Golok Maut Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 07
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
TERLAMBAT. Gerakan sinar merah itu luar biasa cepatnya. Semua orang tak menduga dan si nenekpun tak menyangka. Sin Hauw yang dikira pingsan mendadak "hidup" lagi, sungguh di luar dugaan. Maka begitu sinar merah bergerak dan Sin Hauw meloncat bangun maka nenek itu menjerit ketika lengan kanannya tahu-tahu putus, lepas dari tempatnya dan darah menyembur bagai pancuran, terlempar dan terguling di atas lantai, bermandi darah. Sungguh mengerikan karena kejadian itu! luar biasa cepatnya, sama cepat dengan berkelebatnya sinar merah itu.

Dan ketika semua orang tertegun dan nenek itu terhuyung pucat maka di sana Sin Hauw bangun dengan limbung memegang sebatang golok yang mengkilat bersih, tadi sejenak berlepotan darah tapi tiba-tiba golok itu menghisap, darah tersedot dan putihlah golok itu seperti biasa. Semuanya ini berlangsung hanya sepersekian detik saja dan semua orang tersentak, ngeri. Tapi begitu Pek-wan melihat ini dan mengeluarkan teriakan kaget maka mulutnya berseru, disusul kemudian oleh nenek satunya dari Im-kan Sian-li,

"Golok Maut..!"

"Golok Penghisap Darah..!"

Gegerlah semua orang. Setelah Sin Hau limbung mencabut goloknya tiba-tiba saja semua orang terbelalak. Pek-wan si Lutung Putih terkesiap dengan jantung meloncat kaget, itu memang amat mengerikan. Dan ketika semua terbelalak dan kaget serta ngeri tiba-tiba nenek yang kutung lengannya itu berteriak marah, melengking,

"Keparat, jahanam kau, bocah. Kubunuh kau!"

Sin Hauw tak berkedip. Dalam keadaan pusing dan jatuh bangun dihajar lawan membuat pemuda ini marah. Dia tadi memang mencabut goloknya membacok nenek itu, yakni ketika si nenek hendak mencengkeram dan menangkapnya. Dia tadi pura-pura pingsan untuk mengecoh lawan, benar saja nenek itu terkelabuhi dan mendekat. Maka begitu dia mencabut goloknya dan senjata warisan suhunya itu berkelebat menyambar nenek ini maka nenek itu putus lengannya dan kini menerjang, dengan satu lengan yang lain tapi Sin Hauw mengelak. Dia dikejar lagi dan apa boleh buat menggerakkan goloknya itu. Dan ketika terdengar suara "cras" yang mengerikan dan lengan nenek itu buntung maka nenek ini menjerit bergulingan dengan tubuh tanpa lengan lagi.

"Aduh!" Mengerikan sekali. Apa yang terlihat adalah tubuh yang tidak utuh, Nenek itu menjerit-jerit dan bergulingan di lantai, mandi darah dan lantaipun bergelimang bau amis. Darah membanjir di mana-mana melepoti bagian yang dilalui nenek ini. Dan ketika semua orang kembali terbelalak dan ngeri melihat itu maka Im-kan Sian-li yang masih seorang tiba-tiba membentak dan menyerang Sin Hauw.

"Jahanam? Kubunuh kau, Sin Hauw. Keparat terkutuk!" sepasang tusuk konde menyambar Sin Hauw, disusul pukulan Sin-hong-ciang dan Sin Hauw menangkis. Tapi ketika dia tergetar dan terhuyung mundur maka nenek itu berteriak agar yang lain-lain maju, mengeroyok dan membalaskan sakit hati saudaranya. Nenek yang di sana akhirnya pingsan tak kuat menahan sakit, betapapun kedua lengan yang buntung terlalu banyak mengeluarkan darah, Dan ketika Pek-wan berkelebat maju dan Kwi-goanswe serta pengawal juga membentak menyerang pemuda itu maka Sin Hauw dikepung dan mendapat hujan serangan.

"Cring-plak-dess!"

Hujan serangan disusul teriakan kaget. Lima pengawal yang semula mengantar Sin Hauw tiba-tiba berteriak ngeri, mereka menjerit kesakitan ketika senjata mereka putus, tak kuat menghadapi golok di tangan Sin Hauw. Dan ketika pemuda itu bergerak dan terhuyung meneruskan tangkisannya maka semua lawan memekik tertahan karena tak ada satu senjatapun yang sanggup menghadapi golok di tangan pemuda itu, terbabat dan patah-patah berhamburan di lantai.

Apa yang dirasakan sungguh membuat orang gentar, lima pengawal pertama sudah terpelanting tak keruan bermandi darah, tangan atau kaki mereka putus disambar golok, yang masih bergerak ketika menangkis senjata mereka tadi. Dan ketika si Lutung Putih juga terdorong mundur sementara tusuk konde di tangan Im-kan Sian-li juga papas terbabat golok maka Sin Hauw menjadi pemuda mengerikan dengan senjata di tangan.

"Tangkap pemuda ini, gunakan jala!" Yang berteriak itu adalah Coa-ongya. Pangeran itu terbelalak dan ngeri melihat keampuhan golok di tangan Sin Hauw, pemuda itu sebenarnya tinggal roboh tapi masih kuat juga, pengaruh arak dapat ditahan dengan sinkangnya, hebat pemuda ini. Namun ketika jala mulai dilepas dan semua orang berteriak-teriak maka Sin Hauw bingung sementara kepalanya semakin berat berputar-putar.

"Terkutuk kalian. Pengecut!"

Semua orang marah. Mereka tak menghiraukan makian Sin Hauw karena sudah menyebar jala. Semua takut menghadapi ketajaman golok. Sin Hauw sebenarnya sudah gemetar dan diharap roboh, pemuda ini memang hampir tak kuat karena perutnya mendidih. Isi perutnya itu seakan terbakar dan hanya berkat pengerahan sinkangnya sajalah dia dapat menahan semuanya itu. Dan ketika jala menyambar dari segala penjuru dan mau tak mau Sin Hauw harus menggerakkan goloknya maka semua jala dibabat dan dua di antaranya putus. "Crat-tas!"

Kak-busu dan Lutung Putih memaki. Merekalah yang putus jalanya namun sudah mengambil lagi, yang baru, melempar dan mengincar bagian bawah Sin Hauw. Dan karena dari mana-mana berhamburan jala-jala lebar dan Sin Hauw sibuk akhirnya sebuah di antaranya mengenai kakinya. Kebetulan sekali dari nenek Im-kan Sian-li yang memandang penuh kebencian kepada pemuda ini. Sin Hauw terjirat dan ditarik roboh. Dan ketika pemuda itu terguling dan nenek itu berteriak agar merampas goloknya maka Kak-busu dan Pek-wan sudah melakukan itu, tanpa diperintah dua kali.

"Bret-dess!"

Sin Hauw masih melakukan kejutan. Dihantam dan dipukul terguling-guling oleh serangan Im-kan Siang-ii dia masih juga dapat menggerakkan goloknya, Pek-wan terkesiap karena golok menyambar dirinya, membabat pundak dan hampir saja dia terbabat, baju pundaknya sobek dan Lutung Putih itu melempar tubuh bergulingan, Kak-busu mendapat tendangan Sin Hauw namun Im-kan Sian-li sudah melepas jarum-jarum kecil, tiga menancap di tubuh Sin Hauw namun runtuh, kiranya Sin Hauw masih kebal dan kuat sinkangnya, mampu menahan sambitan jarum dan pemuda itu tak apa-apa. Tapi ketika pengawal mengeroyok dan maju lagi maka Sin Hauw terhuyung-huyung dan akhirnya satu tendangan Im-kan Sian-li melempar tubuhnya, terguling-guling dan Kwi-goanswe maju menggerakkan jala. Dan ketika jala mengenai pinggang Sin Hauw dan pemuda itu terlilit maka jenderal ini menarik dan Sin Hauw roboh.

"Brukk!"

Semua orang bernafsu sekali. Sin Hauw seolah ikan gemuk yang siap disantap, ditubruk dan beberapa jala menyambar lagi, Sin Hauw mengeluh karena kepalanya terputar-putar, tak kuat dia. Maka ketika jala berhamburan menjerat tubuhnya dan Sin Hauw kali ini tak mampu mengelak maka pemuda itu tertangkap dan goloknya ditendang nenek Im-kan Sian-li.

"Des-plak!" lepaslah golok itu, terlempar dari tangan Sin Hauw dan nenek Im-kan Sian-li berseru girang. Nenek itu berjungkir balik merampas golok. Tapi ketika dari kiri dan kanan berkelebat bayangan Lutung Putih dan Kak-busu serta Kwi-goanswe ternyata empat orang itu berebut golok.

"Serahkan padaku!"

"Tidak, ini milikku..!" dan Im-kan Sian-li yang membentak menerima pukulan Lutung Putih tiba-tiba menendang dan marah memaki temannya itu, menyambar golok namun gagal. Kak-busu menendang dan golok pun mencelat lagi, tinggi ke udara. Dan ketika Kak-busu berjungkir balik namun Kwi-goanswe berkelebat disampingnya maka golok itu telah didahului dan berpindah tangan.

"Hei..!" Lutung Putih berteriak. "Serahkan kepadaku, goanswe. Nanti Im-kan Sian-li merampasnya darimu!"

Benar saja. Nenek itu, yang marah digagalkan Pek-wan melengking tinggi. Sin Hauw yang roboh tiba-tiba mereka lupakan karena tercurah pada golok. Senjata luar biasa itu telah menarik perhatian mereka dan melupakan segalanya, Kwi-goanswe ditampar dan jenderal itu terkejut, golok terlepas dan mencelat lagi dari tangannya. Dan ketika golok terlempar dan mencelat ke udara maka Lutung Putih berseru keras mendahului Im-kan Sian-li.

"Plak-dess!"

Nenek itu ternyata tak mau mengalah. Lutung Putih yang mengacau dihantam dari samping, golok mencelat lagi dan Lutung Putih terpental di udara. Dan ketika Im-kan Sian-li tertawa dan menyambar golok maka golok sudah berada di tangannya tapi celaka sekali Kak-busu menyerangnya.

"Lepaskan, nenek siluman. Berikan itu padaku!"

Nenek ini terkejut. Saat itu mereka jadi berebut sendiri, kawan menjadi lawan dan Coa-ongya terbelalak. Golok masih terus berpindah tangan dan terlempar di udara, masing-masing menghendaki senjata itu dan tak ada yang mau mengalah. Mereka melupakan Sin Hauw dan pengawal pun tertegun. Apa yang terjadi memang di luar dugaan dan semua mendelong. Tapi ketika nenek itu menangkis pukulan Kak-busu dan Pek-wan serta Kwi-goanswe berkelebat bersamaan maka golok terlepas dari tangan nenek itu dan Coa-ongya maju membentak,

"Berhenti.. tringg!"

Golok jatuh ke lantai. Sekarang semua orang berhenti karena terkejut mendengar bentakan pangeran. Coa-ongya marah sekali karena para pembantunya bertengkar. Dan ketika tak ada satupun yang berani memungut golok karena pangeran sudah maju dengan muka merah maka pangeran itu mengambil golok ini.

"Semua tak boleh berkelahi. Hentikan perselisihan ini!"

Aneh, semua melotot memandang golok yang dipungut pangeran itu. Pek-wan dan Im-kan Sian-li saling pandang, mereka rupanya tak rela golok itu diambil Co-ongya. Maka begitu mengangguk dan melompat maju tiba-tiba keduanya berseru,

"Pangeran, berikan golok itu kepada hamba!"

"Tidak, hamba yang lebih berhak, pangeran. Hamba yang merobohkan pemuda itu!" im-kan Sian-li protes, merasa dialah yang merobohkan Sin Hauw namun Ki-goanswe melompat maju. Dan ketika dua orang itu melotot sementara pangeran sendiri marah memandang keduanya maka Kwi-goanswe berseru bahwa dialah yang lebih pantas.

"Tidak. mereka tak berhak, pangeran. Akulah yang menggubat pinggangnya hingga bocah itu roboh. Kalau tak kulilit pinggangnya tadi tentu mereka ini tak dapat merobohkan pemuda itu!"

Coa-ongya mendelik. Setelah Kwi-goa-swe sendiri turut berebut dan berani bicara maka pangeran itu menghadapi ketiganya. Dan ketika semua terkejut karena mata pangeran berapi-api maka pangeran itu membentak dengan sikap gusar, "Kalian ini siapakah berani bicara seperti itu? Tidakkah kalian tahu bahwa kalian adalah pembantu-pembantuku? Atau kalian mau memberontak?"

Semua orang kuncup. Setelah pangeran membentak dan berkata seperti itu tiba-tiba saja semua orang tak berani bercuit, Coa-ongya marah-marah dan mereka melihat pengawal bergerak maju, rupanya mereka mau melindungi pangeran dan tentu saja memusuhi mereka, hal yg tidak menguntungkan. Dan ketika Kwi-goanswe ditatap tajam dan menunduk serta membungkuk maka Lutung Putih dan Im-kan Sian-li juga melipat punggung.

"Maaf, pangeran. Kami lupa."

"Nah, begitu. Lihat pemuda itu, Sian-li. Kenapa harus ribut dan bermusuhan sendiri? Bukankah Sin Hauw masih harus dibereskan? Tangkap pemuda itu, dan jebloskan ke penjara bawah tanah!"

Kwi-goanswe terkejut. "Tidak dibunuh, pangeran? Masih dibiarkan hidup dan dipenjarakan?"

"Ya, aku tertarik pada pemuda ini, goanswe. Aku ingin memberikan kesempatan padanya untuk mengabdi padaku!"

Semua terkejut. Kata-kata pangeran yang di luar dugaan sungguh tak mereka sangka, Sin Hauw malah hendak diangkat sebagai pembantu, dari lawan menjadi kawan! Dan ketika semua tertegun namun tak ada yang berani membantah maka Sin Hauw ditangkap dan dimasukkan ruang bawah tanah, malam itu juga membuat para pembantu Coa-ongya tak senang.

Im-kan Sian-li paling marah karena saudaranyalah yang paling menderita, kedua lengannya buntung. Namun karena titah telah diucapkan dan mereka hanya sebagai pembantu saja maka nenek itu menahan marah dan sakit hatinya, tentu saja tak puas sementara yang lain-lain teringat golok.

Bagi Pek-wan atau Kak-busu tentu saja golok lebih penting. Mereka tak perduli penderitaan Im-kan Sian-li yang satunya. Mereka mengincar golok karena itulah senjata langka yang amat mujijat, senjata keramat yang harus didapatkan, kalau perlu dicuri!

Dan ketika Sin Hauw ditawan dan golok peninggalan gurunya di rampas maka malam itu pemuda ini tak sadarkan diri karena pengaruh arak, pusing dan berputar karena sesungguhnya dia diberi arak pelumpuh semangat. Sebenarnya kalau bukan Sin Hauw tentu sudah roboh sejak tadi. Sin Hauw memiliki sinkang yang kuat dan karena itu Coa-ongya kagum, apalagi setelah Sin Hauw mengeluarkan goloknya, Golok Maut yang luar biasa tajam. Dan ketika malam itu Sin Hauw masih tak sadarkan diri sementara goloknya dirampas Coa-ongya maka pemuda itu menjadi tawanan dan dijaga Kak-busu.

* * * * * * *

"Bagaimana, kau mau menjadi pembantuku, Sin Hauw? Kau mau bekerja untuk istana dan negara?"

Sin Hauw menggigit bibir. Keesokan harinya dia sadar dan Coa-ongya sudah ada di depannya, dia ditanya namun belum menjawab. Dan ketika sang pangeran mengulang lagi dan Sin Hauw mengerutkan kening maka pemuda itu menjawab, membalas pertanyaan dengan pertanyaan pula,

"Kenapa aku tak dibunuh? Mana senjataku?"

"Ah," sang pangeran tertawa. "Aku tak berniat membunuhmu, Sin Hauw. Justeru ingin mengambilmu sebagai pembantu."

"Tapi golokku kau rampas. Dan kau curang!"

"Nanti dulu! Curang bagaimana, Sin Hauw? Bukankah baik-baik aku menawanmu sini? Lihat, kau segar-bugar. Kau mendapat makan minum cukup dan kami tak melukaimu!"

"Hm, tapi sikapmu melukai perasaanku, pangeran. Kau melindungi dan membela Kwi-goanswe!"

"Tentu saja. Dia pembantuku, Sin Hauw. Siapapun harus kulindungi kalau ia pembantuku! Sekarang jawab pertanyaanku maukah kau bekerja di sini dan menjadi pembantuku!"

"Di sini ada Kwi-goanswe!" Sin Hauw tak senang. "Kau tak dapat mencampur dua seteru, pangeran. Dia harus kubunuh karena berhutang dua jiwa!"

"Hm, persoalanmu sudah kuketahui," sang pangeran mengangguk-angguk. "Urusan itu sebuah kesalah-pahaman, Sin Hauw. Kau tak dapat menuntut Kwi-goanswe karena sesungguhnya ia tak bersalah!"

"Bagus, membunuh jiwa orang tak bersalah, pangeran? Melenyapkan nyawa orang kau anggap benar?"

"Aku tahu," sang pangeran tersenyum. "Masalah ibumu telah kudengar, Sin Hau. Dan sesungguhnya masalah itu telah diselesaikan. Ibumu bukan dibunuh Kwi-goanswe melainkan secara tak sengaja terbunuh oleh pengawalnya. Aku telah mendengar itu, dan Kwi-goanswe juga telah membunuh pengawalnya!"

"Bukan hanya ibuku!" Sin Hauw mengetrukkan gigi. "Enciku juga dibawanya, pangeran. Dan mungkin telah dibunuhnya!"

"Ha-ha, Hwa Kin?" sang pangeran tertawa bergelak. "Lagi-lagi kau salah, Sin Hauw. Encimu masih hidup dan tidak diapa-apakan!"

Sin Hauw terkejut.

"Kau tidak percaya?"

Pemuda ini bersinar-sinar. "Kau barangkali benar, pangeran. Tapi juga barangkali menipuku. Aku jadi ragu atas pernyataanmu ini!"

"Ha-ha, kalau begitu boleh kubuktikan. Tapi bagaimana kalau betul? Bagaimana kalau aku tidak bohong? Maukah kau menjadi pembantuku dan bekerja di sini?"

Sin Hauw ragu.

"Lihat, aku telah bersikap jujur, Sin Hauw. Tinggal kau dapat mengimbangi atau tidak. Aku jamin bahwa encimu masih hidup dan selamat hingga saat ini!"

Sin Hauw tergetar. Kalau sang pangeran sudah berkata seperti itu dan dia dapat membuktikan bahwa encinya masih hidup tentu saja dia girang. Berarti dendamnya berkurang dan dia sedikit terhibur. Tapi bagaimana dengan ibunya? Haruskah dia diam saja karena betapapun ibunya telah terbunuh? Dan di situ ada Kwi-goanswe. Dia akan berkumpul dengan orang yang tidak disenangi ini dan Kwi-goanswe adalah orang yang telah menyebabkan ayahnya terbunuh. Jadi soal itu akan merepotkannya karena betapapun dia harus menuntut baias, meminta tanggung jawab, Dan ketika Sin Hauw tertegun dan juga ragu atas penawaran ini maka pangeran yang tampaknya dapat membaca pikirannya itu berkata, lagi-lagi membujuk,

"Apa yang kau pikirkan aku tahu, Sin Hauw. Sungguh sayang bahwa kau masih membawa-bawa persoalan ayahmu. Kwi-goanswe tak membunuh ayahmu itu, justeru dia diculik dan akhirnya dibawa teman-temannya sendiri!"

"Teman-temannya siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan pengikut Chu Wen yang bodoh itu? Memang ayahmu dibawa ke kota raja, Sin Hauw. Tapi ditengah jalan diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!"

"Hm," Sin Hauw tertegun. "Suhu tak pernah menceritakan ini, pangeran. Dan aku tak percaya!"

"Percaya atau tidak kau nanti dapat bertanya pada encimu. Kalau aku bohong tentu ketahuan!"

Sin Hauw lagi-lagi tergetar. Coa-ongya ini bicara begitu sungguh-sungguh hingga nampak meyakinkan. Encinya kembali disebut-sebut dan Sin Hauw tiba-tiba rindu. Ia tergerak dan tentu saja ingin melihat encinya itu, inilah satu-satunya saudara yang merupakan keluarganya. Setelah suhu dan subonya tewas bisa dibilang ia adalah sebatangkara. Hidupnya sang enci membuat semangat Sin Hauw terbangun. Dan ketika sang pangeran bertanya dan kembali meyakinkan tentang ceritanya tadi maka Sin Hauw mengangguk dan akhirnya mengalahkan perasaannya sendiri.

"Baiklah, aku menerima, pangeran. Tapi golokku harus dikembalikan!"

"Ha-ha, tentu, Sin Hauw. Tapi kau harus bersumpah atas nama ayah ibumu bahwa kau akan setia kepadaku!"

"Begitu berat?" Sin Hauw terkejut. "Sumpah biasa kukira cukup, pangeran. Tak usah membawa-bawa nama ayah ibuku!"

"Tidak, aku tak mau pertukaran ini berat sebelah, Sin Hauw. Kau harus menyatakan setiamu dan berjanji dapat bekerja sama dengan semua pembantuku, termasuk Kwi-goanswe. Atau aku tak mau mempertemukan encimu denganmu!"

Sin Hauw kalah. Disebut-sebutnya nama encinya akhirnya membuat dia luluh. Itu memang pelumpuhnya dan Sin Hauw berjanji, menyatakan sumpahnya dan mau bekerja di samping pangeran ini, menjadi pembantunya. Dan ketika dengan berat Sin Hauw menyebut nama ayah ibunya untuk pelengkap sumpah maka Coa-ongya tertawa bergelak dan memeluk pemuda itu, girang bukan main,

"Bagus, sudah kukira, Sin Hauw. Kau pasti berpikiran panjang dan tidak menentangku! Ha-ha, mari kukembalikan golokmu dan kau lihatlah encimu!"

Coa-ongya bertepuk tangan, memanggil Kak-busu dan muncullah laki-laki tinggi kurus itu. Dialah yang menjaga dan sesungguhnya pangeran memang tidak sendirian, diam-diam dikawal dan Kak-busu cepat diminta mengambil golok, senjata maut yang dimiliki Sin Hauw itu, yang kemarin dirampasnya. Dan ketika Sin Hauw menerima golok dan tidak curiga maka sang pangeran membawa pemuda itu keluar dari ruang bawah tanah, menuju ke gedungnya dan Pek-wan serta yang lain-lain muncul, begitu pula Im-kan Sian-li yang masih sehat, yang lain terbaring sakit dan Sin Hauw berdebar.

Kwi-goanswe muncul terakhir dan seorang pemuda lain tiba-tiba mengiring pula di belakang jenderal tinggi besar itu. Kwi Bun, pemuda yang kini gagah dan tampan tapi yang tersenyum mengejek memandang Sin Hauw. Pemuda itu sinis memandang dan Sin Hauw berdetak, ternyata Kwi Bun ada di situ dan tentu saja dia tak melupakan musuhnya sejak kecil ini, apalagi dulu Kwi Bun adalah bekas "majikannya", majikan kecil yg sombong dan angkuh! Dan ketika Sin Hau melewati orang-orang itu dan mereka semua membungkuk memberi hormat maka pangeran tertawa berkata pada mereka,

"Sin Hauw sekarang kawan. Dia pembantuku!"

Ada rasa tak enak di hati Sin Hauw. Semalam dia datang sebagai musuh, kini tiba-tiba sudah berbalik arah, menjadi pembantu Coa-ongya dan orang-orang yang semalam dimusuhinya mendadak sontak menjadi kawan. Janggal sekali rasanya! Tapi karena pangeran mengimbanginya dengan masalah encinya dan mati hidup encinya itu memang segala-galanya bagi Si Hauw maka pemuda itu menindas semua perasaannya dan menegakkan kepala melewati orang-orang itu, tak perduli pada sinar mata mereka yang aneh dan Sin Hau terus dibawa ke dalam. Dan ketika yang lain diajak memasuki gedung dan untuk pertama kalinya Sin Hauw disambut secara benar maka pangeran hendak menjamu pemuda ini sambil menyuruh Hwa Kin keluar.

"Encimu sebentar datang. Aku ingin merayakan perjumpaanmu yang membahagiakan ini!"

Sin Hauw bersinar-sinar, Dia jadi teringat janji Coa-ongya yang katanya juga akan memanggil Kwi-goanswe, yang ternyata bohong dan justeru melolohinya dengan arak perampas tenaga. Sin Hauw was-was dan tentu saja tak nyaman. Tapi ketika pangeran tertawa dan berkata padanya bahwa tak usah dia khawatir maka pangeran sudah menyuruhnya duduk.

"Mari, tak usah ragu. Sambutanku benar-benar tulus dan tak usah kau khawatir!"

Sin Hauw semburat merah. Pangeran sudah menyuruhnya duduk sementara dia sendiri sudah memilih sebuah kursi, duduk mengajak Sin Hauw dan untuk kedua kali Sin Hauw berhadapan dengan pangeran ini. Semalam sebagai musuh kini sebagai sahabat, canggung juga Sin Hauw. Tapi ketika pangeran menuangkan arak dan Sin Hauw tak buru-buru menerima maka pemuda itu berkata biarlah dia menunggu dulu encinya.

"Ha-ha, boleh, Sin Hauw. Kalau begitu yang lainpun biar menunggu encimu!"

Sang pangeran bertepuk tangan. Pelayan yang datang menghidangkan makanan disuruh meletakkan dulu di meja, mereka semua jadi menanti dan menunggu Hwa Kin, Coa-ongya telah memerintahkan seorang dayangnya untuk memanggil gadis itu. Dan ketika tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam maka muncullah seorang gadis yang berhenti di pintu tengah.

"Sin Hauw..!"

Sin Hauw tergetar. Seorang gadis cantik memanggil namanya dengan suara tertahan, menggigil dan pucat. Sin Hauw menjublak karena itulah encinya, agak berobah namun masih cantik, tubuhnya semakin matang dan Sin Hauw terguncang. Gadis cantik itu memanggilnya sekali lagi dan tiba-tiba menjerit, menghambur dan menubruk dirinya. Dan ketika Sin Hauw bangkit berdiri dan menggigil menerima tubrukan ini maka Hwa Kin, encinya itu sudah mengguguk dan tersedu-sedu menerkamnya.

"Oh, tak kusangka kau masih hidup, Sin Hauw. Tak kusangka kita dapat bertemu di sini. Aduh, Coa-ongya tak menipu-ku..!" dan Sin Hauw yang sudah menggigil dan balas memeluk akhirnya tersedak dan menangis tak dapat menahan haru, melihat encinya sehat walafiat tak kurang suatu apa, segar-bugar dan tentu saja dia girang. Dan ketika Hwa Kin mengguncang-guncang tubuhnya dan mencengkeram serta menangis maka Sin Hauw ikut mencucurkan air mata dalam haru dan girangnya.

"Enci, ini bukan mimpi? Kau juga masih hidup?"

"Benar, ini bukan mimpi, Sin Hauw. Aku masih hidup! Ah, kau semakin gagah dan tampan. Kau kudengar memiliki kepandaian tinggi dan lihai!"

"Ah, ini berkat guruku, enci. Mendiang Sin-Iiong Hap Bu Kok dan isterinya mendidikku sampai begini."

"Mendiang? Jadi mereka..."

"Benar, mereka tiada, enci. Tapi kepandaiannya telah kuwarisi!"

"Ah!" dan Hwa Kin yang girang memeluk pemuda itu lalu menangis tapi tertawa, girang dan terharu dan Sin Hauw berlinang-linang. Encinya sekarang tampak montok dan cantik sekali, wajahnya segar berseri-seri dan seolah tak ada himpitan batin, heran dia. Namun karena encinya masih hidup dan tentu saja dia ingin banyak bicara maka Sin Hauw mendengar tepuk tangan pangeran.

"Ha-ha, cukup, Sin Hauw. Sekarang mari duduk!"

Sin Hauw teringat. Dia terkejut ketika sadar bahwa semua orang memandangnya. Tadi dia terlampau girang dan terharu bertemu encinya ini. Mereka kakak beradik ternyata masih hidup semua, ini kebahagiaan yang memang harus dirayakan. Maka ketika pangeran bertepuk tangan dan menyuruhnya duduk Sin Hauw sudah disambar dan didahului encinya.

"Sin Hauw, benar kata pangeran. Mari ucapkan dulu terima kasih padanya. Ketahuilah, tanpa Coa-ongya tak mungkin encimu ini masih hidup!"

Sin Hauw tersipu-sipu, diajak encinya mendekati meja dan encinya itu sudah menjura di depan pangeran. Dan ketika dia diajak mengucap terima kasih dan encinya itu menangis meluapkan perasaannya maka pangeran bangkit berdiri menyambut encinya itu, memeluk pundaknya, lembut dan mesra.

"Sudahlah, semua ini berkat Tuhan, Kin-moi. Duduk dan ajaklah Sin Hauw bergembira!"

Sin Hauw tertegun. Encinya dipeluk dan tampak menyambut mesra sikap pangeran itu, mereka layaknya sudah akrab benar dan satu sama lain melempar pandang bahagia. Sin Hauw mengerutkan kening. Tapi ketika encinya duduk dan dia juga diminta duduk maka pangeran menjamunya dan hari itu dia benar-benar seperti raja, mendapat kehormatan sejati. Pangeran menyuruh semua orang makan minum dan ditenggaklah arak berulang-ulang, Sin Hauw tak ragu lagi karena encinya juga turut minum. Aneh!

Dan ketika semua orang bergembira dan saling menemukan cawan untuk memberi hormat padanya maka Hwa Kin, encinya, juga tampak dihormat dan mendapat perhatian istimewa. Kwi-goanswe dan lain-lain menghormat encinya itu seperti mereka menghormat pangeran, Sin Hauw tertegun dan bertanya-tanya dalam hati. Dan ketika empat jam kemudian semuanya selesai dan pertemuan dibubarkan maka Coa-ongya memberi kesempatan padanya untuk bercakap-cakap dengan encinya itu, berdua.

"Kalian puaskanlah kerinduan masing-masing. Bawa Sin Hauw ke kamarnya dan ajak adikmu bercakap-cakap!"

Sin Hauw girang bukan main. Ini memang yang ditunggu dan dia sudah tak sabar, ingin berdua dan bercakap-cakap dengan encinya itu. Maka begitu Coa-ongya memberi kesempatan dan encinya bangkit berdiri encinya itu sudah tertawa menyambarnya.

"Lihat, pangeran demikian bijaksana, Sin Hauw. Sungguh sepatutnya kita menghormat dan berterima kasih!"

Sin Hauw mengangguk. Memang pandangannya kini sudah berobah, pangeran dianggapnya baik dan tentu saja dia bersikap mengimbangi. Semua sikap permusuhannya lenyap dan Sin Hauw sudah mengangguk. Dan ketika sang enci. menarik dan membawanya ke dalam ternyata dia sudah mendapat sebuah kamar yang bagus dan indah.

"Ini kamarku?"

"Benar, dan kau selamanya tinggal di sini, Sin Hauw, mendampingi encimu dan jangan pergi lagi!"

Sin Hauw berdebar. Masuk ke kamar berdua dengan encinya ini tiba-tiba menimbulkan rasa panas di wajah. Entahlah, setelah enam tahun tak berjumpa dan kini mereka tiba-tiba sudah sama besar mendadak membuat Sin Hauw jengah. Kalau ini bukan encinya tak mau dia masuk bersama. Mereka bagai pasangan pengantin baru saja! Tapi ketika encinya sudah mendorong masuk dan dia diminta duduk di kursi yang empuk maka encinya itu menutup pintu kamar dan berkata,

"Nah, sekarang kita aman. Lebih enak bicara dan kau ceritakanlah bagaimana keadaanmu selama ini!"

"Ah, nanti dulu!" Sin Hauw sedikit tertegun. "Kenapa pintunya kau kunci, enci? Masa kita harus dalam keadaan tertutup begini?"

"Eh, memangnya kenapa? Pangeran sendiri telah menyuruh kita, Sin Hauw. Dan kitapun enci adik. Pintu kututup agar tak ada yang mendengar pembicaraan kita!"

"Tapi tak perlu dikunci."

"Hm, ada apa sih kau ini? Kenapa rewel masalah pintu? Kita bukan orang lain, Sin Hauw. Kita enci adik dan bukan mau macam-macam. Kau buanglah pikiranmu yang tidak-tidak dan jangan khawatir dugaan orang!"

Sin Hauw semburat merah. Memang encinya ini benar, mereka kakak adik. Mau apa pusing omongan orang? Dia dan encinya justeru diperintah pangeran untuk berdua melepas kerinduan, mereka sudah lama tak bertemu dan tentu saja masing-masing ingin bicara, tentu banyak pembicaraan mereka nanti. Maka begitu encinya duduk dan bersinar-sinar memandangnya Sin Hauw sudah tak banyak bicara lagi tentang pintu yang terkunci.

"Baiklah, kau benar, enci. Hanya rasanya kikuk juga. Kau sekarang bertambah cantik dan dewasa!"

"Hush, kau mau merayu encimu?"

Sin Hauw tertawa. "Tidak, tapi kenyataan membuktikan begitu, enci. Dan kau, hm... tampaknya tak mengenal susah!"

"Maksudmu?"

"Kau tampak bahagia di sini, kau sehat dan segar-segar saja!"

"Ah, tentu, Sin Hauw. Coa-ongya yang menolongku. Dia... dia kakak iparmu!"

"Apa?"

"Benar, Sin Hauw. Coa-ongya, pangeran... dia itu... dia itu suamiku. Encimu sekarang menjadi isterinya!"

Sin Hauw terkejut. Hampir berjengit dia melonjak dari kursinya, terbelalak memandang sang enci. Tapi ketika encinya terisak dan mengangguk bersinar-sinar encinya itu berkata perlahan,

"Sin Hauw, banyak cerita yang harus kau dengar. Barangkali harus aku dulu yang mulai. Kau dengarlah," encinya memulai, mengangkat muka dan akhirnya tidak menunduk lagi. Encinya menceritakan betapa dia diambil pangeran, dicinta dan akhirnya menjadi isterinya. Dan ketika semuanya itu dimulai dari peristiwa di Cin-ling dulu maka Sin Hauw mendengarkan dengan sikap tertegun.

"Aku tak diapa-apakan. Kwi-goanswe baik-baik saja kepadaku. Aku ditawan lalu diserahkan Coa-ongya. Kebetulan pangeran tertarik padaku dan jatuh cinta, diminta baik-baik dan akupun menjadi isterinya. Dan karena pangeran berjanji untuk mempertemukan aku denganmu maka aku menunggu-nunggu kau dari Cin-ling, Sin Hauw. Sayang dikabarkan orang bahwa kau tak di sana lagi!"

Sin Hauw menjublak. Encinya menangis dan terisak, sederhana dan singkat cerita itu namun sudah cukup jelas. Encinya menunggu-nunggu dia dari Cin-ling, dikabarkan pangeran menyuruh orang mencari dirinya, tak ketemu dan encinya itu menangis sepanjang hari. Maklumlah, Sin Hauw akhirnya dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya, dididik dan digembleng di sana, meninggalkan Cin-ling setelah Hwa-liong Lo-kai tewas. Dan ketika encinya berkata bahwa tiada bosan-bosannya pangeran menyuruh orang mencari dirinya maka encinya itu menutup.

"Aku sekarang gembira. Janji pangeran ternyata dapat ditepati. Aih, tak boleh kau sekarang meninggalkan encimu, Sin Hauw. Kau harus di sini dan selalu menemanimu encimu!"

"Hm!" Sin Hauw mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah menikah, enci? Dan Coa-ongya adalah suamimu?"

"Benar, dia baik, Sin Hauw. Dan tanpa dia barangkali tidak begini nasib encimu!"

"Hm, aku terus terang terkejut. Lalu bagaimana dengan Kwi-goanswe, enci? Bukankah dia musuh kita?"

"Ini kekeliruan kita, Sin Hauw. Kwi-goanswe tak boleh kita musuhi karena sesungguhnya dia tak bersalah."

"Tapi ibu terbunuh olehnya."

"Bukan, bukan olehnya, Sin Hauw, melainkan oleh pengawalnya. Dan pangawal itu sudah dibunuhnya. Hutang ini impas, ibu terbunuh secara tak sengaja!"

Sin Hauw mengerutkan kening. "Dan ayah?" Sin Hauw masih tak puas. "Ayah terbunuh olehnya, enci. Dan hutang ini belum impas."

"Ah, lagi-lagi kau salah, Ayah tak dibunuh olehnya, Sin Hauw. Ayah diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!"

Sin Hauw teringat omongan Coa-ongya. Pangeran itu juga berkata seperti itu dan kini encinya mengulang, dia mengerutkan kening dan bertanya hati-hati. Dan ketika encinya menarik napas dan duduk membetulkan letak kakinya maka encinya itu berkata,

"Aku mengetahui ini setelah di sini. Ayah diculik dan dibawa lari teman-temannya, ketika dibawa Kwi-goanswe. Dan karena Kwi-goanswe masih kerabat sendiri dan membiarkan ayah dibawa teman-temannya maka ayah tak dibunuh siapa-pun. Kabarnya ayah tewas karena sakit, dalam perjalanan. Yakni ketika bersama teman-temannya itu. Tapi karena Kwi-goanswe yang menangkap ayah dan dialah yang pertama kali membawa ayah maka orang menyangka Kwi-goanswe inilah yang mencelakakan ayah. Padahal sebenarnya Kwi-goanswe tak tahu apa-apa lagi setelah ayah diculik dan dibawa teman-temannya sendiri!"

"Hm, kalau bukan kau yang bercerita tak mau aku percaya, enci. Baiklah kuterima hal ini sebagai kenyataan yang lain. Aku percaya padamu, dan bagaimana saranmu setelah aku ada di sini!"

"Kau membantu Coa-ongya! Bukankah kau sudah berjanji padanya?"

"Benar, tapi aku kikuk berkumpul dengan Kwi-goanswe dan lain-lainnya itu, enci. Kemarin aku bertempur dengan mereka habis-habisan tapi kini tiba-tiba bersahabat!"

"Hm, tak perlu begitu. Kau lihat muka encimu, Sin Hauw. Kau pandanglah aku dan buang perasaanmu yang salah itu. Mereka juga tak akan berani mengganggumu karena aku adalah isteri Coa-ongya. Jelek-jelek kau adalah adik ipar pangeran, kau akan bergelar pangeran pula kalau diusulkan pada sri baginda!"

"Pangeran? Aku menjadi pangeran?"

"Ya, aku dapat membawa ini pada suamiku, Sin Hauw. Coa-ongya pasti menurut dan di bawah perintahku!"

Sin Hauw tertegun. Membayangkan dirinya sebagai pangeran tiba-tiba dia merasa melembung, kepala rasanya membalon tapi tiba-tiba Sin Hauw tertawa. Dan ketika encinya bertanya kenapa dia tertawa maka Sin Hauw menjawab geli,

"Aku merasa lucu dengan omonganmu ini. Mana bisa seorang biasa diangkat sebagai pangeran? Ah, terlalu tinggi. enci, terlalu muluk. Aku tak mau menjadi pangeran!"

"Kenapa?"

"Tak enak, aku ingin menjadi orang biasa saja dan bebas ke sana ke mari. Ah, tak enak itu. Lagi pula aku tak berpendidikan istana!"

"Ah, itu dapat belajar, Sin Hauw. Aku dapat memberitahumu!"

"Tidak, aku tak suka, enci. Kita bukan dari keluarga biru. Aku ingin seperti ini dan biar tetap seperti ini!"

"Baiklah, terserah kau, Sin Hauw. Yang penting kau tetap di sini menemani encimu. Aku tak mau kau pergi dan meninggalkan aku!"

"Hm, aku tak akan meninggalkanmu, Tapi sehari dua aku mesti pergi juga, enci, melaksanakan tugas suhu yang harus kuselesaikan!"

"Benar, sekarang ceritakan kisahmu itu. Bagaimana dengan gurumu dan kemana kau selama ini!"

"Aku di Lembah Iblis..."

"Lembah Iblis?"

"Ya, Lembah Iblis, enci. Tempat tinggal kedua orang guruku. Aku di sana selama enam tahun!"

"Pantas saja, pangeran tak dapat menemukanmu!"

"Aku tak diperbolehkan keluar, enci. Suhu dan subo melarangku."

"Aneh, ceritakan kisahmu, Sin Hauw. Biar aku mendengar!"

Sin Hauw menarik napas dalam. Setelah encinya selesai bercerita dan ganti dia diminta bercerita maka Sin Hauw menarik napas panjang. Kisahnya sedih, juga panjang. Maka duduk dengan baik dan mulai bercerita dia lalu menceritakan apa yang dialaminya, sejak penyerbuan di Cin-ling dulu dan betapa Hwa-liong Lo-kai akhirnya tewas. Kakek atau gurunya pertama itu tak dapat ditolong lagi, lukanya parah dan racun Ular Merah cukup jahat. Semuanya itu membuat si kakek tewas dan akhirnya dia dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya yang baru, Sin-liong Hap Bu Kok suami isteri itu. Dan ketika di sana dia dilarang turun lembah sebelum mewarisi semua kepandaian gurunya maka Sin Hauw menarik napas mengenang ini.

"Aku tak boleh ke mana-mana. Itulah sebabnya baru hari ini aku datang, enci. Itupun karena suhu dan subo tewas. Mereka berkelahi, masing-masing tak mau mengalah dan akhirnya mati bareng!"

"Ih!" sang enci tampak ngeri. "Persoalan apa yang membuat mereka seperti itu, Sin Hauw? Apakah kedua gurumu gila?"

"Tidak, mereka memperebutkan ini, enci. Golok Maut! Aku juga menyesal kenapa mereka harus seperti itu!"

"Golok Maut? Senjata yang kau bawa itu?"

"Benar, dan ini milik guruku, enci. Aku akan mempertahankannya dengan jiwaku!"

"Dan kau telah menabas buntung seorang dari nenek Im-kan Sian-li! Benar-kah, Sin Hauw?"

"Benar, enci," Sin Hauw tak enak. "Tapi mereka itu yang menggangguku lebih dulu. Kalau tidak begitu tentu tak akan terjadi itu!"

"Ih, aku jadi mengkirik! Senjatamu berbau darah, Sin Hauw. Sebaiknya disimpan dan tidak dipergunakan saja!"

"Aku juga bermaksud begitu. Tapi kalau keadaan memaksa tentu tak mungkin kulakukan itu, enci. Dan aku berharap mudah-mudahan golok ini tidak mereguk darah!"

Pembicaraan mulai menyimpang. Kini Sin Hauw ditanya masalah golok itu, ketajaman dan keampuhannya, lalu ilmu-ilmu silat yang dia miliki. Dan ketika pembicaraan beralih pada masalah pribadi apakah Sin Hauw sudah punya pacar atau belum maka pemuda ini tersipu merah dengan muka jengah.

"Pacar? Ah, kau ini ada-ada saja, enci. Aku hidup penuh penderitaan dan tidak ingat masalah itu. Aku tidak memikirkan itu!"

"Tapi kau sudah cukup dewasa. Hampir dua puluh tahun!"

"Hm. baru delapan belas, enci. Masih ingusan dan hijau!"

"Hi-hik, jangan begitu, Sin Hauw. Delapan belas pun sudah cukup. Kau sudah dewasa dan dapat beristeri. Aku punya pandangan di sini, Miao In!"

Sin Hauw terkejut. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba encinya itu bangkit berdiri, keluar dan sudah membuka pintu kamar. Dan ketika dia bertepuk tangan dan seorang dayang muncul diminta memanggil seorang gadis maka tak lama kemudian muncul seorang dara tujuh belasan tahun yang cantik berbaju hijau, dibawa masuk encinya itu.

"Ini, perkenalkan, Sin Hauw. Miao In yang kuberitahukan itu!"

Sin Hauw merah padam. Tanpa ba-bi-bu lagi encinya itu tiba-tiba sudah membawa masuk seorang gadis, cantik dan tentu saja Sin Hauw gugup. Selamanya dia belum pernah bergaul dengan wanita, kecuali enci dan subonya itu. Maka begitu seorang gadis asing sudah diperkenalkan padanya dan gadis itu malu-malu membungkuk di depannya Sin Hauw pun tersipu dan jengah dengan muka merah padam.

"Aih-aih, tak usah malu-malu. Miao In adalah puteri Ci-ongya, Sin Hauw. Masih kerabat dengan Coa-ongya. Ayo kenalan, jangan malu-malu!"

Sin Hauw seperti kepiting direbus. Encinya itu sudah mengajaknya berkenalan, Miao In tersenyum malu-malu dan menggigit bibir. Pipi yang kemerahan itu tampak semakin memerah dan membentuk apel yang masak. Dan ketika Sin Hauw menyambut dan mau tak mau memperkenalkan diri maka gadis itu berkata penuh kagum padanya,

"Aku sudah mendengar tentang dirimu. Enci Kin sungguh beruntung, mempunyai adik yang begini hebat dan lihai.Aku kagum, Sin Hauw. Mudah-mudahan kau suka bersahabat denganku dan sedikit-sedikit mengajariku silat!" "Ah, aku tak bisa apa-apa, Miao In. Kau terlalu membesar-besarkan diriku. Aku masih bodoh dan sesungguhnya kepandaianku terbatas!"

Percakapan dimulai. Sekarang Sin Hauw ditemani seorang gadis cantik di samping encinya. Untunglah, kalau tak ada encinya di situ tentu Sin Hauw tak dapat berkutik, mula-mula gugup tapi Miao In ternyata luwes, pandai bertutur kata dan Si Hauw tertarik. Dan ketika secara perlahan tetapi pasti dua muda-mudi itu sambar-menyambar mengerlingkan mata tiba-tiba saja Sin Hauw merasa jatuh cinta!

Hari itu encinya ngobrol tak habis-habisnya, mereka terlibat pembicaraan menarik dan sama sekaii tidak menyinggung-nyinggung masalah kemarin, pertandingan pemuda itu dengan Im-kan Sian-li dan lain-lain, hal yang membuat Sin Hauw merasa lega dan tenang. Encinya menguasai percakapan dan Miao In serta Sin Hauw hanya saling menumpang. Miao In sering melirik Sin Hauw dan kekaguman tak dapat disembunyikan di mata gadis itu, Sin Hauw tergetar dan tentu saja merasa. Dan ketika sehari itu mereka asyik ngalor-ngidul dengan pembicaraan yg selalu ada akhirnya Hwa Kin minta diri karena harus menemui atau menemani suaminya, Coa-ongya.

"Suamiku tentu menunggu. Cukuplah, Sin Hauw. Besok kita bicara lagi dan Miao In dapat menemanimu!"

"Ah., biar aku besok ke mari bersamamu, enci Kin. Sin Hauw tentu ingin ber-istirahat dan mengaso!"

Sin Hauw mengangguk. Memang dia lelah, ingin beristirahat setelah seharian ngobrol dengan encinya. Hari itu dia merasa gembira dan bahagia. Teman barunya Miao In cukup menyenangkan juga, ada semacam perasaan nikmat kalau berdua dengan gadis itu, berbicara dan bercakap-cakap. Dan ketika mereka pergi dan malam itu Sin Hauw mengaso di kamarnya maka pemuda ini menerawang girang ke langit-langit ruangan.

"Ah, encinya ternyata bahagia," pikirnya dengan mata berseri-seri. "Dan Coa-ongya pun ternyata seorang laki-laki yang baik. Kalau semua itu betul dan kematian ayah ibunya tak dapat disalahkan kepada siapa-siapa tentu saja dia akan menerima dan melupakan hal itu.

Sin Hauw mulai gembira. Kenyataan bahwa encinya masih hidup dan segar-bugar membuat pemuda ini cepat melupakan yang lain-lain. Kwi-goanswe dan teman-temannya mulai dapat diterima di hati, begitu juga Im-kan Sian-li, dua nenek lihai itu, yang tidak mengganggunya. Dan ketika sebulan kemudian Sin Hauw sudah menjadi pembantu Coa-ongya dan tiap hari hampir selalu ditemani encinya atau Miao In maka bulan kedua gadis baju hijau itu sudah erat dengan Sin Hauw sementara encinya satu dua kali saja muncul menemaninya.

"Kau baik-baiklah dengan Miao In. Gadis itu jatuh cinta padamu!"

Sin Hauw tersentak.

"Kau tak percaya?" encinya tertawa. "Lihat pandang matanya, Sin Hauw. Amati gerak-geriknya dan sikapnya. Gadis itu sudah menyatakan perasaan hatinya kepadaku!"

Sin Hauw tersirap. Kalau encinya sudah bicara seperti itu tentu saja dia terkesiap, encinya sudah meninggalkannya dan terkekeh ditahan. Tawa encinya itu penuh arti dan Sin Hauw tertegun. Dan ketika kebetulan Miao In muncul tak lama kemudian untuk minta pelajaran silat maka Sin Hauw merah padam teringat kata-kata encinya tadi.

"Lihat pandang matanya, lihat gerak-geriknya," begitu kata-kata itu terngiang. "Gadis itu jatuh cinta padamu, Sin Hauw. Dan aku setuju kau menikah dengannya!"

Sin Hauw berdegup kencang. Setelah encinya pergi dan Miao In tiba-tiba muncul mendadak jantungnya berdebar kencang. Dia gugup memandang gadis itu dan hari itu Miao In tampak cantik bukan main. Gadis ini mengenakan celana hitam dengan baju kembang-kembang, di-lilit sebuah ikat-pinggang merah dalam pakaian ketat. Ah, Sin Hauw terbelalak dan kagum. Dan ketika gadis itu mendekat dan benar saja pandang mata Miao In penuh getaran dan mesra memandangnya maka gadis itu berkata, merdu dan menggetarkan perasaan Sin Hauw,

"Aku ingin melanjutkan jurus kemarin, Sin Hauw. Aku ingin kau mengulangnya lagi dan memberitahukan padaku!"

Ternyata Sin Hauw sudah memberikan sebagian kepandaiannya kepada gadis itu. Hwa Kin menyuruhnya dan Sin Hauw tidak menolak, memberikan Kim-kong-cian dan beberapa dasar-dasar ilmu silat. Miau In menerimanya cerdas dan cepat menangkap pelajarannya, Sin Hauw diam-diam kagum dan memuji. Namun ketika pagi itu gadis ini agak mengerutkan kening karena pelajaran kemarin agak sukar maka Sin Hauw tersenyum dan sudah dapat menguasai perasaan hatinya.

"Ah, jurus Pukulan Emas Memecah Awan, Miao In? Mudah, mari kuulang dan kau lihat gerak tanganku!" Sin Hauw menyambar gadis ini, sudah berani memegang lengannya karena untuk melatih silat tentu saja harus pegang-pegang segala. Perasaan ini menimbulkan nikmat tersendiri dan Sin Hauw senang melakukan itu, apalagi Miao In sendiri sering tersenyum dan tidak menolak, halus dan lembutnya tangan seorang gadis membuat Sin Hauw kadang-kadang "ketagihan". Tentu saja senang memegang-megang dan hubungan mereka kian akrab saja. Dan Ketika pagi itu Sin Hauw mengulang jurus kemarin dan tak bosan-bosannya memberi petunjuk akhirnya Miao In girang, mengerti.

"Oh, begitu kiranya, Sin Hauw? jari tangan harus ditekuk sebuah? Ah, pantas, Sin Hauw. Aku kemarin gagal karena tidak memperhatikan letak ibu jari!"

"Nah, coba kau ulang. Tunjukkan padaku dan berlatihlah!"

Miao In sudah melakukan itu. Pagi itu dia mengikuti petunjuk Sin Hauw, melatih dan mengulang-ulang jurus Pukulan Emas Memecah Awan, akhirnya menguasai dan giranglah gadis itu. Dan ketika jurus-jurus berikut dilatih lagi dan sedikit demi sedikit Sin Hauw memberikan Kim-kong-ciangnya maka seminggu kemudian Sin Hauw berduaan lagi dengan gadis itu.

"Kita berlatih di hutan, jangan di sini!"

Sin Hauw terkejut. "Kenapa?"

"Ah, perlu suasana baru, Sin Hauw. Aku ingin di tempat yang lebih luas dan lega!"

Sin Hauw tertawa. Hari itu lagi-lagi Miao In mengenakan pakaian ketat, celananya hitam namun bajunya merah. Akhir-akhir ini Sin Hauw lebih sering memperhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu, sering memperhatikan bentuk tubuhnya yang kian menonjol saja. Secara tak disadari Sin Hauw mulai diganggu berahinya, darah mudanya sering berdenyar dan hari itupun dia agak terbelalak melihat pakaian yang dikenakan gadis ini. Entahlah, pandang matanya selalu lekat pada tubuh gadis itu dan Sin Hauw kagum pada sepasang buah yang menonjol. Itulah daya tarik wanita dan Sin Hauwpun silau. Dan ketika hari itu Miao In mengajaknya ke hutan dan kali ini gadis itu yang menyambar lengannya maka Sin Hauw berdebar merasakan jari-jari yang lembut dan hangat.

"Eh, tanganmu berkeringat, Sin Hauw. Aneh sekali belum apa-apa sudah basah!"

Sin Hauw terkejut. "Aku agak gugup, Miao In. Entahlah hari ini aku merasa kikuk!"

"Kepada siapa?"

"Kepada dirimu."

"Eh!" gadis itu berhenti. "Kepadaku? Hi-hik, lucu, Sin Hauw. Kau main-main!" dan gadis itu yang sudah menyambar Sin Hauw lagi dan diajak berlari ke hutan akhirnya membuat Sin Hauw merah padam, memang sesungguhnya kikuk dan ada perasaan jengah di hati. Mereka sudah biasa pegang-pegangan tangan tapi hari ini dia merasa lain. Keketatan pakaian dan kecantikan Miao In hari ini lebih menonjol, Sin Hauw tergetar dan sesungguhnya itulah yang membuat dia tak keruan, gugup dan mau melengos tapi selalu saja matanya ingin melirik ke samping, menembus apa yang ada di balik pakaian ketat itu, aneh. Sebuah keinginan yang akhir-akhir ini mengganggu Sin Hauw. Dan ketika mereka tiba di hutan dan di situ baru Miao In melepaskan tangannya maka gadis ini minta agar Sin Hauw melayaninya bertanding.

"Sekarang Kim-kong-ciang sudah kupelajari semua. Tolong kauberi petunjuk dan kita berlatih lengkap!"

Sin Hauw mengangguk. Memang Kim-kong-ciang sudah diberikannya semua, gadis itu melahapnya dalam beberapa bulan saja dan Sin Hauw kagum. Hebat gadis ini, dia bersinar-sinar dan tentu saja merasa kagum. Dan ketika Miao In minta ditemani agar mereka berlatih secara lengkap maka Sin Hauw mengangguk dan untuk sesaat dapat melupakan debaran hatinya, bersiap dan Miao In tertawa di depannya. Gadis itu juga bersiap dan memberi aba-aba.

Dan ketika gadis itu bergerak dan mulai menyerang maka Sin Hauw melayani dan mengelak, dikejar lalu bertubi-tubi mendapat serangan susulan, menangkis dan segeralah mereka terlibat dalam latihan yang serius. Baru kali ini gadis itu meminta Sin Hauw melayaninya dalam latihan lengkap, maklumlah, baru kali itu juga dia selesai mendapat Kim-kong-ciang. Namun ketika Sin Hauw dapat mematahkan semua serangannya dan Kim-kong-ciang seolah tak berdaya menghadapi pemuda itu tiba-tiba Miao In menangis dan membanting kakinya.

"Sin Hauw, aku masih bodoh. Aku tak dapat mengalahkanmu!"

"Eh," Sin Hauw terkejut. "Jangan kau bicara begitu, Miao In. Kepandaianmu sudah cukup dan Kim-kong-ciang hampir sempurna kau ingat!"

"Tapi aku tak dapat merobohkanmu! Aku masih bodoh!"

"Tidak, bukan begitu, Miao In, melainkan ilmumu kukenal dan tentu saja dapat kuhadapi dengan baik. Kau yang terlalu berambisi!"

Gadis itu berhenti. Tiba-tiba Miao In melempar tubuh dan duduk menangis. Semua serangannya yang tadi dengan mudah dielak atau ditangkis Sin Hauw dianggapnya kebodohannya. Gadis ini tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan malah bengong maka gadis itu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Ah, aku tolol, Sin Hauw. Tak nyana semua pelajaran darimu tak dapat kupakai sama sekali. Aku terlalu bodoh, tak ada kemajuan sama sekali!"

"Tidak," Sin Hauw membungkuk. "Kau salah, Miao In. Justeru latihan yang sudah kau tunjukkan ini mengagumkan hatiku. Kemajuanmu pesat, bayangkan hanya dalam dua bulan saja kau sudah menguasai Kim-kong-ciang dan dapat dipakai bertempur!"

"Tapi aku tak dapat mengalahkanmu, Sin Hauw. Aku tak dapat merobohkanmu!"

"Tentu," Sin Hauw tertawa. "Aku memiliki ilmu-ilmu yang lain, Miao In. Bukan hanya Kim-kong-ciang saja. Lagi pula aku enam tahun belajar sedang kau hanya dua bulan! Mana bisa ditandingkan? Tidak, kau memang belum dapat mengalahkan aku, Miao In. Masih terlalu lama bagimu mengalahkan aku. Barangkali kau harus belajar bertahun-tahun!"

"Jadi bukan karena aku bodoh?"

"Ah, kau tidak bodoh, Miao In. Bahkan sesungguhnya mengagumkan hatiku. Kalau bukan kau tentu tak mungkin melatih Kim-kong-ciang hanya dua bulan selesai!"

"Sungguh?"

"Eh, kau kira aku bohong?"

"Ah, kalau begitu terima kasih, Sin Hauw. Aku sekarang tak kecewa dan biar kauajarkan lagi ilmu-ilmumu yang lain!" gadis itu tiba-tiba menubruk, tertawa dan sudah girang memeluk Sin Hauw. Pemuda ini terkejut karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah dirangkul, dipeluk lengan yang hangat itu dan tanpa sengaja "buah" yang dikagumi Sin Hauw melekat di dadanya, nempel dan terasalah sesuatu yang hangat-hangat mendesirkan mengguncang sukma pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan merah padam menerima itu tiba-tiba Miao In melepaskan diri seolah kaget.

"In, maaf, Sin Hauw. Aku tak sengaja!"

"Tak apa," Sin Hauw menggigil. "Aku merasa gembira, Miao In. Kalau kau tidak menangis dan dapat gembira lagi tentu akupun turut senang!"

"Kau tak marah ku... kupeluk tadi?"

"Hm," Sin Hauw semburat. "Kita sahabat baik, Miao In. Aku tak marah kau melakukan itu!"

"Dan kau... kau tadi menyatakan kagum. Eh, benarkah aku tak bebal, Sin Hauw? Atau kau hanya sekedar menghiburku agar aku tak kecewa?"

"Hm, tidak. Kau memang mengagumkan, Miao In. Dan terus terang jarang ada yang dapat menyelesaikan Kim-kong-ciang hanya dalam dua bulan!"

"Sungguh?"

"Sungguh!"

"Dan kau, eh., bagaimana pandanganmu kepadaku, Sin Hauw? Termasuk gadis apakah aku ini?"

"Hm, kau gadis cantik, Miao In. Dan aku mengagumi kecantikanmu!" Sin Hauw kelepasan bicara, sudah mabok oleh bekas pelukan tadi dan Miao In terkejut.

Gadis itu terbelalak tapi tiba-tiba menunduk, mukanya merah dan tiba-tiba dia betanya apakah Sin Hauw suka padanya. Dalam saat begitu suasana romantis tak dapat dicegah, Miao In secara tak sengaja mendekatkan lengannya, merayap dan sudah disambar Sin Hauw. Dan karena Sin Hauw teringat kata-kata encinya bahwa gadis ini jatuh hati kepadanya maka dia merasa berani dan tak dapat disangkal bahwa iapun sebenarnya jatuh cinta terhadap gadis cantik itu!

"Maaf, aku.. aku bukan hanya merasa suka kepadamu, Miao In. Melainkan.. melainkan juga mencintamu! Bolehkah aku mendapat jawab bagaimana perasaan hatimu kepadaku? Apakah.. apakah cintaku kau terima?"

Muka yang menunduk itu tiba-tiba terangkat. Sin Hauw melihat mata yang bukan main indahnya saat itu, bening dan berkedip padanya dan tiba-tiba bibir yang merekah itu tersenyum. Dan ketika Miao In mendesah dan malu-malu menyembunyikan mukanya maka gadis itu berbisik, gemetar,

"Sin Hauw, bagaimanakah kiramu? Mengapa aku harus tak menerimanya?"

"Ooh, jadi.. jadi kau..."

"Benar, kau terlalu lama menyatakannya, Sin Hauw. Aku tak sabar dan hampir mati dilanda rindu!"

"Miao In!" dan Sin Hauw yang girang bukan main mendengar ini tiba-tiba melihat gadis itu sudah merobohkan tubuh ke dadanya, malu-malu tapi bahagia dan entah kekuatan dari mana tiba-tiba Sin Hauw memeluk gadis itu, erat sekali, mengeluh dan tiba-tiba Miao In terguling. Dan ketika mereka sama-sama roboh dan Sin Hauw girang bukan main tiba-tiba muka gadis itu sudah berdekatan dengan mukanya, bibir yang merekah itu masih tersenyum dan dari mulut Miao In keluar semacam erangan lirih. Sin Hauw tak tahan dan tiba-tiba menunduk, Dan karena wajah mereka berdekatan dan tak dapat dicegah iagi hidung bertemu hidung tiba-tiba mulut keduanya melekat dan Sin Hauw sudah mencium gadis pujaannya itu.

"Miao In, aku cinta padamu!"

Sin Hauw terbang ke langit ketujuh. Dara pujaannya menyambut dan mereka berciuman, lama dan masing-masing seolah tak mau melepaskan lagi. Sin Hauw gemetar dan menggigil namun bahagia bukan main. Baru kali itu dia dimabok asmara dan disambut, gadis pujaannya tak menolak dan tentu saja Sin Hauw memuaskan diri. Namun ketika mereka terengah dan Miao In mendorong tubuhnya maka gadis itu berkata, hampir kehabisan napas dicium Sin Hauw,

"Ih, sudah, Sin Hauw. Jangan terus-terusan, nanti dilihat orang!"

Sin Hauw tertawa. "Kau, ah., salahmu kau cantik sekali, Miao In. Aku mabok dan bahagia sekali dibuatnya!"

"Hm, kau sendiri yang mabok? Tidak, aku juga, Sin Hauw. Akupun mabok dan bahagia. Tapi sekarang kau harus melatihku ilmu silat yang baru, ayo ajari aku!"

Sin Hauw tertawa. Setelah mereka berciuman tadi tiba-tiba tiada jarak diantara mereka berdua. Sin Hauw merasa begitu dekatnya hingga tak canggung-canggung dia menyambar lagi, memeluk dan mencium. Dan ketika kekasihnya mengelak dan genit-genit manja Sin Hauw melompat bangun.

"Ha-ha, pelajaran apalagi yang kau inginkan, In-moi (adik In)? Bukankah Kim-kong-ciang saja masih harus dilatih berulang-ulang untuk mencapai kematangan?"

"Tidak, aku sekarang ingin minta pelajaran senjata, Sin Hauw. Aku ingin berlatih Giam-to-hoat (Silat Golok Maut)!"

"Apa? Ilmu silat golok?" Sin Hauw terkejut.

"Ya, kenapakah? Tidak bolehkah?"

"Hm," Sin Hauw tertegun. "Ini, hm.." pemuda itu bingung. "Silat ini belum waktunya kau pelajari, In-moi. Dan lagi melanggar pesan guruku!"

"Kau tak percaya?" wajah cantik itu tiba-tiba menangis. "Baiklah, kalau begitu tak usah aku mempelajarinya, Sin Hau Biar aku tetap bodoh dan kalah olehmu!" dan si nona yang marah memutar tubuh tiba-tiba ngambek dan meninggalkan Sin Hauw, tak mau bicara lagi dan tentu saja Sin Hauw bingung. Itu tak boleh terjadi, dia lagi hangat-hangatnya menikmati cinta!

Maka begitu mengejar dan berkelebat menyambar lengan kekasihnya Sin Hauw sudah menarik omongannya, berkata baiklah kekasihnya itu mempelajari ilmu silat golok tapi kekasihnya diminta bersabar. Ilmu silat tinggi tak bisa dipelajari dalam waktu singkat dan giranglah gadis cantik itu. Dan ketika hari itu juga Sin Hauw diminta menurunkan ilmu goloknya dan sedikit tetapi pasti rahasia Giam-to-hoat diberikan pada gadis ini maka Sin Hauw tak menyadari sebuah bahaya baru, setengah tahun kemudian Miao In sudah hapal hampir semua teorinya, tinggal sedikit lagi dan barangkali dua tiga bulan gadis itu akan mendapatkan semuanya.

Sin Hauw memang memberikan semua rahasia ilmu goloknya pada gadis itu. Maklumlah, pemuda ini lagi dilanda cinta. Cinta memang selamanya membius, memabokkan dan mudah membuat orang lupa diri. Namun ketika semuanya itu dijalani tanpa terasa dan malam itu Sin Hauw beristirahat setelah seharian lelah melatih kekasihnya mendadak terdengar ribut-ribut di luar.

"Golok Maut dicuri! Golok Maut dicuri...!"

Sin Hauw terkejut. Golok Maut, yang diteriakkan orang-orang di luar itu dipandangnya. Golok itu ada di samping pembaringannya dan tetap di situ, tak bergerak dan sehari itu tetap bersamanya. Maka ketika teriakan atau bentakan di luar itu membuatnya heran sekaligus terkejut tiba-tiba terdengar bentakan Kak-busu dan Lutung Putih,

"Im-kan Sian-li, jangan berkhianat! Serahkan golok itu pada pangeran!"

Sin Hauw melompat bangun. Di luar sudah terjadi ribut-ribut dan tawa yang aneh. Im-kan Sian-li, yang dikenal ketawanya tiba-tiba menendang seorang pengawal, membentak Lutung Putih dan terdengar jerit tertahan. Dan ketika Lutung Putih rupanya terbanting atau melempar tubuh bergulingan maka derap pengawal berdatangan dari segala penjuru, disusul teriakan dan suara-suara memaki.

"Cegat nenek ini, jangan sampai lolos!"

"Benar, jangan sampai lolos. Dia mencuri Golok Maut!"

Sin Hauw jadi bingung. Kalau orang di luar sudah berteriak-teriak tentang Golok Maut padahal golok itu jelas ada di sampingnya maka Sin Hauw tak tahan untuk tidak meloncat, keluar dan berkelebat membuka jendelanya. Dan begitu Sin Hauw melihat apa yang terjadi di luar dan dua nenek lihai itu dikepung dan dikeroyok dari segala penjuru maka Sin Hauw mendengar kekeh mereka yang menyeramkan, lalu melihat Kwi-goanswe dan lain-lain menyerang nenek itu.

Nenek yang buntung mengebutkan ujung bajunya dan terlemparlah belasan pengawal yang berani mendekat, nenek yang lain membawa sebatang golok dan Sin Hauw terkejut melihat itu. Golok yang berkeredep menyilaukan tampak menyambar-nyambar dari tangan nenek yang ini, sedikit memantulkan warna merah dan Sin Hauw tentu saja bengong. Dan ketika dia menjublak sementara pertempuran sudah ramai disusul jerit atau pekik kesakitan maka golok di tangan nenek di sebelah kiri membabat dan menangkis senjata di tangan Kwi-goanswe ataupun Kak-busu, yang memegang sebatang tombak bercagak.

"Cring-crang!"

Sin Hauw terbelalak. Bagai membabat agar-agar dua senjata di tangan dua orang itu terbabat putus, Sin Hauw terkejut karena teringat keampuhan Golok Mautnya, persis dan sama. Dan ketika pengawal datang menyerang namun mereka dihalau golok di tangan nenek itu maka Im-kan Sian-li mengancam,

"Minggir kalian, atau kubunuh!"

Kwi-goanswe membentak. Lutung Putih melepas senjata-senjata gelap namun nenek itu menangkis, semuanya runtuh dan patah-patah, sebelum mengenai nenek itu. Dan ketika sinar merah berkelebat dan nenek itu menyambar Pek-wan maka Lutung Putih terbabat pundaknya dan mengaduh.

"Crat!"

Segumpal daging terlempar di udara. Kakek ini berteriak dan nenek itu terkekeh. Sin Hauw ngeri. Dia melihat kehebatan yang sama pada golok di tangan nenek itu. Tapi ketika dia mau bergerak dan memasuki pertempuran tiba-tiba Coa-ongya muncul disusul bentakannya yang nyaring,

"Berhenti!"

Golok Maut Jilid 07

GOLOK MAUT
JILID 07
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
TERLAMBAT. Gerakan sinar merah itu luar biasa cepatnya. Semua orang tak menduga dan si nenekpun tak menyangka. Sin Hauw yang dikira pingsan mendadak "hidup" lagi, sungguh di luar dugaan. Maka begitu sinar merah bergerak dan Sin Hauw meloncat bangun maka nenek itu menjerit ketika lengan kanannya tahu-tahu putus, lepas dari tempatnya dan darah menyembur bagai pancuran, terlempar dan terguling di atas lantai, bermandi darah. Sungguh mengerikan karena kejadian itu! luar biasa cepatnya, sama cepat dengan berkelebatnya sinar merah itu.

Dan ketika semua orang tertegun dan nenek itu terhuyung pucat maka di sana Sin Hauw bangun dengan limbung memegang sebatang golok yang mengkilat bersih, tadi sejenak berlepotan darah tapi tiba-tiba golok itu menghisap, darah tersedot dan putihlah golok itu seperti biasa. Semuanya ini berlangsung hanya sepersekian detik saja dan semua orang tersentak, ngeri. Tapi begitu Pek-wan melihat ini dan mengeluarkan teriakan kaget maka mulutnya berseru, disusul kemudian oleh nenek satunya dari Im-kan Sian-li,

"Golok Maut..!"

"Golok Penghisap Darah..!"

Gegerlah semua orang. Setelah Sin Hau limbung mencabut goloknya tiba-tiba saja semua orang terbelalak. Pek-wan si Lutung Putih terkesiap dengan jantung meloncat kaget, itu memang amat mengerikan. Dan ketika semua terbelalak dan kaget serta ngeri tiba-tiba nenek yang kutung lengannya itu berteriak marah, melengking,

"Keparat, jahanam kau, bocah. Kubunuh kau!"

Sin Hauw tak berkedip. Dalam keadaan pusing dan jatuh bangun dihajar lawan membuat pemuda ini marah. Dia tadi memang mencabut goloknya membacok nenek itu, yakni ketika si nenek hendak mencengkeram dan menangkapnya. Dia tadi pura-pura pingsan untuk mengecoh lawan, benar saja nenek itu terkelabuhi dan mendekat. Maka begitu dia mencabut goloknya dan senjata warisan suhunya itu berkelebat menyambar nenek ini maka nenek itu putus lengannya dan kini menerjang, dengan satu lengan yang lain tapi Sin Hauw mengelak. Dia dikejar lagi dan apa boleh buat menggerakkan goloknya itu. Dan ketika terdengar suara "cras" yang mengerikan dan lengan nenek itu buntung maka nenek ini menjerit bergulingan dengan tubuh tanpa lengan lagi.

"Aduh!" Mengerikan sekali. Apa yang terlihat adalah tubuh yang tidak utuh, Nenek itu menjerit-jerit dan bergulingan di lantai, mandi darah dan lantaipun bergelimang bau amis. Darah membanjir di mana-mana melepoti bagian yang dilalui nenek ini. Dan ketika semua orang kembali terbelalak dan ngeri melihat itu maka Im-kan Sian-li yang masih seorang tiba-tiba membentak dan menyerang Sin Hauw.

"Jahanam? Kubunuh kau, Sin Hauw. Keparat terkutuk!" sepasang tusuk konde menyambar Sin Hauw, disusul pukulan Sin-hong-ciang dan Sin Hauw menangkis. Tapi ketika dia tergetar dan terhuyung mundur maka nenek itu berteriak agar yang lain-lain maju, mengeroyok dan membalaskan sakit hati saudaranya. Nenek yang di sana akhirnya pingsan tak kuat menahan sakit, betapapun kedua lengan yang buntung terlalu banyak mengeluarkan darah, Dan ketika Pek-wan berkelebat maju dan Kwi-goanswe serta pengawal juga membentak menyerang pemuda itu maka Sin Hauw dikepung dan mendapat hujan serangan.

"Cring-plak-dess!"

Hujan serangan disusul teriakan kaget. Lima pengawal yang semula mengantar Sin Hauw tiba-tiba berteriak ngeri, mereka menjerit kesakitan ketika senjata mereka putus, tak kuat menghadapi golok di tangan Sin Hauw. Dan ketika pemuda itu bergerak dan terhuyung meneruskan tangkisannya maka semua lawan memekik tertahan karena tak ada satu senjatapun yang sanggup menghadapi golok di tangan pemuda itu, terbabat dan patah-patah berhamburan di lantai.

Apa yang dirasakan sungguh membuat orang gentar, lima pengawal pertama sudah terpelanting tak keruan bermandi darah, tangan atau kaki mereka putus disambar golok, yang masih bergerak ketika menangkis senjata mereka tadi. Dan ketika si Lutung Putih juga terdorong mundur sementara tusuk konde di tangan Im-kan Sian-li juga papas terbabat golok maka Sin Hauw menjadi pemuda mengerikan dengan senjata di tangan.

"Tangkap pemuda ini, gunakan jala!" Yang berteriak itu adalah Coa-ongya. Pangeran itu terbelalak dan ngeri melihat keampuhan golok di tangan Sin Hauw, pemuda itu sebenarnya tinggal roboh tapi masih kuat juga, pengaruh arak dapat ditahan dengan sinkangnya, hebat pemuda ini. Namun ketika jala mulai dilepas dan semua orang berteriak-teriak maka Sin Hauw bingung sementara kepalanya semakin berat berputar-putar.

"Terkutuk kalian. Pengecut!"

Semua orang marah. Mereka tak menghiraukan makian Sin Hauw karena sudah menyebar jala. Semua takut menghadapi ketajaman golok. Sin Hauw sebenarnya sudah gemetar dan diharap roboh, pemuda ini memang hampir tak kuat karena perutnya mendidih. Isi perutnya itu seakan terbakar dan hanya berkat pengerahan sinkangnya sajalah dia dapat menahan semuanya itu. Dan ketika jala menyambar dari segala penjuru dan mau tak mau Sin Hauw harus menggerakkan goloknya maka semua jala dibabat dan dua di antaranya putus. "Crat-tas!"

Kak-busu dan Lutung Putih memaki. Merekalah yang putus jalanya namun sudah mengambil lagi, yang baru, melempar dan mengincar bagian bawah Sin Hauw. Dan karena dari mana-mana berhamburan jala-jala lebar dan Sin Hauw sibuk akhirnya sebuah di antaranya mengenai kakinya. Kebetulan sekali dari nenek Im-kan Sian-li yang memandang penuh kebencian kepada pemuda ini. Sin Hauw terjirat dan ditarik roboh. Dan ketika pemuda itu terguling dan nenek itu berteriak agar merampas goloknya maka Kak-busu dan Pek-wan sudah melakukan itu, tanpa diperintah dua kali.

"Bret-dess!"

Sin Hauw masih melakukan kejutan. Dihantam dan dipukul terguling-guling oleh serangan Im-kan Siang-ii dia masih juga dapat menggerakkan goloknya, Pek-wan terkesiap karena golok menyambar dirinya, membabat pundak dan hampir saja dia terbabat, baju pundaknya sobek dan Lutung Putih itu melempar tubuh bergulingan, Kak-busu mendapat tendangan Sin Hauw namun Im-kan Sian-li sudah melepas jarum-jarum kecil, tiga menancap di tubuh Sin Hauw namun runtuh, kiranya Sin Hauw masih kebal dan kuat sinkangnya, mampu menahan sambitan jarum dan pemuda itu tak apa-apa. Tapi ketika pengawal mengeroyok dan maju lagi maka Sin Hauw terhuyung-huyung dan akhirnya satu tendangan Im-kan Sian-li melempar tubuhnya, terguling-guling dan Kwi-goanswe maju menggerakkan jala. Dan ketika jala mengenai pinggang Sin Hauw dan pemuda itu terlilit maka jenderal ini menarik dan Sin Hauw roboh.

"Brukk!"

Semua orang bernafsu sekali. Sin Hauw seolah ikan gemuk yang siap disantap, ditubruk dan beberapa jala menyambar lagi, Sin Hauw mengeluh karena kepalanya terputar-putar, tak kuat dia. Maka ketika jala berhamburan menjerat tubuhnya dan Sin Hauw kali ini tak mampu mengelak maka pemuda itu tertangkap dan goloknya ditendang nenek Im-kan Sian-li.

"Des-plak!" lepaslah golok itu, terlempar dari tangan Sin Hauw dan nenek Im-kan Sian-li berseru girang. Nenek itu berjungkir balik merampas golok. Tapi ketika dari kiri dan kanan berkelebat bayangan Lutung Putih dan Kak-busu serta Kwi-goanswe ternyata empat orang itu berebut golok.

"Serahkan padaku!"

"Tidak, ini milikku..!" dan Im-kan Sian-li yang membentak menerima pukulan Lutung Putih tiba-tiba menendang dan marah memaki temannya itu, menyambar golok namun gagal. Kak-busu menendang dan golok pun mencelat lagi, tinggi ke udara. Dan ketika Kak-busu berjungkir balik namun Kwi-goanswe berkelebat disampingnya maka golok itu telah didahului dan berpindah tangan.

"Hei..!" Lutung Putih berteriak. "Serahkan kepadaku, goanswe. Nanti Im-kan Sian-li merampasnya darimu!"

Benar saja. Nenek itu, yang marah digagalkan Pek-wan melengking tinggi. Sin Hauw yang roboh tiba-tiba mereka lupakan karena tercurah pada golok. Senjata luar biasa itu telah menarik perhatian mereka dan melupakan segalanya, Kwi-goanswe ditampar dan jenderal itu terkejut, golok terlepas dan mencelat lagi dari tangannya. Dan ketika golok terlempar dan mencelat ke udara maka Lutung Putih berseru keras mendahului Im-kan Sian-li.

"Plak-dess!"

Nenek itu ternyata tak mau mengalah. Lutung Putih yang mengacau dihantam dari samping, golok mencelat lagi dan Lutung Putih terpental di udara. Dan ketika Im-kan Sian-li tertawa dan menyambar golok maka golok sudah berada di tangannya tapi celaka sekali Kak-busu menyerangnya.

"Lepaskan, nenek siluman. Berikan itu padaku!"

Nenek ini terkejut. Saat itu mereka jadi berebut sendiri, kawan menjadi lawan dan Coa-ongya terbelalak. Golok masih terus berpindah tangan dan terlempar di udara, masing-masing menghendaki senjata itu dan tak ada yang mau mengalah. Mereka melupakan Sin Hauw dan pengawal pun tertegun. Apa yang terjadi memang di luar dugaan dan semua mendelong. Tapi ketika nenek itu menangkis pukulan Kak-busu dan Pek-wan serta Kwi-goanswe berkelebat bersamaan maka golok terlepas dari tangan nenek itu dan Coa-ongya maju membentak,

"Berhenti.. tringg!"

Golok jatuh ke lantai. Sekarang semua orang berhenti karena terkejut mendengar bentakan pangeran. Coa-ongya marah sekali karena para pembantunya bertengkar. Dan ketika tak ada satupun yang berani memungut golok karena pangeran sudah maju dengan muka merah maka pangeran itu mengambil golok ini.

"Semua tak boleh berkelahi. Hentikan perselisihan ini!"

Aneh, semua melotot memandang golok yang dipungut pangeran itu. Pek-wan dan Im-kan Sian-li saling pandang, mereka rupanya tak rela golok itu diambil Co-ongya. Maka begitu mengangguk dan melompat maju tiba-tiba keduanya berseru,

"Pangeran, berikan golok itu kepada hamba!"

"Tidak, hamba yang lebih berhak, pangeran. Hamba yang merobohkan pemuda itu!" im-kan Sian-li protes, merasa dialah yang merobohkan Sin Hauw namun Ki-goanswe melompat maju. Dan ketika dua orang itu melotot sementara pangeran sendiri marah memandang keduanya maka Kwi-goanswe berseru bahwa dialah yang lebih pantas.

"Tidak. mereka tak berhak, pangeran. Akulah yang menggubat pinggangnya hingga bocah itu roboh. Kalau tak kulilit pinggangnya tadi tentu mereka ini tak dapat merobohkan pemuda itu!"

Coa-ongya mendelik. Setelah Kwi-goa-swe sendiri turut berebut dan berani bicara maka pangeran itu menghadapi ketiganya. Dan ketika semua terkejut karena mata pangeran berapi-api maka pangeran itu membentak dengan sikap gusar, "Kalian ini siapakah berani bicara seperti itu? Tidakkah kalian tahu bahwa kalian adalah pembantu-pembantuku? Atau kalian mau memberontak?"

Semua orang kuncup. Setelah pangeran membentak dan berkata seperti itu tiba-tiba saja semua orang tak berani bercuit, Coa-ongya marah-marah dan mereka melihat pengawal bergerak maju, rupanya mereka mau melindungi pangeran dan tentu saja memusuhi mereka, hal yg tidak menguntungkan. Dan ketika Kwi-goanswe ditatap tajam dan menunduk serta membungkuk maka Lutung Putih dan Im-kan Sian-li juga melipat punggung.

"Maaf, pangeran. Kami lupa."

"Nah, begitu. Lihat pemuda itu, Sian-li. Kenapa harus ribut dan bermusuhan sendiri? Bukankah Sin Hauw masih harus dibereskan? Tangkap pemuda itu, dan jebloskan ke penjara bawah tanah!"

Kwi-goanswe terkejut. "Tidak dibunuh, pangeran? Masih dibiarkan hidup dan dipenjarakan?"

"Ya, aku tertarik pada pemuda ini, goanswe. Aku ingin memberikan kesempatan padanya untuk mengabdi padaku!"

Semua terkejut. Kata-kata pangeran yang di luar dugaan sungguh tak mereka sangka, Sin Hauw malah hendak diangkat sebagai pembantu, dari lawan menjadi kawan! Dan ketika semua tertegun namun tak ada yang berani membantah maka Sin Hauw ditangkap dan dimasukkan ruang bawah tanah, malam itu juga membuat para pembantu Coa-ongya tak senang.

Im-kan Sian-li paling marah karena saudaranyalah yang paling menderita, kedua lengannya buntung. Namun karena titah telah diucapkan dan mereka hanya sebagai pembantu saja maka nenek itu menahan marah dan sakit hatinya, tentu saja tak puas sementara yang lain-lain teringat golok.

Bagi Pek-wan atau Kak-busu tentu saja golok lebih penting. Mereka tak perduli penderitaan Im-kan Sian-li yang satunya. Mereka mengincar golok karena itulah senjata langka yang amat mujijat, senjata keramat yang harus didapatkan, kalau perlu dicuri!

Dan ketika Sin Hauw ditawan dan golok peninggalan gurunya di rampas maka malam itu pemuda ini tak sadarkan diri karena pengaruh arak, pusing dan berputar karena sesungguhnya dia diberi arak pelumpuh semangat. Sebenarnya kalau bukan Sin Hauw tentu sudah roboh sejak tadi. Sin Hauw memiliki sinkang yang kuat dan karena itu Coa-ongya kagum, apalagi setelah Sin Hauw mengeluarkan goloknya, Golok Maut yang luar biasa tajam. Dan ketika malam itu Sin Hauw masih tak sadarkan diri sementara goloknya dirampas Coa-ongya maka pemuda itu menjadi tawanan dan dijaga Kak-busu.

* * * * * * *

"Bagaimana, kau mau menjadi pembantuku, Sin Hauw? Kau mau bekerja untuk istana dan negara?"

Sin Hauw menggigit bibir. Keesokan harinya dia sadar dan Coa-ongya sudah ada di depannya, dia ditanya namun belum menjawab. Dan ketika sang pangeran mengulang lagi dan Sin Hauw mengerutkan kening maka pemuda itu menjawab, membalas pertanyaan dengan pertanyaan pula,

"Kenapa aku tak dibunuh? Mana senjataku?"

"Ah," sang pangeran tertawa. "Aku tak berniat membunuhmu, Sin Hauw. Justeru ingin mengambilmu sebagai pembantu."

"Tapi golokku kau rampas. Dan kau curang!"

"Nanti dulu! Curang bagaimana, Sin Hauw? Bukankah baik-baik aku menawanmu sini? Lihat, kau segar-bugar. Kau mendapat makan minum cukup dan kami tak melukaimu!"

"Hm, tapi sikapmu melukai perasaanku, pangeran. Kau melindungi dan membela Kwi-goanswe!"

"Tentu saja. Dia pembantuku, Sin Hauw. Siapapun harus kulindungi kalau ia pembantuku! Sekarang jawab pertanyaanku maukah kau bekerja di sini dan menjadi pembantuku!"

"Di sini ada Kwi-goanswe!" Sin Hauw tak senang. "Kau tak dapat mencampur dua seteru, pangeran. Dia harus kubunuh karena berhutang dua jiwa!"

"Hm, persoalanmu sudah kuketahui," sang pangeran mengangguk-angguk. "Urusan itu sebuah kesalah-pahaman, Sin Hauw. Kau tak dapat menuntut Kwi-goanswe karena sesungguhnya ia tak bersalah!"

"Bagus, membunuh jiwa orang tak bersalah, pangeran? Melenyapkan nyawa orang kau anggap benar?"

"Aku tahu," sang pangeran tersenyum. "Masalah ibumu telah kudengar, Sin Hau. Dan sesungguhnya masalah itu telah diselesaikan. Ibumu bukan dibunuh Kwi-goanswe melainkan secara tak sengaja terbunuh oleh pengawalnya. Aku telah mendengar itu, dan Kwi-goanswe juga telah membunuh pengawalnya!"

"Bukan hanya ibuku!" Sin Hauw mengetrukkan gigi. "Enciku juga dibawanya, pangeran. Dan mungkin telah dibunuhnya!"

"Ha-ha, Hwa Kin?" sang pangeran tertawa bergelak. "Lagi-lagi kau salah, Sin Hauw. Encimu masih hidup dan tidak diapa-apakan!"

Sin Hauw terkejut.

"Kau tidak percaya?"

Pemuda ini bersinar-sinar. "Kau barangkali benar, pangeran. Tapi juga barangkali menipuku. Aku jadi ragu atas pernyataanmu ini!"

"Ha-ha, kalau begitu boleh kubuktikan. Tapi bagaimana kalau betul? Bagaimana kalau aku tidak bohong? Maukah kau menjadi pembantuku dan bekerja di sini?"

Sin Hauw ragu.

"Lihat, aku telah bersikap jujur, Sin Hauw. Tinggal kau dapat mengimbangi atau tidak. Aku jamin bahwa encimu masih hidup dan selamat hingga saat ini!"

Sin Hauw tergetar. Kalau sang pangeran sudah berkata seperti itu dan dia dapat membuktikan bahwa encinya masih hidup tentu saja dia girang. Berarti dendamnya berkurang dan dia sedikit terhibur. Tapi bagaimana dengan ibunya? Haruskah dia diam saja karena betapapun ibunya telah terbunuh? Dan di situ ada Kwi-goanswe. Dia akan berkumpul dengan orang yang tidak disenangi ini dan Kwi-goanswe adalah orang yang telah menyebabkan ayahnya terbunuh. Jadi soal itu akan merepotkannya karena betapapun dia harus menuntut baias, meminta tanggung jawab, Dan ketika Sin Hauw tertegun dan juga ragu atas penawaran ini maka pangeran yang tampaknya dapat membaca pikirannya itu berkata, lagi-lagi membujuk,

"Apa yang kau pikirkan aku tahu, Sin Hauw. Sungguh sayang bahwa kau masih membawa-bawa persoalan ayahmu. Kwi-goanswe tak membunuh ayahmu itu, justeru dia diculik dan akhirnya dibawa teman-temannya sendiri!"

"Teman-temannya siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan pengikut Chu Wen yang bodoh itu? Memang ayahmu dibawa ke kota raja, Sin Hauw. Tapi ditengah jalan diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!"

"Hm," Sin Hauw tertegun. "Suhu tak pernah menceritakan ini, pangeran. Dan aku tak percaya!"

"Percaya atau tidak kau nanti dapat bertanya pada encimu. Kalau aku bohong tentu ketahuan!"

Sin Hauw lagi-lagi tergetar. Coa-ongya ini bicara begitu sungguh-sungguh hingga nampak meyakinkan. Encinya kembali disebut-sebut dan Sin Hauw tiba-tiba rindu. Ia tergerak dan tentu saja ingin melihat encinya itu, inilah satu-satunya saudara yang merupakan keluarganya. Setelah suhu dan subonya tewas bisa dibilang ia adalah sebatangkara. Hidupnya sang enci membuat semangat Sin Hauw terbangun. Dan ketika sang pangeran bertanya dan kembali meyakinkan tentang ceritanya tadi maka Sin Hauw mengangguk dan akhirnya mengalahkan perasaannya sendiri.

"Baiklah, aku menerima, pangeran. Tapi golokku harus dikembalikan!"

"Ha-ha, tentu, Sin Hauw. Tapi kau harus bersumpah atas nama ayah ibumu bahwa kau akan setia kepadaku!"

"Begitu berat?" Sin Hauw terkejut. "Sumpah biasa kukira cukup, pangeran. Tak usah membawa-bawa nama ayah ibuku!"

"Tidak, aku tak mau pertukaran ini berat sebelah, Sin Hauw. Kau harus menyatakan setiamu dan berjanji dapat bekerja sama dengan semua pembantuku, termasuk Kwi-goanswe. Atau aku tak mau mempertemukan encimu denganmu!"

Sin Hauw kalah. Disebut-sebutnya nama encinya akhirnya membuat dia luluh. Itu memang pelumpuhnya dan Sin Hauw berjanji, menyatakan sumpahnya dan mau bekerja di samping pangeran ini, menjadi pembantunya. Dan ketika dengan berat Sin Hauw menyebut nama ayah ibunya untuk pelengkap sumpah maka Coa-ongya tertawa bergelak dan memeluk pemuda itu, girang bukan main,

"Bagus, sudah kukira, Sin Hauw. Kau pasti berpikiran panjang dan tidak menentangku! Ha-ha, mari kukembalikan golokmu dan kau lihatlah encimu!"

Coa-ongya bertepuk tangan, memanggil Kak-busu dan muncullah laki-laki tinggi kurus itu. Dialah yang menjaga dan sesungguhnya pangeran memang tidak sendirian, diam-diam dikawal dan Kak-busu cepat diminta mengambil golok, senjata maut yang dimiliki Sin Hauw itu, yang kemarin dirampasnya. Dan ketika Sin Hauw menerima golok dan tidak curiga maka sang pangeran membawa pemuda itu keluar dari ruang bawah tanah, menuju ke gedungnya dan Pek-wan serta yang lain-lain muncul, begitu pula Im-kan Sian-li yang masih sehat, yang lain terbaring sakit dan Sin Hauw berdebar.

Kwi-goanswe muncul terakhir dan seorang pemuda lain tiba-tiba mengiring pula di belakang jenderal tinggi besar itu. Kwi Bun, pemuda yang kini gagah dan tampan tapi yang tersenyum mengejek memandang Sin Hauw. Pemuda itu sinis memandang dan Sin Hauw berdetak, ternyata Kwi Bun ada di situ dan tentu saja dia tak melupakan musuhnya sejak kecil ini, apalagi dulu Kwi Bun adalah bekas "majikannya", majikan kecil yg sombong dan angkuh! Dan ketika Sin Hau melewati orang-orang itu dan mereka semua membungkuk memberi hormat maka pangeran tertawa berkata pada mereka,

"Sin Hauw sekarang kawan. Dia pembantuku!"

Ada rasa tak enak di hati Sin Hauw. Semalam dia datang sebagai musuh, kini tiba-tiba sudah berbalik arah, menjadi pembantu Coa-ongya dan orang-orang yang semalam dimusuhinya mendadak sontak menjadi kawan. Janggal sekali rasanya! Tapi karena pangeran mengimbanginya dengan masalah encinya dan mati hidup encinya itu memang segala-galanya bagi Si Hauw maka pemuda itu menindas semua perasaannya dan menegakkan kepala melewati orang-orang itu, tak perduli pada sinar mata mereka yang aneh dan Sin Hau terus dibawa ke dalam. Dan ketika yang lain diajak memasuki gedung dan untuk pertama kalinya Sin Hauw disambut secara benar maka pangeran hendak menjamu pemuda ini sambil menyuruh Hwa Kin keluar.

"Encimu sebentar datang. Aku ingin merayakan perjumpaanmu yang membahagiakan ini!"

Sin Hauw bersinar-sinar, Dia jadi teringat janji Coa-ongya yang katanya juga akan memanggil Kwi-goanswe, yang ternyata bohong dan justeru melolohinya dengan arak perampas tenaga. Sin Hauw was-was dan tentu saja tak nyaman. Tapi ketika pangeran tertawa dan berkata padanya bahwa tak usah dia khawatir maka pangeran sudah menyuruhnya duduk.

"Mari, tak usah ragu. Sambutanku benar-benar tulus dan tak usah kau khawatir!"

Sin Hauw semburat merah. Pangeran sudah menyuruhnya duduk sementara dia sendiri sudah memilih sebuah kursi, duduk mengajak Sin Hauw dan untuk kedua kali Sin Hauw berhadapan dengan pangeran ini. Semalam sebagai musuh kini sebagai sahabat, canggung juga Sin Hauw. Tapi ketika pangeran menuangkan arak dan Sin Hauw tak buru-buru menerima maka pemuda itu berkata biarlah dia menunggu dulu encinya.

"Ha-ha, boleh, Sin Hauw. Kalau begitu yang lainpun biar menunggu encimu!"

Sang pangeran bertepuk tangan. Pelayan yang datang menghidangkan makanan disuruh meletakkan dulu di meja, mereka semua jadi menanti dan menunggu Hwa Kin, Coa-ongya telah memerintahkan seorang dayangnya untuk memanggil gadis itu. Dan ketika tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam maka muncullah seorang gadis yang berhenti di pintu tengah.

"Sin Hauw..!"

Sin Hauw tergetar. Seorang gadis cantik memanggil namanya dengan suara tertahan, menggigil dan pucat. Sin Hauw menjublak karena itulah encinya, agak berobah namun masih cantik, tubuhnya semakin matang dan Sin Hauw terguncang. Gadis cantik itu memanggilnya sekali lagi dan tiba-tiba menjerit, menghambur dan menubruk dirinya. Dan ketika Sin Hauw bangkit berdiri dan menggigil menerima tubrukan ini maka Hwa Kin, encinya itu sudah mengguguk dan tersedu-sedu menerkamnya.

"Oh, tak kusangka kau masih hidup, Sin Hauw. Tak kusangka kita dapat bertemu di sini. Aduh, Coa-ongya tak menipu-ku..!" dan Sin Hauw yang sudah menggigil dan balas memeluk akhirnya tersedak dan menangis tak dapat menahan haru, melihat encinya sehat walafiat tak kurang suatu apa, segar-bugar dan tentu saja dia girang. Dan ketika Hwa Kin mengguncang-guncang tubuhnya dan mencengkeram serta menangis maka Sin Hauw ikut mencucurkan air mata dalam haru dan girangnya.

"Enci, ini bukan mimpi? Kau juga masih hidup?"

"Benar, ini bukan mimpi, Sin Hauw. Aku masih hidup! Ah, kau semakin gagah dan tampan. Kau kudengar memiliki kepandaian tinggi dan lihai!"

"Ah, ini berkat guruku, enci. Mendiang Sin-Iiong Hap Bu Kok dan isterinya mendidikku sampai begini."

"Mendiang? Jadi mereka..."

"Benar, mereka tiada, enci. Tapi kepandaiannya telah kuwarisi!"

"Ah!" dan Hwa Kin yang girang memeluk pemuda itu lalu menangis tapi tertawa, girang dan terharu dan Sin Hauw berlinang-linang. Encinya sekarang tampak montok dan cantik sekali, wajahnya segar berseri-seri dan seolah tak ada himpitan batin, heran dia. Namun karena encinya masih hidup dan tentu saja dia ingin banyak bicara maka Sin Hauw mendengar tepuk tangan pangeran.

"Ha-ha, cukup, Sin Hauw. Sekarang mari duduk!"

Sin Hauw teringat. Dia terkejut ketika sadar bahwa semua orang memandangnya. Tadi dia terlampau girang dan terharu bertemu encinya ini. Mereka kakak beradik ternyata masih hidup semua, ini kebahagiaan yang memang harus dirayakan. Maka ketika pangeran bertepuk tangan dan menyuruhnya duduk Sin Hauw sudah disambar dan didahului encinya.

"Sin Hauw, benar kata pangeran. Mari ucapkan dulu terima kasih padanya. Ketahuilah, tanpa Coa-ongya tak mungkin encimu ini masih hidup!"

Sin Hauw tersipu-sipu, diajak encinya mendekati meja dan encinya itu sudah menjura di depan pangeran. Dan ketika dia diajak mengucap terima kasih dan encinya itu menangis meluapkan perasaannya maka pangeran bangkit berdiri menyambut encinya itu, memeluk pundaknya, lembut dan mesra.

"Sudahlah, semua ini berkat Tuhan, Kin-moi. Duduk dan ajaklah Sin Hauw bergembira!"

Sin Hauw tertegun. Encinya dipeluk dan tampak menyambut mesra sikap pangeran itu, mereka layaknya sudah akrab benar dan satu sama lain melempar pandang bahagia. Sin Hauw mengerutkan kening. Tapi ketika encinya duduk dan dia juga diminta duduk maka pangeran menjamunya dan hari itu dia benar-benar seperti raja, mendapat kehormatan sejati. Pangeran menyuruh semua orang makan minum dan ditenggaklah arak berulang-ulang, Sin Hauw tak ragu lagi karena encinya juga turut minum. Aneh!

Dan ketika semua orang bergembira dan saling menemukan cawan untuk memberi hormat padanya maka Hwa Kin, encinya, juga tampak dihormat dan mendapat perhatian istimewa. Kwi-goanswe dan lain-lain menghormat encinya itu seperti mereka menghormat pangeran, Sin Hauw tertegun dan bertanya-tanya dalam hati. Dan ketika empat jam kemudian semuanya selesai dan pertemuan dibubarkan maka Coa-ongya memberi kesempatan padanya untuk bercakap-cakap dengan encinya itu, berdua.

"Kalian puaskanlah kerinduan masing-masing. Bawa Sin Hauw ke kamarnya dan ajak adikmu bercakap-cakap!"

Sin Hauw girang bukan main. Ini memang yang ditunggu dan dia sudah tak sabar, ingin berdua dan bercakap-cakap dengan encinya itu. Maka begitu Coa-ongya memberi kesempatan dan encinya bangkit berdiri encinya itu sudah tertawa menyambarnya.

"Lihat, pangeran demikian bijaksana, Sin Hauw. Sungguh sepatutnya kita menghormat dan berterima kasih!"

Sin Hauw mengangguk. Memang pandangannya kini sudah berobah, pangeran dianggapnya baik dan tentu saja dia bersikap mengimbangi. Semua sikap permusuhannya lenyap dan Sin Hauw sudah mengangguk. Dan ketika sang enci. menarik dan membawanya ke dalam ternyata dia sudah mendapat sebuah kamar yang bagus dan indah.

"Ini kamarku?"

"Benar, dan kau selamanya tinggal di sini, Sin Hauw, mendampingi encimu dan jangan pergi lagi!"

Sin Hauw berdebar. Masuk ke kamar berdua dengan encinya ini tiba-tiba menimbulkan rasa panas di wajah. Entahlah, setelah enam tahun tak berjumpa dan kini mereka tiba-tiba sudah sama besar mendadak membuat Sin Hauw jengah. Kalau ini bukan encinya tak mau dia masuk bersama. Mereka bagai pasangan pengantin baru saja! Tapi ketika encinya sudah mendorong masuk dan dia diminta duduk di kursi yang empuk maka encinya itu menutup pintu kamar dan berkata,

"Nah, sekarang kita aman. Lebih enak bicara dan kau ceritakanlah bagaimana keadaanmu selama ini!"

"Ah, nanti dulu!" Sin Hauw sedikit tertegun. "Kenapa pintunya kau kunci, enci? Masa kita harus dalam keadaan tertutup begini?"

"Eh, memangnya kenapa? Pangeran sendiri telah menyuruh kita, Sin Hauw. Dan kitapun enci adik. Pintu kututup agar tak ada yang mendengar pembicaraan kita!"

"Tapi tak perlu dikunci."

"Hm, ada apa sih kau ini? Kenapa rewel masalah pintu? Kita bukan orang lain, Sin Hauw. Kita enci adik dan bukan mau macam-macam. Kau buanglah pikiranmu yang tidak-tidak dan jangan khawatir dugaan orang!"

Sin Hauw semburat merah. Memang encinya ini benar, mereka kakak adik. Mau apa pusing omongan orang? Dia dan encinya justeru diperintah pangeran untuk berdua melepas kerinduan, mereka sudah lama tak bertemu dan tentu saja masing-masing ingin bicara, tentu banyak pembicaraan mereka nanti. Maka begitu encinya duduk dan bersinar-sinar memandangnya Sin Hauw sudah tak banyak bicara lagi tentang pintu yang terkunci.

"Baiklah, kau benar, enci. Hanya rasanya kikuk juga. Kau sekarang bertambah cantik dan dewasa!"

"Hush, kau mau merayu encimu?"

Sin Hauw tertawa. "Tidak, tapi kenyataan membuktikan begitu, enci. Dan kau, hm... tampaknya tak mengenal susah!"

"Maksudmu?"

"Kau tampak bahagia di sini, kau sehat dan segar-segar saja!"

"Ah, tentu, Sin Hauw. Coa-ongya yang menolongku. Dia... dia kakak iparmu!"

"Apa?"

"Benar, Sin Hauw. Coa-ongya, pangeran... dia itu... dia itu suamiku. Encimu sekarang menjadi isterinya!"

Sin Hauw terkejut. Hampir berjengit dia melonjak dari kursinya, terbelalak memandang sang enci. Tapi ketika encinya terisak dan mengangguk bersinar-sinar encinya itu berkata perlahan,

"Sin Hauw, banyak cerita yang harus kau dengar. Barangkali harus aku dulu yang mulai. Kau dengarlah," encinya memulai, mengangkat muka dan akhirnya tidak menunduk lagi. Encinya menceritakan betapa dia diambil pangeran, dicinta dan akhirnya menjadi isterinya. Dan ketika semuanya itu dimulai dari peristiwa di Cin-ling dulu maka Sin Hauw mendengarkan dengan sikap tertegun.

"Aku tak diapa-apakan. Kwi-goanswe baik-baik saja kepadaku. Aku ditawan lalu diserahkan Coa-ongya. Kebetulan pangeran tertarik padaku dan jatuh cinta, diminta baik-baik dan akupun menjadi isterinya. Dan karena pangeran berjanji untuk mempertemukan aku denganmu maka aku menunggu-nunggu kau dari Cin-ling, Sin Hauw. Sayang dikabarkan orang bahwa kau tak di sana lagi!"

Sin Hauw menjublak. Encinya menangis dan terisak, sederhana dan singkat cerita itu namun sudah cukup jelas. Encinya menunggu-nunggu dia dari Cin-ling, dikabarkan pangeran menyuruh orang mencari dirinya, tak ketemu dan encinya itu menangis sepanjang hari. Maklumlah, Sin Hauw akhirnya dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya, dididik dan digembleng di sana, meninggalkan Cin-ling setelah Hwa-liong Lo-kai tewas. Dan ketika encinya berkata bahwa tiada bosan-bosannya pangeran menyuruh orang mencari dirinya maka encinya itu menutup.

"Aku sekarang gembira. Janji pangeran ternyata dapat ditepati. Aih, tak boleh kau sekarang meninggalkan encimu, Sin Hauw. Kau harus di sini dan selalu menemanimu encimu!"

"Hm!" Sin Hauw mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah menikah, enci? Dan Coa-ongya adalah suamimu?"

"Benar, dia baik, Sin Hauw. Dan tanpa dia barangkali tidak begini nasib encimu!"

"Hm, aku terus terang terkejut. Lalu bagaimana dengan Kwi-goanswe, enci? Bukankah dia musuh kita?"

"Ini kekeliruan kita, Sin Hauw. Kwi-goanswe tak boleh kita musuhi karena sesungguhnya dia tak bersalah."

"Tapi ibu terbunuh olehnya."

"Bukan, bukan olehnya, Sin Hauw, melainkan oleh pengawalnya. Dan pangawal itu sudah dibunuhnya. Hutang ini impas, ibu terbunuh secara tak sengaja!"

Sin Hauw mengerutkan kening. "Dan ayah?" Sin Hauw masih tak puas. "Ayah terbunuh olehnya, enci. Dan hutang ini belum impas."

"Ah, lagi-lagi kau salah, Ayah tak dibunuh olehnya, Sin Hauw. Ayah diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!"

Sin Hauw teringat omongan Coa-ongya. Pangeran itu juga berkata seperti itu dan kini encinya mengulang, dia mengerutkan kening dan bertanya hati-hati. Dan ketika encinya menarik napas dan duduk membetulkan letak kakinya maka encinya itu berkata,

"Aku mengetahui ini setelah di sini. Ayah diculik dan dibawa lari teman-temannya, ketika dibawa Kwi-goanswe. Dan karena Kwi-goanswe masih kerabat sendiri dan membiarkan ayah dibawa teman-temannya maka ayah tak dibunuh siapa-pun. Kabarnya ayah tewas karena sakit, dalam perjalanan. Yakni ketika bersama teman-temannya itu. Tapi karena Kwi-goanswe yang menangkap ayah dan dialah yang pertama kali membawa ayah maka orang menyangka Kwi-goanswe inilah yang mencelakakan ayah. Padahal sebenarnya Kwi-goanswe tak tahu apa-apa lagi setelah ayah diculik dan dibawa teman-temannya sendiri!"

"Hm, kalau bukan kau yang bercerita tak mau aku percaya, enci. Baiklah kuterima hal ini sebagai kenyataan yang lain. Aku percaya padamu, dan bagaimana saranmu setelah aku ada di sini!"

"Kau membantu Coa-ongya! Bukankah kau sudah berjanji padanya?"

"Benar, tapi aku kikuk berkumpul dengan Kwi-goanswe dan lain-lainnya itu, enci. Kemarin aku bertempur dengan mereka habis-habisan tapi kini tiba-tiba bersahabat!"

"Hm, tak perlu begitu. Kau lihat muka encimu, Sin Hauw. Kau pandanglah aku dan buang perasaanmu yang salah itu. Mereka juga tak akan berani mengganggumu karena aku adalah isteri Coa-ongya. Jelek-jelek kau adalah adik ipar pangeran, kau akan bergelar pangeran pula kalau diusulkan pada sri baginda!"

"Pangeran? Aku menjadi pangeran?"

"Ya, aku dapat membawa ini pada suamiku, Sin Hauw. Coa-ongya pasti menurut dan di bawah perintahku!"

Sin Hauw tertegun. Membayangkan dirinya sebagai pangeran tiba-tiba dia merasa melembung, kepala rasanya membalon tapi tiba-tiba Sin Hauw tertawa. Dan ketika encinya bertanya kenapa dia tertawa maka Sin Hauw menjawab geli,

"Aku merasa lucu dengan omonganmu ini. Mana bisa seorang biasa diangkat sebagai pangeran? Ah, terlalu tinggi. enci, terlalu muluk. Aku tak mau menjadi pangeran!"

"Kenapa?"

"Tak enak, aku ingin menjadi orang biasa saja dan bebas ke sana ke mari. Ah, tak enak itu. Lagi pula aku tak berpendidikan istana!"

"Ah, itu dapat belajar, Sin Hauw. Aku dapat memberitahumu!"

"Tidak, aku tak suka, enci. Kita bukan dari keluarga biru. Aku ingin seperti ini dan biar tetap seperti ini!"

"Baiklah, terserah kau, Sin Hauw. Yang penting kau tetap di sini menemani encimu. Aku tak mau kau pergi dan meninggalkan aku!"

"Hm, aku tak akan meninggalkanmu, Tapi sehari dua aku mesti pergi juga, enci, melaksanakan tugas suhu yang harus kuselesaikan!"

"Benar, sekarang ceritakan kisahmu itu. Bagaimana dengan gurumu dan kemana kau selama ini!"

"Aku di Lembah Iblis..."

"Lembah Iblis?"

"Ya, Lembah Iblis, enci. Tempat tinggal kedua orang guruku. Aku di sana selama enam tahun!"

"Pantas saja, pangeran tak dapat menemukanmu!"

"Aku tak diperbolehkan keluar, enci. Suhu dan subo melarangku."

"Aneh, ceritakan kisahmu, Sin Hauw. Biar aku mendengar!"

Sin Hauw menarik napas dalam. Setelah encinya selesai bercerita dan ganti dia diminta bercerita maka Sin Hauw menarik napas panjang. Kisahnya sedih, juga panjang. Maka duduk dengan baik dan mulai bercerita dia lalu menceritakan apa yang dialaminya, sejak penyerbuan di Cin-ling dulu dan betapa Hwa-liong Lo-kai akhirnya tewas. Kakek atau gurunya pertama itu tak dapat ditolong lagi, lukanya parah dan racun Ular Merah cukup jahat. Semuanya itu membuat si kakek tewas dan akhirnya dia dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya yang baru, Sin-liong Hap Bu Kok suami isteri itu. Dan ketika di sana dia dilarang turun lembah sebelum mewarisi semua kepandaian gurunya maka Sin Hauw menarik napas mengenang ini.

"Aku tak boleh ke mana-mana. Itulah sebabnya baru hari ini aku datang, enci. Itupun karena suhu dan subo tewas. Mereka berkelahi, masing-masing tak mau mengalah dan akhirnya mati bareng!"

"Ih!" sang enci tampak ngeri. "Persoalan apa yang membuat mereka seperti itu, Sin Hauw? Apakah kedua gurumu gila?"

"Tidak, mereka memperebutkan ini, enci. Golok Maut! Aku juga menyesal kenapa mereka harus seperti itu!"

"Golok Maut? Senjata yang kau bawa itu?"

"Benar, dan ini milik guruku, enci. Aku akan mempertahankannya dengan jiwaku!"

"Dan kau telah menabas buntung seorang dari nenek Im-kan Sian-li! Benar-kah, Sin Hauw?"

"Benar, enci," Sin Hauw tak enak. "Tapi mereka itu yang menggangguku lebih dulu. Kalau tidak begitu tentu tak akan terjadi itu!"

"Ih, aku jadi mengkirik! Senjatamu berbau darah, Sin Hauw. Sebaiknya disimpan dan tidak dipergunakan saja!"

"Aku juga bermaksud begitu. Tapi kalau keadaan memaksa tentu tak mungkin kulakukan itu, enci. Dan aku berharap mudah-mudahan golok ini tidak mereguk darah!"

Pembicaraan mulai menyimpang. Kini Sin Hauw ditanya masalah golok itu, ketajaman dan keampuhannya, lalu ilmu-ilmu silat yang dia miliki. Dan ketika pembicaraan beralih pada masalah pribadi apakah Sin Hauw sudah punya pacar atau belum maka pemuda ini tersipu merah dengan muka jengah.

"Pacar? Ah, kau ini ada-ada saja, enci. Aku hidup penuh penderitaan dan tidak ingat masalah itu. Aku tidak memikirkan itu!"

"Tapi kau sudah cukup dewasa. Hampir dua puluh tahun!"

"Hm. baru delapan belas, enci. Masih ingusan dan hijau!"

"Hi-hik, jangan begitu, Sin Hauw. Delapan belas pun sudah cukup. Kau sudah dewasa dan dapat beristeri. Aku punya pandangan di sini, Miao In!"

Sin Hauw terkejut. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba encinya itu bangkit berdiri, keluar dan sudah membuka pintu kamar. Dan ketika dia bertepuk tangan dan seorang dayang muncul diminta memanggil seorang gadis maka tak lama kemudian muncul seorang dara tujuh belasan tahun yang cantik berbaju hijau, dibawa masuk encinya itu.

"Ini, perkenalkan, Sin Hauw. Miao In yang kuberitahukan itu!"

Sin Hauw merah padam. Tanpa ba-bi-bu lagi encinya itu tiba-tiba sudah membawa masuk seorang gadis, cantik dan tentu saja Sin Hauw gugup. Selamanya dia belum pernah bergaul dengan wanita, kecuali enci dan subonya itu. Maka begitu seorang gadis asing sudah diperkenalkan padanya dan gadis itu malu-malu membungkuk di depannya Sin Hauw pun tersipu dan jengah dengan muka merah padam.

"Aih-aih, tak usah malu-malu. Miao In adalah puteri Ci-ongya, Sin Hauw. Masih kerabat dengan Coa-ongya. Ayo kenalan, jangan malu-malu!"

Sin Hauw seperti kepiting direbus. Encinya itu sudah mengajaknya berkenalan, Miao In tersenyum malu-malu dan menggigit bibir. Pipi yang kemerahan itu tampak semakin memerah dan membentuk apel yang masak. Dan ketika Sin Hauw menyambut dan mau tak mau memperkenalkan diri maka gadis itu berkata penuh kagum padanya,

"Aku sudah mendengar tentang dirimu. Enci Kin sungguh beruntung, mempunyai adik yang begini hebat dan lihai.Aku kagum, Sin Hauw. Mudah-mudahan kau suka bersahabat denganku dan sedikit-sedikit mengajariku silat!" "Ah, aku tak bisa apa-apa, Miao In. Kau terlalu membesar-besarkan diriku. Aku masih bodoh dan sesungguhnya kepandaianku terbatas!"

Percakapan dimulai. Sekarang Sin Hauw ditemani seorang gadis cantik di samping encinya. Untunglah, kalau tak ada encinya di situ tentu Sin Hauw tak dapat berkutik, mula-mula gugup tapi Miao In ternyata luwes, pandai bertutur kata dan Si Hauw tertarik. Dan ketika secara perlahan tetapi pasti dua muda-mudi itu sambar-menyambar mengerlingkan mata tiba-tiba saja Sin Hauw merasa jatuh cinta!

Hari itu encinya ngobrol tak habis-habisnya, mereka terlibat pembicaraan menarik dan sama sekaii tidak menyinggung-nyinggung masalah kemarin, pertandingan pemuda itu dengan Im-kan Sian-li dan lain-lain, hal yang membuat Sin Hauw merasa lega dan tenang. Encinya menguasai percakapan dan Miao In serta Sin Hauw hanya saling menumpang. Miao In sering melirik Sin Hauw dan kekaguman tak dapat disembunyikan di mata gadis itu, Sin Hauw tergetar dan tentu saja merasa. Dan ketika sehari itu mereka asyik ngalor-ngidul dengan pembicaraan yg selalu ada akhirnya Hwa Kin minta diri karena harus menemui atau menemani suaminya, Coa-ongya.

"Suamiku tentu menunggu. Cukuplah, Sin Hauw. Besok kita bicara lagi dan Miao In dapat menemanimu!"

"Ah., biar aku besok ke mari bersamamu, enci Kin. Sin Hauw tentu ingin ber-istirahat dan mengaso!"

Sin Hauw mengangguk. Memang dia lelah, ingin beristirahat setelah seharian ngobrol dengan encinya. Hari itu dia merasa gembira dan bahagia. Teman barunya Miao In cukup menyenangkan juga, ada semacam perasaan nikmat kalau berdua dengan gadis itu, berbicara dan bercakap-cakap. Dan ketika mereka pergi dan malam itu Sin Hauw mengaso di kamarnya maka pemuda ini menerawang girang ke langit-langit ruangan.

"Ah, encinya ternyata bahagia," pikirnya dengan mata berseri-seri. "Dan Coa-ongya pun ternyata seorang laki-laki yang baik. Kalau semua itu betul dan kematian ayah ibunya tak dapat disalahkan kepada siapa-siapa tentu saja dia akan menerima dan melupakan hal itu.

Sin Hauw mulai gembira. Kenyataan bahwa encinya masih hidup dan segar-bugar membuat pemuda ini cepat melupakan yang lain-lain. Kwi-goanswe dan teman-temannya mulai dapat diterima di hati, begitu juga Im-kan Sian-li, dua nenek lihai itu, yang tidak mengganggunya. Dan ketika sebulan kemudian Sin Hauw sudah menjadi pembantu Coa-ongya dan tiap hari hampir selalu ditemani encinya atau Miao In maka bulan kedua gadis baju hijau itu sudah erat dengan Sin Hauw sementara encinya satu dua kali saja muncul menemaninya.

"Kau baik-baiklah dengan Miao In. Gadis itu jatuh cinta padamu!"

Sin Hauw tersentak.

"Kau tak percaya?" encinya tertawa. "Lihat pandang matanya, Sin Hauw. Amati gerak-geriknya dan sikapnya. Gadis itu sudah menyatakan perasaan hatinya kepadaku!"

Sin Hauw tersirap. Kalau encinya sudah bicara seperti itu tentu saja dia terkesiap, encinya sudah meninggalkannya dan terkekeh ditahan. Tawa encinya itu penuh arti dan Sin Hauw tertegun. Dan ketika kebetulan Miao In muncul tak lama kemudian untuk minta pelajaran silat maka Sin Hauw merah padam teringat kata-kata encinya tadi.

"Lihat pandang matanya, lihat gerak-geriknya," begitu kata-kata itu terngiang. "Gadis itu jatuh cinta padamu, Sin Hauw. Dan aku setuju kau menikah dengannya!"

Sin Hauw berdegup kencang. Setelah encinya pergi dan Miao In tiba-tiba muncul mendadak jantungnya berdebar kencang. Dia gugup memandang gadis itu dan hari itu Miao In tampak cantik bukan main. Gadis ini mengenakan celana hitam dengan baju kembang-kembang, di-lilit sebuah ikat-pinggang merah dalam pakaian ketat. Ah, Sin Hauw terbelalak dan kagum. Dan ketika gadis itu mendekat dan benar saja pandang mata Miao In penuh getaran dan mesra memandangnya maka gadis itu berkata, merdu dan menggetarkan perasaan Sin Hauw,

"Aku ingin melanjutkan jurus kemarin, Sin Hauw. Aku ingin kau mengulangnya lagi dan memberitahukan padaku!"

Ternyata Sin Hauw sudah memberikan sebagian kepandaiannya kepada gadis itu. Hwa Kin menyuruhnya dan Sin Hauw tidak menolak, memberikan Kim-kong-cian dan beberapa dasar-dasar ilmu silat. Miau In menerimanya cerdas dan cepat menangkap pelajarannya, Sin Hauw diam-diam kagum dan memuji. Namun ketika pagi itu gadis ini agak mengerutkan kening karena pelajaran kemarin agak sukar maka Sin Hauw tersenyum dan sudah dapat menguasai perasaan hatinya.

"Ah, jurus Pukulan Emas Memecah Awan, Miao In? Mudah, mari kuulang dan kau lihat gerak tanganku!" Sin Hauw menyambar gadis ini, sudah berani memegang lengannya karena untuk melatih silat tentu saja harus pegang-pegang segala. Perasaan ini menimbulkan nikmat tersendiri dan Sin Hauw senang melakukan itu, apalagi Miao In sendiri sering tersenyum dan tidak menolak, halus dan lembutnya tangan seorang gadis membuat Sin Hauw kadang-kadang "ketagihan". Tentu saja senang memegang-megang dan hubungan mereka kian akrab saja. Dan Ketika pagi itu Sin Hauw mengulang jurus kemarin dan tak bosan-bosannya memberi petunjuk akhirnya Miao In girang, mengerti.

"Oh, begitu kiranya, Sin Hauw? jari tangan harus ditekuk sebuah? Ah, pantas, Sin Hauw. Aku kemarin gagal karena tidak memperhatikan letak ibu jari!"

"Nah, coba kau ulang. Tunjukkan padaku dan berlatihlah!"

Miao In sudah melakukan itu. Pagi itu dia mengikuti petunjuk Sin Hauw, melatih dan mengulang-ulang jurus Pukulan Emas Memecah Awan, akhirnya menguasai dan giranglah gadis itu. Dan ketika jurus-jurus berikut dilatih lagi dan sedikit demi sedikit Sin Hauw memberikan Kim-kong-ciangnya maka seminggu kemudian Sin Hauw berduaan lagi dengan gadis itu.

"Kita berlatih di hutan, jangan di sini!"

Sin Hauw terkejut. "Kenapa?"

"Ah, perlu suasana baru, Sin Hauw. Aku ingin di tempat yang lebih luas dan lega!"

Sin Hauw tertawa. Hari itu lagi-lagi Miao In mengenakan pakaian ketat, celananya hitam namun bajunya merah. Akhir-akhir ini Sin Hauw lebih sering memperhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu, sering memperhatikan bentuk tubuhnya yang kian menonjol saja. Secara tak disadari Sin Hauw mulai diganggu berahinya, darah mudanya sering berdenyar dan hari itupun dia agak terbelalak melihat pakaian yang dikenakan gadis ini. Entahlah, pandang matanya selalu lekat pada tubuh gadis itu dan Sin Hauw kagum pada sepasang buah yang menonjol. Itulah daya tarik wanita dan Sin Hauwpun silau. Dan ketika hari itu Miao In mengajaknya ke hutan dan kali ini gadis itu yang menyambar lengannya maka Sin Hauw berdebar merasakan jari-jari yang lembut dan hangat.

"Eh, tanganmu berkeringat, Sin Hauw. Aneh sekali belum apa-apa sudah basah!"

Sin Hauw terkejut. "Aku agak gugup, Miao In. Entahlah hari ini aku merasa kikuk!"

"Kepada siapa?"

"Kepada dirimu."

"Eh!" gadis itu berhenti. "Kepadaku? Hi-hik, lucu, Sin Hauw. Kau main-main!" dan gadis itu yang sudah menyambar Sin Hauw lagi dan diajak berlari ke hutan akhirnya membuat Sin Hauw merah padam, memang sesungguhnya kikuk dan ada perasaan jengah di hati. Mereka sudah biasa pegang-pegangan tangan tapi hari ini dia merasa lain. Keketatan pakaian dan kecantikan Miao In hari ini lebih menonjol, Sin Hauw tergetar dan sesungguhnya itulah yang membuat dia tak keruan, gugup dan mau melengos tapi selalu saja matanya ingin melirik ke samping, menembus apa yang ada di balik pakaian ketat itu, aneh. Sebuah keinginan yang akhir-akhir ini mengganggu Sin Hauw. Dan ketika mereka tiba di hutan dan di situ baru Miao In melepaskan tangannya maka gadis ini minta agar Sin Hauw melayaninya bertanding.

"Sekarang Kim-kong-ciang sudah kupelajari semua. Tolong kauberi petunjuk dan kita berlatih lengkap!"

Sin Hauw mengangguk. Memang Kim-kong-ciang sudah diberikannya semua, gadis itu melahapnya dalam beberapa bulan saja dan Sin Hauw kagum. Hebat gadis ini, dia bersinar-sinar dan tentu saja merasa kagum. Dan ketika Miao In minta ditemani agar mereka berlatih secara lengkap maka Sin Hauw mengangguk dan untuk sesaat dapat melupakan debaran hatinya, bersiap dan Miao In tertawa di depannya. Gadis itu juga bersiap dan memberi aba-aba.

Dan ketika gadis itu bergerak dan mulai menyerang maka Sin Hauw melayani dan mengelak, dikejar lalu bertubi-tubi mendapat serangan susulan, menangkis dan segeralah mereka terlibat dalam latihan yang serius. Baru kali ini gadis itu meminta Sin Hauw melayaninya dalam latihan lengkap, maklumlah, baru kali itu juga dia selesai mendapat Kim-kong-ciang. Namun ketika Sin Hauw dapat mematahkan semua serangannya dan Kim-kong-ciang seolah tak berdaya menghadapi pemuda itu tiba-tiba Miao In menangis dan membanting kakinya.

"Sin Hauw, aku masih bodoh. Aku tak dapat mengalahkanmu!"

"Eh," Sin Hauw terkejut. "Jangan kau bicara begitu, Miao In. Kepandaianmu sudah cukup dan Kim-kong-ciang hampir sempurna kau ingat!"

"Tapi aku tak dapat merobohkanmu! Aku masih bodoh!"

"Tidak, bukan begitu, Miao In, melainkan ilmumu kukenal dan tentu saja dapat kuhadapi dengan baik. Kau yang terlalu berambisi!"

Gadis itu berhenti. Tiba-tiba Miao In melempar tubuh dan duduk menangis. Semua serangannya yang tadi dengan mudah dielak atau ditangkis Sin Hauw dianggapnya kebodohannya. Gadis ini tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan malah bengong maka gadis itu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Ah, aku tolol, Sin Hauw. Tak nyana semua pelajaran darimu tak dapat kupakai sama sekali. Aku terlalu bodoh, tak ada kemajuan sama sekali!"

"Tidak," Sin Hauw membungkuk. "Kau salah, Miao In. Justeru latihan yang sudah kau tunjukkan ini mengagumkan hatiku. Kemajuanmu pesat, bayangkan hanya dalam dua bulan saja kau sudah menguasai Kim-kong-ciang dan dapat dipakai bertempur!"

"Tapi aku tak dapat mengalahkanmu, Sin Hauw. Aku tak dapat merobohkanmu!"

"Tentu," Sin Hauw tertawa. "Aku memiliki ilmu-ilmu yang lain, Miao In. Bukan hanya Kim-kong-ciang saja. Lagi pula aku enam tahun belajar sedang kau hanya dua bulan! Mana bisa ditandingkan? Tidak, kau memang belum dapat mengalahkan aku, Miao In. Masih terlalu lama bagimu mengalahkan aku. Barangkali kau harus belajar bertahun-tahun!"

"Jadi bukan karena aku bodoh?"

"Ah, kau tidak bodoh, Miao In. Bahkan sesungguhnya mengagumkan hatiku. Kalau bukan kau tentu tak mungkin melatih Kim-kong-ciang hanya dua bulan selesai!"

"Sungguh?"

"Eh, kau kira aku bohong?"

"Ah, kalau begitu terima kasih, Sin Hauw. Aku sekarang tak kecewa dan biar kauajarkan lagi ilmu-ilmumu yang lain!" gadis itu tiba-tiba menubruk, tertawa dan sudah girang memeluk Sin Hauw. Pemuda ini terkejut karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah dirangkul, dipeluk lengan yang hangat itu dan tanpa sengaja "buah" yang dikagumi Sin Hauw melekat di dadanya, nempel dan terasalah sesuatu yang hangat-hangat mendesirkan mengguncang sukma pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan merah padam menerima itu tiba-tiba Miao In melepaskan diri seolah kaget.

"In, maaf, Sin Hauw. Aku tak sengaja!"

"Tak apa," Sin Hauw menggigil. "Aku merasa gembira, Miao In. Kalau kau tidak menangis dan dapat gembira lagi tentu akupun turut senang!"

"Kau tak marah ku... kupeluk tadi?"

"Hm," Sin Hauw semburat. "Kita sahabat baik, Miao In. Aku tak marah kau melakukan itu!"

"Dan kau... kau tadi menyatakan kagum. Eh, benarkah aku tak bebal, Sin Hauw? Atau kau hanya sekedar menghiburku agar aku tak kecewa?"

"Hm, tidak. Kau memang mengagumkan, Miao In. Dan terus terang jarang ada yang dapat menyelesaikan Kim-kong-ciang hanya dalam dua bulan!"

"Sungguh?"

"Sungguh!"

"Dan kau, eh., bagaimana pandanganmu kepadaku, Sin Hauw? Termasuk gadis apakah aku ini?"

"Hm, kau gadis cantik, Miao In. Dan aku mengagumi kecantikanmu!" Sin Hauw kelepasan bicara, sudah mabok oleh bekas pelukan tadi dan Miao In terkejut.

Gadis itu terbelalak tapi tiba-tiba menunduk, mukanya merah dan tiba-tiba dia betanya apakah Sin Hauw suka padanya. Dalam saat begitu suasana romantis tak dapat dicegah, Miao In secara tak sengaja mendekatkan lengannya, merayap dan sudah disambar Sin Hauw. Dan karena Sin Hauw teringat kata-kata encinya bahwa gadis ini jatuh hati kepadanya maka dia merasa berani dan tak dapat disangkal bahwa iapun sebenarnya jatuh cinta terhadap gadis cantik itu!

"Maaf, aku.. aku bukan hanya merasa suka kepadamu, Miao In. Melainkan.. melainkan juga mencintamu! Bolehkah aku mendapat jawab bagaimana perasaan hatimu kepadaku? Apakah.. apakah cintaku kau terima?"

Muka yang menunduk itu tiba-tiba terangkat. Sin Hauw melihat mata yang bukan main indahnya saat itu, bening dan berkedip padanya dan tiba-tiba bibir yang merekah itu tersenyum. Dan ketika Miao In mendesah dan malu-malu menyembunyikan mukanya maka gadis itu berbisik, gemetar,

"Sin Hauw, bagaimanakah kiramu? Mengapa aku harus tak menerimanya?"

"Ooh, jadi.. jadi kau..."

"Benar, kau terlalu lama menyatakannya, Sin Hauw. Aku tak sabar dan hampir mati dilanda rindu!"

"Miao In!" dan Sin Hauw yang girang bukan main mendengar ini tiba-tiba melihat gadis itu sudah merobohkan tubuh ke dadanya, malu-malu tapi bahagia dan entah kekuatan dari mana tiba-tiba Sin Hauw memeluk gadis itu, erat sekali, mengeluh dan tiba-tiba Miao In terguling. Dan ketika mereka sama-sama roboh dan Sin Hauw girang bukan main tiba-tiba muka gadis itu sudah berdekatan dengan mukanya, bibir yang merekah itu masih tersenyum dan dari mulut Miao In keluar semacam erangan lirih. Sin Hauw tak tahan dan tiba-tiba menunduk, Dan karena wajah mereka berdekatan dan tak dapat dicegah iagi hidung bertemu hidung tiba-tiba mulut keduanya melekat dan Sin Hauw sudah mencium gadis pujaannya itu.

"Miao In, aku cinta padamu!"

Sin Hauw terbang ke langit ketujuh. Dara pujaannya menyambut dan mereka berciuman, lama dan masing-masing seolah tak mau melepaskan lagi. Sin Hauw gemetar dan menggigil namun bahagia bukan main. Baru kali itu dia dimabok asmara dan disambut, gadis pujaannya tak menolak dan tentu saja Sin Hauw memuaskan diri. Namun ketika mereka terengah dan Miao In mendorong tubuhnya maka gadis itu berkata, hampir kehabisan napas dicium Sin Hauw,

"Ih, sudah, Sin Hauw. Jangan terus-terusan, nanti dilihat orang!"

Sin Hauw tertawa. "Kau, ah., salahmu kau cantik sekali, Miao In. Aku mabok dan bahagia sekali dibuatnya!"

"Hm, kau sendiri yang mabok? Tidak, aku juga, Sin Hauw. Akupun mabok dan bahagia. Tapi sekarang kau harus melatihku ilmu silat yang baru, ayo ajari aku!"

Sin Hauw tertawa. Setelah mereka berciuman tadi tiba-tiba tiada jarak diantara mereka berdua. Sin Hauw merasa begitu dekatnya hingga tak canggung-canggung dia menyambar lagi, memeluk dan mencium. Dan ketika kekasihnya mengelak dan genit-genit manja Sin Hauw melompat bangun.

"Ha-ha, pelajaran apalagi yang kau inginkan, In-moi (adik In)? Bukankah Kim-kong-ciang saja masih harus dilatih berulang-ulang untuk mencapai kematangan?"

"Tidak, aku sekarang ingin minta pelajaran senjata, Sin Hauw. Aku ingin berlatih Giam-to-hoat (Silat Golok Maut)!"

"Apa? Ilmu silat golok?" Sin Hauw terkejut.

"Ya, kenapakah? Tidak bolehkah?"

"Hm," Sin Hauw tertegun. "Ini, hm.." pemuda itu bingung. "Silat ini belum waktunya kau pelajari, In-moi. Dan lagi melanggar pesan guruku!"

"Kau tak percaya?" wajah cantik itu tiba-tiba menangis. "Baiklah, kalau begitu tak usah aku mempelajarinya, Sin Hau Biar aku tetap bodoh dan kalah olehmu!" dan si nona yang marah memutar tubuh tiba-tiba ngambek dan meninggalkan Sin Hauw, tak mau bicara lagi dan tentu saja Sin Hauw bingung. Itu tak boleh terjadi, dia lagi hangat-hangatnya menikmati cinta!

Maka begitu mengejar dan berkelebat menyambar lengan kekasihnya Sin Hauw sudah menarik omongannya, berkata baiklah kekasihnya itu mempelajari ilmu silat golok tapi kekasihnya diminta bersabar. Ilmu silat tinggi tak bisa dipelajari dalam waktu singkat dan giranglah gadis cantik itu. Dan ketika hari itu juga Sin Hauw diminta menurunkan ilmu goloknya dan sedikit tetapi pasti rahasia Giam-to-hoat diberikan pada gadis ini maka Sin Hauw tak menyadari sebuah bahaya baru, setengah tahun kemudian Miao In sudah hapal hampir semua teorinya, tinggal sedikit lagi dan barangkali dua tiga bulan gadis itu akan mendapatkan semuanya.

Sin Hauw memang memberikan semua rahasia ilmu goloknya pada gadis itu. Maklumlah, pemuda ini lagi dilanda cinta. Cinta memang selamanya membius, memabokkan dan mudah membuat orang lupa diri. Namun ketika semuanya itu dijalani tanpa terasa dan malam itu Sin Hauw beristirahat setelah seharian lelah melatih kekasihnya mendadak terdengar ribut-ribut di luar.

"Golok Maut dicuri! Golok Maut dicuri...!"

Sin Hauw terkejut. Golok Maut, yang diteriakkan orang-orang di luar itu dipandangnya. Golok itu ada di samping pembaringannya dan tetap di situ, tak bergerak dan sehari itu tetap bersamanya. Maka ketika teriakan atau bentakan di luar itu membuatnya heran sekaligus terkejut tiba-tiba terdengar bentakan Kak-busu dan Lutung Putih,

"Im-kan Sian-li, jangan berkhianat! Serahkan golok itu pada pangeran!"

Sin Hauw melompat bangun. Di luar sudah terjadi ribut-ribut dan tawa yang aneh. Im-kan Sian-li, yang dikenal ketawanya tiba-tiba menendang seorang pengawal, membentak Lutung Putih dan terdengar jerit tertahan. Dan ketika Lutung Putih rupanya terbanting atau melempar tubuh bergulingan maka derap pengawal berdatangan dari segala penjuru, disusul teriakan dan suara-suara memaki.

"Cegat nenek ini, jangan sampai lolos!"

"Benar, jangan sampai lolos. Dia mencuri Golok Maut!"

Sin Hauw jadi bingung. Kalau orang di luar sudah berteriak-teriak tentang Golok Maut padahal golok itu jelas ada di sampingnya maka Sin Hauw tak tahan untuk tidak meloncat, keluar dan berkelebat membuka jendelanya. Dan begitu Sin Hauw melihat apa yang terjadi di luar dan dua nenek lihai itu dikepung dan dikeroyok dari segala penjuru maka Sin Hauw mendengar kekeh mereka yang menyeramkan, lalu melihat Kwi-goanswe dan lain-lain menyerang nenek itu.

Nenek yang buntung mengebutkan ujung bajunya dan terlemparlah belasan pengawal yang berani mendekat, nenek yang lain membawa sebatang golok dan Sin Hauw terkejut melihat itu. Golok yang berkeredep menyilaukan tampak menyambar-nyambar dari tangan nenek yang ini, sedikit memantulkan warna merah dan Sin Hauw tentu saja bengong. Dan ketika dia menjublak sementara pertempuran sudah ramai disusul jerit atau pekik kesakitan maka golok di tangan nenek di sebelah kiri membabat dan menangkis senjata di tangan Kwi-goanswe ataupun Kak-busu, yang memegang sebatang tombak bercagak.

"Cring-crang!"

Sin Hauw terbelalak. Bagai membabat agar-agar dua senjata di tangan dua orang itu terbabat putus, Sin Hauw terkejut karena teringat keampuhan Golok Mautnya, persis dan sama. Dan ketika pengawal datang menyerang namun mereka dihalau golok di tangan nenek itu maka Im-kan Sian-li mengancam,

"Minggir kalian, atau kubunuh!"

Kwi-goanswe membentak. Lutung Putih melepas senjata-senjata gelap namun nenek itu menangkis, semuanya runtuh dan patah-patah, sebelum mengenai nenek itu. Dan ketika sinar merah berkelebat dan nenek itu menyambar Pek-wan maka Lutung Putih terbabat pundaknya dan mengaduh.

"Crat!"

Segumpal daging terlempar di udara. Kakek ini berteriak dan nenek itu terkekeh. Sin Hauw ngeri. Dia melihat kehebatan yang sama pada golok di tangan nenek itu. Tapi ketika dia mau bergerak dan memasuki pertempuran tiba-tiba Coa-ongya muncul disusul bentakannya yang nyaring,

"Berhenti!"