Golok Maut Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Jilid 10 Karya Batara
Sonny Ogawa
GOLOK MAUT
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"COA-ONGYA, lihat bukti dariku... crakk!" sepotong lengan terlempar di udara, mengerikan dengan semprotan darahnya yang menyembur ke mana-mana. Semua orang menoleh dan terbelalak melihat apa yang terjadi. Dan ketika pemilik lengan itu terhuyung dan roboh ke tanah maka gemparlah semua orang melihat siapa yang melakukan itu.

"Kwi Bun!" sesosok bayangan berkelebat, muncul meneriakkan kata-katanya ini. Seorang laki-laki tinggi besar muncul, itulah Kwi-goanswe alias ayah Kwi Bun. Dan ketika semua orang terkejut dan terpana oleh kejadian itu maka Kwi Bun sudah ditubruk ayahnya dan jenderal itu menangis dan membentak.

"Kwi Bun, apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak waras?"

"Ooh..!" Kwi Bun mengeluh, merintih. "Aku... aku ingin membuktikan pada Coa-ongya bahwa aku tak bersalah, ayah. Gadis siluman itu memfitnahku dan membuat aku celaka. Tolonglah, bunuh dia dan balas sakit hatiku...!"

"Siapa yang kau maksud? Miao In?"

"Benar... dia... dia, ayah... Dia membuatku begini dan kau bunuhlah dia..."

"Wut!" sang jenderal sudah membalik, menyambar senjatanya. "Keparat jahanam kau, Miao In. Kau mencelakakan puteraku dan bayar kutungan sebelah lengan ini!" sang jenderal menerjang.

Miao In ternyata tak berani mengutungi lengannya dan sejak tadi ngeri memandang lengan Kwi Bun yang buntung di atas tanah. Lengan itu penuh darah dan menggeliat-geliat, mengerikan sekali. Tapi ketika Kwi-goanswe menyerang dan jelas kemarahan besar melanda jenderal itu maka gadis ini cepat mengelak.

"Singg..!" pedang menyambar di sisi tubuhnya, luput dan Kwi-goanswe sudah menyerang lagi, membentak marah. Dan ketika gadis itu berlompatan namun di Sana Coa-ongya tersenyum dan mengangguk-angguk maka pangeran ini tiba-tiba memerintahkan agar menangkap gadis itu.

"Keroyok dia, tangkap!"

Yin-goanswe mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba jenderal ini melompat ke tengah, sepuluh anak buahnya juga bergerak dan segera mengeluarkan bentakan. Dan ketika Kwi-goanswe dibantu dan tentu saja Miao In terkejut maka gadis ini berteriak ketika pedang di tangan Kwi-goanswe akhirnya mengenai pundaknya, menggurat panjang dan tombak-golok di tangan Yin-goanswe akhirnya juga menusuk pinggangnya. Dan ketika dari mana-mana senjata yang lain juga menyambar dan berkelebatan maka gadis ini akhirnya roboh ketika tikaman buas dari Kwi-goanswe membabat tengkuknya.

"Jangan bunuh, tangkap saja!"

Kwi-goanswe kiranya masih turut perintah. Pedang yang sedianya menyerang leher tiba-tiba diturunkan sedikit, mengenai punggung dan robohlah gadis itu. Miao In menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi. Tendangan dari Yin-goanswe juga membuatnya merintih karena tulang pahanya patah. Dan ketika gadis itu menangis dan meratap minta ampun maka Coa-ongya tiba-tiba tertawa bergelak menghampirinya dengan golok di tangan.

"Ha-ha, kau minta hukuman apa sekarang, Miao In? Minta dibunun atau disiksa?"

"Tidak... tidak...!" gadis itu tersedu-sedu. "Ampunkan aku, pangeran. Aku.. aku bertobat dan berjanji akan melayanimu baik-baik...!"

"Ha-ha, setelah terbongkar semuanya ini? Hm, tidak, Aku sekarang tahu siapa benar siapa salah, Miao In. Kau patut dihukum siksa!"

"Paduka mau apa?"

"Kau minta apa?"

"Ampunkan aku, ongya. Atau kau bunuhlah aku!"

"Ha-ha, gampang. Aku ingin mengutungi kedua lenganmu, Miao In. Ingin kulihat bagaimana seorang gadis bakal cacad seumur hidup!"

"Tidak... tidak..!" Miao In berteriak. "Kau bunuhlah aku, pangeran. Kau bunuhlah aku dan kuterima kematianku!"

"Hm, begitu enak?" Coa-ongya tertawa dingin. "Sebaiknya kutanyakan adikku, Miao In. Hukuman apa yang sepantasnya kau terima lebih dulu!"

"Berikan dia pada pengawal!" Ci-ongya tiba-tiba berseru. "Hadiahkan gadis ini kepada mereka, kanda. Hitung-hitung sebagai jasa mereka membantu kita!"

"Ha-ha, begitukah?" Coa-ongya tertawa bergelak, memandang seratus pengawalnya. "Bagaimanakah, pengawal, kalian mau menikmati gadis ini? Siapa yang mau harap menudingkan jarinya, dan gadis ini dapat diundi!"

Para pengawal tiba-tiba berteriak gembira. Mereka saling mengangkat jarinya dan dahulu-mendahului. Miao In pucat dan tentu saja mengeluh. Dan ketika semuanya rata-rata menginginkan dirinya dan Coa-ongya tertawa maka seorang yang paling buruk dipanggil.

"Kau ke sini," katanya. "Dan telanjangi gadis ini di depan teman-temanmu!"

Laki-laki itu girang. Dia adalah pengawal bermuka jelek, giginya keropos dan liurnya belum apa-apa sudah menetes-netes. Miao In ngeri melihat laki-laki ini, mau menolak tapi tak berdaya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan sudah merenggut bajunya maka suara "brat-bret" diiring pekik dan jerit Miao In, tak lama kemudian sudah telanjang dan gadis itu berdiri di depan seratus pengawal. Miao In benar-benar mengalami hinaan hebat yang tidak terobati lagi, Dan ketika Coa-ongya sudah mengadakan undian dan kebetulan laki-laki itu menjadi orang nomor satu maka di depan mata demikian banyak orang gadis cantik ini digarap.

Coa-ongya memerintahkan agar yang mau tak usah membawa gadis itu ke semak-semak, terlalu lama dan biar yang lain menonton. Dan karena semuanya kebetulan laki-laki kejam dan berwatak kotor maka Miao In menjadi permainan namun baru sepuluh orang menggarapnya tiba-tiba gadis ini pingsan. Tak kuat menahan pedih dan malu gadis itu tiba-tiba tak sadarkan diri, Coa-ongya akhirnya jengkel dan menyuruh yang lain beramai-ramai menggagahi gadis itu, dalam keadaan pingsan.

Dan ketika gadis itu menjadi tak keruan dan kekejaman Coa-ongya sungguh di luar batas akhirnya gadis ini dibuntungi kedua lengannya setelah pingsan dan siuman berkali-kali. Lalu tak puas oleh semuanya itu pangeran ini masih membuntungi lagi sebuah kaki gadis ini. Dan ketika Miao In tak sadarkan diri dan tentu saja tersiksa akhirnya gadis ini tewas dan mayatnya ditendang begitu saja.

"Hei, pemuda ini masih di sini!" Coa-ongya terkejut, melihat Sin Hauw masih di situ dengan muka berubah-ubah.

Semenjak tadi pemuda ini menonton saja apa yang terjadi, jiwanya terguncang namun Sin Hauw tak berbuat apa-apa. Pemuda itu seakan dibawa ke sebuah mimpi buruk. Perkosaan dan kekejian yang dilihat di depan matanya itu hebat sekali, sayang dia kehilangan ingatan. Dan ketika Coa-ongya tertegun dan berseru perlahan tiba-tiba pangeran ini tertawa dan melangkah lebar menghampiri pemuda itu.

"Ha-ha, kaupun menjadi pemuda yang sudah tidak berguna, Sin Hauw. Sebaiknya kau mampus dan menyusul gadis itu!"

Sin Hauw tetap saja terbelalak. Pemuda ini seakan patung yang tidak bernyawa, diam saja ketika pangeran itu mengangkat goloknya. Golok Maut telah bergetar dan dibolak-balik oleh pangeran ini, golok itu pula yang telah membuntungi kedua lengan dan kaki Miao In, yang tersiksa secara mengerikan. Tapi ketika pangeran itu tertawa dan menggerakkan goloknya ke leher Sin Hauw tiba-tiba berkesiur angin halus dan sebuah suara lembut bergetar menahan bacokan itu,

"Thian Yang Maha Agung! Kau terlalu, Coa-ongya. Sungguh keji dan ganas watakmu. Tahan, bocah ini tak boleh dibunuh..!" golok itu tiba-tiba terlepas, sesosok bayangan bertiup dan entah bagaimana tiba-tiba pangeran ini terpelanting.

Coa-ongya kaget ketika sesosok asap, begitu kelihatannya, muncul seperti hantu, berseru dan tahu-tahu diapun terlempar. Golok Maut yang ada di tangannya terlepas, sudah berpindah tangan, tahu-tahu di tangan bayangan itu, yang ternyata seorang kakek yang wajahnya tertutup halimun. Dan ketika Coa-ongya terguling-guling dan tentu saja kaget dan marah maka seratus pengawalnya membentak dan cepat melindungi pangeran itu, rata-rata kedodoran dengan celana terbuka separoh.

"Ah," kakek ini, yang tak diketahui siapa tiba-tiba mendesah. "Kau keji, pangeran. Kau kejam. Hukum karma akan membalasmu kelak. Sayang, hawa nafsu menjadi bertumpuk dan kau akan mengalami yang lebih mengerikan dari ini."

"Kau siapa?" pangeran itu membentak. "Kenapa campur tangan dan kurang ajar di sini? Serahkan golok itu kepadaku, kakek lancang. Dan enyahlah sebelum para pembantuku membunuhmu!"

"Hm!" sepasang sorot cahaya tiba-tiba muncul, mengejutkan pangeran ini. "Kau mencari penyakit, Coa-ongya. Kau menciptakan permusuhan. Ketamakan dan kekejamanmu bakal menggegerkan dunia!"

"Serahkan golok itu!" sang pangeran tiba-tiba berteriak. "Tangkap dia, Yin-goanswe, Tangkap dan bunuh!" Coa-ongya tiba-tiba gemetar, entah kenapa tiba-tiba roboh dan mendeprok di tanah. Dia tak tahan melihat sorot cahaya itu, yang tadi memandangnya dan menegur tajam. Sorot itu tak bicara apa-apa namun pangeran ini seolah dihunjam sebuah pisau yang dingin, langsung menuju ke relung hatinya dan dia gentar. Dan ketika dia roboh dan tentu saja kaget tapi juga gentar maka Yin-goanswe diperintahkannya untuk menyerang kakek itu, menutupi mukanya dan pangeran ini tak tahan oleh sorot yang demikian menakutkan.

Bertemu sorot itu seakan bertemu hantu bermata api, pangeran ini terpekik dan ketakutan, menjerit-jerit. Entah kenapa tiba-tiba menjadi histeris dan Ci-ongya, adiknya, terkejut. Kedatangan kakek aneh ini juga membawa pengaruh menyeramkan baginya. Dia juga tergetar dan surut mundur oleh sorot cahaya itu, yang keluar dari balik halimun di atas kepala si kakek, padahal kakek itu tak memandangnya, memandang kakaknya namun getaran pengaruh gaib sudah membuatnya terdorong. Dan ketika Yin-goanswe di sana membentak dan menyerang kakek itu tiba-tiba secara aneh dan ajaib sekali jenderal itu terjungkal.

"Yin-goanswe, kaupun akan menerima hasil perbuatanmu. Pergilah!"

Yin-goanswe berteriak. Sorot itu tiba-tiba beralih, menerjangnya. Dan ketika dia seakan diterjang aliran listrik dan kaget serta menjerit maka sepuluh pembantunya yang lain juga terpekik dan terlempar roboh, disusul oleh teriakan-teriakan para pengawal yang entah bagaimana tiba-tiba seakan "disapu" aliran listrik ini, sebuah getaran tenaga gaib dalam ujud sorot cahaya itu.

Kakek itu sendiri tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang bersorot luar biasa itu yang menyambut setiap serangan. Sorot ini tiba-tiba terasa panas oleh setiap orang dan mereka seolah bertemu api, membakar dan senjata yang dipegang tiba-tiba sudah menyala. Tentu saja semua orang ketakutan, gentar! Dan ketika Yin-goanswe juga terkejut karena tombak-goloknya meleleh dan cair seperti minyak panas maka Jenderal itu menjerit dan berteriak melarikan diri!

"Siluman...! Kakek ini siluman..!"

"He, tunggu..!" Coa-ongya terkejut. "Jangan tinggalkan aku, goanswe. Tunggu!!"

Sang jenderal teringat. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyambar pangeran itu, Ci-ongya ganti berteriak-teriak dan ngeri. Pangeran inipun melihat apa yang hampir tak masuk akal itu, melelehnya senjata Yin-goanswe dan juga terbakarnya senjata pengawal.

Seratus orang itu tiba-tiba saling berteriak ketika senjata di tangan sudah berobah, merah menyala dan tentu saja mereka kepanasan! Dan ketika semua senjata dibuang dan mereka lintang-pukang maka Kwi-goanswe sendiri sudah tak ada di situ karena sudah membawa pergi puteranya, merawat Kwi Bun dan kejadian itu benar-benar menggegerkan. Coa-ongya tak ingat lagi akan Golok Mautnya, tak perduli pada senjata itu karena kesaktian si kakek sungguh di luar dugaan. Hanya dengan sorot matanya saja mereka semua sudah dibuat jatuh bangun, senjata yang dipandang tiba-tiba terbakar!

Dan ketika semua melarikan diri dan baru kali itu kejadian demikian luar biasa di alami pangeran ini maka untuk sebulan pangeran itu terkena "shock", kejutan. Rasa ngeri yang sangat dan juga takut. Sorot yang tak dapat dilupakannya seumur hidup itu terasa membawa bekas yang terlalu dalam. Sorot itu tajam dan menusuk, dingin dan seolah membawa ancaman menakutkan. Coa-ongya sering berteriak-teriak sendiri, sebulan tak berani keluar dan adiknya serta Yin-goanswe maupun yang lain-lain juga begitu. Mereka itu masih ngeri oleh kesaktian si "Kakek Siluman", begitu julukan yang mereka berikan pada kakek yang luar biasa sakti itu. Dan ketika semuanya panas dingin dan hari demi hari dilalui dengan perasaan tercekam, takut kalau kakek itu datang lagi, ternyata tak ada apa-apa setelah ini.

Kakek itu tak datang lagi menemui mereka. Perlahan tetapi pasti merekapun mulai tenang. Namun karena kejadian itu demikian mengerikan dan semuanya dicekam rasa takut yang hebat maka beberapa di antaranya jatuh sakit, tak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dan banyak di antara mereka yang mengigau menyebut-nyebut nama kakek ini. Mereka sering merintih dan minta ampun, beberapa di antaranya mencakar dan mencolok muka sendiri. Bayangan kakek siluman itu seakan Malaikat Maut yang bertindak sebagai jaksa, menuntut tanggung jawab mereka dalam setiap perbuatan yang sudah dilakukan.

Dan ketika separoh lebih akhirnya meninggal dan yang lain terguncang oleh peristiwa itu maka Kwi-goanswe dan anaknya tiba-tiba menghilang, pergi entah ke mana dan Coa-ongya tertegun. Dia sudah mulai tenang dan dapat berpikir lebih baik, kini Yin-goanswe menjadi pembantunya paling dekat, saling pandang namun Yin-goanswe menggeleng, tanda tak tahu. Dan karena Kwi-goanswe bukan orang yang perlu ditakuti dan hari-hari dilewati lebih tenang maka Coa-ongya akhirnya tak acuh dan juga tidak perduli.

Peristiwa itu lama-lama hilang. Coa-ongya mulai lupa pada persoalan itu dan kehidupan berjalan seperti biasa. Dan ketika sepuluh atau sebelas tahun kemudian pangeran ini benar-benar lupa dan menganggap Sin Hauw meninggal atau paling tidak sudah menjadi manusia tak berguna karena hilang ingatannya maka sungguh mengagetkan kalau tiba-tiba Golok Maut muncul, nama yang menggegerkan dunia kang-ouw dan tempat pangeran itu telah disatroni. Coa-ongya pucat dan tertegun, tiba-tiba ingatan melayang pada peristiwa belasan tahun yang lalu, terkejut dan tentu saja panik.

Namun ketika Golok Maut akhirnya pergi dan istana dibuat kalang-kabut maka pangeran ini bertanya-tanya siapakah sebenarnya laki-laki bercaping itu. Sin Hauw kah? Atau bukan? Dan karena ini juga masih merupakan teka-teki mengingat Sin Hauw sudah dibuat hilang ingatannya dan bahkan kepandaiannya sendiripun pemuda itu telah lupa maka pangeran ini berdebar dan teringat bayangan si "kakek siluman".

* * * * * * *

"Anak muda, kau bikin apa?"

Pemuda di atas makam itu terkejut. Dia sejak tadi tepekur di sini, berjam-jam duduk bersila dengan pandangan kosong. Matanya menunduk, menghela napas dan berulang-ulang mengerot gigi. Teguran yang tiba-tiba didengarnya tanpa diketahui kapan datangnya tiba-tiba membuat pemuda atau laki-laki ini terkejut. Dia menoleh dan seorang kakek tahu-tahu berdiri di sebelah kirinya, laki-laki atau pemuda ini melompat kaget. Dan ketika mereka berdiri berhadapan dan kakek itu tersenyum maka dia mengangguk-angguk dan mendesah,

"Aih, kau kiranya si Golok Maut! Hm, apa yang kau lakukan, anak muda? Kenapa tepekur di tempat ini? Bukankah itu makam Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya?"

"Kau siapa?"

"Ah, kau belum menjawab pertanyaanku. Sebutkan dulu apakah kau si Golok Maut yang menggegerkan dunia itu!"

"Hm, aku enggan memperkenalkan diri, orang tua. Tapi kalau kau sudah mengenalku maka tak perlu aku bicara lagi."

"Ha-ha, pongah tapi berwibawa. Eh, terus terang aku belum mengenalmu, anak muda. Tapi capingmu itu memberi isyarat bahwa kau si Golok Maut. Benarkah? Tak perlu takut, aku bukan musuh!"

Pemuda bercaping lebar ini mendengus. Dia mengangkat wajahnya sedikit dan tampaklah kilatan matanya yang bercahaya, masih tidak memperlihatkan semua mukanya namun sudah cukup membuat si kakek tergetar. Pandang mata itu berkilat seperti mata seekor naga, menyambarkan sesorot cahaya yang membuat orang terkejut. Tanpa dibekali tenaga batin yang tinggi tentu dia sudah surut mundur, pandangan itu membuat orang merasa ngeri, belum apa-apa sudah merasa gentar! Tapi ketika kakek ini tertawa dan mengangguk mengerahkan kekuatan batinnya maka dia dapat menahan dan berani mengadu mata, hal yang membuat lawan terkejut dan tertegun.

"Hm, kau benar," akhirnya suara itu keluar, lambat-lambat dan lirih. "Aku adalah si Golok Maut. Kau ada keperluan apa di sini?"

"Eh, seharusnya yang bertanya begitu adalah aku, Golok Maut. Aku justeru heran dan ingin bertanya kenapa kau berada di sini, di tempat makam sahabatku!"

"Kau siapa?" si Golok Maut tampak terkejut, mengerutkan kening. "Seingatku Sin-liong Hap Bu Kok tak mempunyai sahabat!"

"Ha-ha, kau salah. Aku Fen-ho Lojin (Orang Tua Dari Fen-ho), Golok Maut. Sahabat baik si Naga Sakti pada dua puluh enam tahun yang lalu!"

"Fen-ho Lo-jin?"

"Ya, kau pernah mendengar namaku? Atau kau belum lahir?"

"Hm, saat itu aku sudah ada di muka bumi, orang tua. Dan namamu terus terang kuingat sekarang. Suhuku pernah bercerita tentangmu, tapi kau dinyatakan telah mati!"

"Ha-ha, gurumu? Jadi kau murid si Naga Sakti Hap Bu Kok? Eh, jangan mengaku-aku, anak muda. Seingatku belum pernah sahabatku itu mempunyai murid, baik dia maupun isterinya!"

"Dan aku juga tak percaya bahwa kau adalah Fen-ho Lojin. Sahabat guruku itu telah tewas!"

"Ha-ha, kalau begitu kita sama-sama tak percaya, anak muda. Aku juga tak percaya bahwa kau adalah murid sahabatku. Sahabatku itu tak pernah punya murid. Cobalah ini, mari main-main sebentar.. wut!" dan si kakek yang tiba-tiba berkelebat dan menghilang ke depan tahu-tahu melakukan tamparan di mana angin pukulannya bersiut panas, kelima jarinya sudah dekat di hidung si Golok Maut dan Golok Maut terkejut. Gerak yang begitu luar biasa cepat dari si kakek membuat dia membentak, mengelak namun tangan yang lain dari si kakek tahu-tahu bergerak juga, menghantam dari kanan. Dan ketika apa boleh buat dia terpaksa menangkis dan menggerakkan kedua lengannya ke kiri kanan maka dua tenaga dahsyat menggetarkan tempat itu.

"Duk-plak!"

Si kakek dan Golok Maut sama-sama terdorong. Kakek itu berteriak keras dan penasaran, rupanya terkejut dan marah. Tapi ketika ia membentak lagi dan terbelalak memandang lawannya tiba-tiba kakek itu sudah berkelebatan dan kaki tangannya bergerak menyambar-nyambar, cepat dan kuat bagai elang atau rajawali dan si Golok Maut harus mengelak ke sana-sini. Si kakek menambah kecepatannya dan akhirnya menghilang, yang tampak hanya bayangan tubuhnya yang berseliweran naik turun, Golok Maut terkejut dan apa boleh buat kembali ia menangkis. Dan ketika si kakek rupanya menambah tenaga dan Golok Maut juga mengerahkan sinkangnya maka dua orang itu terpental ketika mereka sama-sama berseru kaget,

"Duk-plak!" dua orang itu terpelanting. Si Golok Maut terguling-guling ke kiri sementara kakek itu terbanting bergulingan ke kanan, Dua-duanya terkejut berseru keras. Namun ketika si kakek meloncat bangun dan tertawa bergelak tiba-tiba kakek itu berseru gembira,

"Bagus, coba keluarkan semua kepandaianmu, Golok Maut, Coba kulihat ilmu-ilmu dari mendiang gurumu!"

Golok Maut terkejut. Sebenarnya dia enggan berkelahi, melihat mereka tak mempunyai permusuhan. Kakek ini datang dan menyatakan sebagai sahabat gurunya pula, jadi bukan lawan melainkan kawan. Tapi karena si kakek sudah mendesak dan tiba-tiba tubuh yang ringan itu berkelebatan menyambar-nyambar tiba-tiba si kakek sudah mengeluarkan semua kepandaiannya dan tamparan atau pukulan berhawa panas menyambar dari mana-mana, kian lama kian panas dan tiba-tiba bajunya hangus terbakar! Dan ketika Golok Maut harus mengerahkan sinkang dan berseru keras maka diapun melayani dan tiba-tiba tubuhnyapun lenyap mengikuti gerakan si kakek lihai.

"Bagus, mari kita main-main sebentar, Fen-ho Lojin. Dan tunjukkan bahwa kau pantas menjadi sahabat mendiang guruku!"

"Ha-ha, tentu, anak muda. Dan aku juga ingin mengetahui apakah ilmu-ilmu dari Sin-liong Hap Bu Kok benar-benar kau punyai!"

Dua orang itu sudah bertanding cepat. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi keduanya mengerahkan semua ilmunya, pukulan sinar emas mulai meluncur dari tangan Si Golok Maut dan kakek itu berseru tertahan. Rupanya dia juga mengenai ilmu pukulan ini, Kim-kong-ciang. Dan ketika Golok Maut membentak dan mendorong serta menarik kedua lengannya dengan cepat melakukan pukulan-pukulan berbahaya maka kakek itu terkejut dan terbeliak.

"Sin-eng-kun (Silat Garuda Sakti)! Aih, ini Sin-eng-hian-jiauw (Garuda Sakti Mengulur Cakar)..!"

Golok Maut kagum. Memang dia mainkan Sin-eng-kun dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya melakukan pukulan-pukulan Kim-kong-ciang (Pukulan Sinar Emas). Dan ketika si kakek dapat mengenai jurus-jurusnya dan menyebut satu di antara silat Garuda Saktinya maka kepercayaan mulai tertanam di hati Si Golok Maut namun dia terus menghadapi lawannya itu, tak berhenti dan masing-masing rupanya sama penasaran. Mereka mempercepat gerakan dan juga tenaga, pukulan mulai menderu-deru dan baik Golok Maut maupun lawan mulai sering terhuyung. Dan ketika pertandingan berjalan semakin cepat dan kakek itu mulai berkeringat maka kakek ini berseru kagum memuji berulang-ulang,

"Hebat, benar-benar hebat kau, anak muda. Tak salah lagi ini adalah ilmu-ilmu gurumu, juga Hwa-liong Lo-kai (Pengemis Naga Kembang). Eh, apa hubunganmu dengan Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut? Bukankah ia juga tak mempunyai murid?"

"Hm," Golok Maut memuji juga lawannya. "Kau juga hebat, orang tua. Dan aku mulai percaya bahwa kau adalah sahabat mendiang guruku. Hwa-liong Lo-kai juga guruku, beliau guru pertama yang banyak menghutangkan jasa."

"Ha-ha, tapi golok maut mu belum kau keluarkan. Eh, keluarkan senjatamu itu, anak muda. Hayo kulihat dan biar semakin yakin hatiku!"

Golok Maut ragu-ragu. Mengeluarkan goloknya berarti pembunuhan. Goloknya itu amat haus darah dan akhir-akhir ini sering tak mau dimasukkan sarungnya kalau belum menghisap darah, sekecil apapun. Maka menggeleng dan tersenyum pahit dia menolak. "Tidak, aku tak mau mengeluarkan senjataku, orang tua. Kau bilang ini hanya main-main dan tak usah berkelahi lagi. Berhentilah!"

"Ha-ha, berhenti sebelum salah seorang roboh? Tidak, aku penasaran, anak muda. Lebih baik kaucabut golokmu itu atau kau roboh.. siutt!" si kakek tiba-tiba mencabut gelang hitam, gelang berganda di mana senjata ini tiba-tiba menyambar ke muka Si Golok Maut. Golok Maut terkejut dan tentu saja mengelak. Namun ketika tangan kiri kakek itu juga mencabut gelang yang lain dan sepasang gelang mengejar dan sudah memburunya maka Golok Maut terkejut dan menangkis.

"Plak-plak!"

Sesuatu yang luar biasa terjadi. Gelang yang ditangkis bukannya terpental melainkan malah melejit, cepat menuju bawah leher Golok Maut dan laki-laki bercaping ini terkejut. Dia menangkis tapi gelang semakin gila mengejar, melejit dan sudah menyambar matanya. Dan karena sepasang gelang itu bersiut aneh dan tiba-tiba mendengung bagai manapun dia menangkis maka sebuah di antaranya mengenai pundaknya dan sebuah lagi yang lain menghantam tengkuknya.

"Des-dess!"

Golok Maut terkesiap. Sekarang lawan terbahak-bahak dan dia tiba-tiba didesak, gelang selalu melejit setiap ditangkis, hebat sekali. Dan ketika dia jadi bingung karena menangkis berarti salah maka kakek itu terbahak mengejek padanya,

"Nah, keluarkan golokmu, Golok Maut. Jangan sungkan atau kepalamu kupecah-kan... dess!"

Kepala Golok Maut benar-benar terkena serangan, mencelat dan terlempar bergulingan dan pemuda itu mengeluh. Gelang serasa berobah menjadi palu yang berat menghantam kepalanya, tulang berbunyi keras dan kalau bukan dia barangkali kepala sudah benar-benar pecah! Dan ketika Golok Maut bergulingan dan kakek itu mengejar maka Golok Maut menggeram dan apa boleh buat berseru keras,

"Baik, hati-hati, kakek lihai. Aku terpaksa mengeluarkan senjataku dan hati-hatilah..!"

Kakek itu tertawa, tak menghiraukan seruan lawan dan dia terus mendesak. Setelah mencabut gelang bergandanya tiba-tiba Fen-ho Lojin ini menjadi semakin lihai. Dia berkelebatan dan mengejar Golok Maut yang sedang bergulingan. Lawannya itu tak diberi kesempatan untuk bangun, gelang terus berkelebat dan menyerang lawannya, menghajar sekali lagi tubuh lawannya itu namun Golok Maut mengerahkan sinkang, menahan. Dan ketika kakek itu terbahak dan gelang di tangannya sudah berobah menjadi benda berbahaya yang bertubi-tubi menuju tubuh lawannya maka saat itulah tampak sinar berkeredep dan sekilat cahaya keluar dari balik punggung Si Golok Maut.

"Cring-plak-dess!"

Kakek itu berteriak tertahan. Gelang di tangan kanannya tiba-tiba putus, terbabat oleh sinar yang menyilaukan mata itu. Dan ketika dia terpekik dan berseru kaget maka Golok Maut sudah melompat bangun dan menendangnya, ditangkis dengan sepasang gelang yang lain namun lawan menampar. Sinar menyilaukan itu bergerak lagi dari atas ke bawah. Dan ketika dia berkelit namun cahaya itu masih terus mengejarnya maka kakek ini menimpukkan gelang di tangan kirinya namun senjata itu tiba-tiba putus juga.

"Cranggg...!"

Kakek ini membanting tubuh bergulingan. Dia sudah berusaha menjauhi sinar yang mengejutkan itu, kaget melihat senjatanya putus namun sinar itu masih mendahuluinya juga. Dan ketika ia bergulingan namun pundak terasa perih maka kakek ini tertegun melihat pundaknya sudah tergurat, meloncat bangun.

"Siluman, ilmu kepandaianmu benar-benar iblis, Golok Maut. Dan senjatamu itu luar biasa..!" kakek ini tertegun, melihat Golok Maut sudah berdiri di depannya namun sinar atau cahaya menyilaukan itu sudah tak ada lagi. Di balik punggung Si Golok Maut tampak gagang sebatang golok tersembul sedikit, lawan telah mengembalikan senjata itu setelah "menghirup" sedikit darah di pundaknya. Dan ketika kakek itu gemetar dan pucat memandang lawan maka Golok Maut menjura.

"Fen-ho Lojin, kau juga hebat. Kau ternyata benar sahabat guruku. Bukankah yang kau mainkan itu adalah Sin-goat-goan-kun (Silat Gelang Bulan Sakti)? Aku sudah mendengar tentang ini, dan aku menyatakan kagum!"

Kakek itu menggigil. "Setan, ilmu golok macam apa yang kau mainkan tadi, anak muda? Bukankah seingatku Sin-liong Hap Bu Kok tak memiliki ilmu golok?"

"Hm, mendiang suhuku telah menciptakan ilmu goloknya, Lojin, ilmu terbaru namun sayang tak dapat dipakai lama. Aku mewarisinya dan itulah ilmunya terakhir tadi."

"Hebat, dan kau telah mengalahkan aku!"

"Hm, kelebihan golokku yang membuat aku memperoleh kemenangan, Lojin. Tapi tanpa golok ini barangkali kau yang menang."

"Tidak, silat golokmu juga hebat, anak muda. Terus terang aku mengaku kalah!"

"Terima kasih, kau telah memberikan pujian untukku." dan Si Golok Maut yang menjura dan kembali membungkuk di depan kakek itu tiba-tiba dikejutkan seruan nyaring dan berkelebatnya seorang gadis.

"Suhu, siapa ini? Kau habis bertempur?"

"Ha-ha, kau Siang In? Baru datang? Hei, ketahuilah, inilah Si Golok Maut yang baru saja mengalahkan gurumu!"

Si Golok Maut tertegun. Seorang gadis berwajah cantik tahu-tahu muncul di situ, wajahnya seperti bulan dan rambutnya dikepang dua, manis menjuntai di kiri kanan kepalanya. Dan ketika gadis itu juga tertegun karena Golok Maut tak menampakkan seluruh mukanya maka dua orang itu terkesima dengan perasaan berguncang, heran dan aneh tiba-tiba jantung Si Golok Maut berdetak!

"Suhu, ini Si Golok Maut? Dia mengalahkan dirimu?"

"Benar, dan sepasang gelangku putus semua, Siang In. Golok Maut betul-betul hebat dan dia amat lihai!"

"Keparat, kalau begitu dia harus dihajar. Biar aku yang membalaskan sakit hatimu dn kuminta tukar senjatamu yang dirusak!" dan gadis ini yang tiba-tiba menerjang dan berseru nyaring tiba-tiba sudah membentak dan menyerang Si Golok Maut, tidak banyak cakap lag i dan tubuh yang berkelebat seperti walet menyambar itu tahu-tahu sudah melakukan tamparan. Gerakannya sama cepat dengan sang suhu, Golok Maut mengelak namun bayangan gadis itu mengejar. Dan ketika dia mengelak namun tetap dibayangi maka apa boleh buat Golok Maut menangkis dan gadis itu menjerit.

"Aduh..!"

Ternyata gadis ini terpental. Dalam tangkisan tadi dia merasa tangannya sakit, gadis ini membentak lagi namun tidak mundur. Tangkisan Golok Maut dianggapnya hinaan dan gadis itu marah. Dan ketika dia melengking-lengking dan menyambar-nyambar bagai walet kesetanan maka Golok Maut terdesak dan entah mengapa tiba-tiba tidak berani menangkis lagi, takut mendengar jeritan si gadis!

"Hei, tahan, Siang In. Jangan menyerang!" si kakek, Fen-ho Lojin berteriak. Kakek ini mencegah namun sang murid tak mau dengar. Siang In berkelebatan dan marah menyambar-nyambar, teriakan sang suhu bahkan membuatnya beringas seolah harimau diganggu anaknya. Dan ketika Golok Maut terus berlompatan mengelak dan tentu saja kian lama juga kian cepat karena mengimbangi gadis itu maka Siang In melengking-lengking karena tak sebuah pun dari serangannnya mengenai sasaran.

"Keparat, jangan mengelak saja, Golok Maut. Ayo balas dan kau serang aku!"

"Hm," Golok Maut bingung. "Aku tak bermusuhan denganmu, nona. Sebaiknya tahan dan hentikan serangan-seranganmu."

"Pengecut! Kau tak berani membalas? Baik, aku akan menyerangmu, Golok Maut, terus sampai kau atau aku roboh!" dan Siang In yang tak memperdulikan gurunya lagi dan terus berkelebatan menyambar-nyambar akhirnya mencabut gelang dan mainkan senjata itu seperti suhunya, tak mau sudah dan sang suhu berseru marah.

Gadis itu tak mau berhenti dan terus menyerang Si Golok Maut, yang kini mulai terkena satu dua sambaran gelang karena gadis itu seakan harimau yang tumbuh sayapnya, Dengan gelang-berganda di tangan sungguh gadis ini seperti Fen-ho Lojin sendiri, kian lihai dan kian hebat. Tapi ketika gadis itu mulai mendesak lawannya dan Golok Maut bingung menerima satu serangan lagi tiba-tiba Fen-ho Lojin berkelebat dan membentak muridnya itu.

"Siang In, berhenti... plak!" kebutan ujung baju Fen-ho Lojin mementalkan gelang, mengejutkan sang murid dan Siang In berteriak keras terpelanting ke belakang. Gurunya marah dan menangkisnya dengan keras. Dan ketika gadis itu berjungkir balik dan terkejut memandang gurunya maka kakek itu memaki, "Siang In, Golok Maut bukan musuh. Dia justeru kawan bukannya lawan!"

"Tapi gelangmu dirusaknya! Bagaimana bukan musuh kalau kurang ajar begini? Tidak, kau minggirlah, suhu. Biar aku merobohkannya atau dia yang merobohkan aku!" Siang In mau menyerang lagi, mengira gurunya main-main karena tak mungkin lawan yang sudah merusak senjata dianggap kawan. Tapi ketika dia mau bergerak namun sang suhu sudah menangkap lengannya maka kakek ini berseru,

"Tidak, kau yang salah, Siang In. Tadi kami main-main dan hanya menguji kepandaian. Kau tahanlah dan jangan seperti siluman kehilangan anak!" lalu melihat muridnya melotot karena dianggap seperti siluman kehilangan anak kakek ini tertawa melanjutkan, "Dengar, Golok Maut ternyata murid sahabat gurumu, Siang In, mendiang Sin-liong Hap Bu Kok yang sudah almarhum. Eh, kau harus minta maaf karena kekasaranmu tadi!"

Gadis ini tertegun. "Suhu tidak main-main?"

"Eh, siapa main-main? Aku serius, bocah. Hayo minta maaf dan simpan senjatamu!"

Gadis itu tersipu. Tiba-tiba mukanya menjadi merah dan malu, lawan yang disangka musuh kiranya bukan musuh, bahkan murid sahabat gurunya, yang sudah almarhum. Tapi ketika dia menyimpan senjatanya dan mau meminta maaf tiba-tiba Golok Maut mendahului, mencegah,

"Tidak, tak perlu, nona. Aku tak marah, justeru aku kagum padamu karena pembelaanmu terhadap gurumu ini. Kita hanya sedikit berselisih faham, tak apa dan tak usah minta maaf!"

Siang In bengong. Si Golok Maut membungkuk dan tersenyum padanya, wajah di balik caping itu tiba-tiba kelihatan sedikit jelas dan gadis ini berdetak. Sekilas terlihat wajah yang tampan dan gagah, wajah yang gagah namun dingin, mencoba tersenyum tapi tetap saja wajah yang dingin itu tak dapat disembunyikan. Gadis ini melihat wajah yang dingin seperti es, yang sekilas telah dicoba cairkan dalam wujud senyum itu. Tapi ketika wajah itu terangkat kembali dan sudah tertutupi caping lebar maka Siang In terkejut dan sadar, gugup.

"Eh, maaf. Suhu telah menyuruhku, Golok Maut, tak mungkin aku mengabaikannya. Terimalah maaf atas seranganku tadi!"

"Ha-ha, tak perlu ditolak!" sang kakek berseru, gembira. "Ini sudah menjadi adatku, Golok Maut. Murid tak boleh membantah gurunya dan kau terimalah maafnya!"

Golok Maut tersipu. "Baiklah," suara itu agak bergetar. "Tak apa, Fen-ho Lojin. Dan maaf pula atas seranganku tadi."

"Ha-ha, tak apa. Sekarang kita dapat berkenalan lebih baik dan kau kenalkanlah muridku ini. Namanya Siang In!"

Golok Maut mengangguk. Sekali lagi senyum itu terlihat dan Siang In bengong. Senyum yang gagah namun dingin itu rupanya tak dapat dihapus, sudah menjadi ciri khas Si Golok Maut ini. Dan ketika gurunya tertawa dan melepas tangannya maka gadis ini berdebar ketika dua mata mereka kembali beradu.

"Golok Maut, aku ingin sembahyang di makam sahabatku. Yang manakah kuburan Si Naga Sakti?"

"Ini," Golok Maut menunjuk. "Dan itu isterinya, Lojin. Suboku Cheng-giok Sian-li."

"Baiklah, biar aku sembahyang dulu!" dan si kakek yang mengeluarkan hio (du-pa) dan tiba-tiba menyalakannya dengan sekali tiupan mulut mendadak sudah melangkah lebar ke makam sebelah kiri, mengerling sekejap ke kanan dan segeralah kakek itu berkemak-kemik membaca doa, hio diangkat berkali-kali di atas kepalanya, sebagai tanda hormat. Dan ketika semuanya selesai dan dia bertanya apakah makam di sebelahnya itu milik Chen-giok Sian-li maka kakek inipun sudah berpindah dan sembahyang di makam itu, berkemak-kemik dan tak lama kemudian iapun sudah selesai. Tak ada setengah jam kakek itu menekuri makam kedua suami isteri itu.

Dan ketika dia menarik napas dan menyuruh muridnya juga sembahyang maka Siang In semburat merah mengikuti perintah gurunya. Tak lama kemudian semuanya selesai dan Golok Maut memandang sejak tadi. Pandang matanya banyak mengawasi murid Fen-ho Lojin itu, yang dipandang agaknya merasa dan Siang In mengerling, Dan ketika lirik matanya bertemu dengan pandangan Si Golok Maut maka laki-laki itu melempar pandang ke samping dan batuk-batuk.

"Nah, selesai," si kakek tak mengetahui lirikan yang muda-muda. "Terima kasih, Golok Maut. Tapi coba ceritakan padaku bagaimana mereka berdua ini bisa tewas. Siapa yang membunuh dan kapan terjadinya itu!"

"Hm," Si Golok Maut muram. "Suhu dan subo tewas sudah lama, Lojin. Dua puluh tahun yang lampau. Tak ada yang membunuh, mereka tewas karena... karena bertempur sendiri."

"Heh?"

"Benar..." muka yang tertutup caping itu menunduk. "Mereka bertempur satu sama lain, Lojin. Dan mereka akhirnya sama-sama tewas."

"Celaka. Apa yang menyebabkan begitu?"

"Hm, aku tak ingin mengenang itu, Lojin. Maaf aku tak mau menjawab!"

Si kakek tertegun. Fen-ho Lojin rupanya marah, melotot dan mau mendesak. Tapi ketika dia ingat bahwa masalah itu mungkin menusuk perasaan Si Golok Maut ini maka kakek itu menahan diri dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu coba ceritakan padaku tentang Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut. Dan apakah dia juga sudah tewas pula!"

"Benar, guruku inipun sudah tewas, bahkan dia lebih dulu. Tapi makamnya ada di atas sana."

"Hm, siapa yang membunuh?"

"Dia meninggal karena sakit," Golok Maut berbohong. "Dan tak perlu kiranya aku bercerita panjang lebar."

Kakek ini melotot. Golok Maut sudah mendahuluinya dengan kata-kata seperti itu, rupanya tahu bahwa dia akan banyak bertanya dan sebelumnya distop dulu, kakek ini gemas namun juga tak dapat berbuat apa-apa kembali. Dan ketika dia bersinar-sinar memandang lawan bicaranya itu dan mau bertanya siapakah nama pemuda ini ternyata muridnya mendahului,

"Maaf, siapakah namamu, Golok Maut? Bukankah kau punya nama?"

"Hm, aku tak tahu namaku, nona. Nama itu sudah terkubur bersama kedua guruku. Nama tak mempunyai arti, orang telah memanggilku Si Golok Maut!"

"Begitu sombong?" Siang In marah. "Kau terlalu, Golok Maut. Namapun tak sudi kau perkenalkan kepada sahabat gurumu. Apakah mereka memesannya demikian?"

"Barangkali, aku lupa," jawaban ini acuh, sama sekali tak perduli dan tiba-tiba sikap dingin itu kembali timbul. Siang In melotot dan mau marah lagi, tapi ketika gurunya batuk-batuk dan memegang lengan muridnya itu ternyata Fen-ho Lojin mendahului,

"Sudahlah, cukup kiranya, Siang In. Golok Maut dikenal pendiam dan adalah sebuah kehormatan kalau kali ini dia bicara banyak. Mari kita pergi, urusan kita sudah selesai!"

Golok Maut memandang kakek ini. Setelah Fen-ho Lojin mau mengajak muridnya pergi dan Siang In mengangguk tiba-tiba Golok Maut tampak tertegun, mengangkat mukanya dan guru serta murid itu dipandangnya sejenak. Dan ketika kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan berpamit pergi tiba-tiba Golok Maut mengangkat tangannya.

"Nanti dulu. Bolehkah aku tahu ke mana kau selama ini, Lojin? Kenapa tak pernah muncul hingga guruku menganggapmu tiada lagi?"

"Ha-ha, perlukah kau tahu? Aku pergi keluar Tiong-goan, Golok Maut. Dan terus terang aku mendongkol karena pernah dikalahkan dua gurumu!"

"Hm, begitukah?"

"Ya, kau ingin tanya apalagi?"

"Tidak, terima kasih," dan Golok Maut yang semburat melihat tawa kakek itu lalu harus tahu diri karena dia sendiri juga tak suka banyak bercerita.

Si kakek mengebutkan ujung bajunya dan lenyap berkelebat ke depan, menarik dan sudah membawa muridnya itu. Dan ketika Siang In mendengus dan sekejap memberi kerling marah maka guru dan murid itu telah lenyap meninggalkan pemuda ini. Golok Maut termangu tapi tidak mengejar. Aneh, pandangannya kosong mengawasi kepergian guru dan murid itu. Namun ketika mereka lenyap di bawah gunung dan Golok Maut mengebutkan baju tiba-tiba diapun berkelebat dan lenyap pula meninggalkan makam gurunya.

* * * * * * *

Di kota Li-poh, di pusat keramaian. Hari itu kota ini menyambut hari jadinya. Dua barongsai, merah dan biru siap berlaga di atas tanah. Mereka terdiri dari beberapa orang yang akan memainkan permainan ini, barongsai atau singa-singaan dengan masing-masing dikepalai atau dipimpin seorang yang bermain di bagian kepala. Pemimpin atau kepala inilah yang akan mengemudikan permainan, dua pembantunya di belakang akan mengikutinya dengan tarian lenggak-lenggok.

Mereka tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian silat karena tanpa ilmu silat sukarlah bagi orang biasa untuk memainkan permainan ini. Sang pemimpin atau kepala haruslah seorang yang paling pandai, dia akan berputar dan menggerak-gerakkan barongsai ini, menari dan menaik-turunkan bagian kepala di mana bagian ekor atau tubuh dimainkan oleh dua pembantunya, juga orang-orang yang pandai silat namun tak selihai sang pemimpin. Dan karena dua barongsai itu berhadapan dan jelas akan berlaga maka permainan dua ekor barongsai biasanya jauh lebih menarik daripada hanya seekor saja.

Maklumlah, mereka pasti akan bertanding dan berlaga. Siapa yang menang dialah muncul sebagai juara. Hari jadi kota itu ternyata disambut dengan keramaian permainan ini, tentu saja mengundang banyak orang dan sekeliling tempat itu sudah penuh oleh penonton. Bukan hanya sekedar mencari hiburan melainkan juga ingin mengadu keberuntungan. Jelasnya, mereka adalah penjudi-penjudi yang sudah siap dengan uang mereka, bukan hanya penduduk Li-poh saja melainkan juga pendatang dari luar kota.

Kiranya jenis hiburan ini juga ditunggangi kaum botoh atau petaruh untuk mencari keuntungan dalam bentuk adu nasib, tentu saja ramai dan kaum petaruh sudah menjagoi siapa kira-kira yang akan menang, barongsai biru ataukah merah. Dan ketika keramaian itu memuncak dengan dipukulnya gong di atas tempat yang tinggi, yang nantinya akan dipakai berlaga oleh dua barongsai itu maka seorang pemuda tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah ramainya kerumunan.

"Hei, jangan main dorong, anak muda. Perlahan sedikit!"

"Maaf," pemuda itu tersenyum, tadi menyenggol seorang petaruh, laki-laki tinggi besar yang mukanya hitam dan kasar.

"Aku tak sengaja, twako. Maaf."

"Maaf hidungmu!" laki-laki itu membentak. "Sekali lagi main dorong kupatahkan tanganmu nanti!"

Pemuda itu mengerutkan kening. Kata-kata kasar untuk suatu perbuatan yang tak sengaja dirasa sungguh menyakitkan. Tapi tersenyum dan menghela napas tiba-tiba dia menjauh, mendapat pelototan namun dia menyingkir, bukan karena takut melainkan semata tak mau mencari keributan.

Dua barongsai itu sudah mulai bergerak dan masing-masing mendapat tepukan dari penontonnya. Yang menjagoi merah menyuruh barongsai itu cepat menyerang, mendahului lawannya namun sang pemimpin rupanya berhati-hati. Barongsai biru juga mendapat tepukan riuh agar menyerang, canang dan kempyeng dipukul ramai. Dua barongsai itu mulai bergerak-gerak dan menari, mereka maju mundur dengan langkah yang ringan, kaki pemainnya gesit dan cekatan.

Sang pemimpin maupun anak buahnya dapat bekerja kompak, mereka mengikuti irama tambur atau kempyeng, berputaran dan saling mengelilingi lawan dengan kepala barongsai diangkat tinggi-tinggi. Di balik mata barongsai itu masing-masing saling mengintai, mereka siap menerkam dan menjatuhkan yang lain. Dan ketika penonton mulai bersorak dan barongsai biru menyergap ke depan tiba-tiba barongsai merah diserang dan dipukul.

"Ha-ha, bagus, Biru. Ayo terkam dan robohkan lawanmu!"

"Tidak, jangan kuatir, Merah. Tahan dan balas lawanmu!"

Dua sorakan silih berganti terdengar. Yang menjagoi biru, kelompok di sebelah kiri tiba-tiba berteriak riuh, mereka melihat barongsai merah terpeleset dan jatuh. Tentu saja membuat lawan bertambah semangatnya dan menyerang, pemimpinnya meloncat dan kepala barongsai diturunkan ke bawah, maksudnya mau menindih dan merobohkan lawan. Tapi ketika barongsai merah berseru keras dan pemimpinnya menendang tiba-tiba lawan jatuh dan ganti pendukung merah bersorak-sorai.

"Ha-ha, bagus, Merah, Sekarang terkam dan balas lawanmu!"

Pemegang barongsai merah sudah melakukan itu, Tanpa diperintah penontonnya pasti dia akan balas menyerang, lawan diseruduk tapi barongsai biru ternyata gesit, mampu mengelak lincah dan jadilah sekarang dua barongsai itu serang-menyerang. Mereka masih menari-nari namun kaki atau tangan di balik pakaian barong itu bekerja. Sikut atau lutut acap-kali menyengat yang lain, hebatnya tak ada yang mengaduh karena masing-masing rupanya sama-sama memiliki tubuh yang kuat. Baik barongsai biru maupun merah mulai bergerak cepat, penonton atau pendukung mereka berteriak-teriak seru.

Si muka hitam, yang ternyata pendukung biru tiba-tiba meloncat ke depan, mengeluarkan sebongkah uang dan melambai-lambaikan itu di depan hidung barongsai biru. Dia berteriak bahwa uang itu akan diberikannya pada si biru bila dapat mengalahkan lawannya, uang yang tidak kurang dari lima ratus tail! Tapi ketika seorang laki-laki pendek juga meloncat dan melambai-lambaikan dua pundi-pundi uang yang jumlahnya seribu tail maka barongsai merah mendapat janji,

"Tidak, kau kalahkan lawanmu, Merah. Thang-wangwe (hartawan Thang) masih akan memberimu lagi beberapa hadiah istimewa!"

"Keparat, minggir!" si muka hitam marah, berseru membentak si pendek itu. "Kau tak boleh meniru-nirukan sikapku, Pendek. Cari cara lain mendorong semangat barongsai mu!"

"Ha-ha, setiap orang bebas menirukan siapapun, Hek-twako. Aku hanya mengimbangimu agar jagoanku tak kalah semangat!"

"Keparat, kalau begitu kau anjing... dess!" dan si pendek yang ditendang mencelat dan terlempar dari tempat itu akhirnya membuat kelompok si pendek marah, turun ke bawah namun si hitam tiba-tiba ditarik kawan-kawannya.

Dua barongsai itu sudah bertanding dengan sengit. Mereka menjadi panas oleh tendangan si hitam tadi. Barongsai biru seolah mendapat semangat dan sudah menyerang lawannya. Mereka bergerak dan sudah mulai pukul-memukul, tambur atau canang dibunyikan hingar-bingar dan penonton bersorak-sorak. Baik pendukung biru maupun merah sama-sama berteriak, mereka menjagoi masing-masing pihak. Dan ketika dua barongsai itu mulai bertempur tapi masing-masing bertahan maka barongsai biru tiba-tiba meloncat ke atas titian, tempat yang sudah disediakan untuk mereka, tinggi sekali.

"Hayo, berkelahi di atas, Merah. Susul dan kejar lawanmu. Jangan takut!"

"Ha-ha, pecundangi lawanmu, Biru. Jangan biarkan lawanmu menyusul!" pendukung biru, termasuk si muka hitam berteriak.

Biru sudah mendahului lawannya dan barongsai merah berjungkir balik, maksudnya mengejar dan menyusul si biru di atas titian. Titian itu dari bambu dan tingginya tak kurang dari lima meter, dapat berjungkir balik dan melayang ke sana adalah hebat, apalagi dengan beban begitu berat. Pakaian barong itu dan kepalanya tak kurang dari seratus kati, belum ditambah lagi oleh kekompakan yang harus dijaga pemain barong itu. Bagian tubuh dan ekor harus dapat mengikuti kepalanya kalau diajak meloncat, di tempat yang sebegitu tinggi lagi. Tapi ketika mereka berjungkir balik dan hampir hinggap di atas titian tiba-tiba pemain barong biru menggerakkan kaki dari atas menendang mereka.

"Des-cret!"

Tak ada yang melihat kejadian itu. Pemimpin barongsai merah tiba-tiba berteriak, tangannya luka berdarah ketika pemimpin barongsai biru menendang tangannya. Tadi sebuah pisau tiba-tiba mencuat dari bawah sepatu lawan, tepat mengenai tangannya dan terlukalah pemimpin barongsai merah itu. Dan ketika dia terpaksa berjungkir balik turun sementara tambur atau kempyeng dipukul kuat-kuat maka rintihan atau teriakan mengaduh dari pemimpin barongsai merah ini tak terdengar, dua pembantunya di belakang juga terluka dan menjerit.

Mereka disambut sebuah pisau kecil yang mencuat dari balik telapak sepatu, lawan berbuat curang dan tentu saja mereka harus berjungkir balik turun. Dan ketika mereka marah dan si pemimpin berseru keras untuk mencoba lagi ternyata mereka lagi-lagi gagal karena disambut tendangan dari atas, dipaksa turun dan enam tujuh kali barongsai merah tak bisa naik. Akibatnya lawan di sana menari-nari gembira dan kelompok atau pendukung biru berteriak gembira. Mereka melihat kesukaran yang dialami barongsai merah dan tentu saja kedudukan barongsai merah dirugikan.

Orang di bawah akan melihat hal ini sebagai kekalahan barongsai merah, barongsai biru sudah mendapat tepukan gegap-gempita atas kemenangannya itu. Merah selalu dibuat terjungkal turun sebelum mencapai titian, jadi biru dianggap unggul dan menang. Tapi ketika bentakan terdengar dari barongsai merah dan sekali lagi pemain barongsai merah meloncat tinggi berjungkir balik tiba-tiba mereka juga mencabut pisau dan sambil berjungkir balik mereka menyambut pisau lawan yang disembunyikan di bawah sepatu.

"Cring-crangg!"

Orang-orang kaget. Mereka melihat kejadian itu, barongsai merah yang mencabut pisau. Dan ketika pisau bertemu dengan pisau dan orang di bawah menganggap barongsai merah yang berbuat curang maka barongsai merah mendapat teriakan dan makian dari bawah, dianggap mengeluarkan senjata tajam lebih dulu dan tentu saja penonton berteriak marah. Pendukung biru terutama memaki-maki barongsai merah, mereka dianggap pengecut dan curang. Tapi ketika barongsai merah berhasil mengejutkan lawan dan tiba di titian maka mereka menyerang dan mengamuk dengan pisau di tangan, titian yang sempit menjadi bahan ujian bagi kedua belah pihak.

Barongsai biru terkejut dan tentu saja melawan. Dan ketika peragaan menjadi perkelahian sungguh-sungguh dan kedua barongsai sudah bertanding dengan sengit maka orang di bawah mengumpat caci dan mengutuk, tak dihiraukan barongsai mereka karena merekalah yang dicurangi dulu. Orang di bawah tak tahu-menahu dan enak saja mengeluarkan makian, hal yang membuat barongsai merah beringas. Dan ketika pertandingan menjadi sengit karena pisau mulai berkelebatan menyambar-nyambar maka barongsai biru terdesak dan pemimpinnya terkena sebuah guratan panjang.

"Bret!"

Darah mulai menetes. Barongsai merah mendesak dan terus menyerang, akhirnya lawan mundur-mundur dan berada di sudut titian. Dan ketika merah terus mendesak biru sementara biru tampaknya kebingungan tiba-tiba pisau kembali menyambar dan muka atau kepala pakaian barong terkena tusukan dalam.

"Brett!"

Dua sosok bayangan tiba-tiba berkelebat. Mereka berjungkir balik dan melayang di tempat titian, langsung di belakang barongsai merah dan melakukan bentakan. Dan karena mereka datang dari belakang dan suara mereka juga tak terdengar karena tambur atau kempyeng tetap dipukul semakin gencar maka barongsai merah mencelat dan roboh terbanting ke bawah.

"Bluk!"

Suara itu seperti jatuhnya sebuah semangka berat. Tiga orang di balik pakaian barongsai merah mengeluh, roboh dan tidak bergerak lagi, rupanya pingsan. Dan ketika semuanya itu membuat terkejut dan penonton ribut maka berkelebat tiga oang laki-laki yang tanpa banyak cakap sudah merenggut dan melepas pakaian barong merah, mengenakannya pada tubuh atau pakaian sendiri.

"Cun Khing, kau jahanam keparat!" tiga laki-laki itu sudah berjungkir balik, menjadi pemain barongsai merah dan mereka menggantikan temannya yang roboh.

Beberapa laki-laki lain sudah berlompatan dan menolong pemain barongsai pertama, yang tidak bergerak dan rupanya pingsan itu. Dan ketika pemain barongsai kedua sudah membentak dan berjungkir balik ke atas titian maka mereka menyerang dan melepas pukulan-pukulan kuat ke barongsai biru, yang coba menghalangi dua temannya dengan barong di depan. Tapi ketika tiga orang itu berseru keras dan kaki mereka mencuat dari bawah tiba-tiba tiga pemain barongsai biru terlempar dan terbanting di atas tanah, berteriak.

"Blukk!"

Suara ini lebih keras daripada yang pertama. Tiga pemain barongsai biru menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi, kepala mereka terbentur tanah keras dan pemimpinnya tiba-tiba tewas, dua yang lain luka parah dan gegerlah tempat itu. Tapi ketika di atas sana pemain barongsai merah sudah menerjang dan membentak dua laki-laki yang tadi merobohkan temannya tiba-tiba dua orang itu memaki-maki dan tambur serta kempyeng juga berhenti ditabuh.

"Hei..! Teruskan suara itu. Tambur dan kempyeng harap tetap dipukul!"

Suara itu kembali menghentak. Empat orang laki-laki sudah maju menggantikan penabuh pertama, mereka bahkan menendang dan membuat para penabuh itu terlempar mencelat, suasana menjadi hiruk-pikuk namun anehnya penonton tiba-tiba bersorak-sorai. Mereka menjadi panas melihat pertandingan di atas. Sebagian besar orang tiba-tiba menjadi gembira dan berteriak-teriak, seolah histeris.

Dan ketika pemain barongsai biru mendesak dan menyerang dua laki-laki di atas maka dua laki-laki ini tampak marah, mengelak dan menangkis namun sayang mereka menghadapi tiga orang lawan, dua lawan tiga rupanya terlalu berat dan sebuah tendangan akhirnya membuat satu di antara dua orang itu terlempar, jatuh dari titian namun orang ini dapat berjungkir balik, selamat meloncat turun. Dan ketika temannya yang di atas mendapat desakan dan apa boleh buat mengakui kehebatan tiga orang lawannya maka laki-laki ini pun mengeluh ketika tubuhnya mencelat terlempar, jatuh dari titian yang tinggi itu.

"Dess!"

Semua orang terkejut. Mereka menyangka laki-laki ini bakal terbanting tewas, seperti pemimpin barongsai yang pertama. Tapi ketika dia dapat berjungkir balik dan selamat turun di tanah maka orang pun bertepuk tangan memuji namun tiga orang di atas mengejar, berjungkir balik meloncat turun dan mereka itu terus menyerang laki-laki ini. Yang jatuh duluan juga diterjang dan bertandinglah mereka di atas tanah, rupanya perkelahian di atas masih tak memuaskan pihak barongsai merah dan cepat serta bertubi-tubi dua laki-laki itu terdesak. Mereka lagi-lagi menerima sebuah pukulan dan dua buah tendangan, terlempar dan mencelat namun mereka masih dapat bertahan. Tiga laki-laki lawannya menjadi gemas dan marah.

Namun ketika mereka merangsek dan terus mendesak serta mau membunuh dua laki-laki itu tiba-tiba berkelebat empat bayangan laki-laki bermuka merah yang langsung menyerang laki-laki di balik pakaian barongsai itu, rupanya teman atau sahabat dua laki-laki pertama, mengeluarkan senjata dan golok atau pedang tiba-tiba menyambar menyilaukan mata.

Dan ketika semua orang tersentak karena kali ini pertandingan menjadi begitu brutal karena tiga orang laki-laki itu sudah dikeroyok lima orang lawannya maka mendadak berhamburan banyak laki-laki lain yang berteriak membantu tiga laki-laki itu, disusul bentakan dan teriakan laki-laki lainnya lagi yang menyerang dan memaki belasan laki-laki ini, jadi seolah-olah gerombolan bertemu gerombolan. Tentu saja ramai! Dan ketika keadaan menjadi kacau dan peperangan kecil terjadi di situ maka pasukan keamanan tiba-tiba muncul disertai teriakan seorang komandannya.

"Berhenti! Semua berhenti..!"

Perang kecil itu tak berhenti. Rupanya orang-orang sudah sama-sama kalap dan akhirnya diketahui bahwa yang berkelahi itu adalah kelompok atau pendukung masing-masing barongsai. Pengikut kedua barong itu marah karena pemain barong roboh semua, mereka berteriak-teriak dan jadilah satu sama lain menyerang dan memaki.

Pengikut atau pendukung barong merah menyerang dan menghantam pengikut atau pendukung barong biru. Dan karena sekarang sudah bersifat massal dan pertempuran atau perkelahian ini berobah menjadi pertempuran atau perkelahian kelompok maka pemimpin pasukan tiba-tiba membentak dan maju menerjang dengan kudanya.

"Serbu, tangkap pengacau-pengacau liar ini..!"

Kalutlah semua orang. Kalau pasukan yang berjumlah puluhan itu bergerak dan menyerang dengan kudanya tentu saja semua pihak terkejut. Mereka cepat menyibak dan aneh sekali masing-masing kelompok sudah menyingkir ke barisannya, tak ada yang memimpin. Dan ketika perkelahian otomatis berhenti dan komandan berkumis tebal itu menghentikan gerakan kudanya maka dia membentak agar tiga laki-laki pertama dan dua laki-laki yang membela barongsai biru maju ke depan.

"Kalian berdua mengacau. Sebutkan siapa yang salah dan mulai lebih dulu!"

"Dia!" otomatis tiga laki-laki pertama menudingkan telunjuk ke dua laki-laki lawan mereka, "Mereka ini yang berbuat curang, Lu-ciangkun (panglima Lu), Mereka menyerang dan membokong tiga orang sute (adik seperguruan) kami!"

"Tidak!" dua laki-laki itu berteriak, tentu saja menyanggah, "Pihak barongsai merah yang memulai dulu, Lu-ciangkun. Dapat ditanyakan semua orang bahwa mereka memulai menyerang dan mencabut pisau!"

"Benarkah?"

"Benar!" pendukung barongsai biru tiba-tiba berteriak. "Cun Khing-ko bicara sebenarnya, Lu-ciangkun. Barongsai merah mencabut pisau dan memulai keonaran dulu!"

"Tidak benar!" tiga laki-laki pertama bersikap marah, menolak tegas. "Adik kami dilukai lebih dulu, ciangkun. Pemain barongsai biru menyembunyikan pisau di bawah sepatu mereka. Mereka itulah yang lebih dulu membuat onar!"

"Hm, siapa menjadi saksi?"

Tak ada yang menjawab, diam.

"Siapa yang berani menguatkan kata-kata orang she Kwik ini?"

Tak ada yang menjawab, semua diam. Dan ketika Lu-ciangkun atau komandan berkumis tebal itu menjadi marah dan melotot memandang tiga laki-laki itu, yang tak mendapat pendukung karena sebagian besar orang memang tidak tahu akan kecurangan pemain barongsai biru mendadak seorang pemuda tampan meloncat maju dan mengangkat tangannya ke atas.

"Aku menjadi saksi. Aku berani disumpah bahwa pemain barongsai biru memang berbuat curang dengan menyembunyikan pisau di bawah sepatu mereka!"

"Siapa kau?" semua orang terkejut.

"Aku penonton di sini, ciangkun. Tapi aku membenarkan kata-kata Kwik-twako itu bahwa barongsai merah memang diserang lebih dulu oleh pemain barongsai biru!"

"Bohong!" Cun Khing, dua laki-laki pertama membentak. "Pemuda ini tak dapat dipercaya mulutnya, ciangkun. Dia tentu telah disuap pemain barongsai merah!"

"Hm, ada bukti," pemuda itu berani menjawab, menuding pemain barongsai merah yang masih menggeletak di situ. "Tangan mereka terluka memanjang, orang she Cun. Dan semua bisa melihat bahwa itu perbuatan pemain barongsai biru!"

"Belum tentu!" Cun Khing yang mendelik berseru marah. "Luka itu bisa jadi akibat perkelahian mereka, anak muda. Dan kau mencari-cari alasan yang tidak kuat. Jangan-jangan kau benar-benar telah makan suap... wut!" laki-laki itu membentak, tahu-tahu menyerang pemuda ini namun Kwik Beng, suheng dari barongsai merah tiba-tiba bergerak pula ke depan. Laki-laki ini merasa mendapat bantuan dan tentu saja dia tak membiarkan pemuda tampan yang tampaknya lemah itu diserang, sudah menangkis dan menarik pemuda ini. Dan ketika mereka sama terpental dan Cun Khing memaki maki orang she Kwik ini memuji pemuda itu, menyembunyikannya di belakang punggung.

"Anak muda, kau berani. Terima kasih. Tapi hati-hati jangan terlampau dekat dengan mereka!" dan gagah melindungi pemuda itu menghadapi Lu-ciangkun Kwik Beng berkata, "Nah, lihat, Lu-ciangkun. Ada saksi di sini yang memperkuat omonganku. Dia bukan sanak-kadang atau saudaraku, tapi orang muda ini telah menjadi saksi!"

"Hm, siapa kau?" panglima Lu tertegun, melihat keberanian pemuda itu dan diam-diam kagum.

Pemuda ini memang tampan namun kelihatannya lemah, keberaniannya memang besar namun dia tak gampang percaya. Sebagai komandan menjaga keamanan di kota Li-poh dia harus berhati-hati. Pemuda itu belum tentu benar juga. Dan ketika Cun Khing di sana mengumpat dan beberapa temannya sudah saling mengisyaratkan mata, maka pemuda ini tersenyum berkata,

"Aku Beng Tan, she Ju. Datang ke sini kebetulan saja dan murni sebagai penonton, bukan petaruh atau botoh. Kalau kau tidak percaya sebaiknya lihat dan buktikan saja apakah sepatu pemain barongsai biru itu tidak menyembunyikan pisau!" dan mengejutkan semua orang dengan gerakannya yang ringan dan cekatan tahu-tahu pemuda ini telah menarik sepatu dari pemimpin barongsai biru yang tewas, membetot dan memperlihatkan itu pada Lu-ciangkun.

Dan ketika semua orang melihat bahwa benar saja di bawah sepatu itu terselip atau terpasang secara rahasia sebuah pisau kecil maka Lu-ciang-kun terkejut sementara semua orang juga menjadi gempar.

"Nah, lihat. Ini buktinya, ciangkun. Aku tak mungkin bohong karena bukan aku yang menyembunyikan pisau ini di bawah sepatunya!"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.