X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Naga Pembunuh Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut episode Naga Pembunuh Jilid 05 Karya Batara
NAGA PEMBUNUH
JILID 05
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DUA PUKULAN itu beradu, Beng Tan tertawa dengan tangan kirinya sementara si kakek tampak berkutat dengan ujung lengan bajunya. Ji-sin-kai atau kakek ini merasakan gempuran tenaga dahsyat menahan pukulannya itu, mendorong dan mau menolak balik dan tentu saja dia bertahan, terkejut dan menambahtenaganya namun lawanpun melakukan hal yang sama. Beng Tan menambah tenaganya dan si kakek pucat bergoyang-goyang. Ji-sin-kai menggeram namun tiba-tiba dia terdorong. Dan ketika kakek itu terdorong dan terus terdorong hingga lantai panggung berderit, tanda betapa hebatnya kakek itu bertahan maka Beng Tan tiba-tiba menarik pukulannya dan mundur dengan cepat, membuang seluruh tenaga lawannya kesamping.

"Maaf, kau hebat, Sin-kai. Tapi kukira cukup. bress!" dan lantai panggung yang berderak dan hancur patah-patah akhirnya membuat para tamu meleletkan lidah dan Ji-sin-kai berjungkir balik di udara, kaget berseru keras tapi kagum karena lawan benar-benar luar biasa. Kalau Beng Tan meneruskan serangannya dan dia tergencet tentu kakek itu luka dalam. Namun tidak, ketua Hek-yan-pang itu menarik pukulannya dan ini menyelematkan Ji-sin-kai. Dan ketika kakek itu berjungkir balik melayang turun dan merah mukanya maka dia memuji meskipun penasaran.

"Pangcu, kau hebat. Tapi aku belum puas!"

"Stop!" Beng Tan menggoyang lengan. "Lebih baik aku mengaku kalah, Sin-kai. Aku terpaksa mundur karena tenagamu hebat. Sudahlah, tak baik membuat Tek-wangwe cemas dan lihat dia memandang kita!"

Ji-sin-kai bersinar-sinar. Tek-wangwe cepat-cepat memburu dan hartawan itu menggoyang lengan sambil membungkuk-bungkuk. Hartawan ini ngeri dan pucat kalau si pengemis menyerang lagi, karena Hek-yan-pangcu adalah tamunya yang agung dan di atas semuanya itu adalah calon besan yang diam-diam diincar! Maka ketika Ji-sin-kai menggeram penasaran tapi untung Beng Tan tak melayaninya lebih jauh maka hartawan itu menarik duduk si pengemis sambil bersoja-soja.

"Locianpwe harap tenang, kalian semua tamu. Masih ada kesempatan untuk mengadu kepandaian dalam acara pibu. Duduklah... duduklah, locianpwe. Jangan buru-buru mengumbar adat kalau acara itu belum tiba!" dan mendudukkan lalu menghampiri Toa-sin-kai, pengemis satunya yang masih berdiri di sudut hartawan inipun buru-buru membujuk, mengerling pada puterinya. "Dan kaupun tamuku yang terhormat, Sin-kai. Mari.... mari duduk dan nikmati hidangan seadanya!"

Toa-sin-kai menyeringai. Dia belum berbuat apa-apa ketika Tek-wangwe menarik dan mengajaknya duduk. Tek Lian, muridnya, tiba-tiba juga berkelebat dan menarik tangannya. Dan ketika dua orang itu mengajak duduk dan pengemis inipun terkekeh maka Toa-sin-kai duduk disamping adiknya dan diam-diam mengerahkan ilmu suaranya untuk bertanya.

"Sute, bagaimana kepandaiannya? Kau tak mampu bertahan?"

"Hm," sang sute, kakek itu, menjawab dengan mata merah. "Hek-yan-pangcu itu hebat sekali, suheng. Aku memang kalah tapi baru soal tenaga. Kepandaiannya, ilmu silatnya, belum!"

"Hm, kalau begitu aku jadi tertarik untuk coba-coba. Baiklah nanti aku yang maju dan kita ramaikan ulang tahun Tek-wangwe ini dengan pibu yang seru!"

"Aku juga, dan aku masih penasaran. Aku saja yang maju dan nanti kita sama-sama lihat!"

Dua kakek itu berkedip. Mereka sudah bicara dengan masing-masing mempergunakan ilmu suara jarak jauh. Bibir mereka bergerak-gerak tapi tak ada kata-kata yang terdengar. Itulah tanda betapa hebatnya sebenarnya dua pengemis ini. Tapi Beng Tan yang tersenyum-senyum dan diam-diam mendengarkan pembicaraan itu, menangkap dengan ilmu pendengaran jarak jauhnya pula tiba-tiba memandang puteranya karena mendadak Han Han bangkit berdiri dan melotot memandang dua kakek pengemis itu.

"Ayah, Ji-sin-kai masih penasaran. Sebaiknya aku yang maju dan menghajarnya!”

"He!" sang ayah terkejut, cepat menarik puteranya itu. "Jangan mencari gara-gara, Beng Han. Duduk dan jangan jauh dari ayahmu!"

Beng Han mengerutkan kening. Dua kakek itu memandangnya dan Toa-sin-kai maupun Ji-sin-kai terkejut. Mereka mendengar kata-kata itu karena Han Han tak mempergunakan ilmu suara. Bicaranya begitu terang-terangan dan lantang. Tentu saja mereka marah, terutama Ji-sin-kai! Tapi ketika pemuda itu ditarik ayahnya dan Beng Tan mengangguk kepada mereka berdua, minta maaf, maka sang ayah berbisik dengan ilmu suara agar dua pengemis itu tak gusar.

"Harap ji-wi sin-kai (dua pengemis sakti) memaklumi bahwa puteraku ini masih seorang pemuda yang berdarah panas. Tentu kalian tak akan mudah terpancing oleh omongannya yang lancang itu. Maaf, nanti saja kita main-main lagi!"

"Hm, kau mau melayani aku, Hek-yan-pangcu? Kau tentu tak takut, bukan?"

"Aku tentu melayanimu, dengan gembira. Tapi tak perlu bersungguh-sungguh karena kita sekedar bermain-main saja!"

"Hm!" dan dua pengemis itu yang melotot tapi dapat menahan diri akhirnya disuguhi arak dan Tek Lian cepat-cepat menghibur suhunya.

Gadis ini agak mengerutkan kening karena kata-kata dan sikap Han Han tadi juga didengarnya. Dia merasa tak senang tapi mencoba tersenyum manis. Dan ketika beberapa tamu kembali datang dan ayah serta anak menyambut maka beberapa tokoh atau tamu-tamu penting muncul.

Pertama adalah seorang laki-laki pendek gendut yang berpakaian perlente, usianya sekitar limapuluh tahun, diiring seorang pemuda yang mengawal atau berjalan di sebelannya. Dialah Sing-wangwe bersama puteranya, Sing Kok. Dan ketika tamu kedua dan ketiga adalah seorang tosu dan hwesio maka muncullah dua tokoh pengembara yang bukan lain adalah Eng Sian Taijin dan Tiong Liang Hwesio, dua tokoh dari Kong-thong dan Go-bi.

Agak heran juga hati Beng Tan melihat tokoh-tokoh ini. Maklumlah, Eng Sian Taijin maupun Tiong Liang Hwesio adalah orang-orang yang biasanya tak suka bergaul dengan segala macam kaum bangsawan atau hartawan. Tapi teringat bahwa di situ hadir Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai yang merupakan guru dari puteri tuan rumah maka Beng Tan dapat menjadi maklum dan mengerti. Dan betul saja dua orang pengemis itu buru-buru menyambut. Mereka ikut dengan hartawan Tek menghampiri dua orang ini, tergopoh dan tertawa-tawa dan segera dua orang hwesio dan tosu itu diajak duduk di kursi kehormatan. Dan ketika mereka berada di atas panggung dan mau tidak mau bertemu pandang dengan Beng Tan maka Eng Sian Taijin mengerutkan kening, merasa tidak kenal,

"Siapa dia?" bisiknya.

"Ah, ketua Hek-yan-pang. Pek-jit Kiam hiap yang gagah perkasa!"

"Oh, ketua Hek-yan-pang kiranya!" dan ketika tosu itu bersinar sementara hwesio di sebelahnya juga terbelalak lebar maka Ji-sin-kai berkata bahwa ketua Hek-yan-pang ini memiliki sinkang luar biasa, mulai menggosok.

"Aku tadi mencoba sedikit, dan terdorong. Kalau totiang mau berkenalan silahkan saja, jangan sungkan-sungkan. Siapa tahu Pek-jit-kiam-sut (Silat Pedang Matahari) dari ketua Hek-yan-pang itu dapati menambah pengalaman dengan ilmu pedangmu Kong-thong Kiam-sut (Ilmu Pedang Dari Kong-thong)!"

"Hm!" sang tosu sudah mengangguk, menjura. "Sudah lama aku mendengar namamu, pangcu. Kiranya kau masih muda dan gagah. Mengejutkan kalau Ji-sin-kai memujimu secara terang-terangan!"

Beng Tan bangkit berdiri. Bahwa disitu tiba-tiba muncul beberapa tokoh kangouw hal ini adalah di luar dugaannya. Dia menganggap paling-paling para tamu hanyalah orang-orang sebangsa Tek-wang-we, atau paling tinggi seorang dua orang tokoh-tokoh kang-ouw kelas dua. Tapi begitu Eng Sian Taijin muncul dan Tiong Liang Hwesio dari Gobi juga berada di situ maka Beng Tan yang harus menghormat tokoh-tokoh tua cepat-cepat bangkit memberi hormat.

"Ah, aku biasa-biasa saja, totiang. Aku tak sehebat seperti yang dipujikan Ji-sin-kai itu. Kau jangan percaya, dan aku tentu saja tak berani menandingi ilmu pedang Kong-thong. Selamat berkenalan, dan sungguh gembira bertemu dengan jiwi berdua yang amat terkenal didunia kang-ouw."

"Hm!" sang tosu tersenyum mengejek. Dia sudah menjura dan ujung lengan bajunyapun bergerak ke depan. Ajaib, ujung lengan baju yang tadi lemah dan berkibar itu mendadak menjadi kaku dan berobah seperti lempengan baja, menyambar atau menghantam tubuh Beng Tan dari kiri dan kanan. Dan karena ini adalah serangan berbahaya karena itulah pukulan sinkang yang merobah benda lemas menjadi keras maka cepat saja Beng Tan menangkis, maklum bahwa dia lagi-lagi diuji.

"Plak!" Panggung bergetar. Eng Sian Taijin tampak bergoyang dan tosu itu kaget. Lawan tak bergeming sementara dia hampir terhuyung! Dan ketika tosu ini cepat menambah tenaganya namun Beng Tan buru-buru melepaskan diri maka ujung lengan baju yang menempel di telapak tangannya itu cepat dihindari.

"Totiang,terima kasih. Kau telah memberi pelajaran berharga!"

Eng Sian Taijin tertegun. Nyatalah bahwa ketua Hek-yan-pang itu tak mau melayaninya lebih lanjut, padahal dia sudah mengerahkan tenaga dan siap menggempur lagi. Penasaran bahwa tadi dia tergetar! Tapi karena lawan sudah duduk lagi dan Tiong Liang Hwesio tertawa bergelak, tahu bahwa seorang lawan lihai benar-benar ada di situ maka hwesio ini ganti melangkah dan berseru,

"Omitohud, pinceng (aku) belum berkenalan denganmu, pangcu. Hebat dan kagum sekali diri ini bahwa seorang muda sudah menjadi tokoh terkenal!"

Beng Tan terkejut. Sebenarnya dia tak mau beradu pukulan lagi karena tuan rumah masih belum membuka acara pibu (adu kepandaian silat),yang biasanya pasti diadakan untuk meramaikan setiap acara pesta. Tapi karena lawan sudah melangkah lebar dan dia tak keburu bangkit maka apa boleh buat pukulan hwesio itu yang menyambar kepalanya terpaksa ditangkis, dengan pura-pura bersoja, mengangkat kedua lengan.

"Ah, lo-suhu meninggikan aku? Maaf, aku biasa-biasa saja, lo-suhu. Dan terima kasih atas salammu!"

Terdengar ledakan, panggung berderak keras dan Tiong Liang Hwesio tiba-tiba berseru kaget. Kedua lengannya yang memukul tiba-tiba ditahan sepasang lengan ketua Hek-yan-pang itu, bertemu dengan sepasang tenaga yang luar biasa hebatnya hingga dia menggigil menahan diri, tak sanggup dan terdorong tiga tindak! Dan ketika hwesio itu pucat karena lawan dapat terus mendesak dan melemparnya keluar panggung tiba-tiba tenaga dahsyat itu lenyap dan hwesio ini terhuyung kedepan.

"Ah, hebat, luar biasa. Pinceng benar-benar bertemu orang pandai!"

Beng Tan tersenyum merendah. Dia segera tahu bahwa baik Ji-sin-kai maupun kawan-kawannya ini masih kalah dengannya. Dia memiliki sinkang atau tenaga sakti yang dua tingkat di atas mereka, tadi hanya dikeluarkan sebagian dan itu saja sudah cukup membuat lawan pucat. Maka ketika si hwesio mundur dan tahu diri, kagum, maka Beng Tan mengangguk-angguk dan tersenyum.

Selanjutnya tiga orang itu saling kasak-kusuk dan Ji-sin-kai maupun Eng Sian Taijin menunjukkan penasaran hebat. Mereka itu tak seperti Tiong Liang Hwesio yang cukup tahu diri, yang batuk-batuk dan kagum memandang Beng Tan. Dan ketika tuan rumah menyambut beberapa tamu lagi dan akhirnya meniup lilin ulang tahun maka para tamu bersorak ketika tuan rumah ingin dihibur dengan atraksi kepandaian silat.

"Puteriku barangkali yang perlu mengawali. Dan acara ini kuserahkan saja kepada guru puteriku yang terhormat Toa-sin-kai dan Ji-sin-kai yang hadir di sini. Maaf, silahkan mulai, Sin-kai. Agaknya tak ramai pesta ini kalau kalian orang-orang persilatan tak menunjukkan kepandaian!"

Toa-sin-kai tersenyum lebar. Setelahpara tamu dipersilahkan makan minum maka dia bangkit berdiri memanggil muridnya. Tek Lian diminta menunjukkan sejurus dua ilmu silat. Dan ketika gadis itu bergerak dan melayang ke atas panggung, disambut tepuk tangan riuh maka Tek Lian menyambar tongkat dan mainkan ilmu silat khusus dari gurunya itu.

Gadis ini sudah membungkuk terlebih dahulu ketika mainkan tongkatnya. Dia mulai berkelebatan ketika tongkatnya dilempar ke atas, tinggi dan disambar dan selanjutnya naik turunlah gadis itu dengan gerak meliak-liuk. Tongkat di tangan menyambar menderu-deru dan penonton bersorak melihat gerakannya yang lemah gemulai, lembut namun kuat dan itu cukup memberi indikasi bahwa puteri hartawan Tek ini bukan gadis sembarangan. Dan ketika gadis itu menutup dengan gerakan melipat, yakni tubuh dilempar ke udara sementara tongkat dibanting dan ditangkap di atas lantai maka bergemuruhlah sorak penonton oleh puji dan kagum.

"Maaf, aku hanya dapat sebegini saja. Ilmu silatku terlalu rendah. Kalau ada cu-wi enghiong (orang-orang gagah) yang ingin menunjukkan kepandaian silahkan naik agar dapat membuka mataku lebar-lebar!"

Berteriaklah orang-orang oleh tantangan itu. Pibu telah dibuka dan puteri tuan rumah telah mengawalinya dengan permainan silat yang indah. Semua mata tiba-tiba tertuju di sini dan Tek Lian menjadi pusat perhatian. Gadis itu memang muda dan cantik, suaranyapun merdu dan tinggi semampai. Maka begitu dia menyelesaikan ilmu silatnya dan menantang untuk ditemani, hal yang tentu saja membuat sorak lebih riuh maka seorang pemuda melompat dan menjura di depan si gadis.

"Maaf, aku Wi Cong To ingin bermain-main denganmu, Tek-siocia. Sudilah kiranya memberikan pelajaran karena aku tertarik dan kagum akan silat tongkatmu!"

"Hm," Tek Lian tak menyangka, melihat pemuda ini bermuka buruk. "Kau siapa, sobat? Wi Cong To? Baik, mari main-main dan perlihatkan kepandaianmu..... wut!" dan tongkat yang kembali bergerak dan berada di tangan gadis ini lalu bersiap untuk menghadapi lawan. Tek Lian harus melengos karena si buruk itu menyeringai padanya, mulutnya melebar dan mirip kuda mau menangis. Sungguh tak disangka kalau yang pertama datang adalah pemuda macam ini. Buruk! Tapi karena dia puteri tuan rumah dan pibu memang bebas diikuti siapa saja maka Tek Lian menahan mualnya dan memasang kuda-kuda.

Cong To, pemuda itu, sudah membungkuk di depan lawan. Meskipun buruk namun pemuda ini tetaplah sopan, sikapnya tak kurang ajar dan mulailah dia membentak melonjorkan kedua lengan. Dia tak mencabut senjata dan Tek Lian sejenak tertegun. Tapi ketika pemuda itu berkata bahwa itulah senjatanya, kedua lengannya yang kokoh maka Tek Lian yang tentu saja tak sudi beradu lengan lalu membentak dan menyuruh lawan maju.

"Aku laki-laki, kau wanita, juga sebagai tuan rumah. Silahkan mulai dan jangan ragu-ragu, siocia. Maju dan seranglah aku."

"Wut!" tongkat sudah menyambar, tak banyak bicara lagi. "Kalau begitu baiklah orang she Wi. Awas serangan dan jaga diri baik-baik!" dan Tek Lian yang tak ingin berpanjang lebar dengan lawan tiba-tiba sudah membentak dan menggerakkan tongkatnya itu. Dia berkelebat dan menyambar bagai seekor burung walet, lincah menubruk namun lawan berkelit. Dan ketika Tek Lian mengejar dan lawan mem balik maka untuk pertama kali pemuda itu menangkis.

"Dukk!" Dua lengan pemuda itu bergetar keras. Tongkat terpental dan Tek Lian terkejut karena tenaga lawan kiranya begitu hebat. Dia yang menyerang tapi dialah yang terpental. Dan ketika lawan tertawa dan gadis itu melengking maka untuk selanjutnya murid Ji-sin-kai ini beterbangan dengan tongkat menyambar-nyambar.

Sekarang Tek Lian tak mau beradu tenaga lagi karena begitu si pemuda mau menangkis maka cepat-cepat dia menarik dan mengemplang ke arah lain. Ke manapun pemuda itu menggerakkan lengan ke situ pula buru-buru dia mengganti serangan. Akibatnya si pemuda gemas karena puteri Tek-wangwe itu tak mau beradu dengannya. Dan ketika Tek Lian mempercepat gerakannya dan si pemuda tak dapat mengikuti maka tampaklah di sini bahwa dalam soal kecepatan gadis ini jauh lebih menang daripada lawannya.

Akibatnya Cong To menerima gebukan-gebukan dan penonton bersorak melihat pemuda itu terhuyung-huyung. Pemuda ini mulai marah karena lawan mempermainkannya. Yang menonton mengangguk-angguk karena Tek Lian bersikap cerdik, tak mau beradu tenaga. Dan ketika satu kemplangan tongkat menimpa tengkuk pemuda itu dan Cong To mengeluh maka begitu pemuda itu terhuyung ke depan tiba-tiba Tek Lian menendang bokongnya dengan satu tendangan kilat.

"Dess!" terlemparlah pemuda itu dari atas panggung. Cong To berteriak dan roboh ke bawah, tersungkur. Dan ketika Tek Lian tertawa meminta maaf maka lawannya itu melotot tapi segera ngacir pergi, kalah.

"Maaf, aku sedikit menyakitimu, Cong To. Tapi inilah pibu. Hayo, siapa yang mau main-main lagi!"

Penonton tertawa. Mereka melihat pemuda itu ngeloyor tersipu-sipu. Kepongahan atau kesombongan yang kini mulai muncul di sikap gadis itu tak seberapa diperhatikan. Dan ketika bayangan seorang pemuda lain berkelebat dan berdiri di atas panggung maka orang berhenti bersuara karena kini muncullah pemuda gagah dengan muka yang lumayan.

"Aku Leng Sip, kagum akan kepandaian Tek-siocia. Bolehkah main-main dan berkenalan dengan nona? Tapi aku tak berani bertangan kosong, aku biasa mengandalkan pedang. Kalau nona tidak takut tentu aku gembira dan akan senang sekali mencoba kepandaian murid Ji-sin-kai locianpwe!"

"Hm!" Tek Lian bersinar-sinar, yang ini tidak memualkannya. "Siapapun kau tentu tak perlu membuatku takut, orang she Leng. Majulah, dan cabut pedangmu!"

"Nona memperkenankan?"

"Kalau kau tak takut kubuat jungkir balik seperti orang she Wi tadi. Majulah, dan cabut pedangmu!"

Si pemuda tersenyum. Tek Lian agaknya menemukan kepercayaan dirinya yang besar setelah merobohkan si muka buruk tadi, Cong To. Tapi karena si muka buruk berotak udang dan si nona berotak cerdas maka dia yang sudah melihat gaya dan permainan silat lawan lalu mencabut pedangnya dan membungkuk. Pibu memang bersifat mengadu ilmu, di samping kecerdasan.

"Aku siap, dan silahkan nona mulai."

"Tidak, kau tamu, sobat. Kaulah yang mulai dan jangan sungkan-sungkan. Majulah!"

"Begitukah? Baik, awas, nona. Lihat pedang!" dan Leng Sip yang mulai membuka serangan dan membentak memberi peringatan tiba-tiba bergerak dan sudah menusuk lawan. Mula-mula pedangnya bergerak perlahan karena takut melukai lawan, tak tahunya Tek Lian bergerak gesit dan menghantam pedang itu dari samping, hingga si pemuda terhuyung. Dan ketika pemuda itu ditertawakan dan penonton mulai bersorak maka pemuda itu bersungguh-sungguh dan tidak sungkan-sungkan lagi. Melihat Tek Lian membalas dan tongkat atau senjata di tangan gadis itu sudah menderu di atas kepalanya, ditangkis dan terpental tapi menyambar punggungnya, dari belakang. Dan ketika Tek Lian bergerak dan berkelebatan bagai walet seperti tadi maka pemuda itu harus mengakui bahwa murid Ji-sin-kai ini memang lihai.

"Trik-trakk!"

Pedang bertemu tongkat. Dari adu tenaga itu Tek Lian tahu bahwa si pemuda tak memiliki tenaga sebesar si buruk tadi, namun lihai karena tiba-tiba pedangnya dipentalkan dan dibabatkan ke bawah, menyerampang kaki. Dan ketika Tek Lian harus meloncat namun pemuda itu menggerakkan tangan kirinya, menghantam, maka Tek Lian maklum bahwa lawannya yang ini memang tidak berotak kerbau.

"Dess!" dan Tek Lian pun terhuyung. Agaknya, sebagai wanita yang dikodratkan lebih lemah daripada laki-laki maka meskipun lawannya itu tak sehebat Cong To namun tenaganya masih lebih kuat dibanding tenaganya sendiri. Apa boleh buat Tek Lian mengulang gaya permainannya seperti tadi, bergerak dan berkelebatan menyambar-nyambar mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh). Dan ketika lawan mencoba mengimbangi namun kalah cepat, karena Tek Lian bergerak seperti walet beterbangan maka satu dua pukulan tongkatnya mulai masuk.

"Plak-plak!"

Si pemuda kewalahan. Tak lama kemudian dia terdesak dan tertawalah Ji-sin-kai melihat muridnya mempermainkan lawan. Leng Sip agaknya bukan tandingan gadis ini karena meskipun pedangnya menangkis sana-sini namun tongkat itu bergerak lebih cepat lagi, mengemplang atau menusuk dan setiap tusukan atau sodokan ini tentu mengarah jalan-jalan darah yang menyakitkan. Akibatnya pemuda itu menyeringai karena tusukan atau sodokan itu terasa pedas. Dan ketika lama-lama dia kesakitan dan mundur-mundur, penonton bersorak gegap-gempita maka akhirnya dengan satu gerakan manis gadis ini membuat lawan terpelanting, tongkat mendarat ditengkuk.

"Cukup, dan mundurlah!" Pedang di tangan si pemuda terlempar. Tek Lian menendangnya sebelum mendaratkan tongkatnya itu. Lawan dibuat jungkir balik dan terpelanting ke bawah panggung. Dan ketika kemenangan ini disambut riuh dan tepuk tangan maka lawannya itu ngacir sementara Tek Lian berdiri tegak mengusap keringatnya, juga anak rambut yang berjuntai didahi.

"Maaf, jangan kapok menghadapi pibu, orang she Leng. Aku siap menghadapimu lagi kalau masih penasaran!"

Pemuda itu malu. Penonton mengejeknya sementara Tek Lian terkekeh mengiringi, ah, gadis itu kian sombong saja. Tapi ketika selanjutnya tak ada lagi pemuda yang mau naik di atas panggung, menghadapi si nona lihai maka Tek Lian agak kebingungan memandang ke bawah, diam-diam melirik Han Han karena diharapnya pemuda itu akan mau maju, bersentuhan dan bersenggolan tangan! Tek Lian memang diam-diam mengharap pemuda itu setelah dua pemuda pertama dirobohkannya. Dia juga ingin menjajal kepandaian Han Han setelah tadi pemuda itu mengusir Huang-ho Coa-li. Tapi karena Han Han dingin-dingin saja dan pemuda itu memandang tak acuh, sama sekali tak bersorak atau gembira melihat pertandingan di atas panggung maka Tek Lian siap mengundurkan diri ketika tiba-tiba hartawan Sing, laki-laki pendek gendut itu tertawa naik panggung, bergoyang-goyang.

"Ha-ha!" penonton dan Tek Lian terkejut, sama-sama mengira hartawan itu mau maju bertanding, padahal jelas tak bisa silat! "Aku ke sini ingin mengajukan usul, Tek-wangwe. Bagaimana kalau pibu ini dijadikan semacam sayembara. Maksudku, yang berkaitan dengan puterimu itu, khusus buat anak-anak muda!" dan ketika Tek-wangwe bangkit dan menerima tamunya itu, tergopoh dan terbelalak maka hartawan ini bertanya apa yang dimaksud rekannya itu.

"Aku tak mengerti," tanyanya. "Apa maksud wangwe dengan ini."

"Ha-ha, maksudku arena cari jodoh. Lihat, puterimu sudah tak ada tandingnya lagi, Tek-wangwe. Dia hebat dan memang luar biasa. Tapi tak mungkin di sini tak ada pemuda-pemuda lagi yang berani menghadapinya. Tentunya mereka tak akan mau naik kalau akhirnya hanya kalah dan mendapat malu. Lain kalau mereka itu diiming-imingi dulu sayembara jodoh hingga kalahpun tentu tak perlu kecewa!"

Tek-wangwe tiba-tiba tersenyum. Mendadak dia mengangguk dan berseri-seri. Usul atau gagasan ini tiba-tiba ditangkapnya sebagai sesuatu yang bagus. Puterinya sudah dewasa, dia sudah pula waktunya untuk bermantu. Dan ketika dia tertawa dan melirik puterinya, yang tersipu dan tiba-tiba kemerahan maka hartawan itu bergelak menjawab nyaring,

"Ah, siapa tak suka ini? Aku setuju, wangwe. Tapi tentunya harus kutanya puteriku itu, juga kedua gurunya. Kalau mereka suka tentu saja aku semakin gembira. Hm, tapi ini khusus buat anak-anak muda. Yang kakek-kakek atau tua tak boleh ikut!"

"Ha-ha, tentu saja. Masa aku akan menghadapi puterimu? Kalau dia setuju maka puteraku menjadi jagonya, wangwe. Dan kita dapat berbesan kalau anakku dapat merobohkan puterimu!"

"Hm!" Tek Lian tiba-tiba mendengus. Dia malu dan jengah mendengar omong-omong dua orang tua itu. Hartawan Sing memang sudah dikenalnya karena dialah mitra dagang ayahnya. Sing-wangwe sering berkunjung ke rumah tapi baru kali itu dilihatnya Sing-kongcu, putera Sing-wangwe itu. Dan ketika ayahnya memandang kepadanya sementara putera Sing-wangwe itu menatapnya bersinar-sinar, muka bercahaya maka tiba-tiba Tek Lian menjadi malu ketika dihampiri dan ditanya ayahnya.

"He, kau tak menolak pibu ini dirobah jadi arena jodoh, Lian-ji? Kau berani menghadapi calon-calon penantangmu yang tentu gagah perkasa?"

"Aku menyerahkan hal itu kepada suhu," Tek Lian tiba-tiba melengos. "Dan aku tentu tak takut menghadapi siapa pun, ayah. Asal suhu atau ayah dapat memilihkan seorang yang benar-benar dapat mengalahkan aku!"

"Ha-ha, bagaimana, ji-wi sin-kai? Kalian mendengar kata- kata anakku ini?"

"Hm!" Ji-sin-kai tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau pibu dirobah jadi arena sayembara tentu aku tak menolak, wang- we, hitung-hitung sebagai hadiah ulang tahunmu. Tapi muridku lihai, jangan-jangan tak ada seorang pemudapun yang dapat mengalahkannya!"

"Ah, itu kita lihat saja nanti. Yang jelas banyak pemuda-pemuda di sini, Sin-kai. Dan mereka tentu mau maju asal diberi kesempatan. Bertanding dengan harapan mendapat jodoh tentu membuat pemuda lebih bersemangat, tapi bagaimana aturannya terserah kau!"

Kakek itu terkekeh. "Tek Lian harus dikalahkan seorang lawannya. Kalau ada lawan yang dapat merobohkan maka orang itu harus berhadapan dengan peserta baru, begitu seterusnya sampai tidak ada penantang lagi. Bukankah adil?"

"Ha-ha, bagus. Kalau begitu usul Sing-wangwe kuterima!" dan ketika hartawan itu berhadapan dengan sahabatnya dan berkata setuju, sementara Tek Lian tersipu-sipu kemerahan dengan sikap jengah maka Sing-wangwe meloncat kegirangan dan turun ke bawah.

"Sing Kok, majulah. Hadapi dan robohkan calon isterimu itu!"

Sing Kok, pemuda di bawah, tersenyum bangkit berdiri. Sang pemuda yang bertubuh kekar dan bermuka kepucat-pucatan ini mengangguk menyambut ayahnya. Sungguh lain pemuda itu dengan ayahnya yang pendek gendut. Sing Kok adalah pemuda gagah dan gerak-geriknya yang ringan cekatan jelas menunjukkan dirinya bukan sebagai pemuda hartawan yang biasanya malas dan suka bersenang-senang. Pemuda ini diminta ayahnya untuk maju menikmati jodoh, hal yang segera disambut tepuk tangan dan kegembiraan oleh semua penonton di situ. Dan ketika Sing Kok berjalan dan tiba-tiba melayang naik ke atas panggung, yang jaraknya masih lima meter dan tinggi setombak tiba-tiba saja penonton atau para tamu bersorak, melihat bahwa pemuda ini seorang yang lihai!

"Tek-siocia," seruan nyaring itu mulai bergema. "Aku menuruti kehendak ayahku dan ingin main-main denganmu. Marilah, aku memang jadi bersemangat setelah tahu syarat-syarat pertandingan ini. Majulah, dan aku akan merobohkanmu!"

Tek Lian membelalakkan mata. Tiba-tiba saja dia sudah ditantang dan lawan tak sungkan-sungkan lagi, bergeraklah dia dan seketika sudah mencabut tongkatnya. Dan ketika semua orang bertepuk tangan dan dua muda-mudi itu berhadap-hadapan, gagah dan cantik maka Tek Lian mendengus dan tiba-tiba berbisik,

"Sing Kok, jangan sombong. Kaukah yang dikatakan ayahmu mengembara dan baru pulang dari utara? Hm, aku akan menutup kesombonganmu. Cabutlah senjatamu dan mari kita mulai!"

"Srat!" si pemuda mencabut ruyung, pendek namun kokoh. "Senjataku adalah ini, siocia. Tapi kalau aku belum merasa perlu biasanya aku tak pernah mempergunakannya dahulu. Majulah, aku akan bertangan kosong!"

"Apa? Kau menantangku?"

"Aku telah melihat kepandaianmu, nona. Dan aku merasa sanggup menghadapi. Mulailah, ruyung ini kubuang dulu di situ!" dan Sing Kok yang benar-benar membuang ruyungnya dan bersiap dengan tangan kosong tiba-tiba sudah mendapat bentakan lawan yang melengking marah.

Tek Lian merasa direndahkan dan gadis itu tentu saja naik pitam. Maka begitu dia membentak dan menerjang ke depan, lawan tersenyum kepadanya tiba-tiba tongkat di tangan itu telah menderu dan menghantam dahsyat.

"Wheerrr...!" Tongkat menyambar angin kosong. Tek Lian terkejut karena tiba-tiba dengan mudah dan gampang pemuda itu mengelak serangannya, dibentak dan diserang lagi namun berturut-turut pemuda itu mampu menghindar. Sing Kok lincah berkelit dan tongkat itupun meledak di lantai panggung. Dan ketika pemuda itu tertawa sementara penonton mulai bersorak, karena pertandingan ini jauh lebih menarik daripada tadi maka berturut-turut tujuh serangan gadis itu luput alias menyambar angin kosong.

"Wut-wutt...!"

Tek Lian marah bukan main. Lawan tiba-tiba mengejek padanya dan berseliweran naik turun. Tek Lian yang merasa mempunyai ginkang tingkat tinggi lalu membentak mempergunakan itu. Tapi ketika si pemuda dapat mengimbangi karena tubuh pemuda itupun berkelebatan dan menyambar-nyambar bagai seekor burung garuda maka Tek Lian terbelalak karena lawannya itu sungguh hebat bukan main!

"Keparat!" gadis ini melengking. "Hayo balas serangan-seranganku, Sing Kok. Jangan menghindar atau berlarian saja seperti seorang pengecut!"

"Hm, begitukah?" pemuda itu tertawa. "Baik, adik Lian. Awas balasanku dan hati-hati...!" dan ketika pemuda itu berseru keras dan mulai membalas, karena tadi memang hanya menghindar dan main kelit saja maka Tek Lian terkejut karena tangan lawan tiba-tiba menjadi delapan.

Gadis itu terpekik karena begitu tertawa dan bergerak amat cepat sekonyong-konyong lengan pemuda ini berobah demikian banyaknya. Ji-sin-kai yang menonton itu tiba-tiba berseru kaget dan bangkit berdiri, disusul suhengnya. Dan ketika Tek Lian terdesak dan menerima satu pukulan keras maka tongkat di tangan gadis itu mencelat dan gadis inipun terpelanting.

"Pat-sian Sin-kun (Silat Delapan Dewa)!"

Yang lain-lain terkejut. Eng Sian Tai-jin dan Tiong Liang Hwesio tampak juga mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tahu bahwa itulah Pat-sian Sin-kun, ilmu silat Delapan Dewa yang hebat. Dan ketika Tek Lian terdesak dan pucat bukan main, mundur-mundur, maka satu gerakan pemuda itu telah mengakhiri pertandingan karena sebuah totokan hinggap di pundak si nona.

"Robohlah...!"

Tek Lian terbanting. Dia benar-benar roboh begitu tersentuh jari tangan si pemuda. Sing Kok putera hartawan Sing-wangwe itu telah mengalahkannya. Dan ketika Tek Lian terbanting namun si pemuda cepat menyambar, agar tidak jatuh membentur lantai maka Tek Lian terisak dan menangis ketika dibebaskan lagi.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu malu!"

Tek Lian menyambar tongkatnya dan lari. Gadis itu terpukul dan malu dan Sing-wangwe tertawa bergelak melihat kemenangan puteranya, berseru pada Tek-wangwe bahwa mereka akan menjadi besan. Tapi ketika Ji-sin-kai melompat garang dan membentak bahwa itu belum kemenangan mutlak, karena si pemuda masih harus menghadapi calon-calon penantang yang barangkali muncul maka pengemis itu merah padam memandang Sing Kok.

"Kau murid si tua bangka Pat-jiu Sian-ong (Dewa Lengan Delapan)? Kau dari utara?"

Sing Kok terkejut. Dia melihat si pengemis ini bermata merah. Tapi karena tahu bahwa kakek itu adalah guru Tek Lian, yang baru saja dikalahkannya maka Sing Kok menjura dan membungkuk penuh hormat. "Locianpwe kiranya mengenal guruku. Benar, siauwte (aku) adalah murid guruku itu."

"Hm, dan disuruh apa kau oleh gurumu itu? Disuruh menantang Ji-sin-kai dan pamer kepandaian di depan orang banyak?"

Sang pemuda terkejut. "Maksud locianpwe?"

"Keparat, tak tahu aku bahwa kau adalah murid si tua jahanam Pat-jiu Sian-ong, bocah. Dan karena kau adalah muridnya maka syarat pertandingan ini kutambah bahwa kalau tak ada penantang lain maka kau harus dapat mengalahkan aku!"

"Locianpwe!" dua pekikan terdengar berbareng. Itulah seruan atau suara Tek-wangwe dan Sing Kok. Pemuda ini kaget karena tiba-tiba saja dia diharuskan mengalahkan si tua, melihat gelagatnya bahwa Ji-sin-kai ini bermusuhan hebat dengan gurunya. Namun ketika kakek itu tertawa dan bertanya apakah dia takut, hal yang membuat pemuda itu bermuka merah maka Sing Kok menggeleng dan menahan rasa geramnya.

"Aku tak takut, hanya kenapa sekarang syarat itu ditambah. Bukankah locianpwe seharusnya tadi-tadi memberi tahu?"

"Ha-ha, tadi aku tak mengetahui bahwa kau adalah murid Pat-jiu Sian-ong, bocah, padahal dia adalah musuhku. Dan karena gurumu itu orang yang pernah menghina aku maka kau sebagai muridnya harus menerima ini, mau atau tidak!"

"Tak adil!" Beng Tan tiba-tiba berseru. "Kau tak tetap memegang janjimu, Sin-kai. Dan urusan anak muda ini seharusnya tak usah diikut campurkan dengan urusan gurunya. Tua dengan tua, muda dengan muda. Seharusnya kau tahu itu!"

"Eh!" kakek itu menoleh, meradang. "Kau ikut campur, pangcu? Apakah ingin mewakili anak muda ini? Kalau begitu majulah, kita tua sama tua!"

"Tidak," Beng Tan menggeleng. "Urusan jodoh tak kuikut-campuri, Sin-kai. Hanya urusan kebenaran tentunya tak bisa dilepaskan oleh setiap pendekar yang merasa dirinya menjunjung tinggi keadilan. Kau tadi tidak menambahkan syarat-syarat ini, dan tentunya tak pantas kalau tiba-tiba sekarang menyusulinya, setelah semua berjalan!"

"Ha-ha, kalau begitu kau saja yang maju, Hek-yan-pangcu. Kita selesaikan urusan ini dengan kepalan seorang gagah. Ayo, aku menantang dirimu. Kau sudah mewakili anak muda ini dan tampaknya takut kalau dia kalah!"

"Hm!" sebuah geraman tiba-tiba menggetarkan lantai panggung. "Kalau kakek ini menantangmu biarkan saja aku yang maju, ayah. Kuhajar dia dan kupecahkan mulutnya!"

Semua kaget. Han Han, pemuda yang sejak tadi duduk diam mendadak bangkit berdiri. Pemuda itu tak tahan lagi melihat ayahnya ditantang-tantang, menggeram dan matapun beringas bagai seekor harimau haus darah. Siapapun akan terkejut melihat pandang mata pemuda itu, dingin dan tidak bersahabat, seperti Golok Maut! Dan ketika Beng Tan tersentak dan menarik duduk puteranya itu maka Ji-sin-kai yang mendelik dan gusar oleh hinaan ini tiba-tiba berkelebat dan menghajar mulut Han Han.

"Kau bocah siluman tak tahu adat!"

Beng Tan membentak. Dia tentu saja melindungi puteranya itu dan menangkis pukulan ini. Tapi ketika Han Han mendorong ayahnya dan justeru menyambut pukulan, keras sama keras maka Ji-sin-kai mencelat dan terpekik hebat karena seperti biruang saja pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan Pek-lui-kang atau Tenaga Petir sepenuh tenaganya.

"Plak!"

Kakek itu terguling-guling muntah darah. Ji-sin-kai terbanting dan mengeluh panjang pendek, hal ini menggegerkan yang lain-lain dan mencelatlah Toa-sin-kai membantu sutenya itu. Dan ketika Beng Tan terkejut sementara yang lain ribut, melihat keganasan atau darah dingin pemuda ini maka Ji-sin-kai nyaris pingsan dan Eng Sian Taijin maupun Tiong Liang Hwesio kaget bukan main.

"Omitohud, ganas sekali...!"

"Siancai, tak pantas sebagai putera Pek-jit Kiam-hiap yang gagah perkasa!"

Beng Tan pucat. Dia menggigil dan serba salah oleh dua omongan itu. Eng Sian Taijin, tosu dari Kong-thong berseru dengan muka keheran-heranan. Tiong Liang Hwesio juga begitu karena mereka tak menyangka bahwa sebagai putera seorang ketua terkenal Han Han atau Beng Han itu dapat membalas demikian ganas.

Pemuda itu tak layaknya manusia melainkan seekor harimau haus darah, sikap yang seperti iblis dan buas sekali. Namun ketika orang-orang sama tertegun dan ribut menolong Ji-sin-kai maka Beng Tan berkelebat dan melihat keadaan pengemis itu, yang tentu saja tak menyangka akan kehebatan dan keganasan Han Han menerima pukulannya. Tapi baru saja ketua Hek-yan-pang ini membungkuk dan mau memeriksa sekonyong-konyong Toa-sin-kai menyambar leher bajunya. Lalu sekali pengemis itu membentak maka sebuah bogem melayang ke muka lawan.

"Dess!" Beng Tan menerima dengan telapak tangan. Pukulan orang yang dilancarkan dengan marah dan tidak memberi tahu hampir saja membuat ketua Hek-yan-pang ini terpukul. Namun untunglah, karena Beng Tan bukan orang sembarangan dan tetap waspada maka begitu orang menyambar leher bajunya dia segera melihat serangan itu dan menangkis. Toa-sin-kai melotot karena tiba-tiba dari telapak tangan ketua Hek-yan-pang itu meluncur tenaga tolak yang besar, panas dan membakar dan pengemis ini tentu saja terkejut. Dan ketika dia cepat menarik tangannya dan berseru keras maka pengemis itu mencabut tongkat tapi Beng Tan buru-buru berseru,

"Tahan, aku tak bermaksud memusuhimu, Sin-kai. Aku datang untuk melihat adikmu!" dan mengeluarkan sebutir obat untuk diberikan kepada lawan pendekar itu berkata lagi, "Ji- sin-kai terkena Pek-lui-ciang, berikan ini kepadanya dan lima menit tentu sembuh!"

"Aku tak perlu itu!" Toa-sin-kai tiba-tiba membentak, geram, langsung mengebut dan mementalkan obat di tangan Beng Tan. "Aku perlu tanggung jawab puteramu, pangcu. Atau kau sebagai ayahnya mempertanggungjawabkan ini dan menghukum puteramu!"

"Hm," Beng Tan berkerut kening. "Masalah puteraku tentu kutegur, Sin-kai. Tapi harap kau ketahui bahwa semuanya itu bermula dari sutemu. Kalau sutemu tidak menyerang dan menghantam aku tentu puteraku yang bermaksud melindungi dan membela ayahnya tak akan menangkis. Semua orang tahu itu. Dan itu bersumber dari ketidakadilan pibu yang diatur sute-mu!"

"Hm, tak usah menggurui. Pokoknya aku menuntut ini, pangcu. Bahwa puteramu harus dihukum atau kau maju melawanku. Marilah, aku tidak takut!"

Semua orang geger. Toa-sin-kai telah mencabut tongkatnya dan ketua Hek-yan-pang itu terang-terangan ditantang. Beng Tan harus maju atau mendapat malu. Tapi ketika pendekar itu merah padam dan marah mendengar tantangan tiba-tiba Tiong Liang Hwesio berkelebat maju mengebutkan ujung lengan jubahnya.

"Omitohud!" hwesio itu mengeluarkan pujian. "Pinceng terpaksa mencampuri sedikit, Sin-kai. Apa yang dikata Hek-yan-pangcu ada benarnya dan urusan ini sebaiknya ditunda dulu. Arena mencari jodoh harus dilanjutkan, Sing-kongcu menunggu. Kalau belum selesai lalu ditindih urusan ini tentu kacau. Sebaiknya kau mundur dan suruh saja Han-kongcu itu melawan Sing-kongcu!"

"Hm, benar!" Eng Sian Taijin tiba-tiba berkelebat pula, menunjang. "Apa yang dikata rekan Tiong Liang lo-suhu tidak salah, Sin-kai. Suruh saja Han-kongcu itu menghadapi Sing- kongcu. Kalau sudah, baru urusanmu dihidupkan lagi!" dan berbisik bahwa tak baik memiliki dua musuh sekaligus, karena Sing-kongcu adalah murid Pat-jiu Sian-ong sementara itu adalah juga musuh pengemis ini maka Eng Sian Taijin menyadarkan sahabatnya, yang tiba-tiba tertegun.

"Kau tentu tahu," bisikan itu menyelinap lagi. "Menghancurkan satu di antara mereka berarti sudah melampiaskan sebagian dendam, Sin-kai. Temukan saja mereka itu dan adu seperti ayam jago berlaga!"

Sang pengemis mengangguk. Akhirnya dia setuju dan mau dibujuk. Beng Tan mengerutkan kening karena tiba-tiba dia menjadi tak senang kepada Eng Sian Taijin ini. Puteranya mau diadu domba. Tapi karena Toa-sin-kai mau mundur dan itu sudah cukup maka apa boleh buat dia menghadapi puteranya karena tiba-tiba semua orang berseru bahwa itu memang baik. Pibu mencari jodoh harus dilanjutkan lagi sementara yang lain-lain nanti belakangan.

"Bagaimana?" sang ayah akhirnya berkelebat ke tempat duduknya lagi, Toa-sin-kai menolong sutenya sendiri.

"Kau ditantang menghadapi pemuda itu, Han Han. Tapi nanti kita harus berhati-hati terhadap kakek pengemis itu dan teman-temannya!"

"Hm, aku tak takut!" Han Han bangkit berdiri. "Tapi aku bukan hendak merebut diri Tek-siocia, ayah. Aku akan bertanding karena semata disuruh. Aku akan menghadapi pemuda itu dan biar dia kurobohkan!" dan berkelebat tak menunggu jawaban ayahnya lagi tiba-tiba Han Han sudah berdiri di atas panggung, sinar matanya berkilat-kilat dan mencorong mengerikan, berseru,

"Toa-sin-kai, apa yang kau ingini akan kulaksanakan di sini. Tapi ketahuilah, aku tidak bermaksud menerima Tek-siocia, meskipun aku menang. Dan karena kau rupanya penasaran oleh tindakanku tadi maka kaupun boleh maju kalau pertandinganku sudah selesai!"

Gemparlah semua orang. Beng Tan sendiri sampai pucat mendengar kata-kata puteranya itu. Tak disangkanya Han Han akan sedemikian blak-blakan dan keras, bahkan cenderung sombong. Dan karena pemuda itu berkeyakinan menang dan merendahkan Sing Kok maka putera Sing-wangwe atau murid Pat-jiu Sian-ong yang mendengar itu juga sampai merah padam mukanya dan berketruk, menggigil dan marah bukan main dan bergeraklah pemuda itu di hadapan Han Han. Toa-sin-kai mau membentak tapi kalah dulu oleh putera hartawan Sing itu, karena begitu melayang dan naik ke atas panggung maka Sing Kok sudah mengeluarkan bentakan nyaring,

"Orang she Beng, kau benar-benar keliwat menghina dan sombong. Yakinkah kau bahwa kau dapat memenangkan aku? Yakinkah kau bahwa aku dapat kau robohkan?"

"Hm!" Han Han menjengek. "Aku she Ju, orang she Sing. Namaku Beng Han. Kalau aku berkata bahwa aku dapat merobohkanmu maka hal itu pasti dapat kulakukan. Nah, majulah, dan lihat berapa jurus kaub petunjang!"

Sing Kok marah sekali. Pemuda ini sampai menggigil dan tak dapat berkata-kata. Suaranya tercekik dikerongkongan saking hebatnya hinaan itu baginya. Namun begitu Han Han selesai bicara mendadak dia menerjang dan menghantam lawannya itu.

"Dess!" Han Han menangkis. Pemuda ini tidak mengelak dan Pek-lui-ciang pun menyambar. Hawa panas berkelebat dan sinar putihpun meluncur dari tangannya. Sing Kok terkejut dan berseru tertahan, mundur terhuyung. Tapi karena itu baru gebrakan pertama dan ini tentu saja bukan berarti dia kalah maka murid Pat-jiu Sian ong itu membentak lagi dan menerjang lebih hebat. Selanjutnya Han Han mengelak sana-sini dan suara pukulan-pukulan beradu mulai terdengar menggetarkan lantai panggung.

Han Han dirangsek tapi pemuda itu dapat bertahan, lawan penasaran dan akhirnya bergeraklah pemuda itu lebih cepat untuk mendesak Han Han. Dan ketika suara "dak-duk-dak-duk" mulai menggetarkan orang-orang di bawah dan Han Han mengimbangi lawan dengan kecepatan yang sama maka dua pemuda itu akhirnya bergerak dan saling belit untuk kemudian lenyap membentuk bayangan naik turun yang sama-sama mendebarkan.

"Bagus, lihai sekali. Hebat...!"

Seruan-seruan mulai berhamburan. Han Han sebagai pemuda yang bertahan sementara lawan yang mencoba untuk terus mendesak. Tapi karena Han Han dapat berkelit lincah dan setiap pukulan-pukulan yang tidak sempat dielak selalu ditangkis dan menggetarkan lawan maka tampaklah bahwa meskipun sebagai penyerang namun sesungguhnya murid Pat-jiu Sian-ong itu bukan tandingan Han Han. Akibatnya pemuda ini menjadi frustrasi dan Sing Kok marah bukan kepalang. Orang di bawah tak melihat betapa kedua lengan pemuda ini mulai merah kehitam-hitaman, bahkan akhirnya bengkak, tak tahan menerimapukulan-pukulan Han Han yang mempergunakan Pek-lui-kang-nya itu. Dan ketika Pukulan Petir mulai ditambah dan Sing Kok berteriak maka barulah orang melihat ketika pemuda itu menjerit dan terbanting di atas lantai.

"Dess!" Han Han melakukan dua gerak menyilang yang mengejutkan lawan. Sing Kok terkejut dan menangkis, tapi apa lacur dia sudah kesakitan oleh pukulan-pukulan terdahulu. Maka begitu Han Han menambah sinkangnya dan lawan menjerit maka Sing Kok sudah bergulingan di lantai panggung dan mengaduh-aduh dengan kedua lengan terbakar!

"Aku belum kalah!" pemuda itu tiba-tiba berteriak. "Aku masih memiliki senjata, bocah sombong. Dan mari lihat permainan ruyungku!" dan meloncat bangun menyambar ruyungnya, senjata yang tadi diletakkan di sudut maka pemuda ini sudah menerjang dan kalap menyerang Han Han. Kini murid Pat-jiu Sian-ong itu harus dibantu ruyungnya untuk mengalahkan Han Han. Tangan sudah tak kuat untuk diadu keras sama keras, akibatnya pemuda itu mempergunakan senjata untuk menggantikannya.

Tapi ketika Han Han mengelak sana-sini dan serangan-serangan ruyung luput mengenai angin maka Sing Kok terbelalak dan marah bukan main, menyuruh lawan mengeluarkan senjata tapi Han Han mendengus mengejek. Pemuda itu tertawa dan tawanya yang dingin mendirikan bulu roma. Lalu ketika ruyung menyambar dahsyat dan Han Han disuruh menangkis maka pemuda ini bergerak dan satu gerakan tangan kirinya tiba-tiba membuat ruyung patah.

"Cukup, sekarang kau robohlah!" dan ruyung yang mencelat tiga potong tiba-tiba disusul teriakan Sing Kok yang terlempar dari atas panggung, tak mampu menguasai diri lagi karena begitu Han Han mengerahkan Pek-lui-kangnya maka sinar putih meledak menghantam ruyung, terus menyambar pemuda itu dan terpelantinglah Sing Kok dengan jeritan tinggi. Dan ketika pemuda itu terbanting dan roboh di bawah, pingsan, maka keributan tiba-tiba terjadi ketika sorak dan tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Han Han ini.

"Hebat, luar biasa. Sing-kongcu kalah!"

Sing-wangwe pucat. Hartawan itu melihat kekalahan puteranya dan robohnya Sing Kok membuat hartawan ini buru-buru berlari. Langkahnya yang pendek-pendek sungguh lucu untuk dipandang. Tapi ketika hartawan itu menubruk dan menangisi puteranya, menggerung-gerung maka lagi-lagi Beng Tan berkelebat dan melihat korban puteranya itu.

"Jangan khawatir, telankan pil ini kepada puteramu!"

Sang hartawan tertegun. Dia melihat ketua Hek-yan-pang itu mengurut dan menotok tubuh puteranya, tiga kali mengusap dada dan kini mengeluarkan sebutir obat untuk puteranya. Dan karena dia bukan Toa-sin-kai dan uluran itu disambut gembira maka Sing-wangwe menyambar dan cepat-cepat memberikannya kepada puteranya. Beng Tan melihat bahwa korban puteranya ini tak sehebat Ji-sin-kai. Karena kalau kakek itu masih belum siuman sampai sekarang adalah pemuda ini tiba-tiba bergerak dan membuka mata begitu menelan obatnya. Tapi ketika pemuda ini melihat siapa yang datang tiba-tiba dia berteriak dan menghantam Beng Tan.

"Kaupun manusia jahat!"

Beng Tan batuk-batuk. Tentu saja dia mengelak dan tidak menangkis pukulan ini, tahu pemuda itu marah besar tapi dia bukanlah Han Han. Maka ketika Sing Kok menyerang lagi dan bangkit meloncat bangun, terhuyung, mendadak pendekar ini menepuk pundak si pemuda seraya berkata, "Sing-kongcu, aku bukan musuhmu. Kembalilah, dan jangan ke sini lagi!" dan ketika pemuda itu menjerit karena tepukan lawan bukan sembarang tepukan, melainkan memencet jalan darah di pundak maka pemuda itu roboh dan jatuh terduduk.

Sing-wangwe segera berseru bahwa Beng Tan justeru menolongnya, memberi obat dan menyadarkannya dari pingsan. Dan ketika pemuda itu tertegun dan membelalakkan mata, mengeluh, maka ayahnya sudah buru-buru mengangkat bangun puteranya ini untuk diajak pergi.

"Ju-taihiap benar, kita harus pulang. Mari, kembali dan lapor gurumu!"

Sing Kok menyeringai. Pemuda ini menahan sakit dan apa boleh buat dia harus menderita kekalahan. Sorak dan tepuk tangan riuh tak dihiraukannya. Tapi ketika dia dipapah dan hampir mendekati pintu keluar tiba-tiba dia mendesis dan mengancam Beng Tan bahwa perbuatan Han Han akan dibalasnya bersama gurunya.

"Kekalahan hari ini kuterima, tapi aku akan datang lagi menuntut balas. Awas kalian ayah dan anak!"

Beng Tan menarik napas. Setelah puteranya meroboh-robohkan musuh maka tiba-tiba dia menjadi tak nyaman. Bukan takut, melainkan semata tak senang mengikat permusuhan. Tapi karena semuanya itu bukan puteranya yang mulai dan Han Han hanya menerima dan melayani tantangan maka di atas panggung terdengar bentakan dan Toa-sin-kai berkelebat dan sudah menghadapi puteranya.

"Bocah, kau hebat. Tapi aku menerima tantanganmu. Nah, majulah. Mari kita bertanding dan lihat siapa yang roboh!"

Sang ayah terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi tiba-tiba dia melihat puteranya siap bertempur, Toa-sin-kai berapi-api dan tongkat di tangan kakek itu bergetar hebat, tanda betapa kemarahan tak dapat ditahan lagi oleh kakek itu. Maka begitu puteranya ditantang dan kakek pengemis itu siap menyerang, penonton tiba-tiba berhenti bersorak, mendadak Beng Tan berkelebat ke atas dan berseru nyaring,

"Tahan, sebaiknya hentikan semuanya ini, Sin-kai. Jangan layani kekanak-kanakan sikap puteraku dengan cara serius!" dan berdiri menghadang di depan puteranya Beng Tan pun lalu mendorong mundur, berkata,

"Han Han, jangan mengundang permusuhan dengan siapapun. Kalau ingin pibu boleh pibu tapi jangan dilandasi dendam!"

"Hm!" sang pengemis melotot. "Apa maksudmu, pangcu? Kau takut puteramu terbunuh?"

"Tidak,"Beng Tan menggeleng, penuh keyakinan diri. "Bukan begitu, Sin-kai, melainkan semata mencegah jatuhnya korban yang lebih parah. Aku tak ingin puteraku bersikap kejam dan telengas. Aku minta maaf dan sebaiknya semua ini dibatalkan!"

"Apa?" Toa-sin-kai mendelik. "Dibatalkan? Setelah dia membuat adikku pingsan dan belum sadar? Keparat, enak saja kau bicara, Hek-yan-pangcu. Kalau kau takut puteramu maju biarlah kau yang melayaniku dan aku tak mau sudah sebelum bertanding!"

"Hm," Beng Tan bersinar matanya, masih menahan diri. "Sutemu pingsan karena kau tak mau menerima obat penolongku, Sin-kai. Kalau tidak tentu dia sudah siuman dan tak akan begini. Kau jangan mendesak..."

"Aku tetap akan mendesak!" sang pengemis membentak, memotong marah. "Kecuali kalau kau berlutut dan minta ampun di depan kakiku, pangcu, juga puteramu itu!"

Beng Tan menjadi marah. Akhirnya si pengemis telah mengeluarkan kata-kata menghina dan Han Han dibelakangnya tiba-tiba menggeram maju. Puteranya itu tak tahan dan sudah mendorong ayahnya, Beng Tan disuruh minggir! Dan ketika Beng Tan terkejut namun puteranya sudah berhadapan dengan lawannya itu maka Han Han membentak, balas memaki pengemis itu.

"Sin-kai, tak perlu banyak cakap. Aku ada di sini, tak perlu perlindungan ayahku. Ayo majulah, dan gerakkan tongkatmu!" dan ketika si pengemis mendelik dan melotot gusar tiba-tiba sang pengemis sudah membentak dan menghantam maju. Toa-sin-kai memang paling marah kepada pemuda ini. Han Han telah membuat sutenya pingsan sampai belum sadarkan diri, padahal kejadian sudah berlangsung sekian lama.

Jadi jelas pukulan pemuda tadi terlalu dahsyat dan amat tak diduga, karena memang sutenya tak menduga bahwa untuk pukulan pertama tiba-tiba Han Han sudah membalasnya begitu kuat, sepenuh tenaga. Maka begitu pemuda itu mendorong ayahnya dan Beng Tan tak kelihatan mencegah, marah karena Toa-sin-kai menghinanya di depan orang banyak maka begitu ditantang sekonyong-konyong pengemis ini menggerakkan tongkatnya dan menghantam Han Han.

"Dess!" Han Han menangkis. Semua orang melihat pengemis itu mencelat tinggi dan suara yang menggetarkan membuat lantai panggungberderak. Toa-sin-kai berteriak tinggi sementara Han Han hanya terdorong setindak, tanda betapa hebat pukulan si pengemis tadi tapi Han Han juga mengerahkan segenap kekuatannya. Rupanya, tahu bahwa pemuda itu orang yang berdarah dingin dan Han Han tak segan-segan mengerahkan semua tenaganya untuk membalas maka Toa-sin-kai juga menghantam dan menyerang pemuda ini dengan sepenuh tenaganya pula.

Tapi si pengemis tetap kaget. Han Han menangkisnya dengan tenaga yang luar biasa dan dia bersama tongkatnya terpental ke atas, merasakan benturan yang amat dahsyat dan pengemis ini tentu saja berteriak. Berhadapan langsung dengan Han Han tiba-tiba saja dia tahu bahwa pemuda itu memang pemuda luar biasa, tenaganya tidak main-main dan kaget bukan main hati pengemis ini bahwa dia masih kalah, padahal dia sudah mengerahkan segenap tenaganya!

Tapi karena Toa-sin-kai bukan pengemis biasa dan tenaga tolak yang membuatnya terpental cepat dielak dengan jalan berjungkir balik maka begitu dia melengking dan melayang turun tiba-tiba tongkatnya kembali bergerak dan menghantam.

"Dess!" Han Han memutar tubuh setengah lingkaran. Pengemis itu dengan cerdik memutar pula tongkatnya di tengah jalan, tadi menuju ke pundak tapi tiba-tiba ke kepala. Toa-sin-kai mempergunakan jurus yang disebut Tongkat Menyabet Buntut, satu gerak tipuan karena itulah yang dia inginkan dari lawannya ini, mengira serangan menuju pundak tapi sebetulnya menyambar kepala, dahsyat dan tongkat di tangan bersiut saking hebatnya kakek ini mengerahkan tenaga.

Tapi ketika Han Han memutar tubuh dan otomatis tongkat berhadapan langsung, tidak lagi dari samping atas seperti tadi maka begitu menyambar kepala hal ini malah kebetulan karena Han Han menangkis dengan tinjunya. Dan begitu tongkat terpental lagi dan balik menyambar kepala si kakek, yang tentu saja disambut seruan keras si pengemis sakti maka Han Han membalas dan berkelebat menampar kakek itu.

"Plak!" Si pengemis jungkir balik. Toa-sin-kai mengeluarkan teriakan keras dan kakek itu mengaduh-aduh. Tulang pundaknya serasa remuk tapi untung tak hancur, karena dia telah melindungi pundaknya tadi dengan sinkang. Tapi begitu dia terbalas dan tamparan lawan membuatnya jungkir balik, padahal baru sekali membalas maka kakek ini pucat dan menggereng bagai seekor biruang luka. Toa-sin-kai merasa malu karena baru segebrakan saja diatelah dibuat jatuh bangun.

Tadi dia tak sempat menangkis karena gerakan Han Han amatlah cepatnya. Dia sendiri baru menahan tongkat yang menyambar kepalanya, jadi sibuk dengan urusan sendiri. Maka begitu Han Han berkelebatdan si kakek mendapat tamparan maka terpelantinglah kakek itu dan Toa-sin-kai pucat karena tulang pundaknya serasa disambar api, maklum bahwa itulah pukulan Pek-lui-kang, Pukulan Petir!

"Keparat, aku akan membunuhmu, anak muda. Aku akan mengunyahmu bulat-bulat. Awas... haiittt!" dan si kakek yang tak tahan oleh semuanya itu tiba-tiba melesat dan telah berkelebatan cepat mengurung dengan tongkatnya.

Han Han berkelit ke sana-sini namun si kakek mengejar. Kegeraman dan kemarahan kakek ini tak dapat dibendung lagi. Dan ketika dua putaran tongkat meliuk dan menari bagai naga berebut mustika maka Han Han menerima gebukan dahsyat yang membuat lantai panggung melesak.

"Des-dess!"

Penonton membelalakkan mata. Han Han terhuyung namun tidak apa-apa, pundaknya berobah seperti karet mobil yang membuat tongkat membalik, membal. Tapi ketika si pengemis berteriak lagi dan sambaran atau pukulan bertubi-tubi mengejar pemuda ini maka sekejap kemudian Han Han sudah terkurung dan terdesak hebat, menangkis dan menerima gebukan-gebukan tanpa mampu membalas. Toa-sin-kai berteriak bagai orang kesetanan dan ilmu silat tongkat Koai-tung (Tongkat Gila) mengitari pemuda ini. Ke manapun Han Han bergerak ke situ pula tongkat di tangan si pengemis memburu. Akibatnya Han Han benar-benar terkurung dan tak dapat melepaskan diri. Tapi ketika setiap gebukan atau sambaran tongkat selalu disusul oleh mentalnya tongkat itu, karena Han Han kebal dan melindungi diri dengan sinkang maka lawan membelalakkan mata dan marah bukan main karena pemuda itu benar-benar tangguh, tak dapat dirobohkan!

"Keparat, setan belang. Mampus kau, bocah. Mampus....wuuttt!" dan tongkat yang dilepas dan meluncur dari tangan si kakek tiba-tiba menyambar dan menuju mata pemuda ini. Sin-kai telah mempergunakan jurus nekatnya untuk mengadu jiwa.

Eng Sian Taijin dan Tiong Liang Hwesio sampai berteriak kaget dan berdiri dari tempat duduknya, begitu pula Beng Tan, yang berteriak dan memperingatkan puteranya akan serangan mengadu jiwa. Tapi ketika Han Han mendengus dan menggerakkan pinggang, membungkuk setengah badan maka tongkat yang menyambar mata lewat di atas dan secepat kilat pemuda itu mengebut dan tongkat pun hancur.

"Krakk!"

Penontonpun berteriak memuji. Han Han telah menghancurkan tongkat yang berantakan seperti bubuk, debunya menyambar sana-sini tapi Han Han tidak berhenti sampai di situ saja. Karena ketika penonton berteriak dan Toa-sin-kai tertegun, bengong, maka saat itulah Han Han berkelebat dan menendang pengemis ini dengan satu tendangan maut setengah melingkar, menuju dada.

"Jangan...!" bentakan itu disusul oleh berkelebatnya sesosok bayangan yang luar biasa cepatnya. Beng Tan yang melihat puteranya hendak membunuh lawan, dengan tendangan Petir tiba-tiba berteriak dan melesat kedepan.

Toa-sin-kai sedang bengong dan pengemis itu pasti roboh dengan dada hancur. Han Han mengerahkan segenap kekuatannya di tumit kaki dan hanya orang-orang seperti Beng Tan itu yang tahu betapa dahsyatnya tumit kaki yang sedang digerakkan sepenuh tenaga ini. Biarpun Sin-kai melindungi dadanya tetap pula dia tak tahan, karena Han Han jelas memiliki sinkang yang jauh lebih kuat daripada kakek itu. Maka begitu melihat puteranya menendang dan tendangan itu pasti membinasakan Toa-sin-kai, hal yang tak dikehendaki pria ini maka Beng Tan berkelebatdan apa boleh buat dia menggerakkan kakinya menendang pula mengadu tumit dengan tumit, sama-sama mengerahkan tendangan Petir.

"Dess!"

Sisa panggung ambruk dan jebol. Dentuman keras meledak di situ dan semua orang berteriak tertahan. Yang dekat dengan panggung tiba-tiba terlempar. Eng Sian Taijin dan Tiong Liang Hwesio sendiri harus mencelat dari tempat duduknya kalau tak mau terlempar. Mereka terkejut dan berseru keras ketika panggung berhamburan ke sana-sini, pecah berantakan. Atapnya menimpa mereka dan tentu saja hal ini membuat yang lain-lain menjerit.

Tempat itu seakan diseruduk gajah yang sedang gila saja. Dan ketika pekikan dan teriakan terdengar di mana-mana maka Eng Sian Taijin dan Tiong Liang Hwesio tertegun karena tak melihat ayah dan anak, yang seolah-olah hilang dan lenyap begitu saja di tengah-tengah panggung, ketika mereka berjungkir balik melayang turun...