Golok Maut Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 16
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
DUA-DUANYA berjungkir balik ke belakang. Golok Maut mengeluarkan teriakan tertahan sementara lawan juga berseru lirih. Dua-duanya sudah merampas senjata lawan. Golok Maut dengan pedang bersinar putih yang berkeredepan menyilaukan mata sedangkan Beng Tan dengan Golok Maut yang terasa dingin menyeramkan.

Masing-masing tertegun dan terbelalak sejenak mengamati pedang atau golok di tangan masing-masing, keduanya memancarkan kekaguman yang sangat karena Golok Maut tampak tertegun memandang pedang di tangannya itu, pedang yang menyilaukan mata dan cahayanya seperti matahari, hawanya panas dan kuat dan tokoh bercaping itu tampak tertegun. Namun ketika laki-laki ini sadar dan menoleh karena terdengar jerit dari ketua Hek-yan-pang itu maka wanita baju merah itu berseru,

"Golok Maut, senjatamu dirampas. Ah, golokmu itu mengeluarkan darah!"

Golok Maut terkejut. Beng Tan yang memegang goloknya rupanya mencoba sesuatu, mengerahkan sinkang karena melawan hawa dingin yang keluar dari badan golok. Senjata di tangannya itu tiba-tiba seakan es yang hendak membekukan telapak tangannya. Tapi begitu dia mengerahkan sinkang untuk bertahan tiba-tiba sinkangnya yang berhawa panas bertemu hawa dingin itu dan golok itu mengeluarkan cairan merah yang menetes-netes, persis darah!

"Berikan padaku!" Golok Maut tiba-tiba berkelebat. "Kau jangan menghina pusakaku. orang she Ju. Terima pedangmu dan kemballkan itu padaku... wut!" bayangan hitam melesat, lewat dan tahu-tahu sudah menyambar Beng Tan. Dan karena pemuda ini tak bermaksud mengangkangi golok karena golok dirampas sekedar mengimbangi lawan yang merampas pedangnya maka secepat kilat pemuda ini mengelak dan melempar golok ke arah lawan, yang saat itu menyerang sekaligus melempar pedang kepadanya, dengan ujung pedang menyambar tenggorokan, jadi sebuah serangan juga!

"Sing-plak!"

Dua-duanya berjungkir balik. Untuk kesekian kali Beng Tan maupun lawannya sama-sama bergerak cepat. Beng Tan menangkap pedangnya dengan cara berjungkir balik di atas badan pedang, meluncur searah tapi tangannya sudah menangkap atau menyambar gagang pedang, dari depan. Dan karena saat itu Golok Maut juga menerima senjatanya yang menyambar mata maka hampir berbareng dua pemuda itu sama-sama menangkap atau memperoleh senjatanya dengan cara yang cepat luar biasa.

"Crep-crep!"

Dua-duanya sudah menguasai senjata masing-masing. Aneh dan luar biasa golok berdarah yang tadi menetes-netes mengeluarkan cairan merah itu sudah berhenti mengeluarkan cairan, yang mirip darah. Dan ketika Beng Tan di sana terbelalak dan sudah menerima pedangnya kembali maka anak muda ini tertegun memandang Golok Maut yang tampak begitu cocok dan pas menerima golok berhawa dingin itu.

"Golok Maut, kau menyeramkan. Senjata penuh darah itu seolah cocok untuk-mu!"

"Hm, tak usah bercuap. Sekarang kita masing-masing sudah sama-sama mengeluarkan senjata, orang she Ju. Hayo kita lanjutkan pertandingan kita dan siapa yang roboh dialah yang kalah!"

"Aku sekarang tak ingin bertempur. Golokmu yang mengerikan itu mengingatkan aku akan seseorang!"

"Hm, cerewet. Suka atau tidak kita belum menyelesaikan pertandingan ini, orang she Ju. Ayo kita teruskan dan jaga golokku.... singg!" golok tiba-tiba berkeredep, tokoh bercaping itu sudah meloncat dan tahu-tahu berkelebat cepat.

Gerakannya luar biasa dan Beng Tan terkejut. Lawan tahu-tahu sudah berada di depan hidungnya dan golok yang berhawa dingin menyeramkan itu sudah berkelebat bagai mahluk haus darah. Mukanya terasa dingin ketika golok itu menyambar, juga amis. Namun karena Beng Tan bukanlah pemuda biasa dan pertandingan berimbang tadi menunjukkan keduanya memiliki kecepatan dan kekuatan yang sama maka pemuda ini cepat mengelak dan Pek-jit-kiam atau Pedang Matahari membentur Golok Maut.

"Crangg!"

Bunga api memancar menyilaukan mata. Dua senjata itu bertemu dengan amat kerasnya dan pemiliknya sama-sama terkejut, Hawa panas dan dingin saling sambar, bertemu dan terdengarlah ledakan yang mengguncang jantung, Dan ketika pedang menggelegar sementara golok juga meledak menerbitkan lelatu api maka dua-duanya saling hisap dan menyedot kekuatan lawan!

"Aihh...!"

"Golok siluman!"

Beng Tan maupun lawannya berteriak kaget. Mereka merasa senjata masing-masing saling sedot dan hisap, dua kekuatan sembrani tarik-menarik mengejutkan keduanya. Dan ketika mereka tersentak dan baru kali itu Golok Maut bertemu lawan setanding karena pedang di tangan Beng Tan tak putus atau luka maka Golok Maut maupun lawannya sama-sama terkesiap dan mencelos, coba menarik senjata masing-masing namun gagal. Baik Pedang Matahari maupun Golok Penghisap Darah (Golok Maut) saling tempel dengan amat kuatnya, pemiliknya mencoba menarik namun gagal. Dan ketika keduanya berkutat dan terbelalak mengeluarkan keringat dingin maka berkelebatlah beberapa bayangan disusul tawa bergelak.

"Ha-ha, bagus, Beng Tan. Tempel pemuda itu dan kami membunuhnya dari belakang!"

"Benar, dan jangan khawatir, anak muda. Kami membantumu!" dan bayangan Mo-ko serta Mindra ataupun Sudra yang muncul mengejutkan dua orang itu tiba-tiba sudab bergerak di belakang Golok Maut, melepas pukulan dan nenggala atau cambuk baja bercuit ganas. Mo-ko kakak beradik juga tertawa menyeramkan dengan tongkat masing-masing, semuanya bergerak cepat dan menghantam pemuda itu. Dan karena serangan ini terjadi ketika Golok Maut sedang berkutat dengan Beng Tan maka nenggala maupun pukulan-pukulan lain jatuh dengan ganas di tubuh tokoh bercaping ini.

"Plak-des-crat!"

Golok Maut terhuyung. Nenggala dan senjata-senjata lain mengenai tubuhnya, sudah mengerahkan sinkang namun tetap saja bahu dan belakang lehernya luka. Serangan yang dilakukan orang-orang macam Mindra maupun Mo-ko bukanlah serangan main-main. Mereka itu adalah tokoh-tokoh kelas atas yang memiliki sinkang dan pukulan hebat.

Maka begitu pukulan atau senjata mereka mengenai tubuh Si Golok Maut padahal waktu itu Golok Maut sedang bertahan dari serangan Beng Tan maka tak ayal laki-laki ini terhuyung dan mengeluh. Bahu dan belakang kepalanya luka dan saat itu Mo-ko maupun teman-temannya menyerang lagi, tertawa bergelak. 

Hasil yang telah mereka dapatkan sungguh membesarkan hati, itulah tanda saat yang bagus untuk membunuh lawan yang ditakuti semua orang ini. Maka begitu mereka menerjang dan kali ini cambuk baja di tangan Sudra meledak nyaring maka Golok Maut terjungkal ketika dengan amat dahsyatnya senjata itu menghancurkan baju pundaknya.

"Tar!" Ledakan ini bagai petir di siang bolong. Golok Maut tak dapat menangkis karena saat itu dia mempertahankan senjatanya. Ada dua sikap yang harus diambil tokoh ini untuk menerima semuanya itu. Yakni pertama membiarkan serangan-serangan Mo-ko ataupun Mindra mengenai tubuhnya tapi golok di tangannya tetap tak dilepas dan masih berkutat dengan Beng Tan atau dia melepaskan goloknya itu dan menyambut serangan-serangan Sudra atau Mo-ko. Hal kedua jelas memberikan kerugian materi bagi tokoh ini, karena senjatanya sama saja diserahkan kepada musuh, dalam hal ini adalah Beng Tan.

Dan karena senjata itu rupanya melebihi nyawa sendiri dan untuk itu dia siap mati maka Golok Maut rela menjadikan tubuhnya bulan-bulan hajaran Mindra, mengerahkan sinkang dan sebisa-bisanya dia bertahan. Tusukan nenggala yang melukai bahunya sungguh menyengat, ditambah lagi dengan pukulan atau hantaman tongkat Mo-ko, yang dua kali menghajar pangkal lengannya dan belakang leher. Dan ketika pukulan-pukulan lain bertubi-tubi datang menyusul dan tokoh ini terhuyung-huyung sambil tetap memegangi goloknya yang saling tempel dengan Pedang Matahari maka Beng Tan tak tahan dan berteriak,

"Mo-ko, keparat kau. Mindra, jahanam kau! Lepaskan lawanku ini, jangan serang dan kalian minggirlah!"

"Ha-ha!" Mo-ko, si adik, tertawa menyeramkan. "Golok Maut berhutang kelima jari tanganku, anak muda. Sekarang aku ingin membalas dan tak mungkin kau suruh mundur!"

"Tapi dia sedang berhadapan dengan aku. Kau licik!"

"Ha-ha, kalau begitu lepaskan dia, anak muda. Serahkan pada kami dan biar kami yang menyelesaikannya!"

Beng Tan memaki. Kalau dia dapat melepaskan lawannya tentu sudah sejak tadi dia melakukan hal itu. Dia dan Golok Maut sebenarnya sama-sama mempertahankan diri, mempertahankan senjata masing-masing yang saling sedot dan hisap. Dua senjata yang berlainan itu mengeluarkan hawa yang berbeda-beda. Golok Maut dingin menyeramkan sedangkan Pedang Matahari panas membakar. Dua kekuatan ini saling menarik dan coba menghancurkan, mau menguasai yang lain namun ternyata gagal. Hawa dingin dan panas itu seimbang, dua-duanya tak ada yang kalah atau menang. Dan ketika dia memaki Mo-ko karena saat itu iblis hitam itu menyerang keji maka Golok Maut terjengkang dan terpelanting roboh.

"Dess!"

Beng Tan terbelalak. Golok Maut mengeluh dan tetap mencekal erat-erat goloknya, yang mulai bersinar merah dan perlahan-lahan mengeluarkan bau anyir. Sikap tak kenal menyerah yang membuat Beng Tan kagum dan mau tak mau merasa simpatik. Sikap jantan seorang gagah sejati! Dan ketika Mo-ko terkekeh lagi dan menyerang dengan ganas maka di sana Mindra maupun Sudra juga menggerakkan senjata mereka, nenggala atau cambuk dan tongkat dan bertubi-tubilah senjata-senjata itu mendarat di tubuh Si Golok Maut. Darah mulai meleleh di muka dan lengan Golok Maut, sudah mengerahkan sinkang namun tak kuat juga.

Maklumlah, dia sedang berkutat bersama Beng Tan dan orang-orang ini menumpanginya. Mo-ko maupun lain-Iainnya itu licik dan curang sekali. Mereka tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di antara Beng Tan dan lawannya, tahu bahwa entah karena sebab apa dua senjata ampuh itu saling tempel, masing-masing tak dapat dilepas kecuali salah satu mengalah. Dan karena Beng Tan maupun Golok Maut sama-sama mempertahankan senjata mereka karena itulah pusaka mereka yang harus dipertahankan dengan gigih maka Mo-ko dan kawan-kawannya mempergunakan kesempatan dengan licik, menyerang dan melepas pukulan-pukulan mereka dan Sudra maupun Mindra mulai melepas pukulan-pukulan Hwi-seng-ciangnya (Pukulan Bintang Api), menyambar dan meledak mengenai tubuh Si Golok Maut hingga tentu saja tokoh bercaping itu terhuyung-huyung, lima kali jatuh ke tanah namun hebatnya golok itu tetap dipertahankan mati-matian.

Agaknya Golok Maut siap mati kalau goloknya tidak dilepas Beng Tan, hal yang membuat Beng Tan ragu dan gundah. Mulai berpikir apakah sebaiknya yang harus dia lakukan. Dan ketika Golok Maut semakin terhuyung-huyung dan bersimbah darah, hal yang membuat Beng Tan pucat dan marah sekali kepada Mo-ko dan teman-temannya maka berkelebatlah bayangan merah yang membentak serta menyerang orang-orang itu.

"Mo-ko, kalian jahanam keparat. Kalian tak tahu malu.... crat-dess!" dan ketua Hek-yan-pang yang sudah bergerak dan tak tahan melihat itu tiba-tiba sudah berkelebatan dan menolong Golok Maut. Tentu saja tak tahan karena orang-orang itu curang sekali. Mereka tak menghadapi Golok Maut dengan jantan karena tinggal menumpangi keadaan. Sungguh licik dan curang.

Maka begitu wanita baju merah ini berkelebatan dengan pedangnya dan Mo-ko maupun kawan-kawannya diserang maka empat orang itu kaget dan sejenak dapat dihalau, marah dan memaki wanita itu dan Mindra maupun Sudra membentak. Mereka pernah berhadapan dengan ketua Hek-yan-pang ini dan dua kakek India itu melepas Hwi-seng-ciangnya kepada wanita itu. Dan ketika Mo-ko maupun yang lain juga marah dan membentak wanita itu maka tiba-tiba hujan senjata atau pukulan menyambar wanita ini.

"Des-des-plak!"

Ketua Hek-yan-pang itu terpelanting. Dihadapi empat orang sekaligus yang marah kepadanya tiba-tiba saja wanita itu terdesak, memang tentu saja bukan lawan orang-orang ini kalau dikeroyok. Maka ketika dia mengeluh tapi Golok Maut di sana dapat bernapas lega sejenak maka Mindra menggeram-geram sementara tiga temannya yang lain memaki-maki, melepas pukulan dan senjata dan sebentar saja wanita itu sibuk menangkis sana-sini, mundur dan terhuyung-huyung dan kesibukan luar biasa melanda ketua Hek-yan-pang ini.

Kalau Mindra dan teman-temannya marah maka hanya Golok Maut saja yang dapat menghadapi, hal yang sayangnya tak dapat dilakukan saat itu karena Golok Maut sedang berhadapan dengan Beng Tan, pemuda tangguh yang baru kali itu dijumpai tokoh bercaping ini. Lawan seimbang yang sama hebat dan kuat, juga sama-sama memiliki senjata pusaka yang kini sedang tarik-menarik. Dan ketika wanita itu mengeluh dan cambuk di tangan Sudra meledak dari atas ke bawah maka bahu wanita itu terkoyak ketika senjata menyambar mengenai tubuhnya.


"Tar!"

Wanita itu menjerit. Kali ini hantamam cambuk penuh tenaga dan amat kuatnya, Sudra menambah sinkangnya hingga daging pundak wanita itu melepuh. Dan ketika ketua Hek-yan-pang itu mengeluh dan bergulingan meloncat bangun maka yang lain-lain sudah maju menubruk lagi dan menyerang, mengeroyok dan mendesak wanita itu dan wanita ini pun keteter. Kemarahan empat lawannya tak dapat dicegah lagi, sementara ini mereka melupakan Golok Maut dan membiarkan laki-laki bercaping itu saling tempel dengan Beng Tan. Dan ketika wanita itu menerima lagi ledakan-ledakan cambuk atau tusukan nenggala serta pukulan tongkat maka bajunya robek-robek dan Mo-ko kakak beradik mulai tersenyum aneh, mendengus-dengus.

"Mindra, jangan bunuh wanita ini Berikan ia pada kami!"

"Hm, kalian mau apa?"

"Kami mau mempermainkannya, Mindra. Bersenang-senang dan bercinta dengannya!"

"Heh-heh, benar!" Pek-mo-ko mengangguk-angguk. "Berikan ia pada kami, Mindra. Kami jadi bergairah melihat wanita cantik begini!"

"Dan kalian boleh menikmatinya kalau masih mampu!" Hek-mo-ko tertawa bergelak. "Dan jangan ragu mempermainkan perempuan macam begini, Mindra. Dia musuh kita karena dia membantu Golok Maut!"

Mindra terbelalak. Dirangsang dan dibujuk begitu ternyata kakek ini tertawa, rupanya setuju dan tiba-tiba timbul hasrat kelelakiannya. Wanita baju merah itu memang hebat dan pasti cantik, meskipun tertutup kedok. Dan karena berkali-kali wanita ini menunjukkan simpatinya pada Golok Maut padahal tokoh bercaping itu adalah musuh mereka maka Mindra terbahak dan mengangguk, berseru pada temannya,

"Baiklah, aku suka, Mo-ko. Tapi tanya dulu dengan Sudra. Apakah dia mau dan rela menangkap hidup-hidup wanita ini!"

"Aku tak suka perempuan!" Sudra mendengus. "Kau boleh main-main, Mindra. Tapi hati-hati dan ingat kejadian dulu!"

"Ha-ha, aku ingat!" dan percakapan yang segera berhenti karena sudah diganti dengan bentakan-bentakan atau serangan sengit akhirnya membuat wanita baju merah itu memaki, merah padam mukanya karena kata-kata kotor mulai berdatangan menghambur. Hek-mo-ko dan suhengnya jelas-jelas ingin menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk apa-apa melainkan sekedar digagahi, dipermainkan.

Dan karena semuanya itu membuat telinga wanita ini merah dan di sana Beng Tan juga marah dan malu mendengar itu maka Golok Maut yang menempel senjatanya terbelalak dengan mata bagaikan api, berkutat namun lemah tenaganya karena pukulan-pukulan atau serangan Mindra dan teman-temannya tadi melukai tubuhnya. Ada beberapa bagian yang malah melukai bagian dalam dadanya, seperti pukulan Hwi-seng-ciang dan Pek-see-kang (Pukulan Pasir Putih) atau Hek-see-kang (Pasir Hitam) yang dilepas Mo-ko kakak beradik.

Semua pukulan dan serangan-serangan itu sebenarnya membuat Golok Maut menderita. Hanya berkat kekerasan dan kemauannya yang kuat saja semuanya itu dapat ditahan, ditekan-tekan dan dilawan agar dia tetap tegar, meskipun sebenarnya sudah "keropos", kehilangan banyak tenaga. Maka ketika Beng Tan terbelalak dan kekagumannya semakin memuncak terhadap lawannya itu tiba-tiba sebuah keputusan telah diambil pemuda ini, yakni dia akan mengalah dan melepas pedangnya.

"Golok Maut, kau harus pergi. Baiklah, kau hebat. Aku mengakui kegigihanmu dan ambillah golok serta pedangku.... wut!" Beng Tan menyerahkan pedangnya, membuang semua tenaganya dan tentu saja hisapan Golok Maut menang, menarik dan Pek-jit-kiampun tersedot dan terlepas dari tangan pemuda itu. Dan ketika pedang terbetot dan tertarik dengan mudah maka Golok Maut berseru tertahan sementara Beng Tan harus melempar tubuh bergulingan untuk menghindar gaya tolak dari tarik-menarik itu.

"Bress!" Golok Maut pun terjengkang. Tokoh bercaping itu tak menyangka bahwa Beng Tan mengalah, di saat-saat krltis melepaskan pedangnya dan memberikan pedangnya itu padanya. Jadi lawan berbaik hati dan tentu saja dia tertegun. Dan karena semuanya itu di luar dugaan dan tarik-menarik sedang terjadi dengan hebatnya maka laki-laki bercaping itu terlempar ke belakang dan terguling-guling oleh daya tariknya sendiri. "Ah!"

Seruan itu cukup. Mo-ko di sana terkejut dan membelalakkan mata, melihat Beng Tan terlepas pedangnya dan "kalah", tentu saja tak tahu apa yang terjadi dan iblis hitam putih ini melotot. Mereka terperanjat dan sudah melihat Golok Maut bergulingan meloncat bangun. Dan ketika laki-laki itu sejenak memandang Beng Tan dan pedang yang menempel di ujung golok disambar dan digerakkan tiba-tiba tokoh itu berkelebat dan mengembalikan pedang lawan tapi tubuh sudah bergerak ke arah Mo-ko dan kawan-kawannya itu.

"Mo-ko, kalian semua bedebah keparat!"

Kagetlah semua orang. Melihat Golok Maut berkelebat ke arah mereka sementara Beng Tan yang diandalkan tampak terhuyung-huyung maka Mo-ko dan kawan-kawannya kaget bukan main, melihat sinar putih berkelebat dan bayangan hitam menyambar ke arah mereka. Saat itu mereka sudah mendesak dan tinggal merobohkan ketua Hek-yan-pang ini. Wanita baju merah itu sudah terdesak hebar dan tinggal menanti waktu, keadaannya berbahaya dan Mo-ko serta Mindra tertawa-tawa, mempermainkan wanita itu dan merobek bajunya di sana-sini, agaknya bermaksud menelanjangi wanita itu sebelum digagahi, satu sifat keji dan tak tahu malu. Tapi begitu Golok Maut menyambar dan senjata yang mengerikan itu berkelebat ke arah mereka tiba-tiba Mo-ko berteriak dan melempar tubuh ke belakang.

"Awas...!"

Teriakan itu mengguncang perasaan. Mindra dan Sudra otomatis menarik serangan mereka pada ketua Hek-yan-pang itu, membalik dan secepat kilat menangkis. Tak ada waktu mundur bagi mereka, tak ada waktu mengelak. Tapi begitu sinar putih menyambar senjata mereka dan terus mendesing maka putuslah cambuk baja atau nenggala di tangan dua orang itu.

"Crat-dess!"

Dua kakek India itu melempar tubuh ke belakang. Mereka lupa dalam keadaan kaget itu bahwa senjata mereka jelas bukanlah tandingan golok ampuh di tangan lawan, putus separoh lebih dan dua kakek itu berteriak kesakitan. Golok masih menyambar dan menggurat pundak mereka, berdarah dan Mo-ko kakak beradik sudah lebih dulu menyingkir, dengan jalan melempar tubuh dan menjauh di sana. Dan ketika empat orang itu bergulingan meloncat bangun sementara Golok Maut menangkap dan menggigil memeluk ketua Hek-yan-pang yang kehabisan tenaga maka Beng Tan di sana berseru agar semua orang mundur, sudah menangkap dan menerima kembali pedangnya yang tadi dikembalikan lawan.

"Mo-ko, mundur kalau tak ingin mampus. Atau kalian menjadi korban keganasan Golok Maut!"

"Kau tak maju lagi?" iblis hitam ini terbelalak. "Hanya kau yang mampu menandingi Golok Maut, anak muda. Kami mengharap bantuanmu karena kau memiliki pula pedang yang ampuh!"

"Tidak, aku sudah kalah," Beng Tan berpura-pura. "Dan aku muak melihat kelicikan kalian. Nah, kalian mau pergi atau tidak terserah, aku tak mau lagi di sini dan kalian hadapi sendiri Si Golok Maut itu!" dan begitu Beng Tan menutup bicaranya dan membalik tiba-tiba pemuda ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, agak terhuyung dan sengaja dibuat terhuyung-huyung agar Mo-ko dan kawan-kawannya melihat dia benar-benar kehabisan tenaga, seolah benar begitu. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain terbelalak melihat itu, perginya Beng Tan maka mereka mendadak memutar tubuh dan lari mengikuti pemuda ini, gentar kalau maju seorang diri, tanpa pemuda itu!

"Hei, kalian mau ke mana?" Hek-yan-pangcu berteriak, marah dan coba mengejar. "Kalian pengecut dan benar-benar licik, Mo-ko. Hayo jangan lari dan hadapi aku!" namun ketika wanita baju merah itu terguling karena dia sudah kehabisan tenaga maka Golok Maut menyambarnya dan kembali memeluk, berkata agar wanita itu membiarkan lawan-lawannya dan larilah Hek-mo-ko dan tiga temannya itu, gentar karena Beng Tan tak mau melindungi mereka, tentu saja tak mau karena pemuda itu muak dan marah. Golok Maut tertegun di sana dan berdiri agak menggigil, mencengkeram atau memeluk erat-erat tubuh wanita baju merah itu. Tapi ketika semua lawan menghilang dan tak ada lagi di depan tiba-tiba Golok Maut roboh dan pingsan.

"Bluk!"

Ketua Hek-yan-pang itu ganti terkejut. Tadi dia merasa betapa hangat dan lembut pelukan Si Golok Maut itu, diam-diam berdebar dan entah kenapa dia tak mau melepaskan diri. Dua kali dipeluk dua kali pula dia pura-pura lemah. Memang kehabisan tenaga tapi sebenarnya kalau untuk berdiri sendiri dia bisa, sanggup. Tapi begitu Golok Maut roboh dan terguling melepas pelukannya tiba-tiba wanita ini terkejut dan berseru tertahan, membungkuk dan cepat menyambar tubuh itu. Teringat akan luka-lukanya dan sadarlah ketua Hek-yan-pang ini bahwa Golok Maut terluka. Tusukan dan pukulan-pukulan Mo-ko dan kawan-kawannya tadi membuat Golok Maut penuh darah, luka-luka di tubuhnya cukup banyak tapi luka dalam agaknya yang paling berat.

Maka begitu sadar dan mengeluh perlahan tiba-tiba wanita baju merah ini berkelebat meninggalkan hutan. Dan begitu dia menguatkan hati dan mengumpulkan segenap sisa-sisa tenaganya tiba-tiba wanita itu telah "terbang" dan mencari satu tempat aman untuk menolong Golok Maut ini. Dan karena semua orang sudah meninggalkan tempat itu sementara ketua Hek-yan-pang ini juga menghilang ke kiri maka segala hiruk-pikuk yang tadi terjadi sudah tak terdengar lagi.

* * * * * * *

"Ooh...!" begitu keluhan itu terdengar.

"Di mana kini aku, Tuhan? Siapa yang menolongku ini?"

"Diamlah," sepasang lengan lembut membelai dan mengusap-usap tubuh yang merintih itu. "Aku menolongmu, Golok Maut. Kita di tempat aman dan terima kasih atas pertolonganmu!"

Golok Maut tertegun. Semula dia tak membuka mata karena seluruh tubuh dan kepalanya terasa berat. Rasa pening yang hebat membuat kepalanya seakan berputar. Tapi begitu suara itu terdengar dan tentu saja dia mengenai suara ini, suara yang lembut dan bercampur isak maka Golok Maut membuka mata. "Kau..?" serunya tertegun. "Kau yang menolongku?"

"Ya, tenanglah," wanita baju merah itu menangis. "Aku menolongmu, Golok Maut, Tubuhmu panas sekali dan dua hari ini kau pingsan!"

"Dua hari?"

"Benar, dan kau tentu lapar, Makanlah, aku sudah membuat bubur ayam untukmu!"

Golok Maut bangkit duduk. Lupa pada sakitnya tiba-tiba pemuda ini melebarkan matanya. Semangkok bubur panas ada di depannya, di meja kecil dan wanita itu sudah mengambilnya. Kedok yang biasa menutupi muka tak ada lagi. Wajah jelita itu tampak jelas dan tidak tersembunyi, rambutnya yang panjang di punggung tampak tergerai bergelombang, cantik dan indah sekali. Dan ketika Golok Maut tertegun dan terpesona oleh semuanya ini, pemandangan yang mentakjubkan maka wajah jelita itu tiba-tiba memerah dan menunduk, tersipu.

"Golok Maut, kau makanlah. Bubur ini menantimu!"

"Ooh...!" Golok Maut terguling, tiba-tiba roboh lagi. "Aku... aku tak dapat melakukannya, pangcu. Aku tak dapat duduk dan makan sendiri!"

"Aku akan menyuapimu. Kau tidurlah dan tenanglah di situ!" dan ketika jari-jari yang lembut itu bergerak dan sudah mulai menyendok bubur maka Golok Maut tertegun melihat wajah yang jelita ini berurai air mata.

"Pangcu..." Golok Maut menggigil. "Aku.... aku musuhmu. Seharusnya kau membunuhku dan tidak melakukan semuanya ini!"

"Siapa musuhku? Kau menolongku, Golok Maut. Kau melindungiku dari pemuda she Ju itu. Dan kau menolongku pula dari gangguan Mo-ko dan Mindra! Hm, kalau tak ada kau barangkali aku sudah mati bunuh diri. Keparat mereka-mereka itu!"

"Tapi.... tapi....."

"Nanti kita bicara lagi, Golok Maut. Kau makanlah dulu dan mari kusuapi!"

Golok Maut tertegun. Caping di kepalanya yang sudah ditaruh di meja tak dapat menyembunyikan mukanya yang merah padam. Golok Maut kini tampak sebagai pemuda yang tampan dan gagah, sayang saat itu pucat karena luka-lukanya yang berat. Tapi ketika muka yang pucat itu menjadi merah karena wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu menyuapinya maka Golok Maut tersedak dan tiba-tiba menangis, mencengkeram lengan yang halus itu dan menahannya sejenak untuk berhenti.

"Pangcu, kau... kau.... kenapa kau lakukan semuanya ini? Bukankah... bukankah..."

"Hm, aku tak dapat membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki yang istimewa dan penuh misteri bagiku. Aku... aku tak dapat melakukan itu, apalagi dua tiga kali kau telah menyelamatkan diriku!"

"Tapi... tapi aku kau benci! Bukankah berkali-kali kau hendak membunuhku?"

"Sudahlah, kau mau makan atau tidak?" wajah yang jelita itu tiba-tiba mengeras, rupanya gugup atau bingung. Bingung tapi juga malu. Dan ketika Golok Maut menggeleng dan berkata bahwa dia ingin mengetahui jawabannya terlebih dahulu maka wanita itu marah dan dua pasang mata beradu dengan tajam. Yang satu tajam dan marah sementara yang lain tajam namun lembut. Golok Maut gemetar dan akhirnya ketua Hek-yan-pang itu menangis, memejamkan mata. Dan ketika Golok Maut terus mendesak dan mencengkeram lengannya tiba-tiba wanita itu berkata,

"Aku... aku sudah terikat sumpahku. Kau telah merenggut saputanganku. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain mendampingimu, Golok Maut. Atau kau membunuhku dan biarlah aku mati di tanganmu!"

"Urusan dulu itu?"

"Kau tak penlu jawabannya. Kau sudah tahu!"

"Tapi... tapi kau juga membuka capingku, pangcu. Sebenarnya pantang bagi orang lain mengetahui wajahku!"

"Sama saja. Akupun juga begitu. Hanya suami atau calon suami yang boleh melihat wajahku, atau aku membunuh orang itu atau orang itu yang membunuhku!"

"Oh, maaf, pangcu. Dulu itu aku tak sengaja. Aku... aku, ah... aku telah berdosa!" dan Golok Maut yang berguncang menutupi mukanya tiba-tiba melupakan buburnya dan wanita baju merah itu tertegun, mengerutkan kening dan terdengarlah tangis tertahan-tahan yang ditekan Golok Maut. Tokoh ini rupanya terpukul oleh sesuatu dan tampak terhimpit. Tapi ketika wanita baju merah itu menekan pundaknya dan siap memberikan bubur tiba-tiba Golok Maut meloncat bangun, roboh terguling.

"Pangcu, agaknya sukar bagiku memenuhi sumpahmu itu. Aku... aku juga terlanjur telah mengucapkan sumpah. Kita tak mungkin menjadi suami isteri!"

Muka yang cantik itu tiba-tiba pucat. Ketua Hek-yan-pang ini tampak tergetar dan menggigil, bubur di tangannya tiba-tiba hampir tumpah. Tapi ketika dia mengeraskan hati dan menggigit bibir maka dia berkata, tampak menindas semua pukulan batinnya, "Golok Maut, kali ini aku tak ingin bicara itu. Aku ingin menolongmu sebagai orang yang pernah kau tolong. Nah, kau makan dulu ini dan setelah sembuh kita bicara lagi!"

Golok Maut tertegun. Dia sudah ditolong dan diangkat ke tempatnya semula, dibaringkan dan disandarkan setengah duduk. Dan ketika jari-jari yang lembut itu tampak gemetar dan menyendoki bubur maka sesuap demi sesuap pemuda ini sudah diisi perutnya.

"Urusan itu tak ingin kubicarakan sekarang. Sebaiknya kutolong dulu dirimu dan setelah itu kita bicara!"

Golok Maut mengangguk. Akhirnya dia menarik napas dan sependapat, memang rasanya tak enak membicarakan itu di saat seperti itu. Ketua Hek-yan-pang ini berusaha menolongnya atas dasar hutang budi, jadi agaknya hendak memisahkan itu dengan urusan dulu. Dan ketika dia mengangguk dan menerima suapan demi suapan maka mata mereka sering bentrok dan diakui atau tidak keduanya sama-sama tergetar, sering melengos namun tak dapat disangkal bahwa keduanya sama-sama mengagumi wajah lawan.

Golok Maut kagum akan wajah jelita dn ayu dari ketua Hek-yan-pang itu sementara wanita baju merah itu juga kagum dan tertarik kepada wajah yang gagah namun dingin ini, wajah yang penuh penderitaan dan agaknya Golok Maut menerima goresan-goresan batin yang dalam. Semuanya itu tampak di wajah yang tidak bercaping lagi ini dan sering ketua Hek-yan-pang itu menekan debaran jantungnya, akhirnya selesai menyuapi dan berterima kasihlah Golok Maut dengan suara lirih. Ketua Hek-yan-pang itu membalik dan berkelebat keluar, tak menggubris ucapan terima kasih Golok Maut tapi tak lama kemudian dia datang lagi dengan semangkuk obat.

Rupanya di belakang tadi dia telah menyiapkan semuanya itu untuk Golok Maut, merebus obat dan meminumkan ini pada Golok Maut, juga tanpa banyak cakap. Dan ketika Golok Maut tertegun tapi lagi-lagi menerima semuanya itu, dengan ucapan terima kasih maka tiga hari berturut-turut gadis atau wanita baju merah ini merawat Golok Maut sampai sembuh, telaten dan penuh perhatian dan Golok Maut benar-benar merasa berhutang budi. Tubuhnya yang terserang demam sudah sembuh total, luka-luka dalamnya juga sudah tak ada lagi berkat rebusan obat ketua Hek-yan-pang ini. Dan ketika hari keempat tokoh itu merasa sehat dan dapat melompat bangun maka dia sudah berkelebat ketika bayangan merah itu tampak berjongkok di dapur, merebus air.

"Pangcu, terima kasih. Aku telah sembuh!"

Wanita itu membalik, bangkit berdiri. "Kau mau pergi?"

Golok Maut tertegun. Suara wanita ini terdengar hambar, dingin namun tidak menunjukkan kemarahan. Sikapnya biasa-biasa saja namun sepasang mata itu membayang, jelas wanita ini mau menangis namun menahannya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan teringat keinginannya tiba-tiba dia memegang sepasang lengan yang lembut itu, yang tiba-tiba gemetar.

"Pangcu, aku pergi atau tidak sebenarnya tergantung kau. Aku teringat bahwa kita harus bicara. Nah, aku sudah sembuh dan ingin bicara!"

"Aku tak ingin bicara lagi," wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau boleh pergi dan tinggalkan aku, Golok Maut. Aku tak akan mengingatmu tapi aku juga akan pergi jauh!"

"Kau mau ke mana? Kenapa tidak membicarakan apa yang ingin kau bicarakan?"

Tangis yang tertahan itu tiba-tiba meledak. Golok Maut terkejut ketika tiba-tiba wanita itu mengeluh, mengeluarkan semacam erangan dan tiba-tiba menarik lepas tangannya. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan matanya. tiba-tiba wanita itu meloncat keluar.

"Golok Maut, tak usah kau bertanya. Toh kau tak memperdulikan diriku!"

"Hai...!" pemuda ini bergerak. "Tunggu, pangcu. Aku ingin bicara!" dan ketika Golok Maut berkelebat dan berjungkir balik di depan lawannya tiba-tiba pemuda ini telah menyambar dan memegang lengan orang yang menggigil semakin keras.

"Kau mau apa?" bentakan itu terdengar garang. "Lepaskan aku, Golok Maut. Dan kau pergilah!"

"Tidak!" Golok Maut menggigil, menggenggam lengan itu. "Aku pergi kalau kau menghendakinya, pangcu. Karena terus terang saja aku.... aku tak dapat berjauhan denganmu!"

"Apa maksudmu?" mata yang indah itu tiba-tiba terbelalak, terkejut, tampak terguncang. "Kau... kau mau...."

"Benar!" Golok Maut tiba-tiba mengeraskan hati. "Aku mencintaimu, pangcu. Bahwa tak dapat kusangkal bahwa aku tak dapat berjauhan denganmu. Tapi... tapi...."

Golok Maut tertegun. Ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba mengguguk, menubruk dan sudah mendekap tubuhnya dengan kencang. Wanita cantik ini tiba-tiba mengeluarkan erangan panjang pendek. Dia tampak terkejut tapi girang bukan main oleh pengakuan Golok Maut. Bahwa laki-laki itu mencintainya dan timbullah harapan bahwa Golok Maut mau menerimanya, sebagaimana sumpah yang telah diucapkan setiap anggauta Hek-yan-pang bahwa laki-laki yang membuka kedok di wajah mereka haruslah mengawini, atau mereka akan membunuh dan terus mengejar laki-laki yang tak bertanggung jawab itu.

Satu syarat atau sumpah yang aneh dari setiap murid-murid Hek-yan-pang, dari yang rendah sampai kepada ketuanya, hal yang telah dilakukan sejak turun-temurun dari beberapa generasi sebelumnya. Dan karena tak dapat disangkal bahwa wanita baju merah ini jatuh hati kepada lawannya yang lihai dan gagah maka pengakuan cinta Golok Maut sungguh merupakan siraman bunga bahagia yang bukan main menggirangkannya, tersedu-sedu dan timbullah harapan besar di hatinya akan terwujudnya sumpah itu. Tapi ketika Golok Maut mendorong dan menjauhkan dirinya mendadak bagai geledek di siang bolong Golok Maut berkata dengan tersendat-sendat,

"Pangcu, nanti dulu. Aku... aku belum bicara habis. Aku tak dapat menjadi suamimu meskipun aku amat mencintaimu!"

Wajah yang cantik itu memerah. Ucapan Golok Maut yang dirasa aneh dan ganjil sungguh mengejutkan, wanita itu tersentak dan direnggutlah tubuhnya dari seluruh jari-jari lawan. Dan ketika Golok Maut tampak tertegun sukar bicara dan wanita ini melangkah mundur tiba-tiba sebuah bentakan terdengar menggetarkan jiwa,

"Golok Maut, apa maksudmu? Kau mau main-main dan menghina aku? Kau mau kurang ajar?"

"Maaf," Golok Maut tiba-tiba mencabut senjatanya. "Sumpah demi golokku ini aku tak main-main atau menghinamu, pangcu. Apa yang kubicarakan adalah benar dan aku tidak kurang ajar! Aku terikat sumpah, dan justeru karena sumpahku ini maka aku dibuat bingung!"

"Sumpah apa?"

"Bahwa aku tak akan menikah! Aku tak mau membangun keluarga sejak orang yang kucinta mengkhianatiku. Atau aku akan terkena kutuk dan mati tertikam golokku ini!"

"Golok Maut...!"

"Nanti dulu, jangan berteriak, pangcu. Aku belum selesai bicara. Aku sungguh-sungguh!" dan ketika wanita baju merah itu tergetar dan berteriak tertahan maka Golok Maut mendesis dan mencekal lengan ini lagi, mencengkeramnya lembut dan terdengarlah kata-kata Golok Maut bahwa dia terikat sumpah untuk tidak membangun keluarga. Golok Maut tertikam oleh sebuah peristiwa lama, tentang pengkhianatan seorang kekasih dan betapa gadis atau kekasih itu mempermainkannya. Dan ketika dengan menggigil dan gemetar Golok Maut menyelesaikan ceritanya bahwa tak mungkin dia menikah maka laki-laki ini mengakhiri,

"Lihat, aku bingung mendengar sumpahmu, pangcu. Tak dapat kusangkal bahwa aku tertarik dan mencintaimu. Sejak aku membuka saputanganmu dulu sebenarnya hati ini tergetar. Kau mirip kekasihku, kau menimbulkan kenangan lama. Tapi karena aku telah bersumpah dan berat rasanya melanggar sumpah ini maka sekarang ketahuilah bahwa tak mungkin aku mengawinimu, meskipun mencintaimu!"

"Ooh...!" wanita baju merah itu terhuyung. "Kau kejam, Golok Maut. Kau menghancurkan harapanku!"

"Maaf, semuanya tak kusengaja, pangcu. Tapi aku siap mati di tanganmu. Kau bunuhlah aku, dan aku menyerahkan jiwaku sepenuh hati!"

"Tidak... tidak! Kau... oh!" dan wanita itu yang tiba-tiba membalik dan lari kencang sekonyong-konyong histeris dengan lengkingan berkali-kali, berteriak dan menangis tak keruan dan Golok Maut terkejut ketika wanita itu melewati begitu saja sebuah jurang yang lebar. Jurang ini dilompati begitu saja tanpa ginkang (ilmu meringankan tubuh). Dan ketika tubuh itu melompat dan tentu saja terjatuh maka Golok Maut berteriak keras berkelebat secepat hantu.

"Pangcu....!" Golok Maut menyambar dengan luar biasa cepatnya. Tubuh itu telah berkelebat dan terbang seperti burung, berjungkir balik dan melesat dan persis sekali pemuda atau laki-laki ini menyambar tubuh yang jatuh itu, membawanya naik dan menjejakkan kakinya beberapa kali sebelum tiba di seberang. Dan ketika Golok Maut bergulingan di sana tapi selamat membawa wanita baju merah itu maka ketua Hek-yan-pang ini menangis dan tersedu-sedu.

"Golok Maut, biarkan aku mati.... bia rkan aku mati!"

"Tidak!" Golok Maut pucat. "Akulah yang seharusnya mati, pangcu. Kau bunuhlah aku dan tusuk dengan golokku ini!" Golok Maut mencabut senjatanya, memberikan senjatanya itu pada wanita baju merah ini dan ketua Hek-yan-pang itu terkejut. Hawa golok yang dingin menyeramkan membuat dia tergetar. Dan ketika wanita itu mundur dan tentu saja pucat maka Golok Maut sudah menjatuhkan dirinya berlutut, menyerahkan golok.

"Pangcu, terimalah golok ini, Bunuhlah aku!"

"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau yang seharusnya membunuhku, Golok Maut. Atau biarkan aku mati di jurang itu!"

"Tidak, aku yang salah, pangcu. Aku yang berdosa. Biarlah kau bunuh aku atau aku bunuh diri di depanmu!" Golok Maut meloncat bangun, siap menggerakkan golok dan tentu saja wanita itu menjerit. Gerakan Golok Maut yang hendak menggorok lehernya sendiri cepat ditubruk dan ditampar, Golok Maut bahkan ditendang hingga mencelat pula. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan terguling-guling maka wanita ini mengguguk membuang golok yang sudah dirampasnya ke jurang!

"Golok Maut, aku tak ingin kau bunuh diri. Kau gila! Kau... kau, ah!" dan wanita ini yang tersedu-sedu dan menolong Golok Maut bangun berdiri lalu membuat Golok Maut tertegun memandang goloknya yang dilempar jauh di bawah sana, entah di mana tapi jelas di bawah jurang. Dia mau marah tapi tak jadi. Ketua Hek-yan-pang ini telah memeluk tubuhnya erat-erat dan minta agar biarlah dia yang dibunuh, Golok Maut tergetar.

Dan ketika tubuh yang berguncang-guncang itu meledak dalam tangis yang tersedak-sedak maka sebuah getaran magnit tiba-tiba membuat Golok Maut memeluk tubuh yang hangat ini, lunak dan lembut dan tiba-tiba dia pun mencucurkan air mata. Kisah mereka yang demikian menyedihkan membuat pertahanan pemuda ini hancur. Maka begitu dia berbisik agar wanita atau ketua Walet Hitam ini menghentikan tangisnya tiba-tiba Golok Maut telah mengangkat wajah itu dan menciumi muka yang cantik itu, menghisap air matanya.

"Pangcu, biarlah kulanggar sumpahku. Biarlah aku menjadi suamimu. Ah, aku mencintaimu, pangcu. Aku siap mati untukmu!" dan ketika wajah yang tengadah itu dihisap air matanya hingga tersentak tiba-tiba bibir Golok Maut telah melekat di bibir wanita ini. "Pangcu, aku mencintaimu...!"

"Ooh!"

Dua seruan itu hampir berbareng keluarnya. Golok Maut telah mencium dan ketua Hek-yan-pang inipun telah menyambut. Masing-masing bagai dibetot besi sembrani dan masing-masing ingin menyatukan jiwa. Dua mulut itu telah berpagut, bibir wanita cantik ini telah lekat dengan bibir Si Golok Maut. Dan ketika mereka saling hisap dan tak puas-puasnya mengeluarkan gejolak atau isi hati akhirnya wanita baju merah itu terguling dan roboh dalam pelukan Golok Maut.

"Golok Maut, aku siap menjadi isterimu!"

Dua anak muda itu berdekapan. Entah bagaimana mereka sendiri tak tahu apa yang terjadi, tahu-tahu telah bergulingan dan melepas semua rasa rindu dan berahi. Ketua Hek-yan-pang ini menyerahkan segala-galanya kepada Golok Maut. Dan ketika dua jam kemudian semua gejolak itu lenyap dan wanita baju merah ini tersipu mengambil semua pakaiannya yang tercecer maka Golok Maut tertegun dan tampak merah dan pucat berganti-ganti melihat apa yang telah dia lakukan, hubungan intim layaknya suami isteri!

"Pangcu, apa... apa yang kita lakukan ini?"

"Biarlah," wajah yang cantik itu bersemu merah. "Aku memang isterimu, Golok Maut. Sekarang atau kelak sama saja bagiku!"

"Tapi kita melanggar kesucian! Ah, bagaimana ini, pangcu? Bagaimana aku sampai menodaimu? Keparat, terkutuk! Aku jahanam tak tahu diri. Aku merenggut kesucian seorang gadis! Aduh, maafkan aku, pangcu. Ampunkan aku...!" dan Golok Maut yang tersedu menutupi mukanya tiba-tiba menangis dan menjambak-jambak rambut sendiri, menampari mukanya berkali-kali dan tiba-tiba pemuda itu beringas. Dan ketika kekasihnya di sana tertegun dan mengerutkan kening memandang semua kelakuannya itu mendadak Golok Maut menggerakkan tangan menghantam ubun-ubunnya sendiri.

"Hauw-ko!" Pekik atau jeritan itu mendirikan bulu roma. Ketua Hek-yan-pang ini telah berkelebat dan menangkis hantaman itu, menjerit dan terlempar tapi Golok Maut selamat. Laki-laki itu terkejut dan pukulannya tertahan, ditangkis ketua Hek-yan-pang itu dan kekasihnya di sana mengeluh panjang. Dan ketika Golok Maut sadar dan bagai disentak dari mimpi yang buruk maka dia berkelebat dan menolong kekasihnya itu, menggigil.

"Pangcu, kau... kau tak apa-apa?"

"Oh!" wanita itu tersedu-sedu. "Kenapa kau mau melakukan itu, Hauw-ko? Kenapa kau gila dan tidak waras? Kalau kau ingin meninggalkan dunia habisi dulu aku, Hauw-ko. Kita pergi bersama dan jangan sendiri-sendiri!"

"Kau... kau mengetahui namaku?"

"Kau sendiri yang bilang. Kau berbisik memberitahukan nama kecilmu. Nah, bunuhlah aku, Hauw-ko. Dan mari kita sama-sama ke akherat!"

Golok Maut tertegun. Wanita baju merah ini sudah tersedu-sedu memukuli dadanya. Dia sadar dan menarik napas berat. Dan karena tentu saja Golok Maut tak menghendaki kekasihnya bunuh diri maka pemuda ini mengangkat dan tiba-tiba menggendong kekasihnya itu.

"Moi-moi (dinda), maafkan aku. Aku khilaf. Ah, kau benar. Aku masih mempunyai tugas yang harus kuselesaikan. Dan aku tak ingin mengajakmu ke akherat. Duh, maafkan aku, moi-moi. Aku hanya mau mati kalau kau yang menghendakinya! Sudahlah, aku salah. Aku minta maaf dan sekarang beritahukan siapa namamu!"

Air mata yang bercucuran itu tiba-tiba berhenti. Aneh dan luar biasa tiba-tiba wanita ini tersenyum. Dan ketika Golok Maut tertegun dan terpesona oleh senyum yang luar biasa manisnya itu mendadak wanita ini terkekeh, geli.

"Hauw-ko, kau lucu! Kenapa baru sekarang kau menanyakan namaku? Tidakkah kau lihat lukisan di bahuku ini?"

"Hm, aku melihat, tapi tak tahu apa artinya itu. Maukah kau memberitahukannya, moi-moi?

"Tentu, tapi itulah namaku. Kau seharusnya tahu."

"Kalau begitu...."

"Benar, coba lihat lukisan ini, Hauw-ko. Sebut dan katakan namanya!"

"Itu lukisan burung Hong!"

"Nah, kalau begitu?"

"Jadi... jadi kau bernama Hong?"

"Hi-hik, kau sudah menyebutnya, Hauw ko, tak usah ku jawab karena benar!"

Golok Maut tertegun. Kekasihnya sudah tertawa dan menyembunyikan muka di dadanya, malu-malu tapi jelas kegembiraan besar melanda kekasihnya ini. Dan ketika dia tersenyum dan merasa bahagia maka Golok Maut menunduk dan.... mencium bibir yang merah segar itu. "Hong-moi, kau nakal. Kiranya suka berputar-putar!"

"Ih, kau yang nakal, Hauw-ko. Seharusnya kau tahu dan wanita memang tak mungkin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Sudahlah, kau... oh!" dan Golok Maut yang tertawa menutup mulut kekasihnya dengan satu ciuman lembut tiba-tiba membuat ketua Hek-yan-pang itu menggelinjang, terputus omongannya namun menyambut dan memejamkan mata. Erangan nikmat terdengar dari mulut yang bertaut itu dan Golok Maut lupa diri. Dan ketika dia merebahkan kekasihnya dan wanita baju merah ini minta lagi maka untuk kedua kali Golok Maut bobol!

"Aku isterimu, lakukan apa saja yang kau suka!"

"Tapi... tapi..."

"Tak ada tapi, Hauw-ko. Aku rela melakukan semuanya ini dan kita sudah terlanjur!"

Maka, melihat kekasih menyerah dan mata yang terpejam itu bergetar bulu-bulunya Golok Maut pun tak tahan lagi, lupa pada sumpahnya dan kenikmatan bercinta memang dapat memabokkan siapa saja yang sedang birahi. Hal ini adalah wajar dan bergulinganlah mereka memadu cinta. Dan karena semuanya sudah terjadi dan mengulang perbuatan semula tak akan merugikan kedua pihak maka jadilah mereka tenggelam dalam nikmatnya cinta, masing-masing tak menolak untuk melakukan itu dan Golok Maut lupa diri. Tokoh yang ditakuti ini telah jatuh cinta kepada ketua Hek-yan-pang. Sebaliknya ketua Walet Hitam itupun juga sudah jatuh cinta kepada pemuda ini. Dan ketika keduanya bermabok-mabok dan berpuas diri maka dua jam lagi sepasang merpati yang lagi dilanda cinta ini melepaskan diri.

"Cukup, sekarang kita benar-benar terikat, moi-moi. Aku telah memilikimu dan kaupun telah memilikiku!"

"Ooh...!" ketua Hek-yan-pang itu merasa bahagia. "Aku senang, Hauw-ko. Aku cinta padamu!"

"Sudahlah, pasang bajumu, moi-moi. Hari ini kita telah bersatu!"

"Dan aku akan ikut ke manapun kau pergi, Hauw-ko. Ke akherat pun aku mau!"

"Hm!" Golok Maut memeluk kekasihnya ini. "Aku tak ingin ke akherat, moi-moi. Aku ingin ke sorga, bersamamu!"

"Ya, sorga atau akherat sama saja bagiku, Hauw-ko. Asal bersamamu aku pun suka ke mana saja!"

Golok Maut terharu. Mencium dan mendekap kekasihnya ini dia membiarkan sejenak perasaan yang menghangat. Jari-jarinya penuh getaran ketika mengusap atau membelai rambut yang hitam panjang itu. Tapi ketika teringat bahwa tugas masih banyak tiba-tiba pemuda ini melepaskan pelukannya dan mendorong.

"Moi-moi, tugasku masih banyak. Aku masih harus mencari dan membunuh musuh-musuhku!"

"Coa-ongya?"

"Ya, dan adiknya itu, Ci-ongya!"

"Hm, dapatkah kau menceritakan kenapa kau membenci orang-orang she Ci dan Coa ini. Bolehkah aku tahu, Hauw-ko?"

"Peristiwa menyedihkan, moi-moi, sebuah kenangan gelap!"

"Tapi aku ingin tahu, aku isterimu!" dan ketika Golok Maut tertegun dan mengerutkan kening maka wanita cantik itu bangkit berdiri. "Hauw-ko, jelek-jelek aku adalah pendampingmu. Aku ingin membantumu dalam suka ataupun duka. Kalau kau tak keberatan coba ceritakan padaku kenapa kau demikian benci kepada orang-orang she Ci dan Coa itu!"

"Mereka ular dan tikus-tikus jahanam. Mereka menipu dan mempermainkan aku!"

"Sudah kuduga. Tapi ceritakanlah, Hauw-ko. Aku ingin menyangga beban yang kau pikul!"

"Hm, perlukah?" Golok Maut ragu. "Aku bukan tak mau, moi-moi. Tapi menceritakan ini sama halnya mengorek luka lama!"

"Tapi aku bukan orang lain, aku ingin menyatu dan membantumu!"

"Tapi aku ingin segera pergi..."

"Ah, kita tak perlu tergesa-gesa, Hauw ko. Aku masih ingin berlama-lama di sini. Aku rindu, aku ingin berduaan menikmati masa-masa indah kita!" dan ketika wanita itu menangis dan Golok Maut tertegun maka si cantik ini mengeluh, "Hauw ko, kau masih tertutup. Kau agaknya tak mempercayai aku, meragukannya. Apakah yang telah kuberikan padamu tidak cukup? Apakah perlu bukti lain lagi untuk menunjukkan kesungguhanku?"

"Hm!" Golok Maut menyambar kekasihnya. "Bukan begitu, moi-moi. Tapi, ah .... sudahlah, kau boleh dengar ceritaku ini dan jangan menangis lagi. Aku percaya padamu, hanya aku tak ingin kau sedih!" dan mengusap serta membelai muka kekasihnya Golok Maut terpaksa berbaring lagi, menerima tubuh itu yang direbahkan di atas perutnya.

Dan ketika sambil membelai atau mencium Golok Maut mulai bercerita tentang masa lalunya maka wanita atau ketua Hek-yan-pang itu mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, beberapa kali mengeluarkan keluhan-keluhan kecil atau gigitan tanda marah. Kisah yang menyedihkan memang didengar. Dan karena cerita itu dilakukan sambil tiduran namun tidak mengurangi keseriusan cerita ini maka tampaklah cahaya aneh pada sepasang mata indah itu, menyorot dan berapi-api dan Golok Maut terpaksa berhenti kalau kekasihnya memberikan simpati dengan ciuman atau kecupan bibir.

Dan ketika isak atau tanda haru juga diberikan wanita baju merah ini setiap kali Golok Maut menceritakan tentang bagian-bagian yang menyedihkan maka tak terasa matahari kian condong ke barat, akhirnya tenggelam dan sehari itu wanita baju merah ini mendengarkan cerita kekasihnya. Tinju yang berulang-ulang terkepal menunjukkan perasaan hati wanita ini, sikap yang membuat Golok Maut terharu dan mencium. Dan ketika tanpa terasa hari itu mereka habiskan untuk bercerita dan bercerita maka malamnya ketua Hek-yan-pang ini menangis di pelukan Golok Maut.

"Jahanam keparat Coa-ongya itu. Binatang benar dua pangeran itu. Ah, aku prihatin melihat nasibmu, Hauw-ko. Aku ikut berduka. Tapi agaknya tak perlu kau membunuh-bunuhi semua orang-orang she Coa atau Ci!"

"Hm, yang kubunuh bukan manusia, Hong-moi, melainkan binatang!"

"Maksudmu?"

"Orang ber-she Coa dan Ci tak boleh ada di dunia ini. Mereka keturunan tikus dan ular!"

"Aku tak mengerti," gadis atau wanita baju merah itu mengerutkan kening. "Coa-ongya dan adiknya itu jelas manusia, Hauw-ko. Mereka bukan keturunan binatang. Watak mereka memang binatang, tapi mereka sendiri adalah manusia dan mahluk seperti kita ini!"

"Hm, nama mereka sudah menunjukkan itu, moi-moi. Coa adalah ular dan Ci adalah tikus. Dan mereka adalah binatang-binatang yang mengganggu manusia!"

"Ah, nama tak dapat disangkut-pautkan dengan itu, Hauw-ko. Pemilik nama belum tentu semuanya jelek. Lagi pula nama-nama yang gagah belum tentu segagah namanya pula! Lihat, berapa ribu orang bershe Liong (Naga) atau Sian (Dewa) umpamanya? Berapa ribu atau ratus ribu lainnya lagi yang masih memiliki nama-nama atau she yang bagus? Menghukum semua orang ber-she Coa atau Ci karena kebetulan Coa-ongya atau Ci-ongya menyusahkanmu tidaklah adil, Hauw-ko. Untuk ini terus terang aku tak setuju meskipun aku simpatik mendengar kisahmu. Coa-ongya dan Ci-ongya itu memang jahat, tapi belum tentu yang lain-lain yang memiliki she itu jahat dan kejam pula! Maaf, dalam hal ini aku menilaimu dangkal, Hauw-ko. Kau terlalu dilanda dendam dan benci!"

Golok Maut terkejut. "Kau menentang?"

"Bukan menentang, Hauw-ko, tapi sekedar menyatakan pendapatku saja. Kau salah besar kalau menyamaratakan orang-orang she Coa atau Ci karena disangkutkan dengan dua pangeran itu!"

"Hm!" mata yang semula lembut mendadak beringas. "Kau jangan menyalahkan aku, Hong-moi. Kalau kau menyalahkan slkapku berarti kau duduk di seberang! Apakah ini yang kau maksud?"

Ketua Hek-yan-pang itu tersentak. Golok Maut bangkit berdiri dan kasar mendorong tubuhnya, kemesraan yang semula ada tiba-tiba berobah menjadi kaku, keras dan tidak bersahabat. Dan ketika wanita itu terkejut dan Golok Maut berdiri maka pemuda ini mendesis, "Kau agaknya membela orang-orang she Ci dan Coa. Aku tak dapat ditekuk lagi, Wi Hong. Kalau kau bersikeras menyalahkan aku sebaiknya kita tak usah berdekatan lagi. Kau bunuh aku atau biarkan aku pergi!"

"Hauw-ko!" Wi Hong, atau ketua Hek-yan-pang itu terpekik. "Apa kau bilang ini? Kau gila?"

"Hm, aku memang gila, Wi Hong. Gila dendam. Aku haus atau gila akan darah orang-orang she Ci atau Coa. Kalau kau menyebutku dangkal dan salah aku khawatir kita kelak berhadapan sebagai musuh. Nah, kau pilih saja. Tetap bersamaku dan jangan sekali-kali menyalahkan aku atau kau tetap dengan pendirianmu dan membela orang-orang she Ci dan Coa itu!"

"Ooh...!" wanita ini terhuyung. "Kenapa begitu, Hauw-ko? Kau memang licik dan dangkal. Kau cupat. Kalau kau mau menangnya sendiri tentu saja aku tak terima. Aku tidak memusuhimu melainkan semata memberikan pendapat. Kalau ini sudah kau ultimatum dan tidak mau disalahkan baiklah, kau boleh pergi dan kita berpisah!"

"Wi Hong!"

"Tidak, kau sendiri yang bicara seperti itu, Golok Maut. Nah, kita berpisah dan kuharap tidak usah bertemu lagi!"

Golok Maut terkejut. Wi Hong, kekasihnya itu tiba-tiba marah besar. Wi Hong yang tadi halus mendadak berobah dingin dan ketus, entah kenapa tiba-tiba menjadi begitu marah karena Golok Maut menyama-ratakan orang-orang she Ci dan Coa. Dan karena ini rupanya tak dapat dicegah karena masing-masing mempunyai pendirian yang berbeda maka wanita yang tadi baru saja berasyik-masyuk itu berkelebat pergi, meninggalkan Golok Maut dan memutar tubuhnya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan menjublak tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan memanggil lagi kekasihnya itu,

"Wi Hong, tunggu dulu. Kembali!"

Namun wanita baju merah itu terlanjur naik darah. Teriakan Golok Maut tak digubris. Sepasang kekasih yang baru saja bermesraan ini tiba-tiba pecah, begitu mudah dan cepat. Dan ketika dua tiga kali teriakan itu tak digubris dan Golok Maut rupanya tersinggung tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan pergi berlawanan arah, menyambut keras dengan keras.

"Baiklah, kita berpisah, Wi Hong. Sungguh tak kunyana kalau hubungan kita hanya sehari!" Golok Maut naik darah, tak mau mengalah dan tiba-tiba diapun pergi meninggalkan tempat itu.

Tapi ketika teringat bahwa senjatanya, golok yang ampuh itu masih belum diambil dan terlempar di bawah jurang sana maka pemuda ini kembali dan memutar tubuhnya, marah dan gerara karena itulah gara-gara kekasihnya. Wi Hong telah membuang senjatanya ke bawah. Dan ketika dengan cepat dia turun dan merayap ke bawah maka Golok Maut mencari senjatanya yang terlupa, tadi terlampau asyik memadu cinta dan kekecewaannya semakin menghimpit saja. Wi Hong itu adalah perempuan, kenapa tidak tunduk kepada lelaki dan selalu membantah?

Dan teringat bahwa mereka baru saja berasyik-masyuk dan tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya dia amat mencinta wanita itu maka Golok Maut melepas kecewanya dengan merayap atau berlompatan di batu-batu pinggir jurang, menghantam atau meremas hancur batu-batu menonjol yang menghalang pandangannya. Tapi ketika dia tiba di bawah dan tidak menemukan apa yang dia cari tiba-tiba Golok Maut tertegun, kaget dan mencari lagi namun, gagal. Akhirnya pemuda ini membuat obor menerangi bagian-bagian yang gelap, mung kin senjatanya di situ tapi ternyata tak ada juga. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan mata tiba-tiba terdengar suara menggelegar disusul runtuhnya batu-batu besar dari atas jurang.

"Bocah, kau telah melanggar sumpahmu. Kau mempermainkan aku. Ha-ha,, awas, bocah. Aku akan menuntut tanggung jawab dan perbuatanmu... blarr!"

Golok Maut menarik badannya. Dari atas jurang atau langit yang gelap muncul ledakan petir. Sesosok sinar biru menyambarnya dengan cepat, untung dia menarik tubuhnya dan sinar atau cahaya itu meledak di belakang kepalanya. Dan ketika suara itu lenyap dan di bawah kakinya terdapat sinar lemah dari sesosok senjata berhawa dingin maka aneh dan ajaib Golok Maut telah menemukan kembali pusakanya itu.

"Sinar apakah itu? Suara apa?" Golok Maut berdebar, memungut senjatanya dan diam-diam tak enak. Golok yang tiba-tiba ada di bawah kakinya tahu-tahu menggeletak begitu saja, padahal tadi dia yakin tak ada apa-apa di bawah kakinya itu. Tapi karena Golok Maut telah ditemukan dan pemuda atau tokoh ini memasukkan senjatanya ke dalam sarung maka terdengar suara "cring" ketika senjata itu masuk dan agak mengganjal.

"Ah, kenapa ini?" Golok Maut terkejut, mengerutkan kening dan coba memasukkan senjatanya itu sedalam mungkin. Tapi ketika berkali-kali dia gagal dan senjata itu tetap saja keluar seinci, seolah-olah di dalam terganjal sesuatu maka pemuda ini melolos senjatanya dan memeriksa sarung. Tapi aneh, tak ada yang mengganjal. Golok Maut memasukkan lagi senjatanya tapi tetap saja sebagian gagang keluar, tak mau rapat atau pas dengan sarung golok. Dan ketika hal itu dicoba berulang-ulang namun peristiwa aneh ini tetap terjadi, golok tak mau lagi sepenuhnya memasuki sarungnya maka Golok Maut pucat.

"Suhu, tolonglah teecu!" pemuda itu tertegun, meratap dan tiba-tiba mengeluh menjatuhkan dirinya menghadap langit. Keadaan golok yang dirasa aneh dan tidak sewajarnya tiba-tiba membuat pemuda ini gemetar. Sinar berkelebat lagi di langit yang hitam dan terdengarlah suara tanpa rupa bahwa golok akan masuk ke sarungnya lagi setelah menghirup darah pemuda itu, kalau waktunya sudah tiba. Dan ketika Golok Maut tersentak dan sadar akan apa artinya itu tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan roboh terguling.

"Aduh, ampunkan aku, ibu. Aku memang telah melanggar sumpah. Ah, keparat wanita itu. Dia iblis penggoda! Jahanam, biar kucari dia dan kubunuh!" dan Golok Maut yang getir dan marah oleh kejadian yang dialami bersama Wi Hong tiba-tiba mata gelap dan menyalahkan wanita itu, memaki-maki dan memanjat naik dengan cepat. Dinding jurang yang tinggi didakinya tak kurang dari sepuluh menit saja. Dan ketika dia keluar dan meloncat naik maka Golok Maut berteriak dan terbang ke arah larinya Wi Hong.

"Wi Hong, kau merusak sumpahku. Kau wanita terkutuk!"

Namun yang dicari telah lama pergi. Wi Hong atau ketua Hek-yan-pang itu juga marah-marah kepada Si Golok Maut ini. Perbedaan paham di antara mereka bertolak belakang. Dan ketika malam itu Golok Maut tak dapat menemukan kekasihnya sementara ancaman atau ledakan di langit yang hitam itu terus menghantui perasaannya maka tokoh atau pemuda ini memutar tubuhnya ke timur. Dan begitu dia terbang dan berkelebat mengerahkan semua ilmu lari cepatnya maka Golok Maut telah menuju ke tempat perkumpulan Walet Hitam itu, sebuah pulau di tengah telaga.

Gegerlah Hek-yan-pang. Sehari semalam melakukan perjalanan cepat Golok Maut telah tiba di markas kaum wanita ini. Kebetulan malam hari juga, jadi agak sepi namun tentu saja penjagaan tetap ketat. Sejak perkumpulan itu ditinggalkan ketuanya, Hek-yan-pangcu Wi Hong itu maka segala urusan di sini dipegang wakilnya, sumoi atau orang kedua setelah sang ketua. Dan ketika malam itu, Golok Maut tiba dan muncul begitu saja di dalam gedung maka pemuda ini menggeram-geram mencari kekasihnya.

"Suruh Wi Hong keluar. Aku ada perlu."

Golok Maut Jilid 16

GOLOK MAUT
JILID 16
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
DUA-DUANYA berjungkir balik ke belakang. Golok Maut mengeluarkan teriakan tertahan sementara lawan juga berseru lirih. Dua-duanya sudah merampas senjata lawan. Golok Maut dengan pedang bersinar putih yang berkeredepan menyilaukan mata sedangkan Beng Tan dengan Golok Maut yang terasa dingin menyeramkan.

Masing-masing tertegun dan terbelalak sejenak mengamati pedang atau golok di tangan masing-masing, keduanya memancarkan kekaguman yang sangat karena Golok Maut tampak tertegun memandang pedang di tangannya itu, pedang yang menyilaukan mata dan cahayanya seperti matahari, hawanya panas dan kuat dan tokoh bercaping itu tampak tertegun. Namun ketika laki-laki ini sadar dan menoleh karena terdengar jerit dari ketua Hek-yan-pang itu maka wanita baju merah itu berseru,

"Golok Maut, senjatamu dirampas. Ah, golokmu itu mengeluarkan darah!"

Golok Maut terkejut. Beng Tan yang memegang goloknya rupanya mencoba sesuatu, mengerahkan sinkang karena melawan hawa dingin yang keluar dari badan golok. Senjata di tangannya itu tiba-tiba seakan es yang hendak membekukan telapak tangannya. Tapi begitu dia mengerahkan sinkang untuk bertahan tiba-tiba sinkangnya yang berhawa panas bertemu hawa dingin itu dan golok itu mengeluarkan cairan merah yang menetes-netes, persis darah!

"Berikan padaku!" Golok Maut tiba-tiba berkelebat. "Kau jangan menghina pusakaku. orang she Ju. Terima pedangmu dan kemballkan itu padaku... wut!" bayangan hitam melesat, lewat dan tahu-tahu sudah menyambar Beng Tan. Dan karena pemuda ini tak bermaksud mengangkangi golok karena golok dirampas sekedar mengimbangi lawan yang merampas pedangnya maka secepat kilat pemuda ini mengelak dan melempar golok ke arah lawan, yang saat itu menyerang sekaligus melempar pedang kepadanya, dengan ujung pedang menyambar tenggorokan, jadi sebuah serangan juga!

"Sing-plak!"

Dua-duanya berjungkir balik. Untuk kesekian kali Beng Tan maupun lawannya sama-sama bergerak cepat. Beng Tan menangkap pedangnya dengan cara berjungkir balik di atas badan pedang, meluncur searah tapi tangannya sudah menangkap atau menyambar gagang pedang, dari depan. Dan karena saat itu Golok Maut juga menerima senjatanya yang menyambar mata maka hampir berbareng dua pemuda itu sama-sama menangkap atau memperoleh senjatanya dengan cara yang cepat luar biasa.

"Crep-crep!"

Dua-duanya sudah menguasai senjata masing-masing. Aneh dan luar biasa golok berdarah yang tadi menetes-netes mengeluarkan cairan merah itu sudah berhenti mengeluarkan cairan, yang mirip darah. Dan ketika Beng Tan di sana terbelalak dan sudah menerima pedangnya kembali maka anak muda ini tertegun memandang Golok Maut yang tampak begitu cocok dan pas menerima golok berhawa dingin itu.

"Golok Maut, kau menyeramkan. Senjata penuh darah itu seolah cocok untuk-mu!"

"Hm, tak usah bercuap. Sekarang kita masing-masing sudah sama-sama mengeluarkan senjata, orang she Ju. Hayo kita lanjutkan pertandingan kita dan siapa yang roboh dialah yang kalah!"

"Aku sekarang tak ingin bertempur. Golokmu yang mengerikan itu mengingatkan aku akan seseorang!"

"Hm, cerewet. Suka atau tidak kita belum menyelesaikan pertandingan ini, orang she Ju. Ayo kita teruskan dan jaga golokku.... singg!" golok tiba-tiba berkeredep, tokoh bercaping itu sudah meloncat dan tahu-tahu berkelebat cepat.

Gerakannya luar biasa dan Beng Tan terkejut. Lawan tahu-tahu sudah berada di depan hidungnya dan golok yang berhawa dingin menyeramkan itu sudah berkelebat bagai mahluk haus darah. Mukanya terasa dingin ketika golok itu menyambar, juga amis. Namun karena Beng Tan bukanlah pemuda biasa dan pertandingan berimbang tadi menunjukkan keduanya memiliki kecepatan dan kekuatan yang sama maka pemuda ini cepat mengelak dan Pek-jit-kiam atau Pedang Matahari membentur Golok Maut.

"Crangg!"

Bunga api memancar menyilaukan mata. Dua senjata itu bertemu dengan amat kerasnya dan pemiliknya sama-sama terkejut, Hawa panas dan dingin saling sambar, bertemu dan terdengarlah ledakan yang mengguncang jantung, Dan ketika pedang menggelegar sementara golok juga meledak menerbitkan lelatu api maka dua-duanya saling hisap dan menyedot kekuatan lawan!

"Aihh...!"

"Golok siluman!"

Beng Tan maupun lawannya berteriak kaget. Mereka merasa senjata masing-masing saling sedot dan hisap, dua kekuatan sembrani tarik-menarik mengejutkan keduanya. Dan ketika mereka tersentak dan baru kali itu Golok Maut bertemu lawan setanding karena pedang di tangan Beng Tan tak putus atau luka maka Golok Maut maupun lawannya sama-sama terkesiap dan mencelos, coba menarik senjata masing-masing namun gagal. Baik Pedang Matahari maupun Golok Penghisap Darah (Golok Maut) saling tempel dengan amat kuatnya, pemiliknya mencoba menarik namun gagal. Dan ketika keduanya berkutat dan terbelalak mengeluarkan keringat dingin maka berkelebatlah beberapa bayangan disusul tawa bergelak.

"Ha-ha, bagus, Beng Tan. Tempel pemuda itu dan kami membunuhnya dari belakang!"

"Benar, dan jangan khawatir, anak muda. Kami membantumu!" dan bayangan Mo-ko serta Mindra ataupun Sudra yang muncul mengejutkan dua orang itu tiba-tiba sudab bergerak di belakang Golok Maut, melepas pukulan dan nenggala atau cambuk baja bercuit ganas. Mo-ko kakak beradik juga tertawa menyeramkan dengan tongkat masing-masing, semuanya bergerak cepat dan menghantam pemuda itu. Dan karena serangan ini terjadi ketika Golok Maut sedang berkutat dengan Beng Tan maka nenggala maupun pukulan-pukulan lain jatuh dengan ganas di tubuh tokoh bercaping ini.

"Plak-des-crat!"

Golok Maut terhuyung. Nenggala dan senjata-senjata lain mengenai tubuhnya, sudah mengerahkan sinkang namun tetap saja bahu dan belakang lehernya luka. Serangan yang dilakukan orang-orang macam Mindra maupun Mo-ko bukanlah serangan main-main. Mereka itu adalah tokoh-tokoh kelas atas yang memiliki sinkang dan pukulan hebat.

Maka begitu pukulan atau senjata mereka mengenai tubuh Si Golok Maut padahal waktu itu Golok Maut sedang bertahan dari serangan Beng Tan maka tak ayal laki-laki ini terhuyung dan mengeluh. Bahu dan belakang kepalanya luka dan saat itu Mo-ko maupun teman-temannya menyerang lagi, tertawa bergelak. 

Hasil yang telah mereka dapatkan sungguh membesarkan hati, itulah tanda saat yang bagus untuk membunuh lawan yang ditakuti semua orang ini. Maka begitu mereka menerjang dan kali ini cambuk baja di tangan Sudra meledak nyaring maka Golok Maut terjungkal ketika dengan amat dahsyatnya senjata itu menghancurkan baju pundaknya.

"Tar!" Ledakan ini bagai petir di siang bolong. Golok Maut tak dapat menangkis karena saat itu dia mempertahankan senjatanya. Ada dua sikap yang harus diambil tokoh ini untuk menerima semuanya itu. Yakni pertama membiarkan serangan-serangan Mo-ko ataupun Mindra mengenai tubuhnya tapi golok di tangannya tetap tak dilepas dan masih berkutat dengan Beng Tan atau dia melepaskan goloknya itu dan menyambut serangan-serangan Sudra atau Mo-ko. Hal kedua jelas memberikan kerugian materi bagi tokoh ini, karena senjatanya sama saja diserahkan kepada musuh, dalam hal ini adalah Beng Tan.

Dan karena senjata itu rupanya melebihi nyawa sendiri dan untuk itu dia siap mati maka Golok Maut rela menjadikan tubuhnya bulan-bulan hajaran Mindra, mengerahkan sinkang dan sebisa-bisanya dia bertahan. Tusukan nenggala yang melukai bahunya sungguh menyengat, ditambah lagi dengan pukulan atau hantaman tongkat Mo-ko, yang dua kali menghajar pangkal lengannya dan belakang leher. Dan ketika pukulan-pukulan lain bertubi-tubi datang menyusul dan tokoh ini terhuyung-huyung sambil tetap memegangi goloknya yang saling tempel dengan Pedang Matahari maka Beng Tan tak tahan dan berteriak,

"Mo-ko, keparat kau. Mindra, jahanam kau! Lepaskan lawanku ini, jangan serang dan kalian minggirlah!"

"Ha-ha!" Mo-ko, si adik, tertawa menyeramkan. "Golok Maut berhutang kelima jari tanganku, anak muda. Sekarang aku ingin membalas dan tak mungkin kau suruh mundur!"

"Tapi dia sedang berhadapan dengan aku. Kau licik!"

"Ha-ha, kalau begitu lepaskan dia, anak muda. Serahkan pada kami dan biar kami yang menyelesaikannya!"

Beng Tan memaki. Kalau dia dapat melepaskan lawannya tentu sudah sejak tadi dia melakukan hal itu. Dia dan Golok Maut sebenarnya sama-sama mempertahankan diri, mempertahankan senjata masing-masing yang saling sedot dan hisap. Dua senjata yang berlainan itu mengeluarkan hawa yang berbeda-beda. Golok Maut dingin menyeramkan sedangkan Pedang Matahari panas membakar. Dua kekuatan ini saling menarik dan coba menghancurkan, mau menguasai yang lain namun ternyata gagal. Hawa dingin dan panas itu seimbang, dua-duanya tak ada yang kalah atau menang. Dan ketika dia memaki Mo-ko karena saat itu iblis hitam itu menyerang keji maka Golok Maut terjengkang dan terpelanting roboh.

"Dess!"

Beng Tan terbelalak. Golok Maut mengeluh dan tetap mencekal erat-erat goloknya, yang mulai bersinar merah dan perlahan-lahan mengeluarkan bau anyir. Sikap tak kenal menyerah yang membuat Beng Tan kagum dan mau tak mau merasa simpatik. Sikap jantan seorang gagah sejati! Dan ketika Mo-ko terkekeh lagi dan menyerang dengan ganas maka di sana Mindra maupun Sudra juga menggerakkan senjata mereka, nenggala atau cambuk dan tongkat dan bertubi-tubilah senjata-senjata itu mendarat di tubuh Si Golok Maut. Darah mulai meleleh di muka dan lengan Golok Maut, sudah mengerahkan sinkang namun tak kuat juga.

Maklumlah, dia sedang berkutat bersama Beng Tan dan orang-orang ini menumpanginya. Mo-ko maupun lain-Iainnya itu licik dan curang sekali. Mereka tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di antara Beng Tan dan lawannya, tahu bahwa entah karena sebab apa dua senjata ampuh itu saling tempel, masing-masing tak dapat dilepas kecuali salah satu mengalah. Dan karena Beng Tan maupun Golok Maut sama-sama mempertahankan senjata mereka karena itulah pusaka mereka yang harus dipertahankan dengan gigih maka Mo-ko dan kawan-kawannya mempergunakan kesempatan dengan licik, menyerang dan melepas pukulan-pukulan mereka dan Sudra maupun Mindra mulai melepas pukulan-pukulan Hwi-seng-ciangnya (Pukulan Bintang Api), menyambar dan meledak mengenai tubuh Si Golok Maut hingga tentu saja tokoh bercaping itu terhuyung-huyung, lima kali jatuh ke tanah namun hebatnya golok itu tetap dipertahankan mati-matian.

Agaknya Golok Maut siap mati kalau goloknya tidak dilepas Beng Tan, hal yang membuat Beng Tan ragu dan gundah. Mulai berpikir apakah sebaiknya yang harus dia lakukan. Dan ketika Golok Maut semakin terhuyung-huyung dan bersimbah darah, hal yang membuat Beng Tan pucat dan marah sekali kepada Mo-ko dan teman-temannya maka berkelebatlah bayangan merah yang membentak serta menyerang orang-orang itu.

"Mo-ko, kalian jahanam keparat. Kalian tak tahu malu.... crat-dess!" dan ketua Hek-yan-pang yang sudah bergerak dan tak tahan melihat itu tiba-tiba sudah berkelebatan dan menolong Golok Maut. Tentu saja tak tahan karena orang-orang itu curang sekali. Mereka tak menghadapi Golok Maut dengan jantan karena tinggal menumpangi keadaan. Sungguh licik dan curang.

Maka begitu wanita baju merah ini berkelebatan dengan pedangnya dan Mo-ko maupun kawan-kawannya diserang maka empat orang itu kaget dan sejenak dapat dihalau, marah dan memaki wanita itu dan Mindra maupun Sudra membentak. Mereka pernah berhadapan dengan ketua Hek-yan-pang ini dan dua kakek India itu melepas Hwi-seng-ciangnya kepada wanita itu. Dan ketika Mo-ko maupun yang lain juga marah dan membentak wanita itu maka tiba-tiba hujan senjata atau pukulan menyambar wanita ini.

"Des-des-plak!"

Ketua Hek-yan-pang itu terpelanting. Dihadapi empat orang sekaligus yang marah kepadanya tiba-tiba saja wanita itu terdesak, memang tentu saja bukan lawan orang-orang ini kalau dikeroyok. Maka ketika dia mengeluh tapi Golok Maut di sana dapat bernapas lega sejenak maka Mindra menggeram-geram sementara tiga temannya yang lain memaki-maki, melepas pukulan dan senjata dan sebentar saja wanita itu sibuk menangkis sana-sini, mundur dan terhuyung-huyung dan kesibukan luar biasa melanda ketua Hek-yan-pang ini.

Kalau Mindra dan teman-temannya marah maka hanya Golok Maut saja yang dapat menghadapi, hal yang sayangnya tak dapat dilakukan saat itu karena Golok Maut sedang berhadapan dengan Beng Tan, pemuda tangguh yang baru kali itu dijumpai tokoh bercaping ini. Lawan seimbang yang sama hebat dan kuat, juga sama-sama memiliki senjata pusaka yang kini sedang tarik-menarik. Dan ketika wanita itu mengeluh dan cambuk di tangan Sudra meledak dari atas ke bawah maka bahu wanita itu terkoyak ketika senjata menyambar mengenai tubuhnya.


"Tar!"

Wanita itu menjerit. Kali ini hantamam cambuk penuh tenaga dan amat kuatnya, Sudra menambah sinkangnya hingga daging pundak wanita itu melepuh. Dan ketika ketua Hek-yan-pang itu mengeluh dan bergulingan meloncat bangun maka yang lain-lain sudah maju menubruk lagi dan menyerang, mengeroyok dan mendesak wanita itu dan wanita ini pun keteter. Kemarahan empat lawannya tak dapat dicegah lagi, sementara ini mereka melupakan Golok Maut dan membiarkan laki-laki bercaping itu saling tempel dengan Beng Tan. Dan ketika wanita itu menerima lagi ledakan-ledakan cambuk atau tusukan nenggala serta pukulan tongkat maka bajunya robek-robek dan Mo-ko kakak beradik mulai tersenyum aneh, mendengus-dengus.

"Mindra, jangan bunuh wanita ini Berikan ia pada kami!"

"Hm, kalian mau apa?"

"Kami mau mempermainkannya, Mindra. Bersenang-senang dan bercinta dengannya!"

"Heh-heh, benar!" Pek-mo-ko mengangguk-angguk. "Berikan ia pada kami, Mindra. Kami jadi bergairah melihat wanita cantik begini!"

"Dan kalian boleh menikmatinya kalau masih mampu!" Hek-mo-ko tertawa bergelak. "Dan jangan ragu mempermainkan perempuan macam begini, Mindra. Dia musuh kita karena dia membantu Golok Maut!"

Mindra terbelalak. Dirangsang dan dibujuk begitu ternyata kakek ini tertawa, rupanya setuju dan tiba-tiba timbul hasrat kelelakiannya. Wanita baju merah itu memang hebat dan pasti cantik, meskipun tertutup kedok. Dan karena berkali-kali wanita ini menunjukkan simpatinya pada Golok Maut padahal tokoh bercaping itu adalah musuh mereka maka Mindra terbahak dan mengangguk, berseru pada temannya,

"Baiklah, aku suka, Mo-ko. Tapi tanya dulu dengan Sudra. Apakah dia mau dan rela menangkap hidup-hidup wanita ini!"

"Aku tak suka perempuan!" Sudra mendengus. "Kau boleh main-main, Mindra. Tapi hati-hati dan ingat kejadian dulu!"

"Ha-ha, aku ingat!" dan percakapan yang segera berhenti karena sudah diganti dengan bentakan-bentakan atau serangan sengit akhirnya membuat wanita baju merah itu memaki, merah padam mukanya karena kata-kata kotor mulai berdatangan menghambur. Hek-mo-ko dan suhengnya jelas-jelas ingin menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk apa-apa melainkan sekedar digagahi, dipermainkan.

Dan karena semuanya itu membuat telinga wanita ini merah dan di sana Beng Tan juga marah dan malu mendengar itu maka Golok Maut yang menempel senjatanya terbelalak dengan mata bagaikan api, berkutat namun lemah tenaganya karena pukulan-pukulan atau serangan Mindra dan teman-temannya tadi melukai tubuhnya. Ada beberapa bagian yang malah melukai bagian dalam dadanya, seperti pukulan Hwi-seng-ciang dan Pek-see-kang (Pukulan Pasir Putih) atau Hek-see-kang (Pasir Hitam) yang dilepas Mo-ko kakak beradik.

Semua pukulan dan serangan-serangan itu sebenarnya membuat Golok Maut menderita. Hanya berkat kekerasan dan kemauannya yang kuat saja semuanya itu dapat ditahan, ditekan-tekan dan dilawan agar dia tetap tegar, meskipun sebenarnya sudah "keropos", kehilangan banyak tenaga. Maka ketika Beng Tan terbelalak dan kekagumannya semakin memuncak terhadap lawannya itu tiba-tiba sebuah keputusan telah diambil pemuda ini, yakni dia akan mengalah dan melepas pedangnya.

"Golok Maut, kau harus pergi. Baiklah, kau hebat. Aku mengakui kegigihanmu dan ambillah golok serta pedangku.... wut!" Beng Tan menyerahkan pedangnya, membuang semua tenaganya dan tentu saja hisapan Golok Maut menang, menarik dan Pek-jit-kiampun tersedot dan terlepas dari tangan pemuda itu. Dan ketika pedang terbetot dan tertarik dengan mudah maka Golok Maut berseru tertahan sementara Beng Tan harus melempar tubuh bergulingan untuk menghindar gaya tolak dari tarik-menarik itu.

"Bress!" Golok Maut pun terjengkang. Tokoh bercaping itu tak menyangka bahwa Beng Tan mengalah, di saat-saat krltis melepaskan pedangnya dan memberikan pedangnya itu padanya. Jadi lawan berbaik hati dan tentu saja dia tertegun. Dan karena semuanya itu di luar dugaan dan tarik-menarik sedang terjadi dengan hebatnya maka laki-laki bercaping itu terlempar ke belakang dan terguling-guling oleh daya tariknya sendiri. "Ah!"

Seruan itu cukup. Mo-ko di sana terkejut dan membelalakkan mata, melihat Beng Tan terlepas pedangnya dan "kalah", tentu saja tak tahu apa yang terjadi dan iblis hitam putih ini melotot. Mereka terperanjat dan sudah melihat Golok Maut bergulingan meloncat bangun. Dan ketika laki-laki itu sejenak memandang Beng Tan dan pedang yang menempel di ujung golok disambar dan digerakkan tiba-tiba tokoh itu berkelebat dan mengembalikan pedang lawan tapi tubuh sudah bergerak ke arah Mo-ko dan kawan-kawannya itu.

"Mo-ko, kalian semua bedebah keparat!"

Kagetlah semua orang. Melihat Golok Maut berkelebat ke arah mereka sementara Beng Tan yang diandalkan tampak terhuyung-huyung maka Mo-ko dan kawan-kawannya kaget bukan main, melihat sinar putih berkelebat dan bayangan hitam menyambar ke arah mereka. Saat itu mereka sudah mendesak dan tinggal merobohkan ketua Hek-yan-pang ini. Wanita baju merah itu sudah terdesak hebar dan tinggal menanti waktu, keadaannya berbahaya dan Mo-ko serta Mindra tertawa-tawa, mempermainkan wanita itu dan merobek bajunya di sana-sini, agaknya bermaksud menelanjangi wanita itu sebelum digagahi, satu sifat keji dan tak tahu malu. Tapi begitu Golok Maut menyambar dan senjata yang mengerikan itu berkelebat ke arah mereka tiba-tiba Mo-ko berteriak dan melempar tubuh ke belakang.

"Awas...!"

Teriakan itu mengguncang perasaan. Mindra dan Sudra otomatis menarik serangan mereka pada ketua Hek-yan-pang itu, membalik dan secepat kilat menangkis. Tak ada waktu mundur bagi mereka, tak ada waktu mengelak. Tapi begitu sinar putih menyambar senjata mereka dan terus mendesing maka putuslah cambuk baja atau nenggala di tangan dua orang itu.

"Crat-dess!"

Dua kakek India itu melempar tubuh ke belakang. Mereka lupa dalam keadaan kaget itu bahwa senjata mereka jelas bukanlah tandingan golok ampuh di tangan lawan, putus separoh lebih dan dua kakek itu berteriak kesakitan. Golok masih menyambar dan menggurat pundak mereka, berdarah dan Mo-ko kakak beradik sudah lebih dulu menyingkir, dengan jalan melempar tubuh dan menjauh di sana. Dan ketika empat orang itu bergulingan meloncat bangun sementara Golok Maut menangkap dan menggigil memeluk ketua Hek-yan-pang yang kehabisan tenaga maka Beng Tan di sana berseru agar semua orang mundur, sudah menangkap dan menerima kembali pedangnya yang tadi dikembalikan lawan.

"Mo-ko, mundur kalau tak ingin mampus. Atau kalian menjadi korban keganasan Golok Maut!"

"Kau tak maju lagi?" iblis hitam ini terbelalak. "Hanya kau yang mampu menandingi Golok Maut, anak muda. Kami mengharap bantuanmu karena kau memiliki pula pedang yang ampuh!"

"Tidak, aku sudah kalah," Beng Tan berpura-pura. "Dan aku muak melihat kelicikan kalian. Nah, kalian mau pergi atau tidak terserah, aku tak mau lagi di sini dan kalian hadapi sendiri Si Golok Maut itu!" dan begitu Beng Tan menutup bicaranya dan membalik tiba-tiba pemuda ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, agak terhuyung dan sengaja dibuat terhuyung-huyung agar Mo-ko dan kawan-kawannya melihat dia benar-benar kehabisan tenaga, seolah benar begitu. Dan ketika Mo-ko dan lain-lain terbelalak melihat itu, perginya Beng Tan maka mereka mendadak memutar tubuh dan lari mengikuti pemuda ini, gentar kalau maju seorang diri, tanpa pemuda itu!

"Hei, kalian mau ke mana?" Hek-yan-pangcu berteriak, marah dan coba mengejar. "Kalian pengecut dan benar-benar licik, Mo-ko. Hayo jangan lari dan hadapi aku!" namun ketika wanita baju merah itu terguling karena dia sudah kehabisan tenaga maka Golok Maut menyambarnya dan kembali memeluk, berkata agar wanita itu membiarkan lawan-lawannya dan larilah Hek-mo-ko dan tiga temannya itu, gentar karena Beng Tan tak mau melindungi mereka, tentu saja tak mau karena pemuda itu muak dan marah. Golok Maut tertegun di sana dan berdiri agak menggigil, mencengkeram atau memeluk erat-erat tubuh wanita baju merah itu. Tapi ketika semua lawan menghilang dan tak ada lagi di depan tiba-tiba Golok Maut roboh dan pingsan.

"Bluk!"

Ketua Hek-yan-pang itu ganti terkejut. Tadi dia merasa betapa hangat dan lembut pelukan Si Golok Maut itu, diam-diam berdebar dan entah kenapa dia tak mau melepaskan diri. Dua kali dipeluk dua kali pula dia pura-pura lemah. Memang kehabisan tenaga tapi sebenarnya kalau untuk berdiri sendiri dia bisa, sanggup. Tapi begitu Golok Maut roboh dan terguling melepas pelukannya tiba-tiba wanita ini terkejut dan berseru tertahan, membungkuk dan cepat menyambar tubuh itu. Teringat akan luka-lukanya dan sadarlah ketua Hek-yan-pang ini bahwa Golok Maut terluka. Tusukan dan pukulan-pukulan Mo-ko dan kawan-kawannya tadi membuat Golok Maut penuh darah, luka-luka di tubuhnya cukup banyak tapi luka dalam agaknya yang paling berat.

Maka begitu sadar dan mengeluh perlahan tiba-tiba wanita baju merah ini berkelebat meninggalkan hutan. Dan begitu dia menguatkan hati dan mengumpulkan segenap sisa-sisa tenaganya tiba-tiba wanita itu telah "terbang" dan mencari satu tempat aman untuk menolong Golok Maut ini. Dan karena semua orang sudah meninggalkan tempat itu sementara ketua Hek-yan-pang ini juga menghilang ke kiri maka segala hiruk-pikuk yang tadi terjadi sudah tak terdengar lagi.

* * * * * * *

"Ooh...!" begitu keluhan itu terdengar.

"Di mana kini aku, Tuhan? Siapa yang menolongku ini?"

"Diamlah," sepasang lengan lembut membelai dan mengusap-usap tubuh yang merintih itu. "Aku menolongmu, Golok Maut. Kita di tempat aman dan terima kasih atas pertolonganmu!"

Golok Maut tertegun. Semula dia tak membuka mata karena seluruh tubuh dan kepalanya terasa berat. Rasa pening yang hebat membuat kepalanya seakan berputar. Tapi begitu suara itu terdengar dan tentu saja dia mengenai suara ini, suara yang lembut dan bercampur isak maka Golok Maut membuka mata. "Kau..?" serunya tertegun. "Kau yang menolongku?"

"Ya, tenanglah," wanita baju merah itu menangis. "Aku menolongmu, Golok Maut, Tubuhmu panas sekali dan dua hari ini kau pingsan!"

"Dua hari?"

"Benar, dan kau tentu lapar, Makanlah, aku sudah membuat bubur ayam untukmu!"

Golok Maut bangkit duduk. Lupa pada sakitnya tiba-tiba pemuda ini melebarkan matanya. Semangkok bubur panas ada di depannya, di meja kecil dan wanita itu sudah mengambilnya. Kedok yang biasa menutupi muka tak ada lagi. Wajah jelita itu tampak jelas dan tidak tersembunyi, rambutnya yang panjang di punggung tampak tergerai bergelombang, cantik dan indah sekali. Dan ketika Golok Maut tertegun dan terpesona oleh semuanya ini, pemandangan yang mentakjubkan maka wajah jelita itu tiba-tiba memerah dan menunduk, tersipu.

"Golok Maut, kau makanlah. Bubur ini menantimu!"

"Ooh...!" Golok Maut terguling, tiba-tiba roboh lagi. "Aku... aku tak dapat melakukannya, pangcu. Aku tak dapat duduk dan makan sendiri!"

"Aku akan menyuapimu. Kau tidurlah dan tenanglah di situ!" dan ketika jari-jari yang lembut itu bergerak dan sudah mulai menyendok bubur maka Golok Maut tertegun melihat wajah yang jelita ini berurai air mata.

"Pangcu..." Golok Maut menggigil. "Aku.... aku musuhmu. Seharusnya kau membunuhku dan tidak melakukan semuanya ini!"

"Siapa musuhku? Kau menolongku, Golok Maut. Kau melindungiku dari pemuda she Ju itu. Dan kau menolongku pula dari gangguan Mo-ko dan Mindra! Hm, kalau tak ada kau barangkali aku sudah mati bunuh diri. Keparat mereka-mereka itu!"

"Tapi.... tapi....."

"Nanti kita bicara lagi, Golok Maut. Kau makanlah dulu dan mari kusuapi!"

Golok Maut tertegun. Caping di kepalanya yang sudah ditaruh di meja tak dapat menyembunyikan mukanya yang merah padam. Golok Maut kini tampak sebagai pemuda yang tampan dan gagah, sayang saat itu pucat karena luka-lukanya yang berat. Tapi ketika muka yang pucat itu menjadi merah karena wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu menyuapinya maka Golok Maut tersedak dan tiba-tiba menangis, mencengkeram lengan yang halus itu dan menahannya sejenak untuk berhenti.

"Pangcu, kau... kau.... kenapa kau lakukan semuanya ini? Bukankah... bukankah..."

"Hm, aku tak dapat membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki yang istimewa dan penuh misteri bagiku. Aku... aku tak dapat melakukan itu, apalagi dua tiga kali kau telah menyelamatkan diriku!"

"Tapi... tapi aku kau benci! Bukankah berkali-kali kau hendak membunuhku?"

"Sudahlah, kau mau makan atau tidak?" wajah yang jelita itu tiba-tiba mengeras, rupanya gugup atau bingung. Bingung tapi juga malu. Dan ketika Golok Maut menggeleng dan berkata bahwa dia ingin mengetahui jawabannya terlebih dahulu maka wanita itu marah dan dua pasang mata beradu dengan tajam. Yang satu tajam dan marah sementara yang lain tajam namun lembut. Golok Maut gemetar dan akhirnya ketua Hek-yan-pang itu menangis, memejamkan mata. Dan ketika Golok Maut terus mendesak dan mencengkeram lengannya tiba-tiba wanita itu berkata,

"Aku... aku sudah terikat sumpahku. Kau telah merenggut saputanganku. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain mendampingimu, Golok Maut. Atau kau membunuhku dan biarlah aku mati di tanganmu!"

"Urusan dulu itu?"

"Kau tak penlu jawabannya. Kau sudah tahu!"

"Tapi... tapi kau juga membuka capingku, pangcu. Sebenarnya pantang bagi orang lain mengetahui wajahku!"

"Sama saja. Akupun juga begitu. Hanya suami atau calon suami yang boleh melihat wajahku, atau aku membunuh orang itu atau orang itu yang membunuhku!"

"Oh, maaf, pangcu. Dulu itu aku tak sengaja. Aku... aku, ah... aku telah berdosa!" dan Golok Maut yang berguncang menutupi mukanya tiba-tiba melupakan buburnya dan wanita baju merah itu tertegun, mengerutkan kening dan terdengarlah tangis tertahan-tahan yang ditekan Golok Maut. Tokoh ini rupanya terpukul oleh sesuatu dan tampak terhimpit. Tapi ketika wanita baju merah itu menekan pundaknya dan siap memberikan bubur tiba-tiba Golok Maut meloncat bangun, roboh terguling.

"Pangcu, agaknya sukar bagiku memenuhi sumpahmu itu. Aku... aku juga terlanjur telah mengucapkan sumpah. Kita tak mungkin menjadi suami isteri!"

Muka yang cantik itu tiba-tiba pucat. Ketua Hek-yan-pang ini tampak tergetar dan menggigil, bubur di tangannya tiba-tiba hampir tumpah. Tapi ketika dia mengeraskan hati dan menggigit bibir maka dia berkata, tampak menindas semua pukulan batinnya, "Golok Maut, kali ini aku tak ingin bicara itu. Aku ingin menolongmu sebagai orang yang pernah kau tolong. Nah, kau makan dulu ini dan setelah sembuh kita bicara lagi!"

Golok Maut tertegun. Dia sudah ditolong dan diangkat ke tempatnya semula, dibaringkan dan disandarkan setengah duduk. Dan ketika jari-jari yang lembut itu tampak gemetar dan menyendoki bubur maka sesuap demi sesuap pemuda ini sudah diisi perutnya.

"Urusan itu tak ingin kubicarakan sekarang. Sebaiknya kutolong dulu dirimu dan setelah itu kita bicara!"

Golok Maut mengangguk. Akhirnya dia menarik napas dan sependapat, memang rasanya tak enak membicarakan itu di saat seperti itu. Ketua Hek-yan-pang ini berusaha menolongnya atas dasar hutang budi, jadi agaknya hendak memisahkan itu dengan urusan dulu. Dan ketika dia mengangguk dan menerima suapan demi suapan maka mata mereka sering bentrok dan diakui atau tidak keduanya sama-sama tergetar, sering melengos namun tak dapat disangkal bahwa keduanya sama-sama mengagumi wajah lawan.

Golok Maut kagum akan wajah jelita dn ayu dari ketua Hek-yan-pang itu sementara wanita baju merah itu juga kagum dan tertarik kepada wajah yang gagah namun dingin ini, wajah yang penuh penderitaan dan agaknya Golok Maut menerima goresan-goresan batin yang dalam. Semuanya itu tampak di wajah yang tidak bercaping lagi ini dan sering ketua Hek-yan-pang itu menekan debaran jantungnya, akhirnya selesai menyuapi dan berterima kasihlah Golok Maut dengan suara lirih. Ketua Hek-yan-pang itu membalik dan berkelebat keluar, tak menggubris ucapan terima kasih Golok Maut tapi tak lama kemudian dia datang lagi dengan semangkuk obat.

Rupanya di belakang tadi dia telah menyiapkan semuanya itu untuk Golok Maut, merebus obat dan meminumkan ini pada Golok Maut, juga tanpa banyak cakap. Dan ketika Golok Maut tertegun tapi lagi-lagi menerima semuanya itu, dengan ucapan terima kasih maka tiga hari berturut-turut gadis atau wanita baju merah ini merawat Golok Maut sampai sembuh, telaten dan penuh perhatian dan Golok Maut benar-benar merasa berhutang budi. Tubuhnya yang terserang demam sudah sembuh total, luka-luka dalamnya juga sudah tak ada lagi berkat rebusan obat ketua Hek-yan-pang ini. Dan ketika hari keempat tokoh itu merasa sehat dan dapat melompat bangun maka dia sudah berkelebat ketika bayangan merah itu tampak berjongkok di dapur, merebus air.

"Pangcu, terima kasih. Aku telah sembuh!"

Wanita itu membalik, bangkit berdiri. "Kau mau pergi?"

Golok Maut tertegun. Suara wanita ini terdengar hambar, dingin namun tidak menunjukkan kemarahan. Sikapnya biasa-biasa saja namun sepasang mata itu membayang, jelas wanita ini mau menangis namun menahannya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan teringat keinginannya tiba-tiba dia memegang sepasang lengan yang lembut itu, yang tiba-tiba gemetar.

"Pangcu, aku pergi atau tidak sebenarnya tergantung kau. Aku teringat bahwa kita harus bicara. Nah, aku sudah sembuh dan ingin bicara!"

"Aku tak ingin bicara lagi," wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau boleh pergi dan tinggalkan aku, Golok Maut. Aku tak akan mengingatmu tapi aku juga akan pergi jauh!"

"Kau mau ke mana? Kenapa tidak membicarakan apa yang ingin kau bicarakan?"

Tangis yang tertahan itu tiba-tiba meledak. Golok Maut terkejut ketika tiba-tiba wanita itu mengeluh, mengeluarkan semacam erangan dan tiba-tiba menarik lepas tangannya. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan matanya. tiba-tiba wanita itu meloncat keluar.

"Golok Maut, tak usah kau bertanya. Toh kau tak memperdulikan diriku!"

"Hai...!" pemuda ini bergerak. "Tunggu, pangcu. Aku ingin bicara!" dan ketika Golok Maut berkelebat dan berjungkir balik di depan lawannya tiba-tiba pemuda ini telah menyambar dan memegang lengan orang yang menggigil semakin keras.

"Kau mau apa?" bentakan itu terdengar garang. "Lepaskan aku, Golok Maut. Dan kau pergilah!"

"Tidak!" Golok Maut menggigil, menggenggam lengan itu. "Aku pergi kalau kau menghendakinya, pangcu. Karena terus terang saja aku.... aku tak dapat berjauhan denganmu!"

"Apa maksudmu?" mata yang indah itu tiba-tiba terbelalak, terkejut, tampak terguncang. "Kau... kau mau...."

"Benar!" Golok Maut tiba-tiba mengeraskan hati. "Aku mencintaimu, pangcu. Bahwa tak dapat kusangkal bahwa aku tak dapat berjauhan denganmu. Tapi... tapi...."

Golok Maut tertegun. Ketua Hek-yan-pang itu tiba-tiba mengguguk, menubruk dan sudah mendekap tubuhnya dengan kencang. Wanita cantik ini tiba-tiba mengeluarkan erangan panjang pendek. Dia tampak terkejut tapi girang bukan main oleh pengakuan Golok Maut. Bahwa laki-laki itu mencintainya dan timbullah harapan bahwa Golok Maut mau menerimanya, sebagaimana sumpah yang telah diucapkan setiap anggauta Hek-yan-pang bahwa laki-laki yang membuka kedok di wajah mereka haruslah mengawini, atau mereka akan membunuh dan terus mengejar laki-laki yang tak bertanggung jawab itu.

Satu syarat atau sumpah yang aneh dari setiap murid-murid Hek-yan-pang, dari yang rendah sampai kepada ketuanya, hal yang telah dilakukan sejak turun-temurun dari beberapa generasi sebelumnya. Dan karena tak dapat disangkal bahwa wanita baju merah ini jatuh hati kepada lawannya yang lihai dan gagah maka pengakuan cinta Golok Maut sungguh merupakan siraman bunga bahagia yang bukan main menggirangkannya, tersedu-sedu dan timbullah harapan besar di hatinya akan terwujudnya sumpah itu. Tapi ketika Golok Maut mendorong dan menjauhkan dirinya mendadak bagai geledek di siang bolong Golok Maut berkata dengan tersendat-sendat,

"Pangcu, nanti dulu. Aku... aku belum bicara habis. Aku tak dapat menjadi suamimu meskipun aku amat mencintaimu!"

Wajah yang cantik itu memerah. Ucapan Golok Maut yang dirasa aneh dan ganjil sungguh mengejutkan, wanita itu tersentak dan direnggutlah tubuhnya dari seluruh jari-jari lawan. Dan ketika Golok Maut tampak tertegun sukar bicara dan wanita ini melangkah mundur tiba-tiba sebuah bentakan terdengar menggetarkan jiwa,

"Golok Maut, apa maksudmu? Kau mau main-main dan menghina aku? Kau mau kurang ajar?"

"Maaf," Golok Maut tiba-tiba mencabut senjatanya. "Sumpah demi golokku ini aku tak main-main atau menghinamu, pangcu. Apa yang kubicarakan adalah benar dan aku tidak kurang ajar! Aku terikat sumpah, dan justeru karena sumpahku ini maka aku dibuat bingung!"

"Sumpah apa?"

"Bahwa aku tak akan menikah! Aku tak mau membangun keluarga sejak orang yang kucinta mengkhianatiku. Atau aku akan terkena kutuk dan mati tertikam golokku ini!"

"Golok Maut...!"

"Nanti dulu, jangan berteriak, pangcu. Aku belum selesai bicara. Aku sungguh-sungguh!" dan ketika wanita baju merah itu tergetar dan berteriak tertahan maka Golok Maut mendesis dan mencekal lengan ini lagi, mencengkeramnya lembut dan terdengarlah kata-kata Golok Maut bahwa dia terikat sumpah untuk tidak membangun keluarga. Golok Maut tertikam oleh sebuah peristiwa lama, tentang pengkhianatan seorang kekasih dan betapa gadis atau kekasih itu mempermainkannya. Dan ketika dengan menggigil dan gemetar Golok Maut menyelesaikan ceritanya bahwa tak mungkin dia menikah maka laki-laki ini mengakhiri,

"Lihat, aku bingung mendengar sumpahmu, pangcu. Tak dapat kusangkal bahwa aku tertarik dan mencintaimu. Sejak aku membuka saputanganmu dulu sebenarnya hati ini tergetar. Kau mirip kekasihku, kau menimbulkan kenangan lama. Tapi karena aku telah bersumpah dan berat rasanya melanggar sumpah ini maka sekarang ketahuilah bahwa tak mungkin aku mengawinimu, meskipun mencintaimu!"

"Ooh...!" wanita baju merah itu terhuyung. "Kau kejam, Golok Maut. Kau menghancurkan harapanku!"

"Maaf, semuanya tak kusengaja, pangcu. Tapi aku siap mati di tanganmu. Kau bunuhlah aku, dan aku menyerahkan jiwaku sepenuh hati!"

"Tidak... tidak! Kau... oh!" dan wanita itu yang tiba-tiba membalik dan lari kencang sekonyong-konyong histeris dengan lengkingan berkali-kali, berteriak dan menangis tak keruan dan Golok Maut terkejut ketika wanita itu melewati begitu saja sebuah jurang yang lebar. Jurang ini dilompati begitu saja tanpa ginkang (ilmu meringankan tubuh). Dan ketika tubuh itu melompat dan tentu saja terjatuh maka Golok Maut berteriak keras berkelebat secepat hantu.

"Pangcu....!" Golok Maut menyambar dengan luar biasa cepatnya. Tubuh itu telah berkelebat dan terbang seperti burung, berjungkir balik dan melesat dan persis sekali pemuda atau laki-laki ini menyambar tubuh yang jatuh itu, membawanya naik dan menjejakkan kakinya beberapa kali sebelum tiba di seberang. Dan ketika Golok Maut bergulingan di sana tapi selamat membawa wanita baju merah itu maka ketua Hek-yan-pang ini menangis dan tersedu-sedu.

"Golok Maut, biarkan aku mati.... bia rkan aku mati!"

"Tidak!" Golok Maut pucat. "Akulah yang seharusnya mati, pangcu. Kau bunuhlah aku dan tusuk dengan golokku ini!" Golok Maut mencabut senjatanya, memberikan senjatanya itu pada wanita baju merah ini dan ketua Hek-yan-pang itu terkejut. Hawa golok yang dingin menyeramkan membuat dia tergetar. Dan ketika wanita itu mundur dan tentu saja pucat maka Golok Maut sudah menjatuhkan dirinya berlutut, menyerahkan golok.

"Pangcu, terimalah golok ini, Bunuhlah aku!"

"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menangis. "Kau yang seharusnya membunuhku, Golok Maut. Atau biarkan aku mati di jurang itu!"

"Tidak, aku yang salah, pangcu. Aku yang berdosa. Biarlah kau bunuh aku atau aku bunuh diri di depanmu!" Golok Maut meloncat bangun, siap menggerakkan golok dan tentu saja wanita itu menjerit. Gerakan Golok Maut yang hendak menggorok lehernya sendiri cepat ditubruk dan ditampar, Golok Maut bahkan ditendang hingga mencelat pula. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan terguling-guling maka wanita ini mengguguk membuang golok yang sudah dirampasnya ke jurang!

"Golok Maut, aku tak ingin kau bunuh diri. Kau gila! Kau... kau, ah!" dan wanita ini yang tersedu-sedu dan menolong Golok Maut bangun berdiri lalu membuat Golok Maut tertegun memandang goloknya yang dilempar jauh di bawah sana, entah di mana tapi jelas di bawah jurang. Dia mau marah tapi tak jadi. Ketua Hek-yan-pang ini telah memeluk tubuhnya erat-erat dan minta agar biarlah dia yang dibunuh, Golok Maut tergetar.

Dan ketika tubuh yang berguncang-guncang itu meledak dalam tangis yang tersedak-sedak maka sebuah getaran magnit tiba-tiba membuat Golok Maut memeluk tubuh yang hangat ini, lunak dan lembut dan tiba-tiba dia pun mencucurkan air mata. Kisah mereka yang demikian menyedihkan membuat pertahanan pemuda ini hancur. Maka begitu dia berbisik agar wanita atau ketua Walet Hitam ini menghentikan tangisnya tiba-tiba Golok Maut telah mengangkat wajah itu dan menciumi muka yang cantik itu, menghisap air matanya.

"Pangcu, biarlah kulanggar sumpahku. Biarlah aku menjadi suamimu. Ah, aku mencintaimu, pangcu. Aku siap mati untukmu!" dan ketika wajah yang tengadah itu dihisap air matanya hingga tersentak tiba-tiba bibir Golok Maut telah melekat di bibir wanita ini. "Pangcu, aku mencintaimu...!"

"Ooh!"

Dua seruan itu hampir berbareng keluarnya. Golok Maut telah mencium dan ketua Hek-yan-pang inipun telah menyambut. Masing-masing bagai dibetot besi sembrani dan masing-masing ingin menyatukan jiwa. Dua mulut itu telah berpagut, bibir wanita cantik ini telah lekat dengan bibir Si Golok Maut. Dan ketika mereka saling hisap dan tak puas-puasnya mengeluarkan gejolak atau isi hati akhirnya wanita baju merah itu terguling dan roboh dalam pelukan Golok Maut.

"Golok Maut, aku siap menjadi isterimu!"

Dua anak muda itu berdekapan. Entah bagaimana mereka sendiri tak tahu apa yang terjadi, tahu-tahu telah bergulingan dan melepas semua rasa rindu dan berahi. Ketua Hek-yan-pang ini menyerahkan segala-galanya kepada Golok Maut. Dan ketika dua jam kemudian semua gejolak itu lenyap dan wanita baju merah ini tersipu mengambil semua pakaiannya yang tercecer maka Golok Maut tertegun dan tampak merah dan pucat berganti-ganti melihat apa yang telah dia lakukan, hubungan intim layaknya suami isteri!

"Pangcu, apa... apa yang kita lakukan ini?"

"Biarlah," wajah yang cantik itu bersemu merah. "Aku memang isterimu, Golok Maut. Sekarang atau kelak sama saja bagiku!"

"Tapi kita melanggar kesucian! Ah, bagaimana ini, pangcu? Bagaimana aku sampai menodaimu? Keparat, terkutuk! Aku jahanam tak tahu diri. Aku merenggut kesucian seorang gadis! Aduh, maafkan aku, pangcu. Ampunkan aku...!" dan Golok Maut yang tersedu menutupi mukanya tiba-tiba menangis dan menjambak-jambak rambut sendiri, menampari mukanya berkali-kali dan tiba-tiba pemuda itu beringas. Dan ketika kekasihnya di sana tertegun dan mengerutkan kening memandang semua kelakuannya itu mendadak Golok Maut menggerakkan tangan menghantam ubun-ubunnya sendiri.

"Hauw-ko!" Pekik atau jeritan itu mendirikan bulu roma. Ketua Hek-yan-pang ini telah berkelebat dan menangkis hantaman itu, menjerit dan terlempar tapi Golok Maut selamat. Laki-laki itu terkejut dan pukulannya tertahan, ditangkis ketua Hek-yan-pang itu dan kekasihnya di sana mengeluh panjang. Dan ketika Golok Maut sadar dan bagai disentak dari mimpi yang buruk maka dia berkelebat dan menolong kekasihnya itu, menggigil.

"Pangcu, kau... kau tak apa-apa?"

"Oh!" wanita itu tersedu-sedu. "Kenapa kau mau melakukan itu, Hauw-ko? Kenapa kau gila dan tidak waras? Kalau kau ingin meninggalkan dunia habisi dulu aku, Hauw-ko. Kita pergi bersama dan jangan sendiri-sendiri!"

"Kau... kau mengetahui namaku?"

"Kau sendiri yang bilang. Kau berbisik memberitahukan nama kecilmu. Nah, bunuhlah aku, Hauw-ko. Dan mari kita sama-sama ke akherat!"

Golok Maut tertegun. Wanita baju merah ini sudah tersedu-sedu memukuli dadanya. Dia sadar dan menarik napas berat. Dan karena tentu saja Golok Maut tak menghendaki kekasihnya bunuh diri maka pemuda ini mengangkat dan tiba-tiba menggendong kekasihnya itu.

"Moi-moi (dinda), maafkan aku. Aku khilaf. Ah, kau benar. Aku masih mempunyai tugas yang harus kuselesaikan. Dan aku tak ingin mengajakmu ke akherat. Duh, maafkan aku, moi-moi. Aku hanya mau mati kalau kau yang menghendakinya! Sudahlah, aku salah. Aku minta maaf dan sekarang beritahukan siapa namamu!"

Air mata yang bercucuran itu tiba-tiba berhenti. Aneh dan luar biasa tiba-tiba wanita ini tersenyum. Dan ketika Golok Maut tertegun dan terpesona oleh senyum yang luar biasa manisnya itu mendadak wanita ini terkekeh, geli.

"Hauw-ko, kau lucu! Kenapa baru sekarang kau menanyakan namaku? Tidakkah kau lihat lukisan di bahuku ini?"

"Hm, aku melihat, tapi tak tahu apa artinya itu. Maukah kau memberitahukannya, moi-moi?

"Tentu, tapi itulah namaku. Kau seharusnya tahu."

"Kalau begitu...."

"Benar, coba lihat lukisan ini, Hauw-ko. Sebut dan katakan namanya!"

"Itu lukisan burung Hong!"

"Nah, kalau begitu?"

"Jadi... jadi kau bernama Hong?"

"Hi-hik, kau sudah menyebutnya, Hauw ko, tak usah ku jawab karena benar!"

Golok Maut tertegun. Kekasihnya sudah tertawa dan menyembunyikan muka di dadanya, malu-malu tapi jelas kegembiraan besar melanda kekasihnya ini. Dan ketika dia tersenyum dan merasa bahagia maka Golok Maut menunduk dan.... mencium bibir yang merah segar itu. "Hong-moi, kau nakal. Kiranya suka berputar-putar!"

"Ih, kau yang nakal, Hauw-ko. Seharusnya kau tahu dan wanita memang tak mungkin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Sudahlah, kau... oh!" dan Golok Maut yang tertawa menutup mulut kekasihnya dengan satu ciuman lembut tiba-tiba membuat ketua Hek-yan-pang itu menggelinjang, terputus omongannya namun menyambut dan memejamkan mata. Erangan nikmat terdengar dari mulut yang bertaut itu dan Golok Maut lupa diri. Dan ketika dia merebahkan kekasihnya dan wanita baju merah ini minta lagi maka untuk kedua kali Golok Maut bobol!

"Aku isterimu, lakukan apa saja yang kau suka!"

"Tapi... tapi..."

"Tak ada tapi, Hauw-ko. Aku rela melakukan semuanya ini dan kita sudah terlanjur!"

Maka, melihat kekasih menyerah dan mata yang terpejam itu bergetar bulu-bulunya Golok Maut pun tak tahan lagi, lupa pada sumpahnya dan kenikmatan bercinta memang dapat memabokkan siapa saja yang sedang birahi. Hal ini adalah wajar dan bergulinganlah mereka memadu cinta. Dan karena semuanya sudah terjadi dan mengulang perbuatan semula tak akan merugikan kedua pihak maka jadilah mereka tenggelam dalam nikmatnya cinta, masing-masing tak menolak untuk melakukan itu dan Golok Maut lupa diri. Tokoh yang ditakuti ini telah jatuh cinta kepada ketua Hek-yan-pang. Sebaliknya ketua Walet Hitam itupun juga sudah jatuh cinta kepada pemuda ini. Dan ketika keduanya bermabok-mabok dan berpuas diri maka dua jam lagi sepasang merpati yang lagi dilanda cinta ini melepaskan diri.

"Cukup, sekarang kita benar-benar terikat, moi-moi. Aku telah memilikimu dan kaupun telah memilikiku!"

"Ooh...!" ketua Hek-yan-pang itu merasa bahagia. "Aku senang, Hauw-ko. Aku cinta padamu!"

"Sudahlah, pasang bajumu, moi-moi. Hari ini kita telah bersatu!"

"Dan aku akan ikut ke manapun kau pergi, Hauw-ko. Ke akherat pun aku mau!"

"Hm!" Golok Maut memeluk kekasihnya ini. "Aku tak ingin ke akherat, moi-moi. Aku ingin ke sorga, bersamamu!"

"Ya, sorga atau akherat sama saja bagiku, Hauw-ko. Asal bersamamu aku pun suka ke mana saja!"

Golok Maut terharu. Mencium dan mendekap kekasihnya ini dia membiarkan sejenak perasaan yang menghangat. Jari-jarinya penuh getaran ketika mengusap atau membelai rambut yang hitam panjang itu. Tapi ketika teringat bahwa tugas masih banyak tiba-tiba pemuda ini melepaskan pelukannya dan mendorong.

"Moi-moi, tugasku masih banyak. Aku masih harus mencari dan membunuh musuh-musuhku!"

"Coa-ongya?"

"Ya, dan adiknya itu, Ci-ongya!"

"Hm, dapatkah kau menceritakan kenapa kau membenci orang-orang she Ci dan Coa ini. Bolehkah aku tahu, Hauw-ko?"

"Peristiwa menyedihkan, moi-moi, sebuah kenangan gelap!"

"Tapi aku ingin tahu, aku isterimu!" dan ketika Golok Maut tertegun dan mengerutkan kening maka wanita cantik itu bangkit berdiri. "Hauw-ko, jelek-jelek aku adalah pendampingmu. Aku ingin membantumu dalam suka ataupun duka. Kalau kau tak keberatan coba ceritakan padaku kenapa kau demikian benci kepada orang-orang she Ci dan Coa itu!"

"Mereka ular dan tikus-tikus jahanam. Mereka menipu dan mempermainkan aku!"

"Sudah kuduga. Tapi ceritakanlah, Hauw-ko. Aku ingin menyangga beban yang kau pikul!"

"Hm, perlukah?" Golok Maut ragu. "Aku bukan tak mau, moi-moi. Tapi menceritakan ini sama halnya mengorek luka lama!"

"Tapi aku bukan orang lain, aku ingin menyatu dan membantumu!"

"Tapi aku ingin segera pergi..."

"Ah, kita tak perlu tergesa-gesa, Hauw ko. Aku masih ingin berlama-lama di sini. Aku rindu, aku ingin berduaan menikmati masa-masa indah kita!" dan ketika wanita itu menangis dan Golok Maut tertegun maka si cantik ini mengeluh, "Hauw ko, kau masih tertutup. Kau agaknya tak mempercayai aku, meragukannya. Apakah yang telah kuberikan padamu tidak cukup? Apakah perlu bukti lain lagi untuk menunjukkan kesungguhanku?"

"Hm!" Golok Maut menyambar kekasihnya. "Bukan begitu, moi-moi. Tapi, ah .... sudahlah, kau boleh dengar ceritaku ini dan jangan menangis lagi. Aku percaya padamu, hanya aku tak ingin kau sedih!" dan mengusap serta membelai muka kekasihnya Golok Maut terpaksa berbaring lagi, menerima tubuh itu yang direbahkan di atas perutnya.

Dan ketika sambil membelai atau mencium Golok Maut mulai bercerita tentang masa lalunya maka wanita atau ketua Hek-yan-pang itu mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, beberapa kali mengeluarkan keluhan-keluhan kecil atau gigitan tanda marah. Kisah yang menyedihkan memang didengar. Dan karena cerita itu dilakukan sambil tiduran namun tidak mengurangi keseriusan cerita ini maka tampaklah cahaya aneh pada sepasang mata indah itu, menyorot dan berapi-api dan Golok Maut terpaksa berhenti kalau kekasihnya memberikan simpati dengan ciuman atau kecupan bibir.

Dan ketika isak atau tanda haru juga diberikan wanita baju merah ini setiap kali Golok Maut menceritakan tentang bagian-bagian yang menyedihkan maka tak terasa matahari kian condong ke barat, akhirnya tenggelam dan sehari itu wanita baju merah ini mendengarkan cerita kekasihnya. Tinju yang berulang-ulang terkepal menunjukkan perasaan hati wanita ini, sikap yang membuat Golok Maut terharu dan mencium. Dan ketika tanpa terasa hari itu mereka habiskan untuk bercerita dan bercerita maka malamnya ketua Hek-yan-pang ini menangis di pelukan Golok Maut.

"Jahanam keparat Coa-ongya itu. Binatang benar dua pangeran itu. Ah, aku prihatin melihat nasibmu, Hauw-ko. Aku ikut berduka. Tapi agaknya tak perlu kau membunuh-bunuhi semua orang-orang she Coa atau Ci!"

"Hm, yang kubunuh bukan manusia, Hong-moi, melainkan binatang!"

"Maksudmu?"

"Orang ber-she Coa dan Ci tak boleh ada di dunia ini. Mereka keturunan tikus dan ular!"

"Aku tak mengerti," gadis atau wanita baju merah itu mengerutkan kening. "Coa-ongya dan adiknya itu jelas manusia, Hauw-ko. Mereka bukan keturunan binatang. Watak mereka memang binatang, tapi mereka sendiri adalah manusia dan mahluk seperti kita ini!"

"Hm, nama mereka sudah menunjukkan itu, moi-moi. Coa adalah ular dan Ci adalah tikus. Dan mereka adalah binatang-binatang yang mengganggu manusia!"

"Ah, nama tak dapat disangkut-pautkan dengan itu, Hauw-ko. Pemilik nama belum tentu semuanya jelek. Lagi pula nama-nama yang gagah belum tentu segagah namanya pula! Lihat, berapa ribu orang bershe Liong (Naga) atau Sian (Dewa) umpamanya? Berapa ribu atau ratus ribu lainnya lagi yang masih memiliki nama-nama atau she yang bagus? Menghukum semua orang ber-she Coa atau Ci karena kebetulan Coa-ongya atau Ci-ongya menyusahkanmu tidaklah adil, Hauw-ko. Untuk ini terus terang aku tak setuju meskipun aku simpatik mendengar kisahmu. Coa-ongya dan Ci-ongya itu memang jahat, tapi belum tentu yang lain-lain yang memiliki she itu jahat dan kejam pula! Maaf, dalam hal ini aku menilaimu dangkal, Hauw-ko. Kau terlalu dilanda dendam dan benci!"

Golok Maut terkejut. "Kau menentang?"

"Bukan menentang, Hauw-ko, tapi sekedar menyatakan pendapatku saja. Kau salah besar kalau menyamaratakan orang-orang she Coa atau Ci karena disangkutkan dengan dua pangeran itu!"

"Hm!" mata yang semula lembut mendadak beringas. "Kau jangan menyalahkan aku, Hong-moi. Kalau kau menyalahkan slkapku berarti kau duduk di seberang! Apakah ini yang kau maksud?"

Ketua Hek-yan-pang itu tersentak. Golok Maut bangkit berdiri dan kasar mendorong tubuhnya, kemesraan yang semula ada tiba-tiba berobah menjadi kaku, keras dan tidak bersahabat. Dan ketika wanita itu terkejut dan Golok Maut berdiri maka pemuda ini mendesis, "Kau agaknya membela orang-orang she Ci dan Coa. Aku tak dapat ditekuk lagi, Wi Hong. Kalau kau bersikeras menyalahkan aku sebaiknya kita tak usah berdekatan lagi. Kau bunuh aku atau biarkan aku pergi!"

"Hauw-ko!" Wi Hong, atau ketua Hek-yan-pang itu terpekik. "Apa kau bilang ini? Kau gila?"

"Hm, aku memang gila, Wi Hong. Gila dendam. Aku haus atau gila akan darah orang-orang she Ci atau Coa. Kalau kau menyebutku dangkal dan salah aku khawatir kita kelak berhadapan sebagai musuh. Nah, kau pilih saja. Tetap bersamaku dan jangan sekali-kali menyalahkan aku atau kau tetap dengan pendirianmu dan membela orang-orang she Ci dan Coa itu!"

"Ooh...!" wanita ini terhuyung. "Kenapa begitu, Hauw-ko? Kau memang licik dan dangkal. Kau cupat. Kalau kau mau menangnya sendiri tentu saja aku tak terima. Aku tidak memusuhimu melainkan semata memberikan pendapat. Kalau ini sudah kau ultimatum dan tidak mau disalahkan baiklah, kau boleh pergi dan kita berpisah!"

"Wi Hong!"

"Tidak, kau sendiri yang bicara seperti itu, Golok Maut. Nah, kita berpisah dan kuharap tidak usah bertemu lagi!"

Golok Maut terkejut. Wi Hong, kekasihnya itu tiba-tiba marah besar. Wi Hong yang tadi halus mendadak berobah dingin dan ketus, entah kenapa tiba-tiba menjadi begitu marah karena Golok Maut menyama-ratakan orang-orang she Ci dan Coa. Dan karena ini rupanya tak dapat dicegah karena masing-masing mempunyai pendirian yang berbeda maka wanita yang tadi baru saja berasyik-masyuk itu berkelebat pergi, meninggalkan Golok Maut dan memutar tubuhnya. Dan ketika Golok Maut tertegun dan menjublak tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan memanggil lagi kekasihnya itu,

"Wi Hong, tunggu dulu. Kembali!"

Namun wanita baju merah itu terlanjur naik darah. Teriakan Golok Maut tak digubris. Sepasang kekasih yang baru saja bermesraan ini tiba-tiba pecah, begitu mudah dan cepat. Dan ketika dua tiga kali teriakan itu tak digubris dan Golok Maut rupanya tersinggung tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan pergi berlawanan arah, menyambut keras dengan keras.

"Baiklah, kita berpisah, Wi Hong. Sungguh tak kunyana kalau hubungan kita hanya sehari!" Golok Maut naik darah, tak mau mengalah dan tiba-tiba diapun pergi meninggalkan tempat itu.

Tapi ketika teringat bahwa senjatanya, golok yang ampuh itu masih belum diambil dan terlempar di bawah jurang sana maka pemuda ini kembali dan memutar tubuhnya, marah dan gerara karena itulah gara-gara kekasihnya. Wi Hong telah membuang senjatanya ke bawah. Dan ketika dengan cepat dia turun dan merayap ke bawah maka Golok Maut mencari senjatanya yang terlupa, tadi terlampau asyik memadu cinta dan kekecewaannya semakin menghimpit saja. Wi Hong itu adalah perempuan, kenapa tidak tunduk kepada lelaki dan selalu membantah?

Dan teringat bahwa mereka baru saja berasyik-masyuk dan tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya dia amat mencinta wanita itu maka Golok Maut melepas kecewanya dengan merayap atau berlompatan di batu-batu pinggir jurang, menghantam atau meremas hancur batu-batu menonjol yang menghalang pandangannya. Tapi ketika dia tiba di bawah dan tidak menemukan apa yang dia cari tiba-tiba Golok Maut tertegun, kaget dan mencari lagi namun, gagal. Akhirnya pemuda ini membuat obor menerangi bagian-bagian yang gelap, mung kin senjatanya di situ tapi ternyata tak ada juga. Dan ketika Golok Maut terkejut dan membelalakkan mata tiba-tiba terdengar suara menggelegar disusul runtuhnya batu-batu besar dari atas jurang.

"Bocah, kau telah melanggar sumpahmu. Kau mempermainkan aku. Ha-ha,, awas, bocah. Aku akan menuntut tanggung jawab dan perbuatanmu... blarr!"

Golok Maut menarik badannya. Dari atas jurang atau langit yang gelap muncul ledakan petir. Sesosok sinar biru menyambarnya dengan cepat, untung dia menarik tubuhnya dan sinar atau cahaya itu meledak di belakang kepalanya. Dan ketika suara itu lenyap dan di bawah kakinya terdapat sinar lemah dari sesosok senjata berhawa dingin maka aneh dan ajaib Golok Maut telah menemukan kembali pusakanya itu.

"Sinar apakah itu? Suara apa?" Golok Maut berdebar, memungut senjatanya dan diam-diam tak enak. Golok yang tiba-tiba ada di bawah kakinya tahu-tahu menggeletak begitu saja, padahal tadi dia yakin tak ada apa-apa di bawah kakinya itu. Tapi karena Golok Maut telah ditemukan dan pemuda atau tokoh ini memasukkan senjatanya ke dalam sarung maka terdengar suara "cring" ketika senjata itu masuk dan agak mengganjal.

"Ah, kenapa ini?" Golok Maut terkejut, mengerutkan kening dan coba memasukkan senjatanya itu sedalam mungkin. Tapi ketika berkali-kali dia gagal dan senjata itu tetap saja keluar seinci, seolah-olah di dalam terganjal sesuatu maka pemuda ini melolos senjatanya dan memeriksa sarung. Tapi aneh, tak ada yang mengganjal. Golok Maut memasukkan lagi senjatanya tapi tetap saja sebagian gagang keluar, tak mau rapat atau pas dengan sarung golok. Dan ketika hal itu dicoba berulang-ulang namun peristiwa aneh ini tetap terjadi, golok tak mau lagi sepenuhnya memasuki sarungnya maka Golok Maut pucat.

"Suhu, tolonglah teecu!" pemuda itu tertegun, meratap dan tiba-tiba mengeluh menjatuhkan dirinya menghadap langit. Keadaan golok yang dirasa aneh dan tidak sewajarnya tiba-tiba membuat pemuda ini gemetar. Sinar berkelebat lagi di langit yang hitam dan terdengarlah suara tanpa rupa bahwa golok akan masuk ke sarungnya lagi setelah menghirup darah pemuda itu, kalau waktunya sudah tiba. Dan ketika Golok Maut tersentak dan sadar akan apa artinya itu tiba-tiba pemuda ini mengeluh dan roboh terguling.

"Aduh, ampunkan aku, ibu. Aku memang telah melanggar sumpah. Ah, keparat wanita itu. Dia iblis penggoda! Jahanam, biar kucari dia dan kubunuh!" dan Golok Maut yang getir dan marah oleh kejadian yang dialami bersama Wi Hong tiba-tiba mata gelap dan menyalahkan wanita itu, memaki-maki dan memanjat naik dengan cepat. Dinding jurang yang tinggi didakinya tak kurang dari sepuluh menit saja. Dan ketika dia keluar dan meloncat naik maka Golok Maut berteriak dan terbang ke arah larinya Wi Hong.

"Wi Hong, kau merusak sumpahku. Kau wanita terkutuk!"

Namun yang dicari telah lama pergi. Wi Hong atau ketua Hek-yan-pang itu juga marah-marah kepada Si Golok Maut ini. Perbedaan paham di antara mereka bertolak belakang. Dan ketika malam itu Golok Maut tak dapat menemukan kekasihnya sementara ancaman atau ledakan di langit yang hitam itu terus menghantui perasaannya maka tokoh atau pemuda ini memutar tubuhnya ke timur. Dan begitu dia terbang dan berkelebat mengerahkan semua ilmu lari cepatnya maka Golok Maut telah menuju ke tempat perkumpulan Walet Hitam itu, sebuah pulau di tengah telaga.

Gegerlah Hek-yan-pang. Sehari semalam melakukan perjalanan cepat Golok Maut telah tiba di markas kaum wanita ini. Kebetulan malam hari juga, jadi agak sepi namun tentu saja penjagaan tetap ketat. Sejak perkumpulan itu ditinggalkan ketuanya, Hek-yan-pangcu Wi Hong itu maka segala urusan di sini dipegang wakilnya, sumoi atau orang kedua setelah sang ketua. Dan ketika malam itu, Golok Maut tiba dan muncul begitu saja di dalam gedung maka pemuda ini menggeram-geram mencari kekasihnya.

"Suruh Wi Hong keluar. Aku ada perlu."