X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Golok Maut Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Jilid 04 Karya Batara
GOLOK MAUT
JILID 04
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“KALAU begitu ada sesuatu antara dirimu dengan orang ini. Hm, apa yang pernah kau lakukan, adik pangeran? Kau pernah menyakiti seseorang? Kau pernah berbuat salah?”

“Tidak.” Coa ongya menggeleng, berobah mukanya. “Aku tak merasa melakukan sesuatu, kanda kaisar. Tapi kalau Golok Maut ini tertangkap tentu aku akan tahu apa yang sesungguhnya terjadi!”

“Hm, kau harus bertanggung jawab dengan semua keamanan di sini. Aku tak mau Golok Maut itu mengacau lagi. Bisakah kau menjamin orang itu tak membuat onar lagi?”

“Akan kuusahakan, kanda kaisar. Dan harap maaf!” pangeran itu merah mukanya pergi dan kaisar berkerut kening.

Golok Maut menjadi tokoh misterius yang kini mengganggu benak kaisar pula. Baru sekali ini istana didatangi orang begitu berani, juga lihai. Dan ketika kaisar mengepal tinju dan adiknya pergi keluar maka istana dirundung murung karena puluhan orang luka luka dan tewas.

* * * * * * *

“Golok Maut, berhenti!”

Golok Maut tertegun. Belasan orang berkelebat di pagi itu dan laki laki ini terkejut. Dia terhuyung setelah baru saja semalam dia meloloskan diri, kelelahan dan pagi itu mencari tempat istirahat. Golok tersembunyi di punggungnya dan laki laki ini mendongak. Kim liong Sian li, ketua Kim liong pang tiba tiba muncul, bersama belasan pengiringnya dan masih ditambah pula oleh seorang laki laki muda dan wanita cantik yang terkekeh dan melirik ke arahnya, lirikan berbahaya yang aneh namun harus diakui merangsang, penuh daya berahi dan Golok Maut ini berhenti. Dan ketika lawannya berloncatan dan dia dikepung maka laki laki ini mendengus dan memandang laki laki muda serta wanita cantik itu.

“Hm, kau orang she Bhok? Mau apa?”

“Hi hik.“ wanita cantik, di sebelah laki laki muda itu mendahului. “Kami datang untuk membayar hutang, Golok Maut. Dan kebetulan sekali jumpa denganmu di sini!”

“Benar, kau membuat malu aku, Golok Maut. Dan kini aku datang bersama Kim liong pang cu (ketua Kim liong pang)!” laki laki muda itu yang bukan lain Bhok kongcu adanya membentak. Temannya itu bukan lain Mao siao Mo li daun wanita cantik ini mencabut payungnya, payung baru setelah yang lama rusak. diputus atau dibabat Golok Maut itu, dalam pertempuran mereka yang lalu. Dan ketika Kim liong Sian li juga membentak dengan seruan nyaringnya maka anak buah Kim liong pang maju menyebar mengelilingi Golok Maut itu.

“Pembunuh berdarah dingin, aku menuntut hutang adikku yang kau bunuh. Menyerahlah dan jelaskan kenapa kau membunuh ketua Hek liong pang!”

“Hm!” Golok Maut tenang tenang saja, menarik napas dalam. “Tak usah bercuap cuap. Kim liong Sian li. Kau dan semua orang tahu bahwa aku membenci orang orang she Coa dan Ci. Kalau kalian ber she Coa atau Ci tentu sudah ku bunuh!”

“Keparat, kau kurang ajar, Golok Maut. Kau tak menghargai nyawa orang. Sekarang bersiaplah menerima hukuman atau kau menyerah baik baik!”

Golok Maut tertawa mengejek. “Kim liong Sian li,” katanya dingin. “Aku tak berniat menghajar kalian sebaiknya minggir dan tahu diri.....”

“Apa katamu?” nenek itu melengking. “Jahanam kau, Golok Maut. Kalau begitu mampuslah.....singg” pedang si nenek tiba tiba sudah dicabut meluncur dan mendesing menuju tenggorokan Golok Maut.

Dan begitu Golok Maut mengelak dan diserang lagi tiba tiba Bhok kongcu dan lain nya bergerak menyerang dari kiri dan kanan dan tiba tiba anak buah Kim liong pang juga berseru keras. Mereka marah melihat si Golok Maut ini, beberapa teman mereka sudah dibunuh tanpa ampun. Dan ketika Golok Maut berkelebat menghindar dan Bhok kongcu sudah mencabut ikat pinggangnya sementara Mao siao Mo li membentak menggerakkan payungnya maka dua orang itu sudah menerjang membantu ketua Kim liong pang, bergerak susul menyusul dan belasan anak buah Kim liong pang menyerang di belakang. Mereka diperintahkan ketuanya agar tidak menyerang dari depan, maklum Golok Maut adalah tokoh yang benar benar lihai. Dan ketika semuanya bergerak dan Golok Maut menghindar maka laki laki itu mendengus dan dua jarinya bergetak ke sana sini.

“Cring cring!”

Golok Maut menangkis, mempergunakan dua jarinya dan terkejutlah anak buah Kim liong Sian li. Pedang di tangan mereka terpental dan kaki si Golok Maut pun bergerak, membalas. Dan ketika tiga di antara mereka terlempar kena tendangan laki laki itu maka tiga orang ini menjerit sementara yang lain lain membentak marah, maju menerjang lagi dan Kim liong Sian li melengking mempercepat putaran pedangnya. Golok Maut akhirnya dibuat sibuk dan harus mengelak sana sini. Dan ketika Bhok kongcu dan Mao siao Mo li mengerahkan ginkang berkelebatan mengelilingi Golok Maut itu maka payung atau ikat pinggang mulai mengenai tubuh laki laki ini, tak sempat di kelit.

“Plak bret!”

Mao siao Mo li dan Bhok kongcu terbelalak. Sama seperti dulu mereka melihat senjata mereka mental, Golok Maut melindungi dirinya dan sinkang laki laki itu mampu mementalkan semua senjata, kebal. Dan ketika pedang di tangan Kim liong pangcu atau ketua Kim liong pang pun mental menusuk tubuh Golok Maut maka nenek itu melengking penuh kemarahan.

“Keparat, jahanam kau, Golok Maut. Ku bunuh kau!”

Golok Maut mendengus. Kalau saja dia tidak melakukan pertempuran di istana barangkali gerakannya lebih hebat lagi. Laki laki ini sudah lelah dan sebenarnya dia ingin memulihkan tenaga, betapapun pertandingannya melawan Pek mo ko dan lain lain cukup menguras, apalagi mereka masih dibantu oleh para perwira atau pengawal, meskipun rendah namun cukup mengganggunya juga. Dan ketika pedang bersama payung atau ikat pingang naik turun menyambar nyambar maka Golok Maut minta agar lawannya minggir.

“Sebaiknya kalian pergi, atau satu dua orang bakal roboh!”

“Robohlah! Kau besar mulut, Golok Maut. Mampuslah!” pedang di tangan Kim liong Sian li membabat, bergerak dari atas ke bawah dan nenek itu masih melanjutkan dengan pukulan tangan kirinya. Dan ketika Golok Maut mengelak namun Bhok kongcu tertawa melepas Ang tok kang tiba tiba Mao siao Mo li juga menggerakkan tangan kirinya menghantam Golok Maut itu.

“Plak des dess!”

Golok Maut agak terhuyung. Tiga lawannya terpekik karena lagi lagi pukulan mereka membalik. Sinkang yang dikerahkan Golok Maut masih kuat dan semua pukulan tertolak. Dan ketika Kim liong Sian li berteriak marah dan empat anak murid Kim liong pang membentak dari belakang tiba tiba Golok Maut berputar dan untuk pertama kalinya dia bersikap keras, menyambut dan mencengkeram dan pedang di tangan anak murid Kim liong pang itu patah. Dan ketika Golok Maut menggerakkan tangannya dan patahan pedang disambitkan ke lawan maka empat orang roboh menjerit dan kepunganpun agak longgar.

“Crep crep aduh!”

Kim liong pangcu membentak. Robohnya empat anak muridnya membuat nenek itu geram, membacok tapi Golok Maut berjungkir balik. Dan ketika empat yang lain lagi menyambut tubuhnya dan laki laki ini menendang maka pedang kembali patah patah dan empat orang itu pun terlempar.

“Des des dess!”

Kim liong Sian li semakin marah. Selama ini mereka belum dapat merobohkan lawan, kini Golok Maut malah merobohkan delapan diantara mereka. Dan ketika nenek itu membentak dan marah menggerakkan pedang maka sekali lagi Mao siao Mo li dan Bhok kongcu menyambar, kali ini dari kiri dan kanan.

“Plak cret buk!”

Mao siao Mo li terpekik. Golok Maut memberikan pundaknya namun secepat kilat menyambar payung, membetot dan wanita itu tertarik. Dan ketika wanita ini terkejut namun kaki Golok Golok Maut bergerak maka wanita itu terlempar dan terbanting di tanah, payungnya terampas dan dipakai untuk menyambut ikat pinggang Bhok kongcu, membentak dan Bhok kongcu pun terkejut. Ikat pinggangnya melilit dan menggubat payung, disendal dan kagetlah pemuda itu karena tenaga lawan demikian besar, terkesiap namun pedang di tangan Kim liong Sian li mendesing. Dan ketika Golok Maut harus mengelak karena pedang menuju matanya maka Bhok kongcu menendang namun Golok Maut hanya tergetar, cepat menarik ikat pinggangnya dan selamatlah senjata di tangan pemuda ini, menyerang lagi dan kini payung rampasan dipergunakan si Golok Maut.

Hebat laki laki bercaping itu. Karena begitu dia membuka dan menutup payung tiba tiba lawannya kelabakan dan sebuah tusukan akhirnya merobohkan lagi seorarg anak murid Kim liong pang, menjerit dan payung kembali menyambar ke kiri kanan. Dua murid Kim liong pang terlempar ketika payung membuka, menggaet dan membanting mereka hingga bergulingan. Dan ketika payung menutup dan Golok Maut membentak maka ikat pinggang dan pedang di tangan Kim liong pangcu bertemu senjata aneh di tangan laki laki itu dan akhirnya dua orang itu pun terbanting.

“Nah,” Golok Maut berdiri tegak. “Kalian masih berani macam macam lagi, Kim liong Sian li? Siapa ingin dibunuh?”

Kim liong Sian li gentar. Setelah berturut turut mereka dirobohkan semua dan pedang atau ikat pinggang terlepas dari tangan mereka maka ketua Kim liong pang itu menangis. Nenek ini gusar namun gentar. Golok Maut jelas terlalu lihai dan luar biasa, mereka bukan lawannya. Dan ketika Mao siao Mo li juga tertegun dan menjublak melihat senjatanya dipakai Golok Maut maka laki laki itu melempar payung setelah sebelumnya dipatahkan menjadi dua, mendengus dan tidak ada siapa pun yang berani menghalangi jalannya. Laki laki itu telah menggerakkan kaki dan membalik. Tapi begitu dia memberikan punggungnya mendadak Bhok kongcu dan Mao siao Mo li menggerakkan tangan.

“Ser ser!”

Belasan senjata rahasia menyambar. Mao siao Mo li meluncurkan tujuh jarum beracunnya, sementara Bhok kongcu menyambit tujuh pelor baja. Tapi ketika Golok Maut membentak dia mendengar suara senjata senjata rahasia itu tiba tiba tanpa menoleh tokoh ini mengerakkan lengan ke belakang, menangkis dan tiba tiba tujuh pelor serta jarum membalik ke arah tuannya sendiri. Mao siao Mo li terpekik dan coba berkelit, gagal dan akhirnya tujuh jarum rahasianya menyambar tubuhnya sendiri. Dan ketika wanita itu terpelanting dan mengaduh kesakitan maka Bhok kongcu juga mengalami nasib serupa karena pelor pelor bajanya meledak dan menghantam tubuh nya sendiri.

“Aduh!”

Semua orang tertegun. Golok Maut malenggang namun akhirnya berkelebat, lenyap dan tidak perduli lagi pada Bhok kongcu maupun temannya yang berteriak kesakitan. Sebatang jarum menancap di pipi Mao siao Mo li sementara sebuah pelor baja meledak di jidat Bhok kongcu, kontan keluar “tanduknya” dan menjerit jeritlah dua orang itu. Dan ketika semuanya terbelalak tapi Golok Maut berkelebat lenyap maka Kim liong Sian li tertegun di tempat dan anak murid Kim liong pang pun ternganga bengong, dibentak dan menolong yang luka luka dan akhirnya ketua Kim liong pang itu berkelebat lenyap. Mao siao Mo li dan Bhok kongcu akhirnya memaki maki nenek itu, yang tak perduli pada mereka. Dan ketika semua berkelebat pergi dan dua orang ini menyumpah nyumpah maka Golok Maut sendiri telah jauh meninggalkan tempat itu mau mencari tempat istirahat.

Namun sial. Baru keluar hutan tiba tiba menghadang dua laki laki menunggang keledai. Mereka tersenyum senyum dan menghadang Golok Maut, memenuhi jalan setapak dan bicara mereka yang sengau membuat Golok Maut mendongakkan mukanya. Dan ketika dia melihat dua laki laki berhidung mancung yang kulitnya kehitaman maka tahulah dia bahwa dua orang asing mengganggunya di situ.

“Heh, kau Golok Maut, anak muda? Yang baru saja membuat onar di istana?”

Golok Maut tertegun, waspada pada kilatan mata yang seperti api, menyambar dan penuh kekuatan berpengaruh. “Kalian siapa?” dia tak menjawab. “Kenapa mengganggu orang lewat?”

“Heh heh, kami dua bersaudara Mindra dan Sudra, Golok Maut. Ingin main main denganmu dan melihat kepandaianmu!”

“Aku tak mengenal kalian, dan barangkali kalian salah menemukan orang!”

“Ha, kau takut? Kami telah mendengar pertempuranmu dengan Kim liong Sian li, Golok Maut, dan kami tahu bahwa kami tak salah mencari orang. Kau layanilah kami…!” Mindra, laki laki di sebelah kiri tiba tiba menggerakkan tangan. Tahu tahu sebuah pukulan menghantam dahsyat dan angin pukulannya baru menyambar tiba setelah dekat, hal yang mengejutkan Golok Maut karena itu tanda betapa hebatnya lweekeh atau tenaga dalam lawannya. Pukulan macam begini biasanya menghancurkan tulang atau daging sebelum orang yang dipukul sadar. Maka cepat mengelak dan menggerakkan tangannya tiba tiba Golok Maut menangkis.

“Dukk”

Mindra terpental. Laki laki Thian tok (India) itu berseru kaget, berjungkir balik di atas keledainya namun turun lagi, duduk dengan mata terbelalak. Dan ketika terdengar pujian kagum dari Sudra, temannya, tampak terkejut maka Mindra melayang turun dan menendang keledainya agar menjauh.

“Heh, benar dugaanku. Golok Maut. Kau lihai dan luar biasa!”

“Hm!” Golok Maut tak senang bersinar sinar. “Aku tak suka mencari permusuhan tanpa sebab yang jelas. Mindra. Minggir dan biarkan aku melanjutkan perjalananku!”

“Ha, mana bisa? Aku terlanjur di sini, Golok Maut. Tak mungkin kau melanjutkan perjalananmu kalau kita belum main main. Ayolah, aku penasaran!” dan Mindra yang berkelebat dan tiba tiba menggerakkan kedua lengannya tiba tiba melancarkan pukulan lagi dan angin panas menyambar, kedua lengannya bergerak cepat dan tahu-tahu dalam sakejap saja laki laki berhidung mancung itu telah menyerang tujuh belas kali, mulai dari kepala sampai ke kaki. Hebat dan cepat dan Golok Maut menghindar.

Lelaki ini berloncatan dan tujuhbelas serangan itu pun luput. Dan ketika Mindra membentak dan berseru keras tiba tlba lelaki itu sudah berkelebat dan mengejar lawannya, dielak tapi pukulan demi pukulan mendesak Golok Maut, tak mungkin laki laki itu mengelak saja tanpa menangkis. Dan ketika dua pukulan kembali menyambar dan apa boleh buat Golok Maut membentak marah maka empat lengan beradu dan Golok Maut kini tergetar!

“Ha ha, bagus. Golok Maut. Ayo sekarang kita beradu cepat!” Mindra mengerahkan kepandaiannya, lenyap berkelebatan cepat dan pukulan atau tamparan sudah menyambar nyambar dari lengan laki laki ini. Kian lama kian cepat dan juga kuat, Golok Maut menangkis tapi lagi lagi dia tergetar. Dan ketika lawan tertawa bergelak sementara Sudra, laki laki satunya tersenyum dan memuji berulang ulang maka pukulan hawa panas mulai membakar tempat itu dan daun daun kering pun berkeritik, seakan dipanggang!

“Hwi seng ciang (Pukulan Bintang Api)!” Golok Maut terkejut, berseru tertahan dan lawannya terbahak bahak. Mindra memperhebat serangannya dan Golok Maut pucat. Dia sudah berkali kali melakukan pertempuran tanpa berhenti, kini menghadapi pukulan pukulan Hwi seng ciang dan terdesaklah dia oleh pukulan pukulan itu. Dan ketika satu saat tamparan lawan meluncur di atas kepalanya tapi Mindra menekuk kelima jarinya tahu tahu tangan laki laki itu bergerak dan sudah mematuk kepala Golok Maut yang dilindungi caping.

“Bress!” Golok Maut terlempar. Capingnya berlubang dan kagetlah Golok Maut oleh kelihaian lawan. Dari serangan lurus tiba tiba Mindra telah merobahnya menjadi serangan mematuk, jadi seperti rajawali atau paruh garuda, yang menyambar atau menyerang lawan yang tidak menduga. Dan ketika laki laki itu berkelebat mengejar dan tertawa maka Golok Maut mendesis mengelak sana sini, menangkis tapi keteter karena ilmu pukulan lawannya sering berganti rupa. Sebentar mematuk tapi sebentar mencengkeram, sekali menampar tapi di waktu yang lain mendorong. Dan ketika Mindra merobah robah pukulannya tapi tenaga Bintang Api tetap dipergunakan laki laki India itu maka pundak Golok Maut terpukul lagi dan laki laki itu tarpelanting.

Mindra tertawa tawa. Dari dua pukulannya yang mengenai Golok Maut laki laki ini gembira. Golok Maut didesak dan apa boleh buat tokoh bercaping ini membentak nyaring. Dan ketika satu pukulan Hwi eng ciang kembali menyambar dan pukulan itu siap berobah menjadi jenis pukulan lain tiba tiba sinar menyilaukan berkelebat mengejutkan mata dan Mindra berteriak kaget.

“Cras!” Laki laki itu melempar tubuh bergulingan. Golok Maut, yang menggigil dan kelelahan oleh pertempuran berkali kali telah menunjukkan kelihaiannya yang ditakuti orang, mencabut golok di punggungnya dan putuslah kuku jari di tangan lawannya. Mindra hampir terbabat buntung dan laki laki India itu kaget bukan main, berteriak keras dan untung menarik cepat tangannya tadi. Dan ketika laki laki itu meloncat bangun dan Golok Maut berdiri dengan muka merah maka tokoh ini berkata dengan golok sudah lenyap di punggungnya,

“Nah, jangan memaksa aku. Mindra. Sekali aku mengeluarkan senjata maka jarang yang dapat menyelamatkan diri. Hentikan main main ini dan jangan saling mengganggu!”

Mindra tertegun. Tadi laki laki India itu melihat berkelebatnya sinar golok, begitu terang dan menyilaukan mata. Dia kaget karena itulah senjata ampuh yang bukan kepalang tajamnya, angin sambarannya saja sudah membuat bulu romanya bangun berdiri. Tapi begitu dia tertegun dan hilang kagetnya tiba tiba orang ini tertawa bergelak dan mencabut senjatanya, tombak pendek bermata dua, seperti nenggala.

“Ha ha, hebat kau. Golok Maut,” katanya. “Tapi justeru main main ini semakin memikat diriku. Senjatamu luar biasa sekali, barangkali karena itulah kau dijuluki Golok Maut. Baiklah, aku belum kapok dan masih ingin melanjutkan. Kalau aku kalah biar saudaraku maju membantu....wut!” dan tombak atau nenggala di tangannya yang mendesing tajam tiba tiba bergerak dan laki laki itu melompat, berkelebat menyerang lawannya dan kini Mindra mengajak pertempuran bersenjata.

Golok Maut mengerutkan kening dan mengelak, marah tapi mengakui kebandelan lawan. Orang orang kang ouw memang biasa begitu, tak mau sudah kalau belum betul betul dihajar. Maka begitu dia mengelak dan nenggala kembali bersiut dan menyambar dirinya tiba tiba Golok Maut berseru keras dan mencabut senjatanya itu lagi, golok yang hanya tampak sinarnya saja.

“Cras!” Ujung nenggala buntung terbabat. Untuk ke dua kalinya tokoh India itu dibuat kaget, berseru keras dan menyerang lagi, membalik senjatanya. Tapi ketika Golok Maut mendahului dan dua tiga kali sinar menyilaukan itu berkelebat di depan mata maka Mindra menangkis tapi senjatanya lagi lagi terpenggal.

“Crang crang!”

Laki laki berkulit hitam itu berteriak tertahan. Setelah sekarang Golok Maut mempergunakan senjatanya tiba tiba tokoh itu sepuluh kali lipat lebih lihai dibanding biasanya. Golok di tangannya itu hanya tampak berkeredep dan putuslah senjatanya, Mindra melompat mundur dan berseru berulang ulang. Dan ketika Golok Maut kembali berdiri tegak dan senjatanya yang luar biasa itu telah lenyap di belakang punggung maka laki laki India ini mengusap keringat dan terhuyung dengan muka pucat.

“Kau..... siluman! Senjatamu itu senjata siluman! Aih, kau mengandalkan keampuhan senjata mu untuk mencari kemenangan, Golok Maut. Kau curang!”

“Hm!” laki laki ini mendengus. “Senjata di pergunakan untuk membela diri. Mindra, biasanya kepala yang menjadi tujuanku. Tapi karena kau bukan musuhku maka kuperlihatkan padamu bahwa nenggalamu itu tidak berarti. Pergilah, sekarang kita tak perlu saling mengganggu!”

“Nanti dulu.” Sudra, lelaki di atas keledai tiba tiba berjungkir balik. “Kau lihai dengan golok ampuhmu, Golok Maut. Tapi kami ada dua orang di sini, biarlah kami lampiaskan penasaran kami dan kau hadapi kami berdua..... tar!” cambuk baja meledak di tangan laki laki ini, entah dicabut dari mana dan Mindra berseru girang. Tadi temannya hanya menonton dan tidak bergerak, kini turun dan ingin mengeroyok si Golok Maut itu, yang ternyata menjadi lihai luar biasa selelah mencabut goloknya, senjata yang ampuh itu. Dan ketika Sudra sudah menggoyang tubuhnya dan tertawa meledak ledakkan cambuk maka Golok Maut tertegun mengerutkan kening.

“Sudra, aku tak ingin memusuhi kalian. Kalian orang asing. Kenapa mendesak dan menekan ku seperti ini? Kalau aku tak lelah boleh saja kalian maju tanpa senjata, Sudra. Tapi sekarang ku minta kalian mundur dan lain kali saja kita bertanding!”

“Ha ha, kepalang jumpa di tempat ini, Golok Maut. Kepalang basah bertemu denganmu. Ayolah, aku belum merasakan ketajaman golokmu dan biar kucicipi..”

Tar tarrr cambuk itu meledak kembali, semakin nyaring suaranya dan Mindra mengangguk angguk. Memang dia terkejut tapi belum kapok, kawannya masih ada di situ dan mereka dapat maju berbareng. Dan ketika Golok Maut menjadi marah namun laki laki India itu tak perduli tiba tiba Sudra sudah menggerakkan cambuknya dan senjata panjang itu menyambar Golok Maut, dikelit tapi cambuk mengejar. Sudra sudah memainkan senjatanya dengan lihai. Cambuk melingkar dan meledak ledak.

Dan ketika Golok Maut terus diburu dan laki laki itu membentak gusar maka Mindra, lawan satunya bergerak pula, tertawa menggerakkan nenggalanya yang buntung dan tokoh India itu masih hebat. Dibantu cambuk dia menyerang dan menusuk Golok Maut. Dan ketika Golok Maut dirangsek dan apa boleh buat harus mengutirkan senjataaya maka sinar menyilaukan itu datang lagi namun nenggala dan cambuk menghindar, melejit dan menyerang lagi dari arah yang lain dan terkejutlah Golok Maut. Sepasang tokoh India itu sudah menyerangnya dari muka dan belakang, malah mulai berputaran dan berpindah pindahlah mereka seperti capung menyambar nyambar.

Dan ketika mereka juga mengerahkan Hwi seng ciang dan tangan kiri mereka bergerak membantu senjata di tangan kanan maka Golok Maut melengking menggerakkan senjatanya pula, berkelebat dan tiba tiba lawannya tertawa bergelak, mengerahkan ginkang dan lenyaplah mereka mengelilingi Golok Maut itu. Dan karena mereka sudah bergerak dan cambuk atau nenggala bertubi tubi menyerang dari muka belakang maka Golok Maut menggerakkan goloknya dan membabat atau menangkis, dihindari dan dua laki laki India itu cerdik. Mereka tak mau beradu senjata dan dipaksalah Golok Maut untuk berputaran.

Dan ketika Golok Maut menjadi marah dan berseru keras maka tiga orang itu berkelebatan lenyap karena Golok Maut juga mengerahkan sinkangnya, sambar menyambar dan ramailah pertandingan ini. Mindra dan temannya menarik senjata setiap golok yang menyilaukan itu menyambar, beradu cepat karena sedikit terlambat tentu senjata mereka putus. Peristiwa yang dialami Mindra sudah cukup memberitahukan Sudra. Dan ketika ketiganya bergerak sama cepat Golok Maut terkejut karena dua tokoh Thian lok itu ternyata betul betul lihai maka Sudra tertawa bergelak sementara temannya juga tertawa nyaring.

“Bagus, hebat, Golok Maut. Tapi kami tak mau beradu senjata!”

“Ya, dan luput. Golok Maut. Ayo kalahkan kami dan lihat siapa yang menang, ha ha!”

Dua orang itu bergerak silih berganti. Baik Mindra maupun Sudra sama sama cepat mereka keliling mengelilingi dan Golok Maut dibuat bingung. Sinar goloknya yang menyambar sana sini berkali kali luput, hanya mengenai angin kosong. Dan ketika dua orang India itu menggerakkan tangan kiri mereka dengan pukulan pukulan Hwi seng ciang maka Golok Maut kewalahan dan terkena.

“Des dess!”

Golok Maut marah. Kalau lawan mau beradu senjata tak usah dia lama lama di situ. Dua pukulan mengenai dirinya dan Golok Maut ini tergetar. Dia sudah mengerahkan sinkang namun Hwi seng ciang cukup hebat juga, sesak napasnya dan lawan benar benar lihai. Dan ketika dia harus berputaran mengikuli gerakan lawan tiba tiba tanpa terasa kepalanya menjadi pening.

“Ha ha, serang kami, Golok Maut. Hayo serang....!”

Golok Maut terhuyung setelah lawan berputaran dan dia pening maka bayangan dua laki laki itu menjadi ganda. Mereka seolah empat orang dan Golok Maut terkejut. Satu ketika cambuk pun terlihat dua buah dan ledakan cambuk menyengat kulitnya, tidak luka tapi membuatnya ke sakitan. Dan ketika lengan dua orang lawannya itu juga tampak berlipat dua maka sebuah pukulan Hwi seng ciang akhirnya menghantam tengkuknya.

“Dess!”

Laki laki ini terpelanting. Lawan terbahak bahak tapi Golok Maut tak mengeluh, bangkit lagi dan masih terpancing oleh gerakan mereka yang berputaran. Tapi ketika sebuah pukulan lagi mengenai tubuhnya dan Golok Maut terhuyung maka Golok Maut menggeram dan tidak mau mengikuti lawan, sadar bahwa ia telah terpancing dan kini gerakan dua orang itu hanya diikutinya dengan pendengaran, yang belakang ditangkap dengan telinganya sementara yang depan dtawasi dengan sepasang matanya. Golok Maut kini tengah berdiri dan hanya sesekali dia menggerakkan senjatanya, menangkis dan tentu lawan mengelak. Dan ketika lawan tertegun karena Golok Maut tak beranjak dari tempatnya maka Sudra dan Mindra memaki maki.

“Heh, seranglah kami. Golok Maut. Ayo bergerak dan jangan seperti banci.”

“Benar, menunggu adalah perbuatan wanita Golok Maut. Hayo ikuti kami dan seranglah kami!”

“Tidak.” Golok Maut mendengus. ”Kalian mengakali aku, Sudra. Kalau ingin menyerang seranglah, aku bertahan dan coba kalian robohkan aku!”

“Tapi sikapmu seperti wanita.....!”

“Tak perlu banyak cakap. Robohkan aku dan sambut senjataku, Mindra. Atau kalian pergi dan jangan banyak tingkah di sini......wut-sing!” Gerakan si Golok Maut luput nenggala menyambar tapi cepat ditarik kembali ketika sinar menyilaukan itu berkelebat. Sekarang dua laki laki India ini marah marah karena mereka tak mampu memancing lawan. Golok Maut menunggu dan ketajaman goloknya itulah yang akan menumbangkan mereka. Dan karena Golok Maut hanya diam sementara mereka terus berkelebatan kian kemari maka Golok Maut dapat menarik napas dalam sementara dua laki laki itu memburu napasnya karena banyak serangan yang gagal atau memang digagalkan!

“Keparat, hayo bergerak, Golok Maut. Menyeranglah!”

“Tidak, kalian yang ingin menyerang. Sudra. Kalianlah yang bergerak dan biar aku menangkis.“

“Tapi golokmu yang keparat itu.” Sudra memaki maki. “Kau mengandalkan senjata bukannya kepandaian, Golok Maut. Kau pengecut dan licik!”

“Hm, yang licik dan pengecut adalah kalian. Sudra. Kalian mengeroyok dan menghadapi orang yang sudah lelah!”

“Itu.... ah!” dan Sudra yang tak dapat bicara lagi tiba tiba membentak dan berkelebat di belakang, menjeletarkan cambuknya namun Golok Maut menggerakkan senjatanya ke belakang, mendesing dan terpaksa Sudra menarik kembali serangannya. Dan ketika Mindra ganti menusukkan nenggalanya namun Golok Maut mendengus maka senjata itu kembali bergerak dan keduanya sama sama luput mengenai angin, napas Mindra dan temannya memburu sedangkan Golok Maut agak lega. Dia hanya menggerakkan senjata ke kiri atau ke kanan dan lawan lawannya itu pun menarik serangan mereka begini berulang ulang. Dan ketika keringat membasuh dahi dua orang itu dan Mindra menyumpah nyumpah tiba tiba berkelebat bayangan lain dan Kim liong Sian li muncul lagi dengan teman temannya, Bhok kongcu dan Mao siao Mo li.

“Hi hik, kami bantu kalian, Sudra. Memang Golok Maut ini harus dibunuh..... ser ser!”

Mao siao Mo li menimpukkan jarum jarum beracunnya, disusul kemudian oleh Bhok kongcu yang melempar pelor pelor baja. Sekarang Golok Maut tak dapat menampar balik senjata senjata rahasia mereka, karena Mindra dan Sudra tetap melancarkan serangan serangannya. Jadi terpaksa Golok Maut menangkis atau mengelak senjata senjata rahasia itu.

Dan ketika jarum atau pelor runtuh ke tanah namun mereka menyerang lagi maka Kim liong Mo li juga melepas pisau pisau kecil sambil menerjang ke depan, lebih gagah, berteriak dan membentak membantu dua laki laki itu dan Mindra serta temannya terbelalak. Mereka tak senang dan melotot, Sudra mau mengusir ketua Kim liong pang itu dengan kebutan lengannya. Tapi ketika Mindra mencegah karena bagaimana pun bantuan itu berguna bagi mereka maka Golok Maut sudah dikeroyok tiga orang sementara Bhok kongcu dan Mao siao Mo li licik menyerang dari luar, menyambit nyambitkan senjata rahasia dan anak murid Kim liong pang yang lain mengganggu pula dari luar.

Dan ketika semuanya itu membuat sibuk Golok Maut dan apa boleh buat dia terpaksa bergerak dan berkelebatan menghindari hujan serangan lawan maka Golok Maut membentak menangkap jarum atau pelor pelor yang berhamburan, dilemparkan kembali dan menjeritlah enam orang murid Kim liong pang yang terkena timpukan balik ini, disusul lagi oleh teriakan yang lain ketika pisau Kim liong Sian li ditampar dan mengenai mereka.

Dan ketika berturut turut hal itu malah menguntungkan Golok Maut karena bantuan yang lebih rendah biasanya akan menyulitkan yang lebih tinggi maka Mindra dan Sudra terkejut, tentu saja gusar karena mereka malah kacau sendiri. Jarum dan pelor bahkan ada yang terpental ke arah mereka, ditangkis dan berhamburan bertemu Golok Maut, hal yang membuat mereka naik darah dan akhirnya menyuruh orang orang itu mundur. Namun ketika anak anak murid Kim liong pang masih ada yang nekat dan mereka mengganggu dari luar maka Sudra menggerakkan cambuknya dan tiga murid Kim liong pang terlempar.

“Keparat kalian, minggir!”

Kim liong Sian li marah. Melihat anak muridnya dicambuk Sudra nenek itu melengking, memaki tokoh India ini. Tapi Sudra yang mendengus dan menjeletarkan cambuknya malah balas memaki dan membentak nenek itu.

“Kau harus tahu diri, Kim liong Sian li. Kepandaianmu masih belum dapat menandingi Golok Maut. Pergilah atau kau pun kuhajar!”

“Keparat, kau memaki aku. Jahanam, kubunuh kau, Sudra. Dibantu malah tak tahu diri.” dan nenek itu yang balik menyerang Sudra dan meninggalkan Golok Maut tiba tiba menusukkan pedangnya dan laki laki ini menyampok, pedang terpental miring namun Kim liong Sian li menyerang lagi. Dan ketika dua orang itu bergebrak sendiri dan Mindra membentak maka laki laki itu menghantam Kim liong Sian li dan membela temannya.

“Kaulah yarg tak tahu diri, Kim liong Sian li. Kami tak mau dibantu atau kau hadapi Golok Maut sendirian... dess!”

Kim liong Sian li terlempar, menjerit oleh pukulan Hwi seng ciang dan yang lain pun ribut. Bhok kongcu dan Mao siao Mo li berteriak, tentu saja tak menghendaki kejadian itu. Dan ketika pertempuran pecah dan Golok Maut mendapat kesempaian tiba tiba laki laki itu meloncat dan berkelebat pergi, merasa cukup dan lelah.

“Hei....!” Sudra membentak. “Jangan lari, Golok Maut. Pertandingan belum selesai!”

“Hm, aku enggan menghadapi kalian. Sudra. Tak ada permusuhan jelas di antara kita!”

“Tapi aku ingin memusuhimu, aku ingin mengajakmu bertanding....!”

“Kau gila!” dan Golok Maut yang lenyap meninggalkan suaranya tiba tiba dikejar dan diburu Sudra, mencaci Kim liong Sian li yang menjadi gara gara dan Mindra pun membentak. Mindra marah karena Golok Maut melarikan diri, memutar tubuhnya dan mengejar lawannya setelah tadi menghajar Kim liong Sian li. Dan Ketika dua laki laki itu lenyap dan Kim liong Sian li bergulingan melompat bangun maka nenek ini memaki dan mengejar mereka pula.

“Kejar dua laki laki keparat itu. Bunuh dia!”

Murid murid Kim liong pang kebingungan. Mereka mengejar namun ada yang ragu ragu, di tendang dan ditempeleng ketuanya. Dan ketika semua berkelebatan dan Bhok kongcu saling pandang

Halaman 30-31 tidak ada

“Hm,” anak ini mundur, melepaskan diri. “Tak usah berpura pura, ibu. Aku tahu bahwa ayah dibunuh Kwi goanswe. Ayah difitnah orang dan Kwi goanswe (jenderal Kwi) yang membunuhnya. Aku akan menuntut balas pada Kwi goanswe ini!”

“Tidak!” ibunya memekik. menyambar anak ini. “Kau tak tahu apa apa, Sin Hauw. Kau bodoh dan ngawur. Kwi goanswe adalah saudara kita sendiri. Dialah yang kini menghidupi dan memberi makan minum kita! Siapa yang memberi tahu itu padamu? Siapa pendusta yang lancang mulutnya itu?”

Anak ini tertegun. Ibunya mencengkeram dan mengguncang guncang tubuhnya, menangis dan marah marah kepadanya. Menyuruh dia memberi tahu siapa yang menceritakan itu. Anak ini termangu namun akhirnya menggigit bibir. Dan ketika dia ikut menangis dan memandang lukisan di dinding yang menggambarkan seorang laki-laki gagah mendadak anak itu menuding, bertanya, “Ibu, beranikah kau bersumpah bahwa ayah betul betul meninggal karena sakit? Beranikah kau bersumpah di bawah gambarnya bahwa dia bukan dibunuh Kwi goanswe?”

“Ooh,” ibu muda itu tersedu sedu. ”Kau kemasukan setan, Sin Hauw. Entah kenapa hari ini sikapmu demikian luar biasa. Kau anak kecil tak tahu apa apa, sebaiknya diam dan jangan berkata seperti itu kepada ibumu!”

“Ibu tak berani bersumpah?”

“Untuk apa?”

“Yakinkan hatiku bahwa ayah bukan dibunuh Kwi goanswe, ibu. Atau aku akan menuntut balas dan mendatangi rumah jenderal itu!”

“Sin Hauw.....!”

“Tidak! Katakan dulu, ibu. Aku tadi dimaki maki Kwi Bun dan dia menyabut nyebut bahwa ayah adalah pemberontak. Bocah itu berani menamparku dan menendangku segala. Aku tak terima!”

Wanita muda ini tertegun. “Kau ditampar Kwi kongcu?”

“Kenapa ibu memanggilnya kongcu (tuan muda)? Bukankah dia adalah saudara sendiri kata ibu?”

Wanita ini menutupi mukanya. Beradu pandang dengan puteranya yang demikian keras dan tegas tiba tiba wanita ini teringat mendiang suaminya, laki laki gagah yang terpampang gambarnya itu. Dan ketika dia mengguguk dan tidak menjawab tiba tiba anak lelaki ini meloncat ke belakang dan menyambar pisau serta lari ke gedung Kwi goanswe.

“Sin Hauw!” wanita itu memekik. “Kau mau apa? Kau gila?”

“Aku mau membunuh Kwi Bun, ibu. Dan kalau bisa juga Kwi goanswe!”

“Oh, tidak!” dan sang ibu yang mengejar dan menubruk anakaya tiba tiba menjerit dan merampas pisau itu, berkutat dan sejenak ibu dan anak menyerang dan bertahan. Sin Hauw membentak dan tanpa sengaja menggores lengan ibunya, berdarah dan menjeritlah wanita itu. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan berdiri bengong tiba tiba ibunya maju dan menampar dirinya,

“Sin Hauw, kau anak kurang ajar. Kau, oh .....!” dan Sin Hauw yang terpelanting ditampar ibunya tiba tiba direbut dan pisau sudah berada di genggaman wanita muda itu, terbelalak dan kini tegak di depan anak itu sementara Sin Hauw sendiri mematung.

Keberingasan yang tampak di mata anak ini tiba tiba redup. Ibunya menangis dan memegangi luka itu, Dan ketika Sin Hauw mengeluh dan lari ke kamar tiba tiba anak ini mengguguk dan melempar tubuh di pembaringan, menangis dan ibunya menyusul tapi anak itu tak menggubris. Sin Hauw menutupi mukanya dengan bantal dan berteriak teriaklah anak itu memaki Kwi Bun, putera Kwi goanswe.

Dan ketika malam itu ibunya menjaga dan Sin Hauw berhasil di cegah maka wanita ini tenang dan melihat putera nya tertidur, berkali kali terisak dan wanita muda ini pun mengantuk. Lukanya sudah dibalut dan dia menganggap anaknya dapat dibujuk. Sin Hauw tak akan ke tempat Kwi goanswe untuk melaksanakan ancamannya itu. Tapi begitu dia tergolek dan tertidur kelelahan, lelah lahir batin tiba tiba anak laki laki itu bangun dan meluncur turun, hati hati dan menyelinap dan tengah malam itu juga anak ini menuju ke gedung Kwi goanswe.

Sebuah pisau berada di tangannya kembali dan bayangan anak laki-laki itu sudah memasuki gedung, hal yang tak diduga pengawal karena tak mungkin seorang bocah berani malam malam keluyuran. Dan begitu anak ini tiba di kamar musuhnya dan Kwi Bun, putera Kwi goanswe terkejut melihat kamarnya dimasuki orang tiba tiba pisau itu menyambar dan Sin Hauw menyerang lawannya.

“Kwi Bun, mampuslah!”

Kwi Bun, anak laki laki ini menjerit. Serangan Sin Hauw yang gagal mengenai perutnya dan menusuk paha membuat anak itu berteriak. Mereka adalah teman sepermainan dan Sin Hauw memang sering ke tempat anak laki laki ini. Itulah yang menyebabkan Sin Hauw mengenal kamar musuhnya dan dengan gampang menyelinap masuk, membuka pintu kamar dan menyerang. Tapi karena membunuh orang belum pernah dilakukan anak kecil itu dan serangannya dibarengi jari yang menggigil maka tusukan luput mengenai perut, ganti menikam paha dan lawannya menjerit. Kwi Bun berteriak dan kontan gedung Kwi goanswe geger, mendengar jeritan atau lolong anak itu.

Dan ketika Sin Hauw terkejut karena serangannya gagal maka lawannya melompat bangun dan bergulingan menjauhkan diri, melihat Sin Hauw ada di situ dan putera Kwi goanswe ini terbelalak. Dia kaget dan heren serta marah. Tapi begitu Sin Hauw menggeram dan menyerangnya lagi tiba tiba anak ini mengelak dan Sin Hauw ditendang, mencelat dan Sin Hauw terlempar di sudut. Anak ini mengeluh tapi pisau tetap di tangannya, lawan membentak dan Kwi Bun ganti menubruk. Dan karena putera jenderal Kwi itu adalah anak yang dilatih silat dan dia sudah sadar dari kekagetannya maka anak ini menghantam Sin Hauw dan dua tiga kali Sin Hauw mengelak, luput dan anak itu mendapat sebuah tendangan lagi.

Meskipun kecil tapi putera Kwi goanswe itu cukup hebat, gerak geriknya tangkas dan Sin Hauw terbanting lagi, melawan tapi bocah ini mengeluh. Setelah Kwi Bun terbangun ternyata dia tak dapat menghadapi musuhnya itu. Dan ketika Kwi Bun menghajarnya dan berkali kali anak itu memakinya maka Sin Hauw roboh terlempar dan pisau akhirnya terlepas, roboh terbanting bersamaan dengan muncul nya sesosok bayangan tinggi besar.

“Bluk!”

Bayangan ini telah berkelebat datang. Seorang laki laki bermuka keren membentak masuk, pakaiannya kedodoran menunjukkan ketergesa gesaannya. Dan persis Sin Hauw mengeluh di lantai maka orang ini, yang bukan lain Kwi goanswe adanya membentak, “Kwi Bun, apa yang terjadi? Ada apa dengan bocah ini?”

“Sin Hauw mau membunuhku, ayah. Dia datang dan menyerang dengan pisau!” Kwi Bun, anak laki laki itu memberi tahu. Mukanya merah dan anak itu meringis manahan sakit, ayahnya terkejut dan para pengawal segera bermunculan. Mereka kaget dan mendengar suara gaduh itu, datang dan kini melihat dua anak itu. Sin Hauw melipat perut di sudut sementara Kwi Bun meringis menahan sakitnya.

Dan ketika Kwi goanswe terbelalak dan menyambar anak itu maka Sin Hauw dibentak dengan suaranya yang menggeledek. “Kau mau membunuh Kwi Bun? Apa salahnya kepadamu. Sin Hauw? Kau bocah gila yang tidak waras?”

Sin Hauw diam saja.

“Heh!” Kwi goanswe mencengkeram anak itu. “Katakan padaku apa sebabnya kau mau membunuh Kwi Bun, Sin Hauw. Atas suruhan siapa kau datang ke sini!”

“Aku datang alas suruhan diriku sendiri. Aku mau membunuh Kwi Bun karena dia menghina dan menamparku!” Sin Hauw akhirnya menjawab, tak kenal takut.

Kwi goanswe tertegun namun memperkeras cengkeramannya, mendengus. Dan ketika anak itu memandangnya tak gentar dan jenderal ini marah tiba tiba dia melempar anak itu, “Keparat, kau kurang ajar. Sin Hauw. Kau bocah tak tahu diri!” lalu menyuruh pengawal menangkap dan membawa anak itu jenderal ini sudah memerintahkan agar Sin Hauw dirangket. “Ambil rotan, hukum dia!”

Namun Kwi Bun yang berseru meloncat berdiri mencegah ayahnya. “Nanti dulu,” katanya. “Biar aku yang menghukum dia, ayah. Bocah ini harus dihajar dan kalau perlu dibunuh!”

“Bunuhlah!” Sin Hauw menantang. “Aku tak takut ancamanmu, Kwi Bun. Gagal dalam melaksanakan tugas adalah biasa!”

“Hm,” jenderal Kwi mengerutkan kening. “Permusuhan apa yang menyebabkan anak setan ini demikian dendam? Apa yang kaulakukan padanya, Kwi Bun?”

“Entah.” anak itu menggeleng. “Aku tak melakukan apa apa padanya, ayah. Tahu tahu malam begini dia datang dan mau membunuh aku!”

“Bohong, kau menghina dan menamparku siang tadi, Kwi Bun. Kau menyebut ayahku sebagai pemberontak! Kau mengatakan ayahku dibunuh ayahmu!”

Kwi goanswe kaget. “Kau bilang begitu?”

“Ha ha,” Kwi Bun tiba tiba tertawa. “Itu kuingat sekarang, ayah. Memang benar siang tadi aku menampar dan memberinya sedikit pelajaran. Sin Hauw sombong. dia tak mau kuperintah dan kutendang.”

“Dan tentang ayahnya itu,” jenderal Kwi melotot. “Apakah kau bilang ayahnya kubunuh?”

“Ini.... ini....” anak itu ketakutan. “Aku main main, ayah Aku tak sungguhan....”

“Plak!” anak itu terlempar, ayahnya menggerakkan tangan dan Kwi Bun menjerit. Kwi goanswe menjadi kaget atas kata kata puteranya ini. Maka begitu Kwi Bun ditampar dan terbanting reboh tiba tiba jenderal tinggi besar itu menggeram, menyambar dan mencengkeram anaknya. “Kwi Bun, kau tahu apa yang akan terjadi dengan kata katamu ini? Tahukah kau bahwa mulut mu yang lancang itu akan membuat susah ayah mu?”

“Ampun....” anak ini menggigil. “Aku hanya main main, ayah. Sin Hauw... dia.....”

“Kau lancang!” dan Kwi goanswe yang melempar serta menendang puteranya akhirnya membalik menghadapi Sin Hauw. “Bocah.” katanya. “Apakah kau menerima di hati kata kata Kwi Bun tadi? Tahukah kau siapa aku dan siapa ayah mu?”

Sin Hauw mengerutkan kening. “Aku tahu kau adalah seorang yang jahat, paman Kwi. Kau membunuh ayahku dan membuat aku dan ibu menderita, juga enci Kin!”

“Hm, kau salah. Kalau aku jahat tak mungkin ibumu mendapat nafkah setiap bulan. Kwi Bun hanya main main kepadamu. Sin Hauw. Harap kau tidak percaya omongannya dan pergi baik baik. Kalau kau mau menerima kata kataku ini maka kau bebas, tapi kalau tidak, hm..... kau harus dihukum. Siu Hauw Kau lancang dan malam malam mau membunuh anakku!”

“Aku tidak takut!” anak itu mengedikkan kepala. “Aku tak dapat dibujuk, paman Kwi. Kalau kau mau menebus dosa ayahku dan Kwi Bun berlutut minta maaf barulah aku mau sudah!”

“Apa maksudmu? Menebus dosa bagaimana?”

“Kau kembalikan nyawa ayahku atau kau menggantinya dengan jiwamu sendiri!”

“Keparat!” jenderal itu membentak. “Kau jahanam tak tahu diri, Sin Hauw. Kalau begitu kau enyah dan biar pengawal merangket tubuhmu..... dess!” dan Kwi goanswe yang menendang anak itu hingga mencelat akhirnya marah marah dan menyuruh pengawal menangkap anak laki laki itu, membawanya ke belakang dan muka jenderal tinggi besar ini merah. Dia gusar bukan main atas kekurangajaran anak itu. Dan ketika dia memberi tanda agar anak itu dihabisi jiwanya maka Kwi goanswe berkelebat dan memasuki kamarnya sendiri.

“Bedebah! Keparat!” kutuknya berkali kali. “Kau persis ayahmu, Sin Hauw. Kau anak pemberontak yang tak tahu diuntung!” dan membanting pintu kamar menyuruh pengawal menghajar anak itu maka Sin Hauw menjadi bulan bulanan di belakang.

Dua pengawal menyeretnya dan anak itu dimaki maki. Sin Hauw dibawa menjauh dan pukulan serta tendangan kembali mendarat di tubuhnya, tidak mengaduh dan pengawal mengambil rotan, baru anak itu mendesis dan Sin Hauw menahan sakit. Dan ketika pengawal membawanya ke sumur dan anak itu mau dibunuh dengan jalan dilempar ke sumur mendadak Kwi bun muncul.

“Nanti dulu, serahkan padaku!” anak itu berkelebat, membuat pengawal tertegun tapi mereka tertawa. Anak kecil ini adalah majikan mereka, putera Kwi goanswe. Maka ketika Kwi Bun berseru dan minta agar Sin Hauw jangan dilempar dulu anak ini sudah berdiri di depan lawannya merampas pemukul dari pengawal di sebelah kiri.

“Sin Hauw.” bentaknya “Malam malam kau datang untuk membunuh aku. Dan gara gara kau aku mendapat pukulan dari ayahku. Katakanlah. hukuman bagaimana yang kau inginkan sebelum kau dilempar ke sumur?”

“Hm,” Sin Hauw mengejek. “Tak perlu banyak bicara, Kwi Bun. Aku kalah dan tertangkap. Kalau kau ingin membunuhku bunuhlah, aku tak takut dan boleh apa saja kau lakukan terhadapku. Kalau kau minta aku mengatakan sesuatu maka yang keluar dari mulutku adalah makian untukmu. Kau jahat dan sewenang wenang, pengecut!”

“Apa?” Kwi Bun memukulkan rotan. “Aku pengecut dan sewenang wenang? Apa buktinya?”

“Buktinya cukup, Kwi Bun. Kau mengandalkan ilmu silatmu untuk menindas aku. Mentang mentang aku tak bisa silat maka kau sering mengganggu dan menghina aku.”

“Ha ha, itu salahmu sendiri. Sin Hauw. Kalau kau menurut dan tunduk kepadaku tentu aku tak akan mengganggumu. Kaulah anak tak tahu diri, sudah diberi makan masih juga menggigit majikan! Eh, aku ingin menyiksumu dulu Sin Hauw. Membalas tendangan ayah gara gara kau.... dess!” dan Kwi Bun yang menggerakkan kaki menendang anak itu tiba tiba membuat Sin Hauw terlempar dan jatuh di dekat sumur, dikejar dan Kwi Bun tertawa tawa menggerakkan rotannya. Kini alat pemukul itu mendera Sin Hauw dan bak bik buklah tubuhnya dihajar rotan Kwi Bun berseru agar lawannya mengaduh, menangis dan memintna minta ampun.

Tapi ketika Sin Hauw menggigit bibir dan anak itu sama sekali tak menangis atau mengaduh maka Kwi Bun terbelalak dan anak ini melotot, menghajar muka lawannya dan pecahlah mulut Sin Hauw dihajar rotan. Anak itu terpelanting namun tetap saja Sin Hauw tak berteriak, sekuat tenaga anak ini menahan sakit dan air matanya sajalah yang bercucuran, menahan pedih dan tubuh yang seakan remuk. Dan ketika dua pengawal tertawa tawa dan mereka justeru gembira oleh perbuatan Kwi Bun tiba tiba muncul seorang gadis yang menjerit di situ.

“Sin Hauw.... Kwi Bun....! Apa yang kalian lakukan? Oh, kau menghajar Sin Hauw? Kau menyakiti adikku? Tahan, Kwi Bun... tahan!” dan seorang gadis yang tersedu dan menangis di situ tiba tiba menahan gerakan Kwi Bun dan gadis ini meloncat menubruk Sin Hauw, mengguguk dan marah sekali kepada Kwi Bun. Dua pengawal tertegun dan tiba tiba mereka menyeringai. Dan ketika gadis itu mendekap Sin Hauw dan Kwi Bun memberi tanda tiba tiba dua pengawal itu maju dan sudah mencengkeram pundak gadis ini.

“Hwa Kin, mundurlah. Biarkan adikmu menyelesaikan urusannya dulu dengan Kwi kongcu“

“Keparat!” gadis itu meronta. “Kalian jahat, pengawal. Kalian mendiamkan saja perbuatan Kwi Bun kepada adikku. Aku akan melapor ini pada Kwi goanswe!”

“Ha ha,” pengawal tiba tiba tertawa. “Justeru Kwi goanswe yang menyuruh kami di sini. Hwa Kin. Sin Hauw hendak membunuh Kwi kongcu dan membuat onar!”

“Apa?”

“Tanyalah adikmu.” pengawal itu mengejek, bersinar sinar. “Adikmu yang kurang ajar ini hendak membunuh Kwi kongcu, Hwa Kin. Dan sebagai hukumanya mestinya dia juga dibunuh!”

“Tidak.... oh!” dan Hwa Kin yang membalik menghadapi Sin Hauw bertanya, pucat, suaranya menggigil, “Sin Hauw, benarkah kau hendak membunuh Kwi Bun? Apa yang kaulakukan di sini?”

“Dia menghina aku dan ayah, enci. Kwi Bun mengatakan ayah pemberontak. Dan ayahnya membunuh ayah kita. Aku datang memang untuk membunuhnya, membalas dendam!”

Mata yang bening itu terbelalak, kian lama kian lebar dan Hwa Kin tiba tiba mengeluh. Dan ketika dia gemetar dan semakin pucat memandang adiknya tiba tiba gadis ini membalik, menghadapi Kwi Bun, putera Kwi goanswe itu. “Kau bicara seperti itu? Kau.... kau mengatakan ayah dibunuh?”

“Hm.” Kwi Bun, anak laki laki itu menyeringai. ”Kepalang basah bermain main, Hwa Kin. Ayahmu memang dibunuh. Dia pemberontak, kalian anak pemberontak. Dan karena Sin Hauw mau membunuhku maka adikmu harus dibunuh pula. Kalian mewarisi darah pemberontak, kau pun kutangkap dan harus menyerah!”

“Ha ha,” dua pengawal tiba tiba maju ke depan. “Kalau begitu serahkan gadis ini kepada kami, kongcu. Kami tahu bagaimana caranya menghukum pemberontak!”

“Tidak!” Hwa Kin tiba tiba menjerit mundur mendekap adiknya. “Aku tak percaya , Kwi Bun. Kau mengada ada dan bohong!”

“Tanyalah ibumu,” anak itu tertawa mengejek. “Ibumu tahu Hwa Kin. Tapi menyembunyikan hal ini pada kalian. Tentu saja itu disembunyikan karena ayahmu pengikut Chu Wen, raja yang tumbang itu!”

Gadis ini terkesiap. Chu Wen adalah nama jang amat dibenci penguasa sekarang Li Ko Yung. Semua orang tahu tapi akhirnya Chu Wen mati terbunuh. Pengikut pengikutnya lari dan tersebar di mana mana, disebut pemberontak dan tentu saja nama itu tahu bagi istana, dikejar2 dan banyak yang dibunuh. Maka begitu ayahnya, di sangkutkan dengan nama ini dan Kwi Bun tertawa mengejek maka anak laki laki itu menggerak gerakkan rotan dan merasa sebagai penguaa menang angin dan anak ini sombong sekali. Tapi karena gadis itu tak tahu apa apa dan masalah perang bukan urusannya maka dia terhuyung tapi dapat menetapkan hati, membentak anak itu.

“Kwi Bun, kau lancang dan kurang ajar. Tahukah kau siapa ayahmu dan ayahku? Dari mana kau mendapatkan semuanya ini? Aku tak percaya, Kwi Bun dan juga tak perduli. Apa yang dilakukan orang tuaku kami tak tahu dan seharusnya tak usah kau menghina kami. Aku akan menemui ayahmu dan meminta keadilannya!”

“Ha ha, nanti dulu.” anak itu menghadang. “Ayah terlanjur marah aku membuka rahasia ini, Hwa Kin. Kau tak usah ke dalam dan biar di sini saja. Kau kutangkap dan akan kupermainkan dulu…”

“Wut!“ Sin Hauw, yang tiba tiba berteriak mendadak menubruk ke depan. menerjang lawannya. Menyuruh encinya pergi dan Kwi Bun serta gadis itu terkejut. Hwa Kin terpekik namun Kwi Bun tertawa lebar, berkelit. Dan karena Sin Hauw sudah babak belur dan anak itu lemah maka sekali menggerakkan kaki tiba tiba Sin Hauw mendapat tendangan dan anak itu roboh tersungkur dan dua pengawal kini bergerak. Mereka menubruk Hwa Kin yang berteriak melihat adiknya mendapat tendangan, bangkit dengan susah dan mau ditolong, tapi begitu dua pengawal menerkamnya dan Kwi Bun tertawa berkelebat ke arah lawannya maka Sin Hauw terlempar ketika kembali kaki anak itu bergerak, disusul ayunan rotan dan terdengarlah suara “buk” yang keras.

Hwa Kin menjerit histeris, dua pengawal memegangi tubuhnya dan jari jari mereka menggerayang, meraba dan terkekeh kekeh dan Sin Hauw melotot. Dan ketika gadis itu terus berteriak teriak sementara Kwi Bun menghajar dan memukuli Sin Hauw maka bayangan Kwi goanswe muncul dan berkelebat datang, heran dan kaget karena teriakan Hwa Kin ini, kakak Sin Hauw yang berusia limabelasan tahun, gadis remaja yang masih muda. Dan begitu jenderal itu berkelebat dan kaget melihat Sin Hauw belum dibunuh maka laki laki tinggi besar ini menjadi semakin kaget lagi dengan melihat adanya Hwa Kin.

“Berhenti!” jenderal itu mengibas pengawalnya. “Apa yang kalian lakukan, pengawal busuk? Bagaimana kalian ribut ribut lagi di sini?”

“Ampun...” dua pengawal itu keder nyalinya, ccpat cepat menjatuhkan diri berlulut. “Gadis ini datang mengganggu, goanswe. Dan Kwi kongcu menahan kami menyelesaikan perintahmu.”

Jenderal itu berkilat, marah memandang puteranya. “Kau di sini lagi?” bentakan itu menciutkan nyali anaknya pula. “Tidak segera pergi?”

Kwi Bun menyingkir. Tiba tiba anak ini berkelebat dan pergi, ketakutan melihat ayahnya di situ. Dan ketika jenderal ini membalik dan menghadapi pengawalnya dia pun membentak, “Kalian enyah, jangan di sini!” lalu menghadapi dua kakak beradik itu jenderal ini menanyai Hwa Kin, sikapnya agak ragu, “Ada apa kau di sini? Mau apa?”

Hwa Kin menangis. “Sin Hauw mau dibunuh, paman. Dan katanya kau yang menyuruh!”

“Hm,” jenderal itu tak senang. “Aku menyuruh adikmu dihajar, Hwa Kin, ini memang benar. Aku tak menyuruh bunuh karena Sin Hauw menyerang Kwi Bun!”

“Kenapa begitu? Apakah paman tahu salahnya?”

Jenderal ini marah. “Urusan anak tak mau kucampuri, Hwa Kin. Kalau kau dapat mengendalikan adikmu Sin Hauw boleh bebas. Sesungguhnya memandang ibumu kalian kuampuni, Sin Hauw tak tahu diri dan kurang ajar kepadaku pula!”

“Kau membunuh ayah!” Sin Hauw tiba tiba melengking. “Kau jahat, paman. Kau berhutang satu jiwa. Kalau tidak memandang ibuku pula tentu kau kubunuh!”

“Nah, lihat.” jenderal itu melotot. “Adikmu kurang ajar, Hwa Kin. Apakah terhadap anak macan begini aku harus mengampuninya?”

“Diamlah“ Hwa Kin mencengkeram adiknya. “Kau turut kata kataku, Sin Hauw. Biar aku bicara pada paman,” dan gadis itu yang maju dengan air mata bercucuran lalu bertanya pada Jenderal tinggi besar itu, tentang ayahnya, apakah betul ayahnya dibunuh dan apa sebabnya.

Tapi Kwi goanswe yang mundur dan menggeram marah berkata, “Kau tanya saja ibumu. Hwa Kin. Aku masih melindungi kalian karena hubungan saudara. Urusan ini kesalahan ayah kalian sendiri, sebaiknya tak usah bertanya kepadaku dan kalian pulang atau aku menahan adikmu dengan tuduhan mau membunuh Kwi Bun!”

“Aku tak takut.” Sin Hauw berseru, lagi lagi tak dapat dicegah kakaknya. “Kalau betul ayah kau bunuh tentu aku akan menuntut balas, paman. Apa pun kematiannya kau harus bertanggung jawab!”

“Keparat,” jenderal ini hampir kehilangan sabar. “Kau mau membawa adikmu atau tidak. Hwa Kin? Kau dapat segera membawanya pergi atau masih ingin di sini saja?”

Gadis itu menangis. “Baiklah,” katanya. “Hutang budi kami sudah cukup banyak kepadamu, paman. biarlah kami pulang dan bertanya pada ibu.”

“Dan suruh ibumu minta maaf!” jenderal itu berkata. “Suruh dia datang besok, Hwa Kin! Atau aku tak mau bertanggung jawab kalau ada apa apa dengan Sin Hauw!”

“Baiklah,” dan gadis ini yang menyeret serta membawa pergi adiknya akhirnya keluar dan meninggalkan tempat itu, bertemu dengan ibu mereka yang persis berlari lari di depan rumah Kwi goanswe, menjerit dan menubruk anak laki laki nya ketika melihat Sin Hauw babak belur. Tapi ketika mereka bertangisan dan beberapa pengawal datang menghampiri tiba tiba Hwa Kin mengajak ibunya menjauh. Sin Huuw terhuyung dan ibu serta anak memapah bocah laki laki itu. Dan begitu mereka tiba di rumah dan wanita muda ini tersedu sedu maka ibu yang marah itu memaki anaknya habis habisan.

“Terlalu kau, Sin Hauw. Terlalu! Sekali lagi kau tidak menurut kata kata ibumu biarlah aku menggantung diri menebus malu! Kau mau mencoreng nama keluarga ini dangan sebutan yang lebih jelek lagi? Kau mau membikin ibumu tidak mati meram? Nah, bawa golok ini, anak pemberontak. Bunuhlah Kwi goanswe dan serahkan nyawamu ke sana!”

Sin Hauw tertegun. Ibunya marah marah dan malah menyebutnya sebagai anak pemberontak pula, entah sebagai kata kata makian atau karena ada hubungannya dengan ayahnya itu, yang disebut sebut pula sebagai pemberontak! Dan ketika anak itu menangis namun tidak mengeluarkan suara maka Hwa Kin, gadis itu melerai, mengguguk.

“Sudahlah, Sin Hauw seperti ayah, ibu. Apa yang ada di hati memang segera ingin dilampiaskan. Sebaiknya jangan kau marahi dia lagi dan ceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi. Benarkah ayah pengikut Chu Wen dan ayah dianggap pemberontak!”

Wanita itu tersedu. Malam itu dia terbangun dengan kaget, tak melihat anaknya dan pisau di belakang juga lenyap, mencari cari namun anak laki lakinya tak ada. Dan karena dia tahu ke mana anak laki lakinya itu dan cepat menyusul dengan hati khawatir maka benar saja anaknya di dapat di sana, babak belur dan segera dia mendengar apa yang terjadi. Bahwa Sin Hauw hendak membunuh Kwi Bun dan anak itu ditangkap, di hajar dan dibalas oleh putera Kwi goanswe itu.

Tentu saja bersama ayahnya. Dan ketika anak perempuannya kini bertanya dan dia harus menjawab tentang mendiang suaminya maka wanita itu tak dapat segera bicara, menangis dan terisak namun akhirnya dia harus membuka kartu, Sin Hauw telah mengetahui itu dan apa boleh buat dia harus berterus terang. Maka begitu menghentikan tangis dan mengangguk dengan gerakan lemah mulailah wanita ini bercerita.

“Baiklah, hal ini terlanjur dibuka, Kin ji. Aku akan menjelaskan bahwa apa yang kalian dengar memang betul.”

“Betul bagaimana? Betul bahwa ayah dibunuh atau betul bahwa ayah pemberontak?”

“Kedua duanya,” wanita itu menarik napas, terisak. “Ayah kalian dianggap pemberontak dan dibunuh, Kin ji. Dan semuanya ini karena sikapnya yang keras dan tidak penurut itu. Persis Sin Hauw!”

“Hm,” Hwa Kin, gadis itu terkejut, melirik adiknya. “Lalu bagaimana, ibu? Bagaimana mula mulanya? Apakah benar paman Kwi yang membunuhnya?”

“Hal ini aku tak tahu jelas, tapi Kwi goanswe itulah yang membawa ayahmu ke kota raja...” lalu ketika dua anaknya terbelalak dan berdebar kencang segeralah ibu muda itu menceritakan, bahwa suaminya atau ayah anak anaknya itu memang pengikut Chu Wen, musuh utama dinasti Li, penguasa sekarang. Bahwa peperangan yang berkali kali antara dua orang itu sudah tak terhitung banyaknya. Kebetulan sekali ayah mereka berpihak pada Chu Wen sementara paman mereka, Kwi goanswe, membela Li Ko Yung. Dan ketika Chu Wen mati terbunuh dan penguasa sekarang mengejar ngejar pengikut bekas raja itu maka ayah mereka tertangkap dan dibawa ke kota raja.

“Laki laki memang begitu. Ayah kalian keras dan tegar sekali. Sekali dia mengabdi seseorang maka orang itu akan dibelanya sampai mati. Penguasa sekarang sebenarnya tertarik pada kegagahan ayah kalian, menyuruh Kwi goanswe membujuk dan meminta agar ayah kalian berbalik haluan. Tapi ketika ayah kalian malah memaki maki dan marah marah menghina musuh maka Kwi goanswe tak sabar dan akhirnya disuruh membawa ayah kalian ke kota raja, dibunuh....”

“Siapa yang membunuh?” Sin Hauw yang diam dan tak pernah bicara mendadak bangkit berdiri, bersinar sinar, bertanya pada ibunya dan jelas tampak betapa dendam amat menguasai hati anak laki laki ini.

Ibunya terkejut dan encinya mengerutkan kening, kenekatan dan kebandelan anak itu membuat sang ibu menatap tajam, teringat mendiang suaminya. Dan ketika anak itu tampak terkejut oleh tatapan mata ibunya maka ibunya bertanya, “Sin Hauw, kau sayang ibumu atau tidak? Kau mencinta ibu dan encimu atau tidak?”

Anak ini tertegun.

“Penguasa sekarang kuat kedudukannya. Sin Hauw. Melawan pun tiada guna. Ayahmu tewas dalam mempertahankan prinsipnya sendiri. Aku sebenarnya tak menaruh dendam karena semua yang terjadi sudah diketahui akibat dan resikonya, seperti kalau misalnya Chu Wen tak terbunuh dan pengikutnya menang.”

“Apa maksud ibu?” anak perempuannya bertanya.

“Maksudku menang atau kalah membawa akibatnya masing masing, Kin ji. Kalau ayahmu menang barangkali pamanmu Kwi goanswe itulah yang akan dikejar kejar, dibunuh. Tapi karena ayahmu kalah dan junjungannya terbunuh maka itulah akibat yang harus diterima dan ini adalah wa.....

Halaman 56-57 tidak ada

.... sungguh sungguh. “Ingat, kau satu satunya lelaki disini. Sin Hauw. Dua perempuan tanpa adanya lelaki sungguh menyusahkan kami. Kalau kau terbunuh dan kami tinggal sendiri sama halnya kau membiarkan ibu dan kakakmu menderita sepanjang hidupnya. Kau mau mendengar nasihat ibumu agar tidak memusuhi keluarga Kwi lagi?”

Anak itu diam, sorot matanya berapi api.

“Kau tak dapat menerima nasihat ini?”

“Maaf.” anak itu mengeretakkan gigi. “Bagaimana kalau Kwi Bun menghina aku lagi, ibu? Apakah aku harus mendiamkannya saja dan tidak melawan?”

“Jauhilah anak itu. Sin Hauw. Jangan dekati dan cari permusuhan dengannya.”

“Baiklah, aku turut nasihatmu, ibu. Dan mudah mudahan dia tidak menggangguku.”

“Dan besok kau ikut aku ke Kwi goanswe, minta maaf!”

Anak itu diam. Baru setelah ibunya menatap tajam Sin Hauw mengangguk. “Baiklah, aku besok minta maaf, ibu. Dan kau minta pula agar Kwi Bun tidak menggangguku!”

“Besok akan kuberitahukan Kwi goanswe.”

Namun ketika keesokannya wanita ini datang dan disambut dengan sikap dingin ternyata Kwi Bun, anak Kwi goanswe itu mengejek Sin Hauw. Dengan dengus dan mulut mencibir anak ini mengatakan ayahnya tak ada, pergi. Padahal Kwi goanswe duduk di dalam dan tak mau menemui. Aneh jenderal ini. Semalam mengancam agar Sin Hauw minta maaf bersama ibunya ternyata sekarang dia tak mau menyambut. Hal yang di sambut dengan lapang dada oleh wanita itu. Tapi ketika mereka mau pulang dan Kwi Bun menghadang tiba tiba anak ini berkata agar ibu dan anak itu kembali lagi siang harinya.

“Ayah belum mendengar maaf kalian. Sebaiknya kembali lagi siang nanti dan Sin Hauw di sini dulu!”

Wanita itu tertegun. “Kongcu ada urusan apa?”

“Eh, Sin Hauw harus melakukan pekerjaan sehari harinya, bibi. Kalau tidak kudaku tak mendapat rumput!”

“Tapi Sin Hauw sakit…”

“Ha ha, alasan untuk menghindari pekerjaan? Tidak, kalian sudah makan minum di sini, bibi. Imba lan sudah diberikan lebih dulu dan Sin Hauw harus bekerja. Atau aku akan memanggil pengawal dan Sin Hauw kutahan!”

“Kwi Bun!” wanita itu membentak. “Kau tidak menghargai aku? Kau tidak melihat bahwa Sin Hauw seperti ini.“

“Hm,” bocah iui berkacak pinggang. “Kau mulai merobah sebutan, bibi. Apakah ini warisan suamimu yang suka memberontak itu? Kau tidak melihat siapa aku siapa dirimu? Sin Hauw harus bekerja bibi. Atau muntahkan semua makanan dan minuman yang telah dia dapat dari sini......”

“Wut!” Sin Hauw tiba tiba menerjang, tak kuat lagi. “Jahanam keparat kau. Kwi Bun. Kau menghina dan mempermainkan ibuku!” namun Kwi Bun yang mengelak dan berkelit lincah tiba tiba menggagalkan serangan itu dan berseru mengejek lawan, diterjang dan mengelak lagi dan ibu Sin Hauw menjerit jerit. Keributan ini mengundang pengawal dan segera wanita itu berteriak agar Sin Hauw tak menyerang. Tapi ketika pengawal sudah berdatangan dan Kwi Bun menggerakkan kaki tiba tiba lawannya terlempar dan anak itu tertawa bergelak.

”Ha ha tak menang kau melawan aku, Sin Hauw. Terimalah ini untuk jiwa pemberontakmu... Dess!”

Sin Hauw terbanting jatuh terguling guling dan ibunya menjerit. Wanita ini menubruk namun pengawal meloncat ke depan. Dan ketika Sin Hauw mengaduh dan bangkit terhuyung maka dua batang tombak melekat di dada wanita itu.

“Minggir, anakmu mengacau lagi. Sin hujin (nyonya Sin). Biarkan Kwi kongcu menghajar dan menyelesaiknn anakmu!”

“Tidak.....!” wanita itu berteriak. “Lepakan dia, pengawal. Lepaskan…!” dan mendorong serta berani melawan pengawal tiba tiba wanita itu menubruk anaknya, memeluk dan menangis sejadi jadinya dan Sin Hauw menggigit bibir. Mulutnya pecah lagi ditendang lawannya tadi, ibunya menangis dan bukan main sakitnya hati Sin Hauw. Dan ketika Kwi Bun tertawa tawa dan Sin Hauw merasa bumi berputar tiba tiba Kwi Bun mendekatinya dan mencengkeram leher bajunya.

“Sin Hauw, kau mau bekerja atau tidak?”

“Keparat!” Sin Hauw meronta. “Kubunuh kau, Kwi Bun. Keparat jahanam kau!” namun Sin Hauw yang menyerang dan dikelit mudah tiba tiba mendapat sebuah tendangan lagi, terlempar dan dikejar lawannya dan segera Kwi Bun menghujani pukulan sambil tertawa. Kini anak itu menyambar rotan dan Sin Hauw dihajar, pecah pecah kulitnya dan tentu saja ibunya menjadi histeris. Dan ketika wanita itu berteriak dan menubruk bocah laki laki itu tiba tiba Kwi Bun dicengkeram dan digigit telinganya.

“Aduh....!” Kejadian ini tak diduga. Kwi Bun membentak dan menendang wanita itu, terlempar dan ibu Sin Hauw itu pun mengeluh, terbanting dan berdebuk di sana. Namun ketika wanita itu bangkit berdiri dan menyerang lagi maka Kwi Bun marah dan memegangi telinganya yang berdarah, diterkam dan sekali lagi pundaknya tergigit, berteriak dan anak itu pun marah bukan main. Dan ketika Sin Hauw juga menyerang dan putera Kwi goanswe itu dikeroyok dan dikerubut akhirnya pengawal maju membentak dan menggerak gerakkan tombak, maksudnya menakut nakuti namun ibu Sin Hauw nekad. Tanpa kenal takut dan seperti singa betina haus darah wanita itu menyambut, menggigit dan melakukan apa saja dan Kwi Bun maupun pengawalnya kewalahan. Betapapun wanita itu seperti kesetanan sementara Sin Hauw sendiri juga menerjang dan jatuh bangun tanpa kenal menyerah.

Hebat anak ini. Selama dia dapat bangun selama itu pula dia akan bangkit dan maju menyerang lagi. Dan karena keributan itu tak dapat dilerai dan pengawal akhirnya marah maka sebatang tombak akhirnya benar ditujukan kepunggung wanita ini, menancap dan ibu Sin Hauw itu pun menjerit, roboh dan mandi darah. Dan ketika Sin Hauw terbelalak sementara Kwi Bun tertegun tiba tiba wanita itu terguling dan tidak bergerak gerak lagi, tewas. Tanpa sengaja mata tombak mengenai bagian jantungnya.

“Ibu......!”

Semua orang tertegun. Si pengawal tampak terkejut karena bukan maksudnya untuk membunuh. Dia tadi mau menusuk sedikit tapi apa hendak dikata wanita itu mundur ke belakang, terdorong oleh pukulan temannya. Dan ketika Sin Hauw berteriak dan menubruk ibunya mendadak muncul kakak perempuan anak laki laki itu, Hwa Kin.

“Oh, kenapa ini? Ada apa dengan ibu, Sin Hauw? Dia.....dia tewas....?”

Sin Hauw mengguguk. “Ibu dibunuh, Kwi Bun dan pengawalnya itu membunuh ibu kita. Dia.. ..dia....!” dan Sin Hauw yang kalap bangkit berdiri tiba tiba menjerit dan menerjang pengawal yang membunuh ibunya, dikelit tapi Sin Hauw mengejar. Dan ketika pengawal itu kebingungan sementara Sin Hauw membentak dan memakinya tiba tiba anak itu meloncat dan sudah menempel di dadanya, menggigit.

“Kubunuh kau... kubunuh kau..... !”

Pengawal ini terkejut. Sin Hnuw melekat di tubuhnya seperti lintah, menggigit dan telinganya putus. Dan ketika anak itu menggeram dan menggigit telinga satunya maka pengawal ini berteriak dan melempar tubuh bergulingan, mendorong serta menghantam anak laki laki itu.

“Dess!” Sin Hauw terlempar. Bagai harimau cilik haus darah dia menggigit potongan telinga itu menelannya. Dan ketika daun telinga itu lenyap dan Sin Hauw bangun terhuyung maka anak ini sudah menyerang dan membentak lagi, dikelit dan pengawal itu pun ngeri. Tewasnya ibu Sin Hauw membuat dia bingung, kini Sin Hauw seolah bocah kesetanan dan pengawal ini pun pucat. Maka ketika Sin Hauw menyerang dan membentaknya lagi tiba tiba pengawal itu menggerakkan tombaknya...