PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 92
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 92
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA PUKAT yang tanggap segera bangkit untuk memanggil delapan orang murid Empu Rangkut yang lemah itu. Mereka pun kemudian telah berjongkok mengelilingi Empu Rangkut yang sudah tidak mampu bergerak sama sekali. Namun ia masih sempat berkata, “Kita telah bersalah. Jika kalian mendapat pengampunan, katakan kepada saudara-saudaramu seperguruan, apa yang terjadi. Aku sudah minta maaf kepada anak-anak muda dari perguruan Bajra Seta itu.”
Kedelapan muridnya hanya menundukkan kepala mereka. Mereka telah melihat satu kenyataan, bahwa gurunya yang dianggapnya orang terkuat di dunia itu, tidak mampu menghadapi satu dari antara empat orang yang telah menguasai mereka. Sehingga dengan demikian, maka kedelapan orang itu pun meyakini bahwa para pengembara yang mengaku dari perguruan Bajra Seta itu benar-benar orang yang tidak terkalahkan.
Sementara itu dalam keadaan yang sangat lemah terdengar suara Empu Rangkut, “Selamat tinggal.”
Orang-orang yang mengelilinginya itu melihat Empu Rangkut memejamkan matanya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika nafas itu dilepaskan, maka selesailah segala-galanya. Empu Rangkut yang telah terluka itu, telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam. Ia telah membunuh orang itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia tidak melakukannya, maka ia sendirilah yang akan terbunuh. Sejenak semuanya menjadi hening. Ada di antara murid-muridnya Empu Rangkut itu yang menangis.
“Guru kalian tidak cukup ditangisi,” berkata Mahisa Murti, “ia harus dikuburkan dengan baik.”
Murid-muridnya itu mengangguk. Namun kemudian mereka menyadari, bahwa mereka akan dapat mengalami nasib yang sama. Anak-anak muda dari Bajra Seta itu dapat membunuhnya jika mereka menghendaki.
Tetapi ternyata Mahisa Murti berkata, “Kematian gurumu adalah tebusan bagi nyawamu. Kuburkan gurumu baik-baik. Kemudian terserah apa yang akan kau lakukan. Apakah kau akan menyusul aku ke padepokan Bajra Seta atau kalian akan kembali ke padepokanmu sendiri. Tetapi kalian harus berjanji bahwa kalian tidak akan mengusik orang-orang padukuhan yang tidak bersedia membantumu. Seandainya mereka melakukannya waktu itu, maka itu tidak ada artinya sama sekali. Justru mungkin kalian pun sudah terbunuh pula.”
“Kami mengerti,” jawab seorang di antara mereka.
“Sekarang, lakukanlah. Kubur guru kalian dengan baik,” desis Mahisa Murti.
Kedelapan orang itu pun telah melakukan apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti, sementara Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bergeser menjauh. Namun Mahisa Murti memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Ia perlu memperbaiki keadaan tubuhnya yang bagaikan menjadi remuk itu. Karena itulah, maka mereka telah memilih untuk beristirahat di tanggul parit yang airnya mengalir deras dan bening.
Mahisa Murti yang tulang-tulangnya serasa menjadi retak itu telah membasahi tubuhnya. Kakinya, tangannya dan mukanya, sehingga terasa badannya menjadi agak segar. Sambil duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di tanggul parit itu, Mahisa Murti telah beristirahat sepenuhnya. Kakinya yang terjulur, tangannya yang bersilang, memberinya kesempatan untuk melepaskan diri dari segala macam ketegangan, sementara matanya sedikit terpejam.
Mahisa Pukat sempat meramu obat yang dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh Mahisa Murti. Sehingga setelah ia minum obat itu meskipun dengan air parit yang disaring di atas daun lumbu dengan kain yang memang sudah tersedia bersama obat-obat yang dibawanya, maka keadaan Mahisa Murti menjadi berangsur baik. Tetapi Mahisa Murti tidak segera meneruskan perjalanan. Tetapi Mahisa Murti masih ingin beristirahat beberapa lama.
Sementara itu, kedelapan murid Empu Rangkut yang lemah itu telah dengan susah payah menggali sebuah lubang untuk mengubur guru mereka. Perasaan yang pahit benar-benar telah mencengkam jantung mereka. Ketika delapan orang itu selesai, maka mereka masih mendapatkan Mahisa Murti beristirahat di pinggir parit yang berair bening. Dengan ragu-ragu delapan orang itu mendekat.
“Kalian akan mencuci kaki dan tangan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya anak muda,” jawab seorang di antara mereka.
“Jangan terlalu dekat,” berkata Wantilan kemudian.
Kedelapan orang itu pun kemudian telah turun ke parit untuk mencuci tangan dan kaki. Namun yang penting bagi mereka bukannya sekedar mencuci tangan dan kaki. Tetapi mereka ingin minta diri kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya jika memang mereka delapan orang itu diampuni.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti dengan nada yang masih lemah, “tetapi ingat. Jangan melakukan kesalahan lagi. Mungkin sikap kami orang-orang Bajra Seta pada kesempatan lain akan berbeda.”
“Kami berjanji,” jawab yang tertua di antara mereka, “apalagi kini kami tidak lagi mempunyai seorang guru yang dapat menjadi tumpuan perlindungan bagi kami. Maka kami tidak akan berani berbuat apa-apa. Kami pun menyadari, bahwa orang yang mampu mengalahkan guru kami, tentu orang yang memiliki ilmu lebih baik dari guru. Sudah tentu kami tidak akan mampu berbuat apa pun juga.”
“Pergilah kepada saudara-saudara seperguruanmu. Jika ada di antara mereka yang mendendam kepada orang-orang Bajra Seta, kami menunggu.”
Orang yang tertua di antara mereka menyahut, “Tentu tidak Ki Sanak. Jika kami menceriterakan apa yang terjadi, tentu kami akan mengatakan pula persoalan yang telah melibatkan kami dan guru dalam pertentangan ini.”
“Tetapi kematian seorang guru kadang-kadang telah membakar perasaan seseorang sehingga kehilangan penalaran. Apa pun yang kalian ceriterakan, mungkin justru akan menambah kemarahan mereka,” sahut Mahisa Murti.
“Seandainya demikian, maka kami tidak akan termasuk di antara mereka,” berkata orang yang tertua di antara mereka.
“Kau akan berkata lain jika kau sudah berada di antara saudara-saudara seperguruanmu,” desis Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukan karena kami orang yang tiba-tiba menjadi baik dan tahu berterima kasih. Tetapi kami tahu pasti, bahwa melawan kalian akan sama artinya dengan membunuh diri. Karena itu, maka kami akan memilih untuk menghindar.”
“Bagaimana jika saudara-saudara seperguruanmu memaksamu?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Kami akan terpaksa ikut. Tetapi kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami tahu, bahwa Bajra Seta tidak akan dapat ditembus. Ketika guru masih ada dan kalian belum kami temui di medan, kami sudah mengalami kesulitan menembus pertahanan padepokan Bajra Seta. Apalagi sekarang,” jawab orang itu.
“Mudah-mudahan mereka sempat berpikir seperti kalian,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya agar mereka sempat berpikir dan mengerti apa yang mereka hadapi.”
“Terima kasih,” desis Mahisa Pukat.
Delapan orang itu pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke perguruan mereka. Mereka pun berjanji untuk tidak menakut-nakuti lagi orang-orang padukuhan dan tidak lagi memfitnah nama baik perguruan Bajra Seta.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti dengan nada dalam, “aku percaya kepada kalian.”
Sejenak kemudian, maka delapan orang itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa Murti sendiri masih duduk bersandar sebatang pohon di pinggir parit yang mengalir deras dan bening. Namun setelah meneguk obat, maka rasa sakitnya pun menjadi berkurang meskipun ia sadar, bahwa obat itu belum berarti penyembuhan.
....Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Tanpa menunggu jawaban dari kawan-kawannya, seorang di antara mereka telah berlari menemui Mahendra. Orang itu memberi laporan terperinci tentang apa yang dilihatnya. “Lima orang. Seorang di antaranya masih kanak-kanak,” berkata orang itu kemudian.
“Jika mereka berniat buruk, mereka tentu tidak mengajak kanak-kanak,” jawab Mahendra.
“Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi,” berkata orang yang melaporkan itu.
Mahendra yang tua itu dapat mengerti. Belum lama padepokan mereka telah mendapat serangan. Karena itu, maka orang-orang Bajra Seta itu menjadi sangat berhati-hati. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan pergi ke panggungan di belakang dinding di dekat pintu gerbang itu.”
Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah berada di tempat para pengawas itu. Dilihatnya lima orang yang berjalan semakin mendekat. Mahendra itu pun kemudian telah menggosok matanya. Seakan-akan ia tidak percaya kepada penglihatannya. Karena itu, ia pun berkata sambil melangkah turun dari tempat itu, “Aku akan melihat, siapakah mereka itu.”
Dengan tergesa-gesa Mahendra telah pergi ke pintu gerbang dan langsung memerintahkan membuka pintu gerbang itu. Demikian pintu gerbang terbuka, maka Mahendra telah menghambur keluar. Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Mereka pun telah mempercepat langkah mereka, sehingga kemudian mereka sampai di tempat yang lebih terbuka di muka pintu gerbang. “He, jadi kalian telah kembali,” Mahendra hampir berteriak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Mereka pun kemudian berlari-lari ke arah orang berdiri di depan pintu gerbang serta memanggil mereka. Beberapa orang penghuni padepokan itu pun menyusul Mahendra keluar dari padepokan. Namun mereka pun segera mengenali, dua dari kelima orang yang datang itu.
Demikian mereka sampai ke depan Mahendra, maka kedua orang anak muda di antara kelima orang itu segera berjongkok. Namun Mahendra pun telah menarik mereka berdiri dan memeluk kedua anak muda itu bersama-sama.
“Aku mengucapkan selamat datang kepada kalian,” berkata Mahendra.
“Ayah,” desis Mahisa Murti. Suaranya bagaikan tersumbat di kerongkongan.
“Aku sudah sangat lama menunggu kalian,” berkata Mahendra.
“Kami mohon maaf,” sahut Mahisa Murti.
“Marilah. Kita masuk,” ajak Mahendra.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Kami datang bersama tiga orang saudara kami. Dua orang kami anggap sebagai adik kami, seorang kami anggap sebagai paman kami.”
“Merekalah yang kalian cari selama ini?” bertanya Mahendra.
“Kami tidak tahu ayah,” jawab Mahisa Murti, “rasa-rasanya kami belum puas. Tetapi kami sudah sangat lama meninggalkan padepokan ini, sehingga kami memutuskan untuk segera kembali. Namun agaknya anak itu memiliki sedikit harapan.”
Mahendra mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah mendekati ketiga orang yang baru dikenalnya itu sambil berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku persilahkan kalian memasuki padepokan kami.”
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Ini adalah ayahku.”
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun kemudian telah mengangguk hormat. Hampir berbareng mereka menjawab, “Terima kasih.”
Mahendra pun telah mengajak ketiga orang itu bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki padepokannya. Sementara itu para penghuni padepokan yang melihat kedatangan kedua orang anak muda itu menjadi ramai. Beberapa orang telah berdesakan untuk memberikan pernyataan hati mereka yang tulus, bahwa mereka sangat gembira atas kedatangan kedua putera Mahendra itu.
“Kalian terlalu lama pergi,” berkata seseorang, “Ki Mahendra selalu berharap kalian segera kembali. Ada banyak hal yang nampaknya mengganggu perasaannya. Apalagi baru-baru ini telah terjadi serangan atas padepokan ini.”
“Sekarang kami telah kembali,” sahut Mahisa Murti.
Demikianlah, kedatangan kedua orang anak muda itu disambut dengan gembira oleh orang-orang padepokan itu. Orang-orang yang berada di atas panggung yang mula-mula melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang pula menemui keduanya. Mereka ternyata minta maaf, bahwa mereka tidak segera dapat mengenali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah-wajah mereka,” berkata orang yang bertugas itu. Lalu katanya, “Baru kemudian, setelah mereka menjadi dekat, kami dapat mengenalinya. Mungkin bahwa karena mereka berlima itu juga berpengaruh, kenapa kami tidak segera sampai kepada dugaan mereka berdua kembali. Ternyata mereka memang benar-benar telah kembali.”
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah diajak pergi ke bangunan induk padepokan itu bersama Mahendra, sementara orang yang bertugas itu pun kembali ke tempat tugas mereka. Di pendapa, Mahendra telah menyambut kedua orang anaknya dan tiga orang yang datang bersamanya dengan gembira. Namun di wajah orang itu nampak bayangan kemuraman yang kadang-kadang ingin disembunyikan.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Pukat telah bertanya, “Ayah nampak terlalu tua.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Bukan nampak terlalu tua. Aku memang sudah tua.”
“Maksudku, lebih tua dari umur ayah yang sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat pula.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya. Kemuraman itu kembali membayang diwajahnya. Bahkan Mahendra tidak lagi berhasil menyembunyikannya lagi. “Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya sekarang,” berkata Mahendra, “tetapi sulit bagiku untuk bertahan.”
Kedua orang anaknya itu pun termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun mendesak, “Ayah. Aku kira ayah tidak usah menahan diri terlalu lama. Mungkin lebih baik jika ayah segera mengatakannya. Ada dua keuntungan yang kita dapatkan jika ayah berkata sekarang juga. Ayah sendiri tidak merasa terlalu berat membawa beban, sedangkan kami pun tidak lagi menjadi berdebar-debar, sehingga rasa-rasanya tulang-tulang iga kami menjadi retak.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera mengatakannya karena seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah meneguk minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, Mahendra berkata, “Anak-anakku. Ternyata bahwa kalian tidak akan sempat lagi bertemu dengan pamanmu Mahisa Agni dan Witantra.”
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Meskipun belum dikatakannya, namun keduanya segera tanggap. Justru karena Mahisa Agni dan Witantra sudah terlalu tua. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya dengan nada tertahan, “Apakah keduanya telah tidak ada?”
“Ya,” jawab Mahendra, “hampir bersamaan. Hanya berselisih dua pekan saja. Pamanmu Mahisa Agni telah meninggal lebih dahulu. Baru kemudian pamanmu Witantra. Namun yang hampir sama pada keduanya, wajah tua mereka nampak tersenyum. Keduanya seakan-akan hanya sedang tertidur nyenyak.”
Pemberitahuan itu memang menghentak jantung kedua orang anak muda itu. Hampir di luar sadarnya Mahisa Murti bertanya, “Apakah kakang Mahisa Bungalan sudah tahu?”
“Ia datang pada saatnya,” jawab Mahendra, “tetapi tidak seorang pun yang tahu dimana kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya, sebenarnyalah mereka telah melakukan pengembaraan tanpa diketahui arahnya. Seandainya terjadi sesuatu di perjalanan, maka ayah dan kakak mereka hanya dapat menunggu sampai waktu yang tidak akan pernah mereka jumpai. Tetapi kini mereka telah kembali. Namun ada yang telah hilang sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Orang-orang yang sangat mereka hormati.
Mahisa Agni dan Witantra adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun ilmu mereka, betapa pun tingginya tidak akan pernah dapat melindungi mereka dari jangkauan maut.
“Sudahlah,” berkata Mahendra kemudian, “maut akan menjemput siapa saja pada waktunya. Aku kira yang terjadi atas kedua pamanmu itu adalah yang terbaik bagi mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping mencoba untuk ikut dapat merasakan suasana itu. Tetapi karena mereka belum pernah bertemu dengan orang-orang yang bernama Mahisa Agni dan Witantra, maka mereka tidak dapat membayangkan betapa dalamnya kepedihan hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam suasana yang masih dibayangi oleh berita duka itu, maka Mahendra pun bertanya, apa saja yang telah dilakukan oleh anak-anaknya.
Namun jawaban Mahisa Murti cukup singkat, “Kami menjalani laku Tapa Ngrame, ayah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagus anak-anakku. Bagiku laku yang paling baik adalah laku yang telah kalian jalani selain laku yang khusus memang harus dijalani untuk satu kepentingan, khususnya dalam menimba ilmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ternyata ayahnya telah membenarkan pilihan mereka. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti menceriterakan pengalaman mereka secara singkat.
“Jika kami menceriterakan semuanya, maka akan memerlukan waktu lebih dari tiga hari tiga malam,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Murti memandanginya sejenak. Namun ia pun berkata pula, “Memang banyak sekali yang ingin aku sampaikan kepada ayah.”
Mahendra mengangguk-angguk. Sementara itu, perhatiannya mulai tertuju kepada sepasang pedang yang ada pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun serba sedikit hal itu sudah diceriterakan, namun agaknya ayahnya masih memerlukan beberapa penjelasan.
“Kami akan menceriterakannya secara khusus ayah,” berkata Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anak-anaknya itu sudah letih bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Karena itu, maka Mahendra pun berkata, “Baiklah. Sekarang kalian membersihkan diri. Kemudian beristirahatlah sebaik-baiknya sementara para cantrik menyediakan makan bagi kalian.”
Kelima orang itu pun kemudian telah membersihkan diri. Mereka benar-benar merasa letih justru setelah mereka sampai ke padepokan Bajra Seta. Rasa-rasanya kaki mereka menjadi semakin berat. Sejenak kemudian, maka kelima orang itu telah selesai berbenah diri. Mereka berlima bersama Mahendra dan orang-orang yang ikut memimpin padepokan itu telah bersiap-siap untuk makan bersama sambil mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa pemimpin-pemimpin mereka telah tiba dari pengembaraan.
“Anak-anak,” berkata Mahendra setelah mereka selesai makan. “Orang-orang yang hadir akan menjadi saksi bahwa aku telah mengembalikan pimpinan padepokan yang kau titipkan kepadaku ini.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, “Jangan sekarang ayah. Kami masih harus mempersiapkan diri kami sebaik-baiknya. Baru kelak setelah kami siap, kami akan menerima pimpinan itu.”
Mahendra mengangguk-angguk. Ia mengerti alasan anaknya. Karena itu, maka ia pun bertanya, “berapa hari kau memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri?” bertanya Mahendra.
“Paling sedikit sepekan ayah,” jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia sama sekali tidak merasa ragu untuk menyerahkan pimpinan itu kepada anak-anaknya. Apalagi padepokan itu memang didirikan atas kehendak anak-anaknya.
Demikianlah, maka selama lima hari yang diminta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping untuk melihat-lihat isi padepokan. Mereka telah dibawa ke sanggar terbuka di bagian belakang dari halaman padepokan yang sangat luas itu.
“Menyenangkan sekali,” teriak Mahisa Amping sambil berlari-lari mengelilingi sanggar itu.
“Di sudut yang lain, masih terdapat sanggar tertutup,” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
“Menarik sekali. Aku akan banyak mendapat kesempatan untuk berlatih. Jika tidak di sanggar terbuka ini, aku dapat berlatih di sanggar tertutup,” desis Mahisa Amping.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ya, kita akan dapat mempergunakannya. Tetapi sanggar itu dipergunakan oleh banyak orang. Seluruh isi padepokan ini berlatih di sanggar terbuka atau tertutup.”
“Tetapi sanggar ini pada suatu saat kosong seperti ini,” berkata Mahisa Amping.
“Untuk hari-hari tertentu. Di hari lain, sanggar ini selalu penuh,” jawab Mahisa Murti. Tetapi katanya selanjutnya, “Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak akan mendapat kesempatan. Sanggar ini cukup luas sehingga sekelompok orang dapat latihan bersama-sama.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berdesis, “Tetapi kita lebih senang berlatih tanpa dilihat orang lain.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita akan sekali-sekali berlatih untuk meningkatkan kemampuan kita. Bukan untuk menjadi tontonan.”
Demikianlah, dalam lima hari rasa-rasanya isi padepokan itu belum mampu dilihat secara keseluruhan. Tetapi segala sesuatunya yang paling penting telah diketahuinya.
Namun dalam pada itu, Mahendra telah memanggil mereka dan bertanya, “Apakah kalian sudah cukup beristirahat, kemudian sudah siap untuk menerima kembali kepemimpinan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat atas padepokan itu.”
Mahisa Murti dan .Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, sementara Mahendra berkata, “Kalian seharusnya mengerti, terutama menyadari, bahwa kalianlah yang telah mendirikan padepokan ini.”
“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti.
“Karena itu, kalian harus menerima kembali pertanggungjawaban kalian yang telah mendirikan sebagai padepokan, untuk mengatur dan membimbing para cantrik yang jumlahnya cukup besar.”
“Kami mengerti ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.
“Jadi kalian sudah siap?” bertanya Mahendra.
“Siap atau belum siap, tetapi segala sesuatunya merupakan usaha yang sebaik-baiknya yang telah kami lakukan,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus. Jika demikian, sore nanti kita akan mengadakan pertemuan khusus bagi para pemimpin padepokan ini. Aku akan menyerahkan kembali kekuasaan atas padepokan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Tetapi ketika aku menyerahkan pimpinan kepada ayah, bukankah tidak ada upacara sama sekali?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Tetapi kali ini memang agak lain,” jawab Mahendra yang untuk sementara memimpin padepokan itu.
Mahisa Murti tidak dapat menolak rencana ayahnya. Ayahnya ingin menyerahkan kembali pimpinan padepokan itu di hadapan para penghuni padepokan. Para cantrik dan ketiga orang yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi yang penting bagi Mahendra tentu bukan upacara penyerahan itu sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata menangkap maksud ayahnya itu dari sisi yang lebih dalam. Ayah mereka ingin memberikan tekanan kepada kedua anaknya, bahwa mereka harus lebih banyak berbuat bagi perguruan itu serta mempertanggung-jawabkannya.
Dengan upacara itu ayah mereka ingin mengatakan, “Kalian adalah pemimpin dari padepokan dan sekaligus perguruan Bajra Seta.”
Demikianlah, maka menjelang matahari turun ke balik bukit, orang-orang seisi padepokan itu telah berkumpul. Bukan hanya beberapa orang pembantu Mahendra memimpin padepokan itu, tetapi ternyata semua orang telah diminta untuk hadir di halaman depan padepokan itu.
Tetapi ternyata para cantrik juga telah menyiapkan makanan dan minuman dalam pertemuan itu. Beberapa ekor ayam telah dikorbankan. Sementara itu, dapur padepokan itu pun telah menjadi sibuk.
Upacara penyerahan itu sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Namun Mahendra sempat berbicara di hadapan para penghuni padepokan itu, “Sejak saat ini, maka pimpinan padepokan sekaligus perguruan Bajra Seta ada di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
Orang-orang yang menghadiri pertemuan kecil itu bertepuk tangan. Sementara itu jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terasa bergejolak. Seperti yang sudah mereka duga sebelumnya, upacara yang dibuat oleh ayahnya itu adalah sekedar tekanan jiwani bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk lebih banyak berbuat dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab terhadap padepokan dan perguruan yang mereka dirikan.
Meskipun tidak terucapkan, namun ayahnya itu ingin berkata kepada keduanya, “Kalian tidak sekedar bermain-main.”
Demikianlah upacara itu berlangsung dengan lancar dan meriah. Semua orang merasa gembira, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah kembali di tengah-tengah mereka. Sejak saat itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan melakukan tugas mereka sebagai pemimpin padepokan itu.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memperhatikan upacara itu dengan saksama. Namun dengan demikian mereka menyadari bahwa untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak hanya memperhatikan mereka bertiga, tetapi juga orang-orang lain di padepokan itu.
Mahisa Amping justru menjadi gelisah. Apakah seperti yang dikatakan Mahisa Murti sebelumnya bahwa ia akan dapat mempergunakan sanggar itu tanpa orang lain?
Sementara pertemuan itu menjadi semakin riuh serta makanan dan minuman sudah dibagikan, Mahisa Amping merasa bahwa dunianya menjadi semakin sepi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak memperhatikannya lagi.
Tetapi ketika ia melihat Mahisa Semu dan Wantilan yang duduk sedikit terpisah dari orang-orang padepokan itu, karena mereka memang belum begitu akrab dengan mereka, Mahisa Amping pun merasa bahwa ia masih mempunyai setidak-tidaknya dua orang kakak dan paman yang akan memperhatikannya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut pula bergembira bersama seisi padepokan itu. Namun disamping itu, keduanya pun merasa bahwa mereka harus lebih menyadari kedudukan mereka.
Ternyata pertemuan itu berlangsung sampai malam hari. Menjelang tengah malam, maka Mahendra baru menyatakan bahwa pertemuan itu sudah selesai. Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang agak melupakan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, sehingga keduanya tidak melihat ketiga orang itu telah kembali ke dalam biliknya.
Di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan tugasnya yang sibuk. Meskipun ia tidak lagi melupakan Mahisa Amping, namun sudah tentu sikapnya menjadi agak berbeda. Di perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dibebani oleh tugas-tugas yang mengikatnya sebagaimana di dalam padepokan itu.
Tetapi yang memperhatikan anak itu lebih banyak adalah justru Mahendra. Mahendra yang telah meletakkan tugasnya, mempunyai banyak waktu yang luang, sehingga justru dipergunakan untuk menemani anak itu. Dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Mahendra telah mendengar beberapa hal tentang kelebihan anak itu meskipun tidak selalu demikian. Kadang-kadang kelebihan itu tidak tampak sama sekali. Namun tiba-tiba saja ada sesuatu yang tidak dapat dimengerti tampak pada anak itu.
Karena itu maka Mahendra pun ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang anak itu. Sedangkan Mahisa Semu dan Wantilan pun mendapatkan beberapa kesempatan langsung dari Mahendra meskipun tidak terlepas dari bimbingan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam keterbatasannya.
Perhatian Mahendra kepadanya, membuat Mahisa Amping menjadi berminat kembali terhadap masa depannya. Hampir saja Mahisa Amping merasa tidak berarti apa-apa lagi. Ia sudah mulai bertanya, untuk apa ia datang ke padepokan itu. Apalagi kemudian ia menyadari, bahwa ia tidak lagi dapat berlatih bersungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi mempergunakan sanggar terbuka atau sanggar tertutup tanpa orang lain.
“Mereka sekarang lebih memperhatikan orang-orang padepokan ini daripada aku,” berkata Mahisa Amping di dalam hatinya.
Namun, selagi sikapnya mulai berubah sehingga ia tidak lagi memperhatikan latihan-latihan dan ilmu kanuragan, Mahendra mulai memperhatikannya.
“Amping,” berkata Mahendra pada suatu pagi, “kenapa kau masih duduk saja di situ?”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia menjawab, “Kepalaku agak pusing.”
Mahendra tersenyum. Ia pun duduk di sebelah anak itu. Dengan penuh pengertian ia bertanya, “Apakah kau tidak ingin latihan di sanggar terbuka pagi ini?”
“Bukankah sanggar itu baru dipakai?” bertanya anak itu pula.
“Kau dapat latihan di tempat lain. Apakah latihan itu harus dilakukan di sanggar?” desak Mahendra.
Mahisa Amping memperhatikan Mahendra itu sejenak. Namun ia pun berkata, “Kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat masih sibuk. Bahkan selalu sibuk dalam latihan-latihan dengan seluruh isi padepokan ini. Mungkin Mahisa Amping tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau sudah menjadi semakin besar. Kau harus dapat meningkatkan kemampuanmu sendiri. Kau harus mulai mencoba untuk tidak tergantung kepada orang lain.”
“Tetapi apa arti seorang yang berguru kepada orang lain?” bertanya anak itu dengan jujur.
Mahendra justru tertarik sekali kepada keterbukaan hati anak itu. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Seseorang yang berguru kepada orang lain harus membuka diri menerima pewarisan ilmu dari orang yang menjadi gurunya. Tetapi ia pun harus menjalani laku yang berat. Patuh dan tunduk kepada gurunya, mendengarkan semua petunjuknya dan mencoba melakukan semua perintahnya.”
“Apakah dengan demikian seseorang yang berguru tidak akan pernah dapat hidup tanpa tergantung kepada orang lain, meskipun orang itu adalah gurunya?” bertanya anak itu.
Mahendra menggelengkan kepalanya. Ia pun tertawa semakin panjang. Katanya, “jangan mengambil kesimpulan seperti itu. Di saat seseorang berguru, maka gurunya harus mengajarnya mandiri. Selangkah demi selangkah. Namun akhirnya, seseorang memang harus tidak bergantung lagi kepada orang lain. Tetapi aku tidak bermaksud bahwa tiba-tiba saja seseorang harus lepas dari ketergantungan. Terutama dalam meningkatkan ilmunya. Jika tadi aku katakan kepadamu bahwa kau sudah semakin besar dan sebaiknya dapat meningkatkan ilmumu adalah karena keterbatasan waktu dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam keterbatasan waktu itu, kau jangan kehilangan waktu untuk sekedar menunggu. Kau dapat mengisi waktumu untuk berlatih tanpa salah seorang dari kedua kakakmu itu.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi sebenarnya ia memang merasa kecewa. Mungkin ia dapat berlatih sendiri, tetapi dengan demikian, maka ilmunya tidak akan dapat cepat meningkat. Atau setidak-tidaknya merambat dengan wajar. Tanpa bimbingan seseorang maka ilmunya akan meningkat dengan sangat lamban.
Mahisa Semu dan Wantilan, yang juga kehilangan banyak kesempatan untuk berlatih langsung bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berusaha untuk membaur dengan para cantrik dan berlatih bersama dengan mereka. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, Mahendra memberikan beberapa petunjuk dan latihan secara khusus.
Mahisa Amping mula-mula kurang berminat ketika Mahendra membawanya ke sanggar tertutup sambil berkata, “Berlatihlah. Aku akan melihat, apa yang telah kau pelajari.”
Mahisa Amping memang tidak menolak. Tetapi ia melakukan dengan setengah hati. Ketika Mahendra minta anak itu mulai menunjukkan kemampuan ilmunya, maka Mahisa Amping pun telah melakukannya. Tetapi tidak sepenuhnya. Tidak ada kesan kesungguhan dan tidak ada tekanan pada setiap unsur geraknya.
Mahendra mengetahui hal itu. Karena itu, maka ia pun merasa berkewajiban untuk membangunkan anak itu dari kemalasannya karena ia merasa kecewa akan dirinya sendiri. Dengan nada lembut Mahendra berkata, “Marilah. Kita berlatih bersama.”
Mahisa Amping sama sekali tidak tahu tingkat kemampuan Mahendra. Ia memang mengetahui bahwa selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi, Mahendra, ayah kedua orang anak muda itulah yang menggantikannya. Tetapi baginya ia bukan ukuran kemampuan dan tingkat ilmu dari orang tua itu.
Menurut pendapat Mahisa Amping, Mahendra adalah seorang tua yang memiliki pengalaman yang luas, tetapi tidak memiliki kemampuan ilmu seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena bagi anak itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Apalagi melihat ujud wadagnya. Mahendra sudah terlalu tua untuk mendukung ilmu yang tinggi.
Karena itu, ketika Mahendra mengajaknya berlatih bersama maka Mahisa Amping hanya mengangguk saja tanpa, merubah sikap dan ungkapan ilmu kanuragan yang telah dipelajarinya. Mula-mula Mahendra mengikuti saja sebagaimana dilakukan Mahisa Amping. Namun kemudian Mahendra mulai menyentuh tubuh anak itu. Bahkan kemudian, sentuhan tangannya pun mulai terasa sakit.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Perasaan sakit itu datang beberapa kali sehingga Mahisa Amping mulai sadar, bahwa ia harus lebih bersungguh-sungguh dalam latihan itu, agar kulitnya tidak menjadi semakin biru lembab. Tetapi meskipun Mahisa Amping kemudian bersungguh-sungguh, namun ia sama sekali tidak mampu mengelak ketika serangan Mahendra yang tua itu datang semakin cepat. Tangannya pun semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin sakit.
Mahisa Amping menjadi marah ketika tangan Mahendra menampar keningnya, sehingga kepala anak itu menjadi pening. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Amping tidak mampu menyentuh tubuh Mahendra yang tua, yang nampaknya hanya bergeser setapak-setapak. Tetapi akhirnya Mahisa Amping menjadi sangat letih tanpa berhasil menyentuh tubuh orang tua itu. Dengan nafas yang terengah-engah Mahisa Amping berdiri sambil menekan pinggangnya dengan kedua tangannya.
Namun Mahendra masih belum selesai. Ia ingin meyakinkan anak itu, bahwa ia pun akan dapat memberikan tuntunan kanuragan sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, ketika Mahisa Amping yang kecil itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu, maka Mahendra pun tidak lagi menyerangnya. Tetapi Mahendra telah melakukan semacam latihan seorang diri dengan mengungkapkan unsur-unsur gerak yang memang mengejutkan bagi Mahisa Amping.
Bahkan kemudian Mahendra telah mempergunakan tonggak-tonggak yang ditanam tegak dengan ketinggian yang berbeda. Kemudian meniti tali-tali yang bergayutan di bagian atas sanggar, sementara itu, beberapa kali Mahendra telah menunjukkan unsur-unsur gerak yang tidak masuk di akal anak itu. Bahkan kemudian Mahendra telah menggapai sebatang tongkat besi dan sekaligus dengan kekuatan yang di luar penalarannya, membengkokkannya sampai kedua ujung dan pangkalnya bertemu.
Mahisa Amping berdiri bagaikan membeku. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi. Tetapi matanya telah melihatnya bahwa hal itu memang terjadi. Beberapa saat kemudian, maka Mahendra itu pun telah menghentikan latihan-latihan yang sangat menarik bagi Mahisa Amping itu.
Demikian Mahendra berhenti melakukan latihan yang di luar penalaran anak itu, maka Mahisa Amping pun tiba-tiba saja telah berlutut dan berkata, “Luar biasa. Aku tidak yakin akan penglihatanku sendiri.”
Mahendra tersenyum. Katanya, “Bukan apa-apa. Hanya sebuah latihan untuk mengingat kembali dasar-dasar ilmu gerak sebagaimana aku pelajari ketika aku masih anak-anak.”
“Aku tidak dapat mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi,” desis Mahisa Amping.
Sambil menarik Mahisa Amping untuk berdiri Mahendra berkata, “Kau pun dapat mempelajarinya.”
“Aku?” mata anak itu terbelalak.
Mahendra tertawa. Jawabnya, “Tentu. Kau sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semasa masih kanak-kanak.”
“Apakah Ki Mahendra yang mengajarnya?” bertanya anak itu.
“Ya. Anak-anakku adalah murid-muridku kecuali seorang yang mendapat guru yang lain,” jawab Mahendra.
Mahisa Amping termangu-mangu. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apakah aku dapat belajar juga?”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau. akan belajar pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya sibuk, maka aku akan dapat membantunya.”
Wajah anak itu menjadi cerah. Ia melihat harapan baru setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya sehingga tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk membimbingnya, meskipun bagi para cantrik, Mahisa Amping termasuk murid yang lebih banyak mendapat kesempatan.
“Baiklah,” berkata Mahendra, “agaknya latihanmu sudah cukup hari ini. Besok kita akan mengadakan latihan lagi jika sanggar ini tidak terpakai.”
Tetapi sebelum keduanya keluar dari sanggar, pintu sanggar telah terbuka. Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di luar pintu.
“Apakah Amping ada di sini?” bertanya Mahisa Murti.
Mahendra tersenyum. Sambil menunjuk Mahisa Amping yang masih berada di dalam sanggar ia berkata, “Ia ada di sini. Aku melihat bagaimana ia bermain-main.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah masuk. Dilihatnya anak itu telah nampak letih, sehingga karena itu, maka keduanya mengurungkan niatnya untuk berlatih bersama anak itu.
“Kau baru saja berlatih?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku membawanya ke sanggar,” Mahendra lah yang menjawab, “aku ingin mengisi waktunya selagi anak itu menunggu kalian.”
“Kami sedang sibuk,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku mengerti. Itulah sebabnya aku mewakilimu,” jawab Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjelaskan. Tetapi Mahendra telah berkata, “Amping. Kau dapat pergi ke pakiwan. Mandi dan kemudian berbenah diri.”
Mahisa Amping pun kemudian meninggalkan sanggar itu pergi ke pakiwan. Demikian anak itu keluar dari sanggar, maka Mahendra pun berkata, “Ia telah menjadi semakin maju.”
“Tetapi kami mempunyai kesibukan yang lain kecuali membina anak itu,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku tahu. Bukankah aku tidak menyalahkanmu? Aku hanya mengisi waktunya yang luang. Aku melihat anak itu duduk termenung. Katanya kepalanya merasa pening. Lalu aku ajak anak itu ke sanggar. Kegembiraannya segera timbul. Dan ia tidak merasa pening lagi,” jawab Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Namun Mahisa Murti masih juga berkata, “Aku sama sekali tidak melupakan anak itu ayah. Tetapi bukankah aku harus menyelesaikan semua kewajibanku di padepokan dan perguruan ini?”
“Berapa kali sudah aku katakan, bahwa aku tidak menyalahkan kalian. Tetapi barangkali perlu aku peringatkan, untuk apa kalian pergi meninggalkan padepokan ini untuk waktu yang lama sehingga kalian tidak sempat melihat keadaan terakhir kedua pamanmu?” bertanya ayahnya.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi pertanyaan ayahnya itu telah menyentuh perasaan keduanya. Keduanya meninggalkan padepokan itu untuk mendapatkan satu dua orang yang akan ditempanya menjadi salah seorang dari inti kekuatan padepokan itu. Keduanya ingin mendapatkan bahan yang masih dapat dianggap murni, sehingga dapat mereka bentuk sesuai dengan keinginan mereka bagi kepentingan perguruan Bajra Seta.
Karena kedua anak muda itu masih berdiam diri, maka Mahendra pun berkata, “Tetapi jangan cemas. Kalian dapat melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Aku dapat membantu mengurus anak itu.”
“Tetapi…” Mahisa Murti menjadi ragu-ragu.
“Ingat, bukankah aku juga yang meletakkan dasar ilmu bagi kalian,” potong Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Tetapi ayah sekarang sudah terlalu tua untuk tetap berada di sanggar.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau juga sudah tahu, bahwa belum terlalu lama padepokan ini telah mendapat serangan dari sekelompok orang dari sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Empu Santi dari perguruan Lawang Tunggal. Dan aku masih sempat bersama-sama dengan seluruh isi padepokan ini untuk melawan dan mengusir mereka.”
“Empu Santi atau Empu Rangkut?” bertanya Mahisa Murti.
“Empu Santi,” jawab Mahendra. “Bukankah kalian yang berceritera bahwa kalian telah bertemu dengan Empu Rangkut yang agaknya memiliki ilmu lebih baik dari Empu Santi.”
“Ya, ya,” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ayahnya memang pernah berceritera tentang Empu Santi.
“Nah,” berkata Mahendra, “dengan demikian maka kalian tentu akan dapat mempercayai aku untuk secara khusus mempersiapkan anak itu. Pada saatnya kalian akan dapat membentuknya menjadi seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan sebagaimana kalian harapkan. Tetapi aku juga minta perhatian kalian kepada Mahisa Semu. Jika kalian tidak berkeberatan, aku akan mempersiapkannya pula meskipun dengan cara yang agak berbeda dengan Mahisa Amping. Namun pada saatnya keduanya akan dapat menjadi seorang yang memiliki ilmu yang baik dan mampu membantumu memimpin padepokan ini, karena pada dasarnya Mahisa Semu pun masih belum memiliki landasan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika hal itu memang ayah kehendaki, maka kami akan mengucapkan terima kasih.”
“Aku akan melakukannya sejauh dapat aku jangkau,” berkata Mahendra, “selanjutnya adalah kewajibanmu. Sementara itu Wantilan dapat kau tempatkan sesuai dengan keadaannya. Namun ia telah menunjukkan tekadnya yang besar menyertaimu sampai ke padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil sambil menjawab hampir bersamaan, “Ya ayah.”
“Nah, sejak sekarang, biarlah aku menangani Mahisa Amping dan Mahisa Semu, sementara kau dapat mengatur padepokan ini sehingga kau tidak akan tenggelam dalam kesibukan yang tidak terbatas.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Mahisa Murti berkata, “Baiklah ayah. Jika ayah masih berniat untuk berada di sanggar.”
“Jika aku meninggalkan sanggar, aku akan menjadi semakin cepat kehilangan gairah hidup ini dan menjadi pikun,” jawab Mahendra sambil tersenyum. Lalu katanya kemudian, “Tetapi untuk selanjutnya anak itu tetap menjadi tanggung jawabmu.”
“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.
Demikianlah, sejak itu, Mahisa Amping menjadi bergairah kembali. Harapannya yang pudar, tiba-tiba telah menyala lagi. Ia sadar, bahwa Mahendra adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Mahendra lebih banyak berlandaskan satu jalur ilmunya Bajra Geni, namun Mahendra benar-benar telah sampai ke puncak tataran ilmunya itu.
Bagi Mahisa Amping yang kecil itu, sama sekali tidak pernah diperhatikannya, darimana Mahendra mewarisi ilmunya. Yang ia ketahui adalah, bahwa Mahendra memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apakah ilmunya itu ilmu yang dahsyat yang disebut Bajra Geni atau ilmu yang lain, namun yang penting bagi Mahisa Amping, ilmunya akan dapat meningkat lebih cepat.
Tetapi sebagaimana dilakukan atas anak-anaknya sendiri, Mahendra tidak saja mengajarkan ilmu kepada Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi disamping ilmu, keduanya juga selalu mendapat tuntutan meniti jalan kehidupan yang dianggapnya baik. Sikap dan pandangan hidup yang bersih dan mewarnai ilmunya dengan kesadaran akan sumber hidupnya.
Ilmu adalah ibarat ujung tombak yang sangat tajam. Tergantung kepada tangan yang memegangnya, untuk apa ujung yang sangat tajam itu dipergunakan. Di tangan yang baik ujung tombak yang tajam itu akan dapat menjadi pelindung yang menjaga keseimbangan dan kejernihan kehidupan dan menimbulkan ketenteraman. Tetapi di tangan yang hitam, ujung tombak itu akan dapat mengguncang ketenangan dan kedamaian.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat lebih banyak memperhatikan tugas-tugasnya yang lain. Meskipun sekali-sekali keduanya ikut pula berada di dalam sanggar bersama Mahisa Amping dan Mahisa Semu, bahkan dengan Wantilan pula, namun tanggung jawab kedua anak muda itu jauh lebih ringan. Sementara itu Mahisa Amping dan Mahisa Semu pun tidak merasa kehadirannya di padepokan itu sia-sia.
Ternyata seperti yang sering dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa Mahisa Amping adalah anak yang memang memiliki kelebihan dari anak kebanyakan. Apa yang diajarkan oleh Mahendra, anak itu dengan cepat dapat menyerapnya. Unsur-unsur gerak yang paling dasar dengan cepat dikuasainya seluruhnya. Bahkan kemudian Mahisa Amping telah mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak yang lebih rumit.
Bahkan dalam umurnya yang masih sangat muda itu. Mahendra telah memperkenalkannya dengan tenaga cadangan di dalam dirinya. Namun berbeda dengan ketajaman daya tangkap serta ingatannya, Mahisa Amping tidak terlalu cepat memahami dan mengungkapkan tenaga cadangan di dalam dirinya.
“Ia masih terlalu anak-anak,” setiap kali Mahendra telah mengendorkan kekecewaannya jika Mahisa Amping sulit untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya serta memahami laku untuk membangunkan tenaga cadangannya itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengalami banyak kemajuan pula. Dengan rajin ia mengikuti semua petunjuk dan tuntunan Mahendra. Bahkan dalam saat-saat yang memungkinkan, Mahisa Semu telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya, meskipun ia harus berlatih sendiri. Ia tidak merajuk seperti Mahisa Amping. Namun justru berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Apalagi Mahisa Semu merasa bahwa ia sudah lebih tua dari Mahisa Amping, sehingga seharusnya ia dapat lebih banyak mengambil kesempatan untuk menempa diri.
Dalam pada itu, kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat padepokan Bajra Seta itu menjadi lebih hidup. Hubungan mereka dengan padukuhan di sekitarnya tetap dipelihara dengan baik, sehingga kehadiran padepokan dan perguruan Bajra Seta itu juga mempunyai arti bagi padukuhan di sekitarnya, terutama dalam usaha para petani untuk meningkatkan hasil sawah mereka.
Bahkan beberapa padukuhan telah dengan sengaja mengirimkan anak-anak muda mereka untuk ikut serta mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dalam hal mengolah sawah mereka, sehingga dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama sebagaimana para cantrik, telah dapat mereka pergunakan di padukuhan mereka masing-masing.
Sementara itu, padepokan Bajra Seta juga mengembangkan lahan dan sawah bagi keperluan padepokan. Sawah yang memang digarap oleh para cantrik untuk menghasilkan pangan bagi seisi padepokan. Para cantrik dengan rajin mengatur susunan jalur air yang ternyata tidak hanya bermanfaat bagi sawah dan lahan para cantrik itu sendiri, namun ternyata juga berarti bagi padukuhan di sekitarnya.
Dari hari ke hari, Padepokan Bajra Seta nampak menjadi semakin berkembang. Bukan dalam jumlah murid yang ingin belajar dan menjadi cantrik di padepokan itu saja, tetapi tataran kecerdasan dan kehidupan di padepokan itu pun menjadi semakin meningkat. Sawah garapan para penghuni padepokan itu pun menjadi semakin luas. Atas ijin Ki Buyut yang memimpin lingkungan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuka tanah pertanian baru. Beberapa puluh bahu lingkungan hutan yang pepat telah dibuka, tanpa menimbulkan kerusakan keseimbangan pada hutan itu, karena luas tanah yang terbuka itu terhitung kecil dibandingkan dengan luas hutan itu sendiri.
Namun akibat dari perluasan tanah pertanian itu adalah kerja keras untuk menaikkan air dari sungai-sungai untuk mengaliri tanah pertanian yang baru itu, sehingga parit-parit pun telah digali menyusuri kotak-kotak sawah yang baru itu. Dengan demikian maka padepokan Bajra Seta telah menjadi padepokan yang berarti bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga ketrampilan di beberapa bidang kehidupan. Karena di samping pertanian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga mengusahakan peternakan dan meskipun hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, padepokan itu pun telah membuat belumbang-belumbang untuk memelihara ikan air.
Karena itu, maka seakan-akan padepokan Bajra Seta telah memiliki segala macam usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Bahkan hasilnya yang berlebih telah dapat disalurkan untuk dijual ke pasar-pasar terdekat sehingga hasilnya dapat untuk membeli kebutuhan-kebutuhan, yang lain.
Dalam perkembangannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengembangkan bengkel-bengkel pande besi dan berusaha mencukupi kebutuhan alat-alat pertanian sendiri. Bahkan pande-pande besi dari padepokan Bajra Seta itu telah belajar untuk membuat senjata sendiri dan bahkan mengembangkannya sehingga alat-alat dan senjata yang dibuatnya adalah termasuk benda-benda pertanian dan senjata yang baik.
Seperti yang dirintis sejak padepokan itu didirikan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan kesempatan kepada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan terdekat untuk mempelajari berbagai macam ketrampilan di padepokan itu tanpa menjadi cantrik. Pagi-pagi mereka datang untuk mempelajari salah satu ketrampilan di padepokan itu. Bertani, pande besi, anyaman bambu atau membuat alat-alat bambu dan kayu. Di sore hari mereka pulang kembali ke rumah mereka masing-masing.
Namun dengan demikian, maka hubungan, padepokan itu dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin akrab. Bahkan tidak terpisahkan lagi. Padepokan itu seakan-akan merupakan satu padukuhan yang besar dan lengkap memiliki apa saja yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Disamping kesejahteraan hidup para penghuni padepokan yang selalu meningkat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan paugeran yang mapan bagi para cantriknya. Latihan-latihan selalu berlangsung pada saat yang ditentukan dengan tataran-tataran yang telah tersusun. Beberapa orang telah ditunjuk untuk membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menuntun peningkatan ilmu dari para cantrik dari tataran di bawahnya.
Lima orang pembantu terpenting dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin seisi padepokan itu. Mereka telah dipersiapkan untuk menjadi orang yang akan dapat mewakili Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangani, persoalan-persoalan ke dalam dan keluar padepokan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah melupakan niat yang terkandung di dalam dada mereka membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping ke padepokan itu.
Sementara itu, Mahendra telah benar-benar menyiapkan kedua-duanya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Mahisa Amping masih terlalu muda, sehingga Mahendra memang lebih banyak memberikan perhatiannya kepadanya. Sedangkan Amping sendiri ternyata dengan sangat tekun mematuhi segenap ketentuan yang ditetapkan oleh Mahendra. Anak itu bangun pagi-pagi sekali. Melakukan latihan-latihan ringan serta berlari-lari di sekitar padepokan. Bahkan kadang-kadang sampai ke jarak yang agak jauh. Ketika matahari terbit, maka Mahisa Amping sempat beristirahat sejenak untuk mengeringkan keringat. Sejenak kemudian ia harus mandi dan bersiap untuk melakukan latihan-latihan berikutnya.
Dengan demikian, maka dari hari ke hari, Mahisa Amping telah meningkatkan kemampuannya. Perlahan-lahan Mahisa Amping telah melakukan latihan membuka diri untuk mengangkat kekuatan cadangan yang terdalam sehingga ia pada saatnya akan mampu memanfaatkan tenaga cadangan di dalam dirinya dengan kekuatan yang cukup besar. Jika ia tetap rajin berlatih, maka ia pun akan dengan mudah mengetrapkan kekuatannya itu untuk mendukung ilmunya yang berkembang.
Ternyata Mahendra semakin lama semakin mampu melihat kelebihan Mahisa Amping. anak itu ternyata memiliki ketajaman penglihatan batinnya sehingga jika diasah, akan dapat menjadi landasan kemampuan yang sangat berarti bagi hidupnya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras untuk membangun perguruannya. Sekali-sekali terbersit pula keinginannya untuk melihat kembali lintasan perjalanannya. Beberapa kali ia berjanji kepada orang-orang yang pernah dikunjunginya, bahwa ia akan datang kembali pada suatu saat untuk melihat keadaan. Kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengancam pula beberapa orang yang sebelumnya bertingkah laku tidak sewajarnya dengan mengatakan, bahwa pada suatu saat ia akan kembali untuk melihat, apakah orang itu benar-benar telah merubah tingkah lakunya.
Tetapi ketika ia sudah berada di tengah-tengah perguruannya, maka kesempatan itu nampaknya sulit untuk didapatkannya. Apalagi Mahendra tiba-tiba saja telah menjadi terlalu tua untuk memimpin sebuah padepokan. Sebenarnyalah sepeninggal orang-orang terdekat yang umurnya tidak terpaut banyak dari umurnya, Mahendra memang merasa bahwa saat-saat seperti itu akan segera datang pula menjemputnya. Karena itu, maka Mahendra seakan-akan telah menempatkan diri di ambang pintu untuk menunggu saat itu benar-benar datang kepadanya.
Untunglah bahwa tiba-tiba telah hadir Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Bukan saja kedua orang anak muda itu merasa mendapatkan kesempatan cukup, tetapi mereka merupakan dorongan bagi Mahendra untuk tetap melakukan sesuatu sehingga di masa-masa terakhir, ia tidak merasa kehilangan arti bagi hidupnya. Dengan demikian, maka Mahendra yang merasa dirinya telah menjadi terlalu tua itu, sempat mengisi sisa-sisa hidupnya dengan kesibukan yang memberinya kegembiraan.
Seperti Mahisa Semu dan Mahisa Amping, maka Mahendra pun di setiap hari harus banyak melakukan kegiatan sebelum memasuki sanggar. Mengikuti kedua orang anak muda itu, Mahendra harus berlari-lari pula di dini hari. Mendaki tebing-tebing yang tinggi dan sekali-sekali menuruni lereng-lereng terjal. Berlari-lari melintasi pematang-pematang sawah dan tanggul-tanggul parit. Namun dengan demikian, Mahendra merasa dirinya tidak lagi tinggal menunggu hari-hari terakhirnya.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping, yang mendapat tuntunan olah kanuragan secara khusus dengan cara yang berbeda itu, dari hari ke hari meningkat semakin mapan. Mahisa Amping selain meningkatkan ilmu kanuragannya, maka oleh Mahendra telah diusahakan pula untuk mengasah ketajaman penglihatan batinnya disamping memelihara budi pekertinya.
Sementara itu, Mahisa Semu yang lebih tua dari Mahisa Amping telah mendapatkan kemungkinan yang lain bagi ilmunya. Pada umurnya, Mahisa Semu mulai mendapat tuntunan khusus untuk membangun tenaga dalamnya. Justru di saat wadagnya berkembang, maka ilmu itu menjadi sangat berarti baginya. Mahisa Semu seakan-akan telah mampu membangunkan tenaga berlipat ganda dari tenaga wadagnya karena kemampuannya mengangkat tenaga cadangan di dalam dirinya.
Sekali-sekali Mahendra telah membawa Mahisa Semu ke lereng-lereng pegunungan. Dengan keras Mahisa Semu telah melatih tangannya untuk menghantam batu-batu padas. Dengan tenaga cadangan di dalam dirinya, maka Mahisa Semu mulai dapat memecahkan batu-batu padas yang masih muda.
“Pada suatu saat, anak itu akan mendapat warisan ilmu yang jarang ada duanya. Bajra Geni,” berkata Mahendra di dalam hatinya. Namun Mahendra sendiri tidak akan mewariskan ilmu itu kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ia hanya akan mempersiapkannya. Semuanya terserah kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena mungkin ada beberapa hal yang mencegahnya untuk menurunkan ilmu itu.
Namun sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum berniat untuk sampai kepada satu keputusan untuk menjadikan Mahisa Amping dan juga Mahisa Semu pewaris ilmu Bajra Geni. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu kesempatan lain bagi mereka di masa-masa mendatang, karena mereka menyadari, bahwa pada suatu saat mereka akan berkeluarga dan mempunyai anak. Anak-anak mereka itu adalah pewaris yang paling baik dan paling berhak menerima ilmu puncak perguruan mereka, Bajra Geni.
Tetapi keduanya tidak akan ingkar, bahwa Mahisa Amping dan Mahisa Semu telah dibentuk oleh Mahendra atas persetujuan mereka untuk dapat ikut memimpin padepokan itu. Mereka diharapkan memiliki kelebihan ilmu dari yang lain karena kemampuan dasar yang ada di dalam diri mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya akan menjadi orang-orang kuat di masa datang bagi padepokannya itu.
Pada saat-saat tertentu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menilai peningkatan kemampuan Mahisa Amping dan Mahisa Semu yang meniti ke tingkat yang tinggi melalui jalan yang memang berbeda meskipun dengan landasan ilmu yang sama. Mahendra berusaha untuk menyesuaikan tingkat umur dan kemampuan dasar, yang ada pada anak-anak itu sendiri.
Sementara padepokan Bajra Seta berkembang pesat, maka Singasari pun menjadi semakin melejit di atas cakrawala. Para pemimpin di Singasari benar-benar mampu mempergunakan landasan modal yang ada bagi pengembangan masa mendatang. Apa yang pernah dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra ternyata menjadi sangat berarti bagi pertumbuhan Singasari selanjutnya. Para pemimpinnya, termasuk Sri Maharaja Singasari ternyata masih mempergunakan beberapa gagasan Mahisa Agni dan Witantra yang terpenting.
Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat Singasari telah membuat Singasari menjadi semakin tenang dan damai. Jarang sekali terjadi benturan kekerasan dan kejahatan. Setiap orang mendapat kesempatan untuk bekerja dengan tenang di bidang yang dikuasainya. Sawah-sawah yang terbentang sampai ke kaki pegunungan nampak hijau subur. Di bagian lain, hutan yang luas meliputi ngarai dan kaki bukit. Menyelimuti gunung dan lembah.
Namun dalam pada itu, api yang sudah padam di Kediri mulai menjilat kembali. Justru keadaan yang menjadi semakin tenang, telah memberi kesempatan beberapa orang memikirkan hubungan antara Kediri dan Singasari.
Beberapa orang justru mulai merasa, betapa tidak mampu lagi untuk menyatakan diri sebagai satu negara yang besar. Beberapa orang yang memiliki pengaruh di Kediri terlanjur berpendapat, bahwa orang-orang Kediri mempunyai beberapa kelebihan dari Tumapel yang kemudian menyatakan diri sebagai satu kerajaan yang bernama Singasari dan menelan kekuasaan Kediri ke dalamnya, sehingga Kediri kemudian berada di bawah kuasa Singasari.
Dalam gejolak yang terjadi sebelumnya, ketika Singasari bekerja keras mengangkat derajat kesejahteraan hidup rakyatnya, persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari telah dilupakan. Tetapi setelah masa sulit terlampaui, persoalan itu kembali muncul. Tetapi gejolak itu justru terjadi di lapisan di bawah permukaan. Secara resmi Kediri tidak merubah sikapnya. Pimpinan pemerintahan di Kediri masih tetap berpegang pada perjanjian dan ikatan yang ada.
Setelah luka-luka di tubuh para pewaris pemerintahan di Kediri terasa mulai sembuh, setelah terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang tetap berpegang kepada ikatan yang ada di antara Kediri dan. Singasari dengan mereka yang ingin mengembalikan masa-masa kejayaan Kediri sebelum Tumapel bangkit, ternyata persoalan yang sama mulai timbul kembali.
Dengan demikian, maka ketenangan yang meliputi Singasari termasuk Kediri, mulai nampak gelisah. Sekali-sekali mulai terjadi keributan antara orang-orang yang merindukan masa kejayaan Kediri dengan orang-orang Singasari. Orang-orang Kediri yang masih saja merasa derajatnya lebih tinggi, kadang-kadang telah melakukan tindakan yang tidak sewajarnya atas orang-orang Singasari.
Tetapi orang-orang Singasari yang kemudian merasa lebih berhak memerintah berdasarkan kekuasaan Singasari yang meliputi Kediri, tidak mau direndahkan. Sehingga dengan demikian maka kadang-kadang benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi.
Pimpinan pemerintahan di Singasari dan Kediri memang sudah berusaha untuk meredakan pertentangan yang timbul itu. Tetapi ternyata bahwa sangat sulit untuk merubah sikap dan pandangan hidup kedua belah pihak, sehingga benturan-benturan kekerasan itu masih saja sering terjadi.
Namun yang lebih parah adalah usaha orang-orang yang justru ingin memanfaatkan perselisihan yang sering timbul itu. Mereka yang semula tidak lagi tertarik kepada pekerjaannya, bagaikan harimau tidur yang dikejutkan oleh seekor kijang yang berlari di sisinya.
Tiba-tiba saja timbul niat mereka untuk menyelinap di antara perselisihan yang timbul di beberapa tempat itu. Mereka yang bagaikan harimau terbangun itu mulai mengaum dan menerkam ke sana-kemari untuk mendapatkan mangsa sebanyak-banyaknya. Seperti sekelompok orang yang mencari harta karun yang bertebaran di Kediri dan Singasari, mereka menyapu orang-orang yang berhasil mengumpulkan kekayaan di saat-saat yang tenang.
Para pedagang yang melintas hilir mudik di antara Kediri dan daerah Singasari lainnya di luar Kediri, bagaikan dihempaskan ke dalam mimpi buruk ketika mereka menghadapi kenyataan, kelompok-kelompok penyamun telah tumbuh di beberapa tempat. Setiap kali terdengar ungkapan kebencian dari orang-orang Singasari terhadap orang-orang Kediri. Tetapi sebaliknya satu saat mereka meneriakkan kutuk dan umpatan kepada orang-orang Singasari.
Orang-orang itu ternyata telah mempertajam kebencian orang-orang Kediri dan Singasari. Orang-orang Singasari mulai menuduh orang-orang Kediri membuat kerusuhan, sementara orang-orang Kediri menganggap orang-orang Singasari di luar Kediri telah membuat keonaran. Bagaimana pun juga para pemimpin Singasari dan Kediri mengusahakan agar hal tersebut tidak menjalar, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan demikian maka baik Singasari dan Kediri harus menurunkan prajurit-prajuritnya untuk mengawasi keadaan yang menjadi semakin buruk itu. Suasana di Singasari dan Kediri bagaikan saat-saat senja yang menjadi semakin gelap. Setelah matahari memanjat langit sampai ke puncak kecerahan, maka matahari itu telah menjadi semakin menurun sehingga akhirnya telah menjenguk ke balik pegunungan. Dan senja pun menjadi semakin suram. Demikian pula langit di Singasari.
Benturan-benturan kekerasan terjadi di beberapa tempat yang berada justru di batas kekuasaan Kediri yang telah menjadi bagian dari kekuasaan Singasari. Bahkan kadang-kadang terjadi jauh di luar batas lingkungan kekuasaan Kediri.
Para prajurit Singasari dan Kediri memang banyak mendapat kesulitan karena peristiwa-peristiwa yang terasa susul menyusul. Setiap kali terjadi benturan kekerasan, maka yang terasa adalah benturan antara Kediri dan Singasari. Namun setiap kali tentu diikuti dengan peristiwa lain. Perampokan, penyamun dan kejahatan-kejahatan yang lain.
Para pemimpin Singasari dan Kediri ternyata tanggap akan keadaan itu. Mereka segera menyatakan kepada orang-orang yang terutama berada di perbatasan, bahwa mereka telah menjadi korban tingkah laku para penjahat yang ingin mendapat kesempatan justru pada saat-saat yang menjadi semakin keruh. Tetapi mereka adalah bagian dari mereka yang justru dengan sengaja membuat kekeruhan itu.
Mahisa Bungalan yang berkuasa di Pakuwon Sangling tidak dapat membiarkan hal seperti itu terjadi. Bahkan Mahisa Bungalan telah bersikap keras terhadap para penjahat yang menyelubungi tingkah laku mereka dengan kemelut yang justru sedang terjadi antara Kediri dan Singasari.
Namun tindakan keras Mahisa Bungalan itu mempunyai akibat yang luas. Ketika Mahisa Bungalan berhasil menghancurkan sekelompok perampok yang mengacaukan lingkungan Pakuwon Sangling, maka sisa-sisa perampok yang sempat melarikan diri telah mendendam Akuwu Sangling yang bernama Mahisa Bungalan itu.
“Kita tidak akan dapat menghancurkan Sangling,” berkata salah seorang dari para pemimpin perampok yang sudah hampir musnah itu.
“Memang,” jawab kawannya, “kita harus menerima kenyataan ini. Kelompok kita sudah dilumatkan.”
“Apakah kita menerima hal ini dengan tanpa berbuat apa-apa?” bertanya seorang yang lain.
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya kawan-kawannya.
“Aku tahu kita tidak mempunyai kekuatan lagi. Tetapi kita dapat menghubungi beberapa orang kawan yang lain. Beberapa kelompok yang sejalan dengan kita, akan bersedia membantu kita dengan senang hati,” geram orang yang berusaha membakar dendam kawan-kawannya.
“Beberapa kelompok yang dapat kita kumpulkan. Berapa kuatnya kelompok kita yang baru itu untuk menghadapi Pakuwon Sangling,” bertanya seorang di antara mereka.
“Kita tidak akan menggempur Sangling,” jawab orang yang mendendam itu.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” bertanya seorang kawannya.
“Aku tahu, Akuwu Sangling mempunyai dua orang saudara muda yang berada di sebuah padepokan,” jawab orang itu, “padepokan yang menyebut dirinya Bajra Seta.”
“Maksudmu?” bertanya kawannya.
“Kita membalas sakit hati kita. Kita tidak mungkin menggempur Sangling. Tetapi kita akan mampu menghancurkan padepokan itu. Akuwu Sangling tentu akan merasa sakit pula hatinya, jika kedua orang adiknya kita binasakan,” jawab orang itu.
Para perampok itu termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara kawan-kawannya bertanya, “Apa keuntungan kita dengan menyerang padepokan itu? Apakah padepokan itu mempunyai harta benda yang cukup banyak?”
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu, “tetapi yang penting kita membalas dendam karena hati kita sudah disakiti. Beberapa orang kawan kita telah terbunuh, Kita akan membalas dendam dengan membunuh saudara-saudara Akuwu Sangling itu.”
Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Aku setuju. Kita harus membalas sakit hati kita.”
Ternyata yang lain pun kemudian telah menyetujui pula rencana itu. Mereka akan mengumpulkan kawan-kawan mereka sebanyak-banyaknya untuk menghancurkan sebuah padepokan yang bernama Padepokan Bajra Seta. Padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara muda Mahisa Bungalan, Akuwu Sangling.
Para perampok yang tersisa dan menjadi sakit hati itu telah menghubungi beberapa kelompok yang lain. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang sudah turun lagi ke arena pekerjaan mereka yang sudah beberapa lama mereka tinggalkan. Tetapi ada pula kelompok yang masih ragu-ragu untuk memulainya. Namun ternyata bahwa hubungan di antara mereka telah membangkitkan niat mereka untuk terjun kembali ke dalam dunia mereka yang kelam itu.
“Kita memerlukan pemanasan,” berkata salah seorang pemimpin kelompok yang dihubungi oleh para perampok yang sakit hati itu. Karena itu, ketika datang ajakan untuk menyerang sebuah padepokan yang kurang dikenal, maka para perampok itu merasa mendapat sasaran untuk memanaskan darah mereka.
“Jika senjata kami telah basah oleh darah, maka kami tidak akan ragu-ragu lagi. Senjata kami akan sekali lagi dan sekali lagi minum darah yang hangat,” berkata salah seorang pemimpin kelompok perampok yang sudah cukup lama tidak turun medan perburuan.
Karena itulah, maka para perampok itu dalam waktu singkat telah mendapat banyak kawan untuk melakukan rencana mereka itu. Membalas dendam sakit hati yang ditimbulkan oleh Akuwu Sangling.
“Saudara laki-laki Akuwu Sangling itu harus dibunuh. Kita akan membawa mayatnya dan akan kita lemparkan ke halaman Pakuwon Sangling, agar Akuwu melihatnya dan merasa bersalah. Untuk selanjutnya ia tidak akan melakukan kesombongan itu sekali lagi,” berkata seseorang yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya yang terbunuh.
Para perampok yang telah bergabung itu kemudian mulai mengadakan pengamatan atas sebuah padepokan yang memang agak jauh dari Sangling. Mereka mulai mengamati kekuatan yang ada di padepokan itu. Beberapa orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Tetapi karena orang-orang padepokan itu bukan orang yang sombong, maka mereka lebih banyak merendahkan dirinya. Ketika ada di antara mereka yang pergi ke pasar dan berbicara dengan para perampok dalam tugas sandinya, maka orang-orang padepokan itu selalu merendahkan diri.
Namun sikap merendah itu telah menumbuhkan gambaran yang salah dari antara para perampok itu atas kekuatan yang ada di padepokan. Meskipun jumlah orang yang mereka ketahui hampir mendekati jumlah yang sebenarnya, namun perkiraan mereka tentang kemampuan orang-orang padepokan itulah yang salah.
Sebenarnyalah sejak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali, maka latihan-latihan selalu dilakukan pada saat-saat yang sudah ditentukan. Orang-orang yang sudah terlalu lama tidak menempa diri, karena Mahendra yang sudah menjadi semakin tua dan tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk melakukan latihan-latihan bagi para penghuni padepokan itu, telah membangkitkan kemauan mereka kembali. Dengan tekun mereka selalu mengikuti latihan-latihan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan yang diberikan oleh saudara-saudara seperguruan yang lebih tua yang telah mendapat latihan-latihan khusus untuk itu.
Dengan demikian, maka hampir setiap orang di padepokan itu telah berhasil meningkatkan kemampuan mereka. Apalagi orang-orang khusus yang akan mendapat tugas membantu kepemimpinan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebelum orang yang benar-benar akan mendapat tugas untuk itu hadir di tengah-tengah mereka.
Bahkan Mahisa Amping yang masih kanak-kanak itu pun telah memiliki ilmu yang memadai untuk melindungi dirinya sendiri. Demikian pula Mahisa Semu. Mereka juga telah memiliki kemampuan untuk membangunkan tenaga cadangan di dalam diri mereka sehingga kekuatan mereka seakan-akan telah menjadi berlipat ganda.
Sementara itu, para perampok yang telah mengenali kekuatan di padepokan itu telah memperhitungkan, bahwa kekuatan mereka telah berlebihan. Mereka yakin bahwa mereka bersama dengan kelompok-kelompok perampok dan penyamun serta perguruan yang berlandaskan ajaran ilmu hitam akan dapat menggulung padepokan Bajra Seta. Membunuh dua orang saudara Mahisa Bungalan dan membawa mayat mereka ke Pakuwon Sangling, agar Akuwu Sangling menyadari, bahwa apa yang telah dilakukannya atas para penjahat, telah membuat para penjahat itu sakit hati.
Dari hari ke hari, maka persiapan pun menjadi semakin matang. Beberapa orang yang ditugaskan, telah mulai mengamati tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di padepokan itu dan sekitarnya. Mengamati orang-orangnya dan kebiasaan yang mereka lakukan. Akhirnya, para penjahat itu telah sampai pada satu keputusan untuk benar-benar menyerang padepokan itu.
“Tiga hari lagi, kita akan menyerang dan menghancurkan padepokan itu. Kedua saudara Mahisa Bungalan itu jangan sampai sempat meloloskan diri. Mereka berdua harus dibunuh dan mayatnya harus dibawa ke Sangling. Baru jika Akuwu Sangling terpukul oleh kematian kedua orang saudaranya itu, maka apa yang kita lakukan itu dapat dianggap berhasil. Sebaliknya meskipun kita mampu membunuh saudara-saudara Akuwu Sangling, namun Akuwu itu tidak tahu bahwa kedua adiknya itu mati dalam hubungan dengan langkah-langkah yang diambilnya terhadap para penjahat, maka pekerjaan mereka itu sia-sia.”
“Yang terpenting buat kita adalah, bahwa Mahisa Bungalan menjadi tersiksa oleh kematian kedua adiknya. Dalam keadaan yang demikian, kita akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu,” desis pemimpin perampok yang mendendam itu.
Dengan demikian, maka padepokan Bajra Seta itu telah mendapat pengamatan yang sangat ketat. Hampir setiap orang yang keluar dari padepokan, mendapat pengamatan ketat. Orang-orang yang merasa sakit hati dan mendendam kepada Mahisa Bungalan selaku Akuwu Sangling benar-benar tidak ingin melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu ketika Mahisa Murti pergi ke padukuhan sebelah untuk satu keperluan, maka beberapa orang telah mengikutinya dari kejauhan dan mengawasinya, apakah ia kembali ke padepokannya atau tidak. Namun ternyata tidak lama kemudian, Mahisa Murti telah kembali memasuki regol halaman padepokannya.
“Sebaiknya kita tidak terlalu lama menunggu,” berkata salah seorang di antara mereka yang mengamati padepokan itu.
“Ya,” sahut yang lain, “jika mereka mengetahuinya, maka mungkin sekali kedua orang anak muda itu melarikan diri.”
“Itu adalah tugas kita,” berkata orang yang pertama. “Jika keduanya berusaha melarikan diri karena mereka mengetahui bahwa kita telah siap untuk menyerang padepokan mereka, maka mereka berdua harus kita tangkap hidup atau mati.”
“Lebih baik jika hidup. Kita akan dapat membuat Mahisa Bungalan itu semakin sakit hati,” desis kawannya.
“Tetapi tentu tidak mudah dapat menangkap mereka hidup-hidup karena mereka tentu akan tetap melawan,” jawab orang yang pertama.
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun dalam pada itu, dua orang cantrik telah menjadi curiga atas kehadiran beberapa orang yang dengan diam-diam selalu mengawasi padepokan mereka. Karena itu, maka seperti orang-orang itu mengawasi padepokan dengan diam-diam, maka para cantrik itu pun melakukan hal yang sama atas mereka. Ternyata para cantrik itu menjadi curiga. Sikap orang-orang itu benar-benar tidak wajar.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun segera teringat kepada orang-orang yang memusuhinya. Padepokan palsu, yang dipimpin oleh orang-orang-yang mengaku dari padepokan Nagateleng. Bahkan seorang di antara mereka telah mengaku sebagai Kiai Nagateleng itu sendiri, sementara Kiai Nagateleng telah tidak ada. Selain itu maka mungkin sekali orang yang menyebut dirinya Empu Kanthi itu pun tentu mendendam mereka pula. Selain Empu Rangkut telah terbunuh, maka ia seolah-olah telah mampu menghancurkan keberanian delapan orang pengikutnya.
Tetapi banyak hal dapat terjadi. Namun yang dilihat oleh para cantrik itu hanya beberapa orang yang mengamati padepokan mereka dengan sikap yang sangat mencurigakan. Karena itu pula maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengundang para pemimpin padepokan Bajra Seta untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tidak ada tanda-tanda akan ada serangan lagi,” berkata salah seorang di antara para cantrik yang telah mendapat latihan-latihan khusus. “Kita tidak merasa bermusuhan dengan siapapun. Empu Kanthi telah tidak mempunyai kekuatan lagi setelah kegagalannya. Orang-orangnya banyak yang menjadi korban, sementara itu sekelompok yang lain, justru telah bertemu dan dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan orang yang disebut bernama Empu Rangkut telah terbunuh pula.”
“Mungkin ia berhubungan dengan orang lain,” berkata cantrik yang lain lagi, “ia telah menyeret sebuah atau lebih padepokan lain untuk ikut serta membalaskan dendamnya.”
Cantrik yang pertama itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi siapa pun yang telah melakukannya, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin kita tidak merasa mempunyai lawan. Tetapi orang lain mungkin mempunyai sikap yang tidak dapat kita mengerti telah memusuhi kita. Mungkin justru karena sikap iri hati atau sikap lain yang tidak terungkap sebagai sikap bermusuhan. Namun tiba-tiba saja mereka telah mengambil sikap yang lebih kasar. Menyerang padepokan kita seperti yang pernah terjadi.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sependapat. Bahkan Mahendra yang ikut mendengarkan pembicaraan itu pun mengiakannya pula.
“Jika demikian, awasi orang-orang yang mencurigakan itu. Selanjutnya kita harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Kita sama sekali tidak mempunyai keterangan tentang orang-orang itu. Juga seandainya ada sekelompok orang yang memusuhi kita,” berkata Mahisa Murti pula.
Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Mereka telah mendapat isyarat, bahwa mereka harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas padepokan itu.
Di hari berikutnya, ketiga orang cantrik berusaha dengan sengaja untuk melihat sendiri orang-orang yang mengamati padepokannya itu, memang telah melihat tiga orang yang duduk di bawah sebatang pohon yang rindang memandang ke arah padepokannya di tempat yang agak jauh dan lebih rendah. Dari percakapan mereka, maka cantrik itu sempat mendengar bahwa besok padepokan itu akan dihancurkan.
“Sebenarnya sayang juga,” berkata seorang di antara ketiga orang itu, “tetapi apa boleh buat. Padepokan itu memang tidak mempunyai arti apa-apa bagi kita. Yang harus kita ingat adalah pesan para pemimpin kita, dua orang adik Mahisa Bungalan itu tidak boleh meloloskan diri. Apa pun yang terjadi, keduanya harus jatuh ke tangan kita. Hidup atau mati.”
Cantrik itu memang menjadi berdebar-debar. Namun ia sempat mendengar, bahwa besok padepokan itu akan diserang. Bagi cantrik itu, keterangan itu sudah cukup memberikan peringatan, bahwa padepokan Bajra Seta memang harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tanpa mengetahui alasannya yang pasti, maka cantrik itu pun segera melaporkannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Untunglah kau tidak tertangkap oleh mereka,” berkata Mahisa Murti.
“Kenapa kau hanya seorang diri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Lebih aman seorang diri,” jawab cantrik itu, “jika tertangkap, aku tidak membawa orang lain dalam malapetaka itu. Tetapi apakah dengan bekal ilmuku, aku tidak mampu melarikan diri dari ketiga orang itu? Aku tidak berbicara tentang kemampuanku untuk mengalahkan mereka, karena aku tidak tahu landasan kemampuan mereka bertiga.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Sementara orang itu berkata, “Tidak ada alasan yang dapat aku tangkap dari pembicaraan mereka. Namun mereka mengatakan bahwa yang terpenting bukan untuk menghancurkan padepokan itu. Tetapi dendam mereka kepada adik Mahisa Bungalan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara cantrik itu menirukan apa yang didengarnya dari ketiga orang dibawah pohon yang rindang itu. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya,
“Baiklah. Ternyata ada sangkut pautnya dengan kakang Mahisa Bungalan. Tetapi sudah tentu tidak ada waktu untuk berbicara dengan kakang Akuwu Sangling. Jika kita menghubunginya, maka kita akan terlambat jika benar mereka akan menyerang besok.”
“Menurut pendengaranku memang demikian,” jawab cantrik itu.
Memang satu persoalan yang rumit. Para pemimpin padepokan Bajra Seta tidak mendapat keterangan sama sekali tentang kekuatan lawan. Sementara itu, lawan mereka tentu sudah sempat mengukur kekuatan padepokan Bajra Seta, sehingga mereka akan dapat memperhitungkan kekuatan yang akan mereka bawa.
“Agaknya bukan kekuatan Empu Kanthi,” desis Mahisa Murti.
“Agaknya bukan, karena mereka mengkaitkan gerakan mereka dengan kakang Mahisa Bungalan,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kita harus bersiap-siap sejak sekarang. Kita akan bertahan di dalam dinding padepokan justru karena kita tidak mengetahui kekuatan mereka.”
Ternyata Mahisa Pukat juga sependapat. Adalah sangat berbahaya jika mereka turun keluar dinding halaman padepokan. Mereka akan dapat terhisap oleh kekuatan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanggil para cantrik yang telah dianggap cukup dewasa ilmunya. Dengan jelas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menguraikan rencana mereka justru karena para cantrik telah melihat sikap yang mencurigakan dari orang-orang yang tidak dikenal. Sedangkan seorang cantrik yang secara khusus sempat mengikuti pembicaraan pendek tiga orang yang mencurigakan mendapat keterangan bahwa besok akan datang serangan atas padepokan itu.
“Kita sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang orang-orang yang akan datang menyerang. Baik jumlahnya maupun tingkat kemampuan mereka,” berkata Mahisa Murti, “karena itu, kita harus menyiapkan kemampuan tertinggi yang dapat kita bangunkan di sini.”
“Kita siapkan pertahanan pada dinding padepokan kita,” Mahisa Pukat meneruskan keterangan Mahisa Murti, “kita siapkan senjata jarak jauh. Kemudian, kita harus membagi kekuatan. Kita tidak tahu apakah mereka akan menyerang dengan mengepung seluruh padepokan ini, atau mereka akan datang dari satu dua arah saja. Kita harus membuat rencana yang tersusun. Apa yang akan kita kerjakan jika mereka datang dan mengepung seluruh padepokan, dan apa yang akan kita lakukan jika mereka datang dari satu atau dua arah."
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjuk sepuluh orang cantik untuk bersama-sama menyusun rencana pertahanan dan kemudian sekaligus memimpin para cantrik yang lain.
Menjelang malam, rencana sudah tersusun rapi. Kepada para cantrik yang dianggap cukup berbekal ilmu, telah diperintahkan untuk berkumpul. Mereka menerima tanggung jawab masing-masing. Berapa orang cantrik yang harus mereka pimpin. Setiap orang tahu pasti apa yang harus dikerjakan. Namun mereka pun harus dengan cepat mengambil keputusan di dalam setiap perubahan keadaan.
“Jika malam turun, semua harus sudah berada di tempat mereka masing-masing,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “beberapa orang khusus akan melihat keadaan di luar padepokan. Mereka akan masuk kembali dengan isyarat sandi tertentu, tidak melalui regol padepokan. Tetapi mereka akan memanjat tali dari belakang. Mudah-mudahan dari mereka kita mendapatkan sedikit gambaran, apa yang sedang kita hadapi sekarang.”
Demikianlah, ketika pertemuan itu dibubarkan, maka para cantrik pun telah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemui ayahnya pula.
Mahendra mendengarkan keterangan kedua orang anaknya sambil mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, “Agaknya mereka bukan orang-orang yang pernah menyerang padepokan ini. Tetapi mereka agaknya mempunyai hubungan dengan kakak kalian, Mahisa Bungalan. Ternyata ketiga orang itu telah menyebut-nyebut namanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Memang tidak ada pilihan lain bagi kalian selain menyiapkan kekuatan dan kemampuan setinggi-tingginya karena kita tidak tahu, seberapa besar kekuatan dan kemampuan lawan. Agaknya para cantrik harus berusaha menahan kekuatan itu sebelum mereka mencapai dinding padepokan.”
“Dengan senjata jarak jauh maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahendra, “panah dan lembing.”
“Kami sudah berusaha mempersiapkan sebanyak-banyaknya. Bahkan bandil dan bebatuan di atas panggungan di belakang dinding padepokan. Kita memperhitungkan, bahwa orang-orang itu tentu akan berusaha memanjat dinding. Mungkin dengan tali, mungkin dengan tangga-tangga bambu. Mungkin pula mereka membawa alat yang cukup besar untuk memecahkan dinding atau pintu gerbang padepokan,” berkata Mahisa Pukat selanjutnya.
“Menurut pendapatku, kalian sudah benar. Dengan demikian jika kekuatan yang ada di padepokan ini, maka para cantrik harus memanfaatkan senjata jarak jauh itu sebaik-baiknya,” berkata Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula.
“Nah,” berkata Mahendra, “kau harus melihat persiapan para cantrik sekarang.”
“Baik ayah,” jawab Mahisa Murti.
“Bawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping bersamamu,” berkata Mahendra pula, “mereka harus melihat persiapan itu. Satu pengalaman yang tentu sangat menarik bagi mereka.”
Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengelilingi dinding padepokan. Bukan saja Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang dibawanya, tetapi dua orang cantrik yang terpilih bersama Wantilan pula.
“Kita tidak tahu apakah kekuatan kita cukup memadai paman,” berkata Mahisa Murti kepada Wantilan.
“Aku belum pernah melihat sebuah padepokan yang memiliki kekuatan sebesar ini. Dengan jumlah cantrik yang sangat besar,” desis Wantilan.
“Tetapi bukankah paman tahu, bukan semuanya yang ada di padepokan ini menyatakan diri menjadi cantrik. Mereka sebagian adalah anak-anak padukuhan di sekitar tempat ini yang ikut belajar di sini. Bahkan ada di antara mereka yang sengaja dikirim oleh orang tuanya atau oleh Ki Bekel di padukuhannya untuk menyadap pengetahuan bukan saja kanuragan, tetapi juga mengenal pertanian, pemeliharaan ternak, pande besi dan kemampuan-kemampuan lain yang kami miliki.”
“Meskipun mereka tidak menyatakan diri sebagai cantrik di padepokan ini, tetapi ada ikatan antara padepokan ini dengan mereka. Bahkan dengan padukuhan mereka,” berkata Wantilan. Lalu katanya, “Hal itu tampak jelas seperti sekarang ini. Ternyata tanpa diminta mereka telah menyatakan diri untuk ikut mempertahankan padepokan ini dari kemungkinan yang paling buruk.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sebenarnyalah anak-anak muda yang telah dikirimkan oleh beberapa padukuhan dan yang lain atas kehendak mereka atau keluarga mereka telah bersedia untuk dengan suka rela ikut mempertahankan padepokan itu ketika mereka mendengar kemungkinan buruk bakal terjadi. Mereka justru telah memasuki padepokan itu dan tidak keluar kembali sehari sejak berita tentang kehadiran orang-orang yang tidak dikenal itu terdengar di padepokan.
Namun dengan demikian, anak-anak muda itu sebagian sempat dilihat oleh orang-orang yang mendapat tugas untuk mengamati padepokan itu, sehingga telah diperhitungkan sebagai kekuatan yang ada di padepokan itu.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama beberapa orang yang mengiringinya telah sempat menyaksikan seluruh kekuatan yang ada di padepokan itu dalam kesiagaan penuh. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga menganjurkan, agar mereka menyempatkan diri untuk beristirahat bergantian, karena besok agaknya mereka harus bekerja keras untuk mempertahankan padepokan mereka.
Apalagi ketika lewat tengah malam, dua orang pengamat telah datang untuk melaporkan. Kekuatan yang besar telah berada di pategalan di sebelah padukuhan yang terletak di arah depan padepokan. Sedang kekuatan yang lain, memencar dalam kelompok-kelompok kecil di arah sisi sebelah kiri dan kanan dari padepokan mereka.
“Apakah mereka akan menyerang dari tiga arah,” desis Mahisa Pukat.
“Apakah kalian tidak melihat kesatuan di arah belakang padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
Para cantrik yang bertugas mengamati keadaan itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Kami tidak melihat ada pasukan di arah belakang padepokan. Kami sudah memutari padepokan ini dengan hati-hati.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Namun mereka pun kemudian telah membagi diri untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi seluruh pasukan yang ada di belakang dinding padepokan itu. Sementara itu mereka telah minta agar Mahisa Amping, Mahisa Semu dan Wantilan untuk beristirahat.
“Besok kalian akan terlibat langsung,” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah, selain yang bertugas, maka seluruh kekuatan yang ada di padepokan itu telah beristirahat sebaik-baiknya. Namun dalam pada itu, berpuluh-puluh ikat anak panah telah berada di atas panggungan. Demikian pula lembing dan senjata-senjata jarak jauh yang lain pun telah disediakan. Paser, bandil dan bahkan tombak-tombak panjang untuk menyambut lawan yang berhasil memanjat dinding.
Namun dalam pada itu, di atas pintu gerbang pun telah bersiap kelompok khusus. Meskipun mereka masih juga sempat beristirahat, tetapi mereka siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang hampir semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Menjelang dini keduanya sempat memejamkan mata sejenak. Namun mereka pun segera terbangun ketika mereka mendapat laporan, bahwa di depan padepokan terdapat pasukan yang telah bersiap. Mereka telah menyalakan obor-obor minyak dan oncor jarak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera pergi ke panggungan di atas regol padepokan. Sementara itu, diperintahkannya semua cantrik untuk segera makan, minum dan memeriksa senjata-senjata mereka. Dari atas panggungan di atas regol padepokan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat beberapa puluh obor. Tetapi tidak terlalu dekat di hadapan regol padepokan mereka.
“Masih ada waktu,” berkata Mahisa Murti kepada seorang cantrik yang ada di sebelahnya, “biarlah mereka makan dan minum secukupnya. Jika obor-obor itu mulai bergerak, kita akan memberi tanda.”
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pasukan itu tidak segera bergerak. Nampaknya mereka masih mengatur diri dan pemimpinnya masih memberikan beberapa perintah untuk mereka.
Sementara itu, para cantrik yang telah selesai makan, minum dan berbenah diri, telah menempatkan dirinya sesuai dengan rencana. Mereka telah bersiap di atas panggungan dengan busur di tangan. Sementara yang lain telah bersiap-siap untuk melontarkan lembing, memutar bandil dan yang lain lagi menggenggam tangkai tombak panjang. Sementara itu di lambung mereka tergantung pedang yang masih ada di dalam sarungnya.
Beberapa saat kemudian, maka obor-obor itu pun mulai bergerak. Namun sama sekali tidak nampak obor yang berada di arah kiri dan kanan padepokan itu. Agaknya mereka memang tidak mempergunakan obor atau oncor-oncor biji jarak. Mereka dengan diam-diam merangkak mendekati dinding padepokan.
Namun para cantrik telah siap bertahan dari serangan-serangan yang datang dari manapun. Bahkan di bagian belakang padepokan pun mendapat pengawasan cukup ketat oleh beberapa orang cantrik, meskipun menurut keterangan para pengawas, tidak ada pasukan lawan di belakang padepokan.
Tidak ada tanda-tanda apa pun yang dapat didengar oleh para cantrik di panggungan, di belakang dinding padepokan. Mereka hanya melihat obor-obor yang mulai bergerak. Namun mereka pun yakin, bahwa pasukan di sisi sebelah kiri dan kanan juga mulai bergerak pula.
Beberapa saat kemudian, maka langit pun mulai dibayangi sinar matahari pagi. Keremangan fajar pun telah menguak dan pagi menjadi semakin terang. Pada saat yang demikian itulah, maka para cantrik mulai melihat pasukan yang bergerak mendekati padepokan. Memang dari tiga arah sebagaimana dilaporkan oleh para pengawas. Sedangkan para cantrik yang berjaga-jaga di bagian belakang padepokan memang tidak melihat pasukan yang datang mendekat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di panggungan di atas regol halaman padepokan pun segera memberikan beberapa isyarat kepada para cantrik yang telah bersiap sepenuhnya. Sementara itu Mahendra pun telah berada di panggungan itu pula bersama Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Sedangkan Wantilan telah menyatu dengan para cantrik yang bertugas di atas regol itu.
“Kami akan berada di sebelah menyebelah regol ini ayah,” berkata Mahisa Murti, “kami mohon ayah memegang pimpinan di sini.”
Mahendra tidak menolak. Ia pun telah bersiap untuk bertempur. Meskipun ia sudah terhitung tua, tetapi ia masih memiliki tenaga dan kemampuan untuk berbuat sesuatu.
Mahisa Amping dan Mahisa Semu memang menjadi berdebar-debar. Mereka akan benar-benar berada di medan perang. Beberapa saat kemudian, maka pasukan lawan yang menjadi semakin dekat itu telah berhenti. Menurut pengamatan mereka yang ada di padepokan, jumlah mereka memang lebih banyak dari para cantrik yang bertahan.
Tetapi para cantrik sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka memiliki beberapa kesempatan yang lebih baik dari lawan mereka yang lebih banyak itu. Para cantrik itu berada di belakang dinding padepokan, sehingga mereka terlindung. Sementara itu mereka hanya bertahan dan tidak menyerang dengan berusaha meloncati dinding. Dengan demikian, maka mereka akan dapat lebih leluasa menyerang lawan-lawan mereka dengan senjata jarak jauh dari pada mereka yang berada di luar padepokan.
Sementara itu, ketika pasukan yang berada di luar dinding padepokan itu berhenti, maka lima orang telah berjalan ke arah dinding padepokan dan berhenti pula beberapa langkah dari regol.
Mahendra yang berada di atas regol menyadari, bahwa kelima orang itu adalah pemimpin dari pasukan yang datang menyerang padepokan itu. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masing-masing berada di sebelah-menyebelah regol, maka Mahendra lah yang telah menerima para pemimpin pasukan yang menyerang itu.
Dengan lantang salah seorang di antara kelima orang itu telah berteriak, “He, siapakah pemimpin padepokan ini?”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Ia bukan pemimpin yang sebenarnya. Tetapi karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berada di atas regol, maka akhirnya Mahendra lah yang menjawab, “Akulah pemimpin padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ada di sebelah menyebelah regol mendengar pula pertanyaan itu. Mereka sama sekali tidak berkeberatan mendengar jawaban ayahnya yang mengaku sebagai pimpinan padepokan itu, karena ayahnya tentu tidak akan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan padepokan itu.
“Bagus,” Orang yang berada di depan regol itu berteriak, “jika demikian, aku minta kau serahkan dua orang anak muda yang mengaku di antara mereka para pemimpin padepokan ini bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, adik Akuwu Sangling yang bernama Mahisa Bungalan.”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun ia pun bertanya, “Apa salah mereka? Mereka tidak pernah berbuat jahat kepada siapa pun juga.”
“Mungkin. Tetapi nasibnyalah yang buruk. Serahkan keduanya kepada kami, atau padepokan ini akan kami lumatkan menjadi debu,” jawab orang itu.
“Ya. Tetapi apa salah mereka terhadap kalian dan apa hubungan mereka, meskipun mereka adiknya, dengan Akuwu Sangling dalam hal ini,” bertanya Mahendra.
“Ketahuilah, Akuwu Sangling telah melakukan kejahatan besar terhadap kawan-kawan kami. Adalah kebetulan bahwa kawan-kawan kami tinggal di Sangling. Dengan sewenang-wenang Akuwu Sangling telah memperlakukan kawan-kawan kami dengan tidak adil. Bahkan lebih jatuh banyak korban di antara kawan-kawan kami,” berkata orang itu.
“Jika demikian kenapa kalian tidak menuntut Akuwu Sangling. Kenapa kalian tidak pergi ke Sangling dan minta keadilan. Kenapa kalian justru pergi ke padepokan ini?” bertanya Mahendra.
“Kami akan menangkap adik Akuwu Sangling itu. Kami akan membawanya ke Sangling, hidup atau mati. Kami ingin membalas sakit hati kami terhadap Akuwu Sangling itu,” jawab orang itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “jadi persoalannya bukan persoalan kalian dengan kedua adik Akuwu Sangling itu. Tetapi persoalan kalian dengan Akuwu Sangling itu sendiri,” berkata Mahendra.
“Ya. Tetapi kedua orang anak muda itu akan menjadi satu alat untuk membalas sakit hati kami. Karena itu, serahkan saja kedua orang anak muda itu. Padepokanmu akan selamat. Aku akan melupakan padepokan ini untuk selama-lamanya dan tidak akan datang lagi mengganggu,” berkata orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Mahendra, “padepokan ini akan melindungi setiap anggotanya dari kebengisan siapa pun juga, termasuk kalian semuanya. Sudah tentu bahwa kami tidak akan menyerahkan kedua orang anggota padepokan kami. Keduanya adalah orang-orang yang justru sangat berarti bagi kami. Keduanya sudah melewati masa pendadaran mereka sebagai cantrik werda di padepokan ini, sehingga keduanya berhak menyandang gelar Putut. Karena itu, sudah tentu bahwa kami tidak akan menyerahkan mereka.”
“Ki Sanak,” berkata orang di depan regol itu, “dengan demikian kau hanya kehilangan dua orang Putut. Tetapi jika kau tidak mau mendengarkan aku dan melakukan perlawanan, maka kau tidak hanya akan kehilangan dua orang Putut. Tetapi kau akan kehilangan semuanya. Kedua Putut itu akan mati, para jejanggan dan cantrik pun akan mati. Demikian pula kau dan seluruh padepokanmu akan lumat menjadi abu.”
“Menarik sekali. Bukankah itu lebih baik daripada aku telah berkhianat kepada kedua orang Pututku sendiri?” desis Mahendra.
“Kau memang bodoh. Kau korbankan nyawamu untuk kedua orang adik Mahisa Bungalan dari Sangling itu. Mereka tidak akan berarti apa-apa bagimu,” teriak orang yang berdiri di depan regol itu.
Tetapi jawaban Mahendra mengejutkan, “Aku adalah ayah mereka.”
Orang-orang yang berada di depan regol itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara mereka berkata lantang, “Kebetulan sekali. Jika kau ayah anak-anak muda itu, maka berarti kau juga ayah Akuwu Sangling.”
“Ya,” jawab Mahendra, “aku adalah ayah Mahisa Bungalan.”
“Jika demikian, kami akan menyeret mayatmu dan mayat kedua anakmu itu di sepanjang jalan-jalan di Pakuwon Sangling. Seluruh rakyat Sangling akan melihat apa yang telah terjadi. Akuwu Sangling akan pingsan karenanya dan akhirnya ia akan mati penuh penyesalan,” geram orang itu.
“Kau kira anakku itu cengeng? Jika ia tahu ayah dan saudara-saudaranya mati membela kebenaran, maka ia tidak akan menitikkan air mata, apalagi pingsan dan mati karena sedih dan menyesal. Tetapi anakku itu akan merasa bangga karenanya. Ia akan membuat candi untuk memperingati dan menghormati ayahnya dan saudara-saudaranya yang terbunuh oleh orang-orang jahat,” Mahendra berhenti sejenak. Lalu ia telah bertanya, “Siapakah kalian, he? Semakin tinggi matahari, semakin nampak tampang-tampang kalian. Memang tidak selamanya, ujud lahiriah mewakili sikap batin. Tetapi karena kalian semuanya memberikan kesan kasar dan liar, maka aku dapat menduga, bahwa kalian adalah sekelompok perampok, penyamun, penjahat dan barangkali orang-orang yang melarikan diri dari kejaran para prajurit Sangling.”
“Tutup mulutmu,” teriak dua orang yang berdiri di regol itu hampir bersamaan, sementara yang lain telah menggeretakkan giginya dengan marah.
“Bagus,” berkata seorang di antara mereka, “jika demikian maka kau memang harus mati. Kedua anakmu harus mati. Padepokan ini akan menjadi karang abang. Semua cantrik dan orang-orang yang ada di padepokan ini akan mati. Tetapi jika kalian bertiga menyerahkan diri, maka yang lain akan selamat. Atau karena kesadaran para cantrik, dengan suka rela menangkap dan menyerahkan kepada kami ketiga orang itu, yang lain akan diampuni.”
Mahendra tertawa. Katanya, “begitu mudahnya kalian menyelesaikan persoalan kalian Ki Sanak. Sekarang, lakukan apa yang ingin kalian lakukan. Kami sudah siap. Siapakah di antara kita yang akan hancur menjadi debu lebih dahulu. Kami atau kalian.”
“Setan tua yang tidak tahu diri. Kau kira kau siapa he? Berapa jumlah cantrik-cantrikmu? Kau adalah seorang pemimpin padepokan yang mementingkan diri sendiri. Kau sama sekali bukan seorang pemimpin yang bersedia berkorban untuk murid-muridmu. Jika kau menyerah, maka namamu akan tetap diingat oleh para muridmu, karena kau sudah mengorbankan diri untuk keselamatan mereka. Dengan pengorbananmu, maka murid-muridku akan terlepas dari maut dan kehancuran.”
“Biarlah aku tidak mendapatkan pujian dari siapa pun juga. Biarlah aku segera dilupakan. Kalian tidak usaha menganggap kami yang ada di padepokan ini kanak-kanak yang dapat ditakut-takuti, dan dibujuk dengan janji-janji dan dapat dikelabui dengan puji-pujian,” jawab Mahendra, “bersiaplah dan lakukan apa yang akan kau lakukan, atau kalian memang hanya ingin menggertak kami tanpa berani berbuat apa-apa.”
“Iblis pikun,” teriak seorang di antara mereka, “bersiaplah untuk mati. Biarlah padepokanmu menjadi abu.”
Mahendra tidak menjawab lagi. Dipandanginya orang-orang itu yang kemudian dengan marah meninggalkan regol dan kembali ke pasukan mereka. Beberapa saat orang-orang itu berbicara dengan para pemimpin yang lain. Nampaknya mereka memang menemukan kesepakatan. Menghancurkan padepokan itu sampai lumat.
Dengan demikian, maka pemimpin tertinggi pasukan yang siap menyerang itu telah memberikan isyarat. Kemudian sebuah kentongan kecil telah berbunyi disambut oleh kentongan kecil yang lain dari para pemimpin yang ada di sebelah kiri dan kanan padepokan. Nampaknya aba-aba terakhir telah diberikan, sehingga orang-orang dalam pasukan itu telah benar-benar bersiap untuk menyerang.
Mereka memang membawa beberapa buah tangga. Tali berkait dan beberapa perlengkapan lain, seperti senjata-senjata jarak jauh untuk melindungi orang-orang mereka yang akan memanjat tali atau tangga yang akan mereka sandarkan pada dinding padepokan itu. Namun tidak ada di antara mereka yang membawa alat untuk dengan paksa membuka regol halaman. Namun beberapa orang yang telah dipersiapkan untuk merusak regol adalah beberapa orang pilihan dengan bersenjatakan kapak.
Demikian aba-aba itu merata, maka pasukan itu dengan langkah pasti telah bergerak maju. Beberapa orang di antara mereka telah bersiap dengan busur dan anak panah. Mereka didampingi oleh orang-orang bersenjata pedang dan perisai. Mereka siap melindungi kawan-kawan mereka yang akan melontarkan anak panah mereka. Dengan perisai dan pedang, mereka akan dapat menangkis serangan-serangan anak panah dari atas panggung di belakang dinding padepokan.
Demikian pasukan penyerang itu mendekat, maka tali-tali busur di atas panggungan pun mulai ditarik. Busur-busur yang besar dengan anak panah yang besar-besar pula, yang sebelumnya jarang dipergunakan. Namun dalam pada itu, orang-orang yang menyerang padepokan itu pun telah bersiap dengan perisai-perisai mereka. Dengan hati-hati mereka melangkah maju di baris paling depan. Demikian mereka menjadi semakin dekat maka di atas panggungan terdengar aba-aba.
Sejenak kemudian, maka anak panah pun mulai berhamburan. Beberapa orang yang berperisai dengan cepat telah melindungi dirinya dengan perisai-perisai itu. Bahkan bukan hanya dirinya, tetapi kawan-kawannya yang ada di belakangnya, telah berlindung pula. Beberapa orang dengan trampil telah menangkis serangan anak panah itu tanpa mempergunakan perisai. Tetapi dengan memutar pedangnya melindungi tubuhnya.
Namun orang-orang yang berada di atas panggungan pun bukannya sekedar membabi-buta melemparkan anak panah. Satu dua orang memang dengan sengaja memancing agar orang-orang yang datang menyerang itu mengangkat perisai-perisai mereka. Namun orang yang lain telah membidikkan anak panahnya dengan sungguh-sungguh selagi orang itu berusaha menghalaukan anak panah yang lain.
Meskipun demikian ternyata bahwa orang-orang yang menyerang padepokan itu cukup trampil. Mereka dengan cepat mampu mengatasi kesulitan karena anak panah yang terhambur. Tetapi demikian banyak anak panah yang dilontarkan dari atas dinding padepokan, sehingga gerak pasukan yang menyerang padepokan itu memang terhambat. Bahkan satu dua orang benar-benar telah terluka karena ujung anak panah itu.
Namun arus pasukan itu benar-benar telah menggetarkan dinding padepokan. Derap langkah mereka terasa seakan-akan mengguncang dinding itu. Sedangkan beberapa orang yang khusus telah bergerak menuju ke regol dengan kapak di tangan. Mereka ternyata benar-benar orang-orang pilihan. Dengan kapak mereka mampu menangkis anak panah yang meluncur dari atas regol halaman itu.
Beberapa saat kemudian maka pasukan yang menyerang padepokan dari tiga arah itu memang telah menjadi semakin dekat. Mereka telah bersiap-siap mempergunakan tali dan tangga-tangga bambu yang mereka bawa. Sementara itu, beberapa orang yang lain telah melindungi kawan-kawan mereka yang bersiap-siap untuk memanjat dengan anak panah pula.
Namun, kedudukan mereka yang berada di belakang dinding padepokan memang lebih baik. Mereka mempunyai kesempatan untuk berlindung saat-saat mereka memasang anak panah dan merentang busur. Dengan demikian, maka sebelum terjadi benturan antara kedua belah pihak, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu memang telah berkurang meskipun tidak terlalu banyak. Beberapa orang telah terluka dan harus dibawa keluar dari jangkauan anak panah orang-orang padepokan.
Dalam pada itu, ternyata beberapa orang pilihan telah berada di depan regol. Justru karena mereka telah berada di regol, maka sulit bagi orang-orang yang berada di panggungan untuk menyerangnya dengan anak panah. Sementara itu, orang-orang itu telah berusaha merusak pintu regol dengan kapak-kapak mereka yang besar. Mereka telah memotong tali-tali pengikat kayu pada regol halaman itu. Memecah dan berusaha memotong bagian-bagian dari pintu regol yang tertutup rapat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap dengan beberapa orang cantrik pilihan di belakang pintu regol. Mereka memang memperhitungkan kemungkinan seperti itu terjadi. Karena itu, maka demikian mereka melihat beberapa orang mampu menembus hujan anak panah dari atas regol padepokan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergerak turun untuk menghadapi mereka demikian mereka berhasil memecahkankan regol itu.
Tetapi di bagian lain, para cantrik masih saja mempergunakan busur dan anak panah. Satu-satu masih jatuh korban karena anak panah yang besar telah menusuk tubuh mereka. Namun ketika orang-orang itu menjadi demikian dekat dengan dinding padepokan, maka para cantrik telah mempergunakan lembing-lembing bambu yang mereka lontarkan dari atas panggungan. Bahkan ketika satu dua orang di antara mereka yang menyerang itu mencapai dinding padepokan, maka batu-batu yang telah mereka persiapkan telah mereka lemparkan pula.
Ternyata usaha para cantrik itu benar-benar mampu menghambat serangan lawan dan bahkan korban pun semakin banyak berjatuhan. Tetapi serangan itu bagaikan gelombang yang beruntun menerjang dinding pantai. Namun akhirnya, orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar telah berhasil merusak pintu gerbang. Beberapa potong kayu berpatahan dan terlepas dari ikatannya. Dengan suara yang berderak-derak, maka satu-satu kayu yang menjadi bagian dari pintu gerbang itu pun terlepas dan jatuh berserakan.
Dengan demikian, maka orang-orang yang terpilih itu pun telah menghambur masuk ke halaman padepokan sambil berteriak-teriak mengerikan. Tetapi demikian kaki mereka menginjak halaman, maka mereka pun harus berloncatan menghindari serangan anak panah yang dimuntahkan dari busur-busurnya.
Ternyata serangan para cantrik yang bersiap di belakang itu lebih berbahaya dari serangan-serangan yang datang dari atas panggungan di belakang dinding. Para cantrik itu benar-benar telah membidik sasaran dengan sungguh-sungguh. Sehingga dengan demikian, maka anak panah yang terlepas sebagian benar-benar telah menembus kulit dan daging.
Lubang-lubang di sela-sela perisai telah dibidik dengan tajamnya. Demikian anak panah terlepas, maka anak panah itu benar-benar menyusup di sela-sela perisai. Tetapi karena perisai itu seakan-akan selalu bergerak, maka kadang-kadang anak panah itu telah tertahan di bibir perisai.
Meskipun demikian, korban pun telah berjatuhan. Para cantrik benar-benar untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya tanpa niat membunuh dan membantai mereka. Tetapi jika kematian itu menerkam lawan-lawan para cantrik, itu semata-mata adalah akibat dari kekejaman peperangan.
Namun orang-orang yang telah berhasil memasuki halaman padepokan itu dengan cepat berusaha memencar. Mereka berusaha untuk memperluas garis benturan, sehingga orang-orang yang lain akan dapat memasuki halaman itu pula.
Arus pasukan yang datang dari luar memang tidak terbendung lagi. Para cantrik yang mempergunakan busur dan anak panah, harus meletakkan busur mereka. Sementara mereka bersiap untuk menarik pedang-pedang mereka dari sarungnya, maka para cantrik yang bersenjata tombak pendek, telah meloncat menyongsong pasukan yang datang menyerang itu.
Meskipun korban telah jatuh, namun jumlah para penyerang itu masih lebih banyak daripada para cantrik yang mempertahankan padepokan itu. Beberapa kelompok penjahat, perampok dan penyamun telah bergabung dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama dengan para cantrik yang siap di belakang regol yang pecah itu pun telah terlibat langsung dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah diperintahkan untuk berada di bangunan induk padepokan bersama beberapa orang cantrik yang merupakan kekuatan cadangan bila diperlukan.
Mahendra masih berada di atas regol. Bersama beberapa orang prajurit Mahendra telah mempergunakan busur dan anak panah, menyerang para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain itu dari panggungan dengan anak panah. Ternyata Mahendra masih tetap seorang pembidik yang baik. Hampir setiap anak panahnya yang terlepas, dapat mengenai sasarannya dengan tepat sebagaimana dikehendaki.
Sementara itu, ketika pintu gerbang sudah dipecahkan, serta kelompok-kelompok yang ada di bagian depan padepokan telah sebagian besar memasuki padepokan, maka pasukan yang ada di sisi kiri dan kanan pun mulai berusaha untuk menyerang dan memasuki padepokan dengan tangga-tangga dan tali. Mereka telah dengan sengaja mengikat para cantrik itu dalam pertempuran, agar mereka tidak sempat membantu para cantrik yang bertahan di sisi depan padepokan itu.
Namun usaha untuk memasuki padepokan itu memang sulit. Beberapa buah tangga yang dipasang pada dinding padepokan itu telah didorong sehingga roboh. Tali-tali pun telah diputus dengan pedang. Tetapi meskipun mereka tidak dengan mudah memasuki padepokan dengan meloncati dinding, namun mereka sudah berhasil mengikat perhatian para cantrik untuk tidak turun ke halaman dan ikut serta dalam pertempuran yang semakin sengit.
Pertempuran di halaman padepokan itu pun telah mengalir ke segala penjuru. Beberapa kelompok kecil para perampok dan penyamun itu memang berusaha untuk mencapai bangunan induk padepokan itu. Mereka mengira bahwa di bangunan induk itu terdapat kekayaan padepokan itu.
Tetapi beberapa kelompok yang lain, yang telah mencapai dinding di sisi kiri dan kanan, telah berusaha untuk membuka pintu-pintu butulan. Gerbang yang tidak begitu besar di sebelah menyebelah telah terbuka pula, sehingga orang-orang yang ada di luar dinding pun dapat dengan cepat memasuki padepokan itu, meskipun harus jatuh korban yang agak banyak. Para cantrik yang masih berada di atas regol butulan itu, meskipun jumlahnya tidak banyak, namun mereka mampu membidikkan anak panah mereka ke punggung orang-orang yang sedang berdesakan memasuki regol padepokan.
Tetapi serangan-serangan itu tidak membendung arus pasukan yang meluap memasuki halaman. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran di halaman padepokan itu. Para cantrik yang jumlahnya lebih kecil itu berusaha untuk memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya. Saat-saat kelemahan orang-orang yang menyerang padepokan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Tetapi kemudian segera terasa bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang kasar, bahkan buas dan liar. Bukan saja karena mereka berteriak-teriak tidak menentu, namun mereka juga melakukan tindakan yang licik tanpa menghormati harga diri mereka sendiri. Namun para cantrik sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Bahkan anak-anak muda dari padepokan-padepokan yang sedang menyadap ilmu di padepokan itu pun telah bertempur dengan berani.
Karena itu, maka pertempuran di halaman padepokan itu pun telah berlangsung pula dengan sengitnya. Para cantrik yang berada di atas panggungan telah berlompatan turun. Mereka langsung melibatkan diri ke dalam pertempuran. Dalam perang brubuh yang terjadi kemudian, maka kemampuan pribadi setiap orang menjadi sangat penting dan bahkan menentukan.
Untunglah bahwa para cantrik telah ditempa dalam olah kanuragan. Meskipun para cantrik itu juga mampu untuk bertempur dalam gelar karena serba sedikit mereka sudah mendapatkan tuntunan, namun mereka selalu ditilik pula kemampuan mereka secara pribadi. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan tetangga yang menimba ilmu apa pun di padepokan itu, telah menerima pula bimbingan olah kanuragan. Mereka telah berlatih untuk menguasai beberapa unsur gerak yang terpenting serta ilmu olah senjata.
Karena itu, maka ketika mereka harus berhadapan dengan para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain, para cantrik itu tidak segera terdesak. Para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat itu hanya sekedar mengandalkan kekuatan dan keberanian saja tanpa membekali diri dengan ilmu yang cukup baik. Meskipun ada juga di antara mereka yang memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan.
Dalam pertempuran yang semakin seru itu, beberapa orang cantrik masih tetap berada di atas panggungan dengan busur dan anak panah. Mereka adalah justru para cantrik yang memiliki kemampuan bidik yang tinggi. Dalam pertempuran yang sengit itu, mereka masih juga sempat membidik lawan yang sedikit renggang dari para cantrik yang bertempur melawan mereka. Ternyata bahwa satu dua bidikan mereka cukup berhasil. Mereka masih juga mampu melukai para perampok, penyamun dan penjahat yang sama sekali tidak sempat memperhatikan mereka karena pertempuran yang dihadapinya.
Tetapi para penjahat yang ada di halaman itu segera menyadari. Mereka pun telah berusaha untuk mengenyahkan para cantrik itu. Beberapa di antara mereka masih juga mempunyai busur dan anak panah. Namun kesempatan mereka menjadi sangat terbatas karena pertempuran yang riuh. Namun dalam pada itu, maka pertempuran pun seakan-akan telah mengalir ke seluruh halaman padepokan. Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah mencari kesempatan untuk menembus pertahanan para cantrik dan menyerbu ke bangunan induk.
Tetapi tidak mudah bagi mereka untuk dapat menyerang halaman padepokan dan mencapai bangunan induk. Para cantrik yang bertahan tidak melepaskan mereka dan tidak membiarkan mereka melepaskan diri dari arena pertempuran.
Namun dengan demikian, maka pertempuran pun benar-benar menjadi semakin garang. Orang-orang yang menyerang padepokan itu justru semakin bernafsu untuk menggapai bangunan induk padepokan itu. Tetapi sejalan dengan itu, maka para cantrik pun menjadi semakin marah dan berusaha bertahan sekuat-kuatnya.
Beberapa orang perampok yang memiliki kelebihan telah berusaha menembus pertahanan para cantrik dan memberi jalan kepada kawan-kawan mereka. Namun para cantrik terpilih serta mereka yang dianggap memiliki ilmu tertinggi, telah menempatkan diri untuk melawan orang-orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kawan-kawannya itu.
Tetapi jumlah yang lebih banyak dari para perampok, penyamun dan penjahat itu memang berpengaruh. Hentakan-hentakan yang keras memang mampu mendesak para cantrik semakin jauh dari pintu gerbang yang telah pecah itu, mendekati bangunan induk padepokan. Meskipun sementara itu, masih ada para cantrik yang mempergunakan anak panah dan busur, berusaha mengurangi jumlah orang-orang yang datang menyerang.
Mahendra sendiri masih berada di atas regol padepokan. Dengan busur dan anak panah yang khusus, Mahendra telah menyerang orang-orang yang berusaha mendesak para cantrik ke arah bangunan induk. Setiap kali anak panahnya terlepas dari busurnya, maka seorang di antara mereka yang menyerang padepokan itu telah jatuh. Tetapi Mahendra tidak dapat terlalu sering melepaskan anak panahnya. Setiap kali pertempuran menjadi kacau sehingga Mahendra tidak berani melepaskan anak panahnya agar tidak justru mengenai para cantrik sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam pertempuran pula. Ketika mereka melihat bahwa para cantrik ternyata telah terdesak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membagi diri. Mereka berusaha untuk membendung arus para penjahat yang bergerak dari sisi kiri dan sisi kanan, sementara para cantrik terpilih akan berada di tengah-tengah, membendung arus para penjahat yang memasuki regol induk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai perhitungan, jika kekuatan yang seakan-akan menyerang lambung itu dilumpuhkan, maka pasukan induk para cantrik itu tidak akan mengalami kesulitan membendung arus para penyerang. Sebenarnyalah, kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sisi sebelah kiri dan sisi sebelah kanan itu sangat berpengaruh. Dalam waktu singkat, keduanya telah berhasil mengacaukan pasukan para penyerang.
Para penjahat yang berhasil dihimpun dan menyerang padepokan itu memang menjadi heran melihat anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Di sisi sebelah kiri Mahisa Murti telah menimbulkan banyak kesulitan kepada para penjahat. Jumlah mereka yang lebih banyak dari para cantrik yang bertahan ternyata tidak mampu menahan desakan para cantrik yang terasa semakin lama menjadi semakin berat. Mahisa Murti sendiri telah menghisap beberapa orang lawan bersama-sama. Bahkan meskipun lima orang mengepungnya, namun kelima orang itu tidak berdaya untuk membendung desakan Mahisa Murti.
Sementara itu, para cantrik pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengimbangi serangan orang-orang yang telah menyerang dan memasuki padepokan itu. Ternyata keberhasilan mereka memasuki halaman padepokan yang disambut dengan sorak yang bagaikan meruntuhkan langit itu tidak memberikan kemungkinan yang lebih baik. Pasukan yang ada di sayap kiri itu benar-benar sulit untuk bergerak maju. Betapa pun orang-orang yang datang menyerbu itu berusaha, namun mereka telah tertahan oleh senjata para cantrik yang berputaran mengerikan.
Para cantrik yang merasa jumlahnya lebih sedikit itu, benar-benar telah berusaha sejauh dapat mereka lakukan untuk mengatasi kekuatan lawan. Mereka tidak lagi mengekang diri sehingga ujung senjata mereka telah menyentuh dan mengoyakkan tubuh lawan. Namun bukan berarti bahwa tidak seorang pun di antara para cantrik yang menjadi korban. Beberapa orang telah terluka. Dan bahkan ada yang benar-benar telah gugur dalam pertempuran itu.
Di sisi sebelah kanan Mahisa Pukat pun telah menggetarkan jantung orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Mereka memang merasa heran, bahwa anak muda itu mampu melakukan sesuatu di luar penalaran mereka. Apalagi ketika seorang cantrik yang dikenal dengan baik oleh Mahisa Pukat telah terdorong beberapa langkah surut. Mahisa Pukat melihat sendiri, betapa ujung tombak pendek seorang lawannya terhunjam di dada cantrik itu. Beberapa langkah lawannya mendorong ujung tombaknya sehingga tembus sampai ke punggung. Baru kemudian, sambil berteriak nyaring orang itu telah menghentakkan tombaknya dari dada cantrik yang malang itu.
Cantrik yang terdorong beberapa langkah surut itu sama sekali, tidak sempat mengeluh. Karena itu, maka demikian ujung tombak itu lepas dari dadanya, maka cantrik itu pun telah terjatuh di tanah. Agaknya lawannya yang telah membunuh cantrik itu masih belum puas. Dengan biadab ia telah mengangkat tombaknya. Cantrik yang telah terbaring di halaman padepokan itu masih akan dikenainya lagi, sehingga dadanya tentu akan terkoyak-koyak.
Mahisa Pukat tidak membiarkan ujung tombak itu sekali lagi menembus dada cantrik yang sudah terbaring diam. Dengan loncatan panjang, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah memukul tombak pendek itu. Demikian kerasnya sehingga tombak itu telah terlepas dan terpelanting dari tangannya..Mahisa-Pukat telah mengayunkan pedangnya. Tetapi ia pun telah menahannya. Lawannya yang sudah tidak bersenjata itu seakan-akan tidak tahu apa yang telah terjadi dan yang kemudian akan terjadi dengan dirinya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berteriak, “Ambil tombakmu. Lawan aku.”
Orang yang kehilangan tombaknya itu merasa heran. Namun dengan demikian ia merasa berpengharapan lagi. Dengan tangkas ia telah meloncat untuk mengambil tombaknya. Dengan wajah yang merah membara ia telah meloncat kembali mendekati anak muda yang sangat sombong itu.
“Kau akan menyesal, bahwa kau telah membiarkan aku mengambil tombakku kembali. Dengan demikian maka kaulah yang akan terbunuh di peperangan ini,” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Dengan wajah yang tegang dan pandangan mata menyala Mahisa Pukat telah mulai menggerakkan pedangnya.
Lawannya mulai ragu-ragu ketika ia sempat melihat daun pedang Mahisa Pukat. Daun pedang itu seakan-akan telah bercahaya kehijau-hijauan. Namun kemudian orang itu pun berteriak untuk membangkitkan keberaniannya sendiri, “berlututlah anak yang sombong. Aku akan menusuk jantungmu lewat tengkukmu...”
Kedelapan muridnya hanya menundukkan kepala mereka. Mereka telah melihat satu kenyataan, bahwa gurunya yang dianggapnya orang terkuat di dunia itu, tidak mampu menghadapi satu dari antara empat orang yang telah menguasai mereka. Sehingga dengan demikian, maka kedelapan orang itu pun meyakini bahwa para pengembara yang mengaku dari perguruan Bajra Seta itu benar-benar orang yang tidak terkalahkan.
Sementara itu dalam keadaan yang sangat lemah terdengar suara Empu Rangkut, “Selamat tinggal.”
Orang-orang yang mengelilinginya itu melihat Empu Rangkut memejamkan matanya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika nafas itu dilepaskan, maka selesailah segala-galanya. Empu Rangkut yang telah terluka itu, telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam. Ia telah membunuh orang itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia tidak melakukannya, maka ia sendirilah yang akan terbunuh. Sejenak semuanya menjadi hening. Ada di antara murid-muridnya Empu Rangkut itu yang menangis.
“Guru kalian tidak cukup ditangisi,” berkata Mahisa Murti, “ia harus dikuburkan dengan baik.”
Murid-muridnya itu mengangguk. Namun kemudian mereka menyadari, bahwa mereka akan dapat mengalami nasib yang sama. Anak-anak muda dari Bajra Seta itu dapat membunuhnya jika mereka menghendaki.
Tetapi ternyata Mahisa Murti berkata, “Kematian gurumu adalah tebusan bagi nyawamu. Kuburkan gurumu baik-baik. Kemudian terserah apa yang akan kau lakukan. Apakah kau akan menyusul aku ke padepokan Bajra Seta atau kalian akan kembali ke padepokanmu sendiri. Tetapi kalian harus berjanji bahwa kalian tidak akan mengusik orang-orang padukuhan yang tidak bersedia membantumu. Seandainya mereka melakukannya waktu itu, maka itu tidak ada artinya sama sekali. Justru mungkin kalian pun sudah terbunuh pula.”
“Kami mengerti,” jawab seorang di antara mereka.
“Sekarang, lakukanlah. Kubur guru kalian dengan baik,” desis Mahisa Murti.
Kedelapan orang itu pun telah melakukan apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti, sementara Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bergeser menjauh. Namun Mahisa Murti memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Ia perlu memperbaiki keadaan tubuhnya yang bagaikan menjadi remuk itu. Karena itulah, maka mereka telah memilih untuk beristirahat di tanggul parit yang airnya mengalir deras dan bening.
Mahisa Murti yang tulang-tulangnya serasa menjadi retak itu telah membasahi tubuhnya. Kakinya, tangannya dan mukanya, sehingga terasa badannya menjadi agak segar. Sambil duduk bersandar sebatang pohon yang tumbuh di tanggul parit itu, Mahisa Murti telah beristirahat sepenuhnya. Kakinya yang terjulur, tangannya yang bersilang, memberinya kesempatan untuk melepaskan diri dari segala macam ketegangan, sementara matanya sedikit terpejam.
Mahisa Pukat sempat meramu obat yang dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh Mahisa Murti. Sehingga setelah ia minum obat itu meskipun dengan air parit yang disaring di atas daun lumbu dengan kain yang memang sudah tersedia bersama obat-obat yang dibawanya, maka keadaan Mahisa Murti menjadi berangsur baik. Tetapi Mahisa Murti tidak segera meneruskan perjalanan. Tetapi Mahisa Murti masih ingin beristirahat beberapa lama.
Sementara itu, kedelapan murid Empu Rangkut yang lemah itu telah dengan susah payah menggali sebuah lubang untuk mengubur guru mereka. Perasaan yang pahit benar-benar telah mencengkam jantung mereka. Ketika delapan orang itu selesai, maka mereka masih mendapatkan Mahisa Murti beristirahat di pinggir parit yang berair bening. Dengan ragu-ragu delapan orang itu mendekat.
“Kalian akan mencuci kaki dan tangan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya anak muda,” jawab seorang di antara mereka.
“Jangan terlalu dekat,” berkata Wantilan kemudian.
Kedelapan orang itu pun kemudian telah turun ke parit untuk mencuci tangan dan kaki. Namun yang penting bagi mereka bukannya sekedar mencuci tangan dan kaki. Tetapi mereka ingin minta diri kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya jika memang mereka delapan orang itu diampuni.
“Pergilah,” berkata Mahisa Murti dengan nada yang masih lemah, “tetapi ingat. Jangan melakukan kesalahan lagi. Mungkin sikap kami orang-orang Bajra Seta pada kesempatan lain akan berbeda.”
“Kami berjanji,” jawab yang tertua di antara mereka, “apalagi kini kami tidak lagi mempunyai seorang guru yang dapat menjadi tumpuan perlindungan bagi kami. Maka kami tidak akan berani berbuat apa-apa. Kami pun menyadari, bahwa orang yang mampu mengalahkan guru kami, tentu orang yang memiliki ilmu lebih baik dari guru. Sudah tentu kami tidak akan mampu berbuat apa pun juga.”
“Pergilah kepada saudara-saudara seperguruanmu. Jika ada di antara mereka yang mendendam kepada orang-orang Bajra Seta, kami menunggu.”
Orang yang tertua di antara mereka menyahut, “Tentu tidak Ki Sanak. Jika kami menceriterakan apa yang terjadi, tentu kami akan mengatakan pula persoalan yang telah melibatkan kami dan guru dalam pertentangan ini.”
“Tetapi kematian seorang guru kadang-kadang telah membakar perasaan seseorang sehingga kehilangan penalaran. Apa pun yang kalian ceriterakan, mungkin justru akan menambah kemarahan mereka,” sahut Mahisa Murti.
“Seandainya demikian, maka kami tidak akan termasuk di antara mereka,” berkata orang yang tertua di antara mereka.
“Kau akan berkata lain jika kau sudah berada di antara saudara-saudara seperguruanmu,” desis Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukan karena kami orang yang tiba-tiba menjadi baik dan tahu berterima kasih. Tetapi kami tahu pasti, bahwa melawan kalian akan sama artinya dengan membunuh diri. Karena itu, maka kami akan memilih untuk menghindar.”
“Bagaimana jika saudara-saudara seperguruanmu memaksamu?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Kami akan terpaksa ikut. Tetapi kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami tahu, bahwa Bajra Seta tidak akan dapat ditembus. Ketika guru masih ada dan kalian belum kami temui di medan, kami sudah mengalami kesulitan menembus pertahanan padepokan Bajra Seta. Apalagi sekarang,” jawab orang itu.
“Mudah-mudahan mereka sempat berpikir seperti kalian,” berkata Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya agar mereka sempat berpikir dan mengerti apa yang mereka hadapi.”
“Terima kasih,” desis Mahisa Pukat.
Delapan orang itu pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke perguruan mereka. Mereka pun berjanji untuk tidak menakut-nakuti lagi orang-orang padukuhan dan tidak lagi memfitnah nama baik perguruan Bajra Seta.
“Baiklah,” berkata Mahisa Murti dengan nada dalam, “aku percaya kepada kalian.”
Sejenak kemudian, maka delapan orang itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa Murti sendiri masih duduk bersandar sebatang pohon di pinggir parit yang mengalir deras dan bening. Namun setelah meneguk obat, maka rasa sakitnya pun menjadi berkurang meskipun ia sadar, bahwa obat itu belum berarti penyembuhan.
....Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Tanpa menunggu jawaban dari kawan-kawannya, seorang di antara mereka telah berlari menemui Mahendra. Orang itu memberi laporan terperinci tentang apa yang dilihatnya. “Lima orang. Seorang di antaranya masih kanak-kanak,” berkata orang itu kemudian.
“Jika mereka berniat buruk, mereka tentu tidak mengajak kanak-kanak,” jawab Mahendra.
“Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi,” berkata orang yang melaporkan itu.
Mahendra yang tua itu dapat mengerti. Belum lama padepokan mereka telah mendapat serangan. Karena itu, maka orang-orang Bajra Seta itu menjadi sangat berhati-hati. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan pergi ke panggungan di belakang dinding di dekat pintu gerbang itu.”
Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah berada di tempat para pengawas itu. Dilihatnya lima orang yang berjalan semakin mendekat. Mahendra itu pun kemudian telah menggosok matanya. Seakan-akan ia tidak percaya kepada penglihatannya. Karena itu, ia pun berkata sambil melangkah turun dari tempat itu, “Aku akan melihat, siapakah mereka itu.”
Dengan tergesa-gesa Mahendra telah pergi ke pintu gerbang dan langsung memerintahkan membuka pintu gerbang itu. Demikian pintu gerbang terbuka, maka Mahendra telah menghambur keluar. Kelima orang itu menjadi semakin dekat. Mereka pun telah mempercepat langkah mereka, sehingga kemudian mereka sampai di tempat yang lebih terbuka di muka pintu gerbang. “He, jadi kalian telah kembali,” Mahendra hampir berteriak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Mereka pun kemudian berlari-lari ke arah orang berdiri di depan pintu gerbang serta memanggil mereka. Beberapa orang penghuni padepokan itu pun menyusul Mahendra keluar dari padepokan. Namun mereka pun segera mengenali, dua dari kelima orang yang datang itu.
Demikian mereka sampai ke depan Mahendra, maka kedua orang anak muda di antara kelima orang itu segera berjongkok. Namun Mahendra pun telah menarik mereka berdiri dan memeluk kedua anak muda itu bersama-sama.
“Aku mengucapkan selamat datang kepada kalian,” berkata Mahendra.
“Ayah,” desis Mahisa Murti. Suaranya bagaikan tersumbat di kerongkongan.
“Aku sudah sangat lama menunggu kalian,” berkata Mahendra.
“Kami mohon maaf,” sahut Mahisa Murti.
“Marilah. Kita masuk,” ajak Mahendra.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Kami datang bersama tiga orang saudara kami. Dua orang kami anggap sebagai adik kami, seorang kami anggap sebagai paman kami.”
“Merekalah yang kalian cari selama ini?” bertanya Mahendra.
“Kami tidak tahu ayah,” jawab Mahisa Murti, “rasa-rasanya kami belum puas. Tetapi kami sudah sangat lama meninggalkan padepokan ini, sehingga kami memutuskan untuk segera kembali. Namun agaknya anak itu memiliki sedikit harapan.”
Mahendra mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah mendekati ketiga orang yang baru dikenalnya itu sambil berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku persilahkan kalian memasuki padepokan kami.”
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Ini adalah ayahku.”
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun kemudian telah mengangguk hormat. Hampir berbareng mereka menjawab, “Terima kasih.”
Mahendra pun telah mengajak ketiga orang itu bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki padepokannya. Sementara itu para penghuni padepokan yang melihat kedatangan kedua orang anak muda itu menjadi ramai. Beberapa orang telah berdesakan untuk memberikan pernyataan hati mereka yang tulus, bahwa mereka sangat gembira atas kedatangan kedua putera Mahendra itu.
“Kalian terlalu lama pergi,” berkata seseorang, “Ki Mahendra selalu berharap kalian segera kembali. Ada banyak hal yang nampaknya mengganggu perasaannya. Apalagi baru-baru ini telah terjadi serangan atas padepokan ini.”
“Sekarang kami telah kembali,” sahut Mahisa Murti.
Demikianlah, kedatangan kedua orang anak muda itu disambut dengan gembira oleh orang-orang padepokan itu. Orang-orang yang berada di atas panggung yang mula-mula melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang pula menemui keduanya. Mereka ternyata minta maaf, bahwa mereka tidak segera dapat mengenali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah-wajah mereka,” berkata orang yang bertugas itu. Lalu katanya, “Baru kemudian, setelah mereka menjadi dekat, kami dapat mengenalinya. Mungkin bahwa karena mereka berlima itu juga berpengaruh, kenapa kami tidak segera sampai kepada dugaan mereka berdua kembali. Ternyata mereka memang benar-benar telah kembali.”
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah diajak pergi ke bangunan induk padepokan itu bersama Mahendra, sementara orang yang bertugas itu pun kembali ke tempat tugas mereka. Di pendapa, Mahendra telah menyambut kedua orang anaknya dan tiga orang yang datang bersamanya dengan gembira. Namun di wajah orang itu nampak bayangan kemuraman yang kadang-kadang ingin disembunyikan.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Pukat telah bertanya, “Ayah nampak terlalu tua.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Bukan nampak terlalu tua. Aku memang sudah tua.”
“Maksudku, lebih tua dari umur ayah yang sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat pula.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya. Kemuraman itu kembali membayang diwajahnya. Bahkan Mahendra tidak lagi berhasil menyembunyikannya lagi. “Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya sekarang,” berkata Mahendra, “tetapi sulit bagiku untuk bertahan.”
Kedua orang anaknya itu pun termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun mendesak, “Ayah. Aku kira ayah tidak usah menahan diri terlalu lama. Mungkin lebih baik jika ayah segera mengatakannya. Ada dua keuntungan yang kita dapatkan jika ayah berkata sekarang juga. Ayah sendiri tidak merasa terlalu berat membawa beban, sedangkan kami pun tidak lagi menjadi berdebar-debar, sehingga rasa-rasanya tulang-tulang iga kami menjadi retak.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera mengatakannya karena seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah meneguk minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, Mahendra berkata, “Anak-anakku. Ternyata bahwa kalian tidak akan sempat lagi bertemu dengan pamanmu Mahisa Agni dan Witantra.”
Kedua anak muda itu menjadi tegang. Meskipun belum dikatakannya, namun keduanya segera tanggap. Justru karena Mahisa Agni dan Witantra sudah terlalu tua. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya dengan nada tertahan, “Apakah keduanya telah tidak ada?”
“Ya,” jawab Mahendra, “hampir bersamaan. Hanya berselisih dua pekan saja. Pamanmu Mahisa Agni telah meninggal lebih dahulu. Baru kemudian pamanmu Witantra. Namun yang hampir sama pada keduanya, wajah tua mereka nampak tersenyum. Keduanya seakan-akan hanya sedang tertidur nyenyak.”
Pemberitahuan itu memang menghentak jantung kedua orang anak muda itu. Hampir di luar sadarnya Mahisa Murti bertanya, “Apakah kakang Mahisa Bungalan sudah tahu?”
“Ia datang pada saatnya,” jawab Mahendra, “tetapi tidak seorang pun yang tahu dimana kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya, sebenarnyalah mereka telah melakukan pengembaraan tanpa diketahui arahnya. Seandainya terjadi sesuatu di perjalanan, maka ayah dan kakak mereka hanya dapat menunggu sampai waktu yang tidak akan pernah mereka jumpai. Tetapi kini mereka telah kembali. Namun ada yang telah hilang sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Orang-orang yang sangat mereka hormati.
Mahisa Agni dan Witantra adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun ilmu mereka, betapa pun tingginya tidak akan pernah dapat melindungi mereka dari jangkauan maut.
“Sudahlah,” berkata Mahendra kemudian, “maut akan menjemput siapa saja pada waktunya. Aku kira yang terjadi atas kedua pamanmu itu adalah yang terbaik bagi mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping mencoba untuk ikut dapat merasakan suasana itu. Tetapi karena mereka belum pernah bertemu dengan orang-orang yang bernama Mahisa Agni dan Witantra, maka mereka tidak dapat membayangkan betapa dalamnya kepedihan hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam suasana yang masih dibayangi oleh berita duka itu, maka Mahendra pun bertanya, apa saja yang telah dilakukan oleh anak-anaknya.
Namun jawaban Mahisa Murti cukup singkat, “Kami menjalani laku Tapa Ngrame, ayah.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagus anak-anakku. Bagiku laku yang paling baik adalah laku yang telah kalian jalani selain laku yang khusus memang harus dijalani untuk satu kepentingan, khususnya dalam menimba ilmu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ternyata ayahnya telah membenarkan pilihan mereka. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti menceriterakan pengalaman mereka secara singkat.
“Jika kami menceriterakan semuanya, maka akan memerlukan waktu lebih dari tiga hari tiga malam,” berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Murti memandanginya sejenak. Namun ia pun berkata pula, “Memang banyak sekali yang ingin aku sampaikan kepada ayah.”
Mahendra mengangguk-angguk. Sementara itu, perhatiannya mulai tertuju kepada sepasang pedang yang ada pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun serba sedikit hal itu sudah diceriterakan, namun agaknya ayahnya masih memerlukan beberapa penjelasan.
“Kami akan menceriterakannya secara khusus ayah,” berkata Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anak-anaknya itu sudah letih bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Karena itu, maka Mahendra pun berkata, “Baiklah. Sekarang kalian membersihkan diri. Kemudian beristirahatlah sebaik-baiknya sementara para cantrik menyediakan makan bagi kalian.”
Kelima orang itu pun kemudian telah membersihkan diri. Mereka benar-benar merasa letih justru setelah mereka sampai ke padepokan Bajra Seta. Rasa-rasanya kaki mereka menjadi semakin berat. Sejenak kemudian, maka kelima orang itu telah selesai berbenah diri. Mereka berlima bersama Mahendra dan orang-orang yang ikut memimpin padepokan itu telah bersiap-siap untuk makan bersama sambil mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa pemimpin-pemimpin mereka telah tiba dari pengembaraan.
“Anak-anak,” berkata Mahendra setelah mereka selesai makan. “Orang-orang yang hadir akan menjadi saksi bahwa aku telah mengembalikan pimpinan padepokan yang kau titipkan kepadaku ini.”
Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, “Jangan sekarang ayah. Kami masih harus mempersiapkan diri kami sebaik-baiknya. Baru kelak setelah kami siap, kami akan menerima pimpinan itu.”
Mahendra mengangguk-angguk. Ia mengerti alasan anaknya. Karena itu, maka ia pun bertanya, “berapa hari kau memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri?” bertanya Mahendra.
“Paling sedikit sepekan ayah,” jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun ia sama sekali tidak merasa ragu untuk menyerahkan pimpinan itu kepada anak-anaknya. Apalagi padepokan itu memang didirikan atas kehendak anak-anaknya.
Demikianlah, maka selama lima hari yang diminta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengajak Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping untuk melihat-lihat isi padepokan. Mereka telah dibawa ke sanggar terbuka di bagian belakang dari halaman padepokan yang sangat luas itu.
“Menyenangkan sekali,” teriak Mahisa Amping sambil berlari-lari mengelilingi sanggar itu.
“Di sudut yang lain, masih terdapat sanggar tertutup,” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
“Menarik sekali. Aku akan banyak mendapat kesempatan untuk berlatih. Jika tidak di sanggar terbuka ini, aku dapat berlatih di sanggar tertutup,” desis Mahisa Amping.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ya, kita akan dapat mempergunakannya. Tetapi sanggar itu dipergunakan oleh banyak orang. Seluruh isi padepokan ini berlatih di sanggar terbuka atau tertutup.”
“Tetapi sanggar ini pada suatu saat kosong seperti ini,” berkata Mahisa Amping.
“Untuk hari-hari tertentu. Di hari lain, sanggar ini selalu penuh,” jawab Mahisa Murti. Tetapi katanya selanjutnya, “Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak akan mendapat kesempatan. Sanggar ini cukup luas sehingga sekelompok orang dapat latihan bersama-sama.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berdesis, “Tetapi kita lebih senang berlatih tanpa dilihat orang lain.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita akan sekali-sekali berlatih untuk meningkatkan kemampuan kita. Bukan untuk menjadi tontonan.”
Demikianlah, dalam lima hari rasa-rasanya isi padepokan itu belum mampu dilihat secara keseluruhan. Tetapi segala sesuatunya yang paling penting telah diketahuinya.
Namun dalam pada itu, Mahendra telah memanggil mereka dan bertanya, “Apakah kalian sudah cukup beristirahat, kemudian sudah siap untuk menerima kembali kepemimpinan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat atas padepokan itu.”
Mahisa Murti dan .Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, sementara Mahendra berkata, “Kalian seharusnya mengerti, terutama menyadari, bahwa kalianlah yang telah mendirikan padepokan ini.”
“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti.
“Karena itu, kalian harus menerima kembali pertanggungjawaban kalian yang telah mendirikan sebagai padepokan, untuk mengatur dan membimbing para cantrik yang jumlahnya cukup besar.”
“Kami mengerti ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.
“Jadi kalian sudah siap?” bertanya Mahendra.
“Siap atau belum siap, tetapi segala sesuatunya merupakan usaha yang sebaik-baiknya yang telah kami lakukan,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus. Jika demikian, sore nanti kita akan mengadakan pertemuan khusus bagi para pemimpin padepokan ini. Aku akan menyerahkan kembali kekuasaan atas padepokan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Tetapi ketika aku menyerahkan pimpinan kepada ayah, bukankah tidak ada upacara sama sekali?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Tetapi kali ini memang agak lain,” jawab Mahendra yang untuk sementara memimpin padepokan itu.
Mahisa Murti tidak dapat menolak rencana ayahnya. Ayahnya ingin menyerahkan kembali pimpinan padepokan itu di hadapan para penghuni padepokan. Para cantrik dan ketiga orang yang datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi yang penting bagi Mahendra tentu bukan upacara penyerahan itu sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata menangkap maksud ayahnya itu dari sisi yang lebih dalam. Ayah mereka ingin memberikan tekanan kepada kedua anaknya, bahwa mereka harus lebih banyak berbuat bagi perguruan itu serta mempertanggung-jawabkannya.
Dengan upacara itu ayah mereka ingin mengatakan, “Kalian adalah pemimpin dari padepokan dan sekaligus perguruan Bajra Seta.”
Demikianlah, maka menjelang matahari turun ke balik bukit, orang-orang seisi padepokan itu telah berkumpul. Bukan hanya beberapa orang pembantu Mahendra memimpin padepokan itu, tetapi ternyata semua orang telah diminta untuk hadir di halaman depan padepokan itu.
Tetapi ternyata para cantrik juga telah menyiapkan makanan dan minuman dalam pertemuan itu. Beberapa ekor ayam telah dikorbankan. Sementara itu, dapur padepokan itu pun telah menjadi sibuk.
Upacara penyerahan itu sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Namun Mahendra sempat berbicara di hadapan para penghuni padepokan itu, “Sejak saat ini, maka pimpinan padepokan sekaligus perguruan Bajra Seta ada di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
Orang-orang yang menghadiri pertemuan kecil itu bertepuk tangan. Sementara itu jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terasa bergejolak. Seperti yang sudah mereka duga sebelumnya, upacara yang dibuat oleh ayahnya itu adalah sekedar tekanan jiwani bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk lebih banyak berbuat dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab terhadap padepokan dan perguruan yang mereka dirikan.
Meskipun tidak terucapkan, namun ayahnya itu ingin berkata kepada keduanya, “Kalian tidak sekedar bermain-main.”
Demikianlah upacara itu berlangsung dengan lancar dan meriah. Semua orang merasa gembira, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah kembali di tengah-tengah mereka. Sejak saat itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan melakukan tugas mereka sebagai pemimpin padepokan itu.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memperhatikan upacara itu dengan saksama. Namun dengan demikian mereka menyadari bahwa untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak hanya memperhatikan mereka bertiga, tetapi juga orang-orang lain di padepokan itu.
Mahisa Amping justru menjadi gelisah. Apakah seperti yang dikatakan Mahisa Murti sebelumnya bahwa ia akan dapat mempergunakan sanggar itu tanpa orang lain?
Sementara pertemuan itu menjadi semakin riuh serta makanan dan minuman sudah dibagikan, Mahisa Amping merasa bahwa dunianya menjadi semakin sepi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak memperhatikannya lagi.
Tetapi ketika ia melihat Mahisa Semu dan Wantilan yang duduk sedikit terpisah dari orang-orang padepokan itu, karena mereka memang belum begitu akrab dengan mereka, Mahisa Amping pun merasa bahwa ia masih mempunyai setidak-tidaknya dua orang kakak dan paman yang akan memperhatikannya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut pula bergembira bersama seisi padepokan itu. Namun disamping itu, keduanya pun merasa bahwa mereka harus lebih menyadari kedudukan mereka.
Ternyata pertemuan itu berlangsung sampai malam hari. Menjelang tengah malam, maka Mahendra baru menyatakan bahwa pertemuan itu sudah selesai. Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang agak melupakan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, sehingga keduanya tidak melihat ketiga orang itu telah kembali ke dalam biliknya.
Di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan tugasnya yang sibuk. Meskipun ia tidak lagi melupakan Mahisa Amping, namun sudah tentu sikapnya menjadi agak berbeda. Di perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dibebani oleh tugas-tugas yang mengikatnya sebagaimana di dalam padepokan itu.
Tetapi yang memperhatikan anak itu lebih banyak adalah justru Mahendra. Mahendra yang telah meletakkan tugasnya, mempunyai banyak waktu yang luang, sehingga justru dipergunakan untuk menemani anak itu. Dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Mahendra telah mendengar beberapa hal tentang kelebihan anak itu meskipun tidak selalu demikian. Kadang-kadang kelebihan itu tidak tampak sama sekali. Namun tiba-tiba saja ada sesuatu yang tidak dapat dimengerti tampak pada anak itu.
Karena itu maka Mahendra pun ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang anak itu. Sedangkan Mahisa Semu dan Wantilan pun mendapatkan beberapa kesempatan langsung dari Mahendra meskipun tidak terlepas dari bimbingan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam keterbatasannya.
Perhatian Mahendra kepadanya, membuat Mahisa Amping menjadi berminat kembali terhadap masa depannya. Hampir saja Mahisa Amping merasa tidak berarti apa-apa lagi. Ia sudah mulai bertanya, untuk apa ia datang ke padepokan itu. Apalagi kemudian ia menyadari, bahwa ia tidak lagi dapat berlatih bersungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi mempergunakan sanggar terbuka atau sanggar tertutup tanpa orang lain.
“Mereka sekarang lebih memperhatikan orang-orang padepokan ini daripada aku,” berkata Mahisa Amping di dalam hatinya.
Namun, selagi sikapnya mulai berubah sehingga ia tidak lagi memperhatikan latihan-latihan dan ilmu kanuragan, Mahendra mulai memperhatikannya.
“Amping,” berkata Mahendra pada suatu pagi, “kenapa kau masih duduk saja di situ?”
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia menjawab, “Kepalaku agak pusing.”
Mahendra tersenyum. Ia pun duduk di sebelah anak itu. Dengan penuh pengertian ia bertanya, “Apakah kau tidak ingin latihan di sanggar terbuka pagi ini?”
“Bukankah sanggar itu baru dipakai?” bertanya anak itu pula.
“Kau dapat latihan di tempat lain. Apakah latihan itu harus dilakukan di sanggar?” desak Mahendra.
Mahisa Amping memperhatikan Mahendra itu sejenak. Namun ia pun berkata, “Kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat masih sibuk. Bahkan selalu sibuk dalam latihan-latihan dengan seluruh isi padepokan ini. Mungkin Mahisa Amping tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau sudah menjadi semakin besar. Kau harus dapat meningkatkan kemampuanmu sendiri. Kau harus mulai mencoba untuk tidak tergantung kepada orang lain.”
“Tetapi apa arti seorang yang berguru kepada orang lain?” bertanya anak itu dengan jujur.
Mahendra justru tertarik sekali kepada keterbukaan hati anak itu. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Seseorang yang berguru kepada orang lain harus membuka diri menerima pewarisan ilmu dari orang yang menjadi gurunya. Tetapi ia pun harus menjalani laku yang berat. Patuh dan tunduk kepada gurunya, mendengarkan semua petunjuknya dan mencoba melakukan semua perintahnya.”
“Apakah dengan demikian seseorang yang berguru tidak akan pernah dapat hidup tanpa tergantung kepada orang lain, meskipun orang itu adalah gurunya?” bertanya anak itu.
Mahendra menggelengkan kepalanya. Ia pun tertawa semakin panjang. Katanya, “jangan mengambil kesimpulan seperti itu. Di saat seseorang berguru, maka gurunya harus mengajarnya mandiri. Selangkah demi selangkah. Namun akhirnya, seseorang memang harus tidak bergantung lagi kepada orang lain. Tetapi aku tidak bermaksud bahwa tiba-tiba saja seseorang harus lepas dari ketergantungan. Terutama dalam meningkatkan ilmunya. Jika tadi aku katakan kepadamu bahwa kau sudah semakin besar dan sebaiknya dapat meningkatkan ilmumu adalah karena keterbatasan waktu dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam keterbatasan waktu itu, kau jangan kehilangan waktu untuk sekedar menunggu. Kau dapat mengisi waktumu untuk berlatih tanpa salah seorang dari kedua kakakmu itu.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi sebenarnya ia memang merasa kecewa. Mungkin ia dapat berlatih sendiri, tetapi dengan demikian, maka ilmunya tidak akan dapat cepat meningkat. Atau setidak-tidaknya merambat dengan wajar. Tanpa bimbingan seseorang maka ilmunya akan meningkat dengan sangat lamban.
Mahisa Semu dan Wantilan, yang juga kehilangan banyak kesempatan untuk berlatih langsung bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berusaha untuk membaur dengan para cantrik dan berlatih bersama dengan mereka. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, Mahendra memberikan beberapa petunjuk dan latihan secara khusus.
Mahisa Amping mula-mula kurang berminat ketika Mahendra membawanya ke sanggar tertutup sambil berkata, “Berlatihlah. Aku akan melihat, apa yang telah kau pelajari.”
Mahisa Amping memang tidak menolak. Tetapi ia melakukan dengan setengah hati. Ketika Mahendra minta anak itu mulai menunjukkan kemampuan ilmunya, maka Mahisa Amping pun telah melakukannya. Tetapi tidak sepenuhnya. Tidak ada kesan kesungguhan dan tidak ada tekanan pada setiap unsur geraknya.
Mahendra mengetahui hal itu. Karena itu, maka ia pun merasa berkewajiban untuk membangunkan anak itu dari kemalasannya karena ia merasa kecewa akan dirinya sendiri. Dengan nada lembut Mahendra berkata, “Marilah. Kita berlatih bersama.”
Mahisa Amping sama sekali tidak tahu tingkat kemampuan Mahendra. Ia memang mengetahui bahwa selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi, Mahendra, ayah kedua orang anak muda itulah yang menggantikannya. Tetapi baginya ia bukan ukuran kemampuan dan tingkat ilmu dari orang tua itu.
Menurut pendapat Mahisa Amping, Mahendra adalah seorang tua yang memiliki pengalaman yang luas, tetapi tidak memiliki kemampuan ilmu seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena bagi anak itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Apalagi melihat ujud wadagnya. Mahendra sudah terlalu tua untuk mendukung ilmu yang tinggi.
Karena itu, ketika Mahendra mengajaknya berlatih bersama maka Mahisa Amping hanya mengangguk saja tanpa, merubah sikap dan ungkapan ilmu kanuragan yang telah dipelajarinya. Mula-mula Mahendra mengikuti saja sebagaimana dilakukan Mahisa Amping. Namun kemudian Mahendra mulai menyentuh tubuh anak itu. Bahkan kemudian, sentuhan tangannya pun mulai terasa sakit.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Perasaan sakit itu datang beberapa kali sehingga Mahisa Amping mulai sadar, bahwa ia harus lebih bersungguh-sungguh dalam latihan itu, agar kulitnya tidak menjadi semakin biru lembab. Tetapi meskipun Mahisa Amping kemudian bersungguh-sungguh, namun ia sama sekali tidak mampu mengelak ketika serangan Mahendra yang tua itu datang semakin cepat. Tangannya pun semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin sakit.
Mahisa Amping menjadi marah ketika tangan Mahendra menampar keningnya, sehingga kepala anak itu menjadi pening. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Amping tidak mampu menyentuh tubuh Mahendra yang tua, yang nampaknya hanya bergeser setapak-setapak. Tetapi akhirnya Mahisa Amping menjadi sangat letih tanpa berhasil menyentuh tubuh orang tua itu. Dengan nafas yang terengah-engah Mahisa Amping berdiri sambil menekan pinggangnya dengan kedua tangannya.
Namun Mahendra masih belum selesai. Ia ingin meyakinkan anak itu, bahwa ia pun akan dapat memberikan tuntunan kanuragan sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, ketika Mahisa Amping yang kecil itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu, maka Mahendra pun tidak lagi menyerangnya. Tetapi Mahendra telah melakukan semacam latihan seorang diri dengan mengungkapkan unsur-unsur gerak yang memang mengejutkan bagi Mahisa Amping.
Bahkan kemudian Mahendra telah mempergunakan tonggak-tonggak yang ditanam tegak dengan ketinggian yang berbeda. Kemudian meniti tali-tali yang bergayutan di bagian atas sanggar, sementara itu, beberapa kali Mahendra telah menunjukkan unsur-unsur gerak yang tidak masuk di akal anak itu. Bahkan kemudian Mahendra telah menggapai sebatang tongkat besi dan sekaligus dengan kekuatan yang di luar penalarannya, membengkokkannya sampai kedua ujung dan pangkalnya bertemu.
Mahisa Amping berdiri bagaikan membeku. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi. Tetapi matanya telah melihatnya bahwa hal itu memang terjadi. Beberapa saat kemudian, maka Mahendra itu pun telah menghentikan latihan-latihan yang sangat menarik bagi Mahisa Amping itu.
Demikian Mahendra berhenti melakukan latihan yang di luar penalaran anak itu, maka Mahisa Amping pun tiba-tiba saja telah berlutut dan berkata, “Luar biasa. Aku tidak yakin akan penglihatanku sendiri.”
Mahendra tersenyum. Katanya, “Bukan apa-apa. Hanya sebuah latihan untuk mengingat kembali dasar-dasar ilmu gerak sebagaimana aku pelajari ketika aku masih anak-anak.”
“Aku tidak dapat mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi,” desis Mahisa Amping.
Sambil menarik Mahisa Amping untuk berdiri Mahendra berkata, “Kau pun dapat mempelajarinya.”
“Aku?” mata anak itu terbelalak.
Mahendra tertawa. Jawabnya, “Tentu. Kau sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semasa masih kanak-kanak.”
“Apakah Ki Mahendra yang mengajarnya?” bertanya anak itu.
“Ya. Anak-anakku adalah murid-muridku kecuali seorang yang mendapat guru yang lain,” jawab Mahendra.
Mahisa Amping termangu-mangu. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apakah aku dapat belajar juga?”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau. akan belajar pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya sibuk, maka aku akan dapat membantunya.”
Wajah anak itu menjadi cerah. Ia melihat harapan baru setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya sehingga tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk membimbingnya, meskipun bagi para cantrik, Mahisa Amping termasuk murid yang lebih banyak mendapat kesempatan.
“Baiklah,” berkata Mahendra, “agaknya latihanmu sudah cukup hari ini. Besok kita akan mengadakan latihan lagi jika sanggar ini tidak terpakai.”
Tetapi sebelum keduanya keluar dari sanggar, pintu sanggar telah terbuka. Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di luar pintu.
“Apakah Amping ada di sini?” bertanya Mahisa Murti.
Mahendra tersenyum. Sambil menunjuk Mahisa Amping yang masih berada di dalam sanggar ia berkata, “Ia ada di sini. Aku melihat bagaimana ia bermain-main.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah masuk. Dilihatnya anak itu telah nampak letih, sehingga karena itu, maka keduanya mengurungkan niatnya untuk berlatih bersama anak itu.
“Kau baru saja berlatih?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku membawanya ke sanggar,” Mahendra lah yang menjawab, “aku ingin mengisi waktunya selagi anak itu menunggu kalian.”
“Kami sedang sibuk,” jawab Mahisa Pukat.
“Aku mengerti. Itulah sebabnya aku mewakilimu,” jawab Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjelaskan. Tetapi Mahendra telah berkata, “Amping. Kau dapat pergi ke pakiwan. Mandi dan kemudian berbenah diri.”
Mahisa Amping pun kemudian meninggalkan sanggar itu pergi ke pakiwan. Demikian anak itu keluar dari sanggar, maka Mahendra pun berkata, “Ia telah menjadi semakin maju.”
“Tetapi kami mempunyai kesibukan yang lain kecuali membina anak itu,” berkata Mahisa Pukat.
“Aku tahu. Bukankah aku tidak menyalahkanmu? Aku hanya mengisi waktunya yang luang. Aku melihat anak itu duduk termenung. Katanya kepalanya merasa pening. Lalu aku ajak anak itu ke sanggar. Kegembiraannya segera timbul. Dan ia tidak merasa pening lagi,” jawab Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Namun Mahisa Murti masih juga berkata, “Aku sama sekali tidak melupakan anak itu ayah. Tetapi bukankah aku harus menyelesaikan semua kewajibanku di padepokan dan perguruan ini?”
“Berapa kali sudah aku katakan, bahwa aku tidak menyalahkan kalian. Tetapi barangkali perlu aku peringatkan, untuk apa kalian pergi meninggalkan padepokan ini untuk waktu yang lama sehingga kalian tidak sempat melihat keadaan terakhir kedua pamanmu?” bertanya ayahnya.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi pertanyaan ayahnya itu telah menyentuh perasaan keduanya. Keduanya meninggalkan padepokan itu untuk mendapatkan satu dua orang yang akan ditempanya menjadi salah seorang dari inti kekuatan padepokan itu. Keduanya ingin mendapatkan bahan yang masih dapat dianggap murni, sehingga dapat mereka bentuk sesuai dengan keinginan mereka bagi kepentingan perguruan Bajra Seta.
Karena kedua anak muda itu masih berdiam diri, maka Mahendra pun berkata, “Tetapi jangan cemas. Kalian dapat melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Aku dapat membantu mengurus anak itu.”
“Tetapi…” Mahisa Murti menjadi ragu-ragu.
“Ingat, bukankah aku juga yang meletakkan dasar ilmu bagi kalian,” potong Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Tetapi ayah sekarang sudah terlalu tua untuk tetap berada di sanggar.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Kau juga sudah tahu, bahwa belum terlalu lama padepokan ini telah mendapat serangan dari sekelompok orang dari sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Empu Santi dari perguruan Lawang Tunggal. Dan aku masih sempat bersama-sama dengan seluruh isi padepokan ini untuk melawan dan mengusir mereka.”
“Empu Santi atau Empu Rangkut?” bertanya Mahisa Murti.
“Empu Santi,” jawab Mahendra. “Bukankah kalian yang berceritera bahwa kalian telah bertemu dengan Empu Rangkut yang agaknya memiliki ilmu lebih baik dari Empu Santi.”
“Ya, ya,” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ayahnya memang pernah berceritera tentang Empu Santi.
“Nah,” berkata Mahendra, “dengan demikian maka kalian tentu akan dapat mempercayai aku untuk secara khusus mempersiapkan anak itu. Pada saatnya kalian akan dapat membentuknya menjadi seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan sebagaimana kalian harapkan. Tetapi aku juga minta perhatian kalian kepada Mahisa Semu. Jika kalian tidak berkeberatan, aku akan mempersiapkannya pula meskipun dengan cara yang agak berbeda dengan Mahisa Amping. Namun pada saatnya keduanya akan dapat menjadi seorang yang memiliki ilmu yang baik dan mampu membantumu memimpin padepokan ini, karena pada dasarnya Mahisa Semu pun masih belum memiliki landasan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika hal itu memang ayah kehendaki, maka kami akan mengucapkan terima kasih.”
“Aku akan melakukannya sejauh dapat aku jangkau,” berkata Mahendra, “selanjutnya adalah kewajibanmu. Sementara itu Wantilan dapat kau tempatkan sesuai dengan keadaannya. Namun ia telah menunjukkan tekadnya yang besar menyertaimu sampai ke padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil sambil menjawab hampir bersamaan, “Ya ayah.”
“Nah, sejak sekarang, biarlah aku menangani Mahisa Amping dan Mahisa Semu, sementara kau dapat mengatur padepokan ini sehingga kau tidak akan tenggelam dalam kesibukan yang tidak terbatas.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Mahisa Murti berkata, “Baiklah ayah. Jika ayah masih berniat untuk berada di sanggar.”
“Jika aku meninggalkan sanggar, aku akan menjadi semakin cepat kehilangan gairah hidup ini dan menjadi pikun,” jawab Mahendra sambil tersenyum. Lalu katanya kemudian, “Tetapi untuk selanjutnya anak itu tetap menjadi tanggung jawabmu.”
“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.
Demikianlah, sejak itu, Mahisa Amping menjadi bergairah kembali. Harapannya yang pudar, tiba-tiba telah menyala lagi. Ia sadar, bahwa Mahendra adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Mahendra lebih banyak berlandaskan satu jalur ilmunya Bajra Geni, namun Mahendra benar-benar telah sampai ke puncak tataran ilmunya itu.
Bagi Mahisa Amping yang kecil itu, sama sekali tidak pernah diperhatikannya, darimana Mahendra mewarisi ilmunya. Yang ia ketahui adalah, bahwa Mahendra memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apakah ilmunya itu ilmu yang dahsyat yang disebut Bajra Geni atau ilmu yang lain, namun yang penting bagi Mahisa Amping, ilmunya akan dapat meningkat lebih cepat.
Tetapi sebagaimana dilakukan atas anak-anaknya sendiri, Mahendra tidak saja mengajarkan ilmu kepada Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi disamping ilmu, keduanya juga selalu mendapat tuntutan meniti jalan kehidupan yang dianggapnya baik. Sikap dan pandangan hidup yang bersih dan mewarnai ilmunya dengan kesadaran akan sumber hidupnya.
Ilmu adalah ibarat ujung tombak yang sangat tajam. Tergantung kepada tangan yang memegangnya, untuk apa ujung yang sangat tajam itu dipergunakan. Di tangan yang baik ujung tombak yang tajam itu akan dapat menjadi pelindung yang menjaga keseimbangan dan kejernihan kehidupan dan menimbulkan ketenteraman. Tetapi di tangan yang hitam, ujung tombak itu akan dapat mengguncang ketenangan dan kedamaian.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat lebih banyak memperhatikan tugas-tugasnya yang lain. Meskipun sekali-sekali keduanya ikut pula berada di dalam sanggar bersama Mahisa Amping dan Mahisa Semu, bahkan dengan Wantilan pula, namun tanggung jawab kedua anak muda itu jauh lebih ringan. Sementara itu Mahisa Amping dan Mahisa Semu pun tidak merasa kehadirannya di padepokan itu sia-sia.
Ternyata seperti yang sering dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa Mahisa Amping adalah anak yang memang memiliki kelebihan dari anak kebanyakan. Apa yang diajarkan oleh Mahendra, anak itu dengan cepat dapat menyerapnya. Unsur-unsur gerak yang paling dasar dengan cepat dikuasainya seluruhnya. Bahkan kemudian Mahisa Amping telah mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak yang lebih rumit.
Bahkan dalam umurnya yang masih sangat muda itu. Mahendra telah memperkenalkannya dengan tenaga cadangan di dalam dirinya. Namun berbeda dengan ketajaman daya tangkap serta ingatannya, Mahisa Amping tidak terlalu cepat memahami dan mengungkapkan tenaga cadangan di dalam dirinya.
“Ia masih terlalu anak-anak,” setiap kali Mahendra telah mengendorkan kekecewaannya jika Mahisa Amping sulit untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya serta memahami laku untuk membangunkan tenaga cadangannya itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengalami banyak kemajuan pula. Dengan rajin ia mengikuti semua petunjuk dan tuntunan Mahendra. Bahkan dalam saat-saat yang memungkinkan, Mahisa Semu telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya, meskipun ia harus berlatih sendiri. Ia tidak merajuk seperti Mahisa Amping. Namun justru berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Apalagi Mahisa Semu merasa bahwa ia sudah lebih tua dari Mahisa Amping, sehingga seharusnya ia dapat lebih banyak mengambil kesempatan untuk menempa diri.
Dalam pada itu, kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat padepokan Bajra Seta itu menjadi lebih hidup. Hubungan mereka dengan padukuhan di sekitarnya tetap dipelihara dengan baik, sehingga kehadiran padepokan dan perguruan Bajra Seta itu juga mempunyai arti bagi padukuhan di sekitarnya, terutama dalam usaha para petani untuk meningkatkan hasil sawah mereka.
Bahkan beberapa padukuhan telah dengan sengaja mengirimkan anak-anak muda mereka untuk ikut serta mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dalam hal mengolah sawah mereka, sehingga dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama sebagaimana para cantrik, telah dapat mereka pergunakan di padukuhan mereka masing-masing.
Sementara itu, padepokan Bajra Seta juga mengembangkan lahan dan sawah bagi keperluan padepokan. Sawah yang memang digarap oleh para cantrik untuk menghasilkan pangan bagi seisi padepokan. Para cantrik dengan rajin mengatur susunan jalur air yang ternyata tidak hanya bermanfaat bagi sawah dan lahan para cantrik itu sendiri, namun ternyata juga berarti bagi padukuhan di sekitarnya.
Dari hari ke hari, Padepokan Bajra Seta nampak menjadi semakin berkembang. Bukan dalam jumlah murid yang ingin belajar dan menjadi cantrik di padepokan itu saja, tetapi tataran kecerdasan dan kehidupan di padepokan itu pun menjadi semakin meningkat. Sawah garapan para penghuni padepokan itu pun menjadi semakin luas. Atas ijin Ki Buyut yang memimpin lingkungan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuka tanah pertanian baru. Beberapa puluh bahu lingkungan hutan yang pepat telah dibuka, tanpa menimbulkan kerusakan keseimbangan pada hutan itu, karena luas tanah yang terbuka itu terhitung kecil dibandingkan dengan luas hutan itu sendiri.
Namun akibat dari perluasan tanah pertanian itu adalah kerja keras untuk menaikkan air dari sungai-sungai untuk mengaliri tanah pertanian yang baru itu, sehingga parit-parit pun telah digali menyusuri kotak-kotak sawah yang baru itu. Dengan demikian maka padepokan Bajra Seta telah menjadi padepokan yang berarti bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga ketrampilan di beberapa bidang kehidupan. Karena di samping pertanian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga mengusahakan peternakan dan meskipun hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, padepokan itu pun telah membuat belumbang-belumbang untuk memelihara ikan air.
Karena itu, maka seakan-akan padepokan Bajra Seta telah memiliki segala macam usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Bahkan hasilnya yang berlebih telah dapat disalurkan untuk dijual ke pasar-pasar terdekat sehingga hasilnya dapat untuk membeli kebutuhan-kebutuhan, yang lain.
Dalam perkembangannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengembangkan bengkel-bengkel pande besi dan berusaha mencukupi kebutuhan alat-alat pertanian sendiri. Bahkan pande-pande besi dari padepokan Bajra Seta itu telah belajar untuk membuat senjata sendiri dan bahkan mengembangkannya sehingga alat-alat dan senjata yang dibuatnya adalah termasuk benda-benda pertanian dan senjata yang baik.
Seperti yang dirintis sejak padepokan itu didirikan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan kesempatan kepada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan terdekat untuk mempelajari berbagai macam ketrampilan di padepokan itu tanpa menjadi cantrik. Pagi-pagi mereka datang untuk mempelajari salah satu ketrampilan di padepokan itu. Bertani, pande besi, anyaman bambu atau membuat alat-alat bambu dan kayu. Di sore hari mereka pulang kembali ke rumah mereka masing-masing.
Namun dengan demikian, maka hubungan, padepokan itu dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin akrab. Bahkan tidak terpisahkan lagi. Padepokan itu seakan-akan merupakan satu padukuhan yang besar dan lengkap memiliki apa saja yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Disamping kesejahteraan hidup para penghuni padepokan yang selalu meningkat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan paugeran yang mapan bagi para cantriknya. Latihan-latihan selalu berlangsung pada saat yang ditentukan dengan tataran-tataran yang telah tersusun. Beberapa orang telah ditunjuk untuk membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menuntun peningkatan ilmu dari para cantrik dari tataran di bawahnya.
Lima orang pembantu terpenting dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin seisi padepokan itu. Mereka telah dipersiapkan untuk menjadi orang yang akan dapat mewakili Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangani, persoalan-persoalan ke dalam dan keluar padepokan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah melupakan niat yang terkandung di dalam dada mereka membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping ke padepokan itu.
Sementara itu, Mahendra telah benar-benar menyiapkan kedua-duanya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Mahisa Amping masih terlalu muda, sehingga Mahendra memang lebih banyak memberikan perhatiannya kepadanya. Sedangkan Amping sendiri ternyata dengan sangat tekun mematuhi segenap ketentuan yang ditetapkan oleh Mahendra. Anak itu bangun pagi-pagi sekali. Melakukan latihan-latihan ringan serta berlari-lari di sekitar padepokan. Bahkan kadang-kadang sampai ke jarak yang agak jauh. Ketika matahari terbit, maka Mahisa Amping sempat beristirahat sejenak untuk mengeringkan keringat. Sejenak kemudian ia harus mandi dan bersiap untuk melakukan latihan-latihan berikutnya.
Dengan demikian, maka dari hari ke hari, Mahisa Amping telah meningkatkan kemampuannya. Perlahan-lahan Mahisa Amping telah melakukan latihan membuka diri untuk mengangkat kekuatan cadangan yang terdalam sehingga ia pada saatnya akan mampu memanfaatkan tenaga cadangan di dalam dirinya dengan kekuatan yang cukup besar. Jika ia tetap rajin berlatih, maka ia pun akan dengan mudah mengetrapkan kekuatannya itu untuk mendukung ilmunya yang berkembang.
Ternyata Mahendra semakin lama semakin mampu melihat kelebihan Mahisa Amping. anak itu ternyata memiliki ketajaman penglihatan batinnya sehingga jika diasah, akan dapat menjadi landasan kemampuan yang sangat berarti bagi hidupnya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras untuk membangun perguruannya. Sekali-sekali terbersit pula keinginannya untuk melihat kembali lintasan perjalanannya. Beberapa kali ia berjanji kepada orang-orang yang pernah dikunjunginya, bahwa ia akan datang kembali pada suatu saat untuk melihat keadaan. Kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengancam pula beberapa orang yang sebelumnya bertingkah laku tidak sewajarnya dengan mengatakan, bahwa pada suatu saat ia akan kembali untuk melihat, apakah orang itu benar-benar telah merubah tingkah lakunya.
Tetapi ketika ia sudah berada di tengah-tengah perguruannya, maka kesempatan itu nampaknya sulit untuk didapatkannya. Apalagi Mahendra tiba-tiba saja telah menjadi terlalu tua untuk memimpin sebuah padepokan. Sebenarnyalah sepeninggal orang-orang terdekat yang umurnya tidak terpaut banyak dari umurnya, Mahendra memang merasa bahwa saat-saat seperti itu akan segera datang pula menjemputnya. Karena itu, maka Mahendra seakan-akan telah menempatkan diri di ambang pintu untuk menunggu saat itu benar-benar datang kepadanya.
Untunglah bahwa tiba-tiba telah hadir Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Bukan saja kedua orang anak muda itu merasa mendapatkan kesempatan cukup, tetapi mereka merupakan dorongan bagi Mahendra untuk tetap melakukan sesuatu sehingga di masa-masa terakhir, ia tidak merasa kehilangan arti bagi hidupnya. Dengan demikian, maka Mahendra yang merasa dirinya telah menjadi terlalu tua itu, sempat mengisi sisa-sisa hidupnya dengan kesibukan yang memberinya kegembiraan.
Seperti Mahisa Semu dan Mahisa Amping, maka Mahendra pun di setiap hari harus banyak melakukan kegiatan sebelum memasuki sanggar. Mengikuti kedua orang anak muda itu, Mahendra harus berlari-lari pula di dini hari. Mendaki tebing-tebing yang tinggi dan sekali-sekali menuruni lereng-lereng terjal. Berlari-lari melintasi pematang-pematang sawah dan tanggul-tanggul parit. Namun dengan demikian, Mahendra merasa dirinya tidak lagi tinggal menunggu hari-hari terakhirnya.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping, yang mendapat tuntunan olah kanuragan secara khusus dengan cara yang berbeda itu, dari hari ke hari meningkat semakin mapan. Mahisa Amping selain meningkatkan ilmu kanuragannya, maka oleh Mahendra telah diusahakan pula untuk mengasah ketajaman penglihatan batinnya disamping memelihara budi pekertinya.
Sementara itu, Mahisa Semu yang lebih tua dari Mahisa Amping telah mendapatkan kemungkinan yang lain bagi ilmunya. Pada umurnya, Mahisa Semu mulai mendapat tuntunan khusus untuk membangun tenaga dalamnya. Justru di saat wadagnya berkembang, maka ilmu itu menjadi sangat berarti baginya. Mahisa Semu seakan-akan telah mampu membangunkan tenaga berlipat ganda dari tenaga wadagnya karena kemampuannya mengangkat tenaga cadangan di dalam dirinya.
Sekali-sekali Mahendra telah membawa Mahisa Semu ke lereng-lereng pegunungan. Dengan keras Mahisa Semu telah melatih tangannya untuk menghantam batu-batu padas. Dengan tenaga cadangan di dalam dirinya, maka Mahisa Semu mulai dapat memecahkan batu-batu padas yang masih muda.
“Pada suatu saat, anak itu akan mendapat warisan ilmu yang jarang ada duanya. Bajra Geni,” berkata Mahendra di dalam hatinya. Namun Mahendra sendiri tidak akan mewariskan ilmu itu kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ia hanya akan mempersiapkannya. Semuanya terserah kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena mungkin ada beberapa hal yang mencegahnya untuk menurunkan ilmu itu.
Namun sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum berniat untuk sampai kepada satu keputusan untuk menjadikan Mahisa Amping dan juga Mahisa Semu pewaris ilmu Bajra Geni. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu kesempatan lain bagi mereka di masa-masa mendatang, karena mereka menyadari, bahwa pada suatu saat mereka akan berkeluarga dan mempunyai anak. Anak-anak mereka itu adalah pewaris yang paling baik dan paling berhak menerima ilmu puncak perguruan mereka, Bajra Geni.
Tetapi keduanya tidak akan ingkar, bahwa Mahisa Amping dan Mahisa Semu telah dibentuk oleh Mahendra atas persetujuan mereka untuk dapat ikut memimpin padepokan itu. Mereka diharapkan memiliki kelebihan ilmu dari yang lain karena kemampuan dasar yang ada di dalam diri mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya akan menjadi orang-orang kuat di masa datang bagi padepokannya itu.
Pada saat-saat tertentu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menilai peningkatan kemampuan Mahisa Amping dan Mahisa Semu yang meniti ke tingkat yang tinggi melalui jalan yang memang berbeda meskipun dengan landasan ilmu yang sama. Mahendra berusaha untuk menyesuaikan tingkat umur dan kemampuan dasar, yang ada pada anak-anak itu sendiri.
Sementara padepokan Bajra Seta berkembang pesat, maka Singasari pun menjadi semakin melejit di atas cakrawala. Para pemimpin di Singasari benar-benar mampu mempergunakan landasan modal yang ada bagi pengembangan masa mendatang. Apa yang pernah dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra ternyata menjadi sangat berarti bagi pertumbuhan Singasari selanjutnya. Para pemimpinnya, termasuk Sri Maharaja Singasari ternyata masih mempergunakan beberapa gagasan Mahisa Agni dan Witantra yang terpenting.
Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat Singasari telah membuat Singasari menjadi semakin tenang dan damai. Jarang sekali terjadi benturan kekerasan dan kejahatan. Setiap orang mendapat kesempatan untuk bekerja dengan tenang di bidang yang dikuasainya. Sawah-sawah yang terbentang sampai ke kaki pegunungan nampak hijau subur. Di bagian lain, hutan yang luas meliputi ngarai dan kaki bukit. Menyelimuti gunung dan lembah.
Namun dalam pada itu, api yang sudah padam di Kediri mulai menjilat kembali. Justru keadaan yang menjadi semakin tenang, telah memberi kesempatan beberapa orang memikirkan hubungan antara Kediri dan Singasari.
Beberapa orang justru mulai merasa, betapa tidak mampu lagi untuk menyatakan diri sebagai satu negara yang besar. Beberapa orang yang memiliki pengaruh di Kediri terlanjur berpendapat, bahwa orang-orang Kediri mempunyai beberapa kelebihan dari Tumapel yang kemudian menyatakan diri sebagai satu kerajaan yang bernama Singasari dan menelan kekuasaan Kediri ke dalamnya, sehingga Kediri kemudian berada di bawah kuasa Singasari.
Dalam gejolak yang terjadi sebelumnya, ketika Singasari bekerja keras mengangkat derajat kesejahteraan hidup rakyatnya, persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari telah dilupakan. Tetapi setelah masa sulit terlampaui, persoalan itu kembali muncul. Tetapi gejolak itu justru terjadi di lapisan di bawah permukaan. Secara resmi Kediri tidak merubah sikapnya. Pimpinan pemerintahan di Kediri masih tetap berpegang pada perjanjian dan ikatan yang ada.
Setelah luka-luka di tubuh para pewaris pemerintahan di Kediri terasa mulai sembuh, setelah terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang tetap berpegang kepada ikatan yang ada di antara Kediri dan. Singasari dengan mereka yang ingin mengembalikan masa-masa kejayaan Kediri sebelum Tumapel bangkit, ternyata persoalan yang sama mulai timbul kembali.
Dengan demikian, maka ketenangan yang meliputi Singasari termasuk Kediri, mulai nampak gelisah. Sekali-sekali mulai terjadi keributan antara orang-orang yang merindukan masa kejayaan Kediri dengan orang-orang Singasari. Orang-orang Kediri yang masih saja merasa derajatnya lebih tinggi, kadang-kadang telah melakukan tindakan yang tidak sewajarnya atas orang-orang Singasari.
Tetapi orang-orang Singasari yang kemudian merasa lebih berhak memerintah berdasarkan kekuasaan Singasari yang meliputi Kediri, tidak mau direndahkan. Sehingga dengan demikian maka kadang-kadang benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi.
Pimpinan pemerintahan di Singasari dan Kediri memang sudah berusaha untuk meredakan pertentangan yang timbul itu. Tetapi ternyata bahwa sangat sulit untuk merubah sikap dan pandangan hidup kedua belah pihak, sehingga benturan-benturan kekerasan itu masih saja sering terjadi.
Namun yang lebih parah adalah usaha orang-orang yang justru ingin memanfaatkan perselisihan yang sering timbul itu. Mereka yang semula tidak lagi tertarik kepada pekerjaannya, bagaikan harimau tidur yang dikejutkan oleh seekor kijang yang berlari di sisinya.
Tiba-tiba saja timbul niat mereka untuk menyelinap di antara perselisihan yang timbul di beberapa tempat itu. Mereka yang bagaikan harimau terbangun itu mulai mengaum dan menerkam ke sana-kemari untuk mendapatkan mangsa sebanyak-banyaknya. Seperti sekelompok orang yang mencari harta karun yang bertebaran di Kediri dan Singasari, mereka menyapu orang-orang yang berhasil mengumpulkan kekayaan di saat-saat yang tenang.
Para pedagang yang melintas hilir mudik di antara Kediri dan daerah Singasari lainnya di luar Kediri, bagaikan dihempaskan ke dalam mimpi buruk ketika mereka menghadapi kenyataan, kelompok-kelompok penyamun telah tumbuh di beberapa tempat. Setiap kali terdengar ungkapan kebencian dari orang-orang Singasari terhadap orang-orang Kediri. Tetapi sebaliknya satu saat mereka meneriakkan kutuk dan umpatan kepada orang-orang Singasari.
Orang-orang itu ternyata telah mempertajam kebencian orang-orang Kediri dan Singasari. Orang-orang Singasari mulai menuduh orang-orang Kediri membuat kerusuhan, sementara orang-orang Kediri menganggap orang-orang Singasari di luar Kediri telah membuat keonaran. Bagaimana pun juga para pemimpin Singasari dan Kediri mengusahakan agar hal tersebut tidak menjalar, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan demikian maka baik Singasari dan Kediri harus menurunkan prajurit-prajuritnya untuk mengawasi keadaan yang menjadi semakin buruk itu. Suasana di Singasari dan Kediri bagaikan saat-saat senja yang menjadi semakin gelap. Setelah matahari memanjat langit sampai ke puncak kecerahan, maka matahari itu telah menjadi semakin menurun sehingga akhirnya telah menjenguk ke balik pegunungan. Dan senja pun menjadi semakin suram. Demikian pula langit di Singasari.
Benturan-benturan kekerasan terjadi di beberapa tempat yang berada justru di batas kekuasaan Kediri yang telah menjadi bagian dari kekuasaan Singasari. Bahkan kadang-kadang terjadi jauh di luar batas lingkungan kekuasaan Kediri.
Para prajurit Singasari dan Kediri memang banyak mendapat kesulitan karena peristiwa-peristiwa yang terasa susul menyusul. Setiap kali terjadi benturan kekerasan, maka yang terasa adalah benturan antara Kediri dan Singasari. Namun setiap kali tentu diikuti dengan peristiwa lain. Perampokan, penyamun dan kejahatan-kejahatan yang lain.
Para pemimpin Singasari dan Kediri ternyata tanggap akan keadaan itu. Mereka segera menyatakan kepada orang-orang yang terutama berada di perbatasan, bahwa mereka telah menjadi korban tingkah laku para penjahat yang ingin mendapat kesempatan justru pada saat-saat yang menjadi semakin keruh. Tetapi mereka adalah bagian dari mereka yang justru dengan sengaja membuat kekeruhan itu.
Mahisa Bungalan yang berkuasa di Pakuwon Sangling tidak dapat membiarkan hal seperti itu terjadi. Bahkan Mahisa Bungalan telah bersikap keras terhadap para penjahat yang menyelubungi tingkah laku mereka dengan kemelut yang justru sedang terjadi antara Kediri dan Singasari.
Namun tindakan keras Mahisa Bungalan itu mempunyai akibat yang luas. Ketika Mahisa Bungalan berhasil menghancurkan sekelompok perampok yang mengacaukan lingkungan Pakuwon Sangling, maka sisa-sisa perampok yang sempat melarikan diri telah mendendam Akuwu Sangling yang bernama Mahisa Bungalan itu.
“Kita tidak akan dapat menghancurkan Sangling,” berkata salah seorang dari para pemimpin perampok yang sudah hampir musnah itu.
“Memang,” jawab kawannya, “kita harus menerima kenyataan ini. Kelompok kita sudah dilumatkan.”
“Apakah kita menerima hal ini dengan tanpa berbuat apa-apa?” bertanya seorang yang lain.
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya kawan-kawannya.
“Aku tahu kita tidak mempunyai kekuatan lagi. Tetapi kita dapat menghubungi beberapa orang kawan yang lain. Beberapa kelompok yang sejalan dengan kita, akan bersedia membantu kita dengan senang hati,” geram orang yang berusaha membakar dendam kawan-kawannya.
“Beberapa kelompok yang dapat kita kumpulkan. Berapa kuatnya kelompok kita yang baru itu untuk menghadapi Pakuwon Sangling,” bertanya seorang di antara mereka.
“Kita tidak akan menggempur Sangling,” jawab orang yang mendendam itu.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” bertanya seorang kawannya.
“Aku tahu, Akuwu Sangling mempunyai dua orang saudara muda yang berada di sebuah padepokan,” jawab orang itu, “padepokan yang menyebut dirinya Bajra Seta.”
“Maksudmu?” bertanya kawannya.
“Kita membalas sakit hati kita. Kita tidak mungkin menggempur Sangling. Tetapi kita akan mampu menghancurkan padepokan itu. Akuwu Sangling tentu akan merasa sakit pula hatinya, jika kedua orang adiknya kita binasakan,” jawab orang itu.
Para perampok itu termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara kawan-kawannya bertanya, “Apa keuntungan kita dengan menyerang padepokan itu? Apakah padepokan itu mempunyai harta benda yang cukup banyak?”
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu, “tetapi yang penting kita membalas dendam karena hati kita sudah disakiti. Beberapa orang kawan kita telah terbunuh, Kita akan membalas dendam dengan membunuh saudara-saudara Akuwu Sangling itu.”
Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Aku setuju. Kita harus membalas sakit hati kita.”
Ternyata yang lain pun kemudian telah menyetujui pula rencana itu. Mereka akan mengumpulkan kawan-kawan mereka sebanyak-banyaknya untuk menghancurkan sebuah padepokan yang bernama Padepokan Bajra Seta. Padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara muda Mahisa Bungalan, Akuwu Sangling.
Para perampok yang tersisa dan menjadi sakit hati itu telah menghubungi beberapa kelompok yang lain. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang sudah turun lagi ke arena pekerjaan mereka yang sudah beberapa lama mereka tinggalkan. Tetapi ada pula kelompok yang masih ragu-ragu untuk memulainya. Namun ternyata bahwa hubungan di antara mereka telah membangkitkan niat mereka untuk terjun kembali ke dalam dunia mereka yang kelam itu.
“Kita memerlukan pemanasan,” berkata salah seorang pemimpin kelompok yang dihubungi oleh para perampok yang sakit hati itu. Karena itu, ketika datang ajakan untuk menyerang sebuah padepokan yang kurang dikenal, maka para perampok itu merasa mendapat sasaran untuk memanaskan darah mereka.
“Jika senjata kami telah basah oleh darah, maka kami tidak akan ragu-ragu lagi. Senjata kami akan sekali lagi dan sekali lagi minum darah yang hangat,” berkata salah seorang pemimpin kelompok perampok yang sudah cukup lama tidak turun medan perburuan.
Karena itulah, maka para perampok itu dalam waktu singkat telah mendapat banyak kawan untuk melakukan rencana mereka itu. Membalas dendam sakit hati yang ditimbulkan oleh Akuwu Sangling.
“Saudara laki-laki Akuwu Sangling itu harus dibunuh. Kita akan membawa mayatnya dan akan kita lemparkan ke halaman Pakuwon Sangling, agar Akuwu melihatnya dan merasa bersalah. Untuk selanjutnya ia tidak akan melakukan kesombongan itu sekali lagi,” berkata seseorang yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya yang terbunuh.
Para perampok yang telah bergabung itu kemudian mulai mengadakan pengamatan atas sebuah padepokan yang memang agak jauh dari Sangling. Mereka mulai mengamati kekuatan yang ada di padepokan itu. Beberapa orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Tetapi karena orang-orang padepokan itu bukan orang yang sombong, maka mereka lebih banyak merendahkan dirinya. Ketika ada di antara mereka yang pergi ke pasar dan berbicara dengan para perampok dalam tugas sandinya, maka orang-orang padepokan itu selalu merendahkan diri.
Namun sikap merendah itu telah menumbuhkan gambaran yang salah dari antara para perampok itu atas kekuatan yang ada di padepokan. Meskipun jumlah orang yang mereka ketahui hampir mendekati jumlah yang sebenarnya, namun perkiraan mereka tentang kemampuan orang-orang padepokan itulah yang salah.
Sebenarnyalah sejak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali, maka latihan-latihan selalu dilakukan pada saat-saat yang sudah ditentukan. Orang-orang yang sudah terlalu lama tidak menempa diri, karena Mahendra yang sudah menjadi semakin tua dan tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk melakukan latihan-latihan bagi para penghuni padepokan itu, telah membangkitkan kemauan mereka kembali. Dengan tekun mereka selalu mengikuti latihan-latihan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan yang diberikan oleh saudara-saudara seperguruan yang lebih tua yang telah mendapat latihan-latihan khusus untuk itu.
Dengan demikian, maka hampir setiap orang di padepokan itu telah berhasil meningkatkan kemampuan mereka. Apalagi orang-orang khusus yang akan mendapat tugas membantu kepemimpinan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebelum orang yang benar-benar akan mendapat tugas untuk itu hadir di tengah-tengah mereka.
Bahkan Mahisa Amping yang masih kanak-kanak itu pun telah memiliki ilmu yang memadai untuk melindungi dirinya sendiri. Demikian pula Mahisa Semu. Mereka juga telah memiliki kemampuan untuk membangunkan tenaga cadangan di dalam diri mereka sehingga kekuatan mereka seakan-akan telah menjadi berlipat ganda.
Sementara itu, para perampok yang telah mengenali kekuatan di padepokan itu telah memperhitungkan, bahwa kekuatan mereka telah berlebihan. Mereka yakin bahwa mereka bersama dengan kelompok-kelompok perampok dan penyamun serta perguruan yang berlandaskan ajaran ilmu hitam akan dapat menggulung padepokan Bajra Seta. Membunuh dua orang saudara Mahisa Bungalan dan membawa mayat mereka ke Pakuwon Sangling, agar Akuwu Sangling menyadari, bahwa apa yang telah dilakukannya atas para penjahat, telah membuat para penjahat itu sakit hati.
Dari hari ke hari, maka persiapan pun menjadi semakin matang. Beberapa orang yang ditugaskan, telah mulai mengamati tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di padepokan itu dan sekitarnya. Mengamati orang-orangnya dan kebiasaan yang mereka lakukan. Akhirnya, para penjahat itu telah sampai pada satu keputusan untuk benar-benar menyerang padepokan itu.
“Tiga hari lagi, kita akan menyerang dan menghancurkan padepokan itu. Kedua saudara Mahisa Bungalan itu jangan sampai sempat meloloskan diri. Mereka berdua harus dibunuh dan mayatnya harus dibawa ke Sangling. Baru jika Akuwu Sangling terpukul oleh kematian kedua orang saudaranya itu, maka apa yang kita lakukan itu dapat dianggap berhasil. Sebaliknya meskipun kita mampu membunuh saudara-saudara Akuwu Sangling, namun Akuwu itu tidak tahu bahwa kedua adiknya itu mati dalam hubungan dengan langkah-langkah yang diambilnya terhadap para penjahat, maka pekerjaan mereka itu sia-sia.”
“Yang terpenting buat kita adalah, bahwa Mahisa Bungalan menjadi tersiksa oleh kematian kedua adiknya. Dalam keadaan yang demikian, kita akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu,” desis pemimpin perampok yang mendendam itu.
Dengan demikian, maka padepokan Bajra Seta itu telah mendapat pengamatan yang sangat ketat. Hampir setiap orang yang keluar dari padepokan, mendapat pengamatan ketat. Orang-orang yang merasa sakit hati dan mendendam kepada Mahisa Bungalan selaku Akuwu Sangling benar-benar tidak ingin melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu ketika Mahisa Murti pergi ke padukuhan sebelah untuk satu keperluan, maka beberapa orang telah mengikutinya dari kejauhan dan mengawasinya, apakah ia kembali ke padepokannya atau tidak. Namun ternyata tidak lama kemudian, Mahisa Murti telah kembali memasuki regol halaman padepokannya.
“Sebaiknya kita tidak terlalu lama menunggu,” berkata salah seorang di antara mereka yang mengamati padepokan itu.
“Ya,” sahut yang lain, “jika mereka mengetahuinya, maka mungkin sekali kedua orang anak muda itu melarikan diri.”
“Itu adalah tugas kita,” berkata orang yang pertama. “Jika keduanya berusaha melarikan diri karena mereka mengetahui bahwa kita telah siap untuk menyerang padepokan mereka, maka mereka berdua harus kita tangkap hidup atau mati.”
“Lebih baik jika hidup. Kita akan dapat membuat Mahisa Bungalan itu semakin sakit hati,” desis kawannya.
“Tetapi tentu tidak mudah dapat menangkap mereka hidup-hidup karena mereka tentu akan tetap melawan,” jawab orang yang pertama.
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun dalam pada itu, dua orang cantrik telah menjadi curiga atas kehadiran beberapa orang yang dengan diam-diam selalu mengawasi padepokan mereka. Karena itu, maka seperti orang-orang itu mengawasi padepokan dengan diam-diam, maka para cantrik itu pun melakukan hal yang sama atas mereka. Ternyata para cantrik itu menjadi curiga. Sikap orang-orang itu benar-benar tidak wajar.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun segera teringat kepada orang-orang yang memusuhinya. Padepokan palsu, yang dipimpin oleh orang-orang-yang mengaku dari padepokan Nagateleng. Bahkan seorang di antara mereka telah mengaku sebagai Kiai Nagateleng itu sendiri, sementara Kiai Nagateleng telah tidak ada. Selain itu maka mungkin sekali orang yang menyebut dirinya Empu Kanthi itu pun tentu mendendam mereka pula. Selain Empu Rangkut telah terbunuh, maka ia seolah-olah telah mampu menghancurkan keberanian delapan orang pengikutnya.
Tetapi banyak hal dapat terjadi. Namun yang dilihat oleh para cantrik itu hanya beberapa orang yang mengamati padepokan mereka dengan sikap yang sangat mencurigakan. Karena itu pula maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengundang para pemimpin padepokan Bajra Seta untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tidak ada tanda-tanda akan ada serangan lagi,” berkata salah seorang di antara para cantrik yang telah mendapat latihan-latihan khusus. “Kita tidak merasa bermusuhan dengan siapapun. Empu Kanthi telah tidak mempunyai kekuatan lagi setelah kegagalannya. Orang-orangnya banyak yang menjadi korban, sementara itu sekelompok yang lain, justru telah bertemu dan dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan orang yang disebut bernama Empu Rangkut telah terbunuh pula.”
“Mungkin ia berhubungan dengan orang lain,” berkata cantrik yang lain lagi, “ia telah menyeret sebuah atau lebih padepokan lain untuk ikut serta membalaskan dendamnya.”
Cantrik yang pertama itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi siapa pun yang telah melakukannya, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin kita tidak merasa mempunyai lawan. Tetapi orang lain mungkin mempunyai sikap yang tidak dapat kita mengerti telah memusuhi kita. Mungkin justru karena sikap iri hati atau sikap lain yang tidak terungkap sebagai sikap bermusuhan. Namun tiba-tiba saja mereka telah mengambil sikap yang lebih kasar. Menyerang padepokan kita seperti yang pernah terjadi.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sependapat. Bahkan Mahendra yang ikut mendengarkan pembicaraan itu pun mengiakannya pula.
“Jika demikian, awasi orang-orang yang mencurigakan itu. Selanjutnya kita harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Kita sama sekali tidak mempunyai keterangan tentang orang-orang itu. Juga seandainya ada sekelompok orang yang memusuhi kita,” berkata Mahisa Murti pula.
Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Mereka telah mendapat isyarat, bahwa mereka harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas padepokan itu.
Di hari berikutnya, ketiga orang cantrik berusaha dengan sengaja untuk melihat sendiri orang-orang yang mengamati padepokannya itu, memang telah melihat tiga orang yang duduk di bawah sebatang pohon yang rindang memandang ke arah padepokannya di tempat yang agak jauh dan lebih rendah. Dari percakapan mereka, maka cantrik itu sempat mendengar bahwa besok padepokan itu akan dihancurkan.
“Sebenarnya sayang juga,” berkata seorang di antara ketiga orang itu, “tetapi apa boleh buat. Padepokan itu memang tidak mempunyai arti apa-apa bagi kita. Yang harus kita ingat adalah pesan para pemimpin kita, dua orang adik Mahisa Bungalan itu tidak boleh meloloskan diri. Apa pun yang terjadi, keduanya harus jatuh ke tangan kita. Hidup atau mati.”
Cantrik itu memang menjadi berdebar-debar. Namun ia sempat mendengar, bahwa besok padepokan itu akan diserang. Bagi cantrik itu, keterangan itu sudah cukup memberikan peringatan, bahwa padepokan Bajra Seta memang harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tanpa mengetahui alasannya yang pasti, maka cantrik itu pun segera melaporkannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Untunglah kau tidak tertangkap oleh mereka,” berkata Mahisa Murti.
“Kenapa kau hanya seorang diri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Lebih aman seorang diri,” jawab cantrik itu, “jika tertangkap, aku tidak membawa orang lain dalam malapetaka itu. Tetapi apakah dengan bekal ilmuku, aku tidak mampu melarikan diri dari ketiga orang itu? Aku tidak berbicara tentang kemampuanku untuk mengalahkan mereka, karena aku tidak tahu landasan kemampuan mereka bertiga.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Sementara orang itu berkata, “Tidak ada alasan yang dapat aku tangkap dari pembicaraan mereka. Namun mereka mengatakan bahwa yang terpenting bukan untuk menghancurkan padepokan itu. Tetapi dendam mereka kepada adik Mahisa Bungalan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara cantrik itu menirukan apa yang didengarnya dari ketiga orang dibawah pohon yang rindang itu. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya,
“Baiklah. Ternyata ada sangkut pautnya dengan kakang Mahisa Bungalan. Tetapi sudah tentu tidak ada waktu untuk berbicara dengan kakang Akuwu Sangling. Jika kita menghubunginya, maka kita akan terlambat jika benar mereka akan menyerang besok.”
“Menurut pendengaranku memang demikian,” jawab cantrik itu.
Memang satu persoalan yang rumit. Para pemimpin padepokan Bajra Seta tidak mendapat keterangan sama sekali tentang kekuatan lawan. Sementara itu, lawan mereka tentu sudah sempat mengukur kekuatan padepokan Bajra Seta, sehingga mereka akan dapat memperhitungkan kekuatan yang akan mereka bawa.
“Agaknya bukan kekuatan Empu Kanthi,” desis Mahisa Murti.
“Agaknya bukan, karena mereka mengkaitkan gerakan mereka dengan kakang Mahisa Bungalan,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kita harus bersiap-siap sejak sekarang. Kita akan bertahan di dalam dinding padepokan justru karena kita tidak mengetahui kekuatan mereka.”
Ternyata Mahisa Pukat juga sependapat. Adalah sangat berbahaya jika mereka turun keluar dinding halaman padepokan. Mereka akan dapat terhisap oleh kekuatan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanggil para cantrik yang telah dianggap cukup dewasa ilmunya. Dengan jelas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menguraikan rencana mereka justru karena para cantrik telah melihat sikap yang mencurigakan dari orang-orang yang tidak dikenal. Sedangkan seorang cantrik yang secara khusus sempat mengikuti pembicaraan pendek tiga orang yang mencurigakan mendapat keterangan bahwa besok akan datang serangan atas padepokan itu.
“Kita sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang orang-orang yang akan datang menyerang. Baik jumlahnya maupun tingkat kemampuan mereka,” berkata Mahisa Murti, “karena itu, kita harus menyiapkan kemampuan tertinggi yang dapat kita bangunkan di sini.”
“Kita siapkan pertahanan pada dinding padepokan kita,” Mahisa Pukat meneruskan keterangan Mahisa Murti, “kita siapkan senjata jarak jauh. Kemudian, kita harus membagi kekuatan. Kita tidak tahu apakah mereka akan menyerang dengan mengepung seluruh padepokan ini, atau mereka akan datang dari satu dua arah saja. Kita harus membuat rencana yang tersusun. Apa yang akan kita kerjakan jika mereka datang dan mengepung seluruh padepokan, dan apa yang akan kita lakukan jika mereka datang dari satu atau dua arah."
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjuk sepuluh orang cantik untuk bersama-sama menyusun rencana pertahanan dan kemudian sekaligus memimpin para cantrik yang lain.
Menjelang malam, rencana sudah tersusun rapi. Kepada para cantrik yang dianggap cukup berbekal ilmu, telah diperintahkan untuk berkumpul. Mereka menerima tanggung jawab masing-masing. Berapa orang cantrik yang harus mereka pimpin. Setiap orang tahu pasti apa yang harus dikerjakan. Namun mereka pun harus dengan cepat mengambil keputusan di dalam setiap perubahan keadaan.
“Jika malam turun, semua harus sudah berada di tempat mereka masing-masing,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya pula, “beberapa orang khusus akan melihat keadaan di luar padepokan. Mereka akan masuk kembali dengan isyarat sandi tertentu, tidak melalui regol padepokan. Tetapi mereka akan memanjat tali dari belakang. Mudah-mudahan dari mereka kita mendapatkan sedikit gambaran, apa yang sedang kita hadapi sekarang.”
Demikianlah, ketika pertemuan itu dibubarkan, maka para cantrik pun telah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemui ayahnya pula.
Mahendra mendengarkan keterangan kedua orang anaknya sambil mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, “Agaknya mereka bukan orang-orang yang pernah menyerang padepokan ini. Tetapi mereka agaknya mempunyai hubungan dengan kakak kalian, Mahisa Bungalan. Ternyata ketiga orang itu telah menyebut-nyebut namanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Memang tidak ada pilihan lain bagi kalian selain menyiapkan kekuatan dan kemampuan setinggi-tingginya karena kita tidak tahu, seberapa besar kekuatan dan kemampuan lawan. Agaknya para cantrik harus berusaha menahan kekuatan itu sebelum mereka mencapai dinding padepokan.”
“Dengan senjata jarak jauh maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahendra, “panah dan lembing.”
“Kami sudah berusaha mempersiapkan sebanyak-banyaknya. Bahkan bandil dan bebatuan di atas panggungan di belakang dinding padepokan. Kita memperhitungkan, bahwa orang-orang itu tentu akan berusaha memanjat dinding. Mungkin dengan tali, mungkin dengan tangga-tangga bambu. Mungkin pula mereka membawa alat yang cukup besar untuk memecahkan dinding atau pintu gerbang padepokan,” berkata Mahisa Pukat selanjutnya.
“Menurut pendapatku, kalian sudah benar. Dengan demikian jika kekuatan yang ada di padepokan ini, maka para cantrik harus memanfaatkan senjata jarak jauh itu sebaik-baiknya,” berkata Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula.
“Nah,” berkata Mahendra, “kau harus melihat persiapan para cantrik sekarang.”
“Baik ayah,” jawab Mahisa Murti.
“Bawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping bersamamu,” berkata Mahendra pula, “mereka harus melihat persiapan itu. Satu pengalaman yang tentu sangat menarik bagi mereka.”
Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengelilingi dinding padepokan. Bukan saja Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang dibawanya, tetapi dua orang cantrik yang terpilih bersama Wantilan pula.
“Kita tidak tahu apakah kekuatan kita cukup memadai paman,” berkata Mahisa Murti kepada Wantilan.
“Aku belum pernah melihat sebuah padepokan yang memiliki kekuatan sebesar ini. Dengan jumlah cantrik yang sangat besar,” desis Wantilan.
“Tetapi bukankah paman tahu, bukan semuanya yang ada di padepokan ini menyatakan diri menjadi cantrik. Mereka sebagian adalah anak-anak padukuhan di sekitar tempat ini yang ikut belajar di sini. Bahkan ada di antara mereka yang sengaja dikirim oleh orang tuanya atau oleh Ki Bekel di padukuhannya untuk menyadap pengetahuan bukan saja kanuragan, tetapi juga mengenal pertanian, pemeliharaan ternak, pande besi dan kemampuan-kemampuan lain yang kami miliki.”
“Meskipun mereka tidak menyatakan diri sebagai cantrik di padepokan ini, tetapi ada ikatan antara padepokan ini dengan mereka. Bahkan dengan padukuhan mereka,” berkata Wantilan. Lalu katanya, “Hal itu tampak jelas seperti sekarang ini. Ternyata tanpa diminta mereka telah menyatakan diri untuk ikut mempertahankan padepokan ini dari kemungkinan yang paling buruk.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sebenarnyalah anak-anak muda yang telah dikirimkan oleh beberapa padukuhan dan yang lain atas kehendak mereka atau keluarga mereka telah bersedia untuk dengan suka rela ikut mempertahankan padepokan itu ketika mereka mendengar kemungkinan buruk bakal terjadi. Mereka justru telah memasuki padepokan itu dan tidak keluar kembali sehari sejak berita tentang kehadiran orang-orang yang tidak dikenal itu terdengar di padepokan.
Namun dengan demikian, anak-anak muda itu sebagian sempat dilihat oleh orang-orang yang mendapat tugas untuk mengamati padepokan itu, sehingga telah diperhitungkan sebagai kekuatan yang ada di padepokan itu.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama beberapa orang yang mengiringinya telah sempat menyaksikan seluruh kekuatan yang ada di padepokan itu dalam kesiagaan penuh. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga menganjurkan, agar mereka menyempatkan diri untuk beristirahat bergantian, karena besok agaknya mereka harus bekerja keras untuk mempertahankan padepokan mereka.
Apalagi ketika lewat tengah malam, dua orang pengamat telah datang untuk melaporkan. Kekuatan yang besar telah berada di pategalan di sebelah padukuhan yang terletak di arah depan padepokan. Sedang kekuatan yang lain, memencar dalam kelompok-kelompok kecil di arah sisi sebelah kiri dan kanan dari padepokan mereka.
“Apakah mereka akan menyerang dari tiga arah,” desis Mahisa Pukat.
“Apakah kalian tidak melihat kesatuan di arah belakang padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.
Para cantrik yang bertugas mengamati keadaan itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Kami tidak melihat ada pasukan di arah belakang padepokan. Kami sudah memutari padepokan ini dengan hati-hati.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Namun mereka pun kemudian telah membagi diri untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi seluruh pasukan yang ada di belakang dinding padepokan itu. Sementara itu mereka telah minta agar Mahisa Amping, Mahisa Semu dan Wantilan untuk beristirahat.
“Besok kalian akan terlibat langsung,” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah, selain yang bertugas, maka seluruh kekuatan yang ada di padepokan itu telah beristirahat sebaik-baiknya. Namun dalam pada itu, berpuluh-puluh ikat anak panah telah berada di atas panggungan. Demikian pula lembing dan senjata-senjata jarak jauh yang lain pun telah disediakan. Paser, bandil dan bahkan tombak-tombak panjang untuk menyambut lawan yang berhasil memanjat dinding.
Namun dalam pada itu, di atas pintu gerbang pun telah bersiap kelompok khusus. Meskipun mereka masih juga sempat beristirahat, tetapi mereka siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang hampir semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Menjelang dini keduanya sempat memejamkan mata sejenak. Namun mereka pun segera terbangun ketika mereka mendapat laporan, bahwa di depan padepokan terdapat pasukan yang telah bersiap. Mereka telah menyalakan obor-obor minyak dan oncor jarak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera pergi ke panggungan di atas regol padepokan. Sementara itu, diperintahkannya semua cantrik untuk segera makan, minum dan memeriksa senjata-senjata mereka. Dari atas panggungan di atas regol padepokan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat beberapa puluh obor. Tetapi tidak terlalu dekat di hadapan regol padepokan mereka.
“Masih ada waktu,” berkata Mahisa Murti kepada seorang cantrik yang ada di sebelahnya, “biarlah mereka makan dan minum secukupnya. Jika obor-obor itu mulai bergerak, kita akan memberi tanda.”
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pasukan itu tidak segera bergerak. Nampaknya mereka masih mengatur diri dan pemimpinnya masih memberikan beberapa perintah untuk mereka.
Sementara itu, para cantrik yang telah selesai makan, minum dan berbenah diri, telah menempatkan dirinya sesuai dengan rencana. Mereka telah bersiap di atas panggungan dengan busur di tangan. Sementara yang lain telah bersiap-siap untuk melontarkan lembing, memutar bandil dan yang lain lagi menggenggam tangkai tombak panjang. Sementara itu di lambung mereka tergantung pedang yang masih ada di dalam sarungnya.
Beberapa saat kemudian, maka obor-obor itu pun mulai bergerak. Namun sama sekali tidak nampak obor yang berada di arah kiri dan kanan padepokan itu. Agaknya mereka memang tidak mempergunakan obor atau oncor-oncor biji jarak. Mereka dengan diam-diam merangkak mendekati dinding padepokan.
Namun para cantrik telah siap bertahan dari serangan-serangan yang datang dari manapun. Bahkan di bagian belakang padepokan pun mendapat pengawasan cukup ketat oleh beberapa orang cantrik, meskipun menurut keterangan para pengawas, tidak ada pasukan lawan di belakang padepokan.
Tidak ada tanda-tanda apa pun yang dapat didengar oleh para cantrik di panggungan, di belakang dinding padepokan. Mereka hanya melihat obor-obor yang mulai bergerak. Namun mereka pun yakin, bahwa pasukan di sisi sebelah kiri dan kanan juga mulai bergerak pula.
Beberapa saat kemudian, maka langit pun mulai dibayangi sinar matahari pagi. Keremangan fajar pun telah menguak dan pagi menjadi semakin terang. Pada saat yang demikian itulah, maka para cantrik mulai melihat pasukan yang bergerak mendekati padepokan. Memang dari tiga arah sebagaimana dilaporkan oleh para pengawas. Sedangkan para cantrik yang berjaga-jaga di bagian belakang padepokan memang tidak melihat pasukan yang datang mendekat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di panggungan di atas regol halaman padepokan pun segera memberikan beberapa isyarat kepada para cantrik yang telah bersiap sepenuhnya. Sementara itu Mahendra pun telah berada di panggungan itu pula bersama Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Sedangkan Wantilan telah menyatu dengan para cantrik yang bertugas di atas regol itu.
“Kami akan berada di sebelah menyebelah regol ini ayah,” berkata Mahisa Murti, “kami mohon ayah memegang pimpinan di sini.”
Mahendra tidak menolak. Ia pun telah bersiap untuk bertempur. Meskipun ia sudah terhitung tua, tetapi ia masih memiliki tenaga dan kemampuan untuk berbuat sesuatu.
Mahisa Amping dan Mahisa Semu memang menjadi berdebar-debar. Mereka akan benar-benar berada di medan perang. Beberapa saat kemudian, maka pasukan lawan yang menjadi semakin dekat itu telah berhenti. Menurut pengamatan mereka yang ada di padepokan, jumlah mereka memang lebih banyak dari para cantrik yang bertahan.
Tetapi para cantrik sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka memiliki beberapa kesempatan yang lebih baik dari lawan mereka yang lebih banyak itu. Para cantrik itu berada di belakang dinding padepokan, sehingga mereka terlindung. Sementara itu mereka hanya bertahan dan tidak menyerang dengan berusaha meloncati dinding. Dengan demikian, maka mereka akan dapat lebih leluasa menyerang lawan-lawan mereka dengan senjata jarak jauh dari pada mereka yang berada di luar padepokan.
Sementara itu, ketika pasukan yang berada di luar dinding padepokan itu berhenti, maka lima orang telah berjalan ke arah dinding padepokan dan berhenti pula beberapa langkah dari regol.
Mahendra yang berada di atas regol menyadari, bahwa kelima orang itu adalah pemimpin dari pasukan yang datang menyerang padepokan itu. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masing-masing berada di sebelah-menyebelah regol, maka Mahendra lah yang telah menerima para pemimpin pasukan yang menyerang itu.
Dengan lantang salah seorang di antara kelima orang itu telah berteriak, “He, siapakah pemimpin padepokan ini?”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Ia bukan pemimpin yang sebenarnya. Tetapi karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berada di atas regol, maka akhirnya Mahendra lah yang menjawab, “Akulah pemimpin padepokan ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ada di sebelah menyebelah regol mendengar pula pertanyaan itu. Mereka sama sekali tidak berkeberatan mendengar jawaban ayahnya yang mengaku sebagai pimpinan padepokan itu, karena ayahnya tentu tidak akan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan padepokan itu.
“Bagus,” Orang yang berada di depan regol itu berteriak, “jika demikian, aku minta kau serahkan dua orang anak muda yang mengaku di antara mereka para pemimpin padepokan ini bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, adik Akuwu Sangling yang bernama Mahisa Bungalan.”
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun ia pun bertanya, “Apa salah mereka? Mereka tidak pernah berbuat jahat kepada siapa pun juga.”
“Mungkin. Tetapi nasibnyalah yang buruk. Serahkan keduanya kepada kami, atau padepokan ini akan kami lumatkan menjadi debu,” jawab orang itu.
“Ya. Tetapi apa salah mereka terhadap kalian dan apa hubungan mereka, meskipun mereka adiknya, dengan Akuwu Sangling dalam hal ini,” bertanya Mahendra.
“Ketahuilah, Akuwu Sangling telah melakukan kejahatan besar terhadap kawan-kawan kami. Adalah kebetulan bahwa kawan-kawan kami tinggal di Sangling. Dengan sewenang-wenang Akuwu Sangling telah memperlakukan kawan-kawan kami dengan tidak adil. Bahkan lebih jatuh banyak korban di antara kawan-kawan kami,” berkata orang itu.
“Jika demikian kenapa kalian tidak menuntut Akuwu Sangling. Kenapa kalian tidak pergi ke Sangling dan minta keadilan. Kenapa kalian justru pergi ke padepokan ini?” bertanya Mahendra.
“Kami akan menangkap adik Akuwu Sangling itu. Kami akan membawanya ke Sangling, hidup atau mati. Kami ingin membalas sakit hati kami terhadap Akuwu Sangling itu,” jawab orang itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “jadi persoalannya bukan persoalan kalian dengan kedua adik Akuwu Sangling itu. Tetapi persoalan kalian dengan Akuwu Sangling itu sendiri,” berkata Mahendra.
“Ya. Tetapi kedua orang anak muda itu akan menjadi satu alat untuk membalas sakit hati kami. Karena itu, serahkan saja kedua orang anak muda itu. Padepokanmu akan selamat. Aku akan melupakan padepokan ini untuk selama-lamanya dan tidak akan datang lagi mengganggu,” berkata orang itu.
“Ki Sanak,” berkata Mahendra, “padepokan ini akan melindungi setiap anggotanya dari kebengisan siapa pun juga, termasuk kalian semuanya. Sudah tentu bahwa kami tidak akan menyerahkan kedua orang anggota padepokan kami. Keduanya adalah orang-orang yang justru sangat berarti bagi kami. Keduanya sudah melewati masa pendadaran mereka sebagai cantrik werda di padepokan ini, sehingga keduanya berhak menyandang gelar Putut. Karena itu, sudah tentu bahwa kami tidak akan menyerahkan mereka.”
“Ki Sanak,” berkata orang di depan regol itu, “dengan demikian kau hanya kehilangan dua orang Putut. Tetapi jika kau tidak mau mendengarkan aku dan melakukan perlawanan, maka kau tidak hanya akan kehilangan dua orang Putut. Tetapi kau akan kehilangan semuanya. Kedua Putut itu akan mati, para jejanggan dan cantrik pun akan mati. Demikian pula kau dan seluruh padepokanmu akan lumat menjadi abu.”
“Menarik sekali. Bukankah itu lebih baik daripada aku telah berkhianat kepada kedua orang Pututku sendiri?” desis Mahendra.
“Kau memang bodoh. Kau korbankan nyawamu untuk kedua orang adik Mahisa Bungalan dari Sangling itu. Mereka tidak akan berarti apa-apa bagimu,” teriak orang yang berdiri di depan regol itu.
Tetapi jawaban Mahendra mengejutkan, “Aku adalah ayah mereka.”
Orang-orang yang berada di depan regol itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara mereka berkata lantang, “Kebetulan sekali. Jika kau ayah anak-anak muda itu, maka berarti kau juga ayah Akuwu Sangling.”
“Ya,” jawab Mahendra, “aku adalah ayah Mahisa Bungalan.”
“Jika demikian, kami akan menyeret mayatmu dan mayat kedua anakmu itu di sepanjang jalan-jalan di Pakuwon Sangling. Seluruh rakyat Sangling akan melihat apa yang telah terjadi. Akuwu Sangling akan pingsan karenanya dan akhirnya ia akan mati penuh penyesalan,” geram orang itu.
“Kau kira anakku itu cengeng? Jika ia tahu ayah dan saudara-saudaranya mati membela kebenaran, maka ia tidak akan menitikkan air mata, apalagi pingsan dan mati karena sedih dan menyesal. Tetapi anakku itu akan merasa bangga karenanya. Ia akan membuat candi untuk memperingati dan menghormati ayahnya dan saudara-saudaranya yang terbunuh oleh orang-orang jahat,” Mahendra berhenti sejenak. Lalu ia telah bertanya, “Siapakah kalian, he? Semakin tinggi matahari, semakin nampak tampang-tampang kalian. Memang tidak selamanya, ujud lahiriah mewakili sikap batin. Tetapi karena kalian semuanya memberikan kesan kasar dan liar, maka aku dapat menduga, bahwa kalian adalah sekelompok perampok, penyamun, penjahat dan barangkali orang-orang yang melarikan diri dari kejaran para prajurit Sangling.”
“Tutup mulutmu,” teriak dua orang yang berdiri di regol itu hampir bersamaan, sementara yang lain telah menggeretakkan giginya dengan marah.
“Bagus,” berkata seorang di antara mereka, “jika demikian maka kau memang harus mati. Kedua anakmu harus mati. Padepokan ini akan menjadi karang abang. Semua cantrik dan orang-orang yang ada di padepokan ini akan mati. Tetapi jika kalian bertiga menyerahkan diri, maka yang lain akan selamat. Atau karena kesadaran para cantrik, dengan suka rela menangkap dan menyerahkan kepada kami ketiga orang itu, yang lain akan diampuni.”
Mahendra tertawa. Katanya, “begitu mudahnya kalian menyelesaikan persoalan kalian Ki Sanak. Sekarang, lakukan apa yang ingin kalian lakukan. Kami sudah siap. Siapakah di antara kita yang akan hancur menjadi debu lebih dahulu. Kami atau kalian.”
“Setan tua yang tidak tahu diri. Kau kira kau siapa he? Berapa jumlah cantrik-cantrikmu? Kau adalah seorang pemimpin padepokan yang mementingkan diri sendiri. Kau sama sekali bukan seorang pemimpin yang bersedia berkorban untuk murid-muridmu. Jika kau menyerah, maka namamu akan tetap diingat oleh para muridmu, karena kau sudah mengorbankan diri untuk keselamatan mereka. Dengan pengorbananmu, maka murid-muridku akan terlepas dari maut dan kehancuran.”
“Biarlah aku tidak mendapatkan pujian dari siapa pun juga. Biarlah aku segera dilupakan. Kalian tidak usaha menganggap kami yang ada di padepokan ini kanak-kanak yang dapat ditakut-takuti, dan dibujuk dengan janji-janji dan dapat dikelabui dengan puji-pujian,” jawab Mahendra, “bersiaplah dan lakukan apa yang akan kau lakukan, atau kalian memang hanya ingin menggertak kami tanpa berani berbuat apa-apa.”
“Iblis pikun,” teriak seorang di antara mereka, “bersiaplah untuk mati. Biarlah padepokanmu menjadi abu.”
Mahendra tidak menjawab lagi. Dipandanginya orang-orang itu yang kemudian dengan marah meninggalkan regol dan kembali ke pasukan mereka. Beberapa saat orang-orang itu berbicara dengan para pemimpin yang lain. Nampaknya mereka memang menemukan kesepakatan. Menghancurkan padepokan itu sampai lumat.
Dengan demikian, maka pemimpin tertinggi pasukan yang siap menyerang itu telah memberikan isyarat. Kemudian sebuah kentongan kecil telah berbunyi disambut oleh kentongan kecil yang lain dari para pemimpin yang ada di sebelah kiri dan kanan padepokan. Nampaknya aba-aba terakhir telah diberikan, sehingga orang-orang dalam pasukan itu telah benar-benar bersiap untuk menyerang.
Mereka memang membawa beberapa buah tangga. Tali berkait dan beberapa perlengkapan lain, seperti senjata-senjata jarak jauh untuk melindungi orang-orang mereka yang akan memanjat tali atau tangga yang akan mereka sandarkan pada dinding padepokan itu. Namun tidak ada di antara mereka yang membawa alat untuk dengan paksa membuka regol halaman. Namun beberapa orang yang telah dipersiapkan untuk merusak regol adalah beberapa orang pilihan dengan bersenjatakan kapak.
Demikian aba-aba itu merata, maka pasukan itu dengan langkah pasti telah bergerak maju. Beberapa orang di antara mereka telah bersiap dengan busur dan anak panah. Mereka didampingi oleh orang-orang bersenjata pedang dan perisai. Mereka siap melindungi kawan-kawan mereka yang akan melontarkan anak panah mereka. Dengan perisai dan pedang, mereka akan dapat menangkis serangan-serangan anak panah dari atas panggung di belakang dinding padepokan.
Demikian pasukan penyerang itu mendekat, maka tali-tali busur di atas panggungan pun mulai ditarik. Busur-busur yang besar dengan anak panah yang besar-besar pula, yang sebelumnya jarang dipergunakan. Namun dalam pada itu, orang-orang yang menyerang padepokan itu pun telah bersiap dengan perisai-perisai mereka. Dengan hati-hati mereka melangkah maju di baris paling depan. Demikian mereka menjadi semakin dekat maka di atas panggungan terdengar aba-aba.
Sejenak kemudian, maka anak panah pun mulai berhamburan. Beberapa orang yang berperisai dengan cepat telah melindungi dirinya dengan perisai-perisai itu. Bahkan bukan hanya dirinya, tetapi kawan-kawannya yang ada di belakangnya, telah berlindung pula. Beberapa orang dengan trampil telah menangkis serangan anak panah itu tanpa mempergunakan perisai. Tetapi dengan memutar pedangnya melindungi tubuhnya.
Namun orang-orang yang berada di atas panggungan pun bukannya sekedar membabi-buta melemparkan anak panah. Satu dua orang memang dengan sengaja memancing agar orang-orang yang datang menyerang itu mengangkat perisai-perisai mereka. Namun orang yang lain telah membidikkan anak panahnya dengan sungguh-sungguh selagi orang itu berusaha menghalaukan anak panah yang lain.
Meskipun demikian ternyata bahwa orang-orang yang menyerang padepokan itu cukup trampil. Mereka dengan cepat mampu mengatasi kesulitan karena anak panah yang terhambur. Tetapi demikian banyak anak panah yang dilontarkan dari atas dinding padepokan, sehingga gerak pasukan yang menyerang padepokan itu memang terhambat. Bahkan satu dua orang benar-benar telah terluka karena ujung anak panah itu.
Namun arus pasukan itu benar-benar telah menggetarkan dinding padepokan. Derap langkah mereka terasa seakan-akan mengguncang dinding itu. Sedangkan beberapa orang yang khusus telah bergerak menuju ke regol dengan kapak di tangan. Mereka ternyata benar-benar orang-orang pilihan. Dengan kapak mereka mampu menangkis anak panah yang meluncur dari atas regol halaman itu.
Beberapa saat kemudian maka pasukan yang menyerang padepokan dari tiga arah itu memang telah menjadi semakin dekat. Mereka telah bersiap-siap mempergunakan tali dan tangga-tangga bambu yang mereka bawa. Sementara itu, beberapa orang yang lain telah melindungi kawan-kawan mereka yang bersiap-siap untuk memanjat dengan anak panah pula.
Namun, kedudukan mereka yang berada di belakang dinding padepokan memang lebih baik. Mereka mempunyai kesempatan untuk berlindung saat-saat mereka memasang anak panah dan merentang busur. Dengan demikian, maka sebelum terjadi benturan antara kedua belah pihak, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu memang telah berkurang meskipun tidak terlalu banyak. Beberapa orang telah terluka dan harus dibawa keluar dari jangkauan anak panah orang-orang padepokan.
Dalam pada itu, ternyata beberapa orang pilihan telah berada di depan regol. Justru karena mereka telah berada di regol, maka sulit bagi orang-orang yang berada di panggungan untuk menyerangnya dengan anak panah. Sementara itu, orang-orang itu telah berusaha merusak pintu regol dengan kapak-kapak mereka yang besar. Mereka telah memotong tali-tali pengikat kayu pada regol halaman itu. Memecah dan berusaha memotong bagian-bagian dari pintu regol yang tertutup rapat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap dengan beberapa orang cantrik pilihan di belakang pintu regol. Mereka memang memperhitungkan kemungkinan seperti itu terjadi. Karena itu, maka demikian mereka melihat beberapa orang mampu menembus hujan anak panah dari atas regol padepokan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergerak turun untuk menghadapi mereka demikian mereka berhasil memecahkankan regol itu.
Tetapi di bagian lain, para cantrik masih saja mempergunakan busur dan anak panah. Satu-satu masih jatuh korban karena anak panah yang besar telah menusuk tubuh mereka. Namun ketika orang-orang itu menjadi demikian dekat dengan dinding padepokan, maka para cantrik telah mempergunakan lembing-lembing bambu yang mereka lontarkan dari atas panggungan. Bahkan ketika satu dua orang di antara mereka yang menyerang itu mencapai dinding padepokan, maka batu-batu yang telah mereka persiapkan telah mereka lemparkan pula.
Ternyata usaha para cantrik itu benar-benar mampu menghambat serangan lawan dan bahkan korban pun semakin banyak berjatuhan. Tetapi serangan itu bagaikan gelombang yang beruntun menerjang dinding pantai. Namun akhirnya, orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar telah berhasil merusak pintu gerbang. Beberapa potong kayu berpatahan dan terlepas dari ikatannya. Dengan suara yang berderak-derak, maka satu-satu kayu yang menjadi bagian dari pintu gerbang itu pun terlepas dan jatuh berserakan.
Dengan demikian, maka orang-orang yang terpilih itu pun telah menghambur masuk ke halaman padepokan sambil berteriak-teriak mengerikan. Tetapi demikian kaki mereka menginjak halaman, maka mereka pun harus berloncatan menghindari serangan anak panah yang dimuntahkan dari busur-busurnya.
Ternyata serangan para cantrik yang bersiap di belakang itu lebih berbahaya dari serangan-serangan yang datang dari atas panggungan di belakang dinding. Para cantrik itu benar-benar telah membidik sasaran dengan sungguh-sungguh. Sehingga dengan demikian, maka anak panah yang terlepas sebagian benar-benar telah menembus kulit dan daging.
Lubang-lubang di sela-sela perisai telah dibidik dengan tajamnya. Demikian anak panah terlepas, maka anak panah itu benar-benar menyusup di sela-sela perisai. Tetapi karena perisai itu seakan-akan selalu bergerak, maka kadang-kadang anak panah itu telah tertahan di bibir perisai.
Meskipun demikian, korban pun telah berjatuhan. Para cantrik benar-benar untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya tanpa niat membunuh dan membantai mereka. Tetapi jika kematian itu menerkam lawan-lawan para cantrik, itu semata-mata adalah akibat dari kekejaman peperangan.
Namun orang-orang yang telah berhasil memasuki halaman padepokan itu dengan cepat berusaha memencar. Mereka berusaha untuk memperluas garis benturan, sehingga orang-orang yang lain akan dapat memasuki halaman itu pula.
Arus pasukan yang datang dari luar memang tidak terbendung lagi. Para cantrik yang mempergunakan busur dan anak panah, harus meletakkan busur mereka. Sementara mereka bersiap untuk menarik pedang-pedang mereka dari sarungnya, maka para cantrik yang bersenjata tombak pendek, telah meloncat menyongsong pasukan yang datang menyerang itu.
Meskipun korban telah jatuh, namun jumlah para penyerang itu masih lebih banyak daripada para cantrik yang mempertahankan padepokan itu. Beberapa kelompok penjahat, perampok dan penyamun telah bergabung dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama dengan para cantrik yang siap di belakang regol yang pecah itu pun telah terlibat langsung dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah diperintahkan untuk berada di bangunan induk padepokan bersama beberapa orang cantrik yang merupakan kekuatan cadangan bila diperlukan.
Mahendra masih berada di atas regol. Bersama beberapa orang prajurit Mahendra telah mempergunakan busur dan anak panah, menyerang para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain itu dari panggungan dengan anak panah. Ternyata Mahendra masih tetap seorang pembidik yang baik. Hampir setiap anak panahnya yang terlepas, dapat mengenai sasarannya dengan tepat sebagaimana dikehendaki.
Sementara itu, ketika pintu gerbang sudah dipecahkan, serta kelompok-kelompok yang ada di bagian depan padepokan telah sebagian besar memasuki padepokan, maka pasukan yang ada di sisi kiri dan kanan pun mulai berusaha untuk menyerang dan memasuki padepokan dengan tangga-tangga dan tali. Mereka telah dengan sengaja mengikat para cantrik itu dalam pertempuran, agar mereka tidak sempat membantu para cantrik yang bertahan di sisi depan padepokan itu.
Namun usaha untuk memasuki padepokan itu memang sulit. Beberapa buah tangga yang dipasang pada dinding padepokan itu telah didorong sehingga roboh. Tali-tali pun telah diputus dengan pedang. Tetapi meskipun mereka tidak dengan mudah memasuki padepokan dengan meloncati dinding, namun mereka sudah berhasil mengikat perhatian para cantrik untuk tidak turun ke halaman dan ikut serta dalam pertempuran yang semakin sengit.
Pertempuran di halaman padepokan itu pun telah mengalir ke segala penjuru. Beberapa kelompok kecil para perampok dan penyamun itu memang berusaha untuk mencapai bangunan induk padepokan itu. Mereka mengira bahwa di bangunan induk itu terdapat kekayaan padepokan itu.
Tetapi beberapa kelompok yang lain, yang telah mencapai dinding di sisi kiri dan kanan, telah berusaha untuk membuka pintu-pintu butulan. Gerbang yang tidak begitu besar di sebelah menyebelah telah terbuka pula, sehingga orang-orang yang ada di luar dinding pun dapat dengan cepat memasuki padepokan itu, meskipun harus jatuh korban yang agak banyak. Para cantrik yang masih berada di atas regol butulan itu, meskipun jumlahnya tidak banyak, namun mereka mampu membidikkan anak panah mereka ke punggung orang-orang yang sedang berdesakan memasuki regol padepokan.
Tetapi serangan-serangan itu tidak membendung arus pasukan yang meluap memasuki halaman. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran di halaman padepokan itu. Para cantrik yang jumlahnya lebih kecil itu berusaha untuk memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya. Saat-saat kelemahan orang-orang yang menyerang padepokan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Tetapi kemudian segera terasa bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang kasar, bahkan buas dan liar. Bukan saja karena mereka berteriak-teriak tidak menentu, namun mereka juga melakukan tindakan yang licik tanpa menghormati harga diri mereka sendiri. Namun para cantrik sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Bahkan anak-anak muda dari padepokan-padepokan yang sedang menyadap ilmu di padepokan itu pun telah bertempur dengan berani.
Karena itu, maka pertempuran di halaman padepokan itu pun telah berlangsung pula dengan sengitnya. Para cantrik yang berada di atas panggungan telah berlompatan turun. Mereka langsung melibatkan diri ke dalam pertempuran. Dalam perang brubuh yang terjadi kemudian, maka kemampuan pribadi setiap orang menjadi sangat penting dan bahkan menentukan.
Untunglah bahwa para cantrik telah ditempa dalam olah kanuragan. Meskipun para cantrik itu juga mampu untuk bertempur dalam gelar karena serba sedikit mereka sudah mendapatkan tuntunan, namun mereka selalu ditilik pula kemampuan mereka secara pribadi. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan tetangga yang menimba ilmu apa pun di padepokan itu, telah menerima pula bimbingan olah kanuragan. Mereka telah berlatih untuk menguasai beberapa unsur gerak yang terpenting serta ilmu olah senjata.
Karena itu, maka ketika mereka harus berhadapan dengan para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain, para cantrik itu tidak segera terdesak. Para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat itu hanya sekedar mengandalkan kekuatan dan keberanian saja tanpa membekali diri dengan ilmu yang cukup baik. Meskipun ada juga di antara mereka yang memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan.
Dalam pertempuran yang semakin seru itu, beberapa orang cantrik masih tetap berada di atas panggungan dengan busur dan anak panah. Mereka adalah justru para cantrik yang memiliki kemampuan bidik yang tinggi. Dalam pertempuran yang sengit itu, mereka masih juga sempat membidik lawan yang sedikit renggang dari para cantrik yang bertempur melawan mereka. Ternyata bahwa satu dua bidikan mereka cukup berhasil. Mereka masih juga mampu melukai para perampok, penyamun dan penjahat yang sama sekali tidak sempat memperhatikan mereka karena pertempuran yang dihadapinya.
Tetapi para penjahat yang ada di halaman itu segera menyadari. Mereka pun telah berusaha untuk mengenyahkan para cantrik itu. Beberapa di antara mereka masih juga mempunyai busur dan anak panah. Namun kesempatan mereka menjadi sangat terbatas karena pertempuran yang riuh. Namun dalam pada itu, maka pertempuran pun seakan-akan telah mengalir ke seluruh halaman padepokan. Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah mencari kesempatan untuk menembus pertahanan para cantrik dan menyerbu ke bangunan induk.
Tetapi tidak mudah bagi mereka untuk dapat menyerang halaman padepokan dan mencapai bangunan induk. Para cantrik yang bertahan tidak melepaskan mereka dan tidak membiarkan mereka melepaskan diri dari arena pertempuran.
Namun dengan demikian, maka pertempuran pun benar-benar menjadi semakin garang. Orang-orang yang menyerang padepokan itu justru semakin bernafsu untuk menggapai bangunan induk padepokan itu. Tetapi sejalan dengan itu, maka para cantrik pun menjadi semakin marah dan berusaha bertahan sekuat-kuatnya.
Beberapa orang perampok yang memiliki kelebihan telah berusaha menembus pertahanan para cantrik dan memberi jalan kepada kawan-kawan mereka. Namun para cantrik terpilih serta mereka yang dianggap memiliki ilmu tertinggi, telah menempatkan diri untuk melawan orang-orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kawan-kawannya itu.
Tetapi jumlah yang lebih banyak dari para perampok, penyamun dan penjahat itu memang berpengaruh. Hentakan-hentakan yang keras memang mampu mendesak para cantrik semakin jauh dari pintu gerbang yang telah pecah itu, mendekati bangunan induk padepokan. Meskipun sementara itu, masih ada para cantrik yang mempergunakan anak panah dan busur, berusaha mengurangi jumlah orang-orang yang datang menyerang.
Mahendra sendiri masih berada di atas regol padepokan. Dengan busur dan anak panah yang khusus, Mahendra telah menyerang orang-orang yang berusaha mendesak para cantrik ke arah bangunan induk. Setiap kali anak panahnya terlepas dari busurnya, maka seorang di antara mereka yang menyerang padepokan itu telah jatuh. Tetapi Mahendra tidak dapat terlalu sering melepaskan anak panahnya. Setiap kali pertempuran menjadi kacau sehingga Mahendra tidak berani melepaskan anak panahnya agar tidak justru mengenai para cantrik sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam pertempuran pula. Ketika mereka melihat bahwa para cantrik ternyata telah terdesak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membagi diri. Mereka berusaha untuk membendung arus para penjahat yang bergerak dari sisi kiri dan sisi kanan, sementara para cantrik terpilih akan berada di tengah-tengah, membendung arus para penjahat yang memasuki regol induk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai perhitungan, jika kekuatan yang seakan-akan menyerang lambung itu dilumpuhkan, maka pasukan induk para cantrik itu tidak akan mengalami kesulitan membendung arus para penyerang. Sebenarnyalah, kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sisi sebelah kiri dan sisi sebelah kanan itu sangat berpengaruh. Dalam waktu singkat, keduanya telah berhasil mengacaukan pasukan para penyerang.
Para penjahat yang berhasil dihimpun dan menyerang padepokan itu memang menjadi heran melihat anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Di sisi sebelah kiri Mahisa Murti telah menimbulkan banyak kesulitan kepada para penjahat. Jumlah mereka yang lebih banyak dari para cantrik yang bertahan ternyata tidak mampu menahan desakan para cantrik yang terasa semakin lama menjadi semakin berat. Mahisa Murti sendiri telah menghisap beberapa orang lawan bersama-sama. Bahkan meskipun lima orang mengepungnya, namun kelima orang itu tidak berdaya untuk membendung desakan Mahisa Murti.
Sementara itu, para cantrik pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengimbangi serangan orang-orang yang telah menyerang dan memasuki padepokan itu. Ternyata keberhasilan mereka memasuki halaman padepokan yang disambut dengan sorak yang bagaikan meruntuhkan langit itu tidak memberikan kemungkinan yang lebih baik. Pasukan yang ada di sayap kiri itu benar-benar sulit untuk bergerak maju. Betapa pun orang-orang yang datang menyerbu itu berusaha, namun mereka telah tertahan oleh senjata para cantrik yang berputaran mengerikan.
Para cantrik yang merasa jumlahnya lebih sedikit itu, benar-benar telah berusaha sejauh dapat mereka lakukan untuk mengatasi kekuatan lawan. Mereka tidak lagi mengekang diri sehingga ujung senjata mereka telah menyentuh dan mengoyakkan tubuh lawan. Namun bukan berarti bahwa tidak seorang pun di antara para cantrik yang menjadi korban. Beberapa orang telah terluka. Dan bahkan ada yang benar-benar telah gugur dalam pertempuran itu.
Di sisi sebelah kanan Mahisa Pukat pun telah menggetarkan jantung orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Mereka memang merasa heran, bahwa anak muda itu mampu melakukan sesuatu di luar penalaran mereka. Apalagi ketika seorang cantrik yang dikenal dengan baik oleh Mahisa Pukat telah terdorong beberapa langkah surut. Mahisa Pukat melihat sendiri, betapa ujung tombak pendek seorang lawannya terhunjam di dada cantrik itu. Beberapa langkah lawannya mendorong ujung tombaknya sehingga tembus sampai ke punggung. Baru kemudian, sambil berteriak nyaring orang itu telah menghentakkan tombaknya dari dada cantrik yang malang itu.
Cantrik yang terdorong beberapa langkah surut itu sama sekali, tidak sempat mengeluh. Karena itu, maka demikian ujung tombak itu lepas dari dadanya, maka cantrik itu pun telah terjatuh di tanah. Agaknya lawannya yang telah membunuh cantrik itu masih belum puas. Dengan biadab ia telah mengangkat tombaknya. Cantrik yang telah terbaring di halaman padepokan itu masih akan dikenainya lagi, sehingga dadanya tentu akan terkoyak-koyak.
Mahisa Pukat tidak membiarkan ujung tombak itu sekali lagi menembus dada cantrik yang sudah terbaring diam. Dengan loncatan panjang, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah memukul tombak pendek itu. Demikian kerasnya sehingga tombak itu telah terlepas dan terpelanting dari tangannya..Mahisa-Pukat telah mengayunkan pedangnya. Tetapi ia pun telah menahannya. Lawannya yang sudah tidak bersenjata itu seakan-akan tidak tahu apa yang telah terjadi dan yang kemudian akan terjadi dengan dirinya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berteriak, “Ambil tombakmu. Lawan aku.”
Orang yang kehilangan tombaknya itu merasa heran. Namun dengan demikian ia merasa berpengharapan lagi. Dengan tangkas ia telah meloncat untuk mengambil tombaknya. Dengan wajah yang merah membara ia telah meloncat kembali mendekati anak muda yang sangat sombong itu.
“Kau akan menyesal, bahwa kau telah membiarkan aku mengambil tombakku kembali. Dengan demikian maka kaulah yang akan terbunuh di peperangan ini,” geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Dengan wajah yang tegang dan pandangan mata menyala Mahisa Pukat telah mulai menggerakkan pedangnya.
Lawannya mulai ragu-ragu ketika ia sempat melihat daun pedang Mahisa Pukat. Daun pedang itu seakan-akan telah bercahaya kehijau-hijauan. Namun kemudian orang itu pun berteriak untuk membangkitkan keberaniannya sendiri, “berlututlah anak yang sombong. Aku akan menusuk jantungmu lewat tengkukmu...”