Golok Maut Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"BIARKAN aku.... biarkan aku. Mana Sin Hauw....!"

Beng Tan menyambar lengan si gadis. Wi Hong menjadi kalap dan gadis itu melompat begitu saja sambil menjerit histeris. Yang diingat pertama kali begitu sadar adalah kekasihnya, pemuda yang sudah menjadi mayat itu. Buntung, seperti anjing! Namun ketika Beng Tan mencekal dan menyambar lengan gadis ini maka Wi Hong meronta-ronta dan membentak melepaskan dirinya.

"Kalau kau menahan berarti kau mau kurang ajar denganku. Lepaskan.... plak-plak!"

Beng Tan mendapat tamparan dua kali, malah di hadiahi makian dan tendangan segala. Terpaksa pemuda itu melepaskan lawannya dan larilah Wi Hong menubruk jenasah itu. Gadis atau ketua Hek-yan-pang ini menjerit dan tersedu-sedu menciumi tubuh penuh darah itu, tak jijik atau ngeri dan bahkan memeluk mayat Si Golok Maut penuh kesedihan. Tangis dan raung yang keluar dari mulutnya sungguh menikam-nikam ulu hati.

Beng Tan sampai tak tahan dan bercucuran air mata pula, apalagi kekasihnya, Swi Cu, yang sudah sejak tadi tersedu-sedu dan menutupi muka dengan pucat. Gadis ini adalah sumoi Wi Hong dan tentu saja melihat dan menyaksikan kedukaan sucinya itu Swi Cu tak kuat. Gadis ini mengeluh dan akhirnya mencengkeram lengan Beng Tan. Si pemuda hanya mendelong dengan air mata kebingungan, juga haru dan marah. Namun ketika Wi Hong sadar dan meloncat bangun, bagai singa betina haus darah maka gadis ini meloncat mencengkeram Beng Tan.

"Siapa yang membunuhnya! Apakah betul si Kedok Hitam!"

"Hm," Beng Tan mengangguk, tak dapat berbuat lain. "Kedok Hitam memang pembunuhnya, Wi Hong. Dan aku menyesal sekali kenapa terlambat datang."

"Dan siapa manusia keparat itu? Kau mengenalnya? Siapa binatang terkutuk itu?"

"Aku tak mengenal, pertemuanku juga baru sekilas...." dan belum Beng Tan menyelesaikan kata-katanya, yang tentu saja bohong maka Wi Hong memekik dan menyambar ke belakang, berkelebat dan sudah membawa lari mayat kekasihnya ke atas.

Cepat dan luar biasa seolah melupakan duka atau lelahnya gadis ini keluar dari jurang dengan beban di pundak. Swi Cu sampai kaget dan Beng Tan sendiri berteriak tertahan melihat perbuatan itu. Jurang yang tinggi kini dinaiki dengan cepat dengan membawa sebuah mayat pula, meskipun mayat yang sudah buntung dan tidak berujud sebagai manusia yang utuh. Namun ketika dua orang itu berteriak dan melompat kaget maka Wi Hong sudah naik dengan cepat dan Golok Penghisap Darah yang dipakai untuk menancap-nancapkan kaki sudah berada di atas, luar biasa cepatnya.

"Aku akan mencari jahanam terkutuk itu. Aku akan mengadu jiwa. Aku akan membunuhnya!"

"Tidak!" Beng Tan berjungkir balik keluar jurang. "Kau tak dapat mencarinya sekarang, Wi Hong. Kau lelah, kau sedang terguncang. Tunggu dulu dan biar kita rawat jenasah Si Golok Maut itu!"

"Jangan menghalangi!" Wi Hong sudah membentak, terkejar. "Jangan macam-macam di depanku, Beng Tan. Atau aku akan membunuhmu atau kau membunuhku!"

"Ah, kau salah paham. Aku bermaksud baik.... singg!" namun golok yang maju menyambar lehernya tiba-tiba sudah bergerak tanpa ampun, menerjang dan pemuda itupun segera berkelebatan ke sana-sini karena Wi Hong menyerangnya. Beng Tan menghalangi dan gadis baju merah itu tentu saja marah. Dan ketika Beng Tan berteriak-teriak dan empat kali nyaris terbacok golok maka Swi Cu muncul di atas dan gadis itu menjerit melihat kekalapan sucinya.

"Berhenti.... berhenti! Jangan menyerang...!"

Namun Wi Hong semakin beringas. Melihat sumoinya hendak membela pemuda baju putih itu mendadak gadis ini melengking dan menyerang sumoinya itu pula. Swi Cu dibabat dan gadis baju hitam itu menjerit seraya melempar tubuh bergulingan. Sucinya sudah kesurupan dan Wi Hong memaki sumoinya itu yang dikata menghina dirinya, yang sudah tidak memiliki pelindung dan beda dengan sumoinya itu yang masih memiliki kekasih.

Kebencian dan kemarahan bertumpuk-tumpuk yang membakar ketua Hek-yan-pang ini membuat Wi Hong mata gelap. Dia tak perduli lagi apakah yang diserang itu sumoinya atau Beng Tan. Kedua-duanya dianggap musuh dan Swi Cu tentu saja mengeluh melihat tanda sucinya yang beringas ini. Wi Hong sudah bukan lagi gadis yang normal melainkan seperti kuntilanak haus darah. Dua kali Swi Cu terbabat dan gadis baju hitam itu menjerit pada Beng Tan.

Dan ketika Beng Tan terbelalak dan apa boleh buat harus mencabut Pek-jit-kiamnya, Pedang Matahari itu maka Golok Penghisap Darah terpental dan terlepas dari tangan Wi Hong ketika beradu sama keras dengan pemuda yang memiliki kelebihan sinkang ini, menendang dan Wi Hong pun mencelat terguling-guling. Beng Tan tak menunggu waktu lagi dan ditotoklah gadis baju merah itu. Dan ketika Wi Hong mengeluh dan pingsan dilanda dendam maka Swi Cu mengguguk menubruk kekasihnya itu sementara Beng Tan menyimpan kembali pedangnya dan memungut Golok Penghisap Darah.

"Berbahaya, tak kenal ampun. Hm, kau berhentilah menangis, Swi Cu. Jangan buat aku menjadi semakin bingung saja. Kita tolong sucimu ini, dan kita kubur mayat Si Golok Maut."

Swi Cu masih saja tersedu-sedu. Gadis ini sedih dan ngeri melihat keadaan sucinya. Sucinya itu tak berpikiran normal lagi dan siapapun rupanya mau dibunuh. Ah, takut dia. Tapi ketika kekasihnya mengajak bangkit berdiri dan mayat Si Golok Maut memang harus dikubur maka dengan menggigil dan muka ngeri gadis ini membantu Beng Tan, sering menutupi muka karena bentuk mayat itu sungguh tak kuat dipandang. Swi Cu hampir muntah-muntah. Namun ketika semuanya selesai dan Golok Maut sudah dikubur maka Wi Hong disadarkan dan gadis baju hitam inilah yang menolong sucinya.

"Mana Golok Maut, mana suamiku!"

Swi Cu tertegun. "Golok Maut tewas, suci. Suami atau kekasihmu itu tak ada lagi..."

"Aku tahu!" Wi Hong membentak, mata bersinar-sinar liar. "Aku bertanya di mana mayatnya, Swi Cu. Di mana kalian sembunyikan!"

"Aku tak menyembunyikan, kami menguburnya...."

"Di mana!"

"Itu...."

Dan begitu Swi Cu menunjuk tiba-tiba Wi Hong melengking perlahan dan berkelebat ke makam yang baru itu, baru sekarang dilihat karena tadi berada di belakangnya. Gadis baju merah ini menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Dia baru saja sadar, Swi Cu menyadarkannya. Tapi begitu ingat dan membentak panjang, di sela-sela tangisnya, mendadak gadis ini bergerak dan makam yang masih baru serta gembur itu digali dengan cepat!

"Heii..!" Swi Cu dan Beng Tan berseru kaget. "Jangan gila, suci. Kami baru saja menguburnya!"

"Aku tak perduli. Mayat suamiku tak boleh dikubur di sini, tak boleh dikubur orang lain. Akulah yang berhak, aku yang akan menguburkannya!" dan ketika sebentar kemudian mayat itu sudah terlihat dan disambar naik, membuat Beng Tan dan Swi Cu terbelalak maka Wi Hong sudah tertawa dan menangis mirip kuntilanak yang sedang gila.

"Hi-hik, heh-heh.... kau akan kutidurkan di tempat lain, Hauw-ko (kanda Hauw), kubawa ke tempat lain. Marilah, kita pergi dan biarkan dua manusia yang lagi berasyik-masyuk ini melihat kita bercumbu di tempat lain!" dan Wi Hong yang berkelebat serta membawa mayat itu tiba-tiba memutar tubuhnya dan terbang meninggalkan Swi Cu berdua.

Beng Tan dan kekasihnya ini kaget dan mereka berdua sampai tak dapat bicara, menjublak. Tapi ketika mereka sadar dan berteriak keras tiba-tiba Beng Tan dan kekasihnya ini sudah berkelebat mengejar.

"Heii...!" Beng Tan berseru pucat. "Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu, Wi Hong. Biarkan dia beristirahat di sini dan kau tinggalkanlah!"

"Benar!" Swi Cu juga menjerit, berseru pada sucinya itu. "Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu, suci. Berhenti dan serahkan kepada kami!"

"Tidak, aku yang lebih berhak!" dan Wi Hong yang tancap gas sambil terkekeh-kekeh akhirnya membuat Swi Cu gemetar dan melihat bahwa sucinya itu benar-benar sudah tidak waras lagi. Mayat Golok Maut yang buntung dibawa terbang dan berlepotan tanah, juga darah, darah yang tentu saja sudah mengering. Namun ketika dia mengeluh dan Beng Tan berjungkir balik mengerahkan ginkangnya tiba-tiba sudah menghadang dan turun di depan ketua Hek-yan-pang ini, membentak,

"Berhenti.... dess!"

Dan Wi Hong yang menumbuk serta menabrak pemuda itu dengan keras akhirnya terbanting dan memaki-maki Beng Tan akibat tabrakan yang keras itu, tak dapat dihndarkan lagi dan gadis atau ketua Hek-yan-pang ini menjerit dan mengaduh kesakitan. Dia terlempar dan terguling-guling namun hebatnya mayat yang ada di pundaknya itu masih saja dicekal erat. Nyata, Wi Hong tak mau kehilangan mayat ini, mayat suaminya, kekasih tercinta! Dan ketika gadis itu bergulingan meloncat bangun dan Swi Cu berkelebat serta menggigil di samping kekasihnya maka gadis baju hitam ini menjerit, serak,

"Suci, jangan gila, Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu. Serahkan kepada kami, biar dikubur di sini saja!"

"Tidak, hi-hik! Aku akan mempertahankan mayat suamiku ini, Swi Cu. Kalian tak boleh merebutnya karena dia suamiku. Mampuslah, atau aku kalian bunuh!" Wi Hong menerjang, terkekeh dan tertawa-tawa namun Beng Tan cepat melindungi kekasihnya.

Swi Cu ditarik ke belakang dan pukulan lawan ditangkis. Wi Hong terpental dan terpelanting namun mayat itu masih juga tidak jatuh. Gadis ini terkekeh-kekeh dan malah menciumi mayat itu, menerjang dan menyerang lagi dan Beng Tan sendiri sampai mengkirik melihat kejadian ini. Wi Hong benar-benar tidak waras, gila! Namun ketika dia mengelak sana-sini dan akhirnya satu pukulan membuat lawannya itu terlempar, terbanting, maka Wi Hong meraung-raung dan gadis itu menggigit lengannya sendiri.

"Beng Tan, kau bunuhlah aku. Antar aku agar menyusul arwah Si Golok Maut. Atau aku akan memecahkan kepalaku sendiri dan kalian kubur kami dalam satu lubang!"

"Heii!" Beng Tan membentak. "Jangan gila, Wi Hong. Tahan.... dess!" dan Wi Hong yang roboh terpelanting dan kini melepaskan mayat setelah tadi menghantam ubun-ubunnya sendiri mendadak menangis menggerung-gerung dan Beng Tan menotoknya lumpuh.

Gadis atau ketua Hek-yan-pang itu menjerit-jerit dan Swi Cu tersedu mengguguk tak tahan lagi, melompat dan menangis memeluk sucinya Itu. Dan ketika Wi Hong terkekeh dan meludah ke sana ke mari maka Swi Cu berkata agar mayat itu diserahkan saja kepada sucinya ini.

"Dia mungkin akan menguburnya ke tempat lain. Biarlah.... biarlah.... kita serahkan saja dan tak usah kita campuri lagi...!"

"Hm," Beng Tan pucat, ngeri. "Kau yakin tak akan ada apa-apa dengan sucimu ini, Cu-moi? Dia tak akan melakukan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya sendiri? Dia sedang mengandung, dan pukulan ini terlampau berat baginya!"

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Kalau suci sudah menghendaki begitu tak dapat kita mencegahnya lagi, Tan-ko. Salah-salah dia akan bunuh diri seperti kata-katanya tadi. Tidak, tidak. Biarkan ia pergi karena mungkin mayat itu akan dikuburnya di tempat lain!"

Dan Beng Tan yang tak dapat bicara apa-apa lagi dan menurut kata-kata kekasihnya lalu membebaskan Wi Hong dan seketika gadis baju merah itu tertawa berseri-seri.

"Swi Cu, kau baik. Kau, ah.... kau baik dan cantik sekali!" dan Wi Hong yang terkekeh melompat bangun lalu mencium sumoinya itu dan berkelebat menyambar mayat di atas tanah, terbang dan pergi meninggalkan dua orang itu sambil tertawa-tawa mengerikan namun mendadak baru beberapa langkah berhenti lagi, membalik dan sudah berkelebat ke arah Beng Tan. Dan ketika Beng Tan terkejut dan tak tahu apa yang mau dikehendaki ketua Hek-yan-pang ini tiba-tiba Wi Hong membentak agar dia menyerahkan Golok Penghisap Darah itu, milik Si Golok Maut.

"Serahkan golok itu dan aku tak akan mengganggu lagi. Barang milik suamiku tak boleh dipegang orang lain!"

Beng Tan mundur. Dia terkejut dan berubah oleh kata-kata ini, sejenak berkerut-kerut dan berpikir bagaimana baiknya. Tapi ketika Swi Cu menangis dan berkata padanya bahwa biarlah golok itu diserahkan sucinya, hitung-hitung sebagai pelindung diri bagi sucinya itu maka Beng Tan menarik napas dalam dan apa boleh buat menyerahkan golok itu, Golok Penghisap Darah. Dan begitu Wi Hong menerima dan terkekeh, mengelebatkan golok di depan mukanya maka gadis itu sudah terbang dan meninggalkan mereka, benar-benar tak kembali lagi.

"Hi-hik, terima kasih, Swi Cu. Dua kali kau melepas kebaikan padaku. Baiklah, lain kali akan kubalas dan selamat tinggal!"

Swi Cu dan Beng Tan menjublak membelalakkan mata. Swi Cu sendiri tak henti-hentinya menangis sampai sucinya itu lenyap di bawah, tapi begitu sucinya lenyap dan tidak kelihatan lagi, entah ke mana maka gadis ini mengguguk dan menubruk kekasihnya.

"Aku mungkin tak akan melihat suci lagi. Kita mungkin lama tak akan bertemu lagi. Ah, perasaanku tersayat-sayat, koko. Sungguh kejam dan keji benar orang yang membunuh Golok Maut itu!"

"Hm, sudahlah," Beng Tan menekan guncangan hatinya yang berkali-kali. "Aku tak dapat berbuat apa-apa dalam masalah ini, Cu-moi. Aku menyesal dan juga mengutuk kekejian itu. Tapi, ah... Golok Maut juga kejam!"

"Tapi dia membunuh karena dendam! Aku sudah mulai mendengar sebagian kisahnya dari suci Wi Hong!"

"Hm, benar. Dan persoalan ini rumit. Dendam dapat menciptakan manusia baik-baik seperti iblis! Sudahlah, aku sendiri sedang terguncang oleh semua kejadian ini, Cu-moi. Kita pergi dan cari Sian-su!"

"Benar," Swi Cu tiba-tiba menarik lepas tubuhnya, tertegun. "Berkali-kali kau menyebut nama ini, Tan-ko. Siapa orang yang kau maksud itu? Gurumu?"

"Hm, bagiku begitu. Tapi bagi Sian-su tak sepenuhnya. Orang yang kumaksud memang benar kakek dewa yang pernah kuceritakan padamu itu, Cu-moi. Dialah Sian-su, Bu-beng Sian-su yang terhormat!"

"Dan kau tak kembali ke istana? Tak ke kota raja?"

"Ah, aku tertipu," Beng Tan tersenyum pahit. "Untuk apa ke sana lagi, Cu-moi? Semuanya ini cukup. Kita tak perlu ke sana dan mari mencari guruku itu. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan!"

"Apa?"

"Ini..." Beng Tan mengeluarkan sepucuk lipatan surat. "Aku heran bahwa di saku baju Si Golok Maut itupun ada surat seperti ini."

Swi Cu mengerutkan kening. Dia heran melihat Beng Tan mengeluarkan sebuah surat yang dilipat baik-baik itu, dibuka dan membaca isinya. Dan ketika Beng Tan merogoh dan mengeluarkan benda yang sama dari saku yang lain maka Swi Cu tertegun membelalakkan mata.

"Syair! Syair yang mirip dan sama! Eh apa artinya itu, Tan-ko? Rahasia apa yang terkandung di tulisan-tulisan ini?"

"Aku tak tahu, tapi Sian-su bilang bahwa ada sesuatu yang amat berharga di situ. Aku disuruh mencari, tak dapat. Sudah berusaha kutemukan tapi sampai saat inipun otakku rasanya bebal. Hm, Sian-su adalah kakek dewa yang amat mengagumkan, Cu-moi. Apa yang dia berikan tak pernah kosong, pasti selalu ada isinya. Marilah, kita berangkat dan temui kakek itu!"

"Nanti dulu!" Swi Cu menahan, melihat Beng Tan sudah menyambar lengannya untuk diajak pergi. "Katakan dulu kepadaku ke mana kita pergi, Tan-ko. Dan bagaimana selanjutnya urusan kita sendiri!"

"Maksudmu?"

"Hubungan kita ini," Swi Cu merah mukanya, terisak. "Aku ingin tahu bagaimana kau mewujudkan cita-cita kita, koko. Apa yang kaulakukan setelah ini!"

"Ah, aku akan menikahimu!" Beng Tan tertegun, memeluk kekasihnya. "Urusan kita sudah selesai, Cu-moi. Golok Maut telah tewas dan tak ada ikatanku lagi dengan sri baginda kaisar. Aku akan membawamu kepada Sian-su dan sekaligus minta restunya!"

"Kalau begitu di mana kakek itu tinggal?"

"Di Lembah Malaikat. Marilah, aku tak akan melupakan janjiku tapi kita temui dulu kakek itu!" dan Beng Tan yang mengecup serta mencium kekasihnya lalu membuat Swi Cu lega dan girang, bahagia tapi sayang kebahagiaannya itu terganggu oleh urusan sucinya. Di sana sucinya menderita sementara dia di sini mendapatkan kebahagiaannya. Ah, betapa beda keberuntungan mereka. Tapi begitu Beng Tan membawanya pergi dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka Swi Cu pun termenung-menung antara senang dan susah!

* * * * * * *

"Berhenti, ini Lembah Malaikat,"

Swi Cu mendengar kekasihnya bicara setelah dua malam melakukan perjalanan. Letih dan penat diajak kekasihnya berputar-putar di tempat yang penuh Jurang dan lembah akhirnya Beng Tan menghentikan larinya dan mengusap keringat. Swi Cu sendiri setengah bersandar dan agak mengantuk di pundak kekasihnya tadi. Dua malam ini dia diaduk bermacam perasaan yang silih berganti, haru dan duka serta entah perasaan macam apa lagi yang bergalut semuanya, menjadi satu dan berbaur seperti benang ruwet.

Tapi begitu Beng Tan berhenti dan mendorong tubuhnya dengan halus, menyadarkan kekasihnya maka Swi Cu tertegun mendengar kicau burung yang merdu di atas pohon-pohon yang rindang. Monyet dan segala jenis blnatang-binatang kecil tiba-tiba bermunculan. Kelinci dan katak tiba-tiba berlompatan, datang dan menghampiri Beng Tan dengan berani. Alangkah herannya dia! Tapi ketika Beng Tan tersenyum dan mengambil pisang atau kacang di dalam buntalannya maka monyet dan kelinci datang berebut.

"Ah," gadis ini berseru tertahan. "Jadi ini kiranya kenapa di luar dusun tadi kau membeli pisang dan semuanya itu, koko? Kau hendak memberi makan mereka?"

"Ya," Beng Tan tersenyum gembira. "Semua binatang di sini tak takut-takut kepada manusia, Cu-moi. Sian-su telah melatih mereka dengan memberinya makan setiap hari."

"Dan kaupun agaknya dikenal!"

"Benar, aku juga sering memberi makan mereka seperti Sian-su, setiap hari. Dan Itu Pek-kauw!" Beng Tan tiba-tiba menuding, melihat seekor kera putih muncul dari balik pohon dan kera itu bercecowetan menghampiri Beng Tan. Larinya yang cepat dan sebentar kemudian sudah melompat di pundak pemuda ini membuat Swi Cu tiba-tiba tercengang, heran dan kagum dan tiba-tiba dia terkekeh ketika monyet putih ini merogoh semua saku Beng Tan. Pek-kauw, monyet itu, rupanya mencari sesuatu dan Beng Tan tertawa mengeluarkan sebungkus kembang gula, permen. Dan ketika bungkusan itu direbut dan Pek-kauw sudah cecowetan membuka isinya maka monyet ini berjingkrak-jingkrak di kepala Beng Tan!

"Hi-hik," Swi Cu tiba-tiba tak dapat menahan geli, lenyap kemurungannya. "Kera ini lucu sekali, koko. Dia manja dan rupanya paling akrab denganmu!"

"Benar," Beng Tan juga tertawa. "Pek-kauw paling berani dan kurang ajar pula, Cu-moi. Tapi dia tak pernah menyakiti aku. Lihat, kesukaannya adalah kembang gula itu sementara teman-temannya yang lain adalah pisang atau kacang!"

Swi Cu terkekeh-kekeh. Gembira dan geli melihat tingkah si monyet yang lucu, tiba-tiba diapun ingin bercanda. Dia minta agar Beng Tan memberikan monyet putih itu. Tapi ketika Pek-kauw bercecowetan dan meloncat turun, lari bersembunyi di balik pohon besar tadi maka Beng Tan tertawa memberi tahu bahwa binatang itu ingin menikmati kembang gulanya dulu, mungkin takut direbut yang lain.

"Ha-ha, belum mau. Tapi lihatlah, kenari dan burung-burung kutilang itu mendekatimu, Cu-moi. Berikan makanan ini kepada mereka dan bersikaplah sebagai seorang sahabat!"

Swi Cu terkejut. Tujuh ekor burung beterbangan di mukanya dan berkicau saling sahut. Mereka melihat pisang dan makanan berbiji yang ada di tangannya, pemberian Beng Tan. Dan ketika dia terbelalak dan melebarkan matanya tiba-tiba lima ekor kenari dan sepasang kutilang menyerbu dirinya, berkicau mematuk makanan di tangannya itu dan hinggap di sana-sini, tak takut-takut!

"Ha-ha, itulah mereka, Cu-moi. Bersenang-senanglah. Bergembiralah!"

Swi Cu terkekeh. Akhirnya dia menangkap satu di antara lima ekor burung kenari itu, burung berwarna kuning. Burung ini jinak dan mandah saja ditangkap. Tadi dia mengepak-ngepakkan sayapnya dan juga ekor, lucu. Swi Cu gemas dan lupalah gadis itu akan persoalannya dua hari yang lalu, mencium dan menangkap yang lain lagi dan tak lama kemudian gadis ini sudah terkekeh-kekeh melupakan maksud kedatangannya pula ke situ, bermain dan bergembira bersama penghuni lembah dan Beng Tan pun juga terbawa oleh suasana yang penuh riang ini.

Kelinci dan monyet serta katak adalah teman-temannya sejak dulu. Mereka itu sahabat-sahabat penghuni Lembah Malaikat. Dua muda-mudi ini tiba-tiba bergembira dan Beng Tan pun lupa akan maksud kedatangannya di situ. Tapi ketika dua jam mereka bermain-main dan monyet atau kelinci disuruh menari-nari oleh Beng Tan, ditonton dan membuat Swi Cu terkekeh-kekeh maka terdengarlah sapaan lembut dan tiupan angin yang halus menerpa mereka.

"Beng Tan, kau main-main di sini? Kau tidak di istana lagi?"

Beng Tan dan Swi Cu terkejut. Mereka menengok dan terpekiklah Swi Cu melihat apa yang dilihat. Seorang kakek, entah dari mana munculnya tahu-tahu telah berada di dekat mereka di bawah pohon besar di mana tadi Pek-kauw menyembunyikan diri. Kakek itu berdiri namun kakinya tidak menginjak tanah, seolah melayang, atau mengambang. Dan ketika Swi Cu terkejut dan pucat karena wajah itu tak kelihatan jelas seolah tertutup halimun atau kabut tebal maka Beng Tan yang ada di sisinya sudah berseru nyaring menyebut kakek itu, menjatuhkan diri berlutut.

"Sian-su....!"

Swi Cu terguncang. Mendadak ia pun roboh berlutut dan tak dapat menahan diri lagi, gemetar. Perasaannya tergetar dan entah kenapa tiba-tiba ia menggigil. Kakek itu seolah bukan manusia saja melainkan siluman, atau mungkin roh halus, hantu! Tapi ketika Beng Tan menjatuhkan diri dan menyebut nama kakek itu, sebagai Sian-su, maka sadarlah Swi Cu bahwa inilah kiranya kakek yang dicari-cari kekasihnya itu. Sian-su, atau Bu-beng Sian-su, kakek amat hebat yang katanya maha sakti hingga dapat terbang ke langit atau masuk ke dalam bumi.

Berkepandaian demikian tinggi hingga tak dapat diukur lagi. Itulah kakek yang menjadi guru kekasihnya, datang dan muncul seperti siluman saja! Tapi ketika dua orang itu menjatuhkan diri berlutut dan Swi Cu gemetar tak berani mengangkat mukanya mendadak Bu-beng Sian-su, kakek itu, bergerak dan sudah membangunkan mereka.

"Bangunlah!" tawa lembut itu menyejukkan hati, sudah disertai usapan ke wajah. "Bangkit dan berdirilah kalian, anak-anak. Tak perlu berlutut!"

Beng Tan dan Swi Cu merasakan sesuatu yang menggetarkan. Mereka tiba-tiba merasa betapa wajah yang diusap menjadi dingin dan segar, begitu segar dan dingin hingga segala kepenatan tiba-tiba lenyap. Swi Cu yang merasa paling lelah mendadak tak merasakan lagi kelelahannya itu, sirna dan lenyap oleh usapan si kakek. Begitu mengherankannya! Dan ketika ia berdiri dan melirik Beng Tan, aneh bin ajaib, wajah Beng Tan mendadak dilihatnya begitu mencorong dan gagah serta bersinar-sinar, begitu bersinar-sinar dan gagah hingga ia bengong. Beng Tan tiba-tiba dilihatnya jauh lebih gagah dan tampan daripada sebelumnya. Pemuda itu mengeluarkan cahaya yang membuat wajahnya seperti dewa. Ah, mendecak gadis ini, Kagum!

Tapi ketika dia terbelalak dan bengong memandang kekasihnya maka Beng Tan, yang juga berdiri dan memandang kekasihnya itu tiba-tiba dibuat bengong dan kagum karena wajah Swi Cupun bersinar-sinar dan cemerlang seperti bulan purnama. Wajah itu menjadi gemilang dan hidup dan Beng Tan melihat kecantikan luar biasa yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kekasihnya itu tiba-tiba menjadi cantik jelita dan Beng Tan bengong, takjub. Wajah gemilang itu serasa seorang dewi saja dan bukan manusia. Ah, Beng Tan melongo dan terbuka mulutnya. Wajah sang kekasih yang mendadak begitu cantik jelita dan gemilang membuat dia mendelong. Wajah itu seolah Swi Cu dalam ujudnya yang baru, Swi Cu yang cantik jelita dan anggun, bak dewi kahyangan!

Tapi ketika dua muda-mudi itu sama-sama takjub dan masing-masing bengong memandang pasangannya, yang tiba-tiba begitu cantik dan gagah perkasa melebihi yang sudah-sudah maka tawa Bu-beng Sian-su menyadarkan dan mengejutkan keduanya bahwa di situ masih ada orang ketiga.

"Beng Tan, kalian bengong saja saling pandang? Kalian tidak segera memberi tahu maksud kedatanganmu?"

"Ah-ah!" Beng Tan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kembali menghormat. "Teecu datang memang membawa sesuatu keperluan, Sian-su. Maaf bahwa teecu tidak memberi tahu dulu!"

"Hm, bangkitlah. Tak usah berlutut!" tangan itu bergerak, menyentuh pundak. "Aku tahu kedatanganmu, Beng Tan, tapi tidak tahu siapa gadis ini. Apakah dia temanmu?"

"Beb.... benar..." Beng Tan tergagap. "Dia... dia Swi Cu, Sian-su. Kekasih teecu, calon isteri teecu!"

"Hm, baiklah, calon isterimu kiranya," kakek itu tersenyum, menghadapi Swi Cu. "Benarkah, nona? Kau calon isteri Beng Tan?"

"Beb..... benar....!" Swi Cu ikut tergagap, tiba-tiba merah padam. "Aku... aku Swi Cu, Sian-su.... datang menghaturkan hormat!"

"Sudahlah," kakek itu juga menarik berdiri. "Kau berdua tak perlu takut-takut, nona. Beng Tan tentu telah memberi tahu padamu bahwa aku adalah kakek yang sederhana saja. Marilah, duduk dan ceritakan maksud kalian datang ke mari."

Swi Cu terkejut. Sang kakek mengibaskan lengan dan tiba-tiba segumpal mega, atau asap putih, menderu di bawah mereka. Dan ketika dia terkejut dan sang kakek tertawa tahu-tahu dia dan Beng Tan sudah jatuh terduduk dan sudah berada di atas gumpalan mega ini, yang ternyata empuk dan dingin, seperti bantal!

"Tanah itu kotor, dan bumi juga kotor. Sebaiknya kita ke tempat yang enak dan bicara di tempat yang bersih!"

Swi Cu membelalakkan mata. Sang kakek mengibaskan lengannya sekali lagi dan muncullah bantalan mega itu, tepat di bawah sang kakek. Dan ketika Bu-beng Sian-su duduk dan melipat kakinya, bersila, maka kakek itu berseru bahwa mereka tidak di atas bumi lagi. Swi Cu berteriak karena tiba-tiba bantal mega yang diduduki bergerak, melayang dan sudah mengikuti si kakek terbang ke angkasa. Dan ketika Beng Tan di sana juga terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan maka dua muda-mudi itu sudah mengikuti Bu-beng Sian-su ke langit, terbang, mungkin ke tempat para dewa!

"Heii...!" gadis ini pucat. "Aku... aku takut, Beng Tan. Kita meluncur dan terbang ke langit!"

"Tenanglah," suara Bu-beng Sian-su terdengar lembut di depan. "Kalian tak apa-apa, nona. Bantal itu akan melekat penuh di kakimu, tak akan lepas. Aku ingin mengajak kalian ke tempat yang tenang dan jauh dari keramaian manusia. Duduk sajalah di situ, tak usah melihat ke bawah!"

Swi Cu ngeri. Segera dia menutup mulut rapat-rapat dan tak memandang ke bawah lagi. Memang benar, dia menjadi ketakutan dan ngeri ketika tadi melihat ke bawah. Bantal ajaib itu membawanya terbang ke langit dan Lembah Malaikat tampak di sana, jauh di bumi, kecil dan akhirnya tak dapat dilihat secara jelas lagi karena dia sudah terbang bersama kakek dewa itu. Beng Tan ada di sampingnya dan untunglah kekasihnya itu tak berada jauh. Bantal merapat dan tiba-tiba keduanya sudah bersatu. Terbang dan berada di angkasa bebas seperti dongeng begini barulah kali itu dialami Swi Cu. Gadis ini terisak dan gembira namun juga tegang. Bayangkan, bagaimana kalau dia jatuh! Tapi ketika Beng Tan berbisik bahwa dia tak usah takut, Sian-su akan melindungi dan menjaga mereka maka menangislah gadis ini penuh bahagia.

"Oh, aku... ah... baru sekali ini mengalami hal seperti ini, Tan-ko. Gurumu benar-benar luar biasa dan bukan manusia lagi. Ah, dia memang dewa, kakek dewa. Tapi ke mana kita akan dibawa? Ke tempat para malaikat kah?"

"Aku tak tahu," Beng Tan menggeleng "Yang jelas tentu ke tempat yang baik, Cu-moi. Sudahlah kau duduk saja dan peluk aku rapat-rapat. Pejamkan matamu kalau takut!"

Hal itu sudah dilakukan Swi Cu. Gadis ini memang takut tapi juga gembira. Takut-takut gembira, begitulah barangkali. Dan ketika dia mendekap tubuh Beng Tan dan bantal mega itu, terus melayang dan mengikuti Sian-su, mirip selempang Aladin maka tibalah mereka di suatu tempat yang sukar disebut namanya. Tempat itu seperti taman di tengah surga, pohon warna-warni ada di situ dan Beng Tan takjub melihat ini. Daun yang ada di situ bukan hanya berwarna hijau melainkan berwarna-warni. Biru, hitam dan putih.

Bahkan, ada yang jambon dan perpaduan di antara tujuh warna sinar pelangi. Beng Tan takjub dan bingung, untuk menentukan warna apakah yang dilihatnya itu. Pokoknya, bukan warna yang ada di bumi. Semuanya lebih indah dan jauh lebih mempesona daripada di bumi. Warna itu tak dapat dilukiskan atau digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, indah dan mentakjubkan. Titik! Dan ketika Beng Tan bengong dan takjub memandang semua itu maka Swi Cu, yang juga sudah membuka mata dan melepaskan diri dari kekasihnya berseru kagum tak dapat menahan mulut.

"Luar biasa... mentakjubkan! Ah, seperti Taman Firdaus...!"

"Benar," Beng Tan tiba-tiba teringat kitab suci. "Taman ini seperti Taman Firdaus, Cu-moi. Dan pohon-pohon itu, ah... mereka dapat bergerak... menari!"

Swi Cu membelalakkan matanya., Tiba-tiba pohon yang ada di situ mendadak semuanya bergoyang, bergerak dan sudah berpindah-pindah tempat. Mereka seolah bermain satu sama lain, atau mungkin menari-nari, karena pohon yang daunnya putih dan hitam berlenggak dan berlenggok. Dahan dan ranting mereka saling bergerak maju mundur. Itulah pemandangan yang seumur hidup belum pernah mereka saksikan. Seperti dongeng! Tapi ketika mereka terbelalak dan takjub serta bengong tak habis-habisnya maka Bu-beng Sian-su tertawa dan menyadarkan mereka.

"Beng Tan, mari sini. Inilah tempat yang enak, bebas dari pengaruh hawa nafsu manusia."

Beng Tan terkejut. Segera dia sadar dan turun dari bantal meganya itu, lupa tidak menginjak tanah tapi bengong karena kakinya menapak di sesuatu yang lembut, seperti awan atau beludru tebal, lunak. Entahlah, tak tahu dia apa namanya itu tapi pemuda ini sudah menghampiri Sian-su. Kakek itu sudah bersila dan wajahnya yang bersinar tampak semakin bersinar saja, tidak menyilaukan namun tetap saja Swi Cu dan Beng Tan tak dapat menembus kabut atau halimun di wajah sang kakek. Dan ketika Beng Tan duduk dan Swi Cu menyusul, heran dan terkagum-kagum maka kakek itu bertanya apa yang hendak dibicarakan pemuda itu.

"Teecu.... teecu hendak meminta jawaban tentang syair. Juga sekalian memberi tahu bahwa Golok Maut tewas!"

"Aku tahu," kakek itu tersenyum, menghela napas. "Kematian Golok Maut sudah kuketahui dulu-dulu, Beng Tan. Dia telah menentukan garis nasibnya sendiri. Hm, akibat dendam!"

"Dan teecu akan bertanya tentang syair....."

"Nanti dulu!" Swi Cu tiba-tiba memotong. "Aku hendak bertanya tempat apakah ini namanya, Sian-su. Bagaimana begini mempesona dan mentakjubkan. Semua nya serba lain dengan di bumi!"

"Hm, ini adalah It-thian (Langit Pertama)."

"It-thian?"

"Ya, perpindahan pertama kalinya dari alam kasar ke alam halus, nona. Sebelum menaiki jenjang-jenjang berikutnya."

"Ih, tempat orang mati?"

"Bukan orang mati saja, melainkan segala yang ada di bumi, tanaman dan binatang. Sudahlah, kau tak akan mengerti dan sebaiknya kita ikuti pertanyaan Beng Tan ini."

Swi Cu ngeri. Tiba-tiba dia mengkirik dan memandangi pohon-pohon yang menari-nari itu. Jangan-jangan itu adalah pohon yang mati di bumi dan kini "hidup" di tempat ini. Atau, mungkin roh orang yang "nyasar" ke pohon itu. Hii, merinding dia! Dan ketika dia mencekal lengan Beng Tan erat-erat dan tanpa terasa menjadi takut dan ngeri maka Bu-beng Sian-su tersenyum memandang pemuda itu, yang juga pucat dan berkeringat!

"Kau takut?"

"Tidak, tapi... tapi... ah, berada di suatu tempat yang asing untuk pertama kalinya memang terasa menyeramkan, Sian-su. Tapi ada kau di sini. Aku tak takut!"

"Hm, perasaan itu adalah wajar. Tapi mereka semua adalah sahabat. Lihatlah, tak ada satupun di antara mereka yang mengganggu. Lihat mereka tersenyum padamu!"

Beng Tan melongo. Pohon-pohon yang tadi bergerak dan menari-nari mendadak menghadap ke arahnya semua. Mereka menunduk dan.... tersenyum padanya. Ah, tidak. Mereka tak mempunyai mulut. Tapi, ah... dapat tersenyum! Bagaimana ini? Beng Tan bingung karena tak dapat menerangkan. Hal itu memang ganjil dan sukar dilukiskan kata-kata. Tapi, senyum itu... ah, dia dapat merasakannya jelas. Senyum itu seperti gunung yang segar menyambut manusia, atau ombak yang lembut di pesisir yang halus.

Senyum itu memang lain dengan senyum manusia tapi getaran hangat itu dirasanya. Itulah senyum Cinta Kasih! Beng Tan tak tahu ini tapi getaran cinta kasih itu dirasanya, ditangkapnya, Dan ketika Bu-beng Sian-su tertawa dan memberi tahu bahwa pohon dan semua yang ada di situ sedang menyambut Beng Tan dengan gembira, sebagaimana layaknya seorang tamu memasuki rumah orang lain maka kakek itu mengajak lagi ke pembicaraan semula.

"Kau akan tahu kelak, akan mengerti bagaimana cara mereka bercakap-cakap atau berkomunikasi. Marilah, lanjutkan pembicaraanmu, Beng Tan. Kita memiliki batas waktu di sini."

Beng Tan sadar. Akhirnya dia merasakan juga kebutuhan akan pembicaraan pokok itu, tentang syair. Dan ketika dia bersinar-sinar dan mengeluarkan lipatan surat yang selalu disimpannya rapi maka pemuda ini mulai dengan sikapnya yang serius, sudah dapat mengatasi perasaannya yang berdebar-debar bahwa dia berada di Langit Pertama, tempat perpindahan dari alam kasar ke alam halus!

"Teecu hendak menanyakan tentang isi syair ini, juga bertanya bagaimana Golok Maut juga mempunyai atau membawa syair yang sama!"

"Hm, syair yang manakah itu, Beng Tan? Dapatkah kau membacanya?"

"Inilah..." Beng Tan memperlihatkan, juga sekaligus meminta sebuah syair lain yang disimpan Swi Cu, karena kekasihnya itu membaca dan menyimpan syair yang dimiliki Si Golok Maut.

"Teecu tak dapat menemukan inti jawaban syair ini, Sian-su. Dan teecu gagal memenuhi permintaanmu!"

"Hm, bacalah. Atau, biar kekasihmu saja yang membaca, tentu lebih merdu dan nyaring!"

Swi Cu semburat. Beng Tan memandangnya tersenyum dan tak jadi meminta syair yang dibawanya. Pemuda itu menyerahkannya kepadanya dan Swi Cu terpaksa membaca. Dan ketika lipatan surat sudah dibuka dan Swi Cu membacanya, sudah dapat menekan perasaannya yang berdebar-debar dan kagum tapi juga gentar seperti yang tadi dirasa Beng Tan maka gadis ini sudah mengeluarkan suaranya yang merdu dan nyaring, lantang tapi sedap didengar telinga:

"Bukan benang sembarang benang. Halus menawan di kiri kanan. Kalau dijaga menimbulkan senang kalau rusak menimbulkan dendam. Inilah benang yang minta perhatian!"

"Hm, itu kiranya," Bu-beng Sian-su tersenyum mengangguk-angguk, tertawa. "Benar sekali pertanyaan yang kaubawa, Beng Tan. Sesuai dengan apa yang ada. Baiklah, akan kujawab!" dan ketika kakek itu bersinar dan tajam memandang Beng Tan, yang harus menunduk dan tak kuat menghadapi sorot cahaya yang tiba-tiba menembus di balik kabut maka kakek itu bertanya apa yang dilihat pemuda ini.

"Teecu tak melihat apa-apa, tak tahu apa-apa!"

"Hm, jangan terburu menjawab," kakek itu tersenyum menegur, menghadapi Swi Cu. "Kau sendiri juga tak tahu, nona? Seperti Beng Tan?"

"Aku... aku juga tak tahu, tak mengerti!"

"Kalian akan mengerti kalau sudah tahu, dan kalian akan tahu kalau sudah mempelajari. Baiklah, syair ini sederhana saja. Seluruh kekuatan yg bertumpu pada Si Golok Maut!"

"Maksud Sian-su?" Beng Tan tertegun. "Apakah hendak membicarakan yang sudah mati?"

"Ah, tidak. Bukan begitu," kakek ini tertawa. "Yang sudah mati tak perlu dibicarakan, Beng Tan. Tapi apa yang pernah terjadi perlu disimak dan direnungi hikmahnya!"

"Teecu masih tak mengerti," Beng Tan bicara, bingung.

"Dan aku juga...." Swi Cu menyambung, sama-sama bingung.

"Baiklah, perhatikan ini, anak-anak. Jawaban syair sebenarnya hanya satu kata-kata saja. Tapi karena menjelaskan begitu saja tak akan mengesankan maka baiklah kalian kubawa berputar-putar sedikit."

Beng Tan dan Swi Cu terbelalak. Mereka tak mengerti maksud kakek itu dan Swi Cu tiba-tiba bangkit berdiri. Kata berputar-putar dikiranya hendak berjalan-jalan, kakek itu terkejut tapi tertawa menyuruhnya duduk lagi. Bukan begitu yang dimaksud kakek ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su mengebutkan lengan dan menarik napas dalam maka yang meluncur adalah pertanyaan-pertanyaan juga, sebagai sendal pancing!

"Kalian tahu apa yang dimaksud benang di situ? Kalian tak melihat hubungannya dengan Si Golok Maut?"

"Tidak."

"Baiklah, kalau begitu kutanya Beng Tan," kakek ini menghadapi Beng Tan, yang tiba-tiba berdebar dan gelisah. "Dulu sudah kuberi tahu bahwa inti syair berada pada kisah ini, Beng Tan. Kisah Si Golok Maut. Sekarang kau ceritakanlah apa yang kauketahui tentang pemuda itu."

"Sin Hauw pemuda yang ganas dan kejam, telengas!"

"Bukan, bukan itu. Menjawab ekornya tak akan menemukan pokok persoalannya. Kutanya kau kenapa Sin Hauw telengas dan kejam!"

"Dia... dia ...." Beng Tan tiba-tiba terkejut, gagap. "Aku... aku tak tahu kenapa dia kejam, Sian-su. Tapi yang jelas akibat dendam!"

"Bagus, dan kau, nona?" Bu-beng Sian-su tiba-tiba menoleh pada Swi Cu, mengejutkan sang gadis. "Kau juga melihat begitu? Kau membenarkan kata-kata Beng Tan ini?"

"Ya!" Swi Cu mengangguk, tergetar tapi dapat mengikuti pertanyaan orang. "Golok Maut memang kejam karena dendam, Sian-su. Dan suciku juga sudah menceritakan tentang itu!"

"Sucimu?"

"Dia sumoi dari Hek-yan-pangcu Wi Hong," Beng Tan tiba-tiba menjelaskan. "Dan Wi Hong adalah kekasih Golok Maut, Sian-su. Swi Cu mengetahui itu dari sucinya!"

"Hm, bagus kalau begitu. Kita sejalan!" kakek ini berseri-seri, tiba-tiba gembira. "Dan kudesak kalian lagi kenapa Golok Maut dendam, Beng Tan. Apa sebabnya dia menjadi dendam!"

"Dia marah kepada Coa-ongya!"

"Dan juga Ci-ongya!" Swi Cu menyambung, mulai tertarik, mendengarkan dan entah kenapa tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan yang dilancarkan kakek itu menggugah minatnya untuk mengetahui. Swi Cu berbicara cepat dan Bu-beng Sian-su pun tersenyum. Dan ketika kakek itu tertawa dan bertanya kenapa Golok Maut marah, maka Swi Cu dan Beng Tan hampir serentak menjawab bahwa karena Golok Maut itu ditipu dan dihina Coa-ongya.

"Ha-ha, bagus. Sebutkan lagi. Ulangi!"

"Golok Maut marah karena ditipu dan dihina Coa-ongya!"

"Juga Ci-ongya!"

"Dan kalian tahu bagaimana rasanya orang ditipu?"

Beng Tan tertegun. "Marah, gusar..."

"Dan cukup itu saja?"

"Eh," Beng Tan melengak. "Kukira itu saja, Sian-su, tak ada lain...."

"Hm, kau mengukur baju orang dengan bajumu sendiri."

"Maksud Sian-su?"

"Kau hendak membandingkan perasaanmu dengan perasaan Si Golok Maut itu, Beng Tan. Kau berkata hanya itu saja karena memang itulah yang kau rasakan dari perbuatan kaisar!"

"Eh!" Beng Tan terkejut. "Aku tak mengetahui maksud kata-katamu, Sian-su. Kenapa kaisar dibawa-bawa!"

"Hm, bukankah kaisar juga menipumu? Bukankah orang yang berkedok hitam itu juga menipumu? Tak usah mengelak. Aku tahu semua apa yang terjadi, Beng Tan. Dan aku tahu betapa kau marah-marah dan gusar kepada kaisar karena secara diam-diam mengijinkan Coa-ongya menyerbu Lembah Iblis, padahal sebelumnya kaisar berjanji padamu untuk menyerahkan Si Golok Maut itu kepadamu seorang!"

Beng Tan kaget. Pemuda ini tiba-tiba mencelat bangun dan pucat memandang kakek itu. Bu-beng Sian-su ternyata mengetahui rahasia itu. Rahasia kemarahannya kepada kaisar dan terlebih kepada si Kedok Hitam. Ah, dia lupa bahwa kakek ini memang kakek maha sakti yang seolah mengetahui segalanya. Bu-beng Sian-su adalah manusia dewa yang bakal mengetahui apa saja, semut di lubang bumi sekalipun! Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya lebar-lebar maka kakek itu berkata agar Beng Tan duduk kembali, menggapaikan lengannya.

"Duduklah, dan tak usah bengong. Aku tahu bahwa kaupun tahu siapa si Kedok Hitam itu, menyembunyikannya dari semua orang. Tapi karena belum ada sesuatu yang direnggut darimu dan apa yang kau alami hanyalah secuil dari apa yang dialami Sin Hauw maka kemarahanmu hanya berhenti di situ saja, Beng Tan. Tidak sampai menjadi dendam yang sedalam lautan!"

Beng Tan pucat, menggigil. "Sian-su, kau.... kau tahu semuanya itu? Kau melihat apa yang terjadi?"

"Hm, aku tahu semuanya itu, Beng Tan. Tapi jangan tanya kenapa aku tidak menolong Si Golok Maut itu!"

Beng Tan tertegun. Seolah tahu apa yang hendak ditanyakan tiba-tiba kakek dewa itu telah mendahuluinya memotong. Dengan jitu dan tepat kakek ini telah menutup mulut Beng Tan untuk tidak bertanya kenapa kakek itu tidak menolong Golok Maut, pemuda yang jelas diancam bahaya itu, yang sampai menimbulkan kematiannya. Dan ketika Beng Tan tertegun dan tak mampu bertanya apa-apa, mulut serasa terkunci maka Swi Cu yang terkejut mendengar bahwa Beng Tan mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam tiba-tiba meloncat bangun.

"Tan-ko, kau tahu itu? Kau tahu siapa si Kedok Hitam itu?"

"Ini... ini..." Beng Tan terhuyung, menutupi mukanya. "Aku tak dapat menceritakannya, Cu-moi. Waktu itu ada Wi Hong....!"

"Ah, kalau begitu kaupun menipu. Kau berkata pada suciku bahwa kau tidak mengetahui siapa si Kedok Hitam itu!"

"Jangan salah faham!" Beng Tan kaget, melihat kekasihnya tiba-tiba marah-marah. "Aku tak memberitahunya karena sucimu sedang hamil, Cu-moi. Kalau dia tahu siapa itu jangan-jangan dia bakal keguguran!" dan cepat memberi tahu bahwa dia tak bermaksud melindungi laki-laki kejam itu karena kebohongannya semata ditujukan buat menyelamatkan Wi Hong maka Swi Cu menggigil namun pandangan tidak senang tetap saja terpancar di matanya, hal yang membuat Beng Tan tidak enak!

"Aku tidak bermaksud berbohong, tidak bermaksud menipu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya Sian-su yang dapat membaca pikiran orang ini!"

Swi Cu menoleh. Tawa dan senyum lembut kakek itu tiba-tiba menghilangkan kemarahannya bagai api tersentuh air. Kakek itu mengangguk dan berkata bahwa apa yang dikata Beng Tan benar. Kekasihnya itu tak bermaksud berbohong selain tujuan menyelamatkan Wi Hong belaka, karena wanita itu sedang mengandung dan berkali-kali menerima pukulan batin. Dan ketika kakek itu berkata agar mereka duduk kembali, tenang dan mendinginkan pikiran maka Bu-beng Sian-su menghela napas menunjuk Beng Tan.

"Kau kelak harus menebus kesalahanmu ini. Jangan biarkan wanita itu dan kekasihmu ini tertipu selamanya!"

"Baik, aku berjanji, Sian-su. Dan ampunkan teecu!" Beng Tan menjatuhkan diri berlutut, membenturkan Jidat tiga kali dan ditepuklah pemuda ini agar bangun lagi. Swi Cu bertanya siapa gerangan si Kedok Hitam itu, penasaran. Tapi ketika Bu-beng Sian-su berkata bahwa Swi Cu dapat menanyanya belakangan maka gadis ini menahan perasaan dongkolnya.

"Kalau Beng Tan tak memberitahumu maka kelak akulah yang akan menerangkan padamu. Jangan khawatir, orang setua aku tak mungkin ingkar janji!"

Swi Cu tersipu. Kalau Bu-beng Sian-su sudah berkata seperti itu tentu saja ia tak berani mendesak. Penasarannya di-pendam dan Beng Tan pun sudah diajak lagi untuk kembali ke persoalan semula. Kakek itu belum bicara habis dan Swi Cu mendengarkan. Dan ketika kakek itu bertanya apa saja yang diketahui Beng Tan maka pemuda ini ngeri menerangkan.

"Teecu.... teecu takut. Biarlah Sian-su saja yang menceritakan karena Sian-su tentu lebih tahu daripada teecu!"

"Hm, jangan begitu. Betapapun kau harus menjawab, Beng Tan, jangan semua persoalan diserahkan kepadaku. Baiklah, coba kekasihmu saja yang bercerita!"

"Aku... aku ngeri. Aku tak mengerti ....!" Swi Cu pucat.

"Eh, kenapa begitu?" kakek ini tersenyum. "Kau sendiri bilang bahwa sedikit atau banyak kau mengetahui riwayat Golok Maut, nona. Dan kau juga ingin tahu rahasia syair ini. Seharusnya kau masuk dan melibatkan diri dalam percakapan. Nah, jangan takut atau ngeri dan bersikaplah tenang saja kenapa Golok Maut demikian dendam!"

"Karena... karena Coa-ongya dan adiknya menipu!"

"Bagus, tentang apa?"

"Banyak sekali, Sian-su. Tapi.... tapi agaknya Beng Tan lebih tahu!"

Lucu sekali, Swi Cu tiba-tiba melempar persoalan! Gadis ini ngeri dan gentar berhadapan dengan kakek dewa itu. Bu beng Sian-su dirasanya akan menggiring dan dia tak tahu ke mana dia akan digiring. Entahlah, Swi Cu jadi takut dan gentar untuk bercakap-cakap dengan kakek ini. Dia lebih baik menjadi pendengar daripada pembicara! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengebutkan bajunya maka kakek ini menarik napas dalam.

"Baiklah, kalau begitu kalian anggukkan kepala kalau aku mulai bercerita. Kita mulai dari bawah..." dan tajam bersinar-sinar memandang dua orang itu kakek ini mulai membuka tabir. "Pertama, tentu kalian tahu bahwa Sin Hauw atau Si Golok Maut itu adalah putera dari mendiang Sin Lun yang dianggap membantu pemberontak oleh penguasa sekarang, Li Ko Yung. Dan karena Sin Lun adalah seorang laki-laki gagah yang amat setia maka Li Ko Yung atau pembantu-pembantunya mulai membujuk laki-laki itu untuk berpihak pada mereka. Tapi sayang, usaha mereka gagal!"

"Dan Sin Lun akhirnya dibunuh!"

"Ya, benar, Beng Tan. Dan kau tahu siapa pembunuhnya, bukan?"

"Jenderal Kwi..."

"Bagus, dan kau tahu siapa jenderal Kwi ini!"

"Adik dari ibu Sin Hauw..."

"Nah, apalagi?"

"Jenderal ini pembantu Coa-ongya, Sian-su, kebetulan di pihak Li Ko Yung sementara ayah Sin Hauw di pihak pemberontak!"

"Hm, istilah pemberontak sebenarnya kurang enak, lebih tepat disebut sebagai berdiri di pihak musuh saja. Baiklah, lalu apalagi yang kau ketahui?"

"Sin Hauw marah-marah kepada pamannya itu, bermaksud menuntut balas!"

"Tapi ibunya melarang," tiba-tiba Swi Cu ikut bicara, berani setelah kekasihnya ikut bertanya jawab. "Dan Kwi-goanswe marah-marah, Sian-su. Sin Hauw akhirnya ditangkap dan dihukum!"

"Bagus, dan ibu Sin Hauwpun akhirnya tewas, dalam membela anak. Kalian tahu apa yang terjadi dengan keluarga itu setelah Kwi-goanswe memusuhi Sin Hauw pula!"

"Ini...." Beng Tan bersinar-sinar, teringat kisah Si Golok Maut itu. "Kwi-goanswe memang kejam, Sian-su. Terhadap seorang anak kecilpun ia tak segan-segan berlaku keras!"

"Ya, dan ada sesuatu yang barangkali tak kalian ketahui, tentang enci atau kakak perempuan Sin Hauw itu."

"Apa?"

"Perbuatan biadab Kwi-goanswe terhadap gadis itu."

"Eh, maaf. Kami lupa nama gadis itu, Sian-su. Dan apa yang dilakukan Kwi-goan swe terhadap kakak Sin Hauw!"

"Gadis itu bernama Hwa Kin, dan Kwi-goanswe memperkosanya!"

"Apa?" Swi Cu terpekik. "Paman memperkosa keponakan sendiri?"

"Hm, itulah yang terjadi, nona. Dan Sin Hauw sendiri baru tahu beberapa saat sebelum encinya tewas."

"Jahanam! Terkutuk!" Swi Cu tiba-tiba melompat bangun, mengepal tinju dengan menggigil. "Sungguh biadab sekali jenderal she Kwi itu, Sian-su. Kalau aku ada di sana tentu waktu itu juga aku akan membunuh Kwi-goanswe itu!"

"Hm, kaupun mulai terbakar, ikut merasakan atau menghayati kisah ini," kakek itu mengangguk-angguk, menghela napas. "Bagaimana kalau peristiwa itu menimpa dirimu, Beng Tan? Bagaimana kalau umpamanya encimu atau kekasihmu ini diperkosa orang? Cukup hanya marah dan gusar saja? Tidak mendendam?"

Beng Tan terkejut. Tiba-tiba dia terpukul dan kaget, muka seketika menjadi merah dan semburatlah dia akan kata-katanya sendiri tadi. Dia tak menambahi dengan kata-kata dendam karena perbuatan kaisar memang masih belum sehebat itu. Tapi kalau dia membayangkan bahwa Swi Cu atau saudara perempuannya mau diperkosa orang tiba-tiba pemuda ini terbakar dan mendadak peristiwa di kamar Swi Cu teringat kembali, muncul dengan cepat. Waktu itu Swi Cu juga mau diperkosa orang dan orang itu mereka sangka Si Golok Maut, padahal bukan. Dan terkejut serta tergetar oleh todongan kakek dewa ini tiba-tiba Beng Tan mulai menggigil dan marah, kemarahan yang sudah bercampur dengan benci dan dendam!

"Bagaimana, Beng Tan? Kau mulai dapat merasakan kebenaran ini?"

"Ya-ya... teecu.... teecu terbakar!"

"Bagus, dan kalian duduklah kembali," kakek itu mengulapkan lengan, menyuruh Swi Cu dan pemuda ini duduk dengan tenang. "Apa yang diketahui Sin Hauw memang tidak seketika, Beng Tan. Dan waktu itu Sin Hauw juga belum dewasa benar."

"Hm-hm, dan bagaimana selanjutnya, Sian-su?"

"Kalian tahu, anak ini akhirnya ditemukan Hwa-liong Lo-kai dan diambil murid."

"Ya-ya, kami tahu itu. Tapi akhirnya Sin Hauw menjadi murid utama Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya yang hebat Cheng-giok Sian-li!"

"Hm, itu benar. Karena Sin-liong Hap Bu Kok maupun isterinya adalah sahabat kakek pengemis itu, Hwa-liong Lo-kai. Mereka sama-sama pelindung Chu Wen, yang dianggap memberontak, dan memusuhi Li Ko Yung."

"Ya, teecu teringat bahwa Hwa-liong dan suami isteri itu memang orang-orang kepercayaan yang setia kepada Chu Wen."

"Dan ayah Sin Hauw pun juga begitu!"

"Benar, kalian tahu baik, nona. Dan sekarang kalian tahu bahwa berturut-turut Sin Hauw mengalami pukulan-pukulan batin yang tidak enteng!"

"Hm-hm...!" Beng Tan dan kekasihnya mengangguk-angguk. "Kau benar, Sian-su. Tapi heran bahwa ayah Sin Hauw demikian gigih dan tegar mempertahankan sikapnya."

"Maksudmu?"

"Dia tak mau bergabung dengan Kwi-goanswe yang jelas-jelas masih saudaranya sendiri. Mungkin dia menganggap bahwa perjuangan Chu Wen adalah benar dan mulia, patut dibela!"

"Bukan itu," kakek ini tersenyum. "Ada sesuatu yang tak diketahui orang banyak, Beng Tan. Dan semuanya itu bersumber pada Coa-ongya, juga kaisar. Mendiang Sin Lun tak mau membantu Li Ko Yung karena dilihatnya cacad yang besar dari orang-orang itu!"

"Cacad apa?"

"Ini yang sedang hendak kuterangkan. Dan kita maju setapak lagi."

Beng Tan tertegun. Dia melihat kakek itu tersenyum dan senyumnya penuh rahasia. Ah, dia berdebar dan ingin tahu. Tapi ketika kakek itu tertawa dan berkata padanya agar bersabar, maka Bu-beng Sian-su melanjutkan ceritanya lagi, tentang Si Golok Maut itu.

"Kalian tahu bahwa suami isteri Hap Bu Kok dan Cheng-giok Sian-li menggembleng Sin Hauw di Lembah Iblis. Di situlah suami isteri itu menemukan Golok Penghisap Darah dan kelak golok inilah yang diwariskan kepada muridnya..."

"Nanti dulu!" Swi Cu memotong. "Bolehkah kutahu dari mana suami isteri itu mendapatkan Golok Penghisap Darah, Sian-su? Dan apakah benar mereka pernah bertemu denganmu?"

"Hm, benar. Mereka memang pernah bertemu denganku. Tapi tentang dari mana mereka mendapatkan golok itu sebaiknya tak usah kujelaskan, tak perlu. Kejadian itu telah lewat, dan merupakan urusan pribadi suami isteri itu sendiri."

Swi Cu kecewa. Ia tak berhasil mengetahui sejarah golok maut itu namun kekasihnya menjawil. Beng Tan berbisik agar tak usah dia kecewa dan marilah sama-sama mereka dengarkan kata-kata kakek dewa itu. Beng Tan sendiri justeru ingin tahu apa gerangan "cacad" yang ada pada Coa-ongya dan kaisar itu, karena dia telah bersama mereka beberapa waktu. Dan ketika kakek itu tersenyum dan menganggukkan kepala meneruskan pembicaraan maka Bu-beng Sian-su menggerakkan lengannya.

"Cacad yang dimiliki dua orang ini terlampau besar, tapi yang menyolok dan menonjol adalah Coa-ongya itu, juga adiknya Dan karena cacad inilah maka ayah Sin Hauw tak pernah mau bergabung dengan mereka, meskipun iparnya, jenderal Kwi, ada di sana!"

"Hm, aku penasaran," Beng Tan tak tahan lagi. "Dua kali kau menyebut ini, Sian-su. Dan aku ingin tahu apa cacad yang kau maksudkan itu!"

"Bukan lain adalah 'benang' dalam syair ini. Dan Sin-liong Hap Bu Kok sendiri pernah kuberi tahu tapi tak dapat menangkap ini. Sayang, lain dengan ayah Sin Hauw yang justeru lebih dulu tahu dan itulah sebabnya dia berpihak pada Chu Wen!"

Beng Tan dan Swi Cu tak mengerti. Mereka bingung karena Bu-beng Sian-su tiba-tiba menghela napas berulang-ulang, kakek itu merenung dan rupanya memikiri sepak terjang manusia. Tapi ketika Beng Tan batuk-batuk dan bertanya bagaimana selanjutnya maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba menodong.

"Beng Tan, kau masih demikian bodoh juga? Kau tak melihat apa yang pernah dilihat ayah Sin Hauw itu?"

"Teecu... teecu tak melihat!" Beng Tan tiba-tiba gugup, tergagap. "Teecu masih belum mengerti apa yang kau maksudkan, Sian-su. Teecu rupanya bebal!"

"Hm, kau sudah mendengar kisah Si Golok Maut ini, dan tentunya mulai dapat mengerti. Kenapa belum menangkap juga? Baiklah, kuulangi lagi, Beng Tan. Jawablah kenapa Golok Maut demikian kejam dan telengas!"

"Dia... dia dilanda dendam!"

"Dan kenapa dia mendendam!"

"Karena Sin Hauw marah kepada Coa-ongya!"

"Dan kenapa Sin Hauw marah!"

"Karena Coa-ongya menipu dan..."

"Stop!" kakek itu mengebutkan lengan. "Jawaban sudah jelas, Beng Tan. Sampai di sini seharusnya kau mengerti!"

Beng Tan terkejut. Bagai disentak air dingin saja tiba-tiba secercah kilatan cahaya menerangi pikirannya. Dia mau menambahi "menghina dan tak menghargai Sin Hauw" ketika tiba-tiba kakek itu memutus pembicaraannya. Dan yang diputus adalah kata-kata menipu! Ah, Beng Tan tergetar dan menggigil. Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa aneh dan kilatan cahaya tiba-tiba menerangi batin pemuda itu. Menipu, inilah biang keladinya. Dan ketika Beng Tan menggigil dan bangkit berdiri, Swi Cu di sampingnya juga terkejut dan berdiri maka Beng Tan berseru tertahan dengan suara serak,

"Sian-su, kau... kau hendak maksudkan bahwa jawaban syair itu terletak pada penipuan? Kau hendak memberi tahu aku bahwa inilah inti jawaban syair itu?"

"Baru lima puluh persen, yang lima puluh persen lagi belum kau jawab. Nah, siapa dapat menjawab kenapa kira-kira ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan saudaranya, Kwi-goanswe itu!"

"Karena Kwi-goanswe pembantu Li Ko Yung, musuh Chu Wen!"

"Hm, kau, nona?" Bu-beng Sian-su tersenyum, memandang Swi Cu. Gadis ini hendak bersuara namun sudah didahului kekasihnya itu. Maka ketika Beng Tan bicara namun agaknya kurang cocok, karena kini kakek itu ganti memandangnya maka Swi Cu bersinar-sinar berkata gemetar,

"Karena.... karena Kwi-goanswe adalah orang dekat Coa-ongya!"

"Bagus, bisa lebih dekat lagi? Kau dapat memberi tahu kenapa mendiang ayah Sin Hauw itu tak suka kepada Coa-ongya?"

"Karena Coa-ongya tak dapat dipercaya!" Swi Cu tiba-tiba berteriak, menemukan jawabannya. "Ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan saudaranya karena pangeran she Coa itu tak dapat dipercaya, Sian-su, penipu dan barangkali inilah jawabannya!"

"Ha-ha, betul. Cocok sekali! Wah, kau kalah cerdas dengan kekasihmu ini, Beng Tan. Itulah yang hendak kumaksudkan kepadamu. Coa-ongya tak dapat dipercaya, omongannya selalu tak ditepati. Dan karena ayah Sin Hauw rupanya sudah melihat itu dan tak suka maka berpihaklah dia kepada Chu Wen yang dianggap jauh lebih dapat dipercaya dan diikuti! Nah, kau mengerti?"

Beng Tan bengong. Pemuda ini melayang-layang dalam jawaban itu dan tiba-tiba sadarlah dia bahwa sebenarnya yang ingin dimaksudkan gurunya itu adalah jawaban ini. Menipu atau sebangsanya adalah indikasi kuat untuk menunjuk bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Dan dia sudah membuktikan sendiri. Pertama dengan kaisar dan kedua dengan.... "Ah," Beng Tan terbengong-bengong. "Jadi ini kiranya yang hendak kau terangkan, Sian-su? Tapi.... tapi apa hubungannya itu dengan benang yang kau sebut-sebut dalam syair ini? Benang apa itu?"

"Hm, benang itu adalah benang kepercayaan, tak usah kusebut lagi. Kenapa harus dijelaskan dan tak dapat kautangkap? Gara-gara benang ini maka Sin Lun atau ayah Sin Hauw itu tak berdiri di belakang Li Ko Yung, Beng Tan. Karena baik Li Ko Yung terutama sekali Coa-ongya adalah orang-orang yang tak dapat dipercaya. Barangkali kau tahu bagaimana nasib seorang teman ayah Sin Hauw yang menjadi korban dari sepak terjang Coa-ongya itu, yang berhasil dibujuk!"

"Teecu tak tahu..."

"Hm, sekarang kuberi tahu. Sin Lun mempunyai seorang sahabat kental, Yang Jin namanya. Mereka dua laki-laki hampir ada di mana saja. Di mana ada Sin Lun di situ pasti ada pula Yang Jin. Tapi sayang, ketika pecah perang antara Chu Wen dengan Li Ko Yung maka terjadi selisih pendapat di mana dua bersahabat ini pecah. Kwi-goanswe, adik dari isteri Sin Lun itu membujuk Yang Jin, murid seorang tokoh Hwee-san. Memberi kedudukan empuk dan langsung saja mengangkat Yang Jin sebagai jenderal pula, berdampingan dengan diri jenderal she Kwi itu, tentu saja atas perkenan atau petunjuk Coa-ongya, karena Coa-ongya adalah tangan kanan pertama Li Ko Yung. Tapi ketika Yang Jin tak dapat memenuhi tugasnya membujuk bekas teman-temannya yang lain, yang masih bergabung pada Chu Wen itu maka Coa-ongya merasa bahwa Yang Jin ini tak banyak bermanfaat. Yang Jin akhirnya diketemukan tewas di sumur yang dalam, setelah mendapat siksa dan derita!"

"Ah, siapa yang melakukan?"

"Coa-ongya dan pembantu-pembantunya itulah, termasuk Kwi-goanswe. Sudah menjadi garis kebijaksanaan politik Li Ko Yung dan Coa-ongya ini bahwa semua orang-orang setia di pihak Chu Wen harus dibujuk. Mereka hendak ditarik semua agar membantu penguasa sekarang, tapi tidak semuanya berhasil. Tapi karena ada yang berhasil juga dan justeru yang berhasil inilah yang lalu disuruh meneruskan kebijaksanaan politik itu untuk ganti meneruskan bujukan pada teman-temannya di pihak lawan maka mereka yang berhasil ini mendapat tambahan pangkat atau kedudukan tapi yang gagal langsung dibuang, disingkirkan. Seperti yang terjadi pada diri orang she Yang itu!"

"Ah, kejam!"

"Ya, tapi' ada yang lebih kejam lagi. Coa-ongya telah menetapkan bahwa kelak, bila Chu Wen telah kalah dan hancur, maka semua bekas pengikut setia raja muda itu yang berpindah haluan harus dibunuh juga. Jadi orang-orang setia yang berhasil dibujuk membantu Coa-ongya ini kelak dibasmi juga, karena Coa-ongya menganggap bahwa seorang yang telah berkhianat satu kali pasti dapat juga berkhianat dua atau tiga kali. Tak dapat dipercaya!"

"Ah, seperti dirinya sendiri!"

"Ya, Coa-ongya mengukur baju orang lain dengan bajunya sendiri, nona. Karena itu betapa kagum dan kecewanya dia ketika tak dapat membujuk ayah Sin Hauw itu. Dan ayah Sin Hauw semakin tegar setelah mengetahui kekejian yang tersembunyi di balik maksud Coa-ongya itu. Sin Lun menemukan sahabatnya tewas di sumur tapi sebelum tewas sahabatnya itu menceritakan rencana Coa-ongya!"

"Ah, dua sahabat itu akhirnya bertemu juga, Sian-su?"

"Ya, tapi dalam keadaan yang menyedihkan. Coa-ongya tak menyangka bahwa Yang Jin ini masih hidup, karena ketika orang itu dibuang dan dilempar ke sumur yang dalam maka secara kebetulan Sin Lun menemukannya dan di situlah ayah Sin Hauw ini tahu betapa licik dan culasnya Coa-ongya itu, karena sahabatnya sempat bercerita!"

"Ah-ah!" Beng Tan ternganga. "Keji dan kejam sekali Coa-ongya itu, Sian-su. Dan aku, hm... aku telah membantunya beberapa lama. Mungkin kalau kelak tenagaku juga dianggap tak penting lagi barangkali aku juga akan dibuang atau disingkirkannya!"

"Hm, kau tahu itu, dan semuanya terserah dirimu. Sekarang kalian tahu kisah mendiang Sin Lun ini kenapa dia tak membantu Coa-ongya. Sin Lun telah menarik garis keputusan tegas bahwa sekali orang itu tak dapat dipercaya maka selamanya dia tak dapat dipercaya! Dan inilah 'benang' yang kumaksudkan seperti dalam syair itu. Karena kepercayaan, seperti kalian lihat, adalah seperti seutas benang yang halus dan ringkih. Kepercayaan itu harus dijaga hati-hati. Atau selamanya orang tak akan mempercayai kita lagi dan celakalah kita sendiri! Mengerti?"

"Hm-hm..!" Beng Tan mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sian-su.... aku mengerti. Kiranya inilah yang kau maksudkan. Kau hendak mengumpamakan kepercayaan itu seperti seutas benang, bukan benang sembarang benang melainkan benang yang harus dijaga baik-baik. Kau benar. Benang kepercayaan yang tak dapat dijaga memang akan menimbulkan kebencian orang kepada kita, apalagi kalau bobot persoalannya serius! Hm-hm... aku mulai melihat ini tapi kau agaknya masih belum selesai!"

"Ha-ha, belum selesai apalagi? Kisah Sin Lun sudah kau ketahui, Beng Tan. Dan Si Golok Maut Sin Hauw juga begitu."

"Tidak, nanti dulu!" Beng Tan berseru. "Kenapa Golok Maut tak mengetahui itu dari ayahnya, Sian-su? Atau kenapa isteri laki-laki itu tak memberi tahu anaknya?"

"Hm, Sin Lun tewas sebelum memberi tahu isterinya. Dan lagi isterinya belum tentu percaya karena waktu itu Kwi-goanswe juga selalu bersikap baik padanya, meskipun dua bersaudara Ipar itu saling membela pihak-pihak yang berlawanan!"

"Dan Sin Hauw akhirnya mencari Coa-ongya!"

"Hm, mula-mula bukan begitu. Yang dicari pertama kali adalah pamannya itu, Kwi-goanswe. Tapi karena Kwi-goanswe berlindung di balik Coa-ongya dan pangeran itu bersama adiknya lalu memperdayai Sin Hauw maka pemuda ini terjebak dan seperti kalian tahu akhirnya ilmu silat Golok Mautnya dipelajari Coa-ongya, lewat Miao In!"

Beng Tan dan Swi Cu mengangguk-angguk. Swi Cu sendiri telah mendengar itu dari sucinya karena Golok Maut sudah menceritakannya kepada Wi Hong. Miao in itulah gadis pertama yang dicinta Golok Maut, menjadi kekasih tapi ternyata gadis itu perangkap yang dipasang Coa-ongya. Miao In adalah orang kepercayaan Coa-ongya yang ditugaskan untuk mendapatkan catatan atau ilmu silat Giam to-hoat itu, Silat Golok Maut. Tapi ketika Miao In terbuka rahasianya dan gadis itu ternyata kekasih Kwi Bun, putera Kwi-goanswe maka akhirnya gadis itupun terbunuh dan tewas di tangan Coa-ongya ini, setelah diperkosa beramai-ramai!

"Hm-hm..!" Beng Tan lagi-lagi bergidik. "Semula aku tak tahu, Sian-su. Tapi setelah semuanya ini kudengar maka aku menjadi lebih berhati-hati lagi."

"Dan kau sudah merasakan sesuatu ganjalan dengan kaisar."

"Ya, sri baginda menipuku!"

"Dan kau beruntung belum separah Sin Hauw diperdayai Coa-ongya!"

"Hm, aku tak akan berdekatan lagi, Sian-su. Aku tak akan berhubungan lagi dengan orang-orang itu. Aku tak akan menginjak istana!"

Kakek ini tersenyum. Beng Tan yang mengepal tinju dan tampak marah dipandangnya bersinar-sinar. Kakek ini bangkit berdiri tapi tiba-tiba Swi Cu melompat bangun. Dan ketika gadis itu berseru apakah kepercayaan tak dapat diobati lagi maka kakek ini mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

"Maaf, apakah kepercayaan yang ternoda begitu tak ada obatnya, Sian-su. Apakah orang yang sudah tidak dapat dipercaya memang selamanya tetap tidak dapat dipercaya, seperti keputusan atau pendapat ayah Sin Hauw itu!"

"Hm," kakek ini tersenyum. "Kalau maksudmu bahwa seorang pembohong ingin menjadi baik dan dapat dipercaya lagi seperti dulu-dulu maka semuanya itu tergantung orang yang bersangkutan, nona. Tapi dia harus bekerja keras untuk itu. Dan biasanya jarang ada yang seperti ini. Kepercayaan, seperti kataku tadi, ibarat seutas benang. Cobalah kau lihat ini dan pegang." Bu-beng Sian-su tiba-tiba mengeluarkan seutas benang, lembut dan halus dan menyerahkannya kepada Swi Cu. Gadis ini heran dan tak mengerti tapi menerimanya juga. Dan ketika kakek itu mundur dan meniup perlahan tiba-tiba benang di tangan Swi Cu putus.

"Nah," kakek itu tertawa. "Coba satukan lagi benang itu, nona. Buatlah seutuh semula dan lihat bisa atau tidak!"

Swi Cu tertegun. Tentu saja dia segera menyambung benang ini dan mengikatnya. Tapi ketika kakek itu memintanya dan bertanya apakah benang yang diutuhkan itu sudah utuh atau belum maka Swi Cu mengangguk, mengira utuh. "Benang ini sudah kusatukan, kusambung. Dan kukira utuh!"

"Ha-ha!" kakek itu menoleh pada Beng Tan, menunjukkannya. "Benarkah benang ini utuh, Beng Tan? Benarkah sudah seperti semula lagi?"

Beng Tan terkejut. Dia melihat Bu-beng Sian-su menunjuk tali simpul di tengah-tengah benang, menjentiknya. Bertanya padanya apakah benang itu sudah benar-benar utuh seperti semula. Dan ketika dia terkejut dan sadar bahwa benang itu sudah tidak utuh lagi, hal yang masih tidak dimengerti dan mengherankan Swi Cu maka pemuda ini menggeleng, berseru tegas dan lantang, "Tidak!"

Swi Cu terkejut. "Kenapa tidak?" gadis itu penasaran. "Benang itu tak berkurang sedikit pun, Tan-ko. Aku tak mengurangi atau menambahnya!"

"Tapi ada tali simpulnya di sini," Beng Tan menerangkan, sudah mengerti apa yang dimaksud gurunya, bersinar-sinar. "Benang ini tidak utuh lagi, Cu-moi. Karena kalau dia utuh seharusnya sudah seperti semula, tidak ada cacad atau sambungan. Ah, Sian-su hendak menerangkan kepada kita bahwa kepercayaan yang terlanjur putus tak dapat dipulihkan lagi seperti semula, seperti benang ini. Karena begitu kepercayaan putus maka betapapun diusahakan seperti semula maka tetap saja ada grenjelannya di situ, cacad. Seperti benang ini yang sudah tidak dapat disatukan seperti semula karena ada tali simpul di tengahnya!"

"Ah!" Swi Cu terkejut, tiba-tiba mengerti. "Begitukah? Jadi..."

"Benar," Beng Tan mengangguk, penuh semangat, tiba-tiba tertawa bergelak. "Sian-su hendak memberi tahu padamu bahwa kepercayaan yang putus adalah seperti benang ini, Cu-moi. Disambung atau disatukan kembali tetap saja tak bisa, cacad! Kita hendak diperlihatkan akan adanya kenyataan itu bahwa kepercayaan yang putus tetap saja putus, seperti benang ini. Ha-ha, mengerti aku sekarang. Kepercayaan memang seperti seutas benang, sekali putus maka tak dapat disatukan kembali, ha-ha!"

Swi Cu terbengong-bengong. Dia sadar dan terkejut setelah mengerti itu. Ah, dia kurang tanggap. Tapi begitu mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan kakek ini tiba-tiba gadis itu mendusin dan menganggap bahwa perumpamaan itu cocok, tepat. Kepercayaan memang seperti seutas benang, ringkih dan halus. Dan karena benang atau kepercayaan yang putus memang tak mungkin diutuhkan kembali karena sudah ada "grenjelannya" di situ maka gadis ini menarik napas dan takjub memandang kakek dewa itu.

"Ah, aku mengerti... sekarang aku mengerti...!" gadis itu berteriak, setengah memekik. "Perumpamaan yang ditunjukkan Sian-su memang tepat sekali, Tan-ko. Dan aku sudah melihat itu!"

"Kalau begitu selanjutnya tak ada pembicaraan lagi," kakek ini tiba-tiba tertawa. "Pertanyaanmu sudah kujawab, Beng Tan. Dan selanjutnya kalian tak memerlukan aku lagi. Terimalah!"

Beng Tan terkejut. Sehelai kertas tiba-tiba menyambar ke arahnya tapi cepat ditangkap dan diterima. Bu-beng Sian-su memberikan sesuatu dan Beng Tan terkejut. Tapi ketika pemuda itu menangkap dan menerima kertas ini mendadak si kakek dewa berkelebat dan mendorongkan kedua lengannya di mana Beng Tan dan kekasihnya berteriak tertahan. Tubuh mereka terangkat naik dan tiba-tiba bantalan mega yang tadi diam tak bergerak sekonyong-konyong kini menyambar, terbang dan menerima tubuh mereka yang jatuh ke bawah. Dan ketika dua muda-mudi itu terkejut dan berteriak keras, Swi Cu sudah menyambar dan menangkap lengan kekasihnya maka bantal mega itu bergerak dan.... terbang mengikuti Sian-su, kembali ke bumi!

"Anak-anak, cukup perjumpaan kita kali int. Kuantar kalian ke bawah dan renungkan semua pembicaraan tadi!"

Swi Cu pucat. Dia melihat kakek dewa itu terbang di depan, menukik dan lenyap ke bawah menembus awan dan mega-mega tebal. Tapi ketika mereka sendiri juga bergerak dan terbang mengikuti kakek itu, seperti dongeng, maka Swi Cu menggigil mencengkeram lengan kekasihnya ini.

"Tan-ko, gurumu benar-benar bukan manusia biasa. Ah, beruntung kau menjadi muridnya!"

"Hm, Sian-su sendiri tak mau kusebut begitu, Cu-moi. Katanya guruku adalah diriku sendiri. Hm, dia memang manusia luar biasa. Dan Sian-su rupanya memang pantas disebut sebagai manusia dewa!"

"Dan kita meluncur turun, cepat sekali. Ah, aku takut, koko. Kita menukik...!"

Beng Tan juga terkejut. Menembus awan atau mega-mega tebal tiba-tiba benda aneh yang mereka tumpangi itu menukik lurus, cepat sekali. Rasanya mau menghunjam bumi dan Beng Tan tersirap serta takut jatuh tapi aneh bin ajaib kaki mereka terpaku, lengket atau seolah terpantek pada benda yang mirip bantalan mega ini. Dan ketika Swi Cu di sebelahnya juga pucat dan ketakutan tapi tak jatuh, hal yang membuat kekasihnya tenang maka Lembah Malaikat tiba-tiba terlihat lagi dan Bu-beng Sian-su di depan tiba-tiba sudah mendarat, disusul mereka berdua yang terbengong-bengong bagai menumpang piring terbang!

"Sudah sampai, dan selamat tinggal!"

Swi Cu sadar. Gadis ini berteriak ketika kakek dewa itu tiba-tiba mengangkat tangan kanannya, terbang dan naik lagi ke atas bagaikan mahluk angkasa. Bu-beng Sian-su lenyap dan hilang entah ke mana, yang jelas ke langit. Dan ketika Swi Cu berteriak dan memanggil kakek itu, yang hanya dijawab senyum maka Beng Tan juga sadar dan berteriak memanggil gurunya.

"Sian-su...!"

Tak ada jawaban. Bu-beng Sian-su telah lenyap dan Beng Tan serta kekasihnya bengong. Mereka mendelong dan takjub memandang ke angkasa, terlihat setitik cahaya putih tapi setelah itu hilang. Dan ketika dua muda-mudi ini mendelong dan terkesima, terbelalak, maka terdengarlah cecowetan Pek-kauw dan kera atau monyet putih itu muncul.

"Ah, kita sudah di bumi. Mimpi kita habis!"

"Hm," Beng Tan mepgusap keningnya, bingung. "Mimpikah kita tadi, Cu-moi? Berada di alam sihirkah kita tadi?"

"Kita mimpi, mimpi yang indah! Kita memasuki alam gaib bersama Sian-su!"

"Ya, dan kita mendengar wejangannya. Ah, kata-katanya tak dapat kulupakan, moi-moi. Aku terkesan dan kagum benar akan kata-kata guruku itu!"

"Hm, dan aku juga. Bu-beng Sian-su sungguh kakek dewa yang memiliki kesaktian luar biasa!" dan ketika Swi Cu terkejut karena Pek-kauw melompat dan bercecowetan di pundaknya, menyatakan selamat datang maka Beng Tan di Sana termangu-mangu namun wajah pemuda ini memancarkan cahaya gemerlap.

Beng Tan berhasil mengetahui inti syair itu dan pemuda ini bersinar-sinar. Segala peristlwa dan kisah yang terjadi berulang kembali, cepat, susul-menyusul dan teringatlah dia akan Coa-ongya dan lain-lainnya itu, juga kaisar. Hm, dan sekarang dia tak mempercayai kaisar juga. Kaisar telah menipunya dan kematian Golok Maut yang langsung atau tidak juga atas perintah kaisar membuat Beng Tan kecewa. Kenapa orang sedemikian tinggi kedudukannya tak dapat memiliki kata-kata yang dapat dipercaya? Kenapa kaisar harus menipu dan menjilat kata-katanya sendiri?

Dan untuk itu semua dia tak sempat lagi bertanding dengan Si Golok Maut. Dia telah kehilangan lawannya itu karena lawan telah dibunuh dengan cara yang amat curang, juga licik. Lima ribu orang yang dikerahkan ke Lembah Iblis jelas menunjukkan kecurangan itu, padahal semua tahu bahwa Golok Maut sedang terluka. Ah, ketidak-jujuran memang mudah menimbulkan ketidak-percayaan. Dan sekali dia tidak percaya maka seumur hidup dia tetap tak akan percaya!

Beng Tan mengepal tinju. Sekarang ia mengerti kenapa Golok Maut begitu membenci Coa-ongya. Dan pangeran itu bersama adiknya juga melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tak layak dilakukan orang-orang besar, kaum bangsawan, orang-orang terhormat. Dan mengerti kenapa kaisar selalu melindungi Coa-ongya, karena mereka sebulu dan sejenis maka Beng Tan menggeram-geram dan mengutuk orang-orang itu.

Hm, kepercayaan memang sesuatu yang amat berbahaya. Harus dijaga hati-hati dan jangan sampai retak, apalagi pecah. Kepercayaan itu ibarat benang yang halus dan ringkih. Demikian ringkihnya hingga kalau putus tak dapat disambung lagi. Kepercayaan yang putus sudah menimbulkan cacad di situ, seperti benang dengan tali simpulnya. Dan ketika Beng Tan mengangguk-angguk dan juga marah bahwa Coa-ongya merencanakan sesuatu yang keji dengan kelak melenyapkan semua pengikut-penglkut Chu Wen yang berhasil dibujuk maka diam-diam dia memuji juga kesetiaan dan ketegaran mendiang ayah Sin Hauw terhadap junjungannya.

Laki-laki itu gagah dan mempunyai pendirian yang tegas, berkepribadian. Dan rupanya tahu bahwa Coa-ongya adalah orang yang tak dapat dipercaya. Buktinya, begitu sahabatnya berbalik haluan dan membela pangeran itu, bersama Li Ko Yung maka sahabatnya dibunuh setelah dianggap tak dapat dipergunakan lagi. Padahal, janjinya semula adalah muluk-muluk! Ah, orang yang bermulut manis memang justeru harus dihadapi dengan hati-hati. Mulut manis belum tentu memberikan madu, salah-salah racun!

Dan membayangkan bahwa Golok Maut demikian benci dan dendam kepada Coa-ongya maka Beng Tan tak aneh atau merasa heran lagi. Sin Hauw atau Si Golok Maut itu juga berkali-kali ditipu Coa-ongya. Mulai dari bujukannya tentang encinya yang masih hidup sampai kepada kekasihnya yang ternyata wanita siluman. Sin Hauw berkali-kali harus menekan api kemarahannya kalau Coa-ongya sudah menyebut-nyebut encinya itu, yang sebenarnya sudah lama tewas dan dibunuh.

Dan betapa Coa-ongya akhirnya menangkap dan menyiksa Si Golok Maut, setelah melumpuhkannya dengan obat pelupa ingatan maka Beng Tan muak dan benci betul kepada Coa-ongya itu. Pangeran itu sungguh keji, Golok Maut nyaris dibunuh kalau saja gurunya tidak muncul. Bu-beng Sian-su itulah yang dulu menyelamatkan Sin Hauw. Dan ketika cerita demi cerita dimengerti Beng Tan dengan cepat dan matang maka Beng Tan tiba-tiba teringat pemberian Bu-Beng Sian-su berupa sehelai kertas yang dilemparkan kepadanya tadi.

Beng Tan membuka, melihat, dan... tertegun. Beberapa huruf-huruf rapi tercetak di situ, ditulis gurunya. Dan ketika pemuda ini mengangguk-angguk dan membaca lagi, maka itulah inti atau ringkasan dari wejangan gurunya. Apa yang tertulis? Sederet kata-kata indah, sekaligus peringatan baginya:

KEPERCAYAAN ITU SEPERTI SEUTAS BENANG, HALUS DAN RINGKIH, HATI-HATI. JAGALAH!

Beng Tan mengangguk-angguk. Tanpa diulang lagi dia sudah mengerti itu. Hm, kepercayaan memang seperti seutas benang. Dan benang itulah yang kiranya dimaksudkan gurunya di dalam syair, sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi karena yang belum tahu memang tak akan tahu maka apapun jawabannya memang pasti tak akan diketahui kalau tidak diterangkan. Cocok!

Pemuda ini bersinar-sinar. Sekarang dia tahu akan inti dari jawaban syair gurunya. Kepercayaan memang harus dijaga, dan orang yang dapat dipegang kepercayaannya biasanya lalah orang-orang jujur. Orang-orang jujur dapat dipercaya, sedangkan orang yang tak dapat dipercaya ialah orang yang tak jujur! Hm, mau apalagi? Dan ketika Beng Tan tersenyum dan menyeringai pahit, mengangguk-angguk maka pemuda itu melihat kekasihnya yang juga duduk termenung di sana, tak menghiraukan cecowetan Pak-kauw mau-pun binatang-binatang lain di lembah itu.

"Kau ingin tetap tinggal di sini? Tak ingin pulang?"

"Hm, pulang?" Swi Cu terkejut, bangkit berdiri. "Aku terngiang kata-kata Sian-su, koko. Dan aku kerasan di sini!"

"Tapi kau harus pulang, kembali memimpin anak buahmu!"

Swi Cu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia ingat bahwa dia adalah pemimpin Hek-yan-pang. Sucinya kini telah tak ada di sana dan praktis dialah yang harus menjalankan tugas. Dan ketika dia mengangguk namun melihat kertas di tangan kekasihnya tiba-tiba dia teringat dan bertanya apakah itu.

"Ringkasan dari Sian-su, tentang benang kepercayaan."

Swi Cu membaca. Dia kagum dan bersinar-sinar memandang tulisan kakek dewa itu. Sebenarnya dia tak tahu kapan kakek itu menulis. Hebat! Tapi mengantongi tak mengembalikan surat ini kepada Beng Tan tiba-tiba Swi Cu berkelebat mengajak kekasihnya pulang, ke Hek-yan-pang.

"Heii...!" Beng Tan berseru. "Kembalikan itu padaku, Cu-moi. Jangan dikantongi!"

"Hm, siapa punya siapa? Sian-su memberikannya untuk kita berdua, Tan-ko, bukan untukmu seorang. Dan kau masih berhutang sebuah janji!"

"Janji apa?" Beng Tan mengejar. "Kembalikan dulu surat itu dan biar kusimpan!"

"Untuk apa? Disimpan di mana?"

"Di kamarku, di kamar kita nanti!" namun ketika Swi Cu berhenti dan tiba-tiba membalik, mengejutkan pemuda ini maka Swi Cu membentak,

"Cih, kau tak tahu malu. Sebelum menerangkan siapa si Kedok Hitam itu jangan harap kau mempunyai kamar untuk kita berdua!" dan berkelebat serta lari lagi akhirnya Swi Cu meninggalkan kekasihnya tak perduli melihat Beng Tan bengong, terkejut dan tiba-tiba bergerak menyambar lengannya dan Beng Tan segera berkata bahwa hal itu tak akan disembunyikannya. Dia telah berjanji dan janji tak akan diingkari.

Beng Tan bukanlah Coa-ongya dan pemuda itu tak akan menodai kepercayaan kekasihnya kepadanya. Dan ketika Swi Cu bertanya siapa orang itu dan Beng Tan harus menjawab saat itu juga maka gadis ini tersentak dan untuk kedua kali menghentikan larinya, begitu Beng Tan membuka rahasia.

"Apa? Dia? Jahanam keparat itu?"

"Ya, dia, Cu-moi. Dan sekarang kau tahu. Hm, maafkan aku bahwa saat itu aku terpaksa melepaskannya lagi."

"Ooh...!" Swi Cu terhuyung. "Kalau begitu.... kalau begitu.... jangan-jangan dia pula yang berusaha memasuki kamarku, koko. Jangan-jangan jahanam keparat itu pulalah yang akan memperkosa aku, berkedok sebagai Si Golok Maut!"

"Hm, mungkin juga. Bisa jadi. Tapi, ah..., aku tak ingin bicara ini lagi di saat sekarang. Aku sudah penat menghadapi persoalan-persoalan berat yang bertubi-tubi. Aku juga masih terguncang. Aku ingin menyelesaikan urusanku dulu denganmu."

Swi Cu mangar-mangar. Kalau saja Beng Tan tak mengucapkan kata-katanya terakhir tadi barangkali dia akan melompat dan terbang mencari si Kedok Hitam itu. Kiranya dia! Tapi karena Beng Tan mencekal tengannya dan memandangnya lembut dan mesra, rindu dan bergetar ingin menyelesaikan urusan pribadi, menikah dan bersatu di Hek-yan-pang maka Swi Cu tertahan dan keberingasan mukanya itu tiba-tiba berkurang.

"Aku tak ingin mengurus apa-apa dulu. Aku ingin menyelesaikan urusan kita berdua. Kembali dan menikah di Hek-yan-pang! Kau tentu tak akan menolaknya bukan, moi-moi? Kau tentu dapat menunda semua persoalan-persoalan itu di belakang hari saja?"

Swi Cu terisak, tiba-tiba menubruk kekasihnya. "Terserah kau, koko... tapi berjanjilah bahwa si Kedok Hitam itu harus kita cari! Dia telah menghina dan mau mengganggu aku!"

"Aku tahu, tapi sudahlah, kita lupakan sejenak urusan ini dan mari pulang!" dan Beng Tan yang mengecup serta mendorong kekasihnya tiba-tiba berkelebat namun mendadak berhenti lagi.

"Ada apa?"

"Kita lupa meminta restu dari Sian-su!"

"Hm, tadi di saku bajuku ada ini. Lihatlah!" Swi Cu tersenyum, tiba-tiba mengeluarkan sehelai surat dan Beng Tan ganti tertegun. Ternyata dengan caranya yang luar biasa Bu-beng Sian-su telah memberi tanda mata kepada kekasihnya. Di balik surat itu ada cincin, bertuliskan huruf-huruf dari nama Beng Tan dan Swi Cu, pas benar di jari manis gadis itu. Dan ketika Beng Tan bengong dan membaca huruf kecil-kecil bertuliskan "selamat untuk mempelai berdua" maka pemuda ini berjingkrak dan bersorak.

"Ah, Sian-su telah tahu. Kita mendapat restunya!"

"Ya, dan ini pemberian darinya, koko, mewakilimu. Ah, kakek dewa itu sungguh luar biasa!" dan ketika Swi Cu dipeluk dan disambar, diciumi, maka Swi Cu meronta dan terkekeh geli, melepaskan diri.

"Hush, jangan di sini. Nanti ada orang ....!" dan ketika gadis itu terbang dan disusul Beng Tan, yang tentu saja tak membiarkan kekasihnya maka dua muda-mudi ini telah bergandengan tangan ke Hek-yan-pang.

Bu-beng Sian-su telah memberi restu mereka di samping nasihat. Kakek itu telah memberikan wejangannya yang berharga pula. Dan ketika Swi Cu terkekeh-kekeh dan tertawa bersama Beng Tan, lupa akan yang lain karena akan menyongsong kebahagiaan sendiri maka dua muda-mudi itu tak tahu akan rintih dan tangis seseorang.

Mereka tak tahu akan adanya sesosok tubuh yang terhuyung-huyung naik turun bukit, perut didekap karena sosok tubuh itu bukan lain adalah Wi Hong, yang sedang hamil. Dan ketika Beng Tan serta Swi Cu akhirnya menikah di Hek-yan-pang, mengatur dan memimpin anggauta-anggauta yang sudah lama menunggu maka Wi Hong atau wanita ini menangis tiada berkesudahan serta berkali-kali menyebut-nyebut nama si Kedok Hitam, penuh benci dan dendam.

Siapakah si Kedok Hitam itu? Berakhir begitu sajakah ceritanya? Tidak, tentu tidak. Kisah ini baru merupakan langkah awal dari sebuah cerita yang panjang. Orang-orang yang seharusnya mendapat hukuman belumlah semua terhukum. Wi Hong dan lain-lain itu tentu muncul kembali, dan anda akan menemukannya dalam kisah berikut: Naga Pembunuh!

Para pembaca akan bersua lagi dengan wanita ini dan keturunan Sin Hauw, Si Golok Maut. Tentu saja dalam kisah yang lebih menyeramkan dan tegang, di mana Bu-beng Sian-su tak lupa pula muncul untuk menemui kalian. Mudah-mudahan ada gunanya dan bermanfaat. Salam buat pembaca tercinta!

T A M A T

SERI KEDUA: NAGA PEMBUNUH

Golok Maut Jilid 28

GOLOK MAUT
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"BIARKAN aku.... biarkan aku. Mana Sin Hauw....!"

Beng Tan menyambar lengan si gadis. Wi Hong menjadi kalap dan gadis itu melompat begitu saja sambil menjerit histeris. Yang diingat pertama kali begitu sadar adalah kekasihnya, pemuda yang sudah menjadi mayat itu. Buntung, seperti anjing! Namun ketika Beng Tan mencekal dan menyambar lengan gadis ini maka Wi Hong meronta-ronta dan membentak melepaskan dirinya.

"Kalau kau menahan berarti kau mau kurang ajar denganku. Lepaskan.... plak-plak!"

Beng Tan mendapat tamparan dua kali, malah di hadiahi makian dan tendangan segala. Terpaksa pemuda itu melepaskan lawannya dan larilah Wi Hong menubruk jenasah itu. Gadis atau ketua Hek-yan-pang ini menjerit dan tersedu-sedu menciumi tubuh penuh darah itu, tak jijik atau ngeri dan bahkan memeluk mayat Si Golok Maut penuh kesedihan. Tangis dan raung yang keluar dari mulutnya sungguh menikam-nikam ulu hati.

Beng Tan sampai tak tahan dan bercucuran air mata pula, apalagi kekasihnya, Swi Cu, yang sudah sejak tadi tersedu-sedu dan menutupi muka dengan pucat. Gadis ini adalah sumoi Wi Hong dan tentu saja melihat dan menyaksikan kedukaan sucinya itu Swi Cu tak kuat. Gadis ini mengeluh dan akhirnya mencengkeram lengan Beng Tan. Si pemuda hanya mendelong dengan air mata kebingungan, juga haru dan marah. Namun ketika Wi Hong sadar dan meloncat bangun, bagai singa betina haus darah maka gadis ini meloncat mencengkeram Beng Tan.

"Siapa yang membunuhnya! Apakah betul si Kedok Hitam!"

"Hm," Beng Tan mengangguk, tak dapat berbuat lain. "Kedok Hitam memang pembunuhnya, Wi Hong. Dan aku menyesal sekali kenapa terlambat datang."

"Dan siapa manusia keparat itu? Kau mengenalnya? Siapa binatang terkutuk itu?"

"Aku tak mengenal, pertemuanku juga baru sekilas...." dan belum Beng Tan menyelesaikan kata-katanya, yang tentu saja bohong maka Wi Hong memekik dan menyambar ke belakang, berkelebat dan sudah membawa lari mayat kekasihnya ke atas.

Cepat dan luar biasa seolah melupakan duka atau lelahnya gadis ini keluar dari jurang dengan beban di pundak. Swi Cu sampai kaget dan Beng Tan sendiri berteriak tertahan melihat perbuatan itu. Jurang yang tinggi kini dinaiki dengan cepat dengan membawa sebuah mayat pula, meskipun mayat yang sudah buntung dan tidak berujud sebagai manusia yang utuh. Namun ketika dua orang itu berteriak dan melompat kaget maka Wi Hong sudah naik dengan cepat dan Golok Penghisap Darah yang dipakai untuk menancap-nancapkan kaki sudah berada di atas, luar biasa cepatnya.

"Aku akan mencari jahanam terkutuk itu. Aku akan mengadu jiwa. Aku akan membunuhnya!"

"Tidak!" Beng Tan berjungkir balik keluar jurang. "Kau tak dapat mencarinya sekarang, Wi Hong. Kau lelah, kau sedang terguncang. Tunggu dulu dan biar kita rawat jenasah Si Golok Maut itu!"

"Jangan menghalangi!" Wi Hong sudah membentak, terkejar. "Jangan macam-macam di depanku, Beng Tan. Atau aku akan membunuhmu atau kau membunuhku!"

"Ah, kau salah paham. Aku bermaksud baik.... singg!" namun golok yang maju menyambar lehernya tiba-tiba sudah bergerak tanpa ampun, menerjang dan pemuda itupun segera berkelebatan ke sana-sini karena Wi Hong menyerangnya. Beng Tan menghalangi dan gadis baju merah itu tentu saja marah. Dan ketika Beng Tan berteriak-teriak dan empat kali nyaris terbacok golok maka Swi Cu muncul di atas dan gadis itu menjerit melihat kekalapan sucinya.

"Berhenti.... berhenti! Jangan menyerang...!"

Namun Wi Hong semakin beringas. Melihat sumoinya hendak membela pemuda baju putih itu mendadak gadis ini melengking dan menyerang sumoinya itu pula. Swi Cu dibabat dan gadis baju hitam itu menjerit seraya melempar tubuh bergulingan. Sucinya sudah kesurupan dan Wi Hong memaki sumoinya itu yang dikata menghina dirinya, yang sudah tidak memiliki pelindung dan beda dengan sumoinya itu yang masih memiliki kekasih.

Kebencian dan kemarahan bertumpuk-tumpuk yang membakar ketua Hek-yan-pang ini membuat Wi Hong mata gelap. Dia tak perduli lagi apakah yang diserang itu sumoinya atau Beng Tan. Kedua-duanya dianggap musuh dan Swi Cu tentu saja mengeluh melihat tanda sucinya yang beringas ini. Wi Hong sudah bukan lagi gadis yang normal melainkan seperti kuntilanak haus darah. Dua kali Swi Cu terbabat dan gadis baju hitam itu menjerit pada Beng Tan.

Dan ketika Beng Tan terbelalak dan apa boleh buat harus mencabut Pek-jit-kiamnya, Pedang Matahari itu maka Golok Penghisap Darah terpental dan terlepas dari tangan Wi Hong ketika beradu sama keras dengan pemuda yang memiliki kelebihan sinkang ini, menendang dan Wi Hong pun mencelat terguling-guling. Beng Tan tak menunggu waktu lagi dan ditotoklah gadis baju merah itu. Dan ketika Wi Hong mengeluh dan pingsan dilanda dendam maka Swi Cu mengguguk menubruk kekasihnya itu sementara Beng Tan menyimpan kembali pedangnya dan memungut Golok Penghisap Darah.

"Berbahaya, tak kenal ampun. Hm, kau berhentilah menangis, Swi Cu. Jangan buat aku menjadi semakin bingung saja. Kita tolong sucimu ini, dan kita kubur mayat Si Golok Maut."

Swi Cu masih saja tersedu-sedu. Gadis ini sedih dan ngeri melihat keadaan sucinya. Sucinya itu tak berpikiran normal lagi dan siapapun rupanya mau dibunuh. Ah, takut dia. Tapi ketika kekasihnya mengajak bangkit berdiri dan mayat Si Golok Maut memang harus dikubur maka dengan menggigil dan muka ngeri gadis ini membantu Beng Tan, sering menutupi muka karena bentuk mayat itu sungguh tak kuat dipandang. Swi Cu hampir muntah-muntah. Namun ketika semuanya selesai dan Golok Maut sudah dikubur maka Wi Hong disadarkan dan gadis baju hitam inilah yang menolong sucinya.

"Mana Golok Maut, mana suamiku!"

Swi Cu tertegun. "Golok Maut tewas, suci. Suami atau kekasihmu itu tak ada lagi..."

"Aku tahu!" Wi Hong membentak, mata bersinar-sinar liar. "Aku bertanya di mana mayatnya, Swi Cu. Di mana kalian sembunyikan!"

"Aku tak menyembunyikan, kami menguburnya...."

"Di mana!"

"Itu...."

Dan begitu Swi Cu menunjuk tiba-tiba Wi Hong melengking perlahan dan berkelebat ke makam yang baru itu, baru sekarang dilihat karena tadi berada di belakangnya. Gadis baju merah ini menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Dia baru saja sadar, Swi Cu menyadarkannya. Tapi begitu ingat dan membentak panjang, di sela-sela tangisnya, mendadak gadis ini bergerak dan makam yang masih baru serta gembur itu digali dengan cepat!

"Heii..!" Swi Cu dan Beng Tan berseru kaget. "Jangan gila, suci. Kami baru saja menguburnya!"

"Aku tak perduli. Mayat suamiku tak boleh dikubur di sini, tak boleh dikubur orang lain. Akulah yang berhak, aku yang akan menguburkannya!" dan ketika sebentar kemudian mayat itu sudah terlihat dan disambar naik, membuat Beng Tan dan Swi Cu terbelalak maka Wi Hong sudah tertawa dan menangis mirip kuntilanak yang sedang gila.

"Hi-hik, heh-heh.... kau akan kutidurkan di tempat lain, Hauw-ko (kanda Hauw), kubawa ke tempat lain. Marilah, kita pergi dan biarkan dua manusia yang lagi berasyik-masyuk ini melihat kita bercumbu di tempat lain!" dan Wi Hong yang berkelebat serta membawa mayat itu tiba-tiba memutar tubuhnya dan terbang meninggalkan Swi Cu berdua.

Beng Tan dan kekasihnya ini kaget dan mereka berdua sampai tak dapat bicara, menjublak. Tapi ketika mereka sadar dan berteriak keras tiba-tiba Beng Tan dan kekasihnya ini sudah berkelebat mengejar.

"Heii...!" Beng Tan berseru pucat. "Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu, Wi Hong. Biarkan dia beristirahat di sini dan kau tinggalkanlah!"

"Benar!" Swi Cu juga menjerit, berseru pada sucinya itu. "Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu, suci. Berhenti dan serahkan kepada kami!"

"Tidak, aku yang lebih berhak!" dan Wi Hong yang tancap gas sambil terkekeh-kekeh akhirnya membuat Swi Cu gemetar dan melihat bahwa sucinya itu benar-benar sudah tidak waras lagi. Mayat Golok Maut yang buntung dibawa terbang dan berlepotan tanah, juga darah, darah yang tentu saja sudah mengering. Namun ketika dia mengeluh dan Beng Tan berjungkir balik mengerahkan ginkangnya tiba-tiba sudah menghadang dan turun di depan ketua Hek-yan-pang ini, membentak,

"Berhenti.... dess!"

Dan Wi Hong yang menumbuk serta menabrak pemuda itu dengan keras akhirnya terbanting dan memaki-maki Beng Tan akibat tabrakan yang keras itu, tak dapat dihndarkan lagi dan gadis atau ketua Hek-yan-pang ini menjerit dan mengaduh kesakitan. Dia terlempar dan terguling-guling namun hebatnya mayat yang ada di pundaknya itu masih saja dicekal erat. Nyata, Wi Hong tak mau kehilangan mayat ini, mayat suaminya, kekasih tercinta! Dan ketika gadis itu bergulingan meloncat bangun dan Swi Cu berkelebat serta menggigil di samping kekasihnya maka gadis baju hitam ini menjerit, serak,

"Suci, jangan gila, Jangan dibawa ke mana-mana mayat itu. Serahkan kepada kami, biar dikubur di sini saja!"

"Tidak, hi-hik! Aku akan mempertahankan mayat suamiku ini, Swi Cu. Kalian tak boleh merebutnya karena dia suamiku. Mampuslah, atau aku kalian bunuh!" Wi Hong menerjang, terkekeh dan tertawa-tawa namun Beng Tan cepat melindungi kekasihnya.

Swi Cu ditarik ke belakang dan pukulan lawan ditangkis. Wi Hong terpental dan terpelanting namun mayat itu masih juga tidak jatuh. Gadis ini terkekeh-kekeh dan malah menciumi mayat itu, menerjang dan menyerang lagi dan Beng Tan sendiri sampai mengkirik melihat kejadian ini. Wi Hong benar-benar tidak waras, gila! Namun ketika dia mengelak sana-sini dan akhirnya satu pukulan membuat lawannya itu terlempar, terbanting, maka Wi Hong meraung-raung dan gadis itu menggigit lengannya sendiri.

"Beng Tan, kau bunuhlah aku. Antar aku agar menyusul arwah Si Golok Maut. Atau aku akan memecahkan kepalaku sendiri dan kalian kubur kami dalam satu lubang!"

"Heii!" Beng Tan membentak. "Jangan gila, Wi Hong. Tahan.... dess!" dan Wi Hong yang roboh terpelanting dan kini melepaskan mayat setelah tadi menghantam ubun-ubunnya sendiri mendadak menangis menggerung-gerung dan Beng Tan menotoknya lumpuh.

Gadis atau ketua Hek-yan-pang itu menjerit-jerit dan Swi Cu tersedu mengguguk tak tahan lagi, melompat dan menangis memeluk sucinya Itu. Dan ketika Wi Hong terkekeh dan meludah ke sana ke mari maka Swi Cu berkata agar mayat itu diserahkan saja kepada sucinya ini.

"Dia mungkin akan menguburnya ke tempat lain. Biarlah.... biarlah.... kita serahkan saja dan tak usah kita campuri lagi...!"

"Hm," Beng Tan pucat, ngeri. "Kau yakin tak akan ada apa-apa dengan sucimu ini, Cu-moi? Dia tak akan melakukan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya sendiri? Dia sedang mengandung, dan pukulan ini terlampau berat baginya!"

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Kalau suci sudah menghendaki begitu tak dapat kita mencegahnya lagi, Tan-ko. Salah-salah dia akan bunuh diri seperti kata-katanya tadi. Tidak, tidak. Biarkan ia pergi karena mungkin mayat itu akan dikuburnya di tempat lain!"

Dan Beng Tan yang tak dapat bicara apa-apa lagi dan menurut kata-kata kekasihnya lalu membebaskan Wi Hong dan seketika gadis baju merah itu tertawa berseri-seri.

"Swi Cu, kau baik. Kau, ah.... kau baik dan cantik sekali!" dan Wi Hong yang terkekeh melompat bangun lalu mencium sumoinya itu dan berkelebat menyambar mayat di atas tanah, terbang dan pergi meninggalkan dua orang itu sambil tertawa-tawa mengerikan namun mendadak baru beberapa langkah berhenti lagi, membalik dan sudah berkelebat ke arah Beng Tan. Dan ketika Beng Tan terkejut dan tak tahu apa yang mau dikehendaki ketua Hek-yan-pang ini tiba-tiba Wi Hong membentak agar dia menyerahkan Golok Penghisap Darah itu, milik Si Golok Maut.

"Serahkan golok itu dan aku tak akan mengganggu lagi. Barang milik suamiku tak boleh dipegang orang lain!"

Beng Tan mundur. Dia terkejut dan berubah oleh kata-kata ini, sejenak berkerut-kerut dan berpikir bagaimana baiknya. Tapi ketika Swi Cu menangis dan berkata padanya bahwa biarlah golok itu diserahkan sucinya, hitung-hitung sebagai pelindung diri bagi sucinya itu maka Beng Tan menarik napas dalam dan apa boleh buat menyerahkan golok itu, Golok Penghisap Darah. Dan begitu Wi Hong menerima dan terkekeh, mengelebatkan golok di depan mukanya maka gadis itu sudah terbang dan meninggalkan mereka, benar-benar tak kembali lagi.

"Hi-hik, terima kasih, Swi Cu. Dua kali kau melepas kebaikan padaku. Baiklah, lain kali akan kubalas dan selamat tinggal!"

Swi Cu dan Beng Tan menjublak membelalakkan mata. Swi Cu sendiri tak henti-hentinya menangis sampai sucinya itu lenyap di bawah, tapi begitu sucinya lenyap dan tidak kelihatan lagi, entah ke mana maka gadis ini mengguguk dan menubruk kekasihnya.

"Aku mungkin tak akan melihat suci lagi. Kita mungkin lama tak akan bertemu lagi. Ah, perasaanku tersayat-sayat, koko. Sungguh kejam dan keji benar orang yang membunuh Golok Maut itu!"

"Hm, sudahlah," Beng Tan menekan guncangan hatinya yang berkali-kali. "Aku tak dapat berbuat apa-apa dalam masalah ini, Cu-moi. Aku menyesal dan juga mengutuk kekejian itu. Tapi, ah... Golok Maut juga kejam!"

"Tapi dia membunuh karena dendam! Aku sudah mulai mendengar sebagian kisahnya dari suci Wi Hong!"

"Hm, benar. Dan persoalan ini rumit. Dendam dapat menciptakan manusia baik-baik seperti iblis! Sudahlah, aku sendiri sedang terguncang oleh semua kejadian ini, Cu-moi. Kita pergi dan cari Sian-su!"

"Benar," Swi Cu tiba-tiba menarik lepas tubuhnya, tertegun. "Berkali-kali kau menyebut nama ini, Tan-ko. Siapa orang yang kau maksud itu? Gurumu?"

"Hm, bagiku begitu. Tapi bagi Sian-su tak sepenuhnya. Orang yang kumaksud memang benar kakek dewa yang pernah kuceritakan padamu itu, Cu-moi. Dialah Sian-su, Bu-beng Sian-su yang terhormat!"

"Dan kau tak kembali ke istana? Tak ke kota raja?"

"Ah, aku tertipu," Beng Tan tersenyum pahit. "Untuk apa ke sana lagi, Cu-moi? Semuanya ini cukup. Kita tak perlu ke sana dan mari mencari guruku itu. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan!"

"Apa?"

"Ini..." Beng Tan mengeluarkan sepucuk lipatan surat. "Aku heran bahwa di saku baju Si Golok Maut itupun ada surat seperti ini."

Swi Cu mengerutkan kening. Dia heran melihat Beng Tan mengeluarkan sebuah surat yang dilipat baik-baik itu, dibuka dan membaca isinya. Dan ketika Beng Tan merogoh dan mengeluarkan benda yang sama dari saku yang lain maka Swi Cu tertegun membelalakkan mata.

"Syair! Syair yang mirip dan sama! Eh apa artinya itu, Tan-ko? Rahasia apa yang terkandung di tulisan-tulisan ini?"

"Aku tak tahu, tapi Sian-su bilang bahwa ada sesuatu yang amat berharga di situ. Aku disuruh mencari, tak dapat. Sudah berusaha kutemukan tapi sampai saat inipun otakku rasanya bebal. Hm, Sian-su adalah kakek dewa yang amat mengagumkan, Cu-moi. Apa yang dia berikan tak pernah kosong, pasti selalu ada isinya. Marilah, kita berangkat dan temui kakek itu!"

"Nanti dulu!" Swi Cu menahan, melihat Beng Tan sudah menyambar lengannya untuk diajak pergi. "Katakan dulu kepadaku ke mana kita pergi, Tan-ko. Dan bagaimana selanjutnya urusan kita sendiri!"

"Maksudmu?"

"Hubungan kita ini," Swi Cu merah mukanya, terisak. "Aku ingin tahu bagaimana kau mewujudkan cita-cita kita, koko. Apa yang kaulakukan setelah ini!"

"Ah, aku akan menikahimu!" Beng Tan tertegun, memeluk kekasihnya. "Urusan kita sudah selesai, Cu-moi. Golok Maut telah tewas dan tak ada ikatanku lagi dengan sri baginda kaisar. Aku akan membawamu kepada Sian-su dan sekaligus minta restunya!"

"Kalau begitu di mana kakek itu tinggal?"

"Di Lembah Malaikat. Marilah, aku tak akan melupakan janjiku tapi kita temui dulu kakek itu!" dan Beng Tan yang mengecup serta mencium kekasihnya lalu membuat Swi Cu lega dan girang, bahagia tapi sayang kebahagiaannya itu terganggu oleh urusan sucinya. Di sana sucinya menderita sementara dia di sini mendapatkan kebahagiaannya. Ah, betapa beda keberuntungan mereka. Tapi begitu Beng Tan membawanya pergi dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka Swi Cu pun termenung-menung antara senang dan susah!

* * * * * * *

"Berhenti, ini Lembah Malaikat,"

Swi Cu mendengar kekasihnya bicara setelah dua malam melakukan perjalanan. Letih dan penat diajak kekasihnya berputar-putar di tempat yang penuh Jurang dan lembah akhirnya Beng Tan menghentikan larinya dan mengusap keringat. Swi Cu sendiri setengah bersandar dan agak mengantuk di pundak kekasihnya tadi. Dua malam ini dia diaduk bermacam perasaan yang silih berganti, haru dan duka serta entah perasaan macam apa lagi yang bergalut semuanya, menjadi satu dan berbaur seperti benang ruwet.

Tapi begitu Beng Tan berhenti dan mendorong tubuhnya dengan halus, menyadarkan kekasihnya maka Swi Cu tertegun mendengar kicau burung yang merdu di atas pohon-pohon yang rindang. Monyet dan segala jenis blnatang-binatang kecil tiba-tiba bermunculan. Kelinci dan katak tiba-tiba berlompatan, datang dan menghampiri Beng Tan dengan berani. Alangkah herannya dia! Tapi ketika Beng Tan tersenyum dan mengambil pisang atau kacang di dalam buntalannya maka monyet dan kelinci datang berebut.

"Ah," gadis ini berseru tertahan. "Jadi ini kiranya kenapa di luar dusun tadi kau membeli pisang dan semuanya itu, koko? Kau hendak memberi makan mereka?"

"Ya," Beng Tan tersenyum gembira. "Semua binatang di sini tak takut-takut kepada manusia, Cu-moi. Sian-su telah melatih mereka dengan memberinya makan setiap hari."

"Dan kaupun agaknya dikenal!"

"Benar, aku juga sering memberi makan mereka seperti Sian-su, setiap hari. Dan Itu Pek-kauw!" Beng Tan tiba-tiba menuding, melihat seekor kera putih muncul dari balik pohon dan kera itu bercecowetan menghampiri Beng Tan. Larinya yang cepat dan sebentar kemudian sudah melompat di pundak pemuda ini membuat Swi Cu tiba-tiba tercengang, heran dan kagum dan tiba-tiba dia terkekeh ketika monyet putih ini merogoh semua saku Beng Tan. Pek-kauw, monyet itu, rupanya mencari sesuatu dan Beng Tan tertawa mengeluarkan sebungkus kembang gula, permen. Dan ketika bungkusan itu direbut dan Pek-kauw sudah cecowetan membuka isinya maka monyet ini berjingkrak-jingkrak di kepala Beng Tan!

"Hi-hik," Swi Cu tiba-tiba tak dapat menahan geli, lenyap kemurungannya. "Kera ini lucu sekali, koko. Dia manja dan rupanya paling akrab denganmu!"

"Benar," Beng Tan juga tertawa. "Pek-kauw paling berani dan kurang ajar pula, Cu-moi. Tapi dia tak pernah menyakiti aku. Lihat, kesukaannya adalah kembang gula itu sementara teman-temannya yang lain adalah pisang atau kacang!"

Swi Cu terkekeh-kekeh. Gembira dan geli melihat tingkah si monyet yang lucu, tiba-tiba diapun ingin bercanda. Dia minta agar Beng Tan memberikan monyet putih itu. Tapi ketika Pek-kauw bercecowetan dan meloncat turun, lari bersembunyi di balik pohon besar tadi maka Beng Tan tertawa memberi tahu bahwa binatang itu ingin menikmati kembang gulanya dulu, mungkin takut direbut yang lain.

"Ha-ha, belum mau. Tapi lihatlah, kenari dan burung-burung kutilang itu mendekatimu, Cu-moi. Berikan makanan ini kepada mereka dan bersikaplah sebagai seorang sahabat!"

Swi Cu terkejut. Tujuh ekor burung beterbangan di mukanya dan berkicau saling sahut. Mereka melihat pisang dan makanan berbiji yang ada di tangannya, pemberian Beng Tan. Dan ketika dia terbelalak dan melebarkan matanya tiba-tiba lima ekor kenari dan sepasang kutilang menyerbu dirinya, berkicau mematuk makanan di tangannya itu dan hinggap di sana-sini, tak takut-takut!

"Ha-ha, itulah mereka, Cu-moi. Bersenang-senanglah. Bergembiralah!"

Swi Cu terkekeh. Akhirnya dia menangkap satu di antara lima ekor burung kenari itu, burung berwarna kuning. Burung ini jinak dan mandah saja ditangkap. Tadi dia mengepak-ngepakkan sayapnya dan juga ekor, lucu. Swi Cu gemas dan lupalah gadis itu akan persoalannya dua hari yang lalu, mencium dan menangkap yang lain lagi dan tak lama kemudian gadis ini sudah terkekeh-kekeh melupakan maksud kedatangannya pula ke situ, bermain dan bergembira bersama penghuni lembah dan Beng Tan pun juga terbawa oleh suasana yang penuh riang ini.

Kelinci dan monyet serta katak adalah teman-temannya sejak dulu. Mereka itu sahabat-sahabat penghuni Lembah Malaikat. Dua muda-mudi ini tiba-tiba bergembira dan Beng Tan pun lupa akan maksud kedatangannya di situ. Tapi ketika dua jam mereka bermain-main dan monyet atau kelinci disuruh menari-nari oleh Beng Tan, ditonton dan membuat Swi Cu terkekeh-kekeh maka terdengarlah sapaan lembut dan tiupan angin yang halus menerpa mereka.

"Beng Tan, kau main-main di sini? Kau tidak di istana lagi?"

Beng Tan dan Swi Cu terkejut. Mereka menengok dan terpekiklah Swi Cu melihat apa yang dilihat. Seorang kakek, entah dari mana munculnya tahu-tahu telah berada di dekat mereka di bawah pohon besar di mana tadi Pek-kauw menyembunyikan diri. Kakek itu berdiri namun kakinya tidak menginjak tanah, seolah melayang, atau mengambang. Dan ketika Swi Cu terkejut dan pucat karena wajah itu tak kelihatan jelas seolah tertutup halimun atau kabut tebal maka Beng Tan yang ada di sisinya sudah berseru nyaring menyebut kakek itu, menjatuhkan diri berlutut.

"Sian-su....!"

Swi Cu terguncang. Mendadak ia pun roboh berlutut dan tak dapat menahan diri lagi, gemetar. Perasaannya tergetar dan entah kenapa tiba-tiba ia menggigil. Kakek itu seolah bukan manusia saja melainkan siluman, atau mungkin roh halus, hantu! Tapi ketika Beng Tan menjatuhkan diri dan menyebut nama kakek itu, sebagai Sian-su, maka sadarlah Swi Cu bahwa inilah kiranya kakek yang dicari-cari kekasihnya itu. Sian-su, atau Bu-beng Sian-su, kakek amat hebat yang katanya maha sakti hingga dapat terbang ke langit atau masuk ke dalam bumi.

Berkepandaian demikian tinggi hingga tak dapat diukur lagi. Itulah kakek yang menjadi guru kekasihnya, datang dan muncul seperti siluman saja! Tapi ketika dua orang itu menjatuhkan diri berlutut dan Swi Cu gemetar tak berani mengangkat mukanya mendadak Bu-beng Sian-su, kakek itu, bergerak dan sudah membangunkan mereka.

"Bangunlah!" tawa lembut itu menyejukkan hati, sudah disertai usapan ke wajah. "Bangkit dan berdirilah kalian, anak-anak. Tak perlu berlutut!"

Beng Tan dan Swi Cu merasakan sesuatu yang menggetarkan. Mereka tiba-tiba merasa betapa wajah yang diusap menjadi dingin dan segar, begitu segar dan dingin hingga segala kepenatan tiba-tiba lenyap. Swi Cu yang merasa paling lelah mendadak tak merasakan lagi kelelahannya itu, sirna dan lenyap oleh usapan si kakek. Begitu mengherankannya! Dan ketika ia berdiri dan melirik Beng Tan, aneh bin ajaib, wajah Beng Tan mendadak dilihatnya begitu mencorong dan gagah serta bersinar-sinar, begitu bersinar-sinar dan gagah hingga ia bengong. Beng Tan tiba-tiba dilihatnya jauh lebih gagah dan tampan daripada sebelumnya. Pemuda itu mengeluarkan cahaya yang membuat wajahnya seperti dewa. Ah, mendecak gadis ini, Kagum!

Tapi ketika dia terbelalak dan bengong memandang kekasihnya maka Beng Tan, yang juga berdiri dan memandang kekasihnya itu tiba-tiba dibuat bengong dan kagum karena wajah Swi Cupun bersinar-sinar dan cemerlang seperti bulan purnama. Wajah itu menjadi gemilang dan hidup dan Beng Tan melihat kecantikan luar biasa yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kekasihnya itu tiba-tiba menjadi cantik jelita dan Beng Tan bengong, takjub. Wajah gemilang itu serasa seorang dewi saja dan bukan manusia. Ah, Beng Tan melongo dan terbuka mulutnya. Wajah sang kekasih yang mendadak begitu cantik jelita dan gemilang membuat dia mendelong. Wajah itu seolah Swi Cu dalam ujudnya yang baru, Swi Cu yang cantik jelita dan anggun, bak dewi kahyangan!

Tapi ketika dua muda-mudi itu sama-sama takjub dan masing-masing bengong memandang pasangannya, yang tiba-tiba begitu cantik dan gagah perkasa melebihi yang sudah-sudah maka tawa Bu-beng Sian-su menyadarkan dan mengejutkan keduanya bahwa di situ masih ada orang ketiga.

"Beng Tan, kalian bengong saja saling pandang? Kalian tidak segera memberi tahu maksud kedatanganmu?"

"Ah-ah!" Beng Tan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kembali menghormat. "Teecu datang memang membawa sesuatu keperluan, Sian-su. Maaf bahwa teecu tidak memberi tahu dulu!"

"Hm, bangkitlah. Tak usah berlutut!" tangan itu bergerak, menyentuh pundak. "Aku tahu kedatanganmu, Beng Tan, tapi tidak tahu siapa gadis ini. Apakah dia temanmu?"

"Beb.... benar..." Beng Tan tergagap. "Dia... dia Swi Cu, Sian-su. Kekasih teecu, calon isteri teecu!"

"Hm, baiklah, calon isterimu kiranya," kakek itu tersenyum, menghadapi Swi Cu. "Benarkah, nona? Kau calon isteri Beng Tan?"

"Beb..... benar....!" Swi Cu ikut tergagap, tiba-tiba merah padam. "Aku... aku Swi Cu, Sian-su.... datang menghaturkan hormat!"

"Sudahlah," kakek itu juga menarik berdiri. "Kau berdua tak perlu takut-takut, nona. Beng Tan tentu telah memberi tahu padamu bahwa aku adalah kakek yang sederhana saja. Marilah, duduk dan ceritakan maksud kalian datang ke mari."

Swi Cu terkejut. Sang kakek mengibaskan lengan dan tiba-tiba segumpal mega, atau asap putih, menderu di bawah mereka. Dan ketika dia terkejut dan sang kakek tertawa tahu-tahu dia dan Beng Tan sudah jatuh terduduk dan sudah berada di atas gumpalan mega ini, yang ternyata empuk dan dingin, seperti bantal!

"Tanah itu kotor, dan bumi juga kotor. Sebaiknya kita ke tempat yang enak dan bicara di tempat yang bersih!"

Swi Cu membelalakkan mata. Sang kakek mengibaskan lengannya sekali lagi dan muncullah bantalan mega itu, tepat di bawah sang kakek. Dan ketika Bu-beng Sian-su duduk dan melipat kakinya, bersila, maka kakek itu berseru bahwa mereka tidak di atas bumi lagi. Swi Cu berteriak karena tiba-tiba bantal mega yang diduduki bergerak, melayang dan sudah mengikuti si kakek terbang ke angkasa. Dan ketika Beng Tan di sana juga terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan maka dua muda-mudi itu sudah mengikuti Bu-beng Sian-su ke langit, terbang, mungkin ke tempat para dewa!

"Heii...!" gadis ini pucat. "Aku... aku takut, Beng Tan. Kita meluncur dan terbang ke langit!"

"Tenanglah," suara Bu-beng Sian-su terdengar lembut di depan. "Kalian tak apa-apa, nona. Bantal itu akan melekat penuh di kakimu, tak akan lepas. Aku ingin mengajak kalian ke tempat yang tenang dan jauh dari keramaian manusia. Duduk sajalah di situ, tak usah melihat ke bawah!"

Swi Cu ngeri. Segera dia menutup mulut rapat-rapat dan tak memandang ke bawah lagi. Memang benar, dia menjadi ketakutan dan ngeri ketika tadi melihat ke bawah. Bantal ajaib itu membawanya terbang ke langit dan Lembah Malaikat tampak di sana, jauh di bumi, kecil dan akhirnya tak dapat dilihat secara jelas lagi karena dia sudah terbang bersama kakek dewa itu. Beng Tan ada di sampingnya dan untunglah kekasihnya itu tak berada jauh. Bantal merapat dan tiba-tiba keduanya sudah bersatu. Terbang dan berada di angkasa bebas seperti dongeng begini barulah kali itu dialami Swi Cu. Gadis ini terisak dan gembira namun juga tegang. Bayangkan, bagaimana kalau dia jatuh! Tapi ketika Beng Tan berbisik bahwa dia tak usah takut, Sian-su akan melindungi dan menjaga mereka maka menangislah gadis ini penuh bahagia.

"Oh, aku... ah... baru sekali ini mengalami hal seperti ini, Tan-ko. Gurumu benar-benar luar biasa dan bukan manusia lagi. Ah, dia memang dewa, kakek dewa. Tapi ke mana kita akan dibawa? Ke tempat para malaikat kah?"

"Aku tak tahu," Beng Tan menggeleng "Yang jelas tentu ke tempat yang baik, Cu-moi. Sudahlah kau duduk saja dan peluk aku rapat-rapat. Pejamkan matamu kalau takut!"

Hal itu sudah dilakukan Swi Cu. Gadis ini memang takut tapi juga gembira. Takut-takut gembira, begitulah barangkali. Dan ketika dia mendekap tubuh Beng Tan dan bantal mega itu, terus melayang dan mengikuti Sian-su, mirip selempang Aladin maka tibalah mereka di suatu tempat yang sukar disebut namanya. Tempat itu seperti taman di tengah surga, pohon warna-warni ada di situ dan Beng Tan takjub melihat ini. Daun yang ada di situ bukan hanya berwarna hijau melainkan berwarna-warni. Biru, hitam dan putih.

Bahkan, ada yang jambon dan perpaduan di antara tujuh warna sinar pelangi. Beng Tan takjub dan bingung, untuk menentukan warna apakah yang dilihatnya itu. Pokoknya, bukan warna yang ada di bumi. Semuanya lebih indah dan jauh lebih mempesona daripada di bumi. Warna itu tak dapat dilukiskan atau digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, indah dan mentakjubkan. Titik! Dan ketika Beng Tan bengong dan takjub memandang semua itu maka Swi Cu, yang juga sudah membuka mata dan melepaskan diri dari kekasihnya berseru kagum tak dapat menahan mulut.

"Luar biasa... mentakjubkan! Ah, seperti Taman Firdaus...!"

"Benar," Beng Tan tiba-tiba teringat kitab suci. "Taman ini seperti Taman Firdaus, Cu-moi. Dan pohon-pohon itu, ah... mereka dapat bergerak... menari!"

Swi Cu membelalakkan matanya., Tiba-tiba pohon yang ada di situ mendadak semuanya bergoyang, bergerak dan sudah berpindah-pindah tempat. Mereka seolah bermain satu sama lain, atau mungkin menari-nari, karena pohon yang daunnya putih dan hitam berlenggak dan berlenggok. Dahan dan ranting mereka saling bergerak maju mundur. Itulah pemandangan yang seumur hidup belum pernah mereka saksikan. Seperti dongeng! Tapi ketika mereka terbelalak dan takjub serta bengong tak habis-habisnya maka Bu-beng Sian-su tertawa dan menyadarkan mereka.

"Beng Tan, mari sini. Inilah tempat yang enak, bebas dari pengaruh hawa nafsu manusia."

Beng Tan terkejut. Segera dia sadar dan turun dari bantal meganya itu, lupa tidak menginjak tanah tapi bengong karena kakinya menapak di sesuatu yang lembut, seperti awan atau beludru tebal, lunak. Entahlah, tak tahu dia apa namanya itu tapi pemuda ini sudah menghampiri Sian-su. Kakek itu sudah bersila dan wajahnya yang bersinar tampak semakin bersinar saja, tidak menyilaukan namun tetap saja Swi Cu dan Beng Tan tak dapat menembus kabut atau halimun di wajah sang kakek. Dan ketika Beng Tan duduk dan Swi Cu menyusul, heran dan terkagum-kagum maka kakek itu bertanya apa yang hendak dibicarakan pemuda itu.

"Teecu.... teecu hendak meminta jawaban tentang syair. Juga sekalian memberi tahu bahwa Golok Maut tewas!"

"Aku tahu," kakek itu tersenyum, menghela napas. "Kematian Golok Maut sudah kuketahui dulu-dulu, Beng Tan. Dia telah menentukan garis nasibnya sendiri. Hm, akibat dendam!"

"Dan teecu akan bertanya tentang syair....."

"Nanti dulu!" Swi Cu tiba-tiba memotong. "Aku hendak bertanya tempat apakah ini namanya, Sian-su. Bagaimana begini mempesona dan mentakjubkan. Semua nya serba lain dengan di bumi!"

"Hm, ini adalah It-thian (Langit Pertama)."

"It-thian?"

"Ya, perpindahan pertama kalinya dari alam kasar ke alam halus, nona. Sebelum menaiki jenjang-jenjang berikutnya."

"Ih, tempat orang mati?"

"Bukan orang mati saja, melainkan segala yang ada di bumi, tanaman dan binatang. Sudahlah, kau tak akan mengerti dan sebaiknya kita ikuti pertanyaan Beng Tan ini."

Swi Cu ngeri. Tiba-tiba dia mengkirik dan memandangi pohon-pohon yang menari-nari itu. Jangan-jangan itu adalah pohon yang mati di bumi dan kini "hidup" di tempat ini. Atau, mungkin roh orang yang "nyasar" ke pohon itu. Hii, merinding dia! Dan ketika dia mencekal lengan Beng Tan erat-erat dan tanpa terasa menjadi takut dan ngeri maka Bu-beng Sian-su tersenyum memandang pemuda itu, yang juga pucat dan berkeringat!

"Kau takut?"

"Tidak, tapi... tapi... ah, berada di suatu tempat yang asing untuk pertama kalinya memang terasa menyeramkan, Sian-su. Tapi ada kau di sini. Aku tak takut!"

"Hm, perasaan itu adalah wajar. Tapi mereka semua adalah sahabat. Lihatlah, tak ada satupun di antara mereka yang mengganggu. Lihat mereka tersenyum padamu!"

Beng Tan melongo. Pohon-pohon yang tadi bergerak dan menari-nari mendadak menghadap ke arahnya semua. Mereka menunduk dan.... tersenyum padanya. Ah, tidak. Mereka tak mempunyai mulut. Tapi, ah... dapat tersenyum! Bagaimana ini? Beng Tan bingung karena tak dapat menerangkan. Hal itu memang ganjil dan sukar dilukiskan kata-kata. Tapi, senyum itu... ah, dia dapat merasakannya jelas. Senyum itu seperti gunung yang segar menyambut manusia, atau ombak yang lembut di pesisir yang halus.

Senyum itu memang lain dengan senyum manusia tapi getaran hangat itu dirasanya. Itulah senyum Cinta Kasih! Beng Tan tak tahu ini tapi getaran cinta kasih itu dirasanya, ditangkapnya, Dan ketika Bu-beng Sian-su tertawa dan memberi tahu bahwa pohon dan semua yang ada di situ sedang menyambut Beng Tan dengan gembira, sebagaimana layaknya seorang tamu memasuki rumah orang lain maka kakek itu mengajak lagi ke pembicaraan semula.

"Kau akan tahu kelak, akan mengerti bagaimana cara mereka bercakap-cakap atau berkomunikasi. Marilah, lanjutkan pembicaraanmu, Beng Tan. Kita memiliki batas waktu di sini."

Beng Tan sadar. Akhirnya dia merasakan juga kebutuhan akan pembicaraan pokok itu, tentang syair. Dan ketika dia bersinar-sinar dan mengeluarkan lipatan surat yang selalu disimpannya rapi maka pemuda ini mulai dengan sikapnya yang serius, sudah dapat mengatasi perasaannya yang berdebar-debar bahwa dia berada di Langit Pertama, tempat perpindahan dari alam kasar ke alam halus!

"Teecu hendak menanyakan tentang isi syair ini, juga bertanya bagaimana Golok Maut juga mempunyai atau membawa syair yang sama!"

"Hm, syair yang manakah itu, Beng Tan? Dapatkah kau membacanya?"

"Inilah..." Beng Tan memperlihatkan, juga sekaligus meminta sebuah syair lain yang disimpan Swi Cu, karena kekasihnya itu membaca dan menyimpan syair yang dimiliki Si Golok Maut.

"Teecu tak dapat menemukan inti jawaban syair ini, Sian-su. Dan teecu gagal memenuhi permintaanmu!"

"Hm, bacalah. Atau, biar kekasihmu saja yang membaca, tentu lebih merdu dan nyaring!"

Swi Cu semburat. Beng Tan memandangnya tersenyum dan tak jadi meminta syair yang dibawanya. Pemuda itu menyerahkannya kepadanya dan Swi Cu terpaksa membaca. Dan ketika lipatan surat sudah dibuka dan Swi Cu membacanya, sudah dapat menekan perasaannya yang berdebar-debar dan kagum tapi juga gentar seperti yang tadi dirasa Beng Tan maka gadis ini sudah mengeluarkan suaranya yang merdu dan nyaring, lantang tapi sedap didengar telinga:

"Bukan benang sembarang benang. Halus menawan di kiri kanan. Kalau dijaga menimbulkan senang kalau rusak menimbulkan dendam. Inilah benang yang minta perhatian!"

"Hm, itu kiranya," Bu-beng Sian-su tersenyum mengangguk-angguk, tertawa. "Benar sekali pertanyaan yang kaubawa, Beng Tan. Sesuai dengan apa yang ada. Baiklah, akan kujawab!" dan ketika kakek itu bersinar dan tajam memandang Beng Tan, yang harus menunduk dan tak kuat menghadapi sorot cahaya yang tiba-tiba menembus di balik kabut maka kakek itu bertanya apa yang dilihat pemuda ini.

"Teecu tak melihat apa-apa, tak tahu apa-apa!"

"Hm, jangan terburu menjawab," kakek itu tersenyum menegur, menghadapi Swi Cu. "Kau sendiri juga tak tahu, nona? Seperti Beng Tan?"

"Aku... aku juga tak tahu, tak mengerti!"

"Kalian akan mengerti kalau sudah tahu, dan kalian akan tahu kalau sudah mempelajari. Baiklah, syair ini sederhana saja. Seluruh kekuatan yg bertumpu pada Si Golok Maut!"

"Maksud Sian-su?" Beng Tan tertegun. "Apakah hendak membicarakan yang sudah mati?"

"Ah, tidak. Bukan begitu," kakek ini tertawa. "Yang sudah mati tak perlu dibicarakan, Beng Tan. Tapi apa yang pernah terjadi perlu disimak dan direnungi hikmahnya!"

"Teecu masih tak mengerti," Beng Tan bicara, bingung.

"Dan aku juga...." Swi Cu menyambung, sama-sama bingung.

"Baiklah, perhatikan ini, anak-anak. Jawaban syair sebenarnya hanya satu kata-kata saja. Tapi karena menjelaskan begitu saja tak akan mengesankan maka baiklah kalian kubawa berputar-putar sedikit."

Beng Tan dan Swi Cu terbelalak. Mereka tak mengerti maksud kakek itu dan Swi Cu tiba-tiba bangkit berdiri. Kata berputar-putar dikiranya hendak berjalan-jalan, kakek itu terkejut tapi tertawa menyuruhnya duduk lagi. Bukan begitu yang dimaksud kakek ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su mengebutkan lengan dan menarik napas dalam maka yang meluncur adalah pertanyaan-pertanyaan juga, sebagai sendal pancing!

"Kalian tahu apa yang dimaksud benang di situ? Kalian tak melihat hubungannya dengan Si Golok Maut?"

"Tidak."

"Baiklah, kalau begitu kutanya Beng Tan," kakek ini menghadapi Beng Tan, yang tiba-tiba berdebar dan gelisah. "Dulu sudah kuberi tahu bahwa inti syair berada pada kisah ini, Beng Tan. Kisah Si Golok Maut. Sekarang kau ceritakanlah apa yang kauketahui tentang pemuda itu."

"Sin Hauw pemuda yang ganas dan kejam, telengas!"

"Bukan, bukan itu. Menjawab ekornya tak akan menemukan pokok persoalannya. Kutanya kau kenapa Sin Hauw telengas dan kejam!"

"Dia... dia ...." Beng Tan tiba-tiba terkejut, gagap. "Aku... aku tak tahu kenapa dia kejam, Sian-su. Tapi yang jelas akibat dendam!"

"Bagus, dan kau, nona?" Bu-beng Sian-su tiba-tiba menoleh pada Swi Cu, mengejutkan sang gadis. "Kau juga melihat begitu? Kau membenarkan kata-kata Beng Tan ini?"

"Ya!" Swi Cu mengangguk, tergetar tapi dapat mengikuti pertanyaan orang. "Golok Maut memang kejam karena dendam, Sian-su. Dan suciku juga sudah menceritakan tentang itu!"

"Sucimu?"

"Dia sumoi dari Hek-yan-pangcu Wi Hong," Beng Tan tiba-tiba menjelaskan. "Dan Wi Hong adalah kekasih Golok Maut, Sian-su. Swi Cu mengetahui itu dari sucinya!"

"Hm, bagus kalau begitu. Kita sejalan!" kakek ini berseri-seri, tiba-tiba gembira. "Dan kudesak kalian lagi kenapa Golok Maut dendam, Beng Tan. Apa sebabnya dia menjadi dendam!"

"Dia marah kepada Coa-ongya!"

"Dan juga Ci-ongya!" Swi Cu menyambung, mulai tertarik, mendengarkan dan entah kenapa tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan yang dilancarkan kakek itu menggugah minatnya untuk mengetahui. Swi Cu berbicara cepat dan Bu-beng Sian-su pun tersenyum. Dan ketika kakek itu tertawa dan bertanya kenapa Golok Maut marah, maka Swi Cu dan Beng Tan hampir serentak menjawab bahwa karena Golok Maut itu ditipu dan dihina Coa-ongya.

"Ha-ha, bagus. Sebutkan lagi. Ulangi!"

"Golok Maut marah karena ditipu dan dihina Coa-ongya!"

"Juga Ci-ongya!"

"Dan kalian tahu bagaimana rasanya orang ditipu?"

Beng Tan tertegun. "Marah, gusar..."

"Dan cukup itu saja?"

"Eh," Beng Tan melengak. "Kukira itu saja, Sian-su, tak ada lain...."

"Hm, kau mengukur baju orang dengan bajumu sendiri."

"Maksud Sian-su?"

"Kau hendak membandingkan perasaanmu dengan perasaan Si Golok Maut itu, Beng Tan. Kau berkata hanya itu saja karena memang itulah yang kau rasakan dari perbuatan kaisar!"

"Eh!" Beng Tan terkejut. "Aku tak mengetahui maksud kata-katamu, Sian-su. Kenapa kaisar dibawa-bawa!"

"Hm, bukankah kaisar juga menipumu? Bukankah orang yang berkedok hitam itu juga menipumu? Tak usah mengelak. Aku tahu semua apa yang terjadi, Beng Tan. Dan aku tahu betapa kau marah-marah dan gusar kepada kaisar karena secara diam-diam mengijinkan Coa-ongya menyerbu Lembah Iblis, padahal sebelumnya kaisar berjanji padamu untuk menyerahkan Si Golok Maut itu kepadamu seorang!"

Beng Tan kaget. Pemuda ini tiba-tiba mencelat bangun dan pucat memandang kakek itu. Bu-beng Sian-su ternyata mengetahui rahasia itu. Rahasia kemarahannya kepada kaisar dan terlebih kepada si Kedok Hitam. Ah, dia lupa bahwa kakek ini memang kakek maha sakti yang seolah mengetahui segalanya. Bu-beng Sian-su adalah manusia dewa yang bakal mengetahui apa saja, semut di lubang bumi sekalipun! Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya lebar-lebar maka kakek itu berkata agar Beng Tan duduk kembali, menggapaikan lengannya.

"Duduklah, dan tak usah bengong. Aku tahu bahwa kaupun tahu siapa si Kedok Hitam itu, menyembunyikannya dari semua orang. Tapi karena belum ada sesuatu yang direnggut darimu dan apa yang kau alami hanyalah secuil dari apa yang dialami Sin Hauw maka kemarahanmu hanya berhenti di situ saja, Beng Tan. Tidak sampai menjadi dendam yang sedalam lautan!"

Beng Tan pucat, menggigil. "Sian-su, kau.... kau tahu semuanya itu? Kau melihat apa yang terjadi?"

"Hm, aku tahu semuanya itu, Beng Tan. Tapi jangan tanya kenapa aku tidak menolong Si Golok Maut itu!"

Beng Tan tertegun. Seolah tahu apa yang hendak ditanyakan tiba-tiba kakek dewa itu telah mendahuluinya memotong. Dengan jitu dan tepat kakek ini telah menutup mulut Beng Tan untuk tidak bertanya kenapa kakek itu tidak menolong Golok Maut, pemuda yang jelas diancam bahaya itu, yang sampai menimbulkan kematiannya. Dan ketika Beng Tan tertegun dan tak mampu bertanya apa-apa, mulut serasa terkunci maka Swi Cu yang terkejut mendengar bahwa Beng Tan mengetahui siapa adanya si Kedok Hitam tiba-tiba meloncat bangun.

"Tan-ko, kau tahu itu? Kau tahu siapa si Kedok Hitam itu?"

"Ini... ini..." Beng Tan terhuyung, menutupi mukanya. "Aku tak dapat menceritakannya, Cu-moi. Waktu itu ada Wi Hong....!"

"Ah, kalau begitu kaupun menipu. Kau berkata pada suciku bahwa kau tidak mengetahui siapa si Kedok Hitam itu!"

"Jangan salah faham!" Beng Tan kaget, melihat kekasihnya tiba-tiba marah-marah. "Aku tak memberitahunya karena sucimu sedang hamil, Cu-moi. Kalau dia tahu siapa itu jangan-jangan dia bakal keguguran!" dan cepat memberi tahu bahwa dia tak bermaksud melindungi laki-laki kejam itu karena kebohongannya semata ditujukan buat menyelamatkan Wi Hong maka Swi Cu menggigil namun pandangan tidak senang tetap saja terpancar di matanya, hal yang membuat Beng Tan tidak enak!

"Aku tidak bermaksud berbohong, tidak bermaksud menipu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya Sian-su yang dapat membaca pikiran orang ini!"

Swi Cu menoleh. Tawa dan senyum lembut kakek itu tiba-tiba menghilangkan kemarahannya bagai api tersentuh air. Kakek itu mengangguk dan berkata bahwa apa yang dikata Beng Tan benar. Kekasihnya itu tak bermaksud berbohong selain tujuan menyelamatkan Wi Hong belaka, karena wanita itu sedang mengandung dan berkali-kali menerima pukulan batin. Dan ketika kakek itu berkata agar mereka duduk kembali, tenang dan mendinginkan pikiran maka Bu-beng Sian-su menghela napas menunjuk Beng Tan.

"Kau kelak harus menebus kesalahanmu ini. Jangan biarkan wanita itu dan kekasihmu ini tertipu selamanya!"

"Baik, aku berjanji, Sian-su. Dan ampunkan teecu!" Beng Tan menjatuhkan diri berlutut, membenturkan Jidat tiga kali dan ditepuklah pemuda ini agar bangun lagi. Swi Cu bertanya siapa gerangan si Kedok Hitam itu, penasaran. Tapi ketika Bu-beng Sian-su berkata bahwa Swi Cu dapat menanyanya belakangan maka gadis ini menahan perasaan dongkolnya.

"Kalau Beng Tan tak memberitahumu maka kelak akulah yang akan menerangkan padamu. Jangan khawatir, orang setua aku tak mungkin ingkar janji!"

Swi Cu tersipu. Kalau Bu-beng Sian-su sudah berkata seperti itu tentu saja ia tak berani mendesak. Penasarannya di-pendam dan Beng Tan pun sudah diajak lagi untuk kembali ke persoalan semula. Kakek itu belum bicara habis dan Swi Cu mendengarkan. Dan ketika kakek itu bertanya apa saja yang diketahui Beng Tan maka pemuda ini ngeri menerangkan.

"Teecu.... teecu takut. Biarlah Sian-su saja yang menceritakan karena Sian-su tentu lebih tahu daripada teecu!"

"Hm, jangan begitu. Betapapun kau harus menjawab, Beng Tan, jangan semua persoalan diserahkan kepadaku. Baiklah, coba kekasihmu saja yang bercerita!"

"Aku... aku ngeri. Aku tak mengerti ....!" Swi Cu pucat.

"Eh, kenapa begitu?" kakek ini tersenyum. "Kau sendiri bilang bahwa sedikit atau banyak kau mengetahui riwayat Golok Maut, nona. Dan kau juga ingin tahu rahasia syair ini. Seharusnya kau masuk dan melibatkan diri dalam percakapan. Nah, jangan takut atau ngeri dan bersikaplah tenang saja kenapa Golok Maut demikian dendam!"

"Karena... karena Coa-ongya dan adiknya menipu!"

"Bagus, tentang apa?"

"Banyak sekali, Sian-su. Tapi.... tapi agaknya Beng Tan lebih tahu!"

Lucu sekali, Swi Cu tiba-tiba melempar persoalan! Gadis ini ngeri dan gentar berhadapan dengan kakek dewa itu. Bu beng Sian-su dirasanya akan menggiring dan dia tak tahu ke mana dia akan digiring. Entahlah, Swi Cu jadi takut dan gentar untuk bercakap-cakap dengan kakek ini. Dia lebih baik menjadi pendengar daripada pembicara! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengebutkan bajunya maka kakek ini menarik napas dalam.

"Baiklah, kalau begitu kalian anggukkan kepala kalau aku mulai bercerita. Kita mulai dari bawah..." dan tajam bersinar-sinar memandang dua orang itu kakek ini mulai membuka tabir. "Pertama, tentu kalian tahu bahwa Sin Hauw atau Si Golok Maut itu adalah putera dari mendiang Sin Lun yang dianggap membantu pemberontak oleh penguasa sekarang, Li Ko Yung. Dan karena Sin Lun adalah seorang laki-laki gagah yang amat setia maka Li Ko Yung atau pembantu-pembantunya mulai membujuk laki-laki itu untuk berpihak pada mereka. Tapi sayang, usaha mereka gagal!"

"Dan Sin Lun akhirnya dibunuh!"

"Ya, benar, Beng Tan. Dan kau tahu siapa pembunuhnya, bukan?"

"Jenderal Kwi..."

"Bagus, dan kau tahu siapa jenderal Kwi ini!"

"Adik dari ibu Sin Hauw..."

"Nah, apalagi?"

"Jenderal ini pembantu Coa-ongya, Sian-su, kebetulan di pihak Li Ko Yung sementara ayah Sin Hauw di pihak pemberontak!"

"Hm, istilah pemberontak sebenarnya kurang enak, lebih tepat disebut sebagai berdiri di pihak musuh saja. Baiklah, lalu apalagi yang kau ketahui?"

"Sin Hauw marah-marah kepada pamannya itu, bermaksud menuntut balas!"

"Tapi ibunya melarang," tiba-tiba Swi Cu ikut bicara, berani setelah kekasihnya ikut bertanya jawab. "Dan Kwi-goanswe marah-marah, Sian-su. Sin Hauw akhirnya ditangkap dan dihukum!"

"Bagus, dan ibu Sin Hauwpun akhirnya tewas, dalam membela anak. Kalian tahu apa yang terjadi dengan keluarga itu setelah Kwi-goanswe memusuhi Sin Hauw pula!"

"Ini...." Beng Tan bersinar-sinar, teringat kisah Si Golok Maut itu. "Kwi-goanswe memang kejam, Sian-su. Terhadap seorang anak kecilpun ia tak segan-segan berlaku keras!"

"Ya, dan ada sesuatu yang barangkali tak kalian ketahui, tentang enci atau kakak perempuan Sin Hauw itu."

"Apa?"

"Perbuatan biadab Kwi-goanswe terhadap gadis itu."

"Eh, maaf. Kami lupa nama gadis itu, Sian-su. Dan apa yang dilakukan Kwi-goan swe terhadap kakak Sin Hauw!"

"Gadis itu bernama Hwa Kin, dan Kwi-goanswe memperkosanya!"

"Apa?" Swi Cu terpekik. "Paman memperkosa keponakan sendiri?"

"Hm, itulah yang terjadi, nona. Dan Sin Hauw sendiri baru tahu beberapa saat sebelum encinya tewas."

"Jahanam! Terkutuk!" Swi Cu tiba-tiba melompat bangun, mengepal tinju dengan menggigil. "Sungguh biadab sekali jenderal she Kwi itu, Sian-su. Kalau aku ada di sana tentu waktu itu juga aku akan membunuh Kwi-goanswe itu!"

"Hm, kaupun mulai terbakar, ikut merasakan atau menghayati kisah ini," kakek itu mengangguk-angguk, menghela napas. "Bagaimana kalau peristiwa itu menimpa dirimu, Beng Tan? Bagaimana kalau umpamanya encimu atau kekasihmu ini diperkosa orang? Cukup hanya marah dan gusar saja? Tidak mendendam?"

Beng Tan terkejut. Tiba-tiba dia terpukul dan kaget, muka seketika menjadi merah dan semburatlah dia akan kata-katanya sendiri tadi. Dia tak menambahi dengan kata-kata dendam karena perbuatan kaisar memang masih belum sehebat itu. Tapi kalau dia membayangkan bahwa Swi Cu atau saudara perempuannya mau diperkosa orang tiba-tiba pemuda ini terbakar dan mendadak peristiwa di kamar Swi Cu teringat kembali, muncul dengan cepat. Waktu itu Swi Cu juga mau diperkosa orang dan orang itu mereka sangka Si Golok Maut, padahal bukan. Dan terkejut serta tergetar oleh todongan kakek dewa ini tiba-tiba Beng Tan mulai menggigil dan marah, kemarahan yang sudah bercampur dengan benci dan dendam!

"Bagaimana, Beng Tan? Kau mulai dapat merasakan kebenaran ini?"

"Ya-ya... teecu.... teecu terbakar!"

"Bagus, dan kalian duduklah kembali," kakek itu mengulapkan lengan, menyuruh Swi Cu dan pemuda ini duduk dengan tenang. "Apa yang diketahui Sin Hauw memang tidak seketika, Beng Tan. Dan waktu itu Sin Hauw juga belum dewasa benar."

"Hm-hm, dan bagaimana selanjutnya, Sian-su?"

"Kalian tahu, anak ini akhirnya ditemukan Hwa-liong Lo-kai dan diambil murid."

"Ya-ya, kami tahu itu. Tapi akhirnya Sin Hauw menjadi murid utama Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya yang hebat Cheng-giok Sian-li!"

"Hm, itu benar. Karena Sin-liong Hap Bu Kok maupun isterinya adalah sahabat kakek pengemis itu, Hwa-liong Lo-kai. Mereka sama-sama pelindung Chu Wen, yang dianggap memberontak, dan memusuhi Li Ko Yung."

"Ya, teecu teringat bahwa Hwa-liong dan suami isteri itu memang orang-orang kepercayaan yang setia kepada Chu Wen."

"Dan ayah Sin Hauw pun juga begitu!"

"Benar, kalian tahu baik, nona. Dan sekarang kalian tahu bahwa berturut-turut Sin Hauw mengalami pukulan-pukulan batin yang tidak enteng!"

"Hm-hm...!" Beng Tan dan kekasihnya mengangguk-angguk. "Kau benar, Sian-su. Tapi heran bahwa ayah Sin Hauw demikian gigih dan tegar mempertahankan sikapnya."

"Maksudmu?"

"Dia tak mau bergabung dengan Kwi-goanswe yang jelas-jelas masih saudaranya sendiri. Mungkin dia menganggap bahwa perjuangan Chu Wen adalah benar dan mulia, patut dibela!"

"Bukan itu," kakek ini tersenyum. "Ada sesuatu yang tak diketahui orang banyak, Beng Tan. Dan semuanya itu bersumber pada Coa-ongya, juga kaisar. Mendiang Sin Lun tak mau membantu Li Ko Yung karena dilihatnya cacad yang besar dari orang-orang itu!"

"Cacad apa?"

"Ini yang sedang hendak kuterangkan. Dan kita maju setapak lagi."

Beng Tan tertegun. Dia melihat kakek itu tersenyum dan senyumnya penuh rahasia. Ah, dia berdebar dan ingin tahu. Tapi ketika kakek itu tertawa dan berkata padanya agar bersabar, maka Bu-beng Sian-su melanjutkan ceritanya lagi, tentang Si Golok Maut itu.

"Kalian tahu bahwa suami isteri Hap Bu Kok dan Cheng-giok Sian-li menggembleng Sin Hauw di Lembah Iblis. Di situlah suami isteri itu menemukan Golok Penghisap Darah dan kelak golok inilah yang diwariskan kepada muridnya..."

"Nanti dulu!" Swi Cu memotong. "Bolehkah kutahu dari mana suami isteri itu mendapatkan Golok Penghisap Darah, Sian-su? Dan apakah benar mereka pernah bertemu denganmu?"

"Hm, benar. Mereka memang pernah bertemu denganku. Tapi tentang dari mana mereka mendapatkan golok itu sebaiknya tak usah kujelaskan, tak perlu. Kejadian itu telah lewat, dan merupakan urusan pribadi suami isteri itu sendiri."

Swi Cu kecewa. Ia tak berhasil mengetahui sejarah golok maut itu namun kekasihnya menjawil. Beng Tan berbisik agar tak usah dia kecewa dan marilah sama-sama mereka dengarkan kata-kata kakek dewa itu. Beng Tan sendiri justeru ingin tahu apa gerangan "cacad" yang ada pada Coa-ongya dan kaisar itu, karena dia telah bersama mereka beberapa waktu. Dan ketika kakek itu tersenyum dan menganggukkan kepala meneruskan pembicaraan maka Bu-beng Sian-su menggerakkan lengannya.

"Cacad yang dimiliki dua orang ini terlampau besar, tapi yang menyolok dan menonjol adalah Coa-ongya itu, juga adiknya Dan karena cacad inilah maka ayah Sin Hauw tak pernah mau bergabung dengan mereka, meskipun iparnya, jenderal Kwi, ada di sana!"

"Hm, aku penasaran," Beng Tan tak tahan lagi. "Dua kali kau menyebut ini, Sian-su. Dan aku ingin tahu apa cacad yang kau maksudkan itu!"

"Bukan lain adalah 'benang' dalam syair ini. Dan Sin-liong Hap Bu Kok sendiri pernah kuberi tahu tapi tak dapat menangkap ini. Sayang, lain dengan ayah Sin Hauw yang justeru lebih dulu tahu dan itulah sebabnya dia berpihak pada Chu Wen!"

Beng Tan dan Swi Cu tak mengerti. Mereka bingung karena Bu-beng Sian-su tiba-tiba menghela napas berulang-ulang, kakek itu merenung dan rupanya memikiri sepak terjang manusia. Tapi ketika Beng Tan batuk-batuk dan bertanya bagaimana selanjutnya maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba menodong.

"Beng Tan, kau masih demikian bodoh juga? Kau tak melihat apa yang pernah dilihat ayah Sin Hauw itu?"

"Teecu... teecu tak melihat!" Beng Tan tiba-tiba gugup, tergagap. "Teecu masih belum mengerti apa yang kau maksudkan, Sian-su. Teecu rupanya bebal!"

"Hm, kau sudah mendengar kisah Si Golok Maut ini, dan tentunya mulai dapat mengerti. Kenapa belum menangkap juga? Baiklah, kuulangi lagi, Beng Tan. Jawablah kenapa Golok Maut demikian kejam dan telengas!"

"Dia... dia dilanda dendam!"

"Dan kenapa dia mendendam!"

"Karena Sin Hauw marah kepada Coa-ongya!"

"Dan kenapa Sin Hauw marah!"

"Karena Coa-ongya menipu dan..."

"Stop!" kakek itu mengebutkan lengan. "Jawaban sudah jelas, Beng Tan. Sampai di sini seharusnya kau mengerti!"

Beng Tan terkejut. Bagai disentak air dingin saja tiba-tiba secercah kilatan cahaya menerangi pikirannya. Dia mau menambahi "menghina dan tak menghargai Sin Hauw" ketika tiba-tiba kakek itu memutus pembicaraannya. Dan yang diputus adalah kata-kata menipu! Ah, Beng Tan tergetar dan menggigil. Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa aneh dan kilatan cahaya tiba-tiba menerangi batin pemuda itu. Menipu, inilah biang keladinya. Dan ketika Beng Tan menggigil dan bangkit berdiri, Swi Cu di sampingnya juga terkejut dan berdiri maka Beng Tan berseru tertahan dengan suara serak,

"Sian-su, kau... kau hendak maksudkan bahwa jawaban syair itu terletak pada penipuan? Kau hendak memberi tahu aku bahwa inilah inti jawaban syair itu?"

"Baru lima puluh persen, yang lima puluh persen lagi belum kau jawab. Nah, siapa dapat menjawab kenapa kira-kira ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan saudaranya, Kwi-goanswe itu!"

"Karena Kwi-goanswe pembantu Li Ko Yung, musuh Chu Wen!"

"Hm, kau, nona?" Bu-beng Sian-su tersenyum, memandang Swi Cu. Gadis ini hendak bersuara namun sudah didahului kekasihnya itu. Maka ketika Beng Tan bicara namun agaknya kurang cocok, karena kini kakek itu ganti memandangnya maka Swi Cu bersinar-sinar berkata gemetar,

"Karena.... karena Kwi-goanswe adalah orang dekat Coa-ongya!"

"Bagus, bisa lebih dekat lagi? Kau dapat memberi tahu kenapa mendiang ayah Sin Hauw itu tak suka kepada Coa-ongya?"

"Karena Coa-ongya tak dapat dipercaya!" Swi Cu tiba-tiba berteriak, menemukan jawabannya. "Ayah Sin Hauw tak mau bergabung dengan saudaranya karena pangeran she Coa itu tak dapat dipercaya, Sian-su, penipu dan barangkali inilah jawabannya!"

"Ha-ha, betul. Cocok sekali! Wah, kau kalah cerdas dengan kekasihmu ini, Beng Tan. Itulah yang hendak kumaksudkan kepadamu. Coa-ongya tak dapat dipercaya, omongannya selalu tak ditepati. Dan karena ayah Sin Hauw rupanya sudah melihat itu dan tak suka maka berpihaklah dia kepada Chu Wen yang dianggap jauh lebih dapat dipercaya dan diikuti! Nah, kau mengerti?"

Beng Tan bengong. Pemuda ini melayang-layang dalam jawaban itu dan tiba-tiba sadarlah dia bahwa sebenarnya yang ingin dimaksudkan gurunya itu adalah jawaban ini. Menipu atau sebangsanya adalah indikasi kuat untuk menunjuk bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Dan dia sudah membuktikan sendiri. Pertama dengan kaisar dan kedua dengan.... "Ah," Beng Tan terbengong-bengong. "Jadi ini kiranya yang hendak kau terangkan, Sian-su? Tapi.... tapi apa hubungannya itu dengan benang yang kau sebut-sebut dalam syair ini? Benang apa itu?"

"Hm, benang itu adalah benang kepercayaan, tak usah kusebut lagi. Kenapa harus dijelaskan dan tak dapat kautangkap? Gara-gara benang ini maka Sin Lun atau ayah Sin Hauw itu tak berdiri di belakang Li Ko Yung, Beng Tan. Karena baik Li Ko Yung terutama sekali Coa-ongya adalah orang-orang yang tak dapat dipercaya. Barangkali kau tahu bagaimana nasib seorang teman ayah Sin Hauw yang menjadi korban dari sepak terjang Coa-ongya itu, yang berhasil dibujuk!"

"Teecu tak tahu..."

"Hm, sekarang kuberi tahu. Sin Lun mempunyai seorang sahabat kental, Yang Jin namanya. Mereka dua laki-laki hampir ada di mana saja. Di mana ada Sin Lun di situ pasti ada pula Yang Jin. Tapi sayang, ketika pecah perang antara Chu Wen dengan Li Ko Yung maka terjadi selisih pendapat di mana dua bersahabat ini pecah. Kwi-goanswe, adik dari isteri Sin Lun itu membujuk Yang Jin, murid seorang tokoh Hwee-san. Memberi kedudukan empuk dan langsung saja mengangkat Yang Jin sebagai jenderal pula, berdampingan dengan diri jenderal she Kwi itu, tentu saja atas perkenan atau petunjuk Coa-ongya, karena Coa-ongya adalah tangan kanan pertama Li Ko Yung. Tapi ketika Yang Jin tak dapat memenuhi tugasnya membujuk bekas teman-temannya yang lain, yang masih bergabung pada Chu Wen itu maka Coa-ongya merasa bahwa Yang Jin ini tak banyak bermanfaat. Yang Jin akhirnya diketemukan tewas di sumur yang dalam, setelah mendapat siksa dan derita!"

"Ah, siapa yang melakukan?"

"Coa-ongya dan pembantu-pembantunya itulah, termasuk Kwi-goanswe. Sudah menjadi garis kebijaksanaan politik Li Ko Yung dan Coa-ongya ini bahwa semua orang-orang setia di pihak Chu Wen harus dibujuk. Mereka hendak ditarik semua agar membantu penguasa sekarang, tapi tidak semuanya berhasil. Tapi karena ada yang berhasil juga dan justeru yang berhasil inilah yang lalu disuruh meneruskan kebijaksanaan politik itu untuk ganti meneruskan bujukan pada teman-temannya di pihak lawan maka mereka yang berhasil ini mendapat tambahan pangkat atau kedudukan tapi yang gagal langsung dibuang, disingkirkan. Seperti yang terjadi pada diri orang she Yang itu!"

"Ah, kejam!"

"Ya, tapi' ada yang lebih kejam lagi. Coa-ongya telah menetapkan bahwa kelak, bila Chu Wen telah kalah dan hancur, maka semua bekas pengikut setia raja muda itu yang berpindah haluan harus dibunuh juga. Jadi orang-orang setia yang berhasil dibujuk membantu Coa-ongya ini kelak dibasmi juga, karena Coa-ongya menganggap bahwa seorang yang telah berkhianat satu kali pasti dapat juga berkhianat dua atau tiga kali. Tak dapat dipercaya!"

"Ah, seperti dirinya sendiri!"

"Ya, Coa-ongya mengukur baju orang lain dengan bajunya sendiri, nona. Karena itu betapa kagum dan kecewanya dia ketika tak dapat membujuk ayah Sin Hauw itu. Dan ayah Sin Hauw semakin tegar setelah mengetahui kekejian yang tersembunyi di balik maksud Coa-ongya itu. Sin Lun menemukan sahabatnya tewas di sumur tapi sebelum tewas sahabatnya itu menceritakan rencana Coa-ongya!"

"Ah, dua sahabat itu akhirnya bertemu juga, Sian-su?"

"Ya, tapi dalam keadaan yang menyedihkan. Coa-ongya tak menyangka bahwa Yang Jin ini masih hidup, karena ketika orang itu dibuang dan dilempar ke sumur yang dalam maka secara kebetulan Sin Lun menemukannya dan di situlah ayah Sin Hauw ini tahu betapa licik dan culasnya Coa-ongya itu, karena sahabatnya sempat bercerita!"

"Ah-ah!" Beng Tan ternganga. "Keji dan kejam sekali Coa-ongya itu, Sian-su. Dan aku, hm... aku telah membantunya beberapa lama. Mungkin kalau kelak tenagaku juga dianggap tak penting lagi barangkali aku juga akan dibuang atau disingkirkannya!"

"Hm, kau tahu itu, dan semuanya terserah dirimu. Sekarang kalian tahu kisah mendiang Sin Lun ini kenapa dia tak membantu Coa-ongya. Sin Lun telah menarik garis keputusan tegas bahwa sekali orang itu tak dapat dipercaya maka selamanya dia tak dapat dipercaya! Dan inilah 'benang' yang kumaksudkan seperti dalam syair itu. Karena kepercayaan, seperti kalian lihat, adalah seperti seutas benang yang halus dan ringkih. Kepercayaan itu harus dijaga hati-hati. Atau selamanya orang tak akan mempercayai kita lagi dan celakalah kita sendiri! Mengerti?"

"Hm-hm..!" Beng Tan mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sian-su.... aku mengerti. Kiranya inilah yang kau maksudkan. Kau hendak mengumpamakan kepercayaan itu seperti seutas benang, bukan benang sembarang benang melainkan benang yang harus dijaga baik-baik. Kau benar. Benang kepercayaan yang tak dapat dijaga memang akan menimbulkan kebencian orang kepada kita, apalagi kalau bobot persoalannya serius! Hm-hm... aku mulai melihat ini tapi kau agaknya masih belum selesai!"

"Ha-ha, belum selesai apalagi? Kisah Sin Lun sudah kau ketahui, Beng Tan. Dan Si Golok Maut Sin Hauw juga begitu."

"Tidak, nanti dulu!" Beng Tan berseru. "Kenapa Golok Maut tak mengetahui itu dari ayahnya, Sian-su? Atau kenapa isteri laki-laki itu tak memberi tahu anaknya?"

"Hm, Sin Lun tewas sebelum memberi tahu isterinya. Dan lagi isterinya belum tentu percaya karena waktu itu Kwi-goanswe juga selalu bersikap baik padanya, meskipun dua bersaudara Ipar itu saling membela pihak-pihak yang berlawanan!"

"Dan Sin Hauw akhirnya mencari Coa-ongya!"

"Hm, mula-mula bukan begitu. Yang dicari pertama kali adalah pamannya itu, Kwi-goanswe. Tapi karena Kwi-goanswe berlindung di balik Coa-ongya dan pangeran itu bersama adiknya lalu memperdayai Sin Hauw maka pemuda ini terjebak dan seperti kalian tahu akhirnya ilmu silat Golok Mautnya dipelajari Coa-ongya, lewat Miao In!"

Beng Tan dan Swi Cu mengangguk-angguk. Swi Cu sendiri telah mendengar itu dari sucinya karena Golok Maut sudah menceritakannya kepada Wi Hong. Miao in itulah gadis pertama yang dicinta Golok Maut, menjadi kekasih tapi ternyata gadis itu perangkap yang dipasang Coa-ongya. Miao In adalah orang kepercayaan Coa-ongya yang ditugaskan untuk mendapatkan catatan atau ilmu silat Giam to-hoat itu, Silat Golok Maut. Tapi ketika Miao In terbuka rahasianya dan gadis itu ternyata kekasih Kwi Bun, putera Kwi-goanswe maka akhirnya gadis itupun terbunuh dan tewas di tangan Coa-ongya ini, setelah diperkosa beramai-ramai!

"Hm-hm..!" Beng Tan lagi-lagi bergidik. "Semula aku tak tahu, Sian-su. Tapi setelah semuanya ini kudengar maka aku menjadi lebih berhati-hati lagi."

"Dan kau sudah merasakan sesuatu ganjalan dengan kaisar."

"Ya, sri baginda menipuku!"

"Dan kau beruntung belum separah Sin Hauw diperdayai Coa-ongya!"

"Hm, aku tak akan berdekatan lagi, Sian-su. Aku tak akan berhubungan lagi dengan orang-orang itu. Aku tak akan menginjak istana!"

Kakek ini tersenyum. Beng Tan yang mengepal tinju dan tampak marah dipandangnya bersinar-sinar. Kakek ini bangkit berdiri tapi tiba-tiba Swi Cu melompat bangun. Dan ketika gadis itu berseru apakah kepercayaan tak dapat diobati lagi maka kakek ini mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

"Maaf, apakah kepercayaan yang ternoda begitu tak ada obatnya, Sian-su. Apakah orang yang sudah tidak dapat dipercaya memang selamanya tetap tidak dapat dipercaya, seperti keputusan atau pendapat ayah Sin Hauw itu!"

"Hm," kakek ini tersenyum. "Kalau maksudmu bahwa seorang pembohong ingin menjadi baik dan dapat dipercaya lagi seperti dulu-dulu maka semuanya itu tergantung orang yang bersangkutan, nona. Tapi dia harus bekerja keras untuk itu. Dan biasanya jarang ada yang seperti ini. Kepercayaan, seperti kataku tadi, ibarat seutas benang. Cobalah kau lihat ini dan pegang." Bu-beng Sian-su tiba-tiba mengeluarkan seutas benang, lembut dan halus dan menyerahkannya kepada Swi Cu. Gadis ini heran dan tak mengerti tapi menerimanya juga. Dan ketika kakek itu mundur dan meniup perlahan tiba-tiba benang di tangan Swi Cu putus.

"Nah," kakek itu tertawa. "Coba satukan lagi benang itu, nona. Buatlah seutuh semula dan lihat bisa atau tidak!"

Swi Cu tertegun. Tentu saja dia segera menyambung benang ini dan mengikatnya. Tapi ketika kakek itu memintanya dan bertanya apakah benang yang diutuhkan itu sudah utuh atau belum maka Swi Cu mengangguk, mengira utuh. "Benang ini sudah kusatukan, kusambung. Dan kukira utuh!"

"Ha-ha!" kakek itu menoleh pada Beng Tan, menunjukkannya. "Benarkah benang ini utuh, Beng Tan? Benarkah sudah seperti semula lagi?"

Beng Tan terkejut. Dia melihat Bu-beng Sian-su menunjuk tali simpul di tengah-tengah benang, menjentiknya. Bertanya padanya apakah benang itu sudah benar-benar utuh seperti semula. Dan ketika dia terkejut dan sadar bahwa benang itu sudah tidak utuh lagi, hal yang masih tidak dimengerti dan mengherankan Swi Cu maka pemuda ini menggeleng, berseru tegas dan lantang, "Tidak!"

Swi Cu terkejut. "Kenapa tidak?" gadis itu penasaran. "Benang itu tak berkurang sedikit pun, Tan-ko. Aku tak mengurangi atau menambahnya!"

"Tapi ada tali simpulnya di sini," Beng Tan menerangkan, sudah mengerti apa yang dimaksud gurunya, bersinar-sinar. "Benang ini tidak utuh lagi, Cu-moi. Karena kalau dia utuh seharusnya sudah seperti semula, tidak ada cacad atau sambungan. Ah, Sian-su hendak menerangkan kepada kita bahwa kepercayaan yang terlanjur putus tak dapat dipulihkan lagi seperti semula, seperti benang ini. Karena begitu kepercayaan putus maka betapapun diusahakan seperti semula maka tetap saja ada grenjelannya di situ, cacad. Seperti benang ini yang sudah tidak dapat disatukan seperti semula karena ada tali simpul di tengahnya!"

"Ah!" Swi Cu terkejut, tiba-tiba mengerti. "Begitukah? Jadi..."

"Benar," Beng Tan mengangguk, penuh semangat, tiba-tiba tertawa bergelak. "Sian-su hendak memberi tahu padamu bahwa kepercayaan yang putus adalah seperti benang ini, Cu-moi. Disambung atau disatukan kembali tetap saja tak bisa, cacad! Kita hendak diperlihatkan akan adanya kenyataan itu bahwa kepercayaan yang putus tetap saja putus, seperti benang ini. Ha-ha, mengerti aku sekarang. Kepercayaan memang seperti seutas benang, sekali putus maka tak dapat disatukan kembali, ha-ha!"

Swi Cu terbengong-bengong. Dia sadar dan terkejut setelah mengerti itu. Ah, dia kurang tanggap. Tapi begitu mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan kakek ini tiba-tiba gadis itu mendusin dan menganggap bahwa perumpamaan itu cocok, tepat. Kepercayaan memang seperti seutas benang, ringkih dan halus. Dan karena benang atau kepercayaan yang putus memang tak mungkin diutuhkan kembali karena sudah ada "grenjelannya" di situ maka gadis ini menarik napas dan takjub memandang kakek dewa itu.

"Ah, aku mengerti... sekarang aku mengerti...!" gadis itu berteriak, setengah memekik. "Perumpamaan yang ditunjukkan Sian-su memang tepat sekali, Tan-ko. Dan aku sudah melihat itu!"

"Kalau begitu selanjutnya tak ada pembicaraan lagi," kakek ini tiba-tiba tertawa. "Pertanyaanmu sudah kujawab, Beng Tan. Dan selanjutnya kalian tak memerlukan aku lagi. Terimalah!"

Beng Tan terkejut. Sehelai kertas tiba-tiba menyambar ke arahnya tapi cepat ditangkap dan diterima. Bu-beng Sian-su memberikan sesuatu dan Beng Tan terkejut. Tapi ketika pemuda itu menangkap dan menerima kertas ini mendadak si kakek dewa berkelebat dan mendorongkan kedua lengannya di mana Beng Tan dan kekasihnya berteriak tertahan. Tubuh mereka terangkat naik dan tiba-tiba bantalan mega yang tadi diam tak bergerak sekonyong-konyong kini menyambar, terbang dan menerima tubuh mereka yang jatuh ke bawah. Dan ketika dua muda-mudi itu terkejut dan berteriak keras, Swi Cu sudah menyambar dan menangkap lengan kekasihnya maka bantal mega itu bergerak dan.... terbang mengikuti Sian-su, kembali ke bumi!

"Anak-anak, cukup perjumpaan kita kali int. Kuantar kalian ke bawah dan renungkan semua pembicaraan tadi!"

Swi Cu pucat. Dia melihat kakek dewa itu terbang di depan, menukik dan lenyap ke bawah menembus awan dan mega-mega tebal. Tapi ketika mereka sendiri juga bergerak dan terbang mengikuti kakek itu, seperti dongeng, maka Swi Cu menggigil mencengkeram lengan kekasihnya ini.

"Tan-ko, gurumu benar-benar bukan manusia biasa. Ah, beruntung kau menjadi muridnya!"

"Hm, Sian-su sendiri tak mau kusebut begitu, Cu-moi. Katanya guruku adalah diriku sendiri. Hm, dia memang manusia luar biasa. Dan Sian-su rupanya memang pantas disebut sebagai manusia dewa!"

"Dan kita meluncur turun, cepat sekali. Ah, aku takut, koko. Kita menukik...!"

Beng Tan juga terkejut. Menembus awan atau mega-mega tebal tiba-tiba benda aneh yang mereka tumpangi itu menukik lurus, cepat sekali. Rasanya mau menghunjam bumi dan Beng Tan tersirap serta takut jatuh tapi aneh bin ajaib kaki mereka terpaku, lengket atau seolah terpantek pada benda yang mirip bantalan mega ini. Dan ketika Swi Cu di sebelahnya juga pucat dan ketakutan tapi tak jatuh, hal yang membuat kekasihnya tenang maka Lembah Malaikat tiba-tiba terlihat lagi dan Bu-beng Sian-su di depan tiba-tiba sudah mendarat, disusul mereka berdua yang terbengong-bengong bagai menumpang piring terbang!

"Sudah sampai, dan selamat tinggal!"

Swi Cu sadar. Gadis ini berteriak ketika kakek dewa itu tiba-tiba mengangkat tangan kanannya, terbang dan naik lagi ke atas bagaikan mahluk angkasa. Bu-beng Sian-su lenyap dan hilang entah ke mana, yang jelas ke langit. Dan ketika Swi Cu berteriak dan memanggil kakek itu, yang hanya dijawab senyum maka Beng Tan juga sadar dan berteriak memanggil gurunya.

"Sian-su...!"

Tak ada jawaban. Bu-beng Sian-su telah lenyap dan Beng Tan serta kekasihnya bengong. Mereka mendelong dan takjub memandang ke angkasa, terlihat setitik cahaya putih tapi setelah itu hilang. Dan ketika dua muda-mudi ini mendelong dan terkesima, terbelalak, maka terdengarlah cecowetan Pek-kauw dan kera atau monyet putih itu muncul.

"Ah, kita sudah di bumi. Mimpi kita habis!"

"Hm," Beng Tan mepgusap keningnya, bingung. "Mimpikah kita tadi, Cu-moi? Berada di alam sihirkah kita tadi?"

"Kita mimpi, mimpi yang indah! Kita memasuki alam gaib bersama Sian-su!"

"Ya, dan kita mendengar wejangannya. Ah, kata-katanya tak dapat kulupakan, moi-moi. Aku terkesan dan kagum benar akan kata-kata guruku itu!"

"Hm, dan aku juga. Bu-beng Sian-su sungguh kakek dewa yang memiliki kesaktian luar biasa!" dan ketika Swi Cu terkejut karena Pek-kauw melompat dan bercecowetan di pundaknya, menyatakan selamat datang maka Beng Tan di Sana termangu-mangu namun wajah pemuda ini memancarkan cahaya gemerlap.

Beng Tan berhasil mengetahui inti syair itu dan pemuda ini bersinar-sinar. Segala peristlwa dan kisah yang terjadi berulang kembali, cepat, susul-menyusul dan teringatlah dia akan Coa-ongya dan lain-lainnya itu, juga kaisar. Hm, dan sekarang dia tak mempercayai kaisar juga. Kaisar telah menipunya dan kematian Golok Maut yang langsung atau tidak juga atas perintah kaisar membuat Beng Tan kecewa. Kenapa orang sedemikian tinggi kedudukannya tak dapat memiliki kata-kata yang dapat dipercaya? Kenapa kaisar harus menipu dan menjilat kata-katanya sendiri?

Dan untuk itu semua dia tak sempat lagi bertanding dengan Si Golok Maut. Dia telah kehilangan lawannya itu karena lawan telah dibunuh dengan cara yang amat curang, juga licik. Lima ribu orang yang dikerahkan ke Lembah Iblis jelas menunjukkan kecurangan itu, padahal semua tahu bahwa Golok Maut sedang terluka. Ah, ketidak-jujuran memang mudah menimbulkan ketidak-percayaan. Dan sekali dia tidak percaya maka seumur hidup dia tetap tak akan percaya!

Beng Tan mengepal tinju. Sekarang ia mengerti kenapa Golok Maut begitu membenci Coa-ongya. Dan pangeran itu bersama adiknya juga melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tak layak dilakukan orang-orang besar, kaum bangsawan, orang-orang terhormat. Dan mengerti kenapa kaisar selalu melindungi Coa-ongya, karena mereka sebulu dan sejenis maka Beng Tan menggeram-geram dan mengutuk orang-orang itu.

Hm, kepercayaan memang sesuatu yang amat berbahaya. Harus dijaga hati-hati dan jangan sampai retak, apalagi pecah. Kepercayaan itu ibarat benang yang halus dan ringkih. Demikian ringkihnya hingga kalau putus tak dapat disambung lagi. Kepercayaan yang putus sudah menimbulkan cacad di situ, seperti benang dengan tali simpulnya. Dan ketika Beng Tan mengangguk-angguk dan juga marah bahwa Coa-ongya merencanakan sesuatu yang keji dengan kelak melenyapkan semua pengikut-penglkut Chu Wen yang berhasil dibujuk maka diam-diam dia memuji juga kesetiaan dan ketegaran mendiang ayah Sin Hauw terhadap junjungannya.

Laki-laki itu gagah dan mempunyai pendirian yang tegas, berkepribadian. Dan rupanya tahu bahwa Coa-ongya adalah orang yang tak dapat dipercaya. Buktinya, begitu sahabatnya berbalik haluan dan membela pangeran itu, bersama Li Ko Yung maka sahabatnya dibunuh setelah dianggap tak dapat dipergunakan lagi. Padahal, janjinya semula adalah muluk-muluk! Ah, orang yang bermulut manis memang justeru harus dihadapi dengan hati-hati. Mulut manis belum tentu memberikan madu, salah-salah racun!

Dan membayangkan bahwa Golok Maut demikian benci dan dendam kepada Coa-ongya maka Beng Tan tak aneh atau merasa heran lagi. Sin Hauw atau Si Golok Maut itu juga berkali-kali ditipu Coa-ongya. Mulai dari bujukannya tentang encinya yang masih hidup sampai kepada kekasihnya yang ternyata wanita siluman. Sin Hauw berkali-kali harus menekan api kemarahannya kalau Coa-ongya sudah menyebut-nyebut encinya itu, yang sebenarnya sudah lama tewas dan dibunuh.

Dan betapa Coa-ongya akhirnya menangkap dan menyiksa Si Golok Maut, setelah melumpuhkannya dengan obat pelupa ingatan maka Beng Tan muak dan benci betul kepada Coa-ongya itu. Pangeran itu sungguh keji, Golok Maut nyaris dibunuh kalau saja gurunya tidak muncul. Bu-beng Sian-su itulah yang dulu menyelamatkan Sin Hauw. Dan ketika cerita demi cerita dimengerti Beng Tan dengan cepat dan matang maka Beng Tan tiba-tiba teringat pemberian Bu-Beng Sian-su berupa sehelai kertas yang dilemparkan kepadanya tadi.

Beng Tan membuka, melihat, dan... tertegun. Beberapa huruf-huruf rapi tercetak di situ, ditulis gurunya. Dan ketika pemuda ini mengangguk-angguk dan membaca lagi, maka itulah inti atau ringkasan dari wejangan gurunya. Apa yang tertulis? Sederet kata-kata indah, sekaligus peringatan baginya:

KEPERCAYAAN ITU SEPERTI SEUTAS BENANG, HALUS DAN RINGKIH, HATI-HATI. JAGALAH!

Beng Tan mengangguk-angguk. Tanpa diulang lagi dia sudah mengerti itu. Hm, kepercayaan memang seperti seutas benang. Dan benang itulah yang kiranya dimaksudkan gurunya di dalam syair, sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi karena yang belum tahu memang tak akan tahu maka apapun jawabannya memang pasti tak akan diketahui kalau tidak diterangkan. Cocok!

Pemuda ini bersinar-sinar. Sekarang dia tahu akan inti dari jawaban syair gurunya. Kepercayaan memang harus dijaga, dan orang yang dapat dipegang kepercayaannya biasanya lalah orang-orang jujur. Orang-orang jujur dapat dipercaya, sedangkan orang yang tak dapat dipercaya ialah orang yang tak jujur! Hm, mau apalagi? Dan ketika Beng Tan tersenyum dan menyeringai pahit, mengangguk-angguk maka pemuda itu melihat kekasihnya yang juga duduk termenung di sana, tak menghiraukan cecowetan Pak-kauw mau-pun binatang-binatang lain di lembah itu.

"Kau ingin tetap tinggal di sini? Tak ingin pulang?"

"Hm, pulang?" Swi Cu terkejut, bangkit berdiri. "Aku terngiang kata-kata Sian-su, koko. Dan aku kerasan di sini!"

"Tapi kau harus pulang, kembali memimpin anak buahmu!"

Swi Cu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia ingat bahwa dia adalah pemimpin Hek-yan-pang. Sucinya kini telah tak ada di sana dan praktis dialah yang harus menjalankan tugas. Dan ketika dia mengangguk namun melihat kertas di tangan kekasihnya tiba-tiba dia teringat dan bertanya apakah itu.

"Ringkasan dari Sian-su, tentang benang kepercayaan."

Swi Cu membaca. Dia kagum dan bersinar-sinar memandang tulisan kakek dewa itu. Sebenarnya dia tak tahu kapan kakek itu menulis. Hebat! Tapi mengantongi tak mengembalikan surat ini kepada Beng Tan tiba-tiba Swi Cu berkelebat mengajak kekasihnya pulang, ke Hek-yan-pang.

"Heii...!" Beng Tan berseru. "Kembalikan itu padaku, Cu-moi. Jangan dikantongi!"

"Hm, siapa punya siapa? Sian-su memberikannya untuk kita berdua, Tan-ko, bukan untukmu seorang. Dan kau masih berhutang sebuah janji!"

"Janji apa?" Beng Tan mengejar. "Kembalikan dulu surat itu dan biar kusimpan!"

"Untuk apa? Disimpan di mana?"

"Di kamarku, di kamar kita nanti!" namun ketika Swi Cu berhenti dan tiba-tiba membalik, mengejutkan pemuda ini maka Swi Cu membentak,

"Cih, kau tak tahu malu. Sebelum menerangkan siapa si Kedok Hitam itu jangan harap kau mempunyai kamar untuk kita berdua!" dan berkelebat serta lari lagi akhirnya Swi Cu meninggalkan kekasihnya tak perduli melihat Beng Tan bengong, terkejut dan tiba-tiba bergerak menyambar lengannya dan Beng Tan segera berkata bahwa hal itu tak akan disembunyikannya. Dia telah berjanji dan janji tak akan diingkari.

Beng Tan bukanlah Coa-ongya dan pemuda itu tak akan menodai kepercayaan kekasihnya kepadanya. Dan ketika Swi Cu bertanya siapa orang itu dan Beng Tan harus menjawab saat itu juga maka gadis ini tersentak dan untuk kedua kali menghentikan larinya, begitu Beng Tan membuka rahasia.

"Apa? Dia? Jahanam keparat itu?"

"Ya, dia, Cu-moi. Dan sekarang kau tahu. Hm, maafkan aku bahwa saat itu aku terpaksa melepaskannya lagi."

"Ooh...!" Swi Cu terhuyung. "Kalau begitu.... kalau begitu.... jangan-jangan dia pula yang berusaha memasuki kamarku, koko. Jangan-jangan jahanam keparat itu pulalah yang akan memperkosa aku, berkedok sebagai Si Golok Maut!"

"Hm, mungkin juga. Bisa jadi. Tapi, ah..., aku tak ingin bicara ini lagi di saat sekarang. Aku sudah penat menghadapi persoalan-persoalan berat yang bertubi-tubi. Aku juga masih terguncang. Aku ingin menyelesaikan urusanku dulu denganmu."

Swi Cu mangar-mangar. Kalau saja Beng Tan tak mengucapkan kata-katanya terakhir tadi barangkali dia akan melompat dan terbang mencari si Kedok Hitam itu. Kiranya dia! Tapi karena Beng Tan mencekal tengannya dan memandangnya lembut dan mesra, rindu dan bergetar ingin menyelesaikan urusan pribadi, menikah dan bersatu di Hek-yan-pang maka Swi Cu tertahan dan keberingasan mukanya itu tiba-tiba berkurang.

"Aku tak ingin mengurus apa-apa dulu. Aku ingin menyelesaikan urusan kita berdua. Kembali dan menikah di Hek-yan-pang! Kau tentu tak akan menolaknya bukan, moi-moi? Kau tentu dapat menunda semua persoalan-persoalan itu di belakang hari saja?"

Swi Cu terisak, tiba-tiba menubruk kekasihnya. "Terserah kau, koko... tapi berjanjilah bahwa si Kedok Hitam itu harus kita cari! Dia telah menghina dan mau mengganggu aku!"

"Aku tahu, tapi sudahlah, kita lupakan sejenak urusan ini dan mari pulang!" dan Beng Tan yang mengecup serta mendorong kekasihnya tiba-tiba berkelebat namun mendadak berhenti lagi.

"Ada apa?"

"Kita lupa meminta restu dari Sian-su!"

"Hm, tadi di saku bajuku ada ini. Lihatlah!" Swi Cu tersenyum, tiba-tiba mengeluarkan sehelai surat dan Beng Tan ganti tertegun. Ternyata dengan caranya yang luar biasa Bu-beng Sian-su telah memberi tanda mata kepada kekasihnya. Di balik surat itu ada cincin, bertuliskan huruf-huruf dari nama Beng Tan dan Swi Cu, pas benar di jari manis gadis itu. Dan ketika Beng Tan bengong dan membaca huruf kecil-kecil bertuliskan "selamat untuk mempelai berdua" maka pemuda ini berjingkrak dan bersorak.

"Ah, Sian-su telah tahu. Kita mendapat restunya!"

"Ya, dan ini pemberian darinya, koko, mewakilimu. Ah, kakek dewa itu sungguh luar biasa!" dan ketika Swi Cu dipeluk dan disambar, diciumi, maka Swi Cu meronta dan terkekeh geli, melepaskan diri.

"Hush, jangan di sini. Nanti ada orang ....!" dan ketika gadis itu terbang dan disusul Beng Tan, yang tentu saja tak membiarkan kekasihnya maka dua muda-mudi ini telah bergandengan tangan ke Hek-yan-pang.

Bu-beng Sian-su telah memberi restu mereka di samping nasihat. Kakek itu telah memberikan wejangannya yang berharga pula. Dan ketika Swi Cu terkekeh-kekeh dan tertawa bersama Beng Tan, lupa akan yang lain karena akan menyongsong kebahagiaan sendiri maka dua muda-mudi itu tak tahu akan rintih dan tangis seseorang.

Mereka tak tahu akan adanya sesosok tubuh yang terhuyung-huyung naik turun bukit, perut didekap karena sosok tubuh itu bukan lain adalah Wi Hong, yang sedang hamil. Dan ketika Beng Tan serta Swi Cu akhirnya menikah di Hek-yan-pang, mengatur dan memimpin anggauta-anggauta yang sudah lama menunggu maka Wi Hong atau wanita ini menangis tiada berkesudahan serta berkali-kali menyebut-nyebut nama si Kedok Hitam, penuh benci dan dendam.

Siapakah si Kedok Hitam itu? Berakhir begitu sajakah ceritanya? Tidak, tentu tidak. Kisah ini baru merupakan langkah awal dari sebuah cerita yang panjang. Orang-orang yang seharusnya mendapat hukuman belumlah semua terhukum. Wi Hong dan lain-lain itu tentu muncul kembali, dan anda akan menemukannya dalam kisah berikut: Naga Pembunuh!

Para pembaca akan bersua lagi dengan wanita ini dan keturunan Sin Hauw, Si Golok Maut. Tentu saja dalam kisah yang lebih menyeramkan dan tegang, di mana Bu-beng Sian-su tak lupa pula muncul untuk menemui kalian. Mudah-mudahan ada gunanya dan bermanfaat. Salam buat pembaca tercinta!

T A M A T

SERI KEDUA: NAGA PEMBUNUH