Naga Pembunuh Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 04
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
APA yang dipikirkan wanita itu? Bukan lain menukarkan anaknya! Wi Hong, sebagaimana diketahui, kenal betul kelihaian Beng Tan. Suami sumoinya itu sekarang merupakan pemuda pilih tanding karena tak ada pemuda atau laki-laki lain yang dapat menandingi Beng Tan ini. Pemuda itu adalah murid Bu-beng Sian-su, atau setidaknya, anak didik Bu-beng Sian-su karena kakek dewa itu telah memberikan sebuah dua buah ilmunya kepada pemuda ini.

Dan karena kakek dewa Bu-beng Sian-su adalah kakek maha sakti di mana tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menandingi kepandaiannya maka Beng Tan sebagai murid kakek dewa itu tentu saja merupakan pemuda pilih tanding yang luar biasa, dan ini dipergunakan oleh Wi Hong untuk menukarkan anaknya itu. Wi Hong memasuki kamar sumoinya dan anak laki-laki yang ditinggalkan ibunya itu diamati lekat-lekat. Dia sendiri menyembunyikan anaknya di luar Hek-yan-pang sana, di dalam sebuah guha. Maka ketika dia berhadapan dengan Swi Cu dan sumoinya itu memberikan anaknya tiba-tiba saja Wi Hong melarikan anak ini dan Swi Cu tentu saja berteriak-teriak.

Swi Cu tak tahu bahwa sucinya itu membohonginya. Dalam tanya jawab di kamar Swi Cu diberi tahu bahwa anak yang dikandung Wi Hong mati, padahal Wi Hong menyembunyikan anak itu di luar sana. Maka ketika anak itu dibawa lari dan Swi Cu berteriak-teriak, tentu saja mengejar dan menyerang sucinya itu maka Wi Hong pergi ke hutan dimana anaknya sendiri disembunyikan. Di situ wanita ini menukar Giam Liong dengan Beng Han dan secepat kilat keluar lagi dari guha, tahu bahwa dia dikejar-kejar dan sang ayah, Beng Tan, pasti mencari-cari dirinya membantu isterinya itu.

Dan ketika benar saja Beng Tan muncul dan pemuda itu membentaknya untuk menyerahkan Han Han, anak yang dibawa Wi Hong ini maka Beng Tan tak menyangka bahwa anaknya telah ditukar karena anak yang dibawa wanita itu bukanlah Han Han melainkan Giam Liong. Dan Wi Hong berhasil menyelesaikan sandiwaranya. Sambil menangis dan pura-pura marah Wi Hong menyerang Beng Tan, tentu saja tak akan menang karena lawan memiliki kepandaian yang jauh di atas dirinya. Dan ketika anak itu dirampas dan Wi Hong melarikan diri maka akhirnya Beng Tan pulang ke markas sementara pagi itu Wi Hong menimang-nimang anak yang bukan lain adalah Han Han atau Beng Han itu.

"Hi-hik, selamat untuk keberuntunganmu, anakku sayang. Selamat untuk mewarisi kepandaian ayahmu yang gagah itu!" dan mencium serta mengelus kepala anak di gendongannya Wi Hong menujukan kata-katanya pada anak ini, karena dia tadi menujukan kata-katanya untuk Giam Liong disana.

"Dan kau, hm... kau cukup mempelajari ilmu-ilmu silat Hek-yan-pang bocah. Biarlah kau kurawat dan kudidik sebagai anakku sendiri. Kau adalah keponakanku juga, kau putera sumoiku. Tak ada jeleknya merawat dirimu tapi jangan harap kau dapat mengalahkan Giam Liong!"

Wi Hong terkekeh-kekeh. Geli dan bangga akan hasil pikirannya ini tiba-tiba Wi Hong menyanyi-nyanyi. Han Han yang ada di gendongannya mula-mula merasa tenteram, tak menangis. Tapi ketika wanita itu mulai membiarkannya ketika dia merasa lapar maka Han Han menangis dan anak ini mulai rewel.

"Diam, jangan cerewet. Aku ibumu juga dan jangan menangis!"

Namun mana mau anak itu disuruh begitu? Seharusnya waktu itu Wi Hong memberinya makan, atau minum. Tapi karena Wi Hong menganggap anak itu bukan anaknya sendiri dan perhatian atau kasih sayangnya tentu saja tak sama dengan kasih atau cintanya terhadap Giam Liong maka dia menjadi marah ketika anak itu semakin menangis keras.

"Eh, tidak mau diam? Kutampar kau plak!" dan Wi Hong yang mulai menampar atau menyakiti anak ini akhirnya bukan membuat sang anak ketakutan melainkan juga marah-marah karena itu terbukti dari si anak yang kini melengking-lengking.

"Keparat!" Wi Hong merah mukanya. "Kau tidak mau diam, bocah? Kau minta kuhajar?" dan ketika benar saja Wi Hong mulai mencubit atau menampar berulang-ulang maka Han Han atau anak itu menjerit-jerit dan meronta-ronta digendongan wanita ini.

"Bluk!" Wi Hong akhirnya membanting anak itu! Swi Cu tentu akan terpekik dan kaget kalau tahu sikap sucinya terhadap anaknya ini. Wi Hong marah-marah dan memaki-maki anak itu, yang untung tidak sampai mati tapi tentu saja kesakitan! Dan ketika Wi Hong membiarkan anak itu menangis menjerit-jeritdan menampar sekali lagi maka Wi Hong berkelebat mencari buah-buahan dihutan.

Dan saat itu muncullah seorang tosu yang menarik napas dalam-dalam. Tosu ini meraih dan mengambil Han Han dengan lembut. Anak itu masih menangis melengking-lengking tapi ketika tosu ini mengeluarkan susu sebotol, menempelkan dan meminumkannya ke mulut si bocah tiba-tiba Han Han diam. Anak itu mula-mula terbelalak melihat tosu yang tak dikenal ini, berkejap dan mau menangis lagi tapi dengan lembut dan penuh kasih tosu itu berbisik menyerahkan susu botolnya. Han Han diberi minum dan seketika dicecaplah botol susu itu oleh anak ini. Dan ketika susu mulai mengalir dan Han Han tentu saja girang, diam, maka selanjutnya tosu itu sudah tersenyum-senyum dan tertawa lembut menimang si bocah.

"Ha-ha, minumlah, anak manis. Puaskan rasa laparmu dan biarlah pinto (aku) memberimu minum lagi kalau kurang."

Han Han tertawa. Tiba-tiba anak itu dapat terkekeh ketika si tosu mempermainkannya dalam timangan lembut. Han Han tak menangis lagi dan saat itu berkelebatlah Wi Hong, yang telah kembali dengan setandan pisang. Dan begitu wanita ini melihat si tosu tiba-tiba Wi Hong terkejut dan tentu saja wanita itu kaget.

"He!" Wi Hong membentak. "Siapa kau, tosu bau. Kenapa mengambil anakku dan lancang membawanya tanpa sepengetahuan aku!"

Tosu itu menoleh. Rupanya dia tidak terkejut oleh kedatangan Wi Hong ini, bahkan tersenyum. Dan ketika dia bergerak tapi anak itu tidak dilepasnya, malah ditepuk-tepuk lembut tosu ini sudah menghadapi Wi Hong dan berseru, "Sian-cai, kau datang lagi, hujin. Kukira kau tak mengurus anak ini dan membiarkannya menangis. Ah, maaf. Aku mengambilnya tanpa sepengetahuanmu karena kulihat kau bersikap kejam. Anak ini kau banting, dan pinto (aku) tentu saja tak dapat membiarkan ini."

"Keparat!" Wi Hong sudah melempar pisang di tangannya itu, berkelebat mendekati. "Lepaskan anak itu, tosu bau. Dan serahkan kepadaku!"

"Maaf," sang tosu menggeleng. "Kau tak mengasihi anak ini sebagaimana mestinya, hujin. Aku ingin meminjamnya barang beberapa tahun dan biarlah kukembalikan kepadamu kalau sudah cukup kuat."

"Apa? Kau mau merampasnya? Keparat, jahanam terkutuk!" dan Wi Hong yang berkelebat maju menghantam tosu ini tiba-tiba sudah membentak dan menyerang penuh kemarahan. Tentu saja dia marah karena si tosu terang-terangan ingin membawa Han Han, berkata "meminjam" tapi istilah itu di dunia kang-ouw berarti merampas. Han Han akan dibawa tosu ini dan tentu saja ia gusar. Maka begitu membentak dan tangannya di ayun kedepan tiba-tiba Wi Hong sudah melakukan tamparan.

"Plak!" si tosu menggerakkan sedikit ujung jubahnya. Wi Hong terpental dan wanita itu kaget bukan ma in, melengking dan menyerang lagi namun kembali ia terpental ketika bertemu ujung baju lawan. Si tosu ternyata lihai dan pantas saja begitu berani, kurang ajar, kiranya memang hebat. Dan ketika Wi Hong melengking-lengking dan mencabut pedangnya, menusuk dan membacok maka si tosu berlompatan dan serangan-serangan ganas si nyonya selalu dapat dihindarinya dan dielak baik, hal yang mengagetkan wanita ini.

"Bedebah! Terkutuk!" wanita ini memaki-maki. "Hayo tangkis pedangku kalau berani, tosu bau. Hayo layani aku dan jangan mengelak melulu!"

"Hm, begitukah? Baik,aku tak akan mengelak melulu, hujin. Dan kalau kau menghendaki aku menangkis maka itupun akan kulakukan.... plak-plak!" dan pedang si nyonya yang tiba-tiba bertemu dan ditangkis lengan baju si tosu tiba-tiba terpental dan hampir saja mengenai muka Wi Hong sendiri, membuat nyonya itu menjerit dan Wi Hong terbelalak pucat.

Wanita ini akhirnya menjadi gentar namun kemarahan dan kegeramannya belum terbayar lunas. Dia melihat si tosu mulai bergerak-gerak dan ke manapun pedangnya menusuk ke situ pula tosu ini menyambut, kian lama kian keras hingga telapak wanita ini pedas-pedas dan terasa sakit! Dan ketika Wi Hong menjadi naik pitam namun juga gelisah, maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa maka nyonya itu membentak dan satu tusukan pedangnya mengarah leher si tosu yang tiba-tiba di tengah jalan secepat kilat berobah karena menuju ulu hati.

"Hm, jurus yang baik, tapi bersifat nekat. Lepaskan pedangmu, hujin. Dan hentikanlah pertandingan ini... prat!" dan pedang yang diterima dan digulung si tosu tiba-tiba tertangkap dan terbungkus lengan baju itu, ditarik dan dibetot dan Wi Hong berteriak kaget.

Dia melancarkan jurus yang disebut Bianglala Menukik Ulu Hati, satu serangan maut yang sebenarnya bersifat mengadu jiwa. Tapi begitu pedangnya digubat dan tentu saja tak dapat digerakkan, karena si tosu menahan dan menjepitnya mendadak dia sudah tertarik ke depan dan tinggal dua kemungkinan yang akan diterima, jatuh dan akan ditendang tosu itu atau dia melepaskan pedangnya. Dan ketika Wi Hong melengking dan memilih cara kedua, karena tak sudi dia jatuh dan ditendang tosu itu maka wanita ini sudah melepaskan pedangnya dan berjungkir balik memaki-maki.

"Bedebah, tosu keparat, jahanam terkutuk!" Wi Hong sudah mengusap keringat dingin ketika melayang turun, kaget dan marah sekali. Dan ketika dia berhadapan lagi dengan lawannya sementara tosu itu melempar pedang kepadanya, tersenyum, maka Wi Hong menggigil membentak tosu itu. "Kau siapa dan sebutkan namamu. Aku masih belum menyerah kalah dan ingin mencoba lagi. Kalau kau dapat merobohkan aku barulah aku betul-betul menyerah dan tak akan berurusan denganmu!"

"Hm, wanita yang keras," tosu ini tertawa pahit, menghela napas. "Aku Yang Im Cinjin, hujin. Lama tak keluar dunia kang-ouw dan barangkali kau tak mengenalku. Aku sejak tadi sudah mengikuti gerak-gerikmu, dan kasihan kepada anak ini yang tak kau perdulikan sebagaimana layaknya seorang ibu yang baik. Kau tak keberatan dia kubawa, bukan? Ini bukan anakmu, dan kau tentu tak menyesal. Maaf, aku tertarik melihat tulang-tulangnya dan bentuk kepalanya yang membayangkan kecerdasan yang tinggi!"

Wi Hong membelalakkan mata. Tiba-tiba wanita ini bergetar ketika si tosu menyebut namanya, Yang Im Cinjin, seorang tokoh yang sudah lima puluh tahun tidak muncul dan itulahtokoh yang amat hebat dan sakti karena tokoh ini setingkat dengan nenek-nenek gurunya. Tokoh yang amat luar biasa dan guru atau nenek-nenek gurunya selalu memuji Yang Im Cinjin ini yang konon katanya memiliki sebuah ilmu pukulan yang disebut Yang-im-sin-kun (Silat Sakti Im dan Yang) yang begitu dahsyat hingga dikabarkan dapat menggugurkan gunung mengeringkan lautan.

Ilmu itu amat dahsyat dan kabarnya lima puluh tahun yang lalu tokoh ini tak ada tandingannya, setingkat atau seusap saja di bawah kesaktian manusia dewa Bu-beng Sian-su. Namun karena Bu-beng Sian-su lebih merupakan dongeng dibanding tokoh ini karena Bu-beng Sian-su menampakkan diri pada orang-orang tertentu saja maka Yang Im Cinjin yang lebih banyak keluar dan sering bertanding dengan jago-jago dunia kang-ouw itu lebih dikenal dan dirasakan kehadirannya daripada si manusia dewa Bu-beng Sian-su.

Dan orang nyaris menyamakan kakek itu dengan Bu-beng Sian-su, hal yang disanggah atau disangkal Yang Im Cinjin ini dengan berkata bahwa Bu-beng Sian-su lebih unggul. Entah sebuah pengakuan basa-basi ataukah pengakuan sesungguhnya, karena orang juga tak tahu apakah dua orang ini pernah bertemu. Maklumlah, kakek dewa Bu-beng Sian-su itu hampir dipercaya sebagai tokoh dongeng saja, bukan tokoh yang sesungguhnya ada, seperti halnya Yang Im Cinjin ini. Maka begitu kakek itu muncul dan tosu ini menyatakan diri sebagai Yang Im Cinjin, tokoh yang mungkin enam sampai tujuh tingkat di atas dirinya sendiri mendadak Wi Hong bengong dan hampir tidak percaya.

Namun ketidak-percayaan akhirnya lebih menguasai wanita itu daripada bengongnya. Yang Im Cinjin adalah tokoh yang usianya mungkin sudah seratus tahun, jadi tak masuk akal kalau masih hidup. Atau, kalaupun masih hidup, tentu tidak setegar dan segagah kakek ini. Tosu yang mengaku sebagai Yang Im Cinjin itu usianya tampak seperti lima puluhan dan bukan seratus tahun, juga gagah dan mukanyapun bersinar-sinar seperti layaknya orang muda. Mata dan gigi tosu ini-pun masih utuh. Ah, tak mungkin Yang Im Cinjin! Dan merasa bahwa dia ditakut-takuti, lawan terlalu berlebihan mendadak Wi Hong melejit dan membentak tosu itu.

"Tosu siluman, kau rupanya pembohong. Yang Im-Cinjin tentunya sekarang sudah mampus atau kakek-kakek renta yang tak mungkin setegar dan segagah kau. Kau dusta, kau melebih-lebihkan dirimu. Mampuslah, aku ingin mengajakmu bertanding lagi dan coba kau tunjukkan Yang-im-sin-kun yang dipunyai tokoh itu!"

Sang tosu mengerutkan kening. Alis-nya yang putih menjelirit sedikit bergerak ketika lawan menubruknya. Tapi ketika dia sadar dan tersenyum mengangguk-angguk, sadar bahwa lawan tampaknya tidak percaya maka tosu ini membiarkan pedang lewat dan mengegos ringan sambil berkata,

"Bagus, kau anak perempuan yang berpikiran cerdas, hujin. Dan melihat ilmu silatmu ini tentu kau cucu murid Hek-yan Tai-bo.... wut!" dan ketika pedang lewat di sisinya tiba-tiba kakek itu berseru bahwa dia akan membuat pedang si nyonya meleleh. "Sekarang lihatlah, inilah Yang-im-sin-kun yang kupunyai... dar!"

Dan ketika pedang dikejar dan disentuh kakek ini, yang tangannya sudah meraih dan mendahului gerakan Wi Hong tiba-tiba pedang hancur dan meleleh bertemu hawa panas yang keluar dari tangan kakek itu, yang tiba-tiba berobah menjadi merah marong dan Wi Hong kaget bukan main melihat ini. Kakek itu mengusap dan menyentuh pedangnya dan pedangnya itupun tiba-tiba leleh, persis seperti dibakar di tungku panas yang apinya luar biasa. Dan ketika Wi Hong merasa betapa hawa panas itu juga menjalar ke lengannya, yang memegang pedang maka tiba-tiba wanita ini berteriak dan membanting tubuh bergulingan.

"Aiihhhh...!" Wi Hong pucat bukan main. Kaget dan terbelalak oleh ilmu pukulan itu, ilmu usapan yang demikian mengerikan tiba-tiba saja Wi Hong tersentak dan seakan terbang semangatnya. Itulah tenaga sakti Yang (panas) yang diperlihatkan kakek ini, dahsyat dan luar biasa dan konon dengan tenaga panas inilah Yang Im Cinjin dapat mengeringkan sebuah telaga dengan cepat. Dan orang lalu mengatakan bahwa bukan telaga saja yang dapat dikeringkan kakek itu melainkan juga lautan, karena tenaga sakti Yang kakek itu demikian dahsyat hingga air atau apa saja dapat dihisap cepat menjadi kering.

Wi Hong sekarang membuktikan ini namun Im atau tenaga Dingin kakek itu belum dilihatnya. Katanya dengan tenaga dingin itu kakek ini dapat membekukan apa saja mulai air di dalam gelas sampai kepada telaga See-ouw, telaga Barat yang terkenal besar dan hebat panoramanya itu. Dan ketika Wi Hong meloncat bangun dan bergulingan menjauh, ngeri dan gentar tapi juga masih kurang percaya tiba-tiba wanita itu melengkingdan membentak si kakek agar mengeluarkan tenaga sakti Im-nya.

"Aku kurang percaya, dan masih ingin mencoba. Kau keluarkanlah tenaga Im-mu itu dan kulihat apakah benar kau Yang Im Cinjin atau bukan!"

Sang tosu bersinar matanya. Tiba-tiba sesorot cahaya dingin keluar dari mata kakek itu. Rasa tidak senang tapi juga maklumnya timbul berbareng. Tosu ini berkelit ketika si nyonya menyambar dan Wi Hong menyerang lagi sambil berseru agar dia mengeluarkan tenaga Im-nya itu, kalau benar dia adalah Yang Im Cinjin. Dan ketika kakek ini mengelak dan Wi Hong meledakkan rambutnya, menghantam kepala tiba-tiba kakek ini menghela napas dan berkata,

"Nyonya, ilmu bukan untuk dipamer-pamerkan apalagi dibuat permusuhan. Kalau kau tidak percaya bahwa aku adalah Yang Im Cinjin maka itu adalah hakmu, aku tak memaksa. Tapi barangkali ini cukup dan selanjutnya kita berhenti plak!"

Wi Hong tiba-tiba menjerit, rambut di kepalanya menjadi kaku dan tiba-tiba nyonya itu terpekik. Sang tosu menangkis dengan ujung baju dan tiba-tiba saja serangkum hawa dingin menyengat wanita ini hingga Wi Hong menggigil, kedinginan, berketrukan. Dan ketika wanita itu tak dapat menggerakkan tubuhnya karena mulai dari kaki sampai kepala semuanya seperti es, dingin dan kaku maka Wi Hong terkejut ketika air matanya tiba-tiba juga berobah menjadi es, meluncur dan berdetak di tanah lalu mencair dan lenyap!

"Ah!" Wi Hong tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Lidahnya sudah kelu dan air liurnyapun tak dapat ditelan. Cairan yang ada di tubuhnya membeku dan itulah akibat pukulan Im-kang, yang demikian dahsyat dan luar biasa. Tapi ketika tosu itu menepuk kepalanya dan semua rasa dingin lenyap, terganti rasa hangat dan biasa lagi maka Wi Hong jatuh terduduk dan tersedu-sedu berlutut di depan kakek ini, percaya bahwa inilah Yang Im Cinjin yang masih hidup!

"Locianpwe, ampunkan aku.... maafkan aku. Sekarang... sekarang aku percaya. Bawa dan bimbinglah aku sebagai muridmu!"

"Hm," kakek itu tersenyum. "Kau dipenuhi dendam dan sakit hati, hujin. Tak baik menerima ilmuku. Anak ini yang akan kujadikan muridku, kau mundurlah dan pergi bersihkan dirimu itu. Aku tak dapat menerima."

Wi Hong mengguguk. Tiba-tiba dia beringas dan kecewa, gilanya muncul. Dan ketika kakek itu menolaknya mendadak dia menerkam dan menggigit kaki tosu ini. "Kalau begitu kau tosu siluman. Bunuh dan habisi saja aku!"

Tapi begitu kaki itu digigit dan gigi wanita ini bertemu kaki Yang Im Cinjin mendadak Wi Hong menjerit karena kaki itu tiba-tiba merah marong, panas membakar dan tentu saja wanita ini seperti menggigit bara. Wi Hong terpekik dan mulutnya seketika melepuh, hangus! Dan ketika Wi Hong menjerit dan bergulingan mendesah-desah, kepanasan, maka Yang Im Cinjin tertawa pahit dan berkelebat lenyap.

"Wanita malang, kau tak dapat menghapus api dendammu. Sayang, kau akan terbakar sendiri."

Wi Hong berteriak-teriak. Akhirnya wanita ini bergulingan meloncat bangun memaki-maki si tosu. Yang Im Cinjin tak dihormatinya lagi sebagai tokoh tua melainkan dianggap musuh yang membuat kebenciannya meluap. Tosu itu dikejar dan ditantang-tantangnya, lucu. Padahal kalau tosu itu ada tentu wanita ini tak akan mampu menandingi. Maklum, menggigit kakinya saja Wi Hong sudah kepanasan dan terbakar, akibat tenaga Yang atau panas yang dim iliki tosu itu. Dan ketika Wi Hong menangis dan melengking-lengking, lawan tak ada di depannya lagi maka wanita ini mengguguk dan jatuh terduduk di bawah pohon.

Hari itu Wi Hong melampiaskan kemarahannya dengan mencabut-cabuti apa saja yang ada di depannya. Frustrasi berat melandanya. Tapi begitu ingat bahwa Giam Liong di tangan Beng Tan tiba-tiba saja Wi Hong ingin tahu siapakah yang kelak lebih hebat. Anaknya itu ataukah Beng Han. Pewaris Bu-beng Sian-su ataukah Yang Im Cinjin! Dan ketika wanita ini terkekeh-kekeh dan bangkit berdiri, mata meliar, maka Wi Hong terhuyung meninggalkan hutan itu dan mulutnya sering tertawa-tawa meskipun air matanya bercucuran menangis!

* * * * * * *

Waktu, seperti yang kita lihat dan rasakan adalah "mahluk" yang perkasa sekali. Tak ada benda-benda baik di dalam maupun di luar bumi yang tidak dilahapnya habis. Besi dan batu dirobahnya menjadi sesuatu yang lain. Tanaman-tanaman yang dulu muda tiba-tiba saja beberapa tahun kemudian sudah menjadi besar dan hebat di mana akhirnya mereka itu tua dan kering. Semua benda di dalam dan di luar bumi digilas oleh mahluk yang bernama "waktu" ini hingga tak terasa sudah menjadi lain dari yang dulu. Manusia yang dulu masih orok tiba-tiba saja sudah berkembang dan dewasa sebagai pemuda atau gadis yang gagah dan cantik. Orang yang dulu masih merupakan pemuda likuran tahun tiba-tiba sekarang sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun. Itulah akibat waktu!

Dan ketika hal ini juga melanda Beng Tan, maka pemuda yang dulu gagah dan masih muda itu sekarang sudah berusia hampir empat puluh tahun dan sedikit jenggot menghiasi dagunya yang gagah. Giam Liong, atau yang lebih dikenal sebagai Beng Han atau Han Han oleh Beng Tan dan isterinya ini sekarang sudah menggantikan posisi mereka dulu, sudah berubah sebagai pemuda yang tegap dan gagah serta tampan.

Pemuda ini tentu saja mewarisi kepandaian "ayahnya" dan apa yang diajarkan Beng Tan ditelannya habis. Tak ada kepandaian Beng Tan yang belum diterima pemuda ini, mulai dari ilmu-ilmu silat tangan kosong sampai kepada pedang. Dan karena Giam Liong alias "Han Han" ini memiliki otak yang cerdas dan bakat yang tinggi maka dalam usianya yang hampir sembilan belas tahun itu pemuda ini sudah nyaris menyamai ayahnya.

"Kau sudah mewarisi semua kepandaianku, kau sudah sama denganku. Tapi kau kurang pengalaman dan tinggal mematangkan ilmu-ilmumu itu."

Beng Tan suatu hari berkata. Ketua Hek-yan-pang ini, yang pagi itu bersinar-sinar memandang puteranya sama sekali tak menyangka bahwa yang dihadapinya itu adalah keturunan Golok Maut, musuhnya, lawan yang amat tangguh dan paling tangguh dari semua lawan-lawan yang pernah dihadapi. Dan ketika pagi itu Beng Tan berseri memandang "puteranya" maka Beng Han atau yang dikenal sebagai Han Han ini diam mengangguk-angguk.

"Kau tahu apa yang kumaksud, Han-ji (anak Han)? Kau tahu apa yang kuinginkan?"

"Aku tahu," Giam Liong, atau yang marilah kita sebut sebagai Han Han ini mengangkat mukanya, balas menatap sang ayah dengan pandangan tajam dan gagah. "Kau ingin mengingatkan aku akan kepandaian-kepandaian yang kumiliki ini, Ayah. Bahwa aku harus selalu ingat petunjukmu bahwa ilmu silat tak boleh dipakai untuk merugikan orang lain."

"Bagus, ha-ha, kau benar. Kau masih ingat itu. Betul, aku hendak menekankan ini kepadamu, Han Han. Bahwa dengan memiliki kepandaian seseorang tak selayaknya merugikan orang lain, justeru seharusnya menguntungkan dan memberi berkah pada orang lain. Bagus, kau ingat baik-baik kata- kataku itu. Sekarang, tak adakah keinginan di hatimu untuk keluar dan melihat-lihat dunia kang-ouw? Kau selama ini lebih suka mengurung diri, Han Han, giat berlatih dan tekun sekali mempelajari semua ilmu-ilmu silatku itu. Itu baik-baik saja, tapi selalu mengurung dan menyembunyikan diri di kamar tentu tidaklah sehat bagi jiwamu yang perlu tumbuh dan berkembang."

Han Han, pemuda ini, diam saja. Dia menunduk ketika ayahnya bicara tentang itu dan entah kenapa mukanya tiba-tiba merona merah. Memang, selama ini tak pernah Han Han atau pemuda itu keluar rumah. Mula-mula hal itu menyenangkan Beng Tan karena hal ini tak membuat puteranya keluyuran. Pemuda kalau sudah suka keluyuran biasanya pasti tak baik. Tapi ketika semakin dewasa Han Han justeru semakin suka mengurung diri kamar maka diam-diam Beng Tan atau sang ayah ini heran juga.

Pemuda itu terlampau pendiam dan tak banyak bicara. Jarang bercanda atau bergurau. Kalaupun ada yang lucu, maka puteranya ini hanya tersenyum sedikit dan setelah itu mulut-pun terkatup rapat. Kesannya, pemuda ini dingin dan tak suka banyak cakap. Sungguh berbeda dengan wataknya atau watak isterinya itu, yang riang dan suka terkekeh-kekeh kalau ada sesuatu yang lucu sedikit saja. Dan ketika Beng Han juga tak menunjukkan tanda-tanda tertarik akan wanita, dingin dan acuh maka Beng Tan atau sang ayah menjadi khawatir dan tak nyaman juga.

Di Hek-yan-pang sebenarnya banyak anak-anak gadis cantik. Mereka itu adalah puteri-puteri para murid senior yang sudah menginjak remaja. Beng Han atau Han Han ini sering dibicarakan secara bisik-bisik oleh gadis-gadis remaja itu, bahkan banyak di antaranya yang coba memikat dan jatuh hati. Tapi karena Han Han dingin-dingin saja dan tak acuh, hatinya tampaknya tawar oleh semua itu maka Beng Tan diam-diam khawatir kalau puteranya ini tidak mau menikah.

Pernah suatu kali Beng Tan coba-coba menggoda puteranya itu apakah Han Han tak tahu lirikan anak-anak murid Hek-yan-pang yang naksir padanya, gadis-gadis remaja itu. Tapi ketika Han Han tersipu malu dan menunduk, mendiamkan saja godaan ayahnya itu maka Beng Tan penasaran dan menepuk pundak puteranya ini.

"Eh, apa jawabmu, Han Han? Kau tak tertarik atau jatuh hati pada gadis-gadis remaja itu? Kau tak tahu bahwa kau dilirik dan ditaksir oleh banyak dari mereka?"

"Ah, ayah. Kenapa kau menggodaku seperti ini? Aku tak tahu tentang semuanya itu, dan aku tak tertarik dengan semuanya itu. Aku tak suka wanita, aku jijik dengan mereka!"

"Apa?" sang ayah terbelalak. "Kau jijik? Maksudmu?"

"Entahlah," Han Han tampak bingung. "Aku tak suka wanita, ayah. Aku benci mereka. Di sudut hatiku bahkan terasa adanya semacam permusuhan yang tidak bersebab-musabab. Aku tak suka mereka!"

"Tapi ibumu wanita!"

"Maaf," pemuda ini tampak terkejut. "Itu lain, ayah. Tapi, ah... sudahlah. Aku tak suka bicara tentang ini!" dan ketika Beng Han pergi dan meninggalkan dirinya maka Beng Tan atau sang ayah terkejut membelalak, terngiang dan terheran-heran oleh kata-kata puteranya itu.

Bayangkan, Han Han menyatakan jijik terhadap wanita, padahal laki-laki normal tentu sebaliknya dan justeru cepat tergila-gila kepada wanita. Tidak normalkah anaknya itu dan adakah sesuatu kelainan di jiwanya? Dan saat itu sebuah helaan lembut terdengar di telinganya.

"Aku juga merasa aneh, kenapa Han Han bersikap dan berkata seperti itu!"

Beng Tan membalik. Isterinya muncul, bersinar tapi tiba-tiba berkaca-kaca. Dan ketika Beng Tan memeluk dan menyambar isterinya ini tiba-tiba Swi Cu menangis.

"Aku takut," sang isteri tersedu-sedu. "Han Han sepertinya tidak wajar, suami-ku. Dia banyak mengurung diri dan berdiam di kamar. Dan... dan... wajahnya seperti Sin Hauw!"

"Apa?" Beng Tan tersentak. "Sin Hauw? Kau... kau bicara apa?"

"Benar," Swi Cu mendorong suaminya ini, mengusap air matanya. "Aku melihat sesuatu yang ganjil, suamiku. Aku tidak melihat wajahmu pada wajah anak kita itu, melainkan wajah Sin Hauw! Lihat bentuk dagunya, lihat sinar matanya. Bukankah mirip dan tidak seperti kau? Han Han memang tampan, suamiku. Tapi dia dingin, tidak seperti kita!"

"Tapi dia anak kita!"

"Benar."

"Dan tak mungkin anak Sin Hauw! Eh, apakah dulu semasa mengandung kau membenci Si Golok Maut itu, Cu-moi? Apakah kau sering membayangkannya hingga type Si Golok Maut itu membekas di bayi yang masih ada dalam kandunganmu?”

"Memang begitu, tapi bukan perasaan benci. Aku justeru kasihan dan haru kalau membayangkan mendiang Si Golok Maut itu, yang hidupnya penuh menderita."

"Tapi itu agaknya cukup. Anak kita seperti dia!"

"Hm, tidak begitu, suamiku. Kalau seseorang hamil membenci orang lain maka paling-paling hanya wajah atau beberapa bagian mukanya saja yang mirip. Watak, atau sikap, tentunya tidak. Tapi Han Han ini mirip luar dalam. Lihat sikap dan gerak-geriknya. Lihat dagu dan pandang matanya itu, begitu dingin dan menyembunyikan keganasan terpendam!"

"Kau tak boleh mengata-ngatai anakmu sendiri. Han Han adalah anak kita!" Beng Tan menegur, terkejut. "Eh, kenapa tiba-tiba kaupun berobah begini, Cu-moi? Ada apa ini?"

"Entahlah," Swi Cu mengguguk, menubruk suaminya. "Aku takut, suamiku... aku ngeri. Kadang-kadang aku melihat pandang mata ganas pada diri anakku itu. Han Han sepertinya orang lain. Dan..... dan... kadang-kadang akupun tak memiliki cinta kasih sebagaimana layaknya seorang ibu!"

"Ah, gila!" dan Beng Tan yang mencengkeram serta meremas isterinya ini tiba-tiba mendorong dan pucat, menggigil. "Cu-moi, apa... apa katamu tadi? Kau tak memiliki cinta kasih seorang ibu? Maksudmu kadang-kadang kau membenci anakmu itu?"

"Tidak... tidak, bukan begitu. Hanya... hanya kadang-kadang aku tak suka melihat mukanya itu, suamiku. Aku melihat bahwa Han Han adalah Sin Hauw, bukan puteramu!"

"Hm, tidak benar," Beng Tan meremas pundak isterinya ini, terguncang. "Kau bicara yang tidak benar, Cu-moi. Kau melantur. Agaknya kau terkena trauma dari mendiang Si Golok Maut itu. Kau diselubungi ketakutan sendiri, kau tidak beres. Sudahlah, buang ketidak-wajaran itu dan kendalikan dirimu dalam menilai anak kita!"

Swi Cu mengangguk. Memang dia merasa bahwa tidak benarlah perasaannya itu, tidak baiklah dia memperlakukan Han Han seperti itu. Tapi karena perasaan tidak senang itu kadang-kadang muncul karena wajah dan sikap atau watak puteranya itu mirip Si Golok Maut Sin Hauw maka entah kenapa wanita ini tak dapat mencintai puteranya itu sebagaimana layaknya seorang ibu. Swi Cu tak mengerti bahwa indera keenamnya telah bekerja dan bahwa inderanya itulah yang memberi tahu bahwa tak usah dia mencintai Han Han sebagai putera sendiri. Han Han bukanlah anaknya melainkan keturunan Si Golok Maut Sin Hauw, bocah yang dulu ditukar oleh ibunya dan tidak diketahui Swi Cu maupun suaminya ini.

Namun karena indera keenam juga tak dapat bicara secara lisan dan Swi Cupun tak mengerti isyarat itu, masing-masing terpengaruh oleh gaya atau kebiasaannya sehari-hari maka isyarat atau pemberitahuan indera keenam itu tak tertangkap wanita ini. Swi Cu hanya merasa samar-samar dan perasaan samar-samar itu membuatnya tidak puas, rasa yang akhirnya tentu saja membuat dia tidak senang dan terganggu, perasaan yang kemudian terlampiaskan dengan rasa tidak sukanya kalau melihat bahwa wajah Han Han lebih mirip Si Golok Maut daripada suaminya.

Tapi ketika suaminya menegur dan menyuruhnya sadar maka Swi Cu terisak dan perasaan yang mengganggu itu berusaha dinetralisirnya agar tidak menyolok mata. Dan Swi Cu memang berhasil melakukan ini. Han Han, yang kadang-kadang dipandangnya tak puas itu akhirnya dipandang dengan penuh belas kasihan dan haru. Memang tak ada alasan baginya untuk tidak senang kepada puteranya itu. Salah siapakah kalau Han Han mirip Si Golok Maut?

Bukankah salahnya sendiri kenapa sewaktu mengandung dulu dia terguncang oleh wajah Si Golok Maut itu? Kalau tidak tentu juga tidak, dan mirip Si Golok Maut atau bukan Han Han ini adalah tetap puteranya, anak laki-laki yang dia besarkan dan kini sudah mengisi kehidupan rumah tangganya!

Swi Cu tenang. Beng Tan, suaminya, sering memonitor gerak-geriknya. Dan ini membuat Swi Cu sadar bahwa dia diamati. Suaminya itu mempengaruhinya dan lama-lama perasaan yang "tidak beres" itu hilang, Swi Cu dapat bersikap biasa lagi kepada Han Han. Dan ketika Beng Tan melihat bahwa isterinya sudah betul-betul biasa, wajar, maka diapun gembira dan dapat mengajak isterinya bercakap-cakap tentang rumah tangga mereka.

Tapi ada yang masih mengganjal. Kebiasaan Han Han yang suka mengurung dan mengeram diri di kamar membuat pria ini tak puas. Han Han dinilai kurang bergaul dan itu tak menguntungkannya di masa depan. Han Han harus diajaknya keluar dan dibawanya pemuda itu mencari udara segar. Mungkin Han Han bosan oleh kehidupan di tempat tinggalnya sendiri, jemu. Maka ketika suatu malam dia bercakap-cakap dengan isterinya dan Swi Cu setuju maka isterinya itu bahkan mendorong.

"Boleh, tentu baik! Tapi ke mana kau akan pergi, suamiku? Dan berapa lama? Aku tidak melarang, tapi bagaimana kalau Han Han dibiarkan sendiri, atau, setidak-tidaknya dengan seorang dua murid Hek-yan-pang, sebagai teman!"

"Hm, anak kita itu pendiam, dan jarang pula bergaul dengan anak-anak murid Hek-yan-pang. Aku kira dia tak akan setuju, isteriku. Karena itu sebaiknya aku temani dan kebetulan minggu depan aku diundang Tek-wangwe untuk menghadiri selamatan ulang tahunnya yang ke enam puluh!"

"Ah, benar. Kau mendapat undangan. Boleh.... boleh saja, suamiku. Bawalah Han Han dan biarkan putera kita itu mendapat suasana yang lain di luar!"

"Jadi kau setuju?"

"Aku setuju, tak keberatan!"

"Bagus, kalau begitu biar kubicarakan dengan anak kita itu dan akan kubawa dia ke sana. Akan kuajak dia menghadapi pesta dan aku tidak percaya bahwa hatinya tidak akan tergerak kalau melihat tamu-tamu bermacam jenis!"

"Dan Tek-wangwe mempunyai anak gadis cantik. Siapa tahu Han Han terpikat hatinya!"

"Hm, itu pula yang kumaksud. Aku ingin menggerakkan hatinya dan melihat bagaimana kalau dia jatuh cinta!"

Beng Tan dan isterinya berseri. Swi Cu tertawa ketika suaminya mengucapkan kata-kata itu, teringat peristiwanya sendiri ketika dulu mula pertama ia jatuh cinta dengan suaminya itu. Dan ketika Beng Tan juga tertawa dan menyambar isterinya itu maka keduanya sudah berciuman mesra.

"Lihat, betapa nikmatnya hidup dalam cinta. Masa putera kita tak mewarisi ini dan ingin hidup lajang? Ha-ha, akan kuperkenalkan dia dengan segala gadis-gadis yang ada di pesta itu, Cu-moi. Karena Tek-wangwe juga tentu mengundang tokoh-tokoh persilatan dalam merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh!"

Swi Cu berseri gembira. Hari itu juga suaminya memanggil Han Han, menyuruh pemuda itu menghadap. Dan ketika Han Han ditanya apakah mau keluar bersama ayahnya maka sang ibu melihat puteranya berkerut kening, acuh.

"Ayah mau mengajakku ke mana? Ada urusan apa?"

"He, ayahmu mendapat undangan Tek-wangwe (hartawan Tek), Han Han. Masa kau lupa dan tidak ingat utusan itu!"

"Oh, orang-orang sekereta yang dulu itu, yah? Hm, aku ingat. Tapi aku tak tertarik. Aku ingin di sini saja kalau ayah tak keberatan. Lagi pula, bukankah ada ibu? Ayah dapat pergi berdua dan aku menjaga disini."

"Hm, ibumu tak enak badan, Han Han. Dan aku tentunya tak mau pergi sendiri. Kau menemani ayahmu, mau atau tidak!"

"Baiklah," Han Han tampaknya ogah-ogahan. "Kalau kau memaksa tentu saja aku tak menolak, yah. Tapi aku tak mau pakai baju yang bagus-bagus untuk ke pesta itu!"

"Gampang, tapi juga jangan yang terlalu sederhana. Kau jelek-jelek adalah putera ketua Hek-yan-pang, harus bersepatu dan berkopiah, necis!"

Pemuda ini mengangguk. "Kapan ayah berangkat?"

"Seminggu lagi, kau siap?"

"Baik, yah. Aku siap."

Dan ketika Han Han pergi dan seminggu kemudian ayah ibunya menunggu maka betul saja Han Han siap dengan sepatu dan baju yang bersih, tidak baru tapi cukup bagus dan pantas. Namun ketika pemuda itu ditanya mana kopiahnya, dandanan agar puteranya itu tampak sebagai seorang siucai (sasterawan) maka Beng Tan kaget bukan main ketika anaknya itu menyambar dan memperlihatkan sebuah caping, topi bambu.

"Aku tak mau memakai kopiah, aku pilih ini. Lihat, yah. Aku senang dengan caping ini dan pas benar di kepalaku!"

Han Han mengenakan caping itu, gagah dan tampan tapi Swi Cu tiba-tiba terpekik. Wanita ini melihat betapa wajah Sin Hauw tiba-tiba muncul. Han Han benar-benar mirip Sin Hauw atau mendiang Si Golok Maut itu. Dan karena Han Han mengenakannya di depan ayah ibunya ini dan tak tahu bahwa trauma yang pernah dirasakan ibunya masih hebat maka tiba-tiba Swi Cu membentak dan menyerang puteranya itu, seolah sedang menghadapi Si Golok Maut dan bukan Han Han!

"Lepaskan caping itu, atau kau kubunuh!"

Han Han terkejut. Dia tak menyangka ibunya menyerang tapi pemuda ini secara otomatis menangkis, menolak dan mementalkan ibunya itu. Dan ketika Swi Cu berjungkir balik sementara Han Han terhuyung, caping di kepalanya mencelat maka pemuda ini terheran dan pucat memandang ibunya itu, menggigil.

"Ibu, apa... apa artinya ini? Kau mau membunuh aku?"

"Hm!" sang ibu melayang turun, kaget dan sadarakan perbuatannya tadi,serangan otomatis. "Aku tak suka kau mengenakan caping itu, Han Han. Aku benci melihat kau mengenakan topi bambu. Buang itu dan kenakan kopiah yang pantas. Kau anak seorang ketua perkumpulan!"

"Dan dari mana kau dapatkan itu," sang ayah kini juga bicara, maju dengan cepat. Selain untuk mencegah isterinya menyerang lagi juga karena dia heran dan kaget bagaimana tiba-tiba puteranya itu memilih caping bambu, bukannya kopiah atau topi yang pantas sebagaimana layaknya putera seorang ketua. Han Han memilih caping itu yang lebih pantas dikenakan seorang jembel atau pengemis, padahal itu tentu saja tak pantas baginya. Dan karena caping itu juga mengingatkan Beng Tan akan profil Si Golok Maut maka laki-laki atau pria ini mencegah puteranya mengenakan caping.

"Aku... aku mendapatkannya di belakang," Han Han menjawab, bingung dan juga tampak tidak mengerti kenapa ayah atau ibunya marah-marah. "Aku menemukannya di sumur tua, ayah, mengambilnya dan senang karena caping ini pas sekali di kepalaku. Aku... aku tidak mengerti kenapa ayah atau ibu marah-marah!"

"Hm, kau harus tahu," sang ayah menerangkan. "Kau putera seorang ketua perkumpulan, Han Han, bukan anak seorang pengemis atau jembel."

"Tapi caping ini masih bagus, juga kuat. Tak mungkin punya kaum jembel!"

"Kau tak mau mendengar kata-kataku?" sang ayah mengerutkan kening. "Setidak-tidaknya jangan buat ibumu malu, Han Han. Caping itu tak pantas untukmu dan buang saja. Dengar nasihatku!"

"Tidak... jangan, ayah!" sang pemuda tiba-tiba menyambar kembali caping itu. "Aku suka dan jangan caping ini dibuang. Ini barang temuanku!"

"Hm, tapi aku tak suka!" sang ibu tiba-tiba berkelebat, merasa bahwa tenaga puteranya tadi demikian hebat. "Kesinikan dan berikan caping itu, Han Han. Ibumu yang akan menyimpan!"

Han Han tertegun. Ibunya merampas dan mengambil caping itu, berkelebat dan tak lama kemudian sudah membawa ganti sebuah topi indah dari bulu domba, bagus dan mengenakannya pada kepala puteranya itu. Dan ketika Han Han membiarkannya saja dan bertanya apakah ibunya tidak membuang caping itu maka pemuda ini berkerut kecewa.

"Aku harap ibu menepati janji. Itu adalah milikku, barang temuanku. Aku tak suka ibu membuangnya karena aku tentu akan mencari yang lain lagi sebagai gantinya."

"Hm, kau tak usah khawatir. Ibu menyimpannya di kamar ibu, tapi sekarang pakailah ini dan pergilah bersama ayahmu!"

Han Han tak banyak membantah. Beng Tan melihat puteranya itu menunjukkan muka kecewa namun dipendam, sang isteri memberi isyarat dan segeralah sang ayah mengajak puteranya pergi. Dan ketika Han Han mengangguk dan berkelebat bersama ayahnya maka dua laki-laki ini sudah ke tempat Tek-wangwe.

Hartawan itu adalah teman baik Beng Tan dan kini merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh. Sebagai ketua perkumpulan yang disegani maka Tek-wangwe sering memberi sumbangan kepada Hek-yan-pang ini, di samping sebagai jalinan persahabatan juga sekaligus sebagai pelindung kalau orang berani mengganggu hartawan itu. Tek-wangwe memang cukup dermawan meskipun tentu saja kedermawanannya itu bukan tanpa maksud. Sebagai hartawan atau orang kaya yang banyak uangnya hartawan ini harus menjalin hubungan dengan orang-orang pandai.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau kaum hartawan atau bangsawan memiliki sahabat orang-orang kang-ouw atau tokoh-tokoh persilatan. Mereka itu perlu "menempel" karena persahabatan mereka dengan orang-orang kang-ouw atau tokoh-tokoh persilatan tertentu ini memberikan semacam status tambahan kepada diri mereka. Maka ketika Tek-wangwe juga menempel Beng Tan dan dengan sumbangan-sumbangannya yang tetap kepada perkumpulan Hek-yan-pang itu mau tidak mau Beng Tan harus menghargai hartawan itu maka ketika dia tiba di sana, di kota Li-yang, Beng Tan disambut hangat dan penuh hormat.

"Ah, ha-ha, kiranya Hek-yan-pangcu (ketua Hek-yan-pang). Selamat datang, taihiap.... selamat datang. Mari masuk dan duduk di kursi kehormatan!"

Tuan rumah langsung menyambut sendiri kehadiran Beng Tan itu. Semua mata menoleh dan otomatis ayah dan anak menjadi pusat perhatian. Beng Tan tersenyum-senyum dan menjura di depan tuan rumah sementara puteranya tersipu dan sedikit malu. Han Han tak biasa menjadi perhatian demikian banyak orang dan para wanita atau gadis yang duduk di deretan kursi sebelah kiri tiba-tiba berdecak kagum.

Mereka melihat kegagahan dan ketampanan pemuda itu, juga gerak-geriknya yang halus namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat. Sinar mata Han Han yang demikian tajam dan mengandung kekuatan sinkang sungguh tak dapat disembunyikan meskipun pemuda itu berusaha menunduk dan malu-malu. Dan ketika Beng Tan atau sang ayah juga memiliki sinar mata yang sama, tajam dan berkilat meskipun disembunyikan dalam tawadan senyum yang ramah maka semua orang merasakan getaran pengaruh yang didatangkan ayah dan anak ini, apalagi mereka tahu bahwa Beng Tan adalah seorang pria gagah perkasa yang dulu telah menumbangkan Si Golok Maut.

"Terima kasih.... terima kasih...!" Beng Tan membalas tuan rumah dengan tawa yang ramah. "Kami tak membawa apa-apa untukmu, wangwe, melainkan sekedar ucapan panjang umur dan sedikit bungkusan ini. Terimalah, puteraku masih malu-malu namun kau tentu mengenalnya!"

"Ha-ha, ini Beng-kongcu (tuan muda Beng)? Ah, selamat datang pula, kongcu. Dan maaf kalau sambutan kami masih kurang memuaskan!" menjura dan tertawa-tawa di depan pemuda itu tiba-tiba Tek-wangwe memberi isyarat kepada seorang gadis yang muncul mendadak.

Gadis ini tadi bersembunyi di sudut pilar dan kini maju begitu Tek-wangwe memanggil. Agaknya, hartawan ini sudah mengatur itu karena begitu Beng Tan dan Han Han tiba mendadak saja dia sudah didampingi gadis ini, yang bukan lain adalah puterinya sendiri bernama Tek Lian. Han Han menyerahkan kado ulang tahun dan bukan Tek-wangwe yang menerima melainkan puterinya inilah. Dan ketika Tek Lian maju dan menyambut, menjura terlebih dahulu di depan Beng Tan baru kemudian Han Han maka gadis atau puteri Tek-wangwe ini mengeluarkan suaranya yang merdu.

"Beng-taihiap, sebagai puteri ayah aku menghaturkan selamat datang atas kunjungan ini. Terima kasih atas kadonya dan semoga Beng-taihiap dan kongcu sehat-sehat dan betah di tempat kami!"

Beng Tan tertawa. Dia melirik puteranya ketika kado diserahkan, melihat jari-jari mereka bersentuhan dan puteranya itu cepat menarik diri. Ada sesuatu yang agak membuat kening pendekar ini berkerut. Han Han serasa disentuh ular ketika jari-jari lentik Tek Lian menyentuh tangan puteranya. Hm..! Dan ketika Han Han mundur dengan cepat dan Tek Lian tampak tertegun, semburat, maka Beng Tan batuk-batuk dan coba menghilangkan ganjalan tidak enak yang sedikit itu.

"Kami duduk di mana?"

"Ah!" Tek-wangwe cepat sadar. "Duduk di tempat yang telah kami sediakan, taihiap. Mari... mari kursi untuk kalian berdua adalah di atas panggung!"

Beng Tan menggamit puteranya. Han Han tampak semburat pula karena sikapnya tadi diperhatikan sang ayah. Diam-diam Beng Tan berbisik agar puteranya itu bersikap wajar saja. Mereka di rumah orang, mereka adalah tamu. Dan ketika Han Han mengangguk dan tiba-tiba terdengar suara cekikikan mendadak seorang wanita berbaju kuning berkelebat dan menghadang di tengah jalan, ketika ayah dan anak ini siap diantar ke kursi kehormatan oleh hartawan Tek.

"Wangwe, bolehkah aku berkenalan sebentar dengan Hek-yan-pangcu dan puteranya ini? Maaf, bukan untuk mengganggu, melainkan sekedar menyatakan kagum dan ingin berkenalan secara tulus!"

Tek-wangwe mengerutkan kening. Tiba-tiba matanya bersinar tak senang karena itulah Huang-ho Coa-li (Dewi Ular Dari Huang-ho), tamu tak diundang tapi muncul di saat dia merayakan ulang tahun. Namun karena yang dituju adalah Beng Tan dan tamunya itu tampak mengangguk, memberikan isyarat, maka hartawan ini tersenyum dan buru-buru menjura.

"Ah, kiranya Huang-ho Coa-li. Selamat datang, nona. Dan maaf kalau aku lupa mengundangmu!"

"Hi-hik, tak usah basa-basi. Aku datang memang tanpa sepengetahuanmu, wangwe. Dan tak usah khawatir terhadap Beng-taihiap ini. Dia tak akan menuduhmu bergaul dengan orang sesat. Aku datang sekedar ingin melihat keramaian dan kini tiba-tiba tertarik melihat Beng-taihiap dan puteranya ini!"

Sang hartawan merah mukanya. Huang-ho Coa-li dengan sikap dan kata-katanya yang tidak dipikir langsung saja ceplas-ceplos di situ, kesannya kasar dan urakan. Tapi karena wanita itu memang termasuk golongan sesat dan Huang-ho Coa-li sudah lama ingin mengganggu hartawan ini namun terbentur oleh nama besar Hek-yan-pangcu alias Beng Tan maka begitu Beng Tan muncul mendadak saja wanita ini yang sejak tadi menyelinap di deretan kursi wanita sekonyong-konyong ingin cari perkara.

Beng Tan, yang mengenal dan mendengar wanita ini sebagai orang sesat dua tiga tahun belakangan tersenyum saja melihat wanita muda itu bertingkah. Sebagai pria yang kini cukup umur dan matang pengalaman segera dia tahu bahwa maksud dan tujuan Huang-ho Coa-li adalah mencari setori. Jago-jago muda atau orang-orang sesat yang baru muncul memang biasanya begitu. Mereka akan mencari dan membuat gara-gara kalau ada seseorang yang dikatakan lihai, jago dan tak terkalahkan dan biasanya akan menjajal-jajal dulu dalam sebuah pertandingan. Huang-ho Coa-li inipun tentu tak terkecuali.

Namun karena dia tinggal di Hek-yan-pang dan markas perkumpulannya itu dijaga anak-anak murid yang banyak jumlahnya maka mencari atau membuat gara-gara dengannya di dalam perkumpulan tentulah tak berani dilakukan Huang-ho Coa-li ini. Dan keluarnya dia dari markas dianggap satu kesempatan baik oleh orang-orang macam Huang-ho Coa-li itu. Maka ketika wanita itu berkata ingin berkenalan tapi sikap dan kata-katanya sungguh bernada mengejek maka Beng Tan yang tahu seluk-beluk dunia kang-ouw tersenyum saja dan berkata pendek.

"Nona, kami datang sebagai tamu. Kalau kaupun datang sebagai tamu tentunya kita akan menghormati tuan rumah dan menunggu saja acara suguhan apa yang bakal dikeluarkannya. Kalau sekedar berkenalan, tentu kami tak menolak. Tapi kalau ingin lebih tentu saja kami juga akan menyambut tapi biarlah kita nantikan acara itu yang tentu khusus akan dikeluarkan oleh tuan rumah!"

"Hi-hik, pangcu cepat tanggap. Ah, terima kasih, pangcu. Tapi aku sekedar saja ingin berkenalan. Nanti kita tentu bertemu lagi dan sudah lama aku mendengar namamu yang menggetarkan jagad. Terimalah salamku dan selamat bersua!"

Beng Tan mundur. Tiba-tiba wanita itu mengangkat tangannya melepas pukulan sinkang, berkata memberi salam namun sebenarnya menyerang. Dilihat sepintas lalu memang Huang-ho Coa-li ini tampak memberi hormat, karena kedua lengan yang diangkat itu memang seperti orang bersoja namun Beng Tan yang bukan anak kecil ini tahu, tentu saja tidak bodoh. Dan ketika pukulan menyambar dan dia menghindar ke arah kiri, di mana puteranya berada maka cepat dan sambil tertawa dia berkata,

"Han Han, aku tak sanggup menerima kehormatan wanita ini. Biarlah kau yang menerimadan beri salam hormat kembali!”

Han Han mengerutkan kening, Sebagai putera ayahnya yang hebat tentu saja diatahu bahwa ayahnya diserang. Huang-ho Coa-li itu pada dasarnya ingin mencoba ayahnya di balik kata-kata salam. Dan karena pada dasarnya pemuda ini membenci wanita dan tak suka melihat kebrutalan lawan tiba-tiba Han Han maju dan secepat kilat dia menerima pukulan itu, mendengus. "Huang-ho Coa-li, ayah enggan menerimamu. Biarlah aku yang menerima dan terima kasih.... dess!"

Huang-ho Coa-li tiba-tiba mencelat, kaget berteriak panjang dan wanita itu terbanting dan tertumbuk dinding. Han Han rupanya terlalu keras memberi "pelajaran" dan wanita itu menjerit, jatuh terguling-guling. Dan ketika dia muntah darah dan semua orang terkejut, Beng Tan juga sama-sama terkejut maka semua orang tiba-tiba menjadi gaduh dan ribut karena sekali tangkis saja Beng Han atau Han Han ini telah membuat Huang-ho Coa-li luka dalam!

"Ah, tak boleh begitu!" Beng Tan, sang ayah, berkelebat menegur puteranya. Bukan maksudnya untuk melukai atau menciderai lawan. Han Han ternyata terlalu ganas. Maka ketika Beng Tan menyambar dan menahan wanita ini, yang terbatuk dan muntah-muntah maka Beng Tan cepat menotok dan mengeluarkan obat. Namun belum keburu dia memasukkan obat ini ke mulut wanita itu tiba-tiba Huang-ho Coa-li sudah mengeluh dan terkulai pingsan!

Gegerlah tempat itu. Keganasan dan sikap dingin Han Han tiba-tiba membuat semua orang meremang. Tek-wangwe sendiri tertegun karena sekali balas saja Han Han sudah mengeluarkan tangan besi. Atau, mungkin pemuda itu yang belum dapat mengatur pukulannya karena Han Han belum pernah "turun gunung", belum berhadapan dengan orang-orang lain selain ayah atau ibunya sendiri, juga beberapa murid Hek-yan-pang yang tentunya jarang dipertandingkan. Maka begitu Huang-ho Coa-li tak sadarkan diri dan para tamu kaget, ribut, maka Tek-wangwe cepat berlari menghampiri dan ikut menolong Beng Tan yang merah padam menyiumankan wanita itu.

"Maaf..." pendekar ini gemetar. "Han Han terlalu keras, wangwe. Bukan maksudku untuk menyuruhnya begitu. Biar nanti dia kutegur dan kusiumankan dulu wanita ini!"

"Tak apa," sang hartawan pun gugup."Huang-ho Coa-li telah bersikap liar dan menyerangmu duluan, taihiap. Kalau dia bersikap baik-baik dan tidak kasar seperti tadi tentu Beng-kongcu juga tak akan membuatnya begini. Puteramu marah, dan itu wajar. Biarlah menjadi pelajaran baginya agar dapat bersikap sopan di rumah orang!"

Huang-ho Coa-li akhirnya sadar. Beng Tan yang menotok dan menjejalkan due butir obat akhirnya membuat wanita itu siuman. Huang-ho Coa-li membuka mata dan terbelalak ketika melihat Beng Tan. Dia mengeluh dan cepat melompat bangun menepis tangan sang pendekar. Dan ketika wanita itu terhuyung dan terisak memandang Han Han, yang juga sudah berdiri dan di dekat ayahnya maka wanita ini melengking dengan mata berapi-api.

"Hek-yan-pangcu, kau bertanggung jawab atas perbuatan puteramu. Aku tak terima!" dan Huang-ho Coa-li yang menerjang dan menusuk Han Han, sudah mencabut pedangnya tiba-tiba ditangkis Beng Tan yang tak ingin melihat Han Han menurunkan tangan ganas lagi.

Pendekar itu berseru bahwa itu adalah tanggung jawabnya, Huang-ho Coa-li boleh menyerangnya tapi jangan ke Han Han. Dan ketika pedang ditangkis terpental dan Huang-ho Coa-li memekik, hampir terlempar atau terpelanting oleh tamparan lawan maka wanita ini membentak dan maju lagi, bertubi-tubi melepas serangan dan Beng Tan tentu saja mendongkol. Sebenarnya secara baik-baik dia ingin menyelamatkan wanita ini dari ketelengasan puteranya. Dia tak ingin melihat Huang-ho Coa-li terbanting dan terluka lagi oleh balasan puteranya.

Maka ketika dia berkelit dan Han Han dilihatnya sudah memandang beringas, siap menghajar atau menjatuhkan wanita ini lagi maka buru-buru Beng Tan mengebutkan ujung bajunya dan dengan kepandaiannya yang tinggi tiba-tiba pendekar itu telah menggubat dan mematahkan pedang lawan. Lalu begitu lawan terkejut dan memekik, kaget, tiba-tiba Beng Tan telah menggerakkan dua jarinya dan robohlah wanita itu oleh sebuah totokan jarak jauh.

"Bluk!" Huang-ho Coa-li mengerang pendek. Sekarang wanita ini tak dapat menyerang lagi karena dibuat lumpuh tak berdaya. Pedangnyapun dipatahkan dan orang bersorak memuji ketika melihat gerakan ketua Hek-yan-pang itu, yang begitu mudah dan gampang merobohkan lawannya. Dan ketika lawan menangis tapi Beng Tan menggerakkan tangannya lagi, membebaskan totokan maka Huang-ho Coa-li melompat bangun terhuyung menggigil.

"Hek-yan-pangcu, kau telah menanam permusuhan dengan aku. Baiklah, lain kali kita bertemu lagi dan aku pasti membuat perhitungan di kemudian hari!" Wanita itu berkelebat menangis terisak-isak. Huang-ho Coa-li yang tadinya mencari gara-gara mendadak menjadi bahan tertawaan orang ketika meninggalkan tempat itu. Kepandaian dan kelihaian Beng Tan malah mendapat tepuk tangan dan pujian di sana-sini. Tapi ketika Beng Tan menarik napas dan membungkuk di depan Tek-wangwe maka pendekar itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya.

"Tak apa.... tak apa..." sang hartawan malah tertawa gembira. "Sudah lama wanita itu mencoba mengganggu aku, taihiap. Berkali-kali datang dan minta uang namun tak pernah kukabulkan. Sudahlah, sekarang dia mendapat hajaran dan lain kali tentu tak berani datang lagi!"

Beng Tan ditarik ke panggung. Ketua Hek-yan-pang ini digandeng hartawan Tek untuk menduduki kursinya yang terhormat, di atas panggung, duduk bersebelahan dengan tuan rumah yang juga menyiapkan kursinya sendiri. Dan ketika Han Han ditarik ayahnya dan diajak ke tempat itu maka Beng Tan agak tersipu karena tamu-tamu lain yang berdatangan ke situ hanya disambut beberapa pembantu Tek-wangwe ini, tidak seperti ketika dia yang datang dan disambut secara langsung oleh tuan rumah.

"Ah, mereka itu? Ha-ha, biarkan saja, taihiap. Aku memang hanya menyambut tamu-tamuku yang paling penting. Selebihnya, biarlah pembantuku yang mengurus dan aku di sini saja bersamamu!"

"Hm, aku jadi tak enak," Beng Tan merasa lirikan beberapa tamu yang tajam dan tak senang, melihat mereka itu seolah diacuhkan Tek-wangwe. "Kalau kau terlalu berlebihan menyambutku begini tentu aku tak enak duduk di sini, wangwe. Jangan bersikap seperti ini dan lihat itu ada dua pengemis datang!"

Aneh, Tek-wangwe tiba-tiba bangkit berdiri. Para tamu yang berpakaian bagus-bagus dan rata-rata berpakaian perlente tiba-tiba tak seperti ketika melihat dua pengemis yang baru datang itu. Hartawan Tek terkejut dan buru-buru turun, tertawa dan menyambut dan orang akan tercengang keheranan melihat di sebuah pesta ada pengemis masuk, bahkan, disambut tuan rumahnya sendiri. Tapi ketika Tek Lian, puteri Tek-wangwe itu berteriak dan memanggil dua pengemis ini dengan sebutan "suhu" (guru) maka agaknya keheranan atau ketercengangan itu akan sirna.

Dua pengemis ini tertawa-tawa ketika disambut hartawan Tek. Mereka tak membalas ketika tuan rumah membungkuk di depan mereka, karena sudah menoleh dan menyambut Tek Lian yang berlari dan merangkul mereka. Dan ketika Tek-wangwe cengar-cengir sementara dua pengemis itu sudah menepuk-nepuk pundak muridnya maka mereka tiba-tiba tertegun melihat di atas panggung, di kursi kehormatan sudah duduk Beng Tan dan puteranya itu.

"Siapa mereka?" dua pengemis ini bertanya, tak sungkan-sungkan. "Kehormatan apakah yang kau berikan kepadanya, wangwe? Pantaskah mereka duduk di situ?"

"Ah!" Tek-wangwe didahului puterinya. "Itu adalah Beng-taihiap dan puteranya, suhu. Yang terhormat ketua Hek-yan-pang dan Beng-kongcu. Mari, ayah sudah menyiapkan kursi untuk kalian pula dan tinggal beberapa lagi tamu-tamu penting yang belum datang!"

"Hek-yan-pangcu?" pengemis di sebelah kanan tertegun. "Maksudmu Pek-jit Kiam-hiap yang mendampingi isterinya di perkumpulan Walet Hitam itu?"

"Benar, itulah dia, suhu. Dan mari kuperkenalkan. Beng-taihiap baru saja datang dan merobohkan Huang-hoCoa-li!"

"Hm, sombong! Jadi begitukah sikap seorang tamu di rumah orang lain? Wah, tak tahu aturan, Tek Lian. Seharusnya diusir pergi dan tak usah menduduki kursi kehormatan!"

Tek Lian tiba-tiba kaget. Pengemis di sebelah kiri, gurunya nomor dua, tiba-tiba berseru memaki-maki ketua Hek-yan-pang itu, bergerak dan sudah melayang ke atas panggung. Gerakannya gesit dan ringan, luar biasa, tahu-tahu sudah di atas dan siap membentak Beng Tan kenapa membuat onar, merobohkan seorang lain di rumah yang bukan milik sendiri. Tapi ketika Tek Lian berkelebat dan berteriak memanggil gurunya itu, menarik dan menyambar baju gurunya maka pengemis yang tampaknya berangasan itu sudah buru-buru diberitahu.

"Tahan, jangan salah paham. Beng-taihiap justeru menolong muka ayah, suhu. Huang-ho Coa-li membuat onar dan mengganggu mereka ini. Dengarkan ceritaku!" dan ketika Tek Lian buru-buru memberi tahu dan menceritakan peristiwa itu, didengar tapi rupanya disambut kurang baik maka kakek ini terkekeh dan mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Ah, begitukah kiranya? Kurang ajar, sungguh Huang-ho Coa-li tak tahu malu. Kalau saja aku sudah datang tentu tak perlu minta pertolongan yang terhormat ketua Hek-yan-pang ini. Hm, aku harus menghaturkan terima kasih kalau begitu, Tek Lian. Kalau begitu aku salah paham!" dan si kakek yang menyeringai dan membungkuk di depan, sudah berada di atas panggung tiba-tiba menjura dan berseru nyaring, "Hek-yan-pangcu, sungguh kebetulan kau datang. Kau telah memberi pelajaran dan mengusir si wanita busuk itu. Tapi sebenarnya di sini ada muridku, tak usah kau berlagak dengan memamerkan kepandaian. Apakah kau kira murid Ji-sin-kai tak mampu menggebah pengacau? Maaf, Hek-yan-pangcu. Kau termasuk lancang meskipun telah menolong Tek-wangwe!" dan bergerak mengebutkan ujung lengan bajunya tiba-tiba kakek itu menyerang dan melepas pukulan sinkang.

"Suhu!"

Pukulan itu tak mungkin ditarik kembali. Ji-sin-kai (Pengemis Sakti Nomor Dua) telah tertawa dan terang-terangan menghantam Beng Tan. Dari ujung bajunya yang apek itu keluar angin menderu dan bau tidak enak.

Beng Tan yang berdiri menyambut pengemis itu tiba-tiba tertawa lebar, tadi terkejut tapi segera tersenyum ketika mendengar bahwa pengemis ini kiranya adalah Ji-sin-kai, dan yang di sana itu tentu Toa-sin-kai, pengemis-pengemis berkepandaian tinggi tapi yang didengarnya sebagai pengemis-pengemis budiman, meskipun wataknya aneh karena dinilai angkuh dan sombong, tak suka mengakui kepandaian orang lain dan diri sendirilah yang dianggap lihai. Maka begitu Ji-sin-kai menyerangnya dan kakek itu terang-terangan melepas pukulan, membentak dan tentu ingin mengujinya maka pria ini tertawa lebar menggerakkan tangan kiri kedepan.

"Sin-kai, jangan salah paham. Aku tidak pamer kepandaian, melainkan Huang-ho Coa-li itulah yang menyerangku habis-habisan. Kalau kau tidak senang dengan perbuatanku tentu saja aku minta maaf, dan selamat berkenalan serta jumpa di sini, plak...!"

Naga Pembunuh Jilid 04

NAGA PEMBUNUH
JILID 04
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
APA yang dipikirkan wanita itu? Bukan lain menukarkan anaknya! Wi Hong, sebagaimana diketahui, kenal betul kelihaian Beng Tan. Suami sumoinya itu sekarang merupakan pemuda pilih tanding karena tak ada pemuda atau laki-laki lain yang dapat menandingi Beng Tan ini. Pemuda itu adalah murid Bu-beng Sian-su, atau setidaknya, anak didik Bu-beng Sian-su karena kakek dewa itu telah memberikan sebuah dua buah ilmunya kepada pemuda ini.

Dan karena kakek dewa Bu-beng Sian-su adalah kakek maha sakti di mana tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menandingi kepandaiannya maka Beng Tan sebagai murid kakek dewa itu tentu saja merupakan pemuda pilih tanding yang luar biasa, dan ini dipergunakan oleh Wi Hong untuk menukarkan anaknya itu. Wi Hong memasuki kamar sumoinya dan anak laki-laki yang ditinggalkan ibunya itu diamati lekat-lekat. Dia sendiri menyembunyikan anaknya di luar Hek-yan-pang sana, di dalam sebuah guha. Maka ketika dia berhadapan dengan Swi Cu dan sumoinya itu memberikan anaknya tiba-tiba saja Wi Hong melarikan anak ini dan Swi Cu tentu saja berteriak-teriak.

Swi Cu tak tahu bahwa sucinya itu membohonginya. Dalam tanya jawab di kamar Swi Cu diberi tahu bahwa anak yang dikandung Wi Hong mati, padahal Wi Hong menyembunyikan anak itu di luar sana. Maka ketika anak itu dibawa lari dan Swi Cu berteriak-teriak, tentu saja mengejar dan menyerang sucinya itu maka Wi Hong pergi ke hutan dimana anaknya sendiri disembunyikan. Di situ wanita ini menukar Giam Liong dengan Beng Han dan secepat kilat keluar lagi dari guha, tahu bahwa dia dikejar-kejar dan sang ayah, Beng Tan, pasti mencari-cari dirinya membantu isterinya itu.

Dan ketika benar saja Beng Tan muncul dan pemuda itu membentaknya untuk menyerahkan Han Han, anak yang dibawa Wi Hong ini maka Beng Tan tak menyangka bahwa anaknya telah ditukar karena anak yang dibawa wanita itu bukanlah Han Han melainkan Giam Liong. Dan Wi Hong berhasil menyelesaikan sandiwaranya. Sambil menangis dan pura-pura marah Wi Hong menyerang Beng Tan, tentu saja tak akan menang karena lawan memiliki kepandaian yang jauh di atas dirinya. Dan ketika anak itu dirampas dan Wi Hong melarikan diri maka akhirnya Beng Tan pulang ke markas sementara pagi itu Wi Hong menimang-nimang anak yang bukan lain adalah Han Han atau Beng Han itu.

"Hi-hik, selamat untuk keberuntunganmu, anakku sayang. Selamat untuk mewarisi kepandaian ayahmu yang gagah itu!" dan mencium serta mengelus kepala anak di gendongannya Wi Hong menujukan kata-katanya pada anak ini, karena dia tadi menujukan kata-katanya untuk Giam Liong disana.

"Dan kau, hm... kau cukup mempelajari ilmu-ilmu silat Hek-yan-pang bocah. Biarlah kau kurawat dan kudidik sebagai anakku sendiri. Kau adalah keponakanku juga, kau putera sumoiku. Tak ada jeleknya merawat dirimu tapi jangan harap kau dapat mengalahkan Giam Liong!"

Wi Hong terkekeh-kekeh. Geli dan bangga akan hasil pikirannya ini tiba-tiba Wi Hong menyanyi-nyanyi. Han Han yang ada di gendongannya mula-mula merasa tenteram, tak menangis. Tapi ketika wanita itu mulai membiarkannya ketika dia merasa lapar maka Han Han menangis dan anak ini mulai rewel.

"Diam, jangan cerewet. Aku ibumu juga dan jangan menangis!"

Namun mana mau anak itu disuruh begitu? Seharusnya waktu itu Wi Hong memberinya makan, atau minum. Tapi karena Wi Hong menganggap anak itu bukan anaknya sendiri dan perhatian atau kasih sayangnya tentu saja tak sama dengan kasih atau cintanya terhadap Giam Liong maka dia menjadi marah ketika anak itu semakin menangis keras.

"Eh, tidak mau diam? Kutampar kau plak!" dan Wi Hong yang mulai menampar atau menyakiti anak ini akhirnya bukan membuat sang anak ketakutan melainkan juga marah-marah karena itu terbukti dari si anak yang kini melengking-lengking.

"Keparat!" Wi Hong merah mukanya. "Kau tidak mau diam, bocah? Kau minta kuhajar?" dan ketika benar saja Wi Hong mulai mencubit atau menampar berulang-ulang maka Han Han atau anak itu menjerit-jerit dan meronta-ronta digendongan wanita ini.

"Bluk!" Wi Hong akhirnya membanting anak itu! Swi Cu tentu akan terpekik dan kaget kalau tahu sikap sucinya terhadap anaknya ini. Wi Hong marah-marah dan memaki-maki anak itu, yang untung tidak sampai mati tapi tentu saja kesakitan! Dan ketika Wi Hong membiarkan anak itu menangis menjerit-jeritdan menampar sekali lagi maka Wi Hong berkelebat mencari buah-buahan dihutan.

Dan saat itu muncullah seorang tosu yang menarik napas dalam-dalam. Tosu ini meraih dan mengambil Han Han dengan lembut. Anak itu masih menangis melengking-lengking tapi ketika tosu ini mengeluarkan susu sebotol, menempelkan dan meminumkannya ke mulut si bocah tiba-tiba Han Han diam. Anak itu mula-mula terbelalak melihat tosu yang tak dikenal ini, berkejap dan mau menangis lagi tapi dengan lembut dan penuh kasih tosu itu berbisik menyerahkan susu botolnya. Han Han diberi minum dan seketika dicecaplah botol susu itu oleh anak ini. Dan ketika susu mulai mengalir dan Han Han tentu saja girang, diam, maka selanjutnya tosu itu sudah tersenyum-senyum dan tertawa lembut menimang si bocah.

"Ha-ha, minumlah, anak manis. Puaskan rasa laparmu dan biarlah pinto (aku) memberimu minum lagi kalau kurang."

Han Han tertawa. Tiba-tiba anak itu dapat terkekeh ketika si tosu mempermainkannya dalam timangan lembut. Han Han tak menangis lagi dan saat itu berkelebatlah Wi Hong, yang telah kembali dengan setandan pisang. Dan begitu wanita ini melihat si tosu tiba-tiba Wi Hong terkejut dan tentu saja wanita itu kaget.

"He!" Wi Hong membentak. "Siapa kau, tosu bau. Kenapa mengambil anakku dan lancang membawanya tanpa sepengetahuan aku!"

Tosu itu menoleh. Rupanya dia tidak terkejut oleh kedatangan Wi Hong ini, bahkan tersenyum. Dan ketika dia bergerak tapi anak itu tidak dilepasnya, malah ditepuk-tepuk lembut tosu ini sudah menghadapi Wi Hong dan berseru, "Sian-cai, kau datang lagi, hujin. Kukira kau tak mengurus anak ini dan membiarkannya menangis. Ah, maaf. Aku mengambilnya tanpa sepengetahuanmu karena kulihat kau bersikap kejam. Anak ini kau banting, dan pinto (aku) tentu saja tak dapat membiarkan ini."

"Keparat!" Wi Hong sudah melempar pisang di tangannya itu, berkelebat mendekati. "Lepaskan anak itu, tosu bau. Dan serahkan kepadaku!"

"Maaf," sang tosu menggeleng. "Kau tak mengasihi anak ini sebagaimana mestinya, hujin. Aku ingin meminjamnya barang beberapa tahun dan biarlah kukembalikan kepadamu kalau sudah cukup kuat."

"Apa? Kau mau merampasnya? Keparat, jahanam terkutuk!" dan Wi Hong yang berkelebat maju menghantam tosu ini tiba-tiba sudah membentak dan menyerang penuh kemarahan. Tentu saja dia marah karena si tosu terang-terangan ingin membawa Han Han, berkata "meminjam" tapi istilah itu di dunia kang-ouw berarti merampas. Han Han akan dibawa tosu ini dan tentu saja ia gusar. Maka begitu membentak dan tangannya di ayun kedepan tiba-tiba Wi Hong sudah melakukan tamparan.

"Plak!" si tosu menggerakkan sedikit ujung jubahnya. Wi Hong terpental dan wanita itu kaget bukan ma in, melengking dan menyerang lagi namun kembali ia terpental ketika bertemu ujung baju lawan. Si tosu ternyata lihai dan pantas saja begitu berani, kurang ajar, kiranya memang hebat. Dan ketika Wi Hong melengking-lengking dan mencabut pedangnya, menusuk dan membacok maka si tosu berlompatan dan serangan-serangan ganas si nyonya selalu dapat dihindarinya dan dielak baik, hal yang mengagetkan wanita ini.

"Bedebah! Terkutuk!" wanita ini memaki-maki. "Hayo tangkis pedangku kalau berani, tosu bau. Hayo layani aku dan jangan mengelak melulu!"

"Hm, begitukah? Baik,aku tak akan mengelak melulu, hujin. Dan kalau kau menghendaki aku menangkis maka itupun akan kulakukan.... plak-plak!" dan pedang si nyonya yang tiba-tiba bertemu dan ditangkis lengan baju si tosu tiba-tiba terpental dan hampir saja mengenai muka Wi Hong sendiri, membuat nyonya itu menjerit dan Wi Hong terbelalak pucat.

Wanita ini akhirnya menjadi gentar namun kemarahan dan kegeramannya belum terbayar lunas. Dia melihat si tosu mulai bergerak-gerak dan ke manapun pedangnya menusuk ke situ pula tosu ini menyambut, kian lama kian keras hingga telapak wanita ini pedas-pedas dan terasa sakit! Dan ketika Wi Hong menjadi naik pitam namun juga gelisah, maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa maka nyonya itu membentak dan satu tusukan pedangnya mengarah leher si tosu yang tiba-tiba di tengah jalan secepat kilat berobah karena menuju ulu hati.

"Hm, jurus yang baik, tapi bersifat nekat. Lepaskan pedangmu, hujin. Dan hentikanlah pertandingan ini... prat!" dan pedang yang diterima dan digulung si tosu tiba-tiba tertangkap dan terbungkus lengan baju itu, ditarik dan dibetot dan Wi Hong berteriak kaget.

Dia melancarkan jurus yang disebut Bianglala Menukik Ulu Hati, satu serangan maut yang sebenarnya bersifat mengadu jiwa. Tapi begitu pedangnya digubat dan tentu saja tak dapat digerakkan, karena si tosu menahan dan menjepitnya mendadak dia sudah tertarik ke depan dan tinggal dua kemungkinan yang akan diterima, jatuh dan akan ditendang tosu itu atau dia melepaskan pedangnya. Dan ketika Wi Hong melengking dan memilih cara kedua, karena tak sudi dia jatuh dan ditendang tosu itu maka wanita ini sudah melepaskan pedangnya dan berjungkir balik memaki-maki.

"Bedebah, tosu keparat, jahanam terkutuk!" Wi Hong sudah mengusap keringat dingin ketika melayang turun, kaget dan marah sekali. Dan ketika dia berhadapan lagi dengan lawannya sementara tosu itu melempar pedang kepadanya, tersenyum, maka Wi Hong menggigil membentak tosu itu. "Kau siapa dan sebutkan namamu. Aku masih belum menyerah kalah dan ingin mencoba lagi. Kalau kau dapat merobohkan aku barulah aku betul-betul menyerah dan tak akan berurusan denganmu!"

"Hm, wanita yang keras," tosu ini tertawa pahit, menghela napas. "Aku Yang Im Cinjin, hujin. Lama tak keluar dunia kang-ouw dan barangkali kau tak mengenalku. Aku sejak tadi sudah mengikuti gerak-gerikmu, dan kasihan kepada anak ini yang tak kau perdulikan sebagaimana layaknya seorang ibu yang baik. Kau tak keberatan dia kubawa, bukan? Ini bukan anakmu, dan kau tentu tak menyesal. Maaf, aku tertarik melihat tulang-tulangnya dan bentuk kepalanya yang membayangkan kecerdasan yang tinggi!"

Wi Hong membelalakkan mata. Tiba-tiba wanita ini bergetar ketika si tosu menyebut namanya, Yang Im Cinjin, seorang tokoh yang sudah lima puluh tahun tidak muncul dan itulahtokoh yang amat hebat dan sakti karena tokoh ini setingkat dengan nenek-nenek gurunya. Tokoh yang amat luar biasa dan guru atau nenek-nenek gurunya selalu memuji Yang Im Cinjin ini yang konon katanya memiliki sebuah ilmu pukulan yang disebut Yang-im-sin-kun (Silat Sakti Im dan Yang) yang begitu dahsyat hingga dikabarkan dapat menggugurkan gunung mengeringkan lautan.

Ilmu itu amat dahsyat dan kabarnya lima puluh tahun yang lalu tokoh ini tak ada tandingannya, setingkat atau seusap saja di bawah kesaktian manusia dewa Bu-beng Sian-su. Namun karena Bu-beng Sian-su lebih merupakan dongeng dibanding tokoh ini karena Bu-beng Sian-su menampakkan diri pada orang-orang tertentu saja maka Yang Im Cinjin yang lebih banyak keluar dan sering bertanding dengan jago-jago dunia kang-ouw itu lebih dikenal dan dirasakan kehadirannya daripada si manusia dewa Bu-beng Sian-su.

Dan orang nyaris menyamakan kakek itu dengan Bu-beng Sian-su, hal yang disanggah atau disangkal Yang Im Cinjin ini dengan berkata bahwa Bu-beng Sian-su lebih unggul. Entah sebuah pengakuan basa-basi ataukah pengakuan sesungguhnya, karena orang juga tak tahu apakah dua orang ini pernah bertemu. Maklumlah, kakek dewa Bu-beng Sian-su itu hampir dipercaya sebagai tokoh dongeng saja, bukan tokoh yang sesungguhnya ada, seperti halnya Yang Im Cinjin ini. Maka begitu kakek itu muncul dan tosu ini menyatakan diri sebagai Yang Im Cinjin, tokoh yang mungkin enam sampai tujuh tingkat di atas dirinya sendiri mendadak Wi Hong bengong dan hampir tidak percaya.

Namun ketidak-percayaan akhirnya lebih menguasai wanita itu daripada bengongnya. Yang Im Cinjin adalah tokoh yang usianya mungkin sudah seratus tahun, jadi tak masuk akal kalau masih hidup. Atau, kalaupun masih hidup, tentu tidak setegar dan segagah kakek ini. Tosu yang mengaku sebagai Yang Im Cinjin itu usianya tampak seperti lima puluhan dan bukan seratus tahun, juga gagah dan mukanyapun bersinar-sinar seperti layaknya orang muda. Mata dan gigi tosu ini-pun masih utuh. Ah, tak mungkin Yang Im Cinjin! Dan merasa bahwa dia ditakut-takuti, lawan terlalu berlebihan mendadak Wi Hong melejit dan membentak tosu itu.

"Tosu siluman, kau rupanya pembohong. Yang Im-Cinjin tentunya sekarang sudah mampus atau kakek-kakek renta yang tak mungkin setegar dan segagah kau. Kau dusta, kau melebih-lebihkan dirimu. Mampuslah, aku ingin mengajakmu bertanding lagi dan coba kau tunjukkan Yang-im-sin-kun yang dipunyai tokoh itu!"

Sang tosu mengerutkan kening. Alis-nya yang putih menjelirit sedikit bergerak ketika lawan menubruknya. Tapi ketika dia sadar dan tersenyum mengangguk-angguk, sadar bahwa lawan tampaknya tidak percaya maka tosu ini membiarkan pedang lewat dan mengegos ringan sambil berkata,

"Bagus, kau anak perempuan yang berpikiran cerdas, hujin. Dan melihat ilmu silatmu ini tentu kau cucu murid Hek-yan Tai-bo.... wut!" dan ketika pedang lewat di sisinya tiba-tiba kakek itu berseru bahwa dia akan membuat pedang si nyonya meleleh. "Sekarang lihatlah, inilah Yang-im-sin-kun yang kupunyai... dar!"

Dan ketika pedang dikejar dan disentuh kakek ini, yang tangannya sudah meraih dan mendahului gerakan Wi Hong tiba-tiba pedang hancur dan meleleh bertemu hawa panas yang keluar dari tangan kakek itu, yang tiba-tiba berobah menjadi merah marong dan Wi Hong kaget bukan main melihat ini. Kakek itu mengusap dan menyentuh pedangnya dan pedangnya itupun tiba-tiba leleh, persis seperti dibakar di tungku panas yang apinya luar biasa. Dan ketika Wi Hong merasa betapa hawa panas itu juga menjalar ke lengannya, yang memegang pedang maka tiba-tiba wanita ini berteriak dan membanting tubuh bergulingan.

"Aiihhhh...!" Wi Hong pucat bukan main. Kaget dan terbelalak oleh ilmu pukulan itu, ilmu usapan yang demikian mengerikan tiba-tiba saja Wi Hong tersentak dan seakan terbang semangatnya. Itulah tenaga sakti Yang (panas) yang diperlihatkan kakek ini, dahsyat dan luar biasa dan konon dengan tenaga panas inilah Yang Im Cinjin dapat mengeringkan sebuah telaga dengan cepat. Dan orang lalu mengatakan bahwa bukan telaga saja yang dapat dikeringkan kakek itu melainkan juga lautan, karena tenaga sakti Yang kakek itu demikian dahsyat hingga air atau apa saja dapat dihisap cepat menjadi kering.

Wi Hong sekarang membuktikan ini namun Im atau tenaga Dingin kakek itu belum dilihatnya. Katanya dengan tenaga dingin itu kakek ini dapat membekukan apa saja mulai air di dalam gelas sampai kepada telaga See-ouw, telaga Barat yang terkenal besar dan hebat panoramanya itu. Dan ketika Wi Hong meloncat bangun dan bergulingan menjauh, ngeri dan gentar tapi juga masih kurang percaya tiba-tiba wanita itu melengkingdan membentak si kakek agar mengeluarkan tenaga sakti Im-nya.

"Aku kurang percaya, dan masih ingin mencoba. Kau keluarkanlah tenaga Im-mu itu dan kulihat apakah benar kau Yang Im Cinjin atau bukan!"

Sang tosu bersinar matanya. Tiba-tiba sesorot cahaya dingin keluar dari mata kakek itu. Rasa tidak senang tapi juga maklumnya timbul berbareng. Tosu ini berkelit ketika si nyonya menyambar dan Wi Hong menyerang lagi sambil berseru agar dia mengeluarkan tenaga Im-nya itu, kalau benar dia adalah Yang Im Cinjin. Dan ketika kakek ini mengelak dan Wi Hong meledakkan rambutnya, menghantam kepala tiba-tiba kakek ini menghela napas dan berkata,

"Nyonya, ilmu bukan untuk dipamer-pamerkan apalagi dibuat permusuhan. Kalau kau tidak percaya bahwa aku adalah Yang Im Cinjin maka itu adalah hakmu, aku tak memaksa. Tapi barangkali ini cukup dan selanjutnya kita berhenti plak!"

Wi Hong tiba-tiba menjerit, rambut di kepalanya menjadi kaku dan tiba-tiba nyonya itu terpekik. Sang tosu menangkis dengan ujung baju dan tiba-tiba saja serangkum hawa dingin menyengat wanita ini hingga Wi Hong menggigil, kedinginan, berketrukan. Dan ketika wanita itu tak dapat menggerakkan tubuhnya karena mulai dari kaki sampai kepala semuanya seperti es, dingin dan kaku maka Wi Hong terkejut ketika air matanya tiba-tiba juga berobah menjadi es, meluncur dan berdetak di tanah lalu mencair dan lenyap!

"Ah!" Wi Hong tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Lidahnya sudah kelu dan air liurnyapun tak dapat ditelan. Cairan yang ada di tubuhnya membeku dan itulah akibat pukulan Im-kang, yang demikian dahsyat dan luar biasa. Tapi ketika tosu itu menepuk kepalanya dan semua rasa dingin lenyap, terganti rasa hangat dan biasa lagi maka Wi Hong jatuh terduduk dan tersedu-sedu berlutut di depan kakek ini, percaya bahwa inilah Yang Im Cinjin yang masih hidup!

"Locianpwe, ampunkan aku.... maafkan aku. Sekarang... sekarang aku percaya. Bawa dan bimbinglah aku sebagai muridmu!"

"Hm," kakek itu tersenyum. "Kau dipenuhi dendam dan sakit hati, hujin. Tak baik menerima ilmuku. Anak ini yang akan kujadikan muridku, kau mundurlah dan pergi bersihkan dirimu itu. Aku tak dapat menerima."

Wi Hong mengguguk. Tiba-tiba dia beringas dan kecewa, gilanya muncul. Dan ketika kakek itu menolaknya mendadak dia menerkam dan menggigit kaki tosu ini. "Kalau begitu kau tosu siluman. Bunuh dan habisi saja aku!"

Tapi begitu kaki itu digigit dan gigi wanita ini bertemu kaki Yang Im Cinjin mendadak Wi Hong menjerit karena kaki itu tiba-tiba merah marong, panas membakar dan tentu saja wanita ini seperti menggigit bara. Wi Hong terpekik dan mulutnya seketika melepuh, hangus! Dan ketika Wi Hong menjerit dan bergulingan mendesah-desah, kepanasan, maka Yang Im Cinjin tertawa pahit dan berkelebat lenyap.

"Wanita malang, kau tak dapat menghapus api dendammu. Sayang, kau akan terbakar sendiri."

Wi Hong berteriak-teriak. Akhirnya wanita ini bergulingan meloncat bangun memaki-maki si tosu. Yang Im Cinjin tak dihormatinya lagi sebagai tokoh tua melainkan dianggap musuh yang membuat kebenciannya meluap. Tosu itu dikejar dan ditantang-tantangnya, lucu. Padahal kalau tosu itu ada tentu wanita ini tak akan mampu menandingi. Maklum, menggigit kakinya saja Wi Hong sudah kepanasan dan terbakar, akibat tenaga Yang atau panas yang dim iliki tosu itu. Dan ketika Wi Hong menangis dan melengking-lengking, lawan tak ada di depannya lagi maka wanita ini mengguguk dan jatuh terduduk di bawah pohon.

Hari itu Wi Hong melampiaskan kemarahannya dengan mencabut-cabuti apa saja yang ada di depannya. Frustrasi berat melandanya. Tapi begitu ingat bahwa Giam Liong di tangan Beng Tan tiba-tiba saja Wi Hong ingin tahu siapakah yang kelak lebih hebat. Anaknya itu ataukah Beng Han. Pewaris Bu-beng Sian-su ataukah Yang Im Cinjin! Dan ketika wanita ini terkekeh-kekeh dan bangkit berdiri, mata meliar, maka Wi Hong terhuyung meninggalkan hutan itu dan mulutnya sering tertawa-tawa meskipun air matanya bercucuran menangis!

* * * * * * *

Waktu, seperti yang kita lihat dan rasakan adalah "mahluk" yang perkasa sekali. Tak ada benda-benda baik di dalam maupun di luar bumi yang tidak dilahapnya habis. Besi dan batu dirobahnya menjadi sesuatu yang lain. Tanaman-tanaman yang dulu muda tiba-tiba saja beberapa tahun kemudian sudah menjadi besar dan hebat di mana akhirnya mereka itu tua dan kering. Semua benda di dalam dan di luar bumi digilas oleh mahluk yang bernama "waktu" ini hingga tak terasa sudah menjadi lain dari yang dulu. Manusia yang dulu masih orok tiba-tiba saja sudah berkembang dan dewasa sebagai pemuda atau gadis yang gagah dan cantik. Orang yang dulu masih merupakan pemuda likuran tahun tiba-tiba sekarang sudah berusia tiga puluh atau empat puluh tahun. Itulah akibat waktu!

Dan ketika hal ini juga melanda Beng Tan, maka pemuda yang dulu gagah dan masih muda itu sekarang sudah berusia hampir empat puluh tahun dan sedikit jenggot menghiasi dagunya yang gagah. Giam Liong, atau yang lebih dikenal sebagai Beng Han atau Han Han oleh Beng Tan dan isterinya ini sekarang sudah menggantikan posisi mereka dulu, sudah berubah sebagai pemuda yang tegap dan gagah serta tampan.

Pemuda ini tentu saja mewarisi kepandaian "ayahnya" dan apa yang diajarkan Beng Tan ditelannya habis. Tak ada kepandaian Beng Tan yang belum diterima pemuda ini, mulai dari ilmu-ilmu silat tangan kosong sampai kepada pedang. Dan karena Giam Liong alias "Han Han" ini memiliki otak yang cerdas dan bakat yang tinggi maka dalam usianya yang hampir sembilan belas tahun itu pemuda ini sudah nyaris menyamai ayahnya.

"Kau sudah mewarisi semua kepandaianku, kau sudah sama denganku. Tapi kau kurang pengalaman dan tinggal mematangkan ilmu-ilmumu itu."

Beng Tan suatu hari berkata. Ketua Hek-yan-pang ini, yang pagi itu bersinar-sinar memandang puteranya sama sekali tak menyangka bahwa yang dihadapinya itu adalah keturunan Golok Maut, musuhnya, lawan yang amat tangguh dan paling tangguh dari semua lawan-lawan yang pernah dihadapi. Dan ketika pagi itu Beng Tan berseri memandang "puteranya" maka Beng Han atau yang dikenal sebagai Han Han ini diam mengangguk-angguk.

"Kau tahu apa yang kumaksud, Han-ji (anak Han)? Kau tahu apa yang kuinginkan?"

"Aku tahu," Giam Liong, atau yang marilah kita sebut sebagai Han Han ini mengangkat mukanya, balas menatap sang ayah dengan pandangan tajam dan gagah. "Kau ingin mengingatkan aku akan kepandaian-kepandaian yang kumiliki ini, Ayah. Bahwa aku harus selalu ingat petunjukmu bahwa ilmu silat tak boleh dipakai untuk merugikan orang lain."

"Bagus, ha-ha, kau benar. Kau masih ingat itu. Betul, aku hendak menekankan ini kepadamu, Han Han. Bahwa dengan memiliki kepandaian seseorang tak selayaknya merugikan orang lain, justeru seharusnya menguntungkan dan memberi berkah pada orang lain. Bagus, kau ingat baik-baik kata- kataku itu. Sekarang, tak adakah keinginan di hatimu untuk keluar dan melihat-lihat dunia kang-ouw? Kau selama ini lebih suka mengurung diri, Han Han, giat berlatih dan tekun sekali mempelajari semua ilmu-ilmu silatku itu. Itu baik-baik saja, tapi selalu mengurung dan menyembunyikan diri di kamar tentu tidaklah sehat bagi jiwamu yang perlu tumbuh dan berkembang."

Han Han, pemuda ini, diam saja. Dia menunduk ketika ayahnya bicara tentang itu dan entah kenapa mukanya tiba-tiba merona merah. Memang, selama ini tak pernah Han Han atau pemuda itu keluar rumah. Mula-mula hal itu menyenangkan Beng Tan karena hal ini tak membuat puteranya keluyuran. Pemuda kalau sudah suka keluyuran biasanya pasti tak baik. Tapi ketika semakin dewasa Han Han justeru semakin suka mengurung diri kamar maka diam-diam Beng Tan atau sang ayah ini heran juga.

Pemuda itu terlampau pendiam dan tak banyak bicara. Jarang bercanda atau bergurau. Kalaupun ada yang lucu, maka puteranya ini hanya tersenyum sedikit dan setelah itu mulut-pun terkatup rapat. Kesannya, pemuda ini dingin dan tak suka banyak cakap. Sungguh berbeda dengan wataknya atau watak isterinya itu, yang riang dan suka terkekeh-kekeh kalau ada sesuatu yang lucu sedikit saja. Dan ketika Beng Han juga tak menunjukkan tanda-tanda tertarik akan wanita, dingin dan acuh maka Beng Tan atau sang ayah menjadi khawatir dan tak nyaman juga.

Di Hek-yan-pang sebenarnya banyak anak-anak gadis cantik. Mereka itu adalah puteri-puteri para murid senior yang sudah menginjak remaja. Beng Han atau Han Han ini sering dibicarakan secara bisik-bisik oleh gadis-gadis remaja itu, bahkan banyak di antaranya yang coba memikat dan jatuh hati. Tapi karena Han Han dingin-dingin saja dan tak acuh, hatinya tampaknya tawar oleh semua itu maka Beng Tan diam-diam khawatir kalau puteranya ini tidak mau menikah.

Pernah suatu kali Beng Tan coba-coba menggoda puteranya itu apakah Han Han tak tahu lirikan anak-anak murid Hek-yan-pang yang naksir padanya, gadis-gadis remaja itu. Tapi ketika Han Han tersipu malu dan menunduk, mendiamkan saja godaan ayahnya itu maka Beng Tan penasaran dan menepuk pundak puteranya ini.

"Eh, apa jawabmu, Han Han? Kau tak tertarik atau jatuh hati pada gadis-gadis remaja itu? Kau tak tahu bahwa kau dilirik dan ditaksir oleh banyak dari mereka?"

"Ah, ayah. Kenapa kau menggodaku seperti ini? Aku tak tahu tentang semuanya itu, dan aku tak tertarik dengan semuanya itu. Aku tak suka wanita, aku jijik dengan mereka!"

"Apa?" sang ayah terbelalak. "Kau jijik? Maksudmu?"

"Entahlah," Han Han tampak bingung. "Aku tak suka wanita, ayah. Aku benci mereka. Di sudut hatiku bahkan terasa adanya semacam permusuhan yang tidak bersebab-musabab. Aku tak suka mereka!"

"Tapi ibumu wanita!"

"Maaf," pemuda ini tampak terkejut. "Itu lain, ayah. Tapi, ah... sudahlah. Aku tak suka bicara tentang ini!" dan ketika Beng Han pergi dan meninggalkan dirinya maka Beng Tan atau sang ayah terkejut membelalak, terngiang dan terheran-heran oleh kata-kata puteranya itu.

Bayangkan, Han Han menyatakan jijik terhadap wanita, padahal laki-laki normal tentu sebaliknya dan justeru cepat tergila-gila kepada wanita. Tidak normalkah anaknya itu dan adakah sesuatu kelainan di jiwanya? Dan saat itu sebuah helaan lembut terdengar di telinganya.

"Aku juga merasa aneh, kenapa Han Han bersikap dan berkata seperti itu!"

Beng Tan membalik. Isterinya muncul, bersinar tapi tiba-tiba berkaca-kaca. Dan ketika Beng Tan memeluk dan menyambar isterinya ini tiba-tiba Swi Cu menangis.

"Aku takut," sang isteri tersedu-sedu. "Han Han sepertinya tidak wajar, suami-ku. Dia banyak mengurung diri dan berdiam di kamar. Dan... dan... wajahnya seperti Sin Hauw!"

"Apa?" Beng Tan tersentak. "Sin Hauw? Kau... kau bicara apa?"

"Benar," Swi Cu mendorong suaminya ini, mengusap air matanya. "Aku melihat sesuatu yang ganjil, suamiku. Aku tidak melihat wajahmu pada wajah anak kita itu, melainkan wajah Sin Hauw! Lihat bentuk dagunya, lihat sinar matanya. Bukankah mirip dan tidak seperti kau? Han Han memang tampan, suamiku. Tapi dia dingin, tidak seperti kita!"

"Tapi dia anak kita!"

"Benar."

"Dan tak mungkin anak Sin Hauw! Eh, apakah dulu semasa mengandung kau membenci Si Golok Maut itu, Cu-moi? Apakah kau sering membayangkannya hingga type Si Golok Maut itu membekas di bayi yang masih ada dalam kandunganmu?”

"Memang begitu, tapi bukan perasaan benci. Aku justeru kasihan dan haru kalau membayangkan mendiang Si Golok Maut itu, yang hidupnya penuh menderita."

"Tapi itu agaknya cukup. Anak kita seperti dia!"

"Hm, tidak begitu, suamiku. Kalau seseorang hamil membenci orang lain maka paling-paling hanya wajah atau beberapa bagian mukanya saja yang mirip. Watak, atau sikap, tentunya tidak. Tapi Han Han ini mirip luar dalam. Lihat sikap dan gerak-geriknya. Lihat dagu dan pandang matanya itu, begitu dingin dan menyembunyikan keganasan terpendam!"

"Kau tak boleh mengata-ngatai anakmu sendiri. Han Han adalah anak kita!" Beng Tan menegur, terkejut. "Eh, kenapa tiba-tiba kaupun berobah begini, Cu-moi? Ada apa ini?"

"Entahlah," Swi Cu mengguguk, menubruk suaminya. "Aku takut, suamiku... aku ngeri. Kadang-kadang aku melihat pandang mata ganas pada diri anakku itu. Han Han sepertinya orang lain. Dan..... dan... kadang-kadang akupun tak memiliki cinta kasih sebagaimana layaknya seorang ibu!"

"Ah, gila!" dan Beng Tan yang mencengkeram serta meremas isterinya ini tiba-tiba mendorong dan pucat, menggigil. "Cu-moi, apa... apa katamu tadi? Kau tak memiliki cinta kasih seorang ibu? Maksudmu kadang-kadang kau membenci anakmu itu?"

"Tidak... tidak, bukan begitu. Hanya... hanya kadang-kadang aku tak suka melihat mukanya itu, suamiku. Aku melihat bahwa Han Han adalah Sin Hauw, bukan puteramu!"

"Hm, tidak benar," Beng Tan meremas pundak isterinya ini, terguncang. "Kau bicara yang tidak benar, Cu-moi. Kau melantur. Agaknya kau terkena trauma dari mendiang Si Golok Maut itu. Kau diselubungi ketakutan sendiri, kau tidak beres. Sudahlah, buang ketidak-wajaran itu dan kendalikan dirimu dalam menilai anak kita!"

Swi Cu mengangguk. Memang dia merasa bahwa tidak benarlah perasaannya itu, tidak baiklah dia memperlakukan Han Han seperti itu. Tapi karena perasaan tidak senang itu kadang-kadang muncul karena wajah dan sikap atau watak puteranya itu mirip Si Golok Maut Sin Hauw maka entah kenapa wanita ini tak dapat mencintai puteranya itu sebagaimana layaknya seorang ibu. Swi Cu tak mengerti bahwa indera keenamnya telah bekerja dan bahwa inderanya itulah yang memberi tahu bahwa tak usah dia mencintai Han Han sebagai putera sendiri. Han Han bukanlah anaknya melainkan keturunan Si Golok Maut Sin Hauw, bocah yang dulu ditukar oleh ibunya dan tidak diketahui Swi Cu maupun suaminya ini.

Namun karena indera keenam juga tak dapat bicara secara lisan dan Swi Cupun tak mengerti isyarat itu, masing-masing terpengaruh oleh gaya atau kebiasaannya sehari-hari maka isyarat atau pemberitahuan indera keenam itu tak tertangkap wanita ini. Swi Cu hanya merasa samar-samar dan perasaan samar-samar itu membuatnya tidak puas, rasa yang akhirnya tentu saja membuat dia tidak senang dan terganggu, perasaan yang kemudian terlampiaskan dengan rasa tidak sukanya kalau melihat bahwa wajah Han Han lebih mirip Si Golok Maut daripada suaminya.

Tapi ketika suaminya menegur dan menyuruhnya sadar maka Swi Cu terisak dan perasaan yang mengganggu itu berusaha dinetralisirnya agar tidak menyolok mata. Dan Swi Cu memang berhasil melakukan ini. Han Han, yang kadang-kadang dipandangnya tak puas itu akhirnya dipandang dengan penuh belas kasihan dan haru. Memang tak ada alasan baginya untuk tidak senang kepada puteranya itu. Salah siapakah kalau Han Han mirip Si Golok Maut?

Bukankah salahnya sendiri kenapa sewaktu mengandung dulu dia terguncang oleh wajah Si Golok Maut itu? Kalau tidak tentu juga tidak, dan mirip Si Golok Maut atau bukan Han Han ini adalah tetap puteranya, anak laki-laki yang dia besarkan dan kini sudah mengisi kehidupan rumah tangganya!

Swi Cu tenang. Beng Tan, suaminya, sering memonitor gerak-geriknya. Dan ini membuat Swi Cu sadar bahwa dia diamati. Suaminya itu mempengaruhinya dan lama-lama perasaan yang "tidak beres" itu hilang, Swi Cu dapat bersikap biasa lagi kepada Han Han. Dan ketika Beng Tan melihat bahwa isterinya sudah betul-betul biasa, wajar, maka diapun gembira dan dapat mengajak isterinya bercakap-cakap tentang rumah tangga mereka.

Tapi ada yang masih mengganjal. Kebiasaan Han Han yang suka mengurung dan mengeram diri di kamar membuat pria ini tak puas. Han Han dinilai kurang bergaul dan itu tak menguntungkannya di masa depan. Han Han harus diajaknya keluar dan dibawanya pemuda itu mencari udara segar. Mungkin Han Han bosan oleh kehidupan di tempat tinggalnya sendiri, jemu. Maka ketika suatu malam dia bercakap-cakap dengan isterinya dan Swi Cu setuju maka isterinya itu bahkan mendorong.

"Boleh, tentu baik! Tapi ke mana kau akan pergi, suamiku? Dan berapa lama? Aku tidak melarang, tapi bagaimana kalau Han Han dibiarkan sendiri, atau, setidak-tidaknya dengan seorang dua murid Hek-yan-pang, sebagai teman!"

"Hm, anak kita itu pendiam, dan jarang pula bergaul dengan anak-anak murid Hek-yan-pang. Aku kira dia tak akan setuju, isteriku. Karena itu sebaiknya aku temani dan kebetulan minggu depan aku diundang Tek-wangwe untuk menghadiri selamatan ulang tahunnya yang ke enam puluh!"

"Ah, benar. Kau mendapat undangan. Boleh.... boleh saja, suamiku. Bawalah Han Han dan biarkan putera kita itu mendapat suasana yang lain di luar!"

"Jadi kau setuju?"

"Aku setuju, tak keberatan!"

"Bagus, kalau begitu biar kubicarakan dengan anak kita itu dan akan kubawa dia ke sana. Akan kuajak dia menghadapi pesta dan aku tidak percaya bahwa hatinya tidak akan tergerak kalau melihat tamu-tamu bermacam jenis!"

"Dan Tek-wangwe mempunyai anak gadis cantik. Siapa tahu Han Han terpikat hatinya!"

"Hm, itu pula yang kumaksud. Aku ingin menggerakkan hatinya dan melihat bagaimana kalau dia jatuh cinta!"

Beng Tan dan isterinya berseri. Swi Cu tertawa ketika suaminya mengucapkan kata-kata itu, teringat peristiwanya sendiri ketika dulu mula pertama ia jatuh cinta dengan suaminya itu. Dan ketika Beng Tan juga tertawa dan menyambar isterinya itu maka keduanya sudah berciuman mesra.

"Lihat, betapa nikmatnya hidup dalam cinta. Masa putera kita tak mewarisi ini dan ingin hidup lajang? Ha-ha, akan kuperkenalkan dia dengan segala gadis-gadis yang ada di pesta itu, Cu-moi. Karena Tek-wangwe juga tentu mengundang tokoh-tokoh persilatan dalam merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh!"

Swi Cu berseri gembira. Hari itu juga suaminya memanggil Han Han, menyuruh pemuda itu menghadap. Dan ketika Han Han ditanya apakah mau keluar bersama ayahnya maka sang ibu melihat puteranya berkerut kening, acuh.

"Ayah mau mengajakku ke mana? Ada urusan apa?"

"He, ayahmu mendapat undangan Tek-wangwe (hartawan Tek), Han Han. Masa kau lupa dan tidak ingat utusan itu!"

"Oh, orang-orang sekereta yang dulu itu, yah? Hm, aku ingat. Tapi aku tak tertarik. Aku ingin di sini saja kalau ayah tak keberatan. Lagi pula, bukankah ada ibu? Ayah dapat pergi berdua dan aku menjaga disini."

"Hm, ibumu tak enak badan, Han Han. Dan aku tentunya tak mau pergi sendiri. Kau menemani ayahmu, mau atau tidak!"

"Baiklah," Han Han tampaknya ogah-ogahan. "Kalau kau memaksa tentu saja aku tak menolak, yah. Tapi aku tak mau pakai baju yang bagus-bagus untuk ke pesta itu!"

"Gampang, tapi juga jangan yang terlalu sederhana. Kau jelek-jelek adalah putera ketua Hek-yan-pang, harus bersepatu dan berkopiah, necis!"

Pemuda ini mengangguk. "Kapan ayah berangkat?"

"Seminggu lagi, kau siap?"

"Baik, yah. Aku siap."

Dan ketika Han Han pergi dan seminggu kemudian ayah ibunya menunggu maka betul saja Han Han siap dengan sepatu dan baju yang bersih, tidak baru tapi cukup bagus dan pantas. Namun ketika pemuda itu ditanya mana kopiahnya, dandanan agar puteranya itu tampak sebagai seorang siucai (sasterawan) maka Beng Tan kaget bukan main ketika anaknya itu menyambar dan memperlihatkan sebuah caping, topi bambu.

"Aku tak mau memakai kopiah, aku pilih ini. Lihat, yah. Aku senang dengan caping ini dan pas benar di kepalaku!"

Han Han mengenakan caping itu, gagah dan tampan tapi Swi Cu tiba-tiba terpekik. Wanita ini melihat betapa wajah Sin Hauw tiba-tiba muncul. Han Han benar-benar mirip Sin Hauw atau mendiang Si Golok Maut itu. Dan karena Han Han mengenakannya di depan ayah ibunya ini dan tak tahu bahwa trauma yang pernah dirasakan ibunya masih hebat maka tiba-tiba Swi Cu membentak dan menyerang puteranya itu, seolah sedang menghadapi Si Golok Maut dan bukan Han Han!

"Lepaskan caping itu, atau kau kubunuh!"

Han Han terkejut. Dia tak menyangka ibunya menyerang tapi pemuda ini secara otomatis menangkis, menolak dan mementalkan ibunya itu. Dan ketika Swi Cu berjungkir balik sementara Han Han terhuyung, caping di kepalanya mencelat maka pemuda ini terheran dan pucat memandang ibunya itu, menggigil.

"Ibu, apa... apa artinya ini? Kau mau membunuh aku?"

"Hm!" sang ibu melayang turun, kaget dan sadarakan perbuatannya tadi,serangan otomatis. "Aku tak suka kau mengenakan caping itu, Han Han. Aku benci melihat kau mengenakan topi bambu. Buang itu dan kenakan kopiah yang pantas. Kau anak seorang ketua perkumpulan!"

"Dan dari mana kau dapatkan itu," sang ayah kini juga bicara, maju dengan cepat. Selain untuk mencegah isterinya menyerang lagi juga karena dia heran dan kaget bagaimana tiba-tiba puteranya itu memilih caping bambu, bukannya kopiah atau topi yang pantas sebagaimana layaknya putera seorang ketua. Han Han memilih caping itu yang lebih pantas dikenakan seorang jembel atau pengemis, padahal itu tentu saja tak pantas baginya. Dan karena caping itu juga mengingatkan Beng Tan akan profil Si Golok Maut maka laki-laki atau pria ini mencegah puteranya mengenakan caping.

"Aku... aku mendapatkannya di belakang," Han Han menjawab, bingung dan juga tampak tidak mengerti kenapa ayah atau ibunya marah-marah. "Aku menemukannya di sumur tua, ayah, mengambilnya dan senang karena caping ini pas sekali di kepalaku. Aku... aku tidak mengerti kenapa ayah atau ibu marah-marah!"

"Hm, kau harus tahu," sang ayah menerangkan. "Kau putera seorang ketua perkumpulan, Han Han, bukan anak seorang pengemis atau jembel."

"Tapi caping ini masih bagus, juga kuat. Tak mungkin punya kaum jembel!"

"Kau tak mau mendengar kata-kataku?" sang ayah mengerutkan kening. "Setidak-tidaknya jangan buat ibumu malu, Han Han. Caping itu tak pantas untukmu dan buang saja. Dengar nasihatku!"

"Tidak... jangan, ayah!" sang pemuda tiba-tiba menyambar kembali caping itu. "Aku suka dan jangan caping ini dibuang. Ini barang temuanku!"

"Hm, tapi aku tak suka!" sang ibu tiba-tiba berkelebat, merasa bahwa tenaga puteranya tadi demikian hebat. "Kesinikan dan berikan caping itu, Han Han. Ibumu yang akan menyimpan!"

Han Han tertegun. Ibunya merampas dan mengambil caping itu, berkelebat dan tak lama kemudian sudah membawa ganti sebuah topi indah dari bulu domba, bagus dan mengenakannya pada kepala puteranya itu. Dan ketika Han Han membiarkannya saja dan bertanya apakah ibunya tidak membuang caping itu maka pemuda ini berkerut kecewa.

"Aku harap ibu menepati janji. Itu adalah milikku, barang temuanku. Aku tak suka ibu membuangnya karena aku tentu akan mencari yang lain lagi sebagai gantinya."

"Hm, kau tak usah khawatir. Ibu menyimpannya di kamar ibu, tapi sekarang pakailah ini dan pergilah bersama ayahmu!"

Han Han tak banyak membantah. Beng Tan melihat puteranya itu menunjukkan muka kecewa namun dipendam, sang isteri memberi isyarat dan segeralah sang ayah mengajak puteranya pergi. Dan ketika Han Han mengangguk dan berkelebat bersama ayahnya maka dua laki-laki ini sudah ke tempat Tek-wangwe.

Hartawan itu adalah teman baik Beng Tan dan kini merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh. Sebagai ketua perkumpulan yang disegani maka Tek-wangwe sering memberi sumbangan kepada Hek-yan-pang ini, di samping sebagai jalinan persahabatan juga sekaligus sebagai pelindung kalau orang berani mengganggu hartawan itu. Tek-wangwe memang cukup dermawan meskipun tentu saja kedermawanannya itu bukan tanpa maksud. Sebagai hartawan atau orang kaya yang banyak uangnya hartawan ini harus menjalin hubungan dengan orang-orang pandai.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau kaum hartawan atau bangsawan memiliki sahabat orang-orang kang-ouw atau tokoh-tokoh persilatan. Mereka itu perlu "menempel" karena persahabatan mereka dengan orang-orang kang-ouw atau tokoh-tokoh persilatan tertentu ini memberikan semacam status tambahan kepada diri mereka. Maka ketika Tek-wangwe juga menempel Beng Tan dan dengan sumbangan-sumbangannya yang tetap kepada perkumpulan Hek-yan-pang itu mau tidak mau Beng Tan harus menghargai hartawan itu maka ketika dia tiba di sana, di kota Li-yang, Beng Tan disambut hangat dan penuh hormat.

"Ah, ha-ha, kiranya Hek-yan-pangcu (ketua Hek-yan-pang). Selamat datang, taihiap.... selamat datang. Mari masuk dan duduk di kursi kehormatan!"

Tuan rumah langsung menyambut sendiri kehadiran Beng Tan itu. Semua mata menoleh dan otomatis ayah dan anak menjadi pusat perhatian. Beng Tan tersenyum-senyum dan menjura di depan tuan rumah sementara puteranya tersipu dan sedikit malu. Han Han tak biasa menjadi perhatian demikian banyak orang dan para wanita atau gadis yang duduk di deretan kursi sebelah kiri tiba-tiba berdecak kagum.

Mereka melihat kegagahan dan ketampanan pemuda itu, juga gerak-geriknya yang halus namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat. Sinar mata Han Han yang demikian tajam dan mengandung kekuatan sinkang sungguh tak dapat disembunyikan meskipun pemuda itu berusaha menunduk dan malu-malu. Dan ketika Beng Tan atau sang ayah juga memiliki sinar mata yang sama, tajam dan berkilat meskipun disembunyikan dalam tawadan senyum yang ramah maka semua orang merasakan getaran pengaruh yang didatangkan ayah dan anak ini, apalagi mereka tahu bahwa Beng Tan adalah seorang pria gagah perkasa yang dulu telah menumbangkan Si Golok Maut.

"Terima kasih.... terima kasih...!" Beng Tan membalas tuan rumah dengan tawa yang ramah. "Kami tak membawa apa-apa untukmu, wangwe, melainkan sekedar ucapan panjang umur dan sedikit bungkusan ini. Terimalah, puteraku masih malu-malu namun kau tentu mengenalnya!"

"Ha-ha, ini Beng-kongcu (tuan muda Beng)? Ah, selamat datang pula, kongcu. Dan maaf kalau sambutan kami masih kurang memuaskan!" menjura dan tertawa-tawa di depan pemuda itu tiba-tiba Tek-wangwe memberi isyarat kepada seorang gadis yang muncul mendadak.

Gadis ini tadi bersembunyi di sudut pilar dan kini maju begitu Tek-wangwe memanggil. Agaknya, hartawan ini sudah mengatur itu karena begitu Beng Tan dan Han Han tiba mendadak saja dia sudah didampingi gadis ini, yang bukan lain adalah puterinya sendiri bernama Tek Lian. Han Han menyerahkan kado ulang tahun dan bukan Tek-wangwe yang menerima melainkan puterinya inilah. Dan ketika Tek Lian maju dan menyambut, menjura terlebih dahulu di depan Beng Tan baru kemudian Han Han maka gadis atau puteri Tek-wangwe ini mengeluarkan suaranya yang merdu.

"Beng-taihiap, sebagai puteri ayah aku menghaturkan selamat datang atas kunjungan ini. Terima kasih atas kadonya dan semoga Beng-taihiap dan kongcu sehat-sehat dan betah di tempat kami!"

Beng Tan tertawa. Dia melirik puteranya ketika kado diserahkan, melihat jari-jari mereka bersentuhan dan puteranya itu cepat menarik diri. Ada sesuatu yang agak membuat kening pendekar ini berkerut. Han Han serasa disentuh ular ketika jari-jari lentik Tek Lian menyentuh tangan puteranya. Hm..! Dan ketika Han Han mundur dengan cepat dan Tek Lian tampak tertegun, semburat, maka Beng Tan batuk-batuk dan coba menghilangkan ganjalan tidak enak yang sedikit itu.

"Kami duduk di mana?"

"Ah!" Tek-wangwe cepat sadar. "Duduk di tempat yang telah kami sediakan, taihiap. Mari... mari kursi untuk kalian berdua adalah di atas panggung!"

Beng Tan menggamit puteranya. Han Han tampak semburat pula karena sikapnya tadi diperhatikan sang ayah. Diam-diam Beng Tan berbisik agar puteranya itu bersikap wajar saja. Mereka di rumah orang, mereka adalah tamu. Dan ketika Han Han mengangguk dan tiba-tiba terdengar suara cekikikan mendadak seorang wanita berbaju kuning berkelebat dan menghadang di tengah jalan, ketika ayah dan anak ini siap diantar ke kursi kehormatan oleh hartawan Tek.

"Wangwe, bolehkah aku berkenalan sebentar dengan Hek-yan-pangcu dan puteranya ini? Maaf, bukan untuk mengganggu, melainkan sekedar menyatakan kagum dan ingin berkenalan secara tulus!"

Tek-wangwe mengerutkan kening. Tiba-tiba matanya bersinar tak senang karena itulah Huang-ho Coa-li (Dewi Ular Dari Huang-ho), tamu tak diundang tapi muncul di saat dia merayakan ulang tahun. Namun karena yang dituju adalah Beng Tan dan tamunya itu tampak mengangguk, memberikan isyarat, maka hartawan ini tersenyum dan buru-buru menjura.

"Ah, kiranya Huang-ho Coa-li. Selamat datang, nona. Dan maaf kalau aku lupa mengundangmu!"

"Hi-hik, tak usah basa-basi. Aku datang memang tanpa sepengetahuanmu, wangwe. Dan tak usah khawatir terhadap Beng-taihiap ini. Dia tak akan menuduhmu bergaul dengan orang sesat. Aku datang sekedar ingin melihat keramaian dan kini tiba-tiba tertarik melihat Beng-taihiap dan puteranya ini!"

Sang hartawan merah mukanya. Huang-ho Coa-li dengan sikap dan kata-katanya yang tidak dipikir langsung saja ceplas-ceplos di situ, kesannya kasar dan urakan. Tapi karena wanita itu memang termasuk golongan sesat dan Huang-ho Coa-li sudah lama ingin mengganggu hartawan ini namun terbentur oleh nama besar Hek-yan-pangcu alias Beng Tan maka begitu Beng Tan muncul mendadak saja wanita ini yang sejak tadi menyelinap di deretan kursi wanita sekonyong-konyong ingin cari perkara.

Beng Tan, yang mengenal dan mendengar wanita ini sebagai orang sesat dua tiga tahun belakangan tersenyum saja melihat wanita muda itu bertingkah. Sebagai pria yang kini cukup umur dan matang pengalaman segera dia tahu bahwa maksud dan tujuan Huang-ho Coa-li adalah mencari setori. Jago-jago muda atau orang-orang sesat yang baru muncul memang biasanya begitu. Mereka akan mencari dan membuat gara-gara kalau ada seseorang yang dikatakan lihai, jago dan tak terkalahkan dan biasanya akan menjajal-jajal dulu dalam sebuah pertandingan. Huang-ho Coa-li inipun tentu tak terkecuali.

Namun karena dia tinggal di Hek-yan-pang dan markas perkumpulannya itu dijaga anak-anak murid yang banyak jumlahnya maka mencari atau membuat gara-gara dengannya di dalam perkumpulan tentulah tak berani dilakukan Huang-ho Coa-li ini. Dan keluarnya dia dari markas dianggap satu kesempatan baik oleh orang-orang macam Huang-ho Coa-li itu. Maka ketika wanita itu berkata ingin berkenalan tapi sikap dan kata-katanya sungguh bernada mengejek maka Beng Tan yang tahu seluk-beluk dunia kang-ouw tersenyum saja dan berkata pendek.

"Nona, kami datang sebagai tamu. Kalau kaupun datang sebagai tamu tentunya kita akan menghormati tuan rumah dan menunggu saja acara suguhan apa yang bakal dikeluarkannya. Kalau sekedar berkenalan, tentu kami tak menolak. Tapi kalau ingin lebih tentu saja kami juga akan menyambut tapi biarlah kita nantikan acara itu yang tentu khusus akan dikeluarkan oleh tuan rumah!"

"Hi-hik, pangcu cepat tanggap. Ah, terima kasih, pangcu. Tapi aku sekedar saja ingin berkenalan. Nanti kita tentu bertemu lagi dan sudah lama aku mendengar namamu yang menggetarkan jagad. Terimalah salamku dan selamat bersua!"

Beng Tan mundur. Tiba-tiba wanita itu mengangkat tangannya melepas pukulan sinkang, berkata memberi salam namun sebenarnya menyerang. Dilihat sepintas lalu memang Huang-ho Coa-li ini tampak memberi hormat, karena kedua lengan yang diangkat itu memang seperti orang bersoja namun Beng Tan yang bukan anak kecil ini tahu, tentu saja tidak bodoh. Dan ketika pukulan menyambar dan dia menghindar ke arah kiri, di mana puteranya berada maka cepat dan sambil tertawa dia berkata,

"Han Han, aku tak sanggup menerima kehormatan wanita ini. Biarlah kau yang menerimadan beri salam hormat kembali!”

Han Han mengerutkan kening, Sebagai putera ayahnya yang hebat tentu saja diatahu bahwa ayahnya diserang. Huang-ho Coa-li itu pada dasarnya ingin mencoba ayahnya di balik kata-kata salam. Dan karena pada dasarnya pemuda ini membenci wanita dan tak suka melihat kebrutalan lawan tiba-tiba Han Han maju dan secepat kilat dia menerima pukulan itu, mendengus. "Huang-ho Coa-li, ayah enggan menerimamu. Biarlah aku yang menerima dan terima kasih.... dess!"

Huang-ho Coa-li tiba-tiba mencelat, kaget berteriak panjang dan wanita itu terbanting dan tertumbuk dinding. Han Han rupanya terlalu keras memberi "pelajaran" dan wanita itu menjerit, jatuh terguling-guling. Dan ketika dia muntah darah dan semua orang terkejut, Beng Tan juga sama-sama terkejut maka semua orang tiba-tiba menjadi gaduh dan ribut karena sekali tangkis saja Beng Han atau Han Han ini telah membuat Huang-ho Coa-li luka dalam!

"Ah, tak boleh begitu!" Beng Tan, sang ayah, berkelebat menegur puteranya. Bukan maksudnya untuk melukai atau menciderai lawan. Han Han ternyata terlalu ganas. Maka ketika Beng Tan menyambar dan menahan wanita ini, yang terbatuk dan muntah-muntah maka Beng Tan cepat menotok dan mengeluarkan obat. Namun belum keburu dia memasukkan obat ini ke mulut wanita itu tiba-tiba Huang-ho Coa-li sudah mengeluh dan terkulai pingsan!

Gegerlah tempat itu. Keganasan dan sikap dingin Han Han tiba-tiba membuat semua orang meremang. Tek-wangwe sendiri tertegun karena sekali balas saja Han Han sudah mengeluarkan tangan besi. Atau, mungkin pemuda itu yang belum dapat mengatur pukulannya karena Han Han belum pernah "turun gunung", belum berhadapan dengan orang-orang lain selain ayah atau ibunya sendiri, juga beberapa murid Hek-yan-pang yang tentunya jarang dipertandingkan. Maka begitu Huang-ho Coa-li tak sadarkan diri dan para tamu kaget, ribut, maka Tek-wangwe cepat berlari menghampiri dan ikut menolong Beng Tan yang merah padam menyiumankan wanita itu.

"Maaf..." pendekar ini gemetar. "Han Han terlalu keras, wangwe. Bukan maksudku untuk menyuruhnya begitu. Biar nanti dia kutegur dan kusiumankan dulu wanita ini!"

"Tak apa," sang hartawan pun gugup."Huang-ho Coa-li telah bersikap liar dan menyerangmu duluan, taihiap. Kalau dia bersikap baik-baik dan tidak kasar seperti tadi tentu Beng-kongcu juga tak akan membuatnya begini. Puteramu marah, dan itu wajar. Biarlah menjadi pelajaran baginya agar dapat bersikap sopan di rumah orang!"

Huang-ho Coa-li akhirnya sadar. Beng Tan yang menotok dan menjejalkan due butir obat akhirnya membuat wanita itu siuman. Huang-ho Coa-li membuka mata dan terbelalak ketika melihat Beng Tan. Dia mengeluh dan cepat melompat bangun menepis tangan sang pendekar. Dan ketika wanita itu terhuyung dan terisak memandang Han Han, yang juga sudah berdiri dan di dekat ayahnya maka wanita ini melengking dengan mata berapi-api.

"Hek-yan-pangcu, kau bertanggung jawab atas perbuatan puteramu. Aku tak terima!" dan Huang-ho Coa-li yang menerjang dan menusuk Han Han, sudah mencabut pedangnya tiba-tiba ditangkis Beng Tan yang tak ingin melihat Han Han menurunkan tangan ganas lagi.

Pendekar itu berseru bahwa itu adalah tanggung jawabnya, Huang-ho Coa-li boleh menyerangnya tapi jangan ke Han Han. Dan ketika pedang ditangkis terpental dan Huang-ho Coa-li memekik, hampir terlempar atau terpelanting oleh tamparan lawan maka wanita ini membentak dan maju lagi, bertubi-tubi melepas serangan dan Beng Tan tentu saja mendongkol. Sebenarnya secara baik-baik dia ingin menyelamatkan wanita ini dari ketelengasan puteranya. Dia tak ingin melihat Huang-ho Coa-li terbanting dan terluka lagi oleh balasan puteranya.

Maka ketika dia berkelit dan Han Han dilihatnya sudah memandang beringas, siap menghajar atau menjatuhkan wanita ini lagi maka buru-buru Beng Tan mengebutkan ujung bajunya dan dengan kepandaiannya yang tinggi tiba-tiba pendekar itu telah menggubat dan mematahkan pedang lawan. Lalu begitu lawan terkejut dan memekik, kaget, tiba-tiba Beng Tan telah menggerakkan dua jarinya dan robohlah wanita itu oleh sebuah totokan jarak jauh.

"Bluk!" Huang-ho Coa-li mengerang pendek. Sekarang wanita ini tak dapat menyerang lagi karena dibuat lumpuh tak berdaya. Pedangnyapun dipatahkan dan orang bersorak memuji ketika melihat gerakan ketua Hek-yan-pang itu, yang begitu mudah dan gampang merobohkan lawannya. Dan ketika lawan menangis tapi Beng Tan menggerakkan tangannya lagi, membebaskan totokan maka Huang-ho Coa-li melompat bangun terhuyung menggigil.

"Hek-yan-pangcu, kau telah menanam permusuhan dengan aku. Baiklah, lain kali kita bertemu lagi dan aku pasti membuat perhitungan di kemudian hari!" Wanita itu berkelebat menangis terisak-isak. Huang-ho Coa-li yang tadinya mencari gara-gara mendadak menjadi bahan tertawaan orang ketika meninggalkan tempat itu. Kepandaian dan kelihaian Beng Tan malah mendapat tepuk tangan dan pujian di sana-sini. Tapi ketika Beng Tan menarik napas dan membungkuk di depan Tek-wangwe maka pendekar itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya.

"Tak apa.... tak apa..." sang hartawan malah tertawa gembira. "Sudah lama wanita itu mencoba mengganggu aku, taihiap. Berkali-kali datang dan minta uang namun tak pernah kukabulkan. Sudahlah, sekarang dia mendapat hajaran dan lain kali tentu tak berani datang lagi!"

Beng Tan ditarik ke panggung. Ketua Hek-yan-pang ini digandeng hartawan Tek untuk menduduki kursinya yang terhormat, di atas panggung, duduk bersebelahan dengan tuan rumah yang juga menyiapkan kursinya sendiri. Dan ketika Han Han ditarik ayahnya dan diajak ke tempat itu maka Beng Tan agak tersipu karena tamu-tamu lain yang berdatangan ke situ hanya disambut beberapa pembantu Tek-wangwe ini, tidak seperti ketika dia yang datang dan disambut secara langsung oleh tuan rumah.

"Ah, mereka itu? Ha-ha, biarkan saja, taihiap. Aku memang hanya menyambut tamu-tamuku yang paling penting. Selebihnya, biarlah pembantuku yang mengurus dan aku di sini saja bersamamu!"

"Hm, aku jadi tak enak," Beng Tan merasa lirikan beberapa tamu yang tajam dan tak senang, melihat mereka itu seolah diacuhkan Tek-wangwe. "Kalau kau terlalu berlebihan menyambutku begini tentu aku tak enak duduk di sini, wangwe. Jangan bersikap seperti ini dan lihat itu ada dua pengemis datang!"

Aneh, Tek-wangwe tiba-tiba bangkit berdiri. Para tamu yang berpakaian bagus-bagus dan rata-rata berpakaian perlente tiba-tiba tak seperti ketika melihat dua pengemis yang baru datang itu. Hartawan Tek terkejut dan buru-buru turun, tertawa dan menyambut dan orang akan tercengang keheranan melihat di sebuah pesta ada pengemis masuk, bahkan, disambut tuan rumahnya sendiri. Tapi ketika Tek Lian, puteri Tek-wangwe itu berteriak dan memanggil dua pengemis ini dengan sebutan "suhu" (guru) maka agaknya keheranan atau ketercengangan itu akan sirna.

Dua pengemis ini tertawa-tawa ketika disambut hartawan Tek. Mereka tak membalas ketika tuan rumah membungkuk di depan mereka, karena sudah menoleh dan menyambut Tek Lian yang berlari dan merangkul mereka. Dan ketika Tek-wangwe cengar-cengir sementara dua pengemis itu sudah menepuk-nepuk pundak muridnya maka mereka tiba-tiba tertegun melihat di atas panggung, di kursi kehormatan sudah duduk Beng Tan dan puteranya itu.

"Siapa mereka?" dua pengemis ini bertanya, tak sungkan-sungkan. "Kehormatan apakah yang kau berikan kepadanya, wangwe? Pantaskah mereka duduk di situ?"

"Ah!" Tek-wangwe didahului puterinya. "Itu adalah Beng-taihiap dan puteranya, suhu. Yang terhormat ketua Hek-yan-pang dan Beng-kongcu. Mari, ayah sudah menyiapkan kursi untuk kalian pula dan tinggal beberapa lagi tamu-tamu penting yang belum datang!"

"Hek-yan-pangcu?" pengemis di sebelah kanan tertegun. "Maksudmu Pek-jit Kiam-hiap yang mendampingi isterinya di perkumpulan Walet Hitam itu?"

"Benar, itulah dia, suhu. Dan mari kuperkenalkan. Beng-taihiap baru saja datang dan merobohkan Huang-hoCoa-li!"

"Hm, sombong! Jadi begitukah sikap seorang tamu di rumah orang lain? Wah, tak tahu aturan, Tek Lian. Seharusnya diusir pergi dan tak usah menduduki kursi kehormatan!"

Tek Lian tiba-tiba kaget. Pengemis di sebelah kiri, gurunya nomor dua, tiba-tiba berseru memaki-maki ketua Hek-yan-pang itu, bergerak dan sudah melayang ke atas panggung. Gerakannya gesit dan ringan, luar biasa, tahu-tahu sudah di atas dan siap membentak Beng Tan kenapa membuat onar, merobohkan seorang lain di rumah yang bukan milik sendiri. Tapi ketika Tek Lian berkelebat dan berteriak memanggil gurunya itu, menarik dan menyambar baju gurunya maka pengemis yang tampaknya berangasan itu sudah buru-buru diberitahu.

"Tahan, jangan salah paham. Beng-taihiap justeru menolong muka ayah, suhu. Huang-ho Coa-li membuat onar dan mengganggu mereka ini. Dengarkan ceritaku!" dan ketika Tek Lian buru-buru memberi tahu dan menceritakan peristiwa itu, didengar tapi rupanya disambut kurang baik maka kakek ini terkekeh dan mengebutkan ujung lengan bajunya.

"Ah, begitukah kiranya? Kurang ajar, sungguh Huang-ho Coa-li tak tahu malu. Kalau saja aku sudah datang tentu tak perlu minta pertolongan yang terhormat ketua Hek-yan-pang ini. Hm, aku harus menghaturkan terima kasih kalau begitu, Tek Lian. Kalau begitu aku salah paham!" dan si kakek yang menyeringai dan membungkuk di depan, sudah berada di atas panggung tiba-tiba menjura dan berseru nyaring, "Hek-yan-pangcu, sungguh kebetulan kau datang. Kau telah memberi pelajaran dan mengusir si wanita busuk itu. Tapi sebenarnya di sini ada muridku, tak usah kau berlagak dengan memamerkan kepandaian. Apakah kau kira murid Ji-sin-kai tak mampu menggebah pengacau? Maaf, Hek-yan-pangcu. Kau termasuk lancang meskipun telah menolong Tek-wangwe!" dan bergerak mengebutkan ujung lengan bajunya tiba-tiba kakek itu menyerang dan melepas pukulan sinkang.

"Suhu!"

Pukulan itu tak mungkin ditarik kembali. Ji-sin-kai (Pengemis Sakti Nomor Dua) telah tertawa dan terang-terangan menghantam Beng Tan. Dari ujung bajunya yang apek itu keluar angin menderu dan bau tidak enak.

Beng Tan yang berdiri menyambut pengemis itu tiba-tiba tertawa lebar, tadi terkejut tapi segera tersenyum ketika mendengar bahwa pengemis ini kiranya adalah Ji-sin-kai, dan yang di sana itu tentu Toa-sin-kai, pengemis-pengemis berkepandaian tinggi tapi yang didengarnya sebagai pengemis-pengemis budiman, meskipun wataknya aneh karena dinilai angkuh dan sombong, tak suka mengakui kepandaian orang lain dan diri sendirilah yang dianggap lihai. Maka begitu Ji-sin-kai menyerangnya dan kakek itu terang-terangan melepas pukulan, membentak dan tentu ingin mengujinya maka pria ini tertawa lebar menggerakkan tangan kiri kedepan.

"Sin-kai, jangan salah paham. Aku tidak pamer kepandaian, melainkan Huang-ho Coa-li itulah yang menyerangku habis-habisan. Kalau kau tidak senang dengan perbuatanku tentu saja aku minta maaf, dan selamat berkenalan serta jumpa di sini, plak...!"