PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 111
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 111
Karya Singgih Hadi Mintardja
“KITA tahu, bahwa kakang Kamenjangan adalah murid yang dianggap terbaik oleh guru. Ia mendapat kesempatan lebih dari murid-muridnya yang lain. Karena itu, bahwa Empu Kamenjangan dikatakan dapat dikalahkan oleh seorang anak muda, maka janggutnya merasa terbakar.”
“Hus” desis yang lain.
“Tetapi bukankah guru memang sudah berubah” berkata orang yang pertama.
“Ia memang menjadi semakin tua. Tetapi ada yang tidak berubah. Aku masih dibiarkan makan sebanyak-banyaknya” berkata orang yang gemuk itu.
Kawan-kawannya sempat tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Kau tidak pernah berpikir lain kecuali makan sebanyak-banyaknya. Apapun yang terjadi di sekelilingmu tidak akan mempengaruhimu, asal kau masih tetap dapat makan sebanyak-banyaknya.”
Orang itu tertawa. Tetapi dengan cepat ia menutup mulutnya.
Sementara itu seorang yang lain berkata bersungguh-sungguh, “Nanti, setelah guru memanggil Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara, lalu apa yang akan dilakukannya? Apa pula yang harus kami lakukan? Menghukum Empu Sidikara beramai-ramai?”
“Entahlah” jawab yang lain, “apa pula maksud guru dengan menebus kekalahan? Apakah kita harus bertempur melawan anak muda yang telah mengalahkan Empu Kamenjangan itu atau guru sendiri yang akan melakukannya atau apa?”
Tetapi mereka pun terdiam ketika mereka melihat orang berjanggut putih yang mereka sebut sebagai guru itu. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sama sekali tidak berbicara apapun juga selain memesan makanan dan minuman serta minta agar kuda-kuda mereka juga dirawat.
Namun anak-anak muda itu terkejut ketika orang berjanggut putih itu tiba-tiba saja berdiri dan melangkah mendekati mereka. Sambil duduk di dekat mereka, orang itu bertanya, “Anak-anak muda itu akan pergi ke mana atau dari mana?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Sudah tentu mereka tidak akan menyebut bahwa salah seorang di antara mereka adalah Mahisa Pukat. Kebetulan itu harus mereka tanggapi dengan sangat berhati-hati. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kami baru saja menempuh perjalanan dari Bumiagara.”
“Bumiagara?” orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”
“Kembali ke Singasari” jawab Mahisa Murti
“Apakah kalian anak-anak Singasari?” bertanya orang itu.
“Bukan” jawab Mahisa Murti, “kami adalah orang Sangling. Tetapi ada saudara kami yang tinggal di Singasari. Sudah agak lama kami tinggal bersama saudara kami itu.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Apakah kalian semua bersaudara?”
“Ya” jawab Mahisa Murti, “bahkan masih ada saudara kami yang lain.”
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kenapa kalian tidak memilih jalan yang lebih dekat?”
“Kami sudah terbiasa menempuh jalan ini.” jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang tanggap akan jawaban-jawaban Mahisa Murti telah mengarang nama-nama bagi diri mereka masing-masing. Untunglah bahwa orang itu tidak bertanya nama mereka seorang demi seorang.
Bahkan kemudian orang tua itu telah bangkit dan mendekati murid-muridnya sambil berkata, “Marilah. Kita lanjutkan perjalanan.”
Sejenak kemudian, setelah membayar harga makanan dan minuman mereka, maka orang-orang itu pun segera meninggalkan kedai itu. Selain gurunya, maka mereka berjumlah lima orang. Seorang di antara mereka, yang termuda, adalah orang yang gemuk itu.
Demikian mereka pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka telah terlepas dari intaian sekelompok serigala yang lapar.
“Adalah kebetulan sekali kita bertemu di sini” berkata Mahisa Pukat.
“Hanya terjadi satu dari seribu peristiwa” jawab Mahisa Murti, “namun membuat hati ini menjadi berdebar-debar.”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Jika aku sempat bertemu lebih dahulu dengan Empu Sidikara.”
“Kau coba sajalah” berkata Mahisa Murti, “sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Aku akan langsung singgah di rumah Empu Sidikara mengabarkan rencana yang kita dengar tadi.”
“Baiklah, aku kira orang-orang itu tentu akan singgah lebih dahulu di rumah Empu Kamenjangan. Baru kemudian mereka akan memanggil Empu Sidikara.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia menjadi tergesa-gesa menyelesaikan makan dan minumnya. Demikian mereka selesai, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Agaknya kuda mereka pun telah cukup beristirahat. Telah cukup pula makan dan minum sebagaimana mereka sendiri.
Perjalanan mereka tidak lagi sekedar melarikan kuda mereka di tengah-tengah bulak. Tetapi mereka telah melarikan kuda mereka lebih kencang, meskipun tidak berpacu seperti di pacuan kuda. Setelah menempuh perjalanan panjang, maka seperti yang direncanakan Mahisa Pukat tidak singgah dulu di rumah ayahnya. Tetapi ia langsung menuju ke rumah Empu Sidikara.
...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan...
“Apa kesan yang kau dapatkan pada Empu Sidikara itu?”
“Seperti saudara-saudara seperguruannya, Empu Sidikara merasa bahwa gurunya telah berubah.” jawab Mahisa Pukat, “ia berharap bahwa ia dapat berbicara dengan baik. Tetapi tanggapannya memang sama seperti saudara-saudara seperguruannya yang lain tentang Empu Kamenjangan. Empu Kamenjangan memang terlalu manja, sehingga kadang-kadang ia tidak berdiri beralaskan kenyataan. Seperti sikapnya di Kesatrian. Bahkan ia pun ikut memanjakannya ketika ia minta menjajagi ilmuku.”
“Kenapa ia mendapat perhatian khusus dari gurunya?” bertanya Mahendra.
“Ia dianggap murid terbaik oleh gurunya” jawab Mahisa Pukat, “ia mempunyai beberapa kelebihan, sehingga ia mendapat perhatian khusus. Mungkin gurunya menumpahkan harapannya atas kelangsungan perguruannya kepada Empu Kamenjangan. Kesempatan Empu Kamenjangan menyusupkan ilmunya lewat para bangsawan muda di Kesatrian, ia berharap bahwa ilmunya akan menjadi ilmu yang paling berpengaruh. Para bangsawan itu kelak akan memegang kepemimpinan di Singasari. Sementara itu mereka adalah orang-orang yang memiliki landasan ilmu dari perguruan Empu Kamenjangan.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Jika demikian maka kau harus berhati-hati Mahisa Pukat. Mungkin orang itu akan berbuat apa saja untuk merebut kembali kedudukannya. Mungkin mereka tidak segan-segan berbuat licik dan mengabaikan harga dirinya untuk mencapai keinginannya, menembus kembali dinding Kesatrian.”
“Tetapi Pangeran Kuda Pratama bukan seorang yang pendiriannya mudah goyah? Besok aku akan memberikan laporan tentang kedatangan guru Empu Kamenjangan serta apa yang ia inginkan.” berkata Mahisa Pukat.
“Baiklah” Mahendra mengangguk-angguk, “meskipun demikian kau harus tetap berhati-hati.”
Demikianlah, maka malam itu Mahisa Pukat bermalam di rumah ayahnya. Ia masih ingin banyak berbicara dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Memang sampai lewat tengah malam mereka berbincang tanpa habis-habisnya. Ada saja yang mereka bicarakan. Tentang padepokan Bajra Seta, tentang hubungan padepokan itu dengan padukuhan-padukuhan sekitarnya dan juga tentang Kesatrian Singasari.
Namun malam menjadi semakin larut, maka Mahendra pun memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa besok ia masih harus melakukan kewajibannya yang sudah ditinggalkan sekitar sepekan. Ketika Matahari terbit di keesokan harinya, maka Mahisa Pukat telah siap untuk pergi ke Kesatrian. Ia minta Mahisa Murti untuk tinggal beberapa hari di Kotaraja.
“Pada satu kesempatan aku akan mengajak kalian ke Kesatrian Singasari. Kalian dapat bertemu dan berbicara dengan Pangeran Kuda Pratama yang pernah menyetujui kehadiran Mahisa Murti di Kesatrian. Kau akan dapat berbicara langsung dan memberikan alasan-alasanmu kenapa kau tidak dapat bertugas di Kesatrian” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu kesempatan itu.”
“Tentu tidak akan lama besok atau lusa” berkata Mahisa Pukat pula, “sementara itu kau dapat membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan Kotaraja.”
“Baiklah” Mahisa Murti mengangguk kecil, “aku mempunyai waktu beberapa hari di Kotaraja ini.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya pula untuk kembali ke Kesatrian. Namun ia masih mempunyai sedikit waktu untuk singgah ke rumah Sasi. Mahisa Pukat memang tidak dapat terlalu lama berada di rumah Sasi. Meskipun agaknya Sasi masih mengharap Mahisa Pukat tinggal lebih lama di rumahnya, namun Mahisa Pukat harus segera kembali ke Kesatrian.
Bahkan ketika Arya Kuda Cemani berangkat ke tugasnya maka ia pun bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apakah kau masih belum bertugas hari ini?”
“Aku memang akan pergi ke Kesatrian. Aku hanya singgah sebentar.” jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah, sepeninggal Arya Kuda Cemani, maka Mahisa Pukat telah minta diri pula. Sasi tidak lagi menahannya, karena ia menyadari bahwa Mahisa Pukat memang harus segera berada di Kesatrian untuk melakukan tugasnya. Demikian Mahisa Pukat sampai di Kesatrian, maka yang pertama-tama dilakukan adalah mohon untuk dapat menghadap Pangeran Kuda Pratama.
Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak berkeberatan untuk menerimanya. Ditemuinya Mahisa Pukat di serambi tempat tinggal Pangeran Kuda Pratama masih dilingkungan Kesatrian. Setelah melaporkan diri bahwa ia telah siap untuk bertugas lagi, maka Mahisa Pukat pun telah melaporkan pula bahwa kepergiannya ke Padepokan Bajra Seta tidak menghasilkan apa-apa.
“Bagaimana dengan saudaramu itu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Ia sekarang berada di Kotaraja, Pangeran” jawab Mahisa Pukat. “Jika Pangeran berkenan, ia akan menghadap untuk menyampaikan alasan-alasannya, kenapa ia tidak dapat ikut bersamaku bertugas di Kesatrian.”
“Tentu saja aku senang sekali menerimanya” berkata Pangeran Kuda Pratama, “ajaklah ia kemari.”
“Apakah besok saudaraku itu diperkenankan menghadap?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Pangeran Kuda Pratama, “kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati. Kecuali jika kebetulan aku tidak ada di Kesatrian.”
“Baiklah Pangeran” jawab Mahisa Pukat, “nanti malam aku akan pulang dan besok membawa saudaraku itu menghadap” berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian Mahisa Pukat pun telah memberikan laporan tentang guru dan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang telah datang ke Kotaraja
“Darimana kau tahu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama
“Hanya satu kebetulan Pangeran. Agaknya memang kurang meyakinkan. Tetapi demikianlah yang sudah terjadi.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh laporan Mahisa Pukat tentang sikap guru Empu Kamenjangan. “Apakah gurunya sudah sangat tua?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Belum Pangeran” jawab Mahisa Pukat, “mungkin umurnya tidak terpaut terlalu banyak dengan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kita tunggu. Langkah apa yang akan diambil. Jika perlu, maka biarlah aku sendiri yang akan menemui gurunya.”
“Jangan Pangeran” berkata Mahisa Pukat, “orang itu bukan apa-apa. Karena itu, tidak sepantasnya Pangeran melibatkan diri langsung dengan persoalan ini. Mungkin saudaraku yang kebetulan berada di Kotaraja. Mungkin pula ayahku.”
“Ayahmu sudah terlalu tua Mahisa Pukat. Bukankah aku lebih muda dari ayahmu meskipun aku juga sudah tua?”
“Tetapi orang itu tidak cukup penting untuk menggerakkan wiru kain Pangeran.” sahut Mahisa Pukat.
Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Jangan melibatkan orang lain yang tidak mempunyai sangkut-paut sama sekali dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Persoalannya adalah persoalan yang langsung menyangkut kedudukan di Kesatrian. Karena itu, maka akulah yang bertanggung jawab.”
“Jangan Pangeran” Mahisa Pukat mencoba mencegah.
Namun Pangeran Kuda Pratama justru tertawa, “Jangan memperkecil arti kehadiranku di Kesatrian ini Mahisa Pukat.”
“Ampun Pangeran” jawab Mahisa Pukat sambil menunduk dalam-dalam.
“Kalau kau menghargai aku, maka biarlah aku mempertanggungjawabkan keputusan yang aku ambil.”
Mahisa Pukat tidak berani menjawab lagi. Karena itu maka ia pun hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Sudahlah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “jangan dipikirkan terlalu panjang. Ajak saja besok saudaramu itu kemari. Aku memang ingin mendengarkan alasannya kenapa ia tidak bersedia bertugas di Kesatrian. Tugas yang ditunggu oleh banyak orang”
“Baik Pangeran” jawab Mahisa Pukat.
“Nah, sudahlah. Bukankah kau akan mulai melakukan tugasmu setelah kurang lebih sepekan kau tinggalkan?” berkata Pangeran Kuda Pratama selanjutnya.”
“Ya, Pangeran” jawab Mahisa Pukat kemudian.
“Tetapi aku pesankan kepadamu, sebaiknya kau tidak membawa anak-anak muridmu keluar dari istana lebih dahulu sampai dua tiga hari. Kita akan melihat perkembangan suasana.”
Mahisa Pukat justru menjadi termangu-mangu. Meskipun dengan agak ragu, ia pun bertanya, “Jadi maksud Pangeran, aku harus menghindari guru dan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu?”
“Bukan kau. Tetapi murid-muridmu. Anak-anak Kesatrian. Maksudku, jika kau ingin pergi keluar, jangan bawa seorang pun di antara anak-anak Kesatrian.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Justru dengan demikian maka Pangeran Kuda Pratama itu memberi isyarat kepadanya, agar ia selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan tanpa melibatkan para bangsawan muda dari Kesatrian. Sambil membungkuk hormat, maka Mahisa Pukat berkata, “Ampun Pangeran. Segala perintah Pangeran akan aku lakukan.”
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah berada kembali di antara para Pelayan Dalam. Baru kemudian ia mendapatkan para bangsawan muda yang telah menunggunya beberapa lama. Rasa-rasanya mereka sudah cukup lama tidak melakukan latihan bersama dengan gurunya. Selama Mahisa Pukat pergi, maka para bangsawan muda itu melakukan latihan-latihan sendiri sekedar diawasi oleh para Pelayan Dalam yang ditugaskan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, pada hari itu pagi-pagi benar guru Empu Kamenjangan telah mengajaknya menemui Empu Sidikara. Gurunya sama sekali tidak puas dengan keterangan Empu Kamenjangan bahwa sebenarnya ilmu anak muda yang disebut Mahisa Pukat itu sangat tinggi sehingga ia sama sekali tidak mampu mengatasinya.
“Tetapi telingaku mendengar bahwa Sidikara telah berkhianat kepadamu, sehingga ketika kau dikalahkan oleh anak muda itu, sementara kedua orang kawanmu ingin membelamu, justru Sidikara berdiri di pihak anak muda itu.” berkata gurunya.
“Dari siapa guru mendengarnya?” bertanya Empu Kamenjangan.
“Kau tidak perlu tahu, dari siapa aku mendengar” jawab gurunya.
Tetapi Empu Kamenjangan tahu, bahwa ceritera itu tentu bermula dari salah seorang kawannya itu. Meskipun kawannya tidak berniat menyampaikannya kepada gurunya, tetapi orang lain yang mendengarnya dan mengenal gurunya telah menyampaikannya.
“Aku harus menelusuri orang yang mengenal guru itu” berkata Empu Kamenjangan di dalam hatinya.
Namun kepada gurunya Empu Kamenjangan menjawab, “Sidikara sama sekali tidak ingin berkhianat. Ia hanya ingin memperingatkan aku bahwa aku telah mengambil langkah yang salah”
“Kau tidak usah melindunginya” berkata gurunya
“Aku berkata sebenarnya guru” jawab Empu Kamenjangan. Ia pun menceriterakan bagaimana Empu Sidikara telah mengobatinya ketika ia hampir saja dijemput oleh maut.
Tetapi gurunya tetap berpendapat bahwa Empu Sidikara telah melakukan kesalahan. Karena itu, maka guru Empu Kamenjangan telah mengajaknya untuk menemui Empu Sidikara, maka Empu Sidikara telah siap untuk menerima mereka. Tanpa kegelisahan sama sekali, ia mempersilahkan gurunya untuk naik ke pendapa bersama saudara-saudaranya seperguruannya.
“Aku menunggu sejak kemarin” berkata Empu Sidikara.
“Sejak kemarin?” gurunya bertanya.
“Ya. Sejak kemarin” jawab Empu Sidikara.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku akan datang kemarin?” bertanya gurunya.
“Orang yang memberitakan kepada guru apa yang telah terjadi dengan Empu Kamenjangan itulah yang mengatakan kepadaku,” jawab Sidikara sambil tersenyum.
“Kau berbohong” berkata gurunya, “tetapi baiklah. Meskipun kau berbohong, tetapi aku benar-benar mengetahui. Atau perasaan-perasaan lain yang bergejolak di jantungmu. Kau menerima kedatanganku dengan persiapan jiwani yang mantap. Meskipun kau berbohong tentang siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku datang, nyatanya kau memang mengetahuinya.” guru Empu Kamenjangan itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Aku memang kemarin datang ke rumah Kamenjangan. Sebenarnya aku memang akan langsung datang kemari. Tetapi aku tidak ingin perasaanku yang masih panas itu membakar rumahmu ini.”
“Terima kasih guru” jawab Empu Sidikara, “aku memang sudah lama tidak bertemu dengan guru. Kedatangan guru sangat menyenangkan meskipun aku tahu bahwa guru tentu marah akan sikapku ketika Empu Kamenjangan bertempur dengan Mahisa Pukat, seorang Pelayan Dalam yang masih sangat muda dibandingkan dengan umur kami. Maksudku umurku dan umur Empu Kamenjangan.”
“Nah, sekarang aku datang untuk menuntut tanggung jawabmu sebagai saudara seperguruan Kamenjangan. Kenapa kau telah mengkhianatinya?” bertanya gurunya.
“Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Empu Kamenjangan, apakah ia merasa aku khianati?”
“Aku tidak peduli pendapat Kamenjangan. Tetapi menurut pendapatku, kau telah berkhianat.” geram gurunya.
“Nah, bukankah ada orang lain yang melaporkan kepada guru? Apa kata orang itu? Aku tidak tahu maksudnya, kenapa ia melapor kepada guru, kemudian ia memberitahukan kepadaku bahwa guru akan datang menemui aku.”
“Jangan berbelit-belit” bentak gurunya.
Empu Sidikara mengerutkan dahinya. Tetapi ia berkata, “Aku tidak tahu, kenapa guru menganggap aku berbelit-belit.”
“Cukup” bentak gurunya. Lalu katanya, “Kau harus menebus pengkhianatanmu.”
“Maksud guru?” bertanya Empu Sidikara.
“Kau tantang anak itu. Kau harus mengalahkannya. Baru harga diri perguruan kita dapat diangkat kembali.”
Tetapi Empu Sidikara menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak guru. Aku tidak sanggup. Sebelum Empu Kamenjangan, aku telah bertempur melawannya. Juga atas permintaan Empu Kamenjangan. Ternyata aku tidak dapat mengimbangi ilmunya. Ketika kemudian Empu Kamenjangan ingin melakukannya sendiri, aku sudah memperingatkannya. Tetapi Empu Kamenjangan tetap melakukannya. Hampir saja Empu Kamenjangan terbunuh dalam pertempuran itu.”
“Kenapa kau justru berbuat sebaliknya ketika kedua orang kawan Kamenjangan itu berusaha membalas sakit hati atas kekalahan Kamenjangan. Justru kau mengancam untuk berdiri di pihak anak muda itu.”
“Aku justru ingin mempertahankan harga diri perguruan kita. Apa kata orang bahwa perguruan kita baru dapat mengalahkan lawannya setelah mendapat bantuan dari orang lain? Karena itu, maka aku mencegah pertempuran yang akan terjadi antara kedua orang kawan Empu Kamenjangan melawan Mahisa Pukat itu.” jawab Empu Sidikara. Lalu ia pun kemudian bertanya kepada Empu Kamenjangan, “Nah, Empu Kamenjangan. Apa pendapatmu sebenarnya. Kata hati nuranimu?”
Empu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu ia berkata, “Aku memang sudah dikalahkannya. Aku harus mengakui itu.”
“Bagus. Besok atau sampai kapan pun aku berusaha untuk menjumpai anak itu. Saudara-saudara seperguruan kalian masih mempunyai kebesaran jiwa untuk membela nama baik perguruan kalian. Mereka akan dengan dada tengadah menghadapi Pelayan Dalam yang angkuh itu.”
Namun tiba-tiba muridnya yang gemuk itu berkata, “Guru Jika Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara saja tidak dapat mengatasi ilmunya, apalagi kami.”
“Diam kau” bentak gurunya, “bahwa Kamenjangan kehilangan kedudukannya di Kesatrian itu berarti bahwa ilmu perguruan kita tidak akan dapat menjadi ilmu yang paling berpengaruh di Singasari. Jika ada di antara kita yang masih tetap berada di Kesatrian maka para bangsawan Singasari akan melandasi kekuatan mereka dalam kedudukan mereka dengan ilmu dari-perguruan kita.”
“Tetapi itu sudah terlepas” berkata Empu Kamenjangan, “apakah dengan menantang dan berkelahi melawan Pelayan Dalam itu, kedudukan di Kesatrian dapat kita miliki kembali?”
“Kau memang bodoh. Kita jadikan Pelayan Dalam itu taruhan. Kita akan menghidupinya jika ia mampu menempatkan kau kembali di Kesatrian.” jawab Empu Kamenjangan.
“Tetapi yang menentukan kedudukanku di Kesatrian bukan Pelayan Dalam itu. Tetapi Pangeran Kuda Pratama.” jawab Empu Kamenjangan.
“Tetapi bukankah Pelayan Dalam itu punya mulut. Nah, biar mulutnya itu dipergunakannya untuk menyampaikan hal itu kepada Pangeran Kuda Pratama.”
Empu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Guru. Jika guru mau mendengarkan kata-kataku, sudahlah. Kita lupakan saja kedudukan di Kesatrian itu. Aku sudah merasa bersalah. Jika guru ingin menghukum aku, aku sama sekali tidak berkeberatan.”
“Aku tidak mau menjadi putus-asa seperti itu.” jawab gurunya, “aku harus mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Tetapi” Empu Kamenjangan memotong, “aku tidak mengira bahwa guru akan bersikap demikian. Selama ini aku justru mencemaskan guru, justru guru akan sangat marah kepadaku karena ketamakanku di Kesatrian. Setelah aku mendapat kedudukan di Kesatrian, aku menjadi lupa diri dan melupakan semua pesan guru.”
“Tutup mulutmu Kamenjangan. Kau sudah mengusutkan nama perguruan kita, sekarang kau masih juga ingin menentang sikapku. Aku sudah mengambil keputusan. Meskipun kalian menganggap aku berubah, tetapi niatku untuk menguasai landasan ilmu bagi para bangsawan di Singasari tidak akan berubah. Satu cara untuk menjadikan perguruan kita menjadi perguruan yang paling berpengaruh di Singasari.”
Empu Kamenjangan memang terdiam. Namun Empu Sidikara lah yang berkata, “Guru. Biarlah aku berterus-terang. Tidak ada seorang pun di antara kita yang akan mampu mengalahkan anak muda itu.”
“Aku tidak akan minta salah seorang dari antara kalian untuk berperang tanding. Kita akan menangkapnya dan memaksanya untuk menempatkan kembali Kamenjangan di Kesatrian. Aku percaya bahwa orang-orang seperti itu akan memegang janjinya.”
“Satu hal yang mustahil” berkata Empu Kamenjangan.
“Kalian memang orang-orang dungu, bodoh dan pengecut. Tetapi kalian harus mencobanya. Kita tidak mempunyai jalan lain. Kita akan menunggu di tempat yang terbiasa baginya untuk mengadakan latihan di luar istana, bahkan diluar Kotaraja. Kemudian kita akan menangkapnya dan memaksanya untuk berjanji. Jika kalian semuanya tidak mampu menghadapinya, biarlah aku turut campur.”
“Guru” berkata Empu Kamenjangan, “aku benar-benar tidak mengerti sikap guru sekarang.”
...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewat di buku aslinya...
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun merasa bahwa persoalan saudaranya yang tidak bersedia menjalani tugas di Kesatrian itu sudah selesai. Mahisa Pukat merasa bahwa ia telah menawarkannya, sehingga penolakan saudaranya itu akan dapat menyinggung perasaan Pangeran Kuda Pratama. Namun ternyata tidak. Pangeran Kuda Pratama dapat mengerti sepenuhnya kenapa Mahisa Murti tidak dapat mengabdikan dirinya di Istana Singasari.
Selain daripada itu, maka Mahisa Pukat ingin mengajak Mahisa Murti untuk pergi ke lereng bukit, ketika semua keduanya telah berada di serambi sebelum tidur, maka MahisaPukat telah menceriterakan persoalan yang ternyata kemudian timbul karena kehadiran guru Empu Kamenjangan itu.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “besok aku ikut pergi ke lereng bukit” jawab Mahisa Murti
Malam itu, Mahisa Murti telah tidur di bilik yang di peruntukkan bagi para Pelayan Dalam. Karena ada beberapa orang yang bertugas malam itu, maka Mahisa Murti dapat menempati pembaringannya malam itu.
Pagi-pagi benar Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah bersih Mereka berdua telah meninggalkan Kesatrian. Tetapi Mahisa Pukat tidak mengajak seorang pun dari para bangsawan muda itu pergi bersamanya. Mahisa Pukat hanya memberikan pesan kepada dua orang Pelayan ditunjuk untuk membantu dan melayani para bangsawan muda itu berlatih di pagi hari.
Para bangsawan muda itu memang menjadi heran, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui, kemana guru mereka itu pergi, bahkan kedua bangsawan remaja yang sejak semula menjadi murid Mahisa Pukat itu pun tidak tahu kemana perginya Mahisa Pukat dan saudaranya yang semalam bermalam di Kesatrian itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang meninggalkan Kesatrian memang memenuhi perintah Pangeran Kuda Pratama. Jika ia akan pergi menemui guru Empu Kamenjangan, sebaiknya ia tidak membawa seorang pun dari antara murid-muridnya di Kesatrian.
Demikianlah sebelum matahari terbit, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berada di lereng bukit. Sebenarnyalah mereka mengetahui bahwa beberapa pasang mata mengikutinya saat mereka memanjat lereng yang tidak terlalu terjal dan tidak terlalu tinggi itu menuju ke tempat yang terbiasa dipergunakan oleh Mahisa Pukat untuk berlatih bersama murid-muridnya di Kesatrian.
“Mereka mengikuti kita” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kita akan menunggu mereka sampai mereka menampakkan diri.”
Mahisa Murti mengangguk. Keduanya berlari-lari kecil sebagaimana sering dilakukan oleh Mahisa Pukat dan murid-muridnya, para bangsawan muda di Kesatrian. Ketika keduanya berada di tempat yang datar di lambung perbukitan itu, maka tiba-tiba saja orang yang mereka kenal sebagai guru Empu Kamenjangan itu langsung berjalan bergegas menemui mereka.
Tanpa memperkenalkan diri, orang itu langsung menuding kedua orang muda itu sambil berkata, “He, bukankah kalian anak-anak yang aku temui di kedai dalam perjalanan kalian ke Singasari itu?”
“Ya Ki Sanak” jawab Mahisa Pukat sambil memperhatikan beberapa orang yang kemudian datang mengikuti guru Empu Kamenjangan. Di antara mereka terdapat Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara.
“Jadi kalian mendengar apa yang kami katakan di kedai itu tentang Kamenjangan dan Sidikara?” bertanya orang itu.
“Ya. Kami mendengar semuanya. Kami tahu bagaimana Ki Sanak menyesali sikap Empu Sidikara. Bagaimana Ki Sanak kecewa atas kegagalan Empu Kamenjangan. Aku memang mendengarkan apa yang Ki Sanak katakan, karena aku langsung berkepentingan.”
“Kenapa kalian diam saja?” bertanya orang itu.
“Jadi apa yang harus kami perbuat? Bukankah memang sebaiknya kami tidak berbuat apa-apa saat itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kau licik. Seharusnya kalian mengaku siapa sebenarnya kalian berdua.” geram guru Empu Kamenjangan itu.
“Untuk apa? Bukankah dengan demikian hanya akan menimbulkan perselisihan? Apa pula gunanya perselisihan itu. Karena kami menganggap bahwa perselisihan di antara kita tidak ada gunanya, maka kami memutuskan untuk berdiam diri saja”
“Tetapi benih-benih perselisihan memang sudah ada. Bukankah akhirnya kita pun akan berselisih dan menentukan tataran kemampuan kita? Seandainya kau berani mengaku saat itu, maka persoalan kita sudah selesai.” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata, “Aku ingin Ki Sanak lebih dahulu bertemu dengan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Mereka akan dapat memberikan pertimbangan kepada Ki Sanak, apa yang sebenarnya yang telah terjadi. Agaknya Ki Sanak telah mendengarnya dari orang lain yang tidak langsung berkepentingan.”
“Aku tahu. Kau bermaksud agar Kamenjangan dan Sidikara berusaha membatalkan niatku untuk memaksamu agar Kamenjangan di tempatkan kembali di Kesatrian” geram guru Empu Kamenjangan.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “karena hal itu tidak akan mungkin dilakukan. Pangeran Kuda Pratama lah yang dapat menentukan hal itu. Ia bukan orang yang mudah merubah keputusannya.”
“Tetapi jika perubahan itu disertai dengan alasan-alasan yang masuk akal, maka Pangeran tua itu tentu akan menerimanya.” berkata guru Empu Kamenjangan dengan nada tinggi.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan mampu meyakinkannya.”
“Anak muda” berkata guru Empu Kamenjangan itu, “kami datang memang untuk menangkapmu. Kami akan memaksamu untuk mengusahakan agar Kamenjangan dapat kembali memangku jabatannya di Kesatrian. Dengan demikian maka barulah persoalan di antara kita selesai. Aku memang tidak akan menuntut apapun juga kecuali kedudukan itu. Meskipun dengan kehadiranmu, maka pengaruh ilmu perguruanku atas para bangsawan di Singasari tidak akan mutlak lagi.”
“Bukankah sejak aku belum ada di Kesatrian pengaruh ilmu Empu Kamenjangan juga tidak mutlak? Bukankah di sini ada dua orang lain yang menjadi guru para bangsawan muda di Kesatrian?” sahut Mahisa Pukat.
“Tetapi mereka tidak berarti apa-apa. Mereka berada dibawah pengaruh Kamenjangan. Kedua orang itu tidak lebih dari sekedar membantu Kamenjangan membimbing para bangsawan muda di Kesatrian ini. Tetapi landasan ilmu yang diberikan kepada para bangsawan muda itu adalah landasan ilmu Kamenjangan.”
Namun Mahisa Pukat tetap menggeleng. Katanya, “Aku tidak sanggup Ki Sanak.”
“Aku tidak bertanya kau sanggup atau tidak sanggup. Tetapi aku berniat memaksamu. Jika kau berkeras tidak mau membantu Kamenjangan kembali ke Kesatrian, maka sekarang aku akan menangkapmu dan apabila perlu membunuhmu.”
“Sampai seberapa jauh batas apabila perlu yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Persetan dengan pertanyaanmu itu. Katakan sekarang bahwa kau bersedia untuk membantuku” bentak guru Empu Kamenjangan itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak, Empu, aku tidak dapat membantu.”
“Jika demikian aku harus memaksamu. Kami akan menangkapmu dan memaksamu untuk menerima keinginanku, membantu agar Kamenjangan dapat diterima lagi di Kesatrian.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi Ki sanak akan memaksakan perselisihan?”
“Itu salahmu. Jika kau tidak mengelakkan niatku, maka tidak akan ada perselisihan itu.”
“Guru” berkata Empu Kamenjangan, “jika demikian maka baiklah aku berterus terang. Aku tidak akan bersedia untuk bertugas kembali di Kesatrian. Harga diriku sudah larut. Aku tidak akan mempunyai wibawa lagi atas murid-muridku.”
“Pengecut kau” bentak gurunya marah, “kenapa kau katakan bahwa aku berubah sekarang? Ternyata bukan aku yang berubah, tetapi kalian. Terutama Kamenjangan. Kau yang aku kira akan dapat melangsungkan kebesaran nama perguruan kita, ternyata kau tidak lebih dari seorang pengecut.”
Empu Kamenjangan tidak menjawab. Ia tahu bahwa gurunya benar-benar marah. Tetapi ia memang sudah berkeputusan tidak akan kembali ke Kesatrian. Karena Empu Kamenjangan tidak menjawab, maka gurunya itu pun berkata, “Tetapi jika kau bersikeras menolak Kamenjangan, maka aku perintahkan kepada Sidikara untuk menggantikan kedudukan Kamenjangan di Kesatrian.”
...Sepertinya ada bagian dialog yang terlewat...
“Jangan dengarkan kata orang” bentak guru Empu Kamenjangan, “bagiku apapun kata orang, tujuan utama perguruan kita tidak boleh terlepas dari tangan.”
“Tetapi kita hidup di antara orang-orang” jawab Empu Sidikara meskipun agak ragu.
“Orang akan membicarakan kita sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan mereka. Mungkin seseorang akan mengatakan bahwa kau tidak tahu malu. Tetapi orang lain akan memujimu sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan nama perguruanmu. Meskipun saudara seperguruannya terusir, tetapi kau ternyata mampu menggantikannya.” berkata gurunya lantang.
“Sementara itu, apa kata hati nurani kita sendiri?” bertanya Empu Sidikara.
“Nah, itu tergantung kepadamu. Apakah kau seorang yang berjiwa besar atau tidak lebih dari seekor tikus kecil sakit-sakitan. Nurani seseorang memang tergantung pada sikap jiwani serta pandangan hidupnya. Itulah sebabnya maka setiap orang mempunyai pendapat, sikap dan tanggapan yang berbeda terhadap satu persoalan.”
“Tetapi bukankah ada keselarasan sikap yang bersifat umum? Bukankah berdasarkan atas sikap itu, maka dalam kehidupan ini terdapat keselarasan dan keseimbangan?” bertanya Empu Sidikara.
“Itu adalah sikap batang ilalang yang merunduk kemana arah angin bertiup. Tidak. Kau dan semua murid-muridku tidak boleh bersikap sebagaimana batang ilalang. Kalian harus tegak dan tegar pada sikap yang telah kalian pilih sendiri.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Jika itu yang guru maksud, maka aku sudah menyatakan sikapku. Agaknya sikap itu bukan sikap batang ilalang meskipun angin prahara akan bertiup,” jawab Empu Sidikara.
“Kau memang anak iblis. Jika demikian, aku akan melupakan kalian berdua” geram guru Empu Kamenjangan itu.
....Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Dalam pada itu, saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara itu memang tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur dengan sungguh-sungguh. Gurunya seakan-akan melihat gejolak jantung mereka jika mereka menjadi ragu-ragu. Semakin keras gurunya berteriak maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.
Meskipun masih berada dibawah tataran Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara, namun berlima mereka menjadi sangat berbahaya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi diri, sehingga kulit daging Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa nyeri.
Namun dalam pada itu, Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang telah terjadi di arena. Karena itu di dalam hati ia bergumam, “Anak-anak muda yang hatinya bagaikan lautan. Mereka memiliki kesabaran yang tinggi meskipun mereka menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.”
Empu Sidikara yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat dengan kekuatan ilmu yang mampu menghisap kekuatan lawannya itu segera menyadari, bahwa kedua orang anak muda itu telah mengetrapkan ilmu itu pula. Keduanya lebih banyak membentur setiap serangan dengan serangan. Bahkan serangan-serangan mereka berdua nampaknya bukannya serangan yang berbahaya. Seakan-akan keduanya asal saja dapat mengenai lawannya di sasaran yang mana pun juga.
“Ternyata saudara laki-laki Mahisa Pukat itu memiliki kemampuan dan ilmu setingkat dengan Mahisa Pukat. Keduanya sama sekali tidak dapat dibedakan. Bukan saja unsur-unsur gerak yang mereka kuasai, tetapi juga sikap dan wataknya.” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, pertempuran itu pun mulai menarik perhatian guru Empu Sidikara. Ia melihat perubahan yang terlalu cepat terjadi pada murid-muridnya. Mereka yang sudah terbiasa berlatih dengan mengerahkan segenap kekuatan dan tenaga mereka di dalam dan juga di luar sanggar, tentu mempunyai ketahanan tubuh yang besar. Tetapi melawan dua orang anak muda itu, saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara itu dengan cepat mengalami kesulitan. Mereka mulai nampak letih. Tenaga mereka dengan cepat pula menyusut. Gerak mereka tidak lagi cepat dan kuat.
Meskipun kelima orang itu berusaha untuk mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, namun rasa-rasanya urat-urat darah mereka mulai membeku. Jantung mereka seolah-olah menjadi semakin lambat berdetak di dalam dadanya.
“He, monyet-monyet kecil” teriak guru Empu Kamenjangan, “ada apa dengan kalian? Kenapa kalian tiba-tiba menjadi seperti kehabisan darah, sementara kalian semuanya masih belum terluka?”
Saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu memang merasa heran tentang diri mereka sendiri. Betapapun mereka mengerahkan tenaga, namun rasa-rasanya tulang-tulang mereka menjadi seberat batang-batang timah.
Gurunya menjadi semakin marah melihat keadaan itu. Dengan lantang berteriak, “Apa boleh buat, Hancurkan mereka dengan ilmu pamungkas kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar perintah itu, karena itu, maka mereka berdua telah mengerahkan kemampuan mereka. Serangan-serangan mereka menjadi semakin cepat sehingga sentuhan-sentuhan pada tubuh lawan-lawan mereka pun menjadi semakin sering pula.
Dalam pada itu, kelima orang saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu pun mendengar perintah gurunya. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak sanggup lagi mengerahkannya. Tenaga mereka telah tersusut sampai batas yang tidak memungkinkan mereka untuk melepaskan kekuatan pamungkas mereka. Bahkan orang yang gemuk itu kadang-kadang telah menjadi goyah. Keseimbangannya tidak cukup mantap.
Guru Empu Kamenjangan itu terlambat mengetahui apa yang telah terjadi. Baru kemudian dengan marah ia berteriak, “Iblis yang licik. Kalian pergunakan ilmu yang tidak pantas lagi dipergunakan sekarang ini. Kau curi tenaga dan kemampuan murid-muridku dengan ilmu kalian yang sangat licik itu.”
“Apakah yang Ki Sanak maksudkan dengan licik itu? Apakah benar kami telah berbuat licik menghadapi lima orang murid Ki Sanak itu?” sahut Mahisa Pukat.
“Persetan” geram guru Empu Kamenjangan itu, “jika demikian, maka biarlah aku sendiri yang akan menghadapi kalian berdua. Aku tidak takut dengan ilmu iblismu itu.” Kepada murid-muridnya ia pun berteriak, “Minggir, atau kalian akan terbakar oleh ilmu puncakku.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Mahisa Murti membawa pedang pusakanya. Tetapi Mahisa Pukat tidak, karena selama ini bertugas di Kesatrian sebagai Pelayan Dalam ia mengenakan pedang keprajuritan sebagaimana yang dipergunakan oleh semua pelayan dalam.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak berniat mempergunakan pedangnya untuk melontarkan ilmunya jika bersama-sama dengan Mahisa Pukat ia harus melontarkan ilmunya untuk melawan ilmu guru Empu Kamenjangan yang tentu sangat dahsyat itu.
Sementara itu, tiba-tiba pula hampir berbareng Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara meloncat maju sambil berkata, “Jangan guru. Mereka masih terlalu muda untuk melawan ilmu puncak yang akan guru lontarkan.”
Tetapi guru Empu Kamenjangan itu telah menjadi sangat marah. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Minggir. Atau kalian berdua akan mati lebih dahulu.”
“Barangkali itu lebih baik guru” sahut Empu Kamenjangan, “dengan demikian aku tidak melihat guru membuat kesalahan sebagaimana pernah aku lakukan. Untunglah bahwa waktu itu ilmuku tidak cukup kuat untuk melawan ilmu Mahisa Pukat, sehingga akulah yang terluka di dalam. Namun jika ilmu guru mampu memecahkan ilmu kedua orang anak muda itu, maka akulah sumber dari bencana itu dan aku memang pantas untuk dihancurkan lebih dahulu.”
Wajah gurunya menjadi tegang. Tetapi ia berteriak, “Baik. Bersiaplah kalian berdua untuk mati.”
Kedua orang murid tertua itu pun telah benar-benar mempersiapkan diri. Mereka sama sekali tidak berniat untuk melawan. Mereka benar-benar telah pasrah apabila gurunya ingin menghancurkan mereka dengan ilmunya yang sangat kuat. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar getaran suara yang menghentak-hentak, membentur dinding perbukitan dan melingkar-lingkar di dalam setiap dada.
“Ki Sanak. Jangan kau sakiti kedua orang muridmu itu. Mereka sama sekali tidak bersalah sehingga dengan demikian mereka sama sekali tidak pantas untuk mendapat hukuman.”
Orang-orang yang mendengar suara itu harus mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi gejolak di dalam dada mereka masing-masing. Gejolak yang seakan-akan mengguncang dan akan meruntuhkan jantung. Namun suara itu semakin lama menjadi semakin keras. Getarannya terasa semakin mengguncang isi dada dan bahkan rasa-rasanya menusuk sampai ke pusat jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengerahkan daya tahan mereka. Meskipun mereka tidak mengalami kesulitan di dalam diri mereka, namun mereka benar-benar harus memusatkan segala nalar budinya untuk melawannya. Demikian pula Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Apalagi saudara-saudara seperguruannya yang lebih muda.
Sementara itu guru Empu Kamenjangan pun harus mempertahankan diri terhadap serangan itu. Ia sadar, bahwa serangan itu memang ditujukan kepadanya, sehingga karena itu, maka getaran yang paling tajam adalah getaran yang meluncur langsung ke dadanya. Tetapi orang itu adalah orang yang berilmu tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi goncangan di dalam dadanya. Namun dengan demikian orang itu pun menyadari, bahwa orang yang telah melontarkan serangan dengan getaran suaranya itu tentu seorang yang berilmu sangat tinggi pula.
Tetapi guru Empu Kamenjangan itu tidak mau menyerah karenanya Ia pun telah mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi getaran yang menusuk bagian dalam dadanya itu. Namun perlahan-lahan getaran itu pun semakin mengendor, sehingga akhirnya hilang sama sekali. Namun dalam pada itu, semua orang yang ada di tempat itu pun terkejut karenanya.
Tiba-tiba saja mereka melihat seseorang berjalan ke arah mereka tanpa mereka ketahui darimana orang itu datang. Yang menjadi sangat terkejut adalah Mahisa Pukat, Mahisa Murti, Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Karena orang yang datang itu adalah Pangeran Kuda Pratama.
Guru Empu Kamenjangan yang ternyata belum mengenal Pangeran Kuda Pratama dengan lantang bertanya, “He, siapa kau yang mengenakan pakaian kebesaran? Apa kepentinganmu sehingga kau ikut mencampuri persoalan kami di sini”
Empu Kamenjangan lah yang dengan serta-merta telah menyahut, “Guru. Yang datang itu adalah Pangeran Kuda Pratama.”
“He?” guru Empu Kamenjangan memang menjadi sangat terkejut pula. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun Pangeran. Aku belum mengenal Pangeran sebelumnya, sehingga karena itu, aku tidak segera memberikan hormat.”
“Bukan salah Ki Sanak” sahut Pangeran Kuda Pratama, “sekarang aku datang untuk memperkenalkan diri.”
“Aku merasa mendapat kehormatan yang tinggi atas kedatangan Pangeran sekarang ini.” jawab guru Empu Kamenjangan.
“Selebihnya aku ingin bertanya, kenapa Ki Sanak telah mempersiapkan ilmu Ki Sanak yang sangat berbahaya untuk menyerang kedua orang murid Ki Sanak sendiri?”
“Sebenarnya aku tidak perlu memberikan penjelasan. Pangeran tentu sudah mengetahuinya,” jawab orang itu.
“Aku hanya melihat kulitnya. Tetapi apakah alasan yang telah aku dengar itu memang alasan yang sebenarnya? Seandainya itu benar, apa pula yang telah mendorong Ki Sanak sampai hati untuk membinasakan murid-murid terbaik Ki Sanak sendiri?”
“Ya, kenapa tidak? Mereka telah berani menentang aku, gurunya. Mereka tidak lagi mendengarkan perintahku. Bukankah itu merupakan satu pengkhianatan yang tidak dapat dimaafkan?”
“Apakah menurut Ki Sanak, hukuman yang akan mereka terima itu seimbang dengan kesalahan mereka?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Aku telah mengetrapkan paugeran yang pasti, Siapa yang berkhianat serta menghalangi keinginanku, maka ia akan disingkirkan.” jawab guru Empu Kamenjangan itu.
Pangeran Kuda Pratama itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian, maka kau adalah seorang yang memegang teguh pada sikap yang telah kau gariskan. Tetapi apakah kau tidak mempertimbangkan kebenaran dalam mengambil keputusan?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Kebenaran bagiku adalah apapun yang sesuai dengan ketentuan dan paugeran yang telah aku gariskan.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Jika demikian maka ruang lingkup kebenaran yang kau katakan itu jangkauannya terlalu sempit.” berkata Pangeran Kuda Pratama.
“Maksud Pangeran?”
“Karena ada kebenaran yang diakui oleh banyak orang. Sedangkan kebenaran yang mutlak itu datangnya dari Yang Maha Agung.”
“Kenapa kita harus berpikir demikian rumitnya? Aku tidak ingin membuat kepalaku sendiri menjadi pening” jawab guru Empu Kamenjangan.
“Jika demikian, baiklah. Kita berpijak pada kebenaran menurut landasan bersikap kita masing-masing. Karena itu maka aku tidak akan menghindar jika kita akan berbenturan kepentingan karenanya. Aku menganggap bahwa sikapmu terhadap kedua murid utamamu itu salah. Aku akan membela mereka karena sikap yang mereka ambil ada hubungannya dengan tugas-tugas di Kesatrian yang menjadi tanggung jawabku.”
“Tetapi sebaiknya Pangeran tidak mencampuri persoalanku dengan murid-muridku. Itu persoalan yang sangat terbatas.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Aku tidak peduli. Tetapi aku menganggap penting untuk mencampuri persoalan siapa saja yang ingin aku campuri.” jawab Pengeran Kuda Pratama.
“Pangeran telah melanggar wewenangku sebagai guru atas murid-muridku”
“Aku tidak peduli. Kita tidak usah berpikir tentang kewajaran, kebiasaan dan apa yang sebaiknya aku lakukan atas persoalan yang menurut pendapatmu terbatas di lingkungan perguruanmu. Aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, karena aku yakin bahwa yang aku lakukan itu benar.”
Guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu. Bagaimanapun juga ada rasa segan di dalam hatinya. Pangeran Kuda Pratama adalah seorang pangeran yang berpengaruh di Singasari. Selebihnya, Pangeran Kuda Pratama adalah seorang pengeran yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, untuk beberapa saat guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu.
Sementara itu Pangeran Kuda Pratama berkata, “Ki Sanak. Jika kau tetap berpijak pada niatmu untuk menghukum muridmu, bersiaplah. Kita akan berhadapan. Sebagai orang-orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya, sebenarnya kita sudah tidak pantas untuk berkelahi. Tetapi jika sekali-sekali kita ingin mengenang kembali masa kanak-kanak, sekaranglah kesempatannya.”
Guru Empu Kamenjangan itu sama sekali tidak mengira, bahwa pada suatu saat ia harus berhadapan dengan Pangeran Kuda Pratama, Pangeran yang memiliki kekuasaan di Kesatrian. Jika hal itu terjadi, maka persoalannya tentu akan berkembang semakin parah. Sementara itu, maka tujuannya untuk memasukkan pengaruhnya di istana Singasari, khususnya pengaruh ilmunya tidak akan pernah dapat terjadi. Sementara itu guru Empu Kamenjangan itu harus pula mengakui bahwa Pangeran Kuda Pratama adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Beberapa saat guru Empu Kamenjangan itu merenung. Namun kemudian ternyata bahwa penalarannya yang bening masih mampu mengendalikan perasaannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja guru Empu Kamenjangan itu pun mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Pangeran. Sudah tentu bahwa aku tidak akan berani melakukannya. Aku tahu bahwa Pangeran adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun lebih daripada itu, maka aku akan dianggap deksura jika aku berani melawan Pangeran. Aku pun akan menjadi musuh Singasari.”
Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Terima kasih atas pengertianmu Ki Sanak. Sejak semula aku yakin bahwa Ki Sanak bukan seorang yang mudah kehilangan penalaran. Aku pun sebenarnya tidak pantas untuk mencampuri persoalanamu dengan murid-muridmu. Tetapi aku terpaksa melakukannya. Karena selama Ki Sanak masih seorang manusia biasa, maka ia masih dapat berbuat khilaf.”
“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih, Pangeran. Aku memang khilaf. Ketika aku sadari bahwa usahaku untuk mengalirkan ilmu perguruanku ke istana Singasari terputus, maka penalaranku benar-benar menjadi keruh. Aku juga mendengar bagaimana murid-muridku menganggap aku telah berubah. Tetapi dorongan kegelisahan dan kekecewaanku membuatku tidak mendengar keluhan anak-anak muridku itu.”
“Tetapi masih belum terlambat” berkata Pangeran Kuda Pratama, “kekecewaan Ki Sanak masih sempat dikendalikan.”
“Seandainya Pangeran tidak datang ke tempat ini” desis guru Empu Kamenjangan, “mungkin aku akan menyesali perbuatanku sepanjang hidupku.”
“Tetapi bukankah itu tidak pernah terjadi?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Ya Pangeran, karena Pangeran menaruh belas kasihan kepadaku dan kepada murid-muridku.”
Pangeran Kuda Pratama tersenyum sambil menjawab, “Bukan belas kasihan Ki Sanak. Tetapi bukankah kewajiban kita masing-masing untuk membantu meluruskan langkah-langkah yang sesat. Dalam hal ini aku melihat, nampaknya Ki Sanak tidak segera menemukan jalan untuk mengatasi gejolak perasaan Ki Sanak.”
“Ya Pangeran. Karena itu, aku mengucap syukur.”
“Nah, jika demikian, maka aku ingin mempersilahkan Ki Sanak serta murid Ki Sanak untuk singgah di Kesatrian. Aku berharap kalian akan dapat menjadi tamuku di Kesatrian.”
Guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada murid-muridnya, terutama Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Namun keduanya tidak memberikan isyarat apapun juga. Karena itu, maka ia harus mengambil keputusan sendiri. Sambil mengangguk hormat, guru Empu Kamenjangan itu pun berkata, “Satu kehormatan yang besar bagiku, Pangeran. Tentu aku tidak akan menolak.”
“Terima kasih” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian, “bagiku kesediaan Ki Sanak juga merupakan satu kehormatan”
Namun demikian baik Pangeran Kuda Pratama maupun guru Empu Kamenjangan itu pun kemudian memandangi saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tenaga mereka telah terhisap oleh ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga yang tinggal hanyalah sisa-sisa tenaga mereka saja.
Saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu pun mengerti, bahwa guru mereka dan Pangeran Kuda Pratama itu ingin tahu, apakah masih ada sisa tenaga mereka untuk berjalan menuju ke istana Singasari yang jaraknya agak panjang.
Seorang di antara mereka yang tanggap itu pun berkata, “Guru, kami akan mencoba untuk berjalan sampai ke Istana. Mudah-mudahan kami dapat mencapai tujuan.”
Saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang gemuk itu pun berkata pula, “Tubuhku memang menjadi lemah guru. Tetapi singgah di istana tentu akan sangat menarik sekali. Aku belum pernah melihat keadaan di dalam istana dan apalagi minum seteguk airnya.”
“Apalagi yang akan kau katakan selain seteguk airnya?” seorang saudara seperguruannya memotongnya.
Betapa lemahnya tubuh orang yang gemuk itu. Tetapi ia masih dapat tersenyum. Katanya, “Aku berharap bahwa ada sesuatu yang dapat sedikit menambah kekuatanku yang menjadi jauh menyusut ini. Dan itu tentu ada di Istana.”
“Aku tahu arah bicaramu” sahut saudara seperguruan yang lain.
Orang yang gemuk itu tertawa. Tetapi ketika kakinya menjadi goyah, maka wajahnya cepat berubah. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku ingin duduk.” Tanpa menunggu jawaban, maka ia pun telah duduk di atas sebongkah batu padas. Keringatnya nampak membahasahi dahi dan keningnya.
Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Ki Sanak, kau dalam keadaan yang tidak sewajarnya sekarang, karena sebagian dari tenagamu telah terhisap oleh ilmu anak-anak muda itu ketika kalian bertempur. Tetapi jangan cemas, karena hal itu hanya terjadi untuk sementara. Mudah-mudahan besok tenagamu sudah pulih kembali seluruhnya atau sebagian besar”
Orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia pun kemudian berkata, “Ya pangeran. Mudah-mudahan. Tetapi dalam keadaan seperti ini, bukankah tidak berarti bahwa aku tidak dapat makan cukup?”
“Persoalan itu sajakah yang mencengkam kepalamu?” bentak salah seorang saudara seperguruannya.
Wajah orang yang bertubuh gemuk itu berkerut. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Bukankah di dasar hatimu tersimpan pertanyaan seperti itu juga?”
Saudara seperguruannya tidak menyahut lagi. Sementara itu gurunya berkata, “Sudahlah, Kita ternyata telah mendapat kehormatan untuk datang ke istana Singasari.”
Pangeran Kuda Pratama pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Marilah anak-anak muda.”
Demikianlah sekelompok kecil orang-orang yang berada di lereng perbukitan itu pun perlahan-lahan telah meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berjalan cepat, karena beberapa orang di antara mereka nampaknya telah menjadi lemah karena tenaganya menjadi susut. Namun orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan. Karena itu, maka betapapun keadaan mereka, namun akhirnya mereka sampai pula ke istana.
Meskipun demikian beberapa orang yang melihat sekelompok orang yang berjalan lambat itu mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Namun mereka yang telah mengenal Pangeran Kuda Pratama menjadi heran karena Pangeran itu berada di antara orang-orang yang nampak sangat kelelahan.
Di istana mereka telah diterima dengan baik oleh Pangeran Kuda Pratama. Para pelayan telah menghidangkan hidangan bukan saja minuman dan makanan, tetapi Pangeran Kuda Pratama pun telah memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan makan bagi para tamu itu.
Kepada saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang gemuk itu Pangeran Kuda Pratama berkata, “Marilah Ki Sanak. Silahkan. Kau akan membuktikan bahwa keadaan tubuhmu tidak akan mengganggu selera dan kesempatan makan bagi Ki Sanak.”
Saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas kesempatan ini Pangeran.”
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu bukan saja mendapat kesempatan untuk melihat relung-relung istana Singasari dan Kesatrian, tetapi mereka juga mendapat sambutan yang baik dan bahkan hidangan yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka, meskipun mereka masih juga harus menyadari betapa tenaga mereka telah jauh menjadi susut. Tetapi mereka yakin bahwa tenaga mereka tentu akan dapat pulih kembali sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Kuda Pratama.
Dalam kesempatan itu yang nampak lebih banyak berdiam diri, menunduk bahkan merenung adalah Empu Kamenjangan dan gurunya. Tetapi Pangeran Kuda Pratama dapat memaklumi, kenapa mereka bersikap seperti itu. Bagi Empu Kamenjangan kehadirannya di Kesatrian itu seakan-akan membawa beban karena ulahnya sendiri. Para bangsawan muda di Kesatrian itu tentu tahu kenapa ia harus meninggalkan Kesatrian dan apa pula yang pernah terjadi atas dirinya di lereng bukit itu.
Sementara itu gurunya pun tentu merasa bersalah terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, juga kepada Pangeran Kuda Pratama. Namun nampaknya Pangeran Kuda Pratama tidak menghiraukan persoalan itu lagi. Pangeran tua itu sama sekali tidak pernah menyinggung lagi apalagi nampak mendendam kepada Empu Kamenjangan dan gurunya.
Namun Empu Kamenjangan dan gurunya menjadi berdebar-debar ketika mereka telah selesai makan, serta mereka telah diajak oleh Pangeran Kuda Pratama untuk duduk di serambi terbuka. Udara mengalir mengusap tubuh mereka yang berkeringat setelah makan dan minum. Di serambi terbuka itu ternyata Pangeran Kuda Pratama telah menyinggung tentang para bangsawan di Kesatrian yang sedang tumbuh.
“Tugas Mahisa Pukat terlalu berat, Sementara itu saudaranya tidak dapat membantunya karena alasan yang memang masuk akal. Ia tidak dapat meninggalkan padepokannya. Jika semula mereka berdua memimpin Padepokan Bajra Seta, maka kemudian Mahisa Murti melakukannya sendiri karena Mahisa Pukat berada di sini. Jika Mahisa Murti juga harus berada di Kesatrian, maka tidak ada orang lain yang akan dapat melakukan tugas mereka di Padepokan itu.”
Guru Empu Kamenjangan mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Jadi angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pendiri Padepokan Bajra Seta?”
“Ya” jawab Pangeran Kuda Pratama, “pendiri dan selanjutnya mereka pula yang memimpinnya.”
Guru Empu Kamenjangan itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Pantas bahwa keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Aku pernah mendengar kebesaran padepokan Bajra Seta. Seharusnya sejak semula aku mengetahuinya bahwa anak-anak muda yang aku temui di kedai itu adalah para pendiri Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya pun tersenyum. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Waktu itu kami tidak menganggap perlu untuk menanggapi apa yang Ki Sanak katakan”
“Ya. Ya. Aku mengerti sekarang, kenapa angger berdua tidak mengatakan apa-apa yang tentang diri angger berdua.”
Pangeran Kuda Pratama tersenyum pula. Katanya, “Sekarang semuanya telah menjadi jelas. Nah, sebenarnyalah aku ingin berbicara tentang anak-anak muda yang berada di Kesatrian. Aku mengerti bahwa tugas Mahisa Pukat di Kesatrian tentu terlalu berat. Selain tugasnya sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam, maka ia harus memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di Kesatrian. Karena itu, maka sebenarnyalah bahwa ia memerlukan seorang kawan yang akan dapat bekerja bersamanya. Sementara itu seperti tadi aku katakan, saudaranya tidak dapat membantunya.” Pangeran Kuda Pratama berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “sebenarnyalah bahwa aku ingin berbicara dengan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan. Aku tahu pasti, bahwa meskipun Empu Kamenjangan kini dapat menerima kenyataan yang terjadi dengan dada lapang, namun aku mengerti bahwa Empu Kamenjangan tentu tidak akan bersedia untuk kembali pada kedudukannya di Kesatrian. Meskipun demikian aku ingin mendengar dari mulut Empu Kamenjangan sendiri, bagaimana sikapnya seandainya aku minta Empu untuk kembali memangku tugasnya di Kesatrian”
Seleret sinar memancar di mata guru Empu Kamenjangan itu. Namun mata itu pun segera redup kembali. Sebenarnyalah bahwa seperti Empu Kamenjangan, ia pun menyadari, bahwa kedudukan itu sudah tertutup bagi Empu Kamenjangan sendiri. Bagaimanapun juga maka ia tidak akan dapat memangku jabatannya kembali betapapun kesempatan itu diberikan kepadanya oleh Pangeran Kuda Pratama.
Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ampun Pangeran. Rasa-rasanya aku memang tidak akan dapat melakukannya. Bukan karena hatiku patah seperti arang. Tetapi dengan penuh kesadaran aku menyadari bahwa aku sudah kehilangan wibawa di hadapan para bangsawan muda di Kesatrian, meskipun itu juga karena salahku sendiri. Karena itu, maka biarlah orang lain mengemban tugas itu. Syukurlah kalau orang itu lebih baik dari aku.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk kecil. Ia cukup mengerti alasan itu sebagaimana sudah diduganya sebelumnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku dapat mengerti sepenuhnya Empu. Seperti yang sudah aku katakan, aku memang sudah menduganya. Namun Mahisa Pukat benar-benar memerlukan seseorang yang dapat bekerja bersamanya di Kesatrian ini. Karena itu, aku berharap bahwa kami segera menemukan orang itu.”
“Tetapi aku tidak dapat membantunya Pangeran” jawab Empu Kamenjangan.
“Empu” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian, “sebagian dari anak-anak kami di Kesatrian telah pernah mendapat tuntunan ilmu dari Empu Kamenjangan. Karena itu, maka ilmu yang mendasari kemampuan mereka pun ilmu yang mereka warisi dari Empu Kamenjangan. Maka alangkah baiknya jika mereka tidak harus menyia-nyiakan ilmu yang pernah diterimanya itu. Karena itu, aku ingin bahwa anak-anak kami, terutama yang sudah tumbuh menjelang masa dewasanya, dapat meneruskan mendalami ilmu yang pernah diterimanya. Sedangkan yang masih baru mulai akan dapat menyadap ilmu dari perguruan yang lain dengan bimbingan Mahisa Pukat” Pangeran Kuda Pratama berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Bagaimana pendapat Ki Sanak serta saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan jika aku minta Empu Sidikara menggantikan kedudukan Empu Kamenjangan di Kesatrian?”
Mata guru Empu Kamenjangan itu pun kembali berbinar. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini Pangeran. Namun demikian, segala sesuatunya terserah kepada Sidikara sendiri.”
Empu Sidikara justru nampak bingung. Ia sudah pernah memberikan jawaban kepada Mahisa Pukat atas kemungkinan seperti itu. Ia tentu tidak merasa nyaman duduk di tempat saudara seperguruannya yang terusir. Tetapi yang kemudian bertanya kepadanya adalah Pangeran Kuda Pratama sendiri dihadapan gurunya yang nampaknya sangat berharap bahwa ia akan menerimanya. Untuk beberapa saat Empu Sidikara justru termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Ampun Pangeran. Jika demikian lalu bagaimana dengan padepokanku sendiri?”
Tetapi yang menyahut adalah Mahisa Pukat, “Bukankah Empu baru mulai? Padepokan itu masih belum terwujud.”
“Nah, bukankah di Kesatrian ini Empu akan mendapat murid-murid yang akan dapat mewarisi ilmu Empu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
Empu Sidikara benar-benar kebingungan. Namun dalam pada itu Empu Kamenjangan berkata, “Aku akan ikut mengucapkan terima kasih jika kau bersedia. Kau yang memiliki dasar ilmu sama seperti dasar ilmu yang aku kuasai akan dapat melanjutkan tugas-tugasku. Para bangsawan muda yang pernah mempelajari dasar ilmuku, tidak akan mengalami kesulitan jika mereka kemudian belajar padamu. Namun aku akan menganjurkan kepadamu, bahwa kau akan dapat bekerja sama dengan Mahisa Pukat. Tidak ada salahnya jika kalian berdua dapat bersama-sama meningkatkan ilmu mereka meskipun kalian harus secara khusus memerinci ilmu yang akan kalian berikan kepada murid-murid kalian.”
Empu Sidikara menjadi semakin bingung menanggapi keadaan itu. Namun kemudian Mahisa Pukat mendekatinya sambil menepuk bahunya, “Aku mengucapkan selamat, Empu”
Empu Sidikara seakan-akan telah tersudut. Tidak ada jalan untuk mengelak. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku tidak akan dapat menolak kesempatan ini meskipun sebelumnya aku pernah menyatakan keberatanku kepada Mahisa Pukat.”
Pangeran Kuda Pratama tertawa. Katanya, “Nah, dengan demikian maka tugas Mahisa Pukat selanjutnya tidak akan terlalu berat. Aku percaya bahwa kalian berdua dapat membagi tugas di Kesatrian”
Empu Sidikara mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Pangeran”
Sementara itu gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Keputusan Pangeran untuk memberikan kesempatan kepada Empu Sidikara membuat aku sangat gembira, tetapi juga malu sekali mengingat tingkah lakuku sendiri. Orang setua aku masih saja dicengkam oleh nafsu ketamakannya yang sangat tidak pantas.”
“Sudahlah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “sudah aku katakan, bahwa setiap orang dapat menjadi khilaf. Tetapi kita masih belum terlanjur terjerumus ke dalam langkah-langkah yang dapat menghancurkan diri kita sendiri.”
Guru Empu Kamenjangan itu mengangguk-angguk. Dengan suara yang lemah yang berkata, “Ternyata mata hatiku tidak mampu lagi melihat terang yang memancar dari nurani Pangeran”
“Sudahlah. Tidak ada yang pantas dipuji. Semua orang tentu pernah melakukan kesalahan.” berkata Pangeran Kuda Pratama.
Dengan demikian, maka Empu Sidikara yang telah ditetapkan untuk menggantikan kedudukan Empu Kamenjangan akan mulai dengan tugasnya beberapa hari kemudian.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...
Adalah diluar perhatian mereka ketika di sisi lain di dalam kedai itu, terdapat seorang anak yang sebaya dengan Mahisa Amping. Dengan dahi yang berkerut dipandanginya saja kuda lumping di tangan Mahisa Amping itu. Agaknya kuda lumping yang terbuat dari anyaman bambu dihiasi dengan warna-warna yang menarik itu sangat menarik perhatiannya.
Untuk beberapa saat anak itu memandanginya dengan dahi yang berkerut. Namun akhirnya ia menggamit seorang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis melintang dan berjambang tebal yang sedang makan pula bersama dengan dua orang kawannya.
“Ada apa?” bertanya laki-laki bertubuh kekar itu.
“Ayah. Aku minta kuda lumping seperti milik anak itu” rengek anaknya.
Laki-laki itu memandangi kuda lumping di tangan Mahisa Amping itu sejenak. Diamatinya tiga orang anak muda yang duduk bersama anak itu. Lalu katanya, “Minta saja kuda lumping itu. Aku akan mengganti berapa harganya.”
Anak itu dengan tanpa menjawab lagi telah mendekati Mahisa Amping. Dengan serta merta maka kuda lumping itu direbutnya dari tangan Mahisa Amping sambil berkata, “Ini untukku.”
Mahisa Amping terkejut. Tetapi ia mempertahankan kuda lumpingnya. Katanya, “Jangan. Kuda ini kami beli di pasar.”
“Ayah akan mengganti berapa harganya” jawab anak itu.
“Kenapa kau tidak membeli sendiri?” bertanya Mahisa Amping sambil mempertahankan kuda lumpingnya.
Mahisa Murti yang melihat hal itu mencoba untuk melerainya. Dengan lembut ia berkata, “Tunggu anak manis. Kuda lumping ini kami beli di pasar.”
“Aku tahu” tiba-tiba saja orang bertubuh kekar itu menyahut, “Berikan saja kuda lumping itu. Nanti aku ganti harganya.”
Tetapi Mahisa Amping berkata kepada anak itu, “Kenapa kau tidak membeli saja di pasar itu. Masih ada banyak kuda lumping seperti ini.”
Laki-laki bertubuh kekar itu nampaknya tersinggung oleh kata-kata Mahisa Amping itu. Dengan lantang ia berkata, “Berikan kuda lumping itu. Nanti aku ganti harganya lipat dua.”
Namun Mahisa Amping menjawab, “Tidak. Aku senang pada kuda lumpingku ini.”
“Kau dapat membeli lagi dua buah di pasar” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.
Suasana di dalam kedai itu menjadi tegang. Seorang yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat berbisik, “Berikan ngger. Orang itu adalah Permati. Seorang yang tidak pernah dapat dicegah apapun yang dikendakinya. Mungkin kalian belum mengenalnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun anak yang mengingini kuda lumping itu masih saja menarik-nariknya sementara Mahisa Amping mempertahankannya.
“Nanti kuda lumpingku rusak” bentak Mahisa Amping, “lepaskan. Aku tidak akan memberikannya kepadamu.”
Tetapi orang bertubuh kekar itu membentak pula, “Jangan banyak tingkah. Berikan, atau aku yang akan mengambilnya?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi gelisah. Namun mereka juga tidak akan dapat memaksa Mahisa Amping. Anak itu tentu akan menjadi kecewa. Persoalannya tidak sekedar kuda lumping yang diperebutkan itu atau membeli dua bahkan tiga buah yang lain. Tetapi Mahisa Amping telah merasa tersinggung dan direndahkan harga dirinya. Karena itu, maka sulit bagi Mahisa Amping untuk dapat memberikan kuda lumping itu.
Sementara itu orang yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat itu berdesis lagi, “Ngger. Permati adalah pemburu yang paling disegani. Bahkan para bangsawan Singasari pun segan kepadanya.”
Mahisa Pukat memang tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat memaksa Mahisa Amping untuk memberikan kuda lumping itu.
Sebenarnyalah orang yang disebut Permati seorang pemburu yang sangat disegani itu berkata dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang ditahankannya, “Jika anak itu tidak memberikannya, ambil saja.”
Anaknya ternyata juga sekeras ayahnya. Ketika Mahisa Amping benar-benar tidak mau memberikannya, maka ia memang melepaskan kuda lumping itu. Tetapi ia pun telah mengayunkan tangannya memukul ke arah kening Mahisa Amping.
Mahisa Amping yang telah mendapatkan kuda lumpingnya memang menjadi lengah. Tangan anak yang sebayanya itu memang mengenai keningnya, sehingga Mahisa Amping terdorong beberapa langkah sambil mengaduh kesakitan. Tetapi Mahisa Amping tidak jatuh terlentang karena badannya telah tertahan oleh amben bambu dengan sandaran yang agak tinggi. Bahkan ia pun telah jatuh terduduk sementara tangannya masih memegangi kuda lumpingnya.
Tetapi Mahisa Amping sama sekali tidak senang, diperlakukan seperti itu. Apalagi anak yang memukulnya itu telah memburunya sambil berteriak, “Berikan kuda lumping itu, atau aku akan memukulmu lagi.”
“Aku tidak akan memberikan kuda itu, kau dengar. Jika kau memukul aku lagi, maka aku akan membalasmu,” jawab Mahisa Amping dengan beraninya. Apalagi anak yang memukulnya itu masih sebaya dengan Mahisa Amping itu sendiri.
Ternyata anak itu memang garang. Ia pun segera melangkah mendekati Mahisa Amping yang sudah bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia sempat mengayunkan tinjunya lagi, maka Mahisa Amping telah menyerangnya dengan kakinya yang terjulur menyongsong anak yang mendekatinya untuk menyerangnya.
Anak itu tidak menduga bahwa Mahisa Amping dengan beraninya telah menyerangnya pula. Karena itu, maka anak itulah yang kemudian terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak itu pun tidak terjatuh karena punggungnya tersandar pada gledeg bambu tempat pemilik kedai itu menempatkan makanan yang masih belum dihidangkan kepada para pembelinya.
Dalam pada itu, orang yang duduk di dekat Mahisa Pukat telah memperingatkannya sekali lagi, “Cegah anak itu ngger. Pemburu itu tidak akan segan-segan melakukan kekerasan. Apalagi yang seorang lagi, yang duduk di sebelahnya adalah seorang jagal yang garang. Jika ia ikut membantu, maka kalian akan mengalami bencana. Sedangkan yang seorang lagi memang seorang bebahu padukuhan ini. Tetapi orang itu sudah berada dibawah pengaruh pemburu dan jagal yang garang itu. Padahal bebahu itu termasuk orang yang disegani di padukuhan ini. Ia pulalah yang mempunyai banyak wewenang di pasar itu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Keadaan sudah berkembang demikian buruknya.”
Orang itu menjadi sangat tegang ketika ia melihat Mahisa Amping telah berkelahi dengan anak yang akan merebut kuda lumpingnya. Ketika Mahisa Amping berlari keluar dari kedai itu, maka lawannya telah mengejarnya. Ia mengira bahwa Mahisa Amping menjadi ketakutan dan melarikan diri. Tetapi tidak. Mahisa Amping yang sudah berada di halaman, ternyata menunggunya sambil bertolak pinggang.
“Kita berkelahi di tempat yang luas” teriak Mahisa Amping.
Anak itu menjadi semakin marah. Ia pun segera berlari turun ke halaman pula. Sementara itu, pemburu yang bertubuh tinggi kekar itu masih tetap duduk di tempatnya. Dengan yakin ia berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jika kau tidak menuruti kemauan anakku, maka adikmu atau anakmu itu akan mengalami kesulitan. Anak-anak yang jauh lebih besar dari anakku, tidak berani menolak keinginannya. Karena mereka akan menjadi sasaran kemarahannya. Jika ia sudah mulai memukuli orang-orang yang berani melawannya, maka sulit untuk menghentikannya.”
Tetapi orang yang duduk di dekat Mahisa Pukat itu terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat menjawab, “Apakah kau berbangga dengan sifat dan watak anakmu itu?”
Orang bertubuh tinggi kekar itu pun terkejut pula. Namun kemudian ia pun menjawab dengan lantangnya. “Aku bangga dengan watak anakku. Ia akan menjadi seorang pemimpin yang berwibawa dan disegani banyak orang”
“Dan sewenang-wenang?” sahut Mahisa Pukat.
“Setan kau” geram orang itu. ”terserah kepadamu jika adikmu atau anakmu itu akan menjadi lumpuh.”
“Semula aku memang akan melerai mereka. Mungkin aku setuju untuk memberikan kuda lumping yang diingini oleh anakmu. Tetapi karena kau berbangga atas anakmu dengan wataknya itu, maka niatku aku urungkan.” berkata Mahisa Pukat yang mulai jengkel.
Tetapi orang yang duduk di dekatnya berdesis, “Ngger, kenapa kau melakukan itu?”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu pemburu itu pun bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku akan melihat, apakah iblis kecil itu sudah dipelintir lehernya.”
Pemburu itu, diiringi oleh jagal yang agak gemuk dan perutnya membesar serta bebahu yang disegani itu pun melangkah ke pintu kedai. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah bangkit pula. Melalui pintu samping mereka pun telah turun ke halaman pula.
Sementara itu Mahisa Amping telah berdiri di hadapan anak yang minta kuda lumpingnya. Keduanya memang nampak sebaya. Mereka mempunyai tinggi badan yang sama. Namun anak pemburu itu agak lebih gemuk sedikit dari Mahisa Amping.
Namun pemburu itu mengerutkan keningnya ketika melihat Mahisa Amping sama sekali tidak nampak gentar melihat anaknya. Bahkan Mahisa Amping dengan tanpa ragu-ragu bersiap untuk berkelahi.
Anak Pemburu itu memang menjadi marah sekali. Ia sudah terbiasa berkelahi. Seperti kata ayahnya, ia tidak takut berkelahi melawan anak-anak remaja yang lebih besar dan dirinya. Bahkan anak yang menjelang dewasa pun dilawannya pula. Apalagi Mahisa Amping yang meskipun tinggi tubuhnya seimbang, namun ia nampak lebih kurus dari anak pemburu itu.
Beberapa saat mereka berdiri berhadapan. Kemarahan anak pemburu itu benar-benar telah membakar jantungnya melihat Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi gentar menghadapinya.
Orang yang semula duduk di dekat Mahisa Pukat dan kawannya menjadi tegang. Kepada kawannya ia berbisik, “Anak muda itu tidak tahu siapa pemburu, jagal dan bebahu yang keras hati itu. Mereka akan dapat mengalami kesulitan terutama anak yang mempertahankan kuda lumpingnya. Anak pemburu itu meskipun nampaknya masih sebaya, tetapi ia seorang yang ditakuti bukan saja oleh anak-anak sebayanya, bahkan anak-anak yang lebih besar sekalipun. Bahkan anak-anak yang sudah menjadi dewasa.”
“Anak itu mempunyai kemampuan berkelahi seperti ayahnya” sahut kawannya.
“Aku sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi nampaknya darah muda mereka masih cepat menjadi panas. Tetapi di sini anak-anak muda itu terjebak oleh kekuatan yang tidak akan terlawan” berkata kawannya.
Tetapi ternyata keduanya ingin juga melihat apa yang terjadi di halaman. Meskipun melingkar lewat pintu belakang, mereka pergi juga ke halaman samping. Beberapa orang memang melihat keributan itu dari kejauhan. Namun pada umumnya mereka menjadi cemas melihat Mahisa Amping yang harus berkelahi dengan anak pemburu itu. Bukan saja anaknya yang memiliki kekuatan lebih besar dari anak-anak seumurnya, bahkan yang lebih besar sekalipun, anak itu pun telah mendapat latihan-latihan berkelahi oleh ayahnya yang memang disegani oleh banyak orang.
Namun Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mencegah Mahisa Amping. Mereka membiarkan saja anak itu berkelahi dengan anak sebayanya. Demikianlah, maka sejenak kemudian anak pemburu itu pun telah meloncat menyerangnya. Tangannya terayun dengan kuatnya ke arah mulut Mahisa Amping. Namun pukulan itu tidak mengejutkan Mahisa Amping. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindar. Namun lawannya tidak melepaskannya. Ia pun meloncat pula memburu. Tangannya bukan saja terayun memukul, tetapi jari-jari tangan itu justru mengembang siap menerkam wajah Mahisa Amping. Sekali lagi Mahisa Amping mengelak. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa lawannya yang sombong dan sedang marah itu tentu akan memburunya pula.
Sebenarnyalah anak itu telah meloncat memburu. Anak itu berusaha untuk menggapai kening Mahisa Amping dengan tinjunya. Tetapi Mahisa Amping tidak melepaskan kesempatan. Justru karena tangan lawannya siap memukulnya, bahkan kemudian tangan itu terayun mendatar, maka lambung anak itu telah terbuka. Dengan cepat Mahisa Amping mendahuluinya. Tubuhnya pun menjadi miring. Satu kakinya terjulur lurus ke arah lambung.
Yang terdengar adalah anak itu mengaduh. Tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja anak itu kehilangan keseimbangan. Namun ternyata bahwa ia tetap berdiri ketika ia mengumpat kasar. Bukan hanya anak itu yang mengumpat.
Tetapi ayahnya juga mengumpat. Dengan lantang ayahnya berkata, “Buat anak itu jera. Ia belum mengenalmu dan kau tidak perlu merasa belas kasihan kepadanya.”
Anak pemburu itu menggeram Wajahnya menjadi merah. Kemarahannya seakan-akan telah membakar jantungnya. Sejenak kemudian anak itu telah menyerang pula. Mahisa Amping pun telah bersiap sepenuhnya, sehingga kedua orang anak yang sebaya itu berkelahi dengan sengitnya.
Namun orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan menjadi heran. Biasanya anak-anak yang berkelahi dengan anak pemburu itu tidak akan dapat bertahan lebih dari sekejap. Tetapi anak itu mampu berkelahi untuk waktu yang terhitung lama. Bahkan beberapa kali ia sudah mendesak anak pemburu itu sehingga berloncatan surut.
Sebenarnyalah anak pemburu itu mengalami kesulitan melawan Mahisa Amping. Meskipun anak pemburu itu juga berlatih berkelahi, tetapi ia tidak mengalami latihan yang teratur dan tertib sebagaimana Mahisa Amping. Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, anak pemburu itu telah terdesak. Beberapa kali serangan Mahisa Amping mengenai tubuh anak pemburu itu sehingga terdorong surut.
Hanya karena keras kepala dan malu sajalah anak pemburu itu masih tetap bertahan. Namun tubuhnya telah terasa sakit dimana-mana. Serangan-serangan Mahisa Amping lebih sering mengenai tubuhnya daripada serangan-serangannya yang berhasil menembus pertahanan Mahisa Amping. Apalagi tenaga Mahisa Amping yang terlatih dengan baik itu lebih kuat dari lawannya meskipun tubuh lawannya itu sedikit lebih besar dari tubuh Mahisa Amping.
Pemburu itu menjadi sangat gelisah. Demikian pula jagal yang perutnya besar serta bebahu padukuhan yang disegani itu. Pemburu yang merasa anaknya tidak akan pernah dikalahkan oleh anak-anak sebayanya, memang menjadi gelisah dan bahkan kemudian menjadi marah ketika ia melihat anaknya telah terdesak. Bahkan beberapa kali anak itu telah mengaduh kesakitan.
“He, kenapa dengan kau? Kenapa tak kau pilin saja tangannya atau kakinya atau bahkan lehernya? Jika tangan atau kakinya patah itu sama sekali bukan salahmu. Saudara-saudaranya atau bahkan ayahnya tidak mau memberinya peringatan dengan siapa anak itu berhadapan. Apalagi persoalannya hanyalah sebuah kuda lumping bambu yang tidak berharga” teriak pemburu itu.
Tetapi adalah diluar dugaan ketika Mahisa Amping berteriak menjawab, “Jika hanya sebuah kuda lumping yang tidak berharga, kenapa ia akan merampas kuda lumpingku?”
“Iblis kecil kau” bentak pemburu itu. Lalu katanya kepada anaknya, “Lumpuhkan anak yang sombong itu. Agaknya harga kuda lumping itu lebih mahal dari harga keselamatannya.”
“Soalnya bukan harga kuda lumping itu” Mahisa Amping masih berteriak, “tetapi ia sudah memukul aku.”
“Iblis itu memang harus dihancurkan kepalanya. Ia berani menjawab kata-kataku, bahkan dengan membelalakkan matanya.” geram pemburu itu.
Anaknya memang juga menjadi sangat marah. Tetapi ia sudah mengerahkan segala kemampuannya. Perkelahian itu masih saja berlangsung ketika anak pemburu itu kemudian menyerang membabi buta. Tetapi dengan demikian Mahisa Amping nampak semakin mapan. Serangan-serangan lawannya justru menjadi semakin tidak terarah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Amping justru memanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Setiap kali ia menghindari serangan lawannya, maka ia pun telah membalas serangan itu dengan serangan pula. Apalagi serangan lawannya yang membabi buta setiap kali justru telah membuka pertahanannya sendiri.
Karena itu, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Anak pemburu itu menjadi semakin terdesak dan bahkan kemudian nampak bahwa ia menjadi seolah-olah tidak berdaya sama sekali. Mahisa Amping yang marah karena tiba-tiba saja ia sudah dipukul oleh anak pemburu itu, menyerang dengan cepat dan keras.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Mereka memang berharap agar anak pemburu itu sekali-sekali dapat dikalahkan oleh anak-anak sebayanya agar ia tidak menjadi semakin sombong. Namun mereka pun menjadi gelisah dan cemas, bahwa ayahnya akan ikut campur pula. Jika ayahnya ikut campur, maka anak-anak muda yang datang bersama anak yang berkelahi itu, apakah kakaknya atau barangkali ayahnya, tidak akan dapat berbuat banyak. Mereka tentu akan menjadi sasaran kemarahan pemburu itu. Bahkan jagal dan bebahu itu tentu akan ikut campur pula.
Untuk beberapa saat perkelahian masih berlangsung. Namun kemudian anak pemburu itu menjadi semakin terdesak. Beberapa kali ia mengaduh kesakitan. Meskipun ia masih juga malu untuk menangis, namun rasa-rasanya ia sudah tidak sanggup lagi untuk berkelahi terus.
Tetapi ayahnya masih saja berteriak, “He, kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi anak itu? Apakah kau sudah kehilangan keberanianmu dan kemampuanmu?”
Anak itu memang masih berusaha menghentakkan tenaganya. Ia bukan saja malu, tetapi juga merasa takut bahwa ayahnya justru akan marah kepadanya. Namun ia memang tidak mampu mengimbangi tenaga dan kemampuan Mahisa Amping yang sudah terlatih dengan baik untuk waktu yang cukup lama.
Karena itu, ketika Mahisa Amping mendapat kesempatan menembus pertahanan anak pemburu itu dengan tusukan serangan kakinya mengenai dada, maka anak pemburu itu telah terdorong beberapa langkah surut. Keseimbangannya benar-benar telah terguncang. Namun ternyata Mahisa Amping yang marah karena tiba-tiba saja anak pemburu itu telah memukulnya lebih dahulu, maka ia pun meloncat memburunya. Tangannya terayun memperbaiki keseimbangannya itu.
Namun anak itu tidak sempat melakukannya. Serangan Mahisa Amping yang mengenai pelipis anak itu telah melemparkannya sekali lagi. Anak pemburu itu pun kemudian telah jatuh terlentang. Mahisa Amping memang meloncat mendekat. Tetapi karena lawannya tidak segera bangkit, maka Mahisa Amping berdiri saja menunggu beberapa langkah di sebelahnya.
Anak pemburu itu memang tidak dapat segera bangkit. Kepalanya terasa pening. Sebelah matanya bagaikan tidak dapat melihat lagi. Bahkan seluruh tubuhnya terasa sakit sampai ke ulang.
Pemburu itu benar-benar menjadi sangat marah. Dengan tergesa-gesa ia turun ke halaman mendekati anaknya yang masih terbaring. Dengan lantang ia berkata, “He, bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak mampu memilin leher anak itu?”
Anaknya tidak menjawab. Ia berusaha bangkit. Tetapi keseimbangan tubuhnya ternyata masih belum mantap. Hampir saja terjatuh kembali. Namun untunglah bahwa ayahnya sempat memegangi bahunya.
Namun kemarahan pemburu itu benar-benar menikam kemudian memandang Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Dengan lantang ia berkata, “He anak-anak muda. Berikan kuda lumping itu kepada anakku. Sekarang. Aku tidak mau mendengar jawaban apapun selain kuda lumping itu.”
“Tidak” Mahisa Amping lah yang berteriak.
“Diam kau iblis kecil” bentak pemburu itu. Lalu sekali lagi ia berteriak, “Berikan kuda lumping itu. Ajari anak ini menghormati orang lain. Jika kau tidak mampu, akulah yang akan menghajarnya agar ia tidak menjadi sombong.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih saja berdiri termangu-mangu. Namun yang membuat pemburu itu semakin marah adalah karena anak yang telah mengalahkan anaknya itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri di tempatnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi cemas, bahwa pemburu itu akan berbuat sesuatu atas Mahisa Amping. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata kepada Mahisa Semu, “Lindungi adikmu. Aku akan berdiri saja di sini Jika pemburu itu ikut campur, kau pun harus berbuat sesuatu agar Amping tidak menjadi sasaran kemarahan pemburu itu. Aku ingin melihat, seberapa jauh kau mewarisi ilmu Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Semu mengangguk kecil sambil menyahut, “Baik kakang. Aku akan melindungi Amping.”
Dalam pada itu, pemburu itu sudah berteriak lagi, “Cepat, serahkan kuda lumping itu. Aku akan menghitung sampai lima. Jika kuda lumping itu tidak diserahkan kepada anakku maka aku akan mengambil sendiri. Aku pun akan mengajari anak itu agar sedikit mengenal unggah-ungguh dan menghormati orang lain.”
Pemburu itu terkejut ketika ia melihat Mahisa Semu, yang termuda di antara ketiga orang anak muda yang datang bersama Mahisa Amping, melangkah mendekati anak itu. Dengan mata terbelalak pemburu itu bertanya, “He, apa yang akan kau lakukan? Bawa kuda lumping itu dan serahkan kepada anakku. Cepat.”
Tetapi Mahisa Semu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Kami sudah memutuskan untuk tidak menyerahkan kuda lumping itu. Seperti yang sudah dikatakan adikku, persoalannya tidak sekedar harga kuda lumping itu. Tetapi persoalannya sudah menyangkut harga diri. Sebagaimana Ki Sanak memaksakan kehendak Ki Sanak untuk merampas kuda lumping itu tentu juga karena harga diri Ki Sanak yang tersinggung. Bukan soal kuda lumping itu lagi.”
“Persetan kau. Jika demikian, aku akan memberi pelajaran serba sedikit kepada adikmu yang sombong dan keras kepala itu.” berkata pemburu itu.
Tetapi Mahisa Semu menjawab, “Ia masih terlalu kecil untuk mengikuti keinginan Ki Sanak. Karena itu biarlah aku saja yang mewakilinya.”
Wajah pemburu itu menjadi merah padam. Jawaban Mahisa Semu itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu ia berteriak, “He, kenapa tidak kalian bertiga mendekat kemari?”
“Aku mewakili mereka” jawab Mahisa Semu.
Kemarahan pemburu itu sudah tidak terkekang lagi. Dengan serta merta ia meloncat sambil mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Mahisa Semu. Tetapi dengan tangkasnya Mahisa Semu telah menghindar, sehingga tangan itu tidak menyentuh sasaran.
Mahisa Semu yang bergeser selangkah surut. Kemudian telah menarik Mahisa Amping sambil berkata, “Minggirlah, kau dipanggil kakang”
Mahisa Amping memang bergeser menepi. Tetapi ia tidak segera mendapatkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ia masih saja termangu-mangu menyaksikan Mahisa Semu yang sudah bersiap kembali menghadapi segala kemungkinan.
Pemburu itu benar-benar merasa direndahkan. Karena itu, maka jantungnya serasa akan terlepas dari tangkainya. Ia tidak berpikir terlalu panjang lagi. Ia harus segera menghancurkan anak yang masih terlalu muda, tetapi sangat sombong itu.
Dengan demikian, maka pemburu itu pun segera menyerang Mahisa Semu. Tangannya terayun-ayun dengan derasnya mengarah ke kening Mahisa Semu. Namun seperti sebelumnya, Mahisa Semu pun telah berloncatan menghindar. Tetapi pemburu yang marah itu sama sekali tidak melepaskan lawannya. Dengan garang ia memburunya.
Tetapi Mahisa Semu justru bergerak lebih cepat. Ia bukan saja menghindari serangan-serangan pemburu itu, tetapi dengan tiba- tiba Mahisa Semu pun telah menyerangnya pula, justru diluar perhitungan lawannya. Karena itu, maka Mahisa Semu justru berhasil menembus pertahanan pemburu itu. Tangannya yang terayun mendatar sempat mengenai pundak lawannya.
Pemburu itu memang terkejut. Ternyata tenaga anak yang masih terlalu muda itu telah menggoyahkan tubuhnya. Ketika pundaknya terdorong serangan Mahisa Semu, maka pemburu itu telah bergeser setapak surut. Pemburu itu mengumpat kasar. Ia tidak mengira bahwa lawannya bukan saja tangkas dan mampu bergerak cepat. Tetapi anak itu juga memiliki tenaga yang sangat besar.
Sebagai seorang yang sangat disegani oleh orang-orang di seputarnya, maka pemburu itu tidak ingin terlalu lama berkelahi melawan anak yang masih terlalu muda. Karena itu, maka pemburu itu pun telah menghentakkan kekuatan dan kemampuannya untuk dengan cepat menghentikan perlawanan Mahisa Semu.
Tetapi, ternyata perhitungan pemburu itu keliru. Mahisa Semu tidak dapat dengan mudah dikalahkannya. Bahkan dengan tangkasnya anak itu telah menyerangnya. Kemarahan pemburu itu telah membuat darahnya mendidih. Tetapi ia tidak dapat menghindari kenyataan. Anak itu tidak mudah dikalahkannya. Bukan saja kecepatannya yang mampu mengimbangi kekuatan pemburu itu. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin sengit.
Mahisa Semu yang nampaknya masih terlalu muda itu dengan tangkas, cepat dan kuat, bertempur melawan pemburu yang marah itu. Pemburu yang namanya disegani oleh banyak orang karena kemampuannya yang tinggi. Tetapi menghadapi Mahisa Semu, maka pemburu itu telah mengalami kesulitan. Mahisa Semu setiap kali mampu mengejutkannya dengan serangan-serangannya yang tidak terduga-duga. Apalagi jika terjadi benturan kekuatan, maka pemburu itu selalu terdorong satu dua langkah surut.
Namun pemburu itu masih belum percaya atas kenyataan yang dihadapinya itu. Karena itu, maka ia masih berusaha mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Anak yang masih terlalu muda itu harus dapat ditundukkannya. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan.
Meskipun pemburu itu memiliki kekuatan kewadagan yang terhitung besar, namun dengan beralaskan tenaga dalamnya, maka kekuatan Mahisa Semu mampu mengimbanginya, justru melampauinya, sehingga pemburu itu selalu saja terdesak di setiap benturan yang terjadi. Bahkan serangan-serangan Mahisa Semua semakin lama semakin sering berhasil menembus pertahanan pemburu itu. Dengan kecepatan gerak yang sulit diimbangi oleh pemburu itu, maka Mahisa Semu memang lebih banyak dapat mengenai sasarannya.
Semakin lama, maka pemburu itu menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Mahisa Semu benar-benar telah menggoyahkan pertahanannya. Bahkan beberapa kali pemburu yang disegani itu dapat digoyahkan oleh Mahisa Semu yang muda itu.
Jagal dan bebahu yang bersamanya itu termangu-mangu sejenak. Mereka menyadari bahwa pemburu itu sudah semakin terdesak. Bahkan rasa-rasanya sudah sulit untuk tetap bertahan. Namun keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat kedua orang anak muda yang lain melangkah mendekati arena. Anak muda yang umurnya lebih tua dan agaknya kemampuannya pun lebih tinggi.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat kegelisahan jagal dan bebahu itu menduga bahwa mereka akan dapat ikut campur dalam perkelahian antara Mahisa Semu dan pemburu yang semakin berat sebelah itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mengangguk hormat kepada jagal dan bebahu yang menjadi gelisah itu, kemudian dengan tenangnya Mahisa Murti berdiri di sebelah jagal yang gelisah itu, sementara Mahisa Pukat berdiri di sisi bebahu yang menjadi semakin tegang melihat perkelahian itu.
Sementara itu, tanpa ada yang mengisyaratkan Mahisa Amping justru melangkah mendekati anak pemburu yang menjadi ketakutan melihat keadaan yang tidak menguntungkannya itu. Sebelumnya ia tidak pernah mengalami hal seperti itu. Biasanya ia selalu memenangkan perkelahian Jika ada anak-anak yang terlalu besar untuk dilawannya, maka ia selalu berlindung dibawah pengaruh ayahnya. Tetapi saat itu, ayahnya menjadi tidak berdaya. Anak muda yang berkelahi melawan ayahnya itu bukan saja tidak takut, tetapi ia justru dapat mendesak ayahnya sehingga ayahnya mengalami kesulitan.
Sebenarnyalah pemburu itu menjadi semakin terdesak Beberapa kali serangan Mahisa Semu telah menggoyahkan keseimbangannya. Bukan saja wajahnya menjadi merah biru, tetapi tulang-tulangnya pun serasa berpatahan. Dalam keadaan yang paling sulit, maka pemburu itu berteriak, “He, kenapa kalian diam saja membeku. Hancurkan anak-anak muda yang sombong itu.”
Jagal dan bebahu yang berdiri di sebelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kita tidak usah ikut campur. Persoalannya sebenarnya adalah persoalan antara anak-anak saja. Aku terbiasa membiarkan anak-anak berusaha menyelesaikan persoalan mereka. Biasanya aku menganjurkan agar mereka menyelesaikan persoalan mereka tidak dengan kekerasan. Tetapi jika kekerasan itu tidak dapat dihindari, maka aku pun minta anak-anak itu menyelesaikannya sendiri. Hanya dalam keadaan yang sangat penting aku mencampuri persoalan mereka apabila keadaannya akan sangat membahayakan kedua belah pihak.”
Jagal dan bebahu itu menjadi sangat gelisah. Keringat mengalir di seluruh tubuh mereka. Punggung mereka menjadi basah, seolah-olah mereka baru saja selesai berendam di dalam air.
Namun dalam pada itu pemburu itu berteriak lagi ketika ia terdorong beberapa langkah surut, “He pengecut. Kenapa kalian berdiam diri saja. Lumpuhkan anak-anak muda itu. Kemudian kalian harus ikut menyelesaikan anak iblis ini.”
Namun Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Sudahlah Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak memaksakan diri untuk berkelahi terus. Kedua orang kawan Ki Sanak ini tidak akan turun ke arena perkelahian itu. Apapun alasannya, sebaiknya mereka tidak usah ikut campur.”
Pemburu itu masih akan berteriak, tetapi Mahisa Semu mendesaknya sehingga suaranya justru terputus di kerongkongan.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata kepada bebahu di sebelahnya sambil memegang pundaknya, “Di sini sajalah Ki Sanak. Kita tidak ikut campur.”
Bebahu itu terkejut. Tangan Mahisa Pukat rasa-rasanya akan memecahkan tulang di pundaknya. Namun dengan demikian, maka bebahu itu sadar sepenuhnya bahwa anak muda itu adalah anak muda yang memiliki kelebihan dari orang lain. Jari-jari anak muda itu seperti batang-batang besi yang menjepit tulang-tulangnya, sementara anak muda itu nampaknya sama sekali tidak mempergunakan kekuatannya.
Karena itu, maka bebahu itu sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Betapapun segannya bebahu itu terhadap pemburu yang sedang berkelahi itu, namun ia harus membuat pertimbangan berulang kali untuk terjun ke dalam perkelahian karena persoalan anak-anak itu.
Berbeda dengan bebahu yang menyadari akan kekuatan Mahisa Pukat, maka jagal yang perutnya besar itu benar-benar menjadi sangat bimbang. Ia memang sudah menduga bahwa kedua anak muda yang berdiri di sebelahnya itu berilmu tinggi. Tetapi ia pun merasa sangat segan kepada pemburu yang sedang berkelahi itu.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah melingkarkan tangannya di punggung jagal yang berperut besar itu. Dengan nada lembut Mahisa Murti berkata, “Jangan dengarkan kicau pemburu yang dungu itu. Sebaiknya kita memang tidak ikut campur.”
Jagal itu tidak menjawab. Tetapi dengan serta merta ia mengibaskan tangan Mahisa Murti. Bahkan jagal itu sudah siap untuk turun ke arena. Tetapi ia merasa tubuhnya agak lain dari biasanya. Ada sesuatu yang kurang pada dirinya sehingga ia harus mencoba untuk menemukan, apakah yang lain pada dirinya itu. Baru ketika ia melangkah, maka ia merasakan kakinya menjadi berat. Tangannya pun serasa tidak seperti biasanya. Baru kemudian jagal itu tahu bahwa tenaganya telah menyusut.
Meskipun jagal itu masih mampu bergerak dan tegak pada keseimbangannya, tetapi rasa-rasanya ia tidak sanggup untuk berkelahi. Bahkan dengan anak-anak sekalipun. Karena itu, maka ketika kemudian pemburu itu berteriak lagi, jagal itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Demikian pula bebahu itu. Keduanya berdiri saja termangu-mangu di tempatnya.
Dengan demikian maka keadaan pemburu itu menjadi semakin sulit. Bahkan ketika kaki Mahisa Semu berhasil mengenai dadanya, maka pemburu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh terbanting. Namun dengan susah payah, ia berhasil bertahan untuk tetap berdiri meskipun kakinya menjadi goyah.
Mahisa Semu yang melihat keadaan lawannya tidak memburunya. Sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah mempengaruhi sikapnya pula, sehingga ia tidak terlalu bernafsu untuk menghancurkan lawannya. Termasuk menghancurkan harga dirinya. Karena itu, maka ketika lawannya sedang dalam kesulitan, Mahisa Semu seakan-akan dengan sengaja memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Bahkan Mahisa Semu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, apakah kita masih akan meneruskan persoalan kuda lumping ini? Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang tidak manis ini. Karena itu, segala sesuatunya tergantung kepada Ki Sanak. Jika kau masih berniat untuk meneruskan perkelahian yang tidak karuan ujung pangkalnya ini, maka aku pun tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Sanak menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai, maka aku akan berterima kasih.”
Pemburu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan sikap yang garang ia berteriak, “Aku ampuni kau kali ini. Tetapi ingat, jika kau atau anak itu pada kesempatan lain tidak mau menghormati orang lain, maka aku akan benar-benar menghukummu dan menghukumnya.”
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun kemudian pemburu itu melangkah pergi sambil menggapai anaknya yang kebingungan tanpa berpaling lagi. Juga tidak kepada kedua orang kawannya yang datang bersamanya.
“Apakah kau akan mengikutinya?” bertanya Mahisa Pukat kepada bebahu itu.
Bebahu itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Tetapi aku tahu bahwa orang itu akan marah kepadaku.”
“Apakah kira-kira ia akan melakukan kekerasan terhadapmu dan kawanmu itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Agaknya tidak. Banyak orang menyaksikan apa yang terjadi di sini. Ia tidak dapat menyalahkan aku meskipun barangkali ia akan mengumpati aku.” jawab bebahu itu.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata kepada jagal yang perutnya besar itu, “Maaf. Aku telah menyusut tenagamu. Tetapi tidak seberapa. Tidak sampai tengah malam nanti, tenagamu tentu sudah pulih kembali. Yang aku lakukan hanya sekedar mencegah agar kau tidak melibatkan diri dalam perkelahian ini. Karena jika hal itu kau lakukan maka keadaanmu akan menjadi semakin sulit.”
Jagal itu menjadi heran. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”
“Mungkin kau tidak akan dapat mengerti. Tetapi jangan menjadi cemas. Seandainya senja nanti kau harus melakukan tugasmu, maka sisa tenagamu masih cukup kuat untuk melakukannya karena setiap kejap, tenagamu yang susut perlahan-lahan akan tumbuh.”
Orang itu memang masih agak bingung. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh meskipun jantungnya terasa berdebar-debar. Ia memang cemas, bahwa tenaganya tidak akan pernah pulih kembali. Tetapi Mahisa Murti kemudian berhasil meyakinkan, bahwa besok jagal itu tidak akan terganggu lagi dengan peristiwa yang terjadi itu.
“Percayalah. Malam nanti, segala-galanya sudah berlalu bagimu. Jika kau besok bangun pagi-pagi, maka kau adalah sebagaimana kau bangun tadi pagi.”
Jagal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Mudah-mudahan aku tidak menjadi seorang yang cacat seumur hidupku. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak akan dapat melakukan pekerjaanku sebagai seorang jagal, karena pekerjaanku memerlukan tenagaku.”
Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata, “Aku tidak berbohong. Jika kau tidak berkeberatan, katakan di mana rumahmu. Besok aku akan datang menengokmu.”
Ternyata jagal itu memang tidak berkeberatan. Ia telah memberikan ancar-ancar rumahnya. Demikianlah maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping kembali masuk ke dalam kedai. Orang-orang yang berkerumun tanpa berani mendekat pun telah pergi pula.
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah duduk kembali sambil meneguk minuman mereka yang tersisa, maka orang yang sejak sebelum terjadi keributan duduk di dekat Mahisa Pukat itu telah duduk pula di tempatnya.
“Aku tidak mengira bahwa ada orang yang dapat mengalahkan Ki Permati itu.” berkata orang itu.
“Orang itu sebelumnya amat ditakuti” desis kawannya.
Lalu kepada Mahisa Pukat ia berkata, “Bagaimana adikmu dapat mengalahkan orang itu ngger?”
“Hanya suatu kebetulan Ki Sanak. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu wajar. Adikku masih muda. Umurnya adalah umur yang memungkinkannya berada dalam puncak kekuatan dan kemampuan. Sementara itu Ki Permati itu meskipun garang, tetapi umurnya sudah menua. Ibarat matahari kemampuannya sudah melampaui puncaknya dan mulai meluncur turun di sisi barat.”
“Tidak ada tanda-tanda seperti itu sebelumnya” berkata orang itu.
“Bukankah yang kau lihat itu juga satu pertanda kemundurannya?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukan itu. Tetapi anak muda itulah yang memiliki kelebihan dari pemburu itu. Jelasnya, pemburu itu memang dapat dikalahkannya.”
“Seperti sudah aku katakan Ki Sanak. Hanya satu kebetulan saja. tidak lebih.”
Tetapi orang itu menyahut, “Kalian memang anak-anak muda yang rendah hati. Itu dapat kami lihat bukan saja sikap kalian sebelum terjadi perkelahian itu. Sikap anak muda yang bertempur melawan Ki Permati itu juga sikap seorang yang rendah diri. Meskipun ia memenangkan perkelahian itu, tetapi ia masih menghormati lawannya dan memberi kesempatan lawannya meninggalkan arena tanpa menghancurkan harga dirinya.”
“Itu bukan apa-apa Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “bukan sikap rendah hati. Tetapi anak itu juga sudah merasa letih berkelahi melawan Ki Permati.”
“Nah, bukankah jawaban angger ini semakin meyakinkan aku? Tetapi baiklah. Aku tidak akan memuji lagi.”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mahisa Amping justru menundukkan kepalanya saja. Sementara Mahisa Semu bahkan seolah-olah tidak mendengar pembicaraan itu. Diteguknya minumannya sampai titik air yang terakhir.
“Kau minum lagi?” Bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Semu menggeleng. Katanya, “Sudah cukup”
Sementara itu pemilik kedai itu pun telah mendekat pula sambil berkata, “Peristiwa ini akan sangat berpengaruh atas tingkah lakunya. Selama ini memang belum pernah ada orang yang berani dan dapat mengalahkannya. Kekalahan pemburu itu akan membuka mata orang banyak dan mata pemburu itu, bahwa ternyata ada orang lain, justru anak yang masih terlalu muda, memiliki kemampuan lebih dari kemampuannya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya hanya tersenyum saja. Ketika kemudian mereka selesai minum dan makan, maka pemilik kedai itu semula menolak untuk menerima uang pembayarannya. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak, jangan kecewakan kami. Jika Ki Sanak menolak, maka itu berarti hubungan kita akan terputus hari ini. Kami tentu tidak akan pernah datang lagi ke kedai ini meskipun kami pergi ke pasar.”
Pemilik kedai itu akhirnya terpaksa menerima uang untuk membayar makanan dan minuman yang telah diminum dan dimakan oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
“Kami selalu mengharap kalian datang” berkata pemilik kedai itu, “seandainya kalian tidak lagi ke pasar, pergilah ke kedai ini. Kami akan menerima kalian dengan senang hati. Tentu orang-orang di sekitar pasar itu pun akan merasa senang pula.”
“Terima kasih” sahut Mahisa Pukat, “kami akan selalu singgah jika kami pergi ke pasar atau lewat jalan ini.”
“Jangan menunggu kalau kalian pergi ke pasar atau sedang lewat jalan ini. Kalian dapat secara khusus pergi kemari” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat tertawa. Demikian pula Mahisa Murti. Namun mereka pun kemudian telah minta diri meninggalkan kedai itu.
Ternyata yang terjadi merupakan satu pengalaman yang menarik. Menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi lebih menarik bagi Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Dengan pengalaman itu maka Mahisa Semu sempat menjajagi kemampuannya. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menilai, sejauh mana Mahisa Semu menyerap ilmu yang diberikan kepadanya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Amping.
Di perjalanan pulang Mahisa Amping sempat bertanya kepada Mahisa Pukat, “Kakang, apakah di kota ini anak-anak boleh mengambil milik orang lain dengan kekerasan asal ia menang berkelahi sehingga dengan demikian maka seorang yang lemah tidak akan mempunyai kesempatan untuk bermain apapun juga?”
“Tidak Amping” jawab Mahisa Pukat, “di kota ini pun seseorang yang lemah berhak mendapat perlindungan. Tetapi kadang-kadang tingkah laku seseorang lepas dari pengamatan para petugas yang berkewajiban untuk menjaga ketertiban termasuk melindungi mereka yang lemah dari perbuatan sewenang-wenang.”
“Tetapi agaknya anak itu sudah berbuat seperti itu untuk waktu yang lama” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata penglihatan Mahisa Amping yang masih remaja itu cukup tajam. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Agaknya ia mempunyai pengaruh yang kuat atas lingkungannya, sehingga tidak seorang pun yang berani melaporkannya kepada para petugas.”
“Justru satu peluang yang baik bagi orang-orang seperti pemburu itu. Tetapi bagaimana dengan bebahu itu? Agaknya ia justru berpihak kepada pemburu dengan segala Wewenang-wenangannya” berkata Mahisa Amping pula.
“Itulah yang dapat terjadi” jawab Mahisa Pukat, “bukankah kau ingin mengatakan bahwa bebahu termasuk seorang petugas yang seharusnya melindungi orang yang lemah?”
“Ya” jawab Mahisa Amping, “seandainya aku tidak mampu mempertahankan milikku dan harga diriku, maka bebahu itu harus melindungi aku.”
“Ada beberapa sebab” jawab Mahisa Pukat, “mungkin bebahu itu takut terhadap pemburu yang nampaknya memiliki kekuatan yang besar dan bahkan kemampuan yang cukup.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Ia menunggu kelanjutan jawaban Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat tidak segera berkata apapun lagi. Karena itu, maka Mahisa Amping pun bertanya, “Apakah kakang sudah selesai berbicara? Kakang menyebutkan ada beberapa sebab. Tetapi kakang baru mengatakan satu saja.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Memang ada sebab yang lain, Amping.”
“Misalnya?” termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata meskipun agak ragu, “Jika saja bebahu itu sudah berhutang budi kepada pemburu itu.”
“Hutang budi? Maksud kakang?” desak Mahisa Amping.
Mahisa Pukat memang tidak akan dapat mengelak lagi. Mahisa Amping tentu akan selalu mengejarnya sampai ia memberikan jawaban yang memuaskan kepadanya. Sementara itu Mahisa Murti hanya tersenyum saja.
“Mahisa Amping” berkata Mahisa Pukat, “memang mungkin bebahu itu berhutang budi kepada pemburu itu. Misalnya, pemburu itu sudah pernah menolong bebahu itu. Atau pernah memberikan sesuatu yang berarti kepada bebahu itu."
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping menyahut, “Menyuap, begitu maksud kakang?”
Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Tetapi ia menjawab, “Tidak selalu. Menyuap adalah pemberian dengan tujuan tertentu dalam persoalan tertentu. Tetapi mungkin pemburu itu pernah memberikan sesuatu tanpa bermaksud mempengaruhi bebahu itu dalam satu persoalan tertentu.”
“Tetapi jika dengan pemberian-pemberian itu maka bebahu itu tidak lagi melakukan tugasnya dengan wajar, maka itu pun dapat diartikan suapan.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Kita sudah hampir sampai di regol samping halaman istana.”
Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Tetapi ia pun kemudian berjalan paling depan. Mahisa Semu memang tidak berkata sesuatu. Tetapi ia mendengarkan dan ikut memperhatikan pembicaraan tentang bebahu itu. Sebenarnyalah ia sependapat dengan Mahisa Amping. Bahwa bebahu itu ternyata tidak lagi melakukan tugasnya dengan wajar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah sampai ke istana. Mereka langsung menuju ke bagian belakang. Mahendra yang ada di rumah menyambut mereka di tangga pendapa rumah yang disediakan baginya. Sambil tersenyum ia bertanya kepada Mahisa Amping, “Apa yang telah kau lihat?”
Mahisa Amping memandang Mahisa Pukat dengan ragu. Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kami melihat-lihat pasar ayah.”
“O” Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah naik.”
Di atas tikar pandan yang sudah terbentang. Angin terasa semilir bertiup melintasi pendapat kecil itu. Ketika kemudian Mahendra duduk pula di antara anak-anaknya maka Mahisa Amping pun segera berceritera tentang peristiwa yang terjadi di sebuah pasar itu.
“O” Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia bertanya, “jadi kau baru saja berkelahi?”
“Ya. Dan kakang Mahisa Semu juga” jawab Mahisa Amping.
Mahendra mengangguk-angguk. Dari ceritera Mahisa Amping, Mahendra mendapat kesan, bahwa Mahisa Amping menganggap orang-orang di Kotanya itu bertingkah laku buruk sebagaimana orang-orang yang diceriterakan itu.
“Amping” berkata Mahendra sambil tersenyum, “tidak semua orang di Kotaraja ini berkelakuan buruk.”
“Tentu” jawab Mahisa Amping, “tetapi aku kira kebanyakan mereka berkelakuan aneh menurut pendapatku. Mereka terlalu mementingkan diri sendiri. Anak pemburu itu tentu tidak hanya sendiri. Tentu banyak anak di Kotaraja ini yang berwatak seperti anak itu. Mereka sama sekali tidak menghargai orang lain.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Nanti atau besok atau kapan saja sebelum kau kembali ke padepokan, kau tentu akan melihat bahwa tidak banyak anak yang nakal seperti itu. Meskipun kehidupan di Kotaraja ini membentuk lingkungan yang berbeda dengan kehidupan di padepokan sebagaimana kehidupan di padepokan tidak sama dengan kehidupan dan padukuhan-padukuhan, tetapi di Kotaraja mi masih banyak juga orang yang baik, orang yang menghargai orang lain dan bahkan selalu menolong orang lain yang dalam kesulitan.”
Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Namun Mahendra pun kemudian berkata selanjutnya, “Tetapi karena di Kotaraja ini diwarnai dengan kehidupan yang sibuk, maka kadang-kadang seseorang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan orang lain. Namun bukan pada dasarnya orang itu terlalu mementingkan diri sendiri”
Mahisa Amping tidak menjawab. Ia tidak begitu mengerti arti dari keterangan Mahendra. Namun serba sedikit ia dapat merasakannya, sehingga karena itu, maka ia justru mencoba...
“Hus” desis yang lain.
“Tetapi bukankah guru memang sudah berubah” berkata orang yang pertama.
“Ia memang menjadi semakin tua. Tetapi ada yang tidak berubah. Aku masih dibiarkan makan sebanyak-banyaknya” berkata orang yang gemuk itu.
Kawan-kawannya sempat tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Kau tidak pernah berpikir lain kecuali makan sebanyak-banyaknya. Apapun yang terjadi di sekelilingmu tidak akan mempengaruhimu, asal kau masih tetap dapat makan sebanyak-banyaknya.”
Orang itu tertawa. Tetapi dengan cepat ia menutup mulutnya.
Sementara itu seorang yang lain berkata bersungguh-sungguh, “Nanti, setelah guru memanggil Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara, lalu apa yang akan dilakukannya? Apa pula yang harus kami lakukan? Menghukum Empu Sidikara beramai-ramai?”
“Entahlah” jawab yang lain, “apa pula maksud guru dengan menebus kekalahan? Apakah kita harus bertempur melawan anak muda yang telah mengalahkan Empu Kamenjangan itu atau guru sendiri yang akan melakukannya atau apa?”
Tetapi mereka pun terdiam ketika mereka melihat orang berjanggut putih yang mereka sebut sebagai guru itu. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sama sekali tidak berbicara apapun juga selain memesan makanan dan minuman serta minta agar kuda-kuda mereka juga dirawat.
Namun anak-anak muda itu terkejut ketika orang berjanggut putih itu tiba-tiba saja berdiri dan melangkah mendekati mereka. Sambil duduk di dekat mereka, orang itu bertanya, “Anak-anak muda itu akan pergi ke mana atau dari mana?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Sudah tentu mereka tidak akan menyebut bahwa salah seorang di antara mereka adalah Mahisa Pukat. Kebetulan itu harus mereka tanggapi dengan sangat berhati-hati. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kami baru saja menempuh perjalanan dari Bumiagara.”
“Bumiagara?” orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”
“Kembali ke Singasari” jawab Mahisa Murti
“Apakah kalian anak-anak Singasari?” bertanya orang itu.
“Bukan” jawab Mahisa Murti, “kami adalah orang Sangling. Tetapi ada saudara kami yang tinggal di Singasari. Sudah agak lama kami tinggal bersama saudara kami itu.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Apakah kalian semua bersaudara?”
“Ya” jawab Mahisa Murti, “bahkan masih ada saudara kami yang lain.”
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kenapa kalian tidak memilih jalan yang lebih dekat?”
“Kami sudah terbiasa menempuh jalan ini.” jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang tanggap akan jawaban-jawaban Mahisa Murti telah mengarang nama-nama bagi diri mereka masing-masing. Untunglah bahwa orang itu tidak bertanya nama mereka seorang demi seorang.
Bahkan kemudian orang tua itu telah bangkit dan mendekati murid-muridnya sambil berkata, “Marilah. Kita lanjutkan perjalanan.”
Sejenak kemudian, setelah membayar harga makanan dan minuman mereka, maka orang-orang itu pun segera meninggalkan kedai itu. Selain gurunya, maka mereka berjumlah lima orang. Seorang di antara mereka, yang termuda, adalah orang yang gemuk itu.
Demikian mereka pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka telah terlepas dari intaian sekelompok serigala yang lapar.
“Adalah kebetulan sekali kita bertemu di sini” berkata Mahisa Pukat.
“Hanya terjadi satu dari seribu peristiwa” jawab Mahisa Murti, “namun membuat hati ini menjadi berdebar-debar.”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Jika aku sempat bertemu lebih dahulu dengan Empu Sidikara.”
“Kau coba sajalah” berkata Mahisa Murti, “sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Aku akan langsung singgah di rumah Empu Sidikara mengabarkan rencana yang kita dengar tadi.”
“Baiklah, aku kira orang-orang itu tentu akan singgah lebih dahulu di rumah Empu Kamenjangan. Baru kemudian mereka akan memanggil Empu Sidikara.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia menjadi tergesa-gesa menyelesaikan makan dan minumnya. Demikian mereka selesai, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Agaknya kuda mereka pun telah cukup beristirahat. Telah cukup pula makan dan minum sebagaimana mereka sendiri.
Perjalanan mereka tidak lagi sekedar melarikan kuda mereka di tengah-tengah bulak. Tetapi mereka telah melarikan kuda mereka lebih kencang, meskipun tidak berpacu seperti di pacuan kuda. Setelah menempuh perjalanan panjang, maka seperti yang direncanakan Mahisa Pukat tidak singgah dulu di rumah ayahnya. Tetapi ia langsung menuju ke rumah Empu Sidikara.
...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan...
“Apa kesan yang kau dapatkan pada Empu Sidikara itu?”
“Seperti saudara-saudara seperguruannya, Empu Sidikara merasa bahwa gurunya telah berubah.” jawab Mahisa Pukat, “ia berharap bahwa ia dapat berbicara dengan baik. Tetapi tanggapannya memang sama seperti saudara-saudara seperguruannya yang lain tentang Empu Kamenjangan. Empu Kamenjangan memang terlalu manja, sehingga kadang-kadang ia tidak berdiri beralaskan kenyataan. Seperti sikapnya di Kesatrian. Bahkan ia pun ikut memanjakannya ketika ia minta menjajagi ilmuku.”
“Kenapa ia mendapat perhatian khusus dari gurunya?” bertanya Mahendra.
“Ia dianggap murid terbaik oleh gurunya” jawab Mahisa Pukat, “ia mempunyai beberapa kelebihan, sehingga ia mendapat perhatian khusus. Mungkin gurunya menumpahkan harapannya atas kelangsungan perguruannya kepada Empu Kamenjangan. Kesempatan Empu Kamenjangan menyusupkan ilmunya lewat para bangsawan muda di Kesatrian, ia berharap bahwa ilmunya akan menjadi ilmu yang paling berpengaruh. Para bangsawan itu kelak akan memegang kepemimpinan di Singasari. Sementara itu mereka adalah orang-orang yang memiliki landasan ilmu dari perguruan Empu Kamenjangan.”
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Jika demikian maka kau harus berhati-hati Mahisa Pukat. Mungkin orang itu akan berbuat apa saja untuk merebut kembali kedudukannya. Mungkin mereka tidak segan-segan berbuat licik dan mengabaikan harga dirinya untuk mencapai keinginannya, menembus kembali dinding Kesatrian.”
“Tetapi Pangeran Kuda Pratama bukan seorang yang pendiriannya mudah goyah? Besok aku akan memberikan laporan tentang kedatangan guru Empu Kamenjangan serta apa yang ia inginkan.” berkata Mahisa Pukat.
“Baiklah” Mahendra mengangguk-angguk, “meskipun demikian kau harus tetap berhati-hati.”
Demikianlah, maka malam itu Mahisa Pukat bermalam di rumah ayahnya. Ia masih ingin banyak berbicara dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Memang sampai lewat tengah malam mereka berbincang tanpa habis-habisnya. Ada saja yang mereka bicarakan. Tentang padepokan Bajra Seta, tentang hubungan padepokan itu dengan padukuhan-padukuhan sekitarnya dan juga tentang Kesatrian Singasari.
Namun malam menjadi semakin larut, maka Mahendra pun memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa besok ia masih harus melakukan kewajibannya yang sudah ditinggalkan sekitar sepekan. Ketika Matahari terbit di keesokan harinya, maka Mahisa Pukat telah siap untuk pergi ke Kesatrian. Ia minta Mahisa Murti untuk tinggal beberapa hari di Kotaraja.
“Pada satu kesempatan aku akan mengajak kalian ke Kesatrian Singasari. Kalian dapat bertemu dan berbicara dengan Pangeran Kuda Pratama yang pernah menyetujui kehadiran Mahisa Murti di Kesatrian. Kau akan dapat berbicara langsung dan memberikan alasan-alasanmu kenapa kau tidak dapat bertugas di Kesatrian” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu kesempatan itu.”
“Tentu tidak akan lama besok atau lusa” berkata Mahisa Pukat pula, “sementara itu kau dapat membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan Kotaraja.”
“Baiklah” Mahisa Murti mengangguk kecil, “aku mempunyai waktu beberapa hari di Kotaraja ini.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya pula untuk kembali ke Kesatrian. Namun ia masih mempunyai sedikit waktu untuk singgah ke rumah Sasi. Mahisa Pukat memang tidak dapat terlalu lama berada di rumah Sasi. Meskipun agaknya Sasi masih mengharap Mahisa Pukat tinggal lebih lama di rumahnya, namun Mahisa Pukat harus segera kembali ke Kesatrian.
Bahkan ketika Arya Kuda Cemani berangkat ke tugasnya maka ia pun bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apakah kau masih belum bertugas hari ini?”
“Aku memang akan pergi ke Kesatrian. Aku hanya singgah sebentar.” jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah, sepeninggal Arya Kuda Cemani, maka Mahisa Pukat telah minta diri pula. Sasi tidak lagi menahannya, karena ia menyadari bahwa Mahisa Pukat memang harus segera berada di Kesatrian untuk melakukan tugasnya. Demikian Mahisa Pukat sampai di Kesatrian, maka yang pertama-tama dilakukan adalah mohon untuk dapat menghadap Pangeran Kuda Pratama.
Ternyata Pangeran Kuda Pratama tidak berkeberatan untuk menerimanya. Ditemuinya Mahisa Pukat di serambi tempat tinggal Pangeran Kuda Pratama masih dilingkungan Kesatrian. Setelah melaporkan diri bahwa ia telah siap untuk bertugas lagi, maka Mahisa Pukat pun telah melaporkan pula bahwa kepergiannya ke Padepokan Bajra Seta tidak menghasilkan apa-apa.
“Bagaimana dengan saudaramu itu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Ia sekarang berada di Kotaraja, Pangeran” jawab Mahisa Pukat. “Jika Pangeran berkenan, ia akan menghadap untuk menyampaikan alasan-alasannya, kenapa ia tidak dapat ikut bersamaku bertugas di Kesatrian.”
“Tentu saja aku senang sekali menerimanya” berkata Pangeran Kuda Pratama, “ajaklah ia kemari.”
“Apakah besok saudaraku itu diperkenankan menghadap?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya” jawab Pangeran Kuda Pratama, “kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati. Kecuali jika kebetulan aku tidak ada di Kesatrian.”
“Baiklah Pangeran” jawab Mahisa Pukat, “nanti malam aku akan pulang dan besok membawa saudaraku itu menghadap” berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian Mahisa Pukat pun telah memberikan laporan tentang guru dan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang telah datang ke Kotaraja
“Darimana kau tahu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama
“Hanya satu kebetulan Pangeran. Agaknya memang kurang meyakinkan. Tetapi demikianlah yang sudah terjadi.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh laporan Mahisa Pukat tentang sikap guru Empu Kamenjangan. “Apakah gurunya sudah sangat tua?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Belum Pangeran” jawab Mahisa Pukat, “mungkin umurnya tidak terpaut terlalu banyak dengan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kita tunggu. Langkah apa yang akan diambil. Jika perlu, maka biarlah aku sendiri yang akan menemui gurunya.”
“Jangan Pangeran” berkata Mahisa Pukat, “orang itu bukan apa-apa. Karena itu, tidak sepantasnya Pangeran melibatkan diri langsung dengan persoalan ini. Mungkin saudaraku yang kebetulan berada di Kotaraja. Mungkin pula ayahku.”
“Ayahmu sudah terlalu tua Mahisa Pukat. Bukankah aku lebih muda dari ayahmu meskipun aku juga sudah tua?”
“Tetapi orang itu tidak cukup penting untuk menggerakkan wiru kain Pangeran.” sahut Mahisa Pukat.
Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Jangan melibatkan orang lain yang tidak mempunyai sangkut-paut sama sekali dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Persoalannya adalah persoalan yang langsung menyangkut kedudukan di Kesatrian. Karena itu, maka akulah yang bertanggung jawab.”
“Jangan Pangeran” Mahisa Pukat mencoba mencegah.
Namun Pangeran Kuda Pratama justru tertawa, “Jangan memperkecil arti kehadiranku di Kesatrian ini Mahisa Pukat.”
“Ampun Pangeran” jawab Mahisa Pukat sambil menunduk dalam-dalam.
“Kalau kau menghargai aku, maka biarlah aku mempertanggungjawabkan keputusan yang aku ambil.”
Mahisa Pukat tidak berani menjawab lagi. Karena itu maka ia pun hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Sudahlah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “jangan dipikirkan terlalu panjang. Ajak saja besok saudaramu itu kemari. Aku memang ingin mendengarkan alasannya kenapa ia tidak bersedia bertugas di Kesatrian. Tugas yang ditunggu oleh banyak orang”
“Baik Pangeran” jawab Mahisa Pukat.
“Nah, sudahlah. Bukankah kau akan mulai melakukan tugasmu setelah kurang lebih sepekan kau tinggalkan?” berkata Pangeran Kuda Pratama selanjutnya.”
“Ya, Pangeran” jawab Mahisa Pukat kemudian.
“Tetapi aku pesankan kepadamu, sebaiknya kau tidak membawa anak-anak muridmu keluar dari istana lebih dahulu sampai dua tiga hari. Kita akan melihat perkembangan suasana.”
Mahisa Pukat justru menjadi termangu-mangu. Meskipun dengan agak ragu, ia pun bertanya, “Jadi maksud Pangeran, aku harus menghindari guru dan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu?”
“Bukan kau. Tetapi murid-muridmu. Anak-anak Kesatrian. Maksudku, jika kau ingin pergi keluar, jangan bawa seorang pun di antara anak-anak Kesatrian.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Justru dengan demikian maka Pangeran Kuda Pratama itu memberi isyarat kepadanya, agar ia selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan tanpa melibatkan para bangsawan muda dari Kesatrian. Sambil membungkuk hormat, maka Mahisa Pukat berkata, “Ampun Pangeran. Segala perintah Pangeran akan aku lakukan.”
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah berada kembali di antara para Pelayan Dalam. Baru kemudian ia mendapatkan para bangsawan muda yang telah menunggunya beberapa lama. Rasa-rasanya mereka sudah cukup lama tidak melakukan latihan bersama dengan gurunya. Selama Mahisa Pukat pergi, maka para bangsawan muda itu melakukan latihan-latihan sendiri sekedar diawasi oleh para Pelayan Dalam yang ditugaskan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, pada hari itu pagi-pagi benar guru Empu Kamenjangan telah mengajaknya menemui Empu Sidikara. Gurunya sama sekali tidak puas dengan keterangan Empu Kamenjangan bahwa sebenarnya ilmu anak muda yang disebut Mahisa Pukat itu sangat tinggi sehingga ia sama sekali tidak mampu mengatasinya.
“Tetapi telingaku mendengar bahwa Sidikara telah berkhianat kepadamu, sehingga ketika kau dikalahkan oleh anak muda itu, sementara kedua orang kawanmu ingin membelamu, justru Sidikara berdiri di pihak anak muda itu.” berkata gurunya.
“Dari siapa guru mendengarnya?” bertanya Empu Kamenjangan.
“Kau tidak perlu tahu, dari siapa aku mendengar” jawab gurunya.
Tetapi Empu Kamenjangan tahu, bahwa ceritera itu tentu bermula dari salah seorang kawannya itu. Meskipun kawannya tidak berniat menyampaikannya kepada gurunya, tetapi orang lain yang mendengarnya dan mengenal gurunya telah menyampaikannya.
“Aku harus menelusuri orang yang mengenal guru itu” berkata Empu Kamenjangan di dalam hatinya.
Namun kepada gurunya Empu Kamenjangan menjawab, “Sidikara sama sekali tidak ingin berkhianat. Ia hanya ingin memperingatkan aku bahwa aku telah mengambil langkah yang salah”
“Kau tidak usah melindunginya” berkata gurunya
“Aku berkata sebenarnya guru” jawab Empu Kamenjangan. Ia pun menceriterakan bagaimana Empu Sidikara telah mengobatinya ketika ia hampir saja dijemput oleh maut.
Tetapi gurunya tetap berpendapat bahwa Empu Sidikara telah melakukan kesalahan. Karena itu, maka guru Empu Kamenjangan telah mengajaknya untuk menemui Empu Sidikara, maka Empu Sidikara telah siap untuk menerima mereka. Tanpa kegelisahan sama sekali, ia mempersilahkan gurunya untuk naik ke pendapa bersama saudara-saudaranya seperguruannya.
“Aku menunggu sejak kemarin” berkata Empu Sidikara.
“Sejak kemarin?” gurunya bertanya.
“Ya. Sejak kemarin” jawab Empu Sidikara.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku akan datang kemarin?” bertanya gurunya.
“Orang yang memberitakan kepada guru apa yang telah terjadi dengan Empu Kamenjangan itulah yang mengatakan kepadaku,” jawab Sidikara sambil tersenyum.
“Kau berbohong” berkata gurunya, “tetapi baiklah. Meskipun kau berbohong, tetapi aku benar-benar mengetahui. Atau perasaan-perasaan lain yang bergejolak di jantungmu. Kau menerima kedatanganku dengan persiapan jiwani yang mantap. Meskipun kau berbohong tentang siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku datang, nyatanya kau memang mengetahuinya.” guru Empu Kamenjangan itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Aku memang kemarin datang ke rumah Kamenjangan. Sebenarnya aku memang akan langsung datang kemari. Tetapi aku tidak ingin perasaanku yang masih panas itu membakar rumahmu ini.”
“Terima kasih guru” jawab Empu Sidikara, “aku memang sudah lama tidak bertemu dengan guru. Kedatangan guru sangat menyenangkan meskipun aku tahu bahwa guru tentu marah akan sikapku ketika Empu Kamenjangan bertempur dengan Mahisa Pukat, seorang Pelayan Dalam yang masih sangat muda dibandingkan dengan umur kami. Maksudku umurku dan umur Empu Kamenjangan.”
“Nah, sekarang aku datang untuk menuntut tanggung jawabmu sebagai saudara seperguruan Kamenjangan. Kenapa kau telah mengkhianatinya?” bertanya gurunya.
“Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Empu Kamenjangan, apakah ia merasa aku khianati?”
“Aku tidak peduli pendapat Kamenjangan. Tetapi menurut pendapatku, kau telah berkhianat.” geram gurunya.
“Nah, bukankah ada orang lain yang melaporkan kepada guru? Apa kata orang itu? Aku tidak tahu maksudnya, kenapa ia melapor kepada guru, kemudian ia memberitahukan kepadaku bahwa guru akan datang menemui aku.”
“Jangan berbelit-belit” bentak gurunya.
Empu Sidikara mengerutkan dahinya. Tetapi ia berkata, “Aku tidak tahu, kenapa guru menganggap aku berbelit-belit.”
“Cukup” bentak gurunya. Lalu katanya, “Kau harus menebus pengkhianatanmu.”
“Maksud guru?” bertanya Empu Sidikara.
“Kau tantang anak itu. Kau harus mengalahkannya. Baru harga diri perguruan kita dapat diangkat kembali.”
Tetapi Empu Sidikara menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak guru. Aku tidak sanggup. Sebelum Empu Kamenjangan, aku telah bertempur melawannya. Juga atas permintaan Empu Kamenjangan. Ternyata aku tidak dapat mengimbangi ilmunya. Ketika kemudian Empu Kamenjangan ingin melakukannya sendiri, aku sudah memperingatkannya. Tetapi Empu Kamenjangan tetap melakukannya. Hampir saja Empu Kamenjangan terbunuh dalam pertempuran itu.”
“Kenapa kau justru berbuat sebaliknya ketika kedua orang kawan Kamenjangan itu berusaha membalas sakit hati atas kekalahan Kamenjangan. Justru kau mengancam untuk berdiri di pihak anak muda itu.”
“Aku justru ingin mempertahankan harga diri perguruan kita. Apa kata orang bahwa perguruan kita baru dapat mengalahkan lawannya setelah mendapat bantuan dari orang lain? Karena itu, maka aku mencegah pertempuran yang akan terjadi antara kedua orang kawan Empu Kamenjangan melawan Mahisa Pukat itu.” jawab Empu Sidikara. Lalu ia pun kemudian bertanya kepada Empu Kamenjangan, “Nah, Empu Kamenjangan. Apa pendapatmu sebenarnya. Kata hati nuranimu?”
Empu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu ia berkata, “Aku memang sudah dikalahkannya. Aku harus mengakui itu.”
“Bagus. Besok atau sampai kapan pun aku berusaha untuk menjumpai anak itu. Saudara-saudara seperguruan kalian masih mempunyai kebesaran jiwa untuk membela nama baik perguruan kalian. Mereka akan dengan dada tengadah menghadapi Pelayan Dalam yang angkuh itu.”
Namun tiba-tiba muridnya yang gemuk itu berkata, “Guru Jika Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara saja tidak dapat mengatasi ilmunya, apalagi kami.”
“Diam kau” bentak gurunya, “bahwa Kamenjangan kehilangan kedudukannya di Kesatrian itu berarti bahwa ilmu perguruan kita tidak akan dapat menjadi ilmu yang paling berpengaruh di Singasari. Jika ada di antara kita yang masih tetap berada di Kesatrian maka para bangsawan Singasari akan melandasi kekuatan mereka dalam kedudukan mereka dengan ilmu dari-perguruan kita.”
“Tetapi itu sudah terlepas” berkata Empu Kamenjangan, “apakah dengan menantang dan berkelahi melawan Pelayan Dalam itu, kedudukan di Kesatrian dapat kita miliki kembali?”
“Kau memang bodoh. Kita jadikan Pelayan Dalam itu taruhan. Kita akan menghidupinya jika ia mampu menempatkan kau kembali di Kesatrian.” jawab Empu Kamenjangan.
“Tetapi yang menentukan kedudukanku di Kesatrian bukan Pelayan Dalam itu. Tetapi Pangeran Kuda Pratama.” jawab Empu Kamenjangan.
“Tetapi bukankah Pelayan Dalam itu punya mulut. Nah, biar mulutnya itu dipergunakannya untuk menyampaikan hal itu kepada Pangeran Kuda Pratama.”
Empu Kamenjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Guru. Jika guru mau mendengarkan kata-kataku, sudahlah. Kita lupakan saja kedudukan di Kesatrian itu. Aku sudah merasa bersalah. Jika guru ingin menghukum aku, aku sama sekali tidak berkeberatan.”
“Aku tidak mau menjadi putus-asa seperti itu.” jawab gurunya, “aku harus mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Tetapi” Empu Kamenjangan memotong, “aku tidak mengira bahwa guru akan bersikap demikian. Selama ini aku justru mencemaskan guru, justru guru akan sangat marah kepadaku karena ketamakanku di Kesatrian. Setelah aku mendapat kedudukan di Kesatrian, aku menjadi lupa diri dan melupakan semua pesan guru.”
“Tutup mulutmu Kamenjangan. Kau sudah mengusutkan nama perguruan kita, sekarang kau masih juga ingin menentang sikapku. Aku sudah mengambil keputusan. Meskipun kalian menganggap aku berubah, tetapi niatku untuk menguasai landasan ilmu bagi para bangsawan di Singasari tidak akan berubah. Satu cara untuk menjadikan perguruan kita menjadi perguruan yang paling berpengaruh di Singasari.”
Empu Kamenjangan memang terdiam. Namun Empu Sidikara lah yang berkata, “Guru. Biarlah aku berterus-terang. Tidak ada seorang pun di antara kita yang akan mampu mengalahkan anak muda itu.”
“Aku tidak akan minta salah seorang dari antara kalian untuk berperang tanding. Kita akan menangkapnya dan memaksanya untuk menempatkan kembali Kamenjangan di Kesatrian. Aku percaya bahwa orang-orang seperti itu akan memegang janjinya.”
“Satu hal yang mustahil” berkata Empu Kamenjangan.
“Kalian memang orang-orang dungu, bodoh dan pengecut. Tetapi kalian harus mencobanya. Kita tidak mempunyai jalan lain. Kita akan menunggu di tempat yang terbiasa baginya untuk mengadakan latihan di luar istana, bahkan diluar Kotaraja. Kemudian kita akan menangkapnya dan memaksanya untuk berjanji. Jika kalian semuanya tidak mampu menghadapinya, biarlah aku turut campur.”
“Guru” berkata Empu Kamenjangan, “aku benar-benar tidak mengerti sikap guru sekarang.”
...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewat di buku aslinya...
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun merasa bahwa persoalan saudaranya yang tidak bersedia menjalani tugas di Kesatrian itu sudah selesai. Mahisa Pukat merasa bahwa ia telah menawarkannya, sehingga penolakan saudaranya itu akan dapat menyinggung perasaan Pangeran Kuda Pratama. Namun ternyata tidak. Pangeran Kuda Pratama dapat mengerti sepenuhnya kenapa Mahisa Murti tidak dapat mengabdikan dirinya di Istana Singasari.
Selain daripada itu, maka Mahisa Pukat ingin mengajak Mahisa Murti untuk pergi ke lereng bukit, ketika semua keduanya telah berada di serambi sebelum tidur, maka MahisaPukat telah menceriterakan persoalan yang ternyata kemudian timbul karena kehadiran guru Empu Kamenjangan itu.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “besok aku ikut pergi ke lereng bukit” jawab Mahisa Murti
Malam itu, Mahisa Murti telah tidur di bilik yang di peruntukkan bagi para Pelayan Dalam. Karena ada beberapa orang yang bertugas malam itu, maka Mahisa Murti dapat menempati pembaringannya malam itu.
Pagi-pagi benar Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah bersih Mereka berdua telah meninggalkan Kesatrian. Tetapi Mahisa Pukat tidak mengajak seorang pun dari para bangsawan muda itu pergi bersamanya. Mahisa Pukat hanya memberikan pesan kepada dua orang Pelayan ditunjuk untuk membantu dan melayani para bangsawan muda itu berlatih di pagi hari.
Para bangsawan muda itu memang menjadi heran, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui, kemana guru mereka itu pergi, bahkan kedua bangsawan remaja yang sejak semula menjadi murid Mahisa Pukat itu pun tidak tahu kemana perginya Mahisa Pukat dan saudaranya yang semalam bermalam di Kesatrian itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang meninggalkan Kesatrian memang memenuhi perintah Pangeran Kuda Pratama. Jika ia akan pergi menemui guru Empu Kamenjangan, sebaiknya ia tidak membawa seorang pun dari antara murid-muridnya di Kesatrian.
Demikianlah sebelum matahari terbit, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berada di lereng bukit. Sebenarnyalah mereka mengetahui bahwa beberapa pasang mata mengikutinya saat mereka memanjat lereng yang tidak terlalu terjal dan tidak terlalu tinggi itu menuju ke tempat yang terbiasa dipergunakan oleh Mahisa Pukat untuk berlatih bersama murid-muridnya di Kesatrian.
“Mereka mengikuti kita” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “kita akan menunggu mereka sampai mereka menampakkan diri.”
Mahisa Murti mengangguk. Keduanya berlari-lari kecil sebagaimana sering dilakukan oleh Mahisa Pukat dan murid-muridnya, para bangsawan muda di Kesatrian. Ketika keduanya berada di tempat yang datar di lambung perbukitan itu, maka tiba-tiba saja orang yang mereka kenal sebagai guru Empu Kamenjangan itu langsung berjalan bergegas menemui mereka.
Tanpa memperkenalkan diri, orang itu langsung menuding kedua orang muda itu sambil berkata, “He, bukankah kalian anak-anak yang aku temui di kedai dalam perjalanan kalian ke Singasari itu?”
“Ya Ki Sanak” jawab Mahisa Pukat sambil memperhatikan beberapa orang yang kemudian datang mengikuti guru Empu Kamenjangan. Di antara mereka terdapat Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara.
“Jadi kalian mendengar apa yang kami katakan di kedai itu tentang Kamenjangan dan Sidikara?” bertanya orang itu.
“Ya. Kami mendengar semuanya. Kami tahu bagaimana Ki Sanak menyesali sikap Empu Sidikara. Bagaimana Ki Sanak kecewa atas kegagalan Empu Kamenjangan. Aku memang mendengarkan apa yang Ki Sanak katakan, karena aku langsung berkepentingan.”
“Kenapa kalian diam saja?” bertanya orang itu.
“Jadi apa yang harus kami perbuat? Bukankah memang sebaiknya kami tidak berbuat apa-apa saat itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kau licik. Seharusnya kalian mengaku siapa sebenarnya kalian berdua.” geram guru Empu Kamenjangan itu.
“Untuk apa? Bukankah dengan demikian hanya akan menimbulkan perselisihan? Apa pula gunanya perselisihan itu. Karena kami menganggap bahwa perselisihan di antara kita tidak ada gunanya, maka kami memutuskan untuk berdiam diri saja”
“Tetapi benih-benih perselisihan memang sudah ada. Bukankah akhirnya kita pun akan berselisih dan menentukan tataran kemampuan kita? Seandainya kau berani mengaku saat itu, maka persoalan kita sudah selesai.” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata, “Aku ingin Ki Sanak lebih dahulu bertemu dengan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Mereka akan dapat memberikan pertimbangan kepada Ki Sanak, apa yang sebenarnya yang telah terjadi. Agaknya Ki Sanak telah mendengarnya dari orang lain yang tidak langsung berkepentingan.”
“Aku tahu. Kau bermaksud agar Kamenjangan dan Sidikara berusaha membatalkan niatku untuk memaksamu agar Kamenjangan di tempatkan kembali di Kesatrian” geram guru Empu Kamenjangan.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “karena hal itu tidak akan mungkin dilakukan. Pangeran Kuda Pratama lah yang dapat menentukan hal itu. Ia bukan orang yang mudah merubah keputusannya.”
“Tetapi jika perubahan itu disertai dengan alasan-alasan yang masuk akal, maka Pangeran tua itu tentu akan menerimanya.” berkata guru Empu Kamenjangan dengan nada tinggi.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan mampu meyakinkannya.”
“Anak muda” berkata guru Empu Kamenjangan itu, “kami datang memang untuk menangkapmu. Kami akan memaksamu untuk mengusahakan agar Kamenjangan dapat kembali memangku jabatannya di Kesatrian. Dengan demikian maka barulah persoalan di antara kita selesai. Aku memang tidak akan menuntut apapun juga kecuali kedudukan itu. Meskipun dengan kehadiranmu, maka pengaruh ilmu perguruanku atas para bangsawan di Singasari tidak akan mutlak lagi.”
“Bukankah sejak aku belum ada di Kesatrian pengaruh ilmu Empu Kamenjangan juga tidak mutlak? Bukankah di sini ada dua orang lain yang menjadi guru para bangsawan muda di Kesatrian?” sahut Mahisa Pukat.
“Tetapi mereka tidak berarti apa-apa. Mereka berada dibawah pengaruh Kamenjangan. Kedua orang itu tidak lebih dari sekedar membantu Kamenjangan membimbing para bangsawan muda di Kesatrian ini. Tetapi landasan ilmu yang diberikan kepada para bangsawan muda itu adalah landasan ilmu Kamenjangan.”
Namun Mahisa Pukat tetap menggeleng. Katanya, “Aku tidak sanggup Ki Sanak.”
“Aku tidak bertanya kau sanggup atau tidak sanggup. Tetapi aku berniat memaksamu. Jika kau berkeras tidak mau membantu Kamenjangan kembali ke Kesatrian, maka sekarang aku akan menangkapmu dan apabila perlu membunuhmu.”
“Sampai seberapa jauh batas apabila perlu yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Persetan dengan pertanyaanmu itu. Katakan sekarang bahwa kau bersedia untuk membantuku” bentak guru Empu Kamenjangan itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Tidak, Empu, aku tidak dapat membantu.”
“Jika demikian aku harus memaksamu. Kami akan menangkapmu dan memaksamu untuk menerima keinginanku, membantu agar Kamenjangan dapat diterima lagi di Kesatrian.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi Ki sanak akan memaksakan perselisihan?”
“Itu salahmu. Jika kau tidak mengelakkan niatku, maka tidak akan ada perselisihan itu.”
“Guru” berkata Empu Kamenjangan, “jika demikian maka baiklah aku berterus terang. Aku tidak akan bersedia untuk bertugas kembali di Kesatrian. Harga diriku sudah larut. Aku tidak akan mempunyai wibawa lagi atas murid-muridku.”
“Pengecut kau” bentak gurunya marah, “kenapa kau katakan bahwa aku berubah sekarang? Ternyata bukan aku yang berubah, tetapi kalian. Terutama Kamenjangan. Kau yang aku kira akan dapat melangsungkan kebesaran nama perguruan kita, ternyata kau tidak lebih dari seorang pengecut.”
Empu Kamenjangan tidak menjawab. Ia tahu bahwa gurunya benar-benar marah. Tetapi ia memang sudah berkeputusan tidak akan kembali ke Kesatrian. Karena Empu Kamenjangan tidak menjawab, maka gurunya itu pun berkata, “Tetapi jika kau bersikeras menolak Kamenjangan, maka aku perintahkan kepada Sidikara untuk menggantikan kedudukan Kamenjangan di Kesatrian.”
...Sepertinya ada bagian dialog yang terlewat...
“Jangan dengarkan kata orang” bentak guru Empu Kamenjangan, “bagiku apapun kata orang, tujuan utama perguruan kita tidak boleh terlepas dari tangan.”
“Tetapi kita hidup di antara orang-orang” jawab Empu Sidikara meskipun agak ragu.
“Orang akan membicarakan kita sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan mereka. Mungkin seseorang akan mengatakan bahwa kau tidak tahu malu. Tetapi orang lain akan memujimu sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan nama perguruanmu. Meskipun saudara seperguruannya terusir, tetapi kau ternyata mampu menggantikannya.” berkata gurunya lantang.
“Sementara itu, apa kata hati nurani kita sendiri?” bertanya Empu Sidikara.
“Nah, itu tergantung kepadamu. Apakah kau seorang yang berjiwa besar atau tidak lebih dari seekor tikus kecil sakit-sakitan. Nurani seseorang memang tergantung pada sikap jiwani serta pandangan hidupnya. Itulah sebabnya maka setiap orang mempunyai pendapat, sikap dan tanggapan yang berbeda terhadap satu persoalan.”
“Tetapi bukankah ada keselarasan sikap yang bersifat umum? Bukankah berdasarkan atas sikap itu, maka dalam kehidupan ini terdapat keselarasan dan keseimbangan?” bertanya Empu Sidikara.
“Itu adalah sikap batang ilalang yang merunduk kemana arah angin bertiup. Tidak. Kau dan semua murid-muridku tidak boleh bersikap sebagaimana batang ilalang. Kalian harus tegak dan tegar pada sikap yang telah kalian pilih sendiri.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Jika itu yang guru maksud, maka aku sudah menyatakan sikapku. Agaknya sikap itu bukan sikap batang ilalang meskipun angin prahara akan bertiup,” jawab Empu Sidikara.
“Kau memang anak iblis. Jika demikian, aku akan melupakan kalian berdua” geram guru Empu Kamenjangan itu.
....Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Dalam pada itu, saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara itu memang tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur dengan sungguh-sungguh. Gurunya seakan-akan melihat gejolak jantung mereka jika mereka menjadi ragu-ragu. Semakin keras gurunya berteriak maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.
Meskipun masih berada dibawah tataran Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara, namun berlima mereka menjadi sangat berbahaya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus mengerahkan tenaga mereka untuk melindungi diri, sehingga kulit daging Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa nyeri.
Namun dalam pada itu, Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang telah terjadi di arena. Karena itu di dalam hati ia bergumam, “Anak-anak muda yang hatinya bagaikan lautan. Mereka memiliki kesabaran yang tinggi meskipun mereka menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.”
Empu Sidikara yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat dengan kekuatan ilmu yang mampu menghisap kekuatan lawannya itu segera menyadari, bahwa kedua orang anak muda itu telah mengetrapkan ilmu itu pula. Keduanya lebih banyak membentur setiap serangan dengan serangan. Bahkan serangan-serangan mereka berdua nampaknya bukannya serangan yang berbahaya. Seakan-akan keduanya asal saja dapat mengenai lawannya di sasaran yang mana pun juga.
“Ternyata saudara laki-laki Mahisa Pukat itu memiliki kemampuan dan ilmu setingkat dengan Mahisa Pukat. Keduanya sama sekali tidak dapat dibedakan. Bukan saja unsur-unsur gerak yang mereka kuasai, tetapi juga sikap dan wataknya.” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, pertempuran itu pun mulai menarik perhatian guru Empu Sidikara. Ia melihat perubahan yang terlalu cepat terjadi pada murid-muridnya. Mereka yang sudah terbiasa berlatih dengan mengerahkan segenap kekuatan dan tenaga mereka di dalam dan juga di luar sanggar, tentu mempunyai ketahanan tubuh yang besar. Tetapi melawan dua orang anak muda itu, saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara itu dengan cepat mengalami kesulitan. Mereka mulai nampak letih. Tenaga mereka dengan cepat pula menyusut. Gerak mereka tidak lagi cepat dan kuat.
Meskipun kelima orang itu berusaha untuk mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, namun rasa-rasanya urat-urat darah mereka mulai membeku. Jantung mereka seolah-olah menjadi semakin lambat berdetak di dalam dadanya.
“He, monyet-monyet kecil” teriak guru Empu Kamenjangan, “ada apa dengan kalian? Kenapa kalian tiba-tiba menjadi seperti kehabisan darah, sementara kalian semuanya masih belum terluka?”
Saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu memang merasa heran tentang diri mereka sendiri. Betapapun mereka mengerahkan tenaga, namun rasa-rasanya tulang-tulang mereka menjadi seberat batang-batang timah.
Gurunya menjadi semakin marah melihat keadaan itu. Dengan lantang berteriak, “Apa boleh buat, Hancurkan mereka dengan ilmu pamungkas kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar perintah itu, karena itu, maka mereka berdua telah mengerahkan kemampuan mereka. Serangan-serangan mereka menjadi semakin cepat sehingga sentuhan-sentuhan pada tubuh lawan-lawan mereka pun menjadi semakin sering pula.
Dalam pada itu, kelima orang saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu pun mendengar perintah gurunya. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak sanggup lagi mengerahkannya. Tenaga mereka telah tersusut sampai batas yang tidak memungkinkan mereka untuk melepaskan kekuatan pamungkas mereka. Bahkan orang yang gemuk itu kadang-kadang telah menjadi goyah. Keseimbangannya tidak cukup mantap.
Guru Empu Kamenjangan itu terlambat mengetahui apa yang telah terjadi. Baru kemudian dengan marah ia berteriak, “Iblis yang licik. Kalian pergunakan ilmu yang tidak pantas lagi dipergunakan sekarang ini. Kau curi tenaga dan kemampuan murid-muridku dengan ilmu kalian yang sangat licik itu.”
“Apakah yang Ki Sanak maksudkan dengan licik itu? Apakah benar kami telah berbuat licik menghadapi lima orang murid Ki Sanak itu?” sahut Mahisa Pukat.
“Persetan” geram guru Empu Kamenjangan itu, “jika demikian, maka biarlah aku sendiri yang akan menghadapi kalian berdua. Aku tidak takut dengan ilmu iblismu itu.” Kepada murid-muridnya ia pun berteriak, “Minggir, atau kalian akan terbakar oleh ilmu puncakku.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Mahisa Murti membawa pedang pusakanya. Tetapi Mahisa Pukat tidak, karena selama ini bertugas di Kesatrian sebagai Pelayan Dalam ia mengenakan pedang keprajuritan sebagaimana yang dipergunakan oleh semua pelayan dalam.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak berniat mempergunakan pedangnya untuk melontarkan ilmunya jika bersama-sama dengan Mahisa Pukat ia harus melontarkan ilmunya untuk melawan ilmu guru Empu Kamenjangan yang tentu sangat dahsyat itu.
Sementara itu, tiba-tiba pula hampir berbareng Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara meloncat maju sambil berkata, “Jangan guru. Mereka masih terlalu muda untuk melawan ilmu puncak yang akan guru lontarkan.”
Tetapi guru Empu Kamenjangan itu telah menjadi sangat marah. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Minggir. Atau kalian berdua akan mati lebih dahulu.”
“Barangkali itu lebih baik guru” sahut Empu Kamenjangan, “dengan demikian aku tidak melihat guru membuat kesalahan sebagaimana pernah aku lakukan. Untunglah bahwa waktu itu ilmuku tidak cukup kuat untuk melawan ilmu Mahisa Pukat, sehingga akulah yang terluka di dalam. Namun jika ilmu guru mampu memecahkan ilmu kedua orang anak muda itu, maka akulah sumber dari bencana itu dan aku memang pantas untuk dihancurkan lebih dahulu.”
Wajah gurunya menjadi tegang. Tetapi ia berteriak, “Baik. Bersiaplah kalian berdua untuk mati.”
Kedua orang murid tertua itu pun telah benar-benar mempersiapkan diri. Mereka sama sekali tidak berniat untuk melawan. Mereka benar-benar telah pasrah apabila gurunya ingin menghancurkan mereka dengan ilmunya yang sangat kuat. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar getaran suara yang menghentak-hentak, membentur dinding perbukitan dan melingkar-lingkar di dalam setiap dada.
“Ki Sanak. Jangan kau sakiti kedua orang muridmu itu. Mereka sama sekali tidak bersalah sehingga dengan demikian mereka sama sekali tidak pantas untuk mendapat hukuman.”
Orang-orang yang mendengar suara itu harus mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi gejolak di dalam dada mereka masing-masing. Gejolak yang seakan-akan mengguncang dan akan meruntuhkan jantung. Namun suara itu semakin lama menjadi semakin keras. Getarannya terasa semakin mengguncang isi dada dan bahkan rasa-rasanya menusuk sampai ke pusat jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengerahkan daya tahan mereka. Meskipun mereka tidak mengalami kesulitan di dalam diri mereka, namun mereka benar-benar harus memusatkan segala nalar budinya untuk melawannya. Demikian pula Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Apalagi saudara-saudara seperguruannya yang lebih muda.
Sementara itu guru Empu Kamenjangan pun harus mempertahankan diri terhadap serangan itu. Ia sadar, bahwa serangan itu memang ditujukan kepadanya, sehingga karena itu, maka getaran yang paling tajam adalah getaran yang meluncur langsung ke dadanya. Tetapi orang itu adalah orang yang berilmu tinggi, sehingga ia masih mampu mengatasi goncangan di dalam dadanya. Namun dengan demikian orang itu pun menyadari, bahwa orang yang telah melontarkan serangan dengan getaran suaranya itu tentu seorang yang berilmu sangat tinggi pula.
Tetapi guru Empu Kamenjangan itu tidak mau menyerah karenanya Ia pun telah mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi getaran yang menusuk bagian dalam dadanya itu. Namun perlahan-lahan getaran itu pun semakin mengendor, sehingga akhirnya hilang sama sekali. Namun dalam pada itu, semua orang yang ada di tempat itu pun terkejut karenanya.
Tiba-tiba saja mereka melihat seseorang berjalan ke arah mereka tanpa mereka ketahui darimana orang itu datang. Yang menjadi sangat terkejut adalah Mahisa Pukat, Mahisa Murti, Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Karena orang yang datang itu adalah Pangeran Kuda Pratama.
Guru Empu Kamenjangan yang ternyata belum mengenal Pangeran Kuda Pratama dengan lantang bertanya, “He, siapa kau yang mengenakan pakaian kebesaran? Apa kepentinganmu sehingga kau ikut mencampuri persoalan kami di sini”
Empu Kamenjangan lah yang dengan serta-merta telah menyahut, “Guru. Yang datang itu adalah Pangeran Kuda Pratama.”
“He?” guru Empu Kamenjangan memang menjadi sangat terkejut pula. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun Pangeran. Aku belum mengenal Pangeran sebelumnya, sehingga karena itu, aku tidak segera memberikan hormat.”
“Bukan salah Ki Sanak” sahut Pangeran Kuda Pratama, “sekarang aku datang untuk memperkenalkan diri.”
“Aku merasa mendapat kehormatan yang tinggi atas kedatangan Pangeran sekarang ini.” jawab guru Empu Kamenjangan.
“Selebihnya aku ingin bertanya, kenapa Ki Sanak telah mempersiapkan ilmu Ki Sanak yang sangat berbahaya untuk menyerang kedua orang murid Ki Sanak sendiri?”
“Sebenarnya aku tidak perlu memberikan penjelasan. Pangeran tentu sudah mengetahuinya,” jawab orang itu.
“Aku hanya melihat kulitnya. Tetapi apakah alasan yang telah aku dengar itu memang alasan yang sebenarnya? Seandainya itu benar, apa pula yang telah mendorong Ki Sanak sampai hati untuk membinasakan murid-murid terbaik Ki Sanak sendiri?”
“Ya, kenapa tidak? Mereka telah berani menentang aku, gurunya. Mereka tidak lagi mendengarkan perintahku. Bukankah itu merupakan satu pengkhianatan yang tidak dapat dimaafkan?”
“Apakah menurut Ki Sanak, hukuman yang akan mereka terima itu seimbang dengan kesalahan mereka?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Aku telah mengetrapkan paugeran yang pasti, Siapa yang berkhianat serta menghalangi keinginanku, maka ia akan disingkirkan.” jawab guru Empu Kamenjangan itu.
Pangeran Kuda Pratama itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian, maka kau adalah seorang yang memegang teguh pada sikap yang telah kau gariskan. Tetapi apakah kau tidak mempertimbangkan kebenaran dalam mengambil keputusan?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Kebenaran bagiku adalah apapun yang sesuai dengan ketentuan dan paugeran yang telah aku gariskan.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Jika demikian maka ruang lingkup kebenaran yang kau katakan itu jangkauannya terlalu sempit.” berkata Pangeran Kuda Pratama.
“Maksud Pangeran?”
“Karena ada kebenaran yang diakui oleh banyak orang. Sedangkan kebenaran yang mutlak itu datangnya dari Yang Maha Agung.”
“Kenapa kita harus berpikir demikian rumitnya? Aku tidak ingin membuat kepalaku sendiri menjadi pening” jawab guru Empu Kamenjangan.
“Jika demikian, baiklah. Kita berpijak pada kebenaran menurut landasan bersikap kita masing-masing. Karena itu maka aku tidak akan menghindar jika kita akan berbenturan kepentingan karenanya. Aku menganggap bahwa sikapmu terhadap kedua murid utamamu itu salah. Aku akan membela mereka karena sikap yang mereka ambil ada hubungannya dengan tugas-tugas di Kesatrian yang menjadi tanggung jawabku.”
“Tetapi sebaiknya Pangeran tidak mencampuri persoalanku dengan murid-muridku. Itu persoalan yang sangat terbatas.” berkata guru Empu Kamenjangan itu.
“Aku tidak peduli. Tetapi aku menganggap penting untuk mencampuri persoalan siapa saja yang ingin aku campuri.” jawab Pengeran Kuda Pratama.
“Pangeran telah melanggar wewenangku sebagai guru atas murid-muridku”
“Aku tidak peduli. Kita tidak usah berpikir tentang kewajaran, kebiasaan dan apa yang sebaiknya aku lakukan atas persoalan yang menurut pendapatmu terbatas di lingkungan perguruanmu. Aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, karena aku yakin bahwa yang aku lakukan itu benar.”
Guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu. Bagaimanapun juga ada rasa segan di dalam hatinya. Pangeran Kuda Pratama adalah seorang pangeran yang berpengaruh di Singasari. Selebihnya, Pangeran Kuda Pratama adalah seorang pengeran yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, untuk beberapa saat guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu.
Sementara itu Pangeran Kuda Pratama berkata, “Ki Sanak. Jika kau tetap berpijak pada niatmu untuk menghukum muridmu, bersiaplah. Kita akan berhadapan. Sebagai orang-orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya, sebenarnya kita sudah tidak pantas untuk berkelahi. Tetapi jika sekali-sekali kita ingin mengenang kembali masa kanak-kanak, sekaranglah kesempatannya.”
Guru Empu Kamenjangan itu sama sekali tidak mengira, bahwa pada suatu saat ia harus berhadapan dengan Pangeran Kuda Pratama, Pangeran yang memiliki kekuasaan di Kesatrian. Jika hal itu terjadi, maka persoalannya tentu akan berkembang semakin parah. Sementara itu, maka tujuannya untuk memasukkan pengaruhnya di istana Singasari, khususnya pengaruh ilmunya tidak akan pernah dapat terjadi. Sementara itu guru Empu Kamenjangan itu harus pula mengakui bahwa Pangeran Kuda Pratama adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Beberapa saat guru Empu Kamenjangan itu merenung. Namun kemudian ternyata bahwa penalarannya yang bening masih mampu mengendalikan perasaannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja guru Empu Kamenjangan itu pun mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Pangeran. Sudah tentu bahwa aku tidak akan berani melakukannya. Aku tahu bahwa Pangeran adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun lebih daripada itu, maka aku akan dianggap deksura jika aku berani melawan Pangeran. Aku pun akan menjadi musuh Singasari.”
Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Terima kasih atas pengertianmu Ki Sanak. Sejak semula aku yakin bahwa Ki Sanak bukan seorang yang mudah kehilangan penalaran. Aku pun sebenarnya tidak pantas untuk mencampuri persoalanamu dengan murid-muridmu. Tetapi aku terpaksa melakukannya. Karena selama Ki Sanak masih seorang manusia biasa, maka ia masih dapat berbuat khilaf.”
“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih, Pangeran. Aku memang khilaf. Ketika aku sadari bahwa usahaku untuk mengalirkan ilmu perguruanku ke istana Singasari terputus, maka penalaranku benar-benar menjadi keruh. Aku juga mendengar bagaimana murid-muridku menganggap aku telah berubah. Tetapi dorongan kegelisahan dan kekecewaanku membuatku tidak mendengar keluhan anak-anak muridku itu.”
“Tetapi masih belum terlambat” berkata Pangeran Kuda Pratama, “kekecewaan Ki Sanak masih sempat dikendalikan.”
“Seandainya Pangeran tidak datang ke tempat ini” desis guru Empu Kamenjangan, “mungkin aku akan menyesali perbuatanku sepanjang hidupku.”
“Tetapi bukankah itu tidak pernah terjadi?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
“Ya Pangeran, karena Pangeran menaruh belas kasihan kepadaku dan kepada murid-muridku.”
Pangeran Kuda Pratama tersenyum sambil menjawab, “Bukan belas kasihan Ki Sanak. Tetapi bukankah kewajiban kita masing-masing untuk membantu meluruskan langkah-langkah yang sesat. Dalam hal ini aku melihat, nampaknya Ki Sanak tidak segera menemukan jalan untuk mengatasi gejolak perasaan Ki Sanak.”
“Ya Pangeran. Karena itu, aku mengucap syukur.”
“Nah, jika demikian, maka aku ingin mempersilahkan Ki Sanak serta murid Ki Sanak untuk singgah di Kesatrian. Aku berharap kalian akan dapat menjadi tamuku di Kesatrian.”
Guru Empu Kamenjangan itu termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada murid-muridnya, terutama Empu Kamenjangan dan Empu Sidikara. Namun keduanya tidak memberikan isyarat apapun juga. Karena itu, maka ia harus mengambil keputusan sendiri. Sambil mengangguk hormat, guru Empu Kamenjangan itu pun berkata, “Satu kehormatan yang besar bagiku, Pangeran. Tentu aku tidak akan menolak.”
“Terima kasih” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian, “bagiku kesediaan Ki Sanak juga merupakan satu kehormatan”
Namun demikian baik Pangeran Kuda Pratama maupun guru Empu Kamenjangan itu pun kemudian memandangi saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tenaga mereka telah terhisap oleh ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga yang tinggal hanyalah sisa-sisa tenaga mereka saja.
Saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu pun mengerti, bahwa guru mereka dan Pangeran Kuda Pratama itu ingin tahu, apakah masih ada sisa tenaga mereka untuk berjalan menuju ke istana Singasari yang jaraknya agak panjang.
Seorang di antara mereka yang tanggap itu pun berkata, “Guru, kami akan mencoba untuk berjalan sampai ke Istana. Mudah-mudahan kami dapat mencapai tujuan.”
Saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang gemuk itu pun berkata pula, “Tubuhku memang menjadi lemah guru. Tetapi singgah di istana tentu akan sangat menarik sekali. Aku belum pernah melihat keadaan di dalam istana dan apalagi minum seteguk airnya.”
“Apalagi yang akan kau katakan selain seteguk airnya?” seorang saudara seperguruannya memotongnya.
Betapa lemahnya tubuh orang yang gemuk itu. Tetapi ia masih dapat tersenyum. Katanya, “Aku berharap bahwa ada sesuatu yang dapat sedikit menambah kekuatanku yang menjadi jauh menyusut ini. Dan itu tentu ada di Istana.”
“Aku tahu arah bicaramu” sahut saudara seperguruan yang lain.
Orang yang gemuk itu tertawa. Tetapi ketika kakinya menjadi goyah, maka wajahnya cepat berubah. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku ingin duduk.” Tanpa menunggu jawaban, maka ia pun telah duduk di atas sebongkah batu padas. Keringatnya nampak membahasahi dahi dan keningnya.
Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Ki Sanak, kau dalam keadaan yang tidak sewajarnya sekarang, karena sebagian dari tenagamu telah terhisap oleh ilmu anak-anak muda itu ketika kalian bertempur. Tetapi jangan cemas, karena hal itu hanya terjadi untuk sementara. Mudah-mudahan besok tenagamu sudah pulih kembali seluruhnya atau sebagian besar”
Orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia pun kemudian berkata, “Ya pangeran. Mudah-mudahan. Tetapi dalam keadaan seperti ini, bukankah tidak berarti bahwa aku tidak dapat makan cukup?”
“Persoalan itu sajakah yang mencengkam kepalamu?” bentak salah seorang saudara seperguruannya.
Wajah orang yang bertubuh gemuk itu berkerut. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Bukankah di dasar hatimu tersimpan pertanyaan seperti itu juga?”
Saudara seperguruannya tidak menyahut lagi. Sementara itu gurunya berkata, “Sudahlah, Kita ternyata telah mendapat kehormatan untuk datang ke istana Singasari.”
Pangeran Kuda Pratama pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Marilah anak-anak muda.”
Demikianlah sekelompok kecil orang-orang yang berada di lereng perbukitan itu pun perlahan-lahan telah meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berjalan cepat, karena beberapa orang di antara mereka nampaknya telah menjadi lemah karena tenaganya menjadi susut. Namun orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan. Karena itu, maka betapapun keadaan mereka, namun akhirnya mereka sampai pula ke istana.
Meskipun demikian beberapa orang yang melihat sekelompok orang yang berjalan lambat itu mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Namun mereka yang telah mengenal Pangeran Kuda Pratama menjadi heran karena Pangeran itu berada di antara orang-orang yang nampak sangat kelelahan.
Di istana mereka telah diterima dengan baik oleh Pangeran Kuda Pratama. Para pelayan telah menghidangkan hidangan bukan saja minuman dan makanan, tetapi Pangeran Kuda Pratama pun telah memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan makan bagi para tamu itu.
Kepada saudara seperguruan Empu Kamenjangan yang gemuk itu Pangeran Kuda Pratama berkata, “Marilah Ki Sanak. Silahkan. Kau akan membuktikan bahwa keadaan tubuhmu tidak akan mengganggu selera dan kesempatan makan bagi Ki Sanak.”
Saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas kesempatan ini Pangeran.”
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan itu bukan saja mendapat kesempatan untuk melihat relung-relung istana Singasari dan Kesatrian, tetapi mereka juga mendapat sambutan yang baik dan bahkan hidangan yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka, meskipun mereka masih juga harus menyadari betapa tenaga mereka telah jauh menjadi susut. Tetapi mereka yakin bahwa tenaga mereka tentu akan dapat pulih kembali sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Kuda Pratama.
Dalam kesempatan itu yang nampak lebih banyak berdiam diri, menunduk bahkan merenung adalah Empu Kamenjangan dan gurunya. Tetapi Pangeran Kuda Pratama dapat memaklumi, kenapa mereka bersikap seperti itu. Bagi Empu Kamenjangan kehadirannya di Kesatrian itu seakan-akan membawa beban karena ulahnya sendiri. Para bangsawan muda di Kesatrian itu tentu tahu kenapa ia harus meninggalkan Kesatrian dan apa pula yang pernah terjadi atas dirinya di lereng bukit itu.
Sementara itu gurunya pun tentu merasa bersalah terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, juga kepada Pangeran Kuda Pratama. Namun nampaknya Pangeran Kuda Pratama tidak menghiraukan persoalan itu lagi. Pangeran tua itu sama sekali tidak pernah menyinggung lagi apalagi nampak mendendam kepada Empu Kamenjangan dan gurunya.
Namun Empu Kamenjangan dan gurunya menjadi berdebar-debar ketika mereka telah selesai makan, serta mereka telah diajak oleh Pangeran Kuda Pratama untuk duduk di serambi terbuka. Udara mengalir mengusap tubuh mereka yang berkeringat setelah makan dan minum. Di serambi terbuka itu ternyata Pangeran Kuda Pratama telah menyinggung tentang para bangsawan di Kesatrian yang sedang tumbuh.
“Tugas Mahisa Pukat terlalu berat, Sementara itu saudaranya tidak dapat membantunya karena alasan yang memang masuk akal. Ia tidak dapat meninggalkan padepokannya. Jika semula mereka berdua memimpin Padepokan Bajra Seta, maka kemudian Mahisa Murti melakukannya sendiri karena Mahisa Pukat berada di sini. Jika Mahisa Murti juga harus berada di Kesatrian, maka tidak ada orang lain yang akan dapat melakukan tugas mereka di Padepokan itu.”
Guru Empu Kamenjangan mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Jadi angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pendiri Padepokan Bajra Seta?”
“Ya” jawab Pangeran Kuda Pratama, “pendiri dan selanjutnya mereka pula yang memimpinnya.”
Guru Empu Kamenjangan itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Pantas bahwa keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Aku pernah mendengar kebesaran padepokan Bajra Seta. Seharusnya sejak semula aku mengetahuinya bahwa anak-anak muda yang aku temui di kedai itu adalah para pendiri Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya pun tersenyum. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Waktu itu kami tidak menganggap perlu untuk menanggapi apa yang Ki Sanak katakan”
“Ya. Ya. Aku mengerti sekarang, kenapa angger berdua tidak mengatakan apa-apa yang tentang diri angger berdua.”
Pangeran Kuda Pratama tersenyum pula. Katanya, “Sekarang semuanya telah menjadi jelas. Nah, sebenarnyalah aku ingin berbicara tentang anak-anak muda yang berada di Kesatrian. Aku mengerti bahwa tugas Mahisa Pukat di Kesatrian tentu terlalu berat. Selain tugasnya sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam, maka ia harus memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di Kesatrian. Karena itu, maka sebenarnyalah bahwa ia memerlukan seorang kawan yang akan dapat bekerja bersamanya. Sementara itu seperti tadi aku katakan, saudaranya tidak dapat membantunya.” Pangeran Kuda Pratama berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “sebenarnyalah bahwa aku ingin berbicara dengan saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan. Aku tahu pasti, bahwa meskipun Empu Kamenjangan kini dapat menerima kenyataan yang terjadi dengan dada lapang, namun aku mengerti bahwa Empu Kamenjangan tentu tidak akan bersedia untuk kembali pada kedudukannya di Kesatrian. Meskipun demikian aku ingin mendengar dari mulut Empu Kamenjangan sendiri, bagaimana sikapnya seandainya aku minta Empu untuk kembali memangku tugasnya di Kesatrian”
Seleret sinar memancar di mata guru Empu Kamenjangan itu. Namun mata itu pun segera redup kembali. Sebenarnyalah bahwa seperti Empu Kamenjangan, ia pun menyadari, bahwa kedudukan itu sudah tertutup bagi Empu Kamenjangan sendiri. Bagaimanapun juga maka ia tidak akan dapat memangku jabatannya kembali betapapun kesempatan itu diberikan kepadanya oleh Pangeran Kuda Pratama.
Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ampun Pangeran. Rasa-rasanya aku memang tidak akan dapat melakukannya. Bukan karena hatiku patah seperti arang. Tetapi dengan penuh kesadaran aku menyadari bahwa aku sudah kehilangan wibawa di hadapan para bangsawan muda di Kesatrian, meskipun itu juga karena salahku sendiri. Karena itu, maka biarlah orang lain mengemban tugas itu. Syukurlah kalau orang itu lebih baik dari aku.”
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk kecil. Ia cukup mengerti alasan itu sebagaimana sudah diduganya sebelumnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku dapat mengerti sepenuhnya Empu. Seperti yang sudah aku katakan, aku memang sudah menduganya. Namun Mahisa Pukat benar-benar memerlukan seseorang yang dapat bekerja bersamanya di Kesatrian ini. Karena itu, aku berharap bahwa kami segera menemukan orang itu.”
“Tetapi aku tidak dapat membantunya Pangeran” jawab Empu Kamenjangan.
“Empu” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian, “sebagian dari anak-anak kami di Kesatrian telah pernah mendapat tuntunan ilmu dari Empu Kamenjangan. Karena itu, maka ilmu yang mendasari kemampuan mereka pun ilmu yang mereka warisi dari Empu Kamenjangan. Maka alangkah baiknya jika mereka tidak harus menyia-nyiakan ilmu yang pernah diterimanya itu. Karena itu, aku ingin bahwa anak-anak kami, terutama yang sudah tumbuh menjelang masa dewasanya, dapat meneruskan mendalami ilmu yang pernah diterimanya. Sedangkan yang masih baru mulai akan dapat menyadap ilmu dari perguruan yang lain dengan bimbingan Mahisa Pukat” Pangeran Kuda Pratama berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Bagaimana pendapat Ki Sanak serta saudara-saudara seperguruan Empu Kamenjangan jika aku minta Empu Sidikara menggantikan kedudukan Empu Kamenjangan di Kesatrian?”
Mata guru Empu Kamenjangan itu pun kembali berbinar. Tetapi ia masih tetap menahan diri. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini Pangeran. Namun demikian, segala sesuatunya terserah kepada Sidikara sendiri.”
Empu Sidikara justru nampak bingung. Ia sudah pernah memberikan jawaban kepada Mahisa Pukat atas kemungkinan seperti itu. Ia tentu tidak merasa nyaman duduk di tempat saudara seperguruannya yang terusir. Tetapi yang kemudian bertanya kepadanya adalah Pangeran Kuda Pratama sendiri dihadapan gurunya yang nampaknya sangat berharap bahwa ia akan menerimanya. Untuk beberapa saat Empu Sidikara justru termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Ampun Pangeran. Jika demikian lalu bagaimana dengan padepokanku sendiri?”
Tetapi yang menyahut adalah Mahisa Pukat, “Bukankah Empu baru mulai? Padepokan itu masih belum terwujud.”
“Nah, bukankah di Kesatrian ini Empu akan mendapat murid-murid yang akan dapat mewarisi ilmu Empu?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.
Empu Sidikara benar-benar kebingungan. Namun dalam pada itu Empu Kamenjangan berkata, “Aku akan ikut mengucapkan terima kasih jika kau bersedia. Kau yang memiliki dasar ilmu sama seperti dasar ilmu yang aku kuasai akan dapat melanjutkan tugas-tugasku. Para bangsawan muda yang pernah mempelajari dasar ilmuku, tidak akan mengalami kesulitan jika mereka kemudian belajar padamu. Namun aku akan menganjurkan kepadamu, bahwa kau akan dapat bekerja sama dengan Mahisa Pukat. Tidak ada salahnya jika kalian berdua dapat bersama-sama meningkatkan ilmu mereka meskipun kalian harus secara khusus memerinci ilmu yang akan kalian berikan kepada murid-murid kalian.”
Empu Sidikara menjadi semakin bingung menanggapi keadaan itu. Namun kemudian Mahisa Pukat mendekatinya sambil menepuk bahunya, “Aku mengucapkan selamat, Empu”
Empu Sidikara seakan-akan telah tersudut. Tidak ada jalan untuk mengelak. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku tidak akan dapat menolak kesempatan ini meskipun sebelumnya aku pernah menyatakan keberatanku kepada Mahisa Pukat.”
Pangeran Kuda Pratama tertawa. Katanya, “Nah, dengan demikian maka tugas Mahisa Pukat selanjutnya tidak akan terlalu berat. Aku percaya bahwa kalian berdua dapat membagi tugas di Kesatrian”
Empu Sidikara mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Pangeran”
Sementara itu gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Keputusan Pangeran untuk memberikan kesempatan kepada Empu Sidikara membuat aku sangat gembira, tetapi juga malu sekali mengingat tingkah lakuku sendiri. Orang setua aku masih saja dicengkam oleh nafsu ketamakannya yang sangat tidak pantas.”
“Sudahlah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “sudah aku katakan, bahwa setiap orang dapat menjadi khilaf. Tetapi kita masih belum terlanjur terjerumus ke dalam langkah-langkah yang dapat menghancurkan diri kita sendiri.”
Guru Empu Kamenjangan itu mengangguk-angguk. Dengan suara yang lemah yang berkata, “Ternyata mata hatiku tidak mampu lagi melihat terang yang memancar dari nurani Pangeran”
“Sudahlah. Tidak ada yang pantas dipuji. Semua orang tentu pernah melakukan kesalahan.” berkata Pangeran Kuda Pratama.
Dengan demikian, maka Empu Sidikara yang telah ditetapkan untuk menggantikan kedudukan Empu Kamenjangan akan mulai dengan tugasnya beberapa hari kemudian.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...
Adalah diluar perhatian mereka ketika di sisi lain di dalam kedai itu, terdapat seorang anak yang sebaya dengan Mahisa Amping. Dengan dahi yang berkerut dipandanginya saja kuda lumping di tangan Mahisa Amping itu. Agaknya kuda lumping yang terbuat dari anyaman bambu dihiasi dengan warna-warna yang menarik itu sangat menarik perhatiannya.
Untuk beberapa saat anak itu memandanginya dengan dahi yang berkerut. Namun akhirnya ia menggamit seorang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis melintang dan berjambang tebal yang sedang makan pula bersama dengan dua orang kawannya.
“Ada apa?” bertanya laki-laki bertubuh kekar itu.
“Ayah. Aku minta kuda lumping seperti milik anak itu” rengek anaknya.
Laki-laki itu memandangi kuda lumping di tangan Mahisa Amping itu sejenak. Diamatinya tiga orang anak muda yang duduk bersama anak itu. Lalu katanya, “Minta saja kuda lumping itu. Aku akan mengganti berapa harganya.”
Anak itu dengan tanpa menjawab lagi telah mendekati Mahisa Amping. Dengan serta merta maka kuda lumping itu direbutnya dari tangan Mahisa Amping sambil berkata, “Ini untukku.”
Mahisa Amping terkejut. Tetapi ia mempertahankan kuda lumpingnya. Katanya, “Jangan. Kuda ini kami beli di pasar.”
“Ayah akan mengganti berapa harganya” jawab anak itu.
“Kenapa kau tidak membeli sendiri?” bertanya Mahisa Amping sambil mempertahankan kuda lumpingnya.
Mahisa Murti yang melihat hal itu mencoba untuk melerainya. Dengan lembut ia berkata, “Tunggu anak manis. Kuda lumping ini kami beli di pasar.”
“Aku tahu” tiba-tiba saja orang bertubuh kekar itu menyahut, “Berikan saja kuda lumping itu. Nanti aku ganti harganya.”
Tetapi Mahisa Amping berkata kepada anak itu, “Kenapa kau tidak membeli saja di pasar itu. Masih ada banyak kuda lumping seperti ini.”
Laki-laki bertubuh kekar itu nampaknya tersinggung oleh kata-kata Mahisa Amping itu. Dengan lantang ia berkata, “Berikan kuda lumping itu. Nanti aku ganti harganya lipat dua.”
Namun Mahisa Amping menjawab, “Tidak. Aku senang pada kuda lumpingku ini.”
“Kau dapat membeli lagi dua buah di pasar” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.
Suasana di dalam kedai itu menjadi tegang. Seorang yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat berbisik, “Berikan ngger. Orang itu adalah Permati. Seorang yang tidak pernah dapat dicegah apapun yang dikendakinya. Mungkin kalian belum mengenalnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun anak yang mengingini kuda lumping itu masih saja menarik-nariknya sementara Mahisa Amping mempertahankannya.
“Nanti kuda lumpingku rusak” bentak Mahisa Amping, “lepaskan. Aku tidak akan memberikannya kepadamu.”
Tetapi orang bertubuh kekar itu membentak pula, “Jangan banyak tingkah. Berikan, atau aku yang akan mengambilnya?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi gelisah. Namun mereka juga tidak akan dapat memaksa Mahisa Amping. Anak itu tentu akan menjadi kecewa. Persoalannya tidak sekedar kuda lumping yang diperebutkan itu atau membeli dua bahkan tiga buah yang lain. Tetapi Mahisa Amping telah merasa tersinggung dan direndahkan harga dirinya. Karena itu, maka sulit bagi Mahisa Amping untuk dapat memberikan kuda lumping itu.
Sementara itu orang yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat itu berdesis lagi, “Ngger. Permati adalah pemburu yang paling disegani. Bahkan para bangsawan Singasari pun segan kepadanya.”
Mahisa Pukat memang tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat memaksa Mahisa Amping untuk memberikan kuda lumping itu.
Sebenarnyalah orang yang disebut Permati seorang pemburu yang sangat disegani itu berkata dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang ditahankannya, “Jika anak itu tidak memberikannya, ambil saja.”
Anaknya ternyata juga sekeras ayahnya. Ketika Mahisa Amping benar-benar tidak mau memberikannya, maka ia memang melepaskan kuda lumping itu. Tetapi ia pun telah mengayunkan tangannya memukul ke arah kening Mahisa Amping.
Mahisa Amping yang telah mendapatkan kuda lumpingnya memang menjadi lengah. Tangan anak yang sebayanya itu memang mengenai keningnya, sehingga Mahisa Amping terdorong beberapa langkah sambil mengaduh kesakitan. Tetapi Mahisa Amping tidak jatuh terlentang karena badannya telah tertahan oleh amben bambu dengan sandaran yang agak tinggi. Bahkan ia pun telah jatuh terduduk sementara tangannya masih memegangi kuda lumpingnya.
Tetapi Mahisa Amping sama sekali tidak senang, diperlakukan seperti itu. Apalagi anak yang memukulnya itu telah memburunya sambil berteriak, “Berikan kuda lumping itu, atau aku akan memukulmu lagi.”
“Aku tidak akan memberikan kuda itu, kau dengar. Jika kau memukul aku lagi, maka aku akan membalasmu,” jawab Mahisa Amping dengan beraninya. Apalagi anak yang memukulnya itu masih sebaya dengan Mahisa Amping itu sendiri.
Ternyata anak itu memang garang. Ia pun segera melangkah mendekati Mahisa Amping yang sudah bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia sempat mengayunkan tinjunya lagi, maka Mahisa Amping telah menyerangnya dengan kakinya yang terjulur menyongsong anak yang mendekatinya untuk menyerangnya.
Anak itu tidak menduga bahwa Mahisa Amping dengan beraninya telah menyerangnya pula. Karena itu, maka anak itulah yang kemudian terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak itu pun tidak terjatuh karena punggungnya tersandar pada gledeg bambu tempat pemilik kedai itu menempatkan makanan yang masih belum dihidangkan kepada para pembelinya.
Dalam pada itu, orang yang duduk di dekat Mahisa Pukat telah memperingatkannya sekali lagi, “Cegah anak itu ngger. Pemburu itu tidak akan segan-segan melakukan kekerasan. Apalagi yang seorang lagi, yang duduk di sebelahnya adalah seorang jagal yang garang. Jika ia ikut membantu, maka kalian akan mengalami bencana. Sedangkan yang seorang lagi memang seorang bebahu padukuhan ini. Tetapi orang itu sudah berada dibawah pengaruh pemburu dan jagal yang garang itu. Padahal bebahu itu termasuk orang yang disegani di padukuhan ini. Ia pulalah yang mempunyai banyak wewenang di pasar itu.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Keadaan sudah berkembang demikian buruknya.”
Orang itu menjadi sangat tegang ketika ia melihat Mahisa Amping telah berkelahi dengan anak yang akan merebut kuda lumpingnya. Ketika Mahisa Amping berlari keluar dari kedai itu, maka lawannya telah mengejarnya. Ia mengira bahwa Mahisa Amping menjadi ketakutan dan melarikan diri. Tetapi tidak. Mahisa Amping yang sudah berada di halaman, ternyata menunggunya sambil bertolak pinggang.
“Kita berkelahi di tempat yang luas” teriak Mahisa Amping.
Anak itu menjadi semakin marah. Ia pun segera berlari turun ke halaman pula. Sementara itu, pemburu yang bertubuh tinggi kekar itu masih tetap duduk di tempatnya. Dengan yakin ia berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jika kau tidak menuruti kemauan anakku, maka adikmu atau anakmu itu akan mengalami kesulitan. Anak-anak yang jauh lebih besar dari anakku, tidak berani menolak keinginannya. Karena mereka akan menjadi sasaran kemarahannya. Jika ia sudah mulai memukuli orang-orang yang berani melawannya, maka sulit untuk menghentikannya.”
Tetapi orang yang duduk di dekat Mahisa Pukat itu terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat menjawab, “Apakah kau berbangga dengan sifat dan watak anakmu itu?”
Orang bertubuh tinggi kekar itu pun terkejut pula. Namun kemudian ia pun menjawab dengan lantangnya. “Aku bangga dengan watak anakku. Ia akan menjadi seorang pemimpin yang berwibawa dan disegani banyak orang”
“Dan sewenang-wenang?” sahut Mahisa Pukat.
“Setan kau” geram orang itu. ”terserah kepadamu jika adikmu atau anakmu itu akan menjadi lumpuh.”
“Semula aku memang akan melerai mereka. Mungkin aku setuju untuk memberikan kuda lumping yang diingini oleh anakmu. Tetapi karena kau berbangga atas anakmu dengan wataknya itu, maka niatku aku urungkan.” berkata Mahisa Pukat yang mulai jengkel.
Tetapi orang yang duduk di dekatnya berdesis, “Ngger, kenapa kau melakukan itu?”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu pemburu itu pun bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku akan melihat, apakah iblis kecil itu sudah dipelintir lehernya.”
Pemburu itu, diiringi oleh jagal yang agak gemuk dan perutnya membesar serta bebahu yang disegani itu pun melangkah ke pintu kedai. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah bangkit pula. Melalui pintu samping mereka pun telah turun ke halaman pula.
Sementara itu Mahisa Amping telah berdiri di hadapan anak yang minta kuda lumpingnya. Keduanya memang nampak sebaya. Mereka mempunyai tinggi badan yang sama. Namun anak pemburu itu agak lebih gemuk sedikit dari Mahisa Amping.
Namun pemburu itu mengerutkan keningnya ketika melihat Mahisa Amping sama sekali tidak nampak gentar melihat anaknya. Bahkan Mahisa Amping dengan tanpa ragu-ragu bersiap untuk berkelahi.
Anak Pemburu itu memang menjadi marah sekali. Ia sudah terbiasa berkelahi. Seperti kata ayahnya, ia tidak takut berkelahi melawan anak-anak remaja yang lebih besar dan dirinya. Bahkan anak yang menjelang dewasa pun dilawannya pula. Apalagi Mahisa Amping yang meskipun tinggi tubuhnya seimbang, namun ia nampak lebih kurus dari anak pemburu itu.
Beberapa saat mereka berdiri berhadapan. Kemarahan anak pemburu itu benar-benar telah membakar jantungnya melihat Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi gentar menghadapinya.
Orang yang semula duduk di dekat Mahisa Pukat dan kawannya menjadi tegang. Kepada kawannya ia berbisik, “Anak muda itu tidak tahu siapa pemburu, jagal dan bebahu yang keras hati itu. Mereka akan dapat mengalami kesulitan terutama anak yang mempertahankan kuda lumpingnya. Anak pemburu itu meskipun nampaknya masih sebaya, tetapi ia seorang yang ditakuti bukan saja oleh anak-anak sebayanya, bahkan anak-anak yang lebih besar sekalipun. Bahkan anak-anak yang sudah menjadi dewasa.”
“Anak itu mempunyai kemampuan berkelahi seperti ayahnya” sahut kawannya.
“Aku sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi nampaknya darah muda mereka masih cepat menjadi panas. Tetapi di sini anak-anak muda itu terjebak oleh kekuatan yang tidak akan terlawan” berkata kawannya.
Tetapi ternyata keduanya ingin juga melihat apa yang terjadi di halaman. Meskipun melingkar lewat pintu belakang, mereka pergi juga ke halaman samping. Beberapa orang memang melihat keributan itu dari kejauhan. Namun pada umumnya mereka menjadi cemas melihat Mahisa Amping yang harus berkelahi dengan anak pemburu itu. Bukan saja anaknya yang memiliki kekuatan lebih besar dari anak-anak seumurnya, bahkan yang lebih besar sekalipun, anak itu pun telah mendapat latihan-latihan berkelahi oleh ayahnya yang memang disegani oleh banyak orang.
Namun Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mencegah Mahisa Amping. Mereka membiarkan saja anak itu berkelahi dengan anak sebayanya. Demikianlah, maka sejenak kemudian anak pemburu itu pun telah meloncat menyerangnya. Tangannya terayun dengan kuatnya ke arah mulut Mahisa Amping. Namun pukulan itu tidak mengejutkan Mahisa Amping. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindar. Namun lawannya tidak melepaskannya. Ia pun meloncat pula memburu. Tangannya bukan saja terayun memukul, tetapi jari-jari tangan itu justru mengembang siap menerkam wajah Mahisa Amping. Sekali lagi Mahisa Amping mengelak. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa lawannya yang sombong dan sedang marah itu tentu akan memburunya pula.
Sebenarnyalah anak itu telah meloncat memburu. Anak itu berusaha untuk menggapai kening Mahisa Amping dengan tinjunya. Tetapi Mahisa Amping tidak melepaskan kesempatan. Justru karena tangan lawannya siap memukulnya, bahkan kemudian tangan itu terayun mendatar, maka lambung anak itu telah terbuka. Dengan cepat Mahisa Amping mendahuluinya. Tubuhnya pun menjadi miring. Satu kakinya terjulur lurus ke arah lambung.
Yang terdengar adalah anak itu mengaduh. Tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja anak itu kehilangan keseimbangan. Namun ternyata bahwa ia tetap berdiri ketika ia mengumpat kasar. Bukan hanya anak itu yang mengumpat.
Tetapi ayahnya juga mengumpat. Dengan lantang ayahnya berkata, “Buat anak itu jera. Ia belum mengenalmu dan kau tidak perlu merasa belas kasihan kepadanya.”
Anak pemburu itu menggeram Wajahnya menjadi merah. Kemarahannya seakan-akan telah membakar jantungnya. Sejenak kemudian anak itu telah menyerang pula. Mahisa Amping pun telah bersiap sepenuhnya, sehingga kedua orang anak yang sebaya itu berkelahi dengan sengitnya.
Namun orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan menjadi heran. Biasanya anak-anak yang berkelahi dengan anak pemburu itu tidak akan dapat bertahan lebih dari sekejap. Tetapi anak itu mampu berkelahi untuk waktu yang terhitung lama. Bahkan beberapa kali ia sudah mendesak anak pemburu itu sehingga berloncatan surut.
Sebenarnyalah anak pemburu itu mengalami kesulitan melawan Mahisa Amping. Meskipun anak pemburu itu juga berlatih berkelahi, tetapi ia tidak mengalami latihan yang teratur dan tertib sebagaimana Mahisa Amping. Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, anak pemburu itu telah terdesak. Beberapa kali serangan Mahisa Amping mengenai tubuh anak pemburu itu sehingga terdorong surut.
Hanya karena keras kepala dan malu sajalah anak pemburu itu masih tetap bertahan. Namun tubuhnya telah terasa sakit dimana-mana. Serangan-serangan Mahisa Amping lebih sering mengenai tubuhnya daripada serangan-serangannya yang berhasil menembus pertahanan Mahisa Amping. Apalagi tenaga Mahisa Amping yang terlatih dengan baik itu lebih kuat dari lawannya meskipun tubuh lawannya itu sedikit lebih besar dari tubuh Mahisa Amping.
Pemburu itu menjadi sangat gelisah. Demikian pula jagal yang perutnya besar serta bebahu padukuhan yang disegani itu. Pemburu yang merasa anaknya tidak akan pernah dikalahkan oleh anak-anak sebayanya, memang menjadi gelisah dan bahkan kemudian menjadi marah ketika ia melihat anaknya telah terdesak. Bahkan beberapa kali anak itu telah mengaduh kesakitan.
“He, kenapa dengan kau? Kenapa tak kau pilin saja tangannya atau kakinya atau bahkan lehernya? Jika tangan atau kakinya patah itu sama sekali bukan salahmu. Saudara-saudaranya atau bahkan ayahnya tidak mau memberinya peringatan dengan siapa anak itu berhadapan. Apalagi persoalannya hanyalah sebuah kuda lumping bambu yang tidak berharga” teriak pemburu itu.
Tetapi adalah diluar dugaan ketika Mahisa Amping berteriak menjawab, “Jika hanya sebuah kuda lumping yang tidak berharga, kenapa ia akan merampas kuda lumpingku?”
“Iblis kecil kau” bentak pemburu itu. Lalu katanya kepada anaknya, “Lumpuhkan anak yang sombong itu. Agaknya harga kuda lumping itu lebih mahal dari harga keselamatannya.”
“Soalnya bukan harga kuda lumping itu” Mahisa Amping masih berteriak, “tetapi ia sudah memukul aku.”
“Iblis itu memang harus dihancurkan kepalanya. Ia berani menjawab kata-kataku, bahkan dengan membelalakkan matanya.” geram pemburu itu.
Anaknya memang juga menjadi sangat marah. Tetapi ia sudah mengerahkan segala kemampuannya. Perkelahian itu masih saja berlangsung ketika anak pemburu itu kemudian menyerang membabi buta. Tetapi dengan demikian Mahisa Amping nampak semakin mapan. Serangan-serangan lawannya justru menjadi semakin tidak terarah.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Amping justru memanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Setiap kali ia menghindari serangan lawannya, maka ia pun telah membalas serangan itu dengan serangan pula. Apalagi serangan lawannya yang membabi buta setiap kali justru telah membuka pertahanannya sendiri.
Karena itu, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Anak pemburu itu menjadi semakin terdesak dan bahkan kemudian nampak bahwa ia menjadi seolah-olah tidak berdaya sama sekali. Mahisa Amping yang marah karena tiba-tiba saja ia sudah dipukul oleh anak pemburu itu, menyerang dengan cepat dan keras.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Mereka memang berharap agar anak pemburu itu sekali-sekali dapat dikalahkan oleh anak-anak sebayanya agar ia tidak menjadi semakin sombong. Namun mereka pun menjadi gelisah dan cemas, bahwa ayahnya akan ikut campur pula. Jika ayahnya ikut campur, maka anak-anak muda yang datang bersama anak yang berkelahi itu, apakah kakaknya atau barangkali ayahnya, tidak akan dapat berbuat banyak. Mereka tentu akan menjadi sasaran kemarahan pemburu itu. Bahkan jagal dan bebahu itu tentu akan ikut campur pula.
Untuk beberapa saat perkelahian masih berlangsung. Namun kemudian anak pemburu itu menjadi semakin terdesak. Beberapa kali ia mengaduh kesakitan. Meskipun ia masih juga malu untuk menangis, namun rasa-rasanya ia sudah tidak sanggup lagi untuk berkelahi terus.
Tetapi ayahnya masih saja berteriak, “He, kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi anak itu? Apakah kau sudah kehilangan keberanianmu dan kemampuanmu?”
Anak itu memang masih berusaha menghentakkan tenaganya. Ia bukan saja malu, tetapi juga merasa takut bahwa ayahnya justru akan marah kepadanya. Namun ia memang tidak mampu mengimbangi tenaga dan kemampuan Mahisa Amping yang sudah terlatih dengan baik untuk waktu yang cukup lama.
Karena itu, ketika Mahisa Amping mendapat kesempatan menembus pertahanan anak pemburu itu dengan tusukan serangan kakinya mengenai dada, maka anak pemburu itu telah terdorong beberapa langkah surut. Keseimbangannya benar-benar telah terguncang. Namun ternyata Mahisa Amping yang marah karena tiba-tiba saja anak pemburu itu telah memukulnya lebih dahulu, maka ia pun meloncat memburunya. Tangannya terayun memperbaiki keseimbangannya itu.
Namun anak itu tidak sempat melakukannya. Serangan Mahisa Amping yang mengenai pelipis anak itu telah melemparkannya sekali lagi. Anak pemburu itu pun kemudian telah jatuh terlentang. Mahisa Amping memang meloncat mendekat. Tetapi karena lawannya tidak segera bangkit, maka Mahisa Amping berdiri saja menunggu beberapa langkah di sebelahnya.
Anak pemburu itu memang tidak dapat segera bangkit. Kepalanya terasa pening. Sebelah matanya bagaikan tidak dapat melihat lagi. Bahkan seluruh tubuhnya terasa sakit sampai ke ulang.
Pemburu itu benar-benar menjadi sangat marah. Dengan tergesa-gesa ia turun ke halaman mendekati anaknya yang masih terbaring. Dengan lantang ia berkata, “He, bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak mampu memilin leher anak itu?”
Anaknya tidak menjawab. Ia berusaha bangkit. Tetapi keseimbangan tubuhnya ternyata masih belum mantap. Hampir saja terjatuh kembali. Namun untunglah bahwa ayahnya sempat memegangi bahunya.
Namun kemarahan pemburu itu benar-benar menikam kemudian memandang Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Dengan lantang ia berkata, “He anak-anak muda. Berikan kuda lumping itu kepada anakku. Sekarang. Aku tidak mau mendengar jawaban apapun selain kuda lumping itu.”
“Tidak” Mahisa Amping lah yang berteriak.
“Diam kau iblis kecil” bentak pemburu itu. Lalu sekali lagi ia berteriak, “Berikan kuda lumping itu. Ajari anak ini menghormati orang lain. Jika kau tidak mampu, akulah yang akan menghajarnya agar ia tidak menjadi sombong.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih saja berdiri termangu-mangu. Namun yang membuat pemburu itu semakin marah adalah karena anak yang telah mengalahkan anaknya itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri di tempatnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi cemas, bahwa pemburu itu akan berbuat sesuatu atas Mahisa Amping. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata kepada Mahisa Semu, “Lindungi adikmu. Aku akan berdiri saja di sini Jika pemburu itu ikut campur, kau pun harus berbuat sesuatu agar Amping tidak menjadi sasaran kemarahan pemburu itu. Aku ingin melihat, seberapa jauh kau mewarisi ilmu Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Semu mengangguk kecil sambil menyahut, “Baik kakang. Aku akan melindungi Amping.”
Dalam pada itu, pemburu itu sudah berteriak lagi, “Cepat, serahkan kuda lumping itu. Aku akan menghitung sampai lima. Jika kuda lumping itu tidak diserahkan kepada anakku maka aku akan mengambil sendiri. Aku pun akan mengajari anak itu agar sedikit mengenal unggah-ungguh dan menghormati orang lain.”
Pemburu itu terkejut ketika ia melihat Mahisa Semu, yang termuda di antara ketiga orang anak muda yang datang bersama Mahisa Amping, melangkah mendekati anak itu. Dengan mata terbelalak pemburu itu bertanya, “He, apa yang akan kau lakukan? Bawa kuda lumping itu dan serahkan kepada anakku. Cepat.”
Tetapi Mahisa Semu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Kami sudah memutuskan untuk tidak menyerahkan kuda lumping itu. Seperti yang sudah dikatakan adikku, persoalannya tidak sekedar harga kuda lumping itu. Tetapi persoalannya sudah menyangkut harga diri. Sebagaimana Ki Sanak memaksakan kehendak Ki Sanak untuk merampas kuda lumping itu tentu juga karena harga diri Ki Sanak yang tersinggung. Bukan soal kuda lumping itu lagi.”
“Persetan kau. Jika demikian, aku akan memberi pelajaran serba sedikit kepada adikmu yang sombong dan keras kepala itu.” berkata pemburu itu.
Tetapi Mahisa Semu menjawab, “Ia masih terlalu kecil untuk mengikuti keinginan Ki Sanak. Karena itu biarlah aku saja yang mewakilinya.”
Wajah pemburu itu menjadi merah padam. Jawaban Mahisa Semu itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu ia berteriak, “He, kenapa tidak kalian bertiga mendekat kemari?”
“Aku mewakili mereka” jawab Mahisa Semu.
Kemarahan pemburu itu sudah tidak terkekang lagi. Dengan serta merta ia meloncat sambil mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Mahisa Semu. Tetapi dengan tangkasnya Mahisa Semu telah menghindar, sehingga tangan itu tidak menyentuh sasaran.
Mahisa Semu yang bergeser selangkah surut. Kemudian telah menarik Mahisa Amping sambil berkata, “Minggirlah, kau dipanggil kakang”
Mahisa Amping memang bergeser menepi. Tetapi ia tidak segera mendapatkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ia masih saja termangu-mangu menyaksikan Mahisa Semu yang sudah bersiap kembali menghadapi segala kemungkinan.
Pemburu itu benar-benar merasa direndahkan. Karena itu, maka jantungnya serasa akan terlepas dari tangkainya. Ia tidak berpikir terlalu panjang lagi. Ia harus segera menghancurkan anak yang masih terlalu muda, tetapi sangat sombong itu.
Dengan demikian, maka pemburu itu pun segera menyerang Mahisa Semu. Tangannya terayun-ayun dengan derasnya mengarah ke kening Mahisa Semu. Namun seperti sebelumnya, Mahisa Semu pun telah berloncatan menghindar. Tetapi pemburu yang marah itu sama sekali tidak melepaskan lawannya. Dengan garang ia memburunya.
Tetapi Mahisa Semu justru bergerak lebih cepat. Ia bukan saja menghindari serangan-serangan pemburu itu, tetapi dengan tiba- tiba Mahisa Semu pun telah menyerangnya pula, justru diluar perhitungan lawannya. Karena itu, maka Mahisa Semu justru berhasil menembus pertahanan pemburu itu. Tangannya yang terayun mendatar sempat mengenai pundak lawannya.
Pemburu itu memang terkejut. Ternyata tenaga anak yang masih terlalu muda itu telah menggoyahkan tubuhnya. Ketika pundaknya terdorong serangan Mahisa Semu, maka pemburu itu telah bergeser setapak surut. Pemburu itu mengumpat kasar. Ia tidak mengira bahwa lawannya bukan saja tangkas dan mampu bergerak cepat. Tetapi anak itu juga memiliki tenaga yang sangat besar.
Sebagai seorang yang sangat disegani oleh orang-orang di seputarnya, maka pemburu itu tidak ingin terlalu lama berkelahi melawan anak yang masih terlalu muda. Karena itu, maka pemburu itu pun telah menghentakkan kekuatan dan kemampuannya untuk dengan cepat menghentikan perlawanan Mahisa Semu.
Tetapi, ternyata perhitungan pemburu itu keliru. Mahisa Semu tidak dapat dengan mudah dikalahkannya. Bahkan dengan tangkasnya anak itu telah menyerangnya. Kemarahan pemburu itu telah membuat darahnya mendidih. Tetapi ia tidak dapat menghindari kenyataan. Anak itu tidak mudah dikalahkannya. Bukan saja kecepatannya yang mampu mengimbangi kekuatan pemburu itu. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin sengit.
Mahisa Semu yang nampaknya masih terlalu muda itu dengan tangkas, cepat dan kuat, bertempur melawan pemburu yang marah itu. Pemburu yang namanya disegani oleh banyak orang karena kemampuannya yang tinggi. Tetapi menghadapi Mahisa Semu, maka pemburu itu telah mengalami kesulitan. Mahisa Semu setiap kali mampu mengejutkannya dengan serangan-serangannya yang tidak terduga-duga. Apalagi jika terjadi benturan kekuatan, maka pemburu itu selalu terdorong satu dua langkah surut.
Namun pemburu itu masih belum percaya atas kenyataan yang dihadapinya itu. Karena itu, maka ia masih berusaha mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Anak yang masih terlalu muda itu harus dapat ditundukkannya. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan.
Meskipun pemburu itu memiliki kekuatan kewadagan yang terhitung besar, namun dengan beralaskan tenaga dalamnya, maka kekuatan Mahisa Semu mampu mengimbanginya, justru melampauinya, sehingga pemburu itu selalu saja terdesak di setiap benturan yang terjadi. Bahkan serangan-serangan Mahisa Semua semakin lama semakin sering berhasil menembus pertahanan pemburu itu. Dengan kecepatan gerak yang sulit diimbangi oleh pemburu itu, maka Mahisa Semu memang lebih banyak dapat mengenai sasarannya.
Semakin lama, maka pemburu itu menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Mahisa Semu benar-benar telah menggoyahkan pertahanannya. Bahkan beberapa kali pemburu yang disegani itu dapat digoyahkan oleh Mahisa Semu yang muda itu.
Jagal dan bebahu yang bersamanya itu termangu-mangu sejenak. Mereka menyadari bahwa pemburu itu sudah semakin terdesak. Bahkan rasa-rasanya sudah sulit untuk tetap bertahan. Namun keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat kedua orang anak muda yang lain melangkah mendekati arena. Anak muda yang umurnya lebih tua dan agaknya kemampuannya pun lebih tinggi.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat kegelisahan jagal dan bebahu itu menduga bahwa mereka akan dapat ikut campur dalam perkelahian antara Mahisa Semu dan pemburu yang semakin berat sebelah itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mengangguk hormat kepada jagal dan bebahu yang menjadi gelisah itu, kemudian dengan tenangnya Mahisa Murti berdiri di sebelah jagal yang gelisah itu, sementara Mahisa Pukat berdiri di sisi bebahu yang menjadi semakin tegang melihat perkelahian itu.
Sementara itu, tanpa ada yang mengisyaratkan Mahisa Amping justru melangkah mendekati anak pemburu yang menjadi ketakutan melihat keadaan yang tidak menguntungkannya itu. Sebelumnya ia tidak pernah mengalami hal seperti itu. Biasanya ia selalu memenangkan perkelahian Jika ada anak-anak yang terlalu besar untuk dilawannya, maka ia selalu berlindung dibawah pengaruh ayahnya. Tetapi saat itu, ayahnya menjadi tidak berdaya. Anak muda yang berkelahi melawan ayahnya itu bukan saja tidak takut, tetapi ia justru dapat mendesak ayahnya sehingga ayahnya mengalami kesulitan.
Sebenarnyalah pemburu itu menjadi semakin terdesak Beberapa kali serangan Mahisa Semu telah menggoyahkan keseimbangannya. Bukan saja wajahnya menjadi merah biru, tetapi tulang-tulangnya pun serasa berpatahan. Dalam keadaan yang paling sulit, maka pemburu itu berteriak, “He, kenapa kalian diam saja membeku. Hancurkan anak-anak muda yang sombong itu.”
Jagal dan bebahu yang berdiri di sebelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kita tidak usah ikut campur. Persoalannya sebenarnya adalah persoalan antara anak-anak saja. Aku terbiasa membiarkan anak-anak berusaha menyelesaikan persoalan mereka. Biasanya aku menganjurkan agar mereka menyelesaikan persoalan mereka tidak dengan kekerasan. Tetapi jika kekerasan itu tidak dapat dihindari, maka aku pun minta anak-anak itu menyelesaikannya sendiri. Hanya dalam keadaan yang sangat penting aku mencampuri persoalan mereka apabila keadaannya akan sangat membahayakan kedua belah pihak.”
Jagal dan bebahu itu menjadi sangat gelisah. Keringat mengalir di seluruh tubuh mereka. Punggung mereka menjadi basah, seolah-olah mereka baru saja selesai berendam di dalam air.
Namun dalam pada itu pemburu itu berteriak lagi ketika ia terdorong beberapa langkah surut, “He pengecut. Kenapa kalian berdiam diri saja. Lumpuhkan anak-anak muda itu. Kemudian kalian harus ikut menyelesaikan anak iblis ini.”
Namun Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Sudahlah Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak memaksakan diri untuk berkelahi terus. Kedua orang kawan Ki Sanak ini tidak akan turun ke arena perkelahian itu. Apapun alasannya, sebaiknya mereka tidak usah ikut campur.”
Pemburu itu masih akan berteriak, tetapi Mahisa Semu mendesaknya sehingga suaranya justru terputus di kerongkongan.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata kepada bebahu di sebelahnya sambil memegang pundaknya, “Di sini sajalah Ki Sanak. Kita tidak ikut campur.”
Bebahu itu terkejut. Tangan Mahisa Pukat rasa-rasanya akan memecahkan tulang di pundaknya. Namun dengan demikian, maka bebahu itu sadar sepenuhnya bahwa anak muda itu adalah anak muda yang memiliki kelebihan dari orang lain. Jari-jari anak muda itu seperti batang-batang besi yang menjepit tulang-tulangnya, sementara anak muda itu nampaknya sama sekali tidak mempergunakan kekuatannya.
Karena itu, maka bebahu itu sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Betapapun segannya bebahu itu terhadap pemburu yang sedang berkelahi itu, namun ia harus membuat pertimbangan berulang kali untuk terjun ke dalam perkelahian karena persoalan anak-anak itu.
Berbeda dengan bebahu yang menyadari akan kekuatan Mahisa Pukat, maka jagal yang perutnya besar itu benar-benar menjadi sangat bimbang. Ia memang sudah menduga bahwa kedua anak muda yang berdiri di sebelahnya itu berilmu tinggi. Tetapi ia pun merasa sangat segan kepada pemburu yang sedang berkelahi itu.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah melingkarkan tangannya di punggung jagal yang berperut besar itu. Dengan nada lembut Mahisa Murti berkata, “Jangan dengarkan kicau pemburu yang dungu itu. Sebaiknya kita memang tidak ikut campur.”
Jagal itu tidak menjawab. Tetapi dengan serta merta ia mengibaskan tangan Mahisa Murti. Bahkan jagal itu sudah siap untuk turun ke arena. Tetapi ia merasa tubuhnya agak lain dari biasanya. Ada sesuatu yang kurang pada dirinya sehingga ia harus mencoba untuk menemukan, apakah yang lain pada dirinya itu. Baru ketika ia melangkah, maka ia merasakan kakinya menjadi berat. Tangannya pun serasa tidak seperti biasanya. Baru kemudian jagal itu tahu bahwa tenaganya telah menyusut.
Meskipun jagal itu masih mampu bergerak dan tegak pada keseimbangannya, tetapi rasa-rasanya ia tidak sanggup untuk berkelahi. Bahkan dengan anak-anak sekalipun. Karena itu, maka ketika kemudian pemburu itu berteriak lagi, jagal itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Demikian pula bebahu itu. Keduanya berdiri saja termangu-mangu di tempatnya.
Dengan demikian maka keadaan pemburu itu menjadi semakin sulit. Bahkan ketika kaki Mahisa Semu berhasil mengenai dadanya, maka pemburu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh terbanting. Namun dengan susah payah, ia berhasil bertahan untuk tetap berdiri meskipun kakinya menjadi goyah.
Mahisa Semu yang melihat keadaan lawannya tidak memburunya. Sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah mempengaruhi sikapnya pula, sehingga ia tidak terlalu bernafsu untuk menghancurkan lawannya. Termasuk menghancurkan harga dirinya. Karena itu, maka ketika lawannya sedang dalam kesulitan, Mahisa Semu seakan-akan dengan sengaja memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Bahkan Mahisa Semu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, apakah kita masih akan meneruskan persoalan kuda lumping ini? Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang tidak manis ini. Karena itu, segala sesuatunya tergantung kepada Ki Sanak. Jika kau masih berniat untuk meneruskan perkelahian yang tidak karuan ujung pangkalnya ini, maka aku pun tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Sanak menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai, maka aku akan berterima kasih.”
Pemburu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan sikap yang garang ia berteriak, “Aku ampuni kau kali ini. Tetapi ingat, jika kau atau anak itu pada kesempatan lain tidak mau menghormati orang lain, maka aku akan benar-benar menghukummu dan menghukumnya.”
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun kemudian pemburu itu melangkah pergi sambil menggapai anaknya yang kebingungan tanpa berpaling lagi. Juga tidak kepada kedua orang kawannya yang datang bersamanya.
“Apakah kau akan mengikutinya?” bertanya Mahisa Pukat kepada bebahu itu.
Bebahu itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Tetapi aku tahu bahwa orang itu akan marah kepadaku.”
“Apakah kira-kira ia akan melakukan kekerasan terhadapmu dan kawanmu itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Agaknya tidak. Banyak orang menyaksikan apa yang terjadi di sini. Ia tidak dapat menyalahkan aku meskipun barangkali ia akan mengumpati aku.” jawab bebahu itu.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata kepada jagal yang perutnya besar itu, “Maaf. Aku telah menyusut tenagamu. Tetapi tidak seberapa. Tidak sampai tengah malam nanti, tenagamu tentu sudah pulih kembali. Yang aku lakukan hanya sekedar mencegah agar kau tidak melibatkan diri dalam perkelahian ini. Karena jika hal itu kau lakukan maka keadaanmu akan menjadi semakin sulit.”
Jagal itu menjadi heran. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”
“Mungkin kau tidak akan dapat mengerti. Tetapi jangan menjadi cemas. Seandainya senja nanti kau harus melakukan tugasmu, maka sisa tenagamu masih cukup kuat untuk melakukannya karena setiap kejap, tenagamu yang susut perlahan-lahan akan tumbuh.”
Orang itu memang masih agak bingung. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh meskipun jantungnya terasa berdebar-debar. Ia memang cemas, bahwa tenaganya tidak akan pernah pulih kembali. Tetapi Mahisa Murti kemudian berhasil meyakinkan, bahwa besok jagal itu tidak akan terganggu lagi dengan peristiwa yang terjadi itu.
“Percayalah. Malam nanti, segala-galanya sudah berlalu bagimu. Jika kau besok bangun pagi-pagi, maka kau adalah sebagaimana kau bangun tadi pagi.”
Jagal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Mudah-mudahan aku tidak menjadi seorang yang cacat seumur hidupku. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak akan dapat melakukan pekerjaanku sebagai seorang jagal, karena pekerjaanku memerlukan tenagaku.”
Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata, “Aku tidak berbohong. Jika kau tidak berkeberatan, katakan di mana rumahmu. Besok aku akan datang menengokmu.”
Ternyata jagal itu memang tidak berkeberatan. Ia telah memberikan ancar-ancar rumahnya. Demikianlah maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping kembali masuk ke dalam kedai. Orang-orang yang berkerumun tanpa berani mendekat pun telah pergi pula.
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah duduk kembali sambil meneguk minuman mereka yang tersisa, maka orang yang sejak sebelum terjadi keributan duduk di dekat Mahisa Pukat itu telah duduk pula di tempatnya.
“Aku tidak mengira bahwa ada orang yang dapat mengalahkan Ki Permati itu.” berkata orang itu.
“Orang itu sebelumnya amat ditakuti” desis kawannya.
Lalu kepada Mahisa Pukat ia berkata, “Bagaimana adikmu dapat mengalahkan orang itu ngger?”
“Hanya suatu kebetulan Ki Sanak. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu wajar. Adikku masih muda. Umurnya adalah umur yang memungkinkannya berada dalam puncak kekuatan dan kemampuan. Sementara itu Ki Permati itu meskipun garang, tetapi umurnya sudah menua. Ibarat matahari kemampuannya sudah melampaui puncaknya dan mulai meluncur turun di sisi barat.”
“Tidak ada tanda-tanda seperti itu sebelumnya” berkata orang itu.
“Bukankah yang kau lihat itu juga satu pertanda kemundurannya?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukan itu. Tetapi anak muda itulah yang memiliki kelebihan dari pemburu itu. Jelasnya, pemburu itu memang dapat dikalahkannya.”
“Seperti sudah aku katakan Ki Sanak. Hanya satu kebetulan saja. tidak lebih.”
Tetapi orang itu menyahut, “Kalian memang anak-anak muda yang rendah hati. Itu dapat kami lihat bukan saja sikap kalian sebelum terjadi perkelahian itu. Sikap anak muda yang bertempur melawan Ki Permati itu juga sikap seorang yang rendah diri. Meskipun ia memenangkan perkelahian itu, tetapi ia masih menghormati lawannya dan memberi kesempatan lawannya meninggalkan arena tanpa menghancurkan harga dirinya.”
“Itu bukan apa-apa Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “bukan sikap rendah hati. Tetapi anak itu juga sudah merasa letih berkelahi melawan Ki Permati.”
“Nah, bukankah jawaban angger ini semakin meyakinkan aku? Tetapi baiklah. Aku tidak akan memuji lagi.”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mahisa Amping justru menundukkan kepalanya saja. Sementara Mahisa Semu bahkan seolah-olah tidak mendengar pembicaraan itu. Diteguknya minumannya sampai titik air yang terakhir.
“Kau minum lagi?” Bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Semu menggeleng. Katanya, “Sudah cukup”
Sementara itu pemilik kedai itu pun telah mendekat pula sambil berkata, “Peristiwa ini akan sangat berpengaruh atas tingkah lakunya. Selama ini memang belum pernah ada orang yang berani dan dapat mengalahkannya. Kekalahan pemburu itu akan membuka mata orang banyak dan mata pemburu itu, bahwa ternyata ada orang lain, justru anak yang masih terlalu muda, memiliki kemampuan lebih dari kemampuannya.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya hanya tersenyum saja. Ketika kemudian mereka selesai minum dan makan, maka pemilik kedai itu semula menolak untuk menerima uang pembayarannya. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak, jangan kecewakan kami. Jika Ki Sanak menolak, maka itu berarti hubungan kita akan terputus hari ini. Kami tentu tidak akan pernah datang lagi ke kedai ini meskipun kami pergi ke pasar.”
Pemilik kedai itu akhirnya terpaksa menerima uang untuk membayar makanan dan minuman yang telah diminum dan dimakan oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
“Kami selalu mengharap kalian datang” berkata pemilik kedai itu, “seandainya kalian tidak lagi ke pasar, pergilah ke kedai ini. Kami akan menerima kalian dengan senang hati. Tentu orang-orang di sekitar pasar itu pun akan merasa senang pula.”
“Terima kasih” sahut Mahisa Pukat, “kami akan selalu singgah jika kami pergi ke pasar atau lewat jalan ini.”
“Jangan menunggu kalau kalian pergi ke pasar atau sedang lewat jalan ini. Kalian dapat secara khusus pergi kemari” berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat tertawa. Demikian pula Mahisa Murti. Namun mereka pun kemudian telah minta diri meninggalkan kedai itu.
Ternyata yang terjadi merupakan satu pengalaman yang menarik. Menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi lebih menarik bagi Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Dengan pengalaman itu maka Mahisa Semu sempat menjajagi kemampuannya. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menilai, sejauh mana Mahisa Semu menyerap ilmu yang diberikan kepadanya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Amping.
Di perjalanan pulang Mahisa Amping sempat bertanya kepada Mahisa Pukat, “Kakang, apakah di kota ini anak-anak boleh mengambil milik orang lain dengan kekerasan asal ia menang berkelahi sehingga dengan demikian maka seorang yang lemah tidak akan mempunyai kesempatan untuk bermain apapun juga?”
“Tidak Amping” jawab Mahisa Pukat, “di kota ini pun seseorang yang lemah berhak mendapat perlindungan. Tetapi kadang-kadang tingkah laku seseorang lepas dari pengamatan para petugas yang berkewajiban untuk menjaga ketertiban termasuk melindungi mereka yang lemah dari perbuatan sewenang-wenang.”
“Tetapi agaknya anak itu sudah berbuat seperti itu untuk waktu yang lama” berkata Mahisa Amping.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata penglihatan Mahisa Amping yang masih remaja itu cukup tajam. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Agaknya ia mempunyai pengaruh yang kuat atas lingkungannya, sehingga tidak seorang pun yang berani melaporkannya kepada para petugas.”
“Justru satu peluang yang baik bagi orang-orang seperti pemburu itu. Tetapi bagaimana dengan bebahu itu? Agaknya ia justru berpihak kepada pemburu dengan segala Wewenang-wenangannya” berkata Mahisa Amping pula.
“Itulah yang dapat terjadi” jawab Mahisa Pukat, “bukankah kau ingin mengatakan bahwa bebahu termasuk seorang petugas yang seharusnya melindungi orang yang lemah?”
“Ya” jawab Mahisa Amping, “seandainya aku tidak mampu mempertahankan milikku dan harga diriku, maka bebahu itu harus melindungi aku.”
“Ada beberapa sebab” jawab Mahisa Pukat, “mungkin bebahu itu takut terhadap pemburu yang nampaknya memiliki kekuatan yang besar dan bahkan kemampuan yang cukup.”
Mahisa Amping termangu-mangu. Ia menunggu kelanjutan jawaban Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat tidak segera berkata apapun lagi. Karena itu, maka Mahisa Amping pun bertanya, “Apakah kakang sudah selesai berbicara? Kakang menyebutkan ada beberapa sebab. Tetapi kakang baru mengatakan satu saja.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Memang ada sebab yang lain, Amping.”
“Misalnya?” termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata meskipun agak ragu, “Jika saja bebahu itu sudah berhutang budi kepada pemburu itu.”
“Hutang budi? Maksud kakang?” desak Mahisa Amping.
Mahisa Pukat memang tidak akan dapat mengelak lagi. Mahisa Amping tentu akan selalu mengejarnya sampai ia memberikan jawaban yang memuaskan kepadanya. Sementara itu Mahisa Murti hanya tersenyum saja.
“Mahisa Amping” berkata Mahisa Pukat, “memang mungkin bebahu itu berhutang budi kepada pemburu itu. Misalnya, pemburu itu sudah pernah menolong bebahu itu. Atau pernah memberikan sesuatu yang berarti kepada bebahu itu."
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping menyahut, “Menyuap, begitu maksud kakang?”
Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Tetapi ia menjawab, “Tidak selalu. Menyuap adalah pemberian dengan tujuan tertentu dalam persoalan tertentu. Tetapi mungkin pemburu itu pernah memberikan sesuatu tanpa bermaksud mempengaruhi bebahu itu dalam satu persoalan tertentu.”
“Tetapi jika dengan pemberian-pemberian itu maka bebahu itu tidak lagi melakukan tugasnya dengan wajar, maka itu pun dapat diartikan suapan.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Kita sudah hampir sampai di regol samping halaman istana.”
Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Tetapi ia pun kemudian berjalan paling depan. Mahisa Semu memang tidak berkata sesuatu. Tetapi ia mendengarkan dan ikut memperhatikan pembicaraan tentang bebahu itu. Sebenarnyalah ia sependapat dengan Mahisa Amping. Bahwa bebahu itu ternyata tidak lagi melakukan tugasnya dengan wajar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah sampai ke istana. Mereka langsung menuju ke bagian belakang. Mahendra yang ada di rumah menyambut mereka di tangga pendapa rumah yang disediakan baginya. Sambil tersenyum ia bertanya kepada Mahisa Amping, “Apa yang telah kau lihat?”
Mahisa Amping memandang Mahisa Pukat dengan ragu. Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kami melihat-lihat pasar ayah.”
“O” Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah naik.”
Di atas tikar pandan yang sudah terbentang. Angin terasa semilir bertiup melintasi pendapat kecil itu. Ketika kemudian Mahendra duduk pula di antara anak-anaknya maka Mahisa Amping pun segera berceritera tentang peristiwa yang terjadi di sebuah pasar itu.
“O” Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia bertanya, “jadi kau baru saja berkelahi?”
“Ya. Dan kakang Mahisa Semu juga” jawab Mahisa Amping.
Mahendra mengangguk-angguk. Dari ceritera Mahisa Amping, Mahendra mendapat kesan, bahwa Mahisa Amping menganggap orang-orang di Kotanya itu bertingkah laku buruk sebagaimana orang-orang yang diceriterakan itu.
“Amping” berkata Mahendra sambil tersenyum, “tidak semua orang di Kotaraja ini berkelakuan buruk.”
“Tentu” jawab Mahisa Amping, “tetapi aku kira kebanyakan mereka berkelakuan aneh menurut pendapatku. Mereka terlalu mementingkan diri sendiri. Anak pemburu itu tentu tidak hanya sendiri. Tentu banyak anak di Kotaraja ini yang berwatak seperti anak itu. Mereka sama sekali tidak menghargai orang lain.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Nanti atau besok atau kapan saja sebelum kau kembali ke padepokan, kau tentu akan melihat bahwa tidak banyak anak yang nakal seperti itu. Meskipun kehidupan di Kotaraja ini membentuk lingkungan yang berbeda dengan kehidupan di padepokan sebagaimana kehidupan di padepokan tidak sama dengan kehidupan dan padukuhan-padukuhan, tetapi di Kotaraja mi masih banyak juga orang yang baik, orang yang menghargai orang lain dan bahkan selalu menolong orang lain yang dalam kesulitan.”
Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Namun Mahendra pun kemudian berkata selanjutnya, “Tetapi karena di Kotaraja ini diwarnai dengan kehidupan yang sibuk, maka kadang-kadang seseorang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan orang lain. Namun bukan pada dasarnya orang itu terlalu mementingkan diri sendiri”
Mahisa Amping tidak menjawab. Ia tidak begitu mengerti arti dari keterangan Mahendra. Namun serba sedikit ia dapat merasakannya, sehingga karena itu, maka ia justru mencoba...