Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 93 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 93
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT masih tidak menjawab. Tetapi ujung pedangnya telah bergetar. Bahkan beberapa kali mematuk ke arah tubuh orang yang telah membunuh seorang cantrik di hadapan hidungnya. Beberapa saat kemudian orang itu telah meloncat sambil menyerang. Tangan kanannya memegang hampir di pangkal tangkai tombaknya, sedangkan tangan kiri memegang hampir di tengah-tengah panjang tangkai tombak pendeknya itu.

Demikian ia meloncat, maka ujung tombaknya itu telah terjulur dengan cepat mengarah ke jantung. Namun Mahisa Pukat telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak berbuat banyak. Dengan tangkasnya ia memiringkan tubuhnya sambil bergeser selangkah ke samping.

Tetapi kemarahannya kepada orang itu telah benar-benar membakar jantung. Kematian seorang cantriknya dan keganasan orang itu telah menentukan nasibnya sendiri. Demikian ujung tombak itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya, maka Mahisa Pukat pun telah merendahkan dirinya. Ujung pedangnya telah menggapai lambung orang yang bergeser mengikuti arah ujung tombaknya.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat yang masih muda itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat banyak ketika ujung pedang Mahisa Pukat menyentuhnya. Orang itu masih berusaha untuk meloncat surut. Namun lambungnya telah tergores oleh ujung pedang anak muda yang garang itu. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi goresan pedang itu telah menguak kulitnya dan darah pun mulai mengalir.

Orang itu pun menjadi semakin marah. Dengan garangnya ia memutar tombaknya. Namun Mahisa Pukat tidak lagi menunggu orang itu menyerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar.

Orang itu bergeser sambil menyilangkan tangkai tombaknya untuk menangkis serangan anak muda itu. Tetapi Mahisa Pukat pun telah menggeliat. Pedangnya berputar sekali di atas kepalanya. Dengan cepat sekali arah pedang itu pun berubah. Pedang itu tidak lagi bergerak dalam ayunan mendatar, tetapi sebuah serangan yang kuat telah terjulur mematuk ke arah dada lawannya.

Lawannya memang tidak sempat berbuat sesuatu. Ujung pedang itu benar-benar telah menggapai dadanya menghunjam sampai ke jantung. Dalam waktu yang pendek, setelah ia menikam seorang cantrik dengan ujung tombaknya, maka ia sendiri telah tertikam oleh ujung pedang. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah tanpa mampu mengeluh lagi.

Sementara itu pertempuran masih berkobar di mana-mana. Para cantrik telah bertempur dengan sekuat tenaga serta kemampuan mereka. Senjata mereka berputaran dan berbenturan dengan serunya. Bunga api berloncatan di udara menghambur ke segala arah.

Matahari memanjat semakin tinggi, sehingga ketika matahari sampai ke puncak, maka pertemuran pun menjadi semakin keras. Tangan-tangan yang telah basah oleh keringat menjadi semakin garang mengayun-ayunkan senjata.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah semakin mendesak lawan-lawan mereka. Para cantrik yang ada di sisi sebelah kiri dan di sisi sebelah kanan, semakin lama semakin mapan sehingga orang-orang yang menyerang padepokan itu justru semakin terdesak mundur.

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di sisi sebelah kiri dan sebelah kanan itu tidak mampu sama sekali membantu kawan-kawannya yang datang dari regol induk padepokan itu. Bahkan mereka yang semula menggapai regol butulan untuk membuka dari dalam, justru telah terperangkap dalam pertempuran di lambung itu.

Sementara itu, pasukan yang berada di tengah-tengah telah mengalami kesulitan pula untuk bergerak. Para cantrik terpilih memimpin kawan-kawannya menghadang orang-orang yang menyerang itu dengan beraninya. Beberapa orang cantrik pilihan sempat membuat lawan-lawannya kebingungan.

Beberapa orang perampok dan penyamun yang ditakuti di padang perburuan mereka, tidak terlalu banyak dapat berbuat menghadapi cantrik-cantrik tertua. Kelebihan ilmu mereka, masih dapat diimbangi oleh para cantrik itu.

Sementara itu, Mahendra di atas regol padepokan masih sempat bermain-main dengan busurnya, ia ternyata telah mengambil tempat yang dianggapnya paling baik untuk membidik. Setiap kali seorang di antara mereka yang menyerang padepokan itu telah jatuh oleh anak panah yang menembus dari punggungnya sampai ke jantung.

Ternyata beberapa orang di antara para perampok dan penyamun itu berpendapat, bahwa Mahendra dan para cantrik yang berada di panggungan itu harus dihalau turun. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka yang merasa memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya telah bergeser dari arena pertempuran mendekati tangga panggungan di atas regol induk.

Serangan-serangan anak panah dari atas panggungan itu dengan tangkasnya telah ditangkis. Pedang, golok dan senjata-senjata lainnya di tangan para perampok itu berputaran melindungi tubuh mereka. Tetapi satu dari antara orang-orang yang mempergunakan busur itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Justru orang yang tertua di antara mereka. Orang yang dimaksud adalah Mahendra.

Anak panah yang meluncur dari busur Mahendra sama sekali tidak dapat ditangkis. Anak panah itu seakan-akan mampu menembus putaran senjata lawan betapa pun cepatnya. Bahkan jika terjadi benturan, maka senjata lawannya seakan-akan telah terpental dan bahkan ada di antara senjata mereka yang justru terjatuh. Namun karena jumlah orang-orang itu cukup banyak, maka mereka sempat berlari-lari naik keatas tangga panggungan meskipun satu dua roboh di tanah.

Akhirnya Mahendra menyadari, bahwa ia tidak dapat membunuh semua orang yang memanjat tangga panggungan di atas regol itu dengan anak panahnya. Mereka akan mendesak maju dan mereka akan segera menyerangnya. Di saat-saat terakhir, seorang di antara orang-orang yang naik keatas tangga itu memang terpelanting jatuh. Tetapi orang-orang yang ada di belakangnya telah mendesak maju demikian dekatnya, sehingga senjatanya hampir menggapai tubuh Mahendra.

Mahendra sempat menangkis ujung senjata itu dengan busurnya. Namun untuk melawan beberapa ujung senjata ia lebih baik mempergunakan pedangnya. Tetapi Mahendra yang sudah semakin tua itu tidak sendiri. Ada beberapa orang cantrik yang menyertainya. Karena itu, maka Mahendra pun tidak sendiri melawan orang-orang yang menyerang padepokan itu.

Sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran di antara para cantrik yang ada di panggungan itu bersama dengan Mahendra, melawan beberapa orang yang berusaha menghentikan serangan-serangan mereka dengan busur dan anak panah. Beberapa saat lamanya, orang-orang yang menyerang itu mampu bertahan. Namun ternyata bahwa seorang demi seorang di antara mereka telah terluka dan bahkan terlempar jatuh. Mahendra yang tua itu sebagaimana dikatakannya, ia masih mampu melindungi dirinya sendiri.

Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang Mahendra dan para cantrik di panggungan itu pun telah terdesak turun. Mahendra sendiri dan para cantrik memang tidak ingin lebih lama lagi berada di panggungan. Mereka pun telah memburu orang-orang yang kemudian harus turun dari panggungan itu. Mereka sadar, jika mereka masih saja menyerang, maka mereka akan habis sampai orang yang terakhir.

Tetapi demikian mereka sampai di halaman, Mahendra dan para cantrik telah berloncatan pula, sehingga pertempuran pun telah terjadi lagi dengan sengitnya. Tetapi di halaman, orang-orang yang menyerang padepokan itu sempat mendapat bantuan dari beberapa orang kawannya.

Dengan demikian, maka para penyerang itu tidak lagi sempat maju. Beberapa orang di antara mereka mulai mencari jalan untuk mencapai bangunan induk. Mereka agaknya tidak ingin didahului oleh kawan-kawannya yang lain yang ternyata berasal dari kelompok yang berbeda. Meskipun mereka bersama-sama menyerang padepokan itu dan berusaha menghancurkannya, namun di antara mereka telah timbul pula semacam pacuan untuk lebih dahulu menguasai bangunan yang menjadi tempat penyimpanan harta benda milik padepokan itu.

Yang mereka duga menjadi tempat penyimpanan itu adalah bangunan induk padepokan itu. Bangunan yang terbesar dan menghadap langsung ke halaman depan yang luas serta pintu gerbang induk yang telah berhasil mereka pecahkan. Namun agaknya tidak terlalu mudah untuk menembus pertahanan para cantrik.

Tetapi orang-orang itu masih juga mempunyai akal yang licik. Mereka tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya sendiri yang bertempur mempertaruhkan nyawa mereka. Beberapa orang di antara mereka benar-benar telah menjadi korban. Dengan saling memberikan isyarat, maka beberapa orang di antara mereka telah berlari-lari keluar dari arena. Menyusup di antara orang-orang yang sedang sibuk bertempur dan dengan melingkari medan yang garang, mereka berlari-lari menuju ke bangunan induk padepokan itu.

Beberapa orang justru di antara kawan-kawan mereka sendiri berteriak-teriak mengumpat. Tetapi mereka tidak menghiraukannya, sementara kawan-kawannya yang lain tidak lagi mampu melepaskan diri dari tekanan para cantrik yang menyadari bahwa beberapa orang telah berhasil lolos.

Tetapi para cantrik itu tidak mengejar mereka. Seakan-akan orang-orang itu mereka biarkan saja menyerang dan menguasai bangunan induk padepokan, sementara kawan-kawan mereka yang mereka akan kehilangan kesempatan untuk ikut menguasai harta benda padepokan itu mengumpat-umpat kasar. Beberapa orang yang bertempur di paling depan sempat melihat dengan jelas, kawan-kawannya yang ternyata telah berbuat licik.

Sementara itu, orang-orang yang menyerang dari sisi kiri dan kanan pun benar-benar telah tertahan. Mereka tidak dapat menembus pertahanan para cantrik dan bahkan merekalah yang telah terdesak mundur.

Dalam pada itu, beberapa orang yang kemudian hampir mencapai pendapa bangunan induk itu telah terkejut. Dari dalam bangunan itu berloncatan beberapa orang cantrik untuk menyongsong mereka. Dari dalam bangunan induk, mereka telah melihat, beberapa orang berlari-lari langsung menuju ke bangunan induk itu sehingga mereka tidak dapat tinggal diam.

Beberapa orang cantrik yang bertugas di bangunan induk sekaligus merupakan tenaga cadangan itu pun telah menyongsong para penjahat yang telah dengan licik meninggalkan kawan-kawan mereka. Namun ternyata bahwa mereka pun telah disongsong oleh ujung-ujung senjata. Dengan demikian, maka mereka tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari benturan kekerasan.

Para cantrik yang berada di bangunan induk itu pun segera menyerang orang-orang yang telah mendekati bangunan induk itu. Dengan tenaga yang masih ada segera mereka berloncatan dengan senjata yang terayun-ayun. Tetapi para cantrik itu tidak kehilangan kewaspadaan. Tidak semua orang telah turun menyongsong orang-orang yang datang menyerang. Tetapi beberapa orang di antara mereka masih tetap berada di ruang depan bangunan induk itu.

Namun jumlah para cantrik yang turun itu ternyata sudah cukup untuk menahan gerak maju beberapa orang yang menyelinap dengan licik untuk menggapai bangunan induk itu.

Mahisa Amping yang juga ada di bangunan induk itu hampir saja berlari keluar ikut menyongsong lawan-lawan mereka. Tetapi Mahisa Semu sempat menangkap tangannya sambil bertanya, “Kau akan ke mana?”

“Bukankah bangunan induk ini mendapat serangan?” bertanya Mahisa Amping.

“Kau mendengar pesan yang diberikan kepada cantrik yang diserahi dan bertanggung jawab atas bangunan induk ini?” Mahisa Semu bertanya pula.

“Ya,” jawab Mahisa Amping.

“Apa katanya?” bertanya Mahisa Semu selanjutnya.

“Hanya beberapa orang cantrik yang ditunjuk,” jawab Mahisa Amping.

“Nah, kita tidak ditunjuk oleh pimpinan para cantrik itu. Karena itu, kita harus tetap di sini bersama beberapa orang cantrik lainnya yang tidak ditunjuk,” berkata Mahisa Semu.

“Tetapi di luar ada perang. Apakah kita sampai hati untuk duduk berdiam diri di sini?” bertanya anak itu.

“Amping,” berkata Mahisa Semu, “kita harus membiasakan diri sejak semula untuk patuh kepada perintah. Oleh kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat kita diserahkan kepada pimpinan para cantrik itu di sini. Kita harus patuh. Perintah pimpinan para cantrik itu sama dengan perintah kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Tetapi hatinya masih saja tetap bergejolak. Apalagi ketika ia mendengar teriakan-teriakan yang bagaikan mengguncang langit. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menghambur turun. Tetapi Mahisa Semu mengamatinya dengan ketat. Sementara itu, beberapa orang cantrik masih saja berjaga-jaga di dalam ruangan itu.

“Mereka dapat memasuki ruangan ini lewat banyak jalan,” berkata Mahisa Semu, “karena itu, maka kita harus berjaga-jaga di sini.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang melihat di antara para cantrik yang masih ada di bangunan induk itu mengawasi butulan pintu samping. Mereka membiarkan pintu itu sebagian terbuka untuk dapat melihat langsung, jika ada orang yang mendekati bangunan induk itu dari belakang. Sementara itu satu dua orang cantrik dari pintu butulan dibelakang dapur dapat melihat halaman di belakang bangunan induk itu.

Selain mereka yang ada di bangunan induk, maka para cantrik masih juga ada, meskipun hanya beberapa orang saja, berada di panggungan yang menghadap ke arah belakang. Namun pengawasan mereka tidak hanya keluar dinding padepokan, tetapi ada di antara mereka yang mengamati halaman dan kebun dibagian belakang padepokan itu.

Namun nampaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak mempunyai orang yang cukup untuk memasuki padepokan itu dari empat arah. Sementara mereka hanya memilih tiga arah itu pun jumlah mereka masih belum menggetarkan jantung para cantrik meskipun terhitung jauh lebih banyak dari para cantrik yang ada di padepokan itu.

Tetapi setelah kekuatan mereka berbenturan, orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar tidak dapat bergerak maju lebih jauh lebih. Mereka harus bertempur dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka di halaman. Yang menyerang dari samping pun telah tertahan pula.

Demikian pula yang menyerang dari arah depan. Mahendra yang telah berada di halaman telah melibatkan diri dalam pertempuran pula. Tetapi Mahendra justru berada di belakang orang-orang yang menyerang padepokan itu, yang gerak majunya tertahan oleh para cantrik. Bersama beberapa orang cantrik, Mahendra telah membuat satu medan pertempuran tersendiri.

Meskipun yang dilakukan oleh Mahendra itu bukan hasil perenungannya setelah mengamati medan dengan saksama, bahkan seakan-akan hanya sekedar membuat lawannya sedikit kebingungan, namun akibatnya memang sangat parah bagi lawannya. Orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar menjadi bingung. Seakan-akan mereka telah ditikam dari depan dan dari belakang. Rasa-rasanya bagaikan dua ujung tombak telah melekat di dada dan di punggung.

Sementara itu pasukan yang datang dari sisi kiri dan kanan masing-masing sudah tidak berdaya sama sekali. Mereka telah mulai terdesak mundur menuju ke pintu butulan yang telah berhasil mereka buka sehingga pasukan mereka sempat masuk dengan cepat dari tiga arah. Tetapi setelah bertempur di halaman padepokan itu, maka segala sesuatunya seakan-akan telah berubah.

Orang-orang yang datang menyerbu itu ternyata sama sekali tidak berhasil membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke Pakuwon Sangling. Sementara itu, orang-orang yang sangat tamak itu pun tidak berhasil mendapatkan kekayaan padepokan itu, yang mereka sangka disimpan di bangunan induk, karena tidak seorang pun di antara para perampok dan penjahat itu yang sempat memasuki bangunan induk padepokan Bajra Seta itu.

Beberapa orang pemimpin dari kelompok-kelompok perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang merasa sangat ditakuti orang di tempat-tempat lain, memang menjadi sangat marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ternyata bukan hanya di Sangling mereka kehilangan kesempatan untuk membalas dendam. Tetapi di padepokan yang mereka anggap terpencil dan lemah itu, mereka tidak mampu melepaskan dendam mereka. Apalagi membuat Akuwu Sangling menjadi sakit hati karena kehilangan kedua orang adiknya, sehingga menyesali perbuatannya atau bahkan menjadi sakit dan meninggal.

Namun para pemimpin itu harus melihat kenyataan. Para cantrik itu ternyata bukan hanya mampu menggusur sawah dan ladang mereka atau menanami pategalan yang kering sehingga dapat menghasilkan. Tetapi mereka mampu juga bermain-main dengan senjata tanpa canggung sama sekali.

Yang masih saja gelisah adalah Mahisa Amping. Meskipun masih kanak-kanak, tetapi ia merasa telah berlatih dengan sungguh-sungguh di setiap hari, sehingga ia merasa bahwa ia memiliki kemampuan yang cukup untuk turun ke medan. Namun Mahisa Semu tetap pada pendiriannya. Mahisa Amping tidak boleh turun ke medan.

Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Amping memang tidak perlu turun ke medan. Dalam waktu yang pendek, orang-orang licik yang ingin menyergap bangunan induk padepokan Bajra Seta itu telah terdesak. Tetapi kelicikan mereka ternyata tidak tanggung-tanggung. Mereka setelah merasa gagal sama sekali untuk memasuki bangunan induk padepokan Bajra Seta, maka sekali lagi mereka tidak menghiraukan lagi kawan-kawan mereka.

Dengan serta merta, maka beberapa orang yang masih hidup di antara mereka, serta tidak terluka di tubuhnya, telah meloncat berlari meninggalkan para cantrik. Tetapi mereka tidak berlari kembali ke induk pasukannya, tetapi mereka berlari melingkari arena langsung ke pintu gerbang butulan. Para cantrik memang mengejar mereka. Tetapi mereka sempat untuk lolos lewat pintu gerbang butulan.

Para cantrik yang mengejar mereka, harus berpikir ulang untuk mengejar terus. Orang-orang itu segera meloncat ke pematang sawah, dan berlari memencar di atas pematang yang membagi bulak yang luas itu menjadi kotak-kotak kecil.

Dalam pada itu, melihat beberapa orang kawannya berlari-lari, maka jantung mereka pun menjadi berdebaran. Semula mereka menjadi gelisah, bahwa mereka tidak akan mendapat bagian jika bangunan induk di padepokan itu berhasil dicapai oleh beberapa orang di antara mereka. Orang-orang itu tentu akan dengan cepat merampok harta benda yang ada di bangunan induk itu.

Namun ternyata mereka tidak dapat menyentuh lantai bangunan induk itu. Beberapa korban jatuh dan orang-orang tamak itu pun yang tersisa telah berlari tunggang-langgang.

Untuk beberapa saat pertempuran masih berlangsung. Namun kemudian ketidak imbangan pun menjadi semakin jelas. Para cantrik telah mendesak dengan seluruh kemampuan yang ada sehingga orang-orang yang datang menyerang itu semakin lama menjadi semakin menjauhi bangunan-bangunan yang ada di barak itu. Bangunan-bangunan yang tentu tidak akan terlepas dari pengawasan para cantrik.

“Seandainya kami sempat mendekati tempat penyimpanan harta benda, maka tempat itu pun tentu dijaga kuat-kuat, sehingga kami tidak akan dapat menembusnya,” berkata beberapa orang yang semula juga berpendapat untuk sampai ke bangunan induk. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

Beberapa orang pemimpin kelompok memang telah menyesal bahwa mereka telah melibatkan diri ke dalam pasukan itu, sehingga dengan demikian mereka telah banyak sekali kehilangan. Kehilangan waktu, kehilangan harga diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Tetapi hal itu sudah terlanjur terjadi. Mereka tidak akan dapat mengulang lagi. Yang harus mereka pikirkan, apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan terjepit itu.

Beberapa orang yang telah melarikan diri itu agaknya dapat menjadi pancingan sikap kawan-kawannya. Karena itu ketika orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar telah kehilangan kesempatan, maka beberapa orang pemimpin telah memilih kesempatan sebagaimana telah dilakukan oleh beberapa orang di antara mereka.

Dengan demikian, maka beberapa orang telah berlari-lari menuju ke regol. Ya, regol samping bahkan kemudian regol induk, tentu menjadi berjejal kembali. Mereka bukan orang-orang yang menyerang padepokan itu dan berusaha memecah pintu. Namun mereka tidak berhasil melakukannya.

Para cantrik tidak membiarkan orang-orang itu lari begitu saja. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka telah meninggalkan pertempuran dan berlari-lari menuju ke pintu gerbang untuk mencegah para perampok itu begitu saja meninggalkan padepokan. Tetapi ternyata bahwa tidak mudah untuk mencegah usaha untuk melarikan diri, sebagaimana tidak mudah bagi para perampok untuk meninggalkan halaman.

Tetapi karena para perampok itu tidak mendengarkan peringatan dari para cantrik, maka para cantrik yang tidak dapat mencegah para penjahat itu melarikan diri, telah berlari-lari ke panggungan.

“Jangan lari!” teriak para cantrik sambil mengacungkan busur dan anak panah.

Tetapi orang-orang yang melarikan diri itu tidak mempedulikan lagi. Dalam kebimbangan dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan maka para cantrik yang berada di atas panggungan itu pun telah menyerang lagi lawan-lawan mereka dari atas panggungan.

Arus para penjahat yang melarikan diri itu memang sulit untuk dibendung. Satu dua orang di antara mereka telah jatuh dengan luka di punggung. Namun anak panah yang menancap di punggung itu akan dapat menembus sampai ke jantung pula.

Demikianlah, maka akhirnya pertempuran itu pun mereda. Beberapa orang penjahat telah tertangkap hidup-hidup. Sementara yang lain telah terbunuh di peperangan atau terluka parah sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melarikan diri. Para cantrik memang tidak mengejar lawan-lawan mereka yang melarikan diri tercerai-cerai. Meskipun ada usaha untuk menangkap mereka sebanyak-banyaknya, namun sudah tentu dalam keterbatasannya.

Demikianlah, maka para cantrik itu justru menjadi sibuk untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka. Ternyata jumlah korban di antara para cantik terasa cukup banyak pula. Bahkan juga anak-anak muda yang dikirim oleh padukuhan masing-masing untuk menambah ilmu di padepokan itu tanpa menyatakan menjadi cantrik. Namun kedudukan merasa tidak berbeda dari para cantrik.

Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di bangunan induk pula. Dengan tegas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjatuhkan perintah-perintah untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka, terutama yang terluka di pendapa bangunan induk. Sementara itu, orang-orang yang telah menyerbu padepokan itu yang terluka dikumpulkan di serambi gandok sebelah kiri. Untuk mempercepat pekerjaan itu, maka orang-orang yang menyerah dan tertangkap telah dipekerjakan pula di bawah pengawasan yang ketat.

“Kami terpaksa mengikat kaki-kaki kalian,” berkata para cantrik yang mengikat kaki para tawanan dengan tambang-tambang sabut kalapa. Meskipun ikatan itu tidak terlalu pendek, namun dengan demikian, mereka tidak leluasa lagi bergerak dan berlari.

Bahkan para cantrik pun telah mempekerjakan mereka pula untuk membawa dan mengubur kawan-kawan mereka sendiri. Beriringan tubuh-tubuh yang telah membeku itu dibawa ke sebuah kuburan agak jauh dari padepokan. Kuburan yang berada di lereng bukit kecil dan terpisah. Para cantrik yang memiliki pengetahuan pengobatan pun telah sibuk pula mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Juga mengobati lawan-lawan mereka yang terluka.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum tahu, apa yang akan dilakukan oleh padepokan itu terhadap para tawanan. Apakah mereka akan tetap ditawan, dihukum berat atau dilepaskan saja dengan sebelumnya diberikan pengarahan yang mapan kepada mereka.

Ketika hal itu mereka tanyakan kepada Mahendra, maka Mahendra pun berkata, “Kita pikirkan nanti. Beberapa saat yang lalu ketika terjadi perselisihan antara padepokan, maka aku tidak berbuat banyak ketika mereka melarikan diri. Tetapi karena kali ini yang menyerang adalah orang-orang yang menilik ujudnya adalah orang-orang yang kasar, bahkan satu dua di antara mereka telah memberikan pengakuan bahwa mereka adalah perampok-perampok, perlu ada pertimbangan lain. Jika mereka dibiarkan saja, apakah itu bukan berarti bahwa mereka mendapat kesempatan lagi untuk melakukan kejahatan bahkan membalas dendam kepada orang-orang yang tidak bersalah sama sekali?”

“Bagaimana jika kita memberikan laporan kepada Akuwu Sangling. Menurut pendapatku, sesuai dengan yang mereka katakan saat mereka mulai menyerang, maka apa yang mereka lakukan itu ada hubungannya dengan dendam mereka kepada kakang Mahisa Bungalan,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” sahut Mahisa Pukat, “kita tidak perlu membawa mereka ke Sangling. Kita dapat mengirimkan utusan ke Sangling dan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi di sini.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sependapat. Kita dapat mengirimkan empat cantrik berkuda untuk pergi ke Sangling besok pagi.”

Tetapi empat orang cantrik itu tidak akan berangkat pada hari itu. Langit sudah mulai menjadi suram karena matahari sudah bertengger di punggung bukit. Sesaat lagi, maka senja pun akan segera turun.

Para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu telah menyelesaikan tugas mereka dengan menyelenggarakan tubuh saudara- saudara mereka. Demikian pula mayat orang-orang yang menyerbu padepokan itu pun telah selesai dikuburkan. Namun masih juga ada satu dua orang yang terluka berat, akhirnya tidak mampu untuk bertahan hidup.

Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjuk empat orang cantrik yang akan pergi berkuda menghadap Akuwu Sangling. Cantrik itu akan memberikan laporan tentang apa yang telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Mungkin Akuwu Sangling akan dapat memberitahukan, apa yang pernah terjadi di Sangling.

“Satu dua orang memberikan pengakuan, bahwa yang terjadi di padepokan Bajra Seta adalah dendam yang tidak dapat mereka salurkan atas Pakuwon Sangling. Karena itu, mereka ingin menangkap dan membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kemudian membuang mayat mereka di daerah Sangling. Dengan demikian, Akuwu Sangling akan terkejut dan hatinya menjadi sangat pedih. Sementara para penjahat itu akan memberitahukan, bahwa yang membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah beberapa kelompok penjahat yang pernah dihancurkan oleh prajurit Pakuwon Sangling atas perintah Sang Akuwu,” berkata Mahendra kepada keempat orang utusan itu, “Tetapi mereka telah gagal.”

Keempat orang yang akan pergi ke Sangling itu mengangguk. Mereka mengerti apa yang harus mereka katakan selengkapnya. Cantrik itu harus menyampaikan kabar keselamatan kepada Akuwu Sangling, kemudian mohon pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan. Malam itu, keempat orang itu pun telah menyiapkan segala-galanya. Mereka pun telah memerlukan beristirahat sepenuhnya, agar dikeesokan harinya mereka dapat berangkat sebelum fajar.

Sementara itu, para tawanan pun telah di tempatkan di satu tempat yang mudah untuk diawasi. Pintu-pintu cukup kuat untuk menahan mereka. Dinding, atap dan segala sisi padepokan itu diawasi dengan saksama. Meskipun tawanan itu tidak banyak, namun cukup untuk disadap keterangannya tentang niat mereka menyerang padepokan serta hubungan mereka dengan Pakuwon Sangling yang masih harus dicari kebenarannya.

Mahendra memang berharap Mahisa Bungalan akan bersedia datang. Tetapi ia tidak berpesan akan hal itu kepada para cantrik. Terserah kepada Mahisa Bungalan sendiri, karena Mahendra juga menyadari, betapa sibuknya Akuwu Sangling dengan tugas-tugasnya.

Pagi-pagi benar, keempat cantrik yang mendapat perintah untuk pergi ke Sangling itu pun telah bersiap. Mahendra masih berpesan sekali lagi, apa yang harus mereka katakan kepada Akuwu Sangling. Menjelang matahari terbit, maka keempat orang itu pun telah meluncur di atas punggung kuda mereka menuju ke Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang.

Sementara itu, di hari itu, masih juga ada seorang cantrik yang tidak dapat bertahan lagi. Namun cantrik itu masih sempat memberikan beberapa pesan yang dimintanya disampaikan kepada keluarganya.

“Kematianku tidak perlu ditangisi,” berkata cantrik itu, “aku telah berbuat sebaik-baiknya bagi padepokan ini. Aku pun mereka bahwa hidupku telah berarti.”

Mahisa Murti dan Maiusa Pukat hanya dapat menundukkan kepalanya. Cantrik itu masih sangat muda. Tetapi ia harus meninggalkan semuanya yang dikasihinya. Namun ia merasa cukup bahagia karena ia menganggap bahwa hidupnya telah berarti. Kematiannya bukannya kematian yang sia-sia. Ia telah mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang dijunjungnya di atas dasar keyakinannya.

Dalam pada itu, padepokan Bajra Seta memang benar-benar berduka cita atas gugurnya beberapa orang cantrik. Sementara yang lain masih juga berbaring karena luka-lukanya. Di hari berikutnya, maka padepokan Bajra Seta telah berbenah diri. Pintu-pintu yang rusak telah diperbaiki, terutama pintu gerbang induk. Para cantrik telah bekerja keras untuk membuat pintu dan memasangnya sekaligus.

Sementara itu, Mahisa Amping setiap kali telah menyatakan kekecewaannya bahwa tidak mengalami pertempuran. Sebenarnya anak itu telah merasa bersiap untuk turun ke medan. Tetapi Mahisa Semu selalu mencegahnya.

“Kakangmu Mahisa Semu benar,” berkata Mahisa Murti, “kau masih terlalu kecil. Kau tahu, bahwa di antara para cantrik yang benar-benar terbunuh. Kau tidak dapat menganggap pertempuran seperti itu sebagi satu latihan. Pertempuran itu adalah pertempuran yang keras, ganas dan kasar. Jika kau kelak menjadi lebih besar, maka kau akan dapat mulai mengenal pertempuran yang sebenarnya. Itu pun sedikit demi sedikit.”

“Tetapi bukankah aku sudah selalu berlatih?” bertanya Mahisa Amping.

“Betapa pun banyaknya kau menghirup ilmu, tetapi tenaga dasarmu masih belum mendukung. Juga wadagmu.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa ia masih terlalu kecil. Mahisa Amping ia sempat memperbandingkan tubuhnya dengan tubuh orang-oraing yang berdiri di sekitarnya. Ia masih jauh lebih pendek. Tangannya jauh lebih kecil. Jari-jarinya pun masih terlalu pendek.

Sementara itu, karena tenaga dasarnya masih terlalu lemah, betapa pun ia mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya, tetapi batas kemampuan tenaga dasarnya masih belum dapat memberikan tenaga yang besar yang akan dapat dipergunakan untuk turun benar-benar ke dalam pertempuran yang sengit.

Sebenarnyalah, karena para penjahat yang menyerbu ke padepokan itu bukan orang-orang yang berilmu sangat tinggi, agaknya Mahisa Amping akan mampu melindungi dirinya sendiri jika ia terjun ke medan. Tetapi bagaimanapun juga, kemungkinan buruk itu akan lebih banyak dapat terjadi atas dirinya.

Karena itu, maka rasa-rasanya Mahisa Amping itu tidak sabar lagi untuk menjadi besar. Seandainya mungkin, maka ia ingin mempercepat pertumbuhan wadagnya, sehingga ia akan segera mampu ikut serta berbuat sesuatu bagi padepokan itu. Tetapi tidak seorang pun yang mampu mempercepat pertumbuhan dirinya secara wadag. Namun dalam pada itu, peristiwa itu telah mendorong Mahisa Amping untuk lebih giat berlatih, agar pada suatu saat ia tidak mengecewakan orang-orang yang telah membantu mengembangkan ilmunya.

Dalam pada itu, maka padepokan Bajra Seta itu pun telah menjadi tenang kembali. Gejolak yang pernah terjadi, lambat laun bagaikan hilang dihembus angin. Orang-orang tua dari para cantrik yang terpaksa menjadi korban telah datang dengan hati yang pedih. Namun mereka sadari, bahwa maut itu akan datang menjemput anaknya di mana pun anaknya itu berada.

Demikian pula orang tua anak-anak muda yang ikut meningkatkan ilmu mereka diberbagai bidang dari padukuhan di sekitarnya yang kehilangan anak-anak mereka. Semuanya yang harus terjadi memang harus terjadi.

Latihan-latihan pun telah dimulai kembali. Sementara sawah dan kebun serta pategalan tetap mendapat perhatian sepenuhnya. Para cantrik dan anak-anak muda dari padukuhan di sebelah menyebelah itu mulai bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seisi padepokan itu. Di sudut belakang padepokan itu, tiga tungku perapian pande besi pun telah menyala kembali.

Namun dalam pada itu, seisi padepokan itu telah menunggu utusan yang mereka kirimkan ke Sangling. Mereka ingin mendengar tanggapan dari Mahisa Bungalan tentang orang-orang yang telah mereka tangkap dan mereka simpan di padepokan itu.

Namun baru pada hari kelima, sebuah iring-iringan berpacu mendekati padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa laporan itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan sebagai Akuwu di Sangling. Tetapi ia masih harus menyerahkan pimpinan Pakuwonnya kepada beberapa orang kepercayaannya. Baru kemudian Akuwu Sangling itu dapat meninggalkan istananya.

Kedatangan Akuwu Sangling di padepokan Bajra Seta dengan sekelompok pengawal itu telah disambut dengan gembira oleh Mahendra, kedua adiknya dan bahkan para cantrik. Ada di antara para cantrik yang pernah mengenai Mahisa Bungalan, tetapi ada pula para cantrik yang belum pernah melihatnya sama sekali.

Sejenak kemudian, maka Akuwu Sangling itu pun telah diterima oleh para pemimpin padepokan itu di pendapa bangunan induk. Yang pertama-tama ditanyakan oleh Akuwu Sangling adalah pengembaraan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Jadi kalian belum lama kembali ke padepokan ini?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya kakang,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Jadi kalian biarkan ayah kita bekerja keras untuk memimpin padepokan ini, dan bahkan harus mempertahankan padepokan ini dari serangan-serangan yang menaruh dengki?” bertanya Mahisa Bungalan pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi kepala mereka tertunduk dalam-dalam. Namun, dari para cantrik yang datang ke Sangling Mahisa Bungalan pun telah mendengar pula, bahwa kedua anak muda itu ilmunya menjadi semakin tinggi. Mereka datang bersama dengan tiga orang yang semula tidak dikenal sama sekali. Seorang di antaranya adalah kanak-kanak.

Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak bertanya lebih lanjut tentang perjalanan kedua adiknya. Yang ditanyakan kemudian adalah keterangan yang lebih jelas tentang orang-orang yang telah menyerang padepokan itu dan telah menyebut-nyebut namanya pula.

Mahendra lah yang memberikan keterangan tentang mereka. Namun kemudian katanya, “Nanti, sebaiknya kau dapat berbicara dengan mereka yang tertangkap. Sebagian dari mereka terluka parah.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku tidak tergesa-gesa. Aku mempunyai waktu yang cukup. Tetapi aku akan mempergunakannya sepekan saja di sini. Rasa-rasanya sudah terlalu lama bagiku.”

Mahendra menyadari, bahwa Mahisa Bungalan dapat saja mengatur berapa hari ia akan pergi. Tetapi Mahendra pun mengerti, bahwa tanggung jawabnya sebagai Akuwu lah yang mendorongnya cepat kembali. Karena itu, maka katanya, “Jika yang sepekan itu sudah kau anggap cukup, maka terserah sajalah kepadamu.”

Sebagaimana dikatakannya kepada ayah dan saudara-saudaranya maka Mahisa Bungalan telah menyiapkan rencana yang disusunnya sesuai dengan rencananya untuk tinggal di padepokan itu sepekan saja, karena yang sepekan itu rasa-rasanya memang sudah terlalu lama. Dalam rencananya yang sepekan, Mahisa Bungalan memang ingin mempergunakan sedikit waktunya untuk melihat tingkat kemampuan kedua adiknya.

Tetapi di hari-hari pertama, Mahisa Bungalan telah sibuk dengan orang-orang yang tertawan. Mahisa Bungalan berbicara dengan mereka berganti-ganti. Seorang demi seorang. Sekali-kali suaranya lembut kebapaan. Namun kesempatan lain Mahisa Bungalan telah membentak dan mengancam. Tetapi pada hari yang ketiga, semuanya sudah jelas. Mahisa Bungalan telah mampu mengingat kembali apa yang telah terjadi sehingga orang-orang itu berusaha untuk melepaskan dendamnya atas perguruan Bajra Seta itu.

“Mereka adalah orang-orang yang terusir dari Sangling,” berkata Mahisa Bungalan, “mereka masih beruntung, bahwa lehernya tidak dipenggal di sini. Mereka di Sangling telah membuat banyak keresahan. Bahkan mereka benar-benar telah melakukan pembunuhan. Sementara itu, jika berhasil, mereka pun akan membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sini. Untunglah bahwa hal itu tidak terjadi sehingga rencana mereka untuk membuat aku menjadi sakit hati telah gagal. Bahkan kalian yang di sini berhasil menangkap meskipun hanya beberapa orang. Di antara mereka adalah orang-orang yang terluka.”

“Mereka adalah perampok-perampok yang tidak memiliki bekal yang cukup untuk pekerjaan mereka,” jawab Mahisa Murti. “Itu adalah mereka yang nampak. Mereka yang telah datang ke padepokan ini. Tetapi aku yakin bahwa di atas mereka ada orang-orang yang memang berilmu tinggi. Merekalah yang tentu mengendalikan orang-orang yang datang menyerbu itu dengan maksud yang kurang kami ketahui, selain balas dendam.”

“Berhati-hatilah untuk seterusnya,” berkata Mahisa Bungalan. “Apalagi nampaknya mereka tidak terdiri dari orang-orang yang lemah hati. Mereka tentu akan mengadukan keadaan yang mereka alami di sini kepada orang yang sangat berpengaruh atas mereka. Apalagi yang datang bukan hanya dari satu kelompok, tetapi beberapa kelompok. Jika ada di antara mereka yang berguru kepada orang-orang berilmu tinggi, maka mereka tentu akan berusaha memancing agar guru-guru mereka mau melibatkan diri ke dalam perselisihan ini.”

“Tetapi apakah mereka sangat berbahaya?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka tentu lebih berbahaya dari orang-orang ini,” jawab Mahisa Bungalan. Namun katanya kemudian, “Tetapi peristiwa ini juga memperingatkan aku untuk meningkatkan kesiagaan. Jika mereka benar-benar menjadi gila, maka mungkin mereka akan langsung menyerang Sangling. Setidak-tidaknya mereka akan dapat membuat kekacauan di Sangling. Kekalahan mereka di padepokan ini, tentu menumbuhkan dendam dan kebencian kepada kita semuanya. Bagi orang-orang yang utuh kesadarannya tentu akan melihat apa yang telah terjadi atas diri mereka dan kawan-kawan mereka. Tetapi bagi orang yang tidak berkesempatan menilai dirinya sendiri, tentu akan berpikiran lain. Mereka tentu hanya dibayangi oleh dendam dan kebencian semata-mata, sehingga dengan demikian maka langkah-langkah yang mereka ambil pun sama buramnya dengan jiwa mereka sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun memang sudah berpikir, orang-orang yang mereka kalahkan itu mempunyai dua pilihan. Jera atau bahkan malahan semakin mendendam sehingga mendorong mereka mengambil langkah-langkah baru yang tentu akan menjadi lebih keras dan barangkali lebih kasar dari yang pernah mereka lakukan.

Namun baik Mahisa Bungalan, maupun kedua adiknya berkesimpulan bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Sementara itu, selagi Mahisa Bungalan masih ada waktu, maka bersama-sama dengan ayahnya, mereka ingin melihat perkembangan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Ilmu kami?” Mahisa Murti memang merasa heran. Mereka merasa dirinya seperti kanak-kanak yang sedang berusaha untuk menyadap ilmu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Amping, sehingga kakaknya ingin melihat tingkat kemampuan ilmunya itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sanggup mendirikan satu perguruan yang diberinya nama Bajra Seta itu tidak dapat mengelak ketika kakaknya mempersilahkan mereka untuk pergi ke sanggar. Dengan kelengkapan yang dimilikinya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Keduanya telah membawa sepasang pedang. Yang satu ada pada Mahisa Murti sedang yang lain ada pada Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan terkejut, melihat sepasang pedang itu. Selama ini ia berada di padepokan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah membawanya keluar dari bilik mereka, apalagi dengan sengaja menunjukkan kepada Mahisa Bungalan. “Dari mana kau dapatkan senjata kalian itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menceriterakan asal-usul pedang itu. Juga beberapa kali mereka harus bertempur mempertahankannya. Beberapa orang yang berilmu telah menginginkan sepasang pedang yang disebut oleh pembuatnya sebagai sepasang keris itu.

“Apakah aku boleh melihat daun pedangmu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berkeberatan. Keduanya telah mencabut senjata mereka dari sarungnya.

“Luar biasa,” desis Mahisa Bungalan, “sepasang senjata itu memang luar biasa. Tentu banyak orang yang telah menginginkannya. Sukurlah jika kalian berdua sempat mempertahankannya.”

“Beberapa kali kami mengalami kesulitan. Tetapi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi kami berdua,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian, aku telah dapat menduga tingkat kemampuan kalian. Rasa-rasanya aku tidak perlu melihatnya lagi, karena yang dapat kau tunjukkan di dalam sanggar tentu hanya sebagian kecil dari kemampuan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Bungalan ternyata masih bertanya kepada ayahnya, “Tetapi mungkin ayah berpendirian lain?”

Mahendra menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku juga sudah yakin akan tingkat kemampuannya. Ia telah ditempa oleh pengembaraannya yang panjang. Selain beberapa orang sempat mendapat pertolongannya, karena kedua adikmu itu telah menjalani laku Tapa Ngrame, maka pengalaman yang dipetiknya cukup berharga bagi bekal hidupnya kemudian.”

Ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah membatalkan keinginannya untuk melihat kemampuan kedua adiknya di dalam sanggar. Kedua pusaka yang mampu dipertahankannya itu telah memberikan gambaran kepadanya, bahwa kedua adiknya memang telah mencapai satu tataran ilmu yang tinggi. Keduanya memang pantas untuk memimpin sebuah padepokan sekaligus sebuah perguruan yang diberinya nama Bajra Seta.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan masih merasa cemas jika pada suatu saat ayahnya menjadi semakin tua dan tidak mampu lagi membantu kedua adiknya memimpin padepokan yang telah mereka dirikan itu. Selama itu, ayahnya masih dapat berbuat banyak bagi kepentingan padepokan dan perguruan Bajra Seta. Namun ayahnya tentu tidak akan dapat seterusnya membayangi kepemimpinan kedua adiknya, sehingga kedua adiknya itu pada suatu saat harus dapat berdiri sendiri tanpa ayahnya.

Namun ternyata bahwa kedua adiknya telah memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi, sehingga ia tidak lagi perlu merasa cemas akan masa depan padepokan itu. Sebenarnyalah sebilah Perguruan dengan padepokan bagi Mahisa Bungalan bukanlah barang mainan. Kedua adiknya harus bertanggung jawab atas padepokan yang telah didirikannya.

Apalagi Mahisa Bungalan melihat, bahwa di padepokan itu terdapat cantrik yang cukup banyak. Juga anak-anak muda yang tidak dengan sepenuhnya menjadi penghuni padepokan itu. Mereka semata-mata berniat untuk menyadap berbagai macam ilmu yang akan dapat mereka pergunakan untuk membuat padukuhan mereka masing-masing menjadi lebih baik.

Hari itu Mahisa Bungalan sempat beristirahat sepenuhnya. Yang dilakukannya sekedar melihat Mahisa Amping dan Mahisa Semu berlatih dibawah bimbingan Mahendra sendiri. Ternyata Mahisa Bungalan menjadi kagum melihat anak itu menguasai unsur-unsur gerak yang sudah menjadi semakin rumit. Bahkan tenaga anak itu sudah jauh lebih besar dari tenaga anak-anak sebayanya. Bahkan Mahisa Amping telah dapat melakukan tata gerak yang sulit dimengerti dibandingkan dengan tingkat umurnya.

Dengan berbisik Mahisa Bungalan telah bertanya kepada ayahnya, “Apakah ayah sudah menilik akibat dari latihan-latihan yang terlalu berat itu?”

“Aku selalu mengikuti perkembangan pribadinya, tubuh dan peredaran darahnya. Aku juga selalu menilik bagian dalam tubuhnya yang masih kecil itu. Tetapi menurut penilaianku, tidak ada akibat yang buruk yang terjadi atas anak itu selama ia mengikuti latihan-latihan yang berat. Demikian pula Mahisa Semu. Keduanya akan disiapkan menjadi orang-orang yang memiliki kelebihan di padepokan ini beberapa tahun lagi, sehingga padepokan ini tidak sekedar tergantung kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi apa yang dikatakan oleh ayahnya itu tentu juga berlaku bagi Pakuwon Singling. Ia harus dapat membentuk kekuatan yang dipersiapkan bagi masa depan Pakuwonnya. Tetapi bagi Mahisa Bungalan, masa depan Sangling akan berada di tangan keturunannya. Sekali ia berhasil memasuki satu mata rantai yang pernah terputus, maka ia akan menjadi ujung dari serangkaian mata rantai bagi masa mendatang.

“Aku harus mempersiapkan keturunanku untuk menerima warisan, bukan saja kedudukan, tetapi juga tanggung jawab. Keseimbangan antara hak dan kewajibannya,” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang belum dapat berbicara tentang keturunan karena mereka masih belum beristeri. Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin berbicara dengan ayahnya tentang hari depan kedua adiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada suatu saat tentu akan melangsungkan pernikahannya.

Tetapi Mahisa Bungalan masih menunda pertanyaannya. Ia masih melihat bagaimana Mahisa Amping berlatih. Ketika anak itu sampai pada puncak kemampuannya, maka Mahisa Bungalan benar-benar menjadi heran. Anak itu mampu menunjukkan dasar ilmu yang kokoh dari ilmu yang dikembangkan oleh perguruan Bajra Seta.

“Aku mengenal sebagian dari unsur gerak dari ilmu yang mendasari ilmu anak itu. Tetapi dasar-dasar ilmu itu sudah berkembang dan nampak beberapa unsur yang sama sekali baru dan asing bagiku,” berkata Mahisa Bungalan kepada ayahnya.

“Kedua adikmu telah menyusun satu rangkaian ilmu dari yang paling dasar, sampai pada tataran pertama yang memberikan warna tersendiri. Tetapi seperti kau katakan, kau tentu mengenal beberapa unsur gerak daripadanya, karena ilmu itu memang bersumber utama dari ilmu yang dikuasai oleh kedua adikmu saat ia mulai belajar olah kanuragan,” jawab ayahnya.

“Tetapi apakah dengan demikian kemampuan susunan gerak dasar yang baru itu sudah cukup teruji?” bertanya Mahisa Bungalan pula.

“Sudah,” jawab Mahendra, “dalam pengembaraan, kedua adikmu sempat mengenyam satu susunan ilmu sebagaimana kau lihat pada anak itu. Memang segala sesuatunya masih dalam tingkat mula. Tetapi kedua adikmu dan aku telah mengadakan beberapa penilikan khusus. Ilmu itu sesuai bagi anak itu. Bahkan bagi dua orang yang datang bersama kedua adikmu itu. Di padepokan ini, segala sesuatunya baru sempat dipelajari di sanggar dengan memperhatikan segala macam akibatnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekedar melakukan sesuatu yang menurut pikirannya baru tanpa menilai pikiran barunya itu.”

“Akulah yang lebih banyak menangani anak itu,” berkata Mahendra, “tetapi menurut pendapatku, apa yang dipelajari anak itu tidak akan menimbulkan akibat buruk atasnya. Anak itu bukan sekedar hadir di sini sebagai bahan percobaan. Tetapi apa yang baru itu benar-benar sudah diperhitungkan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun dari kemampuan anak itu terbersit satu yang cerah bagi susunan ilmu perguruan Bajra Seta itu. Dalam pada itu, Mahisa Semu juga mampu menunjukkan kelebihannya. Dengan landasan ilmu yang disadapnya dari Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang seakan-akan sedang menyusun satu pola susunan dan tataran ilmu bagi perguruan Bajra Seta.

“Aku mengucapkan selamat ayah,” berkata Akuwu Sangling.

Mahendra tersenyum. Katanya, “Jika kelak terbukti, bahwa kedua anak itu benar-benar memiliki kemampuan lebih dari yang lain dengan landasan ilmu perguruan Bajra Seta, maka kau dapat memanfaatkannya bagi Pakuwon Sangling.”

“Ya ayah,” jawab Mahisa Bungalan, seorang yang memiliki sumber ilmu bukan saja dari Mahendra, tetapi juga dari Mahisa Agni bahkan sampai ke inti ilmu Gundala Sasra.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian percaya, bahwa hari-hari yang semakin buram bagi Mahendra yang tua itu, tidak akan berpengaruh atas perguruan Bajra Seta. Kedua adiknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benar-benar telah memiliki bekal yang cukup untuk berdiri sendiri. Apalagi di hari-hari tuanya, Mahendra masih sempat bersama-sama dengan kedua adiknya itu menyusun satu pola bagi bagi perguruan yang didirikan.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekedar menuruti kemauannya saja dengan mendirikan perguruan ini,” berkata Mahisa Bungalan di hatinya, “ia benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya sehingga perguruan ini benar-benar dapat disebut sebagai satu perguruan.”

Pada hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan telah menentukan untuk membawa beberapa orang tawanan terpenting di antara orang-orang yang mendendamnya itu. Yang lain, Mahisa Bungalan menganjurkan agar dilepaskan saja meskipun dengan ancaman-ancaman yang keras jika mereka masih juga melakukan lagi kejahatan, meskipun kemungkinan untuk itu tipis sekali. Tetapi orang-orang yang berbahaya di antara mereka akan aku bawa ke Sangling. Terpaksa dengan tangan terikat. Aku tidak mau kehilangan mereka di perjalanan karena dengan demikian akibatnya akan menjadi buruk sekali.”

Ketika segala sesuatunya telah disiapkan, maka Mahisa Bungalan pun telah siap pula untuk meninggalkan padepokan itu. Esok pagi-pagi sebelum matahari terbit, ia akan berangkat bersama para pengawalnya kembali ke Sangling sambil membawa beberapa orang perampok yang tertawan.

Malam ini, Mahisa Bungalan masih berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan ayah dan adik-adiknya. Tetapi sebelum malam larut, Mahendra telah berkata, “beristirahatlah. Besok kau akan menempuh perjalanan.”

Mahisa Bungalan memang memasuki biliknya dan berbaring di pembaringan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru melangkah mengelilingi padepokannya. Di depan bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping, keduanya berhenti dan perlahan-lahan mengetuk pintu bilik itu. Ternyata yang ada di dalam bilik itu masih belum tidur. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar langkah kaki menuju ke pintu.

“Marilah,” Wantilan lah yang telah membuka pintunya, “masuklah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah duduk di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Memang tidak ada persoalan khusus yang akan mereka bicarakan. Tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang tentang apa saja dengan Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan telah keluar dari biliknya, ia memang menunggu satu kesempatan untuk berbicara dengan Mahendra tanpa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa kau belum juga beristirahat?” bertanya ayahnya.

“Aku ingin berbicara dengan ayah tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” jawab Mahisa Bungalan.

“Apa yang penting kau bicarakan?” bertanya ayahnya.

“Ayah,” desis Mahisa Bungalan, “kedua adikku telah dewasa. Bahkan lewat dewasa. Apakah menurut pertimbangan ayah, keduanya tidak sepantasnya segera menikah?”

“Ah,” desah ayahnya, “itu lagikah yang ingin kau bicarakan?”

“Nampaknya keduanya tidak akan dapat mencari jodoh mereka sendiri. Keduanya sangat mementingkan kehidupan yang khusus berhubungan dengan olah kanuragan. Keduanya tiba-tiba saja telah terikat oleh sebuah padepokan dan perguruan,” desis Mahisa Bungalan kemudian.

“Jadi bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya ayahnya.

“Jika ayah mengijinkan, aku ingin mempertemukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan gadis-gadis yang pantas untuk mereka jadikan isteri-isteri mereka,” jawab Mahisa Bungalan.

“Apakah itu perlu?” ayahnya justru bertanya, “dahulu, aku tidak pernah mempertemukan kau dengan gadis yang manapun. Namun akhirnya kau juga mendapatkan seorang isteri.”

“Tetapi persoalannya jadi berbeda ayah,” jawab Mahisa Bungalan, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tidak sempat memperhatikan kecantikan dan kelembutan seorang perempuan. Mereka setiap hari berhubungan dengan sanggar, senjata dan orang-orang yang memerlukan bantuannya. Tanpa dorongan dari orang lain, maka keduanya akan kehilangan gairah untuk menempuh kehidupan yang sewajarnya.”

“Atau katakan saja keduanya belum menginginkannya. Jika saat itu sudah datang, maka keduanya akan dengan sendirinya memperhatikan seorang perempuan. Kami, di padepokan ini bukannya terpisah mutlak dengan dunia di sekitar kita. Anak-anak padukuhan banyak yang ada di padepokan ini tanpa terikat untuk menjadi cantrik di sini. Pada saat yang lain, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sering pergi ke padukuhan-padukuhan itu untuk bermacam-macam keperluan, karena padepokan ini belum dapat mencukupi segala macam kebutuhannya. Dari keperluan sehari-hari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, padepokan ini masih banyak yang belum dapat memenuhinya, meskipun kita sudah berusaha. Karena itu, maka hubungan antara padepokan ini dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya dapat berkembang dengan baik.”

"Tetapi hubungan antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan orang-orang padepokan itu masih dalam rangka peningkatan ilmunya. Bukan, maksudku bukan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak boleh tenggelam dalam ilmu bercocok tanam, ilmu perbintangan, sejarah dan tugasnya yang lain-lain lagi. Mereka tidak boleh berpikir terus tentang kehidupan masa mendatang. Bagaimana bentuknya, ujudnya dan segala macam persoalan yang dapat timbul, tetapi mereka juga harus hidup wajar seperti orang lain. Anak-anak muda yang sebaya dengan mereka, telah dikurniai beberapa orang anak,” berkata Mahisa Bungalan.

“Mahisa Bungalan,” berkata Mahendra kemudian, “baiklah. Aku sependapat. Tetapi sudah tentu mereka akan dapat memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya sendiri. Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa.”

Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun di dalam hati ia masih mengharap bahwa masih akan ada pembicaraan lagi. Namun mereka ayahnya telah berkata, “beristirahatlah.”

Mahisa Bunglan menarik nafas panjang. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebagaimana ayahnya bersikap kepadanya, maka agaknya demikian pula sikapnya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun demikian, Mahisa Bungalan itu masih berkata, “Ayah. Aku adalah Akuwu di Sangling. Aku kira aku akan dapat membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jika mereka benar-benar ingin memasuki satu dunia yang lebih lengkap. Perkawinan.”

“Tetapi ingat Mahisa Bungalan. Keduanya hidup di sebuah padepokan seperti ini. Keduanya bukan orang yang hidup di satu lingkungan yang ramai sebagaimana Sangling. Jika keduanya berhubungan dengan gadis-gadis yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang ramai, maka padepokan seperti ini akan menjadi dunia yang mengungkungnya dalam kesepian dan keterasingan. Kau tentu dapat melihat perbedaan yang sangat jauh dari kehidupan di Sangling dan kehidupan di padepokan ini,” jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti ayah. Tetapi apakah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar akan menghabiskan seluruh umurnya di padepokan ini? Apakah mereka tidak pernah memikirkan kemungkinan untuk hidup di tempat yang lebih baik lagi? Di Sangling keduanya tentu akan dihormati. Mereka akan mendapat tempat yang mapan. Bahkan jika mereka menghendaki di Lemah Warah pun mereka akan dapat mendapat kedudukan yang pantas. Sedangkan apa yang mereka dapatkan di padepokan ini?”

“Apakah menurut pendapatmu, kedudukan mereka di padepokan ini kurang pantas?” justru Mahendra lah yang bertanya.

“Menurut pendapatku ayah,” jawab Mahisa Bungalan, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat memberikan arti yang lebih besar dari hidup mereka jika mereka berada di tempat yang lebih ramai dari tempat ini. Tempat yang lebih banyak dihuni orang. Hubungan yang lebih luas serta persoalan-persoalan yang lebih yang menyangkut segi-segi kehidupan yang lebih berharga bagi sesama.”

“Jangan salah menafsirkan sikap kedua adikmu Mahisa Bungalan. Kedua adikmu di sini pun dapat memberikan arti dari hidupnya, bahkan lebih besar dari di tempat-tempat yang ramai, di tempat-tempat yang ramai itu telah banyak orang-orang yang dapat memberikan isi dari putaran kehidupan. Tetapi di sini tidak. Jarang sekali orang-orang yang dapat mendorong untuk meningkatkan tataran kehidupan dari orang-orang padukuhan. Jika tidak ada orang-orang yang rela menyerahkan pengabdian seperti kedua orang adikmu, maka tataran kehidupan di padukuhan-padukuhan itu tidak akan berubah, atau katakan, perubahan itu akan datang sangat lambat.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan ayahnya. Namun rasa-rasanya ia masih juga berharap bahwa adiknya tidak terbenam dalam kehidupan yang terasa sempit itu. Dunia terasa tidak lagi sampai ke cakrawala. Tetapi terbatas pada dinding dinding padepokan itu saja.

Namun sekali lagi Mahendra berkata, “Sudahlah Mahisa Bungalan, beristirahatlah. Bagaimanapun juga, aku besok akan berbicara dengan kedua adikmu. Aku tahu, bahwa kau sendiri tidak dapat mengatakannya kepada keduanya karena kau tidak ingin terjadi salah paham. Tetapi aku yang mengerti perasaanmu tetapi juga mengerti perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mencoba untuk mencari titik-titik temu dari pendapatmu itu dengan sikap kedua adikmu. Sekarang, tidurlah. Adikmu tentu masih melihat-lihat padepokan ini sebagaimana sering dilakukannya pada malam hari,” berkata ayahnya kemudian.

Mahisa Bungalan pun kemudian kembali ke biliknya sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki bangunan induk itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berada di bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba untuk memancing tanggapan mereka terhadap ayah mereka, Mahendra yang telah membimbing terutama Mahisa Amping dan Mahisa Semu, justru lebih banyak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kami merasa sangat berterima kasih,” jawab Mahisa Semu.

“Aku dahulu juga mulai sebagaimana kalian mulai,” berkata Mahisa Murti.

“Aku berharap bahwa aku dan Amping tidak mengecewakannya,” berkata Mahisa Semu pula.

“Tentu tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ayah menganggap kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Ayah berharap bahwa dalam waktu yang direncanakan, kalian telah memasuki tataran-tataran yang telah disusunnya. Namun agaknya ayah tidak akan kecewa karena sampai saat ini, kalian telah menunjukkan kemampuan kalian mengikuti rencana ayah itu.”

Keduanya mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Murti bertanya kepada Wantilan, “Bagaimana dengan paman Wantilan?”

“Aku telah mendapatkan jauh lebih banyak dari yang aku harapkan saat aku minta untuk pergi bersama kalian,” jawab Wantilan.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan paman akan mendapat lebih banyak lagi di tempat ini.”

“Aku yakin akan hal itu,” jawab Wantilan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sempat berbicara untuk beberapa lama sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan bilik mereka. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke bangunan induk, maka baik Mahendra, maupun Mahisa Bungalan telah tidak ada di ruang dalam. Mereka telah berada di bilik masing-masing. Dua orang cantrik yang duduk di pendapa mengatakan, bahwa bangunan induk itu memang sudah menjadi sepi.

“Kalian bertugas di sini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab salah seorang dari kedua cantrik itu, “sampai menjelang dini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menjelang dini kedua orang cantrik itu akan digantikan oleh dua orang cantrik yang lain, sehingga kedua orang itu akan sempat beristirahat menjelang pagi hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri pun kemudian telah bersiap-siap untuk beristirahat pula. Namun keduanya masih sempat pergi untuk melihat para tawanan yang telah dipersiapkan untuk dibawa oleh Mahisa Bungalan esok pagi.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak ingin mengganggu mereka sehingga karena itu, maka ia tidak segera mendekat. Dari jarak yang agak jauh keduanya melihat bangunan yang dipergunakan untuk menawan mereka adalah bangunan yang kokoh. Sementara itu, beberapa orang pengawal berada di depan bangunan itu. Bukan sekedar para cantrik, tetapi di antara mereka terdapat tiga orang prajurit pengawal Mahisa Bungalan.

Namun ternyata mereka telah menjadi lengah. Para tawanan yang menyadari bahwa esok mereka akan dibawa ke Sangling, maka mereka telah berusaha untuk berbubat sesuatu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di sela-sela pohon perdu di longkangan dua barak yang berdekatan tidak terlalu jauh dari bangunan yang dipergunakan untuk menawan para penjahat yang akan dibawa ke Sangling itu tiba-tiba saja melihat atap bangunan itu bergerak-gerak. Meskipun malam menjadi gelap, tetapi karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah lama berada di kegelapan, serta kemampuan pandang mereka yang sangat tajam, maka mereka pun telah melihat atas di bagian belakang barak itu bergerak-gerak.

Mahisa Murti yang melihat sebuah kepala tersembul dari antara atap ijuk dari bangunan itu, telah menggamit Mahisa Pukat yang sedang memperhatikannya juga. Namun kemudian Mahisa Murti itu berbisik, “Kau pergi ke sebelah longkangan itu. Kita harus menjaga dari beberapa arah agar mereka tidak lari ke luar.”

“Aku beritahukan kakang Mahisa Bungalan,” desis Mahisa Pukat.

“Tidak ada waktu lagi,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tidak membantah. Ia pun kemudian telah menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu, untuk mengambil arah yang lain dari Mahisa Murti. Namun keduanya juga tidak sempat memberi isyarat apa pun kepada para cantrik dan prajurit Sangling yang berada di depan barak itu sambil minum-minuman hangat dan berkelakar untuk menjaga agar mereka tidak menjadi kantuk. Namun mereka sama sekali tidak mengira bahwa para tawanan itu sempat menemukan kelemahan dari barak yang kokoh kuat itu. Yaitu pada atapnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengamati barak itu dari tempat yang berbeda telah melihat seorang di antara mereka telah keluar dan dengan sangat berhati-hati merayap di atas atap. Sejenak kemudian seorang kawannya telah merayap pula keluar dari atap itu.

Mahisa Murti menjadi cemas, bahwa jika mereka semuanya yang ada di dalam barak itu merangkak keluar, maka berdua dengan Mahisa Pukat, ia akan mengalami kesulitan untuk menangkap mereka. Kecuali membunuh mereka dari jarak jauh tanpa ampun. Namun jika hal itu dilakukan, maka keinginan kakaknya untuk menyadap keterangan dari mereka akan menjadi urung.

Karena itu, maka sebelum orang-orang yang tertawan itu berlari-larian ke sana kemari dan bahkan mungkin ada di antara mereka yang sempat meloncat keluar dinding padepokan, maka Mahisa Murti telah menempuh jalan yang lebih baik. Karena itu, maka ia pun telah merangkak ke sudut barak tersebut.

Dengan serta merta Mahisa Murti telah memukul sebuah kentongan kecil untuk memberi isyarat kepada setiap orang yang bertugas agar berhati-hati. Untuk tidak mengejutkan para cantrik yang tertidur lelap, maka bunyi kentongan itu pun justru dengan nada dara muluk namun patah di tengah. Irama itu diulang sampai beberapa kali.

Para petugas dan para prajurit Sangling yang ada di bangunan yang kokoh itu pun mendengar suara kentongan yang aneh itu. Namun dengan demikian, mereka seakan-akan telah diperingatkan atas tugas-tugasnya.

“Kita meronda,” berkata salah seorang dari prajurit itu.

Tiga orang prajurit Sangling itu pun telah memberitahukan kepada para cantrik, bahwa mereka akan meronda. “Aku ingin mendapatkan sumber suara kentongan kecil itu."

“Dekat. Nampaknya dari barak di sebelah,” jawab seorang dari para cantrik yang bertugas itu.

Kentongan kecil itu memang tidak dipukul terlalu keras. Suaranya tidak mengumandang diseluruh padepokan. Namun terdengar dari barak tempat para tawanan itu melarikan diri.

Dalam pada itu, para tawanan yang mendengar suara kentongan itu pun terkejut. Iramanya yang aneh memang sangat meragukan. Kesannya seperti anak-anak yang sedang bermain-main. Namun bagaimanapun juga, mereka merasa bahwa ada orang yang telah melihat mereka keluar dari atap barak itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang telah keluar dari atap barak tawanan itu pun dengan cepat berusaha untuk meloncat turun.

Namun Mahisa Pukat ternyata bergerak cepat pula. Ia sudah menunggu jika ada di antara mereka yang meloncat dari atap. Sementara itu, para cantrik dan prajurit Sangling yang ada dibagian depan barak itu telah mulai bergerak. Dua orang ke sebelah kiri dan dua orang kesebelah kanan.

Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati dua orang yang bergerak ke kiri itu, sehingga kedua orang itu terkejut. Dengan serta merta keduanya telah merundukkan tombaknya ke arah dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti dengan cepat berkata, “Cepat. Pergi ke belakang barak. Beberapa orang telah keluar dari atap. Jangan timbulkan keributan agar tidak membuat padepokan ini menjadi gempar.”

Kedua orang itu terkejut. Dengan serta merta mereka pun berlari kebelakang barak. Mereka dengan segera memandangi atap barak itu untuk mencari orang yang dikatakan oleh Mahisa Murti.

“Di sini,” tiba-tiba mereka mendengar suara.

Ternyata Mahisa Pukat telah siap di tempat yang lebih dekat lagi dari barak para tawanan itu. Untuk beberapa saat para tawanan yang ada di atas atap itu menjadi bingung. Sementara itu, Mahisa Murti telah membuka pintu barak dan bersama beberapa orang telah memasuki barak itu.

Beberapa orang memang telah bersiap-siap untuk memanjat. Tetapi kehadiran para cantrik dan prajurit bersenjata itu telah mengejutkan mereka. Ada di antara mereka yang telah bersiap untuk melawan. Namun ujung-ujung tombak para cantrik dan prajurit telah mengurungkan niat mereka. Yang sudah terlanjur keluar dari atap ternyata semuanya enam orang. Semuanya adalah mereka yang dipersiapkan untuk dibawa ke Sangling esok pagi.

Namun dalam pada itu, tanpa menimbulkan keributan di seluruh padepokan, maka beberapa orang cantrik yang lain telah bergerak mengepung barak itu. Seorang cantrik telah memberitahukan kepada para cantrik yang sedang bertugas di regol agar mereka menjadi berhati-hati dan mengajak empat orang di antara mereka untuk membantu menangkap orang-orang yang telah melarikan diri.

Memang tidak terdengar isyarat apapun. Kentongan kecil Mahisa Murti tidak membangunkan para cantrik dan prajurit yang telah tertidur. Mereka yang sedang terbangun pun tidak begitu menanggapi suara kentongan yang tidak memberikan isyarat apa-apa. Bahkan seorang cantrik telah bergeramang,

“Siapa yang bermain-main dengan kentongan malam-malam begini?” Tetapi cantrik itu pun segera telah tertidur lagi.

Dengan demikian, maka seluruhnya ada lima belas orang cantrik dan prajurit yang ada di sekitar barak itu. Empat orang di antara mereka bersama dengan Mahisa Murti tengah mengikat para tawanan yang masih ada di dalam barak. Selain mereka yang akan dibawa oleh Mahisa Bungalan, maka para tawanan yang dianggap berbahaya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan tidak akan dilepaskan bersama-sama tawanan yang lain, ada pula di dalam barak itu.

Sementara itu, sebelas orang cantrik yang lain bersama Mahisa Pukat telah mengepung barak itu. Tetapi sebagian besar dari antara para cantrik itu memang berada di bagian belakang dari barak yang telah dikoyakkan atapnya itu.

“Menyerahlah,” perintah Mahisa Pukat, “kami masih bersabar dan berusaha untuk tidak membangunkan seisi padepokan ini. Jika mereka terbangun, maka para cantrik dan prajurit Sangling yang marah itu akan berbuat apa saja untuk menumpahkan kemarahan mereka atas kalian.”

Enam orang yang telah berada di luar barak lewat atap itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat memandang jelas ke arah longkangan di sekitar barak itu. Halaman yang agak luas di sebelah barak itu ditumbuhi pohon-pohon perdu yang membuat halaman itu menjadi tidak jelas.

Keenam tawanan itu kemudian menyadari, bahwa mereka tidak mengenal medan itu dengan baik, sehingga mereka akan dapat menjadi bingung. Jika mereka nekat melompat turun, maka mereka tentu akan diburu seperti orang memburu tupai. Beberapa saat orang-orang itu masih termangu-mangu. Sementara mereka mendengar bahwa barak itu pun telah dibuka dan beberapa orang cantrik atau prajurit telah masuk ke dalamnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat telah sekali lagi berkata kepada orang-orang yang ada di atas atap, “Menyerahlah sebelum keadaan herubah.”

Keenam orang yang berhasil keluar dari barak dan bertengger di atas atap itu memang tidak mempunyai pilihan. Jika mereka tidak mau mengerti akan keadaan yang mereka hadapi, maka mereka benar-benar akan dibinasakan dengan cara yang sangat pahit. Karena itu, maka seorang di antara mereka, mewakili kawan-kawannya berkata, “Baiklah. Kami menyerah.”

“Meloncatlah,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Orang-orang itu memang ragu-ragu untuk meloncat dari atap. Namun Mahisa Pukat telah membentak, “Meloncatlah. Atau barak itu akan kami bakar sehingga kalian akan ikut menjadi abu.”

Betapapun mereka ragu-ragu, namun mereka memang harus meloncat ketika dua orang cantrik yang berdiri di sebelah menyebelah Mahisa Pukat dengan sengaja menunjukkan busur dan anak panah.

Bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk tidak membangunkan para cantrik yang tidak bertugas, namun ternyata satu dua orang telah mendengar keributan itu. Meskipun suata keributan itu kemudian terdiam dan tidak lagi berkelanjutan, tetapi beberapa orang cantrik telah keluar dari barak mereka.

Akhirnya, berita tentang orang-orang yang akan melarikan diri itu pun segera tersebar. Beberapa orang cantrik tertua telah tergesa-gesa pergi ke barak para tawanan. Mahendra yang kemudian juga terbangun, bersama Mahisa Bungalan telah pergi ke barak itu juga.

Namun pada saat yang demikian, pada saat padepokan itu bagaikan terbangun, keenam orang itu telah berada di dalam barak itu sebagaimana semula. Meskipun demikian, para cantrik dan prajurit yang bertugas ketika ditanya oleh Mahisa Bungalan, tidak dapat ingkar lagi. Terutama para prajurit. Mereka menunduk dalam-dalam saat mata Mahisa Bungalan bagaikan memancarkan api. Pemimpin prajurit yang bertugas berjaga-jaga itu pun segera diminta memberikan laporan.

“Kalian tahu apa jadinya jika tidak ada kedua adikku itu?” bertanya Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan masih menahan diri untuk tidak memberikan hukuman kepada prajurit yang menjadi lengah dan tidak mengetahui bahwa enam orang tawanan mereka telah lolos.

Dalam pada itu, maka akibat dari usaha keenam orang itu untuk, lari, maka para tawanan pun telah diikat pula kaki dan tangannya. Sedangkan yang telah berhasil keluar lewat lubang yang dibuat di atap itu, telah diikat kaki dan tangannya yang kemudian diikat pula pada tiang.

“Kalian jangan mencoba sekali lagi,” berkata Mahisa Bungalan, “kalian sebaiknya mengucapkan syukur bahwa kalian jatuh ke tangan kedua orang adikku. Jika kalian jatuh ke tangan para prajurit di Sangling, maka keadaan kalian tentu akan berbeda.”

Keenam orang yang berusaha untuk melarikan diri itu tidak menjawab. Namun Mahisa Bungalan berkat selanjutnya, “Aku besok hanya akan membawa enam orang itu saja. Mereka pantas untuk di tempatkan di tempat yang paling keras, karena mereka telah berusaha untuk melarikan diri.”

Keenam orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang kawannya yang menurut rencana dikeesokan harinya akan dibawa pula ke Sangling ternyata telah dibatalkan, karena orang itu tidak berniat untuk melarikan diri, meskipun kemungkinan lain dapat terjadi.

Sejak saat itu, ternyata padepokan itu tidak tertidur lagi. Para cantrik, para prajurit dan para pemimpin padepokan itu menjadi sulit untuk tidur karena peristiwa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah memerintahkan para cantrik yang bertugas tidak hanya berada di depan barak itu saja. Tetapi mereka harus membagi daerah pengawasan. Setiap kali hanya dengan meronda berkeliling ternyata masih belum mencukupi.

Sementara itu, Mahisa Bungalan justru telah memerintahkan pasukannya untuk berkemas. Besok, didini hari mereka benar-benar akan meninggalkan padepokan itu. Namun dengan demikian maka dapur pun telah menjadi sibuk pula. Lebih awal dari rencananya.

Menjelang fajar, segala sesuatunya memang sudah bersiap. Para prajurit dan para tawanan. Sementara itu mereka telah mendapatkan tujuh ekor kuda. Ternyata hanya enam saja yang akan dipakai oleh para tawanan.

Para petugas di dapur pun kemudian telah memberikan makan dan minum kepada para tawanan yang akan dibawa oleh Mahisa Bungalan, sementara para prajurit telah makan pula di dapur.

“Kau akan berangkat lebih awal?” bertanya Mahendra.

“Hanya berselisih waktu beberapa saat,” jawab Mahisa Bungalan, “namun mumpung matahari masih dalam di bawah cakrawala. Kami akan kembali ke Sangling.”

Mahisa Bungalan pun telah minta diri pula kepada Mahisa Amping yang juga terbangun, Mahisa Semu, Wantilan dan semuanya yang telah mengerumuninya. Sejenak kemudian, maka para prajurit yang membawa enam orang itu mulai bergerak.

Seperti dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka keenam orang itu telah diperlakukan dengan keras. Sambil berkuda, tangan mereka telah terikat. Sikap para prajurit Sangling memang tidak sama sebagaimana sikap para cantrik padepokan Bajra Seta. Sikap para prajurit itu lebih tegas dan lebih keras. Demikian pula sikap Mahisa Bungalan. Berbeda sekali dengan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Keenam orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka mulai bertanya di dalam hati, seandainya mereka tidak melarikan diri, apakah sikap para prajurit Sangling akan berbeda? Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya. Mereka telah mencoba untuk melarikan diri dan gagal.

Usaha melarikan diri yang gagal itu ternyata telah menguntungkan seorang kawannya yang batal dibawa ke Sangling. Orang itu bukannya tidak akan melarikan diri. Ia pun ikut dalam usaha melarikan diri itu. Tetapi karena ia mendapat giliran terakhir, maka ia belum sempat memanjat dan keluar dari lubang yang telah berhasil dibuat pada atap barak itu. Bahkan bukan hanya ketujuh orang itu saja. Tetapi kelima orang yang akan tetap menjadi tawanan padepokan itu pun sebenarnya juga akan ikut pula melarikan diri.

Demikianlah dalam keremangan pagi, iring-iringan itu berjalan dengan cepat. Mereka menyusuri jalan-jalan bulan yang panjang dan pendek. Di beberapa padukuhan yang masih gelap, iring-iringan itu telah mengejutkan orang-orang yang berada di gardu. Tetapi para peronda itu tidak berani menghentikan orang-orang berkuda itu. Apalagi mereka melihat, enam orang di antara orang-orang berkuda itu terikat tangannya.

Mahisa Bungalan yang berkuda di paling depan tidak menghiraukan orang-orang yang berada di gardu memandang iring-iringannya dengan penuh pertanyaan. Dan bahkan sebagian dari mereka menjadi cemas. Namun tidak seorang pun di antara para peronda itu yang menegur iring-iringan itu atau mempertanyakan orang-orang yang terikat di antara mereka.

Ketika matahari mulai membayang menjelang terbit, maka iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh. Iring-iringan itu mulai berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Orang-orang yang membawa barang-barang dagangan di atas kepala dan perempuan-perempuan yang menggendong bakul, telah menepi ketika mereka melihat iring-iringan itu berjalan cepat. Orang-orang itu hanya dapat saling bertanya tentang orang-orang berkuda yang terikat tangan mereka di antara orang-orang lain yang mengiringinya.

Sementara itu, di padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menempatkan dan mengatur kembali para tawanan yang tertinggal. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang langsung menangani orang-orang yang berusaha melarikan diri itu akhirnya mendapat keterangan, bahwa sebenarnya semua tawanan yang ada di barak itu akan melarikan diri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mendapat keyakinan bahwa kesimpulan mereka benar. Lima orang di antara orang-orang yang dianggapnya berbahaya itu, memang orang-orang yang berbahaya ditambah dengan seorang yang tidak jadi dibawa ke Sangling. Mereka berenam akan di tempatkan di sebuah barak yang khusus yang akan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Namun sementara itu, mereka telah dipindahkan ke sebuah barak yang tidak terlalu besar. Namun tangan dan kaki mereka masih saja harus terikat baik-baik.

Meskipun tidak segarang Mahisa Bungalan, namun Mahisa Pukat telah berkata kepada orang-orang yang ternyata juga merencanakan untuk melarikan diri itu, “Siapa yang mencoba untuk sekali lagi melarikan diri, maka akibatnya akan sangat disesali. Kami dapat berbuat apa saja atas kalian tanpa ada keterikatan atas paugeran apapun. Berbeda dengan para prajurit. Mereka harus bertindak berdasarkan pada tugas dan wewenang mereka.”

Tidak ada orang yang menjawab. Tetapi wajah-wajah mereka rasa-rasanya sudah menjadi sekeras batu. Namun dengan demikian maka para cantrik padepokan itu pun benar-benar tidak boleh lengah menghadapi mereka. Ketika kemudian matahari terbit dan memanjat langit semakin tinggi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanggil tawanan-tawanan mereka yang dianggap tidak berbahaya.

Kepada orang-orang itu Mahisa Murti berkata, “Kami akan melihat dalam beberapa hari ini. Jika kalian benar-benar menjadi baik sebagaimana kami harapkan, maka kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru terhadap kalian. Mungkin kami tidak mengirimkan kalian ke Sangling, tetapi ke Singasari. Bahkan mungkin ada pilihan lain yang lebih baik bagi kalian.”

Orang-orang itu memang masih bertanya-tanya. Setelah peristiwa usaha melarikan diri itu, apakah mereka masih akan diperlakukan dengan wajar atau mereka akan mendapat tekanan lebih berat lagi.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil keputusan, orang-orang yang akan dilepaskan itu akan dilihat lagi dengan cara mereka. Orang-orang itu akan dipekerjakan di sawah dan ladang untuk beberapa hari. Hasil dari pengamatan mereka akan menentukan keputusan atas mereka itu.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang tertawa mendapat kesempatan bekerja di sawah dan ladang di bawah pengawasan para cantrik, maka di antara mereka yang terluka pun telah mendapat perawatan dengan baik. Perlahan-lahan luka-luka mereka pun menjadi semakin sembuh. Beberapa orang yang telah menjadi semakin baik itu, telah dapat ikut membantu bekerja apa saja di kebun dan di pategalan di belakang barak.

Ternyata sikap para cantrik benar-benar telah mempengaruhi mereka. Sikap yang baik dan ramah, telah meluluhkan kekerasan hati mereka. Orang di antara mereka yang telah sembuh dari luka-luka mereka telah menyatakan untuk tetap tinggal di padepokan itu apabila diperkenankan.

“Kalian tidak dapat berada di padepokan ini,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kalian dapat ikut dalam berbagai macam tuntunan yang diselenggarakan di padepokan ini sebagaimana anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sebelah.”

“Tetapi di mana kami akan tinggal?” bertanya orang-orang itu.

“Jika kalian memang berkeras untuk melakukannya, maka biarlah aku berbicara dengan Ki Buyut. Jika Ki Buyut berkenan memberikan sebidang tanah buat kalian, maka kalian akan dapat tinggal. Kalian dapat menggarap sawah untuk hidup kalian sehari-hari. Sementara itu kalian ikut belajar meningkatkan kemampuan kalian untuk menggarap tanah kalian itu.” berkata Mahisa Murti.

Ternyata mereka bersedia melakukannya. Sehingga karena itu, maka Ki Buyut telah memberikan sebidang tanah yang berada di sebuah padang perdu yang luas.

“Tetapi padang perdu itu bukan tanah yang subur,” berkata Mahisa Pukat kemudian setelah mendapat persetujuan Ki Buyut.

Orang-orang itu memang agak menjadi kecewa. Namun Mahisa Pukat berkata, “Kalian berniat bekerja keras atau tidak?”

“Ya,” jawab mereka hampir berbareng.

“Jika demikian, maka kalian harus berusaha menaikkan air dari Kali Rangkut itu ke tanah yang kalian dapatkan. Kali Rungkut memang sebuah sungai yang tidak begitu besar. Tetapi jika kalian berhasil menaikkan airnya, maka kalian akan mendapatkan satu keuntungan yang sangat besar. Seluruh tanah yang kalian dapatkan dari Ki Buyut itu akan dapat kalian airi. Dengan demikian, maka tanah itu tidak lagi akan menjadi tanah yang tandus,” berkata Mahisa Pukat.

Ternyata orang-orang itu dengan senang hati melakukannya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengijinkan orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya untuk membantu mereka bersama-sama beberapa orang cantrik yang sekaligus mengawasi mereka membangun sebuah bendungan.

Kali Rangkut memang bukan sungai yang besar. Karena itu, pekerjaan untuk membendung sungai itu pun bukan pekerjaan yang sangat besar. Namun jika mereka berhasil, maka air dari sungai itu akan dapat mengalir ke padang perdu yang akan dijadikan tanah persawahan. Dengan air itu, maka padang perdu itu tentu akan dapat menjadi tanah persawahan yang subur.

Sementara mereka dapat mengambil pupuk dari kandang-kandang yang ada di padukuhan-padukuhan serta sampah dari hutan yang dapat ditanam di lubang-lubang yang dibuat di padang perdu itu, sehingga pada suatu saat, padang perdu itu siap untuk ditanami.

Namun ternyata di antara orang-orang yang tertawan itu masih saja ada yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui para cantrik terpenting di padepokan itu.

“Jika aku ingin,” Berkata orang yang batal dibawa ke Sangling, “aku tentu dengan mudah dapat melarikan diri dalam keadaan seperti ini. Dua tiga cantrik yang akan mencegahkan akan dapat mudah aku binasakan.”

“Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya seorang di antara mereka yang berusaha untuk mencari jalan kehidupan yang lebih baik daripada merampok atau menjadi seorang penyamun.

“Aku masih ingat akan keadaan kalian,” bertanya orang yang telah menyombongkan dirinya itu.

“Apa hubungannya dengan kami?” bertanya yang lain.

“Jika seorang saja di antara kita yang melarikan diri, maka yang tinggal akan hancur. Kepala kalian akan dipecahkan oleh orang-orang padepokan yang gila itu. Tanpa belas kasihan,” berkata orang itu.

“Tetapi yang pernah berusaha melarikan diri namun tertangkap itu, ternyata tidak dihancurkan,” jawab seorang di antara mendengarkannya.

“Di sini,” jawab orang itu, “di Sangling mereka akan menjadi jeladren. Tetapi agaknya mereka masih merasa segan untuk membawaku, karena dengan demikian mereka akan menghadapi kemungkinan buruk setiap saat. Terutama di perjalanan, karena aku memang memiliki sifat yang kadang-kadang dengan tiba-tiba meledak.”

“Apa yang akan kau lakukan,” bertanya kawannya.

“Tentu saja menunggu kesempatan untuk melarikan diri. Sebaiknya kalian tidak berubah sikap. Kalian adalah penjahat-penjahat yang sudah banyak dikenal. Karena itu, habiskan umur kalian dalam dunia kejahatan seperti aku.”

“Kau telah berputus-asa,” sahut suara seorang yang sudah lebih tua.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Bukan aku yang berputus asa. Tetapi kalian. Kalian yang sudah kehilangan dasar berpijak, sehingga berniat untuk berubah sikap. Tetapi kita dilahirkan untuk menjadi penjahat. Aku terima kodrat ini dengan dada tengadah.“

“Jadi kenapa kau menyerah? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu agar kau tidak menjadi tawanan waktu itu. Atau lebih baik mati di medan?” bertanya orang tua itu.

Orang yang masih saja menyombongkan dirinya itu tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang lain dan beberapa orang cantrik berpaling kepadanya. Sejenak orang itu terdiam. Namun kemudian ia berkata, “Aku terpancing oleh keadaan saat itu. Aku juga mencoba untuk tidak membuat para cantrik dan seisi padepokan semakin kehilangan pengendalian diri dan berbuat sewenang-wenang.”

Yang lain tidak merasa perlu untuk mendengarkan lagi. Mereka lebih menekuni pekerjaan mereka daripada mendengar pembicaraan yang sama sekali tidak berarti itu.

“Kalian tidak mau mendengar aku?” tiba-tiba orang itu menggeram.

“Tidak,” seorang yang bertubuh tinggi tegap menjawab.

“Kau akan menyesal,” berkata orang itu selanjutnya, “kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Kita akan melarikan diri bersama-sama. Jangan hanya aku, meskipun aku mampu melakukannya. Karena dengan demikian, kepergianku seorang diri itu akan membawa malapetaka bagi kalian.”

“Aku tidak mau,” bentak orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Kau belum mengenal aku,” orang yang membual itu mendekatinya. Sambil memegang pundaknya ia berkata selanjutnya, “jangan memaksa aku untuk menghancurkan lengan dan kakimu.”

Tetapi orang itu justru menggeram, “Kita sama-sama pernah tinggal di dalam kekelaman kuasa setan. Jika kau memang ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Aku tidak peduli apakah salah seorang di antara kita akan mati di sawah ini.”

“Iblis kau,” orang itu menjadi marah, “kau berani menantang aku.”

“Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kau mengira bahwa tidak ada orang yang berani menantangmu. Sekarang, aku tantang kau. Tidak boleh seorang pun yang memisah sampai kita berhenti sendiri apa pun akibatnya,” jawab orang yang tinggi kekar.

Orang yang sombong itu termangu-mangu sejenak. Ia harus melihat kenyataan itu. Tubuh orang itu sangat besar dibanding dengan tubuhnya sendiri. Apalagi sikapnya yang sudah mengeras itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku bukan seorang yang bodoh seperti kau. Aku masih memerlukan tenagaku untuk melarikan diri. Aku tidak mau terjebak kedunguan seperti kau. Bahkan aku menganjurkan agar kalian semua bersedia melarikan diri bersamaku. Kita akan berlari-larian terpencar sehingga para cantrik akan menjadi bingung.”

“Tidak,” geram orang yang bertubuh tinggi besar itu.

“Aku akan mengajak mereka yang memiliki kemampuan berpikir,” berkata orang itu, “bukan kau.”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang yang menghembuskan usaha untuk melarikan diri berpaling daripadanya, dan bahkan kemudian telah melangkah pergi.

Di tempat lain ia juga berbicara dengan dua orang di antara mereka yang tertawan. Ia pun telah mengajak orang-orang itu melarikan diri. “Kita melakukan bersama-sama. Setidak-tidaknya lima orang di antara kita. Jika kita berpencar, maka usaha para cantrik untuk menangkap kami tentu menjadi semakin sulit,” berkata orang itu.

Kedua orang itu pun merasa berkeberatan. Namun orang itu tiba-tiba telah mengancam, “Jika kau berdua tidak mau melarikan diri, maka kalian akan aku bunuh dalam bilik tahanan.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka memang bukan orang yang memiliki keberanian untuk menghadapi ancaman seperti itu.

“Bawa dua orang lagi,” geram orang itu, “atau kalian akan mengalami siksaan yang tidak ada henti-hentinya sepanjang kita masih berkumpul di satu bilik.”

Kedua orang itu memang merasa takut terhadap orang yang mengajaknya melarikan diri itu. Tetapi mereka pun tidak berani untuk dengan serta merta berlari berpencar. Di tempat itu banyak para cantrik yang akan dapat mengejar mereka. Seorang dari kedua orang cantrik itu berniat untuk melaporkan diri kepada para cantrik. Tetapi hal itu pun tidak berani melakukannya.

Dalam keragu-raguan itu orang yang mengajaknya lari itu berkata, “Cepat, ajak dua orang lagi sebelum aku berubah pikiran. Karena aku pun dapat membunuhmu tidak usah menunggu sampai kerja kita ini selesai hari ini.”

Kedua orang yang termangu-mangu itu hampir saja melakukan perintahnya. Mencari dua orang yang akan diajaknya melarikan diri. Namun seorang di antara mereka ternyata telah sempat berpikir. Karena itu, ketika kawannya telah siap untuk mendekati kawannya yang lain yang juga bekerja di tempat itu tetapi agak terpisah, maka orang yang sempat berpikir itu telah mencegahnya.

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Kita masing-masing tidak akan dapat melawannya. Tetapi bagaimana jika kita berdua?” desis orang yang sempat berpikir itu.

Kawannya termangu-mangu. Tetapi ketika sekilas ia melihat orang yang mengajak melarikan diri itu, ternyata tengkuknya telah meremang. Orang yang mengajaknya lari itu rasa-rasanya memandanginya dengan sorot mata hantu yang mengerikan.

“Kau takut?” bertanya kawannya.

“Ya,” jawab orang yang tengkuknya meremang itu.

“Kita harus membuat agar kita berkelahi di sini. Tetapi ingat. Kita harus berdua. Jika kita sendiri-sendiri, kita akan segera dapat dikalahkan. Tetapi jika kita berdua, maka kita akan sempat bertahan beberapa lama, sehingga para cantrik akan ikut campur sebelum kita mati,” jawab kawannya yang berniat untuk melawan.

Kawannya masih ragu-ragu. Sementara itu, orang itu melangkah mendekat sambil berkata, “Kenapa kalian belum pergi kepada mereka. Jika kita terlalu lama berdiam diri tanpa berbuat apa-apa, para cantrik itu akan memperhatikan kita.”

Tetapi orang yang berniat untuk melawan itu berkata tanpa menghiraukan kawannya lagi, “Aku memang berusaha menarik perhatian para cantrik. Aku tidak ingin melarikan diri.”

“Setan kau,” geram orang itu, “kau tahu apa yang dapat terjadi atasmu?”

“Kami berdua akan melawan. Para cantrik tentu akan ikut campur. Dan kau akan diadili dengan cara yang khusus,” jawab orang yang menolak melarikan diri itu.

Orang itu memang menjadi sangat marah. Tanpa berkata apa pun lagi, maka ia pun telah menyerang dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang telah langsung menerkam leher orang yang menolaknya itu.

Orang yang menolak untuk melarikan diri itu memang telah bersiaga. Tetapi ternyata bahwa ia tidak sepenuhnya mampu membebaskan diri. Ia memang sempat menahan tangan orang itu sehingga tidak mencengkam lehernya dan memutuskan jalur pernafasannya. Tetapi dorongan yang sangat kuat telah mendesaknya beberapa langkah surut dan bahkan orang itu telah jatuh terlentang.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh orang yang marah itu. Sekali lagi ia menerkam lawannya yang memang tidak mampu lagi untuk menghindar. Namun orang yang semula masih ragu-ragu itu, hampir di luar sadarnya telah melibatkan diri. Kakinya terayun dengan kerasnya menghantam tubuh orang yang telah menjatuhkan dirinya untuk menerkam orang yang menolak ajakannya untuk melarikan diri itu.

Serangan kaki itu demikian kerasnya, sehingga ia telah terpental selangkah dan jatuh berguling. Namun dengan cepat ia telah bangkit berdiri dan siap untuk menyerang lagi. Tetapi pada saat itu, orang yang hampir saja dicekiknya itu pun telah bangkit pula dan berdiri tegak disamping kawannya.

Bahkan ia masih sempat berkata, “Kita sama-sama pernah menjadi penjahat.”

Namun dalam pada itu, para cantrik yang terkejut melihat peristiwa yang terjadi dengan cepat itu, segera tanggap akan keadaan. Mereka segera berlari-lari mendekati. Namun demikian para cantrik itu masih tetap berhati-hati sehingga beberapa orang yang lain masih tetap mengawasi para tawanan yang tengah berada di tempat itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya seorang cantrik.

“Orang itu memaksa aku dan kawanku melarikan diri. Bahkan aku harus mengajak dua orang lagi bersama kami,” jawab orang yang menolak pergi itu.

“Omong kosong,” jawab orang yang mengajak melarikan diri itu, “keduanya telah menghinakan. Mereka mengatakan bahwa aku pengecut. Enam kawanku telah melarikan diri. Kenapa aku tidak. Aku merasa sangat tersinggung karena aku memang tidak ingin melarikan diri.”

“Tidak,” teriak orang yang semula ragu-ragu untuk melawan, “orang itu memang ingin mengajak kami melarikan diri.”

“Jangan mengigau,” berkata orang itu, “aku tidak gila. Aku tahu bahwa saat seperti ini bukan saatnya untuk melarikan diri. Melarikan diri pada saat seperti ini, sama saja artinya dengan membunuh diri. Nah, kalian tidak akan dapat memfitnah aku dengan alasan itu.”

Para cantrik yang berdiri mengelilinginya memang merasa ragu. Namun orang yang bertubuh tinggi kekar dan juga tidak bersedia melarikan diri itu tiba-tiba telah menyibak dan melangkah mendekat sambil berkata, “Orang ini memang ingin melarikan diri, sejak di barak itu ia juga sudah merencanakan untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia terlambat karena para cantrik dan prajurit segera memasuki barak.”

“Setan kau. Kenapa kau turut campur? Kau sama sekali tidak mengetahui persoalannya. Aku, meskipun seorang tawanan juga mempunyai harga diri sehingga aku tidak mau dihinakan dengan cara yang sangat menyakitkan.”

Tetapi pernyataan orang yang bertubuh tinggi tegar itu nampaknya agak meyakinkan para cantrik, sehingga seorang di-antara mereka melangkah maju sambil berkata, “Sebaiknya kau berterus terang.”

“Semua orang akan memfitnah aku. Apakah kalian percaya?” orang yang akan melarikan diri itu justru bertanya.

“Aku yang bertanya kepadamu. Bukan kau yang bertanya kepadaku,” geram cantrik itu.

“Aku sudah menjawab,” berkata orang itu, “terserah kepadamu. Apakah kau percaya atau tidak.”

Seorang cantrik yang masih sangat muda menjadi sangat marah. Tetapi ketika ia melangkah maju, kawannya telah mencegahnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ternyata juga melihat kejadian itu, telah mendekat pula. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Apa yang telah terjadi di sini?”

Seorang Cantrik telah mencoba menjelaskan persoalannya. Namun orang yang akan melarikan diri itu telah memotong, “Semua itu fitnah. Aku belum gila untuk melarikan diri di siang hari dan dibawah pengawasan para cantrik.”

Tetapi orang yang diajak melarikan diri menyahut, “Orang itu mengharapkan lima orang di antara kami akan melarikan diri. Kami akan berpencar. Dengan demikian orang itu berharap bahwa ia akan dapat meloloskan diri meskipun keempat orang yang lain akan tertangkap lagi.”

Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Aku percaya kepadamu. Orang ini akan melarikan diri.”

Orang itu menggeram. Namun tiba-tiba ia bergeser selangkah surut sambil berkata, “Baik. Aku akan mengakui, bahwa aku memang akan melarikan diri. Tangkaplah jika kalian ingin menangkap aku. Bunuhlah jika kalian ingin membunuh aku. Tetapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah benar orang-orang Bajra Seta itu memiliki kemampuan yang tinggi atau karena jumlahnya sajalah yang terlalu banyak untuk dilawan. Seandainya ada seorang saja di antara para cantrik yang mampu melawan aku, maka aku akan berjongkok sambil menundukkan kepalaku dan menyerahkan leherku untuk dibantai di hadapan kalian dan para tawanan yang lain.”

Mahisa Pukat menjadi marah. Tetapi Mahisa Murti menggamitnya ketika Mahisa Pukat melangkah maju. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mahisa Semu akan menyelesaikannya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah mengangguk-angguk mengiakan. Dengan demikian maka sejenak kemudian Mahisa Semu telah berada di dalam lingkaran. Namun agaknya Mahisa Semu masih belum begitu jelas apa yang terjadi. Baru kemudian ia mengangguk-angguk ketika Mahisa Pukat memberinya penjelasan.

“Ia menantang salah seorang cantrik dari padepokan Bajra Seta. Ia ingin tahu, apakah ada salah seorang cantrik yang dapat mengalahkannya. Karena itu, terserah kepadamu. Kau kami anggap cantrik yang masih muda. Jika melawan kau orang itu sudah tidak dapat mengimbangi, apalagi melawan para cantrik yang lebih tua darimu.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, marilah. Kita akan mencoba siapakah di antara kita yang lebih baik. Aku berjanji, jika kau dapat mengalahkan aku maka kau akan mendapatkan pengampunan.”

Wajah orang itu menjadi cerah. Katanya, “Benar katamu?”

“Aku mohon para pemimpin padepokan ini menyetujui,” berkata Mahisa Semu.

“Aku setuju,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah kedua orang itu pun telah berdiri saling berhadapan. Mahisa Semu memang masih jauh lebih muda dari orang itu. Namun selama ia berada di padepokan itu, ia telah mendapat penanganan khusus .dari Mahendra sendiri di bawah pengawasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah mempersiapkan diri. Orang yang melarikan diri itu telah memastikan dirinya untuk dibebaskan dari padepokan itu. Ia merasa bahwa ia bukannya sejenis penjahat-penjahat kecil yang hanya mampu mencuri ayam atau itik di kandang. Tetapi ia adalah seorang perampok dan penyamun yang ditakuti. Sedangkan cantrik yang ditunjuk untuk melawannya adalah cantrik yang masih sangat muda, sehingga ia merasa bahwa ia tidak akan mendapatkan kesulitan untuk mengalahkannya.

Orang itu nampaknya memang ingin menunggu. Ketika Mahisa Semu bergeser orang itu pun hanya bergeser pula. Sekali-sekali tangannya bergerak. Tetapi tidak untuk menyerang. Mahisa Semu memang merasakan bahwa sikap orang itu sangat merendahkannya. Orang itu menganggap bahwa Mahisa Semu yang muda itu tidak akan mampu berbuat apa-apa. Namun justru karena itu, maka Mahisa Semu menjadi sangat berhati-hati menghadapinya.

Beberapa saat keduanya hanya saling bergeser sambil mengamati gerak-gerik lawan. Tetapi tidak seorang pun yang segera mulai menyerang. Bahkan sekali-sekali nampak orang yang akan melarikan dirinya itu tersenyum menyakitkan hati. Mahisa Semu memang tidak telaten. Tetapi ia memperhitungkan kemungkinan yang paling tepat untuk membuar orang itu terkejut dan terbangun.

Sebenarnyalah, ketika Mahisa Semu telah menganggap waktunya tepat, justru pada saat orang itu bergeser, maka ia pun telah meloncat menyerang. Serangan yang tidak biasa dilakukan. Dengan kecepatan yang tinggi, kaki Mahisa Semu yang terbuka telah meluncur menangkap dan menjepit tubuh lawannya. Ketika Mahisa Semu kemudian memutar tubuhnya dengan sekuat tenaganya, maka lawannya itu pun bagaikan baling-baling yang terputar pada porosnya.

Dengan kerasnya orang itu jatuh terguling. Sementara itu dengan cepat Mahisa Semu melepaskan kakinya dan meloncat bangkit. Kelebihannya waktu sekejap telah memberikan kesempatan sekali lagi. Demikian lawannya itu melenting berdiri, maka kaki Mahisa Semu telah terjulur lurus mengarah ke dada orang itu.

Orang itu memang tidak mendapat kesempatan untuk menghindar, bahkan menangkis serangan itu. Karena itu, maka Mahisa Semu telah berhasil mengenai sasarannya dengan kekuatan yang sangat besar. Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Namun sekali lagi ia terlempar. Bukan sekedar diputar oleh jepitan kaki anak yang masih terlalu muda itu. Tetapi serangan kaki di dadanya itu rasa-rasanya telah meretakkan tulang-tulang iganya.

Ketika orang itu meloncat bangkit, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya. Namun ternyata Mahisa Semu tidak memburunya. Anak muda itu berdiri saja di atas kedua kakinya yang merenggang memandangi lawannya yang berdiri tegak pula serta bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun bagaimana pun juga orang itu tidak dapat menyembunyikan dadanya yang terasa sangat sakit. Nafasnya menjadi terengah-engah bagaikan tersumbat di tenggorokan.

Tetapi hatinya serasa terbakar ketika ia melihat justru anak muda itulah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Marilah Ki Sanak. Bangkitlah. Bukankah kita sudah saling bertaruh. Jika kau menang kau dapat pergi dengan bebas ke mana pun kau suka. Tetapi jika kau kalah, kau sudah mempertaruhkan lehermu.”

Orang itu mengeram. Matanya menjadi merah menyala. Giginya gemeretak sementara terdengar ia berkata, “Kau curang. Kau mencari kesempatan saat aku lengah?”

“Adakah seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang baik pernah menjadi lengah di pertempuran?” Mahisa Semu justru bertanya.

“Kau memang anak iblis,” orang itu hampir berteriak.

Tetapi dengan tenang anak yang masih sangat muda itu menjawab, “Apakah kau mengetahui ciri-ciri anak iblis?”

Orang itu menjadi sangat marah. Karena itu, tanpa dapat mengendalikan dirinya lagi, maka ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Semu. Serangan orang itu memang mengejutkan. Tetapi Mahisa Semu yang sengaja mengungkit kemarahan lawannya telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka ketika serangan itu benar-benar datang, Mahisa Semu masih sempat menghindar. Tetapi lawannya tidak memberinya kesempatan. Ia pun dengan cepat memburunya. Orang itu ingin menebus kelengahannya dengan menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu secepatnya.

Namun yang terjadi adalah di luar kehendaknya. Setelah bertempur beberapa lamanya, orang itu ternyata masih belum dapat menundukkan Mahisa Semu. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun. Sekali-sekali menangkisnya namun kemudian dengan cepat ia membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan segenap perhatian. Keduanya justru ingin tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Semu jika ia benar-benar membentur kekuatan yang cukup besar. Namun anak yang masih terlalu muda itu tidak mengecewakan. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Namun keduanya menarik nafas lega.

Meskipun demikian, kemungkinan yang buruk masih saja dapat terjadi. Ia masih belum tahu, daya tahan siapakah yang lebih tinggi. Jika salah seorang dari keduanya, tenaganya mulai susut lebih dahulu, maka keadaannya akan menjadi gawat.

Namun Mahisa Semu memiliki ketangkasan bergerak lebih dari lawannya. Karena itu, maka setiap kali serangan anak muda itulah yang mengenai lawannya. Namun jika sekali tangan lawannya menyentuh tubuhnya, maka Mahisa Semu memang harus mengakui kekuatan lawannya. Ketika tangan lawannya yang kuat sempat mengenai pundaknya maka Mahisa Semu memang seakan-akan telah diputar. Dalam kegoncangan keseimbangan lawannya ia telah menyerang dengan kakinya yang terjulur ke samping.

Mahisa Semu memang kehilangan kesempatan berusaha untuk menghindar atau menangkis, sementara keseimbangannya sedang goyah. Namun Mahisa Semu tidak ingin tubuhnya dikenai lagi serangan lawannya itu. Karena itu, maka Mahisa Semu pun justru telah menjatuhkan dirinya tepat pada saat kaki lawannya menggapainya.

Dengan demikian, maka Mahisa Semu telah terhindar dari serangan lawannya itu. Bahkan setelah berguling sekali, maka dengan sigapnya Mahisa Semu telah bangkit dan berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Ketika lawannya itu kemudian meloncat menyerangnya, maka Mahisa Semu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan demikian, maka Mahisa Semu telah dengan cepat pula bergeser menghindar.

Demikianlah, pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya berganti-ganti menyerang. Orang yang akan melarikan diri itu adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas sekali. Ia telah mengalami berpuluh bahkan beratus kali perkelahian dan pertempuran. Telah berapa jiwa yang pernah melayang karena kekuatan dan kemampuannya. Jari-jarinya yang kokoh dan kakinya yang kuat, telah membuatnya menjadi orang yang sangat ditakuti. Apalagi jika orang itu sempat memegang senjata.

Mahisa Semu memang masih terlalu muda bagi lawannya itu. Pengalamannya pun belum begitu luas. Tetapi ia sudah ditempa dalam latihan-latihan yang keras, sehingga landasan ilmunya menjadi semakin kokoh. Menghadapi lawannya yang kuat dan cukup berpengalaman. Mahisa Semu memang harus berhati-hati. Tetapi ia tidak perlu merasa berkecil hati. Mahisa Semu cukup memiliki bekal untuk melawannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang memang menjadi tegang. Sekali-sekali Mahisa Semu memang nampak terdesak. Tetapi setelah berloncatan beberapa saat, Mahisa Semu segera menemukan kesempatan untuk mengatasinya. Meskipun Mahisa Semu tidak dengan serta merta dapat mengalahkan lawannya, namun ternyata bahwa ia mempunyai kesempatan lebih baik dengan kekayaan unsur-unsur gerak yang dimilikinya, sehingga ia tidak semata-mata berdasarkan kepada kekuatan kewadagannya saja.

Ternyata beberapa saat kemudian, kelebihan Mahisa Semu mulai nampak. Setelah keduanya memeras keringat, serta mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, maka kelebihan daya tahan Mahisa Semu nampak semakin jelas. Agaknya orang yang akan melarikan diri itu telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, bahkan dengan memaksakan diri untuk dapat dengan cepat mengalahkan lawannya yang masih muda itu. Namun ternyata ia tidak berhasil.

Karena itu, maka justru tenaga dan kekuatanyalah yang semakin lama menjadi semakin menyusut. Betapa pun tipisnya, tetapi terasa oleh Mahisa Semu, bahwa lawannya telah sampai ke batas kekuatannya. Namun nampaknya lawannya masih belum mengakui keadaannya. Ternyata ia masih menunjukkan kegarangannya. Tangannya menjadi semakin cepat bergerak. Jari-jarinya mengembang dan dengan berteriak keras, orang-orang itu telah menerkam Mahisa Semu seperti seekor harimau yang lapar.

Mahisa Semu memang agak terkejut melihat serangan itu. Unsur gerak yang dihadapinya memang berubah dan dengan begitu tiba-tiba menunjukkan satu jenis ilmu dengan unsur gerak yang sangat garang. Namun Mahisa Semu yang terlatih itu tidak segera kehilangan akal. Ia melihat jari-jari yang mengembang itu. Karena itu, maka dengan sigapnya Mahisa Semu telah meloncat menghindarinya. Tetapi ia bukan saja menghindar. Ketika jari-jari itu hampir saja menyambar keningnya, Mahisa Semu justru telah berputar sambil mengayunkan kakinya.

Satu serangan yang tiba-tiba pula. Kaki yang terayun dalam putaran itu, justru telah menyambar tengkuk lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu jatuh terjerembab. Mahisa Semu tidak memburunya. Ketika lawannya itu melenting berdiri, maka Mahisa Semu justru memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi tenaga orang itu benar-benar telah susut. Tulang-tulangnya terasa sakit dan kulitnya pun telah terkelupas di beberapa bagian anggauta tubuhnya. Bahkan darah telah mulai mengembun di luka-lukanya itu. Namun orang itu sama sekali tidak berniat menyerah. Ia menganggap bahwa dirinya tentu akan mati. Seandainya ia menyerah maka para cantrik akan menuntut taruhan yang telah diucapkannya. Ia harus merelakan kepalanya dipenggal.

Karena itu, maka daripada ia mati sambil menundukkan kepalanya, maka ia akan menjadi lebih berharga jika ia mati dalam pertempuran itu. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar telah memaksa diri untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya.

Sementara itu, ternyata Mahisa Semu masih tetap tegar. Meskipun ia juga mengerahkan tenaga dan kemampuannya, tetapi daya tahan tubuhnya ternyata jauh lebih baik dari lawannya yang pertahanannya seakan-akan telah menjadi semakin rapuh. Dengan demikian, maka Mahisa Semu menjadi semakin sering mampu mengenai tubuh lawannya. Bahkan kadang-kadang telah membuat lawannya seakan-akan kehilangan pijakkan.

Namun lawannya itu tidak segera menyatakan kekalahannya. Ia masih saja berusaha untuk melawan dengan sisa tenaganya. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut. Bahkan kadang-kadang terbanting jatuh. Namun sama sekali tidak timbul niatnya untuk menyerah. Betapapun kuat daya tahan tubuh Mahisa Semu, namun ia pun merasa bahwa pada suatu saat tentu akan sampai pada batasnya. Dengan demikian, maka ia harus menyelesaikan lawannya sebelum tenaganya sendiri menjadi susut.

Apalagi beberapa kali tubuhnya pun sudah dikenai oleh lawannya. Beberapa bagian tubuhnya telah merasa nyeri. Bahkan tulang-tulangnya pun merasa sakit. Karena itu, maka pada saat kekuatannya masih utuh, Mahisa Semu ingin memaksa lawannya itu menyerah. Tetapi usahanya sama sekali tidak berhasil. Betapa pun juga lawannya terdesak, tetapi masih tetap melawan.

Kesabaran Mahisa Semu semakin lama menjadi semakin tipis. Sementara itu lawannya telah menjadi hampir tidak berdaya. Namun ketika Mahisa Semu memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya untuk menyerah, maka orang itu justru mengumpatinya. Mahisa Semu hampir kehilangan seluruh kesabarannya. Narnun tiba-tiba ia sadar, bahwa tidak pantas baginya untuk membunuh orang yang telah menjadi tidak berdaya sama sekali.

Dengan demikian, maka Mahisa Semu tidak lagi berniat membunuhnya. Tetapi ia hanya ingin merendahkan harga diri lawannya yang sombong dan tidak mau melihat kenyataan itu. Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Semu tiba-tiba telah mengendor. Ia tidak lagi garang dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Bahkan seakan-akan tenaganya pun menjadi semakin susut.

Lawannya yang melihat keadaan itu, rasa-rasanya keberaniannya menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Ia yang sudah bertekad mati, akan membawa anak muda itu bersamanya. Dengan sisa tenaganya, maka perlawanannya yang sudah hampir terhenti sama sekali itu menjadi bertenaga kembali meskipun hanya merupakan hentakan-hentakan sekejap. Namun hentakan-hentakan itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Mahisa Semu.

Meskipun demikian orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu sempat menjadi cemas melihat perlawanan Mahisa Semu yang juga menurun dengan cepat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa sebenarnya tenaga Mahisa Semu masih cukup besar untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu jika dikehendakinya. Namun agaknya Mahisa Semu memang telah merubah sikapnya. Ia tidak ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi dengan membunuh lawannya.

Dalam pertempuran dengan sisa-sisa tenaga yang ada, maka lawan Mahisa Semu itu menjadi semakin sulit. Bahkan bukan lagi mengatasi serangan-serangan Mahisa Semu, karena untuk selanjutnya seakan-akan Mahisa Semu tidak lagi pernah menyerangnya. Tetapi lawannya itu mengalami kesulitan karena usahanya untuk memeras sisa-sisa tenaga yang ada padanya.

Sehingga beberapa saat kemudian, maka tenaganya bagaikan telah terkuras habis. Untuk berdiri tegak saja, rasa-rasanya orang itu sudah tidak sanggup lagi. Jika sekali lagi ia menghentakkan sisa tenaganya dan menyerang Mahisa Semu, maka jika serangannya tidak mengenai sasarannya, maka tubuh itu menjadi terhuyung-huyung terseret oleh ayunan tenaganya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, sentuhan tangan Mahisa Semu yang lemah sekalipun telah dapat mendorongnya sehingga jatuh tertelungkup.

“Bangun atau menyerah,” geram Mahisa Semu.

Orang itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Sekali lagi ia mengumpat habis-habisan. Tetapi ia mengalami kesulitan untuk bangkit. Namun orang itu pun ternyata berhasil berdiri. Dengan sorot mata yang bagaikan membara, ia memandang Mahisa Semu yang tersenyum sambil bergerak-gerak di hadapannya.

“Marilah,” tantang Mahisa Semu, “jika kau memang sudah menjadi ketakutan, menyerah sajalah. Kau akan dituntut untuk memenuhi janjimu.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan tenaganya untuk menyerang dengan jari-jarinya yang mengembang. Seakan-akan orang itu ingin menerkam mulut Mahisa Semu yang baru saja mengancamnya.

Tetapi tangannya tidak menyentuh sesuatu. Bahkan sekali lagi tubuhnya telah diguncang oleh berat badannya sendiri serta sisa kekuatannya yang memang sudah menjadi semakin kering yang dihentakkannya untuk menyerang lawannya yang masih muda itu. Mahisa Semu sama sekali tidak membalas. Ia hanya bergeser sedikit ke samping dan membiarkan lawannya itu terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab.

“Kenapa kau tidak menyerah saja he?” teriak Mahisa Semu.

“Aku koyakkan mulutmu,” geram orang itu sambil berusaha untuk berdiri.

“Menyerahlah,” bentak Mahisa Semu.

Tetapi orang itu justru telah bangkit dan berdiri pada lututnya. Mahisa Semu sama sekali tidak menyerangnya. Tetapi ia menunggu orang itu bangkit. Bahkan Mahisa Semu yang sebenarnya hampir kehilangan kesabaran itu harus menahan diri. Ia mempunyai cara tersendiri untuk menaklukkan lawannya yang keras kepala itu.

Karena lawannya masih berdiri pada lututnya, maka Mahisa Semu pun berkata lantang, “Menyerahlah. Atau bangkitlah. Kita bertaruh. Jika kau menang, maka kau dapat pergi ke mana kau suka. Tetapi jika kau kalah, kau harus menepati janjimu pula. Semua orang mendengar apa yang kau katakan itu.”

Orang itu menggeram. Tetapi ia tetap tidak mau mengakui kekalahannya. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk berdiri tegak. Betapa sulitnya akhirnya orang itu telah berdiri pula.

Sementara Mahisa Semu mendekatinya sambil berkata, “Apakah kita masih akan bertempur terus.”

“Tutup mulutmu,” bentak orang itu.

“Apakah kau masih mampu?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Aku akan membunuhmu?” orang itu berteriak.

“Kau tahu arti kata-katamu? Membunuh?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Kubunuh kau. Kubunuh,” orang itu berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan ingatan. Dengan serta merta orang itu telah melangkah menyerang Mahisa Semu. Namun tenaganya sudah tidak mendukung lagi, sehingga orang itu pun telah terhuyung-huyung dan jatuh berguling.

“Kau masih belum menyerah?” bertanya Mahisa Semu.

Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Dengan memaksa diri ia memang masih dapat bangkit berdiri. Hanya beberapa saat, karena sekali lagi ia terhuyung-huyung dan jatuh terduduk.

“Marilah,” berkata Mahisa Semu, “jika kau belum menyerah, bangkitlah. Kita akan bertempur terus sampai matahari tenggelam. Bahkan sampai matahari terbit di hari berikutnya. Atau, kau menyerah.”

“Bunuh aku, bunuh aku,” orang itu tiba-tiba berteriak, “kenapa kau tidak mau membunuhku?”

“Tentu tidak,” jawab Mahisa Semu, “aku akan memenggal lehermu jika kau sudah menyerah seperti taruhan kita. Tetapi jika kau menang, kau boleh pergi ke mana saja kau kehendaki.”

“Bunuh aku. Penggal leherku,” teriak orang itu sambil terduduk di tanah.

“Bangkit. Kita bertempur terus. Bukankah kau belum menyerah kalah?” Mahisa Semu pun berteriak.

“Anak iblis. Penggal leherku,” orang itu menjadi seperti orang gila.

Tetapi jawab Mahisa Semu, “Hanya jika kau sudah menyerah, aku akan memenggal lehermu.”

“Setan kau, iblis. Baik, baik, aku menyerah. Penggal leherku.” orang itu masih saja berteriak.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau sudah menyerah, maka aku akan segera mengambil keputusan.”

“Penggal leherku. Aku akan menelungkup di tanah,” geram orang itu.

“Kau aku maafkan, karena kau sudah menyerah. Kau bukan seorang yang berilmu tinggi untuk ditakuti sehingga harus dibunuh. Aku biarkan kau hidup untuk mendapat kesempatan merenungi dirimu sendiri, siapakah kau itu. Biarlah kau mengerti arti tantanganmu terhadap salah seorang cantrik dari padepokan ini, sehingga kau tidak lagi merasa dirimu seorang yang tidak terkalahkan,” jawab Mahisa Semu.

“Tidak, bunuh aku. Bunuh aku. Kau akan menjadi pengecut jika kau tidak berani membunuh aku,” minta orang itu.

“Kaulah yang pengecut karena kau tidak berani melihat kenyataan bahwa dirimu, kau yang merasa berilmu setinggi langit, yang berani menantang salah seorang cantrik padepokan ini, yang dengan berani ingin melarikan diri, ternyata tidak lebih berbahaya dari seekor cacing tanah,” geram Mahisa Semu.

“Jangan hinakan aku seperti itu. Seharusnya kau membunuhku jika kau menganggap aku bersalah,” berkata orang itu.

“Untuk apa membunuhmu dengan mengotori tanganku? Jika kau cukup berharga untuk dibunuh, maka aku akan membunuhmu,” jawab Mahisa Semu.

“Bunuh aku, bunuh aku,” orang itu telah berteriak-teriak benar-benar seperti orang gila.

Mahisa Semu yang marah masih akan membuat hati orang itu semakin sakit. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekatinya. Keduanya telah membimbing Mahisa Semu untuk membawanya menjauhi orang itu. Tetapi Mahisa Semu masih berkata lantang, “Kalau kau ingin mati, matilah. Tidak pantas aku membunuh orang yang lemah dan tidak berdaya.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “jangan kau hancurkan perasaannya setelah kau remukkan tulang-tulangnya. Ia sudah mengaku kalah dan menyerah.”

Tetapi Mahisa Semu menjawab, “Ia membuat hatiku bagaikan terbakar. Ia tidak mau mengakui kekalahannya.”

“Tetapi ia sudah menyerah,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Semu memang terdiam. Tetapi jantungnya terasa bergejolak ketika ia mendengar orang itu berteriak, “Pengecut. Kenapa kau tidak berani membunuhku.”

Hampir saja Mahisa Semu meloncat kembali. Bagaimanapun juga ia mencoba mempergunakan penalarannya, tetapi hatinya benar-benar telah terbakar.

Tetapi Mahisa Murti masih membimbingnya dan membawanya menyingkir. Katanya, “Ketahanan tubuhmu memang mengagumkan. Tidak sia-sia kau berlatih dengan tekun. Namun kau pun harus melatih ketahanan jiwamu. Kau tidak boleh mudah kehilangan akal. Jiwamu tidak boleh cepat terguncang karena kata-kata yang kau anggap menusuk jantungmu.”

Mahisa Semu menundukkan kepalanya.

“Kau memang masih terlalu muda,” berkata Mahisa Pukat, “namun kau harus berlatih. Aku juga sedang melatih diri untuk tidak mudah hanyut dalam arus perasaan. Kita harus selalu mencari keseimbangan antara perasaan dan penalaran, karena jika keduanya tidak seimbang dan berat sebelah, maka sikap kita pun menjadi tidak seimbang pula...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 93

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 93
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT masih tidak menjawab. Tetapi ujung pedangnya telah bergetar. Bahkan beberapa kali mematuk ke arah tubuh orang yang telah membunuh seorang cantrik di hadapan hidungnya. Beberapa saat kemudian orang itu telah meloncat sambil menyerang. Tangan kanannya memegang hampir di pangkal tangkai tombaknya, sedangkan tangan kiri memegang hampir di tengah-tengah panjang tangkai tombak pendeknya itu.

Demikian ia meloncat, maka ujung tombaknya itu telah terjulur dengan cepat mengarah ke jantung. Namun Mahisa Pukat telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak berbuat banyak. Dengan tangkasnya ia memiringkan tubuhnya sambil bergeser selangkah ke samping.

Tetapi kemarahannya kepada orang itu telah benar-benar membakar jantung. Kematian seorang cantriknya dan keganasan orang itu telah menentukan nasibnya sendiri. Demikian ujung tombak itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya, maka Mahisa Pukat pun telah merendahkan dirinya. Ujung pedangnya telah menggapai lambung orang yang bergeser mengikuti arah ujung tombaknya.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat yang masih muda itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat banyak ketika ujung pedang Mahisa Pukat menyentuhnya. Orang itu masih berusaha untuk meloncat surut. Namun lambungnya telah tergores oleh ujung pedang anak muda yang garang itu. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi goresan pedang itu telah menguak kulitnya dan darah pun mulai mengalir.

Orang itu pun menjadi semakin marah. Dengan garangnya ia memutar tombaknya. Namun Mahisa Pukat tidak lagi menunggu orang itu menyerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar.

Orang itu bergeser sambil menyilangkan tangkai tombaknya untuk menangkis serangan anak muda itu. Tetapi Mahisa Pukat pun telah menggeliat. Pedangnya berputar sekali di atas kepalanya. Dengan cepat sekali arah pedang itu pun berubah. Pedang itu tidak lagi bergerak dalam ayunan mendatar, tetapi sebuah serangan yang kuat telah terjulur mematuk ke arah dada lawannya.

Lawannya memang tidak sempat berbuat sesuatu. Ujung pedang itu benar-benar telah menggapai dadanya menghunjam sampai ke jantung. Dalam waktu yang pendek, setelah ia menikam seorang cantrik dengan ujung tombaknya, maka ia sendiri telah tertikam oleh ujung pedang. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah tanpa mampu mengeluh lagi.

Sementara itu pertempuran masih berkobar di mana-mana. Para cantrik telah bertempur dengan sekuat tenaga serta kemampuan mereka. Senjata mereka berputaran dan berbenturan dengan serunya. Bunga api berloncatan di udara menghambur ke segala arah.

Matahari memanjat semakin tinggi, sehingga ketika matahari sampai ke puncak, maka pertemuran pun menjadi semakin keras. Tangan-tangan yang telah basah oleh keringat menjadi semakin garang mengayun-ayunkan senjata.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah semakin mendesak lawan-lawan mereka. Para cantrik yang ada di sisi sebelah kiri dan di sisi sebelah kanan, semakin lama semakin mapan sehingga orang-orang yang menyerang padepokan itu justru semakin terdesak mundur.

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di sisi sebelah kiri dan sebelah kanan itu tidak mampu sama sekali membantu kawan-kawannya yang datang dari regol induk padepokan itu. Bahkan mereka yang semula menggapai regol butulan untuk membuka dari dalam, justru telah terperangkap dalam pertempuran di lambung itu.

Sementara itu, pasukan yang berada di tengah-tengah telah mengalami kesulitan pula untuk bergerak. Para cantrik terpilih memimpin kawan-kawannya menghadang orang-orang yang menyerang itu dengan beraninya. Beberapa orang cantrik pilihan sempat membuat lawan-lawannya kebingungan.

Beberapa orang perampok dan penyamun yang ditakuti di padang perburuan mereka, tidak terlalu banyak dapat berbuat menghadapi cantrik-cantrik tertua. Kelebihan ilmu mereka, masih dapat diimbangi oleh para cantrik itu.

Sementara itu, Mahendra di atas regol padepokan masih sempat bermain-main dengan busurnya, ia ternyata telah mengambil tempat yang dianggapnya paling baik untuk membidik. Setiap kali seorang di antara mereka yang menyerang padepokan itu telah jatuh oleh anak panah yang menembus dari punggungnya sampai ke jantung.

Ternyata beberapa orang di antara para perampok dan penyamun itu berpendapat, bahwa Mahendra dan para cantrik yang berada di panggungan itu harus dihalau turun. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka yang merasa memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya telah bergeser dari arena pertempuran mendekati tangga panggungan di atas regol induk.

Serangan-serangan anak panah dari atas panggungan itu dengan tangkasnya telah ditangkis. Pedang, golok dan senjata-senjata lainnya di tangan para perampok itu berputaran melindungi tubuh mereka. Tetapi satu dari antara orang-orang yang mempergunakan busur itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Justru orang yang tertua di antara mereka. Orang yang dimaksud adalah Mahendra.

Anak panah yang meluncur dari busur Mahendra sama sekali tidak dapat ditangkis. Anak panah itu seakan-akan mampu menembus putaran senjata lawan betapa pun cepatnya. Bahkan jika terjadi benturan, maka senjata lawannya seakan-akan telah terpental dan bahkan ada di antara senjata mereka yang justru terjatuh. Namun karena jumlah orang-orang itu cukup banyak, maka mereka sempat berlari-lari naik keatas tangga panggungan meskipun satu dua roboh di tanah.

Akhirnya Mahendra menyadari, bahwa ia tidak dapat membunuh semua orang yang memanjat tangga panggungan di atas regol itu dengan anak panahnya. Mereka akan mendesak maju dan mereka akan segera menyerangnya. Di saat-saat terakhir, seorang di antara orang-orang yang naik keatas tangga itu memang terpelanting jatuh. Tetapi orang-orang yang ada di belakangnya telah mendesak maju demikian dekatnya, sehingga senjatanya hampir menggapai tubuh Mahendra.

Mahendra sempat menangkis ujung senjata itu dengan busurnya. Namun untuk melawan beberapa ujung senjata ia lebih baik mempergunakan pedangnya. Tetapi Mahendra yang sudah semakin tua itu tidak sendiri. Ada beberapa orang cantrik yang menyertainya. Karena itu, maka Mahendra pun tidak sendiri melawan orang-orang yang menyerang padepokan itu.

Sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran di antara para cantrik yang ada di panggungan itu bersama dengan Mahendra, melawan beberapa orang yang berusaha menghentikan serangan-serangan mereka dengan busur dan anak panah. Beberapa saat lamanya, orang-orang yang menyerang itu mampu bertahan. Namun ternyata bahwa seorang demi seorang di antara mereka telah terluka dan bahkan terlempar jatuh. Mahendra yang tua itu sebagaimana dikatakannya, ia masih mampu melindungi dirinya sendiri.

Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang Mahendra dan para cantrik di panggungan itu pun telah terdesak turun. Mahendra sendiri dan para cantrik memang tidak ingin lebih lama lagi berada di panggungan. Mereka pun telah memburu orang-orang yang kemudian harus turun dari panggungan itu. Mereka sadar, jika mereka masih saja menyerang, maka mereka akan habis sampai orang yang terakhir.

Tetapi demikian mereka sampai di halaman, Mahendra dan para cantrik telah berloncatan pula, sehingga pertempuran pun telah terjadi lagi dengan sengitnya. Tetapi di halaman, orang-orang yang menyerang padepokan itu sempat mendapat bantuan dari beberapa orang kawannya.

Dengan demikian, maka para penyerang itu tidak lagi sempat maju. Beberapa orang di antara mereka mulai mencari jalan untuk mencapai bangunan induk. Mereka agaknya tidak ingin didahului oleh kawan-kawannya yang lain yang ternyata berasal dari kelompok yang berbeda. Meskipun mereka bersama-sama menyerang padepokan itu dan berusaha menghancurkannya, namun di antara mereka telah timbul pula semacam pacuan untuk lebih dahulu menguasai bangunan yang menjadi tempat penyimpanan harta benda milik padepokan itu.

Yang mereka duga menjadi tempat penyimpanan itu adalah bangunan induk padepokan itu. Bangunan yang terbesar dan menghadap langsung ke halaman depan yang luas serta pintu gerbang induk yang telah berhasil mereka pecahkan. Namun agaknya tidak terlalu mudah untuk menembus pertahanan para cantrik.

Tetapi orang-orang itu masih juga mempunyai akal yang licik. Mereka tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya sendiri yang bertempur mempertaruhkan nyawa mereka. Beberapa orang di antara mereka benar-benar telah menjadi korban. Dengan saling memberikan isyarat, maka beberapa orang di antara mereka telah berlari-lari keluar dari arena. Menyusup di antara orang-orang yang sedang sibuk bertempur dan dengan melingkari medan yang garang, mereka berlari-lari menuju ke bangunan induk padepokan itu.

Beberapa orang justru di antara kawan-kawan mereka sendiri berteriak-teriak mengumpat. Tetapi mereka tidak menghiraukannya, sementara kawan-kawannya yang lain tidak lagi mampu melepaskan diri dari tekanan para cantrik yang menyadari bahwa beberapa orang telah berhasil lolos.

Tetapi para cantrik itu tidak mengejar mereka. Seakan-akan orang-orang itu mereka biarkan saja menyerang dan menguasai bangunan induk padepokan, sementara kawan-kawan mereka yang mereka akan kehilangan kesempatan untuk ikut menguasai harta benda padepokan itu mengumpat-umpat kasar. Beberapa orang yang bertempur di paling depan sempat melihat dengan jelas, kawan-kawannya yang ternyata telah berbuat licik.

Sementara itu, orang-orang yang menyerang dari sisi kiri dan kanan pun benar-benar telah tertahan. Mereka tidak dapat menembus pertahanan para cantrik dan bahkan merekalah yang telah terdesak mundur.

Dalam pada itu, beberapa orang yang kemudian hampir mencapai pendapa bangunan induk itu telah terkejut. Dari dalam bangunan itu berloncatan beberapa orang cantrik untuk menyongsong mereka. Dari dalam bangunan induk, mereka telah melihat, beberapa orang berlari-lari langsung menuju ke bangunan induk itu sehingga mereka tidak dapat tinggal diam.

Beberapa orang cantrik yang bertugas di bangunan induk sekaligus merupakan tenaga cadangan itu pun telah menyongsong para penjahat yang telah dengan licik meninggalkan kawan-kawan mereka. Namun ternyata bahwa mereka pun telah disongsong oleh ujung-ujung senjata. Dengan demikian, maka mereka tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari benturan kekerasan.

Para cantrik yang berada di bangunan induk itu pun segera menyerang orang-orang yang telah mendekati bangunan induk itu. Dengan tenaga yang masih ada segera mereka berloncatan dengan senjata yang terayun-ayun. Tetapi para cantrik itu tidak kehilangan kewaspadaan. Tidak semua orang telah turun menyongsong orang-orang yang datang menyerang. Tetapi beberapa orang di antara mereka masih tetap berada di ruang depan bangunan induk itu.

Namun jumlah para cantrik yang turun itu ternyata sudah cukup untuk menahan gerak maju beberapa orang yang menyelinap dengan licik untuk menggapai bangunan induk itu.

Mahisa Amping yang juga ada di bangunan induk itu hampir saja berlari keluar ikut menyongsong lawan-lawan mereka. Tetapi Mahisa Semu sempat menangkap tangannya sambil bertanya, “Kau akan ke mana?”

“Bukankah bangunan induk ini mendapat serangan?” bertanya Mahisa Amping.

“Kau mendengar pesan yang diberikan kepada cantrik yang diserahi dan bertanggung jawab atas bangunan induk ini?” Mahisa Semu bertanya pula.

“Ya,” jawab Mahisa Amping.

“Apa katanya?” bertanya Mahisa Semu selanjutnya.

“Hanya beberapa orang cantrik yang ditunjuk,” jawab Mahisa Amping.

“Nah, kita tidak ditunjuk oleh pimpinan para cantrik itu. Karena itu, kita harus tetap di sini bersama beberapa orang cantrik lainnya yang tidak ditunjuk,” berkata Mahisa Semu.

“Tetapi di luar ada perang. Apakah kita sampai hati untuk duduk berdiam diri di sini?” bertanya anak itu.

“Amping,” berkata Mahisa Semu, “kita harus membiasakan diri sejak semula untuk patuh kepada perintah. Oleh kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat kita diserahkan kepada pimpinan para cantrik itu di sini. Kita harus patuh. Perintah pimpinan para cantrik itu sama dengan perintah kakang Mahisa Murti dan kakang Mahisa Pukat.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Tetapi hatinya masih saja tetap bergejolak. Apalagi ketika ia mendengar teriakan-teriakan yang bagaikan mengguncang langit. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menghambur turun. Tetapi Mahisa Semu mengamatinya dengan ketat. Sementara itu, beberapa orang cantrik masih saja berjaga-jaga di dalam ruangan itu.

“Mereka dapat memasuki ruangan ini lewat banyak jalan,” berkata Mahisa Semu, “karena itu, maka kita harus berjaga-jaga di sini.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang melihat di antara para cantrik yang masih ada di bangunan induk itu mengawasi butulan pintu samping. Mereka membiarkan pintu itu sebagian terbuka untuk dapat melihat langsung, jika ada orang yang mendekati bangunan induk itu dari belakang. Sementara itu satu dua orang cantrik dari pintu butulan dibelakang dapur dapat melihat halaman di belakang bangunan induk itu.

Selain mereka yang ada di bangunan induk, maka para cantrik masih juga ada, meskipun hanya beberapa orang saja, berada di panggungan yang menghadap ke arah belakang. Namun pengawasan mereka tidak hanya keluar dinding padepokan, tetapi ada di antara mereka yang mengamati halaman dan kebun dibagian belakang padepokan itu.

Namun nampaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak mempunyai orang yang cukup untuk memasuki padepokan itu dari empat arah. Sementara mereka hanya memilih tiga arah itu pun jumlah mereka masih belum menggetarkan jantung para cantrik meskipun terhitung jauh lebih banyak dari para cantrik yang ada di padepokan itu.

Tetapi setelah kekuatan mereka berbenturan, orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar tidak dapat bergerak maju lebih jauh lebih. Mereka harus bertempur dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka di halaman. Yang menyerang dari samping pun telah tertahan pula.

Demikian pula yang menyerang dari arah depan. Mahendra yang telah berada di halaman telah melibatkan diri dalam pertempuran pula. Tetapi Mahendra justru berada di belakang orang-orang yang menyerang padepokan itu, yang gerak majunya tertahan oleh para cantrik. Bersama beberapa orang cantrik, Mahendra telah membuat satu medan pertempuran tersendiri.

Meskipun yang dilakukan oleh Mahendra itu bukan hasil perenungannya setelah mengamati medan dengan saksama, bahkan seakan-akan hanya sekedar membuat lawannya sedikit kebingungan, namun akibatnya memang sangat parah bagi lawannya. Orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar menjadi bingung. Seakan-akan mereka telah ditikam dari depan dan dari belakang. Rasa-rasanya bagaikan dua ujung tombak telah melekat di dada dan di punggung.

Sementara itu pasukan yang datang dari sisi kiri dan kanan masing-masing sudah tidak berdaya sama sekali. Mereka telah mulai terdesak mundur menuju ke pintu butulan yang telah berhasil mereka buka sehingga pasukan mereka sempat masuk dengan cepat dari tiga arah. Tetapi setelah bertempur di halaman padepokan itu, maka segala sesuatunya seakan-akan telah berubah.

Orang-orang yang datang menyerbu itu ternyata sama sekali tidak berhasil membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke Pakuwon Sangling. Sementara itu, orang-orang yang sangat tamak itu pun tidak berhasil mendapatkan kekayaan padepokan itu, yang mereka sangka disimpan di bangunan induk, karena tidak seorang pun di antara para perampok dan penjahat itu yang sempat memasuki bangunan induk padepokan Bajra Seta itu.

Beberapa orang pemimpin dari kelompok-kelompok perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang merasa sangat ditakuti orang di tempat-tempat lain, memang menjadi sangat marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ternyata bukan hanya di Sangling mereka kehilangan kesempatan untuk membalas dendam. Tetapi di padepokan yang mereka anggap terpencil dan lemah itu, mereka tidak mampu melepaskan dendam mereka. Apalagi membuat Akuwu Sangling menjadi sakit hati karena kehilangan kedua orang adiknya, sehingga menyesali perbuatannya atau bahkan menjadi sakit dan meninggal.

Namun para pemimpin itu harus melihat kenyataan. Para cantrik itu ternyata bukan hanya mampu menggusur sawah dan ladang mereka atau menanami pategalan yang kering sehingga dapat menghasilkan. Tetapi mereka mampu juga bermain-main dengan senjata tanpa canggung sama sekali.

Yang masih saja gelisah adalah Mahisa Amping. Meskipun masih kanak-kanak, tetapi ia merasa telah berlatih dengan sungguh-sungguh di setiap hari, sehingga ia merasa bahwa ia memiliki kemampuan yang cukup untuk turun ke medan. Namun Mahisa Semu tetap pada pendiriannya. Mahisa Amping tidak boleh turun ke medan.

Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Amping memang tidak perlu turun ke medan. Dalam waktu yang pendek, orang-orang licik yang ingin menyergap bangunan induk padepokan Bajra Seta itu telah terdesak. Tetapi kelicikan mereka ternyata tidak tanggung-tanggung. Mereka setelah merasa gagal sama sekali untuk memasuki bangunan induk padepokan Bajra Seta, maka sekali lagi mereka tidak menghiraukan lagi kawan-kawan mereka.

Dengan serta merta, maka beberapa orang yang masih hidup di antara mereka, serta tidak terluka di tubuhnya, telah meloncat berlari meninggalkan para cantrik. Tetapi mereka tidak berlari kembali ke induk pasukannya, tetapi mereka berlari melingkari arena langsung ke pintu gerbang butulan. Para cantrik memang mengejar mereka. Tetapi mereka sempat untuk lolos lewat pintu gerbang butulan.

Para cantrik yang mengejar mereka, harus berpikir ulang untuk mengejar terus. Orang-orang itu segera meloncat ke pematang sawah, dan berlari memencar di atas pematang yang membagi bulak yang luas itu menjadi kotak-kotak kecil.

Dalam pada itu, melihat beberapa orang kawannya berlari-lari, maka jantung mereka pun menjadi berdebaran. Semula mereka menjadi gelisah, bahwa mereka tidak akan mendapat bagian jika bangunan induk di padepokan itu berhasil dicapai oleh beberapa orang di antara mereka. Orang-orang itu tentu akan dengan cepat merampok harta benda yang ada di bangunan induk itu.

Namun ternyata mereka tidak dapat menyentuh lantai bangunan induk itu. Beberapa korban jatuh dan orang-orang tamak itu pun yang tersisa telah berlari tunggang-langgang.

Untuk beberapa saat pertempuran masih berlangsung. Namun kemudian ketidak imbangan pun menjadi semakin jelas. Para cantrik telah mendesak dengan seluruh kemampuan yang ada sehingga orang-orang yang datang menyerang itu semakin lama menjadi semakin menjauhi bangunan-bangunan yang ada di barak itu. Bangunan-bangunan yang tentu tidak akan terlepas dari pengawasan para cantrik.

“Seandainya kami sempat mendekati tempat penyimpanan harta benda, maka tempat itu pun tentu dijaga kuat-kuat, sehingga kami tidak akan dapat menembusnya,” berkata beberapa orang yang semula juga berpendapat untuk sampai ke bangunan induk. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

Beberapa orang pemimpin kelompok memang telah menyesal bahwa mereka telah melibatkan diri ke dalam pasukan itu, sehingga dengan demikian mereka telah banyak sekali kehilangan. Kehilangan waktu, kehilangan harga diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Tetapi hal itu sudah terlanjur terjadi. Mereka tidak akan dapat mengulang lagi. Yang harus mereka pikirkan, apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan terjepit itu.

Beberapa orang yang telah melarikan diri itu agaknya dapat menjadi pancingan sikap kawan-kawannya. Karena itu ketika orang-orang yang menyerang padepokan itu benar-benar telah kehilangan kesempatan, maka beberapa orang pemimpin telah memilih kesempatan sebagaimana telah dilakukan oleh beberapa orang di antara mereka.

Dengan demikian, maka beberapa orang telah berlari-lari menuju ke regol. Ya, regol samping bahkan kemudian regol induk, tentu menjadi berjejal kembali. Mereka bukan orang-orang yang menyerang padepokan itu dan berusaha memecah pintu. Namun mereka tidak berhasil melakukannya.

Para cantrik tidak membiarkan orang-orang itu lari begitu saja. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka telah meninggalkan pertempuran dan berlari-lari menuju ke pintu gerbang untuk mencegah para perampok itu begitu saja meninggalkan padepokan. Tetapi ternyata bahwa tidak mudah untuk mencegah usaha untuk melarikan diri, sebagaimana tidak mudah bagi para perampok untuk meninggalkan halaman.

Tetapi karena para perampok itu tidak mendengarkan peringatan dari para cantrik, maka para cantrik yang tidak dapat mencegah para penjahat itu melarikan diri, telah berlari-lari ke panggungan.

“Jangan lari!” teriak para cantrik sambil mengacungkan busur dan anak panah.

Tetapi orang-orang yang melarikan diri itu tidak mempedulikan lagi. Dalam kebimbangan dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan maka para cantrik yang berada di atas panggungan itu pun telah menyerang lagi lawan-lawan mereka dari atas panggungan.

Arus para penjahat yang melarikan diri itu memang sulit untuk dibendung. Satu dua orang di antara mereka telah jatuh dengan luka di punggung. Namun anak panah yang menancap di punggung itu akan dapat menembus sampai ke jantung pula.

Demikianlah, maka akhirnya pertempuran itu pun mereda. Beberapa orang penjahat telah tertangkap hidup-hidup. Sementara yang lain telah terbunuh di peperangan atau terluka parah sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melarikan diri. Para cantrik memang tidak mengejar lawan-lawan mereka yang melarikan diri tercerai-cerai. Meskipun ada usaha untuk menangkap mereka sebanyak-banyaknya, namun sudah tentu dalam keterbatasannya.

Demikianlah, maka para cantrik itu justru menjadi sibuk untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka. Ternyata jumlah korban di antara para cantik terasa cukup banyak pula. Bahkan juga anak-anak muda yang dikirim oleh padukuhan masing-masing untuk menambah ilmu di padepokan itu tanpa menyatakan menjadi cantrik. Namun kedudukan merasa tidak berbeda dari para cantrik.

Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di bangunan induk pula. Dengan tegas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjatuhkan perintah-perintah untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka, terutama yang terluka di pendapa bangunan induk. Sementara itu, orang-orang yang telah menyerbu padepokan itu yang terluka dikumpulkan di serambi gandok sebelah kiri. Untuk mempercepat pekerjaan itu, maka orang-orang yang menyerah dan tertangkap telah dipekerjakan pula di bawah pengawasan yang ketat.

“Kami terpaksa mengikat kaki-kaki kalian,” berkata para cantrik yang mengikat kaki para tawanan dengan tambang-tambang sabut kalapa. Meskipun ikatan itu tidak terlalu pendek, namun dengan demikian, mereka tidak leluasa lagi bergerak dan berlari.

Bahkan para cantrik pun telah mempekerjakan mereka pula untuk membawa dan mengubur kawan-kawan mereka sendiri. Beriringan tubuh-tubuh yang telah membeku itu dibawa ke sebuah kuburan agak jauh dari padepokan. Kuburan yang berada di lereng bukit kecil dan terpisah. Para cantrik yang memiliki pengetahuan pengobatan pun telah sibuk pula mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Juga mengobati lawan-lawan mereka yang terluka.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum tahu, apa yang akan dilakukan oleh padepokan itu terhadap para tawanan. Apakah mereka akan tetap ditawan, dihukum berat atau dilepaskan saja dengan sebelumnya diberikan pengarahan yang mapan kepada mereka.

Ketika hal itu mereka tanyakan kepada Mahendra, maka Mahendra pun berkata, “Kita pikirkan nanti. Beberapa saat yang lalu ketika terjadi perselisihan antara padepokan, maka aku tidak berbuat banyak ketika mereka melarikan diri. Tetapi karena kali ini yang menyerang adalah orang-orang yang menilik ujudnya adalah orang-orang yang kasar, bahkan satu dua di antara mereka telah memberikan pengakuan bahwa mereka adalah perampok-perampok, perlu ada pertimbangan lain. Jika mereka dibiarkan saja, apakah itu bukan berarti bahwa mereka mendapat kesempatan lagi untuk melakukan kejahatan bahkan membalas dendam kepada orang-orang yang tidak bersalah sama sekali?”

“Bagaimana jika kita memberikan laporan kepada Akuwu Sangling. Menurut pendapatku, sesuai dengan yang mereka katakan saat mereka mulai menyerang, maka apa yang mereka lakukan itu ada hubungannya dengan dendam mereka kepada kakang Mahisa Bungalan,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” sahut Mahisa Pukat, “kita tidak perlu membawa mereka ke Sangling. Kita dapat mengirimkan utusan ke Sangling dan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi di sini.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sependapat. Kita dapat mengirimkan empat cantrik berkuda untuk pergi ke Sangling besok pagi.”

Tetapi empat orang cantrik itu tidak akan berangkat pada hari itu. Langit sudah mulai menjadi suram karena matahari sudah bertengger di punggung bukit. Sesaat lagi, maka senja pun akan segera turun.

Para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu telah menyelesaikan tugas mereka dengan menyelenggarakan tubuh saudara- saudara mereka. Demikian pula mayat orang-orang yang menyerbu padepokan itu pun telah selesai dikuburkan. Namun masih juga ada satu dua orang yang terluka berat, akhirnya tidak mampu untuk bertahan hidup.

Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjuk empat orang cantrik yang akan pergi berkuda menghadap Akuwu Sangling. Cantrik itu akan memberikan laporan tentang apa yang telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Mungkin Akuwu Sangling akan dapat memberitahukan, apa yang pernah terjadi di Sangling.

“Satu dua orang memberikan pengakuan, bahwa yang terjadi di padepokan Bajra Seta adalah dendam yang tidak dapat mereka salurkan atas Pakuwon Sangling. Karena itu, mereka ingin menangkap dan membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kemudian membuang mayat mereka di daerah Sangling. Dengan demikian, Akuwu Sangling akan terkejut dan hatinya menjadi sangat pedih. Sementara para penjahat itu akan memberitahukan, bahwa yang membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah beberapa kelompok penjahat yang pernah dihancurkan oleh prajurit Pakuwon Sangling atas perintah Sang Akuwu,” berkata Mahendra kepada keempat orang utusan itu, “Tetapi mereka telah gagal.”

Keempat orang yang akan pergi ke Sangling itu mengangguk. Mereka mengerti apa yang harus mereka katakan selengkapnya. Cantrik itu harus menyampaikan kabar keselamatan kepada Akuwu Sangling, kemudian mohon pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan. Malam itu, keempat orang itu pun telah menyiapkan segala-galanya. Mereka pun telah memerlukan beristirahat sepenuhnya, agar dikeesokan harinya mereka dapat berangkat sebelum fajar.

Sementara itu, para tawanan pun telah di tempatkan di satu tempat yang mudah untuk diawasi. Pintu-pintu cukup kuat untuk menahan mereka. Dinding, atap dan segala sisi padepokan itu diawasi dengan saksama. Meskipun tawanan itu tidak banyak, namun cukup untuk disadap keterangannya tentang niat mereka menyerang padepokan serta hubungan mereka dengan Pakuwon Sangling yang masih harus dicari kebenarannya.

Mahendra memang berharap Mahisa Bungalan akan bersedia datang. Tetapi ia tidak berpesan akan hal itu kepada para cantrik. Terserah kepada Mahisa Bungalan sendiri, karena Mahendra juga menyadari, betapa sibuknya Akuwu Sangling dengan tugas-tugasnya.

Pagi-pagi benar, keempat cantrik yang mendapat perintah untuk pergi ke Sangling itu pun telah bersiap. Mahendra masih berpesan sekali lagi, apa yang harus mereka katakan kepada Akuwu Sangling. Menjelang matahari terbit, maka keempat orang itu pun telah meluncur di atas punggung kuda mereka menuju ke Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang.

Sementara itu, di hari itu, masih juga ada seorang cantrik yang tidak dapat bertahan lagi. Namun cantrik itu masih sempat memberikan beberapa pesan yang dimintanya disampaikan kepada keluarganya.

“Kematianku tidak perlu ditangisi,” berkata cantrik itu, “aku telah berbuat sebaik-baiknya bagi padepokan ini. Aku pun mereka bahwa hidupku telah berarti.”

Mahisa Murti dan Maiusa Pukat hanya dapat menundukkan kepalanya. Cantrik itu masih sangat muda. Tetapi ia harus meninggalkan semuanya yang dikasihinya. Namun ia merasa cukup bahagia karena ia menganggap bahwa hidupnya telah berarti. Kematiannya bukannya kematian yang sia-sia. Ia telah mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang dijunjungnya di atas dasar keyakinannya.

Dalam pada itu, padepokan Bajra Seta memang benar-benar berduka cita atas gugurnya beberapa orang cantrik. Sementara yang lain masih juga berbaring karena luka-lukanya. Di hari berikutnya, maka padepokan Bajra Seta telah berbenah diri. Pintu-pintu yang rusak telah diperbaiki, terutama pintu gerbang induk. Para cantrik telah bekerja keras untuk membuat pintu dan memasangnya sekaligus.

Sementara itu, Mahisa Amping setiap kali telah menyatakan kekecewaannya bahwa tidak mengalami pertempuran. Sebenarnya anak itu telah merasa bersiap untuk turun ke medan. Tetapi Mahisa Semu selalu mencegahnya.

“Kakangmu Mahisa Semu benar,” berkata Mahisa Murti, “kau masih terlalu kecil. Kau tahu, bahwa di antara para cantrik yang benar-benar terbunuh. Kau tidak dapat menganggap pertempuran seperti itu sebagi satu latihan. Pertempuran itu adalah pertempuran yang keras, ganas dan kasar. Jika kau kelak menjadi lebih besar, maka kau akan dapat mulai mengenal pertempuran yang sebenarnya. Itu pun sedikit demi sedikit.”

“Tetapi bukankah aku sudah selalu berlatih?” bertanya Mahisa Amping.

“Betapa pun banyaknya kau menghirup ilmu, tetapi tenaga dasarmu masih belum mendukung. Juga wadagmu.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa ia masih terlalu kecil. Mahisa Amping ia sempat memperbandingkan tubuhnya dengan tubuh orang-oraing yang berdiri di sekitarnya. Ia masih jauh lebih pendek. Tangannya jauh lebih kecil. Jari-jarinya pun masih terlalu pendek.

Sementara itu, karena tenaga dasarnya masih terlalu lemah, betapa pun ia mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya, tetapi batas kemampuan tenaga dasarnya masih belum dapat memberikan tenaga yang besar yang akan dapat dipergunakan untuk turun benar-benar ke dalam pertempuran yang sengit.

Sebenarnyalah, karena para penjahat yang menyerbu ke padepokan itu bukan orang-orang yang berilmu sangat tinggi, agaknya Mahisa Amping akan mampu melindungi dirinya sendiri jika ia terjun ke medan. Tetapi bagaimanapun juga, kemungkinan buruk itu akan lebih banyak dapat terjadi atas dirinya.

Karena itu, maka rasa-rasanya Mahisa Amping itu tidak sabar lagi untuk menjadi besar. Seandainya mungkin, maka ia ingin mempercepat pertumbuhan wadagnya, sehingga ia akan segera mampu ikut serta berbuat sesuatu bagi padepokan itu. Tetapi tidak seorang pun yang mampu mempercepat pertumbuhan dirinya secara wadag. Namun dalam pada itu, peristiwa itu telah mendorong Mahisa Amping untuk lebih giat berlatih, agar pada suatu saat ia tidak mengecewakan orang-orang yang telah membantu mengembangkan ilmunya.

Dalam pada itu, maka padepokan Bajra Seta itu pun telah menjadi tenang kembali. Gejolak yang pernah terjadi, lambat laun bagaikan hilang dihembus angin. Orang-orang tua dari para cantrik yang terpaksa menjadi korban telah datang dengan hati yang pedih. Namun mereka sadari, bahwa maut itu akan datang menjemput anaknya di mana pun anaknya itu berada.

Demikian pula orang tua anak-anak muda yang ikut meningkatkan ilmu mereka diberbagai bidang dari padukuhan di sekitarnya yang kehilangan anak-anak mereka. Semuanya yang harus terjadi memang harus terjadi.

Latihan-latihan pun telah dimulai kembali. Sementara sawah dan kebun serta pategalan tetap mendapat perhatian sepenuhnya. Para cantrik dan anak-anak muda dari padukuhan di sebelah menyebelah itu mulai bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seisi padepokan itu. Di sudut belakang padepokan itu, tiga tungku perapian pande besi pun telah menyala kembali.

Namun dalam pada itu, seisi padepokan itu telah menunggu utusan yang mereka kirimkan ke Sangling. Mereka ingin mendengar tanggapan dari Mahisa Bungalan tentang orang-orang yang telah mereka tangkap dan mereka simpan di padepokan itu.

Namun baru pada hari kelima, sebuah iring-iringan berpacu mendekati padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa laporan itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan sebagai Akuwu di Sangling. Tetapi ia masih harus menyerahkan pimpinan Pakuwonnya kepada beberapa orang kepercayaannya. Baru kemudian Akuwu Sangling itu dapat meninggalkan istananya.

Kedatangan Akuwu Sangling di padepokan Bajra Seta dengan sekelompok pengawal itu telah disambut dengan gembira oleh Mahendra, kedua adiknya dan bahkan para cantrik. Ada di antara para cantrik yang pernah mengenai Mahisa Bungalan, tetapi ada pula para cantrik yang belum pernah melihatnya sama sekali.

Sejenak kemudian, maka Akuwu Sangling itu pun telah diterima oleh para pemimpin padepokan itu di pendapa bangunan induk. Yang pertama-tama ditanyakan oleh Akuwu Sangling adalah pengembaraan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Jadi kalian belum lama kembali ke padepokan ini?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya kakang,” jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Jadi kalian biarkan ayah kita bekerja keras untuk memimpin padepokan ini, dan bahkan harus mempertahankan padepokan ini dari serangan-serangan yang menaruh dengki?” bertanya Mahisa Bungalan pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi kepala mereka tertunduk dalam-dalam. Namun, dari para cantrik yang datang ke Sangling Mahisa Bungalan pun telah mendengar pula, bahwa kedua anak muda itu ilmunya menjadi semakin tinggi. Mereka datang bersama dengan tiga orang yang semula tidak dikenal sama sekali. Seorang di antaranya adalah kanak-kanak.

Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak bertanya lebih lanjut tentang perjalanan kedua adiknya. Yang ditanyakan kemudian adalah keterangan yang lebih jelas tentang orang-orang yang telah menyerang padepokan itu dan telah menyebut-nyebut namanya pula.

Mahendra lah yang memberikan keterangan tentang mereka. Namun kemudian katanya, “Nanti, sebaiknya kau dapat berbicara dengan mereka yang tertangkap. Sebagian dari mereka terluka parah.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku tidak tergesa-gesa. Aku mempunyai waktu yang cukup. Tetapi aku akan mempergunakannya sepekan saja di sini. Rasa-rasanya sudah terlalu lama bagiku.”

Mahendra menyadari, bahwa Mahisa Bungalan dapat saja mengatur berapa hari ia akan pergi. Tetapi Mahendra pun mengerti, bahwa tanggung jawabnya sebagai Akuwu lah yang mendorongnya cepat kembali. Karena itu, maka katanya, “Jika yang sepekan itu sudah kau anggap cukup, maka terserah sajalah kepadamu.”

Sebagaimana dikatakannya kepada ayah dan saudara-saudaranya maka Mahisa Bungalan telah menyiapkan rencana yang disusunnya sesuai dengan rencananya untuk tinggal di padepokan itu sepekan saja, karena yang sepekan itu rasa-rasanya memang sudah terlalu lama. Dalam rencananya yang sepekan, Mahisa Bungalan memang ingin mempergunakan sedikit waktunya untuk melihat tingkat kemampuan kedua adiknya.

Tetapi di hari-hari pertama, Mahisa Bungalan telah sibuk dengan orang-orang yang tertawan. Mahisa Bungalan berbicara dengan mereka berganti-ganti. Seorang demi seorang. Sekali-kali suaranya lembut kebapaan. Namun kesempatan lain Mahisa Bungalan telah membentak dan mengancam. Tetapi pada hari yang ketiga, semuanya sudah jelas. Mahisa Bungalan telah mampu mengingat kembali apa yang telah terjadi sehingga orang-orang itu berusaha untuk melepaskan dendamnya atas perguruan Bajra Seta itu.

“Mereka adalah orang-orang yang terusir dari Sangling,” berkata Mahisa Bungalan, “mereka masih beruntung, bahwa lehernya tidak dipenggal di sini. Mereka di Sangling telah membuat banyak keresahan. Bahkan mereka benar-benar telah melakukan pembunuhan. Sementara itu, jika berhasil, mereka pun akan membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sini. Untunglah bahwa hal itu tidak terjadi sehingga rencana mereka untuk membuat aku menjadi sakit hati telah gagal. Bahkan kalian yang di sini berhasil menangkap meskipun hanya beberapa orang. Di antara mereka adalah orang-orang yang terluka.”

“Mereka adalah perampok-perampok yang tidak memiliki bekal yang cukup untuk pekerjaan mereka,” jawab Mahisa Murti. “Itu adalah mereka yang nampak. Mereka yang telah datang ke padepokan ini. Tetapi aku yakin bahwa di atas mereka ada orang-orang yang memang berilmu tinggi. Merekalah yang tentu mengendalikan orang-orang yang datang menyerbu itu dengan maksud yang kurang kami ketahui, selain balas dendam.”

“Berhati-hatilah untuk seterusnya,” berkata Mahisa Bungalan. “Apalagi nampaknya mereka tidak terdiri dari orang-orang yang lemah hati. Mereka tentu akan mengadukan keadaan yang mereka alami di sini kepada orang yang sangat berpengaruh atas mereka. Apalagi yang datang bukan hanya dari satu kelompok, tetapi beberapa kelompok. Jika ada di antara mereka yang berguru kepada orang-orang berilmu tinggi, maka mereka tentu akan berusaha memancing agar guru-guru mereka mau melibatkan diri ke dalam perselisihan ini.”

“Tetapi apakah mereka sangat berbahaya?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka tentu lebih berbahaya dari orang-orang ini,” jawab Mahisa Bungalan. Namun katanya kemudian, “Tetapi peristiwa ini juga memperingatkan aku untuk meningkatkan kesiagaan. Jika mereka benar-benar menjadi gila, maka mungkin mereka akan langsung menyerang Sangling. Setidak-tidaknya mereka akan dapat membuat kekacauan di Sangling. Kekalahan mereka di padepokan ini, tentu menumbuhkan dendam dan kebencian kepada kita semuanya. Bagi orang-orang yang utuh kesadarannya tentu akan melihat apa yang telah terjadi atas diri mereka dan kawan-kawan mereka. Tetapi bagi orang yang tidak berkesempatan menilai dirinya sendiri, tentu akan berpikiran lain. Mereka tentu hanya dibayangi oleh dendam dan kebencian semata-mata, sehingga dengan demikian maka langkah-langkah yang mereka ambil pun sama buramnya dengan jiwa mereka sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun memang sudah berpikir, orang-orang yang mereka kalahkan itu mempunyai dua pilihan. Jera atau bahkan malahan semakin mendendam sehingga mendorong mereka mengambil langkah-langkah baru yang tentu akan menjadi lebih keras dan barangkali lebih kasar dari yang pernah mereka lakukan.

Namun baik Mahisa Bungalan, maupun kedua adiknya berkesimpulan bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Sementara itu, selagi Mahisa Bungalan masih ada waktu, maka bersama-sama dengan ayahnya, mereka ingin melihat perkembangan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Ilmu kami?” Mahisa Murti memang merasa heran. Mereka merasa dirinya seperti kanak-kanak yang sedang berusaha untuk menyadap ilmu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Amping, sehingga kakaknya ingin melihat tingkat kemampuan ilmunya itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sanggup mendirikan satu perguruan yang diberinya nama Bajra Seta itu tidak dapat mengelak ketika kakaknya mempersilahkan mereka untuk pergi ke sanggar. Dengan kelengkapan yang dimilikinya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Keduanya telah membawa sepasang pedang. Yang satu ada pada Mahisa Murti sedang yang lain ada pada Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan terkejut, melihat sepasang pedang itu. Selama ini ia berada di padepokan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak pernah membawanya keluar dari bilik mereka, apalagi dengan sengaja menunjukkan kepada Mahisa Bungalan. “Dari mana kau dapatkan senjata kalian itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menceriterakan asal-usul pedang itu. Juga beberapa kali mereka harus bertempur mempertahankannya. Beberapa orang yang berilmu telah menginginkan sepasang pedang yang disebut oleh pembuatnya sebagai sepasang keris itu.

“Apakah aku boleh melihat daun pedangmu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berkeberatan. Keduanya telah mencabut senjata mereka dari sarungnya.

“Luar biasa,” desis Mahisa Bungalan, “sepasang senjata itu memang luar biasa. Tentu banyak orang yang telah menginginkannya. Sukurlah jika kalian berdua sempat mempertahankannya.”

“Beberapa kali kami mengalami kesulitan. Tetapi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi kami berdua,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian, aku telah dapat menduga tingkat kemampuan kalian. Rasa-rasanya aku tidak perlu melihatnya lagi, karena yang dapat kau tunjukkan di dalam sanggar tentu hanya sebagian kecil dari kemampuan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun Mahisa Bungalan ternyata masih bertanya kepada ayahnya, “Tetapi mungkin ayah berpendirian lain?”

Mahendra menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku juga sudah yakin akan tingkat kemampuannya. Ia telah ditempa oleh pengembaraannya yang panjang. Selain beberapa orang sempat mendapat pertolongannya, karena kedua adikmu itu telah menjalani laku Tapa Ngrame, maka pengalaman yang dipetiknya cukup berharga bagi bekal hidupnya kemudian.”

Ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah membatalkan keinginannya untuk melihat kemampuan kedua adiknya di dalam sanggar. Kedua pusaka yang mampu dipertahankannya itu telah memberikan gambaran kepadanya, bahwa kedua adiknya memang telah mencapai satu tataran ilmu yang tinggi. Keduanya memang pantas untuk memimpin sebuah padepokan sekaligus sebuah perguruan yang diberinya nama Bajra Seta.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan masih merasa cemas jika pada suatu saat ayahnya menjadi semakin tua dan tidak mampu lagi membantu kedua adiknya memimpin padepokan yang telah mereka dirikan itu. Selama itu, ayahnya masih dapat berbuat banyak bagi kepentingan padepokan dan perguruan Bajra Seta. Namun ayahnya tentu tidak akan dapat seterusnya membayangi kepemimpinan kedua adiknya, sehingga kedua adiknya itu pada suatu saat harus dapat berdiri sendiri tanpa ayahnya.

Namun ternyata bahwa kedua adiknya telah memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi, sehingga ia tidak lagi perlu merasa cemas akan masa depan padepokan itu. Sebenarnyalah sebilah Perguruan dengan padepokan bagi Mahisa Bungalan bukanlah barang mainan. Kedua adiknya harus bertanggung jawab atas padepokan yang telah didirikannya.

Apalagi Mahisa Bungalan melihat, bahwa di padepokan itu terdapat cantrik yang cukup banyak. Juga anak-anak muda yang tidak dengan sepenuhnya menjadi penghuni padepokan itu. Mereka semata-mata berniat untuk menyadap berbagai macam ilmu yang akan dapat mereka pergunakan untuk membuat padukuhan mereka masing-masing menjadi lebih baik.

Hari itu Mahisa Bungalan sempat beristirahat sepenuhnya. Yang dilakukannya sekedar melihat Mahisa Amping dan Mahisa Semu berlatih dibawah bimbingan Mahendra sendiri. Ternyata Mahisa Bungalan menjadi kagum melihat anak itu menguasai unsur-unsur gerak yang sudah menjadi semakin rumit. Bahkan tenaga anak itu sudah jauh lebih besar dari tenaga anak-anak sebayanya. Bahkan Mahisa Amping telah dapat melakukan tata gerak yang sulit dimengerti dibandingkan dengan tingkat umurnya.

Dengan berbisik Mahisa Bungalan telah bertanya kepada ayahnya, “Apakah ayah sudah menilik akibat dari latihan-latihan yang terlalu berat itu?”

“Aku selalu mengikuti perkembangan pribadinya, tubuh dan peredaran darahnya. Aku juga selalu menilik bagian dalam tubuhnya yang masih kecil itu. Tetapi menurut penilaianku, tidak ada akibat yang buruk yang terjadi atas anak itu selama ia mengikuti latihan-latihan yang berat. Demikian pula Mahisa Semu. Keduanya akan disiapkan menjadi orang-orang yang memiliki kelebihan di padepokan ini beberapa tahun lagi, sehingga padepokan ini tidak sekedar tergantung kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi apa yang dikatakan oleh ayahnya itu tentu juga berlaku bagi Pakuwon Singling. Ia harus dapat membentuk kekuatan yang dipersiapkan bagi masa depan Pakuwonnya. Tetapi bagi Mahisa Bungalan, masa depan Sangling akan berada di tangan keturunannya. Sekali ia berhasil memasuki satu mata rantai yang pernah terputus, maka ia akan menjadi ujung dari serangkaian mata rantai bagi masa mendatang.

“Aku harus mempersiapkan keturunanku untuk menerima warisan, bukan saja kedudukan, tetapi juga tanggung jawab. Keseimbangan antara hak dan kewajibannya,” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang belum dapat berbicara tentang keturunan karena mereka masih belum beristeri. Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin berbicara dengan ayahnya tentang hari depan kedua adiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada suatu saat tentu akan melangsungkan pernikahannya.

Tetapi Mahisa Bungalan masih menunda pertanyaannya. Ia masih melihat bagaimana Mahisa Amping berlatih. Ketika anak itu sampai pada puncak kemampuannya, maka Mahisa Bungalan benar-benar menjadi heran. Anak itu mampu menunjukkan dasar ilmu yang kokoh dari ilmu yang dikembangkan oleh perguruan Bajra Seta.

“Aku mengenal sebagian dari unsur gerak dari ilmu yang mendasari ilmu anak itu. Tetapi dasar-dasar ilmu itu sudah berkembang dan nampak beberapa unsur yang sama sekali baru dan asing bagiku,” berkata Mahisa Bungalan kepada ayahnya.

“Kedua adikmu telah menyusun satu rangkaian ilmu dari yang paling dasar, sampai pada tataran pertama yang memberikan warna tersendiri. Tetapi seperti kau katakan, kau tentu mengenal beberapa unsur gerak daripadanya, karena ilmu itu memang bersumber utama dari ilmu yang dikuasai oleh kedua adikmu saat ia mulai belajar olah kanuragan,” jawab ayahnya.

“Tetapi apakah dengan demikian kemampuan susunan gerak dasar yang baru itu sudah cukup teruji?” bertanya Mahisa Bungalan pula.

“Sudah,” jawab Mahendra, “dalam pengembaraan, kedua adikmu sempat mengenyam satu susunan ilmu sebagaimana kau lihat pada anak itu. Memang segala sesuatunya masih dalam tingkat mula. Tetapi kedua adikmu dan aku telah mengadakan beberapa penilikan khusus. Ilmu itu sesuai bagi anak itu. Bahkan bagi dua orang yang datang bersama kedua adikmu itu. Di padepokan ini, segala sesuatunya baru sempat dipelajari di sanggar dengan memperhatikan segala macam akibatnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekedar melakukan sesuatu yang menurut pikirannya baru tanpa menilai pikiran barunya itu.”

“Akulah yang lebih banyak menangani anak itu,” berkata Mahendra, “tetapi menurut pendapatku, apa yang dipelajari anak itu tidak akan menimbulkan akibat buruk atasnya. Anak itu bukan sekedar hadir di sini sebagai bahan percobaan. Tetapi apa yang baru itu benar-benar sudah diperhitungkan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun dari kemampuan anak itu terbersit satu yang cerah bagi susunan ilmu perguruan Bajra Seta itu. Dalam pada itu, Mahisa Semu juga mampu menunjukkan kelebihannya. Dengan landasan ilmu yang disadapnya dari Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang seakan-akan sedang menyusun satu pola susunan dan tataran ilmu bagi perguruan Bajra Seta.

“Aku mengucapkan selamat ayah,” berkata Akuwu Sangling.

Mahendra tersenyum. Katanya, “Jika kelak terbukti, bahwa kedua anak itu benar-benar memiliki kemampuan lebih dari yang lain dengan landasan ilmu perguruan Bajra Seta, maka kau dapat memanfaatkannya bagi Pakuwon Sangling.”

“Ya ayah,” jawab Mahisa Bungalan, seorang yang memiliki sumber ilmu bukan saja dari Mahendra, tetapi juga dari Mahisa Agni bahkan sampai ke inti ilmu Gundala Sasra.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian percaya, bahwa hari-hari yang semakin buram bagi Mahendra yang tua itu, tidak akan berpengaruh atas perguruan Bajra Seta. Kedua adiknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benar-benar telah memiliki bekal yang cukup untuk berdiri sendiri. Apalagi di hari-hari tuanya, Mahendra masih sempat bersama-sama dengan kedua adiknya itu menyusun satu pola bagi bagi perguruan yang didirikan.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekedar menuruti kemauannya saja dengan mendirikan perguruan ini,” berkata Mahisa Bungalan di hatinya, “ia benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya sehingga perguruan ini benar-benar dapat disebut sebagai satu perguruan.”

Pada hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan telah menentukan untuk membawa beberapa orang tawanan terpenting di antara orang-orang yang mendendamnya itu. Yang lain, Mahisa Bungalan menganjurkan agar dilepaskan saja meskipun dengan ancaman-ancaman yang keras jika mereka masih juga melakukan lagi kejahatan, meskipun kemungkinan untuk itu tipis sekali. Tetapi orang-orang yang berbahaya di antara mereka akan aku bawa ke Sangling. Terpaksa dengan tangan terikat. Aku tidak mau kehilangan mereka di perjalanan karena dengan demikian akibatnya akan menjadi buruk sekali.”

Ketika segala sesuatunya telah disiapkan, maka Mahisa Bungalan pun telah siap pula untuk meninggalkan padepokan itu. Esok pagi-pagi sebelum matahari terbit, ia akan berangkat bersama para pengawalnya kembali ke Sangling sambil membawa beberapa orang perampok yang tertawan.

Malam ini, Mahisa Bungalan masih berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan ayah dan adik-adiknya. Tetapi sebelum malam larut, Mahendra telah berkata, “beristirahatlah. Besok kau akan menempuh perjalanan.”

Mahisa Bungalan memang memasuki biliknya dan berbaring di pembaringan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru melangkah mengelilingi padepokannya. Di depan bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping, keduanya berhenti dan perlahan-lahan mengetuk pintu bilik itu. Ternyata yang ada di dalam bilik itu masih belum tidur. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar langkah kaki menuju ke pintu.

“Marilah,” Wantilan lah yang telah membuka pintunya, “masuklah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah duduk di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Memang tidak ada persoalan khusus yang akan mereka bicarakan. Tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang tentang apa saja dengan Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan telah keluar dari biliknya, ia memang menunggu satu kesempatan untuk berbicara dengan Mahendra tanpa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa kau belum juga beristirahat?” bertanya ayahnya.

“Aku ingin berbicara dengan ayah tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” jawab Mahisa Bungalan.

“Apa yang penting kau bicarakan?” bertanya ayahnya.

“Ayah,” desis Mahisa Bungalan, “kedua adikku telah dewasa. Bahkan lewat dewasa. Apakah menurut pertimbangan ayah, keduanya tidak sepantasnya segera menikah?”

“Ah,” desah ayahnya, “itu lagikah yang ingin kau bicarakan?”

“Nampaknya keduanya tidak akan dapat mencari jodoh mereka sendiri. Keduanya sangat mementingkan kehidupan yang khusus berhubungan dengan olah kanuragan. Keduanya tiba-tiba saja telah terikat oleh sebuah padepokan dan perguruan,” desis Mahisa Bungalan kemudian.

“Jadi bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya ayahnya.

“Jika ayah mengijinkan, aku ingin mempertemukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan gadis-gadis yang pantas untuk mereka jadikan isteri-isteri mereka,” jawab Mahisa Bungalan.

“Apakah itu perlu?” ayahnya justru bertanya, “dahulu, aku tidak pernah mempertemukan kau dengan gadis yang manapun. Namun akhirnya kau juga mendapatkan seorang isteri.”

“Tetapi persoalannya jadi berbeda ayah,” jawab Mahisa Bungalan, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tidak sempat memperhatikan kecantikan dan kelembutan seorang perempuan. Mereka setiap hari berhubungan dengan sanggar, senjata dan orang-orang yang memerlukan bantuannya. Tanpa dorongan dari orang lain, maka keduanya akan kehilangan gairah untuk menempuh kehidupan yang sewajarnya.”

“Atau katakan saja keduanya belum menginginkannya. Jika saat itu sudah datang, maka keduanya akan dengan sendirinya memperhatikan seorang perempuan. Kami, di padepokan ini bukannya terpisah mutlak dengan dunia di sekitar kita. Anak-anak padukuhan banyak yang ada di padepokan ini tanpa terikat untuk menjadi cantrik di sini. Pada saat yang lain, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sering pergi ke padukuhan-padukuhan itu untuk bermacam-macam keperluan, karena padepokan ini belum dapat mencukupi segala macam kebutuhannya. Dari keperluan sehari-hari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, padepokan ini masih banyak yang belum dapat memenuhinya, meskipun kita sudah berusaha. Karena itu, maka hubungan antara padepokan ini dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya dapat berkembang dengan baik.”

"Tetapi hubungan antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan orang-orang padepokan itu masih dalam rangka peningkatan ilmunya. Bukan, maksudku bukan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak boleh tenggelam dalam ilmu bercocok tanam, ilmu perbintangan, sejarah dan tugasnya yang lain-lain lagi. Mereka tidak boleh berpikir terus tentang kehidupan masa mendatang. Bagaimana bentuknya, ujudnya dan segala macam persoalan yang dapat timbul, tetapi mereka juga harus hidup wajar seperti orang lain. Anak-anak muda yang sebaya dengan mereka, telah dikurniai beberapa orang anak,” berkata Mahisa Bungalan.

“Mahisa Bungalan,” berkata Mahendra kemudian, “baiklah. Aku sependapat. Tetapi sudah tentu mereka akan dapat memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya sendiri. Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa.”

Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun di dalam hati ia masih mengharap bahwa masih akan ada pembicaraan lagi. Namun mereka ayahnya telah berkata, “beristirahatlah.”

Mahisa Bunglan menarik nafas panjang. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebagaimana ayahnya bersikap kepadanya, maka agaknya demikian pula sikapnya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun demikian, Mahisa Bungalan itu masih berkata, “Ayah. Aku adalah Akuwu di Sangling. Aku kira aku akan dapat membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jika mereka benar-benar ingin memasuki satu dunia yang lebih lengkap. Perkawinan.”

“Tetapi ingat Mahisa Bungalan. Keduanya hidup di sebuah padepokan seperti ini. Keduanya bukan orang yang hidup di satu lingkungan yang ramai sebagaimana Sangling. Jika keduanya berhubungan dengan gadis-gadis yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang ramai, maka padepokan seperti ini akan menjadi dunia yang mengungkungnya dalam kesepian dan keterasingan. Kau tentu dapat melihat perbedaan yang sangat jauh dari kehidupan di Sangling dan kehidupan di padepokan ini,” jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti ayah. Tetapi apakah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar akan menghabiskan seluruh umurnya di padepokan ini? Apakah mereka tidak pernah memikirkan kemungkinan untuk hidup di tempat yang lebih baik lagi? Di Sangling keduanya tentu akan dihormati. Mereka akan mendapat tempat yang mapan. Bahkan jika mereka menghendaki di Lemah Warah pun mereka akan dapat mendapat kedudukan yang pantas. Sedangkan apa yang mereka dapatkan di padepokan ini?”

“Apakah menurut pendapatmu, kedudukan mereka di padepokan ini kurang pantas?” justru Mahendra lah yang bertanya.

“Menurut pendapatku ayah,” jawab Mahisa Bungalan, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat memberikan arti yang lebih besar dari hidup mereka jika mereka berada di tempat yang lebih ramai dari tempat ini. Tempat yang lebih banyak dihuni orang. Hubungan yang lebih luas serta persoalan-persoalan yang lebih yang menyangkut segi-segi kehidupan yang lebih berharga bagi sesama.”

“Jangan salah menafsirkan sikap kedua adikmu Mahisa Bungalan. Kedua adikmu di sini pun dapat memberikan arti dari hidupnya, bahkan lebih besar dari di tempat-tempat yang ramai, di tempat-tempat yang ramai itu telah banyak orang-orang yang dapat memberikan isi dari putaran kehidupan. Tetapi di sini tidak. Jarang sekali orang-orang yang dapat mendorong untuk meningkatkan tataran kehidupan dari orang-orang padukuhan. Jika tidak ada orang-orang yang rela menyerahkan pengabdian seperti kedua orang adikmu, maka tataran kehidupan di padukuhan-padukuhan itu tidak akan berubah, atau katakan, perubahan itu akan datang sangat lambat.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan ayahnya. Namun rasa-rasanya ia masih juga berharap bahwa adiknya tidak terbenam dalam kehidupan yang terasa sempit itu. Dunia terasa tidak lagi sampai ke cakrawala. Tetapi terbatas pada dinding dinding padepokan itu saja.

Namun sekali lagi Mahendra berkata, “Sudahlah Mahisa Bungalan, beristirahatlah. Bagaimanapun juga, aku besok akan berbicara dengan kedua adikmu. Aku tahu, bahwa kau sendiri tidak dapat mengatakannya kepada keduanya karena kau tidak ingin terjadi salah paham. Tetapi aku yang mengerti perasaanmu tetapi juga mengerti perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mencoba untuk mencari titik-titik temu dari pendapatmu itu dengan sikap kedua adikmu. Sekarang, tidurlah. Adikmu tentu masih melihat-lihat padepokan ini sebagaimana sering dilakukannya pada malam hari,” berkata ayahnya kemudian.

Mahisa Bungalan pun kemudian kembali ke biliknya sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki bangunan induk itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berada di bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba untuk memancing tanggapan mereka terhadap ayah mereka, Mahendra yang telah membimbing terutama Mahisa Amping dan Mahisa Semu, justru lebih banyak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kami merasa sangat berterima kasih,” jawab Mahisa Semu.

“Aku dahulu juga mulai sebagaimana kalian mulai,” berkata Mahisa Murti.

“Aku berharap bahwa aku dan Amping tidak mengecewakannya,” berkata Mahisa Semu pula.

“Tentu tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ayah menganggap kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Ayah berharap bahwa dalam waktu yang direncanakan, kalian telah memasuki tataran-tataran yang telah disusunnya. Namun agaknya ayah tidak akan kecewa karena sampai saat ini, kalian telah menunjukkan kemampuan kalian mengikuti rencana ayah itu.”

Keduanya mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Murti bertanya kepada Wantilan, “Bagaimana dengan paman Wantilan?”

“Aku telah mendapatkan jauh lebih banyak dari yang aku harapkan saat aku minta untuk pergi bersama kalian,” jawab Wantilan.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan paman akan mendapat lebih banyak lagi di tempat ini.”

“Aku yakin akan hal itu,” jawab Wantilan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sempat berbicara untuk beberapa lama sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan bilik mereka. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke bangunan induk, maka baik Mahendra, maupun Mahisa Bungalan telah tidak ada di ruang dalam. Mereka telah berada di bilik masing-masing. Dua orang cantrik yang duduk di pendapa mengatakan, bahwa bangunan induk itu memang sudah menjadi sepi.

“Kalian bertugas di sini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab salah seorang dari kedua cantrik itu, “sampai menjelang dini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Menjelang dini kedua orang cantrik itu akan digantikan oleh dua orang cantrik yang lain, sehingga kedua orang itu akan sempat beristirahat menjelang pagi hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri pun kemudian telah bersiap-siap untuk beristirahat pula. Namun keduanya masih sempat pergi untuk melihat para tawanan yang telah dipersiapkan untuk dibawa oleh Mahisa Bungalan esok pagi.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak ingin mengganggu mereka sehingga karena itu, maka ia tidak segera mendekat. Dari jarak yang agak jauh keduanya melihat bangunan yang dipergunakan untuk menawan mereka adalah bangunan yang kokoh. Sementara itu, beberapa orang pengawal berada di depan bangunan itu. Bukan sekedar para cantrik, tetapi di antara mereka terdapat tiga orang prajurit pengawal Mahisa Bungalan.

Namun ternyata mereka telah menjadi lengah. Para tawanan yang menyadari bahwa esok mereka akan dibawa ke Sangling, maka mereka telah berusaha untuk berbubat sesuatu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di sela-sela pohon perdu di longkangan dua barak yang berdekatan tidak terlalu jauh dari bangunan yang dipergunakan untuk menawan para penjahat yang akan dibawa ke Sangling itu tiba-tiba saja melihat atap bangunan itu bergerak-gerak. Meskipun malam menjadi gelap, tetapi karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah lama berada di kegelapan, serta kemampuan pandang mereka yang sangat tajam, maka mereka pun telah melihat atas di bagian belakang barak itu bergerak-gerak.

Mahisa Murti yang melihat sebuah kepala tersembul dari antara atap ijuk dari bangunan itu, telah menggamit Mahisa Pukat yang sedang memperhatikannya juga. Namun kemudian Mahisa Murti itu berbisik, “Kau pergi ke sebelah longkangan itu. Kita harus menjaga dari beberapa arah agar mereka tidak lari ke luar.”

“Aku beritahukan kakang Mahisa Bungalan,” desis Mahisa Pukat.

“Tidak ada waktu lagi,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tidak membantah. Ia pun kemudian telah menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu, untuk mengambil arah yang lain dari Mahisa Murti. Namun keduanya juga tidak sempat memberi isyarat apa pun kepada para cantrik dan prajurit Sangling yang berada di depan barak itu sambil minum-minuman hangat dan berkelakar untuk menjaga agar mereka tidak menjadi kantuk. Namun mereka sama sekali tidak mengira bahwa para tawanan itu sempat menemukan kelemahan dari barak yang kokoh kuat itu. Yaitu pada atapnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengamati barak itu dari tempat yang berbeda telah melihat seorang di antara mereka telah keluar dan dengan sangat berhati-hati merayap di atas atap. Sejenak kemudian seorang kawannya telah merayap pula keluar dari atap itu.

Mahisa Murti menjadi cemas, bahwa jika mereka semuanya yang ada di dalam barak itu merangkak keluar, maka berdua dengan Mahisa Pukat, ia akan mengalami kesulitan untuk menangkap mereka. Kecuali membunuh mereka dari jarak jauh tanpa ampun. Namun jika hal itu dilakukan, maka keinginan kakaknya untuk menyadap keterangan dari mereka akan menjadi urung.

Karena itu, maka sebelum orang-orang yang tertawan itu berlari-larian ke sana kemari dan bahkan mungkin ada di antara mereka yang sempat meloncat keluar dinding padepokan, maka Mahisa Murti telah menempuh jalan yang lebih baik. Karena itu, maka ia pun telah merangkak ke sudut barak tersebut.

Dengan serta merta Mahisa Murti telah memukul sebuah kentongan kecil untuk memberi isyarat kepada setiap orang yang bertugas agar berhati-hati. Untuk tidak mengejutkan para cantrik yang tertidur lelap, maka bunyi kentongan itu pun justru dengan nada dara muluk namun patah di tengah. Irama itu diulang sampai beberapa kali.

Para petugas dan para prajurit Sangling yang ada di bangunan yang kokoh itu pun mendengar suara kentongan yang aneh itu. Namun dengan demikian, mereka seakan-akan telah diperingatkan atas tugas-tugasnya.

“Kita meronda,” berkata salah seorang dari prajurit itu.

Tiga orang prajurit Sangling itu pun telah memberitahukan kepada para cantrik, bahwa mereka akan meronda. “Aku ingin mendapatkan sumber suara kentongan kecil itu."

“Dekat. Nampaknya dari barak di sebelah,” jawab seorang dari para cantrik yang bertugas itu.

Kentongan kecil itu memang tidak dipukul terlalu keras. Suaranya tidak mengumandang diseluruh padepokan. Namun terdengar dari barak tempat para tawanan itu melarikan diri.

Dalam pada itu, para tawanan yang mendengar suara kentongan itu pun terkejut. Iramanya yang aneh memang sangat meragukan. Kesannya seperti anak-anak yang sedang bermain-main. Namun bagaimanapun juga, mereka merasa bahwa ada orang yang telah melihat mereka keluar dari atap barak itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang telah keluar dari atap barak tawanan itu pun dengan cepat berusaha untuk meloncat turun.

Namun Mahisa Pukat ternyata bergerak cepat pula. Ia sudah menunggu jika ada di antara mereka yang meloncat dari atap. Sementara itu, para cantrik dan prajurit Sangling yang ada dibagian depan barak itu telah mulai bergerak. Dua orang ke sebelah kiri dan dua orang kesebelah kanan.

Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati dua orang yang bergerak ke kiri itu, sehingga kedua orang itu terkejut. Dengan serta merta keduanya telah merundukkan tombaknya ke arah dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti dengan cepat berkata, “Cepat. Pergi ke belakang barak. Beberapa orang telah keluar dari atap. Jangan timbulkan keributan agar tidak membuat padepokan ini menjadi gempar.”

Kedua orang itu terkejut. Dengan serta merta mereka pun berlari kebelakang barak. Mereka dengan segera memandangi atap barak itu untuk mencari orang yang dikatakan oleh Mahisa Murti.

“Di sini,” tiba-tiba mereka mendengar suara.

Ternyata Mahisa Pukat telah siap di tempat yang lebih dekat lagi dari barak para tawanan itu. Untuk beberapa saat para tawanan yang ada di atas atap itu menjadi bingung. Sementara itu, Mahisa Murti telah membuka pintu barak dan bersama beberapa orang telah memasuki barak itu.

Beberapa orang memang telah bersiap-siap untuk memanjat. Tetapi kehadiran para cantrik dan prajurit bersenjata itu telah mengejutkan mereka. Ada di antara mereka yang telah bersiap untuk melawan. Namun ujung-ujung tombak para cantrik dan prajurit telah mengurungkan niat mereka. Yang sudah terlanjur keluar dari atap ternyata semuanya enam orang. Semuanya adalah mereka yang dipersiapkan untuk dibawa ke Sangling esok pagi.

Namun dalam pada itu, tanpa menimbulkan keributan di seluruh padepokan, maka beberapa orang cantrik yang lain telah bergerak mengepung barak itu. Seorang cantrik telah memberitahukan kepada para cantrik yang sedang bertugas di regol agar mereka menjadi berhati-hati dan mengajak empat orang di antara mereka untuk membantu menangkap orang-orang yang telah melarikan diri.

Memang tidak terdengar isyarat apapun. Kentongan kecil Mahisa Murti tidak membangunkan para cantrik dan prajurit yang telah tertidur. Mereka yang sedang terbangun pun tidak begitu menanggapi suara kentongan yang tidak memberikan isyarat apa-apa. Bahkan seorang cantrik telah bergeramang,

“Siapa yang bermain-main dengan kentongan malam-malam begini?” Tetapi cantrik itu pun segera telah tertidur lagi.

Dengan demikian, maka seluruhnya ada lima belas orang cantrik dan prajurit yang ada di sekitar barak itu. Empat orang di antara mereka bersama dengan Mahisa Murti tengah mengikat para tawanan yang masih ada di dalam barak. Selain mereka yang akan dibawa oleh Mahisa Bungalan, maka para tawanan yang dianggap berbahaya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan tidak akan dilepaskan bersama-sama tawanan yang lain, ada pula di dalam barak itu.

Sementara itu, sebelas orang cantrik yang lain bersama Mahisa Pukat telah mengepung barak itu. Tetapi sebagian besar dari antara para cantrik itu memang berada di bagian belakang dari barak yang telah dikoyakkan atapnya itu.

“Menyerahlah,” perintah Mahisa Pukat, “kami masih bersabar dan berusaha untuk tidak membangunkan seisi padepokan ini. Jika mereka terbangun, maka para cantrik dan prajurit Sangling yang marah itu akan berbuat apa saja untuk menumpahkan kemarahan mereka atas kalian.”

Enam orang yang telah berada di luar barak lewat atap itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat memandang jelas ke arah longkangan di sekitar barak itu. Halaman yang agak luas di sebelah barak itu ditumbuhi pohon-pohon perdu yang membuat halaman itu menjadi tidak jelas.

Keenam tawanan itu kemudian menyadari, bahwa mereka tidak mengenal medan itu dengan baik, sehingga mereka akan dapat menjadi bingung. Jika mereka nekat melompat turun, maka mereka tentu akan diburu seperti orang memburu tupai. Beberapa saat orang-orang itu masih termangu-mangu. Sementara mereka mendengar bahwa barak itu pun telah dibuka dan beberapa orang cantrik atau prajurit telah masuk ke dalamnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat telah sekali lagi berkata kepada orang-orang yang ada di atas atap, “Menyerahlah sebelum keadaan herubah.”

Keenam orang yang berhasil keluar dari barak dan bertengger di atas atap itu memang tidak mempunyai pilihan. Jika mereka tidak mau mengerti akan keadaan yang mereka hadapi, maka mereka benar-benar akan dibinasakan dengan cara yang sangat pahit. Karena itu, maka seorang di antara mereka, mewakili kawan-kawannya berkata, “Baiklah. Kami menyerah.”

“Meloncatlah,” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Orang-orang itu memang ragu-ragu untuk meloncat dari atap. Namun Mahisa Pukat telah membentak, “Meloncatlah. Atau barak itu akan kami bakar sehingga kalian akan ikut menjadi abu.”

Betapapun mereka ragu-ragu, namun mereka memang harus meloncat ketika dua orang cantrik yang berdiri di sebelah menyebelah Mahisa Pukat dengan sengaja menunjukkan busur dan anak panah.

Bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk tidak membangunkan para cantrik yang tidak bertugas, namun ternyata satu dua orang telah mendengar keributan itu. Meskipun suata keributan itu kemudian terdiam dan tidak lagi berkelanjutan, tetapi beberapa orang cantrik telah keluar dari barak mereka.

Akhirnya, berita tentang orang-orang yang akan melarikan diri itu pun segera tersebar. Beberapa orang cantrik tertua telah tergesa-gesa pergi ke barak para tawanan. Mahendra yang kemudian juga terbangun, bersama Mahisa Bungalan telah pergi ke barak itu juga.

Namun pada saat yang demikian, pada saat padepokan itu bagaikan terbangun, keenam orang itu telah berada di dalam barak itu sebagaimana semula. Meskipun demikian, para cantrik dan prajurit yang bertugas ketika ditanya oleh Mahisa Bungalan, tidak dapat ingkar lagi. Terutama para prajurit. Mereka menunduk dalam-dalam saat mata Mahisa Bungalan bagaikan memancarkan api. Pemimpin prajurit yang bertugas berjaga-jaga itu pun segera diminta memberikan laporan.

“Kalian tahu apa jadinya jika tidak ada kedua adikku itu?” bertanya Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan masih menahan diri untuk tidak memberikan hukuman kepada prajurit yang menjadi lengah dan tidak mengetahui bahwa enam orang tawanan mereka telah lolos.

Dalam pada itu, maka akibat dari usaha keenam orang itu untuk, lari, maka para tawanan pun telah diikat pula kaki dan tangannya. Sedangkan yang telah berhasil keluar lewat lubang yang dibuat di atap itu, telah diikat kaki dan tangannya yang kemudian diikat pula pada tiang.

“Kalian jangan mencoba sekali lagi,” berkata Mahisa Bungalan, “kalian sebaiknya mengucapkan syukur bahwa kalian jatuh ke tangan kedua orang adikku. Jika kalian jatuh ke tangan para prajurit di Sangling, maka keadaan kalian tentu akan berbeda.”

Keenam orang yang berusaha untuk melarikan diri itu tidak menjawab. Namun Mahisa Bungalan berkat selanjutnya, “Aku besok hanya akan membawa enam orang itu saja. Mereka pantas untuk di tempatkan di tempat yang paling keras, karena mereka telah berusaha untuk melarikan diri.”

Keenam orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang kawannya yang menurut rencana dikeesokan harinya akan dibawa pula ke Sangling ternyata telah dibatalkan, karena orang itu tidak berniat untuk melarikan diri, meskipun kemungkinan lain dapat terjadi.

Sejak saat itu, ternyata padepokan itu tidak tertidur lagi. Para cantrik, para prajurit dan para pemimpin padepokan itu menjadi sulit untuk tidur karena peristiwa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah memerintahkan para cantrik yang bertugas tidak hanya berada di depan barak itu saja. Tetapi mereka harus membagi daerah pengawasan. Setiap kali hanya dengan meronda berkeliling ternyata masih belum mencukupi.

Sementara itu, Mahisa Bungalan justru telah memerintahkan pasukannya untuk berkemas. Besok, didini hari mereka benar-benar akan meninggalkan padepokan itu. Namun dengan demikian maka dapur pun telah menjadi sibuk pula. Lebih awal dari rencananya.

Menjelang fajar, segala sesuatunya memang sudah bersiap. Para prajurit dan para tawanan. Sementara itu mereka telah mendapatkan tujuh ekor kuda. Ternyata hanya enam saja yang akan dipakai oleh para tawanan.

Para petugas di dapur pun kemudian telah memberikan makan dan minum kepada para tawanan yang akan dibawa oleh Mahisa Bungalan, sementara para prajurit telah makan pula di dapur.

“Kau akan berangkat lebih awal?” bertanya Mahendra.

“Hanya berselisih waktu beberapa saat,” jawab Mahisa Bungalan, “namun mumpung matahari masih dalam di bawah cakrawala. Kami akan kembali ke Sangling.”

Mahisa Bungalan pun telah minta diri pula kepada Mahisa Amping yang juga terbangun, Mahisa Semu, Wantilan dan semuanya yang telah mengerumuninya. Sejenak kemudian, maka para prajurit yang membawa enam orang itu mulai bergerak.

Seperti dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka keenam orang itu telah diperlakukan dengan keras. Sambil berkuda, tangan mereka telah terikat. Sikap para prajurit Sangling memang tidak sama sebagaimana sikap para cantrik padepokan Bajra Seta. Sikap para prajurit itu lebih tegas dan lebih keras. Demikian pula sikap Mahisa Bungalan. Berbeda sekali dengan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Keenam orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka mulai bertanya di dalam hati, seandainya mereka tidak melarikan diri, apakah sikap para prajurit Sangling akan berbeda? Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya. Mereka telah mencoba untuk melarikan diri dan gagal.

Usaha melarikan diri yang gagal itu ternyata telah menguntungkan seorang kawannya yang batal dibawa ke Sangling. Orang itu bukannya tidak akan melarikan diri. Ia pun ikut dalam usaha melarikan diri itu. Tetapi karena ia mendapat giliran terakhir, maka ia belum sempat memanjat dan keluar dari lubang yang telah berhasil dibuat pada atap barak itu. Bahkan bukan hanya ketujuh orang itu saja. Tetapi kelima orang yang akan tetap menjadi tawanan padepokan itu pun sebenarnya juga akan ikut pula melarikan diri.

Demikianlah dalam keremangan pagi, iring-iringan itu berjalan dengan cepat. Mereka menyusuri jalan-jalan bulan yang panjang dan pendek. Di beberapa padukuhan yang masih gelap, iring-iringan itu telah mengejutkan orang-orang yang berada di gardu. Tetapi para peronda itu tidak berani menghentikan orang-orang berkuda itu. Apalagi mereka melihat, enam orang di antara orang-orang berkuda itu terikat tangannya.

Mahisa Bungalan yang berkuda di paling depan tidak menghiraukan orang-orang yang berada di gardu memandang iring-iringannya dengan penuh pertanyaan. Dan bahkan sebagian dari mereka menjadi cemas. Namun tidak seorang pun di antara para peronda itu yang menegur iring-iringan itu atau mempertanyakan orang-orang yang terikat di antara mereka.

Ketika matahari mulai membayang menjelang terbit, maka iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh. Iring-iringan itu mulai berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Orang-orang yang membawa barang-barang dagangan di atas kepala dan perempuan-perempuan yang menggendong bakul, telah menepi ketika mereka melihat iring-iringan itu berjalan cepat. Orang-orang itu hanya dapat saling bertanya tentang orang-orang berkuda yang terikat tangan mereka di antara orang-orang lain yang mengiringinya.

Sementara itu, di padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menempatkan dan mengatur kembali para tawanan yang tertinggal. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang langsung menangani orang-orang yang berusaha melarikan diri itu akhirnya mendapat keterangan, bahwa sebenarnya semua tawanan yang ada di barak itu akan melarikan diri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mendapat keyakinan bahwa kesimpulan mereka benar. Lima orang di antara orang-orang yang dianggapnya berbahaya itu, memang orang-orang yang berbahaya ditambah dengan seorang yang tidak jadi dibawa ke Sangling. Mereka berenam akan di tempatkan di sebuah barak yang khusus yang akan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Namun sementara itu, mereka telah dipindahkan ke sebuah barak yang tidak terlalu besar. Namun tangan dan kaki mereka masih saja harus terikat baik-baik.

Meskipun tidak segarang Mahisa Bungalan, namun Mahisa Pukat telah berkata kepada orang-orang yang ternyata juga merencanakan untuk melarikan diri itu, “Siapa yang mencoba untuk sekali lagi melarikan diri, maka akibatnya akan sangat disesali. Kami dapat berbuat apa saja atas kalian tanpa ada keterikatan atas paugeran apapun. Berbeda dengan para prajurit. Mereka harus bertindak berdasarkan pada tugas dan wewenang mereka.”

Tidak ada orang yang menjawab. Tetapi wajah-wajah mereka rasa-rasanya sudah menjadi sekeras batu. Namun dengan demikian maka para cantrik padepokan itu pun benar-benar tidak boleh lengah menghadapi mereka. Ketika kemudian matahari terbit dan memanjat langit semakin tinggi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanggil tawanan-tawanan mereka yang dianggap tidak berbahaya.

Kepada orang-orang itu Mahisa Murti berkata, “Kami akan melihat dalam beberapa hari ini. Jika kalian benar-benar menjadi baik sebagaimana kami harapkan, maka kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru terhadap kalian. Mungkin kami tidak mengirimkan kalian ke Sangling, tetapi ke Singasari. Bahkan mungkin ada pilihan lain yang lebih baik bagi kalian.”

Orang-orang itu memang masih bertanya-tanya. Setelah peristiwa usaha melarikan diri itu, apakah mereka masih akan diperlakukan dengan wajar atau mereka akan mendapat tekanan lebih berat lagi.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil keputusan, orang-orang yang akan dilepaskan itu akan dilihat lagi dengan cara mereka. Orang-orang itu akan dipekerjakan di sawah dan ladang untuk beberapa hari. Hasil dari pengamatan mereka akan menentukan keputusan atas mereka itu.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang tertawa mendapat kesempatan bekerja di sawah dan ladang di bawah pengawasan para cantrik, maka di antara mereka yang terluka pun telah mendapat perawatan dengan baik. Perlahan-lahan luka-luka mereka pun menjadi semakin sembuh. Beberapa orang yang telah menjadi semakin baik itu, telah dapat ikut membantu bekerja apa saja di kebun dan di pategalan di belakang barak.

Ternyata sikap para cantrik benar-benar telah mempengaruhi mereka. Sikap yang baik dan ramah, telah meluluhkan kekerasan hati mereka. Orang di antara mereka yang telah sembuh dari luka-luka mereka telah menyatakan untuk tetap tinggal di padepokan itu apabila diperkenankan.

“Kalian tidak dapat berada di padepokan ini,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kalian dapat ikut dalam berbagai macam tuntunan yang diselenggarakan di padepokan ini sebagaimana anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sebelah.”

“Tetapi di mana kami akan tinggal?” bertanya orang-orang itu.

“Jika kalian memang berkeras untuk melakukannya, maka biarlah aku berbicara dengan Ki Buyut. Jika Ki Buyut berkenan memberikan sebidang tanah buat kalian, maka kalian akan dapat tinggal. Kalian dapat menggarap sawah untuk hidup kalian sehari-hari. Sementara itu kalian ikut belajar meningkatkan kemampuan kalian untuk menggarap tanah kalian itu.” berkata Mahisa Murti.

Ternyata mereka bersedia melakukannya. Sehingga karena itu, maka Ki Buyut telah memberikan sebidang tanah yang berada di sebuah padang perdu yang luas.

“Tetapi padang perdu itu bukan tanah yang subur,” berkata Mahisa Pukat kemudian setelah mendapat persetujuan Ki Buyut.

Orang-orang itu memang agak menjadi kecewa. Namun Mahisa Pukat berkata, “Kalian berniat bekerja keras atau tidak?”

“Ya,” jawab mereka hampir berbareng.

“Jika demikian, maka kalian harus berusaha menaikkan air dari Kali Rangkut itu ke tanah yang kalian dapatkan. Kali Rungkut memang sebuah sungai yang tidak begitu besar. Tetapi jika kalian berhasil menaikkan airnya, maka kalian akan mendapatkan satu keuntungan yang sangat besar. Seluruh tanah yang kalian dapatkan dari Ki Buyut itu akan dapat kalian airi. Dengan demikian, maka tanah itu tidak lagi akan menjadi tanah yang tandus,” berkata Mahisa Pukat.

Ternyata orang-orang itu dengan senang hati melakukannya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengijinkan orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya untuk membantu mereka bersama-sama beberapa orang cantrik yang sekaligus mengawasi mereka membangun sebuah bendungan.

Kali Rangkut memang bukan sungai yang besar. Karena itu, pekerjaan untuk membendung sungai itu pun bukan pekerjaan yang sangat besar. Namun jika mereka berhasil, maka air dari sungai itu akan dapat mengalir ke padang perdu yang akan dijadikan tanah persawahan. Dengan air itu, maka padang perdu itu tentu akan dapat menjadi tanah persawahan yang subur.

Sementara mereka dapat mengambil pupuk dari kandang-kandang yang ada di padukuhan-padukuhan serta sampah dari hutan yang dapat ditanam di lubang-lubang yang dibuat di padang perdu itu, sehingga pada suatu saat, padang perdu itu siap untuk ditanami.

Namun ternyata di antara orang-orang yang tertawan itu masih saja ada yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui para cantrik terpenting di padepokan itu.

“Jika aku ingin,” Berkata orang yang batal dibawa ke Sangling, “aku tentu dengan mudah dapat melarikan diri dalam keadaan seperti ini. Dua tiga cantrik yang akan mencegahkan akan dapat mudah aku binasakan.”

“Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya seorang di antara mereka yang berusaha untuk mencari jalan kehidupan yang lebih baik daripada merampok atau menjadi seorang penyamun.

“Aku masih ingat akan keadaan kalian,” bertanya orang yang telah menyombongkan dirinya itu.

“Apa hubungannya dengan kami?” bertanya yang lain.

“Jika seorang saja di antara kita yang melarikan diri, maka yang tinggal akan hancur. Kepala kalian akan dipecahkan oleh orang-orang padepokan yang gila itu. Tanpa belas kasihan,” berkata orang itu.

“Tetapi yang pernah berusaha melarikan diri namun tertangkap itu, ternyata tidak dihancurkan,” jawab seorang di antara mendengarkannya.

“Di sini,” jawab orang itu, “di Sangling mereka akan menjadi jeladren. Tetapi agaknya mereka masih merasa segan untuk membawaku, karena dengan demikian mereka akan menghadapi kemungkinan buruk setiap saat. Terutama di perjalanan, karena aku memang memiliki sifat yang kadang-kadang dengan tiba-tiba meledak.”

“Apa yang akan kau lakukan,” bertanya kawannya.

“Tentu saja menunggu kesempatan untuk melarikan diri. Sebaiknya kalian tidak berubah sikap. Kalian adalah penjahat-penjahat yang sudah banyak dikenal. Karena itu, habiskan umur kalian dalam dunia kejahatan seperti aku.”

“Kau telah berputus-asa,” sahut suara seorang yang sudah lebih tua.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Bukan aku yang berputus asa. Tetapi kalian. Kalian yang sudah kehilangan dasar berpijak, sehingga berniat untuk berubah sikap. Tetapi kita dilahirkan untuk menjadi penjahat. Aku terima kodrat ini dengan dada tengadah.“

“Jadi kenapa kau menyerah? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu agar kau tidak menjadi tawanan waktu itu. Atau lebih baik mati di medan?” bertanya orang tua itu.

Orang yang masih saja menyombongkan dirinya itu tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang lain dan beberapa orang cantrik berpaling kepadanya. Sejenak orang itu terdiam. Namun kemudian ia berkata, “Aku terpancing oleh keadaan saat itu. Aku juga mencoba untuk tidak membuat para cantrik dan seisi padepokan semakin kehilangan pengendalian diri dan berbuat sewenang-wenang.”

Yang lain tidak merasa perlu untuk mendengarkan lagi. Mereka lebih menekuni pekerjaan mereka daripada mendengar pembicaraan yang sama sekali tidak berarti itu.

“Kalian tidak mau mendengar aku?” tiba-tiba orang itu menggeram.

“Tidak,” seorang yang bertubuh tinggi tegap menjawab.

“Kau akan menyesal,” berkata orang itu selanjutnya, “kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Kita akan melarikan diri bersama-sama. Jangan hanya aku, meskipun aku mampu melakukannya. Karena dengan demikian, kepergianku seorang diri itu akan membawa malapetaka bagi kalian.”

“Aku tidak mau,” bentak orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Kau belum mengenal aku,” orang yang membual itu mendekatinya. Sambil memegang pundaknya ia berkata selanjutnya, “jangan memaksa aku untuk menghancurkan lengan dan kakimu.”

Tetapi orang itu justru menggeram, “Kita sama-sama pernah tinggal di dalam kekelaman kuasa setan. Jika kau memang ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Aku tidak peduli apakah salah seorang di antara kita akan mati di sawah ini.”

“Iblis kau,” orang itu menjadi marah, “kau berani menantang aku.”

“Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kau mengira bahwa tidak ada orang yang berani menantangmu. Sekarang, aku tantang kau. Tidak boleh seorang pun yang memisah sampai kita berhenti sendiri apa pun akibatnya,” jawab orang yang tinggi kekar.

Orang yang sombong itu termangu-mangu sejenak. Ia harus melihat kenyataan itu. Tubuh orang itu sangat besar dibanding dengan tubuhnya sendiri. Apalagi sikapnya yang sudah mengeras itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku bukan seorang yang bodoh seperti kau. Aku masih memerlukan tenagaku untuk melarikan diri. Aku tidak mau terjebak kedunguan seperti kau. Bahkan aku menganjurkan agar kalian semua bersedia melarikan diri bersamaku. Kita akan berlari-larian terpencar sehingga para cantrik akan menjadi bingung.”

“Tidak,” geram orang yang bertubuh tinggi besar itu.

“Aku akan mengajak mereka yang memiliki kemampuan berpikir,” berkata orang itu, “bukan kau.”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang yang menghembuskan usaha untuk melarikan diri berpaling daripadanya, dan bahkan kemudian telah melangkah pergi.

Di tempat lain ia juga berbicara dengan dua orang di antara mereka yang tertawan. Ia pun telah mengajak orang-orang itu melarikan diri. “Kita melakukan bersama-sama. Setidak-tidaknya lima orang di antara kita. Jika kita berpencar, maka usaha para cantrik untuk menangkap kami tentu menjadi semakin sulit,” berkata orang itu.

Kedua orang itu pun merasa berkeberatan. Namun orang itu tiba-tiba telah mengancam, “Jika kau berdua tidak mau melarikan diri, maka kalian akan aku bunuh dalam bilik tahanan.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka memang bukan orang yang memiliki keberanian untuk menghadapi ancaman seperti itu.

“Bawa dua orang lagi,” geram orang itu, “atau kalian akan mengalami siksaan yang tidak ada henti-hentinya sepanjang kita masih berkumpul di satu bilik.”

Kedua orang itu memang merasa takut terhadap orang yang mengajaknya melarikan diri itu. Tetapi mereka pun tidak berani untuk dengan serta merta berlari berpencar. Di tempat itu banyak para cantrik yang akan dapat mengejar mereka. Seorang dari kedua orang cantrik itu berniat untuk melaporkan diri kepada para cantrik. Tetapi hal itu pun tidak berani melakukannya.

Dalam keragu-raguan itu orang yang mengajaknya lari itu berkata, “Cepat, ajak dua orang lagi sebelum aku berubah pikiran. Karena aku pun dapat membunuhmu tidak usah menunggu sampai kerja kita ini selesai hari ini.”

Kedua orang yang termangu-mangu itu hampir saja melakukan perintahnya. Mencari dua orang yang akan diajaknya melarikan diri. Namun seorang di antara mereka ternyata telah sempat berpikir. Karena itu, ketika kawannya telah siap untuk mendekati kawannya yang lain yang juga bekerja di tempat itu tetapi agak terpisah, maka orang yang sempat berpikir itu telah mencegahnya.

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Kita masing-masing tidak akan dapat melawannya. Tetapi bagaimana jika kita berdua?” desis orang yang sempat berpikir itu.

Kawannya termangu-mangu. Tetapi ketika sekilas ia melihat orang yang mengajak melarikan diri itu, ternyata tengkuknya telah meremang. Orang yang mengajaknya lari itu rasa-rasanya memandanginya dengan sorot mata hantu yang mengerikan.

“Kau takut?” bertanya kawannya.

“Ya,” jawab orang yang tengkuknya meremang itu.

“Kita harus membuat agar kita berkelahi di sini. Tetapi ingat. Kita harus berdua. Jika kita sendiri-sendiri, kita akan segera dapat dikalahkan. Tetapi jika kita berdua, maka kita akan sempat bertahan beberapa lama, sehingga para cantrik akan ikut campur sebelum kita mati,” jawab kawannya yang berniat untuk melawan.

Kawannya masih ragu-ragu. Sementara itu, orang itu melangkah mendekat sambil berkata, “Kenapa kalian belum pergi kepada mereka. Jika kita terlalu lama berdiam diri tanpa berbuat apa-apa, para cantrik itu akan memperhatikan kita.”

Tetapi orang yang berniat untuk melawan itu berkata tanpa menghiraukan kawannya lagi, “Aku memang berusaha menarik perhatian para cantrik. Aku tidak ingin melarikan diri.”

“Setan kau,” geram orang itu, “kau tahu apa yang dapat terjadi atasmu?”

“Kami berdua akan melawan. Para cantrik tentu akan ikut campur. Dan kau akan diadili dengan cara yang khusus,” jawab orang yang menolak melarikan diri itu.

Orang itu memang menjadi sangat marah. Tanpa berkata apa pun lagi, maka ia pun telah menyerang dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang telah langsung menerkam leher orang yang menolaknya itu.

Orang yang menolak untuk melarikan diri itu memang telah bersiaga. Tetapi ternyata bahwa ia tidak sepenuhnya mampu membebaskan diri. Ia memang sempat menahan tangan orang itu sehingga tidak mencengkam lehernya dan memutuskan jalur pernafasannya. Tetapi dorongan yang sangat kuat telah mendesaknya beberapa langkah surut dan bahkan orang itu telah jatuh terlentang.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh orang yang marah itu. Sekali lagi ia menerkam lawannya yang memang tidak mampu lagi untuk menghindar. Namun orang yang semula masih ragu-ragu itu, hampir di luar sadarnya telah melibatkan diri. Kakinya terayun dengan kerasnya menghantam tubuh orang yang telah menjatuhkan dirinya untuk menerkam orang yang menolak ajakannya untuk melarikan diri itu.

Serangan kaki itu demikian kerasnya, sehingga ia telah terpental selangkah dan jatuh berguling. Namun dengan cepat ia telah bangkit berdiri dan siap untuk menyerang lagi. Tetapi pada saat itu, orang yang hampir saja dicekiknya itu pun telah bangkit pula dan berdiri tegak disamping kawannya.

Bahkan ia masih sempat berkata, “Kita sama-sama pernah menjadi penjahat.”

Namun dalam pada itu, para cantrik yang terkejut melihat peristiwa yang terjadi dengan cepat itu, segera tanggap akan keadaan. Mereka segera berlari-lari mendekati. Namun demikian para cantrik itu masih tetap berhati-hati sehingga beberapa orang yang lain masih tetap mengawasi para tawanan yang tengah berada di tempat itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya seorang cantrik.

“Orang itu memaksa aku dan kawanku melarikan diri. Bahkan aku harus mengajak dua orang lagi bersama kami,” jawab orang yang menolak pergi itu.

“Omong kosong,” jawab orang yang mengajak melarikan diri itu, “keduanya telah menghinakan. Mereka mengatakan bahwa aku pengecut. Enam kawanku telah melarikan diri. Kenapa aku tidak. Aku merasa sangat tersinggung karena aku memang tidak ingin melarikan diri.”

“Tidak,” teriak orang yang semula ragu-ragu untuk melawan, “orang itu memang ingin mengajak kami melarikan diri.”

“Jangan mengigau,” berkata orang itu, “aku tidak gila. Aku tahu bahwa saat seperti ini bukan saatnya untuk melarikan diri. Melarikan diri pada saat seperti ini, sama saja artinya dengan membunuh diri. Nah, kalian tidak akan dapat memfitnah aku dengan alasan itu.”

Para cantrik yang berdiri mengelilinginya memang merasa ragu. Namun orang yang bertubuh tinggi kekar dan juga tidak bersedia melarikan diri itu tiba-tiba telah menyibak dan melangkah mendekat sambil berkata, “Orang ini memang ingin melarikan diri, sejak di barak itu ia juga sudah merencanakan untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia terlambat karena para cantrik dan prajurit segera memasuki barak.”

“Setan kau. Kenapa kau turut campur? Kau sama sekali tidak mengetahui persoalannya. Aku, meskipun seorang tawanan juga mempunyai harga diri sehingga aku tidak mau dihinakan dengan cara yang sangat menyakitkan.”

Tetapi pernyataan orang yang bertubuh tinggi tegar itu nampaknya agak meyakinkan para cantrik, sehingga seorang di-antara mereka melangkah maju sambil berkata, “Sebaiknya kau berterus terang.”

“Semua orang akan memfitnah aku. Apakah kalian percaya?” orang yang akan melarikan diri itu justru bertanya.

“Aku yang bertanya kepadamu. Bukan kau yang bertanya kepadaku,” geram cantrik itu.

“Aku sudah menjawab,” berkata orang itu, “terserah kepadamu. Apakah kau percaya atau tidak.”

Seorang cantrik yang masih sangat muda menjadi sangat marah. Tetapi ketika ia melangkah maju, kawannya telah mencegahnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ternyata juga melihat kejadian itu, telah mendekat pula. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Apa yang telah terjadi di sini?”

Seorang Cantrik telah mencoba menjelaskan persoalannya. Namun orang yang akan melarikan diri itu telah memotong, “Semua itu fitnah. Aku belum gila untuk melarikan diri di siang hari dan dibawah pengawasan para cantrik.”

Tetapi orang yang diajak melarikan diri menyahut, “Orang itu mengharapkan lima orang di antara kami akan melarikan diri. Kami akan berpencar. Dengan demikian orang itu berharap bahwa ia akan dapat meloloskan diri meskipun keempat orang yang lain akan tertangkap lagi.”

Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Aku percaya kepadamu. Orang ini akan melarikan diri.”

Orang itu menggeram. Namun tiba-tiba ia bergeser selangkah surut sambil berkata, “Baik. Aku akan mengakui, bahwa aku memang akan melarikan diri. Tangkaplah jika kalian ingin menangkap aku. Bunuhlah jika kalian ingin membunuh aku. Tetapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah benar orang-orang Bajra Seta itu memiliki kemampuan yang tinggi atau karena jumlahnya sajalah yang terlalu banyak untuk dilawan. Seandainya ada seorang saja di antara para cantrik yang mampu melawan aku, maka aku akan berjongkok sambil menundukkan kepalaku dan menyerahkan leherku untuk dibantai di hadapan kalian dan para tawanan yang lain.”

Mahisa Pukat menjadi marah. Tetapi Mahisa Murti menggamitnya ketika Mahisa Pukat melangkah maju. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mahisa Semu akan menyelesaikannya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah mengangguk-angguk mengiakan. Dengan demikian maka sejenak kemudian Mahisa Semu telah berada di dalam lingkaran. Namun agaknya Mahisa Semu masih belum begitu jelas apa yang terjadi. Baru kemudian ia mengangguk-angguk ketika Mahisa Pukat memberinya penjelasan.

“Ia menantang salah seorang cantrik dari padepokan Bajra Seta. Ia ingin tahu, apakah ada salah seorang cantrik yang dapat mengalahkannya. Karena itu, terserah kepadamu. Kau kami anggap cantrik yang masih muda. Jika melawan kau orang itu sudah tidak dapat mengimbangi, apalagi melawan para cantrik yang lebih tua darimu.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, marilah. Kita akan mencoba siapakah di antara kita yang lebih baik. Aku berjanji, jika kau dapat mengalahkan aku maka kau akan mendapatkan pengampunan.”

Wajah orang itu menjadi cerah. Katanya, “Benar katamu?”

“Aku mohon para pemimpin padepokan ini menyetujui,” berkata Mahisa Semu.

“Aku setuju,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah kedua orang itu pun telah berdiri saling berhadapan. Mahisa Semu memang masih jauh lebih muda dari orang itu. Namun selama ia berada di padepokan itu, ia telah mendapat penanganan khusus .dari Mahendra sendiri di bawah pengawasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah mempersiapkan diri. Orang yang melarikan diri itu telah memastikan dirinya untuk dibebaskan dari padepokan itu. Ia merasa bahwa ia bukannya sejenis penjahat-penjahat kecil yang hanya mampu mencuri ayam atau itik di kandang. Tetapi ia adalah seorang perampok dan penyamun yang ditakuti. Sedangkan cantrik yang ditunjuk untuk melawannya adalah cantrik yang masih sangat muda, sehingga ia merasa bahwa ia tidak akan mendapatkan kesulitan untuk mengalahkannya.

Orang itu nampaknya memang ingin menunggu. Ketika Mahisa Semu bergeser orang itu pun hanya bergeser pula. Sekali-sekali tangannya bergerak. Tetapi tidak untuk menyerang. Mahisa Semu memang merasakan bahwa sikap orang itu sangat merendahkannya. Orang itu menganggap bahwa Mahisa Semu yang muda itu tidak akan mampu berbuat apa-apa. Namun justru karena itu, maka Mahisa Semu menjadi sangat berhati-hati menghadapinya.

Beberapa saat keduanya hanya saling bergeser sambil mengamati gerak-gerik lawan. Tetapi tidak seorang pun yang segera mulai menyerang. Bahkan sekali-sekali nampak orang yang akan melarikan dirinya itu tersenyum menyakitkan hati. Mahisa Semu memang tidak telaten. Tetapi ia memperhitungkan kemungkinan yang paling tepat untuk membuar orang itu terkejut dan terbangun.

Sebenarnyalah, ketika Mahisa Semu telah menganggap waktunya tepat, justru pada saat orang itu bergeser, maka ia pun telah meloncat menyerang. Serangan yang tidak biasa dilakukan. Dengan kecepatan yang tinggi, kaki Mahisa Semu yang terbuka telah meluncur menangkap dan menjepit tubuh lawannya. Ketika Mahisa Semu kemudian memutar tubuhnya dengan sekuat tenaganya, maka lawannya itu pun bagaikan baling-baling yang terputar pada porosnya.

Dengan kerasnya orang itu jatuh terguling. Sementara itu dengan cepat Mahisa Semu melepaskan kakinya dan meloncat bangkit. Kelebihannya waktu sekejap telah memberikan kesempatan sekali lagi. Demikian lawannya itu melenting berdiri, maka kaki Mahisa Semu telah terjulur lurus mengarah ke dada orang itu.

Orang itu memang tidak mendapat kesempatan untuk menghindar, bahkan menangkis serangan itu. Karena itu, maka Mahisa Semu telah berhasil mengenai sasarannya dengan kekuatan yang sangat besar. Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Namun sekali lagi ia terlempar. Bukan sekedar diputar oleh jepitan kaki anak yang masih terlalu muda itu. Tetapi serangan kaki di dadanya itu rasa-rasanya telah meretakkan tulang-tulang iganya.

Ketika orang itu meloncat bangkit, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya. Namun ternyata Mahisa Semu tidak memburunya. Anak muda itu berdiri saja di atas kedua kakinya yang merenggang memandangi lawannya yang berdiri tegak pula serta bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun bagaimana pun juga orang itu tidak dapat menyembunyikan dadanya yang terasa sangat sakit. Nafasnya menjadi terengah-engah bagaikan tersumbat di tenggorokan.

Tetapi hatinya serasa terbakar ketika ia melihat justru anak muda itulah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Marilah Ki Sanak. Bangkitlah. Bukankah kita sudah saling bertaruh. Jika kau menang kau dapat pergi dengan bebas ke mana pun kau suka. Tetapi jika kau kalah, kau sudah mempertaruhkan lehermu.”

Orang itu mengeram. Matanya menjadi merah menyala. Giginya gemeretak sementara terdengar ia berkata, “Kau curang. Kau mencari kesempatan saat aku lengah?”

“Adakah seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang baik pernah menjadi lengah di pertempuran?” Mahisa Semu justru bertanya.

“Kau memang anak iblis,” orang itu hampir berteriak.

Tetapi dengan tenang anak yang masih sangat muda itu menjawab, “Apakah kau mengetahui ciri-ciri anak iblis?”

Orang itu menjadi sangat marah. Karena itu, tanpa dapat mengendalikan dirinya lagi, maka ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Semu. Serangan orang itu memang mengejutkan. Tetapi Mahisa Semu yang sengaja mengungkit kemarahan lawannya telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka ketika serangan itu benar-benar datang, Mahisa Semu masih sempat menghindar. Tetapi lawannya tidak memberinya kesempatan. Ia pun dengan cepat memburunya. Orang itu ingin menebus kelengahannya dengan menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu secepatnya.

Namun yang terjadi adalah di luar kehendaknya. Setelah bertempur beberapa lamanya, orang itu ternyata masih belum dapat menundukkan Mahisa Semu. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun. Sekali-sekali menangkisnya namun kemudian dengan cepat ia membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan segenap perhatian. Keduanya justru ingin tahu, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Semu jika ia benar-benar membentur kekuatan yang cukup besar. Namun anak yang masih terlalu muda itu tidak mengecewakan. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Namun keduanya menarik nafas lega.

Meskipun demikian, kemungkinan yang buruk masih saja dapat terjadi. Ia masih belum tahu, daya tahan siapakah yang lebih tinggi. Jika salah seorang dari keduanya, tenaganya mulai susut lebih dahulu, maka keadaannya akan menjadi gawat.

Namun Mahisa Semu memiliki ketangkasan bergerak lebih dari lawannya. Karena itu, maka setiap kali serangan anak muda itulah yang mengenai lawannya. Namun jika sekali tangan lawannya menyentuh tubuhnya, maka Mahisa Semu memang harus mengakui kekuatan lawannya. Ketika tangan lawannya yang kuat sempat mengenai pundaknya maka Mahisa Semu memang seakan-akan telah diputar. Dalam kegoncangan keseimbangan lawannya ia telah menyerang dengan kakinya yang terjulur ke samping.

Mahisa Semu memang kehilangan kesempatan berusaha untuk menghindar atau menangkis, sementara keseimbangannya sedang goyah. Namun Mahisa Semu tidak ingin tubuhnya dikenai lagi serangan lawannya itu. Karena itu, maka Mahisa Semu pun justru telah menjatuhkan dirinya tepat pada saat kaki lawannya menggapainya.

Dengan demikian, maka Mahisa Semu telah terhindar dari serangan lawannya itu. Bahkan setelah berguling sekali, maka dengan sigapnya Mahisa Semu telah bangkit dan berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Ketika lawannya itu kemudian meloncat menyerangnya, maka Mahisa Semu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan demikian, maka Mahisa Semu telah dengan cepat pula bergeser menghindar.

Demikianlah, pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya berganti-ganti menyerang. Orang yang akan melarikan diri itu adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas sekali. Ia telah mengalami berpuluh bahkan beratus kali perkelahian dan pertempuran. Telah berapa jiwa yang pernah melayang karena kekuatan dan kemampuannya. Jari-jarinya yang kokoh dan kakinya yang kuat, telah membuatnya menjadi orang yang sangat ditakuti. Apalagi jika orang itu sempat memegang senjata.

Mahisa Semu memang masih terlalu muda bagi lawannya itu. Pengalamannya pun belum begitu luas. Tetapi ia sudah ditempa dalam latihan-latihan yang keras, sehingga landasan ilmunya menjadi semakin kokoh. Menghadapi lawannya yang kuat dan cukup berpengalaman. Mahisa Semu memang harus berhati-hati. Tetapi ia tidak perlu merasa berkecil hati. Mahisa Semu cukup memiliki bekal untuk melawannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang memang menjadi tegang. Sekali-sekali Mahisa Semu memang nampak terdesak. Tetapi setelah berloncatan beberapa saat, Mahisa Semu segera menemukan kesempatan untuk mengatasinya. Meskipun Mahisa Semu tidak dengan serta merta dapat mengalahkan lawannya, namun ternyata bahwa ia mempunyai kesempatan lebih baik dengan kekayaan unsur-unsur gerak yang dimilikinya, sehingga ia tidak semata-mata berdasarkan kepada kekuatan kewadagannya saja.

Ternyata beberapa saat kemudian, kelebihan Mahisa Semu mulai nampak. Setelah keduanya memeras keringat, serta mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, maka kelebihan daya tahan Mahisa Semu nampak semakin jelas. Agaknya orang yang akan melarikan diri itu telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, bahkan dengan memaksakan diri untuk dapat dengan cepat mengalahkan lawannya yang masih muda itu. Namun ternyata ia tidak berhasil.

Karena itu, maka justru tenaga dan kekuatanyalah yang semakin lama menjadi semakin menyusut. Betapa pun tipisnya, tetapi terasa oleh Mahisa Semu, bahwa lawannya telah sampai ke batas kekuatannya. Namun nampaknya lawannya masih belum mengakui keadaannya. Ternyata ia masih menunjukkan kegarangannya. Tangannya menjadi semakin cepat bergerak. Jari-jarinya mengembang dan dengan berteriak keras, orang-orang itu telah menerkam Mahisa Semu seperti seekor harimau yang lapar.

Mahisa Semu memang agak terkejut melihat serangan itu. Unsur gerak yang dihadapinya memang berubah dan dengan begitu tiba-tiba menunjukkan satu jenis ilmu dengan unsur gerak yang sangat garang. Namun Mahisa Semu yang terlatih itu tidak segera kehilangan akal. Ia melihat jari-jari yang mengembang itu. Karena itu, maka dengan sigapnya Mahisa Semu telah meloncat menghindarinya. Tetapi ia bukan saja menghindar. Ketika jari-jari itu hampir saja menyambar keningnya, Mahisa Semu justru telah berputar sambil mengayunkan kakinya.

Satu serangan yang tiba-tiba pula. Kaki yang terayun dalam putaran itu, justru telah menyambar tengkuk lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu jatuh terjerembab. Mahisa Semu tidak memburunya. Ketika lawannya itu melenting berdiri, maka Mahisa Semu justru memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi tenaga orang itu benar-benar telah susut. Tulang-tulangnya terasa sakit dan kulitnya pun telah terkelupas di beberapa bagian anggauta tubuhnya. Bahkan darah telah mulai mengembun di luka-lukanya itu. Namun orang itu sama sekali tidak berniat menyerah. Ia menganggap bahwa dirinya tentu akan mati. Seandainya ia menyerah maka para cantrik akan menuntut taruhan yang telah diucapkannya. Ia harus merelakan kepalanya dipenggal.

Karena itu, maka daripada ia mati sambil menundukkan kepalanya, maka ia akan menjadi lebih berharga jika ia mati dalam pertempuran itu. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar telah memaksa diri untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya.

Sementara itu, ternyata Mahisa Semu masih tetap tegar. Meskipun ia juga mengerahkan tenaga dan kemampuannya, tetapi daya tahan tubuhnya ternyata jauh lebih baik dari lawannya yang pertahanannya seakan-akan telah menjadi semakin rapuh. Dengan demikian, maka Mahisa Semu menjadi semakin sering mampu mengenai tubuh lawannya. Bahkan kadang-kadang telah membuat lawannya seakan-akan kehilangan pijakkan.

Namun lawannya itu tidak segera menyatakan kekalahannya. Ia masih saja berusaha untuk melawan dengan sisa tenaganya. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut. Bahkan kadang-kadang terbanting jatuh. Namun sama sekali tidak timbul niatnya untuk menyerah. Betapapun kuat daya tahan tubuh Mahisa Semu, namun ia pun merasa bahwa pada suatu saat tentu akan sampai pada batasnya. Dengan demikian, maka ia harus menyelesaikan lawannya sebelum tenaganya sendiri menjadi susut.

Apalagi beberapa kali tubuhnya pun sudah dikenai oleh lawannya. Beberapa bagian tubuhnya telah merasa nyeri. Bahkan tulang-tulangnya pun merasa sakit. Karena itu, maka pada saat kekuatannya masih utuh, Mahisa Semu ingin memaksa lawannya itu menyerah. Tetapi usahanya sama sekali tidak berhasil. Betapa pun juga lawannya terdesak, tetapi masih tetap melawan.

Kesabaran Mahisa Semu semakin lama menjadi semakin tipis. Sementara itu lawannya telah menjadi hampir tidak berdaya. Namun ketika Mahisa Semu memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya untuk menyerah, maka orang itu justru mengumpatinya. Mahisa Semu hampir kehilangan seluruh kesabarannya. Narnun tiba-tiba ia sadar, bahwa tidak pantas baginya untuk membunuh orang yang telah menjadi tidak berdaya sama sekali.

Dengan demikian, maka Mahisa Semu tidak lagi berniat membunuhnya. Tetapi ia hanya ingin merendahkan harga diri lawannya yang sombong dan tidak mau melihat kenyataan itu. Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Semu tiba-tiba telah mengendor. Ia tidak lagi garang dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Bahkan seakan-akan tenaganya pun menjadi semakin susut.

Lawannya yang melihat keadaan itu, rasa-rasanya keberaniannya menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Ia yang sudah bertekad mati, akan membawa anak muda itu bersamanya. Dengan sisa tenaganya, maka perlawanannya yang sudah hampir terhenti sama sekali itu menjadi bertenaga kembali meskipun hanya merupakan hentakan-hentakan sekejap. Namun hentakan-hentakan itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Mahisa Semu.

Meskipun demikian orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu sempat menjadi cemas melihat perlawanan Mahisa Semu yang juga menurun dengan cepat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa sebenarnya tenaga Mahisa Semu masih cukup besar untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu jika dikehendakinya. Namun agaknya Mahisa Semu memang telah merubah sikapnya. Ia tidak ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi dengan membunuh lawannya.

Dalam pertempuran dengan sisa-sisa tenaga yang ada, maka lawan Mahisa Semu itu menjadi semakin sulit. Bahkan bukan lagi mengatasi serangan-serangan Mahisa Semu, karena untuk selanjutnya seakan-akan Mahisa Semu tidak lagi pernah menyerangnya. Tetapi lawannya itu mengalami kesulitan karena usahanya untuk memeras sisa-sisa tenaga yang ada padanya.

Sehingga beberapa saat kemudian, maka tenaganya bagaikan telah terkuras habis. Untuk berdiri tegak saja, rasa-rasanya orang itu sudah tidak sanggup lagi. Jika sekali lagi ia menghentakkan sisa tenaganya dan menyerang Mahisa Semu, maka jika serangannya tidak mengenai sasarannya, maka tubuh itu menjadi terhuyung-huyung terseret oleh ayunan tenaganya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, sentuhan tangan Mahisa Semu yang lemah sekalipun telah dapat mendorongnya sehingga jatuh tertelungkup.

“Bangun atau menyerah,” geram Mahisa Semu.

Orang itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Sekali lagi ia mengumpat habis-habisan. Tetapi ia mengalami kesulitan untuk bangkit. Namun orang itu pun ternyata berhasil berdiri. Dengan sorot mata yang bagaikan membara, ia memandang Mahisa Semu yang tersenyum sambil bergerak-gerak di hadapannya.

“Marilah,” tantang Mahisa Semu, “jika kau memang sudah menjadi ketakutan, menyerah sajalah. Kau akan dituntut untuk memenuhi janjimu.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan tenaganya untuk menyerang dengan jari-jarinya yang mengembang. Seakan-akan orang itu ingin menerkam mulut Mahisa Semu yang baru saja mengancamnya.

Tetapi tangannya tidak menyentuh sesuatu. Bahkan sekali lagi tubuhnya telah diguncang oleh berat badannya sendiri serta sisa kekuatannya yang memang sudah menjadi semakin kering yang dihentakkannya untuk menyerang lawannya yang masih muda itu. Mahisa Semu sama sekali tidak membalas. Ia hanya bergeser sedikit ke samping dan membiarkan lawannya itu terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab.

“Kenapa kau tidak menyerah saja he?” teriak Mahisa Semu.

“Aku koyakkan mulutmu,” geram orang itu sambil berusaha untuk berdiri.

“Menyerahlah,” bentak Mahisa Semu.

Tetapi orang itu justru telah bangkit dan berdiri pada lututnya. Mahisa Semu sama sekali tidak menyerangnya. Tetapi ia menunggu orang itu bangkit. Bahkan Mahisa Semu yang sebenarnya hampir kehilangan kesabaran itu harus menahan diri. Ia mempunyai cara tersendiri untuk menaklukkan lawannya yang keras kepala itu.

Karena lawannya masih berdiri pada lututnya, maka Mahisa Semu pun berkata lantang, “Menyerahlah. Atau bangkitlah. Kita bertaruh. Jika kau menang, maka kau dapat pergi ke mana kau suka. Tetapi jika kau kalah, kau harus menepati janjimu pula. Semua orang mendengar apa yang kau katakan itu.”

Orang itu menggeram. Tetapi ia tetap tidak mau mengakui kekalahannya. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk berdiri tegak. Betapa sulitnya akhirnya orang itu telah berdiri pula.

Sementara Mahisa Semu mendekatinya sambil berkata, “Apakah kita masih akan bertempur terus.”

“Tutup mulutmu,” bentak orang itu.

“Apakah kau masih mampu?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Aku akan membunuhmu?” orang itu berteriak.

“Kau tahu arti kata-katamu? Membunuh?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Kubunuh kau. Kubunuh,” orang itu berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan ingatan. Dengan serta merta orang itu telah melangkah menyerang Mahisa Semu. Namun tenaganya sudah tidak mendukung lagi, sehingga orang itu pun telah terhuyung-huyung dan jatuh berguling.

“Kau masih belum menyerah?” bertanya Mahisa Semu.

Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Dengan memaksa diri ia memang masih dapat bangkit berdiri. Hanya beberapa saat, karena sekali lagi ia terhuyung-huyung dan jatuh terduduk.

“Marilah,” berkata Mahisa Semu, “jika kau belum menyerah, bangkitlah. Kita akan bertempur terus sampai matahari tenggelam. Bahkan sampai matahari terbit di hari berikutnya. Atau, kau menyerah.”

“Bunuh aku, bunuh aku,” orang itu tiba-tiba berteriak, “kenapa kau tidak mau membunuhku?”

“Tentu tidak,” jawab Mahisa Semu, “aku akan memenggal lehermu jika kau sudah menyerah seperti taruhan kita. Tetapi jika kau menang, kau boleh pergi ke mana saja kau kehendaki.”

“Bunuh aku. Penggal leherku,” teriak orang itu sambil terduduk di tanah.

“Bangkit. Kita bertempur terus. Bukankah kau belum menyerah kalah?” Mahisa Semu pun berteriak.

“Anak iblis. Penggal leherku,” orang itu menjadi seperti orang gila.

Tetapi jawab Mahisa Semu, “Hanya jika kau sudah menyerah, aku akan memenggal lehermu.”

“Setan kau, iblis. Baik, baik, aku menyerah. Penggal leherku.” orang itu masih saja berteriak.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau sudah menyerah, maka aku akan segera mengambil keputusan.”

“Penggal leherku. Aku akan menelungkup di tanah,” geram orang itu.

“Kau aku maafkan, karena kau sudah menyerah. Kau bukan seorang yang berilmu tinggi untuk ditakuti sehingga harus dibunuh. Aku biarkan kau hidup untuk mendapat kesempatan merenungi dirimu sendiri, siapakah kau itu. Biarlah kau mengerti arti tantanganmu terhadap salah seorang cantrik dari padepokan ini, sehingga kau tidak lagi merasa dirimu seorang yang tidak terkalahkan,” jawab Mahisa Semu.

“Tidak, bunuh aku. Bunuh aku. Kau akan menjadi pengecut jika kau tidak berani membunuh aku,” minta orang itu.

“Kaulah yang pengecut karena kau tidak berani melihat kenyataan bahwa dirimu, kau yang merasa berilmu setinggi langit, yang berani menantang salah seorang cantrik padepokan ini, yang dengan berani ingin melarikan diri, ternyata tidak lebih berbahaya dari seekor cacing tanah,” geram Mahisa Semu.

“Jangan hinakan aku seperti itu. Seharusnya kau membunuhku jika kau menganggap aku bersalah,” berkata orang itu.

“Untuk apa membunuhmu dengan mengotori tanganku? Jika kau cukup berharga untuk dibunuh, maka aku akan membunuhmu,” jawab Mahisa Semu.

“Bunuh aku, bunuh aku,” orang itu telah berteriak-teriak benar-benar seperti orang gila.

Mahisa Semu yang marah masih akan membuat hati orang itu semakin sakit. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekatinya. Keduanya telah membimbing Mahisa Semu untuk membawanya menjauhi orang itu. Tetapi Mahisa Semu masih berkata lantang, “Kalau kau ingin mati, matilah. Tidak pantas aku membunuh orang yang lemah dan tidak berdaya.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “jangan kau hancurkan perasaannya setelah kau remukkan tulang-tulangnya. Ia sudah mengaku kalah dan menyerah.”

Tetapi Mahisa Semu menjawab, “Ia membuat hatiku bagaikan terbakar. Ia tidak mau mengakui kekalahannya.”

“Tetapi ia sudah menyerah,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Semu memang terdiam. Tetapi jantungnya terasa bergejolak ketika ia mendengar orang itu berteriak, “Pengecut. Kenapa kau tidak berani membunuhku.”

Hampir saja Mahisa Semu meloncat kembali. Bagaimanapun juga ia mencoba mempergunakan penalarannya, tetapi hatinya benar-benar telah terbakar.

Tetapi Mahisa Murti masih membimbingnya dan membawanya menyingkir. Katanya, “Ketahanan tubuhmu memang mengagumkan. Tidak sia-sia kau berlatih dengan tekun. Namun kau pun harus melatih ketahanan jiwamu. Kau tidak boleh mudah kehilangan akal. Jiwamu tidak boleh cepat terguncang karena kata-kata yang kau anggap menusuk jantungmu.”

Mahisa Semu menundukkan kepalanya.

“Kau memang masih terlalu muda,” berkata Mahisa Pukat, “namun kau harus berlatih. Aku juga sedang melatih diri untuk tidak mudah hanyut dalam arus perasaan. Kita harus selalu mencari keseimbangan antara perasaan dan penalaran, karena jika keduanya tidak seimbang dan berat sebelah, maka sikap kita pun menjadi tidak seimbang pula...”