GOLOK MAUT
JILID 05
KARYA BATARA
JILID 05
KARYA BATARA
“PLAK!” seorang kakek tahu tahu muncul di situ, terkekeh dan menampar tombak pengawal ini yang seketika patah dan membuat pengawal itu menjerit. Tangannya berdarah dan tombak itu pun mencelat. Dan ketika Sin Hauw roboh disambar kakek ini sementara Kwi Bun dan pengawal lain terkejut maka Hwa Kin menjerit menubruk kakek berpakaian tambal tambalan itu,
“Lepaskan adikku!” gadis ini mengira Sin Hauw ditangkap. “Lepaskan dia, kakek siluman. Atau kau kubunuh....!” dan Hwa Kin yang menggebuk serta memukuli kakek itu tiba tiba kalap dan berteriak teriak minta agar adiknya dilepaskan, marah dan menjerit jerit namun kakek itu tertawa.
Dengan gerakan halus tahu tahu kakek ini mendorong gadis itu, yang terjengkang namun tidak terluka. Dan ketika Hwa Kin mengeluh sementara Sin Hauw roboh pingsan maka kakek itu menyambarnya kembali dan terkekeh. “Heh heh, jangan khawatir, anak manis. Aku tak menangkap adikmu melainkan justeru melindunginya. Kau kemarilah, lihat aku menolong kalian bardua dan jangan menangis!”
Hwa Kin tertegun. Kakek ini mengusap wajahnya dan tertawa, bajunya tambal tambalan namun jelas sikapnya bukan seperti seorang pengemis. Sorot matanya lembut namun berwibawa, menggetarkan perasaannya dan teduhlah gadis itu ketika dibelai dan diusap. Dan ketika kakek itu memberikan adiknya dan menyuruh dia membawa Sin Hauw maka gadis ini tersedu memandang mayat ibunya.
“Sudahlah, jangan khawanr,” kakek itu mengbibur. “Ibumu pun dapat kubawa, anak manis. Dan kita tinggalkan tempat celaka ini.”
“Hei!” Kwi Bun membentak. “Jangan bicara seenakmu disini, jembel tua bangka. Sebutkan namamu dan serahkan dua orang itu!”
“Heh heh, kau Kwi kongcu?” kakek itu malah bertanya. “Sombong dan angkuh seperti bapakmu, bocah. Tapi aku tak mau berurusan denganmu.”
“Keparat!” Kwi Bun berkelebat, melihat kakek itu bergerak mau pergi. “Tangkap dia pengawal. Dan rampas pula Sin Hauw dan encinya itu!” dan Kwi Bun sendiri yang bergerak dan menyerang kakek ini tiba tiba memanggil pengawal dan mengeroyok pengemis itu, tidak takut akan kelihaiannya tadi dengan mematahkan tombak seorang pengawal, yang mau membunuh Sin Hauw. Tapi begitu kakek ini tertawa dan berkelebatan cepat tiba tiba Kwi Bun dan pengawalnya didorong jatuh, terbanting satu per satu.
“Minggir… plak buk bukk!”
Kwi Bun terkejut. Dengan gampang dan mudah kakek itu merobohkannya dengan tamparan ringan, mereka semua terpelanting namun bocah itu bangun lagi, berteriak dan menyuruh pengawalnya bangkit mengeroyok. Tapi ketika kakek itu bergerak dan kembali mereka semua terbanting maka kakek ini membentak agar mereka berhenti, mulai tampak kewibawaannya.
“Berhenti atau kalian semua akan kupatahkan tulang tulangnya!”
Kwi Bun dan pengawalnya gentar. Setelah dua kali mereka dirobohkan begitu mudah tentu saja anak laki laki ini tak berani nekad, apalagi kakek itu mengancam akan mematahkan tulang tulang mereka, hal yang tentu akan membuat mereka kesakitan. Dan ketika mereka tertegun dan Kwi Bun nampak pucat tiba tiba berkelebat bayangan Kwi goanswe yang mendengar ribut ribut itu.
“Kwi Bun, apa yang terjadi?”
Kwi Bun langsung melapor. Anak ini girang menyambut ayahnya, menuding dan menunjuk kakek pengemis itu. Dan begitu Kwi goanswe menoleh dan kelihatan terkejut tiba tiba jenderal tinggi besar ini berobah mukanya.
“Kau?” suaranya jelas menandakan kaget. “Ada apa kau ke sini, Lo kai (Pengemis Tua)? Mau membuat ribut?”
“Ha ha, yang membuat ribut bukan aku, goanswe, melainkan puteramu. Tanyalah puteramu bagaimana aku tiba tiba di sini.”
“Jembel ini muncul seperti setan!” Kwi Bun berseru. “Aku tak tahu kedatangannya, yah. Tapi dia merampas Sin Hauw dan encinya.”
“Hm!” jenderal itu bersinar sinar, melihat mayat Sin hujin. “Siapa yang membunuh?” tanyanya kaget.
“Tua bangka ini?”
“Ha ha, kau selalu menimpakan kesalahan kepadaku, Kwi goanswe. Justeru pengawalmu dan puteramu itulah yang membunuh wanita ini. Aku datang karena melihat ketidakadilan di sini!”
Jenderal itu berobah. “Kau yang melakukan?” pandang matanya tajam ke Kwi Bun. “Kau yang membunuh?”
“Tidak,” Kwi Bun terkejut, menggeleng cepat. “A wi yang melakukan, ayah. Wanita itu terbunuh karena tidak disengaja. Dia menyerangku dan A wi mencegah, menggerakkan tombak tapi kelepasan. Dia....”
Kwi goanswe menggerakkan kakinya. Kwi Bun yang baru bicara tiba tiba ditendang, menjerit dan terlempar. Dan ketika anak itu bergulingan dan kaget menerima kemarahan ayahnya tiba tiba jenderal ini bergerak pula ke arah A wi, pengawal yang digigit putus sebelah telinganya itu. Dan begitu jenderal ini menggerakkan tangan dan pengawal itu menjerit tiba tiba kepalanya pecah dan pengawal itu pun tersungkur roboh, tewas.
“Aduh!” Jeritan itu hanya sekali terdengar.
Kwi goanswe telah berkelebat kembali di tempatnya, merah padam dan semua pengawal pun pucat. Dan ketika Kwi Bun merintih dan anak laki laki itu bersembunyi maka Kwi goanswe sudah menghadapi kakek pengemis ini.
“Nah,” katanya. “Aku telah menghukum yang bersalah, Lo kai. Harap kau pergi dan kuselesaikan urasan di sini, serahkan dua anak itu!”
“Tidak!” Hwa Kin tiba tiba berseru. “Aku tak mau bersamamu lagi, paman Kwi. Kau dan anakmu telah menyusahkan kami. Kau pembunuh!”
“Hm!” jenderal itu marah. “Yang membunuh adalah A wi, Hwa Kin. Dan kau lihat aku telah menghukum pengawalku!”
“Tapi kau tetap bertanggnng jawab. Kwi Bun menyiksa dan menghajar Sin Hauw. Anakmu tak tahu malu dan menjadi sebab dari semuanya ini!”
“Lalu apa yang kau mau?”
“Bunuhlah Kwi Bun, bayar hutang jiwa ibu ku!”
“Keparat!” jenderal ini bergerak. “Kau kurang ajar, Hwa Kin. Kalau begitu kau ke sini lah dan lihat apa yang kulakukan!” namun pengemis jembel yang bergerak menangkis pukulan Kwi goanswe tiba tiba berseru agar jenderal itu mundur.
“Jangan memaksa,” kakek ini tertawa. “Gadis ini tak mau bersamamu, goanswe. Lepaskan dia dan kau pergilah... duk!”
Kwi goanswe terhuyung, marah membentak kakek itu namun kakek ini sudah melindungi Hwa Kin. Dua mata beradu dan Kwi goanswe jelas gusar, mau menyerang tapi ragu. Dan ketika kakek itu tertawa sambil mengibaskan lengan maka pengemis tua ini berkata, tenang dan kalem,
“Goanswe, sebaiknya biarkan kami pergi. Atau kau akan malu di lihat para pengawalmu.”
Jenderal ini menggigil. “Kau lancang, Hwa liong Lo kai!” bentaknya. “Kau selalu suka mencampuri urusan orang lain! Tidak, kali ini kau harus pergi dan biarkan dua anak itu di sini. Suka atau tidak terpaksa aku menahan mereka, atau aku akan menghadapimu dan kau boleh robohkan aku.”
“Hm, kau tak ingat kepandaian sendiri?”
“Keparat, jangan menghina, pengemis busuk. Biar pun kau lihai namun aku tidak takut....wut!” dan Kwi goanswe yang bergerak ke depan melepas pukulannya tiba tiba menyambar kakek ini dan Kedua lengan menghantam, mendorong dan meneengkeram dan tiba-tiba kesepuluh jarinya sudah mendekati pundak si kakek.
Hwa liong Lo kai (Pengemis Naga Kembang) tersenyum dan mengelak, begitu mudah tapi lawan memindahkan kaki, berturut turut maju mundur dan tetap mengejar lawan. Dan ketika kakek itu tak dapat mengelak kecuali menangkis maka kakek itu sudah melakukannya.
“Dukk!”
Kwi goanswe terpental. Untuk kedua kali jenderal tinggi besar itu berteriak keras, berjungkir balik namun sudah menyerang lagi, dengan tendangan dan iapun cepat. Dan ketika jenderal ini bergerak kian cepat dan lawan menangkis sambil mengelak sana sini maka berkali kali jenderal itu menahan sakit.
“Duk dukk!”
Jenderal ini marah. Lawan belum membalas dan Sin hauw pun masih dipondongnya, jadi hanya dengan sebelah lengan pengemis itu menghadapinya. Tapi ketika ia mulai bergerak cepat dan mencabut senjatanya, sebuah pedang berbadan lebar tiba tiba jenderal itu membentak pengawalnya dan Kwi Bun agat mengeroyok.
“Maju kalian, bunuh kakek ini.... sing wut!” Jenderal Kwi menyerang lebih ganas, menyerang bertubi tubi dan bergeraklah para pengawal membantu majikannya itu. Kwi Bun, yang tadi bersembunyi di balik pengawal ayahnya juga bergerak, maju menyerang dan dikeroyoklah Hwa liong Lo kai dengan serangan serangan cepat.
Kakek itu mulai berkelebatan dan terpaksa ia menggerakkan kaki tangannya menangkis sana sini, menampar dan membalas dan para pengawal menjerit tertempur oleh pukulannya. Tapi ketika Kwi goanswe mendesak dan para pengawal disuruh bangkit lagi maka kakek ini mengeluarkan suara dari hidung dan berseru,
“Yang lain lain harap minggir, atau aku akan membuat kalian roboh tak dapat bangun lagi!”
“Keparat, jangan hiraukan omongannya, pengawal. Serang dan keroyok kataku!” Kwi goanswe membalas membentak pengawalnya agar tetap menyerang dan tentu saja pengawal lebih takut terhadap atasannya daripada kakek itu.
Dan ketika mereka menyerang dan bangkit lagi mengeroyok kakek ini maka Kwi goanswe beringas memutar senjatanya, membacok dan menusuk dan Hwa liong Lo kai mulai berkilat. Diantara semuanya yang paling berbahaya tentu saja Kwi goanswe, jenderal itu paling hebat dan berbahaya. Namun karena bantuan pengawal jelas merepotkannya dan mereka tak mau minggir mentaati seruannya maka kakek ini membentak dan tiba-tiba lenyap berkelebatan.
Tiga pengawal yang ada di sebelah kiri tiba tiba roboh menjerit, mereka orang pertama yang menerima bukti ancaman kakek ini ditampar dan tulang pundaknya patah. Dan ketika tiga pengawal itu terlempar dan Hwa liong Lo kai bergerak ke sana ke mari maka berturut-turut tujuh pengawal lain terpelanting, berteriak dan mengaduh aduh karena mereka pun dipatahkan tulang kakinya. Hwa liong Lo kai selalu menghindari bacokan atau serangan Kwi goanswe, menyerang dan mendahului pengawal meroboh robohkan mereka.
Dan ketika sekejap kemudian belasan pengawal tumpang tindih tinggal Kwi goanswe dan puteranya maka Kwi Bun mendapat sebuah tendangan yang membuat anak itu menjerit terlempar, lepas persendian sikunya dan anak itu pun roboh mengaduh aduh. Dan ketika tinggal Kwi goanswe sendiri yang terbelalak dan marah maka kakek itu tergerak ke arahnya dan menyentil pedangnya dengan kuku jari.
“Trang!”
Selesailah sudah pertandingan ini. Kwi goanswe terlepas pedangnya dan tersurut mundur, terhuyung, mata beringas dan jenderal itu menahan sakit. Telapaknya berdarah oleh sentilan kakek itu. Dan ketika Hwa liong Lo kai mengebutkan baju dan tersenyum menghadapi jenderal itu kakek ini berkata,
“Nah, kau lihat, Kwi goanswe. Kalau aku mau aku dapat membunuhmu. Sekarang apakah aku tak boleh pergi bersama dua anak ini?”
“Keparat, kau akan kulaporkan, Lo kai. Sepak terjangmu menambah dosa!”
“Hm, dosa atau tidak aku tak perduli. goanswe. Sekarang kau lihat bahwa kau dan pengawalmu tak berdaya. Kau boleh laporkan pada atasanmu tentang kehadiranku, dan kalau mereka mau mencari penyakit boleh saja mencari aku!” lalu tersenyum menyambar Hwa Kin kakek ini berseru, “Kau ikut aku, anak baik. Dan mari ku gendong di belakang!”
“Nanti dulu,” gadis itu berseru. “Bagaimana ibu, locianpwe? Apakah harus ditinggal?”
“Tidak. mayat ibumu kupanggul di sebelah sini, anak baik. Dan kau di belakang. Ayolah....!” dan Hwa Kin yang disambar serta mencelat di punggung si kakek tahu tahu sudah menempel dan melekat di situ, tertegun dan kagum namun gadis ini girang. Hwa liong Lo kai telah menyambar mayat ibunya dan diletakkan di pundak sebelah kanan. Sin Hauw di sebelah kiri. Dan ketika kakek itu membalik dan berkelebat pergi tiba tiba Hwa liong Lo kai menjejakkan kakinya dan lenyap di luar.
“Kwi goanswe sampai ketemu lagi. Maaf untuk semua kejadian ini!”
Kwi goanswe mendongkol. Dia marah namun tak dapat berbuat apa apa, mendelik melihat kepergian kakek itu. Tapi ketika puteranya merintih dan Kwi Bun tampak kesakitan maka jenderal ini bergerak dan menolong puteranya itu, membetulkan letak siku yang salah dan Kwi Bun menjerit. Perbuatan itu membuatnya seakan disengat listrik tegangan tinggi, sakit namun sekejap kemudian hilang. Dan ketika pengawal yang lain juga merintih namun jenderal itu malah membagi bagi tendangan dan pukulan maka pengawal berteriak dan jenderal itu pun berkelebat masuk.
“Kalian gentong gentong kosong. Pandai meminta tapi tak pandai memberi!” dan sang jenderal yang masuk dengan muka merah lalu menampar pula puteranya di sudut, minta agar Kwi Bun hari itu juga bersiap ke kota raja. Sang ayah hendak melapor datangnya Hwa liong Lo kai tadi dan anak laki laki ini menjublak. Dan ketika ayahnya bersiap dan Kwi Bun juga bergegas mengikuti ayahnya maka anak laki laki ini bertanya.
“Siapa sebenarnya dia, ayah? Kenapa kau begitu takut dan gentar?”
“Keparat, jaga mulutmu, Kwi Bun. Kau harus tahu bahwa kakek itu seorang di antara Tiga Pelindung Chu Wen. Dia pengemis berbahaya dan untung tidak membunuh ayahmu!”
“Chu Wen? Jadi dia bekas pengikut pemberontak?”
“Ya, dan kita harus melaporkan ini pada Coa ongya, Kwi Bun. Hayo kau siap dan jangan banyak bicara lagi!” dan sang jenderal yang membentak serta menyambar puteranya tiba tiba berkelebat dan hilang meninggalkan gedung, menyuruh pembantunya menjaga di situ dan komandan pun melongo. Semua kejadian yang membuat marah jenderal itu membuat kepala pengawal tak berani banyak bertanya. Dan begitu Kwi goanswe lenyap dan berkelebat membawa puteranya maka di sana Hwa liong Lo kai sendiri sudah terbang dan meluncur ke selatan.
“Cukup, sekarang kau turun!” kakek ini berhenti, menepuk pantat Hwa Kin dan gadis itu melompat dengan muka merah. Kakek itu berlari cepat sehari semalam, tidak berhenti dan kini mereka berhenti di sebuah lereng gunung, tak diketahui apa namanya. Dan ketika Sin Hauw masih pingsan sementara kakek itu sudah menurunkannya bersama mayat wanita malang itu maka Hwa Kin menangis dan teringat nasib buruknya.
“Locianpwe, di manakah kita sekarang? Tempat apa ini?”
“Diamlah, ini Cin ling san (Pegunungan Cin Ling), anak baik. Ini tempat tinggalku dan kau menjalani hidup baru di sini.”
“Bagaimana Sin Hauw? Bagaimana ibuku?”
“Eh, ibumu telah meninggal, anak baik, tentu saja kita akan menguburnya! Sedang Sin Hauw, hm......aku akan menyadarkannya dan kau tenang di sini!” kakek itu bergerak, menotok dan mengurut pundak Sin Hauw dan akhirnya anak laki laki itu pun mengeluh.
Sin Hauw kelelahan dan babak belur oleb hajaran Kwi Bun, juga para pengawalnya yang tak tahu malu. Maka begitu Hwa liong Lo kai menyadarkannya dan anak itu membuka mata tiba tiba Sin Hauw mengeluh dan melompat bangun, terhuyung. “Mana Kwi Bun? Mana jahanam itu?”
“Sst, kau di sini. Sin Hauw. Tenang dan sadarlah!”
“Siapa kau?” Sin Hauw tertegun, memang belum mengenal kakek ini. “Di mana aku dan mana enciku?”
“Aku di sini,” Hwa Kin terisak. “Kita ditolong locianpwe ini. Sin Hauw. Kau dan aku diselamatkannya.”
“Ah, kau, enci? Mana ibu?”
“Itu....” dan begitu Hwa Kin menunjuk mayat ibunya tiba tiba Sin Hauw sadar dan berseru tertahan, teringat bahwa ibunya tewas oleh tikaman tombak pengawal Kwi goanswe. Anak itu terkejut dan menjerit kecil. Dan begitu dia berlari dan menubruk ibunya maka Sin Hauw tersedu sedu mengguncang mayat ibunya ini.
“Ibu.... ibu…. bangunlah, aku di sini...!”
“Tak mungkin,” Hwa liong Lo kai menepuk pundak anak itu. “Ibumu telah tiada. Sin Hauw. Sebaiknya kita kubur dan kau minggirlah…”
“Tidak! Mau kau apakan ibuku ini? Mau kau pisahkan dia dariku? Tidak, kau yang minggir, kakek pengemis. Kau tak boleh menguburnya karena dia akan hidup!” dan Sin Hauw yang menangis sambil mengguncang guncang mayat ibunya mendadak histeris dan memaki maki Kwi Bun, juga pengawal yang membunuh ibunya itu. Tapi ketika Hwa liong Lo kai menampar dan mendorong anak ini tiba tiba Sin Hauw terguling,
“Jangan bodoh! Ibumu tak mungkin hidup lagi, Sin Hauw. Orang yang mati tak mungkin kembali!” dan Sin Hauw yang terpekik ditampar kakek itu tiba tiba bangkit berdiri, kalap dan mau menyerang kakek itu namun Hwa liong Lo kai menotoknya. Dan ketika anak itu roboh dan Hwa Kin menangis bingung maka kakek ini menyuruh gadis itu menghibur adiknya. “Kaubawa dia, singkirkan dari sini. Aku akan mengubur ibu kalian dan jangan melihat!”
Hwa Kin mengguguk. Hwa liong Lo kai sudah menyuruhnya pergi. Sin Hauw berteriak teriak tapi encinya menarik, Dan ketika Hwa liong Lo kai menggerakkan tangannya dan sebatang ranting kering ditusuk dan ditancapkan ke tanah maka kakek itu mulai menggali dan Sin Hauw meraung raung, tak boleh ibunya dikubur karena berarti dia tak akan melihat wajah ibunya lagi. Hwa liong Lo kai mendesis dan menyuruh Hwa Kin lebih menjauh. Sin Hauw tak boleh melihat ibunya dikubur dan gadis itu tersedu sedu.
Dan ketika Sin Hauw dibawa menjauh dan anak itu berteriak teriak namun tak berdaya karena masih ditotok kakek pengemis itu akhirnya Hwa liong Lo kai telah menyelesaikan pekerjaannya, mengubur wanita itu dan baru kakek pengemis ini memanggil Hwa Kin. Segundukan tanah telah berada di situ dan gadis ini menangis, roboh dan akhirnya menguguk di makam yang masih merah itu. Dan ketika Sin Hauw dibebaskan dan menendang kakek itu namun ditampar akhirnya anak laki laki itu menjerit dan roboh bergulingan di makam ibunya.
“Kakek jahat, kau siluman keparat! Kau memisahkan kami ibu dan anak. Kau kejam. Kau tak berperikemanusiaan. Ah, akan kubuka kuburan ibuku. Biar dia bersamaku sampai aku mati pula!” dan Sin Hauw yang meraup serta menggaruk garuk kuburan tiba tiba hendak mengambil mayat ibunya, tentu saja membuat Hwa liong Lo kai mengerutkan alis sedang Hwa Kin sendiri terbelalak.
Apa yang hendak dilakukan Sin Hauw jelas perbuatan gila, anak itu sedang terguncang dan Hwa liong Lo kai membentak. Dan ketika Sin Hauw tak dapat dicegah dan tetap hendak menggali kuburan ibunya maka kakek ini berkelebat dan apa boleh buat membuat anak itu pingsan.
“Hwa Kin, adikmu masih terguncang. Sebaiknya kita keatas dan biar dia kurobohkan...... plak!” Sin Hauw mengeluh, terguling dan sudah disambar kakek itu dan Hwa liong Lo kai menarik pula gadis ini. Dan begitu Hwa Kin disendal dan diangkai ke atas tiba kakek itu telah terbang dan menuju puncak. “Diamlah, tenanglah ....jangan menangis lagi.....” kakek itu membujuk. menghibur sepanjang jalan dan akhirnya mereka tiba pula di puncak.
Di sini hawa pegunungan lebih menusuk tulang dan Hwa Kin menggigil, berketrukan giginya namun kakek itu meletakkan tangan di pundak, menyalurkan hawa hangat dan gadis itu tidak kedinginan lagi. Dan ketika kakek ini berkelebat dan meletakkan Sin Hauw di sebuah gubuk sederhana maka kakek itu menarik napas menyadarkan anak laki laki ini.
“Nah, sekarang kalian berdua tinggal di sini, Hwa Kin. Kau dan adikmu boleh tenang di tempat ini.”
Sin Hauw sadar, menggeliat dan membuka mata dan pertama kali yang dilihat adalah wajah kakek itu. Anak ini bangkit berdiri dan mau menyerang, tapi ketika encinya menangis dan mencengkeran pundaknya maka Hwa Kin berkata bahwa kakek itu adalah penolong mereka.
“Tahan, jangan marah marah. Sin Hauw. Hwa liong Lo kai adalah tuan penolong kita!” lalu menceritakan kejadian itu betapa kakek pengemis ini menyelamatkannya dari tombak pengawal Hwa Kin menutup dengan menahan sedu sedannya. “Kita selamat berkat pertolongan locianpwe ini. Karena dialah ibu kita dapat dikubur baik baik. Kita harus berterima kasih, Sin Hauw, dan ingat wejangan ibu akan budi!”
Anak itu tertegun. Setelah kemarahannya reda mendengar cerita encinya mendadak anak itu menjatuhkan diri berlutut. Mendahului encinya mengucap terima kasih anak ini menyatakan penyesalannya, maklumlah, dia sedang terbakar oleh perbuatan Kwi Bun dan terguncang oleh kematian ibunya. Tapi Hwa liong Lo kai yang tersenyum dan mengusap pundak anak ini justeru berair matanya menyuruh bangun.
“Sudahlah, aku mengenal jiwamu. Sin Hauw. Kau seperti ayahmu. keras dan berani mati. Tapi sekarang kau harus menurut kata kata lohu (aku).”
“Locianpwe siapakah?”
“Aku Hwa liong Lo kai....”
“Tidak, aku sudah tahu itu, locianpwe. Tadi enci memberi tahu. Tapi maksudku siapakah locianpwe yang dapat mengenal ayahku? Bagaimana dengan ayahku?”
“Hm, lohu adalah seorang diantara Tiga Pelindung mendiang Chu Wen, Sin Hauw. Lohu bekas pengikut pemimpin itu dan sahabat ayahmu.”
“Dapatkah locianpwe ceritakan?”
“Perlukah diceritakan?”
“Ya, aku ingin mendengarnya, locianpwe. Dan terus terang aku benci pada Kwi goanswe itu!”
Kakek ini menarik napas. Melihat kebencian dan sorot dendam di mata anak itu kakek ini menghela napas berulang ulang, apa yang dilihat cukup menggetarkan. Tapi mengangguk dan bangkit berdiri tiba tiba kakek ini berkata, “Sebelum kuceritakan apakah kalian berdua mau memenuhi sebuah permintaanku?”
“Locianpwe minta apa? Jiwa pun telah kau selamatkan, locianpwe. Kalau kau menghendaki terjun ke lautan api tentu akan kulaksanakan!”
“Ah, tidak,” kakek ini tertawa. “Aku tak meminta apa apa. Sin Hauw, melainkan maukah kalian berdua menemaniku, menjadi muridku.”
“Murid?”
“Ya, kau suka?”
“Ah, tentu, locianpwe. Sekarang juga aku meaanggilmu suhu!” dan Sin Hauw yang girang membenturkan dahinya tiba tiba memanggil kakek itu sebagai “suhu” (guru), girang dan tentu saja gembira bukan main karena kakek ini telah menyelamatkannya dari tangan Kwi goanswe. Berarti kakek itu dapat mengalahkan musuhnya dan tanpa melihat pun dia percaya. Maka begitu si kakek memintanya dan kebetulan anak ini suka maka tanpa ba bi bu lagi Sin Hauw menyatakan sedia menjadi murid, menjatuhkan diri berlutut dan membenturkan dahinya delapan kali. Dan ketika kakek itu berkata cukup dan mengangkatnya bangun maka Hwa Kin tertegun di sudut, tampaknya ragu.
“Kau seperti ayahmu.” kakak ini tertawa. “Bangkit dan duduklah. Sin Hauw. Syukur kalau kau mau menjadi muridku. Sedang kakakmu, hm .....!” kakek ini menoleh, memandang Hwa Kin. “Kau seperti ibumu, Hwa Kin. Berhati hati dan tidak gampang percaya orang!”
“Maaf,” gadis ini semburat. “Aku belum tertarik untuk belajar silat, locianpwe. Kalau Sin Hauw suka biarlah dia saja yang menjadi muridmu.”
“Kenapa begitu?” Sin Hauw terbelalak. “Suhu menghendaki kita berdua, enci. Dan tanpa ilmu silat kau menghadapi banyak bahaya!”
“Tidak,” Hwa Kin terisak. “Kau saja cukup, Sin Hauw. Kalau kau yang pandai dan belajar pada Hwa liong Lo kai ini tentu kelak kau dapat melindungiku juga. Aku biar begini saja.”
“Kau betul betul tak mau?”
“Sudahlah,” Hwa liong Lo kai tersenyum. “Encimu tak mau. Sin Hauw. Aku juga tak memaksa dan biarkan encimu dengan pendiriannya itu. Kelak dia akan tahu,” dan sabar memandang anak laki laki ini Hwa liong Lo kai lalu menyuruh Sin Hauw duduk, menceritakan siapa dia sebenarnya dan Sin Hauw mendengarkan. Ternyata kakek ini adalah satu di antara Tiga Pelindung kaisar Chu Wen, seorang tokoh yang dulu mengenal ayahnya dengan baik. Dan ketika kakek itu bercerita bahwa Chu Wen telah tewas dan dia bersama dua rekannya berpencar meninggalkan istana maka Sin Hauw tertegun.
“Siapa dua rekanmu itu, suhu? Di mana mereka sekarang?”
“Aku tak tahu, Sin Hauw. Tapi mereka adalah dua suami isteri yang lihai. Yang perempuan berjuluk Cheng giok Sian li (Dewi Permata Hijau) sedang yang lelaki adalah Sin liong Hap Bu Kok, si Naga Sakti. Kami bertiga menjadi pelindung Chu Wen tapi sayang sesuatu terjadi. Suami isteri itu meninggalkan istana dan aku sendiri menghadapi ratusan musuh. Dan karena tak mungkin aku melindungi kaisar seorang diri maka junjunganku akhirnya tewas dan aku juga pergi melepas kecewa.”
“Kenapa begitu? Bagaimana dengan ayah?”
“Mendiang ayahmu jelas seorang gagah, Sin Hauw, pemberani dan setia pada junjungan. Tapi karena waktu itu kacau dan kami berpisah maka kudengar akhirnya ayahmu itu ditangkap.”
“Ya, dan akhirnya dibunuh. Kwi goanswe itulah biang keladinya!”
“Aku tak tahu,” kakek ini menarik napas dalam. “Tapi kudengar seperti itu, Sin Hauw. Dan aku menyesal.”
“Kenapa dua suami isteri itu meninggalkan istana, locianpwe?” Hwa Kin tiba tiba bertanya.
“Hm!” kakek ini merah mukanya. “Urusan pribadi, Hwa Kin. Aku tak dapat menceritakannya karena kalian belum cukup dewasa.”
“Kenapa begitu?” gadis ini mengerutkan kening. “Aku sudah belasan tahun, locianpwe, bukan kanak kanak lagi!”
“Benar, tapi ini urusan laki perempuan, anak baik. Lohu malu menceritakannya dan harap kau tidak bertanya lagi.”
“Ooh!” dan Hwa Kin yang tiba tiba mengerti mendadak dapat menangkap dengan firasatnya bahwa rupanya ada peristiwa cinta di situ, melengos dan menunduk dan Sin Hauw memandang lurus.
Anak laki laki ini tak tahu dan dia heran. Tapi ketika gurunya mengangkat tangan dan minta agar mereka tak bertanya lagi maka bocah itu teringat ibunya dan mendesis, tubuh tiba tiba kedinginan karena angin gunung berhembus tajam. Suasana di puncak memang lain dengan di bawah, tempat itu semakin dingin dan Hwa liong Lo kai teringat. Dan ketika Hwa Kin juga berketruk dan lagi lagi menggigil maka kakek ini menyuruh Sin Kauw mengatur napas sementara Hwa Kin sendiri disuruh berdiang.
“Kau buatlah api unggun, biar Sin Hauw berlatih pernapasan.”
Gadis ini mengangguk. Dia cepat mencari ranting kering dan membuat api unggun, menyalakannya dan segera ruangan ini menjadi hangat. Dan ketika adiknya mulai berlatih pernapasan dan kakek ini memberi petunjuk sana sini maka Sin Hauw mulai belajar dan di bawah bimbingan kakek ini, dituntun dan hari hari esok dilewatkan keduanya bersama pengemis lihai ini, yang sebenarnya adalah seorang dari Tiga Pelindung mendiang kaisar Chu Wen, seorang tokoh dan jelas bukan orang sembarangan. Dan ketika sebulan lewat dengan cepat sementara minggu berganti minggu maka tak terasa dua tahun dilalui dan Sin Hauw menjadi anak laki laki tampan yang semakin gagah.
Hari itu Sin Hauw mendapat pelajaran baru. Silat tangan kosong hang houw ciang (Penakluk Harimau) dilatihnya, mandi keringat dan segar di bawah terik matahari pagi. Angin gunung yang berhembus perlahan malah membuat tubuhnya mengkilap, wajah berinar sinar dan Sin Hauw tampak serius melatih ilmu silat itu. Namun ketika dia menggerak gerakkan ke dua tangan dan kaki untuk mengikuti irama jurus mendadak terdengar tawa serak diusul berkelebatnya beberapa bayangan.
“Ha ha, inikah anak yang kau cari cari itu, goanswe. Mana Hwa liong Lo kai?”
Sin Hauw terkejut. Empat bayangan berkelebat di depannya dan tahu tahu dia sudah dikurung empai laki laki yang memandangnya tajam. Sin Hauw terkejut karena melihat satu diantaranya adalah jenderal Kwi, ayah Kwi Bun! Dan ketika anak itu tersentak dan mundur dengan mata berkilat tiba tiba lelaki di sebelah kiri, kakek tinggi kurus yang tertawa menyambarnya.
“Heh, ke sini kau, anak pemberontak. Panggil dan teriaki gurumu!”
Sin Hauw melotot. Disambar dan ditangkap kakek itu tiba tiba dia mengelak, membentak dan menangkis. Tapi ketika dia terpelanting dan roboh bergulingan maka kakek itu terkekeh dan menggerak gerakkan kedua lengannya, yang tiba tiba berkerotok!
“Heh heh, jangan main main, anak nakal. Kau berhadapan dengan Pek wan jin (Lutung Putih)!”
Sin Hauw kaget. Melompat bangun dan marah memandang kakek itu anak ini menyambar ranting, bergetar dan siap menyerang tapi tiba tiba gurunya berkelebat, mendengar ribut ribut itu. Dan ketika Hwa liong Lo kai muncul dan terkejut melihat siapa lawannya tiba tiba kakek ini berseru.
“Aih, Pek wan dan Kwi goanswe kiranya. Selamat datang! Apa keperluan kalian, goanswe? Ada apa mengganggu muridku“
“Heh heh, dia ini muridmu?”
“Benar, dan kau datang tanpa diundang, Pek wan. Agaknya ada keperluan penting mengingat Kwi goanswe di sini.”
“Benar,” Lutung Putih, kakek itu tertawa. “Aku diajak Kwi goanswe untuk menangkap anak ini, Lo kai. Katanya dia putera si pemberontak Sin Lun. Bagaimana kau melindungi anak pemberontak?”
“Hm,” kakek itu bersinar sinar. “Anak ini tak ada hubungannya dengan masa lalu, Pek wan. Dia adalah muridku dan tidak ada hubungannya dengan pemberontak. Kalau kau ingin menangkap atas perintah Kwi goanswe, maka yang hendak kau tangkap adalah murid Hwa liong Lo kai! Sadarkah kau melakukan ini?”
“Ha ha!” kakek itu menoleh. “Hwa liong Lo kai mengancamku, goanswe. Bagaimana sekarang? Apakah anak ini dibawa atau tidak?”
Kwi goanswe, jenderal tinggi besar itu melangkah maju, bersinar sinar memandang Sin Hauw lalu kakek pengemis ini. “Lo kai,” katanya. “Sin Hauw terpaksa kuambil karena Coa ongya yang memerintahkannya. Sekarang bukan aku yang bertindak melainkan Coa ongya. Kau diminia melepaskan anak itu dan segala perbuatanmu di masa lalu dilupakan ongya!”
“Hm.” kakek ini berkilat. “Kenapa mempergunakan orang lain, goanswe? Kenapa nama Coa ongya kaubawa bawa? Apa pun yang pernah kulakukan aku tidak gentar menerima akibatnya, goanswe. Sin Hauw adalah muridku dan siapa pun tak boleh membawanya!”
“Kalau begitu Coa ongya akan menuntut mu, semua dosa dosamu akan diungkit!”
“Hm, diungkit atau tidak aku tak takut. goanswe. Lebih baik terus terang saja bahwa sebenarnya kau pun ingin menangkapku!”
“Ha ha, cocok!” Pek wan si Lutimg Putih berseru. “Kami tak usah berbasa basi lagi. Hwa liong Lo kai. Pangeran memerintahkan untuk menumpas sisa sisa pemberontak. Dan kau adalah bekas pengikut Chu Wen!”
“Majulah!” kakek ini tak takut. “Kau boleh coba coba menangkapku. Pek wan. Dan sungguh tak kukira kalau kau kini menjadi kaki tangan Coa ongya!”
“Heh heh, tak perlu mengejek, pengemis bangkotan. Aku butuh hidup dan makan. Siapa pun majikanku asal dia dapat memberiku makan minum tentu kulaksanakan perintahnya. Hayoh, kau menyerah atau kami terpaksa melakukan kekerasan!”
“Tangkaplah, dan jangan tanggung tanggung, Lutung Putih. Kerahkan segenap kepandaianmu dan majulah!” Lalu, menyuruh muridnya mundur namun dihadang dua yang lain tiba tiba Hwa liong Lo kai berbisik, “Sin Hauw, lebih baik kau selamatkan encimu yang ada di belakang. Biar ku lempar kau ke sana dan cepatlah pergi..... wut!”
Hwa liong Lo kai yang menangkap serta mencengkeram leher muridnya tiba tiba membentak dan sudah melempar anak itu, jauh melewati kepala dua orang di sebelah kiri dan Sin Hauw berjungkir balik. Tapi ketika Pek wan berseru keras dan tertawa berkelebat mengejar tiba tiba dua lengan kakek itu menyambar dan menangkap anak ini.
“Heh heh, jangan pergi, anak pemberontak. Biar kau disini dan robohlah!” namun Hwa liong Lo kai yang membentak berseru marah tiba tiba berkelebat ke depan, menggerakkan jari menotok punggung Pek wan dan terpaksa Lutung Putih itu menangkis. Dan ketika kakek ini tergetar dan mundur terhuyung maka Hwa liong Lo kai menendang muridnya menyuruh Sin Hauw lari.
“Pergilah, jangan hiraukan orang orang ini, Sin Hauw. Laksanakan perintahku dan jangan membantah!”
Sin Hauw berjungkir balik. Ditendang gurunya dan disuruh pergi sebenarnya anak ini tak puas. Ada musuhnya disitu, Kwi goanswe, jenderal yang telah membunuh ayahnya, juga ibunya. Tapi karena gurunya membentak dan baru kali itu Sin Hauw melihat gurunya tampak khawatir maka anak ini meloncat jauh dan lenyap di belakang, dikejar dua orang yang tadi dilompati kepalanya namun gurunya telah menyerang, kaki dan tangan bergerak dan berteriaklah dua orang itu ketika terpental. Dan ketika Hwa liong Lo kai melepas pukulan dan tamparan dan tubuh kakek itu bergerak ke kiri kanan maka si Lutung Putih juga dihadang dan Kwi goanswe sendiri dicegat langkah kakinya.
“Tak usah mengejar. Tangkap saja aku, Pek wan. Dapat merobohkan gurunya tentu dapat menangkap pula muridnya.. .. wut plak!” dan Hwa liong Lo kai yang berkelebatan cepat membagi bagi tamparan dan tendangan tiba tiba telah bergerak dan menghadang empat orang itu.
Kwi goanswe sendiri sudah berteriak keras dan jenderal tinggi besar itu terbanting. Tamparan Lo kai mengenai pundaknya dan menjeritlah jenderal itu. Dan ketika dia bangkit terhuyung dan Pek wan menyuruhnya mengeroyok maka jenderal ini mencabut pedangnya dan menusuk serta maju menerjang, membentak dan memaki pengemis itu namun Hwa liong Lo kai mendengus. Kakek ini menggerakkan dua jarinya dan diketuklah pedang di tangan lawannya itu.
Dan ketika Kwi goanswe kembali berteriak karena pedangnya terpental maka Pek wan terkekeh menyerang kakek ini, mengganggu dan dua temannya yang lain juga bergerak. Mereka mencabut golok dan menerjang dari kiri kanan, membacok dan bersiutlah angin sambaran senjata yang dingin menyeramkan. Tapi begitu Lo kai menyentil dan golok mereka pun tertolak maka dua orang itu marah berseru keras.
“Ganggu saja. Kalian menyerang dari belakang dan kiri kanan, biar aku di depan!” Pek wan si Lutung Putih berseru. Kakek tinggi kurus ini mengerotokkan buku buku jarinya, yang mendadak mulur dan memanjang. Dan ketika dia bergerak dan sepuluh kuku jarinya bercuit menyambar lawan maka Lo kai menangkis dan masing masing terpental. Pek wan tertawa dan sudah menyerang lagi, dari depan, menyambar dan mengapitkan pula kesepuluh jarinya itu. Dan ketika kukunya bercuitan dan sinar putih menyambar nyambar dari kedua tangannya maka Kwi goanswe dan dua temannya menyerang dan membacok dari belakang dan kiri kanan.
“Sing plak dukk!”
Hwa liong Lo kai berseru nyaring. Si Lutung Putih tertawa dan mempercepat gerakan, aneh dan ajaib tiba tiba kesepuluh kukunya juga memanjang, mulur dan sekejap kemudian sudah seperempat meter panjangnya, berobah seperti sepuluh belati tajam dan berbahaya. Dan ketika kakek itu tertawa tawa dan lawan terkejut karena sepuluh kuku itu menjentik dan tak patah ditampar lengannya maka Hwa liong Lo kai membentak dan tiba tiba merobah gerakan, mempergunakan ujung lengan bajunya dan meledaklah benda lemas yang tiba tiba keras itu. Pengemis ini telah mengerahkan sinkangnya dan ujung baju menjadi seperti toya, kadang seperti tameng yang dapat menerbitkan suara nyaring. Dan ketika dengan cara begitu kakek ini dapat bertahan dan membalas lawannya maka sepuluh kuku jari di tangan Pek wan tertahan dan berkali kali mental.
“Ha ha, hebat, Lo kai. Ini barangkali Kim kee kangmu (Tenaga Ayam Emas)!”
“Tak perlu banyak bicara,” Hwa liong Lo kai berseru. “Dapat merobohkan aku berarti kemajuan bagimu, Pek wan. Ayo keluarkan semua kelihaianmu dan cobalah kalahkan aku!”
“Tentu, aku datang untuk merobohkanmu, Lo kai. Tak dapat mengalahkanmu biar aku kembali ke gunung..... siut tring!” dan kuku jari yang kembali bertemu ujung baju namun tertolak mental tiba tiba membuat Lutung Putih ini penasaran, mempercepat gerakannya dan tiga temannya sudah mendesak dan menekan.
Sayang, karena pertahanan Hwa liong Lo kai demikian kokoh dan sepasang lengan baju kakek pengemis itu hebat bukan kepalang karena mementalkan senjata mereka maka Kwi goanswe dan dua lainnya marah, di samping penasaran tentu saja.
“Pek wan, keluarkan saja senjatamu. Bunuh jembel ini!”
“Ha ha, tak perlu terburu. Kuras tenaganya dulu. goanswe. Nanti mudah membereskannya kalau sudah lelah!”
Hwa liong Lo kai mendengus. Mendengar omongan itu tahulah dia maksud atau niat lawannya. Kiranya dengan licik si Lutung ini mau menguras tenaganya, bertempur dengan waktu yang lama agar tenaganya habis, hal yang membuat kakek itu tertawa dingin dan mempercepat gerakan. Dan ketika pedang dan golok cukup mengganggu karena mereka bergerak di belakang dan kiri kanan maka Hwa liong Lo kai membentak menambah tenaganya, menyambut ketika sebatang golok membacok punggungnya.
“Plak!”
Golok itu melengkung. Hebat dan luar biasa kakek pengemis ini telah membuat lawan berteriak kaget. Kebutan ujung baju yang mampu membengkokkan golok bukanlah main main, itu tanda sinkang yang hebat dan Pek wan terkejut, berseru agar temannya berhati hati. Namun ketika orang kedua juga menusuk dan menikam pinggang tiba tiba Hwa liong Lo kai menggerakkan lengan baju satunya dan golok orang ini malah patah.
“Pletak!”
Orang itu terbanting bergulingan. Ujung baju si pengemis yang terus menyambar kearahnya tak dapat dikelit. Patahnya golok sudah membuat orang ini terkejut dan terkesiap setengah mati, kaget ketika tamparan atau pukulan ujung baju itu menghantam pundaknya. Dan ketika dia menjerit dan terlempar bergulingan maka orang ini mengaduh aduh karena tulang pundaknya patah.
“Keparat!” Pek wan membentak. “Terkutuk kau, Hwa liong Lo kai. Kubunuh kau!”
“Hm… membunuh atau tidak terserah dirimu, Pek wan. Kalau dapat melakukan tentu bagus. Tapi aku juga akan menghajarmu!”
“Keparat, jahanam kau.....!” dan Pek wan yang melengking mencabut sesuatu, tiba tiba mengeluarkan roda berbulu. Aneh senjata ini, di tengahnya diikat atau digantungkan seekor ular. mendesis desis dan begitu dikeluarkan tiba tiba membuka mulutnya, menggigit dan menyerang Lo kai. Dan ketika pengemis itu terkejut karena lawan dibantu ular hidup maka roda juga menyambar dan menghantam mukanya.
“Dess!”
Hwa liong Lo kai agak terhuyung. Pengemis ini tertegun melihat ular itu. Ular merah yang kepalanya segi tiga, jelas ular beracun dan dia menjadi marah. Maka ketika roda menyambarnya dan hampir dia lengah maka Pek wan tertawa nyaring melepas ularnya ini, dijepit ekornya dengar tangan kiri.
“Nah, ini Ang tok coa (Ular Racun Merah) Lo kai. Sekali tergigit dan kena bisanya tentu kau mampus. Menyerahlah, atau kau mati sia sia melawan kami!”
“Hm, curang dan pengecut!” Hwa liong Lo kai membentak. “Kau kini tak malu malu mempergunakan racun. Pek wan. Sungguh hina dan rendah watakmu!”
“Ha ha, ini usahaku memperoleh kemenangan, Lo kai. Kalau kau takut, menyerahlah!”
“Menyerah hidungmu....plak!” dan ujung baju yang mengebut serta menghantam muka si Lutung tiba tiba meledak dan menyampok pula pedang Kwi goanswe, mental dan Pek wan serta Kwi goanswe marah.
Mereka maju lagi dan membentak penasaran. Dan keika teman mereka yang memegang golok juga menyerang dan tetap mempergunakan golok bengkoknya maka Hwa liong Lo kai membalas dan mulai bersikap keras, menggerakkan tangan kiri dan keluarlah pukulan-pukulan emas dari tangan kirinya itu, berhati hati terhadap ular di tangan Pek wan dan segera ular dikebut sebelum dekat. Akhirnya lawan tak dapat mengerjakan ularnya dan Lutung Putih itu gusar. Dan ketika Lo kai mementalkan serangan serangan mereka sementara pukulan emas di tangan kiri kakek itu mendesak dan membuat mereka kewalahan tiba tiba Kwi goanswe malah terbanting ketika bertemu sinar kekuningun ini.
“Keparat, hati hati, goanswe. Bangkit dan serang lagi!”
Hwa liong Lo kai mengeluarkan tawa dari hidung. Setelah ia mengeluarkan Kim kong cian nya (Pukulan Sinar Emas) ternyata lawan kalang kabut. Kwi goanswe sendiri terpelanting dan pemegang golok dua kali terlempar. Kalau saja Pek wan tak menolong mereka dengan ular dan rodanya barangkali pengemis ini sudah merobohkan keduanya. Si Lutung Putih itu mengganggu dan kini tak segan segan membokong, menyerang dari belakang atau pun kiri kanan, sering mengumpan dan teman namun saat itu juga dia masuk menggerakkan ularnya, atau roda yang acap kali menderu di depan mata.
Dan ketika itu masih ditambahi dengan sepuluh kuku jari yang bersuitan bagai belati berbahaya maka Hwa liong Lo kai menarik desakannya pada Kwi goanswe dan temannya untuk berhati hati terhadap si Lutung ini, waspada dan melancarkan Kim kong ciangnya dan tiga lawannya tertahan, didesak dan mereka mulai mundur mundur. Dan ketika Hwa liong Lo kai di atas angin dan mulai dapat menguasai pertandingan maka satu tamparan akhirnya merobohkan jenderal itu kembali.
“Plak!”
Pedang di tangan jenderal ini mencelat. Kwi goanswe bergulingan mengumpat caci, marah dan saat itu kakek ini menyambar si pemegang golok. Orang itu sedang bengong dan kaget oleh gerakan pengemis, berteriak ketika tiba tiba kakek itu berkelebat ke arahnya. Dan ketika tangan kiri kakek itu bergerak dan Pukulan Sinar Emas menyambar dadanya tiba tiba lelaki ini mencelat dan terlempar roboh.
“Dess!”
Hwa liong Lo kai telah merobohkan dua lawan sekaligus. Kakek itu tertawa dan Pek wan berteriak marah, Lutung Putih ini menyambar dan melepas pukulan dari belakang. Dan ketika Lo kai membalik dan menangkis pukulannya tiba tiba roda di tangan kanannya dilepas dan meluncur menghantam kakek itu.
“Eih.....dess!” Hwa Liong Lo kai terkejut, tidak menyangka namun cepat dia mengerahkan sinkang. Dadanya sudah dihantam roda namun kakek itu hanya tergetar sedikit, mampu menahan dan Pek wan terbelalak. Dan ketika kakek itu membentak dan berkelebat lagi tiba tiba sepuluh kukunya bercuit dan kini ular merah di tangannya dilontar dan menggigit Hwa liong Lo kai.
“Crit bress!” Hwa liong Lo kai menampar, membentak dan terkejut melihat perbuatan lawannya dan kakek itu terkesiap oleh terbangnya si ular merah, mengelak namun baju pundaknya tergigit, kulitnya keserempet dan ular itu sudah jatuh di belakangnya, hilang dan rupanya ketakutan. Dan ketika kakek ini merasa gatal gatal dan panas di pundaknya maka saat itu Kwi goanswe mengeluarkan terompet dan meniupnya nyaring, mengejutkan Hwa liong Lo kai karena dari mana mana tiba tiba muncul bayangan bayangan hitam, disusul bentakan dan teriakan di belakang, Dan ketika dia melihat bahwa itulah pasukan kerajaan dan di belakang terdengar jeritan Hwa Kin maka kakek itu terkesiap melihat gadis itu muncul bersama Sin Hauw, panik.
“Locianpwe, tolong. Kami dikepung!“
“Ha ha!” Pek wan terbahak gembira. “Jangan harap dapat melarikan diri, Lo kai. Pasukan di bawah telah disiapkan tak kurang dari seribu orang!”
“Benar, kami dikepung, suhu. Kami tak dapat keluar!” Sin Hauw, yang marah membawa encinya membenarkan kata kata si kakek kurus.
Pek wan memang tak bohong dan Hwa liong Lo kai gusar. Kakek ini membentak dan menghantam lawannya itu. Tapi ketika Pek wan berkelit dan bayangan bayangan hitam naik dan berkelebatan ke atas maka pasukan kerajaan muncul di bawah aba aba Kwi goanswe.
“Tangkap dan bunuh kakek itu. Bekuk dan robobkan dua anak itu!”
Hwa liong Lo kai melengking. Setelah dia melihat bahwa pasukan kerajaan mengepung dan muridnya tak dapat lari mendadak kakek ini berseru keras. Dia menyuruh Sin Hauw mendekat dan menempur belasan orang yang mengejar muridnya, roboh berpelantingan dan kakek itu menyambar Hwa Kin yang berteriak teriak. Dan ketika yang lain datang menyusul dan Pek wan tertawa gembira maka Hwa liong Lo kai berkelebatan menghajar orang orang itu.
“Keparat, dekat saja denganku, Sin Hauw. Tangkap tumbak ini dan lindungi encimu!” Hwa liong Lo kai menyambar sebatang tombak, merampas lagi tombak yang lain dan cepat kakek itu melemparkannya kepada muridnya.
Seribu orang di bawah meluruk ke atas, mereka berteriak teriak dan Hwa Kin hampir pingsan. Sekarang menyesallah gadis itu kenapa selama dua tahun ini dia tak mau belajar silat, adiknya kewalahan sedangkan Hwa liong Lo kai sendiri menghadapi lawan lawannya. Dan ketika tombak dan pedang mencelat terlempar oleh benturan tombak di tangan kakek ini maka Sin Hauw sendiri juga mengamuk dan mempergunakan tombak rampasannya.
“Siut plak dess!”
Murid dan guru sama sama mengamuk. Kini Hwa liong Lo kai menghajar siapa saja yang berani mendekatinya, terutama mendekati muridnya, juga Hwa Kin. Dan ketika kakek itu berkelebatan sementara Pek wan berteriak teriak di belakang maka dengan licik dan curang Lutung putih itu menikam dari belakang, menggerakkan kuku jarinya dan sekali pinggang Hwa liong Lo kai robek. Untunglah, kakek itu mengerahkan sinkang dan babatan kuku belati ini tak sampai membuatnya roboh. Tapi ketika muncul dua nenek cantik yang terkekeh kekeh mendorong pasukannya tiba tiba kakek pengemis itu pucat mengenal siapa yang datang.
“Ah, Im kan Siang li (Sepasang Dewi Akherat)!”
“Hi hik, kau masih mengenal kami, Lo kai? Bagus, ingatanmu masih baik dan kami datang untuk mencabut nyawamu... wirr!” dan rambut yang meledak di samping kepala nenek cantik ini tiba tiba menyambar dan sudah meledak di pundak Hwa liong Lo kai, membuat kakek itu terhuyung dan Pek wan tertawa bergelak.
Kakek kurus ini bangkit keberaniannya setelah dua nenek itu muncul, menyerang dan mengeroyok lawannya. Dan ketika Hwa liong Lo kai tergetar dan selalu terdorong oleh ledakan rambut yang mengenai tubuhnya maka Sin Hauw terkejut melihat keadaan gurunya itu.
“Suhu, sebaiknya kau lari. Aku yang mereka cari!”
“Tidak, mereka mencari kita berdua, Sin Hauw. Dan biar kita hadapi mereka ini sampai titik darah terakhir...dess!” Hwa liong Lo kai menghajar Pek wan membuat si Lutung Putih mengeluh terkena Kim kong ciangnya namun sebaliknya pengemis itu sendiri terpelanting oleh sambaran rambut yang mengenai lehernya. Dan ketika dua nenek itu terkekeh dan mencabut tusuk konde yang menancap di kepala tiba tiba mereka berkelebatan dan keluarlah Sin hong ciang atau Silat Angin Sakti yang membuat tubuh keduanya berputaran cepat seperti angin puyuh.
“Hi hik, terlambat, Hwa liong Lo kai. Melarikan diri pun sudah tak ada gunanya lagi. Kau membangkang perintah Coa ongya!”
Kakek ini berteriak. Sin hong ciang mengenai punggungnya dan dia terputar, dipukul Pek wan namun dapat menangkis. Dan ketika pasukan menyerbu dan hendak menusuknya tiba tiba Sepasang Dewi Akherat itu membentak agar mereka minggir.
“Semua menjauh, biarkan kami yang membunuhnya!”
Hwa Kin menangis. Berada di tengah tengah kurungan demikian banyak orang tiba tiba gadis ini pusing. Sin Hauw menghadapi puluhan lawan namun hebat anak laki laki itu, dapat menghalau dan menangkis semua senjata. Dan ketika Kwi goanswe melotot karena baru dua tahun saja anak ini sudah dapat memberi perlawanan mengagumkan maka jenderal itu membentak dan maju sendiri, mencengkeram dan menggerakkan pedangnya dan terpentallah tombak di tangan Sin Hauw. Anak itu terkejut karena dia memang masih bukan tandingan Kwi goanswe, jenderal itu maju lagi dan melakukan serangan serangan cepat. Dan ketika dia mengelak dan tangan kiri jenderal itu menyambar maka untuk pertama kalinya Sin Hauw terbanting.
“Dess!”
Hwa Kin menjerit. Sin Hauw bergulingan mengeluh tertahan, pukulan kwi goanswe tadi terlalu hebat baginya. Maklumlah, jenderal itu memang bukan orang sembarangan dan Sin Hauw sendiri baru dua tahun belajar silat, jelas kalah pengalaman dan tenaga. Dan ketika anak itu bergulingan meloncat bangun dan di sana gururya terbelalak melihat keadaannya maka Hwa liong Lo kai sendiri terlempar menerima tusukan tusuk konde.
“Brett!”
Guru dan murid jadi kelabakan. Sin Hauw ddn Hwa liong Lo kai sama sama melengking, mereka melompat bangun dan memberi perlawan an lagi. Namun ketika Kwi goanswe mendengus dan menggerakkan tangan kirinya maka tombak tertolak dan Sin Hauw lagi lagi terbanting, berteriak karena kali ini pukulan jenderal itu lebih keras lagi. Sin Hauw melompat namun lawan mendahului. Dan ketika dia terhuyung dan jenderal itu menggerakkan pedangnya maka bahu anak itu terluka dan sebuah tamparan mengakhiri perlawanan anak ini.
“Cret bluk!”
Sin Hauw pingsan. Anak itu roboh dan tidak sempat menjerit lagi, Kwi goanswe menendang dan seorang pengawal menangkap anak laki laki itu. Dan ketika semuanya berlangsung begitu cepat dan Hwa liong Lo kai pucat serta marah tiba tiba Hwa Kin menubruk dan menjerit menyerang pengawal.
“Hei, jangan jauh jauh dariku!”
Namun terlambat. Gadis itu terlanjur dan tak mungkin dapat dicegah, dia marah karena adiknya terluka dan ditangkap. Maka begitu si pengemis berteriak sementara dia sendiri sudah menubruk si pengawal maka Kwi goanswe bergerak dan tahu tahu lengan jenderal tinggi besar itu menyambar pundaknya. Dan begitu Hwa Kin mengaduh dan jenderal ini mencengkeram maka gadis itu pun ditendang dan mencelat diterima pengawal, langsung roboh pingsan.
“Tawan gadis ini pula, ikat di belakang!”
Hwa liong Lo kai terbelalak. Kalau dua duanya sudah ditangkap dan dirobohkan musuh repotlah dia menyelamatkan muridnya. Kakek ini membentak dan tiba tiba mengamuk, tombak diluncurkan dan menyambarlah ke tenggorokan Pek wan. Dan ketika Lutung Putih berteriak karena kaget maka kakek itu berkelebat dan menghantam Sepasang Dewi Akherat.
“Plak des dess!”
Tiga orang itu terdorong. Hwa liong Lo kai rupanya mengerahkan segenap tenaga dan Im kan Siang li berseru marah, mereka terhuyung dan rambut pun menjeletar. Pek wan mengelak dan menangkis, tombak yang menyambar akhirnya meluncur ke belakang dan mengenai seorang perajurit, roboh dan berteriak ngeri. Dan ketika pengawal itu roboh dan tewas karena tombak menembus punggungnya maka kakek ini sudah berkelebatan dan menerjang lawannya, mempergunakan tangan kosong dan Kim kong ciangnya menyambar nyambar.
Dengan tangan kosong saja kakek ini sebenarnya lebih berbahaya daripada bersenjata. Tapi karena Im kan Siang li adalah sepasang nenek lihai di mana kepandaian mereka setingkat di atas Pek wan maka pukulan pukulan kakek itu dapat ditahan dan Kwi goanswe maju pula menyerbu, tak sabar karena Hwa liong Lo kai masih hebat. Kakek ini mengamuk dan sebuah pukulannya sempat menghantam tiga perajurit, yang berada di belakang, roboh dan terlempar dengan nyawa seketika terbang ke akherat.
Dan ketika yang lain gentar dan apa boleh buat mundur menjaga diri maka kakek itu sudah dikeroyok Im kan siang li dan Pek wan, juga Kwi goanswe yang berkali kali mengganggu dengan tusukan atau bacokan pedangnya, yang betapapun cukup membahayakan kakek itu. Dan ketika dua nenek itu melengking dan marah melepas pukulan maka sepasang tusuk konde di tangan mereka tiba tiba menyambar dan bercuitan seperti tawon berbisa.
“Crit dess!”
Hwa liong Lo kai terjungkal. Menghadapi sambaran tusuk konde yang terpaksa ditangkis membuat kakek ini menerima serangan susulan. sebuah tamparan dan hantaman kepundak. Dan ketika dia terguling guling dan meloncat bangun maka Kwi goanswe membacokkan pedangnya, di kebut ujung baju dan pedang jenderal tinggi besar itu mencelat. Lalu sementara jenderal itu terpekik dan kaget terhuyung mundur maka Hwa liong Lo kai menendang dan jenderal tinggi besar itu terbanting.
“Bress!”
Hebat sepak terjang kakek ini. Hwa liong Lo kai ternyata masih tangguh namun fiba tiba kakek itu mengeluh. Pundaknya, jang tadi terkena pukulan Sepasang Dewi Akherat mendadak nyeri, rasa yang menggigit membuat kakek itu terkejut karena teringatlah dia akan serempetan tubuh Ang tok coa, yakni ular berbisa yang tadi dilempar Pek wan. Dan ketika kakek itu terbelalak dan marah memandang lawan tiba tiba dua nenek itu meledakkan rambutnya dan kiri dan kanan, tepat menghantam belakang leher dan dia terpelanting.
Dan ketika kakek itu mengeluh dan Lutung Putih terbahak maka kakek tinggi kurus ini tiba tiba mencabut roda barunya, melempar dan menghantam dada lawan, membuut Hwa liong Lo kai terjungkal dan kakek itu mendesis. Rasa gatal dan nyeri semakin menghebat di pundaknya, meloncat bangun namun terhuyung. Dan ketika bayangan dua nenek Akherat berkelebat dan melepas pukulannya maka Hwa liong Lo kai kembali terbanting dan muntah darah.
“Des dess!”
Berbahayalah keadaan kakek ini. Saat itu Hwa liong Lo kai merasa pusing dan berputar. Dia tak tahu bahwa lendir Ang tok coa telah meracuni kulitnya, masuk ke pori pori dan kakek itu gemetar. Dan ketika Kwi goanswe membentak dan marah membacok lagi tiba tiba Hwa liong Lo kai terluka dan untuk pertama kalinya kekebalannya tembus.
“Crat!”
Kakek itu mengeluh. Untuk kesekian kalinya dia terhuyung bacokan itu cukup dalam dan celaka sekali racun Ang tok coa meresap di sini, bersama darah dan tiba tiba lengan kakek itu menghitam. Dan ketika kakek ini terkejut dan Pek wan terbahak maka nenek Akherat juga berkelebat maju dan mengerakkan tusuk kondenya, mengancam dada kakek itu namun Hwa liong Lo kai tak dapat menyelamatkan diri. Dua diantaranya tercoblos dan menjeritlah kakek itu. Dan ketika lawan terkekeh dan pengemis ini siap roboh tiba tiba dari luar terdengar jeritan dan seruan kaget,
“Hei… plak duk dess!”
Dua bayangan berkelebatan bagai walet menyambar nyambar. Pek wan menoleh dan kaget melihat ribut ribut, sepasang lelaki perempuan tampak membentak di luar kepungan dan meroboh robohkan perajurit. Siapa pun yang tak minggir pasti mencelat dan terlempar. Dan ketika serangkum angin pukulan dahsyat menyambar ke kiri kanan dan perajurit tersibak bagai didorong tangan raksasa maka muncullah di situ suami isteri yang gagah menolong Hwa liong Lo kai,
“Pengemis bangkotan, tahan dan kuatkan dirimu. Kami datang!”
Hwa liong Lo kai tertegun. Sepasang Dewi Akherat juga tertegun dan terbelalak memandang pendatang baru itu, seorang laki laki gagah dengan wanta cantik. Yang laki laki mendorong dorongkan kedua tangannya sementara yang wanita meledak ledakkan sabuk berwarna kuning. Setiap menjeletar tentu membawa korban, jauh lebih ganas daripada si lelaki yang hanya mendorong dorongkan kedua lengannya itu. Dan ketika mereka terbelalak dan kaget serta marah tiba tiba sepasang Dewi Akherat dan Pek wan berseru hampir berbareng, mengenal siapa dua orang itu,
“Cheng giok Sian li....!”
“Sin liong Hap Bu Kok....!”
Semua orang kaget. Tiba tiba dua nenek Akherat melengking tinggi, berkelebat dan menghantam Hwa liong Lo kai. Dan karena Hwa liong Lo kai sendiri sedang tertegun dan bengong memandang dua orang itu tiba tiba Sin liong ciang atau Pukulan Angin Sakti mengenai kepalanya.
“Dess!
Kakek ini mencelat. Hwa liong Lo kai mengeluh dan terbanting roboh, sayang sekali Lutung Putih mengejarnya dan melepas roda, menghantam dadanya dan kakek itu muntah darah. Untuk kedua kali Hwa liong Lo kai terluka dan tentu saja keadaannya berbahaya, tak dapat bangun karena seluruh tubuhnya serasa remuk. Apalagi racun dari Ang tok ciang sudah meresap dan masuk semakin dalam. Tapi ketika nenek Akherat hendak menghabisi kakek itu dan tusuk konde mereka menyambar bercuit tiba tiba sinar kuning meledak dan membentak nyaring membuat dua nenek itu terjengkang.
“Lepaskan! Minggir kalian, nenek nenek busuk. Enyah dan pergilah..... tar!”
Im kan Siang li menjerit, berteriak karena tusuk konde mereka tiba tiba terlepas, dibetot sinar kuning itu yang bukan lain selendang si wanita cantik adanya dan tahu tahu wanita itu sudah berkelebat dan menyerang mereka, membentak dan melampaui kepala semua pengawal. Dan ketika dua nenek itu terkejut dan terguling guling melompat bangun maka wanita itu sudah berlutut dan menolong Hwa liong Lo kai.
“Bagaimana, kau tak apa apa, Lo kai? Masih dapat bertarung?”
“Tidak, aku.... uh, aku keracunan, Cheng giok. Pek wan melepas Ang tok coanya dan aku terpukul, lebih baik kau selamatkan anak laki laki itu dan tolong dia....!”
“Siapa dia?”
“Muridku, putera Sin Lun!”
“Apa?”
“Benar, tolong dia, Cheng giok. Selamatkan anak itu dan tinggalkan aku..... awas!” Hwa liong Lo kai terkejut, berseru tertahan ketika tiba tiba si Lutung Putih menyerang dari belakang. Kakek kurus itu berbuat curang dengan menghantam kepala wanita ini.
Tapi ketika Cheng giok Sian li menggerakkan tangan ke belakang dan tanpa menoleh wanita itu dapat menolak serangan lawan tiba tiba Pek wan menjerit dan roboh bergulingan membuat si pengemis tertegun.
“Kau.... ah, bagaimana dapat selihai ini? Dimana kau dapatkan kemajuan itu, Cheng giok?”
“Hm, lama dibicarakan, Lo kai. Lebih baik kau ikut suamiku dan biar digendong!” Cheng giok Sian li lagi lagi menangkis sebuah serangan, menolak pukulan Sin hong ciang dan Hwa liong Lo kai tertegun. Pukulan itu baginya amat berbahaya namun dengan enak dan gampang saja rekannya ini dapat menghalau. Apa yang dilihat jauh berbeda dengan duapuluh tahun yang lalu, Cheng giok Sian li tiba tiba saja menjadi begini hebat dan lihai! Dan ketika kakek itu tertegun dan Cheng giok Sian li mengangkat tubuhnya tiba tiba wanita ini telah melempar Hwa liong Lo kai ke arah laki laki gagah.
“Hap ko. Terima teman kita ini.....!”
Si Naga Sakti, Sin liong Hap Bu Kok tiba tiba membentak. Saat itu dia mendorong dorongkan kedua lengannya menghalau setiap pengawal yang mau menyerang. Dari jauh saja dia sudah dapat menolak dan membanting mereka itu, betapa hebatnya. Dan ketika isterinya melempar tubuh Hwa liong Lo kai dan di sana selendang isterinya menjeletar menghalau siapa saja yang hendak mengganggu tubuh Hwa liong Lo kai di udara maka laki laki gagah itu menerima dan sudah menangkap pengemis ini, tertawa dan di sana Im kan Siang li serta teman temannya terkejut.
Mereka marah dan tentu saja kembali menyerang, Kwi goanswe memungut pedangnya lagi dan membacok wanita itu. Tapi ketika Cheng giok Sian li menyentil dan kuku jarinya bertemu pedang tebal di tangan Kwi goanswe tiba tiba pedang itu patah menjadi tiga potong. Dan, sementra jenderal itu terkejut dan bengong memandang tiba tiba kaki wanita itu bergerak dan terlemparlah dia oleh sebuah tendangan kilat, disusul pekik dan jerit kaget nenek Akherat yang mendapat lecutan selendang.
Entah bagaimana dalam waktu yang hampir bersamaan itu tiba tiba saja Cheng giok Sian li mampu melancarkan dua serangan sekaligus. satu ke Kwi goanswe sedang yang lain kearah dua nenek ini. Dan ketika dua nenek itu berteriak dan bergulingan sambil memegangi telinganya maka Cheng giok Sian li bergerak dan....... Sin Hauw yang ada di tangan pembantu Kwi goanswe tahu tahu dirampasnya.
“Hei..... dess!”
Pengawal itu pun mencelat. Cepat dan sebat luar biasa wanita ini telah menyambar Sin Hauw, bergerak dan tiba tiba berkelebatan. Bagai walet menyambar nyambar saja tahu tahu tubuhnya telah membagi bagi pukulan dan tendangan. Dan ketika selendang kuningnya juga menjeletar jeletar dan nenek Akherat maupun Pek wan bergulingan berteriak teriak maka semua orang terkejut dan gentar dihajar wanita ini.
“Aduh, keparat....!”
“Aih, celaka.....”
Semua orang terlempar jatuh bangun. Cheng giok Sian li telah membagi bagi pukulannya bagai orang membagi bagi roti, siapa yang terkena pasti roboh dan menjerit. Baik selendangnya maupun pukulannya selalu membuat orang berteriak. Dan ketika di sana suaminya tertawa bergelak dan wanita ini menghajar siapa yang ada di mukanya maka Hwa liong Lo kai terbelalak dan kagum.
“Ah, bagaimana isterimu bisa demikian lihai, Bu Kok? Bagaimana kalian berdua bisa memiliki sinkang demikian luar biasa?”
“Ha ha!” Sin liong si Naga Sakti terbahak. “Kami berdua melatih ilmu baru, Lo kai. Dan dengan ilmu ini kami berdua mendapat kemajuan pesat!”
“Ilmu apa? Dari mana?”
“Tak usah kau tahu, pokoknya kau selamat dan kami berdua membebaskanmu dari tempat celaka ini.....des dess!” si Naga Sakti menggerakkan tangannya, mengibas ke kiri dan robohlah belasan orang yang tersapu angin pukulannya. Lalu ketika ia bergerak ke kanan dan duapuluh orang juga mencelat beterbangan maka semua pasukan mundur dan gentar.
“Ha ha, siapa mau dihajar? Siapa mencari penyakit? Hayo, ke sini, tikus tikus busuk. Biar isteriku di sana menghajar Kwi goanswe dan nenek Akherat!”
Ributlah semua orang. Setelah Im kan Siang li juga berteriak dan roboh oleh ledakan selendang maka Pek wan dan Kwi goanswe gentar. Dua nenek yang mereka andalkan itu kini mengaduh aduh. Mereka tak berdaya di bawah pukulan Cheng giok Sian li. Pukulan mereka sendiri, Sin hong ciang, tampak membalik dan selalu tertolak bila Cheng giok Sian li menggerakkan lengannya, lengan kanan karena yang kiri dipakai memondong Sin Hauw.
Dan ketika dua nenek itu juga kehilangan tusuk kondenya karena dengan cepat dan ganas Cheng giok Sian li menggubat dan melempar senjata mereka maka dua nenek itu mundur, pucat dan akhirnya melarikan diri dan tinggallah Kwi goanswe bersama Pek wan. Dua orang ini terkejut dan berseru tertahan, jago mereka sudah terbirit-birit. Dan karena jelas mereka tak dapat melawan dan kelihaian Cheng giok sian li maupun suaminya tak ada yang dapat menandingi akhirnya Kwi goanswe mundur dan pasukan ditarik ke bawah.
“Lari, semua mundur....!”
Gegap gempitalah semua orang. Setelah Kwi goanswe memberi aba aba dan jenderal itu sendiri juga memutar tubuhnya maka pasukan seolah didorong dari atas, dahulu mendahului dan mereka berteriak teriak melarikan diri, Apa yang diperintahkan tak perlu diulang lagi dua kali. Dan ketika semua orang mundur dan Cheng giok Sian li berdiri tegak maka wanita itu menyimpan selendangnya mengusap keringat.
“Bedebah, kuhajar kalian nanti, tikus tikus busuk. Berani benar kalian mengganggu sahabat ku!”
“Sudahlah,” si suami menurunkan Hwa liong Lo kai. “Kakek ini luka luka, Sian li, juga keracunan. Sebaiknya tolong dia dan kita obati.”
Hwa liong Lo kai pingsan. Kiranya dalam menerima luka lukanya tadi kakek ini tak kuat lagi, melihat sepak terjang Cheng giok Sian li dan akhirnya terkulai, lemas di pondoagan si Naga Sakti. Dan ketika dua orang itu masuk dan berkelebat ke gubuk maka Sin Hauw juga diturunkan dan diperiksa. Anak ini luka bahunya tapi tidak begitu parah, Cheng giok Sian li sudah membalutnya dan menyadarkan anak itu. Dan begitu Sin Hauw sadar dan mengeluh membuka mata tiba tiba anak ini meloncat bangun.
“Siapa kalian?” bentaknya kaget. “Mana suhu dan enciku?”
Dua orang itu bersinar sinar. Melihat kegagahan dan keberanian Sin Hauw tiba tiba mereka tertarik, yang lelaki tersenyum dan menunjuk Hwa liong Lo kai, yang masih pingsan. Dan ketika anak itu melihat gurunya dan tertegun mengamati maka si Naga Sakti Hap Bu Kok memegang bahunya.
“Kau putera Sin Lun?”
“Benar,” Sin Hauw tergagap. “Locianpwe siapakah?”
“Aku sahabat gurumu, anak baik. Dan juga sababat mendiang ayahmu!”
“Hm, tak usah bercakap cakap. Kita lihat keadaan Hwa liong Lo kai!” Cheng giok Sian li, yang melihat kakek itu tak siuman juga tiba tiba bergerak. Suaminya tadi sudah menurunkan kakek ini dan mengobati, menotok jalan darah di pangkal lengannya namun kakek itu masih belum sadar. Maka bergerak dan berlutut di samping kakek ini wanita cantik itu memeriksa, berkerut dan memanggil suaminya agar mendekat.
Sin liong Hap Bu Kok tak tahu kalau racun Ang tok coa mengeram di tubuh kakek ini, mengira Hwa liong Lo kai terkena pukulan biasa saja. Maka begitu melihat lengan kehitaman itu berobah merah dan muka Hwa liong Lo kai juga tiba tiba seperti di bakar maka si Naga Sakti ini terkejut juga.
“Eh, ada apa dia gerangan? Keracunan?”
“Benar, menurut keterangannya ia terkena racun Ular Merah, Hap ko. Aku khawatir karena dia tak sadar juga!”
“Racun Ular Merah?”
“Benar, tapi aku tak melihat ular itu. Keparat, siapa yang membawa Ang tok coa? Apakah nenek siluman itu?”
“Ah, kalau begitu coba kau bantu kerahkan sinkangmu di lengan, Sian li. Aku di dada!”
“Baik,” dan sang isteri yang sudah meletakkan telapaknya di lengan Hwa liong Lo kai lalu mengerahkan sinkang mengobati kakek ini, suaminya di dada dan segera dua orang itu menolong Hwa liong Lo kai. Tapi ketika Sin liong Hap Bu Kok menempelkan lengan di dada kakek ini dan merasa denyut jantung yang lemah tiba tiba wajah si Naga Sakti itu berobah.
“Celaka, racun sudah memasuki katup pembuluh jantungnya!”
“Apa yang kau rasakan?”
“Denyut yang lemah, Sian li. Jantung yang hampir tidak bergerak gerak lagi!”
Cheng giok Sian li terkejut. Memeriksa detak jantung di nadi pergelangan kakek itu wanita ini pun berubah, mukanya pucat namun tiba tiba dia mengeluarkan sebutir pil merah. Dan ketika dia mendorong obat itu ke mulut si kakek maka wanita ini berharap pertolongannya berhasil.
“Keparat jahanam, Ang tok coa adalah ular yang betul betul amat berbisa!”
“Sudahlah, kita tunggu sejenak, Sian li. Minimal kita mengharap kesadarannya!”
Benar saja, lima menit setelah dijejali obat tiba tiba Hwa liong Lo kai mengeluh. Kakek itu membuka mata namun pandangannya redup, menyeringai dan terengah perlahan. Dan ketika dua suami isteri itu dilihatnya dan Sin Hauw tak tampak tiba tiba kakek ini mengerang. “Mana muridku? Mana Sin Hauw?”
Si Naga Sakti menoleh. “He, mana anak itu?”
Sin Hauw tak ada. Kiranya ketika suami isteri itu menolong gurunya tiba tiba Sin Hauw berkelebat keluar, anak ini tak melihat encinya dan karena itu mencari. Maka begitu gurunya menanya dan Sin Hauw tak ada maka si Naga Sakti Hap Bu Kok berkelebat keluar.
“Hei, kau...!” serunya. “Kembali, anak baik. Gurumu siuman! Ada apa kau berkeliaian di sini?”
Sin Hauw kedapatan di pinggang gunung. Hap Bu Kok mengerutkan kening dan mau marah memaki anak itu. Tapi ketika Sin Hauw berkata bahwa dia mencari encinya maka laki laki gagah ini tertegun.
“Encimu?”
“Ya, enciku, locianpwe. Di mana dia?”
“Ah, aku tak tahu. Sebaiknya temui gurumu dulu, anak baik, Gurumu mencari carimu!” laki laki ini menyambar Sin Hauw, bergerak dan sudah membawa anak itu naik ke atas. Dan ketika Hwa liong Lo kai melihatnya dan nanar dengan pandangan redup tiba tiba Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut.
“Maaf, suhu. Teecu (murid) mencari enci Kin...”
“Hm, Hwa Kin? Ya, mana dia.....?”
“Entahlah, aku tak tahu, suhu. Mungkin.... mungkin dibawa musuh. Atau dibunuh!” Sin Hauw tak dapat menahan air matanya, tiba tiba menangis dan ditahanlah sedu sedan di mulut anak itu. Sin Hauw sebenarnya ingin berteriak dan memaki Kwi goanswe. Dia cemas dan gelisah bukan main tak melihat encinya di situ. Tapi melihat gurunya seperti itu dan si Naga Sakti Hap Bu Kok serta isterinya menolong suhunya maka anak ini menahan jeritan hati sendiri untuk mencoba mengerti keadaan gurunya.
“Kalian tak menolong anak perempuan itu?” Hwa liong Lo kai tiba tiba memandang Cheng giok Sian li, menyesal dan bertanya lirih.
Tapi Cheng giok Sian li yang mengerutkan kening dan menggeleng perlahan justeru berkata, “Tidak, yang kau minta adalah anak ini. Lo kai. Bukan anak lain.”
“Ah, itu salahku. Anak ini mempanyai kakak perempuan. Sin Lun mempunyai dua orang anak, satu adalah muridku ini sedang yang lain adalah Hwa Kin, encinya!”
“Maaf, aku tak tahu, Lo kai. Tapi urusan itu dapat dibicarakan nanti. Sebaiknya kau duduk dan obati dulu lukamu!”
“Augh, percuma. Aku… aku merasa dadaku nyeri, Cheng giok. Aku merasa lemah dan tak dapat bangkit duduk...!” Hwa liong Lo kai kesakitan, merintih dan tiba tiba dia pun terbatuk. Segumpal darah membuat semua orang terkejut karena darah itu berwarna hitam, batuk lagi dan tergulinglah kakek itu oleh lukanya yang parah. Dan ketika dua suami isteri itu terkejut dan meloncat maju tiba tiba Sin Hauw mengguguk dan menubruk suhunya.
“Suhu, jangan mati. Jangan tinggalkan teecu.....!”
Si Naga Sakti mencengkeram anak ini. Hwa liong Lo kai yang terguling dan batuk batuk menyemprotkan darah membuat laki laki itu khawatir akan racun yang berbahaya. Sin Hauw disuruh menjauh dan pendekar itu menotok dada Lo kai. Dan ketika kakek itu agak tenang namun mukanya berobah kehitaman maka kakek ini menyeringai dan mengerang.
“Terlambat, jantungku tertutup, Naga Sakti... katupnya tak bekerja baik.....!”
“Hm, kau telan lagi pil ini, Lo kai. Cobalah!” si Naga Sakti mengeluarkan pil hijau, harum dan ditelan lagi pil itu terloncat, tak mau masuk dan ternyata kerongkongan kakek itu telah tarsumbat, dicoba lagi namun untuk dua tiga kali tetap gagal. Dan ketika laki laki itu terkejut karena leher kakek ini bengkak maka Lo kai menyeringai berkata padanya,
“Aku tak dapat menelan apa apa lagi. Kelenjar leherku bengkak, makan atau minum tak dapat kulakukan!”
“Ah, bagaimana kalau begini, Lo kai? Kau memangnya ingin mampus?” Cheng giok Sian li geregetan, memaki kakek itu namun Hwa liong Lo kai malah tertawa. Pedih dan pilu tawa kakek itu. Dan ketika wanita ini mencoba lagi dan mendorong dengan air tiba tiba obat itu malah keluar dan menyemprot wajah wanita ini.
“Nah,” Lo kai terengah engah. “Aku bukannya ingin mampus, Sian li. Tapi Dewa Maut rupanya sudah menghendaki diriku. Kau minggirlah, dan biarkan muridku maju!”
Wanita itu pucat. Kalau bukan Lo kai yang memintanya tentu dia maju lagi, penasaran dan tak perduli pada semprotan obat di mukanya. Sang suami maju dan memberikan saputangan. Dan ketika wanita itu membersihkan mukanya dan Sin Hauw maju berlutut maka Hwa liong Lo kai gemetar memegang bahu anak itu.
“Sin Hauw, gurumu tak ketulungan. Maukah kau menerima sebuah permintaanku?”
“Tidak!” Sin Hauw menjerit. “Kau tak akan apa apa, suhu. Kau akan sembuh!”
“Jangan bodoh. Kalau aku dapat ditolong tentu si Naga Sakti Hap Bu Kok itu akan menolongku, anak baik. Tapi dia diam tertegun di sana. Lihat, mereka itu calon gurumu yang baru!”
“Apa?” Sin Hauw terkejut. “Sin liong Hap Bu Kok?”
“Ya, dan itu isterinya, Sin Hauw. Wanita hebat Cheng giok Sian li!”
”Ooh!” dan Sin Hauw yang baru mengerti sekarang dan tertegun tiba tiba memandang dua suami isteri itu...
“Lepaskan adikku!” gadis ini mengira Sin Hauw ditangkap. “Lepaskan dia, kakek siluman. Atau kau kubunuh....!” dan Hwa Kin yang menggebuk serta memukuli kakek itu tiba tiba kalap dan berteriak teriak minta agar adiknya dilepaskan, marah dan menjerit jerit namun kakek itu tertawa.
Dengan gerakan halus tahu tahu kakek ini mendorong gadis itu, yang terjengkang namun tidak terluka. Dan ketika Hwa Kin mengeluh sementara Sin Hauw roboh pingsan maka kakek itu menyambarnya kembali dan terkekeh. “Heh heh, jangan khawatir, anak manis. Aku tak menangkap adikmu melainkan justeru melindunginya. Kau kemarilah, lihat aku menolong kalian bardua dan jangan menangis!”
Hwa Kin tertegun. Kakek ini mengusap wajahnya dan tertawa, bajunya tambal tambalan namun jelas sikapnya bukan seperti seorang pengemis. Sorot matanya lembut namun berwibawa, menggetarkan perasaannya dan teduhlah gadis itu ketika dibelai dan diusap. Dan ketika kakek itu memberikan adiknya dan menyuruh dia membawa Sin Hauw maka gadis ini tersedu memandang mayat ibunya.
“Sudahlah, jangan khawanr,” kakek itu mengbibur. “Ibumu pun dapat kubawa, anak manis. Dan kita tinggalkan tempat celaka ini.”
“Hei!” Kwi Bun membentak. “Jangan bicara seenakmu disini, jembel tua bangka. Sebutkan namamu dan serahkan dua orang itu!”
“Heh heh, kau Kwi kongcu?” kakek itu malah bertanya. “Sombong dan angkuh seperti bapakmu, bocah. Tapi aku tak mau berurusan denganmu.”
“Keparat!” Kwi Bun berkelebat, melihat kakek itu bergerak mau pergi. “Tangkap dia pengawal. Dan rampas pula Sin Hauw dan encinya itu!” dan Kwi Bun sendiri yang bergerak dan menyerang kakek ini tiba tiba memanggil pengawal dan mengeroyok pengemis itu, tidak takut akan kelihaiannya tadi dengan mematahkan tombak seorang pengawal, yang mau membunuh Sin Hauw. Tapi begitu kakek ini tertawa dan berkelebatan cepat tiba tiba Kwi Bun dan pengawalnya didorong jatuh, terbanting satu per satu.
“Minggir… plak buk bukk!”
Kwi Bun terkejut. Dengan gampang dan mudah kakek itu merobohkannya dengan tamparan ringan, mereka semua terpelanting namun bocah itu bangun lagi, berteriak dan menyuruh pengawalnya bangkit mengeroyok. Tapi ketika kakek itu bergerak dan kembali mereka semua terbanting maka kakek ini membentak agar mereka berhenti, mulai tampak kewibawaannya.
“Berhenti atau kalian semua akan kupatahkan tulang tulangnya!”
Kwi Bun dan pengawalnya gentar. Setelah dua kali mereka dirobohkan begitu mudah tentu saja anak laki laki ini tak berani nekad, apalagi kakek itu mengancam akan mematahkan tulang tulang mereka, hal yang tentu akan membuat mereka kesakitan. Dan ketika mereka tertegun dan Kwi Bun nampak pucat tiba tiba berkelebat bayangan Kwi goanswe yang mendengar ribut ribut itu.
“Kwi Bun, apa yang terjadi?”
Kwi Bun langsung melapor. Anak ini girang menyambut ayahnya, menuding dan menunjuk kakek pengemis itu. Dan begitu Kwi goanswe menoleh dan kelihatan terkejut tiba tiba jenderal tinggi besar ini berobah mukanya.
“Kau?” suaranya jelas menandakan kaget. “Ada apa kau ke sini, Lo kai (Pengemis Tua)? Mau membuat ribut?”
“Ha ha, yang membuat ribut bukan aku, goanswe, melainkan puteramu. Tanyalah puteramu bagaimana aku tiba tiba di sini.”
“Jembel ini muncul seperti setan!” Kwi Bun berseru. “Aku tak tahu kedatangannya, yah. Tapi dia merampas Sin Hauw dan encinya.”
“Hm!” jenderal itu bersinar sinar, melihat mayat Sin hujin. “Siapa yang membunuh?” tanyanya kaget.
“Tua bangka ini?”
“Ha ha, kau selalu menimpakan kesalahan kepadaku, Kwi goanswe. Justeru pengawalmu dan puteramu itulah yang membunuh wanita ini. Aku datang karena melihat ketidakadilan di sini!”
Jenderal itu berobah. “Kau yang melakukan?” pandang matanya tajam ke Kwi Bun. “Kau yang membunuh?”
“Tidak,” Kwi Bun terkejut, menggeleng cepat. “A wi yang melakukan, ayah. Wanita itu terbunuh karena tidak disengaja. Dia menyerangku dan A wi mencegah, menggerakkan tombak tapi kelepasan. Dia....”
Kwi goanswe menggerakkan kakinya. Kwi Bun yang baru bicara tiba tiba ditendang, menjerit dan terlempar. Dan ketika anak itu bergulingan dan kaget menerima kemarahan ayahnya tiba tiba jenderal ini bergerak pula ke arah A wi, pengawal yang digigit putus sebelah telinganya itu. Dan begitu jenderal ini menggerakkan tangan dan pengawal itu menjerit tiba tiba kepalanya pecah dan pengawal itu pun tersungkur roboh, tewas.
“Aduh!” Jeritan itu hanya sekali terdengar.
Kwi goanswe telah berkelebat kembali di tempatnya, merah padam dan semua pengawal pun pucat. Dan ketika Kwi Bun merintih dan anak laki laki itu bersembunyi maka Kwi goanswe sudah menghadapi kakek pengemis ini.
“Nah,” katanya. “Aku telah menghukum yang bersalah, Lo kai. Harap kau pergi dan kuselesaikan urasan di sini, serahkan dua anak itu!”
“Tidak!” Hwa Kin tiba tiba berseru. “Aku tak mau bersamamu lagi, paman Kwi. Kau dan anakmu telah menyusahkan kami. Kau pembunuh!”
“Hm!” jenderal itu marah. “Yang membunuh adalah A wi, Hwa Kin. Dan kau lihat aku telah menghukum pengawalku!”
“Tapi kau tetap bertanggnng jawab. Kwi Bun menyiksa dan menghajar Sin Hauw. Anakmu tak tahu malu dan menjadi sebab dari semuanya ini!”
“Lalu apa yang kau mau?”
“Bunuhlah Kwi Bun, bayar hutang jiwa ibu ku!”
“Keparat!” jenderal ini bergerak. “Kau kurang ajar, Hwa Kin. Kalau begitu kau ke sini lah dan lihat apa yang kulakukan!” namun pengemis jembel yang bergerak menangkis pukulan Kwi goanswe tiba tiba berseru agar jenderal itu mundur.
“Jangan memaksa,” kakek ini tertawa. “Gadis ini tak mau bersamamu, goanswe. Lepaskan dia dan kau pergilah... duk!”
Kwi goanswe terhuyung, marah membentak kakek itu namun kakek ini sudah melindungi Hwa Kin. Dua mata beradu dan Kwi goanswe jelas gusar, mau menyerang tapi ragu. Dan ketika kakek itu tertawa sambil mengibaskan lengan maka pengemis tua ini berkata, tenang dan kalem,
“Goanswe, sebaiknya biarkan kami pergi. Atau kau akan malu di lihat para pengawalmu.”
Jenderal ini menggigil. “Kau lancang, Hwa liong Lo kai!” bentaknya. “Kau selalu suka mencampuri urusan orang lain! Tidak, kali ini kau harus pergi dan biarkan dua anak itu di sini. Suka atau tidak terpaksa aku menahan mereka, atau aku akan menghadapimu dan kau boleh robohkan aku.”
“Hm, kau tak ingat kepandaian sendiri?”
“Keparat, jangan menghina, pengemis busuk. Biar pun kau lihai namun aku tidak takut....wut!” dan Kwi goanswe yang bergerak ke depan melepas pukulannya tiba tiba menyambar kakek ini dan Kedua lengan menghantam, mendorong dan meneengkeram dan tiba-tiba kesepuluh jarinya sudah mendekati pundak si kakek.
Hwa liong Lo kai (Pengemis Naga Kembang) tersenyum dan mengelak, begitu mudah tapi lawan memindahkan kaki, berturut turut maju mundur dan tetap mengejar lawan. Dan ketika kakek itu tak dapat mengelak kecuali menangkis maka kakek itu sudah melakukannya.
“Dukk!”
Kwi goanswe terpental. Untuk kedua kali jenderal tinggi besar itu berteriak keras, berjungkir balik namun sudah menyerang lagi, dengan tendangan dan iapun cepat. Dan ketika jenderal ini bergerak kian cepat dan lawan menangkis sambil mengelak sana sini maka berkali kali jenderal itu menahan sakit.
“Duk dukk!”
Jenderal ini marah. Lawan belum membalas dan Sin hauw pun masih dipondongnya, jadi hanya dengan sebelah lengan pengemis itu menghadapinya. Tapi ketika ia mulai bergerak cepat dan mencabut senjatanya, sebuah pedang berbadan lebar tiba tiba jenderal itu membentak pengawalnya dan Kwi Bun agat mengeroyok.
“Maju kalian, bunuh kakek ini.... sing wut!” Jenderal Kwi menyerang lebih ganas, menyerang bertubi tubi dan bergeraklah para pengawal membantu majikannya itu. Kwi Bun, yang tadi bersembunyi di balik pengawal ayahnya juga bergerak, maju menyerang dan dikeroyoklah Hwa liong Lo kai dengan serangan serangan cepat.
Kakek itu mulai berkelebatan dan terpaksa ia menggerakkan kaki tangannya menangkis sana sini, menampar dan membalas dan para pengawal menjerit tertempur oleh pukulannya. Tapi ketika Kwi goanswe mendesak dan para pengawal disuruh bangkit lagi maka kakek ini mengeluarkan suara dari hidung dan berseru,
“Yang lain lain harap minggir, atau aku akan membuat kalian roboh tak dapat bangun lagi!”
“Keparat, jangan hiraukan omongannya, pengawal. Serang dan keroyok kataku!” Kwi goanswe membalas membentak pengawalnya agar tetap menyerang dan tentu saja pengawal lebih takut terhadap atasannya daripada kakek itu.
Dan ketika mereka menyerang dan bangkit lagi mengeroyok kakek ini maka Kwi goanswe beringas memutar senjatanya, membacok dan menusuk dan Hwa liong Lo kai mulai berkilat. Diantara semuanya yang paling berbahaya tentu saja Kwi goanswe, jenderal itu paling hebat dan berbahaya. Namun karena bantuan pengawal jelas merepotkannya dan mereka tak mau minggir mentaati seruannya maka kakek ini membentak dan tiba-tiba lenyap berkelebatan.
Tiga pengawal yang ada di sebelah kiri tiba tiba roboh menjerit, mereka orang pertama yang menerima bukti ancaman kakek ini ditampar dan tulang pundaknya patah. Dan ketika tiga pengawal itu terlempar dan Hwa liong Lo kai bergerak ke sana ke mari maka berturut-turut tujuh pengawal lain terpelanting, berteriak dan mengaduh aduh karena mereka pun dipatahkan tulang kakinya. Hwa liong Lo kai selalu menghindari bacokan atau serangan Kwi goanswe, menyerang dan mendahului pengawal meroboh robohkan mereka.
Dan ketika sekejap kemudian belasan pengawal tumpang tindih tinggal Kwi goanswe dan puteranya maka Kwi Bun mendapat sebuah tendangan yang membuat anak itu menjerit terlempar, lepas persendian sikunya dan anak itu pun roboh mengaduh aduh. Dan ketika tinggal Kwi goanswe sendiri yang terbelalak dan marah maka kakek itu tergerak ke arahnya dan menyentil pedangnya dengan kuku jari.
“Trang!”
Selesailah sudah pertandingan ini. Kwi goanswe terlepas pedangnya dan tersurut mundur, terhuyung, mata beringas dan jenderal itu menahan sakit. Telapaknya berdarah oleh sentilan kakek itu. Dan ketika Hwa liong Lo kai mengebutkan baju dan tersenyum menghadapi jenderal itu kakek ini berkata,
“Nah, kau lihat, Kwi goanswe. Kalau aku mau aku dapat membunuhmu. Sekarang apakah aku tak boleh pergi bersama dua anak ini?”
“Keparat, kau akan kulaporkan, Lo kai. Sepak terjangmu menambah dosa!”
“Hm, dosa atau tidak aku tak perduli. goanswe. Sekarang kau lihat bahwa kau dan pengawalmu tak berdaya. Kau boleh laporkan pada atasanmu tentang kehadiranku, dan kalau mereka mau mencari penyakit boleh saja mencari aku!” lalu tersenyum menyambar Hwa Kin kakek ini berseru, “Kau ikut aku, anak baik. Dan mari ku gendong di belakang!”
“Nanti dulu,” gadis itu berseru. “Bagaimana ibu, locianpwe? Apakah harus ditinggal?”
“Tidak. mayat ibumu kupanggul di sebelah sini, anak baik. Dan kau di belakang. Ayolah....!” dan Hwa Kin yang disambar serta mencelat di punggung si kakek tahu tahu sudah menempel dan melekat di situ, tertegun dan kagum namun gadis ini girang. Hwa liong Lo kai telah menyambar mayat ibunya dan diletakkan di pundak sebelah kanan. Sin Hauw di sebelah kiri. Dan ketika kakek itu membalik dan berkelebat pergi tiba tiba Hwa liong Lo kai menjejakkan kakinya dan lenyap di luar.
“Kwi goanswe sampai ketemu lagi. Maaf untuk semua kejadian ini!”
Kwi goanswe mendongkol. Dia marah namun tak dapat berbuat apa apa, mendelik melihat kepergian kakek itu. Tapi ketika puteranya merintih dan Kwi Bun tampak kesakitan maka jenderal ini bergerak dan menolong puteranya itu, membetulkan letak siku yang salah dan Kwi Bun menjerit. Perbuatan itu membuatnya seakan disengat listrik tegangan tinggi, sakit namun sekejap kemudian hilang. Dan ketika pengawal yang lain juga merintih namun jenderal itu malah membagi bagi tendangan dan pukulan maka pengawal berteriak dan jenderal itu pun berkelebat masuk.
“Kalian gentong gentong kosong. Pandai meminta tapi tak pandai memberi!” dan sang jenderal yang masuk dengan muka merah lalu menampar pula puteranya di sudut, minta agar Kwi Bun hari itu juga bersiap ke kota raja. Sang ayah hendak melapor datangnya Hwa liong Lo kai tadi dan anak laki laki ini menjublak. Dan ketika ayahnya bersiap dan Kwi Bun juga bergegas mengikuti ayahnya maka anak laki laki ini bertanya.
“Siapa sebenarnya dia, ayah? Kenapa kau begitu takut dan gentar?”
“Keparat, jaga mulutmu, Kwi Bun. Kau harus tahu bahwa kakek itu seorang di antara Tiga Pelindung Chu Wen. Dia pengemis berbahaya dan untung tidak membunuh ayahmu!”
“Chu Wen? Jadi dia bekas pengikut pemberontak?”
“Ya, dan kita harus melaporkan ini pada Coa ongya, Kwi Bun. Hayo kau siap dan jangan banyak bicara lagi!” dan sang jenderal yang membentak serta menyambar puteranya tiba tiba berkelebat dan hilang meninggalkan gedung, menyuruh pembantunya menjaga di situ dan komandan pun melongo. Semua kejadian yang membuat marah jenderal itu membuat kepala pengawal tak berani banyak bertanya. Dan begitu Kwi goanswe lenyap dan berkelebat membawa puteranya maka di sana Hwa liong Lo kai sendiri sudah terbang dan meluncur ke selatan.
* * * * * * *
“Cukup, sekarang kau turun!” kakek ini berhenti, menepuk pantat Hwa Kin dan gadis itu melompat dengan muka merah. Kakek itu berlari cepat sehari semalam, tidak berhenti dan kini mereka berhenti di sebuah lereng gunung, tak diketahui apa namanya. Dan ketika Sin Hauw masih pingsan sementara kakek itu sudah menurunkannya bersama mayat wanita malang itu maka Hwa Kin menangis dan teringat nasib buruknya.
“Locianpwe, di manakah kita sekarang? Tempat apa ini?”
“Diamlah, ini Cin ling san (Pegunungan Cin Ling), anak baik. Ini tempat tinggalku dan kau menjalani hidup baru di sini.”
“Bagaimana Sin Hauw? Bagaimana ibuku?”
“Eh, ibumu telah meninggal, anak baik, tentu saja kita akan menguburnya! Sedang Sin Hauw, hm......aku akan menyadarkannya dan kau tenang di sini!” kakek itu bergerak, menotok dan mengurut pundak Sin Hauw dan akhirnya anak laki laki itu pun mengeluh.
Sin Hauw kelelahan dan babak belur oleb hajaran Kwi Bun, juga para pengawalnya yang tak tahu malu. Maka begitu Hwa liong Lo kai menyadarkannya dan anak itu membuka mata tiba tiba Sin Hauw mengeluh dan melompat bangun, terhuyung. “Mana Kwi Bun? Mana jahanam itu?”
“Sst, kau di sini. Sin Hauw. Tenang dan sadarlah!”
“Siapa kau?” Sin Hauw tertegun, memang belum mengenal kakek ini. “Di mana aku dan mana enciku?”
“Aku di sini,” Hwa Kin terisak. “Kita ditolong locianpwe ini. Sin Hauw. Kau dan aku diselamatkannya.”
“Ah, kau, enci? Mana ibu?”
“Itu....” dan begitu Hwa Kin menunjuk mayat ibunya tiba tiba Sin Hauw sadar dan berseru tertahan, teringat bahwa ibunya tewas oleh tikaman tombak pengawal Kwi goanswe. Anak itu terkejut dan menjerit kecil. Dan begitu dia berlari dan menubruk ibunya maka Sin Hauw tersedu sedu mengguncang mayat ibunya ini.
“Ibu.... ibu…. bangunlah, aku di sini...!”
“Tak mungkin,” Hwa liong Lo kai menepuk pundak anak itu. “Ibumu telah tiada. Sin Hauw. Sebaiknya kita kubur dan kau minggirlah…”
“Tidak! Mau kau apakan ibuku ini? Mau kau pisahkan dia dariku? Tidak, kau yang minggir, kakek pengemis. Kau tak boleh menguburnya karena dia akan hidup!” dan Sin Hauw yang menangis sambil mengguncang guncang mayat ibunya mendadak histeris dan memaki maki Kwi Bun, juga pengawal yang membunuh ibunya itu. Tapi ketika Hwa liong Lo kai menampar dan mendorong anak ini tiba tiba Sin Hauw terguling,
“Jangan bodoh! Ibumu tak mungkin hidup lagi, Sin Hauw. Orang yang mati tak mungkin kembali!” dan Sin Hauw yang terpekik ditampar kakek itu tiba tiba bangkit berdiri, kalap dan mau menyerang kakek itu namun Hwa liong Lo kai menotoknya. Dan ketika anak itu roboh dan Hwa Kin menangis bingung maka kakek ini menyuruh gadis itu menghibur adiknya. “Kaubawa dia, singkirkan dari sini. Aku akan mengubur ibu kalian dan jangan melihat!”
Hwa Kin mengguguk. Hwa liong Lo kai sudah menyuruhnya pergi. Sin Hauw berteriak teriak tapi encinya menarik, Dan ketika Hwa liong Lo kai menggerakkan tangannya dan sebatang ranting kering ditusuk dan ditancapkan ke tanah maka kakek itu mulai menggali dan Sin Hauw meraung raung, tak boleh ibunya dikubur karena berarti dia tak akan melihat wajah ibunya lagi. Hwa liong Lo kai mendesis dan menyuruh Hwa Kin lebih menjauh. Sin Hauw tak boleh melihat ibunya dikubur dan gadis itu tersedu sedu.
Dan ketika Sin Hauw dibawa menjauh dan anak itu berteriak teriak namun tak berdaya karena masih ditotok kakek pengemis itu akhirnya Hwa liong Lo kai telah menyelesaikan pekerjaannya, mengubur wanita itu dan baru kakek pengemis ini memanggil Hwa Kin. Segundukan tanah telah berada di situ dan gadis ini menangis, roboh dan akhirnya menguguk di makam yang masih merah itu. Dan ketika Sin Hauw dibebaskan dan menendang kakek itu namun ditampar akhirnya anak laki laki itu menjerit dan roboh bergulingan di makam ibunya.
“Kakek jahat, kau siluman keparat! Kau memisahkan kami ibu dan anak. Kau kejam. Kau tak berperikemanusiaan. Ah, akan kubuka kuburan ibuku. Biar dia bersamaku sampai aku mati pula!” dan Sin Hauw yang meraup serta menggaruk garuk kuburan tiba tiba hendak mengambil mayat ibunya, tentu saja membuat Hwa liong Lo kai mengerutkan alis sedang Hwa Kin sendiri terbelalak.
Apa yang hendak dilakukan Sin Hauw jelas perbuatan gila, anak itu sedang terguncang dan Hwa liong Lo kai membentak. Dan ketika Sin Hauw tak dapat dicegah dan tetap hendak menggali kuburan ibunya maka kakek ini berkelebat dan apa boleh buat membuat anak itu pingsan.
“Hwa Kin, adikmu masih terguncang. Sebaiknya kita keatas dan biar dia kurobohkan...... plak!” Sin Hauw mengeluh, terguling dan sudah disambar kakek itu dan Hwa liong Lo kai menarik pula gadis ini. Dan begitu Hwa Kin disendal dan diangkai ke atas tiba kakek itu telah terbang dan menuju puncak. “Diamlah, tenanglah ....jangan menangis lagi.....” kakek itu membujuk. menghibur sepanjang jalan dan akhirnya mereka tiba pula di puncak.
Di sini hawa pegunungan lebih menusuk tulang dan Hwa Kin menggigil, berketrukan giginya namun kakek itu meletakkan tangan di pundak, menyalurkan hawa hangat dan gadis itu tidak kedinginan lagi. Dan ketika kakek ini berkelebat dan meletakkan Sin Hauw di sebuah gubuk sederhana maka kakek itu menarik napas menyadarkan anak laki laki ini.
“Nah, sekarang kalian berdua tinggal di sini, Hwa Kin. Kau dan adikmu boleh tenang di tempat ini.”
Sin Hauw sadar, menggeliat dan membuka mata dan pertama kali yang dilihat adalah wajah kakek itu. Anak ini bangkit berdiri dan mau menyerang, tapi ketika encinya menangis dan mencengkeran pundaknya maka Hwa Kin berkata bahwa kakek itu adalah penolong mereka.
“Tahan, jangan marah marah. Sin Hauw. Hwa liong Lo kai adalah tuan penolong kita!” lalu menceritakan kejadian itu betapa kakek pengemis ini menyelamatkannya dari tombak pengawal Hwa Kin menutup dengan menahan sedu sedannya. “Kita selamat berkat pertolongan locianpwe ini. Karena dialah ibu kita dapat dikubur baik baik. Kita harus berterima kasih, Sin Hauw, dan ingat wejangan ibu akan budi!”
Anak itu tertegun. Setelah kemarahannya reda mendengar cerita encinya mendadak anak itu menjatuhkan diri berlutut. Mendahului encinya mengucap terima kasih anak ini menyatakan penyesalannya, maklumlah, dia sedang terbakar oleh perbuatan Kwi Bun dan terguncang oleh kematian ibunya. Tapi Hwa liong Lo kai yang tersenyum dan mengusap pundak anak ini justeru berair matanya menyuruh bangun.
“Sudahlah, aku mengenal jiwamu. Sin Hauw. Kau seperti ayahmu. keras dan berani mati. Tapi sekarang kau harus menurut kata kata lohu (aku).”
“Locianpwe siapakah?”
“Aku Hwa liong Lo kai....”
“Tidak, aku sudah tahu itu, locianpwe. Tadi enci memberi tahu. Tapi maksudku siapakah locianpwe yang dapat mengenal ayahku? Bagaimana dengan ayahku?”
“Hm, lohu adalah seorang diantara Tiga Pelindung mendiang Chu Wen, Sin Hauw. Lohu bekas pengikut pemimpin itu dan sahabat ayahmu.”
“Dapatkah locianpwe ceritakan?”
“Perlukah diceritakan?”
“Ya, aku ingin mendengarnya, locianpwe. Dan terus terang aku benci pada Kwi goanswe itu!”
Kakek ini menarik napas. Melihat kebencian dan sorot dendam di mata anak itu kakek ini menghela napas berulang ulang, apa yang dilihat cukup menggetarkan. Tapi mengangguk dan bangkit berdiri tiba tiba kakek ini berkata, “Sebelum kuceritakan apakah kalian berdua mau memenuhi sebuah permintaanku?”
“Locianpwe minta apa? Jiwa pun telah kau selamatkan, locianpwe. Kalau kau menghendaki terjun ke lautan api tentu akan kulaksanakan!”
“Ah, tidak,” kakek ini tertawa. “Aku tak meminta apa apa. Sin Hauw, melainkan maukah kalian berdua menemaniku, menjadi muridku.”
“Murid?”
“Ya, kau suka?”
“Ah, tentu, locianpwe. Sekarang juga aku meaanggilmu suhu!” dan Sin Hauw yang girang membenturkan dahinya tiba tiba memanggil kakek itu sebagai “suhu” (guru), girang dan tentu saja gembira bukan main karena kakek ini telah menyelamatkannya dari tangan Kwi goanswe. Berarti kakek itu dapat mengalahkan musuhnya dan tanpa melihat pun dia percaya. Maka begitu si kakek memintanya dan kebetulan anak ini suka maka tanpa ba bi bu lagi Sin Hauw menyatakan sedia menjadi murid, menjatuhkan diri berlutut dan membenturkan dahinya delapan kali. Dan ketika kakek itu berkata cukup dan mengangkatnya bangun maka Hwa Kin tertegun di sudut, tampaknya ragu.
“Kau seperti ayahmu.” kakak ini tertawa. “Bangkit dan duduklah. Sin Hauw. Syukur kalau kau mau menjadi muridku. Sedang kakakmu, hm .....!” kakek ini menoleh, memandang Hwa Kin. “Kau seperti ibumu, Hwa Kin. Berhati hati dan tidak gampang percaya orang!”
“Maaf,” gadis ini semburat. “Aku belum tertarik untuk belajar silat, locianpwe. Kalau Sin Hauw suka biarlah dia saja yang menjadi muridmu.”
“Kenapa begitu?” Sin Hauw terbelalak. “Suhu menghendaki kita berdua, enci. Dan tanpa ilmu silat kau menghadapi banyak bahaya!”
“Tidak,” Hwa Kin terisak. “Kau saja cukup, Sin Hauw. Kalau kau yang pandai dan belajar pada Hwa liong Lo kai ini tentu kelak kau dapat melindungiku juga. Aku biar begini saja.”
“Kau betul betul tak mau?”
“Sudahlah,” Hwa liong Lo kai tersenyum. “Encimu tak mau. Sin Hauw. Aku juga tak memaksa dan biarkan encimu dengan pendiriannya itu. Kelak dia akan tahu,” dan sabar memandang anak laki laki ini Hwa liong Lo kai lalu menyuruh Sin Hauw duduk, menceritakan siapa dia sebenarnya dan Sin Hauw mendengarkan. Ternyata kakek ini adalah satu di antara Tiga Pelindung kaisar Chu Wen, seorang tokoh yang dulu mengenal ayahnya dengan baik. Dan ketika kakek itu bercerita bahwa Chu Wen telah tewas dan dia bersama dua rekannya berpencar meninggalkan istana maka Sin Hauw tertegun.
“Siapa dua rekanmu itu, suhu? Di mana mereka sekarang?”
“Aku tak tahu, Sin Hauw. Tapi mereka adalah dua suami isteri yang lihai. Yang perempuan berjuluk Cheng giok Sian li (Dewi Permata Hijau) sedang yang lelaki adalah Sin liong Hap Bu Kok, si Naga Sakti. Kami bertiga menjadi pelindung Chu Wen tapi sayang sesuatu terjadi. Suami isteri itu meninggalkan istana dan aku sendiri menghadapi ratusan musuh. Dan karena tak mungkin aku melindungi kaisar seorang diri maka junjunganku akhirnya tewas dan aku juga pergi melepas kecewa.”
“Kenapa begitu? Bagaimana dengan ayah?”
“Mendiang ayahmu jelas seorang gagah, Sin Hauw, pemberani dan setia pada junjungan. Tapi karena waktu itu kacau dan kami berpisah maka kudengar akhirnya ayahmu itu ditangkap.”
“Ya, dan akhirnya dibunuh. Kwi goanswe itulah biang keladinya!”
“Aku tak tahu,” kakek ini menarik napas dalam. “Tapi kudengar seperti itu, Sin Hauw. Dan aku menyesal.”
“Kenapa dua suami isteri itu meninggalkan istana, locianpwe?” Hwa Kin tiba tiba bertanya.
“Hm!” kakek ini merah mukanya. “Urusan pribadi, Hwa Kin. Aku tak dapat menceritakannya karena kalian belum cukup dewasa.”
“Kenapa begitu?” gadis ini mengerutkan kening. “Aku sudah belasan tahun, locianpwe, bukan kanak kanak lagi!”
“Benar, tapi ini urusan laki perempuan, anak baik. Lohu malu menceritakannya dan harap kau tidak bertanya lagi.”
“Ooh!” dan Hwa Kin yang tiba tiba mengerti mendadak dapat menangkap dengan firasatnya bahwa rupanya ada peristiwa cinta di situ, melengos dan menunduk dan Sin Hauw memandang lurus.
Anak laki laki ini tak tahu dan dia heran. Tapi ketika gurunya mengangkat tangan dan minta agar mereka tak bertanya lagi maka bocah itu teringat ibunya dan mendesis, tubuh tiba tiba kedinginan karena angin gunung berhembus tajam. Suasana di puncak memang lain dengan di bawah, tempat itu semakin dingin dan Hwa liong Lo kai teringat. Dan ketika Hwa Kin juga berketruk dan lagi lagi menggigil maka kakek ini menyuruh Sin Kauw mengatur napas sementara Hwa Kin sendiri disuruh berdiang.
“Kau buatlah api unggun, biar Sin Hauw berlatih pernapasan.”
Gadis ini mengangguk. Dia cepat mencari ranting kering dan membuat api unggun, menyalakannya dan segera ruangan ini menjadi hangat. Dan ketika adiknya mulai berlatih pernapasan dan kakek ini memberi petunjuk sana sini maka Sin Hauw mulai belajar dan di bawah bimbingan kakek ini, dituntun dan hari hari esok dilewatkan keduanya bersama pengemis lihai ini, yang sebenarnya adalah seorang dari Tiga Pelindung mendiang kaisar Chu Wen, seorang tokoh dan jelas bukan orang sembarangan. Dan ketika sebulan lewat dengan cepat sementara minggu berganti minggu maka tak terasa dua tahun dilalui dan Sin Hauw menjadi anak laki laki tampan yang semakin gagah.
Hari itu Sin Hauw mendapat pelajaran baru. Silat tangan kosong hang houw ciang (Penakluk Harimau) dilatihnya, mandi keringat dan segar di bawah terik matahari pagi. Angin gunung yang berhembus perlahan malah membuat tubuhnya mengkilap, wajah berinar sinar dan Sin Hauw tampak serius melatih ilmu silat itu. Namun ketika dia menggerak gerakkan ke dua tangan dan kaki untuk mengikuti irama jurus mendadak terdengar tawa serak diusul berkelebatnya beberapa bayangan.
“Ha ha, inikah anak yang kau cari cari itu, goanswe. Mana Hwa liong Lo kai?”
Sin Hauw terkejut. Empat bayangan berkelebat di depannya dan tahu tahu dia sudah dikurung empai laki laki yang memandangnya tajam. Sin Hauw terkejut karena melihat satu diantaranya adalah jenderal Kwi, ayah Kwi Bun! Dan ketika anak itu tersentak dan mundur dengan mata berkilat tiba tiba lelaki di sebelah kiri, kakek tinggi kurus yang tertawa menyambarnya.
“Heh, ke sini kau, anak pemberontak. Panggil dan teriaki gurumu!”
Sin Hauw melotot. Disambar dan ditangkap kakek itu tiba tiba dia mengelak, membentak dan menangkis. Tapi ketika dia terpelanting dan roboh bergulingan maka kakek itu terkekeh dan menggerak gerakkan kedua lengannya, yang tiba tiba berkerotok!
“Heh heh, jangan main main, anak nakal. Kau berhadapan dengan Pek wan jin (Lutung Putih)!”
Sin Hauw kaget. Melompat bangun dan marah memandang kakek itu anak ini menyambar ranting, bergetar dan siap menyerang tapi tiba tiba gurunya berkelebat, mendengar ribut ribut itu. Dan ketika Hwa liong Lo kai muncul dan terkejut melihat siapa lawannya tiba tiba kakek ini berseru.
“Aih, Pek wan dan Kwi goanswe kiranya. Selamat datang! Apa keperluan kalian, goanswe? Ada apa mengganggu muridku“
“Heh heh, dia ini muridmu?”
“Benar, dan kau datang tanpa diundang, Pek wan. Agaknya ada keperluan penting mengingat Kwi goanswe di sini.”
“Benar,” Lutung Putih, kakek itu tertawa. “Aku diajak Kwi goanswe untuk menangkap anak ini, Lo kai. Katanya dia putera si pemberontak Sin Lun. Bagaimana kau melindungi anak pemberontak?”
“Hm,” kakek itu bersinar sinar. “Anak ini tak ada hubungannya dengan masa lalu, Pek wan. Dia adalah muridku dan tidak ada hubungannya dengan pemberontak. Kalau kau ingin menangkap atas perintah Kwi goanswe, maka yang hendak kau tangkap adalah murid Hwa liong Lo kai! Sadarkah kau melakukan ini?”
“Ha ha!” kakek itu menoleh. “Hwa liong Lo kai mengancamku, goanswe. Bagaimana sekarang? Apakah anak ini dibawa atau tidak?”
Kwi goanswe, jenderal tinggi besar itu melangkah maju, bersinar sinar memandang Sin Hauw lalu kakek pengemis ini. “Lo kai,” katanya. “Sin Hauw terpaksa kuambil karena Coa ongya yang memerintahkannya. Sekarang bukan aku yang bertindak melainkan Coa ongya. Kau diminia melepaskan anak itu dan segala perbuatanmu di masa lalu dilupakan ongya!”
“Hm.” kakek ini berkilat. “Kenapa mempergunakan orang lain, goanswe? Kenapa nama Coa ongya kaubawa bawa? Apa pun yang pernah kulakukan aku tidak gentar menerima akibatnya, goanswe. Sin Hauw adalah muridku dan siapa pun tak boleh membawanya!”
“Kalau begitu Coa ongya akan menuntut mu, semua dosa dosamu akan diungkit!”
“Hm, diungkit atau tidak aku tak takut. goanswe. Lebih baik terus terang saja bahwa sebenarnya kau pun ingin menangkapku!”
“Ha ha, cocok!” Pek wan si Lutimg Putih berseru. “Kami tak usah berbasa basi lagi. Hwa liong Lo kai. Pangeran memerintahkan untuk menumpas sisa sisa pemberontak. Dan kau adalah bekas pengikut Chu Wen!”
“Majulah!” kakek ini tak takut. “Kau boleh coba coba menangkapku. Pek wan. Dan sungguh tak kukira kalau kau kini menjadi kaki tangan Coa ongya!”
“Heh heh, tak perlu mengejek, pengemis bangkotan. Aku butuh hidup dan makan. Siapa pun majikanku asal dia dapat memberiku makan minum tentu kulaksanakan perintahnya. Hayoh, kau menyerah atau kami terpaksa melakukan kekerasan!”
“Tangkaplah, dan jangan tanggung tanggung, Lutung Putih. Kerahkan segenap kepandaianmu dan majulah!” Lalu, menyuruh muridnya mundur namun dihadang dua yang lain tiba tiba Hwa liong Lo kai berbisik, “Sin Hauw, lebih baik kau selamatkan encimu yang ada di belakang. Biar ku lempar kau ke sana dan cepatlah pergi..... wut!”
Hwa liong Lo kai yang menangkap serta mencengkeram leher muridnya tiba tiba membentak dan sudah melempar anak itu, jauh melewati kepala dua orang di sebelah kiri dan Sin Hauw berjungkir balik. Tapi ketika Pek wan berseru keras dan tertawa berkelebat mengejar tiba tiba dua lengan kakek itu menyambar dan menangkap anak ini.
“Heh heh, jangan pergi, anak pemberontak. Biar kau disini dan robohlah!” namun Hwa liong Lo kai yang membentak berseru marah tiba tiba berkelebat ke depan, menggerakkan jari menotok punggung Pek wan dan terpaksa Lutung Putih itu menangkis. Dan ketika kakek ini tergetar dan mundur terhuyung maka Hwa liong Lo kai menendang muridnya menyuruh Sin Hauw lari.
“Pergilah, jangan hiraukan orang orang ini, Sin Hauw. Laksanakan perintahku dan jangan membantah!”
Sin Hauw berjungkir balik. Ditendang gurunya dan disuruh pergi sebenarnya anak ini tak puas. Ada musuhnya disitu, Kwi goanswe, jenderal yang telah membunuh ayahnya, juga ibunya. Tapi karena gurunya membentak dan baru kali itu Sin Hauw melihat gurunya tampak khawatir maka anak ini meloncat jauh dan lenyap di belakang, dikejar dua orang yang tadi dilompati kepalanya namun gurunya telah menyerang, kaki dan tangan bergerak dan berteriaklah dua orang itu ketika terpental. Dan ketika Hwa liong Lo kai melepas pukulan dan tamparan dan tubuh kakek itu bergerak ke kiri kanan maka si Lutung Putih juga dihadang dan Kwi goanswe sendiri dicegat langkah kakinya.
“Tak usah mengejar. Tangkap saja aku, Pek wan. Dapat merobohkan gurunya tentu dapat menangkap pula muridnya.. .. wut plak!” dan Hwa liong Lo kai yang berkelebatan cepat membagi bagi tamparan dan tendangan tiba tiba telah bergerak dan menghadang empat orang itu.
Kwi goanswe sendiri sudah berteriak keras dan jenderal tinggi besar itu terbanting. Tamparan Lo kai mengenai pundaknya dan menjeritlah jenderal itu. Dan ketika dia bangkit terhuyung dan Pek wan menyuruhnya mengeroyok maka jenderal ini mencabut pedangnya dan menusuk serta maju menerjang, membentak dan memaki pengemis itu namun Hwa liong Lo kai mendengus. Kakek ini menggerakkan dua jarinya dan diketuklah pedang di tangan lawannya itu.
Dan ketika Kwi goanswe kembali berteriak karena pedangnya terpental maka Pek wan terkekeh menyerang kakek ini, mengganggu dan dua temannya yang lain juga bergerak. Mereka mencabut golok dan menerjang dari kiri kanan, membacok dan bersiutlah angin sambaran senjata yang dingin menyeramkan. Tapi begitu Lo kai menyentil dan golok mereka pun tertolak maka dua orang itu marah berseru keras.
“Ganggu saja. Kalian menyerang dari belakang dan kiri kanan, biar aku di depan!” Pek wan si Lutung Putih berseru. Kakek tinggi kurus ini mengerotokkan buku buku jarinya, yang mendadak mulur dan memanjang. Dan ketika dia bergerak dan sepuluh kuku jarinya bercuit menyambar lawan maka Lo kai menangkis dan masing masing terpental. Pek wan tertawa dan sudah menyerang lagi, dari depan, menyambar dan mengapitkan pula kesepuluh jarinya itu. Dan ketika kukunya bercuitan dan sinar putih menyambar nyambar dari kedua tangannya maka Kwi goanswe dan dua temannya menyerang dan membacok dari belakang dan kiri kanan.
“Sing plak dukk!”
Hwa liong Lo kai berseru nyaring. Si Lutung Putih tertawa dan mempercepat gerakan, aneh dan ajaib tiba tiba kesepuluh kukunya juga memanjang, mulur dan sekejap kemudian sudah seperempat meter panjangnya, berobah seperti sepuluh belati tajam dan berbahaya. Dan ketika kakek itu tertawa tawa dan lawan terkejut karena sepuluh kuku itu menjentik dan tak patah ditampar lengannya maka Hwa liong Lo kai membentak dan tiba tiba merobah gerakan, mempergunakan ujung lengan bajunya dan meledaklah benda lemas yang tiba tiba keras itu. Pengemis ini telah mengerahkan sinkangnya dan ujung baju menjadi seperti toya, kadang seperti tameng yang dapat menerbitkan suara nyaring. Dan ketika dengan cara begitu kakek ini dapat bertahan dan membalas lawannya maka sepuluh kuku jari di tangan Pek wan tertahan dan berkali kali mental.
“Ha ha, hebat, Lo kai. Ini barangkali Kim kee kangmu (Tenaga Ayam Emas)!”
“Tak perlu banyak bicara,” Hwa liong Lo kai berseru. “Dapat merobohkan aku berarti kemajuan bagimu, Pek wan. Ayo keluarkan semua kelihaianmu dan cobalah kalahkan aku!”
“Tentu, aku datang untuk merobohkanmu, Lo kai. Tak dapat mengalahkanmu biar aku kembali ke gunung..... siut tring!” dan kuku jari yang kembali bertemu ujung baju namun tertolak mental tiba tiba membuat Lutung Putih ini penasaran, mempercepat gerakannya dan tiga temannya sudah mendesak dan menekan.
Sayang, karena pertahanan Hwa liong Lo kai demikian kokoh dan sepasang lengan baju kakek pengemis itu hebat bukan kepalang karena mementalkan senjata mereka maka Kwi goanswe dan dua lainnya marah, di samping penasaran tentu saja.
“Pek wan, keluarkan saja senjatamu. Bunuh jembel ini!”
“Ha ha, tak perlu terburu. Kuras tenaganya dulu. goanswe. Nanti mudah membereskannya kalau sudah lelah!”
Hwa liong Lo kai mendengus. Mendengar omongan itu tahulah dia maksud atau niat lawannya. Kiranya dengan licik si Lutung ini mau menguras tenaganya, bertempur dengan waktu yang lama agar tenaganya habis, hal yang membuat kakek itu tertawa dingin dan mempercepat gerakan. Dan ketika pedang dan golok cukup mengganggu karena mereka bergerak di belakang dan kiri kanan maka Hwa liong Lo kai membentak menambah tenaganya, menyambut ketika sebatang golok membacok punggungnya.
“Plak!”
Golok itu melengkung. Hebat dan luar biasa kakek pengemis ini telah membuat lawan berteriak kaget. Kebutan ujung baju yang mampu membengkokkan golok bukanlah main main, itu tanda sinkang yang hebat dan Pek wan terkejut, berseru agar temannya berhati hati. Namun ketika orang kedua juga menusuk dan menikam pinggang tiba tiba Hwa liong Lo kai menggerakkan lengan baju satunya dan golok orang ini malah patah.
“Pletak!”
Orang itu terbanting bergulingan. Ujung baju si pengemis yang terus menyambar kearahnya tak dapat dikelit. Patahnya golok sudah membuat orang ini terkejut dan terkesiap setengah mati, kaget ketika tamparan atau pukulan ujung baju itu menghantam pundaknya. Dan ketika dia menjerit dan terlempar bergulingan maka orang ini mengaduh aduh karena tulang pundaknya patah.
“Keparat!” Pek wan membentak. “Terkutuk kau, Hwa liong Lo kai. Kubunuh kau!”
“Hm… membunuh atau tidak terserah dirimu, Pek wan. Kalau dapat melakukan tentu bagus. Tapi aku juga akan menghajarmu!”
“Keparat, jahanam kau.....!” dan Pek wan yang melengking mencabut sesuatu, tiba tiba mengeluarkan roda berbulu. Aneh senjata ini, di tengahnya diikat atau digantungkan seekor ular. mendesis desis dan begitu dikeluarkan tiba tiba membuka mulutnya, menggigit dan menyerang Lo kai. Dan ketika pengemis itu terkejut karena lawan dibantu ular hidup maka roda juga menyambar dan menghantam mukanya.
“Dess!”
Hwa liong Lo kai agak terhuyung. Pengemis ini tertegun melihat ular itu. Ular merah yang kepalanya segi tiga, jelas ular beracun dan dia menjadi marah. Maka ketika roda menyambarnya dan hampir dia lengah maka Pek wan tertawa nyaring melepas ularnya ini, dijepit ekornya dengar tangan kiri.
“Nah, ini Ang tok coa (Ular Racun Merah) Lo kai. Sekali tergigit dan kena bisanya tentu kau mampus. Menyerahlah, atau kau mati sia sia melawan kami!”
“Hm, curang dan pengecut!” Hwa liong Lo kai membentak. “Kau kini tak malu malu mempergunakan racun. Pek wan. Sungguh hina dan rendah watakmu!”
“Ha ha, ini usahaku memperoleh kemenangan, Lo kai. Kalau kau takut, menyerahlah!”
“Menyerah hidungmu....plak!” dan ujung baju yang mengebut serta menghantam muka si Lutung tiba tiba meledak dan menyampok pula pedang Kwi goanswe, mental dan Pek wan serta Kwi goanswe marah.
Mereka maju lagi dan membentak penasaran. Dan keika teman mereka yang memegang golok juga menyerang dan tetap mempergunakan golok bengkoknya maka Hwa liong Lo kai membalas dan mulai bersikap keras, menggerakkan tangan kiri dan keluarlah pukulan-pukulan emas dari tangan kirinya itu, berhati hati terhadap ular di tangan Pek wan dan segera ular dikebut sebelum dekat. Akhirnya lawan tak dapat mengerjakan ularnya dan Lutung Putih itu gusar. Dan ketika Lo kai mementalkan serangan serangan mereka sementara pukulan emas di tangan kiri kakek itu mendesak dan membuat mereka kewalahan tiba tiba Kwi goanswe malah terbanting ketika bertemu sinar kekuningun ini.
“Keparat, hati hati, goanswe. Bangkit dan serang lagi!”
Hwa liong Lo kai mengeluarkan tawa dari hidung. Setelah ia mengeluarkan Kim kong cian nya (Pukulan Sinar Emas) ternyata lawan kalang kabut. Kwi goanswe sendiri terpelanting dan pemegang golok dua kali terlempar. Kalau saja Pek wan tak menolong mereka dengan ular dan rodanya barangkali pengemis ini sudah merobohkan keduanya. Si Lutung Putih itu mengganggu dan kini tak segan segan membokong, menyerang dari belakang atau pun kiri kanan, sering mengumpan dan teman namun saat itu juga dia masuk menggerakkan ularnya, atau roda yang acap kali menderu di depan mata.
Dan ketika itu masih ditambahi dengan sepuluh kuku jari yang bersuitan bagai belati berbahaya maka Hwa liong Lo kai menarik desakannya pada Kwi goanswe dan temannya untuk berhati hati terhadap si Lutung ini, waspada dan melancarkan Kim kong ciangnya dan tiga lawannya tertahan, didesak dan mereka mulai mundur mundur. Dan ketika Hwa liong Lo kai di atas angin dan mulai dapat menguasai pertandingan maka satu tamparan akhirnya merobohkan jenderal itu kembali.
“Plak!”
Pedang di tangan jenderal ini mencelat. Kwi goanswe bergulingan mengumpat caci, marah dan saat itu kakek ini menyambar si pemegang golok. Orang itu sedang bengong dan kaget oleh gerakan pengemis, berteriak ketika tiba tiba kakek itu berkelebat ke arahnya. Dan ketika tangan kiri kakek itu bergerak dan Pukulan Sinar Emas menyambar dadanya tiba tiba lelaki ini mencelat dan terlempar roboh.
“Dess!”
Hwa liong Lo kai telah merobohkan dua lawan sekaligus. Kakek itu tertawa dan Pek wan berteriak marah, Lutung Putih ini menyambar dan melepas pukulan dari belakang. Dan ketika Lo kai membalik dan menangkis pukulannya tiba tiba roda di tangan kanannya dilepas dan meluncur menghantam kakek itu.
“Eih.....dess!” Hwa Liong Lo kai terkejut, tidak menyangka namun cepat dia mengerahkan sinkang. Dadanya sudah dihantam roda namun kakek itu hanya tergetar sedikit, mampu menahan dan Pek wan terbelalak. Dan ketika kakek itu membentak dan berkelebat lagi tiba tiba sepuluh kukunya bercuit dan kini ular merah di tangannya dilontar dan menggigit Hwa liong Lo kai.
“Crit bress!” Hwa liong Lo kai menampar, membentak dan terkejut melihat perbuatan lawannya dan kakek itu terkesiap oleh terbangnya si ular merah, mengelak namun baju pundaknya tergigit, kulitnya keserempet dan ular itu sudah jatuh di belakangnya, hilang dan rupanya ketakutan. Dan ketika kakek ini merasa gatal gatal dan panas di pundaknya maka saat itu Kwi goanswe mengeluarkan terompet dan meniupnya nyaring, mengejutkan Hwa liong Lo kai karena dari mana mana tiba tiba muncul bayangan bayangan hitam, disusul bentakan dan teriakan di belakang, Dan ketika dia melihat bahwa itulah pasukan kerajaan dan di belakang terdengar jeritan Hwa Kin maka kakek itu terkesiap melihat gadis itu muncul bersama Sin Hauw, panik.
“Locianpwe, tolong. Kami dikepung!“
“Ha ha!” Pek wan terbahak gembira. “Jangan harap dapat melarikan diri, Lo kai. Pasukan di bawah telah disiapkan tak kurang dari seribu orang!”
“Benar, kami dikepung, suhu. Kami tak dapat keluar!” Sin Hauw, yang marah membawa encinya membenarkan kata kata si kakek kurus.
Pek wan memang tak bohong dan Hwa liong Lo kai gusar. Kakek ini membentak dan menghantam lawannya itu. Tapi ketika Pek wan berkelit dan bayangan bayangan hitam naik dan berkelebatan ke atas maka pasukan kerajaan muncul di bawah aba aba Kwi goanswe.
“Tangkap dan bunuh kakek itu. Bekuk dan robobkan dua anak itu!”
Hwa liong Lo kai melengking. Setelah dia melihat bahwa pasukan kerajaan mengepung dan muridnya tak dapat lari mendadak kakek ini berseru keras. Dia menyuruh Sin Hauw mendekat dan menempur belasan orang yang mengejar muridnya, roboh berpelantingan dan kakek itu menyambar Hwa Kin yang berteriak teriak. Dan ketika yang lain datang menyusul dan Pek wan tertawa gembira maka Hwa liong Lo kai berkelebatan menghajar orang orang itu.
“Keparat, dekat saja denganku, Sin Hauw. Tangkap tumbak ini dan lindungi encimu!” Hwa liong Lo kai menyambar sebatang tombak, merampas lagi tombak yang lain dan cepat kakek itu melemparkannya kepada muridnya.
Seribu orang di bawah meluruk ke atas, mereka berteriak teriak dan Hwa Kin hampir pingsan. Sekarang menyesallah gadis itu kenapa selama dua tahun ini dia tak mau belajar silat, adiknya kewalahan sedangkan Hwa liong Lo kai sendiri menghadapi lawan lawannya. Dan ketika tombak dan pedang mencelat terlempar oleh benturan tombak di tangan kakek ini maka Sin Hauw sendiri juga mengamuk dan mempergunakan tombak rampasannya.
“Siut plak dess!”
Murid dan guru sama sama mengamuk. Kini Hwa liong Lo kai menghajar siapa saja yang berani mendekatinya, terutama mendekati muridnya, juga Hwa Kin. Dan ketika kakek itu berkelebatan sementara Pek wan berteriak teriak di belakang maka dengan licik dan curang Lutung putih itu menikam dari belakang, menggerakkan kuku jarinya dan sekali pinggang Hwa liong Lo kai robek. Untunglah, kakek itu mengerahkan sinkang dan babatan kuku belati ini tak sampai membuatnya roboh. Tapi ketika muncul dua nenek cantik yang terkekeh kekeh mendorong pasukannya tiba tiba kakek pengemis itu pucat mengenal siapa yang datang.
“Ah, Im kan Siang li (Sepasang Dewi Akherat)!”
“Hi hik, kau masih mengenal kami, Lo kai? Bagus, ingatanmu masih baik dan kami datang untuk mencabut nyawamu... wirr!” dan rambut yang meledak di samping kepala nenek cantik ini tiba tiba menyambar dan sudah meledak di pundak Hwa liong Lo kai, membuat kakek itu terhuyung dan Pek wan tertawa bergelak.
Kakek kurus ini bangkit keberaniannya setelah dua nenek itu muncul, menyerang dan mengeroyok lawannya. Dan ketika Hwa liong Lo kai tergetar dan selalu terdorong oleh ledakan rambut yang mengenai tubuhnya maka Sin Hauw terkejut melihat keadaan gurunya itu.
“Suhu, sebaiknya kau lari. Aku yang mereka cari!”
“Tidak, mereka mencari kita berdua, Sin Hauw. Dan biar kita hadapi mereka ini sampai titik darah terakhir...dess!” Hwa liong Lo kai menghajar Pek wan membuat si Lutung Putih mengeluh terkena Kim kong ciangnya namun sebaliknya pengemis itu sendiri terpelanting oleh sambaran rambut yang mengenai lehernya. Dan ketika dua nenek itu terkekeh dan mencabut tusuk konde yang menancap di kepala tiba tiba mereka berkelebatan dan keluarlah Sin hong ciang atau Silat Angin Sakti yang membuat tubuh keduanya berputaran cepat seperti angin puyuh.
“Hi hik, terlambat, Hwa liong Lo kai. Melarikan diri pun sudah tak ada gunanya lagi. Kau membangkang perintah Coa ongya!”
Kakek ini berteriak. Sin hong ciang mengenai punggungnya dan dia terputar, dipukul Pek wan namun dapat menangkis. Dan ketika pasukan menyerbu dan hendak menusuknya tiba tiba Sepasang Dewi Akherat itu membentak agar mereka minggir.
“Semua menjauh, biarkan kami yang membunuhnya!”
Hwa Kin menangis. Berada di tengah tengah kurungan demikian banyak orang tiba tiba gadis ini pusing. Sin Hauw menghadapi puluhan lawan namun hebat anak laki laki itu, dapat menghalau dan menangkis semua senjata. Dan ketika Kwi goanswe melotot karena baru dua tahun saja anak ini sudah dapat memberi perlawanan mengagumkan maka jenderal itu membentak dan maju sendiri, mencengkeram dan menggerakkan pedangnya dan terpentallah tombak di tangan Sin Hauw. Anak itu terkejut karena dia memang masih bukan tandingan Kwi goanswe, jenderal itu maju lagi dan melakukan serangan serangan cepat. Dan ketika dia mengelak dan tangan kiri jenderal itu menyambar maka untuk pertama kalinya Sin Hauw terbanting.
“Dess!”
Hwa Kin menjerit. Sin Hauw bergulingan mengeluh tertahan, pukulan kwi goanswe tadi terlalu hebat baginya. Maklumlah, jenderal itu memang bukan orang sembarangan dan Sin Hauw sendiri baru dua tahun belajar silat, jelas kalah pengalaman dan tenaga. Dan ketika anak itu bergulingan meloncat bangun dan di sana gururya terbelalak melihat keadaannya maka Hwa liong Lo kai sendiri terlempar menerima tusukan tusuk konde.
“Brett!”
Guru dan murid jadi kelabakan. Sin Hauw ddn Hwa liong Lo kai sama sama melengking, mereka melompat bangun dan memberi perlawan an lagi. Namun ketika Kwi goanswe mendengus dan menggerakkan tangan kirinya maka tombak tertolak dan Sin Hauw lagi lagi terbanting, berteriak karena kali ini pukulan jenderal itu lebih keras lagi. Sin Hauw melompat namun lawan mendahului. Dan ketika dia terhuyung dan jenderal itu menggerakkan pedangnya maka bahu anak itu terluka dan sebuah tamparan mengakhiri perlawanan anak ini.
“Cret bluk!”
Sin Hauw pingsan. Anak itu roboh dan tidak sempat menjerit lagi, Kwi goanswe menendang dan seorang pengawal menangkap anak laki laki itu. Dan ketika semuanya berlangsung begitu cepat dan Hwa liong Lo kai pucat serta marah tiba tiba Hwa Kin menubruk dan menjerit menyerang pengawal.
“Hei, jangan jauh jauh dariku!”
Namun terlambat. Gadis itu terlanjur dan tak mungkin dapat dicegah, dia marah karena adiknya terluka dan ditangkap. Maka begitu si pengemis berteriak sementara dia sendiri sudah menubruk si pengawal maka Kwi goanswe bergerak dan tahu tahu lengan jenderal tinggi besar itu menyambar pundaknya. Dan begitu Hwa Kin mengaduh dan jenderal ini mencengkeram maka gadis itu pun ditendang dan mencelat diterima pengawal, langsung roboh pingsan.
“Tawan gadis ini pula, ikat di belakang!”
Hwa liong Lo kai terbelalak. Kalau dua duanya sudah ditangkap dan dirobohkan musuh repotlah dia menyelamatkan muridnya. Kakek ini membentak dan tiba tiba mengamuk, tombak diluncurkan dan menyambarlah ke tenggorokan Pek wan. Dan ketika Lutung Putih berteriak karena kaget maka kakek itu berkelebat dan menghantam Sepasang Dewi Akherat.
“Plak des dess!”
Tiga orang itu terdorong. Hwa liong Lo kai rupanya mengerahkan segenap tenaga dan Im kan Siang li berseru marah, mereka terhuyung dan rambut pun menjeletar. Pek wan mengelak dan menangkis, tombak yang menyambar akhirnya meluncur ke belakang dan mengenai seorang perajurit, roboh dan berteriak ngeri. Dan ketika pengawal itu roboh dan tewas karena tombak menembus punggungnya maka kakek ini sudah berkelebatan dan menerjang lawannya, mempergunakan tangan kosong dan Kim kong ciangnya menyambar nyambar.
Dengan tangan kosong saja kakek ini sebenarnya lebih berbahaya daripada bersenjata. Tapi karena Im kan Siang li adalah sepasang nenek lihai di mana kepandaian mereka setingkat di atas Pek wan maka pukulan pukulan kakek itu dapat ditahan dan Kwi goanswe maju pula menyerbu, tak sabar karena Hwa liong Lo kai masih hebat. Kakek ini mengamuk dan sebuah pukulannya sempat menghantam tiga perajurit, yang berada di belakang, roboh dan terlempar dengan nyawa seketika terbang ke akherat.
Dan ketika yang lain gentar dan apa boleh buat mundur menjaga diri maka kakek itu sudah dikeroyok Im kan siang li dan Pek wan, juga Kwi goanswe yang berkali kali mengganggu dengan tusukan atau bacokan pedangnya, yang betapapun cukup membahayakan kakek itu. Dan ketika dua nenek itu melengking dan marah melepas pukulan maka sepasang tusuk konde di tangan mereka tiba tiba menyambar dan bercuitan seperti tawon berbisa.
“Crit dess!”
Hwa liong Lo kai terjungkal. Menghadapi sambaran tusuk konde yang terpaksa ditangkis membuat kakek ini menerima serangan susulan. sebuah tamparan dan hantaman kepundak. Dan ketika dia terguling guling dan meloncat bangun maka Kwi goanswe membacokkan pedangnya, di kebut ujung baju dan pedang jenderal tinggi besar itu mencelat. Lalu sementara jenderal itu terpekik dan kaget terhuyung mundur maka Hwa liong Lo kai menendang dan jenderal tinggi besar itu terbanting.
“Bress!”
Hebat sepak terjang kakek ini. Hwa liong Lo kai ternyata masih tangguh namun fiba tiba kakek itu mengeluh. Pundaknya, jang tadi terkena pukulan Sepasang Dewi Akherat mendadak nyeri, rasa yang menggigit membuat kakek itu terkejut karena teringatlah dia akan serempetan tubuh Ang tok coa, yakni ular berbisa yang tadi dilempar Pek wan. Dan ketika kakek itu terbelalak dan marah memandang lawan tiba tiba dua nenek itu meledakkan rambutnya dan kiri dan kanan, tepat menghantam belakang leher dan dia terpelanting.
Dan ketika kakek itu mengeluh dan Lutung Putih terbahak maka kakek tinggi kurus ini tiba tiba mencabut roda barunya, melempar dan menghantam dada lawan, membuut Hwa liong Lo kai terjungkal dan kakek itu mendesis. Rasa gatal dan nyeri semakin menghebat di pundaknya, meloncat bangun namun terhuyung. Dan ketika bayangan dua nenek Akherat berkelebat dan melepas pukulannya maka Hwa liong Lo kai kembali terbanting dan muntah darah.
“Des dess!”
Berbahayalah keadaan kakek ini. Saat itu Hwa liong Lo kai merasa pusing dan berputar. Dia tak tahu bahwa lendir Ang tok coa telah meracuni kulitnya, masuk ke pori pori dan kakek itu gemetar. Dan ketika Kwi goanswe membentak dan marah membacok lagi tiba tiba Hwa liong Lo kai terluka dan untuk pertama kalinya kekebalannya tembus.
“Crat!”
Kakek itu mengeluh. Untuk kesekian kalinya dia terhuyung bacokan itu cukup dalam dan celaka sekali racun Ang tok coa meresap di sini, bersama darah dan tiba tiba lengan kakek itu menghitam. Dan ketika kakek ini terkejut dan Pek wan terbahak maka nenek Akherat juga berkelebat maju dan mengerakkan tusuk kondenya, mengancam dada kakek itu namun Hwa liong Lo kai tak dapat menyelamatkan diri. Dua diantaranya tercoblos dan menjeritlah kakek itu. Dan ketika lawan terkekeh dan pengemis ini siap roboh tiba tiba dari luar terdengar jeritan dan seruan kaget,
“Hei… plak duk dess!”
Dua bayangan berkelebatan bagai walet menyambar nyambar. Pek wan menoleh dan kaget melihat ribut ribut, sepasang lelaki perempuan tampak membentak di luar kepungan dan meroboh robohkan perajurit. Siapa pun yang tak minggir pasti mencelat dan terlempar. Dan ketika serangkum angin pukulan dahsyat menyambar ke kiri kanan dan perajurit tersibak bagai didorong tangan raksasa maka muncullah di situ suami isteri yang gagah menolong Hwa liong Lo kai,
“Pengemis bangkotan, tahan dan kuatkan dirimu. Kami datang!”
Hwa liong Lo kai tertegun. Sepasang Dewi Akherat juga tertegun dan terbelalak memandang pendatang baru itu, seorang laki laki gagah dengan wanta cantik. Yang laki laki mendorong dorongkan kedua tangannya sementara yang wanita meledak ledakkan sabuk berwarna kuning. Setiap menjeletar tentu membawa korban, jauh lebih ganas daripada si lelaki yang hanya mendorong dorongkan kedua lengannya itu. Dan ketika mereka terbelalak dan kaget serta marah tiba tiba sepasang Dewi Akherat dan Pek wan berseru hampir berbareng, mengenal siapa dua orang itu,
“Cheng giok Sian li....!”
“Sin liong Hap Bu Kok....!”
Semua orang kaget. Tiba tiba dua nenek Akherat melengking tinggi, berkelebat dan menghantam Hwa liong Lo kai. Dan karena Hwa liong Lo kai sendiri sedang tertegun dan bengong memandang dua orang itu tiba tiba Sin liong ciang atau Pukulan Angin Sakti mengenai kepalanya.
“Dess!
Kakek ini mencelat. Hwa liong Lo kai mengeluh dan terbanting roboh, sayang sekali Lutung Putih mengejarnya dan melepas roda, menghantam dadanya dan kakek itu muntah darah. Untuk kedua kali Hwa liong Lo kai terluka dan tentu saja keadaannya berbahaya, tak dapat bangun karena seluruh tubuhnya serasa remuk. Apalagi racun dari Ang tok ciang sudah meresap dan masuk semakin dalam. Tapi ketika nenek Akherat hendak menghabisi kakek itu dan tusuk konde mereka menyambar bercuit tiba tiba sinar kuning meledak dan membentak nyaring membuat dua nenek itu terjengkang.
“Lepaskan! Minggir kalian, nenek nenek busuk. Enyah dan pergilah..... tar!”
Im kan Siang li menjerit, berteriak karena tusuk konde mereka tiba tiba terlepas, dibetot sinar kuning itu yang bukan lain selendang si wanita cantik adanya dan tahu tahu wanita itu sudah berkelebat dan menyerang mereka, membentak dan melampaui kepala semua pengawal. Dan ketika dua nenek itu terkejut dan terguling guling melompat bangun maka wanita itu sudah berlutut dan menolong Hwa liong Lo kai.
“Bagaimana, kau tak apa apa, Lo kai? Masih dapat bertarung?”
“Tidak, aku.... uh, aku keracunan, Cheng giok. Pek wan melepas Ang tok coanya dan aku terpukul, lebih baik kau selamatkan anak laki laki itu dan tolong dia....!”
“Siapa dia?”
“Muridku, putera Sin Lun!”
“Apa?”
“Benar, tolong dia, Cheng giok. Selamatkan anak itu dan tinggalkan aku..... awas!” Hwa liong Lo kai terkejut, berseru tertahan ketika tiba tiba si Lutung Putih menyerang dari belakang. Kakek kurus itu berbuat curang dengan menghantam kepala wanita ini.
Tapi ketika Cheng giok Sian li menggerakkan tangan ke belakang dan tanpa menoleh wanita itu dapat menolak serangan lawan tiba tiba Pek wan menjerit dan roboh bergulingan membuat si pengemis tertegun.
“Kau.... ah, bagaimana dapat selihai ini? Dimana kau dapatkan kemajuan itu, Cheng giok?”
“Hm, lama dibicarakan, Lo kai. Lebih baik kau ikut suamiku dan biar digendong!” Cheng giok Sian li lagi lagi menangkis sebuah serangan, menolak pukulan Sin hong ciang dan Hwa liong Lo kai tertegun. Pukulan itu baginya amat berbahaya namun dengan enak dan gampang saja rekannya ini dapat menghalau. Apa yang dilihat jauh berbeda dengan duapuluh tahun yang lalu, Cheng giok Sian li tiba tiba saja menjadi begini hebat dan lihai! Dan ketika kakek itu tertegun dan Cheng giok Sian li mengangkat tubuhnya tiba tiba wanita ini telah melempar Hwa liong Lo kai ke arah laki laki gagah.
“Hap ko. Terima teman kita ini.....!”
Si Naga Sakti, Sin liong Hap Bu Kok tiba tiba membentak. Saat itu dia mendorong dorongkan kedua lengannya menghalau setiap pengawal yang mau menyerang. Dari jauh saja dia sudah dapat menolak dan membanting mereka itu, betapa hebatnya. Dan ketika isterinya melempar tubuh Hwa liong Lo kai dan di sana selendang isterinya menjeletar menghalau siapa saja yang hendak mengganggu tubuh Hwa liong Lo kai di udara maka laki laki gagah itu menerima dan sudah menangkap pengemis ini, tertawa dan di sana Im kan Siang li serta teman temannya terkejut.
Mereka marah dan tentu saja kembali menyerang, Kwi goanswe memungut pedangnya lagi dan membacok wanita itu. Tapi ketika Cheng giok Sian li menyentil dan kuku jarinya bertemu pedang tebal di tangan Kwi goanswe tiba tiba pedang itu patah menjadi tiga potong. Dan, sementra jenderal itu terkejut dan bengong memandang tiba tiba kaki wanita itu bergerak dan terlemparlah dia oleh sebuah tendangan kilat, disusul pekik dan jerit kaget nenek Akherat yang mendapat lecutan selendang.
Entah bagaimana dalam waktu yang hampir bersamaan itu tiba tiba saja Cheng giok Sian li mampu melancarkan dua serangan sekaligus. satu ke Kwi goanswe sedang yang lain kearah dua nenek ini. Dan ketika dua nenek itu berteriak dan bergulingan sambil memegangi telinganya maka Cheng giok Sian li bergerak dan....... Sin Hauw yang ada di tangan pembantu Kwi goanswe tahu tahu dirampasnya.
“Hei..... dess!”
Pengawal itu pun mencelat. Cepat dan sebat luar biasa wanita ini telah menyambar Sin Hauw, bergerak dan tiba tiba berkelebatan. Bagai walet menyambar nyambar saja tahu tahu tubuhnya telah membagi bagi pukulan dan tendangan. Dan ketika selendang kuningnya juga menjeletar jeletar dan nenek Akherat maupun Pek wan bergulingan berteriak teriak maka semua orang terkejut dan gentar dihajar wanita ini.
“Aduh, keparat....!”
“Aih, celaka.....”
Semua orang terlempar jatuh bangun. Cheng giok Sian li telah membagi bagi pukulannya bagai orang membagi bagi roti, siapa yang terkena pasti roboh dan menjerit. Baik selendangnya maupun pukulannya selalu membuat orang berteriak. Dan ketika di sana suaminya tertawa bergelak dan wanita ini menghajar siapa yang ada di mukanya maka Hwa liong Lo kai terbelalak dan kagum.
“Ah, bagaimana isterimu bisa demikian lihai, Bu Kok? Bagaimana kalian berdua bisa memiliki sinkang demikian luar biasa?”
“Ha ha!” Sin liong si Naga Sakti terbahak. “Kami berdua melatih ilmu baru, Lo kai. Dan dengan ilmu ini kami berdua mendapat kemajuan pesat!”
“Ilmu apa? Dari mana?”
“Tak usah kau tahu, pokoknya kau selamat dan kami berdua membebaskanmu dari tempat celaka ini.....des dess!” si Naga Sakti menggerakkan tangannya, mengibas ke kiri dan robohlah belasan orang yang tersapu angin pukulannya. Lalu ketika ia bergerak ke kanan dan duapuluh orang juga mencelat beterbangan maka semua pasukan mundur dan gentar.
“Ha ha, siapa mau dihajar? Siapa mencari penyakit? Hayo, ke sini, tikus tikus busuk. Biar isteriku di sana menghajar Kwi goanswe dan nenek Akherat!”
Ributlah semua orang. Setelah Im kan Siang li juga berteriak dan roboh oleh ledakan selendang maka Pek wan dan Kwi goanswe gentar. Dua nenek yang mereka andalkan itu kini mengaduh aduh. Mereka tak berdaya di bawah pukulan Cheng giok Sian li. Pukulan mereka sendiri, Sin hong ciang, tampak membalik dan selalu tertolak bila Cheng giok Sian li menggerakkan lengannya, lengan kanan karena yang kiri dipakai memondong Sin Hauw.
Dan ketika dua nenek itu juga kehilangan tusuk kondenya karena dengan cepat dan ganas Cheng giok Sian li menggubat dan melempar senjata mereka maka dua nenek itu mundur, pucat dan akhirnya melarikan diri dan tinggallah Kwi goanswe bersama Pek wan. Dua orang ini terkejut dan berseru tertahan, jago mereka sudah terbirit-birit. Dan karena jelas mereka tak dapat melawan dan kelihaian Cheng giok sian li maupun suaminya tak ada yang dapat menandingi akhirnya Kwi goanswe mundur dan pasukan ditarik ke bawah.
“Lari, semua mundur....!”
Gegap gempitalah semua orang. Setelah Kwi goanswe memberi aba aba dan jenderal itu sendiri juga memutar tubuhnya maka pasukan seolah didorong dari atas, dahulu mendahului dan mereka berteriak teriak melarikan diri, Apa yang diperintahkan tak perlu diulang lagi dua kali. Dan ketika semua orang mundur dan Cheng giok Sian li berdiri tegak maka wanita itu menyimpan selendangnya mengusap keringat.
“Bedebah, kuhajar kalian nanti, tikus tikus busuk. Berani benar kalian mengganggu sahabat ku!”
“Sudahlah,” si suami menurunkan Hwa liong Lo kai. “Kakek ini luka luka, Sian li, juga keracunan. Sebaiknya tolong dia dan kita obati.”
Hwa liong Lo kai pingsan. Kiranya dalam menerima luka lukanya tadi kakek ini tak kuat lagi, melihat sepak terjang Cheng giok Sian li dan akhirnya terkulai, lemas di pondoagan si Naga Sakti. Dan ketika dua orang itu masuk dan berkelebat ke gubuk maka Sin Hauw juga diturunkan dan diperiksa. Anak ini luka bahunya tapi tidak begitu parah, Cheng giok Sian li sudah membalutnya dan menyadarkan anak itu. Dan begitu Sin Hauw sadar dan mengeluh membuka mata tiba tiba anak ini meloncat bangun.
“Siapa kalian?” bentaknya kaget. “Mana suhu dan enciku?”
Dua orang itu bersinar sinar. Melihat kegagahan dan keberanian Sin Hauw tiba tiba mereka tertarik, yang lelaki tersenyum dan menunjuk Hwa liong Lo kai, yang masih pingsan. Dan ketika anak itu melihat gurunya dan tertegun mengamati maka si Naga Sakti Hap Bu Kok memegang bahunya.
“Kau putera Sin Lun?”
“Benar,” Sin Hauw tergagap. “Locianpwe siapakah?”
“Aku sahabat gurumu, anak baik. Dan juga sababat mendiang ayahmu!”
“Hm, tak usah bercakap cakap. Kita lihat keadaan Hwa liong Lo kai!” Cheng giok Sian li, yang melihat kakek itu tak siuman juga tiba tiba bergerak. Suaminya tadi sudah menurunkan kakek ini dan mengobati, menotok jalan darah di pangkal lengannya namun kakek itu masih belum sadar. Maka bergerak dan berlutut di samping kakek ini wanita cantik itu memeriksa, berkerut dan memanggil suaminya agar mendekat.
Sin liong Hap Bu Kok tak tahu kalau racun Ang tok coa mengeram di tubuh kakek ini, mengira Hwa liong Lo kai terkena pukulan biasa saja. Maka begitu melihat lengan kehitaman itu berobah merah dan muka Hwa liong Lo kai juga tiba tiba seperti di bakar maka si Naga Sakti ini terkejut juga.
“Eh, ada apa dia gerangan? Keracunan?”
“Benar, menurut keterangannya ia terkena racun Ular Merah, Hap ko. Aku khawatir karena dia tak sadar juga!”
“Racun Ular Merah?”
“Benar, tapi aku tak melihat ular itu. Keparat, siapa yang membawa Ang tok coa? Apakah nenek siluman itu?”
“Ah, kalau begitu coba kau bantu kerahkan sinkangmu di lengan, Sian li. Aku di dada!”
“Baik,” dan sang isteri yang sudah meletakkan telapaknya di lengan Hwa liong Lo kai lalu mengerahkan sinkang mengobati kakek ini, suaminya di dada dan segera dua orang itu menolong Hwa liong Lo kai. Tapi ketika Sin liong Hap Bu Kok menempelkan lengan di dada kakek ini dan merasa denyut jantung yang lemah tiba tiba wajah si Naga Sakti itu berobah.
“Celaka, racun sudah memasuki katup pembuluh jantungnya!”
“Apa yang kau rasakan?”
“Denyut yang lemah, Sian li. Jantung yang hampir tidak bergerak gerak lagi!”
Cheng giok Sian li terkejut. Memeriksa detak jantung di nadi pergelangan kakek itu wanita ini pun berubah, mukanya pucat namun tiba tiba dia mengeluarkan sebutir pil merah. Dan ketika dia mendorong obat itu ke mulut si kakek maka wanita ini berharap pertolongannya berhasil.
“Keparat jahanam, Ang tok coa adalah ular yang betul betul amat berbisa!”
“Sudahlah, kita tunggu sejenak, Sian li. Minimal kita mengharap kesadarannya!”
Benar saja, lima menit setelah dijejali obat tiba tiba Hwa liong Lo kai mengeluh. Kakek itu membuka mata namun pandangannya redup, menyeringai dan terengah perlahan. Dan ketika dua suami isteri itu dilihatnya dan Sin Hauw tak tampak tiba tiba kakek ini mengerang. “Mana muridku? Mana Sin Hauw?”
Si Naga Sakti menoleh. “He, mana anak itu?”
Sin Hauw tak ada. Kiranya ketika suami isteri itu menolong gurunya tiba tiba Sin Hauw berkelebat keluar, anak ini tak melihat encinya dan karena itu mencari. Maka begitu gurunya menanya dan Sin Hauw tak ada maka si Naga Sakti Hap Bu Kok berkelebat keluar.
“Hei, kau...!” serunya. “Kembali, anak baik. Gurumu siuman! Ada apa kau berkeliaian di sini?”
Sin Hauw kedapatan di pinggang gunung. Hap Bu Kok mengerutkan kening dan mau marah memaki anak itu. Tapi ketika Sin Hauw berkata bahwa dia mencari encinya maka laki laki gagah ini tertegun.
“Encimu?”
“Ya, enciku, locianpwe. Di mana dia?”
“Ah, aku tak tahu. Sebaiknya temui gurumu dulu, anak baik, Gurumu mencari carimu!” laki laki ini menyambar Sin Hauw, bergerak dan sudah membawa anak itu naik ke atas. Dan ketika Hwa liong Lo kai melihatnya dan nanar dengan pandangan redup tiba tiba Sin Hauw menjatuhkan diri berlutut.
“Maaf, suhu. Teecu (murid) mencari enci Kin...”
“Hm, Hwa Kin? Ya, mana dia.....?”
“Entahlah, aku tak tahu, suhu. Mungkin.... mungkin dibawa musuh. Atau dibunuh!” Sin Hauw tak dapat menahan air matanya, tiba tiba menangis dan ditahanlah sedu sedan di mulut anak itu. Sin Hauw sebenarnya ingin berteriak dan memaki Kwi goanswe. Dia cemas dan gelisah bukan main tak melihat encinya di situ. Tapi melihat gurunya seperti itu dan si Naga Sakti Hap Bu Kok serta isterinya menolong suhunya maka anak ini menahan jeritan hati sendiri untuk mencoba mengerti keadaan gurunya.
“Kalian tak menolong anak perempuan itu?” Hwa liong Lo kai tiba tiba memandang Cheng giok Sian li, menyesal dan bertanya lirih.
Tapi Cheng giok Sian li yang mengerutkan kening dan menggeleng perlahan justeru berkata, “Tidak, yang kau minta adalah anak ini. Lo kai. Bukan anak lain.”
“Ah, itu salahku. Anak ini mempanyai kakak perempuan. Sin Lun mempunyai dua orang anak, satu adalah muridku ini sedang yang lain adalah Hwa Kin, encinya!”
“Maaf, aku tak tahu, Lo kai. Tapi urusan itu dapat dibicarakan nanti. Sebaiknya kau duduk dan obati dulu lukamu!”
“Augh, percuma. Aku… aku merasa dadaku nyeri, Cheng giok. Aku merasa lemah dan tak dapat bangkit duduk...!” Hwa liong Lo kai kesakitan, merintih dan tiba tiba dia pun terbatuk. Segumpal darah membuat semua orang terkejut karena darah itu berwarna hitam, batuk lagi dan tergulinglah kakek itu oleh lukanya yang parah. Dan ketika dua suami isteri itu terkejut dan meloncat maju tiba tiba Sin Hauw mengguguk dan menubruk suhunya.
“Suhu, jangan mati. Jangan tinggalkan teecu.....!”
Si Naga Sakti mencengkeram anak ini. Hwa liong Lo kai yang terguling dan batuk batuk menyemprotkan darah membuat laki laki itu khawatir akan racun yang berbahaya. Sin Hauw disuruh menjauh dan pendekar itu menotok dada Lo kai. Dan ketika kakek itu agak tenang namun mukanya berobah kehitaman maka kakek ini menyeringai dan mengerang.
“Terlambat, jantungku tertutup, Naga Sakti... katupnya tak bekerja baik.....!”
“Hm, kau telan lagi pil ini, Lo kai. Cobalah!” si Naga Sakti mengeluarkan pil hijau, harum dan ditelan lagi pil itu terloncat, tak mau masuk dan ternyata kerongkongan kakek itu telah tarsumbat, dicoba lagi namun untuk dua tiga kali tetap gagal. Dan ketika laki laki itu terkejut karena leher kakek ini bengkak maka Lo kai menyeringai berkata padanya,
“Aku tak dapat menelan apa apa lagi. Kelenjar leherku bengkak, makan atau minum tak dapat kulakukan!”
“Ah, bagaimana kalau begini, Lo kai? Kau memangnya ingin mampus?” Cheng giok Sian li geregetan, memaki kakek itu namun Hwa liong Lo kai malah tertawa. Pedih dan pilu tawa kakek itu. Dan ketika wanita ini mencoba lagi dan mendorong dengan air tiba tiba obat itu malah keluar dan menyemprot wajah wanita ini.
“Nah,” Lo kai terengah engah. “Aku bukannya ingin mampus, Sian li. Tapi Dewa Maut rupanya sudah menghendaki diriku. Kau minggirlah, dan biarkan muridku maju!”
Wanita itu pucat. Kalau bukan Lo kai yang memintanya tentu dia maju lagi, penasaran dan tak perduli pada semprotan obat di mukanya. Sang suami maju dan memberikan saputangan. Dan ketika wanita itu membersihkan mukanya dan Sin Hauw maju berlutut maka Hwa liong Lo kai gemetar memegang bahu anak itu.
“Sin Hauw, gurumu tak ketulungan. Maukah kau menerima sebuah permintaanku?”
“Tidak!” Sin Hauw menjerit. “Kau tak akan apa apa, suhu. Kau akan sembuh!”
“Jangan bodoh. Kalau aku dapat ditolong tentu si Naga Sakti Hap Bu Kok itu akan menolongku, anak baik. Tapi dia diam tertegun di sana. Lihat, mereka itu calon gurumu yang baru!”
“Apa?” Sin Hauw terkejut. “Sin liong Hap Bu Kok?”
“Ya, dan itu isterinya, Sin Hauw. Wanita hebat Cheng giok Sian li!”
”Ooh!” dan Sin Hauw yang baru mengerti sekarang dan tertegun tiba tiba memandang dua suami isteri itu...