Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 98 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 98
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT sempat tertawa pula. Katanya, “Sudahlah. Sekarang kita berhadapan lagi dengan sekelompok petugas sandi dari Kediri.”

“Kami sudah merasa curiga. Laporan tentang tingkah laku prajurit yang berpura-pura menjajagi ilmumu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah isyarat, membuat kami harus mengambil langkah-langkah. Ternyata kecurigaan kami itu beralasan. Kalian telah dihentikan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, yang tentu kawan-kawan dari para petugas sandi itu,” desis perwira prajurit berkuda itu.

“Cukup,” pemimpin dari orang-orang yang menghentikan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berteriak, “Siapapun kalian, tetapi jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan kami.”

“Kau salah hitung,” jawab perwira itu, “Kalian memang dapat menghitung kami berenam dengan enam orang. Tetapi jika kau menghitung kedua orang anak muda itu, harus kau sebut sepuluh. Karena itu, maka jumlah kita akan menjadi tidak terpaut banyak.

“Iblis kau,” geram pemimpin dari sekelompok orang itu.

“Sudahlah,” berkata perwira prajurit itu, “Pilihlah jalan yang paling baik. Menyerah sajalah kepada kami. Kami yang akan memohonkan ampun bagi kalian semua.”

“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

“Kau tidak dapat memilih,” berkata perwira dari pasukan berkuda itu. Perwira itu termangu-mangu sejenak ketika mendengar orang itu mengumpat kasar.

Ternyata orang-orang yang menghentikan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi pemimpin mereka meneriakkan aba-ba. Maka serentak orang-orang itu-pun mulai bergerak.

Keenam orang prajurit dari pasukan berkuda itu-pun dengan cepat telah berpencar dan menyerang sekelompok orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu. Namun mereka yakin bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan dapat mengalahkan mereka. Setidak-tidaknya sepuluh orang di antara mereka.

Sebenarnyalah pertempuran-pun telah terjadi. Tujuh belas orang itu telah menyerang bersama-sama. Namun prajurit berkuda itu nampaknya memang mempunyai kelebihan dari prajurit kebanyakan. Karena itu, maka mereka berenam benar-benar telah mengacaukan kedudukan tujuh belas orang lawan mereka. Apalagi ketika kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah ikut pula dalam pertempuran itu. Maka pertempuran itu-pun menjadi pertempuran yang sangat sengit.

Mahisa Pukat yang menyadari kedudukannya dalam pertempuran itu, telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya dengan sentuhan-sentuhan kewadagan atau benturan-benturan senjata. Pertemuan itu-pun segera berlangsung dengan sengitnya. Ketika seseorang prajurit dari pasukan berkuda mendekatinya, maka Mahisa Pukat-pun segera bergeser menjauh. Seperti dalam pertempuran sebelumnya, maka Mahisa Semu-pun harus mengerahkan kemampuannya sehingga anak muda itu tidak dengan cepat hanyut oleh kekuatan ilmu lawannya.

Sementara itu, enam orang prajurit berkuda itu-pun telah memutar senjata mereka dan setiap kali mematuk lurus atau terayun mendatar, terdengar lawannya mengumpat tidak habis-habisnya.

Pertempuran itu-pun kemudian telah menjadi pertempuran yang sangat garang. Ternyata orang-orang yang mencegat Mahisa Pukat itu benar-benar ingin membunuh. Mereka tidak lagi dikendalikan oleh paugeran atau perasaan apapun, selain membunuh kedua orang yang telah menyebabkan sepuluh orang kawan mereka tertangkap. Tetapi mereka tidak mengira sama sekali, bahwa enam orang prajurit berkuda telah datang dan melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat-pun telah berusaha sebanyak mungkin menyentuh senjata lawannya. Ia telah berloncatan dari seorang lawan ke lawan yang lain. Kemampuannya ilmu pedang telah membantu usahanya untuk melawan dan menyentuh orang-orang yang akan membunuhnya itu.

Namun orang-orang yang ingin membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu benar-benar orang yang garang. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, mengumpat, bahkan mengucapkan ancaman-ancaman yang mengerikan.

Tetapi keenam orang prajurit berkuda itu adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berpencaran dan berloncatan sambil memutar pedang mereka, sementara Mahisa Semu yang telah mendalami ilmu pedang, berusaha untuk bertahan karena beberapa orang telah menyerangnya bergantian.

Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar mendebarkan jantung. Bukan saja ilmu pedangnya. Tetapi kemampuannya bergerak bagaikan bayangan yang sulit diikuti oleh pandangan mata kewadagan. Sementara itu, pedangnya yang berwarna kehijauan itu setiap kali berkilat menyambar. Menyilaukan.

Para prajurit berkuda yang merasa bahwa lawan mereka lebih banyak telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawan mereka. Karena itu, maka dalam benturan-benturan yang terjadi, ujung-ujung pedang mereka telah pula menggores kulit lawan-lawan mereka. Tetapi bukan saja mereka melukai lawan-lawan mereka. Tetapi ada pula di antara mereka yang terluka.

Demikian pula Mahisa Semu. Luka-lukanya yang lama masih belum sembuh benar. Namun ia telah mengalami luka-luka baru. Beberapa gores senjata lawan telah membuat kulitnya berdarah.

Namun sementara itu, ada beberapa orang di antara ketujuh belas orang itu yang terlalu sering berbenturan senjata dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang demikian itulah yang lebih dahulu mengalami kesulitan. Tenaganya terasa dengan cepat susut, sehingga tangan dan kakinya terasa semakin lama semakin berat.

Pemimpin sekelompok orang yang berniat membunuh Mahisa Pukat itu berteriak-teriak memberikan aba-aba kepada orang-orangnya. Ia melihat beberapa orang tidak lagi dengan sungguh-sungguh bertempur. Seakan-akan mereka menjadi malas dan segan untuk mengangkat senjata-senjata mereka.

“Jangan menjadi seorang pengecut dengan tiba-tiba. Lawanmu bukan hantu. Lawanmu adalah orang seperti kita yang dapat kita lukai. Lihat, seorang di antara mereka telah menitikkan darah dari lukanya. Bunuh anak itu lebih dahulu, kemudian seorang lagi. Baru kemudian kita membunuh para prajurit yang telah mencampuri urusan orang lain.”

“Persetan,” geram pemimpin dari prajurit berkuda itu, “Apapun yang kau katakan, tetapi kalian semua harus mati.”

Namun orang itu tidak sempat berteriak lagi. Dengan derasnya Mahisa Pukat telah menyerangnya. Tetapi pemimpin dari orang-orang yang ingin membunuhnya itu telah menangkis serangannya. Bahkan dengan cepat orang itu berusaha untuk menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis serangan itu. Bahkan kemudian memutar pedang dan dengan sigap meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus ke arah lambung. Tetapi sekali lagi lawannya itu sempat menangkis serangan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, seorang yang lain telah menyerang Mahisa Pukat pula, sehingga Mahisa Pukat harus berloncatan meninggalkan lawannya itu untuk menghadapi lawannya yang baru. Bahkan dua orang bersama-sama. Tetapi Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat darah Mahisa Semu mengalir semakin banyak. Meskipun anak muda itu masih tetap bertahan, tetapi darah yang semakin banyak mengalir akan menyulitkannya.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit berkuda yang bertempur berputaran di antara lawan-lawannya yang jauh lebih banyak itu kadang-kadang memang merasa heran. Beberapa orang di antara lawan-lawannya justru menjadi tidak lagi segarang sebelumnya. Sebagaimana Mahisa Semu, yang meskipun sudah terluka, namun ia-pun merasakan bahwa lawan-lawannya sebagian tidak lagi berbahaya baginya. Orang-orang itu tidak lagi mampu mengejarnya jika ia membuat langkah-langkah panjang.

Pemimpin sekelompok orang yang ingin membunuh Mahisa Pukat-pun menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun demikian ia masih tetap seorang yang berbahaya. Dalam pada itu, apa yang pernah terjadi, telah terjadi lagi. Lawan-lawan Mahisa Pukat yang telah mengalami sentuhan senjata atau kewadagan, apalagi yang sudah beberapa kali, maka tenaga dan kemampuannya bagaikan telah dihisap, sehingga mereka telah menjadi lemah dan tidak lagi mampu mengetrapkan ilmunya.

Mereka bahkan menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan selain tubuh mereka menjadi semakin lama semakin lemah. Dengan demikian, maka karena yang bertempur kemudian bukan hanya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka senjata para prajurit telah dengan mudah menyentuh dan melukai lawan-lawan mereka.

Namun demikian Mahisa Pukat berteriak, “Cukup. Mereka tidak perlu dilukai atau disakiti. Biarlah mereka menyerah karena mereka tidak akan mampu lagi melawan.”

Sebenarnyalah beberapa orang bahkan telah terduduk lesu. Yang lain kehilangan keseimbangan, sementara ada di antara mereka yang terluka, bukan karena tidak mampu mengadakan perlawanan, tetapi sejak mereka baru mulai menghadapi seorang prajurit, mereka tidak mampu mempertahankan diri.

Para prajurit terkejut mendengar teriakan Mahisa Pukat. Namun mereka-pun telah berloncatan mundur. Sementara ketujuh belas orang yang mencegat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu benar-benar sudah tidak mampu untuk bertahan lebih lama. Memang masih ada satu dua orang yang memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dari yang lain. Ada pula yang baru sekali menyentuh senjata Mahisa Pukat dengan senjata, sehingga kekuatan dan kemampuannya seakan-akan masih utuh. Tetapi ketika mereka melihat keadaan gerombolannya, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.

“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “Jika tidak, maka kalian semuanya akan mati. Kalian sudah tidak akan mampu melawan kami. Satu dua di antara kalian sudah terluka. Yang lain kehilangan tekad untuk melawan sebagai seorang laki-laki. Sedangkan yang lain lagi menjadi ketakutan.”

Beberapa orang termangu-mangu. Mereka memang menjadi ngeri melihat ujung-ujung senjata kedua orang anak muda yang mereka buru dan para prajurit berkuda yang tiba-tiba saja telah datang tanpa membawa kuda.

Akhirnya tujuh belas orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Pemimpinnya yang masih nampak utuh, sebenarnyalah sudah mulai diraba oleh ilmu yang dahsyat itu. Namun justru karena ia sibuk mengatur orang-orangnya sehingga ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membenturkan senjatanya dengan senjata Mahisa Pukat. Baru pada kesempatan terakhir, ia telah menangkis serangan anak muda yang bersenjata pedang berwarna kehijau-hijauan itu.

Enam orang prajurit berkuda itu menjadi heran pula sebagaimana orang-orang yang mencegat Mahisa Pukat itu. Para prajurit itu juga tidak tahu apa yang telah terjadi, sebagaimana mereka juga tidak tahu apa yang telah terjadi pada sepuluh orang yang telah ditangkap sebelumnya. Tetapi mereka tidak sempat bertanya.

Mahisa Pukat berkata, “Tujuh belas orang itu akan menjadi tawanan kalian menemani sepuluh orang yang telah tertangkap lebih dahulu. Bawa mereka ke Kotaraja. Biarlah kawan-kawan mereka yang masih kuat dapat membantu kawan-kawannya.”

“Kau mau apa?” bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.

“Aku akan meneruskan perjalanan. Bukankah kita belum berada dilingkungan bahaya perang sehingga kita tidak usah menjadi cemas,” berkata Mahisa Pukat.

Pemimpin prajurit berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah ia tidak perlu menjadi cemas sehingga berbuat sesuatu yang tidak pantas dilakukan.

Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih menunggui sejenak ketika pemimpin sekelompok kecil prajurit itu mempersiapkan lawan-lawan mereka untuk mengatur diri. Baru kemudian mereka telah dibawa ke istana. Orang-orang istana itu-pun terkejut melihat peristiwa itu seperti melihat lalat di sekitarnya.

Namun pemimpin prajurit berkuda itu masih juga bertahan pada tugasnya sehingga jarang sekali ia membuat kesalahan. Karena itu, maka ia memang mendapatkan kepercayaan yang besar. Juga terhadap sikapnya kepada orang-orang yang telah mencegat kedua anak muda itu. Namun para pemimpinnya percaya bahwa pasukan berkuda yang jumlahnya hanya enam itu mampu mengatasi lawan sebanyak tujuh belas orang, justru karena bertempur bersama dengan dua orang anak muda itu.

Tetapi apa yang telah terjadi dengan kedua orang anak muda itu tidak mendapat banyak tanggapan dan keterangan. Yang penting bagi orang-orang yang mendapat penyerahan para tawanan itu, tujuh belas orang lagi di antara mereka yang sedang diburu itu ternyata datang dengan kedua tangan terikat, kecuali mereka yang mendapat tugas untuk memapah kawannya meskipun tubuhnya sendiri menjadi sangat lemah.

Dalam pada itu, Mahendra yang mendengar laporan itu pula telah bersyukur di dalam hati, bahwa kedua anak dan cantrik itu selamat. Dari pemimpin pasukan berkuda itu, Mahendra mendengar apa yang telah terjadi. Apa pula yang dilakukan oleh kedua orang anak muda itu. Mahendra hanya mengangguk-angguk saja. Ia sadar, bahwa Mahisa Pukat tentu sudah mempergunakan ilmunya yang mampu menyerap kekuatan dan ilmu lawannya.

Namun peristiwa itu sendiri adalah peristiwa yang mendebarkan. Jika saja sebelumnya para prajurit berkuda itu tidak mendapatkan keterangan tentang rencana buruk yang akan mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka keduanya belum tentu akan dapat meloloskan diri. Setidak-tidaknya keadaan Mahisa Semu tentu akan menjadi sangat sulit. Mungkin saja ia terluka parah atau bahkan lebih buruk daripada itu. Sementara itu, maka Mahisa Pukat tentu akan mengerahkan ilmunya untuk melindungi sejumlah kawannya, karena tanpa berbuat demikian, maka nyawanya sendiri akan melayang.

Hampir diluar sadarnya Mahendra yang berbicara langsung dengan pemimpin prajurit berkuda itu berdesis, “Aku mengucapkan terima kasih.”

“Aku hanya menjalankan tugas. Ketika kami mendapat laporan tentang hal itu, maka dengan tergesa-gesa kami menyusul kedua orang anak muda itu.”

“Apakah rencana mereka dapat kalian ketahui?” bertanya Mahendra.

“Tidak tepat seperti itu,” jawab pemimpin pasukan berkuda, “Yang diberi tahukan kepada kami oleh petugas di pintu gerbang, bahwa seorang di antara kawan-kawannya yang bertugas ada yang dengan tanpa dapat dikekang, berniat untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Itu adalah satu tindakan yang tidak wajar dilakukan oleh seorang prajurit. Karena itu, maka kami mempunyai prasangka buruk. Mungkin yang dilakukan itu hanya sekedar cara atau jika ia benar-benar ingin melakukannya dengan alasan tertentu, maka langkah itu akan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Kami tidak yakin akan apa yang akan terjadi. Tetapi kami ingin melihat, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh prajurit itu. Ternyata bahwa dua orang kami yang mengamati peristiwa itu melihat ada pihak lain yang mengawasi keadaan, sehingga kami justru mengawasi orang itu. Ketika mereka melepaskan burung merpati, maka kami-pun menyadari apa yang akan terjadi.”

Mahendra-pun mengangguk-angguk. Untunglah bahwa pemimpin prajurit berkuda itu berpikir tangkas ketika ia mendapat keterangan tentang seorang prajurit yang berniat untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat, sehingga kehadirannya meskipun hanya berenam, namun sudah membatasi persoalan sehingga Mahisa Pukat tidak perlu melakukan pembunuhan semena-mena.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah melanjutkan perjalanannya kembali ke padepokannya. Namun waktu mereka telah banyak tersita. Ketika mereka melewati kedai yang disinggahi saat mereka berangkat, kedai itu nampaknya kosong sama sekali.

“Kita berhenti sejenak, kau perlu beristirahat,” berkata Mahisa Pukat.

“Kenapa di sini?” bertanya Mahisa Semu.

“Lukamu perlu mendapat perawatan,” jawab Mahisa Pukat.

Keduanya-pun kemudian telah turun didepan kedai yang kosong itu. Ketika mereka kemudian mendorong pintunya, ternyata pintunya juga tidak diselarak. Bahkan apa yang ada di kedai itu masih juga sama seperti saat kedai itu ditinggalkan.

“Tidak ada seorang-pun yang telah masuk kedalam kedai ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Sebaiknya kita juga tidak,” berkata Mahisa Semu, “Agar kita tidak dituduh melakukan sesuatu di kedai ini.”

“Kedai ini sekarang tidak bertuan,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Pemiliknya sudah ditangkap. Demikian pula orang-orang yang pernah berhubungan dengan pemilik kedai ini.”

“Tetapi jika ada orang lain yang tidak mengetahui persoalannya, kita dikira memasuki tempat yang tidak semestinya,” desis Mahisa Semu.

“Jika demikian, kita berada di luar saja. Di dalam justru banyak sekali debu. Makanan sudah tidak lagi dapat dimakan. Mangkuk-mangkuk berserakan dan lalat-pun berterbangan,” desis Mahisa Pukat.

Keduanya-pun kemudian telah duduk di tangga samping kedai itu. Mahisa Pukat telah mengobati luka-luka Mahisa Semu. Terutama luka-lukanya yang baru. Sambil menunggu sejenak, serta memberikan kesempatan kudanya beristirahat, Mahisa Pukat melihat-lihat keadaan di sekeliling kedai itu. Namun tidak ada sesuatu yang sempat menarik perhatiannya. Kedai itu benar-benar kosong dan tidak pernah lagi dijamah orang.

Baru sejenak kemudian maka keduanya-pun telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Kuda mereka-pun telah tidak lagi merasa lelah, apalagi kuda-kuda itu baru menempuh sebagian kecil dari perjalanan mereka yang panjang. Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu lagi di atas punggung kudanya. Namun Mahisa Semu telah nampak lebih bersih. Darah tidak lagi nampak memerah di tubuhnya. Lukanya-pun telah menjadi pampat pula.

Tetapi perjalanan mereka masih cukup panjang, apalagi mereka ielah kehilangan waktu lama. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berpacu terlalu cepat. Apalagi jika mereka mendekati padukuhan atau jalan yang banyak dilalui orang. Kudanya berlari agak lambat agar tidak menarik perhatian orang atau bahkan menganggu orang-orang lain yang juga memakai jalan.

Demikian pula ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menarik kekang kuda mereka. Dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi mereka memasuki padukuhan yang besar itu. Padukuhan yang mempunyai jalan-jalan yang agak lebar dan banyak dilalui orang. Di sebelah menyebelah jalan, terdapat regol-regol halaman yang cukup baik biar halaman-halaman yang agak luas. Bahkan terdapat satu dua bangunan yang di pagi hari tentu dipergunakan sebagai kedai. Namun meskipun hari telah menjadi semakin sore, masih ada juga satu dua kedai yang terbuka.

“Kita singgah untuk makan,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun merasa sangat haus, sehingga ia-pun dengan cepat menyatakan persetujuannya. Keduanya-pun kemudian telah singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar. Namun di kedai itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dapat pula membeli makan dan minuman untuk kuda mereka.

Ternyata minuman dan makanan di kedai itu cukup baik. Harganya-pun tidak terlalu mahal. Sementara itu kuda mereka-pun telah mendapat minum dan makan secukupnya. Setelah membayar makanan dan minuman serta perawatan kuda-kuda mereka, maka kedua orang anak muda itu-pun segera melanjutkan perjalanan.

Namun ketika mereka sampai di simpang empat di padukuhan itu, keduanya terkejut sehingga mereka menarik kekang kuda mereka kuat-kuat. Kuda Mahisa Semu bahkan telah meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Hampir saja Mahisa Semu terjatuh. Untunglah, bahwa tubuhnya seakan-akan telah melekat pada punggung kudanya itu.

Sementara itu, beberapa orang anak muda berkuda dari arah samping memotong jalan dengan tiba-tiba saja tanpa memperlambat laju kuda mereka. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berhenti di simpang empat menjadi berdebar-debar. Sementara itu, beberapa anak muda yang memotong jalan itu justru tertawa berkepanjangan. Mereka seakan-akan telah menyoraki Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang hampir saja terjatuh dari kudanya.

“Anak-anak gila,” Mahisa Semu menjadi marah. Tetapi Mahisa Pukat berdesis, “Sudahlah. Jangan hiraukan. Kita meneruskan perjalanan kita yang sudah terhambat.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak perasaan di dadanya. Beberapa orang yang melihat hal itu-pun berhenti termangu-mangu. Seorang yang sudah separuh baya mendekati kedua anak muda itu. Katanya, “Untunglah tidak terjadi sesuatu ngger.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil berkata, “Ya Kiai. Tetapi hati ini masih berdebar-debar.”

“Sudahlah. Jangan berurusan dengan anak-anak bengal itu. Mereka adalah anak-anak orang kaya di padukuhan yang terhitung besar ini. Tetapi mereka justru membuat padukuhan ini menjadi selalu kacau,” berkata orang separo baya itu.

“Terima kasih atas peringatan itu Kiai,” jawab Mahisa Pukat yang kemudian bersama-sama dengan Mahisa Semu telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Justru anak-anak semacam itu harus mendapat peringatan,” berkata Mahisa Semu.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Pukat, “Lupakan.”

Namun keduanya masih juga mendengar salah seorang yang berdiri di pinggir jalan berkata, “Kemarin, dua orang anak yang sedang bermain-main juga tersentuh kuda-kuda yang seperti menjadi liar itu. Untunglah luka-lukanya tidak begitu berat.”

Mahisa Semu berpaling. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Marilah. Para bebahu padukuhan ini tentu akan mengurusnya.”

Tanpa menghiraukan anak-anak muda itu lagi, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu meneruskan perjalanan mereka. Tetapi baru beberapa langkah kuda mereka bergerak, mereka telah mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda itu lagi. Kemudian derap kaki kuda mereka.

Sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menentukan sikap, anak-anak muda itu telah muncul lagi di simpang empat. Mereka berbelok searah dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan kemudian beberapa orang anak muda itu telah mendahului Mahisa Semu dan Mahisa Pukat. Namun dua orang di antara mereka sempat menyentuh kepala Mahisa Semu disusul teriakan-teriakan riuh dari anak-anak itu.

“He, kepalamu cukup keras Ki Sanak,” teriak salah seorang dari mereka sambil berpacu meninggalkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Ternyata Mahisa Pukat tidak sempat lagi mengekang Mahisa Semu yang menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja Mahisa Semu telah memacu kudanya pula menyusul beberapa orang anak muda yang berkuda itu. Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Bahkan Mahisa Pukat-pun mendengar Mahisa Semu berteriak, “Berhenti kalian anak-anak setan.”

Yang terdengar adalah suara tertawa yang meledak. Anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Namun ketika mereka melihat anak muda yang dilewatinya sambil disentuh kepalanya itu berpacu menyusul mereka, maka anak-anak muda itu mulai memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

“Anak itu menjadi gila,” teriak seorang di antara mereka.

Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun ketika seorang di antara mereka tertawa, maka yang lain-pun tertawa pula. “Anak itu berlagak sebagai seorang kesatria yang tidak mau dihinakan dengan disentuh kepalanya,” teriak yang lain.

Kawan-kawannya-pun berteriak-teriak tidak menentu. Di antaranya tertawa semakin keras sementara yang lain bersorak-sorak. Ternyata mereka membuat Mahisa Semu menjadi semakin marah. Dengan menghentakan kendali kudanya, Mahisa Semu berpacu semakin cepat. Di belakangnya, Mahisa Pukat-pun mempercepat lari kudanya menyusul Mahisa Semu.

Sementara itu, anak-anak muda yang telah mengganggu Mahisa Semu itu ternyata tidak berniat melarikan diri. Tetapi mereka ingin memilih satu tempat yang lebih luas untuk mempermainkan anak muda yang mengejarnya itu. Anak muda yang berpacu di paling depan itu-pun berteriak, “He, kita pergi ke ara-ara amba. Kita dapat bermain-main lebih menyenangkan lagi dengan anak-anak yang tidak tahu diri itu.”

Kawan-kawannya-pun berteriak-teriak gembira. Seorang di antara mereka menjerit tinggi, “Kita sudah lama tidak mendapat permainan yang menarik seperti ini.”

Yang lain-pun menyahut dengan teriakan-teriakan tinggi. Sementara itu kuda-kuda mereka-pun berpacu terus menuju ke sebuah ara-ara yang luas. Sebuah padang rumput tempat para gembala menggembalakan kambing mereka.

Ketika sekelompok anak muda diatas punggung kuda memasuki lapangan rumput itu, maka para gembala-pun telah menggiring kambing mereka menepi. Mereka mengenal anak-anak muda itu, sebagai anak-anak muda yang seakan-akan tidak dapat diganggu gugat lagi semua tindakan dan tingkah lakunya. Seakan-akan merekalah yang memiliki padukuhan yang besar itu dengan segala isinya. Mereka berbuat apa saja yang mereka sukai tanpa menghiraukan perasaan orang lain.

Demikian anak-anak muda itu berada di ara-ara, maka mereka-pun segera berpencaran, sehingga Mahisa Semu menjadi agak bingung. Sementara anak-anak muda itu mulai mempermainkannya. Mula-mula mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak sambil berputar-putar.

Dalam kebimbangan Mahisa Semu justru berhenti, sementara Mahisa Pukat telah berada disampingnya. Dengan gelisah Mahisa Pukat itu berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan mereka.”

“Mula-mula aku masih dapat menahan diri,” berkata Mahisa Semu, “Tetapi kemudian mereka telah menghinakan aku. Dua orang di antara mereka telah meraba kepalaku. Apakah aku harus berdiam diri?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia-pun melihat dua orang di antara anak-anak muda itu telah memegang kepala Mahisa Semu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak dapat memaksa Mahisa Semu untuk menahan diri lagi. Mahisa Semu benar-benar telah tersinggung karena perlakuan anak-anak muda itu.

Sementara itu Mahisa Semu masih berdiam diri diatas punggung kudanya. Anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Tetapi mereka-pun tidak berlari-larian lagi berputaran. Karena Mahisa Semu berhenti, maka mereka-pun telah terhenti pula.

Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Semu menahan kemarahannya sehingga dadanya menjadi sakit, ia-pun kemudiain berkata, “Jika kau ingin berbuat sesuatu atas mereka, kejar seorang di antara mereka. Jangan hiraukan yang lain sampai kau mendapatkannya.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba kedua tumitnya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kudanya telah terlonjak. Ketika kemudian kudanya berlari, maka Mahisa Semu langsung menuju kearah seorang di antara anak-anak muda itu. Anak muda yang telah menyentuh kepalanya dan mentertawakannya.

Anak muda itu terkejut. Ia-pun segera menghentakkan kendali kudanya sehingga kudanya-pun telah berlari pula, sementara kawan-kawannya-pun mulai bergerak. Kuda-kuda mereka mulai berlari-larian berputaran dan berpencaran. Tetapi seperti pesan Mahisa Pukat, maka Mahisa Semu tidak menghiraukannya lagi. Ia telah mengejar seorang saja di antara anak-anak muda itu. Kemana kudanya lari, Mahisa Semu selalu memburunya.

Anak muda itu mulai menjadi cemas. Kawan-kawannya-pun demikian. Karena itu, maka kawan-kawannya telah berusaha mengacaukan arah kuda Mahisa Semu dengan sekali-sekali memotong jalan. Namun tekat Mahisa Semu sudah bulat. Ia tidak menghiraukan yang lain. Ia mengejar seorang saja di antara mereka. Ia mengejar kemana anak muda itu memacu kudanya. Berputar, berbelok, berlari kencang dan segala macam gerak yang lain. Ternyata bahwa kuda Mahisa Semu cukup baik, sehingga semakin lama sasarannya menjadi semakin dekat.

Tetapi beberapa saat kemudian, kuda Mahisa Semu telah berhasil menyusul kuda yang dikejarnya. Dengan tangkasnya Mahisa Semu telah menangkap kendali kuda yang dikejarnya dan mencoba menariknya. Namun anak muda di atas punggung kuda itu tidak membiarkannya. Dengan cemetinya ia telah memukul tangan Mahisa Semu, sehingga Mahisa Semu manjadi semakin marah. Dengan tidak berpikir panjang maka Mahisa Semua justru telah meloncat dari kudanya, menerkam anak muda yang menyakitinya itu. Bukan saja menyakiti tubuhnya, tetapi juga menyakiti hatinya.

Keduanya-pun telah terlempar dari kuda mereka dan jatuh berguling. Ternyata Mahisa Semu yang memiliki kelenturan tubuh yang terlatih, mampu menempatkan dirinya saat ia terguling. Namun agaknya lawannya tidak memiliki kelenturan tubuh sebagaimana Mahisa Semu, sehingga demikian ia jatuh, maka ia-pun telah menyeringai menahan sakit.

Ketika Mahisa Semu kemudian meloncat bangkit, maka anak muda itu hanya dapat menggeliat sambil mengaduh kesakitan. Namun dalam pada itu, seekor kuda lain telah menyambar Mahisa Semu. Tetapi anak muda itu sempat meloncat menghindar. Sekali ia berguling, kemudian meloncat bangkit. Sementara itu, beberapa ekor kuda yang lain-pun telah siap menyambar pula. Seakan-akan berurutan satu demi satu, sehingga Mahisa Semu harus berloncatan menghindar.

Tetapi ketika salah seorang yang juga telah menyentuh kepalanya menyambarnya sambil mengayuhkan cemeti kudanya. Maka Mahisa Semu dengan cepat menangkapnya. Ia memang terseret beberapa langkah. Tetapi ketika ia menghentakkan cemeti itu, maka anak muda yang memeganginya telah terseret pula jatuh dari kudanya. Gerak nalurinya kurang cepat tanggap, sehingga ia tidak melepaskan cemetinya itu.

Seperti kawannya, maka demikian ia jatuh, maka punggungnya serasa akan patah. Karena itu, maka ia-pun tidak segera dapat bangkit berdiri. Kawan-kawannya menjadi sangat heran. Mereka tidak lagi menyambar-nyambar dengan kuda mereka. Tetapi orang yang paling berpengaruh di antara mereka telah memberikan isyarat agar mereka berhenti dan turun dari kuda mereka.

Sejenak kemudian, lima orang anak muda telah mengepung Mahisa Semu, sementara Mahisa Pukat masih duduk saja di punggung kudanya. Ia memang ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Semu. Mahisa Pukat melihat anak-anak muda yang nakal itu tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia-pun sudah bersiap-siap. Setiap saat diperlukan, ia akan dapat langsung turun ke arena.

Sejenak kemudian, orang yang agaknya mempimpin kawan-kawannya itu melangkah mendekati Mahisa Semu sambil berkata, “Ternyata kau anak yang gila.”

“Aku tidak mau kalian menghinakan aku. Kalian telah menyentuh bagian tubuhku di atas leherku. Itu satu pertanda bahwa kalian memang menantangku,” jawab Mahisa Semu.

“Kau terlalu sombong. Kau mencari kesulitan,” geram anak muda itu.

“Bukan aku yang mendahului. Tetapi apakah keuntungan kalian dengan sikapmu menghinakan orang lain seperti itu?” bertanya Mahisa Semu.

“Kami sudah terbiasa berbuat apa saja yang kami senangi,” jawab anak muda itu, “Orang lain tidak akan pernah berani melawan kami.”

“Tetapi aku tidak takut berhadapan dengan kalian. Kalian telah melakukan satu perbuatan yang tidak pantas. Kalian mengira bahwa orang lain tidak akan pernah merasa tersinggung. Atau kalian memang berpendapat, bahwa kalian akan dapat mengatasi seandainya ada orang lain yang merasa tersinggung dan menjadi marah?” bertanya Mahisa Semu.

“Ya, kami tidak mau tunduk kepada kepentingan orang lain. Kami dapat berbuat apa saja sesuai dengan keinginan kami. Kami justru akan memukuli orang yang menjadi marah kepada kami,” jawab anak muda itu.

Ternyata Mahisa Semu tidak mau berbantah terlalu lama. Di luar dugaan, tiba-tiba saja ia sudah meloncat maju dan menyerang anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu. Satu pukulan yang sangat keras telah menghantam keningnya, sehingga anak muda itu tidak sempat menghindar dan tidak sempat menangkis serangan itu. Demikian keningnya dikenai pukulan Mahisa Semu, maka ia-pun telah terlempar jauh. Beberapa kali ia berguling. Keningnya merasa sangat sakit, sementara matanya menjadi berkunang-kunang.

Kawan-kawannya yang melihat serangan itu dengan cepat menanggapi keadaan. Mereka-pun berloncatan memencar. Namun Mahisa Semu telah siap menghadapi mereka. Sementara itu anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu sambil menyeringai telah berusaha untuk bangkit. Ketika ia kemudian berdiri tegak, ternyata kepalanya masih saja terasa sangat pening.

Anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira bahwa pada suatu saat mereka akan berhadapan dengan seorang anak muda yang sangat berani. Karena itu, maka mereka tidak segera dapat memutuskan, apa yang harus mereka lakukan selain berusaha mengganggu kuda Mahisa Semu.

Sementara itu, empat orang kawan-kawannya telah berloncatan menyerang. Sementara pemimpin mereka masih menggeliat. Namun kemudian anak muda yang menjadi pemimpin di antara mereka itu-pun telah siap untuk turun kegelanggang. Tetapi dua orang kawannya yang terjatuh dari kuda itu masih belum sempat berdiri meskipun mereka sudah berusaha. Tetapi punggung mereka rasa-rasanya bagaikan menjadi retak.

Mahisa Semu-pun kemudian telah berkelahi melawan lima orang anak muda. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Meskipun ia baru saja terluka, tetapi Mahisa Semu masih nampak terlalu garang.

Anak-anak muda itu berkelahi dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka. Dengan kasar mereka menyerang bergantian. Bahkan pemimpin anak-anak muda yang telah mampu mengatasi rasa sakit itu berteriak, “Kenapa kawanmu itu tidak membantumu? Apakah kalian tidak mempunyai perasaan kesetia-kawanan atau kalian memang anak-anak muda yang sombong?”

Jawab Mahisa Semu memang menyakitkan. Katanya, “Ia akan membantu jika aku menghadapi lawan yang pantas.”

“Gila kau anak iblis,” geram pemimpin anak-anak muda itu.

Namun belum lagi mulutnya terkatub, serangan Mahisa Semu telah menyambar bibirnya. Jari-jarinya yang terbuka dan merapat telah menampar mulut anak muda yang sedang berbicara itu, sehingga tubuhnya terputar kesamping. Anak muda itu mengaduh. Ketika tangannya meraba bibirnya, terasa cairan hangat mengalir dari bibirnya yang pecah. Betapa kemarahan membakar ubun-bunnya. Bibirnya yang pecah telah membasahi telapak tangannya dengan darah.

Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Mahisa Semu berloncatan di antara lawan-lawannya yang ternyata sebagaimana diduga oleh Mahisa Pukat, bukan lawan yang berbahaya. Mereka sama sekali tidak terlatih meskipun pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang kuat.

Namun dalam pada itu, Mahisa Semu yang berloncatan telah menyambar mereka seorang demi seorang dengan sentuhan tangan atau kaki. Seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Sementara seorang yang bertubuh kecil dan pendek bagaikan terlempar dan terbanting jatuh. Namun ia masih sempat untuk bangkit kembali dan ikut pula dalam perkelahian itu.

Tetapi tiba-tiba anak-anak muda itu justru terkejut ketika melihat darah di tubuh Mahisa Semu. Nampaknya serangan-serangan mereka sama sekali tidak berhasil mengenai anak muda itu. Tetapi tiba-tiba saja tubuh itu berdarah.

Mahisa Semu semula tidak menyadari, bahwa luka-lukanya yang telah pampat itu telah berdarah lagi justru setelah ia terlalu banyak bergerak. Untuk beberapa saat mereka terheran-heran. Namun kemudian mereka justru merasa bahwa mereka telah berhasil melukai anak itu tanpa mereka sadari.

Karena itu, maka pemimpin dari anak-anak muda itu-pun berteriak, “Lihat. Tubuhnya telah berdarah. Ia akan segera kehilangan kekuatannya. Ia akan menjadi lemah dan tidak bertenaga lagi untuk melawan kita.”

Kelima orang itu-pun seakan-akan telah mendapatkan satu kesimpulan bahwa mereka akan segera menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi Mahisa Semu-pun kemudian menyadari, bahwa luka-lukanya yang telah pampat seakan-akan telah membuka kembali. Karena itu, maka kemarahannya-pun telah meledak. Karena yang ada dihadapannya adalah anak-anak muda yang telah menghinakannya itu, maka kemarahannya-pun telah ditumpahkannya kepada mereka.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu-pun telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ia justru tidak peduli lagi, apakah lukanya akan berdarah semakin banyak. Namun yang diinginkan adalah menyelesaikan anak-anak bengal itu secepat-cepatnya. Kecuali darahnya yang mengalir, maka matahari-pun menjadi semakin rendah.

Namun anak-anak gembala yang biasanya sudah pulang, masih ada di ara-ara itu meskipun dari kejauhan. Hanya satu dua di antara mereka benar-benar menjadi ketakutan dan berlari-lari pulang. Ceritera anak-anak gembala itu justru telah berkembang. Beberapa orang ingin melihat apa yang telah terjadi di ara-ara.

Sementara itu, karena Mahisa Semu telah menghentakkan segenap kekuatan dan kemampuannya, maka serangan-serangannya-pun menjadi semakin garang. Anak-anak muda yang tidak memiliki bekal kanuragan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting. Sementara ia belum sempat bangkit, maka seorang lagi telah mengaduh. Kaki Mahisa Semu tepat mengenai perutnya, sehingga anak muda itu terbungkuk kesakitan. Sambil meloncat ke samping, tangan Mahisa Semu terayun mendatar menghantam kening seorang lagi di antara lawan-lawannya.

Kelima orang lawan-lawannya benar-benar menjadi bingung. Pukulan Mahisa Semu datang beruntun. Satu demi satu mereka jatuh dan sulit untuk dapat bangkit kembali. Pemimpin anak-anak muda itu sekali lagi telah terjatuh pula. Namun Mahisa Semu yang marah itu tidak puas dengan sekedar menjatuhkan mereka seorang demi seorang.

Kemarahan Mahisa Semu benar-benar sampai ke puncak. Karena itu ketika lawan-lawannya berjatuhan, maka ia-pun telah meloncat menerkam mereka seorang demi seorang. Pemimpin anak-anak muda itu ditariknya sehingga bangkit berdiri. Namun sekali ayun tangan Mahisa Semu telah memukul dagu anak muda itu.

Anak muda itu terlempar dua langkah surut dan kemudian jatuh terlentang. Namun Mahisa Semu masih belum puas. Ia telah menarik anak muda yang lain. Menariknya berdiri dan memukulnya pula sampai anak muda yang ke tujuh. Mereka yang jatuh terguling dari kudanya dan tidak dapat bangkit lagi itu-pun telah diperlakukan dengan keras oleh Mahisa Semu. Apalagi kedua orang anak muda yang jatuh dari kudanya itu adalah anak-anak muda yang telah menyentuh kepalanya. Anak-anak muda itu benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Mereka hanya dapat menyeringai menahan sakit dan mengerang kesakitan.

Mahisa semu itu baru berhenti memukuli anak-anak muda itu ketika Mahisa Pukat menggamitnya dan berkata, “Sudahlah Mahisa Semu. Tidak sepantasnya kau melakukan hal itu. Apalagi matahari sudah hampir tenggelam. Kita harus melanjutkan perjalanan.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketujuh anak-anak muda itu mengerang kesakitan. Tubuh mereka bagaikan telah diremukkan oleh Mahisa Semu. Tulang-tulang mereka bagaikan berpatahan. Namun Mahisa Semu-pun menyadari, bahwa ia tidak dapat larut dalam kemarahannya terus-menerus. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Semu-pun melangkah surut. Dilihatnya ketujuh orang lawannya itu telah terbaring diam tanpa dapat berbuat apa-apa lagi selain mengerang kesakitan. Dari kejauhan para gembala menyaksikan semuanya itu. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Apalagi mencampuri persoalan itu. Namun sejenak kemudian, orang-orang yang ada di ara-ara itu terkejut. Mahisa Semu dan Mahisa Pukat melihat beberapa orang mendatangi mereka.

“Apakah kita akan melayani mereka?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita akan terlalu lama berhenti di sini,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun kemudian bersiul keras-keras. Ternyata kudanya yang sudah terbiasa mendengar siulnya telah berlari-lari mendekatinya. Dengan sigapnya Mahisa Semu-pun meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Mahisa Pukat yang masih harus berlari lebih dahulu beberapa langkah, baru kemudian meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, maka keduanya-pun telah menghentakkan kendali kudanya meninggalkan ara-ara itu.

“Ki Sanak,” teriak seseorang dari antara orang-orang yang berdatangan.

Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menghiraukannya lagi. Keduanya berderap semakin lama semakin jauh, sementara langit-pun menjadi semakin gelap.

“Darahmu mengalir lagi,” desis Mahisa Pukat.

“Ya.” sahut Mahisa Semu.

“Kita harus berhenti untuk mengobatinya lagi,” berkata Mahisa Pukat pula.

Mahisa Semu tidak menjawab. Namun mereka masih berpacu terus agar mereka mempunyai jarak yang cukup. Apalagi jika gelap turun. Seandainya orang-orang padukuhan terutama orang tua anak-anak muda itu menyusulnya, mereka tentu akan sulit untuk mencari jejak. Apalagi ketika Mahisa Semu dan Mahisa Pukat telah mengambil jalan kecil untuk mendapat tempat berhenti. Meskipun dalam kegelapan namun Mahisa Pukat sempat mengobati luka-luka Mahisa Semu yang berdarah lagi.

“Aku sengaja membiarkan kau berkelahi sendiri,” desis Mahisa Pukat sambil menaburkan obat di luka Mahisa Semu.

Mahisa Semu memang menyeringai menahan pedih dan panas pada lukanya yang tersentuh obat itu. Namun Mahisa Semu mengetahui bahwa obat itu justru telah bekerja di lukanya itu. Seterusnya keduanya telah beristirahat beberapa saat di kegelapan. Mereka ternyata sudah malas untuk meneruskan perjalanan sampai ke padukuhan untuk mencari tempat bermalam.

Ternyata mereka lebih senang bermalam di tempat itu juga. Apalagi tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah parit yang airnya sangat jernih. Mahisa Semu yang menengadahkan wajahnya melihat langit-pun terang. Tidak ada awan yang mengalir di udara. Yang nampak adalah bintang-bintang bergayutan dari cakrawala sampai ke cakrawala.

“Nampaknya tidak akan hujan malam ini,” berkata Mahisa Semu sambil membaringkan tubuhnya diatas sebongkah batu hitam yang besar yang banyak terdapat di tempat itu.

“Ya,” sahut Mahisa Pukat yang duduk sambil menyilangkan kakinya. Juga di atas batu yang besar. “Tidurlah. Nanti bergantian,” desis Mahisa Pukat.

“Ya. Aku letih sekali,” sahut Mahisa Semu.

“Terutama karena darahmu yang mengalir cukup banyak. Bukan karena kau berkelahi dengan anak-anak muda itu,” jawab Mahisa Pukat pula.

Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia-pun telah memejamkan matanya. Udara memang terasa dingin. Apalagi kemudian embun-pun mulai membasahi batu tempat ia berbaring. Tetapi Mahisa Semu itu-pun telah tertidur pula.

Mahisa Pukat masih saja duduk di atas sebongkah batu. Ia memang tidak ingin tidur. Ia akan berjaga-jaga sampai dini. Jika Mahisa Semu telah cukup lama tidur, ia hanya ingin tidur seujung pagi saja sebelum meneruskan perjalanan. Dua ekor kuda terikat pada sebatang pohon perdu. Nampaknya tidak ada sesuatu yang akan mengganggu mereka malam itu.

Lewat tengah malam, batu tempat Mahisa Pukat duduk itu-pun terasa menjadi basah oleh embun. Namun Mahisa Pukat tidak beranjak dari tempatnya. Ia sudah terbiasa berada di segala tempat dalam segala suasana. Menjelang dini, Mahisa Pukat justru terkejut. Pendengarannya yang sangat tajam mendengar desir lembut. Semakin lama semakin dekat, sehingga ketika desir itu diyakini langkah seseorang, Mahisa Pukat-pun bangkit dan berdiri diatas batu itu. Katanya tidak terlalu keras, “Marilah. Aku persilahkan Ki Sanak mendekat.”

Sejenak suasana justru menjadi hening. Namun kemudian langkah itu terdengar lagi. Bahkan sesosok tubuh telah muncul dari balik sebongkah batu yang besar. “Ternyata kau benar-benar berilmu tinggi,” desis orang yang datang itu, “Kau dengar langkahku mendekat.”

“Kau kurang berhati-hati,” sahut Mahisa Pukat, “Di sini banyak daun kering.”

“Baiklah. Aku harus mengakui kelebihanmu,” jawab orang itu.

“Siapakah kau?” bertanya Mahisa Pukat. “Apakah kau mempunyai hubungan dengan anak-anak muda di ara-ara itu,” Mahisa Pukat mencoba menebak.

“Tidak secara langsung,” jawab orang itu.

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.

“Aku adalah orang yang dianggap memiliki ilmu terbaik di padukuhan itu. Kalian ternyata sudah memukuli anak-anak muda padukuhan kami. Meskipun aku bukan orang upahan, bahkan aku tidak setuju dengan tingkah laku mereka, namun aku juga tidak setuju dengan caramu. Kalian sudah bertindak sendiri dan langsung,” berkata orang itu.

“Jadi apa yang harus kami lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika kau merasa dirugikan, maka kau harus melaporkannya kepada Ki Bekel. Ki Bekel yang akan menyelesaikan segala persoalan,” jawab orang itu, “Jika tidak demikian, maka wibawa para bebahu padukuhan akan lenyap.”

“Wibawa bebahu padukuhan itu tidak akan lenyap karena tindakan kami, karena bebahu padukuhan itu sudah tidak mempunyai wibawa sejak lama,” jawab Mahisa Pukat.

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Apa yang dapat dilakukan oleh bebahu padukuhan terhadap anak-anak muda yang tidak tahu adat itu? Jika wibawa bebahu padukuhan itu masih utuh, maka tindakan dan sikap seperti itu tentu sudah tidak ada lagi,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Ya. Kau benar. Tetapi kau, orang asing di padukuhan kami, jangan menambah parah kedudukan para bebahu itu.”

“Kami tidak mempunyai pilihan lain. Anak-anak muda itu telah menghinakan kami. Karena itu, maka kami harus membela harga diri kami,” jawab Mahisa Pukat.

“Meskipun wibawa kami sudah lama susut. Tetapi kami tidak mau orang asing menginjak-injak harga diri kami,” jawab orang itu.

“Jadi bagaimana menurut penilaianmu. Kalian tidak mau tersinggung, tetapi kalian biarkan anak-anak padukuhan itu menyinggung harga diri orang lain,” berkata Mahisa Pukat.

“Kami tidak mau timbul kesan orang asing, bahwa padukuhan kami tidak memiliki kemampuan untuk menjaga harga diri kami. Karena itu, apapun alasannya, aku ingin menunjukkan bahwa dipadukuhan kami ada kekuatan yang dapat menjaga wibawa dan nama baiknya meskipun kedalam hal itu tidak dapat diberlakukan,” berkata orang itu.

“Bukankah pikiranmu terbalik? Kalian harus menegakkan wibawa kalian ke dalam. Dengan sendirinya wibawa itu akan memancar keluar,” sahut Mahisa Pukat.

“Ki Sanak. Apapun persoalan yang kau sebut, maka aku tetap pada pendirianku. Aku ingin membawa kalian berdua kembali ke padukuhan kami. Kalian berdua harus bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Baru kemudian kami dapat mengadili dan menghukum orang-orang kami,” berkata orang itu.

“Tidak Ki Sanak. Yang harus kau lakukan adalah menghukum anak-anak bengal itu dan memaksa mereka untuk tidak melakukannya lagi agar pada kesempatan lain bukan kepala mereka yang dipecahkan,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku kira aku sudah cukup memberikan alasan kenapa aku mengikuti jejakmu. Hampir saja aku kehilangan. Untunglah, bahwa kemampuanku mengikuti jejak masih juga membawa aku menyusul kalian di sini,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Aku-pun sudah cukup memberikan alasan. Aku tidak akan kembali lagi. Aku akan tetap meneruskan perjalanan.”

...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...

Untuk selanjutnya, Mahisa Pukat benar-benar tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Ketika sekali lagi Mahisa Pukat menyerangnya dengan ayunan tangan mengenai kening lawannya, maka lawannya itu-pun telah terjatuh lagi. Namun rasa-rasanya tenaganya memang tidak mungkin lagi untuk menopang keinginannya mempertahankan dirinya dan apalagi memaksa anak muda itu kembali ke padukuhan. Karena itu, ketika ia kemudian bangkit, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk berdiri. Ia masih saja duduk di tanah dengan kepala tunduk.

Mahisa Pukat tidak menyerangnya lagi. Dibiarkannya lawannya itu mengatur pernafasannya sebelum bangkit berdiri. Tetapi lawannya tidak segera berdiri. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh menahan sakit.

Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Pukat menunggu. Ketika lawannya itu masih saja duduk, maka ia-pun bertanya, “Bagaimana Ki Sanak. Apakah kita masih akan melanjutkan lagi?”

“Anak muda,” berkata orang itu dengan nada yang dalam, “Aku harus mengakui bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Aku-pun menyadari, bahwa apa yang kau lakukan belum sampai ke puncak kemampuan kalian. Karena itu, mustahil aku dapat memenuhi keinginan orang-orang padukuhan, agar aku membawa kalian berdua kembali ke padukuhan.”

“Jika demikian, biarkan aku pergi,” berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah,” berkata orang itu, “Tetapi aku akan tidak berarti lagi di padukuhan. Selama ini hanya akulah yang dapat mengekang orang-orang tua dari anak-anak yang bengal itu. Tanpa kekangan itu, mereka tentu akan berbuat jauh lebih buruk lagi.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat, “Kenapa kau menjadi tidak berarti lagi?”

“Aku tidak dapat menyelesaikan tugas yang mereka berikan kepadaku. Mereka telah minta tolong kepadaku untuk membawa kalian berdua kembali ke padukuhan. Tetapi aku tidak dapat memenuhinya. Mereka tentu menganggap bahwa selama ini aku hanya sekedar pembual saja yang ternyata tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti bagi mereka,” jawab orang itu. Lalu katanya pula, “Tetapi itu harus aku terima.”

“Tetapi kau dapat menunjukkan kelebihanmu. Orang-orang yang tidak menghargaimu lagi, kau tantang saja untuk berkelahi. Jika tidak ada orang yang mampu mengalahkanmu, maka kau akan dapat menepuk dada dan berkata kepada mereka, bahwa kau tetap orang terbaik,” berkata Mahisa Pukat.

“Dan mereka akan mencibirkan sambil memperingatkan kepadaku, bahwa aku tidak mampu membawa dua orang anak muda kembali ke padukuhan,” jawab orang itu.

“Katakan kepada mereka, bahwa kau tidak berhasil menyusul kami. Katakan bahwa anak-anak muda itu tidak berhenti meskipun malam hari. Mereka berjalan terus sepanjang malam.” sahut Mahisa Pukat.

“Apapun alasannya, mereka tidak akan lagi menghargai aku. Setidak-tidaknya penghargaan mereka terhadapku akan susut,” jawab orang itu.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia memandangi orang itu dengan dahi yang berkerut. Sementara orang itu masih saja duduk sambil menundukkan kepalanya. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku dan adikku akan mengikutimu kembali ke padukuhan. Tetapi ingat, jika kau tidak berhasil mengendalikan orang-orang padukuhan, sehingga mereka akan menghukum aku, maka aku akan melindungi adikku. Mungkin aku dan adikku akan membantai orang-orang padukuhanmu berapapun jumlahnya.”

Orang itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan pandangan kosong. Namun kemudian Mahisa Pukat berkata lantang, “Kau tidak percaya?”

Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban orang itu. Dengan serta merta ia-pun telah memusatkan nalar budinya. Dengan sigap ia-pun kemudian telah menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke sebuah batu padas di bawah sebatang pohon. Seleret sinar telah menyambar dari telapak tangan Mahisa Pukat itu. Batu padas yang dikenainya seakan-akan telah meledak dan pecah berserakan.

Orang itu terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Dipandanginya Mahisa Pukat dan batu yang hancur itu berganti-ganti. Ia seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya.

“Aku hanya ingin mengatakan kepadamu, jika orang-orang padukuhanmu itu mau menghukumku, maka yang terjadi adalah seperti batu padas itu. Apalagi seseorang yang terdiri dari kulit dan daging yang lunak,” geram Mahisa Pukat.

Orang itu tergagap. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan berani membawa kalian berdua kembali ke padukuhan.”

“Sudah aku katakan. Jika itu kau perlukan, maka kami tidak berkeberatan. Tetapi jangan perlakukan kami seperti seekor keledai yang dungu, karena kami akan dapat membunuh seluruh isi padukuhanmu,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi apakah aku akan dapat menguasai mereka?” orang itu justru bertanya.

“Jika kau memang mempunyai wibawa yang cukup, maka kau akan dapat melakukannya,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, “Sudahlah. Aku akan kembali tanpa kalian. Biarlah kalian melanjutkan perjalanan kalian tanpa tergaggu.”

“Aku akan kembali ke padukuhanmu,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu menunduk. Katanya hampir tidak dapat didengar oleh orang lain, “Aku tidak mengira sama sekali.”

Tetapi ternyata orang itu tidak dapat melangkah surut. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertekad untuk ikut kembali ke padukuhan. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu terhadap anak-anak muda yang sering menganggu orang yang lewat di padukuhan mereka.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mengikuti orang itu kembali ke padukuhan. Beberapa puluh langkah dari tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu beristirahat, orang itu menambatkan kudanya. Sejenak kemudian maka ketiga ekor kuda itu telah berpacu kembali ke padukuhan. Ketika mereka sampai ke ara-ara, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun terkejut. Ternyata di ara-ara itu telah berkumpul banyak orang padukuhan. Beberapa obor telah terpasang menerangi satu lingkungan yang luas.

Ketika tiga ekor kuda itu memasuki ara-ara, maka terdengar dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu bersorak. Agaknya mereka menganggap bahwa orang yang menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berhasil membawa kembali kedua orang anak muda yang mereka kehendaki.

Sejenak kemudian, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berada di tengah ara-ara itu bersama orang yang membawanya kembali. Serentak orang-orang padukuhan itu telah mengurung mereka. Sementara anak-anak muda yang merasa disakiti oleh Mahisa Pukat itu-pun berdiri dipaling depan sambil bertolak pinggang.

“Serahkan anak itu kepadaku,” teriak anak muda yang paling berpengaruh di antara mereka.

“Serahkan kepada kami. Kami akan menghukumnya,” teriak yang lain.

Dari antara orang-orang padukuhan itu telah melangkah mendekat beberapa orang tua. Seorang di antara mereka berkata, “Anak inikah yang telah menyakiti anakku?”

Orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu memang menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya dengan nada tinggi. “Aku memang sudah membawa keduanya kembali. Tetapi setelah aku bertemu dan berbicara dengan mereka, maka aku telah mendapat kesan yang lain.”

“Kesan apa?” bertanya seorang laki-laki bertubuh raksasa.

“Ternyata bahwa apa yang terjadi tidak seperti apa yang kalian katakan kepadaku,” jawab orang itu, “Aku sudah terlanjur memaksa mereka kembali meskipun semula mereka berkeberatan. Baru kemudian aku tahu bahwa mereka sama sekali tidak bersalah.”

“Siapa yang tidak bersalah? Apakah kau tidak melihat apa yang terjadi atas anak-anak kita,” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

“Itu disebabkan karena kesalahan mereka sendiri. Mereka menganggu orang-orang yang sedang lewat. Namun satu ketika mereka terbentur pada kekuatan yang tidak dapat mereka atasi,” jawab orang itu.

“Omong kosong,” teriak raksasa itu, “Aku tidak percaya. Kau harus berbuat sesuatu.”

“Kita harus mendengar yang sebenarnya terjadi. Bukan sekedar memanjakan anak-anak kita. Apakah kita harus menutup mata atas apa yang sering mereka lakukan? Apakah kita harus membiarkan dan bahkan melindungi tingkah laku mereka itu? Semakin lama mereka akan menjadi semakin buas,” berkata orang itu.

“Cukup,” bentak orang bertubuh raksasa itu.

Namun tiba-tiba saja orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu meloncat turun. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau berani membentak aku he?”

Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah surut ketika orang yang meloncat turun dari kudanya itu melangkah maju. “Bukan maksudku,” orang bertubuh raksasa itu menjadi gagap.

Sementara itu, orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke padukuhan itu-pun kembali meloncat ke punggung kudanya. Kemudian ia-pun berkata lantang, “He orang-orang padukuhan ini. Apakah kalian percaya sebagaimana dikatakan oleh anak-anak muda ini bahwa mereka telah diserang dengan licik? Siapakah di antara kalian yang melihat apa yang terjadi? Mungkin para gembala. Tetapi mereka takut...

...Ada bagian yang hilang...

…Aku berusaha meredam niat orang-orang padukuhan ini untuk berbuat sesuatu atas anak-anak kalian. Tetapi yang dilakukan hari ini sudah keterlaluan,” berkata orang itu.

“Apapun yang dilakukan, kau wajib melindunginya,” berkata orang kaya yang lain.

“Tidak,” berkata orang itu, “Sejak hari ini aku berhenti memberikan perlindungan kepada anak-anak yang tidak tahu adat itu. Sesudah sekian lama aku mencoba untuk mengendalikan tingkah laku mereka. Namun aku tidak berhasil. Nah, sekarang aku akan minta salah seorang anak muda ini untuk mengatakan apa yang telah dilakukan oleh anak-anak kalian.”

Sebelum seseorang menjawabnya, maka orang itu segera berpaling kepada Mahisa Pukat sambil berkata, “Katakan, apa yang telah terjadi atas kalian.”

Mahisa Pukat-pun berpaling kepada Mahisa Semu sambil berkata, “Katakan.”

Mahisa Semu menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Kemudian ia-pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Dengan suara lantang ia akhirnya berkata, “Aku merasa tersinggung sekali. Karena itu, maka aku telah melawan mereka berkelahi.”

Wajah-wajah-pun menjadi tegang. Seorang di antara orang tua anak-anak muda itu berteriak, “Kau dapat mengarang ceritera apa saja. Tetapi tidak seorang-pun akan percaya bahwa kau seorang diri dapat menang atas beberapa orang anak-anak muda kami.”

“Aku berkata sebenarnya. Bahkan tentu ada beberapa saksi,” jawab Mahisa Semu, “Tingkah laku anak-anak muda yang tidak bertanggungjawab itu sangat menyakitkan hati. Aku berusaha untuk melupakannya dengan meninggalkan ara-ara ini. Tetapi orang yang kalian upah itu telah menyusulku dan memaksa kami berdua untuk kembali. Ara-ara ini telah mengingatkan aku kepada tingkah laku mereka yang tidak pantas itu. Karena itu, jika kalian tidak percaya bahwa aku telah mengalahkannya, maka biarlah aku mencobanya sekali lagi di hadapan hidung kalian.”

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun orang yang telah menyusul agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu kembali berkata, “Aku percaya akan kata-katanya. Aku telah menjajagi kemampuannya. Dan aku tahu benar kemampuan anak-anak muda yang hanya membanggakan diri dalam perlindungan orang lain. Bukan karena kemampuannya sendiri. Nah, aku setuju dengan anak muda itu. Biarlah ia mencoba sekali lagi melawan anak-anak muda yang telah memperlakukannya tidak sepantasnya itu.”

Tetapi yang meloncat turun dari kudanya adalah Mahisa Pukat sambil berdesis, “Lukamu akan dapat berdarah lagi.”

Sebelum Mahisa Semu berkata sesuatu, Mahisa Pukat telah berteriak, “Marilah. Kita akan memperlihatkan kebenaran kata-kata kita masing-masing. Aku tantang anak-anak muda yang berkelompok untuk mengganggu orang lain itu berkelahi di sini.”

Tetapi anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Meskipun mereka sudah berkumpul dalam satu kelompok dan berdiri di paling depan. Bahkan ketika sebelumnya mereka bertolak pinggang, maka tangan-tangan mereka telah terkulai di sisi tubuh mereka.

“Marilah,” tantang Mahisa Pukat sekali lagi.

Orang yang telah datang sambil membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu-pun berkata, “Nah, marilah. Buktikan bahwa kalian dapat melindungi diri kalian sendiri. Aku tidak akan turut campur.”

Anak-anak muda itu masih saja termangu-mangu. Mereka masih ingat apa yang terjadi atas diri mereka. Tubuh mereka-pun masih terasa sakit. Bahkan mereka yang terbanting dari kudanya masih merasakan punggung mereka bagaikan menjadi patah.

Orang-orang tua mereka-pun termangu-mangu. Mereka-pun tahu bahwa anak-anak mereka mengalami luka-luka didalam tubuh mereka. Sementara orang yang mereka banggakan itu tidak bersedia menolong mereka lagi.

Sementara itu anak muda itu telah menantangnya lagi, “Marilah. Kita akan membuktikannya.”

Anak-anak muda padukuhan itu yang biasanya dengan menengadahkan wajah mereka, bahkan sambil tertawa, mengganggu orang lain, tiba-tiba telah menundukkan kepala mereka. Tidak ada lagi yang bertolak pinggang. Mereka tidak dapat ingkar kepada satu kenyataan, apa yang telah terjadi atas diri mereka sebelumnya.

Namun salah seorang dari orang tua mereka tiba-tiba berteriak kepada orang-orang padukuhan itu, “He, seisi padukuhan. Apakah kalian akan membiarkan anak-anak kalian dihinakan orang? Apakah sama sekali tidak timbul di hati kalian satu sikap yang dapat menjunjung nama padukuhan kalian? Jika masih ada sedikit saja kebanggaan kalian atas padukuhan ini, marilah kita bersama-sama menangkap kedua orang anak muda itu dan menghukumnya, karena mereka telah menghinakan anak-anak kita. Anak-anak muda yang kelak akan menggantikan kedudukan kita semua.”

Ara-ara itu menjadi hening. Beberapa orang memang tersentuh hatinya. Ada semacam dorongan untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan padukuhan mereka.

Sementara itu orang itu berkata pula untuk mempertajam kata-katanya sebelumnya, “Apakah kita akan membiarkan padukuhan kita dianggap tidak berdaya sama sekali sehingga orang-orang lain akan datang menginjak-injak tanpa ada yang dapat mencegahnya?”

Satu dua orang mulai bergerak. Namun dalam pada itu, orang yang telah menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berkata tidak kalah lantangnya, “Jika kita berbuat sesuatu, untuk apa sebenarnya? Untuk mempertahankan harga diri padukuhan ini atau sekedar untuk memanjakan anak-anak bengal itu? Kita akan mempertahankan nama baik padukuhan ini jika persoalannya memang menyangkut kepentingan kita bersama. Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukan saja hari ini. Tetapi hari-hari sebelumnya? Apakah kita, seisi padukuhan ini harus mengabdi kepada beberapa orang anak muda yang tidak mau mengerti akan tata kehidupan orang banyak dan merasa dirinya dapat berbuat apa saja karena uang? Dengar. Aku adalah orang yang pernah diupah oleh orang-orang kaya itu untuk melindungi mereka. Anak-anak mereka dan wibawa mereka. Tetapi akhirnya aku menjadi muak melihat tingkah laku anak-anak mereka. Bagaimana-pun juga mencoba mencegahnya, tetapi karena aku adalah orang upahan mereka, maka kata-kataku tentu akan mereka abaikan begitu saja. Dan sekarang, mumpung ada orang lain yang berbaik hati untuk memberikan sedikit tegoran kepada anak-anak muda itu, maka aku hanya dapat menumpang kepada mereka. Karena itu, maka aku sama sekali tidak mau membantu mereka dalam persoalan ini. Jika kalian, orang-orang padukuhan ini akan melindungi mereka, lakukan. Tetapi aku tidak. Bahkan jika terjadi benturan kekuatan antara kalian dengan anak anak muda ini, aku akan berpihak kepada mereka.”

Kata-kata itu memang mengejutkan. Tetapi kata-kata itu telah memaksa orang-orang padukuhan itu berpikir.

Sementara itu, salah seorang dari orang tua anak-anak muda itu berteriak, “Jadi kalian akan berkhianat seperti orang itu yang selama ini telah diupah untuk melindungi anak-anak kita? Tidak. Kalian adalah orang-orang padukuhan yang tahu diri.”

“Siapakah yang telah berkhianat?” bertanya orang yang menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Apakah aku dapat disebut berkhianat jika aku kemudian menyadari, bahwa apa yang aku lakukan selama ini tidak berarti sama sekali. He, orang-orang padukuhan yang baik. Apakah aku boleh bertanya kepada kalian, apakah kalian tidak tahu apa yang kalian lihat, kalian dengar dan kalian saksikan sehari-hari tingkah laku anak-anak muda itu? Atau aku harus mengulangi pertanyaanku, kalian masih saja berpura-pura tidak tahu karena anak-anak muda itu adalah anak orang-orang kaya?”

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi bingung. Sebelum orang tua anak-anak muda itu berteriak, maka orang itu telah mendahului, “Bukankah setiap hari kalian juga mengeluh karena tingkah laku mereka? Apakah mereka dapat hidup dalam satu lingkaran pergaulan dengan anak-anak muda padukuhan yang lain? Dengan para gembala, dengan anak-anak petani miskin yang tidak mempunyai kuda seperti mereka? Anak-anak kalian, misalnya. Nah, jika demikianlah, terserah. Langkah mana yang akan kalian ambil.”

Penjelasan itu cukup membuka hati orang-orang padukuhan. Mereka justru melangkah surut dan menjauhi anak-anak muda yang bengal itu. Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka masih melangkah beberapa langkah lagi menjauh.

Dengan demikian maka orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke ara-ara itu berkata, “Baiklah jika kalian menyadari keadaan sepenuhnya. Kalian masih sempat merenungkan apa yang sebaiknya kalian lakukan. Kedua anak muda itu masih ada di sini. Sebelum mereka pergi, kalian harus mengambil keputusan. Juga anak-anak muda itu, apakah mereka akan membuktikan kata-kata kedua anak muda yang lewat berkuda dipadukuhan ini. Sekali lagi melawan mereka berdua atau bahkan seorang saja di antara mereka?”

Tidak ada yang menjawab. Baik anak-anak muda yang bengal itu mau-pun orang tuanya. Karena tidak ada yang menjawab, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Jika tidak ada di antara kalian yang ingin mengulangi lagi, maka aku justru menuntut anak-anak muda yang telah mengganggu perjalananku diadili.”

“Maksudmu?” bertanya salah seorang di antara orang tua anak-anak muda itu.

“Kami berdua telah dihinakan ketika kami lewat,” jawab Mahisa Pukat, “Nah, hukuman apa yang paling pantas diberikan kepada mereka?”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Sementara orang-orang tua dari anak-anak muda yang bengal itu memang menjadi berdebar- debar.

Karena tidak ada yang menjawab, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Para orang tua dari anak-anak yang tidak tahu adat itu harus mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan? Kalian adalah orang-orang yang paling berkepentingan dengan anak-anak kalian. Memang tidak ada seorang-pun dari antara para orang tua yang tidak ingin melindungi anak-anaknya. Tetapi sudah tentu tidak seorang-pun di antara para orang tua yang ingin anaknya kehilangan masa depannya. Nah, jika kalian biarkan anak-anak bengal itu berbuat seperti sekarang, maka mereka adalah anak-anak yang tidak akan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Mereka akan menjadi anak-anak yang tidak akan berarti sama sekali dimasa depan. Mereka akan tersingkir oleh anak-anak orang miskin tetapi yang dengan tekun membentuk dirinya dan mengumpulkan bekal bagi masa depannya.”

Tidak ada seorang-pun yang menjawab. Sementara itu, Mahisa Pukat yang telah berada dipunggung kudanya kembali itu berkata, “Baiklah. Orang-orang tua di padukuhan ini akan dapat menjelaskan kata-kataku. Atau kalian-pun telah mengetahui maksudku. Karena itu, kali ini aku serahkan hukuman anak-anak bengal itu kepada orang tua mereka masing-masing. Tetapi aku yang sering lewat jalan ini jika aku pergi ke Singasari, akan dapat mengikuti perkembangan dari mereka. Jika mereka masih sering mengganggu orang lain, membuat onar dan bertindak sewenang-wenang karena mereka mempunyai uang, maka aku akan bertindak lagi. Aku adalah salah satu dari persoalan bagi mereka yang tidak dapat diselesaikan dengan uang. Padahal persoalan yang demikian itu akan semakin banyak. Orang-orang padukuhan ini-pun akan menilai kembali apakah kalian memang dapat membeli harga diri seluruh penghuni padukuhan ini dengan uang kalian.”

Orang-orang itu masih berdiam diri. Sementara itu Mahisa Pukat-pun berkata kepada orang yang membawanya kembali, “Aku sudah memenuhi keinginanmu, Ki Sanak. Aku sudah kau bawa kembali kemari. Aku kira persoalanku di sini sudah selesai.”

Orang itu mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Jika kau akan melanjutkan perjalananmu, lanjutkanlah. Jika besok atau lusa atau kapan saja kau lewat jalan ini, kau tidak akan diganggu lagi oleh anak-anak bengal itu. Orang-orang padukuhan ini-pun sudah muak terhadap mereka. Orang-orang padukuhan ini tentu tidak mau lagi diganggu pula sebagaimana kalian.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu-pun berdesis perlahan, “Akulah yang harus mengucapkan terima kasih.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat memandangi orang-orang yang ada di ara-ara. Semuanya menjadi semakin jelas. Obor-obor justru nampak menjadi semakin buram, karena langit menjadi merah kekuning-kuningan. Namun Mahisa Pukat sempat berdesis, “Ternyata aku tidak sempat beristirahat malam ini. Aku harus berjalan hilir mudik semalam suntuk.”

“Aku minta maaf,” desis orang itu pula.

“Tidak. Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa berjaga-jaga semalam suntuk,” sahut Mahisa Pukat.

Sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah menghentakkan kendali kudanya. Kudanya-pun segera meloncat berlari. Derapnya terdengar mengguncang ketenangan pagi. Semakin lama menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran. Namun matahari mulai melontarkan cahayanya menusuk langit yang cerah. Ternyata semalam bahkan sampai pagi hujan tidak turun.

Demikianlah, setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu hilang dari penglihatan, bahkan suara derap kaki kudanya tidak terdengar lagi, maka orang yang telah membawanya kembali ke ara-ara itu berkata,

“Kita tidak mempunyai persoalan lagi di sini. Tetapi apa yang terjadi di sini dapat kita ingat-ingat. Suatu ketika ada juga orang yang mampu mencambuk anak-anak kita. Selama ini suaraku tidak lebih dari suara seekor katak dilebatnya hujan sehingga tidak berdaya sama sekali mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak-anak muda padukuhan ini, khususnya anak orang-orang berada. Sekarang terserah kepada orang-orang tua mereka. Apakah mereka akan membiarkan anak-anak mereka mengalami lecutan orang lain yang lebih parah lagi, atau mereka akan berusaha untuk meluruskan sikap mereka, kemudian membaurkan mereka di antara anak-anak muda di padukuhan ini yang jumlahnya lebih banyak dari mereka.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Juga terserah kepada orang-orang padukuhan ini, apakah mereka akan menegor tingkah laku seperti itu, atau membiarkannya karena dibayangi oleh kekayaan orang tua mereka. Aku sendiri, sejak sekarang bukan orang upahan lagi.”

Orang itu tidak menunggu pendapat orang lain. Ia-pun segera menggerakkan kekang kudanya dan berlari-lari kecil kuda itu-pun meninggalkan ara-ara yang menjadi semakin terang. Nyala obor di beberapa tempat itu-pun sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Di langit matahari memancar dengan terangnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih meneruskan perjalanan mereka. Sekali lagi Mahisa Pukat berkata, “Aku semalam suntuk tidak memejamkan mata sama sekali.”

“Apakah kita akan beristirahat?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita meneruskan perjalanan. Tetapi kita-pun harus mengingat kuda-kuda itu yang kurang beristirahat pula semalam,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara itu mereka tidak lagi berani memacu kuda mereka, karena jalan menjadi semakin ramai.

“Nampaknya kita mendekati sebuah pasar,” berkata Mahisa Pukat yang melihat orang yang berjalan hilir mudik dengan beban mereka masing-masing.

Sebenarnyalah, beberapa lama lagi mereka telah sampai kesebuah pasar yang ramai. Nampaknya kebetulan hari itu hari pasaran, sehingga pasar itu nampak penuh dengan orang yang berjual beli. Mahisa Pukat dan Semu sempat singgah sebentar disebuah kedai. Selain untuk membeli makanan dan minuman bagi keduanya, maka kuda-kuda mereka-pun agaknya menjadi lapar.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah melanjutkan perjalanan. Mereka berharap bahwa hari itu mereka akan sampai ke padepokan mereka yang sudah beberapa hari mereka tinggalkan. Sebenarnyalah, mereka tidak menemui hambatan apapun disisa perjalanan mereka. Karena itu, maka menjelang senja, keduanya telah sampai ke lingkungan padepokan mereka.

Ketika keduanya melihat pintu gerbang padepokan mereka, maka rasa-rasanya dada mereka menjadi bertambah lapang. Mereka merasa akan segera memasuki satu lingkungan yang paling sesuai bagi mereka dan yang akan dapat memberikan ketenangan dan kedalaman hati.

Agaknya orang-orang yang bertugas telah melihat keduanya mendekati pintu gerbang. Sebelum mereka mendorong pintu, maka pintu gerbang yang memang sudah terbuka sedikit itu, bergerak dan terbuka semakin lebar, sehingga kuda Mahisa Pukat dan kuda Mahisa Semu memasuki pintu gerbang itu. Beberapa orang cantrik yang ada di padepokan itu telah menyambut mereka dengan berbagai macam pertanyaan tentang keselamatan mereka di perjalanan.

Mahisa Pukat tidak sempat menjawab mereka satu persatu. Tetapi sambil tersenyum ia mengangguk-angguk. Demikian pula Mahisa Semu. Dua orang cantrik telah menerima kuda-kuda mereka ketika keduanya meloncat turun.

Sementara itu Mahisa Murti-pun telah mendapat pemberitahuan akan kedatangan Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia-pun telah menyambutnya di tangga pendapa bangunan induk. Sementara Mahisa Amping berlari-lari pula mendapatkan kedua orang yang dianggap kakaknya itu.

Ketika mereka naik tangga pendapa, maka Mahisa Murti yang mempunyai penglihatan tajam itu bertanya, “Kau terluka Mahisa Semu?”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hanya sedikit.”

“Tetapi kau tidak apa apa?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawab Mahisa Semu.

Ketika mereka sudah duduk di pendapa, Mahisa Murti sempat mendengarkan laporan Mahisa Pukat tentang perjalanan mereka. Beberapa hambatan telah terjadi. Bahkan pertempuran yang semula dirasa tidak seimbang jumlahnya, sehingga Mahisa Semu telah terluka karenanya.

“Dua kali kami mengalami kesulitan yang mendebarkan,” berkata Mahisa Pukat.

“Syukurlah bahwa kalian selamat,” berkata Mahisa Murti sambil mengangguk-angguk kecil.

Namun kemudian Mahisa Pukatlah yang bertanya tentang padepokan itu.

“Tidak terjadi sesuatu,” jawab Mahisa Murti, “Semuanya dapat berjalan sebagaimana seharusnya.”

“Syukurlah,” berkata Mahisa Pukat yang kemudian juga menceriterakan tentang gerakan sandi dari sekelompok bangsawan dari Kediri.

“Ternyata mereka telah berada di segala tempat dan tataran kehidupan. Mereka ada di sini, di jalan yang menuju ke Singasari dan bahkan di Singasari itu sendiri,” desis Mahisa Pukat.

“Agaknya tentang mereka diperlukan satu kegiatan tersendiri yang khusus ditujukan kepada mereka,” sahut Mahisa Murti.

Namun nampaknya Mahisa Murti-pun menyadari, bahwa Mahisa Pukat tentu merasa letih. Karena itu, maka katanya, “Baiklah kalian berbenah diri. Mandi atau apapun, sehingga kalian akan dipersilahkan untuk makan dan kemudian beristirahat.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang merasa letih. Ketika mereka mandi, maka makan bagi mereka-pun telah disiapkan.

“Setelah makan nasi yang masih hangat, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih sempat berbicara serba sedikit dengan Mahisa Murti tentang padepokan mereka.

“Mungkin orang-orang Kediri itu pada suatu saat akan memperhatikan padepokan ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Mungkin sekali. Namun selama ini kita masih sempat berbenah diri sehingga kita akan dapat melayani mereka sebaik-baiknya,” sahut Mahisa Murti.

Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat benar-benar merasa letih dan mengantuk. Karena itu, maka ia-pun segera minta diri untuk masuk ke dalam biliknya, demikian pula Mahisa Semu.

Mahisa Amping yang belum sempat berbicara panjang dengan keduanya, mengikuti Mahisa Semu ke pembaringannya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau terluka?”

Mahisa Semu tersenyum sambil mengusap kepala anak itu. Katanya, “Sedikit. Tetapi tidak apa-apa.”

“Kakang mengantuk sekarang?” bertanya anak itu.

“Ya. Semalam kami hampir tidak tidur. Siang hari kami menempuh perjalanan yang tersisa. Senja kami baru sampai di sini,” jawab Mahisa Semu.

Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, besok sajalah kau berceritera. Kau tentu letih. Tidurlah.”

Mahisa Semu tertawa pendek. Katanya, “Ya. Aku akan tidur. Besok aku akan berceritera panjang jika kau tidak jemu mendengarnya.”

“Tentu tidak. Perjalananmu tentu menarik. Aku ingin menempuh perjalanan sejauh yang kau tempuh,” berkata anak itu.

“Apakah perjalanan yang pernah kita tempuh kurang panjang?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Amping tersenyum. Namun ia-pun segera minta diri keluar dari bilik Mahisa Semu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu-pun telah memejamkan matanya. Ia benar-benar letih dan mengantuk sebagaimana Mahisa Pukat, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka-pun telah tertidur nyenyak.

Hari-hari berikutnya, maka seisi padepokan itu sempat menikmati hidup tenang, mereka sempat melakukan kerja yang berarti bagi pedepokan mereka tanpa terganggu. Orang-orang yang tinggal di padukuhan di sekitar padepokan itu, termasuk padukuhan baru yang dihuni oleh orang-orang yang semula hidup di jalan sesat itu, ikut serta merasa hidup mereka menjadi tenang dan mendapat kesempatan untuk bekerja dengan baik, meningkatkan kemampuan mereka dalam berbagai macam bidang, terutama bercocok tanam dan memelihara ternak bersama-sama dengan para cantrik di padepokan.

Kehidupan di padepokan dan padukuhan-padukuhan disekitarnya ternyata dapat saling menguntungkan. Kelebihan penghasilan dari para cantrik dapat dijual kepada pedagang di padukuhan-padukuhan disekitarnya yang akan membawanya ketempat-tempat yang lebih ramai, bahkan sampai ke Kotaraja, terutama buah-buahan.

Kehidupan yang tenang itu ternyata telah diusik oleh kehadiran sekelompok prajurit yang mengiringi tiga buah pedati yang berjalan lamban menuju ke padepokan Bajra Seta.

Beberapa orang mulai bertanya-tanya, apakah padepokan yang tenang itu akan mulai bergejolak lagi? Yang hembusan kegelisahan dan kecemasannya akan sampai ke padukuhan-padukuhan di sekitarnya? Namun ternyata di antara para prajurit berkuda itu terdapat Ki Mahendra, yang meskipun sudah nampak semakin tua, tetapi masih juga tangkas di punggung kudanya.

Iring-iringan itu telah disambut dengan ramah oleh seisi padepokan. Apalagi setelah mereka tahu, bahwa di antara mereka terdapat Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun menyambut mereka dengan tergesa-gesa. Dipersilahkannya ayahnya dan para prajurit untuk naik ke pendapa.

Namun Mahendra hanya diiringi oleh empat perwira saja yang naik ke pendapa. Yang lain tetap berada di halaman padepokan. Mereka menyebar ke tempat yang sedikit terlindung. Namun atas perintah Mahisa Murti, maka oleh para cantrik mereka telah dipersilahkan untuk naik ke serambi gandok kiri dan kanan, duduk di atas tikar yang dibentangkan di lantai serambi, karena amben-amben bambu yang ada di serambi tidak menampung mereka. Namun empat orang tetap berjaga-jaga di sekitar tiga buah pedati yang berhenti di halaman.

Ternyata Mahendra datang sebagai utusan Sri Maharaja. Sri Maharaja telah memenuhi janjinya. Dikirimkannya tiga buah pedati yang penuh berisi alat-alat pertanian dan sejumlah senjata yang dianggap bermutu tinggi. Namun yang terpenting bukan hanya itu, bukan hanya alat-alat yang sudah siap untuk dipakai. Tetapi Sri Maharaja telah mengirimkan alat-alat untuk membuat alat-alat pertanian dan senjata dengan cara yang lebih baik daripada yang dilakukan oleh para cantrik di padepokan Bajra Seta.

“Ada tiga orang ahli yang akan tinggal di sini beberapa lama,” berkata Mahendra. “Mereka adalah pande besi kenamaan di istana Singasari. Mereka akan mengajarkan, bagaimana membuat alat-alat dari besi dan baja yang baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan isyarat Mahendra minta seorang perwira prajurit Singasari untuk memanggil ketiga orang yang dimaksudkan. Perwira itu ternyata tanggap. Karena itu, maka ia-pun bergeser turun dari pendapa untuk memanggil ketiganya dan membawanya naik kependapa pula.

“Mereka bertigalah yang aku maksudkan,” berkata Mahendra yang memperkenalkan mereka.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada Sri Maharaja. Juga kepada para prajurit yang telah bersedia bersama ayah mengantarkan hadiah dari Sri Maharaja bagi padepokan ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ketiga orang yang akan tinggal di padepokan kecil dan terpencil ini. Dengan demikian para cantrik, terutama yang selama ini memang sudah menekuni pekerjaan itu, akan mendapat bimbingan dari tangan-tangan yang memang berwenang,” berkata Mahisa Murti. Namun ia-pun kemudian berkata, “Tetapi aku cemas, apakah kerasan tinggal di padukuhan seperti ini.”

“Kenapa tidak,” jawab Empu Ananta, orang tertua di antara ketiga orang pande besi itu, “Sebelum kami dipanggil di istana, kami adalah orang padesan yang barangkali lebih sepi dari lingkungan ini.”

“Terima kasih Empu,” desis Mahisa Murti sambil mengangguk dalam-dalam.

Demikianlah, maka setelah isi ketiga pedati itu diserahkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan para cantrik untuk membongkar isinya dan membawa ke bangsal khusus yang disiapkan dengan tergesa-gesa.

Malam itu, Mahendra dan para prajurit yang menyertainya, bermalam di padepokan. Mereka ditempatkan di gandok sebelah menyebelah dan di pringgitan. Namun justeru karena mereka adalah prajurit, maka tempat untuk membaringkan tubuh mereka, tidak terlalu menjadi persoalan.

Dihari berikutnya, maka mereka-pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari. Menjelang matahari terbit, semua prajurit telah bersiap. Mahendra-pun telah bersiap pula untuk kembali ke Singasari.

“Ketiga pedati itu juga ditinggalkan di sini pula,” berkata Mahendra.

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti, “Pedati-pedati itu akan sangat bermanfaat kami di sini.”

“Peliharalah dengan baik,” pesan ayahnya.

Setelah makan pagi, maka iring-iringan itu-pun meninggalkan padepokan. Tiga orang di antara mereka, dipimpin oleh Empu Ananta, tinggal di padepokan untuk membimbing para cantrik yang mengkhususkan diri sebagai pande besi.

Ternyata bahwa ketiga orang yang tinggal di padepokan itu juga memiliki kemampuan untuk membuat keris. Namun mereka bukan orang terbaik di istana Singasari, meskipun mereka termasuk orang terbaik sebagai pande besi.

Di hari berikutnya, kegiatan ketiga orang itu belum dapat dimulai. Hari itu yang mereka lakukan bersama para cantrik adalah membenahi dan memasang alat-alat pande besi yang lebih baik dari yang dimiliki oleh padepokan itu.

Selama tiga hari, alat-alat itu telah terpasang. Dengan demikian maka Empu Ananta dan kedua orang kawannya dapat mulai memberikan bimbingan kepada para cantrik yang memang sudah memiliki kemampuan sebagai pande besi. Namun juga memberi kesempatan kepada mereka yang belum mengenalnya sama sekali.

Hari demi hari dilalui dengan kesibukan yang meningkat di padepokan itu. Bukan saja para cantrik yang mempelajari keterampilan seorang pande besi. Tetapi justru karena padepokan itu telah menerima alat-alat yang sudah siap untuk dipergunakan pula, maka para cantrik-pun menjadi semakin rajin bekerja disawah. Mereka mempunyai cangkul, sabit, parang dan bajak yang baru dan lebih baik, sehingga dengan gembira mereka pergi ke sawah.

Sementara itu para cantrik yang memiliki kemampuan sebagai undhagi-pun telah bekerja lebih keras dengan alat-alat mereka yang baru. Mereka telah berusaha untuk mempercantik padepokan mereka dan membangun bangsal yang baru dan lebih pantas dipergunakan sebagai bangsal penyimpanan barang-barang berharga bagi padepokan itu termasuk senjata.

Peningkatan kerja di padepokan itu berpengaruh pula terhadap lingkungan diseputarnya. Alat-alat yang ada di padepokan itu menjadi sangat menarik. Apalagi ketika orang-orang dari padukuhan di sekitarnya mendapat satu dua alat-alat pertanian yang sudah mulai dihasilkan oleh para cantrik dibawah bimbingan ketiga orang Empu dari Singasari itu.

Lingkungan hidup di seputar padepokan itu memang menjadi semakin ramai. Peningkatan kemampuan orang-orang padukuhan di sekitarnya berarti pula peningkatan kesejahteraan mereka. Hasil sawah-pun meningkat. Pekerjaan-pekerjaan yang lain-pun dapat dilakukan dengan lebih baik. Bahkan telah tumbuh lingkungan-lingkungan pemukiman yang baru, yang memang dibuka oleh Ki Buyut bagi keluarga Kabuyutan yang berkembang dengan pesat itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang ingin, bahwa kehadiran padepokan itu akan berarti bukan saja bagi lingkungan sempit diseputar dinding padepokan. Tetapi juga lingkungan luas di sekitarnya. Namun yang lebih menggembirakan bagi padepokan itu, selalu alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu dan batu, maka para cantrik di padepokan itu-pun telah dapat menghasilkan sejenis senjata yang lebih baik dari senjata yang pernah mereka hasilkan sebelumnya.

Senjata yang dibuat dengan tuntunan para ahli dari Singasari itu menghasilkan senjata yang lebih ringan, namun lebih keras dan liat. Para ahli itu telah memberikan ajaran tentang mencampur logam yang terbaik untuk membuat senjata. Hasilnya ternyata sangat memuaskan. Sebilah pedang yang sama besarnya, sama kuatnya dan sama tajamnya, ternyata bobotnya lebih ringan dari pedang yang mereka miliki sebelumnya.

Demikian pula jenis-jenis senjata yang lain. Mata tombak, canggah, trisulal dan bahkan bindi-bindi kecil. Para ahli itu-pun mengajarkan bagaimana membuat anak panah yang paling baik. Berat bedornya dibandingkan dengan tubuh dan bulu anak panah itu. Kemudian bagaimana membuat busur yang kuat dan lebih lentur.

Dengan demikian, maka para cantrik di padepokan itu-pun telah berharap untuk mendapatkan jenis-jenis senjata yang lebih baik itu disamping alat-alat yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Dalam waktu tiga bulan, maka para cantrik yang mempelajari tentang cara-cara terbaik membuat senjata dengan hasil yang lebih baik dari yang mereka hasilkan itu, telah mendapat kemajuan yang sangat pesat. Mereka-pun telah mendapat berbagai macam petunjuk untuk mengembangkan ketrampilan mereka sehingga apabila mereka benar-benar tekun, maka mereka kelak akan dapat menjadi pande besi yang cukup baik.

Dengan demikian, maka padepokan itu menghadapi satu perkembangan yang berganda. Jika mereka telah mampu mengembangkan beberapa jenis senjata, maka tentu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan jenis-jenis senjata mereka yang baru. Mereka harus mampu mengembangkan ilmu yang telah mereka pelajari, sehinga senjata yang baru itu akan mampu meningkatkan ketrampilan mereka dalam olah kanuragan dan bermain senjata.

Di hari-hari berikutnya, maka para ahli itu telah mencoba melepaskan para cantrik untuk melakukan sendiri. Mereka memilih, menakar perbandingan dan mengerjakan sendiri beberapa jenis senjata. Hasilnya ternyata sangat memuaskan.

Sementara itu, mereka-pun telah mampu membuat alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu lebih baik dari yang mereka buat sebelumnya. Sebagaimana peningkatan jenis senjata yang menuntut penyesuaian kemampuan para cantrik, maka demikian pula dituntut peningkatan kemampuan penggunaan alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu.

Setelah empat bulan lewat, maka para ahli dari Singasari yang dipimpin oleh Empu Ananta itu menganggap bahwa para cantrik itu telah memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan kerja sendiri tanpa pengawasan mereka lagi. Sehingga kehadiran ketiga orang itu di padepokan tidak diperlukan lagi.

Meskipun demikian ketiga orang itu masih saja tetap berada di padepokan karena menurut pembicaraan mereka dengan Mahendra, jika saatnya dianggap cukup, sekelompok prajurit akan menjemput mereka.

Sementara itu, ketiga orang itu masih sempat menyelesaikan, bagaimana para cantrik berusaha menyesuaikan diri dengan pembaharuan yang terjadi di barak mereka. Para undhagi merasa bahwa pekerjaan mereka menjadi semakin baik, sementara waktu-pun dapat dihemat. Apa yang dapat mereka lakukan sepekan dengan alat-alat mereka yang lama, maka dengan alat-alat mereka yang baru, para undhagi dapat melakukannya dala tiga hari saja.

Di bidang lain, ketiga orang itu sempat menyaksikan, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di dalam sanggar mereka untuk beberapa hari. Mereka mencoba mengenali jenis-jenis senjata yang dapat dibuat oleh para cantrik. Pedang yang nampaknya cukup panjang dan besar, ternyata bobotnya tidak seberapa berat.

Sementara itu, kelenturannya dan kekuatannya ternyata tidak kalah dengan pedang yang mempunyai ukuran yang sama namun jauh lebih berat dari pedagang dengan campuran logam yang diberitahukan oleh para ahli dari Singasari itu. Juga cara menempa, memanasi dan mencelupnya kedalam cairan yang khusus membuat senjata-senjata itu menjadi jauh lebih baik.

Dengan tekun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempelajari segala jenis senjata yang dapat dihasilkan para cantrik. Bagaimana mereka menyesuaikan berat, besar dan panjang senjata-senjata itu. Seberapa kekuatan mata senjata itu serta hulu dan tangkainya.

Demikian kedua orang anak muda itu mengetahui watak dari berjenis-jenis senjata yang ada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk memberikan latihan-latihan khusus bagi para cantrik dalam olah senjata dengan landasan kemampuan yang telah mereka miliki.

Tetapi, tiga orang ahli dari Istana Singasari itu tidak dapat menunggui latihan-latihan yang akan dilakukan secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena sebelum latihan-latihan itu dimulai, sekelompok prajurit telah datang menjemput mereka.

Dengan berat hati seisi padepokan itu telah melepas ketiganya di satu pagi yang cerah. Setelah para prajurit itu bermalam semalam, maka di keesokan harinya, mereka telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari bersama ketiga orang Empu yang telah banyak memberikan tuntunan kepada para cantrik di padepokan itu. Tuntunan bukan sekedar mempergunakan alat-alat yang dibawa dari Singasari, tetapi juga tentang pengetahuan mengenai bahan yang mereka pergunakan untuk membuat alat-alat pertanian, alat-alat untuk mengerjakan pekerjaan kayu dan bahkan senjata.

Tetapi, ketiga orang Empu itu memang harus kembali ke Singasari. Mereka sudah terlalu lama berada di padepokan itu, sehingga keluarga mereka tentu sudah menunggu. Karena itu, maka para penghuni padepokan itu memang harus melepaskan ketiga orang Empu yang dipimpin oleh Empu Ananta itu kembali ke Singasari. Namun mereka telah meninggalkan ilmu yang sangat berarti bagi padepokan itu, bahkan bagi padukuhan- padukuhan di sekitarnya.

Sepeninggal para Empu itu, maka para cantrik justru semakin menekuni pekerjaan mereka. Mereka tidak boleh kehilangan jejak sehingga hasilnya akan kurang memuaskan. Namun dengan ketekunan yang tinggi, maka para cantrik itu benar-benar telah menguasai ilmu yang diajarkan oleh para Empu dari Singasari itu. Meskipun mereka masih jauh dari kematangan ilmu mereka sebagaimana ketiga orang Empu itu, tetapi pengetahuan para cantrik yang mengkhususkan diri pada pekerjaan pande besi itu telah cukup memadai.

Bahkan Empu Ananta itu pernah berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jika perlu, kalian dapat mengirimkan dua atau tiga orang yang terbaik di antara para cantrik yang menekuni dan benar-benar berminat dalam pekerjaannya sebagai pande besi, untuk lebih memperdalam ilmunya barang satu dua tahun di Singasari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tertarik pada tawaran itu. Tetapi mereka harus benar-benar memilih. Satu dua tahun adalah waktu yang lama bagi mereka yang tidak benar-benar berminat pada satu pekerjaan. Namun tentu dirasakan kurang bagi mereka yang benar-benar ingin menguasai satu jenis ilmu yang penting bagi kehidupan dan kesejahteraan sesamanya.

Sepeninggal para Empu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar mempersiapkan satu latihan khusus bagi para cantrik. Mereka selain harus membiasakan diri dengan alat-alat yang baru bagai para cantrik yang bekerja di sawah, undhagi dan pekerjaan-pekerjaan yang lain, maka para cantrik itu semuanya harus mulai mengenali jenis-jenis senjata yang baru.

Karena itu, maka di padepokan itu telah disusun urutan latihan khusus bagi para cantrik untuk mengenali senjata-senjata itu. Sekelompok demi sekelompok telah mendapat latihan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun secara khusus Mahisa Semu dan Mahisa Amping mendapat perhatian tersendiri di samping Wantilan. Wantilan yang ternyata memang mempunyai sedikit kelebihan dari para cantrik, termasuk seorang yang mendapat perhatian lebih banyak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Setiap hari, maka para cantrik bergantian telah mendapat petunjuk tentang senjata-senjata yang baru yang telah dapat dibuat sendiri oleh para cantrik. Meskipun pada dasarnya ilmu tidak berubah, tetapi mereka wajib menyesuaikan diri dengan watak senjata mereka yang baru. Para cantrik-pun dengan tekun mengikuti petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan sungguh-sungguh mereka mempergunakan setiap kesempatan untuk benar-benar menguasainya.

Dalam waktu beberapa bulan, maka para cantrik itu benar-benar telah mengenal dan menguasai watak senjata-senjata mereka yang baru. Ketika mereka kemudian meningkatkan ilmu mereka, maka mereka-pun telah terbiasa berlatih dengan senjata-senjata baru mereka.

Pada kesempatan tersendiri, Mahisa Amping dan Mahisa Semu-pun telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Didalam sanggar anak muda itu bukan saja sekedar mengenali senjata mereka, tetapi mereka-pun telah meningkatkan ilmu mereka sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya.

Bahkan Wantilan-pun telah benar-benar menguasai senjata dari jenis yang dipilihnya. Wantilan kemudian lebih senang mempergunakan senjata yang berbeda. Trisula bertangkai pendek saja. Ternyata setelah berlatih dengan sungguh-sungguh, Wantilan lebih sesuai mempergunakan trisula daripada pedang. Kekuatan kewadagannya yang berkembang, serta kemampuannya membangkitkan tenaga dalamnya yang semakin tinggi, membuatnya menjadi seorang yang sangat kuat.

Meskipun demikian, baik Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan mau-pun para cantrik, harus juga memiliki ketrampilan dan kemampuan mempergunakan senjata apa saja untuk melawan jenis senjata apa saja. Itulah sebabnya disamping mematangkan kemampuan dengan mempergunakan senjata yang dipilihnya, mereka-pun berlatih dengan jenis senjata yang berganti-ganti.

“Dengan demikian maka seisi padepokan Bajar Seta itu pada dasarnya mampu mempergunakan segala jenis senjata untuk melawan segala jenis senjata pula. Namun mereka masing-masing mempunyai kemantapan yang berbeda-beda. Mahisa Semu masih saja merasa mapan jika ia mempergunakan pedang. Semenara Mahisa Amping yang kecil itu nampaknya mulai senang mempergunakan pedang rangkap. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan melihat perkembangannya lebih lanjut.

Para cantrik-pun ternyata memiliki kemantapannya sendiri. Sekelompok tetap mempergunakan pedang. Namun yang lain mulai mencoba dengan jenis senjata yang lain. Beberapa orang merasa pada puncak kemampuannya dalam olah senjata jika ia memegang sebatang tombak pendek. Namun ada yang lebih sesuai mempergunakan trisula sebagaimana Wantilan.

Namun pada dasarnya, kemampuan para cantrik dengan jenis-jenis senjatanya yang baru menjadi semakin meningkat. Sementara latihan-latihan yang terbiasa mereka lakukan, tidak pernah terhenti, sebagaimana kerja mereka sehari-hari di sawah, ladang, di kolam ikan dan kerja-kerja yang lain.

Dengan demikian, maka perdagangan yang terjadi kemudian dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin meningkat pula. Hasil yang dibuahkan oleh padepokan itu ternyata dapat disalurkan lewat para pedagang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Bukan hanya hasil bumi, hasil kolam-kolam ikan dan ternak. Tetapi juga sedikit alat-alat pertanian.

Karena itu, maka wajah padepokan Bajra Seta-pun menjadi semakin terang. Segala segi kehidupan di dalam padepokan itu telah meningkat. Demikian pula padukuhan-padukuhan di sekitarnya, seakan-akan telah mendapat getarannya pula.

Namun ternyata bahwa peningkatan kesejahteraan padepokan itu telah menjadi sorotan beberapa pihak. Ternyata ada di antara mereka yang mengetahui, bahwa perkembangan yang pesat dari padepokan Bajra Seta itu dimulai sejak padepokan itu mendapat tuntunan dari beberapa orang Empu istana Singasari yang menguasai ilmu pande besi.

Dari hari kehari, maka usaha-usaha beberapa pihak untuk mengambil keuntungan dari keadaan padepokan itu menjadi semakin meningkat pula. Yang mula-mula menjadi tujuan mereka adalah menguasai orang-orang yang telah mendapat tuntunan dari para Empu Istana Singasari. Segala usaha-pun mulai dilakukan. Seorang Buyut dari Kabuyutan Bumiagara ternyata merasa iri atas perkembangan sebuah padepokan dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya yang termasuk dalam Kabuyutan Sadresa.

Dengan segala cara, akhirnya Ki Buyut Bumiagara dapat berhubungan dengan salah seorang cantrik yang pernah mendapat tuntunan dari Empu Ananta. Mula-mula memang tidak ada keinginan apapun yang diutarakan oleh Ki Buyut. Ketika mereka sempat bertemu, saat cantrik itu pergi ke pasar di sebuah padukuhan terdekat, Ki Buyut hanya memujinya sebagai salah seorang cantrik yang terbaik.

“Bukankah Ki Sanak mendapat tuntunan langsung dari para Empu yang datang dari Singasari itu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya,” jawab cantrik itu.

“Ki Sanak tentu seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi,” berkata Ki Buyut sambil menunjuk beberapa pande besi yang berada di pinggir pasar itu yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Lalu katanya pula, “Tidak seperti para pande besi itu.”

“Tidak jauh berbeda,” jawab cantrik itu.

“Dengan kemampuan para cantrik serta alat-alat yang dihasilkan, maka pande-pande besi itu dalam waktu singkat akan kehilangan pekerjaan mereka,” berkata Ki Buyut.

“Tidak,” jawab cantrik itu, “Kami tidak akan mampu membuat alat-alat pertanian dan alat-alat yang lain mencukupi kebutuhan seluruh Kabuyutan Sadresa. Apalagi Kabuyutan yang lain. Bahwa apa yang kami buat mempengaruhi hasil pekerjaan para pande besi memang terjadi. Mereka mulai meniru bentuk alat-alat yang kami buat. Itu justru baik, karena meskipun hanya bentuknya, namun manfaatnya telah menjadi lebih tinggi dari alat-alat yang lama.”

“Apakah mereka tidak dapat membuat bukan saja bentuknya tetapi juga kekuatan dan kegunaannya menyamai alat-alat yang kalian buat?” bertanya Ki Buyut.

“Tentu tidak,” jawab cantrik itu, “Dibutuhkan peningkatan ketrampilan dan juga bahan-bahan yang dipergunakan. Selain itu juga alat-alatnya untuk membuat alat-alat itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang tidak terlalu banyak bertanya. Tetapi ia terlalu banyak memuji. Namun pada kesempatan lain, Ki Buyut mulai melangkah lebih maju. Ia mempersilahkan cantrik itu singgah di rumahnya.

“O, jadi Ki Sanak datang dari Kabuyutan Bumiagara,” jawab orang itu.

“O, Aku mohon maaf Ki Buyut. Mungkin sikapku kurang pantas,” jawab cantrik itu.

“Tidak. Tidak ada yang kurang pantas,” jawab Ki Buyut, “Aku adalah salah seorang pengagummu. Karena itu, aku minta Ki Sanak mau singgah di rumahku barang sebentar. Bukankah Bumiagara tidak terlalu jauh.”

Cantrik itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bumiagara terhitung jauh dari padepokan kami Ki Buyut.”

“Tidak,” jawab Ki Buyut, “Aku sering datang ke pasar padukuhan ini yang letaknya tidak jauh dari padepokanmu.”

“Memang pasar ini tidak jauh dari pedepokanku. Tetapi yang aku maksud adalah Bumiagara,” jawab cantrik itu pula.

Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan. Tidak terlalu jauh. Aku sering datang ke pasar ini tanpa merasa letih. Bukankah tinggal selangkah lagi, aku akan sampai ke padepokanmu.”

“Tetapi Ki Buyut naik kuda,” jawab cantrik itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Besok, dihari pasaran aku akan membawa seekor kuda buatmu. Aku sendiri akan menjemputmu ke pasar ini. Tetapi sudah tentu kau tidak usah minta ijin kepada siapapun. Aku tahu, kau tentu tidak akan diijinkan. Bukankah tenagamu diperas di padepokan itu?”

“Tidak,” jawab cantrik itu, “Sebagaimana Ki Buyut lihat, saat-saat seperti ini aku masih dapat melihat-lihat keadaan pasar ini.”

“Tentu kau bertugas untuk membuat penilaian tentang hasil para pande besi dipasar ini,” desis Ki Buyut sambil tersenyum.

Cantrik itu tersenyum pula.

“Nah, ingat. Besok di hari pasaran, aku akan datang dengan membawa seekor kuda. Setelah kau berada di Bumiagara sehari, maka kau dapat pulang ke padepokan dengan membawa kuda itu pula. Kau dapat memilikinya untuk selanjutnya,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya, “Nah, baru kemudian kau dapat berceritera tentang perjalananmu ke Bumiagara setelah kau pulang. Mungkin kau dimarahi. Tetapi tentu tidak akan menyulitkan kedudukanmu, karena kau sangat diperlukan di padepokan.”

Cantrik itu termangu-mangu. Namun Ki Buyut itu telah memberikan sekantung kecil uang kepadanya. “Jangan menolak. Bukan apa-apa. Sekedar ungkapan rasa kekagumanku kepadamu,” berkata Ki Buyut.

Cantrik itu memang ragu-ragu. Namun akhirnya uang itu pun diterimanya juga. Sambil berjalan pulang cantrik itu tersenyum sendiri. Ia mempunyai uang banyak. Uang yang hampir tidak pernah dilihatnya sejumlah yang diberikan oleh Ki Buyut kepadanya. Dan sepekan lagi ia akan mendapatkan seekor kuda.

“Apa salahnya,” berkata cantrik itu, “Aku tidak merugikan padepokan Bajra Seta. Bahkan kekagumannya kepadaku dan beberapa orang kawanku yang telah mampu membuat peralatan dan senjata yang lebih baik, akan mengangkat derajad padepokan Bajra Seta.”

Namun ada sesuatu yang menggelisahkannya. Ia tidak boleh mengatakan hal itu kepada siapapun. Bahkan ia tidak dibenarkan untuk minta ijin meninggalkan padepokannya barang sehari.

“Tak apalah,” berkata catrik itu kepada diri sendiri, “Seperti dikatakan oleh Ki Buyut, bahwa aku tidak akan mendapat kesulitan, karena tenagaku memang dibutuhkan. Hanya beberapa orang saja di padepokan itu yang mampu membuat peralatan dan senjata yang lebih baik dari yang pernah dibuat sebelumnya.”

Dengan demikian maka cantrik itu-pun berketetapan hati untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Ia juga tidak mengatakan kepada kawan-kawannya yang mempunyai kemampuan sebagaimana dirinya. Dengan demikian maka mereka akan ikut pula untuk mendapatkan pujian dan barangkali uang sehingga iai bukan orang satu-satunya yang akan diterima dengan penuh kekaguman di Kabuyutan Bumiagara.

Apalagi setelah ia menerima uang dari Ki Buyut. Maka cantrik itu menjadi semakin berdiam diri agar persoalannya tidak diketahui oleh orang lain. Dalam pada itu, maka selama sepekan cantrik itu menunggu. Rasa-rasanya ia memang menjadi gelisah. Tetapi ia tetap bertahan untuk tidak mengatakannya kepada siapapun bahwa ia telah berhubungan dengan Ki Buyut Bumiagara.

Pada hari yang dijanjikan, maka cantrik itu telah minta ijin untuk melihat-lihat pasar. Seperti yang dilakukan sebelumnya ia memang membuat penilaian terhadap kerja para pande besi. Dengan demikian, maka beberapa orang pande besi telah mengenalnya dengan akrab. Selagi ia melihat-lihat pekerjaan para pande besi itu, maka seperti yang dijanjikan. Ki Buyut-pun telah menemuinya.

“Bukankah aku benar-benar datang?” desis Ki Buyut.

“Ya Ki Buyut,” jawab cantrik itu, “Aku sudah siap. Apakah Ki Buyut membawa seekor kuda seperti yang Ki Buyut katakan?”

“Tentu,” jawab Ki Buyut. “Kuda itu ada diluar. Aku titipkan dikedai yang paling ujung. Kedai yang paling besar. Kita akan singgah dikedai itu. Makan dan kemudian meneruskan perjalanan.”

Cantrik itu mengangguk. Ketika Ki Buyut kemudian keluar dari pasar, maka cantrik itu-pun mengikutinya. Mereka memang pergi ke sebuah kedai sebagaimana dikatakannya. Kedai yang paling ujung dan yang paling besar di antara beberapa kedai diluar pasar itu. Beberapa saat mereka makan dan minum. Namun kemudian telah datang pula dua orang kawan Ki Buyut.

Dengan nada rendah Ki Buyut berkata, “Mereka adalah bebahu padukuhan.” Ki Buyut tertawa. Katanya, “Bebahu padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara.”

Kedua orang bebahu itu-pun tertawa juga. Sedangkan cantrik yang semula mengerutkan keningnya itu-pun kemudian juga tertawa bersama mereka. Demikianlah, maka cantrik itu telah mendapat kesempatan untuk makan dan minum makanan dan minuman yang paling baik yang terdapat di kedai yang terbesar di sebelah pasar itu. Baru kemudian setelah perutnya terasa kenyang, Ki Buyut itu mengajaknya mulai dengan perjalanan ke Kabuyutan Bumiagara.

Ketika mereka mencapai jarak yang agak panjang, maka dua orang ternyata telah menunggu, sehingga iring-iringan itu menjadi empat orang dari Bumiagara ditambah dengan seorang cantrik. Perjalanan yang terasa panjang itu memang melelahkan. Apalagi cantrik itu tidak terbiasa bepergian jauh diatas punggung kuda. Meskipun beberapa kali ia berkesempatan menunggang kuda, namun tidak menempuh jarak yang panjang sebagaimana ditempuhnya saat itu.

Di perjalanan mereka terpaksa berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda untuk minum dan makan rumput segar. Namun cantrik itu-pun sebenarnyalah memerlukan istirahat jauh sebelumnya. Tetapi ia agak segan untuk mengatakan bahwa ia merasa letih dan mulai merasa sakit.

Menjelang matahari turun merendah, barulah mereka memasuki padukuhan induk. Cantrik itu nampak menjadi cemas dan bertanya, “Apakah aku hari ini dapat kembali ke padepokan sebelum malam?”

Ki Buyut menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tentu tidak. Kau lihat matahari telah turun. Jika kau duduk sepenginang saja di Bumiagara, maka matahari akan menjadi semakin rendah. Bagaimana-pun kencangnya kau memacu kudamu, kau tentu akan kemalaman diperjalanan.”

“Aku akan dapat dihukum,” desis cantrik itu, “Aku meninggalkan tugasku terlalu lama tanpa diketahui kemana aku pergi.”

“Kau tidak akan dihukum,” jawab Ki Buyut, “Percayalah. Kau termasuk orang yang sangat diperlukan.”

“Tetapi jika aku tidak pulang hari ini,” desis cantrik itu.

“Kau tidak hanya tidak pulang hari ini. Tetapi kau tidak akan pernah pulang ke padepokanmu sampai kapan-pun,” jawab Ki Buyut.

“Apa maksudmu?” bertanya cantrik itu mulai curiga.

Namun mereka telah memasuki pintu gerbang halaman Kabuyutan Bumiagara.

“Kau akan menjadi penghuni Kabuyutan ini,” berkata Ki Buyut. Wajahnya tiba-tiba saja telah berubah. Ia bukan lagi seorang yang ramah dan selalu tersenyum. Tetapi wajahnya menjadi gelap dan keras.

Cantrik itu mulai menyadari, bahwa ia telah terjebak oleh sikap dan kata-kata yang akrab dan ramah. Bahkan ia semakin menyesal ketika ia menyadari uang yang telah diterimanya dari Ki Buyut Bumiagara. Karena itu, maka tiba-tiba cantrik itu telah menghentakkan kendali kudanya. Demikian kudanya melonjak, maka ia-pun telah berusaha memutar kudanya dan berlari ke arah regol halaman. Namun dengan cepat dua orang pengawal Kademangan itu telah menutup pintu sehingga cantrik itu harus menghentikan kudanya pula.

“Kau tidak akan dapat lari,” berkata Ki Buyut sambil tertawa.

Tetapi diluar dugaan, cantrik itu melompat dari kudanya dan dengan serta merta menyerang para pengawal yang menutup pintu gerbang itu. Cantrik dari padepokan Bajra Seta itu adalah orang yang terlatih dalam olah kanuragan. Dalam keadaan yang terjepit, maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan. Meskipun ia tidak ingin membunuh, namun cantrik itu telah menyerang ditempat yang berbahaya.

Keempat jari-jarinya yang mengembang merapat, telah menusuk diarah ulu hati seorang di antara kedua pengawal itu. Terdengar teriakan kesakitan. Namun kemudian terdiam. Pengawal itu telah jatuh dan pingsan seketika. Sementara itu ketika kawannya akan membantunya, maka tumit cantrik itu telah menghantam dadanya, sehingga orang itu-pun terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Orang itu telah menggeliat kesakitan sambil merintih. Dadanya serasa menjadi sesak.

Para pengawal yang lain, termasuk Ki Buyut dan keempat orang yang berkuda bersamanya menjemput cantrik itu segera berlari memburu. Namun canrik itu telah sempat membuka pintu dan lari keluar. Ki Buyut dengan sangat marah berteriak nyaring, “Cepat. Kejar cantrik yang menjadi gila itu. Tangkap hidup-hidup. Kecuali jika kalian tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup, maka ia akan mati.”

Beberapa orang memang mengejarnya. Namun cantrik itu telah meloncati dinding halaman di rumah seberang. Dan masuk ke kebun yang ditanami berbagai macam pepohonan.

“Kepung padukuhan induk ini rapat-rapat,” teriak Ki Buyut.

Sementara itu, kentongan-pun telah berbunyi. Nadanya tiba-tiba saja menjadi titir, seakan-akan ada perampokan atau pembunuhan. Padukuhan induk Bumiagara menjadi ribut. Suara kentongan membuat seisi padukuhan menjadi cemas. Beberapa orang laki-laki telah mencari senjata seadanya. Tetapi mereka ragu-ragu untuk melangkah keluar pintu meskipun hari masih terang.

Tetapi ketika mereka mendengar nama-nama mereka dipanggil oleh tetangga-tetangga mereka, maka mereka-pun segera keluar sambil berpesan kepada isteri dan anak-anak mereka yang dengan segera masuk ke dalam rumah mereka setelah mendengar kentong dengan nada titir, agar ber hati-hati.

Setiap laki-laki padukuhan itu telah mendengar perintah dari Ki Buyut untuk mengepung padukuhan. Mereka-pun segera berusaha melakukannya. Berkelompok-kelompok mereka berusaha untuk keluar dan mengawasi dinding padukuhan. Tetapi tiga orang di antara mereka segera berteriak memanggil kawan-kawan mereka. Mereka menemukan tiga orang tetangga mereka terbaring pingsan.

“Iblis terkutuk,” geram salah seorang bebahu yang hadir di halaman Ki Buyut saat cantrik itu melarikan diri.

Dengan diketemukannya tiga orang yang pingsan itu, maka para bebahu dan Ki Buyut-pun mendapat laporan, bahwa cantrik yang mereka cari telah berhasil keluar dari padukuhan itu. Mereka justru telah membuat tiga orang menjadi pingsan.

“Orang itu sangat berbahaya,” geram Ki Buyut, “Bunyikan isyarat terus agar padukuhan-padukuhan yang lain juga membunyikannya. Kirim penghubung berkuda ke padukuhan terdekat dan kemudian beranting, memberitahukan tentang iblis yang melarikan diri itu.”

Demikianlah sejenak kemudian dua orang berkuda telah berpacu menuju ke padukuhan terdekat untuk menyampaikan perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel. Tetapi kedua orang penghubung berkuda itu tidak pernah sampai ke padukuhan sebelah. Keduanya telah menjadi pingsan di tengah bulak. Sementara kuda mereka-pun telah dilarikan oleh cantrik yang merasa terjebak itu.

Namun bunyi kentongan memang lebih cepat merambat. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi, maka dipadukuhan-padukuhan yang lain-pun telah terdengar suara kentongan. Padukuhan berikutnya dan berikutnya.

Akhirnya cantrik itu justru telah meninggalkan kudanya. Ia merasa lebih aman untuk berlari-lari di atas pematang dan menyusuri jalan-jalan setapak di tengah-tengah pategalan. Apalagi, ketika matahari telah bertengger lekat di punggung bukit. Langit-pun menjadi merah dan senja-pun segera turun.

Ki Buyut mengumpat-umpat. Apalagi ketika ia kemudian mendapat laporan, dua penghubungnya telah pingsan di tengah-tengah bulak. Ketika keduanya sadar, maka keduanya tidak dapat menceriterakan apa yang telah terjadi atas diri mereka. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka terlempar dari punggung kudanya dan jatuh di tanah, sehingga mereka tidak sadarkan diri.

“Cantrik itu menjadi gila,” geram Ki Buyut yang masih saja memerintahkan isyarat kentongan untuk berbunyi terus. Dua orang yang lain telah diperintahkan untuk menghubungi padukuhan sebelah.

“Cantrik itu tentu sudah pergi,” berkata Ki Buyut, “Pergilah. Cepat.”

Penghubung itu dapat mencapai tujuan dan menyampaikan perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel. Demikian padukuhan itu telah mengirimkan dua orang penghubungnya untuk menghubungi padukuhan berikutnya dan berikutnya. Beranting maka perintah itu segera tersebar.

Namun ketika hari menjadi gelap, maka keadaan menjadi semakin sulit bagi Ki Buyut untuk menangkap cantrik itu. Tetapi karena Ki Buyut yakin bahwa cantrik itu masih berada di Kabuyutan, maka ia telah memerintahkan semua jalan-jalan dijaga. Terutama jalan yang keluar Kabuyutan. Sementara itu perintah kepada para pengawal Kabuyutan untuk bersiaga sepenuhnya. Pengawal yang telah ditentukan dengan cepat telah menuju ke padukuhan induk dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi cantrik itu ternyata tidak segera diketemukan.

Sementara itu, para pemimpin padepokan Bajra sudah sejak siang hari menjadi heran bahwa seorang cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengolah besi dan baja- telah hilang. Sejak ia menyatakan pergi ke pasar, maka ia tidak kembali lagi, sementara cantrik itu tidak ada di antara para pande besi yang sering dihubungi.

Tetapi dua di antara pande besi yang mendengar disebut-sebut nama Ki Buyut. Katanya, “Cantrik itu tadi pagi memang ada di sini. Ia terbiasa memberikan beberapa petunjuk dan menilai hasil kerja kami. Tetapi hari ini ia telah pergi ke kedai bersama Ki Buyut.”

“Kedai yang mana?” bertanya seorang cantrik yang mencari kawannya yang belum kembali itu.

“Kami hanya mendengar sekilas pembicaraan mereka,” jawab salah seorang pande besi, “Agaknya kedai yang terbesar dan terbaik.”

Cantrik yang mencari kawannya itu memang menelusuri sampai ke kedai yang dimaksud. Dari para pelayan dan pemilik kedai itu cantrik itu mendapat keterangan bahwa telah disebut-sebut Kabuyutan Bumiagara. Keterangan yang didapat oleh cantrik itu-pun telah disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bersama beberapa orang yang dianggap berhubungan dengan cantrik yang dicari itu mereka-pun membicarakan langkah-langkah yang sebaiknya diambil.

“Kita pergi ke Kabuyutan Bumiagara,” berkata Mahisa Murti.

“Jaraknya cukup jauh,” berkata salah seorang cantrik yang pernah berkunjung ke Kabuyutan itu.

“Kita harus mendapat keterangan tentang cantrik yang hilang itu,” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka Mahisa Murti-pun telah memerintahkan beberapa orang cantrik untuk bersiap. Mereka akan ikut serta ke Bumiagara. Mungkin sesuatu telah terjadi dengan cantrik itu.

Mahisa Semu, bahkan Mahisa Amping dan Wantilan telah ikut bersama dengan mereka. Sekelompok cantrik dari padepokan Bajra Seta telah menuju ke Kabuyutan Bumiagara. Mereka telah mempergunakan kuda yang tersedia di padepokan. Tidak lebih dari sepuluh ekor kuda. Namun dari padukuhan terdekat mereka dapat meminjam dua dan dipadukuhan yang satu lagi tiga ekor kuda yang cukup baik. Lima belas orang telah berpacu menuju ke Kabuyutan Bumiagara.

Di perjalanan Mahisa Murti sempat berkata kepada Mahisa Pukat, “Kita harus segera menambah jumlah kuda yang ada di padepokan. Dalam keadaan tertentu ternyata kita memerlukan kuda.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “Kemajuan di beberapa bidang yang mampu menumbuhkan kesejahteraan bagi padepokan kita memungkinkan kita menambah jumlah kuda yang ada di padepokan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka berpacu semakin cepat. Namun Bumiagara memang cukup jauh. Mereka ternyata kemalaman di perjalanan. Namun mereka hanya berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat dan minum air jernih disebuah parit dipinggir jalan. Kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mendekati Kabuyutan Bumiagara, maka Mahisa Murti telah memberi isyarat kepada para cantrik untuk berhenti.

“Tunggu, di depan adalah pertanda batas Kabuyutan Bumiagara.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “Sepuluh orang akan tinggal di sini termasuk Mahisa Semu yang akan mengawasi Mahisa Amping. Mahisa Pukat, paman Wantilan dan dua orang cantrik akan pergi bersamaku.”

“Kenapa kita tidak pergi bersama-sama?” bertanya salah seorang cantrik.

“Kita tidak ingin membuat Kabuyutan ini menjadi gelisah. Jika kita bersama-sama memasuki Kabuyutan ini, maka para penghuninya tentu akan menjadi resah, cemas dan bahkan mungkin kekuatan,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu?” bertanya cantrik itu.

“Bukankah kita membawa panah sendaren?” desis Mahisa Murti...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 98

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 98
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT sempat tertawa pula. Katanya, “Sudahlah. Sekarang kita berhadapan lagi dengan sekelompok petugas sandi dari Kediri.”

“Kami sudah merasa curiga. Laporan tentang tingkah laku prajurit yang berpura-pura menjajagi ilmumu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah isyarat, membuat kami harus mengambil langkah-langkah. Ternyata kecurigaan kami itu beralasan. Kalian telah dihentikan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, yang tentu kawan-kawan dari para petugas sandi itu,” desis perwira prajurit berkuda itu.

“Cukup,” pemimpin dari orang-orang yang menghentikan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berteriak, “Siapapun kalian, tetapi jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan kami.”

“Kau salah hitung,” jawab perwira itu, “Kalian memang dapat menghitung kami berenam dengan enam orang. Tetapi jika kau menghitung kedua orang anak muda itu, harus kau sebut sepuluh. Karena itu, maka jumlah kita akan menjadi tidak terpaut banyak.

“Iblis kau,” geram pemimpin dari sekelompok orang itu.

“Sudahlah,” berkata perwira prajurit itu, “Pilihlah jalan yang paling baik. Menyerah sajalah kepada kami. Kami yang akan memohonkan ampun bagi kalian semua.”

“Persetan,” geram pemimpin dari orang-orang yang telah mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

“Kau tidak dapat memilih,” berkata perwira dari pasukan berkuda itu. Perwira itu termangu-mangu sejenak ketika mendengar orang itu mengumpat kasar.

Ternyata orang-orang yang menghentikan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi pemimpin mereka meneriakkan aba-ba. Maka serentak orang-orang itu-pun mulai bergerak.

Keenam orang prajurit dari pasukan berkuda itu-pun dengan cepat telah berpencar dan menyerang sekelompok orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu. Namun mereka yakin bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan dapat mengalahkan mereka. Setidak-tidaknya sepuluh orang di antara mereka.

Sebenarnyalah pertempuran-pun telah terjadi. Tujuh belas orang itu telah menyerang bersama-sama. Namun prajurit berkuda itu nampaknya memang mempunyai kelebihan dari prajurit kebanyakan. Karena itu, maka mereka berenam benar-benar telah mengacaukan kedudukan tujuh belas orang lawan mereka. Apalagi ketika kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah ikut pula dalam pertempuran itu. Maka pertempuran itu-pun menjadi pertempuran yang sangat sengit.

Mahisa Pukat yang menyadari kedudukannya dalam pertempuran itu, telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya dengan sentuhan-sentuhan kewadagan atau benturan-benturan senjata. Pertemuan itu-pun segera berlangsung dengan sengitnya. Ketika seseorang prajurit dari pasukan berkuda mendekatinya, maka Mahisa Pukat-pun segera bergeser menjauh. Seperti dalam pertempuran sebelumnya, maka Mahisa Semu-pun harus mengerahkan kemampuannya sehingga anak muda itu tidak dengan cepat hanyut oleh kekuatan ilmu lawannya.

Sementara itu, enam orang prajurit berkuda itu-pun telah memutar senjata mereka dan setiap kali mematuk lurus atau terayun mendatar, terdengar lawannya mengumpat tidak habis-habisnya.

Pertempuran itu-pun kemudian telah menjadi pertempuran yang sangat garang. Ternyata orang-orang yang mencegat Mahisa Pukat itu benar-benar ingin membunuh. Mereka tidak lagi dikendalikan oleh paugeran atau perasaan apapun, selain membunuh kedua orang yang telah menyebabkan sepuluh orang kawan mereka tertangkap. Tetapi mereka tidak mengira sama sekali, bahwa enam orang prajurit berkuda telah datang dan melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat-pun telah berusaha sebanyak mungkin menyentuh senjata lawannya. Ia telah berloncatan dari seorang lawan ke lawan yang lain. Kemampuannya ilmu pedang telah membantu usahanya untuk melawan dan menyentuh orang-orang yang akan membunuhnya itu.

Namun orang-orang yang ingin membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu benar-benar orang yang garang. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, mengumpat, bahkan mengucapkan ancaman-ancaman yang mengerikan.

Tetapi keenam orang prajurit berkuda itu adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berpencaran dan berloncatan sambil memutar pedang mereka, sementara Mahisa Semu yang telah mendalami ilmu pedang, berusaha untuk bertahan karena beberapa orang telah menyerangnya bergantian.

Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar mendebarkan jantung. Bukan saja ilmu pedangnya. Tetapi kemampuannya bergerak bagaikan bayangan yang sulit diikuti oleh pandangan mata kewadagan. Sementara itu, pedangnya yang berwarna kehijauan itu setiap kali berkilat menyambar. Menyilaukan.

Para prajurit berkuda yang merasa bahwa lawan mereka lebih banyak telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawan mereka. Karena itu, maka dalam benturan-benturan yang terjadi, ujung-ujung pedang mereka telah pula menggores kulit lawan-lawan mereka. Tetapi bukan saja mereka melukai lawan-lawan mereka. Tetapi ada pula di antara mereka yang terluka.

Demikian pula Mahisa Semu. Luka-lukanya yang lama masih belum sembuh benar. Namun ia telah mengalami luka-luka baru. Beberapa gores senjata lawan telah membuat kulitnya berdarah.

Namun sementara itu, ada beberapa orang di antara ketujuh belas orang itu yang terlalu sering berbenturan senjata dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang demikian itulah yang lebih dahulu mengalami kesulitan. Tenaganya terasa dengan cepat susut, sehingga tangan dan kakinya terasa semakin lama semakin berat.

Pemimpin sekelompok orang yang berniat membunuh Mahisa Pukat itu berteriak-teriak memberikan aba-aba kepada orang-orangnya. Ia melihat beberapa orang tidak lagi dengan sungguh-sungguh bertempur. Seakan-akan mereka menjadi malas dan segan untuk mengangkat senjata-senjata mereka.

“Jangan menjadi seorang pengecut dengan tiba-tiba. Lawanmu bukan hantu. Lawanmu adalah orang seperti kita yang dapat kita lukai. Lihat, seorang di antara mereka telah menitikkan darah dari lukanya. Bunuh anak itu lebih dahulu, kemudian seorang lagi. Baru kemudian kita membunuh para prajurit yang telah mencampuri urusan orang lain.”

“Persetan,” geram pemimpin dari prajurit berkuda itu, “Apapun yang kau katakan, tetapi kalian semua harus mati.”

Namun orang itu tidak sempat berteriak lagi. Dengan derasnya Mahisa Pukat telah menyerangnya. Tetapi pemimpin dari orang-orang yang ingin membunuhnya itu telah menangkis serangannya. Bahkan dengan cepat orang itu berusaha untuk menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia berusaha menangkis serangan itu. Bahkan kemudian memutar pedang dan dengan sigap meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus ke arah lambung. Tetapi sekali lagi lawannya itu sempat menangkis serangan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, seorang yang lain telah menyerang Mahisa Pukat pula, sehingga Mahisa Pukat harus berloncatan meninggalkan lawannya itu untuk menghadapi lawannya yang baru. Bahkan dua orang bersama-sama. Tetapi Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat darah Mahisa Semu mengalir semakin banyak. Meskipun anak muda itu masih tetap bertahan, tetapi darah yang semakin banyak mengalir akan menyulitkannya.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit berkuda yang bertempur berputaran di antara lawan-lawannya yang jauh lebih banyak itu kadang-kadang memang merasa heran. Beberapa orang di antara lawan-lawannya justru menjadi tidak lagi segarang sebelumnya. Sebagaimana Mahisa Semu, yang meskipun sudah terluka, namun ia-pun merasakan bahwa lawan-lawannya sebagian tidak lagi berbahaya baginya. Orang-orang itu tidak lagi mampu mengejarnya jika ia membuat langkah-langkah panjang.

Pemimpin sekelompok orang yang ingin membunuh Mahisa Pukat-pun menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun demikian ia masih tetap seorang yang berbahaya. Dalam pada itu, apa yang pernah terjadi, telah terjadi lagi. Lawan-lawan Mahisa Pukat yang telah mengalami sentuhan senjata atau kewadagan, apalagi yang sudah beberapa kali, maka tenaga dan kemampuannya bagaikan telah dihisap, sehingga mereka telah menjadi lemah dan tidak lagi mampu mengetrapkan ilmunya.

Mereka bahkan menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan selain tubuh mereka menjadi semakin lama semakin lemah. Dengan demikian, maka karena yang bertempur kemudian bukan hanya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka senjata para prajurit telah dengan mudah menyentuh dan melukai lawan-lawan mereka.

Namun demikian Mahisa Pukat berteriak, “Cukup. Mereka tidak perlu dilukai atau disakiti. Biarlah mereka menyerah karena mereka tidak akan mampu lagi melawan.”

Sebenarnyalah beberapa orang bahkan telah terduduk lesu. Yang lain kehilangan keseimbangan, sementara ada di antara mereka yang terluka, bukan karena tidak mampu mengadakan perlawanan, tetapi sejak mereka baru mulai menghadapi seorang prajurit, mereka tidak mampu mempertahankan diri.

Para prajurit terkejut mendengar teriakan Mahisa Pukat. Namun mereka-pun telah berloncatan mundur. Sementara ketujuh belas orang yang mencegat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu benar-benar sudah tidak mampu untuk bertahan lebih lama. Memang masih ada satu dua orang yang memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dari yang lain. Ada pula yang baru sekali menyentuh senjata Mahisa Pukat dengan senjata, sehingga kekuatan dan kemampuannya seakan-akan masih utuh. Tetapi ketika mereka melihat keadaan gerombolannya, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.

“Menyerahlah,” berkata Mahisa Pukat, “Jika tidak, maka kalian semuanya akan mati. Kalian sudah tidak akan mampu melawan kami. Satu dua di antara kalian sudah terluka. Yang lain kehilangan tekad untuk melawan sebagai seorang laki-laki. Sedangkan yang lain lagi menjadi ketakutan.”

Beberapa orang termangu-mangu. Mereka memang menjadi ngeri melihat ujung-ujung senjata kedua orang anak muda yang mereka buru dan para prajurit berkuda yang tiba-tiba saja telah datang tanpa membawa kuda.

Akhirnya tujuh belas orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Pemimpinnya yang masih nampak utuh, sebenarnyalah sudah mulai diraba oleh ilmu yang dahsyat itu. Namun justru karena ia sibuk mengatur orang-orangnya sehingga ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membenturkan senjatanya dengan senjata Mahisa Pukat. Baru pada kesempatan terakhir, ia telah menangkis serangan anak muda yang bersenjata pedang berwarna kehijau-hijauan itu.

Enam orang prajurit berkuda itu menjadi heran pula sebagaimana orang-orang yang mencegat Mahisa Pukat itu. Para prajurit itu juga tidak tahu apa yang telah terjadi, sebagaimana mereka juga tidak tahu apa yang telah terjadi pada sepuluh orang yang telah ditangkap sebelumnya. Tetapi mereka tidak sempat bertanya.

Mahisa Pukat berkata, “Tujuh belas orang itu akan menjadi tawanan kalian menemani sepuluh orang yang telah tertangkap lebih dahulu. Bawa mereka ke Kotaraja. Biarlah kawan-kawan mereka yang masih kuat dapat membantu kawan-kawannya.”

“Kau mau apa?” bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.

“Aku akan meneruskan perjalanan. Bukankah kita belum berada dilingkungan bahaya perang sehingga kita tidak usah menjadi cemas,” berkata Mahisa Pukat.

Pemimpin prajurit berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah ia tidak perlu menjadi cemas sehingga berbuat sesuatu yang tidak pantas dilakukan.

Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih menunggui sejenak ketika pemimpin sekelompok kecil prajurit itu mempersiapkan lawan-lawan mereka untuk mengatur diri. Baru kemudian mereka telah dibawa ke istana. Orang-orang istana itu-pun terkejut melihat peristiwa itu seperti melihat lalat di sekitarnya.

Namun pemimpin prajurit berkuda itu masih juga bertahan pada tugasnya sehingga jarang sekali ia membuat kesalahan. Karena itu, maka ia memang mendapatkan kepercayaan yang besar. Juga terhadap sikapnya kepada orang-orang yang telah mencegat kedua anak muda itu. Namun para pemimpinnya percaya bahwa pasukan berkuda yang jumlahnya hanya enam itu mampu mengatasi lawan sebanyak tujuh belas orang, justru karena bertempur bersama dengan dua orang anak muda itu.

Tetapi apa yang telah terjadi dengan kedua orang anak muda itu tidak mendapat banyak tanggapan dan keterangan. Yang penting bagi orang-orang yang mendapat penyerahan para tawanan itu, tujuh belas orang lagi di antara mereka yang sedang diburu itu ternyata datang dengan kedua tangan terikat, kecuali mereka yang mendapat tugas untuk memapah kawannya meskipun tubuhnya sendiri menjadi sangat lemah.

Dalam pada itu, Mahendra yang mendengar laporan itu pula telah bersyukur di dalam hati, bahwa kedua anak dan cantrik itu selamat. Dari pemimpin pasukan berkuda itu, Mahendra mendengar apa yang telah terjadi. Apa pula yang dilakukan oleh kedua orang anak muda itu. Mahendra hanya mengangguk-angguk saja. Ia sadar, bahwa Mahisa Pukat tentu sudah mempergunakan ilmunya yang mampu menyerap kekuatan dan ilmu lawannya.

Namun peristiwa itu sendiri adalah peristiwa yang mendebarkan. Jika saja sebelumnya para prajurit berkuda itu tidak mendapatkan keterangan tentang rencana buruk yang akan mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, maka keduanya belum tentu akan dapat meloloskan diri. Setidak-tidaknya keadaan Mahisa Semu tentu akan menjadi sangat sulit. Mungkin saja ia terluka parah atau bahkan lebih buruk daripada itu. Sementara itu, maka Mahisa Pukat tentu akan mengerahkan ilmunya untuk melindungi sejumlah kawannya, karena tanpa berbuat demikian, maka nyawanya sendiri akan melayang.

Hampir diluar sadarnya Mahendra yang berbicara langsung dengan pemimpin prajurit berkuda itu berdesis, “Aku mengucapkan terima kasih.”

“Aku hanya menjalankan tugas. Ketika kami mendapat laporan tentang hal itu, maka dengan tergesa-gesa kami menyusul kedua orang anak muda itu.”

“Apakah rencana mereka dapat kalian ketahui?” bertanya Mahendra.

“Tidak tepat seperti itu,” jawab pemimpin pasukan berkuda, “Yang diberi tahukan kepada kami oleh petugas di pintu gerbang, bahwa seorang di antara kawan-kawannya yang bertugas ada yang dengan tanpa dapat dikekang, berniat untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Itu adalah satu tindakan yang tidak wajar dilakukan oleh seorang prajurit. Karena itu, maka kami mempunyai prasangka buruk. Mungkin yang dilakukan itu hanya sekedar cara atau jika ia benar-benar ingin melakukannya dengan alasan tertentu, maka langkah itu akan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Kami tidak yakin akan apa yang akan terjadi. Tetapi kami ingin melihat, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh prajurit itu. Ternyata bahwa dua orang kami yang mengamati peristiwa itu melihat ada pihak lain yang mengawasi keadaan, sehingga kami justru mengawasi orang itu. Ketika mereka melepaskan burung merpati, maka kami-pun menyadari apa yang akan terjadi.”

Mahendra-pun mengangguk-angguk. Untunglah bahwa pemimpin prajurit berkuda itu berpikir tangkas ketika ia mendapat keterangan tentang seorang prajurit yang berniat untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat, sehingga kehadirannya meskipun hanya berenam, namun sudah membatasi persoalan sehingga Mahisa Pukat tidak perlu melakukan pembunuhan semena-mena.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah melanjutkan perjalanannya kembali ke padepokannya. Namun waktu mereka telah banyak tersita. Ketika mereka melewati kedai yang disinggahi saat mereka berangkat, kedai itu nampaknya kosong sama sekali.

“Kita berhenti sejenak, kau perlu beristirahat,” berkata Mahisa Pukat.

“Kenapa di sini?” bertanya Mahisa Semu.

“Lukamu perlu mendapat perawatan,” jawab Mahisa Pukat.

Keduanya-pun kemudian telah turun didepan kedai yang kosong itu. Ketika mereka kemudian mendorong pintunya, ternyata pintunya juga tidak diselarak. Bahkan apa yang ada di kedai itu masih juga sama seperti saat kedai itu ditinggalkan.

“Tidak ada seorang-pun yang telah masuk kedalam kedai ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Sebaiknya kita juga tidak,” berkata Mahisa Semu, “Agar kita tidak dituduh melakukan sesuatu di kedai ini.”

“Kedai ini sekarang tidak bertuan,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Pemiliknya sudah ditangkap. Demikian pula orang-orang yang pernah berhubungan dengan pemilik kedai ini.”

“Tetapi jika ada orang lain yang tidak mengetahui persoalannya, kita dikira memasuki tempat yang tidak semestinya,” desis Mahisa Semu.

“Jika demikian, kita berada di luar saja. Di dalam justru banyak sekali debu. Makanan sudah tidak lagi dapat dimakan. Mangkuk-mangkuk berserakan dan lalat-pun berterbangan,” desis Mahisa Pukat.

Keduanya-pun kemudian telah duduk di tangga samping kedai itu. Mahisa Pukat telah mengobati luka-luka Mahisa Semu. Terutama luka-lukanya yang baru. Sambil menunggu sejenak, serta memberikan kesempatan kudanya beristirahat, Mahisa Pukat melihat-lihat keadaan di sekeliling kedai itu. Namun tidak ada sesuatu yang sempat menarik perhatiannya. Kedai itu benar-benar kosong dan tidak pernah lagi dijamah orang.

Baru sejenak kemudian maka keduanya-pun telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Kuda mereka-pun telah tidak lagi merasa lelah, apalagi kuda-kuda itu baru menempuh sebagian kecil dari perjalanan mereka yang panjang. Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu lagi di atas punggung kudanya. Namun Mahisa Semu telah nampak lebih bersih. Darah tidak lagi nampak memerah di tubuhnya. Lukanya-pun telah menjadi pampat pula.

Tetapi perjalanan mereka masih cukup panjang, apalagi mereka ielah kehilangan waktu lama. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berpacu terlalu cepat. Apalagi jika mereka mendekati padukuhan atau jalan yang banyak dilalui orang. Kudanya berlari agak lambat agar tidak menarik perhatian orang atau bahkan menganggu orang-orang lain yang juga memakai jalan.

Demikian pula ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah menarik kekang kuda mereka. Dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi mereka memasuki padukuhan yang besar itu. Padukuhan yang mempunyai jalan-jalan yang agak lebar dan banyak dilalui orang. Di sebelah menyebelah jalan, terdapat regol-regol halaman yang cukup baik biar halaman-halaman yang agak luas. Bahkan terdapat satu dua bangunan yang di pagi hari tentu dipergunakan sebagai kedai. Namun meskipun hari telah menjadi semakin sore, masih ada juga satu dua kedai yang terbuka.

“Kita singgah untuk makan,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun merasa sangat haus, sehingga ia-pun dengan cepat menyatakan persetujuannya. Keduanya-pun kemudian telah singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar. Namun di kedai itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dapat pula membeli makan dan minuman untuk kuda mereka.

Ternyata minuman dan makanan di kedai itu cukup baik. Harganya-pun tidak terlalu mahal. Sementara itu kuda mereka-pun telah mendapat minum dan makan secukupnya. Setelah membayar makanan dan minuman serta perawatan kuda-kuda mereka, maka kedua orang anak muda itu-pun segera melanjutkan perjalanan.

Namun ketika mereka sampai di simpang empat di padukuhan itu, keduanya terkejut sehingga mereka menarik kekang kuda mereka kuat-kuat. Kuda Mahisa Semu bahkan telah meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Hampir saja Mahisa Semu terjatuh. Untunglah, bahwa tubuhnya seakan-akan telah melekat pada punggung kudanya itu.

Sementara itu, beberapa orang anak muda berkuda dari arah samping memotong jalan dengan tiba-tiba saja tanpa memperlambat laju kuda mereka. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berhenti di simpang empat menjadi berdebar-debar. Sementara itu, beberapa anak muda yang memotong jalan itu justru tertawa berkepanjangan. Mereka seakan-akan telah menyoraki Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang hampir saja terjatuh dari kudanya.

“Anak-anak gila,” Mahisa Semu menjadi marah. Tetapi Mahisa Pukat berdesis, “Sudahlah. Jangan hiraukan. Kita meneruskan perjalanan kita yang sudah terhambat.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak perasaan di dadanya. Beberapa orang yang melihat hal itu-pun berhenti termangu-mangu. Seorang yang sudah separuh baya mendekati kedua anak muda itu. Katanya, “Untunglah tidak terjadi sesuatu ngger.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil berkata, “Ya Kiai. Tetapi hati ini masih berdebar-debar.”

“Sudahlah. Jangan berurusan dengan anak-anak bengal itu. Mereka adalah anak-anak orang kaya di padukuhan yang terhitung besar ini. Tetapi mereka justru membuat padukuhan ini menjadi selalu kacau,” berkata orang separo baya itu.

“Terima kasih atas peringatan itu Kiai,” jawab Mahisa Pukat yang kemudian bersama-sama dengan Mahisa Semu telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Justru anak-anak semacam itu harus mendapat peringatan,” berkata Mahisa Semu.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Pukat, “Lupakan.”

Namun keduanya masih juga mendengar salah seorang yang berdiri di pinggir jalan berkata, “Kemarin, dua orang anak yang sedang bermain-main juga tersentuh kuda-kuda yang seperti menjadi liar itu. Untunglah luka-lukanya tidak begitu berat.”

Mahisa Semu berpaling. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Marilah. Para bebahu padukuhan ini tentu akan mengurusnya.”

Tanpa menghiraukan anak-anak muda itu lagi, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu meneruskan perjalanan mereka. Tetapi baru beberapa langkah kuda mereka bergerak, mereka telah mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda itu lagi. Kemudian derap kaki kuda mereka.

Sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menentukan sikap, anak-anak muda itu telah muncul lagi di simpang empat. Mereka berbelok searah dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan kemudian beberapa orang anak muda itu telah mendahului Mahisa Semu dan Mahisa Pukat. Namun dua orang di antara mereka sempat menyentuh kepala Mahisa Semu disusul teriakan-teriakan riuh dari anak-anak itu.

“He, kepalamu cukup keras Ki Sanak,” teriak salah seorang dari mereka sambil berpacu meninggalkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Ternyata Mahisa Pukat tidak sempat lagi mengekang Mahisa Semu yang menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja Mahisa Semu telah memacu kudanya pula menyusul beberapa orang anak muda yang berkuda itu. Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Bahkan Mahisa Pukat-pun mendengar Mahisa Semu berteriak, “Berhenti kalian anak-anak setan.”

Yang terdengar adalah suara tertawa yang meledak. Anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Namun ketika mereka melihat anak muda yang dilewatinya sambil disentuh kepalanya itu berpacu menyusul mereka, maka anak-anak muda itu mulai memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

“Anak itu menjadi gila,” teriak seorang di antara mereka.

Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun ketika seorang di antara mereka tertawa, maka yang lain-pun tertawa pula. “Anak itu berlagak sebagai seorang kesatria yang tidak mau dihinakan dengan disentuh kepalanya,” teriak yang lain.

Kawan-kawannya-pun berteriak-teriak tidak menentu. Di antaranya tertawa semakin keras sementara yang lain bersorak-sorak. Ternyata mereka membuat Mahisa Semu menjadi semakin marah. Dengan menghentakan kendali kudanya, Mahisa Semu berpacu semakin cepat. Di belakangnya, Mahisa Pukat-pun mempercepat lari kudanya menyusul Mahisa Semu.

Sementara itu, anak-anak muda yang telah mengganggu Mahisa Semu itu ternyata tidak berniat melarikan diri. Tetapi mereka ingin memilih satu tempat yang lebih luas untuk mempermainkan anak muda yang mengejarnya itu. Anak muda yang berpacu di paling depan itu-pun berteriak, “He, kita pergi ke ara-ara amba. Kita dapat bermain-main lebih menyenangkan lagi dengan anak-anak yang tidak tahu diri itu.”

Kawan-kawannya-pun berteriak-teriak gembira. Seorang di antara mereka menjerit tinggi, “Kita sudah lama tidak mendapat permainan yang menarik seperti ini.”

Yang lain-pun menyahut dengan teriakan-teriakan tinggi. Sementara itu kuda-kuda mereka-pun berpacu terus menuju ke sebuah ara-ara yang luas. Sebuah padang rumput tempat para gembala menggembalakan kambing mereka.

Ketika sekelompok anak muda diatas punggung kuda memasuki lapangan rumput itu, maka para gembala-pun telah menggiring kambing mereka menepi. Mereka mengenal anak-anak muda itu, sebagai anak-anak muda yang seakan-akan tidak dapat diganggu gugat lagi semua tindakan dan tingkah lakunya. Seakan-akan merekalah yang memiliki padukuhan yang besar itu dengan segala isinya. Mereka berbuat apa saja yang mereka sukai tanpa menghiraukan perasaan orang lain.

Demikian anak-anak muda itu berada di ara-ara, maka mereka-pun segera berpencaran, sehingga Mahisa Semu menjadi agak bingung. Sementara anak-anak muda itu mulai mempermainkannya. Mula-mula mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak sambil berputar-putar.

Dalam kebimbangan Mahisa Semu justru berhenti, sementara Mahisa Pukat telah berada disampingnya. Dengan gelisah Mahisa Pukat itu berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan mereka.”

“Mula-mula aku masih dapat menahan diri,” berkata Mahisa Semu, “Tetapi kemudian mereka telah menghinakan aku. Dua orang di antara mereka telah meraba kepalaku. Apakah aku harus berdiam diri?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia-pun melihat dua orang di antara anak-anak muda itu telah memegang kepala Mahisa Semu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak dapat memaksa Mahisa Semu untuk menahan diri lagi. Mahisa Semu benar-benar telah tersinggung karena perlakuan anak-anak muda itu.

Sementara itu Mahisa Semu masih berdiam diri diatas punggung kudanya. Anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Tetapi mereka-pun tidak berlari-larian lagi berputaran. Karena Mahisa Semu berhenti, maka mereka-pun telah terhenti pula.

Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Semu menahan kemarahannya sehingga dadanya menjadi sakit, ia-pun kemudiain berkata, “Jika kau ingin berbuat sesuatu atas mereka, kejar seorang di antara mereka. Jangan hiraukan yang lain sampai kau mendapatkannya.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba kedua tumitnya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kudanya telah terlonjak. Ketika kemudian kudanya berlari, maka Mahisa Semu langsung menuju kearah seorang di antara anak-anak muda itu. Anak muda yang telah menyentuh kepalanya dan mentertawakannya.

Anak muda itu terkejut. Ia-pun segera menghentakkan kendali kudanya sehingga kudanya-pun telah berlari pula, sementara kawan-kawannya-pun mulai bergerak. Kuda-kuda mereka mulai berlari-larian berputaran dan berpencaran. Tetapi seperti pesan Mahisa Pukat, maka Mahisa Semu tidak menghiraukannya lagi. Ia telah mengejar seorang saja di antara anak-anak muda itu. Kemana kudanya lari, Mahisa Semu selalu memburunya.

Anak muda itu mulai menjadi cemas. Kawan-kawannya-pun demikian. Karena itu, maka kawan-kawannya telah berusaha mengacaukan arah kuda Mahisa Semu dengan sekali-sekali memotong jalan. Namun tekat Mahisa Semu sudah bulat. Ia tidak menghiraukan yang lain. Ia mengejar seorang saja di antara mereka. Ia mengejar kemana anak muda itu memacu kudanya. Berputar, berbelok, berlari kencang dan segala macam gerak yang lain. Ternyata bahwa kuda Mahisa Semu cukup baik, sehingga semakin lama sasarannya menjadi semakin dekat.

Tetapi beberapa saat kemudian, kuda Mahisa Semu telah berhasil menyusul kuda yang dikejarnya. Dengan tangkasnya Mahisa Semu telah menangkap kendali kuda yang dikejarnya dan mencoba menariknya. Namun anak muda di atas punggung kuda itu tidak membiarkannya. Dengan cemetinya ia telah memukul tangan Mahisa Semu, sehingga Mahisa Semu manjadi semakin marah. Dengan tidak berpikir panjang maka Mahisa Semua justru telah meloncat dari kudanya, menerkam anak muda yang menyakitinya itu. Bukan saja menyakiti tubuhnya, tetapi juga menyakiti hatinya.

Keduanya-pun telah terlempar dari kuda mereka dan jatuh berguling. Ternyata Mahisa Semu yang memiliki kelenturan tubuh yang terlatih, mampu menempatkan dirinya saat ia terguling. Namun agaknya lawannya tidak memiliki kelenturan tubuh sebagaimana Mahisa Semu, sehingga demikian ia jatuh, maka ia-pun telah menyeringai menahan sakit.

Ketika Mahisa Semu kemudian meloncat bangkit, maka anak muda itu hanya dapat menggeliat sambil mengaduh kesakitan. Namun dalam pada itu, seekor kuda lain telah menyambar Mahisa Semu. Tetapi anak muda itu sempat meloncat menghindar. Sekali ia berguling, kemudian meloncat bangkit. Sementara itu, beberapa ekor kuda yang lain-pun telah siap menyambar pula. Seakan-akan berurutan satu demi satu, sehingga Mahisa Semu harus berloncatan menghindar.

Tetapi ketika salah seorang yang juga telah menyentuh kepalanya menyambarnya sambil mengayuhkan cemeti kudanya. Maka Mahisa Semu dengan cepat menangkapnya. Ia memang terseret beberapa langkah. Tetapi ketika ia menghentakkan cemeti itu, maka anak muda yang memeganginya telah terseret pula jatuh dari kudanya. Gerak nalurinya kurang cepat tanggap, sehingga ia tidak melepaskan cemetinya itu.

Seperti kawannya, maka demikian ia jatuh, maka punggungnya serasa akan patah. Karena itu, maka ia-pun tidak segera dapat bangkit berdiri. Kawan-kawannya menjadi sangat heran. Mereka tidak lagi menyambar-nyambar dengan kuda mereka. Tetapi orang yang paling berpengaruh di antara mereka telah memberikan isyarat agar mereka berhenti dan turun dari kuda mereka.

Sejenak kemudian, lima orang anak muda telah mengepung Mahisa Semu, sementara Mahisa Pukat masih duduk saja di punggung kudanya. Ia memang ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Semu. Mahisa Pukat melihat anak-anak muda yang nakal itu tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia-pun sudah bersiap-siap. Setiap saat diperlukan, ia akan dapat langsung turun ke arena.

Sejenak kemudian, orang yang agaknya mempimpin kawan-kawannya itu melangkah mendekati Mahisa Semu sambil berkata, “Ternyata kau anak yang gila.”

“Aku tidak mau kalian menghinakan aku. Kalian telah menyentuh bagian tubuhku di atas leherku. Itu satu pertanda bahwa kalian memang menantangku,” jawab Mahisa Semu.

“Kau terlalu sombong. Kau mencari kesulitan,” geram anak muda itu.

“Bukan aku yang mendahului. Tetapi apakah keuntungan kalian dengan sikapmu menghinakan orang lain seperti itu?” bertanya Mahisa Semu.

“Kami sudah terbiasa berbuat apa saja yang kami senangi,” jawab anak muda itu, “Orang lain tidak akan pernah berani melawan kami.”

“Tetapi aku tidak takut berhadapan dengan kalian. Kalian telah melakukan satu perbuatan yang tidak pantas. Kalian mengira bahwa orang lain tidak akan pernah merasa tersinggung. Atau kalian memang berpendapat, bahwa kalian akan dapat mengatasi seandainya ada orang lain yang merasa tersinggung dan menjadi marah?” bertanya Mahisa Semu.

“Ya, kami tidak mau tunduk kepada kepentingan orang lain. Kami dapat berbuat apa saja sesuai dengan keinginan kami. Kami justru akan memukuli orang yang menjadi marah kepada kami,” jawab anak muda itu.

Ternyata Mahisa Semu tidak mau berbantah terlalu lama. Di luar dugaan, tiba-tiba saja ia sudah meloncat maju dan menyerang anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu. Satu pukulan yang sangat keras telah menghantam keningnya, sehingga anak muda itu tidak sempat menghindar dan tidak sempat menangkis serangan itu. Demikian keningnya dikenai pukulan Mahisa Semu, maka ia-pun telah terlempar jauh. Beberapa kali ia berguling. Keningnya merasa sangat sakit, sementara matanya menjadi berkunang-kunang.

Kawan-kawannya yang melihat serangan itu dengan cepat menanggapi keadaan. Mereka-pun berloncatan memencar. Namun Mahisa Semu telah siap menghadapi mereka. Sementara itu anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu sambil menyeringai telah berusaha untuk bangkit. Ketika ia kemudian berdiri tegak, ternyata kepalanya masih saja terasa sangat pening.

Anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira bahwa pada suatu saat mereka akan berhadapan dengan seorang anak muda yang sangat berani. Karena itu, maka mereka tidak segera dapat memutuskan, apa yang harus mereka lakukan selain berusaha mengganggu kuda Mahisa Semu.

Sementara itu, empat orang kawan-kawannya telah berloncatan menyerang. Sementara pemimpin mereka masih menggeliat. Namun kemudian anak muda yang menjadi pemimpin di antara mereka itu-pun telah siap untuk turun kegelanggang. Tetapi dua orang kawannya yang terjatuh dari kuda itu masih belum sempat berdiri meskipun mereka sudah berusaha. Tetapi punggung mereka rasa-rasanya bagaikan menjadi retak.

Mahisa Semu-pun kemudian telah berkelahi melawan lima orang anak muda. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Meskipun ia baru saja terluka, tetapi Mahisa Semu masih nampak terlalu garang.

Anak-anak muda itu berkelahi dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka. Dengan kasar mereka menyerang bergantian. Bahkan pemimpin anak-anak muda yang telah mampu mengatasi rasa sakit itu berteriak, “Kenapa kawanmu itu tidak membantumu? Apakah kalian tidak mempunyai perasaan kesetia-kawanan atau kalian memang anak-anak muda yang sombong?”

Jawab Mahisa Semu memang menyakitkan. Katanya, “Ia akan membantu jika aku menghadapi lawan yang pantas.”

“Gila kau anak iblis,” geram pemimpin anak-anak muda itu.

Namun belum lagi mulutnya terkatub, serangan Mahisa Semu telah menyambar bibirnya. Jari-jarinya yang terbuka dan merapat telah menampar mulut anak muda yang sedang berbicara itu, sehingga tubuhnya terputar kesamping. Anak muda itu mengaduh. Ketika tangannya meraba bibirnya, terasa cairan hangat mengalir dari bibirnya yang pecah. Betapa kemarahan membakar ubun-bunnya. Bibirnya yang pecah telah membasahi telapak tangannya dengan darah.

Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Mahisa Semu berloncatan di antara lawan-lawannya yang ternyata sebagaimana diduga oleh Mahisa Pukat, bukan lawan yang berbahaya. Mereka sama sekali tidak terlatih meskipun pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang kuat.

Namun dalam pada itu, Mahisa Semu yang berloncatan telah menyambar mereka seorang demi seorang dengan sentuhan tangan atau kaki. Seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Sementara seorang yang bertubuh kecil dan pendek bagaikan terlempar dan terbanting jatuh. Namun ia masih sempat untuk bangkit kembali dan ikut pula dalam perkelahian itu.

Tetapi tiba-tiba anak-anak muda itu justru terkejut ketika melihat darah di tubuh Mahisa Semu. Nampaknya serangan-serangan mereka sama sekali tidak berhasil mengenai anak muda itu. Tetapi tiba-tiba saja tubuh itu berdarah.

Mahisa Semu semula tidak menyadari, bahwa luka-lukanya yang telah pampat itu telah berdarah lagi justru setelah ia terlalu banyak bergerak. Untuk beberapa saat mereka terheran-heran. Namun kemudian mereka justru merasa bahwa mereka telah berhasil melukai anak itu tanpa mereka sadari.

Karena itu, maka pemimpin dari anak-anak muda itu-pun berteriak, “Lihat. Tubuhnya telah berdarah. Ia akan segera kehilangan kekuatannya. Ia akan menjadi lemah dan tidak bertenaga lagi untuk melawan kita.”

Kelima orang itu-pun seakan-akan telah mendapatkan satu kesimpulan bahwa mereka akan segera menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi Mahisa Semu-pun kemudian menyadari, bahwa luka-lukanya yang telah pampat seakan-akan telah membuka kembali. Karena itu, maka kemarahannya-pun telah meledak. Karena yang ada dihadapannya adalah anak-anak muda yang telah menghinakannya itu, maka kemarahannya-pun telah ditumpahkannya kepada mereka.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu-pun telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ia justru tidak peduli lagi, apakah lukanya akan berdarah semakin banyak. Namun yang diinginkan adalah menyelesaikan anak-anak bengal itu secepat-cepatnya. Kecuali darahnya yang mengalir, maka matahari-pun menjadi semakin rendah.

Namun anak-anak gembala yang biasanya sudah pulang, masih ada di ara-ara itu meskipun dari kejauhan. Hanya satu dua di antara mereka benar-benar menjadi ketakutan dan berlari-lari pulang. Ceritera anak-anak gembala itu justru telah berkembang. Beberapa orang ingin melihat apa yang telah terjadi di ara-ara.

Sementara itu, karena Mahisa Semu telah menghentakkan segenap kekuatan dan kemampuannya, maka serangan-serangannya-pun menjadi semakin garang. Anak-anak muda yang tidak memiliki bekal kanuragan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting. Sementara ia belum sempat bangkit, maka seorang lagi telah mengaduh. Kaki Mahisa Semu tepat mengenai perutnya, sehingga anak muda itu terbungkuk kesakitan. Sambil meloncat ke samping, tangan Mahisa Semu terayun mendatar menghantam kening seorang lagi di antara lawan-lawannya.

Kelima orang lawan-lawannya benar-benar menjadi bingung. Pukulan Mahisa Semu datang beruntun. Satu demi satu mereka jatuh dan sulit untuk dapat bangkit kembali. Pemimpin anak-anak muda itu sekali lagi telah terjatuh pula. Namun Mahisa Semu yang marah itu tidak puas dengan sekedar menjatuhkan mereka seorang demi seorang.

Kemarahan Mahisa Semu benar-benar sampai ke puncak. Karena itu ketika lawan-lawannya berjatuhan, maka ia-pun telah meloncat menerkam mereka seorang demi seorang. Pemimpin anak-anak muda itu ditariknya sehingga bangkit berdiri. Namun sekali ayun tangan Mahisa Semu telah memukul dagu anak muda itu.

Anak muda itu terlempar dua langkah surut dan kemudian jatuh terlentang. Namun Mahisa Semu masih belum puas. Ia telah menarik anak muda yang lain. Menariknya berdiri dan memukulnya pula sampai anak muda yang ke tujuh. Mereka yang jatuh terguling dari kudanya dan tidak dapat bangkit lagi itu-pun telah diperlakukan dengan keras oleh Mahisa Semu. Apalagi kedua orang anak muda yang jatuh dari kudanya itu adalah anak-anak muda yang telah menyentuh kepalanya. Anak-anak muda itu benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Mereka hanya dapat menyeringai menahan sakit dan mengerang kesakitan.

Mahisa semu itu baru berhenti memukuli anak-anak muda itu ketika Mahisa Pukat menggamitnya dan berkata, “Sudahlah Mahisa Semu. Tidak sepantasnya kau melakukan hal itu. Apalagi matahari sudah hampir tenggelam. Kita harus melanjutkan perjalanan.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketujuh anak-anak muda itu mengerang kesakitan. Tubuh mereka bagaikan telah diremukkan oleh Mahisa Semu. Tulang-tulang mereka bagaikan berpatahan. Namun Mahisa Semu-pun menyadari, bahwa ia tidak dapat larut dalam kemarahannya terus-menerus. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Semu-pun melangkah surut. Dilihatnya ketujuh orang lawannya itu telah terbaring diam tanpa dapat berbuat apa-apa lagi selain mengerang kesakitan. Dari kejauhan para gembala menyaksikan semuanya itu. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Apalagi mencampuri persoalan itu. Namun sejenak kemudian, orang-orang yang ada di ara-ara itu terkejut. Mahisa Semu dan Mahisa Pukat melihat beberapa orang mendatangi mereka.

“Apakah kita akan melayani mereka?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita akan terlalu lama berhenti di sini,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu-pun kemudian bersiul keras-keras. Ternyata kudanya yang sudah terbiasa mendengar siulnya telah berlari-lari mendekatinya. Dengan sigapnya Mahisa Semu-pun meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Mahisa Pukat yang masih harus berlari lebih dahulu beberapa langkah, baru kemudian meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, maka keduanya-pun telah menghentakkan kendali kudanya meninggalkan ara-ara itu.

“Ki Sanak,” teriak seseorang dari antara orang-orang yang berdatangan.

Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menghiraukannya lagi. Keduanya berderap semakin lama semakin jauh, sementara langit-pun menjadi semakin gelap.

“Darahmu mengalir lagi,” desis Mahisa Pukat.

“Ya.” sahut Mahisa Semu.

“Kita harus berhenti untuk mengobatinya lagi,” berkata Mahisa Pukat pula.

Mahisa Semu tidak menjawab. Namun mereka masih berpacu terus agar mereka mempunyai jarak yang cukup. Apalagi jika gelap turun. Seandainya orang-orang padukuhan terutama orang tua anak-anak muda itu menyusulnya, mereka tentu akan sulit untuk mencari jejak. Apalagi ketika Mahisa Semu dan Mahisa Pukat telah mengambil jalan kecil untuk mendapat tempat berhenti. Meskipun dalam kegelapan namun Mahisa Pukat sempat mengobati luka-luka Mahisa Semu yang berdarah lagi.

“Aku sengaja membiarkan kau berkelahi sendiri,” desis Mahisa Pukat sambil menaburkan obat di luka Mahisa Semu.

Mahisa Semu memang menyeringai menahan pedih dan panas pada lukanya yang tersentuh obat itu. Namun Mahisa Semu mengetahui bahwa obat itu justru telah bekerja di lukanya itu. Seterusnya keduanya telah beristirahat beberapa saat di kegelapan. Mereka ternyata sudah malas untuk meneruskan perjalanan sampai ke padukuhan untuk mencari tempat bermalam.

Ternyata mereka lebih senang bermalam di tempat itu juga. Apalagi tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah parit yang airnya sangat jernih. Mahisa Semu yang menengadahkan wajahnya melihat langit-pun terang. Tidak ada awan yang mengalir di udara. Yang nampak adalah bintang-bintang bergayutan dari cakrawala sampai ke cakrawala.

“Nampaknya tidak akan hujan malam ini,” berkata Mahisa Semu sambil membaringkan tubuhnya diatas sebongkah batu hitam yang besar yang banyak terdapat di tempat itu.

“Ya,” sahut Mahisa Pukat yang duduk sambil menyilangkan kakinya. Juga di atas batu yang besar. “Tidurlah. Nanti bergantian,” desis Mahisa Pukat.

“Ya. Aku letih sekali,” sahut Mahisa Semu.

“Terutama karena darahmu yang mengalir cukup banyak. Bukan karena kau berkelahi dengan anak-anak muda itu,” jawab Mahisa Pukat pula.

Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia-pun telah memejamkan matanya. Udara memang terasa dingin. Apalagi kemudian embun-pun mulai membasahi batu tempat ia berbaring. Tetapi Mahisa Semu itu-pun telah tertidur pula.

Mahisa Pukat masih saja duduk di atas sebongkah batu. Ia memang tidak ingin tidur. Ia akan berjaga-jaga sampai dini. Jika Mahisa Semu telah cukup lama tidur, ia hanya ingin tidur seujung pagi saja sebelum meneruskan perjalanan. Dua ekor kuda terikat pada sebatang pohon perdu. Nampaknya tidak ada sesuatu yang akan mengganggu mereka malam itu.

Lewat tengah malam, batu tempat Mahisa Pukat duduk itu-pun terasa menjadi basah oleh embun. Namun Mahisa Pukat tidak beranjak dari tempatnya. Ia sudah terbiasa berada di segala tempat dalam segala suasana. Menjelang dini, Mahisa Pukat justru terkejut. Pendengarannya yang sangat tajam mendengar desir lembut. Semakin lama semakin dekat, sehingga ketika desir itu diyakini langkah seseorang, Mahisa Pukat-pun bangkit dan berdiri diatas batu itu. Katanya tidak terlalu keras, “Marilah. Aku persilahkan Ki Sanak mendekat.”

Sejenak suasana justru menjadi hening. Namun kemudian langkah itu terdengar lagi. Bahkan sesosok tubuh telah muncul dari balik sebongkah batu yang besar. “Ternyata kau benar-benar berilmu tinggi,” desis orang yang datang itu, “Kau dengar langkahku mendekat.”

“Kau kurang berhati-hati,” sahut Mahisa Pukat, “Di sini banyak daun kering.”

“Baiklah. Aku harus mengakui kelebihanmu,” jawab orang itu.

“Siapakah kau?” bertanya Mahisa Pukat. “Apakah kau mempunyai hubungan dengan anak-anak muda di ara-ara itu,” Mahisa Pukat mencoba menebak.

“Tidak secara langsung,” jawab orang itu.

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.

“Aku adalah orang yang dianggap memiliki ilmu terbaik di padukuhan itu. Kalian ternyata sudah memukuli anak-anak muda padukuhan kami. Meskipun aku bukan orang upahan, bahkan aku tidak setuju dengan tingkah laku mereka, namun aku juga tidak setuju dengan caramu. Kalian sudah bertindak sendiri dan langsung,” berkata orang itu.

“Jadi apa yang harus kami lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika kau merasa dirugikan, maka kau harus melaporkannya kepada Ki Bekel. Ki Bekel yang akan menyelesaikan segala persoalan,” jawab orang itu, “Jika tidak demikian, maka wibawa para bebahu padukuhan akan lenyap.”

“Wibawa bebahu padukuhan itu tidak akan lenyap karena tindakan kami, karena bebahu padukuhan itu sudah tidak mempunyai wibawa sejak lama,” jawab Mahisa Pukat.

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Apa yang dapat dilakukan oleh bebahu padukuhan terhadap anak-anak muda yang tidak tahu adat itu? Jika wibawa bebahu padukuhan itu masih utuh, maka tindakan dan sikap seperti itu tentu sudah tidak ada lagi,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Ya. Kau benar. Tetapi kau, orang asing di padukuhan kami, jangan menambah parah kedudukan para bebahu itu.”

“Kami tidak mempunyai pilihan lain. Anak-anak muda itu telah menghinakan kami. Karena itu, maka kami harus membela harga diri kami,” jawab Mahisa Pukat.

“Meskipun wibawa kami sudah lama susut. Tetapi kami tidak mau orang asing menginjak-injak harga diri kami,” jawab orang itu.

“Jadi bagaimana menurut penilaianmu. Kalian tidak mau tersinggung, tetapi kalian biarkan anak-anak padukuhan itu menyinggung harga diri orang lain,” berkata Mahisa Pukat.

“Kami tidak mau timbul kesan orang asing, bahwa padukuhan kami tidak memiliki kemampuan untuk menjaga harga diri kami. Karena itu, apapun alasannya, aku ingin menunjukkan bahwa dipadukuhan kami ada kekuatan yang dapat menjaga wibawa dan nama baiknya meskipun kedalam hal itu tidak dapat diberlakukan,” berkata orang itu.

“Bukankah pikiranmu terbalik? Kalian harus menegakkan wibawa kalian ke dalam. Dengan sendirinya wibawa itu akan memancar keluar,” sahut Mahisa Pukat.

“Ki Sanak. Apapun persoalan yang kau sebut, maka aku tetap pada pendirianku. Aku ingin membawa kalian berdua kembali ke padukuhan kami. Kalian berdua harus bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Baru kemudian kami dapat mengadili dan menghukum orang-orang kami,” berkata orang itu.

“Tidak Ki Sanak. Yang harus kau lakukan adalah menghukum anak-anak bengal itu dan memaksa mereka untuk tidak melakukannya lagi agar pada kesempatan lain bukan kepala mereka yang dipecahkan,” jawab Mahisa Pukat.

“Aku kira aku sudah cukup memberikan alasan kenapa aku mengikuti jejakmu. Hampir saja aku kehilangan. Untunglah, bahwa kemampuanku mengikuti jejak masih juga membawa aku menyusul kalian di sini,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Aku-pun sudah cukup memberikan alasan. Aku tidak akan kembali lagi. Aku akan tetap meneruskan perjalanan.”

...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...

Untuk selanjutnya, Mahisa Pukat benar-benar tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Ketika sekali lagi Mahisa Pukat menyerangnya dengan ayunan tangan mengenai kening lawannya, maka lawannya itu-pun telah terjatuh lagi. Namun rasa-rasanya tenaganya memang tidak mungkin lagi untuk menopang keinginannya mempertahankan dirinya dan apalagi memaksa anak muda itu kembali ke padukuhan. Karena itu, ketika ia kemudian bangkit, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk berdiri. Ia masih saja duduk di tanah dengan kepala tunduk.

Mahisa Pukat tidak menyerangnya lagi. Dibiarkannya lawannya itu mengatur pernafasannya sebelum bangkit berdiri. Tetapi lawannya tidak segera berdiri. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh menahan sakit.

Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Pukat menunggu. Ketika lawannya itu masih saja duduk, maka ia-pun bertanya, “Bagaimana Ki Sanak. Apakah kita masih akan melanjutkan lagi?”

“Anak muda,” berkata orang itu dengan nada yang dalam, “Aku harus mengakui bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Aku-pun menyadari, bahwa apa yang kau lakukan belum sampai ke puncak kemampuan kalian. Karena itu, mustahil aku dapat memenuhi keinginan orang-orang padukuhan, agar aku membawa kalian berdua kembali ke padukuhan.”

“Jika demikian, biarkan aku pergi,” berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah,” berkata orang itu, “Tetapi aku akan tidak berarti lagi di padukuhan. Selama ini hanya akulah yang dapat mengekang orang-orang tua dari anak-anak yang bengal itu. Tanpa kekangan itu, mereka tentu akan berbuat jauh lebih buruk lagi.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat, “Kenapa kau menjadi tidak berarti lagi?”

“Aku tidak dapat menyelesaikan tugas yang mereka berikan kepadaku. Mereka telah minta tolong kepadaku untuk membawa kalian berdua kembali ke padukuhan. Tetapi aku tidak dapat memenuhinya. Mereka tentu menganggap bahwa selama ini aku hanya sekedar pembual saja yang ternyata tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti bagi mereka,” jawab orang itu. Lalu katanya pula, “Tetapi itu harus aku terima.”

“Tetapi kau dapat menunjukkan kelebihanmu. Orang-orang yang tidak menghargaimu lagi, kau tantang saja untuk berkelahi. Jika tidak ada orang yang mampu mengalahkanmu, maka kau akan dapat menepuk dada dan berkata kepada mereka, bahwa kau tetap orang terbaik,” berkata Mahisa Pukat.

“Dan mereka akan mencibirkan sambil memperingatkan kepadaku, bahwa aku tidak mampu membawa dua orang anak muda kembali ke padukuhan,” jawab orang itu.

“Katakan kepada mereka, bahwa kau tidak berhasil menyusul kami. Katakan bahwa anak-anak muda itu tidak berhenti meskipun malam hari. Mereka berjalan terus sepanjang malam.” sahut Mahisa Pukat.

“Apapun alasannya, mereka tidak akan lagi menghargai aku. Setidak-tidaknya penghargaan mereka terhadapku akan susut,” jawab orang itu.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia memandangi orang itu dengan dahi yang berkerut. Sementara orang itu masih saja duduk sambil menundukkan kepalanya. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku dan adikku akan mengikutimu kembali ke padukuhan. Tetapi ingat, jika kau tidak berhasil mengendalikan orang-orang padukuhan, sehingga mereka akan menghukum aku, maka aku akan melindungi adikku. Mungkin aku dan adikku akan membantai orang-orang padukuhanmu berapapun jumlahnya.”

Orang itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Mahisa Pukat dengan pandangan kosong. Namun kemudian Mahisa Pukat berkata lantang, “Kau tidak percaya?”

Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban orang itu. Dengan serta merta ia-pun telah memusatkan nalar budinya. Dengan sigap ia-pun kemudian telah menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke sebuah batu padas di bawah sebatang pohon. Seleret sinar telah menyambar dari telapak tangan Mahisa Pukat itu. Batu padas yang dikenainya seakan-akan telah meledak dan pecah berserakan.

Orang itu terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Dipandanginya Mahisa Pukat dan batu yang hancur itu berganti-ganti. Ia seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya.

“Aku hanya ingin mengatakan kepadamu, jika orang-orang padukuhanmu itu mau menghukumku, maka yang terjadi adalah seperti batu padas itu. Apalagi seseorang yang terdiri dari kulit dan daging yang lunak,” geram Mahisa Pukat.

Orang itu tergagap. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan berani membawa kalian berdua kembali ke padukuhan.”

“Sudah aku katakan. Jika itu kau perlukan, maka kami tidak berkeberatan. Tetapi jangan perlakukan kami seperti seekor keledai yang dungu, karena kami akan dapat membunuh seluruh isi padukuhanmu,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi apakah aku akan dapat menguasai mereka?” orang itu justru bertanya.

“Jika kau memang mempunyai wibawa yang cukup, maka kau akan dapat melakukannya,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, “Sudahlah. Aku akan kembali tanpa kalian. Biarlah kalian melanjutkan perjalanan kalian tanpa tergaggu.”

“Aku akan kembali ke padukuhanmu,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu menunduk. Katanya hampir tidak dapat didengar oleh orang lain, “Aku tidak mengira sama sekali.”

Tetapi ternyata orang itu tidak dapat melangkah surut. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertekad untuk ikut kembali ke padukuhan. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu terhadap anak-anak muda yang sering menganggu orang yang lewat di padukuhan mereka.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mengikuti orang itu kembali ke padukuhan. Beberapa puluh langkah dari tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu beristirahat, orang itu menambatkan kudanya. Sejenak kemudian maka ketiga ekor kuda itu telah berpacu kembali ke padukuhan. Ketika mereka sampai ke ara-ara, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun terkejut. Ternyata di ara-ara itu telah berkumpul banyak orang padukuhan. Beberapa obor telah terpasang menerangi satu lingkungan yang luas.

Ketika tiga ekor kuda itu memasuki ara-ara, maka terdengar dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu bersorak. Agaknya mereka menganggap bahwa orang yang menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berhasil membawa kembali kedua orang anak muda yang mereka kehendaki.

Sejenak kemudian, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah berada di tengah ara-ara itu bersama orang yang membawanya kembali. Serentak orang-orang padukuhan itu telah mengurung mereka. Sementara anak-anak muda yang merasa disakiti oleh Mahisa Pukat itu-pun berdiri dipaling depan sambil bertolak pinggang.

“Serahkan anak itu kepadaku,” teriak anak muda yang paling berpengaruh di antara mereka.

“Serahkan kepada kami. Kami akan menghukumnya,” teriak yang lain.

Dari antara orang-orang padukuhan itu telah melangkah mendekat beberapa orang tua. Seorang di antara mereka berkata, “Anak inikah yang telah menyakiti anakku?”

Orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu memang menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya dengan nada tinggi. “Aku memang sudah membawa keduanya kembali. Tetapi setelah aku bertemu dan berbicara dengan mereka, maka aku telah mendapat kesan yang lain.”

“Kesan apa?” bertanya seorang laki-laki bertubuh raksasa.

“Ternyata bahwa apa yang terjadi tidak seperti apa yang kalian katakan kepadaku,” jawab orang itu, “Aku sudah terlanjur memaksa mereka kembali meskipun semula mereka berkeberatan. Baru kemudian aku tahu bahwa mereka sama sekali tidak bersalah.”

“Siapa yang tidak bersalah? Apakah kau tidak melihat apa yang terjadi atas anak-anak kita,” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

“Itu disebabkan karena kesalahan mereka sendiri. Mereka menganggu orang-orang yang sedang lewat. Namun satu ketika mereka terbentur pada kekuatan yang tidak dapat mereka atasi,” jawab orang itu.

“Omong kosong,” teriak raksasa itu, “Aku tidak percaya. Kau harus berbuat sesuatu.”

“Kita harus mendengar yang sebenarnya terjadi. Bukan sekedar memanjakan anak-anak kita. Apakah kita harus menutup mata atas apa yang sering mereka lakukan? Apakah kita harus membiarkan dan bahkan melindungi tingkah laku mereka itu? Semakin lama mereka akan menjadi semakin buas,” berkata orang itu.

“Cukup,” bentak orang bertubuh raksasa itu.

Namun tiba-tiba saja orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu meloncat turun. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau berani membentak aku he?”

Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah surut ketika orang yang meloncat turun dari kudanya itu melangkah maju. “Bukan maksudku,” orang bertubuh raksasa itu menjadi gagap.

Sementara itu, orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke padukuhan itu-pun kembali meloncat ke punggung kudanya. Kemudian ia-pun berkata lantang, “He orang-orang padukuhan ini. Apakah kalian percaya sebagaimana dikatakan oleh anak-anak muda ini bahwa mereka telah diserang dengan licik? Siapakah di antara kalian yang melihat apa yang terjadi? Mungkin para gembala. Tetapi mereka takut...

...Ada bagian yang hilang...

…Aku berusaha meredam niat orang-orang padukuhan ini untuk berbuat sesuatu atas anak-anak kalian. Tetapi yang dilakukan hari ini sudah keterlaluan,” berkata orang itu.

“Apapun yang dilakukan, kau wajib melindunginya,” berkata orang kaya yang lain.

“Tidak,” berkata orang itu, “Sejak hari ini aku berhenti memberikan perlindungan kepada anak-anak yang tidak tahu adat itu. Sesudah sekian lama aku mencoba untuk mengendalikan tingkah laku mereka. Namun aku tidak berhasil. Nah, sekarang aku akan minta salah seorang anak muda ini untuk mengatakan apa yang telah dilakukan oleh anak-anak kalian.”

Sebelum seseorang menjawabnya, maka orang itu segera berpaling kepada Mahisa Pukat sambil berkata, “Katakan, apa yang telah terjadi atas kalian.”

Mahisa Pukat-pun berpaling kepada Mahisa Semu sambil berkata, “Katakan.”

Mahisa Semu menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Kemudian ia-pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Dengan suara lantang ia akhirnya berkata, “Aku merasa tersinggung sekali. Karena itu, maka aku telah melawan mereka berkelahi.”

Wajah-wajah-pun menjadi tegang. Seorang di antara orang tua anak-anak muda itu berteriak, “Kau dapat mengarang ceritera apa saja. Tetapi tidak seorang-pun akan percaya bahwa kau seorang diri dapat menang atas beberapa orang anak-anak muda kami.”

“Aku berkata sebenarnya. Bahkan tentu ada beberapa saksi,” jawab Mahisa Semu, “Tingkah laku anak-anak muda yang tidak bertanggungjawab itu sangat menyakitkan hati. Aku berusaha untuk melupakannya dengan meninggalkan ara-ara ini. Tetapi orang yang kalian upah itu telah menyusulku dan memaksa kami berdua untuk kembali. Ara-ara ini telah mengingatkan aku kepada tingkah laku mereka yang tidak pantas itu. Karena itu, jika kalian tidak percaya bahwa aku telah mengalahkannya, maka biarlah aku mencobanya sekali lagi di hadapan hidung kalian.”

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun orang yang telah menyusul agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu kembali berkata, “Aku percaya akan kata-katanya. Aku telah menjajagi kemampuannya. Dan aku tahu benar kemampuan anak-anak muda yang hanya membanggakan diri dalam perlindungan orang lain. Bukan karena kemampuannya sendiri. Nah, aku setuju dengan anak muda itu. Biarlah ia mencoba sekali lagi melawan anak-anak muda yang telah memperlakukannya tidak sepantasnya itu.”

Tetapi yang meloncat turun dari kudanya adalah Mahisa Pukat sambil berdesis, “Lukamu akan dapat berdarah lagi.”

Sebelum Mahisa Semu berkata sesuatu, Mahisa Pukat telah berteriak, “Marilah. Kita akan memperlihatkan kebenaran kata-kata kita masing-masing. Aku tantang anak-anak muda yang berkelompok untuk mengganggu orang lain itu berkelahi di sini.”

Tetapi anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Meskipun mereka sudah berkumpul dalam satu kelompok dan berdiri di paling depan. Bahkan ketika sebelumnya mereka bertolak pinggang, maka tangan-tangan mereka telah terkulai di sisi tubuh mereka.

“Marilah,” tantang Mahisa Pukat sekali lagi.

Orang yang telah datang sambil membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu-pun berkata, “Nah, marilah. Buktikan bahwa kalian dapat melindungi diri kalian sendiri. Aku tidak akan turut campur.”

Anak-anak muda itu masih saja termangu-mangu. Mereka masih ingat apa yang terjadi atas diri mereka. Tubuh mereka-pun masih terasa sakit. Bahkan mereka yang terbanting dari kudanya masih merasakan punggung mereka bagaikan menjadi patah.

Orang-orang tua mereka-pun termangu-mangu. Mereka-pun tahu bahwa anak-anak mereka mengalami luka-luka didalam tubuh mereka. Sementara orang yang mereka banggakan itu tidak bersedia menolong mereka lagi.

Sementara itu anak muda itu telah menantangnya lagi, “Marilah. Kita akan membuktikannya.”

Anak-anak muda padukuhan itu yang biasanya dengan menengadahkan wajah mereka, bahkan sambil tertawa, mengganggu orang lain, tiba-tiba telah menundukkan kepala mereka. Tidak ada lagi yang bertolak pinggang. Mereka tidak dapat ingkar kepada satu kenyataan, apa yang telah terjadi atas diri mereka sebelumnya.

Namun salah seorang dari orang tua mereka tiba-tiba berteriak kepada orang-orang padukuhan itu, “He, seisi padukuhan. Apakah kalian akan membiarkan anak-anak kalian dihinakan orang? Apakah sama sekali tidak timbul di hati kalian satu sikap yang dapat menjunjung nama padukuhan kalian? Jika masih ada sedikit saja kebanggaan kalian atas padukuhan ini, marilah kita bersama-sama menangkap kedua orang anak muda itu dan menghukumnya, karena mereka telah menghinakan anak-anak kita. Anak-anak muda yang kelak akan menggantikan kedudukan kita semua.”

Ara-ara itu menjadi hening. Beberapa orang memang tersentuh hatinya. Ada semacam dorongan untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan padukuhan mereka.

Sementara itu orang itu berkata pula untuk mempertajam kata-katanya sebelumnya, “Apakah kita akan membiarkan padukuhan kita dianggap tidak berdaya sama sekali sehingga orang-orang lain akan datang menginjak-injak tanpa ada yang dapat mencegahnya?”

Satu dua orang mulai bergerak. Namun dalam pada itu, orang yang telah menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berkata tidak kalah lantangnya, “Jika kita berbuat sesuatu, untuk apa sebenarnya? Untuk mempertahankan harga diri padukuhan ini atau sekedar untuk memanjakan anak-anak bengal itu? Kita akan mempertahankan nama baik padukuhan ini jika persoalannya memang menyangkut kepentingan kita bersama. Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukan saja hari ini. Tetapi hari-hari sebelumnya? Apakah kita, seisi padukuhan ini harus mengabdi kepada beberapa orang anak muda yang tidak mau mengerti akan tata kehidupan orang banyak dan merasa dirinya dapat berbuat apa saja karena uang? Dengar. Aku adalah orang yang pernah diupah oleh orang-orang kaya itu untuk melindungi mereka. Anak-anak mereka dan wibawa mereka. Tetapi akhirnya aku menjadi muak melihat tingkah laku anak-anak mereka. Bagaimana-pun juga mencoba mencegahnya, tetapi karena aku adalah orang upahan mereka, maka kata-kataku tentu akan mereka abaikan begitu saja. Dan sekarang, mumpung ada orang lain yang berbaik hati untuk memberikan sedikit tegoran kepada anak-anak muda itu, maka aku hanya dapat menumpang kepada mereka. Karena itu, maka aku sama sekali tidak mau membantu mereka dalam persoalan ini. Jika kalian, orang-orang padukuhan ini akan melindungi mereka, lakukan. Tetapi aku tidak. Bahkan jika terjadi benturan kekuatan antara kalian dengan anak anak muda ini, aku akan berpihak kepada mereka.”

Kata-kata itu memang mengejutkan. Tetapi kata-kata itu telah memaksa orang-orang padukuhan itu berpikir.

Sementara itu, salah seorang dari orang tua anak-anak muda itu berteriak, “Jadi kalian akan berkhianat seperti orang itu yang selama ini telah diupah untuk melindungi anak-anak kita? Tidak. Kalian adalah orang-orang padukuhan yang tahu diri.”

“Siapakah yang telah berkhianat?” bertanya orang yang menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, “Apakah aku dapat disebut berkhianat jika aku kemudian menyadari, bahwa apa yang aku lakukan selama ini tidak berarti sama sekali. He, orang-orang padukuhan yang baik. Apakah aku boleh bertanya kepada kalian, apakah kalian tidak tahu apa yang kalian lihat, kalian dengar dan kalian saksikan sehari-hari tingkah laku anak-anak muda itu? Atau aku harus mengulangi pertanyaanku, kalian masih saja berpura-pura tidak tahu karena anak-anak muda itu adalah anak orang-orang kaya?”

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi bingung. Sebelum orang tua anak-anak muda itu berteriak, maka orang itu telah mendahului, “Bukankah setiap hari kalian juga mengeluh karena tingkah laku mereka? Apakah mereka dapat hidup dalam satu lingkaran pergaulan dengan anak-anak muda padukuhan yang lain? Dengan para gembala, dengan anak-anak petani miskin yang tidak mempunyai kuda seperti mereka? Anak-anak kalian, misalnya. Nah, jika demikianlah, terserah. Langkah mana yang akan kalian ambil.”

Penjelasan itu cukup membuka hati orang-orang padukuhan. Mereka justru melangkah surut dan menjauhi anak-anak muda yang bengal itu. Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka masih melangkah beberapa langkah lagi menjauh.

Dengan demikian maka orang yang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke ara-ara itu berkata, “Baiklah jika kalian menyadari keadaan sepenuhnya. Kalian masih sempat merenungkan apa yang sebaiknya kalian lakukan. Kedua anak muda itu masih ada di sini. Sebelum mereka pergi, kalian harus mengambil keputusan. Juga anak-anak muda itu, apakah mereka akan membuktikan kata-kata kedua anak muda yang lewat berkuda dipadukuhan ini. Sekali lagi melawan mereka berdua atau bahkan seorang saja di antara mereka?”

Tidak ada yang menjawab. Baik anak-anak muda yang bengal itu mau-pun orang tuanya. Karena tidak ada yang menjawab, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Jika tidak ada di antara kalian yang ingin mengulangi lagi, maka aku justru menuntut anak-anak muda yang telah mengganggu perjalananku diadili.”

“Maksudmu?” bertanya salah seorang di antara orang tua anak-anak muda itu.

“Kami berdua telah dihinakan ketika kami lewat,” jawab Mahisa Pukat, “Nah, hukuman apa yang paling pantas diberikan kepada mereka?”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Sementara orang-orang tua dari anak-anak muda yang bengal itu memang menjadi berdebar- debar.

Karena tidak ada yang menjawab, maka Mahisa Pukat-pun berkata, “Para orang tua dari anak-anak yang tidak tahu adat itu harus mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan? Kalian adalah orang-orang yang paling berkepentingan dengan anak-anak kalian. Memang tidak ada seorang-pun dari antara para orang tua yang tidak ingin melindungi anak-anaknya. Tetapi sudah tentu tidak seorang-pun di antara para orang tua yang ingin anaknya kehilangan masa depannya. Nah, jika kalian biarkan anak-anak bengal itu berbuat seperti sekarang, maka mereka adalah anak-anak yang tidak akan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Mereka akan menjadi anak-anak yang tidak akan berarti sama sekali dimasa depan. Mereka akan tersingkir oleh anak-anak orang miskin tetapi yang dengan tekun membentuk dirinya dan mengumpulkan bekal bagi masa depannya.”

Tidak ada seorang-pun yang menjawab. Sementara itu, Mahisa Pukat yang telah berada dipunggung kudanya kembali itu berkata, “Baiklah. Orang-orang tua di padukuhan ini akan dapat menjelaskan kata-kataku. Atau kalian-pun telah mengetahui maksudku. Karena itu, kali ini aku serahkan hukuman anak-anak bengal itu kepada orang tua mereka masing-masing. Tetapi aku yang sering lewat jalan ini jika aku pergi ke Singasari, akan dapat mengikuti perkembangan dari mereka. Jika mereka masih sering mengganggu orang lain, membuat onar dan bertindak sewenang-wenang karena mereka mempunyai uang, maka aku akan bertindak lagi. Aku adalah salah satu dari persoalan bagi mereka yang tidak dapat diselesaikan dengan uang. Padahal persoalan yang demikian itu akan semakin banyak. Orang-orang padukuhan ini-pun akan menilai kembali apakah kalian memang dapat membeli harga diri seluruh penghuni padukuhan ini dengan uang kalian.”

Orang-orang itu masih berdiam diri. Sementara itu Mahisa Pukat-pun berkata kepada orang yang membawanya kembali, “Aku sudah memenuhi keinginanmu, Ki Sanak. Aku sudah kau bawa kembali kemari. Aku kira persoalanku di sini sudah selesai.”

Orang itu mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Jika kau akan melanjutkan perjalananmu, lanjutkanlah. Jika besok atau lusa atau kapan saja kau lewat jalan ini, kau tidak akan diganggu lagi oleh anak-anak bengal itu. Orang-orang padukuhan ini-pun sudah muak terhadap mereka. Orang-orang padukuhan ini tentu tidak mau lagi diganggu pula sebagaimana kalian.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu-pun berdesis perlahan, “Akulah yang harus mengucapkan terima kasih.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat memandangi orang-orang yang ada di ara-ara. Semuanya menjadi semakin jelas. Obor-obor justru nampak menjadi semakin buram, karena langit menjadi merah kekuning-kuningan. Namun Mahisa Pukat sempat berdesis, “Ternyata aku tidak sempat beristirahat malam ini. Aku harus berjalan hilir mudik semalam suntuk.”

“Aku minta maaf,” desis orang itu pula.

“Tidak. Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa berjaga-jaga semalam suntuk,” sahut Mahisa Pukat.

Sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu-pun telah menghentakkan kendali kudanya. Kudanya-pun segera meloncat berlari. Derapnya terdengar mengguncang ketenangan pagi. Semakin lama menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran. Namun matahari mulai melontarkan cahayanya menusuk langit yang cerah. Ternyata semalam bahkan sampai pagi hujan tidak turun.

Demikianlah, setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu hilang dari penglihatan, bahkan suara derap kaki kudanya tidak terdengar lagi, maka orang yang telah membawanya kembali ke ara-ara itu berkata,

“Kita tidak mempunyai persoalan lagi di sini. Tetapi apa yang terjadi di sini dapat kita ingat-ingat. Suatu ketika ada juga orang yang mampu mencambuk anak-anak kita. Selama ini suaraku tidak lebih dari suara seekor katak dilebatnya hujan sehingga tidak berdaya sama sekali mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak-anak muda padukuhan ini, khususnya anak orang-orang berada. Sekarang terserah kepada orang-orang tua mereka. Apakah mereka akan membiarkan anak-anak mereka mengalami lecutan orang lain yang lebih parah lagi, atau mereka akan berusaha untuk meluruskan sikap mereka, kemudian membaurkan mereka di antara anak-anak muda di padukuhan ini yang jumlahnya lebih banyak dari mereka.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Juga terserah kepada orang-orang padukuhan ini, apakah mereka akan menegor tingkah laku seperti itu, atau membiarkannya karena dibayangi oleh kekayaan orang tua mereka. Aku sendiri, sejak sekarang bukan orang upahan lagi.”

Orang itu tidak menunggu pendapat orang lain. Ia-pun segera menggerakkan kekang kudanya dan berlari-lari kecil kuda itu-pun meninggalkan ara-ara yang menjadi semakin terang. Nyala obor di beberapa tempat itu-pun sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Di langit matahari memancar dengan terangnya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih meneruskan perjalanan mereka. Sekali lagi Mahisa Pukat berkata, “Aku semalam suntuk tidak memejamkan mata sama sekali.”

“Apakah kita akan beristirahat?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita meneruskan perjalanan. Tetapi kita-pun harus mengingat kuda-kuda itu yang kurang beristirahat pula semalam,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara itu mereka tidak lagi berani memacu kuda mereka, karena jalan menjadi semakin ramai.

“Nampaknya kita mendekati sebuah pasar,” berkata Mahisa Pukat yang melihat orang yang berjalan hilir mudik dengan beban mereka masing-masing.

Sebenarnyalah, beberapa lama lagi mereka telah sampai kesebuah pasar yang ramai. Nampaknya kebetulan hari itu hari pasaran, sehingga pasar itu nampak penuh dengan orang yang berjual beli. Mahisa Pukat dan Semu sempat singgah sebentar disebuah kedai. Selain untuk membeli makanan dan minuman bagi keduanya, maka kuda-kuda mereka-pun agaknya menjadi lapar.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah melanjutkan perjalanan. Mereka berharap bahwa hari itu mereka akan sampai ke padepokan mereka yang sudah beberapa hari mereka tinggalkan. Sebenarnyalah, mereka tidak menemui hambatan apapun disisa perjalanan mereka. Karena itu, maka menjelang senja, keduanya telah sampai ke lingkungan padepokan mereka.

Ketika keduanya melihat pintu gerbang padepokan mereka, maka rasa-rasanya dada mereka menjadi bertambah lapang. Mereka merasa akan segera memasuki satu lingkungan yang paling sesuai bagi mereka dan yang akan dapat memberikan ketenangan dan kedalaman hati.

Agaknya orang-orang yang bertugas telah melihat keduanya mendekati pintu gerbang. Sebelum mereka mendorong pintu, maka pintu gerbang yang memang sudah terbuka sedikit itu, bergerak dan terbuka semakin lebar, sehingga kuda Mahisa Pukat dan kuda Mahisa Semu memasuki pintu gerbang itu. Beberapa orang cantrik yang ada di padepokan itu telah menyambut mereka dengan berbagai macam pertanyaan tentang keselamatan mereka di perjalanan.

Mahisa Pukat tidak sempat menjawab mereka satu persatu. Tetapi sambil tersenyum ia mengangguk-angguk. Demikian pula Mahisa Semu. Dua orang cantrik telah menerima kuda-kuda mereka ketika keduanya meloncat turun.

Sementara itu Mahisa Murti-pun telah mendapat pemberitahuan akan kedatangan Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia-pun telah menyambutnya di tangga pendapa bangunan induk. Sementara Mahisa Amping berlari-lari pula mendapatkan kedua orang yang dianggap kakaknya itu.

Ketika mereka naik tangga pendapa, maka Mahisa Murti yang mempunyai penglihatan tajam itu bertanya, “Kau terluka Mahisa Semu?”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hanya sedikit.”

“Tetapi kau tidak apa apa?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawab Mahisa Semu.

Ketika mereka sudah duduk di pendapa, Mahisa Murti sempat mendengarkan laporan Mahisa Pukat tentang perjalanan mereka. Beberapa hambatan telah terjadi. Bahkan pertempuran yang semula dirasa tidak seimbang jumlahnya, sehingga Mahisa Semu telah terluka karenanya.

“Dua kali kami mengalami kesulitan yang mendebarkan,” berkata Mahisa Pukat.

“Syukurlah bahwa kalian selamat,” berkata Mahisa Murti sambil mengangguk-angguk kecil.

Namun kemudian Mahisa Pukatlah yang bertanya tentang padepokan itu.

“Tidak terjadi sesuatu,” jawab Mahisa Murti, “Semuanya dapat berjalan sebagaimana seharusnya.”

“Syukurlah,” berkata Mahisa Pukat yang kemudian juga menceriterakan tentang gerakan sandi dari sekelompok bangsawan dari Kediri.

“Ternyata mereka telah berada di segala tempat dan tataran kehidupan. Mereka ada di sini, di jalan yang menuju ke Singasari dan bahkan di Singasari itu sendiri,” desis Mahisa Pukat.

“Agaknya tentang mereka diperlukan satu kegiatan tersendiri yang khusus ditujukan kepada mereka,” sahut Mahisa Murti.

Namun nampaknya Mahisa Murti-pun menyadari, bahwa Mahisa Pukat tentu merasa letih. Karena itu, maka katanya, “Baiklah kalian berbenah diri. Mandi atau apapun, sehingga kalian akan dipersilahkan untuk makan dan kemudian beristirahat.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang merasa letih. Ketika mereka mandi, maka makan bagi mereka-pun telah disiapkan.

“Setelah makan nasi yang masih hangat, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih sempat berbicara serba sedikit dengan Mahisa Murti tentang padepokan mereka.

“Mungkin orang-orang Kediri itu pada suatu saat akan memperhatikan padepokan ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Mungkin sekali. Namun selama ini kita masih sempat berbenah diri sehingga kita akan dapat melayani mereka sebaik-baiknya,” sahut Mahisa Murti.

Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat benar-benar merasa letih dan mengantuk. Karena itu, maka ia-pun segera minta diri untuk masuk ke dalam biliknya, demikian pula Mahisa Semu.

Mahisa Amping yang belum sempat berbicara panjang dengan keduanya, mengikuti Mahisa Semu ke pembaringannya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau terluka?”

Mahisa Semu tersenyum sambil mengusap kepala anak itu. Katanya, “Sedikit. Tetapi tidak apa-apa.”

“Kakang mengantuk sekarang?” bertanya anak itu.

“Ya. Semalam kami hampir tidak tidur. Siang hari kami menempuh perjalanan yang tersisa. Senja kami baru sampai di sini,” jawab Mahisa Semu.

Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, besok sajalah kau berceritera. Kau tentu letih. Tidurlah.”

Mahisa Semu tertawa pendek. Katanya, “Ya. Aku akan tidur. Besok aku akan berceritera panjang jika kau tidak jemu mendengarnya.”

“Tentu tidak. Perjalananmu tentu menarik. Aku ingin menempuh perjalanan sejauh yang kau tempuh,” berkata anak itu.

“Apakah perjalanan yang pernah kita tempuh kurang panjang?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Amping tersenyum. Namun ia-pun segera minta diri keluar dari bilik Mahisa Semu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu-pun telah memejamkan matanya. Ia benar-benar letih dan mengantuk sebagaimana Mahisa Pukat, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka-pun telah tertidur nyenyak.

Hari-hari berikutnya, maka seisi padepokan itu sempat menikmati hidup tenang, mereka sempat melakukan kerja yang berarti bagi pedepokan mereka tanpa terganggu. Orang-orang yang tinggal di padukuhan di sekitar padepokan itu, termasuk padukuhan baru yang dihuni oleh orang-orang yang semula hidup di jalan sesat itu, ikut serta merasa hidup mereka menjadi tenang dan mendapat kesempatan untuk bekerja dengan baik, meningkatkan kemampuan mereka dalam berbagai macam bidang, terutama bercocok tanam dan memelihara ternak bersama-sama dengan para cantrik di padepokan.

Kehidupan di padepokan dan padukuhan-padukuhan disekitarnya ternyata dapat saling menguntungkan. Kelebihan penghasilan dari para cantrik dapat dijual kepada pedagang di padukuhan-padukuhan disekitarnya yang akan membawanya ketempat-tempat yang lebih ramai, bahkan sampai ke Kotaraja, terutama buah-buahan.

Kehidupan yang tenang itu ternyata telah diusik oleh kehadiran sekelompok prajurit yang mengiringi tiga buah pedati yang berjalan lamban menuju ke padepokan Bajra Seta.

Beberapa orang mulai bertanya-tanya, apakah padepokan yang tenang itu akan mulai bergejolak lagi? Yang hembusan kegelisahan dan kecemasannya akan sampai ke padukuhan-padukuhan di sekitarnya? Namun ternyata di antara para prajurit berkuda itu terdapat Ki Mahendra, yang meskipun sudah nampak semakin tua, tetapi masih juga tangkas di punggung kudanya.

Iring-iringan itu telah disambut dengan ramah oleh seisi padepokan. Apalagi setelah mereka tahu, bahwa di antara mereka terdapat Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun menyambut mereka dengan tergesa-gesa. Dipersilahkannya ayahnya dan para prajurit untuk naik ke pendapa.

Namun Mahendra hanya diiringi oleh empat perwira saja yang naik ke pendapa. Yang lain tetap berada di halaman padepokan. Mereka menyebar ke tempat yang sedikit terlindung. Namun atas perintah Mahisa Murti, maka oleh para cantrik mereka telah dipersilahkan untuk naik ke serambi gandok kiri dan kanan, duduk di atas tikar yang dibentangkan di lantai serambi, karena amben-amben bambu yang ada di serambi tidak menampung mereka. Namun empat orang tetap berjaga-jaga di sekitar tiga buah pedati yang berhenti di halaman.

Ternyata Mahendra datang sebagai utusan Sri Maharaja. Sri Maharaja telah memenuhi janjinya. Dikirimkannya tiga buah pedati yang penuh berisi alat-alat pertanian dan sejumlah senjata yang dianggap bermutu tinggi. Namun yang terpenting bukan hanya itu, bukan hanya alat-alat yang sudah siap untuk dipakai. Tetapi Sri Maharaja telah mengirimkan alat-alat untuk membuat alat-alat pertanian dan senjata dengan cara yang lebih baik daripada yang dilakukan oleh para cantrik di padepokan Bajra Seta.

“Ada tiga orang ahli yang akan tinggal di sini beberapa lama,” berkata Mahendra. “Mereka adalah pande besi kenamaan di istana Singasari. Mereka akan mengajarkan, bagaimana membuat alat-alat dari besi dan baja yang baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan isyarat Mahendra minta seorang perwira prajurit Singasari untuk memanggil ketiga orang yang dimaksudkan. Perwira itu ternyata tanggap. Karena itu, maka ia-pun bergeser turun dari pendapa untuk memanggil ketiganya dan membawanya naik kependapa pula.

“Mereka bertigalah yang aku maksudkan,” berkata Mahendra yang memperkenalkan mereka.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada Sri Maharaja. Juga kepada para prajurit yang telah bersedia bersama ayah mengantarkan hadiah dari Sri Maharaja bagi padepokan ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ketiga orang yang akan tinggal di padepokan kecil dan terpencil ini. Dengan demikian para cantrik, terutama yang selama ini memang sudah menekuni pekerjaan itu, akan mendapat bimbingan dari tangan-tangan yang memang berwenang,” berkata Mahisa Murti. Namun ia-pun kemudian berkata, “Tetapi aku cemas, apakah kerasan tinggal di padukuhan seperti ini.”

“Kenapa tidak,” jawab Empu Ananta, orang tertua di antara ketiga orang pande besi itu, “Sebelum kami dipanggil di istana, kami adalah orang padesan yang barangkali lebih sepi dari lingkungan ini.”

“Terima kasih Empu,” desis Mahisa Murti sambil mengangguk dalam-dalam.

Demikianlah, maka setelah isi ketiga pedati itu diserahkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan para cantrik untuk membongkar isinya dan membawa ke bangsal khusus yang disiapkan dengan tergesa-gesa.

Malam itu, Mahendra dan para prajurit yang menyertainya, bermalam di padepokan. Mereka ditempatkan di gandok sebelah menyebelah dan di pringgitan. Namun justeru karena mereka adalah prajurit, maka tempat untuk membaringkan tubuh mereka, tidak terlalu menjadi persoalan.

Dihari berikutnya, maka mereka-pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari. Menjelang matahari terbit, semua prajurit telah bersiap. Mahendra-pun telah bersiap pula untuk kembali ke Singasari.

“Ketiga pedati itu juga ditinggalkan di sini pula,” berkata Mahendra.

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti, “Pedati-pedati itu akan sangat bermanfaat kami di sini.”

“Peliharalah dengan baik,” pesan ayahnya.

Setelah makan pagi, maka iring-iringan itu-pun meninggalkan padepokan. Tiga orang di antara mereka, dipimpin oleh Empu Ananta, tinggal di padepokan untuk membimbing para cantrik yang mengkhususkan diri sebagai pande besi.

Ternyata bahwa ketiga orang yang tinggal di padepokan itu juga memiliki kemampuan untuk membuat keris. Namun mereka bukan orang terbaik di istana Singasari, meskipun mereka termasuk orang terbaik sebagai pande besi.

Di hari berikutnya, kegiatan ketiga orang itu belum dapat dimulai. Hari itu yang mereka lakukan bersama para cantrik adalah membenahi dan memasang alat-alat pande besi yang lebih baik dari yang dimiliki oleh padepokan itu.

Selama tiga hari, alat-alat itu telah terpasang. Dengan demikian maka Empu Ananta dan kedua orang kawannya dapat mulai memberikan bimbingan kepada para cantrik yang memang sudah memiliki kemampuan sebagai pande besi. Namun juga memberi kesempatan kepada mereka yang belum mengenalnya sama sekali.

Hari demi hari dilalui dengan kesibukan yang meningkat di padepokan itu. Bukan saja para cantrik yang mempelajari keterampilan seorang pande besi. Tetapi justru karena padepokan itu telah menerima alat-alat yang sudah siap untuk dipergunakan pula, maka para cantrik-pun menjadi semakin rajin bekerja disawah. Mereka mempunyai cangkul, sabit, parang dan bajak yang baru dan lebih baik, sehingga dengan gembira mereka pergi ke sawah.

Sementara itu para cantrik yang memiliki kemampuan sebagai undhagi-pun telah bekerja lebih keras dengan alat-alat mereka yang baru. Mereka telah berusaha untuk mempercantik padepokan mereka dan membangun bangsal yang baru dan lebih pantas dipergunakan sebagai bangsal penyimpanan barang-barang berharga bagi padepokan itu termasuk senjata.

Peningkatan kerja di padepokan itu berpengaruh pula terhadap lingkungan diseputarnya. Alat-alat yang ada di padepokan itu menjadi sangat menarik. Apalagi ketika orang-orang dari padukuhan di sekitarnya mendapat satu dua alat-alat pertanian yang sudah mulai dihasilkan oleh para cantrik dibawah bimbingan ketiga orang Empu dari Singasari itu.

Lingkungan hidup di seputar padepokan itu memang menjadi semakin ramai. Peningkatan kemampuan orang-orang padukuhan di sekitarnya berarti pula peningkatan kesejahteraan mereka. Hasil sawah-pun meningkat. Pekerjaan-pekerjaan yang lain-pun dapat dilakukan dengan lebih baik. Bahkan telah tumbuh lingkungan-lingkungan pemukiman yang baru, yang memang dibuka oleh Ki Buyut bagi keluarga Kabuyutan yang berkembang dengan pesat itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang ingin, bahwa kehadiran padepokan itu akan berarti bukan saja bagi lingkungan sempit diseputar dinding padepokan. Tetapi juga lingkungan luas di sekitarnya. Namun yang lebih menggembirakan bagi padepokan itu, selalu alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu dan batu, maka para cantrik di padepokan itu-pun telah dapat menghasilkan sejenis senjata yang lebih baik dari senjata yang pernah mereka hasilkan sebelumnya.

Senjata yang dibuat dengan tuntunan para ahli dari Singasari itu menghasilkan senjata yang lebih ringan, namun lebih keras dan liat. Para ahli itu telah memberikan ajaran tentang mencampur logam yang terbaik untuk membuat senjata. Hasilnya ternyata sangat memuaskan. Sebilah pedang yang sama besarnya, sama kuatnya dan sama tajamnya, ternyata bobotnya lebih ringan dari pedang yang mereka miliki sebelumnya.

Demikian pula jenis-jenis senjata yang lain. Mata tombak, canggah, trisulal dan bahkan bindi-bindi kecil. Para ahli itu-pun mengajarkan bagaimana membuat anak panah yang paling baik. Berat bedornya dibandingkan dengan tubuh dan bulu anak panah itu. Kemudian bagaimana membuat busur yang kuat dan lebih lentur.

Dengan demikian, maka para cantrik di padepokan itu-pun telah berharap untuk mendapatkan jenis-jenis senjata yang lebih baik itu disamping alat-alat yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Dalam waktu tiga bulan, maka para cantrik yang mempelajari tentang cara-cara terbaik membuat senjata dengan hasil yang lebih baik dari yang mereka hasilkan itu, telah mendapat kemajuan yang sangat pesat. Mereka-pun telah mendapat berbagai macam petunjuk untuk mengembangkan ketrampilan mereka sehingga apabila mereka benar-benar tekun, maka mereka kelak akan dapat menjadi pande besi yang cukup baik.

Dengan demikian, maka padepokan itu menghadapi satu perkembangan yang berganda. Jika mereka telah mampu mengembangkan beberapa jenis senjata, maka tentu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan jenis-jenis senjata mereka yang baru. Mereka harus mampu mengembangkan ilmu yang telah mereka pelajari, sehinga senjata yang baru itu akan mampu meningkatkan ketrampilan mereka dalam olah kanuragan dan bermain senjata.

Di hari-hari berikutnya, maka para ahli itu telah mencoba melepaskan para cantrik untuk melakukan sendiri. Mereka memilih, menakar perbandingan dan mengerjakan sendiri beberapa jenis senjata. Hasilnya ternyata sangat memuaskan.

Sementara itu, mereka-pun telah mampu membuat alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu lebih baik dari yang mereka buat sebelumnya. Sebagaimana peningkatan jenis senjata yang menuntut penyesuaian kemampuan para cantrik, maka demikian pula dituntut peningkatan kemampuan penggunaan alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu.

Setelah empat bulan lewat, maka para ahli dari Singasari yang dipimpin oleh Empu Ananta itu menganggap bahwa para cantrik itu telah memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan kerja sendiri tanpa pengawasan mereka lagi. Sehingga kehadiran ketiga orang itu di padepokan tidak diperlukan lagi.

Meskipun demikian ketiga orang itu masih saja tetap berada di padepokan karena menurut pembicaraan mereka dengan Mahendra, jika saatnya dianggap cukup, sekelompok prajurit akan menjemput mereka.

Sementara itu, ketiga orang itu masih sempat menyelesaikan, bagaimana para cantrik berusaha menyesuaikan diri dengan pembaharuan yang terjadi di barak mereka. Para undhagi merasa bahwa pekerjaan mereka menjadi semakin baik, sementara waktu-pun dapat dihemat. Apa yang dapat mereka lakukan sepekan dengan alat-alat mereka yang lama, maka dengan alat-alat mereka yang baru, para undhagi dapat melakukannya dala tiga hari saja.

Di bidang lain, ketiga orang itu sempat menyaksikan, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di dalam sanggar mereka untuk beberapa hari. Mereka mencoba mengenali jenis-jenis senjata yang dapat dibuat oleh para cantrik. Pedang yang nampaknya cukup panjang dan besar, ternyata bobotnya tidak seberapa berat.

Sementara itu, kelenturannya dan kekuatannya ternyata tidak kalah dengan pedang yang mempunyai ukuran yang sama namun jauh lebih berat dari pedagang dengan campuran logam yang diberitahukan oleh para ahli dari Singasari itu. Juga cara menempa, memanasi dan mencelupnya kedalam cairan yang khusus membuat senjata-senjata itu menjadi jauh lebih baik.

Dengan tekun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempelajari segala jenis senjata yang dapat dihasilkan para cantrik. Bagaimana mereka menyesuaikan berat, besar dan panjang senjata-senjata itu. Seberapa kekuatan mata senjata itu serta hulu dan tangkainya.

Demikian kedua orang anak muda itu mengetahui watak dari berjenis-jenis senjata yang ada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk memberikan latihan-latihan khusus bagi para cantrik dalam olah senjata dengan landasan kemampuan yang telah mereka miliki.

Tetapi, tiga orang ahli dari Istana Singasari itu tidak dapat menunggui latihan-latihan yang akan dilakukan secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena sebelum latihan-latihan itu dimulai, sekelompok prajurit telah datang menjemput mereka.

Dengan berat hati seisi padepokan itu telah melepas ketiganya di satu pagi yang cerah. Setelah para prajurit itu bermalam semalam, maka di keesokan harinya, mereka telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari bersama ketiga orang Empu yang telah banyak memberikan tuntunan kepada para cantrik di padepokan itu. Tuntunan bukan sekedar mempergunakan alat-alat yang dibawa dari Singasari, tetapi juga tentang pengetahuan mengenai bahan yang mereka pergunakan untuk membuat alat-alat pertanian, alat-alat untuk mengerjakan pekerjaan kayu dan bahkan senjata.

Tetapi, ketiga orang Empu itu memang harus kembali ke Singasari. Mereka sudah terlalu lama berada di padepokan itu, sehingga keluarga mereka tentu sudah menunggu. Karena itu, maka para penghuni padepokan itu memang harus melepaskan ketiga orang Empu yang dipimpin oleh Empu Ananta itu kembali ke Singasari. Namun mereka telah meninggalkan ilmu yang sangat berarti bagi padepokan itu, bahkan bagi padukuhan- padukuhan di sekitarnya.

Sepeninggal para Empu itu, maka para cantrik justru semakin menekuni pekerjaan mereka. Mereka tidak boleh kehilangan jejak sehingga hasilnya akan kurang memuaskan. Namun dengan ketekunan yang tinggi, maka para cantrik itu benar-benar telah menguasai ilmu yang diajarkan oleh para Empu dari Singasari itu. Meskipun mereka masih jauh dari kematangan ilmu mereka sebagaimana ketiga orang Empu itu, tetapi pengetahuan para cantrik yang mengkhususkan diri pada pekerjaan pande besi itu telah cukup memadai.

Bahkan Empu Ananta itu pernah berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jika perlu, kalian dapat mengirimkan dua atau tiga orang yang terbaik di antara para cantrik yang menekuni dan benar-benar berminat dalam pekerjaannya sebagai pande besi, untuk lebih memperdalam ilmunya barang satu dua tahun di Singasari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tertarik pada tawaran itu. Tetapi mereka harus benar-benar memilih. Satu dua tahun adalah waktu yang lama bagi mereka yang tidak benar-benar berminat pada satu pekerjaan. Namun tentu dirasakan kurang bagi mereka yang benar-benar ingin menguasai satu jenis ilmu yang penting bagi kehidupan dan kesejahteraan sesamanya.

Sepeninggal para Empu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar mempersiapkan satu latihan khusus bagi para cantrik. Mereka selain harus membiasakan diri dengan alat-alat yang baru bagai para cantrik yang bekerja di sawah, undhagi dan pekerjaan-pekerjaan yang lain, maka para cantrik itu semuanya harus mulai mengenali jenis-jenis senjata yang baru.

Karena itu, maka di padepokan itu telah disusun urutan latihan khusus bagi para cantrik untuk mengenali senjata-senjata itu. Sekelompok demi sekelompok telah mendapat latihan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun secara khusus Mahisa Semu dan Mahisa Amping mendapat perhatian tersendiri di samping Wantilan. Wantilan yang ternyata memang mempunyai sedikit kelebihan dari para cantrik, termasuk seorang yang mendapat perhatian lebih banyak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Setiap hari, maka para cantrik bergantian telah mendapat petunjuk tentang senjata-senjata yang baru yang telah dapat dibuat sendiri oleh para cantrik. Meskipun pada dasarnya ilmu tidak berubah, tetapi mereka wajib menyesuaikan diri dengan watak senjata mereka yang baru. Para cantrik-pun dengan tekun mengikuti petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan sungguh-sungguh mereka mempergunakan setiap kesempatan untuk benar-benar menguasainya.

Dalam waktu beberapa bulan, maka para cantrik itu benar-benar telah mengenal dan menguasai watak senjata-senjata mereka yang baru. Ketika mereka kemudian meningkatkan ilmu mereka, maka mereka-pun telah terbiasa berlatih dengan senjata-senjata baru mereka.

Pada kesempatan tersendiri, Mahisa Amping dan Mahisa Semu-pun telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Didalam sanggar anak muda itu bukan saja sekedar mengenali senjata mereka, tetapi mereka-pun telah meningkatkan ilmu mereka sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya.

Bahkan Wantilan-pun telah benar-benar menguasai senjata dari jenis yang dipilihnya. Wantilan kemudian lebih senang mempergunakan senjata yang berbeda. Trisula bertangkai pendek saja. Ternyata setelah berlatih dengan sungguh-sungguh, Wantilan lebih sesuai mempergunakan trisula daripada pedang. Kekuatan kewadagannya yang berkembang, serta kemampuannya membangkitkan tenaga dalamnya yang semakin tinggi, membuatnya menjadi seorang yang sangat kuat.

Meskipun demikian, baik Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan mau-pun para cantrik, harus juga memiliki ketrampilan dan kemampuan mempergunakan senjata apa saja untuk melawan jenis senjata apa saja. Itulah sebabnya disamping mematangkan kemampuan dengan mempergunakan senjata yang dipilihnya, mereka-pun berlatih dengan jenis senjata yang berganti-ganti.

“Dengan demikian maka seisi padepokan Bajar Seta itu pada dasarnya mampu mempergunakan segala jenis senjata untuk melawan segala jenis senjata pula. Namun mereka masing-masing mempunyai kemantapan yang berbeda-beda. Mahisa Semu masih saja merasa mapan jika ia mempergunakan pedang. Semenara Mahisa Amping yang kecil itu nampaknya mulai senang mempergunakan pedang rangkap. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan melihat perkembangannya lebih lanjut.

Para cantrik-pun ternyata memiliki kemantapannya sendiri. Sekelompok tetap mempergunakan pedang. Namun yang lain mulai mencoba dengan jenis senjata yang lain. Beberapa orang merasa pada puncak kemampuannya dalam olah senjata jika ia memegang sebatang tombak pendek. Namun ada yang lebih sesuai mempergunakan trisula sebagaimana Wantilan.

Namun pada dasarnya, kemampuan para cantrik dengan jenis-jenis senjatanya yang baru menjadi semakin meningkat. Sementara latihan-latihan yang terbiasa mereka lakukan, tidak pernah terhenti, sebagaimana kerja mereka sehari-hari di sawah, ladang, di kolam ikan dan kerja-kerja yang lain.

Dengan demikian, maka perdagangan yang terjadi kemudian dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin meningkat pula. Hasil yang dibuahkan oleh padepokan itu ternyata dapat disalurkan lewat para pedagang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Bukan hanya hasil bumi, hasil kolam-kolam ikan dan ternak. Tetapi juga sedikit alat-alat pertanian.

Karena itu, maka wajah padepokan Bajra Seta-pun menjadi semakin terang. Segala segi kehidupan di dalam padepokan itu telah meningkat. Demikian pula padukuhan-padukuhan di sekitarnya, seakan-akan telah mendapat getarannya pula.

Namun ternyata bahwa peningkatan kesejahteraan padepokan itu telah menjadi sorotan beberapa pihak. Ternyata ada di antara mereka yang mengetahui, bahwa perkembangan yang pesat dari padepokan Bajra Seta itu dimulai sejak padepokan itu mendapat tuntunan dari beberapa orang Empu istana Singasari yang menguasai ilmu pande besi.

Dari hari kehari, maka usaha-usaha beberapa pihak untuk mengambil keuntungan dari keadaan padepokan itu menjadi semakin meningkat pula. Yang mula-mula menjadi tujuan mereka adalah menguasai orang-orang yang telah mendapat tuntunan dari para Empu Istana Singasari. Segala usaha-pun mulai dilakukan. Seorang Buyut dari Kabuyutan Bumiagara ternyata merasa iri atas perkembangan sebuah padepokan dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya yang termasuk dalam Kabuyutan Sadresa.

Dengan segala cara, akhirnya Ki Buyut Bumiagara dapat berhubungan dengan salah seorang cantrik yang pernah mendapat tuntunan dari Empu Ananta. Mula-mula memang tidak ada keinginan apapun yang diutarakan oleh Ki Buyut. Ketika mereka sempat bertemu, saat cantrik itu pergi ke pasar di sebuah padukuhan terdekat, Ki Buyut hanya memujinya sebagai salah seorang cantrik yang terbaik.

“Bukankah Ki Sanak mendapat tuntunan langsung dari para Empu yang datang dari Singasari itu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya,” jawab cantrik itu.

“Ki Sanak tentu seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi,” berkata Ki Buyut sambil menunjuk beberapa pande besi yang berada di pinggir pasar itu yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Lalu katanya pula, “Tidak seperti para pande besi itu.”

“Tidak jauh berbeda,” jawab cantrik itu.

“Dengan kemampuan para cantrik serta alat-alat yang dihasilkan, maka pande-pande besi itu dalam waktu singkat akan kehilangan pekerjaan mereka,” berkata Ki Buyut.

“Tidak,” jawab cantrik itu, “Kami tidak akan mampu membuat alat-alat pertanian dan alat-alat yang lain mencukupi kebutuhan seluruh Kabuyutan Sadresa. Apalagi Kabuyutan yang lain. Bahwa apa yang kami buat mempengaruhi hasil pekerjaan para pande besi memang terjadi. Mereka mulai meniru bentuk alat-alat yang kami buat. Itu justru baik, karena meskipun hanya bentuknya, namun manfaatnya telah menjadi lebih tinggi dari alat-alat yang lama.”

“Apakah mereka tidak dapat membuat bukan saja bentuknya tetapi juga kekuatan dan kegunaannya menyamai alat-alat yang kalian buat?” bertanya Ki Buyut.

“Tentu tidak,” jawab cantrik itu, “Dibutuhkan peningkatan ketrampilan dan juga bahan-bahan yang dipergunakan. Selain itu juga alat-alatnya untuk membuat alat-alat itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang tidak terlalu banyak bertanya. Tetapi ia terlalu banyak memuji. Namun pada kesempatan lain, Ki Buyut mulai melangkah lebih maju. Ia mempersilahkan cantrik itu singgah di rumahnya.

“O, jadi Ki Sanak datang dari Kabuyutan Bumiagara,” jawab orang itu.

“O, Aku mohon maaf Ki Buyut. Mungkin sikapku kurang pantas,” jawab cantrik itu.

“Tidak. Tidak ada yang kurang pantas,” jawab Ki Buyut, “Aku adalah salah seorang pengagummu. Karena itu, aku minta Ki Sanak mau singgah di rumahku barang sebentar. Bukankah Bumiagara tidak terlalu jauh.”

Cantrik itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bumiagara terhitung jauh dari padepokan kami Ki Buyut.”

“Tidak,” jawab Ki Buyut, “Aku sering datang ke pasar padukuhan ini yang letaknya tidak jauh dari padepokanmu.”

“Memang pasar ini tidak jauh dari pedepokanku. Tetapi yang aku maksud adalah Bumiagara,” jawab cantrik itu pula.

Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan. Tidak terlalu jauh. Aku sering datang ke pasar ini tanpa merasa letih. Bukankah tinggal selangkah lagi, aku akan sampai ke padepokanmu.”

“Tetapi Ki Buyut naik kuda,” jawab cantrik itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Besok, dihari pasaran aku akan membawa seekor kuda buatmu. Aku sendiri akan menjemputmu ke pasar ini. Tetapi sudah tentu kau tidak usah minta ijin kepada siapapun. Aku tahu, kau tentu tidak akan diijinkan. Bukankah tenagamu diperas di padepokan itu?”

“Tidak,” jawab cantrik itu, “Sebagaimana Ki Buyut lihat, saat-saat seperti ini aku masih dapat melihat-lihat keadaan pasar ini.”

“Tentu kau bertugas untuk membuat penilaian tentang hasil para pande besi dipasar ini,” desis Ki Buyut sambil tersenyum.

Cantrik itu tersenyum pula.

“Nah, ingat. Besok di hari pasaran, aku akan datang dengan membawa seekor kuda. Setelah kau berada di Bumiagara sehari, maka kau dapat pulang ke padepokan dengan membawa kuda itu pula. Kau dapat memilikinya untuk selanjutnya,” berkata Ki Buyut. Lalu katanya, “Nah, baru kemudian kau dapat berceritera tentang perjalananmu ke Bumiagara setelah kau pulang. Mungkin kau dimarahi. Tetapi tentu tidak akan menyulitkan kedudukanmu, karena kau sangat diperlukan di padepokan.”

Cantrik itu termangu-mangu. Namun Ki Buyut itu telah memberikan sekantung kecil uang kepadanya. “Jangan menolak. Bukan apa-apa. Sekedar ungkapan rasa kekagumanku kepadamu,” berkata Ki Buyut.

Cantrik itu memang ragu-ragu. Namun akhirnya uang itu pun diterimanya juga. Sambil berjalan pulang cantrik itu tersenyum sendiri. Ia mempunyai uang banyak. Uang yang hampir tidak pernah dilihatnya sejumlah yang diberikan oleh Ki Buyut kepadanya. Dan sepekan lagi ia akan mendapatkan seekor kuda.

“Apa salahnya,” berkata cantrik itu, “Aku tidak merugikan padepokan Bajra Seta. Bahkan kekagumannya kepadaku dan beberapa orang kawanku yang telah mampu membuat peralatan dan senjata yang lebih baik, akan mengangkat derajad padepokan Bajra Seta.”

Namun ada sesuatu yang menggelisahkannya. Ia tidak boleh mengatakan hal itu kepada siapapun. Bahkan ia tidak dibenarkan untuk minta ijin meninggalkan padepokannya barang sehari.

“Tak apalah,” berkata catrik itu kepada diri sendiri, “Seperti dikatakan oleh Ki Buyut, bahwa aku tidak akan mendapat kesulitan, karena tenagaku memang dibutuhkan. Hanya beberapa orang saja di padepokan itu yang mampu membuat peralatan dan senjata yang lebih baik dari yang pernah dibuat sebelumnya.”

Dengan demikian maka cantrik itu-pun berketetapan hati untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Ia juga tidak mengatakan kepada kawan-kawannya yang mempunyai kemampuan sebagaimana dirinya. Dengan demikian maka mereka akan ikut pula untuk mendapatkan pujian dan barangkali uang sehingga iai bukan orang satu-satunya yang akan diterima dengan penuh kekaguman di Kabuyutan Bumiagara.

Apalagi setelah ia menerima uang dari Ki Buyut. Maka cantrik itu menjadi semakin berdiam diri agar persoalannya tidak diketahui oleh orang lain. Dalam pada itu, maka selama sepekan cantrik itu menunggu. Rasa-rasanya ia memang menjadi gelisah. Tetapi ia tetap bertahan untuk tidak mengatakannya kepada siapapun bahwa ia telah berhubungan dengan Ki Buyut Bumiagara.

Pada hari yang dijanjikan, maka cantrik itu telah minta ijin untuk melihat-lihat pasar. Seperti yang dilakukan sebelumnya ia memang membuat penilaian terhadap kerja para pande besi. Dengan demikian, maka beberapa orang pande besi telah mengenalnya dengan akrab. Selagi ia melihat-lihat pekerjaan para pande besi itu, maka seperti yang dijanjikan. Ki Buyut-pun telah menemuinya.

“Bukankah aku benar-benar datang?” desis Ki Buyut.

“Ya Ki Buyut,” jawab cantrik itu, “Aku sudah siap. Apakah Ki Buyut membawa seekor kuda seperti yang Ki Buyut katakan?”

“Tentu,” jawab Ki Buyut. “Kuda itu ada diluar. Aku titipkan dikedai yang paling ujung. Kedai yang paling besar. Kita akan singgah dikedai itu. Makan dan kemudian meneruskan perjalanan.”

Cantrik itu mengangguk. Ketika Ki Buyut kemudian keluar dari pasar, maka cantrik itu-pun mengikutinya. Mereka memang pergi ke sebuah kedai sebagaimana dikatakannya. Kedai yang paling ujung dan yang paling besar di antara beberapa kedai diluar pasar itu. Beberapa saat mereka makan dan minum. Namun kemudian telah datang pula dua orang kawan Ki Buyut.

Dengan nada rendah Ki Buyut berkata, “Mereka adalah bebahu padukuhan.” Ki Buyut tertawa. Katanya, “Bebahu padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara.”

Kedua orang bebahu itu-pun tertawa juga. Sedangkan cantrik yang semula mengerutkan keningnya itu-pun kemudian juga tertawa bersama mereka. Demikianlah, maka cantrik itu telah mendapat kesempatan untuk makan dan minum makanan dan minuman yang paling baik yang terdapat di kedai yang terbesar di sebelah pasar itu. Baru kemudian setelah perutnya terasa kenyang, Ki Buyut itu mengajaknya mulai dengan perjalanan ke Kabuyutan Bumiagara.

Ketika mereka mencapai jarak yang agak panjang, maka dua orang ternyata telah menunggu, sehingga iring-iringan itu menjadi empat orang dari Bumiagara ditambah dengan seorang cantrik. Perjalanan yang terasa panjang itu memang melelahkan. Apalagi cantrik itu tidak terbiasa bepergian jauh diatas punggung kuda. Meskipun beberapa kali ia berkesempatan menunggang kuda, namun tidak menempuh jarak yang panjang sebagaimana ditempuhnya saat itu.

Di perjalanan mereka terpaksa berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda untuk minum dan makan rumput segar. Namun cantrik itu-pun sebenarnyalah memerlukan istirahat jauh sebelumnya. Tetapi ia agak segan untuk mengatakan bahwa ia merasa letih dan mulai merasa sakit.

Menjelang matahari turun merendah, barulah mereka memasuki padukuhan induk. Cantrik itu nampak menjadi cemas dan bertanya, “Apakah aku hari ini dapat kembali ke padepokan sebelum malam?”

Ki Buyut menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tentu tidak. Kau lihat matahari telah turun. Jika kau duduk sepenginang saja di Bumiagara, maka matahari akan menjadi semakin rendah. Bagaimana-pun kencangnya kau memacu kudamu, kau tentu akan kemalaman diperjalanan.”

“Aku akan dapat dihukum,” desis cantrik itu, “Aku meninggalkan tugasku terlalu lama tanpa diketahui kemana aku pergi.”

“Kau tidak akan dihukum,” jawab Ki Buyut, “Percayalah. Kau termasuk orang yang sangat diperlukan.”

“Tetapi jika aku tidak pulang hari ini,” desis cantrik itu.

“Kau tidak hanya tidak pulang hari ini. Tetapi kau tidak akan pernah pulang ke padepokanmu sampai kapan-pun,” jawab Ki Buyut.

“Apa maksudmu?” bertanya cantrik itu mulai curiga.

Namun mereka telah memasuki pintu gerbang halaman Kabuyutan Bumiagara.

“Kau akan menjadi penghuni Kabuyutan ini,” berkata Ki Buyut. Wajahnya tiba-tiba saja telah berubah. Ia bukan lagi seorang yang ramah dan selalu tersenyum. Tetapi wajahnya menjadi gelap dan keras.

Cantrik itu mulai menyadari, bahwa ia telah terjebak oleh sikap dan kata-kata yang akrab dan ramah. Bahkan ia semakin menyesal ketika ia menyadari uang yang telah diterimanya dari Ki Buyut Bumiagara. Karena itu, maka tiba-tiba cantrik itu telah menghentakkan kendali kudanya. Demikian kudanya melonjak, maka ia-pun telah berusaha memutar kudanya dan berlari ke arah regol halaman. Namun dengan cepat dua orang pengawal Kademangan itu telah menutup pintu sehingga cantrik itu harus menghentikan kudanya pula.

“Kau tidak akan dapat lari,” berkata Ki Buyut sambil tertawa.

Tetapi diluar dugaan, cantrik itu melompat dari kudanya dan dengan serta merta menyerang para pengawal yang menutup pintu gerbang itu. Cantrik dari padepokan Bajra Seta itu adalah orang yang terlatih dalam olah kanuragan. Dalam keadaan yang terjepit, maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan. Meskipun ia tidak ingin membunuh, namun cantrik itu telah menyerang ditempat yang berbahaya.

Keempat jari-jarinya yang mengembang merapat, telah menusuk diarah ulu hati seorang di antara kedua pengawal itu. Terdengar teriakan kesakitan. Namun kemudian terdiam. Pengawal itu telah jatuh dan pingsan seketika. Sementara itu ketika kawannya akan membantunya, maka tumit cantrik itu telah menghantam dadanya, sehingga orang itu-pun terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Orang itu telah menggeliat kesakitan sambil merintih. Dadanya serasa menjadi sesak.

Para pengawal yang lain, termasuk Ki Buyut dan keempat orang yang berkuda bersamanya menjemput cantrik itu segera berlari memburu. Namun canrik itu telah sempat membuka pintu dan lari keluar. Ki Buyut dengan sangat marah berteriak nyaring, “Cepat. Kejar cantrik yang menjadi gila itu. Tangkap hidup-hidup. Kecuali jika kalian tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup, maka ia akan mati.”

Beberapa orang memang mengejarnya. Namun cantrik itu telah meloncati dinding halaman di rumah seberang. Dan masuk ke kebun yang ditanami berbagai macam pepohonan.

“Kepung padukuhan induk ini rapat-rapat,” teriak Ki Buyut.

Sementara itu, kentongan-pun telah berbunyi. Nadanya tiba-tiba saja menjadi titir, seakan-akan ada perampokan atau pembunuhan. Padukuhan induk Bumiagara menjadi ribut. Suara kentongan membuat seisi padukuhan menjadi cemas. Beberapa orang laki-laki telah mencari senjata seadanya. Tetapi mereka ragu-ragu untuk melangkah keluar pintu meskipun hari masih terang.

Tetapi ketika mereka mendengar nama-nama mereka dipanggil oleh tetangga-tetangga mereka, maka mereka-pun segera keluar sambil berpesan kepada isteri dan anak-anak mereka yang dengan segera masuk ke dalam rumah mereka setelah mendengar kentong dengan nada titir, agar ber hati-hati.

Setiap laki-laki padukuhan itu telah mendengar perintah dari Ki Buyut untuk mengepung padukuhan. Mereka-pun segera berusaha melakukannya. Berkelompok-kelompok mereka berusaha untuk keluar dan mengawasi dinding padukuhan. Tetapi tiga orang di antara mereka segera berteriak memanggil kawan-kawan mereka. Mereka menemukan tiga orang tetangga mereka terbaring pingsan.

“Iblis terkutuk,” geram salah seorang bebahu yang hadir di halaman Ki Buyut saat cantrik itu melarikan diri.

Dengan diketemukannya tiga orang yang pingsan itu, maka para bebahu dan Ki Buyut-pun mendapat laporan, bahwa cantrik yang mereka cari telah berhasil keluar dari padukuhan itu. Mereka justru telah membuat tiga orang menjadi pingsan.

“Orang itu sangat berbahaya,” geram Ki Buyut, “Bunyikan isyarat terus agar padukuhan-padukuhan yang lain juga membunyikannya. Kirim penghubung berkuda ke padukuhan terdekat dan kemudian beranting, memberitahukan tentang iblis yang melarikan diri itu.”

Demikianlah sejenak kemudian dua orang berkuda telah berpacu menuju ke padukuhan terdekat untuk menyampaikan perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel. Tetapi kedua orang penghubung berkuda itu tidak pernah sampai ke padukuhan sebelah. Keduanya telah menjadi pingsan di tengah bulak. Sementara kuda mereka-pun telah dilarikan oleh cantrik yang merasa terjebak itu.

Namun bunyi kentongan memang lebih cepat merambat. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi, maka dipadukuhan-padukuhan yang lain-pun telah terdengar suara kentongan. Padukuhan berikutnya dan berikutnya.

Akhirnya cantrik itu justru telah meninggalkan kudanya. Ia merasa lebih aman untuk berlari-lari di atas pematang dan menyusuri jalan-jalan setapak di tengah-tengah pategalan. Apalagi, ketika matahari telah bertengger lekat di punggung bukit. Langit-pun menjadi merah dan senja-pun segera turun.

Ki Buyut mengumpat-umpat. Apalagi ketika ia kemudian mendapat laporan, dua penghubungnya telah pingsan di tengah-tengah bulak. Ketika keduanya sadar, maka keduanya tidak dapat menceriterakan apa yang telah terjadi atas diri mereka. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka terlempar dari punggung kudanya dan jatuh di tanah, sehingga mereka tidak sadarkan diri.

“Cantrik itu menjadi gila,” geram Ki Buyut yang masih saja memerintahkan isyarat kentongan untuk berbunyi terus. Dua orang yang lain telah diperintahkan untuk menghubungi padukuhan sebelah.

“Cantrik itu tentu sudah pergi,” berkata Ki Buyut, “Pergilah. Cepat.”

Penghubung itu dapat mencapai tujuan dan menyampaikan perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel. Demikian padukuhan itu telah mengirimkan dua orang penghubungnya untuk menghubungi padukuhan berikutnya dan berikutnya. Beranting maka perintah itu segera tersebar.

Namun ketika hari menjadi gelap, maka keadaan menjadi semakin sulit bagi Ki Buyut untuk menangkap cantrik itu. Tetapi karena Ki Buyut yakin bahwa cantrik itu masih berada di Kabuyutan, maka ia telah memerintahkan semua jalan-jalan dijaga. Terutama jalan yang keluar Kabuyutan. Sementara itu perintah kepada para pengawal Kabuyutan untuk bersiaga sepenuhnya. Pengawal yang telah ditentukan dengan cepat telah menuju ke padukuhan induk dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi cantrik itu ternyata tidak segera diketemukan.

Sementara itu, para pemimpin padepokan Bajra sudah sejak siang hari menjadi heran bahwa seorang cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengolah besi dan baja- telah hilang. Sejak ia menyatakan pergi ke pasar, maka ia tidak kembali lagi, sementara cantrik itu tidak ada di antara para pande besi yang sering dihubungi.

Tetapi dua di antara pande besi yang mendengar disebut-sebut nama Ki Buyut. Katanya, “Cantrik itu tadi pagi memang ada di sini. Ia terbiasa memberikan beberapa petunjuk dan menilai hasil kerja kami. Tetapi hari ini ia telah pergi ke kedai bersama Ki Buyut.”

“Kedai yang mana?” bertanya seorang cantrik yang mencari kawannya yang belum kembali itu.

“Kami hanya mendengar sekilas pembicaraan mereka,” jawab salah seorang pande besi, “Agaknya kedai yang terbesar dan terbaik.”

Cantrik yang mencari kawannya itu memang menelusuri sampai ke kedai yang dimaksud. Dari para pelayan dan pemilik kedai itu cantrik itu mendapat keterangan bahwa telah disebut-sebut Kabuyutan Bumiagara. Keterangan yang didapat oleh cantrik itu-pun telah disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bersama beberapa orang yang dianggap berhubungan dengan cantrik yang dicari itu mereka-pun membicarakan langkah-langkah yang sebaiknya diambil.

“Kita pergi ke Kabuyutan Bumiagara,” berkata Mahisa Murti.

“Jaraknya cukup jauh,” berkata salah seorang cantrik yang pernah berkunjung ke Kabuyutan itu.

“Kita harus mendapat keterangan tentang cantrik yang hilang itu,” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka Mahisa Murti-pun telah memerintahkan beberapa orang cantrik untuk bersiap. Mereka akan ikut serta ke Bumiagara. Mungkin sesuatu telah terjadi dengan cantrik itu.

Mahisa Semu, bahkan Mahisa Amping dan Wantilan telah ikut bersama dengan mereka. Sekelompok cantrik dari padepokan Bajra Seta telah menuju ke Kabuyutan Bumiagara. Mereka telah mempergunakan kuda yang tersedia di padepokan. Tidak lebih dari sepuluh ekor kuda. Namun dari padukuhan terdekat mereka dapat meminjam dua dan dipadukuhan yang satu lagi tiga ekor kuda yang cukup baik. Lima belas orang telah berpacu menuju ke Kabuyutan Bumiagara.

Di perjalanan Mahisa Murti sempat berkata kepada Mahisa Pukat, “Kita harus segera menambah jumlah kuda yang ada di padepokan. Dalam keadaan tertentu ternyata kita memerlukan kuda.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “Kemajuan di beberapa bidang yang mampu menumbuhkan kesejahteraan bagi padepokan kita memungkinkan kita menambah jumlah kuda yang ada di padepokan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka berpacu semakin cepat. Namun Bumiagara memang cukup jauh. Mereka ternyata kemalaman di perjalanan. Namun mereka hanya berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat dan minum air jernih disebuah parit dipinggir jalan. Kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mendekati Kabuyutan Bumiagara, maka Mahisa Murti telah memberi isyarat kepada para cantrik untuk berhenti.

“Tunggu, di depan adalah pertanda batas Kabuyutan Bumiagara.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “Sepuluh orang akan tinggal di sini termasuk Mahisa Semu yang akan mengawasi Mahisa Amping. Mahisa Pukat, paman Wantilan dan dua orang cantrik akan pergi bersamaku.”

“Kenapa kita tidak pergi bersama-sama?” bertanya salah seorang cantrik.

“Kita tidak ingin membuat Kabuyutan ini menjadi gelisah. Jika kita bersama-sama memasuki Kabuyutan ini, maka para penghuninya tentu akan menjadi resah, cemas dan bahkan mungkin kekuatan,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu?” bertanya cantrik itu.

“Bukankah kita membawa panah sendaren?” desis Mahisa Murti...