Titisan Dewa Pelebur Teluh - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Titisan Dewa Pelebur Teluh
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
KAKI Gunung Tunggir yang biasanya dilanda sunyi, kali ini dihiasi dengan suara-suara aneh. Hembusan angin yang menuju ke barat membawa gelombang suara aneh terasa janggal bagi telinga seorang pemuda berambut lurus sebatas pundak tanpa ikat kepala. Pemuda yang menyandang bumbung tuak di punggungnya itu hentikan langkah sejenak kala telinganya menangkap suara aneh tersebut.

"Suara apa itu sebenarnya? Seperti suara kodok, tapi lebih mirip suara burung gagak? Atau jangan-jangan suara kodok yang sedang mau ditelan burung gagak? Jangan-jangan suara burung gagak yang sudah ditelan seekor kodok?" pikir si pemuda berbaju coklat dengan celana putih kusam dililit ikat pinggang dari kain merah.

Pemuda itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh ternama paling disegani di antara para tokoh di rimba persilatan. Pe- muda itu dikenal dengan nama Suto Sinting dengan gelar kebesarannya: Pendekar Mabuk. Kadang ada yang menjulukinya dengan nama Tabib Darah Tuak, sebab ia mampu sembuhkan berbagai macam penyakit dengan tuak sakti di dalam bumbung bambunya itu. Namun beberapa orang sering memanggilnya dengan nama sanjungan 'si tampan', karena memang ia mempunyai wajah tampan dan senyum menawan yang mampu melelehkan hati wanita sekeras baja mana pun.

Dung, dung, plak! Dung, dung, plok.! Dung, dung, pak plak dung, plakdang. Plak, dung, dung.... Pak dudung, pak dudung, pak dudung....

Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya beberapa teguk segera kerutkan dahinya mendengar suara aneh itu. Hatinya pun segera membatin dengan nada penuh keheranan. "Pak Dudung dibawa-bawa...?! Suara apa itu sebenarnya, sehingga seperti seseorang memanggil Pak Dudung?"

Setelah langkahnya makin mendekati sumber suara tersebut, telinganya ditelengkan untuk menyimak dengan baik-baik, barulah si murid sintingnya Gila Tuak itu menyimpulkan dalam hatinya,

"Sialan! Bukankah itu suara gendang?! Mengapa aku sampai terheran-heran dengan suara gendang seperti itu? Uuh... dasar kuping kebanyakan tuak mendengar suara gendang saja sampai seperti mendengar suara kodok atau burung gagak. Kapan-kapan aku mau periksa kuping, ah! Jangan-jangan karena kebanyakan minum tuak, gendang telingaku jadi berkarat atau berlapis kerak tuak? Pantas tadi saat di kedai ada orang batuk kedengarannya seperti memanggil namaku. Ih, memalukan sekali aku ini, masa' pendekar kok kupingnya 'tulalit' alias rusak sebelah?!"

Padahal yang membuat pendengaran Suto Sinting kurang jelas bukan karena telinganya rusak, melainkan karena suara gendang itu ditabuh seseorang sedemikian rupa, sehingga secara sepintas dapat menyerupai suara kodok atau suara gagak. Tentu saja si penabuh gendang itu orang yang cukup piawai dalam mengatur sentakan tangan di permukaan kulit gendang. Bahkan barangkali juga ia seorang yang berilmu tinggi, sehingga mampu menabuh gendang dari satu tempat yang letaknya cukup jauh tapi mampu didengar sampai di balik dinding tebing tinggi.

"Gila! Ternyata suara gendang itu cukup jauh dari tempatku tadi?!" pikir Suto Sinting sambil melacak terus, mendekati sumber suara gendang yang didengarnya.

Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk akhirnya tiba di atas sebuah tebing batuan cadas yang tidak terlalu banyak ditumbuhi oleh pepohonan. Namun di atas tebing itu terdapat gugusan batu yang menjulang tinggi hingga menyerupai pilar-pilar tak beratap. Dari ketinggian itulah Pendekar Mabuk layangkan pandangannya ke bawah tebing yang berjarak sekitar lima belas tombak itu.

Di dasar tebing yang juga ditumbuhi pepohonan tak begitu banyak itu tampak seorang gadis berkalung tali merah dari bahan kain tebal. Tali merah itu adalah tali pengikat sebuah gendang kecil yang dapat ditabuh dua sisi. Gendang itu terbuat dari kayu berukir warna coklat tua. Kulit gendangnya tampak tebal, terbuat dari kulit binatang, entah binatang apa, yang jelas berwarna putih kekuning-kuningan. Ukuran gendang itu sekitar tiga jengkal, dengan besar lingkaran bagian sisi kanan seukuran piring makan, dan sisi sebelah kiri seukuran mangkuk sayur.

Gendang yang mempunyai hiasan benang merah pada kedua ujung pengikat talinya itu ternyata milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Gadis itu kenakan pakaian jubah merah menyolok berlengan panjang. Baju dalamnya berwarna kuning gading tanpa lengan, sewarna dengan celana ketatnya yang seukuran sebetis itu. Rambutnya hanya sebatas tengkuk, lurus dan halus, bagian depannya diponi rata. Poni itu sesuai sekali dengan bentuk kecantikan wajahnya yang berhidung bangir, bermata bundar bening, dan berbibir mungil menggemaskan.

Rupanya gadis berkulit kuning langsat itu sedang menghadapi pertarungan dengan dua orang lelaki bertampang angker. Keduanya sama-sama berbadan besar, yang satu brewokan, yang satu hanya berkumis lebat tapi bola matanya lebih besar dari bola mata si brewok. Alisnya lebih lebat, dan bentuk hidungnya lebih besar. Keduanya sama-sama berkulit hitam kusam, mengenakan rompi panjang berwarna biru tua, tapi celana mereka berbeda. Si brewok kenakan celana warna merah, sedangkan si kumis lebat kenakan celana hitam. Keduanya sama-sama bersenjata golok lebar, mirip senjata algojo yang digunakan untuk memenggal leher para tawanan yang hendak dihukum pancung.

Ketika Suto Sinting tiba di atas tebing itu, suara gendang hilang, karena si gadis tidak menabuh gendangnya. Ia berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang, mata menatap kalem kepada kedua lawannya yang sedang terengah-engah. Kedua lawan itu tampak terkulai, saling duduk beradu punggung dengan tubuh berkeringat dan tampak lemas, seperti orang habis lari jauh. Namun keduanya sama-sama masih pegangi senjata masing-masing.

"Mengapa kedua orang itu terengah-engah kecapekan?!" tanya Suto Sinting dalam batinnya. "Tampaknya gadis itu tak keluarkan tenaga sedikit pun, sehingga tampak tenang dan tak ada kelelahan pada dirinya. Diapakan kedua orang berwajah angker itu?!"

Dari tempatnya bersembunyi, Suto Sinting mendengar ucapan si gadis yang ditujukan kepada kedua lawannya dalam jarak sepuluh langkah kurang itu.

"Sebaiknya kalian tak perlu memburuku lagi. Ku ingatkan pada kalian agar pulang dan temui guru kailan, katakan bahwa aku bukan gadis kemarin sore yang mudah ditumbangkan!"

Si brewok berusaha bangkit berdiri dengan sedikit sempoyongan karena kedua kakinya terasa lemas. Ia masih mencoba untuk bersikap angker dan bicaranya masih bernada penuh geram kemarahan. Ia menuding si gadis dengan pergunakan goloknya.

"Jangan merasa unggul dulu, Gadis Dungu! Kami belum merasa kalah melawanmu. Kalau kau sanggup menghindari jurus gabungan kami yang bernama jurus 'Petir Menangis', barulah kau boleh merasa unggul dan kami akui kekalahan kami!"

"Hi, hi, hi, hi...! Jurus apa itu?! Namanya kok lucu sekali. Hmm... jurus 'Petir Menangis'?! Apakah kalian juga punya jurus 'Petir Tertawa' atau jurus 'Petir Cemberut'?!" gadis itu menertawakan ucapan si brewok, membuat si brewok semakin tampak berang, ia hanya menggeram dengan tangan kian menggenggam gagang goloknya dengan kuat. Kejap berikutnya, si kumis tebal pun bangkit dan merasa tak suka ditertawakan oleh si gadis.

"Gadis Dungu!" serunya dengan napas masih memburu. "Kau boleh menertawakan kami jika kau sudah terbukti mampu hadapi jurus 'Petir Menangis' itu!"

"Aku siap menerima jurus kalian asal jangan sampai melukai ku," kata si gadis yang agaknya dikenal dengan julukan si Gadis Dungu.

Kedua lelaki yang usianya sama-sama sekitar empat puluh tahun itu segera saling meneriakkan kata pembangkit semangat pertarungan mereka. "Heeeeaaahhh...!"

Mereka saling melompat berjauhan. Golok besar dimainkan dengan berkelebat ke sana-sini bagai mengelilingi tubuh mereka. Lalu, dalam satu gerakan menghentak bumi dengan satu kaki, keduanya sama-sama melesat saling berpapasan.

Wuuut...! Golok mereka pun saling digesekkan dengan cepat. Srrraaaangngngngng...! Gesekan itu hasilkan percikan api kemana-mana. Yang membuat dahsyat jurus 'Petir Menangis' bukan terletak pada percikan apinya, melainkan pada suaranya yang menggema panjang dan bernada tinggi. Suara itu keluarkan gelombang tenaga dalam yang mampu membuat tubuh si Gadis Dungu tersentak bagai dicabut nyawanya. Ia terlempar jatuh bersama gendangnya.

Brrrukk...!

"Aaaahhg...!" si Gadis Dungu mengerang sambil menyeringai sakit, kedua tangan pegangi dadanya dalam keadaan mengejang.

Beberapa pohon berukuran sedang bergetar akibat bunyi gesekan golok tadi. Gema suaranya masih memanjang, mengiang-ngiang di telinga, membuat beberapa dahan pohon roboh karena terpotong rapi bagai ditebang dengan pedang yang amat tajam. Bahkan beberapa batu yang terletak tak jauh dari mereka mengalami keretakan, sebagian ada yang hancur bagaikan rapuh. Prrus...! Sedangkan daun-daun di sekitar mereka pun menjadi berhamburan bagaikan dipangkas dalam waktu sekejap.

"Ugh...!" Suto Sinting sendiri merasakan satu sentakan tajam di ulu hatinya. Ia buru-buru menahan napas dan menyangga ulu hati dengan telapak tangan kirinya. "Gila!" gumamnya dalam hati. "Suara gesekan golok mereka bagaikan mengiris jantung dan menyayat-nyayat urat nadi. Uuuh...! Hatiku terasa perih sekali bagai diiris pelan-pelan. Kalau tak segera ditangkal dengan minum tuak bisa putus semua urat nadiku! Benar-benar gila jurus 'Petir Menangis' itu. Apa memang beginikah akibatnya jika benar-benar mendengar suara petir sedang menangis?!"

Glek, glek, glek...! Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya. Dengan meminum tuak tiga teguk, rasa sakit di sekujur urat nadi, jantung, dan ulu hati itu menjadi berkurang. Tiga helaan napas kemudian, seluruh rasa sakit itu lenyap dan kelemasan urat-urat kembali kokoh seperti semula.

Gadis Dungu masih menyeringai menahan sakit walaupun ia sudah berdiri dengan satu lutut di tanah. Pada saat itu, kedua orang berwajah angker kembali saling kelebatkan golok mereka di sekitar tubuh, lalu kedua golok itu dipertemukan lagi dalam satu gerakan bergesekan.

Srrrraaaangngngngngng...!

"Haaagghh...!"

Pohon bergetar kembali, dahan-dahan terpotong, dedaunan terpangkas habis, dan si Gadis Dungu tersentak dan terguling dengan ratapan memanjang. Getaran gelombang suara dari gesekan kedua golok membuat kulit mulus di wajah Gadis Dungu menjadi tersayat merah, bagaikan bilur-bilur akibat cabikan senjata tajam. Sementara itu, Suto Sinting hanya menahan napas dan tidak rasakan rasa sakit seperti saat mendengar suara gesekan golok yang pertama tadi. Hal itu dikarenakan dalam tubuh Suto masih dipengaruhi hawa sakti dari tuak yang baru saja diminumnya itu. Jika tadi ia tidak segera menenggak tuak, maka ia akan mengalami rasa sakit dan menderita seperti yang dialami si Gadis Dungu itu.

"Haaah, ha, ha, ha, ha...!" kedua orang berwajah angker itu menertawakan si Gadis Dungu yang mulai tampak kewalahan dalam menahan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.

"Sekali lagi kami lepaskan jurus 'Petir Menangis', maka sekujur tubuh montokmu itu akan tercabik-cabik, Gadis Dungu!" seru si kumis lebat dengan mata melebar girang.

Suto Sinting membatin, "Siapa pun mereka, aku harus hentikan pertarungan ini. Karena jika ada orang lain yang tidak terlibat tapi mendengar desing gesekan kedua golok tadi, pasti akan mengalami luka yang cukup berbahaya!"

Si kumis lebat berkata kepada si brewok, "Togayo, jangan biarkan ia bertahan! Kita cabik-cabik tubuh gadis bodoh itu dengan jurus kita sekali lagi!"

"Aku sudah siap, Gayong! Heeeeaah...!"

Gayong, si kumis lebat, dan Togayo si brewok, mulai kelebatkan senjata mereka untuk saling digesekkan kembali. Suto Sinting sudah bersiap melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sentilan dari jari tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam sebesar tendangan kuda binal itu.

Namun agaknya jurus 'Jari Guntur' si Pendekar Mabuk terpaksa ditahan untuk sementara. Suto Sinting menjadi penasaran karena ingin melihat sejauh mana perempuan yang dipanggil Gadis Dungu itu bertahan. Karena beberapa kejap setelah Gayong berseru membangkitkan tenaga dalamnya, Gadis Dungu tampak bangkit dengan satu lutut masih menapak di tanah. Ia menabuh gendangnya dengan mata terpejam karena menahan rasa sakitnya. Suaranya terdengar memekik panjang sebagai tanda melepaskan rasa sakit dan kemarahannya.

"Hiaaahh...!"

Dung, plak, plak... dung, dung, plak. Dung, plak, dung, plak, dung, dung, dung, plak...!

Dan mata si Pendekar Mabuk terkesiap dengan dahi berkerut. Pandangan matanya tertuju pada Togayo dan Gayong. Kedua orang berwajah angker itu tiba-tiba hentikan gerakan mengadu golok saat suara gendang terdengar. Tubuh mereka gemetar bagai melawan kekuatan tenaga dalam yang gelombangnya menyebar ke arah mereka. Tubuh yang bertahan itu lama-lama bergerak kaku mengikuti irama gendang. Tampaknya gerakan tersebut tak diinginkan oleh Togayo dan Gayong, sehingga mereka sama-sama keluarkan suara geram dengan hati menahan gerakan tangan agar berhenti.

"Haaahhhggrr...!"

Dung, dung, plak, dung, dung, plung plak...! Gadis dungu tetap menabuh gendangnya. Gelombang tenaga dalam yang keluar dari tabuhan gendang membuat Togayo dan Gayong akhirnya bertandak, mereka berjingkrak-jingkrak dalam lenggokan tangan dan pantat mirip gerakan sepasang bebek ingin bertelur. Semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya mereka benar-benar tak bisa menahan gerakan tubuhnya untuk menari-nari jejingkrakan. Mulut mereka pun bagaikan tak sadar keluarkan seruan-seruan riang, seakan sedang menikmati pesta tarian yang penuh semangat.

Dung, dung, plak... dung, dung plung plak... plung, plak....

"Hiah, hiah... huuurra!"

"Iaha, syuur, syuur, syuur... goyang terus, Togayoo...! Heah, heah, ser, ser, ser,ser, asyiiik !"

Karuan saja si Pendekar Mabuk tertawa cekikikan dari tempat persembunyiannya. Tubuhnya sampai terguncang-guncang karena menahan tawa geli melihat kedua orang angker itu telah berubah menjadi riang dan menari jejingkrakan.

"Hebat sekali ilmu si Gadis Dungu itu?!" pikir Suto Sinting. "Tabuhan gendangnya mempunyai kekuatan sihir yang mampu membuat lawan menjadi riang dan menari penuh semangat. Tapi agaknya... oh, kedua orang itu mulai keluarkan darah dari telinga mereka?! Gelombang tenaga dalam telah kenai bagian dalam tubuh mereka tanpa mereka sadari?!"

Gerakan tari mereka semakin cepat, semakin berkesan acak-acakan dan mirip tarian liar. Suara mereka berteriak-teriak menyerukan semangat menari dalam keriangan, tapi mereka tidak sadar jika bagian dalam tubuhnya telah dihantam oleh kekuatan tenaga dalam yang terbawa melalui suara pukulan gendang. Tubuh mereka bertambah melonjak-lonjak dengan cepat. Kepala mereka tersentak-sentak mirip orang kesurupan. Tapi seruan suara mereka masih bernada dalam kegirangan. Padahal dari telinga mereka telah keluarkan darah yang semakin lama semakin membanjiri pundak masing-masing. Napas mereka yang terengah-engah tak dihiraukan lagi. Mereka menari dan terus menari dengan gerakan liarnya. Bahkan mereka tak sadar bahwa senjata mereka sudah saling buang ke sembarang tempat demi kebebasan menari dan bergerak.

"Hiiaaahuuu...! Joget terus sampai pagiii...! Hiah, hiah!" seru Togayo dengan tubuh berlarian ke sana-sini dengan gerakan menari. Darah yang keluar dari telinga pun berceceran ke mana-mana. Demikian pula halnya dengan si kumis lebar; Gayong.

Dung, plak, dung, plang... dung, plak, dung, plang...! Bunyi gendang masih terdengar semakin tak berirama. Gadis Dungu menabuhnya dengan gerakan cepat. Suara yang kian bertempo cepat membuat Togayo dan Gayong pun kian mempercepat gerakan tarinya, bahkan sampai berguling-guling di tanah dengan darah mencucur terus dari lubang telinga, bahkan sekarang ditambah dari lubang hidung mereka pun mengucurkan darah segar.

Pendekar Mabuk berdecak kagum, geleng-geleng kepala sambil tertawa dengan suara pelan sekali. "Rupanya tidak semua orang yang mendengar bunyi gendang ikut menari. Pengerahan gelombang tenaga dalam melalui suara gendang ternyata bisa dikendalikan hanya untuk orang-orang yang dituju oleh si Gadis Dungu. Buktinya biarpun kedua orang berwajah angker itu berjoget segila itu, tapi aku tidak ikut-ikutan bergerak seperti mereka. Hmmm... suatu ilmu yang langka dan perlu kuakui kehebatannya."

Mendadak wajah geli si Pendekar Mabuk berubah tegang seketika, karena tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik pepohonan dan menghantam punggung si Gadis Dungu.

Wuuutt...! Deeeb...!

"Eehg...!" Gadis Dungu tersentak dan terjungkal kedepan, lalu berguling-guling. Suara gendang lenyap seketika. Kedua orang berwajah angker itu terkulai lemas di rerumputan. Tubuh mereka terkapar bermandi darah dengan napas masih ngos-ngosan.

Sementara itu, si Gadis Dungu segera memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Tubuhnya berlutut dengan tangan berpegangan pada sebongkah batu setinggi perut manusia dewasa. Ia memuntahkan darah beberapa kali dan tampaknya tak bisa bergerak lagi. Keadaan itulah yang membuat mata si Pendekar Mabuk menjadi tegang tak berkedip.

"Celaka! Siapa orang yang menghantam si Gadis Dungu dengan sinar merah yang mirip senjata cakra tadi?!" pikir Suto Sinting dengan mata mulai bergerak nanar. "Pertarungan ini benar-benar pertarungan yang curang!" geram Suto Sinting, seakan hatinya tak bisa menerima perlakuan si penyerang gelap yang membokong Gadis Dungu itu.

Baru saja ia ingin bergerak terjun ke tengah pertarungan tersebut, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat dari balik pohon rimbun.

Wuuutt...! Jleeeg...!

Seorang tokoh tua berjubah hijau tanpa lengan, sehingga tubuhnya yang kurus sekali itu terlihat jelas, tahu-tahu sudah muncul di antara Togayo dan Gayong. Tokoh tua berambut putih sepanjang punggung tanpa ikat kepala itu mempunyai kumis putih dan jenggot putih sepanjang dada. Sorotan pandangan matanya tampak dingin, dengan ditambah raut muka yang bertulang pipi menonjol dan berdagu runcing ke depan, tokoh tersebut semakin tampak bengis.

"Bangun kalian!" sentaknya dengan suara serak kepada Togayo dan Gayong. Kedua tangannya menyentak dengan kuku-kuku runcing yang hitam mengembang membentuk cakar. Dari telapak tangan itu menyembur sinar putih bagaikan perak. Kedua sinar putih menerpa tubuh Gayong dan Togayo.

Wuuusss...! Sinar itu diiringi semburan asap tipis. Asap itu makin lama semakin membungkus tubuh Togayo dan Gayong. Kejap berikutnya, sinar itu pun padam secara serentak. Zrrub...! Lalu, Togayo dan Gayong bagaikan bangun dari tidur.

"Hah...?! Guru...?!" Togayo terkejut, lalu segera berlutut satu kaki dengan kepala tertunduk, demikian pula yang dilakukan oleh Gayong di depan tokoh tua yang ternyata adalah Guru mereka itu. Sang Guru hanya memandangi dengan mata cekungnya tampak menyimpan kemarahan entah kepada kedua muridnya atau kepada si Gadis Dungu itu.

Sementara itu, pandangan mata Pendekar Mabuk dari balik gugusan batu itu tampak terheran-heran. Keheranan itu timbul karena ia melihat Togayo dan Gayong dalam keadaan sehat tanpa luka apa pun. Bahkan darah yang berceceran di tubuh mereka lenyap tanpa bekas sedikit pun. Kedua orang yang semula terluka parah dan hampir mati itu dapat sembuh secara ajaib oleh kekuatan sinar putih perak si tokoh berjubah hijau dan bersabuk hitam itu. Tentunya penyembuhannya yang ajaib itu merupakan suatu bukti bahwa ia bukan tokoh berilmu rendah. Usianya yang sekitar sembilan puluh tahun itu semakin meyakinkan orang bahwa ia berilmu tinggi dan tidak sebanding jika melawan Gadis Dungu.

"Manusia bodoh!" sentaknya, rupanya ia marah kepada kedua murid yang bertubuh kekar itu. "Melawan anak ingusan saja tak ada yang becus! Memalukan nama perguruan saja kalian ini!"

"Maaf, Eyang Guru... dia mempunyai"

"Mempunyai apa?!" sentak sang Guru dengan berang. "Lihat, cukup sekali pukul dia sudah tak berkutik!" seraya tangannya menunjuk kepada Gadis Dungu yang kini dalam keadaan duduk terkapar dengan terkulai lemas tanpa daya, bersandar gugusan batu besar. Wajahnya pucat bagai mayat dengan sisa sayatan merah akibat keganasan jurus 'Petir Menangis' tadi.

"Jika begitu, sebaiknya gadis itu saya bereskan sekarang juga, Guru!" kata Togayo sambil berdiri dan meraih golok besarnya lagi. Tetapi tangan sang Guru menyentak ke samping, segumpal tenaga tanpa wujud terlepas bagaikan angin badai menghantam lengan Togayo.

Wuuut...! Plaaak...! Tangan Togayo tersentak kuat, tubuhnya terpelanting nyaris jatuh. Golok tak jadi diraihnya. Sang Guru berkata dengan tegas.

"Percuma jika sekarang kau ingin bertindak! Gadis itu sudah kuserang dengan jurus 'Racun Jamur Setan'. Sebentar lagi ia akan mati dalam keadaan menjamur dan busuk. Tinggalkan dia, dan kalian kembali ke perguruan! Cepat!"

"Baik, Guru!" keduanya menjawab serentak. Wuuuss...! Mereka pun pergi meninggalkan si Gadis Dungu yang tak berdaya itu.

* * *

DUA

HARI itu tidak ada gadis yang lebih beruntung daripada si Gadis Dungu. Tepat nyawanya terancam 'Racun Jamur Setan' tuak sakti si Pendekar Mabuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam keadaan sekarat, Suto Sinting berhasil paksa mulut Gadis Dungu mene- lan tuak yang diminumkan secara hati-hati. Akibat terminumnya tuak Suto, keganasan 'Racun Jamur Setan' pun dapat dikalahkan.

Gadis Dungu menjadi sehat, bahkan merasa seperti tidak pernah mengalami luka apa pun. Bilur-bilur merah akibat jurus 'Petir Menangis' yang hampir mencabik-cabik kulitnya itu pun lenyap tanpa bekas seujung jarum pun. Ketika gadis berjubah merah menyadari keadaannya yang telah pulih kembali, bukan ucapan terima kasih yang terlontar pertama kali dari mulutnya, melainkan sebuah pertanyaan yang bernada heran ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Mengapa aku masih hidup?" sambil pandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya, dadanya, lalu buru-buru menatap ke depan. Di sana seraut wajah tampan terpampang jelas karena jarak mereka hanya dua langkah. "Kau yang menyelamatkan aku dari 'Racun Jamur Setan' itu?!"

"Entahlah, Nona. Yang jelas aku hanya meminumkan tuakku ke mulutmu, dan kau menelannya, lalu kau sehat!" senyum menawan si murid sinting Gila Tuak itu mekar di akhir ucapannya.

Gadis Dungu pandangi Suto Sinting dengan curiga. Yang dipandang semakin cengar-cengir pamer ketampanan. Yang memandang akhirnya berdebar-debar karena kagum dan terpesona. Tapi ia masih berlagak menaruh curiga demi kewaspadaannya. "Baru sekarang ada murid si Dupa Dewa bersikap baik terhadapku. Apakah ini hanya sebuah jebakan agar aku tunduk padamu dan menyerah pada Perguruan Serikat Jagal?"

"Kau bicara apa, Nona?" sambil dahi Suto Sinting dikerutkan.

"Kau murid si Dupa Dewa, bukan?"

"Aku murid si Gila Tuak."

Mata si gadis berkalung gendang itu terkesiap. Selama dua helaan napas tak bicara, pandangan matanya semakin tajam menatap wajah Suto Sinting, kemudian memandangi seluruh tubuh Suto Sinting penuh selidik. Akhirnya setelah menatap hingga mengelilingi tubuh Suto Sinting, Gadis Dungu berlagak sinis dengan cibiran bibirnya yang menggemaskan.

"Kuakui kau cukup berani mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak. Tapi perlu ku ingatkan padamu agar jangan mengaku-aku begitu lagi di depan orang lain. Kalau sampai pengakuanmu itu didengar oleh Pendekar Mabuk yang menjadi murid si Gila Tuak sebenarnya, kepalamu bisa ditumbuk sampai sehalus tepung! Pendekar Mabuk akan marah besar jika ada orang yang mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak. Sebab menurut cerita guruku sendiri, si Gila Tuak hanya punya satu murid, yaitu bocah tanpa pusar yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk."

"Aku inilah si bocah tanpa pusar! Aku yang bernama Suto Sinting dengan gelarku Pendekar Mabuk!"

"Hmmm...!" Gadis Dungu mencibir semakin tak percaya. Senyumannya sangat sinis dan tak enak dirasakan dalam hati. Ia berkata dengan tegas-tegas, "Dengar, yang namanya Pendekar Mabuk wajahnya sangat ganteng, tampan, menawan hati, tidak sekumal kau! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan pengakuan palsumu itu!"

"Aku berani sumpah disambar seribu ekor beruk, akulah yang bernama Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak!" Suto pun mulai ngotot dan agak jengkel terhadap gadis cantik bermata bening indah itu.

Tapi si gadis tetap saja pada pendiriannya dan tidak mau percayai pengakuan Pendekar Mabuk. "Tak ada gunanya kau bersikeras mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk. Jujur saja, kau tidak punya ketampanan seperti yang dimiliki Pendekar Mabuk."

Suto Sinting menggerutu dalam hati, "Barangkali mata gadis ini terbuat dari beling! Masa' dia tidak mengakui ketampananku?! Seumur hidup selama menjadi Pendekar Mabuk dan selama dilahirkan tanpa pusar, baru sekarang kudengar ada gadis yang tidak mengakui ketampananku. Jangan-jangan otaknya agak miring?! Gawat kalau begitu, percuma aku ngotot di depannya kalau otak gadis ini miring kekiri."

Gadis Dungu menambahkan kata, "Katakan kepada Dupa Dewa, penyamaranmu tak bisa membuatku terpedaya! Lebih baik Dupa Dewa sendiri yang berhadapan denganku secara ksatria, jangan menyerang dari belakang. Itu perbuatan seorang pengecut!"

"Aku tidak kenal siapa itu Dupa Dewa."

"Ah, masih juga berlagak bodoh kau ini! Kurasa kau sudah tahu betul, bahwa Dupa Dewa adalah orang yang menyerangku dari belakang dengan jurus 'Racun Jamur Setan' tadi. Kurasa kau tahu, Dupa Dewa adalah si tua licik berjubah hijau tadi!"

"Aku baru tahu kalau orang berambut putih panjang berjubah hijau itu bernama Dupa Dewa. Kusangka namanya Parmin atau Soleh, atau yang lainnya...!" Suto Sinting sunggingkan senyum canggung karena dongkol dianggap murid Dupa Dewa.

Gadis Dungu tetap mencibir tak mau percaya dengan pengakuan Suto Sinting. Akhirnya ia sendiri merasa jenuh dan berkata, "Terserah kau mau mengaku sebagai Pendekar Mabuk atau Pendekar Teler, yang jelas aku ingin tahu apa maksudmu menyelamatkan nyawaku dari 'Racun Jamur Setan'-nya si Dupa Dewa itu?! Apakah kau punya maksud yang sama dengan kedua temanmu itu; Togayo dan Gayong?!"

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam menahan kejengkelannya. Ia tak mau dengar lagi kata-kata tersebut. Kini ia yang ganti bertanya kepada si Gadis Dungu. "Kalau aku menolongmu dari luka parah tadi, berarti aku ingin menanyakan siapa namamu? Kalau sudah ku tahu namamu, kau boleh terluka dan sekarat seperti tadi."

Mata bulat bening berbulu lentik itu alihkan pandang dengan sikap angkuh. Bibir mungil menggemaskan masih mencibir sinis seraya berucap kata dengan nada ketus, "Pura-pura tidak tahu! Bukankah kau sudah mengenal namaku sebagai Gadis Dungu?! Kurasa semua murid Perguruan Serikat Jagal mengenal nama Gadis Dungu sebagai namaku! Tak usah berlagak bodoh kau, nanti kalau ada setan lewat kau benar-benar bodoh melebihi seekor kerbau!"

"Aku bukan murid Perguruan Serikat Jagal!" sentak Suto Sinting dengan menggeram dongkol.

"Kalau begitu kau seorang pengkhianat yang sudah murtad dari ajaran gurumu; si Dupa Dewa itu?!"

"Terserah! Anggap saja begitu!" jawab Suto Sinting dengan ketus pula, wajahnya menjadi keruh karena bersungut-sungut.

"Lalu, siapa namamu?!" tanya si gadis dengan acuh tak acuh setelah keduanya sama-sama diam dua helaan napas.

"Namaku... namaku ya itu tadi; Suto Sinting!"

"Ah, jawab yang benar!" sambil tangannya mengipas di depan hidung, lalu ia bersidekap dengan gendang digeser ke pinggul.

"Aku sudah menjawab dengan benardan jujur! Namaku memang Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"

Gadis itu melirikkan matanya dengan angkuh. Ia geleng-geleng kepala tanpa suara. Suto Sinting mendesah kian dongkol, akhirnya meneguk tuaknya untuk menenangkan kedongkolan hati.

"Kurasa namamu tak jauh dari Togayo atau Gayong. Hmm... kurasa namamu: Dogol!"

"Otakmu itu yang dogol!" sentak Suto Sinting dalam geram.

"Ah, mengaku sajalah. Kau bernama si Dogol, bukan?!"

"Masa bodoh!" geram Suto Sinting sambil hembuskan napas membuang kekesalan hatinya. Ia berpaling tak mau pandangi Gadis Dungu. Pandangan matanya dilemparkan ke semak belukar di bawah pohon besar yang telah gundul karena daun-daunnya te- lah dipangkas oleh bunyi gesekan golok Togayo dan Gayong tadi.

Di celah-celah sisa ilalang yang belum terpangkas oleh jurus 'Petir Menangis' tadi, Suto Sinting menangkap adanya kilatan cahaya putih. Cahaya itu adalah pantulan sinar matahari yang kenai sebuah logam. Langsung dalam hati Pendekar Mabuk berkata,

"Ada seseorang yang mengintai di sana! Siapa yang ia incar?! Aku atau si Gadis Dungu itu?!"

Maka Suto Sinting pun segera dekati Gadis Dungu yang sedang membersihkan pakaiannya dari debu dan tanah. "Apakah kau punya musuh lagi selain orang-orang Perguruan Serikat Jagal itu?!"

"Untuk apa menanyakan musuhku? Mau mendaftar jadi musuhku juga?!" ujarnya dengan tengil, bikin hati Suto jadi kesal lagi.

Tapi dengan tarik napas kembali, Suto Sinting berusaha untuk sabarkan diri. Ia berkata dengan pelan. "Ada orang yang mengintaimu dari balik semak."

"Kau ini berlagak jadi dukun juga rupanya."

"Pandanglah ke arah barat. Perhatikan semak-semak di bawah pohon besar yang telah gundul tanpa daun dan ranting itu," bisik Suto Sinting.

Tapi si gadis justru pandangi wajah Suto Sinting dengan sikap tak peduli bisikan tersebut. "Kau ingin menipuku lagi? Kau ingin menjebakku supaya aku berpaling ke barat lalu kau akan menciumku secara tiba-tiba?! Hmmm...! Aku bukan anak kemarin sore yang mudah kau jebak dengan rayuan gombal kumalmu, Dogol!"

"Aku bicara dengan sungguh-sungguh, Gadis Dungu! Ada yang mengintai kita dari balik semak itu!" bisikan Suto Sinting agak ditekan dengan suara berat sebagai tanda kejengkelan hatinya.

Gadis Dungu justru sunggingkan senyum sinis dan berkata ketus tanpa mau berpaling ke arah yang dimaksud Suto Sinting. "Tipu daya seperti itu tak akan berlaku bagi diriku. Aku sudah kebal tipu muslihat seorang lelaki macam kau, Dogol!"

"Dasar dungu!" geram Suto Sinting, kemudian serta-merta jarinya menyentil ke arah semak belukar tersebut. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan, tenaga dalam berkekuatan seekor kuda meluncur dari sentilan jari tersebut. Tees...!

Guzrraaak...!

"Uuhg...!" terdengar suara orang memekik tertahan. Disusul sekelebat bayangan terlempar keluar dari balik semak. Tubuh itu melayang tinggi, bersama rusaknya tanaman semak belukar yang mirip diterjang badai itu.

Wuuss...! Jleeg...!

Untung orang yang terpekik dengan suara tertahan itu mampu kendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia mampu segera bersalto satu kali, dan mendaratkan kakinya tepat di depan si Gadis Dungu dalam jarak lima langkah.

"Paman Comblang...?!" ucap Gadis Dungu bernada kaget sambil matanya pandangi orang yang berwajah pucat karena perutnya terkena tenaga dalam yang dilepas Suto Sinting tadi.

"Kau kenal dengan orang itu rupanya," ujar Pendekar Mabuk sambil masih pandangi lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh agak pendek, sedikit gemuk, tanpa kumis, dan jenggot. Pakaiannya abu-abu dengan rambut pendek tanpa ikat kepala. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang hitam dengan bentuk kepala ayam jantan.

"Dia pelayan guruku. Comblang Sajak nama panggilannya," jawab si gadis dengan suara masih kurang ramah.

Orang berkulit gelap itu menghirup napas, menahan rasa mual di perutnya, kemudian sambil masih pandangi Suto Sinting dengan sikap tak bersahabat, ia bicara kepada Gadis Dungu, "Siapa pemuda kurang ajar yang bersamamu itu, Indayani?!"

"Dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut si Dupa Dewa, Paman. Entah apa maksudnya bersikap begitu, mungkin ingin kupuji atau ingin tunjukkan ilmunya yang cetek itu padaku. Yang jelas, para murid Perguruan Serikat Jagal akan benci jika melihat si Dogol ini, sebab ia murid murtadnya Dupa Dewa!"

"Murid murtad berani nekat. Dia bikin jiwaku hampir sekarat karena serangannya yang tiba-tiba melesat! Aku perlu membalasnya supaya ia tidak kualat dan menjadi orang sesat!" Comblang Sajak mulai kerahkan tenaga dengan mengangkat kedua tangannya. Tetapi Gadis Dungu segera mencegah dengan satu tangan terangkat ke depan.

"Tak perlu, Paman. Dia bukan orang tandingan kita. Paman Comblang Sajak hanya akan buang-buang tenaga jika melawan si Dogol. Ada baiknya kita bicara saja, apa perlunya Paman sembunyi di balik semak tadi?"

Comblang Sajak hembuskan napas dan kendorkan urat-uratnya. Ia tak berani melanggar larangan si Gadis Dungu. Namun di belakang si Gadis Dungu, wajah Suto Sinting tampak bergumpal-gumpal memendam kedongkolan karena masih dianggap murid murtadnya si Dupa Dewa. Rasa ingin menyanggah keterangan tadi segera dibuang, karena Suto merasa hal itu akan sia-sia belaka.

Namun pandangan mata Suto Sinting masih belum lepas dari wajah Comblang Sajak yang rupanya jika bicara selalu menggunakan kalimat bersajak. Kalung bertali hitam dengan bandul logam putih berbentuk kelopak bunga yang dikenakannya itu masih me-lmantulkan cahaya matahari. Rupanya bandul kalung yang terbuat dari logam putih runcing-runcing sebesar potongan ketimun itulah yang tadi tampak berkilauan dari tempat persembunyiannya. Agaknya bandul itu bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu karena keruncingannya tampak tajam dan membahayakan lawan jika dilemparkan dengan kecepatan tinggi.

"Indayani," ucap Comblang Sajak menyebut nama asli si Gadis Dungu. Diam-diam nama itu dicatat dalam ingatan Pendekar Mabuk. Lanjut Combang Sajak, "Aku sengaja mengintai dari sela-sela tangkai, karena kudengar kau berdebat mengurai kata dengan pemuda santai. Jika kau bentrok badai dengannya dan kau terdesak tak mampu menggapai, aku akan langsung datang membantai. Tapi ternyata dia lebih dulu membuatku terbang melambai-lambai."

"Mirip bangkai...," timpal Suto dengan geli.

"Diam kau, Anak Kerbau!" sentak Comblang Sajak.

Gadis Dungu tak hiraukan ketegangan Comblang Sajak. Ia ajukan tanya kembali dengan sikap angkuhnya. "Lalu, apa maksud Paman menyusulku kemari? Siapa yang izinkan Paman pergi dari padepokan?"

Comblang Sajak tampakkan wajah murungnya. Ia maju tiga langkah hingga jaraknya lebih dekat lagi dengan Gadis Dungu dan Suto Sinting yang masih berada di belakang si gadis kira-kira dua tindak jauhnya.

"Berita duka kubawa kemana raga berkelana. Aku sengaja mencarimu ke ujung dunia untuk sampaikan berita duka penuh lara," tutur Comblang Sajak dengan kata berirama.

"Berita duka apa, Paman?! Cepat katakan!"

"Nyai Guru Serat Biru terluka Racun Batu Bisu..."

"Hahh...?!" Gadis Dungu terkejut seketika. Wajah cantiknya berubah menjadi tegang, kemudian maju selangkah dengan penasaran sekali. Ia mengguncang pundak Comblang Sajak dengan pertanyaan bernada menyentak. "Apakah Guru diserang oleh Peri Kedung Hantu?!"

"Benar, Indayani! Peri Kedung Hantu datang kepadepokan dan menyerang kami tanpa permisi. Sasaran utamanya adalah membunuh Nyai Guru pelayan pribadi. Waktu itu aku sempat diperintahkan lari, tapi Bibi Sandami; yang ku calonkan sebagai istri, terpaksa mati tanpa jampi-jampi."

"Keparat betul si Peri Kedung Hantu itu!" geram Gadis Dungu dengan mata mengecil memancarkan dendam kesumat dalam hatinya.

"Nyai Guru masih mampu bertahan dengan napas perlahan-lahan. Tapi tubuhnya tak mampu digerakkan, dan mulutnya bisu tanpa ucapan. Keadaannya sangat kasihan."

"Apakah kau tak pergi hubungi Tabib Awan Putih, Paman?!"

"Tabib sudah coba tolong Guru, tapi akhirnya mengaku tak bisa lawan Racun Batu Bisu. Menurut Tabib racun itu hanya bisa dilumpuhkan dengan madu dari Bunga Salju. Bunga itu hanya ada di puncak Gunung Himalayu."

"Himalaya!" tak sadar Suto ikut membenarkan ucapan itu.

"Iya, Gunung Himalaya maksud saya. Tapi gunung itu jauh dari pandangan kita. Perjalanannya pun sangat berbahaya."

Gadis Dungu tampak gusar sekali. Tangannya bergerak-gerak menggenggam bagai meremas-remas kebencian yang ada. Suto Sinting mencoba bicara dengan sikap tenang.

"Bagaimana jika ku coba untuk mengobati gurumu?"

"Ah, kau...! Aku sedang berduka kau malah mengajakku bercanda! Aku tidak tertarik dengan candamu!" gertak Gadis Dungu membuat Suto Sinting dongkol kembali. Ia hanya menghembuskan napas sebagai penahan kedongkolannya.

"Tabib bilang," kata Comblang Sajak, "Ada orang yang punya Madu Bunga Salju. Bunganya tak ada tapi ia simpan madunya. Tabib bilang, ada dua orang yang simpan madu tersayang; Peri Kedung Hantu dan Putri Kunang."

Suto Sinting terperanjat. "Aku kenal dengan Putri Kunang. Ia tinggal di Pulau Dadap dan berkuasa di sana! Aku bisa memintakan madu itu jika kau setuju."

"Putri Kunang?! Hmmm...! Kau pikir hanya kau yang kenal dia? Aku pun kenal dengan si Putri Kunang itu!" kata Gadis Dungu. "Aku pun tahu bahwa ia menjadi Ratu di Pulau Dadap!"

"Syukurlah kalau begitu," gumam Suto agak gondok hatinya, lalu terbayang ingatannya kepada seraut wajah cantik milik si Putri Kunang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi).

"Paman, mana yang lebih baik menurutmu: memaksa Peri Kedung Hantu untuk serahkan madu Bunga Salju atau pergi ke Pulau Dadap untuk temui Putri Kunang?"

"Kita tak akan unggul lawan Peri Kedung Hantu. Ada baiknya pergi ke Pulau Dadap minta bantuan Putri Kunang sahabatmu itu."

"Baik, kalau begitu, tolong cari tahu di mana letak Pulau Dadap itu, Paman!"

"Baik. Aku akan tanya pada orang yang tahu letaknya."

Suto Sinting bersungut-sungut dongkol, "Uuh... keduanya sama-sama dungu! Mau dibantu malah berlagak sok tahu!"

* * *

TIGA

KEDUA orang itu akhirnya ditinggalkan oleh Pendekar Mabuk. Ia merasa sia-sia menyediakan diri membantu Gadis Dungu yang tidak pernah mau mempercayai kata-katanya. Namun anehnya, baru beberapa saat Suto Sinting tinggalkan gadis itu dengan pelayan gurunya, tiba-tiba langkahnya terpotong oleh mereka juga yang datang secara beruntun. Gadis Dungu sengaja berdiri di depan langkah Suto Sinting, lalu Comblang Sajak menyusulnya dari belakang. Suto Sinting pandangi Gadis Dungu dengan dahi berkerut tipis.

Suto Sinting sengaja diam dan tak mendahului bicara selain hanya menatap dengan kalem. Gadis Dungu dekati Suto, lalu menyapa dengan suaranya yang masih bernada ketus dan berlagak angkuh, sehingga kecantikannya kian menggemaskan.

"Kudengar tadi kau bicara tentang Pulau Dadap, Dogol! Benarkah kau tahu ke mana arah yang harus kutuju untuk sampai ke Pulau Dadap?!"

"Dasar dungu!" gerutu hati Suto, namun mulutnya lontarkan kata bernada menyindir jengkel. "Bukankah kau juga tahu jalan menuju Pulau Dadap? Kau bukan anak kemarin sore, Gadis Dungu, pasti kau tahu arah ke sana."

"Daya ingatku agak berkurang sejak terkena jurus 'Racun Jamur Setan' tadi. Aku lupa arah menuju ke Pulau Dadap itu."

Pendekar Mabuk tersenyum kecil, sengaja dibuat sinis untuk membalas sikap si gadis tadi. "Aku tidak tahu arah ke sana. Aku sendiri menjadi lupa sejak kau merasa tahu tentang Pulau Dadap. Sebaiknya suruh pelayan gurumu itu untuk mencari orang yang tahu arah ke Pulau Dadap."

"Paman Comblang Sajak sudah mencarinya ke mana-mana, namun ia tidak menemukan orang yang tahu arah ke Pulau Dadap," ujar Gadis Dungu terang-terangan membual. Tak mungkin Comblang Sajak sudah mencari ke mana-mana, sebab perpisahannya dengan Suto Sinting belum ada seratus helaan napas.

Karenanya Suto Sinting tertawa geli tanpa suara sambil geleng-geleng kepala, merasa kagum dengan keangkuhan dan kebodohan si Gadis Dungu itu. "Kalau kau membual sebaiknya yang masuk akal, jadi bualanmu tidak akan diketahui orang."

"Aku tidak membual! Aku benar-benar mau menuju ke Pulau Dadap," kata Gadis Dungu, berlagak tak jelas maksud ucapan Suto Sinting.

Kini si pelayan Nyai Serat Biru angkat bicara juga kepada Pendekar Mabuk. "Kami hanya ingin menguji kau punya janji. Jika kau pemuda terpuji, kau pasti tak akan menolak untuk tepati janji tanpa sesaji barang sebiji."

Suto Sinting akhirnya tarik napas dalam-dalam, berusaha memaklumi sikap mereka dan tidak mempermasalahkan. "Capailah pantai utara lebih dulu, kemudian...," ucapan itu terhenti seketika karena Comblang Sajak berseru dengan suara tertahan berat,

"Aaahhg...! Heeegh...!"

Gadis Dungu yang ada di depan Comblang Sajak cepat palingkan kepala ke belakang. Mata gadis itu terbelalak kaget, raut wajahnya pun berubah menjadi tegang. Perubahan itu dialami pula oleh Pendekar Mabuk yang mulutnya ternganga tak bergerak. Mata mereka berkedip, kesadaran mereka mulai menggerakkan seluruh anggota badan setelah Comblang Sajak tumbang ke depan dengan tak bernyawa lagi.

Brrruk...!

"Pamaaann...!" pekik Gadis Dungu segera memburu ke tubuh yang tumbang ke depan dan sekarang dalam keadaan telungkup di tanah itu. Dalam keadaan seperti itulah, maka Gadis Dungu dan Suto Sinting menjadi tahu bahwa Comblang Sajak telah diserang dari belakang dengan pisau kecil bergagang pendek sekali dengan hiasan rumbai-rumbai benang ungu. Pisau itu berukuran setengah jengkal dan menancap telak di punggung Comblang Sajak hingga gagang pisaunya hampir terbenam. Di punggung itu terdapat tiga pisau yang menancap, salah satu pisau tepat kenai tengkuk kepala Comblang Sajak.

Baru saja Suto Sinting ingin membungkuk mendekati mayat Comblang Sajak, tiba-tiba ekor matanya melihat beberapa kelebat benda melesat ke arah Gadis Dungu. Gerakan benda itu sangat cepat, sampai-sampai tak ada waktu lagi bagi Suto Sinting untuk berteriak memperingatkan Gadis Dungu. Tindakan yang lebih tepat bagi Suto Sinting adalah menyambar bumbung tuaknya dari punggung lalu menghadangkan bambu bumbung tuak itu ke depan leher si Gadis Dungu.

Wuuut...! Traaang...! Slaaap...!

Pisau itu menghantam bumbung tuak, gerakannya menjadi berbalik arah dengan lebih cepat dari gerakan semula. Wuuus...! Pisau itu menembus masuk ke semak belukar. Sraak...! Kejap berikut terdengar suara orang berseru tertahan.

"Uugh...!!"

"Apa yang kau lakukan padaku?! Mau menghantamku dengan bambumu itu, hah?!" sentak Gadis Dungu kepada Suto Sinting dengan wajah berang.

Yang dibentak hanya menggeram dalam hati penuh kejengkelan, hidungnya menyentakkan dengusan napas yang untung tak sampai menghadirkan kekuatan jurus 'Napas Tuak Setan' yang menjadi jurus sangat berbahaya dan jarang digunakan oleh si murid sinting Gila Tuak itu.

"Kau selalu mencurigai aku dengan hal-hal yang buruk, Indayani! Kau sangka aku ini...," kata- kata itu terhenti kembali.

Tiga mata pisau bergerak bagaikan cahaya putih dari tiga arah. Sasarannya adalah tubuh Gadis Dungu. Rupanya penyerang tersebut bukan hanya satu orang, melainkan lebih dari satu. Sedikitnya tiga orang ada di balik semak mengintai nyawa Gadis Dungu dan Suto Sinting. Melihat tiga cahaya mengkerilap datang dari tiga arah, maka tangan Suto Sinting segera menyambar lengan Gadis Dungu. Tangan itu disentakkan, sehingga tubuh Gadis Dungu bagaikan jatuh dalam pelukan Pendekar Mabuk.

Wuuut...! Pluuk...!

"Aih, kurang ajar!"

Plak...! Pipi kanan Suto Sinting ditampar keras oleh Gadis Dungu, karena gadis itu menganggap sedang ingin diperkosa oleh Suto Sinting. Karuan saja tamparan itu membuat Suto Sinting menjadi tersentak seketika dan menggeragap sesaat. Sedangkan tiga pisau dari tiga arah itu saling melesat menemukan tempat kosong. Sasaran ketiganya adalah pohon yang ada searah dengan kecepatan geraknya. Jrrrub...! Ketiganya sama-sama menancap ke batang pohon tanpa ada perbedaan waktu sedikit pun. Hal itu menimbulkan dugaan, bahwa penyerang itu dilakukan oleh tiga orang dengan isyarat tertentu untuk mencapai kesamaan gerak terbang pisau-pisau berbenang ungu itu.

"Lepaskan aku, jangan jamah tubuhku, Setan!" bentak Gadis Dungu sambil meronta dari pelukan Suto Sinting walau gerakan merontanya itu cukup lemah, bagai malas-malasan lepas dari pelukan sang pemuda berbadan kekar dan tegap itu. "Lepaskan, Dogol! Kalau kesabaranku hilang, kuhancurkan wajahmu dengan kuku-kuku jariku ini!" sambil menunjukkan kelima jari tangan kirinya yang berkuku tajam.

Tiba-tiba dari berbagai penjuru muncul pisau- pisau kecil yang melesat serempak ke arah mereka. Wut, wut, wut, wut, wut...!

Weeesss...! Pendekar Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus ke atas sambil tetap memeluk Gadis Dungu. Dalam sekejap saja mereka sudah berada di atas sebuah pohon berdaun rimbun. Si Gadis Dungu terperanjat kaget mengetahui keadaannya sudah berada di atas pohon yang cukup tinggi. Saat ia dibawa terbang lurus ke atas oleh Suto Sinting, ia tidak merasakan gerakan itu, karena ia masih terkesiap oleh datangnya pisau-pisau kecil dari berbagai penjuru itu. Maka ketika ia sadar dirinya sudah berada di atas pohon dalam dekapan Suto Sinting, mulutnya tak bisa terkatup untuk sesaat, lidahnya menjadi kelu tak mampu berucap kata, bahkan menelan ludah pun terasa sulit.

Craaang...!

Pisau-pisau yang jumlahnya sekitar sepuluh bilah itu saling beradu pada satu titik, yaitu titik di mana tadi Suto Sinting dan Gadis Dungu berdiri dalam satu dekapan. Mata si Gadis Dungu sempat melihat perpaduan pisau-pisau kecil itu dari atas pohon. Berarti gerakan tubuh Suto Sinting melesat ke atas pohon lebih cepat daripada gerakan pisau-pisau terbang ke titik sasaran.

Seharusnya si gadis berkalung gendang kecil itu dapat menyimpulkan, bahwa gerakan itu adalah gerakan peringan tubuh yang sangat tinggi dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang berilmu lebih tinggi darinya. Tetapi nyatanya Gadis Dungu justru menyentak kepada Suto Sinting dengan mata membelalak berang dan sikap menjengkelkan.

"Lepaskan pelukanmu! Gara-gara ulahmu aku jadi tak mampu menangkis pisau-pisau itu! Dasar pemuda hidung belang!"

"Bukannya terima kasih, malah ngomel?!" gerutu Suto Sinting dalam hatinya. Maka ia pun melepaskan pelukannya dengan mendengus kesal menahan kejengkelan.

Gadis Dungu turun dengan memamerkan kehebatannya dalam bersalto di udara. Wuuut, wuuut...! Jleeg! Kakinya mendarat ke tanah dengan tegap dan sigap. Kuda-kudanya langsung terpasang penuh kesiagaan menghadapi serangan lawan. Dengan wajah penuh kemarahan ia berseru lontarkan tantangan kepada lawannya.

"Keluar kalian dari persembunyian! Jangan menjadi pengecut bernyali belut! Jika mau tawuran, majulah bersama! Aku tak akan gentar hadapi tikus-tikus licik macam kalian! Keluaaarr...!"

Tak ada yang muncul satu pun dari balik semak dan pepohonan. Suto Sinting memperhatikan dari atas pohon dengan geleng-geleng kepala. Hatinya pun membatin kagum, "Keberaniannya patut mendapat acungan jempol. Tapi kebodohannya sungguh luar biasa! Ia tak sadar kesombongannya itu dapat mencelakakan jiwanya setiap saat. Gadis itu benar-benar punya otak yang sangat berbahaya bagi keselamatannya sendiri! Hmmm... baru sekarang kutemukan gadis sedungu dia!"

Karena tak ada yang muncul dari persembunyian, Gadis Dungu yang sudah dibakar dendam karena kematian pelayan gurunya itu segera menabuh gendangnya dengan dua tangan. Dung, dung, plak Dung, dung, plang. Plak, dung, plak, dung, blang, plak, dung, dung....

Suara gendang bertalu membuat semak-semak makin lama semakin tampak bergerak-gerak. Lalu, dari dalam semak belukar itu muncul sosok manusia yang menari-nari dengan wajah penuh ceria mengikuti irama gendang. Mereka muncul dari berbagai arah sambil bertandak bergoyang pinggul berlenggak- lenggok. Jumlah mereka ternyata lebih dari sepuluh orang. Hal itu membuat Suto Sinting terkejut dan terbengong.

"Rupanya aku dan dia telah terkepung sejak tadi?! Dan oh, siapa mereka itu?! Manusia dari mana mereka?!"

Hal yang membuat Suto Sinting semakin tambah terheran-heran adalah sosok para pengepung yang kini sedang berjoget seiring irama gendang bertalu itu. Mereka adalah orang-orang kerdil berkulit hitam dan berkilauan. Sepertinya kulit mereka dibalur minyak sekujur tubuh. Mereka hanya mengenakan cawat dari kulit binatang tanpa baju atau pakaian lain. Di pinggang mereka mengenakan sabuk yang penuh dengan pisau kecil. Mereka adalah para lelaki kerdil yang mempunyai bentuk wajah beraneka ragam; ada yang lonjong, ada yang bulat, ada yang mungil, ada pula yang pletat-pletot dengan tulang rahang tak seimbang besarnya. Rata-rata berambut pendek dan ikal.

Sungguh lucu memandangi mereka saling berjoget dengan teriakan-teriakan kegirangan, bagaikan menikmati pesta yang penuh sukacita. Gadis Dungu sendiri sempat terkesima memandangi mereka dengan tangan masih tetap menabuh gendang. Tetapi agaknya ada satu orang yang berilmu tinggi. Orang kerdil yang berilmu tinggi itu berambut panjang, tapi bagian depannya botak. Tampak sudah tua, terbukti rambutnya sudah beruban tak rata, ia tidak terpengaruh oleh suara gendang, sehingga tidak ikut-ikutan berjoget. Orang itulah yang segera melemparkan pisau terbangnya ke arah punggung Gadis Dungu.

Wuuuss...! Tepat pada saat itu tubuh Gadis Dungu berpaling ke arahnya. Pisau itu langsung menancap di dada, bawah pundak kiri si Gadis Dungu. Jrrrub...!

"Aaagh...!" Gadis Dungu terpekik. Tubuhnya mengejang sesaat, lalu meliuk jatuh berlutut. Tangannya tak mampu menabuh gendang lagi. Nafasnya pun tampak memberat. Ia mulai kesulitan bernapas. Itu pertanda ia terkena racun ganas yang ada pada pisau berekor benang rumbai ungu.

"Serang dia! Hancurkan!" perintah si rambut panjang kepada para manusia kerdil yang sudah berhenti berjoget.

"Celaka!" geram Suto Sinting dengan tegang melihat mata Gadis Dungu mulai sayu pertanda tak mampu bertahan lagi. Orang-orang kerdil pun segera menyerangnya dari berbagai arah. Pada saat itulah Suto Sinting tak banyak berpikir lagi, segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak melebihi kecepatan anak panah, menyamai kecepatan hembusan angin badai.

Zlaaap...! Weees...!

Gadis Dungu disambar dan dilarikan oleh Pendekar Mabuk, sehingga para manusia kerdil itu menyerang tempat kosong. Akibatnya mereka saling bertabrakan dalam satu titik. Brrrus...!

"Aaauuh...! Uuuhg...! Heegh...! Waadoww...!" mereka saling pekik kesakitan. Salah seorang ada yang berseru bernada tegang dan penuh keheranan.

"Hilang! Gadis itu hilang lenyap begitu saja!"

"Cari! Gali tanah itu, siapa tahu dia menenggelamkan diri ke dalam tanah itu! Lekas cariii...!" teriak si rambut panjang yang agaknya sebagai ketua para orang kerdil itu.

Maka mereka pun segera menggali tanah tempat Gadis Dungu berlutut tadi. Mereka menggali dengan cakar tangannya yang bergerak cepat berkesan liar dan ganas. Mereka tidak melihat gerakan Suto Sinting menyambar gadis itu karena kecepatan gerak si Pendekar Mabuk memang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun bagi orang berilmu tinggi yang telah kuasai indera keenamnya, ia mampu melihat gerakan dari jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk itu. Kecepatan gerak seperti itu hanya dimiliki oleh beberapa tokoh sakti, termasuk guru si Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh ini namanya masih berada di urutan teratas dari daftar orang-orang sakti di rimba persilatan.

Tak heran jika Suto Sinting mampu kuasai jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam waktu singkat ia sudah berada di suatu tempat yang jauh dari kerumunan orang-orang kerdil itu. Di bawah tebing berongga menyerupai goa, Suto Sinting meletakkan Gadis Dungu dalam keadaan duduk bersandar pada salah satu dinding goa tersebut. Suara debur ombak terdengar dari tempat mereka berada, karena goa itu memang terletak di tepi pantai yang penuh dengan gugusan batu karang di bagian depannya. Tempat itu amat sunyi, sehingga Suto Sinting merasa aman membawa si Gadis Dungu ke tempat tersebut.

Wajah si gadis tampak memucat bagaikan wajah mayat dalam liang kubur. Ia masih berusaha bertahan dengan napas yang sangat berat. Sesekali mulutnya keluarkan desis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Racun pada pisau yang masih menancap di dada kirinya itu membuat bagian dalam tubuh Gadis Dungu bagaikan dihujam jutaan jarum panas. Dari ubun-ubun kepala sampai ujung kaki terasa sakit dan perih sekali. Detak jantungnya pun terasa semakin melemah, ketegangan urat-uratnya mulai terasa mengendur. Gadis Dungu tak mampu lagi gerakkan anggota tubuhnya kecuali bibir dan lidah. Ia masih mampu keluarkan suara walau amat pelan.

Matanya yang mengecil sayu berusaha pandangi Suto Sinting yang duduk di atas batu karang datar di depannya. Pemuda tampan itu tampak tenang, bahkan sempat menenggak tuaknya beberapa teguk. Ia bersikap acuh tak acuh melihat keadaan si gadis yang amat menderita itu. Sikap tersebut sengaja dilakukan dengan paksa, walau hati Suto sebenarnya tak tega melihat penderitaan si Gadis Dungu.

"Dogol...," ucap si gadis dengan lirih, menyedihkan sekali kedengarannya. Tapi Suto Sinting memaksakan hatinya untuk tabah. Seolah-olah ia tak berbelas kasihan sedikit pun kepada gadis itu. Sang gadis memandang dengan penuh harap pertolongan.

"To... tolonglah aku, Dogol...! Saa... sakit sekali sekujur tubuhku. Tolong... tolong cabutkan pisau ini, Dogol."

"Cabut saja sendiri," ujar Suto Sinting sambil bangkit dan melangkah ke tepi goa, memandang ombak di sela-sela tonjolan batu karang.

Si gadis merintih pelan, kepalanya berusaha berpaling dengan susah payah sekali. Wajahnya dihadapkan kepada Suto Sinting, memandang dengan sangat menyedihkan hati. "Dogol... tolonglah aku. Ak... aku tak kuat lagi menahan racun pada pisau ini. Tooo... long aku, Dogol!"

Dengan tanpa memandang si gadis, Suto Sinting berkata agak keras supaya didengar lawan bicaranya. "Namaku bukan Dogol! Aku adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak!"

"Terserah...," ucap si gadis semakin lirih. "Kau boleh mengaku murid siapa saja, tapi... tolonglah aku, selamatkan jiwaku, Dogol! Usahakan agar aku jangan sampai mati di sini."

"Maunya mati di mana?" sambil Suto Sinting berpaling memandang dengan keharuan tersimpan dalam hatinya.

Gadis itu semakin meredupkan mata. Bibirnya yang ranum bergerak samar-samar, suaranya pun terdengar kecil sekali. "Aku... tak mau mati.... Aku belum kawin, Dogol. Selamatkan nyawaku ini.... Nyawaku hanya... satu..."

"Hmm...!" Suto Sinting tertawa pendek. Hatinya masih dongkol juga karena si gadis tetap saja tak mau memanggilnya sebagai Suto Sinting. Padahal sikap acuh tak acuhnya itu diharapkan dapat meluluhkan hati si gadis dan mengakui bahwa pemuda yang bersamanya itu adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang menjadi murid si Gila Tuak. Namun ternyata gadis itu tetap keras kepala walau dalam keadaan semenderita itu.

"Sembuhkan sendiri lukamu dengan keangkuhanmu, Indayani!" sambil Suto Sinting buang muka kembali, memandang ke arah ombak laut yang meriak di pantai. Suasana pun menjadi sepi, karena Gadis Dungu tak perdengarkan suara lagi. Suto Sinting curiga, lalu berpaling menatap ke arah si gadis.

Indayani pejamkan mata dengan tenang. Seringai penahan rasa sakit tak terlihat di wajah cantiknya. Gadis itu diam tanpa gerakan apa pun. Bahkan gerakan dada montoknya yang menarik napas tidak ada lagi. Suto Sinting menjadi tegang dan sangat cemas melihat keadaan seperti itu. Ia segera menghampiri dan memeriksa si gadis.

"Gawat! Tubuhnya telah menjadi sedingin balok es! Wah, kacau berat kalau begini! Dia mati...?!"

Suto Sinting mulai panik, hatinya diliputi rasa sesal dan cemas. Jantungnya sendiri menjadi berdebar-debar. Ia memeriksa denyut nadi si Gadis Dungu itu. "Masih ada denyut nadinya walau lemah sekali. Oh, mungkinkah masih bisa kuselamatkan?!"

Ia buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya sambil membatin, "Alangkah menyesalnya aku jika gadis ini sampai benar-benar mati. Aku tadi hanya main-main, tidak bermaksud membiarkannya menderita. Aku hanya ingin memberi pelajaran terhadap keangkuhannya itu. Tapi... tapi mengapa dia menjadi selemah ini? Jangan-jangan ia benar-benar mati sebelum aku berhasil meminumkan tuak ke mulutnya?! Adduuh... tumben sekali tutup bumbung tuakku ini sulit dibuka?! Ada apa dengan tutup ini?" Suto Sinting memeriksa bumbung sejenak.

"Ya, ampuuun... terbalik! Yang kubuka bagian bawah bumbung. Tentu saja tak akan bisa dibuka, karena bagian yang berlubang terjungkir ke bawah, dan... yaa, Dewaaa...! Tuaknya tumpah! Pantas sejak tadi kudengar suara mengucur, kusangka suara air laut, ternyata suara tuakku yang tumpah! Sial! Benar-benar sial ini namanya! Lalu bagaimana dengan nasib Gadis Dungu jika tanpa tuak dari bumbung sakti ini?!" Pendekar Mabuk menjadi bertambah panik. Gerakannya semakin menggeragap bagaikan serba salah.

* * *

EMPAT

RUPANYA si cantik yang angkuh itu ke mana-mana selalu diikuti oleh dewa keberuntungan. Keadaannya yang sekarat dapat dihindari walaupun melalui pertolongan orang lain. Suto Sinting berhasil selamatkan jiwa si Gadis Dungu dengan sisa tuak yang masih ada di bumbung. Tuak yang tersisa tinggal sedikit, mungkin tinggal dua puluh tegukan lagi, dan Suto meminumkan sebagian tuak yang tersisa ke mulut Gadis Dungu. Tak peduli dengan cara memasukkan tuak dari mulut Suto Sinting ke mulut si Gadis Dungu seperti orang berciuman mulut dengan mulut, yang penting tuak itu tertelan oleh si gadis, dan nyawa si gadis pun terselamatkan.

Seandainya gadis itu mengetahui bagaimana Suto Sinting menuangkan tuaknya hingga tertelan oleh si gadis, tentu gadis itu akan marah dan merasa tersinggung. Sebab sengaja ataupun tidak, bibir Suto Sinting menempel di bibir si gadis untuk meniupkan napas pendorong tuak agar masuk ke tenggorokan. Tapi sudah tentu hal itu tak akan diceritakan kepada si gadis. Suto Sinting hanya angkat bahu ketika gadis itu bertanya dengan nada ketus dan sikap mulai angkuh,

"Bagaimana caramu mengobati lukaku!"

"Entah. Aku lupa," jawab Suto membalas dengan keangkuhan.

Si gadis segera tidak peduli dengan bagaimana cara pengobatan yang dilakukan oleh Suto Sinting. Baginya ia merasa lega karena kesehatannya telah pulih, kekuatannya telah kembali seperti sediakala, bahkan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum terkena pisau beracun. Ia juga merasa lega karena luka di dada kirinya tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Dengan begitu keadaan kulit tubuhnya tetap mulus tanpa cacat seujung jarum pun.

Senja memancarkan cahaya merah di ufuk barat. Matahari yang nyaris tenggelam habis dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang duduk di atas sebuah batu karang datar. Ia sengaja membiarkan Gadis Dungu ada di dalam goa. Ia bingung memikirkan bagaimana harus bersikap terhadap Gadis Dungu yang angkuh itu. Senja yang sebentar lagi akan berganti petang ternyata menghadirkan deru angin agak kencang. Rambut Suto Sinting murid Gila Tuak meriap-riap disapu angin.

Deru angin itu membuat telinganya tak mendengar langkah kaki Gadis Dungu yang mendekatinya sambil tetap berkalung gendang kecil. Tahu-tahu gadis itu lewat di samping Suto, memandang ke arah cakrawala dengan rambutnya yang bergerai-gerai. Ia berhenti di bagian samping depan Suto Sinting dalam jarak dua langkah. Suaranya terdengar tanpa berpaling memandang wajah Pendekar Mabuk.

"Dua kali kau pamer kehebatanmu dengan menyelamatkan nyawaku. Sampai sekarang aku tak tahu apa maksudmu memamerkan ilmu perdukunanmu itu, Dogol. Apa yang kau harap dariku sebenarnya?"

"Tak ada yang bisa kuharap darimu," jawab Suto Sinting dengan pelan namun punya makna dalam bagi orang yang cerdas. Sayang sekali gadis itu agaknya benar-benar dungu, sehingga ia tidak merasa tersinggung dengan kata-kata yang bersifat merendahkan dirinya itu.

"Syukurlah jika kau tak mempunyai harapan apa-apa dariku. Sebab jika kau mempunyai suatu harapan dariku, kau akan kecewa besar, karena aku tak pernah memenuhi harapan seorang lelaki hidung belang seperti dirimu."

Selesai bicara begitu, ia berpaling menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan mata berkesan meremehkan sekali. Namun Suto Sinting berusaha untuk tidak mengambil hati sikap itu. Ia hanya tersenyum tipis, kemudian berkata dengan kalem.

"Seandainya aku tahu banyak tentang dirimu, aku dapat lebih banyak membantu kesulitanmu, Gadis Dungu."

Setelah membisu beberapa saat dengan tetap memandang tanpa kedip, gadis itu pun akhirnya ajukan tanya kepada Suto Sinting, "Apa yang ingin kau tahu dariku? Kau senang mengorek rahasia pribadi seseorang rupanya."

"Terserah penilaianmu, yang jelas kulihat kau terancam bahaya berulang kali. Berarti kau mempunyai banyak musuh. Biasanya orang yang punya banyak musuh, tindak tanduknya dalam bermasyarakat selalu bikin onar atau merugikan orang lain."

Gadis Dungu mendekatkan wajah dan menatap lebih nanap lagi. "Kurobek mulutmu jika sekali lagi mengatakan diriku sebagai gadis pembuat onar dalam masyarakat! Aku tersinggung dengan ucapanmu itu, Dogol!"

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis namun punya daya pesona yang cukup menggetarkan hati para wanita. Ancaman itu diremehkan, bahkan Suto Sinting berkata dengan sedikit ketus untuk membalas keangkuhan si gadis.

"Apakah kau mampu merobek mulut orang yang telah menyelamatkan nyawamu dua kali ini?"

"Jika hal itu perlu, tak ada pekerjaan yang tak mampu kulakukan! Kau pikir aku takut berhadapan denganmu? Hmmm... ilmumu belum seberapa, Dogol! Jangan merasa hebat di depanku."

Suto Sinting tertawa tanpa suara, tubuhnya bergerak-gerak dengan senyum kian melebar. Hati pun sempat membatin penuh rasa heran atas sikap angkuh yang masih saja sekeras baja itu.

"Tak ada ucapan terima kasih apa pun darinya, tapi ia justru selalu mengecamku dan merasa berilmu lebih tinggi dariku. Apakah begitu ajaran dari gurunya? Atau... mungkin karena ia seorang wanita, sehingga merasa perlu bersikap seangkuh ini di depan seorang lelaki agar harga dirinya tak direndahkan?"

Setelah lemparkan pandangan ke cakrawala lagi, Gadis Dungu perdengarkan suaranya yang berkesan dingin itu. "Dua kali aku hampir mati, dua kali kau menyelamatkan nyawaku. Tapi apalah artinya kau selamatkan jiwaku sementara kau biarkan perutku kelaparan begini?!"

"Kau lapar?! Oh, ya... aku pun juga lapar."

"Dangkal sekali otakmu, Dogol. Seandainya aku menjadi seorang lelaki yang mendengar seorang gadis kelaparan, aku akan berusaha mencari makanan untuk mengisi perut si gadis agar tak kelaparan. Setidaknya dengan cara begitu si gadis akan menilai bahwa lelaki itu punya tanggung jawab dan mampu menjamin kehidupan serta masa depannya."

Suto Sinting geli sendiri mendengar sindiran seperti itu. Ia segera berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku akan mencarikan makanan untukmu asal kau mau berjanji menceritakan siapa orang-orang kerdil yang menyerangmu dan menewaskan si Comblang Sajak itu?"

Gadis Dungu gelengkan kepala sambil pandangi Suto Sinting. "Aku tak mau mengikat janji dengan lelaki mana pun. Bagiku, setiap lelaki akan selalu memanfaatkan janji seorang wanita demi kepentingan pribadinya sendiri. Kalau kau mau mencarikan makanan untukku, pergilah tanpa syarat apa pun dariku!"

"Kalau aku tak mau?"

"Jangan harap kau mendapat cerita tentang orang-orang kerdil dariku!" jawabnya dengan ketus dan buang muka. Tampak sekali keangkuhan dan sikap plin-plan yang membingungkan itu. Namun Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum menawan, seakan tak mau memikirkan permainan kata-kata tadi. Ketika Pendekar Mabuk bergegas pergi, Gadis Dungu sempat bertanya dengan suara bernada was-was.

"Mau ke mana kau?"

"Mencari kedai untuk mengisi bumbung tuakku!"

"Apakah... apakah aku harus tetap disini menunggumu?"

Suto Sinting angkat bahu, "Terserah...! Aku tak mau menyuruh seorang gadis menungguku, karena aku tak mau terikat janji dengan gadis mana pun."

"Hmm...!" gadis itu mendengus kesal, ucapannya tadi dibalikkan oleh Suto Sinting. Wajah yang bersungut-sungut menahan dongkol cukup menghibur hati Pendekar Mabuk hingga tawanya terdengar pelan namun sedikit panjang. Ia pun segera bergegas pergi. Gadis Dungu melompat ke atas gugusan karang dan berseru kepada Pendekar Mabuk yang meninggalkannya.

"Apakah kau akan kembali membawa makanan untukku?"

"Doakan saja semoga aku berpikiran begitu!" jawab Suto Sinting sambil teruskan langkahnya. Ia tak pedulikan wajah si gadis yang cemberut berkesan manja. Ia pun tak tahu kalau si gadis menjadi bimbang dalam sikapnya dan batinnya pun bertanya,

"Haruskah aku menunggunya di goa ini? Uuh...! Untuk apa aku menunggunya, nanti dia besar kepala. Dan lagi, belum tentu ia kembali ke sini lagi menemuiku. Sebaiknya kutinggalkan saja. Aku harus kembali ke padepokan untuk menengok keadaan Guru yang menurut Paman Comblang telah terkena Racun Batu Bisu itu. Oh, kasihan nasib Paman Comblang, aku harus laporkan pada Guru tentang kematian Paman Comblang itu. Tapi...," wajah cantik itu mulai diliputi kebimbangan kembali.

"Tapi jika aku pergi, bagaimana dengan si Dogol jika ia kembali lagi kemari dengan membawakan makanan untukku? Kasihan makanan itu, tak ada yang menelannya. Bisa-bisa hanya akan dibuang begitu saja oleh si Dogol!"

Keangkuhan dan kebodohan Indayani telah membuat rasa penasaran tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Ketika ia menyadari kepergiannya mencari sebuah kedai, ia semakin merasa heran oleh sikapnya sendiri.

"Mengapa aku menuruti keinginan gadis angkuh itu? Hatiku tergerak untuk mencari makanan baginya. Bukankah itu berarti aku punya perhatian tersendiri kepada si angkuh Indayani? Mengapa aku jadi memperhatikannya, sedangkan ia tidak peduli sama sekali dengan jati diriku?! Ah, sial amat nasibku hari ini. Aku jadi diperbudak oleh perasaanku. Gadis itu pandai membuatku penasaran dan sulit bersikap masa bodo kepadanya!"

Bumbung tuak diisi penuh ketika Pendekar Mabuk berhasil temukan sebuah kedai di perkampungan nelayan. Ia sempatkan mengisi perutnya sendiri sekenyang mungkin. "Aku akan pulang tanpa membawa makanan. Biar gadis itu tahu bagaimana cara menghargai seseorang agar orang lain pun menghargainya," pikir Suto Sinting. Tiba-tiba kecamuk dalam pikirannya itu terhenti oleh pembicaraan tiga orang pengunjung kedai yang duduk di deretan sebelah kirinya.

"Kalau usaha kita ini berhasil; Gadis Dungu dapat kita tangkap dan kita serahkan kepada Pangeran Umbardanu, hadiah bagianku akan kugunakan untuk melamar Suntini, gadis anak Ki Lurah Mangkat itu."

"Cocok! Aku juga punya rencana begitu. Upah menangkap si Gadis Dungu akan kugunakan sebagai mas kawin lamaranku kepada perawan belakang rumahku itu!" ujar lelaki berbaju kuning. Ia tampak lebih tampan dari kedua temannya. Usia mereka rata-rata sekitar tiga puluh tahun kurang.

Lelaki yang berbaju hijau garis-garis merah itu berkata menimpali ucapan kedua temannya tadi, "Kalian boleh saja berkhayal dan mengatur rencana, tapi terlebih dulu pikirkanlah bagaimana cara menangkap si Gadis Dungu itu. Kabarnya gadis itu licin bagaikan belut dan sukar dilumpuhkan. Kalau kita tak hati-hati melawannya, bisa-bisa nyawa kita melayang di tangan gadis murid Nyai Serat Biru itu. Usahakan juga agar penangkapan ini jangan sampai didengar oleh Nyai Serat Biru, sebab jika sampai hal ini diketahui Nyai Serat Biru, maka perempuan sakti itu akan turun tangan dan kita akan semakin kewalahan!"

"Kita menangkapnya bukan dengan kekerasan, melainkan dengan siasat jitu yang pernah kita bicarakan itu! Kalau kita menangkapnya dengan kekerasan, pasti kita akan kehilangan nyawa. Bukankah Pangeran Umbardanu sudah wanti-wanti kepada kita agar lebih baik menggunakan siasat daripada melakukan pertarungan dengan si Gadis Dungu?"

"Yang kupikirkan seandainya siasat kita gagal, mau tak mau kita bertarung dengan murid Nyai Serat Biru itu. Jika sampai terjadi begitu, jagalah nyawa kalian masing-masing. Lebih baik kita kehilangan upah dari Pangeran Umbardanu ketimbang kita kehilangan nyawa. Artinya, kalau keadaan kita terdesak, lebih baik kita cepat melarikan diri dari pertarungan!"

Yang mengenakan pakaian serba hitam segera berkata, "Aku yakin siasat kita tidak akan gagal. Tenanglah kalian, jangan cemas. Kita akan berhasil menangkap Gadis Dungu itu dan menyerahkannya kepada Pangeran Umbardanu dalam keadaan hidup ataupun mati."

Pendekar Mabuk diam-diam berkecamuk penuh keheranan dalam hatinya. Percakapan ketiga orang berbadan kekar itu disimaknya baik-baik. Seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada dirinya untuk memancing kemarahan. Tetapi Pendekar Mabuk sengaja diam dan tak mau terpancing apa pun oleh percakapan mereka, bahkan ia bersikap seolah-olah tidak menyimak pembicaraan tersebut, walaupun dalam hatinya diliputi oleh berbagai pertanyaan yang sulit diperkirakan jawabannya.

"Siapa orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu? Mengapa ia sampai mengupah tiga orang untuk menangkap Gadis Dungu dalam keadaan hidup atau mati? Agaknya aku perlu tanyakan hal itu kepada Indayani. Tapi apakah gadis angkuh itu mau berterus terang menjelaskan apa sebab ia diburu oleh beberapa orang?"

Orang berpakaian hijau garis-garis merah itu terdengar berkata lagi kepada kedua temannya, "Kudengar dari Perguruan Serikat Jagal juga sedang memburu si Gadis Dungu. Apa benar begitu?"

"Menurut pengakuan salah seorang murid Dupa Dewa yang menjadi sahabatku sejak kecil, memang begitulah kenyataannya. Pihak Perguruan Serikat Jagal juga memburu si Gadis Dungu. Kabarnya hanya ingin melenyapkan riwayat hidup si Gadis Dungu agar tak sempat mencapai usia dua puluh lima tahun."

Batin sang Pendekar Mabuk pun bertanya, "Ada apa dengan usianya? Apa yang terjadi jika gadis itu sampai berusia dua puluh lima tahun?! Ah, ada-ada saja masalah ini, bikin pikiranku menjadi bingung. Tapi... kasihan juga si Gadis Dungu itu, menjadi bahan buruan beberapa orang yang agaknya sama-sama ingin melenyapkan masa hidupnya."

* * *

LIMA

RASA ingin tahu membuat Suto Sinting akhirnya membawakan makanan untuk Gadis Dungu. Ketika ia tiba di goa tepi laut, suasana petang sudah berubah menjadi malam. Gadis Dungu diam di depan goa, berdiri di atas batu karang runcing yang dapat menembus telapak kakinya jika ia tidak pergunakan ilmu peringan tubuh. Rambutnya dibiarkan meriap-riap disapu angin pantai. Wajahnya diam membisu disinari cahaya rembulan pucat yang hanya tampak sepotong dari balik mega.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum kecil melihat Gadis Dungu berdiri di atas pucuk karang runcing mirip mata tombak itu. Namun dalam hatinya merasa kagum memandang kecantikan pucat si Gadis Dungu dalam keadaan berdiri tegak, berkesan gagah, dengan kedua tangan bersidekap di dada, gendang berada di samping kanannya.

"Dia memang cantik dan menggairahkan. Tapi aku tak boleh gegabah main cocor saja. Aku sudah punya calon istri; Dyah Sariningrum. Aku tak mau terlibat hubungan asmara dengan perempuan mana pun demi menjaga kesucian cintaku, juga demi menjaga harga diri Dyah Sariningrum yang sebagai Ratu di Puri Gerbang Surgawi yang bertakhta di Pulau Serindu itu," ucap Suto Sinting dalam hatinya

Sambung batin Suto lagi, "Kalau hanya sekadar cium-cium, tak apalah. Demi kesegaran jasmani dan rohani saja." Lalu ia mengikik geli dalam hatinya.

Pendekar Mabuk terpaksa mendongak karena letak berdiri si Gadis Dungu cukup tinggi. Ia berseru dari bawah si Gadis Dungu itu sambil mengangkat bungkusan makanan yang dibawanya.

"Indayani, aku membawa makanan untukmu! Turunlah sekarang juga selagi makanannya masih hangat!"

Indayani, si Gadis Dungu menjawab, "Naiklah, Dogol! Bawa kemari makanannya!"

Gadis Dungu tahu, Suto Sinting tak akan bisa naik mendekatinya, karena bentuk batu karang yang dipakainya berdiri menyerupai tiang runcing tegak lurus. Tak ada tempat untuk memanjat, bahkan jika dilakukan dengan sebuah lompatan, tak ada tempat untuk berpijak didekatnya. Itulah sebabnya Gadis Dungu sunggingkan senyum sinis, melecehkan kebingungan Suto Sinting yang tak punya jalan untuk mendekatinya.

Pendekar Mabuk segera sadar dirinya dipermainkan oleh Indayani yang pamer ilmu peringan tubuh itu. Seruan untuk naik mendekatinya merupakan tantangan bagi Suto Sinting.

"Lekas, naiklah! Jangan bengong saja di situ, Dogol!"

Pendekar Mabuk akhirnya tersenyum kalem. Bungkusan makanan ada di kedua tangannya. Dan tiba-tiba tubuh Pendekar Mabuk terangkat ke udara dengan sendirinya. Makin lama bergerak makin naik hingga mencapai keadaan sejajar dengan tempat berdirinya Gadis Dungu.

Si gadis terperangah memandangi tubuh Suto Sinting yang mampu berdiri di udara tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu bagaikan terbang karena Suto Sinting menggunakan jurus 'Layang Raga' yang mampu mengangkat tubuhnya ke udara dengan pemusatan tenaga peringan tubuh pada kedua telapak kakinya.

"Kubawakan makanan untukmu, Indayani!" ujar Suto Sinting dengan kalem dalam keadaan kedua kaki mengambang di udara.

Indayani masih tertegun bengong karena terkesima dengan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk itu. Kata-kata tadi nyaris tidak didengarnya, sehingga ketika Suto Sinting mengulangi kata-kata itu, Indayani segera sadar dan segera menggeragap.

"Eh, hmm... ehh... iya.... Makanan, ya? Iya... eeh..."

"Makanlah sekarang juga, mumpung masih hangat," kata Suto Sinting sambil menyodorkan bungkusan makanan itu.

Indayani menerimanya dengan kedua tangan gemetar, mata menatap lurus pada kedua bola mata Suto Sinting yang terkena sorot rembulan pucat menjadi tampak teduh itu. Senyum Suto Sinting pun mekar, seakan sebagai ungkapan kata yang menyatakan bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Indayani. Hal itu membuat Gadis Dungu menjadi kikuk. Akhirnya keseimbangan tubuhnya pun terganggu, ia terpelanting jatuh dari pucuk karang.

"Oooh...!!" pekiknya, bungkus makanan terlempar.

Wuuus...! Suto Sinting bergerak cepat menyambar bungkus makanan, sedangkan tubuh si gadis dibiarkan jatuh terhempas di pasir pantai.

Brrruss...!

"Dasar lelaki tolol!" maki si Gadis Dungu. "Mengapa yang kau sambar makanannya? Seharusnya tubuhku yang kau sambar biar tak jatuh begini! Uuh... pinggangku jadi sakit gara-gara ketololanmu, Dogol!"

"Maaf, kupikir ilmumu tinggi sekali dan mampu selamatkan diri dari kejatuhan, sedangkan makanan ini tidak mempunyai ilmu apa-apa, jadi dialah yang kuselamatkan lebih dulu," ledek Suto Sinting sengaja memberi sindiran yang akan menjengkelkan gadis itu. Pendekar Mabuk tertawa cekikikan sambil mendekati Indayani yang telah berdiri dengan tangan pegangi pinggangnya yang sakit.

Wajah gadis itu cemberut bak ekor perkutut. "Manusia tak berperasaan kau, Dogol! Cukup lama aku menunggumu di sini, terhempas angin dicekam dingin, tapi begitu kau datang dan aku dalam bahaya, kau tidak segera menolongku."

"Aku tahu kau akan jatuh, tapi aku pun tahu jatuhmu tak akan berbahaya. Jadi yang kuselamatkan adalah makanan ini, ketimbang berantakan ke mana-mana tak jadi kau makan," ujar Suto Sinting semakin mendekat dan hentikan langkah dalam jarak satu tindak di depan gadis itu.

Tinggi tubuh si gadis yang sama dengan tinggi badan Suto Sinting membuat keduamata mereka beradu pandang secara lurus dan sejajar. "Mengapa kau tidak menunggu di dalam goa biar tidak kedinginan?" ucap Suto Sinting pelan, penuh kelembutan.

"Di dalam goa keadaannya gelap."

"Apakah kau tak bisa menyalakan api unggun?"

"Tak ada kayu di sana."

"Kau bisa mencarinya di luar goa?"

"Kau tidak menyuruhku mencarikayu."

"Aku juga tidak menyuruhmu menunggu, tapi mengapa kau lakukan juga pekerjaan menunggu itu?"

"Karena aku lapar!" jawab si Gadis Dungu dengan nada ketus.

Senyum Pendekar Mabuk mekar kembali. "Kalau begitu, makanlah makanan ini. Aku akan mencari kayu bakar."

Setelah menerima bungkusan, Indayani berkata, "Masih hangat. Apakah kedai itu ada di dekat sini?"

"Jauh sekali. Jika ditempuh dengan berjalan kaki hampir setengah hari."

"Mengapa kau bisa cepat kembali?"

"Karena aku sakti!" jawab Suto Sinting sengaja menyombongkan diri hanya untuk membalas kesombongan Indayani.

Tapi gadis itu mencibir sambil pandangi Suto Sinting yang bergegas mencari kayu bakar. Ia sempat berseru dengan nada ketus. "Setiap orang bisa mendapatkan makanan seperti ini. Tapi bukan berarti dia sakti. Kesaktian tidak diukur dari cepat atau lambatnya seseorang mendapatkan makanan."

Kata-kata selanjutnya tak didengar Suto Sinting, karena hati pemuda tampan itu berkecamuk sendiri dalam gerutuannya. "Benar-benar dungu! Yang kumaksud kecepatan gerakku hingga bisa kembali dalam waktu singkat, adalah kecepatan orang sakti. Tapi ia sangka aku merasa sakti karena bisa dapatkan makanan. Ah, dasar otak dipenuhi kesombongan, akhirnya tak bisa mengerti maksud pembicaraan orang lain?"

Keheningan malam di tepi pantai sungguh merupakan kehidupan damai yang punya keindahan tersendiri. Deburan ombak bagai irama hidup yang mengingatkan adanya tantangan pada diri tiap manusia. Suasana damai itu kali ini membungkus kedua insan yang berada dalam goa karang. Nyala perapian menghangatkan suasana, membuat hati mereka saling ber- kata-kata, yang akhirnya terciptalah percakapan dari kedua belah pihak.

"Cepat atau lambat aku harus bisa dapatkan Madu Bunga Salju untuk kesembuhan Guru," ujar Indayani sambil bermain tepi perapian dengan sebatang ranting kering. Katanya lagi, "Nyai Guru Serat Biru sudah kuanggap orangtuaku sendiri. Aku dirawat dan dibesarkan oleh beliau sejak berusia dua tahun. Ibuku yang melahirkan diriku tanpa suami, karena ayahku tewas di pertarungan, adalah sahabat Nyai Guru. Sehingga pada waktu Ibu mau meninggal karena luka dari lawan yang tak bisa disembuhkan, Ibu menyerahkan bayinya kepada Nyai Guru. Maksudku, anaknya yang masih kecil diserahkan kepada Nyai Guru untuk dirawat dan dibesarkan. Hatiku sangat pedih setelah mendengar kabar Nyai Guru terluka 'Racun Batu Bisu'. Aku tak ingin kehilangan Nyai Guru, jadi harus berusaha dengan bertaruh nyawa untuk dapatkan Madu Bunga Salju."

"Apa alasan Peri Kedung Hantu sehingga melepas jurus racun berbahayanya kepada Nyai Serat Biru?" tanya Suto Sinting dengan mata memandang penuh kesungguhan.

"Aku sendiri sedang bingung memikirkan hal itu. Seingatku, Peri Kedung Hantu tak pernah berselisih dengan Guru. Satu-satunya perselisihan yang pernah terjadi adalah pertarungan Rusa Merah dengan murid Peri Kedung Hantu yang bernama Selasi Jumpi. Itu terjadi empat tahun lalu. Dan pertarungan itu membuat keduanya tewas. Selasi Jumpi tewas seketika, sedangkan Rusa Merah tewas setelah sampai di padepokan."

"Apakah perselisihan itu pernah membuat Peri Kedung Hantu menuntut kepada pihak perguruanmu?"

"Nyai Guru segera lakukan pertemuan dengan Peri Kedung Hantu. Kalau tak salah, mereka akhirnya sepakat untuk tidak saling mendendam karena kedua murid sama-sama tewas. Jika sekarang Peri Kedung Hantu menyerang Nyai Guru, aku tidak tahu apakah ia menggunakan alasan perselisihan Rusa Merah dengan Selasi Jumpi, atau menggunakan alasan lain yang belum pernah kudengar penjelasannya."

Setelah diam sesaat merenungi cerita Indayani, Pendekar Mabuk yang duduk berhadapan dengan gadis itu segera ajukan pertanyaan kembali dengan suaranya yang lembut. "Apakah Peri Kedung Hantu ada hubungannya dengan Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat Jagal itu?"

Gadis Dungu kerutkan dahi pandangi Suto Sinting. Ia tidak langsung menjawab, namun berpikir sesaat dan sepertinya menemukan sesuatu yang mulai menegangkan hatinya. "Kalau begitu...," ucapnya pelan bagaikan ragu- ragu, Peri Kedung Hantu menyerang Nyai Guru untuk membela pamannya!"

"Siapa pamannya itu? Dupa Dewa?!"

"Benar. Dupa Dewa adalah pamannya Peri Kedung Hantu. Keduanya sama-sama beraliran sesat, namun tidak seganas aliran sesat lainnya. Perguruan Serikat Jagal tidak sembarangan menjagal orang. Hanya orang-orang tertentu yang terlibat urusan dengan mereka atau yang membahayakan bagi mereka yang akan dijagalnya tanpa ampun lagi. Peri Kedung Hantu sendiri mengembangkan aliran sesatnya dengan mencari murid sebanyak mungkin. Karena ia punya tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri jika waktunya telah tiba."

"Sejak kapan pihakmu terlibat bentrokan dengan Perguruan Serikat Jagal?"

"Seingatku... baru kali ini saja. Dan agaknya Nyai Guru tidak tahu kalau orang-orangnya Dupa Dewa menghendaki kematianku. Aku sendiri tak menyangka kalau Togayo dan Gayong tiba-tiba menyerangku dengan maksud membunuhku."

"Apa alasan mereka ingin membunuhmu?"

"Aku... aku tak tahu, dan aku tak menanyakan kala mereka menyerangku."

"Bodoh sekali kau."

"Itulah sebabnya aku dijuluki Gadis Dungu! Dan Nyai Guru pun agaknya setuju sekali dengan julukan itu," tutur Indayani dengan polos tanpa rasa malu sedikitpun.

"Apakah antara pihakmu pernah terjadi perselisihan dengan Perguruan Serikat Jagal?"

"Tidak pernah!" jawab Indayani dengan tegas.

Lalu mereka sama-sama diam, termenung. Setelah menambahkan kayu bakar pada perapian, Suto Sinting perdengarkan suaranya kembali dengan nada tenang.

"Tak mungkin Dupa Dewa sampai turun tangan menyerangmu jika tak terjadi masalah besar pada dirimu. Pasti kau melakukan kesalahan yang membuat mereka berang padamu, Indayani!"

"Kesalahan apa?!" Indayani angkat pundak tanpa tak mengerti.

"Mungkin karena keangkuhanmu telah menyinggung perasaan mereka, dianggap telah menghina martabat dan harga diri perguruan mereka."

"Kami jarang bertemu. Pertemuanku dengan mereka terakhir kali terjadi setahun yang lalu, ketika Dupa Dewa sakit dan Nyai Guru diminta datang menjenguknya."

Suto Sinting sedikit merasakan kejanggalan dari kata-kata itu, maka ia segera bertanya pelan, "Menjenguk?! Apakah antara Nyai Guru dengan Dupa Dewa ada hubungan baik sebelumnya?"

"Nyai Guru pernah menjadi kekasih Dupa Dewa semasa muda. Tapi hubungan cinta mereka putus, karena Dupa Dewa ternyata sudah beristri. Dan sejak itu, Nyai Guru tak mau mempunyai kekasih lagi. Sampai sekarang Nyai Guru masih perawan dan belum pernah bersuami. Sepertinya ia masih memendam perasaan cinta di sela kebenciannya kepada Dupa Dewa."

"Oooo...." Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Di bibirnya tersungging senyum geli membayangkan percintaan para tokoh tua yang sampai sekarang masih terdengar ceritanya.

"Aneh sekali jika tak ada persoalan mereka bernafsu membunuhmu," ujar Suto Sinting sambil merenung memandangi nyala perapian. Pandangan matanya segera dinaikkan dan kini menatap seraut wajah cantik yang berkesan angkuh itu.

"Setahuku, bukan hanya Dupa Dewa yang kehendaki kematianmu, tapi kelompok orang-orang kerdil itu juga agaknya bernafsu sekali untuk membunuhmu. Siapa orang-orang kerdil itu, Indayani? Pasti kau mengenal mereka."

"Memang. Mereka orang-orang yang menamakan dirinya Suku Aboradin, dikenal dengan julukan Penghuni Liang Lahat."

"Baru kali ini aku melihat keberadaan mereka di antara kehidupan kita."

"Tentu saja, sebab kau manusia yang miskin pengetahuan," ujar Indayani dengan mencibir, meremehkan pemuda yang sejak tadi sering menatapnya itu. Yang diremehkan hanya tersenyum, tak merasa tersinggung karena sudah mulai terbiasa oleh sikap seperti itu.

"Suku Aboradin tinggal di lorong-lorong goa yang ada di sekeliling Gunung Leak Sewu. Di sana ada banyak goa yang saling berhubungan, bahkan ada lorong yang bisa tembus ke negeri seberang melalui jalan di bawah dasar lautan. Jumlah mereka cukup banyak, namun jarang yang menampakkan diri kecuali mereka yang tergolong dalam kelompok Penghuni Liang Lahat."

"Sejak kapan mereka mengenalmu?"

"Nyai Guru pernah bentrok dengan pihak Penghuni Liang Lahat karena menolak lamaran ketua mereka yang berjuluk Mayat Bersiul. Pertarungan kami terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Mayat Bersiul sempat terluka dan nyaris mati oleh pedang Nyai Guru. Waktu itu, aku justru tidak ikut campur karena keadaanku masih sakit."

"Tapi mengapa mereka bernafsu sekali membunuhmu?"

"Aku tak tahu mengapa mereka begitu. Padahal perkara itu sudah dianggap kadaluwarsa. Mayat Bersiul sendiri sudah mempunyai istri cantik dengan dua orang gundik."

Pendekar Mabuk menggumam panjang. "Mayat Bersiul itu yang berambut panjang dan botak bagian depannya, yang melemparkan pisau mengenaimu itu?!"

"Itu panglimanya yang bernama Rekatak Tiban. Tapi... iya, ya? Aneh juga kalau Rekatak Tiban ingin membunuhku?!" gumam Indayani dengan nada ucapan seperti bicara pada diri sendiri, pandangan matanya menjadi datar bagai menerawang sesuatu.

Pendekar Mabuk perhatikan perubahan air muka itu dengan dahi berkerut. Rupanya ada sesuatu yang mengherankan di hatinya, sehingga ia pun bertanya kepada Indayani, "Di mana letak keanehan itu, Indayani?"

"Aku pernah ditolong Rekatak Tiban ketika terjerembab masuk ke kubangan lumpur hidup. Sekalipun sikapnya tak begitu ramah padaku, karena ia tahu aku muridnya Nyai Guru Serat Biru, tapi saat aku hampir mati terkubur lumpur hidup, ia memberikan pertolongannya. Lalu pada suatu saat aku ganti menolongnya, memberikan Galih Kapur Sirih untuk mengobati luka racun anak buahnya yang tak bisa disembuhkan kecuali menggunakan Galih Kapur Sirih. Orang yang terluka itu adalah orang andalan yang selalu mendampinginya dalam setiap tugas. Dan... setelah itu hubungan kami biasa-biasa saja. Makanya kubilang aneh sekali jika Rekatak Tiban terang-terangan ingin membunuhku."

"Mungkin mereka ada hubungannya dengan Dupa Dewa?! Barangkali mereka diupah oleh Dupa Dewa atau Peri Kedung Hantu untuk membunuhmu?!"

"Mungkinkah begitu?!" gumam Indayani dalam kebimbangannya sendiri. "Rekatak Tiban punya adik lelaki yang menikah dengan murid Peri Kedung Hantu. Apakah hubungan itu yang membuat Rekatak Tiban berpihak kepada Peri Kedung Hantu lantaran Peri Kedung Hantu membela pamannya dalam memusuhiku?!"

Pendekar Mabuk diam seribu bahasa ketika Indayani merenung lama. Namun dalam hatinya, Pendekar Mabuk bicara sendiri mencari jawaban yang pasti tentang nasib Indayani yang menjadi incaran beberapa orang itu.

"Jangan-jangan ia melakukan kesalahan besar yang membuat mereka murka dan mendendam, sehingga bernafsu sekali untuk membunuhnya. Mungkin gadis ini lupa akan tindakannya yang menimbulkan dendam pada lawan-lawannya. Maklum, kedunguannya terlalu besar; sehingga tak mampu mengingat kesalahannya sendiri. Kalau bukan gadis yang dungu, pasti ia sudah pulang ke padepokannya mendengar Nyai Gurunya sakit dan padepokannya dihancurkan Peri Kedung Hantu."

Setelah mereka saling membisu cukup lama, Pendekar Mabuk segera memecah kebisuan itu dengan suaranya yang terlontar penuh kesan hati-hati sekali. "Satu hal lagi yang ingin kutanyakan padamu, karena tadi di kedai aku mendengar rencana seseorang yang ingin menangkapmu dalam keadaan hidup atau mati. Orang itu mengupah tiga lelaki berbadan kekar, dan tiga lelaki itulah yang duduk sebangku denganku di kedai tersebut."

"Siapa orang yang mengupah tiga orang itu?! Apakah ia belum tahu kalau Gadis Dungu akan murka jika diusik ketenangannya? Apakah tiga orang itu belum mendengar kabar kesaktianku?!"

"Mendengar atau tidak itu bukan urusanku. Yang ingin kutanyakan; siapa orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu?!"

"Ooh...?!" Gadis Dungu tersentak kaget, matanya sempat terbelalak sekejap, wajahnya pun menjadi tegang. Sorot matanya menatap Suto Sinting sangat tajam, membuat si Pendekar Mabuk salah tingkah sendiri.

"Aku hanya mendengar percakapan tiga orang utusan Pangeran Umbardanu itu. Mereka merencanakan menangkapmu dan menyerahkannya kepada Pangeran Umbardanu dengan menggunakan siasat yang telah mereka susun saat itu."

Indayani termenung lama, bahkan tak bergerak sedikit pun dari sikapnya yang berdada tegak serta mata tertuju pada Suto Sinting. Cahaya api unggun menampakkan seraut wajah cantiknya yang disiram kepucatan setelah mendengar nama Pangeran Umbardanu. Hal itu semakin membuat Suto Sinting menjadi lebih penasaran lagi dan menunggu jawaban yang pasti tentang siapa Pangeran Umbardanu itu. Dengan suara kaku dan dingin, Gadis Dungu akhirnya menjawab,

"Pangeran Umbardanu adalah kekasihku."

"Kekasihmu?!" kini Suto Sinting yang terperanjat dan memandang penuh keheranan. "Jika dia kekasihmu, mengapa dia ingin menangkapmu hidup ataupun mati?!"

* * *

ENAM

GADIS Dungu menjadi resah setelah tahu Pangeran Umbardanu bermaksud membunuhnya. Hubungannya dengan Pangeran Umbardanu sudah berlangsung sekitar empat bulan. Pangeran Umbardanu telah menyatakan jatuh cinta, tapi Gadis Dungu belum memberi jawaban pasti, walau hatinya menaruh rasa kagum dan terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Pangeran Umbardanu.

"Ia putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu. Ia naksir berat padaku. Ia harus segera menikah karena sebentar lagi akan menggantikan ayahnya sebagai sultan di Kesultanan Siliwindu. Ia ingin jadikan aku sebagai permaisurinya."

"Lalu, mengapa kau tak mau menerimanya? Bukankah itu kesempatan untuk meraih masa depanmu dengan gemilang?" tanya Suto Sinting sambil langkahkan kakinya di awal pagi, ketika mereka meninggalkan goa karang.

"Tak semudah itu mendapatkan diriku. Kau pikir aku perempuan gila hormat dan gila harta, begitu? Hmmm...!" ia mencibir angkuh. "Untuk apa menjadi permaisuri jika suami punya selir lebih dari sepuluh biji?! Aku tak pernah punya cita-cita untuk dimadu. Aku tak mau punya madu. Jika ia menjadi sultan maka ia berhak punya selir. Hmm enak saja. Nanti cintaku digilir bisa tekanan batin dan lahir!"

"Lalu, kau putuskan menolaknya?"

"Belum kuputuskan begitu. Aku masih menunggu kesanggupan janji dan sumpahnya."

"Janji apa?" tanya Suto sambil tersenyum-senyum.

"Janji untuk tidak mempunyai selir kalau sudah menjadi sultan nanti. Dan sebelum ia memberi janji dan sumpah, aku tak mau memberi jawaban atas cintanya."

"Barangkali karena sikapmu itulah maka ia sakit hati padamu dan bermaksud membunuhmu?!"

"Ah, mungkin justru karena ia ngebet sekali ingin memperistri diriku, maka ia mengupah orang untuk menangkapku."

"Jika penangkapan itu karena rasa cinta, ia tidak akan menyuruh tiga orang itu untuk menangkapmu hidup atau mati. Ibarat kata, mayatmu pun laku dijual oleh ketiga orang itu kepada Pangeran Umbardanu. Jika sang pangeran mau mengeluarkan uang untuk mendapatkan mayatmu, berarti ia tidak punya perasaan cinta lagi kepadamu, Indayani."

"Itu hanya anggapan sirikmu!" ujar Indayani dengan bersungut-sungut, tak mau percaya dengan pendapat Pendekar Mabuk. Ia bahkan menambahkan kata, "Atau mungkin malah kau tidak bertemu dengan ketiga orang itu. Semua yang kau katakan hanya bualanmu saja untuk mengacaukan hubunganku dengan Pangeran Umbardanu. Sebab setahuku, Pangeran Umbardanu sangat sayang kepadaku. Dia tergila-gila padaku, terutama kepada kesaktianku!"

"Kalau aku hanya membual, dari mana ku tahu nama Pangeran Umbardanu itu?" Suto Sinting mencoba meyakinkan penjelasannya.

"Mungkin kau kenal dengan Pangeran Umbardanu dan dia ceritakan hubungan cintanya denganku, lalu kau mengarang cerita supaya hubunganku dengannya retak. Setelah retak, kau akan ganti menyatakan cinta padaku. Hmmm... akal bulus seorang lelaki sudah di tanganku semua!" sambil ia menepak telapak tangan dengan tangan kirinya, bersikap membanggakan diri sebagai perempuan yang tak mudah tertipu rayuan lelaki.

Suto Sinting hanya tertawa kecil tanpa suara. Langkah mereka tetap menyusuri pantai, karena Suto Sinting bermaksud mengajak Indayani untuk mencapai sebuah teluk tempat kehidupan masyarakat nelayan yang pernah disinggahi. Dari teluk itu mereka dapat menyewa sebuah perahu untuk menyeberang menuju ke Pulau Dadap, menemui Putri Kunang dan meminta Madu Bunga Salju.

Namun langkah mereka terhalang oleh kemunculan seorang tokoh tua yang belum dikenal oleh Suto Sinting. Orang itu tahu-tahu berdiri di depan langkah mereka tanpa angin atau perlambang lainnya. Tak ada gerakan dan suara apa pun yang menyertai kemunculan seorang nenek berjubah hitam dengan badan sedikit bungkuk.

"Nini Kalong...?!" gumam Indayani dengan nada berkesan kaget dan wajahnya mulai diliputi oleh kecemasan.

Pendekar Mabuk sempat berbisik dengan mata tetap tertuju kepada nenek berambut putih dibiarkan meriap tanpa pengikat itu. "Siapa dia, Indayani?!"

"Nini Kalong, dia yang dikenal sebagai Penunggu Hutan Rawa Kotek. Dia musuh bebuyutan Nyai Guru, karena suaminya dibunuh oleh Nyai Guru dalam sebuah pertarungan memperebutkan Pusaka Kipas Dewi Murka. Sampai sekarang Nini Kalong masih menaruh dendam kepada Nyai Guru dan menganggap kipas pusaka itu ada di tangan Nyai Guru Serat Biru."

"Agaknya dia menginginkan kematianmu juga. Kulihat pancaran bola matanya tampak bernafsu sekali untuk membunuhmu, Indayani."

"Mungkin karena dia tahu aku murid kesayangan Nyai Guru, sehingga ia ingin lampiaskan dendam lamanya kepadaku, selagi aku tidak bersama Nyai Guru."

"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapinya."

"Jangan sombong kau, Dogol! Nini Kalong ilmunya sejajar dengan Nyai Guru. Kau bisa hancur berkeping-keping jika coba melawannya. Ilmumu tidak sebanding dengan kesaktiannya. Hanya aku yang tahu kelemahan Nini Kalong, dan biarlah ia kutumbangkan dengan kesaktianku! Pergilah menepi, Dogol. Lindungi dirimu agar jangan sampai terkena jurus salah sasar Nini Kalong. Sekujur tubuhmu bisa kering mendadak bagai keripik singkong jika sampai terkena jurus maut Nini Kalong."

Pendekar Mabuk hanya tersenyum masam. Ia segera menenggak tuak dari bumbungnya. Sementara itu, Gadis Dungu sengaja maju beberapa tindak ketika Nini Kalong yang memegangi tongkat hitam itu mulai melangkah memperpendek jarak.

"Tak kulihat dari mana kau datang, tahu-tahu sudah menghadang langkahku. Apa maksudmu muncul secara gaib begitu, Nini Kalong?!" sapa Gadis Dungu yang sebenarnya hal itu tak perlu diungkapkan lagi. Bahkan dengan kedunguannya ia menambahkan tanya kepada Nini Kalong, "Kau muncul dari mana, Nini?!"

Tentu saja sebagai tokoh kawakan yang berilmu tinggi, Nini Kalong tak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Ia langsung berkata dengan suaranya yang tua bernada serak, "Aku datang hanya untuk mengakhiri masa hidupmu, Gadis Dungu! Bersiaplah untuk meninggalkan dunia fana ini, Nak!"

"Aku tak tahu menahu tentang pusaka Kipas Dewi Murka itu, Nini! Jangan sangkut pautkan diriku dengan pusaka tua itu! Urusanmu adalah dengan Nyai Guruku, bukan dengan muridnya. Mengapa kau bermaksud membunuhku?"

"Urusan ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan Kipas Dewi Murka. Kematianmu harus tiba sebelum usiamu mencapai dua puluh lima tahun. Sekarang, bersiaplah menerima ajalmu, Indayani yang malang! Hik, hik, hik, hik...!"

Gadis Dungu membatin, "Agaknya tak bisa dihindari lagi. Apa boleh buat, terpaksa aku mencoba melawannya demi pertahankan nyawaku dan hidupku!"

Nini Kalong hentikan tawanya. Wajahnya berubah menjadi bengis. Gadis Dungu melangkah ke samping dengan mata tak mau lepas dari arah lawannya. Tiba-tiba tongkat hitam Nini Kalong dilemparkan bagai melemparkan sebatang tombak ke arah Gadis Dungu.

Weess...! Gerakan tongkat yang melesat begitu cepat masih sempat dihindari oleh Gadis Dungu dengan memiringkan badan ke kiri. Tongkat itu lolos dari sasaran. Tapi anehnya ia berhenti di udara dan mundur sedikit lalu menyodok dahi si Gadis Dungu.

Wuuut..!

Rasa kaget karena tak menduga akan terjadi hal seperti itu membuat tangan Gadis Dungu berkelebat menangkis tongkat tersebut. Dees...!

"Aauh...!" Gadis Dungu memekik sendiri, tubuhnya terpelanting dan jatuh ke tanah. Ia segera berguling-guling jauhi tongkat yang mampu bergerak sendiri itu. Tangan yang dipakai menangkis tongkat menjadi hitam berlendir. Tangan itu bagaikan habis dipakai menangkis besi panas yang bukan saja membuat kulit tangan melepuh namun juga hitam hangus. Padahal tongkat itu dalam keadaan dingin tanpa keluarkan asap selayaknya besi yang terpanggang hingga membara.

"Bahaya! Tongkat itu tak boleh kusentuh," pikir Gadis Dungu. "Selain mampu terbang dan menyerang lawan, ia juga mempunyai tenaga dalam yang mampu membuat tubuhku bagai ditendang kuda jika menyentuhnya. Uuh... tulang lenganku terasa patah dan panas sekali! Agaknya aku harus lakukan pertarungan jarak jauh, agar tongkat itu tak dapat menyentuhku."

Tongkat hitam ternyata mampu mengejar Gadis Dungu, bagai seorang lawan yang haus darah. Gadis Dungu terpaksa bersalto mundur dua kali, kemudian menyentakkan tangannya untuk keluarkan tenaga penghancur tongkat. Namun belum sempat tangan itu menyentak, tongkat sudah melesat dengan cepat menghantam telapak tangan Gadis Dungu yang sudah direntangkan di depan dada.

Duuss...!

"Aaahg...!" Gadis Dungu memekik sambil terpental terbang ke belakang. Ia bagai dihantam dengan tenaga yang cukup besar. Tubuhnya terjungkal kehilangan keseimbangan badan. Sementara telapak tangannya menjadi hangus dan keluarkan asap tipis sebagai tanda terbakar oleh ujung tongkat.

"Hik, hik, hik, hik...! Percuma saja kau bertahan, Indayani. Kau akan mati oleh tongkatku! Hik, hik, hik...!"

Indayani benar-benar terdesak oleh serangan tongkat yang seakan mempunyai nyawa dan tahu sasaran ke mana harus menyerang. Gerakan tongkat cukup gesit dan lincah, bahkan mampu membelok arah secara patah. Wut, weess...!

"Indayani dalam bahaya!" gumam Suto Sinting. "Kalau tak segera dibantu dia bisa mati dihantam tongkat bertenaga dalam tinggi itu. Rupanya nenek kurus itu bukan tandingan Indayani! Tak mungkin Indayani mampu menyelamatkan diri tanpa bantuan dari orang lain, ia tampak kewalahan dan tak mampu memberikan serangan balasan. Sementara si pemilik tongkat enak-enakan nonton sambil cekikikan. Hmmm...! Aku harus segera bertindak!"

Suto Sinting mulai menggenggam tali bumbung tuaknya dengan tangan kanan. Pada saat itu tongkat sakti Nini Kalong sedang melesat mengejar Indayani yang menjauhkan diri dengan lompatan-lompatan bersalto cepat.

Weeesss...!

Tubuh pemuda tampan itu tiba-tiba melesat dalam satu lompatan sangat cepat. Tubuh itu melayang melintasi bagian atas tongkat, kemudian bumbung tuaknya dihantamkan ke badan tongkat.

Blaaarr...! Jegaaar...!

Benturan tongkat dengan bumbung tuak Suto timbulkan satu dentuman keras. Dentuman itu terulang kedua kalinya dengan lebih keras lagi. Dan ternyata dentuman yang kedua adalah dentuman penghancur tongkat hitam Nini Kalong.

Prrussk...!

Nini Kalong terbelalak kaget melihat tongkatnya hancur menjadi serpihan kayu tanpa arti. Peristiwa itu sama sekali tak diduga-duga, sehingga nenek kurus itu tertegun bengong beberapa saat tanpa bergerak sedikitpun. Namun di dalam hati sang nenek menggeram penuh amarah terhadap tindakan si pemuda tampan itu.

"Biadab bocah ganteng itu! Bumbung bambu seperti itu bisa hancurkan tongkat saktiku. Baru sekarang ada benda lain yang bisa kalahkan kekuatan pada tongkatku! Hmmm... siapa bocah ganteng itu?! Berani-beraninya ikut campur urusanku terlalu dalam. Barangkali ia perlu kenali siapa Nini Kalong ini!"

Pada saat Nini Kalong membatin sambil pandangi Suto Sinting yang telah mendaratkan kakinya ke tanah, Gadis Dungu segera menabuh gendangnya dengan kedua tangan.

Dung, plak, dung, plak, dung, dung, plak.... plak! Plak, dung, dung... plak dung, dung... plak...!

Nini Kalong ternyata mampu menahan gelombang getaran suara gendang yang biasanya mampu mengubah alam pikiran orang lain menjadi mengikuti irama gendang tersebut. Agaknya Nini Kalong bukan tokoh tua berilmu sedang-sedang saja. Ia segera menyentakkan tangannya ke arah kiri sambil serukan kata, "Hentikan tabuhan dungumu!"

Claaap...! Dari tangan yang menyentak ke arah Gadis Dungu itu keluar sinar hijau bundar seperti jeruk purut yang berpijar-pijar. Kecepatan gerak sinar itu sukar dihindari lagi, sehingga sinar bundar hijau pijar itu menghantam telak tulang rusuk kiri si Gadis Dungu. Zeeeb...!

"Uuhg...!" Gadis Dungu mendelik bagai tak bisa bernapas lagi. Tubuhnya tersentak mundur tak terlalu jauh, namun segera jatuh terduduk dengan lubang hidung dan lubang telinga keluarkan asap tipis. Kulit wajahnya menjadi merah, disusul dengan kulit lengan dan bagian leher sampai dada menjadi merah bagaikan kepiting rebus. Nafasnya tersentak-sentak dengan ma- ta tetap mendelik tak mampu berkedip.

Hanya si Pendekar Mabuk yang perhatikan keadaan Indayani dengan hati cemas. Tetapi nenek kurus bermata cekung itu justru memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata penuh permusuhan. Tubuh tuanya segera berkelebat tak bisa dilihat gerakannya. Tahu-tahu ia sudah menerjang kepala Suto Sinting tanpa ampun lagi.

Bruuus...!

"Uaaahg...!" Suto Sinting terlempar lima langkah ke belakang. Tubuhnya membentur pohon dan jatuh tersentak ke depan tanpa bisa menjaga keseim- bangan badan lagi. Brrruk...! Hidung si tampan Suto mengucurkan darah segar. Matanya mengerjap-ngerjap bagaikan habis disambar seekor kuda nil. Kepalanya terasa pecah dan telinganya berdengung-dengung. Ia tak tahu kalau telinganya pun mengeluarkan darah segar yang membasahi pundak kanan-kirinya.

"Gila! Benda apa yang menerjangku tadi?!" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit berdiri. Pandangan matanya yang kabur membuatnya terpaksa merayapi batang pohon untuk bisa berdiri tegak.

Sementara itu, Nini Kalong sudah berada di belakangnya dalam jarak lima langkah. Suaranya terdengar menggeram penuh curahan murka. "Jika kau mencoba melindunginya, aku pun terpaksa harus melenyapkan dirimu, Bocah Bagus!"

Dalam keadaan mata masih buram, Suto Sinting berkelebat membalik badan bersama bumbung tuaknya yang diayunkan memutar. Wuuung...! Gerakan secara naluriah itu menghasilkan keberuntungan bagi Pendekar Mabuk. Karena pada saat bumbung tuaknya berkelebat memutar, tubuh kurus Nini Kalong sedang menerjangnya dengan kecepatan gerak seperti tadi. Akibatnya bumbung tuak itu menghantam tubuh yang sedang melayang cepat dengan kaki berusaha menjejak dada Suto Sinting.

Beehg...! Krrrak...!

Suara tulang patah terdengar jelas. Disusul suara jatuhnya tubuh sang nenek ke tanah, kemudian suara erangan orang kesakitan yang tampak ditahan mati-matian.

Pandangan mata Suto Sinting mulai terang kembali. Ia segera lompat ke belakang ketika mengetahui tubuh Nini Kalong terkapar di depannya dalam jarak kurang dari satu langkah. Tubuh tua itu sedang berusaha bangkit dengan susah payah. Rupanya tulang punggungnya patah akibat hantaman bambu tempat penyimpanan tuak itu. Hantaman bumbung tuak bukan hanya membuat tulang punggung sang nenek menjadi patah, namun juga tulang iganya remuk dan siku kanannya hancur.

"Setan alas...!" makinya dengan suara sangat pelan, nyaris tak terdengar. Rasa sakit itu membuat suara sang nenek bagai hilang karena urat tenggorokannya mengejang keras. Napas tuanya pun tampak sulit dihela. Hantaman bumbung tuak bagai melumpuhkan seluruh tenaga Nini Kalong.

"Aku harus membawa kabur Indayani sebelum nenek tua ini sehat kembali dan menyerangnya lagi!" pikir Suto Sinting, kemudian ia segera berbalik arah dan menghampiri Indayani yang berdarah. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting begitu mengetahui tempat terpuruknya Indayani telah kosong. Gadis Dungu tak terlihat di sekitar tempat itu.

"Celaka! Siapa yang membawa lari Indayani?! Tak mungkin gadis itu lari sendiri pasti ada yang membawanya pergi saat aku bertarung dengan Nini Kalong tadi!"

* * *

TUJUH

PENDEKAR Mabuk kehilangan jejak si Gadis Dungu. Ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata Nini Kalong masih di tempat dalam keadaan tak berdaya. Napas tuanya semakin tersengal-sengal dalam keadaan mirip orang sekarat. Pendekar Mabuk iba hati melihat nenek tua semenderita itu. Batin pun berkata, "Kasihan dia. Jika kutolong dengan tuak saktiku, mungkin ia bisa jelaskan apa alasannya ingin membunuh Indayani sebelum gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Tapi bagaimana jika ternyata ia justru menyerangku setelah keadaannya sehat? Hmmm... kalau memang dia begitu, terpaksa kuhabisi tanpa ampun lagi!"

Pemikiran itulah yang membuat Suto Sinting akhirnya sembuhkan luka parahnya Nini Kalong dengan tuak saktinya. Diharapkan sang nenek dapat memberi tahu siapa orang yang melarikan si Gadis Dungu itu. Namun ketika sang nenek sudah mulai bisa bicara, ternyata ia merasa tidak tahu-menahu hilangnya si Gadis Dungu.

"Yang jelas ia terluka oleh jurus 'Talak Tujuh'-ku. Darahnya akan menjadi busuk dalam waktu singkat, kulit dan dagingnya akan keluarkan ribuan ekor belatung, dan jurus itu tak ada obatnya! Tak sampai sore hari, si Gadis Dungu akan mengalami nasib seperti itu," tutur Nini Kalong dalam keadaan masih duduk di tanah mengatur pernafasannya.

"Minumlah sekali lagi tuakku ini, biar tenagamu cepat pulih, Nini," Suto Sinting menyodorkan bumbung tuaknya dengan maksud menuang tuak ke mulut sang nenek.

Rupanya tokoh tua beraliran hitam itu menyadari kehebatan tuak Suto Sinting, dan ia membutuhkan pemulihan diri secepatnya. Maka ia pun menerima tawaran itu. Beberapa teguk tuak ditenggaknya kembali. Tuak tawaran itulah yang mempercepat tenaganya menjadi segar serta pernafasannya menjadi semakin lancar. Dalam hati sang nenek merasa kagum terhadap kehebatan tuak tersebut, sehingga meluncurlah pertanyaan dari mulut tuanya yang telah bergigi ompong itu,

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"

"Kalau kukatakan siapa diriku sebenarnya, apakah kau akan percaya, Nini Kalong?" Suto Sinting agak sangsi menyebutkan namanya karena ia khawatir sang nenek tak mau percaya seperti si Gadis Dungu itu.

"Siapa pun dirimu aku akan mempercayainya, karena kau telah menyambung nyawaku. Aku berhutang nyawa denganmu walau aku tak suka menerima kekalahan ini. Katakanlah siapa dirimu, Anak Muda!" sambil ia berusaha berdiri dan tangan Suto Sinting membantunya untuk bangkit.

"Aku yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, Nek."

Perempuan tua renta itu terkejut, mata cekungnya menatap penuh curiga. Ia sempat bergumam dalam nada tanya, "Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalangitu?!"

"Benar, aku murid mereka, Nek."

"Celaka!" gumamnya lagi dalam nada geram seperti menyimpan kecemasan. Matanya beralih pandang ke arah lain membuat Suto Sinting kerutkan dahi.

"Mengapa kau tampak cemas, Nini Kalong?!"

"Kalau kutahu kau murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, tak sudi aku menerima pertolonganmu. Kedua gurumu itu masih punya hutang nyawa padaku. Seharusnya kubunuh kau sebagai pembalasan atas kematian Raguli dan Kusmini, adik-adikku itu!"

"Kalau begitu kita lanjutkan pertarungan kita sampai salah satu ada yang kehilangan nyawa!" tantang Suto Sinting yang merasa tak suka kedua gurunya terancam dendam Nini Kalong.

Namun agaknya perempuan tua berjubah hitam itu punya perhitungan sendiri terhadap anak muda tersebut. "Kau satu-satunya orang yang mampu hancurkan tongkatku. Rasa-rasanya kedua gurumu itu belum tentu mampu hancurkan tongkatku. Berarti kuanggap kau lebih tinggi dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Hmmm..., kurasa tak perlu lagi pertarungan ini kita lanjutkan."

"Kalau begitu, tentunya kau mau jelaskan apa alasanmu hingga ingin membunuh si Gadis Dungu itu!"

Pendekar Mabuk menenggak tuak yang ketiga kalinya, tuak yang pertama ditenggak sebelum ia berlari mencari jejak kepergian Indayani. Dengan begitu tubuh Suto Sinting menjadi lebih segar lagi dari setelah menenggak tuak yang kedua saat ingin menolong Nini Kalong tadi.

Setelah diam beberapa saat, Nini Kalong yang berdiri dengan agak bungkuk itu mulai jelaskan alasannya kepada Pendekar Mabuk yang secara diam-diam ditakuti itu. "Apakah kau belum mengerti bahwa beberapa tokoh aliran hitam akan mengincar kematian si Gadis Dungu itu, sebelum gadis tersebut mencapai usia dua puluh lima tahun?!"

"Aku tahu hal itu, tapi aku tak mengerti apa alasan mereka!" jawab Suto Sinting dengan nada tegas.

"Sebuah kitab kuno baru-baru ini ditemukan di dasar samudera oleh tokoh tua aliran hitam yang bernama: si Raja Borok. Kitab itu sendiri adalah kitab Samak Kubur yang berisi tentang ramalan-ramalan masa depan bagi dunia persilatan aliran hitam."

"Siapa pemilik kitab itu sebenarnya?"

"Aslinya milik mendiang Resi Tambak Nujum yang tewas dalam perjalanan pulang dari tanah Tibet," jawab Nini Kalong sejujurnya. Ia merasa perlu menjelaskan hal itu dengan maksud agar Suto Sinting tidak ikut campur lagi dalam urusan tersebut.

"Kitab Samak Kubur sejak dulu kala sangat dipercaya ramalannya karena selalu tepat dan tidak pernah meleset sedikit pun. Kitab itu sempat hilang bersama hancurnya kapal yang ditumpangi Resi Tambak Nujum dari tanah Tibet. Orang yang menghancurkan kapal itu adalah Siluman Tujuh Nyawa; manusia terkutuk yang dibenci oleh para tokoh baik dari aliran hitam maupun dari aliran putih."

"Ya, aku kenal dengan Siluman Tujuh Nyawa yang sampai sekarang masih menjadi buruanku itu!" sela Pendekar Mabuk sambil mengenang tokoh sesat yang dikutuk oleh neneknya sendiri menjadi manusia terkutuk selama tiga ratus tahun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

Nini Kalong lanjutkan kata-katanya, "Salah satu ramalan yang tertulis dalam Kitab Samak Kubur itu adalah kelahiran seorang bayi dari rahim perempuan tanpa jari. Bayi itu adalah bayi titisan Dewa Pelebur Teluh yang akan menjadi malapetaka bagi para tokoh aliran hitam. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa bayi itu akan menjadi manusia maha sakti yang tak bisa dilawan dan bertugas menghancurkan para tokoh aliran hitam selama satu tahun, yaitu pada saat si bayi berusia dua puluh lima tahun. Satu-satunya orang yang bisa menumbangkan kekuatan sakti bayi itu hanya si jahanam; Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa."

Pendekar Mabuk sengaja tidak memotong cerita Nini Kalong. Ia hanya manggut-manggut sambil menyimak baik-baik cerita tersebut. Nalurinya mengatakan bahwa cerita itu bukan dongeng atau karangan sang nenek belaka, namun suatu kenyataan yang ditakuti oleh para tokoh aliran hitam.

"Perempuan tanpa jari itu adalah Punjani, yang menikah dengan seorang pendeta murtad. Bayi pertama yang dilahirkan Punjani itulah yang menjadi bayi titisan Dewa Pelebur Teluh. Beberapa tokoh aliran hitam mengetahui Punjani melahirkan bayi yang kemudian diasuh oleh Nyai Serat Biru karena kematian Punjani terjadi pada saat sang bayi masih berusia dua tahun. Bayi itu adalah Indayani; si Gadis Dungu!"

"Hmmm...." Suto Sinting menggumam panjang dan manggut-manggut kembali. Rasa penasarannya mulai terkikis dan hatinya merasa lega mendengar penjelasan tersebut. Tetapi sang nenek peot masih lanjutkan penjelasannya yang membuat Pendekar Mabuk tak mau angkat bicara dulu.

"Sebab itu aku dan beberapa tokoh aliran hitam lainnya segera mencari Indayani begitu kabar ditemukannya Kitab Samak Kubur tersebar ke mana-mana. Gadis itu sekarang baru berusia dua puluh tiga tahun. Sebelum ia mencapai usia dua puluh lima tahun harus segera dibunuh agar kelak tak menjadi biang petaka bagi aliran kami."

Pendekar Mabuk membatin, "Pantas Indayani banyak yang ingin membunuhnya. Bahkan kekasihnya sendiri; Pangeran Umbardanu juga ingin membunuhnya. Berarti Pangeran Umbardanu penganut aliran hitam. Mungkin ia ditugaskan oleh gurunya untuk membunuh Indayani demi keutuhan aliran hitam."

Suasana bisu sejurus itu dipecahkan oleh suara tua Nini Kalong yang memandang Suto Sinting dengan sorot pandangan lunak, seakan menyimpan harapan yang dalam. "Ku mohon kau tidak ikut campur dalam urusan ini, Suto Sinting. Jika kau masih memihak gadis itu, maka kau akan berhadapan dengan sekian banyak tokoh aliran hitam."

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis. Setelah menengok ke tempat hilangnya Indayani, ia berkata dengan nada menyindir ucapan Nini Kalong tadi. "Bukankah Indayani telah terkena jurus mautmu yang bernama jurus 'Talak Tujuh' itu?! Mengapa kau masih menaruh harapan agar aku tidak memihaknya? Apakah kau punya kekhawatiran bahwa Indayani akan selamat dari luka jurus 'Talak Tujuh'-mu itu?!"

"Jika kau berhasil menemukannya, tentunya kau akan meminumkan tuak itu kepadanya. Kurasa... kurasa hanya tuakmu yang mampu mengalahkan keganasan racun dalam jurus 'Talak Tujuh'-ku itu, Suto Sinting."

Nini Kalong berkata dengan wajah lesu, seakan ia kecewa terhadap kesaktian tuak Suto yang mampu lumpuhkan berbagai macam racun, seperti kabar burung yang tersebar dan sampai di telinga Nini Kalong sendiri. Sebenarnya Nini Kalong sempat mempunyai niat untuk merebut dan melenyapkan bumbung tuak tersebut. Namun begitu ingat tongkat saktinya saja bisa hancur oleh bambu bumbung itu, maka ia merasa tipis harapan dan membatalkan niatnya demi keselamatan jiwanya.

Sementara itu, Suto Sinting segera mempunyai gagasan baru, yaitu memburu titisan Dewa Pelebur Teluh untuk menyelamatkannya dari luka akibat jurus 'Talak Tujuh' itu. Dalam hati Suto Sinting berkata, "Aku harus menemukan Indayani secepatnya, sebelum darahnya membusuk dan raganya berbelatung. Gadis itu harus kuselamatkan, karena kelak akan menjadi Sang Pelebur Teluh selama satu tahun. Agaknya aku pun harus mendampingi gadis itu agar tak terjangkau oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi satu-satunya tokoh sesat berbahaya bagi nyawa Indayani"

Nini Kalong berkata, "Kulihat gelagatmu ingin mencari gadis itu, Suto Sinting. Ku mohon sekali lagi hentikan niatmu dan jangan campuri urusan ini!"

"Aku hanya ingin mengetahui siapa orang yang membawanya lari dalam keadaan luka separah itu," Suto Sinting merasa tak enak hati, niatnya diketahui oleh Nini Kalong. Karenanya Ia mencoba beralasan seperti itu.

Namun tokoh tua yang sangat tinggi ilmunya itu tidak mudah percaya begitu saja. "Jika kau masih bersikeras untuk melindungi Indayani, terpaksa kau harus bertarung denganku lagi sampai kematianku tiba. Aku rela korbankan nyawaku demi membela aliran hitamku!"

Tantangan halus itu ditanggapi dengan senyum tipis oleh Pendekar Mabuk. Wajah sang nenek kelihatan semakin cemas, hatinya gusar dan waswas. Akhirnya Suto Sinting berkata kepadanya, "Sepertinya kau cukup yakin bahwa aku akan menemukan Indayani, padahal kau tahu aku sedang kebingungan dan tak tahu siapa orang yang melarikan Indayani."

"Bukan Pendekar Mabuk jika tak bisa temukan di mana Indayani berada. Aku percaya dengan kemampuan otakmu. Gila Tuak tak akan mau mempunyai murid yang otaknya tumpul."

"Barangkali dugaanmu memang benar. Tapi mengapa kau paksakan diri untuk menantang pertarungan denganku sampai tiba kematianmu? Tidakkah kau sayang dengan nyawa dan ragamu?"

"Percuma aku lolos dari kematian tanganmu jika Indayani terselamatkan oleh tuak saktimu. Tak urung dua tahun lagi, saat Indayani berusia dua puluh lima tahun, ia akan menjadi bencana bagi hidupku. Ia akan membunuhku dan aku tak akan mampu menan- dinginya. Karena memang begitulah yang tersurat dalam Kitab Samak Kubur itu, Suto."

"Jika kau ingin panjang umur dan awet hidup, keluarlah dari aliran hitam dan berhentilah menjadi orang sesat!"

Nini Kalong diam beberapa saat seperti dihinggapi suatu keraguan yang menggelisahkan. Sejenak kemudian ia pun berkata dengan suara pelan, "Tak semudah itu tindakan yang harus kulakukan. Aku sudah telanjur berlumur dosa sampai setua ini. Tak ada pengampunan bagi orang sepertiku ini, Suto Sinting."

"Tak ada kata terlambat dalam pertobatan, Nini! Kujamin keselamatanmu jika kau mau berpindah aliran dan meninggalkan jalan sesatmu sebagai Penunggu Hutan Rawa Kotek selama ini!"

Nenek renta kembali bungkamkan mulut pandangi Suto Sinting tak berkedip. Yang dipandang justru tersenyum-senyum tipis dengan tatapan mata lembut bagai suatu kekuatan penjinak jiwa yang liar. Agaknya sang nenek sedang dalam pertimbangan yang kian meresahkan hatinya. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang muncul dari balik semak belukar di belakang Suto Sinting.

"Lupakan bujukan bocah kemarin sore itu, Nini Kalong!"

Pendekar Mabuk segera palingkan wajah ke arah belakang. Matanya terkesiap memandang kemunculan seorang wanita cantik yang masih kelihatan muda, berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sekal dan menggairahkan tiap lelaki. Dadanya montok penuh tantangan yang menebarkan hati lawan jenisnya. Hidungnya mancung, bola matanya mempunyai manik mata warna coklat, sedikit sayu penuh bayangan cumbu.

Nini Kalong menyapa lirih perempuan berambut sanggul tengah sisanya meriap itu dengan nada bimbang, "Rumisita...?!"

Pendekar Mabuk mendengar nama itu diucapkan, namun ia masih belum mengenali perempuan tersebut, sebab nama Rumisita adalah nama yang baru kali itu didengarnya. Pandangan mata Suto Sinting tak mau lepas dari wajah cantik Rumisita yang memancarkan daya pesona cukup tinggi.

"Selancang itu kau bicara di depan orang setua Nini Kalong, Pendekar Mabuk! Tak takutkah jika mulutmu robek mendadak?!" ujar Rumisita dengan sikap bermusuhan, wajah cantiknya tampak galak namun tetap menyebarkan kekaguman bagi setiap lelaki.

"Dari mana kau tahu namaku, sedangkan aku tak tahu siapa dirimu, Wanita Cantik?!"

Perempuan berjubah kuning tua dengan pinjung penutup dada montoknya berwarna ungu seperti warna celana ketatnya itu, semakin dekatkan langkah sambil tangannya memainkan sebatang ranting ber- daun ujungnya yang tampak belum lama dipetik dari sebuah pohon di sekitar tempat itu.

"Bumbung tuakmu dan ciri ketampanan wajahmu membuatku teringat pada cerita orang-orang udik tentang murid sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk, bernama Suto Sinting. Dugaanku semakin yakin, setelah kudengar percakapanmu dengan Nini Kalong yang bermaksud kurang ajar terhadap orang setua Nini Kalong. Kuanggap bujukanmu itu suatu kelancangan yang patut mendapat hukuman penggal di dalam aliran hitam."

Suto Sinting sunggingkan senyum menawan setelah sadar bahwa perempuan cantik itu benar-benar bermusuhan dengannya. Senyuman lebar itu mengandung kekuatan gaib yang dapat memikat lawan jenisnya. Senyuman itu sebuah jurus warisan dari Bibi Gurunya; Bidadari Jalang, yang dinamakan jurus 'Senyuman Iblis', di mana ketika Bidadari Jalang menjadi orang sesat sering digunakan untuk memikat lawan jenisnya, menundukkan kekuatan dan keangkuhan setiap lelaki yang disukainya.

Agaknya jurus 'Senyuman Iblis' mulai berpengaruh dalam jiwa Rumisita. Batin perempuan berjari lentik mulai gelisah, jantung mulai berdetak cepat, hati pun berdebar-debar digeluti perasaan kasmaran. Namun ia pandai menyembunyikan dan menahan gejolak kasmarannya dengan permainan nafasnya yang teratur, sesekali tertahan di rongga dadanya.

"Tak kusangka wanita secantik kau ternyata tergolong dalam tokoh beraliran hitam, Rumisita," ujar Suto Sinting bernada melecehkan sikap Rumisita.

Perempuan itu sunggingkan senyum tipis sambil mengendalikan napasnya agar tak semakin resah. "Apa pedulimu?!" jawab Rumisita dengan ketus. "Kau pikir aliran hitam tak bisa menumbangkan aliran putih?! Jika kau ingin membuktikan kekuatan aliran hitamku, kau harus siap korbankan nyawamu dalam dua jurus!"

Suto Sinting tertawa tanpa suara. "Kau menantangku, Rumisita?! Apakah kau cukup mampu menumbangkan diriku?!"

"Jika aku tak mampu menumbangkan dirimu dalam dua jurus, akan kulepas gelarku sebagai Peri Kedung Hantu!"

"Ooh...?!" Suto Sinting terkejut mendengar nama 'gelar' Peri Kedung Hantu yang sebenarnya hanyalah nama julukan belaka itu. Nama tersebut mengingatkan Suto Sinting pada nama Nyai Serat Biru yang terkena Racun Batu Bisu-nya Peri Kedung Hantu. Pandangan mata Pendekar Mabuk menjadi tajam. Dengan suara tegas namun berkesan wibawa, Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Peri Kedung Hantu yang ternyata bernama asli Rumisita.

"Apakah kau juga menghendaki kematian Indayani?!"

"Sebenarnya tak perlu kau tanyakan lagi, Suto Sinting. Bagaimanapun juga murid si Serat Biru itu harus mati sebelum usia dua puluh lima tahun!"

"Oh...," Suto Sinting manggut-manggut. "Rupanya hasrat membunuh Indayani itulah yang membuatmu menyerang perguruannya dan melumpuhkan Nyai Serat Biru dengan Racun Batu Bisu andalanmu itu, Rumisita?!"

Mata perempuan itu sedikit terkesiap, lalu senyum sinisnya tersungging tipis dengan pandangan mata sedingin salju. "Perguruan itu terpaksa kuhancurkan, Racun Batu Bisu terpaksa kutanamkan pada tubuh Serat Biru, karena mereka sembunyikan si Gadis Dungu itu!"

"Rumisita...!" tukas Nini Kalong dengan tegas. "Rupanya kau sudah melanggar peraturan aliran hitam untuk tidak menggunakan Racun Batu Bisu?! Apakah kau tak ingat perjanjian tersebut, bahwa Racun Batu Bisu hanya boleh digunakan untuk melumpuhkan si Gila Tuak atau Bidadari Jalang saja?!"

"Aku terpaksa, Nini! Serat Biru tak bisa dilumpuhkan jika tidak menggunakan Racun Batu Bisu!"

"Apa pun alasanmu kau sudah melanggar larangan dan perjanjian dalam aliran hitam!" Nini Kalong sedikit menyentak.

"Persoalan itu kita bicarakan nanti saja, Nini. Yang penting kita lumpuhkan dulu bocah kemarin sore yang ingin berlagak menjadi pelindung si Gadis Dungu itu!" sambil matanya berpindah ke wajah Suto Sinting. "Pendekar Mabuk, sebelum kau tampil sebagai pelindung titisan Dewa Pelebur Teluh itu, hadapilah Peri Kedung Hantu ini!" ia menepuk dadanya.

"Akan kulayani jika itu maumu, Rumisita!" jawab Suto Sinting tanpa gentar sedikit pun.

Bed, bed, bed...!

Kedua tangan Peri Kedung Hantu bergerak cepat membuka jurus. Badannya tetap tegak walau ka- kinya sedikit merendah. Pandangan matanya tertuju lurus ke wajah Suto Sinting. Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping dengan lamban, namun sorot pandangan matanya tak mau lepas dari tubuh elok di depannya. Tali bumbung tuak sudah tergenggam melingkar di tangan kanannya. Ia melangkah sambil menenteng bumbung itu bagai ingin mengitari Peri Kedung Hantu.

Nini Kalong justru mundur ke bawah pohon, seakan tak mau mencampuri pertarungan itu, namun ingin menyaksikan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Bola mata di balik rongga yang bertulang menonjol itu bergerak-gerak menyimpan rasa was-was ketika ia melihat telapak tangan Peri Kedung Hantu mulai berasap tipis.

"Ia langsung menggunakan jurus 'Tangan Malaikat' yang cukup dahsyat itu. Ini menandakan bahwa Peri Kedung Hantu menyadari kekuatan lawannya yang tak boleh diremehkan," pikir Nini Kalong. "Tapi mampukah jurus itu menandingi kesaktian Pendekar Mabuk yang sering disebut-sebut sebagai anak muda berilmu gila-gilaan itu?! Jangan-jangan Rumisita sendiri yang tumbang oleh kesaktian si tampan Suto Sinting itu?!"

"Hiaaah...!" pekik Peri Kedung Hantu sambil melesat maju dalam satu lompatan. Kedua telapak tangannya yang sudah berasap dihantamkan ke dada Suto Sinting. Tangan pemuda tampan itu berkelebat cepat menangkis pergelangan tangan lawan. Des, des, des, des...! Serangan beruntun berhasilditangkis dengan satu tangan. Bahkan dalam satu kesempatan tangan kiri Suto Sinting yang dipakai menangkis berkali-kali itu berhasil menyodok ke depan dan pangkal telapak tangannya menghantam dagu Peri Kedung Hantu cukup kuat.

Duuhg...!

"Uufh...!" Peri Kedung Hantu terdorong mundur tiga tindak dengan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Wajahnya menjadi semburat merah. Hantaman Suto Sinting mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, tetapi hentakan napas tertahan yang dilakukan Rumisita membuat pukulan bertenaga dalam itu tak begitu membahayakan jiwanya.

"Gila! Pukulan yang kusangka biasa-biasa saja sempat membuat dagu Rumisita menjadi biru memar?!" gumam hati Nini Kalong.

Rumisita semakin berang setelah menerima pukulan yang membuat tulang dagunya seperti remuk itu. Kedua tangannya berkelebat membuka jurus lagi dengan asap yang keluar dari pori-pori telapak itu semakin banyak. "Kuhancurkan kepalamu, Jahanam!" seru Peri Kedung Hantu.

"Majulah lagi, Cantik!" pancing Suto Sinting sambil tubuhnya menggeloyor bagai orang mabuk ingin jatuh tersungkur, namun ternyata tubuh itu hanya meliuk sebentar dan tegak kembali pada saat kedua tangan lawan menghantam ke arah kepalanya.

Wut, wut, wut...! Telapak tangan itu kenai tempat kosong. Tapi gelombang tenaga dalam yang telah telanjur keluar tanpa sinar itu telah menghantam gugusan batu dan akar sebuah pohon besar.

Brruuss...! Jebrrruusss...!

Gugusan batu hancur menjadi serbuk lembut bagaikan tepung. Pohon besar itu hancur bagian akarnya dan tumbang setelah lima hitungan.

Wwrrrr...! Brrruuukkk...!

Nini Kalong terpental karena dahan pohon ada yang menyambarnya dari belakang. Ia tak menduga pohon yang ada di arah sampingnya agak jauh itu tumbang sampai ke tempatnya berdiri. Akibatnya punggung bungkuk Nini Kalong terhantam dahan berukuran agak besar dan tubuh itu terpental ke depan, lalu jatuh tersungkur secara sia-sia.

"Monyet kurap!" makinya dengan hati jengkel dan segera berusaha bangkit.

Ketika itu, Rumisita mulai lakukan serangan jarak jauh setelah ia tak berhasil menjejak dada Suto Sinting. Jejakan kakinya yang bertenaga dalam mengenai bumbung tuak yang disilangkan di depan dada dengan dipegangi dua tangan. Akibatnya, tubuh Rumisita terlempar ke belakang dan cepat bersalto untuk menjaga keseimbangan dalam menapak nanti.

Jleeg...!

Peri Kedung Hantu berdiri tegak dengan pandangan mata kian garang. Ia segera membentangkan kedua tangannya ke samping, lalu dengan sentakkan lembut kakinya menghentak ke tanah. Tubuhnya terbang seperti seekor burung garuda yang mengembang sayap.

Wuuusss...!Lalu dari kedua matanya melesat sinar merah lurus menghantam Suto Sinting. Clap, clap...! Sementara itu, kedua tangannya segera bergerak lurus, dan dari kesepuluh jarinya mengeluarkan sinar patah-patah warna hijau bening.

Slap, slap, slap, slap, slap, slap...!

Pendekar Mabuk sempat terkejut dan sedikit bingung. Dua sinar merah dari mata lawan yang melesat ke arahnya segera dihindari dengan satu lompatan ringan lurus ke atas. Wuuut...! Tapi kesepuluh sinar hijau patah-patah itu menerjang dari bawah dan atas. Bambu bumbung tuak segera digunakan untuk menangkis sinar-sinar tersebut. Tetapi tiga sinar hijau patah mengenai paha dan perut Suto Sinting.

Zrruubb...! Jooosss...!

"Aaahg...!" Suto Sinting memekik kesakitan dengan luka bakar yang mengepulkan asap merah akibat terkena tiga sinar hijau patah itu.

Sisa sinar lainnya berhasil lolos dari tubuhnya, sebagian lagi ada yang memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Wuuutt...! Sedangkan dua sinar merah itu menghantam dua pohon yang berada jauh di belakang Suto Sinting.

Blegaar...! Jegaar...!

Dua pohon itu langsung hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu menyebar ke mana-mana menimbulkan suara gaduh dan menghujani tempat pertarungan mereka. Sepotong dahan berukuran sebesar telapak tangan jatuh tepat di kepala Nini Kalong.

Pletok...!

"Aauh...!" nenek peot itu meringis kesakitan dan menggerutukan makian tak begitu jelas. Tangannya mengusap-usap kepala yang terkena pecahan dahan pohon itu. Tiga sinar hijau yang berubah menjadi lebih besar dari aslinya dan berbalik menyerang Rumisita itu membuat perempuan tersebut tercengang kaget. Gerakan layangnya oleng demi menghindari ketiga sinar itu. Tapi salah satu sinar ternyata tak mampu dihindari, sehingga sinar hijau itu menghantam pundak pemiliknya sendiri.

Jrrabb...!

"Aaaahhg..!!" Peri Kedung Hantu menjerit keras, lalu tubuhnya roboh ke tanah bersamaan robohnya tubuh Suto Sinting.

"Bangsat kauuu...!" geramnya dengan suara berat karena menahan rasa sakit di bagian pundak. Pundak itu terluka parah, koyak lebar sampai ke bagian punggung. Darah pun menyembur dari luka tersebut, memancarkan cairan hitam bersama kepulan asap tebal menandakan adanya daya pembakar cukup tinggi.

Sementara itu Suto Sinting pun mengalami luka cukup parah. Paha dan perutnya berlubang hitam sebesar biji salak. Asap masih mengepul dari luka tersebut bagaikan daging hidup ditusuk dengan besi membara. Luka itu membuat Suto Sinting banyak kehilangan tenaga untuk menahan rasa sakitnya. Dalam keadaan seperti itu, bumbung tuaknya terlepas dari genggaman tangan dan tergeletak dalam jarak satu jangkauan tangan lebih sedikit. Pendekar Mabuk menyeringai kesakitan saat memaksakan diri untuk meraih bumbung tuaknya. Ketika ia merayap, ternyata Peri Kedung Hantu masih sempat lepaskan jurus mautnya dari jarak jauh. Seberkas sinar merah berbentuk tombak melesat dengan cepat dari telapak tangannya.

Weeesss...!

Pendekar Mabuk tak melihat gerakan sinar seperti tombak itu. Tetapi tiba-tiba sinar biru bagaikan bintang berekor melesat dari samping dan menghantam sinar merah tersebut.

Blegaaar...!

Benturan kedua sinar itu menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitar tempat itu, menggetarkan beberapa pohon bahkan sampai ada yang tumbang sebagian. Daun-daun berguguran karena gelombang getaran ledak yang cukup kuat. Tubuh Rumisita sendiri terdorong mundur dalam keadaan duduk di tanah.

Srrrooottt...! Bhheeg!

Punggungnya menghantam batu sebesar anak sapi. Kerasnya benturan punggung sempat membuat batu itu retak bagian atasnya. Krrak...! Rupanya sinar biru tadi datang dari tangan Nini Kalong yang tidak menginginkan sinar merahnya Rumisita mengenai Suto Sinting. Bahkan nenek itu serta-merta melesat dengan sangat cepat. Tangan kurusnya mampu menyambar tubuh Suto Sinting yang mulai terkulai lemas. Bumbung tuak itu pun berhasil disambar dengan kaki kirinya. Wuuut...! Lalu ditangkap oleh tangan kiri pula. Taab...! Dalam keadaan hanya sekejap tubuh kekar Pendekar Mabuk sudah berada di atas pundak Nini Kalong.

"Lepaskan dia, Nini Kalong! Hancurkan kepalanya sekarang juga!" teriak Peri Kedung Hantu dengan sisa tenaganya sambil menyeringai kesakitan.

"Dia telah menyelamatkan nyawaku, sekarang aku pun ingin membayar hutangku padanya!" kata Nini Kalong. "Mungkin lain waktu kita akan jumpa berbeda suasana, Rumisita!"

Wuuut...! Nini Kalong berkelebat pergi sambil memanggul Pendekar Mabuk, sementara Peri Kedung Hantu hanya bisa menggeram dengan jengkel dan sibuk menahan rasa sakitnya.

"Jahanam! Apa maksud nenek peot itu membawanya lari?! Mau dibawa ke mana si bocah gendeng itu?! Hhmmmrr...!"

* * *

DELAPAN

RUPANYA Nini Kalong punya kesan tersendiri di balik pertemuannya dengan Pendekar Mabuk. Melalui bantuannya Suto Sinting berhasil meneguk tuaknya dan membuat lukanya menjadi sembuh. Hal itu dilakukan setelah Nini Kalong membawanya ke tempat yang aman, jauh dari pertarungan Suto Sinting dengan Peri Kedung Hantu.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini Kalong," ucap Suto Sinting saat pertama menyadari dirinya telah tertolong dari luka bakar yang semakin melebar itu.

"Kau sudah cukup jauh dari Rumisita. Ia tak akan mungkin bisa mengejarmu sampai di sini, apalagi dalam keadaan terluka."

"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku, Nini?"

"Karena kau menyelamatkan nyawaku juga!" jawab nenek bongkok berkulit keriput itu. "Aku sudah tidak mempunyai hutang padamu. Kelak jangan menagih hutangku padamu. Sudah kubayar hari ini juga!" ujar sang nenek sambil melangkah menjauhi Suto Sinting.

"Aku mengerti maksudmu, Nini. Tapi... hei, mau ke mana kau, Nini Kalong?!"

"Kembali ke Hutan Rawa Kotek."

"Benarkah kau kembali ke sana?"

"Aku butuh keheningan untuk merenungi ucapanmu tadi."

"Ucapan yang mana?!"

"Kelak kau akan tahu sendiri jika kita jumpa lagi, Nak. Selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik!"

Weeees...! Nini Kalong bagaikan lenyap ditelan bumi, padahal ia melesat cepat hampir menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk.

"Apa maksud kata-katanya itu? Tak bisa diterka secara pasti!" pikir Suto Sinting, kemudian ia menarik napas dalam-dalam, menenggak tuak sekali lagi, lalu bergegas melangkah ke selatan sambil membatin, "Yang terpenting bagiku sekarang ini adalah mencari si Gadis Dungu. Gadis titisan dewa itu harus kuselamatkan dari ancaman maut jurus 'Talak Tujuh', agar kelak ia benar-benar menjadi sang pelebur para tokoh sesat selain Siluman Tujuh Nyawa. Untuk tokoh sesat yang satu itu, hanya akulah tandingannya!"

Baru dua langkah bergerak maju, tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara dentuman menggelegar dari arah utara. Dentuman itu cukup dahsyat, karena tanah tempatnya berpijak terasa bergetar dan langit bagaikan bergemuruh menyeramkan karena gema leda- kan tersebut membubung ke angkasa.

"Pasti di sana ada pertarungan sangat seru!" kata Suto Sinting dalam hatinya. "Hhmmm... pertarungan siapa yang sampai hadirkan ledakan sedahsyat tadi? Aku jadi sangat penasaran ingin melihatnya!"

Maka tanpa berpikir dua kali lagi, Pendekar Mabuk segera melesat ke arah utara mendekati daerah lembah yang berhutan renggang itu. Tempat yang aman untuk sementara adalah sebuah pohon berdaun rindang dengan dahan-dahannya yang bercabang dan kokoh. Di pohon itu Suto Sinting sembunyikan dirinya mengintai pertarungan yang terjadi dalam jarak sekitar lima belas langkah dari pohon tersebut. Kedua mata Pendekar Mabuk tampak terkesiap setelah mengetahui siapa yang ada dipertarungan itu.

"Gadis Dungu ada di sana?!" gumam hati Suto bernada heran.

Indayani, si Gadis Dungu, duduk bersandar pada sebuah batang pohon yang sudah kering. Keadaannya sangat lemah, tak memiliki daya apa pun. Tubuhnya semakin merah matang, bahkan tampak membusuk di bagian pipinya. Sedangkan darah yang mengalir dari hidung dan telinganya tampak hitam menyebarkan aroma busuk. Untung Suto Sinting be- rada dalam jarak cukup jauh sehingga bau busuk itu tidak terlalu tajam bagi hidungnya yang bangir itu.

Tetapi selain si Gadis Dungu, tampak seorang perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun berpakaian jubah putih dengan pakaian dalamnya warna biru tua, sedang bertarung melawan seorang lelaki tua berjubah hijau tanpa lengan. Orang itu tak lain adalah si Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat Jagal yang tampaknya hanya sendirian tanpa seorang murid pun. Dupa Dewa kelihatan bernafsu sekali ingin membunuh Indayani, namun serangannya selalu dipatahkan oleh si perempuan berjubah putih dengan rambut disanggul seluruhnya. Sehelai selendang biru dari kain sutera tipis dikalungkan dilehernya.

Rupanya ledakan dahsyat tadi adalah pertarungan adu tenaga dalam antara Dupa Dewa dengan perempuan berselendang biru itu. Gelombang ledakannya membuat Dupa Dewa sempat terdorong ke belakang dan membentur pohon, lalu pohon itu tumbang akibat benturan bertenaga dalam tersebut. Sedangkan si perempuan berselendang biru hanya terdorong ke belakang dengan keadaan kedua kaki masih bisa berdiri tegak.

"Hentikan kepicikanmu, Dupa Dewa! Aku tak ingin diantara kita ada yang tewas hanya karena kebodohan aliranmu!" ujar perempuan berselendang biru yang memiliki manik mata warna biru kehitaman itu. Tetapi agaknya Dupa Dewa masih memancarkan murkanya melalui pandangan mata yang sangat tajam dan ganas.

"Jika kau tak ingin terjadi korban di antara kita, serahkan anak Punjani itu padaku! Aku tak ingin gadis itu menjadi pembantai para tokoh aliran hitam setelah berusia dua puluh lima tahun. Aku tak ingin Gadis Dungu membunuhku dua tahun lagi. Jika kau masih membela titisan Dewa Pelebur Teluh itu, maka aku tak akan segan-segan mengorbankan nyawamu sebagai tumbal keselamatan aliranku, Serat Biru!"

Suto Sinting terperanjat mendengar nama perempuan itu disebut oleh Dupa Dewa. Hati sang pendekar tampan pun berkata, "Jadi... perempuan berselendang biru itu adalah Nyai Serat Biru, guru si Gadis Dungu?! Masih semuda dan secantik itukah guru si Gadis Dungu? Oh, ya... pasti usianya sudah cukup tua, hanya saja karena ia memiliki ramuan atau ilmu awet muda, maka ia masih kelihatan secantik sekarang. Tapi... tapi bukankah Nyai Serat Biru dalam keadaan sakit karena ter- kena Racun Batu Bisu? Mengapa keadaannya sesehat ini?! Apakah sudah berhasil disembuhkan oleh seseorang?!"

Terdengar lagi suara Dupa Dewa berseru kepada Nyai Serat Biru yang masih bersikap melindungi muridnya itu. "Jika kau tetap melindungi muridmu itu, maka lebih baik kalian berdua kulenyapkan dengan jurus mautku sekarang juga!"

"Dupa Dewa, dengarkan penjelasanku dulu!"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" bentak Dupa Dewa tampak berang sekali. Matanya memancarkan nafsu membunuh sangat besar.

"Kalian salah menafsirkan ramalan dalam Kitab Samak Kubur! Punjani memang mempunyai anak titisan Dewa Pelebur Teluh, tapi itu hanya terjadi pada anak pertamanya."

"Gadis Dungu adalah anak Punjani!"

"Memang. Tapi Punjani mempunyai dua anak dari mendiang suaminya; si Pendeta Murtad itu. Anak yang pertama yang lahir dari rahim Punjani adalah Andardini. Dua tahun kemudian lahirlah Indayani, muridku itu! Tapi pada saat Indayani berusia tiga bulan, kakaknya meninggal dalam gendongan ayahnya saat sang ayah melakukan pertarungan dengan cucu Resi Tambak Nujum yang beraliran hitam itu."

"Kau pikir semudah itukah kau mendustaiku, Serat Biru!"

"Ini bukan dusta, Dupa Dewa! Andardini itulah bocah titisan Dewa Pelebur Teluh, dan bocah itu sudah tewas dalam usia dua tahun lebih beberapa bulan. Indayani, muridku, adalah anak kedua yang tidak menjadi bayi titisan Dewa Pelebur Teluh! Kau tak perlu takut kepada Indayani walau ia kelak berusia dua puluh lima tahun, Dupa Dewa!"

"Hentikan bualanmu itu!" bentak Dupa Dewa. "Aku tak peduli dengan celoteh murahanmu itu, Serat Biru! Gadis itu harus kubunuh sekarang juga!"

"Kalau begitu kau harus membunuhku lebih dulu, Dupa Dewa!" ujar Nyai Serat Biru sambil menarik selendangnya yang kini sudah berada di tangan kanannya.

Hati Suto Sinting berkata, "Kalau begitu Gadis Dungu adalah korban salah sasaran! Oh, nasibnya lebih menyedihkan sekali jika ia mati busuk akibat racun Nini Kalong tadi. Sebaiknya aku segera membawanya ke tempat aman dan mencoba mengobatinya dengan tuakku ini!"

Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat sangat cepat hingga tak mampu dilihat mata lagi. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyai Serat Biru di mana pada saat itu Nyai Serat Biru segera melompat ke depan dengan selendangnya dikibaskan ke arah Dupa Dewa. Wuuut...!

Blaaaarrr...!

Cahaya biru yang melesat dari ujung selendang menyambar kepala Dupa Dewa. Tetapi dari tangan Dupa Dewa segera keluarkan cahaya merah yang memercik dalam sekejap dan menyambar sinar biru petir dari ujung selendang tersebut. Akibatnya terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan menyebarkan gelombang hawa panas segera membubung ke angkasa. Dedaunan pohon menjadi sasaran gelombang hawa panas itu. Daun-daun menjadi kering seketika, lalu berguguran terbawa angin ke arah timur.

Pendekar Mabuk tak pedulikan dulu pertarungan itu. Ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Gadis Dungu sampai beberapa tegukan. Setelah berhasil meminumkan tuak, napas Suto Sinting terhempas lega, kemudian ia sendiri ikut menenggak tuak dengan mata melirik ke arah pertarungan mantan se- pasang kekasih itu. Agaknya mereka benar-benar telah bertekad untuk saling membunuh, sehingga kekuatan mereka sama-sama terkuras dan saling diadu kesaktiannya.

Baru saja Suto Sinting ingin memeriksa keadaan Gadis Dungu, tiba-tiba dari balik gerumbulan semak muncul orang-orang kerdil yang berlompatan saling menyerang Gadis Dungu. Mereka melemparkan pisau-pisau kecil yang menghujam serentak ke tubuh Gadis Dungu. Zrrraaab...!

Pendekar Mabuk cepat ambil tindakan penyelamatan dengan menyambar tubuh Gadis Dungu dan membawanya melesat ke atas pohon. Weeesss...! Akibatnya pisau-pisau kecil itu melesat lurus dan menancap pada pohon-pohon di sekitar pertarungan itu. Kemunculan orang-orang suku Aboradin yang bertubuh kerdil dan berkulit hitam mengkilat hanya mengenakan cawat itu membuat perhatian Nyai Serat Biru menjadi terbagi beberapa bagian.

Akibat perhatian yang terbagi, Nyai Serat Biru terlambat sentakkan selendangnya sehingga serangan Dupa Dewa berupa sinar merah seperti cakra mengenai dada Nyai Serat Biru. Zuuub...!

"Aaahg...!" Nyai Serat Biru memekik tertahan. Ia terkena jurus 'Racun Jamur Setan' seperti yang dialami muridnya tadi siang. Sang nyai segera jatuh berlutut dengan tubuh gemetar. Rupanya ia berusaha melawan pengaruh racun itu dengan kekuatan tenaga inti yang disalurkan melalui peredaran darahnya.

Suto Sinting meletakkan tubuh Gadis Dungu di persilangan dahan yang mirip balai-balai bambu. Gadis Dungu disimpan di sana, lalu ia segera meluncur turun tanpa suara pada saat orang-orang kerdil serentak menyerang Nyai Serat Biru.

"Heeeaaat...!" seru orang-orang kerdil di bawah pimpinan Rekatak Tiban. Mereka sama-sama menggenggam pisau agak panjang dan bermaksud menghujamkan pisau itu ke tubuh Nyai Serat Biru.

Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting segera melesat dengan gerakan memutar tubuh Nyai Serat Biru. Gerakan itu adalah jurus 'Gerak Siluman' yang mirip badai memutari tubuh Nyai Serat Biru dalam waktu sekejap.

Wuuussst...!

Orang-orang kerdil itu terlempar tunggang-langgang diterjang gerakan kilat Pendekar Mabuk. Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan Nyai Serat Biru tepat ketika Dupa Dewa melepaskan pukulan pamungkasnya dari jarak tujuh langkah. Pukulan itu dinamakan jurus 'Halilintar Menjerit', berupa tepukan keras dari kedua telapak tangannya, dan dari tepukan itu keluar sinar biru menyebar ke arah depan dalam jumlah kilatan sinar sekitar sepuluh larik lebih. Sinar-sinar mirip cacing panjang itu berkelebat dengan gerakan berkelok-kelok menuju ke arah Nyai Serat Biru. Tetapi karena yang ada di depan Nyai Serat Biru adalah Suto Sinting, maka Pendekar Mabuk itulah yang menghadapi serangan jurus 'Halilintar Menjerit'.

Tak ada pilihan lain bagi Suto Sinting untuk hadapi serbuan sinar-sinar halilintar itu kecuali dengan hembusan nafasnya. Dengan satu kali menghentak ke bumi pertanda kemarahannya telah bangkit, mulut Suto Sinting terbuka dan menyentakkan nafas- nya dengan satu kali sentak saja.

"Hahhh...!!" Jurus 'Napas Tuak Setan' menimbulkan suara gemuruh menggelegar. Biuuurrr...! Badai dahsyat keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Badai berkekuatan gila-gilaan itu membuat sinar-sinar biru itu membalik arah lalu meledak sebelum sampai tujuan semula.

Blegaaarrr...!

Alam menjadi seperti kiamat. Pepohonan tumbang saling berdentuman. Batu sebesar anak sapi pun bisa terbawa terbang. Hutan di depan Suto Sinting menjadi hancur bagai dilanda gempa dan badai dahsyat. Tubuh Dupa Dewa terhempas terbang membentur-bentur pohon, batu atau apa saja sambil meneriakkan jeritan memanjang, "Aaaaaa...!!" Semakin lama suara jeritan itu semakin hilang karena jaraknya yang semakin jauh.

Orang-orang kerdil yang kebetulan ada di tanah bagian depan Pendekar Mabuk saling terpental ke sana-sini dengan jerit semakin menghilang. Langit pun mulai bermega tebal, gumpalan awan hitam bergulung- gulung di angkasa menghadirkan kilatan cahaya petir yang menyambar-nyambar.

Dalam sekejap saja tempat tersebut sudah menjadi porak poranda bagai habis dilanda bencana alam hingga ketempat jauh, melewati kaki bukit, mencapai tepian sebuah desa di seberang persawahan yang membentang luas. Tanaman padi pun menjadi hancur akibat dilanda badai mengerikan itu.

Rekatak Tiban dan sisa anak buahnya segera melarikan diri melihat kejadian yang amat mengerikan itu. Mereka bergegas lari menuju ke Gunung Leak Sewu sebagai masyarakat Penghuni Liang Lahat, yang menempati goa-goa di sekitar gunung itu. Alam di bagian belakang Suto Sinting sama sekali tidak dijamah angin badai yang mengerikan itu. Karenanya, Suto Sinting dapat segera obati Nyai Serat Biru dan membawa turun Gadis Dungu dari atas pohon.

Wuuut...! Weeeess...!

"Apa-apaan kau, hah?! Main gendong seenaknya saja. Aku bisa turun sendiri dari pohon! Kau pikir aku bayi kemarin sore?!" sentak Gadis Dungu dengan berang kepada Suto Sinting, sedangkan Nyai Serat Biru segera kerutkan dahi dalam memperhatikan si pemuda tampan berbumbung tuak itu.

"Kusangka kau belum sehat, jadi aku mengambilmu dari atas pohon!" kata Suto Sinting kepada si Gadis Dungu.

"Belum sehat, belum sehat...! Apa kau pikir aku sudah jompo?!" gadis yang masih tetap berkalung gendang itu bersungut-sungut menampakkan keketusannya.

"Indayani!" sentak Nyai Serat Biru yang sudah terbebas dari Racun Jamur Setan-nya si dupa Dewa itu. "Mengapa sikapmu seperti itu kepadanya?! Tahukah siapa dia?!"

"Dia...?! Oh, Nyai Guru belum tahu rupanya. Dia adalah murid murtadnya si Dupa Dewa. Dia bernama Dogol, Guru!"

"Bukan!" sentak Nyai Serat Biru. "Dia adalah Pendekar Mabuk, murid sahabatku si Gila Tuak. Dia bernama Suto Sinting!"

"Guru jangan mudah terkecoh oleh penampilannya!"

"Kulihat noda merah di tengah keningnya. Hanya orang berilmu tinggi yang bisa melihat noda merah yang menjadi lambang kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih dari negeri di alam gaib; yaitu negeri Puri Gerbang Surgawi! Mataku tak bisa salah pan- dang, Indayani!"

Suto Sinting menjadi tak enak hati karena noda merahnya di kening diketahui oleh Nyai Serat Biru. Noda merah itu memang pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

"Jaa... jadi dia adalah.... Pendekar Mabuk, Guru?!"

"Ya. Dia adalah Pendekar Mabuk. Semestinya sikapmu tidak sekasar itu dan kau harus berterima kasih padanya karena dia telah menolong kita!"

"Hmmm... eh...," Gadis Dungu menjadi gugup dan takut. "Hmmm... eeh... maafkan aku, Pendekar Dogol, eh... anu.... Pendekar Mabuk."

Suto Sinting buang muka untuk sembunyikan senyum gelinya. Gadis Dungu tundukkan kepala, antara malu dan takut baik kepada gurunya maupun kepada pemuda tampan yang selama ini tidak dipercaya sebagai Pendekar Mabuk itu.

"Maafkan kebodohan muridku, Pendekar Mabuk."

"Lupakan soal itu, Nyai. Yang ingin kutanyakan, benarkah Indayani bukan gadis titisan Dewa Pelebur Teluh, seperti yang diramalkan dalam Kitab Samak Kubur itu?"

"Indayani adalah adiknya. Adik dari bocah titisan Dewa Pelebur Teluh. Mereka salah sangka karena tak tahu persis tentang silsilah Punjani, ibu si Gadis Dungu yang menjadi sahabat karibku semasa muda dulu."

"Jika begitu, sebaiknya Indayani bersembunyi dulu sebelum kabar yang sebenarnya menyebar ke seluruh rimba persilatan, sehingga ia tidak dijadikan buronan tak berdosa!"

"Aku sependapat denganmu. Indayani akan kubawa ke puncak Gunung Randu untuk memperdalam ilmunya di sana sambil mengasingkan diri beberapa waktu. Apakah kau keberatan, Indayani?"

"Asal... asal sering ditengok Pendekar Mabuk, saya tidak keberatan, Guru."

Pendekar Mabuk tertawa kecil, sang guru pun jadi tersipu-sipu mendengar kenakalan bicara muridnya.

"Tapi... bolehkah saya bertanya, apakah benar Guru terkena Racun Batu Bisu dari Peri Kedung Hantu?"

"Benar. Tapi Tabib Awan Putih telah datang bersama Putri Kunang untuk membawakan Madu Bunga Salju. Dengan madu itu pun racun itu berhasil ditanggalkan dan keadaanku sehat kembali."

"Kalau begitu, ada baiknya jika kita berangkat sekarang ke puncak Gunung Randu, Guru!"

"Baik, Muridku." Sang nyai bicara kepada Suto, "Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Suto. Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi."

"Selamat jalan, Nyai Serat Biru. Selamat jalan, Indayani," ucap Suto Sinting dengan lembut dan cukup menyentuh perasaan.

Indayani berkata, "Jangan lupa, seringlah menengokku ke puncak Gunung Randu agar aku tak merasa jenuh berada di sana, Dogol... eh, Pendekar Dogol, eeh.... Pendekar Mabuk."

Tawa lirih pun mengiringi perpisahan mereka, di mana cahaya senja mulai datang dan pengembaraan Suto Sinting tetap dilanjutkan memburu musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa.

SELESAI

Titisan Dewa Pelebur Teluh

Serial Pendekar Mabuk
Titisan Dewa Pelebur Teluh
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
KAKI Gunung Tunggir yang biasanya dilanda sunyi, kali ini dihiasi dengan suara-suara aneh. Hembusan angin yang menuju ke barat membawa gelombang suara aneh terasa janggal bagi telinga seorang pemuda berambut lurus sebatas pundak tanpa ikat kepala. Pemuda yang menyandang bumbung tuak di punggungnya itu hentikan langkah sejenak kala telinganya menangkap suara aneh tersebut.

"Suara apa itu sebenarnya? Seperti suara kodok, tapi lebih mirip suara burung gagak? Atau jangan-jangan suara kodok yang sedang mau ditelan burung gagak? Jangan-jangan suara burung gagak yang sudah ditelan seekor kodok?" pikir si pemuda berbaju coklat dengan celana putih kusam dililit ikat pinggang dari kain merah.

Pemuda itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh ternama paling disegani di antara para tokoh di rimba persilatan. Pe- muda itu dikenal dengan nama Suto Sinting dengan gelar kebesarannya: Pendekar Mabuk. Kadang ada yang menjulukinya dengan nama Tabib Darah Tuak, sebab ia mampu sembuhkan berbagai macam penyakit dengan tuak sakti di dalam bumbung bambunya itu. Namun beberapa orang sering memanggilnya dengan nama sanjungan 'si tampan', karena memang ia mempunyai wajah tampan dan senyum menawan yang mampu melelehkan hati wanita sekeras baja mana pun.

Dung, dung, plak! Dung, dung, plok.! Dung, dung, pak plak dung, plakdang. Plak, dung, dung.... Pak dudung, pak dudung, pak dudung....

Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya beberapa teguk segera kerutkan dahinya mendengar suara aneh itu. Hatinya pun segera membatin dengan nada penuh keheranan. "Pak Dudung dibawa-bawa...?! Suara apa itu sebenarnya, sehingga seperti seseorang memanggil Pak Dudung?"

Setelah langkahnya makin mendekati sumber suara tersebut, telinganya ditelengkan untuk menyimak dengan baik-baik, barulah si murid sintingnya Gila Tuak itu menyimpulkan dalam hatinya,

"Sialan! Bukankah itu suara gendang?! Mengapa aku sampai terheran-heran dengan suara gendang seperti itu? Uuh... dasar kuping kebanyakan tuak mendengar suara gendang saja sampai seperti mendengar suara kodok atau burung gagak. Kapan-kapan aku mau periksa kuping, ah! Jangan-jangan karena kebanyakan minum tuak, gendang telingaku jadi berkarat atau berlapis kerak tuak? Pantas tadi saat di kedai ada orang batuk kedengarannya seperti memanggil namaku. Ih, memalukan sekali aku ini, masa' pendekar kok kupingnya 'tulalit' alias rusak sebelah?!"

Padahal yang membuat pendengaran Suto Sinting kurang jelas bukan karena telinganya rusak, melainkan karena suara gendang itu ditabuh seseorang sedemikian rupa, sehingga secara sepintas dapat menyerupai suara kodok atau suara gagak. Tentu saja si penabuh gendang itu orang yang cukup piawai dalam mengatur sentakan tangan di permukaan kulit gendang. Bahkan barangkali juga ia seorang yang berilmu tinggi, sehingga mampu menabuh gendang dari satu tempat yang letaknya cukup jauh tapi mampu didengar sampai di balik dinding tebing tinggi.

"Gila! Ternyata suara gendang itu cukup jauh dari tempatku tadi?!" pikir Suto Sinting sambil melacak terus, mendekati sumber suara gendang yang didengarnya.

Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk akhirnya tiba di atas sebuah tebing batuan cadas yang tidak terlalu banyak ditumbuhi oleh pepohonan. Namun di atas tebing itu terdapat gugusan batu yang menjulang tinggi hingga menyerupai pilar-pilar tak beratap. Dari ketinggian itulah Pendekar Mabuk layangkan pandangannya ke bawah tebing yang berjarak sekitar lima belas tombak itu.

Di dasar tebing yang juga ditumbuhi pepohonan tak begitu banyak itu tampak seorang gadis berkalung tali merah dari bahan kain tebal. Tali merah itu adalah tali pengikat sebuah gendang kecil yang dapat ditabuh dua sisi. Gendang itu terbuat dari kayu berukir warna coklat tua. Kulit gendangnya tampak tebal, terbuat dari kulit binatang, entah binatang apa, yang jelas berwarna putih kekuning-kuningan. Ukuran gendang itu sekitar tiga jengkal, dengan besar lingkaran bagian sisi kanan seukuran piring makan, dan sisi sebelah kiri seukuran mangkuk sayur.

Gendang yang mempunyai hiasan benang merah pada kedua ujung pengikat talinya itu ternyata milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Gadis itu kenakan pakaian jubah merah menyolok berlengan panjang. Baju dalamnya berwarna kuning gading tanpa lengan, sewarna dengan celana ketatnya yang seukuran sebetis itu. Rambutnya hanya sebatas tengkuk, lurus dan halus, bagian depannya diponi rata. Poni itu sesuai sekali dengan bentuk kecantikan wajahnya yang berhidung bangir, bermata bundar bening, dan berbibir mungil menggemaskan.

Rupanya gadis berkulit kuning langsat itu sedang menghadapi pertarungan dengan dua orang lelaki bertampang angker. Keduanya sama-sama berbadan besar, yang satu brewokan, yang satu hanya berkumis lebat tapi bola matanya lebih besar dari bola mata si brewok. Alisnya lebih lebat, dan bentuk hidungnya lebih besar. Keduanya sama-sama berkulit hitam kusam, mengenakan rompi panjang berwarna biru tua, tapi celana mereka berbeda. Si brewok kenakan celana warna merah, sedangkan si kumis lebat kenakan celana hitam. Keduanya sama-sama bersenjata golok lebar, mirip senjata algojo yang digunakan untuk memenggal leher para tawanan yang hendak dihukum pancung.

Ketika Suto Sinting tiba di atas tebing itu, suara gendang hilang, karena si gadis tidak menabuh gendangnya. Ia berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang, mata menatap kalem kepada kedua lawannya yang sedang terengah-engah. Kedua lawan itu tampak terkulai, saling duduk beradu punggung dengan tubuh berkeringat dan tampak lemas, seperti orang habis lari jauh. Namun keduanya sama-sama masih pegangi senjata masing-masing.

"Mengapa kedua orang itu terengah-engah kecapekan?!" tanya Suto Sinting dalam batinnya. "Tampaknya gadis itu tak keluarkan tenaga sedikit pun, sehingga tampak tenang dan tak ada kelelahan pada dirinya. Diapakan kedua orang berwajah angker itu?!"

Dari tempatnya bersembunyi, Suto Sinting mendengar ucapan si gadis yang ditujukan kepada kedua lawannya dalam jarak sepuluh langkah kurang itu.

"Sebaiknya kalian tak perlu memburuku lagi. Ku ingatkan pada kalian agar pulang dan temui guru kailan, katakan bahwa aku bukan gadis kemarin sore yang mudah ditumbangkan!"

Si brewok berusaha bangkit berdiri dengan sedikit sempoyongan karena kedua kakinya terasa lemas. Ia masih mencoba untuk bersikap angker dan bicaranya masih bernada penuh geram kemarahan. Ia menuding si gadis dengan pergunakan goloknya.

"Jangan merasa unggul dulu, Gadis Dungu! Kami belum merasa kalah melawanmu. Kalau kau sanggup menghindari jurus gabungan kami yang bernama jurus 'Petir Menangis', barulah kau boleh merasa unggul dan kami akui kekalahan kami!"

"Hi, hi, hi, hi...! Jurus apa itu?! Namanya kok lucu sekali. Hmm... jurus 'Petir Menangis'?! Apakah kalian juga punya jurus 'Petir Tertawa' atau jurus 'Petir Cemberut'?!" gadis itu menertawakan ucapan si brewok, membuat si brewok semakin tampak berang, ia hanya menggeram dengan tangan kian menggenggam gagang goloknya dengan kuat. Kejap berikutnya, si kumis tebal pun bangkit dan merasa tak suka ditertawakan oleh si gadis.

"Gadis Dungu!" serunya dengan napas masih memburu. "Kau boleh menertawakan kami jika kau sudah terbukti mampu hadapi jurus 'Petir Menangis' itu!"

"Aku siap menerima jurus kalian asal jangan sampai melukai ku," kata si gadis yang agaknya dikenal dengan julukan si Gadis Dungu.

Kedua lelaki yang usianya sama-sama sekitar empat puluh tahun itu segera saling meneriakkan kata pembangkit semangat pertarungan mereka. "Heeeeaaahhh...!"

Mereka saling melompat berjauhan. Golok besar dimainkan dengan berkelebat ke sana-sini bagai mengelilingi tubuh mereka. Lalu, dalam satu gerakan menghentak bumi dengan satu kaki, keduanya sama-sama melesat saling berpapasan.

Wuuut...! Golok mereka pun saling digesekkan dengan cepat. Srrraaaangngngngng...! Gesekan itu hasilkan percikan api kemana-mana. Yang membuat dahsyat jurus 'Petir Menangis' bukan terletak pada percikan apinya, melainkan pada suaranya yang menggema panjang dan bernada tinggi. Suara itu keluarkan gelombang tenaga dalam yang mampu membuat tubuh si Gadis Dungu tersentak bagai dicabut nyawanya. Ia terlempar jatuh bersama gendangnya.

Brrrukk...!

"Aaaahhg...!" si Gadis Dungu mengerang sambil menyeringai sakit, kedua tangan pegangi dadanya dalam keadaan mengejang.

Beberapa pohon berukuran sedang bergetar akibat bunyi gesekan golok tadi. Gema suaranya masih memanjang, mengiang-ngiang di telinga, membuat beberapa dahan pohon roboh karena terpotong rapi bagai ditebang dengan pedang yang amat tajam. Bahkan beberapa batu yang terletak tak jauh dari mereka mengalami keretakan, sebagian ada yang hancur bagaikan rapuh. Prrus...! Sedangkan daun-daun di sekitar mereka pun menjadi berhamburan bagaikan dipangkas dalam waktu sekejap.

"Ugh...!" Suto Sinting sendiri merasakan satu sentakan tajam di ulu hatinya. Ia buru-buru menahan napas dan menyangga ulu hati dengan telapak tangan kirinya. "Gila!" gumamnya dalam hati. "Suara gesekan golok mereka bagaikan mengiris jantung dan menyayat-nyayat urat nadi. Uuuh...! Hatiku terasa perih sekali bagai diiris pelan-pelan. Kalau tak segera ditangkal dengan minum tuak bisa putus semua urat nadiku! Benar-benar gila jurus 'Petir Menangis' itu. Apa memang beginikah akibatnya jika benar-benar mendengar suara petir sedang menangis?!"

Glek, glek, glek...! Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya. Dengan meminum tuak tiga teguk, rasa sakit di sekujur urat nadi, jantung, dan ulu hati itu menjadi berkurang. Tiga helaan napas kemudian, seluruh rasa sakit itu lenyap dan kelemasan urat-urat kembali kokoh seperti semula.

Gadis Dungu masih menyeringai menahan sakit walaupun ia sudah berdiri dengan satu lutut di tanah. Pada saat itu, kedua orang berwajah angker kembali saling kelebatkan golok mereka di sekitar tubuh, lalu kedua golok itu dipertemukan lagi dalam satu gerakan bergesekan.

Srrrraaaangngngngngng...!

"Haaagghh...!"

Pohon bergetar kembali, dahan-dahan terpotong, dedaunan terpangkas habis, dan si Gadis Dungu tersentak dan terguling dengan ratapan memanjang. Getaran gelombang suara dari gesekan kedua golok membuat kulit mulus di wajah Gadis Dungu menjadi tersayat merah, bagaikan bilur-bilur akibat cabikan senjata tajam. Sementara itu, Suto Sinting hanya menahan napas dan tidak rasakan rasa sakit seperti saat mendengar suara gesekan golok yang pertama tadi. Hal itu dikarenakan dalam tubuh Suto masih dipengaruhi hawa sakti dari tuak yang baru saja diminumnya itu. Jika tadi ia tidak segera menenggak tuak, maka ia akan mengalami rasa sakit dan menderita seperti yang dialami si Gadis Dungu itu.

"Haaah, ha, ha, ha, ha...!" kedua orang berwajah angker itu menertawakan si Gadis Dungu yang mulai tampak kewalahan dalam menahan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.

"Sekali lagi kami lepaskan jurus 'Petir Menangis', maka sekujur tubuh montokmu itu akan tercabik-cabik, Gadis Dungu!" seru si kumis lebat dengan mata melebar girang.

Suto Sinting membatin, "Siapa pun mereka, aku harus hentikan pertarungan ini. Karena jika ada orang lain yang tidak terlibat tapi mendengar desing gesekan kedua golok tadi, pasti akan mengalami luka yang cukup berbahaya!"

Si kumis lebat berkata kepada si brewok, "Togayo, jangan biarkan ia bertahan! Kita cabik-cabik tubuh gadis bodoh itu dengan jurus kita sekali lagi!"

"Aku sudah siap, Gayong! Heeeeaah...!"

Gayong, si kumis lebat, dan Togayo si brewok, mulai kelebatkan senjata mereka untuk saling digesekkan kembali. Suto Sinting sudah bersiap melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sentilan dari jari tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam sebesar tendangan kuda binal itu.

Namun agaknya jurus 'Jari Guntur' si Pendekar Mabuk terpaksa ditahan untuk sementara. Suto Sinting menjadi penasaran karena ingin melihat sejauh mana perempuan yang dipanggil Gadis Dungu itu bertahan. Karena beberapa kejap setelah Gayong berseru membangkitkan tenaga dalamnya, Gadis Dungu tampak bangkit dengan satu lutut masih menapak di tanah. Ia menabuh gendangnya dengan mata terpejam karena menahan rasa sakitnya. Suaranya terdengar memekik panjang sebagai tanda melepaskan rasa sakit dan kemarahannya.

"Hiaaahh...!"

Dung, plak, plak... dung, dung, plak. Dung, plak, dung, plak, dung, dung, dung, plak...!

Dan mata si Pendekar Mabuk terkesiap dengan dahi berkerut. Pandangan matanya tertuju pada Togayo dan Gayong. Kedua orang berwajah angker itu tiba-tiba hentikan gerakan mengadu golok saat suara gendang terdengar. Tubuh mereka gemetar bagai melawan kekuatan tenaga dalam yang gelombangnya menyebar ke arah mereka. Tubuh yang bertahan itu lama-lama bergerak kaku mengikuti irama gendang. Tampaknya gerakan tersebut tak diinginkan oleh Togayo dan Gayong, sehingga mereka sama-sama keluarkan suara geram dengan hati menahan gerakan tangan agar berhenti.

"Haaahhhggrr...!"

Dung, dung, plak, dung, dung, plung plak...! Gadis dungu tetap menabuh gendangnya. Gelombang tenaga dalam yang keluar dari tabuhan gendang membuat Togayo dan Gayong akhirnya bertandak, mereka berjingkrak-jingkrak dalam lenggokan tangan dan pantat mirip gerakan sepasang bebek ingin bertelur. Semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya mereka benar-benar tak bisa menahan gerakan tubuhnya untuk menari-nari jejingkrakan. Mulut mereka pun bagaikan tak sadar keluarkan seruan-seruan riang, seakan sedang menikmati pesta tarian yang penuh semangat.

Dung, dung, plak... dung, dung plung plak... plung, plak....

"Hiah, hiah... huuurra!"

"Iaha, syuur, syuur, syuur... goyang terus, Togayoo...! Heah, heah, ser, ser, ser,ser, asyiiik !"

Karuan saja si Pendekar Mabuk tertawa cekikikan dari tempat persembunyiannya. Tubuhnya sampai terguncang-guncang karena menahan tawa geli melihat kedua orang angker itu telah berubah menjadi riang dan menari jejingkrakan.

"Hebat sekali ilmu si Gadis Dungu itu?!" pikir Suto Sinting. "Tabuhan gendangnya mempunyai kekuatan sihir yang mampu membuat lawan menjadi riang dan menari penuh semangat. Tapi agaknya... oh, kedua orang itu mulai keluarkan darah dari telinga mereka?! Gelombang tenaga dalam telah kenai bagian dalam tubuh mereka tanpa mereka sadari?!"

Gerakan tari mereka semakin cepat, semakin berkesan acak-acakan dan mirip tarian liar. Suara mereka berteriak-teriak menyerukan semangat menari dalam keriangan, tapi mereka tidak sadar jika bagian dalam tubuhnya telah dihantam oleh kekuatan tenaga dalam yang terbawa melalui suara pukulan gendang. Tubuh mereka bertambah melonjak-lonjak dengan cepat. Kepala mereka tersentak-sentak mirip orang kesurupan. Tapi seruan suara mereka masih bernada dalam kegirangan. Padahal dari telinga mereka telah keluarkan darah yang semakin lama semakin membanjiri pundak masing-masing. Napas mereka yang terengah-engah tak dihiraukan lagi. Mereka menari dan terus menari dengan gerakan liarnya. Bahkan mereka tak sadar bahwa senjata mereka sudah saling buang ke sembarang tempat demi kebebasan menari dan bergerak.

"Hiiaaahuuu...! Joget terus sampai pagiii...! Hiah, hiah!" seru Togayo dengan tubuh berlarian ke sana-sini dengan gerakan menari. Darah yang keluar dari telinga pun berceceran ke mana-mana. Demikian pula halnya dengan si kumis lebar; Gayong.

Dung, plak, dung, plang... dung, plak, dung, plang...! Bunyi gendang masih terdengar semakin tak berirama. Gadis Dungu menabuhnya dengan gerakan cepat. Suara yang kian bertempo cepat membuat Togayo dan Gayong pun kian mempercepat gerakan tarinya, bahkan sampai berguling-guling di tanah dengan darah mencucur terus dari lubang telinga, bahkan sekarang ditambah dari lubang hidung mereka pun mengucurkan darah segar.

Pendekar Mabuk berdecak kagum, geleng-geleng kepala sambil tertawa dengan suara pelan sekali. "Rupanya tidak semua orang yang mendengar bunyi gendang ikut menari. Pengerahan gelombang tenaga dalam melalui suara gendang ternyata bisa dikendalikan hanya untuk orang-orang yang dituju oleh si Gadis Dungu. Buktinya biarpun kedua orang berwajah angker itu berjoget segila itu, tapi aku tidak ikut-ikutan bergerak seperti mereka. Hmmm... suatu ilmu yang langka dan perlu kuakui kehebatannya."

Mendadak wajah geli si Pendekar Mabuk berubah tegang seketika, karena tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik pepohonan dan menghantam punggung si Gadis Dungu.

Wuuutt...! Deeeb...!

"Eehg...!" Gadis Dungu tersentak dan terjungkal kedepan, lalu berguling-guling. Suara gendang lenyap seketika. Kedua orang berwajah angker itu terkulai lemas di rerumputan. Tubuh mereka terkapar bermandi darah dengan napas masih ngos-ngosan.

Sementara itu, si Gadis Dungu segera memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Tubuhnya berlutut dengan tangan berpegangan pada sebongkah batu setinggi perut manusia dewasa. Ia memuntahkan darah beberapa kali dan tampaknya tak bisa bergerak lagi. Keadaan itulah yang membuat mata si Pendekar Mabuk menjadi tegang tak berkedip.

"Celaka! Siapa orang yang menghantam si Gadis Dungu dengan sinar merah yang mirip senjata cakra tadi?!" pikir Suto Sinting dengan mata mulai bergerak nanar. "Pertarungan ini benar-benar pertarungan yang curang!" geram Suto Sinting, seakan hatinya tak bisa menerima perlakuan si penyerang gelap yang membokong Gadis Dungu itu.

Baru saja ia ingin bergerak terjun ke tengah pertarungan tersebut, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat dari balik pohon rimbun.

Wuuutt...! Jleeeg...!

Seorang tokoh tua berjubah hijau tanpa lengan, sehingga tubuhnya yang kurus sekali itu terlihat jelas, tahu-tahu sudah muncul di antara Togayo dan Gayong. Tokoh tua berambut putih sepanjang punggung tanpa ikat kepala itu mempunyai kumis putih dan jenggot putih sepanjang dada. Sorotan pandangan matanya tampak dingin, dengan ditambah raut muka yang bertulang pipi menonjol dan berdagu runcing ke depan, tokoh tersebut semakin tampak bengis.

"Bangun kalian!" sentaknya dengan suara serak kepada Togayo dan Gayong. Kedua tangannya menyentak dengan kuku-kuku runcing yang hitam mengembang membentuk cakar. Dari telapak tangan itu menyembur sinar putih bagaikan perak. Kedua sinar putih menerpa tubuh Gayong dan Togayo.

Wuuusss...! Sinar itu diiringi semburan asap tipis. Asap itu makin lama semakin membungkus tubuh Togayo dan Gayong. Kejap berikutnya, sinar itu pun padam secara serentak. Zrrub...! Lalu, Togayo dan Gayong bagaikan bangun dari tidur.

"Hah...?! Guru...?!" Togayo terkejut, lalu segera berlutut satu kaki dengan kepala tertunduk, demikian pula yang dilakukan oleh Gayong di depan tokoh tua yang ternyata adalah Guru mereka itu. Sang Guru hanya memandangi dengan mata cekungnya tampak menyimpan kemarahan entah kepada kedua muridnya atau kepada si Gadis Dungu itu.

Sementara itu, pandangan mata Pendekar Mabuk dari balik gugusan batu itu tampak terheran-heran. Keheranan itu timbul karena ia melihat Togayo dan Gayong dalam keadaan sehat tanpa luka apa pun. Bahkan darah yang berceceran di tubuh mereka lenyap tanpa bekas sedikit pun. Kedua orang yang semula terluka parah dan hampir mati itu dapat sembuh secara ajaib oleh kekuatan sinar putih perak si tokoh berjubah hijau dan bersabuk hitam itu. Tentunya penyembuhannya yang ajaib itu merupakan suatu bukti bahwa ia bukan tokoh berilmu rendah. Usianya yang sekitar sembilan puluh tahun itu semakin meyakinkan orang bahwa ia berilmu tinggi dan tidak sebanding jika melawan Gadis Dungu.

"Manusia bodoh!" sentaknya, rupanya ia marah kepada kedua murid yang bertubuh kekar itu. "Melawan anak ingusan saja tak ada yang becus! Memalukan nama perguruan saja kalian ini!"

"Maaf, Eyang Guru... dia mempunyai"

"Mempunyai apa?!" sentak sang Guru dengan berang. "Lihat, cukup sekali pukul dia sudah tak berkutik!" seraya tangannya menunjuk kepada Gadis Dungu yang kini dalam keadaan duduk terkapar dengan terkulai lemas tanpa daya, bersandar gugusan batu besar. Wajahnya pucat bagai mayat dengan sisa sayatan merah akibat keganasan jurus 'Petir Menangis' tadi.

"Jika begitu, sebaiknya gadis itu saya bereskan sekarang juga, Guru!" kata Togayo sambil berdiri dan meraih golok besarnya lagi. Tetapi tangan sang Guru menyentak ke samping, segumpal tenaga tanpa wujud terlepas bagaikan angin badai menghantam lengan Togayo.

Wuuut...! Plaaak...! Tangan Togayo tersentak kuat, tubuhnya terpelanting nyaris jatuh. Golok tak jadi diraihnya. Sang Guru berkata dengan tegas.

"Percuma jika sekarang kau ingin bertindak! Gadis itu sudah kuserang dengan jurus 'Racun Jamur Setan'. Sebentar lagi ia akan mati dalam keadaan menjamur dan busuk. Tinggalkan dia, dan kalian kembali ke perguruan! Cepat!"

"Baik, Guru!" keduanya menjawab serentak. Wuuuss...! Mereka pun pergi meninggalkan si Gadis Dungu yang tak berdaya itu.

* * *

DUA

HARI itu tidak ada gadis yang lebih beruntung daripada si Gadis Dungu. Tepat nyawanya terancam 'Racun Jamur Setan' tuak sakti si Pendekar Mabuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam keadaan sekarat, Suto Sinting berhasil paksa mulut Gadis Dungu mene- lan tuak yang diminumkan secara hati-hati. Akibat terminumnya tuak Suto, keganasan 'Racun Jamur Setan' pun dapat dikalahkan.

Gadis Dungu menjadi sehat, bahkan merasa seperti tidak pernah mengalami luka apa pun. Bilur-bilur merah akibat jurus 'Petir Menangis' yang hampir mencabik-cabik kulitnya itu pun lenyap tanpa bekas seujung jarum pun. Ketika gadis berjubah merah menyadari keadaannya yang telah pulih kembali, bukan ucapan terima kasih yang terlontar pertama kali dari mulutnya, melainkan sebuah pertanyaan yang bernada heran ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Mengapa aku masih hidup?" sambil pandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya, dadanya, lalu buru-buru menatap ke depan. Di sana seraut wajah tampan terpampang jelas karena jarak mereka hanya dua langkah. "Kau yang menyelamatkan aku dari 'Racun Jamur Setan' itu?!"

"Entahlah, Nona. Yang jelas aku hanya meminumkan tuakku ke mulutmu, dan kau menelannya, lalu kau sehat!" senyum menawan si murid sinting Gila Tuak itu mekar di akhir ucapannya.

Gadis Dungu pandangi Suto Sinting dengan curiga. Yang dipandang semakin cengar-cengir pamer ketampanan. Yang memandang akhirnya berdebar-debar karena kagum dan terpesona. Tapi ia masih berlagak menaruh curiga demi kewaspadaannya. "Baru sekarang ada murid si Dupa Dewa bersikap baik terhadapku. Apakah ini hanya sebuah jebakan agar aku tunduk padamu dan menyerah pada Perguruan Serikat Jagal?"

"Kau bicara apa, Nona?" sambil dahi Suto Sinting dikerutkan.

"Kau murid si Dupa Dewa, bukan?"

"Aku murid si Gila Tuak."

Mata si gadis berkalung gendang itu terkesiap. Selama dua helaan napas tak bicara, pandangan matanya semakin tajam menatap wajah Suto Sinting, kemudian memandangi seluruh tubuh Suto Sinting penuh selidik. Akhirnya setelah menatap hingga mengelilingi tubuh Suto Sinting, Gadis Dungu berlagak sinis dengan cibiran bibirnya yang menggemaskan.

"Kuakui kau cukup berani mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak. Tapi perlu ku ingatkan padamu agar jangan mengaku-aku begitu lagi di depan orang lain. Kalau sampai pengakuanmu itu didengar oleh Pendekar Mabuk yang menjadi murid si Gila Tuak sebenarnya, kepalamu bisa ditumbuk sampai sehalus tepung! Pendekar Mabuk akan marah besar jika ada orang yang mengaku-aku sebagai murid si Gila Tuak. Sebab menurut cerita guruku sendiri, si Gila Tuak hanya punya satu murid, yaitu bocah tanpa pusar yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk."

"Aku inilah si bocah tanpa pusar! Aku yang bernama Suto Sinting dengan gelarku Pendekar Mabuk!"

"Hmmm...!" Gadis Dungu mencibir semakin tak percaya. Senyumannya sangat sinis dan tak enak dirasakan dalam hati. Ia berkata dengan tegas-tegas, "Dengar, yang namanya Pendekar Mabuk wajahnya sangat ganteng, tampan, menawan hati, tidak sekumal kau! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan pengakuan palsumu itu!"

"Aku berani sumpah disambar seribu ekor beruk, akulah yang bernama Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak!" Suto pun mulai ngotot dan agak jengkel terhadap gadis cantik bermata bening indah itu.

Tapi si gadis tetap saja pada pendiriannya dan tidak mau percayai pengakuan Pendekar Mabuk. "Tak ada gunanya kau bersikeras mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk. Jujur saja, kau tidak punya ketampanan seperti yang dimiliki Pendekar Mabuk."

Suto Sinting menggerutu dalam hati, "Barangkali mata gadis ini terbuat dari beling! Masa' dia tidak mengakui ketampananku?! Seumur hidup selama menjadi Pendekar Mabuk dan selama dilahirkan tanpa pusar, baru sekarang kudengar ada gadis yang tidak mengakui ketampananku. Jangan-jangan otaknya agak miring?! Gawat kalau begitu, percuma aku ngotot di depannya kalau otak gadis ini miring kekiri."

Gadis Dungu menambahkan kata, "Katakan kepada Dupa Dewa, penyamaranmu tak bisa membuatku terpedaya! Lebih baik Dupa Dewa sendiri yang berhadapan denganku secara ksatria, jangan menyerang dari belakang. Itu perbuatan seorang pengecut!"

"Aku tidak kenal siapa itu Dupa Dewa."

"Ah, masih juga berlagak bodoh kau ini! Kurasa kau sudah tahu betul, bahwa Dupa Dewa adalah orang yang menyerangku dari belakang dengan jurus 'Racun Jamur Setan' tadi. Kurasa kau tahu, Dupa Dewa adalah si tua licik berjubah hijau tadi!"

"Aku baru tahu kalau orang berambut putih panjang berjubah hijau itu bernama Dupa Dewa. Kusangka namanya Parmin atau Soleh, atau yang lainnya...!" Suto Sinting sunggingkan senyum canggung karena dongkol dianggap murid Dupa Dewa.

Gadis Dungu tetap mencibir tak mau percaya dengan pengakuan Suto Sinting. Akhirnya ia sendiri merasa jenuh dan berkata, "Terserah kau mau mengaku sebagai Pendekar Mabuk atau Pendekar Teler, yang jelas aku ingin tahu apa maksudmu menyelamatkan nyawaku dari 'Racun Jamur Setan'-nya si Dupa Dewa itu?! Apakah kau punya maksud yang sama dengan kedua temanmu itu; Togayo dan Gayong?!"

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam menahan kejengkelannya. Ia tak mau dengar lagi kata-kata tersebut. Kini ia yang ganti bertanya kepada si Gadis Dungu. "Kalau aku menolongmu dari luka parah tadi, berarti aku ingin menanyakan siapa namamu? Kalau sudah ku tahu namamu, kau boleh terluka dan sekarat seperti tadi."

Mata bulat bening berbulu lentik itu alihkan pandang dengan sikap angkuh. Bibir mungil menggemaskan masih mencibir sinis seraya berucap kata dengan nada ketus, "Pura-pura tidak tahu! Bukankah kau sudah mengenal namaku sebagai Gadis Dungu?! Kurasa semua murid Perguruan Serikat Jagal mengenal nama Gadis Dungu sebagai namaku! Tak usah berlagak bodoh kau, nanti kalau ada setan lewat kau benar-benar bodoh melebihi seekor kerbau!"

"Aku bukan murid Perguruan Serikat Jagal!" sentak Suto Sinting dengan menggeram dongkol.

"Kalau begitu kau seorang pengkhianat yang sudah murtad dari ajaran gurumu; si Dupa Dewa itu?!"

"Terserah! Anggap saja begitu!" jawab Suto Sinting dengan ketus pula, wajahnya menjadi keruh karena bersungut-sungut.

"Lalu, siapa namamu?!" tanya si gadis dengan acuh tak acuh setelah keduanya sama-sama diam dua helaan napas.

"Namaku... namaku ya itu tadi; Suto Sinting!"

"Ah, jawab yang benar!" sambil tangannya mengipas di depan hidung, lalu ia bersidekap dengan gendang digeser ke pinggul.

"Aku sudah menjawab dengan benardan jujur! Namaku memang Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"

Gadis itu melirikkan matanya dengan angkuh. Ia geleng-geleng kepala tanpa suara. Suto Sinting mendesah kian dongkol, akhirnya meneguk tuaknya untuk menenangkan kedongkolan hati.

"Kurasa namamu tak jauh dari Togayo atau Gayong. Hmm... kurasa namamu: Dogol!"

"Otakmu itu yang dogol!" sentak Suto Sinting dalam geram.

"Ah, mengaku sajalah. Kau bernama si Dogol, bukan?!"

"Masa bodoh!" geram Suto Sinting sambil hembuskan napas membuang kekesalan hatinya. Ia berpaling tak mau pandangi Gadis Dungu. Pandangan matanya dilemparkan ke semak belukar di bawah pohon besar yang telah gundul karena daun-daunnya te- lah dipangkas oleh bunyi gesekan golok Togayo dan Gayong tadi.

Di celah-celah sisa ilalang yang belum terpangkas oleh jurus 'Petir Menangis' tadi, Suto Sinting menangkap adanya kilatan cahaya putih. Cahaya itu adalah pantulan sinar matahari yang kenai sebuah logam. Langsung dalam hati Pendekar Mabuk berkata,

"Ada seseorang yang mengintai di sana! Siapa yang ia incar?! Aku atau si Gadis Dungu itu?!"

Maka Suto Sinting pun segera dekati Gadis Dungu yang sedang membersihkan pakaiannya dari debu dan tanah. "Apakah kau punya musuh lagi selain orang-orang Perguruan Serikat Jagal itu?!"

"Untuk apa menanyakan musuhku? Mau mendaftar jadi musuhku juga?!" ujarnya dengan tengil, bikin hati Suto jadi kesal lagi.

Tapi dengan tarik napas kembali, Suto Sinting berusaha untuk sabarkan diri. Ia berkata dengan pelan. "Ada orang yang mengintaimu dari balik semak."

"Kau ini berlagak jadi dukun juga rupanya."

"Pandanglah ke arah barat. Perhatikan semak-semak di bawah pohon besar yang telah gundul tanpa daun dan ranting itu," bisik Suto Sinting.

Tapi si gadis justru pandangi wajah Suto Sinting dengan sikap tak peduli bisikan tersebut. "Kau ingin menipuku lagi? Kau ingin menjebakku supaya aku berpaling ke barat lalu kau akan menciumku secara tiba-tiba?! Hmmm...! Aku bukan anak kemarin sore yang mudah kau jebak dengan rayuan gombal kumalmu, Dogol!"

"Aku bicara dengan sungguh-sungguh, Gadis Dungu! Ada yang mengintai kita dari balik semak itu!" bisikan Suto Sinting agak ditekan dengan suara berat sebagai tanda kejengkelan hatinya.

Gadis Dungu justru sunggingkan senyum sinis dan berkata ketus tanpa mau berpaling ke arah yang dimaksud Suto Sinting. "Tipu daya seperti itu tak akan berlaku bagi diriku. Aku sudah kebal tipu muslihat seorang lelaki macam kau, Dogol!"

"Dasar dungu!" geram Suto Sinting, kemudian serta-merta jarinya menyentil ke arah semak belukar tersebut. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan, tenaga dalam berkekuatan seekor kuda meluncur dari sentilan jari tersebut. Tees...!

Guzrraaak...!

"Uuhg...!" terdengar suara orang memekik tertahan. Disusul sekelebat bayangan terlempar keluar dari balik semak. Tubuh itu melayang tinggi, bersama rusaknya tanaman semak belukar yang mirip diterjang badai itu.

Wuuss...! Jleeg...!

Untung orang yang terpekik dengan suara tertahan itu mampu kendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia mampu segera bersalto satu kali, dan mendaratkan kakinya tepat di depan si Gadis Dungu dalam jarak lima langkah.

"Paman Comblang...?!" ucap Gadis Dungu bernada kaget sambil matanya pandangi orang yang berwajah pucat karena perutnya terkena tenaga dalam yang dilepas Suto Sinting tadi.

"Kau kenal dengan orang itu rupanya," ujar Pendekar Mabuk sambil masih pandangi lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh agak pendek, sedikit gemuk, tanpa kumis, dan jenggot. Pakaiannya abu-abu dengan rambut pendek tanpa ikat kepala. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang hitam dengan bentuk kepala ayam jantan.

"Dia pelayan guruku. Comblang Sajak nama panggilannya," jawab si gadis dengan suara masih kurang ramah.

Orang berkulit gelap itu menghirup napas, menahan rasa mual di perutnya, kemudian sambil masih pandangi Suto Sinting dengan sikap tak bersahabat, ia bicara kepada Gadis Dungu, "Siapa pemuda kurang ajar yang bersamamu itu, Indayani?!"

"Dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut si Dupa Dewa, Paman. Entah apa maksudnya bersikap begitu, mungkin ingin kupuji atau ingin tunjukkan ilmunya yang cetek itu padaku. Yang jelas, para murid Perguruan Serikat Jagal akan benci jika melihat si Dogol ini, sebab ia murid murtadnya Dupa Dewa!"

"Murid murtad berani nekat. Dia bikin jiwaku hampir sekarat karena serangannya yang tiba-tiba melesat! Aku perlu membalasnya supaya ia tidak kualat dan menjadi orang sesat!" Comblang Sajak mulai kerahkan tenaga dengan mengangkat kedua tangannya. Tetapi Gadis Dungu segera mencegah dengan satu tangan terangkat ke depan.

"Tak perlu, Paman. Dia bukan orang tandingan kita. Paman Comblang Sajak hanya akan buang-buang tenaga jika melawan si Dogol. Ada baiknya kita bicara saja, apa perlunya Paman sembunyi di balik semak tadi?"

Comblang Sajak hembuskan napas dan kendorkan urat-uratnya. Ia tak berani melanggar larangan si Gadis Dungu. Namun di belakang si Gadis Dungu, wajah Suto Sinting tampak bergumpal-gumpal memendam kedongkolan karena masih dianggap murid murtadnya si Dupa Dewa. Rasa ingin menyanggah keterangan tadi segera dibuang, karena Suto merasa hal itu akan sia-sia belaka.

Namun pandangan mata Suto Sinting masih belum lepas dari wajah Comblang Sajak yang rupanya jika bicara selalu menggunakan kalimat bersajak. Kalung bertali hitam dengan bandul logam putih berbentuk kelopak bunga yang dikenakannya itu masih me-lmantulkan cahaya matahari. Rupanya bandul kalung yang terbuat dari logam putih runcing-runcing sebesar potongan ketimun itulah yang tadi tampak berkilauan dari tempat persembunyiannya. Agaknya bandul itu bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu karena keruncingannya tampak tajam dan membahayakan lawan jika dilemparkan dengan kecepatan tinggi.

"Indayani," ucap Comblang Sajak menyebut nama asli si Gadis Dungu. Diam-diam nama itu dicatat dalam ingatan Pendekar Mabuk. Lanjut Combang Sajak, "Aku sengaja mengintai dari sela-sela tangkai, karena kudengar kau berdebat mengurai kata dengan pemuda santai. Jika kau bentrok badai dengannya dan kau terdesak tak mampu menggapai, aku akan langsung datang membantai. Tapi ternyata dia lebih dulu membuatku terbang melambai-lambai."

"Mirip bangkai...," timpal Suto dengan geli.

"Diam kau, Anak Kerbau!" sentak Comblang Sajak.

Gadis Dungu tak hiraukan ketegangan Comblang Sajak. Ia ajukan tanya kembali dengan sikap angkuhnya. "Lalu, apa maksud Paman menyusulku kemari? Siapa yang izinkan Paman pergi dari padepokan?"

Comblang Sajak tampakkan wajah murungnya. Ia maju tiga langkah hingga jaraknya lebih dekat lagi dengan Gadis Dungu dan Suto Sinting yang masih berada di belakang si gadis kira-kira dua tindak jauhnya.

"Berita duka kubawa kemana raga berkelana. Aku sengaja mencarimu ke ujung dunia untuk sampaikan berita duka penuh lara," tutur Comblang Sajak dengan kata berirama.

"Berita duka apa, Paman?! Cepat katakan!"

"Nyai Guru Serat Biru terluka Racun Batu Bisu..."

"Hahh...?!" Gadis Dungu terkejut seketika. Wajah cantiknya berubah menjadi tegang, kemudian maju selangkah dengan penasaran sekali. Ia mengguncang pundak Comblang Sajak dengan pertanyaan bernada menyentak. "Apakah Guru diserang oleh Peri Kedung Hantu?!"

"Benar, Indayani! Peri Kedung Hantu datang kepadepokan dan menyerang kami tanpa permisi. Sasaran utamanya adalah membunuh Nyai Guru pelayan pribadi. Waktu itu aku sempat diperintahkan lari, tapi Bibi Sandami; yang ku calonkan sebagai istri, terpaksa mati tanpa jampi-jampi."

"Keparat betul si Peri Kedung Hantu itu!" geram Gadis Dungu dengan mata mengecil memancarkan dendam kesumat dalam hatinya.

"Nyai Guru masih mampu bertahan dengan napas perlahan-lahan. Tapi tubuhnya tak mampu digerakkan, dan mulutnya bisu tanpa ucapan. Keadaannya sangat kasihan."

"Apakah kau tak pergi hubungi Tabib Awan Putih, Paman?!"

"Tabib sudah coba tolong Guru, tapi akhirnya mengaku tak bisa lawan Racun Batu Bisu. Menurut Tabib racun itu hanya bisa dilumpuhkan dengan madu dari Bunga Salju. Bunga itu hanya ada di puncak Gunung Himalayu."

"Himalaya!" tak sadar Suto ikut membenarkan ucapan itu.

"Iya, Gunung Himalaya maksud saya. Tapi gunung itu jauh dari pandangan kita. Perjalanannya pun sangat berbahaya."

Gadis Dungu tampak gusar sekali. Tangannya bergerak-gerak menggenggam bagai meremas-remas kebencian yang ada. Suto Sinting mencoba bicara dengan sikap tenang.

"Bagaimana jika ku coba untuk mengobati gurumu?"

"Ah, kau...! Aku sedang berduka kau malah mengajakku bercanda! Aku tidak tertarik dengan candamu!" gertak Gadis Dungu membuat Suto Sinting dongkol kembali. Ia hanya menghembuskan napas sebagai penahan kedongkolannya.

"Tabib bilang," kata Comblang Sajak, "Ada orang yang punya Madu Bunga Salju. Bunganya tak ada tapi ia simpan madunya. Tabib bilang, ada dua orang yang simpan madu tersayang; Peri Kedung Hantu dan Putri Kunang."

Suto Sinting terperanjat. "Aku kenal dengan Putri Kunang. Ia tinggal di Pulau Dadap dan berkuasa di sana! Aku bisa memintakan madu itu jika kau setuju."

"Putri Kunang?! Hmmm...! Kau pikir hanya kau yang kenal dia? Aku pun kenal dengan si Putri Kunang itu!" kata Gadis Dungu. "Aku pun tahu bahwa ia menjadi Ratu di Pulau Dadap!"

"Syukurlah kalau begitu," gumam Suto agak gondok hatinya, lalu terbayang ingatannya kepada seraut wajah cantik milik si Putri Kunang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi).

"Paman, mana yang lebih baik menurutmu: memaksa Peri Kedung Hantu untuk serahkan madu Bunga Salju atau pergi ke Pulau Dadap untuk temui Putri Kunang?"

"Kita tak akan unggul lawan Peri Kedung Hantu. Ada baiknya pergi ke Pulau Dadap minta bantuan Putri Kunang sahabatmu itu."

"Baik, kalau begitu, tolong cari tahu di mana letak Pulau Dadap itu, Paman!"

"Baik. Aku akan tanya pada orang yang tahu letaknya."

Suto Sinting bersungut-sungut dongkol, "Uuh... keduanya sama-sama dungu! Mau dibantu malah berlagak sok tahu!"

* * *

TIGA

KEDUA orang itu akhirnya ditinggalkan oleh Pendekar Mabuk. Ia merasa sia-sia menyediakan diri membantu Gadis Dungu yang tidak pernah mau mempercayai kata-katanya. Namun anehnya, baru beberapa saat Suto Sinting tinggalkan gadis itu dengan pelayan gurunya, tiba-tiba langkahnya terpotong oleh mereka juga yang datang secara beruntun. Gadis Dungu sengaja berdiri di depan langkah Suto Sinting, lalu Comblang Sajak menyusulnya dari belakang. Suto Sinting pandangi Gadis Dungu dengan dahi berkerut tipis.

Suto Sinting sengaja diam dan tak mendahului bicara selain hanya menatap dengan kalem. Gadis Dungu dekati Suto, lalu menyapa dengan suaranya yang masih bernada ketus dan berlagak angkuh, sehingga kecantikannya kian menggemaskan.

"Kudengar tadi kau bicara tentang Pulau Dadap, Dogol! Benarkah kau tahu ke mana arah yang harus kutuju untuk sampai ke Pulau Dadap?!"

"Dasar dungu!" gerutu hati Suto, namun mulutnya lontarkan kata bernada menyindir jengkel. "Bukankah kau juga tahu jalan menuju Pulau Dadap? Kau bukan anak kemarin sore, Gadis Dungu, pasti kau tahu arah ke sana."

"Daya ingatku agak berkurang sejak terkena jurus 'Racun Jamur Setan' tadi. Aku lupa arah menuju ke Pulau Dadap itu."

Pendekar Mabuk tersenyum kecil, sengaja dibuat sinis untuk membalas sikap si gadis tadi. "Aku tidak tahu arah ke sana. Aku sendiri menjadi lupa sejak kau merasa tahu tentang Pulau Dadap. Sebaiknya suruh pelayan gurumu itu untuk mencari orang yang tahu arah ke Pulau Dadap."

"Paman Comblang Sajak sudah mencarinya ke mana-mana, namun ia tidak menemukan orang yang tahu arah ke Pulau Dadap," ujar Gadis Dungu terang-terangan membual. Tak mungkin Comblang Sajak sudah mencari ke mana-mana, sebab perpisahannya dengan Suto Sinting belum ada seratus helaan napas.

Karenanya Suto Sinting tertawa geli tanpa suara sambil geleng-geleng kepala, merasa kagum dengan keangkuhan dan kebodohan si Gadis Dungu itu. "Kalau kau membual sebaiknya yang masuk akal, jadi bualanmu tidak akan diketahui orang."

"Aku tidak membual! Aku benar-benar mau menuju ke Pulau Dadap," kata Gadis Dungu, berlagak tak jelas maksud ucapan Suto Sinting.

Kini si pelayan Nyai Serat Biru angkat bicara juga kepada Pendekar Mabuk. "Kami hanya ingin menguji kau punya janji. Jika kau pemuda terpuji, kau pasti tak akan menolak untuk tepati janji tanpa sesaji barang sebiji."

Suto Sinting akhirnya tarik napas dalam-dalam, berusaha memaklumi sikap mereka dan tidak mempermasalahkan. "Capailah pantai utara lebih dulu, kemudian...," ucapan itu terhenti seketika karena Comblang Sajak berseru dengan suara tertahan berat,

"Aaahhg...! Heeegh...!"

Gadis Dungu yang ada di depan Comblang Sajak cepat palingkan kepala ke belakang. Mata gadis itu terbelalak kaget, raut wajahnya pun berubah menjadi tegang. Perubahan itu dialami pula oleh Pendekar Mabuk yang mulutnya ternganga tak bergerak. Mata mereka berkedip, kesadaran mereka mulai menggerakkan seluruh anggota badan setelah Comblang Sajak tumbang ke depan dengan tak bernyawa lagi.

Brrruk...!

"Pamaaann...!" pekik Gadis Dungu segera memburu ke tubuh yang tumbang ke depan dan sekarang dalam keadaan telungkup di tanah itu. Dalam keadaan seperti itulah, maka Gadis Dungu dan Suto Sinting menjadi tahu bahwa Comblang Sajak telah diserang dari belakang dengan pisau kecil bergagang pendek sekali dengan hiasan rumbai-rumbai benang ungu. Pisau itu berukuran setengah jengkal dan menancap telak di punggung Comblang Sajak hingga gagang pisaunya hampir terbenam. Di punggung itu terdapat tiga pisau yang menancap, salah satu pisau tepat kenai tengkuk kepala Comblang Sajak.

Baru saja Suto Sinting ingin membungkuk mendekati mayat Comblang Sajak, tiba-tiba ekor matanya melihat beberapa kelebat benda melesat ke arah Gadis Dungu. Gerakan benda itu sangat cepat, sampai-sampai tak ada waktu lagi bagi Suto Sinting untuk berteriak memperingatkan Gadis Dungu. Tindakan yang lebih tepat bagi Suto Sinting adalah menyambar bumbung tuaknya dari punggung lalu menghadangkan bambu bumbung tuak itu ke depan leher si Gadis Dungu.

Wuuut...! Traaang...! Slaaap...!

Pisau itu menghantam bumbung tuak, gerakannya menjadi berbalik arah dengan lebih cepat dari gerakan semula. Wuuus...! Pisau itu menembus masuk ke semak belukar. Sraak...! Kejap berikut terdengar suara orang berseru tertahan.

"Uugh...!!"

"Apa yang kau lakukan padaku?! Mau menghantamku dengan bambumu itu, hah?!" sentak Gadis Dungu kepada Suto Sinting dengan wajah berang.

Yang dibentak hanya menggeram dalam hati penuh kejengkelan, hidungnya menyentakkan dengusan napas yang untung tak sampai menghadirkan kekuatan jurus 'Napas Tuak Setan' yang menjadi jurus sangat berbahaya dan jarang digunakan oleh si murid sinting Gila Tuak itu.

"Kau selalu mencurigai aku dengan hal-hal yang buruk, Indayani! Kau sangka aku ini...," kata- kata itu terhenti kembali.

Tiga mata pisau bergerak bagaikan cahaya putih dari tiga arah. Sasarannya adalah tubuh Gadis Dungu. Rupanya penyerang tersebut bukan hanya satu orang, melainkan lebih dari satu. Sedikitnya tiga orang ada di balik semak mengintai nyawa Gadis Dungu dan Suto Sinting. Melihat tiga cahaya mengkerilap datang dari tiga arah, maka tangan Suto Sinting segera menyambar lengan Gadis Dungu. Tangan itu disentakkan, sehingga tubuh Gadis Dungu bagaikan jatuh dalam pelukan Pendekar Mabuk.

Wuuut...! Pluuk...!

"Aih, kurang ajar!"

Plak...! Pipi kanan Suto Sinting ditampar keras oleh Gadis Dungu, karena gadis itu menganggap sedang ingin diperkosa oleh Suto Sinting. Karuan saja tamparan itu membuat Suto Sinting menjadi tersentak seketika dan menggeragap sesaat. Sedangkan tiga pisau dari tiga arah itu saling melesat menemukan tempat kosong. Sasaran ketiganya adalah pohon yang ada searah dengan kecepatan geraknya. Jrrrub...! Ketiganya sama-sama menancap ke batang pohon tanpa ada perbedaan waktu sedikit pun. Hal itu menimbulkan dugaan, bahwa penyerang itu dilakukan oleh tiga orang dengan isyarat tertentu untuk mencapai kesamaan gerak terbang pisau-pisau berbenang ungu itu.

"Lepaskan aku, jangan jamah tubuhku, Setan!" bentak Gadis Dungu sambil meronta dari pelukan Suto Sinting walau gerakan merontanya itu cukup lemah, bagai malas-malasan lepas dari pelukan sang pemuda berbadan kekar dan tegap itu. "Lepaskan, Dogol! Kalau kesabaranku hilang, kuhancurkan wajahmu dengan kuku-kuku jariku ini!" sambil menunjukkan kelima jari tangan kirinya yang berkuku tajam.

Tiba-tiba dari berbagai penjuru muncul pisau- pisau kecil yang melesat serempak ke arah mereka. Wut, wut, wut, wut, wut...!

Weeesss...! Pendekar Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus ke atas sambil tetap memeluk Gadis Dungu. Dalam sekejap saja mereka sudah berada di atas sebuah pohon berdaun rimbun. Si Gadis Dungu terperanjat kaget mengetahui keadaannya sudah berada di atas pohon yang cukup tinggi. Saat ia dibawa terbang lurus ke atas oleh Suto Sinting, ia tidak merasakan gerakan itu, karena ia masih terkesiap oleh datangnya pisau-pisau kecil dari berbagai penjuru itu. Maka ketika ia sadar dirinya sudah berada di atas pohon dalam dekapan Suto Sinting, mulutnya tak bisa terkatup untuk sesaat, lidahnya menjadi kelu tak mampu berucap kata, bahkan menelan ludah pun terasa sulit.

Craaang...!

Pisau-pisau yang jumlahnya sekitar sepuluh bilah itu saling beradu pada satu titik, yaitu titik di mana tadi Suto Sinting dan Gadis Dungu berdiri dalam satu dekapan. Mata si Gadis Dungu sempat melihat perpaduan pisau-pisau kecil itu dari atas pohon. Berarti gerakan tubuh Suto Sinting melesat ke atas pohon lebih cepat daripada gerakan pisau-pisau terbang ke titik sasaran.

Seharusnya si gadis berkalung gendang kecil itu dapat menyimpulkan, bahwa gerakan itu adalah gerakan peringan tubuh yang sangat tinggi dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang berilmu lebih tinggi darinya. Tetapi nyatanya Gadis Dungu justru menyentak kepada Suto Sinting dengan mata membelalak berang dan sikap menjengkelkan.

"Lepaskan pelukanmu! Gara-gara ulahmu aku jadi tak mampu menangkis pisau-pisau itu! Dasar pemuda hidung belang!"

"Bukannya terima kasih, malah ngomel?!" gerutu Suto Sinting dalam hatinya. Maka ia pun melepaskan pelukannya dengan mendengus kesal menahan kejengkelan.

Gadis Dungu turun dengan memamerkan kehebatannya dalam bersalto di udara. Wuuut, wuuut...! Jleeg! Kakinya mendarat ke tanah dengan tegap dan sigap. Kuda-kudanya langsung terpasang penuh kesiagaan menghadapi serangan lawan. Dengan wajah penuh kemarahan ia berseru lontarkan tantangan kepada lawannya.

"Keluar kalian dari persembunyian! Jangan menjadi pengecut bernyali belut! Jika mau tawuran, majulah bersama! Aku tak akan gentar hadapi tikus-tikus licik macam kalian! Keluaaarr...!"

Tak ada yang muncul satu pun dari balik semak dan pepohonan. Suto Sinting memperhatikan dari atas pohon dengan geleng-geleng kepala. Hatinya pun membatin kagum, "Keberaniannya patut mendapat acungan jempol. Tapi kebodohannya sungguh luar biasa! Ia tak sadar kesombongannya itu dapat mencelakakan jiwanya setiap saat. Gadis itu benar-benar punya otak yang sangat berbahaya bagi keselamatannya sendiri! Hmmm... baru sekarang kutemukan gadis sedungu dia!"

Karena tak ada yang muncul dari persembunyian, Gadis Dungu yang sudah dibakar dendam karena kematian pelayan gurunya itu segera menabuh gendangnya dengan dua tangan. Dung, dung, plak Dung, dung, plang. Plak, dung, plak, dung, blang, plak, dung, dung....

Suara gendang bertalu membuat semak-semak makin lama semakin tampak bergerak-gerak. Lalu, dari dalam semak belukar itu muncul sosok manusia yang menari-nari dengan wajah penuh ceria mengikuti irama gendang. Mereka muncul dari berbagai arah sambil bertandak bergoyang pinggul berlenggak- lenggok. Jumlah mereka ternyata lebih dari sepuluh orang. Hal itu membuat Suto Sinting terkejut dan terbengong.

"Rupanya aku dan dia telah terkepung sejak tadi?! Dan oh, siapa mereka itu?! Manusia dari mana mereka?!"

Hal yang membuat Suto Sinting semakin tambah terheran-heran adalah sosok para pengepung yang kini sedang berjoget seiring irama gendang bertalu itu. Mereka adalah orang-orang kerdil berkulit hitam dan berkilauan. Sepertinya kulit mereka dibalur minyak sekujur tubuh. Mereka hanya mengenakan cawat dari kulit binatang tanpa baju atau pakaian lain. Di pinggang mereka mengenakan sabuk yang penuh dengan pisau kecil. Mereka adalah para lelaki kerdil yang mempunyai bentuk wajah beraneka ragam; ada yang lonjong, ada yang bulat, ada yang mungil, ada pula yang pletat-pletot dengan tulang rahang tak seimbang besarnya. Rata-rata berambut pendek dan ikal.

Sungguh lucu memandangi mereka saling berjoget dengan teriakan-teriakan kegirangan, bagaikan menikmati pesta yang penuh sukacita. Gadis Dungu sendiri sempat terkesima memandangi mereka dengan tangan masih tetap menabuh gendang. Tetapi agaknya ada satu orang yang berilmu tinggi. Orang kerdil yang berilmu tinggi itu berambut panjang, tapi bagian depannya botak. Tampak sudah tua, terbukti rambutnya sudah beruban tak rata, ia tidak terpengaruh oleh suara gendang, sehingga tidak ikut-ikutan berjoget. Orang itulah yang segera melemparkan pisau terbangnya ke arah punggung Gadis Dungu.

Wuuuss...! Tepat pada saat itu tubuh Gadis Dungu berpaling ke arahnya. Pisau itu langsung menancap di dada, bawah pundak kiri si Gadis Dungu. Jrrrub...!

"Aaagh...!" Gadis Dungu terpekik. Tubuhnya mengejang sesaat, lalu meliuk jatuh berlutut. Tangannya tak mampu menabuh gendang lagi. Nafasnya pun tampak memberat. Ia mulai kesulitan bernapas. Itu pertanda ia terkena racun ganas yang ada pada pisau berekor benang rumbai ungu.

"Serang dia! Hancurkan!" perintah si rambut panjang kepada para manusia kerdil yang sudah berhenti berjoget.

"Celaka!" geram Suto Sinting dengan tegang melihat mata Gadis Dungu mulai sayu pertanda tak mampu bertahan lagi. Orang-orang kerdil pun segera menyerangnya dari berbagai arah. Pada saat itulah Suto Sinting tak banyak berpikir lagi, segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak melebihi kecepatan anak panah, menyamai kecepatan hembusan angin badai.

Zlaaap...! Weees...!

Gadis Dungu disambar dan dilarikan oleh Pendekar Mabuk, sehingga para manusia kerdil itu menyerang tempat kosong. Akibatnya mereka saling bertabrakan dalam satu titik. Brrrus...!

"Aaauuh...! Uuuhg...! Heegh...! Waadoww...!" mereka saling pekik kesakitan. Salah seorang ada yang berseru bernada tegang dan penuh keheranan.

"Hilang! Gadis itu hilang lenyap begitu saja!"

"Cari! Gali tanah itu, siapa tahu dia menenggelamkan diri ke dalam tanah itu! Lekas cariii...!" teriak si rambut panjang yang agaknya sebagai ketua para orang kerdil itu.

Maka mereka pun segera menggali tanah tempat Gadis Dungu berlutut tadi. Mereka menggali dengan cakar tangannya yang bergerak cepat berkesan liar dan ganas. Mereka tidak melihat gerakan Suto Sinting menyambar gadis itu karena kecepatan gerak si Pendekar Mabuk memang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun bagi orang berilmu tinggi yang telah kuasai indera keenamnya, ia mampu melihat gerakan dari jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk itu. Kecepatan gerak seperti itu hanya dimiliki oleh beberapa tokoh sakti, termasuk guru si Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh ini namanya masih berada di urutan teratas dari daftar orang-orang sakti di rimba persilatan.

Tak heran jika Suto Sinting mampu kuasai jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam waktu singkat ia sudah berada di suatu tempat yang jauh dari kerumunan orang-orang kerdil itu. Di bawah tebing berongga menyerupai goa, Suto Sinting meletakkan Gadis Dungu dalam keadaan duduk bersandar pada salah satu dinding goa tersebut. Suara debur ombak terdengar dari tempat mereka berada, karena goa itu memang terletak di tepi pantai yang penuh dengan gugusan batu karang di bagian depannya. Tempat itu amat sunyi, sehingga Suto Sinting merasa aman membawa si Gadis Dungu ke tempat tersebut.

Wajah si gadis tampak memucat bagaikan wajah mayat dalam liang kubur. Ia masih berusaha bertahan dengan napas yang sangat berat. Sesekali mulutnya keluarkan desis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Racun pada pisau yang masih menancap di dada kirinya itu membuat bagian dalam tubuh Gadis Dungu bagaikan dihujam jutaan jarum panas. Dari ubun-ubun kepala sampai ujung kaki terasa sakit dan perih sekali. Detak jantungnya pun terasa semakin melemah, ketegangan urat-uratnya mulai terasa mengendur. Gadis Dungu tak mampu lagi gerakkan anggota tubuhnya kecuali bibir dan lidah. Ia masih mampu keluarkan suara walau amat pelan.

Matanya yang mengecil sayu berusaha pandangi Suto Sinting yang duduk di atas batu karang datar di depannya. Pemuda tampan itu tampak tenang, bahkan sempat menenggak tuaknya beberapa teguk. Ia bersikap acuh tak acuh melihat keadaan si gadis yang amat menderita itu. Sikap tersebut sengaja dilakukan dengan paksa, walau hati Suto sebenarnya tak tega melihat penderitaan si Gadis Dungu.

"Dogol...," ucap si gadis dengan lirih, menyedihkan sekali kedengarannya. Tapi Suto Sinting memaksakan hatinya untuk tabah. Seolah-olah ia tak berbelas kasihan sedikit pun kepada gadis itu. Sang gadis memandang dengan penuh harap pertolongan.

"To... tolonglah aku, Dogol...! Saa... sakit sekali sekujur tubuhku. Tolong... tolong cabutkan pisau ini, Dogol."

"Cabut saja sendiri," ujar Suto Sinting sambil bangkit dan melangkah ke tepi goa, memandang ombak di sela-sela tonjolan batu karang.

Si gadis merintih pelan, kepalanya berusaha berpaling dengan susah payah sekali. Wajahnya dihadapkan kepada Suto Sinting, memandang dengan sangat menyedihkan hati. "Dogol... tolonglah aku. Ak... aku tak kuat lagi menahan racun pada pisau ini. Tooo... long aku, Dogol!"

Dengan tanpa memandang si gadis, Suto Sinting berkata agak keras supaya didengar lawan bicaranya. "Namaku bukan Dogol! Aku adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak!"

"Terserah...," ucap si gadis semakin lirih. "Kau boleh mengaku murid siapa saja, tapi... tolonglah aku, selamatkan jiwaku, Dogol! Usahakan agar aku jangan sampai mati di sini."

"Maunya mati di mana?" sambil Suto Sinting berpaling memandang dengan keharuan tersimpan dalam hatinya.

Gadis itu semakin meredupkan mata. Bibirnya yang ranum bergerak samar-samar, suaranya pun terdengar kecil sekali. "Aku... tak mau mati.... Aku belum kawin, Dogol. Selamatkan nyawaku ini.... Nyawaku hanya... satu..."

"Hmm...!" Suto Sinting tertawa pendek. Hatinya masih dongkol juga karena si gadis tetap saja tak mau memanggilnya sebagai Suto Sinting. Padahal sikap acuh tak acuhnya itu diharapkan dapat meluluhkan hati si gadis dan mengakui bahwa pemuda yang bersamanya itu adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang menjadi murid si Gila Tuak. Namun ternyata gadis itu tetap keras kepala walau dalam keadaan semenderita itu.

"Sembuhkan sendiri lukamu dengan keangkuhanmu, Indayani!" sambil Suto Sinting buang muka kembali, memandang ke arah ombak laut yang meriak di pantai. Suasana pun menjadi sepi, karena Gadis Dungu tak perdengarkan suara lagi. Suto Sinting curiga, lalu berpaling menatap ke arah si gadis.

Indayani pejamkan mata dengan tenang. Seringai penahan rasa sakit tak terlihat di wajah cantiknya. Gadis itu diam tanpa gerakan apa pun. Bahkan gerakan dada montoknya yang menarik napas tidak ada lagi. Suto Sinting menjadi tegang dan sangat cemas melihat keadaan seperti itu. Ia segera menghampiri dan memeriksa si gadis.

"Gawat! Tubuhnya telah menjadi sedingin balok es! Wah, kacau berat kalau begini! Dia mati...?!"

Suto Sinting mulai panik, hatinya diliputi rasa sesal dan cemas. Jantungnya sendiri menjadi berdebar-debar. Ia memeriksa denyut nadi si Gadis Dungu itu. "Masih ada denyut nadinya walau lemah sekali. Oh, mungkinkah masih bisa kuselamatkan?!"

Ia buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya sambil membatin, "Alangkah menyesalnya aku jika gadis ini sampai benar-benar mati. Aku tadi hanya main-main, tidak bermaksud membiarkannya menderita. Aku hanya ingin memberi pelajaran terhadap keangkuhannya itu. Tapi... tapi mengapa dia menjadi selemah ini? Jangan-jangan ia benar-benar mati sebelum aku berhasil meminumkan tuak ke mulutnya?! Adduuh... tumben sekali tutup bumbung tuakku ini sulit dibuka?! Ada apa dengan tutup ini?" Suto Sinting memeriksa bumbung sejenak.

"Ya, ampuuun... terbalik! Yang kubuka bagian bawah bumbung. Tentu saja tak akan bisa dibuka, karena bagian yang berlubang terjungkir ke bawah, dan... yaa, Dewaaa...! Tuaknya tumpah! Pantas sejak tadi kudengar suara mengucur, kusangka suara air laut, ternyata suara tuakku yang tumpah! Sial! Benar-benar sial ini namanya! Lalu bagaimana dengan nasib Gadis Dungu jika tanpa tuak dari bumbung sakti ini?!" Pendekar Mabuk menjadi bertambah panik. Gerakannya semakin menggeragap bagaikan serba salah.

* * *

EMPAT

RUPANYA si cantik yang angkuh itu ke mana-mana selalu diikuti oleh dewa keberuntungan. Keadaannya yang sekarat dapat dihindari walaupun melalui pertolongan orang lain. Suto Sinting berhasil selamatkan jiwa si Gadis Dungu dengan sisa tuak yang masih ada di bumbung. Tuak yang tersisa tinggal sedikit, mungkin tinggal dua puluh tegukan lagi, dan Suto meminumkan sebagian tuak yang tersisa ke mulut Gadis Dungu. Tak peduli dengan cara memasukkan tuak dari mulut Suto Sinting ke mulut si Gadis Dungu seperti orang berciuman mulut dengan mulut, yang penting tuak itu tertelan oleh si gadis, dan nyawa si gadis pun terselamatkan.

Seandainya gadis itu mengetahui bagaimana Suto Sinting menuangkan tuaknya hingga tertelan oleh si gadis, tentu gadis itu akan marah dan merasa tersinggung. Sebab sengaja ataupun tidak, bibir Suto Sinting menempel di bibir si gadis untuk meniupkan napas pendorong tuak agar masuk ke tenggorokan. Tapi sudah tentu hal itu tak akan diceritakan kepada si gadis. Suto Sinting hanya angkat bahu ketika gadis itu bertanya dengan nada ketus dan sikap mulai angkuh,

"Bagaimana caramu mengobati lukaku!"

"Entah. Aku lupa," jawab Suto membalas dengan keangkuhan.

Si gadis segera tidak peduli dengan bagaimana cara pengobatan yang dilakukan oleh Suto Sinting. Baginya ia merasa lega karena kesehatannya telah pulih, kekuatannya telah kembali seperti sediakala, bahkan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum terkena pisau beracun. Ia juga merasa lega karena luka di dada kirinya tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Dengan begitu keadaan kulit tubuhnya tetap mulus tanpa cacat seujung jarum pun.

Senja memancarkan cahaya merah di ufuk barat. Matahari yang nyaris tenggelam habis dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang duduk di atas sebuah batu karang datar. Ia sengaja membiarkan Gadis Dungu ada di dalam goa. Ia bingung memikirkan bagaimana harus bersikap terhadap Gadis Dungu yang angkuh itu. Senja yang sebentar lagi akan berganti petang ternyata menghadirkan deru angin agak kencang. Rambut Suto Sinting murid Gila Tuak meriap-riap disapu angin.

Deru angin itu membuat telinganya tak mendengar langkah kaki Gadis Dungu yang mendekatinya sambil tetap berkalung gendang kecil. Tahu-tahu gadis itu lewat di samping Suto, memandang ke arah cakrawala dengan rambutnya yang bergerai-gerai. Ia berhenti di bagian samping depan Suto Sinting dalam jarak dua langkah. Suaranya terdengar tanpa berpaling memandang wajah Pendekar Mabuk.

"Dua kali kau pamer kehebatanmu dengan menyelamatkan nyawaku. Sampai sekarang aku tak tahu apa maksudmu memamerkan ilmu perdukunanmu itu, Dogol. Apa yang kau harap dariku sebenarnya?"

"Tak ada yang bisa kuharap darimu," jawab Suto Sinting dengan pelan namun punya makna dalam bagi orang yang cerdas. Sayang sekali gadis itu agaknya benar-benar dungu, sehingga ia tidak merasa tersinggung dengan kata-kata yang bersifat merendahkan dirinya itu.

"Syukurlah jika kau tak mempunyai harapan apa-apa dariku. Sebab jika kau mempunyai suatu harapan dariku, kau akan kecewa besar, karena aku tak pernah memenuhi harapan seorang lelaki hidung belang seperti dirimu."

Selesai bicara begitu, ia berpaling menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan mata berkesan meremehkan sekali. Namun Suto Sinting berusaha untuk tidak mengambil hati sikap itu. Ia hanya tersenyum tipis, kemudian berkata dengan kalem.

"Seandainya aku tahu banyak tentang dirimu, aku dapat lebih banyak membantu kesulitanmu, Gadis Dungu."

Setelah membisu beberapa saat dengan tetap memandang tanpa kedip, gadis itu pun akhirnya ajukan tanya kepada Suto Sinting, "Apa yang ingin kau tahu dariku? Kau senang mengorek rahasia pribadi seseorang rupanya."

"Terserah penilaianmu, yang jelas kulihat kau terancam bahaya berulang kali. Berarti kau mempunyai banyak musuh. Biasanya orang yang punya banyak musuh, tindak tanduknya dalam bermasyarakat selalu bikin onar atau merugikan orang lain."

Gadis Dungu mendekatkan wajah dan menatap lebih nanap lagi. "Kurobek mulutmu jika sekali lagi mengatakan diriku sebagai gadis pembuat onar dalam masyarakat! Aku tersinggung dengan ucapanmu itu, Dogol!"

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis namun punya daya pesona yang cukup menggetarkan hati para wanita. Ancaman itu diremehkan, bahkan Suto Sinting berkata dengan sedikit ketus untuk membalas keangkuhan si gadis.

"Apakah kau mampu merobek mulut orang yang telah menyelamatkan nyawamu dua kali ini?"

"Jika hal itu perlu, tak ada pekerjaan yang tak mampu kulakukan! Kau pikir aku takut berhadapan denganmu? Hmmm... ilmumu belum seberapa, Dogol! Jangan merasa hebat di depanku."

Suto Sinting tertawa tanpa suara, tubuhnya bergerak-gerak dengan senyum kian melebar. Hati pun sempat membatin penuh rasa heran atas sikap angkuh yang masih saja sekeras baja itu.

"Tak ada ucapan terima kasih apa pun darinya, tapi ia justru selalu mengecamku dan merasa berilmu lebih tinggi dariku. Apakah begitu ajaran dari gurunya? Atau... mungkin karena ia seorang wanita, sehingga merasa perlu bersikap seangkuh ini di depan seorang lelaki agar harga dirinya tak direndahkan?"

Setelah lemparkan pandangan ke cakrawala lagi, Gadis Dungu perdengarkan suaranya yang berkesan dingin itu. "Dua kali aku hampir mati, dua kali kau menyelamatkan nyawaku. Tapi apalah artinya kau selamatkan jiwaku sementara kau biarkan perutku kelaparan begini?!"

"Kau lapar?! Oh, ya... aku pun juga lapar."

"Dangkal sekali otakmu, Dogol. Seandainya aku menjadi seorang lelaki yang mendengar seorang gadis kelaparan, aku akan berusaha mencari makanan untuk mengisi perut si gadis agar tak kelaparan. Setidaknya dengan cara begitu si gadis akan menilai bahwa lelaki itu punya tanggung jawab dan mampu menjamin kehidupan serta masa depannya."

Suto Sinting geli sendiri mendengar sindiran seperti itu. Ia segera berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku akan mencarikan makanan untukmu asal kau mau berjanji menceritakan siapa orang-orang kerdil yang menyerangmu dan menewaskan si Comblang Sajak itu?"

Gadis Dungu gelengkan kepala sambil pandangi Suto Sinting. "Aku tak mau mengikat janji dengan lelaki mana pun. Bagiku, setiap lelaki akan selalu memanfaatkan janji seorang wanita demi kepentingan pribadinya sendiri. Kalau kau mau mencarikan makanan untukku, pergilah tanpa syarat apa pun dariku!"

"Kalau aku tak mau?"

"Jangan harap kau mendapat cerita tentang orang-orang kerdil dariku!" jawabnya dengan ketus dan buang muka. Tampak sekali keangkuhan dan sikap plin-plan yang membingungkan itu. Namun Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum menawan, seakan tak mau memikirkan permainan kata-kata tadi. Ketika Pendekar Mabuk bergegas pergi, Gadis Dungu sempat bertanya dengan suara bernada was-was.

"Mau ke mana kau?"

"Mencari kedai untuk mengisi bumbung tuakku!"

"Apakah... apakah aku harus tetap disini menunggumu?"

Suto Sinting angkat bahu, "Terserah...! Aku tak mau menyuruh seorang gadis menungguku, karena aku tak mau terikat janji dengan gadis mana pun."

"Hmm...!" gadis itu mendengus kesal, ucapannya tadi dibalikkan oleh Suto Sinting. Wajah yang bersungut-sungut menahan dongkol cukup menghibur hati Pendekar Mabuk hingga tawanya terdengar pelan namun sedikit panjang. Ia pun segera bergegas pergi. Gadis Dungu melompat ke atas gugusan karang dan berseru kepada Pendekar Mabuk yang meninggalkannya.

"Apakah kau akan kembali membawa makanan untukku?"

"Doakan saja semoga aku berpikiran begitu!" jawab Suto Sinting sambil teruskan langkahnya. Ia tak pedulikan wajah si gadis yang cemberut berkesan manja. Ia pun tak tahu kalau si gadis menjadi bimbang dalam sikapnya dan batinnya pun bertanya,

"Haruskah aku menunggunya di goa ini? Uuh...! Untuk apa aku menunggunya, nanti dia besar kepala. Dan lagi, belum tentu ia kembali ke sini lagi menemuiku. Sebaiknya kutinggalkan saja. Aku harus kembali ke padepokan untuk menengok keadaan Guru yang menurut Paman Comblang telah terkena Racun Batu Bisu itu. Oh, kasihan nasib Paman Comblang, aku harus laporkan pada Guru tentang kematian Paman Comblang itu. Tapi...," wajah cantik itu mulai diliputi kebimbangan kembali.

"Tapi jika aku pergi, bagaimana dengan si Dogol jika ia kembali lagi kemari dengan membawakan makanan untukku? Kasihan makanan itu, tak ada yang menelannya. Bisa-bisa hanya akan dibuang begitu saja oleh si Dogol!"

Keangkuhan dan kebodohan Indayani telah membuat rasa penasaran tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Ketika ia menyadari kepergiannya mencari sebuah kedai, ia semakin merasa heran oleh sikapnya sendiri.

"Mengapa aku menuruti keinginan gadis angkuh itu? Hatiku tergerak untuk mencari makanan baginya. Bukankah itu berarti aku punya perhatian tersendiri kepada si angkuh Indayani? Mengapa aku jadi memperhatikannya, sedangkan ia tidak peduli sama sekali dengan jati diriku?! Ah, sial amat nasibku hari ini. Aku jadi diperbudak oleh perasaanku. Gadis itu pandai membuatku penasaran dan sulit bersikap masa bodo kepadanya!"

Bumbung tuak diisi penuh ketika Pendekar Mabuk berhasil temukan sebuah kedai di perkampungan nelayan. Ia sempatkan mengisi perutnya sendiri sekenyang mungkin. "Aku akan pulang tanpa membawa makanan. Biar gadis itu tahu bagaimana cara menghargai seseorang agar orang lain pun menghargainya," pikir Suto Sinting. Tiba-tiba kecamuk dalam pikirannya itu terhenti oleh pembicaraan tiga orang pengunjung kedai yang duduk di deretan sebelah kirinya.

"Kalau usaha kita ini berhasil; Gadis Dungu dapat kita tangkap dan kita serahkan kepada Pangeran Umbardanu, hadiah bagianku akan kugunakan untuk melamar Suntini, gadis anak Ki Lurah Mangkat itu."

"Cocok! Aku juga punya rencana begitu. Upah menangkap si Gadis Dungu akan kugunakan sebagai mas kawin lamaranku kepada perawan belakang rumahku itu!" ujar lelaki berbaju kuning. Ia tampak lebih tampan dari kedua temannya. Usia mereka rata-rata sekitar tiga puluh tahun kurang.

Lelaki yang berbaju hijau garis-garis merah itu berkata menimpali ucapan kedua temannya tadi, "Kalian boleh saja berkhayal dan mengatur rencana, tapi terlebih dulu pikirkanlah bagaimana cara menangkap si Gadis Dungu itu. Kabarnya gadis itu licin bagaikan belut dan sukar dilumpuhkan. Kalau kita tak hati-hati melawannya, bisa-bisa nyawa kita melayang di tangan gadis murid Nyai Serat Biru itu. Usahakan juga agar penangkapan ini jangan sampai didengar oleh Nyai Serat Biru, sebab jika sampai hal ini diketahui Nyai Serat Biru, maka perempuan sakti itu akan turun tangan dan kita akan semakin kewalahan!"

"Kita menangkapnya bukan dengan kekerasan, melainkan dengan siasat jitu yang pernah kita bicarakan itu! Kalau kita menangkapnya dengan kekerasan, pasti kita akan kehilangan nyawa. Bukankah Pangeran Umbardanu sudah wanti-wanti kepada kita agar lebih baik menggunakan siasat daripada melakukan pertarungan dengan si Gadis Dungu?"

"Yang kupikirkan seandainya siasat kita gagal, mau tak mau kita bertarung dengan murid Nyai Serat Biru itu. Jika sampai terjadi begitu, jagalah nyawa kalian masing-masing. Lebih baik kita kehilangan upah dari Pangeran Umbardanu ketimbang kita kehilangan nyawa. Artinya, kalau keadaan kita terdesak, lebih baik kita cepat melarikan diri dari pertarungan!"

Yang mengenakan pakaian serba hitam segera berkata, "Aku yakin siasat kita tidak akan gagal. Tenanglah kalian, jangan cemas. Kita akan berhasil menangkap Gadis Dungu itu dan menyerahkannya kepada Pangeran Umbardanu dalam keadaan hidup ataupun mati."

Pendekar Mabuk diam-diam berkecamuk penuh keheranan dalam hatinya. Percakapan ketiga orang berbadan kekar itu disimaknya baik-baik. Seolah-olah kata-kata itu ditujukan pada dirinya untuk memancing kemarahan. Tetapi Pendekar Mabuk sengaja diam dan tak mau terpancing apa pun oleh percakapan mereka, bahkan ia bersikap seolah-olah tidak menyimak pembicaraan tersebut, walaupun dalam hatinya diliputi oleh berbagai pertanyaan yang sulit diperkirakan jawabannya.

"Siapa orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu? Mengapa ia sampai mengupah tiga orang untuk menangkap Gadis Dungu dalam keadaan hidup atau mati? Agaknya aku perlu tanyakan hal itu kepada Indayani. Tapi apakah gadis angkuh itu mau berterus terang menjelaskan apa sebab ia diburu oleh beberapa orang?"

Orang berpakaian hijau garis-garis merah itu terdengar berkata lagi kepada kedua temannya, "Kudengar dari Perguruan Serikat Jagal juga sedang memburu si Gadis Dungu. Apa benar begitu?"

"Menurut pengakuan salah seorang murid Dupa Dewa yang menjadi sahabatku sejak kecil, memang begitulah kenyataannya. Pihak Perguruan Serikat Jagal juga memburu si Gadis Dungu. Kabarnya hanya ingin melenyapkan riwayat hidup si Gadis Dungu agar tak sempat mencapai usia dua puluh lima tahun."

Batin sang Pendekar Mabuk pun bertanya, "Ada apa dengan usianya? Apa yang terjadi jika gadis itu sampai berusia dua puluh lima tahun?! Ah, ada-ada saja masalah ini, bikin pikiranku menjadi bingung. Tapi... kasihan juga si Gadis Dungu itu, menjadi bahan buruan beberapa orang yang agaknya sama-sama ingin melenyapkan masa hidupnya."

* * *

LIMA

RASA ingin tahu membuat Suto Sinting akhirnya membawakan makanan untuk Gadis Dungu. Ketika ia tiba di goa tepi laut, suasana petang sudah berubah menjadi malam. Gadis Dungu diam di depan goa, berdiri di atas batu karang runcing yang dapat menembus telapak kakinya jika ia tidak pergunakan ilmu peringan tubuh. Rambutnya dibiarkan meriap-riap disapu angin pantai. Wajahnya diam membisu disinari cahaya rembulan pucat yang hanya tampak sepotong dari balik mega.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum kecil melihat Gadis Dungu berdiri di atas pucuk karang runcing mirip mata tombak itu. Namun dalam hatinya merasa kagum memandang kecantikan pucat si Gadis Dungu dalam keadaan berdiri tegak, berkesan gagah, dengan kedua tangan bersidekap di dada, gendang berada di samping kanannya.

"Dia memang cantik dan menggairahkan. Tapi aku tak boleh gegabah main cocor saja. Aku sudah punya calon istri; Dyah Sariningrum. Aku tak mau terlibat hubungan asmara dengan perempuan mana pun demi menjaga kesucian cintaku, juga demi menjaga harga diri Dyah Sariningrum yang sebagai Ratu di Puri Gerbang Surgawi yang bertakhta di Pulau Serindu itu," ucap Suto Sinting dalam hatinya

Sambung batin Suto lagi, "Kalau hanya sekadar cium-cium, tak apalah. Demi kesegaran jasmani dan rohani saja." Lalu ia mengikik geli dalam hatinya.

Pendekar Mabuk terpaksa mendongak karena letak berdiri si Gadis Dungu cukup tinggi. Ia berseru dari bawah si Gadis Dungu itu sambil mengangkat bungkusan makanan yang dibawanya.

"Indayani, aku membawa makanan untukmu! Turunlah sekarang juga selagi makanannya masih hangat!"

Indayani, si Gadis Dungu menjawab, "Naiklah, Dogol! Bawa kemari makanannya!"

Gadis Dungu tahu, Suto Sinting tak akan bisa naik mendekatinya, karena bentuk batu karang yang dipakainya berdiri menyerupai tiang runcing tegak lurus. Tak ada tempat untuk memanjat, bahkan jika dilakukan dengan sebuah lompatan, tak ada tempat untuk berpijak didekatnya. Itulah sebabnya Gadis Dungu sunggingkan senyum sinis, melecehkan kebingungan Suto Sinting yang tak punya jalan untuk mendekatinya.

Pendekar Mabuk segera sadar dirinya dipermainkan oleh Indayani yang pamer ilmu peringan tubuh itu. Seruan untuk naik mendekatinya merupakan tantangan bagi Suto Sinting.

"Lekas, naiklah! Jangan bengong saja di situ, Dogol!"

Pendekar Mabuk akhirnya tersenyum kalem. Bungkusan makanan ada di kedua tangannya. Dan tiba-tiba tubuh Pendekar Mabuk terangkat ke udara dengan sendirinya. Makin lama bergerak makin naik hingga mencapai keadaan sejajar dengan tempat berdirinya Gadis Dungu.

Si gadis terperangah memandangi tubuh Suto Sinting yang mampu berdiri di udara tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu bagaikan terbang karena Suto Sinting menggunakan jurus 'Layang Raga' yang mampu mengangkat tubuhnya ke udara dengan pemusatan tenaga peringan tubuh pada kedua telapak kakinya.

"Kubawakan makanan untukmu, Indayani!" ujar Suto Sinting dengan kalem dalam keadaan kedua kaki mengambang di udara.

Indayani masih tertegun bengong karena terkesima dengan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk itu. Kata-kata tadi nyaris tidak didengarnya, sehingga ketika Suto Sinting mengulangi kata-kata itu, Indayani segera sadar dan segera menggeragap.

"Eh, hmm... ehh... iya.... Makanan, ya? Iya... eeh..."

"Makanlah sekarang juga, mumpung masih hangat," kata Suto Sinting sambil menyodorkan bungkusan makanan itu.

Indayani menerimanya dengan kedua tangan gemetar, mata menatap lurus pada kedua bola mata Suto Sinting yang terkena sorot rembulan pucat menjadi tampak teduh itu. Senyum Suto Sinting pun mekar, seakan sebagai ungkapan kata yang menyatakan bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Indayani. Hal itu membuat Gadis Dungu menjadi kikuk. Akhirnya keseimbangan tubuhnya pun terganggu, ia terpelanting jatuh dari pucuk karang.

"Oooh...!!" pekiknya, bungkus makanan terlempar.

Wuuus...! Suto Sinting bergerak cepat menyambar bungkus makanan, sedangkan tubuh si gadis dibiarkan jatuh terhempas di pasir pantai.

Brrruss...!

"Dasar lelaki tolol!" maki si Gadis Dungu. "Mengapa yang kau sambar makanannya? Seharusnya tubuhku yang kau sambar biar tak jatuh begini! Uuh... pinggangku jadi sakit gara-gara ketololanmu, Dogol!"

"Maaf, kupikir ilmumu tinggi sekali dan mampu selamatkan diri dari kejatuhan, sedangkan makanan ini tidak mempunyai ilmu apa-apa, jadi dialah yang kuselamatkan lebih dulu," ledek Suto Sinting sengaja memberi sindiran yang akan menjengkelkan gadis itu. Pendekar Mabuk tertawa cekikikan sambil mendekati Indayani yang telah berdiri dengan tangan pegangi pinggangnya yang sakit.

Wajah gadis itu cemberut bak ekor perkutut. "Manusia tak berperasaan kau, Dogol! Cukup lama aku menunggumu di sini, terhempas angin dicekam dingin, tapi begitu kau datang dan aku dalam bahaya, kau tidak segera menolongku."

"Aku tahu kau akan jatuh, tapi aku pun tahu jatuhmu tak akan berbahaya. Jadi yang kuselamatkan adalah makanan ini, ketimbang berantakan ke mana-mana tak jadi kau makan," ujar Suto Sinting semakin mendekat dan hentikan langkah dalam jarak satu tindak di depan gadis itu.

Tinggi tubuh si gadis yang sama dengan tinggi badan Suto Sinting membuat keduamata mereka beradu pandang secara lurus dan sejajar. "Mengapa kau tidak menunggu di dalam goa biar tidak kedinginan?" ucap Suto Sinting pelan, penuh kelembutan.

"Di dalam goa keadaannya gelap."

"Apakah kau tak bisa menyalakan api unggun?"

"Tak ada kayu di sana."

"Kau bisa mencarinya di luar goa?"

"Kau tidak menyuruhku mencarikayu."

"Aku juga tidak menyuruhmu menunggu, tapi mengapa kau lakukan juga pekerjaan menunggu itu?"

"Karena aku lapar!" jawab si Gadis Dungu dengan nada ketus.

Senyum Pendekar Mabuk mekar kembali. "Kalau begitu, makanlah makanan ini. Aku akan mencari kayu bakar."

Setelah menerima bungkusan, Indayani berkata, "Masih hangat. Apakah kedai itu ada di dekat sini?"

"Jauh sekali. Jika ditempuh dengan berjalan kaki hampir setengah hari."

"Mengapa kau bisa cepat kembali?"

"Karena aku sakti!" jawab Suto Sinting sengaja menyombongkan diri hanya untuk membalas kesombongan Indayani.

Tapi gadis itu mencibir sambil pandangi Suto Sinting yang bergegas mencari kayu bakar. Ia sempat berseru dengan nada ketus. "Setiap orang bisa mendapatkan makanan seperti ini. Tapi bukan berarti dia sakti. Kesaktian tidak diukur dari cepat atau lambatnya seseorang mendapatkan makanan."

Kata-kata selanjutnya tak didengar Suto Sinting, karena hati pemuda tampan itu berkecamuk sendiri dalam gerutuannya. "Benar-benar dungu! Yang kumaksud kecepatan gerakku hingga bisa kembali dalam waktu singkat, adalah kecepatan orang sakti. Tapi ia sangka aku merasa sakti karena bisa dapatkan makanan. Ah, dasar otak dipenuhi kesombongan, akhirnya tak bisa mengerti maksud pembicaraan orang lain?"

Keheningan malam di tepi pantai sungguh merupakan kehidupan damai yang punya keindahan tersendiri. Deburan ombak bagai irama hidup yang mengingatkan adanya tantangan pada diri tiap manusia. Suasana damai itu kali ini membungkus kedua insan yang berada dalam goa karang. Nyala perapian menghangatkan suasana, membuat hati mereka saling ber- kata-kata, yang akhirnya terciptalah percakapan dari kedua belah pihak.

"Cepat atau lambat aku harus bisa dapatkan Madu Bunga Salju untuk kesembuhan Guru," ujar Indayani sambil bermain tepi perapian dengan sebatang ranting kering. Katanya lagi, "Nyai Guru Serat Biru sudah kuanggap orangtuaku sendiri. Aku dirawat dan dibesarkan oleh beliau sejak berusia dua tahun. Ibuku yang melahirkan diriku tanpa suami, karena ayahku tewas di pertarungan, adalah sahabat Nyai Guru. Sehingga pada waktu Ibu mau meninggal karena luka dari lawan yang tak bisa disembuhkan, Ibu menyerahkan bayinya kepada Nyai Guru. Maksudku, anaknya yang masih kecil diserahkan kepada Nyai Guru untuk dirawat dan dibesarkan. Hatiku sangat pedih setelah mendengar kabar Nyai Guru terluka 'Racun Batu Bisu'. Aku tak ingin kehilangan Nyai Guru, jadi harus berusaha dengan bertaruh nyawa untuk dapatkan Madu Bunga Salju."

"Apa alasan Peri Kedung Hantu sehingga melepas jurus racun berbahayanya kepada Nyai Serat Biru?" tanya Suto Sinting dengan mata memandang penuh kesungguhan.

"Aku sendiri sedang bingung memikirkan hal itu. Seingatku, Peri Kedung Hantu tak pernah berselisih dengan Guru. Satu-satunya perselisihan yang pernah terjadi adalah pertarungan Rusa Merah dengan murid Peri Kedung Hantu yang bernama Selasi Jumpi. Itu terjadi empat tahun lalu. Dan pertarungan itu membuat keduanya tewas. Selasi Jumpi tewas seketika, sedangkan Rusa Merah tewas setelah sampai di padepokan."

"Apakah perselisihan itu pernah membuat Peri Kedung Hantu menuntut kepada pihak perguruanmu?"

"Nyai Guru segera lakukan pertemuan dengan Peri Kedung Hantu. Kalau tak salah, mereka akhirnya sepakat untuk tidak saling mendendam karena kedua murid sama-sama tewas. Jika sekarang Peri Kedung Hantu menyerang Nyai Guru, aku tidak tahu apakah ia menggunakan alasan perselisihan Rusa Merah dengan Selasi Jumpi, atau menggunakan alasan lain yang belum pernah kudengar penjelasannya."

Setelah diam sesaat merenungi cerita Indayani, Pendekar Mabuk yang duduk berhadapan dengan gadis itu segera ajukan pertanyaan kembali dengan suaranya yang lembut. "Apakah Peri Kedung Hantu ada hubungannya dengan Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat Jagal itu?"

Gadis Dungu kerutkan dahi pandangi Suto Sinting. Ia tidak langsung menjawab, namun berpikir sesaat dan sepertinya menemukan sesuatu yang mulai menegangkan hatinya. "Kalau begitu...," ucapnya pelan bagaikan ragu- ragu, Peri Kedung Hantu menyerang Nyai Guru untuk membela pamannya!"

"Siapa pamannya itu? Dupa Dewa?!"

"Benar. Dupa Dewa adalah pamannya Peri Kedung Hantu. Keduanya sama-sama beraliran sesat, namun tidak seganas aliran sesat lainnya. Perguruan Serikat Jagal tidak sembarangan menjagal orang. Hanya orang-orang tertentu yang terlibat urusan dengan mereka atau yang membahayakan bagi mereka yang akan dijagalnya tanpa ampun lagi. Peri Kedung Hantu sendiri mengembangkan aliran sesatnya dengan mencari murid sebanyak mungkin. Karena ia punya tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri jika waktunya telah tiba."

"Sejak kapan pihakmu terlibat bentrokan dengan Perguruan Serikat Jagal?"

"Seingatku... baru kali ini saja. Dan agaknya Nyai Guru tidak tahu kalau orang-orangnya Dupa Dewa menghendaki kematianku. Aku sendiri tak menyangka kalau Togayo dan Gayong tiba-tiba menyerangku dengan maksud membunuhku."

"Apa alasan mereka ingin membunuhmu?"

"Aku... aku tak tahu, dan aku tak menanyakan kala mereka menyerangku."

"Bodoh sekali kau."

"Itulah sebabnya aku dijuluki Gadis Dungu! Dan Nyai Guru pun agaknya setuju sekali dengan julukan itu," tutur Indayani dengan polos tanpa rasa malu sedikitpun.

"Apakah antara pihakmu pernah terjadi perselisihan dengan Perguruan Serikat Jagal?"

"Tidak pernah!" jawab Indayani dengan tegas.

Lalu mereka sama-sama diam, termenung. Setelah menambahkan kayu bakar pada perapian, Suto Sinting perdengarkan suaranya kembali dengan nada tenang.

"Tak mungkin Dupa Dewa sampai turun tangan menyerangmu jika tak terjadi masalah besar pada dirimu. Pasti kau melakukan kesalahan yang membuat mereka berang padamu, Indayani!"

"Kesalahan apa?!" Indayani angkat pundak tanpa tak mengerti.

"Mungkin karena keangkuhanmu telah menyinggung perasaan mereka, dianggap telah menghina martabat dan harga diri perguruan mereka."

"Kami jarang bertemu. Pertemuanku dengan mereka terakhir kali terjadi setahun yang lalu, ketika Dupa Dewa sakit dan Nyai Guru diminta datang menjenguknya."

Suto Sinting sedikit merasakan kejanggalan dari kata-kata itu, maka ia segera bertanya pelan, "Menjenguk?! Apakah antara Nyai Guru dengan Dupa Dewa ada hubungan baik sebelumnya?"

"Nyai Guru pernah menjadi kekasih Dupa Dewa semasa muda. Tapi hubungan cinta mereka putus, karena Dupa Dewa ternyata sudah beristri. Dan sejak itu, Nyai Guru tak mau mempunyai kekasih lagi. Sampai sekarang Nyai Guru masih perawan dan belum pernah bersuami. Sepertinya ia masih memendam perasaan cinta di sela kebenciannya kepada Dupa Dewa."

"Oooo...." Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Di bibirnya tersungging senyum geli membayangkan percintaan para tokoh tua yang sampai sekarang masih terdengar ceritanya.

"Aneh sekali jika tak ada persoalan mereka bernafsu membunuhmu," ujar Suto Sinting sambil merenung memandangi nyala perapian. Pandangan matanya segera dinaikkan dan kini menatap seraut wajah cantik yang berkesan angkuh itu.

"Setahuku, bukan hanya Dupa Dewa yang kehendaki kematianmu, tapi kelompok orang-orang kerdil itu juga agaknya bernafsu sekali untuk membunuhmu. Siapa orang-orang kerdil itu, Indayani? Pasti kau mengenal mereka."

"Memang. Mereka orang-orang yang menamakan dirinya Suku Aboradin, dikenal dengan julukan Penghuni Liang Lahat."

"Baru kali ini aku melihat keberadaan mereka di antara kehidupan kita."

"Tentu saja, sebab kau manusia yang miskin pengetahuan," ujar Indayani dengan mencibir, meremehkan pemuda yang sejak tadi sering menatapnya itu. Yang diremehkan hanya tersenyum, tak merasa tersinggung karena sudah mulai terbiasa oleh sikap seperti itu.

"Suku Aboradin tinggal di lorong-lorong goa yang ada di sekeliling Gunung Leak Sewu. Di sana ada banyak goa yang saling berhubungan, bahkan ada lorong yang bisa tembus ke negeri seberang melalui jalan di bawah dasar lautan. Jumlah mereka cukup banyak, namun jarang yang menampakkan diri kecuali mereka yang tergolong dalam kelompok Penghuni Liang Lahat."

"Sejak kapan mereka mengenalmu?"

"Nyai Guru pernah bentrok dengan pihak Penghuni Liang Lahat karena menolak lamaran ketua mereka yang berjuluk Mayat Bersiul. Pertarungan kami terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Mayat Bersiul sempat terluka dan nyaris mati oleh pedang Nyai Guru. Waktu itu, aku justru tidak ikut campur karena keadaanku masih sakit."

"Tapi mengapa mereka bernafsu sekali membunuhmu?"

"Aku tak tahu mengapa mereka begitu. Padahal perkara itu sudah dianggap kadaluwarsa. Mayat Bersiul sendiri sudah mempunyai istri cantik dengan dua orang gundik."

Pendekar Mabuk menggumam panjang. "Mayat Bersiul itu yang berambut panjang dan botak bagian depannya, yang melemparkan pisau mengenaimu itu?!"

"Itu panglimanya yang bernama Rekatak Tiban. Tapi... iya, ya? Aneh juga kalau Rekatak Tiban ingin membunuhku?!" gumam Indayani dengan nada ucapan seperti bicara pada diri sendiri, pandangan matanya menjadi datar bagai menerawang sesuatu.

Pendekar Mabuk perhatikan perubahan air muka itu dengan dahi berkerut. Rupanya ada sesuatu yang mengherankan di hatinya, sehingga ia pun bertanya kepada Indayani, "Di mana letak keanehan itu, Indayani?"

"Aku pernah ditolong Rekatak Tiban ketika terjerembab masuk ke kubangan lumpur hidup. Sekalipun sikapnya tak begitu ramah padaku, karena ia tahu aku muridnya Nyai Guru Serat Biru, tapi saat aku hampir mati terkubur lumpur hidup, ia memberikan pertolongannya. Lalu pada suatu saat aku ganti menolongnya, memberikan Galih Kapur Sirih untuk mengobati luka racun anak buahnya yang tak bisa disembuhkan kecuali menggunakan Galih Kapur Sirih. Orang yang terluka itu adalah orang andalan yang selalu mendampinginya dalam setiap tugas. Dan... setelah itu hubungan kami biasa-biasa saja. Makanya kubilang aneh sekali jika Rekatak Tiban terang-terangan ingin membunuhku."

"Mungkin mereka ada hubungannya dengan Dupa Dewa?! Barangkali mereka diupah oleh Dupa Dewa atau Peri Kedung Hantu untuk membunuhmu?!"

"Mungkinkah begitu?!" gumam Indayani dalam kebimbangannya sendiri. "Rekatak Tiban punya adik lelaki yang menikah dengan murid Peri Kedung Hantu. Apakah hubungan itu yang membuat Rekatak Tiban berpihak kepada Peri Kedung Hantu lantaran Peri Kedung Hantu membela pamannya dalam memusuhiku?!"

Pendekar Mabuk diam seribu bahasa ketika Indayani merenung lama. Namun dalam hatinya, Pendekar Mabuk bicara sendiri mencari jawaban yang pasti tentang nasib Indayani yang menjadi incaran beberapa orang itu.

"Jangan-jangan ia melakukan kesalahan besar yang membuat mereka murka dan mendendam, sehingga bernafsu sekali untuk membunuhnya. Mungkin gadis ini lupa akan tindakannya yang menimbulkan dendam pada lawan-lawannya. Maklum, kedunguannya terlalu besar; sehingga tak mampu mengingat kesalahannya sendiri. Kalau bukan gadis yang dungu, pasti ia sudah pulang ke padepokannya mendengar Nyai Gurunya sakit dan padepokannya dihancurkan Peri Kedung Hantu."

Setelah mereka saling membisu cukup lama, Pendekar Mabuk segera memecah kebisuan itu dengan suaranya yang terlontar penuh kesan hati-hati sekali. "Satu hal lagi yang ingin kutanyakan padamu, karena tadi di kedai aku mendengar rencana seseorang yang ingin menangkapmu dalam keadaan hidup atau mati. Orang itu mengupah tiga lelaki berbadan kekar, dan tiga lelaki itulah yang duduk sebangku denganku di kedai tersebut."

"Siapa orang yang mengupah tiga orang itu?! Apakah ia belum tahu kalau Gadis Dungu akan murka jika diusik ketenangannya? Apakah tiga orang itu belum mendengar kabar kesaktianku?!"

"Mendengar atau tidak itu bukan urusanku. Yang ingin kutanyakan; siapa orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu?!"

"Ooh...?!" Gadis Dungu tersentak kaget, matanya sempat terbelalak sekejap, wajahnya pun menjadi tegang. Sorot matanya menatap Suto Sinting sangat tajam, membuat si Pendekar Mabuk salah tingkah sendiri.

"Aku hanya mendengar percakapan tiga orang utusan Pangeran Umbardanu itu. Mereka merencanakan menangkapmu dan menyerahkannya kepada Pangeran Umbardanu dengan menggunakan siasat yang telah mereka susun saat itu."

Indayani termenung lama, bahkan tak bergerak sedikit pun dari sikapnya yang berdada tegak serta mata tertuju pada Suto Sinting. Cahaya api unggun menampakkan seraut wajah cantiknya yang disiram kepucatan setelah mendengar nama Pangeran Umbardanu. Hal itu semakin membuat Suto Sinting menjadi lebih penasaran lagi dan menunggu jawaban yang pasti tentang siapa Pangeran Umbardanu itu. Dengan suara kaku dan dingin, Gadis Dungu akhirnya menjawab,

"Pangeran Umbardanu adalah kekasihku."

"Kekasihmu?!" kini Suto Sinting yang terperanjat dan memandang penuh keheranan. "Jika dia kekasihmu, mengapa dia ingin menangkapmu hidup ataupun mati?!"

* * *

ENAM

GADIS Dungu menjadi resah setelah tahu Pangeran Umbardanu bermaksud membunuhnya. Hubungannya dengan Pangeran Umbardanu sudah berlangsung sekitar empat bulan. Pangeran Umbardanu telah menyatakan jatuh cinta, tapi Gadis Dungu belum memberi jawaban pasti, walau hatinya menaruh rasa kagum dan terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Pangeran Umbardanu.

"Ia putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu. Ia naksir berat padaku. Ia harus segera menikah karena sebentar lagi akan menggantikan ayahnya sebagai sultan di Kesultanan Siliwindu. Ia ingin jadikan aku sebagai permaisurinya."

"Lalu, mengapa kau tak mau menerimanya? Bukankah itu kesempatan untuk meraih masa depanmu dengan gemilang?" tanya Suto Sinting sambil langkahkan kakinya di awal pagi, ketika mereka meninggalkan goa karang.

"Tak semudah itu mendapatkan diriku. Kau pikir aku perempuan gila hormat dan gila harta, begitu? Hmmm...!" ia mencibir angkuh. "Untuk apa menjadi permaisuri jika suami punya selir lebih dari sepuluh biji?! Aku tak pernah punya cita-cita untuk dimadu. Aku tak mau punya madu. Jika ia menjadi sultan maka ia berhak punya selir. Hmm enak saja. Nanti cintaku digilir bisa tekanan batin dan lahir!"

"Lalu, kau putuskan menolaknya?"

"Belum kuputuskan begitu. Aku masih menunggu kesanggupan janji dan sumpahnya."

"Janji apa?" tanya Suto sambil tersenyum-senyum.

"Janji untuk tidak mempunyai selir kalau sudah menjadi sultan nanti. Dan sebelum ia memberi janji dan sumpah, aku tak mau memberi jawaban atas cintanya."

"Barangkali karena sikapmu itulah maka ia sakit hati padamu dan bermaksud membunuhmu?!"

"Ah, mungkin justru karena ia ngebet sekali ingin memperistri diriku, maka ia mengupah orang untuk menangkapku."

"Jika penangkapan itu karena rasa cinta, ia tidak akan menyuruh tiga orang itu untuk menangkapmu hidup atau mati. Ibarat kata, mayatmu pun laku dijual oleh ketiga orang itu kepada Pangeran Umbardanu. Jika sang pangeran mau mengeluarkan uang untuk mendapatkan mayatmu, berarti ia tidak punya perasaan cinta lagi kepadamu, Indayani."

"Itu hanya anggapan sirikmu!" ujar Indayani dengan bersungut-sungut, tak mau percaya dengan pendapat Pendekar Mabuk. Ia bahkan menambahkan kata, "Atau mungkin malah kau tidak bertemu dengan ketiga orang itu. Semua yang kau katakan hanya bualanmu saja untuk mengacaukan hubunganku dengan Pangeran Umbardanu. Sebab setahuku, Pangeran Umbardanu sangat sayang kepadaku. Dia tergila-gila padaku, terutama kepada kesaktianku!"

"Kalau aku hanya membual, dari mana ku tahu nama Pangeran Umbardanu itu?" Suto Sinting mencoba meyakinkan penjelasannya.

"Mungkin kau kenal dengan Pangeran Umbardanu dan dia ceritakan hubungan cintanya denganku, lalu kau mengarang cerita supaya hubunganku dengannya retak. Setelah retak, kau akan ganti menyatakan cinta padaku. Hmmm... akal bulus seorang lelaki sudah di tanganku semua!" sambil ia menepak telapak tangan dengan tangan kirinya, bersikap membanggakan diri sebagai perempuan yang tak mudah tertipu rayuan lelaki.

Suto Sinting hanya tertawa kecil tanpa suara. Langkah mereka tetap menyusuri pantai, karena Suto Sinting bermaksud mengajak Indayani untuk mencapai sebuah teluk tempat kehidupan masyarakat nelayan yang pernah disinggahi. Dari teluk itu mereka dapat menyewa sebuah perahu untuk menyeberang menuju ke Pulau Dadap, menemui Putri Kunang dan meminta Madu Bunga Salju.

Namun langkah mereka terhalang oleh kemunculan seorang tokoh tua yang belum dikenal oleh Suto Sinting. Orang itu tahu-tahu berdiri di depan langkah mereka tanpa angin atau perlambang lainnya. Tak ada gerakan dan suara apa pun yang menyertai kemunculan seorang nenek berjubah hitam dengan badan sedikit bungkuk.

"Nini Kalong...?!" gumam Indayani dengan nada berkesan kaget dan wajahnya mulai diliputi oleh kecemasan.

Pendekar Mabuk sempat berbisik dengan mata tetap tertuju kepada nenek berambut putih dibiarkan meriap tanpa pengikat itu. "Siapa dia, Indayani?!"

"Nini Kalong, dia yang dikenal sebagai Penunggu Hutan Rawa Kotek. Dia musuh bebuyutan Nyai Guru, karena suaminya dibunuh oleh Nyai Guru dalam sebuah pertarungan memperebutkan Pusaka Kipas Dewi Murka. Sampai sekarang Nini Kalong masih menaruh dendam kepada Nyai Guru dan menganggap kipas pusaka itu ada di tangan Nyai Guru Serat Biru."

"Agaknya dia menginginkan kematianmu juga. Kulihat pancaran bola matanya tampak bernafsu sekali untuk membunuhmu, Indayani."

"Mungkin karena dia tahu aku murid kesayangan Nyai Guru, sehingga ia ingin lampiaskan dendam lamanya kepadaku, selagi aku tidak bersama Nyai Guru."

"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapinya."

"Jangan sombong kau, Dogol! Nini Kalong ilmunya sejajar dengan Nyai Guru. Kau bisa hancur berkeping-keping jika coba melawannya. Ilmumu tidak sebanding dengan kesaktiannya. Hanya aku yang tahu kelemahan Nini Kalong, dan biarlah ia kutumbangkan dengan kesaktianku! Pergilah menepi, Dogol. Lindungi dirimu agar jangan sampai terkena jurus salah sasar Nini Kalong. Sekujur tubuhmu bisa kering mendadak bagai keripik singkong jika sampai terkena jurus maut Nini Kalong."

Pendekar Mabuk hanya tersenyum masam. Ia segera menenggak tuak dari bumbungnya. Sementara itu, Gadis Dungu sengaja maju beberapa tindak ketika Nini Kalong yang memegangi tongkat hitam itu mulai melangkah memperpendek jarak.

"Tak kulihat dari mana kau datang, tahu-tahu sudah menghadang langkahku. Apa maksudmu muncul secara gaib begitu, Nini Kalong?!" sapa Gadis Dungu yang sebenarnya hal itu tak perlu diungkapkan lagi. Bahkan dengan kedunguannya ia menambahkan tanya kepada Nini Kalong, "Kau muncul dari mana, Nini?!"

Tentu saja sebagai tokoh kawakan yang berilmu tinggi, Nini Kalong tak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Ia langsung berkata dengan suaranya yang tua bernada serak, "Aku datang hanya untuk mengakhiri masa hidupmu, Gadis Dungu! Bersiaplah untuk meninggalkan dunia fana ini, Nak!"

"Aku tak tahu menahu tentang pusaka Kipas Dewi Murka itu, Nini! Jangan sangkut pautkan diriku dengan pusaka tua itu! Urusanmu adalah dengan Nyai Guruku, bukan dengan muridnya. Mengapa kau bermaksud membunuhku?"

"Urusan ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan Kipas Dewi Murka. Kematianmu harus tiba sebelum usiamu mencapai dua puluh lima tahun. Sekarang, bersiaplah menerima ajalmu, Indayani yang malang! Hik, hik, hik, hik...!"

Gadis Dungu membatin, "Agaknya tak bisa dihindari lagi. Apa boleh buat, terpaksa aku mencoba melawannya demi pertahankan nyawaku dan hidupku!"

Nini Kalong hentikan tawanya. Wajahnya berubah menjadi bengis. Gadis Dungu melangkah ke samping dengan mata tak mau lepas dari arah lawannya. Tiba-tiba tongkat hitam Nini Kalong dilemparkan bagai melemparkan sebatang tombak ke arah Gadis Dungu.

Weess...! Gerakan tongkat yang melesat begitu cepat masih sempat dihindari oleh Gadis Dungu dengan memiringkan badan ke kiri. Tongkat itu lolos dari sasaran. Tapi anehnya ia berhenti di udara dan mundur sedikit lalu menyodok dahi si Gadis Dungu.

Wuuut..!

Rasa kaget karena tak menduga akan terjadi hal seperti itu membuat tangan Gadis Dungu berkelebat menangkis tongkat tersebut. Dees...!

"Aauh...!" Gadis Dungu memekik sendiri, tubuhnya terpelanting dan jatuh ke tanah. Ia segera berguling-guling jauhi tongkat yang mampu bergerak sendiri itu. Tangan yang dipakai menangkis tongkat menjadi hitam berlendir. Tangan itu bagaikan habis dipakai menangkis besi panas yang bukan saja membuat kulit tangan melepuh namun juga hitam hangus. Padahal tongkat itu dalam keadaan dingin tanpa keluarkan asap selayaknya besi yang terpanggang hingga membara.

"Bahaya! Tongkat itu tak boleh kusentuh," pikir Gadis Dungu. "Selain mampu terbang dan menyerang lawan, ia juga mempunyai tenaga dalam yang mampu membuat tubuhku bagai ditendang kuda jika menyentuhnya. Uuh... tulang lenganku terasa patah dan panas sekali! Agaknya aku harus lakukan pertarungan jarak jauh, agar tongkat itu tak dapat menyentuhku."

Tongkat hitam ternyata mampu mengejar Gadis Dungu, bagai seorang lawan yang haus darah. Gadis Dungu terpaksa bersalto mundur dua kali, kemudian menyentakkan tangannya untuk keluarkan tenaga penghancur tongkat. Namun belum sempat tangan itu menyentak, tongkat sudah melesat dengan cepat menghantam telapak tangan Gadis Dungu yang sudah direntangkan di depan dada.

Duuss...!

"Aaahg...!" Gadis Dungu memekik sambil terpental terbang ke belakang. Ia bagai dihantam dengan tenaga yang cukup besar. Tubuhnya terjungkal kehilangan keseimbangan badan. Sementara telapak tangannya menjadi hangus dan keluarkan asap tipis sebagai tanda terbakar oleh ujung tongkat.

"Hik, hik, hik, hik...! Percuma saja kau bertahan, Indayani. Kau akan mati oleh tongkatku! Hik, hik, hik...!"

Indayani benar-benar terdesak oleh serangan tongkat yang seakan mempunyai nyawa dan tahu sasaran ke mana harus menyerang. Gerakan tongkat cukup gesit dan lincah, bahkan mampu membelok arah secara patah. Wut, weess...!

"Indayani dalam bahaya!" gumam Suto Sinting. "Kalau tak segera dibantu dia bisa mati dihantam tongkat bertenaga dalam tinggi itu. Rupanya nenek kurus itu bukan tandingan Indayani! Tak mungkin Indayani mampu menyelamatkan diri tanpa bantuan dari orang lain, ia tampak kewalahan dan tak mampu memberikan serangan balasan. Sementara si pemilik tongkat enak-enakan nonton sambil cekikikan. Hmmm...! Aku harus segera bertindak!"

Suto Sinting mulai menggenggam tali bumbung tuaknya dengan tangan kanan. Pada saat itu tongkat sakti Nini Kalong sedang melesat mengejar Indayani yang menjauhkan diri dengan lompatan-lompatan bersalto cepat.

Weeesss...!

Tubuh pemuda tampan itu tiba-tiba melesat dalam satu lompatan sangat cepat. Tubuh itu melayang melintasi bagian atas tongkat, kemudian bumbung tuaknya dihantamkan ke badan tongkat.

Blaaarr...! Jegaaar...!

Benturan tongkat dengan bumbung tuak Suto timbulkan satu dentuman keras. Dentuman itu terulang kedua kalinya dengan lebih keras lagi. Dan ternyata dentuman yang kedua adalah dentuman penghancur tongkat hitam Nini Kalong.

Prrussk...!

Nini Kalong terbelalak kaget melihat tongkatnya hancur menjadi serpihan kayu tanpa arti. Peristiwa itu sama sekali tak diduga-duga, sehingga nenek kurus itu tertegun bengong beberapa saat tanpa bergerak sedikitpun. Namun di dalam hati sang nenek menggeram penuh amarah terhadap tindakan si pemuda tampan itu.

"Biadab bocah ganteng itu! Bumbung bambu seperti itu bisa hancurkan tongkat saktiku. Baru sekarang ada benda lain yang bisa kalahkan kekuatan pada tongkatku! Hmmm... siapa bocah ganteng itu?! Berani-beraninya ikut campur urusanku terlalu dalam. Barangkali ia perlu kenali siapa Nini Kalong ini!"

Pada saat Nini Kalong membatin sambil pandangi Suto Sinting yang telah mendaratkan kakinya ke tanah, Gadis Dungu segera menabuh gendangnya dengan kedua tangan.

Dung, plak, dung, plak, dung, dung, plak.... plak! Plak, dung, dung... plak dung, dung... plak...!

Nini Kalong ternyata mampu menahan gelombang getaran suara gendang yang biasanya mampu mengubah alam pikiran orang lain menjadi mengikuti irama gendang tersebut. Agaknya Nini Kalong bukan tokoh tua berilmu sedang-sedang saja. Ia segera menyentakkan tangannya ke arah kiri sambil serukan kata, "Hentikan tabuhan dungumu!"

Claaap...! Dari tangan yang menyentak ke arah Gadis Dungu itu keluar sinar hijau bundar seperti jeruk purut yang berpijar-pijar. Kecepatan gerak sinar itu sukar dihindari lagi, sehingga sinar bundar hijau pijar itu menghantam telak tulang rusuk kiri si Gadis Dungu. Zeeeb...!

"Uuhg...!" Gadis Dungu mendelik bagai tak bisa bernapas lagi. Tubuhnya tersentak mundur tak terlalu jauh, namun segera jatuh terduduk dengan lubang hidung dan lubang telinga keluarkan asap tipis. Kulit wajahnya menjadi merah, disusul dengan kulit lengan dan bagian leher sampai dada menjadi merah bagaikan kepiting rebus. Nafasnya tersentak-sentak dengan ma- ta tetap mendelik tak mampu berkedip.

Hanya si Pendekar Mabuk yang perhatikan keadaan Indayani dengan hati cemas. Tetapi nenek kurus bermata cekung itu justru memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata penuh permusuhan. Tubuh tuanya segera berkelebat tak bisa dilihat gerakannya. Tahu-tahu ia sudah menerjang kepala Suto Sinting tanpa ampun lagi.

Bruuus...!

"Uaaahg...!" Suto Sinting terlempar lima langkah ke belakang. Tubuhnya membentur pohon dan jatuh tersentak ke depan tanpa bisa menjaga keseim- bangan badan lagi. Brrruk...! Hidung si tampan Suto mengucurkan darah segar. Matanya mengerjap-ngerjap bagaikan habis disambar seekor kuda nil. Kepalanya terasa pecah dan telinganya berdengung-dengung. Ia tak tahu kalau telinganya pun mengeluarkan darah segar yang membasahi pundak kanan-kirinya.

"Gila! Benda apa yang menerjangku tadi?!" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit berdiri. Pandangan matanya yang kabur membuatnya terpaksa merayapi batang pohon untuk bisa berdiri tegak.

Sementara itu, Nini Kalong sudah berada di belakangnya dalam jarak lima langkah. Suaranya terdengar menggeram penuh curahan murka. "Jika kau mencoba melindunginya, aku pun terpaksa harus melenyapkan dirimu, Bocah Bagus!"

Dalam keadaan mata masih buram, Suto Sinting berkelebat membalik badan bersama bumbung tuaknya yang diayunkan memutar. Wuuung...! Gerakan secara naluriah itu menghasilkan keberuntungan bagi Pendekar Mabuk. Karena pada saat bumbung tuaknya berkelebat memutar, tubuh kurus Nini Kalong sedang menerjangnya dengan kecepatan gerak seperti tadi. Akibatnya bumbung tuak itu menghantam tubuh yang sedang melayang cepat dengan kaki berusaha menjejak dada Suto Sinting.

Beehg...! Krrrak...!

Suara tulang patah terdengar jelas. Disusul suara jatuhnya tubuh sang nenek ke tanah, kemudian suara erangan orang kesakitan yang tampak ditahan mati-matian.

Pandangan mata Suto Sinting mulai terang kembali. Ia segera lompat ke belakang ketika mengetahui tubuh Nini Kalong terkapar di depannya dalam jarak kurang dari satu langkah. Tubuh tua itu sedang berusaha bangkit dengan susah payah. Rupanya tulang punggungnya patah akibat hantaman bambu tempat penyimpanan tuak itu. Hantaman bumbung tuak bukan hanya membuat tulang punggung sang nenek menjadi patah, namun juga tulang iganya remuk dan siku kanannya hancur.

"Setan alas...!" makinya dengan suara sangat pelan, nyaris tak terdengar. Rasa sakit itu membuat suara sang nenek bagai hilang karena urat tenggorokannya mengejang keras. Napas tuanya pun tampak sulit dihela. Hantaman bumbung tuak bagai melumpuhkan seluruh tenaga Nini Kalong.

"Aku harus membawa kabur Indayani sebelum nenek tua ini sehat kembali dan menyerangnya lagi!" pikir Suto Sinting, kemudian ia segera berbalik arah dan menghampiri Indayani yang berdarah. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting begitu mengetahui tempat terpuruknya Indayani telah kosong. Gadis Dungu tak terlihat di sekitar tempat itu.

"Celaka! Siapa yang membawa lari Indayani?! Tak mungkin gadis itu lari sendiri pasti ada yang membawanya pergi saat aku bertarung dengan Nini Kalong tadi!"

* * *

TUJUH

PENDEKAR Mabuk kehilangan jejak si Gadis Dungu. Ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata Nini Kalong masih di tempat dalam keadaan tak berdaya. Napas tuanya semakin tersengal-sengal dalam keadaan mirip orang sekarat. Pendekar Mabuk iba hati melihat nenek tua semenderita itu. Batin pun berkata, "Kasihan dia. Jika kutolong dengan tuak saktiku, mungkin ia bisa jelaskan apa alasannya ingin membunuh Indayani sebelum gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Tapi bagaimana jika ternyata ia justru menyerangku setelah keadaannya sehat? Hmmm... kalau memang dia begitu, terpaksa kuhabisi tanpa ampun lagi!"

Pemikiran itulah yang membuat Suto Sinting akhirnya sembuhkan luka parahnya Nini Kalong dengan tuak saktinya. Diharapkan sang nenek dapat memberi tahu siapa orang yang melarikan si Gadis Dungu itu. Namun ketika sang nenek sudah mulai bisa bicara, ternyata ia merasa tidak tahu-menahu hilangnya si Gadis Dungu.

"Yang jelas ia terluka oleh jurus 'Talak Tujuh'-ku. Darahnya akan menjadi busuk dalam waktu singkat, kulit dan dagingnya akan keluarkan ribuan ekor belatung, dan jurus itu tak ada obatnya! Tak sampai sore hari, si Gadis Dungu akan mengalami nasib seperti itu," tutur Nini Kalong dalam keadaan masih duduk di tanah mengatur pernafasannya.

"Minumlah sekali lagi tuakku ini, biar tenagamu cepat pulih, Nini," Suto Sinting menyodorkan bumbung tuaknya dengan maksud menuang tuak ke mulut sang nenek.

Rupanya tokoh tua beraliran hitam itu menyadari kehebatan tuak Suto Sinting, dan ia membutuhkan pemulihan diri secepatnya. Maka ia pun menerima tawaran itu. Beberapa teguk tuak ditenggaknya kembali. Tuak tawaran itulah yang mempercepat tenaganya menjadi segar serta pernafasannya menjadi semakin lancar. Dalam hati sang nenek merasa kagum terhadap kehebatan tuak tersebut, sehingga meluncurlah pertanyaan dari mulut tuanya yang telah bergigi ompong itu,

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"

"Kalau kukatakan siapa diriku sebenarnya, apakah kau akan percaya, Nini Kalong?" Suto Sinting agak sangsi menyebutkan namanya karena ia khawatir sang nenek tak mau percaya seperti si Gadis Dungu itu.

"Siapa pun dirimu aku akan mempercayainya, karena kau telah menyambung nyawaku. Aku berhutang nyawa denganmu walau aku tak suka menerima kekalahan ini. Katakanlah siapa dirimu, Anak Muda!" sambil ia berusaha berdiri dan tangan Suto Sinting membantunya untuk bangkit.

"Aku yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, Nek."

Perempuan tua renta itu terkejut, mata cekungnya menatap penuh curiga. Ia sempat bergumam dalam nada tanya, "Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalangitu?!"

"Benar, aku murid mereka, Nek."

"Celaka!" gumamnya lagi dalam nada geram seperti menyimpan kecemasan. Matanya beralih pandang ke arah lain membuat Suto Sinting kerutkan dahi.

"Mengapa kau tampak cemas, Nini Kalong?!"

"Kalau kutahu kau murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, tak sudi aku menerima pertolonganmu. Kedua gurumu itu masih punya hutang nyawa padaku. Seharusnya kubunuh kau sebagai pembalasan atas kematian Raguli dan Kusmini, adik-adikku itu!"

"Kalau begitu kita lanjutkan pertarungan kita sampai salah satu ada yang kehilangan nyawa!" tantang Suto Sinting yang merasa tak suka kedua gurunya terancam dendam Nini Kalong.

Namun agaknya perempuan tua berjubah hitam itu punya perhitungan sendiri terhadap anak muda tersebut. "Kau satu-satunya orang yang mampu hancurkan tongkatku. Rasa-rasanya kedua gurumu itu belum tentu mampu hancurkan tongkatku. Berarti kuanggap kau lebih tinggi dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Hmmm..., kurasa tak perlu lagi pertarungan ini kita lanjutkan."

"Kalau begitu, tentunya kau mau jelaskan apa alasanmu hingga ingin membunuh si Gadis Dungu itu!"

Pendekar Mabuk menenggak tuak yang ketiga kalinya, tuak yang pertama ditenggak sebelum ia berlari mencari jejak kepergian Indayani. Dengan begitu tubuh Suto Sinting menjadi lebih segar lagi dari setelah menenggak tuak yang kedua saat ingin menolong Nini Kalong tadi.

Setelah diam beberapa saat, Nini Kalong yang berdiri dengan agak bungkuk itu mulai jelaskan alasannya kepada Pendekar Mabuk yang secara diam-diam ditakuti itu. "Apakah kau belum mengerti bahwa beberapa tokoh aliran hitam akan mengincar kematian si Gadis Dungu itu, sebelum gadis tersebut mencapai usia dua puluh lima tahun?!"

"Aku tahu hal itu, tapi aku tak mengerti apa alasan mereka!" jawab Suto Sinting dengan nada tegas.

"Sebuah kitab kuno baru-baru ini ditemukan di dasar samudera oleh tokoh tua aliran hitam yang bernama: si Raja Borok. Kitab itu sendiri adalah kitab Samak Kubur yang berisi tentang ramalan-ramalan masa depan bagi dunia persilatan aliran hitam."

"Siapa pemilik kitab itu sebenarnya?"

"Aslinya milik mendiang Resi Tambak Nujum yang tewas dalam perjalanan pulang dari tanah Tibet," jawab Nini Kalong sejujurnya. Ia merasa perlu menjelaskan hal itu dengan maksud agar Suto Sinting tidak ikut campur lagi dalam urusan tersebut.

"Kitab Samak Kubur sejak dulu kala sangat dipercaya ramalannya karena selalu tepat dan tidak pernah meleset sedikit pun. Kitab itu sempat hilang bersama hancurnya kapal yang ditumpangi Resi Tambak Nujum dari tanah Tibet. Orang yang menghancurkan kapal itu adalah Siluman Tujuh Nyawa; manusia terkutuk yang dibenci oleh para tokoh baik dari aliran hitam maupun dari aliran putih."

"Ya, aku kenal dengan Siluman Tujuh Nyawa yang sampai sekarang masih menjadi buruanku itu!" sela Pendekar Mabuk sambil mengenang tokoh sesat yang dikutuk oleh neneknya sendiri menjadi manusia terkutuk selama tiga ratus tahun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

Nini Kalong lanjutkan kata-katanya, "Salah satu ramalan yang tertulis dalam Kitab Samak Kubur itu adalah kelahiran seorang bayi dari rahim perempuan tanpa jari. Bayi itu adalah bayi titisan Dewa Pelebur Teluh yang akan menjadi malapetaka bagi para tokoh aliran hitam. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa bayi itu akan menjadi manusia maha sakti yang tak bisa dilawan dan bertugas menghancurkan para tokoh aliran hitam selama satu tahun, yaitu pada saat si bayi berusia dua puluh lima tahun. Satu-satunya orang yang bisa menumbangkan kekuatan sakti bayi itu hanya si jahanam; Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa."

Pendekar Mabuk sengaja tidak memotong cerita Nini Kalong. Ia hanya manggut-manggut sambil menyimak baik-baik cerita tersebut. Nalurinya mengatakan bahwa cerita itu bukan dongeng atau karangan sang nenek belaka, namun suatu kenyataan yang ditakuti oleh para tokoh aliran hitam.

"Perempuan tanpa jari itu adalah Punjani, yang menikah dengan seorang pendeta murtad. Bayi pertama yang dilahirkan Punjani itulah yang menjadi bayi titisan Dewa Pelebur Teluh. Beberapa tokoh aliran hitam mengetahui Punjani melahirkan bayi yang kemudian diasuh oleh Nyai Serat Biru karena kematian Punjani terjadi pada saat sang bayi masih berusia dua tahun. Bayi itu adalah Indayani; si Gadis Dungu!"

"Hmmm...." Suto Sinting menggumam panjang dan manggut-manggut kembali. Rasa penasarannya mulai terkikis dan hatinya merasa lega mendengar penjelasan tersebut. Tetapi sang nenek peot masih lanjutkan penjelasannya yang membuat Pendekar Mabuk tak mau angkat bicara dulu.

"Sebab itu aku dan beberapa tokoh aliran hitam lainnya segera mencari Indayani begitu kabar ditemukannya Kitab Samak Kubur tersebar ke mana-mana. Gadis itu sekarang baru berusia dua puluh tiga tahun. Sebelum ia mencapai usia dua puluh lima tahun harus segera dibunuh agar kelak tak menjadi biang petaka bagi aliran kami."

Pendekar Mabuk membatin, "Pantas Indayani banyak yang ingin membunuhnya. Bahkan kekasihnya sendiri; Pangeran Umbardanu juga ingin membunuhnya. Berarti Pangeran Umbardanu penganut aliran hitam. Mungkin ia ditugaskan oleh gurunya untuk membunuh Indayani demi keutuhan aliran hitam."

Suasana bisu sejurus itu dipecahkan oleh suara tua Nini Kalong yang memandang Suto Sinting dengan sorot pandangan lunak, seakan menyimpan harapan yang dalam. "Ku mohon kau tidak ikut campur dalam urusan ini, Suto Sinting. Jika kau masih memihak gadis itu, maka kau akan berhadapan dengan sekian banyak tokoh aliran hitam."

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis. Setelah menengok ke tempat hilangnya Indayani, ia berkata dengan nada menyindir ucapan Nini Kalong tadi. "Bukankah Indayani telah terkena jurus mautmu yang bernama jurus 'Talak Tujuh' itu?! Mengapa kau masih menaruh harapan agar aku tidak memihaknya? Apakah kau punya kekhawatiran bahwa Indayani akan selamat dari luka jurus 'Talak Tujuh'-mu itu?!"

"Jika kau berhasil menemukannya, tentunya kau akan meminumkan tuak itu kepadanya. Kurasa... kurasa hanya tuakmu yang mampu mengalahkan keganasan racun dalam jurus 'Talak Tujuh'-ku itu, Suto Sinting."

Nini Kalong berkata dengan wajah lesu, seakan ia kecewa terhadap kesaktian tuak Suto yang mampu lumpuhkan berbagai macam racun, seperti kabar burung yang tersebar dan sampai di telinga Nini Kalong sendiri. Sebenarnya Nini Kalong sempat mempunyai niat untuk merebut dan melenyapkan bumbung tuak tersebut. Namun begitu ingat tongkat saktinya saja bisa hancur oleh bambu bumbung itu, maka ia merasa tipis harapan dan membatalkan niatnya demi keselamatan jiwanya.

Sementara itu, Suto Sinting segera mempunyai gagasan baru, yaitu memburu titisan Dewa Pelebur Teluh untuk menyelamatkannya dari luka akibat jurus 'Talak Tujuh' itu. Dalam hati Suto Sinting berkata, "Aku harus menemukan Indayani secepatnya, sebelum darahnya membusuk dan raganya berbelatung. Gadis itu harus kuselamatkan, karena kelak akan menjadi Sang Pelebur Teluh selama satu tahun. Agaknya aku pun harus mendampingi gadis itu agar tak terjangkau oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi satu-satunya tokoh sesat berbahaya bagi nyawa Indayani"

Nini Kalong berkata, "Kulihat gelagatmu ingin mencari gadis itu, Suto Sinting. Ku mohon sekali lagi hentikan niatmu dan jangan campuri urusan ini!"

"Aku hanya ingin mengetahui siapa orang yang membawanya lari dalam keadaan luka separah itu," Suto Sinting merasa tak enak hati, niatnya diketahui oleh Nini Kalong. Karenanya Ia mencoba beralasan seperti itu.

Namun tokoh tua yang sangat tinggi ilmunya itu tidak mudah percaya begitu saja. "Jika kau masih bersikeras untuk melindungi Indayani, terpaksa kau harus bertarung denganku lagi sampai kematianku tiba. Aku rela korbankan nyawaku demi membela aliran hitamku!"

Tantangan halus itu ditanggapi dengan senyum tipis oleh Pendekar Mabuk. Wajah sang nenek kelihatan semakin cemas, hatinya gusar dan waswas. Akhirnya Suto Sinting berkata kepadanya, "Sepertinya kau cukup yakin bahwa aku akan menemukan Indayani, padahal kau tahu aku sedang kebingungan dan tak tahu siapa orang yang melarikan Indayani."

"Bukan Pendekar Mabuk jika tak bisa temukan di mana Indayani berada. Aku percaya dengan kemampuan otakmu. Gila Tuak tak akan mau mempunyai murid yang otaknya tumpul."

"Barangkali dugaanmu memang benar. Tapi mengapa kau paksakan diri untuk menantang pertarungan denganku sampai tiba kematianmu? Tidakkah kau sayang dengan nyawa dan ragamu?"

"Percuma aku lolos dari kematian tanganmu jika Indayani terselamatkan oleh tuak saktimu. Tak urung dua tahun lagi, saat Indayani berusia dua puluh lima tahun, ia akan menjadi bencana bagi hidupku. Ia akan membunuhku dan aku tak akan mampu menan- dinginya. Karena memang begitulah yang tersurat dalam Kitab Samak Kubur itu, Suto."

"Jika kau ingin panjang umur dan awet hidup, keluarlah dari aliran hitam dan berhentilah menjadi orang sesat!"

Nini Kalong diam beberapa saat seperti dihinggapi suatu keraguan yang menggelisahkan. Sejenak kemudian ia pun berkata dengan suara pelan, "Tak semudah itu tindakan yang harus kulakukan. Aku sudah telanjur berlumur dosa sampai setua ini. Tak ada pengampunan bagi orang sepertiku ini, Suto Sinting."

"Tak ada kata terlambat dalam pertobatan, Nini! Kujamin keselamatanmu jika kau mau berpindah aliran dan meninggalkan jalan sesatmu sebagai Penunggu Hutan Rawa Kotek selama ini!"

Nenek renta kembali bungkamkan mulut pandangi Suto Sinting tak berkedip. Yang dipandang justru tersenyum-senyum tipis dengan tatapan mata lembut bagai suatu kekuatan penjinak jiwa yang liar. Agaknya sang nenek sedang dalam pertimbangan yang kian meresahkan hatinya. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang muncul dari balik semak belukar di belakang Suto Sinting.

"Lupakan bujukan bocah kemarin sore itu, Nini Kalong!"

Pendekar Mabuk segera palingkan wajah ke arah belakang. Matanya terkesiap memandang kemunculan seorang wanita cantik yang masih kelihatan muda, berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sekal dan menggairahkan tiap lelaki. Dadanya montok penuh tantangan yang menebarkan hati lawan jenisnya. Hidungnya mancung, bola matanya mempunyai manik mata warna coklat, sedikit sayu penuh bayangan cumbu.

Nini Kalong menyapa lirih perempuan berambut sanggul tengah sisanya meriap itu dengan nada bimbang, "Rumisita...?!"

Pendekar Mabuk mendengar nama itu diucapkan, namun ia masih belum mengenali perempuan tersebut, sebab nama Rumisita adalah nama yang baru kali itu didengarnya. Pandangan mata Suto Sinting tak mau lepas dari wajah cantik Rumisita yang memancarkan daya pesona cukup tinggi.

"Selancang itu kau bicara di depan orang setua Nini Kalong, Pendekar Mabuk! Tak takutkah jika mulutmu robek mendadak?!" ujar Rumisita dengan sikap bermusuhan, wajah cantiknya tampak galak namun tetap menyebarkan kekaguman bagi setiap lelaki.

"Dari mana kau tahu namaku, sedangkan aku tak tahu siapa dirimu, Wanita Cantik?!"

Perempuan berjubah kuning tua dengan pinjung penutup dada montoknya berwarna ungu seperti warna celana ketatnya itu, semakin dekatkan langkah sambil tangannya memainkan sebatang ranting ber- daun ujungnya yang tampak belum lama dipetik dari sebuah pohon di sekitar tempat itu.

"Bumbung tuakmu dan ciri ketampanan wajahmu membuatku teringat pada cerita orang-orang udik tentang murid sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk, bernama Suto Sinting. Dugaanku semakin yakin, setelah kudengar percakapanmu dengan Nini Kalong yang bermaksud kurang ajar terhadap orang setua Nini Kalong. Kuanggap bujukanmu itu suatu kelancangan yang patut mendapat hukuman penggal di dalam aliran hitam."

Suto Sinting sunggingkan senyum menawan setelah sadar bahwa perempuan cantik itu benar-benar bermusuhan dengannya. Senyuman lebar itu mengandung kekuatan gaib yang dapat memikat lawan jenisnya. Senyuman itu sebuah jurus warisan dari Bibi Gurunya; Bidadari Jalang, yang dinamakan jurus 'Senyuman Iblis', di mana ketika Bidadari Jalang menjadi orang sesat sering digunakan untuk memikat lawan jenisnya, menundukkan kekuatan dan keangkuhan setiap lelaki yang disukainya.

Agaknya jurus 'Senyuman Iblis' mulai berpengaruh dalam jiwa Rumisita. Batin perempuan berjari lentik mulai gelisah, jantung mulai berdetak cepat, hati pun berdebar-debar digeluti perasaan kasmaran. Namun ia pandai menyembunyikan dan menahan gejolak kasmarannya dengan permainan nafasnya yang teratur, sesekali tertahan di rongga dadanya.

"Tak kusangka wanita secantik kau ternyata tergolong dalam tokoh beraliran hitam, Rumisita," ujar Suto Sinting bernada melecehkan sikap Rumisita.

Perempuan itu sunggingkan senyum tipis sambil mengendalikan napasnya agar tak semakin resah. "Apa pedulimu?!" jawab Rumisita dengan ketus. "Kau pikir aliran hitam tak bisa menumbangkan aliran putih?! Jika kau ingin membuktikan kekuatan aliran hitamku, kau harus siap korbankan nyawamu dalam dua jurus!"

Suto Sinting tertawa tanpa suara. "Kau menantangku, Rumisita?! Apakah kau cukup mampu menumbangkan diriku?!"

"Jika aku tak mampu menumbangkan dirimu dalam dua jurus, akan kulepas gelarku sebagai Peri Kedung Hantu!"

"Ooh...?!" Suto Sinting terkejut mendengar nama 'gelar' Peri Kedung Hantu yang sebenarnya hanyalah nama julukan belaka itu. Nama tersebut mengingatkan Suto Sinting pada nama Nyai Serat Biru yang terkena Racun Batu Bisu-nya Peri Kedung Hantu. Pandangan mata Pendekar Mabuk menjadi tajam. Dengan suara tegas namun berkesan wibawa, Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Peri Kedung Hantu yang ternyata bernama asli Rumisita.

"Apakah kau juga menghendaki kematian Indayani?!"

"Sebenarnya tak perlu kau tanyakan lagi, Suto Sinting. Bagaimanapun juga murid si Serat Biru itu harus mati sebelum usia dua puluh lima tahun!"

"Oh...," Suto Sinting manggut-manggut. "Rupanya hasrat membunuh Indayani itulah yang membuatmu menyerang perguruannya dan melumpuhkan Nyai Serat Biru dengan Racun Batu Bisu andalanmu itu, Rumisita?!"

Mata perempuan itu sedikit terkesiap, lalu senyum sinisnya tersungging tipis dengan pandangan mata sedingin salju. "Perguruan itu terpaksa kuhancurkan, Racun Batu Bisu terpaksa kutanamkan pada tubuh Serat Biru, karena mereka sembunyikan si Gadis Dungu itu!"

"Rumisita...!" tukas Nini Kalong dengan tegas. "Rupanya kau sudah melanggar peraturan aliran hitam untuk tidak menggunakan Racun Batu Bisu?! Apakah kau tak ingat perjanjian tersebut, bahwa Racun Batu Bisu hanya boleh digunakan untuk melumpuhkan si Gila Tuak atau Bidadari Jalang saja?!"

"Aku terpaksa, Nini! Serat Biru tak bisa dilumpuhkan jika tidak menggunakan Racun Batu Bisu!"

"Apa pun alasanmu kau sudah melanggar larangan dan perjanjian dalam aliran hitam!" Nini Kalong sedikit menyentak.

"Persoalan itu kita bicarakan nanti saja, Nini. Yang penting kita lumpuhkan dulu bocah kemarin sore yang ingin berlagak menjadi pelindung si Gadis Dungu itu!" sambil matanya berpindah ke wajah Suto Sinting. "Pendekar Mabuk, sebelum kau tampil sebagai pelindung titisan Dewa Pelebur Teluh itu, hadapilah Peri Kedung Hantu ini!" ia menepuk dadanya.

"Akan kulayani jika itu maumu, Rumisita!" jawab Suto Sinting tanpa gentar sedikit pun.

Bed, bed, bed...!

Kedua tangan Peri Kedung Hantu bergerak cepat membuka jurus. Badannya tetap tegak walau ka- kinya sedikit merendah. Pandangan matanya tertuju lurus ke wajah Suto Sinting. Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping dengan lamban, namun sorot pandangan matanya tak mau lepas dari tubuh elok di depannya. Tali bumbung tuak sudah tergenggam melingkar di tangan kanannya. Ia melangkah sambil menenteng bumbung itu bagai ingin mengitari Peri Kedung Hantu.

Nini Kalong justru mundur ke bawah pohon, seakan tak mau mencampuri pertarungan itu, namun ingin menyaksikan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Bola mata di balik rongga yang bertulang menonjol itu bergerak-gerak menyimpan rasa was-was ketika ia melihat telapak tangan Peri Kedung Hantu mulai berasap tipis.

"Ia langsung menggunakan jurus 'Tangan Malaikat' yang cukup dahsyat itu. Ini menandakan bahwa Peri Kedung Hantu menyadari kekuatan lawannya yang tak boleh diremehkan," pikir Nini Kalong. "Tapi mampukah jurus itu menandingi kesaktian Pendekar Mabuk yang sering disebut-sebut sebagai anak muda berilmu gila-gilaan itu?! Jangan-jangan Rumisita sendiri yang tumbang oleh kesaktian si tampan Suto Sinting itu?!"

"Hiaaah...!" pekik Peri Kedung Hantu sambil melesat maju dalam satu lompatan. Kedua telapak tangannya yang sudah berasap dihantamkan ke dada Suto Sinting. Tangan pemuda tampan itu berkelebat cepat menangkis pergelangan tangan lawan. Des, des, des, des...! Serangan beruntun berhasilditangkis dengan satu tangan. Bahkan dalam satu kesempatan tangan kiri Suto Sinting yang dipakai menangkis berkali-kali itu berhasil menyodok ke depan dan pangkal telapak tangannya menghantam dagu Peri Kedung Hantu cukup kuat.

Duuhg...!

"Uufh...!" Peri Kedung Hantu terdorong mundur tiga tindak dengan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Wajahnya menjadi semburat merah. Hantaman Suto Sinting mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, tetapi hentakan napas tertahan yang dilakukan Rumisita membuat pukulan bertenaga dalam itu tak begitu membahayakan jiwanya.

"Gila! Pukulan yang kusangka biasa-biasa saja sempat membuat dagu Rumisita menjadi biru memar?!" gumam hati Nini Kalong.

Rumisita semakin berang setelah menerima pukulan yang membuat tulang dagunya seperti remuk itu. Kedua tangannya berkelebat membuka jurus lagi dengan asap yang keluar dari pori-pori telapak itu semakin banyak. "Kuhancurkan kepalamu, Jahanam!" seru Peri Kedung Hantu.

"Majulah lagi, Cantik!" pancing Suto Sinting sambil tubuhnya menggeloyor bagai orang mabuk ingin jatuh tersungkur, namun ternyata tubuh itu hanya meliuk sebentar dan tegak kembali pada saat kedua tangan lawan menghantam ke arah kepalanya.

Wut, wut, wut...! Telapak tangan itu kenai tempat kosong. Tapi gelombang tenaga dalam yang telah telanjur keluar tanpa sinar itu telah menghantam gugusan batu dan akar sebuah pohon besar.

Brruuss...! Jebrrruusss...!

Gugusan batu hancur menjadi serbuk lembut bagaikan tepung. Pohon besar itu hancur bagian akarnya dan tumbang setelah lima hitungan.

Wwrrrr...! Brrruuukkk...!

Nini Kalong terpental karena dahan pohon ada yang menyambarnya dari belakang. Ia tak menduga pohon yang ada di arah sampingnya agak jauh itu tumbang sampai ke tempatnya berdiri. Akibatnya punggung bungkuk Nini Kalong terhantam dahan berukuran agak besar dan tubuh itu terpental ke depan, lalu jatuh tersungkur secara sia-sia.

"Monyet kurap!" makinya dengan hati jengkel dan segera berusaha bangkit.

Ketika itu, Rumisita mulai lakukan serangan jarak jauh setelah ia tak berhasil menjejak dada Suto Sinting. Jejakan kakinya yang bertenaga dalam mengenai bumbung tuak yang disilangkan di depan dada dengan dipegangi dua tangan. Akibatnya, tubuh Rumisita terlempar ke belakang dan cepat bersalto untuk menjaga keseimbangan dalam menapak nanti.

Jleeg...!

Peri Kedung Hantu berdiri tegak dengan pandangan mata kian garang. Ia segera membentangkan kedua tangannya ke samping, lalu dengan sentakkan lembut kakinya menghentak ke tanah. Tubuhnya terbang seperti seekor burung garuda yang mengembang sayap.

Wuuusss...!Lalu dari kedua matanya melesat sinar merah lurus menghantam Suto Sinting. Clap, clap...! Sementara itu, kedua tangannya segera bergerak lurus, dan dari kesepuluh jarinya mengeluarkan sinar patah-patah warna hijau bening.

Slap, slap, slap, slap, slap, slap...!

Pendekar Mabuk sempat terkejut dan sedikit bingung. Dua sinar merah dari mata lawan yang melesat ke arahnya segera dihindari dengan satu lompatan ringan lurus ke atas. Wuuut...! Tapi kesepuluh sinar hijau patah-patah itu menerjang dari bawah dan atas. Bambu bumbung tuak segera digunakan untuk menangkis sinar-sinar tersebut. Tetapi tiga sinar hijau patah mengenai paha dan perut Suto Sinting.

Zrruubb...! Jooosss...!

"Aaahg...!" Suto Sinting memekik kesakitan dengan luka bakar yang mengepulkan asap merah akibat terkena tiga sinar hijau patah itu.

Sisa sinar lainnya berhasil lolos dari tubuhnya, sebagian lagi ada yang memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Wuuutt...! Sedangkan dua sinar merah itu menghantam dua pohon yang berada jauh di belakang Suto Sinting.

Blegaar...! Jegaar...!

Dua pohon itu langsung hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu menyebar ke mana-mana menimbulkan suara gaduh dan menghujani tempat pertarungan mereka. Sepotong dahan berukuran sebesar telapak tangan jatuh tepat di kepala Nini Kalong.

Pletok...!

"Aauh...!" nenek peot itu meringis kesakitan dan menggerutukan makian tak begitu jelas. Tangannya mengusap-usap kepala yang terkena pecahan dahan pohon itu. Tiga sinar hijau yang berubah menjadi lebih besar dari aslinya dan berbalik menyerang Rumisita itu membuat perempuan tersebut tercengang kaget. Gerakan layangnya oleng demi menghindari ketiga sinar itu. Tapi salah satu sinar ternyata tak mampu dihindari, sehingga sinar hijau itu menghantam pundak pemiliknya sendiri.

Jrrabb...!

"Aaaahhg..!!" Peri Kedung Hantu menjerit keras, lalu tubuhnya roboh ke tanah bersamaan robohnya tubuh Suto Sinting.

"Bangsat kauuu...!" geramnya dengan suara berat karena menahan rasa sakit di bagian pundak. Pundak itu terluka parah, koyak lebar sampai ke bagian punggung. Darah pun menyembur dari luka tersebut, memancarkan cairan hitam bersama kepulan asap tebal menandakan adanya daya pembakar cukup tinggi.

Sementara itu Suto Sinting pun mengalami luka cukup parah. Paha dan perutnya berlubang hitam sebesar biji salak. Asap masih mengepul dari luka tersebut bagaikan daging hidup ditusuk dengan besi membara. Luka itu membuat Suto Sinting banyak kehilangan tenaga untuk menahan rasa sakitnya. Dalam keadaan seperti itu, bumbung tuaknya terlepas dari genggaman tangan dan tergeletak dalam jarak satu jangkauan tangan lebih sedikit. Pendekar Mabuk menyeringai kesakitan saat memaksakan diri untuk meraih bumbung tuaknya. Ketika ia merayap, ternyata Peri Kedung Hantu masih sempat lepaskan jurus mautnya dari jarak jauh. Seberkas sinar merah berbentuk tombak melesat dengan cepat dari telapak tangannya.

Weeesss...!

Pendekar Mabuk tak melihat gerakan sinar seperti tombak itu. Tetapi tiba-tiba sinar biru bagaikan bintang berekor melesat dari samping dan menghantam sinar merah tersebut.

Blegaaar...!

Benturan kedua sinar itu menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitar tempat itu, menggetarkan beberapa pohon bahkan sampai ada yang tumbang sebagian. Daun-daun berguguran karena gelombang getaran ledak yang cukup kuat. Tubuh Rumisita sendiri terdorong mundur dalam keadaan duduk di tanah.

Srrrooottt...! Bhheeg!

Punggungnya menghantam batu sebesar anak sapi. Kerasnya benturan punggung sempat membuat batu itu retak bagian atasnya. Krrak...! Rupanya sinar biru tadi datang dari tangan Nini Kalong yang tidak menginginkan sinar merahnya Rumisita mengenai Suto Sinting. Bahkan nenek itu serta-merta melesat dengan sangat cepat. Tangan kurusnya mampu menyambar tubuh Suto Sinting yang mulai terkulai lemas. Bumbung tuak itu pun berhasil disambar dengan kaki kirinya. Wuuut...! Lalu ditangkap oleh tangan kiri pula. Taab...! Dalam keadaan hanya sekejap tubuh kekar Pendekar Mabuk sudah berada di atas pundak Nini Kalong.

"Lepaskan dia, Nini Kalong! Hancurkan kepalanya sekarang juga!" teriak Peri Kedung Hantu dengan sisa tenaganya sambil menyeringai kesakitan.

"Dia telah menyelamatkan nyawaku, sekarang aku pun ingin membayar hutangku padanya!" kata Nini Kalong. "Mungkin lain waktu kita akan jumpa berbeda suasana, Rumisita!"

Wuuut...! Nini Kalong berkelebat pergi sambil memanggul Pendekar Mabuk, sementara Peri Kedung Hantu hanya bisa menggeram dengan jengkel dan sibuk menahan rasa sakitnya.

"Jahanam! Apa maksud nenek peot itu membawanya lari?! Mau dibawa ke mana si bocah gendeng itu?! Hhmmmrr...!"

* * *

DELAPAN

RUPANYA Nini Kalong punya kesan tersendiri di balik pertemuannya dengan Pendekar Mabuk. Melalui bantuannya Suto Sinting berhasil meneguk tuaknya dan membuat lukanya menjadi sembuh. Hal itu dilakukan setelah Nini Kalong membawanya ke tempat yang aman, jauh dari pertarungan Suto Sinting dengan Peri Kedung Hantu.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini Kalong," ucap Suto Sinting saat pertama menyadari dirinya telah tertolong dari luka bakar yang semakin melebar itu.

"Kau sudah cukup jauh dari Rumisita. Ia tak akan mungkin bisa mengejarmu sampai di sini, apalagi dalam keadaan terluka."

"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku, Nini?"

"Karena kau menyelamatkan nyawaku juga!" jawab nenek bongkok berkulit keriput itu. "Aku sudah tidak mempunyai hutang padamu. Kelak jangan menagih hutangku padamu. Sudah kubayar hari ini juga!" ujar sang nenek sambil melangkah menjauhi Suto Sinting.

"Aku mengerti maksudmu, Nini. Tapi... hei, mau ke mana kau, Nini Kalong?!"

"Kembali ke Hutan Rawa Kotek."

"Benarkah kau kembali ke sana?"

"Aku butuh keheningan untuk merenungi ucapanmu tadi."

"Ucapan yang mana?!"

"Kelak kau akan tahu sendiri jika kita jumpa lagi, Nak. Selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik!"

Weeees...! Nini Kalong bagaikan lenyap ditelan bumi, padahal ia melesat cepat hampir menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk.

"Apa maksud kata-katanya itu? Tak bisa diterka secara pasti!" pikir Suto Sinting, kemudian ia menarik napas dalam-dalam, menenggak tuak sekali lagi, lalu bergegas melangkah ke selatan sambil membatin, "Yang terpenting bagiku sekarang ini adalah mencari si Gadis Dungu. Gadis titisan dewa itu harus kuselamatkan dari ancaman maut jurus 'Talak Tujuh', agar kelak ia benar-benar menjadi sang pelebur para tokoh sesat selain Siluman Tujuh Nyawa. Untuk tokoh sesat yang satu itu, hanya akulah tandingannya!"

Baru dua langkah bergerak maju, tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara dentuman menggelegar dari arah utara. Dentuman itu cukup dahsyat, karena tanah tempatnya berpijak terasa bergetar dan langit bagaikan bergemuruh menyeramkan karena gema leda- kan tersebut membubung ke angkasa.

"Pasti di sana ada pertarungan sangat seru!" kata Suto Sinting dalam hatinya. "Hhmmm... pertarungan siapa yang sampai hadirkan ledakan sedahsyat tadi? Aku jadi sangat penasaran ingin melihatnya!"

Maka tanpa berpikir dua kali lagi, Pendekar Mabuk segera melesat ke arah utara mendekati daerah lembah yang berhutan renggang itu. Tempat yang aman untuk sementara adalah sebuah pohon berdaun rindang dengan dahan-dahannya yang bercabang dan kokoh. Di pohon itu Suto Sinting sembunyikan dirinya mengintai pertarungan yang terjadi dalam jarak sekitar lima belas langkah dari pohon tersebut. Kedua mata Pendekar Mabuk tampak terkesiap setelah mengetahui siapa yang ada dipertarungan itu.

"Gadis Dungu ada di sana?!" gumam hati Suto bernada heran.

Indayani, si Gadis Dungu, duduk bersandar pada sebuah batang pohon yang sudah kering. Keadaannya sangat lemah, tak memiliki daya apa pun. Tubuhnya semakin merah matang, bahkan tampak membusuk di bagian pipinya. Sedangkan darah yang mengalir dari hidung dan telinganya tampak hitam menyebarkan aroma busuk. Untung Suto Sinting be- rada dalam jarak cukup jauh sehingga bau busuk itu tidak terlalu tajam bagi hidungnya yang bangir itu.

Tetapi selain si Gadis Dungu, tampak seorang perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun berpakaian jubah putih dengan pakaian dalamnya warna biru tua, sedang bertarung melawan seorang lelaki tua berjubah hijau tanpa lengan. Orang itu tak lain adalah si Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat Jagal yang tampaknya hanya sendirian tanpa seorang murid pun. Dupa Dewa kelihatan bernafsu sekali ingin membunuh Indayani, namun serangannya selalu dipatahkan oleh si perempuan berjubah putih dengan rambut disanggul seluruhnya. Sehelai selendang biru dari kain sutera tipis dikalungkan dilehernya.

Rupanya ledakan dahsyat tadi adalah pertarungan adu tenaga dalam antara Dupa Dewa dengan perempuan berselendang biru itu. Gelombang ledakannya membuat Dupa Dewa sempat terdorong ke belakang dan membentur pohon, lalu pohon itu tumbang akibat benturan bertenaga dalam tersebut. Sedangkan si perempuan berselendang biru hanya terdorong ke belakang dengan keadaan kedua kaki masih bisa berdiri tegak.

"Hentikan kepicikanmu, Dupa Dewa! Aku tak ingin diantara kita ada yang tewas hanya karena kebodohan aliranmu!" ujar perempuan berselendang biru yang memiliki manik mata warna biru kehitaman itu. Tetapi agaknya Dupa Dewa masih memancarkan murkanya melalui pandangan mata yang sangat tajam dan ganas.

"Jika kau tak ingin terjadi korban di antara kita, serahkan anak Punjani itu padaku! Aku tak ingin gadis itu menjadi pembantai para tokoh aliran hitam setelah berusia dua puluh lima tahun. Aku tak ingin Gadis Dungu membunuhku dua tahun lagi. Jika kau masih membela titisan Dewa Pelebur Teluh itu, maka aku tak akan segan-segan mengorbankan nyawamu sebagai tumbal keselamatan aliranku, Serat Biru!"

Suto Sinting terperanjat mendengar nama perempuan itu disebut oleh Dupa Dewa. Hati sang pendekar tampan pun berkata, "Jadi... perempuan berselendang biru itu adalah Nyai Serat Biru, guru si Gadis Dungu?! Masih semuda dan secantik itukah guru si Gadis Dungu? Oh, ya... pasti usianya sudah cukup tua, hanya saja karena ia memiliki ramuan atau ilmu awet muda, maka ia masih kelihatan secantik sekarang. Tapi... tapi bukankah Nyai Serat Biru dalam keadaan sakit karena ter- kena Racun Batu Bisu? Mengapa keadaannya sesehat ini?! Apakah sudah berhasil disembuhkan oleh seseorang?!"

Terdengar lagi suara Dupa Dewa berseru kepada Nyai Serat Biru yang masih bersikap melindungi muridnya itu. "Jika kau tetap melindungi muridmu itu, maka lebih baik kalian berdua kulenyapkan dengan jurus mautku sekarang juga!"

"Dupa Dewa, dengarkan penjelasanku dulu!"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" bentak Dupa Dewa tampak berang sekali. Matanya memancarkan nafsu membunuh sangat besar.

"Kalian salah menafsirkan ramalan dalam Kitab Samak Kubur! Punjani memang mempunyai anak titisan Dewa Pelebur Teluh, tapi itu hanya terjadi pada anak pertamanya."

"Gadis Dungu adalah anak Punjani!"

"Memang. Tapi Punjani mempunyai dua anak dari mendiang suaminya; si Pendeta Murtad itu. Anak yang pertama yang lahir dari rahim Punjani adalah Andardini. Dua tahun kemudian lahirlah Indayani, muridku itu! Tapi pada saat Indayani berusia tiga bulan, kakaknya meninggal dalam gendongan ayahnya saat sang ayah melakukan pertarungan dengan cucu Resi Tambak Nujum yang beraliran hitam itu."

"Kau pikir semudah itukah kau mendustaiku, Serat Biru!"

"Ini bukan dusta, Dupa Dewa! Andardini itulah bocah titisan Dewa Pelebur Teluh, dan bocah itu sudah tewas dalam usia dua tahun lebih beberapa bulan. Indayani, muridku, adalah anak kedua yang tidak menjadi bayi titisan Dewa Pelebur Teluh! Kau tak perlu takut kepada Indayani walau ia kelak berusia dua puluh lima tahun, Dupa Dewa!"

"Hentikan bualanmu itu!" bentak Dupa Dewa. "Aku tak peduli dengan celoteh murahanmu itu, Serat Biru! Gadis itu harus kubunuh sekarang juga!"

"Kalau begitu kau harus membunuhku lebih dulu, Dupa Dewa!" ujar Nyai Serat Biru sambil menarik selendangnya yang kini sudah berada di tangan kanannya.

Hati Suto Sinting berkata, "Kalau begitu Gadis Dungu adalah korban salah sasaran! Oh, nasibnya lebih menyedihkan sekali jika ia mati busuk akibat racun Nini Kalong tadi. Sebaiknya aku segera membawanya ke tempat aman dan mencoba mengobatinya dengan tuakku ini!"

Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat sangat cepat hingga tak mampu dilihat mata lagi. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyai Serat Biru di mana pada saat itu Nyai Serat Biru segera melompat ke depan dengan selendangnya dikibaskan ke arah Dupa Dewa. Wuuut...!

Blaaaarrr...!

Cahaya biru yang melesat dari ujung selendang menyambar kepala Dupa Dewa. Tetapi dari tangan Dupa Dewa segera keluarkan cahaya merah yang memercik dalam sekejap dan menyambar sinar biru petir dari ujung selendang tersebut. Akibatnya terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan menyebarkan gelombang hawa panas segera membubung ke angkasa. Dedaunan pohon menjadi sasaran gelombang hawa panas itu. Daun-daun menjadi kering seketika, lalu berguguran terbawa angin ke arah timur.

Pendekar Mabuk tak pedulikan dulu pertarungan itu. Ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Gadis Dungu sampai beberapa tegukan. Setelah berhasil meminumkan tuak, napas Suto Sinting terhempas lega, kemudian ia sendiri ikut menenggak tuak dengan mata melirik ke arah pertarungan mantan se- pasang kekasih itu. Agaknya mereka benar-benar telah bertekad untuk saling membunuh, sehingga kekuatan mereka sama-sama terkuras dan saling diadu kesaktiannya.

Baru saja Suto Sinting ingin memeriksa keadaan Gadis Dungu, tiba-tiba dari balik gerumbulan semak muncul orang-orang kerdil yang berlompatan saling menyerang Gadis Dungu. Mereka melemparkan pisau-pisau kecil yang menghujam serentak ke tubuh Gadis Dungu. Zrrraaab...!

Pendekar Mabuk cepat ambil tindakan penyelamatan dengan menyambar tubuh Gadis Dungu dan membawanya melesat ke atas pohon. Weeesss...! Akibatnya pisau-pisau kecil itu melesat lurus dan menancap pada pohon-pohon di sekitar pertarungan itu. Kemunculan orang-orang suku Aboradin yang bertubuh kerdil dan berkulit hitam mengkilat hanya mengenakan cawat itu membuat perhatian Nyai Serat Biru menjadi terbagi beberapa bagian.

Akibat perhatian yang terbagi, Nyai Serat Biru terlambat sentakkan selendangnya sehingga serangan Dupa Dewa berupa sinar merah seperti cakra mengenai dada Nyai Serat Biru. Zuuub...!

"Aaahg...!" Nyai Serat Biru memekik tertahan. Ia terkena jurus 'Racun Jamur Setan' seperti yang dialami muridnya tadi siang. Sang nyai segera jatuh berlutut dengan tubuh gemetar. Rupanya ia berusaha melawan pengaruh racun itu dengan kekuatan tenaga inti yang disalurkan melalui peredaran darahnya.

Suto Sinting meletakkan tubuh Gadis Dungu di persilangan dahan yang mirip balai-balai bambu. Gadis Dungu disimpan di sana, lalu ia segera meluncur turun tanpa suara pada saat orang-orang kerdil serentak menyerang Nyai Serat Biru.

"Heeeaaat...!" seru orang-orang kerdil di bawah pimpinan Rekatak Tiban. Mereka sama-sama menggenggam pisau agak panjang dan bermaksud menghujamkan pisau itu ke tubuh Nyai Serat Biru.

Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting segera melesat dengan gerakan memutar tubuh Nyai Serat Biru. Gerakan itu adalah jurus 'Gerak Siluman' yang mirip badai memutari tubuh Nyai Serat Biru dalam waktu sekejap.

Wuuussst...!

Orang-orang kerdil itu terlempar tunggang-langgang diterjang gerakan kilat Pendekar Mabuk. Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan Nyai Serat Biru tepat ketika Dupa Dewa melepaskan pukulan pamungkasnya dari jarak tujuh langkah. Pukulan itu dinamakan jurus 'Halilintar Menjerit', berupa tepukan keras dari kedua telapak tangannya, dan dari tepukan itu keluar sinar biru menyebar ke arah depan dalam jumlah kilatan sinar sekitar sepuluh larik lebih. Sinar-sinar mirip cacing panjang itu berkelebat dengan gerakan berkelok-kelok menuju ke arah Nyai Serat Biru. Tetapi karena yang ada di depan Nyai Serat Biru adalah Suto Sinting, maka Pendekar Mabuk itulah yang menghadapi serangan jurus 'Halilintar Menjerit'.

Tak ada pilihan lain bagi Suto Sinting untuk hadapi serbuan sinar-sinar halilintar itu kecuali dengan hembusan nafasnya. Dengan satu kali menghentak ke bumi pertanda kemarahannya telah bangkit, mulut Suto Sinting terbuka dan menyentakkan nafas- nya dengan satu kali sentak saja.

"Hahhh...!!" Jurus 'Napas Tuak Setan' menimbulkan suara gemuruh menggelegar. Biuuurrr...! Badai dahsyat keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Badai berkekuatan gila-gilaan itu membuat sinar-sinar biru itu membalik arah lalu meledak sebelum sampai tujuan semula.

Blegaaarrr...!

Alam menjadi seperti kiamat. Pepohonan tumbang saling berdentuman. Batu sebesar anak sapi pun bisa terbawa terbang. Hutan di depan Suto Sinting menjadi hancur bagai dilanda gempa dan badai dahsyat. Tubuh Dupa Dewa terhempas terbang membentur-bentur pohon, batu atau apa saja sambil meneriakkan jeritan memanjang, "Aaaaaa...!!" Semakin lama suara jeritan itu semakin hilang karena jaraknya yang semakin jauh.

Orang-orang kerdil yang kebetulan ada di tanah bagian depan Pendekar Mabuk saling terpental ke sana-sini dengan jerit semakin menghilang. Langit pun mulai bermega tebal, gumpalan awan hitam bergulung- gulung di angkasa menghadirkan kilatan cahaya petir yang menyambar-nyambar.

Dalam sekejap saja tempat tersebut sudah menjadi porak poranda bagai habis dilanda bencana alam hingga ketempat jauh, melewati kaki bukit, mencapai tepian sebuah desa di seberang persawahan yang membentang luas. Tanaman padi pun menjadi hancur akibat dilanda badai mengerikan itu.

Rekatak Tiban dan sisa anak buahnya segera melarikan diri melihat kejadian yang amat mengerikan itu. Mereka bergegas lari menuju ke Gunung Leak Sewu sebagai masyarakat Penghuni Liang Lahat, yang menempati goa-goa di sekitar gunung itu. Alam di bagian belakang Suto Sinting sama sekali tidak dijamah angin badai yang mengerikan itu. Karenanya, Suto Sinting dapat segera obati Nyai Serat Biru dan membawa turun Gadis Dungu dari atas pohon.

Wuuut...! Weeeess...!

"Apa-apaan kau, hah?! Main gendong seenaknya saja. Aku bisa turun sendiri dari pohon! Kau pikir aku bayi kemarin sore?!" sentak Gadis Dungu dengan berang kepada Suto Sinting, sedangkan Nyai Serat Biru segera kerutkan dahi dalam memperhatikan si pemuda tampan berbumbung tuak itu.

"Kusangka kau belum sehat, jadi aku mengambilmu dari atas pohon!" kata Suto Sinting kepada si Gadis Dungu.

"Belum sehat, belum sehat...! Apa kau pikir aku sudah jompo?!" gadis yang masih tetap berkalung gendang itu bersungut-sungut menampakkan keketusannya.

"Indayani!" sentak Nyai Serat Biru yang sudah terbebas dari Racun Jamur Setan-nya si dupa Dewa itu. "Mengapa sikapmu seperti itu kepadanya?! Tahukah siapa dia?!"

"Dia...?! Oh, Nyai Guru belum tahu rupanya. Dia adalah murid murtadnya si Dupa Dewa. Dia bernama Dogol, Guru!"

"Bukan!" sentak Nyai Serat Biru. "Dia adalah Pendekar Mabuk, murid sahabatku si Gila Tuak. Dia bernama Suto Sinting!"

"Guru jangan mudah terkecoh oleh penampilannya!"

"Kulihat noda merah di tengah keningnya. Hanya orang berilmu tinggi yang bisa melihat noda merah yang menjadi lambang kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih dari negeri di alam gaib; yaitu negeri Puri Gerbang Surgawi! Mataku tak bisa salah pan- dang, Indayani!"

Suto Sinting menjadi tak enak hati karena noda merahnya di kening diketahui oleh Nyai Serat Biru. Noda merah itu memang pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

"Jaa... jadi dia adalah.... Pendekar Mabuk, Guru?!"

"Ya. Dia adalah Pendekar Mabuk. Semestinya sikapmu tidak sekasar itu dan kau harus berterima kasih padanya karena dia telah menolong kita!"

"Hmmm... eh...," Gadis Dungu menjadi gugup dan takut. "Hmmm... eeh... maafkan aku, Pendekar Dogol, eh... anu.... Pendekar Mabuk."

Suto Sinting buang muka untuk sembunyikan senyum gelinya. Gadis Dungu tundukkan kepala, antara malu dan takut baik kepada gurunya maupun kepada pemuda tampan yang selama ini tidak dipercaya sebagai Pendekar Mabuk itu.

"Maafkan kebodohan muridku, Pendekar Mabuk."

"Lupakan soal itu, Nyai. Yang ingin kutanyakan, benarkah Indayani bukan gadis titisan Dewa Pelebur Teluh, seperti yang diramalkan dalam Kitab Samak Kubur itu?"

"Indayani adalah adiknya. Adik dari bocah titisan Dewa Pelebur Teluh. Mereka salah sangka karena tak tahu persis tentang silsilah Punjani, ibu si Gadis Dungu yang menjadi sahabat karibku semasa muda dulu."

"Jika begitu, sebaiknya Indayani bersembunyi dulu sebelum kabar yang sebenarnya menyebar ke seluruh rimba persilatan, sehingga ia tidak dijadikan buronan tak berdosa!"

"Aku sependapat denganmu. Indayani akan kubawa ke puncak Gunung Randu untuk memperdalam ilmunya di sana sambil mengasingkan diri beberapa waktu. Apakah kau keberatan, Indayani?"

"Asal... asal sering ditengok Pendekar Mabuk, saya tidak keberatan, Guru."

Pendekar Mabuk tertawa kecil, sang guru pun jadi tersipu-sipu mendengar kenakalan bicara muridnya.

"Tapi... bolehkah saya bertanya, apakah benar Guru terkena Racun Batu Bisu dari Peri Kedung Hantu?"

"Benar. Tapi Tabib Awan Putih telah datang bersama Putri Kunang untuk membawakan Madu Bunga Salju. Dengan madu itu pun racun itu berhasil ditanggalkan dan keadaanku sehat kembali."

"Kalau begitu, ada baiknya jika kita berangkat sekarang ke puncak Gunung Randu, Guru!"

"Baik, Muridku." Sang nyai bicara kepada Suto, "Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Suto. Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi."

"Selamat jalan, Nyai Serat Biru. Selamat jalan, Indayani," ucap Suto Sinting dengan lembut dan cukup menyentuh perasaan.

Indayani berkata, "Jangan lupa, seringlah menengokku ke puncak Gunung Randu agar aku tak merasa jenuh berada di sana, Dogol... eh, Pendekar Dogol, eeh.... Pendekar Mabuk."

Tawa lirih pun mengiringi perpisahan mereka, di mana cahaya senja mulai datang dan pengembaraan Suto Sinting tetap dilanjutkan memburu musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa.

SELESAI