Manusia Pemusnah Raga - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Manusia Pemusnah Raga
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ENTAH siapa orangnya yang memasang jerat di hutan itu. Mungkin seorang pemburu rusa yang ingin menangkap binatang buruannya dengan cara memasang jerat di tanah. Jerat itu dihubungkan dengan pucuk dahan pohon tinggi yang lentur dan bisa dilengkungkan ke bawah. Jika kaki rusa masuk ke dalam lingkaran tambang dan menyamparnya, maka kaki rusa itu akan langsung terjerat tambang itu. Jika tambang tersentak, maka penyangga ujung dahan yang melengkung itu akan bergeser dan dahan itu akan naik ke atas. Lalu rusa yang terjerat akan tergantung kakinya.

Namun agaknya sang rusa sudah hafal dengan polah tingkah para pemburu. Sang rusa tidak mau melewati bagian bawah pohon tersebut. Yang melewati pohon itu adalah seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus, rambut pendek, usianya sekitar empat puluh tahun, ia mengenakan pakaian serba hijau seperti daun berjalan. Wajahnya bulat dengan kumis tipis di bawah hidung. Kumis itu yang membuat wajahnya menjadi lucu. Ketika ia berlari melewati pohon tersebut, tiba-tiba kakinya menyampar tambang dan tambang pun menjerat kaki kirinya itu.

Serrt...!

Wuuttt...! Tubuh pun melayang di udara karena dahan pohon naik seperti semula. Kini tubuh orang berpakaian hijau itu tergantung dalam keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, yang kiri terjerat tambang.

"Monyeeett...!" makinya dengan geram. "Siapa yang menaruh jerat sembarangan?! Kurang ajar! Kaki mulus- mulus jadi kena jerat begini. Uuh... mana susah sekali melepaskannya?!"

Orang itu memaki dan menggerutu tiada habisnya, ia berusaha membuka tali jerat dengan mengangkat badan ke atas, namun selalu gagal. Tangannya tak bisa mencapai mata kaki yang terkena jerat itu. Akhirnya orang itu hanya terayun-ayun di udara dengan hati dongkol.

"Bajing tengik! Kalau sudah begini mau apa aku? Melepaskan jerat tak bisa, turun tak bisa, mana dari tadi hawanya kepingin buang air terus. Aduh...! Kalau kupaksakan buang air, pasti akan tumpah menyiram wajahku sendiri. Sial! Benar-benar terkutuk orang yang memasang jerat ini!"

Dari pagi sampai siang ia tergantung di situ tanpa ada orang yang mau menyapanya, karena memang tidak ada orang lewat daerah hutan itu. Pikirnya, berteriak minta tolong pun sia-sia, sebab hutan itu sepi dan jarang dilalui orang karena banyak rawa dan lumpur hidupnya.

"Mati aku kalau begini! Mati kelaparan lebih menyedihkan daripada mati ketiban kelapa!" pikirnya dengan cemas dan waswas. Sementara itu, rasa ingin buang air semakin meningkat, membuat ia menyeringai beberapa kali.

"Menyesal sekali aku, kenapa tadi tidak buang air dulu sebelum tergantung begini, ya? Goblok betul aku ini!" Gerutuan itu pun akhirnya terhenti karena ia mendengar suara langkah kaki di semak-semak. Hati orang itu berdebar-debar dengan mata melirik ke sana-sini mencari suara langkah kaki tersebut.

"Moga-moga orang itu lewat di bawahku dan aku bisa minta tolong padanya," ucapnya dalam hati dengan penuh harap.

Ternyata harapan itu pun terkabul. Seorang pemuda tampan lewat di tanah bawahnya. Rupanya pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang menyandang bumbung tuak di punggungnya. Melihat ada orang tergantung kakinya, Suto Sinting hentikan langkah dan mulai mendongak memperhatikan lebih dekat lagi.

"Hei, jangan memandangiku terus!" hardik orang yang tergantung dengan lagak galaknya.

"Kau tergantung kena jerat, Paman?!"

"Tidak. Aku sedang bertapa," jawab orang itu dengan menutup rasa malunya, takut dianggap orang bodoh yang mudah terkena jerat.

"Bertapa kok kaki kirinya yang digantung?"

"Ya ini namanya tapa gantung."

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum dikulum. "Gunanya tapa gantung untuk apa, Paman?"

"Untuk dapatkan jurus sakti..."

"Jurus apa itu?"

"Jurus... jurus 'Bintara Jingga', itu jurus sakti yang..."

Tiba-tiba ada sepotong kayu yang melayang cepat menghantam dada orang itu. Buuhg! Heeegh...?!" orang itu terpekik dengan suara tertahan, matanya mendelik dan mulutnya ternganga bagai susah bernapas. Sepotong kayu itu terasa seperti sebatang besi beton yang menghantam meremukkan tulang dada.

Entah siapa pelempar kayu itu, yang jelas Suto Sinting melihat gerakan kayu dari timur. Suto Sinting tetap tenang, memungut kayu itu dan memandanginya sambil tersenyum-senyum. Lalu melemparkan kayu itu asal-asalan.

Weess.! Pletokk!

"Aaauh.!" Kayu yang jatuh di semak-semak belakang Suto itu ternyata mengenai kepala orang yang bersembunyi di sana. Orang itu langsung memekik dan keluar dari persembunyiannya sambil menghamburkan serangkai makian.

"Dasar wedus! Seenaknya saja buang kayu! Lihat, benjol kepalaku ini, tahu?!" Suto dimarahi.

"Oh, aku tidak tahu kalau kau ada di situ, Paman. Lain kali kalau mau menguntitku bilang dulu, jadi aku tidak buang kayu sembarangan," kata Suto Sinting yang sebenarnya sudah tahu bahwa langkah kakinya dari tadi dikuntit oleh seseorang.

"Kau yang melemparkan kayu itu, ya?!" bentak orang yang digantung.

"Iya!" jawab orang berpakaian biru tua itu. "Memang aku yang melemparmu. Mau apa kau?!"

"Kau yang memasang jerat ini, bukan?!"

"Bukan! Mau apa kau?!" orang berbaju biru dengan usia sekitar empat puluh tahun juga itu selalu bersikap menantang. Orang itu bertubuh agak gemuk dengan hidung pesek tapi matanya lebar. Rambutnya pendek mengenakan ikat kepala warna biru juga.

"Mengapa kau melemparkan kayu itu padaku?!"

"Karena ternyata kaulah yang memiliki jurus 'Bintara Jingga' itu!"

"Apa maksudmu?" sela Suto Sinting. "Mengapa kau bersikap memusuhi orang yang mempunyai jurus 'Bintara Jingga'? Apa salahnya?"

"Orang itulah yang membuat penduduk desaku menjadi lenyap dan desa menjadi sepi bagaikan kuburan. Hanya aku yang masih hidup, sendirian! Aku kesepian seperti anak yatim piatu, maka aku pun dendam kepada pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu!"

Dahi Suto Sinting berkerut mendengar penjelasan yang disertai dengan luapan kejengkelan. Matanya pandangi orang yang berpakaian biru, sementara orang yang tergantung segera berkata kepada orang berpakaian biru,

"Hei, aku baru ingin memiliki jurus itu. Bukan sudah memiliki. Dengan bertapa gantung seperti ini, kata orang kita bisa memiliki jurus 'Bintara Jingga'. Tapi nyatanya baru akan mendapatkan jurus itu saja sudah sesak napas dan dada menjadi bengkak begini! Maka dari itu, kubatalkan sajalah bertapaku ini. Tolong turunkan aku!"

Suto Sinting tersenyum geii. Akhirnya orang itu mengaku secara tak langsung bahwa ia memang terkena jerat. Namun permintaan tolong itu sengaja diacuhkan oleh Suto. Ia malahan bicara dengan orang berpakaian biru yang tinggi badannya sama dengan orang yang tergantung.

"Benarkah penduduk desamu lenyap semua?"

"Benar. Justru aku berusaha mencari seseorang yang bisa mengembalikan para tetanggaku."

"Lalu, apa hubungannya dengan sikapmu menguntitku sejak dari lembah cadas tadi?"

Orang berpakaian biru itu tersipu-sipu. "Sial. Rupanya ia tahu kalau kuikuti dari tadi? Hebat juga dia. Tak salah lagi, pasti dialah orang yang bisa kumintai bantuan."

Selesai membatin demikian, orang berpakaian biru itu berkata, "Aku sengaja mengikutimu, karena aku punya dugaan bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting."

"Jika benar begitu, lantas bagaimana?"

"Aku mau minta bantuanmu untuk membuat para tetanggaku yang lenyap itu jadi muncul kembali."

"Enak saja. Kau sangka aku tukang sulap?!" gerutu Suto Sinting. "Siapa namamu, Paman?!"

"Orang-orang memanggilku; Bagus Sepasar. Tapi nama asliku sendiri; Wirusida."

Orang yang digantung berseru, "Hoi, tolong jeratanku ini!"

Pendekar Mabuk tersenyum, ia menenggak tuaknya sesaat. Orang berbaju hijau berkata membentak, "Dimintai tolong melepaskan jeratan malah minum? Huhh... dasar pemabuk!"

Brruuss...! Tiba-tiba sisa tuak di mulut Suto disemburkan dengan satu lompatan kecil. Walau semburan itu hanya sedikit namun sempat mengejutkan kedua orang itu. Mereka tidak tahu kalau semburan itu adalah jurus 'Sembur Siluman' yang membuat tambang itu menjadi lenyap seketika tanpa bekas. Orang yang digantung pun segera jatuh tersungkur ke tanah.

Brrukk...!

"Aaauuh...!" ia mengerang kesakitan, dagunya menjadi lecet akibat membentur akar yang mirip batu. Tentu saja kedua orang itu menjadi tertegun bengong dan terheran-heran melihat tambang itu lenyap tak berbekas.

"Sakti juga dia?" pikir orang yang tadi tergantung.

"Namamu siapa, Paman?" tanya Suto kepada orang berbaju hijau.

"Hmmm... eeh... namaku; Mario Kere."

"Hmmm... nama yang bagus sekali,'" gumam Suto memuji untuk membanggakan hati orang berbaju hijau.

"Apa benar kau sedang bertapa untuk dapatkan ilmu 'Bintara Jingga', Kang?" tanya Bagus Sepasar kepada Mario Kere dengan nada agak sinis.

"Tidak. Aku tadi terjerat dan tergantung tanpa kusengaja. Entah siapa yang memasang jerat itu."

"Lalu kau tahu tentang Jurus atau ilmu 'Bintara Jingga' dari siapa?" Bagus Sepasar masih bernada curiga.

"Aku pernah mendengar percakapan orang di sebuah kedai, bahwa ada seorang yang telah berhasil mempelajari jurus 'Bintara Jingga'. Kabarnya jurus itu sangat sakti dan mampu melenyapkan manusia tanpa setitik darah pun. Aku kagum dengan celoteh mereka tentang jurus itu, lalu nama jurus itu membekas dalam ingatanku."

"Jangan-jangan memang kau pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu, Paman Mario Kere?!" kata Suto sekadar iseng.

"Berani sumpah mati tanpa kenduri; aku tidak mempunyai jurus itu!" kata Mario Kere dengan sungguh-sungguh.

"Pendekar Mabuk, bisakah kau menolongku seperti apa yang kukatakan tadi?" Bagus Sepasar memandang Suto dengan penuh harap.

"Aku bukan tukang sulap, Paman Wirusida. Kalau memang orang sedesa bisa dilenyapkan oleh jurus 'Bintara Jingga', berarti orang-orang itu telah mati tanpa jasad. Aku bukan dewa yang bisa membuat orang mati bisa hidup kembali, Paman."

Wirusida atau Bagus Sepasar tampak murung sedih. "Soalnya, keluargaku juga ikut lenyap."

"Kalau kau mau menemukan keluargamu lagi, aku bisa membantumu," tiba-tiba Mario Kere berucap dengan tegas.

"Kau bisa mempertemukan aku dengan keluargaku?"

"Yah, maksudnya dengan roh keluargamu. Kau bisa bicara dengan mereka dan menanyakan siapa orang yang melepaskan jurus 'Bintara Jingga' itu."

"Bagaimana caranya?!" Wirusida tertarik sekali.

"Kita pergi ke pondok Nyai Songket."

"Siapa itu Nyai Songket?!"

"Dukun pemanggil roh."

"Kalau begitu, antarkan aku ke sana! Kau tahu di mana pondoknya berada, bukan?"

"Tentu saja," jawab Mario Kere. "Tapi tentunya pula ada upah tersendiri untukku."

"Aku punya empat ekor kambing yang tidak ikut lenyap. Kau boleh mengambilnya seekor sebagai upahmu mengantarkan aku bertemu dengan Nyai Songket."

"Oh, kau menyenangkan sekali, Kang! Baiklah, kita berangkat sekarang saja supaya aku bisa lekas-lekas ambil kambingmu itu! He, he, he...!" Mario Kere tertawa kegirangan.

Suto Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala ketika mereka pergi meninggalkannya. Namun setelah itu ia menjadi tertegun dan berkata dalam batinnya sendiri. "Benarkah ada jurus yang mampu melenyapkan orang sedesa? Siapa pemiiik jurus 'Bintara Jingga' itu?"

Sambil melangkah pikiran Suto Sinting tertuju pada jurus 'Bintara Jingga', ia menjadi penasaran dan ingin tahu seperti apa kedahsyatan jurus itu. "Atau jangan-jangan hanya dongeng belaka?" duga hati Suto dengan sangsi. "Sayang sekali tadi aku lupa menanyakan nama desanya Paman Bagus Sepasar itu. Seharusnya aku datang ke desa itu dan melihat keadaannya, benarkah orang sedesa lenyap semua atau yang dimaksud 'lenyap' adalah pergi mengungsi ke tempat lain?"

Pendekar Mabuk ingin kembali mengejar Bagus Sepasar dan Mario Kere, tapi langkahnya terhenti oleh sekelebat bayangan yang melintas di sela-sela pohon sebelah barat. Suto Sinting menjadi curiga dengan orang yang berkelebat cepat itu.

"Sepertinya orang itu sedang dikejar sesuatu atau sedang mengejar sesuatu? Yang jelas ia dalam keadaan tegang dan terburu-buru. Ada apa? Ah, kuikuti saja gerakannya. Aku ingin tahu apa yang ia lakukan. Jangan-jangan ada hubungannya dengan jurus 'Bintara Jingga' itu."

Zlaapp...! Suto Sinting mengikuti arah pelarian bayangan yang berkelebat tadi. Ia mampu menyusulnya karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah terlepas dari busurnya.

Rupanya sosok yang berlari cepat bagai bayangan itu menuju ke sebuah bukit yang tak seberapa tinggi dan mudah didaki. Bukit itu mempunyai hutan tak seberapa lebat, dan tampaknya sering digunakan orang untuk memotong jalan menuju ke sebuah desa di seberang barat bukit tersebut. Namun Suto Sinting akhirnya terhenti sendiri dan merasa terkejut karena orang yang diikutinya itu tahu-tahu lenyap tak terlihat gerakannya. Mata anak muda itu memandang dengan tajam ke alam sekelilingnya.

"Hmmm... dia menghilang atau lenyap dihantam jurus 'Bintara Jingga'? Atau jangan-jangan terperosok ke sumur tua?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah pelan-pelan mencari orang tersebut.

Wuuutt...! Tiba-tiba kaki Suto menyentak pelan ke tanah dan tubuhnya melayang di udara, akhirnya hinggap di atas sebuah pohon. Dari sana ia melemparkan pandangan lebih leluasa lagi.

"Kurasa ia bergerak ke arah puncak bukit. Coba kuperiksa ke sana!" pikir Suto, kemudian segera melesat melompati dahan demi dahan, hingga dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara gemerisik. Ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi itu membuat pohon yang dihinggapi tak bergetar sedikit pun. Bahkan ranting yang dipijaknya tak sempat gemertak patah karena ringannya tubuh sang Pendekar Mabuk. Sampai akhirnya langkah itu pun terhenti karena pandangan mata Suto beralih pada sesosok tubuh berjubah kuning gading. Hatinya cepat berseru, "Seorang gadis...?!"

Gadis itu bagai kebingungan mencari jalan karena berada di antara kerimbunan semak ilalang. Gadis itu berambut panjang, sebagian disanggul. Selain berjubah kuning gading, juga mengenakan celana ketat dari beludru hijau dan pinjung penutup dada warna hijau pula. Ia menyandang sebilah pedang di pinggang kirinya. Dari kejauhan ia tampak cantik. Suto bergegas turun untuk menemuinya. Tapi gadis itu melesat ke arah yang tak diketahui Suto.

"Sial! Ke mana tadi si cantik perginya?!" Pendekar Mabuk menyelusup di antara semak dan mencari pemandangan elok yang tadi dilihatnya dari atas pohon. Hatinya sempat membatin pula. "Jangan-jangan peri penunggu hutan ini?! Oh, aku bisa masuk perangkap peri jika kuikuti terus rasa penasaranku ini?!"

* * *

DUA

HEMBUSAN angin menyapu rambutnya yang panjang sepunggung meriap-riap. Sebagian rambut sempat menyilang di wajah yang bermata cekung dan berkulit pucat itu. Pancaran mata cekungnya cukup dingin, seakan mampu membekukan darah manusia yang dipandangnya, ia mengenakan jubah lengan panjang warna abu-abu tanpa dikancingkanbagian depannya. Kain jubahnya itu pun melambai berkelebat ditiup angin Bukit Ranjang Sotan.

Dengan tulang rahang yang tampak menonjol keras, tulang pipi juga bertonjolan kaku, wajah angker tanpa kumis itu masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Sekalipun tubuhnya kurus, namun ia tampak tegak dalam berdirinya, seakan tak pernah gentar menghadapi lawan sehebat apa pun. Celana putih dan baju dalamnya yang putih membuat keberadaannya di atas Bukit Ranjang Setan tampak jelas meski dari kejauhan.

Ada sesuatu yang ditunggu oleh si wajah angker itu. Dan sesuatu yang ditunggu itu pun akhirnya datang menemuinya dalam bentuk kelebatan bayangan yang melesat dari lereng menuju atas bukit tersebut. Wuuut...! Kemudian bayangan berwarna hitam itu berhenti di depan si wajah angker dalam jarak empat langkah.

"Kusangka kau belum datang, Demit Lanang!' ujar bayangan hitam tadi.

Wajah angker yang dipanggil sebagai Demit Lanang itu tidak menggumam, ataupun tersenyum sedikit pun. Hanya sorot pandangan matanya yang tajam itulah yang bicara kepada orang di depannya.

"Maaf kalau aku membuatmu terlalu lama menunggu, karena ada tiga orang yang harus kubantai dulu di selatan tadi."

Orang yang bicara memakai pakaian serba hitam dengan kepala berambut pendek botak depannya. Tubuhnya kekar walau tak gemuk. Matanya besar, bundar, dengan bibir tebal dan codet di pipi kanannya, ia pun mempunyai pancaran sinar mata yang cukup tajam, dengan tepian mata sedikit merah menandakan keganasan jiwanya. Sebilah kapak lebar bergagang panjang mirip tombak tergenggam di tangan kanan. Mata kapak yang lebar dan putih mengkilat itu masih berlumur darah, menandakan habis dipakai untuk membunuh lawannya. Bahkan darah itu masih menetes membasahi rumput yang ada di bawahnya, ia berusia empat puluh lima tahun, berarti lebih muda lima tahun dari si Demit Lanang.

Setelah bungkam beberapa saat, Demit Lanang pun mulai perdengarkan suaranya yang bulat dan besar, menyeramkan. "Apakah kau sudah siap untuk mati, Ladang Bangkai?!"

"Setelah membelah tubuhmu, aku baru siap mati, Demit Lanang!"

"Baik," ucap Demit Lanang dengan suaranya yung besar dan menggetarkan hati lawan yang bernyali kecil. Namun bagi Ladang Bangkai yang punya nyali lebih besar dari seorang algojo, suara itu dianggap seperti suara jangkerik di selahutan.

Demit Lanang teruskan kata, "Jika memang kau sudah siap mati, aku pun akan mengawali!"

Hembusan angin semakin meriapkan rambut Demit Lanang hingga banyak yang menutup wajah. Wajah angkernya bertambah semakin angker dalam keadaan diam tak bergerak dan bisu tak berkata lagi. Pandangan matanya tertuju lurus kepada si Ladang Bangkai. Demikian pula, Ladang Bangkai pun tak berkedip pandangi Demit Lanang dengan pancaran mata penuh nafsu untuk membantainya.

Demit Lanang mengangkat tangan kirinya dengan pelan sekali. Jari-jarinya yang berkuku panjang membentuk cakar yang makin lama semakin mengeras. Tangan itu bergerak ke atas dengan dada semakin dibusungkan pertanda menarik napas guna mengerahkan tenaga dalamnya.

Ladang Bangkai segera menarik kaki kanannya kebelakang dan mengambil sikap miring, namun kapak besarnya itu mulai diangkat dengan satu tangan. Gagangnya yang panjang dikempit dengan ketiak, mata kapaknya menghadap ke samping, tangan kirinyamelebar bagai sayap burung perkasa membentang kekar. Tiba-tiba tangan si wajah angker memancarkan sinar bergelombang warna biru. Sinar itu mengarah ke langit, bukan ke lawannya. Bunyi denging menyebar bagai ditujukan kepada sang matahari.

Duiiing...!

Gelombang sinarnya bergerak-gerak seperti memanggil bala tentara dari kayangan. Pada saat itu, Ladang Bangkai melompat ke samping kiri dengan tubuh memutar dan kapak lebarnya menyabet dalam satu putaran. Wuuung...! Gerakan itu dilakukan oleh Ladang Bangkai, karena ia tahu akan datang bahaya yang dapat menghancurkan raganya. Ternyata perkiraan itu memang benar. Dari langit melesat sinar biru berkelok-kelok yang mempunyai daya luncur sangat cepat.

Clap, clap,clap...! Langsung menghantam tanah tempat Ladang Bangkai tadi berdiri.

Jgaarrr...!

Tanah itu langsung retak lebar. Bukit Ranjang Setan bergetar bagai ingin amblas ke bumi. Sesuatu yang tak disangka-sangka Ladang Bangkai terjadi dalam kejap berikutnya. Dari bongkahan tanah yang retak itu melesat pula sinar biru berbentuk anak panah yang langsung mengarah kepada Ladang Bangkai. Slaappp...! Ladang Bangkai melompat menghindari sinar biru berbentuk anak panah. Wuuttt...! Ia lolos dari sinar biru tersebut. Sebuah pohon menjadi korban sasaran sinar dari dalam bumi tadi. Blegarrr...! Pohon pun hancur dalam keadaan menjadi arang.

Slaappp...! Muncul lagi satu sinar yang sama dari dalam retakan tanah tadi. Sinar itu seakan tahu di mana Ladang Bangkai berada sehingga segera mengarah kepadanya. Wuuuttt...! Ladang Bangkai kembali hindari sinar itu namun kali ini dengan bersalto mundur satu kali. Sinar seperti anak panah pun menghantam pohon lagi, dan pohon hancur juga seperti tadi.

Slaapp...! Muncul lagi sinar yang sama dan mengejar Ladang Bangkai dengan kecepatan tinggi. Ladang Bangkai terdesak, sehingga terpaksa gunakan tangan kirinya untuk melepaskan sinar merah seperti bola kecil yang menghantam ujung sinar biru dari bumi.

Jlegaaarr...!

Sebelum muncul lagi sinar biru seperti anak panah dari dalam bumi, Ladang Bangkai segera lepaskan sinar merah kembali, kali ini berbentuk seperti bola yang berukuran sebesar kepala manusia dewasa. Wooosss...! Sinar merah itu menghantam lubang tanah yang retak.

Blegaaarr...!

Bukit Ranjang Setan bagai mau kiamat. Guncangannya cukup besar, membuat pohon-pohon bimbang dan tanah di sekitar lereng menjadi longsor. Bebatuan pun terguling dari tempatnya baik yang besar maupun yang kecil. Namun sejak itu tanah yang retak tidak mengeluarkan sinar biru seperti tadi.

Kemudian alam menjadi sepi, hanya hembusan angin yang terdengar mendesah panjang, menyingkapkan rambut Demit Lanang hingga meriap ke belakang. Ia tetap berdiri di tempat semula tanpa gerakan apa pun. Tangannya yang berkuku panjang sudah diturunkan sejak tadi. Hanya matanya yang masih bergerak mengikuti gerakan Ladang Bangkai dengan sorot mata setajam ujung pedang.

Ladang Bangkai pun berhenti dari gerakannya, ia masih memasang kuda-kuda walau mulutnya lepaskan tawa yang lantang, seakan melecehkan jurus lawan tadi. "Ha, ha, ha, ha...! Permainan seperti itu ternyata masih menjadi andalan bagimu, Demit Lanang! Murahan sekali!"

Dengan masih bersikap dingin, Demit Lanang berkata, "Apakah kau mempunyai permainan yang tidak murahan?! Jika memang kau memilikinya, tolong tunjukkan kepadaku dan aku akan menilainya juga, Ladang Bangkai!"

"O, jadi kau ingin menjajal kekuatanku? Baik, kurasa kau akan menyesal sesampainya di neraka nanti. Heaaahhh...!" Ladang Bangkai melompat dalam satu gerakan seperti bayangan berkelebat. Kapak lebarnya dihantamkan bagai ingin membelah kepala Demit Lanang.

Wuukkk...

Slaapp...! Demit Lanang hilang, kapak itu menghantam tanah bekas tempat berdirinya si Demit Lanang. Jrruubb..! Dan begitu Ladang Bangkai menengok ke kiri, ternyata Demit Lanang ada di sebelah kirinya dengan berdiri tegak dan kedua tangan terlipat di dada, ia tampak tenang namun membangkitkan rasa penasaran hati si Ladang Bangkai.

Tak heran jika Ladang Bangkai pun memutar tubuh ke kiri, wuusss...! Lalu kapak lebarnya itu menyabet dalam satu putaran yang mampu memotong pinggang lawan. Wuung...!

Slaapp...! Demit Lanang sudah ada di belakang Ladang Bangkai, jaraknya sekitar delapan langkah. Ladang Bangkai berbalik arah dan menggeram dengan gigi menggelutuk dendam. Kapak lebar yang ujungnya runcing membentuk mata tombak itu segera ditancapkan ke tanah.

Jrrrub...!

Kemudian tubuh Ladang Bangkai melambung ke atas dengan menggunakan gagang tombak sebagai tumpuannya. Wuuttt...! Tubuh itu bersalto satu kali di udara dalam lompatan tinggi. Tiba-tiba kedua kakinya sudah ada di depan Demit Lanang dan siap menjejak dada Demit Lanang. Tapi dengan cepat pula Demit Lanang menghentakkan kedua tangannya ke depan, sehingga telapak tangan itu beradu dengan telapak kaki Ladang Bangkai.

Plaaakk...! Blaarr...!

Sinar merah berkerliap pecah menyebar dari perpaduan tangan dan kaki itu. Ledakannya menggelegar dan membuat tubuh Ladang Bangkai melambung balik, kemudian turun ke bumi setelah menyambar gagang kapaknya lagi. Jlegg...!

Sedangkan Demit Lanang ternyata masih tetap tegak ditempatnya dengan kedua kaki berdiri lurus sedikit merenggang. Wajahnya menatap lurus ke depan dan berkesan dingin. Angin menyapu rambutnya hingga beberapa lembar rambut melintang di wajahnya. Ledakan tadi tidak membuatnya terluka sedikit pun, juga tidak membuat Ladang Bangkai mengalami cedera apa pun.

Gema ledakan menghilang, dan hembusan angin perdengarkan suaranya yang gemuruh samar-samar. Kejap berikutnya, keduanya saling adu pandangan mata dalam bisu. Agaknya Ladang Bangkai merasa dongkol karena tak mampu tumbangkan Demit Lanang. Kedongkolan itu hanya dipendam sambil menarik napas dalam-dalam. Kesunyian pun segera dipecahkan oleh suara Demit Lanang yang mirip orang menggumam tapi terdengar dengan jelas oleh lawannya.

"Hanya itukah andalanmu?!"

"Bangsat neraka!" geram Ladang Bangkai. "Jangan dulu merasa bangga, Demit Lanang. Tadi hanya permainan kecilku yang sekadar untuk cuci mulut! Aku belum mengeluarkan jurus andalanku yang sebenarnya."

"Hhmm...! Kalau begitu keluarkanlah, aku siap menerimanya!"

"Akan kuturuti permintaanmu, tapi sebelumnya aku ingin tahu dulu, apa maksudmu menantang pertarungan denganku di bukit ini, Demit Lanang?!"

"Nah, ini yang kutunggu-tunggu dari tadi," kata batin seseorang yang tadi mengintip pertarungan itu dari balik semak-semak. Orang ini tadi hampir saja mati tertimpa pohon kalau tak segera pindah tempat tanpa timbulkan suara. Sang pengintai pertarungan itu mengenakan baju coklat tak berlengan, celananya putih kusam, ikat pinggangnya warna merah. Rambutnya panjang sebatas pundak tanpa ikat kepala, dan wajahnya begitu tampan, sehingga sering membuat para gadis bergetar hati jika memandang senyumnya.

Pemuda yang bersembunyi di balik semak itu tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, sang Pendekar Mabuk, yang ke mana-mana selalu membawa bumbung bambu isi tuak itu. Sejak tadi Suto memang tidak mau ikut campur dalam pertarungan itu. Ia hanya gemar menonton pertarungan semacam itu, dan hanya akan berbuat sesuatu jika dirasakan perlu. Sejak tadi dalam hati Suto bertanya-tanya apa penyebab pertarungan tersebut, namun agaknya baru sekarang pertanyaan batinnnya itu akan mendapat jawaban dari mulut si Demit Lanang.

"Kau tak perlu berlagak bodoh, Ladang Bangkai." kata Demit Lanang. "Kurasa hati kecilmu sudah cukup tahu, apa sebabnya kita bertarung di bukit ini."

"Jelaskan selengkapnya, kecuali jika kau merasa takut padaku, biarkan aku menerka-nerka sendiri tujuanmu. Jika kau memang merasa punya nyali cukup besar, katakan apa maksudmu menantangku bertarung di bukit ini!"

Demit Lanang diam sebentar, sepertinya menahan gejoiak hati yang merasa terbakar karena dianggap bernyali kecil oleh lawannya Setelah dua helaan napas, Demit Lanang pun akhirnya berkata dengan suaranya yang tetap menyeramkan. "Kita bertarung untuk tentukan siapa yang berhak bergelar Maha Guru dalam aliran silat kita, setelah Maha Guru Teja Biru wafat!"

"Ha, ha, ha, ha...!" Ladang Bangkai tertawa lantang. Badannya berguncang-guncang dengan kapak dipakai sebagai tongkat berdiri. Mulutnya tampak lebar pada saat tertawa.

Demit Lanang dongkol sekali, lalu ia menendang batu kerikil sebasar kedondong. Tuuss...! Wuutt...! Batu kerikil melesat cepat mau masuk ke mulut Ladang Bangkai. Tapi dengan cepat mulut itu terkatup dan kapak bergerak ke depan mulut. Mata kapak menutup bagian wajah. Traang...! Batu itu menghantam mata kapak yang lebar dan masih membekas merah karena darah. Hening segera tercipta setelah kejadian itu. Kejap berikutnya Ladang Bangkai mulai bicara.

"Wasiat lisan dari Maha Guru Teja Biru sebelum beliau wafat mengatakan, bahwa akulah orang yang pantas menyandang gelar Maha Guru dalam perguruan kita. Dengan begitu maka aku berhak mengawini Ratu Jiwandani."

"Wasiat palsu!" ucap Demit Lanang bernada tajam. "Maha Guru Teja Biru tidak pernah keluarkan wasiat lisan seperti itu kepada siapa pun. Tapi dalam peraturan yang tertulis pada Kitab Serat Merah, ynng berisi peraturan bagi anggota Perguruan Darah Surga, bahwa orang yang berhak menyandang gelar Maha Guru adalah orang pertama yang menjadi murid Perguruan Darah Surga. Sedangkan orang pertama yang masuk dalam Perguruan Darah Surga adalah aku! Mengapa kau berani merencanakan penobatan gelar Maha Guru untuk dirimu sendiri, Ladang Bangkai?! Itu sama saja kau ingin mati di tanganku!"

"Kau hanya mengarang-ngarang sebuah peraturan, Demit Lanang. Kalau apa yang kau katakan itu memang benar, tunjukkan padaku peraturan yang tertulis dalam Kitab Serat Merah itu!"

"Tentu saja aku tak bisa tunjukkan padamu karena Kitab Serat Merah telah kau curi dan mungkin kau bakar atau entah kau apakan! Hilangnya Kitab Serat Marah membuatmu punya alasan untuk mengangkat diri sebagai Maha Guru dalam aliran silat Darah Surga."

"Kau pikir aku yang mencuri kitab itu?!"

"Siapa lagi kalau bukan kau, karena kaulah yang bernafsu untuk menjabat gelar Maha Guru! Kau memang licik, Ladang Bangkai. Kau lenyapkan dulu Kitab Serat Merah supaya tak ada orang yang menyangkal penobatanmu. Tapi ketahuilah, aku masih hidup. Demit Lanang adalah orang pertama yang menjadi penganut aliran silat Darah Surga. Siapa pun tak berhak bergelar Maha Guru kecuali aku!"

"Rupanya kau menyatakan sebagai pihak yang akan menentang calon Maha Guru, Demit Lanang! Jika begitu maksudmu, aku tak akan segan-segan menghabisi nyawamu sekarang juga! Heeeaaatt...!"

Ladang Bangkai berkelebat menerjang Demit Lanang dengan satu lompatan teramat cepat. Weesss...! Kapaknya menyambar kepala Demit Lanang dalam sekali tebas. Beettt...!

Laapp...! Demit Lanang lenyap. Tahu-tahu sudah berada di atas gugusan batu besar belakang Ladang Bangkai.

"Bangsat! Hadapi jurus 'Tebas Garang'-ku ini, jangan lari kau!"

"Aku tak akan lari darimu, Ladang Bangkai. Aku hanya sekadar ingin lenyapkan jasadmu dari sini!"

"Tahan...!" seru sebuah suara.

Tapi Demit Lanang sudah terlanjur lepaskan jurus mautnya yang memancarkan sinar Jingga dari telapak tangan kanannya. Claapp...! Sinar Jingga menerjang tubuh Ladang Bangkai begitu cepatnya, tak mampu dihindari dan ditangkis lagi. Laaabb...! Tubuh kekar yang dihantam sinar jingga itu tiba-tiba lenyap, tinggal pakaian dan senjatanya yang jatuh terkulai di tanah. Setetes darah pun tak tersisa di tempat Ladang Bangkai berada. Tubuh itu bagaikan lenyap ditelan gaib tanpa suara sedikit pan.

Pendekar Mabuk yang mengintip dari celah dedaunan semak menjadi tercengang tak berkedip melihat kedahsyatan sinar Jingga itu. Dan orang yang baru datang, yang tadi berseru itu pun ikut tercengang dengan terpaku ditempat, mulut melongo dengan mata pun melebar.

* * *

TIGA

ORANG yang mencoba mencegah tindakan Demit Lanang dengan seruannya tadi adalah seorang perempuan muda, cantik dan menawan. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Gadis itulah yang tadi dilihat Suto menerabas ilalang dengan mengenakan jubah kuning gading dan pinjung penutup dadanya yang montok berwarna hijau tua. Gadis itu tampak kecewa sekali melihat Ladang Bangkai telah lenyap karena sinar Jingga dari tangan Demit Lanang. Pandangan mata yang kecewa akhirnya berubah menjadi kebencian.

"Kau kejam, Demit Lanang!" cacinya dengan mata menyipit menandakan kebenciannya. "Adikmu sendiri kau lenyapkan dengan cara seperti itu! Apa lagi orang lain, pasti kau perlakukan lebih kejam lagi!"

Demit Lanang masih diam dengan sikap dingin. Matanya memancarkan ketajaman yang membuat bulu kuduk si gadis sempat merinding. Namun jiwa si gadis masih tiada gentar menghadapi sorot pandangan mata seperti itu. Keberaniannya masih ada untuk melontarkan kata kecaman yang membuat Demit Lanang akhirnya bicara.

"Manusia berhati apa kau ini, Demit Lanang?! Dengan adik sendiri saja kau tega membunuhnya. Apakah kau tak ingat bahwa Ladang Bangkai adalah satu Ibu denganmu?!"

"Benar. Tapi lain ayah denganku," ucap Demit Lanang dengan suaranya yang besar dan bulat. Jelas sekali didengar oleh Suto Sinting dari tempat persembunyiannya.

"Aku tahu maksudmu membunuh Ladang Bangkai, hanya semata-mata ingin menggantikan lamaran Maha Guru Teja Biru terhadap Ratu Jiwandani!"

"Kau bukan orang Perguruan Darah Surga. Sebaiknya tak perlu ikut campur urusan kami, Kinanti!"

"Oo... gadis itu bernama Kinanti?" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya, ia tetap diam di persembunyian menyadap percakapan mereka.

"Aku memang bukan orang Perguruan Darah Surga, tapi akulah yang berhak memberi pertimbangan kepada Ratu untuk memenuhi perjanjian dengan pihak Perguruan Darah Surga atau membatalkannya!"

Demit Lanang diam sebentar, seperti ada sesuatu yang dipertimbangkan dalam benaknya. Kejap berikutnya ia baru ucapkan kata penuh wibawa. "Perjanjian itu harus ditepati jika Ratumu tidak ingin negerinya hancur! Camkan kata-kataku ini, Kinanti!"

Laaapp...! Tiba-tiba tubuh kurus itu lenyap dari atas gundukan batu. Kinanti yang ingin ucapkan kata menjadi batal dan mulutnya hanya bisa ternganga tanpa suara. Matanya memandang mencari Demit Lanang. Ternyata yang dicari sudah ada di kaki bukit. Kinanti ingin menyusulnya, namun Demit Lanang sudah lenyap lagi dan pindah tempat semakin jauh.

"Aku harus mengabarkan peristiwa ini kepada Gusti Ratu Jiwandani!" pikir Kinanti, kemudian ia segera melesat pergi dengan satu lompatan yang tergolong cepat.

Pendekar Mabuk tidak mau tinggal di persembunyian terus, ia pun segera melesat pergi mengikuti Kinanti. Karena gadis itu diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang persoalan yang sebenarnya. Pendekar Mabuk sempat kehilangan jejak lagi karena Kinanti melesat dengan berbelok-belok arah. Tak aneh lagi jika Pendekar Mabuk keluarkan gerutuan karena merasa gagal mengikuti gadis cantik tadi.

Namun ketika tiba di atas tanggul sebuah sungai lebar berair deras, mata Pendekar Mabuk menemukan seraut wajah cantik lagi, yaitu wajah Kinanti yang mempunyai bibir menggemaskan itu. Tapi keadaannya sudah berbeda. Kinanti tidak sendirian, ia berada di tepi sungai dalam keadaan sedang berhadapan dengan dua orang lelaki bertampang ganas. Mereka mempunyai tubuh yang besar, tinggi dan kekar.

Yang mengenakan baju abu-abu itu bersenjatakan cambuk di pinggangnya, berkumis lebat dengan mata lebar. Sedangkan yang mengenakan rompi hitam itu bersenjatakan golok besar tergenggam di tangan kirinya dalam keadaan berada dalam sarungnya. Lelaki yang berompi hitam itu mempunyai kumis kecil namun melengkung ke bawah hingga mencapai dagu. Kedua lelaki itu berambut panjang sepundak, yang berbaju abu-abu agak ikal, yang berompi hitam lurus dan tipis, ia mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul, dan gelang lebar dari kulit macan tutul juga. Sedangkan yang berbaju abu-abu hanya mengenakan gelang hitam dari akar bahar besar.

"Dunia ternyata sangat sempit bagimu, Kinanti, jauh kau lari akhirnya bertemu juga denganku!" kata yang berbaju abu-abu lengan panjang.

"Kau pikir aku jera bertemu denganmu, Setan Bejat?! Justru aku berharap bertemu dengan kalian berdua supaya bisa menyelesaikan urusan kita dengan cara mengirim kalian ke akhirat!"

"Berani juga gadis itu," pikir Suto Sinting tetap bersembunyi.

"Bicaramu setinggi langit, Gadis cantik," kata yang berompi hitam. "Tapi kenyataannya lebih rendah dari tanah yang dipijak. Sekarang kau tak akan lolos dari kami, Kinanti. Saatnya kami membalas kematian saudara kami yang kau bunuh bulan lalu."

"Kapan pun kalian ingin membalas dendam aku sudah siap, Hantu Sesat! Kau dan si Setan Bejat boleh maju bersama untuk mempercepat urusan kita!"

Kedua wajah ganas itu mulai tampak gusar. Mereka saling pandang sebentar, kemudian si Setan Bejat berkata kepada Hantu Sesat, "Habisi dia! Jangan buat mainan!"

"Sayang sekali," gumam Hantu Sesat. "Bagaimana kalau kita nikmati dulu kemulusan tubuhnya itu?"

"Kalau kau mampu lumpuhkan, tanpa membuatnya luka dan kehilangan nyawa, aku setuju dengan usulmu, Hantu Sesat!"

"Mundurlah, biar kutangani sendiri gadis itu. Kalau sudah memuaskan kita, baru kita cabut nyawanya!"

Setan Bejat menyingkir agak jauh, duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Hantu Sesat mulai melangkah mencari kesempatan untuk melepaskan serangannya. Tapi Kinanti tampak tenang dan tak bergerak dari tempatnya. Hanya saja, ketika Hantu Sesat tiba-tiba melompat ingin menerjangnya, tubuh gadis itu memutar cepat dengan tangan bagaikan menghentak kuat.

Wuusss...! Wuukkk...!

"Heegh...!" Hantu Sesat mendelik, ulu hatinya bagaikan dihantam dengan batu sebesar anak sapi. Ia tumbang ke tanah dan berguling-guling nyaris masuk ke sungai. "Bangsat!" geramnya sambil bangkit kembali.

Kinanti menggerak-gerakkan tangan dan kaki seperti orang menari. Gerakannya sangat lemah gemulai dan indah ditonton dari atas tanggul, sehingga Suto Sinting tersenyum dan berdecak mengaguminya.

Wuuttt...! Hantu Sesat menerjang dengan lompatan rendah. Kedua tangannya menghantam secara beruntun ke dada dan wajah Kinanti. Tetapi tangan gadis itu menangkis setiap pukulan dengan gerakan cepat, bahkan akhirnya gadis itu yang berhasil menghantamkan telapak tangannya ke wajah Hantu Sesat dengan satu lompatan kecil.

Plookk...! Wuutt...! Brruuk...!

Hantu Sesat jatuh terpental dalam jarak tujuh langkah ke belakang. Tubuhnya bersandar pada sebongkah batu yang ada di daratan tepi sungai itu. Wajahnya tampak merah matang bagaikan habis dibakar, ia menyeringai sambil berusaha memegangi wajahnya. Namun wajah itu agaknya terlalu sakit jika disentuh dengan tangannya.

Setan Bejat terperanjat melihat temannya berdarah. Darah itu keluar dari sudut mata Hantu Sesat. Maka dengan serta-merta Setan Bejat melompat dari atas batu dan mengarahkan tendangan kakinya ke punggung Kinanti. "Heeeaaatt...!"

Kinanti berbalik arah dengan cara memutar sambil melayangkan kaki kanannya. Wuuuttt...! Tepat pada waktu itu kaki Setan Bejat hampir menyentuh punggungnya. Dengan begitu maka kaki Kinanti membuang tendangan Setan Bejat dalam satu sentakan yang cukup kuat. Akibatnya Setan Bejat terpelanting. Tubuh besarnya jatuh ke tanah dalam keadaan leher terlipat.

Blluukkk...!

"Aaaoou...!" ia memekik keras dalam keadaan jungkir balik. Anehnya dalam satu kejap ia sudah mampu bangkit dan berdiri tegak di depan Kinanti. Kedua tangannya merentang membentuk cakar. Matanya mendelik dengan amat gusar.

"Heaahh...!" Lalu, tiba-tiba tubuhnya memutar dan kakinya berkelebat menyampar wajah cantik itu. Plaakk...! Kinanti terpental ke samping dan jatuh berguling-guling. Gerakan tubuhnya yang berguling itu berhenti tepat di depan Hantu Sesat. Kesadaran yang belum sepenuhnya dikuasai oleh Kinanti membuatnya tak bisa hindari tendangan kaki Hantu Sesat yang menggeram penuh dendam itu.

"Heeaah...! Modar kau, Bangsat!"

Plook...! Wajah cantik itu menjadi sasaran kaki kasar kembali. Tubuh yang sekal itu terbuang ke belakang dan terguling-guling membentur batu besar.

"Habisi dia!" teriak Hantu Sesat kepada Setan Bejat, karena keadaan Kinanti lebih dekat dengan si Setan Bejat.

Orang berkumis tebal itu segera mencabut cambuknya yang melengkung di pinggang. Cambuk itu kini terlepas dari ikatannya dan segera dilecutkan ke tubuh Kinanti yang masih tersandar di batu dengan hidungnya yang mancung keluarkan darah segar.

Taarrr...!

Kinanti sempat berguling ke kiri. Cambuk itu mengenai batu besar dan batu itu menjadi retak pada saat cambuk menghantamnya dengan diiringi percikan bunga api dari ujungnya. Kinanti buru-buru bangkit dengan sedikit sempoyongan. Tapi tiba-tiba Hantu Sesat lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar hijau dari telapak tangannya. Slaappp...!

Kinanti menggeragap dan mencoba menghadang sinar hijau itu dengan telapak tangannya. Dari telapak tangan gadis itu keluar cahaya bara merah. Dan sinar hijau itu menghantam cahaya bara merah di telapak tangan Kinanti.

Duaarr...!

Tubuh gadis itu terbang melambung tinggi dalam keadaan tidak terjaga keseimbangannya. Pada saat itulah cambuk Setan Bejat ingin menghabisi nyawa Kinanti dengan lecutan kuat ke arah kepala Kinanti.

Taarrr...! Blaarr...!

Ternyata cambuk itu menghantam sekelebat bayangan yang melintas melindungi kepala Kinanti. Benda yang terkena cambuk itu adalah bumbung tuaknya Pendekar Mabuk yang mampu kembalikan serangan lawan. Akibat lecutan cambuk kenai bumbung tuak, maka ledakan besar pun terjadi dengan gelombang sentakan yang cukup kuat.

Setan Bejat terjungkal ke belakang akibat gelombang ledakan tadi. Kepalanya membentur batu dengan cukup keras. Untung kepala itu tak sampai bocor, namun sempat membuat mata Setan Bejat berkunang-kunang dan berdirinya tak bisa tenang. Sesekali menggeloyor ke kanan atau ke kiri karena semua benda terasa berputar dengan cepat.

Kemunculan Pendekar Mabuk membuat pertarungan terhenti sejenak. Kedua orang buas itu sama-sama memandang Suto Sinting dengan luapan api amarah semakin nyata. Sedangkan Kinanti berusaha memandang dengan mata sedikit buram, ia bersandar pada batu tinggi dalam keadaan lemas. Wajahnya pucat dan tangan kanannya menjadi memar membiru akibat menangkis sinar hijaunya Hantu Sesat tadi.

"Siapa dia? Mengapa tiba-tiba muncul memihakku?" pikir si gadis dengan masih menahan rasa sakitnya.

Sementara itu, kedua orang bengis sudah berdiri bersebelahan dalam jarak dua langkah. Keduanya sama- sama menggeletukkan gigi bagai tak sabar ingin lepaskan serangan lagi. Tapi Setan Bejat yang wajahnya menjadi matang dan darah dari sudut matanya masih merembas perlahan-lahan segera serukan kata liarnya.

"Siapa kau, Jahanam laknat?! Beraninya kau campuri urusan kami dengan gadis itu. Apakah kau kekasihnya Kinanti?!"

"Benar. Aku kekasihnya!" jawab Suto tegas membuat Kinanti gelisah, menahan berbagai rasa yang tak bisa dijelaskan. "Sebagai seorang kekasih, aku berhak membelanya!" kata Suto Sinting "Kalian keterlaluan. Sebagai lelaki berbadan besar dan kekar hanya untuk melawan perempuan. Sebaiknya kalian bermain dengan anak-anak seusia delapan tahun saja."

"Kurobek mulutmu, haaah...!"

Suto Sinting yang pandangi wajah Setan Bejat hanya diam saja ketika Hantu Sesat menghampirinya, kemudian menghantam wajahnya dengan kepalan tangannya yang besar itu. Plook...! Plookk...!

Rambut Suto Sinting dijambaknya, kemudian diadu dengan lututnya. Prook...!

"Aaaa...!"

Hantu Sesat terkejut mendengar teriakan itu. Bukan orang yang dihajarnya yang menjerit kesakitan, melainkan temannya sendiri; si Setan Bejat. Wajah temannya itu menjadi berlumuran darah dan sekarang sedang menggeloyor sambil pegangi kepalanya, akhirnya jatuh terduduk sambil kejang-kejang. Giginya rontok sebagian, bibirnya robek dan matanya biru memar.

Sementara itu Suto Sinting masih diam dengan senyum membayang di bibirnya. Tak ada luka sedikit pun di wajah si tampan Suto itu. Sepertinya ia tak pernah terkena pukulan sama sekali.

Kinanti terheran-heran walaupun ia masih berusaha menahan rasa sakit di tubuhnya. Mereka tak tahu kalau Suto Sinting menggunakan jurus 'Alih Raga'. Dia yang dipukul tapi orang lain yang kesakitan. Hal itu dilakukan saat ia pandangi Setan Bejat tadi, segenap inti rasa sakit dipindahkan ke raga si Setan Bejat. Karenanya ketika dia dihajar sekuat tenaga oleh Hantu Sesat, rasa sakitnya sudah terkirim ke tubuh Setan Bejat.

"Kenapa kau yang kesakitan, Setan Bejat?! Sejak kapan kau punya penyakit latah?!" kata Hantu Sesat.

"Mampus aku! Mampus aku! Kepalaku pecah. Oooh... sakitnya!"

"Hmmm... aku tahu, anak muda itu punya jurus lain dari yang lain!" gumam Hantu Sesat. "Jika dia yang kupukul, maka kau yang kesakitan, Setan Bejat. Jadi jika kau yang kupukul, maka dia yang akan kesakitan! Nih, rasakan pembalasanku, Pemuda pongah! Haaahh...! Heeeaahh...!"

Plak, brrukk...! Prak, prak, plok, buk, buuhg...!

"Aaauuuh...! Hentikan! Hentikan!" teriak Setan Bejat yang semakin kesakitan dihajar Hantu Sesat.

"Aku tahu yang berteriak kesakitan bukan kau, Setan Bejat, tapi si pongah itu! Rasakan pembalasan ini! Haaaeh...! Hiaaah...! Modar kau!"

Wuuss...! Tubuh Setan Bejat akhirnya terlempar karena pukulan bertenaga dalam dari teman sendiri. Rahangnya retak dan pelipisnya memar membuat telinganya berdarah. Hantu Sesat kerutkan dahi pandangi Setan Bejat yang terkapar tak berdaya itu.

"Celaka! Aku hampir membunuh teman sendiri! Anak muda itu masih tetap tenang-tenang saja?" Hantu Sesat serba salah, tak tahu harus bagaimana melawan anak muda yang belum diketahui sebagai Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia memutuskan untuk segera membawa pergi Setan Bejat dengan meninggalkan ancaman kepada Suto Sinting.

"Kuakui sekarang kau unggul! Tapi tak berapa lama lagi aku akan berhadapan denganmu tanpa membawa teman satu pun. Kita berhadapan satu persatu! Dan kau, Kinanti...! Hutangmu harus kau bayar secepatnya. Setiap waktu aku akan datang mancabut nyawamu sebagai ganti nyawa teman kami!"

Blaass...! Hantu Sesat pergi sambil memanggul si Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya tersenyum, lalu meneguk tuaknya.

* * *

EMPAT

BEBERAPA teguk tuak membuat Kinanti sehat kekuatannya kembali seperti semula, ia bahkan merasa badannya lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan. "Sering kudengar namamu, sering kudengar pula kesaktian tuakmu, tapi baru kali ini semuanya kualami," kata Kinanti dengan senyum tipis. Agaknya gadis yang tidak suka mengumbar tawa dan senyum. Namun ia masih bisa tampil dengan sikap bersahabat. Sikapnya itu membuatnya lebih dikagumi Pendekar Mabuk, sehingga sang pendekar tampan itu lebih hati-hati dalam bertindak, bersikap dan bercanda.

"Untung kau datang dan cepat bertindak. Andai tidak, mungkin aku berhasil mereka bunuh demi membalas dendam atas kematian Roh Gayung, teman mereka yang kubinasakan sebulan yang lalu."

"Kulihat kau sebenarnya mampu menumbangkan mereka. Hanya sayangnya kau tidak mau menggunakan jurus-jurus mautmu. Aku yakin kalau kau menggunakan jurus andalanmu, dalam sekali gebrak mereka tumbang bersama."

"Kau terlalu yakin pada diriku," kata Kinanti sambil membersihkan jubahnya yang sempat kotor itu. "Ilmuku tak sehebat ilmumu, Suto."

"Ilmuku pun tak seberapa tinggi," ujar Suto merendahkan diri.

Tapi gadis itu tahu, dan ia hanya sunggingkan senyum tipis. "Kalau kau bukan pendekar berilmu tinggi, tak mungkin ratuku pernah punya rencana untuk mengundangmu datang ke Lembah Birawa."

"O, jadi ratumu pernah ingin mengundangku? Kapan itu?"

"Ketika kami diserang oleh orang-orang Pulau Teluh. Hampir saja wilayah kami direbut dan dikuasai oleh orang-orang Pulau Teluh."

"Lalu, akhirnya bisa selamat?"

"Ya. Berkat bantuan dari orang-orang Perguruan Darah Surga."

Suto Sinting diam sebentar, mengingat nama perguruan yang pernah didengarnya dalam percakapan di Bukit Ranjang Setan. Karenanya Suto segera ajukan tanya kepada Kinanti. "Bukankah perguruan itu adalah perguruannya Demit Lanang?"

"Memang benar. Apakah kau mengenal Demit Lanang?"

Suto tersenyum kecil. "Aku memperhatikan pertarungan Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Sampai kemunculanmu pun kuperhatikan. Kudengar apa saja yang kalian bicarakan."

"Ooo... pantas kau bisa datang ke sini tepat pada saat aku dalam keadaan terdesak?! Rupanya kau bukan saja seorang pendekar, namun juga seorang pengintai, ya?!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Maaf, kulakukan hal itu karena rasa ingin tahu tentang sebuah ilmu yang sedang ramai dibicarakan orang orang di rimba persilatan," Suto sempat beralasan untuk menutupi kenakalannya.

"Maksudmu, sebuah jurus maut yang bernama 'Bintara Jingga'?"

"Benar. Aku sangat penasaran dan ingin tahu siapa pemiliknya."

"Kurasa kau sudah mengetahuinya, Suto."

Dahi pemuda tampan itu berkerut sejenak. "Maksudmu... Demit Lanang itulah pemiliknya?"

"Tepat sekali. Demit Lanang pula yang membantu kami mengusir orang-orang Pulau Teluh. Tapi semua itu atas perintah mendiang ketuanya: Maha Guru Teja Biru."

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut sebentar, setelah itu kembali bertanya, "Sepertinya ratumu sedang menjadi incaran si Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Apa benar begitu?"

"Kau bersedia datang ke Lembah Birawa dan bertemu dengan Ratu Jiwandani?"

"Hmmm" Suto mempertimbangkan sejenak.

"Sekadar bertemu saja. Karena menurut dugaanku, kedatanganmu akan membuat sang Ratu bahagia sekali dan pasti akan terjadi suatu pembicaraan penting antara kau dan sang Ratu."

"Baiklah," akhirnya Suto menyetujui usul Kinanti. Mereka melangkah menuju Lembah Birawa sambil Kinanti jelaskan persoalan sebenarnya.

"Waktu pihak kami terancam orang-orang Pulau Teluh, sang Ratu meminta bantuan Perguruan Darah Surga. Sebab kami tidak tahu di mana mencarimu walau sebenarnya ingin sekali meminta bantunmu. Akhirnya pihak Perguruan Darah Surga yang kami pilih untuk mendukung kami. Namun Maha Guru Teja Biru mempunyai satu syarat."

"Apa syaratnya?" tanya Suto bagai tak sabar.

"Ratu Jiwandani adalah perawan suci yang tak pernah dijamah oleh lelaki mana pun juga. Beliau mempunyai perjanjian dengan leluhurnya, bahwa apabila Lembah Birawa masih dalam ancaman bahaya orang-orang Pulau Teluh, sang Ratu tidak ingin menikah dengan pria mana pun. Hati Ratu Jiwandani akan terbuka untuk seorang pria jika Lembah Birawa tidak diganggu lagi oleh orang-orang Pulau Teluh. Sebab orang-orang Pulau Teluh selalu bermusuhan sejak Lembah Birawa dipegang oleh nenek buyutnya sang Ratu."

Kinanti bicara dengan sungguh-sungguh, kedua tanganya ikut bergerak-gerak memperjelas keterangannya. Pendekar Mabuk tampak berminat sekali mengikuti cerita itu, hingga lebih banyak diam daripada mengajukan beberapa pertanyaan.

"Mulia Guru Teja Biru mempunyai syarat, apabila mereka berhasil menumbangkan Penguasa Pulau Teluh dan membebaskan Lembah Birawa dari gangguan orang-orang pulau itu, maka sang Ratu harus bersedia dinikahi oleh Maha Guru Perguruan Darah Surga. Sang Ratu pun menyetujui perjanjian tersebut, bahkan ditulis di selembar lontar. Sayangnya dalam perjanjian itu tidak ditulis nama Maha Guru Teja Biru. Yang tertulis hanya nama Maha Guru Perguruan Darah Surga."

"Hmmm..., ya, ya... aku paham sekarang," gumam Suto sambil manggut-manggut dan tetap berjalan pelan-pelan.

"Maha Guru Teja Biru bermaksud menikahi Ratu Jiwandani setelah ia selesai lakukan semadi selama empat puluh hari menghadap sang Dewata. Tetapi sesuatu telah terjadi secara mengejutkan. Ketika Maha Guru Teja Biru sedang menjalankan semadinya yang kedua puluh hari, tiba-tiba beliau tewas terbunuh di dalam ruang semadinya. Entah siapa yang membunuhnya, yang jelas jabatan sebagai ketua perguruan dan gelar Maha Guru menjadi kosong. Tetapi perjanjian tidak bisa batal, sebab yang tertulis bukan nama Teja Biru. Mau tak mau sumpah dan perjanjian antara Perguruan Darah Surga dengan pihak sang Ratu tetap berlaku. Dugaan kami, dan beberapa murid perguruan itu sendiri, orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru adalah Ladang Bangkai, sebab dia segera merencanakan upacara penobatan dirinya sebagai Maha Guru yang menggantikan kedudukan Teja Biru."

"Masuk akal sekali," gumam Suto Sinting, ia diam kembali.

Kinanti lanjutkan penjelasannya sambil tetap melangkah. "Ladang Bangkai sendiri sudah menghadap Ratu Jiwundani dan mengatakan bahwa dialah yang akan menggantikan kedudukan Maha Guru Teja Biru, dan itu berarti dia juga yang akan menjadi suami sang Ratu sesuai perjanjian tersebut. Tapi rupanya ada pihak lain yang tidak suka dengan rencana itu."

"Demit Lanang maksudmu?"

"Ya. Demit Lanang menghadap ratu kami dan mengatakan akan menyingkirkan siapa pun yang menjadi Maha Guru di perguruan tersebut. Bahkan Demit Lanang mengatakan akan secepatnya menikahi sang Ratu sesuai dengan perjanjian. Dia tidak akan mengulur waktu dengan lakukan semadi segala seperti Maha Guru Teja Biru."

"Lalu bagaimana pendapat Ratu Jiwandani?"

"Tentu saja sang Ratu amat sedih. Beliau merasa terjebak dalam perjanjian yang mematikan langkahnya. Kini ia merasa dipakai sebagai bahan rebutan oleh murid-murid Perguruan Darah Surga yang tergolong beraliran sesat, walau sebenarnya Perguruan Darah Surga sendiri aslinya beraliran putih. Pada dasarnya sang Ratu tidak keberatan jika harus menikah dengan Maha Guru Teja Biru, karena mendiang Maha Guru Teja Biru berjiwa bersih dan belum pernah beristri. Tetapi jika Ketua Perguruan Darah Surga dipegang oleh Demit Lanang atau yang lainnya, sang Ratu merasa keberatan. Hanya saja, sang Ratu tidak bisa mengelak dari bukti tertulis itu."

"Apakah tak ada niat untuk menolak secara halus maupun secara kasar?"

"Ratu Jiwandani merasa kalah tinggi ilmunya jika harus menolak secara kasar. Apalagi Demit Lanang sudah menguasai jurus 'Bintara Jingga', jelas sang Ratu merasa sangat kecil ilmunya dibandingkan Demit Lanang. Karenanya aku segera diutus untuk menyelidiki orang-orang perguruan itu dan mencari kelemahan mereka. Tapi sampai sekarang yang kutemukan hanya kelemahan tak berarti, tak cukup kuat sebagai alasan membatalkan perjanjian tersebut."

Pendekar Mabuk berhenti sebentar untuk menenggak tuaknya. Sambil melangkah kembali, dia berkata kepada Kinanti. "Jadi seandainya...," ucapan itu terhenti, karena tiba-tiba Kinanti terpekik kaget dan hentikan langkahnya.

"Oooh...?!" mata yang berbulu lentik itu terbelalak lebar. Pandangan mata bening itu tertuju ke rerumputan. Di sana ada pakaian wanita dan sebilah pedang yang bentuk dan warnanya sama persis dengan pedang yang terselip di pinggang Kinanti.

"Apakah kau mengenal pemilik pakaian dan pedang itu?"

"Ya, aku sangat mengenalnya, ini pakaian Seroja Putih, temanku. Dia termasuk salah satu prajurit duta istana yang tugasnya diutus ke sana-sini oleh ratu kami."

"Hmmm... lalu, kenapa kau terkejut? Mungkin temanmu sedang melakukan sesuatu di sekitar sini. Misalnya mandi di sungai yang tadi kita seberangi itu atau..."

"Tidak. Tidak mungkin ia ada di sekitar sini. Ia pasti telah lenyap terkena jurus 'Bintara Jingga'. Raganya musnah tanpa bekas kecuali pakaian, perhiasan dan senjatanya. Karena memang begitulah ciri-ciri orang yang menjadi korban jurus 'Bintara Jingga' seperti yang kau lihat sendiri pada nasib Ladang Bangkai"

"Hmmm kalau begitu belum lama ini Demit Lanang lewat daerah sini?!" gumam Suto Sinting seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Ya, aku yakin begitu. Seroja Putih terlibat bentrokan dengan Demit Lanang, hingga Demit Lanang keluarkan jurus andalannya. Sebab, Seroja Putih memang ilmunya lumayan tinggi. Hanya saja, apakah pertarungan itu dilakukan setelah Demit Lanang pergi dari Bukit Ranjang Setan tadi, atau sebelumnya, yaitu saat ia menuju ke Bukit Ranjang Setan untuk bertarung melawan adiknya sendiri."

Rona duka terlihat jelas di wajah Kinanti. Suto Sinting tak berani main-main. Bahkan sang Pendekar Mabuk menampakkan raut wajahnya yang ikut berduka atas kematian Seroja Putih itu.

Kinanti segera mengambil pakaian tersebut bersama pedangnya. "Akan kutunjukkan kepada sang Ratu mengenai kekejaman Demit Lanang ini!" ucapnya lirih dan bergetar karena membendung tangis.

"Aku setuju dengan rencana itu. Nanti aku akan ikut memperkuat laporanmu kepada sang Ratu," kala Suto Sinting dengan sikap tenang tapi dalam suasana hati ikut berkabung.

Langkah mereka mulai dipercepat, karena Kinanti tak sabar ingin segera menghadap ratunya dan menyerahkan bukti kekejaman Demit Lanang dengan jurus 'Bintara Jingga'-nya itu. Pendekar Mabuk tetap mendampinginya dengan langkah disesuaikan kecepatan jalan Kinanti.

"Apakah kau tahu kelemahan jurus 'Bintara Jingga' itu, Kinanti?"

"Tidak ada yang tahu," jawab Kinanti agak datar. "Jurus itu jurus yang termasuk dilarang dipelajari oleh para murid Perguruan Darah Surga. Namun agaknya Demit Lanang berhasil mencuri kitab perguruannya dan menyalin pelajaran jurus 'Bintara Jingga', lalu kitab itu dikembalikan ke tempat semula. Maha Guru Teja Biru sendiri kaget ketika Demit Lanang melenyapkan beberapa orang Pulau Teluh dengan sinar Jingganya. Namun persoalan itu agaknya dipendam dulu oleh sang Maha Guru Teja Biru dan akan diurus setelah beliau lakukan perkawinan dengan Ratu Jiwandani. Tapi sebelum hal itu terjadi beliau sudah lebih dulu tewas secara menyedihkan"

"Hmmm... kalau begitu kesimpulanku mengatakan, bahwa orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru itu adalah Demit Lanang sendiri."

"Apakah ada alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan ratuku?"

"Ada," jawab Suto. "Alasan lain itu adalah siasat Demit Lanang menghindari hukuman dari sang Maha Guru, karena ia merasa bersalah telah pelajari jurus itu tanpa seizin gurunya."

Langkah itu pun terhenti kembali, dan mereka berdua dikejutkan dengan seorang perempuan cantik berjubah putih dengan pinjungnya yang berwarna ungu, sama dengan warna celananya. Gadis itu sangat mengejutkan Suto Sinting, karena ia sangat dikenal oleh Suto.

Perempuan yang masih tampak muda dan cantik itu tak lain adalah Salju Kelana, yang mula pertama bertemu dengan Suto Sinting dalam keadaan gila, lalu setelah diobati dengan tuak saktinya Suto, ia masih berpura-pura buta. Suto Sinting tak bisa marah dengan perempuan itu, sebab wajah Salju Kelana mirip sekali dengan wajah calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di Negeri Puri Gerbang Surgawi, yaitu perempuan cantik yang bernama Dyah Sariningrum. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rencong Pemburu Tabib).

Salju Kelana yang ternyata adalah kakak dari Kelana Cinta, mata-mata utusan Ratu Asmaradani dari Negeri Ringgit Kencana itu, kini menatap Kinanti dengan sorot pandangan mata mengandung kecemburuan yang terpendam. Suto Sinting mulai was-was, khawatir jika kedua perempuan cantik itu saling bertarung gara-gara kesalahpahaman. Sebab itulah, Suto Sinting segera menyapa dengan senyum menawannya kepada Salju Kelana,

"Dari mana kau, Salju Kelana? Kebetulan sekali kita bertemu di sini."

"Kau dusta, Pendekar Mabuk!" kata Salju Kelana dengan nada ketus. "Kau bilang ingin menyusul kami ke Pulau Jelaga, ternyata kau justru menempel pada gadis itu dan membiarkan aku serta Tua Bangka menumbangkan Gandapura, si pemakan manusia itu! Kami menunggumu sampai beberapa hari di Pulau Jelaga. Tapi karena kau tidak datang juga, terpaksa aku dan Tua Bangka yang menumbangkan Gandapura."

"Maafkan aku, setiap aku mau ke Pulau Jelaga selalu saja ada hambatannya. Langkahku ke sana jadi tertunda-tunda sampai saat ini. Maafkan aku, Salju Kelana." Suto memang pernah berjanji akan Pulau Jelaga untuk menggempur Gandapura. Salju Kelana disuruhnya berangkat lebih dulu bersama Tua Bangka, karena Suto Sinting harus pamit kepada gurunya, si Gila Tuak. Tapi perjalanan Suto menyusul ke Pulau Jelaga selalu terhambat oleh masalah-masalah yang harus ditangani, seperti misalnya masalah yang dihadapi saat ini. Tetapi agaknya Salju Kelana tidak mau tahu akan hal itu.

"Tentu saja langkahmu tertunda karena hatimu tak bisa berpaling jika melihat perempuan cantik. Matamu tak bisa berkedip jika memergoki seraut wajah yang enak dipandang mata."

"Kau bicara apa, Salju Kelana?!" tiba-tiba Kinanti yang memang sudah mengenal Salju Kelana sejak dulu itu berkata dengan nada ketus dan bersikap menantang.

Salju Kelana tak pernah perlihatkan rasa takutnya, sebab ia memang wanita cantik yang punya nyali cukup besar. Suto Sinting buru-buru alihkan percakapan setelah melihat Kinanti dan Salju Kelana saling adu pandangan mata. Itu gejala-gejala akan terjadi pertarungan antara mereka berdua jika alam pikiran mereka tidak segera dialihkan. Maka Suto Sinting pun segera berkata kepada Salju Kelana,

"Salju, bagaimana kabarnya Tua Bangka?"

"Baik!" jawabnya singkat dengan wajah cemberut tipis.

"Gandapura bisa ditumbangkan dengan Kapak Setan Kubur?!"

"Kalau tak bisa aku dan Tua Bangka tak mungkin bisa pulang kemari lagi, Tolol!"

Salju Kelana tampak semakin geram, sepertinya ingin buru-buru melepaskan kemarahannya, baik kepada Suto maupun kepada Kinanti. Namun tak jelas apa sebab utama kemarahannya itu; masalah janji Suto atau masalah kecemburuannya terhadap Kinanti?

* * *

LIMA

BAGAIMANAPUN juga Suto Sinting lebih memilih Salju Kelana daripada Kinanti, seandainya ia dipaksa harus memilih. Sebab Salju Kelana yang mirip sekali dengan Dyah Sariningrum itu telah berhasil mendapat 'kapling' di tepi hati Pendekar Mabuk. Andai saja Dyah Sariningrum tidak ada, pasti Salju Kelana yang menjadi pilihan utama bagi hati murid sintingnya Gila Tuak itu.

"Suto akan kubawa menemui Ratu Jiwandani." kata Kinanti saat ditanya Salju Kelana tentang tujuan mereka. Kinanti menyambung kata, "Ada persoalan yang akan diselesaikan Suto sana!"

"Tidak boleh!" tegas Salju Kelana.

"Apa hakmu melarang Suto datang ke istana Lembah Birawa?!" hardik Kinanti.

"Dia punya urusan sendiri denganku secara pribadi!"

"Peduli amat dengan urusanmu, aku lebih dulu menemukan Suto!"

"Aku kenal dia lebih dulu dari kau!"

"Persetan dengan perkenalanmu! Dia harus ku bawa ke Lembah Birawa!"

"Tidak boleh!" bentak Salju Kelana. "Aku akan nekat membawanya!"

"Aku akan menghalangi langkahmu!"

"Aku akan menyingkirkan nyawamu!"

"Tidak mungkin bisa karena nyawamu lebih dulu ku kirim ke neraka!"

"Jadi mau apa kau, hah?!"

"Kau sendiri mau apa?!"

Mereka saling maju, bertolak pinggang, saling pandang dengan sorot mata penuh tantangan. Pendekar Mabuk hanya garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Repot juga kalau begini," gerutunya dalam hati.

Wuttt...! Kinanti lebih dulu menyerang Salju Kelana dengan tendangan kakinya. Salju Kelana menangkis memakai tangan kirinya. Plakkk...! Kinanti putar tubuh dan tiba-tiba sentakkan tangan kanannya untuk menghantam dada lawan dengan telapak tangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu. Tapi Salju Kelana tidak kalah cekatannya. Telapak tangannya pun diadu dengan telapak tangan Kinanti.

Plakkk...! Wusss...! Asap mengepul ketika mereka saling dorong, saling lepaskan tenaga dalam untuk tumbangkan lawan.

Pendekar Mabuk segera melompat ke arah semak-semak sambil berseru, "Hai... mau ke mana kau Demit Lanang! Berhenti...!"

Seruan Suto membuat kedua perempuan cantik itu saling lepaskan serangan. Wajah mereka sama tegangnya memandang ke arah kepergian Suto Sinting.

"Ada apa dengan Demit Lanang?!" tanya Salju Kelana.

"Dia sudah kuasai jurus 'Bintara Jingga' dan sekarang sedang menjadi buruan kami!"

"Celaka! Suto biaa lenyap di tangan Demit Lanang! Aku harus membantunya!" Blasss...!

"Aku juga akan membantunya!" Blasss...!

Kedua perempuan itu sangat khawatirkan keselamatan Pendekar Mabuk. Mereka menyusul Suto Sinting dengan penuh kegeraman terhadap Demit Lanang. Sebab Salju Kelana sudah kenal siapa Demit Lanang dan Perguruan Darah Surga itu. Di tanah datar berpohon renggang, mereka menemukan Suto Sinting sedang menenggak tuaknya. Selesai menenggak tuak pendekar ganteng itu tersenyum geli membuat kedua wanita cantik itu terheran-heran. Mata mereka sempat memandang alam sekeliling mencari Demit Lanang.

"Mana si Demit Lanang itu?!" tanya Kinanti siap dengan pedang milik Seroja Putih.

"Maaf, kusangka tadi bayangan si Demit Lanang. Tidak tahunya seekor babi hutan."

"Kampret jelek kau!" maki Salju Kelana dengan bersungut-sungut.

"Kurang ajar! Babi hutan disangka Demit Lanang! Lantas untuk apa aku ikut terburu-buru mengejar babi hutan?!" gerutu Kinanti sambil cemberut.

"Kinanti, kita teruskan pertarungan kita tadi!" tantang Salju Kelana.

"Baik! Bersiaplah kau, Salju Kelana!"

Suto berseru lagi sambil menuding arah lain. "Itu dia... Itu dia...! Dia lari kesana!"

"Siapa?! Demit Lanang?!"

"Babi hutan yang tadi!" jawab Suto Sinting.

Kedua perempuan cantik itu menjadi kesal kepada Suto, lalu pemuda itu dihampiri bersama dari kanan kiri dengan tolak pinggang.

"Apa maksudmu mengganggu pertarungan kami, hah?!" bentak Salju Kelana.

Pendekar Mabuk hanya cengar-cengir dengan kepala menengok ke kanan dan ke kiri. "Aku hanya tidak ingin kalian berselisih," jawab Suto di sela cengirannya. Sekalipun hanya sebuah cengiran namun dianggap oleh hati perempuan sebagai senyum yang menawan. Itulah kehebatan Suto.

"Sebenarnya dari tadi memang tidak ada apa-apa. Babi hutan pun tidak ada. Aku hanya ingin mengalihkan perhatian kalian agar jangan tertuju kepada perselisihan," sambung Suto menjelaskan, "Kalau kalian berselisih, aku sedih dan tak bisa mengambil sikap."

"Sebagai laki-laki kau harus bisa mengambil sikap dan ketegasan!" kata Kinanti. "Kau mau ikut ke Lembah Birawa seperti janjimu semula, atau mau ikut Salju Kelana?! Tentukan sekarang juga!" Kinanti bernada menuntut ketegasan.

Salju Kelana mencoba pengaruhi jalan pikiran Suto dengan kata, "Kalau kau ke Lembah Birawa, aku pergi sekarang juga dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi."

Suto berkata kepada Salju Kelana, "Sebenarnya apa yang membuatmu melarangku bertemu dengan Ratu Jiwandani?"

"Ratu itu cantik dan masih perawan!"

"Kau pikir aku akan terpikat padanya?!"

Kinanti yang menjawab, "Kuharap demikian!"

"Kurobek mulutmu, Kinanti!" bentak Salju Kelana.

"Akan kuputuskan sendiri!" Suto berkata agak menyentak, sehingga kedua gadis itu saling bungkam dan memandang Suto Sinting.

"Aku akan menghadap Ratu Jiwandani, karena agaknya ia dalam kesulitan. Aku mau datang ke Lembah Birawa asal bersama Salju Kelana. Jika Salju Kelana tidak diizinkan ikut, aku tak jadi menemui Ratu Jiwandani."

Kedua makhluk cantik itu sama-sama terbungkam lagi untuk beberapa saat. Kinanti mondar-mandir untuk menentukan keputusannya. Salju Kelana sendiri juga mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya seraya melangkah kesana-sini bagai orang gelisah.

Kinanti akhirnya berkata, "Baiklah. Salju Kelana boleh ikut tapi tidak boleh mencampuri pembicaraanmu dengan sang Ratu!"

"Aku hanya akan mengawasinya!" kata Salju Kelana bernada ketus.

"Tampaknya kau takut kehilangan Pendekar Mabuk, Salju Kelana?"

"Memang!" jawab Salju Kelana dengan tegas, tanpa basa-basi sedikitpun.

Kinanti hanya mencibir sinis. Saat mereka melangkah menuju Lembah Birawa, Kinanti sempat ceritakan masalah sebenarnya kepada Salju Kelana. Cerita itu meluncur dari mulut Kinanti setelah Salju Kelana menceritakan pengalaman mesranya dengan Suto Sinting ketika di dalam gua dan ketika duduk di depan Suto Sinting yang mandi dalam keadaan polos karena menyangka Salju Kelana buta, padahal tidak. Kinanti sempat terkikik geli mendengar cerita itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rencong Pemburu Tabib).

Sedangkan Pendekar Mabuk sengaja sedikit menjauh supaya tidak terlalu merasa malu membayangkan kebodohannya didepan Salju Kelana yang kala itu berpura-pura masih buta. Bahkan Suto berusaha mengalihkan percakapan kedua wanita itu dengan sedikit berseru, "Tak bisakah kalian lebih cepat lagi?! Aku tak ingin kemalaman diperjalanan!"

"Sstt... dia malu!" bisik Salju Kelana sambil tersenyum geli.

Perjalanan mereka tak menemui hambatan lagi, sehingga mereka tiba di Lembah Birawa pada saat petang hampir tiba. Lembah berudara sejuk itu membuat kesegaran tersendiri bagi Suto Sinting, hingga wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Ia baru kali itu datang ke Lembah Birawa yang subur dan penuh dengan tanaman bunga bagai kehidupan surgawi. Seperti kata Salju Kelana yang sudah mengenal Ratu Jiwandani, ternyata ratu itu memang cantik bagai boneka yang sangat elok dipandang mata. Selain cantik, ia mempunyai tubuh yang sekal, meliuk indah penuh daya pikat bagi setiap pria yang memandanginya. Tak heran jika Demit Lanang sampai tega singkirkan adiknya sendiri demi dapatkan Ratu Jiwandani. Karena menurut Suto,

"Siapa pun yang menjadi suami Ratu Jiwandani tak akan sempat menghitung hari. Bahkan mungkin tak akan tahu siang atau malam, karena ia betah mengurung diri di dalam kamar bersama sang Ratu sampai rambut beruban pun tetap akan betah."

Ratu Jiwandani bukan ratu yang seronok, pakaiannya cukup rapi dan sopan dengan rangkapan jubah merah jambu berbintik-bintik emas. Rambutnya sedikit terurai atasnya tersanggul dililit dengan mahkota dari butiran permata yang sangat indah. Ia tampil sebagai sosok perempuan yang anggun dan punya kharisma tersendiri. Namun manakala ia berhadapan dengan Pendekar Mabuk, matanya yang indah itu tak mampu berkedip walau sekejap. Mata itu memandang penuh sorot pesona yang mungkin hanya Salju Kelana yang mengetahuinya.

"Luar biasa sekali pria ini, daya tariknya begitu kuat hingga hatiku berdebar-debar sejak tadi," kata Ratu Jiwandani dalam hati. "Ternyata kabar yang selama ini kudengar tentang sang Pendekar Mabuk yang tampan itu tidak meleset sedikit pun. Sayang aku menjadi seorang ratu, seandainya aku bukan seorang ratu aku berani mengejar pria ini demi mendapatkan keindahan yang ada padanya. Siapa orangnya yang tak merasa bahagia hidup menjadi istrinya, sudah sakti, tampan lagi. Ck, ck, ck... benar-benar layak menjadi idaman setiap wanita."

"Ratu...," sapa Kinanti. "Mengapa hanya diam saja! Bicaralah tentang kesulitan kita, Ratu."

Menyadari ketermenungannya Ratu Jiwandani segara tersipu-sipu. Salju Kelana tampak mencibir sambil buang muka. Suto Sinting tetap sunggingkan senyum keramahan yang diterima sebagai senyum pemikat oleh sang Ratu. Karenanya hati sang Ratu menjadi gelisah dan ia terpakaa menenangkan kegelisahannya mati-matian. Sang Ratu segera menceritakan kesulitannya yang berkaitan dengan perjanjian bersama pihak Perguruan Darah Surga. Tapi yang menjadi titik berat saat itu adalah keberadaan Demit Lanang yang telah menguasai Jurus 'Bintara Jingga'itu.

"Sudah dapat kupastikan seandainya aku menolak pinangannya, ia akan menggugat melalui perjanjian yang tertulis itu. Jika aku menyangkal perjanjian itu, ia akan murka dan menggunakan jurus 'Bintara Jingga' untuk melenyapkan diriku. Mungkin bukan... (Halaman 62 dan 63 nya tidak ada alias hilang...)

...matanya yang tak berkedip itu menikmati ketampanan Suto hingga ia biarkan hatinya bergetar-getar dijamah oleh keindahan yang sukar digambarkan.

"Tak ada jalan lain kecuali memerangi Demit Lanang secara terang-terangan, Ratu."

"Dan kau sanggup melawannya? Jika kau sanggup akan kuberikan hadiah padamu yang boleh kau pilih sendiri, hadiah apa yang kau inginkan dariku."

"Itu soal nanti," kata Suto. "Tapi keluarkan perintahmu untuk mengutusku dan Salju Kelana sebagai utusan yang punya wewenang mengusir dan menerima tamu siapa pun yang ingin menghadapmu, Ratu."

"Salju Kelana ikut juga?" sela Kinanti bernada kurang setuju.

"Salju Kelana akan menghadapi murid Perguruan Darah Surga yang lain, aku akan menghadapi Demit Lanang!"

"Apakah Salju Kelana mampu menghadapi mereka? Ilmu mereka tinggi dan tak mudah ditumbangkan."

Salju Kelana akhirnya bicara juga, "Sebaiknya kita buktikan dulu apakah aku mampu menumbangkan kau atau tidak, Kinanti!"

Tantangan itu dilontarkan di depan sang Ratu membuat Kinanti naik pitam, ia bangkit dengan keberaniannya dan berseru sambil bergerak maju, "Kita tentukan kau atau aku yang kehilangan nyawa! Tak perlu di luar, di sini saja cukup!"

Suto Sinting menahan gerakan Kinanti dengan memegangi pundaknya dan menghalangi langkahnya. Suasana menjadi agak panas karena tantangan tersebut.

"Kinanti...!" sergah Ratu Jiwandani. "Kendalikan dirimu, Kinanti! Hormati mereka, karena mereka adalah tamu di tempat kita. Lebih dari itu, mereka bermaksud menolong kita."

"Tapi saya tidak setuju jika Salju Kelana ikut campur dalam masalah ini. Suto Sinting sudah cukup mampu mengatasi orang-orang Perguruan Darah Surga tanpa bantuan siapapun."

"Aku setuju dengan keputusan Suto Sinting!" ucap sang Ratu dengan nada tegas yang membuat Kinanti terbungkam dan menatap ratunya dengan sorot pandangan kecewa.

* * *

ENAM

SEORANG prajurit bernama Pinasih datang menghadap sang Ratu dalam keadaan wajah memar dan lengan tergores luka yang masih berdarah. Kedatangan Pinasih membuat sang Ratu menjadi tersentak bangun dari tempat duduknya. Yang lain pun memandang Pinasih dengan tegang, terutama Kinanti.

"Pinasih, apa yang terjadi?!" sambil Kinanti menyambar tubuh Pinasih yang nyaris rubuh karena luka-lukanya.

Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut. Salju Kelana mendekati Suto dan berbisik, "Ada sesuatu yang tak beres."

Suto hanya menggumam lirih. Lalu mereka menyimak penjelasan dari Pinasih yang menjadi salah satu petugas penjaga perbatasan.

"Sisa orang-orang Pulau Teluh datang, Gusti Ratu!" Pinasih bicara dengan terengah-engah. "Mereka dipimpin oleh Lodang Balak, adik dari Penguasa Pulau Teluh yang telah berhasil dibunuh oleh Demit Lanang itu."

"Lodang Balak...?!" Salju Kelana menggumam dengan nada heran. "Seingatku Lodang Balak adalah Penguasa Pulau Gaib. Ilmu gaibnya lebih tinggi dari Penguasa Pulau Teluh."

Suto Sinting berkata kepada sang Ratu, "Benarkah Lodang Balak adik dari Penguasa Pulau Teluh?"

"Memang. Tapi kusangka ia tidak akan ikut campur urusan kakaknya, karena antara dia dan kakaknya ada perang dingin."

"Berapa kekuatan mereka, Pinasih?" tanya Kinanti.

"Sekitar tiga puluh orang," jawab Pinasih yang membuat sang Ratu kian tegang.

Kinanti pun cepat lemparkan pandangan kepada sang Ratu seakan menunggu perintah. Sebelum sang Ratu bicara, Suto Sinting segera memberikan tuak kepada Pinasih. Tuak diminum oleh Pinasih dan beberapa saat kemudian luka-luka Pinasih menjadi sembuh. Luka koyaknya merapat, darah yang keluar dan membasahi lengannya itu bagai menguap sirna tanpa bekas lagi. Sang Ratu memperhatikan kesaktian tuak tersebut dengan hati penuh kekaguman.

"Kinanti," katanya kepada Kinanti. "Siapkan prajurit tamtama yudha seluruhnya. Prajurit berkuda dan para pemanah juga perlu dikerahkan."

Salju Kelana beranikan diri berkata, "Apakah tak sebaiknya menghemat tenaga saja, Ratu Jiwandani?"

"Apa maksudmu menghemat tenaga, Salju Kelana?"

"Izinkan aku dan Suto mewakili pihakmu ke perbatasan."

Suto Sinting segera berkata, "Gagasan itu cukup baik. Barangkali dari sinilah awal kerja kami, Ratu."

Ratu Jiwandani diam sebentar, sesaat kemudian berkata kepada Kinanti, "Pilih beberapa prajurit untuk mendampingi Suto dan Salju Kelana! Berangkat ke perbatasan!"

Agaknya memang tak ada pilihan lain bagi sang Ratu yang ingin membuktikan kebanggaan hatinya kepada sang Pendekar Mabuk. Maka berangkatlah mereka ke perbatasan menyongsong kedatangan Lodang Balak yang ingin menuntut balas atas kematian kakaknya; Penguasa Pulau Teluh. Sementara itu, Pinasih diperintahkan untuk menjaga Ratu, dan Kinanti pemimpin pasukan pilihan yang akan didampingi Suto Sinting dan Salju Kelana.

Mereka menunggang kuda, tapi Suto Sinting dan Salju Kelana tidak. Cukup dengan menggunakan kedua kakinya mereka mengikuti pasukan berkuda yang berjumlah sepuluh orang terhitung dengan Kinanti. Derap kaki kuda lain terdengar di kejauhan. Debu mengepul ke udara membuat langit bagaikan keruh. Melihat kepulan debu di kejauhan, para pasukan berkuda makin mempercepat gerakan. Namun ternyata Suto Sinting dan Salju Kelana sudah tiba di depan lebih dulu daripada mereka yang berkuda.

"Edan! Mereka sudah sampai lebih dulu dan menghentikan gerakan lawan?!" gumam Kinanti antara dongkol dan bangga. Kinanti hentikan pasukan berkuda dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari tempat Suto dan Salju Kelana berdiri.

Sementara itu orang-orangnya Lodang Balak membentuk barisan berjajar dengan kuda-kuda mereka yang tampak kekar-kekar itu. Mereka dalam jarak sekitar lima tombak dari Suto dan Salju Kelana. Orang yang masih duduk di atas punggung kuda hitam dan berambut panjang diikat dengan ikat kepala warna ungu itu memandangi Suto dan Salju Kelana. Pada saat itu, Salju Kelana berbisik kepada Pendekar Mabuk.

"Yang memakai ikat kepala ungu itulah Lodang Balak! Hati-hati menatap matanya, kekuatan sihirnya cukup tinggi."

"Aku akan memandang batas telinganya saja," bisik Suto pelan.

Lodang Balak mengenakan jubah merah dengan celana merah, badannya yang kekar tapi tidak gemuk itu sengaja tidak mengenakan baju sehingga gambar tato naga di dadanya terlihat jelas manakala jubahnya menyingkap tertiup angin, ia menyandang sebilah pedang besar yang disematkan di punggungnya. Matanya yang besar memancarkan sinar dendam yang membuatnya tampak buas dan ganas.

"Kalau tak salah pandang," kata Lodang Balak yang bersuara serak itu. Kata-katanya itu ditujukan kepada Salju Kelana,"... kau adalah penguasa Pulau Serindu yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum!"

Salju Kelana berkerut dahi dan memandang Suto sesaat, kemudian berseru dengan suara lantang. "Aku Salju Kelana! Siapa itu Dyah Sariningrum? Penjual jamu mana dia itu? Aku tak kenal dengannya!"

Suto Sinting agak tersinggung mendengar Dyah Sariningrum dikatakan penjual jamu. Ia memang belum pernah ceritakan kepada Salju Kelana bahwa Dyah Sariningrum adalah calon istrinya yang menjadi penguasa Pulau Serindu dan mempunyai wajah mirip dengan Salju Kelana. Suto Sinting akhirnya memaklumi ucapan itu, karena Salju Kelana tidak tahu hubungan Suto dengan Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu.

"Siapa pun dirimu, Perempuan ganjen... aku tetap tidak akan pandang bulu! Jika kau menghalangi langkahku untuk membalas dendam kepada Ratu Jiwandani, kau pun akan kehilangan kepala, Perempuan ganjen! Jadi kusarankan kau tak perlu berlagak menjadi jagoan di depanku. Lodang Balak tak pernah segan memenggal kepala perempuan secantik apa pun!"

"Turun dari kudamu dan buktikan sesumbarmu itu!" sentak Salju Kelana dengan berani.

"Ha, ha, ha, ha...! Jangan melawanku kau, Gadis ingusan! Sebaiknya kau melawan muridku saja."

Lodang Balak yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menengok ke kiri, seorang berpakaian abu-abu berkepala gundul dipandanginya. Lalu ia berseru kepada orang yang berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kekar tanpa kenakan baju itu. "Balada, turun dan mainkan kepunyaanmu di depan perempuan itu!"

Orang gundul yang bernama Balada itu segera melompat dari punggung kudanya. Wuuttt...! Lompatannya cukup tinggi, hingga ia bisa bersalto dua kali di udara dan mendarat dengan tegak di samping Salju Kelana.

Saat itu Suto Sinting berbisik, "Biar kutangani saja, Salju Kelana."

"Jangan. Ini bagianku. Mundurlah sedikit!" Salju Kelana tak kelihatan gentar sedikit pun. Matanya memandang tajam kepada calon lawannya yang tampak sangar itu.

Balada yang bercelana hitam dengan ikat pinggang kain merah itu mulai melangkah ke samping dengan mata melirik ganas. Salju Kelana bersikap tenang, sedikit mengangkat dagu hingga tampak angkuh dan penuh keyakinan. Balada menyentakkan kedua tangannya ke depan dengan kaki merendah dan salah satu kakinya ditarik mundur. Tubuhnya yang merendah itu membuat tangannya berada di atas kepala dalam bentuk cakar tanpa kuku.

Wuukkk...!

Angin berhembus dengan kencang. Rupanya Balada keluarkan tenaga dalam berbentuk gumpalan angin besar yang membuat Salju Kelana terpelanting ke belakang hampir jatuh. Perempuan itu segera rendahkan badan, dan merentangkan tangannya, satu ke depan dengan jari telunjuk berdiri lurus, satu lagi ada di belakang kepalanya. Ia menahan hembusan angin kencang itu dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian kaki, sehingga ketika Balada melompat dengan berjungkir balik di tanah beberapa kali, Salju Kelana segera memutar tubuhnya dan menyampar lawan dengan kaki kanannya yang berkelebat bagai baling-baling.

Weesss...! Plakkk...!

Wajah sangar itu bagaikan ditampar dengan kaki perempuan berjubah putih. Tamparan kaki yang bertenaga dalam membuat tubuh kekar itu terpental ke samping dan jatuh tersungkur. Namun ia cepat bangkit dan menggeram dengan buas. Wajahnya menjadi hitam sebelah akibat tendangan kaki Salju Kelana tadi.

"Gawat juga si Salju Kelana itu?" pikir Kinanti dari atas punggung kudanya. "Sekali tendang wajah orang dibuat hangus begitu?!"

Salju Kelana berdiri tegak dengan kedua kaki merapat. Tangannya segera direntangkan kembali dengan kaki rapatnya merendah kokoh. Tetapi tiba-tiba Balada menghentakkan tangan kanannya yang berjari rapat, bagai menusukkan sesuatu ke arah tanah yang dipijak Salju Kelana. Tiba-tiba tanah itu pun amblas ke dalam.

Bless...!

Tanah yang amblas itu membentuk lingkaran selebar sumur. Tubuh Salju Kelana bagaikan terhisap dengan kuat masuk ke dalam tanah sampai hilang dari pandangan mata. Suto Sinting terkejut dan mulai bergerak. Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-tiba dari dalam tanah yang berlubang besar itu melesatlah tubuh Salju Kelana dengan memutar cepat seperti gangsing. Wuusss...!

Lodang Balak dan Balada terperangah melihat perempuan berjubah putih itu mampu melesat ke udara. Padahal biasanya lawan yang telah dikubur hidup-hidup dengan cara seperti itu tak akan bisa lolos dari liang tersebut. Sampai di udara, tubuh Salju Kelana bersalto dua kali dan segera mendaratkan kakinya dengan kokoh ke tanah samping Balada.

"Keparat kau!" geram Balada sambil berpaling dan siap melepaskan jurus barunya. Tapi agaknya gerakannya terlambat. Salju Kelana lebih dulu lepaskan pukulan berbentuk bola sinar putih menyilaukan. Slaappp...! Sinar putih itu pun menerjang tubuh Balada yang terlambat menghindar kesamping.

Wueerrss...!

Tubuh Balada berasap tebal bergumpal-gumpal. Ketika gumpalan asap itu menipis dan lenyap, mata mereka sama-sama terbelalak lebar, termasuk Suto Sinting dan Lodang Balak. Mereka terkejut melihat Balada berubah menjadi patung es yang bening dan mencair sedikit demi sedikit.

"Tak kusangka Salju Kelana mempunyai jurus sedahsyat itu?!" pikir Kinanti dengan hati bergetar. "Untung tadi aku tidak jadi bertarung melawannya. Kalau sampai aku tadi bertarung melawannya, bisa-bisa aku berubah menjadi es batu seperti orang itu."

Melihat murid andalannya menjadi patung es batu, Lodang Balak segera lepaskan sinar biru dari ujung jari telunjuknya. Claapp...! Sinar biru yang panjang lurus tanpa putus itu mengenai patung es batu itu. Maksudnya memberikan hawa panas untuk mencairkan es batu yang membungkus tubuh Balada, ia tidak tahu bahwa pada saat itu Balada sudah tidak ada, berubah menjadi es dan tak bisa dikembalikan seperti wujud aslinya. Maka sinar biru itu justru memecahkan patung es batu tersebut dengan mengeluarkan dentum ledakan yang cukup keras.

Jgaarr...!

Patung es itu pecah berantakan menjadi serpihan yang menyembur ke mana-mana, bahkan butiran es itu sampai ada yang jatuh di pangkuan Kinanti. Lodang Balak semakin kaget melihat kenyataan itu. Akhirnya ia melompat turun dari atas kudanya dan berseru dengan suara serak.

"Bangsat! Kau telah bunuh murid andalanku, Perempuan lacur! Kuhancurkan pula ragamu sekarang juga, heeeaaahhh...!"

Tangan kanannya menyentak ke depan. Tak ada sinar yang keluar, tapi tiba-tiba tubuh Salju Kelana sudah dibungkus oleh kilatan-kilatan cahaya biru yang mengelilinginya. Semakin lama semakin rapat hingga tubuh Salju Kelana nyaris terjerat kilatan-kilatan sinar biru yang saling memercikkan api dan letupan kecil itu.

Claappp...! Sinar ungu keluar dari tangan Suto Sinting yang saling merapat dan disentakkan ke depan. Sinar ungu itu menghantam kilatan-kilatan cahaya biru yang hampir menjerat dan menghancurkan tubuh Salju Kelana.

Blaarr...!

Salju Kelana terlempar melambung ke udara dan jatuh dalam keadaan tak bisa menjaga keseimbangan. Buuuhgg...! "Auuh ..!" gadis itu mengerang kesakitan. Suto Sinting tak terlalu menyesal karena hal itu lebih baik terjadi daripada tubuh Salju Kelana hancur oleh 'jala petir'-nya Lodang Balak.

Orang berikat kepala ungu itu segera menatap Suto Sinting dengan beringas, ia pun menggeram penuh dendam. "Jahanam! Sekarang kau ikut campur dan itu berarti kau akan berhadapan denganku!" bentak Lodang Balak.

"Memang aku akan melawanmu!" kata Suto Sinting dengan tenang, ia segera meneguk tuaknya sebentar tanpa pedulikan sesumbar yang dilontarkan Lodang Balak.

"Bocah keong! Kau pikir mudah menumbangkan Lodang Balak, hah?! Apakah kau belum dengar kabar bahwa Lodang Balak baru saja membunuh senopati dari Kerajaan Bogasa, dan membantai semua anggota Perguruan Ciung Dewa?!"

"Aku tak butuh sesumbarmu. Aku butuh bukti keampuhanmu! Tapi kita bertarung dengan jantan!"

"Apa maksudmu? Kau pikir aku takut dengan tantangan yang membawa-bawa kejantanan itu?!"

Senyum Suto Sinting mekar dengan kalem, ia melangkah pelan sampai di pertengahan jarak. Bambu tuaknya menggantung di pundak. "Kita bertarung secara ksatria. Kulihat kau mempunyai pedang, gunakanlah senjatamu itu. Aku pun akan meminjam pedang temanku. Siapa yang terluka lebih dulu berarti dia yang kalah. Jika aku yang terluka, maka kubuka jalan, kusingkirkan para pengawal istana yang berkuda itu, dan kau kuizinkan menemui Ratu Jiwandani. Tapi jika kau yang terluka lebih dulu, kau harus mengakui kekalahanmu, dan membawa anak buahmu pulang ke tempat asal! Apakah kau takut dengan tantangan seperti itu?" pancing Suto Sinting.

"Lodang Balak tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun. Tantanganmu kulayani!" Sreett...! Pedang dipunggung segera dicabut.

Suto Sinting berseru kepada Kinanti, "Pinjam pedangmu, Kinanti!"

Kinanti melompat dari punggung kuda. Weesss...! Gerakannya cukup cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Suto Sinting, ia menyerahkan pedangnya. Suto Sinting mencabut pedang itu, gagang pedang masih di tangan Kinanti.

"Hati-hati... dia jago pedang," bisik Kinanti.

"Baik. Menjauhlah secepatnya, dan bantu Salju Kelana yang terluka itu."

Bumbung tuak disilangkan ke punggung. Pendekar Mabuk mulai menebas-nebaskan pedang sebagai cara membiasakan gerakan dengan pedang tersebut. Lalu ia mengambil jarak enam langkah dari depan Lodang Balak.

"Apakah kau sudah siap tumbang, Bocah keong?!"

"Aku belum siap tumbang sebelum bisa melukai dadamu!" kata Suto Sinting tak mau kalah gertak.

"Biadab kau! Belum pernah merasakan Pedang Halimun-ku ini kau, hah?!" Lodang Balak bersiap-siap dengan memainkan jurus pedang pembuka.

Suto Sinting masih ingat pelajaran pedang dari Ki Argapura, di mana jurus 'Pedang Cakar Maut', 'Pedang Ekor Petir', dan 'Pedang Batu' adalah jurus-jurus pedang yang sukar ditangkis dan dihindari lawan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

Lodang Balak sudah tak sabar lagi. Ia segera melompat maju dalam gerakan bersalto satu kali, lalu tiba di depan Suto Sinting dan menebaskan pedangnya meliuk-liuk berserabutan membingungkan. Suto Sinting hanya mundur selangkah. Ketika pedang lawan membabat lehernya, Suto hanya menangkisnya dengan menggenggam pedang memakai kedua tangannya.

Trang...! Trang...! Weesss...! Trang...!

Suto Sinting hanya bersikap menahan serangan lawan. Walaupun Lodang Balak mampu memainkan pedang dengan kecepatan tinggi, tapi mata Suto Sinting tak pernah berkedip, sehingga mengetahui arah gerakan pedang lawan, ia pun bermain dengan kecepatan tinggi, sehingga selain pedang lawan berhasil ditangkisnya terus, juga gerakan mereka tak bisa dilihat oleh orang-orang di sekitar mereka.

Trrang, trang, trang, ziing...! Trang...!

Buuhg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk tampak terpental kebelakang karena sebuah tendangan yang mengenai lambungnya. Suto kehilangan keseimbangan, akibatnya ia terguling-guling karena tendangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar.

Jaraknya yang menjadi tujuh langkah dari Lodang Balak itu membuat Lodang Balak maju menyerang dengan liarnya. Pada saat itu, Suto Sinting baru saja bangkit dan pandangan matanya masih terasa buram, ia tak bisa melihat gerakan lawan yang menebaskan pedangnya kembali. Akhirnya ia memejamkan mata rapat-rapat dan menggerakkan pedangnya menuruti desing angin yang datang menghampirinya. Desing angin itulah gerakan pedang lawan, sehingga Suto Sinting mampu menangkisnya dengan tepat.

Trang, trang, trang, trang... wesss...! Deesss...!

Kali ini pukulan telapak tangan kiri Lodang Balak menghantam dada Suto Sinting dengan telak. Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah namun hanya sempoyongan, tak sempat jatuh seperti tadi.

"Modar kau sekarang, Bangsat! Heeaaat..!" Lodang Balak kian garang. Pedangnya ditusukkan di depan, dan mata Suto yang masih terpejam itu berhasil merasakan angin padat menghampirinya. Dengan cepat ia melompat bersalto ke udara. Wuuss...! Lalu dalam keadaan berjungkir balik di udara pedangnya berkelebat membabat lawan.

Wuuuttt...! Craasss...!

"Aahg...!" terdengar pekik tertahan si Lodang Balak. Punggungnya robek digores ujung pedang.

Suto Sinting berdiri tegak, kini ia membuka mata memandang lawannya yang menyeringai dengan berang. Sekalipun dada Suto tampak membiru bekas pukulan tadi, namun ia masih kelihatan gagah, mampu berdiri dengan tegar.

"Kau sudah terluka, Lodang Balak! Kau harus mundur sesuai peraturan yang kita sepakati tadi."

"Setan bangsat...! Tak ada kata mundur selama aku masih mampu berdiri! Heaaatt...!"

Suto Sinting memegang pedang dengan kedua tangan. 'Gerak Siluman' dipergunakan. Zlaapp...! Gerakan yang luar biasa cepatnya itu bukan saja tak bisa dilihat orang sekelilingnya, namun juga tak bisa dilihat oleh lawan. Tahu-tahu Suto Sinting sudah pindah tempat ke belakang Lodang Balak. Zebb...! Ia masih memunggungi Lodang Balak dengan pedang tetap tergenggam dua tangan. Tapi mata pedangnya semakin berlumur darah.

Lodang Balak diam tak bergerak dengan sedikit membungkuk, ia bagaikan tak berani memutar tubuh untuk berhadapan dengan Suto Sinting. Keadaan diam itu sempat berlangsung selama dua helaan napas, membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi tegang.

Pendekar Mabuk akhirnya menoleh ke belakang. Pada saat itu lawannya mulai limbung, dan akhirnya tumbang dalam keadaan terkapar. Semua anak buah Lodang Balak terperanjat kaget. Mata mereka terbuka lebar-lebar dengan wajah kian tegang. Lodang Balak tak berkutik lagi. Nyawanya melayang pada saat ia jatuh ke tanah dalam keadaan terkapar, kedua tangan membentang sehingga semua orang dapat melihat bahwa perut Lodang Balak robek lebar, isi perutnya sempat tersumbul dan sangat mengerikan.

Melihat Lodang Balak tak bernyawa lagi, orang-orangnya segera melarikan diri ke berbagai arah. Mereka ketakutan ketika mendengar Pendekar Mabuk berseru,

"Siapa lagi yang ingin menyusul Lodang Balak ke neraka?!"

Mereka yang merasa ngeri menghadapi pemuda tampan itu tak tanggung-tanggung memacu kudanya, bahkan ada yang terjungkal jatuh bersama kudanya dan diinjak-injak kuda lainnya. Sementara itu, pihak prajurit Kinanti tersenyum-senyum, bahkan sebagian ada yang bertepuk tangan dan berseru,

"Hidup Pendekar Mabuk...! Ha, ha, ha, ha...!"

Kinanti segera menghampiri Suto Sinting bersama Salju Kelana. Tapi Kinanti tak berani memegang tubuh Suto karena Salju Kelana langsung memeluknya dengan hati girang.

"Aku sudah cemas saat kau terkena pukulannya dua kali," kata Kinanti mengalihkan rasa jengkelnya karena melihat Suto dipeluk Salju Kelana.

Setelah pelukan itu dilepaskan, Suto pun serahkan pedang kepada Kinanti. "Terima kasih atas pinjaman pedangmu. Sayang sekali beratnya kurang seimbang. Masih berat sebelah kiri!" kata Suto Sinting menunjukkan kejeliannya dalam menimbang pedang walau dengan cara memainkannya.

Salju Kelana berkata, "Kupikir kau tak semahir itu dalam memainkan jurus pedang. Aku sempat kaget saat kau menantangnya bertarung dengan pedang."

"Sengaja kutantang begitu supaya ia tidak punya kesempatan untuk melepaskan jurus-jurus ilmu gaibnya yang kata Kinanti cukup berbahaya itu," kata Suto.

Salju Kelana tersenyum, mencubit pipi pendekar tampan yang sudah dikelilingi oleh para prajuritnya Kinanti itu. "Akalmu ada-ada saja untuk memancing kelemahan lawan," kata Salju Kelana setelah mencubit.

"Boleh saja kau memujiku, tapi minum dulu tuakku. Kau tadi terluka!" kata Suto sambil serahkan bumbung tuak kepada Salju Kelana.

Perempuan yang mirip Dyah Sariningrum itu menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu mereka bergegas kembali ke istana. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor kuda yang dipacu cepat. Penunggang kuda itu tak lain adalah Pinasih. Gadis itu datang dengan wajah tegang dan langsung menemui Kinanti dengan masih tetap berada di atas kuda.

"Ratu Jiwandani dibawa lari oleh Demit Lanangi"

"Hahhh...?!" semuanya terpekik kaget dengan wajah menjadi tegang.

"Demit Lanang datang dan tak bisa ditahan oleh prajurit gerbang, ia masuk dan bicara sebentar dengan Gusti Ratu, lalu ia menotok Gusti Ratu dan membawanya pergi!"

"Kau sendiri bagaimana?! Apa tugasmu di istana?!" bentak Kinanti.

"Aku dilumpuhkan lebih dulu, tak bisa bergerak apa-apa, namun aku melihat perbuatan itu, dan aku berteriak-teriak namun semua prajurit rupanya sudah dibungkam dengan ilmu getaran batin si Demit Lanang!"

"Ke mana arah kepergiannya?!" tanya Salju Kelana.

"Ke selatan...!"

"Suto, cepat kita bergerak ke sana! Pasti sang Ratu dibawanya ke benteng Perguruan Darah Surga!"

Kinanti berseru kepada Pinasih, "Tetaplah di istana, siapkan prajurit tamtama untuk menyerang Perguruan Darah Surga! Kami berangkat lebih dulu!"

* * *

TUJUH

BARU menginap semalam di Lembah Birawa, esoknya Suto sudah dihadapkan dengan dua masalah besar; penyerbuan Lodang Balak dan menghadapi hilangnya sang Ratu sendiri, ini sebuah tantangan bagi Pendekar Mabuk untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatasi berbagai kesulitan. Karenanya semangat Suto Sinting dalam mengejar Demit Lanang cukup tinggi. Apalagi ia didampingi Salju Kelana, serasa didampingi Dyah Sariningrum yang amat dirindukan itu. Tak heran lagi jika Suto cukup menggebu-gebu untuk segera sampai di Perguruan Darah Surga.

Perguruan itu terletak di dekat pantai, sebuah bukit yang cukup luas, sebagian lerengnya dibangun benteng kayu sebagai tempat menempa murid-murid perguruan tersebut. Tetapi ketika mereka sampai di benteng perguruan tersebut, ternyata keadaannya sangat sepi. Tak satu pun murid Perguruan Darah Surga yang terlihat mondar-mandir di depan pintu gerbang. Kinanti mengajak mereka untuk mengintai dari kejauhan, dan Kinanti pula yang berbisik kepada Salju Kelana serta Suto Sinting sambil menyatakan keheranan hatinya.

"Biasanya tidak sesepi ini. Paling tidak empat-lima orang berjaga-jaga di depan gerbang, ini satu pun tak ada? Ke mana mereka sebenarnya?"

"Mungkin mengadakan pertemuan penting di dalam benteng," kata Salju Kelana.

"Sekalipun ada pertemuan penting mestinya dimenara ada penjaganya. Tapi keempat menara itu tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana."

"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum kita sampai sini," kata Suto Sinting. "Agaknya kita perlu selidiki lebih dekat lagi."

Mereka pun bergerak mendekati benteng kayu yang tampak kokoh itu. Tak lupa Pendekar Mabuk mengingatkan agar Kinanti dan Salju Kelana tetap menjaga kewaspadaannya. Di balik jajaran pohon-pohon kelapa, mereka bersembunyi memperhatikan keadaan benteng kayu itu. Suto Sinting berkata kepada kedua wanita tersebut,

"Tunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang lewat di depan gerbang atau naik ke menara mengintai suasana di sekitar sini."

Namun sampai beberapa saat lamanya mereka di tempat persembunyian dengan perhatian terpusat ke benteng kayu, ternyata tak ada seorang pun yang lewat atau terlihat di sekitar benteng tersebut. Kinanti mendekati Suto Sinting dan berkata penuh kecurigaan,

"Biasanya papan nama perguruan tergantung diatas pintu gerbang. Tapi kali ini papan nama itu tidak ada."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi memikirkan keterangan tersebut. Salju Kelana berkata setelah beberapa saat diam.

"Aku penasaran ingin menyusup masuk ke sana."

"Jangan gegabah! Siapa tahu keadaan seperti ini adalah jebakan bagi kita," kata Suto Sinting. "Mungkin mereka tahu kalau pihak Ratu Jiwandani akan datang menyerang guna merebut sang Ratu. Mereka buat suasana seperti ini untuk menjebak. Kita perlu hati-hati sekali dalam melangkah. Pertimbangkan masak-masak setiap gerakan!"

Setelah sekian lama mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di benteng itu, Kinanti mengusulkan untuk bergerak lebih dulu menyelidiki keadaan di dalam benteng. Suto Sinting setuju asal ia dan Salju Kelana sudah berada di balik gugusan batu, lebih dekat dengan sisi samping benteng.

Pendekar Mabuk sudah tiga kali menenggak tuaknya sebagai persiapan menyimpan tenaga. Matanya tak berkedip memandangi Kinanti yang mendekat ke arah pintu gerbang benteng, ia siap lepaskan pukulan jarak jauhnya jika terjadi sesuatu pada diri Kinanti. Namun sejauh ini agaknya Kinanti aman-aman saja, sehingga gadis itu memberi isyarat kepada Suto dan Salju Kelana agar ikut mendekat menyusulnya.

"Tak ada sepotong orang pun," kata Kinanti pelan. "Pintu gerbang ini juga dalam keadaan tidak dikunci. Mudah didorong dengan kaki."

"Tunggu, jangan sentuh dulu pintu gerbang ini!" kata Suto Sinting yang berfirasat tak enak dalam hatinya, ia segera memeriksa sekeliling pintu gerbang, memperhatikan tiap pasangan kayu-kayunya, ia mendongak ke atas, dan memandangi rangkaian kayu yang menjadi dinding bagian atas. Rangkaian kayu itu meruncing ke bawah dan mempunyai tali pengait yang dihubungkan dengan bagian belakang pintu gerbang.

"Mundurlah dulu... mundur...!" kata Suto Sinting dengan tenang. Mereka mundur empat langkah. Kemudian Suto Sinting menyentilkan jarinya, menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu menghadirkan kekuatan menendang melebihi tendangan tenaga seekor kuda jantan.

Tebb...! Drakkk...! Pintu gerbang terbuka dalam satu sentakan kuat akibat sentilan 'Jari Guntur'. Dan pada saat pintu terdorong ke dalam membuka, tiba-tiba pasangan kayu runcing yang berjajar itu meluncur turun dengan cepatnya.

Zrabbb...! Jrrubb...!

Kayu-kayu itu menancap di tanah secara serempak. Seandainya ada orang yang membuka pintu gerbang, maka orang tersebut sudah tentu akan mati tertusuk kayu-kayu runcing itu.

"Sebuah jebakan?!" gumam Kinanti dengan mata membelalak lebar.

"Itulah sebabnya tadi kuperingatkan agar jangan menyentuh pintu gerbang. Aku curiga ada sesuatu yang tak beres di depan pintu tersebut."

Kinanti menghela napas dan menghempaskannya panjang-panjang. "Untung kau waspada sekali, kalau tidak nyawaku sudah melayang saat ini."

"Bersiaplah jika ada yang keluar dari dalam sana. Mereka pasti melepaskan serangan beruntun!" kata Suto Sinting yang membuat kedua wanita itu bersiaga menghadapi serangan sewaktu-waktu.

Ternyata serangan yang ditunggu tidak kunjung tiba. Keadaan masih tampak sepi-sepi saja. Hembusan angin menerbangkan dedaunan kering terhempas masuk ke dalam benteng. Setelah merasa tak ada yang datang, Suto memberi isyarat agar mendekati pelan-pelan. Kayu-kayu runcing yang menancap di tanah itu disingkirkan oleh Suto dan Kinanti. Jalan masuk terbuka lebar, keadaan di dalam terlihat jelas, bangunan-bangunannya kosong dan pendopo pun tampak sepi. Kinanti melangkah maju lebih dulu. Tapi tiba-tiba tangan Suto Sinting segera menyambarnya dengan memeluk pinggang Kinanti dan membawanya melompat ke belakang.

"Mundur...!" sentak suara Suto yang membuat Salju Kelana ikut-ikutan menyentak ke belakang.

Ternyata Kinanti telah menginjak pasangan batu yang ditanam dalam tanah. Pasangan itu membuat munculnya jebakan berupa papan-papan berbesi runcing yang menghantam ke arah pintu gerbang dari bagian dalam.

Wuusss...! Prakkk...!

Sebagian papan ada yang menancap di pintu sebelahnya, sebagian lagi mengenai tempat kosong. Kinanti berdebar-debar memandang keadaan tersebut. Terbayang kengerian yang nyaris membuatnya mati terpaku besi-besi runcing pada papan-papan tersebut. Kalau saja Suto Sinting tidak segera menyambarnya, ia akan mati dihujam puluhan besi runcing yang menyerupai paku-paku di papan itu.

Salju Kelana berkata, "Agaknya tempat ini sengaja dipenuhi jebakan maut. Kita harus lebih hati-hati lagi, Suto."

"Ya. Dan melihat suasana di dalam tampak sepi-sepi saja, aku curiga, jangan-jangan mereka sudah pergi!"

"Maksudmu, pergi meninggalkan tempat ini selamanya?"

"Bisa selamanya, bisa pula hanya untuk sementara."

Salju Kelana manggut-manggut dengan gumam kecilnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memeriksa bagian dalam benteng. Ternyata keadaannya benar-benar kosong tanpa manusia satu pun. Tapi tempat itu penuh dengan jebakan beraneka ragam. Salju Kelana hampir saja mati dihantam sekeranjang tombak yang membentuk seperti bola besar dan menghempas dari sisi kanan ke sisi kiri. Untung ia segera disambar oleh Suto Sinting dan berguling-guling di lantai hingga selamat dari ancaman maut itu.

Seluruh ruangan diperiksa, seluruh ruangan pula mempunyai jebakan yang mematikan. Siapa pun yang masuk ke benteng itu tanpa meningkatkan kewaspadaan dan hati-hati, ia akan mati secara mengerikan. Namun berkat kewaspadaan tinggi sang Pendekar Mabuk, mereka bertiga tetap selamat, bahkan selamat pula dari semburan asap beracun yang sangat berbahaya itu.

"Berapa banyak jebakan yang terpasang di sini sebenarnya?" gumam Salju Kelana sambil memandang sekelilingnya dengan penuh keheranan.

"Yang kupikirkan adalah, mengapa tempat ini ditinggalkan oleh orang-orang Perguruan Darah Surga?" ujar Pendekar Mabuk.

"Mungkin karena Demit Lanang membawa lari sang Ratu," kata Kinanti.

"Apakah hanya karena itu mereka harus meninggalkan tempat ini? Mengapa tidak bertahan saja? Bukankah katamu mereka orang-orang yang sulit ditumbangkan?!"

Salju Kelana menyahut, "Kurasa ada sebab lain yang membuat mereka pergi dari tempat ini. Sebab lain itulah yang tidak mudah kita mengerti."

Setelah memeriksa setiap jengkal tanah di dalam benteng itu, akhirnya Suto Sinting memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. "Kita tidak akan memperoleh apa-apa jika masih tetap di sini!" katanya sambil bergegas keluar dari benteng kayu.

Sesampainya di iuar Kinanti berkata dengan wajah cemas, "Lantas bagaimana nasib Ratu Jiwandani? Kemana kita harus mencarinya, Suto?"

"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Kinanti. Tapi barangkali kau ingat bahwa Demit Lanang mempunyai tempat lain yang cocok untuk menyembunyikan sang Ratu?"

"Aku tidak pernah tahu tentang dia. Sang Ratu yang tahu banyak tentang Demit Lanang, karena Maha Guru Teja Biru pernah menceritakan tentang pribadi Demit Lanang kepada sang Ratu."

"Kurasa ada baiknya kalau kita menyusuri pantai, mencari jejak mereka," kata Salju Kelana. "Setidaknya kita periksa keadaan tanah di sekeliling tempat ini, siapa tahu kita bisa temukan jejak kepergian mereka."

"Itu gagasan yang baik!" kata Suto Sinting. "Kita awali dari hutan di belakang dan samping bangunan ini."

Mereka baru saja bergerak, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu. Padamulanya Kinanti menyangka derap kaki kuda itu adalah kedatangan orang-orangnya yang siap memberi bantuanvtenaga. Tetapi setelah derap kaki kuda itu terdengar tak begitu banyak, mungkin hanya dua-tiga kuda yang berlari cepat, mereka menjadi curiga dan menyangkal pendapat Kinanti.

"Kurasa bukan orang-orang Lembah Birawa," kata Salju Kelana. "Jumlah kaki kuda itu tidak banyak. Dan agaknya mereka dalam keadaan terburu-buru. Mungkin karena hati mereka dibakar kemarahan yang meluap-luap."

"Dari mana kau tahu kalau mereka dibakar kemarahan?"

"Kudengar jantung mereka berdetak cukup cepat," jawab Salju Kelana yang memang pendengarannya sudah terlatih untuk menyimak suara apa pun, hingga sangat peka terhadap suara detak jantung seseorang.

"Ada tiga orang yang menuju kemari," kata Suto Sinting.

"Kau yakin hanya tiga orang?!" tanya Kinanti.

"Yakin sekali, karena yang kudengar hanya tiga detak jantung!"

Kinanti heran mendengar Suto dan Salju Kelana bicara tentang detak jantung, ia tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus 'Lacak Jantung' yang mampu mendengarkan detak jantung orang selain dirinya dan teman-temannya. Bahkan denyut nadi pun bisa didengar oleh Suto Sinting jika jurus 'Lacak Jantung' itu sedang dipergunakan.

Dugaan Suto memang benar. Tiga orang penunggang kuda datang ke benteng kayu itu. Mereka berwajah dingin, semuanya memancarkan murka yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Tiga orang itu rata-rata berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya kurus-kurus, matanya cekung-cekung, rambutnya ada yang panjang sepunggung, ada yang sebatas tengkuk, ada yang hanya sepundak lewat sedikit. Mereka sama- sama memakai ikat kepala dari kain merah.

Pakaian mereka rata-rata berwarna gelap. Satu orang memakai jubah berlengan panjang warna abu-abu, satu lagi mengenakan jubah tak berlengan warna hitam, dan yang satu lagi mengenakan jubah belahan samping warna hijau tua. Jubah belahan samping itu seperti kain yang dilubangi untuk masuk kepala, tanpa ada bentuk dan potongan model apapun.

"Celaka! Rupanya mereka yang membuat Demit Lanang buru-buru pindah dari tempat ini?!" bisik Kinanti kepada Pendekar Mabuk. Bisikan itu juga didengar oleh Salju Kelana.

"Siapa mereka itu, Kinanti?"

"Mereka musuh utama Maha Guru Teja Biru yang dikenal dengan nama: Tiga Malaikat Batu."

"Aku baru mendengar julukan itu," bisik Salju Kelana. "Mereka adalah; Denawa, Sogar, dan Brada. Mereka orang-orang Teluk Sangar, ilmunya tinggi-tinggi, kebal senjata dan tak mampu ditembus sinar apa pun. Barangkali Demit Lanang sudah mengetahui rencana kedatangan mereka, sehingga segera memindahkan pusat Perguruan ke tempat lain." "Bukankah Demit Lanang mempunyai jurus 'Bintara Jingga' yang cukup dahsyat itu?"

"Jurus tersebut tak akan bisa mengenai Tiga Malaikat Batu. Demit Lanang pasti tahu hal itu dan karenanya ia memilih kabur dari tempat ini."

Tiga Malaikat Batu turun dari kudanya. Pendekar Mabuk memandang dengan tenang, tapi hatinya berkata penuh keheranan. "Gila! Mereka tidak punya bayangan, padahal matahari bersinar cukup terang, mengapa mereka sampai tidak punya bayangan? Hmmm... kurasa mereka bukan manusia biasa, mungkin masyarakat negeri siluman?!"

"Mana si keparat Demit Lanang itu?!" hardik Sogar yang memakai jubah hitam.

"Kami sendiri mencarinya, tapi kami temukan tempat ini kosong," jawab Suto Sinting dengan kalem.

"Jangan berlagak menjadi orang asing di perguruan sendiri! Aku tahu kalian adalah murid Perguruan Darah Surga!"

"Kau keliru," Suto sunggingkan senyum tipis. "Kami dari pihak lain yang ingin menyerang Demit Lanang."

Brada yang matanya lebih kecil dan lebih dingin itu berkata datar. "Apakah ini sebuah siasat banci Demit Lanang?!"

"Bukan, ini keadaan yang mengecewakan. Kita sama-sama kecewa karena menemukan tempat ini kosong. Kalau kalian tak percaya, silakan masuk dan memeriksa keadaan di dalam. Tapi hati-hati, banyak jebakan yang dapat mematikan orang. Kami hampir saja mati karena jebakan-jebakan maut yang dipasangnya."

Denawa yang memakai jubah abu-abu itu berkata, "Mereka perlu dipaksa, Brada!"

Brada mengacungkan tangannya ke arah Suto Sinting. Dari ujung jarinya yang lemas itu melesat sinar putih menghantam dada Suto Sinting. Clapp...! Suto Sinting kaget dan segera berkelit ke samping sambil menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya.

Trabb...! Wuuttt...!

Sinar putih itu berbalik arah menjadi lebih besar. Namun arahnya segera membelok naik ketika hampir kenai tubuh Brada. Slapp...! Sinar itu pun melesat ke langit dan lenyap tanpa suara.

Suto Sinting terkesiap melihat sinar itu membelok arah, seakan membentur dinding kaca yang melambungkan arah gerakan sinar. Sedangkan Tiga Malaikat Batu itu terkesiap melihat bumbung tuak itu mampu membalikkan gerakan sinar menjadi lebih besar dan lebih cepat lagi.

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"

"Aku yang bernama Suto Sinting."

"Hmmm... muridnya si Gila Tuak itu?" sahut Sogar.

"Benar! Aku murid si Gila Tuak," jawab Suto Sinting dengan tegas.

Ketiga orang berwajah dingin itu manggut-manggut. Mereka saling pandang sebentar, lalu Denawa berkata kepada Sogar, "Setahuku murid Gila Tuak adalah bocah tanpa pusar! Bisa saja anak itu mengaku-aku murid si Gila Tuak."

Suto Sinting mendengar dan tersenyum geli. Ia berkata dalam senyumnya, "Apakah perlu kutunjukkan perutku bahwa aku tidak punya pusar?!"

Salju Kelana buang muka menyembunyikan senyum, demikian pula Kinanti yang menatap Salju Kelana dengan senyum dikulum.

"Tak perlu kau tunjukkan perutmu, Anak muda," kata Sogar, "Cukup kau tunjukan sekali lagi jurus warisan Gila Tuak, sebab kami mengenal jurus-jurusnya."

"Apakah kau tak akan menyesal jika sampai kugunakan jurus yang menjadi ciri aliran silat Gila Tuak?!"

"Aku yang akan melayanimu, Nak," kata Denawa sambil melangkah maju, jaraknya menjadi lima langkah dari Suto Sinting. Sikap berdirinya menampakkan keangkuhan seorang berilmu tinggi.

"Seranglah aku dengan jurus warisan Gila Tuak."

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera gunakan jurus 'Gerak Siluman', menerjang Denawa dengan kecepatan yang tak bisa dilihat mata siapa pun. Zlaappp...!

Brruss...!

Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di belakang mereka dalam jarak cukup jauh. Denawa sendiri terpental dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Hidung orang itu keluarkan darah yang membuat Sogar dan Brada terperangah kaget.

Zlaappp...! Suto Sinting tahu-tahu sudah ada di tempat semula, bersebelahan dengan Salju Kelana. Tiga Malaikat Batu kembali terperangah memandangi kehadiran Suto Sinting yang ternyata telah menggenggam dua kain merah. Dua kain merah itu adalah ikat kepala Denawa dan Sogar yang sempat disambar dengan kecepatan tinggi sekali.

Suto Sinting tersenyum menunjukkan dua kain merah di kanan kirinya. Denawa segera datang dengan menghapus darah dari hidungnya memakai lengan jubah, ia berkata kepada kedua temannya namun matanya tertuju pada Suto Sinting.

"Dia memang murid Gila Tuak."

"Ya, dia gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang tidak kita miliki," kata Brada. "Pantas dia bisa mengembalikan sinar putihku tadi."

Sogar berkata kepada Suto, "Kembalikan ikat kepala kami. Aku tak pernah bermusuhan dengan gurumu, Suto!"

Dengan sikap baik, Suto Sinting mengembalikan ikat kepala mereka. Permusuhan pun mereda, bahkan Brada bertanya kepada Pendekar Mabuk,

"Urusan apa kau ada di sini bersama dua kekasihmu itu?"

Salju Kelana dan Kinanti tersenyum masam. Suto Sinting justru tertawa tanpa suara. Tapi ia segera menjelaskan perkara sebenarnya, dituturkan dengan sejelas-jelasnya, sehingga ketiga orang yang berjuluk Tiga Malaikat Batu itu menggumam lirih.

"Kami pun ada persoalan dengan Demit Lanang. Delapan murid kami dilenyapkan dengan sinar 'Bintara Jingga'-nya itu. Terlepas dia tahu itu murid kami atau tidak, tapi kami akan menuntut balas atas kematian delapan murid kami."

"Kita sama-sama kehilangan buronan," kata Suto Sinting. "Tapi aku yakin dalam waktu tak lama dapat menemukan di mana Demit Lanang bersembunyi."

"Kita berlomba," kata Brada. "Siapa yang menemukan Demit Lanang lebih dulu, dia yang berhak membunuhnya!"

"Asal Ratu Jiwandani jangan sampai cedera oleh serangan kalian. Jika sang Ratu cedera, aku akan menuntut kalian!" Suto menggertak secara halus.

"Aku paham!" ucap Denawa pendek, ia segera naik kepunggung kuda, diikuti oleh Sogar dan Brada. Kemudian mereka pergi tanpa pamit lagi.

Kinanti dan Salju Kelana memandang dengan hati menyimpan rasa kagum kepada Suto Sinting. Tapi Kinanti tak kuasa memendam kekagumannya, sehingga la lontarkan lewat kata.

"Demit Lanang saja lari terbirit-birit karena tak sanggup melawan Tiga Malaikat Batu, namun kau justru membuat mereka secara tak langsung menaruh hormat padamu, Suto! Kau benar-benar luar biasa!"

"Siapa dulu pendampingnya," kata Salju Kelana membanggakan diri.

Kinanti mencibir namun tak berani seketus kemarin.

"Sekarang yang kita pikirkan bukan siapa pendampingku, tapi di mana Ratu Jiwandani dibawa oleh Demit Lanang. Ke mana kita harus mencari si Demit Lanang itu?!"

Salju Kelana dan Kinanti sama-sama diam termenung memikirkan langkah berikutnya.

* * *

DELAPAN

PENCARIAN itu memakan waktu sehari semalam, mereka sampai bermalam di hutan. Selama perjalanan Salju Kelana tak pernah mau jauh dari Suto Sinting, sehingga Kinanti sering merasa iri. Namun rasa iri itu tidak berani diungkapkan secara terang-terangan, karena dalam hatinya ia mulai takut melawan Salju Kelana setelah melihat kehebatan Salju Kelana saat melawan Balada.

Di ujung pagi, perjalanan mencari Demit Lanang dilanjutkan. Namun mereka terperanjat kaget saat menuruni sebuah lembah. Mereka temukan dua pakaian yang tergeletak di rerumputan. Mereka tahu, pakaian itu tidak sengaja digeletakkan di situ oleh pemiliknya, sebab di samping pakaian mereka juga terdapat sebilah golok dan cambuk. Kinanti amat mengenali senjata dan pakaian tersebut.

"Ini pakaian Setan Bejat dan Hantu Sesat!" Pendekar Mabuk jadi ingat saat perkenalan dengan Kinanti yang kala itu terdesak serangan Hantu Sesat dan si Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis mengenang perkenalan itu, lalu ia berkata kepada Kinanti. "Agaknya musuhmu sudah terlibat bentrokan dengan Demit Lanang."

Salju Kelana berkerut dahi, "Dari mana kau tahu?"

"Pakaian ini seperti ditinggalkan oleh raganya begitu saja. Pasti mereka terkena jurus 'Bintara Jingga'. Aku tak sangsi lagi, mereka dilenyapkan oleh si Demit Lanang!"

"Pendapatku pun begitu," kata Kinanti. "Apakah ini berarti kita sudah mendekati tempat persembunyian Demit Lanang?"

"Belum tentu," kata Salju Kelana. "Tapi setidaknya kita tidak salah arah. Mungkin di balik gunung itulah mereka bersembunyi."

Suto Sinting memandang ke arah gunung yang menjulang tinggi di depannya. Letaknya cukup jauh, namun untuk mencapai kaki gunung tidak sampai memakan waktu setengah hari jika menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. "Haruskah aku mendului mereka ke sana? Hmmm... mungkin Salju Kelana bisa menyusul tak berapa lama, tapi Kinanti akan tertinggal jauh," pikir Suto Sinting.

Langkah berikutnya menjadi terhenti lagi karena suara gaduh di semak-semak sebelah selatan mereka. Salju Kelana yang menahan langkah mereka, karena dialah yang mempunyai pendengaran paling tajam.

"Ada sesuatu yang gemerisik di sebelah selatan kita," bisik Salju Kelana.

"Periksalah, siapa tahu salah satu dari murid Perguruan Darah Surga." Suto bicara kepada Kinanti.

Maka gadis itu segera berkelebat ke selatan. Pendekar Mabuk menunggu di tempat bersama Salju Kelana. Namun perhatian mereka tidak lepas dari Kinanti karena khawatir gadis itu mendapat serangan berbahaya dari arah lain.

"Dia cemburu sekali kalau aku bermanja denganmu," kata Salju Kelana tanpa memandang Suto Sinting.

"Aku tidak merasakan kecemburuannya," Suto berlagak tidak tahu.

"Aku merasakan betul. Sepertinya dia ingin kau menjadi suami Ratu Jiwandani."

"Menurutmu bagaimana?" pancing Suto Sinting.

"Terserah kau. Kau lelaki, bebas memilih," jawab Salju Kelana bernada sedikit sinis.

Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam. "Aku tidak akan memilih Ratu Jiwandani untuk menjadi istriku."

"Kenapa?" pancing Salju Kelana lagi. "Apakah dia kurang cantik bagimu?"

"Cukup cantik. Tapi sayang aku sudah punya calon istri sendiri."

Salju Kelana berkerut dahi. "Siapa perempuan yang kau maksud itu?"

"Dyah Sariningrum, Ratu di Negeri Puri Gerbang Surgawi yang bergelar Gusti Mahkota Sejati."

"Dyah Sari.... Ohh...?!" Salju Kelana terkejut. "Jadi... ketika Lodang Balak menyangkaku Dyah Sariningrum itu yang dimaksud adalah... adalah."

"Calon Istriku," sahut Suto, kemudian menceritakan secara singkat tentang Dyah Sariningrum yang merupakan perempuan yang sudah ditakdirkan menjadi istrinya oleh garis perjalanan hidup mereka.

Salju Kelana tundukkan kepala dan merasa sedih.

"Tapi selama kau belum mendapatkan seorang suami, aku tetap akan mendampingimu. Karena wajahmu persis sekali dengan Dyah Sariningrum. Kita memang bisa bersama-sama, tapi tidak bisa bersatu dalam kemesraan abadi."

Salju Kelana menarik napas berusaha menenangkan gemuruh yang ada di hatinya, ia tidak bicara apa pun, sampai Kinanti akhirnya datang sambil menenteng seorang lelaki agak pendek berpakaian biru, badannya agak gemuk dan rambutnya pendek mengenakan ikat kepala biru juga.

"Aku tak tahu murid siapa dia, tapi kutemukan dalam keadaan mengintip kalian berdua," kata Kinanti sambil melemparkan tubuh itu bagai melemparkan sarung basah.

Brruk...!

Suto memandang dengan dahi berkerut heran. "Bagus Sepasar...?!" gumamnya lirih.

"Siapa orang ini? Kau kenal dengannya?" tanya Salju Kelana.

"Ya, aku pernah kenal dengannya. Dia bernama Bagus Sepasar, tapi nama aslinya Wirusida. Kami berkenalan saat aku menemukan seseorang yang tergantung kakinya karena terkena jerat yang dipasang pemburu."

"Ak... aku dari tadi mau mendekatimu, tapi aku takut, Suto."

"Apa yang kau lakukan di sini, Paman Bagus Sepasar?!"

"Aku melarikan diri, Suto," jawab Wirusida dengan wajah menyedihkan. "Aku tak berani tinggal di desaku yang dulu kuceritakan telah kosong itu."

"Kenapa kau tak berani menempati desa itu?"

"Karena desa itu sekarang sudah dikuasai oleh Demit Lanang."

"Ooh...?!" Salju Kelana dan Kinanti terpekik kaget dan menjadi tegang.

"Benarkah Demit Lanang ada di desamu?"

"Benar, Suto. Berani sumpah ketiban janda, aku melihat sendiri Demit Lanang bersama orang-orangnya menempati desa itu. Dan di sana kulihat dia membawa seorang wanita cantik, mungkin calon istrinya."

"Dia adalah ratuku!" sahut Kinanti dengan penuh semangat.

"Kalau begitu keteranganmu tak salah lagi, Paman Wirusida. Terima kasih atas keterangan ini, karena kami sedang sibuk mencari Demit Lanang yang ternyata pindah ke desamu!"

"Apakah kau ingin datang ke sana, Suto?"

"Benar, Paman! Kami akan merebut Ratu Jiwandani."

"Kalau begitu, ikutlah aku. Kita jangan lewat persawahan, nanti kedatangan kalian diketahui para penjaga di sana. Kita melewati punggung bukit saja. Disana keamanannya lemah. Kau bisa langsung menuju ke bekas rumah lurah kami!"

"Apakah Demit Lanang menempati rumah itu?" tanya Salju Kelana.

"Benar, karena rumah itu besar dan bagus. Perempuan cantik itu juga ada di situ bersamanya!"

"Kita bergerak sekarang juga sebelum sang Ratu menjadi korban kebiadabannya!" kata Suto Sinting, lalu kedua wanita cantik yang bersamanyabitupun bergegas mengikuti langkah Bagus Sepasar. Mereka tak bisa berlari cepat, karena Bagus Sepasar akan tertinggal dan mereka bisa salah arah. Mau tak mau mereka mengikuti kecepatan lari Bagus Sepasar yang dirasakan oleh Suto Sinting seperti larinya seekor bekicot.

Matahari mulai tampak memerah di sisi barat, pertanda sore mulai tiba dan senja sebentar lagi akan datang. Sisa cahaya masih menguntungkan bagi mereka karena mereka sudah tiba di punggung bukit. Atap-atap rumah mulai kelihatan menghitam di sana-sini.

Bagus Sepasar berhenti, yang lain pun ikut berhenti. Mereka berlindung di balik pohon besar berdaun rimbun. Bagus Sepasar berkata kepada Suto Sinting. "Aku tak berani ikut mendekat ke desa itu, karena takut ditangkap oleh mereka. Kalian saja yang ke sana!"

"Baiklah. Kau diam dan bersembunyi di sini saja. Tapi tunjukkan yang mana atap bekas rumah kepala desamu itu?!"

"Itu... yang atapnya panjang dan mempunyai empat pohon kelapa di belakang rumah! Kelihatan dari sini, bukan?"

Mereka memandang ke arah yang ditunjuk oleh Bagus Sepaaar. Atap rumah tersebut tampak jelas dari tempat mereka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera berkata kepada Salju Kelana,

"Aku akan menerobos masuk ke sana, kau di sini saja."

"Tidak, aku harus ikut denganmu. Aku tak ingin kau celaka!" kata Salju Kelana menampakkan kesetiaannya.

"Aku juga harus mendampingimu, karena yang akan kau selamatkan adalah ratuku," kata Kinanti yang punya rasa pengabdian tinggi kepada ratunya.

Suto Sinting tak dapat menolak kemauan mereka. Akhirnya ia berkata, "Kalian boleh ikut, tapi hindari pertemuan dengan Demit Lanang. Biar aku yang hadapi Demit Lanang. Jika ada kesempatan menerobos masuk, cepat cari tahu di mana Ratu Jiwandani, lalu bawa lari kemari dan tunggu aku menyelesaikan urusan dengan Demit Lanang."

Kedua wanita cantik yang tidak punya rasa takut maupun gentar itu segera anggukkan kepala. Kemudian mereka bergegas menuruni bukit itu dengan menyelinap ke balik pepohonan. Ternyata rumah yang dituju mereka dijaga ketat oleh beberapa orang yang berkeliling dengan senjata masing-masing. Suto Sinting menyuruh kedua perempuan itu merendahkan badan agar tak terlihat oleh penjaga.

"Lakukan penyerangan yang melumpuhkan lawan tapi tidak timbulkan suara gaduh," bisik Suto Sinting.

"Akan kugunakan jurus 'Darah Beku' untuk membuat mereka tak bergerak selama satu malam," bisik Salju Kelana.

"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus 'Surya Pembius' yang membuat mereka akan tertidur cukup lama," timpal Kinanti seakan ingin tunjukkan kebolehan melumpuhkan lawan tanpa suara.

Mereka makin bergerak mendekati rumah tersebut. Arah gerakan mereka berpencar. Suto berada di sisi kanan, menuju ke jalan samping rumah. Dua penjaga sedang bicara dengan kelengahan yang menguntungkan Salju Kelana. Perempuan berjubah putih itu segera lepaskan jurus 'Darah Beku' berupa sinar bintik-bintik putih seperti serbuk beling yang melesat dari ujung jari telunjuk dan jari tengah yang merapat.

Class...! Srrubb...!

Kedua penjaga itu tetap berdiri dengan keadaan saat bicara. Tapi mereka sudah tidak bisa bergerak lagi. Bahkan berkedip pun tak bisa. Darahnya membeku dan lama-lama kulit tubuhnya mengeluarkan busa salju. Seorang penjaga lain menghampiri orang yang telah dibungkus salju samar-samar itu. Ia menyangka kedua temannya masih bisa diajak bicara.

"Hei, kalian ini jaga kok malah ngobrol? Kalau ada bahaya bagaimana?! Lho...?! Lho...?.!"

Saat orang itu bingung melihat keadaan kedua temannya, Salju Kelana cepat lepaskan jurus 'Darah Beku' kembali. Class...! Maka orang itu pun bernasib sama dengan kedua temannya.

Sementara itu, Kinanti bergerak makin mendekati pintu belakang rumah. Di sana ada dua penjaga yang matanya bergerak penuh waspada. Kinanti segera muncul terang-terangan. Namun sebelum kedua orang itu berseru dan bergerak, tiba-tiba dari punggung tangannya keluar sinar kuning bercampur asap.

Wuss...! Sinar itu menyebar dan menerpa wajah kedua penjaga. Mereka memaksakan diri untuk bergerak dengan gelagapan, namun kejap berikut mereka jatuh terpuruk di tempat dan tak berkutik lagi bagaikan orang tertidur dengan nyenyak. Mereka menjadi korban jurus 'Surya Pembius' yang hanya dimiliki oleh orang-orangnya Ratu Jiwandani. Jurus itu hanya bisa digunakan secara sembunyi-sembunyi. Karena jika ditangkis dengan tenaga dalam lain akan menimbulkan ledakan cukup keras.

Beberapa orang dilumpuhkan oleh Salju Kelana dan Kinanti. Pendekar Mabuk belum lepaskan jurusnya satu pun, ia hanya menyelinap menyusuri sisi rumah. Namun tiba-tiba seseorang yang ada di rumah seberang melihatnya dan berseru keras,

"Hoi...! Mau apa kau?!"

Orang tersebut hendak lepaskan pukulan jarak jauh, tapi oleh Suto dilumpuhkan dengan jurus 'Jari Guntur'-nya, berupa sentilan tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam seperti tendangan kuda. Tess...! Dubb...!

Brraakkk...!

Orang itu terjengkang ke belakang dan menabrak pintu. Suara gaduh menjadi pusat perhatian yang lain. Akibatnya kemunculan Pendekar Mabuk di situ segera diketahui oleh mereka.

"Ada orang menyusup! Ada orang masuk ke wilayah kita!" teriak salah seorang dari mereka.

Pendekar Mabuk segera dikepung oleh beberapa orang bersenjata. Namun pemuda tampan itu tetap tenang. Setiap wajah dipandanginya. Saat itulah ia telah pergunakan jurus 'Alih Raga', seperti yang digunakan saat melawan Setan Bejat dan Hantu Sesat. Maka ketika beberapa orang maju menyerang Suto dengan golok dan senjata tajam lainnya, Suto hanya diam saja.

Tapi teman-teman mereka menjerit kesakitan, dan saling berjatuhan. Bahkan beberapa orang tampak melepaskan napas terakhir untuk kemudian tidak bernyawa lagi. Semakin banyak Suto diserang dengan senjata tajam, semakin banyak pula orang-orangnya Demit Lanang berjatuhan tanpa nyawa.

"Hentikan! Dia menggunakan jurus gaib!" seru salah seorang. "Panggil Maha Guru kita!"

"Aaaa...!" salah seorang memekik karena ada yang menyerang Suto dengan tombak dari belakang. Tombak itu menancap di tubuh Suto, namun segera jatuh ke tanah dan orang di depannya yang memekik sambil rubuh, lalu tak bernyawa lagi.

Suara gaduh itu membuat Demit Lanang melompat keluar dari dalam rumah dengan menendang pintu. Brrakk...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Suto Sinting. "Siapa kau, Anak ingusan?!" ucapnya dengan nada datar dan wajah dingin. Pandangan matanya pun sedingin es.

"Aku utusan dari Lembah Birawa!" kata Suto tegas sekali. "Tujuanku adalah mengambil Ratu Jiwandani!"

"Hmmm... kau harus melangkahi mayatku jika ingin mengambil caion istriku itu!"

"Kusanggupi syarat itu!" kata Suto Sinting dengan tetap tenang.

Wuuttt...! Demit Lanang menerjang Suto dengan gerakannya yang seperti orang menghilang itu. Suto Sinting pun menghindar dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.

Zlapp...! Di dalam rumah terjadi suara ledakan. Kemudian Kinanti keluar dengan memanggul Ratu Jiwandani yang agaknya dalam keadaan tertotok.

"Sutooo...!" teriaknya.

"Cepat lari...!" balas Suto.

"Kejar dia!" perintah Demit Lanang dengan wajah mulai gusar.

Salju Kelana muncul menghadang para pengejar, sementara itu Kinanti membawa lari Ratu ke bukit.

"Jahanam kau, Bocah! Rupanya kau belum tahu jurus 'Bintara Jingga'-ku ini, hah?!"

Merasa dirinya terancam bahaya sinar Jingga yang tak bisa dihindari, Suto Sinting segera lepaskan jurus 'Napas Tuak Setan' dari mulutnya. Amarahnya dibangkitkan, dan mulut pun menganga lebar. "Heaaah...!"

Tepat pada waktu itu Demit Lanang lepaskan sinar Jingga dari tangannya dan sinar itu membalik arah mengenai dirinya sendiri karena hembusan badai yang datang secara tiba-tiba. Begitu kuatnya badai 'Napas Tuak Setan' sehingga mampu membalikkan sinar Jingga kepada pemiliknya. Akibatnya, tubuh Demit Lanang sendiri lenyap tinggal pakaiannya.

Namun angin badai tetap mengamuk merusak alam dan lingkungannya. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon tumbang, beberapa anak buah Demit Lanang terhempas dan terbanting tak bisa terselamatkan lagi. Pakaian Demit Lanang ikut melayang entah ke mana. Desa menjadi rusak, langit menjadi hitam bergulung-gulung mendung tebal. Kilatan cahaya petir menyambar-nyambar bagai mau kiamat.

Tetapi orang yang ada di belakang Suto tetap selamat, karena badai hanya menghempas ke arah depan Suto. Mereka yang ada di belakang Suto selain sisa anak buah Demit Lanang, juga Salju Kelana dan Kinanti yang menghentikan larinya sambil memanggul Ratu Jiwandani.

Jurus maut 'Bintara Jingga' itu akhirnya dikalahkan oleh jurus 'Napas Tuak Setan' yang jarang digunakan Pendekar Mabuk jika ia tidak dalam keadaan sangat terpaksa. Merasa rumah-rumah di desa itu sudah tidak dihuni oleh pemiliknya lagi, maka Suto Sinting pun berani lepaskan 'Napas Tuak Setan', yang berarti menggulung habis para pengikut Demit Lanang.

Dengan begitu, berakhirlah riwayat kejayaan Demit Lanang bersama jurus 'Bintara Jingga'-nya, sedangkan sisa anak buahnya yang masih hidup melarikan diri ketakutan, dan Ratu Jiwandani pun selamat dari cengkeraman Demit Lanang.

"Tak akan kulupakan peristiwa ini sepanjang hidupku," kata Ratu Jiwandani kepada Suto Sinting. "Seharusnya perjanjian di atas lontar itu kutulis dan kutepati bersamamu, bukan bersama Maha Guru Teja Biru."

"Lupakan soal perjanjian itu, karena aku sendiri punya perjanjian dengan Ratu Puri Gerbang Surgawi; Dyah Sariningrum," kata Suto mengakhiri perjumpaannya dengan Ratu Jiwandani. Ia segera pergi meninggalkan Lembah Birawa bersama Salju Kelana, perempuan cantik yang mirip dengan Dyah Sariningrum.

SELESAI


Manusia Pemusnah Raga

Serial Pendekar Mabuk
Manusia Pemusnah Raga
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ENTAH siapa orangnya yang memasang jerat di hutan itu. Mungkin seorang pemburu rusa yang ingin menangkap binatang buruannya dengan cara memasang jerat di tanah. Jerat itu dihubungkan dengan pucuk dahan pohon tinggi yang lentur dan bisa dilengkungkan ke bawah. Jika kaki rusa masuk ke dalam lingkaran tambang dan menyamparnya, maka kaki rusa itu akan langsung terjerat tambang itu. Jika tambang tersentak, maka penyangga ujung dahan yang melengkung itu akan bergeser dan dahan itu akan naik ke atas. Lalu rusa yang terjerat akan tergantung kakinya.

Namun agaknya sang rusa sudah hafal dengan polah tingkah para pemburu. Sang rusa tidak mau melewati bagian bawah pohon tersebut. Yang melewati pohon itu adalah seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus, rambut pendek, usianya sekitar empat puluh tahun, ia mengenakan pakaian serba hijau seperti daun berjalan. Wajahnya bulat dengan kumis tipis di bawah hidung. Kumis itu yang membuat wajahnya menjadi lucu. Ketika ia berlari melewati pohon tersebut, tiba-tiba kakinya menyampar tambang dan tambang pun menjerat kaki kirinya itu.

Serrt...!

Wuuttt...! Tubuh pun melayang di udara karena dahan pohon naik seperti semula. Kini tubuh orang berpakaian hijau itu tergantung dalam keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, yang kiri terjerat tambang.

"Monyeeett...!" makinya dengan geram. "Siapa yang menaruh jerat sembarangan?! Kurang ajar! Kaki mulus- mulus jadi kena jerat begini. Uuh... mana susah sekali melepaskannya?!"

Orang itu memaki dan menggerutu tiada habisnya, ia berusaha membuka tali jerat dengan mengangkat badan ke atas, namun selalu gagal. Tangannya tak bisa mencapai mata kaki yang terkena jerat itu. Akhirnya orang itu hanya terayun-ayun di udara dengan hati dongkol.

"Bajing tengik! Kalau sudah begini mau apa aku? Melepaskan jerat tak bisa, turun tak bisa, mana dari tadi hawanya kepingin buang air terus. Aduh...! Kalau kupaksakan buang air, pasti akan tumpah menyiram wajahku sendiri. Sial! Benar-benar terkutuk orang yang memasang jerat ini!"

Dari pagi sampai siang ia tergantung di situ tanpa ada orang yang mau menyapanya, karena memang tidak ada orang lewat daerah hutan itu. Pikirnya, berteriak minta tolong pun sia-sia, sebab hutan itu sepi dan jarang dilalui orang karena banyak rawa dan lumpur hidupnya.

"Mati aku kalau begini! Mati kelaparan lebih menyedihkan daripada mati ketiban kelapa!" pikirnya dengan cemas dan waswas. Sementara itu, rasa ingin buang air semakin meningkat, membuat ia menyeringai beberapa kali.

"Menyesal sekali aku, kenapa tadi tidak buang air dulu sebelum tergantung begini, ya? Goblok betul aku ini!" Gerutuan itu pun akhirnya terhenti karena ia mendengar suara langkah kaki di semak-semak. Hati orang itu berdebar-debar dengan mata melirik ke sana-sini mencari suara langkah kaki tersebut.

"Moga-moga orang itu lewat di bawahku dan aku bisa minta tolong padanya," ucapnya dalam hati dengan penuh harap.

Ternyata harapan itu pun terkabul. Seorang pemuda tampan lewat di tanah bawahnya. Rupanya pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang menyandang bumbung tuak di punggungnya. Melihat ada orang tergantung kakinya, Suto Sinting hentikan langkah dan mulai mendongak memperhatikan lebih dekat lagi.

"Hei, jangan memandangiku terus!" hardik orang yang tergantung dengan lagak galaknya.

"Kau tergantung kena jerat, Paman?!"

"Tidak. Aku sedang bertapa," jawab orang itu dengan menutup rasa malunya, takut dianggap orang bodoh yang mudah terkena jerat.

"Bertapa kok kaki kirinya yang digantung?"

"Ya ini namanya tapa gantung."

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum dikulum. "Gunanya tapa gantung untuk apa, Paman?"

"Untuk dapatkan jurus sakti..."

"Jurus apa itu?"

"Jurus... jurus 'Bintara Jingga', itu jurus sakti yang..."

Tiba-tiba ada sepotong kayu yang melayang cepat menghantam dada orang itu. Buuhg! Heeegh...?!" orang itu terpekik dengan suara tertahan, matanya mendelik dan mulutnya ternganga bagai susah bernapas. Sepotong kayu itu terasa seperti sebatang besi beton yang menghantam meremukkan tulang dada.

Entah siapa pelempar kayu itu, yang jelas Suto Sinting melihat gerakan kayu dari timur. Suto Sinting tetap tenang, memungut kayu itu dan memandanginya sambil tersenyum-senyum. Lalu melemparkan kayu itu asal-asalan.

Weess.! Pletokk!

"Aaauh.!" Kayu yang jatuh di semak-semak belakang Suto itu ternyata mengenai kepala orang yang bersembunyi di sana. Orang itu langsung memekik dan keluar dari persembunyiannya sambil menghamburkan serangkai makian.

"Dasar wedus! Seenaknya saja buang kayu! Lihat, benjol kepalaku ini, tahu?!" Suto dimarahi.

"Oh, aku tidak tahu kalau kau ada di situ, Paman. Lain kali kalau mau menguntitku bilang dulu, jadi aku tidak buang kayu sembarangan," kata Suto Sinting yang sebenarnya sudah tahu bahwa langkah kakinya dari tadi dikuntit oleh seseorang.

"Kau yang melemparkan kayu itu, ya?!" bentak orang yang digantung.

"Iya!" jawab orang berpakaian biru tua itu. "Memang aku yang melemparmu. Mau apa kau?!"

"Kau yang memasang jerat ini, bukan?!"

"Bukan! Mau apa kau?!" orang berbaju biru dengan usia sekitar empat puluh tahun juga itu selalu bersikap menantang. Orang itu bertubuh agak gemuk dengan hidung pesek tapi matanya lebar. Rambutnya pendek mengenakan ikat kepala warna biru juga.

"Mengapa kau melemparkan kayu itu padaku?!"

"Karena ternyata kaulah yang memiliki jurus 'Bintara Jingga' itu!"

"Apa maksudmu?" sela Suto Sinting. "Mengapa kau bersikap memusuhi orang yang mempunyai jurus 'Bintara Jingga'? Apa salahnya?"

"Orang itulah yang membuat penduduk desaku menjadi lenyap dan desa menjadi sepi bagaikan kuburan. Hanya aku yang masih hidup, sendirian! Aku kesepian seperti anak yatim piatu, maka aku pun dendam kepada pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu!"

Dahi Suto Sinting berkerut mendengar penjelasan yang disertai dengan luapan kejengkelan. Matanya pandangi orang yang berpakaian biru, sementara orang yang tergantung segera berkata kepada orang berpakaian biru,

"Hei, aku baru ingin memiliki jurus itu. Bukan sudah memiliki. Dengan bertapa gantung seperti ini, kata orang kita bisa memiliki jurus 'Bintara Jingga'. Tapi nyatanya baru akan mendapatkan jurus itu saja sudah sesak napas dan dada menjadi bengkak begini! Maka dari itu, kubatalkan sajalah bertapaku ini. Tolong turunkan aku!"

Suto Sinting tersenyum geii. Akhirnya orang itu mengaku secara tak langsung bahwa ia memang terkena jerat. Namun permintaan tolong itu sengaja diacuhkan oleh Suto. Ia malahan bicara dengan orang berpakaian biru yang tinggi badannya sama dengan orang yang tergantung.

"Benarkah penduduk desamu lenyap semua?"

"Benar. Justru aku berusaha mencari seseorang yang bisa mengembalikan para tetanggaku."

"Lalu, apa hubungannya dengan sikapmu menguntitku sejak dari lembah cadas tadi?"

Orang berpakaian biru itu tersipu-sipu. "Sial. Rupanya ia tahu kalau kuikuti dari tadi? Hebat juga dia. Tak salah lagi, pasti dialah orang yang bisa kumintai bantuan."

Selesai membatin demikian, orang berpakaian biru itu berkata, "Aku sengaja mengikutimu, karena aku punya dugaan bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting."

"Jika benar begitu, lantas bagaimana?"

"Aku mau minta bantuanmu untuk membuat para tetanggaku yang lenyap itu jadi muncul kembali."

"Enak saja. Kau sangka aku tukang sulap?!" gerutu Suto Sinting. "Siapa namamu, Paman?!"

"Orang-orang memanggilku; Bagus Sepasar. Tapi nama asliku sendiri; Wirusida."

Orang yang digantung berseru, "Hoi, tolong jeratanku ini!"

Pendekar Mabuk tersenyum, ia menenggak tuaknya sesaat. Orang berbaju hijau berkata membentak, "Dimintai tolong melepaskan jeratan malah minum? Huhh... dasar pemabuk!"

Brruuss...! Tiba-tiba sisa tuak di mulut Suto disemburkan dengan satu lompatan kecil. Walau semburan itu hanya sedikit namun sempat mengejutkan kedua orang itu. Mereka tidak tahu kalau semburan itu adalah jurus 'Sembur Siluman' yang membuat tambang itu menjadi lenyap seketika tanpa bekas. Orang yang digantung pun segera jatuh tersungkur ke tanah.

Brrukk...!

"Aaauuh...!" ia mengerang kesakitan, dagunya menjadi lecet akibat membentur akar yang mirip batu. Tentu saja kedua orang itu menjadi tertegun bengong dan terheran-heran melihat tambang itu lenyap tak berbekas.

"Sakti juga dia?" pikir orang yang tadi tergantung.

"Namamu siapa, Paman?" tanya Suto kepada orang berbaju hijau.

"Hmmm... eeh... namaku; Mario Kere."

"Hmmm... nama yang bagus sekali,'" gumam Suto memuji untuk membanggakan hati orang berbaju hijau.

"Apa benar kau sedang bertapa untuk dapatkan ilmu 'Bintara Jingga', Kang?" tanya Bagus Sepasar kepada Mario Kere dengan nada agak sinis.

"Tidak. Aku tadi terjerat dan tergantung tanpa kusengaja. Entah siapa yang memasang jerat itu."

"Lalu kau tahu tentang Jurus atau ilmu 'Bintara Jingga' dari siapa?" Bagus Sepasar masih bernada curiga.

"Aku pernah mendengar percakapan orang di sebuah kedai, bahwa ada seorang yang telah berhasil mempelajari jurus 'Bintara Jingga'. Kabarnya jurus itu sangat sakti dan mampu melenyapkan manusia tanpa setitik darah pun. Aku kagum dengan celoteh mereka tentang jurus itu, lalu nama jurus itu membekas dalam ingatanku."

"Jangan-jangan memang kau pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu, Paman Mario Kere?!" kata Suto sekadar iseng.

"Berani sumpah mati tanpa kenduri; aku tidak mempunyai jurus itu!" kata Mario Kere dengan sungguh-sungguh.

"Pendekar Mabuk, bisakah kau menolongku seperti apa yang kukatakan tadi?" Bagus Sepasar memandang Suto dengan penuh harap.

"Aku bukan tukang sulap, Paman Wirusida. Kalau memang orang sedesa bisa dilenyapkan oleh jurus 'Bintara Jingga', berarti orang-orang itu telah mati tanpa jasad. Aku bukan dewa yang bisa membuat orang mati bisa hidup kembali, Paman."

Wirusida atau Bagus Sepasar tampak murung sedih. "Soalnya, keluargaku juga ikut lenyap."

"Kalau kau mau menemukan keluargamu lagi, aku bisa membantumu," tiba-tiba Mario Kere berucap dengan tegas.

"Kau bisa mempertemukan aku dengan keluargaku?"

"Yah, maksudnya dengan roh keluargamu. Kau bisa bicara dengan mereka dan menanyakan siapa orang yang melepaskan jurus 'Bintara Jingga' itu."

"Bagaimana caranya?!" Wirusida tertarik sekali.

"Kita pergi ke pondok Nyai Songket."

"Siapa itu Nyai Songket?!"

"Dukun pemanggil roh."

"Kalau begitu, antarkan aku ke sana! Kau tahu di mana pondoknya berada, bukan?"

"Tentu saja," jawab Mario Kere. "Tapi tentunya pula ada upah tersendiri untukku."

"Aku punya empat ekor kambing yang tidak ikut lenyap. Kau boleh mengambilnya seekor sebagai upahmu mengantarkan aku bertemu dengan Nyai Songket."

"Oh, kau menyenangkan sekali, Kang! Baiklah, kita berangkat sekarang saja supaya aku bisa lekas-lekas ambil kambingmu itu! He, he, he...!" Mario Kere tertawa kegirangan.

Suto Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala ketika mereka pergi meninggalkannya. Namun setelah itu ia menjadi tertegun dan berkata dalam batinnya sendiri. "Benarkah ada jurus yang mampu melenyapkan orang sedesa? Siapa pemiiik jurus 'Bintara Jingga' itu?"

Sambil melangkah pikiran Suto Sinting tertuju pada jurus 'Bintara Jingga', ia menjadi penasaran dan ingin tahu seperti apa kedahsyatan jurus itu. "Atau jangan-jangan hanya dongeng belaka?" duga hati Suto dengan sangsi. "Sayang sekali tadi aku lupa menanyakan nama desanya Paman Bagus Sepasar itu. Seharusnya aku datang ke desa itu dan melihat keadaannya, benarkah orang sedesa lenyap semua atau yang dimaksud 'lenyap' adalah pergi mengungsi ke tempat lain?"

Pendekar Mabuk ingin kembali mengejar Bagus Sepasar dan Mario Kere, tapi langkahnya terhenti oleh sekelebat bayangan yang melintas di sela-sela pohon sebelah barat. Suto Sinting menjadi curiga dengan orang yang berkelebat cepat itu.

"Sepertinya orang itu sedang dikejar sesuatu atau sedang mengejar sesuatu? Yang jelas ia dalam keadaan tegang dan terburu-buru. Ada apa? Ah, kuikuti saja gerakannya. Aku ingin tahu apa yang ia lakukan. Jangan-jangan ada hubungannya dengan jurus 'Bintara Jingga' itu."

Zlaapp...! Suto Sinting mengikuti arah pelarian bayangan yang berkelebat tadi. Ia mampu menyusulnya karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah terlepas dari busurnya.

Rupanya sosok yang berlari cepat bagai bayangan itu menuju ke sebuah bukit yang tak seberapa tinggi dan mudah didaki. Bukit itu mempunyai hutan tak seberapa lebat, dan tampaknya sering digunakan orang untuk memotong jalan menuju ke sebuah desa di seberang barat bukit tersebut. Namun Suto Sinting akhirnya terhenti sendiri dan merasa terkejut karena orang yang diikutinya itu tahu-tahu lenyap tak terlihat gerakannya. Mata anak muda itu memandang dengan tajam ke alam sekelilingnya.

"Hmmm... dia menghilang atau lenyap dihantam jurus 'Bintara Jingga'? Atau jangan-jangan terperosok ke sumur tua?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah pelan-pelan mencari orang tersebut.

Wuuutt...! Tiba-tiba kaki Suto menyentak pelan ke tanah dan tubuhnya melayang di udara, akhirnya hinggap di atas sebuah pohon. Dari sana ia melemparkan pandangan lebih leluasa lagi.

"Kurasa ia bergerak ke arah puncak bukit. Coba kuperiksa ke sana!" pikir Suto, kemudian segera melesat melompati dahan demi dahan, hingga dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara gemerisik. Ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi itu membuat pohon yang dihinggapi tak bergetar sedikit pun. Bahkan ranting yang dipijaknya tak sempat gemertak patah karena ringannya tubuh sang Pendekar Mabuk. Sampai akhirnya langkah itu pun terhenti karena pandangan mata Suto beralih pada sesosok tubuh berjubah kuning gading. Hatinya cepat berseru, "Seorang gadis...?!"

Gadis itu bagai kebingungan mencari jalan karena berada di antara kerimbunan semak ilalang. Gadis itu berambut panjang, sebagian disanggul. Selain berjubah kuning gading, juga mengenakan celana ketat dari beludru hijau dan pinjung penutup dada warna hijau pula. Ia menyandang sebilah pedang di pinggang kirinya. Dari kejauhan ia tampak cantik. Suto bergegas turun untuk menemuinya. Tapi gadis itu melesat ke arah yang tak diketahui Suto.

"Sial! Ke mana tadi si cantik perginya?!" Pendekar Mabuk menyelusup di antara semak dan mencari pemandangan elok yang tadi dilihatnya dari atas pohon. Hatinya sempat membatin pula. "Jangan-jangan peri penunggu hutan ini?! Oh, aku bisa masuk perangkap peri jika kuikuti terus rasa penasaranku ini?!"

* * *

DUA

HEMBUSAN angin menyapu rambutnya yang panjang sepunggung meriap-riap. Sebagian rambut sempat menyilang di wajah yang bermata cekung dan berkulit pucat itu. Pancaran mata cekungnya cukup dingin, seakan mampu membekukan darah manusia yang dipandangnya, ia mengenakan jubah lengan panjang warna abu-abu tanpa dikancingkanbagian depannya. Kain jubahnya itu pun melambai berkelebat ditiup angin Bukit Ranjang Sotan.

Dengan tulang rahang yang tampak menonjol keras, tulang pipi juga bertonjolan kaku, wajah angker tanpa kumis itu masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Sekalipun tubuhnya kurus, namun ia tampak tegak dalam berdirinya, seakan tak pernah gentar menghadapi lawan sehebat apa pun. Celana putih dan baju dalamnya yang putih membuat keberadaannya di atas Bukit Ranjang Setan tampak jelas meski dari kejauhan.

Ada sesuatu yang ditunggu oleh si wajah angker itu. Dan sesuatu yang ditunggu itu pun akhirnya datang menemuinya dalam bentuk kelebatan bayangan yang melesat dari lereng menuju atas bukit tersebut. Wuuut...! Kemudian bayangan berwarna hitam itu berhenti di depan si wajah angker dalam jarak empat langkah.

"Kusangka kau belum datang, Demit Lanang!' ujar bayangan hitam tadi.

Wajah angker yang dipanggil sebagai Demit Lanang itu tidak menggumam, ataupun tersenyum sedikit pun. Hanya sorot pandangan matanya yang tajam itulah yang bicara kepada orang di depannya.

"Maaf kalau aku membuatmu terlalu lama menunggu, karena ada tiga orang yang harus kubantai dulu di selatan tadi."

Orang yang bicara memakai pakaian serba hitam dengan kepala berambut pendek botak depannya. Tubuhnya kekar walau tak gemuk. Matanya besar, bundar, dengan bibir tebal dan codet di pipi kanannya, ia pun mempunyai pancaran sinar mata yang cukup tajam, dengan tepian mata sedikit merah menandakan keganasan jiwanya. Sebilah kapak lebar bergagang panjang mirip tombak tergenggam di tangan kanan. Mata kapak yang lebar dan putih mengkilat itu masih berlumur darah, menandakan habis dipakai untuk membunuh lawannya. Bahkan darah itu masih menetes membasahi rumput yang ada di bawahnya, ia berusia empat puluh lima tahun, berarti lebih muda lima tahun dari si Demit Lanang.

Setelah bungkam beberapa saat, Demit Lanang pun mulai perdengarkan suaranya yang bulat dan besar, menyeramkan. "Apakah kau sudah siap untuk mati, Ladang Bangkai?!"

"Setelah membelah tubuhmu, aku baru siap mati, Demit Lanang!"

"Baik," ucap Demit Lanang dengan suaranya yung besar dan menggetarkan hati lawan yang bernyali kecil. Namun bagi Ladang Bangkai yang punya nyali lebih besar dari seorang algojo, suara itu dianggap seperti suara jangkerik di selahutan.

Demit Lanang teruskan kata, "Jika memang kau sudah siap mati, aku pun akan mengawali!"

Hembusan angin semakin meriapkan rambut Demit Lanang hingga banyak yang menutup wajah. Wajah angkernya bertambah semakin angker dalam keadaan diam tak bergerak dan bisu tak berkata lagi. Pandangan matanya tertuju lurus kepada si Ladang Bangkai. Demikian pula, Ladang Bangkai pun tak berkedip pandangi Demit Lanang dengan pancaran mata penuh nafsu untuk membantainya.

Demit Lanang mengangkat tangan kirinya dengan pelan sekali. Jari-jarinya yang berkuku panjang membentuk cakar yang makin lama semakin mengeras. Tangan itu bergerak ke atas dengan dada semakin dibusungkan pertanda menarik napas guna mengerahkan tenaga dalamnya.

Ladang Bangkai segera menarik kaki kanannya kebelakang dan mengambil sikap miring, namun kapak besarnya itu mulai diangkat dengan satu tangan. Gagangnya yang panjang dikempit dengan ketiak, mata kapaknya menghadap ke samping, tangan kirinyamelebar bagai sayap burung perkasa membentang kekar. Tiba-tiba tangan si wajah angker memancarkan sinar bergelombang warna biru. Sinar itu mengarah ke langit, bukan ke lawannya. Bunyi denging menyebar bagai ditujukan kepada sang matahari.

Duiiing...!

Gelombang sinarnya bergerak-gerak seperti memanggil bala tentara dari kayangan. Pada saat itu, Ladang Bangkai melompat ke samping kiri dengan tubuh memutar dan kapak lebarnya menyabet dalam satu putaran. Wuuung...! Gerakan itu dilakukan oleh Ladang Bangkai, karena ia tahu akan datang bahaya yang dapat menghancurkan raganya. Ternyata perkiraan itu memang benar. Dari langit melesat sinar biru berkelok-kelok yang mempunyai daya luncur sangat cepat.

Clap, clap,clap...! Langsung menghantam tanah tempat Ladang Bangkai tadi berdiri.

Jgaarrr...!

Tanah itu langsung retak lebar. Bukit Ranjang Setan bergetar bagai ingin amblas ke bumi. Sesuatu yang tak disangka-sangka Ladang Bangkai terjadi dalam kejap berikutnya. Dari bongkahan tanah yang retak itu melesat pula sinar biru berbentuk anak panah yang langsung mengarah kepada Ladang Bangkai. Slaappp...! Ladang Bangkai melompat menghindari sinar biru berbentuk anak panah. Wuuttt...! Ia lolos dari sinar biru tersebut. Sebuah pohon menjadi korban sasaran sinar dari dalam bumi tadi. Blegarrr...! Pohon pun hancur dalam keadaan menjadi arang.

Slaappp...! Muncul lagi satu sinar yang sama dari dalam retakan tanah tadi. Sinar itu seakan tahu di mana Ladang Bangkai berada sehingga segera mengarah kepadanya. Wuuuttt...! Ladang Bangkai kembali hindari sinar itu namun kali ini dengan bersalto mundur satu kali. Sinar seperti anak panah pun menghantam pohon lagi, dan pohon hancur juga seperti tadi.

Slaapp...! Muncul lagi sinar yang sama dan mengejar Ladang Bangkai dengan kecepatan tinggi. Ladang Bangkai terdesak, sehingga terpaksa gunakan tangan kirinya untuk melepaskan sinar merah seperti bola kecil yang menghantam ujung sinar biru dari bumi.

Jlegaaarr...!

Sebelum muncul lagi sinar biru seperti anak panah dari dalam bumi, Ladang Bangkai segera lepaskan sinar merah kembali, kali ini berbentuk seperti bola yang berukuran sebesar kepala manusia dewasa. Wooosss...! Sinar merah itu menghantam lubang tanah yang retak.

Blegaaarr...!

Bukit Ranjang Setan bagai mau kiamat. Guncangannya cukup besar, membuat pohon-pohon bimbang dan tanah di sekitar lereng menjadi longsor. Bebatuan pun terguling dari tempatnya baik yang besar maupun yang kecil. Namun sejak itu tanah yang retak tidak mengeluarkan sinar biru seperti tadi.

Kemudian alam menjadi sepi, hanya hembusan angin yang terdengar mendesah panjang, menyingkapkan rambut Demit Lanang hingga meriap ke belakang. Ia tetap berdiri di tempat semula tanpa gerakan apa pun. Tangannya yang berkuku panjang sudah diturunkan sejak tadi. Hanya matanya yang masih bergerak mengikuti gerakan Ladang Bangkai dengan sorot mata setajam ujung pedang.

Ladang Bangkai pun berhenti dari gerakannya, ia masih memasang kuda-kuda walau mulutnya lepaskan tawa yang lantang, seakan melecehkan jurus lawan tadi. "Ha, ha, ha, ha...! Permainan seperti itu ternyata masih menjadi andalan bagimu, Demit Lanang! Murahan sekali!"

Dengan masih bersikap dingin, Demit Lanang berkata, "Apakah kau mempunyai permainan yang tidak murahan?! Jika memang kau memilikinya, tolong tunjukkan kepadaku dan aku akan menilainya juga, Ladang Bangkai!"

"O, jadi kau ingin menjajal kekuatanku? Baik, kurasa kau akan menyesal sesampainya di neraka nanti. Heaaahhh...!" Ladang Bangkai melompat dalam satu gerakan seperti bayangan berkelebat. Kapak lebarnya dihantamkan bagai ingin membelah kepala Demit Lanang.

Wuukkk...

Slaapp...! Demit Lanang hilang, kapak itu menghantam tanah bekas tempat berdirinya si Demit Lanang. Jrruubb..! Dan begitu Ladang Bangkai menengok ke kiri, ternyata Demit Lanang ada di sebelah kirinya dengan berdiri tegak dan kedua tangan terlipat di dada, ia tampak tenang namun membangkitkan rasa penasaran hati si Ladang Bangkai.

Tak heran jika Ladang Bangkai pun memutar tubuh ke kiri, wuusss...! Lalu kapak lebarnya itu menyabet dalam satu putaran yang mampu memotong pinggang lawan. Wuung...!

Slaapp...! Demit Lanang sudah ada di belakang Ladang Bangkai, jaraknya sekitar delapan langkah. Ladang Bangkai berbalik arah dan menggeram dengan gigi menggelutuk dendam. Kapak lebar yang ujungnya runcing membentuk mata tombak itu segera ditancapkan ke tanah.

Jrrrub...!

Kemudian tubuh Ladang Bangkai melambung ke atas dengan menggunakan gagang tombak sebagai tumpuannya. Wuuttt...! Tubuh itu bersalto satu kali di udara dalam lompatan tinggi. Tiba-tiba kedua kakinya sudah ada di depan Demit Lanang dan siap menjejak dada Demit Lanang. Tapi dengan cepat pula Demit Lanang menghentakkan kedua tangannya ke depan, sehingga telapak tangan itu beradu dengan telapak kaki Ladang Bangkai.

Plaaakk...! Blaarr...!

Sinar merah berkerliap pecah menyebar dari perpaduan tangan dan kaki itu. Ledakannya menggelegar dan membuat tubuh Ladang Bangkai melambung balik, kemudian turun ke bumi setelah menyambar gagang kapaknya lagi. Jlegg...!

Sedangkan Demit Lanang ternyata masih tetap tegak ditempatnya dengan kedua kaki berdiri lurus sedikit merenggang. Wajahnya menatap lurus ke depan dan berkesan dingin. Angin menyapu rambutnya hingga beberapa lembar rambut melintang di wajahnya. Ledakan tadi tidak membuatnya terluka sedikit pun, juga tidak membuat Ladang Bangkai mengalami cedera apa pun.

Gema ledakan menghilang, dan hembusan angin perdengarkan suaranya yang gemuruh samar-samar. Kejap berikutnya, keduanya saling adu pandangan mata dalam bisu. Agaknya Ladang Bangkai merasa dongkol karena tak mampu tumbangkan Demit Lanang. Kedongkolan itu hanya dipendam sambil menarik napas dalam-dalam. Kesunyian pun segera dipecahkan oleh suara Demit Lanang yang mirip orang menggumam tapi terdengar dengan jelas oleh lawannya.

"Hanya itukah andalanmu?!"

"Bangsat neraka!" geram Ladang Bangkai. "Jangan dulu merasa bangga, Demit Lanang. Tadi hanya permainan kecilku yang sekadar untuk cuci mulut! Aku belum mengeluarkan jurus andalanku yang sebenarnya."

"Hhmm...! Kalau begitu keluarkanlah, aku siap menerimanya!"

"Akan kuturuti permintaanmu, tapi sebelumnya aku ingin tahu dulu, apa maksudmu menantang pertarungan denganku di bukit ini, Demit Lanang?!"

"Nah, ini yang kutunggu-tunggu dari tadi," kata batin seseorang yang tadi mengintip pertarungan itu dari balik semak-semak. Orang ini tadi hampir saja mati tertimpa pohon kalau tak segera pindah tempat tanpa timbulkan suara. Sang pengintai pertarungan itu mengenakan baju coklat tak berlengan, celananya putih kusam, ikat pinggangnya warna merah. Rambutnya panjang sebatas pundak tanpa ikat kepala, dan wajahnya begitu tampan, sehingga sering membuat para gadis bergetar hati jika memandang senyumnya.

Pemuda yang bersembunyi di balik semak itu tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, sang Pendekar Mabuk, yang ke mana-mana selalu membawa bumbung bambu isi tuak itu. Sejak tadi Suto memang tidak mau ikut campur dalam pertarungan itu. Ia hanya gemar menonton pertarungan semacam itu, dan hanya akan berbuat sesuatu jika dirasakan perlu. Sejak tadi dalam hati Suto bertanya-tanya apa penyebab pertarungan tersebut, namun agaknya baru sekarang pertanyaan batinnnya itu akan mendapat jawaban dari mulut si Demit Lanang.

"Kau tak perlu berlagak bodoh, Ladang Bangkai." kata Demit Lanang. "Kurasa hati kecilmu sudah cukup tahu, apa sebabnya kita bertarung di bukit ini."

"Jelaskan selengkapnya, kecuali jika kau merasa takut padaku, biarkan aku menerka-nerka sendiri tujuanmu. Jika kau memang merasa punya nyali cukup besar, katakan apa maksudmu menantangku bertarung di bukit ini!"

Demit Lanang diam sebentar, sepertinya menahan gejoiak hati yang merasa terbakar karena dianggap bernyali kecil oleh lawannya Setelah dua helaan napas, Demit Lanang pun akhirnya berkata dengan suaranya yang tetap menyeramkan. "Kita bertarung untuk tentukan siapa yang berhak bergelar Maha Guru dalam aliran silat kita, setelah Maha Guru Teja Biru wafat!"

"Ha, ha, ha, ha...!" Ladang Bangkai tertawa lantang. Badannya berguncang-guncang dengan kapak dipakai sebagai tongkat berdiri. Mulutnya tampak lebar pada saat tertawa.

Demit Lanang dongkol sekali, lalu ia menendang batu kerikil sebasar kedondong. Tuuss...! Wuutt...! Batu kerikil melesat cepat mau masuk ke mulut Ladang Bangkai. Tapi dengan cepat mulut itu terkatup dan kapak bergerak ke depan mulut. Mata kapak menutup bagian wajah. Traang...! Batu itu menghantam mata kapak yang lebar dan masih membekas merah karena darah. Hening segera tercipta setelah kejadian itu. Kejap berikutnya Ladang Bangkai mulai bicara.

"Wasiat lisan dari Maha Guru Teja Biru sebelum beliau wafat mengatakan, bahwa akulah orang yang pantas menyandang gelar Maha Guru dalam perguruan kita. Dengan begitu maka aku berhak mengawini Ratu Jiwandani."

"Wasiat palsu!" ucap Demit Lanang bernada tajam. "Maha Guru Teja Biru tidak pernah keluarkan wasiat lisan seperti itu kepada siapa pun. Tapi dalam peraturan yang tertulis pada Kitab Serat Merah, ynng berisi peraturan bagi anggota Perguruan Darah Surga, bahwa orang yang berhak menyandang gelar Maha Guru adalah orang pertama yang menjadi murid Perguruan Darah Surga. Sedangkan orang pertama yang masuk dalam Perguruan Darah Surga adalah aku! Mengapa kau berani merencanakan penobatan gelar Maha Guru untuk dirimu sendiri, Ladang Bangkai?! Itu sama saja kau ingin mati di tanganku!"

"Kau hanya mengarang-ngarang sebuah peraturan, Demit Lanang. Kalau apa yang kau katakan itu memang benar, tunjukkan padaku peraturan yang tertulis dalam Kitab Serat Merah itu!"

"Tentu saja aku tak bisa tunjukkan padamu karena Kitab Serat Merah telah kau curi dan mungkin kau bakar atau entah kau apakan! Hilangnya Kitab Serat Marah membuatmu punya alasan untuk mengangkat diri sebagai Maha Guru dalam aliran silat Darah Surga."

"Kau pikir aku yang mencuri kitab itu?!"

"Siapa lagi kalau bukan kau, karena kaulah yang bernafsu untuk menjabat gelar Maha Guru! Kau memang licik, Ladang Bangkai. Kau lenyapkan dulu Kitab Serat Merah supaya tak ada orang yang menyangkal penobatanmu. Tapi ketahuilah, aku masih hidup. Demit Lanang adalah orang pertama yang menjadi penganut aliran silat Darah Surga. Siapa pun tak berhak bergelar Maha Guru kecuali aku!"

"Rupanya kau menyatakan sebagai pihak yang akan menentang calon Maha Guru, Demit Lanang! Jika begitu maksudmu, aku tak akan segan-segan menghabisi nyawamu sekarang juga! Heeeaaatt...!"

Ladang Bangkai berkelebat menerjang Demit Lanang dengan satu lompatan teramat cepat. Weesss...! Kapaknya menyambar kepala Demit Lanang dalam sekali tebas. Beettt...!

Laapp...! Demit Lanang lenyap. Tahu-tahu sudah berada di atas gugusan batu besar belakang Ladang Bangkai.

"Bangsat! Hadapi jurus 'Tebas Garang'-ku ini, jangan lari kau!"

"Aku tak akan lari darimu, Ladang Bangkai. Aku hanya sekadar ingin lenyapkan jasadmu dari sini!"

"Tahan...!" seru sebuah suara.

Tapi Demit Lanang sudah terlanjur lepaskan jurus mautnya yang memancarkan sinar Jingga dari telapak tangan kanannya. Claapp...! Sinar Jingga menerjang tubuh Ladang Bangkai begitu cepatnya, tak mampu dihindari dan ditangkis lagi. Laaabb...! Tubuh kekar yang dihantam sinar jingga itu tiba-tiba lenyap, tinggal pakaian dan senjatanya yang jatuh terkulai di tanah. Setetes darah pun tak tersisa di tempat Ladang Bangkai berada. Tubuh itu bagaikan lenyap ditelan gaib tanpa suara sedikit pan.

Pendekar Mabuk yang mengintip dari celah dedaunan semak menjadi tercengang tak berkedip melihat kedahsyatan sinar Jingga itu. Dan orang yang baru datang, yang tadi berseru itu pun ikut tercengang dengan terpaku ditempat, mulut melongo dengan mata pun melebar.

* * *

TIGA

ORANG yang mencoba mencegah tindakan Demit Lanang dengan seruannya tadi adalah seorang perempuan muda, cantik dan menawan. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Gadis itulah yang tadi dilihat Suto menerabas ilalang dengan mengenakan jubah kuning gading dan pinjung penutup dadanya yang montok berwarna hijau tua. Gadis itu tampak kecewa sekali melihat Ladang Bangkai telah lenyap karena sinar Jingga dari tangan Demit Lanang. Pandangan mata yang kecewa akhirnya berubah menjadi kebencian.

"Kau kejam, Demit Lanang!" cacinya dengan mata menyipit menandakan kebenciannya. "Adikmu sendiri kau lenyapkan dengan cara seperti itu! Apa lagi orang lain, pasti kau perlakukan lebih kejam lagi!"

Demit Lanang masih diam dengan sikap dingin. Matanya memancarkan ketajaman yang membuat bulu kuduk si gadis sempat merinding. Namun jiwa si gadis masih tiada gentar menghadapi sorot pandangan mata seperti itu. Keberaniannya masih ada untuk melontarkan kata kecaman yang membuat Demit Lanang akhirnya bicara.

"Manusia berhati apa kau ini, Demit Lanang?! Dengan adik sendiri saja kau tega membunuhnya. Apakah kau tak ingat bahwa Ladang Bangkai adalah satu Ibu denganmu?!"

"Benar. Tapi lain ayah denganku," ucap Demit Lanang dengan suaranya yang besar dan bulat. Jelas sekali didengar oleh Suto Sinting dari tempat persembunyiannya.

"Aku tahu maksudmu membunuh Ladang Bangkai, hanya semata-mata ingin menggantikan lamaran Maha Guru Teja Biru terhadap Ratu Jiwandani!"

"Kau bukan orang Perguruan Darah Surga. Sebaiknya tak perlu ikut campur urusan kami, Kinanti!"

"Oo... gadis itu bernama Kinanti?" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya, ia tetap diam di persembunyian menyadap percakapan mereka.

"Aku memang bukan orang Perguruan Darah Surga, tapi akulah yang berhak memberi pertimbangan kepada Ratu untuk memenuhi perjanjian dengan pihak Perguruan Darah Surga atau membatalkannya!"

Demit Lanang diam sebentar, seperti ada sesuatu yang dipertimbangkan dalam benaknya. Kejap berikutnya ia baru ucapkan kata penuh wibawa. "Perjanjian itu harus ditepati jika Ratumu tidak ingin negerinya hancur! Camkan kata-kataku ini, Kinanti!"

Laaapp...! Tiba-tiba tubuh kurus itu lenyap dari atas gundukan batu. Kinanti yang ingin ucapkan kata menjadi batal dan mulutnya hanya bisa ternganga tanpa suara. Matanya memandang mencari Demit Lanang. Ternyata yang dicari sudah ada di kaki bukit. Kinanti ingin menyusulnya, namun Demit Lanang sudah lenyap lagi dan pindah tempat semakin jauh.

"Aku harus mengabarkan peristiwa ini kepada Gusti Ratu Jiwandani!" pikir Kinanti, kemudian ia segera melesat pergi dengan satu lompatan yang tergolong cepat.

Pendekar Mabuk tidak mau tinggal di persembunyian terus, ia pun segera melesat pergi mengikuti Kinanti. Karena gadis itu diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang persoalan yang sebenarnya. Pendekar Mabuk sempat kehilangan jejak lagi karena Kinanti melesat dengan berbelok-belok arah. Tak aneh lagi jika Pendekar Mabuk keluarkan gerutuan karena merasa gagal mengikuti gadis cantik tadi.

Namun ketika tiba di atas tanggul sebuah sungai lebar berair deras, mata Pendekar Mabuk menemukan seraut wajah cantik lagi, yaitu wajah Kinanti yang mempunyai bibir menggemaskan itu. Tapi keadaannya sudah berbeda. Kinanti tidak sendirian, ia berada di tepi sungai dalam keadaan sedang berhadapan dengan dua orang lelaki bertampang ganas. Mereka mempunyai tubuh yang besar, tinggi dan kekar.

Yang mengenakan baju abu-abu itu bersenjatakan cambuk di pinggangnya, berkumis lebat dengan mata lebar. Sedangkan yang mengenakan rompi hitam itu bersenjatakan golok besar tergenggam di tangan kirinya dalam keadaan berada dalam sarungnya. Lelaki yang berompi hitam itu mempunyai kumis kecil namun melengkung ke bawah hingga mencapai dagu. Kedua lelaki itu berambut panjang sepundak, yang berbaju abu-abu agak ikal, yang berompi hitam lurus dan tipis, ia mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul, dan gelang lebar dari kulit macan tutul juga. Sedangkan yang berbaju abu-abu hanya mengenakan gelang hitam dari akar bahar besar.

"Dunia ternyata sangat sempit bagimu, Kinanti, jauh kau lari akhirnya bertemu juga denganku!" kata yang berbaju abu-abu lengan panjang.

"Kau pikir aku jera bertemu denganmu, Setan Bejat?! Justru aku berharap bertemu dengan kalian berdua supaya bisa menyelesaikan urusan kita dengan cara mengirim kalian ke akhirat!"

"Berani juga gadis itu," pikir Suto Sinting tetap bersembunyi.

"Bicaramu setinggi langit, Gadis cantik," kata yang berompi hitam. "Tapi kenyataannya lebih rendah dari tanah yang dipijak. Sekarang kau tak akan lolos dari kami, Kinanti. Saatnya kami membalas kematian saudara kami yang kau bunuh bulan lalu."

"Kapan pun kalian ingin membalas dendam aku sudah siap, Hantu Sesat! Kau dan si Setan Bejat boleh maju bersama untuk mempercepat urusan kita!"

Kedua wajah ganas itu mulai tampak gusar. Mereka saling pandang sebentar, kemudian si Setan Bejat berkata kepada Hantu Sesat, "Habisi dia! Jangan buat mainan!"

"Sayang sekali," gumam Hantu Sesat. "Bagaimana kalau kita nikmati dulu kemulusan tubuhnya itu?"

"Kalau kau mampu lumpuhkan, tanpa membuatnya luka dan kehilangan nyawa, aku setuju dengan usulmu, Hantu Sesat!"

"Mundurlah, biar kutangani sendiri gadis itu. Kalau sudah memuaskan kita, baru kita cabut nyawanya!"

Setan Bejat menyingkir agak jauh, duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Hantu Sesat mulai melangkah mencari kesempatan untuk melepaskan serangannya. Tapi Kinanti tampak tenang dan tak bergerak dari tempatnya. Hanya saja, ketika Hantu Sesat tiba-tiba melompat ingin menerjangnya, tubuh gadis itu memutar cepat dengan tangan bagaikan menghentak kuat.

Wuusss...! Wuukkk...!

"Heegh...!" Hantu Sesat mendelik, ulu hatinya bagaikan dihantam dengan batu sebesar anak sapi. Ia tumbang ke tanah dan berguling-guling nyaris masuk ke sungai. "Bangsat!" geramnya sambil bangkit kembali.

Kinanti menggerak-gerakkan tangan dan kaki seperti orang menari. Gerakannya sangat lemah gemulai dan indah ditonton dari atas tanggul, sehingga Suto Sinting tersenyum dan berdecak mengaguminya.

Wuuttt...! Hantu Sesat menerjang dengan lompatan rendah. Kedua tangannya menghantam secara beruntun ke dada dan wajah Kinanti. Tetapi tangan gadis itu menangkis setiap pukulan dengan gerakan cepat, bahkan akhirnya gadis itu yang berhasil menghantamkan telapak tangannya ke wajah Hantu Sesat dengan satu lompatan kecil.

Plookk...! Wuutt...! Brruuk...!

Hantu Sesat jatuh terpental dalam jarak tujuh langkah ke belakang. Tubuhnya bersandar pada sebongkah batu yang ada di daratan tepi sungai itu. Wajahnya tampak merah matang bagaikan habis dibakar, ia menyeringai sambil berusaha memegangi wajahnya. Namun wajah itu agaknya terlalu sakit jika disentuh dengan tangannya.

Setan Bejat terperanjat melihat temannya berdarah. Darah itu keluar dari sudut mata Hantu Sesat. Maka dengan serta-merta Setan Bejat melompat dari atas batu dan mengarahkan tendangan kakinya ke punggung Kinanti. "Heeeaaatt...!"

Kinanti berbalik arah dengan cara memutar sambil melayangkan kaki kanannya. Wuuuttt...! Tepat pada waktu itu kaki Setan Bejat hampir menyentuh punggungnya. Dengan begitu maka kaki Kinanti membuang tendangan Setan Bejat dalam satu sentakan yang cukup kuat. Akibatnya Setan Bejat terpelanting. Tubuh besarnya jatuh ke tanah dalam keadaan leher terlipat.

Blluukkk...!

"Aaaoou...!" ia memekik keras dalam keadaan jungkir balik. Anehnya dalam satu kejap ia sudah mampu bangkit dan berdiri tegak di depan Kinanti. Kedua tangannya merentang membentuk cakar. Matanya mendelik dengan amat gusar.

"Heaahh...!" Lalu, tiba-tiba tubuhnya memutar dan kakinya berkelebat menyampar wajah cantik itu. Plaakk...! Kinanti terpental ke samping dan jatuh berguling-guling. Gerakan tubuhnya yang berguling itu berhenti tepat di depan Hantu Sesat. Kesadaran yang belum sepenuhnya dikuasai oleh Kinanti membuatnya tak bisa hindari tendangan kaki Hantu Sesat yang menggeram penuh dendam itu.

"Heeaah...! Modar kau, Bangsat!"

Plook...! Wajah cantik itu menjadi sasaran kaki kasar kembali. Tubuh yang sekal itu terbuang ke belakang dan terguling-guling membentur batu besar.

"Habisi dia!" teriak Hantu Sesat kepada Setan Bejat, karena keadaan Kinanti lebih dekat dengan si Setan Bejat.

Orang berkumis tebal itu segera mencabut cambuknya yang melengkung di pinggang. Cambuk itu kini terlepas dari ikatannya dan segera dilecutkan ke tubuh Kinanti yang masih tersandar di batu dengan hidungnya yang mancung keluarkan darah segar.

Taarrr...!

Kinanti sempat berguling ke kiri. Cambuk itu mengenai batu besar dan batu itu menjadi retak pada saat cambuk menghantamnya dengan diiringi percikan bunga api dari ujungnya. Kinanti buru-buru bangkit dengan sedikit sempoyongan. Tapi tiba-tiba Hantu Sesat lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar hijau dari telapak tangannya. Slaappp...!

Kinanti menggeragap dan mencoba menghadang sinar hijau itu dengan telapak tangannya. Dari telapak tangan gadis itu keluar cahaya bara merah. Dan sinar hijau itu menghantam cahaya bara merah di telapak tangan Kinanti.

Duaarr...!

Tubuh gadis itu terbang melambung tinggi dalam keadaan tidak terjaga keseimbangannya. Pada saat itulah cambuk Setan Bejat ingin menghabisi nyawa Kinanti dengan lecutan kuat ke arah kepala Kinanti.

Taarrr...! Blaarr...!

Ternyata cambuk itu menghantam sekelebat bayangan yang melintas melindungi kepala Kinanti. Benda yang terkena cambuk itu adalah bumbung tuaknya Pendekar Mabuk yang mampu kembalikan serangan lawan. Akibat lecutan cambuk kenai bumbung tuak, maka ledakan besar pun terjadi dengan gelombang sentakan yang cukup kuat.

Setan Bejat terjungkal ke belakang akibat gelombang ledakan tadi. Kepalanya membentur batu dengan cukup keras. Untung kepala itu tak sampai bocor, namun sempat membuat mata Setan Bejat berkunang-kunang dan berdirinya tak bisa tenang. Sesekali menggeloyor ke kanan atau ke kiri karena semua benda terasa berputar dengan cepat.

Kemunculan Pendekar Mabuk membuat pertarungan terhenti sejenak. Kedua orang buas itu sama-sama memandang Suto Sinting dengan luapan api amarah semakin nyata. Sedangkan Kinanti berusaha memandang dengan mata sedikit buram, ia bersandar pada batu tinggi dalam keadaan lemas. Wajahnya pucat dan tangan kanannya menjadi memar membiru akibat menangkis sinar hijaunya Hantu Sesat tadi.

"Siapa dia? Mengapa tiba-tiba muncul memihakku?" pikir si gadis dengan masih menahan rasa sakitnya.

Sementara itu, kedua orang bengis sudah berdiri bersebelahan dalam jarak dua langkah. Keduanya sama- sama menggeletukkan gigi bagai tak sabar ingin lepaskan serangan lagi. Tapi Setan Bejat yang wajahnya menjadi matang dan darah dari sudut matanya masih merembas perlahan-lahan segera serukan kata liarnya.

"Siapa kau, Jahanam laknat?! Beraninya kau campuri urusan kami dengan gadis itu. Apakah kau kekasihnya Kinanti?!"

"Benar. Aku kekasihnya!" jawab Suto tegas membuat Kinanti gelisah, menahan berbagai rasa yang tak bisa dijelaskan. "Sebagai seorang kekasih, aku berhak membelanya!" kata Suto Sinting "Kalian keterlaluan. Sebagai lelaki berbadan besar dan kekar hanya untuk melawan perempuan. Sebaiknya kalian bermain dengan anak-anak seusia delapan tahun saja."

"Kurobek mulutmu, haaah...!"

Suto Sinting yang pandangi wajah Setan Bejat hanya diam saja ketika Hantu Sesat menghampirinya, kemudian menghantam wajahnya dengan kepalan tangannya yang besar itu. Plook...! Plookk...!

Rambut Suto Sinting dijambaknya, kemudian diadu dengan lututnya. Prook...!

"Aaaa...!"

Hantu Sesat terkejut mendengar teriakan itu. Bukan orang yang dihajarnya yang menjerit kesakitan, melainkan temannya sendiri; si Setan Bejat. Wajah temannya itu menjadi berlumuran darah dan sekarang sedang menggeloyor sambil pegangi kepalanya, akhirnya jatuh terduduk sambil kejang-kejang. Giginya rontok sebagian, bibirnya robek dan matanya biru memar.

Sementara itu Suto Sinting masih diam dengan senyum membayang di bibirnya. Tak ada luka sedikit pun di wajah si tampan Suto itu. Sepertinya ia tak pernah terkena pukulan sama sekali.

Kinanti terheran-heran walaupun ia masih berusaha menahan rasa sakit di tubuhnya. Mereka tak tahu kalau Suto Sinting menggunakan jurus 'Alih Raga'. Dia yang dipukul tapi orang lain yang kesakitan. Hal itu dilakukan saat ia pandangi Setan Bejat tadi, segenap inti rasa sakit dipindahkan ke raga si Setan Bejat. Karenanya ketika dia dihajar sekuat tenaga oleh Hantu Sesat, rasa sakitnya sudah terkirim ke tubuh Setan Bejat.

"Kenapa kau yang kesakitan, Setan Bejat?! Sejak kapan kau punya penyakit latah?!" kata Hantu Sesat.

"Mampus aku! Mampus aku! Kepalaku pecah. Oooh... sakitnya!"

"Hmmm... aku tahu, anak muda itu punya jurus lain dari yang lain!" gumam Hantu Sesat. "Jika dia yang kupukul, maka kau yang kesakitan, Setan Bejat. Jadi jika kau yang kupukul, maka dia yang akan kesakitan! Nih, rasakan pembalasanku, Pemuda pongah! Haaahh...! Heeeaahh...!"

Plak, brrukk...! Prak, prak, plok, buk, buuhg...!

"Aaauuuh...! Hentikan! Hentikan!" teriak Setan Bejat yang semakin kesakitan dihajar Hantu Sesat.

"Aku tahu yang berteriak kesakitan bukan kau, Setan Bejat, tapi si pongah itu! Rasakan pembalasan ini! Haaaeh...! Hiaaah...! Modar kau!"

Wuuss...! Tubuh Setan Bejat akhirnya terlempar karena pukulan bertenaga dalam dari teman sendiri. Rahangnya retak dan pelipisnya memar membuat telinganya berdarah. Hantu Sesat kerutkan dahi pandangi Setan Bejat yang terkapar tak berdaya itu.

"Celaka! Aku hampir membunuh teman sendiri! Anak muda itu masih tetap tenang-tenang saja?" Hantu Sesat serba salah, tak tahu harus bagaimana melawan anak muda yang belum diketahui sebagai Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia memutuskan untuk segera membawa pergi Setan Bejat dengan meninggalkan ancaman kepada Suto Sinting.

"Kuakui sekarang kau unggul! Tapi tak berapa lama lagi aku akan berhadapan denganmu tanpa membawa teman satu pun. Kita berhadapan satu persatu! Dan kau, Kinanti...! Hutangmu harus kau bayar secepatnya. Setiap waktu aku akan datang mancabut nyawamu sebagai ganti nyawa teman kami!"

Blaass...! Hantu Sesat pergi sambil memanggul si Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya tersenyum, lalu meneguk tuaknya.

* * *

EMPAT

BEBERAPA teguk tuak membuat Kinanti sehat kekuatannya kembali seperti semula, ia bahkan merasa badannya lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan. "Sering kudengar namamu, sering kudengar pula kesaktian tuakmu, tapi baru kali ini semuanya kualami," kata Kinanti dengan senyum tipis. Agaknya gadis yang tidak suka mengumbar tawa dan senyum. Namun ia masih bisa tampil dengan sikap bersahabat. Sikapnya itu membuatnya lebih dikagumi Pendekar Mabuk, sehingga sang pendekar tampan itu lebih hati-hati dalam bertindak, bersikap dan bercanda.

"Untung kau datang dan cepat bertindak. Andai tidak, mungkin aku berhasil mereka bunuh demi membalas dendam atas kematian Roh Gayung, teman mereka yang kubinasakan sebulan yang lalu."

"Kulihat kau sebenarnya mampu menumbangkan mereka. Hanya sayangnya kau tidak mau menggunakan jurus-jurus mautmu. Aku yakin kalau kau menggunakan jurus andalanmu, dalam sekali gebrak mereka tumbang bersama."

"Kau terlalu yakin pada diriku," kata Kinanti sambil membersihkan jubahnya yang sempat kotor itu. "Ilmuku tak sehebat ilmumu, Suto."

"Ilmuku pun tak seberapa tinggi," ujar Suto merendahkan diri.

Tapi gadis itu tahu, dan ia hanya sunggingkan senyum tipis. "Kalau kau bukan pendekar berilmu tinggi, tak mungkin ratuku pernah punya rencana untuk mengundangmu datang ke Lembah Birawa."

"O, jadi ratumu pernah ingin mengundangku? Kapan itu?"

"Ketika kami diserang oleh orang-orang Pulau Teluh. Hampir saja wilayah kami direbut dan dikuasai oleh orang-orang Pulau Teluh."

"Lalu, akhirnya bisa selamat?"

"Ya. Berkat bantuan dari orang-orang Perguruan Darah Surga."

Suto Sinting diam sebentar, mengingat nama perguruan yang pernah didengarnya dalam percakapan di Bukit Ranjang Setan. Karenanya Suto segera ajukan tanya kepada Kinanti. "Bukankah perguruan itu adalah perguruannya Demit Lanang?"

"Memang benar. Apakah kau mengenal Demit Lanang?"

Suto tersenyum kecil. "Aku memperhatikan pertarungan Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Sampai kemunculanmu pun kuperhatikan. Kudengar apa saja yang kalian bicarakan."

"Ooo... pantas kau bisa datang ke sini tepat pada saat aku dalam keadaan terdesak?! Rupanya kau bukan saja seorang pendekar, namun juga seorang pengintai, ya?!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Maaf, kulakukan hal itu karena rasa ingin tahu tentang sebuah ilmu yang sedang ramai dibicarakan orang orang di rimba persilatan," Suto sempat beralasan untuk menutupi kenakalannya.

"Maksudmu, sebuah jurus maut yang bernama 'Bintara Jingga'?"

"Benar. Aku sangat penasaran dan ingin tahu siapa pemiliknya."

"Kurasa kau sudah mengetahuinya, Suto."

Dahi pemuda tampan itu berkerut sejenak. "Maksudmu... Demit Lanang itulah pemiliknya?"

"Tepat sekali. Demit Lanang pula yang membantu kami mengusir orang-orang Pulau Teluh. Tapi semua itu atas perintah mendiang ketuanya: Maha Guru Teja Biru."

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut sebentar, setelah itu kembali bertanya, "Sepertinya ratumu sedang menjadi incaran si Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Apa benar begitu?"

"Kau bersedia datang ke Lembah Birawa dan bertemu dengan Ratu Jiwandani?"

"Hmmm" Suto mempertimbangkan sejenak.

"Sekadar bertemu saja. Karena menurut dugaanku, kedatanganmu akan membuat sang Ratu bahagia sekali dan pasti akan terjadi suatu pembicaraan penting antara kau dan sang Ratu."

"Baiklah," akhirnya Suto menyetujui usul Kinanti. Mereka melangkah menuju Lembah Birawa sambil Kinanti jelaskan persoalan sebenarnya.

"Waktu pihak kami terancam orang-orang Pulau Teluh, sang Ratu meminta bantuan Perguruan Darah Surga. Sebab kami tidak tahu di mana mencarimu walau sebenarnya ingin sekali meminta bantunmu. Akhirnya pihak Perguruan Darah Surga yang kami pilih untuk mendukung kami. Namun Maha Guru Teja Biru mempunyai satu syarat."

"Apa syaratnya?" tanya Suto bagai tak sabar.

"Ratu Jiwandani adalah perawan suci yang tak pernah dijamah oleh lelaki mana pun juga. Beliau mempunyai perjanjian dengan leluhurnya, bahwa apabila Lembah Birawa masih dalam ancaman bahaya orang-orang Pulau Teluh, sang Ratu tidak ingin menikah dengan pria mana pun. Hati Ratu Jiwandani akan terbuka untuk seorang pria jika Lembah Birawa tidak diganggu lagi oleh orang-orang Pulau Teluh. Sebab orang-orang Pulau Teluh selalu bermusuhan sejak Lembah Birawa dipegang oleh nenek buyutnya sang Ratu."

Kinanti bicara dengan sungguh-sungguh, kedua tanganya ikut bergerak-gerak memperjelas keterangannya. Pendekar Mabuk tampak berminat sekali mengikuti cerita itu, hingga lebih banyak diam daripada mengajukan beberapa pertanyaan.

"Mulia Guru Teja Biru mempunyai syarat, apabila mereka berhasil menumbangkan Penguasa Pulau Teluh dan membebaskan Lembah Birawa dari gangguan orang-orang pulau itu, maka sang Ratu harus bersedia dinikahi oleh Maha Guru Perguruan Darah Surga. Sang Ratu pun menyetujui perjanjian tersebut, bahkan ditulis di selembar lontar. Sayangnya dalam perjanjian itu tidak ditulis nama Maha Guru Teja Biru. Yang tertulis hanya nama Maha Guru Perguruan Darah Surga."

"Hmmm..., ya, ya... aku paham sekarang," gumam Suto sambil manggut-manggut dan tetap berjalan pelan-pelan.

"Maha Guru Teja Biru bermaksud menikahi Ratu Jiwandani setelah ia selesai lakukan semadi selama empat puluh hari menghadap sang Dewata. Tetapi sesuatu telah terjadi secara mengejutkan. Ketika Maha Guru Teja Biru sedang menjalankan semadinya yang kedua puluh hari, tiba-tiba beliau tewas terbunuh di dalam ruang semadinya. Entah siapa yang membunuhnya, yang jelas jabatan sebagai ketua perguruan dan gelar Maha Guru menjadi kosong. Tetapi perjanjian tidak bisa batal, sebab yang tertulis bukan nama Teja Biru. Mau tak mau sumpah dan perjanjian antara Perguruan Darah Surga dengan pihak sang Ratu tetap berlaku. Dugaan kami, dan beberapa murid perguruan itu sendiri, orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru adalah Ladang Bangkai, sebab dia segera merencanakan upacara penobatan dirinya sebagai Maha Guru yang menggantikan kedudukan Teja Biru."

"Masuk akal sekali," gumam Suto Sinting, ia diam kembali.

Kinanti lanjutkan penjelasannya sambil tetap melangkah. "Ladang Bangkai sendiri sudah menghadap Ratu Jiwundani dan mengatakan bahwa dialah yang akan menggantikan kedudukan Maha Guru Teja Biru, dan itu berarti dia juga yang akan menjadi suami sang Ratu sesuai perjanjian tersebut. Tapi rupanya ada pihak lain yang tidak suka dengan rencana itu."

"Demit Lanang maksudmu?"

"Ya. Demit Lanang menghadap ratu kami dan mengatakan akan menyingkirkan siapa pun yang menjadi Maha Guru di perguruan tersebut. Bahkan Demit Lanang mengatakan akan secepatnya menikahi sang Ratu sesuai dengan perjanjian. Dia tidak akan mengulur waktu dengan lakukan semadi segala seperti Maha Guru Teja Biru."

"Lalu bagaimana pendapat Ratu Jiwandani?"

"Tentu saja sang Ratu amat sedih. Beliau merasa terjebak dalam perjanjian yang mematikan langkahnya. Kini ia merasa dipakai sebagai bahan rebutan oleh murid-murid Perguruan Darah Surga yang tergolong beraliran sesat, walau sebenarnya Perguruan Darah Surga sendiri aslinya beraliran putih. Pada dasarnya sang Ratu tidak keberatan jika harus menikah dengan Maha Guru Teja Biru, karena mendiang Maha Guru Teja Biru berjiwa bersih dan belum pernah beristri. Tetapi jika Ketua Perguruan Darah Surga dipegang oleh Demit Lanang atau yang lainnya, sang Ratu merasa keberatan. Hanya saja, sang Ratu tidak bisa mengelak dari bukti tertulis itu."

"Apakah tak ada niat untuk menolak secara halus maupun secara kasar?"

"Ratu Jiwandani merasa kalah tinggi ilmunya jika harus menolak secara kasar. Apalagi Demit Lanang sudah menguasai jurus 'Bintara Jingga', jelas sang Ratu merasa sangat kecil ilmunya dibandingkan Demit Lanang. Karenanya aku segera diutus untuk menyelidiki orang-orang perguruan itu dan mencari kelemahan mereka. Tapi sampai sekarang yang kutemukan hanya kelemahan tak berarti, tak cukup kuat sebagai alasan membatalkan perjanjian tersebut."

Pendekar Mabuk berhenti sebentar untuk menenggak tuaknya. Sambil melangkah kembali, dia berkata kepada Kinanti. "Jadi seandainya...," ucapan itu terhenti, karena tiba-tiba Kinanti terpekik kaget dan hentikan langkahnya.

"Oooh...?!" mata yang berbulu lentik itu terbelalak lebar. Pandangan mata bening itu tertuju ke rerumputan. Di sana ada pakaian wanita dan sebilah pedang yang bentuk dan warnanya sama persis dengan pedang yang terselip di pinggang Kinanti.

"Apakah kau mengenal pemilik pakaian dan pedang itu?"

"Ya, aku sangat mengenalnya, ini pakaian Seroja Putih, temanku. Dia termasuk salah satu prajurit duta istana yang tugasnya diutus ke sana-sini oleh ratu kami."

"Hmmm... lalu, kenapa kau terkejut? Mungkin temanmu sedang melakukan sesuatu di sekitar sini. Misalnya mandi di sungai yang tadi kita seberangi itu atau..."

"Tidak. Tidak mungkin ia ada di sekitar sini. Ia pasti telah lenyap terkena jurus 'Bintara Jingga'. Raganya musnah tanpa bekas kecuali pakaian, perhiasan dan senjatanya. Karena memang begitulah ciri-ciri orang yang menjadi korban jurus 'Bintara Jingga' seperti yang kau lihat sendiri pada nasib Ladang Bangkai"

"Hmmm kalau begitu belum lama ini Demit Lanang lewat daerah sini?!" gumam Suto Sinting seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Ya, aku yakin begitu. Seroja Putih terlibat bentrokan dengan Demit Lanang, hingga Demit Lanang keluarkan jurus andalannya. Sebab, Seroja Putih memang ilmunya lumayan tinggi. Hanya saja, apakah pertarungan itu dilakukan setelah Demit Lanang pergi dari Bukit Ranjang Setan tadi, atau sebelumnya, yaitu saat ia menuju ke Bukit Ranjang Setan untuk bertarung melawan adiknya sendiri."

Rona duka terlihat jelas di wajah Kinanti. Suto Sinting tak berani main-main. Bahkan sang Pendekar Mabuk menampakkan raut wajahnya yang ikut berduka atas kematian Seroja Putih itu.

Kinanti segera mengambil pakaian tersebut bersama pedangnya. "Akan kutunjukkan kepada sang Ratu mengenai kekejaman Demit Lanang ini!" ucapnya lirih dan bergetar karena membendung tangis.

"Aku setuju dengan rencana itu. Nanti aku akan ikut memperkuat laporanmu kepada sang Ratu," kala Suto Sinting dengan sikap tenang tapi dalam suasana hati ikut berkabung.

Langkah mereka mulai dipercepat, karena Kinanti tak sabar ingin segera menghadap ratunya dan menyerahkan bukti kekejaman Demit Lanang dengan jurus 'Bintara Jingga'-nya itu. Pendekar Mabuk tetap mendampinginya dengan langkah disesuaikan kecepatan jalan Kinanti.

"Apakah kau tahu kelemahan jurus 'Bintara Jingga' itu, Kinanti?"

"Tidak ada yang tahu," jawab Kinanti agak datar. "Jurus itu jurus yang termasuk dilarang dipelajari oleh para murid Perguruan Darah Surga. Namun agaknya Demit Lanang berhasil mencuri kitab perguruannya dan menyalin pelajaran jurus 'Bintara Jingga', lalu kitab itu dikembalikan ke tempat semula. Maha Guru Teja Biru sendiri kaget ketika Demit Lanang melenyapkan beberapa orang Pulau Teluh dengan sinar Jingganya. Namun persoalan itu agaknya dipendam dulu oleh sang Maha Guru Teja Biru dan akan diurus setelah beliau lakukan perkawinan dengan Ratu Jiwandani. Tapi sebelum hal itu terjadi beliau sudah lebih dulu tewas secara menyedihkan"

"Hmmm... kalau begitu kesimpulanku mengatakan, bahwa orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru itu adalah Demit Lanang sendiri."

"Apakah ada alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan ratuku?"

"Ada," jawab Suto. "Alasan lain itu adalah siasat Demit Lanang menghindari hukuman dari sang Maha Guru, karena ia merasa bersalah telah pelajari jurus itu tanpa seizin gurunya."

Langkah itu pun terhenti kembali, dan mereka berdua dikejutkan dengan seorang perempuan cantik berjubah putih dengan pinjungnya yang berwarna ungu, sama dengan warna celananya. Gadis itu sangat mengejutkan Suto Sinting, karena ia sangat dikenal oleh Suto.

Perempuan yang masih tampak muda dan cantik itu tak lain adalah Salju Kelana, yang mula pertama bertemu dengan Suto Sinting dalam keadaan gila, lalu setelah diobati dengan tuak saktinya Suto, ia masih berpura-pura buta. Suto Sinting tak bisa marah dengan perempuan itu, sebab wajah Salju Kelana mirip sekali dengan wajah calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di Negeri Puri Gerbang Surgawi, yaitu perempuan cantik yang bernama Dyah Sariningrum. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rencong Pemburu Tabib).

Salju Kelana yang ternyata adalah kakak dari Kelana Cinta, mata-mata utusan Ratu Asmaradani dari Negeri Ringgit Kencana itu, kini menatap Kinanti dengan sorot pandangan mata mengandung kecemburuan yang terpendam. Suto Sinting mulai was-was, khawatir jika kedua perempuan cantik itu saling bertarung gara-gara kesalahpahaman. Sebab itulah, Suto Sinting segera menyapa dengan senyum menawannya kepada Salju Kelana,

"Dari mana kau, Salju Kelana? Kebetulan sekali kita bertemu di sini."

"Kau dusta, Pendekar Mabuk!" kata Salju Kelana dengan nada ketus. "Kau bilang ingin menyusul kami ke Pulau Jelaga, ternyata kau justru menempel pada gadis itu dan membiarkan aku serta Tua Bangka menumbangkan Gandapura, si pemakan manusia itu! Kami menunggumu sampai beberapa hari di Pulau Jelaga. Tapi karena kau tidak datang juga, terpaksa aku dan Tua Bangka yang menumbangkan Gandapura."

"Maafkan aku, setiap aku mau ke Pulau Jelaga selalu saja ada hambatannya. Langkahku ke sana jadi tertunda-tunda sampai saat ini. Maafkan aku, Salju Kelana." Suto memang pernah berjanji akan Pulau Jelaga untuk menggempur Gandapura. Salju Kelana disuruhnya berangkat lebih dulu bersama Tua Bangka, karena Suto Sinting harus pamit kepada gurunya, si Gila Tuak. Tapi perjalanan Suto menyusul ke Pulau Jelaga selalu terhambat oleh masalah-masalah yang harus ditangani, seperti misalnya masalah yang dihadapi saat ini. Tetapi agaknya Salju Kelana tidak mau tahu akan hal itu.

"Tentu saja langkahmu tertunda karena hatimu tak bisa berpaling jika melihat perempuan cantik. Matamu tak bisa berkedip jika memergoki seraut wajah yang enak dipandang mata."

"Kau bicara apa, Salju Kelana?!" tiba-tiba Kinanti yang memang sudah mengenal Salju Kelana sejak dulu itu berkata dengan nada ketus dan bersikap menantang.

Salju Kelana tak pernah perlihatkan rasa takutnya, sebab ia memang wanita cantik yang punya nyali cukup besar. Suto Sinting buru-buru alihkan percakapan setelah melihat Kinanti dan Salju Kelana saling adu pandangan mata. Itu gejala-gejala akan terjadi pertarungan antara mereka berdua jika alam pikiran mereka tidak segera dialihkan. Maka Suto Sinting pun segera berkata kepada Salju Kelana,

"Salju, bagaimana kabarnya Tua Bangka?"

"Baik!" jawabnya singkat dengan wajah cemberut tipis.

"Gandapura bisa ditumbangkan dengan Kapak Setan Kubur?!"

"Kalau tak bisa aku dan Tua Bangka tak mungkin bisa pulang kemari lagi, Tolol!"

Salju Kelana tampak semakin geram, sepertinya ingin buru-buru melepaskan kemarahannya, baik kepada Suto maupun kepada Kinanti. Namun tak jelas apa sebab utama kemarahannya itu; masalah janji Suto atau masalah kecemburuannya terhadap Kinanti?

* * *

LIMA

BAGAIMANAPUN juga Suto Sinting lebih memilih Salju Kelana daripada Kinanti, seandainya ia dipaksa harus memilih. Sebab Salju Kelana yang mirip sekali dengan Dyah Sariningrum itu telah berhasil mendapat 'kapling' di tepi hati Pendekar Mabuk. Andai saja Dyah Sariningrum tidak ada, pasti Salju Kelana yang menjadi pilihan utama bagi hati murid sintingnya Gila Tuak itu.

"Suto akan kubawa menemui Ratu Jiwandani." kata Kinanti saat ditanya Salju Kelana tentang tujuan mereka. Kinanti menyambung kata, "Ada persoalan yang akan diselesaikan Suto sana!"

"Tidak boleh!" tegas Salju Kelana.

"Apa hakmu melarang Suto datang ke istana Lembah Birawa?!" hardik Kinanti.

"Dia punya urusan sendiri denganku secara pribadi!"

"Peduli amat dengan urusanmu, aku lebih dulu menemukan Suto!"

"Aku kenal dia lebih dulu dari kau!"

"Persetan dengan perkenalanmu! Dia harus ku bawa ke Lembah Birawa!"

"Tidak boleh!" bentak Salju Kelana. "Aku akan nekat membawanya!"

"Aku akan menghalangi langkahmu!"

"Aku akan menyingkirkan nyawamu!"

"Tidak mungkin bisa karena nyawamu lebih dulu ku kirim ke neraka!"

"Jadi mau apa kau, hah?!"

"Kau sendiri mau apa?!"

Mereka saling maju, bertolak pinggang, saling pandang dengan sorot mata penuh tantangan. Pendekar Mabuk hanya garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Repot juga kalau begini," gerutunya dalam hati.

Wuttt...! Kinanti lebih dulu menyerang Salju Kelana dengan tendangan kakinya. Salju Kelana menangkis memakai tangan kirinya. Plakkk...! Kinanti putar tubuh dan tiba-tiba sentakkan tangan kanannya untuk menghantam dada lawan dengan telapak tangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu. Tapi Salju Kelana tidak kalah cekatannya. Telapak tangannya pun diadu dengan telapak tangan Kinanti.

Plakkk...! Wusss...! Asap mengepul ketika mereka saling dorong, saling lepaskan tenaga dalam untuk tumbangkan lawan.

Pendekar Mabuk segera melompat ke arah semak-semak sambil berseru, "Hai... mau ke mana kau Demit Lanang! Berhenti...!"

Seruan Suto membuat kedua perempuan cantik itu saling lepaskan serangan. Wajah mereka sama tegangnya memandang ke arah kepergian Suto Sinting.

"Ada apa dengan Demit Lanang?!" tanya Salju Kelana.

"Dia sudah kuasai jurus 'Bintara Jingga' dan sekarang sedang menjadi buruan kami!"

"Celaka! Suto biaa lenyap di tangan Demit Lanang! Aku harus membantunya!" Blasss...!

"Aku juga akan membantunya!" Blasss...!

Kedua perempuan itu sangat khawatirkan keselamatan Pendekar Mabuk. Mereka menyusul Suto Sinting dengan penuh kegeraman terhadap Demit Lanang. Sebab Salju Kelana sudah kenal siapa Demit Lanang dan Perguruan Darah Surga itu. Di tanah datar berpohon renggang, mereka menemukan Suto Sinting sedang menenggak tuaknya. Selesai menenggak tuak pendekar ganteng itu tersenyum geli membuat kedua wanita cantik itu terheran-heran. Mata mereka sempat memandang alam sekeliling mencari Demit Lanang.

"Mana si Demit Lanang itu?!" tanya Kinanti siap dengan pedang milik Seroja Putih.

"Maaf, kusangka tadi bayangan si Demit Lanang. Tidak tahunya seekor babi hutan."

"Kampret jelek kau!" maki Salju Kelana dengan bersungut-sungut.

"Kurang ajar! Babi hutan disangka Demit Lanang! Lantas untuk apa aku ikut terburu-buru mengejar babi hutan?!" gerutu Kinanti sambil cemberut.

"Kinanti, kita teruskan pertarungan kita tadi!" tantang Salju Kelana.

"Baik! Bersiaplah kau, Salju Kelana!"

Suto berseru lagi sambil menuding arah lain. "Itu dia... Itu dia...! Dia lari kesana!"

"Siapa?! Demit Lanang?!"

"Babi hutan yang tadi!" jawab Suto Sinting.

Kedua perempuan cantik itu menjadi kesal kepada Suto, lalu pemuda itu dihampiri bersama dari kanan kiri dengan tolak pinggang.

"Apa maksudmu mengganggu pertarungan kami, hah?!" bentak Salju Kelana.

Pendekar Mabuk hanya cengar-cengir dengan kepala menengok ke kanan dan ke kiri. "Aku hanya tidak ingin kalian berselisih," jawab Suto di sela cengirannya. Sekalipun hanya sebuah cengiran namun dianggap oleh hati perempuan sebagai senyum yang menawan. Itulah kehebatan Suto.

"Sebenarnya dari tadi memang tidak ada apa-apa. Babi hutan pun tidak ada. Aku hanya ingin mengalihkan perhatian kalian agar jangan tertuju kepada perselisihan," sambung Suto menjelaskan, "Kalau kalian berselisih, aku sedih dan tak bisa mengambil sikap."

"Sebagai laki-laki kau harus bisa mengambil sikap dan ketegasan!" kata Kinanti. "Kau mau ikut ke Lembah Birawa seperti janjimu semula, atau mau ikut Salju Kelana?! Tentukan sekarang juga!" Kinanti bernada menuntut ketegasan.

Salju Kelana mencoba pengaruhi jalan pikiran Suto dengan kata, "Kalau kau ke Lembah Birawa, aku pergi sekarang juga dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi."

Suto berkata kepada Salju Kelana, "Sebenarnya apa yang membuatmu melarangku bertemu dengan Ratu Jiwandani?"

"Ratu itu cantik dan masih perawan!"

"Kau pikir aku akan terpikat padanya?!"

Kinanti yang menjawab, "Kuharap demikian!"

"Kurobek mulutmu, Kinanti!" bentak Salju Kelana.

"Akan kuputuskan sendiri!" Suto berkata agak menyentak, sehingga kedua gadis itu saling bungkam dan memandang Suto Sinting.

"Aku akan menghadap Ratu Jiwandani, karena agaknya ia dalam kesulitan. Aku mau datang ke Lembah Birawa asal bersama Salju Kelana. Jika Salju Kelana tidak diizinkan ikut, aku tak jadi menemui Ratu Jiwandani."

Kedua makhluk cantik itu sama-sama terbungkam lagi untuk beberapa saat. Kinanti mondar-mandir untuk menentukan keputusannya. Salju Kelana sendiri juga mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya seraya melangkah kesana-sini bagai orang gelisah.

Kinanti akhirnya berkata, "Baiklah. Salju Kelana boleh ikut tapi tidak boleh mencampuri pembicaraanmu dengan sang Ratu!"

"Aku hanya akan mengawasinya!" kata Salju Kelana bernada ketus.

"Tampaknya kau takut kehilangan Pendekar Mabuk, Salju Kelana?"

"Memang!" jawab Salju Kelana dengan tegas, tanpa basa-basi sedikitpun.

Kinanti hanya mencibir sinis. Saat mereka melangkah menuju Lembah Birawa, Kinanti sempat ceritakan masalah sebenarnya kepada Salju Kelana. Cerita itu meluncur dari mulut Kinanti setelah Salju Kelana menceritakan pengalaman mesranya dengan Suto Sinting ketika di dalam gua dan ketika duduk di depan Suto Sinting yang mandi dalam keadaan polos karena menyangka Salju Kelana buta, padahal tidak. Kinanti sempat terkikik geli mendengar cerita itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rencong Pemburu Tabib).

Sedangkan Pendekar Mabuk sengaja sedikit menjauh supaya tidak terlalu merasa malu membayangkan kebodohannya didepan Salju Kelana yang kala itu berpura-pura masih buta. Bahkan Suto berusaha mengalihkan percakapan kedua wanita itu dengan sedikit berseru, "Tak bisakah kalian lebih cepat lagi?! Aku tak ingin kemalaman diperjalanan!"

"Sstt... dia malu!" bisik Salju Kelana sambil tersenyum geli.

Perjalanan mereka tak menemui hambatan lagi, sehingga mereka tiba di Lembah Birawa pada saat petang hampir tiba. Lembah berudara sejuk itu membuat kesegaran tersendiri bagi Suto Sinting, hingga wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Ia baru kali itu datang ke Lembah Birawa yang subur dan penuh dengan tanaman bunga bagai kehidupan surgawi. Seperti kata Salju Kelana yang sudah mengenal Ratu Jiwandani, ternyata ratu itu memang cantik bagai boneka yang sangat elok dipandang mata. Selain cantik, ia mempunyai tubuh yang sekal, meliuk indah penuh daya pikat bagi setiap pria yang memandanginya. Tak heran jika Demit Lanang sampai tega singkirkan adiknya sendiri demi dapatkan Ratu Jiwandani. Karena menurut Suto,

"Siapa pun yang menjadi suami Ratu Jiwandani tak akan sempat menghitung hari. Bahkan mungkin tak akan tahu siang atau malam, karena ia betah mengurung diri di dalam kamar bersama sang Ratu sampai rambut beruban pun tetap akan betah."

Ratu Jiwandani bukan ratu yang seronok, pakaiannya cukup rapi dan sopan dengan rangkapan jubah merah jambu berbintik-bintik emas. Rambutnya sedikit terurai atasnya tersanggul dililit dengan mahkota dari butiran permata yang sangat indah. Ia tampil sebagai sosok perempuan yang anggun dan punya kharisma tersendiri. Namun manakala ia berhadapan dengan Pendekar Mabuk, matanya yang indah itu tak mampu berkedip walau sekejap. Mata itu memandang penuh sorot pesona yang mungkin hanya Salju Kelana yang mengetahuinya.

"Luar biasa sekali pria ini, daya tariknya begitu kuat hingga hatiku berdebar-debar sejak tadi," kata Ratu Jiwandani dalam hati. "Ternyata kabar yang selama ini kudengar tentang sang Pendekar Mabuk yang tampan itu tidak meleset sedikit pun. Sayang aku menjadi seorang ratu, seandainya aku bukan seorang ratu aku berani mengejar pria ini demi mendapatkan keindahan yang ada padanya. Siapa orangnya yang tak merasa bahagia hidup menjadi istrinya, sudah sakti, tampan lagi. Ck, ck, ck... benar-benar layak menjadi idaman setiap wanita."

"Ratu...," sapa Kinanti. "Mengapa hanya diam saja! Bicaralah tentang kesulitan kita, Ratu."

Menyadari ketermenungannya Ratu Jiwandani segara tersipu-sipu. Salju Kelana tampak mencibir sambil buang muka. Suto Sinting tetap sunggingkan senyum keramahan yang diterima sebagai senyum pemikat oleh sang Ratu. Karenanya hati sang Ratu menjadi gelisah dan ia terpakaa menenangkan kegelisahannya mati-matian. Sang Ratu segera menceritakan kesulitannya yang berkaitan dengan perjanjian bersama pihak Perguruan Darah Surga. Tapi yang menjadi titik berat saat itu adalah keberadaan Demit Lanang yang telah menguasai Jurus 'Bintara Jingga'itu.

"Sudah dapat kupastikan seandainya aku menolak pinangannya, ia akan menggugat melalui perjanjian yang tertulis itu. Jika aku menyangkal perjanjian itu, ia akan murka dan menggunakan jurus 'Bintara Jingga' untuk melenyapkan diriku. Mungkin bukan... (Halaman 62 dan 63 nya tidak ada alias hilang...)

...matanya yang tak berkedip itu menikmati ketampanan Suto hingga ia biarkan hatinya bergetar-getar dijamah oleh keindahan yang sukar digambarkan.

"Tak ada jalan lain kecuali memerangi Demit Lanang secara terang-terangan, Ratu."

"Dan kau sanggup melawannya? Jika kau sanggup akan kuberikan hadiah padamu yang boleh kau pilih sendiri, hadiah apa yang kau inginkan dariku."

"Itu soal nanti," kata Suto. "Tapi keluarkan perintahmu untuk mengutusku dan Salju Kelana sebagai utusan yang punya wewenang mengusir dan menerima tamu siapa pun yang ingin menghadapmu, Ratu."

"Salju Kelana ikut juga?" sela Kinanti bernada kurang setuju.

"Salju Kelana akan menghadapi murid Perguruan Darah Surga yang lain, aku akan menghadapi Demit Lanang!"

"Apakah Salju Kelana mampu menghadapi mereka? Ilmu mereka tinggi dan tak mudah ditumbangkan."

Salju Kelana akhirnya bicara juga, "Sebaiknya kita buktikan dulu apakah aku mampu menumbangkan kau atau tidak, Kinanti!"

Tantangan itu dilontarkan di depan sang Ratu membuat Kinanti naik pitam, ia bangkit dengan keberaniannya dan berseru sambil bergerak maju, "Kita tentukan kau atau aku yang kehilangan nyawa! Tak perlu di luar, di sini saja cukup!"

Suto Sinting menahan gerakan Kinanti dengan memegangi pundaknya dan menghalangi langkahnya. Suasana menjadi agak panas karena tantangan tersebut.

"Kinanti...!" sergah Ratu Jiwandani. "Kendalikan dirimu, Kinanti! Hormati mereka, karena mereka adalah tamu di tempat kita. Lebih dari itu, mereka bermaksud menolong kita."

"Tapi saya tidak setuju jika Salju Kelana ikut campur dalam masalah ini. Suto Sinting sudah cukup mampu mengatasi orang-orang Perguruan Darah Surga tanpa bantuan siapapun."

"Aku setuju dengan keputusan Suto Sinting!" ucap sang Ratu dengan nada tegas yang membuat Kinanti terbungkam dan menatap ratunya dengan sorot pandangan kecewa.

* * *

ENAM

SEORANG prajurit bernama Pinasih datang menghadap sang Ratu dalam keadaan wajah memar dan lengan tergores luka yang masih berdarah. Kedatangan Pinasih membuat sang Ratu menjadi tersentak bangun dari tempat duduknya. Yang lain pun memandang Pinasih dengan tegang, terutama Kinanti.

"Pinasih, apa yang terjadi?!" sambil Kinanti menyambar tubuh Pinasih yang nyaris rubuh karena luka-lukanya.

Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut. Salju Kelana mendekati Suto dan berbisik, "Ada sesuatu yang tak beres."

Suto hanya menggumam lirih. Lalu mereka menyimak penjelasan dari Pinasih yang menjadi salah satu petugas penjaga perbatasan.

"Sisa orang-orang Pulau Teluh datang, Gusti Ratu!" Pinasih bicara dengan terengah-engah. "Mereka dipimpin oleh Lodang Balak, adik dari Penguasa Pulau Teluh yang telah berhasil dibunuh oleh Demit Lanang itu."

"Lodang Balak...?!" Salju Kelana menggumam dengan nada heran. "Seingatku Lodang Balak adalah Penguasa Pulau Gaib. Ilmu gaibnya lebih tinggi dari Penguasa Pulau Teluh."

Suto Sinting berkata kepada sang Ratu, "Benarkah Lodang Balak adik dari Penguasa Pulau Teluh?"

"Memang. Tapi kusangka ia tidak akan ikut campur urusan kakaknya, karena antara dia dan kakaknya ada perang dingin."

"Berapa kekuatan mereka, Pinasih?" tanya Kinanti.

"Sekitar tiga puluh orang," jawab Pinasih yang membuat sang Ratu kian tegang.

Kinanti pun cepat lemparkan pandangan kepada sang Ratu seakan menunggu perintah. Sebelum sang Ratu bicara, Suto Sinting segera memberikan tuak kepada Pinasih. Tuak diminum oleh Pinasih dan beberapa saat kemudian luka-luka Pinasih menjadi sembuh. Luka koyaknya merapat, darah yang keluar dan membasahi lengannya itu bagai menguap sirna tanpa bekas lagi. Sang Ratu memperhatikan kesaktian tuak tersebut dengan hati penuh kekaguman.

"Kinanti," katanya kepada Kinanti. "Siapkan prajurit tamtama yudha seluruhnya. Prajurit berkuda dan para pemanah juga perlu dikerahkan."

Salju Kelana beranikan diri berkata, "Apakah tak sebaiknya menghemat tenaga saja, Ratu Jiwandani?"

"Apa maksudmu menghemat tenaga, Salju Kelana?"

"Izinkan aku dan Suto mewakili pihakmu ke perbatasan."

Suto Sinting segera berkata, "Gagasan itu cukup baik. Barangkali dari sinilah awal kerja kami, Ratu."

Ratu Jiwandani diam sebentar, sesaat kemudian berkata kepada Kinanti, "Pilih beberapa prajurit untuk mendampingi Suto dan Salju Kelana! Berangkat ke perbatasan!"

Agaknya memang tak ada pilihan lain bagi sang Ratu yang ingin membuktikan kebanggaan hatinya kepada sang Pendekar Mabuk. Maka berangkatlah mereka ke perbatasan menyongsong kedatangan Lodang Balak yang ingin menuntut balas atas kematian kakaknya; Penguasa Pulau Teluh. Sementara itu, Pinasih diperintahkan untuk menjaga Ratu, dan Kinanti pemimpin pasukan pilihan yang akan didampingi Suto Sinting dan Salju Kelana.

Mereka menunggang kuda, tapi Suto Sinting dan Salju Kelana tidak. Cukup dengan menggunakan kedua kakinya mereka mengikuti pasukan berkuda yang berjumlah sepuluh orang terhitung dengan Kinanti. Derap kaki kuda lain terdengar di kejauhan. Debu mengepul ke udara membuat langit bagaikan keruh. Melihat kepulan debu di kejauhan, para pasukan berkuda makin mempercepat gerakan. Namun ternyata Suto Sinting dan Salju Kelana sudah tiba di depan lebih dulu daripada mereka yang berkuda.

"Edan! Mereka sudah sampai lebih dulu dan menghentikan gerakan lawan?!" gumam Kinanti antara dongkol dan bangga. Kinanti hentikan pasukan berkuda dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari tempat Suto dan Salju Kelana berdiri.

Sementara itu orang-orangnya Lodang Balak membentuk barisan berjajar dengan kuda-kuda mereka yang tampak kekar-kekar itu. Mereka dalam jarak sekitar lima tombak dari Suto dan Salju Kelana. Orang yang masih duduk di atas punggung kuda hitam dan berambut panjang diikat dengan ikat kepala warna ungu itu memandangi Suto dan Salju Kelana. Pada saat itu, Salju Kelana berbisik kepada Pendekar Mabuk.

"Yang memakai ikat kepala ungu itulah Lodang Balak! Hati-hati menatap matanya, kekuatan sihirnya cukup tinggi."

"Aku akan memandang batas telinganya saja," bisik Suto pelan.

Lodang Balak mengenakan jubah merah dengan celana merah, badannya yang kekar tapi tidak gemuk itu sengaja tidak mengenakan baju sehingga gambar tato naga di dadanya terlihat jelas manakala jubahnya menyingkap tertiup angin, ia menyandang sebilah pedang besar yang disematkan di punggungnya. Matanya yang besar memancarkan sinar dendam yang membuatnya tampak buas dan ganas.

"Kalau tak salah pandang," kata Lodang Balak yang bersuara serak itu. Kata-katanya itu ditujukan kepada Salju Kelana,"... kau adalah penguasa Pulau Serindu yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum!"

Salju Kelana berkerut dahi dan memandang Suto sesaat, kemudian berseru dengan suara lantang. "Aku Salju Kelana! Siapa itu Dyah Sariningrum? Penjual jamu mana dia itu? Aku tak kenal dengannya!"

Suto Sinting agak tersinggung mendengar Dyah Sariningrum dikatakan penjual jamu. Ia memang belum pernah ceritakan kepada Salju Kelana bahwa Dyah Sariningrum adalah calon istrinya yang menjadi penguasa Pulau Serindu dan mempunyai wajah mirip dengan Salju Kelana. Suto Sinting akhirnya memaklumi ucapan itu, karena Salju Kelana tidak tahu hubungan Suto dengan Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu.

"Siapa pun dirimu, Perempuan ganjen... aku tetap tidak akan pandang bulu! Jika kau menghalangi langkahku untuk membalas dendam kepada Ratu Jiwandani, kau pun akan kehilangan kepala, Perempuan ganjen! Jadi kusarankan kau tak perlu berlagak menjadi jagoan di depanku. Lodang Balak tak pernah segan memenggal kepala perempuan secantik apa pun!"

"Turun dari kudamu dan buktikan sesumbarmu itu!" sentak Salju Kelana dengan berani.

"Ha, ha, ha, ha...! Jangan melawanku kau, Gadis ingusan! Sebaiknya kau melawan muridku saja."

Lodang Balak yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menengok ke kiri, seorang berpakaian abu-abu berkepala gundul dipandanginya. Lalu ia berseru kepada orang yang berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kekar tanpa kenakan baju itu. "Balada, turun dan mainkan kepunyaanmu di depan perempuan itu!"

Orang gundul yang bernama Balada itu segera melompat dari punggung kudanya. Wuuttt...! Lompatannya cukup tinggi, hingga ia bisa bersalto dua kali di udara dan mendarat dengan tegak di samping Salju Kelana.

Saat itu Suto Sinting berbisik, "Biar kutangani saja, Salju Kelana."

"Jangan. Ini bagianku. Mundurlah sedikit!" Salju Kelana tak kelihatan gentar sedikit pun. Matanya memandang tajam kepada calon lawannya yang tampak sangar itu.

Balada yang bercelana hitam dengan ikat pinggang kain merah itu mulai melangkah ke samping dengan mata melirik ganas. Salju Kelana bersikap tenang, sedikit mengangkat dagu hingga tampak angkuh dan penuh keyakinan. Balada menyentakkan kedua tangannya ke depan dengan kaki merendah dan salah satu kakinya ditarik mundur. Tubuhnya yang merendah itu membuat tangannya berada di atas kepala dalam bentuk cakar tanpa kuku.

Wuukkk...!

Angin berhembus dengan kencang. Rupanya Balada keluarkan tenaga dalam berbentuk gumpalan angin besar yang membuat Salju Kelana terpelanting ke belakang hampir jatuh. Perempuan itu segera rendahkan badan, dan merentangkan tangannya, satu ke depan dengan jari telunjuk berdiri lurus, satu lagi ada di belakang kepalanya. Ia menahan hembusan angin kencang itu dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian kaki, sehingga ketika Balada melompat dengan berjungkir balik di tanah beberapa kali, Salju Kelana segera memutar tubuhnya dan menyampar lawan dengan kaki kanannya yang berkelebat bagai baling-baling.

Weesss...! Plakkk...!

Wajah sangar itu bagaikan ditampar dengan kaki perempuan berjubah putih. Tamparan kaki yang bertenaga dalam membuat tubuh kekar itu terpental ke samping dan jatuh tersungkur. Namun ia cepat bangkit dan menggeram dengan buas. Wajahnya menjadi hitam sebelah akibat tendangan kaki Salju Kelana tadi.

"Gawat juga si Salju Kelana itu?" pikir Kinanti dari atas punggung kudanya. "Sekali tendang wajah orang dibuat hangus begitu?!"

Salju Kelana berdiri tegak dengan kedua kaki merapat. Tangannya segera direntangkan kembali dengan kaki rapatnya merendah kokoh. Tetapi tiba-tiba Balada menghentakkan tangan kanannya yang berjari rapat, bagai menusukkan sesuatu ke arah tanah yang dipijak Salju Kelana. Tiba-tiba tanah itu pun amblas ke dalam.

Bless...!

Tanah yang amblas itu membentuk lingkaran selebar sumur. Tubuh Salju Kelana bagaikan terhisap dengan kuat masuk ke dalam tanah sampai hilang dari pandangan mata. Suto Sinting terkejut dan mulai bergerak. Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-tiba dari dalam tanah yang berlubang besar itu melesatlah tubuh Salju Kelana dengan memutar cepat seperti gangsing. Wuusss...!

Lodang Balak dan Balada terperangah melihat perempuan berjubah putih itu mampu melesat ke udara. Padahal biasanya lawan yang telah dikubur hidup-hidup dengan cara seperti itu tak akan bisa lolos dari liang tersebut. Sampai di udara, tubuh Salju Kelana bersalto dua kali dan segera mendaratkan kakinya dengan kokoh ke tanah samping Balada.

"Keparat kau!" geram Balada sambil berpaling dan siap melepaskan jurus barunya. Tapi agaknya gerakannya terlambat. Salju Kelana lebih dulu lepaskan pukulan berbentuk bola sinar putih menyilaukan. Slaappp...! Sinar putih itu pun menerjang tubuh Balada yang terlambat menghindar kesamping.

Wueerrss...!

Tubuh Balada berasap tebal bergumpal-gumpal. Ketika gumpalan asap itu menipis dan lenyap, mata mereka sama-sama terbelalak lebar, termasuk Suto Sinting dan Lodang Balak. Mereka terkejut melihat Balada berubah menjadi patung es yang bening dan mencair sedikit demi sedikit.

"Tak kusangka Salju Kelana mempunyai jurus sedahsyat itu?!" pikir Kinanti dengan hati bergetar. "Untung tadi aku tidak jadi bertarung melawannya. Kalau sampai aku tadi bertarung melawannya, bisa-bisa aku berubah menjadi es batu seperti orang itu."

Melihat murid andalannya menjadi patung es batu, Lodang Balak segera lepaskan sinar biru dari ujung jari telunjuknya. Claapp...! Sinar biru yang panjang lurus tanpa putus itu mengenai patung es batu itu. Maksudnya memberikan hawa panas untuk mencairkan es batu yang membungkus tubuh Balada, ia tidak tahu bahwa pada saat itu Balada sudah tidak ada, berubah menjadi es dan tak bisa dikembalikan seperti wujud aslinya. Maka sinar biru itu justru memecahkan patung es batu tersebut dengan mengeluarkan dentum ledakan yang cukup keras.

Jgaarr...!

Patung es itu pecah berantakan menjadi serpihan yang menyembur ke mana-mana, bahkan butiran es itu sampai ada yang jatuh di pangkuan Kinanti. Lodang Balak semakin kaget melihat kenyataan itu. Akhirnya ia melompat turun dari atas kudanya dan berseru dengan suara serak.

"Bangsat! Kau telah bunuh murid andalanku, Perempuan lacur! Kuhancurkan pula ragamu sekarang juga, heeeaaahhh...!"

Tangan kanannya menyentak ke depan. Tak ada sinar yang keluar, tapi tiba-tiba tubuh Salju Kelana sudah dibungkus oleh kilatan-kilatan cahaya biru yang mengelilinginya. Semakin lama semakin rapat hingga tubuh Salju Kelana nyaris terjerat kilatan-kilatan sinar biru yang saling memercikkan api dan letupan kecil itu.

Claappp...! Sinar ungu keluar dari tangan Suto Sinting yang saling merapat dan disentakkan ke depan. Sinar ungu itu menghantam kilatan-kilatan cahaya biru yang hampir menjerat dan menghancurkan tubuh Salju Kelana.

Blaarr...!

Salju Kelana terlempar melambung ke udara dan jatuh dalam keadaan tak bisa menjaga keseimbangan. Buuuhgg...! "Auuh ..!" gadis itu mengerang kesakitan. Suto Sinting tak terlalu menyesal karena hal itu lebih baik terjadi daripada tubuh Salju Kelana hancur oleh 'jala petir'-nya Lodang Balak.

Orang berikat kepala ungu itu segera menatap Suto Sinting dengan beringas, ia pun menggeram penuh dendam. "Jahanam! Sekarang kau ikut campur dan itu berarti kau akan berhadapan denganku!" bentak Lodang Balak.

"Memang aku akan melawanmu!" kata Suto Sinting dengan tenang, ia segera meneguk tuaknya sebentar tanpa pedulikan sesumbar yang dilontarkan Lodang Balak.

"Bocah keong! Kau pikir mudah menumbangkan Lodang Balak, hah?! Apakah kau belum dengar kabar bahwa Lodang Balak baru saja membunuh senopati dari Kerajaan Bogasa, dan membantai semua anggota Perguruan Ciung Dewa?!"

"Aku tak butuh sesumbarmu. Aku butuh bukti keampuhanmu! Tapi kita bertarung dengan jantan!"

"Apa maksudmu? Kau pikir aku takut dengan tantangan yang membawa-bawa kejantanan itu?!"

Senyum Suto Sinting mekar dengan kalem, ia melangkah pelan sampai di pertengahan jarak. Bambu tuaknya menggantung di pundak. "Kita bertarung secara ksatria. Kulihat kau mempunyai pedang, gunakanlah senjatamu itu. Aku pun akan meminjam pedang temanku. Siapa yang terluka lebih dulu berarti dia yang kalah. Jika aku yang terluka, maka kubuka jalan, kusingkirkan para pengawal istana yang berkuda itu, dan kau kuizinkan menemui Ratu Jiwandani. Tapi jika kau yang terluka lebih dulu, kau harus mengakui kekalahanmu, dan membawa anak buahmu pulang ke tempat asal! Apakah kau takut dengan tantangan seperti itu?" pancing Suto Sinting.

"Lodang Balak tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun. Tantanganmu kulayani!" Sreett...! Pedang dipunggung segera dicabut.

Suto Sinting berseru kepada Kinanti, "Pinjam pedangmu, Kinanti!"

Kinanti melompat dari punggung kuda. Weesss...! Gerakannya cukup cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Suto Sinting, ia menyerahkan pedangnya. Suto Sinting mencabut pedang itu, gagang pedang masih di tangan Kinanti.

"Hati-hati... dia jago pedang," bisik Kinanti.

"Baik. Menjauhlah secepatnya, dan bantu Salju Kelana yang terluka itu."

Bumbung tuak disilangkan ke punggung. Pendekar Mabuk mulai menebas-nebaskan pedang sebagai cara membiasakan gerakan dengan pedang tersebut. Lalu ia mengambil jarak enam langkah dari depan Lodang Balak.

"Apakah kau sudah siap tumbang, Bocah keong?!"

"Aku belum siap tumbang sebelum bisa melukai dadamu!" kata Suto Sinting tak mau kalah gertak.

"Biadab kau! Belum pernah merasakan Pedang Halimun-ku ini kau, hah?!" Lodang Balak bersiap-siap dengan memainkan jurus pedang pembuka.

Suto Sinting masih ingat pelajaran pedang dari Ki Argapura, di mana jurus 'Pedang Cakar Maut', 'Pedang Ekor Petir', dan 'Pedang Batu' adalah jurus-jurus pedang yang sukar ditangkis dan dihindari lawan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

Lodang Balak sudah tak sabar lagi. Ia segera melompat maju dalam gerakan bersalto satu kali, lalu tiba di depan Suto Sinting dan menebaskan pedangnya meliuk-liuk berserabutan membingungkan. Suto Sinting hanya mundur selangkah. Ketika pedang lawan membabat lehernya, Suto hanya menangkisnya dengan menggenggam pedang memakai kedua tangannya.

Trang...! Trang...! Weesss...! Trang...!

Suto Sinting hanya bersikap menahan serangan lawan. Walaupun Lodang Balak mampu memainkan pedang dengan kecepatan tinggi, tapi mata Suto Sinting tak pernah berkedip, sehingga mengetahui arah gerakan pedang lawan, ia pun bermain dengan kecepatan tinggi, sehingga selain pedang lawan berhasil ditangkisnya terus, juga gerakan mereka tak bisa dilihat oleh orang-orang di sekitar mereka.

Trrang, trang, trang, ziing...! Trang...!

Buuhg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk tampak terpental kebelakang karena sebuah tendangan yang mengenai lambungnya. Suto kehilangan keseimbangan, akibatnya ia terguling-guling karena tendangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar.

Jaraknya yang menjadi tujuh langkah dari Lodang Balak itu membuat Lodang Balak maju menyerang dengan liarnya. Pada saat itu, Suto Sinting baru saja bangkit dan pandangan matanya masih terasa buram, ia tak bisa melihat gerakan lawan yang menebaskan pedangnya kembali. Akhirnya ia memejamkan mata rapat-rapat dan menggerakkan pedangnya menuruti desing angin yang datang menghampirinya. Desing angin itulah gerakan pedang lawan, sehingga Suto Sinting mampu menangkisnya dengan tepat.

Trang, trang, trang, trang... wesss...! Deesss...!

Kali ini pukulan telapak tangan kiri Lodang Balak menghantam dada Suto Sinting dengan telak. Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah namun hanya sempoyongan, tak sempat jatuh seperti tadi.

"Modar kau sekarang, Bangsat! Heeaaat..!" Lodang Balak kian garang. Pedangnya ditusukkan di depan, dan mata Suto yang masih terpejam itu berhasil merasakan angin padat menghampirinya. Dengan cepat ia melompat bersalto ke udara. Wuuss...! Lalu dalam keadaan berjungkir balik di udara pedangnya berkelebat membabat lawan.

Wuuuttt...! Craasss...!

"Aahg...!" terdengar pekik tertahan si Lodang Balak. Punggungnya robek digores ujung pedang.

Suto Sinting berdiri tegak, kini ia membuka mata memandang lawannya yang menyeringai dengan berang. Sekalipun dada Suto tampak membiru bekas pukulan tadi, namun ia masih kelihatan gagah, mampu berdiri dengan tegar.

"Kau sudah terluka, Lodang Balak! Kau harus mundur sesuai peraturan yang kita sepakati tadi."

"Setan bangsat...! Tak ada kata mundur selama aku masih mampu berdiri! Heaaatt...!"

Suto Sinting memegang pedang dengan kedua tangan. 'Gerak Siluman' dipergunakan. Zlaapp...! Gerakan yang luar biasa cepatnya itu bukan saja tak bisa dilihat orang sekelilingnya, namun juga tak bisa dilihat oleh lawan. Tahu-tahu Suto Sinting sudah pindah tempat ke belakang Lodang Balak. Zebb...! Ia masih memunggungi Lodang Balak dengan pedang tetap tergenggam dua tangan. Tapi mata pedangnya semakin berlumur darah.

Lodang Balak diam tak bergerak dengan sedikit membungkuk, ia bagaikan tak berani memutar tubuh untuk berhadapan dengan Suto Sinting. Keadaan diam itu sempat berlangsung selama dua helaan napas, membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi tegang.

Pendekar Mabuk akhirnya menoleh ke belakang. Pada saat itu lawannya mulai limbung, dan akhirnya tumbang dalam keadaan terkapar. Semua anak buah Lodang Balak terperanjat kaget. Mata mereka terbuka lebar-lebar dengan wajah kian tegang. Lodang Balak tak berkutik lagi. Nyawanya melayang pada saat ia jatuh ke tanah dalam keadaan terkapar, kedua tangan membentang sehingga semua orang dapat melihat bahwa perut Lodang Balak robek lebar, isi perutnya sempat tersumbul dan sangat mengerikan.

Melihat Lodang Balak tak bernyawa lagi, orang-orangnya segera melarikan diri ke berbagai arah. Mereka ketakutan ketika mendengar Pendekar Mabuk berseru,

"Siapa lagi yang ingin menyusul Lodang Balak ke neraka?!"

Mereka yang merasa ngeri menghadapi pemuda tampan itu tak tanggung-tanggung memacu kudanya, bahkan ada yang terjungkal jatuh bersama kudanya dan diinjak-injak kuda lainnya. Sementara itu, pihak prajurit Kinanti tersenyum-senyum, bahkan sebagian ada yang bertepuk tangan dan berseru,

"Hidup Pendekar Mabuk...! Ha, ha, ha, ha...!"

Kinanti segera menghampiri Suto Sinting bersama Salju Kelana. Tapi Kinanti tak berani memegang tubuh Suto karena Salju Kelana langsung memeluknya dengan hati girang.

"Aku sudah cemas saat kau terkena pukulannya dua kali," kata Kinanti mengalihkan rasa jengkelnya karena melihat Suto dipeluk Salju Kelana.

Setelah pelukan itu dilepaskan, Suto pun serahkan pedang kepada Kinanti. "Terima kasih atas pinjaman pedangmu. Sayang sekali beratnya kurang seimbang. Masih berat sebelah kiri!" kata Suto Sinting menunjukkan kejeliannya dalam menimbang pedang walau dengan cara memainkannya.

Salju Kelana berkata, "Kupikir kau tak semahir itu dalam memainkan jurus pedang. Aku sempat kaget saat kau menantangnya bertarung dengan pedang."

"Sengaja kutantang begitu supaya ia tidak punya kesempatan untuk melepaskan jurus-jurus ilmu gaibnya yang kata Kinanti cukup berbahaya itu," kata Suto.

Salju Kelana tersenyum, mencubit pipi pendekar tampan yang sudah dikelilingi oleh para prajuritnya Kinanti itu. "Akalmu ada-ada saja untuk memancing kelemahan lawan," kata Salju Kelana setelah mencubit.

"Boleh saja kau memujiku, tapi minum dulu tuakku. Kau tadi terluka!" kata Suto sambil serahkan bumbung tuak kepada Salju Kelana.

Perempuan yang mirip Dyah Sariningrum itu menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu mereka bergegas kembali ke istana. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor kuda yang dipacu cepat. Penunggang kuda itu tak lain adalah Pinasih. Gadis itu datang dengan wajah tegang dan langsung menemui Kinanti dengan masih tetap berada di atas kuda.

"Ratu Jiwandani dibawa lari oleh Demit Lanangi"

"Hahhh...?!" semuanya terpekik kaget dengan wajah menjadi tegang.

"Demit Lanang datang dan tak bisa ditahan oleh prajurit gerbang, ia masuk dan bicara sebentar dengan Gusti Ratu, lalu ia menotok Gusti Ratu dan membawanya pergi!"

"Kau sendiri bagaimana?! Apa tugasmu di istana?!" bentak Kinanti.

"Aku dilumpuhkan lebih dulu, tak bisa bergerak apa-apa, namun aku melihat perbuatan itu, dan aku berteriak-teriak namun semua prajurit rupanya sudah dibungkam dengan ilmu getaran batin si Demit Lanang!"

"Ke mana arah kepergiannya?!" tanya Salju Kelana.

"Ke selatan...!"

"Suto, cepat kita bergerak ke sana! Pasti sang Ratu dibawanya ke benteng Perguruan Darah Surga!"

Kinanti berseru kepada Pinasih, "Tetaplah di istana, siapkan prajurit tamtama untuk menyerang Perguruan Darah Surga! Kami berangkat lebih dulu!"

* * *

TUJUH

BARU menginap semalam di Lembah Birawa, esoknya Suto sudah dihadapkan dengan dua masalah besar; penyerbuan Lodang Balak dan menghadapi hilangnya sang Ratu sendiri, ini sebuah tantangan bagi Pendekar Mabuk untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatasi berbagai kesulitan. Karenanya semangat Suto Sinting dalam mengejar Demit Lanang cukup tinggi. Apalagi ia didampingi Salju Kelana, serasa didampingi Dyah Sariningrum yang amat dirindukan itu. Tak heran lagi jika Suto cukup menggebu-gebu untuk segera sampai di Perguruan Darah Surga.

Perguruan itu terletak di dekat pantai, sebuah bukit yang cukup luas, sebagian lerengnya dibangun benteng kayu sebagai tempat menempa murid-murid perguruan tersebut. Tetapi ketika mereka sampai di benteng perguruan tersebut, ternyata keadaannya sangat sepi. Tak satu pun murid Perguruan Darah Surga yang terlihat mondar-mandir di depan pintu gerbang. Kinanti mengajak mereka untuk mengintai dari kejauhan, dan Kinanti pula yang berbisik kepada Salju Kelana serta Suto Sinting sambil menyatakan keheranan hatinya.

"Biasanya tidak sesepi ini. Paling tidak empat-lima orang berjaga-jaga di depan gerbang, ini satu pun tak ada? Ke mana mereka sebenarnya?"

"Mungkin mengadakan pertemuan penting di dalam benteng," kata Salju Kelana.

"Sekalipun ada pertemuan penting mestinya dimenara ada penjaganya. Tapi keempat menara itu tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana."

"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum kita sampai sini," kata Suto Sinting. "Agaknya kita perlu selidiki lebih dekat lagi."

Mereka pun bergerak mendekati benteng kayu yang tampak kokoh itu. Tak lupa Pendekar Mabuk mengingatkan agar Kinanti dan Salju Kelana tetap menjaga kewaspadaannya. Di balik jajaran pohon-pohon kelapa, mereka bersembunyi memperhatikan keadaan benteng kayu itu. Suto Sinting berkata kepada kedua wanita tersebut,

"Tunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang lewat di depan gerbang atau naik ke menara mengintai suasana di sekitar sini."

Namun sampai beberapa saat lamanya mereka di tempat persembunyian dengan perhatian terpusat ke benteng kayu, ternyata tak ada seorang pun yang lewat atau terlihat di sekitar benteng tersebut. Kinanti mendekati Suto Sinting dan berkata penuh kecurigaan,

"Biasanya papan nama perguruan tergantung diatas pintu gerbang. Tapi kali ini papan nama itu tidak ada."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi memikirkan keterangan tersebut. Salju Kelana berkata setelah beberapa saat diam.

"Aku penasaran ingin menyusup masuk ke sana."

"Jangan gegabah! Siapa tahu keadaan seperti ini adalah jebakan bagi kita," kata Suto Sinting. "Mungkin mereka tahu kalau pihak Ratu Jiwandani akan datang menyerang guna merebut sang Ratu. Mereka buat suasana seperti ini untuk menjebak. Kita perlu hati-hati sekali dalam melangkah. Pertimbangkan masak-masak setiap gerakan!"

Setelah sekian lama mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di benteng itu, Kinanti mengusulkan untuk bergerak lebih dulu menyelidiki keadaan di dalam benteng. Suto Sinting setuju asal ia dan Salju Kelana sudah berada di balik gugusan batu, lebih dekat dengan sisi samping benteng.

Pendekar Mabuk sudah tiga kali menenggak tuaknya sebagai persiapan menyimpan tenaga. Matanya tak berkedip memandangi Kinanti yang mendekat ke arah pintu gerbang benteng, ia siap lepaskan pukulan jarak jauhnya jika terjadi sesuatu pada diri Kinanti. Namun sejauh ini agaknya Kinanti aman-aman saja, sehingga gadis itu memberi isyarat kepada Suto dan Salju Kelana agar ikut mendekat menyusulnya.

"Tak ada sepotong orang pun," kata Kinanti pelan. "Pintu gerbang ini juga dalam keadaan tidak dikunci. Mudah didorong dengan kaki."

"Tunggu, jangan sentuh dulu pintu gerbang ini!" kata Suto Sinting yang berfirasat tak enak dalam hatinya, ia segera memeriksa sekeliling pintu gerbang, memperhatikan tiap pasangan kayu-kayunya, ia mendongak ke atas, dan memandangi rangkaian kayu yang menjadi dinding bagian atas. Rangkaian kayu itu meruncing ke bawah dan mempunyai tali pengait yang dihubungkan dengan bagian belakang pintu gerbang.

"Mundurlah dulu... mundur...!" kata Suto Sinting dengan tenang. Mereka mundur empat langkah. Kemudian Suto Sinting menyentilkan jarinya, menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu menghadirkan kekuatan menendang melebihi tendangan tenaga seekor kuda jantan.

Tebb...! Drakkk...! Pintu gerbang terbuka dalam satu sentakan kuat akibat sentilan 'Jari Guntur'. Dan pada saat pintu terdorong ke dalam membuka, tiba-tiba pasangan kayu runcing yang berjajar itu meluncur turun dengan cepatnya.

Zrabbb...! Jrrubb...!

Kayu-kayu itu menancap di tanah secara serempak. Seandainya ada orang yang membuka pintu gerbang, maka orang tersebut sudah tentu akan mati tertusuk kayu-kayu runcing itu.

"Sebuah jebakan?!" gumam Kinanti dengan mata membelalak lebar.

"Itulah sebabnya tadi kuperingatkan agar jangan menyentuh pintu gerbang. Aku curiga ada sesuatu yang tak beres di depan pintu tersebut."

Kinanti menghela napas dan menghempaskannya panjang-panjang. "Untung kau waspada sekali, kalau tidak nyawaku sudah melayang saat ini."

"Bersiaplah jika ada yang keluar dari dalam sana. Mereka pasti melepaskan serangan beruntun!" kata Suto Sinting yang membuat kedua wanita itu bersiaga menghadapi serangan sewaktu-waktu.

Ternyata serangan yang ditunggu tidak kunjung tiba. Keadaan masih tampak sepi-sepi saja. Hembusan angin menerbangkan dedaunan kering terhempas masuk ke dalam benteng. Setelah merasa tak ada yang datang, Suto memberi isyarat agar mendekati pelan-pelan. Kayu-kayu runcing yang menancap di tanah itu disingkirkan oleh Suto dan Kinanti. Jalan masuk terbuka lebar, keadaan di dalam terlihat jelas, bangunan-bangunannya kosong dan pendopo pun tampak sepi. Kinanti melangkah maju lebih dulu. Tapi tiba-tiba tangan Suto Sinting segera menyambarnya dengan memeluk pinggang Kinanti dan membawanya melompat ke belakang.

"Mundur...!" sentak suara Suto yang membuat Salju Kelana ikut-ikutan menyentak ke belakang.

Ternyata Kinanti telah menginjak pasangan batu yang ditanam dalam tanah. Pasangan itu membuat munculnya jebakan berupa papan-papan berbesi runcing yang menghantam ke arah pintu gerbang dari bagian dalam.

Wuusss...! Prakkk...!

Sebagian papan ada yang menancap di pintu sebelahnya, sebagian lagi mengenai tempat kosong. Kinanti berdebar-debar memandang keadaan tersebut. Terbayang kengerian yang nyaris membuatnya mati terpaku besi-besi runcing pada papan-papan tersebut. Kalau saja Suto Sinting tidak segera menyambarnya, ia akan mati dihujam puluhan besi runcing yang menyerupai paku-paku di papan itu.

Salju Kelana berkata, "Agaknya tempat ini sengaja dipenuhi jebakan maut. Kita harus lebih hati-hati lagi, Suto."

"Ya. Dan melihat suasana di dalam tampak sepi-sepi saja, aku curiga, jangan-jangan mereka sudah pergi!"

"Maksudmu, pergi meninggalkan tempat ini selamanya?"

"Bisa selamanya, bisa pula hanya untuk sementara."

Salju Kelana manggut-manggut dengan gumam kecilnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memeriksa bagian dalam benteng. Ternyata keadaannya benar-benar kosong tanpa manusia satu pun. Tapi tempat itu penuh dengan jebakan beraneka ragam. Salju Kelana hampir saja mati dihantam sekeranjang tombak yang membentuk seperti bola besar dan menghempas dari sisi kanan ke sisi kiri. Untung ia segera disambar oleh Suto Sinting dan berguling-guling di lantai hingga selamat dari ancaman maut itu.

Seluruh ruangan diperiksa, seluruh ruangan pula mempunyai jebakan yang mematikan. Siapa pun yang masuk ke benteng itu tanpa meningkatkan kewaspadaan dan hati-hati, ia akan mati secara mengerikan. Namun berkat kewaspadaan tinggi sang Pendekar Mabuk, mereka bertiga tetap selamat, bahkan selamat pula dari semburan asap beracun yang sangat berbahaya itu.

"Berapa banyak jebakan yang terpasang di sini sebenarnya?" gumam Salju Kelana sambil memandang sekelilingnya dengan penuh keheranan.

"Yang kupikirkan adalah, mengapa tempat ini ditinggalkan oleh orang-orang Perguruan Darah Surga?" ujar Pendekar Mabuk.

"Mungkin karena Demit Lanang membawa lari sang Ratu," kata Kinanti.

"Apakah hanya karena itu mereka harus meninggalkan tempat ini? Mengapa tidak bertahan saja? Bukankah katamu mereka orang-orang yang sulit ditumbangkan?!"

Salju Kelana menyahut, "Kurasa ada sebab lain yang membuat mereka pergi dari tempat ini. Sebab lain itulah yang tidak mudah kita mengerti."

Setelah memeriksa setiap jengkal tanah di dalam benteng itu, akhirnya Suto Sinting memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. "Kita tidak akan memperoleh apa-apa jika masih tetap di sini!" katanya sambil bergegas keluar dari benteng kayu.

Sesampainya di iuar Kinanti berkata dengan wajah cemas, "Lantas bagaimana nasib Ratu Jiwandani? Kemana kita harus mencarinya, Suto?"

"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Kinanti. Tapi barangkali kau ingat bahwa Demit Lanang mempunyai tempat lain yang cocok untuk menyembunyikan sang Ratu?"

"Aku tidak pernah tahu tentang dia. Sang Ratu yang tahu banyak tentang Demit Lanang, karena Maha Guru Teja Biru pernah menceritakan tentang pribadi Demit Lanang kepada sang Ratu."

"Kurasa ada baiknya kalau kita menyusuri pantai, mencari jejak mereka," kata Salju Kelana. "Setidaknya kita periksa keadaan tanah di sekeliling tempat ini, siapa tahu kita bisa temukan jejak kepergian mereka."

"Itu gagasan yang baik!" kata Suto Sinting. "Kita awali dari hutan di belakang dan samping bangunan ini."

Mereka baru saja bergerak, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu. Padamulanya Kinanti menyangka derap kaki kuda itu adalah kedatangan orang-orangnya yang siap memberi bantuanvtenaga. Tetapi setelah derap kaki kuda itu terdengar tak begitu banyak, mungkin hanya dua-tiga kuda yang berlari cepat, mereka menjadi curiga dan menyangkal pendapat Kinanti.

"Kurasa bukan orang-orang Lembah Birawa," kata Salju Kelana. "Jumlah kaki kuda itu tidak banyak. Dan agaknya mereka dalam keadaan terburu-buru. Mungkin karena hati mereka dibakar kemarahan yang meluap-luap."

"Dari mana kau tahu kalau mereka dibakar kemarahan?"

"Kudengar jantung mereka berdetak cukup cepat," jawab Salju Kelana yang memang pendengarannya sudah terlatih untuk menyimak suara apa pun, hingga sangat peka terhadap suara detak jantung seseorang.

"Ada tiga orang yang menuju kemari," kata Suto Sinting.

"Kau yakin hanya tiga orang?!" tanya Kinanti.

"Yakin sekali, karena yang kudengar hanya tiga detak jantung!"

Kinanti heran mendengar Suto dan Salju Kelana bicara tentang detak jantung, ia tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus 'Lacak Jantung' yang mampu mendengarkan detak jantung orang selain dirinya dan teman-temannya. Bahkan denyut nadi pun bisa didengar oleh Suto Sinting jika jurus 'Lacak Jantung' itu sedang dipergunakan.

Dugaan Suto memang benar. Tiga orang penunggang kuda datang ke benteng kayu itu. Mereka berwajah dingin, semuanya memancarkan murka yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Tiga orang itu rata-rata berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya kurus-kurus, matanya cekung-cekung, rambutnya ada yang panjang sepunggung, ada yang sebatas tengkuk, ada yang hanya sepundak lewat sedikit. Mereka sama- sama memakai ikat kepala dari kain merah.

Pakaian mereka rata-rata berwarna gelap. Satu orang memakai jubah berlengan panjang warna abu-abu, satu lagi mengenakan jubah tak berlengan warna hitam, dan yang satu lagi mengenakan jubah belahan samping warna hijau tua. Jubah belahan samping itu seperti kain yang dilubangi untuk masuk kepala, tanpa ada bentuk dan potongan model apapun.

"Celaka! Rupanya mereka yang membuat Demit Lanang buru-buru pindah dari tempat ini?!" bisik Kinanti kepada Pendekar Mabuk. Bisikan itu juga didengar oleh Salju Kelana.

"Siapa mereka itu, Kinanti?"

"Mereka musuh utama Maha Guru Teja Biru yang dikenal dengan nama: Tiga Malaikat Batu."

"Aku baru mendengar julukan itu," bisik Salju Kelana. "Mereka adalah; Denawa, Sogar, dan Brada. Mereka orang-orang Teluk Sangar, ilmunya tinggi-tinggi, kebal senjata dan tak mampu ditembus sinar apa pun. Barangkali Demit Lanang sudah mengetahui rencana kedatangan mereka, sehingga segera memindahkan pusat Perguruan ke tempat lain." "Bukankah Demit Lanang mempunyai jurus 'Bintara Jingga' yang cukup dahsyat itu?"

"Jurus tersebut tak akan bisa mengenai Tiga Malaikat Batu. Demit Lanang pasti tahu hal itu dan karenanya ia memilih kabur dari tempat ini."

Tiga Malaikat Batu turun dari kudanya. Pendekar Mabuk memandang dengan tenang, tapi hatinya berkata penuh keheranan. "Gila! Mereka tidak punya bayangan, padahal matahari bersinar cukup terang, mengapa mereka sampai tidak punya bayangan? Hmmm... kurasa mereka bukan manusia biasa, mungkin masyarakat negeri siluman?!"

"Mana si keparat Demit Lanang itu?!" hardik Sogar yang memakai jubah hitam.

"Kami sendiri mencarinya, tapi kami temukan tempat ini kosong," jawab Suto Sinting dengan kalem.

"Jangan berlagak menjadi orang asing di perguruan sendiri! Aku tahu kalian adalah murid Perguruan Darah Surga!"

"Kau keliru," Suto sunggingkan senyum tipis. "Kami dari pihak lain yang ingin menyerang Demit Lanang."

Brada yang matanya lebih kecil dan lebih dingin itu berkata datar. "Apakah ini sebuah siasat banci Demit Lanang?!"

"Bukan, ini keadaan yang mengecewakan. Kita sama-sama kecewa karena menemukan tempat ini kosong. Kalau kalian tak percaya, silakan masuk dan memeriksa keadaan di dalam. Tapi hati-hati, banyak jebakan yang dapat mematikan orang. Kami hampir saja mati karena jebakan-jebakan maut yang dipasangnya."

Denawa yang memakai jubah abu-abu itu berkata, "Mereka perlu dipaksa, Brada!"

Brada mengacungkan tangannya ke arah Suto Sinting. Dari ujung jarinya yang lemas itu melesat sinar putih menghantam dada Suto Sinting. Clapp...! Suto Sinting kaget dan segera berkelit ke samping sambil menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya.

Trabb...! Wuuttt...!

Sinar putih itu berbalik arah menjadi lebih besar. Namun arahnya segera membelok naik ketika hampir kenai tubuh Brada. Slapp...! Sinar itu pun melesat ke langit dan lenyap tanpa suara.

Suto Sinting terkesiap melihat sinar itu membelok arah, seakan membentur dinding kaca yang melambungkan arah gerakan sinar. Sedangkan Tiga Malaikat Batu itu terkesiap melihat bumbung tuak itu mampu membalikkan gerakan sinar menjadi lebih besar dan lebih cepat lagi.

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"

"Aku yang bernama Suto Sinting."

"Hmmm... muridnya si Gila Tuak itu?" sahut Sogar.

"Benar! Aku murid si Gila Tuak," jawab Suto Sinting dengan tegas.

Ketiga orang berwajah dingin itu manggut-manggut. Mereka saling pandang sebentar, lalu Denawa berkata kepada Sogar, "Setahuku murid Gila Tuak adalah bocah tanpa pusar! Bisa saja anak itu mengaku-aku murid si Gila Tuak."

Suto Sinting mendengar dan tersenyum geli. Ia berkata dalam senyumnya, "Apakah perlu kutunjukkan perutku bahwa aku tidak punya pusar?!"

Salju Kelana buang muka menyembunyikan senyum, demikian pula Kinanti yang menatap Salju Kelana dengan senyum dikulum.

"Tak perlu kau tunjukkan perutmu, Anak muda," kata Sogar, "Cukup kau tunjukan sekali lagi jurus warisan Gila Tuak, sebab kami mengenal jurus-jurusnya."

"Apakah kau tak akan menyesal jika sampai kugunakan jurus yang menjadi ciri aliran silat Gila Tuak?!"

"Aku yang akan melayanimu, Nak," kata Denawa sambil melangkah maju, jaraknya menjadi lima langkah dari Suto Sinting. Sikap berdirinya menampakkan keangkuhan seorang berilmu tinggi.

"Seranglah aku dengan jurus warisan Gila Tuak."

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera gunakan jurus 'Gerak Siluman', menerjang Denawa dengan kecepatan yang tak bisa dilihat mata siapa pun. Zlaappp...!

Brruss...!

Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di belakang mereka dalam jarak cukup jauh. Denawa sendiri terpental dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Hidung orang itu keluarkan darah yang membuat Sogar dan Brada terperangah kaget.

Zlaappp...! Suto Sinting tahu-tahu sudah ada di tempat semula, bersebelahan dengan Salju Kelana. Tiga Malaikat Batu kembali terperangah memandangi kehadiran Suto Sinting yang ternyata telah menggenggam dua kain merah. Dua kain merah itu adalah ikat kepala Denawa dan Sogar yang sempat disambar dengan kecepatan tinggi sekali.

Suto Sinting tersenyum menunjukkan dua kain merah di kanan kirinya. Denawa segera datang dengan menghapus darah dari hidungnya memakai lengan jubah, ia berkata kepada kedua temannya namun matanya tertuju pada Suto Sinting.

"Dia memang murid Gila Tuak."

"Ya, dia gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang tidak kita miliki," kata Brada. "Pantas dia bisa mengembalikan sinar putihku tadi."

Sogar berkata kepada Suto, "Kembalikan ikat kepala kami. Aku tak pernah bermusuhan dengan gurumu, Suto!"

Dengan sikap baik, Suto Sinting mengembalikan ikat kepala mereka. Permusuhan pun mereda, bahkan Brada bertanya kepada Pendekar Mabuk,

"Urusan apa kau ada di sini bersama dua kekasihmu itu?"

Salju Kelana dan Kinanti tersenyum masam. Suto Sinting justru tertawa tanpa suara. Tapi ia segera menjelaskan perkara sebenarnya, dituturkan dengan sejelas-jelasnya, sehingga ketiga orang yang berjuluk Tiga Malaikat Batu itu menggumam lirih.

"Kami pun ada persoalan dengan Demit Lanang. Delapan murid kami dilenyapkan dengan sinar 'Bintara Jingga'-nya itu. Terlepas dia tahu itu murid kami atau tidak, tapi kami akan menuntut balas atas kematian delapan murid kami."

"Kita sama-sama kehilangan buronan," kata Suto Sinting. "Tapi aku yakin dalam waktu tak lama dapat menemukan di mana Demit Lanang bersembunyi."

"Kita berlomba," kata Brada. "Siapa yang menemukan Demit Lanang lebih dulu, dia yang berhak membunuhnya!"

"Asal Ratu Jiwandani jangan sampai cedera oleh serangan kalian. Jika sang Ratu cedera, aku akan menuntut kalian!" Suto menggertak secara halus.

"Aku paham!" ucap Denawa pendek, ia segera naik kepunggung kuda, diikuti oleh Sogar dan Brada. Kemudian mereka pergi tanpa pamit lagi.

Kinanti dan Salju Kelana memandang dengan hati menyimpan rasa kagum kepada Suto Sinting. Tapi Kinanti tak kuasa memendam kekagumannya, sehingga la lontarkan lewat kata.

"Demit Lanang saja lari terbirit-birit karena tak sanggup melawan Tiga Malaikat Batu, namun kau justru membuat mereka secara tak langsung menaruh hormat padamu, Suto! Kau benar-benar luar biasa!"

"Siapa dulu pendampingnya," kata Salju Kelana membanggakan diri.

Kinanti mencibir namun tak berani seketus kemarin.

"Sekarang yang kita pikirkan bukan siapa pendampingku, tapi di mana Ratu Jiwandani dibawa oleh Demit Lanang. Ke mana kita harus mencari si Demit Lanang itu?!"

Salju Kelana dan Kinanti sama-sama diam termenung memikirkan langkah berikutnya.

* * *

DELAPAN

PENCARIAN itu memakan waktu sehari semalam, mereka sampai bermalam di hutan. Selama perjalanan Salju Kelana tak pernah mau jauh dari Suto Sinting, sehingga Kinanti sering merasa iri. Namun rasa iri itu tidak berani diungkapkan secara terang-terangan, karena dalam hatinya ia mulai takut melawan Salju Kelana setelah melihat kehebatan Salju Kelana saat melawan Balada.

Di ujung pagi, perjalanan mencari Demit Lanang dilanjutkan. Namun mereka terperanjat kaget saat menuruni sebuah lembah. Mereka temukan dua pakaian yang tergeletak di rerumputan. Mereka tahu, pakaian itu tidak sengaja digeletakkan di situ oleh pemiliknya, sebab di samping pakaian mereka juga terdapat sebilah golok dan cambuk. Kinanti amat mengenali senjata dan pakaian tersebut.

"Ini pakaian Setan Bejat dan Hantu Sesat!" Pendekar Mabuk jadi ingat saat perkenalan dengan Kinanti yang kala itu terdesak serangan Hantu Sesat dan si Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis mengenang perkenalan itu, lalu ia berkata kepada Kinanti. "Agaknya musuhmu sudah terlibat bentrokan dengan Demit Lanang."

Salju Kelana berkerut dahi, "Dari mana kau tahu?"

"Pakaian ini seperti ditinggalkan oleh raganya begitu saja. Pasti mereka terkena jurus 'Bintara Jingga'. Aku tak sangsi lagi, mereka dilenyapkan oleh si Demit Lanang!"

"Pendapatku pun begitu," kata Kinanti. "Apakah ini berarti kita sudah mendekati tempat persembunyian Demit Lanang?"

"Belum tentu," kata Salju Kelana. "Tapi setidaknya kita tidak salah arah. Mungkin di balik gunung itulah mereka bersembunyi."

Suto Sinting memandang ke arah gunung yang menjulang tinggi di depannya. Letaknya cukup jauh, namun untuk mencapai kaki gunung tidak sampai memakan waktu setengah hari jika menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. "Haruskah aku mendului mereka ke sana? Hmmm... mungkin Salju Kelana bisa menyusul tak berapa lama, tapi Kinanti akan tertinggal jauh," pikir Suto Sinting.

Langkah berikutnya menjadi terhenti lagi karena suara gaduh di semak-semak sebelah selatan mereka. Salju Kelana yang menahan langkah mereka, karena dialah yang mempunyai pendengaran paling tajam.

"Ada sesuatu yang gemerisik di sebelah selatan kita," bisik Salju Kelana.

"Periksalah, siapa tahu salah satu dari murid Perguruan Darah Surga." Suto bicara kepada Kinanti.

Maka gadis itu segera berkelebat ke selatan. Pendekar Mabuk menunggu di tempat bersama Salju Kelana. Namun perhatian mereka tidak lepas dari Kinanti karena khawatir gadis itu mendapat serangan berbahaya dari arah lain.

"Dia cemburu sekali kalau aku bermanja denganmu," kata Salju Kelana tanpa memandang Suto Sinting.

"Aku tidak merasakan kecemburuannya," Suto berlagak tidak tahu.

"Aku merasakan betul. Sepertinya dia ingin kau menjadi suami Ratu Jiwandani."

"Menurutmu bagaimana?" pancing Suto Sinting.

"Terserah kau. Kau lelaki, bebas memilih," jawab Salju Kelana bernada sedikit sinis.

Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam. "Aku tidak akan memilih Ratu Jiwandani untuk menjadi istriku."

"Kenapa?" pancing Salju Kelana lagi. "Apakah dia kurang cantik bagimu?"

"Cukup cantik. Tapi sayang aku sudah punya calon istri sendiri."

Salju Kelana berkerut dahi. "Siapa perempuan yang kau maksud itu?"

"Dyah Sariningrum, Ratu di Negeri Puri Gerbang Surgawi yang bergelar Gusti Mahkota Sejati."

"Dyah Sari.... Ohh...?!" Salju Kelana terkejut. "Jadi... ketika Lodang Balak menyangkaku Dyah Sariningrum itu yang dimaksud adalah... adalah."

"Calon Istriku," sahut Suto, kemudian menceritakan secara singkat tentang Dyah Sariningrum yang merupakan perempuan yang sudah ditakdirkan menjadi istrinya oleh garis perjalanan hidup mereka.

Salju Kelana tundukkan kepala dan merasa sedih.

"Tapi selama kau belum mendapatkan seorang suami, aku tetap akan mendampingimu. Karena wajahmu persis sekali dengan Dyah Sariningrum. Kita memang bisa bersama-sama, tapi tidak bisa bersatu dalam kemesraan abadi."

Salju Kelana menarik napas berusaha menenangkan gemuruh yang ada di hatinya, ia tidak bicara apa pun, sampai Kinanti akhirnya datang sambil menenteng seorang lelaki agak pendek berpakaian biru, badannya agak gemuk dan rambutnya pendek mengenakan ikat kepala biru juga.

"Aku tak tahu murid siapa dia, tapi kutemukan dalam keadaan mengintip kalian berdua," kata Kinanti sambil melemparkan tubuh itu bagai melemparkan sarung basah.

Brruk...!

Suto memandang dengan dahi berkerut heran. "Bagus Sepasar...?!" gumamnya lirih.

"Siapa orang ini? Kau kenal dengannya?" tanya Salju Kelana.

"Ya, aku pernah kenal dengannya. Dia bernama Bagus Sepasar, tapi nama aslinya Wirusida. Kami berkenalan saat aku menemukan seseorang yang tergantung kakinya karena terkena jerat yang dipasang pemburu."

"Ak... aku dari tadi mau mendekatimu, tapi aku takut, Suto."

"Apa yang kau lakukan di sini, Paman Bagus Sepasar?!"

"Aku melarikan diri, Suto," jawab Wirusida dengan wajah menyedihkan. "Aku tak berani tinggal di desaku yang dulu kuceritakan telah kosong itu."

"Kenapa kau tak berani menempati desa itu?"

"Karena desa itu sekarang sudah dikuasai oleh Demit Lanang."

"Ooh...?!" Salju Kelana dan Kinanti terpekik kaget dan menjadi tegang.

"Benarkah Demit Lanang ada di desamu?"

"Benar, Suto. Berani sumpah ketiban janda, aku melihat sendiri Demit Lanang bersama orang-orangnya menempati desa itu. Dan di sana kulihat dia membawa seorang wanita cantik, mungkin calon istrinya."

"Dia adalah ratuku!" sahut Kinanti dengan penuh semangat.

"Kalau begitu keteranganmu tak salah lagi, Paman Wirusida. Terima kasih atas keterangan ini, karena kami sedang sibuk mencari Demit Lanang yang ternyata pindah ke desamu!"

"Apakah kau ingin datang ke sana, Suto?"

"Benar, Paman! Kami akan merebut Ratu Jiwandani."

"Kalau begitu, ikutlah aku. Kita jangan lewat persawahan, nanti kedatangan kalian diketahui para penjaga di sana. Kita melewati punggung bukit saja. Disana keamanannya lemah. Kau bisa langsung menuju ke bekas rumah lurah kami!"

"Apakah Demit Lanang menempati rumah itu?" tanya Salju Kelana.

"Benar, karena rumah itu besar dan bagus. Perempuan cantik itu juga ada di situ bersamanya!"

"Kita bergerak sekarang juga sebelum sang Ratu menjadi korban kebiadabannya!" kata Suto Sinting, lalu kedua wanita cantik yang bersamanyabitupun bergegas mengikuti langkah Bagus Sepasar. Mereka tak bisa berlari cepat, karena Bagus Sepasar akan tertinggal dan mereka bisa salah arah. Mau tak mau mereka mengikuti kecepatan lari Bagus Sepasar yang dirasakan oleh Suto Sinting seperti larinya seekor bekicot.

Matahari mulai tampak memerah di sisi barat, pertanda sore mulai tiba dan senja sebentar lagi akan datang. Sisa cahaya masih menguntungkan bagi mereka karena mereka sudah tiba di punggung bukit. Atap-atap rumah mulai kelihatan menghitam di sana-sini.

Bagus Sepasar berhenti, yang lain pun ikut berhenti. Mereka berlindung di balik pohon besar berdaun rimbun. Bagus Sepasar berkata kepada Suto Sinting. "Aku tak berani ikut mendekat ke desa itu, karena takut ditangkap oleh mereka. Kalian saja yang ke sana!"

"Baiklah. Kau diam dan bersembunyi di sini saja. Tapi tunjukkan yang mana atap bekas rumah kepala desamu itu?!"

"Itu... yang atapnya panjang dan mempunyai empat pohon kelapa di belakang rumah! Kelihatan dari sini, bukan?"

Mereka memandang ke arah yang ditunjuk oleh Bagus Sepaaar. Atap rumah tersebut tampak jelas dari tempat mereka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera berkata kepada Salju Kelana,

"Aku akan menerobos masuk ke sana, kau di sini saja."

"Tidak, aku harus ikut denganmu. Aku tak ingin kau celaka!" kata Salju Kelana menampakkan kesetiaannya.

"Aku juga harus mendampingimu, karena yang akan kau selamatkan adalah ratuku," kata Kinanti yang punya rasa pengabdian tinggi kepada ratunya.

Suto Sinting tak dapat menolak kemauan mereka. Akhirnya ia berkata, "Kalian boleh ikut, tapi hindari pertemuan dengan Demit Lanang. Biar aku yang hadapi Demit Lanang. Jika ada kesempatan menerobos masuk, cepat cari tahu di mana Ratu Jiwandani, lalu bawa lari kemari dan tunggu aku menyelesaikan urusan dengan Demit Lanang."

Kedua wanita cantik yang tidak punya rasa takut maupun gentar itu segera anggukkan kepala. Kemudian mereka bergegas menuruni bukit itu dengan menyelinap ke balik pepohonan. Ternyata rumah yang dituju mereka dijaga ketat oleh beberapa orang yang berkeliling dengan senjata masing-masing. Suto Sinting menyuruh kedua perempuan itu merendahkan badan agar tak terlihat oleh penjaga.

"Lakukan penyerangan yang melumpuhkan lawan tapi tidak timbulkan suara gaduh," bisik Suto Sinting.

"Akan kugunakan jurus 'Darah Beku' untuk membuat mereka tak bergerak selama satu malam," bisik Salju Kelana.

"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus 'Surya Pembius' yang membuat mereka akan tertidur cukup lama," timpal Kinanti seakan ingin tunjukkan kebolehan melumpuhkan lawan tanpa suara.

Mereka makin bergerak mendekati rumah tersebut. Arah gerakan mereka berpencar. Suto berada di sisi kanan, menuju ke jalan samping rumah. Dua penjaga sedang bicara dengan kelengahan yang menguntungkan Salju Kelana. Perempuan berjubah putih itu segera lepaskan jurus 'Darah Beku' berupa sinar bintik-bintik putih seperti serbuk beling yang melesat dari ujung jari telunjuk dan jari tengah yang merapat.

Class...! Srrubb...!

Kedua penjaga itu tetap berdiri dengan keadaan saat bicara. Tapi mereka sudah tidak bisa bergerak lagi. Bahkan berkedip pun tak bisa. Darahnya membeku dan lama-lama kulit tubuhnya mengeluarkan busa salju. Seorang penjaga lain menghampiri orang yang telah dibungkus salju samar-samar itu. Ia menyangka kedua temannya masih bisa diajak bicara.

"Hei, kalian ini jaga kok malah ngobrol? Kalau ada bahaya bagaimana?! Lho...?! Lho...?.!"

Saat orang itu bingung melihat keadaan kedua temannya, Salju Kelana cepat lepaskan jurus 'Darah Beku' kembali. Class...! Maka orang itu pun bernasib sama dengan kedua temannya.

Sementara itu, Kinanti bergerak makin mendekati pintu belakang rumah. Di sana ada dua penjaga yang matanya bergerak penuh waspada. Kinanti segera muncul terang-terangan. Namun sebelum kedua orang itu berseru dan bergerak, tiba-tiba dari punggung tangannya keluar sinar kuning bercampur asap.

Wuss...! Sinar itu menyebar dan menerpa wajah kedua penjaga. Mereka memaksakan diri untuk bergerak dengan gelagapan, namun kejap berikut mereka jatuh terpuruk di tempat dan tak berkutik lagi bagaikan orang tertidur dengan nyenyak. Mereka menjadi korban jurus 'Surya Pembius' yang hanya dimiliki oleh orang-orangnya Ratu Jiwandani. Jurus itu hanya bisa digunakan secara sembunyi-sembunyi. Karena jika ditangkis dengan tenaga dalam lain akan menimbulkan ledakan cukup keras.

Beberapa orang dilumpuhkan oleh Salju Kelana dan Kinanti. Pendekar Mabuk belum lepaskan jurusnya satu pun, ia hanya menyelinap menyusuri sisi rumah. Namun tiba-tiba seseorang yang ada di rumah seberang melihatnya dan berseru keras,

"Hoi...! Mau apa kau?!"

Orang tersebut hendak lepaskan pukulan jarak jauh, tapi oleh Suto dilumpuhkan dengan jurus 'Jari Guntur'-nya, berupa sentilan tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam seperti tendangan kuda. Tess...! Dubb...!

Brraakkk...!

Orang itu terjengkang ke belakang dan menabrak pintu. Suara gaduh menjadi pusat perhatian yang lain. Akibatnya kemunculan Pendekar Mabuk di situ segera diketahui oleh mereka.

"Ada orang menyusup! Ada orang masuk ke wilayah kita!" teriak salah seorang dari mereka.

Pendekar Mabuk segera dikepung oleh beberapa orang bersenjata. Namun pemuda tampan itu tetap tenang. Setiap wajah dipandanginya. Saat itulah ia telah pergunakan jurus 'Alih Raga', seperti yang digunakan saat melawan Setan Bejat dan Hantu Sesat. Maka ketika beberapa orang maju menyerang Suto dengan golok dan senjata tajam lainnya, Suto hanya diam saja.

Tapi teman-teman mereka menjerit kesakitan, dan saling berjatuhan. Bahkan beberapa orang tampak melepaskan napas terakhir untuk kemudian tidak bernyawa lagi. Semakin banyak Suto diserang dengan senjata tajam, semakin banyak pula orang-orangnya Demit Lanang berjatuhan tanpa nyawa.

"Hentikan! Dia menggunakan jurus gaib!" seru salah seorang. "Panggil Maha Guru kita!"

"Aaaa...!" salah seorang memekik karena ada yang menyerang Suto dengan tombak dari belakang. Tombak itu menancap di tubuh Suto, namun segera jatuh ke tanah dan orang di depannya yang memekik sambil rubuh, lalu tak bernyawa lagi.

Suara gaduh itu membuat Demit Lanang melompat keluar dari dalam rumah dengan menendang pintu. Brrakk...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Suto Sinting. "Siapa kau, Anak ingusan?!" ucapnya dengan nada datar dan wajah dingin. Pandangan matanya pun sedingin es.

"Aku utusan dari Lembah Birawa!" kata Suto tegas sekali. "Tujuanku adalah mengambil Ratu Jiwandani!"

"Hmmm... kau harus melangkahi mayatku jika ingin mengambil caion istriku itu!"

"Kusanggupi syarat itu!" kata Suto Sinting dengan tetap tenang.

Wuuttt...! Demit Lanang menerjang Suto dengan gerakannya yang seperti orang menghilang itu. Suto Sinting pun menghindar dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.

Zlapp...! Di dalam rumah terjadi suara ledakan. Kemudian Kinanti keluar dengan memanggul Ratu Jiwandani yang agaknya dalam keadaan tertotok.

"Sutooo...!" teriaknya.

"Cepat lari...!" balas Suto.

"Kejar dia!" perintah Demit Lanang dengan wajah mulai gusar.

Salju Kelana muncul menghadang para pengejar, sementara itu Kinanti membawa lari Ratu ke bukit.

"Jahanam kau, Bocah! Rupanya kau belum tahu jurus 'Bintara Jingga'-ku ini, hah?!"

Merasa dirinya terancam bahaya sinar Jingga yang tak bisa dihindari, Suto Sinting segera lepaskan jurus 'Napas Tuak Setan' dari mulutnya. Amarahnya dibangkitkan, dan mulut pun menganga lebar. "Heaaah...!"

Tepat pada waktu itu Demit Lanang lepaskan sinar Jingga dari tangannya dan sinar itu membalik arah mengenai dirinya sendiri karena hembusan badai yang datang secara tiba-tiba. Begitu kuatnya badai 'Napas Tuak Setan' sehingga mampu membalikkan sinar Jingga kepada pemiliknya. Akibatnya, tubuh Demit Lanang sendiri lenyap tinggal pakaiannya.

Namun angin badai tetap mengamuk merusak alam dan lingkungannya. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon tumbang, beberapa anak buah Demit Lanang terhempas dan terbanting tak bisa terselamatkan lagi. Pakaian Demit Lanang ikut melayang entah ke mana. Desa menjadi rusak, langit menjadi hitam bergulung-gulung mendung tebal. Kilatan cahaya petir menyambar-nyambar bagai mau kiamat.

Tetapi orang yang ada di belakang Suto tetap selamat, karena badai hanya menghempas ke arah depan Suto. Mereka yang ada di belakang Suto selain sisa anak buah Demit Lanang, juga Salju Kelana dan Kinanti yang menghentikan larinya sambil memanggul Ratu Jiwandani.

Jurus maut 'Bintara Jingga' itu akhirnya dikalahkan oleh jurus 'Napas Tuak Setan' yang jarang digunakan Pendekar Mabuk jika ia tidak dalam keadaan sangat terpaksa. Merasa rumah-rumah di desa itu sudah tidak dihuni oleh pemiliknya lagi, maka Suto Sinting pun berani lepaskan 'Napas Tuak Setan', yang berarti menggulung habis para pengikut Demit Lanang.

Dengan begitu, berakhirlah riwayat kejayaan Demit Lanang bersama jurus 'Bintara Jingga'-nya, sedangkan sisa anak buahnya yang masih hidup melarikan diri ketakutan, dan Ratu Jiwandani pun selamat dari cengkeraman Demit Lanang.

"Tak akan kulupakan peristiwa ini sepanjang hidupku," kata Ratu Jiwandani kepada Suto Sinting. "Seharusnya perjanjian di atas lontar itu kutulis dan kutepati bersamamu, bukan bersama Maha Guru Teja Biru."

"Lupakan soal perjanjian itu, karena aku sendiri punya perjanjian dengan Ratu Puri Gerbang Surgawi; Dyah Sariningrum," kata Suto mengakhiri perjumpaannya dengan Ratu Jiwandani. Ia segera pergi meninggalkan Lembah Birawa bersama Salju Kelana, perempuan cantik yang mirip dengan Dyah Sariningrum.

SELESAI