Rambut puteranya itu seperti darah dan suami isteri ini semakin terbelalak saja karena Wi Hong, wanita itu, juga berambut kemerah-merahan seperti Han Han. Mata mereka yang tajam segera mengetahui bahwa rambut itu tidaklah di-cat.
Rambut itu memang merah seperti bermandi atau berminyak darah, bukan main heran tapi juga terkejutnya mereka. Dan ketika Han Han sudah dekat dan membungkuk di depan ayah ibunya, memberi hormat, maka pemuda itu menyatakan maaf dan selamat bertemu.
"Aku datang bersama ibu, harap ayah baik-baik saja."
"Apa?" Beng Tan terkejut, mengerutkan kening. "Ibu? Kau tahu siapa yang kau ajak ini, Han Han? Dan dari mana kau? Kenapa meninggalkan kami tanpa ijin?"
"Maaf," Han Han semburat. "Aku pergi karena sikapmu juga, ayah. Kau memusuhi dan tidak menyukaiku seperti ibu Swi Cu. Aku tak tahan, pergi tapi akhirnya kembali untuk bertanya siapa pembunuh ayah kandungku!"
"Prat!" Beng Tan menggetarkan jari dan berkelebat mencengkeram leher baju anaknya itu. "Apa kau bilang, Han Han? Ayah kandung? Pembunuh ayah kandung?"
"Hi-hik!" Wi Hong, yang terkekeh dan tertawa-tawa membiarkan ayah dan anak saling bicara kini menyergap maju, mengejutkan. "Tak usah heran tak usah bingung akan ini, Beng Tan. Hari ini rahasia besar hendak kubuka. Han Han bukanlah anakmu, dia puteraku, Giam Liong, Sin Giam Liong!"
"Wut!" Beng Tan berkelebat dan kini menyambar Wi Hong, melepaskan cengkeramannya kepada Han Han. "Apa kau bilang, Wi Hong? Rahasia besar? Han Han..... Han Han puteramu? Kau gila?"
"Lepaskan!" Wi Hong membentak dan menendang lawan. "Kita bicara baik-baik, Beng Tan. Dia adalah Giam Liong bukannya Han Han. Anak ini adalah benar anakku, putera yang kulahirkan dari kasih sayang Sin Hauw!" dan bergerak mendampingi Han Han, berlindung sekaligus waspada akan segala serangan, Wi Hong berapi-api memandang ketua Hek-yan-pang itu, tidak berkedip. "Ini adalah benar Giam Liong, anakku. Lihat wajah dan gerak-geriknya, lihat sikap dan pandang matanya. Apakah pantas sebagai puteramu? Dia adalah anakku, Beng Tan. Bocah yang kulahirkan dulu itu. Ini bukan Han Han melainkan Giam Liong!"
"Bohong, dusta!" Beng Tan merah padam membentak Wi Hong, tak dapat mengendalikan marahnya. "Kau membuat onar dan ribut, Wi Hong. Dari dulu sampai sekarang tak jera juga mencari permusuhan. Ah, kau harus ditangkap, dibuang jauh-jauh!" dan ketika Beng Tan berkelebat dan menyambar wanita itu, jari-jari berkerotok penuh hawa marah maka Wi Hong sudah diserang dan siap ditangkap.
Wi Hong terkejut dan mengelak namun jari-jari itu membayangi dirinya. Wanita ini kaget dan melempar tubuh namun kalah cepat. Jari-jari itu sudah menyambar baju pundaknya dan siap menembus daging.
Han Han terkejut melihat kemarahan ayahnya itu. Itulah Tiat-kang atau Tenaga Besi yang akan menghancurkan daging pundak ibunya. Maka ketika ibunya berteriak dan ayahnya tampak beringas, Han Han melompat maju tiba-tiba pemuda itu menangkis dan berseru keras agar ayahnya mundur. "Maaf, harap ayah mundur!"
Dukk! dua lengan yang beradu sama kuat akhirnya menggetarkan Beng Tan yang terdorong selangkah, juga Han Han yang merasakan betapa kuatnya tenaga ayahnya tadi. Tapi ketika Han Han berdiri tegak dan menarik napas dalam-dalam maka pemuda ini membungkuk.
"Ayah tak perlu menyerang ibu kandungku. Apa yang dikata adalah benar. Aku.... aku putera kandung ayahku Si Golok Maut. Aku keturunan keluarga Sin!"
Beng Tan terbelalak dan merah padam. Swi Cu melengking dan berkelebat maju, siap menggempur dan membela suami. Tapi ketika Beng Tan mencekal lengannya dan menyuruh mundur, wanita itu merah padam maka Wi Hong terkekeh dan memandang sumoinya.
"Swi Cu, tak perlu naik pitam. Ini adalah benar anakku sendiri, Giam Liong. Sedang maksud kedatangan kami ialah hendak bertanya kepada suamimu siapa pembunuh suamiku dulu!"
"Keparat, bedebah terkutuk!" Swi Cu membentak dan tak dapat menahan diri. "Kau tak tahu malu dan mencari keributan, suci. Kedatanganmu tak membawa maksud baik dan selamanya mencari permusuhan. Sekarang ceritakan bagaimana itu semuanya terjadi dan dimana anakku Han Han!"
"Benar," Beng Tan menggeram dan menahan marah. "Kedatanganmu aneh dan menusuk perasaan, Wi Hong. Kalau kau datang untuk merebut kedudukan ketua barangkali tak usah panjang lebar kuserahkan kepadamu, kalau murid-murid setuju. Tapi kalau kau datang dengan berita tentang Han Han menjadi Giam Liong dan itu bukanlah anak kami maka kau sungguh keji!"
"Hi-hik, tak perlu marah," Wi Hong terkekeh dan enak saja bicara, tak takut kepada Beng Tan karena dia tahu kepandaian puteranya sendiri, Han Han atau Giam Liong yang tadi telah mampu menunjukkan kelihaian yang meyakinkan, menangkis serangan Beng Tan hingga laki-laki itu terdorong. "Aku akan bicara baik-baik, Beng Tan. Kalau kau terima syukur, tidak diterimapun tak apa. Aku hendak bicara tentang kisah belasan tahun yang lalu, ketika aku datang kesini..."
"Hm, penculikan anak itu?"
"Benar, kau cerdas."
"Dan kau menukar bayi-bayi itu?"
"Ah, hi-hik. Kau luar biasa, Beng Tan. Belum diberi tahu sudah tahu lebih dulu. Ah, kau mengagumkan!" dan ketika Wi Hong terkekeh dan kagum akan pendekar ini, jago pedang yang berotak cerdas maka Swi Cu melengking dan tiba-tiba mencabut pedangnya untuk menusuk,langsung menyerang Wi Hong.
"Kalau begitu kau terkutuk, keji. Kau menukar anak dan mempermainkan aku, suci. Dan untuk dosa begini aku tak dapat memberi ampun..... singg!" dan pedang yang bergerak bagai awan putih tiba-tiba menyambar dan sudah mendekati tenggorokan Wi Hong.
Wanita itu terkejut dan mengelak namun Swi Cu sekarang bukanlah Swi Cu yang dulu, yang masih sumoinya dengan kepandaian khusus dari warisan Hek-yan-pang. Karena begitu mengelak dan mundur menjauh tiba-tiba Swi Cu menetakkan ke bawah dan dengan jurus Pek-jit Kiam-hiap atau silat Pedang Matahari sekonyong-konyong senjatanya itu sudah mendekati Wi Hong lagi dan kini menuju lambung.
"Aihhh.... tranggg!" Wi Hong mencabut pedang apa boleh buat menangkis. Dikejar dan diberondong dua jurus beruntun yang begitu cepatnya tiba-tiba Wi Hong tak dapat keluar. Muka dan belakang sudah penuh dengan bayang-bayang pedang dan mau tak mau dia harus mencabut pedangnya sendiri, menangkis. Tapi ketika dia terpelanting dan kaget berteriak keras maka Han Han sudah berkelebat dan menghadang di depan ibu kandungnya.
"Maaf, harap ibu Swi Cu tidak menyerang lagi."
"Terkutuk!" Swi Cu melengking dan bahkan menerjang Han Han. "Kalau kau bukan anakku malah kebetulan sekali, bocah. Gara-gara ibumu aku jadi menderita!" dan pedang yang bergerak menusuk mata tiba-tiba dikelit dan ditampar Han Han.
Pemuda ini bukanlah Wi Hong dan dia tahu jurus-jurus berikutnya, mendahului dan menampar pedang dan karena sinkangnya memang lebih kuat maka pedang di tangan Swi Cu seketika mencelat, jatuh dan terlepas dari tangannya. Dan ketika Swi Cu terpekik dan mundur terhuyung, marah sekali maka Han Han sudah memungut dan mengembalikan kembali pedang ibunya itu, ibu atau yang sebenarnya bibi karena Swi Cu adalah sumoi dari ibu kandungnya.
"Maaf," Han Han atau sekarang yang bernama Giam Liong ini menunjukkan muka sedih. "Aku tak ingin menimbulkan keributan, ibu. Aku datang hanya untuk berurusan dengan ayah, bertanya tentang siapa pembunuh ayah kandungku."
"Keparat, jangan panggil kami ayah ibumu!" Swi Cu membentak, menyambar dan menusukkan pedangnya lagi. "Kalau kau anak Sin Hauw maka pantas kau berdarah dingin, Giam Liong. Kiranya kau anak pembunuh itu dan bukan anak suamiku!"
Namun Giam Liong yang mengelak dan kembali menampar akhirnya membuat pedang runtuh dua kali, terbelalak dan mencorong matanya mendengar Swi Cu mengatakan ayahnya pembunuh, hal yang membuatnya marah! Tapi ketika Beng Tan bergerak dan menangkap isterinya, memungut dan menyambar pedang maka laki-laki itu berdiri dengan muka gelap, pandang matanyapun mulai mencorong menakutkan.
"Han Han, eh... Giam Liong! Jangan menghina isteriku kalau betul ingin berurusan denganku. Nah, katakan, apalagi maumu selain itu!"
Han Han, atau marilah kita sebut pemuda ini sebagai Giam Liong, karena dia memang keturunan Si Golok Maut Sin Hauw berdiri tegak berhadapan dengan bekas ayahnya itu. Agak sukar bagi Giam Liong untuk merobah sebutan, karena sudah terbiasa bertahun-tahun dia memanggil ayah dan ibu kepada laki-laki ini dan Swi Cu. Tapi karena Swi Cu memakinya sebagai anak pembunuh dan Giam Liong bangkit kemarahannya mendengar ini, ibunya tak mau lagi dipanggil sebagai ibu lalu berlutut sebelum menumpahkan kemarahannya, yang mulai berkobar.
"Maaf, ayah," pemuda itu masih tak bisa merobah sebutan. "Kalau aku datang membuat ribut sukalah dimaafkan. Aku dan ibu datang bukan untuk mengacau, melainkan bertanya siapa pembunuh ayahku. Kalau aku sudah mendapat keterangan tentu akan segera pergi."
"Begitu enak?" Swi Cu me lengking, akan menerjang tapi dicekal suaminya lagi. "Ibumu menculik anakku, Giam Liong. Dan dia harus mempertemukan aku dengan anakku itu. Kalau tidak, kalian berdua harus binasa disini, setidak-tidaknya ibumu!"
"Hi-hik!" Wi Hong tertawa, nyaring. "Jangan sombong dan mentang-mentang, Swi Cu. Jelek-jelek aku adalah sucimu, orang yang lebih tua darimu. Kalau kau mau menangkap atau membunuh aku maka kutanya apa kesalahanku!"
"Kau sudah tidak gila?"Swi Cu melotot, sejak tadi memperhatikan bahwa sucinya ini memang waras, dapat bicara baik.
Tapi Wi Hong yang mendelik dan bahkan gusar lalu melompat dan berapi-api di depannya, berkacak pinggang. "Apa? Gila? Kaulah yang edan, Swi Cu. Melihat saudara bernasib malang malah galang-gulung dan kawin dengan laki-laki yang merampas kedudukanku sebagai ketua. Kaulah yang tidak waras, kaulah yang tidak berotak! Kalau aku tidak bertemu puteraku ini barangkali aku tetap gila dan tak tahu kegilaanmu yang lebih dari aku karena membiarkan sucinya menderita dan menangis sendirian!"
"Hm, aku tak perduli kepadamu!" Swi Cu membentak, sakit hatinya karena sucinya ini ternyata telah mempermainkannya, menukar bayi. "Kau menderita dan sengsara adalah atas kesalahanmu sendiri, suci. Kalau kau tidak melanggar dan menyalahi peraturan partai tentunya kau tak akan melahirkan anak haram jadah ini!Siapa suruh kau menyerahkan kehormatan kepada Golok Maut si pembunuh itu? Siapa suruh kau bermain cinta hingga melahirkan anak tak berbudi ini? Kalau kau waras tak akan terjadi semuanya itu, suci. Tapi karena kau gila dan sengaja melanggar peraturan partai maka kau kena hukumannya. Itu salahmu, bukan salahku!"
"Apa?" Wi Hong terbelalak, hebat dan luar biasa sekali kata-kata sumoinya itu. "Kau.... kau menghina dan merendahkan aku sedemikian rupa? Kau.... kau memaki puteraku sebagai anak haram?"
"Kenapa tidak?" Swi Cu juga sudah terlanjur dibakar kemarahan hebat, atas hilang atau ditukarnya anaknya itu. "Di samping rendah dan memalukan ternyata kau culas, suci. Menukar anak dan memberikan anak jadahmu kepada kami. Sekarang, setelah besar tiba-tiba kau datang bersamanya seperti seekor harimau yang hendak menerkam majikannya yang memberinya minum atau makan bertahun-tahun!"
"Aiihhhhh....!" pekik atau lengking menggetarkan itu membuat anak-anak murid Hek-yan-pang terpelanting. Mereka terjerembab atau terjengkang oleh suara Wi Hong yang luar biasa ini, suara yang dilandasi khikang sepenuh tenaga. Wi Hong pucat dan merah berganti-ganti mendengar makian sumoinya itu. Mereka telah saling tuduh-menuduh.
Dan Giam Liong yang mendengarkan itu sampai menggigil dan berketrukan giginya. Kalau bukan wanita ini yang bicara barangkali dia akan berkelebat dan segera melepas pukulan maut. Di depan begitu banyak orang Swi Cu telah menghinanya sebagai anak haram jadah. Ah, betapa menyakitkan itu!
Dan ketika ibunya bergerak dan menerjang ke depan, ibu dan bibinyaitu memang sudah sama-sama berhadapan maka Giam Liong berputaran matanya bagai seekor harimau yang penuh nafsu, marah namun mengendalikan kemarahannya karena dilihatnya ayahnya bersiap-siap melindungi sang isteri, berjaga-jaga dari perbuatannya karena Beng Tan juga melihat perubahan hebat di wajah pemuda itu.
Giam Liong berkali-kali mengeluarkan geraman menggetarkan mendengar semua kata-kata isterinya tadi. Beng Tan sudah meremas dan mengguncang lengan isterinya dua kali untuk tidak mengeluarkan kata-kata tajam. Namun karena isterinya terpukul dan marah oleh perbuatan Wi Hong, yang menculik dan menukar anak maka Beng Tan yang diam-diam juga marah dan terpukul oleh kenyataan ini akhirnya membiarkan saja isterinya itu bicara semaunya, tak tahunya Wi Hong tiba-tiba memekik dahsyat membuat anak-anak murid terpelanting. Dan ketika wanita itu bergerak dan menyambar isterinya, terbang bagai garuda atau elang yang buas maka pedang di tangan Wi Hong menusuk dan bergerak tujuh kali, padahal isterinya tak bersenjata, pedang isterinya masih di tangannya.
"Bret-bret-bret!" Swi Cu terpekik dan membanting tubuh bergulingan. Kalau dia tidak bersenjata sementara sucinya menyerang begitu garang, dengan pedang di tangan maka serangan sucinya itu sungguh berbahaya sekali. Memang benar dia mendapat tambahan kepandaian dari suaminya, di samping ilmu-ilmunya sendiri dari Hek-yan-pang. Namun karena sucinya begitu beringas dan semua kata-katanya tadi membuat Wi Hong marah selangit, sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi maka Wi Hong mengejar dan mencaci-maki sumoinya itu, bergerak dan berkelebat dan pedang di tangan menikam bertubi-tubi kebawah.
Lima kali Swi Cu kalah cepat berkelit hingga baju dan sebagian kulitnya tertusuk. Swi Cu pucat karena sucinya mengejar dan ganas sekali menyerang. Tapi ketika nyonya itu kewalahan dan Wi Hong menggetar-getarkan ujung pedangnya seperti orang hendak mencincang bakso maka Beng Tan yang tak dapat melihat isterinya bergulingan tiba-tiba membentak dan melepaskan pukulan jarak jauh menghantam Wi Hong.
"Mundur!"
Wi Hong terpelanting. Pukulan bukan sembarang pukulan yang dilepas laki-laki itu memang tak dapat ditahan Wi Hong. Wanita ini terpelanting dan menjerit. Dan ketika dia melempar tubuh menjauh sementara Swi Cu sudah meloncat bangun dan ditolong suaminya maka Swi Cu merebut atau mengambil pedang ditangan suaminya itu.
"Kubunuh jahanam ini! Biar kubunuh dia!"
"Tidak, tahan!" Beng Tan membentak, menahan isterinya itu.
Dan ketika Swi Cu meronta namun suaminya menotok dan melumpuhkan dia maka pedang kembali direbut dan Beng Tan menghadapi Wi Hong, berapi-api. "Wi Hong, tak kusangka sedemikian keji dan culas hatimu. Kau menculik anak, menukar bayi kami. Dan setelah kini kau datang lagi maka keributan dan keonaran yang lagi-lagi kau buat. Hm, aku tak dapat membiarkan ini dan tak akan mengampunimu. Kau kutangkap dan harus dihukum. Kemana anak kami itu dan kau apakan dia!"
"Hi-hik, aku tak tahu!" Wi Hong berkelebat dan cepat bersembunyi di balik punggung puteranya, diam-diam gentar dan masih sangsi apakah Giam Liong mampu menghadapi pendekar itu, karena kepandaian Beng Tan sungguh hebat sekali.
Tapi ketika Beng Tan bergerak dan hendak menyambar lengannya, menangkap, maka Giam Liong bergerak dan menangkis lengan ayahnya itu.
"Maaf, kau tak dapat mengganggu ibu disini, ayah. Kalau ibu bersalah menukar bayi maka akulah yang bertanggung jawab. dukk!"
Beng Tan tergetar mundur,untuk kedua kali merasa tangkisan puteranya yang kuat. Giam Liong memang hampir setingkat dengannya. Dan karena anak itu mempelajari warisan sinkang di sumur tua, pelajaran yang ternyata dari ayah kandungnya sendiri maka Beng Tan pucat melihat kekuatan puteranya itu, sinkang Giam Liong yang sudah semakin hebat dengan tambahan warisan dari Si Golok Maut.
"Hm, kau membela ibumu, Giam Liong? Apa maksud kata-katamu dengan bertanggung jawab itu? Dan kau sekarang berani melawan aku?"
"Maaf," pemuda ini merah padam, sama seperti sang ayah, bingung di samping marah karena dia dan ibunya sudah dihina Swi Cu habis-habisan. "Aku bertanggung jawab artinya akan menebus kesalahan ibu, ayah. Yakni akan mencari dan mendapatkan puteramu itu. Aku tahu siapa yang mengambil!"
"Mengambil?" Beng Tan terkejut. "Jadi..... jadi puteraku jatuh ke tangan orang lain?"
"Benar."
"Keparat! Siapa itu?"
"Jangan diberi tahu!" Wi Hong tiba-tiba berseru, melompat dan berdiri di samping puteranya itu, terkekeh, mulai percaya bahwa puteranya dapat menghadapi pendekar ini. "Kalau dia tak mau menyebutkan siapa dan dimana pembunuh ayahmu itu maka tak usah kita memberitahunya, Liong-ji. Hutang satu bayar satu, hutang dua bayar dua!"
Giam Liong tertegun, sadar. Dan ketika dia mengangguk dan merasa ucapan ibunya benar, Beng Tan menggeram dan semakin marah, maka pendekar itu berkilat memandang Wi Hong.
"Hm, kalau begitu aku tak akan perduli lagi. Kau menukar dan menculik anakku, mempermainkan dan kini mengajak puteramu memusuhi aku. Baik, kau majulah, Giam Liong. Aku akan menghadapimu sebelum membekuk ibumu. Keluarkan semua kepandaian yang pernah kau dapatkan dariku!"
Pemuda itu terkejut. Bentakan dan kata-kata ayahnya ini menyadarkan sekaligus membuatnya tertegun. Ayahnya mengejek dan berkata bahwa kepandaian yang didapat akan dikeluarkannya untuk menghadapi ayahnya itu, jadi seperti murid melawan guru. Dan karena kata-kata itu menyiratkan ejekan bahwa dia tak berbudi, membalas air susu dengan tuba maka Giam Liong tertegun dan sejenak tak mampu menjawab, diam tak berbuat apa-apa. Tapi ibunya yang melengking dan tertawa nyaring tiba-tiba berseru mengingatkan dia akan musuh atau pembunuh ayah kandungnya.
"Tak perlu ragu. Kau membela dan melindungi ibumu, Liong-ji. Beng Tan ini hanya ayah angkat dan bukan apa-apa. Kalau dia pernah memberi budi maka itu adalah wajar karena dia merampas dan merebut kedudukan ibumu sebagai ketua disini. Nah, budinya itu sudah sepadan dengan apa yang ia peroleh disini. Kau berhutang budi kepadanya tapi iapun berhutang banyak kebaikan kepadaku. Impas!"
Giam Liong tertegun. Akhirnya dia sadar bahwa kata-kata ibunya pun ada benarnya. Penderitaan ibunya seolah sebagai "pembayaran budi" kepada ayah angkatnya ini. Sebab, kalau ibunya ada dan tinggal disitu tak mungkin Beng Tan dapat menjadi ketua. Laki-laki itu duduk karena ketidakmampuan ibunya pula, karena waktu itu ibunya gila dan terganggu jiwanya. Dan ketika dia menggigit bibir karena mau tak mau harus menghadapi ayahnya ini, ayah sekaligus guru yang telah menurunkan semua kepandaiannya maka Giam Liong berlutut dan mencium tanah, sekali lagi memberi hormat.
"Ayah, tak ingin rasanya aku bertanding denganmu. Tapi karena aku membela dan melindungi ibu kandungku maka kalau kau mau menangkapnya terpaksa aku tak dapat membiarkan. Aku telah berjanji untuk menebus dan membayar kesalahan ibu dengan menculik anakmu itu. Dan kalau kini kau tak mau memberi tahu siapa pembunuh ayahku maka dapat kuanggap kau hendak melindungi dan membelanya. Baik, silahkan maju, ayah. Dan boleh kau bunuh aku kalau bisa. Aku telah bertekad untuk mencari pembunuh ayahku, baik kau memberitahunya atau tidak!"
Beng Tan tergetar. Dua pasang mata mereka yang bentrok dan saling beradu pandang membuat dia menyaksikan tekad dan kebulatan hati pemuda itu. Mata Giam Liong mencorong dan melihat mata ini seperti melihat mata mendiang Si Golok Maut Sin Hauw. Sebenarnya ada kekaguman di hati pendekar ini melihat wajah dan sikap Giam Liong. Pemuda itu memang gagah dan jantan, mata dan gerak-geriknya telah menunjukkan hal itu, sama seperti mendiang ayahnya yang juga gagah dan jantan, perwira sebagai seorang laki-laki namun sayang kelewat ganas karena dendamnya yang setinggi langit.
Dan ngeri melihat sorot mata Giam Liong ketika membicarakan pembunuh ayahnya, mata yang berkilat dan mencorong berbahaya maka Beng Tan teringat ketika dua puluh tahun yang lalu dia juga berhadapan dengan ayah pemuda ini, Sin Hauw si Golok Maut!
Seperti itulah sikap dan sorot mata mendiang Sin Hauw. Sekali mempunyai keputusan tak akan sudah sebelum terlaksana, biarpun untuk itu darah dan nyawa sendiri dikorbankan! Maka ketika pandang mata dan sikap atau kata-kata Giam Liong persis ayahnya, mata yang bersorot buas dan penuh kebencian maka Beng Tan bergidik membayangkan apa yang akan terjadi. Diam-diam pendekar ini menekan rasa ngerinya. Diakui atau tidak, sebenarnya tak ada kemarahan atau kebencian kepada bekas puteranya ini. Bahkan, dia merasa sayang dan kasih kepada pemuda itu.
Giam Liong adalah pemuda pendiam dan penurut, juga amat rajin berlatih hingga dalam beberapa tahun saja sudah hampir menyamainya, hal yang mengagumkan hatinya. Tapi begitu diketahui bahwa pemuda ini bukan puteranya, putera kandung, maka Beng Tan menjadi kecewa dan marah berat, bukan kepada pemuda itu melainkan kepada Wi Hong. Ah, Wi Hong sungguh biang penyakit. Kalau tidak ditangkap atau dihukum tentu bakal membuat onar. Tapi karena menangkap wanita itu harus berhadapan dengan puteranya ini, pemuda yang telah dididik dan bahkan mendapat warisan dari mendiang ayahnya sendiri maka Beng Tan diam-diam sangsi apakah dapat dia mengalahkan pemuda itu.
Dari sorot mata dan sikap Giam Liong pendekar ini dapat merasakan adanya semacam kekuatan dahsyat pada sinkang bekas puteranya ini. Dua kali adu tenaga tadi telah menunjukkan itu. Giam Liong sekarang sungguh berbeda dengan Giam Liong beberapa waktu yang lalu, sebelum minggat atau meninggalkan Hek-yan-pang. Dan sadar bahwa selama itu tentu pemuda itu terus tekun berlatih dan mempelajari warisan kitab kecil, yang didapat dari sumur tua maka Beng Tan tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.
Hm, jangan-jangan dia akan berhadapan seperti ketika dengan mendiang Si Golok Maut dahulu. Pertandingan yang dahsyat dan tak ada yang kalah atau menang. Tapi karena dia sekarang bertambah tua sementara pemuda ini adalah anak muda yang sedang hebat-hebatnya, penuh vitalitas dan tenaga maka Beng Tan ragu apakah dia mampu menghadapi pemuda ini.
Namun Beng Tan adalah seorang jago yang bernama besar. Setelah Golok Maut tiada, diakui atau tidak, dialah orang terlihai saat itu. Dunia kang-ouw mengakuinya. Dan karena lawan sudah siap di depannya dan menangkap Wi Hong harus merobohkan pemuda itu, bekas putera yang kini akan bertarung membela kepentingan masing-masing maka pendekar itu bergerak dan sudah memasang kuda-kuda.
"Majulah!" sang ayah menantang. "Lama kita tidak bertanding, Giam Liong. Mari kesempatan ini kau isi dengan mengeluarkan semua kepandaianmu!"
Giam Liong bangkit berdiri. Setelah berlutut dan mencium tanah dia menganggap tak perlu sungkan lagi. Dia sudah minta maaf dan tentu saja dia tak akan membiarkan ibu kandungnya ditangkap. Ayahnya itu pasti akan menghukum ibunya dengan keras, apalagi Swi Cu, bibi atau bekas ibunya itu pula. Maka ketika sang ayah berdiri menantang dan kuda-kuda yang dipakai ayahnya adalah kuda-kuda bersudut, satu kaki ditekuk ke depan sementara pinggang ke atas tegak lurus, satu sikap bertahan sekaligus menyerang maka Giam Liong menarik napas dan memasang kuda-kuda sejajar, dua lengan diangkat sementara lengan yang satu ditarik ke dalam dengan kedua kaki bengkok ke depan, satu pasangan kuda-kuda yang menandingi kuda-kuda bersudut!
"Ayah saja yang memulai," pemuda itu berkata, tenang namun matanya mencorong lebih kuat, sikapdan kata-katanya membuat anak murid merinding karena terasa begitu dingin dan beku! "Aku mengalah tiga jurus, ayah. Setelah itu baru membalas!"
"Hm, kau yang datang, kau yang harus mulai lebih dulu!"
"Tapi ayah adalah orang yang lebih tua, harus kuhormati lebih dulu!"
"Tidak, aku tuan rumah, Giam Liong. Kali ini kau adalah tamu. Majulah, dan jangan banyak bicara!" tapi ketika Giam Liong hendak bergerak dan menyerang, pasangan kuda-kuda sudah siap berobah tiba-tiba Wi Hong berkelebat dan melengking ke depan.
"Tunggu!" wanita itu berseru. "Kalah menang harus ditentukan taruhan, Beng Tan. Sebelum dilanjutkan sebaiknya kalian masing-masing sama berjanji. Siapa yang kalah dialah yang harus menurut kepada yang menang. Dan aku hanya mengharap kau memberi tahu siapa pembunuh suamiku itu!"
"Betul," Giam Liong terkejut, sadar. "Bertanding tanpa memberi tahu keinginan masing-masing adalah percuma, ayah. Aku hanya ingin tahu siapa dan dimana pembunuh ayahku itu, kalau kau kalah. Tapi kalau kau menang terserah apa yang akan kau minta!"
"Hm," Beng Tan berpikir, juga terkejut. Tapi ketika dia belum menjawab tiba-tiba isterinya melengking. "Suamiku, tak perlu menuruti semua omongan itu. Kalau kau kalah biarlah mereka membunuh kita. Tapi kalau mereka kalah kitalah yang akan membunuhnya!"
"Hm!" Beng Tan menggeleng, tak setuju. "Bunuh-membunuh adalah pekerjaan yang tak kusukai, niocu. Kalau aku kalah dan mau dibunuh terserah, tapi kalau aku menang aku hanya meminta mereka tak meneruskan niatnya dan memberi tahu dimana anak kita itu! Bagaimana?"
"Tidak, aku tak setuju. Lebih baik kita mampus atau mereka!"
"Hi-hik!" Wi Hong terkekeh, meloncat dan kembali kedekat puteranya, melihat Swi Cu mau menggagalkan maksudnya. "Suamimu sudah bicara, Swi Cu. Dan aku menerima. Kalau kau menganggap suamimu bukan seorang penjilat ludah tantangannya kupenuhi. Aku siap menggagalkan maksudku bertanya tentang pembunuh itu kalau pihakku kalah, tapi kalau pihak kalian yang kalah maka suamimu harus memberi tahu siapa dan dimana pembunuh itu!"
"Aku tak dapat menerangkan siapa pembunuh ini, kecuali dimana kira-kira ia berada. Kalau kau bertanya siapa dia terus terang tak dapat kukatakan!" Beng Tan menukas, bersinar dan marah karena merasa dirinya direndahkan.
Wi Hong seolah menganggapnya sebagai pihak yang pasti kalah, demikian percaya kepada puteranya sendiri dan tentu saja pendekar itu merah mukanya. Tapi mengingat bahwa Giam Liong mendapatkan sebagian besar ilmu-ilmunya darinya, hal yang agak menenangkan pendekar ini maka dia menjawab sambil mengingatkan lawan. Dia tak mau memberi tahu siapa sebenarnya si Kedok Hitam itu kecuali dimana kira-kira ia berada, karena ia memang tak ingin memberi tahu siapa si Kedok Hitam itu, semata untuk menjaga keonaran atau banjir darah lagi. Tapi Wi Hong yang terkekeh dan mengejek kepadanya berkata bahwa itupun tak apa.
"Jangan sombong. Di dunia ini ada dua orang yang dapat kutanya, Beng Tan, bukan hanya dirimu saja. Kalau kau tak mau maka aku sudah memberi tahu kepada puteraku untuk ke kota raja, bertanya kepada Coa-ongya!"
Beng Tan terkejut. Perobahan wajah yang tampak jelas tiba-tiba membuat pendekar itu surut selangkah, kata-kata lawan membuatnya berdetak, kaget. Tapi ketika dia dapat menenangkan guncangan dirinya lagi dan berdiri tegak, muka sudah biasa maka pendekar itu berkilat dan menutup pembicaraan.
"Baik, kalau begitu tak perlu banyak mulut, Wi Hong. Kenapa kau kesini dan tidak ke Coa-ongya. Tentu kau takut menghadapi banyak orang dan merasa dapat menguasai aku. Majulah, suruh puteramu mulai!"
Wi Hong tertawa. Setelah Beng Tan menyetujui maksud hatinya dan taruhan itu dapat dibuat, yang kalah harus tunduk kepada yang menang maka harapan untuk mengetahui siapa dan dimana pembunuh suaminya itu dapat dilacak. Dia akan memulai ini bersama puteranya. Pergi ke istana pun dia tak takut, asal bersama puteranya yang lihai itu. Dan ketika dia mundur dan menepuk pundak puteranya, agar maju dan mulai menyerang maka Giam Liong diam-diam tertegun dan terkejut.
Tak ada maksud di hatinya untuk menggagalkan atau membatalkan mencari si pembunuh itu. Dia akan berusaha sampai titik darah terakhir untuk menemukan si Kedok Hitam. Dia sudah bersumpah! Tapi karena ibunya sudah menyatakan janji dan itu tak dapat ditarik lagi, diam-diam pemuda ini menyesali kesembronoan ibunya maka Giam Liong bertekad untuk memenangkan pertandingan. Apa boleh buat, dia harus mengalahkan ayahnya itu.
Bukan karena ambisi melainkan semata agar dapat mencari pembunuh ayah kandungnya. Ayahnya inilah orang yang paling tahu siapa pembunuh itu, orang yang hanya dikenal sebagai si Kedok Hitam. Dan ketika Giam Liong tak dapat mundur selain maju dan harus menang, keberingasan dan tekadnya tak dapat dicegah maka muka pemuda itupun menjadi merah sementara rambut di atas kepalanya berkilat-kilat seperti api yang marong (membara)!
"Baiklah, kita mulai, ayah. Dan cabut senjatamu agar kita segera menyelesaikan persoalan ini!"
"Tidak, kau saja yang mencabut senjatamu, Giam Liong. Pinjam pedang ibumu kalau kau tidak membawa!" Beng Tan berkata, tak tahu Golok Maut yang disembunyikan di balik punggung pemuda itu.
Giam Liong menyimpannya di balik bajunya yang kerombyong, longgar dan besar hingga tak dapat dilihat ayahnya itu, apa-lagi dia selalu berdepan dengan laki-laki ini, hingga punggungnya terlindung. Dan ketika Giam Liong tersenyum dan menggeleng,tak akan mencabut senjata sebelum diperlukan maka dia mengerotokkan buku-buku jari untuk menyerang tanpa senjata, kedua lenganpun tiba-tiba memerah seperti terbakar.
"Aku akan menyerang tanpa senjata, ayah. Kalau aku tak dapat merobohkanmu maka senjata baru kucabut belakangan. Awas, aku mulai!" dan Giam Liong yang berkelebat dan mendorong ibunya, agar menyingkir jauh tiba-tiba berseru dan melepas pukulan pertama.
Beng Tan menanti dan pendekar itu terkejut karena tiba-tiba berkesiur angin panas yang menyambar dirinya, bukan sekedar panas melainkan juga beserta uap merah. Itulah Ang-in-kang, Pukulan Awan Merah! Dan ketika pendekar ini berkelit namun angin pukulan itu terus menyambar, mengikuti maka apa boleh buat pendekar itu harus menangkis dan menggerakkan tangannya.
"Dukk!"
Anak-anak murid terpelanting. Bumi bergetar demikian kerasnya karena baik Beng Tan maupun Giam Liong sama-sama menambah tenaganya. Tadi dalam dua kali pukulan mereka sudah merasakan hebatnya tenaga lawan, kini menambah dan bermaksud mencapai kemenangan lebih dulu tapi masing-masing pihak ternyata berpikiran sama. Beng Tan juga ingin memenangkan pertandingan itu dan ketika melihat uap merah dia sudah cepat menambah dan mengerahkan sinkangnya, tak tahunya Giam Liong juga menambah kekuatannya hingga begitu bertemu tiba-tiba tanah tergetar dan terguncang keras.
Wi Hong sendiri sampai terpeleset dan hampir terjatuh! Dan ketika wanita itu terpekik namun dua orang itu sudah saling membentak dan bergebrak lebih jauh maka Giam Liong berkelebat mengelilingi ayahnya sambil melepas pukulan-pukulan Awan Merah. Lawan tak mau diam dan pendekar inipun membalas dan berkelebatan pula. Dan ketika masing-masing pihak melihat bahwa yang lain ingin mencapai kemenangan dan bergerak secepat mungkin maka mereka mengerahkan ginkang dan akhirnya lenyap berputaran bagai angin puyuh!
"Bagus!" Beng Tan memuji. "Kepandaianmu bertambah maju, Giam Liong. Kau semakin hebat tapi belum tentu dapat mengalahkan aku!"
"Hm, aku akan berusaha. Mati hidup demi mendiang orang tuaku, ayah. Kalau kau tak mau mengalah barangkali kau harus membunuhku!"
Keduanya sudah bertanding cepat. Beng Tan tak dapat berbicara lagi karena pukulan-pukulan puteranya semakin cepat. Uap merah di tangan Giam Liong semakin tebal dan panas, anak-anak murid terpaksa menjauh karena dari jarak beberapa tombak saja tubuh mereka serasa terbakar, bahkan, ada yang mulai melepuh! Dan ketika angin menderu-deru dan Wi Hong sendiri tak kuat menahan hawa panas itu maka wanita ini menjauhkan diri karena Beng Tan juga mengeluarkan Ang-in-kang untuk menandingi bekas puteranya itu.
"Duk-dukk!"
Pertandingan menjadi hebat. Dua orang itu akhirnya lenyap merupakan bayang-bayang hitam dan biru. Pendekar itu mengenakan pakaian biru dimana bayangannya ini berkelebatan mengimbangi bayangan lawan. Giam Liong berbaju hitam dan bayangan biru serta hitam berganti-ganti. Mereka saling desak namun bayangan biru kewalahan. Giam Liong mulai mengeluarkan pula warisan sinkang dari kitab kecil di sumur tua, yakni pelajaran Kim-kang-ciang atau Pukulan Tangan Emas. Dan karena pemuda itu berganti-ganti mengeluarkan dua pukulan berbahaya, Kim-kang-ciang akhirnya menyorotkan sinar emas dimana Beng Tan menjadi silau maka pendekar itu terkejut karena dia terdesak!
"Keparat!" pendekar itu memaki. "Kau telah hapal pelajaran mendiang ayahmu, Giam Liong. Kau menggabung dengan Ang-in-kang untuk mengalahkan aku. Ini Kim-kang-ciang!"
"Benar," Giam Liong berseri. "Meskipun kau merobek dan menghancurkan kitab itu namun isinya telah kuhapal, ayah. Betapapun aku ingin maju dan mengalahkanmu!"
"Tak mungkin, kita belum bergebrak sepenuhnya. Aku belum mengeluarkan pedangku..... duk-plak!" dan Beng Tan yang mengeluh dan terlempar ke belakang tiba-tiba bersuara keras karena digencet Kim-kang-ciang sekaligus Ang-in-kang. Dia sendiri hanya mengandalkan Ang-in-kang dan itu kalah kuat. Bekas puteranya benar-benar lihai dan pendekar itu terkejut. Dan ketika dua pukulan menyambarnya dari depan karena Giam Liong mendorongkan dua tangannya sekaligus, yang kiri dengan Kim-kang-ciang sedang yang kanan dengan Ang-in-kang maka sinar emas dari Kim-kang-ciang menyilaukan pendekar itu dimana dia akhirnya terbanting dan terlempar bergulingan.
"Maaf," Giam Liong mengejar, berkelebat memburu ayahnya itu. "Kau menyerahlah, ayah. Kita sudahi pertandingan ini!"
"Jangan sombong!" sang ayah membentak, bergulingan sambil mendorong kedua tangannya dari bawah, menyambut atau menolak dua pukulan puteranya. Dan ketika suara berdentam mengguncangkan tempat itu dan Giam Liong terhuyung mundur maka sang ayah sudah bergulingan meloncat bangun.
"Majulah!" wajah pendekar itu pucat. "Aku belum kalah, Giam Liong. Sinkangmu hebat sekali namun pertandingan belum selesai!"
"Aku tahu," Giam Liong kagum, ragu dan tak segera menyerang. "Kaupun hebat, ayah. Seranglah dan mulailah dulu... wut!"
Sang ayah tak menanti omongan itu habis, membentak dan berkelebat melepas pukulan dan Giam Liong mengelak. Dan ketika ayahnya mengejar dan memburu maka terpaksa dia menangkis dan ayahnya lagi-lagi terpental.
"Keparat!" Beng Tan mulai marah, menggigil mendengar kekeh Wi Hong. "Aku harus menghajarmu, Giam Liong. Cabut senjatamu dan kita mainkan Pek-jit Kiam-sut (Silat Pedang Matahari)!"
"Aku belum merasa perlu," Giam Liong menjawab, tenang, mulai yakin akan kemenangannya. "Kalau kau ingin mencabut silahkan cabut, ayah. Aku akan menandingimu kalau terdesak!"
"Sombong, kau mulai congkak!" dan sang pendekar yang kembali membentak dan menyerang pemuda ini lalu mengeluarkan ilmu-ilmu lain. Ang-in-kang mulai ditambah dengan tamparan-tamparan pedang. Kiam-ciang atau Tangan Pedang pendekar ini mulai dikeluarkan. Dan ketika bunyi bercuitan terdengar mengiringi pukulan menderu maka Kim-kang-ciang tertahan dan Giam Liong tak dapat mendesak ayahnya!
"Hm, hebat!" pemuda itu penasaran, terkejut. "Kau sungguh manusia jempolan, ayah. Tak bohong kalau kau disebut pendekar nomor satu!"
Beng Tan mendengus. Pendekar ini tak mau melayani dan Kiam-ciang di tangannya terus bercuitan menyambar-nyambar. Ternyata dengan itu dia dapat menahan Kim-kang-ciang. Pukulan sinar emas itu dapat dibelah dan dibuyarkannya, akibatnya Giam Liong tertegun dan memuji kagum. Bekas ayahnya ini memang hebat. Tapi ketika lawannya itu bergerak semakin cepat dan Tangan Pedang mulai mencicit dan mendesing, tangan itu berobah seolah sebatang pedang pusaka sendiri maka Giam Liong berseru keras berjungkir balik meloncat tinggi.
"Crat!"
Tanah di bawahnya memuncratkan lelatu api. Wi Hong terpekik sementara anak-anak murid sendiri berteriak ngeri. Mereka melihat Giam Liong nyaris terlambat dan disambar Tangan Pedang itu, yang mulai berkilauan dan berkilat bagai sebatang pedang. Dan ketika Giam Liong melayang turun tapi dikejar dan disambar bacokan ayahnya maka Giam Liong mengerahkan Tangan Pedangnya pula dan terdengarlah suara seperti dua batang pedang beradu.
"Cranggg!"
Orang-orang merasa tertegun. Giam Liong mengeluarkan kepandaian yang sama dengan ayahnya karena hanya dengan Tangan Pedang itulah dia mampu mengimbangi ayahnya. Guru dan murid benar-benar bertemu dan sang pendekar tertegun. Tapi ketika pendekar itu mendengus dan menyerang lagi, Kiam-ciang dihadapi dengan Kiam-ciang maka suara crang-cring memekakkan telinga dan dua orang itu bergerak semakin cepat.
"Keluarkan lagi kepandaian ayahmu!"
Beng Tan menantang, tertawa dan yakin dapat menahan bekas puteranya ini. "Kau tak dapat mengalahkan aku, Giam Liong. Menyerahlah dan buang keinginanmu untuk membalas dendam!"
Si pemuda merah padam. Giam Liong marah namun bekas ayahnya itu benar-benar dapat menahan dirinya, bahkan, dia akhirnya terdesak, karena sepasang lengan ayahnya bergerak-gerak dengan Kiam-ciang dan bercuitan menyambar-nyambar. Dalam hal ini dia kalah matang tapi pemuda itu tidaklah menyerah begitu saja. Karena ketika suatu kali dia tergetar mundur dan tangan kiri ayahnya menyambar dan membabat pundaknya tiba-tiba Giam Liong merobah gerakan dan dengan satu kaki terangkat ke atas tiba-tiba dia membalas dan menggempur ayahnya itu.
"Dess!"
Beng Tan mencelat kaget. Tangan Pedang disambut jurus yang aneh dan satu kaki Giam Liong menancap di dalam bumi. Aneh dan mengejutkan tiba-tiba pukulan pemuda itu bertambah dahsyat seolah mendapat bantuan siluman, menggetarkan dan membuat pendekaritu mencelat! Dan ketika Beng Tan terguling-guling dan pucat melompat bangun maka Giam Liong masih berdiri dengan satu kaki di atas kaki yang lain, tegak dan tak bergeming.
"Kim-kee-kang (Ilmu Ayam Emas)!" sang pendekar terkejut, membelalakkan mata lebar-lebar dan segera teringat ketika dulu dia juga pernah menghadapi gempuran macam ini, bukan dari siapa-siapa melainkan dari mendiang si Golok Maut Sin Hauw.
Kim-kee-kang akan menjadi demikian ampuh dan hebatnya kalau satu kaki sudah terbenam di bumi. Kaki itu akan menjadi demikian kuat dan seolah dipantek saja, akibatnya kekuatan itu tersalur dan dia dulu juga pernah terbanting. Kini dengan Giam Liong, anak Si Golok Maut! Dan ketika pendekar itu tertegun dan menjublak, pucat dan merah berganti-ganti maka Giam Liong menurunkan kakinya dan berseru,
"Menyerahlah, sekarang kau kalah, ayah. Inilah kepandaian dari mendiang orang tuaku seperti yang kau minta. Memang benar, Kim-kee-kang!" dan ketika pendekar itu mendelik dan marah, menggeram, tiba-tiba dia berteriak menggetarkan dan menerjang lagi.
"Aku belum kalah. Aku juga masih mempunyai ilmu yang lain, Giam Liong. Hati-hatilah!" dan secercah cahaya putih yang meledak dan menyambar tiba-tiba turun dan menghantam Giam Liong. Itulah Pek-lui-ciang (Tangan Kilat) yang hebatnya bukan alang-kepalang, datang menyambar dari atas dan Giam Liong terkejut melihat itu.
Apa boleh buat terpaksa dia mengangkat satu kakinya lagi untuk menyambut pukulan itu. Pek-lui-ciang memiliki inti kekuatan dari atas, sementara Kim-kee-kang dari bawah. Jadi, seolah bumi dengan kekuatan langit. Dan ketika Giam Liong terkejut tapi tak dapat berpikir panjang, ayahnya sudah berkelebat dan terbang di udara, melepas Pek-lui-ciang maka pemuda itu membenamkan kakinya semakin kokoh dan seluruh kekuatan bumi ditarik untuk menyambut pukulan Tangan Petir itu.
"Blarrr!"
Hebat dan luar biasa apa yang terjadi kali ini. Giam Liong mengeluh dan melesak kakinya, amblas dan terbenam semakin ke bawah. Dan ketika dua pukulan itu beradu dan sinar putih memecah di udara, anak-anak murid menjerit maka gelegar atau suara benturan dahsyat yang terjadi itu membuat Wi Hong terpelanting sementara anak-anak murid yang lain terbanting pingsan!
Kejadian selanjutnya tak dapat diikuti anak-anak murid lagi karena dengan marah dan geramnya pendekar itu sudah melepas pukulan-pukulan Pek-lui-ciang. Giam Liong menerima dan menahan, mengerikan sekali, melesak dan semakin melesak ke bawah hingga tak lama kemudian kedua lututnya sudah terbenam! Dan ketika Wi Hong menjerit-jerit karena puteranya bertahan dan bertahan maka Beng Tan yang menyerang dan melepas pukulan bertubi-tubi akhirnya juga menderita karena lawan semakin kokoh dan kokoh saja, meskipun terbenam dan tak dapat membalas. Dan karena pengerahan Pek-lui-ciang terlampau melewati batas, Swi Cu yang tertotok dan akhirnya dapat membebaskan dirinya melihat suaminya itu terhuyung dan roboh terduduk, tak mampu membinasakan Giam Liong!
"Oouhh...!" Swi Cu melenting dan meloncat bangun. Suaminya mandi keringat dan batuk-batuk, Giam Liong juga basah kuyup namun pemuda itu jelas tak sepayah lawannya. Beng Tan jatuh terduduk dan kehabisan tenaga, kalah kuat karena kalah muda. Dan ketika pendekar itu bersila dan memejamkan mata, Wi Hong berkelebat dan menyambar puteranya maka Giam Liong ditarik dan jatuh pula terduduk, merasakan gempuran-gempuran Pek-lui-ciang yang amat dahsyatnya!
"Aku ingin minum..." pemuda itu merintih dan merasakan tenggorokannya yang serasa kering terbakar. "Ambilkan aku air, ibu, dan biarkan aku beristirahat."
Murid-murid Hek-yan-pang gempar. Mereka yang tadi bersembunyi dan menonton di luar pagar tak sampai mencelat pingsan oleh benturan-benturan dahsyat itu, meskipun mereka juga menderita karena getaran-getaran suara pukulan itu seolah-olah menghentak jantung mereka, duduk dan bersila dan tak berani menonton lagi karena harus memusatkan konsentrasi pada keselamatan diri sendiri.
Tapi begitu Swi Cu memekik dan Wi Hong juga menjerit menyambar puteranya, pertandingan berhenti maka mereka bangkit berdiri dan alangkah ngeri serta gentarnya melihat teman-teman mereka yang lain sudah bergelimpangan dan pingsan dengan darah mengucur di mulut atau telinga.
"Cepat angkat dan bawa mereka menjauh. Jangan lagi disini!"
Ki Bi, murid utama Hek-yan-pang muncul dan berkelebat. Tadi wanita ini tak ada di pulau karena sedang pergi ke kota, berbelanja. Memang tak semua murid-murid utama ada disitu, di saat Giam Liong dan ibunya datang. Maka begitu Ki Bi mendengar dan melihat itu, diberi tahu bahwa bekas ketua lama dan Han-kongcu muncul, Ki Bi masih belum tahu bahwa Han Han adalah Giam Liong, putera mendiang Si Golok Maut maka wanita itu terbelalak dan terheran-heran serta kaget bagaimana Giam Liong sampai bertanding dengan ayahnya, digempur dan habis-habisan bertahan. Namun karena Ki Bi pernah menaruh hati kepada Beng Tan dan jatuh terduduknya pendekar itu membuat Ki Bi gelisah maka setelah menyuruh anak-anak murid menjauh segera wanita ini berkelebat membantu Swi Cu, yang menolong suaminya.
"Apa yang terjadi. Kenapa pangcu marah-marah dan hendak membunuh putera sendiri!"
"Keparat, dia bukan puteraku, Ki Bi. Anak itu adalah Giam Liong, putera Si Golok Maut Sin Hauw!"
"Giam Liong? Han-kongcu..."
"Dia bukan Han Han, dia anak wanita itu. Suciku itulah yang menukarnya di waktu bayi dan kini datang untuk membuat onar!"
Dan ketika Ki Bi tertegun dan bingung, seorang anak murid segera mendekati dan berbisik menceritakan asal mulanya maka Ki Bi terkejut dan membelalakkan matanya lebar-lebar. "Jadi.... jadi..."
"Benar," anak murid itu mengangguk, pucat dan tak berani keras-keras bicara. "Han-kongcu dibawa bekas ketua lama, toa-ci. Dan pemuda yang kita sangka Han kongcu ini ternyata putera ketua lama, kongcu ini ternyata putera ketua lama. Dia Sin-kongcu (tuan muda Sin), keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Bayi itu dulu ditukar!"
Wajah Ki Bi berubah. Segera dia mengerti dan duduk persoalan itu membuat mukanya pucat. Ki Bi memandang dua orang di depan sana, Wi Hong berlutut dan memberi minum puteranya. Tapi ketika wanita itu tertegun dan pucat, tak tahu apa yang harus dilakukan tiba-tiba Beng Tan sudah bangkit berdiri dan gemetar berpegangan pundak isterinya, geram memandang Giam Liong, mencabut Pek-jit-kiam, pedang yang menggetarkan itu!
"Giam Liong, pertandingan belum selesai. Satu di antara kita belum roboh. Majulah, dan kita selesaikan pertandingan ini!"
Giam Liong tergetar. Setelah diberi minum dan meneguk air dingin tiba-tiba tenggorokannya serasa segar kembali. Tenaganya pulih dan diam-diam pemuda itu memandang bekas ayahnya. Gempuran-gempuran Pek-lui-ciang yang demikian dahsyat dan menggetarkan hampir saja tak dapat ditahan. Untung, sinkang di tubuhnya kuat. Itulah berkat latihan telanjang bulat sambil berjungkir balik! Dan ketika ayahnya bangkit berdiri tapi Giam Liong terkejut karena ayahnya mencabut pedang yang mengerikan itu, Pedang Matahari yang membuat nama ayahnya terangkat tinggi dan dimalui orang maka pemuda itu berdetak dan merasa agaknya pertandingan puncak harus dimulai!
"Bangkitlah!" ayahnya kembali menantang. "Kalahkan aku dan kita tentukan pertandingan akhir, Giam Liong. Cabut senjatamu dan hadapi senjataku. Tentukan kalah menang dengan senjata!"
Pedang Matahari mencorong berkilat-kilat. Giam Liong terkejut karena ayahnya itu sudah sampai pada taraf kemarahan puncak, mau mengajaknya bertanding lagi setelah tadi tak mampu merobohkannya, meskipun dia pada pihak yang terdesak, tertekan. Tapi ngeri akan hasil akibat nanti, Giam Liong teringat budi dan kebaikan yang banyak diterima dari bekas ayah angkatnya ini tiba-tiba tergetar dan menggigil menjawab,
"Ayah, apakah tak sebaiknya kita sama-sama melihat keadaan? Bukankah kau tak dapat merobohkan aku dan kau menyerah saja? Aku tak sanggup menghadapimu dengan senjata, ayah. Aku takut harus melukaimu dan menyudahi saja pertandingan ini!"
"Aku belum kalah, kaupun tak dapat merobohkan aku! Tidak, perjanjian sudah dibuat, Giam Liong. Cabut senjatamu dan aku yakin akan dapat mengalahkan dirimu, meskipun barangkali terpaksa membunuhmu. Kau rupanya takut melihat Pek-jit-kiam!"
"Takut?" Giam Liong menggeleng. "Tidak, ayah, aku tak perlu takut. Justeru aku khawatir kau akan kalah dengan cara menyakitkan!"
"Apa maksudmu?" Beng Tan membentak, terbakar. "Tak perlu aku khawatir, bocah. Aku dapat melindungi diriku dan justeru kaulah yang rupanya takut menghadapi pedangku. Menyerahlah sebelum aku melukai atau membunuhmu!"
"Hm!" Giam Liong berkilat, ayahnya sudah mulai membakarnya pula, tak tahu akan Golok Penghisap Darah yang dia sembunyikan dipunggung. Ayahnya tentu tak akan menyangka kalau dia membawa senjata itu, Golok Maut yang bertuah. Dan ketika ibunya melengking dan membentak marah, marah oleh omongan Beng Tan yang dinilai merendahkan maka ibunya itu bergerak dan tahu-tahu menepuk punggungnya.
"Liong-ji, jangan biarkan singa ompong itu menghinamu lagi. Cabut Golok Mautmu dan tunjukkan kepada dia!"
Apa boleh buat, Giam Liong mencabut senjatanya. Dan begitu sinar putih berkeredep menyilaukan mata, menandingi sinar perak di tangan Beng Tan maka hawa dingin muncul berbarengan dengan dicabutnya golok itu, Golok Penghisap Darah, atau Giam-to (Golok Maut).
"Golok Maut...!"
Beng Tan dan yang lain-lain benar saja berteriak tertahan. Ki Bi, dan para murid senior lainnya segera tahu dan mengenal golok di tangan Giam Liong. Hawa dingin dan pancaran yang menyeramkan yang timbul dari golok itu seketika menyerang orang-orang disitu. Baru dicabut saja sinar seramnya tampak menggetarkan dan menusuk tulang. Dan ketika Beng Tan berseru kaget dan lain-lain tertegun pucat, tak menyangka, maka Wi Hong terkekeh dan berseru, nyaring,
"Lihat," wanita itu berseri-seri. "Golok Maut ada ditangan anakku, Beng Tan. Kalau kau menganggapnya takut maka kau adalah salah. Pedang Matahari akan ditandingi senjata di tangan puteraku ini, sama seperti dulu kau bertanding dengan mendiang suamiku. Tapi karena puteraku menang muda dan menang tenaga maka kau tentu tak dapat mengalahkannya dan lebih baik menyerah saja secara baik-baik. Golok dan warisan kitab telah kuserahkan kepadanya, tidak dapat membunuhmu sekarang tentu setahun dua tahun lagi dapat. Nah, terserah kau mau bertanding atau tidak!"
Beng Tan pucat. Kalau Golok Penghisap Darah ada ditangan Giam Liong maka ini sama halnya dengan di tangan mendiang Si Golok Maut sendiri. Wi Hong telah berkata bahwa golok dan warisan kitab mendiang suaminya sudah diberikan kepada puteranya itu, berarti Giam Liong akan menjadi hebat karena mewarisi dua kepandaian sekaligus. Satu Ilmu Pedang Matahari (Pek-jit Kiam-sut) dan yang satunya lagi Ilmu Golok Maut. Ah, itu benar-benar berbahaya sekali. Giam Liong bagaikan harimau tumbuh sayap. Dan karena pemuda itu di bawah bujukan ibunya, yang penuh dengki dan dendam maka pendekar ini tak dapat membayangkan apa jadinya dengan pemuda itu. Tentu lebih hebat dari mendiang ayahnya dulu. Lebih ganas dan buas!
Dan khawatir bahwa dunia kang-ouw akan guncang, Si Golok Maut muncul dalam puteranya yang lebih muda dan gagah maka timbul keinginan Beng Tan untuk membunuh pemuda ini. Giam Liong masih belum lama meninggalkan Hek-yan-pang, berarti, belum lama pula bertemu dengan ibu kandungnya. Dan karena perjumpaan itu belum lama dan ini berarti pemuda itu belum sepenuhnya mewarisi kepandaian mendiang ayahnya, Im-kan To-hoat (Silat Golok Dari Akherat) maka sinar mata Beng Tan mencorong ketika tiba-tiba saja nafsu membunuhnya timbul!
"Hm!" siapapun tiba-tiba tergetar mundur melihat sinar mata pendekar itu, nafsu membunuh yang berkilat berbahaya. "Sekarang aku tak lagi memandangmu sebagai bekas puteraku, Giam Liong, melainkan sebagai seorang calon pembuat ribut yang besar. Kau telah dibujuk ibumu untuk tenggelam dalam dendam. Kau telah dipenuhi hawa iblis untuk mencari dan menuntut pembunuh mendiang ayahmu. Tapi karena sikap dan perbuatanmu di luar batas kewajaran, ibumu menjejalimu dengan dendam dan dengki, maka aku terpaksa membunuhmu untuk mencegah adanya keributan yang akan kau timbulkan. Golok Maut ada di tanganmu, baik. Dan duapuluh tahun yang lalu aku juga pernah menantang mendiang ayahmu yang keburu tewas. Majulah, kita lihat siapa yang roboh, anak muda. Kau atau aku karena sekarang bukan sekedar pertandingan biasa karena aku melihat ancaman bahaya muncul dalam dirimu sebagai calon pembunuh yang berbahaya!"
Giam Liong mundur. Sikap dan sinar mata ayahnya yang berkilat penuh nafsu membunuh tiba-tiba membuat dia terkejut. Tadi, bekas ayahnya ini juga marah tapi tidak ada kilatan berbahaya seperti itu. Seolah, dia seekor ular yang harus dibasmi. Atau, harimau kelaparan yang akan dibantai! Dan tersinggung bahwa dia disebut calon pembunuh, padahal baginya wajar saja mencari dan menemukan pembunuh mendiang ayahnya itu maka Giam Liong pun tiba-tiba berkilat dan mencorong memandang bekas ayahnya itu.
"Ayah, kau telah menyebut-nyebut mendiang orang tuaku laki-laki, juga tantangan yang tak pernah terlaksana karena orang tuaku tewas terbunuh. Kalau sekarang kau ingin bertanding dan menganggap ini adalah pertandingan duapuluh tahun yang lalu, yang tak sempat dikerjakan ayahku biarlah aku sebagai puteranya meneruskan dan menerima tantanganmu. Kau telah mencabut Pek-jit-kiam, dan aku dengan senjata warisan ayahku dulu. Majulah, aku tak takut dan maaf kalau senjata di tanganku membeset atau melukai tubuhmu nanti!"
"Bagus, luka atau mati bukan apa-apa bagi seorang ksatria, Giam Liong. Kalau golokmu dapat melukai kulitku tentunya pedangku juga dapat melukai dirimu. Majulah, kita tentukan pertandingan akhir!"
Giam Liong bergerak. Ayah angkatnya itu juga bergerak dan Wi Hong maupun Swi Cu sama-sama terbelalak menyaksikan itu. Kalau dulu dua puluh tahun yang lalu yang berhadapan adalah sama-sama kekasih, karena Swi Cu juga belum menikah sementara mendiang Golok Maut Sin Hauw masih pacaran dengan Wi Hong, adalah sekarang laki-laki yang akan bertanding itu merupakan suami dan anak. Dua-duanya sama melekat dan agaknya justeru lebih kuat daripada sekedar kekasih. Dan ketika dua jago itu sudah berhadapan dan akan menggerakkan senjata masing masing, pedang dan golok saling mengintai maka Wi Hong terisak mencium puteranya, sebelum mundur...