Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 97 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 97
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANANGKIL termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak akan mencuri, tidak akan memeras dan tidak akan berhubungan lagi dengan perempuan itu.”

“Nah, Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi saksi,” desis perempuan itu.

“Nah, sebaiknya kau percaya. Aku akan turut mengawasi. Jika ia masih bertabiat buruk, maka aku minta kau ikhlaskan suamimu untuk aku serahkan kepada orang banyak. Hukumannya tidak akan dibatasi dengan paugeran apa pun juga,” berkata Ki Bekel kemudian.

Namun ternyata perempuan itu ragu-ragu. Ia memang merasa ngeri mendengar ancaman Ki Bekel itu. Bagaimanapun juga laki-laki jahat itu adalah suaminya.

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “sekarang pulanglah dengan membawa kesaksian kami. Mudah-mudahan keluargamu menjadi semakin baik.”

Perempuan yang datang ke banjar itu dengan diseret oleh beberapa laki-laki itu agaknya mampu menempatkan dirinya. Ia merasa lebih baik diam saja selama terjadi pembicaraan antara suami laki-laki itu akan dapat menjadi mata gelap. Karena itu maka yang bisa dilakukannya adalah menunggu suami isteri itu meninggalkan banjar padukuhan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Panangkil dan isterinya telah meninggalkan banjar itu. Mereka berjalan begitu saja di dalam hujan yang lebat dengan caping blarak diatas kepala.

Setelah keduanya pergi, maka Ki Bekel mulai berbicara dengan perempuan yang kedinginan itu. “Nah, sekarang kau bagaimana?" bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu termenung sejenak. Namun kemudian ia justru telah menangis.

“Kenapa kau menangis lagi?” bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu tidak segera menjawab. Namun kemudian sambil mengusap air matanya ia berkata, “Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan.”

“Kau tentu tahu, akibat yang kau sandang ini adalah hasil perbuatanmu sendiri,” berkata Ki Bekel.

Perempuan itu mengangguk.

“Nah, sekarang kau harus mencoba mencari penyelesaian,” berkata Ki Bekel pula.

Tetapi yang terdengar adalah isak tangisnya. Katanya, “Laki-laki itu tidak mau lagi menerima aku di rumahnya. Panangkil ternyata telah menipuku. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.”

“Apakah kau masih mempunyai orang tua?” bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu mengangguk. Tetapi katanya, “Ayah dan ibuku sudah tua sekali.”

“Tetapi bukankah mereka mempunyai tempat tinggal?” bertanya Ki Bekel pula.

“Ya. Mereka mempunyai tempat tinggal,” Jawab perempuan itu.

“Jika demikian lebih baik kau kembali saja kepada mereka. Agaknya itu lebih baik daripada kau dilemparkan ke sungai yang banjir itu,” berkata Ki Bekel pula.

Perempuan itu berpikir sejenak. Tetapi nalarnya benar-benar buntu. Karena itu, masih sambil menangis ia berkata, “Baiklah. Besok aku akan kembali kepada kedua orang tuaku.”

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “Cobalah untuk memperbaharui cara hidupmu. Kau harus jujur menghadapi setiap orang. Jika kau tidak hidup dalam satu kenyataan sewajarnya, maka kau akan dapat mengalami persoalan seperti sekarang ini.”

“Aku mengerti Ki Bekel,” jawab perempuan itu.

“Nah. Biarlah kau diijinkan untuk berada di banjar ini semalam.” berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada penunggu banjar itu, “Apakah isterimu dapat meminjamkan selembar pakaiannya kepada perempuan yang kedinginan itu?”

“Tetapi, tetapi biarlah Ki Bekel yang mengatakan kepadanya. Jika aku sendiri yang mengatakan, maka dapat terjadi salah paham,” jawab penunggu banjar itu.

Ki Bekel tersenyum. Ia mengenal keluarga penunggu banjar itu. Maka Ki Bekel itu-pun berkata, “Baiklah. Biar aku yang mengatakannya.”

Karena Ki Bekel yang mengatakannya, maka isteri penunggu banjar itu-pun tidak berkeberatan untuk meminjamkan pakaiannya sepengadeg. Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel-pun telah minta diri bersama bebahu yang menyertainya. Namun kepada Penunggu banjar itu, Ki Bekel juga menganjurkan agar memberikan pinjaman pakaian bagi kedua anak muda yang juga menjadi basah kuyup itu.

Tetapi malam itu, amben di serambi telah dipergunakan oleh perempuan yang telah merasa kehilangan segala-galanya itu. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu terpaksa tidur di pendapa banjar dengan selembar tikar pandan. Terasa dinginnya memang meresap sampai kesungsum. Namun bagi kedua anak muda itu, tidur di banjar terasa lebih baik dari pada di tempat terbuka disiram dengan hujan yang lebat.

Namun beberapa saat kemudian hujan-pun mulai reda. Ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat tertidur, maka fajar-pun mulai mengintip. Namun meskipun hanya sebentar, tetapi kesempatan itu telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sebaik- baiknya.

Ketika matahari terbit, maka perempuan yang tidur di banjar itu-pun telah minta diri. Ketika ia akan berganti dengan pakaiannya yang masih basah, maka isteri pemilik banjar itu berkata, “Sudahlah, pakai saja pakaianku. Bukan pakaian yang baik dan mahal. Sekedar untuk menahan dingin. Bawa pakaianmu yang basah. Mungkin dapat kau keringkan di jalan.”

Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Ternyata ia tidak dapat menahan air matanya, bahwa masih ada orang yang merasa belas kasihan kepadanya, karena ia merasa betapa dosa telah tertimbun di dalam dirinya.

Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata masih belum meninggalkan barak. Mereka telah menjemur pakaiannya lebih dahulu. Apalagi semua pakaian yang dibawanya, yang memang hanya selembar dan selembar kain panjang yang dibawanya selain sebuah celana, telah basah.

“Apakah aku diperbolehkan berada di banjar sampai pakaianku kering.”

Penunggu banjar itu tertawa. Katanya, “Tentu saja. Apalagi kau telah berbuat sesuatu di padukuhan ini. Kau telah menghindarkan satu pembunuhan keji. Untuk itu, seisi padukuhan ini tentu akan berterima kasih kepadamu.”

“Terima kasih untuk apa? Kami tidak berbuat apa-apa. Hanya sekedar melakukan kewajiban.” sahut Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Semoga perempuan itu selamat.”

Penunggu banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Ya. Setelah kau selamatkan semalam, mudah-mudahan ia selamat sampai ke rumah orang tuanya.”

Mahisa Pukat menangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Mahisa Semulah yang sibuk menjemur pakaiannya.

Sementara penunggu banjar itu berkata, “Anak-anak muda. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat seperti isteriku. Ia dapat memberikan sepengadeg pakaiannya kepada perempuan itu, karena ia masih mempunyai pakaian yang dapat aku berikan kepada kalian.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tertawa. Dengan nada tinggi Mahisa Pukat berkata, “Aku sudah berterima kasih, bahwa semalam aku tidak kedinginan dengan mengenakan pakaian yang basah kuyup oleh hujan itu.”

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian tersenyum pula. Dan bahkan tertawa. Sambil menunggu ternyata isteri penunggu banjar itu telah merebus ketela pohon pula seperti semalam. Karena itu, maka mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah sempat makan ketela rebus dan minum wedang jahe yang hangat dengan gula kelapa.

Ketika matahari naik sepenggalah, maka pakaian kedua anak muda itu-pun telah menjadi agak kering. Karena itu, maka mereka-pun segera berganti pakaian. Bahkan mereka sempat mencuci pakaian yang dipinjamnya dari penunggu banjar itu.

“Sudahlah,” berkata penunggu banjar itu, “Kalian tidak usah mencucinya.”

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Biarlah. Jika matahari terang, pakaian itu akan segera kering.”

Penunggu banjar itu tidak mencegah lagi. Nampaknya kedua anak muda itu tidak mau meninggalkan pakaian yang kotor itu begitu saja setelah mereka memakainya semalam.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah minta diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka akan menemui Mahendra yang telah lebih dahulu berangkat bersama para prajurit yang menjemputnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berharap bahwa sebelum gelap mereka sudah akan berada di Kotaraja. Meskipun mereka berangkat agak siang, tetapi jarak yang harus ditempuh tidak lagi memerlukan waktu satu hari penuh. Setelah semalaman hujan turun dengan lebat, maka hari itu justru terasa cerah. Jalan-jalan masih basah. Namun langit nampak bersih. Bahkan tidak berawan.

“Air di langit telah habis tercurah semalam,” desis Mahisa Semu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Ya. Tidak ada yang tersisa.”

Namun, ketika mereka melalui jalan yang menjelujur di sebelah tanggul sungai yang banjir, Mahisa Pukat berkata, “Lihat, jika semalam perempuan itu dilemparkan ke dalam air, mungkin kita akan menemukan mayatnya tersangkut di akar serumpun bambu yang hampir dihanyutkan banjir itu.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mengerikan. Untunglah kita sempat mencegahnya.”

“Laki-laki itu nampaknya memang tidak dapat dipercaya,” desis Mahisa Pukat.

“Tetapi perempuan itu-pun memang perempuan laknat. Ia mengkhianati seorang laki-laki yang memberi apa saja yang dimintanya,” desis Mahisa Semu, “Tetapi ia terbentur pada sikap seorang laki-laki laknat pula.”

“Satu pantulan sikap yang menghukumnya,” berkata Mahisa Pukat, “Tetapi penderitaan batinnya adalah hukuman yang sudah cukup berat.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia-pun justru merenungi tentang perempuan yang hampir saja ditelan oleh banjir yang sisanya masih nampak. Air sungai itu masih keruh dan deras. Bahkan masih nampak putaran-putaran meskipun tidak sebesar semalam.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu di jalan yang semakin rata dan terpelihara baik. Tetapi lewat tengah hari, kedua anak muda itu mulai merasa haus sehingga keduanya telah singgah di sebuah kedai di pinggir jalan. Setelah makan dan minum secukupnya, serta kuda mereka-pun telah mendapat minum serta makan, maka keduanya siap melanjutkan perjalanan.

Tetapi sepintas mereka masih sempat mendengar dua orang berkuda yang menambatkan kudanya berbicara di antara mereka. Seorang di antara mereka berkata, “Singasari telah tidak lagi sekuat sebelumnya. Semakin lama menjadi semakin kehilangan wibawanya. Justru karena Singasari merasa terlalu kuat sebelumnya.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan kemudian. Tetapi pembicaraan yang pendek itu sangat menarik perhatian mereka. Sambil meneruskan perjalanan, maka Mahisa Pukat berkata, “Satu sikap yang perlu diperhatikan oleh Singasari.”

“Mereka menilai Singasari yang mulai surut,” berkata Mahisa Pukat.

“Kita harus menghubungkan dengan kegiatan Kediri sekarang ini,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Kepergian mereka ke Singasari antara lain juga karena persoalan yang menyangkut sikap Kediri. Meskipun sikap itu bukan sikap Kediri seutuhnya, namun persoalannya akan menyangkut hubungan selanjutnya antara Singasari dan Kediri. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu terdiam. Mereka seakan-akan sedang menilai keadaan yang nampaknya menjadi semakin suram.

Sementara itu, kuda-kuda mereka-pun berpacu terus menuju ke Singasari. Langit yang bersih mulai digayuti awan yang kelabu. Namun keduanya menduga bahwa hujan masih lama turun. Bahkan karena angin yang agak kencang dari Selatan, awan itu akan hanyut ke Utara. Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu memperlambat derap kuda-kuda mereka. Dari kejauhan mereka melihat beberapa orang berkuda menuju ke arah mereka. Nampaknya sekelompok prajurit yang sedang meronda.

Ketika mereka berpapasan, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berhenti dan menepi. Mereka memberi jalan kepada sekelompok orang berkuda yang ternyata memang prajurit Singasari. Namun pemimpin dari sekelompok prajurit itu telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk berhenti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi termangu-mangu. Sementara pemimpin sekelompok prajurit itu mendekat sambil bertanya, “Anak-anak muda. Apakah kalian bertemu dengan dua orang berkuda?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian menjawab, “Tidak Ki Sanak. Rasa-rasanya kami hari ini tidak berpapasan dengan dua orang berkuda. Memang ada beberapa kali kami berpapasan. Tetapi satu-satu. Nampaknya orang-orang padukuhan yang pulang dari menjual hasil buminya.”

“Bukan,” sahut pemimpin prajurit itu, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi dua orang berkuda seperti kalian yang sedang menempuh perjalanan.”

Tiba-tiba saja Mahisa Pukat teringat kedua orang di kedai itu. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Kami memang tidak berpapasan. Tetapi di sebuah kedai kami melihat beberapa ekor kuda tertambat. Apakah mungkin ada di antara mereka itu.”

“Kedai yang mana?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia-pun kemudian bertanya, “Siapakah anak muda berdua ini?”

“Kami datang dari padepokan Bajra Seta. Kami akan menemui seorang keluarga kami di Kotaraja,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Anak-anak muda. Aku tidak ingin mengganggu perjalananmu. Tetapi kami ingin melakukan tugas kami dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan Singasari. Karena itu, maka aku minta kalian berdua bersedia menunjukkan kepada kami, dimana letak kedai itu.”

“Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.

Tetapi prajurit itu tetap saja berkata, “Kami minta Ki Sanak tidak berkeberatan membantu sekelompok prajurit dalam tugasnya.”

“Tetapi bagaimanakah nantinya, jika kedua orang itu kemudian mendendam kami. Berbeda terhadap kalian, karena kalian adalah prajurit.”

“Kalian tidak akan diganggu. Apalagi kami hanya ingin kalian menunjukkan kedai itu. Jika perlu kalian tidak usah mendekati kedai itu. Apalagi menunjukkan orangnya,” berkata pemimpin prajurit itu.

“Bagaimana mungkin aku dapat menunjukkan orangnya karena aku belum pernah melihatnya,” jawab Mahisa Pukat.

Namun pemimpin prajurit itu memang agak memaksa. Katanya, “Aku minta Ki Sanak bersedia membantu prajurit.”

Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia masih sempat bertanya, “Kenapa kalian cari kedua orang itu?”

“Keduanya orang Kediri yang katanya mencari saudaranya. Tetapi ternyata tidak ketemu,” jawab pemimpin prajurit itu.

“Hanya karena kedua orang itu mencari saudaranya di Kotaraja? Apakah ada keberatannya jika hal itu dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu saja tidak. Jika kami mencarinya tentu ada pertimbangan-pertimbangan lain,” jawab pemimpin prajurit itu.

“Tetapi kenapa baru sekarang. Tidak saat kedua orang itu masih berada di Kotaraja?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Nampaknya kalian terlalu banyak ingin mengerti,” berkata pemimpin prajurit itu. Namun katanya, “Tetapi baiklah aku menjawabnya. Untuk terakhir kalinya.” pemimpin prajurit itu terdiam. Namun kemudian katanya, “Kami baru mendapatkan laporan tentang sikap kedua orang itu setelah keduanya pergi. Kami mendapat tugas untuk mencarinya. Nah, jelas. Sekarang kalian tidak usah bertanya lagi. Marilah, kita sudah terlalu banyak kehilangan waktu.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak dapat menolak. Mereka-pun kemudian memutar kudanya dan berjalan seiring dengan para prajurit. Ternyata mereka belum terlalu jauh dari kedai itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka kedai itu-pun sudah mulai nampak.

Sementara itu, orang-orang yang ada di kedai itu-pun telah melihat debu yang mengepul dari kejauhan. Agaknya mereka dapat melihat, bahwa yang datang adalah sekelompok prajurit Singasari. Ketika sekelompok prajurit itu kemudian berhenti di depan kedai itu, maka pemimpin kelompok itu bersama dengan dua orang pengiringnya telah memasuki kedai itu. Ia melihat beberapa orang berada di dalam kedai itu. Namun pemimpin sekelompok prajurit itu agaknya menjadi ragu-ragu.

Karena itu, maka ia-pun telah memanggil seorang prajurit lagi mendekatinya sambil bertanya, “Yang mana orang yang kau maksud?”

Prajurit itu memandang setiap orang yang ada di dalam kedai itu. Namun tidak seorang-pun yang dapat dikenalinya. Bahkan prajurit itu kemudian menggeleng sambil berdesis, “Tidak ada di antara mereka.”

Dari pintu samping pemimpin prajurit itu memang melihat beberapa ekor kuda yang tertambat. Namun agaknya kuda orang lain. Bukan orang yang dimaksud.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian telah sempat mengamati kuda yang tertambat. Mereka masih melihat kedua ekor kuda dari orang-orang yang telah memperbincangkan kemunduran Singasari. Namun ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat kedalam kedai itu, mereka tidak melihat kedua orang penunggangnya.

Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mengatakan sesuatu. Mereka tidak berani memberikan keterangan apapun, karena mereka tidak tahu pasti apakah yang sebenarnya terjadi.

Pemimpin prajurit itu telah minta ijin kepada pemilik kedai untuk melihat-lihat isi kedainya. Bahkan sampai ke halaman di belakang kedai itu. Namun mereka tidak melihat orang lain kecuali yang sedang makan dan minum di dalam kedai itu.

Ketika mereka yakin bahwa yang mereka cari tidak ada, maka para prajurit itu-pun telah meninggalkan kedai itu. Kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, pemimpin prajurit itu-pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih anak muda. Maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian. Kalian telah berusaha membantu tugas kami, para prajurit.”

Mahisa Pukat-pun mengangguk hormat sambil berkata, “Agaknya itu sudah menjadi kewajiban kami.”

Ketika para prajurit itu melanjutkan perjalanan, Mahisa Semu-pun berdesis, “Meskipun ketika kami diminta untuk melakukan kewajiban ini kami merasa agak segan.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kita telah kehilangan waktu. Tetapi kita kemudian dapat berbangga bahwa kita sudah membantu para prajurit.”

Mahisa Semu-pun tertawa pula. Katanya kemudian, “Beberapa saat lagi, para prajurit itu tentu akan kembali. Mereka tentu tidak akan melakukan pelacakan tanpa ujung. Jika mereka sampai di padukuhan itu dan tidak seorang-pun dapat memberikan petunjuk maka mereka tentu akan kembali.”

“Ya. Mereka tentu segera kembali,” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi rasa-rasanya kuda-kuda itu masih belum berkurang jumlahnya. Namun kedua orang yang telah berbicara tentang kemunduran Singasari itu telah tidak ada di dalam kedai itu.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah. Kita melanjutkan perjalanan.”

Tetapi ketika mereka sudah siap untuk berangkat, dari pintu kedai itu mereka melihat seseorang turun dari atap rumah itu. Disusul seorang lagi meloncat pula. Ketika keduanya melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka seorang di antaranya berkata, “Bukankah kedua orang itu yang berpapasan dengan kita saat kita datang?”

“Bukan berpapasan. Saat itu kita menambatkan kuda kita, keduanya meninggalkan kedai ini,” berkata yang seorang.

“Jika demikian, tentu kedua anak muda itulah yang telah memberitahukan keberadaan kita di sini.” geram orang pertama.

“Ya. Tentu keduanya,” sahut yang lain.

Pemilik kedai itu-pun tiba-tiba saja telah keluar pula dari kedainya dan berkata, “Ya. Keduanya adalah anak-anak muda yang baru saja keluar dari kedai ini. Mereka kembali dengan membawa sekelompok prajurit.”

“Anak iblis,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “Jadi kalian yang telah membawa prajurit-prajurit itu kemari he?”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai menyadari, bahwa orang-orang itu telah menunjuk kepada mereka. Karena itu, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Itu tidak benar. Kami hanya mengatakan ada beberapa ekor kuda di kedai ini. Itu-pun justru karena mereka bertanya apakah kami bertemu dengan orang-orang berkuda.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “Kenapa kau turut campur persoalan orang lain?”

“Kami tidak sengaja mencampurinya,” jawab Mahisa Pukat.

“Jadi apa yang kau lakukan?” bertanya orang lain.

“Kami sekedar memenuhi perintah para prajurit itu untuk menunjukkan kedai ini,” jawab Mahisa Pukat.

Kedua orang itu menjadi semakin marah. Seorang di antara mereka-pun berkata, “Jika kau tidak memberikan laporan tentang kami, maka para prajurit itu tentu tidak akan sampai kemari.”

“Apa yang aku laporkan tentang kalian? Apakah kalian melakukan kejahatan di sini dan kebetulan aku melihat sehingga aku memberikan laporan tentang kejahatan kalian? Aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat kalian berhenti dan masuk ke kedai ini seperti orang-orang lain. Apa yang kau laporkan? Apa yang aku lihat? Dan apakah yang sebenarnya terjadi? Sikap kalian justru menimbulkan kecurigaan padaku, bahwa kalian memang melakukan kejahatan,” jawab Mahisa Pukat yang juga mulai menjadi marah.

Wajah kedua orang itu menjadi merah. Demikian pula pemilik kedai itu. Dengan geram seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Siapa sebenarnya kalian berdua? Petugas sandi atau apa?”

“Aku bukan apa-apa. Aku sedang pergi ke Singasari untuk mengunjungi ayahku,” jawab Mahisa Pukat.

“Kalian memang anak-anak yang malang. Justru karena kalian terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain dan karena kalian terlalu banyak tahu tentang kami, maka biarlah kalian berhenti sampai di sini. Biarlah ayahmu menunggu sampai batas hidupnya karena ia tidak akan melihatmu lagi.”

“Apa artinya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kau berdua membuat aku marah. Karena itu, maka kalian harus mati,” berkata orang itu.

“Begitu mudahnya membunuh orang seperti membunuh seekor ayam untuk dijual di kedai itu,” geram Mahisa Pukat, “Kau kira kami ini apa?”

“Jadi kau mau apa?” bertanya orang itu, “Kami sudah sepakat untuk menghukummu. Membunuhmu dan mengubur mayatmu di belakang kedai ini. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu tidak akan membantumu.”

“Mereka akan dapat menjadi saksi perbuatanmu,” desis Mahisa Pukat.

“Mereka adalah kawan-kawanku,” jawab orang itu.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Di dalam kedai itu ada lima orang. Pemilik kedai dan dua orang pembantunya nampaknya adalah pembantu-pembantu orang-orang itu pula selain kedua orang itu sendiri. Sehingga dengan demikian semuanya ada sepuluh orang.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk,” berkata orang itu, “Marilah, pergilah kebelakang kedai itu. Kau akan diperlakukan dengan baik. Kami bersama-sama akan membantu menggali lubang itu. Kemudian kalian berdua berbaring dengan tenang. Kami akan menempatkan ujung pedang kami di dada kalian, tepat diarah jantung. Kami berjanji tidak akan menimbulkan kesakitan pada kalian menjelang kematian kalian.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar tersinggung. Mereka tidak lagi berpikir tentang sepuluh orang. Apapun yang terjadi, mereka tidak mau dihinakan begitu saja. Jika mereka harus mati, maka biarlah mereka mati dengan pedang di tangan. Dengan gigi yang gemeretak Mahisa Pukat menjawab, “Jika kalian ingin mati, matilah. Nyawaku nilai sama dengan lima orang di antara kalian.”

“Anak iblis,” orang itu hampir berteriak, “Jadi kau lebih senang mati dalam penderitaan daripada mati dengan tenang.”

“Cukup,” bentak Mahisa Pukat, “Atau kau memang hanya ingin berbicara, menakut-nakuti kemudian bersembunyi lagi di atap?”

Kedua orang itu tidak menunggu lagi. Keduanya-pun segera bersiap, sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih sempat menambatkan kudanya menepi. Nampaknya memang tidak ada penyelesaian lain. Kedua orang yang dicari oleh para prajurit itu benar-benar akan membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang dianggapnya telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit Singasari. Tetapi Mahisa Pukat-pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Mahisa Semu.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu-pun mulai menempatkan diri menghadapi Mahisa Pukat dan yang lain Mahisa Semu. Dengan lantang seorang di antara mereka berteriak sambil menyerang, “Kau memilih jalan yang buruk.”

Tetapi Mahisa Pukat yang mendapat serangan itu sudah siap menghadapinya, karena itu maka dengan tangkas pula ia-pun telah menghindar. Bahkan sekaligus menyerang. Lawannya menggeliat kemudian berputar. Kakinya terayun mendatar, namun sama sekali tidak menyentuh Mahisa Pukat yang merendah sambil menyapu kaki lawannya yang lain. Namun lawannya cukup tangkas. Dengan satu kakinya ia telah melenting menghindari sapuan kaki Mahisa Pukat.

Sementara itu Mahisa Semu-pun telah bertempur pula. Ia-pun telah berloncatan dengan tangkas pula. Meskipun anak muda itu baru mulai, tetapi ia sudah cukup mempunyai pengalaman sehingga ia-pun segera menyesuaikan diri dengan serangan-serangan lawannya yang ternyata juga bukan seorang yang berilmu tinggi.

Dalam waktu yang pendek, baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Semu telah berhasil menguasai lawan-lawannya. Bahkan mereka telah mendesak sehingga lawan-lawannya itu seakan-akan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bergerak. Mereka setiap kali menjadi bingung menghadapi kecepatan gerak anak-anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang itu-pun segera memberi isyarat kepada orang-orang yang lain yang ada di kedai itu untuk membantu mereka.

“Ingat,” berkata Mahisa Pukat, “Nyawaku nilainya sama dengan lima orang di antara kalian. Bahkan lebih. Karena itu, jika kalian ingin membunuh kami berdua, maka kalian-pun akan mati. Atau bahkan kalian semua akan mati, dan kami berdua akan tetap hidup.”

Kedua orang itu berteriak marah. Sementara kawan-kawannya, bahkan termasuk pemilik kedai dan dua orang pembantunya telah mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan ternyata mereka semuanya telah mengacungkan senjata mereka masing-masing. Beberapa helai pedang, sebuah bindi dan baik pemilik kedai itu maupun kedua pembantunya ternyata bersenjata kapak. Agaknya mereka memang saudara seperguruan yang membuka kedai itu untuk tujuan tertentu.

“Kau tidak akan dapat mengelak lagi,” geram pemilik kedai itu, “Sebenarnya aku sudah tidak sabar lagi untuk membunuhmu. Mungkin kemenangan kecilmu itu membuatmu berbangga. Tetapi kapak-kapak kami akan mengoyak leher kalian berdua. Kau tidak usah bermimpi untuk dapat membunuh kami semua. Jika kau berhasil membunuh seorang saja di antara kami, maka kau benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Aku akan menyembahmu sampai ke anak cucu.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia berkata, “Kau akan benar-benar menjadi budakku sampai ke anak cucu. Aku tidak akan hanya membunuh seorang. Tetapi semuanya. Kecuali kau, karena kau akan menjadi budakku sampai ke anak cucumu.”

“Anak iblis kau,” pemilik kedai itu menjadi sangat marah. Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan keduanya justru menantang mereka dengan berani.

Karena itu, maka pemilik kedai yang tiba-tiba saja justru mengambil alih pimpinan itu memberi isyarat, agar orang-orang yang mengepung kedua orang anak muda itu bergerak semakin merapat. Mahisa Pukat mempertahankan sepuluh orang yang telah mengepung mereka itu satu persatu. Wajah-wajah yang garang dan sikap yang kasar.

“Ternyata aku berhadapan dengan sekelompok petugas sandi dari Kediri,” berkata Mahisa Pukat.

“Kau boleh mengigau apa saja menjelang kematianmu,” geram pemilik kedai itu.

Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Ia-pun segera mempersiapkan diri menghadapi orang-orang yang telah mengepungnya.

Demikianlah, sejenak kemudian bertempuran-pun telah terjadi. Pemilik kedai itu telah menyerang dengan garangnya. Disusul oleh kedua orang pelayannya. Sementara itu, yang lain masih saja termangu-mangu di sekitar arena pertempuran itu. Mereka masih menilai apa yang terjadi.

Sementara itu, sebenarnyalah mereka menganggap pemilik kedai dan kedua orang pelayannya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, karena sebenarnyalah mereka adalah petugas sandi yang mendapat kepercayaan untuk mengawasi Kotaraja Singasari. Kedai itu tidak lebih dari kedok yang menyamarkan tempat pertemuan para petugas sandi yang bertugas mengamati Kotaraja Singaraja. Sedangkan pemilik kedai itu adalah orang yang mengatur segala-galanya bagi para petugas sandi itu.

Sejenak kemudian, pertempuran-pun menjadi semakin sengit, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertempur berpasangan menghadapi ketiga orang yang bersenjata kapak itu. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak membiarkan diri mengalami kesulitan sehingga mereka-pun mempergunakan pedang mereka pula. Pemilik kedai itu memang sempat terkejut melihat pedang Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk menilainya, karena Mahisa Pukat justru telah menyerangnya.

Dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sendiri tidak mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Mahisa Semu-pun masih juga mampu bertahan dalam pertempuran itu, karena lawan-lawannya baru tiga orang yang bergerak. Dua orang yang bertempur lebih dahulu telah bergeser menepi dan bahkan bergantian menyaksikan pertempuran itu.

Namun menurut penilaian Mahisa Pukat, jika yang lain turun pula ke arena, maka Mahisa Semu akan segera mengalami kesulitan. Tetapi untuk sementara Mahisa Pukat masih belum mengambil langkah-langkah penyelamatan. Ia masih berharap bahwa Mahisa Semu akan mampu mengatasi segala kesulitan yang bakal datang.

Sebenarnyalah, ketiga orang bersenjata kapak itu juga tidak mampu menekan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan sekali-sekali ketiganya harus berloncatan menjauhi kedua orang anak muda itu.

Pemilik kedai yang mendapat tugas untuk mengatur segala sesuatunya mengenai pengamatan atas Kotaraja itu, ternyata tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengalahkannya anak-anak muda yang semula dianggapnya tidak banyak berarti itu. Karena itu, maka pemilik kedai itu-pun telah memberikan isyarat kepada semua orang-orangnya untuk bergerak.

“Kita tidak mempunyai banyak waktu,” berkata pemilik kedai itu.

Dengan demikian, maka sepuluh orang itu-pun telah bergerak bersama-sama. Mereka melangkah dengan hati-hati mendekati pusat lingkaran dengan senjata teracu.

“Kita harus dengan cepat menyeretnya dan menguburnya di belakang kedai ini,” berkata pemilik kedai itu, “Sebentar lagi, iring-iringan prajurit itu agaknya akan kembali setelah mereka yakin tidak akan menemukan apa yang mereka cari.”

Serentak sepuluh orang itu-pun bergerak. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun tidak sekedar menunggu. Dengan tangkasnya keduanya justru meloncat menyambar orang-orang yang mengepung mereka itu. Dengan demikian maka pertempuran-pun segera telah berlangsung dengan sengitnya. Sepuluh orang yang berusaha membunuh kedua orang anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Mereka bukannya orang-orang yang sama sekali tidak berdaya. Itulah sebabnya maka beberapa saat kemudian, maka Mahisa Semu benar-benar mengalami kesulitan. Betapapun Mahisa Pukat mengerahkan segenap kemampuannya, memancing lawan agar perhatian mereka sebagian terbesar tertuju padanya, namun Mahisa Semu masih saja mengalami kesulitan.

Bahkan sejenak kemudian, ujung pedang seorang di antara mereka telah menyentuh kulit Mahisa Semu. Memang tidak menimbulkan luka yang mencemaskan. Tetapi seleret luka itu telah menitikkan darah. Mahisa Semu mengeram oleh kemarahan yang mulai memanasi darahnya. Tetapi bagaimana-pun juga, ia harus mengakui keterbatasannya. Bahkan ilmunya masih jauh dari ilmu yang dimiliki oleh Mahisa Pukat.

Kesepuluh orang lawannya, nampaknya dapat membaca kelemahan kedua orang anak muda itu. Karena itu, serangan-serangan berikutnya justru lebih banyak ditujukan kepada Mahisa Semu. Mahisa Pukat-pun mengerti perhitungan ladannya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempercepat pertempuran itu dengan menundukkan lawan-lawannya.

Ketika Mahisa Semu harus berloncatan mengambil jarak untuk menghindari serangan lawan-lawannya, bahkan tajam kapak pemilik kedai itu juga telah menyentuh kulit Mahisa Semu, maka Mahisa Pukat telah benar-benar menjadi marah. Ia-pun kemudian telah melepaskan ilmunya yang seakan-akan tersembunyi dibalik kemampuannya dalam ilmu pedang.

Mahisa Pukat-pun kemudian telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya sehingga dengan demikian maka perlawanan mereka-pun akan segera mengendor.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat-pun telah menghentakkan kemampuan ilmu pedangnya. Sambil berloncatan maka pedangnya bergerak menyambar-nyambar, berputar, kemudian berayun menyilang, mematuk dan sekali-sekali menebas ke arah leher.

Dengan demikian maka tekanan terhadap Mahisa Semu-pun sedikit mengendor. Namun beberapa orang telah mendapat kesempatan untuk dengan cepat berusaha menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.

Mahisa Semu memang harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghadapi lawan-lawannya yang mempunyai perhitungan yang justru semakin menyulitkannya. Mereka justru berusaha sejauh mungkin untuk menekan dan menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.

Tetapi Mahisa Pukat yang bagaikan meloncat-loncat berterbangan mengelilingi arena itu memang agak mempersulit gerak lawan-lawannya. Tetapi hampir semuanya di antara mereka berpikir, bahwa dengan caranya itu, Mahisa Pukat tidak akan mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama. Beberapa saat lagi, anak muda itu tentu akan kehabisan tenaga dan dengan demikian maka mereka akan dengan mudah menyelesaikannya.

“Bahkan mungkin kami akan dapat menyelesaikan kedua-duanya bersamaan,” berkata pemilik kedai itu dengan para pembantunya yang tanggap telah memancing agar Mahisa Pukat bergerak lebih banyak. Bahkan ada di antara mereka yang memancing Mahisa Pukat untuk berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Dengan demikian mereka mengharap agar Mahisa Pukat dengan cepat kehilangan sebagian besar dari tenaganya.

Mahisa Pukat memang berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Pedangnya menyambar-nyambar. Setiap kali terdengar dentang senjatanya beradu. Hampir setiap orang di antara sepuluh orang itu, pernah membenturkan senjatanya dengan pedang Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Semu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan langkah-langkah Mahisa Pukat yang panjang dan garang.

Sebenarnyalah Mahisa Pukat memang dengan sengaja membiarkan dirinya terpancing dengan gerakan-gerakan panjang. Dengan demikian, maka Mahisa Semu akan mendapat kesempatan bergerak lebih luas, sementara lawannya yang berjarak jauh, tidak akan menekannya dengan ketat. Sedangkan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk menyentuh mereka seorang demi seorang.

Beberapa orang di antara kesepuluh orang itu dengan geramnya telah berusaha untuk menghentikan putaran pedang Mahisa Pukat. Beberapa kali terjadi benturan-benturan yang keras. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak berminat lagi untuk melemparkan senjata lawan-lawannya.

Meskipun demikian, tetapi sekali sekali Mahisa Semu memang mengalami kesulitan. Segores luka lagi telah menyilang di punggungnya. Tidak terlalu dalam, tetapi memanjang melintang.

Mahisa Pukat benar-benar menjadi cemas. Namun luka-luka di tubuh Mahisa Semu sama sekali tidak mengurangi tenaga dan kemampuannya. Ilmu pedangnya masih mendebarkan lawan-lawannya, sementara Mahisa Pukat bertempur bagaikan seekor burung sikatan berburu bilalang.

Sepuluh orang yang dengan geramnya berusaha membunuh kedua orang anak muda itu menjadi semakin bernafsu ketika mereka melihat darah yang mengembun di tubuh Mahisa Semu bercampur dengan keringat. Mereka semakin pasti, bahwa mereka akan dapat menyelesaikan kedua orang anak muda yang mereka anggap telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit Singasari.

Sebenarnyalah, Mahisa Semu memang menjadi semakin terdesak. Selain darahnya yang mengalir, tenaganya-pun mulai susut. Apalagi semakin kuat ia mengerahkan tenaganya, maka darah-pun menjadi semakin deras mengalir dari tubuhnya.

“Jangan menyesal anak muda,” geram pemilik kedai itu, “Kalian berdua akan mati dan akan kami kuburkan di belakang kedai ini. Tetapi karena kalian telah melawan, maka jalan kematian kalian akan menjadi sangat buruk. Mungkin kalian tidak pernah membayangkan bahwa kalian akan mati muda dengan cara yang mengerikan sekali, karena kalian akan merasakan betapa gelapnya lubang kubur itu. Untuk beberapa saat kalian akan tetap hidup meskipun kalian telah ditimbuni dengan tanah dan bebatuan.”

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Namun Mahisa Pukat justru bergerak lebih cepat lagi. Disentuhnya setiap ujung pedang lawan-lawannya dan setiap kali sentuhan itu berusaha diulanginya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika keadaan Mahisa Semu menjadi semakin parah, maka beberapa orang di antara sepuluh orang itu merasa aneh dengan dirinya sendiri. Mereka tidak lagi setangkas sebelumnya. Meskipun mereka dapata mengerti bahwa tenaga mereka akan susut, tetapi tentu tidak akan secepat yang terjadi.

Satu dua orang yang luput dari sentuhan senjata Mahisa Pukat memang masih tetap garang. Namun Mahisa Semu tidak lagi merasa betapa beratnya tekanan lawan-lawannya. Ketika tinggal satu dua orang yang menyerangnya dengan garang, maka Mahisa Semu masih mampu mengatasinya dengan ilmu pedangnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat berusaha untuk menyentuh pula senjata dari mereka yang masih tetap bertempur dengan garangnya. Mereka yang masih belum dipengaruhi oleh ilmunya yang mampu menyerap tenaga dan kemampuan lawan-lawannya.

Mula-mula mereka sama sekali tidak menghiraukan sentuhan-sentuhan pedang Mahisa Pukat. Mereka mengira bahwa tenaga Mahisa Pukat memang sudah menjadi susut. Karena itu, maka sentuhan- sentuhan pedangnya tidak lagi menggetarkan senjata lawannya.

Namun yang terjadi kemudian adalah sama sekali tidak mereka ketahui sebab-sebabnya. Tenaga mereka telah menjadi susut dengan cepat. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh orang itu menjadi tidak berbahaya sama sekali bagi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Mahisa Pukat sengaja melepaskan ilmunya dan tidak lagi berusaha menghisap sisa tenaga yang ada. Tetapi Mahisa Pukat telah berbisik ditelinga Mahisa Semu, “Kita bertahan sampai para prajurit itu kembali.”

“Ya,” jawab Mahisa Semu.

“Apakah luka-lukamu berbahaya?” bertanya Mahisa Pukat

“Tidak. Hanya terasa menjadi pedih oleh keringat,” jawab Mahisa Semu.

“Tenagamu mulai susut,” desis Mahisa Pukat.

“Bukan karena darah yang mengalir terlalu banyak,” jawab Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar hanya sekedar bertahan. Tetapi sepuluh orang itu tidak lagi terasa garang. Gerak mereka menjadi lamban sekali. Ayunan senjata mereka tidak lagi menimbulkan desir angin. Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak merasa perlu lagi untuk mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka melayani lawan-lawan mereka dengan sekedar bergeser menghindar dan berloncatan.

“Jangan lari!” pemilik kedai itu masih berteriak.

Mahisa Pukat justru tertawa sambil menjawab, “Apakah kau akan mampu mengejar aku? Aku tidak akan lari. Tetapi kau-pun tidak akan mampu menangkap aku.”

Pemilik kedai itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin meloncat, menerkam Mahisa Pukat. Tetapi ketika hal itu dilakukan justru ia hampir saja jatuh terjerembab. Sepuluh orang itu rasa-rasanya menjadi kelelahan dan kehilangan tenaga mereka. Karena itu, maka mereka-pun telah mengumpat-umpat kasar.

Apalagi ketika mereka melihat debu di kejauhan. Mereka menyadari bahwa para prajurit itu telah kembali ketika mereka merasa kehilangan jejak buruan mereka.

Dengan lantang Mahisa Pukat berkata, “Mahisa Semu. Tahan mereka, sehingga tidak seorang-pun yang melarikan diri.”

Orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu memang menjadi bingung. Satu dua di antara mereka memang ingin melarikan diri. Tetapi Mahisa Semu dan Mahisa Pukat selalu berhasil menahan mereka dan menyeretnya kembali kearena perkelahian itu. Agaknya sepuluh orang yang menjadi lemah itu tidak juga mampu untuk berlari lebih cepat dari jangkauan tangan Mahisa Semu dan Mahisa Pukat.

Ada di antara mereka yang telah melemparkan senjatanya untuk menyatakan diri tidak terlibat dalam pertempuran itu. Namun Mahisa Semu akan dapat menunjukkan senjata-senjata yang telah dilemparkan itu. Dengan demikian, ketika sekelompok prajurit itu kembali dari perburuan mereka yang gagal, maka mereka heran melihat apa yang telah terjadi.

Pemimpin prajurit itu-pun telah bertanya dengan lantang, “Apa yang terjadi di sini?”

“Ternyata dugaan kami benar,” berkata Mahisa Pukat, “Mereka telah mendendam kami dan berusaha untuk membunuh kami berdua.”

“Lalu?” desak pemimpin sekelompok prajurit itu.

“Kami terpaksa melawan,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Ia memang ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata Mahisa Pukat itu. Namun sebelum ia menyatakan sesuatu, prajurit yang-mengenali dua orang buruan itu-pun dengan serta merta berkata, “Itulah mereka. Dua orang yang kita cari.”

“Kenapa tiba-tiba keduanya ada di sini?” bertanya pemimpin sekelompok prajurit itu.

“Mereka bersembunyi di atap,” jawab Mahisa Pukat, “Sementara itu, ternyata pemilik kedai ini serta orang-orang yang aku kira sedang membeli minuman dan makanan itu adalah kawan-kawan mereka.”

Pemilik kedai itu merasa tidak ada gunanya untuk membantah. Anak muda yang seorang itu telah terluka. Luka-luka itu akan dapat ikut berbicara tentang diri mereka. Sebenarnyalah pemimpin prajurit itu juga melihat luka di tubuh Mahisa Semu. Karena itu maka ia-pun dengan cepat dapat mengambil kesimpulan bahwa memang telah terjadi pertempuran didepan kedai itu. Atas permintaan pemimpin prajurit itu, Mahisa Pukat telah menceritakan apa yang telah terjadi. Ia-pun menunjukkan luka-luka di tubuh Mahisa Semu.

“Jadi kalian berhasil mengalahkan sepuluh orang itu?” bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.

“Mungkin hanya satu kebetulan,” jawab Mahisa Pukat.

Namun pemimin prajurit itu melihat bahwa sepuluh orang itu seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk meneruskan pertempuran, sementara kedua orang anak muda itu masih kelihatan tegar, meskipun seorang di antara mereka terluka.

Namun untuk meyakinkan kenyataan yang dihadapinya, pemimpin prajurit itu-pun bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian berdua anak muda.”

“Kami datang dari sebuah padepokan yang jauh. Kami ingin mengunjungi ayahku yang telah lebih dahulu pergi ke Singasari,” jawab Mahisa Pukat.

“Siapakah nama ayah kalian. Barangkali aku pernah mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Ayahku seorang pedagang keliling. Namanya Mahendra.” jawab Mahisa Pukat.

“Ki Mahendra, adik seperguruan Mahisa Agni dan Witantra yang telah tidak ada lagi?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Ya. Agaknya itulah ayahku, adik seperguruan paman Witantra, bukan paman Mahisa Agni,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Aku tahu. Ki Mahendra berada di istana. Aku-pun menjadi percaya atas kenyataan yang aku hadapi. Sepantasnya jika kalian dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus. Jika saja kalian bukan anak Ki Mahendra, mungkin aku masih bimbang untuk mengakui kenyataan yang terjadi ini.”

Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun ia-pun berkata, “Terserah orang-orang itu kepada kalian. Jangan dipaksa untuk terlalu banyak bergerak. Mereka memang telah kehilangan sebagian dari kekuatan mereka. Karena itu, maka jika kalian membawanya ke Singasari, kalian tentu memerlukan waktu yang panjang. Mereka akan berjalan lamban dan barangkali harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ada.”

Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan membawa mereka ke Singasari. Biarlah mereka membenahi kedainya lebih dahulu.”

“Kami akan mendahului kalian,” berkata Mahisa Pukat.

“Bagaimana dengan luka-luka itu?” bertanya pemimpin prajurit itu.

Mahisa Pukat memandangi Mahisa Semu sejenak. Namun Mahisa Semu-pun berkata, “Tidak apa-apa. Bukankah luka-luka itu hanya sekedar goresan-goresan kecil?”

“Tetapi biarlah darahnya tidak mengalir lagi,” berkata pemimpin prajurit itu, “Aku membawa obat untuk kepentingan sementara.”

Namun Mahisa Pukat-pun menyahut, “Baiklah. Bukan karena lukanya yang parah. Tetapi biarlah tidak menarik perhatian banyak orang.”

Namun kemudian Mahisa Semu tidak sekedar mengobati luka-luka dengan obat yang dibawanya sendiri. Tetapi ia sempat pergi ke sumur untuk membersihkan darahnya yang mengotori tubuhnya, meskipun terasa pedih.

Selagi Mahisa Semu membenahi dirinya, maka Mahisa Pukat sempat menyaksikan para perajurit yang menawan sepuluh orang buruan. Dua di antara para tawanan adalah orang yang memang sedang mereka cari. Sedangkan yang lain, karena mereka terlibat pula, maka mereka-pun telah menjadi tawanan pula.

Namun melihat keadaan kesepuluh orang yang sudah menjadi lemah itu, maka para prajurit merasa tidak perlu mengikat tangan mereka. Para prajurit membiarkan saja mereka bebas tanpa terikat tangan dan kakinya. Sepuluh orang itu tidak akan dapat melarikan diri apalagi melawan.

Beberapa orang prajurit memang bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi atas kesepuluh orang itu sehingga mereka benar-benar telah kehilangan sebagian besar dari tenaga mereka. Tetapi pemimpin para prajurit itu agaknya mengerti, bahwa keadaan itu tentu ditimbulkan oleh satu kekuatan yang belum mereka mengerti yang dipancarkan oleh anak-anak muda itu.

Beberapa saat kemudian, setelah Mahisa Semu selesai, maka Mahisa Pukat-pun telah minta diri kepada para prajurit Singasari itu untuk mendahului mereka, karena perjalanan para prajurit itu tentu akan menjadi sangat lamban. Para tawanan itu tidak akan dapat berjalan cepat, meskipun seandainya mereka dilecut sekali-pun.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersiap meninggalkan kedai yang telah ditutup itu. Pemimpin prajurit yang kemudian mengetahui bahwa Mahisa Pukat itu adalah anak Mahendra, berkata dengan nada rendah, “Kami minta maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Sebenarnya semula aku juga merasa segan untuk kembali sampai kekedai ini. Tetapi ternyata hal itu ada juga hasilnya, sehingga apa yang kita lakukan bersama-sama tidak sia-sia.”

“Ya,” desis pemimpin prajurit itu, “Tetapi tanpa kalian kami tidak akan berhasil melakukan tugas ini.”

Mahisa Pukat tersenyum. Namun ia telah mengajak Mahisa Semu untuk melanjutkan perjalanan. Mahisa Semu-pun masih sempat juga minta diri untuk kemudian segera berpacu mengikuti derap kaki kuda Mahisa Pukat.

Sementara itu, para prajurit dan sepuluh orang yang tertawan itu sempat memandangi kedua ekor kuda yang berlari meninggalkan kepulan debu yang kelabu.

“Nah,” berkata pemimpin prajurit itu, “Sekarang baru kalian tahu dengan siapa kalian berhadapan.”

Kesepuluh orang itu termangu-mangu. Mereka memang tidak tahu siapakah kedua orang anak muda itu meskipun mereka mendengar pembicaraan antara pemimpin prajurit itu dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang tertawan itu memang belum tahu, siapakah Mahendra itu.

Namun pemimpin prajurit itu berkata, “Ketahuilah bahwa anak-anak muda itu adalah anak Ki Mahendra. Ki Mahendra adalah saudara seperguruan dari seorang yang bernama Witantra yang pernah berada di Kediri sebagaimana Mahisa Agni.”

Para tawanan itu mulai merenungkan kata-kata itu. Mereka mulai dapat membayangkan, bahwa Mahendra tentu orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka anaknya-pun memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga mereka bersepuluh tidak mampu sama sekali menghadapinya.

Namun dalam pada itu, pemimpin prajurit itu-pun berkata lantang, “Marilah. Kita-pun akan segera pergi ke Singasari. Beruntunglah kalian menjumpai lawan sebagaimana kedua orang anak muda itu. Meskipun seandainya mereka kehendaki mereka dapat membunuh kalian semuanya.”

Tetapi tiba-tiba pemilik kedai itu berkata, “Mereka dan juga kalian tidak akan membunuh kami, karena kalian memerlukan keterangan kami. Namun satu hal yang perlu kalian ketahui, tidak sepatah kata-pun akan dapat kalian peras dari mulut kami.”

Wajah pemimpin prajurit itu berkerut. Namun kemudian ia-pun berkata, “Kami dapat membunuh beberapa di antara kalian. Kami akan dapat mensisakan satu orang atau dua orang atau tiga orang. Tetapi jika kami kehendaki kami akan mensisakan sembilan orang saja. Seorang di antara mereka akan kami bunuh tanpa senjata dan tidak menyeret orang yang kesepuluh itu di belakang kaki kuda kami.”

Pemilik kedai itu menegang sejenak. Nampaknya ada sesuatu yang ingin diteriakkannya. Namun pemimpin prajurit itu berkata, “Siapkan tali sabut kelapa itu. Siapkan kuda yang paling tegar di antara kuda-kuda kita.”

“Kuda Ki Lurah sendiri,” desis seorang prajurit.

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berdesis, “Ya. Kudaku sendiri.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengulangi lagi kata-katanya. Nampaknya ia-pun menjadi cemas bahwa para prajurit itu benar-benar akan memperlakukannya dengan kasar. Demikianlah, sejenak kemudian, maka sepuluh orang tawanan itu telah diperintahkan untuk beijalan di depan. Kemudian para prajurit yang berkuda itu mengikutinya di belakang. Mereka berjalan lambat sekali. Para tawanan yang benar-benar nampak lemah dan hampir tidak bertenaga. Namun mereka memang terpaksa untuk menempuh jarak yang cukup jauh.

Para prajurit itu sebenarnya memang tidak telaten. Tetapi mereka tidak dapat memaksa orang-orang itu berjalan lebih cepat meskipun mereka disakiti sekali-pun. Bahkan mereka akan dapat menjadi pingsan dan justru tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mendekati pintu gerbang Kotaraja. Keduanya memang menjadi ragu-ragu. Namun keduanya-pun kemudian telah memasuki pintu gerbang induk Kotaraja Singasari.

Para petugas yang ada di pintu gerbang telah menghentikannya. Agaknya penjagaan di pintu gerbang itu lebih ketat dari biasanya. Meskipun Mahisa Pukat sudah lama tidak melalui pintu gerbang itu, namun terasa sikap dan tanggapan para petugas terhadap orang-orang yang melewati pintu gerbang itu.

Namun ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah tertahan di pintu gerbang. Berhubung dengan laporan tentang dua orang berkuda yang dicurigai, maka pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang telah menaruh perhatian terhadap kedua orang anak muda itu. Meskipun ciri-ciri yang disebutkan berbeda, tetapi para prajurit itu harus berhati-hati menghadapi para prajurit sandi yang terbiasa mempergunakan penyamaran.

“Duduklah di gardu,” berkata seorang prajurit, “Kalian harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawaban kalian tidak meyakinkan, maka kalian akan dihadapkan kepada prajurit yang pernah memberikan laporan tentang kehadiran prajurit sandi dari Kediri.”

“Bukankah tidak ada masalah antara Singasari dan Kediri?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kamilah yang akan bertanya kepada kalian. Bukan sebaliknya,” sahut prajurit itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berniat untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan. Karena itu, maka keduanya mdakukan apa yang diperintahkan oleh para prajurit itu.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk di gardu di sebelah pintu gerbang induk Singasari. Mereka telah menambatkan kuda-kuda mereka di belakang gardu itu.

Pertanyaan yang pertama, yang dilontarkan oleh seorang prajurit yang ditugaskan untuk meneliti kedua orang anak muda itu adalah, “Kalian petugas sandi dari Kediri?”

“Bukan,” jawab Mahisa Pukat. Anak muda itu masih akan memberikan keterangan.

Tetapi prajurit itu memotongnya, “Jawab pertanyaanku saja.”

Mahisa Pukat-pun terdiam.

“Kenapa kau mengamati keadaan Kotaraja Singasari? Bukankah Kediri termasuk wilayah Singosari?” desak prajurit itu.

Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Namun kemudian ia menjawab, “Kami tidak mengamati Kotaraja. Kami baru akan memasuki Kotaraja.”

“Kau tidak perlu berbohong. Kami sudah mendapat keterangan tentang dua orang petugas sandi yang dikirim oleh Kediri. Sikap itu telah membuat Singasari justru memperhatikan perkembangan Kediri sekarang ini,” berkata prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sulit baginya untuk memberikan penjelasan karena prajurit itu nampaknya tidak senang mendengar jawaban selain yang sudah disiapkan di kepalanya. Namun karena itu Mahisa Pukat justru berkata, “Ternyata tidak hanya dua orang yang telah dikirim oleh sekelompok orang di Kediri. Tetapi sepuluh orang.”

Prajurit itu terkejut. Tiba-tiba saja ia membentak, “Jadi kau bersama dengan sepuluh orang datang ke Kotaraja?”

“Bukan aku,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau jangan mencoba untuk mempermainkan kami,” geram prajurit itu, “Kau tahu bahwa aku dapat membunuh kalian berdua tanpa persoalan apapun.”

“Itukah yang pantas dilakukan oleh seorang prajurit?” bertanya Mahisa Pukat.

Wajah prajurit itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Iblis kau. Sebut, siapakah kawan-kawanmu itu.”

Beberapa orang prajurit telah tertarik mendengar bentakan-bentakan yang keras itu, sehingga beberapa orang di antara mereka telah mendekat.

“Apa katanya?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ia mengaku datang ke Kotaraja bersama dengan sepuluh orang,” jawab prajurit itu.

“Sepuluh orang?” beberapa di antara para prajurit itu bertanya hampir berbareng.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan sejenak. Namun agaknya Mahisa Semu-pun mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia-pun hanya berdiam diri saja.

Pemimpin prajurit yang bertugas yang nampaknya mendengar pula pernyataan Mahisa Pukat itu-pun telah melangkah mendekat sambil berkata, “Aku minta kau berkata dengan bersungguh-sungguh. Kau tahu akibatnya jika kau mencoba mempermainkan kami. Katakan, apakah benar kau datang bersama sepuluh orang petugas sandi dari Kediri.”

“Bukan kami bersama sepuluh orang. Tetapi petugas sandi dari Kediri itu ada sepuluh orang,” jawab Mahisa Pukat.

Wajah pemimpin prajurit itu menjadi tegang. Katanya, “Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang bersama sepuluh orang petugas sandi dari Kediri.?”

Mahisa Pukat justru menjawab tegas, “Tidak.”

“Kesabaran kami sudah habis. Tetapi kami masih mencoba ingin mendengar jawabmu,” geram pemimpin kelompok itu.

“Aku dapat menjelaskan. Beri aku waktu untuk berbicara, agar persoalannya menjadi jelas,” berkata Mahisa Pukat.

“Bukankan kau sudah berbicara sejak tadi?” bentak pemimpin prajurit itu.

“Aku perlu kesempatan. Tadi aku sama sekali tidak boleh berbicara. Aku hanya boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan saja. Padahal yang akan aku jelaskan itu termasuk persoalan yang penting,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku tidak sabar,” teriak seorang prajurit, “Biarlah aku mencekikmu.”

“Seret anak anak itu ke tengah halaman. Ikat pada tonggak-tonggak kayu itu. Kita akan bertanya kepada mereka dengan cemeti di tangan.” teriak yang lain.

Mahisa Semu memang menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Pukat masih nampak tenang-tenang saja. Bahkan ia berkata, “Dengan siapa sebenarnya aku berhadapan? Dengan prajurit Singasari? Prajurit Kediri atau berhadapan dengan sekelompok orang yang tidak terkendali oleh paugeran apapun juga sehingga dapat berbuat sesuka hati?”

“Diam kau,” teriak pemimpin prajurit itu.

“Bagaimana aku harus diam? Kalian harus mendengarkan penjelasanku. Sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu sudah tertangkap. Akulah yang menangkap mereka,” Mahisa Pukat-pun telah berteriak pula.

Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan mereka saling berpandangan. Namun seorang di antara mereka berkata lantang, “Kau sedang mengigau anak-anak muda.”

“Aku berkata sebenarnya. Tunggulah kawan-kawanmu yang sedang menggiring sepuluh orang petugas sandi itu. Sekelompok prajurit berkuda itu akan datang dengan membawa para tawanan. Bertanyalah kepada mereka, siapakah yang telah menangkap para petugas sandi itu,” berkata Mahisa Pukat dengan lantang.

Ternyata sikap Mahisa Pukat cukup meyakinkan mereka, sehingga karena itu, maka pemimpin prajurit itu bertanya, “Apakah kau tidak berbohong? Sekelompok prajurit berkuda memang sedang mengejar para petugas sandi. Tetapi hanya dua orang. Bukan sepuluh.”

“Sudah aku katakan, tidak hanya dua orang. Tetapi sepuluh.” jawab Mahisa Pukat.

“Bohong,” teriak salah seorang prajurit.

“Selesaikan dengan cara yang sesuai dengan sikap seorang prajurit,” geram prajurit yang lain.

“Bagaimana menurut pendapatmu cara yang sesuai dengan sikap seorang prajurit?” terdengar seseorang bertanya.

Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang perwira dari pasukan berkuda telah berada di dalam pintu gerbang. Dua orang prajurit yang bertugas hanya memandanginya dengan bingung.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya perwira prajurit dari pasukan berkuda yang memimpin sekelompok prajurit berkuda mencari jejak dari orang-orang yang disangka petugas sandi dari Kediri itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun mengenali perwira yang berada di pintu gerbang itu. Karena itu, maka keduanya telah melangkah mendekati, “Dimana para tawanan itu?”

“Bersama pasukan kami,” jawab pemimpin prajurit berkuda yang masih duduk dipunggung kudanya, “Aku sengaja mendahului mereka. Sebenarnya aku ingin mempersiapkan tempat bagi sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu.” ia berhenti sejenak, lalu katanya, “Apa yang terjadi di sini?”

“Nah, aku ingin bertanya,” berkata Mahisa Pukat, “Bagaimana jawabmu jika aku berkata bahwa aku dan adikkulah yang telah menangkap sepuluh petugas sandi dari Kediri itu.”

Perwira itu mengerutkan keningnya, sementara para prajurit yang bertugas di regol itu termangu-mangu. Bahkan mereka menjadi tegang ketika mereka melihat perwira yang masih duduk dipunggung kuda itu tersenyum. Kemudian jawabnya, “Ya. Kalian berdualah yang telah menangkap para tawanan itu. Bahkan seorang di antara kalian berdua telah terluka meskipun hanya goresan-goresan tipis di tubuh. Apa sebenarnya yang terjadi?.”

“Mereka menuduh aku justru petugas sandi dari Kediri,” jawab Mahisa Pukat.

Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian berkata, “Hanya salah paham saja. Lupakan.”

“Tunggu,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas di regol, “Jika benar orang-orang itu sudah menangkap sepuluh petugas sandi dari Kediri, manakah orang-orang itu?”

“Sudah aku katakan. Mereka akan segera datang bersama para prajurit berkuda. Aku mendahului mereka untuk menyiapkan tempat bagi para tawanan,” jawab pemimpin pasukan berkuda itu.

“Kenapa kau harus bersusah payah menyiapkan tempat bagi mereka? Bukankah tempat itu sudah ada. Kau tinggal membawanya kesana dan menyerahkan para tawanan itu kepada para prajurit yang bertugas.”

“Aku memang akan berbicara dengan para prajurit yang bertugas,” jawab pemimpin pasukan berkuda yang memburu petugas sandi itu.

“Sebaiknya kau menunggu pasukanmu dan sepuluh orang tawanan seperti yang kau katakan itu,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu.

Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia-pun bertanya, “Jadi kau juga mencurigai aku, bahwa aku akan menyelamatkan dua orang yang kau tuduh petugas sandi dari Kediri ini? Dengan demikian kau-pun menuduh bahwa aku telah berkhianat dan berpihak kepada Kediri?”

“Tidak sejauh itu,” jawab pemimpin prajurit yang bertugas itu, “Aku hanya ingin berhati-hati dengan tugasku.”

“Aku tidak mau kalian perlakukan seperti itu,” berkata pemimpin prajurit berkuda itu. Lalu katanya kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Marilah. Kita masuk ke Kotaraja. Bukankah kau akan berbicara dengan ayahmu?”

“Tunggu,” potong pemimpin prajurit yang bertugas, “Aku minta kalian menunggu seluruh pasukan berkuda dan sepuluh orang tawanan seperti yang kau katakan.”

“Aku tidak peduli,” jawab perwira prajurit berkuda itu, “Jika kau memaksa aku menunggu mereka, maka pasukanku akan menahan kalian dengan tuduhan menghambat tugas yang dibebankan kepada kami, pasukan berkuda. Jika kalian menolak, maka kita akan bertempur. Aku tidak peduli apakah aku akan ditangkap karena telah bertempur dengan sesama prajurit Singasari dan akan diadili. Tetapi aku mempunyai harga diri.”

“Kami-pun mempunyai harga diri,” jawab prajurit yang bertugas.

Tetapi perwira pasukan berkuda itu berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Ambil kuda-kuda kalian.”

Keduanya-pun kemudian telah mengambil kuda-kuda mereka. Sementara para prajurit yang bertugas telah bersiap pula. Pemimpinnya-pun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya untuk berpencar.

Perwira pasukan berkuda itu-pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Kau tadi dapat mengalahkan sepuluh orang hanya berdua. Sekarang, kita bertiga. Di sini ada kira-kira sepuluh orang prajurit.”

“Kalian akan melawan prajurit yang sedang menjalankan tugasnya?” bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu.

Tetapi perwira prajurit berkuda itu-pun bertanya, “Jadi kau juga akan dengan sengaja menghambat tugasku?”

Kedua belah pihak-pun kemudian telah bersiap. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang juga tersinggung atas perlakuan para prajurit itu ternyata tidak berpikir panjang. Mereka-pun kemudian telah bersiap pula.

“Aku adalah perwira dari pasukan berkuda,” berkata pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu, “Aku akan bertempur di atas punggung kuda. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas kalian.”

Orang-orang yang lalu lalang di pintu gerbang induk itu semula tidak memperhatikan apa yang akan terjadi. Mereka mengira bahwa prajurit-prajurit itu sedang bercakap-cakap seperti biasa. Atau barangkali sedikit bertengkar tentang persoalan-persoalan kecil yang terjadi di antara mereka. Namun kemudian mereka melihat bahwa pertengkaran itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu mulai memencar.

Namun dalam pada itu, ketika keadaan menjadi semakin panas, mereka telah melihat iring-iringan pasukan berkuda di kejauhan. Mereka maju dengan sangat lambat karena orang-orang yang telah mereka tawan tidak dapat berjalan lebih cepat lagi.

Perwira pasukan berkuda yang melihat pasukannya di kejauhan itu tiba-tiba telah menggerakkan tali kudanya. Demikian tiba-tiba sehingga kuda itu meloncat dan berpacu dengan kencang. Namun ia masih sempat berteriak, “Anak-anak muda. Tunggu aku di situ.”

Para prajurit yang bertugas memang terkejut. Mereka tidak sempat menahan. Sementara perwira itu berpacu dengan cepat menuju ke pasukannya yang berjalan lamban. Para prajurit yang bertugas di regol itu menjadi berdebar-debar. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berdiri tegak di sisi kuda mereka. Namun mereka tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat susunan menjadi tegang. Beberapa orang prajurit yang bertugas itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh perwira itu. Apakah ia sekedar berlindung di dalam pasukannya, atau ia mempunyai niat lain.

Beberapa saat kemudian, maka perwira itu telah sampai ke pasukannya. Para prajurit yang berada di regol tidak tahu perintah apa yang diberikannya kepada prajurit-prajuritnya. Namun sejenak kemudian separo dari prajurit berkuda itu-pun telah meninggalkan pasukannya, berpacu mengiringi pemimpinnya. Sementara delapan atau sembilan orang yang lain tetap mengawal sepuluh orang yang sudah menjadi lemah. Bahkan mereka seakan-akan tidak mampu lagi untuk meneruskan perjalanan. Delapan orang prajurit berkuda telah berpacu ke pintu gerbang kota. Asap yang kelabu mengepul tinggi.

Pemimpin prajurit di regol itu berdiri tegak didepan pintu gerbang yang terbuka lebar. Ia-pun segera tanggap, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu akan mempergunakan kekerasan. Agaknya ia benar-benar tersinggung mendapat perlakuan dari para prajurit di pintu gerbang. Tetapi segalanya telah terjadi. Pemimpin prajurit di pintu gerbang itu harus mempertanggungjawabkannya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian sempat juga melihat sekelompok prajurit berkuda berpacu menuju ke pintu gerbang. “Kesalah pahaman itu telah berkembang,” desis Mahisa Pukat.

“Aku akan bertanggung jawab,” geram pemimpin prajurit itu.

“Ada seribu macam bentuk pertanggungjawaban,” desis Mahisa Pukat

“Kau tidak usah ikut campur,” bentak pemimpin prajurit itu.

Mahisa Pukat tidak berbicara lagi. Ia memang tidak sebaiknya mencampuri persoalan para prajurit. Namun dengan demikian Mahisa Pukat mengetahui bahwa di antara para prajurit kadang-kadang dapat terjadi salah paham. Apalagi antara kesatuan sehingga dapat menimbulkan akibat yang justru merugikan segala pihak.

Beberapa saat kemudian, maka para prajurit dari pasukan berkuda itu telah memasuki pintu gerbang tanpa menghiraukan para prajurit yang bertugas. Ternyata perwira yang memimpin sekelompok pasukan berkuda itu seakan-akan tidak melihat para prajurit yang berada di sekitar pintu gerbang itu.

Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu berhenti sejenak sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Marilah. Kita teruskan perjalanan kita memasuki Kotaraja. Tidak akan ada orang yang menahan kalian. Nanti, kami antarkan kalian kepada ayah kalian, Ki Mahendra.”

Para prajurit yang berjaga-jaga di pintu gerbang saling berpandangan sejenak. Pemimpin prajurit berkuda itu sama sekali tidak menyapa mereka, seakan-akan mereka tidak ada di situ. Namun pemimpin prajurit yang bertugas di regol itu agaknya juga menahan diri. Meskipun ia tersinggung oleh sikap itu, tetapi ia menyadari, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu telah tersinggung pula oleh sikapnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka telah memasuki Kotaraja bersama sekelompok prajurit berkuda. Tidak terjadi benturan kekerasan antara kedua kesatuan yang berbeda dan masing- masing merasa sedang melakukan tugas mereka.

“Ternyata para pemimpinnya mampu menahan diri,” berkata Mahisa Pukat hampir berbisik ditelinga Mahisa Semu.

“Ya. Sukurlah,” sahut Mahisa Semu, “Jika terjadi benturan kekerasan, maka kita berdua akan terlibat.”

“Kita hanya sebagai saksi,” jawab Mahisa Pukat.

“Justru karena itu, kesaksian kita akan dapat tidak menguntungkan bagi salah satu pihak,” berkata Mahisa Semu.

“Ya. Mungkin pihak-pihak yang merasa kita rugikan akan mendendam kepada kita,” desis Mahisa Pukat.

Keduanya-pun terdiam. Mereka telah memasuki Kotaraja tanpa diganggu lagi oleh para prajurit yang bertugas di pintu gerbang.

“Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuasaan,” berkata pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu, “Aku dapat mengerti, karena itulah yang dapat mereka lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun mereka berkata di dalam hati, “Para prajurit di pintu gerbang itu tentu akan berkata lain.”

Tetapi sementara itu Mahisa Pukat sempat bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit yang membawa para tawanan?”

“Sudah jelas. Mereka justru tidak akan diganggu,” jawab pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

Mahisa Pukat-pun mengangguk-angguk. Ia-pun yakin, bahwa yang kemudian menyusul di belakang mereka itu tidak akan mengalami gangguan apapun juga.

Sementara itu, maka perwira pasukan berkuda itu berkata kepada Mahisa Pukat, “Aku akan menghubungi para petugas yang akan menerima para tawanan. Nanti aku antar kau ke istana.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi aku tidak perlu membuatmu menjadi sibuk.”

“Tidak. Tidak. Setelah aku menyerahkan para tawanan tugasku selesai,” berkata pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

“Kau tidak membuat laporan?” bertanya Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok pasukan berkuda yang bertugas memburu dua orang petugas sandi dari Kediri dan ternyata justru berhasil menangkap sepuluh orang itu tersenyum. Katanya, “Tentu. Aku harus membuat laporan kepada Senapati yang memerintahku. Tetapi itu dapat aku lakukan setelah aku mengantarmu ke istana.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat.

Bertiga diiringi beberapa orang prajurit berkuda mereka telah menemui perwira yang bertugas di barak tahanan. Pemimpin pasukan berkuda itu telah memberitahukan, bahwa ia telah membawa sepuluh orang tahanan. Mereka adalah petugas, sandi dari Kediri.

“Tetapi bukan oleh pimpinan pemerintahan di Kediri apalagi oleh Sri Baginda,” berkata perwira pasukan berkuda itu.

“Jadi oleh siapa?” bertanya perwira yang bertugas di barak tahanan itu.

“Oleh para pemimpin termasuk para pangeran yang sejak semula tidak mau tunduk kepada persetujuan yang telah dibuat antara Kediri dan Singasari. Mereka merasa bahwa tidak sepantasnya Kediri tunduk kepada Singasari,” jawab pemimpin pasukan berkuda itu.

“Baiklah,” berkata perwira yang bertugas dibarak tahanan, “Mereka akan kami tempatkan di bilik yang khusus.”

“Mereka semuanya sepuluh orang,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu, “Letakkan mereka di dua atau tiga bilik agar mereka tidak sempat membicarakan rencana-rencana mereka atau menentukan sikap bersama.”

Perwira di barak tahanan itu mengangguk. Jawabnya, “Baik. Semuanya akan kami atur.”

Pemimpin pasukan berkuda itu-pun kemudian telah memerintahkan para prajurit yang menyertainya untuk menunggu kawan-kawannya. Ia sendiri akan pergi ke istana untuk mengantarkan kedua orang anak muda itu. Demikianlah maka diantar oleh perwira dari pasukan berkuda itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menuju ke istana. Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Jalan yang sudah agak lama tidak dilaluinya.

Di pintu gerbang samping istana Singasari mereka tidak menemui kesulitan apapun. Perwira dari pasukan berkuda itu telah menemui pemimpin prajurit yang bertugas dan mengatakan maksud kunjungan kedua orang anak muda itu.

“Jadi mereka anak-anak Ki Mahendra,” desis pemimpin prajurit yang bertugas itu.

“Ya. Mereka ingin menemui ayahnya,” jawab perwira dari pasukan berkuda itu.

Oleh seorang prajurit yang bertugas ketiga orang itu-pun telah diantarkan ke bangsal yang diperuntukkan bagi Mahendra di halaman belakang istana.

Mahendra agak terkejut melihat kedatangan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Keduanya serta perwira pasukan berkuda yang mengantar keduanya-pun dipersilahkan masuk ke bangsal yang memang khusus diperuntukkan bagi Mahendra itu.

Namun perwira prajurit berkuda itu tidak dapat ikut berbincang bersama mereka. Katanya, “Aku harus memberikan laporan tentang tugasku. Bahkan mungkin kalian berdua akan mendapat beberapa pertanyaan tentang para tawanan itu, karena kalian berdualah yang sebenarnya telah menangkap mereka.”

“Bukan kami,” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi kalian. Aku kira keterangan yang demikian akan lebih baik dan tidak akan menyangkut banyak pihak.”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Para tawanan itu juga punya mulut. Mereka dapat menceriterakan apa yang telah terjadi.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Para tawanan itu memang akan dapat berceritera tentang peristiwa yang telah terjadi. Bahkan mungkin dibumbui disana-sini sehingga persoalan menjadi lain dari peristiwa yang sebenarnya.

Adalah bijaksana pendapat perwira pasukan berkuda itu, bahwa sepuluh orang itu harus dipisah-pisahkan, sehingga mereka tidak sempat membuat keterangan palsu yang telah mereka rancang bersama. Meskipun Mahendra mempersilahkan perwira itu untuk singgah barang sejenak, namun ia telah minta diri karena ia harus memberikan laporan segera tentang tugas yang dibebankan kepadanya.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk berbincang dengan Mahendra. Yang ditanyakan pertama sekali adalah keselamatan penghuni padepokan Bajra Seta. Baru kemudian keperluan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu datang ke Singasari.

Mahisa Pukat-pun kemudian telah menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang datang untuk membalas dendam tidak begitu merisaukan. Namun kemudian hubungannya dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh orang-orang Kediri atau para pengikutnya.

“Tentu bukan karena Sri Baginda di Kediri,” berkata Mahisa Pukat yang justru pernah bekerja bagi tugas-tugas sandi di Kediri.

Mahendra mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami ingin memberikan peringatan tentang para petugas sandi Kediri yang tersebar. Ternyata di Kotaraja hal seperti itu juga terjadi dan sudah dimengerti.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Para pepimpin di Singasari telah mengetahui kegiatan seperti itu. Memang bukan kegiatan dari Sri Baginda di Kediri. Mereka adalah orang-orang yang selalu tidak puas dengan keadaan yang berkembang di Kediri sampai saat ini. Bukankah hal seperti ini sudah berlangsung lama? Dan kau sendiri justru pernah berada dilingkungan yang sedang bertentangan di Kediri itu sendiri?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun bertanya, “Jadi apa yang akan dilakukan oleh Singasari terhadap mereka. Para petugas sandi itu?”

“Kita memperlakukan mereka tidak sebagai prajurit atau petugas sandi Kediri,” jawab Mahendra.

“Maksud ayah? Mereka dianggap orang-orang liar atau bahkan pengkhianat?” Mahisa Pukat menjadi cemas.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak sekeras itu. Tetapi mereka bukanlah petugas satu atau prajurit dari satu negara yang sedang berperang dengan Singasari. Kepada para prajurit dan petugas yang menyerah, akan diperlakukan sesuai dengan sikap seorang kesatria yang menghadapi lawan yang sudah tidak berdaya.”

“Jadi, bukankah seperti yang aku katakan? Para petugas sandi itu tidak mendapat perlindungan paugeran sebagaimana seorang prajurit atau petugas satu negara yang tertangkap meskipun sedang bermusuhan?” desak Mahisa Pukat.

“Tetapi para prajurit Singasari masih memperlakukan mereka dengan cukup baik. Namun hukuman yang diberikan kepada mereka adalah hukuman yang paling sesuai dengan langkah-langkah yang telah mereka ambil,” jawab Mahendra.

“Hukuman mati?” bertanya Mahisa Pukat.

“Hanya mereka yang bertanggung jawab,” jawab Mahendra, “Tetapi Singasari tidak mudah menjatuhkan hukuman mati.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mengatakan apapun terhadap kebijaksanaan yang berlaku di Singasari. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatk-pun kemudian sempat pula bertanya, “Sementara ini ayah di Singasari telah berbuat apa saja? Apakah ayah ditetapkan sebagai hamba di istana ini atau kedudukan lain?”

“Ya. Aku telah menjadi salah seorang hamba di istana ini. Sebagaimana kakang Witantra dan kakang Mahisa Agni, aku ditugaskan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan atas beberapa hal yang dianggap penting,” jawab Mahendra.

“Jadi, jika ayah menganggap ada sesuatu yang penting, ayah datang menghadap Sri Maharaja?” bertanya Mahisa Pukat.

Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Tidak. Jika Sri Maharaja menganggap perlu berbicara dengan aku, maka aku dipanggilnya.” Mahendra berhenti sejenak, lalu katanya, “Memang agak berbeda dengan kakang Mahisa Agni yang telah dianggap keluarga sendiri. Bahkan Sri Maharaja dalam olah kanuragan telah mendapat tuntunan antara lain dari kakang Mahisa Agni. Demikian juga kakang Witantra meskipun jaraknya lebih jauh dari kakang Mahisa Agni. Dan sekarang, jarakku lebih jauh lagi. Barangkali Sri Maharaja ingin memberikan kedudukan yang terhormat kepadaku, karena aku adalah orang terdekat dari kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra.”

“Jika demikian, apakah tidak lebih baik ayah berada di padepokan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku juga berpikir demikian. Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu dekat. Aku harus menghormati uluran tangan Sri Maharaja kepadaku. Mungkin uluran itu akan sampai juga ke padepokan Bajra Seta. Setidak-tidaknya restu Sri Maharaja akan dapat mempunyai pengaruh yang besar di antara perguruan-perguruan yang lain,” jawab Mahendra.

“Tetapi bukankah kita dapat mandiri? Tanpa bantuan dari siapa pun padepokan dan perguruan Bajra Seta akan tetap tegar,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku percaya. Tetapi apa salahnya kita menerima uluran tangan Sri Maharaja? Apakah dengan demikian kita akan merasa terikat oleh kebaikan hati sehingga kita harus berbuat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sri Maharaja meskipun seandainya, sekali lagi aku katakan, seandainya itu bertentangan dengan nurani kita?” bertanya ayahnya.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Kita tidak usah dibayangi oleh perasaan seperti itu. Jika Sri Maharaja memberikan restu, tentu dengan niat baik. Kita-pun dapat menerimanya dengan baik pula. Seandainya kita kemudian berbuat bagi Singasari sesuai dengan nurani kita, apakah kita merasa bersalah? Kita memang dapat melihat dan berbicara tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan nurani kita. Tetapi bukankah tidak semuanya yang dilakukan oleh Sri Maharaja bertentangan dengan nurani kita?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Sudahlah,” berkata ayahnya, “Beristirahatlah. Maksud kedatanganmu ke Singasari sudah menjadi pertanda niat baik yang tumbuh dari hatimu. Bagaimana-pun juga, yang kau sampaikan kepadaku akan dapat menjadi bahan pertimbangan. Bahkan akar gerakan dari orang-orang Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda telah menjalar sampai ke padukuhan-padukuhan yang jauh dari Kotaraja.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata justru telah terjadi arus yang berbalik. Mahisa Pukat ternyata tidak membawa keterangan baru bagi Kotaraja tentang para petugas sandi, tetapi justru membawa berita bahwa petugas-petugas sandi itu telah sampai di padukuhan-padukuhan jauh diluar Kotaraja. Namun kedua-duanya memang hal yang penting untuk diketahui oleh para pemimpin di Singasari.

Dalam pada itu, maka Mahendra-pun bertanya kepada anaknya, “Bukankah kau akan berada di Kotaraja barang dua tiga hari?”

“Mahisa Murti sendiri di padepokan,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi ia mempunyai banyak kawan,” desis Mahendra.

Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan berada di Kotaraja dua atau selama-lamanya tiga hari.”

Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Mahisa Pukat adalah sikap salah seorang prajurit yang berada di pintu gerbang saat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki Kotaraja. Prajurit yang merasa dirinya memiliki kelebihan. Ia tidak percaya bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berhasil menangkap sepuluh orang petugas sandi itu.

“Hanya sebuah lelucon,” katanya kepada kawan-kawannya.

“Tetapi para prajurit yang menggiring para tawanan itu juga mengatakan demikian,” jawab pemimpin prajurit yang bertugas, yang merasa tersinggung oleh sikap perwira pasukan berkuda itu.

Namun seorang kawannya berkata, “Aku percaya bahwa hal itu teijadi.”

“Kenapa?” bertanya prajurit yang tidak percaya itu.

“Mereka adalah anak Mahendra,” jawab kawannya itu.

“Yang berilmu tinggi adalah Mahendra. Itu pun kita belum pernah melihat buktinya, apakah benar ilmu kanuragannya yang tinggi atau sekedar karena ia memilik pandangan luas tentang pemerintahan sehingga diangkat menjadi salah seorang penasehat Sri Maharaja,” jawab prajurit yang tidak percaya itu.

“Para prajurit dari pasukan berkuda itu tentu tidak akan berbohong. Untuk apa mereka mengatakan bahwa keduanyalah yang telah menangkap sepuluh oranga petugas sandi itu? Bukankah mereka lebih berbangga jika mereka mengatakan bahwa merekalah yang telah berhasil menangkap para tawanan itu, justru melampaui tugas yang dibebankan kepada mereka untuk menangkap hanya dua orang di antara para petugas sandi itu?” sahut pemimpinnya.

“Tentu kita tidak tahu maksud yang tersembunyi dibalik tindakan mereka yang tidak kita mengerti itu,” jawab prajurit yang masih tidak percaya itu.

Namun pemimpin para prajurit itu berkata, “Sudahlah. Itu bukan persoalan kita. Itu adalah persoalan antara para prajurit dari pasukan berkuda dengan kedua orang itu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi prajurit yang merasa dirinya memiliki kelebihan itu bergumam hampir tidak terdengar oleh kawan-kawannya, “Aku ingin menjajagi kemampuannya.”

Seorang kawannya yang mendengarnya mengerutkan dahinya. Namun ia-pun kemudian tertawa, “Seperti orang yang tidak mempunyai pekerjaan saja. Buat apa kau melakukannya? Mencari pujian atau kau ingin dengan cepat naik pangkat?”

“Tidak. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin menjadi puas jika aku dapat mengalahkannya,” jawab prajurit itu.

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka tidak segera menanggapi sikap prajurit yang merasa dengki itu. Bahkan mereka-pun kemudian seakan-akan telah melupakan apa yang sudah terjadi.

Namun dalam pada itu, ketika prajurit yang tidak percaya akan kemampuan Mahisa Pukat itu mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa lama disore hari, maka ia telah menemui seseorang di Kotaraja.

“Apa yang kau ketahui?” bertanya orang itu.

“Sepuluh kawan kita tertangkap,” jawab prajurit yang ternyata adalah salah seorang dari petugas sandi Kediri.

“Aku sudah tahu,” jawab orang itu, “Mereka adalah orang-orang yang dungu. Mereka dikalahkan oleh dua orang saja.”

“Kedua anak muda itu nampaknya memang berilmu tinggi. Mereka adalah anak Mahendra,” jawab prajurit itu.

“Apakah keduanya akan tinggal di Kotaraja agak lama?” bertanya orang itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi sekarang mereka berada di istana mengunjungi ayahnya,” jawab prajurit itu.

Orang yang ditemuinya itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Orang itu harus mendapat hukumannya. Kenapa ia ikut campur dalam persoalan kita?”

“Aku sudah mengatakan kepada kawan-kawanku didunia keprajuritan bahwa aku memang ingin mencoba kemampuan anak-anak muda itu,” berkata prajurit itu.

“Jebak orang itu. Kita akan membunuhnya,” berkata orang yang ditemuinya itu.

“Kita harus mempunyai satu cara,” berkata prajurit itu pula.

“Bukankah orang itu pada suatu saat akan meninggalkan Kotaraja kembali ke rumahnya sendiri?” bertanya orang yang ditemuinya.

Prajurit itu mengangguk. Katanya, “Agaknya memang demikian, tetapi kapan.”

“Ternyata kau dungu juga seperti sepuluh orang yang tertangkap itu,” berkata orang yang ditemuinya itu.

“Kenapa?” bertanya prajurit itu dengan heran.

“Kau sudah terlanjur menunjukkan sikap terhadap kedua anak Mahendra itu. Bukankah dengan demikian, jika terjadi sesuatu, kau akan segera dituduh melakukannya?” desis orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu merenung. Katanya, “Tetapi aku sudah terlanjur mengatakannya. Meskipun demikian, persoalannya bukan persoalan antara Singasari dan Kediri.”

“Memang bukan. Tetapi aku berniat menghabisi kedua orang itu. Bukan sekedar mencobai dan menyakitinya,” berkata orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu termangu-mangu. Katanya, “Kenapa harus dibunuh? Jangan bodoh. Bukankah karena mereka, sepuluh orang kita sudah tertangkap. Untunglah bahwa sepuluh orang itu termasuk orang- orang yang telah dipisahkan dari kita, sehingga mereka tidak akan menyebut nama kita,” berkata orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika kedua orang itu harus dibunuh, maka aku tidak akan kembali lagi kelingkungan keprajuritan Singasari.”

“Kedudukanmu memberikan keuntungan kepada kita,” desis orang yang ditemuinya.

“Tetapi keterlanjuranku dapat membahayakan keselamatanku.”

“Ajak saksi. Biar saksi itu melihat bahwa kau tidak membunuhnya. Tetapi baru kemudian, setelah kau tinggalkan kedua orang itu dalam keadaan yang buruk, kami akan membunuhnya. Dengan demikian kau tidak dapat dituduh membunuh kedua orang itu.”

Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Itu kalau kau benar-benar menang atas keduanya. Tetapi jika kau kalah, maka kami tidak akan dapat membantumu jika kau tidak ingin disebut terlibat dalam pembunuhan itu.”

“Sampai kapan kau bertugas di pintu gerbang?” bertanya orang yang ditemuinya.

“Sepekan. Aku baru mendapatkan dua hari,” jawab prajurit itu.

“Jadi masih ada tiga hari lagi,” desis orang yang ditemuinya, “Aku kira anak itu tidak akan terlalu lama di Kotaraja. Ingat, jika kau melihat mereka lewat, kau harus mengikutinya dan ingat, bawa saksi. Kau dapat berterus terang menantangnya. Karena kau akan menjadi isyarat, bahwa orang yang harus kami bunuh adalah orang yang kau ikuti dan kau tantang berkelahi. Menang atau kalah, bukan soal bagiku, karena kami akan bertindak atas mereka setelah kau selesai dan meninggalkan orang itu.”

Prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan. Ia sudah terlanjur melakukan satu kesalahan. Karena itu, maka ia harus benar-benar berkelahi. Kalah atau menang.

Sejenak kemudian, prajurit itu telah berada di tugasnya kembali. Ia masih akan bertugas di pintu gerbang itu tiga hari lagi. Namun selama itu, ia harus mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di pintu gerbang. Bahkan ia tidak lagi mempergunakan waktu-waktu istirahatnya untuk berjalan-jalan atau pergi ke mana-pun juga, karena ia memang dianggap belum berkeluarga.

Bahkan saat-saat ia mandi-pun ia selalu berpesan kepada kawan-kawannya, “Jika kau lihat kedua anak muda itu, hentikan mereka. Aku ingin berbicara dengan mereka. Aku benci melihat kesombongan mereka justru karena prajurit-prajurit berkuda itu menganggap keduanya sebagai pahlawan.”

Kawan-kawannya masih saja mentertawakannya. Seorang diantara mereka berkata, “Kenapa kau begitu kasar menaruh perhatian kepada keduanya? Apakah kau merasa dirugikan? Apakah keduanya pernah menyakitimu atau mempunyai persoalan khusus denganmu?”

“Tubuhku memang tidak disakiti. Tetapi hatiku yang tersinggung oleh sikap dan perbuatannya,” jawab prajurit itu.

“Bagaimana jika saat anak itu kembali, diiringi pula oleh prajurit berkuda?” bertanya kawannya.

“Aku akan menantangnya langsung. Tentu tidak akan ada orang yang turut campur. Kalah atau menang bukan lagi persoalan bagiku,” jawab prajurit itu.

Kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi. Mereka menganggap prajurit itu baru mabuk tuak. Namun ternyata ia bersungguh-sungguh. Setiap saat ia tidak ada di pintu gerbang, ia selalu berpesan wanti-wanti.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih berada di tempat yang diperuntukkan bagi Mahendra. Selama kedua anak muda itu berada di Kotaraja, Mahendra memang pernah dipanggil menghadap secara khusus tidak di saat diadakan paseban. Ada beberapahal yang dibicarakan. Sementara Mahendra memberitahukan kepada Sri Maharaja, bahwa seorang anaknya dan seorang cantrik dipadepokannya telah datang untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di padepokannya.

“Jadi jaringan itu sudah merambah ke padukuhan,” desis Sri Maharaja.

Mahendra mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba Sri Maharaja. Agaknya segolongan pemimpin di Kediri benar-benar ingin menilai Singasari seutuhnya.”

“Baiklah,” berkata Sri Maharaja Singasari, “Kita akan menanggapinya. Kita akan berbicara dengan para pemimpin dan panglima di Singasari.”

“Hamba Sri Maharaja,” sahut Mahendra.

“Namun sebaiknya kau dapat memberikan pesan kepada anakmu agar ia berhati-hati,” berkata Sri Maharaja pula.

“Hamba Sri Maharaja.Untuk padepokan hamba serta lingkungannya, maka anak hamba akan dapat berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana dengan daerah-daerah lain?” berkata Mahendra kemudian, “Tentu Kediri bukan saja mengamati perkembangan terakhir Singasari. Tetapi juga berusaha untuk menanamkan pengaruhnya agar sikap mereka mendapat dukungan, terutama bagi orang-orang Kediri dan para Akuwu di Singasari yang mungkin akan dapat memberikan dukungan kepada mereka.”

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Persoalannya memang harus dipecahkan bukan sekedar untuk satu dua tempat. Baiklah paman Mahendra. Kita akan segera mengadakan pertemuan khusus.”

“Ya. Tetapi bukankah paman Mahendra tidak akan meninggalkan istana?” bertanya Sri Maharaja.

“Tidak. Hamba tidak akan ikut kembali ke padepokan,” jawab Mahendra.

“Kapan anakmu akan kembali ke perguruannya?” bertanya Sri Maharaja pula.

“Ia akan berada di Singasari tiga hari tiga malam,” jawab Mahendra.

“Baiklah. Padepokanmu akan dapat menjadi salah satu sumber keterangan. Setiap kali aku akan memerintahkan penghubung untuk pergi ke padepokan Bajra Seta. Mungkin ada keterangan yang dapat menjadi bahan pertimbangan kami selain bahan-bahan yang tentu akan kami himpun dari para Akuwu, namun juga dari para petugas sandi,” berkata Sri Maharaja. Namun katanya kemudian, “Jika anakmu dan cantrik itu akan kembali ke padepokan, biarlah mereka minta diri kepadaku.”

“Hamba Sri Maharaja,” jawab Mahendra, “Hamba akan membawa mereka menghadap.”

Sebenarnyalah sehari kemudian, menjelang hari keberangkatan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke padepokan, mereka telah dibawa oleh Mahendra untuk menghadap. Sri Maharaja telah memberikan kesempatan kepada anak Mahendra itu menjelang sore hari dan diterima di serambi samping.

Yang menerima Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bukan hanya Sri Maharja, tetapi juga Ratu Angabaya. Kedua-duanya pernah mengenal Mahisa Pukat sebelumnya, sehingga mereka dapat berbicara dengan lancar.

Mahisa Semu masih juga tersendat-sendat ketika satu dua kali ia harus menjawab pertanyaan Sri Maharaja atau Ratu Angabaya. Namun semakin lama, ia-pun menjadi semakin rancak juga berbicara.

“Kenapa Mahisa Murti tidak kau ajak serta?” bertanya Sri Maharaja.

“Ampun Sri Maharaja, Mahisa Murti harus menunggui padepokan kami. Kami tidak dapat bersama-sama meninggalkan padepokan itu dalam suasana seperti ini,” jawab Mahisa Pukat.

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa salah seorang di antara kedua anak Mahendra itu harus berada di tempat. Kepada Mahisa Pukat Sri Maharaja juga menyatakan kesediaannya untuk selalu mengirimkan penghubung. Bukan saja antara Mahendra dan anak-anaknya, tetapi terutama laporan-laporan tentang kegiatan padepokan itu serta pengamatan mereka terhadap keadaan lingkungan mereka. Bagaimana-pun juga kegiatan segolongan orang-orang Kediri itu harus mendapat perhatian.

Seperti yang dikatakan oleh Mahendra, maka ternyata Sri Maharaja dan Ratu Angabaya menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan padepokan Bajra Seta, sehingga Sri Baginda itu-pun berkata, “Pada saatnya, aku akan mengirimkan sesuatu yang dapat membantu mengembangkan padepokan itu. Mungkin alat-alat pertanian, mungkin perlengkapan lain yang kalian butuhkan. Sekedar untuk membantu perkembangan padepokanmu meskipun aku tahu bahwa tanpa bantuanku padepokanmu akan berkembang dengan baik. Tetapi usahamu menempatkan orang-orang yang sebelumnya tidak berarti sama sekali bagi kehidupan orang banyak namun yang akhirnya menyadari kesesatan mereka di sebuah padukuhan adalah usaha yang sangat baik. Kenapa mereka patut juga diberi kelengkapan yang mereka butuhkan.”

“Ampun Sri Maharaja. Hamba atas nama seisi padepokan serta lingkungan kami, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi aku tidak dapat menyertakan bersamamu besok,” berkata Sri Maharaja kemudian.

“Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih,” jawab Mahisa Pukat yang mempergunakan kesempatan itu untuk mohon diri pula.

“Baiklah,” berkata Sri Maharaja, “Tetapi hati-hatilah. Keadaan berkembang kearah yang tidak kita inginkan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk dalam-dalam. Dengan tulus mereka masih saja mengulangi ucapan terima kasih atas perhatian Sri Maharaja di Singasari atas padepokan mereka. Demikianlah, maka bersama Mahendra mereka-pun telah meninggalkan serambi samping, kembali ketempat yang diperuntukkan bagi Mahendra, masih dilingkungan istana.

Keduanya-pun malam itu telah berkemas karena esok pagi-pagi keduanya akan meninggalkan Kota raja kembali ke padepokan mereka. Ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak memperpanjang kehadiran mereka di Kotaraja. Seperti yang sudah mereka rencanakan maka mereka-pun akan benar-benar kembali esok pagi.

“Aku tidak sampai hati meninggalkan Mahisa Murti terlalu lama,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan Mahisa Pukat. Keduanya jarang sekali berpisah. Karena itu, maka tiga hari tiga malam ditambah perjalanan ke dan dari Kotaraja, bagi Mahisa Pukat tentu terasa lama sekali. Karena itu, maka Mahendra tidak menahannya lagi. Dikeesokan harinya, Misa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar telah minta diri.

Namun rasa rasanya ada sesuatu yang menggelisahkan Mahendra. Karena itu maka ia-pun berkata, “Ketika kalian memasuki Kotaraja, kalian telah membawa satu persoalan. Kalian telah menangkap sepuluh orang petugas sandi dari Kediri meskipun bukan dari pemerintahan di Kediri. Karena itu berhati-hatilah. Mungkin kawan-kawan mereka telah mendendam.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat. Sambil mencium tangan ayahnya ia berkata, “Aku mohon dua restu ayah. Aku akan berhati-hati.”

Mahendra mengusap kepala anaknya sambil menjawab, “Aku akan selalu berdoa bagi kalian berdua dan sisi padepokan.”

Mahisa Semu-pun kemudian telah mohon diri pula kepada Mahendra, sementara Mahendra berpesan, “Jangan lupa mengobati luka-lukamu meskipun nampaknya sudah sembuh.”

“Baik Ki Mahendra,” jawab Mahisa Semu.

Demikianlah maka keduanya-pun telah meninggalkan istana Singasari menyusuri jalan-jalan Kotaraja yang masih sepi. Mata hari masih belum terbit, meskipun langit telah menjadi merah. Ternyata keduanya tidak ingin singgah kepasar yang tentu sudha mulai ramai. Keduanya ingin segera meninggalkan Kotaraja, memasuki jalan langsung ke padepokan mereka.

Ketika matahari mulai menjenguk cakrawala keduanya telah melintasi pintu gerbang Kotaraja yang sudah terbuka. Justru saat orang yang menunggunya bertugas dihari terakhir. Karena itu, demikian prajurit itu melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu lewat, maka dengan serta merta ia telah menghentikannya.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” berkata prajurit itu.

Mahisa Pukat terkejut. Namun ia-pun telah berhenti pula bersama Mahisa Semu. Keduanya segera meloncat turun dari punggung kuda mereka. “Ada apa Ki Sanak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukankah kalian berdua yang dikatakan oleh perwira prajurit berkuda itu sebagai orang yang telah menangkap sepuluh orang prajurit sandi dari Kediri,” bertanya prajurit itu.

“Aku tidak tahu apakah mereka prajurit atau sekedar orang-orang kebanyakan dalam tugas sandi,” jawab Mahisa Pukat.

“Siapapun mereka, tetapi aku tidak percaya bahwa kalian berdua dapat mengalahkan sepuluh orang, apalagi para petugas sandi yang tentu sudah mendapat latihan khusus.,” geram prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kalian tidak percaya, tidak mengapa. Lupakan saja.”

“Tidak mungkin aku melupakan kesombonganmu saat kau datang bersama perwira pasukan berkuda itu,” jawab prajurit itu.

“Kami tidak datang bersama perwira prajurit berkuda itu,” berkata Mahisai Pukat selanjutnya, “Kami berdua datang lebih dahulu, baru perwira itu datang kemudian.”

“Ya, itulah yang aku maksud. Kau kemudian menjadi sangat sombong dan menyakitkan hati,” berkata prajurit itu.

“Maaf, aku tidak sengaja berbuat demikian,” desis Mahisa Pukat. Ia tidak terbiasa menahan diri sejauh itu. Tetapi karena ia tidak ingin berselisih dengan seorang prajurit, maka Mahisa Pukat itu telah melakukannya.

“Terlambat,” jawab prajurit itu.

“Jadi apakah maksudmu yang sebenarnya?” ternyata Mahisa Pukat-pun menjadi sulit untuk terlalu menahan diri.

“Aku ingin menjajagi kemampuanmu,” jawab prajurit itu.

Mahisa Pukat menggeram. Ia mencoba menahan diri, betapa jantungnya seakan-akan hampir meledak.

“Tetapi tidak di sini,” berkata prajurit itu, “Tunggulah aku berpakaian sejenak. Kita akan pergi ke bulak sebelah atau ke kedai yang kau maksudkan. Kita akan membuktikan, apakah kau seorang pembohong atau tidak.”

“Kenapa sejauh itu?” berkata Mahisa Pukat, “Sebenarnya kau dapat menghubungi prajurit berkuda itu dan menanyakan kebenaran berita itu. Bukan langsung membuktikannya.”

“Kau takut?” bertanya prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sikap prajurit itu sangat aneh. Bahkan berlebihan. Namun Mahisa Pukat-pun tidak ingin dianggap ketakutan menghadapi tantangan itu.

Sebenarnyalah yang menjadi heran bukan hanya Mahisa Pukat saja. Bahkan kawan-kawannya-pun menjadi heran. Mungkin saja seseorang tidak percaya bahwa kedua anak muda itu sudah mengalahkan sepuluh orang. Tetapi buat apa harus membuktikannya?

Tetapi prajurit itu justru mengajak dua orang kawannya untuk menjadi saksi. “Lihat, apakah benar orang-orang itu pantas dipercaya,” berkata prajurit itu.

Dua kawannya ternyata tidak berkeberatan untuk menjadi saksi. Bahkan keduanya memang ingin melihat apa yang sebenarnya akan terjadi. Pemimpin prajurit yang bertugas itu-pun sebenarnya menganggap sikap prajuritnya itu berlebihan. Tetapi pemimpin prajurit yang bertugas itu sendiri memang merasa tersinggung atas sikap pemimpin prajurit berkuda yang menganggapnya tidak berarti sama sekali.

Karena itu, jika kedua orang anak muda itu memang orang-orangyang dimanjakan oleh para prajurit berkuda, biarlah mereka tahu bahwa prajuritnya-pun memiliki kelebihan sebagaimana kedua orang anak muda itu. Dengan demikian maka pemimpin prajurit yang bertugas dihari terakhir itu telah memberikan ijin kepada ketiga orang prajuritnya untuk mengikuti kedua orang anak muda itu sampai ke bulak panjang.

Ketiga prajurit itu-pun kemudian dengan cepat berpakaian. Mereka berjalan mengikuti Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang juga berjalan sambil menuntut kudanya. Mereka menuju ke bulak panjang yang tidak begitu banyak dilalui orang. Ketika mereka menjumpai simpangan kecil, maka mereka telah berbelok mengikuti aliran sebuah parit yang agak besar.

Dalam pada itu, dari kejauhan, dua orang yang ditugaskan untuk mengawasi kedua orang anak muda yang telah menangkap sekelompok petugas sandi itu hampir menjadi putus asa. Setelah berganti-ganti beberapa kali, maka kedua orang yang bertugas pagi itu melihat dua orang yang membawa kudanya diikuti oleh tiga orang prajurit dari pintu gerbang Kotaraja.

“Itulah mereka,” desis seorang di antara keduanya.

“Aku hampir menjadi gila. Tetapi hari ini adalah hari terakhir kita menunggunya. Jika hari ini keduanya tidak lewat, maka kita menganggap bahwa keduanya memang tidak akan lewat. Apalagi hari ini adalah tugas prajurit itu dihari terakhir sehingga isyarat seperti yang dilakukannya itu tidak akan dapat diberikannya esok atau hari-hari selanjutnya,” sahut kawannya.

“Tetapi kita harus menemukan cara lain. Kedua anak muda itu harus kita dapatkan. Keduanya benar-benar telah menyebabkan sepuluh orang kawan-kawan kita tertangkap. Apakah kita akan membiarkannya lepas?” berkata orang yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. “Kedua orang anak muda itu memang sudah berdosa besar, sehingga mereka memang harus memikul hukuman atas dosa mereka itu.”

Seperti yang harus dilakukannya, maka kedua orang itu-pun telah melepaskan dua ekor burung merpati dengan sendaren pada ekornya. Kedua burung itu akan terbang tinggi dan kembali ke tempat yang sudah ditentukan. Di tempat itu pulalah beberapa orang telah bersiap menunggu isyarat itu.

Ketika mereka mendengar suara sendaren, maka seorang di antara mereka-pun telah keluar dan turun ke halaman. Ternyata yang dilihatnya adalah burung merpati yang telah dibawa oleh kedua orang yang mengawasi pintu gerbang Kotaraja.

“Akhirnya, setelah kita menjadi jemu terhadap pekerjaan ini, kita dapat berhasil. Kedua orang itu tentu sudah keluar dari pintu gerbang Kotaraja, diiringi oleh kawan kita yang bertugas dilingkungan keprajuritan itu sebagaimana dijanjikannya.” berkata orang itu kepada kawan-kawannya yang ada di dalam.

“Kita persiapkan sekelompok orang yang dengan pasti akan dapat membunuh mereka berdua,” berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa.

“Semuanya ada limabelas orang,” berkata orang kawannya, “Ditambah dengan kedua orang yang mendapat giliran mengawasi pintu gerban Kotaraja itu.”

“Jika sepuluh orang itu tidak mampu bertahan melawan keduanaya, maka tujuh belas orang tentu akan mampu membunuh keduanya. Jika kita gagal, maka biarlah kita bersama-sama dimusnahkannya. Karena kita memang tidak berharga sama sekali,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa itu.

Demikianlah, dengan cepat mereka-pun segera berkemas. Mereka semuanya, lima belas orang, dengan tergesa-gesa telah meninggalkan rumah yang mereka pergunakan itu, menyusuri pematang untuk mengambil jalan pintas. Kedua orang yang memberikan isyarat dengan burung merpati itu telah menunggu mereka dan menunjukkan kemana orang-orang yang mereka cari itu pergi.

“Kita menunggu prajurit itu menyelesaikan tugasnya. Kalah atau menang. Kita baru akan datang kemudian,” berkata orang bertubuh raksasa itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka harus menjaga agar prajurit itu tidak terasa terlibat dalam rencana mereka. Saksi-saksi akan mengatakan, bahwa prajurit itu hanya melakukan penjajagan, kemudian meninggalkannya. Kalah atau menang. Yang terjadi kemudian, sama sekali diluar tanggung jawab prajurit itu. Sebenarnyalah bagi kawan-kawannya yang dilakukan oleh prajurit itu tidak lebih dari satu isyarat, bahwa orang yang diikuti dan kemudian ditantangnya untuk bertempur itulah orang-orang yang harus dimusnahkan.

Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang membawa dua Orang saksi itu telah berada di tempat yang dianggap sepi. Jalan kecil atau lebih tepat diatas tanggul parit, prajurit itu kemudian berhenti dan menantang Mahisa Pukat dan Mahisa Semu untuk membuktikan, apakah benar mereka dapat mengalahkan sepuluh orang yang tentu terlatih baik.

“Baiklah. Aku seorang diri. Kalian dapat bertempur berdua,” berkata prajurit itu.

Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Tidak. Aku akan bertempur seorang diri.”

“Jangan terlalu sombong. Aku sebenarnya tidak ingin mematahkan lehermu. Tetapi jika kau terlalu sombong, maka kau membuat aku menjadi semakin marah,” berkata prajurit itu.

“Terserah saja kepadamu,” berkata Mahisa Pukat, “Kau dapat marah, jengkel, kecewa atau perasaan apa saja.”

“Cukup,” geram prajurit itu, “Jangan memaksa aku kehilangan kendali sehingga membunuhmu. Aku tidak ingin melakukannya, karena aku hanya ingin membuktikan kemampuanmu.”

Mahisa Pukat-pun kemudian segera bersiap. Ia tidak mau membiarkan Mahisa Semu menghadapi lawannya itu, sebagaimana diinginkannya. Sambil berbisik Mahisa Pukat berkata, “Jangan. Mungkin ia benar-benar memiliki ilmu yang tinggi.”

Mahisa Semu tidak memaksa. Sementara prajurit itu berkata, “Marilah berdua. Sudah aku peringatkan. Jangan terlalu sombong. Kau akan menyesal nanti.”

Mahisa Pukat yang sudah bersiap itu berkata, “Aku akan segera mulai. Jika kau masih berbicara saja, maka kau akan kehilangan waktu yang sangat berharga pada serangan pertama."

"Anak iblis,” prajurit itu mengumpat.

Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi kakinya mulai bergerak meskipun hanya sekedar untuk menggelitik lawannya. Sementara itu lawannya-pun segera bersiap pula. Kedua tangannya bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Sekali-sekali meloncat mendekat. Kemudian melenting menjauh. Tangannya bersilang di dadanya, namun satu tangannya-pun kemudian terjulur dengan telapak tangan menelungkup dan ibu jari terlipat. Sedangkan tangannya yang lain bergerak mendatar dan telapak tangannya yang juga menelungkup berada di depan lengannya. Namun kemudian tangan yang terjulur itu ditariknya.

Dengan satu loncatan kecil prajurit itu telah merubah sikapnya. Tangannya yang terjulur kemudian merentang. Seterusnya kedua tangannya-pun berputar didepan dadanya, kemudian sambil memiringkan tubuhnya kedua tangannya itu bersilang di depan wajahnya. Satu gerakan yang manis telah melemparkan prajurit itu langsung melipat kakinya rendah-rendah, sehingga prajurit itu terduduk di tanah. Sebelum lawannya berbuat sesuatu, prajurit itu telah melenting berdiri sambil menjulurkan kakinya menyerang kearah lawannya.

Mahisa Pukat yang berdiri saja sambil menunggu, dengan sigapnya menghindari serangan itu. Demikian orang itu kemudian berdiri tegak, maka Mahisa Pukat langsung meloncat mendekat. Tanpa banyak bergerak, tangannya telah menyusup di antara pertahanan prajurit yang ternyata sangat rapuh itu. Satu pukulan yang keras menghantam bagian bawah dadanya, sehingga serangan itu rasa-rasanya langsung mengenai ulu hati.

Prajurit itu membungkuk sambil mengaduh menahan sakit yang menggit bagian dalam tubuhnya. Namun selagi ia terbungkuk, maka Mahisa Pukat telah mengayunkan tangannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Pukat telah memukul tengkuk prajurit itu. Tidak dengan sepenuh tenaganya. Namun ternyata pukulan itu telah mengakhiri perlawanan prajurit yang belum sempat berbuat sesuatu itu kecuali berloncatan dengan tangan yang berputaran melingkar-lingkar.

Prajurit itu jatuh tertelungkup. Terdengar ia mengerang kesakitan. Namun ia sudah tidak mampu bangkit lagi. Kedua orang kawannya yang menjadi saksi dengan tergesa-gesa mendekatinya. Kemudian menolongnya untuk bangkit. Orang itu memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ia tidak mampu berdiri tegak sendiri. Kedua kawannya harus memeganginya dan memapahnya.

Bahkan seorang di antara kedua kawannya sempat bertanya, “Apakah penjajaganmu sudah selesai atau baru akan mulai?”

Orang itu mengerang kesakitan. Katanya, “Bukankah aku belum mati.”

“Tentu belum. Kau baru akan mulai menjajagi kekuatan anak muda yang menangkap sepuluh orang petugas sandi, tetapi kau tidak percaya. Nah, anak itu sudah siap. Lakukanlah,” berkata kawannya yang memapahnya.

“Jangan gila. Rasa-rasanya leherku patah, seisi dadaku rontok semuanya,” berkata prajurit itu.

Kedua kawannya menarik nafas panjang. Setelah saling memandang sejenak, maka seorang di antara kedua orang kawannya itu berkata, “Jadi, kau sudah merasa bahwa kau kalah?”

“Anak iblis,” geram prajurit itu, “Ia curang dan licik. Sebelum aku bersiap, ia sudah menyerang.”

“Kau menyerang lebih dahulu,” berkata kawannya.

“Itulah. Selagi aku menyerang, ia justru memanfaatkan saat seperti itu.” katanya dengan nafas tertengah-engah.

“Nampaknya kau sudah menjadi gila,” berkata kawannya yang lain. Kemudian ia-pun berkata kepada Mahisa Pukat, “Sudahlah anak muda. Nampaknya ia akan merasa puas, bahwa ia sudah menuruti hatinya, mencoba menjajagi kemampuanmu.”

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “Aku akan melanjutkan perjalananku. Perjalananku masih panjang.”

“Bawa aku kembali, cepat,” minta prajurit yang kesakitan itu.

Ketiga orang prajurit itu-pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berdiri termangu-mangu. Sambil tersenyum Mahisa Semu berkata, “Kenapa kau menjadi demikian marah kepadanya, sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kau sudah menyelesaikannya?”

“Aku benci kepada orang yang tidak pernah mempercayai kelebihan orang lain. Biarlah ia menyadari, bahwa seharusnya ia tidak berbuat demikian,” jawab Mahisa Pukat sambil memperhatikan ketiga orang prajurit yang berjalan menjauh. Katanya kemudian, “Nampaknya kedua orang kawannya itu-pun tidak menyetujui sikapnya. Mereka justru mengejek kawannya yang kesakitan itu.”

“Ya. Agaknya memang demikian,” sahut Mahisa Semu.

“Sudahlah. Marilah, kita melanjutkan perjalanan,” ajak Mahisa Pukat tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Namun prajurit yang dikalahkan oleh Mahisa Pukat dalam waktu sekejap itu sama sekali tidak mengira, bahwa kemampuan anak muda itu memang terlalu tinggi. Ia-pun sebenarnya merasa malu, bahwa hanya dalam sekejap, ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Sedangkan sebelumnya ia sudah menantang kedua anak muda itu untuk maju bersama-sama. Namun prajurit itu berkata di dalam hati, “Tetapi kawan-kawanku tentu lebih dari sepuluh orang akan menunggumu berdua. Kalian berdua memang harus mati.”

Sebenarnyalah, tujuh belas orang tengah berjalan menyusuri pematang. Mereka langsung turun ke bulak panjang, mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang akan kembali ke padepokan Bajra Seta.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sama sekali memang tidak menduga bahwa mereka akan menghadapi kesulitan diperjalanan. Meskipun keduanya memang merasa heran atas sikap dan tingkah laku prajurit yang mencegatnya untuk menjajagi kemampuannya itu.

Namun keduanya telah dikejutkan oleh sekelompok orang yang menunggu mereka di pinggir jalan, sebelum keduanya sampai ke kedai tempat sepuluh orang petugas sandi yang ditangkapnya itu berkumpul.

“Apalagi yang akan terjadi,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.

“Jika ada jalan simpang, aku memilih melalui jalan simpang itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi mereka akan menuduh kita ketakutan,” desis Mahisa Semu.

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Tetapi mereka berdua telah menjadi semakin dekat dengan sekelompok orang yang berdiri dipinggir jalan itu.

“Mudah-mudahan mereka tidak berkepentingan dengan kita,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Dengan demikian maka kedua orang anak muda yang berkuda itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan kelompok orang yang nampaknya memang sedang menunggunya. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi yakin, ketika dua orang di antara mereka justru melangkah ke tengah-tengah jalan sambil mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang berhenti beberapa langkah dari kedua orang yang mengangkat tangannya ditengah jalan itu.

“Mendekatlah,” teriak kedua orang yang berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangannya itu hampir berbareng.

Mahisa Murti dan Mahisa Semu sama sekali tidak beranjak dari tempat kudanya berhenti.

“Cepat, kemarilah,” bentak salah seorang dari kedua orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng lemah sambil menjawab. “Aku tidak mau mendekat.”

“Ini perintah,” geram orang itu.

“Seseorang hanya dapat memerintah orang-orang yang menjadi bawahannya atau menempatkan dirinya di bawah pengaruh orang yang memerintahnya. Sedangkan aku bukan orang di bawah pimpinanmu dan aku tidak sedang dalam pesona wibawamu,” jawab Mahisa Pukat.

“Gila kau,” geram salah seorang yang mencegat keduanya itu.

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar tidak mau mendekat. Karena itu, maka orang-orang yang mencegatnya tidak mau kehilangan kedua orang anak muda itu. Yang oleh isyarat prajurit yang bertugas di regol adalah anak muda yang telah menangkap sepuluh orang kawan-kawan mereka.

Dengan demikian maka salah seorang di antara mereka itu-pun telah memberikan perintah, “Kepung kedua orang anak muda itu.”

Orang-orang itu tidak menunggu perintah berikutnya. Mereka-pun segera memencar mengepung kedua orang anak muda yang telah diputuskan untuk mendapat hukuman mati itu. Sebenarnyalah, pemimpin dari orang-orang yang mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu-pun melangkah maju sambil berkata, “Anak-anak muda. Kalian harus menghadapi pengadilan yang akan memutuskan nasibmu, karena kau telah ikut campur persoalan orang lain.”

“Apakah yang kalian maksud?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian langsung atau tidak langsung telah menyebabkan sepuluh kawan-kawan kami ditangkap oleh prajurit Singasari.” berkata pemimpin itu.

“Ya,” Mahisa Pukat tidak ingkar, “Keputusan apa yang akan kalian ambil?”

“Kalian akan dijatuhi hukuman mati. Kalian tidak perlu melawan, karena hal itu hanya akan menyulitkan masa-masa akhir kalian. Kalian harus mengikhlaskan nyawa kalian. Jika kalian dengan sikap seorang laki-laki menghadapi hukuman itu, maka hukuman yang akan kalian terima adalah hukuman mati dengan cara yang paling baik. Tetapi jika kalian mencoba melawan, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk.”

“Kami telah mengalahkan sepuluh orang. Jumlah kalian tidak terpaut banyak. Karena itu, maka kami berdua-pun akan mengalahkan kalian. Hukuman yang akan kami jatuhkan atas kalian, adalah sama seperti hukuman yang akan kalian jatuhkan kepadaku. Jika kalian dengan sikap seorang laki-laki menghadapi hukuman itu, maka hukuman yang akan kalian terima adalah hukuman mati dengan cara yang paling baik.”

“Cukup,” teriak pemimpin dari orang-orang yang mengepung kedua orang anak muda itu, “Kalian bukan saja berusaha untuk mengingkari hukuman yang akan kami jatuhkan. Tetapi kalian dengan sombong telah menghina kami. Karena itu, maka hukuman bagi kalian adalah hukuman mati dengan melalui hukuman picis. Kami akan membawa kalian ke sarang kami, mengikat pada sebuah patok kayu yang besar. Setiap orang akan mengiris kulit dan dagingmu, kemudian membubuhkan garam dan air jeruk. Baru hari ketiga atau kelima kalian akan benar-benar mati.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kalian jangan bertindak terlalu kejam seperti itu. Kalian tidak boleh kehilangan dasar-dasar kemanusiaan kalian.”

“Persetan dengan kalian berdua,” geram pemimpin itu. Dengan lantang ia-pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap.

Sebenarnyalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi berdebar-debar juga. Mereka berhadapan dengan sekitar tujuhbelas orang. Satu jumlah yang cukup banyak. Seandainya saja Mahisa Pukat dengan tanpa peringatan mendahului mereka. Menghadapi mereka dengan kemampuan ilmunya dilambari pula dengan ilmu yang mereka sadap dari orang tuanya, dari Akuwu Lemah warah dan dari beberapa orang lain termasuk landasan kekuatan yang dapat disalurkan lewat senjatanya, maka ia akan dapat membantai lawan-lawannya. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian?

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat memang termangu-mangu. Jika ia sekedar mempergunakan ilmu pedangnya serta kemampuannya menghisap kekuatan dan tenaga lawannya, apakah Mahisa Semu akan mampu bertahan cukup lama?

Selagi Mahisa Pukat sedang termangu-mangu, maka orang-orang yang mengepungnya telah menjadi semakin rapat. Sementara pemimpin dari orang-orang yang menyerangnya itu berkata, “Kau hanya dapat menyesali sikap sombongmu. Tetapi semuanya sudah terlambat. Kau akan menanggung hukuman yang paling gila yang pernah kami lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian telah meloncat turun dari kuda mereka. Mereka menganggap bahwa bertempur diatas punggung kuda tentu tidak akan menguntungkan. Mereka-pun akan sangat sulit untuk memaksa, menembus kepungan itu, karena ujung senjata telah teracu. Karena itu, untuk menghadapi orang-orang yang mengepungnya, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan melawan mereka diatas tanah. Bahkan dengan tidak ragu-ragu keduanya berjalan ketepi jalan untuk menambatkan kuda-kuda mereka, sementara orang-orang yang mengepungnya justru melangkah mundur.

“Jangan biarkan mereka,” teriak pemimpin mereka, “Usahakan agar kalian dapat menangkap mereka hidup-hidup. Kita akan membuat acara kematiannya dengan sebaik-baiknya.”

“Kalian hanya akan menyiksa diri,” jawab Mahisa Pukat lantang. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil berteriak, “Lihat, apa yang aku pegang.”

Orang-orang yang mengepungnya memang melihat sebilah pedang yang berwarna kehijau-hijauan. Namun pemimpin mereka berteriak, “Pedang yang tidak ada artinya apa-apa. Tidak lebih dari parang gembala yang sedang mencari kayu dihutan.”

Mahisa Pukat memang tersinggung. Beberapa orang telah mengorbankan nyawanya untuk merebut pedang yang oleh pembuatnya disebut keris itu. Meskipun demikian tidak terpikir oleh Mahisa Pukat untuk menghentakkan ilmunya dengan memutar pedangnya, sehingga orang-orang yang mengepungnya itu akan dibantainya dengan ilmunya.

Namun demikian, Mahisa Pukat harus memikirkan Mahisa Semu yang tentu akan segera mengalami kesulitan jika separo dari orang- orang itu menyerang Mahisa Semu dan separo menyerang dirinya.

Sementara itu pemimpin sekelompok orang itu-pun kemudian berrkata, “Jangan menunggu lagi. Kita harus segera bergerak.”

Orang-orangnya memang segera bergerak. Tetapi sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi, maka beberapa orang telah berloncatan dari baik gerumbul-gerumbul perdu. Agaknya orang-orang yang mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sendiri menjadi sangat tegang serta memusatkan perhatian mereka kepada lawan-lawannya sehingga mereka tidak melihat kehadiran beberapa orang mendekati arena.

Kedatangan orang-orang itu memang mengejutkan. Yang kemudian berdiri tegak adalah enam orang dalam pakaian keprajuritan.

“Bukankah kau tidak lupa kepadaku?” bertanya perwira prajurit berkuda yang bersama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki gerbang halaman istana Singasari dan mengantarkannya menemui ayahnya.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Tentu tidak. Bukankah kita bersama-sama menangkap sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu?”

“Bukan kita bersama-sama. Tetapi kau berdua,” jawab perwira itu sambil tertawa...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 97

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 97
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANANGKIL termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak akan mencuri, tidak akan memeras dan tidak akan berhubungan lagi dengan perempuan itu.”

“Nah, Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi saksi,” desis perempuan itu.

“Nah, sebaiknya kau percaya. Aku akan turut mengawasi. Jika ia masih bertabiat buruk, maka aku minta kau ikhlaskan suamimu untuk aku serahkan kepada orang banyak. Hukumannya tidak akan dibatasi dengan paugeran apa pun juga,” berkata Ki Bekel kemudian.

Namun ternyata perempuan itu ragu-ragu. Ia memang merasa ngeri mendengar ancaman Ki Bekel itu. Bagaimanapun juga laki-laki jahat itu adalah suaminya.

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “sekarang pulanglah dengan membawa kesaksian kami. Mudah-mudahan keluargamu menjadi semakin baik.”

Perempuan yang datang ke banjar itu dengan diseret oleh beberapa laki-laki itu agaknya mampu menempatkan dirinya. Ia merasa lebih baik diam saja selama terjadi pembicaraan antara suami laki-laki itu akan dapat menjadi mata gelap. Karena itu maka yang bisa dilakukannya adalah menunggu suami isteri itu meninggalkan banjar padukuhan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Panangkil dan isterinya telah meninggalkan banjar itu. Mereka berjalan begitu saja di dalam hujan yang lebat dengan caping blarak diatas kepala.

Setelah keduanya pergi, maka Ki Bekel mulai berbicara dengan perempuan yang kedinginan itu. “Nah, sekarang kau bagaimana?" bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu termenung sejenak. Namun kemudian ia justru telah menangis.

“Kenapa kau menangis lagi?” bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu tidak segera menjawab. Namun kemudian sambil mengusap air matanya ia berkata, “Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan.”

“Kau tentu tahu, akibat yang kau sandang ini adalah hasil perbuatanmu sendiri,” berkata Ki Bekel.

Perempuan itu mengangguk.

“Nah, sekarang kau harus mencoba mencari penyelesaian,” berkata Ki Bekel pula.

Tetapi yang terdengar adalah isak tangisnya. Katanya, “Laki-laki itu tidak mau lagi menerima aku di rumahnya. Panangkil ternyata telah menipuku. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.”

“Apakah kau masih mempunyai orang tua?” bertanya Ki Bekel.

Perempuan itu mengangguk. Tetapi katanya, “Ayah dan ibuku sudah tua sekali.”

“Tetapi bukankah mereka mempunyai tempat tinggal?” bertanya Ki Bekel pula.

“Ya. Mereka mempunyai tempat tinggal,” Jawab perempuan itu.

“Jika demikian lebih baik kau kembali saja kepada mereka. Agaknya itu lebih baik daripada kau dilemparkan ke sungai yang banjir itu,” berkata Ki Bekel pula.

Perempuan itu berpikir sejenak. Tetapi nalarnya benar-benar buntu. Karena itu, masih sambil menangis ia berkata, “Baiklah. Besok aku akan kembali kepada kedua orang tuaku.”

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “Cobalah untuk memperbaharui cara hidupmu. Kau harus jujur menghadapi setiap orang. Jika kau tidak hidup dalam satu kenyataan sewajarnya, maka kau akan dapat mengalami persoalan seperti sekarang ini.”

“Aku mengerti Ki Bekel,” jawab perempuan itu.

“Nah. Biarlah kau diijinkan untuk berada di banjar ini semalam.” berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada penunggu banjar itu, “Apakah isterimu dapat meminjamkan selembar pakaiannya kepada perempuan yang kedinginan itu?”

“Tetapi, tetapi biarlah Ki Bekel yang mengatakan kepadanya. Jika aku sendiri yang mengatakan, maka dapat terjadi salah paham,” jawab penunggu banjar itu.

Ki Bekel tersenyum. Ia mengenal keluarga penunggu banjar itu. Maka Ki Bekel itu-pun berkata, “Baiklah. Biar aku yang mengatakannya.”

Karena Ki Bekel yang mengatakannya, maka isteri penunggu banjar itu-pun tidak berkeberatan untuk meminjamkan pakaiannya sepengadeg. Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel-pun telah minta diri bersama bebahu yang menyertainya. Namun kepada Penunggu banjar itu, Ki Bekel juga menganjurkan agar memberikan pinjaman pakaian bagi kedua anak muda yang juga menjadi basah kuyup itu.

Tetapi malam itu, amben di serambi telah dipergunakan oleh perempuan yang telah merasa kehilangan segala-galanya itu. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu terpaksa tidur di pendapa banjar dengan selembar tikar pandan. Terasa dinginnya memang meresap sampai kesungsum. Namun bagi kedua anak muda itu, tidur di banjar terasa lebih baik dari pada di tempat terbuka disiram dengan hujan yang lebat.

Namun beberapa saat kemudian hujan-pun mulai reda. Ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat tertidur, maka fajar-pun mulai mengintip. Namun meskipun hanya sebentar, tetapi kesempatan itu telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sebaik- baiknya.

Ketika matahari terbit, maka perempuan yang tidur di banjar itu-pun telah minta diri. Ketika ia akan berganti dengan pakaiannya yang masih basah, maka isteri pemilik banjar itu berkata, “Sudahlah, pakai saja pakaianku. Bukan pakaian yang baik dan mahal. Sekedar untuk menahan dingin. Bawa pakaianmu yang basah. Mungkin dapat kau keringkan di jalan.”

Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Ternyata ia tidak dapat menahan air matanya, bahwa masih ada orang yang merasa belas kasihan kepadanya, karena ia merasa betapa dosa telah tertimbun di dalam dirinya.

Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata masih belum meninggalkan barak. Mereka telah menjemur pakaiannya lebih dahulu. Apalagi semua pakaian yang dibawanya, yang memang hanya selembar dan selembar kain panjang yang dibawanya selain sebuah celana, telah basah.

“Apakah aku diperbolehkan berada di banjar sampai pakaianku kering.”

Penunggu banjar itu tertawa. Katanya, “Tentu saja. Apalagi kau telah berbuat sesuatu di padukuhan ini. Kau telah menghindarkan satu pembunuhan keji. Untuk itu, seisi padukuhan ini tentu akan berterima kasih kepadamu.”

“Terima kasih untuk apa? Kami tidak berbuat apa-apa. Hanya sekedar melakukan kewajiban.” sahut Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Semoga perempuan itu selamat.”

Penunggu banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Ya. Setelah kau selamatkan semalam, mudah-mudahan ia selamat sampai ke rumah orang tuanya.”

Mahisa Pukat menangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Mahisa Semulah yang sibuk menjemur pakaiannya.

Sementara penunggu banjar itu berkata, “Anak-anak muda. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat seperti isteriku. Ia dapat memberikan sepengadeg pakaiannya kepada perempuan itu, karena ia masih mempunyai pakaian yang dapat aku berikan kepada kalian.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tertawa. Dengan nada tinggi Mahisa Pukat berkata, “Aku sudah berterima kasih, bahwa semalam aku tidak kedinginan dengan mengenakan pakaian yang basah kuyup oleh hujan itu.”

Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian tersenyum pula. Dan bahkan tertawa. Sambil menunggu ternyata isteri penunggu banjar itu telah merebus ketela pohon pula seperti semalam. Karena itu, maka mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah sempat makan ketela rebus dan minum wedang jahe yang hangat dengan gula kelapa.

Ketika matahari naik sepenggalah, maka pakaian kedua anak muda itu-pun telah menjadi agak kering. Karena itu, maka mereka-pun segera berganti pakaian. Bahkan mereka sempat mencuci pakaian yang dipinjamnya dari penunggu banjar itu.

“Sudahlah,” berkata penunggu banjar itu, “Kalian tidak usah mencucinya.”

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Biarlah. Jika matahari terang, pakaian itu akan segera kering.”

Penunggu banjar itu tidak mencegah lagi. Nampaknya kedua anak muda itu tidak mau meninggalkan pakaian yang kotor itu begitu saja setelah mereka memakainya semalam.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah minta diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka akan menemui Mahendra yang telah lebih dahulu berangkat bersama para prajurit yang menjemputnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berharap bahwa sebelum gelap mereka sudah akan berada di Kotaraja. Meskipun mereka berangkat agak siang, tetapi jarak yang harus ditempuh tidak lagi memerlukan waktu satu hari penuh. Setelah semalaman hujan turun dengan lebat, maka hari itu justru terasa cerah. Jalan-jalan masih basah. Namun langit nampak bersih. Bahkan tidak berawan.

“Air di langit telah habis tercurah semalam,” desis Mahisa Semu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Ya. Tidak ada yang tersisa.”

Namun, ketika mereka melalui jalan yang menjelujur di sebelah tanggul sungai yang banjir, Mahisa Pukat berkata, “Lihat, jika semalam perempuan itu dilemparkan ke dalam air, mungkin kita akan menemukan mayatnya tersangkut di akar serumpun bambu yang hampir dihanyutkan banjir itu.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mengerikan. Untunglah kita sempat mencegahnya.”

“Laki-laki itu nampaknya memang tidak dapat dipercaya,” desis Mahisa Pukat.

“Tetapi perempuan itu-pun memang perempuan laknat. Ia mengkhianati seorang laki-laki yang memberi apa saja yang dimintanya,” desis Mahisa Semu, “Tetapi ia terbentur pada sikap seorang laki-laki laknat pula.”

“Satu pantulan sikap yang menghukumnya,” berkata Mahisa Pukat, “Tetapi penderitaan batinnya adalah hukuman yang sudah cukup berat.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia-pun justru merenungi tentang perempuan yang hampir saja ditelan oleh banjir yang sisanya masih nampak. Air sungai itu masih keruh dan deras. Bahkan masih nampak putaran-putaran meskipun tidak sebesar semalam.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu di jalan yang semakin rata dan terpelihara baik. Tetapi lewat tengah hari, kedua anak muda itu mulai merasa haus sehingga keduanya telah singgah di sebuah kedai di pinggir jalan. Setelah makan dan minum secukupnya, serta kuda mereka-pun telah mendapat minum serta makan, maka keduanya siap melanjutkan perjalanan.

Tetapi sepintas mereka masih sempat mendengar dua orang berkuda yang menambatkan kudanya berbicara di antara mereka. Seorang di antara mereka berkata, “Singasari telah tidak lagi sekuat sebelumnya. Semakin lama menjadi semakin kehilangan wibawanya. Justru karena Singasari merasa terlalu kuat sebelumnya.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan kemudian. Tetapi pembicaraan yang pendek itu sangat menarik perhatian mereka. Sambil meneruskan perjalanan, maka Mahisa Pukat berkata, “Satu sikap yang perlu diperhatikan oleh Singasari.”

“Mereka menilai Singasari yang mulai surut,” berkata Mahisa Pukat.

“Kita harus menghubungkan dengan kegiatan Kediri sekarang ini,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Kepergian mereka ke Singasari antara lain juga karena persoalan yang menyangkut sikap Kediri. Meskipun sikap itu bukan sikap Kediri seutuhnya, namun persoalannya akan menyangkut hubungan selanjutnya antara Singasari dan Kediri. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu terdiam. Mereka seakan-akan sedang menilai keadaan yang nampaknya menjadi semakin suram.

Sementara itu, kuda-kuda mereka-pun berpacu terus menuju ke Singasari. Langit yang bersih mulai digayuti awan yang kelabu. Namun keduanya menduga bahwa hujan masih lama turun. Bahkan karena angin yang agak kencang dari Selatan, awan itu akan hanyut ke Utara. Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu memperlambat derap kuda-kuda mereka. Dari kejauhan mereka melihat beberapa orang berkuda menuju ke arah mereka. Nampaknya sekelompok prajurit yang sedang meronda.

Ketika mereka berpapasan, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berhenti dan menepi. Mereka memberi jalan kepada sekelompok orang berkuda yang ternyata memang prajurit Singasari. Namun pemimpin dari sekelompok prajurit itu telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk berhenti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi termangu-mangu. Sementara pemimpin sekelompok prajurit itu mendekat sambil bertanya, “Anak-anak muda. Apakah kalian bertemu dengan dua orang berkuda?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian menjawab, “Tidak Ki Sanak. Rasa-rasanya kami hari ini tidak berpapasan dengan dua orang berkuda. Memang ada beberapa kali kami berpapasan. Tetapi satu-satu. Nampaknya orang-orang padukuhan yang pulang dari menjual hasil buminya.”

“Bukan,” sahut pemimpin prajurit itu, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi dua orang berkuda seperti kalian yang sedang menempuh perjalanan.”

Tiba-tiba saja Mahisa Pukat teringat kedua orang di kedai itu. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Kami memang tidak berpapasan. Tetapi di sebuah kedai kami melihat beberapa ekor kuda tertambat. Apakah mungkin ada di antara mereka itu.”

“Kedai yang mana?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia-pun kemudian bertanya, “Siapakah anak muda berdua ini?”

“Kami datang dari padepokan Bajra Seta. Kami akan menemui seorang keluarga kami di Kotaraja,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Anak-anak muda. Aku tidak ingin mengganggu perjalananmu. Tetapi kami ingin melakukan tugas kami dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan Singasari. Karena itu, maka aku minta kalian berdua bersedia menunjukkan kepada kami, dimana letak kedai itu.”

“Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.

Tetapi prajurit itu tetap saja berkata, “Kami minta Ki Sanak tidak berkeberatan membantu sekelompok prajurit dalam tugasnya.”

“Tetapi bagaimanakah nantinya, jika kedua orang itu kemudian mendendam kami. Berbeda terhadap kalian, karena kalian adalah prajurit.”

“Kalian tidak akan diganggu. Apalagi kami hanya ingin kalian menunjukkan kedai itu. Jika perlu kalian tidak usah mendekati kedai itu. Apalagi menunjukkan orangnya,” berkata pemimpin prajurit itu.

“Bagaimana mungkin aku dapat menunjukkan orangnya karena aku belum pernah melihatnya,” jawab Mahisa Pukat.

Namun pemimpin prajurit itu memang agak memaksa. Katanya, “Aku minta Ki Sanak bersedia membantu prajurit.”

Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia masih sempat bertanya, “Kenapa kalian cari kedua orang itu?”

“Keduanya orang Kediri yang katanya mencari saudaranya. Tetapi ternyata tidak ketemu,” jawab pemimpin prajurit itu.

“Hanya karena kedua orang itu mencari saudaranya di Kotaraja? Apakah ada keberatannya jika hal itu dilakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu saja tidak. Jika kami mencarinya tentu ada pertimbangan-pertimbangan lain,” jawab pemimpin prajurit itu.

“Tetapi kenapa baru sekarang. Tidak saat kedua orang itu masih berada di Kotaraja?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Nampaknya kalian terlalu banyak ingin mengerti,” berkata pemimpin prajurit itu. Namun katanya, “Tetapi baiklah aku menjawabnya. Untuk terakhir kalinya.” pemimpin prajurit itu terdiam. Namun kemudian katanya, “Kami baru mendapatkan laporan tentang sikap kedua orang itu setelah keduanya pergi. Kami mendapat tugas untuk mencarinya. Nah, jelas. Sekarang kalian tidak usah bertanya lagi. Marilah, kita sudah terlalu banyak kehilangan waktu.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak dapat menolak. Mereka-pun kemudian memutar kudanya dan berjalan seiring dengan para prajurit. Ternyata mereka belum terlalu jauh dari kedai itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka kedai itu-pun sudah mulai nampak.

Sementara itu, orang-orang yang ada di kedai itu-pun telah melihat debu yang mengepul dari kejauhan. Agaknya mereka dapat melihat, bahwa yang datang adalah sekelompok prajurit Singasari. Ketika sekelompok prajurit itu kemudian berhenti di depan kedai itu, maka pemimpin kelompok itu bersama dengan dua orang pengiringnya telah memasuki kedai itu. Ia melihat beberapa orang berada di dalam kedai itu. Namun pemimpin sekelompok prajurit itu agaknya menjadi ragu-ragu.

Karena itu, maka ia-pun telah memanggil seorang prajurit lagi mendekatinya sambil bertanya, “Yang mana orang yang kau maksud?”

Prajurit itu memandang setiap orang yang ada di dalam kedai itu. Namun tidak seorang-pun yang dapat dikenalinya. Bahkan prajurit itu kemudian menggeleng sambil berdesis, “Tidak ada di antara mereka.”

Dari pintu samping pemimpin prajurit itu memang melihat beberapa ekor kuda yang tertambat. Namun agaknya kuda orang lain. Bukan orang yang dimaksud.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian telah sempat mengamati kuda yang tertambat. Mereka masih melihat kedua ekor kuda dari orang-orang yang telah memperbincangkan kemunduran Singasari. Namun ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat kedalam kedai itu, mereka tidak melihat kedua orang penunggangnya.

Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mengatakan sesuatu. Mereka tidak berani memberikan keterangan apapun, karena mereka tidak tahu pasti apakah yang sebenarnya terjadi.

Pemimpin prajurit itu telah minta ijin kepada pemilik kedai untuk melihat-lihat isi kedainya. Bahkan sampai ke halaman di belakang kedai itu. Namun mereka tidak melihat orang lain kecuali yang sedang makan dan minum di dalam kedai itu.

Ketika mereka yakin bahwa yang mereka cari tidak ada, maka para prajurit itu-pun telah meninggalkan kedai itu. Kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, pemimpin prajurit itu-pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih anak muda. Maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian. Kalian telah berusaha membantu tugas kami, para prajurit.”

Mahisa Pukat-pun mengangguk hormat sambil berkata, “Agaknya itu sudah menjadi kewajiban kami.”

Ketika para prajurit itu melanjutkan perjalanan, Mahisa Semu-pun berdesis, “Meskipun ketika kami diminta untuk melakukan kewajiban ini kami merasa agak segan.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kita telah kehilangan waktu. Tetapi kita kemudian dapat berbangga bahwa kita sudah membantu para prajurit.”

Mahisa Semu-pun tertawa pula. Katanya kemudian, “Beberapa saat lagi, para prajurit itu tentu akan kembali. Mereka tentu tidak akan melakukan pelacakan tanpa ujung. Jika mereka sampai di padukuhan itu dan tidak seorang-pun dapat memberikan petunjuk maka mereka tentu akan kembali.”

“Ya. Mereka tentu segera kembali,” Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu katanya, “Tetapi rasa-rasanya kuda-kuda itu masih belum berkurang jumlahnya. Namun kedua orang yang telah berbicara tentang kemunduran Singasari itu telah tidak ada di dalam kedai itu.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah. Kita melanjutkan perjalanan.”

Tetapi ketika mereka sudah siap untuk berangkat, dari pintu kedai itu mereka melihat seseorang turun dari atap rumah itu. Disusul seorang lagi meloncat pula. Ketika keduanya melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka seorang di antaranya berkata, “Bukankah kedua orang itu yang berpapasan dengan kita saat kita datang?”

“Bukan berpapasan. Saat itu kita menambatkan kuda kita, keduanya meninggalkan kedai ini,” berkata yang seorang.

“Jika demikian, tentu kedua anak muda itulah yang telah memberitahukan keberadaan kita di sini.” geram orang pertama.

“Ya. Tentu keduanya,” sahut yang lain.

Pemilik kedai itu-pun tiba-tiba saja telah keluar pula dari kedainya dan berkata, “Ya. Keduanya adalah anak-anak muda yang baru saja keluar dari kedai ini. Mereka kembali dengan membawa sekelompok prajurit.”

“Anak iblis,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “Jadi kalian yang telah membawa prajurit-prajurit itu kemari he?”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai menyadari, bahwa orang-orang itu telah menunjuk kepada mereka. Karena itu, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Itu tidak benar. Kami hanya mengatakan ada beberapa ekor kuda di kedai ini. Itu-pun justru karena mereka bertanya apakah kami bertemu dengan orang-orang berkuda.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “Kenapa kau turut campur persoalan orang lain?”

“Kami tidak sengaja mencampurinya,” jawab Mahisa Pukat.

“Jadi apa yang kau lakukan?” bertanya orang lain.

“Kami sekedar memenuhi perintah para prajurit itu untuk menunjukkan kedai ini,” jawab Mahisa Pukat.

Kedua orang itu menjadi semakin marah. Seorang di antara mereka-pun berkata, “Jika kau tidak memberikan laporan tentang kami, maka para prajurit itu tentu tidak akan sampai kemari.”

“Apa yang aku laporkan tentang kalian? Apakah kalian melakukan kejahatan di sini dan kebetulan aku melihat sehingga aku memberikan laporan tentang kejahatan kalian? Aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat kalian berhenti dan masuk ke kedai ini seperti orang-orang lain. Apa yang kau laporkan? Apa yang aku lihat? Dan apakah yang sebenarnya terjadi? Sikap kalian justru menimbulkan kecurigaan padaku, bahwa kalian memang melakukan kejahatan,” jawab Mahisa Pukat yang juga mulai menjadi marah.

Wajah kedua orang itu menjadi merah. Demikian pula pemilik kedai itu. Dengan geram seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Siapa sebenarnya kalian berdua? Petugas sandi atau apa?”

“Aku bukan apa-apa. Aku sedang pergi ke Singasari untuk mengunjungi ayahku,” jawab Mahisa Pukat.

“Kalian memang anak-anak yang malang. Justru karena kalian terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain dan karena kalian terlalu banyak tahu tentang kami, maka biarlah kalian berhenti sampai di sini. Biarlah ayahmu menunggu sampai batas hidupnya karena ia tidak akan melihatmu lagi.”

“Apa artinya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kau berdua membuat aku marah. Karena itu, maka kalian harus mati,” berkata orang itu.

“Begitu mudahnya membunuh orang seperti membunuh seekor ayam untuk dijual di kedai itu,” geram Mahisa Pukat, “Kau kira kami ini apa?”

“Jadi kau mau apa?” bertanya orang itu, “Kami sudah sepakat untuk menghukummu. Membunuhmu dan mengubur mayatmu di belakang kedai ini. Orang-orang yang ada di dalam kedai itu tidak akan membantumu.”

“Mereka akan dapat menjadi saksi perbuatanmu,” desis Mahisa Pukat.

“Mereka adalah kawan-kawanku,” jawab orang itu.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Di dalam kedai itu ada lima orang. Pemilik kedai dan dua orang pembantunya nampaknya adalah pembantu-pembantu orang-orang itu pula selain kedua orang itu sendiri. Sehingga dengan demikian semuanya ada sepuluh orang.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk,” berkata orang itu, “Marilah, pergilah kebelakang kedai itu. Kau akan diperlakukan dengan baik. Kami bersama-sama akan membantu menggali lubang itu. Kemudian kalian berdua berbaring dengan tenang. Kami akan menempatkan ujung pedang kami di dada kalian, tepat diarah jantung. Kami berjanji tidak akan menimbulkan kesakitan pada kalian menjelang kematian kalian.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar tersinggung. Mereka tidak lagi berpikir tentang sepuluh orang. Apapun yang terjadi, mereka tidak mau dihinakan begitu saja. Jika mereka harus mati, maka biarlah mereka mati dengan pedang di tangan. Dengan gigi yang gemeretak Mahisa Pukat menjawab, “Jika kalian ingin mati, matilah. Nyawaku nilai sama dengan lima orang di antara kalian.”

“Anak iblis,” orang itu hampir berteriak, “Jadi kau lebih senang mati dalam penderitaan daripada mati dengan tenang.”

“Cukup,” bentak Mahisa Pukat, “Atau kau memang hanya ingin berbicara, menakut-nakuti kemudian bersembunyi lagi di atap?”

Kedua orang itu tidak menunggu lagi. Keduanya-pun segera bersiap, sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih sempat menambatkan kudanya menepi. Nampaknya memang tidak ada penyelesaian lain. Kedua orang yang dicari oleh para prajurit itu benar-benar akan membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang dianggapnya telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit Singasari. Tetapi Mahisa Pukat-pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Mahisa Semu.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu-pun mulai menempatkan diri menghadapi Mahisa Pukat dan yang lain Mahisa Semu. Dengan lantang seorang di antara mereka berteriak sambil menyerang, “Kau memilih jalan yang buruk.”

Tetapi Mahisa Pukat yang mendapat serangan itu sudah siap menghadapinya, karena itu maka dengan tangkas pula ia-pun telah menghindar. Bahkan sekaligus menyerang. Lawannya menggeliat kemudian berputar. Kakinya terayun mendatar, namun sama sekali tidak menyentuh Mahisa Pukat yang merendah sambil menyapu kaki lawannya yang lain. Namun lawannya cukup tangkas. Dengan satu kakinya ia telah melenting menghindari sapuan kaki Mahisa Pukat.

Sementara itu Mahisa Semu-pun telah bertempur pula. Ia-pun telah berloncatan dengan tangkas pula. Meskipun anak muda itu baru mulai, tetapi ia sudah cukup mempunyai pengalaman sehingga ia-pun segera menyesuaikan diri dengan serangan-serangan lawannya yang ternyata juga bukan seorang yang berilmu tinggi.

Dalam waktu yang pendek, baik Mahisa Pukat maupun Mahisa Semu telah berhasil menguasai lawan-lawannya. Bahkan mereka telah mendesak sehingga lawan-lawannya itu seakan-akan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bergerak. Mereka setiap kali menjadi bingung menghadapi kecepatan gerak anak-anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang itu-pun segera memberi isyarat kepada orang-orang yang lain yang ada di kedai itu untuk membantu mereka.

“Ingat,” berkata Mahisa Pukat, “Nyawaku nilainya sama dengan lima orang di antara kalian. Bahkan lebih. Karena itu, jika kalian ingin membunuh kami berdua, maka kalian-pun akan mati. Atau bahkan kalian semua akan mati, dan kami berdua akan tetap hidup.”

Kedua orang itu berteriak marah. Sementara kawan-kawannya, bahkan termasuk pemilik kedai dan dua orang pembantunya telah mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan ternyata mereka semuanya telah mengacungkan senjata mereka masing-masing. Beberapa helai pedang, sebuah bindi dan baik pemilik kedai itu maupun kedua pembantunya ternyata bersenjata kapak. Agaknya mereka memang saudara seperguruan yang membuka kedai itu untuk tujuan tertentu.

“Kau tidak akan dapat mengelak lagi,” geram pemilik kedai itu, “Sebenarnya aku sudah tidak sabar lagi untuk membunuhmu. Mungkin kemenangan kecilmu itu membuatmu berbangga. Tetapi kapak-kapak kami akan mengoyak leher kalian berdua. Kau tidak usah bermimpi untuk dapat membunuh kami semua. Jika kau berhasil membunuh seorang saja di antara kami, maka kau benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Aku akan menyembahmu sampai ke anak cucu.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia berkata, “Kau akan benar-benar menjadi budakku sampai ke anak cucu. Aku tidak akan hanya membunuh seorang. Tetapi semuanya. Kecuali kau, karena kau akan menjadi budakku sampai ke anak cucumu.”

“Anak iblis kau,” pemilik kedai itu menjadi sangat marah. Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan keduanya justru menantang mereka dengan berani.

Karena itu, maka pemilik kedai yang tiba-tiba saja justru mengambil alih pimpinan itu memberi isyarat, agar orang-orang yang mengepung kedua orang anak muda itu bergerak semakin merapat. Mahisa Pukat mempertahankan sepuluh orang yang telah mengepung mereka itu satu persatu. Wajah-wajah yang garang dan sikap yang kasar.

“Ternyata aku berhadapan dengan sekelompok petugas sandi dari Kediri,” berkata Mahisa Pukat.

“Kau boleh mengigau apa saja menjelang kematianmu,” geram pemilik kedai itu.

Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Ia-pun segera mempersiapkan diri menghadapi orang-orang yang telah mengepungnya.

Demikianlah, sejenak kemudian bertempuran-pun telah terjadi. Pemilik kedai itu telah menyerang dengan garangnya. Disusul oleh kedua orang pelayannya. Sementara itu, yang lain masih saja termangu-mangu di sekitar arena pertempuran itu. Mereka masih menilai apa yang terjadi.

Sementara itu, sebenarnyalah mereka menganggap pemilik kedai dan kedua orang pelayannya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, karena sebenarnyalah mereka adalah petugas sandi yang mendapat kepercayaan untuk mengawasi Kotaraja Singasari. Kedai itu tidak lebih dari kedok yang menyamarkan tempat pertemuan para petugas sandi yang bertugas mengamati Kotaraja Singaraja. Sedangkan pemilik kedai itu adalah orang yang mengatur segala-galanya bagi para petugas sandi itu.

Sejenak kemudian, pertempuran-pun menjadi semakin sengit, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertempur berpasangan menghadapi ketiga orang yang bersenjata kapak itu. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak membiarkan diri mengalami kesulitan sehingga mereka-pun mempergunakan pedang mereka pula. Pemilik kedai itu memang sempat terkejut melihat pedang Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk menilainya, karena Mahisa Pukat justru telah menyerangnya.

Dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sendiri tidak mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Mahisa Semu-pun masih juga mampu bertahan dalam pertempuran itu, karena lawan-lawannya baru tiga orang yang bergerak. Dua orang yang bertempur lebih dahulu telah bergeser menepi dan bahkan bergantian menyaksikan pertempuran itu.

Namun menurut penilaian Mahisa Pukat, jika yang lain turun pula ke arena, maka Mahisa Semu akan segera mengalami kesulitan. Tetapi untuk sementara Mahisa Pukat masih belum mengambil langkah-langkah penyelamatan. Ia masih berharap bahwa Mahisa Semu akan mampu mengatasi segala kesulitan yang bakal datang.

Sebenarnyalah, ketiga orang bersenjata kapak itu juga tidak mampu menekan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan sekali-sekali ketiganya harus berloncatan menjauhi kedua orang anak muda itu.

Pemilik kedai yang mendapat tugas untuk mengatur segala sesuatunya mengenai pengamatan atas Kotaraja itu, ternyata tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengalahkannya anak-anak muda yang semula dianggapnya tidak banyak berarti itu. Karena itu, maka pemilik kedai itu-pun telah memberikan isyarat kepada semua orang-orangnya untuk bergerak.

“Kita tidak mempunyai banyak waktu,” berkata pemilik kedai itu.

Dengan demikian, maka sepuluh orang itu-pun telah bergerak bersama-sama. Mereka melangkah dengan hati-hati mendekati pusat lingkaran dengan senjata teracu.

“Kita harus dengan cepat menyeretnya dan menguburnya di belakang kedai ini,” berkata pemilik kedai itu, “Sebentar lagi, iring-iringan prajurit itu agaknya akan kembali setelah mereka yakin tidak akan menemukan apa yang mereka cari.”

Serentak sepuluh orang itu-pun bergerak. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun tidak sekedar menunggu. Dengan tangkasnya keduanya justru meloncat menyambar orang-orang yang mengepung mereka itu. Dengan demikian maka pertempuran-pun segera telah berlangsung dengan sengitnya. Sepuluh orang yang berusaha membunuh kedua orang anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Mereka bukannya orang-orang yang sama sekali tidak berdaya. Itulah sebabnya maka beberapa saat kemudian, maka Mahisa Semu benar-benar mengalami kesulitan. Betapapun Mahisa Pukat mengerahkan segenap kemampuannya, memancing lawan agar perhatian mereka sebagian terbesar tertuju padanya, namun Mahisa Semu masih saja mengalami kesulitan.

Bahkan sejenak kemudian, ujung pedang seorang di antara mereka telah menyentuh kulit Mahisa Semu. Memang tidak menimbulkan luka yang mencemaskan. Tetapi seleret luka itu telah menitikkan darah. Mahisa Semu mengeram oleh kemarahan yang mulai memanasi darahnya. Tetapi bagaimana-pun juga, ia harus mengakui keterbatasannya. Bahkan ilmunya masih jauh dari ilmu yang dimiliki oleh Mahisa Pukat.

Kesepuluh orang lawannya, nampaknya dapat membaca kelemahan kedua orang anak muda itu. Karena itu, serangan-serangan berikutnya justru lebih banyak ditujukan kepada Mahisa Semu. Mahisa Pukat-pun mengerti perhitungan ladannya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempercepat pertempuran itu dengan menundukkan lawan-lawannya.

Ketika Mahisa Semu harus berloncatan mengambil jarak untuk menghindari serangan lawan-lawannya, bahkan tajam kapak pemilik kedai itu juga telah menyentuh kulit Mahisa Semu, maka Mahisa Pukat telah benar-benar menjadi marah. Ia-pun kemudian telah melepaskan ilmunya yang seakan-akan tersembunyi dibalik kemampuannya dalam ilmu pedang.

Mahisa Pukat-pun kemudian telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya sehingga dengan demikian maka perlawanan mereka-pun akan segera mengendor.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat-pun telah menghentakkan kemampuan ilmu pedangnya. Sambil berloncatan maka pedangnya bergerak menyambar-nyambar, berputar, kemudian berayun menyilang, mematuk dan sekali-sekali menebas ke arah leher.

Dengan demikian maka tekanan terhadap Mahisa Semu-pun sedikit mengendor. Namun beberapa orang telah mendapat kesempatan untuk dengan cepat berusaha menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.

Mahisa Semu memang harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghadapi lawan-lawannya yang mempunyai perhitungan yang justru semakin menyulitkannya. Mereka justru berusaha sejauh mungkin untuk menekan dan menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.

Tetapi Mahisa Pukat yang bagaikan meloncat-loncat berterbangan mengelilingi arena itu memang agak mempersulit gerak lawan-lawannya. Tetapi hampir semuanya di antara mereka berpikir, bahwa dengan caranya itu, Mahisa Pukat tidak akan mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama. Beberapa saat lagi, anak muda itu tentu akan kehabisan tenaga dan dengan demikian maka mereka akan dengan mudah menyelesaikannya.

“Bahkan mungkin kami akan dapat menyelesaikan kedua-duanya bersamaan,” berkata pemilik kedai itu dengan para pembantunya yang tanggap telah memancing agar Mahisa Pukat bergerak lebih banyak. Bahkan ada di antara mereka yang memancing Mahisa Pukat untuk berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Dengan demikian mereka mengharap agar Mahisa Pukat dengan cepat kehilangan sebagian besar dari tenaganya.

Mahisa Pukat memang berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Pedangnya menyambar-nyambar. Setiap kali terdengar dentang senjatanya beradu. Hampir setiap orang di antara sepuluh orang itu, pernah membenturkan senjatanya dengan pedang Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Semu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan langkah-langkah Mahisa Pukat yang panjang dan garang.

Sebenarnyalah Mahisa Pukat memang dengan sengaja membiarkan dirinya terpancing dengan gerakan-gerakan panjang. Dengan demikian, maka Mahisa Semu akan mendapat kesempatan bergerak lebih luas, sementara lawannya yang berjarak jauh, tidak akan menekannya dengan ketat. Sedangkan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk menyentuh mereka seorang demi seorang.

Beberapa orang di antara kesepuluh orang itu dengan geramnya telah berusaha untuk menghentikan putaran pedang Mahisa Pukat. Beberapa kali terjadi benturan-benturan yang keras. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak berminat lagi untuk melemparkan senjata lawan-lawannya.

Meskipun demikian, tetapi sekali sekali Mahisa Semu memang mengalami kesulitan. Segores luka lagi telah menyilang di punggungnya. Tidak terlalu dalam, tetapi memanjang melintang.

Mahisa Pukat benar-benar menjadi cemas. Namun luka-luka di tubuh Mahisa Semu sama sekali tidak mengurangi tenaga dan kemampuannya. Ilmu pedangnya masih mendebarkan lawan-lawannya, sementara Mahisa Pukat bertempur bagaikan seekor burung sikatan berburu bilalang.

Sepuluh orang yang dengan geramnya berusaha membunuh kedua orang anak muda itu menjadi semakin bernafsu ketika mereka melihat darah yang mengembun di tubuh Mahisa Semu bercampur dengan keringat. Mereka semakin pasti, bahwa mereka akan dapat menyelesaikan kedua orang anak muda yang mereka anggap telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit Singasari.

Sebenarnyalah, Mahisa Semu memang menjadi semakin terdesak. Selain darahnya yang mengalir, tenaganya-pun mulai susut. Apalagi semakin kuat ia mengerahkan tenaganya, maka darah-pun menjadi semakin deras mengalir dari tubuhnya.

“Jangan menyesal anak muda,” geram pemilik kedai itu, “Kalian berdua akan mati dan akan kami kuburkan di belakang kedai ini. Tetapi karena kalian telah melawan, maka jalan kematian kalian akan menjadi sangat buruk. Mungkin kalian tidak pernah membayangkan bahwa kalian akan mati muda dengan cara yang mengerikan sekali, karena kalian akan merasakan betapa gelapnya lubang kubur itu. Untuk beberapa saat kalian akan tetap hidup meskipun kalian telah ditimbuni dengan tanah dan bebatuan.”

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Namun Mahisa Pukat justru bergerak lebih cepat lagi. Disentuhnya setiap ujung pedang lawan-lawannya dan setiap kali sentuhan itu berusaha diulanginya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika keadaan Mahisa Semu menjadi semakin parah, maka beberapa orang di antara sepuluh orang itu merasa aneh dengan dirinya sendiri. Mereka tidak lagi setangkas sebelumnya. Meskipun mereka dapata mengerti bahwa tenaga mereka akan susut, tetapi tentu tidak akan secepat yang terjadi.

Satu dua orang yang luput dari sentuhan senjata Mahisa Pukat memang masih tetap garang. Namun Mahisa Semu tidak lagi merasa betapa beratnya tekanan lawan-lawannya. Ketika tinggal satu dua orang yang menyerangnya dengan garang, maka Mahisa Semu masih mampu mengatasinya dengan ilmu pedangnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat berusaha untuk menyentuh pula senjata dari mereka yang masih tetap bertempur dengan garangnya. Mereka yang masih belum dipengaruhi oleh ilmunya yang mampu menyerap tenaga dan kemampuan lawan-lawannya.

Mula-mula mereka sama sekali tidak menghiraukan sentuhan-sentuhan pedang Mahisa Pukat. Mereka mengira bahwa tenaga Mahisa Pukat memang sudah menjadi susut. Karena itu, maka sentuhan- sentuhan pedangnya tidak lagi menggetarkan senjata lawannya.

Namun yang terjadi kemudian adalah sama sekali tidak mereka ketahui sebab-sebabnya. Tenaga mereka telah menjadi susut dengan cepat. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh orang itu menjadi tidak berbahaya sama sekali bagi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Mahisa Pukat sengaja melepaskan ilmunya dan tidak lagi berusaha menghisap sisa tenaga yang ada. Tetapi Mahisa Pukat telah berbisik ditelinga Mahisa Semu, “Kita bertahan sampai para prajurit itu kembali.”

“Ya,” jawab Mahisa Semu.

“Apakah luka-lukamu berbahaya?” bertanya Mahisa Pukat

“Tidak. Hanya terasa menjadi pedih oleh keringat,” jawab Mahisa Semu.

“Tenagamu mulai susut,” desis Mahisa Pukat.

“Bukan karena darah yang mengalir terlalu banyak,” jawab Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar hanya sekedar bertahan. Tetapi sepuluh orang itu tidak lagi terasa garang. Gerak mereka menjadi lamban sekali. Ayunan senjata mereka tidak lagi menimbulkan desir angin. Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak merasa perlu lagi untuk mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka melayani lawan-lawan mereka dengan sekedar bergeser menghindar dan berloncatan.

“Jangan lari!” pemilik kedai itu masih berteriak.

Mahisa Pukat justru tertawa sambil menjawab, “Apakah kau akan mampu mengejar aku? Aku tidak akan lari. Tetapi kau-pun tidak akan mampu menangkap aku.”

Pemilik kedai itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin meloncat, menerkam Mahisa Pukat. Tetapi ketika hal itu dilakukan justru ia hampir saja jatuh terjerembab. Sepuluh orang itu rasa-rasanya menjadi kelelahan dan kehilangan tenaga mereka. Karena itu, maka mereka-pun telah mengumpat-umpat kasar.

Apalagi ketika mereka melihat debu di kejauhan. Mereka menyadari bahwa para prajurit itu telah kembali ketika mereka merasa kehilangan jejak buruan mereka.

Dengan lantang Mahisa Pukat berkata, “Mahisa Semu. Tahan mereka, sehingga tidak seorang-pun yang melarikan diri.”

Orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu memang menjadi bingung. Satu dua di antara mereka memang ingin melarikan diri. Tetapi Mahisa Semu dan Mahisa Pukat selalu berhasil menahan mereka dan menyeretnya kembali kearena perkelahian itu. Agaknya sepuluh orang yang menjadi lemah itu tidak juga mampu untuk berlari lebih cepat dari jangkauan tangan Mahisa Semu dan Mahisa Pukat.

Ada di antara mereka yang telah melemparkan senjatanya untuk menyatakan diri tidak terlibat dalam pertempuran itu. Namun Mahisa Semu akan dapat menunjukkan senjata-senjata yang telah dilemparkan itu. Dengan demikian, ketika sekelompok prajurit itu kembali dari perburuan mereka yang gagal, maka mereka heran melihat apa yang telah terjadi.

Pemimpin prajurit itu-pun telah bertanya dengan lantang, “Apa yang terjadi di sini?”

“Ternyata dugaan kami benar,” berkata Mahisa Pukat, “Mereka telah mendendam kami dan berusaha untuk membunuh kami berdua.”

“Lalu?” desak pemimpin sekelompok prajurit itu.

“Kami terpaksa melawan,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Ia memang ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata Mahisa Pukat itu. Namun sebelum ia menyatakan sesuatu, prajurit yang-mengenali dua orang buruan itu-pun dengan serta merta berkata, “Itulah mereka. Dua orang yang kita cari.”

“Kenapa tiba-tiba keduanya ada di sini?” bertanya pemimpin sekelompok prajurit itu.

“Mereka bersembunyi di atap,” jawab Mahisa Pukat, “Sementara itu, ternyata pemilik kedai ini serta orang-orang yang aku kira sedang membeli minuman dan makanan itu adalah kawan-kawan mereka.”

Pemilik kedai itu merasa tidak ada gunanya untuk membantah. Anak muda yang seorang itu telah terluka. Luka-luka itu akan dapat ikut berbicara tentang diri mereka. Sebenarnyalah pemimpin prajurit itu juga melihat luka di tubuh Mahisa Semu. Karena itu maka ia-pun dengan cepat dapat mengambil kesimpulan bahwa memang telah terjadi pertempuran didepan kedai itu. Atas permintaan pemimpin prajurit itu, Mahisa Pukat telah menceritakan apa yang telah terjadi. Ia-pun menunjukkan luka-luka di tubuh Mahisa Semu.

“Jadi kalian berhasil mengalahkan sepuluh orang itu?” bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.

“Mungkin hanya satu kebetulan,” jawab Mahisa Pukat.

Namun pemimin prajurit itu melihat bahwa sepuluh orang itu seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk meneruskan pertempuran, sementara kedua orang anak muda itu masih kelihatan tegar, meskipun seorang di antara mereka terluka.

Namun untuk meyakinkan kenyataan yang dihadapinya, pemimpin prajurit itu-pun bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian berdua anak muda.”

“Kami datang dari sebuah padepokan yang jauh. Kami ingin mengunjungi ayahku yang telah lebih dahulu pergi ke Singasari,” jawab Mahisa Pukat.

“Siapakah nama ayah kalian. Barangkali aku pernah mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Ayahku seorang pedagang keliling. Namanya Mahendra.” jawab Mahisa Pukat.

“Ki Mahendra, adik seperguruan Mahisa Agni dan Witantra yang telah tidak ada lagi?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Ya. Agaknya itulah ayahku, adik seperguruan paman Witantra, bukan paman Mahisa Agni,” jawab Mahisa Pukat.

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya. “Ya. Aku tahu. Ki Mahendra berada di istana. Aku-pun menjadi percaya atas kenyataan yang aku hadapi. Sepantasnya jika kalian dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus. Jika saja kalian bukan anak Ki Mahendra, mungkin aku masih bimbang untuk mengakui kenyataan yang terjadi ini.”

Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun ia-pun berkata, “Terserah orang-orang itu kepada kalian. Jangan dipaksa untuk terlalu banyak bergerak. Mereka memang telah kehilangan sebagian dari kekuatan mereka. Karena itu, maka jika kalian membawanya ke Singasari, kalian tentu memerlukan waktu yang panjang. Mereka akan berjalan lamban dan barangkali harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ada.”

Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan membawa mereka ke Singasari. Biarlah mereka membenahi kedainya lebih dahulu.”

“Kami akan mendahului kalian,” berkata Mahisa Pukat.

“Bagaimana dengan luka-luka itu?” bertanya pemimpin prajurit itu.

Mahisa Pukat memandangi Mahisa Semu sejenak. Namun Mahisa Semu-pun berkata, “Tidak apa-apa. Bukankah luka-luka itu hanya sekedar goresan-goresan kecil?”

“Tetapi biarlah darahnya tidak mengalir lagi,” berkata pemimpin prajurit itu, “Aku membawa obat untuk kepentingan sementara.”

Namun Mahisa Pukat-pun menyahut, “Baiklah. Bukan karena lukanya yang parah. Tetapi biarlah tidak menarik perhatian banyak orang.”

Namun kemudian Mahisa Semu tidak sekedar mengobati luka-luka dengan obat yang dibawanya sendiri. Tetapi ia sempat pergi ke sumur untuk membersihkan darahnya yang mengotori tubuhnya, meskipun terasa pedih.

Selagi Mahisa Semu membenahi dirinya, maka Mahisa Pukat sempat menyaksikan para perajurit yang menawan sepuluh orang buruan. Dua di antara para tawanan adalah orang yang memang sedang mereka cari. Sedangkan yang lain, karena mereka terlibat pula, maka mereka-pun telah menjadi tawanan pula.

Namun melihat keadaan kesepuluh orang yang sudah menjadi lemah itu, maka para prajurit merasa tidak perlu mengikat tangan mereka. Para prajurit membiarkan saja mereka bebas tanpa terikat tangan dan kakinya. Sepuluh orang itu tidak akan dapat melarikan diri apalagi melawan.

Beberapa orang prajurit memang bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi atas kesepuluh orang itu sehingga mereka benar-benar telah kehilangan sebagian besar dari tenaga mereka. Tetapi pemimpin para prajurit itu agaknya mengerti, bahwa keadaan itu tentu ditimbulkan oleh satu kekuatan yang belum mereka mengerti yang dipancarkan oleh anak-anak muda itu.

Beberapa saat kemudian, setelah Mahisa Semu selesai, maka Mahisa Pukat-pun telah minta diri kepada para prajurit Singasari itu untuk mendahului mereka, karena perjalanan para prajurit itu tentu akan menjadi sangat lamban. Para tawanan itu tidak akan dapat berjalan cepat, meskipun seandainya mereka dilecut sekali-pun.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersiap meninggalkan kedai yang telah ditutup itu. Pemimpin prajurit yang kemudian mengetahui bahwa Mahisa Pukat itu adalah anak Mahendra, berkata dengan nada rendah, “Kami minta maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Sebenarnya semula aku juga merasa segan untuk kembali sampai kekedai ini. Tetapi ternyata hal itu ada juga hasilnya, sehingga apa yang kita lakukan bersama-sama tidak sia-sia.”

“Ya,” desis pemimpin prajurit itu, “Tetapi tanpa kalian kami tidak akan berhasil melakukan tugas ini.”

Mahisa Pukat tersenyum. Namun ia telah mengajak Mahisa Semu untuk melanjutkan perjalanan. Mahisa Semu-pun masih sempat juga minta diri untuk kemudian segera berpacu mengikuti derap kaki kuda Mahisa Pukat.

Sementara itu, para prajurit dan sepuluh orang yang tertawan itu sempat memandangi kedua ekor kuda yang berlari meninggalkan kepulan debu yang kelabu.

“Nah,” berkata pemimpin prajurit itu, “Sekarang baru kalian tahu dengan siapa kalian berhadapan.”

Kesepuluh orang itu termangu-mangu. Mereka memang tidak tahu siapakah kedua orang anak muda itu meskipun mereka mendengar pembicaraan antara pemimpin prajurit itu dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang tertawan itu memang belum tahu, siapakah Mahendra itu.

Namun pemimpin prajurit itu berkata, “Ketahuilah bahwa anak-anak muda itu adalah anak Ki Mahendra. Ki Mahendra adalah saudara seperguruan dari seorang yang bernama Witantra yang pernah berada di Kediri sebagaimana Mahisa Agni.”

Para tawanan itu mulai merenungkan kata-kata itu. Mereka mulai dapat membayangkan, bahwa Mahendra tentu orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka anaknya-pun memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga mereka bersepuluh tidak mampu sama sekali menghadapinya.

Namun dalam pada itu, pemimpin prajurit itu-pun berkata lantang, “Marilah. Kita-pun akan segera pergi ke Singasari. Beruntunglah kalian menjumpai lawan sebagaimana kedua orang anak muda itu. Meskipun seandainya mereka kehendaki mereka dapat membunuh kalian semuanya.”

Tetapi tiba-tiba pemilik kedai itu berkata, “Mereka dan juga kalian tidak akan membunuh kami, karena kalian memerlukan keterangan kami. Namun satu hal yang perlu kalian ketahui, tidak sepatah kata-pun akan dapat kalian peras dari mulut kami.”

Wajah pemimpin prajurit itu berkerut. Namun kemudian ia-pun berkata, “Kami dapat membunuh beberapa di antara kalian. Kami akan dapat mensisakan satu orang atau dua orang atau tiga orang. Tetapi jika kami kehendaki kami akan mensisakan sembilan orang saja. Seorang di antara mereka akan kami bunuh tanpa senjata dan tidak menyeret orang yang kesepuluh itu di belakang kaki kuda kami.”

Pemilik kedai itu menegang sejenak. Nampaknya ada sesuatu yang ingin diteriakkannya. Namun pemimpin prajurit itu berkata, “Siapkan tali sabut kelapa itu. Siapkan kuda yang paling tegar di antara kuda-kuda kita.”

“Kuda Ki Lurah sendiri,” desis seorang prajurit.

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berdesis, “Ya. Kudaku sendiri.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak mengulangi lagi kata-katanya. Nampaknya ia-pun menjadi cemas bahwa para prajurit itu benar-benar akan memperlakukannya dengan kasar. Demikianlah, sejenak kemudian, maka sepuluh orang tawanan itu telah diperintahkan untuk beijalan di depan. Kemudian para prajurit yang berkuda itu mengikutinya di belakang. Mereka berjalan lambat sekali. Para tawanan yang benar-benar nampak lemah dan hampir tidak bertenaga. Namun mereka memang terpaksa untuk menempuh jarak yang cukup jauh.

Para prajurit itu sebenarnya memang tidak telaten. Tetapi mereka tidak dapat memaksa orang-orang itu berjalan lebih cepat meskipun mereka disakiti sekali-pun. Bahkan mereka akan dapat menjadi pingsan dan justru tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mendekati pintu gerbang Kotaraja. Keduanya memang menjadi ragu-ragu. Namun keduanya-pun kemudian telah memasuki pintu gerbang induk Kotaraja Singasari.

Para petugas yang ada di pintu gerbang telah menghentikannya. Agaknya penjagaan di pintu gerbang itu lebih ketat dari biasanya. Meskipun Mahisa Pukat sudah lama tidak melalui pintu gerbang itu, namun terasa sikap dan tanggapan para petugas terhadap orang-orang yang melewati pintu gerbang itu.

Namun ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah tertahan di pintu gerbang. Berhubung dengan laporan tentang dua orang berkuda yang dicurigai, maka pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang telah menaruh perhatian terhadap kedua orang anak muda itu. Meskipun ciri-ciri yang disebutkan berbeda, tetapi para prajurit itu harus berhati-hati menghadapi para prajurit sandi yang terbiasa mempergunakan penyamaran.

“Duduklah di gardu,” berkata seorang prajurit, “Kalian harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawaban kalian tidak meyakinkan, maka kalian akan dihadapkan kepada prajurit yang pernah memberikan laporan tentang kehadiran prajurit sandi dari Kediri.”

“Bukankah tidak ada masalah antara Singasari dan Kediri?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kamilah yang akan bertanya kepada kalian. Bukan sebaliknya,” sahut prajurit itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berniat untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan. Karena itu, maka keduanya mdakukan apa yang diperintahkan oleh para prajurit itu.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk di gardu di sebelah pintu gerbang induk Singasari. Mereka telah menambatkan kuda-kuda mereka di belakang gardu itu.

Pertanyaan yang pertama, yang dilontarkan oleh seorang prajurit yang ditugaskan untuk meneliti kedua orang anak muda itu adalah, “Kalian petugas sandi dari Kediri?”

“Bukan,” jawab Mahisa Pukat. Anak muda itu masih akan memberikan keterangan.

Tetapi prajurit itu memotongnya, “Jawab pertanyaanku saja.”

Mahisa Pukat-pun terdiam.

“Kenapa kau mengamati keadaan Kotaraja Singasari? Bukankah Kediri termasuk wilayah Singosari?” desak prajurit itu.

Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Namun kemudian ia menjawab, “Kami tidak mengamati Kotaraja. Kami baru akan memasuki Kotaraja.”

“Kau tidak perlu berbohong. Kami sudah mendapat keterangan tentang dua orang petugas sandi yang dikirim oleh Kediri. Sikap itu telah membuat Singasari justru memperhatikan perkembangan Kediri sekarang ini,” berkata prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sulit baginya untuk memberikan penjelasan karena prajurit itu nampaknya tidak senang mendengar jawaban selain yang sudah disiapkan di kepalanya. Namun karena itu Mahisa Pukat justru berkata, “Ternyata tidak hanya dua orang yang telah dikirim oleh sekelompok orang di Kediri. Tetapi sepuluh orang.”

Prajurit itu terkejut. Tiba-tiba saja ia membentak, “Jadi kau bersama dengan sepuluh orang datang ke Kotaraja?”

“Bukan aku,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau jangan mencoba untuk mempermainkan kami,” geram prajurit itu, “Kau tahu bahwa aku dapat membunuh kalian berdua tanpa persoalan apapun.”

“Itukah yang pantas dilakukan oleh seorang prajurit?” bertanya Mahisa Pukat.

Wajah prajurit itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Iblis kau. Sebut, siapakah kawan-kawanmu itu.”

Beberapa orang prajurit telah tertarik mendengar bentakan-bentakan yang keras itu, sehingga beberapa orang di antara mereka telah mendekat.

“Apa katanya?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ia mengaku datang ke Kotaraja bersama dengan sepuluh orang,” jawab prajurit itu.

“Sepuluh orang?” beberapa di antara para prajurit itu bertanya hampir berbareng.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan sejenak. Namun agaknya Mahisa Semu-pun mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia-pun hanya berdiam diri saja.

Pemimpin prajurit yang bertugas yang nampaknya mendengar pula pernyataan Mahisa Pukat itu-pun telah melangkah mendekat sambil berkata, “Aku minta kau berkata dengan bersungguh-sungguh. Kau tahu akibatnya jika kau mencoba mempermainkan kami. Katakan, apakah benar kau datang bersama sepuluh orang petugas sandi dari Kediri.”

“Bukan kami bersama sepuluh orang. Tetapi petugas sandi dari Kediri itu ada sepuluh orang,” jawab Mahisa Pukat.

Wajah pemimpin prajurit itu menjadi tegang. Katanya, “Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang bersama sepuluh orang petugas sandi dari Kediri.?”

Mahisa Pukat justru menjawab tegas, “Tidak.”

“Kesabaran kami sudah habis. Tetapi kami masih mencoba ingin mendengar jawabmu,” geram pemimpin kelompok itu.

“Aku dapat menjelaskan. Beri aku waktu untuk berbicara, agar persoalannya menjadi jelas,” berkata Mahisa Pukat.

“Bukankan kau sudah berbicara sejak tadi?” bentak pemimpin prajurit itu.

“Aku perlu kesempatan. Tadi aku sama sekali tidak boleh berbicara. Aku hanya boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan saja. Padahal yang akan aku jelaskan itu termasuk persoalan yang penting,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku tidak sabar,” teriak seorang prajurit, “Biarlah aku mencekikmu.”

“Seret anak anak itu ke tengah halaman. Ikat pada tonggak-tonggak kayu itu. Kita akan bertanya kepada mereka dengan cemeti di tangan.” teriak yang lain.

Mahisa Semu memang menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Pukat masih nampak tenang-tenang saja. Bahkan ia berkata, “Dengan siapa sebenarnya aku berhadapan? Dengan prajurit Singasari? Prajurit Kediri atau berhadapan dengan sekelompok orang yang tidak terkendali oleh paugeran apapun juga sehingga dapat berbuat sesuka hati?”

“Diam kau,” teriak pemimpin prajurit itu.

“Bagaimana aku harus diam? Kalian harus mendengarkan penjelasanku. Sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu sudah tertangkap. Akulah yang menangkap mereka,” Mahisa Pukat-pun telah berteriak pula.

Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan mereka saling berpandangan. Namun seorang di antara mereka berkata lantang, “Kau sedang mengigau anak-anak muda.”

“Aku berkata sebenarnya. Tunggulah kawan-kawanmu yang sedang menggiring sepuluh orang petugas sandi itu. Sekelompok prajurit berkuda itu akan datang dengan membawa para tawanan. Bertanyalah kepada mereka, siapakah yang telah menangkap para petugas sandi itu,” berkata Mahisa Pukat dengan lantang.

Ternyata sikap Mahisa Pukat cukup meyakinkan mereka, sehingga karena itu, maka pemimpin prajurit itu bertanya, “Apakah kau tidak berbohong? Sekelompok prajurit berkuda memang sedang mengejar para petugas sandi. Tetapi hanya dua orang. Bukan sepuluh.”

“Sudah aku katakan, tidak hanya dua orang. Tetapi sepuluh.” jawab Mahisa Pukat.

“Bohong,” teriak salah seorang prajurit.

“Selesaikan dengan cara yang sesuai dengan sikap seorang prajurit,” geram prajurit yang lain.

“Bagaimana menurut pendapatmu cara yang sesuai dengan sikap seorang prajurit?” terdengar seseorang bertanya.

Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang perwira dari pasukan berkuda telah berada di dalam pintu gerbang. Dua orang prajurit yang bertugas hanya memandanginya dengan bingung.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya perwira prajurit dari pasukan berkuda yang memimpin sekelompok prajurit berkuda mencari jejak dari orang-orang yang disangka petugas sandi dari Kediri itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun mengenali perwira yang berada di pintu gerbang itu. Karena itu, maka keduanya telah melangkah mendekati, “Dimana para tawanan itu?”

“Bersama pasukan kami,” jawab pemimpin prajurit berkuda yang masih duduk dipunggung kudanya, “Aku sengaja mendahului mereka. Sebenarnya aku ingin mempersiapkan tempat bagi sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu.” ia berhenti sejenak, lalu katanya, “Apa yang terjadi di sini?”

“Nah, aku ingin bertanya,” berkata Mahisa Pukat, “Bagaimana jawabmu jika aku berkata bahwa aku dan adikkulah yang telah menangkap sepuluh petugas sandi dari Kediri itu.”

Perwira itu mengerutkan keningnya, sementara para prajurit yang bertugas di regol itu termangu-mangu. Bahkan mereka menjadi tegang ketika mereka melihat perwira yang masih duduk dipunggung kuda itu tersenyum. Kemudian jawabnya, “Ya. Kalian berdualah yang telah menangkap para tawanan itu. Bahkan seorang di antara kalian berdua telah terluka meskipun hanya goresan-goresan tipis di tubuh. Apa sebenarnya yang terjadi?.”

“Mereka menuduh aku justru petugas sandi dari Kediri,” jawab Mahisa Pukat.

Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian berkata, “Hanya salah paham saja. Lupakan.”

“Tunggu,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas di regol, “Jika benar orang-orang itu sudah menangkap sepuluh petugas sandi dari Kediri, manakah orang-orang itu?”

“Sudah aku katakan. Mereka akan segera datang bersama para prajurit berkuda. Aku mendahului mereka untuk menyiapkan tempat bagi para tawanan,” jawab pemimpin pasukan berkuda itu.

“Kenapa kau harus bersusah payah menyiapkan tempat bagi mereka? Bukankah tempat itu sudah ada. Kau tinggal membawanya kesana dan menyerahkan para tawanan itu kepada para prajurit yang bertugas.”

“Aku memang akan berbicara dengan para prajurit yang bertugas,” jawab pemimpin pasukan berkuda yang memburu petugas sandi itu.

“Sebaiknya kau menunggu pasukanmu dan sepuluh orang tawanan seperti yang kau katakan itu,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu.

Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia-pun bertanya, “Jadi kau juga mencurigai aku, bahwa aku akan menyelamatkan dua orang yang kau tuduh petugas sandi dari Kediri ini? Dengan demikian kau-pun menuduh bahwa aku telah berkhianat dan berpihak kepada Kediri?”

“Tidak sejauh itu,” jawab pemimpin prajurit yang bertugas itu, “Aku hanya ingin berhati-hati dengan tugasku.”

“Aku tidak mau kalian perlakukan seperti itu,” berkata pemimpin prajurit berkuda itu. Lalu katanya kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Marilah. Kita masuk ke Kotaraja. Bukankah kau akan berbicara dengan ayahmu?”

“Tunggu,” potong pemimpin prajurit yang bertugas, “Aku minta kalian menunggu seluruh pasukan berkuda dan sepuluh orang tawanan seperti yang kau katakan.”

“Aku tidak peduli,” jawab perwira prajurit berkuda itu, “Jika kau memaksa aku menunggu mereka, maka pasukanku akan menahan kalian dengan tuduhan menghambat tugas yang dibebankan kepada kami, pasukan berkuda. Jika kalian menolak, maka kita akan bertempur. Aku tidak peduli apakah aku akan ditangkap karena telah bertempur dengan sesama prajurit Singasari dan akan diadili. Tetapi aku mempunyai harga diri.”

“Kami-pun mempunyai harga diri,” jawab prajurit yang bertugas.

Tetapi perwira pasukan berkuda itu berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Ambil kuda-kuda kalian.”

Keduanya-pun kemudian telah mengambil kuda-kuda mereka. Sementara para prajurit yang bertugas telah bersiap pula. Pemimpinnya-pun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya untuk berpencar.

Perwira pasukan berkuda itu-pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat, “Kau tadi dapat mengalahkan sepuluh orang hanya berdua. Sekarang, kita bertiga. Di sini ada kira-kira sepuluh orang prajurit.”

“Kalian akan melawan prajurit yang sedang menjalankan tugasnya?” bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu.

Tetapi perwira prajurit berkuda itu-pun bertanya, “Jadi kau juga akan dengan sengaja menghambat tugasku?”

Kedua belah pihak-pun kemudian telah bersiap. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang juga tersinggung atas perlakuan para prajurit itu ternyata tidak berpikir panjang. Mereka-pun kemudian telah bersiap pula.

“Aku adalah perwira dari pasukan berkuda,” berkata pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu, “Aku akan bertempur di atas punggung kuda. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas kalian.”

Orang-orang yang lalu lalang di pintu gerbang induk itu semula tidak memperhatikan apa yang akan terjadi. Mereka mengira bahwa prajurit-prajurit itu sedang bercakap-cakap seperti biasa. Atau barangkali sedikit bertengkar tentang persoalan-persoalan kecil yang terjadi di antara mereka. Namun kemudian mereka melihat bahwa pertengkaran itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu mulai memencar.

Namun dalam pada itu, ketika keadaan menjadi semakin panas, mereka telah melihat iring-iringan pasukan berkuda di kejauhan. Mereka maju dengan sangat lambat karena orang-orang yang telah mereka tawan tidak dapat berjalan lebih cepat lagi.

Perwira pasukan berkuda yang melihat pasukannya di kejauhan itu tiba-tiba telah menggerakkan tali kudanya. Demikian tiba-tiba sehingga kuda itu meloncat dan berpacu dengan kencang. Namun ia masih sempat berteriak, “Anak-anak muda. Tunggu aku di situ.”

Para prajurit yang bertugas memang terkejut. Mereka tidak sempat menahan. Sementara perwira itu berpacu dengan cepat menuju ke pasukannya yang berjalan lamban. Para prajurit yang bertugas di regol itu menjadi berdebar-debar. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berdiri tegak di sisi kuda mereka. Namun mereka tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat susunan menjadi tegang. Beberapa orang prajurit yang bertugas itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh perwira itu. Apakah ia sekedar berlindung di dalam pasukannya, atau ia mempunyai niat lain.

Beberapa saat kemudian, maka perwira itu telah sampai ke pasukannya. Para prajurit yang berada di regol tidak tahu perintah apa yang diberikannya kepada prajurit-prajuritnya. Namun sejenak kemudian separo dari prajurit berkuda itu-pun telah meninggalkan pasukannya, berpacu mengiringi pemimpinnya. Sementara delapan atau sembilan orang yang lain tetap mengawal sepuluh orang yang sudah menjadi lemah. Bahkan mereka seakan-akan tidak mampu lagi untuk meneruskan perjalanan. Delapan orang prajurit berkuda telah berpacu ke pintu gerbang kota. Asap yang kelabu mengepul tinggi.

Pemimpin prajurit di regol itu berdiri tegak didepan pintu gerbang yang terbuka lebar. Ia-pun segera tanggap, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu akan mempergunakan kekerasan. Agaknya ia benar-benar tersinggung mendapat perlakuan dari para prajurit di pintu gerbang. Tetapi segalanya telah terjadi. Pemimpin prajurit di pintu gerbang itu harus mempertanggungjawabkannya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian sempat juga melihat sekelompok prajurit berkuda berpacu menuju ke pintu gerbang. “Kesalah pahaman itu telah berkembang,” desis Mahisa Pukat.

“Aku akan bertanggung jawab,” geram pemimpin prajurit itu.

“Ada seribu macam bentuk pertanggungjawaban,” desis Mahisa Pukat

“Kau tidak usah ikut campur,” bentak pemimpin prajurit itu.

Mahisa Pukat tidak berbicara lagi. Ia memang tidak sebaiknya mencampuri persoalan para prajurit. Namun dengan demikian Mahisa Pukat mengetahui bahwa di antara para prajurit kadang-kadang dapat terjadi salah paham. Apalagi antara kesatuan sehingga dapat menimbulkan akibat yang justru merugikan segala pihak.

Beberapa saat kemudian, maka para prajurit dari pasukan berkuda itu telah memasuki pintu gerbang tanpa menghiraukan para prajurit yang bertugas. Ternyata perwira yang memimpin sekelompok pasukan berkuda itu seakan-akan tidak melihat para prajurit yang berada di sekitar pintu gerbang itu.

Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu berhenti sejenak sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Marilah. Kita teruskan perjalanan kita memasuki Kotaraja. Tidak akan ada orang yang menahan kalian. Nanti, kami antarkan kalian kepada ayah kalian, Ki Mahendra.”

Para prajurit yang berjaga-jaga di pintu gerbang saling berpandangan sejenak. Pemimpin prajurit berkuda itu sama sekali tidak menyapa mereka, seakan-akan mereka tidak ada di situ. Namun pemimpin prajurit yang bertugas di regol itu agaknya juga menahan diri. Meskipun ia tersinggung oleh sikap itu, tetapi ia menyadari, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu telah tersinggung pula oleh sikapnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka telah memasuki Kotaraja bersama sekelompok prajurit berkuda. Tidak terjadi benturan kekerasan antara kedua kesatuan yang berbeda dan masing- masing merasa sedang melakukan tugas mereka.

“Ternyata para pemimpinnya mampu menahan diri,” berkata Mahisa Pukat hampir berbisik ditelinga Mahisa Semu.

“Ya. Sukurlah,” sahut Mahisa Semu, “Jika terjadi benturan kekerasan, maka kita berdua akan terlibat.”

“Kita hanya sebagai saksi,” jawab Mahisa Pukat.

“Justru karena itu, kesaksian kita akan dapat tidak menguntungkan bagi salah satu pihak,” berkata Mahisa Semu.

“Ya. Mungkin pihak-pihak yang merasa kita rugikan akan mendendam kepada kita,” desis Mahisa Pukat.

Keduanya-pun terdiam. Mereka telah memasuki Kotaraja tanpa diganggu lagi oleh para prajurit yang bertugas di pintu gerbang.

“Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuasaan,” berkata pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu, “Aku dapat mengerti, karena itulah yang dapat mereka lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun mereka berkata di dalam hati, “Para prajurit di pintu gerbang itu tentu akan berkata lain.”

Tetapi sementara itu Mahisa Pukat sempat bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit yang membawa para tawanan?”

“Sudah jelas. Mereka justru tidak akan diganggu,” jawab pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

Mahisa Pukat-pun mengangguk-angguk. Ia-pun yakin, bahwa yang kemudian menyusul di belakang mereka itu tidak akan mengalami gangguan apapun juga.

Sementara itu, maka perwira pasukan berkuda itu berkata kepada Mahisa Pukat, “Aku akan menghubungi para petugas yang akan menerima para tawanan. Nanti aku antar kau ke istana.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi aku tidak perlu membuatmu menjadi sibuk.”

“Tidak. Tidak. Setelah aku menyerahkan para tawanan tugasku selesai,” berkata pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

“Kau tidak membuat laporan?” bertanya Mahisa Pukat.

Pemimpin sekelompok pasukan berkuda yang bertugas memburu dua orang petugas sandi dari Kediri dan ternyata justru berhasil menangkap sepuluh orang itu tersenyum. Katanya, “Tentu. Aku harus membuat laporan kepada Senapati yang memerintahku. Tetapi itu dapat aku lakukan setelah aku mengantarmu ke istana.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat.

Bertiga diiringi beberapa orang prajurit berkuda mereka telah menemui perwira yang bertugas di barak tahanan. Pemimpin pasukan berkuda itu telah memberitahukan, bahwa ia telah membawa sepuluh orang tahanan. Mereka adalah petugas, sandi dari Kediri.

“Tetapi bukan oleh pimpinan pemerintahan di Kediri apalagi oleh Sri Baginda,” berkata perwira pasukan berkuda itu.

“Jadi oleh siapa?” bertanya perwira yang bertugas di barak tahanan itu.

“Oleh para pemimpin termasuk para pangeran yang sejak semula tidak mau tunduk kepada persetujuan yang telah dibuat antara Kediri dan Singasari. Mereka merasa bahwa tidak sepantasnya Kediri tunduk kepada Singasari,” jawab pemimpin pasukan berkuda itu.

“Baiklah,” berkata perwira yang bertugas dibarak tahanan, “Mereka akan kami tempatkan di bilik yang khusus.”

“Mereka semuanya sepuluh orang,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu, “Letakkan mereka di dua atau tiga bilik agar mereka tidak sempat membicarakan rencana-rencana mereka atau menentukan sikap bersama.”

Perwira di barak tahanan itu mengangguk. Jawabnya, “Baik. Semuanya akan kami atur.”

Pemimpin pasukan berkuda itu-pun kemudian telah memerintahkan para prajurit yang menyertainya untuk menunggu kawan-kawannya. Ia sendiri akan pergi ke istana untuk mengantarkan kedua orang anak muda itu. Demikianlah maka diantar oleh perwira dari pasukan berkuda itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menuju ke istana. Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Jalan yang sudah agak lama tidak dilaluinya.

Di pintu gerbang samping istana Singasari mereka tidak menemui kesulitan apapun. Perwira dari pasukan berkuda itu telah menemui pemimpin prajurit yang bertugas dan mengatakan maksud kunjungan kedua orang anak muda itu.

“Jadi mereka anak-anak Ki Mahendra,” desis pemimpin prajurit yang bertugas itu.

“Ya. Mereka ingin menemui ayahnya,” jawab perwira dari pasukan berkuda itu.

Oleh seorang prajurit yang bertugas ketiga orang itu-pun telah diantarkan ke bangsal yang diperuntukkan bagi Mahendra di halaman belakang istana.

Mahendra agak terkejut melihat kedatangan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Keduanya serta perwira pasukan berkuda yang mengantar keduanya-pun dipersilahkan masuk ke bangsal yang memang khusus diperuntukkan bagi Mahendra itu.

Namun perwira prajurit berkuda itu tidak dapat ikut berbincang bersama mereka. Katanya, “Aku harus memberikan laporan tentang tugasku. Bahkan mungkin kalian berdua akan mendapat beberapa pertanyaan tentang para tawanan itu, karena kalian berdualah yang sebenarnya telah menangkap mereka.”

“Bukan kami,” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi kalian. Aku kira keterangan yang demikian akan lebih baik dan tidak akan menyangkut banyak pihak.”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Para tawanan itu juga punya mulut. Mereka dapat menceriterakan apa yang telah terjadi.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Para tawanan itu memang akan dapat berceritera tentang peristiwa yang telah terjadi. Bahkan mungkin dibumbui disana-sini sehingga persoalan menjadi lain dari peristiwa yang sebenarnya.

Adalah bijaksana pendapat perwira pasukan berkuda itu, bahwa sepuluh orang itu harus dipisah-pisahkan, sehingga mereka tidak sempat membuat keterangan palsu yang telah mereka rancang bersama. Meskipun Mahendra mempersilahkan perwira itu untuk singgah barang sejenak, namun ia telah minta diri karena ia harus memberikan laporan segera tentang tugas yang dibebankan kepadanya.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk berbincang dengan Mahendra. Yang ditanyakan pertama sekali adalah keselamatan penghuni padepokan Bajra Seta. Baru kemudian keperluan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu datang ke Singasari.

Mahisa Pukat-pun kemudian telah menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang datang untuk membalas dendam tidak begitu merisaukan. Namun kemudian hubungannya dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh orang-orang Kediri atau para pengikutnya.

“Tentu bukan karena Sri Baginda di Kediri,” berkata Mahisa Pukat yang justru pernah bekerja bagi tugas-tugas sandi di Kediri.

Mahendra mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami ingin memberikan peringatan tentang para petugas sandi Kediri yang tersebar. Ternyata di Kotaraja hal seperti itu juga terjadi dan sudah dimengerti.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Para pepimpin di Singasari telah mengetahui kegiatan seperti itu. Memang bukan kegiatan dari Sri Baginda di Kediri. Mereka adalah orang-orang yang selalu tidak puas dengan keadaan yang berkembang di Kediri sampai saat ini. Bukankah hal seperti ini sudah berlangsung lama? Dan kau sendiri justru pernah berada dilingkungan yang sedang bertentangan di Kediri itu sendiri?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun bertanya, “Jadi apa yang akan dilakukan oleh Singasari terhadap mereka. Para petugas sandi itu?”

“Kita memperlakukan mereka tidak sebagai prajurit atau petugas sandi Kediri,” jawab Mahendra.

“Maksud ayah? Mereka dianggap orang-orang liar atau bahkan pengkhianat?” Mahisa Pukat menjadi cemas.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak sekeras itu. Tetapi mereka bukanlah petugas satu atau prajurit dari satu negara yang sedang berperang dengan Singasari. Kepada para prajurit dan petugas yang menyerah, akan diperlakukan sesuai dengan sikap seorang kesatria yang menghadapi lawan yang sudah tidak berdaya.”

“Jadi, bukankah seperti yang aku katakan? Para petugas sandi itu tidak mendapat perlindungan paugeran sebagaimana seorang prajurit atau petugas satu negara yang tertangkap meskipun sedang bermusuhan?” desak Mahisa Pukat.

“Tetapi para prajurit Singasari masih memperlakukan mereka dengan cukup baik. Namun hukuman yang diberikan kepada mereka adalah hukuman yang paling sesuai dengan langkah-langkah yang telah mereka ambil,” jawab Mahendra.

“Hukuman mati?” bertanya Mahisa Pukat.

“Hanya mereka yang bertanggung jawab,” jawab Mahendra, “Tetapi Singasari tidak mudah menjatuhkan hukuman mati.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mengatakan apapun terhadap kebijaksanaan yang berlaku di Singasari. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatk-pun kemudian sempat pula bertanya, “Sementara ini ayah di Singasari telah berbuat apa saja? Apakah ayah ditetapkan sebagai hamba di istana ini atau kedudukan lain?”

“Ya. Aku telah menjadi salah seorang hamba di istana ini. Sebagaimana kakang Witantra dan kakang Mahisa Agni, aku ditugaskan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan atas beberapa hal yang dianggap penting,” jawab Mahendra.

“Jadi, jika ayah menganggap ada sesuatu yang penting, ayah datang menghadap Sri Maharaja?” bertanya Mahisa Pukat.

Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Tidak. Jika Sri Maharaja menganggap perlu berbicara dengan aku, maka aku dipanggilnya.” Mahendra berhenti sejenak, lalu katanya, “Memang agak berbeda dengan kakang Mahisa Agni yang telah dianggap keluarga sendiri. Bahkan Sri Maharaja dalam olah kanuragan telah mendapat tuntunan antara lain dari kakang Mahisa Agni. Demikian juga kakang Witantra meskipun jaraknya lebih jauh dari kakang Mahisa Agni. Dan sekarang, jarakku lebih jauh lagi. Barangkali Sri Maharaja ingin memberikan kedudukan yang terhormat kepadaku, karena aku adalah orang terdekat dari kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra.”

“Jika demikian, apakah tidak lebih baik ayah berada di padepokan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku juga berpikir demikian. Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu dekat. Aku harus menghormati uluran tangan Sri Maharaja kepadaku. Mungkin uluran itu akan sampai juga ke padepokan Bajra Seta. Setidak-tidaknya restu Sri Maharaja akan dapat mempunyai pengaruh yang besar di antara perguruan-perguruan yang lain,” jawab Mahendra.

“Tetapi bukankah kita dapat mandiri? Tanpa bantuan dari siapa pun padepokan dan perguruan Bajra Seta akan tetap tegar,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku percaya. Tetapi apa salahnya kita menerima uluran tangan Sri Maharaja? Apakah dengan demikian kita akan merasa terikat oleh kebaikan hati sehingga kita harus berbuat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sri Maharaja meskipun seandainya, sekali lagi aku katakan, seandainya itu bertentangan dengan nurani kita?” bertanya ayahnya.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Kita tidak usah dibayangi oleh perasaan seperti itu. Jika Sri Maharaja memberikan restu, tentu dengan niat baik. Kita-pun dapat menerimanya dengan baik pula. Seandainya kita kemudian berbuat bagi Singasari sesuai dengan nurani kita, apakah kita merasa bersalah? Kita memang dapat melihat dan berbicara tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan nurani kita. Tetapi bukankah tidak semuanya yang dilakukan oleh Sri Maharaja bertentangan dengan nurani kita?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Sudahlah,” berkata ayahnya, “Beristirahatlah. Maksud kedatanganmu ke Singasari sudah menjadi pertanda niat baik yang tumbuh dari hatimu. Bagaimana-pun juga, yang kau sampaikan kepadaku akan dapat menjadi bahan pertimbangan. Bahkan akar gerakan dari orang-orang Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda telah menjalar sampai ke padukuhan-padukuhan yang jauh dari Kotaraja.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata justru telah terjadi arus yang berbalik. Mahisa Pukat ternyata tidak membawa keterangan baru bagi Kotaraja tentang para petugas sandi, tetapi justru membawa berita bahwa petugas-petugas sandi itu telah sampai di padukuhan-padukuhan jauh diluar Kotaraja. Namun kedua-duanya memang hal yang penting untuk diketahui oleh para pemimpin di Singasari.

Dalam pada itu, maka Mahendra-pun bertanya kepada anaknya, “Bukankah kau akan berada di Kotaraja barang dua tiga hari?”

“Mahisa Murti sendiri di padepokan,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi ia mempunyai banyak kawan,” desis Mahendra.

Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan berada di Kotaraja dua atau selama-lamanya tiga hari.”

Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Mahisa Pukat adalah sikap salah seorang prajurit yang berada di pintu gerbang saat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki Kotaraja. Prajurit yang merasa dirinya memiliki kelebihan. Ia tidak percaya bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berhasil menangkap sepuluh orang petugas sandi itu.

“Hanya sebuah lelucon,” katanya kepada kawan-kawannya.

“Tetapi para prajurit yang menggiring para tawanan itu juga mengatakan demikian,” jawab pemimpin prajurit yang bertugas, yang merasa tersinggung oleh sikap perwira pasukan berkuda itu.

Namun seorang kawannya berkata, “Aku percaya bahwa hal itu teijadi.”

“Kenapa?” bertanya prajurit yang tidak percaya itu.

“Mereka adalah anak Mahendra,” jawab kawannya itu.

“Yang berilmu tinggi adalah Mahendra. Itu pun kita belum pernah melihat buktinya, apakah benar ilmu kanuragannya yang tinggi atau sekedar karena ia memilik pandangan luas tentang pemerintahan sehingga diangkat menjadi salah seorang penasehat Sri Maharaja,” jawab prajurit yang tidak percaya itu.

“Para prajurit dari pasukan berkuda itu tentu tidak akan berbohong. Untuk apa mereka mengatakan bahwa keduanyalah yang telah menangkap sepuluh oranga petugas sandi itu? Bukankah mereka lebih berbangga jika mereka mengatakan bahwa merekalah yang telah berhasil menangkap para tawanan itu, justru melampaui tugas yang dibebankan kepada mereka untuk menangkap hanya dua orang di antara para petugas sandi itu?” sahut pemimpinnya.

“Tentu kita tidak tahu maksud yang tersembunyi dibalik tindakan mereka yang tidak kita mengerti itu,” jawab prajurit yang masih tidak percaya itu.

Namun pemimpin para prajurit itu berkata, “Sudahlah. Itu bukan persoalan kita. Itu adalah persoalan antara para prajurit dari pasukan berkuda dengan kedua orang itu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi prajurit yang merasa dirinya memiliki kelebihan itu bergumam hampir tidak terdengar oleh kawan-kawannya, “Aku ingin menjajagi kemampuannya.”

Seorang kawannya yang mendengarnya mengerutkan dahinya. Namun ia-pun kemudian tertawa, “Seperti orang yang tidak mempunyai pekerjaan saja. Buat apa kau melakukannya? Mencari pujian atau kau ingin dengan cepat naik pangkat?”

“Tidak. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin menjadi puas jika aku dapat mengalahkannya,” jawab prajurit itu.

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka tidak segera menanggapi sikap prajurit yang merasa dengki itu. Bahkan mereka-pun kemudian seakan-akan telah melupakan apa yang sudah terjadi.

Namun dalam pada itu, ketika prajurit yang tidak percaya akan kemampuan Mahisa Pukat itu mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa lama disore hari, maka ia telah menemui seseorang di Kotaraja.

“Apa yang kau ketahui?” bertanya orang itu.

“Sepuluh kawan kita tertangkap,” jawab prajurit yang ternyata adalah salah seorang dari petugas sandi Kediri.

“Aku sudah tahu,” jawab orang itu, “Mereka adalah orang-orang yang dungu. Mereka dikalahkan oleh dua orang saja.”

“Kedua anak muda itu nampaknya memang berilmu tinggi. Mereka adalah anak Mahendra,” jawab prajurit itu.

“Apakah keduanya akan tinggal di Kotaraja agak lama?” bertanya orang itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi sekarang mereka berada di istana mengunjungi ayahnya,” jawab prajurit itu.

Orang yang ditemuinya itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Orang itu harus mendapat hukumannya. Kenapa ia ikut campur dalam persoalan kita?”

“Aku sudah mengatakan kepada kawan-kawanku didunia keprajuritan bahwa aku memang ingin mencoba kemampuan anak-anak muda itu,” berkata prajurit itu.

“Jebak orang itu. Kita akan membunuhnya,” berkata orang yang ditemuinya itu.

“Kita harus mempunyai satu cara,” berkata prajurit itu pula.

“Bukankah orang itu pada suatu saat akan meninggalkan Kotaraja kembali ke rumahnya sendiri?” bertanya orang yang ditemuinya.

Prajurit itu mengangguk. Katanya, “Agaknya memang demikian, tetapi kapan.”

“Ternyata kau dungu juga seperti sepuluh orang yang tertangkap itu,” berkata orang yang ditemuinya itu.

“Kenapa?” bertanya prajurit itu dengan heran.

“Kau sudah terlanjur menunjukkan sikap terhadap kedua anak Mahendra itu. Bukankah dengan demikian, jika terjadi sesuatu, kau akan segera dituduh melakukannya?” desis orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu merenung. Katanya, “Tetapi aku sudah terlanjur mengatakannya. Meskipun demikian, persoalannya bukan persoalan antara Singasari dan Kediri.”

“Memang bukan. Tetapi aku berniat menghabisi kedua orang itu. Bukan sekedar mencobai dan menyakitinya,” berkata orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu termangu-mangu. Katanya, “Kenapa harus dibunuh? Jangan bodoh. Bukankah karena mereka, sepuluh orang kita sudah tertangkap. Untunglah bahwa sepuluh orang itu termasuk orang- orang yang telah dipisahkan dari kita, sehingga mereka tidak akan menyebut nama kita,” berkata orang yang ditemuinya itu.

Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika kedua orang itu harus dibunuh, maka aku tidak akan kembali lagi kelingkungan keprajuritan Singasari.”

“Kedudukanmu memberikan keuntungan kepada kita,” desis orang yang ditemuinya.

“Tetapi keterlanjuranku dapat membahayakan keselamatanku.”

“Ajak saksi. Biar saksi itu melihat bahwa kau tidak membunuhnya. Tetapi baru kemudian, setelah kau tinggalkan kedua orang itu dalam keadaan yang buruk, kami akan membunuhnya. Dengan demikian kau tidak dapat dituduh membunuh kedua orang itu.”

Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Itu kalau kau benar-benar menang atas keduanya. Tetapi jika kau kalah, maka kami tidak akan dapat membantumu jika kau tidak ingin disebut terlibat dalam pembunuhan itu.”

“Sampai kapan kau bertugas di pintu gerbang?” bertanya orang yang ditemuinya.

“Sepekan. Aku baru mendapatkan dua hari,” jawab prajurit itu.

“Jadi masih ada tiga hari lagi,” desis orang yang ditemuinya, “Aku kira anak itu tidak akan terlalu lama di Kotaraja. Ingat, jika kau melihat mereka lewat, kau harus mengikutinya dan ingat, bawa saksi. Kau dapat berterus terang menantangnya. Karena kau akan menjadi isyarat, bahwa orang yang harus kami bunuh adalah orang yang kau ikuti dan kau tantang berkelahi. Menang atau kalah, bukan soal bagiku, karena kami akan bertindak atas mereka setelah kau selesai dan meninggalkan orang itu.”

Prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan. Ia sudah terlanjur melakukan satu kesalahan. Karena itu, maka ia harus benar-benar berkelahi. Kalah atau menang.

Sejenak kemudian, prajurit itu telah berada di tugasnya kembali. Ia masih akan bertugas di pintu gerbang itu tiga hari lagi. Namun selama itu, ia harus mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di pintu gerbang. Bahkan ia tidak lagi mempergunakan waktu-waktu istirahatnya untuk berjalan-jalan atau pergi ke mana-pun juga, karena ia memang dianggap belum berkeluarga.

Bahkan saat-saat ia mandi-pun ia selalu berpesan kepada kawan-kawannya, “Jika kau lihat kedua anak muda itu, hentikan mereka. Aku ingin berbicara dengan mereka. Aku benci melihat kesombongan mereka justru karena prajurit-prajurit berkuda itu menganggap keduanya sebagai pahlawan.”

Kawan-kawannya masih saja mentertawakannya. Seorang diantara mereka berkata, “Kenapa kau begitu kasar menaruh perhatian kepada keduanya? Apakah kau merasa dirugikan? Apakah keduanya pernah menyakitimu atau mempunyai persoalan khusus denganmu?”

“Tubuhku memang tidak disakiti. Tetapi hatiku yang tersinggung oleh sikap dan perbuatannya,” jawab prajurit itu.

“Bagaimana jika saat anak itu kembali, diiringi pula oleh prajurit berkuda?” bertanya kawannya.

“Aku akan menantangnya langsung. Tentu tidak akan ada orang yang turut campur. Kalah atau menang bukan lagi persoalan bagiku,” jawab prajurit itu.

Kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi. Mereka menganggap prajurit itu baru mabuk tuak. Namun ternyata ia bersungguh-sungguh. Setiap saat ia tidak ada di pintu gerbang, ia selalu berpesan wanti-wanti.

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih berada di tempat yang diperuntukkan bagi Mahendra. Selama kedua anak muda itu berada di Kotaraja, Mahendra memang pernah dipanggil menghadap secara khusus tidak di saat diadakan paseban. Ada beberapahal yang dibicarakan. Sementara Mahendra memberitahukan kepada Sri Maharaja, bahwa seorang anaknya dan seorang cantrik dipadepokannya telah datang untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di padepokannya.

“Jadi jaringan itu sudah merambah ke padukuhan,” desis Sri Maharaja.

Mahendra mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba Sri Maharaja. Agaknya segolongan pemimpin di Kediri benar-benar ingin menilai Singasari seutuhnya.”

“Baiklah,” berkata Sri Maharaja Singasari, “Kita akan menanggapinya. Kita akan berbicara dengan para pemimpin dan panglima di Singasari.”

“Hamba Sri Maharaja,” sahut Mahendra.

“Namun sebaiknya kau dapat memberikan pesan kepada anakmu agar ia berhati-hati,” berkata Sri Maharaja pula.

“Hamba Sri Maharaja.Untuk padepokan hamba serta lingkungannya, maka anak hamba akan dapat berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana dengan daerah-daerah lain?” berkata Mahendra kemudian, “Tentu Kediri bukan saja mengamati perkembangan terakhir Singasari. Tetapi juga berusaha untuk menanamkan pengaruhnya agar sikap mereka mendapat dukungan, terutama bagi orang-orang Kediri dan para Akuwu di Singasari yang mungkin akan dapat memberikan dukungan kepada mereka.”

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Persoalannya memang harus dipecahkan bukan sekedar untuk satu dua tempat. Baiklah paman Mahendra. Kita akan segera mengadakan pertemuan khusus.”

“Ya. Tetapi bukankah paman Mahendra tidak akan meninggalkan istana?” bertanya Sri Maharaja.

“Tidak. Hamba tidak akan ikut kembali ke padepokan,” jawab Mahendra.

“Kapan anakmu akan kembali ke perguruannya?” bertanya Sri Maharaja pula.

“Ia akan berada di Singasari tiga hari tiga malam,” jawab Mahendra.

“Baiklah. Padepokanmu akan dapat menjadi salah satu sumber keterangan. Setiap kali aku akan memerintahkan penghubung untuk pergi ke padepokan Bajra Seta. Mungkin ada keterangan yang dapat menjadi bahan pertimbangan kami selain bahan-bahan yang tentu akan kami himpun dari para Akuwu, namun juga dari para petugas sandi,” berkata Sri Maharaja. Namun katanya kemudian, “Jika anakmu dan cantrik itu akan kembali ke padepokan, biarlah mereka minta diri kepadaku.”

“Hamba Sri Maharaja,” jawab Mahendra, “Hamba akan membawa mereka menghadap.”

Sebenarnyalah sehari kemudian, menjelang hari keberangkatan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke padepokan, mereka telah dibawa oleh Mahendra untuk menghadap. Sri Maharaja telah memberikan kesempatan kepada anak Mahendra itu menjelang sore hari dan diterima di serambi samping.

Yang menerima Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bukan hanya Sri Maharja, tetapi juga Ratu Angabaya. Kedua-duanya pernah mengenal Mahisa Pukat sebelumnya, sehingga mereka dapat berbicara dengan lancar.

Mahisa Semu masih juga tersendat-sendat ketika satu dua kali ia harus menjawab pertanyaan Sri Maharaja atau Ratu Angabaya. Namun semakin lama, ia-pun menjadi semakin rancak juga berbicara.

“Kenapa Mahisa Murti tidak kau ajak serta?” bertanya Sri Maharaja.

“Ampun Sri Maharaja, Mahisa Murti harus menunggui padepokan kami. Kami tidak dapat bersama-sama meninggalkan padepokan itu dalam suasana seperti ini,” jawab Mahisa Pukat.

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa salah seorang di antara kedua anak Mahendra itu harus berada di tempat. Kepada Mahisa Pukat Sri Maharaja juga menyatakan kesediaannya untuk selalu mengirimkan penghubung. Bukan saja antara Mahendra dan anak-anaknya, tetapi terutama laporan-laporan tentang kegiatan padepokan itu serta pengamatan mereka terhadap keadaan lingkungan mereka. Bagaimana-pun juga kegiatan segolongan orang-orang Kediri itu harus mendapat perhatian.

Seperti yang dikatakan oleh Mahendra, maka ternyata Sri Maharaja dan Ratu Angabaya menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan padepokan Bajra Seta, sehingga Sri Baginda itu-pun berkata, “Pada saatnya, aku akan mengirimkan sesuatu yang dapat membantu mengembangkan padepokan itu. Mungkin alat-alat pertanian, mungkin perlengkapan lain yang kalian butuhkan. Sekedar untuk membantu perkembangan padepokanmu meskipun aku tahu bahwa tanpa bantuanku padepokanmu akan berkembang dengan baik. Tetapi usahamu menempatkan orang-orang yang sebelumnya tidak berarti sama sekali bagi kehidupan orang banyak namun yang akhirnya menyadari kesesatan mereka di sebuah padukuhan adalah usaha yang sangat baik. Kenapa mereka patut juga diberi kelengkapan yang mereka butuhkan.”

“Ampun Sri Maharaja. Hamba atas nama seisi padepokan serta lingkungan kami, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi aku tidak dapat menyertakan bersamamu besok,” berkata Sri Maharaja kemudian.

“Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih,” jawab Mahisa Pukat yang mempergunakan kesempatan itu untuk mohon diri pula.

“Baiklah,” berkata Sri Maharaja, “Tetapi hati-hatilah. Keadaan berkembang kearah yang tidak kita inginkan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk dalam-dalam. Dengan tulus mereka masih saja mengulangi ucapan terima kasih atas perhatian Sri Maharaja di Singasari atas padepokan mereka. Demikianlah, maka bersama Mahendra mereka-pun telah meninggalkan serambi samping, kembali ketempat yang diperuntukkan bagi Mahendra, masih dilingkungan istana.

Keduanya-pun malam itu telah berkemas karena esok pagi-pagi keduanya akan meninggalkan Kota raja kembali ke padepokan mereka. Ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak memperpanjang kehadiran mereka di Kotaraja. Seperti yang sudah mereka rencanakan maka mereka-pun akan benar-benar kembali esok pagi.

“Aku tidak sampai hati meninggalkan Mahisa Murti terlalu lama,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan Mahisa Pukat. Keduanya jarang sekali berpisah. Karena itu, maka tiga hari tiga malam ditambah perjalanan ke dan dari Kotaraja, bagi Mahisa Pukat tentu terasa lama sekali. Karena itu, maka Mahendra tidak menahannya lagi. Dikeesokan harinya, Misa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar telah minta diri.

Namun rasa rasanya ada sesuatu yang menggelisahkan Mahendra. Karena itu maka ia-pun berkata, “Ketika kalian memasuki Kotaraja, kalian telah membawa satu persoalan. Kalian telah menangkap sepuluh orang petugas sandi dari Kediri meskipun bukan dari pemerintahan di Kediri. Karena itu berhati-hatilah. Mungkin kawan-kawan mereka telah mendendam.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat. Sambil mencium tangan ayahnya ia berkata, “Aku mohon dua restu ayah. Aku akan berhati-hati.”

Mahendra mengusap kepala anaknya sambil menjawab, “Aku akan selalu berdoa bagi kalian berdua dan sisi padepokan.”

Mahisa Semu-pun kemudian telah mohon diri pula kepada Mahendra, sementara Mahendra berpesan, “Jangan lupa mengobati luka-lukamu meskipun nampaknya sudah sembuh.”

“Baik Ki Mahendra,” jawab Mahisa Semu.

Demikianlah maka keduanya-pun telah meninggalkan istana Singasari menyusuri jalan-jalan Kotaraja yang masih sepi. Mata hari masih belum terbit, meskipun langit telah menjadi merah. Ternyata keduanya tidak ingin singgah kepasar yang tentu sudha mulai ramai. Keduanya ingin segera meninggalkan Kotaraja, memasuki jalan langsung ke padepokan mereka.

Ketika matahari mulai menjenguk cakrawala keduanya telah melintasi pintu gerbang Kotaraja yang sudah terbuka. Justru saat orang yang menunggunya bertugas dihari terakhir. Karena itu, demikian prajurit itu melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu lewat, maka dengan serta merta ia telah menghentikannya.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” berkata prajurit itu.

Mahisa Pukat terkejut. Namun ia-pun telah berhenti pula bersama Mahisa Semu. Keduanya segera meloncat turun dari punggung kuda mereka. “Ada apa Ki Sanak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukankah kalian berdua yang dikatakan oleh perwira prajurit berkuda itu sebagai orang yang telah menangkap sepuluh orang prajurit sandi dari Kediri,” bertanya prajurit itu.

“Aku tidak tahu apakah mereka prajurit atau sekedar orang-orang kebanyakan dalam tugas sandi,” jawab Mahisa Pukat.

“Siapapun mereka, tetapi aku tidak percaya bahwa kalian berdua dapat mengalahkan sepuluh orang, apalagi para petugas sandi yang tentu sudah mendapat latihan khusus.,” geram prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kalian tidak percaya, tidak mengapa. Lupakan saja.”

“Tidak mungkin aku melupakan kesombonganmu saat kau datang bersama perwira pasukan berkuda itu,” jawab prajurit itu.

“Kami tidak datang bersama perwira prajurit berkuda itu,” berkata Mahisai Pukat selanjutnya, “Kami berdua datang lebih dahulu, baru perwira itu datang kemudian.”

“Ya, itulah yang aku maksud. Kau kemudian menjadi sangat sombong dan menyakitkan hati,” berkata prajurit itu.

“Maaf, aku tidak sengaja berbuat demikian,” desis Mahisa Pukat. Ia tidak terbiasa menahan diri sejauh itu. Tetapi karena ia tidak ingin berselisih dengan seorang prajurit, maka Mahisa Pukat itu telah melakukannya.

“Terlambat,” jawab prajurit itu.

“Jadi apakah maksudmu yang sebenarnya?” ternyata Mahisa Pukat-pun menjadi sulit untuk terlalu menahan diri.

“Aku ingin menjajagi kemampuanmu,” jawab prajurit itu.

Mahisa Pukat menggeram. Ia mencoba menahan diri, betapa jantungnya seakan-akan hampir meledak.

“Tetapi tidak di sini,” berkata prajurit itu, “Tunggulah aku berpakaian sejenak. Kita akan pergi ke bulak sebelah atau ke kedai yang kau maksudkan. Kita akan membuktikan, apakah kau seorang pembohong atau tidak.”

“Kenapa sejauh itu?” berkata Mahisa Pukat, “Sebenarnya kau dapat menghubungi prajurit berkuda itu dan menanyakan kebenaran berita itu. Bukan langsung membuktikannya.”

“Kau takut?” bertanya prajurit itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sikap prajurit itu sangat aneh. Bahkan berlebihan. Namun Mahisa Pukat-pun tidak ingin dianggap ketakutan menghadapi tantangan itu.

Sebenarnyalah yang menjadi heran bukan hanya Mahisa Pukat saja. Bahkan kawan-kawannya-pun menjadi heran. Mungkin saja seseorang tidak percaya bahwa kedua anak muda itu sudah mengalahkan sepuluh orang. Tetapi buat apa harus membuktikannya?

Tetapi prajurit itu justru mengajak dua orang kawannya untuk menjadi saksi. “Lihat, apakah benar orang-orang itu pantas dipercaya,” berkata prajurit itu.

Dua kawannya ternyata tidak berkeberatan untuk menjadi saksi. Bahkan keduanya memang ingin melihat apa yang sebenarnya akan terjadi. Pemimpin prajurit yang bertugas itu-pun sebenarnya menganggap sikap prajuritnya itu berlebihan. Tetapi pemimpin prajurit yang bertugas itu sendiri memang merasa tersinggung atas sikap pemimpin prajurit berkuda yang menganggapnya tidak berarti sama sekali.

Karena itu, jika kedua orang anak muda itu memang orang-orangyang dimanjakan oleh para prajurit berkuda, biarlah mereka tahu bahwa prajuritnya-pun memiliki kelebihan sebagaimana kedua orang anak muda itu. Dengan demikian maka pemimpin prajurit yang bertugas dihari terakhir itu telah memberikan ijin kepada ketiga orang prajuritnya untuk mengikuti kedua orang anak muda itu sampai ke bulak panjang.

Ketiga prajurit itu-pun kemudian dengan cepat berpakaian. Mereka berjalan mengikuti Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang juga berjalan sambil menuntut kudanya. Mereka menuju ke bulak panjang yang tidak begitu banyak dilalui orang. Ketika mereka menjumpai simpangan kecil, maka mereka telah berbelok mengikuti aliran sebuah parit yang agak besar.

Dalam pada itu, dari kejauhan, dua orang yang ditugaskan untuk mengawasi kedua orang anak muda yang telah menangkap sekelompok petugas sandi itu hampir menjadi putus asa. Setelah berganti-ganti beberapa kali, maka kedua orang yang bertugas pagi itu melihat dua orang yang membawa kudanya diikuti oleh tiga orang prajurit dari pintu gerbang Kotaraja.

“Itulah mereka,” desis seorang di antara keduanya.

“Aku hampir menjadi gila. Tetapi hari ini adalah hari terakhir kita menunggunya. Jika hari ini keduanya tidak lewat, maka kita menganggap bahwa keduanya memang tidak akan lewat. Apalagi hari ini adalah tugas prajurit itu dihari terakhir sehingga isyarat seperti yang dilakukannya itu tidak akan dapat diberikannya esok atau hari-hari selanjutnya,” sahut kawannya.

“Tetapi kita harus menemukan cara lain. Kedua anak muda itu harus kita dapatkan. Keduanya benar-benar telah menyebabkan sepuluh orang kawan-kawan kita tertangkap. Apakah kita akan membiarkannya lepas?” berkata orang yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. “Kedua orang anak muda itu memang sudah berdosa besar, sehingga mereka memang harus memikul hukuman atas dosa mereka itu.”

Seperti yang harus dilakukannya, maka kedua orang itu-pun telah melepaskan dua ekor burung merpati dengan sendaren pada ekornya. Kedua burung itu akan terbang tinggi dan kembali ke tempat yang sudah ditentukan. Di tempat itu pulalah beberapa orang telah bersiap menunggu isyarat itu.

Ketika mereka mendengar suara sendaren, maka seorang di antara mereka-pun telah keluar dan turun ke halaman. Ternyata yang dilihatnya adalah burung merpati yang telah dibawa oleh kedua orang yang mengawasi pintu gerbang Kotaraja.

“Akhirnya, setelah kita menjadi jemu terhadap pekerjaan ini, kita dapat berhasil. Kedua orang itu tentu sudah keluar dari pintu gerbang Kotaraja, diiringi oleh kawan kita yang bertugas dilingkungan keprajuritan itu sebagaimana dijanjikannya.” berkata orang itu kepada kawan-kawannya yang ada di dalam.

“Kita persiapkan sekelompok orang yang dengan pasti akan dapat membunuh mereka berdua,” berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa.

“Semuanya ada limabelas orang,” berkata orang kawannya, “Ditambah dengan kedua orang yang mendapat giliran mengawasi pintu gerban Kotaraja itu.”

“Jika sepuluh orang itu tidak mampu bertahan melawan keduanaya, maka tujuh belas orang tentu akan mampu membunuh keduanya. Jika kita gagal, maka biarlah kita bersama-sama dimusnahkannya. Karena kita memang tidak berharga sama sekali,” berkata orang yang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa itu.

Demikianlah, dengan cepat mereka-pun segera berkemas. Mereka semuanya, lima belas orang, dengan tergesa-gesa telah meninggalkan rumah yang mereka pergunakan itu, menyusuri pematang untuk mengambil jalan pintas. Kedua orang yang memberikan isyarat dengan burung merpati itu telah menunggu mereka dan menunjukkan kemana orang-orang yang mereka cari itu pergi.

“Kita menunggu prajurit itu menyelesaikan tugasnya. Kalah atau menang. Kita baru akan datang kemudian,” berkata orang bertubuh raksasa itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka harus menjaga agar prajurit itu tidak terasa terlibat dalam rencana mereka. Saksi-saksi akan mengatakan, bahwa prajurit itu hanya melakukan penjajagan, kemudian meninggalkannya. Kalah atau menang. Yang terjadi kemudian, sama sekali diluar tanggung jawab prajurit itu. Sebenarnyalah bagi kawan-kawannya yang dilakukan oleh prajurit itu tidak lebih dari satu isyarat, bahwa orang yang diikuti dan kemudian ditantangnya untuk bertempur itulah orang-orang yang harus dimusnahkan.

Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang membawa dua Orang saksi itu telah berada di tempat yang dianggap sepi. Jalan kecil atau lebih tepat diatas tanggul parit, prajurit itu kemudian berhenti dan menantang Mahisa Pukat dan Mahisa Semu untuk membuktikan, apakah benar mereka dapat mengalahkan sepuluh orang yang tentu terlatih baik.

“Baiklah. Aku seorang diri. Kalian dapat bertempur berdua,” berkata prajurit itu.

Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Tidak. Aku akan bertempur seorang diri.”

“Jangan terlalu sombong. Aku sebenarnya tidak ingin mematahkan lehermu. Tetapi jika kau terlalu sombong, maka kau membuat aku menjadi semakin marah,” berkata prajurit itu.

“Terserah saja kepadamu,” berkata Mahisa Pukat, “Kau dapat marah, jengkel, kecewa atau perasaan apa saja.”

“Cukup,” geram prajurit itu, “Jangan memaksa aku kehilangan kendali sehingga membunuhmu. Aku tidak ingin melakukannya, karena aku hanya ingin membuktikan kemampuanmu.”

Mahisa Pukat-pun kemudian segera bersiap. Ia tidak mau membiarkan Mahisa Semu menghadapi lawannya itu, sebagaimana diinginkannya. Sambil berbisik Mahisa Pukat berkata, “Jangan. Mungkin ia benar-benar memiliki ilmu yang tinggi.”

Mahisa Semu tidak memaksa. Sementara prajurit itu berkata, “Marilah berdua. Sudah aku peringatkan. Jangan terlalu sombong. Kau akan menyesal nanti.”

Mahisa Pukat yang sudah bersiap itu berkata, “Aku akan segera mulai. Jika kau masih berbicara saja, maka kau akan kehilangan waktu yang sangat berharga pada serangan pertama."

"Anak iblis,” prajurit itu mengumpat.

Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi kakinya mulai bergerak meskipun hanya sekedar untuk menggelitik lawannya. Sementara itu lawannya-pun segera bersiap pula. Kedua tangannya bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Sekali-sekali meloncat mendekat. Kemudian melenting menjauh. Tangannya bersilang di dadanya, namun satu tangannya-pun kemudian terjulur dengan telapak tangan menelungkup dan ibu jari terlipat. Sedangkan tangannya yang lain bergerak mendatar dan telapak tangannya yang juga menelungkup berada di depan lengannya. Namun kemudian tangan yang terjulur itu ditariknya.

Dengan satu loncatan kecil prajurit itu telah merubah sikapnya. Tangannya yang terjulur kemudian merentang. Seterusnya kedua tangannya-pun berputar didepan dadanya, kemudian sambil memiringkan tubuhnya kedua tangannya itu bersilang di depan wajahnya. Satu gerakan yang manis telah melemparkan prajurit itu langsung melipat kakinya rendah-rendah, sehingga prajurit itu terduduk di tanah. Sebelum lawannya berbuat sesuatu, prajurit itu telah melenting berdiri sambil menjulurkan kakinya menyerang kearah lawannya.

Mahisa Pukat yang berdiri saja sambil menunggu, dengan sigapnya menghindari serangan itu. Demikian orang itu kemudian berdiri tegak, maka Mahisa Pukat langsung meloncat mendekat. Tanpa banyak bergerak, tangannya telah menyusup di antara pertahanan prajurit yang ternyata sangat rapuh itu. Satu pukulan yang keras menghantam bagian bawah dadanya, sehingga serangan itu rasa-rasanya langsung mengenai ulu hati.

Prajurit itu membungkuk sambil mengaduh menahan sakit yang menggit bagian dalam tubuhnya. Namun selagi ia terbungkuk, maka Mahisa Pukat telah mengayunkan tangannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Pukat telah memukul tengkuk prajurit itu. Tidak dengan sepenuh tenaganya. Namun ternyata pukulan itu telah mengakhiri perlawanan prajurit yang belum sempat berbuat sesuatu itu kecuali berloncatan dengan tangan yang berputaran melingkar-lingkar.

Prajurit itu jatuh tertelungkup. Terdengar ia mengerang kesakitan. Namun ia sudah tidak mampu bangkit lagi. Kedua orang kawannya yang menjadi saksi dengan tergesa-gesa mendekatinya. Kemudian menolongnya untuk bangkit. Orang itu memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ia tidak mampu berdiri tegak sendiri. Kedua kawannya harus memeganginya dan memapahnya.

Bahkan seorang di antara kedua kawannya sempat bertanya, “Apakah penjajaganmu sudah selesai atau baru akan mulai?”

Orang itu mengerang kesakitan. Katanya, “Bukankah aku belum mati.”

“Tentu belum. Kau baru akan mulai menjajagi kekuatan anak muda yang menangkap sepuluh orang petugas sandi, tetapi kau tidak percaya. Nah, anak itu sudah siap. Lakukanlah,” berkata kawannya yang memapahnya.

“Jangan gila. Rasa-rasanya leherku patah, seisi dadaku rontok semuanya,” berkata prajurit itu.

Kedua kawannya menarik nafas panjang. Setelah saling memandang sejenak, maka seorang di antara kedua orang kawannya itu berkata, “Jadi, kau sudah merasa bahwa kau kalah?”

“Anak iblis,” geram prajurit itu, “Ia curang dan licik. Sebelum aku bersiap, ia sudah menyerang.”

“Kau menyerang lebih dahulu,” berkata kawannya.

“Itulah. Selagi aku menyerang, ia justru memanfaatkan saat seperti itu.” katanya dengan nafas tertengah-engah.

“Nampaknya kau sudah menjadi gila,” berkata kawannya yang lain. Kemudian ia-pun berkata kepada Mahisa Pukat, “Sudahlah anak muda. Nampaknya ia akan merasa puas, bahwa ia sudah menuruti hatinya, mencoba menjajagi kemampuanmu.”

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “Aku akan melanjutkan perjalananku. Perjalananku masih panjang.”

“Bawa aku kembali, cepat,” minta prajurit yang kesakitan itu.

Ketiga orang prajurit itu-pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berdiri termangu-mangu. Sambil tersenyum Mahisa Semu berkata, “Kenapa kau menjadi demikian marah kepadanya, sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kau sudah menyelesaikannya?”

“Aku benci kepada orang yang tidak pernah mempercayai kelebihan orang lain. Biarlah ia menyadari, bahwa seharusnya ia tidak berbuat demikian,” jawab Mahisa Pukat sambil memperhatikan ketiga orang prajurit yang berjalan menjauh. Katanya kemudian, “Nampaknya kedua orang kawannya itu-pun tidak menyetujui sikapnya. Mereka justru mengejek kawannya yang kesakitan itu.”

“Ya. Agaknya memang demikian,” sahut Mahisa Semu.

“Sudahlah. Marilah, kita melanjutkan perjalanan,” ajak Mahisa Pukat tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Namun prajurit yang dikalahkan oleh Mahisa Pukat dalam waktu sekejap itu sama sekali tidak mengira, bahwa kemampuan anak muda itu memang terlalu tinggi. Ia-pun sebenarnya merasa malu, bahwa hanya dalam sekejap, ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Sedangkan sebelumnya ia sudah menantang kedua anak muda itu untuk maju bersama-sama. Namun prajurit itu berkata di dalam hati, “Tetapi kawan-kawanku tentu lebih dari sepuluh orang akan menunggumu berdua. Kalian berdua memang harus mati.”

Sebenarnyalah, tujuh belas orang tengah berjalan menyusuri pematang. Mereka langsung turun ke bulak panjang, mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang akan kembali ke padepokan Bajra Seta.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sama sekali memang tidak menduga bahwa mereka akan menghadapi kesulitan diperjalanan. Meskipun keduanya memang merasa heran atas sikap dan tingkah laku prajurit yang mencegatnya untuk menjajagi kemampuannya itu.

Namun keduanya telah dikejutkan oleh sekelompok orang yang menunggu mereka di pinggir jalan, sebelum keduanya sampai ke kedai tempat sepuluh orang petugas sandi yang ditangkapnya itu berkumpul.

“Apalagi yang akan terjadi,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.

“Jika ada jalan simpang, aku memilih melalui jalan simpang itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi mereka akan menuduh kita ketakutan,” desis Mahisa Semu.

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Tetapi mereka berdua telah menjadi semakin dekat dengan sekelompok orang yang berdiri dipinggir jalan itu.

“Mudah-mudahan mereka tidak berkepentingan dengan kita,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Dengan demikian maka kedua orang anak muda yang berkuda itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan kelompok orang yang nampaknya memang sedang menunggunya. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi yakin, ketika dua orang di antara mereka justru melangkah ke tengah-tengah jalan sambil mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang berhenti beberapa langkah dari kedua orang yang mengangkat tangannya ditengah jalan itu.

“Mendekatlah,” teriak kedua orang yang berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangannya itu hampir berbareng.

Mahisa Murti dan Mahisa Semu sama sekali tidak beranjak dari tempat kudanya berhenti.

“Cepat, kemarilah,” bentak salah seorang dari kedua orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng lemah sambil menjawab. “Aku tidak mau mendekat.”

“Ini perintah,” geram orang itu.

“Seseorang hanya dapat memerintah orang-orang yang menjadi bawahannya atau menempatkan dirinya di bawah pengaruh orang yang memerintahnya. Sedangkan aku bukan orang di bawah pimpinanmu dan aku tidak sedang dalam pesona wibawamu,” jawab Mahisa Pukat.

“Gila kau,” geram salah seorang yang mencegat keduanya itu.

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar tidak mau mendekat. Karena itu, maka orang-orang yang mencegatnya tidak mau kehilangan kedua orang anak muda itu. Yang oleh isyarat prajurit yang bertugas di regol adalah anak muda yang telah menangkap sepuluh orang kawan-kawan mereka.

Dengan demikian maka salah seorang di antara mereka itu-pun telah memberikan perintah, “Kepung kedua orang anak muda itu.”

Orang-orang itu tidak menunggu perintah berikutnya. Mereka-pun segera memencar mengepung kedua orang anak muda yang telah diputuskan untuk mendapat hukuman mati itu. Sebenarnyalah, pemimpin dari orang-orang yang mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu-pun melangkah maju sambil berkata, “Anak-anak muda. Kalian harus menghadapi pengadilan yang akan memutuskan nasibmu, karena kau telah ikut campur persoalan orang lain.”

“Apakah yang kalian maksud?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian langsung atau tidak langsung telah menyebabkan sepuluh kawan-kawan kami ditangkap oleh prajurit Singasari.” berkata pemimpin itu.

“Ya,” Mahisa Pukat tidak ingkar, “Keputusan apa yang akan kalian ambil?”

“Kalian akan dijatuhi hukuman mati. Kalian tidak perlu melawan, karena hal itu hanya akan menyulitkan masa-masa akhir kalian. Kalian harus mengikhlaskan nyawa kalian. Jika kalian dengan sikap seorang laki-laki menghadapi hukuman itu, maka hukuman yang akan kalian terima adalah hukuman mati dengan cara yang paling baik. Tetapi jika kalian mencoba melawan, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk.”

“Kami telah mengalahkan sepuluh orang. Jumlah kalian tidak terpaut banyak. Karena itu, maka kami berdua-pun akan mengalahkan kalian. Hukuman yang akan kami jatuhkan atas kalian, adalah sama seperti hukuman yang akan kalian jatuhkan kepadaku. Jika kalian dengan sikap seorang laki-laki menghadapi hukuman itu, maka hukuman yang akan kalian terima adalah hukuman mati dengan cara yang paling baik.”

“Cukup,” teriak pemimpin dari orang-orang yang mengepung kedua orang anak muda itu, “Kalian bukan saja berusaha untuk mengingkari hukuman yang akan kami jatuhkan. Tetapi kalian dengan sombong telah menghina kami. Karena itu, maka hukuman bagi kalian adalah hukuman mati dengan melalui hukuman picis. Kami akan membawa kalian ke sarang kami, mengikat pada sebuah patok kayu yang besar. Setiap orang akan mengiris kulit dan dagingmu, kemudian membubuhkan garam dan air jeruk. Baru hari ketiga atau kelima kalian akan benar-benar mati.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kalian jangan bertindak terlalu kejam seperti itu. Kalian tidak boleh kehilangan dasar-dasar kemanusiaan kalian.”

“Persetan dengan kalian berdua,” geram pemimpin itu. Dengan lantang ia-pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap.

Sebenarnyalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi berdebar-debar juga. Mereka berhadapan dengan sekitar tujuhbelas orang. Satu jumlah yang cukup banyak. Seandainya saja Mahisa Pukat dengan tanpa peringatan mendahului mereka. Menghadapi mereka dengan kemampuan ilmunya dilambari pula dengan ilmu yang mereka sadap dari orang tuanya, dari Akuwu Lemah warah dan dari beberapa orang lain termasuk landasan kekuatan yang dapat disalurkan lewat senjatanya, maka ia akan dapat membantai lawan-lawannya. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian?

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat memang termangu-mangu. Jika ia sekedar mempergunakan ilmu pedangnya serta kemampuannya menghisap kekuatan dan tenaga lawannya, apakah Mahisa Semu akan mampu bertahan cukup lama?

Selagi Mahisa Pukat sedang termangu-mangu, maka orang-orang yang mengepungnya telah menjadi semakin rapat. Sementara pemimpin dari orang-orang yang menyerangnya itu berkata, “Kau hanya dapat menyesali sikap sombongmu. Tetapi semuanya sudah terlambat. Kau akan menanggung hukuman yang paling gila yang pernah kami lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun kemudian telah meloncat turun dari kuda mereka. Mereka menganggap bahwa bertempur diatas punggung kuda tentu tidak akan menguntungkan. Mereka-pun akan sangat sulit untuk memaksa, menembus kepungan itu, karena ujung senjata telah teracu. Karena itu, untuk menghadapi orang-orang yang mengepungnya, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan melawan mereka diatas tanah. Bahkan dengan tidak ragu-ragu keduanya berjalan ketepi jalan untuk menambatkan kuda-kuda mereka, sementara orang-orang yang mengepungnya justru melangkah mundur.

“Jangan biarkan mereka,” teriak pemimpin mereka, “Usahakan agar kalian dapat menangkap mereka hidup-hidup. Kita akan membuat acara kematiannya dengan sebaik-baiknya.”

“Kalian hanya akan menyiksa diri,” jawab Mahisa Pukat lantang. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil berteriak, “Lihat, apa yang aku pegang.”

Orang-orang yang mengepungnya memang melihat sebilah pedang yang berwarna kehijau-hijauan. Namun pemimpin mereka berteriak, “Pedang yang tidak ada artinya apa-apa. Tidak lebih dari parang gembala yang sedang mencari kayu dihutan.”

Mahisa Pukat memang tersinggung. Beberapa orang telah mengorbankan nyawanya untuk merebut pedang yang oleh pembuatnya disebut keris itu. Meskipun demikian tidak terpikir oleh Mahisa Pukat untuk menghentakkan ilmunya dengan memutar pedangnya, sehingga orang-orang yang mengepungnya itu akan dibantainya dengan ilmunya.

Namun demikian, Mahisa Pukat harus memikirkan Mahisa Semu yang tentu akan segera mengalami kesulitan jika separo dari orang- orang itu menyerang Mahisa Semu dan separo menyerang dirinya.

Sementara itu pemimpin sekelompok orang itu-pun kemudian berrkata, “Jangan menunggu lagi. Kita harus segera bergerak.”

Orang-orangnya memang segera bergerak. Tetapi sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi, maka beberapa orang telah berloncatan dari baik gerumbul-gerumbul perdu. Agaknya orang-orang yang mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sendiri menjadi sangat tegang serta memusatkan perhatian mereka kepada lawan-lawannya sehingga mereka tidak melihat kehadiran beberapa orang mendekati arena.

Kedatangan orang-orang itu memang mengejutkan. Yang kemudian berdiri tegak adalah enam orang dalam pakaian keprajuritan.

“Bukankah kau tidak lupa kepadaku?” bertanya perwira prajurit berkuda yang bersama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki gerbang halaman istana Singasari dan mengantarkannya menemui ayahnya.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Tentu tidak. Bukankah kita bersama-sama menangkap sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu?”

“Bukan kita bersama-sama. Tetapi kau berdua,” jawab perwira itu sambil tertawa...