Golok Maut Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

GOLOK MAUT
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"LOCIANPWEE...locianpwee Sin-liong Hap Bu kok dan Cheng Giok sian Li?"

"Ya, kamilah itu Sin Hauw. Dan kami juga sahabat mendiang ayahmu."

"Oh.." Dan Sin Hauw yang berlutut namun menangis lagi tiba-tiba dicengkram gurunya.

"Lihat.." Kakek ini gemetar. "Mereka orang-orang yang hebat, sin Hauw. Gurumu sekarang pun bukan tandingannya! Maukah kau menjadi muridnya dan mengikuti mereka?"

Sin Hauw menguguk.

"Jangan cengeng!" Hwa-liong Lo Kai membentak. "Mereka atau gurumu sama saja, sin Hauw. Aku atau Cheng Giok Sian Li akan melindungimu seperti mendiang ayahmu dulu. Sekarang katakan bahwa kau suka menjadi murid mereka!"

"Tapi... tapi suhu..."

"Aku akan mampus bocah. Racun telah mengeram di tubuhku tak dapat hilang!"

"Tidak.... jangan begitu, suhu.... aku...."

"Heh!" kakek itu tiba-tiba mendelik. "Kau mau membuat gurumu tak mati meram, Sin Hauw? Kau tak segera menyebut suhu dan subo pada mereka?" dan, ketika bocah itu menangis dan tersedu-sedu kakek ini terengah dan batuk-batuk, menggigil "Sin Hauw, tak perlu banyak peradatan lagi. Kalau kau tak mau memenuhi permintaan ini kau akan menyesal seumur hidup... ugh!" kakek itu melontarkan segumpal darah, terguling dan Sin Hauw menangis megerung-gerung, Sin Hauw menjerit dan memanggil gurunya itu.

Tapi ketika Hwa-liong Lo-kai melotot dan kejang-kejang ternyata kakek ini meminta agar Sin Hauw menjalankan upacara singkat mengangkat dua orang itu sebagai gurunya yang baru, ingin mendengar anak laki-laki itu menyebut suhu dan subo (Ibu guru) kepada dua suami isteri gagah itu dan Hwa-liong Lo-kai kehabisan tenaga. Kakek ini terbeliak dan tersendat-sendat, napasnya sudah mau putus. Dan ketika Sin Hauw mengguguk namun menjalankan juga perintah gurunya, tiba-tiba kakek itu terguling dan sempat tertawa aneh.

"Ha ha, terima dirinya, Cheng giok.... selamat tinggal..." dan begitu terguling serta menghembuskan napasnya yang penghabisan tiba-tiba. kakek ini telah tewas dan menggeliat lemah, tidak bergerak lagi dan menjeritlah Sin Hauw sejadi-jadinya.

Kematian gurunya yang begitu menyedihkan membuat anak ini terguncang. Dua kali dia harus menghadapi kematian orang-orang yang disayang. dulu ibunya sekarang gurunya ini. Dan ketika anak itu mengguguk dan berteriak memanggil gurunya, tiba-tiba Sin Hauw pingsan dan roboh pula di samping kakek itu.

"Hm, bocah yang menyebalkan!" Cheng Giok marah. "Bagaimana, Hap-ko? Apakah bocah ini pantas menjadi murid kita?"

"Tiada jalan lain," sang suami menarik napas. "Lo kai telah menyerahkannya kepada kita, Sian-li. Dan kita harus menerima."

"Tapi bocah ini rupanya terpaksa. Kalau dia tidak suka lebih baik batalkan hubungan ini!"

"Eh, tidak. Jangan, Isteriku. Dia keturunan Sin Lun! Tentu ada sesuatu yang belum kita mengerti dan sebaiknya kita urus mereka ini!"

Sin-liong Hap Bu Kok menyambar Sin Hauw, menotok dan menyadarkan anak itu sementara isterinya bergerak mengurus mayat Lo-kai, Kakek pengemis itu telah tewas dan mereka memang tak dapat menolong. Racun dan luka yang ada di tubuh Lo-kai terlalu parah, Ang tok-coa benar-benar ular yang berbisa dan jahat.

Dan ketika Sin Hauw siuman dan dua suami isteri itu mengubur mayat Lo-kai maka anak ini tersedu-sedu di makam gurunya, masih tak dapat menahan diri dan Cheng Giok Sian li jengkel. Wanita itu menganggap Sin Hauw terlalu lemah dan cengeng, tak suka dia. Dan ketika seharian itu Sin Hauw menangisi gurunya dan diminfa meninggalkan gunung ternyata Sin Hauw menolak.

"Maaf, suhu. Tecu.... teecu masih ingin berkabung disini, Kalau suhu dan subo mau berangkat biarlah teecu menyusul belakangan. Teecu ingin bersamadhi tiga hari di sini."

"Kau mau apa?"

"Menemani makamnya, subo, mumpung masih hangat. Teecu tak dapat melupakan semua budi kebaikannya ketika masih hidup."

Dua suami isteri itu saling pandang. "Bagaimana?" Cheng-giok Sian-li bertanya. "Apakah kita meluluskannya?"

"Ya," Hap Bu Kok menjawab. "Tampaknya positip, isteriku. Kita tinggalkan dia!" dan menguji serta memberi isyarat isterinya si Naga Sakti itu berkata,

"Sin Hauw, kami tinggal di Lembah Iblis. Tiga hari perjalanan dari sini kalau kau ke selatan. Nah, datanglah setelah itu dan kami tunggu kau di sana!"

Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut. Tentu saja dia mengangguk dan minta maaf, masa berkabungnya tak dapat diganggu dan sesungguhnya Sin-liong Hap Bu Kok kagum. Pendekar itu melihat sesuatu yang menarik dalam watak Sin Hauw, rasa budinya yang besar. Dan ketika dia memberi petunjuk-petunjuk dan keterangan bahwa Lembah Iblis bukanlah tempat yang gampang didatangi manusia maka pendekar itu berkelebat dan lenyap bersama isterinya, meninggalkan Cin-ling dan Sin Hauw pun tetap berlutut. Sekali lagi anak itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya, menganggap gurunya pergi dan betul-betul pulang ke Lembah Iblis. Tapi ketika Sin Hauw bangkit dan duduk lagi di makam gurunya ternyata si Naga Sakti tak betul-betul pergi.

"Kita kembali, lihat anak itu!"

"Eh!" sang isteri terkejut. "Mau apa kau? Kenapa kembali?"

"Hm, kau tak tahu, Sian-li. Aku mencoba dan sengaja menguji saja. Siapa mau meninggalkan dia di saat-saat begini? Tidak, kita kembali isteriku. Lihat dan amati apakah benar anak itu berkabung di makam Lo-kai!" dan menyambar isterinya mengajak kembali ternyata Sin-liong Hap Bu Kok ini tak pergi ke Lembah Iblis, balik dan mengintai Sin Hauw.

Di telinga isterinya dia berbisik bahwa ini adalah ujian yang baik untuk melihat tindak-tanduk anak itu, mereka dapat mengetahui seberapakah "kadar" anak itu akan budi, hal yang membuat isterinya tertegun. Dan ketika Cheng-giok Sian-li mengerti dan tentu saja mengikuti suaminya maka dua orang itu dibuat kagum akan tekad Sin Hauw.

Ternyata keteguhan anak ini benar-benar teruji. Dia tak bergeming di atas makam suhunya, duduk bersila dan tidak bergerak seperti arca, Sin Hauw tidak makan atau minum selama tiga hari, siang dipanggang panas sementara malam di serang dingin. Anak itu tak perduli dan benar benar menunjukkan baktinya pada sang guru, bakti yang besar dan mengharukan. Dan ketika tiga hari kemudian masa berkabungnya selesai dan anak itu membuka mata maka tanpa diketahui Sin Hauw dua orang gurunya yang baru mendecak dan menggeleng-geleng.

"Anak yang hebat, teguh dan kuat pendirian!"

"Ya, dan sekarang dia ke Lembah Iblis, Hap ko. Apakah kita menguntitnya?"

"Tentu, kita di belakang, Sian-li. Dan mari pasang jebakan-jebakan!"

Cheng-giok Sian-li terkejut. Suaminya tertawa dan sudah berkelebat mendahului, sepanjang jalan memasang rintangan untuk menyulitkan Sin Hauw. Ada saja yang dipasang, mulai dari pohon-pohon yang tumbang sampai tanda-tanda menyesatkan untuk ke Lembah Iblis. Suaminya memang sudah memberi tahu Sin Hauw bahwa disepanjang jalan anak laki-laki itu akan mendapat petunjuk tentang jalan menuju kelembah itu, berupa tanda-tanda atau tikungan jalan. Dan ketika semuanya dibuat sedemikian rupa dan Sin Hauw naik turun jurang maka hari terakhir anak itu sudah tiba dimulut lembah yang berkabut.

"Nah, sekarang kita keluarkan semua hewan-hewan buas di hutan. Suruh anak itu menghadapinya."

Cheng giok sian li tak banyak komentar. Sin Hauw dibuat terkejut ketika harimau dan binatang buas mengaum menggetarkan mulut lembah, muncul dan satu per satu menyerangnya. Anak itu tak tahu bahwa gurunyalah yang menggebah binatang-binatang itu, dibuat marah dan akhirnya menyerang Sin Hauw, yang sedang kecapaian dan lelah batin. Namun karena dia anak yang tegar dan semua gangguan itu dapat diatasi dengan baik, akhirnya Sin Hauw terseok-seok memasuki lembah, terhuyung mencari gurunya dan sin Hauw menggigil.

Sebetulnya anak ini harus beristirahat, namun Sin Hauw tidak mau, meneruskan langkah dan tibalah dia ditengah tebing yang kedua sisinya menjulang tinggi. Diatas sanalah katanya gurunya berada dan Sin Hauw merayap naik, perbuatan yang bukan tidak mengandung resiko dan amat berbahaya. Dan ketika dengan gemetar, Sin Hauw memanjat naik dan tiba diatas maka anak itu terguling ketika gurunya menanti.

"Teecu datang. Suhu. Menepati janji...!"

Dua suami istri itu kagum. Sin Hauw pingsan dan sudah memanggil suhunya, roboh dan kehabisan tenaga. Tebing yang dipanjat luar biasa tingginya dan anak itu kecapaian, mestipun berhasil. Namun ketika si Naga Sakti bergerak dan menolong muridnya itu maka Sin Hauw disadarkan dan mendengar tawa gurunya yang gembira.

"Ha..Ha... Selamat sin Hauw. Selamat datang di Lembah Iblis."

Sin Hauw nanar. Dalam perjalanan dia banyak prihatin, kurang makan minum dan gurunya segera memberikan itu. Anak ini melihat gurunya berseri-seri dan subonya yang tampak galak itu ternyata gembira menyambutnya. Suami istri itu telah menguji watak Sin Hauw dan tentu saja kemauannya yang besar, tekad serta keteguhan hatinya yang luar biasa. Dan ketika Sin Hauw disambut dan diterima gurunya maka mulai hari itu anak ini tinggal di Lembah Iblis, menerima pelajaran ilmu-silat tinggi yang dipunyai suami isteri itu.

"Kau sekarang menjadi murid kami, seluruh ilmu kami akan kami turunkan kepadamu."

"Terima kasih." anak ini menjatuhkan diri berlutut. "Teecu tak dapat membalas budi kebaikan kalian, Suhu. Dan Teecu tentu saja akan melaksanakan perintah suhu."

"Tapi satu larangan kami, sin Hauw. Yakni, kau tak boleh turun gunung sebelum pelajaranmu selesai."

Anak ini tertegun.

"Kau keberatan?"

Sin Hauw menitikkan air mata. "Tidak suhu." Katanya, "Teecu akan patuh."

"Tapi kau menangis." Cheng-giok Sian li membentak, diluarnya masih bersikap galak. "apa yang tidak kau sukai, Sin Hauw? Kau tidak sepikiran antara yang keluar dari mulut dan hati?"

Sin Hauw terkejut. "Teecu.... teecu hanya teringat enci Kin...."

Ternyata anak itu tak dapat melupakan encinya. Hwa Kin, yang entah ke mana ternyata tak dapat menenangkan anak itu. Sin Hauw cemas dan gelisah akan nasib encinya. Tapi ketika gurunya menuntut dan menghendaki dia tak boleh keluar lembah ternyata Sin Hauw dapat menekan perasaan hatinya ini.

"Encimu dapat dicari belakangan. Lagi pula kalau kami turun lembah tentu kami juga akan mencarinya. Sanggupkah kau memenuhi permintaan ini dan tidak keluar sebelum pelajaran berakhir?"

"Sanggup suhu. Teecu menurut...!" dan Sin Hauw yang mengangguk serta tidak membantah lagi ternyata mengalahkan keinginannya sendiri dan patuh pada larangan gurunya itu.

Hari itu juga mendapat pelajaran silat tinggi dari kedua gurunya dan anak ini tekun belajar. Ilmu samadhi dan menghimpun sinkang dimulai, lalu silat tangan kosong dan senjata. Dan ketika dua tahun kemudian satu demi satu pelajaran gurunya diwariskan dan sin Hauw tekun berlatih maka sin Liong Hap Bu Kok dibuat tercengang melihat suatu hari sin Hauw mainkan Kim-Kong ciang (Pukulan sinar emas)

"Eh, aku tak mewariskan itu padamu. Sin Hauw. Sebaiknya ilmu itu tak usah kau latih!"

"Maaf, ini peninggalan Hwa-Liong Lo kai, suhu. Teecu tak dapat melupakan budinya dan bermaksud melestarikan warisannya."

Si Naga sakti tertegun. "Hm, kalau Hwa Liong Lo-kai bukan sahabatku tak boleh kau mempelajari silat orang lain, sin Hauw. Berbahaya dan dapat merusak ilmu silat yang kau punyai."

"Teecu akan berhati-hati, harap suhu ampunkan teecu!" Sin Hauw lagi-lagi mengunjukkan watak muliannya, tak lupa akan budi orang dan tentu saja pendekar itu girang.

Sebenarnya dia memuji sifat begini dan pura-pura menegur, bertanya mengapa muridnya itu mempelajari Kim-Kong ciang, ilmu yang tidak pernah diajarkannya. Dan ketika hari itu Sin Hauw menyenangkan gurunya dan mendapat pelajaran-pelajaran baru maka tahun demi tahun dilewati lagi dengan cepat. Tak terasa lima tahun berlalu dan Sin Hauw kini sudah berusia delapan belas tahun, gagah dan tampan namun wajahnya beku. anak ini jarang tertawa karena dendamnya terhadap musuh-musuhnya sesungguhnya tak dapat hilang, dua gurunya juga tak pernah bergurau atau main-main, menjadikan sin Hauw tumbuh berkembang menjadi pemuda berwajah dingin. Dan ketika tahun keenam lewat dengan cepat dan hari itu dia diatas gunung tiba-tiba terdengar jerit dan bentakan gurunya.

"Sian li serahkan golok itu!"

"Tidak. ini miliku Hap-ko. Kau pergilah dan jangan kejar-kejar diriku."

Sin Hauw terkejut. Saat itu dia baru saja menyelesaikan pelajaran terakhir, ilmu silat yang oleh gurunya disebut sebagai Im-kan-to-hoat (Silat Golok Dari Akherat), ciptaan gurunya yang paling baru dan amat mengerikan. Setahun lebih dia berlatih dan baru hari itu merasa mahir, setelah berbulan bulan mengulang dan tak bosan-bosannya memperbaiki jurus-jurus yang sulit. Maka ketika jerit dan bentakan gurunya membuat dia terkejut karena jerit atau bentakan itu disusul ledakan suara pukulan maka bayangan dua gurunya berkelebat dan tahu-tahu melewati atas kepalanya.

"Wut-wut!"

Dua gurunya susul menyusul Sin Hauw melihat subonya, ibu guru, memegang sebatang golok yang berkilau, berjungkir balik dan lenyap di belakangnya, Dan ketika suhunya, Sin Liong Hap Bu Kok membentak dan mengejar isterinya itu maka suhunya ini pun lenyap menyusul subonya itu,

"Sian-li, serahkan golok, itu. Atau kau ku bunuh!"

"Keparat, kau berani membunuhku, Hap-ko? Cobalah, atau aku yang ganti akan membunuhmu!"

Sin Hauw berdetak, Kalau dua gurunya sudah bicara seperti itu maka keadaan benar-benar panas sekali, berbahaya. Dia tak tahu kenapa dua gurunya tiba-tiba cekcok dan tampak bersitegang. Sekilas dia melihat ada cahaya mengerikan dari badan golok yang dipegang subonya, sinar atau cahaya merah seperti darah. Sin Hauw mengerutkan kening tapi dia bangkit berdiri, berkelebat dan mengejar gurunya itu. Dan ketika suara atau bentakan-bentakan itu terdengar di pinggang gunung dan Sin Hauw menuju ke sini ternyata dua gurunya sudah bertempur!

"Jahanam, kau tak tahu diri, Hap-ko. Golok ini aku yang mendapatkan dan tak berhak kau mengangkanginya!"

”Tapi kau tak dapat menggunakannya, Sian-li. Golok itu lebih cocok untukku karena aku menciptakan Im kan-to hoat!"

"Cih, siapa bilang aku tak dapat menggunakannya? Lihat, aku dapat membunuhmu, laki-laki tak tahu malu. Dan aku juga dapat menciptakan sebuah ilmu golok untuk pasangan senjata ini.....bret!"

Sin Hauw melihat gurunya melempar tubuh bergulingan, Golok mengenai pundaknya dan gurunya berteriak marah. Pundak gurunya terluka dan berdarah, hebatnya darah yang menempel pada golok tiba tiba terhisap dan kering. Golok bersih kembali dan tetap mengkilap! Dan ketika Sin Hauw terbelalak dan terkejut melihat itu, maka subonya terkekeh dan menyerang suhunya lagi.

"Lihat, aku dapat melukaimu, Hap ko. Tak beralasan omongamu bahwa aku tak dapat mempergunakan golok ini!"

Sin-Liong Hap Bu Kok pucat. Dia dilukai istrinya dan sudah meloncat bangun, melotot dan membentak isterinya itu. Dan ketika isterinya menyerang dan ia marah maka laki-laki ini mencabut senjatanya, sebuah golok pula tapi lebih besar dan tampak lebih kuat.

"Baik, aku akan menghajarmu, sian li. Kau isteri tak tahu diri yang harus diberi adat!" si Naga Sakti berseru keras, mainkan Im-kan-to-boat dan menyambar-nyambarlah cahaya golok kesegala penjuru.

Sin Hauw melihat gurunya itu besungguh-sungguh, tidak main-main lagi dan sang isteri berlompatan. Cheng-giok Sian-li tertawa mengejek dan tidak terkejut menghadapi suaminya, kemarahan dibalas kemarahan pula, Dan ketika dua suami isteri itu berkelebatan dan serang menyerang maka Sin Hauw bingung menonton jalannya pertandingan,

"Suhu, berhenti.,...! Subo, jangan menyerang....!!"

Namun dua orang itu terus bergerak sambar-menyambar. Mereka tak memperdulikan teriakan Sin Hauw dan Sin liong Hap Bu Kok justeru mempercepat gerakannya, mengeluarkan satu bentakan dahsyat dan golok di tangannya tiba-tiba menyambar leher isterinya. Satu gerakan membunuh dilancarkan pendekar ini dan Sin Hauw pucat. Itu adalah jurus yang dinamakan Coan-liong-kik-mo (Menerjang Naga Mencekik Iblis), satu jurus maut yang bahayanya bukan alang-kepalang. Tapi ketika golok menyambar leher Cheng-giok Sian-li dan wanita cantik itu merendahkan tubuhnya tiba-tiba golok di tangannya menyambut golok di tangan suaminya itu.

"Crangg!"

Sin Hauw terkejut. Golok di tangan suhunya putus dan suhunya berseru keras. Sin-liong Hap Bu Kok membanting tubuh bergulingan ketika golok di tangan isterinya masih menyambar juga, berkelebat dari atas kepala. Dan ketika laki-laki itu bergulingan menjauh dan golok di tangan isterinya membabat ke bawah maka tanah menjadi korban dan suara keras terdengar disusul asap putih.

"Dess!"

Mengerikan sekali melihat itu. Sin Hauw terbelalak melihat muka suhunya pucat, Sin-liong Hap Bu Kok memang tergetar melihat keganasan isterinya tadi. Cheng-giok Sian-li tak segan-segan membunuhnya dengan golok maut itu. Dan ketika isterinya terkekeh nyaring dan pendekar ini marah bukan main maka pendekar itu meloncat bangun dan membentak isterinya, menyerang lagi namun golok di tangan isterinya bergerak menyambut, membabat dan kembali goiok di tangan pendekar itu putus. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok marah bukan main dan melihat goloknya yang tinggal separoh maka isterinya mengejek dengan kata-kata menghina,

"Lihat, kau tak dapat mengalahkan aku Hap-ko. Salah-salah aku yang mengalahkan mu dan membunuh!"

"Keparat, kau boleh bunuh aku, Sian-li, tapi golok tetap kurampas!"

"Hm, kau laki-laki tak tahu diri. Haruskah aku membunuh dan menikmati darahmu?"

"Lakukan itu. Kau perempuan siluman, Sian-li. Kau perempuan tak tahu diri sebagai isteri!" Sin-liong Hap Bu Kok menerjang lagi, marah dan nekat dan Sin Hauw khawatir.

Dia melihat golok di tangan subonya itu hebat sekali dan suhunya agaknya tak dapat melawan. Benar saja, ketika suhunya menerjang dan subonya menangkis tiba-tiba saja suhunya mengeluh, lengan suhunya terluka dan Sin-liong Hap Bu Kok terhuyung. Dan ketika satu bentakan isterinya disusul berkelebatnya sinar golok tiba-tiba pundak gurunya terluka dan Sin Hauw berteriak kaget, mau mencegah tapi suhunya tiba-tiba mengebit. Sin Hauw disuruh minggir dan Cheng-giok Sian li tertawa mengejek. Dan ketika Sin Hauw pucat memandang jalannya pertandingan dan suhunya terus mundur-mundur akhirnya satu gerakan golok melukai jari suhunya.

"Crat!"

Sin Hauw ngeri. Jari kelingking suhunya putus dan jago yang terkejut itu terbelalak. Jari yang putus ke tanah tampak segar bermandi darah sementara golok di tangan Cheng-giok Sian-li sendiri tetap bersih. Golok itu telah menghisap kering darah yang mengutungi jari, Bukan main. Dan ketika Sin Hauw pucat dan ngeri memandang itu maka subonya membentak agar suaminya menyerah.

"Lihat, kau tak dapat melawan aku. Golok Maut telah melukaimu. Menyerahlah, atau aku akan menghabisimu, Hap-ko. Dan kau akan tinggal nama!"

"Keparat!" Sin-liong Hap Bu Kok berseru dengan muka merah padam. "Kau bunuhlah aku, Sian-li. Dan dunia akan mengutukmu sebagai isteri durhaka!"

Cheng-giok Sian-li mengerutkan kening. Omongan suaminya membuat dia tak enak sekejap dan golok di tangannya gemetar. Ada perasaan bingung dan bersalah di hatinya, rupanya omongan itu termakan juga dan dirasa betul. Dan ketika dia lengah dan suaminya menerjang tiba-tiba tangan kiri Hap Bu Kok menyambar dengan satu tamparan miring.

"Plak!"

Cheng-giok Sian-li terbanting. Saat itu dia lengah namun bukan berarti roboh, melempar tubuh bergulingan dan golok kembali bekerja. Sang suami mengejar dan amat bernafsu sekali memandang golok. Senjata itu selalu diincar dan mau dirampas. Dia marah dan tentu saja tak mau memberikan senjatanya itu, Maka ketika sang suami menubruk dan dia menggerakkan golok maka satu jari telunjuk lagi terbabat, "Cras!"

Sin-liong Hap Bu Kok mendelik. Sin Hauw tak tahan melihat itu, gurunya menggigit bibir dan tampak kesakitan. Dua jari buntung sekaligus bukanlah hal ringan, darah menetes-netes namun hebatnya golok di tangan Cheng-giok Sian-li itu tetap bersih. Golok tetap mengkilat dan kering! Sin Hauw terbelalak. Dan ketika suhunya membentak dan memaki subonya itu maka Cheng-giok Sian-li meloncat bangun memberi peringatan.

"Lihat, kau tak mungkin menang, Hap-ko. Golok ini akan membunuhmu atau kau berhenti?"

"Tidak, kau boleh membunuhku, Sian-li. Dan rohku akan tetap mengejar-ngejar-mu sampai kau memberikan golokmu"

"Hm, kau nekat?"

"Kau yang keterlaluan, isteri durhaka. Kau tak mau tunduk kepada suamimu dan menyerahlah!"

Cheng-giok Sian-li marah. Kalau suaminya nekat begini dan tak dapat dibujuk barangkali dia harus menyelesaikan pertandingan. Apa boleh buat dia harus merobohkan suaminya itu dan kalau perlu membunuh. Sin Hauw ngeri melihat muka subonya yang gelap. Nafsu membunuh mulai membayangi subonya itu dan dia khawatir. Tapi karena suhunya tak memperbolehkan dia maju dan saat itu mereka kembali bertanding maka Sin Hauw kebat-kebit di luar pertandingan.

"Suhu, berhenti! Subo, berhenti..!"

Namun dua orang itu terus bergerak. Sin-liong Hap Bu Kok mendengus dan bahkan menjilat darah di ujung jari yang buntung, mengerikan. Menghisap dan minum darahnya sendiri sementara sang isteri mulai beringas. Cheng-giok Sian-li juga tak mau diam dan menyambut suaminya itu. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok memgeluarkan teriakan nyaring sementara tubuh sudah bergerak menerjang maka kaki pendekar itu bergerak dari kanan ke kiri.

"Dess!"

Lihai juga pendekar ini. Dengan dua jari terluka masih juga dia dapat menendang isterinya. Cheng-giok Sian-li mencelat namun wanita cantik itu dapat berjungkir balik, tidak apa-apa dan sudah melompat bangun. Dan ketika sang suami mengejar dan tendangan beranting mengganti tangan yang luka maka wanita ini mendengus dan mengeluarkan suara dari hidung.

"Hm, kau tak dapat mengalahkan aku, Hap-ko. Tanganmu luka dan tak dapat kau merampas Golok Maut!"

Si Naga Sakti mendelik tak menjawab. Dalam saat-saat begitu tak perlu dia bersilat lidah, yang penting adalah menyerang dan sudah dilakukanlah pekerjaanya itu. Sang isteri diterjang dan mendapat tendangan bertubi-tubi. Tapi karena isterinya bersenjata sementara dia tidak maka pendekar ini mengeluh karena dengan gampang isterinya itu menghalau semua tendangannya, menggerakkan golok dan dia terpaksa menghindar. Tak mau dia kakinya buntung lagi bertemu golok, senjata itu luar biasa tajamnya dan Sin Hauw cemas. Dan ketika benar saja suhunya mendesis dan terhuyung sana-sini maka satu babatan golok merobek baju pundak gurunya.

"Bret!"

Cheng-giok Sian-li tertawa mengejek. Suaminya melotot namun tak diperdulikan, itulah salahnya sendiri dan dia sudah memberi peringatan. Dan ketika si Naga Sakti mengeluh dan terhuyung-huyung maka satu bacokan golok kembali mengenai pangkal lengannya.

"Bret!"

Sin Hauw tak tahan. Akhirnya ia membentak dan mencabut goloknya, golok biasa yang tadi dibuat berlatih. Dengan senjata ini pemuda itu bermaksud memisah. Tapi ketika dia meloncat ke tengah dan menyuruh kedua gurunya berhenti serang-menyerang mendadak kedua gurunya sama sama membentak menangkis senjatanya.

"Pergi kau. Sin Hauw. Jangan ikut campur., plak-dess!"

Sin Hauw mencelat, terlempar balik oleh pukulan subonya maupun tendangan suhunya. Pemuda ini terkejut dan terguling-guling. Dan ketika dia meloncat bangun sementara dua gurunya sudah serang-menyerang kembali maka subonya mengancam akan membunuhnya.

"Awas kau. Sin Hauw. Jangan dekat-dekat atau sekali lagi kau kubunuh!"

Sin Hauw tergetar. Dia jadi bingung oleh bentakan dua orang gurunya itu. Baik suhunya maupun subonya sama-sama tak menghendaki dia maju, psdahal saat itu subonya mendesak dan suhunya sudah kewalahan. Sin Hauw pucat dan bingung melihat semuanya itu. Dan ketika dia menjublak dan menonton dengan perasaan tak keruan maka subonya mendesak sementara suhunya mundur-mundur, menerima satu bacokan lagi dan Sin-liong Hap Bu Kot mengaduh, tiba-tiba memekik dan berkelebat ke arah Sin Hauw, menyambar dan tahu-tahu golok Sin Hauw berpindah tangan. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan gurunya itu melengking tinggi tiba-tiba pendekar ini sudah menyerang isterinya dengan senjata baru.

"Lihat, aku masih mampu menghadapi-mu, Sian-li. Pantang menyerah bagiku sebelum mampus!"

Cheng-giok Sian-li terkejut. Suaminya itu benar-benar keras kepala dan keras hati, dia menjadi marah dan semakin gusar. Maka ketika golok suaminya menyambar dan satu tikaman miring menyambar lehernya tiba-tiba wanita ini mendengus dan menggerakkan goloknya, bermaksud menankis tapi kaki suaminya tiba-tiba bergerak dari bawah. Apa yang tak diduga terjadi, Sin-liong Hap Bu Kok melakukan jurus yang disebut Menikam Kelinci Memperdayai Siluman, jurus itu memang dibantu kaki dan isterinya terkecoh.

Maka ketika kaki menyambar dan Cheng-giok Sian-li tak menduga wanita itu pun menjerit ketika terlempar roboh, mencelat ditendang suaminya dan Sin-liong Hap Bu Kok tertawa menyeramkan. Laki-laki itu menubruk dan menggerakkan goloknya lagi, kini membabat dari kanan ke kiri. Dan ketika isterinya bergulingan dan berteriak keras maka golok menyambar dan nyaris mengenai leher wanita cantik itu. "Crat!"

Cheng-giok Sian-li bergulingan meloncat bangun. Wanita ini marah karena hampir saja dia menjadi korban suaminya melakukan gerak tipu yang berbahaya, ia nyaris terkecoh dan bukan main marahnya wanita ini. Maka begitu melompat bangun dan sang suami menerjang lagi ia pun menggerakkan goloknya menyambut golok di tangan sang suami.

"Crangg!"

Golok itu putus. Sin Hauw menjadi tak tahu apa yang harus dilakukan dalam saat seperti itu. Gurunya terpelanting ketika subonya membalas, membentak dan sudah menikam dengan satu tusukan miring, Dan ketika gurunya mengeluh dan satu serangan lagi mengenai pundaknya maka pendekar itu terjengkang ketika pundaknya luka, di kejar dan Sin-liong Hap Bu Kok pucat, mundur tapi tiba-tiba terjatuh, Kakinya ke serimpet dan terguling. Dan ketika isterinya terkekeh dan berkelebat membentak maka golok menyambar leher pendekar itu dan Sin Hauw menjerit.

"Jangan..!" Sin Hauw menggerakkan kaki, tidak menghiraukan diri sendiri dan tiba-tiba pemuda ini melepas pukulan Kim-kong-ciang. Pukulan itu adalah warisan Ha liong Lo-kai dan angin panas menyambar. Cheng-giok Sian-li terkejut karena tidak menduga. Dan ketika goloknya melenceng terpukul dari samping maka leher suaminya selamat tapi bahu si Naga Sakti yang satu ganti terluka.

"Crat-dess!"

Cheng-giok Sian-li tertegun. Tiba-tiba dia terbelalak memandang Sin Hauw, melotot, tak menyangka pemuda itu berani menghalangi serangannya membunuh lawan. Dan ketika dia mendelik sementara suaminya meloncat bangun tiba-tiba dengan satu lontaran kuat si Naga Sakti itu melontarkan kutungan goloknya ke punggung isteri, yang saat itu sedang mendelik dan marah nemandang Sin Hauw.

"Awas!" Sin Hauw jadi kaget, ganti meneriaki subonya dan dia terbelalak melihat serangan itu. Untuk serangan ini Sin Hauw tak dapat menolong karena subonya berdiri membelakangi punggung, dia berkelebat dan mau menarik. Tapi karena golok meluncur lebih cepat dan Sin-liong Hap Bu Kok mengerahkan seluruh tenaganya maka golok mendahului Sin Hauw dan menancap di punggung wanita cantik itu.

"Crep!"

Sin Hauw ngeri. Apa yang dilihat memang di luar dugaan dan tidak disangka. Suhunya tertawa bergelak dan Cheng-giok Sian-li roboh. Wanita itu mengeluh dan pucat, mandi darah dan punggungnya luka, kutungan golok menembus dadanya sampai kelihatan, bukan main ngerinya. Dan ketika Sin Hauw menjublak dan tidak menyangka perbuatan suhunya itu maka suhunya meloncat dan sudah merampas Golok Maut, yang terlepas dari tangan isterinya itu.

"Ha-ha, kau lihat, Sian-li. Golok Maut telah kumiliki dan kau roboh!"

Cheng-giok Sian-li ambruk. Dia tak dapat bicara apa-apa karena lukanya, parah wanita itu. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok terbahak menimang golok maka laki-laki ini terhuyung mengusap-usap senjata maut itu, tak tahu bahwa isterinya membalik dan perlahan tetapi pasti isterinya itu mengambil sesuatu. Dan ketika di sana pendekar itu terhuyung sambil tertawa-tawa mendadak sebuah sinar hitam berkelebat dan menyambarlah sebuah golok kecil ke belakang kepala si Naga Sakti, golok terbang yang luar biasa cepatnya.

"Crep!" Sin Hauw tahu-tahu melihat suhunya tersungkur, Terhalang tubuh suhunya memang Sin Hauw tak melihat serangan itu, tahu-tahu gurunya roboh dan mengeluh. Tapi begitu dia melihat sebuah golok terbang menancap di belakang kepala gurunya ini tiba-tiba Sin Hauw tahu apa yang terjadi.

"Ah!" Sin Hauw terkejut, berseru keras menubruk gurunya dan Cheng-giok Sian-li tiba-tiba terkekeh. Wanita yang sudah di-tancapi golok itu dapat tertawa begitu girang, membalik dan tampaklah kini dadanya yang berlubang itu. Dan ketika Sin Hauw disana menolong suhunya dan subonya terkekeh-kekeh maka wanita itu berkata,

"Lihat, golok terlepas lagi, Hap-ko. Kau tak dapat memilikinya karena sebentar lagi kau mampus!"

"Keparat!" si Naga Sakti mengeluh. "Kenapa kau curang begini, Sian-li? Kau licik melempar senjata gelap, kau jahanam dan isteri tak tahu malu!"

"Hi-hik, yang mengajari adalah kau, suami konyol. Kau yang memulai dan mengajari aku!"

Sin-liong Hap Bu Kok mendelik. Dia tak dapat menjawab karena memang dia-lah yang mula-mula melakukan sambitan golok, isterinya membalas dan samalah keadaan mereka. Dan ketika laki-laki itu terguling dan Sin Hauw menangis menolong. gurunya maka di sana Cheng-giok Sian-ii juga mengeluh dan terguling ke kanan.

"Sin Hauw, tolong aku..!"

Sin Hauw bercucuran air mata. Dalam keadaan begitu harus menolong dua orang sekaligus tentu repot, dia membantu suhunya di sini lalu melompat ke sana, membantu subonya itu. Tapi ketika kedua-duanya sama terluka parah dan tak mungkin mereka diselamatkan maka Sin Hauw menggugu dan untuk pertama kalinya menangis tersedu-sedu, setelah sekian tahun dibuat beku oleh keadaan yang keras.

"Suhu, kalian tak mungkin tertolong. Subo, lukamu parah...!"

"Hi-hik, biarlah. Aku... ouh, aku memang akan mampus. Sin Hauw. Tapi suhumu itu juga akan menyusul!"

"Kenapa kalian cekcok? Kenapa harus saling membunuh?"

"Heh, suhumu itu yang tak tahu diri, Sin Hauw. Dia mau merampas golok temuanku dan tentu saja tak boleh! Kau membela suhumu itu menyalahkan aku?"

"Tidak, dia isteri yang keliru, Sin Hauw. Sebagai suami tentu saja aku lebih berhak masalah golok itu. Isteri harus tunduk dan patuh pada suami!" Bu Kok, yang luka parah masih juga dapat membentak. Rupanya pendekar itu marah karena isterinya tak mau mengalah. Baginya isterinya adalah orang yang harus tunduk kepadanya, dalam segala hal. Jangankan masalah senjata, tubuh isterinya sendiri adalah miliknya dan tak boleh isterinya itu menolak. Maka ketika mereka bercekcok dan Cheng giok Sian-li memaki-maki suaranya maka Sin Hauw mengeluh mengusap air matanya yang deras mengalir.

"Sudahlah, kalian tak perlu menyalahkan satu sama lain, suhu, Apa yang sudah biarlah sudah, teecu bingung tak dapat menolong kalian!"

"Ha-ha, memangnya kami minta hidup? Tidak, kami memang akan mampus. Sin Hauw. Tapi beritahulah dulu siapa yang bersalah di antara kami!"

"Benar," Cheng-giok Sian-li menyusul. "Beritahukan kami siapa yang salah. Sin Hauw, Dia atau aku!"

Sin Hauw bingung. Tentu saja dia tak dapat menjawab karena baginya dua gurunya itu salah. Mereka sama-sama keras dan tak mau mengalah. Sin Hauw tak menjawab dan dua gurunya melotot. Dan ketika pemuda itu menangis karena tak tahu harus menjawab apa maka suhunya membentak,

"Heh, jawab pertanyaan kami, Sin Hauw Dia atau aku yang salah!"

"Kedua-duanya salah," Sin Hauw menjawab, memberanikan diri. "Kalian seperti anak kecil berebut kembang gula, suhu. Tecu tak membenarkan seorang pun di antara kalian karena kalian sama-sama salah!"

"Hah?"

"Heh?"

Dua gurunya sama-sama melotot.

"Benar, teecu tak membenarkan seorangpun di antara kalian, suhu. Kalian sama-sama salah karena kalian sama-sama tak benar!"

"Apa katamu?" Cheng-giok Sian-li melotot. "Kau menyalahkan kami berdua? Kau tidak membela aku atau dia?"

"Tidak," Sin Hauw menggeleng tegas. "Kalian tak ada yang patut dibela, subo. Kalian sama-sama salah karena kalian membenarkan pendapat sendiri-sendiri!"

"Heh!" Sin-liong Hap Bu Kok ganti melotot. "Terangkan padaku bagaimana bisa begitu, Sin Hauw. Atau kau kukutuk sebagai murid yang puthauw (tidak berbakti)!"

"Boleh suhu dengar," Sin Hauw menjawab. "Kalian suami isteri tapi bersikap seperti musuh, suhu. Kalian tak memiliki tenggang rasa sedikitpun satu sama lain. Kalau suhu atau subo mau mengalah dan satu sama lain dapat mengendalikan diri maka tak akan terjadi semuanya ini. Bukankah golok sama saja berada di tangan suhu atau subo? Bukankah masing-masing dapat saling meminjam kalau yang lain membutuhkan? Tapi tidak. Kalian sama bersikeras, suhu. Kalian seperti anak kecil yang lupa diri!"

"Ha-ha!" si Naga Sakti tertawa bergelak. "Lihat, Sian-li, murid kita ini menggurui kita tetapi betul. Kita seperti anak kecil yang lupa diri. Ha-ha, bukankah benar kalau golok berada di tanganmu atau tanganku akan sama saja? Yang lain dapat meminjam kalau ingin, dan kita tak usah saling bunuh hanya gara-gara Golok Maut itu! Bagaimana, apakah Sin Hauw salah?"

Cheng-giok Sian-li tertegun. Setelah suaminya bicara seperti itu dan Sin Hauw tak memihak seorang pun di antara mereka tiba-tiba wanita cantik ini mengeluh, Ia merasa terpukul dan memandang suaminya, ragu menjawab namun akhirnya mengangguk. Dan ketika suaminya tertawa bergelak namun roboh terguling tiba-tiba Sin liong Hap Bu Kok memanggil isterinya itu,

"Sian-li, mendekatlah. Aku ingin pergi ke surga bersamamu!"

Cheng-giok Sian-li mendesis. Setelah percakapan tentang golok selesai dan mereka kembali merasakan sakit maka wanita itupun mengeluh. Dadanya nyeri lagi dan iapun menggigit bibir. Tikaman golok terlalu dalam dan Cheng-giok Sian-li mengejang. Dan ketika di sana suaminya juga menggeliat-geliat dan Sin-liong Hap Bu Kok memanggil-manggil namanya maka Sin Hauw diminta untuk mendekatkan mereka berdua.

"Bawa aku kepada isteriku. Biar aku menggenggam tangannya!"

"Tidak, bawa aku kepadanya, Sin Hauw. Biar aku minta maaf dan menciumnya!"

Sin Hauw terharu. Kalau sudah begini ternyata dua suami isteri itu sama-sama ingin mengalah, sayang hal itu mereka lakukan di saat terlambat, yakni ketika ajal menjelang tiba. Dan ketika mereka ingin saling didahulukan mendadak Sin Hauw menyambar suhunya dengan tangan kiri sementara dengan tangan kanan dia menyambar subonya.

"Tak usah kalian ribut. Aku mendekatkan kalian bersama-sama, suhu. Dan harap kalian saling memaafkan!"

"Ooh!" Hap Bu Kok dan isterinya saling peluk. "Maafkan aku, istriku. Aku memang bodoh dan terburu nafsu!"

"Tidak, aku yang salah, suamiku. Aku yang memang tak tahu diri dan pantas di-hukum!"

"Ah, tidak, isteriku, Aku yang berdosa dan kau ampunkanlah aku!"

Sin Hauw bercucuran air mata. Suhu dan subonya itu sudah saling peluk dan berciuman, mereka rupanya sama-sama menyesal tapi nasi terlanjur menjadi bubur. Kematian tak mungkin dapat dicegah lagi dan mereka bertangisan. Namun ketika Cheng-giok Sian-li tersedak dan suaminya batuk-batuk mendadak mereka terguling dan lepas pegangannya satu sama lain.

"Augh, satukan kami. Sin Hauw. Bantu aku memeluk isteriku!"

Sin Hauw gemetar. Melihat adegan seperti itu dia menjadi teriris juga, suhu dan subonya ini sama-sama sekarat. Dia cepat menolong mereka menyatukan pelukan. Dan ketika suhu dan subonya menyeringai dalam senyum yang aneh maka Sin Hauw membuang muka ketika dua gurunya berciuman, mulut dengan mulut,

"Sian-li, iringi aku ke surga!"

"Tentu, dan keneraka pun tentu kuikuti kau, Hap-ko. Ayo kita berangkat dan pergi bersama-sama!"

"Nanti dulu!" sang suami mendorong pelahan. "Golok itu kita serahkan dulu kepada Sin Hauw, isteriku. Tunggu aku akan berpesan padanya!"

Cheng-giok Sian-li teringat. Rupanya dalam senangnya tadi dia melupakan senjata maut itu. Sin Hauw dipanggil dan segera berlutut di depan gurunya. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok berkata agar dia mengambil dan memungut golok di tanah pendekar itu berkata dengan suara terengah bahwa Sin Hauw diminta menyimpan baik-baik golok yang luar biasa tajam itu.

"Ini adalah Giam-to, Golok Maut. Subomu mendapatkannya di sarang siluman yang penuh bahaya. Harap kau simpan itu sebagai warisan dari kami!"

Sin Hauw mengangguk.

"Dan mandikan setiap tahun dengan tanah kuburan kami, Sin Hauw. Bersamadhi dan berpuasalah setahun sekali selama tujuh hari berturut-turut!" subonya menyambung, memberi tahu dan Sin Hauw mengangguk dengan air mata bercucuran.

Dalam saat seperti itu tenggorokan rasanya kering. Sin Hauw tak dapat berkata apa-apa kecuali mengangguk. Dan ketika dia mengambil golok dan menyerahkannya pada suhunya ternyata suhunya mengembalikan senjata itu kepadanya.

"Tidak, kau bawalah. Sekarang ini milik mu dan bersumpahlah kau akan selalu mengingat kami!"

"Teecu bersumpah!" Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut. "Dan teecu akan melaksanakan setiap perintahmu, suhu. Katakanlah sesuatu pesan kepada teecu!"

"Tak ada. Kami, ugh., kami hanya ingin menyuruhmu mencari seseorang, Sin Hauw. Katakan padanya bahwa kami gagal menemukan jawab syair itu!"

"Syair?"

"Ya, ah., kami tak dapat banyak bicara, Sin Hauw. Kau cari saja orang ini dan katakan padanya kami ke akherat!"

"Siapa orang ini?" Sin Hauw pucat. "Lalu di mana teecu mencarinya?"

"Orang ini orang luar biasa, Dia tak memiliki tempat tinggal tetap, Sin Hauw. Tapi menyebut namanya kuharap kau dapat menemukan orang ini!"

"Siapa dia?"

"Bu-beng Sian-su (Kakek Dewa Tanpa Nama)!"

"Bu-beng Sian-su?"

"Ya, Bu-beng Sian-su, Sin Hauw. Temukan dan cari kakek ini sampai dapat. Ketahuilah bahwa kemajuan kami yang pesat adalah berkat kakek dewa itu!"

Sin Hauw tertegun.

"Kau mengerti?"

"Ya, mengerti, suhu."

"Dan kau berjanji akan mencari sampai dapat kakek dewa ini?"

"Teecu berjanji, suhu, bersumpah!"

"Bagus, kalau begitu aku dapat mati meram, Sin Hauw. Aku dan subomu akan pergi dengan tenang!"

"Suhu...!"

Sin-liong Hap Bu Kok tertawa bergelak. Dalam saat begitu tampak dia gembira benar menyambut kematian. Isterinya sudah batuk-batuk dan tidak banyak bicara. Darah terlalu banyak keluar dan bekas tusukan golok menganga lebar. Hap Bu Kok sendiri sebetulnya sudah tidak tahan, hui to (golok terbang) yang menancap di batok kepalanya terlalu dalam. Kalau orang lain sebenarnya sudah tewas sejak tadi. Tapi karena pendekar ini memang hebat dan sinkangnya tinggi maka dengan daya tahan tubuhnya itu dia dapat bercakap-cakap, mampu memperpanjang waktu tapi betapapun akhirnya dia tak kuat. Batok kepalanya yang ditembus hui-to menancap terlalu dalam, lagi pula yang melempar adalah isterinya sendiri, Cheng-giok Sian-li yang berkepandaian tinggi. Maka begitu ia mengeluh dan isterinya sendiri terguling mengerang pendek pendekar itupun roboh dan Sin Hauw kebingungan.

"Ingat pesan kami," pendekar itu berkata, gemetar. "Cari kakek sakti bernama Bu-beng Sian-su itu. Sin Hauw. Katakan bahwa kami mati dengan bahagia...!"

"Benar.." sang isteri juga terengah. "Kami mati dengan bahagia. Sin Hauw. Ucapkan terima kasih pada kakek itu atas beberapa kepandaian yang pernah diberikannya kepada kami...!"

"Suhu tak usah khawatir," Sin Hauw mengusap air matanya yang deras mengalir, "Teecu akan melaksanakan semua pesan kalian, suhu, Dan teecu berjanji akan menemukan kakek dewa itu!"

"Bagus, terima kasih, Sin Hauw. Kalau begitu kami pergi. Selamat tinggal..!" dan begitu kakek itu tertawa dan batuk sekali tiba-tiba tubuhnya mengejang naik, memeluk sang isteri dan Cheng-giok Sian-li pun terkekeh. Aneh ketawa wanita itu. Tapi begitu mereka berdekapan dan saling merangkul tiba-tiba keduanya menghembuskan napas berbareng dan terbanglah nyawa mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Suhu! Subo..!"

Namun dua orang itu telah meninggalkan dunia. Dengan senyum dan mimik yng aneh Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya berangkat bersama, mereka sama-sama terbang ke alam bahagia. Sin Hauw menjerit namun tubuh dua gurunya telah dingin. Dan ketika dia mengguguk namun dua gurunya telah meninggalkan dirinya maka Sin Hauw berkabung dan hari itu juga memakamkan jenazah dua orang gurunya, duduk tepekur dan bersila di atas makam selama tiga hari. Hebat pemuda ini. Dia tak bergerak atau bergeming sedikitpun di atas makam gurunya itu, Sin Hauw bersila dan memasuki alam hening hingga nyaris menjadi patung batu.

Dan ketika hari keempat dia membuka mata dan kuyu memandang makam suhunya maka hari itu Sin Hauw meninggalkan Lembah Iblis, membawa Golok Maut dan turunlah dia menuju ke utara. Tak ada rencana ke mana dia mau menuju, maklumlah, kematian gurunya masih baru saja terjadi dan dia seolah mimpi. Kemarin dia masih berkumpul dengan suhunya itu tapi tiba-tiba sekarang dia harus berpisah, sungguh seolah mimpi.

Dan ketika dia berjalan sambil melamun dan pikiran sedih menuju ke belakang tiba-tiba Sin Hauw teringat akan encinya dan bergegas membelokkan langkah, teringat bahwa dia harus mencari Kwi-goanswe dan orang-orang yang dulu mengejarnya. Mereka telah membunuh gurunya pertama Hwa-Heng Lo kai, juga merampas atau mungkin membunuh encinya. Maka berangkat dan menyimpan Golok Maut di punggung akhirnya pemuda ini meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja.

* * * * * * *

"Kwi-goanswe? Heh, tak ada di sini, anak muda. Jenderal itu telah pindah dan mengikuti Coa-ongya! Kau siapakah dan dari mana? Mau apa mencari jenderal Kwi?"

Pertanyaan bertubi-tubi ini diajukan kepada Sin Hauw ketika dia tiba di kota raja. Sin Hauw mengerutkan kening mendengar pengawal menanyainya seperti itu, ia dipandang penuh kecurigaan dan tujuh pengawal mengelilinginya dengan mata tajam, tak enak rasanya. Tapi karena Sin Hauw berwatak dingin dan dia acuh terhadap pertanyaan itu maka dia mendengus dan tidak menjawab.

"Kalau begitu biar kucari dia di tempat Coa-ongya. Di manakah gedung pangeran itu? Dapatkah kalian menunjukkan?"

"Heh, kau belum menjawab pertanyaan kami, anak muda. Sebaiknya jawab dulu dan jangan pergi!"

"Benar," yang lain berlompatan. "Kau harus jawab dulu pertanyaan kami, anak muda. Atau kami menangkapmu dan kau diperiksa!"

Sin Hauw mengerutkan kening. "Kalian bicara apa?" tanyanya. "Menangkap aku?"

"Benar, kau mencurigakan, anak muda. Kau tak memberi tahu siapa dirimu dan apa perlumu mencari Kwi-goanswe!"

"Hm, aku Sin Hauw," Sin Hauw menjawab tenang. "Dan urusanku dengan Kwi-goanswe adalah urusan pribadi. Apakah kalian perlu tahu?"

Pengawal tertegun.

"Cukup?" Sin Hauw bertanya. "Aku telah menjawab pertanyaan kalian, pengawal, dan aku mau pergi!" Sin Hauw memballkkan tubuh, tak melayani mereka lagi dan pengawal terbelalak.

Jawaban singkat dan pendek itu dikeluarkan pemuda itu dengan suara dingin, sikap dan gerak-gerik pemuda itu terasa menyeramkan. Tapi begitu mereka saling pandang dan memberi isyarat tiba-tiba orang pertama yang merupakan komandan jaga melompat maju, menghentikan Sin Hauw.

"Stop, berhenti, anak muda. Kami dapat menunjukkan padamu di mana gedung Coa-ongya!"

Sin Hauw berhenti. "Di mana?"

"Kau ikut aku, tunggu sebentar!" dan Sin Hauw yang diminta menunggu karena laki-laki itu sudah masuk ke dalam maka segera dikelilingi pengawal jaga, seolah dilindungi tapi sebenarnya pemuda itu dikurung. Sin Hauw diam saja dan bersikap acuh.

Dan ketika komandan itu datang lagi dan mukanya tampak berkerut maka dia bertanya, "Kau bernama Sin Hauw?"

"Ya."

"Baiklah, mari, anak muda. Coa-ongya menunggumu dan Kwi-goanswe ada di Sana!" komandan itu memberi isyarat, minta empat pembantunya mengiringi dan Sin Hauw mengikuti. Laki-laki itu sudah membawanya keluar dan mengambil kuda. Sin Hauw diminta naik tapi pemuda itu menolak. Dan ketika pengawal tertegun dan berkata padanya bahwa dia mau diajak keluar kota Sin Hauw tenang-tenang saja menjawab,

"Aku dapat berjalan di sampingmu. Kau mulailah!"

"Tapi perjalanan ini satu jam lamanya, anak muda, itupun dengan menunggang kuda!"

"Tak apa, aku dapat mengikutimu dan kau jalanlah!" dan ketika Sin Hauw berkelebat dan lenyap mengerahkan ilmunya tiba-tiba pemuda itu sudah berada di luar dan menunggu.

"Iblis, pemuda itu siluman!"

"Sst, jangan berisik, A-sam. Pangeran minta agar kita membawanya baik-baik. Ayo, kita turuti dan uji dia!" dan begitu sang komandan meloncat dan mengeprak kudanya tiba-tiba empat temannya yang lain mengikuti, meloncat di atas punggung kuda masing-masing dan membalaplah mereka menuju keluar.

Dan ketika Sin Hauw mengangguk dan menggerakkan kakinya tiba-tiba pemuda itu telah berendeng dan mengiringi sang komandan, tak tampak mengerahkan tenaga dan komandan itu terkejut. Sin Hauw tak nampak berlari cepat dan seperti berjalan saja, begitu enak dan mudah mengikuti larinya kuda. Dan ketika sang komandan penasaran dan membedal kudanya untuk berlari cepat maka empat temannya menyusul dan lima ekor kuda itu dikeprak seperti orang kesetanan.

"Hyeh! Herrr..!"

Sin Hauw tersenyum tenang. Dia tentu saja tahu maksud komandan itu, ingin mengujinya dan dia diminta menunjukkan kepandaian. Boleh, pikir Sin Hauw. Maka begitu kuda mencongklang pesat dan dia mau ditinggal tiba-tiba Sin Hauw mengeluarkan suara dari hidung dan dikerahkannyalah kepandaiannya, berkelebat dan tiba-tiba dia malah mendahului larinya kuda.

Orang terbelalak memandangnya seakan tak percaya, membentak kudanya dan menjepit kuat-kuat, menyuruh kuda berlari terbang namun Sin Hauw tetap tak tersusul. Pemuda itu berada semeter di depan mereka dan lima pengawal ini terkejut. Dan ketika segenap kemampuan dikerahkan namun pemuda itu selalu memimpin maka sang komandan mengumpat dan tiba-tiba menggerakkan cambuk melecut pemuda itu.

"Heh, kau di belakang, anak muda. Jangan menghalangi jalan... tar!"

Sin Hauw mengelak. Dia tentu saja tak mau dicambuk, pengawal itu melecut dan Sin Hauw mendengus. Dan ketika cambuk menjeletar dan dia menangkap maka Sin Hauw membentak agar komandan itu tidak banyak tingkah. "Kau jangan macam-macam. Atau nanti kau kurobohkan!"

Pengawal itu marah. Dia mau menendang tapi Sin Hauw tiba-tiba menangkap kakinya, lawan berteriak dan hampir terpelanting, sekali dia terjatuh dalam keadaan kuda masih berlari cepat tentu dia celaka, Maka ketika Sin Hauw melepas dan berlari berendeng komandan itu tak berani lagi banyak tingkah.

"Baik, awas kau, bocah. Tunggu kalau nanti kau bertemu Kwi-goanswe!" omongan ini tak diucapkan, hanya dibatin saja dan komandan itu memberi isyarat pada empat pembantunya. Apa yang terjadi tentu saja dilihat empat orang itu, empat pengawal ini mengangguk dan saling memberi tanda. Dan ketika mereka terus melarikan kuda dan sejam kemudian tiba di sebuah gedung di pinggiran kota maka mereka berhenti dan memasuki pekarangan gedung besar ini.

"Kita sampai, mari masuk!"

Sin Hauw waspada. Sebagai pemuda yang sering merasakan pahit getir kehidupan tentu saja dia tak lengah. Beberapa bayangan dilihatnya berkelebatan di atas genteng, entah siapa mereka itu, dan apa pula maksudnya. Tapi berhenti dan mengikuti lima orang itu Sin Hauw dibawa masuk dan tiba-tiba muncul seorang laki-laki kurus tinggi yang matanya sipit.

"Ingin menemui siapa?"

Pertanyaan itu tak ramah, Komandan tampak membungkuk dan memberi hormat, sikapnya merendah dan amat takut menghadapi si kurus ini. Dan ketika dia berkata bahwa Sin Hauw hendak bertemu Kwi-goanswe maka mata sipit itu membelalak.

"Sin Hauw?"

"Ya, Sin Hauw, Kak-busu. Pemuda ini datang ke kota raja dan kuantar ke sini!"

"Hm-hm!" Kak-busu mengangguk. "Boleh, komandan. Tapi tunggu sebentar biar kulaporkan ongya!"

Sang komandan mengangguk. Dia tampak melirik Sin Hauw dan menyuruh pemuda itu menunggu, dia sendiri duduk dan tidak mempersilahkan Sin Hauw, hal yang oleh pemuda ini disambut dingin saja. Dan ketika Kak-busu masuk dan lima orang itu kembali mengelilinginya maka Sin Hau mendengus merasa dikepung.

"Tak apa, pikir Sin Hauw. Asal kalian tidak macam-macam tentu tak akan kuhajar, tikus-tikus busuk. Tapi sekali kalian banyak tingkah tentu kalian tahu rasa!"

Kak-busu, yang ditunggu tiba-tiba datang. Dia memanggil Sin Hauw dan menyuruh pemuda itu masuk, lima pengawal diminta mengawal dan Sin Hauw digiring. Dan ketika seorang laki-laki menyambut mereka dan Kak-busu memberi hormat maka lima pengawal menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki ini, seorang pria tampan dengan pakaian indah.

"Inilah, ongya. Bocah yang ingin menghadap Kwi-goanswe itu!"

"Hm!" laki-laki itu, yang ternyata Coa ongya mengangguk, bersinar-sinar memandang Sin Hauw. "Kau yang bernama Sin Hauw? Kau murid si Naga Sakti Hap Bu Kok?"

Sin Hauw terkejut. Dia baru turun lembah, bagaimana sudah dikenal dan diketahui lawan? Siapa pangeran ini dan apa hubungannya dengan jenderal Kwi? Maka wa pada menggetarkan seluruh syarafnya Sin Hauw mengangguk, mendengar sedikit gerakan pada ujung lengan baju Kak-busu.

"Benar, aku Sin Hauw, ongya. Dan maaf siapa dirimu dan mana Kwi-goanswe!"

"Ha-ha, Kwi-goanswe sedang keluar, Sin Hauw, tapi sebentar lagi dia datang. Kiranya benar kau adalah murid si Naga Sakti yang hebat! Mana gurumu dan Cheng-giok Sian-li?"

"Maaf, suhu dan subo baru saja meninggal, ongya. Aku seorang diri dan sebatang kara!"

"Apa? Gurumu yang hebat itu tiada? Bagaimana bisa begini? Kapan meninggalnya mereka?"

"Hm," Sin Hauw jadi tak enak hati, terlalu jujur. "Suhu dan subo baru saja wafat, ongya, Tapi maaf aku datang bukan untuk membicarakan ini,"

"Ha-ha, kau betul, Tapi aku ingin menyatakan belasungkawa. Sin Hauw, Sungguh tak nyana dua orang gurumu yang gagah perkasa itu tewas, Aih, menyesal sekali, Kak-busu tak jadi bisa berkenalan!"

Sin Hauw diam. Dia tak mengetahui ke mana arah maksud kata-kata itu, Bagi orang kang-ouw kata "perkenalan" bisa berarti banyak, baik dalam arti yang benar ataupun yang tersamar. Dengus di sebelah kanannya membuat Sin Hauw mengerutkan alis. Dan ketika sang pangeran duduk dan bertanya apa maksud kedatangannya maka Sin Hauw merasa aneh karena yang dicari bukan pangeran ini.

"Sama saja," sang pangeran tersenyum. "Mencari aku atau Kwi-goanswe tak ada bedanya, Sin Hauw. Dia pembantuku dan segala urusannya merupakan urusanku!"

"Tapi ini masalah pribadi," Sin Hauw berkerut kening. "Urusan ini tak mungkin dilimpahkan orang lain, ongya. Amat pribadi dan bersifat empat mata!"

"Hm, kau tertutup, kurang terbuka. Apakah kau takut mengatakannya. Sin Hauw? Atau takut didengar orang-orang ini?"

Sin Hauw panas telinganya. "Maaf, ong ya, aku tidak takut dan sama sekali tidak perduli orang-orang ini. Hanya kurasa persoalan pribadi sebaiknya tak perlu diberitahukan orang lain, kecuali kalau Kwi-goanswe ada di sini!"

"Baiklah, kalau begitu kita tunggu Kwi goanswe. Sebentar lagi dia datang dan kau dapat menemuinya!" sang pangeran tersenyum, bertepuk tangan dan tiba-tiba menyuruh mundur lima pengawal itu, bertepuk tangan sekali lagi dan keluarlah tiga dayang cantik. Dan ketika sang pangeran menyuruh mereka mengambil makanan dan minuman maka Sin Hauw dipersilahkan duduk di meja besar yang langsung dibersihkan dua di antara tiga dayang cantik itu.

"Mari duduk, kujamu dulu!"

Sin Hauw tertegun.

"Eh, kau tak takut, bukan?"

"Tentu tidak," Sin Hauw mendongkol. "Aku datang sudah mempersiapkan segalanya, pangeran. Kalau aku takut tentu aku tak datang!"

"Ha-ha, pemuda yang gagah. Pantas sebagai murid si Naga Sakti Hap Bu Kok!" dan Sin Hauw yang diminta duduk dan sudah berhadapan dengan pangeran itu lalu melihat Kak-busu berdiri di belakang sang pangeran, tak lama kemudian sudah menerima makanan dan minuman dari pelayan, dayang-dayang cantik itu. Dan ketika sang pangeran menawari makan minum sambil membuka sumpit baru Sin Hauw diminta mengiringi dan mengambil ini-itu.

"Marilah, mari Sin Hauw. Kita tunggu kedatangan Kwi-goanswe sambil makan-minum. Lihat, ini arak Kang-lam yang paling keras, harum dan menyegarkan badan. Kalau kau tak takut mabok boleh cicipi seloki dan mari sama-sama minum. Ha-ha!" sang pangeran menuangkan arak, bau yang keras dan harum menyambar hidung, sang dayang tersedak dan buru-buru mundur, mukanya merah dan Coa-ongya tertawa bergelak. Dan ketika ia menuangkan arak itu dan meneguknya sekali habis maka Sin Hauw disodori minuman baru yang sebenarnya asing, tak biasa bagi Sin Hauw.

"Mari.. mari. Sin Hauw. Kita bersenang-senang dan jangan takut!"

Sin Hauw panas telinganya. Dia mendengar kekeh kecil dari si cantik dan dayang itu menutupi mulutnya, Kak-busu tersenyum mengejek dan Sin Hauw tersinggung. Tiga empat kali pangeran itu mengatainya takut, dia mendengus dan sudah menyambar arak yang disodorkan. Dan ketika dia menenggak habis dan arak amblas memasuki perutnya maka sang pangeran terbahak dan memuji dirinya,

"Ha-ha, bagus, Sin Hauw. Bagus sekali. Ayo tambah, untuk persahabatan kita!"

Sin Hauw menahan dongkol. Untuk kedua kalinya dia mendengar tawa kecil sidayang cantik. Dayang itu rupanya geli atau memang sengaja menertawainya, Sin Hauw masih canggung ketika menyambar dan menenggak arak. Dan ketika sang pangeran menuangkan lagi dan Sin Hauw menerima maka pemuda itu menggelogok isinya sampai ludas, sekali tenggak.

"Eih, tidak tersedak? Ha ha, kuat benar kau. Sin Hauw. Rupanya sinkangmu sudah sedemikian tinggi hingga dapat menindih hawa arak!"

Sin Hauw diam, tak banyak bicara. Sang pangeran menuang lagi arak baru lalu memberikannya padanya, minum juga araknya sendiri dan Sin Hauw pun diloloh, pemuda ini menerima saja karena tak mau dianggap canggung, menerima dan terus menerima ketika arak disodorkan kepadanya, sambil menanti Kwi-goanswe, begitu kata pangeran itu. Tapi ketika setengah jam kemudian Kwi-goanswe tak muncul juga sementara arak sudah habis sebotol tiba-tiba Sin Hauw merasa pusing dan untuk pertama kalinya muntah.

"Aih, tak kuat. Sin Hauw. Kau sudah tak sanggup?"

"Huak!" Sin Hauw muntah lagi, terkejut. "Aku pusing, pangeran. Cukup!"

"Ha-ha, kalau begitu kau roboh!" Benar saja, Sin Hauw tiba-tiba terguling. Bersamaan dengan itu muncul seorang laki-laki tinggi besar yang tertawa bergelak, Sin Hauw terkejut karena mengenal itulah Kwi-goanswe. Dan ketika dia roboh dan merasa bumi berputar tiba-tiba Kak-busu menendangnya dan ia pun mencelat.

"Dess!"

Sin Hauw kaget bukan main. Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia memasuki sarang macan, arak tadi rupanya beracun dan ia tertipu. Sin Hauw melompat bangun namun terguling iagi. Dan ketika terdengar aba-aba dari Coa-ongya agar ia ditangkap atau dibekuk maka Kwi-goanswe menyambar pedangnya berseru nyaring,

"Tidak, bocah ini harus dibunuh, pangeran. Dia berbahaya bagiku dan harus dibasmi.. wiit!" jenderal itu berkelebat ke depan, pedangnya menyambar dan Sin Hauw dibacok. Dengan kaget Sin Hauw mengerahkan sinkangnya, tak dapat mengelak karena saat itu dia terguling, kepalanya berat dan dia tak dapat bangun. Maka terbelalak melihat pedang menyambar iapun mendesis dan menerima bacokan itu.

"Hak!"

Kwi-goanswe terkejut, Pedangnya mental, tubuh Sin Hauw seperti karet dan tak dapat dibacok. Itulah akibat sinkang (tenaga sakti) yang telah dikerahkan pemuda ini, menyelamatkannya dari bacokan dan Kwi-goanswe berseru kaget. Dan ketika Si Hauw terhuyung bangun tapi roboh lagi, maka Kak-busu berkelebat dan ganti meng hantamnya.

"Dess!"

Sin Hauw terlempar lagi. Saat itu Coa ongya bertepuk tangan, lima pengawal di luar masuk dan bayangan-bayangan lain juga berkelebatan ke dalam, Itulah pengawal khusus yang melindungi Coa-ongya, tadi bayangannya dilihat Sin Hauw dan mereka itulah yang bersembunyi. Dan ketika Sin Hauw mencelat dan terlempar lagi oleh tendangan Kak-busu maka Kwi-goanswe membentak dan menerjang maju, mengayun pedangnya dan bertubi-tubi senjata itu menusuk dan menikam.

Sin Hauw mengeluh dan bergulingan menjauh, menahan semuanya itu dengan sinkangnya, tak dapat bangun karena kepalanya benar-benar berat, dia selalu roboh lagi karena kepalanya berputar, semua orang seolah terbalik-balik dan kaki mereka di atas, tentu saia tak dapat membalas dan jadilah dia bulan-bulanan senjata Kwi-goanswe, juga tendangan dan tamparan KaK-busu. Tapi karena Sin Hauw mengerahkan sinkangnya dan semua tusukan maupun bacokan itu mental mengenai tubuhnya maka tamparan ataupun tendangan Kak-busu juga sia-sia menghantam pemuda ini.

"Keparat, bantu aku. Bunuh pemuda ini!" Kwi-goanswe, yang pucat dan terbelalak melihat itu berteriak marah. Dia menyuruh orang-orang yang berkelebatan masuk itu membantunya. Sin Hauw harus dibunuh dan dimusnahkan. Tapi ketika pemuda itu tetap saja tak dapat dilukai karena sinkangnya yang luar biasa maka Kwi-goanswe marah-marah dan bingung, sudah dibantu belasan orang dan Sin Hauw hanya bergulingan ke sana ke mari.

Pemuda itu tak dapat berbuat apa-apa karena beratnya kepala, bahkan perut tiba-tiba panas dan tentu saja semua itu mengganggu. Sin Hauw marah karena tahulah dia bahwa arak yang diminum adalah sejenis racun, atau mungkin perusak perut. Perutnya terasa nyeri dan mendidih, ada sesuatu yang bergolak di perutnya dan Sin Hauw meringis.

Dan ketika dia hanya bergulingan ke sana ke mari sambil menerima hujan senjata maka sang pangeran menonton jalannya pertandingan dengan mata terbelalak, melihat tak satupun serangan senjata mampu melukai pemuda itu. Bahkan tamparan ataupun tendangan Kak-busu juga sia-sia, tak dapat membuat pemuda itu roboh atau pingsan, hal yang membuat pangeran ini kagum. Dan ketika di sana Sin Hauw masih terus bergulingan dan mengeluh tak dapat membalas tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan lagi disusul kekeh yang nyaring.

"Heh-heh, siapa ini, pangeran? Kak-busu tak dapat merobohkannya?"

"Ah, kau, Siang-li? Kebetulan sekali, inilah Sin Hauw, murid si Naga Sakti Hap Bu Kok!"

"Apa? Laki-laki keparat itu?"

"Benar, ini muridnya, Siang-li. Tolong tangkap dan bekuk dia!"

"Bagus, kami akan maju'" dan sepasang nenek lihai yang sudah berjungkir balik dan melayang masuk tiba-tiba menghantam Sin Hauw, kedua tangan mereka bergerak dan menyambarlah serangkum angin pukulan dahsyat. Sin Hauw mengaduh ketika pukulan itu mengenai tubuhnya. Dan ketika dia terlempar dan dikejar lagi maka seorang kakek lain muncul dan datanglah si Lutung Putih Pek-wan.

"Aih, siapa ini, pangeran? Bocah dari mana?"

Coa-ongya terbelalak. "Murid si Naga Sakti, Pek-wan. Coba kau bantu dan tangkap bocah itu!"

"Tapi Im-kan Siang-li (Sepasang Dewi Akherat) sudah maju. Biarlah hamba menonton dan menyaksikan jalannya pertandingan dulu!" dan Pek-wan, si Lutung Putih yang dulu bertempur dengan mendiang Hwa-liong Lo-kai menyaksikan jalannya pertandingan dengan mata bersinar-sinar, tak mau segera maju karena sudah ada Im kan Siang-li di situ. Kalau dia maju mungkin sepasang nenek itu tersinggung, yang mereka hadapi hanyalah seorang pemuda delapan belas tahunan, pantas merjadi murid mereka dan tak perlu beramai-ramai mengeroyok, meskipun murid si Naga Sakti. Dan ketika kakek itu menonton dan pukulan bertubi-tubi mengenai Sin Hauw maka kakek ini kagum karena pemuda itu masih dapat bertahan juga.

"Hebat, luar biasa bocah ini!" kakek itu memuji, memang kagum dan harus mengakui bahwa Sin Hauw hebat. Dipukul dan menerima hantaman nenek lihai masih juga pemuda itu dapat bergerak, bergulingan dan menghindar sana-sini, padahal pukulan nenek itu kian bertambah berat karena mereka juga penasaran kenapa pemuda itu belum roboh, paling sedikit seharusnya pingsan dan Nenek Akherat gusar.Mereka malu terhadap sang pangeran yang menonton, juga Pek-wan yang memuji musuh. Dan ketika satu bentakan marah dikeluarkan nenek itu dan mereka melepas satu pukulan berbareng tiba-tiba terdengar suara menggelegar ketika pukulan itu mengenai tengkuk Sin Hauw.

"Dess!"

Semua terbelalak. Sin Hauw mencelat tinggi dan terbanting, mengeluarkan satu keluhan pendek dan kini tidak bergerak lagi, roboh di lantai. Dan ketika dua nenek itu berseri karena mereka menganggap berhasil maka mereka terkekeh dan meloncat ke depan.

"Lihat, kami berhasil, pangeran. Bocah ini sudah roboh!"

Semua orang girang. Sin Hauw memang roboh dan tidak bergerak-gerak lagi, entah pingsan atau mati. Tapi ketika satu di antara dua nenek itu membungkuk dan mau menyambar Sin Hauw, menangkap tengkuknya, tahu-tahu Sin Hauw bergerak dan-satu sinar kemerahan menyambar nenek itu.

"Awas...!"

Golok Maut Jilid 06

GOLOK MAUT
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
"LOCIANPWEE...locianpwee Sin-liong Hap Bu kok dan Cheng Giok sian Li?"

"Ya, kamilah itu Sin Hauw. Dan kami juga sahabat mendiang ayahmu."

"Oh.." Dan Sin Hauw yang berlutut namun menangis lagi tiba-tiba dicengkram gurunya.

"Lihat.." Kakek ini gemetar. "Mereka orang-orang yang hebat, sin Hauw. Gurumu sekarang pun bukan tandingannya! Maukah kau menjadi muridnya dan mengikuti mereka?"

Sin Hauw menguguk.

"Jangan cengeng!" Hwa-liong Lo Kai membentak. "Mereka atau gurumu sama saja, sin Hauw. Aku atau Cheng Giok Sian Li akan melindungimu seperti mendiang ayahmu dulu. Sekarang katakan bahwa kau suka menjadi murid mereka!"

"Tapi... tapi suhu..."

"Aku akan mampus bocah. Racun telah mengeram di tubuhku tak dapat hilang!"

"Tidak.... jangan begitu, suhu.... aku...."

"Heh!" kakek itu tiba-tiba mendelik. "Kau mau membuat gurumu tak mati meram, Sin Hauw? Kau tak segera menyebut suhu dan subo pada mereka?" dan, ketika bocah itu menangis dan tersedu-sedu kakek ini terengah dan batuk-batuk, menggigil "Sin Hauw, tak perlu banyak peradatan lagi. Kalau kau tak mau memenuhi permintaan ini kau akan menyesal seumur hidup... ugh!" kakek itu melontarkan segumpal darah, terguling dan Sin Hauw menangis megerung-gerung, Sin Hauw menjerit dan memanggil gurunya itu.

Tapi ketika Hwa-liong Lo-kai melotot dan kejang-kejang ternyata kakek ini meminta agar Sin Hauw menjalankan upacara singkat mengangkat dua orang itu sebagai gurunya yang baru, ingin mendengar anak laki-laki itu menyebut suhu dan subo (Ibu guru) kepada dua suami isteri gagah itu dan Hwa-liong Lo-kai kehabisan tenaga. Kakek ini terbeliak dan tersendat-sendat, napasnya sudah mau putus. Dan ketika Sin Hauw mengguguk namun menjalankan juga perintah gurunya, tiba-tiba kakek itu terguling dan sempat tertawa aneh.

"Ha ha, terima dirinya, Cheng giok.... selamat tinggal..." dan begitu terguling serta menghembuskan napasnya yang penghabisan tiba-tiba. kakek ini telah tewas dan menggeliat lemah, tidak bergerak lagi dan menjeritlah Sin Hauw sejadi-jadinya.

Kematian gurunya yang begitu menyedihkan membuat anak ini terguncang. Dua kali dia harus menghadapi kematian orang-orang yang disayang. dulu ibunya sekarang gurunya ini. Dan ketika anak itu mengguguk dan berteriak memanggil gurunya, tiba-tiba Sin Hauw pingsan dan roboh pula di samping kakek itu.

"Hm, bocah yang menyebalkan!" Cheng Giok marah. "Bagaimana, Hap-ko? Apakah bocah ini pantas menjadi murid kita?"

"Tiada jalan lain," sang suami menarik napas. "Lo kai telah menyerahkannya kepada kita, Sian-li. Dan kita harus menerima."

"Tapi bocah ini rupanya terpaksa. Kalau dia tidak suka lebih baik batalkan hubungan ini!"

"Eh, tidak. Jangan, Isteriku. Dia keturunan Sin Lun! Tentu ada sesuatu yang belum kita mengerti dan sebaiknya kita urus mereka ini!"

Sin-liong Hap Bu Kok menyambar Sin Hauw, menotok dan menyadarkan anak itu sementara isterinya bergerak mengurus mayat Lo-kai, Kakek pengemis itu telah tewas dan mereka memang tak dapat menolong. Racun dan luka yang ada di tubuh Lo-kai terlalu parah, Ang tok-coa benar-benar ular yang berbisa dan jahat.

Dan ketika Sin Hauw siuman dan dua suami isteri itu mengubur mayat Lo-kai maka anak ini tersedu-sedu di makam gurunya, masih tak dapat menahan diri dan Cheng Giok Sian li jengkel. Wanita itu menganggap Sin Hauw terlalu lemah dan cengeng, tak suka dia. Dan ketika seharian itu Sin Hauw menangisi gurunya dan diminfa meninggalkan gunung ternyata Sin Hauw menolak.

"Maaf, suhu. Tecu.... teecu masih ingin berkabung disini, Kalau suhu dan subo mau berangkat biarlah teecu menyusul belakangan. Teecu ingin bersamadhi tiga hari di sini."

"Kau mau apa?"

"Menemani makamnya, subo, mumpung masih hangat. Teecu tak dapat melupakan semua budi kebaikannya ketika masih hidup."

Dua suami isteri itu saling pandang. "Bagaimana?" Cheng-giok Sian-li bertanya. "Apakah kita meluluskannya?"

"Ya," Hap Bu Kok menjawab. "Tampaknya positip, isteriku. Kita tinggalkan dia!" dan menguji serta memberi isyarat isterinya si Naga Sakti itu berkata,

"Sin Hauw, kami tinggal di Lembah Iblis. Tiga hari perjalanan dari sini kalau kau ke selatan. Nah, datanglah setelah itu dan kami tunggu kau di sana!"

Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut. Tentu saja dia mengangguk dan minta maaf, masa berkabungnya tak dapat diganggu dan sesungguhnya Sin-liong Hap Bu Kok kagum. Pendekar itu melihat sesuatu yang menarik dalam watak Sin Hauw, rasa budinya yang besar. Dan ketika dia memberi petunjuk-petunjuk dan keterangan bahwa Lembah Iblis bukanlah tempat yang gampang didatangi manusia maka pendekar itu berkelebat dan lenyap bersama isterinya, meninggalkan Cin-ling dan Sin Hauw pun tetap berlutut. Sekali lagi anak itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya, menganggap gurunya pergi dan betul-betul pulang ke Lembah Iblis. Tapi ketika Sin Hauw bangkit dan duduk lagi di makam gurunya ternyata si Naga Sakti tak betul-betul pergi.

"Kita kembali, lihat anak itu!"

"Eh!" sang isteri terkejut. "Mau apa kau? Kenapa kembali?"

"Hm, kau tak tahu, Sian-li. Aku mencoba dan sengaja menguji saja. Siapa mau meninggalkan dia di saat-saat begini? Tidak, kita kembali isteriku. Lihat dan amati apakah benar anak itu berkabung di makam Lo-kai!" dan menyambar isterinya mengajak kembali ternyata Sin-liong Hap Bu Kok ini tak pergi ke Lembah Iblis, balik dan mengintai Sin Hauw.

Di telinga isterinya dia berbisik bahwa ini adalah ujian yang baik untuk melihat tindak-tanduk anak itu, mereka dapat mengetahui seberapakah "kadar" anak itu akan budi, hal yang membuat isterinya tertegun. Dan ketika Cheng-giok Sian-li mengerti dan tentu saja mengikuti suaminya maka dua orang itu dibuat kagum akan tekad Sin Hauw.

Ternyata keteguhan anak ini benar-benar teruji. Dia tak bergeming di atas makam suhunya, duduk bersila dan tidak bergerak seperti arca, Sin Hauw tidak makan atau minum selama tiga hari, siang dipanggang panas sementara malam di serang dingin. Anak itu tak perduli dan benar benar menunjukkan baktinya pada sang guru, bakti yang besar dan mengharukan. Dan ketika tiga hari kemudian masa berkabungnya selesai dan anak itu membuka mata maka tanpa diketahui Sin Hauw dua orang gurunya yang baru mendecak dan menggeleng-geleng.

"Anak yang hebat, teguh dan kuat pendirian!"

"Ya, dan sekarang dia ke Lembah Iblis, Hap ko. Apakah kita menguntitnya?"

"Tentu, kita di belakang, Sian-li. Dan mari pasang jebakan-jebakan!"

Cheng-giok Sian-li terkejut. Suaminya tertawa dan sudah berkelebat mendahului, sepanjang jalan memasang rintangan untuk menyulitkan Sin Hauw. Ada saja yang dipasang, mulai dari pohon-pohon yang tumbang sampai tanda-tanda menyesatkan untuk ke Lembah Iblis. Suaminya memang sudah memberi tahu Sin Hauw bahwa disepanjang jalan anak laki-laki itu akan mendapat petunjuk tentang jalan menuju kelembah itu, berupa tanda-tanda atau tikungan jalan. Dan ketika semuanya dibuat sedemikian rupa dan Sin Hauw naik turun jurang maka hari terakhir anak itu sudah tiba dimulut lembah yang berkabut.

"Nah, sekarang kita keluarkan semua hewan-hewan buas di hutan. Suruh anak itu menghadapinya."

Cheng giok sian li tak banyak komentar. Sin Hauw dibuat terkejut ketika harimau dan binatang buas mengaum menggetarkan mulut lembah, muncul dan satu per satu menyerangnya. Anak itu tak tahu bahwa gurunyalah yang menggebah binatang-binatang itu, dibuat marah dan akhirnya menyerang Sin Hauw, yang sedang kecapaian dan lelah batin. Namun karena dia anak yang tegar dan semua gangguan itu dapat diatasi dengan baik, akhirnya Sin Hauw terseok-seok memasuki lembah, terhuyung mencari gurunya dan sin Hauw menggigil.

Sebetulnya anak ini harus beristirahat, namun Sin Hauw tidak mau, meneruskan langkah dan tibalah dia ditengah tebing yang kedua sisinya menjulang tinggi. Diatas sanalah katanya gurunya berada dan Sin Hauw merayap naik, perbuatan yang bukan tidak mengandung resiko dan amat berbahaya. Dan ketika dengan gemetar, Sin Hauw memanjat naik dan tiba diatas maka anak itu terguling ketika gurunya menanti.

"Teecu datang. Suhu. Menepati janji...!"

Dua suami istri itu kagum. Sin Hauw pingsan dan sudah memanggil suhunya, roboh dan kehabisan tenaga. Tebing yang dipanjat luar biasa tingginya dan anak itu kecapaian, mestipun berhasil. Namun ketika si Naga Sakti bergerak dan menolong muridnya itu maka Sin Hauw disadarkan dan mendengar tawa gurunya yang gembira.

"Ha..Ha... Selamat sin Hauw. Selamat datang di Lembah Iblis."

Sin Hauw nanar. Dalam perjalanan dia banyak prihatin, kurang makan minum dan gurunya segera memberikan itu. Anak ini melihat gurunya berseri-seri dan subonya yang tampak galak itu ternyata gembira menyambutnya. Suami istri itu telah menguji watak Sin Hauw dan tentu saja kemauannya yang besar, tekad serta keteguhan hatinya yang luar biasa. Dan ketika Sin Hauw disambut dan diterima gurunya maka mulai hari itu anak ini tinggal di Lembah Iblis, menerima pelajaran ilmu-silat tinggi yang dipunyai suami isteri itu.

"Kau sekarang menjadi murid kami, seluruh ilmu kami akan kami turunkan kepadamu."

"Terima kasih." anak ini menjatuhkan diri berlutut. "Teecu tak dapat membalas budi kebaikan kalian, Suhu. Dan Teecu tentu saja akan melaksanakan perintah suhu."

"Tapi satu larangan kami, sin Hauw. Yakni, kau tak boleh turun gunung sebelum pelajaranmu selesai."

Anak ini tertegun.

"Kau keberatan?"

Sin Hauw menitikkan air mata. "Tidak suhu." Katanya, "Teecu akan patuh."

"Tapi kau menangis." Cheng-giok Sian li membentak, diluarnya masih bersikap galak. "apa yang tidak kau sukai, Sin Hauw? Kau tidak sepikiran antara yang keluar dari mulut dan hati?"

Sin Hauw terkejut. "Teecu.... teecu hanya teringat enci Kin...."

Ternyata anak itu tak dapat melupakan encinya. Hwa Kin, yang entah ke mana ternyata tak dapat menenangkan anak itu. Sin Hauw cemas dan gelisah akan nasib encinya. Tapi ketika gurunya menuntut dan menghendaki dia tak boleh keluar lembah ternyata Sin Hauw dapat menekan perasaan hatinya ini.

"Encimu dapat dicari belakangan. Lagi pula kalau kami turun lembah tentu kami juga akan mencarinya. Sanggupkah kau memenuhi permintaan ini dan tidak keluar sebelum pelajaran berakhir?"

"Sanggup suhu. Teecu menurut...!" dan Sin Hauw yang mengangguk serta tidak membantah lagi ternyata mengalahkan keinginannya sendiri dan patuh pada larangan gurunya itu.

Hari itu juga mendapat pelajaran silat tinggi dari kedua gurunya dan anak ini tekun belajar. Ilmu samadhi dan menghimpun sinkang dimulai, lalu silat tangan kosong dan senjata. Dan ketika dua tahun kemudian satu demi satu pelajaran gurunya diwariskan dan sin Hauw tekun berlatih maka sin Liong Hap Bu Kok dibuat tercengang melihat suatu hari sin Hauw mainkan Kim-Kong ciang (Pukulan sinar emas)

"Eh, aku tak mewariskan itu padamu. Sin Hauw. Sebaiknya ilmu itu tak usah kau latih!"

"Maaf, ini peninggalan Hwa-Liong Lo kai, suhu. Teecu tak dapat melupakan budinya dan bermaksud melestarikan warisannya."

Si Naga sakti tertegun. "Hm, kalau Hwa Liong Lo-kai bukan sahabatku tak boleh kau mempelajari silat orang lain, sin Hauw. Berbahaya dan dapat merusak ilmu silat yang kau punyai."

"Teecu akan berhati-hati, harap suhu ampunkan teecu!" Sin Hauw lagi-lagi mengunjukkan watak muliannya, tak lupa akan budi orang dan tentu saja pendekar itu girang.

Sebenarnya dia memuji sifat begini dan pura-pura menegur, bertanya mengapa muridnya itu mempelajari Kim-Kong ciang, ilmu yang tidak pernah diajarkannya. Dan ketika hari itu Sin Hauw menyenangkan gurunya dan mendapat pelajaran-pelajaran baru maka tahun demi tahun dilewati lagi dengan cepat. Tak terasa lima tahun berlalu dan Sin Hauw kini sudah berusia delapan belas tahun, gagah dan tampan namun wajahnya beku. anak ini jarang tertawa karena dendamnya terhadap musuh-musuhnya sesungguhnya tak dapat hilang, dua gurunya juga tak pernah bergurau atau main-main, menjadikan sin Hauw tumbuh berkembang menjadi pemuda berwajah dingin. Dan ketika tahun keenam lewat dengan cepat dan hari itu dia diatas gunung tiba-tiba terdengar jerit dan bentakan gurunya.

"Sian li serahkan golok itu!"

"Tidak. ini miliku Hap-ko. Kau pergilah dan jangan kejar-kejar diriku."

Sin Hauw terkejut. Saat itu dia baru saja menyelesaikan pelajaran terakhir, ilmu silat yang oleh gurunya disebut sebagai Im-kan-to-hoat (Silat Golok Dari Akherat), ciptaan gurunya yang paling baru dan amat mengerikan. Setahun lebih dia berlatih dan baru hari itu merasa mahir, setelah berbulan bulan mengulang dan tak bosan-bosannya memperbaiki jurus-jurus yang sulit. Maka ketika jerit dan bentakan gurunya membuat dia terkejut karena jerit atau bentakan itu disusul ledakan suara pukulan maka bayangan dua gurunya berkelebat dan tahu-tahu melewati atas kepalanya.

"Wut-wut!"

Dua gurunya susul menyusul Sin Hauw melihat subonya, ibu guru, memegang sebatang golok yang berkilau, berjungkir balik dan lenyap di belakangnya, Dan ketika suhunya, Sin Liong Hap Bu Kok membentak dan mengejar isterinya itu maka suhunya ini pun lenyap menyusul subonya itu,

"Sian-li, serahkan golok, itu. Atau kau ku bunuh!"

"Keparat, kau berani membunuhku, Hap-ko? Cobalah, atau aku yang ganti akan membunuhmu!"

Sin Hauw berdetak, Kalau dua gurunya sudah bicara seperti itu maka keadaan benar-benar panas sekali, berbahaya. Dia tak tahu kenapa dua gurunya tiba-tiba cekcok dan tampak bersitegang. Sekilas dia melihat ada cahaya mengerikan dari badan golok yang dipegang subonya, sinar atau cahaya merah seperti darah. Sin Hauw mengerutkan kening tapi dia bangkit berdiri, berkelebat dan mengejar gurunya itu. Dan ketika suara atau bentakan-bentakan itu terdengar di pinggang gunung dan Sin Hauw menuju ke sini ternyata dua gurunya sudah bertempur!

"Jahanam, kau tak tahu diri, Hap-ko. Golok ini aku yang mendapatkan dan tak berhak kau mengangkanginya!"

”Tapi kau tak dapat menggunakannya, Sian-li. Golok itu lebih cocok untukku karena aku menciptakan Im kan-to hoat!"

"Cih, siapa bilang aku tak dapat menggunakannya? Lihat, aku dapat membunuhmu, laki-laki tak tahu malu. Dan aku juga dapat menciptakan sebuah ilmu golok untuk pasangan senjata ini.....bret!"

Sin Hauw melihat gurunya melempar tubuh bergulingan, Golok mengenai pundaknya dan gurunya berteriak marah. Pundak gurunya terluka dan berdarah, hebatnya darah yang menempel pada golok tiba tiba terhisap dan kering. Golok bersih kembali dan tetap mengkilap! Dan ketika Sin Hauw terbelalak dan terkejut melihat itu, maka subonya terkekeh dan menyerang suhunya lagi.

"Lihat, aku dapat melukaimu, Hap ko. Tak beralasan omongamu bahwa aku tak dapat mempergunakan golok ini!"

Sin-Liong Hap Bu Kok pucat. Dia dilukai istrinya dan sudah meloncat bangun, melotot dan membentak isterinya itu. Dan ketika isterinya menyerang dan ia marah maka laki-laki ini mencabut senjatanya, sebuah golok pula tapi lebih besar dan tampak lebih kuat.

"Baik, aku akan menghajarmu, sian li. Kau isteri tak tahu diri yang harus diberi adat!" si Naga Sakti berseru keras, mainkan Im-kan-to-boat dan menyambar-nyambarlah cahaya golok kesegala penjuru.

Sin Hauw melihat gurunya itu besungguh-sungguh, tidak main-main lagi dan sang isteri berlompatan. Cheng-giok Sian-li tertawa mengejek dan tidak terkejut menghadapi suaminya, kemarahan dibalas kemarahan pula, Dan ketika dua suami isteri itu berkelebatan dan serang menyerang maka Sin Hauw bingung menonton jalannya pertandingan,

"Suhu, berhenti.,...! Subo, jangan menyerang....!!"

Namun dua orang itu terus bergerak sambar-menyambar. Mereka tak memperdulikan teriakan Sin Hauw dan Sin liong Hap Bu Kok justeru mempercepat gerakannya, mengeluarkan satu bentakan dahsyat dan golok di tangannya tiba-tiba menyambar leher isterinya. Satu gerakan membunuh dilancarkan pendekar ini dan Sin Hauw pucat. Itu adalah jurus yang dinamakan Coan-liong-kik-mo (Menerjang Naga Mencekik Iblis), satu jurus maut yang bahayanya bukan alang-kepalang. Tapi ketika golok menyambar leher Cheng-giok Sian-li dan wanita cantik itu merendahkan tubuhnya tiba-tiba golok di tangannya menyambut golok di tangan suaminya itu.

"Crangg!"

Sin Hauw terkejut. Golok di tangan suhunya putus dan suhunya berseru keras. Sin-liong Hap Bu Kok membanting tubuh bergulingan ketika golok di tangan isterinya masih menyambar juga, berkelebat dari atas kepala. Dan ketika laki-laki itu bergulingan menjauh dan golok di tangan isterinya membabat ke bawah maka tanah menjadi korban dan suara keras terdengar disusul asap putih.

"Dess!"

Mengerikan sekali melihat itu. Sin Hauw terbelalak melihat muka suhunya pucat, Sin-liong Hap Bu Kok memang tergetar melihat keganasan isterinya tadi. Cheng-giok Sian-li tak segan-segan membunuhnya dengan golok maut itu. Dan ketika isterinya terkekeh nyaring dan pendekar ini marah bukan main maka pendekar itu meloncat bangun dan membentak isterinya, menyerang lagi namun golok di tangan isterinya bergerak menyambut, membabat dan kembali goiok di tangan pendekar itu putus. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok marah bukan main dan melihat goloknya yang tinggal separoh maka isterinya mengejek dengan kata-kata menghina,

"Lihat, kau tak dapat mengalahkan aku Hap-ko. Salah-salah aku yang mengalahkan mu dan membunuh!"

"Keparat, kau boleh bunuh aku, Sian-li, tapi golok tetap kurampas!"

"Hm, kau laki-laki tak tahu diri. Haruskah aku membunuh dan menikmati darahmu?"

"Lakukan itu. Kau perempuan siluman, Sian-li. Kau perempuan tak tahu diri sebagai isteri!" Sin-liong Hap Bu Kok menerjang lagi, marah dan nekat dan Sin Hauw khawatir.

Dia melihat golok di tangan subonya itu hebat sekali dan suhunya agaknya tak dapat melawan. Benar saja, ketika suhunya menerjang dan subonya menangkis tiba-tiba saja suhunya mengeluh, lengan suhunya terluka dan Sin-liong Hap Bu Kok terhuyung. Dan ketika satu bentakan isterinya disusul berkelebatnya sinar golok tiba-tiba pundak gurunya terluka dan Sin Hauw berteriak kaget, mau mencegah tapi suhunya tiba-tiba mengebit. Sin Hauw disuruh minggir dan Cheng-giok Sian li tertawa mengejek. Dan ketika Sin Hauw pucat memandang jalannya pertandingan dan suhunya terus mundur-mundur akhirnya satu gerakan golok melukai jari suhunya.

"Crat!"

Sin Hauw ngeri. Jari kelingking suhunya putus dan jago yang terkejut itu terbelalak. Jari yang putus ke tanah tampak segar bermandi darah sementara golok di tangan Cheng-giok Sian-li sendiri tetap bersih. Golok itu telah menghisap kering darah yang mengutungi jari, Bukan main. Dan ketika Sin Hauw pucat dan ngeri memandang itu maka subonya membentak agar suaminya menyerah.

"Lihat, kau tak dapat melawan aku. Golok Maut telah melukaimu. Menyerahlah, atau aku akan menghabisimu, Hap-ko. Dan kau akan tinggal nama!"

"Keparat!" Sin-liong Hap Bu Kok berseru dengan muka merah padam. "Kau bunuhlah aku, Sian-li. Dan dunia akan mengutukmu sebagai isteri durhaka!"

Cheng-giok Sian-li mengerutkan kening. Omongan suaminya membuat dia tak enak sekejap dan golok di tangannya gemetar. Ada perasaan bingung dan bersalah di hatinya, rupanya omongan itu termakan juga dan dirasa betul. Dan ketika dia lengah dan suaminya menerjang tiba-tiba tangan kiri Hap Bu Kok menyambar dengan satu tamparan miring.

"Plak!"

Cheng-giok Sian-li terbanting. Saat itu dia lengah namun bukan berarti roboh, melempar tubuh bergulingan dan golok kembali bekerja. Sang suami mengejar dan amat bernafsu sekali memandang golok. Senjata itu selalu diincar dan mau dirampas. Dia marah dan tentu saja tak mau memberikan senjatanya itu, Maka ketika sang suami menubruk dan dia menggerakkan golok maka satu jari telunjuk lagi terbabat, "Cras!"

Sin-liong Hap Bu Kok mendelik. Sin Hauw tak tahan melihat itu, gurunya menggigit bibir dan tampak kesakitan. Dua jari buntung sekaligus bukanlah hal ringan, darah menetes-netes namun hebatnya golok di tangan Cheng-giok Sian-li itu tetap bersih. Golok tetap mengkilat dan kering! Sin Hauw terbelalak. Dan ketika suhunya membentak dan memaki subonya itu maka Cheng-giok Sian-li meloncat bangun memberi peringatan.

"Lihat, kau tak mungkin menang, Hap-ko. Golok ini akan membunuhmu atau kau berhenti?"

"Tidak, kau boleh membunuhku, Sian-li. Dan rohku akan tetap mengejar-ngejar-mu sampai kau memberikan golokmu"

"Hm, kau nekat?"

"Kau yang keterlaluan, isteri durhaka. Kau tak mau tunduk kepada suamimu dan menyerahlah!"

Cheng-giok Sian-li marah. Kalau suaminya nekat begini dan tak dapat dibujuk barangkali dia harus menyelesaikan pertandingan. Apa boleh buat dia harus merobohkan suaminya itu dan kalau perlu membunuh. Sin Hauw ngeri melihat muka subonya yang gelap. Nafsu membunuh mulai membayangi subonya itu dan dia khawatir. Tapi karena suhunya tak memperbolehkan dia maju dan saat itu mereka kembali bertanding maka Sin Hauw kebat-kebit di luar pertandingan.

"Suhu, berhenti! Subo, berhenti..!"

Namun dua orang itu terus bergerak. Sin-liong Hap Bu Kok mendengus dan bahkan menjilat darah di ujung jari yang buntung, mengerikan. Menghisap dan minum darahnya sendiri sementara sang isteri mulai beringas. Cheng-giok Sian-li juga tak mau diam dan menyambut suaminya itu. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok memgeluarkan teriakan nyaring sementara tubuh sudah bergerak menerjang maka kaki pendekar itu bergerak dari kanan ke kiri.

"Dess!"

Lihai juga pendekar ini. Dengan dua jari terluka masih juga dia dapat menendang isterinya. Cheng-giok Sian-li mencelat namun wanita cantik itu dapat berjungkir balik, tidak apa-apa dan sudah melompat bangun. Dan ketika sang suami mengejar dan tendangan beranting mengganti tangan yang luka maka wanita ini mendengus dan mengeluarkan suara dari hidung.

"Hm, kau tak dapat mengalahkan aku, Hap-ko. Tanganmu luka dan tak dapat kau merampas Golok Maut!"

Si Naga Sakti mendelik tak menjawab. Dalam saat-saat begitu tak perlu dia bersilat lidah, yang penting adalah menyerang dan sudah dilakukanlah pekerjaanya itu. Sang isteri diterjang dan mendapat tendangan bertubi-tubi. Tapi karena isterinya bersenjata sementara dia tidak maka pendekar ini mengeluh karena dengan gampang isterinya itu menghalau semua tendangannya, menggerakkan golok dan dia terpaksa menghindar. Tak mau dia kakinya buntung lagi bertemu golok, senjata itu luar biasa tajamnya dan Sin Hauw cemas. Dan ketika benar saja suhunya mendesis dan terhuyung sana-sini maka satu babatan golok merobek baju pundak gurunya.

"Bret!"

Cheng-giok Sian-li tertawa mengejek. Suaminya melotot namun tak diperdulikan, itulah salahnya sendiri dan dia sudah memberi peringatan. Dan ketika si Naga Sakti mengeluh dan terhuyung-huyung maka satu bacokan golok kembali mengenai pangkal lengannya.

"Bret!"

Sin Hauw tak tahan. Akhirnya ia membentak dan mencabut goloknya, golok biasa yang tadi dibuat berlatih. Dengan senjata ini pemuda itu bermaksud memisah. Tapi ketika dia meloncat ke tengah dan menyuruh kedua gurunya berhenti serang-menyerang mendadak kedua gurunya sama sama membentak menangkis senjatanya.

"Pergi kau. Sin Hauw. Jangan ikut campur., plak-dess!"

Sin Hauw mencelat, terlempar balik oleh pukulan subonya maupun tendangan suhunya. Pemuda ini terkejut dan terguling-guling. Dan ketika dia meloncat bangun sementara dua gurunya sudah serang-menyerang kembali maka subonya mengancam akan membunuhnya.

"Awas kau. Sin Hauw. Jangan dekat-dekat atau sekali lagi kau kubunuh!"

Sin Hauw tergetar. Dia jadi bingung oleh bentakan dua orang gurunya itu. Baik suhunya maupun subonya sama-sama tak menghendaki dia maju, psdahal saat itu subonya mendesak dan suhunya sudah kewalahan. Sin Hauw pucat dan bingung melihat semuanya itu. Dan ketika dia menjublak dan menonton dengan perasaan tak keruan maka subonya mendesak sementara suhunya mundur-mundur, menerima satu bacokan lagi dan Sin-liong Hap Bu Kot mengaduh, tiba-tiba memekik dan berkelebat ke arah Sin Hauw, menyambar dan tahu-tahu golok Sin Hauw berpindah tangan. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan gurunya itu melengking tinggi tiba-tiba pendekar ini sudah menyerang isterinya dengan senjata baru.

"Lihat, aku masih mampu menghadapi-mu, Sian-li. Pantang menyerah bagiku sebelum mampus!"

Cheng-giok Sian-li terkejut. Suaminya itu benar-benar keras kepala dan keras hati, dia menjadi marah dan semakin gusar. Maka ketika golok suaminya menyambar dan satu tikaman miring menyambar lehernya tiba-tiba wanita ini mendengus dan menggerakkan goloknya, bermaksud menankis tapi kaki suaminya tiba-tiba bergerak dari bawah. Apa yang tak diduga terjadi, Sin-liong Hap Bu Kok melakukan jurus yang disebut Menikam Kelinci Memperdayai Siluman, jurus itu memang dibantu kaki dan isterinya terkecoh.

Maka ketika kaki menyambar dan Cheng-giok Sian-li tak menduga wanita itu pun menjerit ketika terlempar roboh, mencelat ditendang suaminya dan Sin-liong Hap Bu Kok tertawa menyeramkan. Laki-laki itu menubruk dan menggerakkan goloknya lagi, kini membabat dari kanan ke kiri. Dan ketika isterinya bergulingan dan berteriak keras maka golok menyambar dan nyaris mengenai leher wanita cantik itu. "Crat!"

Cheng-giok Sian-li bergulingan meloncat bangun. Wanita ini marah karena hampir saja dia menjadi korban suaminya melakukan gerak tipu yang berbahaya, ia nyaris terkecoh dan bukan main marahnya wanita ini. Maka begitu melompat bangun dan sang suami menerjang lagi ia pun menggerakkan goloknya menyambut golok di tangan sang suami.

"Crangg!"

Golok itu putus. Sin Hauw menjadi tak tahu apa yang harus dilakukan dalam saat seperti itu. Gurunya terpelanting ketika subonya membalas, membentak dan sudah menikam dengan satu tusukan miring, Dan ketika gurunya mengeluh dan satu serangan lagi mengenai pundaknya maka pendekar itu terjengkang ketika pundaknya luka, di kejar dan Sin-liong Hap Bu Kok pucat, mundur tapi tiba-tiba terjatuh, Kakinya ke serimpet dan terguling. Dan ketika isterinya terkekeh dan berkelebat membentak maka golok menyambar leher pendekar itu dan Sin Hauw menjerit.

"Jangan..!" Sin Hauw menggerakkan kaki, tidak menghiraukan diri sendiri dan tiba-tiba pemuda ini melepas pukulan Kim-kong-ciang. Pukulan itu adalah warisan Ha liong Lo-kai dan angin panas menyambar. Cheng-giok Sian-li terkejut karena tidak menduga. Dan ketika goloknya melenceng terpukul dari samping maka leher suaminya selamat tapi bahu si Naga Sakti yang satu ganti terluka.

"Crat-dess!"

Cheng-giok Sian-li tertegun. Tiba-tiba dia terbelalak memandang Sin Hauw, melotot, tak menyangka pemuda itu berani menghalangi serangannya membunuh lawan. Dan ketika dia mendelik sementara suaminya meloncat bangun tiba-tiba dengan satu lontaran kuat si Naga Sakti itu melontarkan kutungan goloknya ke punggung isteri, yang saat itu sedang mendelik dan marah nemandang Sin Hauw.

"Awas!" Sin Hauw jadi kaget, ganti meneriaki subonya dan dia terbelalak melihat serangan itu. Untuk serangan ini Sin Hauw tak dapat menolong karena subonya berdiri membelakangi punggung, dia berkelebat dan mau menarik. Tapi karena golok meluncur lebih cepat dan Sin-liong Hap Bu Kok mengerahkan seluruh tenaganya maka golok mendahului Sin Hauw dan menancap di punggung wanita cantik itu.

"Crep!"

Sin Hauw ngeri. Apa yang dilihat memang di luar dugaan dan tidak disangka. Suhunya tertawa bergelak dan Cheng-giok Sian-li roboh. Wanita itu mengeluh dan pucat, mandi darah dan punggungnya luka, kutungan golok menembus dadanya sampai kelihatan, bukan main ngerinya. Dan ketika Sin Hauw menjublak dan tidak menyangka perbuatan suhunya itu maka suhunya meloncat dan sudah merampas Golok Maut, yang terlepas dari tangan isterinya itu.

"Ha-ha, kau lihat, Sian-li. Golok Maut telah kumiliki dan kau roboh!"

Cheng-giok Sian-li ambruk. Dia tak dapat bicara apa-apa karena lukanya, parah wanita itu. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok terbahak menimang golok maka laki-laki ini terhuyung mengusap-usap senjata maut itu, tak tahu bahwa isterinya membalik dan perlahan tetapi pasti isterinya itu mengambil sesuatu. Dan ketika di sana pendekar itu terhuyung sambil tertawa-tawa mendadak sebuah sinar hitam berkelebat dan menyambarlah sebuah golok kecil ke belakang kepala si Naga Sakti, golok terbang yang luar biasa cepatnya.

"Crep!" Sin Hauw tahu-tahu melihat suhunya tersungkur, Terhalang tubuh suhunya memang Sin Hauw tak melihat serangan itu, tahu-tahu gurunya roboh dan mengeluh. Tapi begitu dia melihat sebuah golok terbang menancap di belakang kepala gurunya ini tiba-tiba Sin Hauw tahu apa yang terjadi.

"Ah!" Sin Hauw terkejut, berseru keras menubruk gurunya dan Cheng-giok Sian-li tiba-tiba terkekeh. Wanita yang sudah di-tancapi golok itu dapat tertawa begitu girang, membalik dan tampaklah kini dadanya yang berlubang itu. Dan ketika Sin Hauw disana menolong suhunya dan subonya terkekeh-kekeh maka wanita itu berkata,

"Lihat, golok terlepas lagi, Hap-ko. Kau tak dapat memilikinya karena sebentar lagi kau mampus!"

"Keparat!" si Naga Sakti mengeluh. "Kenapa kau curang begini, Sian-li? Kau licik melempar senjata gelap, kau jahanam dan isteri tak tahu malu!"

"Hi-hik, yang mengajari adalah kau, suami konyol. Kau yang memulai dan mengajari aku!"

Sin-liong Hap Bu Kok mendelik. Dia tak dapat menjawab karena memang dia-lah yang mula-mula melakukan sambitan golok, isterinya membalas dan samalah keadaan mereka. Dan ketika laki-laki itu terguling dan Sin Hauw menangis menolong. gurunya maka di sana Cheng-giok Sian-ii juga mengeluh dan terguling ke kanan.

"Sin Hauw, tolong aku..!"

Sin Hauw bercucuran air mata. Dalam keadaan begitu harus menolong dua orang sekaligus tentu repot, dia membantu suhunya di sini lalu melompat ke sana, membantu subonya itu. Tapi ketika kedua-duanya sama terluka parah dan tak mungkin mereka diselamatkan maka Sin Hauw menggugu dan untuk pertama kalinya menangis tersedu-sedu, setelah sekian tahun dibuat beku oleh keadaan yang keras.

"Suhu, kalian tak mungkin tertolong. Subo, lukamu parah...!"

"Hi-hik, biarlah. Aku... ouh, aku memang akan mampus. Sin Hauw. Tapi suhumu itu juga akan menyusul!"

"Kenapa kalian cekcok? Kenapa harus saling membunuh?"

"Heh, suhumu itu yang tak tahu diri, Sin Hauw. Dia mau merampas golok temuanku dan tentu saja tak boleh! Kau membela suhumu itu menyalahkan aku?"

"Tidak, dia isteri yang keliru, Sin Hauw. Sebagai suami tentu saja aku lebih berhak masalah golok itu. Isteri harus tunduk dan patuh pada suami!" Bu Kok, yang luka parah masih juga dapat membentak. Rupanya pendekar itu marah karena isterinya tak mau mengalah. Baginya isterinya adalah orang yang harus tunduk kepadanya, dalam segala hal. Jangankan masalah senjata, tubuh isterinya sendiri adalah miliknya dan tak boleh isterinya itu menolak. Maka ketika mereka bercekcok dan Cheng giok Sian-li memaki-maki suaranya maka Sin Hauw mengeluh mengusap air matanya yang deras mengalir.

"Sudahlah, kalian tak perlu menyalahkan satu sama lain, suhu, Apa yang sudah biarlah sudah, teecu bingung tak dapat menolong kalian!"

"Ha-ha, memangnya kami minta hidup? Tidak, kami memang akan mampus. Sin Hauw. Tapi beritahulah dulu siapa yang bersalah di antara kami!"

"Benar," Cheng-giok Sian-li menyusul. "Beritahukan kami siapa yang salah. Sin Hauw, Dia atau aku!"

Sin Hauw bingung. Tentu saja dia tak dapat menjawab karena baginya dua gurunya itu salah. Mereka sama-sama keras dan tak mau mengalah. Sin Hauw tak menjawab dan dua gurunya melotot. Dan ketika pemuda itu menangis karena tak tahu harus menjawab apa maka suhunya membentak,

"Heh, jawab pertanyaan kami, Sin Hauw Dia atau aku yang salah!"

"Kedua-duanya salah," Sin Hauw menjawab, memberanikan diri. "Kalian seperti anak kecil berebut kembang gula, suhu. Tecu tak membenarkan seorang pun di antara kalian karena kalian sama-sama salah!"

"Hah?"

"Heh?"

Dua gurunya sama-sama melotot.

"Benar, teecu tak membenarkan seorangpun di antara kalian, suhu. Kalian sama-sama salah karena kalian sama-sama tak benar!"

"Apa katamu?" Cheng-giok Sian-li melotot. "Kau menyalahkan kami berdua? Kau tidak membela aku atau dia?"

"Tidak," Sin Hauw menggeleng tegas. "Kalian tak ada yang patut dibela, subo. Kalian sama-sama salah karena kalian membenarkan pendapat sendiri-sendiri!"

"Heh!" Sin-liong Hap Bu Kok ganti melotot. "Terangkan padaku bagaimana bisa begitu, Sin Hauw. Atau kau kukutuk sebagai murid yang puthauw (tidak berbakti)!"

"Boleh suhu dengar," Sin Hauw menjawab. "Kalian suami isteri tapi bersikap seperti musuh, suhu. Kalian tak memiliki tenggang rasa sedikitpun satu sama lain. Kalau suhu atau subo mau mengalah dan satu sama lain dapat mengendalikan diri maka tak akan terjadi semuanya ini. Bukankah golok sama saja berada di tangan suhu atau subo? Bukankah masing-masing dapat saling meminjam kalau yang lain membutuhkan? Tapi tidak. Kalian sama bersikeras, suhu. Kalian seperti anak kecil yang lupa diri!"

"Ha-ha!" si Naga Sakti tertawa bergelak. "Lihat, Sian-li, murid kita ini menggurui kita tetapi betul. Kita seperti anak kecil yang lupa diri. Ha-ha, bukankah benar kalau golok berada di tanganmu atau tanganku akan sama saja? Yang lain dapat meminjam kalau ingin, dan kita tak usah saling bunuh hanya gara-gara Golok Maut itu! Bagaimana, apakah Sin Hauw salah?"

Cheng-giok Sian-li tertegun. Setelah suaminya bicara seperti itu dan Sin Hauw tak memihak seorang pun di antara mereka tiba-tiba wanita cantik ini mengeluh, Ia merasa terpukul dan memandang suaminya, ragu menjawab namun akhirnya mengangguk. Dan ketika suaminya tertawa bergelak namun roboh terguling tiba-tiba Sin liong Hap Bu Kok memanggil isterinya itu,

"Sian-li, mendekatlah. Aku ingin pergi ke surga bersamamu!"

Cheng-giok Sian-li mendesis. Setelah percakapan tentang golok selesai dan mereka kembali merasakan sakit maka wanita itupun mengeluh. Dadanya nyeri lagi dan iapun menggigit bibir. Tikaman golok terlalu dalam dan Cheng-giok Sian-li mengejang. Dan ketika di sana suaminya juga menggeliat-geliat dan Sin-liong Hap Bu Kok memanggil-manggil namanya maka Sin Hauw diminta untuk mendekatkan mereka berdua.

"Bawa aku kepada isteriku. Biar aku menggenggam tangannya!"

"Tidak, bawa aku kepadanya, Sin Hauw. Biar aku minta maaf dan menciumnya!"

Sin Hauw terharu. Kalau sudah begini ternyata dua suami isteri itu sama-sama ingin mengalah, sayang hal itu mereka lakukan di saat terlambat, yakni ketika ajal menjelang tiba. Dan ketika mereka ingin saling didahulukan mendadak Sin Hauw menyambar suhunya dengan tangan kiri sementara dengan tangan kanan dia menyambar subonya.

"Tak usah kalian ribut. Aku mendekatkan kalian bersama-sama, suhu. Dan harap kalian saling memaafkan!"

"Ooh!" Hap Bu Kok dan isterinya saling peluk. "Maafkan aku, istriku. Aku memang bodoh dan terburu nafsu!"

"Tidak, aku yang salah, suamiku. Aku yang memang tak tahu diri dan pantas di-hukum!"

"Ah, tidak, isteriku, Aku yang berdosa dan kau ampunkanlah aku!"

Sin Hauw bercucuran air mata. Suhu dan subonya itu sudah saling peluk dan berciuman, mereka rupanya sama-sama menyesal tapi nasi terlanjur menjadi bubur. Kematian tak mungkin dapat dicegah lagi dan mereka bertangisan. Namun ketika Cheng-giok Sian-li tersedak dan suaminya batuk-batuk mendadak mereka terguling dan lepas pegangannya satu sama lain.

"Augh, satukan kami. Sin Hauw. Bantu aku memeluk isteriku!"

Sin Hauw gemetar. Melihat adegan seperti itu dia menjadi teriris juga, suhu dan subonya ini sama-sama sekarat. Dia cepat menolong mereka menyatukan pelukan. Dan ketika suhu dan subonya menyeringai dalam senyum yang aneh maka Sin Hauw membuang muka ketika dua gurunya berciuman, mulut dengan mulut,

"Sian-li, iringi aku ke surga!"

"Tentu, dan keneraka pun tentu kuikuti kau, Hap-ko. Ayo kita berangkat dan pergi bersama-sama!"

"Nanti dulu!" sang suami mendorong pelahan. "Golok itu kita serahkan dulu kepada Sin Hauw, isteriku. Tunggu aku akan berpesan padanya!"

Cheng-giok Sian-li teringat. Rupanya dalam senangnya tadi dia melupakan senjata maut itu. Sin Hauw dipanggil dan segera berlutut di depan gurunya. Dan ketika Sin-liong Hap Bu Kok berkata agar dia mengambil dan memungut golok di tanah pendekar itu berkata dengan suara terengah bahwa Sin Hauw diminta menyimpan baik-baik golok yang luar biasa tajam itu.

"Ini adalah Giam-to, Golok Maut. Subomu mendapatkannya di sarang siluman yang penuh bahaya. Harap kau simpan itu sebagai warisan dari kami!"

Sin Hauw mengangguk.

"Dan mandikan setiap tahun dengan tanah kuburan kami, Sin Hauw. Bersamadhi dan berpuasalah setahun sekali selama tujuh hari berturut-turut!" subonya menyambung, memberi tahu dan Sin Hauw mengangguk dengan air mata bercucuran.

Dalam saat seperti itu tenggorokan rasanya kering. Sin Hauw tak dapat berkata apa-apa kecuali mengangguk. Dan ketika dia mengambil golok dan menyerahkannya pada suhunya ternyata suhunya mengembalikan senjata itu kepadanya.

"Tidak, kau bawalah. Sekarang ini milik mu dan bersumpahlah kau akan selalu mengingat kami!"

"Teecu bersumpah!" Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut. "Dan teecu akan melaksanakan setiap perintahmu, suhu. Katakanlah sesuatu pesan kepada teecu!"

"Tak ada. Kami, ugh., kami hanya ingin menyuruhmu mencari seseorang, Sin Hauw. Katakan padanya bahwa kami gagal menemukan jawab syair itu!"

"Syair?"

"Ya, ah., kami tak dapat banyak bicara, Sin Hauw. Kau cari saja orang ini dan katakan padanya kami ke akherat!"

"Siapa orang ini?" Sin Hauw pucat. "Lalu di mana teecu mencarinya?"

"Orang ini orang luar biasa, Dia tak memiliki tempat tinggal tetap, Sin Hauw. Tapi menyebut namanya kuharap kau dapat menemukan orang ini!"

"Siapa dia?"

"Bu-beng Sian-su (Kakek Dewa Tanpa Nama)!"

"Bu-beng Sian-su?"

"Ya, Bu-beng Sian-su, Sin Hauw. Temukan dan cari kakek ini sampai dapat. Ketahuilah bahwa kemajuan kami yang pesat adalah berkat kakek dewa itu!"

Sin Hauw tertegun.

"Kau mengerti?"

"Ya, mengerti, suhu."

"Dan kau berjanji akan mencari sampai dapat kakek dewa ini?"

"Teecu berjanji, suhu, bersumpah!"

"Bagus, kalau begitu aku dapat mati meram, Sin Hauw. Aku dan subomu akan pergi dengan tenang!"

"Suhu...!"

Sin-liong Hap Bu Kok tertawa bergelak. Dalam saat begitu tampak dia gembira benar menyambut kematian. Isterinya sudah batuk-batuk dan tidak banyak bicara. Darah terlalu banyak keluar dan bekas tusukan golok menganga lebar. Hap Bu Kok sendiri sebetulnya sudah tidak tahan, hui to (golok terbang) yang menancap di batok kepalanya terlalu dalam. Kalau orang lain sebenarnya sudah tewas sejak tadi. Tapi karena pendekar ini memang hebat dan sinkangnya tinggi maka dengan daya tahan tubuhnya itu dia dapat bercakap-cakap, mampu memperpanjang waktu tapi betapapun akhirnya dia tak kuat. Batok kepalanya yang ditembus hui-to menancap terlalu dalam, lagi pula yang melempar adalah isterinya sendiri, Cheng-giok Sian-li yang berkepandaian tinggi. Maka begitu ia mengeluh dan isterinya sendiri terguling mengerang pendek pendekar itupun roboh dan Sin Hauw kebingungan.

"Ingat pesan kami," pendekar itu berkata, gemetar. "Cari kakek sakti bernama Bu-beng Sian-su itu. Sin Hauw. Katakan bahwa kami mati dengan bahagia...!"

"Benar.." sang isteri juga terengah. "Kami mati dengan bahagia. Sin Hauw. Ucapkan terima kasih pada kakek itu atas beberapa kepandaian yang pernah diberikannya kepada kami...!"

"Suhu tak usah khawatir," Sin Hauw mengusap air matanya yang deras mengalir, "Teecu akan melaksanakan semua pesan kalian, suhu, Dan teecu berjanji akan menemukan kakek dewa itu!"

"Bagus, terima kasih, Sin Hauw. Kalau begitu kami pergi. Selamat tinggal..!" dan begitu kakek itu tertawa dan batuk sekali tiba-tiba tubuhnya mengejang naik, memeluk sang isteri dan Cheng-giok Sian-li pun terkekeh. Aneh ketawa wanita itu. Tapi begitu mereka berdekapan dan saling merangkul tiba-tiba keduanya menghembuskan napas berbareng dan terbanglah nyawa mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Suhu! Subo..!"

Namun dua orang itu telah meninggalkan dunia. Dengan senyum dan mimik yng aneh Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya berangkat bersama, mereka sama-sama terbang ke alam bahagia. Sin Hauw menjerit namun tubuh dua gurunya telah dingin. Dan ketika dia mengguguk namun dua gurunya telah meninggalkan dirinya maka Sin Hauw berkabung dan hari itu juga memakamkan jenazah dua orang gurunya, duduk tepekur dan bersila di atas makam selama tiga hari. Hebat pemuda ini. Dia tak bergerak atau bergeming sedikitpun di atas makam gurunya itu, Sin Hauw bersila dan memasuki alam hening hingga nyaris menjadi patung batu.

Dan ketika hari keempat dia membuka mata dan kuyu memandang makam suhunya maka hari itu Sin Hauw meninggalkan Lembah Iblis, membawa Golok Maut dan turunlah dia menuju ke utara. Tak ada rencana ke mana dia mau menuju, maklumlah, kematian gurunya masih baru saja terjadi dan dia seolah mimpi. Kemarin dia masih berkumpul dengan suhunya itu tapi tiba-tiba sekarang dia harus berpisah, sungguh seolah mimpi.

Dan ketika dia berjalan sambil melamun dan pikiran sedih menuju ke belakang tiba-tiba Sin Hauw teringat akan encinya dan bergegas membelokkan langkah, teringat bahwa dia harus mencari Kwi-goanswe dan orang-orang yang dulu mengejarnya. Mereka telah membunuh gurunya pertama Hwa-Heng Lo kai, juga merampas atau mungkin membunuh encinya. Maka berangkat dan menyimpan Golok Maut di punggung akhirnya pemuda ini meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja.

* * * * * * *

"Kwi-goanswe? Heh, tak ada di sini, anak muda. Jenderal itu telah pindah dan mengikuti Coa-ongya! Kau siapakah dan dari mana? Mau apa mencari jenderal Kwi?"

Pertanyaan bertubi-tubi ini diajukan kepada Sin Hauw ketika dia tiba di kota raja. Sin Hauw mengerutkan kening mendengar pengawal menanyainya seperti itu, ia dipandang penuh kecurigaan dan tujuh pengawal mengelilinginya dengan mata tajam, tak enak rasanya. Tapi karena Sin Hauw berwatak dingin dan dia acuh terhadap pertanyaan itu maka dia mendengus dan tidak menjawab.

"Kalau begitu biar kucari dia di tempat Coa-ongya. Di manakah gedung pangeran itu? Dapatkah kalian menunjukkan?"

"Heh, kau belum menjawab pertanyaan kami, anak muda. Sebaiknya jawab dulu dan jangan pergi!"

"Benar," yang lain berlompatan. "Kau harus jawab dulu pertanyaan kami, anak muda. Atau kami menangkapmu dan kau diperiksa!"

Sin Hauw mengerutkan kening. "Kalian bicara apa?" tanyanya. "Menangkap aku?"

"Benar, kau mencurigakan, anak muda. Kau tak memberi tahu siapa dirimu dan apa perlumu mencari Kwi-goanswe!"

"Hm, aku Sin Hauw," Sin Hauw menjawab tenang. "Dan urusanku dengan Kwi-goanswe adalah urusan pribadi. Apakah kalian perlu tahu?"

Pengawal tertegun.

"Cukup?" Sin Hauw bertanya. "Aku telah menjawab pertanyaan kalian, pengawal, dan aku mau pergi!" Sin Hauw memballkkan tubuh, tak melayani mereka lagi dan pengawal terbelalak.

Jawaban singkat dan pendek itu dikeluarkan pemuda itu dengan suara dingin, sikap dan gerak-gerik pemuda itu terasa menyeramkan. Tapi begitu mereka saling pandang dan memberi isyarat tiba-tiba orang pertama yang merupakan komandan jaga melompat maju, menghentikan Sin Hauw.

"Stop, berhenti, anak muda. Kami dapat menunjukkan padamu di mana gedung Coa-ongya!"

Sin Hauw berhenti. "Di mana?"

"Kau ikut aku, tunggu sebentar!" dan Sin Hauw yang diminta menunggu karena laki-laki itu sudah masuk ke dalam maka segera dikelilingi pengawal jaga, seolah dilindungi tapi sebenarnya pemuda itu dikurung. Sin Hauw diam saja dan bersikap acuh.

Dan ketika komandan itu datang lagi dan mukanya tampak berkerut maka dia bertanya, "Kau bernama Sin Hauw?"

"Ya."

"Baiklah, mari, anak muda. Coa-ongya menunggumu dan Kwi-goanswe ada di Sana!" komandan itu memberi isyarat, minta empat pembantunya mengiringi dan Sin Hauw mengikuti. Laki-laki itu sudah membawanya keluar dan mengambil kuda. Sin Hauw diminta naik tapi pemuda itu menolak. Dan ketika pengawal tertegun dan berkata padanya bahwa dia mau diajak keluar kota Sin Hauw tenang-tenang saja menjawab,

"Aku dapat berjalan di sampingmu. Kau mulailah!"

"Tapi perjalanan ini satu jam lamanya, anak muda, itupun dengan menunggang kuda!"

"Tak apa, aku dapat mengikutimu dan kau jalanlah!" dan ketika Sin Hauw berkelebat dan lenyap mengerahkan ilmunya tiba-tiba pemuda itu sudah berada di luar dan menunggu.

"Iblis, pemuda itu siluman!"

"Sst, jangan berisik, A-sam. Pangeran minta agar kita membawanya baik-baik. Ayo, kita turuti dan uji dia!" dan begitu sang komandan meloncat dan mengeprak kudanya tiba-tiba empat temannya yang lain mengikuti, meloncat di atas punggung kuda masing-masing dan membalaplah mereka menuju keluar.

Dan ketika Sin Hauw mengangguk dan menggerakkan kakinya tiba-tiba pemuda itu telah berendeng dan mengiringi sang komandan, tak tampak mengerahkan tenaga dan komandan itu terkejut. Sin Hauw tak nampak berlari cepat dan seperti berjalan saja, begitu enak dan mudah mengikuti larinya kuda. Dan ketika sang komandan penasaran dan membedal kudanya untuk berlari cepat maka empat temannya menyusul dan lima ekor kuda itu dikeprak seperti orang kesetanan.

"Hyeh! Herrr..!"

Sin Hauw tersenyum tenang. Dia tentu saja tahu maksud komandan itu, ingin mengujinya dan dia diminta menunjukkan kepandaian. Boleh, pikir Sin Hauw. Maka begitu kuda mencongklang pesat dan dia mau ditinggal tiba-tiba Sin Hauw mengeluarkan suara dari hidung dan dikerahkannyalah kepandaiannya, berkelebat dan tiba-tiba dia malah mendahului larinya kuda.

Orang terbelalak memandangnya seakan tak percaya, membentak kudanya dan menjepit kuat-kuat, menyuruh kuda berlari terbang namun Sin Hauw tetap tak tersusul. Pemuda itu berada semeter di depan mereka dan lima pengawal ini terkejut. Dan ketika segenap kemampuan dikerahkan namun pemuda itu selalu memimpin maka sang komandan mengumpat dan tiba-tiba menggerakkan cambuk melecut pemuda itu.

"Heh, kau di belakang, anak muda. Jangan menghalangi jalan... tar!"

Sin Hauw mengelak. Dia tentu saja tak mau dicambuk, pengawal itu melecut dan Sin Hauw mendengus. Dan ketika cambuk menjeletar dan dia menangkap maka Sin Hauw membentak agar komandan itu tidak banyak tingkah. "Kau jangan macam-macam. Atau nanti kau kurobohkan!"

Pengawal itu marah. Dia mau menendang tapi Sin Hauw tiba-tiba menangkap kakinya, lawan berteriak dan hampir terpelanting, sekali dia terjatuh dalam keadaan kuda masih berlari cepat tentu dia celaka, Maka ketika Sin Hauw melepas dan berlari berendeng komandan itu tak berani lagi banyak tingkah.

"Baik, awas kau, bocah. Tunggu kalau nanti kau bertemu Kwi-goanswe!" omongan ini tak diucapkan, hanya dibatin saja dan komandan itu memberi isyarat pada empat pembantunya. Apa yang terjadi tentu saja dilihat empat orang itu, empat pengawal ini mengangguk dan saling memberi tanda. Dan ketika mereka terus melarikan kuda dan sejam kemudian tiba di sebuah gedung di pinggiran kota maka mereka berhenti dan memasuki pekarangan gedung besar ini.

"Kita sampai, mari masuk!"

Sin Hauw waspada. Sebagai pemuda yang sering merasakan pahit getir kehidupan tentu saja dia tak lengah. Beberapa bayangan dilihatnya berkelebatan di atas genteng, entah siapa mereka itu, dan apa pula maksudnya. Tapi berhenti dan mengikuti lima orang itu Sin Hauw dibawa masuk dan tiba-tiba muncul seorang laki-laki kurus tinggi yang matanya sipit.

"Ingin menemui siapa?"

Pertanyaan itu tak ramah, Komandan tampak membungkuk dan memberi hormat, sikapnya merendah dan amat takut menghadapi si kurus ini. Dan ketika dia berkata bahwa Sin Hauw hendak bertemu Kwi-goanswe maka mata sipit itu membelalak.

"Sin Hauw?"

"Ya, Sin Hauw, Kak-busu. Pemuda ini datang ke kota raja dan kuantar ke sini!"

"Hm-hm!" Kak-busu mengangguk. "Boleh, komandan. Tapi tunggu sebentar biar kulaporkan ongya!"

Sang komandan mengangguk. Dia tampak melirik Sin Hauw dan menyuruh pemuda itu menunggu, dia sendiri duduk dan tidak mempersilahkan Sin Hauw, hal yang oleh pemuda ini disambut dingin saja. Dan ketika Kak-busu masuk dan lima orang itu kembali mengelilinginya maka Sin Hau mendengus merasa dikepung.

"Tak apa, pikir Sin Hauw. Asal kalian tidak macam-macam tentu tak akan kuhajar, tikus-tikus busuk. Tapi sekali kalian banyak tingkah tentu kalian tahu rasa!"

Kak-busu, yang ditunggu tiba-tiba datang. Dia memanggil Sin Hauw dan menyuruh pemuda itu masuk, lima pengawal diminta mengawal dan Sin Hauw digiring. Dan ketika seorang laki-laki menyambut mereka dan Kak-busu memberi hormat maka lima pengawal menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki ini, seorang pria tampan dengan pakaian indah.

"Inilah, ongya. Bocah yang ingin menghadap Kwi-goanswe itu!"

"Hm!" laki-laki itu, yang ternyata Coa ongya mengangguk, bersinar-sinar memandang Sin Hauw. "Kau yang bernama Sin Hauw? Kau murid si Naga Sakti Hap Bu Kok?"

Sin Hauw terkejut. Dia baru turun lembah, bagaimana sudah dikenal dan diketahui lawan? Siapa pangeran ini dan apa hubungannya dengan jenderal Kwi? Maka wa pada menggetarkan seluruh syarafnya Sin Hauw mengangguk, mendengar sedikit gerakan pada ujung lengan baju Kak-busu.

"Benar, aku Sin Hauw, ongya. Dan maaf siapa dirimu dan mana Kwi-goanswe!"

"Ha-ha, Kwi-goanswe sedang keluar, Sin Hauw, tapi sebentar lagi dia datang. Kiranya benar kau adalah murid si Naga Sakti yang hebat! Mana gurumu dan Cheng-giok Sian-li?"

"Maaf, suhu dan subo baru saja meninggal, ongya. Aku seorang diri dan sebatang kara!"

"Apa? Gurumu yang hebat itu tiada? Bagaimana bisa begini? Kapan meninggalnya mereka?"

"Hm," Sin Hauw jadi tak enak hati, terlalu jujur. "Suhu dan subo baru saja wafat, ongya, Tapi maaf aku datang bukan untuk membicarakan ini,"

"Ha-ha, kau betul, Tapi aku ingin menyatakan belasungkawa. Sin Hauw, Sungguh tak nyana dua orang gurumu yang gagah perkasa itu tewas, Aih, menyesal sekali, Kak-busu tak jadi bisa berkenalan!"

Sin Hauw diam. Dia tak mengetahui ke mana arah maksud kata-kata itu, Bagi orang kang-ouw kata "perkenalan" bisa berarti banyak, baik dalam arti yang benar ataupun yang tersamar. Dengus di sebelah kanannya membuat Sin Hauw mengerutkan alis. Dan ketika sang pangeran duduk dan bertanya apa maksud kedatangannya maka Sin Hauw merasa aneh karena yang dicari bukan pangeran ini.

"Sama saja," sang pangeran tersenyum. "Mencari aku atau Kwi-goanswe tak ada bedanya, Sin Hauw. Dia pembantuku dan segala urusannya merupakan urusanku!"

"Tapi ini masalah pribadi," Sin Hauw berkerut kening. "Urusan ini tak mungkin dilimpahkan orang lain, ongya. Amat pribadi dan bersifat empat mata!"

"Hm, kau tertutup, kurang terbuka. Apakah kau takut mengatakannya. Sin Hauw? Atau takut didengar orang-orang ini?"

Sin Hauw panas telinganya. "Maaf, ong ya, aku tidak takut dan sama sekali tidak perduli orang-orang ini. Hanya kurasa persoalan pribadi sebaiknya tak perlu diberitahukan orang lain, kecuali kalau Kwi-goanswe ada di sini!"

"Baiklah, kalau begitu kita tunggu Kwi goanswe. Sebentar lagi dia datang dan kau dapat menemuinya!" sang pangeran tersenyum, bertepuk tangan dan tiba-tiba menyuruh mundur lima pengawal itu, bertepuk tangan sekali lagi dan keluarlah tiga dayang cantik. Dan ketika sang pangeran menyuruh mereka mengambil makanan dan minuman maka Sin Hauw dipersilahkan duduk di meja besar yang langsung dibersihkan dua di antara tiga dayang cantik itu.

"Mari duduk, kujamu dulu!"

Sin Hauw tertegun.

"Eh, kau tak takut, bukan?"

"Tentu tidak," Sin Hauw mendongkol. "Aku datang sudah mempersiapkan segalanya, pangeran. Kalau aku takut tentu aku tak datang!"

"Ha-ha, pemuda yang gagah. Pantas sebagai murid si Naga Sakti Hap Bu Kok!" dan Sin Hauw yang diminta duduk dan sudah berhadapan dengan pangeran itu lalu melihat Kak-busu berdiri di belakang sang pangeran, tak lama kemudian sudah menerima makanan dan minuman dari pelayan, dayang-dayang cantik itu. Dan ketika sang pangeran menawari makan minum sambil membuka sumpit baru Sin Hauw diminta mengiringi dan mengambil ini-itu.

"Marilah, mari Sin Hauw. Kita tunggu kedatangan Kwi-goanswe sambil makan-minum. Lihat, ini arak Kang-lam yang paling keras, harum dan menyegarkan badan. Kalau kau tak takut mabok boleh cicipi seloki dan mari sama-sama minum. Ha-ha!" sang pangeran menuangkan arak, bau yang keras dan harum menyambar hidung, sang dayang tersedak dan buru-buru mundur, mukanya merah dan Coa-ongya tertawa bergelak. Dan ketika ia menuangkan arak itu dan meneguknya sekali habis maka Sin Hauw disodori minuman baru yang sebenarnya asing, tak biasa bagi Sin Hauw.

"Mari.. mari. Sin Hauw. Kita bersenang-senang dan jangan takut!"

Sin Hauw panas telinganya. Dia mendengar kekeh kecil dari si cantik dan dayang itu menutupi mulutnya, Kak-busu tersenyum mengejek dan Sin Hauw tersinggung. Tiga empat kali pangeran itu mengatainya takut, dia mendengus dan sudah menyambar arak yang disodorkan. Dan ketika dia menenggak habis dan arak amblas memasuki perutnya maka sang pangeran terbahak dan memuji dirinya,

"Ha-ha, bagus, Sin Hauw. Bagus sekali. Ayo tambah, untuk persahabatan kita!"

Sin Hauw menahan dongkol. Untuk kedua kalinya dia mendengar tawa kecil sidayang cantik. Dayang itu rupanya geli atau memang sengaja menertawainya, Sin Hauw masih canggung ketika menyambar dan menenggak arak. Dan ketika sang pangeran menuangkan lagi dan Sin Hauw menerima maka pemuda itu menggelogok isinya sampai ludas, sekali tenggak.

"Eih, tidak tersedak? Ha ha, kuat benar kau. Sin Hauw. Rupanya sinkangmu sudah sedemikian tinggi hingga dapat menindih hawa arak!"

Sin Hauw diam, tak banyak bicara. Sang pangeran menuang lagi arak baru lalu memberikannya padanya, minum juga araknya sendiri dan Sin Hauw pun diloloh, pemuda ini menerima saja karena tak mau dianggap canggung, menerima dan terus menerima ketika arak disodorkan kepadanya, sambil menanti Kwi-goanswe, begitu kata pangeran itu. Tapi ketika setengah jam kemudian Kwi-goanswe tak muncul juga sementara arak sudah habis sebotol tiba-tiba Sin Hauw merasa pusing dan untuk pertama kalinya muntah.

"Aih, tak kuat. Sin Hauw. Kau sudah tak sanggup?"

"Huak!" Sin Hauw muntah lagi, terkejut. "Aku pusing, pangeran. Cukup!"

"Ha-ha, kalau begitu kau roboh!" Benar saja, Sin Hauw tiba-tiba terguling. Bersamaan dengan itu muncul seorang laki-laki tinggi besar yang tertawa bergelak, Sin Hauw terkejut karena mengenal itulah Kwi-goanswe. Dan ketika dia roboh dan merasa bumi berputar tiba-tiba Kak-busu menendangnya dan ia pun mencelat.

"Dess!"

Sin Hauw kaget bukan main. Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia memasuki sarang macan, arak tadi rupanya beracun dan ia tertipu. Sin Hauw melompat bangun namun terguling iagi. Dan ketika terdengar aba-aba dari Coa-ongya agar ia ditangkap atau dibekuk maka Kwi-goanswe menyambar pedangnya berseru nyaring,

"Tidak, bocah ini harus dibunuh, pangeran. Dia berbahaya bagiku dan harus dibasmi.. wiit!" jenderal itu berkelebat ke depan, pedangnya menyambar dan Sin Hauw dibacok. Dengan kaget Sin Hauw mengerahkan sinkangnya, tak dapat mengelak karena saat itu dia terguling, kepalanya berat dan dia tak dapat bangun. Maka terbelalak melihat pedang menyambar iapun mendesis dan menerima bacokan itu.

"Hak!"

Kwi-goanswe terkejut, Pedangnya mental, tubuh Sin Hauw seperti karet dan tak dapat dibacok. Itulah akibat sinkang (tenaga sakti) yang telah dikerahkan pemuda ini, menyelamatkannya dari bacokan dan Kwi-goanswe berseru kaget. Dan ketika Si Hauw terhuyung bangun tapi roboh lagi, maka Kak-busu berkelebat dan ganti meng hantamnya.

"Dess!"

Sin Hauw terlempar lagi. Saat itu Coa ongya bertepuk tangan, lima pengawal di luar masuk dan bayangan-bayangan lain juga berkelebatan ke dalam, Itulah pengawal khusus yang melindungi Coa-ongya, tadi bayangannya dilihat Sin Hauw dan mereka itulah yang bersembunyi. Dan ketika Sin Hauw mencelat dan terlempar lagi oleh tendangan Kak-busu maka Kwi-goanswe membentak dan menerjang maju, mengayun pedangnya dan bertubi-tubi senjata itu menusuk dan menikam.

Sin Hauw mengeluh dan bergulingan menjauh, menahan semuanya itu dengan sinkangnya, tak dapat bangun karena kepalanya benar-benar berat, dia selalu roboh lagi karena kepalanya berputar, semua orang seolah terbalik-balik dan kaki mereka di atas, tentu saia tak dapat membalas dan jadilah dia bulan-bulanan senjata Kwi-goanswe, juga tendangan dan tamparan KaK-busu. Tapi karena Sin Hauw mengerahkan sinkangnya dan semua tusukan maupun bacokan itu mental mengenai tubuhnya maka tamparan ataupun tendangan Kak-busu juga sia-sia menghantam pemuda ini.

"Keparat, bantu aku. Bunuh pemuda ini!" Kwi-goanswe, yang pucat dan terbelalak melihat itu berteriak marah. Dia menyuruh orang-orang yang berkelebatan masuk itu membantunya. Sin Hauw harus dibunuh dan dimusnahkan. Tapi ketika pemuda itu tetap saja tak dapat dilukai karena sinkangnya yang luar biasa maka Kwi-goanswe marah-marah dan bingung, sudah dibantu belasan orang dan Sin Hauw hanya bergulingan ke sana ke mari.

Pemuda itu tak dapat berbuat apa-apa karena beratnya kepala, bahkan perut tiba-tiba panas dan tentu saja semua itu mengganggu. Sin Hauw marah karena tahulah dia bahwa arak yang diminum adalah sejenis racun, atau mungkin perusak perut. Perutnya terasa nyeri dan mendidih, ada sesuatu yang bergolak di perutnya dan Sin Hauw meringis.

Dan ketika dia hanya bergulingan ke sana ke mari sambil menerima hujan senjata maka sang pangeran menonton jalannya pertandingan dengan mata terbelalak, melihat tak satupun serangan senjata mampu melukai pemuda itu. Bahkan tamparan ataupun tendangan Kak-busu juga sia-sia, tak dapat membuat pemuda itu roboh atau pingsan, hal yang membuat pangeran ini kagum. Dan ketika di sana Sin Hauw masih terus bergulingan dan mengeluh tak dapat membalas tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan lagi disusul kekeh yang nyaring.

"Heh-heh, siapa ini, pangeran? Kak-busu tak dapat merobohkannya?"

"Ah, kau, Siang-li? Kebetulan sekali, inilah Sin Hauw, murid si Naga Sakti Hap Bu Kok!"

"Apa? Laki-laki keparat itu?"

"Benar, ini muridnya, Siang-li. Tolong tangkap dan bekuk dia!"

"Bagus, kami akan maju'" dan sepasang nenek lihai yang sudah berjungkir balik dan melayang masuk tiba-tiba menghantam Sin Hauw, kedua tangan mereka bergerak dan menyambarlah serangkum angin pukulan dahsyat. Sin Hauw mengaduh ketika pukulan itu mengenai tubuhnya. Dan ketika dia terlempar dan dikejar lagi maka seorang kakek lain muncul dan datanglah si Lutung Putih Pek-wan.

"Aih, siapa ini, pangeran? Bocah dari mana?"

Coa-ongya terbelalak. "Murid si Naga Sakti, Pek-wan. Coba kau bantu dan tangkap bocah itu!"

"Tapi Im-kan Siang-li (Sepasang Dewi Akherat) sudah maju. Biarlah hamba menonton dan menyaksikan jalannya pertandingan dulu!" dan Pek-wan, si Lutung Putih yang dulu bertempur dengan mendiang Hwa-liong Lo-kai menyaksikan jalannya pertandingan dengan mata bersinar-sinar, tak mau segera maju karena sudah ada Im kan Siang-li di situ. Kalau dia maju mungkin sepasang nenek itu tersinggung, yang mereka hadapi hanyalah seorang pemuda delapan belas tahunan, pantas merjadi murid mereka dan tak perlu beramai-ramai mengeroyok, meskipun murid si Naga Sakti. Dan ketika kakek itu menonton dan pukulan bertubi-tubi mengenai Sin Hauw maka kakek ini kagum karena pemuda itu masih dapat bertahan juga.

"Hebat, luar biasa bocah ini!" kakek itu memuji, memang kagum dan harus mengakui bahwa Sin Hauw hebat. Dipukul dan menerima hantaman nenek lihai masih juga pemuda itu dapat bergerak, bergulingan dan menghindar sana-sini, padahal pukulan nenek itu kian bertambah berat karena mereka juga penasaran kenapa pemuda itu belum roboh, paling sedikit seharusnya pingsan dan Nenek Akherat gusar.Mereka malu terhadap sang pangeran yang menonton, juga Pek-wan yang memuji musuh. Dan ketika satu bentakan marah dikeluarkan nenek itu dan mereka melepas satu pukulan berbareng tiba-tiba terdengar suara menggelegar ketika pukulan itu mengenai tengkuk Sin Hauw.

"Dess!"

Semua terbelalak. Sin Hauw mencelat tinggi dan terbanting, mengeluarkan satu keluhan pendek dan kini tidak bergerak lagi, roboh di lantai. Dan ketika dua nenek itu berseri karena mereka menganggap berhasil maka mereka terkekeh dan meloncat ke depan.

"Lihat, kami berhasil, pangeran. Bocah ini sudah roboh!"

Semua orang girang. Sin Hauw memang roboh dan tidak bergerak-gerak lagi, entah pingsan atau mati. Tapi ketika satu di antara dua nenek itu membungkuk dan mau menyambar Sin Hauw, menangkap tengkuknya, tahu-tahu Sin Hauw bergerak dan-satu sinar kemerahan menyambar nenek itu.

"Awas...!"