Golok Maut Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 15
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HM..!" kakek India itu menggeram. "Kami terdesak tapi belum kalah, pangeran. Kalau Kami sudah roboh barulah Kami menyerah!"

"Ha-ha, kalau begitu kalian akan roboh!" dan Coa-ongya yang berseru pada tiga pembantunya agar menekan dan mendesak dua kakek India itu lalu tercawa dan tersenyum mengamati jalannya pertandingan, sedikit tetapi pasti memang orang-orangnya dapat menekan dua kakek India itu. Sudra dan Mindra harus bekerja keras kalau tak ingin roboh. Nenggala maupun cambuk di tangan mereka bergerak menangkis atau menyerang lawan. Tapi karena Yalu kakek tinggi besar itu mengacau atau mengganggu konsentrasi dua kakek India ini di mana Sudra maupun Mindra sering kali menerima pukulan kakek tinggi besar itu maka keduanya menjadi marah dan memaki tokoh Tibet itu.

"Yalu, kau pengecut dan licik. Curang!”

"Hm, kalian sendiri yang minta," kakek ini mendengus. "Aku hanya memenuhi tantangan kalian, Sudra. Kalau kalian tidak kuat bilang saja!"

"Keparat, kami masih kuat. Dan kami akan menghajarmu!" dan cambuk di tangan Sudra yang meledak menangkis senjata di tangan Pek-mo-ko tiba-tiba menjeletar dan menukik menyambar kakek tinggi besar itu, ditangkis dan dua-duanya terhuyung. Nyata kakek tinggi besar dari Tibet ini juga hebat, bukan hanya pandai membokong saja. Dan ketika Pek-mo-ko kembali menyerang dan Sudra menangkis maka di sana Mindra berseru agar mengeluarkan pukulan ampuh mereka, Hwi-seng-ciang (Pukulan Bintang Api).

"Keluarkan Hwi-seng-ciang. Kita robohkan manusia-manusia busuk ini!"

"Benar, dan tundukkan secepatnya mereka ini, Mindra. Hayo kita balas dan robohkan mereka!" Sudra menyambut, kini menggerakkan tangan kirinya pula dan tiba-tiba menyambarlah kilatan cahaya ke arah Pek-mo-ko. Iblis putih itu sedang melepas serangan dengan sapuan tongkatnya, menyambar ke bawah. Tapi ketika Sudra menggerakkan tangan kirinya dan Hwi-seng-ciang atau Pukulan Bintang Api menyambar dirinya tiba-tiba iblis ini menaikkan tongkat menangkis.

"Blar!"

Tongkat itu terpental. Ujungnya pecah dan Pek-mo-ko berteriak keras, berjungkir balik namun lawan mengejar. Di saat yang sama Mindra juga melepas Pukulan Bintang Api, menyambar Hek-mo-ko, Dan karena pukulan ini memang hebat dan Hek-mo-ko juga menangkis maka dua iblis itu terlempar ketika menerima Hwi-seng-ciang.

"Aih, keparat jahanam!" Hek-mo-ko mengumpat, diserang lagi namun Yalu si kakek tinggi besar berkelebat menghantam, menolongnya. Dan karena kakek ini memang selalu mengganggu dan gangguannya itu merepotkan Mindra maupun Sudra akhirnya Mindra membalik memaki kakek ini.

"Dess!"

Yalu bergoyang sedikit. Kakek itu mengerahkan Hwee-kangnya dan Tenaga Api menyambut Pukulan Bintang Api, sama-sama panas dan ternyata masing-masing tak ada yang unggul. Sifat dari pukulan keduanya yang sama-sama berintikan panas membuat Yalu tahan, tidak terdorong kecuali hanya bergoyang-goyang, sama seperti Mindra di sana. Dan ketika kakek itu terkejut sementara Yalu tertawa aneh, merasa gembira maka di sana Pek-mo-ko berjungkir balik dihantam Hwi-seng-ciang lagi.

"Dess!"

Iblis muka putih ini memaki-maki. Yalu akhirnya diminta membantunya dan kakek tinggi besar itupun sudah bergerak, menahan pukulan Sudra. Dan ketika Sudra juga terbelalak karena Yalu hanya bergoyang menerima pukulannya maka di sana Coa-ongya terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat, Sudra. Hwi-seng-ciang-mu pun tak berdaya. Sebaiknya kalian menyerah dan sudahi pertandingan ini!"

"Tidak, kami hanya menyerah kalau kami dapat dirobohkan, pangeran. Atau kami akan bekerja keras dan merobohkan mereka!"

"Hm, kalian keras kepala. Kalau begitu baiklah, kalian pasti roboh!" dan Coa-ongya yang gemas melihat kebandelan dua kakek India itu lalu menyuruh tiga pembantunya bekerja lebih keras.

Pek-mo-ko dan Hek-mo-kp disuruh mengeluarkan semua kepandaiannya, akhirnya mengangguk dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-see-kang atau Hek-see-kang (Pukulan Pa-sir Hitam Putih). Dan ketika pukulan-pukulan ini menyambut Hwi-seng-ciang yang dimiliki dua kakek India itu dan si kakek tinggi besar Yalucang juga bergerak menyemburkan Lidah Apinya maka desakan dua kakek India itu kembali gagal karena mereka kelebihan lawan seorang yang paling menjengkelkan, yakni kakek tinggi besar dari Tibet itu.

"Keparat, sebenarnya kita menang kalau tidak dikeroyok tiga, Sudra. Lawan-lawan kita licik dan curang sekali!"

"Benar, dan kakek bau ini mengganggu sekali, Mindra. Kalau tak ada dia di sini tentu kita dapat merobohkan Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko!"

"Ha-ha, sekarang mulai banyak bicara!" Hek-mo-ko berseru. "Kau tadi sedia menerima kami bertiga, Sudra. Dan itu sudah merupakan perjanjian. Kalau kini kalian kewalahan karena kami dibantu Yalucang biarlah kalian menyatakan kalah saja dan lain kali jangan bersikap sombong lagi!"

"Hm, tak apa," Mindra merah mukanya. "Kami memang ingin merobohkan kalian, Mo-ko. Kalau tak dapat itulah memang kebodohan kami!"

"Dan Golok Maut tak pilih-pilih musuh. Kalau kalian keberatan biarlah satu di antara kami mundur!"

"Tidak, tak usah, Mo-ko. Kami sudah berjanji dan akan menepati janji kami!"

"Bagus, kalau begitu coba kalian robohkan kami atau kami yang akan merobohkan kalian, ha-ha!" dan Mo-ko kakak beradik yang tertawa bergelak dan menyerang lagi lalu menggerakkan senjatanya dan tangan kiri mereka, pukulan-pukulan Pek-see-kang dan Hwi-seng-ciang yang dilancarkan dua kakek India itu tertahan.

Mereka mengumpat caci karena Yalucang tetap mengganggu, bahkan kini memperhebat semburan-semburan apinya dan Sudra harus mengebutkan bajunya ketika terbakar. Bukan main. Dan ketika nenggala ataupun cambuk bingung menghadapi tiga lawan tangguh yang ganti-berganti mendesak mereka maka dua kakek India ini memaki tak habis-habisnya.

Sebenarnya, kalau saja Yalucang si kakek tinggi besar tidak mengganggu tentu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko dapat dirobohkan. Ternyata ilmu kepandaian Mindra maupun Sudra seusap di atas dua iblis ini, terbukti dalam adu tenaga mereka selalu menang, karena Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko selalu tergetar dan terdorong mundur.

Namun karena Yalucang ada di situ dan kakek tinggi besar ini memiliki Hwee-kang atau Tenaga Api yang hebat, yang sejenis dengan Hwi-seng-ciang karena Pukulan Bintang Api dua kakek India itu sama-sama bersumber tenaga panas, atau Yang-kang, maka pertandingan akhirnya menjadi berat sebelah ketika tokoh Tibet itu mengganggu, menyerang merepotkan mereka yang harus menghadapi Pek-mo-ko atau Hek-mo-ko, dua iblis yang sebenarnya cukup hebat. Maka begitu Mindra maupun Sudra diganggu kakek tinggi besar ini dan kebetulan Hwee-kang memiliki tenaga panas seperti Hwi-seng-ciang maka Mindra dan temannya mengutuk kakek tinggi besar itu berulang-ulang.

"Sudahlah," Hek-mo-ko tertawa. "Kalian memang tak dapat mengalahkan kami, Mindra. Dua lawan tiga sudah jelas tak mungkin menang."

"Dan kalian sendiri yang bersikap pongah," Pek-mo-ko juga mengejek. "Kalian mengagulkan diri terlalu berlebihan, Mindra. Kalau sudah menyadari kami lebih kuat sebaiknya kalian menyerah!"

"Atau kalian malah terbunuh!" Yalucangpo tertawa sambil menggeram. "Kami dapat membunuh kalian, Mindra. Memang betul kata Mo-ko agar sebaiknya kalian menyerah!"

"Menyerah hidungmu!" kakek India ini membentak. "Kalian robohkan kami, Yalu. Jangan banyak bicara dan lihat apakah benar kalian dapat merobohkan kami berdua!"

"Hm," keras kepala. Kalau begitu kami akan membunuh!" dan kakek tinggi besar itu yang bergerak di belakang Mindra tiba-tiba membentak dan menyemburkan apinya, menjilat menyambar kepala lawan karena saat itu Mindra menangkis serangan Hek-mo-ko. Nenggala di tangan kakek India itu mementalkan tongkat dan Hwi-seng-ciang berkelebat, ditangkis Hek-see-kang. Dan di saat Hek-mo-ko terhuyung dan Mindra tergetar maka saat itulah lidah api kakek Tibet ini menyembur.

"Klap!" Rambut Mindra terbakar. Kakek ini tak dapat mengelak karena baru saja bertemu Hek-see-kang. Mo-ko memang terpu-kul mundur namun di saat itu Yalu menyerang, tentu saja mengejutkan kakek India ini. Dan ketika kakek itu terbakar rambutnya dan berteriak membanting tubuh bergulingan maka kakek tinggi besar ini mengejar dan melepas Hwee-kangnya lagi.

"Dess!"

Mindra memaki-maki. Dibokong dan menerima serangan curang dua kali cukup membuat kakek ini marah. Hek-mo-ko terbahak-bahak dan menyerang lagi, membantu, tak ayal membuat kakek ini kelabakan dan mengelak menggulingkan tubuh, sayang sekali Yalu si kakek Tibet juga mengejar. Akibatnya dari kiri kanan Mindra mendapat serangan tongkat dan pukulan. Dan karena dua lawannya memang hebat kalau bergabung dan kakek ini mengeluh mengumpat caci maka sebuah pukulan akhirnya mengenai lagi tubuhnya, tepat di pundak kanan.

"Dess!"

Kakek India itu melontakkan darah. Akhirnya dia batuk-batuk dan terluka, isi dadanya terguncang. Dan ketika Hek-mo-ko berkelebat lagi dengan serangan tongkatnya dan Yalucang juga menghantam dengan pukulan Hwee-kang maka nenggala mencelat ketika dipakai menangkis.

"Plak-dess!"

Mindra terlempar. Kakek ini mengeluh dan bergulingan menjauh, sayang terbatuk lagi dan lemah. Dua pukulan berbareng yang diterimanya tak kuat ditahan dan senjatanya pun terlepas. Maka ketika Mo-ko terbahak mengayun tongkatnya dan kakek Tibet itu juga mencengkeram ubun-ubunnya tiba-tiba Coa-ongya berteriak agar tidak membunuh kakek itu.

"Jangan bunuh... des-dess!"

Mindra terguling, melontakkan darah segar lagi dan mencelatlah kakek itu membentur pohon, tak bergerak dan terkapar di sana. Dan ketika Sudra terkejut dan cambuknya meledak menyambut tongkat tiba-tiba Pek-mo-ko berseru pada kakek Yalu agar cepat merobohkan lawannya ini pula, yang sudah digubat cambuknya dengan batang tongkat. Tentu saja membuat Sudra terkejut karena kakek Tibet itu membalik, tertawa aneh. Dan ketika benar saja kakek tinggi besar itu melepas Hwee-kangnya dan Sudra tak dapat mengelak kecuali dipaksa menangkis, padahal Mo-ko menggerakkan tangan kirinya pula menghantam dengan Pek-see-kang maka teman Mindra ini digencet dari dua arah oleh dua pukulan yang sama-sama hebat.

"Dess!"

Sudra mengeluh. Sama seperti temannya tadi diapun tak kuat, coba bertahan namun gagal, tergencet dua pukulan itu dan terlempar. Dan ketika Sudra bergulingan melompat bangun namun Hek-mo-ko kini mengejar dan bersama suhengnya serta Yalucang mengeroyok bertiga maka kakek India itu tak kuaf lagi dan untuk kedua kalinya terlempar, terbanting dan terguling-guling dan di saat itulah tiga orang lawannya tertawa menyeramkan. Hek-mo-ko dan suhengnya lagi-lagi menggerakkan tongkat menghantam kepala lawannya, Yalu si kakek tinggi besar membentak dengan semburan Hwee-kangnya.

Dan karena semuanya ini membuat kakek India itu terdesak hebat sementara hatinya sudah terguncang oleh robohnya Mindra maka Sudra mengeluh ketika cambuknya lepas, menerima hantaman tiga pukulan lawan dan terlemparlah kakek itu, muntah darah. Namun ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya hendak membunuh kakek itu sementara Yalucang juga menggeram hendak menghabisi nyawa lawannya maka Coa-ongya lagi-lagi berteriak agar dua orang kakek itu tidak dibunuh.

"Jangan dibunuh, biarkan hidup!"

Seruan ini menyelamatkan Sudra. Sebenarnya tiga lawannya tak ingin memberi ampun lagi, kesombongan dan kecongkakan Sudra membuat mereka marah. Namun karena pangeran sudah berteriak pada mereka dan apa boleh buat mereka harus mematuhi perintah ini maka Sudra akhirnya terjengkang dan roboh mendekap dadanya.

"Huak!"

Selesailah pertandingan itu. Sudra dan Mindra akhirnya kalah, menyerah dan dua kakek India itu cepat duduk bersila. Kalau dalam keadaan seperti itu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko melancarkan satu serangan lagi pastilah mereka roboh binasa. Untung Coa-ongya melarang dan tiga pembantunya tak ada yang berani membantah. Dan ketika seperempat jam kemudian dua kakek itu bergerak dan bangkit berdiri, terhuyung, maka Coa-ongya dan adiknya menyambut tertawa.

"Bagaimana, Mindra? Kalian sekarang menyerah?"

"Hm, kami menyerah," Mindra menjawab. "Tiga pembantumu cukup hebat, pangeran. Kami berdua kalah!"

"Dan kalian mau menepati janji? Mau menjadi pembantu-pembantuku?"

"Hm, kami sudah kalah taruhan. Kami menepati janji!"

"Bagus! Ha-ha, terima kasih, Mindra. Kalian mengagumkan dan betapapun gagah dan ksatria. Kalian sejajar dengan Mo-ko maupun Yalucang. Kalian berdua menjadi pembantuku setingkat mereka. Hayo, kita rayakan kejadian ini dan mari masuk ke dalam. Kita buat pesta kecil!"

Dua kakek itu mengangguk. Coa-ongya yang tidak marah dan justeru mengundang mereka membuat dua kakek itu tenang, mereka mengikuti dan berjalanlah dua pecundang ini di belakang sang pangeran. Dan ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya bergerak mengikuti dan kakek tinggi besar Yalucang juga menyeringai dan tersenyum aneh maka Coa-ongya sudah menjamu dua kakek India itu bersama adiknya, bergembira dan betapapun memuji kelihaian Sudra maupun Mindra ini. Kalau mereka tidak dikeroyok barangkali Mo-ko maupun Yalu kalah, pujian yang disambut kecut saja oleh dua kakek itu.

Dan ketika mereka mengakui kekalahan dan harus ikut pangeran ini, membantunya maka resmilah dua kakek India itu sebagai pembantu-pembantu pangeran Coa, hal yang tidak diduga dan tentu saja sebenarnya juga tak dikehendaki Mindra maupun temannya. Dan Coa-ongya yang rupanya tahu atau dapat membaca isi hati kakek-kakek itu menutup pesta dengan kata-kata begini,

"Kalian tak usah kecewa. Masalah Golok Maut sekarang adalah masalah kita bersama. Kalau sewaktu-waktu kalian ingin mencari musuh kalian itu maka Mo-ko maupun Yalu dapat membantu kalian. Namun kalian tak boleh pergi tanpa sepengetahuanku!"

"Baik, kami mengerti, pangeran. Dan kami akan tunduk."

"Kalau begitu sekarang kalian boleh beristirahat. Kamar kalian di belakang." sang pangeran memanggil seorang pengawal, menyuruh pergawal itu menunjukkan kamar dua kakek ini dan tentu saja Mindra maupun Sudra kikuk.

Mereka baru pertama ini bekerja di bawah kekuasaan seseorang, Coa-ongya ternyata melayani mereka dengan cukup baik. Maka ketika mereka disuruh berlstirahat sementara Mo-ko dan dua temannya diam-diam tersenyum aneh, senyum yang sukar ditangkap artinya maka hari itu Mindra maupun Sudra tinggal di istana pangeran ini, mula-mula canggung namun akhirnya biasa juga. Tak lama kemudian sudah ikut berjaga dan melaksanakan tugasnya melindungi istana. Itu adalah pekerjaan mereka. Dan ketika dua kakek itu sudah resmi menjadi pembantu Coa-ongya menggantikan Tiat-kak si Kaki Besi maka Coa-ongya tersenyum di balik kamarnya dan mengangguk-angguk, puas.

* * * * * * *

Beng Tan melepas lelahnya. Setelah dikejar-kejar dan berhasil meninggalkan lawan-lawannya di belakang, yang mengumpat dan mengutuknya habis-habisan pemuda ini melempar pantatnya dl bawah sebuah pohon, duduk menyeka kenngat dan diam-diam tertawa kecut, Dua kakek India yang tak mau sudah dan akhirnya dihajarnya itu membuat pemuda ini tersenyum, geli. Tapi baru dia duduk melepas lelah, setelah sedikit mendongkol oleh kejadian-kejadian yang dialami mendadak terdengar bentakan dan suara makian di sebelah kiri.

"Manusia busuk, berhenti. Serahkan su-moiku (adik seperguruan perempuan)!"

Beng Tan terkejut. Sebuah bayangan berkelebat didepannya disusul sebuah bayangan lain, cepat memasuki hutan dan Beng Tan tertegun. Seorang gadis meronta-ronta dan menangis dipanggul bayangan pertama, seorang kakek penuh cambang dan gimbal-gimbal, penampilannya menyeramkan dan kakek itu terbahak-bahak. Dan ketika bayangan kedua, seorang pemuda mengejar dan memaki-makinya di belakang maka kakek itu lenyap meninggalkan tawanya yang serak parau, berkelebat seperti iblis.

"Ha-ha, tak usah mengejar-ngejar aku, anak setan. Sumoimu ini tak kuapa-apakan justeru hendak kubuat senang. Kau pergilah, atau nanti aku membunuhmu!"

"Keparat, kau iblis terkutuk, Lam-ciat. Lepaskan sumoiku atau kau kubunuh .... singg!" sebatang pedang terlontar dengan amat cepatnya, menyambar di belakang kakek itu namun si kakek keburu menghilang. Pedang menyambar dan berhenti di sebatang pohon, menancap di situ. Dan ketika si pemuda memasuki hutan namun tertegun tak menemukan lawannya, yang ternyata Lam-ciat adanya maka pemuda itu pucat dan memaki-maki.

"Lam-ciat, kau jahanam terkutuk. Keluarlah, atau aku akan terus mengejar-ngejarmu!"

"Ha-ha!" suara si kakek terdengar entah di mana. "Kau keras kepala, anak muda. Kalau begitu lihatlah ini dan rasakan sedikit hajaranku... singg!" pedang yang menancap di pohon mendadak tercabut, meluncur dan sudah menyambar pemuda itu. Dan ketika pemuda ini berteriak keras dan tentu saja menangkis senjatanya sendiri maka dia terpelanting dan terlempar bergulingan.

"Plak!"

Beng Tan terkejut. Sambaran pedang yang membuat si pemuda terpelanting dan bergulingan kaget jelas menunjukkan kelihaian si kakek, yang dipanggil Lam-ciat. Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun sementara si kakek rupanya benar-benar ingin memberikan hajarannya pada pemuda ini tiba-tiba berkelebat sesosok asap hitam yang mengejar pemuda ini, menyambar dan memukul mukanya dan pemuda itu terpekik. Dia menangkis tapi terlempar lagi, dikejar dan asap itu sudah bertubi-tubi menyerang dirinya, muka dan dada dan sibuklah pemuda itu mengelak sambil memaki-maki. Namun ketika dia terlempar lagi dan asap Itu berobah bentuk sebagai bola raksasa maka pemuda ini ditumbuk dan sudah dihantam, disusul ketawa terbahak-bahak dari balik asap atau bola raksasa ini.

"Ha-ha, kau tak tahu diri, bocah. Kau minta dihajar. Baiklah, sekarang aku menghajarmu dan enyahlah kalau tak ingin mampus.... des-dess!" pemuda itu mencelat, terlempar dan mengeluh.

Dan Beng Tan terbelalak. Dengan matanya yang tajam dan kekuatan batinnya yang tinggi pemuda ini dapat melihat bahwa sebenarnya kakek bernama Lam-ciat itu bersembunyi di balik asap hitam atau bola raksasa ini, melancarkan pukulan-pukulannya dan si pemuda tak sanggup menahan, kalah kuat dan kalah lihai. Maka ketika pemuda itu bergulingan mengeluh dihajar jatuh bangun namun terus memaki-maki dan berusaha melakukan perlawanan sebisanya, padahal jelas bukan tandingan kakek itu maka Beng Tan hampir meloncat keluar kalau saja saat itu tidak berkelebat bayangan merah yang mendahuluinya.

"Kakek slluman, kau mampuslah!"

Seberkas cahaya putih menyambar tajam. Lam-ciat yang dibungkus asap hitam-nya dan sesunggunya memang berlindung di balik hoat-sut atau sihir setannya tiba-tiba berteriak keras. Sinar panjang itu menyambarnya dan asap hitam terdengar meledak ketika diserang cahaya putih ini, yang kiranya sebatang pedang di tangan seorang wanita baju merah vang menutupi mukanya dengan sehelai saputangan merah. Tubuhnya menggairahkan dan dapat diduga bahwa wanita ini tentu cantik, karena suaranya nyaring dan merdu. Bentakannya itu mengejutkan tapi lebih mengejutkan lagi gerakan pedangnya itu, yang merupakan sinar berkelebat yang bukan main cepatnya. Dan ketika Lam-ciat berteriak kaget dan harus berjungkir balik menjauhkan diri, ilmu hitamnya otomatis buyar maka gadis di pondongannya yang mengeluh dan roboh tertotok itu tiba-tiba terlepas.

"Ha-ha, dapat emas menemukan permata. Heh, kau siapa, nona? Ada apa menyerangku dan membuat kaget begini? Siapa kau?"

"Hm, keparat busuk. Tak usah banyak bicara, Lam-ciat. Berikan gadis itu dan kau enyahlah, atau pedangku akan menembus jantungmu dan kau roboh!"

"Ha-ha, galak namun gagah! Bagus, kau hebat, nona. Juga sombong tapi menarik sekali. Aku rela memberikan gadis ini namun kau sebagai gantinya!"

"Apa?" mata yang bersinar-sinar di balik topeng itu bercahaya. "Kau minta aku ikut padamu? Hm, kau ternyata kakek iblis yang tidak tahu malu, Lam-ciat. Namamu sudah kudengar dan hari ini aku sudah membuktikannya. Baiklah, aku ikut padamu namun terima dulu pedangku ini... sing!"

Dan cahaya putih yang kembali menyambar dengan amat cepatnya menusuk dada kanan kakek itu disambut seruan keras Lam-ciat yang menggerakkan tangan menangkis, memukul miring pedang dengan tangan kirinya tapi bagian yang tajam menyambut, menyambar dan menabas tangan kakek itu. Bukan main ganasnya, juga cepat dan luar biasa karena masih terus menyambar dada. Gerakan pedang itu tak memberi ampun dan Lam-ciat tentu saja kaget sekali. Dan ketika lengan bajunya robek dan pedang tak mungkin ditangkis kecuali dielak maka kakek ini sudah membanting tubuh bergulingan berteriak parau.

"Haiii..... bret!"

Lam-ciat terkejut bukan main. Dia meloncat bangun namun si wanita baju merah sudah mengejarnya, berkelebat dan membentak nyaring dan kelabakanlah kakek itu mengelak sana-sini, menangkis namun mata pedang yang tajam selalu menyambut tangannya. Melihat desing yang demikiat cepat dan tajam tak berani kakek itu mengadu lengannya, meskipun dia mengandalkan sinkang, kekebalannya. Dan ketika kakek itu harus berloncatan dan sebentar kemudian berkelebatan pula mengimbangi lawan maka wanita baju merah itu menyerang bertubi-tubi sementara si kakek berteriak dan berseru berulang-ulang, dua kali ujung bajunya robek pula.

"Haiii.... celaka, ganas!"

Wanita itu tak perduli. Lam-ciat terus dikejar dan terdesak, tentu saja marah dan lama-lama gusar. Dan ketika sebuah babatan panjang menggurat lengannya dan ternyata sinkang kakek itu tak mampu melindungi kekebalannya maka kakek ini berteriak dan lenyaplah di balik Hoan-eng-sut-nya (Sihir Menukar Bayangan).

"Wut!"

Lawan tertegun. Wanita baju merah itu kehilangan lawannya dan tertegun sejenak, tak tahu di mana Lam-ciat berada namun tiba-tiba si pemuda yang sejak tadi menonton dan dibantu wanita baju merah ini berteriak. Dia melihat Lam-ciat muncul di belakang si wanita dan melepas pukulan, tanpa suara. Namun si wanita yang mendengar kesiur di belakang tubuhnya dan tajam dengan pendengarannya yang tinggi ternyata secepat kilat membalik dan menangkis. "Bret!"

Ujung baju Lam-ciat terpotong sejengkal. Si kakek iblis berteriak kecewa dan menghilang lagi, entah ke mana. Namun ketika si pemuda kembali berseru keras karena melihat kakek itu muncul di sebelah kiri tiba-tiba wanita baju merah itu pun membalik dan menangkis lagi.

"Bret-bret!"

Lam-ciat mengumpat caci. Akhirnya kakek ini marah-marah dan berkelebatan lagi, menghilang ke kiri kanan dan melepas pukulan-pukulannya. Bayangannya menjadi demikian banyak dan dari segala penjuru berkesiur pukulan-pukulan ganas, ada yang kosong tapi tentu pula ada yang isi. Wanita itu bingung dan di sinilah dia kelabakan. Dan ketika satu saat dia menangkis namun mengenai bayangan yang kosong maka satu tamparan sungguh-sungguh dari Lam-ciat mengenai pundak kirinya.

"Dess!"

Wanita itu mengeluh. Dia terbanting dan bergulingan meloncat bangun, Lam-ciat terbahak dan menyerang lagi. Dan ketika iblis itu mempergunakan Hoan-eng-sutnya dan wanita ini bingung karena di balik Hoan-eng-sut kakek itu melepas pukulan-pukulan kosong dan isi maka jatuh bangunlah wanita ini mempertahankan diri, akhirnya memutar pedang secepat kitiran namun kakek itu berhenti menyerang, tertawa-tawa di sana, terkejutlah wanita itu. Dia bisa kehabisan tenaga kalau si kakek tak menyerang, tentu saja menghentikan gerakannya lagi namun si kakek tiba-tiba menyerang, begitu berulang-ulang. Dan ketika hal ini melelahkan wanita itu karena setiap dia memutar pedangnya tiba-tiba Lam-ciat berhenti tapi begitu dia berhenti tiba-tiba kakek itu kembali menyerang maka akhirnya wanita ini terdesak dan memaki-maki, bingung menghadapi Hoan-eng-sut yang memang hebat.

"Ha-ha, tahu rasa kau sekarang, anak manis. Menyerahlah atau kau kurobohkan dan ku telanjangi!"

"Keparat! Kau tak tahu malu mempergunakan ilmu hitammu, Lam-ciat. Kau licik dan curang!"

"Ha-ha, ini Hoan-eng-sut, ilmu ciptaanku yang paling luar biasa. Kau tak dapat mengalahkan aku karena kepandaianku masih lebih tinggi!"

"Keluarlah kau!" wanita itu membentak. "Mari bertempur secara berhadapan, kakek buruk. Kau robohkan aku asal secara jantan!"

"Ha-ha, aku di depanmu. Kaulah yang tak tahu... des!" dan Lam-ciat yang benar-benar muncul sambil melepas pukulannya tiba-tiba membuat wanita baju merah itu terhuyung, tak sempat menangkis atau mengelak karena lawan muncul begitu saja, juga secara tak terduga. Dan ketika wanita itu mengeluh dan terdesak memaki-maki lawannya maka si pemuda yang tadi berdiri menonton tiba-tiba bergerak dan membantu wanita ini, yang sebenarnya bukan lain adalah Hek-yan-pang-cu, ketua Hek-yan-pang.

"Nona, jangan khawatir. Kita keroyok dia berdua!"

Wanita baju merah ini mengerutkan kening. "Siapa minta bantuanmu?" bentakan ini mengejutkan. "Pergilah kau, manusia tolol. Kau lebih-lebih lagi bukan tandingan kakek iblis ini!"

"Tapi kau membantuku!" pemuda ini tertegun. "Dan bukankah kau terdesak?"

"Hm, pergi kataku, pemuda keparat. Aku sama sekali tidak membantumu melainkan semata membantu gadis itu. Kami sama-sama kaum wanita, aku tak senang melihat perbuatan iblis ini dan kau enyahlah, bawa sumoimu itu!"

Pemuda ini mendelong. Dia jadi tak menyangka jawaban itu dan mukanya seketika merah. Dia dimaki dan betapa pedas makian itu. Kalau saja wanita ini datang bukan untuk menolongnya, atau menolong sumoinya itu karena hal ini sama saja baginya mungkin dia sudah membentak dan memaki wanita itu, menerjangnya. Panas dan marah karena dia terhina.

Tapi karena dia sudah ditolong dan diakui atau tidak dia telah dibebaskan dari Lam-ciat maka pemuda ini menggigit bibir dan tiba-tiba teringat sumoinya itu, yang masih menggeletak dan di bawah totokan si kakek iblis. Maka begitu dia teringat dan menghentikan serangannya kepada Lam-ciat, mendengar kakek itu tertawa tiba-tiba pemuda ini melompat keluar dan sudah menolong sumoinya itu, membebaskan totokannya.

"Sumoi, seseorang telah menolongmu. Nah, terserah kau mau pergi atau kita serang si kakek jahanam itu!"

Gadis ini meloncat bangun, langsung mencabut pedang. "Aku tak mau pergi, suheng. Justeru akan membantu tuan penolongku dan kita serang kakek jahanam itu!"

"Nah," si pemuda berseru. "Sumoiku tak mau pergi, nona. Justeru kami akan membalas sakit hati pada kakek iblis ini dan jangan kau marah kepadaku kalau aku menyerang Lam-ciat!" pemuda itu menerjang lagi, berkata bahwa dia bukan membantu wanita itu melainkan membantu sumoinya, yang sudah menyerang dan menerjang Lam-ciat, ada betulnya juga kata-kata ini dan ketua Hek-yan-pang itu tertegun, tak dapat mengusir. Dan ketika suheng dan sumoi itu sudah mengeroyok Lam-ciat tapi si iblis menghilang dan muncul lagi dengan ilmunya yang luar biasa maka Hoan-eng-sut benar-benar merepotkan tiga orang ini karena kakek itu muncul dan menghilang bagai siluman saja.

"Ha-ha, kalian tak dapat mengalahkan aku. Hoan-eng-sut terlampau tangguh buat kalian!"

"Hm, kau memang licik!" wanita baju merah itu membentak. "Ilmu andalanmu hanya Hoan-eng-sut yang berbau ilmu hitam itu, Lam-ciat. Tanpa ini ternyata kau bukan apa-apa!"

"Ha-ha, tak-usah marah. Sekarang aku akan membunuh pemuda ini sementara kalian berdua ikut aku... hargh!" Lam-ciat mengeluarkan seruan panjang, parau dan menyeramkan dan si gadis teman si pemuda tiba-tiba berteriak ketika kakek iblis itu menghilang, berobah bentuk menjadi segumpal asap dan kini asap itu menyambar temannya. Si pemuda terkejut dan tentu saja menggerakkan pedangnya. Tapi ketika senjatanya terpental dan patah bertemu asap hitam ini maka pemuda itu berteriak kaget ketika terangkat tinggi dan terbanting.

"Heiii.... bress!"

Pemuda itu menjerit. Lam-ciat di balik asap hitamnya tertawa bergelak, maju menyambar dan pemuda itupun sudah diterkam, bergulingan mengelak namun sia-sia. Dan ketika Lam-ciat menggeram dan pemuda itu mengeluh maka lengan pemuda ini berkeratak ketika dicengkeram, patah dan Lam-ciat meneruskan gerakannya ke leher. Tengkuk pemuda ini mau dipatahkan juga namun saat itu dua pedang di tangan wanita baju merah dan sumoi pemuda itu berkelebat, menyambar dan membentak si kakek. Dan karena gerakan pedang di tangan Hek-yan-pangcu jauh lebih berbahaya dibanding pedang di tangan sumoi pemuda itu maka Lam-ciat mengelak dan tangan kirinya bergerak menampar dua senjata itu.

"Plak-plakk!"

Sumoi pemuda itu terpelanting. Pedangnya mencelat dan patah pula menjadi tiga, Lam-ciat mengerahkan tenaganya hingga gadis ini tak kuat, terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu menjerit dan Lam-ciat menangkis pedang si wanita baju merah, menampar dari samping maka ketua Hek-yang-pang itupun mengeluh dan terhuyung, terbelalak memandang kakek ini yang sudah tertawa bergelak menggerakkan tangan kanannya, siap mencengkeram hancur leher pemuda tawanannya itu. Tapi ketika kakek ini siap membunuh lawan dan melaksanakan ancamannya tiba-tiba Beng Tan yang tak tahan melihat semuanya itu sudah berkelebat keluar membentak si kakek, menendang sebuah kerikil hitam.

"Lam-ciat, kau kakek iblis tak berperasaan. Lepaskan pemuda itu... tak!"

Hantu Selatan ini terpekik. Batu yang ditendang Beng Tan tepat sekali mengenai punggung tangannya, yang saat itu bergerak dan hendak mencengkeram hancur tengkuk lawannya. Maka begitu dia memekik dan melepaskan tawanannya, tergetar mundur maka melayanglah Beng Tan menghantam kakek ini.

"Dess!" Lam-ciat terpelanting. Tak menduga diserang demikian cepat dan luar biasa kakek ini menjerit. Asap hitamnya buyar karena saat itu kakek ini muncul lagi, tak takut memperlihatkan diri karena dia sudah merasa kemenangan bakal diraihnya. Tak tahunya datang pemuda baru ini di mana sambitan atau pukulan Beng Tan dirasa pedih dan panas. Batu hitam yang ditendang Beng Tan tadi hampir saja membuat putus urat di punggung tangan kakek ini, kalau Lam-ciat tak mengerahkan sinkang dan melindungi tangannya. Maka ketika dia mencelat dan terbanting oleh pukulan Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tegak di hadapannya sementara pemuda yang menjadi suheng dari gadis di sebelah ketua Hek-yan-pang sudah dirampas dan disambar pemuda baju putih ini.

"Sobat, sebaiknya kau mundur. Kakek ini bukan lawan siapa pun dari kalian. Mundur dan biarkan aku yang menghadapinya!"

Pemuda itu dan sumoinya tertegun. Di sana Hek-yan-pangcu juga terkejut dan tertegun, kedatangan Beng Tan yang demikian luar biasa dan mampu membuat Lam-ciat mengaduh dan terlempar bergulingan jelas menunjukkan pemuda itu bukan orang sembarangan. Tapi mendengar pemuda itu menyuruh mereka semua mundur dan akan menghadapi kakek iblis itu sendirian tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini marah dan membentak,

"Kau si mulut besar bicara apa? Kau menyuruh kami semua mundur?"

"Hm, maaf," Beng Tan menenangkan debaran jantungnya beradu pandang dengan mata yang seperti bintang itu. "Aku terpaksa berkata seperti itu, nona. Tapi bukan berarti bermulut besar. Kau dan teman-temanmu tak mungkin menghadapi Hoan-eng-sut."

"Keparat, dan kau bisa?"

"Akan kucoba, nona. Karena aku dapat melihat jelas ke mana saja kakek itu menghilang. Tenaga batin kalian kurang tinggi!"

"Keparat!" namun belum ketua Hek-yan-pang ini bergerak memaki Beng Tan tiba-tiba Lam-ciat di sana sudah meledakkan kedua telapak tangannya, menghilang dan secepat kilat dia menyerang Beng Tan. Semua kata-kata dan sikap pemuda itu membuat kakek ini marah besar. Maka begitu si pemuda bicara dengan ketua Hek-yan-pang itu dan dengan marah serta gusar kakek ini merasa diganggu mendadak dia sudah mempergunakan Hoan-eng-sutnya itu dan lenyap menyerang Beng Tan.

"Awas...!" Yang berteriak ini adalah pemuda di sebelah Beng Tan. Pemuda itu melihat Lam-ciat menghilang dan entah ke mana, tahu kakek itu akan melakukan serangan tapi tak tahu di mana dia bakal menyerang. Inilah hebatnya Hoan-eng-sut. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan Beng Tan tersenyum ternyata dengan tenang namun cepat pemuda ini membalik ke kiri.

"Dukk!" Terdengar jeritan Lam-ciat. Hantu Selatan itu rupanya merasa kesakitan, terpental dan tampaklah tubuhnya mencelat ke atas. Kiranya dia tadi menyerang dari atas namun Beng Tan tahu, menangkis terlemparlah kakek itu di udara. Hoan-eng-sut dipatahkan dan kakek itu kelihatan ujudnya.

Namun ketika kakek ini membentak lagi dan berteriak penasaran maka dia sudah menghilang dan menyerang Beng Tan lagi, dari kiri dan kanan dan Beng Tan cepat mendorong mundur pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terbelalak karena Beng Tan dengan mudah mengelak atau menangkis, tahu di mana Lam-ciat berada karena setiap mengelak atau menangkis pasti selalu tepat, dak-duk-dak-duk dan Lam-ciat menjerit berulang-ulang. Dan ketika kakek itu mencoba lagi dan tangannya meledak mengeluarkan segumpal asap hitam maka Beng Tan tiba-tiba membentak kakek itu mengeluarkan Pek-lui-ciangnya, Pukulan Kilat.

"Lam-ciat, kau enyah atau roboh!"

Terdengar raungan kakek ini. Asap hitam meledak ketika bertemu Pukulan Kilat, ambyar dan kakek itu terguling-guling. Tapi ketika Lam-ciat mencoba lagi dan rupanya kakek itu masih penasaran dan marah besar tiba-tiba Beng Tan tak sabar mencabut Pek-jit-kiamnya (Pedang Matahari).

"Crat!" Kakek itu mengaduh. Setelah Beng Tan mengeluarkan Pek-jit-kiamnya dan hanya sekali saja pedang itu keluar dan masuk ke dalam sarungnya ternyata kakek ini sudah terluka. Dadanya tergores panjang dan tentu saja gentarlah kakek itu menghadapi Beng Tan. Dia terbelalak memandang lukanya namun lalu meraung tinggi, meloncat dan terhuyung melarikan diri. Dan ketika kakek itu memaki-maki sementara pemuda yang ditolong Beng Tan tampak kagum dan mendelong, seperti juga temannya dan ketua Walet Hitam maka Beng Tan tertawa dan berseru pada lawannya yang sudah melarikan diri itu,

"Nah, lain kali jangan coba-coba nekat lagi, kakek buruk. Atau kepalamu terpenggal dan lehermu putus!"

Pemuda di sebelah Beng Tan dan sumoinya takjub. Mereka itu melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja Beng Tan telah berhasil mengusir Lam-ciat, padahal dikeroyok tiga kakek itu masih saja lebih unggul. Maka begitu si kakek iblis melarikan diri dan Beng Tan tertawa mengiringi lawannya maka pemuda ini menjura dan sudah berseru di depan Beng Tan,

"Aih, luar biasa sekali, in-kong (tuan penolong). Ilmumu hebat dan mentakjubkan sekali. Aku Liong Ma menghaturkan terima kasih bahwa kau telah menyelamatkan jiwaku!"

"Benar, dan aku juga, in-kong. Aku Liong Hwi mengucapkan banyak terima kasih!"

"Eh-eh!" Beng Tan terkejut. "Yang menolong pertama kali adalah Ang-siocia (nona baju merah) ini, sobat-sobat. Aku hanya datang belakangan dan kebetulan saja mengusir kakek itu!"

"Benar, akupun akan berterima kasih padanya." dan Liong Hwi yang membungkuk dan merangkapkan tangan di depan ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu mengucap terima kasih. "Cici, kau pun hebat. Aku Liong Hwi menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Budi baikmu terus terang tak dapat kubalas, semoga Tuhan yang membalas kebaikanmu!"

"Hm!" wanita ini tiba-tiba berkelebat pergi. "Yang menolong kalian adalah pemuda itu, Liong Hwi. Tanpa diapun barangkali aku mampus. Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih dan biar aku pergi!"

Liong Hwi tertegun. Dia terbelalak mengerutkan kening dan temannya pun berseru tertahan. Mereka bermaksud mencegah namun orang sudah lenyap di luar hutan. Dan ketika mereka melenggong dan tak dapat bicara mendadak Beng Tan yang ada di sebelah kanan mereka pun lenyap berkelebat.

"Ha-ha, betul, Liong Hwi. Terima kasih tak perlu diucapkan karena akupun tak bermaksud meminta terima kasih. Sudahlah, kalian kembali dan hati-hati jangan sampai ketemu lagi dengan kakek iblis itu!"

"In-kong...!"

Namun Beng Tan lenyap. Pemuda ini, seperti juga ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu hanya ingin menolong dua muda-mudi ini dari keganasan Lam-ciat. Hantu Selatan itu berhasil diusir dan tentu saja Beng Tan lega. Dalam menyaksikan jalannya pertandingan tadi Beng Tan melihat bahwa sebenarnya wanita baju merah itu lihai, cukup lihai namun sayang menghadapi ilmu hitam macam Hoan eng-sut jadi terdesak, kewalahan karena tak memiliki tenaga batin yang tinggi, meskipun mungkin saja sinkangnya hebat.

Dan karena menghadapi ilmu-ilmu hitam macam Hoan-eng-sut itu orang harus memiliki tenaga batin yang tinggi karena dengan tenaga batin begini akan mampu melihat ke mana lawan menghilang, seperti apa yang dilakukan kakek iblis itu maka semua ilmu silat atau sejenisnya tak dapat dipakai menghadapi Hoan-eng-sut kecuali harus dihadapi dengan ilmu atau tenaga batin pula. Dan itu dipunyai Beng Tan, yang telah membuktikannya tadi. Dan karena pemuda ini juga memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi, seperti Pek-lui-ciang yang telah membuat gentar lawannya maka Lam-ciat semakin ketakutan melihat Beng Tan memiliki pula Pek-jit-kiam, Pedang Matahari yang demikian tajam hingga dari jauh saja dadanya tergores luka.

Liong Hwi dan Liong Ma tak tahu bagaimana caranya pedang itu bekerja, kecuali wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu, yang tentu saja diam-diam terkejut dan membandingkannya dengan Golok Maut, senjata yang dipunyai Giam-to atau Si Golok Maut. Dan ketika dia terkejut dan hanya wanita inilah yang melihat betapa angin pedang sudah mampu melukai dada si Hantu Selatan dan betapa tanpa menyentuh mata pedang itu sudah berhasil membuat Lam-ciat ketakutan diam-diam wanita ini kagum dan terkesiap.

Namun Hek-yan-pangcu ini sudah berkelebat pergi. Sebenarnya kemarahan memang tersimpan di dada wanita itu, bukan apa-apa, melainkan semata oleh rasa malunya bahwa dia tak dapat mengalahkan si Hantu Selatan sementara Beng Tan bisa. Itu saja. Maka ketika ini semua masih ditambahi secara tak sengaja oleh Liong Hwi dan Liong Ma yang lebih dulu mengucap terima kasih kepada Beng Tan bukan kepada dirinya maka wanita ini semakin mendongkol dan marah. Dan kita tahu, akhirnya wanita itu pergi, disusul Beng Tan dan tentu saja pemuda ini tahu kemarahan orang.

Beng Tan yang berkelebat meninggalkan Liong Hwi dan Liong Ma sebenarnya ingin mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya wanita bersaputangan merah itu, yang matanya bersinar-sinar bagai bintang kejora namun apinya bagai besi terbakar. Panas dan tajam menusuk! Teringat bola mata itu Beng Tan tergetar, hatinya berdebar dan ada semacam perasaan aneh menyelinap di jiwanya, entah apa. Dan ketika siang itu Beng Tan berkelebat pergi dan diam-diam merasa sayang kenapa wanita baju merah yang menarik hatinya itu pergi mendahului mendadak saja dia tercekat ketika sambil melamun, jauh meninggalkan hutan pertama dia dicegat wanita ini, tanpa disangka-sangka!

"Pemuda sombong, berhenti sebentar. Kebetulan aku ingin bicara!"

"Lho?" Beng Tan tertegun. "Kau di sini, nona? Belum pergi? Ah, kebetulan, aku juga ingin mencarimu!" dan Beng Tan yang tidak berprasangka buruk dan sudah meloncat dan berseri-seri memandang wanita ini lalu menjura, menyambung, "Nona, maaf kalau tadi aku menerima ucapan dua suheng dan sumoi itu. Mereka lupa, dan terus terang aku kikuk!"

"Hm, tak usah pura-pura!" bentakan itu mengejutkan. "Kikuk atau tidak yang jelas kau telah menghina aku, manusia sombong. Dan kini aku menuntut agar kau minta maaf dan berlutut di depan kakiku!"

"Apa?" Beng Tan terkejut. "Aku menghina dirimu? Berlutut dan minta maaf? Eh-eh, minta maaf mau saja, nona. Tapi berlutut nanti dulu. Hanya terhadap kaisar saja orang boleh berlutut, selebihnya lihat-lihat dulu!"

"Hm, sudah kuduga. Kau memang sombong dan banyak tingkah! Baiklah, cabut pedangmu, manusia sombong. Dan aku menantangmu bertanding... srat!"

Beng Tan tertegun, melihat wanita itu sudah mencabut pedangnya dan mata yang bersinar-sinar di balik kedok itu mengeluarkan apinya yang membuat pemuda ini surut mundur, tergetar dan tentu saja kaget. Dan ketika ujung pedang sudah digetarkan tiga kali namun Beng Tan tak mencabut pedangnya, sesuai perintah, mendadak saja lawan telah melekatkan ujung pedangnya di batang tenggorokannya.

"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!"

"Nanti dulu!" Beng Tan terkesiap, mendorong ujung pedang itu. "Perlahan dulu, nona. Tiada hujan tiada angin kau memusuhiku. Eh! Apa salahku? Apa yang telah kuperbuat?"

"Hm, tak usah banyak tanya, pemuda sombong. Kau telah memamerkan ilmu pedangmu yang hebat itu dan terus terang aku gatal ingin mencoba. Tanpa bersalahpun aku tetap ingin menghadang, menjajal kepandaianmu!"

"Lho-lho... kenapa begini? Bukankah aku justeru menolongmu dari Lam-ciat? Eh!" Beng Tan semakin terbelalak. "Jangan memusuhi orang tanpa sebab, nona. Aku tak suka dan terus terang tak ingin bermusuhan denganmu. Justeru aku ingin tahu siapakah kau dan bolehkah kita berkenalan!"

"Hm, berkenalan hidungmu!" hidung yang mancung itu tiba-tiba mendengus. "Kiranya kau pemuda ceriwis, bocah sombong. Kalau begitu untuk alasan ini saja sudah cukup aku memusuhi mu. Cabut pedangmu atau kau mampus.... singg!" dan pedang yang bergerak luar biasa cepatnya tanpa memberi tahu lagi tiba-tiba sudah menusuk ke dada Beng Tan, mendesing dan untuk kesekian kalinya Beng Tan melihat bahwa wanita ini sebenarnya memang bukan wanita sembarangan. Pedang bergerak dan sudah menusuk dirinya dengan cepat, seperti kilat menyambar. Dan karena Beng Tan tentu saja tak mau ditusuk dan dadanya berlubang sia-sia maka pemuda ini mengelak namun pedang dengan ganas dan cepat mengejar larinya.

"Plak!"

Beng Tan berseru keras. Pedang sudah ditangkis namun terpental membalik, bagai per atau pegas saja sudah meluncur lagi dari atas ke bawah menusuk ubun-ubunnya. Gagal menyambar dada kini menyambar kepala. Bukan main! Dan ketika Beng Tan menjadi marah dan berkelit menghindar maka lawan berseru dan mengejarnya lagi, membentak agar dia mencabut pedangnya atau mampus, bentakan yang disertai pandangan berkilat dan penuh nafsu membunuh, hal yang membuat pemuda ini bergidik. Dan ketika Beng Tan dipaksa berlompatan dan akhirnya berkelebatan mengimbangi lawan maka pedang sudah berseliweran dan naik turun menyambar-nyambar dirinya.

"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!"

Beng Tan terbelalak. Lawan mempercepat gerakannya dan terpaksa dia pun mempercepat gerakannya. Ilmu meringankan tubuh dikeluarkan pemuda ini dan beterbanganlah pemuda itu menghindari serangan-serangan lawan. Tapi ketika lawan juga melengking tinggi dan mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya pula maka Beng Tan tak dapat mengelak dan harus menangkis atau membalas.

"Plak-plak!"

Lawan berseru marah. Pedang ditampar miring dan Beng Tan mendapat kenyataan bahwa tenaga lawan cukup hebat, untung dia masih lebih hebat dan tertolaklah pedang ke kiri atau kanan. Dan ketika lawan menyerang lagi dan kian sengit menggerakkan pedangnya maka Beng Tan mengeluarkan Pukulan Kilat nya dan apa boleh buat harus membalas atau memukul pedang.

"Nona, kau hebat. Tapi aku tak mau terbunuh!" dan Beng Tan yang membentak menggerakkan tangannya akhirnya berkelebatan menampar atau menangkis, membalas dengan pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya dan lawan terpekik. Ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah ini terkejut, setiap tamparan atau pukulan Beng Tan menyengat lengannya, melalui badan pedang. Dan ketika wanita itu terhuyung dan sering mengeluh, karena tergetar dan merasa kesetrom maka Beng Tan di sana berseru agar lawan berhenti menyerang.

"Jangan menyerang lagi. Simpan pedangmu, nona. Dan kita bersahabat!"

"Hm, aku tak mau bersahabat!" wanita itu membentak. "Kaubunuh aku atau aku yang membunuhmu, manusia sombong. Atau kau cabut pedangmu dan perlihatkan ilmu pedangmu itu!"

"Aku tak suka berkelahi...."

"Aku yang menantangmu! Ah, kau terlalu banyak mulut!" dan wanita itu yang memotong serta menyerang lagi tiba-tiba memekik dan berkelebat menusuk perut Beng Tan, dikelit tapi pedang meliuk dari kanan ke kiri, cepat dan luar biasa hingga Beng Tan terkejut. Dan ketika pemuda itu berseru keras dan marah melihat kebandelan lawan maka dia bermaksud untuk melepaskan pedang wanita ini dari tangan pemiliknya.

"Plakk!"

Tamparan atau tangkisan Beng Tan ini keras. Wanita itu menjerit dan pedangnya benar-benar terlepas, mencelat dari tangan kanannya. Tapi ketika wanita itu berjungkir balik dan menggerakkan tangan kirinya ternyata pedang telah dipegang dan menyerang lagi dengan ganas.

"Hebat, kau luar biasa, nona. Ilmu pedangmu sebenarnya hebat!"

"Tak usah memuji!" wanita itu marah. "Kau berlutut dan minta ampun atau aku terus menyerangmu mati-matian, manusia sombong. Atau kaubunuh aku dan aku siap bertempur sampai titik darah penghabisan!"

"Ah, kau keras kepala...!" dan Beng Tan yang bingung menangkis lagi lalu menambah tenaganya hingga lawannya terpekik, pedang mencelat namun lagi-lagi disambar oleh tangan yang lain. Hal ini terjadi empat lima kali hingga Beng Tan kagum, sebenarnya melihat bahwa lawannya itu mendesis kesakitan, telapaknya mulai lecet, pecah-pecah. Dan ketika pemuda ini bingung harus menyudahi pertempuran dengan cara bagaimana mendadak terdengar geram dan bentakan seseorang,

"Pangcu, kau diganggu siluman sombong ini? Mundurlah, biar aku yang menghadapi... siut-dess!"

Dan Beng Tan yang mencelat oleh sebuah tendangan tiba-tiba berseru kaget oleh datangnya serangan yang luar biasa cepat ini, melihat seorang pemuda atau laki-laki bercaping muncul di situ, membantu wanita baju merah ini yang sudah terdesak oleh tangkisan-tangkisan Beng Tan. Hanya berkat kekerasan dan kemarahan hatinya saja wanita ini kuat bertahan, padahal telapak tangannya sudah lecet-lecet berdarah. Dan ketika bayangan atau laki-laki bercaping itu muncul dan berkelebat dengan sebuah tendangan melayang maka Beng Tan terguling-guling dan terlempar dengan kaget.

"Golok Maut....!"

Yang mengeluarkan seruan itu adalah ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah ini. Beng Tan di sana sudah bergulingan meloncat bangun dan terkejut mendengar seruan itu. Dan ketika Golok Maut, laki-laki gagah bercaping ini berdiri tegak di hadapan Beng Tan maka Beng Tan melongo melihat wanita baju merah itu terisak dan menangis melaporkan kejadiannya, seperti seorang pacar melaporkan kekurangajaran pemuda lain kepada kekasihnya,

"Golok Maut, bunuh pemuda ini. Dia... dia menggangguku....!"

"Hm!" Golok Maut, laki-laki itu mengangguk. "Aku sudah menduganya demikian, pangcu. Tapi tak usah kau khawatir. Mundurlah, aku yang menghadapinya, laki-laki dengan laki-laki!" dan sementara Beng Tan bengong dan kaget melihat semuanya itu maka Golok Maut sudah melangkah mendekatinya dengan mata berapi-api, sedikit tengadah namun wajah di balik caping bambu itu masih tersembunyi baik.

"Orang kurang ajar, apa yang kau lakukan terhadap ketua Hek-yan-pang ini? Tak malu kau bahwa sebagai seorang laki-laki kau mengganggu seorang wanita? Hm, kau harus diberi adat, manusia busuk. Aku akan menghajarmu atau kau cepat berlutut minta ampun!"

Beng Tan tertegun. "Kau Golok Maut?"

"Perlukah aku memperkenalkan diri?" suara ini dingin, menyeramkan. "Kau sudah menyebutnya, manusia sombong. Dan sekarang mintalah ampun atau kau menerima hukuman!"

"Nanti dulu!" Beng Tan mundur, mencelat ke belakang, melihat lawan hendak menyerang. "Aku tak melakukan apa-apa, Golok Maut. Dan justeru baru sekarang aku tahu bahwa yang kuhadapi itu adalah seorang pangcu (ketua). Tunggu, siapa dia dan tanyakan dulu gangguan apakah yang kulakukan kepada temanmu itu!"

Golok Maut tertegun. "Pangcu," katanya menoleh. "Benarkah pemuda ini tak melakukan apa-apa kepadamu? Bagaimana perkelahian ini terjadi?"

"Kenapa kau banyak bicara? Serang dan bunuh saja pemuda itu, Golok Maut. Kalau dia tak menggangguku tak mungkin aku menyerangnya. Dia sombong, menghina diriku. Nah, jangan bertanya dan serang dia!"

"Nanti dulu!" Beng Tan mundur lagi. Semakin terkejut. "Jangan menyerang kalau tidak mengetahui duduk persoalannya, Golok Maut. Aku Ju Beng Tan tak takut kepadamu tapi jangan menyerang membabi buta. Aku kebetulan mencarimu, tak mungkin akan menyingkir dan justeru gembira. Kau sebutkanlah siapa wanita ini dan kenapa beberapa waktu yang lalu kau mengobrak-abrik istana!"

"Hm, kau siapa? Kenapa bertanya tentang ini? Dia adalah Hek-yan-pangcu, orang she Ju. Dan aku membantunya karena dia sahabatku!"

"Eh, dia ketua Walet Hitam? Dan aku.... aku..."

"Benar, kau telah memusuhinya. Dan karena dia sahabatku maka berarti kau musuhku pula. Bersiaplah, aku ingin menghajarmu!"

"Nanti dulu...!" namun Si Golok Maut yang mendengus dan membentak ke depan tiba-tiba bergerak dan telah melakukan tamparannya, berkelebat dan sudah menyerang dengan cepat. Beng Tan berdetak dan tergetar. Orang yang dicari-cari tiba-tiba ada di depan hidungnya, muncul begitu saja! Maka begitu lawan menyerang dan rupanya tidak mau banyak cakap lagi tiba-tiba Beng Tan pun menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukk!"

Dua orang itu mencelat. Baik Golok Maut maupun Beng Tan sama-sama terpental, masing-masing berseru kaget dan berjungkir balik. Beng Tan merasa betapa sinkang yang amat kuatnya menghantam dirinya, ditahan namun dia terpental juga. Dan ketika pemuda ini mengeluarkan teriakan kaget sementara Golok Maut juga tersentak dan berseru tertahan maka tokoh bercaping itu berjungkir balik dan terbelalak memandang Beng Tan, tidak banyak cakap dan tiba-tiba menerjang lagi, tangan kiri mendorong dan serangkum angin kuat menghantam lawannya ini. Tapi ketika Beng Tan penasaran dan ingin menjajal lagi maka untuk kedua kalinya pemuda itu pun menangkis.

"Duk-dukk!"

Dua orang ini lagi-lagi terpental. Beng Tan dan lawannya kembali sama-sama berseru keras, mereka terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka sama kuat, satu sama lain berimbang dan tentu saja mereka terbelalak. Kekaguman tak dapat disembunyikan lagi namun Golok Maut melengking lagi, berkelebatan dan sudah menyerang lawannya dengan gencar.

Dan ketika Beng Tan mengimbangi cepat dan berkelebatan menangkis atau mengelak maka keduanya sudah bertempur dan bertanding seru, mula-mula masih kelihatan namun akhirnya lenyap, masing-masing sudah berobah menjadi bayangan putih dan hitam. Golok Maut mengenakan baju hitam dan kontras sekali bayangan keduanya itu. Dan ketika suara "dak-duk" terdengar berulang-ulang dan masing-masing terpental tapi selalu serang-menyerang lagi maka ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah itu terbelalak.

Sebenarnya, kedatangan Golok Maut menggembirakan hatinya. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa girang, berseru dan tadi melaporkan kejadian itu dengan sikap seorang kekasih kepada pacarnya. Aneh sekali, wanita ini berseri-seri dan tentu saja hanya Golok Maut atau mereka berdua yang tahu semuanya itu, kegembiraan atau kebahagiaan kedua belah pihak begitu masing-masing bertemu. Ketua Hek-yan-pang ini bersinar-sinar dan bercahaya mukanya, menonton jalannya pertandingan dan berulang-ulang dia mengeluarkan seruan kaget pula, ketika Golok Maut atau lawannya terpental.

Dan ketika di sana Beng Tan menjadi gemas dan marah karena Golok Maut membela wanita baju merah itu tanpa menanya duduk persoalannya dengan baik, padahal jelas wanita itulah yang mencari masalah dan menyerangnya dulu maka Beng Tan melayani dan mengimbangi lawannya ini, terkejut dan kagum karena Golok Maut ternyata hebat. Masing-masing belum mengeluarkan senjatanya karena masing-masing ingin mengadu kepalan dulu, pertandingan tangan kosong di mana pukulan sinkang atau getaran Iweekang (tenaga dalam) silih berganti dikeluarkan.

Masing-masing mendapat kenyataan bahwa baik Iweekang ataupun sinkang (tenaga sakti) boleh dikata berimbang, tak ada yang unggul atau asor (kalah). Dan ketika pertandingan berjalan semakin seru karena masing-masing kian mempercepat gerakan untuk mendahului yang lain maka Golok Maut mengeluarkan satu bentakan keras di mana tangan kirinya tiba-tiba menyambar dalam satu gerak memutar. "Dess!"

Beng Tan tak menduga. Pemuda ini terkena dan terpelanting, tidak apa-apa namun mendesis kesakitan. Pundaknya yang kena pukulan cukup pedas dan linu, kalau dia tidak mengerahkan sinkangnya barangkali tulang pundaknya bisa patah. Gerakan memutar tadi sungguh mengecohnya. Namun ketika Golok Maut menyerang dan melakukan gerakan serupa, kini dengan tangan kanannya tiba-tiba Beng Tan meliuk dan berkelebat di bawah ketiak lawan.

"Dess!"

Kali ini Golok Maut yang terbanting. Dengan dengan gerak tipu Kilat Melingkari Matahari pemuda ini ganti mengecoh lawan, menyelinap dan keluarlah pukulan Pek-lui-ciangnya. Namun ketika Golok Maut bangkit terhuyung dan tidak apa-apa maka Beng Tan kagum dan berseru memuji lawan,

"Hebat, kau luar biasa, Golok Maut. Mengagumkan!"

"Hm, kaupun juga hebat. Tak perlu memuji, orang she Ju. Kita masih berimbang dan belum ada yang kalah atau menang!"

"Tapi aku akan menundukkanmu. Kau cukup ganas dan telengas di luar!"

"Hm!" dan Golok Maut yang tidak menjawab karena sudah menghadapi serangan-serangan lawan lalu dibalas dan menerima pukulan-pukulan Pek-lui-ciang, Pukulan Kilat, melihat sinar berkeredep dan menyambar dari kedua tangan lawannya, mengelak dan menangkis dan terdengarlah ledakan ketika pukulan-pukulan mereka bertemu. Dan ketika semuanya itu kembali ditonton dan membuat kagum ketua Hek-yan-pang maka wanita baju merah ini memuji berulang-ulang.

"Hebat, tapi jangan mundur, Golok Maut. Maju dan hadapi kembali lawanmu itu. Robohkan dia!"

Ini adalah spirit bagi Golok Maut. Beng Tan mengejek namun tidak gentar, untuk sementara mereka masih berimbang. Tapi ketika Golok Maut mendesak dan menambah tenaganya, hingga Pek-lui-ciang yang biasanya hebat itu tertolak dan membuat Beng Tan terhuyung maka satu ancaman lawan membuat Beng Tan mengerutkan keningnya.

"Orang she Ju, kau hebat. Tapi aku harus merobohkanmu. Menyerahlah atau aku terpaksa mencabut senjata!"

"Hm, aku tak takut!" Beng Tan berdebar, mendengar lawan akan mencabut goloknya yang ampuh itu. "Kau boleh cabut senjatamu, Golok Maut. Dan lihat apakah benar kau dapat merobohkan aku!"

"Aku akan mencabutnya, tapi cabut pula pedang di balik punggungmu itu!"

"Hm, kau tahu?"

"Kita sama-sama bermata, orang she Ju. Jangan berlagak dan pura-pura pilon. Cabutlah pedangmu, dan aku akan mencabut golokku!"

Beng Tan berbinar matanya. Kalau Golok Maut berkata seperti itu maka harus diakuinya bahwa lawan sebenarnya gagah, tak ingin mendahului dan menyerang lawan yang bertangan kosong. Golok Maut tak mau mempergunakan senjata kalau dia tidak bersenjata. Perasaan simpatik tiba-tiba timbul dan Beng Tan tersenyum memandang lawannya itu. Dan ketika lawan menambah tenaganya menangkis pukulannya maka Beng Tan berseru keras menambah tenaganya pula.

"Golok Maut, kau bukan manusia licik. Baiklah, siapa pun boleh mempergunakan senjatanya lebih dulu kalau dia menghendaki.... dess!" Beng Tan mengerahkan sinkangnya, terpental namun di sana Golok Maut juga terlempar. Kali ini keduanya terbanting dan bergulingan di tanah, mengeluh. Namun ketika mereka melompat bangun dan terhuyung memandang lawan maka Golok Maut menggeram,

"Baiklah, kalau begitu kita lihat!" dan satu bentakan kuat yang menggetarkan tempat itu tiba-tiba disusul dengan lenyapnya Si Golok Maut itu.

Beng Tan melihat lawan menjejakkan kakinya, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menyambarnya dari atas. Gerakan meluncur dan terbang seperti burung telah ditunjukkan lawannya ini, Beng Tan terkesiap. Dan ketika dia mengelak namun serangkum angin dingin menyambar belakang punggungnya tiba-tiba saja sebuah totokan dan cengkeraman cepat menyambar dirinya.

"Bret-plak!"

Beng Tan kaget bukan main. Ternyata setelah dekat pemuda ini tahu bahwa Golok Maut hendak merampas pedangnya, yang disembunyikan di punggung. Dan karena gerakan ini disembunyikan di balik totokan lihai di mana jari tangan lawanya itu berkesiur di atas kepala maka secepat kilat Beng Tan membanting tubuh bergulingan dan melepas totokan pula, ke mata lawan.

"Crit-dess!"

Gebrakan ini ganti mengejutkan Golok Maut. Beng Tan menusuk matanya dengan gerakan mengadu jiwa, saat itu tangannya sudah bergerak merampas pedang lawan di belakang punggung, menarik dan pedang tertarik dari sarungnya. Tapi begitu lawan menusuk matanya dan tentu saja Golok Maut melempar kepala ke kiri tiba-tiba tanpa diduga totokan itu lewat di belakang punggungnya dan... golok yang tersimpan di belakang dirampas dan tertarik keluar dari sarungnya. "Srat...!"

Golok Maut Jilid 15

GOLOK MAUT
JILID 15
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"HM..!" kakek India itu menggeram. "Kami terdesak tapi belum kalah, pangeran. Kalau Kami sudah roboh barulah Kami menyerah!"

"Ha-ha, kalau begitu kalian akan roboh!" dan Coa-ongya yang berseru pada tiga pembantunya agar menekan dan mendesak dua kakek India itu lalu tercawa dan tersenyum mengamati jalannya pertandingan, sedikit tetapi pasti memang orang-orangnya dapat menekan dua kakek India itu. Sudra dan Mindra harus bekerja keras kalau tak ingin roboh. Nenggala maupun cambuk di tangan mereka bergerak menangkis atau menyerang lawan. Tapi karena Yalu kakek tinggi besar itu mengacau atau mengganggu konsentrasi dua kakek India ini di mana Sudra maupun Mindra sering kali menerima pukulan kakek tinggi besar itu maka keduanya menjadi marah dan memaki tokoh Tibet itu.

"Yalu, kau pengecut dan licik. Curang!”

"Hm, kalian sendiri yang minta," kakek ini mendengus. "Aku hanya memenuhi tantangan kalian, Sudra. Kalau kalian tidak kuat bilang saja!"

"Keparat, kami masih kuat. Dan kami akan menghajarmu!" dan cambuk di tangan Sudra yang meledak menangkis senjata di tangan Pek-mo-ko tiba-tiba menjeletar dan menukik menyambar kakek tinggi besar itu, ditangkis dan dua-duanya terhuyung. Nyata kakek tinggi besar dari Tibet ini juga hebat, bukan hanya pandai membokong saja. Dan ketika Pek-mo-ko kembali menyerang dan Sudra menangkis maka di sana Mindra berseru agar mengeluarkan pukulan ampuh mereka, Hwi-seng-ciang (Pukulan Bintang Api).

"Keluarkan Hwi-seng-ciang. Kita robohkan manusia-manusia busuk ini!"

"Benar, dan tundukkan secepatnya mereka ini, Mindra. Hayo kita balas dan robohkan mereka!" Sudra menyambut, kini menggerakkan tangan kirinya pula dan tiba-tiba menyambarlah kilatan cahaya ke arah Pek-mo-ko. Iblis putih itu sedang melepas serangan dengan sapuan tongkatnya, menyambar ke bawah. Tapi ketika Sudra menggerakkan tangan kirinya dan Hwi-seng-ciang atau Pukulan Bintang Api menyambar dirinya tiba-tiba iblis ini menaikkan tongkat menangkis.

"Blar!"

Tongkat itu terpental. Ujungnya pecah dan Pek-mo-ko berteriak keras, berjungkir balik namun lawan mengejar. Di saat yang sama Mindra juga melepas Pukulan Bintang Api, menyambar Hek-mo-ko, Dan karena pukulan ini memang hebat dan Hek-mo-ko juga menangkis maka dua iblis itu terlempar ketika menerima Hwi-seng-ciang.

"Aih, keparat jahanam!" Hek-mo-ko mengumpat, diserang lagi namun Yalu si kakek tinggi besar berkelebat menghantam, menolongnya. Dan karena kakek ini memang selalu mengganggu dan gangguannya itu merepotkan Mindra maupun Sudra akhirnya Mindra membalik memaki kakek ini.

"Dess!"

Yalu bergoyang sedikit. Kakek itu mengerahkan Hwee-kangnya dan Tenaga Api menyambut Pukulan Bintang Api, sama-sama panas dan ternyata masing-masing tak ada yang unggul. Sifat dari pukulan keduanya yang sama-sama berintikan panas membuat Yalu tahan, tidak terdorong kecuali hanya bergoyang-goyang, sama seperti Mindra di sana. Dan ketika kakek itu terkejut sementara Yalu tertawa aneh, merasa gembira maka di sana Pek-mo-ko berjungkir balik dihantam Hwi-seng-ciang lagi.

"Dess!"

Iblis muka putih ini memaki-maki. Yalu akhirnya diminta membantunya dan kakek tinggi besar itupun sudah bergerak, menahan pukulan Sudra. Dan ketika Sudra juga terbelalak karena Yalu hanya bergoyang menerima pukulannya maka di sana Coa-ongya terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat, Sudra. Hwi-seng-ciang-mu pun tak berdaya. Sebaiknya kalian menyerah dan sudahi pertandingan ini!"

"Tidak, kami hanya menyerah kalau kami dapat dirobohkan, pangeran. Atau kami akan bekerja keras dan merobohkan mereka!"

"Hm, kalian keras kepala. Kalau begitu baiklah, kalian pasti roboh!" dan Coa-ongya yang gemas melihat kebandelan dua kakek India itu lalu menyuruh tiga pembantunya bekerja lebih keras.

Pek-mo-ko dan Hek-mo-kp disuruh mengeluarkan semua kepandaiannya, akhirnya mengangguk dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-see-kang atau Hek-see-kang (Pukulan Pa-sir Hitam Putih). Dan ketika pukulan-pukulan ini menyambut Hwi-seng-ciang yang dimiliki dua kakek India itu dan si kakek tinggi besar Yalucang juga bergerak menyemburkan Lidah Apinya maka desakan dua kakek India itu kembali gagal karena mereka kelebihan lawan seorang yang paling menjengkelkan, yakni kakek tinggi besar dari Tibet itu.

"Keparat, sebenarnya kita menang kalau tidak dikeroyok tiga, Sudra. Lawan-lawan kita licik dan curang sekali!"

"Benar, dan kakek bau ini mengganggu sekali, Mindra. Kalau tak ada dia di sini tentu kita dapat merobohkan Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko!"

"Ha-ha, sekarang mulai banyak bicara!" Hek-mo-ko berseru. "Kau tadi sedia menerima kami bertiga, Sudra. Dan itu sudah merupakan perjanjian. Kalau kini kalian kewalahan karena kami dibantu Yalucang biarlah kalian menyatakan kalah saja dan lain kali jangan bersikap sombong lagi!"

"Hm, tak apa," Mindra merah mukanya. "Kami memang ingin merobohkan kalian, Mo-ko. Kalau tak dapat itulah memang kebodohan kami!"

"Dan Golok Maut tak pilih-pilih musuh. Kalau kalian keberatan biarlah satu di antara kami mundur!"

"Tidak, tak usah, Mo-ko. Kami sudah berjanji dan akan menepati janji kami!"

"Bagus, kalau begitu coba kalian robohkan kami atau kami yang akan merobohkan kalian, ha-ha!" dan Mo-ko kakak beradik yang tertawa bergelak dan menyerang lagi lalu menggerakkan senjatanya dan tangan kiri mereka, pukulan-pukulan Pek-see-kang dan Hwi-seng-ciang yang dilancarkan dua kakek India itu tertahan.

Mereka mengumpat caci karena Yalucang tetap mengganggu, bahkan kini memperhebat semburan-semburan apinya dan Sudra harus mengebutkan bajunya ketika terbakar. Bukan main. Dan ketika nenggala ataupun cambuk bingung menghadapi tiga lawan tangguh yang ganti-berganti mendesak mereka maka dua kakek India ini memaki tak habis-habisnya.

Sebenarnya, kalau saja Yalucang si kakek tinggi besar tidak mengganggu tentu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko dapat dirobohkan. Ternyata ilmu kepandaian Mindra maupun Sudra seusap di atas dua iblis ini, terbukti dalam adu tenaga mereka selalu menang, karena Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko selalu tergetar dan terdorong mundur.

Namun karena Yalucang ada di situ dan kakek tinggi besar ini memiliki Hwee-kang atau Tenaga Api yang hebat, yang sejenis dengan Hwi-seng-ciang karena Pukulan Bintang Api dua kakek India itu sama-sama bersumber tenaga panas, atau Yang-kang, maka pertandingan akhirnya menjadi berat sebelah ketika tokoh Tibet itu mengganggu, menyerang merepotkan mereka yang harus menghadapi Pek-mo-ko atau Hek-mo-ko, dua iblis yang sebenarnya cukup hebat. Maka begitu Mindra maupun Sudra diganggu kakek tinggi besar ini dan kebetulan Hwee-kang memiliki tenaga panas seperti Hwi-seng-ciang maka Mindra dan temannya mengutuk kakek tinggi besar itu berulang-ulang.

"Sudahlah," Hek-mo-ko tertawa. "Kalian memang tak dapat mengalahkan kami, Mindra. Dua lawan tiga sudah jelas tak mungkin menang."

"Dan kalian sendiri yang bersikap pongah," Pek-mo-ko juga mengejek. "Kalian mengagulkan diri terlalu berlebihan, Mindra. Kalau sudah menyadari kami lebih kuat sebaiknya kalian menyerah!"

"Atau kalian malah terbunuh!" Yalucangpo tertawa sambil menggeram. "Kami dapat membunuh kalian, Mindra. Memang betul kata Mo-ko agar sebaiknya kalian menyerah!"

"Menyerah hidungmu!" kakek India ini membentak. "Kalian robohkan kami, Yalu. Jangan banyak bicara dan lihat apakah benar kalian dapat merobohkan kami berdua!"

"Hm," keras kepala. Kalau begitu kami akan membunuh!" dan kakek tinggi besar itu yang bergerak di belakang Mindra tiba-tiba membentak dan menyemburkan apinya, menjilat menyambar kepala lawan karena saat itu Mindra menangkis serangan Hek-mo-ko. Nenggala di tangan kakek India itu mementalkan tongkat dan Hwi-seng-ciang berkelebat, ditangkis Hek-see-kang. Dan di saat Hek-mo-ko terhuyung dan Mindra tergetar maka saat itulah lidah api kakek Tibet ini menyembur.

"Klap!" Rambut Mindra terbakar. Kakek ini tak dapat mengelak karena baru saja bertemu Hek-see-kang. Mo-ko memang terpu-kul mundur namun di saat itu Yalu menyerang, tentu saja mengejutkan kakek India ini. Dan ketika kakek itu terbakar rambutnya dan berteriak membanting tubuh bergulingan maka kakek tinggi besar ini mengejar dan melepas Hwee-kangnya lagi.

"Dess!"

Mindra memaki-maki. Dibokong dan menerima serangan curang dua kali cukup membuat kakek ini marah. Hek-mo-ko terbahak-bahak dan menyerang lagi, membantu, tak ayal membuat kakek ini kelabakan dan mengelak menggulingkan tubuh, sayang sekali Yalu si kakek Tibet juga mengejar. Akibatnya dari kiri kanan Mindra mendapat serangan tongkat dan pukulan. Dan karena dua lawannya memang hebat kalau bergabung dan kakek ini mengeluh mengumpat caci maka sebuah pukulan akhirnya mengenai lagi tubuhnya, tepat di pundak kanan.

"Dess!"

Kakek India itu melontakkan darah. Akhirnya dia batuk-batuk dan terluka, isi dadanya terguncang. Dan ketika Hek-mo-ko berkelebat lagi dengan serangan tongkatnya dan Yalucang juga menghantam dengan pukulan Hwee-kang maka nenggala mencelat ketika dipakai menangkis.

"Plak-dess!"

Mindra terlempar. Kakek ini mengeluh dan bergulingan menjauh, sayang terbatuk lagi dan lemah. Dua pukulan berbareng yang diterimanya tak kuat ditahan dan senjatanya pun terlepas. Maka ketika Mo-ko terbahak mengayun tongkatnya dan kakek Tibet itu juga mencengkeram ubun-ubunnya tiba-tiba Coa-ongya berteriak agar tidak membunuh kakek itu.

"Jangan bunuh... des-dess!"

Mindra terguling, melontakkan darah segar lagi dan mencelatlah kakek itu membentur pohon, tak bergerak dan terkapar di sana. Dan ketika Sudra terkejut dan cambuknya meledak menyambut tongkat tiba-tiba Pek-mo-ko berseru pada kakek Yalu agar cepat merobohkan lawannya ini pula, yang sudah digubat cambuknya dengan batang tongkat. Tentu saja membuat Sudra terkejut karena kakek Tibet itu membalik, tertawa aneh. Dan ketika benar saja kakek tinggi besar itu melepas Hwee-kangnya dan Sudra tak dapat mengelak kecuali dipaksa menangkis, padahal Mo-ko menggerakkan tangan kirinya pula menghantam dengan Pek-see-kang maka teman Mindra ini digencet dari dua arah oleh dua pukulan yang sama-sama hebat.

"Dess!"

Sudra mengeluh. Sama seperti temannya tadi diapun tak kuat, coba bertahan namun gagal, tergencet dua pukulan itu dan terlempar. Dan ketika Sudra bergulingan melompat bangun namun Hek-mo-ko kini mengejar dan bersama suhengnya serta Yalucang mengeroyok bertiga maka kakek India itu tak kuaf lagi dan untuk kedua kalinya terlempar, terbanting dan terguling-guling dan di saat itulah tiga orang lawannya tertawa menyeramkan. Hek-mo-ko dan suhengnya lagi-lagi menggerakkan tongkat menghantam kepala lawannya, Yalu si kakek tinggi besar membentak dengan semburan Hwee-kangnya.

Dan karena semuanya ini membuat kakek India itu terdesak hebat sementara hatinya sudah terguncang oleh robohnya Mindra maka Sudra mengeluh ketika cambuknya lepas, menerima hantaman tiga pukulan lawan dan terlemparlah kakek itu, muntah darah. Namun ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya hendak membunuh kakek itu sementara Yalucang juga menggeram hendak menghabisi nyawa lawannya maka Coa-ongya lagi-lagi berteriak agar dua orang kakek itu tidak dibunuh.

"Jangan dibunuh, biarkan hidup!"

Seruan ini menyelamatkan Sudra. Sebenarnya tiga lawannya tak ingin memberi ampun lagi, kesombongan dan kecongkakan Sudra membuat mereka marah. Namun karena pangeran sudah berteriak pada mereka dan apa boleh buat mereka harus mematuhi perintah ini maka Sudra akhirnya terjengkang dan roboh mendekap dadanya.

"Huak!"

Selesailah pertandingan itu. Sudra dan Mindra akhirnya kalah, menyerah dan dua kakek India itu cepat duduk bersila. Kalau dalam keadaan seperti itu Hek-mo-ko maupun Pek-mo-ko melancarkan satu serangan lagi pastilah mereka roboh binasa. Untung Coa-ongya melarang dan tiga pembantunya tak ada yang berani membantah. Dan ketika seperempat jam kemudian dua kakek itu bergerak dan bangkit berdiri, terhuyung, maka Coa-ongya dan adiknya menyambut tertawa.

"Bagaimana, Mindra? Kalian sekarang menyerah?"

"Hm, kami menyerah," Mindra menjawab. "Tiga pembantumu cukup hebat, pangeran. Kami berdua kalah!"

"Dan kalian mau menepati janji? Mau menjadi pembantu-pembantuku?"

"Hm, kami sudah kalah taruhan. Kami menepati janji!"

"Bagus! Ha-ha, terima kasih, Mindra. Kalian mengagumkan dan betapapun gagah dan ksatria. Kalian sejajar dengan Mo-ko maupun Yalucang. Kalian berdua menjadi pembantuku setingkat mereka. Hayo, kita rayakan kejadian ini dan mari masuk ke dalam. Kita buat pesta kecil!"

Dua kakek itu mengangguk. Coa-ongya yang tidak marah dan justeru mengundang mereka membuat dua kakek itu tenang, mereka mengikuti dan berjalanlah dua pecundang ini di belakang sang pangeran. Dan ketika Hek-mo-ko maupun suhengnya bergerak mengikuti dan kakek tinggi besar Yalucang juga menyeringai dan tersenyum aneh maka Coa-ongya sudah menjamu dua kakek India itu bersama adiknya, bergembira dan betapapun memuji kelihaian Sudra maupun Mindra ini. Kalau mereka tidak dikeroyok barangkali Mo-ko maupun Yalu kalah, pujian yang disambut kecut saja oleh dua kakek itu.

Dan ketika mereka mengakui kekalahan dan harus ikut pangeran ini, membantunya maka resmilah dua kakek India itu sebagai pembantu-pembantu pangeran Coa, hal yang tidak diduga dan tentu saja sebenarnya juga tak dikehendaki Mindra maupun temannya. Dan Coa-ongya yang rupanya tahu atau dapat membaca isi hati kakek-kakek itu menutup pesta dengan kata-kata begini,

"Kalian tak usah kecewa. Masalah Golok Maut sekarang adalah masalah kita bersama. Kalau sewaktu-waktu kalian ingin mencari musuh kalian itu maka Mo-ko maupun Yalu dapat membantu kalian. Namun kalian tak boleh pergi tanpa sepengetahuanku!"

"Baik, kami mengerti, pangeran. Dan kami akan tunduk."

"Kalau begitu sekarang kalian boleh beristirahat. Kamar kalian di belakang." sang pangeran memanggil seorang pengawal, menyuruh pergawal itu menunjukkan kamar dua kakek ini dan tentu saja Mindra maupun Sudra kikuk.

Mereka baru pertama ini bekerja di bawah kekuasaan seseorang, Coa-ongya ternyata melayani mereka dengan cukup baik. Maka ketika mereka disuruh berlstirahat sementara Mo-ko dan dua temannya diam-diam tersenyum aneh, senyum yang sukar ditangkap artinya maka hari itu Mindra maupun Sudra tinggal di istana pangeran ini, mula-mula canggung namun akhirnya biasa juga. Tak lama kemudian sudah ikut berjaga dan melaksanakan tugasnya melindungi istana. Itu adalah pekerjaan mereka. Dan ketika dua kakek itu sudah resmi menjadi pembantu Coa-ongya menggantikan Tiat-kak si Kaki Besi maka Coa-ongya tersenyum di balik kamarnya dan mengangguk-angguk, puas.

* * * * * * *

Beng Tan melepas lelahnya. Setelah dikejar-kejar dan berhasil meninggalkan lawan-lawannya di belakang, yang mengumpat dan mengutuknya habis-habisan pemuda ini melempar pantatnya dl bawah sebuah pohon, duduk menyeka kenngat dan diam-diam tertawa kecut, Dua kakek India yang tak mau sudah dan akhirnya dihajarnya itu membuat pemuda ini tersenyum, geli. Tapi baru dia duduk melepas lelah, setelah sedikit mendongkol oleh kejadian-kejadian yang dialami mendadak terdengar bentakan dan suara makian di sebelah kiri.

"Manusia busuk, berhenti. Serahkan su-moiku (adik seperguruan perempuan)!"

Beng Tan terkejut. Sebuah bayangan berkelebat didepannya disusul sebuah bayangan lain, cepat memasuki hutan dan Beng Tan tertegun. Seorang gadis meronta-ronta dan menangis dipanggul bayangan pertama, seorang kakek penuh cambang dan gimbal-gimbal, penampilannya menyeramkan dan kakek itu terbahak-bahak. Dan ketika bayangan kedua, seorang pemuda mengejar dan memaki-makinya di belakang maka kakek itu lenyap meninggalkan tawanya yang serak parau, berkelebat seperti iblis.

"Ha-ha, tak usah mengejar-ngejar aku, anak setan. Sumoimu ini tak kuapa-apakan justeru hendak kubuat senang. Kau pergilah, atau nanti aku membunuhmu!"

"Keparat, kau iblis terkutuk, Lam-ciat. Lepaskan sumoiku atau kau kubunuh .... singg!" sebatang pedang terlontar dengan amat cepatnya, menyambar di belakang kakek itu namun si kakek keburu menghilang. Pedang menyambar dan berhenti di sebatang pohon, menancap di situ. Dan ketika si pemuda memasuki hutan namun tertegun tak menemukan lawannya, yang ternyata Lam-ciat adanya maka pemuda itu pucat dan memaki-maki.

"Lam-ciat, kau jahanam terkutuk. Keluarlah, atau aku akan terus mengejar-ngejarmu!"

"Ha-ha!" suara si kakek terdengar entah di mana. "Kau keras kepala, anak muda. Kalau begitu lihatlah ini dan rasakan sedikit hajaranku... singg!" pedang yang menancap di pohon mendadak tercabut, meluncur dan sudah menyambar pemuda itu. Dan ketika pemuda ini berteriak keras dan tentu saja menangkis senjatanya sendiri maka dia terpelanting dan terlempar bergulingan.

"Plak!"

Beng Tan terkejut. Sambaran pedang yang membuat si pemuda terpelanting dan bergulingan kaget jelas menunjukkan kelihaian si kakek, yang dipanggil Lam-ciat. Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun sementara si kakek rupanya benar-benar ingin memberikan hajarannya pada pemuda ini tiba-tiba berkelebat sesosok asap hitam yang mengejar pemuda ini, menyambar dan memukul mukanya dan pemuda itu terpekik. Dia menangkis tapi terlempar lagi, dikejar dan asap itu sudah bertubi-tubi menyerang dirinya, muka dan dada dan sibuklah pemuda itu mengelak sambil memaki-maki. Namun ketika dia terlempar lagi dan asap Itu berobah bentuk sebagai bola raksasa maka pemuda ini ditumbuk dan sudah dihantam, disusul ketawa terbahak-bahak dari balik asap atau bola raksasa ini.

"Ha-ha, kau tak tahu diri, bocah. Kau minta dihajar. Baiklah, sekarang aku menghajarmu dan enyahlah kalau tak ingin mampus.... des-dess!" pemuda itu mencelat, terlempar dan mengeluh.

Dan Beng Tan terbelalak. Dengan matanya yang tajam dan kekuatan batinnya yang tinggi pemuda ini dapat melihat bahwa sebenarnya kakek bernama Lam-ciat itu bersembunyi di balik asap hitam atau bola raksasa ini, melancarkan pukulan-pukulannya dan si pemuda tak sanggup menahan, kalah kuat dan kalah lihai. Maka ketika pemuda itu bergulingan mengeluh dihajar jatuh bangun namun terus memaki-maki dan berusaha melakukan perlawanan sebisanya, padahal jelas bukan tandingan kakek itu maka Beng Tan hampir meloncat keluar kalau saja saat itu tidak berkelebat bayangan merah yang mendahuluinya.

"Kakek slluman, kau mampuslah!"

Seberkas cahaya putih menyambar tajam. Lam-ciat yang dibungkus asap hitam-nya dan sesunggunya memang berlindung di balik hoat-sut atau sihir setannya tiba-tiba berteriak keras. Sinar panjang itu menyambarnya dan asap hitam terdengar meledak ketika diserang cahaya putih ini, yang kiranya sebatang pedang di tangan seorang wanita baju merah vang menutupi mukanya dengan sehelai saputangan merah. Tubuhnya menggairahkan dan dapat diduga bahwa wanita ini tentu cantik, karena suaranya nyaring dan merdu. Bentakannya itu mengejutkan tapi lebih mengejutkan lagi gerakan pedangnya itu, yang merupakan sinar berkelebat yang bukan main cepatnya. Dan ketika Lam-ciat berteriak kaget dan harus berjungkir balik menjauhkan diri, ilmu hitamnya otomatis buyar maka gadis di pondongannya yang mengeluh dan roboh tertotok itu tiba-tiba terlepas.

"Ha-ha, dapat emas menemukan permata. Heh, kau siapa, nona? Ada apa menyerangku dan membuat kaget begini? Siapa kau?"

"Hm, keparat busuk. Tak usah banyak bicara, Lam-ciat. Berikan gadis itu dan kau enyahlah, atau pedangku akan menembus jantungmu dan kau roboh!"

"Ha-ha, galak namun gagah! Bagus, kau hebat, nona. Juga sombong tapi menarik sekali. Aku rela memberikan gadis ini namun kau sebagai gantinya!"

"Apa?" mata yang bersinar-sinar di balik topeng itu bercahaya. "Kau minta aku ikut padamu? Hm, kau ternyata kakek iblis yang tidak tahu malu, Lam-ciat. Namamu sudah kudengar dan hari ini aku sudah membuktikannya. Baiklah, aku ikut padamu namun terima dulu pedangku ini... sing!"

Dan cahaya putih yang kembali menyambar dengan amat cepatnya menusuk dada kanan kakek itu disambut seruan keras Lam-ciat yang menggerakkan tangan menangkis, memukul miring pedang dengan tangan kirinya tapi bagian yang tajam menyambut, menyambar dan menabas tangan kakek itu. Bukan main ganasnya, juga cepat dan luar biasa karena masih terus menyambar dada. Gerakan pedang itu tak memberi ampun dan Lam-ciat tentu saja kaget sekali. Dan ketika lengan bajunya robek dan pedang tak mungkin ditangkis kecuali dielak maka kakek ini sudah membanting tubuh bergulingan berteriak parau.

"Haiii..... bret!"

Lam-ciat terkejut bukan main. Dia meloncat bangun namun si wanita baju merah sudah mengejarnya, berkelebat dan membentak nyaring dan kelabakanlah kakek itu mengelak sana-sini, menangkis namun mata pedang yang tajam selalu menyambut tangannya. Melihat desing yang demikiat cepat dan tajam tak berani kakek itu mengadu lengannya, meskipun dia mengandalkan sinkang, kekebalannya. Dan ketika kakek itu harus berloncatan dan sebentar kemudian berkelebatan pula mengimbangi lawan maka wanita baju merah itu menyerang bertubi-tubi sementara si kakek berteriak dan berseru berulang-ulang, dua kali ujung bajunya robek pula.

"Haiii.... celaka, ganas!"

Wanita itu tak perduli. Lam-ciat terus dikejar dan terdesak, tentu saja marah dan lama-lama gusar. Dan ketika sebuah babatan panjang menggurat lengannya dan ternyata sinkang kakek itu tak mampu melindungi kekebalannya maka kakek ini berteriak dan lenyaplah di balik Hoan-eng-sut-nya (Sihir Menukar Bayangan).

"Wut!"

Lawan tertegun. Wanita baju merah itu kehilangan lawannya dan tertegun sejenak, tak tahu di mana Lam-ciat berada namun tiba-tiba si pemuda yang sejak tadi menonton dan dibantu wanita baju merah ini berteriak. Dia melihat Lam-ciat muncul di belakang si wanita dan melepas pukulan, tanpa suara. Namun si wanita yang mendengar kesiur di belakang tubuhnya dan tajam dengan pendengarannya yang tinggi ternyata secepat kilat membalik dan menangkis. "Bret!"

Ujung baju Lam-ciat terpotong sejengkal. Si kakek iblis berteriak kecewa dan menghilang lagi, entah ke mana. Namun ketika si pemuda kembali berseru keras karena melihat kakek itu muncul di sebelah kiri tiba-tiba wanita baju merah itu pun membalik dan menangkis lagi.

"Bret-bret!"

Lam-ciat mengumpat caci. Akhirnya kakek ini marah-marah dan berkelebatan lagi, menghilang ke kiri kanan dan melepas pukulan-pukulannya. Bayangannya menjadi demikian banyak dan dari segala penjuru berkesiur pukulan-pukulan ganas, ada yang kosong tapi tentu pula ada yang isi. Wanita itu bingung dan di sinilah dia kelabakan. Dan ketika satu saat dia menangkis namun mengenai bayangan yang kosong maka satu tamparan sungguh-sungguh dari Lam-ciat mengenai pundak kirinya.

"Dess!"

Wanita itu mengeluh. Dia terbanting dan bergulingan meloncat bangun, Lam-ciat terbahak dan menyerang lagi. Dan ketika iblis itu mempergunakan Hoan-eng-sutnya dan wanita ini bingung karena di balik Hoan-eng-sut kakek itu melepas pukulan-pukulan kosong dan isi maka jatuh bangunlah wanita ini mempertahankan diri, akhirnya memutar pedang secepat kitiran namun kakek itu berhenti menyerang, tertawa-tawa di sana, terkejutlah wanita itu. Dia bisa kehabisan tenaga kalau si kakek tak menyerang, tentu saja menghentikan gerakannya lagi namun si kakek tiba-tiba menyerang, begitu berulang-ulang. Dan ketika hal ini melelahkan wanita itu karena setiap dia memutar pedangnya tiba-tiba Lam-ciat berhenti tapi begitu dia berhenti tiba-tiba kakek itu kembali menyerang maka akhirnya wanita ini terdesak dan memaki-maki, bingung menghadapi Hoan-eng-sut yang memang hebat.

"Ha-ha, tahu rasa kau sekarang, anak manis. Menyerahlah atau kau kurobohkan dan ku telanjangi!"

"Keparat! Kau tak tahu malu mempergunakan ilmu hitammu, Lam-ciat. Kau licik dan curang!"

"Ha-ha, ini Hoan-eng-sut, ilmu ciptaanku yang paling luar biasa. Kau tak dapat mengalahkan aku karena kepandaianku masih lebih tinggi!"

"Keluarlah kau!" wanita itu membentak. "Mari bertempur secara berhadapan, kakek buruk. Kau robohkan aku asal secara jantan!"

"Ha-ha, aku di depanmu. Kaulah yang tak tahu... des!" dan Lam-ciat yang benar-benar muncul sambil melepas pukulannya tiba-tiba membuat wanita baju merah itu terhuyung, tak sempat menangkis atau mengelak karena lawan muncul begitu saja, juga secara tak terduga. Dan ketika wanita itu mengeluh dan terdesak memaki-maki lawannya maka si pemuda yang tadi berdiri menonton tiba-tiba bergerak dan membantu wanita ini, yang sebenarnya bukan lain adalah Hek-yan-pang-cu, ketua Hek-yan-pang.

"Nona, jangan khawatir. Kita keroyok dia berdua!"

Wanita baju merah ini mengerutkan kening. "Siapa minta bantuanmu?" bentakan ini mengejutkan. "Pergilah kau, manusia tolol. Kau lebih-lebih lagi bukan tandingan kakek iblis ini!"

"Tapi kau membantuku!" pemuda ini tertegun. "Dan bukankah kau terdesak?"

"Hm, pergi kataku, pemuda keparat. Aku sama sekali tidak membantumu melainkan semata membantu gadis itu. Kami sama-sama kaum wanita, aku tak senang melihat perbuatan iblis ini dan kau enyahlah, bawa sumoimu itu!"

Pemuda ini mendelong. Dia jadi tak menyangka jawaban itu dan mukanya seketika merah. Dia dimaki dan betapa pedas makian itu. Kalau saja wanita ini datang bukan untuk menolongnya, atau menolong sumoinya itu karena hal ini sama saja baginya mungkin dia sudah membentak dan memaki wanita itu, menerjangnya. Panas dan marah karena dia terhina.

Tapi karena dia sudah ditolong dan diakui atau tidak dia telah dibebaskan dari Lam-ciat maka pemuda ini menggigit bibir dan tiba-tiba teringat sumoinya itu, yang masih menggeletak dan di bawah totokan si kakek iblis. Maka begitu dia teringat dan menghentikan serangannya kepada Lam-ciat, mendengar kakek itu tertawa tiba-tiba pemuda ini melompat keluar dan sudah menolong sumoinya itu, membebaskan totokannya.

"Sumoi, seseorang telah menolongmu. Nah, terserah kau mau pergi atau kita serang si kakek jahanam itu!"

Gadis ini meloncat bangun, langsung mencabut pedang. "Aku tak mau pergi, suheng. Justeru akan membantu tuan penolongku dan kita serang kakek jahanam itu!"

"Nah," si pemuda berseru. "Sumoiku tak mau pergi, nona. Justeru kami akan membalas sakit hati pada kakek iblis ini dan jangan kau marah kepadaku kalau aku menyerang Lam-ciat!" pemuda itu menerjang lagi, berkata bahwa dia bukan membantu wanita itu melainkan membantu sumoinya, yang sudah menyerang dan menerjang Lam-ciat, ada betulnya juga kata-kata ini dan ketua Hek-yan-pang itu tertegun, tak dapat mengusir. Dan ketika suheng dan sumoi itu sudah mengeroyok Lam-ciat tapi si iblis menghilang dan muncul lagi dengan ilmunya yang luar biasa maka Hoan-eng-sut benar-benar merepotkan tiga orang ini karena kakek itu muncul dan menghilang bagai siluman saja.

"Ha-ha, kalian tak dapat mengalahkan aku. Hoan-eng-sut terlampau tangguh buat kalian!"

"Hm, kau memang licik!" wanita baju merah itu membentak. "Ilmu andalanmu hanya Hoan-eng-sut yang berbau ilmu hitam itu, Lam-ciat. Tanpa ini ternyata kau bukan apa-apa!"

"Ha-ha, tak-usah marah. Sekarang aku akan membunuh pemuda ini sementara kalian berdua ikut aku... hargh!" Lam-ciat mengeluarkan seruan panjang, parau dan menyeramkan dan si gadis teman si pemuda tiba-tiba berteriak ketika kakek iblis itu menghilang, berobah bentuk menjadi segumpal asap dan kini asap itu menyambar temannya. Si pemuda terkejut dan tentu saja menggerakkan pedangnya. Tapi ketika senjatanya terpental dan patah bertemu asap hitam ini maka pemuda itu berteriak kaget ketika terangkat tinggi dan terbanting.

"Heiii.... bress!"

Pemuda itu menjerit. Lam-ciat di balik asap hitamnya tertawa bergelak, maju menyambar dan pemuda itupun sudah diterkam, bergulingan mengelak namun sia-sia. Dan ketika Lam-ciat menggeram dan pemuda itu mengeluh maka lengan pemuda ini berkeratak ketika dicengkeram, patah dan Lam-ciat meneruskan gerakannya ke leher. Tengkuk pemuda ini mau dipatahkan juga namun saat itu dua pedang di tangan wanita baju merah dan sumoi pemuda itu berkelebat, menyambar dan membentak si kakek. Dan karena gerakan pedang di tangan Hek-yan-pangcu jauh lebih berbahaya dibanding pedang di tangan sumoi pemuda itu maka Lam-ciat mengelak dan tangan kirinya bergerak menampar dua senjata itu.

"Plak-plakk!"

Sumoi pemuda itu terpelanting. Pedangnya mencelat dan patah pula menjadi tiga, Lam-ciat mengerahkan tenaganya hingga gadis ini tak kuat, terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika gadis itu menjerit dan Lam-ciat menangkis pedang si wanita baju merah, menampar dari samping maka ketua Hek-yang-pang itupun mengeluh dan terhuyung, terbelalak memandang kakek ini yang sudah tertawa bergelak menggerakkan tangan kanannya, siap mencengkeram hancur leher pemuda tawanannya itu. Tapi ketika kakek ini siap membunuh lawan dan melaksanakan ancamannya tiba-tiba Beng Tan yang tak tahan melihat semuanya itu sudah berkelebat keluar membentak si kakek, menendang sebuah kerikil hitam.

"Lam-ciat, kau kakek iblis tak berperasaan. Lepaskan pemuda itu... tak!"

Hantu Selatan ini terpekik. Batu yang ditendang Beng Tan tepat sekali mengenai punggung tangannya, yang saat itu bergerak dan hendak mencengkeram hancur tengkuk lawannya. Maka begitu dia memekik dan melepaskan tawanannya, tergetar mundur maka melayanglah Beng Tan menghantam kakek ini.

"Dess!" Lam-ciat terpelanting. Tak menduga diserang demikian cepat dan luar biasa kakek ini menjerit. Asap hitamnya buyar karena saat itu kakek ini muncul lagi, tak takut memperlihatkan diri karena dia sudah merasa kemenangan bakal diraihnya. Tak tahunya datang pemuda baru ini di mana sambitan atau pukulan Beng Tan dirasa pedih dan panas. Batu hitam yang ditendang Beng Tan tadi hampir saja membuat putus urat di punggung tangan kakek ini, kalau Lam-ciat tak mengerahkan sinkang dan melindungi tangannya. Maka ketika dia mencelat dan terbanting oleh pukulan Beng Tan maka pemuda itu sendiri sudah tegak di hadapannya sementara pemuda yang menjadi suheng dari gadis di sebelah ketua Hek-yan-pang sudah dirampas dan disambar pemuda baju putih ini.

"Sobat, sebaiknya kau mundur. Kakek ini bukan lawan siapa pun dari kalian. Mundur dan biarkan aku yang menghadapinya!"

Pemuda itu dan sumoinya tertegun. Di sana Hek-yan-pangcu juga terkejut dan tertegun, kedatangan Beng Tan yang demikian luar biasa dan mampu membuat Lam-ciat mengaduh dan terlempar bergulingan jelas menunjukkan pemuda itu bukan orang sembarangan. Tapi mendengar pemuda itu menyuruh mereka semua mundur dan akan menghadapi kakek iblis itu sendirian tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini marah dan membentak,

"Kau si mulut besar bicara apa? Kau menyuruh kami semua mundur?"

"Hm, maaf," Beng Tan menenangkan debaran jantungnya beradu pandang dengan mata yang seperti bintang itu. "Aku terpaksa berkata seperti itu, nona. Tapi bukan berarti bermulut besar. Kau dan teman-temanmu tak mungkin menghadapi Hoan-eng-sut."

"Keparat, dan kau bisa?"

"Akan kucoba, nona. Karena aku dapat melihat jelas ke mana saja kakek itu menghilang. Tenaga batin kalian kurang tinggi!"

"Keparat!" namun belum ketua Hek-yan-pang ini bergerak memaki Beng Tan tiba-tiba Lam-ciat di sana sudah meledakkan kedua telapak tangannya, menghilang dan secepat kilat dia menyerang Beng Tan. Semua kata-kata dan sikap pemuda itu membuat kakek ini marah besar. Maka begitu si pemuda bicara dengan ketua Hek-yan-pang itu dan dengan marah serta gusar kakek ini merasa diganggu mendadak dia sudah mempergunakan Hoan-eng-sutnya itu dan lenyap menyerang Beng Tan.

"Awas...!" Yang berteriak ini adalah pemuda di sebelah Beng Tan. Pemuda itu melihat Lam-ciat menghilang dan entah ke mana, tahu kakek itu akan melakukan serangan tapi tak tahu di mana dia bakal menyerang. Inilah hebatnya Hoan-eng-sut. Tapi ketika pemuda itu berteriak dan Beng Tan tersenyum ternyata dengan tenang namun cepat pemuda ini membalik ke kiri.

"Dukk!" Terdengar jeritan Lam-ciat. Hantu Selatan itu rupanya merasa kesakitan, terpental dan tampaklah tubuhnya mencelat ke atas. Kiranya dia tadi menyerang dari atas namun Beng Tan tahu, menangkis terlemparlah kakek itu di udara. Hoan-eng-sut dipatahkan dan kakek itu kelihatan ujudnya.

Namun ketika kakek ini membentak lagi dan berteriak penasaran maka dia sudah menghilang dan menyerang Beng Tan lagi, dari kiri dan kanan dan Beng Tan cepat mendorong mundur pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terbelalak karena Beng Tan dengan mudah mengelak atau menangkis, tahu di mana Lam-ciat berada karena setiap mengelak atau menangkis pasti selalu tepat, dak-duk-dak-duk dan Lam-ciat menjerit berulang-ulang. Dan ketika kakek itu mencoba lagi dan tangannya meledak mengeluarkan segumpal asap hitam maka Beng Tan tiba-tiba membentak kakek itu mengeluarkan Pek-lui-ciangnya, Pukulan Kilat.

"Lam-ciat, kau enyah atau roboh!"

Terdengar raungan kakek ini. Asap hitam meledak ketika bertemu Pukulan Kilat, ambyar dan kakek itu terguling-guling. Tapi ketika Lam-ciat mencoba lagi dan rupanya kakek itu masih penasaran dan marah besar tiba-tiba Beng Tan tak sabar mencabut Pek-jit-kiamnya (Pedang Matahari).

"Crat!" Kakek itu mengaduh. Setelah Beng Tan mengeluarkan Pek-jit-kiamnya dan hanya sekali saja pedang itu keluar dan masuk ke dalam sarungnya ternyata kakek ini sudah terluka. Dadanya tergores panjang dan tentu saja gentarlah kakek itu menghadapi Beng Tan. Dia terbelalak memandang lukanya namun lalu meraung tinggi, meloncat dan terhuyung melarikan diri. Dan ketika kakek itu memaki-maki sementara pemuda yang ditolong Beng Tan tampak kagum dan mendelong, seperti juga temannya dan ketua Walet Hitam maka Beng Tan tertawa dan berseru pada lawannya yang sudah melarikan diri itu,

"Nah, lain kali jangan coba-coba nekat lagi, kakek buruk. Atau kepalamu terpenggal dan lehermu putus!"

Pemuda di sebelah Beng Tan dan sumoinya takjub. Mereka itu melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja Beng Tan telah berhasil mengusir Lam-ciat, padahal dikeroyok tiga kakek itu masih saja lebih unggul. Maka begitu si kakek iblis melarikan diri dan Beng Tan tertawa mengiringi lawannya maka pemuda ini menjura dan sudah berseru di depan Beng Tan,

"Aih, luar biasa sekali, in-kong (tuan penolong). Ilmumu hebat dan mentakjubkan sekali. Aku Liong Ma menghaturkan terima kasih bahwa kau telah menyelamatkan jiwaku!"

"Benar, dan aku juga, in-kong. Aku Liong Hwi mengucapkan banyak terima kasih!"

"Eh-eh!" Beng Tan terkejut. "Yang menolong pertama kali adalah Ang-siocia (nona baju merah) ini, sobat-sobat. Aku hanya datang belakangan dan kebetulan saja mengusir kakek itu!"

"Benar, akupun akan berterima kasih padanya." dan Liong Hwi yang membungkuk dan merangkapkan tangan di depan ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu mengucap terima kasih. "Cici, kau pun hebat. Aku Liong Hwi menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Budi baikmu terus terang tak dapat kubalas, semoga Tuhan yang membalas kebaikanmu!"

"Hm!" wanita ini tiba-tiba berkelebat pergi. "Yang menolong kalian adalah pemuda itu, Liong Hwi. Tanpa diapun barangkali aku mampus. Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih dan biar aku pergi!"

Liong Hwi tertegun. Dia terbelalak mengerutkan kening dan temannya pun berseru tertahan. Mereka bermaksud mencegah namun orang sudah lenyap di luar hutan. Dan ketika mereka melenggong dan tak dapat bicara mendadak Beng Tan yang ada di sebelah kanan mereka pun lenyap berkelebat.

"Ha-ha, betul, Liong Hwi. Terima kasih tak perlu diucapkan karena akupun tak bermaksud meminta terima kasih. Sudahlah, kalian kembali dan hati-hati jangan sampai ketemu lagi dengan kakek iblis itu!"

"In-kong...!"

Namun Beng Tan lenyap. Pemuda ini, seperti juga ketua Hek-yan-pang yang belum dikenalnya itu hanya ingin menolong dua muda-mudi ini dari keganasan Lam-ciat. Hantu Selatan itu berhasil diusir dan tentu saja Beng Tan lega. Dalam menyaksikan jalannya pertandingan tadi Beng Tan melihat bahwa sebenarnya wanita baju merah itu lihai, cukup lihai namun sayang menghadapi ilmu hitam macam Hoan eng-sut jadi terdesak, kewalahan karena tak memiliki tenaga batin yang tinggi, meskipun mungkin saja sinkangnya hebat.

Dan karena menghadapi ilmu-ilmu hitam macam Hoan-eng-sut itu orang harus memiliki tenaga batin yang tinggi karena dengan tenaga batin begini akan mampu melihat ke mana lawan menghilang, seperti apa yang dilakukan kakek iblis itu maka semua ilmu silat atau sejenisnya tak dapat dipakai menghadapi Hoan-eng-sut kecuali harus dihadapi dengan ilmu atau tenaga batin pula. Dan itu dipunyai Beng Tan, yang telah membuktikannya tadi. Dan karena pemuda ini juga memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi, seperti Pek-lui-ciang yang telah membuat gentar lawannya maka Lam-ciat semakin ketakutan melihat Beng Tan memiliki pula Pek-jit-kiam, Pedang Matahari yang demikian tajam hingga dari jauh saja dadanya tergores luka.

Liong Hwi dan Liong Ma tak tahu bagaimana caranya pedang itu bekerja, kecuali wanita baju merah atau ketua Hek-yan-pang itu, yang tentu saja diam-diam terkejut dan membandingkannya dengan Golok Maut, senjata yang dipunyai Giam-to atau Si Golok Maut. Dan ketika dia terkejut dan hanya wanita inilah yang melihat betapa angin pedang sudah mampu melukai dada si Hantu Selatan dan betapa tanpa menyentuh mata pedang itu sudah berhasil membuat Lam-ciat ketakutan diam-diam wanita ini kagum dan terkesiap.

Namun Hek-yan-pangcu ini sudah berkelebat pergi. Sebenarnya kemarahan memang tersimpan di dada wanita itu, bukan apa-apa, melainkan semata oleh rasa malunya bahwa dia tak dapat mengalahkan si Hantu Selatan sementara Beng Tan bisa. Itu saja. Maka ketika ini semua masih ditambahi secara tak sengaja oleh Liong Hwi dan Liong Ma yang lebih dulu mengucap terima kasih kepada Beng Tan bukan kepada dirinya maka wanita ini semakin mendongkol dan marah. Dan kita tahu, akhirnya wanita itu pergi, disusul Beng Tan dan tentu saja pemuda ini tahu kemarahan orang.

Beng Tan yang berkelebat meninggalkan Liong Hwi dan Liong Ma sebenarnya ingin mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya wanita bersaputangan merah itu, yang matanya bersinar-sinar bagai bintang kejora namun apinya bagai besi terbakar. Panas dan tajam menusuk! Teringat bola mata itu Beng Tan tergetar, hatinya berdebar dan ada semacam perasaan aneh menyelinap di jiwanya, entah apa. Dan ketika siang itu Beng Tan berkelebat pergi dan diam-diam merasa sayang kenapa wanita baju merah yang menarik hatinya itu pergi mendahului mendadak saja dia tercekat ketika sambil melamun, jauh meninggalkan hutan pertama dia dicegat wanita ini, tanpa disangka-sangka!

"Pemuda sombong, berhenti sebentar. Kebetulan aku ingin bicara!"

"Lho?" Beng Tan tertegun. "Kau di sini, nona? Belum pergi? Ah, kebetulan, aku juga ingin mencarimu!" dan Beng Tan yang tidak berprasangka buruk dan sudah meloncat dan berseri-seri memandang wanita ini lalu menjura, menyambung, "Nona, maaf kalau tadi aku menerima ucapan dua suheng dan sumoi itu. Mereka lupa, dan terus terang aku kikuk!"

"Hm, tak usah pura-pura!" bentakan itu mengejutkan. "Kikuk atau tidak yang jelas kau telah menghina aku, manusia sombong. Dan kini aku menuntut agar kau minta maaf dan berlutut di depan kakiku!"

"Apa?" Beng Tan terkejut. "Aku menghina dirimu? Berlutut dan minta maaf? Eh-eh, minta maaf mau saja, nona. Tapi berlutut nanti dulu. Hanya terhadap kaisar saja orang boleh berlutut, selebihnya lihat-lihat dulu!"

"Hm, sudah kuduga. Kau memang sombong dan banyak tingkah! Baiklah, cabut pedangmu, manusia sombong. Dan aku menantangmu bertanding... srat!"

Beng Tan tertegun, melihat wanita itu sudah mencabut pedangnya dan mata yang bersinar-sinar di balik kedok itu mengeluarkan apinya yang membuat pemuda ini surut mundur, tergetar dan tentu saja kaget. Dan ketika ujung pedang sudah digetarkan tiga kali namun Beng Tan tak mencabut pedangnya, sesuai perintah, mendadak saja lawan telah melekatkan ujung pedangnya di batang tenggorokannya.

"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!"

"Nanti dulu!" Beng Tan terkesiap, mendorong ujung pedang itu. "Perlahan dulu, nona. Tiada hujan tiada angin kau memusuhiku. Eh! Apa salahku? Apa yang telah kuperbuat?"

"Hm, tak usah banyak tanya, pemuda sombong. Kau telah memamerkan ilmu pedangmu yang hebat itu dan terus terang aku gatal ingin mencoba. Tanpa bersalahpun aku tetap ingin menghadang, menjajal kepandaianmu!"

"Lho-lho... kenapa begini? Bukankah aku justeru menolongmu dari Lam-ciat? Eh!" Beng Tan semakin terbelalak. "Jangan memusuhi orang tanpa sebab, nona. Aku tak suka dan terus terang tak ingin bermusuhan denganmu. Justeru aku ingin tahu siapakah kau dan bolehkah kita berkenalan!"

"Hm, berkenalan hidungmu!" hidung yang mancung itu tiba-tiba mendengus. "Kiranya kau pemuda ceriwis, bocah sombong. Kalau begitu untuk alasan ini saja sudah cukup aku memusuhi mu. Cabut pedangmu atau kau mampus.... singg!" dan pedang yang bergerak luar biasa cepatnya tanpa memberi tahu lagi tiba-tiba sudah menusuk ke dada Beng Tan, mendesing dan untuk kesekian kalinya Beng Tan melihat bahwa wanita ini sebenarnya memang bukan wanita sembarangan. Pedang bergerak dan sudah menusuk dirinya dengan cepat, seperti kilat menyambar. Dan karena Beng Tan tentu saja tak mau ditusuk dan dadanya berlubang sia-sia maka pemuda ini mengelak namun pedang dengan ganas dan cepat mengejar larinya.

"Plak!"

Beng Tan berseru keras. Pedang sudah ditangkis namun terpental membalik, bagai per atau pegas saja sudah meluncur lagi dari atas ke bawah menusuk ubun-ubunnya. Gagal menyambar dada kini menyambar kepala. Bukan main! Dan ketika Beng Tan menjadi marah dan berkelit menghindar maka lawan berseru dan mengejarnya lagi, membentak agar dia mencabut pedangnya atau mampus, bentakan yang disertai pandangan berkilat dan penuh nafsu membunuh, hal yang membuat pemuda ini bergidik. Dan ketika Beng Tan dipaksa berlompatan dan akhirnya berkelebatan mengimbangi lawan maka pedang sudah berseliweran dan naik turun menyambar-nyambar dirinya.

"Manusia sombong, cabut pedangmu. Atau kau mampus!"

Beng Tan terbelalak. Lawan mempercepat gerakannya dan terpaksa dia pun mempercepat gerakannya. Ilmu meringankan tubuh dikeluarkan pemuda ini dan beterbanganlah pemuda itu menghindari serangan-serangan lawan. Tapi ketika lawan juga melengking tinggi dan mengeluarkan ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya pula maka Beng Tan tak dapat mengelak dan harus menangkis atau membalas.

"Plak-plak!"

Lawan berseru marah. Pedang ditampar miring dan Beng Tan mendapat kenyataan bahwa tenaga lawan cukup hebat, untung dia masih lebih hebat dan tertolaklah pedang ke kiri atau kanan. Dan ketika lawan menyerang lagi dan kian sengit menggerakkan pedangnya maka Beng Tan mengeluarkan Pukulan Kilat nya dan apa boleh buat harus membalas atau memukul pedang.

"Nona, kau hebat. Tapi aku tak mau terbunuh!" dan Beng Tan yang membentak menggerakkan tangannya akhirnya berkelebatan menampar atau menangkis, membalas dengan pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya dan lawan terpekik. Ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah ini terkejut, setiap tamparan atau pukulan Beng Tan menyengat lengannya, melalui badan pedang. Dan ketika wanita itu terhuyung dan sering mengeluh, karena tergetar dan merasa kesetrom maka Beng Tan di sana berseru agar lawan berhenti menyerang.

"Jangan menyerang lagi. Simpan pedangmu, nona. Dan kita bersahabat!"

"Hm, aku tak mau bersahabat!" wanita itu membentak. "Kaubunuh aku atau aku yang membunuhmu, manusia sombong. Atau kau cabut pedangmu dan perlihatkan ilmu pedangmu itu!"

"Aku tak suka berkelahi...."

"Aku yang menantangmu! Ah, kau terlalu banyak mulut!" dan wanita itu yang memotong serta menyerang lagi tiba-tiba memekik dan berkelebat menusuk perut Beng Tan, dikelit tapi pedang meliuk dari kanan ke kiri, cepat dan luar biasa hingga Beng Tan terkejut. Dan ketika pemuda itu berseru keras dan marah melihat kebandelan lawan maka dia bermaksud untuk melepaskan pedang wanita ini dari tangan pemiliknya.

"Plakk!"

Tamparan atau tangkisan Beng Tan ini keras. Wanita itu menjerit dan pedangnya benar-benar terlepas, mencelat dari tangan kanannya. Tapi ketika wanita itu berjungkir balik dan menggerakkan tangan kirinya ternyata pedang telah dipegang dan menyerang lagi dengan ganas.

"Hebat, kau luar biasa, nona. Ilmu pedangmu sebenarnya hebat!"

"Tak usah memuji!" wanita itu marah. "Kau berlutut dan minta ampun atau aku terus menyerangmu mati-matian, manusia sombong. Atau kaubunuh aku dan aku siap bertempur sampai titik darah penghabisan!"

"Ah, kau keras kepala...!" dan Beng Tan yang bingung menangkis lagi lalu menambah tenaganya hingga lawannya terpekik, pedang mencelat namun lagi-lagi disambar oleh tangan yang lain. Hal ini terjadi empat lima kali hingga Beng Tan kagum, sebenarnya melihat bahwa lawannya itu mendesis kesakitan, telapaknya mulai lecet, pecah-pecah. Dan ketika pemuda ini bingung harus menyudahi pertempuran dengan cara bagaimana mendadak terdengar geram dan bentakan seseorang,

"Pangcu, kau diganggu siluman sombong ini? Mundurlah, biar aku yang menghadapi... siut-dess!"

Dan Beng Tan yang mencelat oleh sebuah tendangan tiba-tiba berseru kaget oleh datangnya serangan yang luar biasa cepat ini, melihat seorang pemuda atau laki-laki bercaping muncul di situ, membantu wanita baju merah ini yang sudah terdesak oleh tangkisan-tangkisan Beng Tan. Hanya berkat kekerasan dan kemarahan hatinya saja wanita ini kuat bertahan, padahal telapak tangannya sudah lecet-lecet berdarah. Dan ketika bayangan atau laki-laki bercaping itu muncul dan berkelebat dengan sebuah tendangan melayang maka Beng Tan terguling-guling dan terlempar dengan kaget.

"Golok Maut....!"

Yang mengeluarkan seruan itu adalah ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah ini. Beng Tan di sana sudah bergulingan meloncat bangun dan terkejut mendengar seruan itu. Dan ketika Golok Maut, laki-laki gagah bercaping ini berdiri tegak di hadapan Beng Tan maka Beng Tan melongo melihat wanita baju merah itu terisak dan menangis melaporkan kejadiannya, seperti seorang pacar melaporkan kekurangajaran pemuda lain kepada kekasihnya,

"Golok Maut, bunuh pemuda ini. Dia... dia menggangguku....!"

"Hm!" Golok Maut, laki-laki itu mengangguk. "Aku sudah menduganya demikian, pangcu. Tapi tak usah kau khawatir. Mundurlah, aku yang menghadapinya, laki-laki dengan laki-laki!" dan sementara Beng Tan bengong dan kaget melihat semuanya itu maka Golok Maut sudah melangkah mendekatinya dengan mata berapi-api, sedikit tengadah namun wajah di balik caping bambu itu masih tersembunyi baik.

"Orang kurang ajar, apa yang kau lakukan terhadap ketua Hek-yan-pang ini? Tak malu kau bahwa sebagai seorang laki-laki kau mengganggu seorang wanita? Hm, kau harus diberi adat, manusia busuk. Aku akan menghajarmu atau kau cepat berlutut minta ampun!"

Beng Tan tertegun. "Kau Golok Maut?"

"Perlukah aku memperkenalkan diri?" suara ini dingin, menyeramkan. "Kau sudah menyebutnya, manusia sombong. Dan sekarang mintalah ampun atau kau menerima hukuman!"

"Nanti dulu!" Beng Tan mundur, mencelat ke belakang, melihat lawan hendak menyerang. "Aku tak melakukan apa-apa, Golok Maut. Dan justeru baru sekarang aku tahu bahwa yang kuhadapi itu adalah seorang pangcu (ketua). Tunggu, siapa dia dan tanyakan dulu gangguan apakah yang kulakukan kepada temanmu itu!"

Golok Maut tertegun. "Pangcu," katanya menoleh. "Benarkah pemuda ini tak melakukan apa-apa kepadamu? Bagaimana perkelahian ini terjadi?"

"Kenapa kau banyak bicara? Serang dan bunuh saja pemuda itu, Golok Maut. Kalau dia tak menggangguku tak mungkin aku menyerangnya. Dia sombong, menghina diriku. Nah, jangan bertanya dan serang dia!"

"Nanti dulu!" Beng Tan mundur lagi. Semakin terkejut. "Jangan menyerang kalau tidak mengetahui duduk persoalannya, Golok Maut. Aku Ju Beng Tan tak takut kepadamu tapi jangan menyerang membabi buta. Aku kebetulan mencarimu, tak mungkin akan menyingkir dan justeru gembira. Kau sebutkanlah siapa wanita ini dan kenapa beberapa waktu yang lalu kau mengobrak-abrik istana!"

"Hm, kau siapa? Kenapa bertanya tentang ini? Dia adalah Hek-yan-pangcu, orang she Ju. Dan aku membantunya karena dia sahabatku!"

"Eh, dia ketua Walet Hitam? Dan aku.... aku..."

"Benar, kau telah memusuhinya. Dan karena dia sahabatku maka berarti kau musuhku pula. Bersiaplah, aku ingin menghajarmu!"

"Nanti dulu...!" namun Si Golok Maut yang mendengus dan membentak ke depan tiba-tiba bergerak dan telah melakukan tamparannya, berkelebat dan sudah menyerang dengan cepat. Beng Tan berdetak dan tergetar. Orang yang dicari-cari tiba-tiba ada di depan hidungnya, muncul begitu saja! Maka begitu lawan menyerang dan rupanya tidak mau banyak cakap lagi tiba-tiba Beng Tan pun menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukk!"

Dua orang itu mencelat. Baik Golok Maut maupun Beng Tan sama-sama terpental, masing-masing berseru kaget dan berjungkir balik. Beng Tan merasa betapa sinkang yang amat kuatnya menghantam dirinya, ditahan namun dia terpental juga. Dan ketika pemuda ini mengeluarkan teriakan kaget sementara Golok Maut juga tersentak dan berseru tertahan maka tokoh bercaping itu berjungkir balik dan terbelalak memandang Beng Tan, tidak banyak cakap dan tiba-tiba menerjang lagi, tangan kiri mendorong dan serangkum angin kuat menghantam lawannya ini. Tapi ketika Beng Tan penasaran dan ingin menjajal lagi maka untuk kedua kalinya pemuda itu pun menangkis.

"Duk-dukk!"

Dua orang ini lagi-lagi terpental. Beng Tan dan lawannya kembali sama-sama berseru keras, mereka terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka sama kuat, satu sama lain berimbang dan tentu saja mereka terbelalak. Kekaguman tak dapat disembunyikan lagi namun Golok Maut melengking lagi, berkelebatan dan sudah menyerang lawannya dengan gencar.

Dan ketika Beng Tan mengimbangi cepat dan berkelebatan menangkis atau mengelak maka keduanya sudah bertempur dan bertanding seru, mula-mula masih kelihatan namun akhirnya lenyap, masing-masing sudah berobah menjadi bayangan putih dan hitam. Golok Maut mengenakan baju hitam dan kontras sekali bayangan keduanya itu. Dan ketika suara "dak-duk" terdengar berulang-ulang dan masing-masing terpental tapi selalu serang-menyerang lagi maka ketua Hek-yan-pang atau wanita baju merah itu terbelalak.

Sebenarnya, kedatangan Golok Maut menggembirakan hatinya. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa girang, berseru dan tadi melaporkan kejadian itu dengan sikap seorang kekasih kepada pacarnya. Aneh sekali, wanita ini berseri-seri dan tentu saja hanya Golok Maut atau mereka berdua yang tahu semuanya itu, kegembiraan atau kebahagiaan kedua belah pihak begitu masing-masing bertemu. Ketua Hek-yan-pang ini bersinar-sinar dan bercahaya mukanya, menonton jalannya pertandingan dan berulang-ulang dia mengeluarkan seruan kaget pula, ketika Golok Maut atau lawannya terpental.

Dan ketika di sana Beng Tan menjadi gemas dan marah karena Golok Maut membela wanita baju merah itu tanpa menanya duduk persoalannya dengan baik, padahal jelas wanita itulah yang mencari masalah dan menyerangnya dulu maka Beng Tan melayani dan mengimbangi lawannya ini, terkejut dan kagum karena Golok Maut ternyata hebat. Masing-masing belum mengeluarkan senjatanya karena masing-masing ingin mengadu kepalan dulu, pertandingan tangan kosong di mana pukulan sinkang atau getaran Iweekang (tenaga dalam) silih berganti dikeluarkan.

Masing-masing mendapat kenyataan bahwa baik Iweekang ataupun sinkang (tenaga sakti) boleh dikata berimbang, tak ada yang unggul atau asor (kalah). Dan ketika pertandingan berjalan semakin seru karena masing-masing kian mempercepat gerakan untuk mendahului yang lain maka Golok Maut mengeluarkan satu bentakan keras di mana tangan kirinya tiba-tiba menyambar dalam satu gerak memutar. "Dess!"

Beng Tan tak menduga. Pemuda ini terkena dan terpelanting, tidak apa-apa namun mendesis kesakitan. Pundaknya yang kena pukulan cukup pedas dan linu, kalau dia tidak mengerahkan sinkangnya barangkali tulang pundaknya bisa patah. Gerakan memutar tadi sungguh mengecohnya. Namun ketika Golok Maut menyerang dan melakukan gerakan serupa, kini dengan tangan kanannya tiba-tiba Beng Tan meliuk dan berkelebat di bawah ketiak lawan.

"Dess!"

Kali ini Golok Maut yang terbanting. Dengan dengan gerak tipu Kilat Melingkari Matahari pemuda ini ganti mengecoh lawan, menyelinap dan keluarlah pukulan Pek-lui-ciangnya. Namun ketika Golok Maut bangkit terhuyung dan tidak apa-apa maka Beng Tan kagum dan berseru memuji lawan,

"Hebat, kau luar biasa, Golok Maut. Mengagumkan!"

"Hm, kaupun juga hebat. Tak perlu memuji, orang she Ju. Kita masih berimbang dan belum ada yang kalah atau menang!"

"Tapi aku akan menundukkanmu. Kau cukup ganas dan telengas di luar!"

"Hm!" dan Golok Maut yang tidak menjawab karena sudah menghadapi serangan-serangan lawan lalu dibalas dan menerima pukulan-pukulan Pek-lui-ciang, Pukulan Kilat, melihat sinar berkeredep dan menyambar dari kedua tangan lawannya, mengelak dan menangkis dan terdengarlah ledakan ketika pukulan-pukulan mereka bertemu. Dan ketika semuanya itu kembali ditonton dan membuat kagum ketua Hek-yan-pang maka wanita baju merah ini memuji berulang-ulang.

"Hebat, tapi jangan mundur, Golok Maut. Maju dan hadapi kembali lawanmu itu. Robohkan dia!"

Ini adalah spirit bagi Golok Maut. Beng Tan mengejek namun tidak gentar, untuk sementara mereka masih berimbang. Tapi ketika Golok Maut mendesak dan menambah tenaganya, hingga Pek-lui-ciang yang biasanya hebat itu tertolak dan membuat Beng Tan terhuyung maka satu ancaman lawan membuat Beng Tan mengerutkan keningnya.

"Orang she Ju, kau hebat. Tapi aku harus merobohkanmu. Menyerahlah atau aku terpaksa mencabut senjata!"

"Hm, aku tak takut!" Beng Tan berdebar, mendengar lawan akan mencabut goloknya yang ampuh itu. "Kau boleh cabut senjatamu, Golok Maut. Dan lihat apakah benar kau dapat merobohkan aku!"

"Aku akan mencabutnya, tapi cabut pula pedang di balik punggungmu itu!"

"Hm, kau tahu?"

"Kita sama-sama bermata, orang she Ju. Jangan berlagak dan pura-pura pilon. Cabutlah pedangmu, dan aku akan mencabut golokku!"

Beng Tan berbinar matanya. Kalau Golok Maut berkata seperti itu maka harus diakuinya bahwa lawan sebenarnya gagah, tak ingin mendahului dan menyerang lawan yang bertangan kosong. Golok Maut tak mau mempergunakan senjata kalau dia tidak bersenjata. Perasaan simpatik tiba-tiba timbul dan Beng Tan tersenyum memandang lawannya itu. Dan ketika lawan menambah tenaganya menangkis pukulannya maka Beng Tan berseru keras menambah tenaganya pula.

"Golok Maut, kau bukan manusia licik. Baiklah, siapa pun boleh mempergunakan senjatanya lebih dulu kalau dia menghendaki.... dess!" Beng Tan mengerahkan sinkangnya, terpental namun di sana Golok Maut juga terlempar. Kali ini keduanya terbanting dan bergulingan di tanah, mengeluh. Namun ketika mereka melompat bangun dan terhuyung memandang lawan maka Golok Maut menggeram,

"Baiklah, kalau begitu kita lihat!" dan satu bentakan kuat yang menggetarkan tempat itu tiba-tiba disusul dengan lenyapnya Si Golok Maut itu.

Beng Tan melihat lawan menjejakkan kakinya, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menyambarnya dari atas. Gerakan meluncur dan terbang seperti burung telah ditunjukkan lawannya ini, Beng Tan terkesiap. Dan ketika dia mengelak namun serangkum angin dingin menyambar belakang punggungnya tiba-tiba saja sebuah totokan dan cengkeraman cepat menyambar dirinya.

"Bret-plak!"

Beng Tan kaget bukan main. Ternyata setelah dekat pemuda ini tahu bahwa Golok Maut hendak merampas pedangnya, yang disembunyikan di punggung. Dan karena gerakan ini disembunyikan di balik totokan lihai di mana jari tangan lawanya itu berkesiur di atas kepala maka secepat kilat Beng Tan membanting tubuh bergulingan dan melepas totokan pula, ke mata lawan.

"Crit-dess!"

Gebrakan ini ganti mengejutkan Golok Maut. Beng Tan menusuk matanya dengan gerakan mengadu jiwa, saat itu tangannya sudah bergerak merampas pedang lawan di belakang punggung, menarik dan pedang tertarik dari sarungnya. Tapi begitu lawan menusuk matanya dan tentu saja Golok Maut melempar kepala ke kiri tiba-tiba tanpa diduga totokan itu lewat di belakang punggungnya dan... golok yang tersimpan di belakang dirampas dan tertarik keluar dari sarungnya. "Srat...!"