Naga Pembunuh Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

NAGA PEMBUNUH
JILID 02
KARYA BATARA
Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"HA-HA-HA, ini anakmu, hujin?" sang nyonya terbelalak. "Wah, sehat dan montok sekali. Semontok ibunya!"

Sang nyonya semburat merah. Suara tawa dan kekeh kurang ajar terdengar di sana-sini, belasan orang itu terbahak- bahak dan satu di antaranya adalah Hu-san, laki-laki yang dulu dihajarnya pingsan itu. Dan ketika Hu-san meminta anak itu diserahkan kepadanya dan laki-laki tinggi besar yang brewokan ini mengangguk menyerahkan anak itu maka Hu-san berkata agar nyonya itu menyerah.

"Anakmu di tangan kami, dan inilah Bin-twako si Harimau Hitam. Menyerahlah baik-baik, hujin. Dan aku tak akan mengingat peristiwa lama kalau kau mau baik-baik bersama kami. Nah, berlututlah, serahkan dirimu!"

"Keparat!" sang nyonya membentak. "Kau berani menculik anakku, Hu-san? Kau minta kubunuh? Serahkan puteraku, dan kaulah yang berlutut minta ampun!"

"Ha-ha, gagah dan berani!" si brewok,yang rupanya disegani dan menjadi pemimpin di situ berseru, mendahului Hu-san. "Wanita yang kau katakan ini hebat sekali,Hu-san, dan cantik, meskipun kelihatan lemah lembut. Ah, aku tak percaya bahwa wanita selembut dan secantik ini dapat membuatmu pingsan!"

"Hm, hati-hati," Hu-san, yang sudah mengenal dan merasakan kelihaian sang nyonya menyelinap di belakang punggung si brewok, melihat wanita itu akan menyambar anaknya. "Aku harus mengakui wanita ini gagah dan berani, Bin-twako. Gerakannya cepat seperti siluman. Kau lindungilah aku kalau dia menyerang!"

"Ha-ha, kau takut? Tak usah takut, di sini ada aku, juga belasan teman yang lain. Kau serahkanlah anak itu dan biar wanita ini kutundukkan sendiri!"

Hu-san menyeringai. Dia menyerahkan anak itu karena saat itu Giam Liong menangis keras-keras. Anak itu tak suka di pondongan laki-laki kasar ini dan Hu-san mencubitnya dengan kejam. Laki-laki itu memang ingin membalas sebagian dendamnya dengan menyakiti si bocah, ingin melihat ibunya terbelalak dan pucat ketakutan.

Tak tahunya Sin-hujin malah melengking dan tiba-tiba berkelebat dengan amat cepatnya ketika Giam Liong hendak diserahkan ke si tinggi besar. Dan ketika si brewok itu terkejut dan berseru mengelak, kaget oleh bayangan si nyonya yang benar saja mirip siluman terbang tahu-tahu Hu-san menjerit karena, serangan si nyonya yang dihindari si brewok mengenai mukanya, sebuah cengkeraman dari sepuluh kuku-kuku tajam.

"Aduh..!" Hu-san menjerit bergulingan. Laki-laki ini melepas Giam Liong dan saat itu sang ibu menyambut, menggerakkan tangan yang lain dan disambarlah Giam Liong dengan cepat. Dan ketika sang anak sudah kembali ke ibunya sementara sang ibu masih tidak puas dengan serangannya ke muka Hu-san maka sebuah tendangan mengiringi gerakannya hingga Hu-san mencelat terguling-guling, membentur pohon.

"Kau binatang tak tahu diri. Enyahlah, dan jangan coba-coba mengganggu anakku dess!"

Semua orang terpukau. Mereka kaget dan kagum oleh gerakan luar biasa dari si nyonya, begitu cepat, begitu mengejutkan. Tapi ketika Hu-san merintih dan mengaduh-aduh, melingkar di sana maka si brewok dan teman-temannya menjadi marah.

"Wanita siluman!" si brewok menggeram. "He, kepung rapat-rapat, kawan-kawan. Jangan sampai lolos dan hati-hati dengan serangannya!" dan kaget tapi juga marah oleh sepak terjang si nyonya, laki-laki ini menggulung lengan bajunya, memperlihatkan pergelangan tangannya yang kuat dan kekar, seperti bambu petung. "Nyonya, kau menghina kami. Hu-san adalah anak buahku. Hayo cepat minta maaf dan berlutut di depan Ang-houw Bin Kiat Tung!"

"Hm, kau...!" si nyonya mendengus. "Jangan coba-coba menggangguku pula, Bin Kiat Tung. Aku tak ada urusan denganmu atau kaupun mengalami nasib sama seperti laki-laki itu. Minggir, kalian jangan menghalangi!"

"Wah, kau begitu sombong? Berani menentang laki-laki sedemikian banyaknya?"

”Hm, jangankan sekian. Seratus orang seperti kalian sanggup kusapu bersih, Bin Kiat Tung. Minggir dan sekali lagi jangan mengganggu aku. Anakku tak suka kalian menggonggong!" dan gugup melihat anaknya menangis dan melengking-lengking, kaget dan takut oleh semuanya itu maka si nyonya membuka bajunya dan apa boleh buat menyumpal mulut anaknya dengan puting buah dada yang segar, tak malu-malu atau segan-segan lagi demi si anak, agar diam. Dan ketika ibu itu menepuk-nepuk pantat anaknya sambil ber-cup-cup agar tidak menangis maka belasan pasang mata melototkan memandang gratis pemandangan luar biasa itu.

"Wah, padat dan penuh gizi sekali. Segar!"

"Ya, dan mau rasanya aku menggantikan anak itu, Sing-twako. Ah, betapa lezat dan nikmatnya!"

"Hm, dan aku siap mati kalau sudah diberi segumpal saja. Huwaduh, tenggorokanku kering, Bin-twako. Aku tiba-tiba saja ingin emik!"

"Ha-ha, aku juga!"

"Dan aku juga...!"

Dan ketika tawa serta suara-suara kurang ajar menjadi saling tindih dan gaduh mengiringi tepukan tangan maka Sin-hujin berkilat dan menyambar-nyambar matanya. Saat itu dia dikepung, ke manapun dia bergerak maka mata lelaki pasti menyorotinya. Dia terpaksa menyusui anaknya karena hanya dengan begitulah puteranya mau diam. Tapi ketika anaknya malah tersedak dan kaget oleh sorak dan tawa itu, melepaskan buah dadanya maka Sin-hujin ini menutup baju dan secepat kilat tangan kirinya bergerak.

"Crep-crep!"

Dua orang roboh menjerit. Tiba-tiba saja dua batang jarum amblas di tenggorokan dua orang itu. Mereka terjungkal dan berteriak sekali, terguling dan seketika tewas! Dan ketika yang lain terkejut dan tentu saja mundur, berteriak tertahan maka Sin-hujin itu sudah berkelebat dan keluar kepungan.

"Siapa mengganggu akan mati seperti itu. Majulah, kalau ingin mendekati maut!"

Gegerlah semua orang. Setelah mereka sadar dan tahu akan kematian temannya tiba-tiba semua orang menjadi marah. Ang-houw (Harimau Merah) Bin Kiat Tung sampai mendelik matanya, lelaki itu terkejut dan marah sekali. Maka ketika si nyonya keluar dan anak buahnya mundur memberi jalan, otomatis, setelah melihat kejadian itu maka laki-laki tinggi besar ini memekik dan menerjang maju.

"Tangkap wanita ini, robohkan dia!"

Sang nyonya mendengus. Dia melihat si tinggi besar sudah menyerang dengan goloknya. Senjata yang lebar dan berat itu mengaung, tanda betapa hebat dan dahsyatnya tenaga si pengayun golok. Tapi ketika diaberkelit lincah dan golok menderu di samping telinga ternyata yang lain maju meluruk dan tombak atau golok-golok lain berseliweran.

"Wut-wut-singgg...!"

Sang nyonya mengerutkan kening. Dia mampu menghindari semua serangan senjata tajam itu tapi anaknya menangis melengking-lengking. Si nyonya terganggu dan apa boleh buat menangkis sebatang golok yang menyambar dari kiri, mementalkannya dan si pemilik golokpun menjerit terpelanting, memberi sebuah jalan dan saat itulah Sin-hujin keluar kepungan untuk kedua kalinya lagi, meletakkan anaknya di atas rumput dan selanjutnya nyonya ini beterbangan di antara senjata-senjata pengeroyoknya yang mengejar, menghalau dan menolak balik semua senjata tajam itu dengan kebutan ujung bajunya.

Lawan sampai terpekik karena hanya dengan kebutan ujung baju itu saja tiba-tiba senjata mereka terpental, persis bertemu lempengan baja atau kipas besi, dari ujung baju si nyonya. Dan ketika semua terkejut dan Ang-houw Bin Kiat Tung sendiri terpekik oleh sebuah tolakan tenaga kebut maka selanjutnya belasan laki-laki kasar itu jatuh bangun dan terpelanting atau terlempar oleh tenaga si nyonya. Kiranya Sin-hujin memiliki sinkang kuat dan angin atau hawa pukulannya itu sanggup menahan belasan senjata tajam, bukan main mengagumkannya. Dan ketika nyonya itu mulai membalas dan Bin Kiat Tung serta teman-temannya dibuat kalang-kabut maka lelaki itu berteriak agar membunuh si bayi yang ada di atas tanah, mengganggu konsentrasi si nyonya.

"Hajar dan bunuh anak laki-laki itu. Kacau perhatian ibunya!"

Dua orang mengangguk. Mereka merasa sependapat dan tertawa girang, melompat dan menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu, bahkan yang kian keras tangisnya karena ditinggal si ibu. Tapi ketika mereka bergerak dan golok terayun ke leher, keji hendak menetak sekonyong-konyong terdengar tawa dingin dan Sin-hujin itu menggerakkan dua sinar hitam ke arah dua laki-laki ini.

"Ya, bunuh anakku, kalau kalian ingin mampus!"

Dua orang itu menjerit. Sama seperti teman mereka yang pertama tadi mendadak mereka berteriakdan terjengkang roboh. Dua jarum hitam itu menembus tenggorokan mereka, amblas dan seketika membuat mereka terguling, tewas dan mukapun segera menjadi kehitaman. Dan ketika dua orang itu roboh dan yang lain tersentak maka Bin Kiat Tung berteriak menyuruh yang lainnya lagi.

"Kutahan wanita ini, hajar dan bunuh bocah itu!"

Empat orang kembali bergerak. Mereka marah dan juga penasaran oleh kegagalan itu. Bin Kiat Tung sudah menerjang dan menahan si nyonya. Menurut perhitungan tentunya si nyonya sibuk dan tak sempat menghalangi mereka, apalagi sekarang mereka maju berempat dan bukannya berdua. Tapi ketika si nyonya membentak dan golok di tangan lawan diterima kedua jarinya, ditekuk dan dihentak ke bawah maka golok itu bengkok sementara tangan si nyonya yang lain mengeluarkan lagi jarum-jarum hitam itu.

"Crep-crep-crep!"

Empat orang roboh berteriak ngeri. Ternyata mereka menjadi korban juga sementara Ang-houw Bin Kiat Tung terpekik melihat goloknya melengkung. Golok itu seperti benda lembek yang begitu gampang dibuat bengkok. Ah! Dan ketika laki-laki itu terkejut dan tertarik maju maka kaki si nyonya bergerak menendar dan laki-laki ini mencelat.

"Dess!" Ang-houw Bin Kiat Tung terlempar. Laki-laki ini berdebuk dan terbanting mengaduh, sadar bahwa dia kiranya berhadapan dengan seorang wanita lihai, buka sembarangan. Tapi ketika dia terhuyun bangun dan melotot gentar, ngeri, maka si nyonya berseru bahwa mereka semua patut dibunuh.

"Tiga kali kalian mengganggu anakku. Cukup, itu sudah lebih dari cukup. Sekarang lihatlah apa yang kupegang dan bersiaplah ke akherat!"

Si Harimau Merah terbelalak. Belum jelas dia melihat tahu-tahu sinar putih berkeredep menyambar. Sinar itu bergerak cepat dan tahu-tahu menuju dirinya, membabat dan melewati tiga orang di depan yang seketika berteriak ngeri. Dan ketika tiga orang itu roboh dan tangan atau kaki mereka beterbangan, entah bagaimana, tahu-tahu sinar putih itu juga sudah menyambar dan membabat si Harimau Merah.

"Crass!" Darah memuncrat tinggi. Si Harimau Merah tak sempat memekik karena tahu-tahu kepalanya putus. Batang kepala itu lepas dari tubuhnya seakan disabet lidah seekor naga, atau mungkin lecutan seekor naga sakti yang sedang marah. Dan ketika empat atau lima tubuh bertumbangan dengan kaki atau tangan putus-putus, terpisah dari tempatnya maka sisanya yang lain terbelalak ngeri dan tiba-tiba menjerit memutar tubuh lari sipat kuping!

"Jangan lari, kalian harus kubunuh.... cras-crass!" tangan dan kaki beterbangan lagi, disusul jerit dan robohnya tubuh-tubuh yang ambruk seperti batang pisang.

Lima laki-laki tiba-tiba sudah menjadi korban lagi dari keganasan sinar putih itu, yang ternyata sebatang golok dan ampuhnya nggegirisi, karena golok itu tak berlepotan darah karena begitu dipenuhi darah tiba-tiba golok ini sudah menghisapnya kering dan bersih, golok yang diamati satu dari dua laki-laki terakhir yang jatuh terduduk, lunglai dan ngeri oleh keberingasan si nyonya yang demikian sadis, sungguh jauh bedanya dengan tubuh atau gerak-geriknya yang lemah lembut itu, meskipun pandangan matanya meliar dan tiba-tiba seolah orang yang tidak waras. Dan ketika golok itu menyambar lagi dan teman laki-laki ini terjengkang dengan kepala putus maka satu dari tujuh belas orang yang masih hidup itu berteriak,

"Giam-to (Golok Maut)...!"

Sang nyonya tertegun. Teriakan atau seruan yang sebenarnya merupakan pengiring bagi kematian laki-laki itu tiba-tiba malah menyelamatkannya. Golok berhenti dan lekat di kulit, tak jadi membabat, bergetar dan pucatlah laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika si nyonya memandang dingin dan golok masih menempel, dingin dan mengeluarkan hawa menyeramkan tiba-tiba lelaki itu sudah meratap.

"Am.... ampun. Aku tak tahu bahwa kau kiranya isteri Si Golok Maut, hujin. Kau kiranya Sin-hujin dari Hek-yan-pang itu. Am.... ampun aku jangan dibunuh!"

Sang nyonya menarik goloknya. Cepat dan luar biasa tahu-tahu senjata itu lenyap di punggung. Dan ketika pandang matanya dingin menusuk dan laki-laki itu rupanya mengenalnya, setelah dia mengeluarkan golok mautnya maka nyonya itu menendang, tertawa aneh.

"Tikus busuk, kau orang pertama yang dapat mengenal aku. Baiklah, kuselamatkan jiwamu. Tapi katakan dulu bagaimana semuanya ini bisa terjadi dan anakku tahu-tahu diculik. dess!"

Laki-laki itu terlempar. Dia mengaduh tapi berseru kegirangan bahwa si nyonya tak membunuhnya. Dia diampuni dan itu berarti umurnya masih panjang. Maka ketika dia meringis bangun dan terhuyung menghampiri nyonya itu, menjatuhkan diri berlutut maka segera dia ditanya bagaimana anak sang hujin tahu-tahu diculik.

"Aku.... aku tak banyak tahu. Tapi Hu-san mengajak Ang-houw Bin Kiat Tung mengganggu dirimu. Selanjutnya kau dihadang di sini, hujin, dan selanjutnya pula kau telah membunuh mereka!"

"Hm, Hu-san? Laki-laki itu?"

"Benar," lawan bicara mengangguk memandang Hu-san yang masih pingsan di tanah, karena laki-laki itulah yang pertama kali diserang si nyonya. "Hu-san inilah yang membawa Bin Kiat Tung kepadamu, hujin. Dan siapa yang membawa anakmu ke sini sesungguhnya aku kurang jelas benar."

"Kalau begitu seret dia ke mari. Aku ingin bertanya!"

Hu-san disiram air dingin. Laki-laki ini memang pingsan dan dia tidak terlibat pertarungan. Itulah sebabnya dia masih hidup dan kini disadarkan. Tapi begitu laki-laki ini siuman dan terkejut melihat Sin-hujin, terbelalak melihat banyaknya mayat malang-melintang di sekitar dirinya tiba-tiba lelaki itu menjerit dan lari lintang-pukang.

"He, kau ke sini!" bayangan Sin-hujin berkelebat. "Berhenti dan jangan lari, orang she Hu. Atau kau mati seperti yang lain-lain ini.... bluk!"

Hu-san roboh tertotok, kaget melengking tinggi dan ambruk di hadapan nyonya itu. Lalu ketika laki-laki ini merintih kesakitan dan meratap berulang-ulang, pucat dan gentar maka Sin-hujin itu menanyainya tentang penculikan anaknya.

"Siapa yang membawa anakku ke sini, dan siapa pula yang membawa orang she Bin itu!"

"Ak.... aku tak tahu!" laki-laki ini pias. "Ampunkan aku, hujin. ampunkan aku!"

"Hm, temanmu itu mengatakan bahwa kaulah yang membawa orang she Bin. Berani kau menyangkal?"

Hu-san terkejut. Baru dia sadar bahwa di situ ada temannya itu. Maka mengeluh dan mengangguk gentar terpaksa dia mengaku.

"Dan siapa yang membawa anakku ke sini!"

"Pa-lopek.” lelaki itu tiba-tiba bersinar. "Dialah yang membawa anakmu, hu-jin, dan dialah yang meracun isterinya pula!"

"Apa?" kening itu terangkat. "Kakek tua bangka itu?"

"Benar, hujin.Dia....dia..."

"Teruskan!" sang nyonya membentak. "Ceritakan jangan terputus-putus, tikus busuk. Atau aku nanti menendangmu dan kau mampus tak dapat bicara!"

Hu-san ketakutan. Akhirnya laki-laki ini menceritakan bahwa kakek Pa itulah yang membawa Giam Liong ke hutan, meracun isterinya dan mengharap mereka semua dapat menangkap si nyonya. Dan ketika Sin-hujin merah padam dan mendengarkan cerita itu maka si nyonya bertanya apa yang menjadi maksud atau tujuan Pa-lopek itu.

"Dia... dia ingin memperisterimu. Kakek itu jatuh cinta kepadamu!"

"Bedebah!" muka itu semakin merah padam. "Kakek itu mau memperisteri aku? Dan untuk itu dia sampai meracun isterinya sendiri? Keparat, katakan di mana kakek jahanam itu sekarang, Hu-san. Atau kau terbang ke akherat!"

"Am.... ampun...!" Hu-san ketakutan. "Tit... tidak, hujin. Jangan bunuh aku. Kakek itu masih bersembunyi di hutan ini. Tadi dia di belakang Bin Kiat Tung dan menggigil di balik pohon besar itu!"

"Hm, kalau begitu kau cari dia. Juga kau!" si nyonya menuding laki-laki pertama. "Cari dan seret kakek itu ke mari, tikus-tikus busuk. Dan jangan coba-coba lari kalau tak ingin kubunuh. Kuberi waktu seperempat jam atau kalian mampus!"

Hu-san dan laki-laki pertama ketakutan. Mereka ngeri dan segera dua laki-laki itu memasuki hutan, mencari dan tak lama kemudian sudah membawa kakek itu. Ternyata benar, Pa-lopek bersembunyi di hutan, jauh di tengah. Dan begitu kakek ini tertangkap dan melolong-lolong melihat begitu banyaknya mayat di situ maka kakek ini ditendang dan Hu-san berusaha mencari muka di depan Sin-hujin, yang matanya seperti mengeluarkan api!

"Katakan dan akui semua perbuatanmu di depan Sin-hujin. Atau aku akan mencekikmu dan kau kubunuh!"

"Ti... tidak. Ampun, Hu-san. ampun!"

"Jangan minta ampun kepadaku, tetapi kepada Sin-hujin.... dess!"

Kakek itu terlempar, jatuh tepat di depan Sin-hujin dan nyonya ini menyambar rambut si kakek, memelintirnya dan berteriak-teriak-lah kakek itu oleh pelintiran si nyonya. Dan ketika Sin-hujin bertanya kenapa kakek itu meracun isterinya, seperti yang dikata Hu-san maka kakek itu menangis.

"Am... ampun. Aku mencintaimu, hu-jin. Aku ingin hidup berdua denganmu. Aku membenci isteriku yang tiba-tiba cerewet. Kalau kau tak suka kepadaku biarlah kutarik niatku, jangan kau membunuhku!"

"Hm, menarik niat setelah meracun isterimu? Menarik niat setelah kau takut kubunuh? Keparat, kau tua bangka tak tahu malu, Pa-lopek. Sungguh menjijikkan dan memuakkan tingkahmu ini. Hayo kubur isterimu itu, dan minta ampun di sana!"

"Ba... baik!"

"Dan kalian!" nyonya itu membalik. "Bersihkan dan kubur semua mayat-mayat ini, Hu-san. Setelah itu ikut aku ke nenek Lui!"

Hu-san mengangguk. Merasa mendapat harapan dan ampunan si nyonya tiba-tiba laki-laki itu sudah bergegas mengumpulkan mayat teman-temannya. Teman satunya membuat lubang dan Hu-sanpun tak lama kemudian sudah membantu. Sebenarnya dua orang itu ngeri dan hampir muntah-muntah oleh pemandangan yang amat mengerikan ini. Kaki dan tangan terpisah di mana-mana, terakhir kepala Bin Kiat Tung tampak menggelinding di bawah semak, bercampur dengan tahi kerbau! Tapi ketika semua itu dilakukan dua orang ini dan menahan muntah mereka terus memasukkan mayat-mayat itu maka Sin-mujin akhirnya menendang Pa-lopek untuk ganti mengubur mayat isterinya.

"Tap.... tapi berjanjilah dulu bahwa kau tidak akan membunuhku, hujin. Bahwa kau akan mengampuniku seperti mengampuni dua orang ini!"

"Hm, aku memang tidak akan membunuhmu. Terlalu kotor tanganku menyentuhmu!"

"Ah, terima kasih, hujin. Kalau begitu terima kasih!" dan si kakek yang mencium serta menjatuhkan diri berlutut di kaki si nyonya akhirnya ditendang dan mencelat lagi, bangun merangkak dan terhuyung berdiri tersenyum-senyum dan tidak ketakutan seperti tadi.

Agaknya janji si nyonya dipercaya penuh, padahal Hu-san dan temannya saling lirik dan curiga. Mata si nyonya menyinarkan nafsu pembunuhan, tak mungkin dipercaya begitu saja. Tapi ketika mereka mengiring dan berdebar melihat semuanya itu maka tiga orang ini akhirnya tiba di rumah nenek Lui yang membujur kaku. Pa-lopek akhirnya diminta mengubur isterinya dan meminta ampun. Kakek itu biasa-biasa saja dan tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Rupanya kakek itu berdarah dingin, atau mungkin tiba-tiba menjadi dingin dan sinis karena maksudnya gagal.

Sin-hujin tak berhasil diraihnya sebagai isteri, sebuah impian yang terlampau muluk! Dan ketika semuanya selesai dan jazad nenek Lui sudah dikuburkan maka Hu-san mendapat isyarat agar membunuh kakek itu, menggorok lehernya!

"Apa?" laki-laki ini terkejut. "Membunuhnya, hujin? Bukankah kau berjanji tak akan membunuhnya?"

"Hm, aku memang tak akan membunuhnya, Hu-san. Tanganku terlampau bersih untuk dikotori darahnya yang jahat. Tapi aku tak berjanji untuk meminjam tangan orang lain, dan kaulah yang kupilih!"

Hu-san terkejut. Akhirnya diasadar bahwa si nyonya memang betul. Pa-lopek tak dibunuh dan justeru dialah yang kini dipinjam. Kakek itu harus menemui kematian, bukan oleh tangan Sin-hujin melainkan oleh tangannya. Dan ketika Pa-lopek terbelalak dan pucat mendengar itu, tersentak, maka laki-laki ini sudah tertawa dan mencabut goloknya.

"Lopek, rupanya kau terlalu banyak dosa. Lihat dan dengar sendiri kata-kata Sin-hujin. Maaf, aku harus mengantar nyawamu ke neraka!"

"Tit.... tidak!" sang kakek tiba-tiba memutar tubuhnya, lari lintang-pukang. "Aku mendapat janji tak akan dibunuh, Hu- san. Aku sudah dinyatakan mendapat ampun!"

"Ha-ha, kau salah mengartikan. Sin-hu-jin memang mengampunimu, lopek. Tapi aku tidak. Dan aku akan membunuhmu!" dan Hu-san yang mengejar serta membentak si kakek agar berhenti tiba-tiba menyusul dan mengayunkan goloknya.

Kakek Pa mengelak namun dia tersandung jatuh, berteriak dan ngeri melihat Hu-san menggerakkan goloknya ke arah leher. Kakek itu menggulingkan tubuh dan golok menghajar tanah, luput. Tapi ketika Hu-san menggeram dan mengejar lagi, membacok, maka si kakek mengeluh dan tahu-tahu lehernya putus.

"Crass!" Darah pun membasahi bumi. Hu-san tertawa bergelak dan puas melaksanakan perintah sang nyonya. Dia merasa mendapat ampun dan kepercayaan. Tapi ketika dia mau menyarungkan goloknya dan berbalik melapor hasil tiba-tiba Sin-hujin berkelebat dan menyuruh dia memotong lidah, dengan goloknya itu!

"Ap.... apa?" lelaki ini pucat, mundur dua tindak. "Mem.... memotong lidahku, hujin? Kau hendak membunuhku?"

"Hm, tidak," sang nyonya menggeleng, tersenyum dingin. "Aku tidak membunuhmu, Hu-san. Hanya memerintahkan kau mengerat lidahmu itu dengan golokmu sendiri. Aku tak membunuhmu kecuali kau membangkang!"

"Tapi hujin mengampuni aku!"

"Benar, dan karena itu kau tidak kubunuh. Tapi sekarang kalian berdua mengenal aku sebagai isteri Si Golok Maut, Hu-san. Dan aku tak suka kalian menceritakan ini kepada orang lain. Aku ingin memotong lidah kalian agar terjamin bahwa kalian tak bercerita pada orang lain!"

"Ah!" dan Hu-san yang terbelalak serta ngeri tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut,menangis. "Aku bersumpah tak akan menceritakan keadaan dirimu kepada orang lain, hujin. Aku bersumpah demi langit dan bumi, juga arwah semua nenek moyangku!"

"Benar," temannya, yang ketakutan dan juga pucat oleh keputusan itu tiba-tiba ikut menjatuhkan diri berlutut, menangis. "Akupun bersumpah seperti itu, hujin. Percayalah bahwa kami berdua tak akan menceritakan dirimu kepada orang lain!"

"Aku tak ingin banyak omong," sang nyonya tiba-tiba berkilat. "Laksanakan perintahku atau kalian mampus, Hu-san. Cepat dan jangan membuat aku marah!"

Hu-san tiba-tiba memekik. Golok yang ada di tangannya tiba-tiba ditusukkan kedepan. Sang nyonya ada didepannya dan laki-laki inipun melompat bangun. Kemarahan dan kengerian akhirnya membuat laki-laki itu nekat, menubruk dan menusuk perut si nyonya dengan bentakan sengit. Tapi ketika nyonya itu mendengus dan tak mengelak, membiarkan golok menusuk perutnya tiba-tiba golok patah dan Hu-san berteriak tinggi.

"Aduh. pletak!"

Kiranya patahan golok menancap di tubuh laki-laki itu sendiri. Dengan gerakan cepat dan luar biasa Sin-hujin menggerakkan kakinya, sedikit saja tapi golok sudah dicungkil ke atas. Dan karena golok menyambar cepat dan ujung yang lancip itu menuju dada maka robohlah Hu-san dengan patahan goloknya sendiri!

"Nah," Sin-hujin menghadapi lawan satunya. "Kau saksi terakhir yang masih hidup, tikus busuk. Tinggal melaksanakan perintahku atau menyusul arwah Hu-san!"

"Ak... aku mau!" laki-laki itu menggigil. "Ak... aku akan melaksanakan perintahmu, hujin. Dan aku akan memotong lidahku!" tapi bingung tak melihat senjata tajam di situ laki-laki ini gemetar, tapi segera ditunjuk si nyonya agar mengambil patahan golok di dada Hu-san.

"Pakai itu, dan kerat lidahmu!"

Laki-laki ini menangis. Akhirnya apa boleh buat dia mencabut patahan golok di dada temannya itu, lalu sekali dia menjulurkan lidah dan mengerat maka lidah-nyapun terpotong, putus. Tapi begitu lidahnya putus maka laki-laki inipun juga ambruk dan roboh pingsan!

"Hm, kurcaci-kurcaci menyebalkan," nyonya ini tertawa dingin, sama sekali tak tergerak oleh tiga tubuh yang malang-melintang itu. "Selamat tinggal, nenek Lui-ma. Dan semoga arwahmu tenang di alam baka!" lalu sekali bergerak dan menyambar bayinya, yang tertidur dan pulas di situ tiba-tiba nyonya ini sudah menghilang dan tidak memperdulikan kakek Pa atau lain-lainnya itu.

* * * * * * *

Hek-yan-pang (Perkumpulan Walet Hitam). Di sini tinggal dua orang gagah yang menjadi tokoh-tokohnya, sepasang suami isteri yang baru setahun menikah dan disegani para penghuninya. Dan bagi para pembaca yang sudah membaca Golok Maut, kisah sebelum kisah ini tentu mengenal siapa dua orang gagah itu, suami isteri lihai yang tinggal dan memimpin perkumpulan Walet Hitam ini.

Benar, mereka adalah Swi Cu dan suaminya, Beng Tan, Ju Beng Tan yang akhirnya dikenal orang sebagai Pek-jit Kiam-hiap (Pendekar Berpedang Matahari), seorang pemuda gagah perkasa yang dulu dipakai oleh istana untuk menandingi dan menghadapi Si Golok Maut Sin Hauw, pembunuh yang membuat geger di istana dan telah menjatuhkan tangan mautnya dengan membunuh-bunuhi ratusan orang. Tak kurang dari sepuluh orang-orang lihai telah dibabat Si Golok Maut ini ketika orang-orang itu membantu istana. Dan ketika Ci-ongya akhirnya terbunuh dan menemui ajal di tangan Si Golok Maut, yang akhirnya juga tewas dan roboh di Bukit Iblis maka sepak terjang atau keganasan si Golok Maut itu menjadi buah bibir.

Beng Tan ditarik ke istana untuk menjaga keselamatan kaisar, juga dua adik tiri kaisar yang bernama Coa-ongya dan Ci-ongya. Tapi ketika Ci-ongya tetap juga binasa dan Golok Maut akhirnya dikejar-kejar, dikeroyok lima ribu orang dipimpin si Kedok Hitam yang misterius maka Golok Maut akhirnya terbunuh dan mengalami nasib mengerikan di Bukit Iblis, mati terpotong-potong.

Memang menyedihkan nasib Si Golok Maut itu. Ajal merenggutnya demikian sadis, padahal dia terikat duel dan janji dengan Ju Beng Tan ini, lawan paling tangguh dan seimbang yang pernah dihadapi. Dan karena Beng Tan akhirnya kecewa dengan kematian Si Golok Maut itu, yang terjadi akibat ketidak setiaan kaisar sendiri dengan kata-katanya maka pemuda ini akhirnya menarik diri dan tak mau lagi bekerja di istana.

Beng Tan, pemuda gagah perkasa itu mengundurkan diri. Pemuda itu mengalami kekecewaan berat, di samping rasa terguncangnya yang hebat oleh kematian Golok Maut dan hadirnya seorang tokoh yang mengejutkan, si Kedok Hitam yang misterius itu. Dan ketika semuanya berakhir namun pemuda ini terpukul oleh sesuatu yang amat mengguncangkan maka Beng Tan mencoba melupakan itu dengan tinggal di Hek-yan-pang.

Sebenarnya, perkumpulan ini adalah milik isterinya, bukan milik pemuda itu. Namun karena pemuda itu menjadi suami Swi Cu dan Swi Cu adalah tokoh pengganti setelah sucinya (kakak seperguruan perempuan) Wi Hong maka pemuda itu otomatis diangkat sebagai ketua dan Beng Tan pun sebenarnya bukan laki-laki asing bagi anggauta atau penghuni Hek-yan-pang.

Pemuda ini telah dua tiga kali menolong perkumpulan itu dari sergapan Si Golok Maut, yakni ketika Golok Maut mencari dan memasuki perkumpulan itu yang menyembunyikan Ci Fang, putera mendiang Ci-ongya yang akhirnya tewas terbunuh. Dan karena Beng Tan telah dua atau tiga kali menyelamatkan perkumpulan ini maka hadirnya pemuda itu di perkumpulan Walet Hitam dapat diterima baik-baik, apalagi setelah pemuda itu menikah dengan Swi Cu, gadis yang dulu menjadi hu-pangcu (wakil ketua) di perkumpulan ini.

Sebenarnya, setahun dua yang lalu Hek-yan-pang tak boleh dimasuki lelaki. Perkumpulan ini amat keras menjaga peraturannya yang sudah puluhan tahun. Siapa pun yang berani datang, asal laki-laki, tentu dibunuh. Tapi ketika Golok Maut datang dan mengobrak-abrik perkumpulan itu maka peraturan yang ketat dijalankan bertahun-tahun tiba-tiba saja hancur berserpihan seolah kain lapuk ditiup angin kencang.

Dulu Hek-yan-pang amat keras dan membenci laki-laki. Dulu perkumpulan ini tak mengijinkan laki-laki masuk dan berbuat seenaknya. Tapi ketika Golok Maut dapat keluar atau masuk sesukanya, karena tak ada seorangpun yang dapat menandingi tokoh itu maka Hek-yan-pang roboh pamornya dan celaka sekali ketua mereka yang cantik, Wi Hong, bahkan jatuh cinta dan bermesraan dengan manusia pembunuh itu. Dan akibat dari semuanya itu ketua mereka hamil!

Para anggauta Hek-yan-pang terguncang. Mereka benar-benar terpukul. Bayangkan, ketua mereka yang amat keras dan membenci murid-murid yang berjina ternyata telah melanggar larangan itu sendiri. Sang ketua galang-gulung dengan Si Golok Maut dan hamil, padahal belum menikah. Tapi karena yang melakukan itu adalah tokoh mereka sendiri dan ada semacam "undang-undang tak tertulis" bahwa apa yang dilakukan tokoh tak perlu dipergunjingkan lama-lama maka anak murid Hek-yan-pang pun mengurut dada meskipun beberapa di antara mereka, terutama yang dulu kena hukum akibat jina merasa marah dan tidak puas. Maklumlah, ini tidak adil! Namun, apa yang dapat mereka lakukan?

Ketua Hek-yan-pang itu sudah tak ada di situ lagi. Sang ketua yang lama menghilang dan telah diganti sumoinya (adik seperguruan perempuan) itu, Swi Cu, gadis yang tak kalah lihai dengan sucinya dan memiliki Ang-in-kang (Pukulan Awan Merah) di samping ilmu pedang Angin Kiam-sut (Ilmu Pedang Awan Merah). Dan karena pimpinan kini sudah berganti orang dan Swi Cu memimpin bersama suaminya maka beberapa perobahan mulai dilakukan dan anak-anak murid Walet Hitam girang.

Pertama, mereka boleh berhubungan dengan lelaki. Ehm! Lelaki boleh memasuki markas Hek-yan-pang dan siapa yang hendak menjadi murid diterima. Hek-yan-pang tidak lagi merupakan perkumpulan yang dihuni wanita-wanita saja melainkan juga lelaki atau pemuda-pemuda tegap yang menjadi murid di situ. Dan peraturan ini tentu saja menggembirakan murid-murid perempuan.

Betapa tidak? Mereka telah bertahun-tahun memendam semacam perasaan rindu terhadap lelaki. Ada semacam perasaan atau hasrat ingin bermanja-manja dan dilindungi lelaki. Kebekuan yang ditrapkan ketua lama terasa menyiksa. Itulah sebabnya ketika beberapa anak murid perempuan merasa tak tahan dan "main-main" di luar, berhubungan dengan lelaki tiba-tiba saja anak murid yang lain merasa iri dan melapor pada ketuanya.

Dan Wi Hong ketua yang lama itu memberi hukuman keras. Ada murid yang terpaksa dihukum kurung seumur hidup, ada pula yang dibunuh karena tak dapat meninggalkan kekas ihnya, ketika kekas ihnya itu masuk dan menyusul. Dan ketika peristiwa-peristiwa lain mengguncangkan perkumpulan itu namun dapat diredam, eh... mendadak sang ketua sendiri jatuh cinta kepada Golok Maut dan berhubungan intim!

Tapi, ah, itu sudah lewat. Dalam malu dan bingungnya sang ketua lama sudah meninggalkan perkumpulan. Sumoinya duduk menggantikan dan Hek-yan-pang sudah dilindungi pula oleh seorang pemuda gagah perkasa yang bukan lain Ju Beng Tan adanya itu. Pemuda ini amat lihai, dia adalah murid atau setidak-tidaknya orang yang menganggap diri sebagai murid dari manusia maha sakti Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang misterius itu. Dan karena pemuda ini amat hebat dan dua ilmunya amat ditakuti lawan maupun kawan maka Pek-lui-ciang (Tangan Kilat) dan Pek-jit Kiam-sutnya (Ilmu Pedang Matahari) cukup membuat namanya dimalui.

Pemuda ini memang luar biasa. Dulu, setahun yang lalu ketika tak ada seorang tokoh pun yang mampu menandingi Golok Maut maka pemuda inilah yang muncul. Beng Tan inilah yang mampu bertanding seru dengan tokoh pembunuh itu. Di Hek-yan-pang sendiri pernah dua orang ini bertarung sehari semalam, dengan kesudahan masing-masing sama roboh dan kehabisan tenaga. Dan ketika keduanya hendak melanjutkan setelah beristirahat sejenak tiba-tiba Bu-beng Sian-su datang dan melerai, memisah dua orang itu. Dan Beng Tan menjadi tokoh idaman yang diam-diam digandrungi banyak murid-murid perempuan Hek-yan-pang.

Namun pemuda itu telah memilih. Swi Cu, sang wakil ketua, telah menjatuhkan hatinya. Pemuda ini tak bertepuk sebelah tangan karena sang gadispun menyambut. Mereka akhirnya menikah dan menetap di Hek-yan-pang itu, setelah melalui dan mengalami beberapa kejadian pahit getir yang membuat keduanya semakin dewasa dan matang, juga tentu saja semakin dekat dan mesra satu sama lain. Dan ketika pemuda itu menetap dan tinggal bersama anak-anak murid Hek-yan-pang maka Beng Tan secara resmi ditunjuk untuk menjadi ketua disitu, sang isteri mewakili.

"Aku masih di bawahmu, dan kau jauh lebih lihai. Kau pimpinlah perkumpulan ini ke arah yang lebih baik, Tan-ko. Aku mendampingi dan cukup sebagai wakil ketua saja!"

"Hm, mana mungkin? Anggauta mu semua perempuan, Cu-moi. Dan aku tak biasa bergaul dengan begitu banyak wanita. Aku kikuk, sebaiknya aku saja sebagai pendamping atau penasihat, pelindung!"

"Tidak, semua anggautaku sudah menyatakan persetujuannya, Tan-ko. Kau menjadi pemimpin dan kami anak buahmu!"

"Hush, kau bukan anak buah, kau isteri!"

"Mmmm.... ya, begitu maksudku. Pokoknya kau di atas dan aku di bawah!"

"Eit, bawah mana? Bawah kasur? Jangan macam-macam, ini bukan gurauan, Cu-moi. Ini adalah warisan para leluhur tetau tetua terdahulu!"

"Ih!" sang isteri cemberut, merasa salah omong. "Maksudku tentu saja bukan bawah kasur, Tan-ko, melainkan di bawahmu dalam arti kata jabatan. Semua anggauta sudah menyatakan persetujuannya untuk kau pimpin!"

"Tapi Hek-yan-pang warisan guru dan nenek-nenek gurumu. Aku bisa kena kutuk!"

"Tidak, kita bisa bersembahyang di abu leluhur. Para guru dan arwah pendiri Hek-yan-pang tentu tahu bahwa tanpa kau di sini tentu perkumpulan ini sudah hancur. Ingat saja ketika kami diserang Golok Maut, dan ingat juga ketika beberapa orang sesat mencoba merusak perkumpulan ini!"

"Hm-hm, baiklah," sang suami akhirnya mengangguk-angguk, menarik lengan isterinya itu. "Tapi mengajari murid-murid wanita tak mau aku, Cu-moi. Kaulah yang tetap berhubungan dengan mereka dan aku hanya dari luar!"

Sang isteri tersenyum. Tentu saja dia mengangguk dan geli oleh permintaan suaminya itu. Dan lagi, mana mungkin dia membiarkan suaminya mengajari murid-murid perempuan? Ah, itu urusannya. Suaminya adalah miliknya! Dan ketika Beng Tan setuju dan memimpin di situ maka pemuda ini mengusulkan untuk menerima murid laki-laki.

"Apa? Laki-laki? Eh, memasukkan buaya kalau begitu, koko. Jangan! Bisa tak keruan jadinya murid-murid perempuan kita nanti!"

"Itulah..." Beng Tan meraih tangan isterinya ini. "Ada sesuatu yang hendak kubicarakan, Cu-moi. Dan justeru sesuatu inilah yang amat penting!" dan membiarkan isterinya terbelalak sejenak pemuda ini lalu mengajaknya duduk. "Kau tentu ingin mendengar, bukan?"

"Ya." "Nah, ketahuilah," pemuda ini sudah mulai membuka jalan pikirannya. "Aku melihat adanya sesuatu yang membuat murid-murid Hek-yan-pang gelisah, Cu-moi. Dan itu adalah karena mereka tak ada yang menyanding. Jelasnya, beberapa mata kulihat iri memandangmu!"

"Iri? Murid-muridku sendiri?"

"Hm!" pemuda ini semburat. "Sebagai lelaki aku dapat melihat itu, Cu-moi, dan sebagai perempuan agaknya kau tidak. Benar, murid-murid Hek-yan-pang iri memandangmu, dan itu kulihat jelas!"

"Soal apa? Tentang apa?"

"Tentang kita!"

"Kita?"

"Ya, kita, Cu-moi. Kebahagiaan yang kita peroleh ini, pernikahan kita!"

"Aku tidak mengerti," sang isteri mengerutkan kening. "Apakah maksudmu itu mereka ingin menggantikan aku, koko? Mau bercokol dan duduk sebagai hu-pang-cu?"

"Hm, salah, bukan begitu. Maksudku, hmm.... mereka itu juga ingin kawin, menikah!"

"Hah?"

"Benar, mereka ingin seperti kita, Cu-moi. Murid-murid Hek-yan-pang itu butuh laki-laki dan pendamping!"

"Ah, hi-hik!" Swi Cu tiba-tiba tertawa, lenyap kekagetannya. "Kukira apa, koko. Tak tahunya itu. Ih, salah. Semua murid- murid perempuan di sini sudah biasa hidup sesama jenis dan tidak memikirkan laki-laki!"

"Tapi mereka tetap manusia, Cu-moi. Mereka iri dan ingin menikah seperti kita!"

"Tak mungkin, biar kutanya mereka!" dan Swi Cu yang berkelebat dan sudah meninggalkan suaminya sambil terkekeh lalu memanggil semua murid-murid Hekyan-pang, ditanya satu per satu dan apakah mereka mau kawin, pertanyaan yang tentu saja mengejutkan murid-murid itu dan Beng Tan sendiri sampai terhenyak.

Pemuda ini pucat dan bingung sekali. Swi Cu tahu-tahu bersikap seperti itu, memanggil semua murid dan menanyai mereka, tentu saja tak ada yang mengaku! Dan ketika Swi Cu terkekeh dan kembali berkelebat di depan suaminya maka gadis, eh... nyonya muda ini berkacak pinggang.

"Lihat, penglihatanmu keliru, koko. Mereka tak ada yang ingin kawin, semua murid Hek-yan-pang tak menghendaki adanya laki-laki, kecuali kau disini!"

"Tapi... tapi..." sang pemuda gugup. "Mata hatiku melihat itu, Cu-moi. Dan tentu saja murid-murid itu tak ada yang mengaku. Mereka perempuan, malu!"

"Hm, tidak. Di sini sudah dilatih untuk bersikap jujur, koko. Siapapun yang ingin bicara dan mau melakukan sesuatu dipersilahkan bicara. Kau terlalu berlebihan!"

"Ah, tidak. Aku serius!" tapi ketika sang isteri terkekeh dan meninggalkannya maka Beng Tan termangu dan tak berdaya, bingung dan tak tahu harus berbuat apa karena sesungguhnya gejala-gejala itu dilihatnya jelas. Banyak murid-murid Hek-yan-pang yang memandangnya dengan pandangan aneh, dan satu di antaranya adalah Ki Bi! Dan ketika pemuda itu tergetar dan pucat membayangkan ini maka teringatlah dia akan kejadian beberapa hari yang lalu.

Waktu itu, untuk sesuatu keperluan di luar Swi Cu meninggalkan Hek-yan-pang. Isterinya itu mengajak enam murid yang lain karena mereka membutuhkan bahan makanan untuk semua penghuni. Beras dan ransum-ransum lain habis, persediaan tinggal menipis. Dan ketika isterinya pergi untuk dua tiga hari maka terjadilah peristiwa malam itu yang membuat Beng Tan terguncang.

Ki Bi, murid pertama di situ tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Saat itu dia sedang siulian atau duduk bersamadhi untuk mengembalikan tenaga. Empat jam sudah dia berlatih dan Beng Tan beristirahat, ingin memulihkan tenaga. Maka ketika pintu kamar diketuk dan Beng Tan heran serta terkejut bagaimana malam-malam begitu ada anak murid yang mendatanginya di kamar maka Beng Tan bertanya siapa itu dan ada keperluan apa.

"Aku Ki Bi... aku aku ingin menghadap pangcu (ketua)."

Beng Tan tertegun. Cepat dia menyuruh gadis itu masuk dan Beng Tan teringat wajah Ki Bi yang cantik dan manis. Gadis ini adalah murid nomor satu di situ dan kepandaiannyapun setingkat di bawah isterinya. Ki Bi selama ini dikenalnya sebagai gadis yang lemah lembut dan gemulai, meskipun tentu saja di balik semua kelemah-lembutannya itu Ki Bi adalah gadis yang berkepandaian tinggi.

Gadis ini mahir menguasai Ang-in Kiam-sut dan hanya dalam pukulan Ang-in-kang atau Pukulan Awan Merah itu dia masih kalah dengan Swi Cu, karena Swi Cu memiliki sinkang setingkat di atas murid utama ini. Maka ketika Beng Tan menyuruh masuk dan tak bercuriga apa-apa, karena biasanya gadis itu juga tak berbuat apa-apa maka Beng Tan tersentak ketika tiba-tiba gadis itu masuk dan menjatuhkan diri berlutut dengan pakaian yang tembus pandang, basah kuyup!

"Ampun...!" gadis itu menggigil. "Aku... aku masuk mengganggumu, pangcu. Aku habis bertempur dengan seseorang dan jatuh ke telaga!"

"Bertempur dengan seseorang? Jatuh di telaga?"

"Benar," gadis itu tiba-tiba menangis. "Aku menghadapi lawan tangguh, pangcu. Dan aku kalah. Musuh memasuki tempat ini dan karena kuanggap kuat maka pangcu kuganggu!"

"Ah!" Beng Tan meloncat dari atas pembaringannya. "Siapa dia itu, Ki Bi? Dari mana?"

"Aku tak tahu, tapi... tapi dia amat kuat!"

"Dan kau tidak membunyikan tanda bahaya!"

"Maaf, aku tak berani mengganggu murid-murid yang lain, pangcu. Aku ingin agar pangcu sendiri yang menangani dan membekuk penjahat itu!"

"Di mana dia!"

"Memasuki lorong bawah tanah."

"Ah, mari kita kejar, Ki Bi. Dan biar kutangkap!"

"Nanti dulu!" Ki Bi tiba-tiba meloncat bangun, tubuhnya yang berpakaian tipis dan tembus pandang membuat darah Beng Tan tersirap. "Aku juga ikut, pangcu. Dan jangan tinggalkan aku. Aku takut!"

"Hm, marilah!" dan Beng Tan yang menyambar serta menarik gadis ini lalu menekan debaran jantungnya lagi dan berhasil menguasai diri. Kalau saja dia tidak mendapat laporan akan adanya musuh yang datang tentu dia akan menegur dan memaki Ki Bi kenapa berpakaian seperti itu. Hampir seluruh lekuk-lengkung gadis itu tampak, tercetak ketat karena pakaian Ki Bi pun basah kuyup. Pemandangan ini cukup membuat darah lelaki tergetar dan Beng Tan juga begitu.

Namun karena dia adalah pemuda yang berbatin bersih dan Beng Tan bukanlah pemuda hidung belang maka keadaan Ki Bi yang seperti itu hanya sempat mengguncangnya sejenak tapi tidak untuk seterusnya. Pemuda ini berhasil menguasai dirinya dan rangsangan nafsu yang menggodanya itu cepat dapat dipadamkan. Beng Tan sudah bergerak dan berkelebatan menuju ruangan bawah tanah. Ruangan itu adalah penjara dan biasanya dipergunakan untuk menghukum anak-anak murid yang bersalah. Dan ketika Beng Tan mulai memasuki ruangan ini sementara Ki Bi ditarik dan selalu berada di sampingnya maka Ki Bi menggigil ketika mereka mulai berada diruangan yang gelap.

"Ki Bi, buatlah obor. Kita lacak jejak orang itu!"

"Ah, tidak, jangan pangcu, musuh nanti lari. Sebaiknya biar begini saja dan kita tangkap secara diam-diam!"

"Hm, begitukah? Baik!" dan Beng Tan yang tidak bercuriga dan menganggap benar lalu menarik Ki Bi dan bersama wanita itu sudah memasuki lorong bawah tanah.

Namun Ki Bi bersikap aneh. Wanita ini tiba-tiba mendesah, gugup dan kelihatannya tak keruan. Beng Tan harus dua kali berhimpitan badan ketika melalui lorong yang sempit, merasa betapa gadis itu berdekatan muka dan pipi mereka nyaris berciuman! Pemuda ini harus menahan napas karena napas Ki Bi justeru menerjang mukanya, panas dan aneh. Dan ketika Beng Tan diganggu perasaan tak enak dan cepat menjauhkan diri maka selanjutnya mereka sudah keluar masuk ruangan bawah tanah itu namun bayangan musuh yang dicari tak kelihatan batang hidungnya.

"Benarkah dia memasuki ruangan ini? Atau sudah lari?"

"Tak mungkin, musuh itu mendekam di sini, pangcu. Dan aku tahu bahwa dia belum keluar!"

"Tapi kau tadi ke kamarku!"

"Benar, tapi kawat yang kuletakkan di depan pintu masuk tadi juga masih tak berubah, pangcu. Benda itu masih di sana dan pangcu sendiri tahu!"

"Hm, betul juga. Kalau begitu mari terus masuk!" dan Beng Tan yang berindap serta berhati-hati melanjutkan langkahnya lalu memeriksa ruangan demi ruangan. Tinggal empat ruangan lagi yang akan diperiksa dan Ki Bi tampak tegang sekali. Beng Tan merasa aneh tapi tidak heran. Mereka sedang mencari musuh, melacak jejaknya. Tapi bahwa Ki Bi tampak demikian ketakutan dan napasnya memburu, hal yang dirasa aneh maka Beng Tan berkata bahwa gadis itu tak usah terlalu ketakutan.

"Aku ada di sini, di depan. Kalau musuh menyerang maka akulah yang lebih dulu terkena. Kenapa kau demikian gelisah dan ketakutan, Ki Bi? Mana itu keberanianmu sebagai murid utama Hek-yan-pang?"

"Maaf," wanita ini menggigil, tersedak. "Ak.... aku hanya tegang, pangcu, bukan takut. Aku tegang bahwa musuh yang kita cari itu belum ketemu!"

"Hm, pasti ketemu kalau benar-benar ada di ruangan bawah tanah ini. Tinggal empat ruangan lagi yang kita periksa, Ki Bi. Dan kalau betul dia di situ tentu akan kita dapatkan!"

Ki Bi tak menjawab. Wanita ini sekarang mencengkeram lengan Beng Tan erat-erat. Lengan yang lembut namun terasa panas itu menjalar juga di tubuh Beng Tan. Pemuda ini merasa heran dan ganjil kenapa lengan wanita itu seperti terbakar, layaknya seperti orang demam! Tapi karena mereka berada di ruangan bawah tanah dan ketegangan yang memuncak memang bisa saja membawa seseorang ke dalam perasaan yang tinggi maka Beng Tan diam saja ketika mereka mulai mendekati ruangan pertama, ruangan yang mulai remang-remang karena mendapat sedikit cahaya bulan, dari celah-celah batu di atas sana.

"Ih!" Ki Bi berteriak. "Ular, pangcu. Ada ular di sini!"

Beng Tan bergerak cepat. Entah dari mana datangnya tiba-tiba seekor ular melejit dan terbang di mukanya. Ular itu menyerang Ki Bi dan wanita itu berteriak, kaget. Tapi ketika Beng Tan berhasil menangkap dan meremas kepalanya, sementara Ki Bi menabrak dan menumbuk dinding batu maka baju wanita itu sobek dan sebagian pundaknya yang mulus putih kelihatan.

"Bret!" Suara ini membuat Beng Tan tertegun. Dia semburat merah menyaksikan pundak yang merangsang itu. Berada berduaan saja dengan seorang wanita cantik macam Ki Bi memang mudah menimbulkan bayangan macam-macam, apalagi Ki Bi dengan pakaian seperti itu, masih tembus pandang dan basah oleh air. Wanita itu tak sempat berganti pakaian karena Beng Tan mengajaknya ke situ, mengejar musuh. Tapi karena Beng Tan adalah pemuda berbatin bersih dan betapapun pemandangan itu coba membangkitkan berahinya maka pemuda ini berhasil menekan debaran jantungnya dengan memberikan baju luarnya.

"Ki Bi, kau bisa kedinginan. Pakailah bajuku, dan jangan biarkan pundakmu terbuka."

Ki Bi mengeluh aneh. Beng Tan tak melihat pandangan kecewa karena pemuda itu memang tidak berpikiran yang macam-macam. Beng Tan terlalu bersih untuk menduga yang tidak-tidak. Dan ketika Ki Bi mengucap terima kasih dan mereka menuju ke ruangan nomor dua maka di sini terjadi lagi gangguan lain. Beng Tan yang siap memasuki pintu ruangan mendadak mendengar kesiur angin dingin. Dari belakangnya menyambar belasan sinar merah, atau cahaya yang kemerah-merahan. Dan ketika Beng Tan tentu saja terkejut dan menyampok, membentak perlahan maka sinar-sinar merah itu mendadak saja terpental atau tertolak ke arah Ki Bi.

"Aduh, kelabang...!"

Beng Tan terkejut. Tentu saja pemuda ini membelalakkan mata karena sinar-sinar merah yang disampoknya tadi adalah kelabang-kelabang keparat. Binatang itu terpental dan berjatuhan di tubuh Ki Bi, masuk dan menggigit serta menyelinap di balik pakaian wanita itu. Kontan Ki Bi menjerit-jerit dan melepas seluruh pakaian luarnya, hal yang membuat Beng Tan terkesiap. Dan ketika wanita itu berlarian ke sana kemari dan Beng Tan melihat betapa tubuh yang indah menggairahkan itu bergerak atau berguncang ke sana ke mari maka Ki Bi akhirnya menubruk dan menjerit minta diselamatkan!

"Aduh, tolong, pangcu.... tolong...! Ada kelabang memasuki pahaku!"

Beng Tan tersirap. Ki Bi hendak membuka atau melepas pakaian dalamnya, padahal itu adalah satu-satunya sisa terakhir yang menutupi tubuh wanita itu. Maka begitu Ki Bi berteriak dan seekor kelabang memang benar menggigit pahanya, sedikit di bawah daerah rawan maka Beng Tan membungkuk dan membentak menjepit kelabang jahanam itu, meremasnya hancur.

"Bedebah terkutuk!"

Ki Bi mengeluarkan keluhan panjang. Akhirnya wanita ini roboh dan menangis di dada Beng Tan. Beng Tan telah menahan gerakan tangannya tadi agar tidak membuka atau melepas pakaian dalam itu. Bayangkan, celana dalam Ki Bi akan dicopot. Beng Tan bisa mati kaku melihatnya! Tapi ketika pemuda itu telah meremas hancur dan kelabang itu dibuang dan diinjak maka dengan cepat kelabang-kelabang lain yang menyusup atau bersembunyi nakal di tubuh gadis ini sudah dibanting atau ditarik mampus.

"Sudahlah, sudah....!" Beng Tan menahan debaran jantungnya yang tak keruan. "Kelabang-kelabangitu sudah kubunuh semua, Ki Bi. Kini kau tak apa-apa dan selamat!"

"Ooohhh...!" wanita itu mengeluh panjang. "Binatang-binatang terkutuk itu sudah tak ada lagi, pangcu? Mereka tak menempel lagi di tubuhku?"

"Tidak, tubuhmu sudah bersih. Lihatlah."

"Aku tak berani lihat!" wanita ini mendekap mukanya. "Aku jijik, pangcu. Aku ngeri. Dan ah.... rasanya di dadaku ada seekor!"

Beng Tan terkejut. Di dada wanita itu tiba-tiba saja memang benar ada seekor kelabang yang "nongkrong" dengan asyik. Ki Bi tersentak dan tentu saja menjerit kaget. Baju di bagian itu dibuka dan wanita inipun kontan menjerit. Beng Tan mengeluarkan seruan tertahan karena "sepasang bola" bergoyang lebar, padat dan berisi, montok sekali! Dan ketika Ki Bi menjerit dan berteriak tak keruan, lari dan menubruk Beng Tan maka Beng Tan pucat dan merah oleh pemandangan yang tidak disangka-sangka itu, milik Ki Bi yang amat pribadi!

"Ah, jahanam keparat!" Beng Tan menotok dan menampar hancur kelabang itu. "Sudah kubunuh, Ki Bi. Sudah kulempar mampus. Jangan berteriak-teriak dan ketakutan seperti ini. Pakai kembali bajumu!"

"Tidak.... tidak!" wanita ini histeris ketakutan. "Aku tidak berani memakai bajuku,pangcu. Aku tidak berani melihat kelabang-kelabang itu. Kau periksalah semua tubuhku atau aku akan lari-lari telanjang bulat disini!"

"Ki Bi!" Beng Tan membentak. "Apa kau bilang? Kau gila? Jangan melepas semua pakaianmu, tahan dan lihat bahwa kau benar-benar sudah tidak apa-apa... plak!" dan Beng Tan yang terpaksa memukul atau menampar gadis itu akhirnya membuat Ki Bi terbanting roboh.

Gadis ini mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Beng Tan maju berlutut, membebaskan totokan atau tamparannya tadi. Dan ketika pemuda itu menghibur dengan kata-kata gemetar karena apa yang dilihat tadi sungguh mengguncang perasaannya maka Ki Bidi minta bangun berdiri dan mengenakan bajunya itu.

"Sudah tidak ada apa-apa lagi. Bangunlah, dan bagaimana binatang-binatang itu tiba-tiba saja ada di sini!"

"Aku takut, ngeri..." Ki Bi menangis. "Aku tak tahu bagaimana binatang-binatang itu ada di s ini, pangcu. Mungkin saja. mungkin saja keparat itu yang melemparnya!"

Beng Tan tertegun. Tiba-tiba dia teringat bahwa di situ masih ada musuh yang harus dicari-cari. Mereka belum mendapatkan musuh itu dan Beng Tan membuang semua kenangan yang dilihat. Tapi karena pemandangan tadi amatlah memukau dan darah mudanya bergolak cepat, panas, maka Beng Tan tak semudah itu menindas perasaannya. Benda pribadi yang dimiliki Ki Bi itu amat mengganggunya, demikian mengganggu hingga tak dapat dilupakannya!

Tapi karena Beng Tan adalah pemuda berwatak teguh dan lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan diri bahwa dia bukanlah hidung belang atau mata keranjang maka akhirnya Beng Tan mampu menguasai dirinya itu dan Ki Bi tertegun melihat Beng Tan sudah menyambar lengannya tanpa perasaan, tenang dan tidak terpengaruh!

"Ki Bi, kau benar, musuh masih ada di sini. Marilah kita lanjutkan dan tinggal dua ruangan yang harus kita periksa!"

Ki Bi memejamkan mata. Tiba-tiba kekecewaan hebat membayang di wajah gadis itu namun sayang Beng Tan lagi-lagi tak melihatnya. Beng Tan tak tahu betapa kecewa dan gemasnya hati gadis ini, juga malu, disamping kagum. Dan ketika Beng Tan mengajak gadis itu ke kamar terakhir maka Beng Tan sudah bersiap-siap ketika tiba-tiba Ki Bi tersentak dan mengeluarkan jerit tertahan.

"Ada gerakan di atas!"

Beng Tan terkejut. Suara gemuruh tiba-tiba menyentakkannya dari perhatian ke depan. Dia sedang memperhatikan pintu ruangan itu karena siapa tahu musuh tiba-tiba muncul dari sana, menyerang. Tapi ketika justeru Ki Bi berteriak dan menuding ke atas, atap atau langit-langit ruangan itu jebol maka Beng Tan terperanjat menggerakkan tangannya keatas.

"Bumm!"

Suara itu disusul jatuhnya empat batu besar. Beng Tan berteriak karena Ki Bi tak cepat menghindar, menjerit dan tertimpa batu-batu itu. Dan karena saat itu Beng Tan meloncat ke kiri dan mengira Ki Bi juga meloncat mengikutinya maka pemuda itu menjadi kaget karena Ki Bi justeru merintih dan terhimpit batu besar.

"Ki Bi!" Beng Tan terpaksa mengebutkan lengan bajunya. Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi debu tebal yang membuat pandangannya terhalang. Beng Tan terkejut karena mengapa Ki Bi tak menghindar, mungkin terperanjat dan bengong oleh longsoran tanah di atas. Kiranya langit-langit guha longsor. Namun ketika Beng Tan menolong gadis itu dan Ki Bi terisak-isak bercucuran air mata mendadak pemuda ini tertegun melihat seutas tali menjuntai lemah di sudut ruangan, bergoyang-goyang.

"Hm, apa itu?" Beng Tantak memperlihatkan penemuannya kepada Ki Bi, curiga. "Bagaimana tali itu tahu-tahu ada di sini dan bergelantungan? Melihat gelagatnya, tali itu sengaja dipasang orang. Dan aneh kalau tiba-tiba langit ruangan ambrol!"

Beng Tan tak membicarakan ini. Dia takut bahwa Ki Bi menjadi semakin tak keruan saja. Sebenarnya dia agak heran bagaimana Ki Bi yang merupakan murid utama di Hek-yan-pang bisa begitu penakut. Gadis ini sering menangisdan cengeng, padahal sehari-harinya tidak! Dan ketika Beng Tan membangunkan gadis itu dan membersihkan pakaiannya yang penuh debu maka Beng Tan tertegun lagi melihat sebuah bungkusan terlempar di sudut, bungkusan yang bergerak-gerak lemah, seolah ada isinya, mahluk hidup!

Apa itu? Beng Tan ingin tahu. Namun karena lagi-lagi dia tak ingin membuat Ki Bi panik dan ketakutan maka Beng Tan pura-pura tak melihat karena pikirnya itu mungkin ular atau sekumpulan cacing. Dan dia tentu saja tak takut. Beng Tan sudah mengajak Ki Bi ke ruangan nomor empat. Ruangan nomor tiga tadi tak ada apa-apanya alias kosong, tinggal ruangan nomor empat yang hendak dimasuki dan diwaspadainya ini. Tapi tepat dia membuka pintu ruangan itu dan berjaga untuk serangan gelap tiba-tiba saja berkesiur angin dingin dan sebuah bungkusan menghantam kepalanya.

"Dess!"

Beng Tan membuat bungkusan itu hancur. Beng Tan terkejut karena tiba-tiba dari dalam bungkusan ini berhamburan binatang-binatang luwing atau si kaki seribu. Ki Bi terpekik dan menjerit karena binatang-binatang itu juga menimpanya. Beng Tan sendiri menggerakkan lengan bajunya dan luwing-luwing itu terpental berjatuhan ke tanah, tidak seperti Ki Bi yang aneh sekali dapat tertimpa dan kejatuhan binatang-binatang menjijikkan ini, padahal seharusnya dapat mengelak! Dan ketika Beng Tan tertegun karena ruangan itu juga kosong sementara Ki Bi berteriak-teriak dan menjerit kengerian maka gadis ini sudah bergulingan melepas bajunya untuk telanjang.

"Ki Bi!" Beng Tan tiba-tiba berseru keras. Pemuda itu berkelebat dan marah melihat apa yang hendak dilakukan Ki Bi. Sesuatu melintas di otaknya dan sepolos-polosnya Beng Tan tetaplah dia akhirnya dapat mencium apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata dia tertipu. Bungkusan yang dihantamnya itu adalah bungkusan yang terlempar disudut, dan diapun diserang dari belakang, padahal yang ada di belakangnya adalah Ki Bi!

Maka ketika Beng Tan membentak dan mengibas semua luwing-luwing yang ada di tubuh Ki Bi, tak membiarkan gadis itu melepas pakaiannya karena tentu dia akan dibuat panas dingin maka Beng Tan sudah menotok dan merobohkan gadis itu.

"Kau menipuku, kau gadis keparat!"

"Oohh...!" Ki Bi tersentak, mengeluh. "Ap..., apa maksudmu, pangcu? Apa kau bilang?"

"Kau gadis keparat, kau pembohong!" dan Beng Tan yang mengulangi bentakannya serta merah padam memandang gadis itu lalu menyambar dan mencengkeram Ki Bi, marah bukan main. "Kau menipu aku bahwa sebenarnya tak ada apa-apa di sini, Ki Bi. Bahwa tak ada musuh seperti katamu itu. Kau berdusta dan menyerangku dengan bungkusan itu. Dan semua perbuatan ini kiranya hanyalah ulahmu belaka!"

"Oohh...!" Ki Bi terkejut, menangis. "Bagaimana... bagaimana kau menuduhku seperti itu, pangcu? Bagaimana kau mendakwa aku seperti ini?"

"Hm, tak usah bohong. Bungkusan yang menyerangku itu sudah kulihat di sudut tadi, Ki Bi, dan sekarang tak ada! Kau mengambilnya dan melemparnya ke kepalaku, sengaja dan hendak membuat aku terjebak! Ah, tahulah aku. Kau kiranya hendak menjerat aku dan mengajak berbuat hina. Kau cabul dan tak tahu malu!"

"Pangcu...!" gadis ini menjerit. "Ada akibat pasti ada sebab. Ada asap pasti ada api. Jangan membentak-bentakku kalau ingin tahu yang sebenarnya. Lepaskan cengkeramanmu, dan setelah itu kau boleh bunuh aku...!”

Naga Pembunuh Jilid 02

NAGA PEMBUNUH
JILID 02
KARYA BATARA
Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"HA-HA-HA, ini anakmu, hujin?" sang nyonya terbelalak. "Wah, sehat dan montok sekali. Semontok ibunya!"

Sang nyonya semburat merah. Suara tawa dan kekeh kurang ajar terdengar di sana-sini, belasan orang itu terbahak- bahak dan satu di antaranya adalah Hu-san, laki-laki yang dulu dihajarnya pingsan itu. Dan ketika Hu-san meminta anak itu diserahkan kepadanya dan laki-laki tinggi besar yang brewokan ini mengangguk menyerahkan anak itu maka Hu-san berkata agar nyonya itu menyerah.

"Anakmu di tangan kami, dan inilah Bin-twako si Harimau Hitam. Menyerahlah baik-baik, hujin. Dan aku tak akan mengingat peristiwa lama kalau kau mau baik-baik bersama kami. Nah, berlututlah, serahkan dirimu!"

"Keparat!" sang nyonya membentak. "Kau berani menculik anakku, Hu-san? Kau minta kubunuh? Serahkan puteraku, dan kaulah yang berlutut minta ampun!"

"Ha-ha, gagah dan berani!" si brewok,yang rupanya disegani dan menjadi pemimpin di situ berseru, mendahului Hu-san. "Wanita yang kau katakan ini hebat sekali,Hu-san, dan cantik, meskipun kelihatan lemah lembut. Ah, aku tak percaya bahwa wanita selembut dan secantik ini dapat membuatmu pingsan!"

"Hm, hati-hati," Hu-san, yang sudah mengenal dan merasakan kelihaian sang nyonya menyelinap di belakang punggung si brewok, melihat wanita itu akan menyambar anaknya. "Aku harus mengakui wanita ini gagah dan berani, Bin-twako. Gerakannya cepat seperti siluman. Kau lindungilah aku kalau dia menyerang!"

"Ha-ha, kau takut? Tak usah takut, di sini ada aku, juga belasan teman yang lain. Kau serahkanlah anak itu dan biar wanita ini kutundukkan sendiri!"

Hu-san menyeringai. Dia menyerahkan anak itu karena saat itu Giam Liong menangis keras-keras. Anak itu tak suka di pondongan laki-laki kasar ini dan Hu-san mencubitnya dengan kejam. Laki-laki itu memang ingin membalas sebagian dendamnya dengan menyakiti si bocah, ingin melihat ibunya terbelalak dan pucat ketakutan.

Tak tahunya Sin-hujin malah melengking dan tiba-tiba berkelebat dengan amat cepatnya ketika Giam Liong hendak diserahkan ke si tinggi besar. Dan ketika si brewok itu terkejut dan berseru mengelak, kaget oleh bayangan si nyonya yang benar saja mirip siluman terbang tahu-tahu Hu-san menjerit karena, serangan si nyonya yang dihindari si brewok mengenai mukanya, sebuah cengkeraman dari sepuluh kuku-kuku tajam.

"Aduh..!" Hu-san menjerit bergulingan. Laki-laki ini melepas Giam Liong dan saat itu sang ibu menyambut, menggerakkan tangan yang lain dan disambarlah Giam Liong dengan cepat. Dan ketika sang anak sudah kembali ke ibunya sementara sang ibu masih tidak puas dengan serangannya ke muka Hu-san maka sebuah tendangan mengiringi gerakannya hingga Hu-san mencelat terguling-guling, membentur pohon.

"Kau binatang tak tahu diri. Enyahlah, dan jangan coba-coba mengganggu anakku dess!"

Semua orang terpukau. Mereka kaget dan kagum oleh gerakan luar biasa dari si nyonya, begitu cepat, begitu mengejutkan. Tapi ketika Hu-san merintih dan mengaduh-aduh, melingkar di sana maka si brewok dan teman-temannya menjadi marah.

"Wanita siluman!" si brewok menggeram. "He, kepung rapat-rapat, kawan-kawan. Jangan sampai lolos dan hati-hati dengan serangannya!" dan kaget tapi juga marah oleh sepak terjang si nyonya, laki-laki ini menggulung lengan bajunya, memperlihatkan pergelangan tangannya yang kuat dan kekar, seperti bambu petung. "Nyonya, kau menghina kami. Hu-san adalah anak buahku. Hayo cepat minta maaf dan berlutut di depan Ang-houw Bin Kiat Tung!"

"Hm, kau...!" si nyonya mendengus. "Jangan coba-coba menggangguku pula, Bin Kiat Tung. Aku tak ada urusan denganmu atau kaupun mengalami nasib sama seperti laki-laki itu. Minggir, kalian jangan menghalangi!"

"Wah, kau begitu sombong? Berani menentang laki-laki sedemikian banyaknya?"

”Hm, jangankan sekian. Seratus orang seperti kalian sanggup kusapu bersih, Bin Kiat Tung. Minggir dan sekali lagi jangan mengganggu aku. Anakku tak suka kalian menggonggong!" dan gugup melihat anaknya menangis dan melengking-lengking, kaget dan takut oleh semuanya itu maka si nyonya membuka bajunya dan apa boleh buat menyumpal mulut anaknya dengan puting buah dada yang segar, tak malu-malu atau segan-segan lagi demi si anak, agar diam. Dan ketika ibu itu menepuk-nepuk pantat anaknya sambil ber-cup-cup agar tidak menangis maka belasan pasang mata melototkan memandang gratis pemandangan luar biasa itu.

"Wah, padat dan penuh gizi sekali. Segar!"

"Ya, dan mau rasanya aku menggantikan anak itu, Sing-twako. Ah, betapa lezat dan nikmatnya!"

"Hm, dan aku siap mati kalau sudah diberi segumpal saja. Huwaduh, tenggorokanku kering, Bin-twako. Aku tiba-tiba saja ingin emik!"

"Ha-ha, aku juga!"

"Dan aku juga...!"

Dan ketika tawa serta suara-suara kurang ajar menjadi saling tindih dan gaduh mengiringi tepukan tangan maka Sin-hujin berkilat dan menyambar-nyambar matanya. Saat itu dia dikepung, ke manapun dia bergerak maka mata lelaki pasti menyorotinya. Dia terpaksa menyusui anaknya karena hanya dengan begitulah puteranya mau diam. Tapi ketika anaknya malah tersedak dan kaget oleh sorak dan tawa itu, melepaskan buah dadanya maka Sin-hujin ini menutup baju dan secepat kilat tangan kirinya bergerak.

"Crep-crep!"

Dua orang roboh menjerit. Tiba-tiba saja dua batang jarum amblas di tenggorokan dua orang itu. Mereka terjungkal dan berteriak sekali, terguling dan seketika tewas! Dan ketika yang lain terkejut dan tentu saja mundur, berteriak tertahan maka Sin-hujin itu sudah berkelebat dan keluar kepungan.

"Siapa mengganggu akan mati seperti itu. Majulah, kalau ingin mendekati maut!"

Gegerlah semua orang. Setelah mereka sadar dan tahu akan kematian temannya tiba-tiba semua orang menjadi marah. Ang-houw (Harimau Merah) Bin Kiat Tung sampai mendelik matanya, lelaki itu terkejut dan marah sekali. Maka ketika si nyonya keluar dan anak buahnya mundur memberi jalan, otomatis, setelah melihat kejadian itu maka laki-laki tinggi besar ini memekik dan menerjang maju.

"Tangkap wanita ini, robohkan dia!"

Sang nyonya mendengus. Dia melihat si tinggi besar sudah menyerang dengan goloknya. Senjata yang lebar dan berat itu mengaung, tanda betapa hebat dan dahsyatnya tenaga si pengayun golok. Tapi ketika diaberkelit lincah dan golok menderu di samping telinga ternyata yang lain maju meluruk dan tombak atau golok-golok lain berseliweran.

"Wut-wut-singgg...!"

Sang nyonya mengerutkan kening. Dia mampu menghindari semua serangan senjata tajam itu tapi anaknya menangis melengking-lengking. Si nyonya terganggu dan apa boleh buat menangkis sebatang golok yang menyambar dari kiri, mementalkannya dan si pemilik golokpun menjerit terpelanting, memberi sebuah jalan dan saat itulah Sin-hujin keluar kepungan untuk kedua kalinya lagi, meletakkan anaknya di atas rumput dan selanjutnya nyonya ini beterbangan di antara senjata-senjata pengeroyoknya yang mengejar, menghalau dan menolak balik semua senjata tajam itu dengan kebutan ujung bajunya.

Lawan sampai terpekik karena hanya dengan kebutan ujung baju itu saja tiba-tiba senjata mereka terpental, persis bertemu lempengan baja atau kipas besi, dari ujung baju si nyonya. Dan ketika semua terkejut dan Ang-houw Bin Kiat Tung sendiri terpekik oleh sebuah tolakan tenaga kebut maka selanjutnya belasan laki-laki kasar itu jatuh bangun dan terpelanting atau terlempar oleh tenaga si nyonya. Kiranya Sin-hujin memiliki sinkang kuat dan angin atau hawa pukulannya itu sanggup menahan belasan senjata tajam, bukan main mengagumkannya. Dan ketika nyonya itu mulai membalas dan Bin Kiat Tung serta teman-temannya dibuat kalang-kabut maka lelaki itu berteriak agar membunuh si bayi yang ada di atas tanah, mengganggu konsentrasi si nyonya.

"Hajar dan bunuh anak laki-laki itu. Kacau perhatian ibunya!"

Dua orang mengangguk. Mereka merasa sependapat dan tertawa girang, melompat dan menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu, bahkan yang kian keras tangisnya karena ditinggal si ibu. Tapi ketika mereka bergerak dan golok terayun ke leher, keji hendak menetak sekonyong-konyong terdengar tawa dingin dan Sin-hujin itu menggerakkan dua sinar hitam ke arah dua laki-laki ini.

"Ya, bunuh anakku, kalau kalian ingin mampus!"

Dua orang itu menjerit. Sama seperti teman mereka yang pertama tadi mendadak mereka berteriakdan terjengkang roboh. Dua jarum hitam itu menembus tenggorokan mereka, amblas dan seketika membuat mereka terguling, tewas dan mukapun segera menjadi kehitaman. Dan ketika dua orang itu roboh dan yang lain tersentak maka Bin Kiat Tung berteriak menyuruh yang lainnya lagi.

"Kutahan wanita ini, hajar dan bunuh bocah itu!"

Empat orang kembali bergerak. Mereka marah dan juga penasaran oleh kegagalan itu. Bin Kiat Tung sudah menerjang dan menahan si nyonya. Menurut perhitungan tentunya si nyonya sibuk dan tak sempat menghalangi mereka, apalagi sekarang mereka maju berempat dan bukannya berdua. Tapi ketika si nyonya membentak dan golok di tangan lawan diterima kedua jarinya, ditekuk dan dihentak ke bawah maka golok itu bengkok sementara tangan si nyonya yang lain mengeluarkan lagi jarum-jarum hitam itu.

"Crep-crep-crep!"

Empat orang roboh berteriak ngeri. Ternyata mereka menjadi korban juga sementara Ang-houw Bin Kiat Tung terpekik melihat goloknya melengkung. Golok itu seperti benda lembek yang begitu gampang dibuat bengkok. Ah! Dan ketika laki-laki itu terkejut dan tertarik maju maka kaki si nyonya bergerak menendar dan laki-laki ini mencelat.

"Dess!" Ang-houw Bin Kiat Tung terlempar. Laki-laki ini berdebuk dan terbanting mengaduh, sadar bahwa dia kiranya berhadapan dengan seorang wanita lihai, buka sembarangan. Tapi ketika dia terhuyun bangun dan melotot gentar, ngeri, maka si nyonya berseru bahwa mereka semua patut dibunuh.

"Tiga kali kalian mengganggu anakku. Cukup, itu sudah lebih dari cukup. Sekarang lihatlah apa yang kupegang dan bersiaplah ke akherat!"

Si Harimau Merah terbelalak. Belum jelas dia melihat tahu-tahu sinar putih berkeredep menyambar. Sinar itu bergerak cepat dan tahu-tahu menuju dirinya, membabat dan melewati tiga orang di depan yang seketika berteriak ngeri. Dan ketika tiga orang itu roboh dan tangan atau kaki mereka beterbangan, entah bagaimana, tahu-tahu sinar putih itu juga sudah menyambar dan membabat si Harimau Merah.

"Crass!" Darah memuncrat tinggi. Si Harimau Merah tak sempat memekik karena tahu-tahu kepalanya putus. Batang kepala itu lepas dari tubuhnya seakan disabet lidah seekor naga, atau mungkin lecutan seekor naga sakti yang sedang marah. Dan ketika empat atau lima tubuh bertumbangan dengan kaki atau tangan putus-putus, terpisah dari tempatnya maka sisanya yang lain terbelalak ngeri dan tiba-tiba menjerit memutar tubuh lari sipat kuping!

"Jangan lari, kalian harus kubunuh.... cras-crass!" tangan dan kaki beterbangan lagi, disusul jerit dan robohnya tubuh-tubuh yang ambruk seperti batang pisang.

Lima laki-laki tiba-tiba sudah menjadi korban lagi dari keganasan sinar putih itu, yang ternyata sebatang golok dan ampuhnya nggegirisi, karena golok itu tak berlepotan darah karena begitu dipenuhi darah tiba-tiba golok ini sudah menghisapnya kering dan bersih, golok yang diamati satu dari dua laki-laki terakhir yang jatuh terduduk, lunglai dan ngeri oleh keberingasan si nyonya yang demikian sadis, sungguh jauh bedanya dengan tubuh atau gerak-geriknya yang lemah lembut itu, meskipun pandangan matanya meliar dan tiba-tiba seolah orang yang tidak waras. Dan ketika golok itu menyambar lagi dan teman laki-laki ini terjengkang dengan kepala putus maka satu dari tujuh belas orang yang masih hidup itu berteriak,

"Giam-to (Golok Maut)...!"

Sang nyonya tertegun. Teriakan atau seruan yang sebenarnya merupakan pengiring bagi kematian laki-laki itu tiba-tiba malah menyelamatkannya. Golok berhenti dan lekat di kulit, tak jadi membabat, bergetar dan pucatlah laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika si nyonya memandang dingin dan golok masih menempel, dingin dan mengeluarkan hawa menyeramkan tiba-tiba lelaki itu sudah meratap.

"Am.... ampun. Aku tak tahu bahwa kau kiranya isteri Si Golok Maut, hujin. Kau kiranya Sin-hujin dari Hek-yan-pang itu. Am.... ampun aku jangan dibunuh!"

Sang nyonya menarik goloknya. Cepat dan luar biasa tahu-tahu senjata itu lenyap di punggung. Dan ketika pandang matanya dingin menusuk dan laki-laki itu rupanya mengenalnya, setelah dia mengeluarkan golok mautnya maka nyonya itu menendang, tertawa aneh.

"Tikus busuk, kau orang pertama yang dapat mengenal aku. Baiklah, kuselamatkan jiwamu. Tapi katakan dulu bagaimana semuanya ini bisa terjadi dan anakku tahu-tahu diculik. dess!"

Laki-laki itu terlempar. Dia mengaduh tapi berseru kegirangan bahwa si nyonya tak membunuhnya. Dia diampuni dan itu berarti umurnya masih panjang. Maka ketika dia meringis bangun dan terhuyung menghampiri nyonya itu, menjatuhkan diri berlutut maka segera dia ditanya bagaimana anak sang hujin tahu-tahu diculik.

"Aku.... aku tak banyak tahu. Tapi Hu-san mengajak Ang-houw Bin Kiat Tung mengganggu dirimu. Selanjutnya kau dihadang di sini, hujin, dan selanjutnya pula kau telah membunuh mereka!"

"Hm, Hu-san? Laki-laki itu?"

"Benar," lawan bicara mengangguk memandang Hu-san yang masih pingsan di tanah, karena laki-laki itulah yang pertama kali diserang si nyonya. "Hu-san inilah yang membawa Bin Kiat Tung kepadamu, hujin. Dan siapa yang membawa anakmu ke sini sesungguhnya aku kurang jelas benar."

"Kalau begitu seret dia ke mari. Aku ingin bertanya!"

Hu-san disiram air dingin. Laki-laki ini memang pingsan dan dia tidak terlibat pertarungan. Itulah sebabnya dia masih hidup dan kini disadarkan. Tapi begitu laki-laki ini siuman dan terkejut melihat Sin-hujin, terbelalak melihat banyaknya mayat malang-melintang di sekitar dirinya tiba-tiba lelaki itu menjerit dan lari lintang-pukang.

"He, kau ke sini!" bayangan Sin-hujin berkelebat. "Berhenti dan jangan lari, orang she Hu. Atau kau mati seperti yang lain-lain ini.... bluk!"

Hu-san roboh tertotok, kaget melengking tinggi dan ambruk di hadapan nyonya itu. Lalu ketika laki-laki ini merintih kesakitan dan meratap berulang-ulang, pucat dan gentar maka Sin-hujin itu menanyainya tentang penculikan anaknya.

"Siapa yang membawa anakku ke sini, dan siapa pula yang membawa orang she Bin itu!"

"Ak.... aku tak tahu!" laki-laki ini pias. "Ampunkan aku, hujin. ampunkan aku!"

"Hm, temanmu itu mengatakan bahwa kaulah yang membawa orang she Bin. Berani kau menyangkal?"

Hu-san terkejut. Baru dia sadar bahwa di situ ada temannya itu. Maka mengeluh dan mengangguk gentar terpaksa dia mengaku.

"Dan siapa yang membawa anakku ke sini!"

"Pa-lopek.” lelaki itu tiba-tiba bersinar. "Dialah yang membawa anakmu, hu-jin, dan dialah yang meracun isterinya pula!"

"Apa?" kening itu terangkat. "Kakek tua bangka itu?"

"Benar, hujin.Dia....dia..."

"Teruskan!" sang nyonya membentak. "Ceritakan jangan terputus-putus, tikus busuk. Atau aku nanti menendangmu dan kau mampus tak dapat bicara!"

Hu-san ketakutan. Akhirnya laki-laki ini menceritakan bahwa kakek Pa itulah yang membawa Giam Liong ke hutan, meracun isterinya dan mengharap mereka semua dapat menangkap si nyonya. Dan ketika Sin-hujin merah padam dan mendengarkan cerita itu maka si nyonya bertanya apa yang menjadi maksud atau tujuan Pa-lopek itu.

"Dia... dia ingin memperisterimu. Kakek itu jatuh cinta kepadamu!"

"Bedebah!" muka itu semakin merah padam. "Kakek itu mau memperisteri aku? Dan untuk itu dia sampai meracun isterinya sendiri? Keparat, katakan di mana kakek jahanam itu sekarang, Hu-san. Atau kau terbang ke akherat!"

"Am.... ampun...!" Hu-san ketakutan. "Tit... tidak, hujin. Jangan bunuh aku. Kakek itu masih bersembunyi di hutan ini. Tadi dia di belakang Bin Kiat Tung dan menggigil di balik pohon besar itu!"

"Hm, kalau begitu kau cari dia. Juga kau!" si nyonya menuding laki-laki pertama. "Cari dan seret kakek itu ke mari, tikus-tikus busuk. Dan jangan coba-coba lari kalau tak ingin kubunuh. Kuberi waktu seperempat jam atau kalian mampus!"

Hu-san dan laki-laki pertama ketakutan. Mereka ngeri dan segera dua laki-laki itu memasuki hutan, mencari dan tak lama kemudian sudah membawa kakek itu. Ternyata benar, Pa-lopek bersembunyi di hutan, jauh di tengah. Dan begitu kakek ini tertangkap dan melolong-lolong melihat begitu banyaknya mayat di situ maka kakek ini ditendang dan Hu-san berusaha mencari muka di depan Sin-hujin, yang matanya seperti mengeluarkan api!

"Katakan dan akui semua perbuatanmu di depan Sin-hujin. Atau aku akan mencekikmu dan kau kubunuh!"

"Ti... tidak. Ampun, Hu-san. ampun!"

"Jangan minta ampun kepadaku, tetapi kepada Sin-hujin.... dess!"

Kakek itu terlempar, jatuh tepat di depan Sin-hujin dan nyonya ini menyambar rambut si kakek, memelintirnya dan berteriak-teriak-lah kakek itu oleh pelintiran si nyonya. Dan ketika Sin-hujin bertanya kenapa kakek itu meracun isterinya, seperti yang dikata Hu-san maka kakek itu menangis.

"Am... ampun. Aku mencintaimu, hu-jin. Aku ingin hidup berdua denganmu. Aku membenci isteriku yang tiba-tiba cerewet. Kalau kau tak suka kepadaku biarlah kutarik niatku, jangan kau membunuhku!"

"Hm, menarik niat setelah meracun isterimu? Menarik niat setelah kau takut kubunuh? Keparat, kau tua bangka tak tahu malu, Pa-lopek. Sungguh menjijikkan dan memuakkan tingkahmu ini. Hayo kubur isterimu itu, dan minta ampun di sana!"

"Ba... baik!"

"Dan kalian!" nyonya itu membalik. "Bersihkan dan kubur semua mayat-mayat ini, Hu-san. Setelah itu ikut aku ke nenek Lui!"

Hu-san mengangguk. Merasa mendapat harapan dan ampunan si nyonya tiba-tiba laki-laki itu sudah bergegas mengumpulkan mayat teman-temannya. Teman satunya membuat lubang dan Hu-sanpun tak lama kemudian sudah membantu. Sebenarnya dua orang itu ngeri dan hampir muntah-muntah oleh pemandangan yang amat mengerikan ini. Kaki dan tangan terpisah di mana-mana, terakhir kepala Bin Kiat Tung tampak menggelinding di bawah semak, bercampur dengan tahi kerbau! Tapi ketika semua itu dilakukan dua orang ini dan menahan muntah mereka terus memasukkan mayat-mayat itu maka Sin-mujin akhirnya menendang Pa-lopek untuk ganti mengubur mayat isterinya.

"Tap.... tapi berjanjilah dulu bahwa kau tidak akan membunuhku, hujin. Bahwa kau akan mengampuniku seperti mengampuni dua orang ini!"

"Hm, aku memang tidak akan membunuhmu. Terlalu kotor tanganku menyentuhmu!"

"Ah, terima kasih, hujin. Kalau begitu terima kasih!" dan si kakek yang mencium serta menjatuhkan diri berlutut di kaki si nyonya akhirnya ditendang dan mencelat lagi, bangun merangkak dan terhuyung berdiri tersenyum-senyum dan tidak ketakutan seperti tadi.

Agaknya janji si nyonya dipercaya penuh, padahal Hu-san dan temannya saling lirik dan curiga. Mata si nyonya menyinarkan nafsu pembunuhan, tak mungkin dipercaya begitu saja. Tapi ketika mereka mengiring dan berdebar melihat semuanya itu maka tiga orang ini akhirnya tiba di rumah nenek Lui yang membujur kaku. Pa-lopek akhirnya diminta mengubur isterinya dan meminta ampun. Kakek itu biasa-biasa saja dan tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Rupanya kakek itu berdarah dingin, atau mungkin tiba-tiba menjadi dingin dan sinis karena maksudnya gagal.

Sin-hujin tak berhasil diraihnya sebagai isteri, sebuah impian yang terlampau muluk! Dan ketika semuanya selesai dan jazad nenek Lui sudah dikuburkan maka Hu-san mendapat isyarat agar membunuh kakek itu, menggorok lehernya!

"Apa?" laki-laki ini terkejut. "Membunuhnya, hujin? Bukankah kau berjanji tak akan membunuhnya?"

"Hm, aku memang tak akan membunuhnya, Hu-san. Tanganku terlampau bersih untuk dikotori darahnya yang jahat. Tapi aku tak berjanji untuk meminjam tangan orang lain, dan kaulah yang kupilih!"

Hu-san terkejut. Akhirnya diasadar bahwa si nyonya memang betul. Pa-lopek tak dibunuh dan justeru dialah yang kini dipinjam. Kakek itu harus menemui kematian, bukan oleh tangan Sin-hujin melainkan oleh tangannya. Dan ketika Pa-lopek terbelalak dan pucat mendengar itu, tersentak, maka laki-laki ini sudah tertawa dan mencabut goloknya.

"Lopek, rupanya kau terlalu banyak dosa. Lihat dan dengar sendiri kata-kata Sin-hujin. Maaf, aku harus mengantar nyawamu ke neraka!"

"Tit.... tidak!" sang kakek tiba-tiba memutar tubuhnya, lari lintang-pukang. "Aku mendapat janji tak akan dibunuh, Hu- san. Aku sudah dinyatakan mendapat ampun!"

"Ha-ha, kau salah mengartikan. Sin-hu-jin memang mengampunimu, lopek. Tapi aku tidak. Dan aku akan membunuhmu!" dan Hu-san yang mengejar serta membentak si kakek agar berhenti tiba-tiba menyusul dan mengayunkan goloknya.

Kakek Pa mengelak namun dia tersandung jatuh, berteriak dan ngeri melihat Hu-san menggerakkan goloknya ke arah leher. Kakek itu menggulingkan tubuh dan golok menghajar tanah, luput. Tapi ketika Hu-san menggeram dan mengejar lagi, membacok, maka si kakek mengeluh dan tahu-tahu lehernya putus.

"Crass!" Darah pun membasahi bumi. Hu-san tertawa bergelak dan puas melaksanakan perintah sang nyonya. Dia merasa mendapat ampun dan kepercayaan. Tapi ketika dia mau menyarungkan goloknya dan berbalik melapor hasil tiba-tiba Sin-hujin berkelebat dan menyuruh dia memotong lidah, dengan goloknya itu!

"Ap.... apa?" lelaki ini pucat, mundur dua tindak. "Mem.... memotong lidahku, hujin? Kau hendak membunuhku?"

"Hm, tidak," sang nyonya menggeleng, tersenyum dingin. "Aku tidak membunuhmu, Hu-san. Hanya memerintahkan kau mengerat lidahmu itu dengan golokmu sendiri. Aku tak membunuhmu kecuali kau membangkang!"

"Tapi hujin mengampuni aku!"

"Benar, dan karena itu kau tidak kubunuh. Tapi sekarang kalian berdua mengenal aku sebagai isteri Si Golok Maut, Hu-san. Dan aku tak suka kalian menceritakan ini kepada orang lain. Aku ingin memotong lidah kalian agar terjamin bahwa kalian tak bercerita pada orang lain!"

"Ah!" dan Hu-san yang terbelalak serta ngeri tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut,menangis. "Aku bersumpah tak akan menceritakan keadaan dirimu kepada orang lain, hujin. Aku bersumpah demi langit dan bumi, juga arwah semua nenek moyangku!"

"Benar," temannya, yang ketakutan dan juga pucat oleh keputusan itu tiba-tiba ikut menjatuhkan diri berlutut, menangis. "Akupun bersumpah seperti itu, hujin. Percayalah bahwa kami berdua tak akan menceritakan dirimu kepada orang lain!"

"Aku tak ingin banyak omong," sang nyonya tiba-tiba berkilat. "Laksanakan perintahku atau kalian mampus, Hu-san. Cepat dan jangan membuat aku marah!"

Hu-san tiba-tiba memekik. Golok yang ada di tangannya tiba-tiba ditusukkan kedepan. Sang nyonya ada didepannya dan laki-laki inipun melompat bangun. Kemarahan dan kengerian akhirnya membuat laki-laki itu nekat, menubruk dan menusuk perut si nyonya dengan bentakan sengit. Tapi ketika nyonya itu mendengus dan tak mengelak, membiarkan golok menusuk perutnya tiba-tiba golok patah dan Hu-san berteriak tinggi.

"Aduh. pletak!"

Kiranya patahan golok menancap di tubuh laki-laki itu sendiri. Dengan gerakan cepat dan luar biasa Sin-hujin menggerakkan kakinya, sedikit saja tapi golok sudah dicungkil ke atas. Dan karena golok menyambar cepat dan ujung yang lancip itu menuju dada maka robohlah Hu-san dengan patahan goloknya sendiri!

"Nah," Sin-hujin menghadapi lawan satunya. "Kau saksi terakhir yang masih hidup, tikus busuk. Tinggal melaksanakan perintahku atau menyusul arwah Hu-san!"

"Ak... aku mau!" laki-laki itu menggigil. "Ak... aku akan melaksanakan perintahmu, hujin. Dan aku akan memotong lidahku!" tapi bingung tak melihat senjata tajam di situ laki-laki ini gemetar, tapi segera ditunjuk si nyonya agar mengambil patahan golok di dada Hu-san.

"Pakai itu, dan kerat lidahmu!"

Laki-laki ini menangis. Akhirnya apa boleh buat dia mencabut patahan golok di dada temannya itu, lalu sekali dia menjulurkan lidah dan mengerat maka lidah-nyapun terpotong, putus. Tapi begitu lidahnya putus maka laki-laki inipun juga ambruk dan roboh pingsan!

"Hm, kurcaci-kurcaci menyebalkan," nyonya ini tertawa dingin, sama sekali tak tergerak oleh tiga tubuh yang malang-melintang itu. "Selamat tinggal, nenek Lui-ma. Dan semoga arwahmu tenang di alam baka!" lalu sekali bergerak dan menyambar bayinya, yang tertidur dan pulas di situ tiba-tiba nyonya ini sudah menghilang dan tidak memperdulikan kakek Pa atau lain-lainnya itu.

* * * * * * *

Hek-yan-pang (Perkumpulan Walet Hitam). Di sini tinggal dua orang gagah yang menjadi tokoh-tokohnya, sepasang suami isteri yang baru setahun menikah dan disegani para penghuninya. Dan bagi para pembaca yang sudah membaca Golok Maut, kisah sebelum kisah ini tentu mengenal siapa dua orang gagah itu, suami isteri lihai yang tinggal dan memimpin perkumpulan Walet Hitam ini.

Benar, mereka adalah Swi Cu dan suaminya, Beng Tan, Ju Beng Tan yang akhirnya dikenal orang sebagai Pek-jit Kiam-hiap (Pendekar Berpedang Matahari), seorang pemuda gagah perkasa yang dulu dipakai oleh istana untuk menandingi dan menghadapi Si Golok Maut Sin Hauw, pembunuh yang membuat geger di istana dan telah menjatuhkan tangan mautnya dengan membunuh-bunuhi ratusan orang. Tak kurang dari sepuluh orang-orang lihai telah dibabat Si Golok Maut ini ketika orang-orang itu membantu istana. Dan ketika Ci-ongya akhirnya terbunuh dan menemui ajal di tangan Si Golok Maut, yang akhirnya juga tewas dan roboh di Bukit Iblis maka sepak terjang atau keganasan si Golok Maut itu menjadi buah bibir.

Beng Tan ditarik ke istana untuk menjaga keselamatan kaisar, juga dua adik tiri kaisar yang bernama Coa-ongya dan Ci-ongya. Tapi ketika Ci-ongya tetap juga binasa dan Golok Maut akhirnya dikejar-kejar, dikeroyok lima ribu orang dipimpin si Kedok Hitam yang misterius maka Golok Maut akhirnya terbunuh dan mengalami nasib mengerikan di Bukit Iblis, mati terpotong-potong.

Memang menyedihkan nasib Si Golok Maut itu. Ajal merenggutnya demikian sadis, padahal dia terikat duel dan janji dengan Ju Beng Tan ini, lawan paling tangguh dan seimbang yang pernah dihadapi. Dan karena Beng Tan akhirnya kecewa dengan kematian Si Golok Maut itu, yang terjadi akibat ketidak setiaan kaisar sendiri dengan kata-katanya maka pemuda ini akhirnya menarik diri dan tak mau lagi bekerja di istana.

Beng Tan, pemuda gagah perkasa itu mengundurkan diri. Pemuda itu mengalami kekecewaan berat, di samping rasa terguncangnya yang hebat oleh kematian Golok Maut dan hadirnya seorang tokoh yang mengejutkan, si Kedok Hitam yang misterius itu. Dan ketika semuanya berakhir namun pemuda ini terpukul oleh sesuatu yang amat mengguncangkan maka Beng Tan mencoba melupakan itu dengan tinggal di Hek-yan-pang.

Sebenarnya, perkumpulan ini adalah milik isterinya, bukan milik pemuda itu. Namun karena pemuda itu menjadi suami Swi Cu dan Swi Cu adalah tokoh pengganti setelah sucinya (kakak seperguruan perempuan) Wi Hong maka pemuda itu otomatis diangkat sebagai ketua dan Beng Tan pun sebenarnya bukan laki-laki asing bagi anggauta atau penghuni Hek-yan-pang.

Pemuda ini telah dua tiga kali menolong perkumpulan itu dari sergapan Si Golok Maut, yakni ketika Golok Maut mencari dan memasuki perkumpulan itu yang menyembunyikan Ci Fang, putera mendiang Ci-ongya yang akhirnya tewas terbunuh. Dan karena Beng Tan telah dua atau tiga kali menyelamatkan perkumpulan ini maka hadirnya pemuda itu di perkumpulan Walet Hitam dapat diterima baik-baik, apalagi setelah pemuda itu menikah dengan Swi Cu, gadis yang dulu menjadi hu-pangcu (wakil ketua) di perkumpulan ini.

Sebenarnya, setahun dua yang lalu Hek-yan-pang tak boleh dimasuki lelaki. Perkumpulan ini amat keras menjaga peraturannya yang sudah puluhan tahun. Siapa pun yang berani datang, asal laki-laki, tentu dibunuh. Tapi ketika Golok Maut datang dan mengobrak-abrik perkumpulan itu maka peraturan yang ketat dijalankan bertahun-tahun tiba-tiba saja hancur berserpihan seolah kain lapuk ditiup angin kencang.

Dulu Hek-yan-pang amat keras dan membenci laki-laki. Dulu perkumpulan ini tak mengijinkan laki-laki masuk dan berbuat seenaknya. Tapi ketika Golok Maut dapat keluar atau masuk sesukanya, karena tak ada seorangpun yang dapat menandingi tokoh itu maka Hek-yan-pang roboh pamornya dan celaka sekali ketua mereka yang cantik, Wi Hong, bahkan jatuh cinta dan bermesraan dengan manusia pembunuh itu. Dan akibat dari semuanya itu ketua mereka hamil!

Para anggauta Hek-yan-pang terguncang. Mereka benar-benar terpukul. Bayangkan, ketua mereka yang amat keras dan membenci murid-murid yang berjina ternyata telah melanggar larangan itu sendiri. Sang ketua galang-gulung dengan Si Golok Maut dan hamil, padahal belum menikah. Tapi karena yang melakukan itu adalah tokoh mereka sendiri dan ada semacam "undang-undang tak tertulis" bahwa apa yang dilakukan tokoh tak perlu dipergunjingkan lama-lama maka anak murid Hek-yan-pang pun mengurut dada meskipun beberapa di antara mereka, terutama yang dulu kena hukum akibat jina merasa marah dan tidak puas. Maklumlah, ini tidak adil! Namun, apa yang dapat mereka lakukan?

Ketua Hek-yan-pang itu sudah tak ada di situ lagi. Sang ketua yang lama menghilang dan telah diganti sumoinya (adik seperguruan perempuan) itu, Swi Cu, gadis yang tak kalah lihai dengan sucinya dan memiliki Ang-in-kang (Pukulan Awan Merah) di samping ilmu pedang Angin Kiam-sut (Ilmu Pedang Awan Merah). Dan karena pimpinan kini sudah berganti orang dan Swi Cu memimpin bersama suaminya maka beberapa perobahan mulai dilakukan dan anak-anak murid Walet Hitam girang.

Pertama, mereka boleh berhubungan dengan lelaki. Ehm! Lelaki boleh memasuki markas Hek-yan-pang dan siapa yang hendak menjadi murid diterima. Hek-yan-pang tidak lagi merupakan perkumpulan yang dihuni wanita-wanita saja melainkan juga lelaki atau pemuda-pemuda tegap yang menjadi murid di situ. Dan peraturan ini tentu saja menggembirakan murid-murid perempuan.

Betapa tidak? Mereka telah bertahun-tahun memendam semacam perasaan rindu terhadap lelaki. Ada semacam perasaan atau hasrat ingin bermanja-manja dan dilindungi lelaki. Kebekuan yang ditrapkan ketua lama terasa menyiksa. Itulah sebabnya ketika beberapa anak murid perempuan merasa tak tahan dan "main-main" di luar, berhubungan dengan lelaki tiba-tiba saja anak murid yang lain merasa iri dan melapor pada ketuanya.

Dan Wi Hong ketua yang lama itu memberi hukuman keras. Ada murid yang terpaksa dihukum kurung seumur hidup, ada pula yang dibunuh karena tak dapat meninggalkan kekas ihnya, ketika kekas ihnya itu masuk dan menyusul. Dan ketika peristiwa-peristiwa lain mengguncangkan perkumpulan itu namun dapat diredam, eh... mendadak sang ketua sendiri jatuh cinta kepada Golok Maut dan berhubungan intim!

Tapi, ah, itu sudah lewat. Dalam malu dan bingungnya sang ketua lama sudah meninggalkan perkumpulan. Sumoinya duduk menggantikan dan Hek-yan-pang sudah dilindungi pula oleh seorang pemuda gagah perkasa yang bukan lain Ju Beng Tan adanya itu. Pemuda ini amat lihai, dia adalah murid atau setidak-tidaknya orang yang menganggap diri sebagai murid dari manusia maha sakti Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang misterius itu. Dan karena pemuda ini amat hebat dan dua ilmunya amat ditakuti lawan maupun kawan maka Pek-lui-ciang (Tangan Kilat) dan Pek-jit Kiam-sutnya (Ilmu Pedang Matahari) cukup membuat namanya dimalui.

Pemuda ini memang luar biasa. Dulu, setahun yang lalu ketika tak ada seorang tokoh pun yang mampu menandingi Golok Maut maka pemuda inilah yang muncul. Beng Tan inilah yang mampu bertanding seru dengan tokoh pembunuh itu. Di Hek-yan-pang sendiri pernah dua orang ini bertarung sehari semalam, dengan kesudahan masing-masing sama roboh dan kehabisan tenaga. Dan ketika keduanya hendak melanjutkan setelah beristirahat sejenak tiba-tiba Bu-beng Sian-su datang dan melerai, memisah dua orang itu. Dan Beng Tan menjadi tokoh idaman yang diam-diam digandrungi banyak murid-murid perempuan Hek-yan-pang.

Namun pemuda itu telah memilih. Swi Cu, sang wakil ketua, telah menjatuhkan hatinya. Pemuda ini tak bertepuk sebelah tangan karena sang gadispun menyambut. Mereka akhirnya menikah dan menetap di Hek-yan-pang itu, setelah melalui dan mengalami beberapa kejadian pahit getir yang membuat keduanya semakin dewasa dan matang, juga tentu saja semakin dekat dan mesra satu sama lain. Dan ketika pemuda itu menetap dan tinggal bersama anak-anak murid Hek-yan-pang maka Beng Tan secara resmi ditunjuk untuk menjadi ketua disitu, sang isteri mewakili.

"Aku masih di bawahmu, dan kau jauh lebih lihai. Kau pimpinlah perkumpulan ini ke arah yang lebih baik, Tan-ko. Aku mendampingi dan cukup sebagai wakil ketua saja!"

"Hm, mana mungkin? Anggauta mu semua perempuan, Cu-moi. Dan aku tak biasa bergaul dengan begitu banyak wanita. Aku kikuk, sebaiknya aku saja sebagai pendamping atau penasihat, pelindung!"

"Tidak, semua anggautaku sudah menyatakan persetujuannya, Tan-ko. Kau menjadi pemimpin dan kami anak buahmu!"

"Hush, kau bukan anak buah, kau isteri!"

"Mmmm.... ya, begitu maksudku. Pokoknya kau di atas dan aku di bawah!"

"Eit, bawah mana? Bawah kasur? Jangan macam-macam, ini bukan gurauan, Cu-moi. Ini adalah warisan para leluhur tetau tetua terdahulu!"

"Ih!" sang isteri cemberut, merasa salah omong. "Maksudku tentu saja bukan bawah kasur, Tan-ko, melainkan di bawahmu dalam arti kata jabatan. Semua anggauta sudah menyatakan persetujuannya untuk kau pimpin!"

"Tapi Hek-yan-pang warisan guru dan nenek-nenek gurumu. Aku bisa kena kutuk!"

"Tidak, kita bisa bersembahyang di abu leluhur. Para guru dan arwah pendiri Hek-yan-pang tentu tahu bahwa tanpa kau di sini tentu perkumpulan ini sudah hancur. Ingat saja ketika kami diserang Golok Maut, dan ingat juga ketika beberapa orang sesat mencoba merusak perkumpulan ini!"

"Hm-hm, baiklah," sang suami akhirnya mengangguk-angguk, menarik lengan isterinya itu. "Tapi mengajari murid-murid wanita tak mau aku, Cu-moi. Kaulah yang tetap berhubungan dengan mereka dan aku hanya dari luar!"

Sang isteri tersenyum. Tentu saja dia mengangguk dan geli oleh permintaan suaminya itu. Dan lagi, mana mungkin dia membiarkan suaminya mengajari murid-murid perempuan? Ah, itu urusannya. Suaminya adalah miliknya! Dan ketika Beng Tan setuju dan memimpin di situ maka pemuda ini mengusulkan untuk menerima murid laki-laki.

"Apa? Laki-laki? Eh, memasukkan buaya kalau begitu, koko. Jangan! Bisa tak keruan jadinya murid-murid perempuan kita nanti!"

"Itulah..." Beng Tan meraih tangan isterinya ini. "Ada sesuatu yang hendak kubicarakan, Cu-moi. Dan justeru sesuatu inilah yang amat penting!" dan membiarkan isterinya terbelalak sejenak pemuda ini lalu mengajaknya duduk. "Kau tentu ingin mendengar, bukan?"

"Ya." "Nah, ketahuilah," pemuda ini sudah mulai membuka jalan pikirannya. "Aku melihat adanya sesuatu yang membuat murid-murid Hek-yan-pang gelisah, Cu-moi. Dan itu adalah karena mereka tak ada yang menyanding. Jelasnya, beberapa mata kulihat iri memandangmu!"

"Iri? Murid-muridku sendiri?"

"Hm!" pemuda ini semburat. "Sebagai lelaki aku dapat melihat itu, Cu-moi, dan sebagai perempuan agaknya kau tidak. Benar, murid-murid Hek-yan-pang iri memandangmu, dan itu kulihat jelas!"

"Soal apa? Tentang apa?"

"Tentang kita!"

"Kita?"

"Ya, kita, Cu-moi. Kebahagiaan yang kita peroleh ini, pernikahan kita!"

"Aku tidak mengerti," sang isteri mengerutkan kening. "Apakah maksudmu itu mereka ingin menggantikan aku, koko? Mau bercokol dan duduk sebagai hu-pang-cu?"

"Hm, salah, bukan begitu. Maksudku, hmm.... mereka itu juga ingin kawin, menikah!"

"Hah?"

"Benar, mereka ingin seperti kita, Cu-moi. Murid-murid Hek-yan-pang itu butuh laki-laki dan pendamping!"

"Ah, hi-hik!" Swi Cu tiba-tiba tertawa, lenyap kekagetannya. "Kukira apa, koko. Tak tahunya itu. Ih, salah. Semua murid- murid perempuan di sini sudah biasa hidup sesama jenis dan tidak memikirkan laki-laki!"

"Tapi mereka tetap manusia, Cu-moi. Mereka iri dan ingin menikah seperti kita!"

"Tak mungkin, biar kutanya mereka!" dan Swi Cu yang berkelebat dan sudah meninggalkan suaminya sambil terkekeh lalu memanggil semua murid-murid Hekyan-pang, ditanya satu per satu dan apakah mereka mau kawin, pertanyaan yang tentu saja mengejutkan murid-murid itu dan Beng Tan sendiri sampai terhenyak.

Pemuda ini pucat dan bingung sekali. Swi Cu tahu-tahu bersikap seperti itu, memanggil semua murid dan menanyai mereka, tentu saja tak ada yang mengaku! Dan ketika Swi Cu terkekeh dan kembali berkelebat di depan suaminya maka gadis, eh... nyonya muda ini berkacak pinggang.

"Lihat, penglihatanmu keliru, koko. Mereka tak ada yang ingin kawin, semua murid Hek-yan-pang tak menghendaki adanya laki-laki, kecuali kau disini!"

"Tapi... tapi..." sang pemuda gugup. "Mata hatiku melihat itu, Cu-moi. Dan tentu saja murid-murid itu tak ada yang mengaku. Mereka perempuan, malu!"

"Hm, tidak. Di sini sudah dilatih untuk bersikap jujur, koko. Siapapun yang ingin bicara dan mau melakukan sesuatu dipersilahkan bicara. Kau terlalu berlebihan!"

"Ah, tidak. Aku serius!" tapi ketika sang isteri terkekeh dan meninggalkannya maka Beng Tan termangu dan tak berdaya, bingung dan tak tahu harus berbuat apa karena sesungguhnya gejala-gejala itu dilihatnya jelas. Banyak murid-murid Hek-yan-pang yang memandangnya dengan pandangan aneh, dan satu di antaranya adalah Ki Bi! Dan ketika pemuda itu tergetar dan pucat membayangkan ini maka teringatlah dia akan kejadian beberapa hari yang lalu.

Waktu itu, untuk sesuatu keperluan di luar Swi Cu meninggalkan Hek-yan-pang. Isterinya itu mengajak enam murid yang lain karena mereka membutuhkan bahan makanan untuk semua penghuni. Beras dan ransum-ransum lain habis, persediaan tinggal menipis. Dan ketika isterinya pergi untuk dua tiga hari maka terjadilah peristiwa malam itu yang membuat Beng Tan terguncang.

Ki Bi, murid pertama di situ tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Saat itu dia sedang siulian atau duduk bersamadhi untuk mengembalikan tenaga. Empat jam sudah dia berlatih dan Beng Tan beristirahat, ingin memulihkan tenaga. Maka ketika pintu kamar diketuk dan Beng Tan heran serta terkejut bagaimana malam-malam begitu ada anak murid yang mendatanginya di kamar maka Beng Tan bertanya siapa itu dan ada keperluan apa.

"Aku Ki Bi... aku aku ingin menghadap pangcu (ketua)."

Beng Tan tertegun. Cepat dia menyuruh gadis itu masuk dan Beng Tan teringat wajah Ki Bi yang cantik dan manis. Gadis ini adalah murid nomor satu di situ dan kepandaiannyapun setingkat di bawah isterinya. Ki Bi selama ini dikenalnya sebagai gadis yang lemah lembut dan gemulai, meskipun tentu saja di balik semua kelemah-lembutannya itu Ki Bi adalah gadis yang berkepandaian tinggi.

Gadis ini mahir menguasai Ang-in Kiam-sut dan hanya dalam pukulan Ang-in-kang atau Pukulan Awan Merah itu dia masih kalah dengan Swi Cu, karena Swi Cu memiliki sinkang setingkat di atas murid utama ini. Maka ketika Beng Tan menyuruh masuk dan tak bercuriga apa-apa, karena biasanya gadis itu juga tak berbuat apa-apa maka Beng Tan tersentak ketika tiba-tiba gadis itu masuk dan menjatuhkan diri berlutut dengan pakaian yang tembus pandang, basah kuyup!

"Ampun...!" gadis itu menggigil. "Aku... aku masuk mengganggumu, pangcu. Aku habis bertempur dengan seseorang dan jatuh ke telaga!"

"Bertempur dengan seseorang? Jatuh di telaga?"

"Benar," gadis itu tiba-tiba menangis. "Aku menghadapi lawan tangguh, pangcu. Dan aku kalah. Musuh memasuki tempat ini dan karena kuanggap kuat maka pangcu kuganggu!"

"Ah!" Beng Tan meloncat dari atas pembaringannya. "Siapa dia itu, Ki Bi? Dari mana?"

"Aku tak tahu, tapi... tapi dia amat kuat!"

"Dan kau tidak membunyikan tanda bahaya!"

"Maaf, aku tak berani mengganggu murid-murid yang lain, pangcu. Aku ingin agar pangcu sendiri yang menangani dan membekuk penjahat itu!"

"Di mana dia!"

"Memasuki lorong bawah tanah."

"Ah, mari kita kejar, Ki Bi. Dan biar kutangkap!"

"Nanti dulu!" Ki Bi tiba-tiba meloncat bangun, tubuhnya yang berpakaian tipis dan tembus pandang membuat darah Beng Tan tersirap. "Aku juga ikut, pangcu. Dan jangan tinggalkan aku. Aku takut!"

"Hm, marilah!" dan Beng Tan yang menyambar serta menarik gadis ini lalu menekan debaran jantungnya lagi dan berhasil menguasai diri. Kalau saja dia tidak mendapat laporan akan adanya musuh yang datang tentu dia akan menegur dan memaki Ki Bi kenapa berpakaian seperti itu. Hampir seluruh lekuk-lengkung gadis itu tampak, tercetak ketat karena pakaian Ki Bi pun basah kuyup. Pemandangan ini cukup membuat darah lelaki tergetar dan Beng Tan juga begitu.

Namun karena dia adalah pemuda yang berbatin bersih dan Beng Tan bukanlah pemuda hidung belang maka keadaan Ki Bi yang seperti itu hanya sempat mengguncangnya sejenak tapi tidak untuk seterusnya. Pemuda ini berhasil menguasai dirinya dan rangsangan nafsu yang menggodanya itu cepat dapat dipadamkan. Beng Tan sudah bergerak dan berkelebatan menuju ruangan bawah tanah. Ruangan itu adalah penjara dan biasanya dipergunakan untuk menghukum anak-anak murid yang bersalah. Dan ketika Beng Tan mulai memasuki ruangan ini sementara Ki Bi ditarik dan selalu berada di sampingnya maka Ki Bi menggigil ketika mereka mulai berada diruangan yang gelap.

"Ki Bi, buatlah obor. Kita lacak jejak orang itu!"

"Ah, tidak, jangan pangcu, musuh nanti lari. Sebaiknya biar begini saja dan kita tangkap secara diam-diam!"

"Hm, begitukah? Baik!" dan Beng Tan yang tidak bercuriga dan menganggap benar lalu menarik Ki Bi dan bersama wanita itu sudah memasuki lorong bawah tanah.

Namun Ki Bi bersikap aneh. Wanita ini tiba-tiba mendesah, gugup dan kelihatannya tak keruan. Beng Tan harus dua kali berhimpitan badan ketika melalui lorong yang sempit, merasa betapa gadis itu berdekatan muka dan pipi mereka nyaris berciuman! Pemuda ini harus menahan napas karena napas Ki Bi justeru menerjang mukanya, panas dan aneh. Dan ketika Beng Tan diganggu perasaan tak enak dan cepat menjauhkan diri maka selanjutnya mereka sudah keluar masuk ruangan bawah tanah itu namun bayangan musuh yang dicari tak kelihatan batang hidungnya.

"Benarkah dia memasuki ruangan ini? Atau sudah lari?"

"Tak mungkin, musuh itu mendekam di sini, pangcu. Dan aku tahu bahwa dia belum keluar!"

"Tapi kau tadi ke kamarku!"

"Benar, tapi kawat yang kuletakkan di depan pintu masuk tadi juga masih tak berubah, pangcu. Benda itu masih di sana dan pangcu sendiri tahu!"

"Hm, betul juga. Kalau begitu mari terus masuk!" dan Beng Tan yang berindap serta berhati-hati melanjutkan langkahnya lalu memeriksa ruangan demi ruangan. Tinggal empat ruangan lagi yang akan diperiksa dan Ki Bi tampak tegang sekali. Beng Tan merasa aneh tapi tidak heran. Mereka sedang mencari musuh, melacak jejaknya. Tapi bahwa Ki Bi tampak demikian ketakutan dan napasnya memburu, hal yang dirasa aneh maka Beng Tan berkata bahwa gadis itu tak usah terlalu ketakutan.

"Aku ada di sini, di depan. Kalau musuh menyerang maka akulah yang lebih dulu terkena. Kenapa kau demikian gelisah dan ketakutan, Ki Bi? Mana itu keberanianmu sebagai murid utama Hek-yan-pang?"

"Maaf," wanita ini menggigil, tersedak. "Ak.... aku hanya tegang, pangcu, bukan takut. Aku tegang bahwa musuh yang kita cari itu belum ketemu!"

"Hm, pasti ketemu kalau benar-benar ada di ruangan bawah tanah ini. Tinggal empat ruangan lagi yang kita periksa, Ki Bi. Dan kalau betul dia di situ tentu akan kita dapatkan!"

Ki Bi tak menjawab. Wanita ini sekarang mencengkeram lengan Beng Tan erat-erat. Lengan yang lembut namun terasa panas itu menjalar juga di tubuh Beng Tan. Pemuda ini merasa heran dan ganjil kenapa lengan wanita itu seperti terbakar, layaknya seperti orang demam! Tapi karena mereka berada di ruangan bawah tanah dan ketegangan yang memuncak memang bisa saja membawa seseorang ke dalam perasaan yang tinggi maka Beng Tan diam saja ketika mereka mulai mendekati ruangan pertama, ruangan yang mulai remang-remang karena mendapat sedikit cahaya bulan, dari celah-celah batu di atas sana.

"Ih!" Ki Bi berteriak. "Ular, pangcu. Ada ular di sini!"

Beng Tan bergerak cepat. Entah dari mana datangnya tiba-tiba seekor ular melejit dan terbang di mukanya. Ular itu menyerang Ki Bi dan wanita itu berteriak, kaget. Tapi ketika Beng Tan berhasil menangkap dan meremas kepalanya, sementara Ki Bi menabrak dan menumbuk dinding batu maka baju wanita itu sobek dan sebagian pundaknya yang mulus putih kelihatan.

"Bret!" Suara ini membuat Beng Tan tertegun. Dia semburat merah menyaksikan pundak yang merangsang itu. Berada berduaan saja dengan seorang wanita cantik macam Ki Bi memang mudah menimbulkan bayangan macam-macam, apalagi Ki Bi dengan pakaian seperti itu, masih tembus pandang dan basah oleh air. Wanita itu tak sempat berganti pakaian karena Beng Tan mengajaknya ke situ, mengejar musuh. Tapi karena Beng Tan adalah pemuda berbatin bersih dan betapapun pemandangan itu coba membangkitkan berahinya maka pemuda ini berhasil menekan debaran jantungnya dengan memberikan baju luarnya.

"Ki Bi, kau bisa kedinginan. Pakailah bajuku, dan jangan biarkan pundakmu terbuka."

Ki Bi mengeluh aneh. Beng Tan tak melihat pandangan kecewa karena pemuda itu memang tidak berpikiran yang macam-macam. Beng Tan terlalu bersih untuk menduga yang tidak-tidak. Dan ketika Ki Bi mengucap terima kasih dan mereka menuju ke ruangan nomor dua maka di sini terjadi lagi gangguan lain. Beng Tan yang siap memasuki pintu ruangan mendadak mendengar kesiur angin dingin. Dari belakangnya menyambar belasan sinar merah, atau cahaya yang kemerah-merahan. Dan ketika Beng Tan tentu saja terkejut dan menyampok, membentak perlahan maka sinar-sinar merah itu mendadak saja terpental atau tertolak ke arah Ki Bi.

"Aduh, kelabang...!"

Beng Tan terkejut. Tentu saja pemuda ini membelalakkan mata karena sinar-sinar merah yang disampoknya tadi adalah kelabang-kelabang keparat. Binatang itu terpental dan berjatuhan di tubuh Ki Bi, masuk dan menggigit serta menyelinap di balik pakaian wanita itu. Kontan Ki Bi menjerit-jerit dan melepas seluruh pakaian luarnya, hal yang membuat Beng Tan terkesiap. Dan ketika wanita itu berlarian ke sana kemari dan Beng Tan melihat betapa tubuh yang indah menggairahkan itu bergerak atau berguncang ke sana ke mari maka Ki Bi akhirnya menubruk dan menjerit minta diselamatkan!

"Aduh, tolong, pangcu.... tolong...! Ada kelabang memasuki pahaku!"

Beng Tan tersirap. Ki Bi hendak membuka atau melepas pakaian dalamnya, padahal itu adalah satu-satunya sisa terakhir yang menutupi tubuh wanita itu. Maka begitu Ki Bi berteriak dan seekor kelabang memang benar menggigit pahanya, sedikit di bawah daerah rawan maka Beng Tan membungkuk dan membentak menjepit kelabang jahanam itu, meremasnya hancur.

"Bedebah terkutuk!"

Ki Bi mengeluarkan keluhan panjang. Akhirnya wanita ini roboh dan menangis di dada Beng Tan. Beng Tan telah menahan gerakan tangannya tadi agar tidak membuka atau melepas pakaian dalam itu. Bayangkan, celana dalam Ki Bi akan dicopot. Beng Tan bisa mati kaku melihatnya! Tapi ketika pemuda itu telah meremas hancur dan kelabang itu dibuang dan diinjak maka dengan cepat kelabang-kelabang lain yang menyusup atau bersembunyi nakal di tubuh gadis ini sudah dibanting atau ditarik mampus.

"Sudahlah, sudah....!" Beng Tan menahan debaran jantungnya yang tak keruan. "Kelabang-kelabangitu sudah kubunuh semua, Ki Bi. Kini kau tak apa-apa dan selamat!"

"Ooohhh...!" wanita itu mengeluh panjang. "Binatang-binatang terkutuk itu sudah tak ada lagi, pangcu? Mereka tak menempel lagi di tubuhku?"

"Tidak, tubuhmu sudah bersih. Lihatlah."

"Aku tak berani lihat!" wanita ini mendekap mukanya. "Aku jijik, pangcu. Aku ngeri. Dan ah.... rasanya di dadaku ada seekor!"

Beng Tan terkejut. Di dada wanita itu tiba-tiba saja memang benar ada seekor kelabang yang "nongkrong" dengan asyik. Ki Bi tersentak dan tentu saja menjerit kaget. Baju di bagian itu dibuka dan wanita inipun kontan menjerit. Beng Tan mengeluarkan seruan tertahan karena "sepasang bola" bergoyang lebar, padat dan berisi, montok sekali! Dan ketika Ki Bi menjerit dan berteriak tak keruan, lari dan menubruk Beng Tan maka Beng Tan pucat dan merah oleh pemandangan yang tidak disangka-sangka itu, milik Ki Bi yang amat pribadi!

"Ah, jahanam keparat!" Beng Tan menotok dan menampar hancur kelabang itu. "Sudah kubunuh, Ki Bi. Sudah kulempar mampus. Jangan berteriak-teriak dan ketakutan seperti ini. Pakai kembali bajumu!"

"Tidak.... tidak!" wanita ini histeris ketakutan. "Aku tidak berani memakai bajuku,pangcu. Aku tidak berani melihat kelabang-kelabang itu. Kau periksalah semua tubuhku atau aku akan lari-lari telanjang bulat disini!"

"Ki Bi!" Beng Tan membentak. "Apa kau bilang? Kau gila? Jangan melepas semua pakaianmu, tahan dan lihat bahwa kau benar-benar sudah tidak apa-apa... plak!" dan Beng Tan yang terpaksa memukul atau menampar gadis itu akhirnya membuat Ki Bi terbanting roboh.

Gadis ini mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Beng Tan maju berlutut, membebaskan totokan atau tamparannya tadi. Dan ketika pemuda itu menghibur dengan kata-kata gemetar karena apa yang dilihat tadi sungguh mengguncang perasaannya maka Ki Bidi minta bangun berdiri dan mengenakan bajunya itu.

"Sudah tidak ada apa-apa lagi. Bangunlah, dan bagaimana binatang-binatang itu tiba-tiba saja ada di sini!"

"Aku takut, ngeri..." Ki Bi menangis. "Aku tak tahu bagaimana binatang-binatang itu ada di s ini, pangcu. Mungkin saja. mungkin saja keparat itu yang melemparnya!"

Beng Tan tertegun. Tiba-tiba dia teringat bahwa di situ masih ada musuh yang harus dicari-cari. Mereka belum mendapatkan musuh itu dan Beng Tan membuang semua kenangan yang dilihat. Tapi karena pemandangan tadi amatlah memukau dan darah mudanya bergolak cepat, panas, maka Beng Tan tak semudah itu menindas perasaannya. Benda pribadi yang dimiliki Ki Bi itu amat mengganggunya, demikian mengganggu hingga tak dapat dilupakannya!

Tapi karena Beng Tan adalah pemuda berwatak teguh dan lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan diri bahwa dia bukanlah hidung belang atau mata keranjang maka akhirnya Beng Tan mampu menguasai dirinya itu dan Ki Bi tertegun melihat Beng Tan sudah menyambar lengannya tanpa perasaan, tenang dan tidak terpengaruh!

"Ki Bi, kau benar, musuh masih ada di sini. Marilah kita lanjutkan dan tinggal dua ruangan yang harus kita periksa!"

Ki Bi memejamkan mata. Tiba-tiba kekecewaan hebat membayang di wajah gadis itu namun sayang Beng Tan lagi-lagi tak melihatnya. Beng Tan tak tahu betapa kecewa dan gemasnya hati gadis ini, juga malu, disamping kagum. Dan ketika Beng Tan mengajak gadis itu ke kamar terakhir maka Beng Tan sudah bersiap-siap ketika tiba-tiba Ki Bi tersentak dan mengeluarkan jerit tertahan.

"Ada gerakan di atas!"

Beng Tan terkejut. Suara gemuruh tiba-tiba menyentakkannya dari perhatian ke depan. Dia sedang memperhatikan pintu ruangan itu karena siapa tahu musuh tiba-tiba muncul dari sana, menyerang. Tapi ketika justeru Ki Bi berteriak dan menuding ke atas, atap atau langit-langit ruangan itu jebol maka Beng Tan terperanjat menggerakkan tangannya keatas.

"Bumm!"

Suara itu disusul jatuhnya empat batu besar. Beng Tan berteriak karena Ki Bi tak cepat menghindar, menjerit dan tertimpa batu-batu itu. Dan karena saat itu Beng Tan meloncat ke kiri dan mengira Ki Bi juga meloncat mengikutinya maka pemuda itu menjadi kaget karena Ki Bi justeru merintih dan terhimpit batu besar.

"Ki Bi!" Beng Tan terpaksa mengebutkan lengan bajunya. Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi debu tebal yang membuat pandangannya terhalang. Beng Tan terkejut karena mengapa Ki Bi tak menghindar, mungkin terperanjat dan bengong oleh longsoran tanah di atas. Kiranya langit-langit guha longsor. Namun ketika Beng Tan menolong gadis itu dan Ki Bi terisak-isak bercucuran air mata mendadak pemuda ini tertegun melihat seutas tali menjuntai lemah di sudut ruangan, bergoyang-goyang.

"Hm, apa itu?" Beng Tantak memperlihatkan penemuannya kepada Ki Bi, curiga. "Bagaimana tali itu tahu-tahu ada di sini dan bergelantungan? Melihat gelagatnya, tali itu sengaja dipasang orang. Dan aneh kalau tiba-tiba langit ruangan ambrol!"

Beng Tan tak membicarakan ini. Dia takut bahwa Ki Bi menjadi semakin tak keruan saja. Sebenarnya dia agak heran bagaimana Ki Bi yang merupakan murid utama di Hek-yan-pang bisa begitu penakut. Gadis ini sering menangisdan cengeng, padahal sehari-harinya tidak! Dan ketika Beng Tan membangunkan gadis itu dan membersihkan pakaiannya yang penuh debu maka Beng Tan tertegun lagi melihat sebuah bungkusan terlempar di sudut, bungkusan yang bergerak-gerak lemah, seolah ada isinya, mahluk hidup!

Apa itu? Beng Tan ingin tahu. Namun karena lagi-lagi dia tak ingin membuat Ki Bi panik dan ketakutan maka Beng Tan pura-pura tak melihat karena pikirnya itu mungkin ular atau sekumpulan cacing. Dan dia tentu saja tak takut. Beng Tan sudah mengajak Ki Bi ke ruangan nomor empat. Ruangan nomor tiga tadi tak ada apa-apanya alias kosong, tinggal ruangan nomor empat yang hendak dimasuki dan diwaspadainya ini. Tapi tepat dia membuka pintu ruangan itu dan berjaga untuk serangan gelap tiba-tiba saja berkesiur angin dingin dan sebuah bungkusan menghantam kepalanya.

"Dess!"

Beng Tan membuat bungkusan itu hancur. Beng Tan terkejut karena tiba-tiba dari dalam bungkusan ini berhamburan binatang-binatang luwing atau si kaki seribu. Ki Bi terpekik dan menjerit karena binatang-binatang itu juga menimpanya. Beng Tan sendiri menggerakkan lengan bajunya dan luwing-luwing itu terpental berjatuhan ke tanah, tidak seperti Ki Bi yang aneh sekali dapat tertimpa dan kejatuhan binatang-binatang menjijikkan ini, padahal seharusnya dapat mengelak! Dan ketika Beng Tan tertegun karena ruangan itu juga kosong sementara Ki Bi berteriak-teriak dan menjerit kengerian maka gadis ini sudah bergulingan melepas bajunya untuk telanjang.

"Ki Bi!" Beng Tan tiba-tiba berseru keras. Pemuda itu berkelebat dan marah melihat apa yang hendak dilakukan Ki Bi. Sesuatu melintas di otaknya dan sepolos-polosnya Beng Tan tetaplah dia akhirnya dapat mencium apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata dia tertipu. Bungkusan yang dihantamnya itu adalah bungkusan yang terlempar disudut, dan diapun diserang dari belakang, padahal yang ada di belakangnya adalah Ki Bi!

Maka ketika Beng Tan membentak dan mengibas semua luwing-luwing yang ada di tubuh Ki Bi, tak membiarkan gadis itu melepas pakaiannya karena tentu dia akan dibuat panas dingin maka Beng Tan sudah menotok dan merobohkan gadis itu.

"Kau menipuku, kau gadis keparat!"

"Oohh...!" Ki Bi tersentak, mengeluh. "Ap..., apa maksudmu, pangcu? Apa kau bilang?"

"Kau gadis keparat, kau pembohong!" dan Beng Tan yang mengulangi bentakannya serta merah padam memandang gadis itu lalu menyambar dan mencengkeram Ki Bi, marah bukan main. "Kau menipu aku bahwa sebenarnya tak ada apa-apa di sini, Ki Bi. Bahwa tak ada musuh seperti katamu itu. Kau berdusta dan menyerangku dengan bungkusan itu. Dan semua perbuatan ini kiranya hanyalah ulahmu belaka!"

"Oohh...!" Ki Bi terkejut, menangis. "Bagaimana... bagaimana kau menuduhku seperti itu, pangcu? Bagaimana kau mendakwa aku seperti ini?"

"Hm, tak usah bohong. Bungkusan yang menyerangku itu sudah kulihat di sudut tadi, Ki Bi, dan sekarang tak ada! Kau mengambilnya dan melemparnya ke kepalaku, sengaja dan hendak membuat aku terjebak! Ah, tahulah aku. Kau kiranya hendak menjerat aku dan mengajak berbuat hina. Kau cabul dan tak tahu malu!"

"Pangcu...!" gadis ini menjerit. "Ada akibat pasti ada sebab. Ada asap pasti ada api. Jangan membentak-bentakku kalau ingin tahu yang sebenarnya. Lepaskan cengkeramanmu, dan setelah itu kau boleh bunuh aku...!”