Golok Maut Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
BENG TAN berkelebat. Dia sudah menghampiri gadis ini dan berlutut di situ, memeriksa, mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih tergetar oleh pukulan sinkang dan kini meskipun sadar namun bukanlah berarti sudah baik. Gadis itu berketrukan dan menggigil, memandang Beng Tan namun Beng Tan sudah menempelkan lengan di pundak gadis ini. Dan ketika Beng Tan berkata bahwa dia akan menolong gadis itu dan Swi Cu diharap menerima penyaluran sinkangnya maka gadis atau wakil ketua Hek-yan-pang ini semburat mukanya merasa hawa hangat tubuh lelaki memasuki tubuhnya!

"Lepaskan!" Swi Cu membentak. "Kau tak perlu melakukan itu, sobat. Biarkan aku menyembuhkan diriku sendiri dan kau tolong yang lain!"

Beng Tan tertegun. Dia melepaskan lengannya di pundak karena gadis baju hitam itu menolak, tak suka dan sudah terhuyung bangkit berdiri, berkata akan menyembuhkan dirinya sendiri namun Swi Cu terguling. Dan ketika Beng Tan menyambarnya dan untuk kedua kali gadis ini merah mukanya karena dipegang lelaki maka Beng Tan berseru padanya,

"Nona, hati-hati. Aku tidak bermaksud yang lain kecuali ingin menolongmu. Kau tergetar pukulan sinkang, harus segera ditolong atau kau bakal terluka dalam!"

"Tidak, aku dapat mengurus diriku sendiri, sobat. Kau tolonglah yang lain dan biar aku sendiri..."

"Tapi kau..."

"Tak usah banyak cakap. Kau tolong yang lain atau pergi dari sini. Hek-yan-pang sebenarnya tak boleh dimasuki lelaki!"

Beng Tan terkejut, dibentak kasar dan gadis baju hitam itu tiba-tiba terisak. Sebenarnya Swi Cu tak bermaksud bersikap kasar kepada penolongnya ini tapi apa boleh buat dia harus melakukan itu. Sentuhan Beng Tan dan sikapnya tadi yang memberikan sinkang kepadanya sungguh membuat Swi Cu merinding. Seumur hidup belum pernah dia disentuh pria dan baru tadi dia merasakan hangatnya tubuh lelaki, meskipun berupa hangatnya tenaga sinkang dan Beng Tan bermaksud menolongnya, bukan mau kurang ajar.

Tapi karena perbuatan itu sudah cukup membuat gadis ini panas dingin dan untung saputangannya yang melindungi muka tak memperlihatkan wajahnya yang merona merah maka Beng Tan tak tahu dan tak mengerti kenapa gadis ini marah-marah, melotot padanya tapi cepat terisak dan menunduk, menyesal, terhuyung menjauhi dirinya dan Beng Tan tertegun melihat wakil ketua Hek-yan-pang itu duduk bersila, coba mengobati dirinya sendiri dengan penyembuhan dari dalam.

Dan karena saat itu yang lain-lain juga merintih dan minta tolong pemuda ini maka Beng Tan sadar dan cepat menolong anak-anak murid Hek-yan-pang itu, yang bangun dan merintih tak keruan namun Beng Tan sudah membagi-bagikan pil berwarna hijau muda untuk meringankan penderitaan wanita-wanita itu. Dan ketika sebagian besar tertolong dan kagum memandang Beng Tan, berterima kasih, maka terakhir barulah pemuda ini menolong Ci Fang, yang tidak tahu apa yang terjadi.

"Kau siapa? Golok Maut?"

"Bukan. Golok Maut sudah pergi, Ci-kongcu. Kau sekarang selamat tapi harus lebih berhati-hati lagi. Kita semua hampir saja dibunuh tokoh itu!"

"Dan in-kong (tuan penolong) ini hebat sekali. Aih, tanpa dia kita semua tentu sudah binasa, siauw-ongya (pangeran muda). Kita tertolong berkat kehebatan inkong ini!" seorang murid Hek-yan-pang berseru, tak sanggup menahan kekagumannya.

Dan Ci Fang terbelalak. Tapi ketika dia mau bertanya namun Beng Tan tak mau ditanya tiba-tiba pemuda ini sudah berkelebat ke arah Swi Cu, yang masih belum berdiri.

"Kalian semua tak usah membicarakan itu. Sebaiknya semua ke sini dan tolonglah ketua kalian ini!"

Semua teringat. Tiba-tiba semua murid berlompatan mengelilingi Swi Cu, wakil ketua mereka ini tiba-tiba nampak pucat dan gemetaran aneh. Entah kenapa Swi Cu tiba-tiba diserang pergolakan hawa di dalam tubuhnya sendiri. Gadis itu kacau dan tak berhasil memusatkan konsentrasi, pengobatannya gagal dan sementara Beng Tan menolong anak-anak murid yang lain justeru gadis ini megap-megap.

Swi Cu terkejut ketika sinkang di dalam tubuhnya tak mau dikendalikan, terbawa oleh pikirannya yang macam-macam dan akibatnya kalau anak-anak murid Hek-yan-pang sudah berhasil disembuhkan dan bangun berdiri adalah gadis ini malah batuk-batuk dan kebingungan. Dan ketika dia gelisah karena dadanya tiba-tiba sesak mendadak Swi Cu terguling dan tepat sekali saat itu Beng Tan datang.

"Hei, dia terluka dalam!"

Anak-anak murid terkejut. Apa yang dikhawatirkan Beng Tan ternyata betul terjadi, Swi Cu pucat mukanya dan gadis itu mengeluh. Dan karena tak ada yang sehebat Beng Tan dan semua mata tertuju padanya maka Beng Tan berlutut dan memeriksa denyut nadi.

"Kau terluka, aliran sinkangmu kacau!"

"Ooh..!" Swi Cu menggigil. "Jangan... jangan sentuh aku, sahabat. Biarkan aku ditolong anak-anak muridku...!"

"Tapi mereka tak sanggup. Tak ada yang memiliki sinkang yang melebihi sinkangmu!"

"Tak apa. Mereka dapat menggabung tenaganya bersama. Biarkan... biarkan aku...!" dan karena Swi Cu sudah menggapai dan memanggil Kim Nio dan Kiok Bhi, juga Jit-nio dan Liok-hoa yang ada di situ maka Beng Tan mundur dengan kening dikerutkan, melihat empat anak murid itu sudah berlutut dan menyalurkan sinkang di tubuh ketuanya.

Memang mereka tahu apa yang mengganjal perasaan hu-pangcunya itu, bahwa hu-pangcu mereka kikuk dan jengah disentuh lelaki. Dan karena sudah menjadi pantangan bahwa Hek-yan-pang tak boleh bergaul apa-lagi bersentuhan dengan lelaki maka Kim Nio dan kawan-kawannya ini coba menolong wakil ketuanya dan sebentar saja keringat deras mengalir di wajah masing-masing, sudah mengerahkan semua kekuatan mereka namun hu-pangcu tak berkurang penderitaannya. Gabungan sinkang mereka masih kurang hebat dan Swi Cu bahkan mengeluh, membuat anak murid yang lain kecut dan menjadi tegang. Dan ketika Beng Tan juga mengerutkan kening karena tanda-tanda kesembuhan tak nampak juga tiba-tiba gadis itu menggeliat dan roboh pingsan.

"Aduh!"

Kim Nio dan tiga temannya terpental. Mereka tiba-tiba tertolak setelah gagal mengobati, keempatnya terjengkang dan kaget bukan main. Tenaga mereka bertemu semacam tenaga yang kacau di tubuh hu-pangcu itu, tak ayal kandas setengah jalan dan jadilah mereka terpukul oleh tenaganya sendiri. Dan ketika mereka bergulingan dan anak-anak murid yang lain terkejut dan membelalakkan matanya maka Kim Nio meloncat bangun dan menggigil berlutut di depan Beng Tan, merasa tak ada jalan lain.

"In-kong, tolonglah kami. Hu-pangcu terancam bahaya maut. Dia bisa tewas!"

"Tapi dia tak mau kutolong," Beng Tan pucat. "Bagaimana ini? Aku... aku dapat memaklumi perasaan kalian, niocu. Tapi aku juga tak enak melanggar pantangannya. Sebaiknya kalian berunding dulu dan tentukan bagaimana sikap kalian. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau wakil ketua kalian ini marah!"

"Kami yang bertanggung jawab!" tiba-tiba serentak murid-murid yang lain berseru menjatuhkan diri berlutut. "Kami dapat menerima hal ini, in-kong. Lagi pula tanpa dirimu tentu kami semua sudah binasa. Kau telah menghidupkan nyawa kami dari tangan Si Golok Maut. Kini janganlah tanggung-tanggung menyelamatkan hu-pangcu kami!"

"Benar," Kim Nio girang menyambut cepat. "Lihat tanpa kusuruh semua teman-temanku bersedia mempertanggung-jawabkan kemarahan pangcu kami, in-kong. Cepat tolonglah atau kau bunuh kami sekalian agar mati bersama pangcu!"

Beng Tan terharu. Dia tertegun melihat kesungguhan murid-murid Hek-yan-pang ini bicara, mereka semua bersatu dan meminta agar dia menolong gadis baju hitam itu, secepatnya. Karena gadis itu agaknya terluka semakin parah setelah tenaga bantuan Kim Nio dan lain-lainnya itu tertolak. Dan karena mereka kini menangis dan beberapa di antaranya bahkan ada yang mencium kakinya agar dia menolong wakil ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba Beng Tan bergerak dan sudah menarik bangun wanita-wanita ini.

"Jangan berlutut.... jangan membuat aku kikuk. Kalian berdirilah dan aku tentu menolong hu-pangcu kalian!" dan begitu mereka ditarik bangun dan berseru girang maka Beng Tan sudah menyambar tubuh gadis bersaputangan hitam ini, membawanya ke dalam dan Kim Nio berkelebat mengiring.

Semua anak murid mengikuti pemuda itu dan Kim Nio membawa Beng Tan ke kamar yang besar, indah dan harum, tak tahu dan tak menduga bahwa kamar itu adalah milik Swi Cu sendiri, kamar pribadi yang tentu saja tak boleh dimasuki sembarangan apalagi oleh lelaki! Dan ketika Beng Tan meletakkan korbannya dan duduk bersila meletakkan tangan di pundak maka semua mata mengamati gerak-gerik pemuda itu ketika Beng Tan mulai menyalurkan sinkangnya, berkeringat dan Beng Tan memberikan empat pil hijau sekaligus ke mulut Swi Cu, didorong oleh air yang cepat membuat obat tertelan.

Dan ketika pemuda itu menyalurkan hawa saktinya untuk menolong hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam ini maka setengah jam kemudian wajah yang pucat itu mulai memerah, tak lama kemudian semakin merah lagi dan tepat satu jam kesehatan gadis itu pulih, terbukti karena sepasang mata itu bergerak terbuka dan Swi Cu meloncat bangun, dengan amat cepatnya. Tapi begitu gadis itu meloncat dan melihat Beng Tan bersila tiba-tiba dia membentak marah dan melengking tinggi, merasa bahwa sinkang pemuda itu memasuki tubuhnya, bergerak dan menyatu seperti mahluk halus yang membuat gadis itu meremang!

"Keparat, kau kiranya kurang ajar... plak-plak-plak!"

Dan Beng Tan yang ditampar serta terpelanting bergulingan tiba-tiba membuat pemuda itu membuka matanya, sadar dan terpekik karena tadi Beng Tan setengah bersamadhi. Dia mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya untuk menolong ketua Hek-yan-pang ini. Maka begitu dia diserang dan tiga kali mendapat tamparan pulang balik tiba-tiba pemuda itu semakin terkejut ketika gadis baju hitam itu membentak lagi dan berkelebatan cepat menyerangnya.

"Pemuda busuk, kiranya kau sama saja dengan laki-laki lain. Ah, kau telah menyentuh tubuhku. Kau kurang ajar. Kau harus kubunuh... des-des-dess!" dan Beng Tan yang terlempar serta terguling-guling ditendang dan dipukul tiba-tiba meloncat bangun berteriak menahan, tak tahunya malah dikejar dan jadilah pemuda ini berlompatan dan mengelak sana-sini.

Sinkang pemuda itu telah beralih sebagian besar ke tubuh lawan, jadi dia sendiri kekurangan sementara lawan bagai harimau terluka yang mendapat tambahan darah segar, menyerang dan membuat Beng Tan kalang kabut karena terhuyung-huyung. Maklumlah, Beng Tan seharusnya memulihkan diri setelah pertandingannya yang hebat melawan Si Golok Maut, ditambah lagi dengan pengerahan sinkangnya ketika menolong hu-pangcu dari Hek-yan-pang itu. Maka begitu lawan mengejar dan menyerang bertubi-tubi, melengking panjang pendek maka Beng Tan terbanting ketika sebuah tendangan mengenai bahunya.

"Dess!"

Pemuda ini terlempar. Swi Cu berteriak mengejar lawan, beringas dan tiba-tiba mencabut pedang! Namun ketika gadis itu hendak membacok dan melampiaskan kemarahannya, dengan nafsu membunuh yang sangat tiba-tiba Kim Nio dan semua teman-temannya berlompatan, berseru,

"Pangcu, tahan...!" dan ketika dua ratus anak murid Hek-yan-pang itu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis ini, menghalang di antara Beng Tan dengan sang ketua maka Kim Nio pucat memberi tahu,

"Pangcu, jangan bunuh pemuda ini. Dia tak bersalah. Kami... kami yang menyuruhnya agar dia menolongmu. Kalau kau ingin menghukum maka hukumlah kami, bukan dia!"

"Benar!" Kiok Bhi, yang ada di samping wanita itu juga berseru menyambung. "Kami yang bertanggung jawab untuk semuanya ini, hu-pangcu. Kalau kau hendak menghukum maka kami semua menerima kenyataan. Kau hukumlah kami, bunuhlah kami!" dan ketika yang lain-lain juga berseru serupa dan Swi Cu tentu saja tertegun, kaget dan terkesima maka di Sana Beng Tan bangkit berdiri terhuyung-huyung mendekap dadanya, tertawa getir.

"Hu-pangcu, peraturanmu keras sekali. Memang betul mereka itu yang menyuruhku, tapi kalau aku tak mau tentu semuanya itu juga tak akan terjadi. Mereka tak bersalah, yang bersalah adalah aku!"

"Tidak!" Jit-nio berteriak, tiba-tiba memotong. "Kau kami paksa, in-kong. Kamilah yang bersalah karena kami yang memaksa. Sudahlah, kami sudah menyatakan bertanggung jawab dan kau diam saja!" dan ketika seruan wanita itu disambut yang lain-lain karena kenyataannya memang begitu maka Beng Tan terharu melihat pembelaan ini, kegagahan anak-anak murid itu di mana dengan gigih mereka saling sahut-menyahut.

Rupanya gerak-gerik dan sikap pemuda ini telah menarik simpati semua murid-murid wanita Hek-yan-pang itu, tak ada yang tak melindungi dan Beng Tan tersenyum pahit, terharu dan mengangguk-angguk ketika suaranya sendiri lenyap ditelan suara Jit-nio dan kawan-kawannya itu. Dan ketika dia menyeringai pahit dan diam bersinar-sinar maka Jit-nio dan ratusan kawan-kawannya itu sudah menghadapi Swi Cu kembali, sang wakil ketua.

"Hu-pangcu, kau telah mendengar keterangan kami. Nah, kau hukumlah kami kalau perbuatan kami dianggap berdosa!"

Swi Cu tertegun. Gadis bersaputangan hitam ini seketika tak dapat menjawab, dia terpaku di tempatnya seperti orang tersihir, tak berkejap dan juga tak bersuara. Tapi ketika satu keluhan kecil terdengar dari mulutnya dan gadis itu menyimpan pedang, hal yang menggirangkan hati semua anak-anak murid Hek-yan-pang maka terdengar suaranya yang menggigil tapi juga marah,

"Jit-nio, Kim Nio... kalian lancang! Kalian memalukan aku! Ah, apa yang harus kulakukan terhadap kalian? Mestikah kalian semua kubunuh? Keparat, kalian membuat aku malu, Jit-nio. Kalian lancang dan tidak tahu diri!"

"Maaf, itu semua demi keselamatanmu, pangcu. Kami memang menyadari resikonya. Kalau kami memang bersalah kau bunuhlah kami!"

"Dan juga kami...!"

"Kami...!"

Dan ketika semua yang lain saling bersahut-sahutan di mana Swi Cu mendongkol tapi juga marah tiba-tiba gadis ini membanting pedangnya dan berkelebat pergi, terisak. "Kim Nio, kalian terkutuk. Kalian tak dapat kubunuh. Ah, biarlah aku pergi dan kalian yang menjaga perkumpulan!"

"Eh!" semua murid terkejut. "Jangan, hu-pangcu. Jangan! Kami tak mau dan kalau begitu akan keluar pula!" dan ketika Jit-nio dan kawan-kawannya meloncat dan mengejar gadis ini maka Beng Tan tiba-tiba terguling dan roboh di sana.

"Heii..!" beberapa anak murid yang melihat kaget. "In-kong pingsan, pangcu. Tolong!"

Swi Cu tertegun. Melihat dan mendengar teriakan itu mendadak dia berhenti, Jit-nio dan lain-lainnya menoleh dan tampaklah oleh mereka tubuh Beng Tan yang terguling itu. Dan ketika semua tertegun dan gadis baju hitam ini terkejut maka Kim Nio berseru pada gadis itu agar memeriksanya.

"Barangkali dia terluka, pangcu telah menyerangnya!"

Swi Cu berdetak. Memang kemungkinan itu ada, dia tadi telah menyerang dan menghajar pemuda ini habis-habisan, Beng Tan tak melawan dan dia menyesal juga. Maka begitu berkelebat dan lupa akan maksudnya meninggalkan telaga, terganti oleh kekhawatirannya melihat keadaan pemuda ini Swi Cu sudah melihat dan memeriksa Beng Tan, terkejut karena napas pemuda itu lemah, denyut nadinya seakan tak terasa dan paniklah Swi Cu oleh keadaan ini. Dan ketika murid-murid yang lain juga terkejut dan cemas oleh pingsannya Beng Tan gadis baju hitam itu segera menyambar Beng Tan ke kamar kosong.

"Siapkan air hangat, juga arak obat!"

Semua berserabutan. Masing-masing melaksanakan perintah dengan gugup, semua anak murid Hek-yan-pang khawatir dan cemas. Dan ketika Swi Cu meletakkan tangannya dipunggung pemuda itu, ganti memberikan sinkangnya maka gadis ini sudah lupa akan kemarahannya dan tidak malu-malu lagi, memberikan pertolongan dengan cepat dan sama sekali tak tahu bahwa Beng Tan sebenarnya pura-pura pingsan belaka. Dalam saat-saat yang kritis itu coba menarik perhatian gadis baju hitam ini agar tidak meninggalkan perkumpulannya, karena marah-marah dan malu oleh perbuatan Kim Nio dan kawan-kawannya tadi.

Dan karena akal satu-satunya menarik perhatian gadis itu dengan cara begini, pura-pura mengeluh dan roboh pingsan, dikira terluka maka Beng Tan tak dapat menahan senyumnya ketika getaran tenaga yang hangat memasuki tubuhnya, menembus semua jalan darahnya dan Beng Tan geli. Dengan kepandaiannya yang tinggi pemuda ini mampu membuat diri seolah pingsan, memperlemah denyut nadi dan membuat muka menjadi pucat, yakni dengan cara menahan sinkangnya di kepala.

Maka ketika semua akalnya itu berhasil dan kini gadis baju hitam itu menolongnya, menyalurkan sinkang yang memasuki urat-urat darahnya ganti Beng Tan merasa "merinding" dan panas dingin, mau menolak tapi tak sanggup. Ah, getaran sinkang yang disalurkan gadis itu ke tubuhnya demikian hangat dan lembut, menyusup dan memasuki seluruh tubuhnya sampai ke bagian syaraf-syaraf yang paling kecil, membuat Beng Tan berdebar dan menggigil, gerakan yang tentu saja membuat detak jantungnya hidup, berdenyut dan mulailah Swi Cu berseri-seri melihat kenyataan itu, mengira pertolongannya berhasil dan dia semakin bersemangat memberikan sinkangnya, hal yang justeru membuat Beng Tan jadi gemetaran sekaligus geli!

Maklumlah, debaran jantungnya dianggap sebagai petunjuk keberhasilan gadis itu menolongnya. Dan ketika dua jam gadis ini menyalurkan sinkangnya dan wajah Beng Tan dilihatnya kemerah-merahan, tak tahu bahwa pemuda itu sedang menahan gejolak hatinya yang tak keruan maka muncullah silih berganti anak-anak murid Hek-yan-pang yang membawa air hangat atau ini-itu sesuai perintah gadis ini.

"Selesai. Besok siapkan bubur ayam!"

"Dia sudah sadar?" seorang anak murid bertanya. "Apakah sudah sembuh, pangcu?"

"Hm, kukira sudah. Denyut jantungnya sudah berjalan cepat tapi aneh bahwa pemuda ini belum sadar!"

"Apakah kami boleh menjaganya, pangcu?"

"Tidak, biar aku di sini dan kalian di luar saja. Siapa tahu tengah malam nanti dia perlu pertolonganku lagi!"

Dan ketika murid itu mengangguk dan melangkah keluar, meninggalkan pangcunya maka Beng Tan mendengar gadis itu menarik napas panjang dan duduk di kursi sebelah, bergumam dan Beng Tan membuka sedikit matanya untuk melihat betapa saputangan hitam yang dipakai menutupi muka itu penuh keringat, basah karena gadis ini lelah menyalurkan sinkangnya. Dan ketika gadis itu berkali-kali menarik napas dan memandang Beng Tan, yang harus cepat menutup matanya lagi maka saputangan itu dibuka dan Swi Cu mengusap wajahnya, telah meyakinkan diri bahwa pemuda ini masih "tidur".

Dan karena pemuda itu tampaknya memang masih pingsan dan mungkin baru besok pagi atau siang siuman dari keadaannya ini maka Swi Cu lupa mengenakan saputangannya itu lagi, bersandar dan gadis ini letih melepas lelahnya. Dia sudah dua jam membuang sinkangnya, tentu saja perlu beristirahat. Dan ketika rasa lelah dan mengantuk datang mengganggu, sementara dia yakin bahwa Beng Tan masih pingsan maka tertidur dan terbanglah gadis itu dalam mimpinya yang indah, tak tahu betapa Beng Tan terbengong-bengong dan duduk mengamati wajah jelita yang bukan main cantiknya. Wajah yang tidak ditutupi saputangan lagi. Wajah yang kemerah-merahan seperti dewi. Dan karena wajah itu jelas terpampang dan Beng Tan kagum maka pemuda ini terlongong-longong dan menjublak sambil mendecak berkali-kali. Takjub!

* * * * * * *

"Hei, apa ini? Siapa kau? Eih, kau kiranya? Keparat, kau tak tahu malu... des-des-plak!" dan suara gaduh serta bentakan-bentakan di dalam kamar yang tiba-tiba disusul oleh teriakan dan rasa kaget mendadak sudah diiringi oleh lengking dan jeritan marah, mengejutkan yang lain-lain karena pagi itu gadis baju hitam ini tersentak oleh panggilan Beng Tan, yang berbisik dan mengguncang lengannya berkali-kali. Dan ketika Swi Cu terbangun dan alangkah kagetnya gadis ini melihat Beng Tan mencium pipinya, hal yang tak disangka maka gadis itu memekik dan langsung meloncat bangun, menerjang dan berteriak-teriak memaki pemuda ini!

"Jahanam keparat! Kau lancang. Kau tak tahu malu. Kau... ah!" dan Swi Cu yang kalap berteriak-teriak tiba-tiba sudah membuat Beng Tan menyadari kesalahannya, mengeluh dan berloncatan ke kiri kanan tapi gadis itu terbang menyambar-nyambar. Bagai walet atau srikatan saja wakil ketua Hek-yan-pang ini menyerang Beng Tan, menggigil dan berkali-kali menerjang pemuda itu tetapi luput, hal yang membuat kemarahannya semakin memuncak. Dan ketika Beng Tan berseru berkali-kali agar gadis itu menunda serangannya, seruan yang tentu saja tak digubris maka semua anak-anak murid Hek-yan-pang berkelebatan datang untuk akhirnya tertegun melihat pertandingan itu, wajah sang wakil ketua yang sudah tidak tertutup saputangan lagi!

"Ah, hu-pangcu marah. Minggir!"

"Dan pemuda ini rupanya telah membuka kedok hu-pangcu. Ah, awas, kawan-kawan. Menjauh... blar-blar-blar!" dan tiga pukulan hu-pangcu yang meledak di sisi kepala Beng Tan tiba-tiba membuat anak-anak murid yang lain terpelanting ke kiri kanan, berteriak menyuruh yang lain minggir dan ributlah suasana di pagi itu.

Mereka terkejut melihat kemarahan pangcunya ini, terjangan dan serangan-serangannya yang sengit terhadap Beng Tan, pemuda yang semalam "pingsan" dan pagi ini tiba-tiba kelihatan sehat, segar dan bugar! Namun ketika hu-pangcu mereka melancarkan pukulan-pukulannya dan mereka terkejut melihat sikap beringas hu-pangcu mereka yang wajahnya membara maka murid-murid Hek-yan-pang ini bingung dan tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, menonton saja pertandingan itu dan Beng Tan akhirnya berkelebatan mengelak sana-sini.

Pemuda ini mengeluh karena ciumannya tadi merupakan kesalahan yang besar. Semalam dia terguncang hebat oleh wajah yang luar biasa itu, wajah cantik yang demikian jelita dan anggun. Dan setelah berkali-kali kekagumannya tak dapat ditahan lagi dan wajah yang cantik itu diciumnya, lembut dan sepenuh perasaan tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan kaget, marah kepadanya dan Beng Tan menyesal. Pemuda ini tiba-tiba merasa jatuh cinta setelah semalaman mengamati wajah itu, wajah yang tak bakal dapat dilupakannya seumur hidup. Wajah yang telah membetot sukmanya lahir batin. Maka begitu gadis itu marah kepadanya dan Beng Tan menyesal tiba-tiba pemuda ini terkejut melihat lawan mencabut pedangnya.

"Manusia keparat, aku akan membunuhmu!"

"Ah, tidak... jangan!" Beng Tan berseru terkejut. "Tahan, nona. Jangan naik pitam. Aku mengaku bersalah... wut-sing!" namun pedang yang terus menyambar dan tidak menghiraukan omongannya tiba-tiba membalik dan menusuk lagi, empat kali melakukan serangan-serangan ganas dan pemuda ini mengelak. Yang terakhir sedikit terlambat hingga baju pundaknya robek, memberebet. Dan ketika Beng Tan mengeluh karena gadis itu tak mau mendengar omongannya tiba-tiba sebuah bacokan pedang terpaksa ditangkis dan terpental.

"Plak!"

Swi Cu menjerit. Gadis ini terhuyung dan marah memaki lawan. Namun sebelum dia menggerakkan pedangnya lagi tiba-tiba Beng Tan memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.

"Maaf, aku menyesal, nona. Biarlah aku pergi dan redakan kemarahanmu itu... wut-wut!" Beng Tan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, berjungkir balik dan melayang di atas kepala anak-anak murid Hek-yan-pang dan Swi Cu tentu saja melengking.

Gadis itu membentak menyuruh anak buahnya menghadang, jarum-jarum hitam tiba-tiba berluncuran dari tangan ketua Hek-yan-pang ini. Namun ketika Beng Tan mengibaskan tangannya ke belakang dan melejit serta mendorong anak-anak murid Hek-yan-pang maka pemuda itu telah lolos dan kabur menuju telaga.

"Cegat dia, kejar!"

Kim Nio dan lain-lain terkejut. Mereka bingung dan tak tahu apa yang terjadi, ragu mengejar namun sebuah tempelengan tiba-tiba berturut-turut mengenai pipinya dan pipi yang lain-lain lagi. Dan ketika Swi Cu membentak agar mereka tak usah ragu atau meleng maka apa boleh buat wanita ini berkelebat dan mengejar, mengeluh.

"In-kong, tunggu. Jangan lari...!"

Namun Beng Tan melambaikan lengan. Pemuda ini berkata bahwa biarlah lain kali saja mereka bertemu lagi, keadaan dirasa memanas. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan sudah tiba di tepi telaga, menyambar dan mendorong sebuah perahu maka pemuda ini meluncur dan sudah jauh di tengah-tengah sana.

"Keparat, kalian bodoh-bodoh semua. Minggir, berikan perahu yang terbaik dan kejar pemuda itu!" Swi Cu memaki, menyambar sebuah perahu dan cepat serta tak mau kalah dia sudah sendirian mengejar pemuda itu.

Yang lain-lain tertegun di belakang namun akhirnya mencari perahu yang lain juga, mengejar. Dan ketika gadis baju hitam itu sudah meluncur ke tengah dan berteriak memaki-maki Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tiba di seberang dan meloncat ke tepian.

"Nona, maaf. Kau sebaiknya kembali dan jangan kejar aku!"

"Tak bisa! Kau telah berkurang ajar, manusia keparat. Aku harus membunuhmu atau kau membunuhku!"

Beng Tan menghela napas. Sekarang dia melihat gadis itu sudah hampir di tepian pula, melepas jarum-jarum hitamnya namun Beng Tan mengelak. Dan ketika jarum-jarum itu runtuh dan Beng Tan membalik maka pemuda ini meloncat dan terbang meninggalkan lawan.

"In-kong, jangan tinggalkan hu-pangcu. Kalau kau telah membuka kedoknya maka kau harus mengawininya...!"

Beng Tan terkejut. Seruan Kim Nio dari jauh membuat dia tertegun, berhenti sejenak dan menoleh. Tapi begitu melihat Swi Cu telah mendarat dan berjungkir balik mendahului perahunya, yang masih beberapa tombak dari tepian tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan melanjutkan larinya lagi, memasuki hutan.

"Benar," seruan di belakang menyambut lagi, kini suara Kiok Bhi. "Hek-yan-pang memiliki peraturan begitu, in-kong. Siapa yang membuka kedok kami maka dia harus bertanggung jawab mengawini yang bersangkutan. Jangan lari!"

Beng Tan tergetar. Kali ini dia mendengar isak tangis di belakang, baru tahu bahwa kemarahan si jelita itu kiranya oleh sebab yang lain. Dia dianggap tak bertanggung jawab dan menghina. Dan karena sesungguhnya dia tidak membuka kedok itu melainkan dibuka oleh pemiliknya sendiri dan dia hanya melakukan ciuman maka Beng Tan akhirnya memperlambat larinya dan sengaja disusul, akhirnya berhenti sama sekali ketika gadis itu berjungkir balik melewati atas kepalanya, membentak dan sudah menghadang di depan, marah bukan main. Dan ketika Beng Tan melihat betapa air mata yang bercucuran itu tiada henti-hentinya mengalir namun pedang sudah berkelebat dan menusuk tenggorokannya tiba-tiba Beng Tan menggigil dan menangkap ujung pedang.

"Nona, tahan. Benarkah... benarkah semua kata-kata tadi? Hek-yan-pang memiliki peraturan aneh yang mengharuskan setiap laki-laki mempertanggungjawabkan perbuatannya?"

"Tak usah banyak cakap. Kau kubunuh atau aku kau bunuh, pemuda iblis. Mampuslah dan lihat pedangku.... sing-crep!" Swi Cu terkejut, melihat pedangnya tertangkap dan Beng Tan menggigil menahan pedangnya itu. Dan ketika dia menarik namun gagal tiba-tiba gadis ini melakukan tendangan dari bawah dan Beng Tan terpelanting ketika perutnya kena.

"Dess!"

Pemuda itu bergulingan. Swi Cu sudah berkelebat dan mengejar lagi, menikam dan menusuk tapi Beng Tan mengelak tujuh kali. Dan ketika semua serangan itu luput dan pemuda itu melompat bangun maka Beng Tan berseru pucat menggoyang goyang lengannya. "Nona, tahan. Aku... aku Beng Tan siap mempertanggungjawabkan perbuatanku!"

"Mempertanggung-jawabkan bagaimana? Pertanggung-jawabanmu hanya mampus, orang she Beng. Aku tak akan mengampuni mu lagi karena terlambat!"

"Ah, aku bukan she Beng, aku she Ju. Kau... kau tahanlah serangan-seranganmu ini dan dengarkan aku...plak-plak!"

Beng Tan menangkis, membuat pedang terpental tapi lawan malah menjadi kalap. Swi Cu memekik dan menggerakkan pedangnya lagi. Dan ketika enam tusukan kembali menyambar namun untuk yang terakhir Beng Tan terpeleset ketika mengelak maka baju pemuda ini berlubang ketika disambar pedang.

"Cres!"

Beng Tan pucat. Sedikit kulitnya robek terluka namun dia sudah mengerahkan sinkang. Dan ketika dia bergulingan dan meloncat bangun di sana maka Beng Tan berkata bahwa dia siap mati kalau gadis itu benar-benar ingin membunuhnya.

"Aku memang akan membunuhmu, dan kau pasti kubunuh!"

"Baiklah, tapi dengar dulu kata-kata-ku, nona. Aku... aku mencintaimu. Semalam aku tak dapat menahan gejolak hatiku lagi setelah melihat wajahmu itu. Maaf, kau boleh membunuhku sekarang apa bila kau menghendakinya... bless!" pedang menancap, persis di dada kanan Beng Tan dan Swi Cu terpekik.

Gadis ini melepaskan pedangnya dan mundur terbelalak, melihat Beng Tan mundur-mundur dan akhirnya roboh. Dan ketika pemuda itu berseru menanyakan namanya, sebelum terguling maka Swi Cu menggigil dan tertegun di tempat.

"Aku... aku ingin mengetahui namamu. Untuk bekal di akherat...!"

Swi Cu terbelalak. Gadis ini melihat lawan yang roboh terguling, terkejut dan terisak. Tapi ketika dia sadar dan berkelebat menghampiri maka gadis ini tiba-tiba mengguguk berlutut mengguncang tubuh Beng Tan. "Aku... aku Swi Cu. Ah, kau orang aneh, Beng Tan. Kalau aku membunuhmu lalu bagaimana aku dapat membalas budimu itu? Kau telah menyelamatkan aku dan murid-murid Hek-yan-pang dari tangan Golok Maut. Hiduplah, maafkan aku dan jangan ke akherat!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar dari atas. "Bagaimana kalau aku hidup lagi? Bukankah kau akan membunuhku pula?"

"Tidak... tidak!" gadis ini menangis. "Kau telah berkata bahwa kau akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Beng Tan. Asal kau menepati janji dan tidak mempermainkan aku maka aku tak akan membunuhmu!"

"Tapi menyerangku, sama saja!"

"Tidak.. tidak! Aku juga tak akan menyerangmu, Beng Tan. Aku menerima cintamu. Eh...!" gadis ini tiba-tiba tertegun, mendongak ke atas. "Roh mukah yang bicara ini? Kau di mana?"

Tubuh itu tiba-tiba bergerak. Swi Cu kaget sekali ketika Beng Tan tiba-tiba "hidup" lagi, bangkit dan tertawa memeluknya. Dan ketika pemuda itu memperlihatkan ketiaknya yang berlubang ditembus pedang, bukan dadanya tiba-tiba Swi Cu mencelat dan berjengit pucat, tersentak.

"Aih, maaf, Swi Cu. Aku hanya pura-pura saja karena sesungguhnya pedangmu tadi kukempit. Lihat, aku tak apa-apa dan kau harus menepati janji!" dan ketika Beng Tan melompat dan menyambar lengan gadis ini, yang tentu saja mendelong dan membuka matanya lebar-lebar tiba-tiba Beng Tan sudah berbisik menyatakan cintanya.

"Aku mencintaimu... ah, aku jatuh cinta kepadamu. Maaf, aku ingin mengetahui isi hatimu, Swi Cu. Aku sengaja mencoba dan pura-pura mati!"

Swi Cu tertegun, tiba-tiba meronta. "Kau... kau mempermainkan aku?"

"Ah, tidak!" Beng Tan cepat berseru, mencekal lagi lengan gadis ini. "Aku tak mempermainkanmu, Swi Cu. Aku betul-betul mencintaimu dan tak sanggup berpisah denganmu. Aku tak mau mati kalau kau menerima cintaku. Aku ingin selalu berdua bersamamu!"

"Tapi... tapi..."

"Baiklah," Beng Tan tiba-tiba membuka bajunya, memberikan dadanya yang telanjang. "Kau tusuk aku kalau bohong, Swi Cu. Kali ini aku tak akan mempermainkanmu dan benar-benar menyerahkan jiwa raga!"

Swi Cu terhuyung, tiba-tiba mencabut pedang, pucat dan merah berganti-ganti. "Beng Tan, kau... kau... ah!" dan gadis ini yang menangis dan terisak melempar pedangnya tiba-tiba memutar tubuh dan berkelebat pergi, tersedu di sana dan merasa malu serta jengah digoda pemuda ini. Beng Tan telah mempermainkannya habis-habisan tapi bukan untuk maksud menghina atau merendahkannya melainkan semata oleh watak yang aneh dari pemuda itu. Dan karena dia sudah berjanji tak akan menyerang apalagi membunuh pemuda itu kalau Beng Tan "hidup" maka otomatis gadis ini tak dapat berbuat apa-apa ketika Beng Tan menyerahkan dirinya, siap ditusuk atau dibunuh tapi Swi Cu menangis pergi.

Gadis ini merasa malu tapi juga marah serta bermacam perasaan lain yang mengaduk-aduk hatinya. Ada marah tapi juga gemas bahwa dia sampai tak tahu akal muslihat Beng Tan, tak melihat betapa dada pemuda itu sama sekali tak berdarah ketika ditikam pedang, karena ternyata dikempit dan diterima bawah ketiak. Jadi dari jauh seolah kena tapi sesungguhnya tidak.

Dan karena dia membuktikan lagi betapa lihai dan hebatnya pemuda itu, pemuda yang telah menyatakan cintanya dan tentu saja tak mungkin ditolak, karena sesungguhnya diam-diam dia juga tergetar dan tertarik oleh pemuda ini maka yang dilakukan Swi Cu adalah menangis dan membanting-banting kakinya sepanjang jalan, terus lari dan tidak menghiraukan pemuda itu namun Beng Tan tiba-tiba berkelebat dan melayang di atas kepalanya. Dan ketika pemuda itu berjungkir balik dan berdiri di depannya, otomatis menghadang maka Swi Cu berhenti dan melihat pemuda itu mengembangkan kedua lengannya, menggigil.

"Cu-moi, apakah aku salah? Kau marah? Maaf, aku tak bermaksud menyakiti hatimu, moi-moi. Aku siap menerima hukuman kalau aku dianggap keterlaluan!" pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, merangkul dan memeluk kedua kaki gadis ini dan otomatis Swi Cu tertahan, tersedu-sedu. Namun ketika Beng Tan bangkit berdiri dan memeluknya, tak ditolak maka pemuda itu tampak girang dengan hati sedikit berdegup.

"Cu-moi, kau sendiri janji bahwa akan menerima cintaku. Nah, buktikan kata-katamu dan bunuhlah aku kalau lancang!" dan, sementara gadis itu tidak mengerti apa yang dimaksud dan membelalakkan matanya tiba-tiba Beng Tan menunduk dan mencium bibirnya.

"Ooh..!" gadis ini tersentak, menggelinjang dan meronta. "Kau... Kau kurang ajar, Beng Tan. Kau tak tahu malu... plak-plak!"

Dan Beng Tan yang ditampar dua kali dan terpelanting kaget tiba-tiba melihat gadis itu meloncat pergi, terbang dan menangis lagi namun Beng Tan penasaran. Dia melihat Swi Cu tidak marah meskipun menampar dan memaki-makinya. Maka begitu meloncat bangun dan berteriak mengejar tiba-tiba pemuda ini sudah menangkap dan menyambar lengan orang, minta agar Swi Cu berhenti dan membunuhnya kalau tidak suka, disodok dan gadis itu lari lagi namun Beng Tan mengejar dan menangkap lagi. Dan ketika hal itu terjadi berulang-ulang dan gadis ini akhirnya mengguguk dan memukul-mukul dada Beng Tan akhirnya pemuda itu tersenyum dan lega ketika si gadis tak melepaskan dirinya lagi, menyerah.

"Beng Tan, kau... kau pemuda paling nekat. Kau tak tahu malu. Kau kurang ajar dan tidak tahu aturan. Ah, biarlah kau bunuh aku dan kubuang rasa maluku ini!"

"Hush!" si pemuda membelai kekasihnya. "Siapa mau membunuhmu, Cu-moi? Aku mencintaimu, dan aku girang bahwa kau menerima cintaku. Eh, bukankah kau tak menarik janjimu sendiri? Bukankah aku boleh membelai dan mencium bibirmu? Sst, jangan menangis, moi-moi. Aku tak akan mempermainkanmu tapi terimalah cintaku ini!"

Dan ketika Beng Tan menunduk dan mencium gadis itu lagi, sepenuh perasaan dan lembut serta mesra tiba-tiba Swi Cu terguling dan malah roboh. Panas dingin oleh ciuman pemuda itu dan Swi Cu mengeluh. Gadis ini belum pernah disentuh apalagi dicium pria, Beng Tan telah melakukannya dan tentu saja tiba-tiba dia lunglai. Perasaan yang membubung membuat gadis itu naik tinggi, seakan ke sorga. Dan ketika Beng Tan terkejut namun gembira bahwa kekasihnya tak apa-apa, tak marah atau pun gusar maka pemuda ini sudah menyambar lagi dan memberikan ciuman lembut berulang-ulang, mengusap dan membelai kekasihnya dan mengeluhlah Swi Cu oleh belaian nikmat ini.

Manusia mudah ternina bobok oleh kenikmatan yang menghuni jiwa. Maka begitu Beng Tan memberikannya dan lembut serta mesra pemuda itu memeluk kekasihnya maka Beng Tan berhasil menundukkan wakil ketua Hek-yan-pang ini setelah melalui perjuangan yang susah payah, seperti seorang pemburu yang menjinakkan kuda liar!

Swi Cu tak menangis lagi. Gadis itu hanya terisak kecil dan mengeluh atau mengerang ketika Beng Tan menciumnya. Maklumlah, setiap ciuman pemuda itu seolah listrik yang menyengat tubuhnya. Swi Cu menggigil dan meremang panas dingin. Tapi ketika lama-lama dia mulai biasa dan balas menyambut, hal yang membuat Beng Tan girang bukan main maka hari itu mereka resmi merupakan calon suami isteri yang siap menikah!

"Aku ingin segera melamarmu, menjadi suamimu. Bagaimana pendapatmu, Cu-moi?"

"Aku siap, Tan-ko. Tapi aku harus menunggu suci (kakak seperguruan perempuan)!"

"Hm, di mana sucimu?"

"Entahlah, suci Wi Hong mencari Golok Maut. Maka aneh sekali kalau tiba-tiba Golok Maut itu datang dan mencari-cari suciku di markas Hek-yan-pang!"

"Dan Golok Maut marah besar! Eh, apa yang kira-kira terjadi, Cu-moi? Dapatkah kau meraba-rabanya?"

"Aku tak tahu, Golok Maut tak menjelaskannya. Tapi kalau aku bertemu suciku itu tentu semuanya dapat kuketahui!"

"Dan kau tak mau menikah kalau belum menemui sucimu itu. Apakah bermaksud minta restu?"

"Sebagian memang begitu," wajah gadis ini memerah. "Tapi sebagian juga tidak, Tan-ko. Aku agak tak enak kalau suci belum menikah padahal aku sudah mendahului!"

"Oh, begitukah?"

"Ya. Kau tak senang?"

"Hm!" Beng Tan menyambar pinggang ramping ini. "Demi kau aku dapat mengalahkan segala-galanya, Cu-moi. Kalau kau mempunyai pikiran begitu tentu saja kuhargai. Aku siap menunggu!"

"Dan kau tak marah?"

"Eh, kenapa harus marah? Ha-ha, marah kepadamu salah-salah kau tinggal pergi, moi-moi. Dan aku tak mau itu! Ah, tidak. Aku tak marah!" dan ketika gadis itu tersenyum dan Beng Tan mencium maka Swi Cu mendorong dan berkata,

"Sst, sudah. Jangan terus-menerus. Kita harus kembali dan pulang!"

"Pulang?"

"Ya, memangnya kita tidak kembali ke markas? Anak-anak murid tentu menunggu, Tan-ko. Dan aku harus kembali!"

"Tapi aku harus membayangi Golok Maut," Beng Tan tiba-tiba khawatir. "Dapatkah kau meninggalkan perkumpulanmu, moi-moi? Kita berdua pergi dan bersama-sama!"

Swi Cu mengerutkan kening. "Markas menjadi kosong," katanya tak enak. "Bagaimana ini, Tan-ko?"

"Ah, Kim Nio dan lain-lain itu dapat menjaga perkumpulan, Cu-moi. Mereka cukup lihai dan hebat. Apalagi kalau semua maju berbareng!"

"Tapi nyatanya tak dapat menahan Golok Maut, juga dirimu!"

"Ah, itu lain, moi-moi. Orang seperti Golok Maut atau aku memang masih bukan tandingan mereka. Tapi betapapun mereka cukup tangguh kalau menghadapi orang-orang lainnya, jago-jago kelas satu!"

"Hm, sebaiknya kupikirkan dulu. Baiklah, nanti saja kita ulang dan mari pulang sebelum mereka menunggu terlalu lama!"

"Dan kau dapat beralasan mencari sucimu!" Beng Tan tiba-tiba berkata, seolah mendapat jalan keluar. "Dengan mencari sucimu maka kepergianmu semakin kuat, moi-moi. Golok Maut hendak membunuh sucimu dan kita berdua hendak mencari sucimu itu!"

"Baiklah, mari, Tan-ko. Aku pikir boleh juga begitu dan kita kembali!" dan ketika gadis itu mengangguk dan rupanya mendapat alasan yang tepat maka anak-anak murid Hek-yan-pang girang bukan main melihat wakil ketuanya ini kembali dengan selamat, bahkan bersama Beng Tan dan keduanya yang sudah saling bergandengan tangan itu segera memberi tahu anak-anak murid yang hadir bahwa dua orang itu sudah "damai".

Beng Tan tersenyum-senyum sementara Swi Cu agak merah mukanya ketika melepaskan diri, malu tapi semua murid sudah menjatuhkan diri berlutut menyambut hu-pangcunya ini, yang juga boleh disebut ketua karena saat itu memang yang menjadi pemimpin adalah gadis baju hitam ini. Dan ketika Swi Cu berkata bahwa dia harus meninggalkan perkumpulan karena ancaman Golok Maut dirasa membahayakan jiwa ketua, Wi Hong, maka gadis ini menutup dengan gerakan lengan.

"Aku hendak mewakilkan pekerjaan kepada dua di antara kalian, yakni Kiok Bhi dan Kim Nio. Selama aku tak ada di sini maka mereka itulah yang memimpin Hek-yan-pang. Kalian jaga baik-baik dan hati-hati!"

"Dan in-kong ini..." seseorang tampil bicara. "Apakah akan bersamamu, pangcu? Ia mempertanggungjawabkan perbuatannya?"

"Ya," Beng Tan menjawab, mendahului sambil tertawa. "Aku datang karena aku jatuh cinta pada hu-pangcumu, Liok-hoa. Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku dan sesungguhnya aku tak dapat sendiri tanpa Swi Cu di sampingku!"

"Hm!" Swi Cu semburat. "Beng Tan-ko telah menyelamatkan kita semua, Liok-hoa. Dan dia akan menolongku pula mencari suci Wi Hong. Apa yang menjadi peraturan partai dipenuhi pemuda ini. Beng Tan-ko akan menjadi calon suamiku!"

"Dan hu-pangcu akan menikah!"

"Itu nanti dulu, aku harus minta restu suci Wi Hong dan menyelamatkannya dari ancaman Golok Maut. Kalau tidak maka calon suamiku ini berjanji untuk setia menunggu!"

"Benar," Beng Tan kembali bicara. "Kami tak dapat bersenang-senang kalau ketua kalian belum ditemukan, Liok-hoa. Aku memenuhi permintaan hu-pangcumu bahwa kami baru menikah setelah sucinya didapat, dalam keadaan selamat!"

"Ah, terima kasih. Kalau begitu kami menghaturkan selamat atas perjodohan ji-wi (anda berdua)!"

Dan ketika yang lain mengangguk dan Liok-hoa sudah membenturkan dahinya berseri-seri maka yang lain mengikuti dan semua mengharap kebahagiaan direngkuh pasangan muda ini, disambut Beng Tan yang tersenyum-senyum melirik kekasihnya tapi Swi Gu melengos. Kalau saja tak ada banyak orang di situ mungkin gadis ini akan mencubit Beng Tan. Pemuda itu tertawa menggodanya. Tapi ketika mereka akan pergi dan siap berangkat tiba-tiba seorang murid memberi tahu bahwa Ci Fang, pemuda yang dititipkan di situ hilang.

"Pemuda itu tak ada?"

"Benar, lenyap, pangcu. Dan kami kehilangan sebuah perahu! Apakah kami harus mencarinya?"

Swi Cu mengerutkan kening, ganti memandang Beng Tan. "Bagaimana pendapatmu?"

"Lho, kenapa bertanya ke sini? Dia tawananmu, Cu-moi, titipan sucimu. Kalau mau dicari tentu saja dapat, terserah kau!"

"Tapi aku tak senang padanya, pemuda itu ceriwis!"

"Kalau begitu tak usah dicari, biarkan saja."

"Tapi aku khawatir ditegur dan dimarahi suciku! Keparat, kenapa pemuda itu macam-macam? Memangnya dia mengira bisa hidup enak di luar?"

"Sudahlah, mungkin Ci-kongcu itu merasa tak aman lagi di sini, Cu-moi. Dia ketakutan setelah Golok Maut datang. Kupikir biarkan saja dan kita cari sambil lalu. Ka lau di tengah jalan ketemu berarti untung, tapi kalau tidak maka mencari sucimu adalah lebih penting. Kita harus menyelamatkannya dari buruan Golok Maut!"

"Baiklah, aku menurut, Tan-ko. Aku menyerahkannya padamu dan memang agaknya hanya kau yang dapat menghadapi laki-laki yang ganas itu. Golok Maut sungguh keji. Kalau ada apa-apa dengan suciku tentu aku tak mau diam!"

"Hm, tak perlu meradang dulu. Marilah kita pergi dan segera berangkat!" dan begitu menyendal dan mengangkat lengan kekasihnya tiba-tiba Beng Tan berkelebat dan meninggalkan pulau. Dan begitu Swi Cu mengerahkan ginkangnya dan mengikuti kekasihnya maka anak-anak murid Hek-yan-pang bersinar-sinar gembira karena mereka bakal mendapatkan seorang pelindung yang gagah dan lihai, setanding Golok Maut!

* * * * * * *

Di sebuah tempat yang sunyi. Seorang pemuda berjalan terhuyung-huyung sambil memeras bajunya yang kuyup. Berkali-kali pemuda ini mengeluh dan mengumpat-umpat nama seseorang, mengepal-ngepalkan tinju dan tiga kali dia tersandung jatuh, bangun dan melanjutkan lagi perjalanannya meninggalkan pulau kecil di sebuah telaga. Dan ketika dia cukup jauh dan terseok serta melangkah dengan berat akhirnya pada hari ketiga pemuda ini tiba di sebuah hutan kecil, roboh dan tertelungkup di situ.

Mulutnya yang menyebut-nyebut nama seseorang dan memaki-maki tapi merintih akhirnya didengar tiga sosok bayangan yang berkelebat melihat pemuda itu, yang terguling dan rupanya kelelahan. Dan ketika tiga bayangan itu berkelebat mendekati dan mereka mendengar keluhan atau rintihan pemuda ini maka ketiganya tertegun mendengar nada-nada geram.

"Golok Maut, kau jahanam keparat. Awas kau, aku akan membunuhmu kalau aku bisa!" lalu, mendesis mengurut-urut tangannya yang sakit, mungkin keseleo, pemuda ini bicara lagi, "Dan aku tak akan memberimu ampun kalau tertangkap. Sekali kau jatuh di tanganku maka kau akan kuhukum picis!"

Sampai di sini pemuda itu mengaduh. Dia tak tahan ketika kepalanya terasa pusing hebat, bumi rasanya berputar dan ia pun terguling lagi. Namun ketika tiga bayangan berkelebat dan tiga wanita gagah yang cantik-cantik berdiri di depannya mendadak pemuda ini tertegun dan berkejap-kejap.

"Hei!" serunya. "Kalian siapa? Dewi-dewi kahyangan?"

Tiga wanita itu mendengus. Seorang di antaranya tiba-tiba bergerak menangkap dan menyambar leher baju pemuda ini. Dan ketika pemuda itu menjerit karena lehernya serasa dijepit tanggem baja maka wanita itu, cantik dan berbaju kuning bertanya,

"Kau siapa dan kenapa menyebut-nyebut nama Si Golok Maut. Di mana orang itu dan apa yang terjadi padamu!"

"Aku... aku, aduh! Lepaskan dulu tanganmu dan jangan kurang ajar begini. He, aku Ci-kongcu, putera Ci-ongya. Awas kau kalau berani kurang ajar!"

Wanita itu terkejut. "Ci-kongcu?"

"Ya, kau tidak segera melepaskan tangan mu?"

Wanita ini mundur. Dia melepaskan jepitannya tapi Ci Fang, pemuda itu, tiba-tiba roboh kembali. Dia sudah tak kuat berdiri sendiri karena lelah dan capainya. Kiranya dia adalah pemuda yang melarikan diri dari perkumpulan Hek-yan-pang. Dan ketika pemuda itu mengeluh namun wanita kedua yang berbaju ungu cepat menolong dan memberinya air minum maka Ci Fang dapat berdiri setelah ditotok sana-sini pula, mendapatkan tenaganya sebagian.

"Kami juga musuh Si Golok Maut. Kongcu tak perlu takut. Kami orang-orang Kim-liong-pang," wanita itu berkata, bantu menahan punggung pemuda ini dan Ci Fang terbelalak. Dia marah tapi tiba-tiba tersenyum mendengar kata-kata wanita itu, yang kiranya murid atau orang-orang Kim-liong-pang. Dan karena Kim-liong-pang sudah didengarnya sebagai perkumpulan yang juga memusuhi Golok Maut, karena Coa Hing Kok ketua Hek-liong-pang dibunuh tokoh bercaping itu maka Ci Fang berseri-seri dan melupakan rasa sakitnya.

"Aih, kalau begitu kalian dari Kim-liong-pang? Bagus, ayahku kenal baik dengan Kim-liong Sian-li, ketua Kim-liong-pang. Kalau begitu kalian bantu aku agar Golok Maut ini dapat dibunuh!"

"Kongcu dari mana? Kenapa bisa di tempat ini?"

"Hm, Golok Maut baru saja mengamuk, niocu (nona). Aku berada di markas Hek-yan-pang ketika laki-laki itu tiba. Aku melarikan diri, tiba di sini dan kehabisan tenaga. Tolong kalian antar aku pulang dan ayahku nanti akan memberi kalian emas dan uang!"

"Kami tak butuh emas dan uang. Kami butuh Si Golok Maut itu!"

"Tapi ketua kalian tak dapat menandingi Si Golok Maut! Masa kalian dapat mengalahkannya?"

"Hm!" wanita baju ungu itu merah mukanya. "Kami barangkali memang tak dapat menandingi Golok Maut, kongcu. Tapi dendam kami tak dapat dihapus. Kami akan mencari Golok Maut itu meskipun kami harus mampus!"

"Bagus, kalau begitu kalian pemberani, ha-ha! Eh, siapa namamu, niocu? Bolehkah aku mengenal kalian bertiga?"

"Aku Biao Lin, itu Bwee-hi dan Pwee Giok!"

"Ah, terima kasih. Dan kalian cantik-cantik! Hm, kalian mau ke mana, Biao Lin? Bagaimana menemukan aku di sini?" mata pemuda itu bersinar-sinar, kagum memandangi tiga wanita cantik ini dan Biao Lin merah mukanya.

Putera Ci-ongya yang tidak segan-segan memandanginya tanpa sungkan itu membuat dia jengah, kikuk dan sedikit gugup. Tapi ketika dia menenangkan degup jantungnya dan mata nakal pemuda itu disambutnya dingin maka wanita ini berkata, "Kami mencari Golok Maut, kebetulan mendengar kongcu menyebut-nyebut nama laki-laki itu. Kalau kongcu ingin pulang maaf kami tak dapat mengantar, karena kami ingin menemukan dan segera mencari laki-laki itu. Kongcu tentu tidak takut kalau pulang sendiri, bukan? Nah, permisi, kongcu. Kami akan segera ke markas Hek-yan-pang!"

"He!" Ci Fang terkejut. "Tunggu, Biao Lin. Golok Maut sudah tak ada di sana!"

"Kami akan membuktikannya!" dan Ci Fang yang ditinggal dan melihat Biao Lin berkelebat mengajak kedua temannya akhirnya tinggal melongo dan marah, bermaksud mau menggoda tapi tiga murid-murid Kim-liong-pang itu tahu gelagat, tak mau melayaninya dan pemuda ini menggigit jari. Dan ketika dia mengumpat dan mencaci-maki, kembali sendiri, mendadak sebuah bayangan baru berkelebat di depannya dan terkekeh.

"Hi-hik, kenapa marah, Ci-kongcu? Tak dilayani mereka tak apa, ada aku di sini!" bau harum menyambar, langsung muncul wanita cantik lain dan Ci Fang tertegun.

Wanita itu cantik melebihi tiga anak-anak murid Kim-liong-pang tadi dan gagah berdiri dengan sanggulnya yang tinggi. Di bawah ketiaknya terkempit sebuah payung hitam, memandangnya berseri-seri dan Ci Fang tergetar melihat bentuk tubuh wanita ini. Dia montok dan menggairahkan, baju di bagian dadanya tersembul seakan tak sanggup menahan sepasang bukit di balik baju tipis itu, baju menerawang yang membuat mata Ci Fang silau. Maklumlah, wanita ini genit dan sikapnya menantang! Dan ketika Ci Fang tertegun dan wanita itu menarik payungnya, membuka dan memasangnya di atas kepala, dengan gaya dan kaki diangkat sebelah maka wanita itu terkekeh, memperdengarkan kembali suaranya yang merdu.

"Hi-hik, apa yang kau lihat, kongcu? Bukankah kau kecewa tak ditemani wanita-wanita itu tadi? Huh, mereka sombong, tak perlu dicari. Sebaiknya kau dengan aku dan kuantar pulang!"

"Kau... kau siapa?"

"Aku Eng Hwa, Li Eng Hwa!"

"Dan kau juga memusuhi Golok Maut?"

"Hi-hik, aku berkali-kali bertemu dengannya, kongcu. Dan aku tak pernah menjadi korban. Golok Maut itu selalu pergi kalau melihat aku, lari ketakutan!"

"Ah, kau mengada-ada," Ci Fang tak percaya, tentu saja geli. "Di markas Hek-yan-pang sana Golok Maut dikeroyok ratusan orang, Eng Hwa. Dan tak satu pun menang. Kalau tak ada pemuda gagah bernama Beng Tan itu tentu semuanya tewas dibabat Si Golok Maut!"

"Beng Tan?" wanita ini terkejut. "Pemuda baju putih itu?"

"Ya, kau tahu?" Ci Fang ganti terkejut.

"Ah, hi-hik!" Eng Hwa kini tertawa, kekehnya lepas. "Aku juga kenal baik pemuda itu, Ci-kongcu. Dan untuk ini baru kuakui kelihaiannya. Kami berdua setanding, dan Golok Maut memang bakal terbirit-birit bertemu pemuda itu!"

"Hm, kau siapa sebenarnya?" Ci Fang bersinar-sinar. "Benarkah kau dapat mengalahkan Si Golok Maut?"

"Kau tak percaya?" wanita ini terbelalak, payung pun tiba-tiba dilipat. "Lihat, aku akan menunjukkan kepandaianku, kongcu. Jangan berkedip dan lihat seperberapa detik daun-daun di atas pohon itu kubabat...wut!" wanita ini meloncat, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu dia telah beterbangan mengelilingi pohon.

Ci Fang tak sanggup lagi mengamati gerakan wanita itu setelah berseliweran di udara, matanya kabur. Tapi ketika wanita itu berdiri lagi di sebelahnya dan membuka payung, maka Ci Fang tertegun melihat daun-daun hijau dan kuning yang rontok berhamburan di sekeliling mereka berdua, tak lebih dari sebuah tiupan napas!

"Hebat!" pemuda ini terkejut. "Kau lihai, Eng Hwa. Dan sekarang rupanya baru kupercaya. Aih, kau dapat menjadi pelindungku. Ayah dapat membayarmu mahal kalau kau bekerja di gedungku!"

"Hi-hik, aku tak butuh uang," wanita itu tertawa. "Aku orang baik-baik, kongcu. Kalau ingin menolong selamanya tanpa pamrih. Marilah, kau akan pulang, bukan? Kau ingin kembali ke istana ayahmu?"

"Benar, dan kau mau mengantar?"

"Kalau kau suka."

"Ah, aku tentu saja suka! Seribu kali suka! Ha-ha, aku senang mendapat pelindung macammu ini, Eng Hwa. Dan aku berharap kau dapat menangkap Si Golok Maut itu. Dia mengancam keluargaku, ayahku. Aku ingin kau membekuknya dan ayah dapat memberikan kedudukan tinggi padamu di istana!"

"Hm, aku tak suka kedudukan, aku tak suka uang. Kalau aku menolong orang-lain maka semuanya kulakukan tanpa pamrih, kongcu. Marilah kita berangkat dan kuantar kau pulang!"

Ci Fang gembira. Wanita ini melipat payungnya dan melenggang, lenggangnya begitu aduhai hingga pinggul bulat yang seperti pot bunga itu menari-nari. Ci Fang terbelalak tapi dia girang bukan main, Dan ketika wanita itu mengajak dan pemuda ini mengikuti maka Ci Fang memuji dan berkata bahwa wanita itu bukan main lihainya, juga cantik, melebihi dewi.

"Hi-hik, kau bisa saja memujiku, kongcu. Jangan main-main dengan pujian."

"Ha-ha, aku bicara sebenarnya. Kau memang cantik dan lihai, Eng Hwa. Sungguh bahagia kalau aku dapat selalu berdekatan denganmu!"

"Kongcu suka?"

"Tentu saja! Laki-laki mana tak suka berdekatan dan berkumpul dengan wanita cantik, Eng Hwa? Dan kau gagah, rendah hati. Ah, dan kau tak tamak pula akan uang dan kedudukan!"

"Hi-hik, aku selamanya memang menjauhi dua hal itu, Aih, uang dan kedudukan dapat membuat manusia mabok, kongcu. Aku pantang berdekatan dengan itu kecuali terpaksa!"

Ci Fang tertawa. Si cantik sudah melenggang dan memuji bahwa dia tampan pula, tampan dan pemberani. Dan ketika wanita itu kagum bahwa dia berani memaki-maki Golok Maut, dan rupanya juga sudah bertemu dan berhadapan dengan tokoh yang mengerikan itu maka Eng Hwa melepas lirikannya, tajam menyambar.

"Aku sudah mendengar bahwa kau baru saja di tempat perkumpulan Walet Hitam itu, dan kau lolos dari tangan Si Golok Maut. Aih, kau beruntung, kongcu, dan sungguh pemberani. Bukti bahwa kau dapat melarikan diri dari perkumpulan Walet Hitam itu saja sudah menunjukkan keberanianmu yang besar. Kau pantas dikagumi siapapun!"

"Tapi aku bodoh, tak pandai silat!"

"Hm, aneh bahwa kau tak bisa silat, kongcu. Bukankah sebagai putera seorang pangeran kau dapat mencari dan menemukan guru yang baik?"

"Dulu aku tak mau, tapi sekarang aku menyadari betapa perlunya belajar ilmu silat itu!"

"Kongcu mau kuajari?"

"Ah, kau mau menjadi guruku?"

"Hi-hik, bukan guru, kongcu, melainkan sahabat. Aku tak berani menganggapmu sebagai murid!"

"Kalau begitu aku semakin senang. Kau ajarilah aku ilmu silat!"

Dan ketika Eng Hwa terkekeh dan mengangguk sambil berjalan maka di tengah perjalanan mulailah wanita ini memberikan dasar-dasar ilmu silat, sebentar-sebentar berhenti dan Ci Fang girang karena setiap kali memberi pelajaran ilmu silat tentu kedua lengan mereka bersentuhan. Eng Hwa melepas lirikan-lirikannya yang manis dan sentuhan-sentuhan atau pegang di antara mereka semakin sering, kalau wanita itu harus memberi contoh sebuah kuda-kuda atau gerakan tangan. Dan ketika semuanya itu ditambah sikap Ci Fang sendiri yang tidak segan-segan meremas atau menggenggam lengan orang, remasan atau genggaman yang penuh nafsu, karena Eng Hwa sering menunduk membiarkan bagian dadanya terlihat jelas maka satu jam saja Ci Fang tiba-tiba sudah memeluk dan berani mencium si cantik itu.

"Eng Hwa, aku merasa jatuh cinta kepadamu. Ah, kau cantik dan memikat. Aku ingin kau menjadi kekasihku!"

"Ih!" Eng Hwa pura-pura mengelak, terkejut. "Jangan begitu, kongcu. Kau putera seorang pangeran!"

"Tak apa." pemuda ini sudah mulai terbakar. "Aku dapat minta kepada ayah untuk mengambilmu sebagai isteriku, Eng Hwa. Aku akan memanjakanmu dan hidup senang di istana!"

"Tapi...."

"Tak ada tapi. Aku mencintaimu, Eng Hwa. Kau terimalah aku dan ah... betapa cantiknya kau!" dan Ci Fang yang menyambar dan sudah memeluk wanita ini, menciumnya, tiba-tiba disambut tak kalah panas dan kekeh aneh yang keluar dari mulut si cantik.

"Aih, perlahan, kongcu. Jangan terburu-buru....!"

"Aku tak tahan. Kau begitu menggemaskan!" dan ketika Eng Hwa terguling dan pemuda ini sudah menindihnya dengan dengus tertahan tiba-tiba Eng Hwa menyambut dan sudah membuka bajunya sendiri.

Sebentar kemudian dua orang ini sudah bergulingan diatas rumput, saling pagut dan cium seolah lintah, lekat tak mau dipisah lagi. Dan karena Ci Fang tak tahu bahwa yang dihadapi kali ini adalah Mao-siao Mo-li Li Eng Hwa yang amat cabul maka tentu saja sikapnya itu disambut hangat dan dua orang ini seolah tumbu ketemu tutup, cocok dan klop karena Ci Fang sendiri sesungguhnya bukan pemuda baik-baik. Pemuda itu terpaksa "dibuang" ayahnya karena suatu hal, yakni mengganggu selir ayahnya termuda dan kepergok berduaan di kamar, padahal selir ayahnya itu adalah selir yang paling disayang, ibu tiri pemuda ini namun usia Ci Fang justeru lebih tua tiga tahun.

Selir ayahnya itu baru berusia tujuh belas dan Ci Fang berani mengganggunya, merayu dan terjadilah hubungan gelap di antara keduanya. Dan karena selir itu lebih suka kepada Ci Fang daripada ayahnya yang sudah tua maka keduanya terlibat hubungan intim namun akhirnya ketahuan. Sang ayah marah-marah dan selir itu nyaris dibunuh. Ci Fang membela dan terjadilah cekcok antara ayah dan anak, yang hampir saja berakibat Ci Fang dibunuh. Tapi ketika sang paman muncul dan Coa-ongya melerai akhirnya Ci Fang diminta meninggalkan istana dengan dalih dilindungi keselamatannya dari ancaman Golok Maut, yang sudah mengincar istana dan beberapa hari yang lalu sudah mencari dua keluarga ini.

"Kau tak perlu emosi. Kalau kau masih menyayang selirmu itu dan Ci Fang mengganggu sebaiknya anakmu ini yang diminta pergi. Biar dia ke suatu tempat dan sementara ini menjauh. Betapapun anak itu adalah darah dagingmu sendiri."

"Tapi dia pemuda keparat. Dia bercumbu dengan Lan Hong!"

"Sudahlah, di saat seperti ini jangan kita bertengkar sendiri, Ci-te (adik Ci). Ingat Golok Maut mengancam kehidupan kita dan tak boleh kita cakar-cakaran, apalagi antara dirimu dengan anakmu itu, ayah dan anak. Kalau kau rela melepas Lan Hong biarkan dia bersama Ci Fang. Tapi kalau kau masih mengingini Lan Hong biarlah puteramu yang pergi dan aku akan mencarikan penggantinya di Hek-yan-pang!"

"Hek-yan-pang?"

"Ya, perkumpulan wanita-wanita cantik itu, Ci-te. Kukira dengan nama kita di sini Hek-yan-pang tak berani menolak permintaan kita. Dengan alasan Golok Maut mengancam kehidupan istana barangkali ketua perkumpulan Walet Hitam itu akan menerima Ci Fang."

"Jadi..?"

"Benar. Kau tahu maksudku, bukan? Nah, biarkan puteramu di sana, Ci-te. Dan Ci Fang akan memilih sesuka hatinya kembang-kembang cantik di sana, syukur kalau ketua atau wakil ketua Hek-yan-pang menyukai anakmu!"

Golok Maut Jilid 18

GOLOK MAUT
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
BENG TAN berkelebat. Dia sudah menghampiri gadis ini dan berlutut di situ, memeriksa, mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih tergetar oleh pukulan sinkang dan kini meskipun sadar namun bukanlah berarti sudah baik. Gadis itu berketrukan dan menggigil, memandang Beng Tan namun Beng Tan sudah menempelkan lengan di pundak gadis ini. Dan ketika Beng Tan berkata bahwa dia akan menolong gadis itu dan Swi Cu diharap menerima penyaluran sinkangnya maka gadis atau wakil ketua Hek-yan-pang ini semburat mukanya merasa hawa hangat tubuh lelaki memasuki tubuhnya!

"Lepaskan!" Swi Cu membentak. "Kau tak perlu melakukan itu, sobat. Biarkan aku menyembuhkan diriku sendiri dan kau tolong yang lain!"

Beng Tan tertegun. Dia melepaskan lengannya di pundak karena gadis baju hitam itu menolak, tak suka dan sudah terhuyung bangkit berdiri, berkata akan menyembuhkan dirinya sendiri namun Swi Cu terguling. Dan ketika Beng Tan menyambarnya dan untuk kedua kali gadis ini merah mukanya karena dipegang lelaki maka Beng Tan berseru padanya,

"Nona, hati-hati. Aku tidak bermaksud yang lain kecuali ingin menolongmu. Kau tergetar pukulan sinkang, harus segera ditolong atau kau bakal terluka dalam!"

"Tidak, aku dapat mengurus diriku sendiri, sobat. Kau tolonglah yang lain dan biar aku sendiri..."

"Tapi kau..."

"Tak usah banyak cakap. Kau tolong yang lain atau pergi dari sini. Hek-yan-pang sebenarnya tak boleh dimasuki lelaki!"

Beng Tan terkejut, dibentak kasar dan gadis baju hitam itu tiba-tiba terisak. Sebenarnya Swi Cu tak bermaksud bersikap kasar kepada penolongnya ini tapi apa boleh buat dia harus melakukan itu. Sentuhan Beng Tan dan sikapnya tadi yang memberikan sinkang kepadanya sungguh membuat Swi Cu merinding. Seumur hidup belum pernah dia disentuh pria dan baru tadi dia merasakan hangatnya tubuh lelaki, meskipun berupa hangatnya tenaga sinkang dan Beng Tan bermaksud menolongnya, bukan mau kurang ajar.

Tapi karena perbuatan itu sudah cukup membuat gadis ini panas dingin dan untung saputangannya yang melindungi muka tak memperlihatkan wajahnya yang merona merah maka Beng Tan tak tahu dan tak mengerti kenapa gadis ini marah-marah, melotot padanya tapi cepat terisak dan menunduk, menyesal, terhuyung menjauhi dirinya dan Beng Tan tertegun melihat wakil ketua Hek-yan-pang itu duduk bersila, coba mengobati dirinya sendiri dengan penyembuhan dari dalam.

Dan karena saat itu yang lain-lain juga merintih dan minta tolong pemuda ini maka Beng Tan sadar dan cepat menolong anak-anak murid Hek-yan-pang itu, yang bangun dan merintih tak keruan namun Beng Tan sudah membagi-bagikan pil berwarna hijau muda untuk meringankan penderitaan wanita-wanita itu. Dan ketika sebagian besar tertolong dan kagum memandang Beng Tan, berterima kasih, maka terakhir barulah pemuda ini menolong Ci Fang, yang tidak tahu apa yang terjadi.

"Kau siapa? Golok Maut?"

"Bukan. Golok Maut sudah pergi, Ci-kongcu. Kau sekarang selamat tapi harus lebih berhati-hati lagi. Kita semua hampir saja dibunuh tokoh itu!"

"Dan in-kong (tuan penolong) ini hebat sekali. Aih, tanpa dia kita semua tentu sudah binasa, siauw-ongya (pangeran muda). Kita tertolong berkat kehebatan inkong ini!" seorang murid Hek-yan-pang berseru, tak sanggup menahan kekagumannya.

Dan Ci Fang terbelalak. Tapi ketika dia mau bertanya namun Beng Tan tak mau ditanya tiba-tiba pemuda ini sudah berkelebat ke arah Swi Cu, yang masih belum berdiri.

"Kalian semua tak usah membicarakan itu. Sebaiknya semua ke sini dan tolonglah ketua kalian ini!"

Semua teringat. Tiba-tiba semua murid berlompatan mengelilingi Swi Cu, wakil ketua mereka ini tiba-tiba nampak pucat dan gemetaran aneh. Entah kenapa Swi Cu tiba-tiba diserang pergolakan hawa di dalam tubuhnya sendiri. Gadis itu kacau dan tak berhasil memusatkan konsentrasi, pengobatannya gagal dan sementara Beng Tan menolong anak-anak murid yang lain justeru gadis ini megap-megap.

Swi Cu terkejut ketika sinkang di dalam tubuhnya tak mau dikendalikan, terbawa oleh pikirannya yang macam-macam dan akibatnya kalau anak-anak murid Hek-yan-pang sudah berhasil disembuhkan dan bangun berdiri adalah gadis ini malah batuk-batuk dan kebingungan. Dan ketika dia gelisah karena dadanya tiba-tiba sesak mendadak Swi Cu terguling dan tepat sekali saat itu Beng Tan datang.

"Hei, dia terluka dalam!"

Anak-anak murid terkejut. Apa yang dikhawatirkan Beng Tan ternyata betul terjadi, Swi Cu pucat mukanya dan gadis itu mengeluh. Dan karena tak ada yang sehebat Beng Tan dan semua mata tertuju padanya maka Beng Tan berlutut dan memeriksa denyut nadi.

"Kau terluka, aliran sinkangmu kacau!"

"Ooh..!" Swi Cu menggigil. "Jangan... jangan sentuh aku, sahabat. Biarkan aku ditolong anak-anak muridku...!"

"Tapi mereka tak sanggup. Tak ada yang memiliki sinkang yang melebihi sinkangmu!"

"Tak apa. Mereka dapat menggabung tenaganya bersama. Biarkan... biarkan aku...!" dan karena Swi Cu sudah menggapai dan memanggil Kim Nio dan Kiok Bhi, juga Jit-nio dan Liok-hoa yang ada di situ maka Beng Tan mundur dengan kening dikerutkan, melihat empat anak murid itu sudah berlutut dan menyalurkan sinkang di tubuh ketuanya.

Memang mereka tahu apa yang mengganjal perasaan hu-pangcunya itu, bahwa hu-pangcu mereka kikuk dan jengah disentuh lelaki. Dan karena sudah menjadi pantangan bahwa Hek-yan-pang tak boleh bergaul apa-lagi bersentuhan dengan lelaki maka Kim Nio dan kawan-kawannya ini coba menolong wakil ketuanya dan sebentar saja keringat deras mengalir di wajah masing-masing, sudah mengerahkan semua kekuatan mereka namun hu-pangcu tak berkurang penderitaannya. Gabungan sinkang mereka masih kurang hebat dan Swi Cu bahkan mengeluh, membuat anak murid yang lain kecut dan menjadi tegang. Dan ketika Beng Tan juga mengerutkan kening karena tanda-tanda kesembuhan tak nampak juga tiba-tiba gadis itu menggeliat dan roboh pingsan.

"Aduh!"

Kim Nio dan tiga temannya terpental. Mereka tiba-tiba tertolak setelah gagal mengobati, keempatnya terjengkang dan kaget bukan main. Tenaga mereka bertemu semacam tenaga yang kacau di tubuh hu-pangcu itu, tak ayal kandas setengah jalan dan jadilah mereka terpukul oleh tenaganya sendiri. Dan ketika mereka bergulingan dan anak-anak murid yang lain terkejut dan membelalakkan matanya maka Kim Nio meloncat bangun dan menggigil berlutut di depan Beng Tan, merasa tak ada jalan lain.

"In-kong, tolonglah kami. Hu-pangcu terancam bahaya maut. Dia bisa tewas!"

"Tapi dia tak mau kutolong," Beng Tan pucat. "Bagaimana ini? Aku... aku dapat memaklumi perasaan kalian, niocu. Tapi aku juga tak enak melanggar pantangannya. Sebaiknya kalian berunding dulu dan tentukan bagaimana sikap kalian. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau wakil ketua kalian ini marah!"

"Kami yang bertanggung jawab!" tiba-tiba serentak murid-murid yang lain berseru menjatuhkan diri berlutut. "Kami dapat menerima hal ini, in-kong. Lagi pula tanpa dirimu tentu kami semua sudah binasa. Kau telah menghidupkan nyawa kami dari tangan Si Golok Maut. Kini janganlah tanggung-tanggung menyelamatkan hu-pangcu kami!"

"Benar," Kim Nio girang menyambut cepat. "Lihat tanpa kusuruh semua teman-temanku bersedia mempertanggung-jawabkan kemarahan pangcu kami, in-kong. Cepat tolonglah atau kau bunuh kami sekalian agar mati bersama pangcu!"

Beng Tan terharu. Dia tertegun melihat kesungguhan murid-murid Hek-yan-pang ini bicara, mereka semua bersatu dan meminta agar dia menolong gadis baju hitam itu, secepatnya. Karena gadis itu agaknya terluka semakin parah setelah tenaga bantuan Kim Nio dan lain-lainnya itu tertolak. Dan karena mereka kini menangis dan beberapa di antaranya bahkan ada yang mencium kakinya agar dia menolong wakil ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba Beng Tan bergerak dan sudah menarik bangun wanita-wanita ini.

"Jangan berlutut.... jangan membuat aku kikuk. Kalian berdirilah dan aku tentu menolong hu-pangcu kalian!" dan begitu mereka ditarik bangun dan berseru girang maka Beng Tan sudah menyambar tubuh gadis bersaputangan hitam ini, membawanya ke dalam dan Kim Nio berkelebat mengiring.

Semua anak murid mengikuti pemuda itu dan Kim Nio membawa Beng Tan ke kamar yang besar, indah dan harum, tak tahu dan tak menduga bahwa kamar itu adalah milik Swi Cu sendiri, kamar pribadi yang tentu saja tak boleh dimasuki sembarangan apalagi oleh lelaki! Dan ketika Beng Tan meletakkan korbannya dan duduk bersila meletakkan tangan di pundak maka semua mata mengamati gerak-gerik pemuda itu ketika Beng Tan mulai menyalurkan sinkangnya, berkeringat dan Beng Tan memberikan empat pil hijau sekaligus ke mulut Swi Cu, didorong oleh air yang cepat membuat obat tertelan.

Dan ketika pemuda itu menyalurkan hawa saktinya untuk menolong hu-pangcu dari perkumpulan Walet Hitam ini maka setengah jam kemudian wajah yang pucat itu mulai memerah, tak lama kemudian semakin merah lagi dan tepat satu jam kesehatan gadis itu pulih, terbukti karena sepasang mata itu bergerak terbuka dan Swi Cu meloncat bangun, dengan amat cepatnya. Tapi begitu gadis itu meloncat dan melihat Beng Tan bersila tiba-tiba dia membentak marah dan melengking tinggi, merasa bahwa sinkang pemuda itu memasuki tubuhnya, bergerak dan menyatu seperti mahluk halus yang membuat gadis itu meremang!

"Keparat, kau kiranya kurang ajar... plak-plak-plak!"

Dan Beng Tan yang ditampar serta terpelanting bergulingan tiba-tiba membuat pemuda itu membuka matanya, sadar dan terpekik karena tadi Beng Tan setengah bersamadhi. Dia mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya untuk menolong ketua Hek-yan-pang ini. Maka begitu dia diserang dan tiga kali mendapat tamparan pulang balik tiba-tiba pemuda itu semakin terkejut ketika gadis baju hitam itu membentak lagi dan berkelebatan cepat menyerangnya.

"Pemuda busuk, kiranya kau sama saja dengan laki-laki lain. Ah, kau telah menyentuh tubuhku. Kau kurang ajar. Kau harus kubunuh... des-des-dess!" dan Beng Tan yang terlempar serta terguling-guling ditendang dan dipukul tiba-tiba meloncat bangun berteriak menahan, tak tahunya malah dikejar dan jadilah pemuda ini berlompatan dan mengelak sana-sini.

Sinkang pemuda itu telah beralih sebagian besar ke tubuh lawan, jadi dia sendiri kekurangan sementara lawan bagai harimau terluka yang mendapat tambahan darah segar, menyerang dan membuat Beng Tan kalang kabut karena terhuyung-huyung. Maklumlah, Beng Tan seharusnya memulihkan diri setelah pertandingannya yang hebat melawan Si Golok Maut, ditambah lagi dengan pengerahan sinkangnya ketika menolong hu-pangcu dari Hek-yan-pang itu. Maka begitu lawan mengejar dan menyerang bertubi-tubi, melengking panjang pendek maka Beng Tan terbanting ketika sebuah tendangan mengenai bahunya.

"Dess!"

Pemuda ini terlempar. Swi Cu berteriak mengejar lawan, beringas dan tiba-tiba mencabut pedang! Namun ketika gadis itu hendak membacok dan melampiaskan kemarahannya, dengan nafsu membunuh yang sangat tiba-tiba Kim Nio dan semua teman-temannya berlompatan, berseru,

"Pangcu, tahan...!" dan ketika dua ratus anak murid Hek-yan-pang itu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis ini, menghalang di antara Beng Tan dengan sang ketua maka Kim Nio pucat memberi tahu,

"Pangcu, jangan bunuh pemuda ini. Dia tak bersalah. Kami... kami yang menyuruhnya agar dia menolongmu. Kalau kau ingin menghukum maka hukumlah kami, bukan dia!"

"Benar!" Kiok Bhi, yang ada di samping wanita itu juga berseru menyambung. "Kami yang bertanggung jawab untuk semuanya ini, hu-pangcu. Kalau kau hendak menghukum maka kami semua menerima kenyataan. Kau hukumlah kami, bunuhlah kami!" dan ketika yang lain-lain juga berseru serupa dan Swi Cu tentu saja tertegun, kaget dan terkesima maka di Sana Beng Tan bangkit berdiri terhuyung-huyung mendekap dadanya, tertawa getir.

"Hu-pangcu, peraturanmu keras sekali. Memang betul mereka itu yang menyuruhku, tapi kalau aku tak mau tentu semuanya itu juga tak akan terjadi. Mereka tak bersalah, yang bersalah adalah aku!"

"Tidak!" Jit-nio berteriak, tiba-tiba memotong. "Kau kami paksa, in-kong. Kamilah yang bersalah karena kami yang memaksa. Sudahlah, kami sudah menyatakan bertanggung jawab dan kau diam saja!" dan ketika seruan wanita itu disambut yang lain-lain karena kenyataannya memang begitu maka Beng Tan terharu melihat pembelaan ini, kegagahan anak-anak murid itu di mana dengan gigih mereka saling sahut-menyahut.

Rupanya gerak-gerik dan sikap pemuda ini telah menarik simpati semua murid-murid wanita Hek-yan-pang itu, tak ada yang tak melindungi dan Beng Tan tersenyum pahit, terharu dan mengangguk-angguk ketika suaranya sendiri lenyap ditelan suara Jit-nio dan kawan-kawannya itu. Dan ketika dia menyeringai pahit dan diam bersinar-sinar maka Jit-nio dan ratusan kawan-kawannya itu sudah menghadapi Swi Cu kembali, sang wakil ketua.

"Hu-pangcu, kau telah mendengar keterangan kami. Nah, kau hukumlah kami kalau perbuatan kami dianggap berdosa!"

Swi Cu tertegun. Gadis bersaputangan hitam ini seketika tak dapat menjawab, dia terpaku di tempatnya seperti orang tersihir, tak berkejap dan juga tak bersuara. Tapi ketika satu keluhan kecil terdengar dari mulutnya dan gadis itu menyimpan pedang, hal yang menggirangkan hati semua anak-anak murid Hek-yan-pang maka terdengar suaranya yang menggigil tapi juga marah,

"Jit-nio, Kim Nio... kalian lancang! Kalian memalukan aku! Ah, apa yang harus kulakukan terhadap kalian? Mestikah kalian semua kubunuh? Keparat, kalian membuat aku malu, Jit-nio. Kalian lancang dan tidak tahu diri!"

"Maaf, itu semua demi keselamatanmu, pangcu. Kami memang menyadari resikonya. Kalau kami memang bersalah kau bunuhlah kami!"

"Dan juga kami...!"

"Kami...!"

Dan ketika semua yang lain saling bersahut-sahutan di mana Swi Cu mendongkol tapi juga marah tiba-tiba gadis ini membanting pedangnya dan berkelebat pergi, terisak. "Kim Nio, kalian terkutuk. Kalian tak dapat kubunuh. Ah, biarlah aku pergi dan kalian yang menjaga perkumpulan!"

"Eh!" semua murid terkejut. "Jangan, hu-pangcu. Jangan! Kami tak mau dan kalau begitu akan keluar pula!" dan ketika Jit-nio dan kawan-kawannya meloncat dan mengejar gadis ini maka Beng Tan tiba-tiba terguling dan roboh di sana.

"Heii..!" beberapa anak murid yang melihat kaget. "In-kong pingsan, pangcu. Tolong!"

Swi Cu tertegun. Melihat dan mendengar teriakan itu mendadak dia berhenti, Jit-nio dan lain-lainnya menoleh dan tampaklah oleh mereka tubuh Beng Tan yang terguling itu. Dan ketika semua tertegun dan gadis baju hitam ini terkejut maka Kim Nio berseru pada gadis itu agar memeriksanya.

"Barangkali dia terluka, pangcu telah menyerangnya!"

Swi Cu berdetak. Memang kemungkinan itu ada, dia tadi telah menyerang dan menghajar pemuda ini habis-habisan, Beng Tan tak melawan dan dia menyesal juga. Maka begitu berkelebat dan lupa akan maksudnya meninggalkan telaga, terganti oleh kekhawatirannya melihat keadaan pemuda ini Swi Cu sudah melihat dan memeriksa Beng Tan, terkejut karena napas pemuda itu lemah, denyut nadinya seakan tak terasa dan paniklah Swi Cu oleh keadaan ini. Dan ketika murid-murid yang lain juga terkejut dan cemas oleh pingsannya Beng Tan gadis baju hitam itu segera menyambar Beng Tan ke kamar kosong.

"Siapkan air hangat, juga arak obat!"

Semua berserabutan. Masing-masing melaksanakan perintah dengan gugup, semua anak murid Hek-yan-pang khawatir dan cemas. Dan ketika Swi Cu meletakkan tangannya dipunggung pemuda itu, ganti memberikan sinkangnya maka gadis ini sudah lupa akan kemarahannya dan tidak malu-malu lagi, memberikan pertolongan dengan cepat dan sama sekali tak tahu bahwa Beng Tan sebenarnya pura-pura pingsan belaka. Dalam saat-saat yang kritis itu coba menarik perhatian gadis baju hitam ini agar tidak meninggalkan perkumpulannya, karena marah-marah dan malu oleh perbuatan Kim Nio dan kawan-kawannya tadi.

Dan karena akal satu-satunya menarik perhatian gadis itu dengan cara begini, pura-pura mengeluh dan roboh pingsan, dikira terluka maka Beng Tan tak dapat menahan senyumnya ketika getaran tenaga yang hangat memasuki tubuhnya, menembus semua jalan darahnya dan Beng Tan geli. Dengan kepandaiannya yang tinggi pemuda ini mampu membuat diri seolah pingsan, memperlemah denyut nadi dan membuat muka menjadi pucat, yakni dengan cara menahan sinkangnya di kepala.

Maka ketika semua akalnya itu berhasil dan kini gadis baju hitam itu menolongnya, menyalurkan sinkang yang memasuki urat-urat darahnya ganti Beng Tan merasa "merinding" dan panas dingin, mau menolak tapi tak sanggup. Ah, getaran sinkang yang disalurkan gadis itu ke tubuhnya demikian hangat dan lembut, menyusup dan memasuki seluruh tubuhnya sampai ke bagian syaraf-syaraf yang paling kecil, membuat Beng Tan berdebar dan menggigil, gerakan yang tentu saja membuat detak jantungnya hidup, berdenyut dan mulailah Swi Cu berseri-seri melihat kenyataan itu, mengira pertolongannya berhasil dan dia semakin bersemangat memberikan sinkangnya, hal yang justeru membuat Beng Tan jadi gemetaran sekaligus geli!

Maklumlah, debaran jantungnya dianggap sebagai petunjuk keberhasilan gadis itu menolongnya. Dan ketika dua jam gadis ini menyalurkan sinkangnya dan wajah Beng Tan dilihatnya kemerah-merahan, tak tahu bahwa pemuda itu sedang menahan gejolak hatinya yang tak keruan maka muncullah silih berganti anak-anak murid Hek-yan-pang yang membawa air hangat atau ini-itu sesuai perintah gadis ini.

"Selesai. Besok siapkan bubur ayam!"

"Dia sudah sadar?" seorang anak murid bertanya. "Apakah sudah sembuh, pangcu?"

"Hm, kukira sudah. Denyut jantungnya sudah berjalan cepat tapi aneh bahwa pemuda ini belum sadar!"

"Apakah kami boleh menjaganya, pangcu?"

"Tidak, biar aku di sini dan kalian di luar saja. Siapa tahu tengah malam nanti dia perlu pertolonganku lagi!"

Dan ketika murid itu mengangguk dan melangkah keluar, meninggalkan pangcunya maka Beng Tan mendengar gadis itu menarik napas panjang dan duduk di kursi sebelah, bergumam dan Beng Tan membuka sedikit matanya untuk melihat betapa saputangan hitam yang dipakai menutupi muka itu penuh keringat, basah karena gadis ini lelah menyalurkan sinkangnya. Dan ketika gadis itu berkali-kali menarik napas dan memandang Beng Tan, yang harus cepat menutup matanya lagi maka saputangan itu dibuka dan Swi Cu mengusap wajahnya, telah meyakinkan diri bahwa pemuda ini masih "tidur".

Dan karena pemuda itu tampaknya memang masih pingsan dan mungkin baru besok pagi atau siang siuman dari keadaannya ini maka Swi Cu lupa mengenakan saputangannya itu lagi, bersandar dan gadis ini letih melepas lelahnya. Dia sudah dua jam membuang sinkangnya, tentu saja perlu beristirahat. Dan ketika rasa lelah dan mengantuk datang mengganggu, sementara dia yakin bahwa Beng Tan masih pingsan maka tertidur dan terbanglah gadis itu dalam mimpinya yang indah, tak tahu betapa Beng Tan terbengong-bengong dan duduk mengamati wajah jelita yang bukan main cantiknya. Wajah yang tidak ditutupi saputangan lagi. Wajah yang kemerah-merahan seperti dewi. Dan karena wajah itu jelas terpampang dan Beng Tan kagum maka pemuda ini terlongong-longong dan menjublak sambil mendecak berkali-kali. Takjub!

* * * * * * *

"Hei, apa ini? Siapa kau? Eih, kau kiranya? Keparat, kau tak tahu malu... des-des-plak!" dan suara gaduh serta bentakan-bentakan di dalam kamar yang tiba-tiba disusul oleh teriakan dan rasa kaget mendadak sudah diiringi oleh lengking dan jeritan marah, mengejutkan yang lain-lain karena pagi itu gadis baju hitam ini tersentak oleh panggilan Beng Tan, yang berbisik dan mengguncang lengannya berkali-kali. Dan ketika Swi Cu terbangun dan alangkah kagetnya gadis ini melihat Beng Tan mencium pipinya, hal yang tak disangka maka gadis itu memekik dan langsung meloncat bangun, menerjang dan berteriak-teriak memaki pemuda ini!

"Jahanam keparat! Kau lancang. Kau tak tahu malu. Kau... ah!" dan Swi Cu yang kalap berteriak-teriak tiba-tiba sudah membuat Beng Tan menyadari kesalahannya, mengeluh dan berloncatan ke kiri kanan tapi gadis itu terbang menyambar-nyambar. Bagai walet atau srikatan saja wakil ketua Hek-yan-pang ini menyerang Beng Tan, menggigil dan berkali-kali menerjang pemuda itu tetapi luput, hal yang membuat kemarahannya semakin memuncak. Dan ketika Beng Tan berseru berkali-kali agar gadis itu menunda serangannya, seruan yang tentu saja tak digubris maka semua anak-anak murid Hek-yan-pang berkelebatan datang untuk akhirnya tertegun melihat pertandingan itu, wajah sang wakil ketua yang sudah tidak tertutup saputangan lagi!

"Ah, hu-pangcu marah. Minggir!"

"Dan pemuda ini rupanya telah membuka kedok hu-pangcu. Ah, awas, kawan-kawan. Menjauh... blar-blar-blar!" dan tiga pukulan hu-pangcu yang meledak di sisi kepala Beng Tan tiba-tiba membuat anak-anak murid yang lain terpelanting ke kiri kanan, berteriak menyuruh yang lain minggir dan ributlah suasana di pagi itu.

Mereka terkejut melihat kemarahan pangcunya ini, terjangan dan serangan-serangannya yang sengit terhadap Beng Tan, pemuda yang semalam "pingsan" dan pagi ini tiba-tiba kelihatan sehat, segar dan bugar! Namun ketika hu-pangcu mereka melancarkan pukulan-pukulannya dan mereka terkejut melihat sikap beringas hu-pangcu mereka yang wajahnya membara maka murid-murid Hek-yan-pang ini bingung dan tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, menonton saja pertandingan itu dan Beng Tan akhirnya berkelebatan mengelak sana-sini.

Pemuda ini mengeluh karena ciumannya tadi merupakan kesalahan yang besar. Semalam dia terguncang hebat oleh wajah yang luar biasa itu, wajah cantik yang demikian jelita dan anggun. Dan setelah berkali-kali kekagumannya tak dapat ditahan lagi dan wajah yang cantik itu diciumnya, lembut dan sepenuh perasaan tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan kaget, marah kepadanya dan Beng Tan menyesal. Pemuda ini tiba-tiba merasa jatuh cinta setelah semalaman mengamati wajah itu, wajah yang tak bakal dapat dilupakannya seumur hidup. Wajah yang telah membetot sukmanya lahir batin. Maka begitu gadis itu marah kepadanya dan Beng Tan menyesal tiba-tiba pemuda ini terkejut melihat lawan mencabut pedangnya.

"Manusia keparat, aku akan membunuhmu!"

"Ah, tidak... jangan!" Beng Tan berseru terkejut. "Tahan, nona. Jangan naik pitam. Aku mengaku bersalah... wut-sing!" namun pedang yang terus menyambar dan tidak menghiraukan omongannya tiba-tiba membalik dan menusuk lagi, empat kali melakukan serangan-serangan ganas dan pemuda ini mengelak. Yang terakhir sedikit terlambat hingga baju pundaknya robek, memberebet. Dan ketika Beng Tan mengeluh karena gadis itu tak mau mendengar omongannya tiba-tiba sebuah bacokan pedang terpaksa ditangkis dan terpental.

"Plak!"

Swi Cu menjerit. Gadis ini terhuyung dan marah memaki lawan. Namun sebelum dia menggerakkan pedangnya lagi tiba-tiba Beng Tan memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.

"Maaf, aku menyesal, nona. Biarlah aku pergi dan redakan kemarahanmu itu... wut-wut!" Beng Tan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, berjungkir balik dan melayang di atas kepala anak-anak murid Hek-yan-pang dan Swi Cu tentu saja melengking.

Gadis itu membentak menyuruh anak buahnya menghadang, jarum-jarum hitam tiba-tiba berluncuran dari tangan ketua Hek-yan-pang ini. Namun ketika Beng Tan mengibaskan tangannya ke belakang dan melejit serta mendorong anak-anak murid Hek-yan-pang maka pemuda itu telah lolos dan kabur menuju telaga.

"Cegat dia, kejar!"

Kim Nio dan lain-lain terkejut. Mereka bingung dan tak tahu apa yang terjadi, ragu mengejar namun sebuah tempelengan tiba-tiba berturut-turut mengenai pipinya dan pipi yang lain-lain lagi. Dan ketika Swi Cu membentak agar mereka tak usah ragu atau meleng maka apa boleh buat wanita ini berkelebat dan mengejar, mengeluh.

"In-kong, tunggu. Jangan lari...!"

Namun Beng Tan melambaikan lengan. Pemuda ini berkata bahwa biarlah lain kali saja mereka bertemu lagi, keadaan dirasa memanas. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan sudah tiba di tepi telaga, menyambar dan mendorong sebuah perahu maka pemuda ini meluncur dan sudah jauh di tengah-tengah sana.

"Keparat, kalian bodoh-bodoh semua. Minggir, berikan perahu yang terbaik dan kejar pemuda itu!" Swi Cu memaki, menyambar sebuah perahu dan cepat serta tak mau kalah dia sudah sendirian mengejar pemuda itu.

Yang lain-lain tertegun di belakang namun akhirnya mencari perahu yang lain juga, mengejar. Dan ketika gadis baju hitam itu sudah meluncur ke tengah dan berteriak memaki-maki Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tiba di seberang dan meloncat ke tepian.

"Nona, maaf. Kau sebaiknya kembali dan jangan kejar aku!"

"Tak bisa! Kau telah berkurang ajar, manusia keparat. Aku harus membunuhmu atau kau membunuhku!"

Beng Tan menghela napas. Sekarang dia melihat gadis itu sudah hampir di tepian pula, melepas jarum-jarum hitamnya namun Beng Tan mengelak. Dan ketika jarum-jarum itu runtuh dan Beng Tan membalik maka pemuda ini meloncat dan terbang meninggalkan lawan.

"In-kong, jangan tinggalkan hu-pangcu. Kalau kau telah membuka kedoknya maka kau harus mengawininya...!"

Beng Tan terkejut. Seruan Kim Nio dari jauh membuat dia tertegun, berhenti sejenak dan menoleh. Tapi begitu melihat Swi Cu telah mendarat dan berjungkir balik mendahului perahunya, yang masih beberapa tombak dari tepian tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan melanjutkan larinya lagi, memasuki hutan.

"Benar," seruan di belakang menyambut lagi, kini suara Kiok Bhi. "Hek-yan-pang memiliki peraturan begitu, in-kong. Siapa yang membuka kedok kami maka dia harus bertanggung jawab mengawini yang bersangkutan. Jangan lari!"

Beng Tan tergetar. Kali ini dia mendengar isak tangis di belakang, baru tahu bahwa kemarahan si jelita itu kiranya oleh sebab yang lain. Dia dianggap tak bertanggung jawab dan menghina. Dan karena sesungguhnya dia tidak membuka kedok itu melainkan dibuka oleh pemiliknya sendiri dan dia hanya melakukan ciuman maka Beng Tan akhirnya memperlambat larinya dan sengaja disusul, akhirnya berhenti sama sekali ketika gadis itu berjungkir balik melewati atas kepalanya, membentak dan sudah menghadang di depan, marah bukan main. Dan ketika Beng Tan melihat betapa air mata yang bercucuran itu tiada henti-hentinya mengalir namun pedang sudah berkelebat dan menusuk tenggorokannya tiba-tiba Beng Tan menggigil dan menangkap ujung pedang.

"Nona, tahan. Benarkah... benarkah semua kata-kata tadi? Hek-yan-pang memiliki peraturan aneh yang mengharuskan setiap laki-laki mempertanggungjawabkan perbuatannya?"

"Tak usah banyak cakap. Kau kubunuh atau aku kau bunuh, pemuda iblis. Mampuslah dan lihat pedangku.... sing-crep!" Swi Cu terkejut, melihat pedangnya tertangkap dan Beng Tan menggigil menahan pedangnya itu. Dan ketika dia menarik namun gagal tiba-tiba gadis ini melakukan tendangan dari bawah dan Beng Tan terpelanting ketika perutnya kena.

"Dess!"

Pemuda itu bergulingan. Swi Cu sudah berkelebat dan mengejar lagi, menikam dan menusuk tapi Beng Tan mengelak tujuh kali. Dan ketika semua serangan itu luput dan pemuda itu melompat bangun maka Beng Tan berseru pucat menggoyang goyang lengannya. "Nona, tahan. Aku... aku Beng Tan siap mempertanggungjawabkan perbuatanku!"

"Mempertanggung-jawabkan bagaimana? Pertanggung-jawabanmu hanya mampus, orang she Beng. Aku tak akan mengampuni mu lagi karena terlambat!"

"Ah, aku bukan she Beng, aku she Ju. Kau... kau tahanlah serangan-seranganmu ini dan dengarkan aku...plak-plak!"

Beng Tan menangkis, membuat pedang terpental tapi lawan malah menjadi kalap. Swi Cu memekik dan menggerakkan pedangnya lagi. Dan ketika enam tusukan kembali menyambar namun untuk yang terakhir Beng Tan terpeleset ketika mengelak maka baju pemuda ini berlubang ketika disambar pedang.

"Cres!"

Beng Tan pucat. Sedikit kulitnya robek terluka namun dia sudah mengerahkan sinkang. Dan ketika dia bergulingan dan meloncat bangun di sana maka Beng Tan berkata bahwa dia siap mati kalau gadis itu benar-benar ingin membunuhnya.

"Aku memang akan membunuhmu, dan kau pasti kubunuh!"

"Baiklah, tapi dengar dulu kata-kata-ku, nona. Aku... aku mencintaimu. Semalam aku tak dapat menahan gejolak hatiku lagi setelah melihat wajahmu itu. Maaf, kau boleh membunuhku sekarang apa bila kau menghendakinya... bless!" pedang menancap, persis di dada kanan Beng Tan dan Swi Cu terpekik.

Gadis ini melepaskan pedangnya dan mundur terbelalak, melihat Beng Tan mundur-mundur dan akhirnya roboh. Dan ketika pemuda itu berseru menanyakan namanya, sebelum terguling maka Swi Cu menggigil dan tertegun di tempat.

"Aku... aku ingin mengetahui namamu. Untuk bekal di akherat...!"

Swi Cu terbelalak. Gadis ini melihat lawan yang roboh terguling, terkejut dan terisak. Tapi ketika dia sadar dan berkelebat menghampiri maka gadis ini tiba-tiba mengguguk berlutut mengguncang tubuh Beng Tan. "Aku... aku Swi Cu. Ah, kau orang aneh, Beng Tan. Kalau aku membunuhmu lalu bagaimana aku dapat membalas budimu itu? Kau telah menyelamatkan aku dan murid-murid Hek-yan-pang dari tangan Golok Maut. Hiduplah, maafkan aku dan jangan ke akherat!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar dari atas. "Bagaimana kalau aku hidup lagi? Bukankah kau akan membunuhku pula?"

"Tidak... tidak!" gadis ini menangis. "Kau telah berkata bahwa kau akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Beng Tan. Asal kau menepati janji dan tidak mempermainkan aku maka aku tak akan membunuhmu!"

"Tapi menyerangku, sama saja!"

"Tidak.. tidak! Aku juga tak akan menyerangmu, Beng Tan. Aku menerima cintamu. Eh...!" gadis ini tiba-tiba tertegun, mendongak ke atas. "Roh mukah yang bicara ini? Kau di mana?"

Tubuh itu tiba-tiba bergerak. Swi Cu kaget sekali ketika Beng Tan tiba-tiba "hidup" lagi, bangkit dan tertawa memeluknya. Dan ketika pemuda itu memperlihatkan ketiaknya yang berlubang ditembus pedang, bukan dadanya tiba-tiba Swi Cu mencelat dan berjengit pucat, tersentak.

"Aih, maaf, Swi Cu. Aku hanya pura-pura saja karena sesungguhnya pedangmu tadi kukempit. Lihat, aku tak apa-apa dan kau harus menepati janji!" dan ketika Beng Tan melompat dan menyambar lengan gadis ini, yang tentu saja mendelong dan membuka matanya lebar-lebar tiba-tiba Beng Tan sudah berbisik menyatakan cintanya.

"Aku mencintaimu... ah, aku jatuh cinta kepadamu. Maaf, aku ingin mengetahui isi hatimu, Swi Cu. Aku sengaja mencoba dan pura-pura mati!"

Swi Cu tertegun, tiba-tiba meronta. "Kau... kau mempermainkan aku?"

"Ah, tidak!" Beng Tan cepat berseru, mencekal lagi lengan gadis ini. "Aku tak mempermainkanmu, Swi Cu. Aku betul-betul mencintaimu dan tak sanggup berpisah denganmu. Aku tak mau mati kalau kau menerima cintaku. Aku ingin selalu berdua bersamamu!"

"Tapi... tapi..."

"Baiklah," Beng Tan tiba-tiba membuka bajunya, memberikan dadanya yang telanjang. "Kau tusuk aku kalau bohong, Swi Cu. Kali ini aku tak akan mempermainkanmu dan benar-benar menyerahkan jiwa raga!"

Swi Cu terhuyung, tiba-tiba mencabut pedang, pucat dan merah berganti-ganti. "Beng Tan, kau... kau... ah!" dan gadis ini yang menangis dan terisak melempar pedangnya tiba-tiba memutar tubuh dan berkelebat pergi, tersedu di sana dan merasa malu serta jengah digoda pemuda ini. Beng Tan telah mempermainkannya habis-habisan tapi bukan untuk maksud menghina atau merendahkannya melainkan semata oleh watak yang aneh dari pemuda itu. Dan karena dia sudah berjanji tak akan menyerang apalagi membunuh pemuda itu kalau Beng Tan "hidup" maka otomatis gadis ini tak dapat berbuat apa-apa ketika Beng Tan menyerahkan dirinya, siap ditusuk atau dibunuh tapi Swi Cu menangis pergi.

Gadis ini merasa malu tapi juga marah serta bermacam perasaan lain yang mengaduk-aduk hatinya. Ada marah tapi juga gemas bahwa dia sampai tak tahu akal muslihat Beng Tan, tak melihat betapa dada pemuda itu sama sekali tak berdarah ketika ditikam pedang, karena ternyata dikempit dan diterima bawah ketiak. Jadi dari jauh seolah kena tapi sesungguhnya tidak.

Dan karena dia membuktikan lagi betapa lihai dan hebatnya pemuda itu, pemuda yang telah menyatakan cintanya dan tentu saja tak mungkin ditolak, karena sesungguhnya diam-diam dia juga tergetar dan tertarik oleh pemuda ini maka yang dilakukan Swi Cu adalah menangis dan membanting-banting kakinya sepanjang jalan, terus lari dan tidak menghiraukan pemuda itu namun Beng Tan tiba-tiba berkelebat dan melayang di atas kepalanya. Dan ketika pemuda itu berjungkir balik dan berdiri di depannya, otomatis menghadang maka Swi Cu berhenti dan melihat pemuda itu mengembangkan kedua lengannya, menggigil.

"Cu-moi, apakah aku salah? Kau marah? Maaf, aku tak bermaksud menyakiti hatimu, moi-moi. Aku siap menerima hukuman kalau aku dianggap keterlaluan!" pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, merangkul dan memeluk kedua kaki gadis ini dan otomatis Swi Cu tertahan, tersedu-sedu. Namun ketika Beng Tan bangkit berdiri dan memeluknya, tak ditolak maka pemuda itu tampak girang dengan hati sedikit berdegup.

"Cu-moi, kau sendiri janji bahwa akan menerima cintaku. Nah, buktikan kata-katamu dan bunuhlah aku kalau lancang!" dan, sementara gadis itu tidak mengerti apa yang dimaksud dan membelalakkan matanya tiba-tiba Beng Tan menunduk dan mencium bibirnya.

"Ooh..!" gadis ini tersentak, menggelinjang dan meronta. "Kau... Kau kurang ajar, Beng Tan. Kau tak tahu malu... plak-plak!"

Dan Beng Tan yang ditampar dua kali dan terpelanting kaget tiba-tiba melihat gadis itu meloncat pergi, terbang dan menangis lagi namun Beng Tan penasaran. Dia melihat Swi Cu tidak marah meskipun menampar dan memaki-makinya. Maka begitu meloncat bangun dan berteriak mengejar tiba-tiba pemuda ini sudah menangkap dan menyambar lengan orang, minta agar Swi Cu berhenti dan membunuhnya kalau tidak suka, disodok dan gadis itu lari lagi namun Beng Tan mengejar dan menangkap lagi. Dan ketika hal itu terjadi berulang-ulang dan gadis ini akhirnya mengguguk dan memukul-mukul dada Beng Tan akhirnya pemuda itu tersenyum dan lega ketika si gadis tak melepaskan dirinya lagi, menyerah.

"Beng Tan, kau... kau pemuda paling nekat. Kau tak tahu malu. Kau kurang ajar dan tidak tahu aturan. Ah, biarlah kau bunuh aku dan kubuang rasa maluku ini!"

"Hush!" si pemuda membelai kekasihnya. "Siapa mau membunuhmu, Cu-moi? Aku mencintaimu, dan aku girang bahwa kau menerima cintaku. Eh, bukankah kau tak menarik janjimu sendiri? Bukankah aku boleh membelai dan mencium bibirmu? Sst, jangan menangis, moi-moi. Aku tak akan mempermainkanmu tapi terimalah cintaku ini!"

Dan ketika Beng Tan menunduk dan mencium gadis itu lagi, sepenuh perasaan dan lembut serta mesra tiba-tiba Swi Cu terguling dan malah roboh. Panas dingin oleh ciuman pemuda itu dan Swi Cu mengeluh. Gadis ini belum pernah disentuh apalagi dicium pria, Beng Tan telah melakukannya dan tentu saja tiba-tiba dia lunglai. Perasaan yang membubung membuat gadis itu naik tinggi, seakan ke sorga. Dan ketika Beng Tan terkejut namun gembira bahwa kekasihnya tak apa-apa, tak marah atau pun gusar maka pemuda ini sudah menyambar lagi dan memberikan ciuman lembut berulang-ulang, mengusap dan membelai kekasihnya dan mengeluhlah Swi Cu oleh belaian nikmat ini.

Manusia mudah ternina bobok oleh kenikmatan yang menghuni jiwa. Maka begitu Beng Tan memberikannya dan lembut serta mesra pemuda itu memeluk kekasihnya maka Beng Tan berhasil menundukkan wakil ketua Hek-yan-pang ini setelah melalui perjuangan yang susah payah, seperti seorang pemburu yang menjinakkan kuda liar!

Swi Cu tak menangis lagi. Gadis itu hanya terisak kecil dan mengeluh atau mengerang ketika Beng Tan menciumnya. Maklumlah, setiap ciuman pemuda itu seolah listrik yang menyengat tubuhnya. Swi Cu menggigil dan meremang panas dingin. Tapi ketika lama-lama dia mulai biasa dan balas menyambut, hal yang membuat Beng Tan girang bukan main maka hari itu mereka resmi merupakan calon suami isteri yang siap menikah!

"Aku ingin segera melamarmu, menjadi suamimu. Bagaimana pendapatmu, Cu-moi?"

"Aku siap, Tan-ko. Tapi aku harus menunggu suci (kakak seperguruan perempuan)!"

"Hm, di mana sucimu?"

"Entahlah, suci Wi Hong mencari Golok Maut. Maka aneh sekali kalau tiba-tiba Golok Maut itu datang dan mencari-cari suciku di markas Hek-yan-pang!"

"Dan Golok Maut marah besar! Eh, apa yang kira-kira terjadi, Cu-moi? Dapatkah kau meraba-rabanya?"

"Aku tak tahu, Golok Maut tak menjelaskannya. Tapi kalau aku bertemu suciku itu tentu semuanya dapat kuketahui!"

"Dan kau tak mau menikah kalau belum menemui sucimu itu. Apakah bermaksud minta restu?"

"Sebagian memang begitu," wajah gadis ini memerah. "Tapi sebagian juga tidak, Tan-ko. Aku agak tak enak kalau suci belum menikah padahal aku sudah mendahului!"

"Oh, begitukah?"

"Ya. Kau tak senang?"

"Hm!" Beng Tan menyambar pinggang ramping ini. "Demi kau aku dapat mengalahkan segala-galanya, Cu-moi. Kalau kau mempunyai pikiran begitu tentu saja kuhargai. Aku siap menunggu!"

"Dan kau tak marah?"

"Eh, kenapa harus marah? Ha-ha, marah kepadamu salah-salah kau tinggal pergi, moi-moi. Dan aku tak mau itu! Ah, tidak. Aku tak marah!" dan ketika gadis itu tersenyum dan Beng Tan mencium maka Swi Cu mendorong dan berkata,

"Sst, sudah. Jangan terus-menerus. Kita harus kembali dan pulang!"

"Pulang?"

"Ya, memangnya kita tidak kembali ke markas? Anak-anak murid tentu menunggu, Tan-ko. Dan aku harus kembali!"

"Tapi aku harus membayangi Golok Maut," Beng Tan tiba-tiba khawatir. "Dapatkah kau meninggalkan perkumpulanmu, moi-moi? Kita berdua pergi dan bersama-sama!"

Swi Cu mengerutkan kening. "Markas menjadi kosong," katanya tak enak. "Bagaimana ini, Tan-ko?"

"Ah, Kim Nio dan lain-lain itu dapat menjaga perkumpulan, Cu-moi. Mereka cukup lihai dan hebat. Apalagi kalau semua maju berbareng!"

"Tapi nyatanya tak dapat menahan Golok Maut, juga dirimu!"

"Ah, itu lain, moi-moi. Orang seperti Golok Maut atau aku memang masih bukan tandingan mereka. Tapi betapapun mereka cukup tangguh kalau menghadapi orang-orang lainnya, jago-jago kelas satu!"

"Hm, sebaiknya kupikirkan dulu. Baiklah, nanti saja kita ulang dan mari pulang sebelum mereka menunggu terlalu lama!"

"Dan kau dapat beralasan mencari sucimu!" Beng Tan tiba-tiba berkata, seolah mendapat jalan keluar. "Dengan mencari sucimu maka kepergianmu semakin kuat, moi-moi. Golok Maut hendak membunuh sucimu dan kita berdua hendak mencari sucimu itu!"

"Baiklah, mari, Tan-ko. Aku pikir boleh juga begitu dan kita kembali!" dan ketika gadis itu mengangguk dan rupanya mendapat alasan yang tepat maka anak-anak murid Hek-yan-pang girang bukan main melihat wakil ketuanya ini kembali dengan selamat, bahkan bersama Beng Tan dan keduanya yang sudah saling bergandengan tangan itu segera memberi tahu anak-anak murid yang hadir bahwa dua orang itu sudah "damai".

Beng Tan tersenyum-senyum sementara Swi Cu agak merah mukanya ketika melepaskan diri, malu tapi semua murid sudah menjatuhkan diri berlutut menyambut hu-pangcunya ini, yang juga boleh disebut ketua karena saat itu memang yang menjadi pemimpin adalah gadis baju hitam ini. Dan ketika Swi Cu berkata bahwa dia harus meninggalkan perkumpulan karena ancaman Golok Maut dirasa membahayakan jiwa ketua, Wi Hong, maka gadis ini menutup dengan gerakan lengan.

"Aku hendak mewakilkan pekerjaan kepada dua di antara kalian, yakni Kiok Bhi dan Kim Nio. Selama aku tak ada di sini maka mereka itulah yang memimpin Hek-yan-pang. Kalian jaga baik-baik dan hati-hati!"

"Dan in-kong ini..." seseorang tampil bicara. "Apakah akan bersamamu, pangcu? Ia mempertanggungjawabkan perbuatannya?"

"Ya," Beng Tan menjawab, mendahului sambil tertawa. "Aku datang karena aku jatuh cinta pada hu-pangcumu, Liok-hoa. Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku dan sesungguhnya aku tak dapat sendiri tanpa Swi Cu di sampingku!"

"Hm!" Swi Cu semburat. "Beng Tan-ko telah menyelamatkan kita semua, Liok-hoa. Dan dia akan menolongku pula mencari suci Wi Hong. Apa yang menjadi peraturan partai dipenuhi pemuda ini. Beng Tan-ko akan menjadi calon suamiku!"

"Dan hu-pangcu akan menikah!"

"Itu nanti dulu, aku harus minta restu suci Wi Hong dan menyelamatkannya dari ancaman Golok Maut. Kalau tidak maka calon suamiku ini berjanji untuk setia menunggu!"

"Benar," Beng Tan kembali bicara. "Kami tak dapat bersenang-senang kalau ketua kalian belum ditemukan, Liok-hoa. Aku memenuhi permintaan hu-pangcumu bahwa kami baru menikah setelah sucinya didapat, dalam keadaan selamat!"

"Ah, terima kasih. Kalau begitu kami menghaturkan selamat atas perjodohan ji-wi (anda berdua)!"

Dan ketika yang lain mengangguk dan Liok-hoa sudah membenturkan dahinya berseri-seri maka yang lain mengikuti dan semua mengharap kebahagiaan direngkuh pasangan muda ini, disambut Beng Tan yang tersenyum-senyum melirik kekasihnya tapi Swi Gu melengos. Kalau saja tak ada banyak orang di situ mungkin gadis ini akan mencubit Beng Tan. Pemuda itu tertawa menggodanya. Tapi ketika mereka akan pergi dan siap berangkat tiba-tiba seorang murid memberi tahu bahwa Ci Fang, pemuda yang dititipkan di situ hilang.

"Pemuda itu tak ada?"

"Benar, lenyap, pangcu. Dan kami kehilangan sebuah perahu! Apakah kami harus mencarinya?"

Swi Cu mengerutkan kening, ganti memandang Beng Tan. "Bagaimana pendapatmu?"

"Lho, kenapa bertanya ke sini? Dia tawananmu, Cu-moi, titipan sucimu. Kalau mau dicari tentu saja dapat, terserah kau!"

"Tapi aku tak senang padanya, pemuda itu ceriwis!"

"Kalau begitu tak usah dicari, biarkan saja."

"Tapi aku khawatir ditegur dan dimarahi suciku! Keparat, kenapa pemuda itu macam-macam? Memangnya dia mengira bisa hidup enak di luar?"

"Sudahlah, mungkin Ci-kongcu itu merasa tak aman lagi di sini, Cu-moi. Dia ketakutan setelah Golok Maut datang. Kupikir biarkan saja dan kita cari sambil lalu. Ka lau di tengah jalan ketemu berarti untung, tapi kalau tidak maka mencari sucimu adalah lebih penting. Kita harus menyelamatkannya dari buruan Golok Maut!"

"Baiklah, aku menurut, Tan-ko. Aku menyerahkannya padamu dan memang agaknya hanya kau yang dapat menghadapi laki-laki yang ganas itu. Golok Maut sungguh keji. Kalau ada apa-apa dengan suciku tentu aku tak mau diam!"

"Hm, tak perlu meradang dulu. Marilah kita pergi dan segera berangkat!" dan begitu menyendal dan mengangkat lengan kekasihnya tiba-tiba Beng Tan berkelebat dan meninggalkan pulau. Dan begitu Swi Cu mengerahkan ginkangnya dan mengikuti kekasihnya maka anak-anak murid Hek-yan-pang bersinar-sinar gembira karena mereka bakal mendapatkan seorang pelindung yang gagah dan lihai, setanding Golok Maut!

* * * * * * *

Di sebuah tempat yang sunyi. Seorang pemuda berjalan terhuyung-huyung sambil memeras bajunya yang kuyup. Berkali-kali pemuda ini mengeluh dan mengumpat-umpat nama seseorang, mengepal-ngepalkan tinju dan tiga kali dia tersandung jatuh, bangun dan melanjutkan lagi perjalanannya meninggalkan pulau kecil di sebuah telaga. Dan ketika dia cukup jauh dan terseok serta melangkah dengan berat akhirnya pada hari ketiga pemuda ini tiba di sebuah hutan kecil, roboh dan tertelungkup di situ.

Mulutnya yang menyebut-nyebut nama seseorang dan memaki-maki tapi merintih akhirnya didengar tiga sosok bayangan yang berkelebat melihat pemuda itu, yang terguling dan rupanya kelelahan. Dan ketika tiga bayangan itu berkelebat mendekati dan mereka mendengar keluhan atau rintihan pemuda ini maka ketiganya tertegun mendengar nada-nada geram.

"Golok Maut, kau jahanam keparat. Awas kau, aku akan membunuhmu kalau aku bisa!" lalu, mendesis mengurut-urut tangannya yang sakit, mungkin keseleo, pemuda ini bicara lagi, "Dan aku tak akan memberimu ampun kalau tertangkap. Sekali kau jatuh di tanganku maka kau akan kuhukum picis!"

Sampai di sini pemuda itu mengaduh. Dia tak tahan ketika kepalanya terasa pusing hebat, bumi rasanya berputar dan ia pun terguling lagi. Namun ketika tiga bayangan berkelebat dan tiga wanita gagah yang cantik-cantik berdiri di depannya mendadak pemuda ini tertegun dan berkejap-kejap.

"Hei!" serunya. "Kalian siapa? Dewi-dewi kahyangan?"

Tiga wanita itu mendengus. Seorang di antaranya tiba-tiba bergerak menangkap dan menyambar leher baju pemuda ini. Dan ketika pemuda itu menjerit karena lehernya serasa dijepit tanggem baja maka wanita itu, cantik dan berbaju kuning bertanya,

"Kau siapa dan kenapa menyebut-nyebut nama Si Golok Maut. Di mana orang itu dan apa yang terjadi padamu!"

"Aku... aku, aduh! Lepaskan dulu tanganmu dan jangan kurang ajar begini. He, aku Ci-kongcu, putera Ci-ongya. Awas kau kalau berani kurang ajar!"

Wanita itu terkejut. "Ci-kongcu?"

"Ya, kau tidak segera melepaskan tangan mu?"

Wanita ini mundur. Dia melepaskan jepitannya tapi Ci Fang, pemuda itu, tiba-tiba roboh kembali. Dia sudah tak kuat berdiri sendiri karena lelah dan capainya. Kiranya dia adalah pemuda yang melarikan diri dari perkumpulan Hek-yan-pang. Dan ketika pemuda itu mengeluh namun wanita kedua yang berbaju ungu cepat menolong dan memberinya air minum maka Ci Fang dapat berdiri setelah ditotok sana-sini pula, mendapatkan tenaganya sebagian.

"Kami juga musuh Si Golok Maut. Kongcu tak perlu takut. Kami orang-orang Kim-liong-pang," wanita itu berkata, bantu menahan punggung pemuda ini dan Ci Fang terbelalak. Dia marah tapi tiba-tiba tersenyum mendengar kata-kata wanita itu, yang kiranya murid atau orang-orang Kim-liong-pang. Dan karena Kim-liong-pang sudah didengarnya sebagai perkumpulan yang juga memusuhi Golok Maut, karena Coa Hing Kok ketua Hek-liong-pang dibunuh tokoh bercaping itu maka Ci Fang berseri-seri dan melupakan rasa sakitnya.

"Aih, kalau begitu kalian dari Kim-liong-pang? Bagus, ayahku kenal baik dengan Kim-liong Sian-li, ketua Kim-liong-pang. Kalau begitu kalian bantu aku agar Golok Maut ini dapat dibunuh!"

"Kongcu dari mana? Kenapa bisa di tempat ini?"

"Hm, Golok Maut baru saja mengamuk, niocu (nona). Aku berada di markas Hek-yan-pang ketika laki-laki itu tiba. Aku melarikan diri, tiba di sini dan kehabisan tenaga. Tolong kalian antar aku pulang dan ayahku nanti akan memberi kalian emas dan uang!"

"Kami tak butuh emas dan uang. Kami butuh Si Golok Maut itu!"

"Tapi ketua kalian tak dapat menandingi Si Golok Maut! Masa kalian dapat mengalahkannya?"

"Hm!" wanita baju ungu itu merah mukanya. "Kami barangkali memang tak dapat menandingi Golok Maut, kongcu. Tapi dendam kami tak dapat dihapus. Kami akan mencari Golok Maut itu meskipun kami harus mampus!"

"Bagus, kalau begitu kalian pemberani, ha-ha! Eh, siapa namamu, niocu? Bolehkah aku mengenal kalian bertiga?"

"Aku Biao Lin, itu Bwee-hi dan Pwee Giok!"

"Ah, terima kasih. Dan kalian cantik-cantik! Hm, kalian mau ke mana, Biao Lin? Bagaimana menemukan aku di sini?" mata pemuda itu bersinar-sinar, kagum memandangi tiga wanita cantik ini dan Biao Lin merah mukanya.

Putera Ci-ongya yang tidak segan-segan memandanginya tanpa sungkan itu membuat dia jengah, kikuk dan sedikit gugup. Tapi ketika dia menenangkan degup jantungnya dan mata nakal pemuda itu disambutnya dingin maka wanita ini berkata, "Kami mencari Golok Maut, kebetulan mendengar kongcu menyebut-nyebut nama laki-laki itu. Kalau kongcu ingin pulang maaf kami tak dapat mengantar, karena kami ingin menemukan dan segera mencari laki-laki itu. Kongcu tentu tidak takut kalau pulang sendiri, bukan? Nah, permisi, kongcu. Kami akan segera ke markas Hek-yan-pang!"

"He!" Ci Fang terkejut. "Tunggu, Biao Lin. Golok Maut sudah tak ada di sana!"

"Kami akan membuktikannya!" dan Ci Fang yang ditinggal dan melihat Biao Lin berkelebat mengajak kedua temannya akhirnya tinggal melongo dan marah, bermaksud mau menggoda tapi tiga murid-murid Kim-liong-pang itu tahu gelagat, tak mau melayaninya dan pemuda ini menggigit jari. Dan ketika dia mengumpat dan mencaci-maki, kembali sendiri, mendadak sebuah bayangan baru berkelebat di depannya dan terkekeh.

"Hi-hik, kenapa marah, Ci-kongcu? Tak dilayani mereka tak apa, ada aku di sini!" bau harum menyambar, langsung muncul wanita cantik lain dan Ci Fang tertegun.

Wanita itu cantik melebihi tiga anak-anak murid Kim-liong-pang tadi dan gagah berdiri dengan sanggulnya yang tinggi. Di bawah ketiaknya terkempit sebuah payung hitam, memandangnya berseri-seri dan Ci Fang tergetar melihat bentuk tubuh wanita ini. Dia montok dan menggairahkan, baju di bagian dadanya tersembul seakan tak sanggup menahan sepasang bukit di balik baju tipis itu, baju menerawang yang membuat mata Ci Fang silau. Maklumlah, wanita ini genit dan sikapnya menantang! Dan ketika Ci Fang tertegun dan wanita itu menarik payungnya, membuka dan memasangnya di atas kepala, dengan gaya dan kaki diangkat sebelah maka wanita itu terkekeh, memperdengarkan kembali suaranya yang merdu.

"Hi-hik, apa yang kau lihat, kongcu? Bukankah kau kecewa tak ditemani wanita-wanita itu tadi? Huh, mereka sombong, tak perlu dicari. Sebaiknya kau dengan aku dan kuantar pulang!"

"Kau... kau siapa?"

"Aku Eng Hwa, Li Eng Hwa!"

"Dan kau juga memusuhi Golok Maut?"

"Hi-hik, aku berkali-kali bertemu dengannya, kongcu. Dan aku tak pernah menjadi korban. Golok Maut itu selalu pergi kalau melihat aku, lari ketakutan!"

"Ah, kau mengada-ada," Ci Fang tak percaya, tentu saja geli. "Di markas Hek-yan-pang sana Golok Maut dikeroyok ratusan orang, Eng Hwa. Dan tak satu pun menang. Kalau tak ada pemuda gagah bernama Beng Tan itu tentu semuanya tewas dibabat Si Golok Maut!"

"Beng Tan?" wanita ini terkejut. "Pemuda baju putih itu?"

"Ya, kau tahu?" Ci Fang ganti terkejut.

"Ah, hi-hik!" Eng Hwa kini tertawa, kekehnya lepas. "Aku juga kenal baik pemuda itu, Ci-kongcu. Dan untuk ini baru kuakui kelihaiannya. Kami berdua setanding, dan Golok Maut memang bakal terbirit-birit bertemu pemuda itu!"

"Hm, kau siapa sebenarnya?" Ci Fang bersinar-sinar. "Benarkah kau dapat mengalahkan Si Golok Maut?"

"Kau tak percaya?" wanita ini terbelalak, payung pun tiba-tiba dilipat. "Lihat, aku akan menunjukkan kepandaianku, kongcu. Jangan berkedip dan lihat seperberapa detik daun-daun di atas pohon itu kubabat...wut!" wanita ini meloncat, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu dia telah beterbangan mengelilingi pohon.

Ci Fang tak sanggup lagi mengamati gerakan wanita itu setelah berseliweran di udara, matanya kabur. Tapi ketika wanita itu berdiri lagi di sebelahnya dan membuka payung, maka Ci Fang tertegun melihat daun-daun hijau dan kuning yang rontok berhamburan di sekeliling mereka berdua, tak lebih dari sebuah tiupan napas!

"Hebat!" pemuda ini terkejut. "Kau lihai, Eng Hwa. Dan sekarang rupanya baru kupercaya. Aih, kau dapat menjadi pelindungku. Ayah dapat membayarmu mahal kalau kau bekerja di gedungku!"

"Hi-hik, aku tak butuh uang," wanita itu tertawa. "Aku orang baik-baik, kongcu. Kalau ingin menolong selamanya tanpa pamrih. Marilah, kau akan pulang, bukan? Kau ingin kembali ke istana ayahmu?"

"Benar, dan kau mau mengantar?"

"Kalau kau suka."

"Ah, aku tentu saja suka! Seribu kali suka! Ha-ha, aku senang mendapat pelindung macammu ini, Eng Hwa. Dan aku berharap kau dapat menangkap Si Golok Maut itu. Dia mengancam keluargaku, ayahku. Aku ingin kau membekuknya dan ayah dapat memberikan kedudukan tinggi padamu di istana!"

"Hm, aku tak suka kedudukan, aku tak suka uang. Kalau aku menolong orang-lain maka semuanya kulakukan tanpa pamrih, kongcu. Marilah kita berangkat dan kuantar kau pulang!"

Ci Fang gembira. Wanita ini melipat payungnya dan melenggang, lenggangnya begitu aduhai hingga pinggul bulat yang seperti pot bunga itu menari-nari. Ci Fang terbelalak tapi dia girang bukan main, Dan ketika wanita itu mengajak dan pemuda ini mengikuti maka Ci Fang memuji dan berkata bahwa wanita itu bukan main lihainya, juga cantik, melebihi dewi.

"Hi-hik, kau bisa saja memujiku, kongcu. Jangan main-main dengan pujian."

"Ha-ha, aku bicara sebenarnya. Kau memang cantik dan lihai, Eng Hwa. Sungguh bahagia kalau aku dapat selalu berdekatan denganmu!"

"Kongcu suka?"

"Tentu saja! Laki-laki mana tak suka berdekatan dan berkumpul dengan wanita cantik, Eng Hwa? Dan kau gagah, rendah hati. Ah, dan kau tak tamak pula akan uang dan kedudukan!"

"Hi-hik, aku selamanya memang menjauhi dua hal itu, Aih, uang dan kedudukan dapat membuat manusia mabok, kongcu. Aku pantang berdekatan dengan itu kecuali terpaksa!"

Ci Fang tertawa. Si cantik sudah melenggang dan memuji bahwa dia tampan pula, tampan dan pemberani. Dan ketika wanita itu kagum bahwa dia berani memaki-maki Golok Maut, dan rupanya juga sudah bertemu dan berhadapan dengan tokoh yang mengerikan itu maka Eng Hwa melepas lirikannya, tajam menyambar.

"Aku sudah mendengar bahwa kau baru saja di tempat perkumpulan Walet Hitam itu, dan kau lolos dari tangan Si Golok Maut. Aih, kau beruntung, kongcu, dan sungguh pemberani. Bukti bahwa kau dapat melarikan diri dari perkumpulan Walet Hitam itu saja sudah menunjukkan keberanianmu yang besar. Kau pantas dikagumi siapapun!"

"Tapi aku bodoh, tak pandai silat!"

"Hm, aneh bahwa kau tak bisa silat, kongcu. Bukankah sebagai putera seorang pangeran kau dapat mencari dan menemukan guru yang baik?"

"Dulu aku tak mau, tapi sekarang aku menyadari betapa perlunya belajar ilmu silat itu!"

"Kongcu mau kuajari?"

"Ah, kau mau menjadi guruku?"

"Hi-hik, bukan guru, kongcu, melainkan sahabat. Aku tak berani menganggapmu sebagai murid!"

"Kalau begitu aku semakin senang. Kau ajarilah aku ilmu silat!"

Dan ketika Eng Hwa terkekeh dan mengangguk sambil berjalan maka di tengah perjalanan mulailah wanita ini memberikan dasar-dasar ilmu silat, sebentar-sebentar berhenti dan Ci Fang girang karena setiap kali memberi pelajaran ilmu silat tentu kedua lengan mereka bersentuhan. Eng Hwa melepas lirikan-lirikannya yang manis dan sentuhan-sentuhan atau pegang di antara mereka semakin sering, kalau wanita itu harus memberi contoh sebuah kuda-kuda atau gerakan tangan. Dan ketika semuanya itu ditambah sikap Ci Fang sendiri yang tidak segan-segan meremas atau menggenggam lengan orang, remasan atau genggaman yang penuh nafsu, karena Eng Hwa sering menunduk membiarkan bagian dadanya terlihat jelas maka satu jam saja Ci Fang tiba-tiba sudah memeluk dan berani mencium si cantik itu.

"Eng Hwa, aku merasa jatuh cinta kepadamu. Ah, kau cantik dan memikat. Aku ingin kau menjadi kekasihku!"

"Ih!" Eng Hwa pura-pura mengelak, terkejut. "Jangan begitu, kongcu. Kau putera seorang pangeran!"

"Tak apa." pemuda ini sudah mulai terbakar. "Aku dapat minta kepada ayah untuk mengambilmu sebagai isteriku, Eng Hwa. Aku akan memanjakanmu dan hidup senang di istana!"

"Tapi...."

"Tak ada tapi. Aku mencintaimu, Eng Hwa. Kau terimalah aku dan ah... betapa cantiknya kau!" dan Ci Fang yang menyambar dan sudah memeluk wanita ini, menciumnya, tiba-tiba disambut tak kalah panas dan kekeh aneh yang keluar dari mulut si cantik.

"Aih, perlahan, kongcu. Jangan terburu-buru....!"

"Aku tak tahan. Kau begitu menggemaskan!" dan ketika Eng Hwa terguling dan pemuda ini sudah menindihnya dengan dengus tertahan tiba-tiba Eng Hwa menyambut dan sudah membuka bajunya sendiri.

Sebentar kemudian dua orang ini sudah bergulingan diatas rumput, saling pagut dan cium seolah lintah, lekat tak mau dipisah lagi. Dan karena Ci Fang tak tahu bahwa yang dihadapi kali ini adalah Mao-siao Mo-li Li Eng Hwa yang amat cabul maka tentu saja sikapnya itu disambut hangat dan dua orang ini seolah tumbu ketemu tutup, cocok dan klop karena Ci Fang sendiri sesungguhnya bukan pemuda baik-baik. Pemuda itu terpaksa "dibuang" ayahnya karena suatu hal, yakni mengganggu selir ayahnya termuda dan kepergok berduaan di kamar, padahal selir ayahnya itu adalah selir yang paling disayang, ibu tiri pemuda ini namun usia Ci Fang justeru lebih tua tiga tahun.

Selir ayahnya itu baru berusia tujuh belas dan Ci Fang berani mengganggunya, merayu dan terjadilah hubungan gelap di antara keduanya. Dan karena selir itu lebih suka kepada Ci Fang daripada ayahnya yang sudah tua maka keduanya terlibat hubungan intim namun akhirnya ketahuan. Sang ayah marah-marah dan selir itu nyaris dibunuh. Ci Fang membela dan terjadilah cekcok antara ayah dan anak, yang hampir saja berakibat Ci Fang dibunuh. Tapi ketika sang paman muncul dan Coa-ongya melerai akhirnya Ci Fang diminta meninggalkan istana dengan dalih dilindungi keselamatannya dari ancaman Golok Maut, yang sudah mengincar istana dan beberapa hari yang lalu sudah mencari dua keluarga ini.

"Kau tak perlu emosi. Kalau kau masih menyayang selirmu itu dan Ci Fang mengganggu sebaiknya anakmu ini yang diminta pergi. Biar dia ke suatu tempat dan sementara ini menjauh. Betapapun anak itu adalah darah dagingmu sendiri."

"Tapi dia pemuda keparat. Dia bercumbu dengan Lan Hong!"

"Sudahlah, di saat seperti ini jangan kita bertengkar sendiri, Ci-te (adik Ci). Ingat Golok Maut mengancam kehidupan kita dan tak boleh kita cakar-cakaran, apalagi antara dirimu dengan anakmu itu, ayah dan anak. Kalau kau rela melepas Lan Hong biarkan dia bersama Ci Fang. Tapi kalau kau masih mengingini Lan Hong biarlah puteramu yang pergi dan aku akan mencarikan penggantinya di Hek-yan-pang!"

"Hek-yan-pang?"

"Ya, perkumpulan wanita-wanita cantik itu, Ci-te. Kukira dengan nama kita di sini Hek-yan-pang tak berani menolak permintaan kita. Dengan alasan Golok Maut mengancam kehidupan istana barangkali ketua perkumpulan Walet Hitam itu akan menerima Ci Fang."

"Jadi..?"

"Benar. Kau tahu maksudku, bukan? Nah, biarkan puteramu di sana, Ci-te. Dan Ci Fang akan memilih sesuka hatinya kembang-kembang cantik di sana, syukur kalau ketua atau wakil ketua Hek-yan-pang menyukai anakmu!"