Golok Maut Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
ANAK MURID Hek-yan-pang kaget sekali. Golok Maut tahu-tahu telah berada di dalam gedung, entah kapan datangnya dan murid-murid yang menjaga di tepi telaga rupanya tak tahu, terbukti Golok Maut ini telah berada di situ dan menggeram-geram mencari ketua mereka. Dan ketika beberapa anak murid berseru tertahan dan menegur laki-laki bercaping itu, yang dulu pernah datang dan mengobrak-abrik sarang mereka maka Golok Maut mengibaskan lengan dan robohlah dua murid wanita yang ada di depan.

"Aku mencari pangcu kalian. Hayo suruh dia keluar dan mana si Wi Hong itu .... bres-bress!"

Dua murid wanita itu terpekik. Mereka terlempar bergulingan dan yang lain-lain terkejut, melihat Golok Maut sudah melangkah lebar memasuki gedung. Mukanya yang merah dan sikapnya yang beringas membuat anak murid Hek-yan-pang gentar, mereka sudah mengetahui kelihaian laki-laki ini dan dulu tanpa dapat dicegah lagi Golok Maut dapat pergi dan lolos begitu saja. Kini datang seperti siluman dan rupanya marah-marah kepada pangcu mereka, mencari dan menggeram-geram bagai harimau dibunuh anaknya. Namun ketika dua murid wanita itu melompat bangun dan lima yang lain terkejut dan sadar maka anak-anak murid ini segera memberi tahu dan memukul tanda bahaya, juga suitan-suitan panjang.

"Golok Maut datang. Awas, kita kedatangan musuh!"

Gemparlah perkumpulan Walet Hitam itu. Mereka tiba-tiba berhamburan dari segala penjuru dan bayangan-bayangan langsing berkelebatan dari mana-mana. Semua anak murid Hek-yan-pang keluar, dari tengah telaga juga tiba-tiba meluncur beberapa perahu begitu terdengar tanda bahaya dari dalam. Dan ketika Golok Maut terus masuk dan menanyakan ketua Hek-yan-pang itu maka Kim Nio dan Kiok Bhi, dua murid wanita yang dulu juga pernah bertanding dengan tokoh bercaping ini sudah muncul dan membentak marah.

"Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"

Golok Maut sudah diserang. Datang dan majunya Kim Nio dan Kiok Bhi ini membesarkan hati murid-murid yang lain. Maklumlah, Kim Nio atau Kiok Bhi adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi. Jadi begitu dua wanita ini menyerang dan pedang di tangan mereka sudah mendesing dan menusuk Si Golok Maut maka yang lain-lain maju membantu dan menyerang Golok Maut pula.

"Sing-singg-plakk!"

Golok Maut mendengus. Dibentak dan diserang dua murid kepala itu laki-laki ini tak mengelak. Dia mengayunkan tangannya dan terpentallah pedang di tangan Kiok Bhi dan Kim N io itu. Dan ketika yang lain-lain juga ditampar dan terpelanting ke kiri kanan maka Golok Maut maju menggeram-geram menanyakan ke tua Hek-yan-pang itu.

"Aku tak berkepentingan dengan kalian. Aku mencari Wi Hong. Suruh dia keluar atau tempat kalian akan kuobrak-abrik!"

"Keparat!" Kim Nio membentak. "Nama ketua kami pantang disebut begitu saja, Golok Maut. Dia tak ada di sini tapi kami akan membela namanya sampai mati.... singg!" pedang menusuk lagi, menyambar dan menuju punggung laki-laki itu namun tanpa menoleh Si Golok Maut ini telah menangkis, menggerakkan lengannya ke belakang dan mencelatlah pedang di tangan murid kepala Hek-yan-pang itu. Dan ketika Kim Nio terpekik dan bergulingan menyambar pedangnya maka yang lain-lain tertegun dan pucat melihat kelihaian Si Golok Maut.

"Hei, kejar dia. Jangan boleh masuk!" Kiok Bhi, yang sadar dan terpekik kaget tiba-tiba membentak temannya. Dia sendiri sudah menyerang dan maju tak kenal takut, menggerakkan pedangnya pula. Dan ketika yang lain sadar dan kaget melihat Golok Maut sudah memasuki kamar-kamar mereka, membuka dan menutup pintunya mencari-cari Wi Hong maka anak-anak murid Hek-yan-pang ini marah dan malu karena kamar-kamar mereka dibuka satu persatu oleh Golok Maut, satu-satunya lelaki yang baru kali itu melakukan hal ini di tempat mereka, sarang mereka sendiri! Maka begitu semuanya berteriak dan malu serta marah maka semuanya menerjang dan memaki Si Golok Maut itu.

"Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"

"Dan kau masuk tanpa ijin. Aih, kubunuh kau, Golok Maut. Heii, jangan buka kamarku!"

Teriakan dan bentakan terdengar ramai. Semua wanita itu rata-rata merasa malu dan marah melihat kamar-kamar mereka dibuka-tutup oleh Golok Maut, yang tidak perduli dan terus mencari-cari Wi Hong, sang ketua. Dan ketika semuanya menyerang dan puluhan anak murid akhirnya menerjang maju maka Golok Maut dikeroyok dan sejenak dia harus berhenti.

"Hm, kalian harus dihajar. Kalian menyembunyikan Wi Hong!" tokoh bercaping ini membalik, marah kepada anak-anak murid Hek-yan-pang itu dan tusukan atau bacokan pedang disambut kedua tangannya. Tanpa takut atau khawatir semua pedang atau senjata tajam itu disambut, dengan tangan telanjang. Dan ketika semua pedang patah-patah dan pemiliknya berseru kaget terlempar ke sana kemari maka yang lain terbelalak dan ngeri serta gentar menyaksikan kehebatan Si Golok Maut ini, yang masih menyembunyikan senjatanya di balik punggung.

"Kalian semua mundur. Suruh Wi Hong keluar atau kalian semua kuhajar!"

Kim Nio dan kawan-kawannya mengeluh. Mereka terbanting dan pedang rata-rata tak dapat dipergunakan lagi. Kalau tidak patah ya bengkok, tak kuat ketika bertemu dengan sepasang lengan Golok Maut yang penuh tenaga sakti, jauh lebih kuat dan keras daripada senjata mereka sendiri. Dan ketika anak-anak murid dibuat mundur dan Golok Maut kembali menuju ke kamar-kamar yang ada di situ akhirnya laki-laki berca ping ini tiba di sebuah kamar yang pintunya bercat hitam.

"Jangan ke situ, hu-pangcu sedang bersamadhi!" Kiok Bhi, yang pucat dan kaget melihat Golok Maut telah tiba di depan pintu kamar ini membentak. Wanita itu menyambitkan belasan jarum-jarum merah yang menyambar ke punggung Golok Maut, Kim Nio juga melakukan hal yang sama karena pedang mereka patah-patah tak dapat dipergunakan lagi. Namun ketika Golok Maut mendengus dan menggerakkan tangannya ke belakang tiba-tiba semua jarum runtuh ke bawah.

"Plak-plak!"

Golok Maut sudah membalik lagi. Laki-laki ini bersinar matanya ketika mendengar bahwa hu-pangcu (sang wakil ketua) ada di situ, jadi dapat dimintai pertanggungjawaban dan Wi Hong harus keluar. Dan ketika dia menggerakkan tangannya membuka pintu tiba-tiba dari dalam terdengar bentakan dan suitan senjata tajam.

"Golok Maut, kau jahanam keparat!"

Golok Maut terkejut. Suara bercuit dari dalam kamar tiba-tiba disusul dengan menyambarnya sebatang pedang yang menerobos pintu, langsung terbang dan menuju perutnya. Cepatnya bukan main dan Golok Maut tak mungkin menghindar. Namun karena laki-laki ini adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi dan pedang yang menyambar dari dalam sudah menusuk dan menuju perutnya maka laki-laki ini menangkis dan pedang langsung berderak patah.

"Pletak!"

Pedang hancur di lantai. Daun pintu berlubang dan sesosok bayangan berkelebat, hampir menyamai kecepatan pedang itu sendiri. Dan ketika sebuah pukulan menyambar laki-laki ini dan Golok Maut mendengus maka laki-laki itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan bayangan itu terpental.

"Duk!"

Seorang wanita bersaputangan hitam berjungkir balik. Dari mulutnya terdengar keluhan perlahan namun wanita ini sudah melayang turun. Dan ketika dia berdiri tegak dan Golok Maut memandangnya maka wanita itu berapi-api mencabut senjatanya, sebuah pedang pendek.

"Golok Maut, kau datang tanpa aturan. Sebutkan apa maumu dan kenapa kau mengganggu Hek-yan-pang!"

"Aku mencari Wi Hong...."

"Keparat, tak sopan kau menyebut nama ketua kami, Golok Maut. Pangcu (ketua) tak ada di sini!" wanita itu, sang hu-pangcu adanya membentak, memotong dan marah karena Golok Maut menyebut nama kecil ketuanya begitu saja, hal yang tadi juga sudah membuat marah anak-anak murid yang lain. Dan ketika Golok Maut tersenyum mengejek dan tidak perduli ini maka dia berkata lagi,

"Aku mencari Wi Hong, boleh disebut kurang ajar atau tidak, terserah. Suruh dia keluar dan temui aku!"

"Dia tak ada, kau boleh percaya atau tidak! Eh, kau ada perlu apa mencari ketua kami, Golok Maut? Sikapmu seolah orang yang mau menagih hutang, padahal kaulah yang harus dicari dan ditangkap. Sebutkan keperluanmu dan kenapa kau marah-marah di sini!"

"Aku mau membunuhnya, dia membuat aku terkena kutuk!"

"Apa, kau mau membunuhnya? Keparat, kamilah yang harus membunuhmu, Golok Maut. Kau benar-benar kurang ajar dan tidak tahu diri!" dan wanita bersapu-tangan hitam ini yang tidak tahan dan sudah meledak kemarahannya tiba-tiba bergerak dan sudah menggerakkan pedangnya, menusuk dan menikam dan tujuh buah serangan sudah dilancarkannya bertubi-tubi.

Golok Maut mengegos dan mendengus, tujuh kali pula dia menghindari serangan itu, yang luput mengenai angin kosong dan tentu saja membuat sang wakil ketua Hek-yan-pang ini marah bukan main. Maka begitu dia membentak dan melengking tinggi tiba-tiba wanita itu menjejakkan kakinya dan terbang mengelilingi Golok Maut, melancarkan serangan-serangan baru dan Golok Maut pun berkelit dan tertawa mengejek, akhirnya mendapat serangan lebih ganas lagi dan terpaksa laki-laki itu menangkis. Dan ketika satu tamparan keras membuat pedang terpental miring maka hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam itu berteriak pada Kim Nio dan lain-lain agar menerjang Golok Maut, membantunya.

"Kim Nio, bunuh laki-laki ini. Maju kalian semua!"

Kim Nio dan murid-murid yang lain sudah mengangguk cepat. Datangnya hu-pangcu membuat mereka bernapas lega sejenak, dapat mengambil senjata baru dan bergeraklah wanita itu menerjang Golok Maut. Dan ketika yang lain juga maju dan membentak marah maka Golok Maut sudah dikeroyok dan mendapat hujan serangan dari mana-mana, tusukan atau bacokan pedang dan terdengarlah suara crang-cring ketika Golok Maut menangkis atau menyentil pedang anak-anak murid Hek-yan-pang, yang terpekik dan terhuyung mundur karena untuk kesekian kalinya lagi mereka melihat kehebatan Si Golok Maut ini.

Namun karena hu-pangcu sudah melengking-lengking dan hadirnya sang wakil ketua itu membangkitkan semangat semua anak murid maka Golok Maut diserang dan dikeroyok lagi, mendapat hujan serangan bertubi-tubi dan tak kurang dari dua ratus anak murid Hek-yan-pang maju. Semuanya marah dan membentak Si Golok Maut itu. Dan ketika jarum-jarum merah atau hitam juga berluncuran menyambar tubuh laki-laki ini maka Golok Maut dibuat sibuk dan harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebatan ke sana ke mari.

"Mundur kalian semua, mundur! Aku hanya mencari Wi Hong, tak berkepentingan dengan kalian!"

"Keparat, mencari ketua kami sama dengan memusuhi kami, Golok Maut. Kau makanlah pedangku dan enyahlah atau, mampus di sini!" Swi Cu, sang wakil ketua semakin meluap kemarahannya, membentak dan menyerang lawannya itu dan tusukan atau bacokan pedangnya luput semua. Sejak tadi tak ada satu pun serangannya yang mampu merobohkan Si Golok Maut itu. Lawan mengelak atau menangkis pedangnya, yang selalu terpental dan dua kali bahkan hampir mencelakai diri sendiri.

Maka begitu Golok Maut berkata yang dicari hanya Wi Hong dan mereka dianggap tak berkepentingan maka kata-kata yang bisa dianggap menghina dan memerahkan telinga ini menjadikan wanita bersaputangan hitam itu naik darah, menyerang dan terus menyerang namun sekarang Golok Maut menyambar-nyambar bagai garuda naik turun di antara semua hujan senjata yang hampir tiada hentinya, menangkis dan mengibas dan tak ada anak murid Hek-yan-pang yang kuat bertahan kalau Golok Maut mendorong. Maka ketika pertempuran menjadi seru dan Golok Maut berkali-kali berkata agar mereka semua mundur, yang tentu saja tak dihiraukan atau digubris akhirnya laki-laki ini menjadi marah dan mengancam.

"Kalian semua mundur, atau aku terpaksa menghajar dan kalian semua roboh!"

"Robohkanlah kami, bunuhlah! Kami tak takut mati, Golok Maut. Robohkanlah kami dan boleh kau bunuh kami semuanya!" sang wakil ketua menjadi kalap, berkali-kali terpental pedangnya dan ancaman Golok Maut itu tak membuatnya takut. Ancaman itu bahkan membuatnya marah dan semua anak murid Hek-yan-pang juga mengangguk. Rata-rata dari mereka berseru bahwa Golok Maut boleh membunuhnya, sikap yang membuat Golok Maut merah mukanya dan marah. Dan ketika semua yang terpelanting selalu bangkit terhuyung dan menyerang lagi, karena Golok Maut memang tidak menjatuhkan tangan keras maka lama-lama Golok Maut menjadi geram.

"Baiklah, kalian sendiri yang mencari penyakit. Jangan salahkan aku kalau kali ini aku bersikap keras!" dan Golok Maut yang membentak dan tiba-tiba berkelebatan cepat sekonyong-konyong mencabut senjatanya, Golok Maut yang ampuh itu. Dan begitu laki-laki ini mencabut goloknya dan sinar putih panjang mendesing dan menyambar ke segala penjuru tiba-tiba anak murid Hek-yan-pang berteriak kesakitan ketika jari-jari atau pergelangan tangan mereka berdarah, pecah tersambar sinar menyilaukan itu dan Swi Cu atau sumoi dari Wi Hong ini menjerit ketika pedang pendeknya putus, patah menjadi tiga dan jari tangannya sendiri juga tergurat berdarah. Dan ketika gadis atau wakil ketua Hek-yan-pang itu menjerit dan memekik kesakitan maka Golok Maut sudah menendangi mereka satu per satu dan roboh serta terkaparlah mereka semua oleh gerakan laki-laki bercaping ini yang tak dapat dilawan lagi.

"Des-des-dess!"

Swi Cu atau gadis bersaputangan hitam itu mengeluh. Dia sendiri sudah tertotok dan terlempar, khusus gadis ini Golok Maut telah melumpuhkannya dengan totokan lihai. Dan ketika semua mengaduh atau merintih maka Golok Maut sudah berhenti dan laki-laki ini tegak dengan mata mencorong.

"Nah, kalian tahu rasa. Siapa berani main-main lagi?"

"Keparat!" Swi Cu, wakil ketua Hek-yan-pang itu menangis. "Kami akan menyerangmu kalau kami dapat bergerak, Golok Maut. Kami siap mampus untuk melawanmu!"

"Hm!" Golok Maut memandang gadis ini, bersinar-sinar. "Kau tak tahu diri, Swi Cu. Kalau aku bertangan kejam tentu kau sudah kubunuh!"

"Bunuhlah, aku tak takut mati!" gadis itu malah berteriak. "Bunuhlah aku dan lihat seberapa gagah dirimu, Golok Maut. Hayo kau bunuh aku tak usah banyak bicara lagi!"

"Hm, aku tidak berkepentingan denganmu. Aku hanya berkepentingan dengan Wi Hong!"

"Keparat, kau tak usah banyak cakap, Golok Maut. Mencari suciku sama halnya mencari diriku. Hayo, cabut golokmu dan kau bunuh aku!"

Golok Maut mendengus. Melihat dan mendengar gadis ini berteriak-teriak tiba-tiba dia menggerakkan jarinya, menotok lagi urat gagu di bawah rahang gadis itu. Dan ketika hu-pangcu dari Hek-yan-pang ini melotot dan mengeluarkan suara aneh maka dia tak dapat berteriak-teriak lagi kecuali hanya mendelik!

"Nah, sekarang aku tak dapat dihalangi. Kalian semua di sini dan biar aku melanjutkan pencarianku!" Golok Maut memutar tubuhnya, mendengus dan tidak memperdulikan siapa pun lag i dan terbelalaklah anak-anak murid Hek-yan-pang melihat laki-laki itu berkelebat ke belakang. Dan ketika satu per satu semua kamar-kamar atau ruangan yang ada di belakang dibuka dan dikuak pintunya maka murid-murid Hek-yan-pang ini pucat sementara Swi Cu atau sumoi dari Wi Hong itu ah-uh-ah-uh dengan mata terbelaisk lebar-lebar, melihat Golok Maut akhirnya tiba diujung paling belakang dan membuka pintu atau ruangan terakhir itu, yang ditutup dengan sepasang pintu besi dengan sebuah jendela kecil yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai tempat mengeluar-masukkan makanan, karena kamar atau ruangan itu bukan lain adalah tempat di mana Ci Fang atau putera pangeran Ci ditahan. Dan begitu pintu ini dibuka dan Golok Maut menariknya kuat maka meloncatlah seorang pemuda yang langsung berteriak menubruk Golok Maut.

"Hei, kau Golok Maut terkutuk!"

Golok Maut terkejut. Sudah menduga bahwa di dalam sini pasti ada orangnya tiba-tiba Golok Maut mengegos. Teriakan atau serangan pemuda itu tentu saja dikelitnya mudah, Dan ketika pemuda itu, yang bukan lain Ci Fang adanya menubruk dan menyerang lagi maka satu tendangan dari Golok Maut membuat pemuda itu mengaduh dan terbanting tak dapat bergerak lagi, menggeliat mendekap perutnya.

"Bluk!"

Ci Fang memaki-maki. Sebagaimana diketahui putera Ci-ongya ini adalah pemuda yang pemberani. Nyalinya besar dan semangatnya pun tinggi. Dia sudah mendengar ribut-ribut itu dan terkejut bahwa yang datang adalah Si Golok Maut, tokoh yang dulu mencarinya tapi entah kenapa tiba-tiba meninggalkannya, pergi dari Hek-yan-pang setelah bertanding dengan ketua Walet Hitam itu. Maka ketika kini Golok Maut datang lagi dan berkali-kali suaranya menyebut nama Wi Hong, sang ketua yang tak ada di situ maka Ci Fang kebat-kebit tapi berhasil menindas rasa takutnya, mendengarkan semua pertempuran itu di mana akhirnya semua anak murid Hek-yan-pang rupanya kalah, terbukti tak ada suara lagi kecuali keluhan dan erangan, rintih kesakitan dari murid-murid Hek-yan-pang yang roboh di tangan Si Golok Maut ini.

Dan ketika suara pertempuran berhenti dan Golok Maut akhirnya membuka sisa-sisa kamar yang ada di mana akhirnya kamar atau ruang tahanannya dibuka tiba-tiba Ci Fang berteriak dan sudah menyerang Golok Maut itu, yang celakanya memang bukan tandingannya dan dengan satu tendangan telak tiba-tiba pemuda ini terlempar, mengaduh mendekap perutnya yang mulas. Dan ketika Ci Fang merintih namun mulut memaki-maki maka Golok Maut berkelebat dan sinar matanya yang mencorong tiba-tiba menjadi beringas setelah mengenal siapa kiranya pemuda ini, putera Ci-ongya yang kebetulan paling dibencinya!

"Hm, kau?" suara atau dengusan itu cukup mendirikan bulu roma. "Bagus sekali, orang she Ci. Kalau begitu kebetulan aku menemukanmu di sini. Berdirilah!" Ci Fang ditarik, leher bajunya disentak dan pemuda itu mengaduh-aduh tak keruan. Jari Golok Maut yang sekeras baja menjepit lehernya, tidak hanya keras tetapi juga panas, seperti api! Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak tapi Golok Maut tentu saja tidak melepaskan jepitannya, bahkan semakin mengeraskan jari maka Ci Fang menjerit ketika kulit lehernya melepuh.

"Aduh, lepaskan aku, Golok Maut. Jahanam keparat kau!"

"Hm, aku tak akan melepaskanmu. Bahkan aku akan membunuhmu!" suara Golok Maut terdengar dingin menyeramkan. "Kau bocah yang amat kubenci, orang she Ci. Kau dan bapakmu akan menerima hukuman seberat-beratnya dariku!"

"Aduh, keparat kau... keparat!"

Golok Maut tersenyum buas. Dia menekan kulit leher pemuda itu hingga tiba-tiba leher tawanannya ini terbakar. Ci Fang berteriak-teriak tak kuat ketika rasa panas dan sakit menjadi satu, rasanya melebihi dibakar karena bercampur seperti ditusuk-tusuk. Apa yang dilakukan Golok Maut sungguh tak tertahankan. Tapi ketika Golok Maut tertawa dan menyeringai keji tiba-tiba pemuda ini memberontak dan menendang.

"Des-dess!"

Ci Fang malah menjerit. Perut Golok Maut yang ditendang tiba-tiba rasanya sekeras batu, dia seakan menendang bongkahan batu dan kaki pemuda itu berkeratak, keseleo! Dan ketika Ci Fang malah mengerang tak keruan sementara Golok Maut semakin beringas dan buas tiba-tiba laki-laki bercaping itu menotok pemuda ini dan melemparnya ke tengah-tengah murid-murid Hek-yan-pang yang terbelalak menonton semuanya itu, pucat.

"Kau akan segera kubunuh. Tapi karena kau berani menendangku dua kali maka kakimu harus kukutungi. Heh, diam di situ dulu, bocah she Ci. Kucari sesuatu yang nikmat untukmu!" Golok Maut membanting pemuda ini, berkelebat dan menghilang sejenak tapi sudah muncul lagi. Dan ketika di tangannya terdapat sebongkah daun kering di mana dari dalam daun ini tiba-tiba muncul ratusan atau ribuan semut api maka Ci Fang terbelalak dan pucat bukan main, akhirnya bagaima-napun juga dia takut!

"Kau... kau mau apa?"

"Ha-ha, melampiaskan dendamku!" Golok Maut tertawa bengelak, baru kali ini terdengar tawanya yang begitu gembira. "Aku akan menyuruh semut-semut ini mengeroyok tubuhmu, bocah. Dan ketika kau menjerit-jerit maka kuoleskan minyak ini agar semut-semut itu menggigiti tubuhmu semakin beringas!"

"Minyak katak!" Ci Fang terkejut, berteriak tertahan. "Kau... kau keji, Golok Maut. Kau tak berperikemanusiaan! Kau .... oh, kau bunuhlah aku. Jangan siksa aku seperti itu!" dan Ci Fang yang rupanya mengenal dan melotot melihat cairan di tangan Golok Maut tiba-tiba membuat anak-anak murid Hek-yan-pang meremang dan berdiri bulu kuduknya, ngeri dan gentar melihat mata Golok Maut yang bersinar-sinar penuh dendam, mata yang seperti iblis karena merah dan terbakar, sungguh semakin mengerikan dengan botol di tangan kirinya itu, minyak katak yang akan membuat semut-semut api beringas dan jahat menggigiti tubuh Ci Fang karena minyak katak adalah musuh yang paling dibenci semut api, karena katak suka memangsa mereka dan semut api menganggap katak adalah musuh bebuyutannya!

Maka begitu Golok Maut memperlihatkan minyak kataknya ini dan sorot bengis serta kejam memancar dari matanya yang merah maka Ci Fang berkaok-kaok dan gentar serta takut. Tapi, siapa yang akan menolongnya? Golok Maut sudah begitu benci kepadanya, seperti juga semut-semut api itu yang begitu benci kepada minyak katak. Dan ketika semut-semut itu dilempar ke tubuh Ci Fang dan pemuda itu berteriak serta menjerit keras maka siksaan pertama sudah dimulai dan anak-anak murid Hek-yan-pang terbelalak dan ngeri mukanya.

"Tidak... jangan, aduh?"

Ci Fang sudah bergulingan dengan muka pias. Pemuda ini dapat menggulingkan tubuhnya namun sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tertotok dan oleh Golok Maut rupanya sengaja dibuat begitu, bisa menggulingkan tubuh namun tak dapat menggerakkan kaki tangan. Dan begitu pemuda ini bergulingan namun hal itu justeru membuat semut-semut marah karena tubuh mereka tergilas maka semut-semut api sudah menyerbu dan semakin ganas menggigiti tubuh pemuda ini. Ci Fang berteriak-teriak dan sebentar saja kaki atau tangannya merah-merah, punggung dan lipatan ketiaknya bengkak digigiti semut-semut ini di mana Ci Fang mengaduh-aduh sambil memaki lawannya.

Namun ketika semut menyerang semakin ganas dan Golok Maut tertawa mengoles minyak katak ke tubuh pemuda itu maka putera Ci-ongya ini menjerit dan histeris, menggulingkan tubuhnya ke sana-sini dan siksaan pemuda itu luar biasa sekali. Sekujur tubuhnya merah bengkak-bengkak namun yang paling tak tertahankan adalah rasa sakit serta gatal yang hampir tak dapat dikuasai. Ci Fang seakan orang gila yang bergulingan menjerit-jerit, semut-semut api masih tetap banyak karena Golok Maut mengambil lagi yang baru, kalau yang lama terinjak mati atau tergilas tubuh pemuda itu. Dan ketika pemuda ini hampir tak kuat lagi dan Golok Maut terbahak-bahak melihat penderitaan korbannya maka Golok Maut berkelebat dan sinar putih panjang menyambar baju Ci Fang.

"Bocah, rasakan lagi yang lebih hebat. Kubuka bajumu.... bret!"

Ci Fang meraung, bajunya robek terkuak dan berturut-turut lagi Golok Maut menggerakkan senjatanya. Tiga kali laki-laki itu menyontek dan hampir telanjanglah Ci Fang dibabat pakaiannya, tentu saja berteriak dan menjerit karena tubuh yang tidak terlindung pakaian lagi merupakan sasaran empuk dari gigitan semut-semut ganas itu. Namun ketika pemuda itu hampir pingsan dan Golok Maut berseru untuk memenggal kepala lawannya, yang sudah merintih dan tak kuat lagi tiba-tiba sinar golok yang melengkung bertemu dengan secercah cahaya putih yang berkelebat datang.

"Golok Maut, tahan kekejamanmu.... crangg!" sesosok bayangan berkelebat, muncul menangkis sambaran golok di tangan Si Golok Maut dan berdirilah di situ seorang pemuda berbaju putih. Golok Maut dan anak-anak murid Hek-yan-pang terkejut melihat datangnya pemuda ini, yang membentak dan menahan serangan golok, di mana golok terpental sementara pedang di tangan pemuda itu, yang bersinar putih dan keperakan tampak bergetar di tangan, tidak rusak apalagi putus, tanda bahwa pedang di tangan pemuda itu adalah senjata ampuh yang setanding dengan Golok Maut, Golok Penghisap Darah! Dan ketika Golok Maut tertegun sementara pemuda baju putih itu menggigil dan menghadapi lawannya dengan marah maka Ci Fang di sana sudah roboh pingsan dan pemuda atau bayangan yang baru datang ini berseru, gemetar,

"Golok Maut, kau kejam. Watakmu telengas sekali. Hentikan semuanya itu dan jangan bunuh pemuda ini!"

"Hm, kau kiranya?" Golok Maut tertegun, mundur selangkah. "Aku berhutang kebaikan padamu, orang she Ju. Tapi jangan sewenang-wenang mencampuri urusanku ini. Pergilah, dan kuharap kita tidak mengganggu yang lain!"

"Tidak! Kau, ah..." pemuda ini, yang bukan lain Beng Tan adanya menggoyang tangan, menggigil. "Kau terlalu kejam, Golok Maut. Kau terlalu keji dan tidak berperasaan! Kau menyiksa dulu sebelum membunuh! Ah, aku tak dapat membiarkan ini dan terpaksa menghadapimu!" lalu, melihat Golok Maut tergetar dan mengerutkan keningnya, tanda terkejut, Beng Tan sudah maju selangkah menudingkan pedangnya, yang bukan lain adalah Pek-jit-kiam, Pedang Matahari. "Golok Maut, maaf tak dapat kubiarkan sepak terjangmu ini. Aku penasaran, aku muak. Kuharap kau mau pergi dan biarkan pemuda ini bersamaku!"

"Hm, kau mau memaksa? Mengandalkan budimu dulu?"

"Tidak, aku tak merasa menanam budi, Golok Maut. Tak usah kau bicara tentang itu. Aku hanya bicara tentang kekejamanmu, sekarang ini. Kalau kau menghargai aku dan mau memberikan pemuda itu kepadaku maka aku berterima kasih sekali!"

"Hm, dia musuhku. Putera Ci-ongya!"

"Aku tahu. Tapi kuminta kau tidak membunuhnya, Golok Maut. Ci-ongya adalah satu di antara orang-orang yang harus kulindungi!"

"Hm, kau apanya?"

"Bukan apa-apa, tapi tak dapat kubiarkan sepak terjangmu yang ganas ini!"

"Hm, aku masih teringat budi kebaikanmu, orang she Ju. Maaf kalau kukatakan bahwa salah-salah aku bisa melupakan kebaikanmu itu kalau kau menentang Bocah ini milikku, kuminta dengan hormat sukalah kau meninggalkan tempat ini dan aku kelak akan menemuimu untuk minta maaf!"

"Tak bisa. Aku datang untuk mencegah keganasanmu, Golok Maut. Justeru aku yang minta agar kau pergilah baik-baik dan berikan pemuda itu kepadaku. Aku yang lain kali akan mencarimu dan minta maaf!"

"Hm, kau nekat?"

"Kalau kau bersikeras, Golok Maut. Kukira tak ada yang mampu menghalangi niatku kalau kau hendak membunuh pemuda itu!"

"Kalau begitu rupanya kita harus bertanding lagi. Baikleh, maaf, orang she Ju. Aku melupakan kebaikanmu karena kau yang nekat. Awas!" dan Golok Maut yang berkelebat melepas pukulan tiba-tiba membentak dan menyerang lawannya itu, satu pukulan miring yang cepat luar biasa, bersinar keemasan dan lawan tentu saja tak mau dipukul. Karena begitu Golok Maut selesai bicara dan pukulan itu meluncur tiba-tiba Beng Tan menggerakkan tangannya dan satu pukulan putih menyambut pukulan emas itu.

"Dess!"

Anak murid Hek-yan-pang terpental. Mereka terpekik ketika dua pukulan itu bertemu, demikian kerasnya hingga Ci Fang yang pingsan pun terlempar, berdebuk dan jatuh terbanting di tanah. Dan ketika Swi Cu juga mengeluh karena dalam keadaan tertotok gadis baju hitam ini terpental oleh getaran tanah yang keras maka Golok Maut sudah menggeram dan menyimpan senjatanya, maju berkelebatan dengan pukulan-pukulan emas dan Kim-kong-ciang atau Pukulan Sinar Emas itu menyambar-nyambar ke tubuh lawan.

Beng Tan mengimbangi dengan pukulan-pukulan sinar putihnya, yang bukan lain Pek-lui-kang adanya dan sinar putih atau emas ini saling beradu, berdentum dan keduanya pun terlempar. Dan ketika Beng Tan juga menyimpan pedangnya dan berjungkir balik melayani lawan, yang sudah menggeram dan ganas menyambar-nyambar maka dua pemuda itu sudah saling serang-menyerang dengan tak kalah hebatnya, pukul-memukul dan ledakan-ledakan atau dentuman-dentuman bagai gunung berguguran membuat anak-anak murid Hek-yang-pang ngeri. Mereka itu terpekik dan beberapa di antaranya beringsut mundur, yang tertotok dan tak dapat bergerak tentu saja tak dapat menyingkir. Dan ketika dua pukulan itu kembali beradu dan sinar putih atau kuning menjadi satu maka gelegaran dahsyat mengguncang tempat itu disusul muncratnya bunga api dari dua tenaga panas yang sama-sama bertemu.

"Blarr!"

Semua orang mengeluh. Mereka terlempar dan terpental tinggi. Semua anak-anak murid Hek-yan-pang terpekik karena suara beradunya pukulan amatlah dahsyat. Telinga mereka serasa pecah! Dan ketika mereka mengaduh atau merintih terbanting di tanah maka di Sana Golok Maut dan Beng Tan sudah berkelebatan kembali dengan pukulan-pukulan mereka, sambar-menyambar dan Swi Cu tertegun melihat jalannya pertandingan yang semakin hebat, seru dan mendebarkan karena masing-masing sudah mulai menambah kekuatannya, juga kecepatan hingga akhirnya dua orang yang bertanding itu lenyap.

Baik Golok Maut maupun Beng Tan hanya merupakan bayangan putih dan hitam sesuai baju yang mereka pakai, berkelebatan dengan luar biasa cepatnya sementara pukulan-pukulan emas atau Kim-kong-ciang yang dilancarkan Golok Maut semakin menderu, dahsyat menghantam namun pukulan putih di tangan lawannya juga bertambah berkilauan, meledak-ledak dan menahan atau mengimbangi pukulan di tangan Si Golok Maut itu.

Dan ketika geraman-geraman atau benturan suara pukulan sudah tak kuat ditahan anak-anak murid yang bergelimpangan di situ maka wanita-wanita perkumpulan Walet Hitam ini pingsan dan lebih dari separoh sudah tak tahu jalannya pertandingan itu. Tak melihat betapa dua orang itu semakin dahsyat bertempur dan rasa penasaran yang hebat semakin menghuni dada mereka.

Beng Tan sendiri mulai tak dapat menahan emosinya karena berkali-kali Golok Maut tak dapat dibujuk, marah dan terus menyerangnya hingga iapun menjadi naik darah dan gusar. Dan ketika pertandingan menjadi semakin memuncak dan pukulan-pukulan mereka juga bertambah cepat dan kuat maka satu benturan lagi akhirnya membuat Swi Cu yang paling tinggi kepandaiannya di antara semua anak-anak murid Walet Hitam menjerit ketika dentuman atau benturan Kim-kong-ciang dan Pek-lui-ciang serasa meruntuhkan langit.

"Dess!"

Amatlah dahsyat suara benturan ini. Golok Maut terlempar sementara Beng Tan juga terguling-guling, muntah darah dan keduanya mengeluh. Baik Golok Maut maupun pemuda baju putih itu sama-sama terluka, keduanya sesak napas dan mendekap dada di sana. Tapi ketika mereka meloncat bangun dan terhuyung di sana, melotot, maka Golok Maut tertawa aneh mengusap darah yang membasahi mulutnya.

"Orang she Ju, kau hebat. Cabutlah pedangmu dan mari kita tentukan pertarungan ini dengan senjata!"

"Tidak," Beng Tan gemetar, menggigil. "Dua senjata kita bakal lengket dan tak mau dipisah lagi, Golok Maut. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, aku tetap bertangan kosong!"

"Kau ingin mampus? Kau tak ingin membunuhku?"

"Aku tak bermaksud membunuhmu, Golok Maut. Aku hanya menghalangi dan mencegah perbuatanmu membunuh putera Ci-ongya!"

"Tapi dia musuhku, kau tahu!"

"Tidak, musuhmu adalah dendam, Golok Maut. Kau terbakar dan mabok dalam nafsumu yang gila. Kau tidak waras!"

"Kau memakiku?"

"Kau memang gila, gila dan terganggu jiwamu. Ayolah, cabut golokmu dan kau bunuh aku kalau ingin!" Beng Tan menantang, marah berseru pada lawannya dan Golok Maut menggeram.

Mereka sebenarnya dapat bertanding dengan senjata, sudah berulang-ulang Golok Maut meminta namun Beng Tan menolak. Dan karena Golok Maut tak mau mempergunakan senjatanya kalau lawan juga tak mau mencabut pedangnya maka selama itu pula Golok Maut menahan diri dan tak mau mencabut goloknya. Tapi begitu lawan menantang dan makian itu serasa menusuk jiwa, karena dia dikatakan gila dan tidak waras tiba-tiba Golok Maut membentak dan tak dapat menahan diri.

"Orang she Ju, kau bermulut pedas. Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku benar-benar ingin membunuhmu.... srat!" sinar putih menyilaukan mata, tanda dicabutnya sebuah senjata ampuh dan Golok Maut sudah membentak meloncat ke arah lawannya itu. Dia sudah tak memperdulikan sikap lawannya yang dianggap memanaskan telinga, mengharap lawan mencabut senjata kalau golok menyambar. Tapi ketika sinar golok berkelebat dan cahaya putih panjang itu tak disambut Pek-jit-kiam melainkan sepasang tangan Beng Tan yang bergerak memapak sinar golok di tangan Si Golok Maut maka tokoh ini terkejut dan berteriak keras.

"Sing-bret!"

Beng Tan terpelanting mengeluh. Pemuda ini benar-benar menepati kata-katanya, tak mau mencabut senjata dan membiarkan saja golok di tangan Si Golok Maut menyambar, menuju kepalanya tapi pada detik-detik yang amat mengguncangkan itu Golok Maut tersentak, menggerakkan senjatanya ke atas dan bukan leher lawannya yang terbabat melainkan segumpal rambut hitam yang putus disambar golok di tangan Si Golok Maut ini. Dan ketika Beng Tan mengeluh di sana tapi bergulingan meloncat bangun maka Golok Maut menggigil menahan senjatanya.

"Beng Tan, kau pengecut. Jahanam! Kau hampir membiarkan aku menjadi pembunuh yang tidak adil!"

"Biarlah, sesukamu," Beng Tan terhuyung menjawab, rambutnya terpapas seikal lebih. "Kau boleh bunuh aku kalau bisa, Golok Maut. Aku pribadi tak ingin membunuhmu tapi kau boleh lampiaskan dendammu kepadaku!"

"Keparat, kau.... kau... ah!" dan Golok Maut yang membentak menyimpan goloknya tiba-tiba menerjang dan melepas Kim kong-ciang, ditangkis dan segera keduanya bertanding lagi.

Beng Tan tertawa aneh namun diam-diam memuji bahwa di balik keganasan dan kekejamannya terhadap musuh-musuh yang dibenci ternyata Si Golok Maut ini masih memiliki sifat ksatria, gagah dan tak mau membunuhnya ketika tadi golok sudah siap menyambar lehernya. Dan karena Beng Tan semakin yakin bahwa lawan yang dihadapi ini sedang sakit dan terganggu jiwanya maka dia mengelak dan menyambut Kim-kong-ciang dengan Pek-lui-ciangnya, tahu bahwa dia dapat menghadapi lawannya itu tapi tak mungkin dapat mengalahkan. Kepandaian mereka ternyata berimbang dan tentu saja hal ini juga diketahui Golok Maut, yang gemas dan geram kepada lawannya itu.

Dan ketika Beng Tan kembali menyambut pukulan-pukulannya sementara tenaga kian terkuras dan masing-masing gemetaran menggigil maka pertandingan dilanjutkan lagi dan Golok Maut mau tak mau harus menyimpan senjatanya, golok yang ampuh itu karena lawan tak mau mencabut Pedang Mataharinya, senjata yang juga luar biasa tajam dan keampuhannya jelas tak kalah dengan Golok Maut, atau Golok Penghisap Darah itu. Dan karena Beng Tan berhasil memaksa lawannya untuk sama-sama tidak mencabut senjata, karena Beng Tan ngeri akan akibat dari dua senjata mereka yang sama-sama hebat maka pertandingan berjalan lagi dengan sengit namun sudah agak lambat, berkurang kecepatan maupun tenaganya tapi bukan berarti bahwa semangat yang bertempur mengendor.

Dua pemuda itu sama-sama tak mau kalah dan mereka mencoba bertahan sekuat-kuatnya, kalau bisa merobohkan yang lain untuk mencapai kemenangan. Tapi karena Kim-kong-ciang maupun Pek-lui-ciang sama-sama tangguh dan sinkang atau tenaga sakti mereka juga berimbang maka pertempuran menjadi lama dan Golok Maut maupun Beng Tan mulai mengeluh karena mereka mulai kehabisan tenaga, seperti pelita yang mulai kehabisan minyak!

"Beng Tan, kau pengecut. Kau licik. Kau takut melihat darah! Ah, cabut pedangmu itu dan mari kita lihat siapa yang terbunuh dan keluar sebagai pemenang!"

"Hm, aku tak haus darah. Kalau kau memaksaku untuk mencabut Pek-jit-kiam maka kau tak akan berhasil, Golok Maut. Tapi kalau kau ingin memperoleh kemenangan silahkan cabut golokmu itu, bunuh aku!"

"Aku tak mau membunuh lawan yang tak bersenjata. Aku ingin membunuhmu kalau kau juga mencabut pedangmu!"

"Aku tak ingin diperintah. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, tapi aku tak akan mencabut pedangku!"

Dan ketika Golok Maut marah-marah namun tak berani mencabut goloknya, hal yang menunjukkan kegagahan tokoh yang ganas ini maka keduanya sudah mulai jatuh bangun terkena pukulan-pukulan sendiri, bahkan Golok Maut terpeleset sekali ketika tendangan lemah luput mengenai lawan, terhuyung oleh dorongan tenaga sendiri dan jatuh. Namun ketika dia bangun lagi dan Beng Tan di sana juga gemetar terbawa pukulannya yang meleset maka keduanya bertanding dengan muka pucat namun semangat tetap tinggi!

"Golok Maut, kau hebat. Sayang bahwa kepandaianmu yang sedemikian tinggi kau pergunakan untuk membunuh-bunuhi orang!" Beng Tan kagum, berseru memuji tapi lawan mendengus.

"Tak usah banyak bicara," lawannya ini menjawab. "Kau juga hebat tapi sayang memusuhiku, Beng Tan. Kalau kau antek Ci-ongya tentu kau kubunuh!"

"Aku bukan antek siapapun, aku pembela kebenaran!"

"Huh!" dan Golok Maut yang menyerang lagi dengan marah lalu melepas pukulan Kim-kong-ciang dalam jurus Pukulan Emas Menghantam Guntur. Satu pukulan dahsyat di mana kali ini Golok Maut mengerahkan segenap tenaganya. Tokoh bercaping ini marah karena mereka belum ada yang roboh, dia ingin membuat penentuan dan dilepaskannya jurus yang dahsyat itu. Dan ketika kedua lengannya mendorong dan Beng Tan melihat gerakan lambat namun bertenaga menyambar dirinya maka pemuda ini mengelak namun pukulan itu mengejar.

"Dess!"

Beng Tan terkejut. Kim-kong-to-lui atau Sinar Emas Menghantam Guntur tahu-tahu tak dapat dikelit lagi, kedua lengan Golok Maut sudah mengurungnya dengan hawa pukulan dahsyat itu, Beng Tan tak dapat keluar. Dan karena pukulan ini harus disambut dan apa boleh buat Beng Tan harus menggerakkan kedua lengannya pula maka dua pasang lengan beradu dan Beng Tan tersentak ketika Golok Maut mengerahkan tenaga menghisap dan menyedot.

"Aih!" pemuda ini pucat. "Kau mau mengadu jiwa, Golok Maut. Lepaskan!"

Namun Golok Maut tertawa dingin. Pukulan lambatnya yang sudah menyambar dan mengurung Beng Tan dari segala penjuru memang tak mungkin dikelit pemuda itu kecuali ditangkis. Lawan sudah dipaksa untuk menerima pukulannya ini dan Beng Tan terkesiap. Dan ketika ia harus menangkis tapi pada saat itu pula gerakan mendorong sudah diganti dengan tenaga menghisap atau menyedot maka kedua lengan Beng Tan melekat dan menempel pada sepasang lengan lawannya ini.

"Crep!"

Beng Tan terbelalak. Tenaga menghisap berobah lagi menjadi tenaga mendorong, panas membakar dan Golok Maut tiba-tiba berdiri dengan satu kaki. Itulah Kim-kee-kang atau Tenaga Ayam Emas yang digabung dengan Kim-kong-ciang (Pukulan Sinar Emas). Dan ketika dari sepasang lengan Golok Maut keluar sepasang hawa panas yang agak berbeda namun kedua-duanya amat berbahaya karena lengah sedikit lawan bisa hancur atau hangus terbakar maka Beng Tan berteriak tinggi membentak lawannya itu, secepat kilat mengerahkan tenaga yang sama untuk menolak atau mendorong, akibatnya terdengar suara menggelegar dan dua pemuda itu bergoyang. Dengan bentakan atau teriakannya tadi Beng Tan bermaksud melepaskan diri. Tapi ketika kesepuluh jarinya dicengkeram atau diremas lawan dan Golok Maut tak mau melepaskan lawan maka Beng Tan kaget bukan main karena Golok Maut benar-benar hendak mengadu jiwa, ingin satu di antara mereka benar-benar roboh!

"Golok Maut, kau... kau ganas! Kau berdarah pembunuh!"

"Hm, pertandingan ini harus diselesaikan. Aku tak ingin kau menghalangiku lagi, Beng Tan. Kau atau aku yang roboh!"

"Tapi aku tak ingin membunuhmu, aku hanya bersifat mencegah!"

"Dan aku tak suka itu. Kau atau aku yang roboh. Jangan banyak bicara!" dan Golok Maut yang sudah mengerahkan tenaga untuk mendorong dan menghancurkan lawan tiba-tiba membuat Beng Tan mengeluh karena Golok Maut benar-benar tak mau melepaskan dirinya. Kesepuluh jari mereka yang saling cengkeram dan remas akhirnya apa boleh buat dibalas pemuda baju putih ini.

Beng Tan tak mau mati konyol dan pemuda itu terbelalak memandang lawan. Kekerasan hati dan keganasan Golok Maut sungguh mendirikan bulu roma. Watak dan sifat ini membuat Beng Tan ngeri, sekaligus juga marah! Maka begitu lawan menyudutkannya sedemikian rupa dan mereka kini tak dapat bergerak karena sudah cengkeram-mencengkeram dengan tubuh tak bergeming maka keduanya sudah saling dorong-mendorong dengan tenaga yang kian hebat. Sebentar Beng Tan terdorong ke belakang tapi sebentar kemudian Golok Maut yang terangkat kepalanya.

Dua pemuda itu dorong-mendorong dan Beng Tan tiba-tiba tertegun. Saling cengkeram dan remas dalam jarak yang sedemikian dekat akhirnya membuat pemuda ini melihat jelas wajah lawannya, wajah yang tampan namun dingin. Wajah yang gagah namun seolah beku, seperti es yang tidak tergerak oleh badai atau angin ribut. Dan karena caping itu kian terangkat naik ketika Golok Maut yang terdorong mundur maka Beng Tan jadi bengong dan lupa ketika wajah yang tampan gagah itu agak menyeringai.

"Golok Maut, kau tampan. Sayang dingin!"

Wajah Golok Maut memerah. Dalam adu sinkang jarak dekat begini memang mau tak mau wajahnya di balik caping kelihatan jelas. Golok Maut menggeram namun dia tidak menjawab. Beng Tan yang bicara tiba-tiba didorong, terkejut karena sedikit bicara itu telah mengurangi tenaganya, menerima sebuah dorongan dahsyat Golok Maut yang sudah terdorong setengah tindak tiba-tiba dapat memperbaiki diri, balas mendorong dan Beng Tan hampir mencelat!

Dan ketika pemuda ini berseru keras dan sadar bahwa bahaya mengancam dirinya maka pemuda itu membentak dan cepat mengempos semangatnya lagi, bertahan namun sedikit kelengahan tadi telah dipergunakan lawan sebaik-baiknya. Golok Maut memasuki kesempatan itu dan tidak memberi ampun, mendesak dan menambah tenaganya lagi hingga Beng Tan kewalahan. Dan ketika pemuda itu pucat dan menggigit bibirnya kuat-kuat maka Beng Tan terbatuk dua kali dan muntah darah.

"Huak!"

Golok Maut ganti tertegun. Darah lawan menyemprot mengenai bajunya, langsung memerah dan wajah Beng Tan yang kesakitan membuat Golok Maut yang dingin ini sedikit lumer. Kebaikan Beng Tan yang pernah mengalah kepadanya ketika pertempuran dulu tiba-tiba mengganggu hatinya, tergetar dan sedikit kerut di wajah yang tampan dingin itu mengendor. Golok Maut tertegun dan otomatis tenaganya berkurang sejenak, hal yang dirasa Beng Tan. Dan karena pemuda ini merasakan itu dan tentu saja ganti tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendadak Beng Tan rnendorong dan membentak menyerang lawan, secepat kilat.

"Augh!" Golok Maut terkejut. Lengahnya sekejap yang sudah dimasuki Beng Tan membuat tokoh bercaping ini mengeluh. Dalam adu sinkang seperti itu tak boleh pikiran diganggu oleh perasaan yang bermacam-macam. Golok Maut telah melakukan kesalahan yang sama seperti yang tadi dilakukan Beng Tan. Maka begitu Beng Tan membalas dan mengerahkan segenap tenaganya maka Golok Maut terdorong dan ganti melontakkan darah segar.

"Huak!"

Beng Tan mengeraskan hati. Pemuda ini memejamkan mata melihat wajah lawan yang kesakitan. Bajunya tersembur lontakan darah namun Beng Tan tak perduli. Dia melihat Golok Maut benar-benar hendak membunuhnya dan tentu saja dia marah. Dan karena dia sudah terluka sementara Golok Maut juga menyemburkan darah seperti dia sendiri, berarti masing-masing sama terluka dan kemenangan harus diperoleh dalam saat yang begitu menentukan maka Beng Tan tak mau mengalah lagi dan cepat memejamkan mata sambil mengerahkan segenap tenaganya.

"Golok Maut, maaf. Aku agaknya terpaksa mengakhiri hidupmu!"

"Tak apa," Golok Maut gemetar, menjawab menggigil. "Lebih baik mati begini daripada tak dapat memenuhi sumpah, Beng Tan. Kau bunuhlah aku tapi aku juga akan berusaha membunuhmu!"

"Hmm!" dan Beng Tan yang tak mau bicara lagi mengempos sisa-sisa tenaganya lalu berhasil mendesak dan membuat Golok Maut terhuyung, mundur lagi selangkah namun hebat laki-laki bercaping itu.

Golok Maut tetap bertahan dan sampai di sini Beng Tan tak berhasil mendesak lagi, lawan mati-matian mengerahkan segenap tenaganya pula dan tiba-tiba sepasang kaki Golok Maut melesak, Beng Tan juga tertanam namun Golok Maut lebih dalam, tanda bahwa Golok Maut berada di posisi tertekan dan terdesak, bertahan tapi Beng Tan menambah tenaganya lagi. Dan ketika Golok Maut menggigil dan Beng Tan juga gemetaran keras tiba-tiba dua pemuda itu sama-sama terpukul oleh dorongan tenaga lawan, muntah darah dan Beng Tan pucat mukanya.

Golok Maut semakin bergoyang tapi lutut Beng Tan juga menggigil. Sebentar lagi mereka akan roboh dengan Golok Maut terkena resiko lebih besar, kematian bisa membayangi tokoh bercaping itu tapi Beng Tan bisa cacad seumur hidup, karena dadanya sudah mulai terbakar dan amat panas dari dalam. Tapi ketika kaki keduanya melesak semakin dalam dan Golok Maut hampir tak kuat tiba-tiba terdengar seruan perlahan dan sesosok bayangan berkelebat.

"Thian Yang Maha Agung, apa yang kalian lakukan, anak-anak? Aih, berhenti, Beng Tan. Berhenti, Golok Maut. Lepaskan tangan kalian dan jangan bertanding lagi.... plak-plak!"

Golok Maut dan Beng Tan terpental, tangan mereka tiba-tiba terlepas dan seorang kakek berwajah halimun muncul di situ. Entah kapan datangnya kakek ini tak ada yang mengetahui. Beng Tan dan Golok Maut tahu-tahu merasa tangan mereka direnggangkan, diusap jari-jari yang halus namun kuat bertenaga dan mereka tak sanggup melawan itu. Keduanya terkejut dan seketika terlepas, terlempar dan masing-masing daya pukul menghantam ke depan. Tapi ketika kakek itu mengebut dan Beng Tan maupun Golok Maut dikibas ke kanan kiri tiba-tiba dua pemuda itu sudah terbanting dan terguling-guling di sana.

"Augh... bres-bress!"

Golok Maut dan Beng Tan berseru tertahan, kaget namun girang karena dua tangan mereka sudah terlepas satu sama lain, terlepas dari ancaman maut atau cacad yang sama-sama bakal berakibat buruk. Golok Maut maupun Beng Tan sesungguhnya tak akan menikmati kemenangan itu dengan utuh, yang satu akan tewas sedang yang lain bakal menjadi manusia invalid, karena dada Beng Tan yang terbakar dari dalam bisa mengakibatkan sebuah paru-parunya hancur, yang tentu saja tak kalah buruk dengan maut sendiri.

Maka begitu seseorang memisah pertandingan mereka dan adu sinkang mati hidup itu berakhir maka Golok Maut terguling-guling sementara Beng Tan juga terlempar dan terbanting bergulingan di sana, terluka, namun tidak terlalu fatal. Dan ketika keduanya meloncat bangun namun terjatuh lagi, karena mereka terluka dan lelah kehabisan tenaga maka Golok Maut maupun Beng Tan terkejut dan membelalakkan matanya lebar-lebar melihat siapa yang berdiri di tengah-tengah itu.

"Sian-su...!"

"Sin-jin...!"

Beng Tan dan lawannya tertegun. Di situ, ditengah-tengah mereka berdiri tegak seorang kakek berpakaian putih. Kakek ini menarik napas dan berkali-kali menyebut nama Tuhan, wajahnya tak kelihatan namun sepasang cahaya mencorong dari balik kabut itu menggetarkan dua pemuda ini. Itulah sepasang mata yang kuatnya bukan main, penuh tenaga sakti dan getarannya sudah cukup membuat dua pemuda ini jatuh terduduk, Dan ketika Beng Tan maupun Golok Maut terperangah dan terkejut melihat siapa yang datang tiba-tiba hampir berbareng keduanya menjatuhkan diri berlutut dan dua-duanya sama-sama batuk darah.

"Sian-su, maafkan kami. Dia... Golok Maut... dia mengajak bertempur mati hidup!"

"Maaf, aku... aku dihalangi lawanku ini, Sian-su. Beng Tan tak mau mundur dan memaksa aku bertarung mati hidup!"

"Ah-ah, kalian anak-anak muda yang sama keras kepala!" kakek itu, yang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya berseru perlahan, tampak sedih. "Kalian sama-sama mempertahankan kebenaran sendiri, Golok Maut. Dan kau tak menghiraukan nasihatku! Aih, kenapa begini, anak baik? Tidakkah kau ingat semua wejanganku?"

Golok Maut, yang ganas dan ditakuti lawan itu tiba-tiba menangis. Entah kenapa mendengar suara atau teguran kakek dewa ini dia tak tahan lagi, batuk dan terhuyung mendekati kakek itu. Dan ketika air matanya bercucuran dan Golok Maut terguling di kaki kakek itu tiba-tiba lawan Beng Tan ini berkata, "Sian-su, aku tak dapat melupakan peristiwa lama. Kalau kau ingin menghukumku silahkan, bunuhlah aku dan kuserahkan senjataku ini!"

"Hm!" Bu-beng Sian-su, kakek itu mengerutkan kening melihat Golok Maut melolos senjatanya, memberikannya kepadanya. "Senjata bukan untuk dipergunakan membunuh orang baik-baik, Golok Maut. Aku datang bukan untuk mencabut nyawamu!"

"Tapi aku tak berhasil memenuhi keinginanmu. Aku gagal. Ah, kau hukumlah aku, Sian-su. Kau bunuhlah aku agar aku terbebas dari semua derita ini!"

"Bangunlah," Beng Tan tertegun, melihat lawannya itu dibangunkan kakek ini, disentuh kedua pundaknya. "Nasihat, bukan berarti perintah, Golok Maut. Kalau kau tak dapat melaksanakan nasihatku maka aku tak menyalahkanmu. Buah baik akan menghasilkan yang baik juga, buah buruk akan menghasilkan sebaliknya. Kau bangunlah, simpan senjatamu karena aku tak memerlukan itu!" dan ketika Golok Maut menangis dan Beng Tan kian tertegun di sana, tak menyangka bahwa Golok Maut kenal baik dengan kakek itu maka Bu-beng Sian-su menggapaikan lengannya kepadanya.

"Beng Tan, kemarilah," seruan itu mendebarkan pemuda ini. "Sudahkah kau berhasil meminta sesuatu dari Si Golok Maut ini? Sudahkah kau melaksanakan perintahku pula?"

"Maaf," Beng Tan terkejut, pucat mukanya. "Aku... aku belum berhasil, Sian-su. Aku marah dan tidak teringat permintaanmu. Aku tak suka lawanku ini!"

"Hm, suka tidak suka lahir dari perasaan emosi, Beng Tan. Kau ternyata belum mampu mengendalikan dirimu. Baiklah, kemarilah dan dekat-dekat kepadaku."

Beng Tan beringsut, mendekati kakek itu. Dan ketika dia roboh dan juga terguling di kaki kakek ini, seperti Golok Maut maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba mengebutkan bajunya dan sebuah totokan lihai menyentuh lunak di dada pemuda ini.

"Kau nyaris terluka hebat, paru-parumu lemah sebagian. Terimalah, dan telanlah ini, Beng Tan. Setelah itu cepat bersamadhi namun dengarkan dulu kata-kata-ku!"

Dan, ketika Beng Tan terduduk dan menerima sebutir obat dari kakek dewa itu Bu-beng Sian-su sudah membalik dan menyentuh pula punggung Golok Maut, berkata, "Dan kau, hmm... jantungmu sedikit terpukul, Golok Maut. Telanlah ini dua sekaligus!" kakek itu memberikan dua butir obat, langsung ditelan Golok Maut dan pemuda itu menangis lagi, tak berani menolak dan Bu-beng Sian-su telah mengusap punggungnya tiga kali, melegakan pernapasannya dan Golok Maut tidak batuk-batuk lagi.

Dan ketika Beng Tan di sana terduduk dan cepat bersila, mengatur napasnya sesuai ilmu pernapasan yang benar maka kakek itu bertanya, lirih dan lambat-lambat namun bernada penuh teguran kepada Si Golok Maut,

"Golok Maut, masihkah terngiang segala nasihatku kepadamu? Masihkah teringat apa yang pernah kukatakan padamu?"

"Aku ingat," Golok Maut bercucuran air mata. "Tapi dendam ini tak dapat kuhapus, Sian-su. Kebencian terlanjur berakar di hatiku."

"Dan kau tak mau mundur?"

"Pantang bagiku menarik sumpah, Sian-su. Aku telah maju dan kepalang basah!"

"Tapi kau melanggar sumpahmu dengan Wi Hong! Hm, apa artinya ini, Golok Maut? Dapatkah sumpahmu dipercaya?"

Golok Maut tertegun, pucat pasi. "Ini ... ini... aku salah, Sian-su. Tapi urusanku dengan Wi Hong tak sama dengan sumpahku terhadap Coa-ongya maupun Ci-ongya. Itu lain! Aku... aku terjebak siluman betina itu!"

"Hm, kebencian membuat segala-galanya menjadi gelap. Baiklah, aku tak bertanya lagi, Golok Maut. Kau bebas melaksanakan apa yang mau kau kerjakan. Hukum sebab dan akibat akan selalu mengikutimu pula. Manusia berusaha tapi Tuhan punya kuasa. Eh, ada yang kau bawa di tubuhmu, Golok Maut? Kau masih membawa catatan mendiang gurumu?"

"Maksud Sian-su...?"

"Berikan itu pada Beng Tan, Golok Maut. Kau agaknya tak berkepentingan lagi dengan itu."

"Tapi ini punya guruku..."

"Hm, gurumu mendapatkannya dari aku, Golok Maut. Atau kalau kau berat memberikannya silahkan pinjamkan sebentar agar dicatat pemuda itu!"

Golok Maut tertegun. Dia tampak ragu atau bimbang, tapi ketika pandang matanya bertemu dengan sorot cahaya di balik halimun itu tiba-tiba pemuda ini menunduk dan menekan debaran jantungnya, mengambil sesuatu dari balik baju dan Golok Maut memberikan itu pada si kakek dewa. Tapi ketika kakek itu tersenyum dan tak mau menerima, memanggil Beng Tan maka pemuda baju putih ini diminta agar menerima pemberian Golok Maut.

"Aku pribadi tak memerlukannya, berikan pada Beng Tan."

Beng Tan heran. Dia sudah menerima pemberian itu dan melihat bahwa yang diberikan ini hanyalah sebuah kertas, kecil dan tidak besar namun dalam keadaan terlipat. Dan ketika Golok Maut menunggu dan hal itu berarti bahwa Beng Tan hanya dipinjami saja maka Bu-beng Sian-su mengangguk dan berseru pada pemuda itu,

"Beng Tan, benda inilah yang dulu kusuruh padamu untuk memintanya dari Golok Maut. Tapi karena Golok Maut tak ingin memberikannya cuma-cuma karena itu adalah milik mendiang gurunya biarlah kau buka dan salin isinya!"

Beng Tan berdebar. Dia sudah membuka dan ingin tahu apa sebenarnya isi kertas ini, barang biasa yang tampaknya tidak terlalu berharga. Namun ketika kertas atau surat itu dibuka dan dibaca isinya ternyata berisi sebuah syair yang tidak dimengerti! "Ini... apa artinya ini, Sian-su? Haruskah kutulis dan kusimpan?"

"Ya, ada sesuatu yang berharga, Beng Tan. Kau harus menyalin dan menyimpannya."

"Untuk apa?"

"Untuk kepentinganmu kelak!"

"Tapi ini... ini hanya sebuah syair! Apakah perlu benar, Sian-su? Apakah betul berharga dan patut disimpan?"

"Hm, bukan hanya sekedar disimpan, Beng Tan. Melainkan harus dimengerti dan kelak dihayati. Kau dan semua orang memerlukannya. Sebaiknya cepat salin itu dan kembalikan pada yang punya!"

Beng Tan terlongong-longong. Secarik kertas yang katanya berharga ini sudah ditunggu Si Golok Maut. Lawannya itu menanti dan tampak betapa Golok Maut tidak sabar. Kalau bukan Sian-su sendiri yang berkata barangkali pemuda ini tak mau percaya. Tapi karena kakek itu adalah manusia dewa amat hebat dan kepandaiannya luar biasa tinggi maka Beng Tan mengangguk dan cepat menyalin kalimat-kalimat di atas kertas putih itu, syair yang aneh, yang agaknya sudah lama dibawa Golok Maut dan dijaga secara hati-hati, terbukti kertas itu tidak lusuh atau kumal!

Bukan benang sembarang benang. Halus menawan di kiri kanan. Kalau dijaga menimbulkan senang kalau rusak menimbulkan dendam. Inilah benang yang minta perhatian!

Beng Tan tertegun. Akhirnya dia selesai menyalin isi surat itu, syair yang ganjil itu. Dan ketika Golok Maut mengulurkan lengannya dan meminta kembali maka Beng Tan menyerahkannya dan berseru mengerutkan kening, "Golok Maut, peninggalan gurumu ini aneh. Aku tak mengetahui maksudnya tapi aku sudah hafal di luar kepala!"

"Hm, akupun juga begitu. Barang peninggalan guruku adalah benda keramat bagiku, Beng Tan. Kalau bukan Sian-su yang memintanya tak mungkin kuberikan padamu!"

"Maaf, aku tahu. Tapi aku juga agaknya tak ingin mengetahui barang orang lain kalau bukan Sian-su yang menghendakinya!"

"Sudahlah," Bu-beng Sian-su berkata tenang. "Kalian tak perlu bertikai lagi, Beng Tan. Apa yang kuperintahkan adalah untuk kebaikan kalian sendiri. Berterima kasihlah bahwa Golok Maut telah berkenan meminjamkan peninggalan gurunya!"

"Ya, aku lupa," Beng Tan sadar. "Terima kasih, Golok Maut. Dan sungguh tak dapat kusembunyikan kekagumanku melihat kepandaianmu yang demikian tinggi!"

"Hm, aku tak perlu kau kagumi," Golok Maut mendengus. "Kepandaianmu juga hebat, Beng Tan. Tak perlu memuji!" lalu, membalik dan menghadapi Bu-beng Sian-su laki-laki bercaping ini bertanya, menahan suaranya yang gemetar, "Apakah Sian-su hendak menahanku di sini? Kalau tidak, bolehkah aku pergi?"

Bu-beng Sian-su menghela napas. "Golok Maut, keras sekali watakmu ini. Ah, aku tak berani menahanmu. Kalau kau ingin pergi silahkan. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu!"

"Tidak," Golok Maut tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Aku bisa hidup saat ini adalah atas pertolonganmu, Sian-su. Kalaupun ada sesuatu yang menyakitkan hatiku maka itu adalah dendamku kepada Coa-ongya dan adiknya. Justeru aku yang minta maaf karena nasihatmu belum dapat kulaksanakan!"

"Hm, baiklah. Pergilah, Golok Maut. Tapi sekarang kau akan menghadapi seorang pembela yang barangkali akan menghalangi sepak terjangmu!"

"Aku tahu, tapi aku tak takut!" dan Golok Maut yang berdiri melirik Beng Tan tiba-tiba mundur dan sekali lagi memberi hormat di depan kakek dewa itu, melangkah pergi dan akhirnya terhuyung-huyung meninggalkan dua orang ini.

Dan ketika Beng Tan mendengar desis ditahan dan tangis yang agak ditekan maka pemuda itu membelalakkan mata melihat Golok Maut lenyap di sana, meninggalkan telaga, dengan tinju terkepal! "Golok Maut, kuharap kau menyadari kekeliruanmu ini. Aku tak ingin bermusuhan denganmu, aku ingin bersahabat!"

Golok Maut tak menjawab. Tokoh bercaping ini sudah lenyap di luar pulau, menyambar perahu dan sudah meluncur ke tepian sana. Dan ketika Beng Tan tertegun dan mengerutkan keningnya maka keluhan dan rintihan anak-anak murid Hek-yan-pang yang mulai sadar menyentak pemuda ini.

"Beng Tan, kukira cukup pertemuan kita. Kau harus menolong dan mengobati wanita-wanita itu. Ingat dan kupaslah isi syair itu!"

Beng Tan terkejut. Bu-beng Sian-su tiba-tiba berkata kepadanya tapi kakek dewa itu tak ada di situ, lenyap dan sudah menghilang entah ke mana. Dan ketika Beng Tan tersentak dan tertegun maka Swi Cu, sumoi dari Wi Hong yang sadar lebih dulu tiba-tiba mengerang dan memaki-makinya, menyangka dia Golok Maut.

"Golok Maut, kau jahanam keparat. Bunuhlah kami semua dan lampiaskan dendammu itu!"

Beng Tan menoleh. Dia melihat Swi Cu bangkit duduk, memaki padanya dengan muka merah padam. Namun ketika gadis itu melihat bahwa yang dimaki bukanlah Colok Maut tiba-tiba gadis ini tertegun dan teringat bahwa itulah pemuda yang bertanding dengan lawannya, jadi adalah penolongnya.

"Ah, kau... kau siapa...?"

Golok Maut Jilid 17

GOLOK MAUT
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
ANAK MURID Hek-yan-pang kaget sekali. Golok Maut tahu-tahu telah berada di dalam gedung, entah kapan datangnya dan murid-murid yang menjaga di tepi telaga rupanya tak tahu, terbukti Golok Maut ini telah berada di situ dan menggeram-geram mencari ketua mereka. Dan ketika beberapa anak murid berseru tertahan dan menegur laki-laki bercaping itu, yang dulu pernah datang dan mengobrak-abrik sarang mereka maka Golok Maut mengibaskan lengan dan robohlah dua murid wanita yang ada di depan.

"Aku mencari pangcu kalian. Hayo suruh dia keluar dan mana si Wi Hong itu .... bres-bress!"

Dua murid wanita itu terpekik. Mereka terlempar bergulingan dan yang lain-lain terkejut, melihat Golok Maut sudah melangkah lebar memasuki gedung. Mukanya yang merah dan sikapnya yang beringas membuat anak murid Hek-yan-pang gentar, mereka sudah mengetahui kelihaian laki-laki ini dan dulu tanpa dapat dicegah lagi Golok Maut dapat pergi dan lolos begitu saja. Kini datang seperti siluman dan rupanya marah-marah kepada pangcu mereka, mencari dan menggeram-geram bagai harimau dibunuh anaknya. Namun ketika dua murid wanita itu melompat bangun dan lima yang lain terkejut dan sadar maka anak-anak murid ini segera memberi tahu dan memukul tanda bahaya, juga suitan-suitan panjang.

"Golok Maut datang. Awas, kita kedatangan musuh!"

Gemparlah perkumpulan Walet Hitam itu. Mereka tiba-tiba berhamburan dari segala penjuru dan bayangan-bayangan langsing berkelebatan dari mana-mana. Semua anak murid Hek-yan-pang keluar, dari tengah telaga juga tiba-tiba meluncur beberapa perahu begitu terdengar tanda bahaya dari dalam. Dan ketika Golok Maut terus masuk dan menanyakan ketua Hek-yan-pang itu maka Kim Nio dan Kiok Bhi, dua murid wanita yang dulu juga pernah bertanding dengan tokoh bercaping ini sudah muncul dan membentak marah.

"Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"

Golok Maut sudah diserang. Datang dan majunya Kim Nio dan Kiok Bhi ini membesarkan hati murid-murid yang lain. Maklumlah, Kim Nio atau Kiok Bhi adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi. Jadi begitu dua wanita ini menyerang dan pedang di tangan mereka sudah mendesing dan menusuk Si Golok Maut maka yang lain-lain maju membantu dan menyerang Golok Maut pula.

"Sing-singg-plakk!"

Golok Maut mendengus. Dibentak dan diserang dua murid kepala itu laki-laki ini tak mengelak. Dia mengayunkan tangannya dan terpentallah pedang di tangan Kiok Bhi dan Kim N io itu. Dan ketika yang lain-lain juga ditampar dan terpelanting ke kiri kanan maka Golok Maut maju menggeram-geram menanyakan ke tua Hek-yan-pang itu.

"Aku tak berkepentingan dengan kalian. Aku mencari Wi Hong. Suruh dia keluar atau tempat kalian akan kuobrak-abrik!"

"Keparat!" Kim Nio membentak. "Nama ketua kami pantang disebut begitu saja, Golok Maut. Dia tak ada di sini tapi kami akan membela namanya sampai mati.... singg!" pedang menusuk lagi, menyambar dan menuju punggung laki-laki itu namun tanpa menoleh Si Golok Maut ini telah menangkis, menggerakkan lengannya ke belakang dan mencelatlah pedang di tangan murid kepala Hek-yan-pang itu. Dan ketika Kim Nio terpekik dan bergulingan menyambar pedangnya maka yang lain-lain tertegun dan pucat melihat kelihaian Si Golok Maut.

"Hei, kejar dia. Jangan boleh masuk!" Kiok Bhi, yang sadar dan terpekik kaget tiba-tiba membentak temannya. Dia sendiri sudah menyerang dan maju tak kenal takut, menggerakkan pedangnya pula. Dan ketika yang lain sadar dan kaget melihat Golok Maut sudah memasuki kamar-kamar mereka, membuka dan menutup pintunya mencari-cari Wi Hong maka anak-anak murid Hek-yan-pang ini marah dan malu karena kamar-kamar mereka dibuka satu persatu oleh Golok Maut, satu-satunya lelaki yang baru kali itu melakukan hal ini di tempat mereka, sarang mereka sendiri! Maka begitu semuanya berteriak dan malu serta marah maka semuanya menerjang dan memaki Si Golok Maut itu.

"Golok Maut, kau laki-laki kurang ajar!"

"Dan kau masuk tanpa ijin. Aih, kubunuh kau, Golok Maut. Heii, jangan buka kamarku!"

Teriakan dan bentakan terdengar ramai. Semua wanita itu rata-rata merasa malu dan marah melihat kamar-kamar mereka dibuka-tutup oleh Golok Maut, yang tidak perduli dan terus mencari-cari Wi Hong, sang ketua. Dan ketika semuanya menyerang dan puluhan anak murid akhirnya menerjang maju maka Golok Maut dikeroyok dan sejenak dia harus berhenti.

"Hm, kalian harus dihajar. Kalian menyembunyikan Wi Hong!" tokoh bercaping ini membalik, marah kepada anak-anak murid Hek-yan-pang itu dan tusukan atau bacokan pedang disambut kedua tangannya. Tanpa takut atau khawatir semua pedang atau senjata tajam itu disambut, dengan tangan telanjang. Dan ketika semua pedang patah-patah dan pemiliknya berseru kaget terlempar ke sana kemari maka yang lain terbelalak dan ngeri serta gentar menyaksikan kehebatan Si Golok Maut ini, yang masih menyembunyikan senjatanya di balik punggung.

"Kalian semua mundur. Suruh Wi Hong keluar atau kalian semua kuhajar!"

Kim Nio dan kawan-kawannya mengeluh. Mereka terbanting dan pedang rata-rata tak dapat dipergunakan lagi. Kalau tidak patah ya bengkok, tak kuat ketika bertemu dengan sepasang lengan Golok Maut yang penuh tenaga sakti, jauh lebih kuat dan keras daripada senjata mereka sendiri. Dan ketika anak-anak murid dibuat mundur dan Golok Maut kembali menuju ke kamar-kamar yang ada di situ akhirnya laki-laki berca ping ini tiba di sebuah kamar yang pintunya bercat hitam.

"Jangan ke situ, hu-pangcu sedang bersamadhi!" Kiok Bhi, yang pucat dan kaget melihat Golok Maut telah tiba di depan pintu kamar ini membentak. Wanita itu menyambitkan belasan jarum-jarum merah yang menyambar ke punggung Golok Maut, Kim Nio juga melakukan hal yang sama karena pedang mereka patah-patah tak dapat dipergunakan lagi. Namun ketika Golok Maut mendengus dan menggerakkan tangannya ke belakang tiba-tiba semua jarum runtuh ke bawah.

"Plak-plak!"

Golok Maut sudah membalik lagi. Laki-laki ini bersinar matanya ketika mendengar bahwa hu-pangcu (sang wakil ketua) ada di situ, jadi dapat dimintai pertanggungjawaban dan Wi Hong harus keluar. Dan ketika dia menggerakkan tangannya membuka pintu tiba-tiba dari dalam terdengar bentakan dan suitan senjata tajam.

"Golok Maut, kau jahanam keparat!"

Golok Maut terkejut. Suara bercuit dari dalam kamar tiba-tiba disusul dengan menyambarnya sebatang pedang yang menerobos pintu, langsung terbang dan menuju perutnya. Cepatnya bukan main dan Golok Maut tak mungkin menghindar. Namun karena laki-laki ini adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi dan pedang yang menyambar dari dalam sudah menusuk dan menuju perutnya maka laki-laki ini menangkis dan pedang langsung berderak patah.

"Pletak!"

Pedang hancur di lantai. Daun pintu berlubang dan sesosok bayangan berkelebat, hampir menyamai kecepatan pedang itu sendiri. Dan ketika sebuah pukulan menyambar laki-laki ini dan Golok Maut mendengus maka laki-laki itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan bayangan itu terpental.

"Duk!"

Seorang wanita bersaputangan hitam berjungkir balik. Dari mulutnya terdengar keluhan perlahan namun wanita ini sudah melayang turun. Dan ketika dia berdiri tegak dan Golok Maut memandangnya maka wanita itu berapi-api mencabut senjatanya, sebuah pedang pendek.

"Golok Maut, kau datang tanpa aturan. Sebutkan apa maumu dan kenapa kau mengganggu Hek-yan-pang!"

"Aku mencari Wi Hong...."

"Keparat, tak sopan kau menyebut nama ketua kami, Golok Maut. Pangcu (ketua) tak ada di sini!" wanita itu, sang hu-pangcu adanya membentak, memotong dan marah karena Golok Maut menyebut nama kecil ketuanya begitu saja, hal yang tadi juga sudah membuat marah anak-anak murid yang lain. Dan ketika Golok Maut tersenyum mengejek dan tidak perduli ini maka dia berkata lagi,

"Aku mencari Wi Hong, boleh disebut kurang ajar atau tidak, terserah. Suruh dia keluar dan temui aku!"

"Dia tak ada, kau boleh percaya atau tidak! Eh, kau ada perlu apa mencari ketua kami, Golok Maut? Sikapmu seolah orang yang mau menagih hutang, padahal kaulah yang harus dicari dan ditangkap. Sebutkan keperluanmu dan kenapa kau marah-marah di sini!"

"Aku mau membunuhnya, dia membuat aku terkena kutuk!"

"Apa, kau mau membunuhnya? Keparat, kamilah yang harus membunuhmu, Golok Maut. Kau benar-benar kurang ajar dan tidak tahu diri!" dan wanita bersapu-tangan hitam ini yang tidak tahan dan sudah meledak kemarahannya tiba-tiba bergerak dan sudah menggerakkan pedangnya, menusuk dan menikam dan tujuh buah serangan sudah dilancarkannya bertubi-tubi.

Golok Maut mengegos dan mendengus, tujuh kali pula dia menghindari serangan itu, yang luput mengenai angin kosong dan tentu saja membuat sang wakil ketua Hek-yan-pang ini marah bukan main. Maka begitu dia membentak dan melengking tinggi tiba-tiba wanita itu menjejakkan kakinya dan terbang mengelilingi Golok Maut, melancarkan serangan-serangan baru dan Golok Maut pun berkelit dan tertawa mengejek, akhirnya mendapat serangan lebih ganas lagi dan terpaksa laki-laki itu menangkis. Dan ketika satu tamparan keras membuat pedang terpental miring maka hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam itu berteriak pada Kim Nio dan lain-lain agar menerjang Golok Maut, membantunya.

"Kim Nio, bunuh laki-laki ini. Maju kalian semua!"

Kim Nio dan murid-murid yang lain sudah mengangguk cepat. Datangnya hu-pangcu membuat mereka bernapas lega sejenak, dapat mengambil senjata baru dan bergeraklah wanita itu menerjang Golok Maut. Dan ketika yang lain juga maju dan membentak marah maka Golok Maut sudah dikeroyok dan mendapat hujan serangan dari mana-mana, tusukan atau bacokan pedang dan terdengarlah suara crang-cring ketika Golok Maut menangkis atau menyentil pedang anak-anak murid Hek-yan-pang, yang terpekik dan terhuyung mundur karena untuk kesekian kalinya lagi mereka melihat kehebatan Si Golok Maut ini.

Namun karena hu-pangcu sudah melengking-lengking dan hadirnya sang wakil ketua itu membangkitkan semangat semua anak murid maka Golok Maut diserang dan dikeroyok lagi, mendapat hujan serangan bertubi-tubi dan tak kurang dari dua ratus anak murid Hek-yan-pang maju. Semuanya marah dan membentak Si Golok Maut itu. Dan ketika jarum-jarum merah atau hitam juga berluncuran menyambar tubuh laki-laki ini maka Golok Maut dibuat sibuk dan harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebatan ke sana ke mari.

"Mundur kalian semua, mundur! Aku hanya mencari Wi Hong, tak berkepentingan dengan kalian!"

"Keparat, mencari ketua kami sama dengan memusuhi kami, Golok Maut. Kau makanlah pedangku dan enyahlah atau, mampus di sini!" Swi Cu, sang wakil ketua semakin meluap kemarahannya, membentak dan menyerang lawannya itu dan tusukan atau bacokan pedangnya luput semua. Sejak tadi tak ada satu pun serangannya yang mampu merobohkan Si Golok Maut itu. Lawan mengelak atau menangkis pedangnya, yang selalu terpental dan dua kali bahkan hampir mencelakai diri sendiri.

Maka begitu Golok Maut berkata yang dicari hanya Wi Hong dan mereka dianggap tak berkepentingan maka kata-kata yang bisa dianggap menghina dan memerahkan telinga ini menjadikan wanita bersaputangan hitam itu naik darah, menyerang dan terus menyerang namun sekarang Golok Maut menyambar-nyambar bagai garuda naik turun di antara semua hujan senjata yang hampir tiada hentinya, menangkis dan mengibas dan tak ada anak murid Hek-yan-pang yang kuat bertahan kalau Golok Maut mendorong. Maka ketika pertempuran menjadi seru dan Golok Maut berkali-kali berkata agar mereka semua mundur, yang tentu saja tak dihiraukan atau digubris akhirnya laki-laki ini menjadi marah dan mengancam.

"Kalian semua mundur, atau aku terpaksa menghajar dan kalian semua roboh!"

"Robohkanlah kami, bunuhlah! Kami tak takut mati, Golok Maut. Robohkanlah kami dan boleh kau bunuh kami semuanya!" sang wakil ketua menjadi kalap, berkali-kali terpental pedangnya dan ancaman Golok Maut itu tak membuatnya takut. Ancaman itu bahkan membuatnya marah dan semua anak murid Hek-yan-pang juga mengangguk. Rata-rata dari mereka berseru bahwa Golok Maut boleh membunuhnya, sikap yang membuat Golok Maut merah mukanya dan marah. Dan ketika semua yang terpelanting selalu bangkit terhuyung dan menyerang lagi, karena Golok Maut memang tidak menjatuhkan tangan keras maka lama-lama Golok Maut menjadi geram.

"Baiklah, kalian sendiri yang mencari penyakit. Jangan salahkan aku kalau kali ini aku bersikap keras!" dan Golok Maut yang membentak dan tiba-tiba berkelebatan cepat sekonyong-konyong mencabut senjatanya, Golok Maut yang ampuh itu. Dan begitu laki-laki ini mencabut goloknya dan sinar putih panjang mendesing dan menyambar ke segala penjuru tiba-tiba anak murid Hek-yan-pang berteriak kesakitan ketika jari-jari atau pergelangan tangan mereka berdarah, pecah tersambar sinar menyilaukan itu dan Swi Cu atau sumoi dari Wi Hong ini menjerit ketika pedang pendeknya putus, patah menjadi tiga dan jari tangannya sendiri juga tergurat berdarah. Dan ketika gadis atau wakil ketua Hek-yan-pang itu menjerit dan memekik kesakitan maka Golok Maut sudah menendangi mereka satu per satu dan roboh serta terkaparlah mereka semua oleh gerakan laki-laki bercaping ini yang tak dapat dilawan lagi.

"Des-des-dess!"

Swi Cu atau gadis bersaputangan hitam itu mengeluh. Dia sendiri sudah tertotok dan terlempar, khusus gadis ini Golok Maut telah melumpuhkannya dengan totokan lihai. Dan ketika semua mengaduh atau merintih maka Golok Maut sudah berhenti dan laki-laki ini tegak dengan mata mencorong.

"Nah, kalian tahu rasa. Siapa berani main-main lagi?"

"Keparat!" Swi Cu, wakil ketua Hek-yan-pang itu menangis. "Kami akan menyerangmu kalau kami dapat bergerak, Golok Maut. Kami siap mampus untuk melawanmu!"

"Hm!" Golok Maut memandang gadis ini, bersinar-sinar. "Kau tak tahu diri, Swi Cu. Kalau aku bertangan kejam tentu kau sudah kubunuh!"

"Bunuhlah, aku tak takut mati!" gadis itu malah berteriak. "Bunuhlah aku dan lihat seberapa gagah dirimu, Golok Maut. Hayo kau bunuh aku tak usah banyak bicara lagi!"

"Hm, aku tidak berkepentingan denganmu. Aku hanya berkepentingan dengan Wi Hong!"

"Keparat, kau tak usah banyak cakap, Golok Maut. Mencari suciku sama halnya mencari diriku. Hayo, cabut golokmu dan kau bunuh aku!"

Golok Maut mendengus. Melihat dan mendengar gadis ini berteriak-teriak tiba-tiba dia menggerakkan jarinya, menotok lagi urat gagu di bawah rahang gadis itu. Dan ketika hu-pangcu dari Hek-yan-pang ini melotot dan mengeluarkan suara aneh maka dia tak dapat berteriak-teriak lagi kecuali hanya mendelik!

"Nah, sekarang aku tak dapat dihalangi. Kalian semua di sini dan biar aku melanjutkan pencarianku!" Golok Maut memutar tubuhnya, mendengus dan tidak memperdulikan siapa pun lag i dan terbelalaklah anak-anak murid Hek-yan-pang melihat laki-laki itu berkelebat ke belakang. Dan ketika satu per satu semua kamar-kamar atau ruangan yang ada di belakang dibuka dan dikuak pintunya maka murid-murid Hek-yan-pang ini pucat sementara Swi Cu atau sumoi dari Wi Hong itu ah-uh-ah-uh dengan mata terbelaisk lebar-lebar, melihat Golok Maut akhirnya tiba diujung paling belakang dan membuka pintu atau ruangan terakhir itu, yang ditutup dengan sepasang pintu besi dengan sebuah jendela kecil yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai tempat mengeluar-masukkan makanan, karena kamar atau ruangan itu bukan lain adalah tempat di mana Ci Fang atau putera pangeran Ci ditahan. Dan begitu pintu ini dibuka dan Golok Maut menariknya kuat maka meloncatlah seorang pemuda yang langsung berteriak menubruk Golok Maut.

"Hei, kau Golok Maut terkutuk!"

Golok Maut terkejut. Sudah menduga bahwa di dalam sini pasti ada orangnya tiba-tiba Golok Maut mengegos. Teriakan atau serangan pemuda itu tentu saja dikelitnya mudah, Dan ketika pemuda itu, yang bukan lain Ci Fang adanya menubruk dan menyerang lagi maka satu tendangan dari Golok Maut membuat pemuda itu mengaduh dan terbanting tak dapat bergerak lagi, menggeliat mendekap perutnya.

"Bluk!"

Ci Fang memaki-maki. Sebagaimana diketahui putera Ci-ongya ini adalah pemuda yang pemberani. Nyalinya besar dan semangatnya pun tinggi. Dia sudah mendengar ribut-ribut itu dan terkejut bahwa yang datang adalah Si Golok Maut, tokoh yang dulu mencarinya tapi entah kenapa tiba-tiba meninggalkannya, pergi dari Hek-yan-pang setelah bertanding dengan ketua Walet Hitam itu. Maka ketika kini Golok Maut datang lagi dan berkali-kali suaranya menyebut nama Wi Hong, sang ketua yang tak ada di situ maka Ci Fang kebat-kebit tapi berhasil menindas rasa takutnya, mendengarkan semua pertempuran itu di mana akhirnya semua anak murid Hek-yan-pang rupanya kalah, terbukti tak ada suara lagi kecuali keluhan dan erangan, rintih kesakitan dari murid-murid Hek-yan-pang yang roboh di tangan Si Golok Maut ini.

Dan ketika suara pertempuran berhenti dan Golok Maut akhirnya membuka sisa-sisa kamar yang ada di mana akhirnya kamar atau ruang tahanannya dibuka tiba-tiba Ci Fang berteriak dan sudah menyerang Golok Maut itu, yang celakanya memang bukan tandingannya dan dengan satu tendangan telak tiba-tiba pemuda ini terlempar, mengaduh mendekap perutnya yang mulas. Dan ketika Ci Fang merintih namun mulut memaki-maki maka Golok Maut berkelebat dan sinar matanya yang mencorong tiba-tiba menjadi beringas setelah mengenal siapa kiranya pemuda ini, putera Ci-ongya yang kebetulan paling dibencinya!

"Hm, kau?" suara atau dengusan itu cukup mendirikan bulu roma. "Bagus sekali, orang she Ci. Kalau begitu kebetulan aku menemukanmu di sini. Berdirilah!" Ci Fang ditarik, leher bajunya disentak dan pemuda itu mengaduh-aduh tak keruan. Jari Golok Maut yang sekeras baja menjepit lehernya, tidak hanya keras tetapi juga panas, seperti api! Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak tapi Golok Maut tentu saja tidak melepaskan jepitannya, bahkan semakin mengeraskan jari maka Ci Fang menjerit ketika kulit lehernya melepuh.

"Aduh, lepaskan aku, Golok Maut. Jahanam keparat kau!"

"Hm, aku tak akan melepaskanmu. Bahkan aku akan membunuhmu!" suara Golok Maut terdengar dingin menyeramkan. "Kau bocah yang amat kubenci, orang she Ci. Kau dan bapakmu akan menerima hukuman seberat-beratnya dariku!"

"Aduh, keparat kau... keparat!"

Golok Maut tersenyum buas. Dia menekan kulit leher pemuda itu hingga tiba-tiba leher tawanannya ini terbakar. Ci Fang berteriak-teriak tak kuat ketika rasa panas dan sakit menjadi satu, rasanya melebihi dibakar karena bercampur seperti ditusuk-tusuk. Apa yang dilakukan Golok Maut sungguh tak tertahankan. Tapi ketika Golok Maut tertawa dan menyeringai keji tiba-tiba pemuda ini memberontak dan menendang.

"Des-dess!"

Ci Fang malah menjerit. Perut Golok Maut yang ditendang tiba-tiba rasanya sekeras batu, dia seakan menendang bongkahan batu dan kaki pemuda itu berkeratak, keseleo! Dan ketika Ci Fang malah mengerang tak keruan sementara Golok Maut semakin beringas dan buas tiba-tiba laki-laki bercaping itu menotok pemuda ini dan melemparnya ke tengah-tengah murid-murid Hek-yan-pang yang terbelalak menonton semuanya itu, pucat.

"Kau akan segera kubunuh. Tapi karena kau berani menendangku dua kali maka kakimu harus kukutungi. Heh, diam di situ dulu, bocah she Ci. Kucari sesuatu yang nikmat untukmu!" Golok Maut membanting pemuda ini, berkelebat dan menghilang sejenak tapi sudah muncul lagi. Dan ketika di tangannya terdapat sebongkah daun kering di mana dari dalam daun ini tiba-tiba muncul ratusan atau ribuan semut api maka Ci Fang terbelalak dan pucat bukan main, akhirnya bagaima-napun juga dia takut!

"Kau... kau mau apa?"

"Ha-ha, melampiaskan dendamku!" Golok Maut tertawa bengelak, baru kali ini terdengar tawanya yang begitu gembira. "Aku akan menyuruh semut-semut ini mengeroyok tubuhmu, bocah. Dan ketika kau menjerit-jerit maka kuoleskan minyak ini agar semut-semut itu menggigiti tubuhmu semakin beringas!"

"Minyak katak!" Ci Fang terkejut, berteriak tertahan. "Kau... kau keji, Golok Maut. Kau tak berperikemanusiaan! Kau .... oh, kau bunuhlah aku. Jangan siksa aku seperti itu!" dan Ci Fang yang rupanya mengenal dan melotot melihat cairan di tangan Golok Maut tiba-tiba membuat anak-anak murid Hek-yan-pang meremang dan berdiri bulu kuduknya, ngeri dan gentar melihat mata Golok Maut yang bersinar-sinar penuh dendam, mata yang seperti iblis karena merah dan terbakar, sungguh semakin mengerikan dengan botol di tangan kirinya itu, minyak katak yang akan membuat semut-semut api beringas dan jahat menggigiti tubuh Ci Fang karena minyak katak adalah musuh yang paling dibenci semut api, karena katak suka memangsa mereka dan semut api menganggap katak adalah musuh bebuyutannya!

Maka begitu Golok Maut memperlihatkan minyak kataknya ini dan sorot bengis serta kejam memancar dari matanya yang merah maka Ci Fang berkaok-kaok dan gentar serta takut. Tapi, siapa yang akan menolongnya? Golok Maut sudah begitu benci kepadanya, seperti juga semut-semut api itu yang begitu benci kepada minyak katak. Dan ketika semut-semut itu dilempar ke tubuh Ci Fang dan pemuda itu berteriak serta menjerit keras maka siksaan pertama sudah dimulai dan anak-anak murid Hek-yan-pang terbelalak dan ngeri mukanya.

"Tidak... jangan, aduh?"

Ci Fang sudah bergulingan dengan muka pias. Pemuda ini dapat menggulingkan tubuhnya namun sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tertotok dan oleh Golok Maut rupanya sengaja dibuat begitu, bisa menggulingkan tubuh namun tak dapat menggerakkan kaki tangan. Dan begitu pemuda ini bergulingan namun hal itu justeru membuat semut-semut marah karena tubuh mereka tergilas maka semut-semut api sudah menyerbu dan semakin ganas menggigiti tubuh pemuda ini. Ci Fang berteriak-teriak dan sebentar saja kaki atau tangannya merah-merah, punggung dan lipatan ketiaknya bengkak digigiti semut-semut ini di mana Ci Fang mengaduh-aduh sambil memaki lawannya.

Namun ketika semut menyerang semakin ganas dan Golok Maut tertawa mengoles minyak katak ke tubuh pemuda itu maka putera Ci-ongya ini menjerit dan histeris, menggulingkan tubuhnya ke sana-sini dan siksaan pemuda itu luar biasa sekali. Sekujur tubuhnya merah bengkak-bengkak namun yang paling tak tertahankan adalah rasa sakit serta gatal yang hampir tak dapat dikuasai. Ci Fang seakan orang gila yang bergulingan menjerit-jerit, semut-semut api masih tetap banyak karena Golok Maut mengambil lagi yang baru, kalau yang lama terinjak mati atau tergilas tubuh pemuda itu. Dan ketika pemuda ini hampir tak kuat lagi dan Golok Maut terbahak-bahak melihat penderitaan korbannya maka Golok Maut berkelebat dan sinar putih panjang menyambar baju Ci Fang.

"Bocah, rasakan lagi yang lebih hebat. Kubuka bajumu.... bret!"

Ci Fang meraung, bajunya robek terkuak dan berturut-turut lagi Golok Maut menggerakkan senjatanya. Tiga kali laki-laki itu menyontek dan hampir telanjanglah Ci Fang dibabat pakaiannya, tentu saja berteriak dan menjerit karena tubuh yang tidak terlindung pakaian lagi merupakan sasaran empuk dari gigitan semut-semut ganas itu. Namun ketika pemuda itu hampir pingsan dan Golok Maut berseru untuk memenggal kepala lawannya, yang sudah merintih dan tak kuat lagi tiba-tiba sinar golok yang melengkung bertemu dengan secercah cahaya putih yang berkelebat datang.

"Golok Maut, tahan kekejamanmu.... crangg!" sesosok bayangan berkelebat, muncul menangkis sambaran golok di tangan Si Golok Maut dan berdirilah di situ seorang pemuda berbaju putih. Golok Maut dan anak-anak murid Hek-yan-pang terkejut melihat datangnya pemuda ini, yang membentak dan menahan serangan golok, di mana golok terpental sementara pedang di tangan pemuda itu, yang bersinar putih dan keperakan tampak bergetar di tangan, tidak rusak apalagi putus, tanda bahwa pedang di tangan pemuda itu adalah senjata ampuh yang setanding dengan Golok Maut, Golok Penghisap Darah! Dan ketika Golok Maut tertegun sementara pemuda baju putih itu menggigil dan menghadapi lawannya dengan marah maka Ci Fang di sana sudah roboh pingsan dan pemuda atau bayangan yang baru datang ini berseru, gemetar,

"Golok Maut, kau kejam. Watakmu telengas sekali. Hentikan semuanya itu dan jangan bunuh pemuda ini!"

"Hm, kau kiranya?" Golok Maut tertegun, mundur selangkah. "Aku berhutang kebaikan padamu, orang she Ju. Tapi jangan sewenang-wenang mencampuri urusanku ini. Pergilah, dan kuharap kita tidak mengganggu yang lain!"

"Tidak! Kau, ah..." pemuda ini, yang bukan lain Beng Tan adanya menggoyang tangan, menggigil. "Kau terlalu kejam, Golok Maut. Kau terlalu keji dan tidak berperasaan! Kau menyiksa dulu sebelum membunuh! Ah, aku tak dapat membiarkan ini dan terpaksa menghadapimu!" lalu, melihat Golok Maut tergetar dan mengerutkan keningnya, tanda terkejut, Beng Tan sudah maju selangkah menudingkan pedangnya, yang bukan lain adalah Pek-jit-kiam, Pedang Matahari. "Golok Maut, maaf tak dapat kubiarkan sepak terjangmu ini. Aku penasaran, aku muak. Kuharap kau mau pergi dan biarkan pemuda ini bersamaku!"

"Hm, kau mau memaksa? Mengandalkan budimu dulu?"

"Tidak, aku tak merasa menanam budi, Golok Maut. Tak usah kau bicara tentang itu. Aku hanya bicara tentang kekejamanmu, sekarang ini. Kalau kau menghargai aku dan mau memberikan pemuda itu kepadaku maka aku berterima kasih sekali!"

"Hm, dia musuhku. Putera Ci-ongya!"

"Aku tahu. Tapi kuminta kau tidak membunuhnya, Golok Maut. Ci-ongya adalah satu di antara orang-orang yang harus kulindungi!"

"Hm, kau apanya?"

"Bukan apa-apa, tapi tak dapat kubiarkan sepak terjangmu yang ganas ini!"

"Hm, aku masih teringat budi kebaikanmu, orang she Ju. Maaf kalau kukatakan bahwa salah-salah aku bisa melupakan kebaikanmu itu kalau kau menentang Bocah ini milikku, kuminta dengan hormat sukalah kau meninggalkan tempat ini dan aku kelak akan menemuimu untuk minta maaf!"

"Tak bisa. Aku datang untuk mencegah keganasanmu, Golok Maut. Justeru aku yang minta agar kau pergilah baik-baik dan berikan pemuda itu kepadaku. Aku yang lain kali akan mencarimu dan minta maaf!"

"Hm, kau nekat?"

"Kalau kau bersikeras, Golok Maut. Kukira tak ada yang mampu menghalangi niatku kalau kau hendak membunuh pemuda itu!"

"Kalau begitu rupanya kita harus bertanding lagi. Baikleh, maaf, orang she Ju. Aku melupakan kebaikanmu karena kau yang nekat. Awas!" dan Golok Maut yang berkelebat melepas pukulan tiba-tiba membentak dan menyerang lawannya itu, satu pukulan miring yang cepat luar biasa, bersinar keemasan dan lawan tentu saja tak mau dipukul. Karena begitu Golok Maut selesai bicara dan pukulan itu meluncur tiba-tiba Beng Tan menggerakkan tangannya dan satu pukulan putih menyambut pukulan emas itu.

"Dess!"

Anak murid Hek-yan-pang terpental. Mereka terpekik ketika dua pukulan itu bertemu, demikian kerasnya hingga Ci Fang yang pingsan pun terlempar, berdebuk dan jatuh terbanting di tanah. Dan ketika Swi Cu juga mengeluh karena dalam keadaan tertotok gadis baju hitam ini terpental oleh getaran tanah yang keras maka Golok Maut sudah menggeram dan menyimpan senjatanya, maju berkelebatan dengan pukulan-pukulan emas dan Kim-kong-ciang atau Pukulan Sinar Emas itu menyambar-nyambar ke tubuh lawan.

Beng Tan mengimbangi dengan pukulan-pukulan sinar putihnya, yang bukan lain Pek-lui-kang adanya dan sinar putih atau emas ini saling beradu, berdentum dan keduanya pun terlempar. Dan ketika Beng Tan juga menyimpan pedangnya dan berjungkir balik melayani lawan, yang sudah menggeram dan ganas menyambar-nyambar maka dua pemuda itu sudah saling serang-menyerang dengan tak kalah hebatnya, pukul-memukul dan ledakan-ledakan atau dentuman-dentuman bagai gunung berguguran membuat anak-anak murid Hek-yang-pang ngeri. Mereka itu terpekik dan beberapa di antaranya beringsut mundur, yang tertotok dan tak dapat bergerak tentu saja tak dapat menyingkir. Dan ketika dua pukulan itu kembali beradu dan sinar putih atau kuning menjadi satu maka gelegaran dahsyat mengguncang tempat itu disusul muncratnya bunga api dari dua tenaga panas yang sama-sama bertemu.

"Blarr!"

Semua orang mengeluh. Mereka terlempar dan terpental tinggi. Semua anak-anak murid Hek-yan-pang terpekik karena suara beradunya pukulan amatlah dahsyat. Telinga mereka serasa pecah! Dan ketika mereka mengaduh atau merintih terbanting di tanah maka di Sana Golok Maut dan Beng Tan sudah berkelebatan kembali dengan pukulan-pukulan mereka, sambar-menyambar dan Swi Cu tertegun melihat jalannya pertandingan yang semakin hebat, seru dan mendebarkan karena masing-masing sudah mulai menambah kekuatannya, juga kecepatan hingga akhirnya dua orang yang bertanding itu lenyap.

Baik Golok Maut maupun Beng Tan hanya merupakan bayangan putih dan hitam sesuai baju yang mereka pakai, berkelebatan dengan luar biasa cepatnya sementara pukulan-pukulan emas atau Kim-kong-ciang yang dilancarkan Golok Maut semakin menderu, dahsyat menghantam namun pukulan putih di tangan lawannya juga bertambah berkilauan, meledak-ledak dan menahan atau mengimbangi pukulan di tangan Si Golok Maut itu.

Dan ketika geraman-geraman atau benturan suara pukulan sudah tak kuat ditahan anak-anak murid yang bergelimpangan di situ maka wanita-wanita perkumpulan Walet Hitam ini pingsan dan lebih dari separoh sudah tak tahu jalannya pertandingan itu. Tak melihat betapa dua orang itu semakin dahsyat bertempur dan rasa penasaran yang hebat semakin menghuni dada mereka.

Beng Tan sendiri mulai tak dapat menahan emosinya karena berkali-kali Golok Maut tak dapat dibujuk, marah dan terus menyerangnya hingga iapun menjadi naik darah dan gusar. Dan ketika pertandingan menjadi semakin memuncak dan pukulan-pukulan mereka juga bertambah cepat dan kuat maka satu benturan lagi akhirnya membuat Swi Cu yang paling tinggi kepandaiannya di antara semua anak-anak murid Walet Hitam menjerit ketika dentuman atau benturan Kim-kong-ciang dan Pek-lui-ciang serasa meruntuhkan langit.

"Dess!"

Amatlah dahsyat suara benturan ini. Golok Maut terlempar sementara Beng Tan juga terguling-guling, muntah darah dan keduanya mengeluh. Baik Golok Maut maupun pemuda baju putih itu sama-sama terluka, keduanya sesak napas dan mendekap dada di sana. Tapi ketika mereka meloncat bangun dan terhuyung di sana, melotot, maka Golok Maut tertawa aneh mengusap darah yang membasahi mulutnya.

"Orang she Ju, kau hebat. Cabutlah pedangmu dan mari kita tentukan pertarungan ini dengan senjata!"

"Tidak," Beng Tan gemetar, menggigil. "Dua senjata kita bakal lengket dan tak mau dipisah lagi, Golok Maut. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, aku tetap bertangan kosong!"

"Kau ingin mampus? Kau tak ingin membunuhku?"

"Aku tak bermaksud membunuhmu, Golok Maut. Aku hanya menghalangi dan mencegah perbuatanmu membunuh putera Ci-ongya!"

"Tapi dia musuhku, kau tahu!"

"Tidak, musuhmu adalah dendam, Golok Maut. Kau terbakar dan mabok dalam nafsumu yang gila. Kau tidak waras!"

"Kau memakiku?"

"Kau memang gila, gila dan terganggu jiwamu. Ayolah, cabut golokmu dan kau bunuh aku kalau ingin!" Beng Tan menantang, marah berseru pada lawannya dan Golok Maut menggeram.

Mereka sebenarnya dapat bertanding dengan senjata, sudah berulang-ulang Golok Maut meminta namun Beng Tan menolak. Dan karena Golok Maut tak mau mempergunakan senjatanya kalau lawan juga tak mau mencabut pedangnya maka selama itu pula Golok Maut menahan diri dan tak mau mencabut goloknya. Tapi begitu lawan menantang dan makian itu serasa menusuk jiwa, karena dia dikatakan gila dan tidak waras tiba-tiba Golok Maut membentak dan tak dapat menahan diri.

"Orang she Ju, kau bermulut pedas. Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku benar-benar ingin membunuhmu.... srat!" sinar putih menyilaukan mata, tanda dicabutnya sebuah senjata ampuh dan Golok Maut sudah membentak meloncat ke arah lawannya itu. Dia sudah tak memperdulikan sikap lawannya yang dianggap memanaskan telinga, mengharap lawan mencabut senjata kalau golok menyambar. Tapi ketika sinar golok berkelebat dan cahaya putih panjang itu tak disambut Pek-jit-kiam melainkan sepasang tangan Beng Tan yang bergerak memapak sinar golok di tangan Si Golok Maut maka tokoh ini terkejut dan berteriak keras.

"Sing-bret!"

Beng Tan terpelanting mengeluh. Pemuda ini benar-benar menepati kata-katanya, tak mau mencabut senjata dan membiarkan saja golok di tangan Si Golok Maut menyambar, menuju kepalanya tapi pada detik-detik yang amat mengguncangkan itu Golok Maut tersentak, menggerakkan senjatanya ke atas dan bukan leher lawannya yang terbabat melainkan segumpal rambut hitam yang putus disambar golok di tangan Si Golok Maut ini. Dan ketika Beng Tan mengeluh di sana tapi bergulingan meloncat bangun maka Golok Maut menggigil menahan senjatanya.

"Beng Tan, kau pengecut. Jahanam! Kau hampir membiarkan aku menjadi pembunuh yang tidak adil!"

"Biarlah, sesukamu," Beng Tan terhuyung menjawab, rambutnya terpapas seikal lebih. "Kau boleh bunuh aku kalau bisa, Golok Maut. Aku pribadi tak ingin membunuhmu tapi kau boleh lampiaskan dendammu kepadaku!"

"Keparat, kau.... kau... ah!" dan Golok Maut yang membentak menyimpan goloknya tiba-tiba menerjang dan melepas Kim kong-ciang, ditangkis dan segera keduanya bertanding lagi.

Beng Tan tertawa aneh namun diam-diam memuji bahwa di balik keganasan dan kekejamannya terhadap musuh-musuh yang dibenci ternyata Si Golok Maut ini masih memiliki sifat ksatria, gagah dan tak mau membunuhnya ketika tadi golok sudah siap menyambar lehernya. Dan karena Beng Tan semakin yakin bahwa lawan yang dihadapi ini sedang sakit dan terganggu jiwanya maka dia mengelak dan menyambut Kim-kong-ciang dengan Pek-lui-ciangnya, tahu bahwa dia dapat menghadapi lawannya itu tapi tak mungkin dapat mengalahkan. Kepandaian mereka ternyata berimbang dan tentu saja hal ini juga diketahui Golok Maut, yang gemas dan geram kepada lawannya itu.

Dan ketika Beng Tan kembali menyambut pukulan-pukulannya sementara tenaga kian terkuras dan masing-masing gemetaran menggigil maka pertandingan dilanjutkan lagi dan Golok Maut mau tak mau harus menyimpan senjatanya, golok yang ampuh itu karena lawan tak mau mencabut Pedang Mataharinya, senjata yang juga luar biasa tajam dan keampuhannya jelas tak kalah dengan Golok Maut, atau Golok Penghisap Darah itu. Dan karena Beng Tan berhasil memaksa lawannya untuk sama-sama tidak mencabut senjata, karena Beng Tan ngeri akan akibat dari dua senjata mereka yang sama-sama hebat maka pertandingan berjalan lagi dengan sengit namun sudah agak lambat, berkurang kecepatan maupun tenaganya tapi bukan berarti bahwa semangat yang bertempur mengendor.

Dua pemuda itu sama-sama tak mau kalah dan mereka mencoba bertahan sekuat-kuatnya, kalau bisa merobohkan yang lain untuk mencapai kemenangan. Tapi karena Kim-kong-ciang maupun Pek-lui-ciang sama-sama tangguh dan sinkang atau tenaga sakti mereka juga berimbang maka pertempuran menjadi lama dan Golok Maut maupun Beng Tan mulai mengeluh karena mereka mulai kehabisan tenaga, seperti pelita yang mulai kehabisan minyak!

"Beng Tan, kau pengecut. Kau licik. Kau takut melihat darah! Ah, cabut pedangmu itu dan mari kita lihat siapa yang terbunuh dan keluar sebagai pemenang!"

"Hm, aku tak haus darah. Kalau kau memaksaku untuk mencabut Pek-jit-kiam maka kau tak akan berhasil, Golok Maut. Tapi kalau kau ingin memperoleh kemenangan silahkan cabut golokmu itu, bunuh aku!"

"Aku tak mau membunuh lawan yang tak bersenjata. Aku ingin membunuhmu kalau kau juga mencabut pedangmu!"

"Aku tak ingin diperintah. Kalau kau ingin mencabut senjatamu silahkan, tapi aku tak akan mencabut pedangku!"

Dan ketika Golok Maut marah-marah namun tak berani mencabut goloknya, hal yang menunjukkan kegagahan tokoh yang ganas ini maka keduanya sudah mulai jatuh bangun terkena pukulan-pukulan sendiri, bahkan Golok Maut terpeleset sekali ketika tendangan lemah luput mengenai lawan, terhuyung oleh dorongan tenaga sendiri dan jatuh. Namun ketika dia bangun lagi dan Beng Tan di sana juga gemetar terbawa pukulannya yang meleset maka keduanya bertanding dengan muka pucat namun semangat tetap tinggi!

"Golok Maut, kau hebat. Sayang bahwa kepandaianmu yang sedemikian tinggi kau pergunakan untuk membunuh-bunuhi orang!" Beng Tan kagum, berseru memuji tapi lawan mendengus.

"Tak usah banyak bicara," lawannya ini menjawab. "Kau juga hebat tapi sayang memusuhiku, Beng Tan. Kalau kau antek Ci-ongya tentu kau kubunuh!"

"Aku bukan antek siapapun, aku pembela kebenaran!"

"Huh!" dan Golok Maut yang menyerang lagi dengan marah lalu melepas pukulan Kim-kong-ciang dalam jurus Pukulan Emas Menghantam Guntur. Satu pukulan dahsyat di mana kali ini Golok Maut mengerahkan segenap tenaganya. Tokoh bercaping ini marah karena mereka belum ada yang roboh, dia ingin membuat penentuan dan dilepaskannya jurus yang dahsyat itu. Dan ketika kedua lengannya mendorong dan Beng Tan melihat gerakan lambat namun bertenaga menyambar dirinya maka pemuda ini mengelak namun pukulan itu mengejar.

"Dess!"

Beng Tan terkejut. Kim-kong-to-lui atau Sinar Emas Menghantam Guntur tahu-tahu tak dapat dikelit lagi, kedua lengan Golok Maut sudah mengurungnya dengan hawa pukulan dahsyat itu, Beng Tan tak dapat keluar. Dan karena pukulan ini harus disambut dan apa boleh buat Beng Tan harus menggerakkan kedua lengannya pula maka dua pasang lengan beradu dan Beng Tan tersentak ketika Golok Maut mengerahkan tenaga menghisap dan menyedot.

"Aih!" pemuda ini pucat. "Kau mau mengadu jiwa, Golok Maut. Lepaskan!"

Namun Golok Maut tertawa dingin. Pukulan lambatnya yang sudah menyambar dan mengurung Beng Tan dari segala penjuru memang tak mungkin dikelit pemuda itu kecuali ditangkis. Lawan sudah dipaksa untuk menerima pukulannya ini dan Beng Tan terkesiap. Dan ketika ia harus menangkis tapi pada saat itu pula gerakan mendorong sudah diganti dengan tenaga menghisap atau menyedot maka kedua lengan Beng Tan melekat dan menempel pada sepasang lengan lawannya ini.

"Crep!"

Beng Tan terbelalak. Tenaga menghisap berobah lagi menjadi tenaga mendorong, panas membakar dan Golok Maut tiba-tiba berdiri dengan satu kaki. Itulah Kim-kee-kang atau Tenaga Ayam Emas yang digabung dengan Kim-kong-ciang (Pukulan Sinar Emas). Dan ketika dari sepasang lengan Golok Maut keluar sepasang hawa panas yang agak berbeda namun kedua-duanya amat berbahaya karena lengah sedikit lawan bisa hancur atau hangus terbakar maka Beng Tan berteriak tinggi membentak lawannya itu, secepat kilat mengerahkan tenaga yang sama untuk menolak atau mendorong, akibatnya terdengar suara menggelegar dan dua pemuda itu bergoyang. Dengan bentakan atau teriakannya tadi Beng Tan bermaksud melepaskan diri. Tapi ketika kesepuluh jarinya dicengkeram atau diremas lawan dan Golok Maut tak mau melepaskan lawan maka Beng Tan kaget bukan main karena Golok Maut benar-benar hendak mengadu jiwa, ingin satu di antara mereka benar-benar roboh!

"Golok Maut, kau... kau ganas! Kau berdarah pembunuh!"

"Hm, pertandingan ini harus diselesaikan. Aku tak ingin kau menghalangiku lagi, Beng Tan. Kau atau aku yang roboh!"

"Tapi aku tak ingin membunuhmu, aku hanya bersifat mencegah!"

"Dan aku tak suka itu. Kau atau aku yang roboh. Jangan banyak bicara!" dan Golok Maut yang sudah mengerahkan tenaga untuk mendorong dan menghancurkan lawan tiba-tiba membuat Beng Tan mengeluh karena Golok Maut benar-benar tak mau melepaskan dirinya. Kesepuluh jari mereka yang saling cengkeram dan remas akhirnya apa boleh buat dibalas pemuda baju putih ini.

Beng Tan tak mau mati konyol dan pemuda itu terbelalak memandang lawan. Kekerasan hati dan keganasan Golok Maut sungguh mendirikan bulu roma. Watak dan sifat ini membuat Beng Tan ngeri, sekaligus juga marah! Maka begitu lawan menyudutkannya sedemikian rupa dan mereka kini tak dapat bergerak karena sudah cengkeram-mencengkeram dengan tubuh tak bergeming maka keduanya sudah saling dorong-mendorong dengan tenaga yang kian hebat. Sebentar Beng Tan terdorong ke belakang tapi sebentar kemudian Golok Maut yang terangkat kepalanya.

Dua pemuda itu dorong-mendorong dan Beng Tan tiba-tiba tertegun. Saling cengkeram dan remas dalam jarak yang sedemikian dekat akhirnya membuat pemuda ini melihat jelas wajah lawannya, wajah yang tampan namun dingin. Wajah yang gagah namun seolah beku, seperti es yang tidak tergerak oleh badai atau angin ribut. Dan karena caping itu kian terangkat naik ketika Golok Maut yang terdorong mundur maka Beng Tan jadi bengong dan lupa ketika wajah yang tampan gagah itu agak menyeringai.

"Golok Maut, kau tampan. Sayang dingin!"

Wajah Golok Maut memerah. Dalam adu sinkang jarak dekat begini memang mau tak mau wajahnya di balik caping kelihatan jelas. Golok Maut menggeram namun dia tidak menjawab. Beng Tan yang bicara tiba-tiba didorong, terkejut karena sedikit bicara itu telah mengurangi tenaganya, menerima sebuah dorongan dahsyat Golok Maut yang sudah terdorong setengah tindak tiba-tiba dapat memperbaiki diri, balas mendorong dan Beng Tan hampir mencelat!

Dan ketika pemuda ini berseru keras dan sadar bahwa bahaya mengancam dirinya maka pemuda itu membentak dan cepat mengempos semangatnya lagi, bertahan namun sedikit kelengahan tadi telah dipergunakan lawan sebaik-baiknya. Golok Maut memasuki kesempatan itu dan tidak memberi ampun, mendesak dan menambah tenaganya lagi hingga Beng Tan kewalahan. Dan ketika pemuda itu pucat dan menggigit bibirnya kuat-kuat maka Beng Tan terbatuk dua kali dan muntah darah.

"Huak!"

Golok Maut ganti tertegun. Darah lawan menyemprot mengenai bajunya, langsung memerah dan wajah Beng Tan yang kesakitan membuat Golok Maut yang dingin ini sedikit lumer. Kebaikan Beng Tan yang pernah mengalah kepadanya ketika pertempuran dulu tiba-tiba mengganggu hatinya, tergetar dan sedikit kerut di wajah yang tampan dingin itu mengendor. Golok Maut tertegun dan otomatis tenaganya berkurang sejenak, hal yang dirasa Beng Tan. Dan karena pemuda ini merasakan itu dan tentu saja ganti tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendadak Beng Tan rnendorong dan membentak menyerang lawan, secepat kilat.

"Augh!" Golok Maut terkejut. Lengahnya sekejap yang sudah dimasuki Beng Tan membuat tokoh bercaping ini mengeluh. Dalam adu sinkang seperti itu tak boleh pikiran diganggu oleh perasaan yang bermacam-macam. Golok Maut telah melakukan kesalahan yang sama seperti yang tadi dilakukan Beng Tan. Maka begitu Beng Tan membalas dan mengerahkan segenap tenaganya maka Golok Maut terdorong dan ganti melontakkan darah segar.

"Huak!"

Beng Tan mengeraskan hati. Pemuda ini memejamkan mata melihat wajah lawan yang kesakitan. Bajunya tersembur lontakan darah namun Beng Tan tak perduli. Dia melihat Golok Maut benar-benar hendak membunuhnya dan tentu saja dia marah. Dan karena dia sudah terluka sementara Golok Maut juga menyemburkan darah seperti dia sendiri, berarti masing-masing sama terluka dan kemenangan harus diperoleh dalam saat yang begitu menentukan maka Beng Tan tak mau mengalah lagi dan cepat memejamkan mata sambil mengerahkan segenap tenaganya.

"Golok Maut, maaf. Aku agaknya terpaksa mengakhiri hidupmu!"

"Tak apa," Golok Maut gemetar, menjawab menggigil. "Lebih baik mati begini daripada tak dapat memenuhi sumpah, Beng Tan. Kau bunuhlah aku tapi aku juga akan berusaha membunuhmu!"

"Hmm!" dan Beng Tan yang tak mau bicara lagi mengempos sisa-sisa tenaganya lalu berhasil mendesak dan membuat Golok Maut terhuyung, mundur lagi selangkah namun hebat laki-laki bercaping itu.

Golok Maut tetap bertahan dan sampai di sini Beng Tan tak berhasil mendesak lagi, lawan mati-matian mengerahkan segenap tenaganya pula dan tiba-tiba sepasang kaki Golok Maut melesak, Beng Tan juga tertanam namun Golok Maut lebih dalam, tanda bahwa Golok Maut berada di posisi tertekan dan terdesak, bertahan tapi Beng Tan menambah tenaganya lagi. Dan ketika Golok Maut menggigil dan Beng Tan juga gemetaran keras tiba-tiba dua pemuda itu sama-sama terpukul oleh dorongan tenaga lawan, muntah darah dan Beng Tan pucat mukanya.

Golok Maut semakin bergoyang tapi lutut Beng Tan juga menggigil. Sebentar lagi mereka akan roboh dengan Golok Maut terkena resiko lebih besar, kematian bisa membayangi tokoh bercaping itu tapi Beng Tan bisa cacad seumur hidup, karena dadanya sudah mulai terbakar dan amat panas dari dalam. Tapi ketika kaki keduanya melesak semakin dalam dan Golok Maut hampir tak kuat tiba-tiba terdengar seruan perlahan dan sesosok bayangan berkelebat.

"Thian Yang Maha Agung, apa yang kalian lakukan, anak-anak? Aih, berhenti, Beng Tan. Berhenti, Golok Maut. Lepaskan tangan kalian dan jangan bertanding lagi.... plak-plak!"

Golok Maut dan Beng Tan terpental, tangan mereka tiba-tiba terlepas dan seorang kakek berwajah halimun muncul di situ. Entah kapan datangnya kakek ini tak ada yang mengetahui. Beng Tan dan Golok Maut tahu-tahu merasa tangan mereka direnggangkan, diusap jari-jari yang halus namun kuat bertenaga dan mereka tak sanggup melawan itu. Keduanya terkejut dan seketika terlepas, terlempar dan masing-masing daya pukul menghantam ke depan. Tapi ketika kakek itu mengebut dan Beng Tan maupun Golok Maut dikibas ke kanan kiri tiba-tiba dua pemuda itu sudah terbanting dan terguling-guling di sana.

"Augh... bres-bress!"

Golok Maut dan Beng Tan berseru tertahan, kaget namun girang karena dua tangan mereka sudah terlepas satu sama lain, terlepas dari ancaman maut atau cacad yang sama-sama bakal berakibat buruk. Golok Maut maupun Beng Tan sesungguhnya tak akan menikmati kemenangan itu dengan utuh, yang satu akan tewas sedang yang lain bakal menjadi manusia invalid, karena dada Beng Tan yang terbakar dari dalam bisa mengakibatkan sebuah paru-parunya hancur, yang tentu saja tak kalah buruk dengan maut sendiri.

Maka begitu seseorang memisah pertandingan mereka dan adu sinkang mati hidup itu berakhir maka Golok Maut terguling-guling sementara Beng Tan juga terlempar dan terbanting bergulingan di sana, terluka, namun tidak terlalu fatal. Dan ketika keduanya meloncat bangun namun terjatuh lagi, karena mereka terluka dan lelah kehabisan tenaga maka Golok Maut maupun Beng Tan terkejut dan membelalakkan matanya lebar-lebar melihat siapa yang berdiri di tengah-tengah itu.

"Sian-su...!"

"Sin-jin...!"

Beng Tan dan lawannya tertegun. Di situ, ditengah-tengah mereka berdiri tegak seorang kakek berpakaian putih. Kakek ini menarik napas dan berkali-kali menyebut nama Tuhan, wajahnya tak kelihatan namun sepasang cahaya mencorong dari balik kabut itu menggetarkan dua pemuda ini. Itulah sepasang mata yang kuatnya bukan main, penuh tenaga sakti dan getarannya sudah cukup membuat dua pemuda ini jatuh terduduk, Dan ketika Beng Tan maupun Golok Maut terperangah dan terkejut melihat siapa yang datang tiba-tiba hampir berbareng keduanya menjatuhkan diri berlutut dan dua-duanya sama-sama batuk darah.

"Sian-su, maafkan kami. Dia... Golok Maut... dia mengajak bertempur mati hidup!"

"Maaf, aku... aku dihalangi lawanku ini, Sian-su. Beng Tan tak mau mundur dan memaksa aku bertarung mati hidup!"

"Ah-ah, kalian anak-anak muda yang sama keras kepala!" kakek itu, yang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya berseru perlahan, tampak sedih. "Kalian sama-sama mempertahankan kebenaran sendiri, Golok Maut. Dan kau tak menghiraukan nasihatku! Aih, kenapa begini, anak baik? Tidakkah kau ingat semua wejanganku?"

Golok Maut, yang ganas dan ditakuti lawan itu tiba-tiba menangis. Entah kenapa mendengar suara atau teguran kakek dewa ini dia tak tahan lagi, batuk dan terhuyung mendekati kakek itu. Dan ketika air matanya bercucuran dan Golok Maut terguling di kaki kakek itu tiba-tiba lawan Beng Tan ini berkata, "Sian-su, aku tak dapat melupakan peristiwa lama. Kalau kau ingin menghukumku silahkan, bunuhlah aku dan kuserahkan senjataku ini!"

"Hm!" Bu-beng Sian-su, kakek itu mengerutkan kening melihat Golok Maut melolos senjatanya, memberikannya kepadanya. "Senjata bukan untuk dipergunakan membunuh orang baik-baik, Golok Maut. Aku datang bukan untuk mencabut nyawamu!"

"Tapi aku tak berhasil memenuhi keinginanmu. Aku gagal. Ah, kau hukumlah aku, Sian-su. Kau bunuhlah aku agar aku terbebas dari semua derita ini!"

"Bangunlah," Beng Tan tertegun, melihat lawannya itu dibangunkan kakek ini, disentuh kedua pundaknya. "Nasihat, bukan berarti perintah, Golok Maut. Kalau kau tak dapat melaksanakan nasihatku maka aku tak menyalahkanmu. Buah baik akan menghasilkan yang baik juga, buah buruk akan menghasilkan sebaliknya. Kau bangunlah, simpan senjatamu karena aku tak memerlukan itu!" dan ketika Golok Maut menangis dan Beng Tan kian tertegun di sana, tak menyangka bahwa Golok Maut kenal baik dengan kakek itu maka Bu-beng Sian-su menggapaikan lengannya kepadanya.

"Beng Tan, kemarilah," seruan itu mendebarkan pemuda ini. "Sudahkah kau berhasil meminta sesuatu dari Si Golok Maut ini? Sudahkah kau melaksanakan perintahku pula?"

"Maaf," Beng Tan terkejut, pucat mukanya. "Aku... aku belum berhasil, Sian-su. Aku marah dan tidak teringat permintaanmu. Aku tak suka lawanku ini!"

"Hm, suka tidak suka lahir dari perasaan emosi, Beng Tan. Kau ternyata belum mampu mengendalikan dirimu. Baiklah, kemarilah dan dekat-dekat kepadaku."

Beng Tan beringsut, mendekati kakek itu. Dan ketika dia roboh dan juga terguling di kaki kakek ini, seperti Golok Maut maka Bu-beng Sian-su tiba-tiba mengebutkan bajunya dan sebuah totokan lihai menyentuh lunak di dada pemuda ini.

"Kau nyaris terluka hebat, paru-parumu lemah sebagian. Terimalah, dan telanlah ini, Beng Tan. Setelah itu cepat bersamadhi namun dengarkan dulu kata-kata-ku!"

Dan, ketika Beng Tan terduduk dan menerima sebutir obat dari kakek dewa itu Bu-beng Sian-su sudah membalik dan menyentuh pula punggung Golok Maut, berkata, "Dan kau, hmm... jantungmu sedikit terpukul, Golok Maut. Telanlah ini dua sekaligus!" kakek itu memberikan dua butir obat, langsung ditelan Golok Maut dan pemuda itu menangis lagi, tak berani menolak dan Bu-beng Sian-su telah mengusap punggungnya tiga kali, melegakan pernapasannya dan Golok Maut tidak batuk-batuk lagi.

Dan ketika Beng Tan di sana terduduk dan cepat bersila, mengatur napasnya sesuai ilmu pernapasan yang benar maka kakek itu bertanya, lirih dan lambat-lambat namun bernada penuh teguran kepada Si Golok Maut,

"Golok Maut, masihkah terngiang segala nasihatku kepadamu? Masihkah teringat apa yang pernah kukatakan padamu?"

"Aku ingat," Golok Maut bercucuran air mata. "Tapi dendam ini tak dapat kuhapus, Sian-su. Kebencian terlanjur berakar di hatiku."

"Dan kau tak mau mundur?"

"Pantang bagiku menarik sumpah, Sian-su. Aku telah maju dan kepalang basah!"

"Tapi kau melanggar sumpahmu dengan Wi Hong! Hm, apa artinya ini, Golok Maut? Dapatkah sumpahmu dipercaya?"

Golok Maut tertegun, pucat pasi. "Ini ... ini... aku salah, Sian-su. Tapi urusanku dengan Wi Hong tak sama dengan sumpahku terhadap Coa-ongya maupun Ci-ongya. Itu lain! Aku... aku terjebak siluman betina itu!"

"Hm, kebencian membuat segala-galanya menjadi gelap. Baiklah, aku tak bertanya lagi, Golok Maut. Kau bebas melaksanakan apa yang mau kau kerjakan. Hukum sebab dan akibat akan selalu mengikutimu pula. Manusia berusaha tapi Tuhan punya kuasa. Eh, ada yang kau bawa di tubuhmu, Golok Maut? Kau masih membawa catatan mendiang gurumu?"

"Maksud Sian-su...?"

"Berikan itu pada Beng Tan, Golok Maut. Kau agaknya tak berkepentingan lagi dengan itu."

"Tapi ini punya guruku..."

"Hm, gurumu mendapatkannya dari aku, Golok Maut. Atau kalau kau berat memberikannya silahkan pinjamkan sebentar agar dicatat pemuda itu!"

Golok Maut tertegun. Dia tampak ragu atau bimbang, tapi ketika pandang matanya bertemu dengan sorot cahaya di balik halimun itu tiba-tiba pemuda ini menunduk dan menekan debaran jantungnya, mengambil sesuatu dari balik baju dan Golok Maut memberikan itu pada si kakek dewa. Tapi ketika kakek itu tersenyum dan tak mau menerima, memanggil Beng Tan maka pemuda baju putih ini diminta agar menerima pemberian Golok Maut.

"Aku pribadi tak memerlukannya, berikan pada Beng Tan."

Beng Tan heran. Dia sudah menerima pemberian itu dan melihat bahwa yang diberikan ini hanyalah sebuah kertas, kecil dan tidak besar namun dalam keadaan terlipat. Dan ketika Golok Maut menunggu dan hal itu berarti bahwa Beng Tan hanya dipinjami saja maka Bu-beng Sian-su mengangguk dan berseru pada pemuda itu,

"Beng Tan, benda inilah yang dulu kusuruh padamu untuk memintanya dari Golok Maut. Tapi karena Golok Maut tak ingin memberikannya cuma-cuma karena itu adalah milik mendiang gurunya biarlah kau buka dan salin isinya!"

Beng Tan berdebar. Dia sudah membuka dan ingin tahu apa sebenarnya isi kertas ini, barang biasa yang tampaknya tidak terlalu berharga. Namun ketika kertas atau surat itu dibuka dan dibaca isinya ternyata berisi sebuah syair yang tidak dimengerti! "Ini... apa artinya ini, Sian-su? Haruskah kutulis dan kusimpan?"

"Ya, ada sesuatu yang berharga, Beng Tan. Kau harus menyalin dan menyimpannya."

"Untuk apa?"

"Untuk kepentinganmu kelak!"

"Tapi ini... ini hanya sebuah syair! Apakah perlu benar, Sian-su? Apakah betul berharga dan patut disimpan?"

"Hm, bukan hanya sekedar disimpan, Beng Tan. Melainkan harus dimengerti dan kelak dihayati. Kau dan semua orang memerlukannya. Sebaiknya cepat salin itu dan kembalikan pada yang punya!"

Beng Tan terlongong-longong. Secarik kertas yang katanya berharga ini sudah ditunggu Si Golok Maut. Lawannya itu menanti dan tampak betapa Golok Maut tidak sabar. Kalau bukan Sian-su sendiri yang berkata barangkali pemuda ini tak mau percaya. Tapi karena kakek itu adalah manusia dewa amat hebat dan kepandaiannya luar biasa tinggi maka Beng Tan mengangguk dan cepat menyalin kalimat-kalimat di atas kertas putih itu, syair yang aneh, yang agaknya sudah lama dibawa Golok Maut dan dijaga secara hati-hati, terbukti kertas itu tidak lusuh atau kumal!

Bukan benang sembarang benang. Halus menawan di kiri kanan. Kalau dijaga menimbulkan senang kalau rusak menimbulkan dendam. Inilah benang yang minta perhatian!

Beng Tan tertegun. Akhirnya dia selesai menyalin isi surat itu, syair yang ganjil itu. Dan ketika Golok Maut mengulurkan lengannya dan meminta kembali maka Beng Tan menyerahkannya dan berseru mengerutkan kening, "Golok Maut, peninggalan gurumu ini aneh. Aku tak mengetahui maksudnya tapi aku sudah hafal di luar kepala!"

"Hm, akupun juga begitu. Barang peninggalan guruku adalah benda keramat bagiku, Beng Tan. Kalau bukan Sian-su yang memintanya tak mungkin kuberikan padamu!"

"Maaf, aku tahu. Tapi aku juga agaknya tak ingin mengetahui barang orang lain kalau bukan Sian-su yang menghendakinya!"

"Sudahlah," Bu-beng Sian-su berkata tenang. "Kalian tak perlu bertikai lagi, Beng Tan. Apa yang kuperintahkan adalah untuk kebaikan kalian sendiri. Berterima kasihlah bahwa Golok Maut telah berkenan meminjamkan peninggalan gurunya!"

"Ya, aku lupa," Beng Tan sadar. "Terima kasih, Golok Maut. Dan sungguh tak dapat kusembunyikan kekagumanku melihat kepandaianmu yang demikian tinggi!"

"Hm, aku tak perlu kau kagumi," Golok Maut mendengus. "Kepandaianmu juga hebat, Beng Tan. Tak perlu memuji!" lalu, membalik dan menghadapi Bu-beng Sian-su laki-laki bercaping ini bertanya, menahan suaranya yang gemetar, "Apakah Sian-su hendak menahanku di sini? Kalau tidak, bolehkah aku pergi?"

Bu-beng Sian-su menghela napas. "Golok Maut, keras sekali watakmu ini. Ah, aku tak berani menahanmu. Kalau kau ingin pergi silahkan. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu!"

"Tidak," Golok Maut tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Aku bisa hidup saat ini adalah atas pertolonganmu, Sian-su. Kalaupun ada sesuatu yang menyakitkan hatiku maka itu adalah dendamku kepada Coa-ongya dan adiknya. Justeru aku yang minta maaf karena nasihatmu belum dapat kulaksanakan!"

"Hm, baiklah. Pergilah, Golok Maut. Tapi sekarang kau akan menghadapi seorang pembela yang barangkali akan menghalangi sepak terjangmu!"

"Aku tahu, tapi aku tak takut!" dan Golok Maut yang berdiri melirik Beng Tan tiba-tiba mundur dan sekali lagi memberi hormat di depan kakek dewa itu, melangkah pergi dan akhirnya terhuyung-huyung meninggalkan dua orang ini.

Dan ketika Beng Tan mendengar desis ditahan dan tangis yang agak ditekan maka pemuda itu membelalakkan mata melihat Golok Maut lenyap di sana, meninggalkan telaga, dengan tinju terkepal! "Golok Maut, kuharap kau menyadari kekeliruanmu ini. Aku tak ingin bermusuhan denganmu, aku ingin bersahabat!"

Golok Maut tak menjawab. Tokoh bercaping ini sudah lenyap di luar pulau, menyambar perahu dan sudah meluncur ke tepian sana. Dan ketika Beng Tan tertegun dan mengerutkan keningnya maka keluhan dan rintihan anak-anak murid Hek-yan-pang yang mulai sadar menyentak pemuda ini.

"Beng Tan, kukira cukup pertemuan kita. Kau harus menolong dan mengobati wanita-wanita itu. Ingat dan kupaslah isi syair itu!"

Beng Tan terkejut. Bu-beng Sian-su tiba-tiba berkata kepadanya tapi kakek dewa itu tak ada di situ, lenyap dan sudah menghilang entah ke mana. Dan ketika Beng Tan tersentak dan tertegun maka Swi Cu, sumoi dari Wi Hong yang sadar lebih dulu tiba-tiba mengerang dan memaki-makinya, menyangka dia Golok Maut.

"Golok Maut, kau jahanam keparat. Bunuhlah kami semua dan lampiaskan dendammu itu!"

Beng Tan menoleh. Dia melihat Swi Cu bangkit duduk, memaki padanya dengan muka merah padam. Namun ketika gadis itu melihat bahwa yang dimaki bukanlah Colok Maut tiba-tiba gadis ini tertegun dan teringat bahwa itulah pemuda yang bertanding dengan lawannya, jadi adalah penolongnya.

"Ah, kau... kau siapa...?"