Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 112 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 112
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

HARI itu, selagi Mahisa Pukat masih belum bertugas di Kesatrian maka di sore hari ia mengajak Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk berjalan-jalan lagi. Mereka menelusuri jalan-jalan di Kotaraja yang ramai. Namun mereka tidak singgah dan tidak pula mengunjungi siapapun.

Di hari berikutnya, maka Mahisa Pukat sudah harus bertugas lagi di Kesatrian. Karena itu, maka ia harus meninggalkan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Tetapi karena Mahisa Murti juga sudah mengenali Kotaraja itu dengan baik, maka tanpa Mahisa Pukat ia dapat mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan Kotaraja yang belum dilihat sebelumnya.

“Jika saatnya kalian kembali ke padepokan, aku harap kau memberitahukan kepadaku di Kesatrian” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Murti.

Mahisa Murti pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku kira aku tidak dapat terlalu lama di Kotaraja. Dua atau tiga hari lagi aku akan minta diri. Tetapi aku pun ingin minta diri pula kepada Pangeran Kuda Pratama.”

“Pangeran Kuda Pratama tentu akan merasa sangat senang jika kalian singgah sebelum kalian meninggalkan Kotaraja.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Sesudah minta diri pula kepada ayahnya, maka Mahisa Pukat pun telah meninggalkan rumah itu untuk pergi ke Kesatrian karena ia harus sudah mulai lagi dengan tugasnya di Kesatrian. Di Kesatrian, ia kemudian akan bekerja sama dengan Empu Sidikara yang menggantikan kedudukan saudara seperguruannya Empu Kamenjangan.

Ketika kemudian Mahisa Pukat kembali berhadapan dengan bangsawan-bangsawan muda di Kesatrian, maka ia pun teringat kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Seorang anak muda yang tangkas dan cerdas. Meskipun Mahisa Semu dan Mahisa Amping adalah anak-anak yang diketemukannya di perjalanan, namun ternyata mereka dapat menjadi tumpuan harapan masa depan.

Mahisa Pukat pun teringat, bagaimana ia bersama Mahisa Murti mengembara untuk menemukan satu dua orang yang pantas untuk mewarisi dan kemudian mengembangkan ilmu mereka, sehingga di perjalanan mereka menemukan Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan yang justru sudah lebih tua daripadanya.

“Sekarang aku berada di antara anak-anak muda dan remaja yang memiliki kesempatan terbaik di Singasari” berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.

Tetapi Mahisa Pukat belum dapat memutuskan apakah ia akan menunjuk satu dua orang yang akan dicarinya secara khusus atau tidak. Namun setiap kali ia melihat dua orang bangsawan yang masih remaja yang sejak pertama menjadi asuhannya, maka keinginan itu selalu menggelitiknya, karena kedua orang remaja itu menurut pendapat Mahisa Pukat memiliki landasan pribadi dan kewadagan yang memungkinkan. Meskipun demikian, Mahisa Pukat masih belum dapat menentukan apakah ia akan melakukannya atau tidak.

Dalam pada itu, setelah Mahisa Pukat kembali ke Kesatrian, maka Mahisa Murti sendirilah yang mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping berjalan-jalan di hari berikutnya. Mereka melihat bagian Kotaraja yang belum mereka lihat sebelumnya.

Adalah diluar kehendak Mahisa Murti ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Sasi yang sedang pergi berbelanja ke pasar. Kedua-duanya memang terkejut. Dengan serta-merta Sasi yang ada di seberang jalan berlari-lari mendekati Mahisa Murti sambil menyapanya

“Kakang Mahisa Murti. Kapan kau datang?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat wajah gadis itu, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga wajah gadis itu pernah terukir di dinding jantungnya. Hanya dengan kekuatan yang luar biasa, maka Mahisa Murti mampu mengendalikan dirinya.

Dengan denyut nadi yang bertambah cepat Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Aku datang tiga hari yang lalu, Sasi.”

“Kenapa kau tidak singgah?” desak Sasi.

“Aku masih belum akan segera kembali ke padepokan Sasi. Besok atau lusa aku akan singgah. Aku sedang menunggu kesempatan Mahisa Pukat dapat meninggalkan tugasnya barang sebentar.”

“Kau berjanji?” bertanya Sasi.

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji, Sasi.”

“Aku juga menunggu kakang Mahisa Pukat yang sudah beberapa lama tidak berkunjung ke rumah. Datanglah kalian berdua.” minta Sasi.

“Ya, ya, Sasi. Aku akan singgah sebelum aku meninggalkan Kotaraja.” jawab Mahisa Murti.

Sasi tersenyum. Kecantikan seakan-akan mekar bersama senyumnya yang jernih. Dipandanginya Mahisa Semu dan Mahisa Amping berganti-ganti. “Siapakah mereka?” bertanya Sasi.

“Keduanya adalah adikku” jawab Mahisa Murti.

“O. Jadi juga adik kakang Mahisa Pukat?” bertanya Sasi.

“Ya” jawab Mahisa Murti.

“Ajak mereka datang ke rumah” berkata Sasi yang kemudian mendekati Mahisa Amping. Sambil menepuk bahu anak itu, Sasi berkata, “Ikut bersama kakak-kakakmu. Kalian harus berkunjung ke rumahku”

Mahisa Amping tersenyum. Tetapi kepalanya justru menunduk.

“Kau dari mana Sasi?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Belanja. Ibu tidak dapat pergi berbelanja. Akulah jadinya yang pergi,” jawab Sasi. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku pulang dahulu. Ibu menunggu aku. Tetapi kau dan adik-adikmu benar-benar harus singgah di rumahku.”

“Baik, baik, Sasi.” jawab Mahisa Murti.

Sejenak kemudian, maka Sasi pun melanjutkan langkahnya Sekali ia berpaling sambil tersenyum. Dilambaikannya tangannya kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak. Namun kemudian Mahisa Murti berhasil menemukan kesadarannya kembali. Ia sudah bertekad untuk melupakan Sasi. Bahkan Mahisa Murti tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.

Tetapi tiba-tiba saja ia telah berhadapan lagi dengan Sasi. Namun justru karena itu, Mahisa Murti pun telah berusaha untuk tetap teguh pada sikapnya, karena jika tidak demikian, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk baginya dan bagi Mahisa Pukat.

Ketika mereka kemudian meninggalkan tempat itu, Mahisa Amping sempat bertanya, “Siapakah orang itu?”

Mahisa Murti mencoba untuk tersenyum. Kemudian jawabnya, “Orang itu adalah kawan kakakmu Mahisa Pukat."

“Tentu juga kawan kakang Mahisa Murti” sahut Mahisa Semu.

Mahisa Murti mengangguk kecil sambil menjawab pendek, “Ya.”

Kedua adik Mahisa Murti itu tidak bertanya lagi. Mereka pengikut saja Mahisa Murti yang berjalan menelusuri jalan-jalan di Kotaraja.

“Bukankah jalan ini menuju ke pasar?” bertanya Mahisa Amping tiba-tiba, “kemarin kita juga berjalan lewat jalan ini.”

“O” Mahisa Murti baru tersadar dari lamunannya. Dengan serta merta ia menjawab, “Ya. Tetapi kita tidak akan pergi ke pasar. Kita akan berbelok di simpang tiga itu.”

“Apa salahnya kita lewat jalan di depan pasar itu?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Namun Mahisa Semu lah yang tersenyum sambil menjawab, “Kau akan singgah di kedai itu lagi?”

“Tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar.”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Tetapi ia menggeleng. Katanya, “tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar.”

Mahisa Murti pun tersenyum. Katanya, “Kita akan singgah di kedai yang lain. Jika pemburu itu ada di situ pula, maka kita akan dapat terganggu lagi.”

“Kita justru menunjukkan bahwa kita tidak takut terganggu. Bahkan apapun yang akan mereka lakukan.” sahut Mahisa Amping.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berdesis, “Jangan Amping. Kita tidak dapat berbuat seperti itu. Seakan-akan kita sengaja memancing persoalan. Meskipun kita berdiri di pihak yang benar, tetapi jika saja persoalan yang dapat menimbulkan perselisihan itu dapat dihindari, maka sebaiknya kita menghindar. Tentu saja jika tidak harus mengorbankan keyakinan dan harga diri. Karena apapun alasannya, perselisihan bukan satu peristiwa yang patut dibanggakan.”

“Musuh tidak dicari. Tetapi jika bertemu?”

“Karena itu, lebih baik tidak bertemu bukan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berdesis, “Ya. Memang lebih baik tidak bertemu.”

Mahisa Semu pun tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Demikianlah, maka mereka pun telah mengambil jalan yang lain, sehingga mereka memang tidak menuju ke pasar. Tetapi mereka memang tidak terlalu lama berputar-putar di Kotaraja. Mereka sempat singgah di sebuah kedai untuk sekedar minum dan makan beberapa jenis makanan yang sulit dicari di padepokan. Kemudian mereka pun telah meninggalkan kedai itu dan pulang ke rumah Mahendra dibagikan belakang istana Singasari.

Ketika kemudian Mahisa Semu dan Mahisa Amping beristirahat di bawah sebatang pohon sawo kecil di saat udara terasa panas, maka Mahisa Murti pun duduk pula bersandar batangnya yang sudah cukup besar. Angin bertiup lembut mengusap wajahnya yang sedang merenung. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping bermain macanan dengan daun sawo kecik dan kerikil, maka Mahisa Murti telah merenungi dirinya sendiri.

Justru karena ia telah bertemu dengan Sasi, maka seandainya ia tidak singgah, maka rasa-rasanya kurang mapan. Sasi akan dapat berprasangka kurang baik tentang dirinya. Mungkin Sasi menganggapnya sombong, atau marah atau perasaan lain yang sekedar diduga-duganya saja.

Tetapi seandainya ia minta Mahisa Pukat untuk mengantarnya singgah, mungkin Mahisa Pukat juga dapat menangkap lain tentang ajakannya itu. Atau mungkin dan mungkin telah membuatnya menjadi gelisah. Untuk datang sendiri hanya dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping tanpa mengajak Mahisa Pukat rasa-rasanya juga kurang pantas baginya.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri melangkah ke tangga rumah ayahnya sambil berkata, “Aku akan minum dahulu. Aku merasa sangat haus.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk saja. Mereka masih bermain macanan. Tetapi demikian Mahisa Murti naik tangga rumah Mahendra, Mahisa Semu pun berdesis, “Kakang Mahisa Murti nampak menjadi gelisah.”

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa?”

“Dari mana aku tahu?” Mahisa Semu justru bertanya.

“Kenapa kau justru bertanya? Bukankah kau yang mengatakannya bahwa kakang Mahisa Murti nampak gelisah.”

“Memang akulah yang mengatakannya bahwa kakang” Mahisa Murti gelisah. Tetapi aku tidak tahu kenapa kakang Mahisa Murti itu menjadi gelisah,” jawab Mahisa Semu.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya. Kakang Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi kita tidak tahu kenapa kakang menjadi gelisah.”

Keduanya pun terdiam. Namun keduanya justru kembali memusatkan perhatian mereka kepada permainan mereka. Macanan.

Sementara itu Mahisa Murti yang gelisah mencoba untuk mengisi waktunya dengan membaca kitab yang dipinjamnya dari ayahnya. Mahendra memang mempunyai beberapa kitab yang berisi kidung yang menarik selain kitab tentang berbagai macam pengetahuan.

Mahisa Murti memang sempat melupakan kegelisahannya. Tetapi ketika ia menutup kitabnya dan melangkah turun ke halaman, ia menjadi gelisah lagi. Mahisa Murti tidak melihat lagi Mahisa Semu dan Mahisa Amping dibawah pohon sawo kecik. Namun ketika Mahisa Murti pergi ke pakiwan, dilihatnya Mahisa Semu sedang menimba air, sementara Mahisa Amping sedang mandi.

“Kita akan pergi menemui kakangmu Mahisa Pukat” berkata Mahisa Murti.

“Dimana?” bertanya keduanya hampir berbareng meskipun Mahisa Semu ada di pinggir perigi, sedangkan Mahisa Amping ada di dalam pakiwan sedang mandi.

“Sore ini” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kita akan pergi ke Kesatrian?” bertanya Mahisa Semu.

“Ya. Kita akan pergi ke Kesatrian” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping yang sedang mandi itu pun segera menyelesaikannya. Ketika kemudian Mahisa Semu masuk ke pakiwan, maka Mahisa Amping lah yang ganti menimba air untuk mengisi jambangan. Sore itu setelah Mahisa Murti mandi dan berbenah diri maka mereka pun minta diri kepada Mahendra untuk pergi ke Kesatrian menemui Mahisa Pukat.

“Mudah-mudahan ia mempunyai waktu” desis Mahisa Murti.

“Tentu” jawab Mahendra, “jika para bangsawan muda itu sedang mempelajari ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, maka Mahisa Pukat mempunyai waktu luang. Tetapi kadang-kadang ia melakukan tugasnya sebagai Pemimpin Kelompok Pelayan Dalam.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya aku melihatnya ke Kesatrian. Bukankah aku tidak dianggap menganggu oleh Pangeran Kuda Pratama.”

“Tidak. Kecuali jika kau berada di Kesatrian setiap saat.” jawab Mahendra.

Kemudian bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping mereka telah pergi ke Kesatrian untuk menemui Mahisa Pukat. Ternyata bahwa mereka telah diterima baik oleh para Pelayan Dalam yang bertugas karena sebagian dari mereka sudah mengetahui, bahwa Mahisa Murti adalah saudara kandung Mahisa Pukat, salah seorang pemimpin kelompok Pelayan Dalam di Kesatrian itu.

Apalagi mereka pun mengetahui bahwa Mahisa Murti pun pernah diterima dengan baik pula oleh Pangeran Kuda Pratama sendiri.nMahisa Pukat pun kemudian telah keluar dari sanggar untuk menemui mereka.

“Apakah kau sedang sibuk?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Bukankah memang sudah pekerjaanku? Aku sedang berada di sanggar dengan beberapa orang bangsawan muda. Mereka sedang berlatih.”

“Apakah mereka kau tinggalkan tanpa pembimbing?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku justru ingin mengajak kau serta Semu dan Amping untuk melihat-lihat sanggar di Kesatrian ini.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

“Menarik sekali” tiba-tiba Mahisa Amping menyahut, “aku ingin melihat sanggar itu.”

“Marilah” ajak Mahisa Pukat.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itu pun kemudian telah diajak Mahisa Pukat ke dalam sanggar di Kesatrian. Demikian mereka masuk, maka Mahisa Amping dan Mahisa Semu pun menjadi terheran-heran. Bahkan Mahisa Murti pun menjadi kagum pula.

Sanggar itu adalah sebuah bangunan yang cukup besar dengan kelengkapan yang sangat memadai. Semua peralatan latihan disediakan secukupnya. Hampir segala jenis senjata tersedia. Tidak hanya satu dua, tetapi beberapa untuk setiap jenis. Di salah satu bagian dari sanggar itu terdapat alat-alat untuk membentuk dan menguasai tubuh.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping berdiri termangu-mangu memandangi ruang yang sangat luas dengan peralatan yang sebagian belum pernah dilihatnya. Di dalam sanggar itu terdapat beberapa orang bangsawan muda yang sedang berlatih. Mereka adalah sebagian kecil dari anak-anak muda di Kesatrian yang sedang mempelajari salah satu unsur khusus dari ilmu yang diberikan oleh Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat sedang menuntun anak-anak muda itu mempergunakan salah satu bagian tubuhnya yang penting. Bahkan jika benar-benar dikuasainya, tidak kalah berbahayanya dari ujung-ujung senjata yang sangat runcing sekalipun. Kepada anak-anak muda itu Mahisa Pukat sedang memahami watak dan sifat jari. Kelima jari tangan dan jari-jari kaki.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang melihat alat-alat khusus yang berhubungan dengan jari itu pun mengangguk-angguk diluar sadarnya. Meskipun mereka sudah mendapat tuntunan dan penjelasan serupa, tetapi mereka tidak memiliki alat-alat sebagaimana tersedia di banjar itu.

“Duduklah” Mahisa Pukat mempersilahkan saudara-saudaranya itu untuk duduk di sebuah dingklik kayu panjang di sebelah pintu yang tertutup.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun duduk di dingklik panjang itu. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Aku akan melanjutkan latihan anak-anak muda itu.”

Mahisa Murti mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Satu pengalaman yang baik bagi Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Kesempatan menyaksikan latihan-latihan di sanggar ini akan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi mereka.”

Sementara itu bangsawan-bangsawan muda yang melihat kehadiran ketiga orang itu termangu-mangu pula. Mahisa Pukat lah yang kemudian memperkenalkan mereka kepada para bangsawan muda itu. Bangsawan yang sebaya dengan Mahisa Semu. Sedangkan dua di antara mereka sebaya dengan Mahisa Amping.

“Mereka adalah saudara-saudaraku” berkata Mahisa Pukat kepada para bangsawan muda itu, “biarlah mereka mendapat kesempatan menyaksikan kalian berlatih di sanggar ini. Sanggar yang terlalu lengkap bagi saudara-saudaraku itu.”

Bangsawan-bangsawan muda itu memang memperhatikan orang-orang yang disebut saudara-saudara Mahisa Pukat itu. Kedua orang remaja di antara mereka sempat mengangguk dan tersenyum ketika mereka saling memandang dengan Mahisa Amping. Sedang Mahisa Amping pun dengan tergesa-gesa mengangguk hormat pula.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah membawa para bangsawan muda itu untuk mulai berlatih. Mereka mempergunakan beberapa peralatan yang ada di sanggar itu, sehingga latihan-latihan itu berjalan dengan sangat baik di mata Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Bahkan kemudian, anak-anak muda itu telah melakukan latihan-latihan bersama untuk mengetrapkan kemampuan mereka menguasai beberapa macam unsur gerak yang telah mereka kuasai. Sekali-sekali Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat berdecak kagum. Sekali-sekali mereka mengangguk-angguk. Bahkan diluar sadarnya kadang-kadang Mahisa Amping telah bangkit berdiri.

Mahisa Murti sengaja membiarkannya. Namun kemudian Mahisa Amping pun telah duduk kembali dengan sendirinya pula sebagaimana ia berdiri. Mahisa Semu lah yang kemudian bertanya ketika Mahisa Amping bangkit berdiri, “Kau mau apa?”

Mahisa Amping berpaling. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil duduk. Katanya, “Jika saja di padepokan ada sanggar seperti ini.”

“Jika ada sanggar seperti ini, kau mau apa?” bertanya Mahisa Semu kemudian.

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi ia justru ganti bertanya, “Apakah kau tidak ingin memiliki sanggar seperti ini di padepokan?"

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Karena ia sudah lebih besar dari Mahisa Amping, maka Mahisa Semu dapat berpikir lebih panjang dan melihat kenyataan yang dihadapinya sehari-hari. Karena itu, maka Mahisa Semu itu pun berkata, “Kau tidak usah bermimpi selagi kau tidak tidur Amping.”

“Apakah aku bermimpi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Bermimpi tentang sebuah sanggar sebesar, seluas dan selengkap ini di Padepokan Bajra Seta.” jawab Mahisa Semu.

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjadi diam. Ia tidak lagi setiap kali bangkit berdiri dengan wajah yang berseri-seri melihat latihan-latihan yang mendebarkan dari para bangsawan muda itu.

Sementara itu, latihan-latihan itu terus berlangsung. Anak-anak muda itu berlatih dengan bersungguh-sungguh. Namun akhirnya, Mahisa Pukat mengakhiri latihan-latihan itu. Kemudian ia mempersilahkan bangsawan-bangsawan muda itu untuk beristirahat sejenak, untuk kemudian mandi dan berbenah diri. Di malam hari mereka masih harus belajar ilmu pengetahuan yang lain dari guru yang lain pula.

Ketika para bangsawan itu sudah meninggalkan ruangan, maka Mahisa Pukat memberi kesempatan kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk mencoba peralatan yang ada di barak itu. Ternyata keduanya melakukan dengan senang hati. Apalagi Mahisa Amping. Mereka telah melihat dan mencoba bermacam-macam alat yang ada di sanggar itu. Bahkan mereka pun mencoba pula menggenggam berbagai macam senjata di tangan.

Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat, maka Mahisa Murti yang duduk di amben panjang di pinggir sanggar itu berkata seakan-akan begitu saja meluncur dari bibirnya tanpa dibebani perasaan apapun, “Mahisa Pukat, aku tadi bertemu dengan Sasi.”

“Sasi? Dimana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku sedang berjalan-jalan dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Di jalan yang menuju ke pasar kami bertemu dengan Sasi yang agaknya baru pulang dari pasar. Katanya, ibunya tidak dapat berbelanja. Karena itu, maka Sasi lah yang pergi ke pasar untuk berbelanja.”

“O, sudah beberapa waktu aku tidak mengunjunginya.” desis Mahisa Pukat.

“Sasi minta aku singgah. Tetapi hari sudah agak siang. Sasi tentu akan sibuk di dapur.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Sasi memang senang berada di dapur. Ibunya memang mengajarinya seperti itu.”

“Bukankah itu bagus?” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata selanjutnya, “Kapan kau akan berkunjung? Aku akan ikut bersamamu. Rasanya tidak enak untuk tidak singgah barang sejenak, justru setelah aku bertemu dengan gadis itu di jalan. Dengan demikian ia mengetahui bahwa aku ada di sini.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Nampaknya ia sedang memperhitungkan kesempatan untuk dapat mengunjungi Sasi. “Baiklah” berkata Mahisa Pukat, “besok kita akan pergi ke rumah Sasi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku besok tidak membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping keluar. Bukankah maksudmu besok sore?”

“Ya. Besok sore aku akan berusaha untuk dapat meninggalkan tugasku barang sebentar.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Itulah sebenarnya kepentingannya datang mengunjungi Mahisa Pukat. Namun sementara ia menyampaikan maksudnya, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat melihat sebuah sanggar milik istana Singasari yang disediakan bagi para bangsawan muda.

Tetapi sanggar itu bukan satu-satunya sanggar. Mahisa Pukat menceritakan bahwa masih ada lagi satu sanggar di Kesatrian. Lebih besar, lebih luas dan lebih lengkap dari sanggar itu. Sanggar yang diperuntukkan bagi para bangsawan yang sudah dewasa penuh. Bahkan mereka yang sudah berkeluarga pun masih juga mempergunakan sanggar itu.

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sebenarnya ingin juga melihat sanggar itu. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Aku tidak bertugas di Kesatrian di sisi kanan. Kesatrian bagi para bangsawan yang sudah dewasa penuh yang berada di bawah bimbingan guru yang lain. Meskipun mereka masih juga berada di Kesatrian, tetapi seakan-akan terdapat batas di antara kedua Kesatrian itu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat memang agak menjadi kecewa. Tetapi bahwa mereka mendapat kesempatan melihat sanggar di Kesatrian itu, sudah merupakan satu kesempatan yang sangat berharga.

Demikianlah setelah beberapa saat lamanya mereka berada di Kesatrian, maka Mahisa Murti pun segera minta diri. Di luar langit telah menjadi semakin suram, sementara lampu di sanggar pun telah dinyalakan oleh para pelayan.

Di perjalanan pulang, Mahisa Amping tidak putus-putusnya bercerita tentang sanggar yang sangat lengkap itu. Bahkan katanya kemudian, “Sepekan aku di sini, maka ilmuku tentu sudah meningkat.”

“Sepekan di sini ilmumu akan meningkat meskipun kau tidak diperkenankan masuk ke sanggar itu?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi ia pun kemudian terdiam. Tetapi di kepalanya, sanggar itu masih saja tetap membayanginya.

Sebenarnya Mahisa Semu juga masih membayangkan sanggar yang sangat lengkap itu. Tetapi ia sudah dapat memutar penalarannya, bahwa sanggar itu hanya dapat dilihatnya saja. Ia tidak akan mungkin dapat mempergunakan kelengkapan sanggar di Kesatrian itu.

Ketika mereka kemudian sampai di rumah Mahendra, maka mereka bertiga pun sempat berbincang-bincang tentang sanggar itu. Bahkan Mahendra ikut pula berbicara bersama mereka. Demikian Mahisa Amping menceriterakan kekagumannya mengenai sanggar itu, Mahendra pun kemudian bertanya, “Apakah sebenarnya yang kau kagumi? Tentu karena jenis peralatannya yang bagus, baru dan jumlahnya cukup banyak.”

“Nah” berkata Mahendra pula, “kemudian kau harus menilai kegunaannya. Apakah untuk berlatih dan memahami salah satu unsur gerak harus dipergunakan peralatan yang bagus buatannya, mahal harganya dan dalam jumlah yang banyak? Bukankah palang kayu di sanggar Kesatrian itu gunanya tidak lebih daripada palang bambu wulung yang ada di sanggarmu? Bahkan palang bambu di sanggarmu itu mempunyai kelebihan. Bambu wulung itu lebih lentur dari kayu yang dipergunakan di sanggar Kesatrian. Dengan demikian maka untuk melatih keseimbangan, palang bambumu tentu lebih baik. Tetapi sudah tentu ujudnya palang bambu wulungmu tidak sebaik palang kayu itu. Juga bandul tarik di sanggarmu yang tidak lebih dari batu-batu hitam yang diikat dengan tambang. Sementara di Kesatrian itu dipergunakan bandul-bandul besi yang terikat dengan rantai. Tetapi tambang ijuk itu akan memberikan kekuatan tersendiri pada kulit telapak tanganmu.”

Mahisa Amping mendengarkan keterangan Mahendra itu dengan bersungguh-sungguh. Demikian pula Mahisa Semu. Ternyata keduanya memahami keterangan itu. Betapapun jauh perbedaan yang nampak antara Sanggar di Padepokan Bajra Seta dan sanggar di Kesatrian itu, namun kegunaannya tentu tidak akan terlalu jauh berbeda.

Dalam pada itu Mahendra masih memberikan beberapa contoh dan petunjuk, sehingga akhirnya Mahisa Semu dan Mahisa Amping tidak perlu merasa bahwa sanggarnya jauh lebih buruk dari sanggar yang ada di Kesatrian.

“Apa yang dapat dilakukan di Kesatrian itu dapat pula dilakukan di sanggar kalian di Padepokan. Yang tidak ada di sanggar kalian, dapat kalian ketemukan di alam terbuka. Di lereng-lereng bukit dan di hutan-hutan perdu atau pada saatnya kalian akan mencoba menyusupi hutan-hutan lebat.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk pula. Sementara itu Mahisa Murti pun ikut mendengarkan keterangan ayahnya itu. Nampaknya kedua orang yang diakunya sebagai adiknya itu dapat mengerti maksud ayahnya.

Sementara itu Mahendra pun berkata, “Kakakmu Mahisa Pukat ternyata juga tidak mempercayakan latihan-latihan bagi bangsawan muda itu sekedar dilakukan di sanggar. Mahisa Pukat setiap kali juga membawa murid-muridnya keluar dari istana pergi ke bukit-bukit kecil untuk melakukan latihan-latihan khusus. Udara terbuka, panas matahari dan angin yang bertiup, tentu memberikan kelebihan tersendiri bagi mereka. Seandainya latihan-latihan itu hanya dilakukan di sanggar saja, maka panas matahari akan dapat menjadi musuh utama. Demikian pula udara dingin, angin kencang dan debu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk. Mereka tahu bahwa tubuh seseorang yang kurang mendapat sinar matahari akan menjadi kurang tegar. Jika seseorang yang demikian terlibat dalam pertempuran di siang hari dibawah panasnya matahari, maka keringatnya akan cepat terperas habis sebagaimana tenaganya. Bahkan yang mungkin akan membunuhnya bukan lawannya, tetapi panas matahari itu sendiri.

Keterangan yang diberikan oleh Mahendra itu telah membesarkan hati anak-anak muda itu. Mereka tidak lagi merasa bahwa keterbatasan yang ada di sanggar padepokan Bajra Seta akan membuat mereka tidak dapat maju pesat sebagaimana para bangsawan muda yang ada di Kesatrian.

Dengan demikian, maka setelah mereka makan malam dan beristirahat sejenak, Mahisa Semu dan Mahisa Amping mulai berbicara di antara mereka berdua. Mereka mulai membuat perbandingan-perbandingan antara peralatan yang ada di sanggar di Kesatrian dengan alat-alat yang ada di sanggar padepokan Bajra Seta.

Ternyata bahwa apa yang ada di Kesatrian ada pula di sanggar mereka. Meskipun ujudnya lebih sederhana bahkan agak lain ujudnya, namun kegunaannya dapat dianggap sama. Dengan demikian maka apa yang dapat dilakukan oleh para bangsawan muda di sanggar mereka, dapat pula mereka lakukan di sanggar mereka di Padepokan Bajra Seta. Dengan kesimpulan itu, maka ketika keduanya membaringkan diri di pembaringan, mereka pun segera dapat tidur nyenyak.

Namun Mahisa Murti lah yang masih berbincang untuk waktu yang cukup lama dengan ayahnya. Mahisa Murti juga membicarakan kelebihan peralatan yang ada di sanggar di Kesatrian itu.

“Nampaknya Mahisa Pukat menjadi semakin jauh dari Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah Mahisa Murti. Aku kira kau sendiri mampu membina dan mengembangkan Padepokan Bajra Seta. Memang kepergian Mahisa Pukat merupakan satu persoalan tersendiri bagimu. Namun persoalan itu tentu akan dapat kau atasi. Kau, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang di masa datang akan dapat membantumu. Bahkan Wantilan yang meskipun perkembangan ilmu termasuk lambat justru karena ia terlambat mulai setelah diketahui bahwa seseorang sengaja memutar balikkan susunan pengetahuannya tentang olah kanuragan, tetapi ia dapat membantumu mengatur Padepokanmu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dari sorot matanya, ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tetapi Mahisa Murti hanya menarik nafas saja dalam-dalam.

Tetapi Mahendra yang sudah mengendap itu agaknya tanggap akan maksud Mahisa Murti. Karena itu meskipun Mahisa Murti tidak mengatakan sesuatu, namun Mahendra itu pun berkata,

“Murti. Memang tidak dapat diperbandingkan, membina Padepokan Bara Seta dengan tugas-tugas di Kesatrian. Di Kesatrian, kebutuhan apapun telah disediakan. Kebutuhan peralatan untuk latihan. Kebutuhan bahan-bahan yang akan mendukung latihan-latihan di Sanggar maupun di alam terbuka. Sedangkan di Padepokan segala sesuatunya sangat terbatas. Tetapi usaha untuk mengatasi keterbatasan itu pun merupakan satu ketrampilan tersendiri. Meskipun para bangsawan sekalipun, mereka tidak akan selalu terpenuhi setiap kebutuhannya. Dalam keadaan yang sempit, maka para bangsawan tidak terbiasa untuk memecahkannya dan mengatasinya. Karena itu seperti yang aku katakan kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping, Padepokan Bajra Seta tidak akan lebih buruk hasilnya daripada Kesatrian Singasari. Apalagi keduanya diasuh oleh orang yang memiliki tataran yang sama pula.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun bahwa Mahisa Pukat tidak akan kembali lagi ke Padepokan itu adalah persoalan pribadi yang sulit untuk dikesampingkan. Rasa-rasanya Padepokan memang menjadi sepi. Sementara itu luka di hati Mahisa Murti masih sering terasa nyerinya. Apalagi ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Sasi.

Namun seperti yang pernah dijanjikannya di dalam hati, bahwa ia tidak akan terjerembab jatuh karena persoalan yang membebani perasaannya itu. Ketika kemudian Mahisa Murti berbaring dipembaringannya, maka angan-angannya masih dibelit oleh kegelisahannya itu. Namun akhirnya Mahisa Murti itu pun tertidur pula.

Di hari berikutnya Mahisa Murti masih sempat membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping berjalan-jalan. Namun di sore hari, betapapun beratnya, Mahisa Murti tidak dapat mengelak lagi. Bersama Mahisa Pukat ia pergi ke rumah Sasi. Seperti pesan Sasi, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah diajaknya pula

Betapa Mahisa Murti berusaha menguasai perasaannya. Tidak seorang pun boleh mengetahuinya, bahwa perjumpaannya dengan Sasi itu telah membuat lukanya nyeri kembali. Hanya karena kesiapan jiwaninya yang membaja, maka Mahisa Murti dapat mengatasinya. Tetapi saat-saat yang tidak terlalu lama itu merupakan saat-saat yang menyiksanya.

Ternyata Sasi, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping sama sekali tidak melihat kesan apapun pada Mahisa Murti. Ketika Arya Kuda Cemani ikut menemuinya, maka sikap Mahisa Murti pun nampak wajar-wajar saja. Ketika kunjungan itu sudah terhitung lama, maka mereka pun telah minta diri. Mahisa Amping masih sempat mereguk minuman yang dihidangkan baginya sampai tetes yang terakhir. Namun Mahisa Murti telah minta diri pula, bahwa mungkin ia tidak akan sempat berkunjung lagi sampai saatnya ia kembali ke Padepokan Bajra Seta.

“Apa saja yang kau lakukan di sini sehingga kau tidak sempat lagi singgah?” bertanya Sasi.

Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Tetapi ia pun menjawab, “Aku masih harus melihat-lihat peralatan pertanian yang ada di pasar. Aku harus mendapatkan beberapa jenis alat yang terbaik yang dapat aku pergunakan di Padepokan Bajra Seta.”

Sasi mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, “Meskipun demikian, jika mungkin kau harus singgah lagi kakang.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Aku tinggal satu atau dua hari saja berada di Kotaraja. Aku sudah melampaui batas yang aku janjikan kepada orang-orang padepokanku. Ketika aku berangkat, aku berjanji bahwa perjalananku ke Singasari tidak akan lebih dari lima hari termasuk perjalanan berangkat dan kembali. Tetapi aku sudah lima hari berada di sini.”

“Ah, bukankah kau tidak mesti setahun sekali berkunjung ke Kotaraja?” bertanya Sasi.

“Tentu lebih dari itu. Aku sering berkunjung ke Kotaraja.” jawab Mahisa Murti.

“Jika kau datang ke Kotaraja, kau memang harus singgah” minta Sasi.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, ya Sasi. Aku tentu akan selalu singgah kemari.”

Mahisa Murti meninggalkan rumah Sasi dengan barut-barut merah di bibir luka hatinya yang sudah mulai kering. Tetapi seperti sebelumnya, secara jiwani, Mahisa Murti memang mempunyai ketahanan yang sangat tinggi.

Berempat mereka meninggalkan rumah Arya Kuda Cemani. Sasi mengantar mereka sampai ke regol halaman. Dilepasnya tamu-tamunya sampai hilang di kelok jalan. Mahisa Pukat sempat singgah sebentar di rumah ayahnya. Namun kemudian ia pun kembali ke Kesatrian, tempat ia bertugas.

“Besok aku akan menghadap Pangeran Kuda Pratama” berkata Mahisa Murti ketika Mahisa Pukat minta diri.

“Apakah kau sudah akan kembali ke Padepokan?”

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Begitu tergesa-gesa? Apakah seluruh sudut Kotaraja telah dilihat oleh Mahisa Semu dan Mahisa Amping?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum. Tetapi aku sudah terlalu lama pergi. Kau tahu bahwa aku hanya minta diri untuk lima hari termasuk perjalanannya. Sedangkan aku sudah lebih dari lima hari berada di sini.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah. Aku akan menyampaikannya kepada Pangeran Kuda Pratama.”

“Terima kasih” sahut Mahisa Murti.

Sepeninggal Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun masih berbincang cukup panjang dengan ayahnya. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Pukat duduk di serambi depan sambil bermain macanan. Bahkan setelah mereka makan malam pun mereka masih saja berbincang-bincang, sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang sudah letih bermain-main telah pergi ke pembaringan.

Di keesokan harinya Mahisa Murti, Mahisa Semu . dan Mahisa Amping telah menghadap Pangeran Kuda Pratama untuk mohon diri, karena di hari berikutnya pagi-pagi benar mereka akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.

Pangeran Kuda Pratama telah mengucapkan terima kasih atas kunjungan Mahisa Murti ke Kesatrian. Dengan nada kebapakan Pangeran Kuda Pratama itu berkata, “Aku berdoa, semoga padepokan Bajra Seta akan berkembang sesuai dengan harapanmu. Jika Mahisa Pukat ada di sini, bukan berarti bahwa ia harus terpisah dari Padepokan itu. Tetapi kelak akan nampak, bahwa Padepokan Bajra Seta adalah saudara kandung dari perkembangan ilmu di Kesatrian Singasari.”

Pada kesempatan itu, Mahisa Murti telah minta diri pula kepada para bangsawan muda yang menjadi murid Mahisa Pukat di Kesatrian itu. Bahkan Mahisa Murti pun sempat minta diri pula kepada Empu Sidikara yang akan menjadi kawan bertugas dengan Mahisa Pukat di Kesatrian.

“Besok pagi-pagi sekali aku ada di rumah” berkata Mahisa Pukat kemudian ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan Kesatrian.

Demikianlah, maka hari itu adalah hari terakhir bagi Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping berada di Kotaraja. Karena itu, maka mereka menyempatkan diri untuk pergi ke pasar membeli beberapa jenis alat-alat yang belum mereka miliki di Padepokan.

Mereka membeli beberapa jenis peralatan pertanian yang dapat mereka contoh pembuatannya untuk dapat dikembangkan di Padepokan Bajra Seta dan di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Di sore hari, mereka bertiga sengaja tidak pergi ke mana-mana. Mereka justru berbenah diri karena esok pagi-pagi sekali mereka akan meninggalkan Kotaraja.

Di malam hari, Mahisa Murti pun tidak berbincang sampai larut malam dengan ayahnya. Ketika malam memasuki masa sepi uwong, maka Mahisa Murti pun telah berada di pembaringan, sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah tidur dengan nyenyak.

Pagi-pagi benar di hari berikutnya, mereka telah siap. Pembantu di rumah Mahendra telah menyiapkan minuman dan makan pagi yang hangat. Sebelum Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan rumah Mahendra di belakang Istana Singasari, maka kepada mereka telah dihidangkan makan pagi.

Ternyata Mahisa Pukat memenuhi janjinya. Ia memang datang ke rumah ayahnya untuk melepas keberangkatan saudara-saudaranya kembali ke padepokan Bajra Seta. Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah minta diri kepada Mahendra dan Mahisa Pukat. Mumpung masih pagi, maka mereka telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta.

Mahendra masih memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Murti agar ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membina dan mengembangkan padepokan yang telah dibangunnya. Tetapi ia pun masih juga berbisik, “Tetapi kau tidak boleh tenggelam tanpa memenuhi kelengkapan kemanusiaanmu. Maksudku, kau adalah seorang laki-laki wajar yang sepantasnya mempunyai sisihan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu ayahnya bermaksud baik. Ayahnya tidak ingin melihat ia berlarut-larut hanyut dalam arus perasaannya yang terluka.

Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun telah berpacu di jalan-jalan kota. Mereka memang tidak memacu kudanya terlalu cepat. Apalagi menjelang fajar jalan-jalan mulai terisi oleh orang-orang yang pergi ke pasar.

Baru ketika mereka berada di luar gerbang kota, maka mereka mempercepat derap kuda mereka, meskipun masih harus tetap berhati-hati karena jalan-jalan pun mulai dialiri oleh orang-orang yang membawa barang-barang dagangannya ke pasar pula.

Perjalanan mereka adalah perjalanan yang segar. Matahari mulai membayangi langit dengan cahayanya yang merah kekuning-kuningan. Angin pun mulai mengusik dedaunan. Mahisa Amping seperti biasanya berada di paling depan. Kudanya berlari-lari gembira sebagaimana penunggangnya. Di belakangnya Mahisa Semu dan Mahisa Murti mengikutinya saja seberapa cepat Mahisa Amping melarikan kudanya.

Ternyata, perjalanan mereka tidak menemui hambatan. Mereka berkuda sampai matahari memanjat tinggi. Cahayanya mulai terasa panas di kulit, sehingga keringat pun mulai membasah. Ketika terik matahari bagaikan membakar kulit, maka mereka pun sempat beristirahat di sebuah kedai. Bukan saja penunggang penunggangnya yang sempat beristirahat serta minum dan makan, tetapi demikian pula kuda-kuda mereka. Setelah puas mereka makan dan minum, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka.

Memang tidak ada gangguan diperjalanan. Sementara itu, orang-orang di Padepokan Bajra Seta sudah menanti kedatangan mereka. Mahisa Murti yang meninggalkan Padepokan itu hanya untuk lima hari termasuk perjalanan, ternyata telah melampaui waktu yang direncanakan sehingga Wantilan yang bertugas di Padepokan menjadi gelisah. Apalagi karena Wantilan yang telah pernah ikut dalam pengembaraan yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Banyak persoalan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Demikian pula persoalan akan dapat timbul di perjalanan mereka ke atau dari Singasari.

Karena itu, ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping sampai di Padepokan, maka mereka pun telah disambut dengan gembira. Namun dalam pada itu, demikian mereka berada di Padepokan, Mahisa Amping langsung menuju ke sanggar. Seakan-akan anak itu ingin melihat, apakah sanggar itu masih ada di tempatnya. Demikian pula alat-alat yang ada di dalamnya.

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam, demikian ia berdiri di pintu sanggar. Dipandanginya ruang yang tidak terlalu besar, alat-alat yang sederhana dan bahan-bahan yang seadanya yang ada di sanggar itu.

Selagi Mahisa Amping merenung, maka Mahisa Semu telah berdiri di belakangnya sambil bertanya, “Apakah kau sedang memperbandingkan sanggar kita dengan sanggar di Kesatrian?”

“Ya” jawab Mahisa Amping, “tetapi aku tidak lagi bermimpi untuk memiliki sanggar seperti itu.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.

“Aku telah memiliki apa yang ada di sanggar Kesatrian itu. Karena itu, maka aku tidak lagi memerlukan sanggar yang lain.” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Semu tersenyum. Katanya, “Ya, kita sudah memiliki segala-galanya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Mahendra, apa yang ada di sanggar ini dan apa yang ada di sanggar Kesatrian, mempunyai kelebihannya masing-masing.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menyusup di sela-sela alat-alat yang ada di sanggar itu. Bahkan kemudian Mahisa Amping telah meloncat dan berdiri diatas palang bambu wulung yang menyilang di tengah-tengah sanggar. Dengan tangkasnya anak itu berloncatan dalam keseimbangan yang sangat baik.

“Kau tidak kalah tangkas dari bangsawan-bangsawan muda di Kesatrian itu” berkata Mahisa Semu. Lalu katanya, “Apalagi jika palang yang kau pergunakan itu palang kayu yang sama sekali tidak lentur. Kau tentu akan nampak semakin tangkas lagi.”

“Ah, tentu tidak. Tetapi bagaimanapun juga, kita di sini mempunyai kesempatan yang sama dengan mereka yang ada di Kesatrian” jawab Mahisa Amping.

“Bagus” Mahisa Murti lah yang menjawab sambil melangkah masuk diikuti oleh Wantilan, “perbedaan alat-alat yang kita pergunakan dan di pergunakan di Kesatrian tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menganggap wajar jika kalian tertinggal oleh saudara-saudaramu di Kesatrian?”

“Apakah mereka juga saudara-saudara kita?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Setidak-tidaknya saudara yang bersama-sama menyadap ilmu dari sumber yang sama” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Ya kakang. Aku akan berusaha sebaik-baiknya, bahwa aku tidak akan tertinggal oleh saudara-saudara kita di Kesatrian. Apalagi dengan alasan bahwa alat-alat serta sanggar kita kurang memadai dibandingkan dengan sanggar yang ada di Kesatrian itu.”

Mahisa Murti menepuk bahu Mahisa Amping sambil berkata, “Bagus. Tetapi kau tidak perlu berlatih sekarang juga. Kau perlu beristirahat. Bukankah kita masih mempunyai banyak waktu?”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara sambil tersenyum Mahisa Murti menceriterakan kepada Wantilan bahwa Mahisa Amping sempat melihat-lihat sebuah sanggar yang sangat lengkap dengan peralatan yang bagus sekali di Kesatrian Singasari.

“Tentu saja” desis Wantilan, “sanggar itu sanggar istana.”

“Tetapi ternyata bahwa kegunaannya tidak berbeda dengan alat-alat yang kita punyai di sini” berkata Mahisa Murti seakan-akan bergumam bagi diri sendiri.

Wantilan Mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, apa yang telah dilihat di Singasari telah mendorong Mahisa Amping untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Dengan mempergunakan alat yang ada di dalam sanggarnya, maka Mahisa Amping berusaha untuk membuat dirinya tidak kalah dari para bangsawan muda yang berlatih di sanggar yang lengkap di Kesatrian Singasari.

Bahkan Mahisa Amping tidak saja semakin tekun berlatih di sanggar, tetapi juga diluar sanggar. Seperti dikatakan oleh Mahendra, maka kekurangan peralatan yang ada di sanggar dapat dilengkapinya dengan peralatan yang ada di alam terbuka.

Itulah sebabnya Mahisa Amping memanfaatkan bebatuan yang berserakan di sungai. Begitu pula pasir di tepian. Mahisa Amping yang mempergunakan tepian berpasir untuk berlatih, maka rasa-rasanya ada yang memberati kakinya, sehingga dengan demikian maka beban itu akan menambah kekuatannya.

Mahisa Semu yang semula memperhatikan dorongan kemauan Mahisa Amping untuk berlatih lebih keras, ternyata ia pun telah melakukannya pula diluar sadarnya. Sehingga karena itu, maka kedua orang itu pun telah bekerja lebih keras dari saat-saat sebelumnya.

Mahisa Murti yang mengasuh mereka melihat kegiatan yang meningkat dari keduanya tanpa diperintahkannya. Karena itu, yang dilakukan oleh Mahisa Murti adalah sekedar mengarahkannya. Namun demikian, Mahisa Murti itu selalu hadir jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping melakukan latihan-latihan di tempat yang berbahaya, karena keduanya sering berada di lereng-lereng perbukitan yang meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi terjal. Bahkan sebagaimana pernah dilakukannya, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping semakin memperhatikan tingkah laku binatang-binatang liar.

Apalagi ketika Mahisa Murti justru mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat melihat sekelompok kera yang ada di pinggir hutan yang lebat. Mereka pun memperhatikan bagaimana seekor ular merunduk mangsanya. Dengan kagum mereka melihat seekor tikus tanah dengan cerdik membelakangi seekor ular yang akan menyergapnya dengan menaburkan tanah berpasir dengan kaki belakangnya ke arah mata ular itu, sehingga tikus itu terlepas dari maut.

Tetapi kadang-kadang dengan hati yang nyeri keduanya menyaksikan seekor kelinci yang tidak mampu menyelamatkan diri dari terkaman seekor burung elang yang buas. Elang yang terbang berputaran, namun yang tiba-tiba saja menukik menyambar mangsanya dengan kuku-kukunya yang tajam.

Tetapi, pada kesempatan lain, mereka melihat seekor elang yang harus melarikan diri karena merasa tidak mampu melawan seekor burung srigunting yang lebih kecil. Tetapi ternyata burung srigunting itu mampu bergerak dengan lincah dan tangkasnya. Burung srigunting itu dapat menyerang seekor elang yang bergerak lamban menurut ukuran kecepatan gerak seekor burung srigunting, dari segala arah.

Dengan memperhatikan tingkah laku binatang-binatang liar itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimilikinya dengan warna-warna baru tanpa meninggalkan watak dan sifat pokoknya.

Kebiasaan itu ternyata kadang-kadang telah membawa Mahisa Semu dan Mahisa Pukat menempuh jarak yang cukup jauh dari padepokannya. Mahisa Murti yang tidak melepaskan tanggung jawabnya, kadang-kadang telah mengikuti mereka pula. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak membiarkan mereka melupakan waktu-waktu latihan mereka di sanggar.

Namun adalah diluar pengetahuan mereka, bahwa seorang pengembara ternyata menaruh perhatian terhadap Mahisa Amping. Dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh, orang itu berusaha untuk selalu mengamati Mahisa Amping yang sering berlatih diluar sanggar. Hampir setiap hari orang itu duduk tidak terlalu jauh dari pintu gerbang sanggar Padepokan Bajra Seta. Jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping keluar dari pintu gerbang, maka tanpa setahu keduanya, orang itu telah mengikutinya kemana saja keduanya pergi. Bahkan ketika keduanya keluar bersama Mahisa Murti pun orang itu selalu mengikutinya.

Adalah satu hal yang sangat sulit dimengerti, jika orang itu mampu melepaskan diri dari tangkapan indera Mahisa Murti, bahwa orang itu selalu mengikutinya. Orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu tertarik sekali melihat ketangkasan Mahisa Amping serta perhatiannya yang bersungguh-sungguh terhadap binatang-binatang liar.

Mahisa Murti, meskipun pernah melihat orang itu, tetapi ternyata orang itu luput dari perhatiannya. Justru karena orang itu pada ujud lahiriahnya adalah seorang tua yang cacad tubuh. Tangannya tidak lengkap sebagaimana tangan orang kebanyakan. Jari-jari di sebelah tangannya tidak lengkap. Kecelakaan yang menimpanya di masa ia masih kanak-kanak telah menyebabkan empat jarinya patah. Sementara itu, wajahnya pun nampak keras dan kasar. Beberapa gores luka nampak di kening dan pipinya. Bahkan juga di dahinya. Namun justru karena itu, maka orang itu nampak seorang yang menggetarkan jantung mereka yang baru untuk pertama kali menyaksikannya.

Dengan telaten orang itu mengamati Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun ketajaman penglihatan batinnya, mengatakan kepadanya bahwa anak muda yang sering mengikuti keduanya adalah anak muda yang berilmu sangat tinggi. Ternyata orang itu berniat menunggu satu kesempatan kedua orang anak itu keluar dari Padepokan Bajra Seta tanpa anak muda yang berilmu tinggi itu.

Setelah menunggu beberapa lama, maka pada satu hari, orang itu melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping hanya berdua saja keluar dari Padepokan. Di pintu gerbang Mahisa Murti berpesan, agar mereka tidak terlalu lama pergi.

“Sebelum makan siang, kalian harus sudah berada di padepokan lagi” berkata Mahisa Murti.

“Ya, kakang. Kami tidak akan terlalu lama. Kami akan pergi ke sungai,” jawab Mahisa Semu.

Namun demikian mereka berjalan meninggalkan Padepokan, maka orang yang selalu memperhatikannya dari kejauhan itu pun mengikutinya pula. Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang pergi ke sungai. Keduanya, seperti biasanya melakukan latihan khusus. Mereka berlatih di atas sebongkah batu hitam yang licin.

Dengan kemampuan mereka menjaga keseimbangan maka mereka dengan tangkasnya berlatih saling menyerang dan bertahan. Mahisa Semu yang lebih besar dan memiliki bekal yang lebih banyak, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan Mahisa Amping.

Dari kejauhan sepasang mata memang memperhatikan kedua orang yang sedang berlatih itu. Seorang remaja yang sudah menjelang dewasa dengan seorang yang memang masih remaja.

“Luar biasa” desis orang itu, “anak itu memang luar biasa. Ia memiliki bekal yang sangat berharga untuk masa depannya sebagai seorang yang mendalami olah kanuragan. Yang lebih besar itu pun memiliki kelebihan dari yang lain. Tetapi aku hanya memerlukan satu orang saja.”

Perlahan-lahan orang itu mendekat. Wajahnya yang keras dan kasar, serta diwarnai dengan goresan-goresan bekas luka, nampak bersungguh-sungguh.

“Aku harus mendapatkannya. Ia akan dapat menjadi tempat untuk menuangkan ilmuku. Hari-hariku semakin sempit karena umurku yang merambat semakin tua.” gumam orang itu.

Untuk beberapa saat orang itu duduk di atas tanggul sambil melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping berlatih diatas sebongkah batu. Mereka berloncatan dengan cepat. Mereka melontarkan serangan-serangan dan menghindar. Namun kaki mereka seakan-akan dapat melekat pada batu hitam yang licin itu.

Orang yang ada di atas tanggul itu memperhatikan Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang masih saja berlatih. Jika sekali-sekali serangan salah seorang di antara mereka mendorong lawannya, maka salah seorang di antara mereka telah terjatuh ke dalam air. Namun dengan tangkasnya mereka segera bangkit dan meloncat kembali ke atas batu itu.

Demikianlah terjadi beberapa kali. Meskipun salah seorang di antara mereka yang terdorong oleh serangan itu merasa kesakitan, namun ada juga kegembiraannya jika yang terkena serangan itu terjatuh ke dalam air. Tubuhnya merasa segar sehingga ketika ia sudah berdiri lagi diatas batu itu, maka segera latihan itu telah berlangsung pula.

Orang yang menyaksikan latihan itu dari atas tanggul kadang-kadang menjadi tegang. Tetapi kadang-kadang ia tertawa. Namun ketika Mahisa Amping jatuh ke dalam air, namun dengan cepat ia bangkit dan mengibaskan air di tubuhnya, selanjutnya dengan cepat pula meloncat naik ke atas batu, maka orang itu tidak dapat menahan diri. Sambil bertepuk ia berkata, “Bagus, bagus sekali.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun terkejut. Latihan itu pun dengan serta merta telah terhenti. Mahisa Semu dan Mahisa Pukat segera berpaling dan memandang ke atas tanggul. Mereka pun segera melihat, diatas tanggul ada seorang yang cacat tubuh, berwajah keras dan kasar, serta terdapat beberapa gores luka di wajah itu.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi berdebar-debar melihat sorot mata orang itu yang bagaikan sorot mata kucing yang melihat dua ekor tikus kecil. Sebelum Mahisa Semu dan Mahisa Amping menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, maka orang itu pun telah meluncur turun dari atas tebing. Mahisa Semu dan Mahisa Amping mencium gelagat yang kurang baik. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri.

“Bagus sekali anak-anak” berkata orang itu, “aku kagum atas ketangkasan kalian. Aku kira anak-anak seumur kalian tidak ada yang mampu menandingi kalian dalam olah kanuragan.”

Mahisa Semu mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih. Tetapi apa yang kami lakukan sama sekali tidak berarti.”

“Tentu tidak” berkata orang itu, “kalian memiliki landasan ilmu yang mapan. Tetapi lebih dari itu, di dalam diri kalian memang tersimpan kemungkinan untuk melakukannya. Pada dasarnya tubuh kalian, bentuknya maupun ukurannya, adalah tubuh pilihan. Selain itu, bakat yang kalian miliki jarang sekali tersimpan di dalam diri orang lain. Karena itu, perpaduan antara bentuk tubuh, perbandingan ukurannya, kekuatan dasar serta bakat yang tersimpan, benar-benar hampir sempurna."

...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...

Mahisa Semu melihat keadaan Mahisa Amping itu. Jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Diluar sadarnya ia meloncat hendak menolongnya. Namun Mahisa Semu tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya, ketika tiba-tiba saja Mahisa Semu telah terlempar jatuh pula.

Tetapi Mahisa Semu masih dapat bangkit dengan cepat. Sementara itu Mahisa Amping masih saja menggeliat-geliat di dalam air. Meskipun airnya tidak terlalu dalam, tetapi dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Amping akan dapat minum air sungai itu terlalu banyak. Hal itu akan dapat membahayakan jiwanya.

Tetapi ketika Mahisa Semu akan meloncat mendekati Mahisa Amping lagi, orang itu menggeram, “Jika kau mencoba lagi, maka aku tidak akan menolongnya. Ia akan mati karena perutnya penuh dengan air sungai ini.”

Mahisa Semu memang membatalkan niatnya. Dengan cemas ia berkata, “Tolong anak itu. Angkat ia dari dalam air."

“Ia sendiri meloncat menyuruk ke dalam air itu” jawab orang yang berwajah keras itu.

“Tetapi ia tidak berniat membunuh diri” Mahisa Semu hampir berteriak.

Orang itu pun berpaling ke arah Mahisa Amping yang menjadi semakin lemah. Namun orang berwajah keras itu pun kemudian telah merunduk sambil berkata, “Jangan dekati aku.”

Mahisa Semu memang tidak berani mendekati orang itu, karena dengan demikian ia akan dapat mengancam hidup Mahisa Amping. Karena itu, Mahisa Semu hanya dapat memandangi orang itu dengan jantung yang berdebaran.

Sebenarnyalah orang itu memang menolong Mahisa Amping. Diletakkannya Mahisa Amping menelungkup di atas batu. Kemudian dengan memijit punggungnya, maka air pun keluar dari mulut anak itu.

“Anak ini minum terlalu banyak” berkata orang itu, “ini adalah salahmu karena kau mengganggu saat aku akan menolongnya.”

“Tetapi kau harus menyerahkan anak itu kepadaku” berkata Mahisa Semu.

“Sekali lagi aku katakan, bahwa anak ini akan aku bawa. Aku ingin menjadikannya muridku. Tidak seorang pun yang dapat mencegahnya” berkata orang itu.

“Tetapi kau tidak dapat membawanya begitu saja” berkata Mahisa Semu, “kau harus bertemu lebih dahulu dengan kakang Mahisa Murti di Padepokan."

“Itu tidak perlu” berkata orang itu, “kau dapat mengatakan kepada kakakmu yang kau sebut bernama Mahisa Murti itu.”

“Apakah kau takut bertemu dengan kakakku itu?” bertanya Mahisa Semu.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau memang cerdik. Kau ingin mengungkit harga diriku agar aku mau bertemu dengan kakakmu itu. Tetapi aku memang tidak merasa perlu menemuinya. Pada kesempatan lain, setelah aku menyimpan anak yang memiliki bekal yang hampir sempurna ini, aku memang akan menemui kakakmu. Jika perlu, maka aku akan membuat perhitungan. Jika kakakmu tetap tidak mau mengerti, mungkin aku akan membunuhnya, meskipun ia berilmu sangat tinggi.”

Mahisa Semu memang tidak mempunyai cara lain. Sementara itu orang itu berkata lagi, “Sudahlah. Ikhlaskan adikmu itu. Tetapi ketahuilah, bahwa kau sendiri memang memiliki kelebihan yang jarang ada duanya. Tetapi sayang bahwa aku hanya ingin mempunyai seorang murid saja.”

Orang itu tidak berkata lebih lanjut. Tetapi ia pun kemudian berjalan menepi dan kemudian naik ke tepian berpasir.

Mahisa Semu yang mengikutinya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demikian orang itu tidak lagi berada di aliran sungai, maka Mahisa Semu pun segera menyerangnya. Tetapi serangannya memang tidak ada artinya. Justru Mahisa Semu itulah yang terlempar dan jatuh di pasir tepian. Untunglah bahwa pasir tepian itu telah membantunya sehingga tulang punggungnya tidak patah karenanya.

Mahisa Semu menggeram. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun untuk beberapa saat lamanya ia mengikuti saja orang yang membawa Mahisa Amping itu naik ke atas tanggul.

“Jangan ikuti aku” berkata orang itu, “jika kau berkeras kepala, maka aku akan dapat menjadi marah.”

“Aku tidak rela kau membawa adikku” Mahisa Semu berteriak.

Tetapi orang itu berkata, “Adikmu masih sangat lemah. Ia masih pingsan. Jangan membuat adikmu justru mati.”

Mahisa Semu benar-benar kebingungan. Tetapi ia masih saja mengikuti orang itu.

Ternyata bahwa orang itu memang menjadi marah. Katanya, “Ingat anak muda, Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka aku akan menjadi sangat marah. Dan kau harus tahu, bahwa dalam kemarahan itu, aku akan dapat membunuh seseorang diluar sadarku. Karena itu menjauhlah dan jangan ikuti aku. Bahkan mungkin aku akan dapat membunuh kau dan adikmu bersama-sama.”

Mahisa Semu benar-benar menjadi kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik pohon perdu. Seorang yang berjanggut putih. Namun yang tubuhnya masih nampak segar dan perkasa.

“Orang yang berwajah keras itu terkejut melihat kedatangan orang berjanggut putih itu. Dengan nada bergetar ia bertanya, “Untuk apa kakang berada di sini?”

“Sambega, aku memang menyusulmu. Ketika aku tahu kau tidak ada di rumahmu, maka aku berusaha untuk menemukanmu.” jawab orang berjanggut putih itu.

“Untuk apa kakang Widigda. Kenapa kakang mencari aku? Bukankah aku bukan momongan kakang? Aku bukan pula bayi yang kakang lepaskan di pinggir jurang sehingga kakang harus mencari aku jika aku tidak kelihatan sehari dua hari?”

“Memang Sambega. Kau bukan momonganku. Tetapi kau adalah adikku. Adik seperguruanku. Karena itu, maka aku merasa berkepentingan jika kau tidak nampak di rumah. Apalagi dalam waktu akhir-akhir ini.” jawab orang berjanggut putih yang disebut Widigda itu.

“Sebaiknya kakang tinggalkan aku sendiri, Biarlah aku pulang sendiri pada saatnya. Aku tahu apa yang akan aku lakukan.”

“Tidak Sambega. Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Aku sudah mengira. Dan ternyata aku memang menemukan kau sedang melakukan apa yang tidak kau ketahui itu.”

“Kakang Widigda tidak usah mencampuri persoalanku. Kakang Widigda memang kakak seperguruanku. Tetapi kakang tidak dapat mencampuri persoalanku sampai ke persoalan pribadi yang paling dalam.” berkata Sambega

“Tidak Sambega. Guru pernah berpesan kepadaku, bahwa kita harus saling membantu. Saling mengingatkan jika seorang di antara kita lupa. Saling menunjukkan kesalahan jika kita melakukan kesalahan itu. Kita harus saling berkata benar, bukan saling membenarkan meskipun kita melakukan kesalahan,” jawab Widigda.

“Apa maksud kakang, aku telah melakukan kesalahan itu?” bertanya Sambega.

“Menurut penglihatanku, kau memang telah melakukan kesalahan itu. Kau tidak boleh menganggu anak-anak yang sedang bermain itu.” jawab Widigda.

“Aku tidak mengganggu mereka. Aku justru berniat baik. Aku ingin membuat anak ini menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tidak ada duanya di Singasari ini.”

“Aku puji niatmu. Tetapi apakah caramu itu sudah benar?” bertanya Widigda.

“Kakang. Aku memang tidak begitu menghiraukan cara yang aku tempuh. Tetapi karena niatku baik, maka apa yang aku lakukan ini pun baik. Hasilnya pun akan menjadi baik buat aku dan buat anak ini.” jawab Sambega.

“Tetapi apakah itu baik buat kakak-kakaknya?” bertanya Widigda.

Sambega memandang Widigda dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kakang, kenapa kakang selalu menghalangi aku jika aku mempuyai keinginan yang sebenarnya sangat bersifat pribadi? Kakang juga mencegah ketika aku ingin mengawini anak Empu Kuda Taler Waja. Sekarang kakang menghalangi aku mengambil anak yang menurut penilaianku memiliki bekal hampir sempurna ini.”

“Sambega” berkata Widigda, “jika kau tempuh jalan wajar, maka aku tidak akan pernah menghalangimu, apapun yang akan kau lakukan? Tetapi kau sering melakukan satu kerja yang merugikan orang lain. Gadis Empu Kuda Taler Waja adalah seorang gadis yang saat itu sudah dipertunangkan dengan seseorang dan bahkan hampir sampai pada saat upacara perkawinan. Tiba-tiba kau, yang sudah terhitung tua, datang untuk mengambilnya. Belum lagi jika kau bercermin dipermukaan air bagaimana ujudmu itu. Maaf, bukan maksudku untuk menunjuk cacatmu. Tetapi sebaiknya kau tahu diri. Dengan demikian maka kau tidak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain.”

“Kakang. Ketika kakang mencegah aku mengambil gadis itu, aku dapat mengerti. Aku menurut nasehat kakang. Tetapi kakang jangan mencegah aku lagi. Aku memerlukannya. Kakang tahu bahwa aku tidak mempunyai lagi anak yang dapat menyambung bukan saja namaku, tetapi juga mewarisi ilmuku. Jika aku tidak mempunyai seorang istri lagi, maka ini adalah cara yang dapat aku tempuh untuk mendapat seorang anak.”

“Tidak Sambega. Anak itu tentu ada orang tuanya setidak-tidaknya walinya. Kau tidak dapat mengambilnya begitu saja” berkata Widigda.

Wajah Sambega menjadi tegang. Sementara itu Widigda berkata, “Sambega. Kau tahu bahwa kau tidak akan dapat memaksakan kehendakmu itu jika aku melarangmu”

Sambega termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik kakang. Aku akan menemui orang tuanya atau walinya atau gurunya atau siapapun yang bertanggung jawab atas anak itu. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa anak itu akan aku ambil. Aku akan menukar dengan apa saja yang dikehendakinya”

“Jika orang itu tidak memberikannya?” bertanya Widigda

“Aku akan menawarkan kepadanya, apakah ia akan mempertahankannya” jawab Sambega.

“Bagus” mereka pun terkejut mendengar suara itu Ketika mereka berpaling, mereka melihat Mahisa Murti berdiri di sebelah sebatang pohon yang tumbuh di antara gerumbul perdu, “anak itu adalah adikku. Aku akan mempertahankannya dengan cara apapun yang kau kehendaki. Meskipun aku tahu, cara yang paling buruk yang kau tempuh itu adalah cara yang sama dengan cara yang dipergunakan oleh seorang perampok untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya.”

Sambega menjadi merah. Diletakkannya Mahisa Amping sambil menggeram, “Kau ternyata seorang laki-laki sejati. Aku senang mendengar kesediaanmu untuk mempertaruhkan kemampuanmu mempertahankan adikmu.”

“Untuk mencegah niatmu, aku memang tidak mempunyai cara lain.” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi, sebelumnya aku ingin memberikan sedikit keterangan kepadamu, kenapa aku menginginkan adikmu”

“Aku sudah mendengar Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “kau memerlukan seseorang untuk mewarisi ilmumu. Tetapi kau sudah diperingatkan oleh saudara seperguruanmu sendiri, bahwa cara yang kau tempuh itu adalah keliru.”

“Ki Sanak” jawab Sambega, “aku memang tidak dapat menempuh jalan lain. Jika aku datang kepadamu dan minta agar kau memberikan adikmu tentu kau berkeberatan. Sementara itu, aku sangat memerlukannya.”

“Apakah tidak ada orang lain dibawah hamparan langit yang demikian luasnya itu selain adikku?” bertanya Mahisa Murti.

“Adikmu adalah seorang anak yang memiliki bekal yang hampir sempurna. Sebenarnyalah aku belum pernah bertemu dengan seorang anak yang memiliki bekal seperti anak ini.” jawab Sambega.

“Apakah jika demikian kau merasa berhak untuk mengambilnya?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menunduk dalam-dalam. Sementara Widigda berkata, “Sudahlah Sambega. Marilah kita pulang. Aku akan membantumu mendapatkan seorang anak yang akan dapat menjadi pewaris dari namamu dan ilmumu.”

Sambega terduduk di atas seonggok batu padas. Sementara Mahisa Murti melangkah mendekati Mahisa Amping yang mulai menggeliat bangkit. Demikian pula Mahisa Semu. Ia pun segera berlari mendekati adiknya. Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang kebingungan. Namun ketika dilihatnya Mahisa Murti dan Mahisa Semu, maka ia pun langsung bangkit berdiri. Ketika Mahisa Amping berpaling ke arah Sambega yang duduk di atas batu-batu padas, maka dilihatnya erang itu mengusap matanya yang basah.

“Sudahlah” berkata Widigda, “kau adalah seorang laki-laki yang berilmu tinggi. Kau juga mempunyai kesiapan jiwani yang tinggi. Karena itu tidak pantas jika kau menangis seperti kanak-kanak.”

Orang itu masih saja tertunduk dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti menjadi heran melihat keadaan Sambega itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Mahisa Murti.

Widigda pun kemudian duduk pula di atas batu padas. Katanya kepada Mahisa Murti, “Duduklah anak muda.”

Mahisa Murti tidak menolak. Ia melihat kesungguhan pada mata orang yang bernama Widigda itu. Menurut pembicaraannya dengan Sambega sebelumnya, ia pun berpendapat, bahwa Widigda adalah seorang yang baik.

“Anak muda” berkata Wididga, “akulah yang minta maaf kepadamu atas tingkah laku adikku.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya, “Jika ia mengurungkan niatnya, maka aku memaafkannya, Ki Sanak.”

“Aku harap ia memang mengurungkan niatnya” jawab Widigda.

“Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi atas Ki Sanak itu?” bertanya Mahisa Murti. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berkata, “Tentu hal ini bukan urusanku. Tetapi karena persoalannya menyinggung adikku, maka mungkin ada baiknya aku mengetahuinya. Itu pun jika yang berkepentingan tidak berkeberatan.”

Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah anak muda. Aku kira adikku tidak berkeberatan. Ia memang perlu menjelaskan, kenapa ia telah berbuat demikian.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara Widigda berkata selanjutnya, “Anak muda. Adikku yang sudah lewat separuh baya itu pada suatu hari memang mengalami peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya. Rumahnya didatangi oleh empat orang yang berilmu tinggi yang mendendamnya karena beberapa tahun yang lalu pernah dikalahkan oleh adikku dalam perang tanding. Adikku memang tidak sampai hati membunuhnya meskipun perang tanding itu disepakati bahwa seorang di antara mereka harus mati. Tetapi hal itu ternyata telah membawa ekor yang panjang,” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya” Perang tanding itu sendiri disebabkan karena persoalan yang sebenarnya sudah lama terjadi. Orang yang mendendam terhadap adikku itu adalah saudara seperguruan kami sendiri. Tetapi persoalan anak perempuan guru kami telah membuat hubungan mereka menjadi retak. Dan bahkan saling bermusuhan. Ternyata Sambega lah yang mendapat kehormatan, diterima baik oleh guru maupun oleh anak gadisnya.” suara Widigda itu pun tertahan. Namun kemudian ia memaksa diri untuk berceritera lebih lanjut, “bahwa Sambega tidak membunuh lawannya berperang tanding itu telah mengundang bencana. Orang itu justru datang dengan tiga orang kawannya. Mereka menghancurkan rumah Sambega. Melukai Sambega sehingga wajahnya menjadi cacat. Isterinya yang setia dan anaknya satu-satunya terbunuh.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Widigda masih berkata selanjutnya, “Tetapi bukan cacat tangannya. Cacat tangannya dideritanya sejak kanak-kanak. Namun cacat yang lain didapatnya saat ia bertahan terhadap keempat orang berilmu tinggi itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil diluar sadarnya. Ketika ia berpaling kepada orang yang cacat itu, maka sekali lagi ia melihat orang itu mengusap matanya.

“Peristiwa itu telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan Sambega yang pada saat itu juga sudah disangka mati. Namun ternyata bahwa ia masih dapat bertahan hidup. Aku menyesal bahwa aku terlambat datang. Meskipun demikian aku sempat mengobati luka-luka Sambega. Bukan saja luka pada kulit dan dagingnya, atau tulang-tulangnya. Tetapi juga bagian dalam tubuhnya.”

Orang itu terdiam pula. Wajahnya juga nampak menjadi muram. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Pada dasarnya Sambega bukan orang yang berwatak buruk. Ia kehilangan isteri dan anaknya satu-satunya. Itulah sebabnya, maka ia sangat merindukan seorang anak yang akan dapat menyambung namanya dan mewarisi ilmunya. Goncangan perasaan yang pernah dialaminya kadang-kadang telah membuatnya kehilangan keseimbangan dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya sebagaimana baru saja dilakukan.”

Mahisa Murti masih saja mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Widigda masih berceritera selanjutnya, “Bahkan ia juga pernah berniat mengambil seorang gadis yang sudah dekat dengan hari perkawinannya. Ia tiba-tiba saja menjadi sangat rindu kepada isterinya yang terbunuh bersama anaknya. Adalah kebetulan bahwa wajah gadis itu sangat mirip dengan isterinya.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun kemudian berdesis, “Aku minta maaf Ki Sanak. Aku tidak tahu latar belakang kehidupan Ki Sambega. Yang aku lihat hanyalah ujud lahiriahnya saja. Keras, kasar dan cacat-cacat diwajahnya dan bahkan jari-jari tangannya. Aku mengira bahwa Ki Sambega adalah seorang penjahat yang sudah terlalu sering mengalami benturan kekerasan sehingga wajahnya menjadi cacat sebagaimana tubuhnya.”

“Kau tidak bersalah anak muda” jawab Widigda, “bahkan aku merasa sangat hormat akan sikapmu. Demikian besar perlindungan yang kau berikan terhadap adik-adikmu sehingga tanpa menghitung akibat yang dapat terjadi.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Aku adalah saudara yang tertua. Bukankah aku bertanggung jawab terhadap keselamatan adik-adikku?” sahut Mahisa Murti.

“Baiklah Ki Sanak” berkata Widigda, “kami serahkan kembali adikmu dalam keadaan selamat.”

“Terima kasih. Aku minta maaf, bahwa dalam hal ini aku tidak dapat membantu Ki Sambega” sahut Mahisa Murti. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika Ki Sanak berdua berkenan, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk singgah di Padepokan kami. Padepokan Bajra Seta.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang kemudian menjawab adalah Widigda, “baiklah Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih bahwa kami diijinkan untuk singgah di Padepokan Ki Sanak.”

Demikianlah, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Mahisa Amping memang masih nampak lemah. Tetapi ia dapat berjalan sendiri meskipun harus dipapah oleh Mahisa Semu.

Ketika mereka sampai di padepokan, maka beberapa orang cantrik terkejut melihat keadaan Mahisa Amping. Wantilan yang tergesa-gesa mendekatinya bertanya dengan serta merta, “Mahisa Semu. Kau apakan adikmu? Apakah kau tidak dapat menahan diri selama kau berlatih dengan adikmu?”

“Tidak, paman. Bukan aku” jawab Mahisa Semu.

“Jadi kenapa dengan adikmu itu?” desak Wantilan.

Mahisa Semu memandang Mahisa Murti dengan ragu. Namun Mahisa Murti yang tanggap itu pun tersenyum. Katanya, “Salah Amping sendiri. Ia kurang berhati-hati bermain di atas bebatuan sungai.”

Wantilan mengerutkan dahinya. Tetapi ia melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih basah kuyup. Namun Wantilan tidak bertanya lagi.

Namun dalam pada itu, Sambega melihat betapa orang-orang Padepokan Bajra Seta menaruh perhatian yang sangat besar terhadap Mahisa Amping. Seandainya ia berhasil membawa anak itu pergi, maka seisi Padepokan akan merasa kehilangan. Semuanya akan merasa bersedih.

“Untunglah aku tidak berhasil membawanya pergi. Seandainya aku memaksa membawa anak itu, maka aku telah membuat seluruh isi padepokan ini bersedih. Atau mungkin mereka akan disebar untuk mencari dan memburu orang yang telah membawanya, sehingga hidupnya akan menjadi semakin tidak tenang.”

Justru karena Mahisa Amping telah berada di lingkungannya kembali, maka rasa-rasanya hati Sambega menjadi damai. Tidak ada beban yang harus dipikulnya lagi.

Di Padepokan, Sambega dan Widigda mendapat perlakuan yang sangat baik. Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping tidak mengatakan kepada siapapun, apa yang sudah dilakukan oleh Sambega. Kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah dipesan oleh Mahisa Murti, bahwa selama Sambega dan Widigda masih berada di Padepokan, sebaiknya mereka tidak menyebut lagi apa yang pernah mereka lakukan atas Mahisa Amping itu.

Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan Widigda sempat bertanya, “Anak muda, jika angger tidak berkeberatan, aku ingin bertanya, apakah ada hubungannya antara Padepokan Bajra Seta ini dengan jalur ilmu Bajra Geni?”

“Mahisa Murti memang agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Ki Widigda, darimana Ki Widigda dapat menduga demikian?”

“Hanya sekedar dugaan ngger. Ketika aku sempat melihat kedua adikmu berlatih sebelum Sambega mengganggunya, aku melihat unsur-unsur ilmu betapapun samarnya dari ilmu Bajra Geni.”

“Pada kedua anak-anak itu?” Mahisa Murti menegaskan.

“Ya, pada kedua orang anak itu” jawab Widigda.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Nampaknya Ki Widigda memahami benar-benar ilmu Bajra Geni atau dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni.”

“Kau benar anak muda. Yang aku maksud adalah dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni” jawab Widigda.

“Landasan ilmuku memang dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni meskipun barangkali masih belum matang. Kedua adikku itu belajar padaku, sehingga dasar-dasar landasan ilmu itu telah diwarisinya pula.” jawab Mahisa Murti.

Ki Widigda tersenyum. Katanya, “Kedua anak itu memiliki dasar-dasar landasan ilmu yang sangat kokoh. Dengan mengamati keduanya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa orang yang telah mengajari mereka dalam olah kanuragan, adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ki Widigda terlalu memuji. Sebenarnyalah bahwa aku masih sedang berusaha untuk meningkatkan dan mematangkan ilmuku, agar dapat menempatkan diri pada tataran orang-orang berilmu. Meskipun barangkali pada tataran yang paling rendah.”

“Kau memang seorang anak muda yang rendah hati” berkata Widigda, “tetapi dengan demikian maka aku menjadi semakin yakin akan kemampuanmu” Widigda berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, “Sebenarnyalah aku mengenal orang-orang berilmu tinggi dari belahan ilmu Bajra Geni. Guruku mengenal seorang yang berilmu sangat tinggi. Namanya Witantra. Meskipun Witantra masih lebih muda dari guruku, tetapi ilmunya benar-benar tidak tertandingi.”

“Paman Witantra” desis Mahisa Murti diluar sadarnya.

“Kau tentu mengenalnya” desis Widigda.

“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “sekarang paman Witantra sudah tidak ada lagi.”

“Aku sudah mendengar. Tetapi apa hubungannya dengan kau anak muda. Apakah Witantra itu kakek gurumu atau siapa?” bertanya Widigda.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Ayahku Mahendra adalah adik seperguruan paman Witantra”

“O” orang itu mengangguk-angguk, “jadi kau anak adik seperguruan Witantra?”

“Ya” jawab Mahisa Murti.

“Pantas, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi” desis Widigda. Lalu katanya pula, “Adik seperguruan Witantra tentu seorang yang berilmu sangat tinggi pula.”

“Tidak” jawab Mahisa Murti, “ayahku bukan seorang yang berilmu tinggi sebagaimana paman Witantra. Apalagi aku dan adik-adikku.”

Widigda mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Sambega, maka dilihatnya Sambega selalu menundukkan wajahnya saja. “Sambega” berkata Widigda, “kau tidak perlu murung. Anak muda ini berdiri di jalur perguruan yang sudah kita kenal. Guru kita mengenal Witantra juga Mahendra. Karena itu, maka kita tidak berada di tempat orang asing.”

Sambega mengangguk kecil. Katanya, “Justru aku berada di sini, aku merasa sangat malu.”

“Tidak. Semuanya sudah dilupakan.” berkata Widigda.

Namun Sambega masih saja merasa rendah diri atas tingkah lakunya. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa Mahisa Murti adalah anak Mahendra yang dikenal oleh gurunya. Bahkan gurunya merasa kagum akan ilmu yang dimiliki oleh Witantra dan Mahendra saat itu sepeninggal Kebo Ijo, yang dibunuh oleh ketamakannya sendiri.

Sementara itu Mahisa Murti berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Karena itu, maka ia pun telah bertanya, “Ki Sanak. Jika demikian, apakah guru Ki Sanak itu masih ada?”

“Tidak. Guruku lebih tua dari Witantra. Ia telah meninggal lebih dahulu. Sebagaimana kau lihat, kami murid-muridnya pun sudah setua ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, Widigda pun masih saja bertanya tentang berbagai macam persoalan, terutama yang menyangkut Padepokan itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti pun bersikap lebih akrab ketika ia mengetahui bahwa keduanya itu telah mengenal Witantra dan juga ayahnya, setidak-tidaknya nama Mahendra. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menawarkan kepada mereka untuk tinggal lebih lama lagi di Padepokan itu. Keduanya memang tidak menolak. Widigda dan Sambega justru merasa berterima kasih sekali, bahwa mereka mendapat kesempatan untuk tinggal di Padepokan itu.

Dalam pada itu, Sambega masih saja sangat tertarik kepada latihan-latihan yang dilakukan oleh Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Hampir setiap saat Sambega selalu menunggui anak-anak itu berlatih. Namun agaknya Mahisa Amping sendiri masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan menghadapi Sambega. Rasa-rasanya Sambega masih saja akan menerkamnya dan membawanya lari keluar Padepokan Bajra Seta.

Tetapi ketika hal itu disampaikannya kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Kau tidak perlu takut lagi Amping. Orang itu ternyata bukan orang jahat. Tetapi penderitaan yang dialaminya yang telah membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Juga atas keinginan-keinginannya untuk menutupi kegelisahannya.”

“Bagaimana jika kehilangan kendali itu terjadi lagi dengan tiba-tiba?” bertanya Mahisa Amping.

“Saudara seperguruannya ada di sini. Ki Widigda mempunyai pengaruh yang cukup besar atas Ki Sambega” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk mengerti. Tetapi jika di dalam sanggar ia melihat sepasang mata Ki Sambega yang bagaikan menyala, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia tidak mampu memusatkan nalar budinya dalam latihan-latihan itu.

Tetapi lambat laun agaknya Ki Sambega sendiri dapat mengerti perasaan anak itu. Tetapi karena ia selalu ingin menyaksikan Mahisa Amping dan Mahisa Semu berlatih, maka setiap kali ia minta Ki Widigda atau bahkan Mahisa Murti sendiri menemaninya, sehingga hati Mahisa Amping merasa tenang. Dengan demikian maka latihan-latihan yang dilakukannya pun menjadi lebih baik.

Dengan demikian maka rasa-rasanya Ki Sambega semakin kerasan tinggal di padepokan itu. Rasa-rasanya ia mendapat kesempatan untuk dapat menunggui lagi anaknya yang pernah hilang. Tetapi yang tidak terduga-duga itu telah terjadi.

Ternyata saudara seperguruannya yang pernah datang dan membunuh isteri dan anaknya itu telah mencarinya. Bahkan akhirnya mereka mengetahui bahwa Ki Sambega ada di Padepokan Bajra Seta. Untuk beberapa hari lamanya, orang itu mengamati dari kejauhan, apakah benar Ki Sambega ada di Padepokan itu.

Sebenarnyalah, bahwa pada satu hari mereka memang melihat Ki Sambega itu berada di luar pintu gerbang Padepokan Bajra Seta bersama Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan dan beberapa orang cantrik. Mereka sedang menghirup udara yang cerah di sore hari sekaligus menerima kunjungan beberapa orang anak muda dari padukuhan sebelah yang sedang mempersiapkan keramaian di padukuhan mereka. Mereka ingin mempergelarkan kemampuan beberapa orang anak muda padukuhan yang serba sedikit menguasai unsur-unsur gerak latihan dasar olah kanuragan.

“Tentu saja sekedar bermain-main” berkata anak muda yang tertua di antara mereka. Lalu katanya, “Kami ingin mendapat beberapa petunjuk, apa yang sebaiknya kami lakukan untuk rencana itu. Kami tidak ingin terjadi salah paham, seakan-akan kami dengan sengaja memamerkan kemampuan yang baru setitik itu.”

Wantilan tersenyum. Katanya, “Satu rencana yang baik. Jika kalian menyelenggarakan pergelaran itu dengan niat yang baik, maka tentu tidak akan ada yang menuduh kalian sekedar menyombongkan diri.”

“Sementara itu, apa yang sepantasnya menjadi bahan pergelaran itu pun ingin kami dapatkan dari mereka yang memiliki kemampuan yang cukup.” berkata anak muda itu.

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kalian sudah cukup berhati-hati. Baiklah kalian bertemu langsung dengan Mahisa Murti.”

Anak muda yang tertua di antara mereka itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “ Terima kasih atas kesempatan itu.”

Kepada Mahisa Semu, Wantilan berkata, “Ajak mereka menemui kakakmu jika ia tidak sedang sibuk.”

Sementara mereka memasuki gerbang Padepokan Bajra Seta, maka Sambega pun berkata, “Tentu akan menjadi tontonan yang menarik. Aku ingin melihat bagaimana anak-anak itu melaksanakan rencananya. Mungkin di antara mereka ada anak-anak yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”

Wantilan yang mengetahui bahwa Ki Sambega itu merindukan seorang anak, maka ia pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Jika saja kau dapat menunggunya.”

“Aku tidak mempunyai rencana yang harus segera aku lakukan. Jika saja aku masih diperkenankan berada di Padepokan ini, maka aku akan menunggu.”

“Tentu. Padepokan ini tidak mempunyai keberatan apapun seandainya kau akan tinggal di sini lebih lama lagi.”

Untuk beberapa lamanya, Sambega masih berada di depan pintu gerbang bersama Wantilan dan beberapa orang cantrik. Namun kemudian mereka pun telah masuk pula melalui regol yang kemudian ditutup.

Beberapa orang di kejauhan melihat, bahwa Sambega benar-benar berada di Padepokan itu. Mereka telah melihat sendiri sehingga dengan demikian mereka tidak akan ragu-ragu lagi.

“Kita akan menemui pemimpin dari Padepokan kecil ini.” berkata salah seorang dari mereka.

“Bukan sebuah padepokan kecil” berkata seorang yang lain, “nampaknya sebuah padepokan yang besar.”

“Yang besar adalah bangunan dan barak-baraknya. Tetapi aku tidak yakin, bahwa ada seorang di antara mereka yang berilmu tinggi. Agaknya Sambega telah dikagumi, sehingga ia akan mempunyai pengaruh yang sangat besar di padepokan itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu saudara seperguruan Sambega itu berkata, “Aku akan memasuki padepokan itu. Aku akan minta agar Sambega diberikan kepadaku. Kali ini umurnya tidak akan terlepas lagi dari tanganku.”

“Iblis itu termasuk licin. Ternyata ia masih dapat bertahan hidup.” berkata kawannya.

“Ia memang licik. Ia dapat berpura-pura mati.” sahut adik seperguruannya, “jika saja saat itu aku tahu bahwa ia masih hidup. Aku tentu akan mencincangnya menjadi sayatan-sayatan kecil.”

“Tetapi hidupnya tentu sudah tidak berarti lagi setelah isteri dan anaknya terbunuh.” gumam kawannya.

“Perempuan terkutuk. Jika saja ia memilih aku untuk menjadi isterinya, maka ia akan menjadi seorang perempuan yang memiliki apa saja yang ia inginkan. Tetapi karena ia memilih menjadi isteri Sambega, maka ia mengalami nasib buruk. Mati dalam keadaan yang tidak sepantasnya.”

Kawannya tidak menyahut. Sementara itu saudara seperguruan Sambega berkata, “Besok kita masuki padepokan itu. Kita akan minta agar Sambega diberikan kepada kita, atau padepokan itu akan menjadi debu. Kita bukan saja berempat sebagaimana kita datang ke rumahnya dan membunuhnya bersama anak isterinya, meskipun kemudian ternyata bahwa ia luput dari maut. Sekarang kita berjumlah sepuluh orang. Padepokan itu akan kita hancurkan jika mereka menolak memberikan Sambega.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka merasa sebagai orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka akan mampu menaklukkan padepokan itu meskipun mereka tahu bahwa di padepokan itu terdapat banyak para cantrik yang tinggal.

“Dengan membunuh sepuluh atau dua puluh orang, maka yang lain tentu akan menyerah” berkata saudara seperguruan Sambega itu. Sedangkan orang-orang itu menganggap bahwa membunuh sepuluh atau dua puluh orang bukanlah pekerjaan yang sulit bagi mereka.

Namun ketika malam tiba, orang-orang itu masih menunggu. Meskipun demikian bergantian mereka mengawasi regol padepokan itu agar Sambega tidak sempat meninggalkan padepokan itu.

“Besok pagi-pagi aku akan memasuki padepokan itu” berkata saudara seperguruan Sambega.

Malam itu tidak terjadi sesuatu di padepokan. Anak-anak muda dari padukuhan sebelah telah pulang dengan bekal petunjuk dari Mahisa Murti, apa yang sebaiknya mereka lakukan jika mereka ingin mempergelarkan unsur-unsur olah kanuragan. Mahisa Murti mengingatkan kepada mereka, agar unsur-unsur itu dipertunjukkan sebagaimana mereka mempertunjukkan sebuah tarian.

Seperti direncanakan, maka ketika matahari mulai memanjat naik, maka sepuluh orang yang merasa dirinya berilmu tinggi telah mendatangi Padepokan Bajra Seta. Dengan sikap yang garang, mereka mendekati pintu gerbang Padepokan.

Para cantrik yang bertugas di regol telah menyapa mereka sambil mengangguk hormat. Namun saudara seperguruan Sambega dengan kepala tengadah menjawab, “He, bawa aku kepada Sambega.”

Seorang cantrik yang tertua di antara mereka yang bertugas mengerutkan dahinya. Ia merasa heran melihat sikap orang-orang itu. Para cantrik di regol telah menangguk hormat. Mereka bertanya dengan baik, apakah mereka mempunyai satu kepentingan atau ingin bertemu atau berbicara dengan siapa. Tetapi jawaban orang itu ternyata terlalu kasar.

Meskipun demikian cantrik-cantrik itu masih menahan diri. Yang tertua di antara mereka bertanya pula, “Apa yang sebenarnya kalian kehendaki?”

“He, apakah kau tuli? Bawa Sambega kepadaku” bentak orang itu dengan kasar.

Cantrik yang sedang bertugas itu mulai tersinggung. Karena itu, maka yang tertua di antara mereka menjawab, “Ki Sanak. Ki Sanak tamu di padepokan ini. Kalian tidak dapat bersikap seperti itu.”

“Tutup mulutmu atau aku pilin lidahmu. Dengar, bawa Sambega kemari. Kau tidak dapat berbohong, karena aku melihat Sambega ada di sini.” bentak orang itu.

Namun cantrik yang bertugas dan merasa bertanggung jawab itu tidak begitu saja tunduk kepada orang itu betapapun orang itu nampak garang, keras dan kasar. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti yang sudah mendapat laporan tentang kedatangan sepuluh orang itu pun telah melangkah ke pintu gerbang diikuti oleh Wantilan dan Mahisa Semu serta beberapa cantrik tertua di Padepokan itu.

Saudara seperguruan Sambega itu memandang Mahisa Murti dengan kening yang berkerut. Anak muda itu nampak begitu yakin akan sikapnya. Tanpa ragu-ragu Mahisa Murti melangkah mendekati orang-orang yang mendatangi padepokannya itu.

“Apa yang kalian cari Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku tidak akan mengulangi beberapa kali. Bawa Sambega kemari” jawab saudara seperguruan Sambega itu.

“Apakah kalian ingin bertemu dengan Ki Sambega?” bertanya Mahisa Murti.

“Apakah kau tuli?” orang itu membentak keras-keras.

Sambega dan Widigda ternyata mendengar keributan di pintu gerbang. Dari bangunan induk mereka melihat bahwa yang datang itu adalah saudara seperguruan mereka dengan beberapa orang kawannya.

...Ada bagian cerita yang hilang di buku aslinya...

Wajah Widigda menjadi merah. Ia pun kemudian melangkah maju dan berdiri di sebelah Sambega, “Aku tidak dapat menerima kenyataan ini. Lengkara, jika kau memang berbuat licik seperti itu, maka aku akan bertempur di pihak Sambega. Meskipun kau bersama dengan sepuluh orang berilmu tinggi, namun kami tidak akan gentar. Jika kami memang harus mati, maka biarlah kematian kami merupakan kematian seorang laki-laki.”

“Kakang Widigda” geram Lengkara, “aku sudah memperingatkanmu. Aku dan kau tidak mempunyai persoalan selain karena kau sudah membantu penyembuhan Sambega. Tetapi itu sudah aku maafkan. Tetapi jika kau sekarang masih akan membantu Sambega lagi, maka jika kau mati sekarang pula, itu bukan salahku.”

“Kau tidak perlu merasa bersalah. Kita sudah turun di arena pertempuran. Maka kematian adalah akibat yang wajar yang dapat terjadi atas mereka yang sedang bertempur"

Lengkara menggeretakkan giginya. Katanya, “Jika itu yang kau kehendaki, maka baiklah. Kita akan menunjukkan, siapakah di antara kita yang akan berhasil membunuh lawan.”

“Membunuh dengan cara yang licik, bukan satu kebanggaan Lengkara.” berkata Widigda.

“Aku memang tidak sedang membanggakan diri. Yang penting bagiku adalah membunuh Sambega dengan cara apapun juga. Jika dalam hal ini kau juga terbunuh meskipun aku sudah memberimu peringatan berulang kali, maka kau sendirilah yang membunuh dirimu sendiri.” sahut Lengkara.

Namun dalam pada itu, sebelum pertempuran itu mulai lagi, maka tiba-tiba Mahisa Murti telah melangkah maju pula sambil berkata, “Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku akan meminjamkan tempat ini untuk melakukan satu perang tanding yang jujur. Karena itu, maka jika yang terjadi bukan lagi satu perang tanding yang jujur, maka aku sangat berkeberatan untuk memberikan tempatku ini sebagai ajang pertempuran yang licik dan curang.”

“Setan kau” teriak Lengkara, “kau berani mencampuri persoalan ini? He, siapakah yang kau maksud dengan licik dan curang itu?”

“Jadi kau masih bertanya, siapakah yang licik dan curang?” justru Mahisa Murti telah bertanya pula.

“Jawab, atau kau juga akan mati dan padepokanmu akan menjadi padepokan kami.” geram Lengkara.

“Baik. Aku akan menjawab” nada suara Mahisa Murti menjadi berat, “Meskipun jawaban ini sudah kau ketahui. Kaulah yang licik dan curang itu.”

“Setan kau. Jadi kau benar-benar ingin melibatkan diri dengan tidak memberikan tempatmu ini sebagai ajang pertempuran ini?” bertanya Lengkara.

“Ya” jawab Mahisa Murti tegas, “aku minta kau tinggalkan tempatku ini, atau aku dan seisi padepokan ini akan mengusirmu.”

“Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui selama ini. Kau kira kau dapat mengusir aku? Kau ini siapa he? Dan aku ini siapa?”

“Aku adalah Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra Seta, sedangkan kau adalah seorang saudara seperguruan yang dengki sehingga mendendam sampai ke ubun-ubun. Kau kira bahwa dendam seperti itu akan dapat menyelesaikan persoalan? Dengar Lengkara, dendammu akan menyala sampai ke akhir batas keturunanmu jika keturunanmu kelak berpendirian seperti kau. Dendam yang tidak berkeputusan serta dendam berbalas dendam, kapan dendam itu akan berakhir sehingga keturunanmu akan mengalami hidup tenteram?”

“Diam kau tikus yang dungu. Dengar, aku tidak akan pergi. Tetapi aku akan membunuh kedua orang saudara seperguruanku yang tidak tahu diri, membunuhmu dan membunuh semua cantrikmu yang tidak mau tunduk kepadaku. Aku akan memiliki dan memimpin padepokan ini” geram Lengkara.

Mahisa Murti tidak dapat tinggal diam. Ia tahu bahwa kawan-kawan Lengkara tentu orang-orang berilmu tinggi. Tetapi ia mempunyai beberapa orang cantrik yang sudah mendapat bekal yang cukup. Sedangkan jumlahnya pun cukup banyak.

Karena itu, ketika Mahisa Murti memberikan isyarat, maka Wantilan dan Mahisa Semu segera bertindak. Mereka langsung memberikan isyarat pula kepada beberapa orang cantrik tertua yang sudah memiliki kemampuan kanuragan yang cukup untuk menyusun kelompok-kelompok kecil. Mereka pun dengan cepat mempersiapkan diri dengan senjata-senjata mereka. Terutama senjata lontar. Pisau-pisau belati dan lembing disamping pedang di lambung.

Lengkara menjadi semakin marah. Sementara Widigda berkata, “Angger Mahisa Murti. Biarlah kami mengatasi persoalan kami sendiri. Kami tidak ingin menyulitkan kedudukan angger di sini.”

“Tempat ini adalah tempat kami. Karena itu, sudah sewajarnya jika kami menentukan, apa yang sebaiknya kami lakukan,” jawab Mahisa Murti.

Widigda tidak menjawab lagi. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Mahisa Murti sebagai pemimpin Padepokan Bajra Seta. Namun Widigda pun berharap, bahwa ia tidak salah hitung, bahwa Mahisa Murti pun memiliki bekal ilmu yang memadai, sehingga akan dapat mempertahankan diri menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Demikianlah, maka kedua belah pihak itu pun segera mempersiapkan diri. Lengkara yang sudah tidak sabar lagi berteriak sekali lagi, “Cepat, kenapa kalian menghiraukan tikus-tikus dungu itu?”

...Ada bagian cerita yang hilang di buku aslinya...

Tetapi Mahisa Amping telah terlanjur berteriak. Lengkara yang sempat memandang Mahisa Amping pun mengumpat kasar. Dengan geram ia berkata, “Aku ingin mengoyak mulutmu, tikus kecil.”

Mahisa Amping memang berusaha untuk menjaga mulutnya, agar tidak menyahut lagi. Betapapun dadanya menjadi sesak, tetapi anak itu memang mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Dalam pada itu, Lengkara pun kemudian berkata kepada Sambega, “Sambega, bersiaplah untuk mati. Kita akan membuat perhitungan sekarang.”

Sambega menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah siap, Lengkara.”

Lengkara pun segera melangkah maju, sementara kawan-kawannya berdiri berkelompok. Namun mereka semuanya telah bersiap untuk berbuat sesuatu setiap saat Lengkara memberikan isyarat.

Dalam pada itu, Widigda dan Mahisa Murti berdiri di sebelah yang lain, seakan-akan mereka telah menempatkan diri pada sisi yang berlawanan. Sedangkan Wantilan, Mahisa Semu dan beberapa orang cantrik tertua telah berderet pula membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar. Sedangkan para cantrik yang lain pun agaknya tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi.

Mahisa Murti tidak melarang para cantrik menyaksikan kedua orang saudara seperguruan yang telah dibakar oleh dendam itu. Siapapun yang menang dan siapapun yang kalah, maka dendam yang membakar dua orang saudara seperguruan itu akibatnya selalu buruk. Apalagi jika harus jatuh korban di antara mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Lengkara telah mulai menyerang, sementara Sambega bergeser selangkah surut. Namun kemudian, serangan-serangan Lengkara mengalir seperti banjir bandang. Arus dendamnya benar-benar tidak terbendung lagi. Rasa-rasanya ia ingin langsung membunuh saudara seperguruannya itu. Sambega memang terdesak. Ia terkejut atas serangan-serangan yang keras dan kasar dari saudara seperguruannya itu.

Namun, dendam di dadanya juga sudah menyala. Serangan-serangan Lengkara itu seperti curahnya minyak menyiram api dendamnya itu, sehingga berkobar bagaikan menggapai langit. Sambega ternyata tidak menahan diri lagi. Yang terbayang adalah istri dan anaknya yang telah mati terbunuh. Kemudian kegilaannya sendiri saat ia hampir saja dengan paksa mengambil seorang gadis yang sudah siap untuk menikah karena wajahnya mirip dengan istrinya yang terbunuh. Juga kegilaannya untuk mengambil Mahisa Amping untuk dijadikan pengganti anaknya yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka keduanya telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat. Mereka ingin dengan cepat pula membunuh saudara seperguruannya itu.

Widigda menyaksikan pertempuran itu dengan saksama, ketika ia masih berkumpul bersama kedua orang saudara seperguruannya itu, ia tahu pasti bahwa ilmu Sambega lebih baik dari ilmu Lengkara. Namun saat itu Widigda melihat bahwa unsur-unsur gerak yang dipergunakan Lengkara sudah tidak murni lagi dari perguruan mereka. Dengan demikian, maka Widigda yakin bahwa Lengkara telah memperdalam ilmunya untuk pada suatu saat dapat membalas dendam.

Karena itu, maka Widigda sempat menjadi berdebar-debar. Sementara itu, ia masih melihat Sambega beralaskan ilmu yang agaknya masih murni. Unsur-unsur gerak yang dipergunakannya semuanya telah dikenalnya. Namun kegelisahannya pun menjadi semakin susut ketika ia melihat bahwa ilmu Sambega itu telah menjadi semakin matang. Meskipun ia tidak melengkapi ilmunya dengan ilmu dari jalur perguruan yang lain, namun Sambega selama bertahun-tahun telah meningkatkan dan mengembangkan ilmunya itu sehingga menjadi semakin meyakinkan.

Karena itu, meskipun Sambega juga mengerti bahwa ada unsur-unsur gerak yang terasa asing pada ilmu saudara seperguruannya, namun Sambega sama sekali tidak menjadi cemas. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin seru. Keduanya telah keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka dalam bayangan dendam dan kebencian.

Lengkara yang telah mewarnai ilmunya dengan jalur ilmu perguruan yang lain itu pun nampak semakin keras dan kasar. Serangan-serangannya kemudian datang seperti hentakan ombak yang menghantam tebing lautan. Berturut-turut susul menyusul. Tetapi Sambega pun sudah menjadi sekokoh batu-batu karang di pantai. Dengan kekuatan dan daya tahan yang tinggi, maka serangan-serangan Lengkara itu tidak menggoyahkan pertahanannya.

Dengan demikian, maka keduanya yang saling dendam itu telah saling menyerang dan saling bertahan. Sambega yang telah mematangkan ilmunya itu menyerang Lengkara seperti putaran angin pusaran. Namun dengan licin, Lengkara selalu berhasil keluar dari pusat putaran serangan Sambega.

Selain Widigda, maka Mahisa Murti yang juga berilmu tinggi itu memperhatikan pertempuran antara kedua orang saudara seperguruan itu dengan seksama. Mahisa Murti segera dapat melihat bahwa Lengkara telah melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur gerak dari jalur perguruan yang lain sebagaimana Mahisa Murti sendiri tidak hanya berpijak pada ilmu yang diwarisinya dari ayahnya saja.

Namun Mahisa Murti masih mengenali watak dan sifat ilmu Sambega yang bersumber dari satu perguruan, namun yang sudah ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga menjadi semakin matang. Karena itulah, maka pertempuran itu menjadi sangat mendebar-debarkan, karena tidak segera dapat diketahui, siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Namun semakin lama Lengkara sendiri semakin merasa betapa saudara seperguruannya itu telah mematangkan ilmunya. Meskipun ia telah melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur dari perguruan lain. Lengkara sendiri merasa bahwa sulit untuk mengatasi ilmu Sambega yang ternyata sudah menjadi semakin matang. Meskipun demikian, Lengkara masih mencoba mengerahkan kemampuannya. Ia bergerak semakin cepat. Kekuatannya pun seakan-akan menjadi semakin besar, sementara serangan-serangannya menjadi semakin garang.

Tetapi Sambega pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun mampu meningkatkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh Lengkara. Jika sekali-sekali Lengkara menyerang dengan mempergunakan unsur-unsur gerak yang disadapnya dari jalur perguruan lain, maka Sambega justru menunjukkan kematangan ilmunya. Unsur-unsur dari jalur perguruan lain itu tidak membuatnya menjadi kebingungan.

Lengkara justru menjadi semakin marah. Tangannya dengan garangnya menyambar-nyambar. Sekali bergerak bagaikan kapak yang siap membelah sebatang gelondong kayu yang besar. Namun jika serangan itu luput dari sasarannya, maka tangan Lengkara pun menebas mendatar. Tetapi memang tidak mudah menyentuh tubuh Sambega. Tangannya yang cacat itu pun mampu menangkis serangan-serangan yang datang beruntun dengan cepat.

Bahkan ketika tangan Lengkara menyambar keningnya, maka Sambega menangkis sambaran tangan itu hanya dengan ujung jarinya yang tinggal sebuah di satu sisi tangannya, sementara tangannya yang lain, yang mempunyai jari-jari utuh, justru menyambar lambung Lengkara.

Lengkara mengaduh kesakitan sambil meloncat surut untuk mengambil jarak. Sambega ternyata tidak memburunya. Ia berdiri tegak memandang saudara seperguruannya yang kesakitan itu. Tetapi matanya yang memancarkan api dendam itu masih saja bagaikan menyala. Ia justru menunggu agar Lengkara mengetrapkan ilmu puncaknya, sehingga ia pun akan membenturnya dengan ilmu yang sama.

Namun Sambega masih berharap bahwa kematangan ilmunya tidak akan berada dibawah kematangan ilmu Lengkara. Bahkan seandainya ilmunya tidak lebih baik dari ilmu Lengkara, namun ia yakin bahwa ilmunya tidak berada dibawah ilmu saudara seperguruannya. Jika dengan demikian maka mereka akan mati bersama, maka Sambega sama sekali tidak merasa berkeberatan. Dendamnya sudah dituangkannya, sementara sisa hidupnya tidak akan berarti apa-apa lagi.

Sementara itu Lengkara berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari Sambega. Kemarahannya memancar dari wajahnya yang bagaikan membara.

Sambega yang nampak lebih tenang dari Lengkara itu pun kemudian berkata, “Lengkara. Kita berguru pada perguruan yang sama, kita mempunyai bekal ilmu yang sama. Aku tidak tahu siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, jika kau ingin menjajagi kemampuan kita dengan mengadu ilmu puncak yang sama-sama kita pelajari dari guru yang sama, marilah. Meskipun kau sudah melengkapi ilmumu dengan ilmu dari perguruan lain, namun aku masih tetap bersiap membuat perbandingan ilmu itu.”

Jantung Lengkara menjadi semakin terbakar. Tetapi ia masih tetap menyadari bahwa ia ragu-ragu apakah ilmu puncaknya akan dapat mencapai tataran yang sama dengan Sambega. Karena itu untuk beberapa saat Lengkara justru berdiri mematung. Namun tatapan matanya yang tajam bagaikan menusuk tembus ke jantung Sambega.

Karena Lengkara tidak segera berbuat sesuatu, maka Sambega pun berkata, “Lengkara. Kenapa kau justru ter­diam? Marilah, segeralah bersiap. Kita akan membuat per­bandingan ilmu puncak kita. Bersiaplah, aku akan segera melakukannya. Demi nama baik keluargaku, demi nama isteri dan anakku yang telah kau bunuh, maka sekarang kita harus membuat perhitungan yang tuntas. Kau atau ahu akan mati. Bahkan mungkin kita akan mati bersama-sama jika ternyata tataran ilmu kita sama tinggi, sementara daya tahan kita sama-sama tidak cukup kuat untuk bertahan.”

“Iblis Kau Sambega” geram Lengkara. Tetapi Lengkara tidak segera melakukan sesuatu Ia masih saja ragu-ragu, bahwa kemampuan puncaknya akan dapat mengimbangi kemampuan puncak Sambega yang bersumber pada ilmu yang sama. Namun yang nampaknya Sambega sempat mengembangannya dan lebih mematangkannya. Namun Sambega benar-benar tidak menunggu. Ia pun mulai mempersiapkan dirinya untuk memusatkan nalar budinya.

Wajah Lengkara menjadi semakin tegang. Namun ter­nyata Lengkara tidak sejantan Sambega yang cacat itu. Dalam keadaan yang rumit itu, ia pun berteriak, “Selesaikan iblis itu.”

Sepuluh orang yang datang bersamanya itu dengan sigap­nya telah berloncatan berpencar. Demikian pula Lengkara telah meloncat berbaur dengan kawan-kawannya.

“Pengecut kau Lengkara” teriak Sambega yang menjadi sangat marah.

Bukan saja Sambega, namun Widigda pun berteriak pula, “Lengkara. Kau licik. Aku sudah mengatakan bahwa aku hanya menjadi saksi jika kalian menyelesaikan persoalan kalian dengan jujur. Tapi jika salah seorang di antara kalian tidak jujur, maka aku akan ikut campur pula.

“Aku tidak peduli” jawab Lengkara sambil berteriak pula, “Aku datang bersama sepuluh orang berilmu tinggi. Siapa yang mencoba menghalangi aku, maka aku akan membiasakannya. Karena itu kakang Widigda, jangan mencampuri persoalanku dengan Sambega yang memang sudah sewajarnya harus mati.”

Sepuluh orang kawan-kawan Lengkara itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka segera menyerang Widigda sementara Lengkara dan seorang yang lain telah menyerang Sambega. Sedangkan seorang di antara mereka telah bersiap menghadapi Mahisa Murti yang nampaknya masih sangat muda itu. Sedangkan yang lain harus menghadapi kelompok-kelompok cantrik yang dipimpin oleh Wantilan, Mahisa Semu dan beberapa orang cantrik tertua. Sementara itu, dua orang cantrik telah diminta oleh Wantilan agar menjaga Mahisa Amping.

“Anak itu tidak boleh ikut-ikutan” berkata Wantilan, “lawan-lawan yang dihadapi sekarang adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga keadaan akan sangat berbahaya baginya.”

Dengan cepat pertempuran pun telah menyala. Widigda yang harus menghadapi dua orang berilmu tinggi, memang harus mengerahkan segenap kemampuannya. Demikian pula Sambega. Ia tidak dapat melontarkan ilmu pamungkasnya, justru karena ia harus bertempur melawan dua orang bersama-sama. Namun Lengkara pun tidak juga segera mendapat kesempatan untuk melakukannya, karena berdua mereka melibat Sambega dalam pertempuran yang rapat.

Lengkara memang berniat membunuh Sambega tidak dengan ilmu pamungkasnya. Bagaimanapun juga ia masih juga ragu-ragu. Jika Sambega sempat membentur lontaran ilmunya dengan ilmu yang sama, maka ada kemungkinan lain terjadi atasnya. Meskipun seandainya kawannya dapat dengan cepat membantunya menyelesaikan Sambega, namun ia sendiri dapat mengalami kesulitan, bahkan mungkin ia tidak akan sempat melihat Sambega itu terkapar mati. Berdua Lengkara memang mampu mendesak Sambega. Betapapun Sambega mengerahkan kemampuannya, namun perlahan-lahan tetapi pasti ia mulai terdesak.

Di sisi lain, Widigda masih tetap bertahan. Kedua orang yang dihadapinya tidak memiliki bekal ilmu setinggi Lengkara. Namun bukan berarti bahwa Widigda dengan cepat mampu mengatasi lawannya, karena kedua orang lawannya itu juga berilmu tinggi. Setidak-tidaknya keduanya mampu bertahan untuk waktu yang lama.

Sementara atas pesan Lengkara sebelumnya, karena Lengkara memang menduga bahwa ada kemungkinan Widigda bersama Sambega, bahwa untuk melawan saudara-saudara seperguruannya, mereka jangan memberi kesempatan untuk dapat melepaskan ilmu pamungkasnya yang sangat berbahaya. Ternyata Lengkara dan kawan-kawannya benar-benar menemui Widigda bersama Sambega, meskipun hal itu sempat mengejutkannya.

Yang tidak dapat langsung mengetahui kemampuan lawannya adalah salah seorang di antara mereka yang bertemu dengan Mahisa Murti. Orang itu masih berusaha untuk menjajagi kemampuan anak muda yang menjadi pemimpin Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi karena orang itu sama sekali masih belum mengetahui kemampuan Mahisa Murti, maka orang itu berniat untuk mulai dari permulaan.

Namun sejak semula, sebagaimana Lengkara, orang itu menganggap betapapun tinggi ilmu anak muda itu, namun dalam kemudaannya, ilmunya tentu masih belum masak. Karena itu, maka orang itu masih belum bersungguh-sungguh menghadapi Mahisa Murti yang menyadari akan sikap lawannya itu.

Namun ternyata Mahisa Murti bersikap lain. Ia sadar, bahwa orang-orang berilmu tinggi itu akan sangat sulit dihadapi oleh para cantriknya meskipun dalam kelompok-kelompok yang sudah disusun sebaik-baiknya. Mahisa Murti tidak ingin para cantriknya menjadi korban karena persoalan orang lain.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun bertindak cepat. Ia tidak memberi waktu terlalu lama kepada lawannya. Demikian Mahisa Murti mulai, maka ia pun telah mengetrapkan ilmunya yang dapat menyusut kekuatan dan kemampuan lawannya.

Lawannya yang masih saja merendahkan Mahisa Murti sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Karena itu, maka ketika Mahisa Murti menyerangnya, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Tetapi dengan tenaganya yang besar, orang itu membentur serangan Mahisa Murti.

Mahisa Murti memang sengaja meloncat surut. Sementara lawannya sempat tertawa dan berkata, “Marilah anak muda. Nampaknya kau memang ingin bermain api. Jika kau pemimpin Padepokan ini, maka kau dan seluruh cantrikmu tidak dapat melawan aku seorang diri. Apalagi aku bersama sepuluh orang yang datang ke padepokanmu ini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah memutuskan bahwa ia harus dengan cepat mengakhiri perlawanan lawannya itu untuk segera dapat melunakkan perlawanan orang yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun segera menyerang kembali. Meskipun serangannya nampak tidak berbahaya, namun sebenarnyalah bahwa serangan itu telah dilambari dengan ilmunya yang tidak segera dapat dilihat oleh lawannya.

Beberapa saat benturan-benturan telah terjadi. Mahisa Murti menyerang dengan cepat dan beruntun. Namun lawannya dengan tangkas pula menangkis setiap serangan. Sekali-sekali ia memang menghindar. Tetapi karena ia merasa memiliki kekuatan yang sangat besar, maka orang itu memang lebih banyak menangkis serangan Mahisa Murti.

Beberapa kali terjadi benturan orang itu masih saja tertawa, karena Mahisa Murti setiap kali harus berloncatan mundur. Namun ketika serangan itu datang terus-menerus, maka lawannya itu mulai merasakan kelainan pada dirinya.

Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Kemarahannya telah membakar jantungnya. Ia memang tidak rela bahwa ada cantrik padepokannya yang jatuh menjadi korban, sedangkan persoalannya sama sekali tidak menyangkut padepokannya itu. Tetapi Mahisa Murti memang benar-benar tidak dapat membiarkan kecurangan terjadi di Padepokannya yang dilakukan oleh Lengkara dan kawan-kawannya.

Betapapun Mahisa Murti mengekang dirinya, maka ketika ia melihat seorang lagi di antara para cantriknya yang terlempar keluar dari arena pertempuran dengan darah yang memancar dari luka di dadanya, maka jantungnya memang menjadi panas.

Dengan sorot mata yang menyala Mahisa Murti memasuki arena pertempuran itu. Kepada para cantrik ia berkata, “Bergabunglah dengan kawan-kawanmu yang lain. Atasi orang-orang yang telah melanggar hak dan wewenang kita di padepokan ini. Aku akan membuat perhitungan dengan orang yang telah melukai cantrik-cantrik padepokan kita ini.”

Para cantrik itu pun segera berloncatan mundur. Namun hati mereka pun mulai berkembang ketika mereka melihat Mahisa Murti sendiri telah datang membantu mereka.

Sementara itu orang yang bertubuh raksasa itu pun dengan garangnya menggeram, “He anak muda. Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau juga ingin mengalami sebagaimana di alami oleh cantrik-cantrikmu? Mereka telah terluka parah. Bahkan mereka sekarang agaknya sudah mati.”

“Jadi kau memang sengaja membunuh Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya, kenapa?” orang itu kemudian tertawa, “bukankah kita sedang bertempur? Aku akan membunuh cantrikmu sebanyak-banyaknya. Bahkan membunuhmu karena kebodohanmu sendiri. Dan sekarang kau sudah datang untuk menyerahkan nyawamu...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 112

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 112
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

HARI itu, selagi Mahisa Pukat masih belum bertugas di Kesatrian maka di sore hari ia mengajak Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk berjalan-jalan lagi. Mereka menelusuri jalan-jalan di Kotaraja yang ramai. Namun mereka tidak singgah dan tidak pula mengunjungi siapapun.

Di hari berikutnya, maka Mahisa Pukat sudah harus bertugas lagi di Kesatrian. Karena itu, maka ia harus meninggalkan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Tetapi karena Mahisa Murti juga sudah mengenali Kotaraja itu dengan baik, maka tanpa Mahisa Pukat ia dapat mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan Kotaraja yang belum dilihat sebelumnya.

“Jika saatnya kalian kembali ke padepokan, aku harap kau memberitahukan kepadaku di Kesatrian” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Murti.

Mahisa Murti pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku kira aku tidak dapat terlalu lama di Kotaraja. Dua atau tiga hari lagi aku akan minta diri. Tetapi aku pun ingin minta diri pula kepada Pangeran Kuda Pratama.”

“Pangeran Kuda Pratama tentu akan merasa sangat senang jika kalian singgah sebelum kalian meninggalkan Kotaraja.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Sesudah minta diri pula kepada ayahnya, maka Mahisa Pukat pun telah meninggalkan rumah itu untuk pergi ke Kesatrian karena ia harus sudah mulai lagi dengan tugasnya di Kesatrian. Di Kesatrian, ia kemudian akan bekerja sama dengan Empu Sidikara yang menggantikan kedudukan saudara seperguruannya Empu Kamenjangan.

Ketika kemudian Mahisa Pukat kembali berhadapan dengan bangsawan-bangsawan muda di Kesatrian, maka ia pun teringat kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Seorang anak muda yang tangkas dan cerdas. Meskipun Mahisa Semu dan Mahisa Amping adalah anak-anak yang diketemukannya di perjalanan, namun ternyata mereka dapat menjadi tumpuan harapan masa depan.

Mahisa Pukat pun teringat, bagaimana ia bersama Mahisa Murti mengembara untuk menemukan satu dua orang yang pantas untuk mewarisi dan kemudian mengembangkan ilmu mereka, sehingga di perjalanan mereka menemukan Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan yang justru sudah lebih tua daripadanya.

“Sekarang aku berada di antara anak-anak muda dan remaja yang memiliki kesempatan terbaik di Singasari” berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.

Tetapi Mahisa Pukat belum dapat memutuskan apakah ia akan menunjuk satu dua orang yang akan dicarinya secara khusus atau tidak. Namun setiap kali ia melihat dua orang bangsawan yang masih remaja yang sejak pertama menjadi asuhannya, maka keinginan itu selalu menggelitiknya, karena kedua orang remaja itu menurut pendapat Mahisa Pukat memiliki landasan pribadi dan kewadagan yang memungkinkan. Meskipun demikian, Mahisa Pukat masih belum dapat menentukan apakah ia akan melakukannya atau tidak.

Dalam pada itu, setelah Mahisa Pukat kembali ke Kesatrian, maka Mahisa Murti sendirilah yang mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping berjalan-jalan di hari berikutnya. Mereka melihat bagian Kotaraja yang belum mereka lihat sebelumnya.

Adalah diluar kehendak Mahisa Murti ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Sasi yang sedang pergi berbelanja ke pasar. Kedua-duanya memang terkejut. Dengan serta-merta Sasi yang ada di seberang jalan berlari-lari mendekati Mahisa Murti sambil menyapanya

“Kakang Mahisa Murti. Kapan kau datang?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat wajah gadis itu, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga wajah gadis itu pernah terukir di dinding jantungnya. Hanya dengan kekuatan yang luar biasa, maka Mahisa Murti mampu mengendalikan dirinya.

Dengan denyut nadi yang bertambah cepat Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Aku datang tiga hari yang lalu, Sasi.”

“Kenapa kau tidak singgah?” desak Sasi.

“Aku masih belum akan segera kembali ke padepokan Sasi. Besok atau lusa aku akan singgah. Aku sedang menunggu kesempatan Mahisa Pukat dapat meninggalkan tugasnya barang sebentar.”

“Kau berjanji?” bertanya Sasi.

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji, Sasi.”

“Aku juga menunggu kakang Mahisa Pukat yang sudah beberapa lama tidak berkunjung ke rumah. Datanglah kalian berdua.” minta Sasi.

“Ya, ya, Sasi. Aku akan singgah sebelum aku meninggalkan Kotaraja.” jawab Mahisa Murti.

Sasi tersenyum. Kecantikan seakan-akan mekar bersama senyumnya yang jernih. Dipandanginya Mahisa Semu dan Mahisa Amping berganti-ganti. “Siapakah mereka?” bertanya Sasi.

“Keduanya adalah adikku” jawab Mahisa Murti.

“O. Jadi juga adik kakang Mahisa Pukat?” bertanya Sasi.

“Ya” jawab Mahisa Murti.

“Ajak mereka datang ke rumah” berkata Sasi yang kemudian mendekati Mahisa Amping. Sambil menepuk bahu anak itu, Sasi berkata, “Ikut bersama kakak-kakakmu. Kalian harus berkunjung ke rumahku”

Mahisa Amping tersenyum. Tetapi kepalanya justru menunduk.

“Kau dari mana Sasi?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Belanja. Ibu tidak dapat pergi berbelanja. Akulah jadinya yang pergi,” jawab Sasi. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku pulang dahulu. Ibu menunggu aku. Tetapi kau dan adik-adikmu benar-benar harus singgah di rumahku.”

“Baik, baik, Sasi.” jawab Mahisa Murti.

Sejenak kemudian, maka Sasi pun melanjutkan langkahnya Sekali ia berpaling sambil tersenyum. Dilambaikannya tangannya kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak. Namun kemudian Mahisa Murti berhasil menemukan kesadarannya kembali. Ia sudah bertekad untuk melupakan Sasi. Bahkan Mahisa Murti tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.

Tetapi tiba-tiba saja ia telah berhadapan lagi dengan Sasi. Namun justru karena itu, Mahisa Murti pun telah berusaha untuk tetap teguh pada sikapnya, karena jika tidak demikian, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk baginya dan bagi Mahisa Pukat.

Ketika mereka kemudian meninggalkan tempat itu, Mahisa Amping sempat bertanya, “Siapakah orang itu?”

Mahisa Murti mencoba untuk tersenyum. Kemudian jawabnya, “Orang itu adalah kawan kakakmu Mahisa Pukat."

“Tentu juga kawan kakang Mahisa Murti” sahut Mahisa Semu.

Mahisa Murti mengangguk kecil sambil menjawab pendek, “Ya.”

Kedua adik Mahisa Murti itu tidak bertanya lagi. Mereka pengikut saja Mahisa Murti yang berjalan menelusuri jalan-jalan di Kotaraja.

“Bukankah jalan ini menuju ke pasar?” bertanya Mahisa Amping tiba-tiba, “kemarin kita juga berjalan lewat jalan ini.”

“O” Mahisa Murti baru tersadar dari lamunannya. Dengan serta merta ia menjawab, “Ya. Tetapi kita tidak akan pergi ke pasar. Kita akan berbelok di simpang tiga itu.”

“Apa salahnya kita lewat jalan di depan pasar itu?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Namun Mahisa Semu lah yang tersenyum sambil menjawab, “Kau akan singgah di kedai itu lagi?”

“Tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar.”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Tetapi ia menggeleng. Katanya, “tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar.”

Mahisa Murti pun tersenyum. Katanya, “Kita akan singgah di kedai yang lain. Jika pemburu itu ada di situ pula, maka kita akan dapat terganggu lagi.”

“Kita justru menunjukkan bahwa kita tidak takut terganggu. Bahkan apapun yang akan mereka lakukan.” sahut Mahisa Amping.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berdesis, “Jangan Amping. Kita tidak dapat berbuat seperti itu. Seakan-akan kita sengaja memancing persoalan. Meskipun kita berdiri di pihak yang benar, tetapi jika saja persoalan yang dapat menimbulkan perselisihan itu dapat dihindari, maka sebaiknya kita menghindar. Tentu saja jika tidak harus mengorbankan keyakinan dan harga diri. Karena apapun alasannya, perselisihan bukan satu peristiwa yang patut dibanggakan.”

“Musuh tidak dicari. Tetapi jika bertemu?”

“Karena itu, lebih baik tidak bertemu bukan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berdesis, “Ya. Memang lebih baik tidak bertemu.”

Mahisa Semu pun tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Demikianlah, maka mereka pun telah mengambil jalan yang lain, sehingga mereka memang tidak menuju ke pasar. Tetapi mereka memang tidak terlalu lama berputar-putar di Kotaraja. Mereka sempat singgah di sebuah kedai untuk sekedar minum dan makan beberapa jenis makanan yang sulit dicari di padepokan. Kemudian mereka pun telah meninggalkan kedai itu dan pulang ke rumah Mahendra dibagikan belakang istana Singasari.

Ketika kemudian Mahisa Semu dan Mahisa Amping beristirahat di bawah sebatang pohon sawo kecil di saat udara terasa panas, maka Mahisa Murti pun duduk pula bersandar batangnya yang sudah cukup besar. Angin bertiup lembut mengusap wajahnya yang sedang merenung. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping bermain macanan dengan daun sawo kecik dan kerikil, maka Mahisa Murti telah merenungi dirinya sendiri.

Justru karena ia telah bertemu dengan Sasi, maka seandainya ia tidak singgah, maka rasa-rasanya kurang mapan. Sasi akan dapat berprasangka kurang baik tentang dirinya. Mungkin Sasi menganggapnya sombong, atau marah atau perasaan lain yang sekedar diduga-duganya saja.

Tetapi seandainya ia minta Mahisa Pukat untuk mengantarnya singgah, mungkin Mahisa Pukat juga dapat menangkap lain tentang ajakannya itu. Atau mungkin dan mungkin telah membuatnya menjadi gelisah. Untuk datang sendiri hanya dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping tanpa mengajak Mahisa Pukat rasa-rasanya juga kurang pantas baginya.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri melangkah ke tangga rumah ayahnya sambil berkata, “Aku akan minum dahulu. Aku merasa sangat haus.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk saja. Mereka masih bermain macanan. Tetapi demikian Mahisa Murti naik tangga rumah Mahendra, Mahisa Semu pun berdesis, “Kakang Mahisa Murti nampak menjadi gelisah.”

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa?”

“Dari mana aku tahu?” Mahisa Semu justru bertanya.

“Kenapa kau justru bertanya? Bukankah kau yang mengatakannya bahwa kakang Mahisa Murti nampak gelisah.”

“Memang akulah yang mengatakannya bahwa kakang” Mahisa Murti gelisah. Tetapi aku tidak tahu kenapa kakang Mahisa Murti itu menjadi gelisah,” jawab Mahisa Semu.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya. Kakang Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi kita tidak tahu kenapa kakang menjadi gelisah.”

Keduanya pun terdiam. Namun keduanya justru kembali memusatkan perhatian mereka kepada permainan mereka. Macanan.

Sementara itu Mahisa Murti yang gelisah mencoba untuk mengisi waktunya dengan membaca kitab yang dipinjamnya dari ayahnya. Mahendra memang mempunyai beberapa kitab yang berisi kidung yang menarik selain kitab tentang berbagai macam pengetahuan.

Mahisa Murti memang sempat melupakan kegelisahannya. Tetapi ketika ia menutup kitabnya dan melangkah turun ke halaman, ia menjadi gelisah lagi. Mahisa Murti tidak melihat lagi Mahisa Semu dan Mahisa Amping dibawah pohon sawo kecik. Namun ketika Mahisa Murti pergi ke pakiwan, dilihatnya Mahisa Semu sedang menimba air, sementara Mahisa Amping sedang mandi.

“Kita akan pergi menemui kakangmu Mahisa Pukat” berkata Mahisa Murti.

“Dimana?” bertanya keduanya hampir berbareng meskipun Mahisa Semu ada di pinggir perigi, sedangkan Mahisa Amping ada di dalam pakiwan sedang mandi.

“Sore ini” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kita akan pergi ke Kesatrian?” bertanya Mahisa Semu.

“Ya. Kita akan pergi ke Kesatrian” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping yang sedang mandi itu pun segera menyelesaikannya. Ketika kemudian Mahisa Semu masuk ke pakiwan, maka Mahisa Amping lah yang ganti menimba air untuk mengisi jambangan. Sore itu setelah Mahisa Murti mandi dan berbenah diri maka mereka pun minta diri kepada Mahendra untuk pergi ke Kesatrian menemui Mahisa Pukat.

“Mudah-mudahan ia mempunyai waktu” desis Mahisa Murti.

“Tentu” jawab Mahendra, “jika para bangsawan muda itu sedang mempelajari ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, maka Mahisa Pukat mempunyai waktu luang. Tetapi kadang-kadang ia melakukan tugasnya sebagai Pemimpin Kelompok Pelayan Dalam.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya aku melihatnya ke Kesatrian. Bukankah aku tidak dianggap menganggu oleh Pangeran Kuda Pratama.”

“Tidak. Kecuali jika kau berada di Kesatrian setiap saat.” jawab Mahendra.

Kemudian bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping mereka telah pergi ke Kesatrian untuk menemui Mahisa Pukat. Ternyata bahwa mereka telah diterima baik oleh para Pelayan Dalam yang bertugas karena sebagian dari mereka sudah mengetahui, bahwa Mahisa Murti adalah saudara kandung Mahisa Pukat, salah seorang pemimpin kelompok Pelayan Dalam di Kesatrian itu.

Apalagi mereka pun mengetahui bahwa Mahisa Murti pun pernah diterima dengan baik pula oleh Pangeran Kuda Pratama sendiri.nMahisa Pukat pun kemudian telah keluar dari sanggar untuk menemui mereka.

“Apakah kau sedang sibuk?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Bukankah memang sudah pekerjaanku? Aku sedang berada di sanggar dengan beberapa orang bangsawan muda. Mereka sedang berlatih.”

“Apakah mereka kau tinggalkan tanpa pembimbing?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku justru ingin mengajak kau serta Semu dan Amping untuk melihat-lihat sanggar di Kesatrian ini.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

“Menarik sekali” tiba-tiba Mahisa Amping menyahut, “aku ingin melihat sanggar itu.”

“Marilah” ajak Mahisa Pukat.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itu pun kemudian telah diajak Mahisa Pukat ke dalam sanggar di Kesatrian. Demikian mereka masuk, maka Mahisa Amping dan Mahisa Semu pun menjadi terheran-heran. Bahkan Mahisa Murti pun menjadi kagum pula.

Sanggar itu adalah sebuah bangunan yang cukup besar dengan kelengkapan yang sangat memadai. Semua peralatan latihan disediakan secukupnya. Hampir segala jenis senjata tersedia. Tidak hanya satu dua, tetapi beberapa untuk setiap jenis. Di salah satu bagian dari sanggar itu terdapat alat-alat untuk membentuk dan menguasai tubuh.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping berdiri termangu-mangu memandangi ruang yang sangat luas dengan peralatan yang sebagian belum pernah dilihatnya. Di dalam sanggar itu terdapat beberapa orang bangsawan muda yang sedang berlatih. Mereka adalah sebagian kecil dari anak-anak muda di Kesatrian yang sedang mempelajari salah satu unsur khusus dari ilmu yang diberikan oleh Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat sedang menuntun anak-anak muda itu mempergunakan salah satu bagian tubuhnya yang penting. Bahkan jika benar-benar dikuasainya, tidak kalah berbahayanya dari ujung-ujung senjata yang sangat runcing sekalipun. Kepada anak-anak muda itu Mahisa Pukat sedang memahami watak dan sifat jari. Kelima jari tangan dan jari-jari kaki.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang melihat alat-alat khusus yang berhubungan dengan jari itu pun mengangguk-angguk diluar sadarnya. Meskipun mereka sudah mendapat tuntunan dan penjelasan serupa, tetapi mereka tidak memiliki alat-alat sebagaimana tersedia di banjar itu.

“Duduklah” Mahisa Pukat mempersilahkan saudara-saudaranya itu untuk duduk di sebuah dingklik kayu panjang di sebelah pintu yang tertutup.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun duduk di dingklik panjang itu. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Aku akan melanjutkan latihan anak-anak muda itu.”

Mahisa Murti mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Satu pengalaman yang baik bagi Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Kesempatan menyaksikan latihan-latihan di sanggar ini akan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi mereka.”

Sementara itu bangsawan-bangsawan muda yang melihat kehadiran ketiga orang itu termangu-mangu pula. Mahisa Pukat lah yang kemudian memperkenalkan mereka kepada para bangsawan muda itu. Bangsawan yang sebaya dengan Mahisa Semu. Sedangkan dua di antara mereka sebaya dengan Mahisa Amping.

“Mereka adalah saudara-saudaraku” berkata Mahisa Pukat kepada para bangsawan muda itu, “biarlah mereka mendapat kesempatan menyaksikan kalian berlatih di sanggar ini. Sanggar yang terlalu lengkap bagi saudara-saudaraku itu.”

Bangsawan-bangsawan muda itu memang memperhatikan orang-orang yang disebut saudara-saudara Mahisa Pukat itu. Kedua orang remaja di antara mereka sempat mengangguk dan tersenyum ketika mereka saling memandang dengan Mahisa Amping. Sedang Mahisa Amping pun dengan tergesa-gesa mengangguk hormat pula.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah membawa para bangsawan muda itu untuk mulai berlatih. Mereka mempergunakan beberapa peralatan yang ada di sanggar itu, sehingga latihan-latihan itu berjalan dengan sangat baik di mata Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Bahkan kemudian, anak-anak muda itu telah melakukan latihan-latihan bersama untuk mengetrapkan kemampuan mereka menguasai beberapa macam unsur gerak yang telah mereka kuasai. Sekali-sekali Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat berdecak kagum. Sekali-sekali mereka mengangguk-angguk. Bahkan diluar sadarnya kadang-kadang Mahisa Amping telah bangkit berdiri.

Mahisa Murti sengaja membiarkannya. Namun kemudian Mahisa Amping pun telah duduk kembali dengan sendirinya pula sebagaimana ia berdiri. Mahisa Semu lah yang kemudian bertanya ketika Mahisa Amping bangkit berdiri, “Kau mau apa?”

Mahisa Amping berpaling. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil duduk. Katanya, “Jika saja di padepokan ada sanggar seperti ini.”

“Jika ada sanggar seperti ini, kau mau apa?” bertanya Mahisa Semu kemudian.

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi ia justru ganti bertanya, “Apakah kau tidak ingin memiliki sanggar seperti ini di padepokan?"

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Karena ia sudah lebih besar dari Mahisa Amping, maka Mahisa Semu dapat berpikir lebih panjang dan melihat kenyataan yang dihadapinya sehari-hari. Karena itu, maka Mahisa Semu itu pun berkata, “Kau tidak usah bermimpi selagi kau tidak tidur Amping.”

“Apakah aku bermimpi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Bermimpi tentang sebuah sanggar sebesar, seluas dan selengkap ini di Padepokan Bajra Seta.” jawab Mahisa Semu.

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menjadi diam. Ia tidak lagi setiap kali bangkit berdiri dengan wajah yang berseri-seri melihat latihan-latihan yang mendebarkan dari para bangsawan muda itu.

Sementara itu, latihan-latihan itu terus berlangsung. Anak-anak muda itu berlatih dengan bersungguh-sungguh. Namun akhirnya, Mahisa Pukat mengakhiri latihan-latihan itu. Kemudian ia mempersilahkan bangsawan-bangsawan muda itu untuk beristirahat sejenak, untuk kemudian mandi dan berbenah diri. Di malam hari mereka masih harus belajar ilmu pengetahuan yang lain dari guru yang lain pula.

Ketika para bangsawan itu sudah meninggalkan ruangan, maka Mahisa Pukat memberi kesempatan kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk mencoba peralatan yang ada di barak itu. Ternyata keduanya melakukan dengan senang hati. Apalagi Mahisa Amping. Mereka telah melihat dan mencoba bermacam-macam alat yang ada di sanggar itu. Bahkan mereka pun mencoba pula menggenggam berbagai macam senjata di tangan.

Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat, maka Mahisa Murti yang duduk di amben panjang di pinggir sanggar itu berkata seakan-akan begitu saja meluncur dari bibirnya tanpa dibebani perasaan apapun, “Mahisa Pukat, aku tadi bertemu dengan Sasi.”

“Sasi? Dimana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku sedang berjalan-jalan dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Di jalan yang menuju ke pasar kami bertemu dengan Sasi yang agaknya baru pulang dari pasar. Katanya, ibunya tidak dapat berbelanja. Karena itu, maka Sasi lah yang pergi ke pasar untuk berbelanja.”

“O, sudah beberapa waktu aku tidak mengunjunginya.” desis Mahisa Pukat.

“Sasi minta aku singgah. Tetapi hari sudah agak siang. Sasi tentu akan sibuk di dapur.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Sasi memang senang berada di dapur. Ibunya memang mengajarinya seperti itu.”

“Bukankah itu bagus?” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata selanjutnya, “Kapan kau akan berkunjung? Aku akan ikut bersamamu. Rasanya tidak enak untuk tidak singgah barang sejenak, justru setelah aku bertemu dengan gadis itu di jalan. Dengan demikian ia mengetahui bahwa aku ada di sini.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Nampaknya ia sedang memperhitungkan kesempatan untuk dapat mengunjungi Sasi. “Baiklah” berkata Mahisa Pukat, “besok kita akan pergi ke rumah Sasi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku besok tidak membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping keluar. Bukankah maksudmu besok sore?”

“Ya. Besok sore aku akan berusaha untuk dapat meninggalkan tugasku barang sebentar.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Itulah sebenarnya kepentingannya datang mengunjungi Mahisa Pukat. Namun sementara ia menyampaikan maksudnya, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat melihat sebuah sanggar milik istana Singasari yang disediakan bagi para bangsawan muda.

Tetapi sanggar itu bukan satu-satunya sanggar. Mahisa Pukat menceritakan bahwa masih ada lagi satu sanggar di Kesatrian. Lebih besar, lebih luas dan lebih lengkap dari sanggar itu. Sanggar yang diperuntukkan bagi para bangsawan yang sudah dewasa penuh. Bahkan mereka yang sudah berkeluarga pun masih juga mempergunakan sanggar itu.

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sebenarnya ingin juga melihat sanggar itu. Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Aku tidak bertugas di Kesatrian di sisi kanan. Kesatrian bagi para bangsawan yang sudah dewasa penuh yang berada di bawah bimbingan guru yang lain. Meskipun mereka masih juga berada di Kesatrian, tetapi seakan-akan terdapat batas di antara kedua Kesatrian itu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Pukat memang agak menjadi kecewa. Tetapi bahwa mereka mendapat kesempatan melihat sanggar di Kesatrian itu, sudah merupakan satu kesempatan yang sangat berharga.

Demikianlah setelah beberapa saat lamanya mereka berada di Kesatrian, maka Mahisa Murti pun segera minta diri. Di luar langit telah menjadi semakin suram, sementara lampu di sanggar pun telah dinyalakan oleh para pelayan.

Di perjalanan pulang, Mahisa Amping tidak putus-putusnya bercerita tentang sanggar yang sangat lengkap itu. Bahkan katanya kemudian, “Sepekan aku di sini, maka ilmuku tentu sudah meningkat.”

“Sepekan di sini ilmumu akan meningkat meskipun kau tidak diperkenankan masuk ke sanggar itu?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi ia pun kemudian terdiam. Tetapi di kepalanya, sanggar itu masih saja tetap membayanginya.

Sebenarnya Mahisa Semu juga masih membayangkan sanggar yang sangat lengkap itu. Tetapi ia sudah dapat memutar penalarannya, bahwa sanggar itu hanya dapat dilihatnya saja. Ia tidak akan mungkin dapat mempergunakan kelengkapan sanggar di Kesatrian itu.

Ketika mereka kemudian sampai di rumah Mahendra, maka mereka bertiga pun sempat berbincang-bincang tentang sanggar itu. Bahkan Mahendra ikut pula berbicara bersama mereka. Demikian Mahisa Amping menceriterakan kekagumannya mengenai sanggar itu, Mahendra pun kemudian bertanya, “Apakah sebenarnya yang kau kagumi? Tentu karena jenis peralatannya yang bagus, baru dan jumlahnya cukup banyak.”

“Nah” berkata Mahendra pula, “kemudian kau harus menilai kegunaannya. Apakah untuk berlatih dan memahami salah satu unsur gerak harus dipergunakan peralatan yang bagus buatannya, mahal harganya dan dalam jumlah yang banyak? Bukankah palang kayu di sanggar Kesatrian itu gunanya tidak lebih daripada palang bambu wulung yang ada di sanggarmu? Bahkan palang bambu di sanggarmu itu mempunyai kelebihan. Bambu wulung itu lebih lentur dari kayu yang dipergunakan di sanggar Kesatrian. Dengan demikian maka untuk melatih keseimbangan, palang bambumu tentu lebih baik. Tetapi sudah tentu ujudnya palang bambu wulungmu tidak sebaik palang kayu itu. Juga bandul tarik di sanggarmu yang tidak lebih dari batu-batu hitam yang diikat dengan tambang. Sementara di Kesatrian itu dipergunakan bandul-bandul besi yang terikat dengan rantai. Tetapi tambang ijuk itu akan memberikan kekuatan tersendiri pada kulit telapak tanganmu.”

Mahisa Amping mendengarkan keterangan Mahendra itu dengan bersungguh-sungguh. Demikian pula Mahisa Semu. Ternyata keduanya memahami keterangan itu. Betapapun jauh perbedaan yang nampak antara Sanggar di Padepokan Bajra Seta dan sanggar di Kesatrian itu, namun kegunaannya tentu tidak akan terlalu jauh berbeda.

Dalam pada itu Mahendra masih memberikan beberapa contoh dan petunjuk, sehingga akhirnya Mahisa Semu dan Mahisa Amping tidak perlu merasa bahwa sanggarnya jauh lebih buruk dari sanggar yang ada di Kesatrian.

“Apa yang dapat dilakukan di Kesatrian itu dapat pula dilakukan di sanggar kalian di Padepokan. Yang tidak ada di sanggar kalian, dapat kalian ketemukan di alam terbuka. Di lereng-lereng bukit dan di hutan-hutan perdu atau pada saatnya kalian akan mencoba menyusupi hutan-hutan lebat.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk pula. Sementara itu Mahisa Murti pun ikut mendengarkan keterangan ayahnya itu. Nampaknya kedua orang yang diakunya sebagai adiknya itu dapat mengerti maksud ayahnya.

Sementara itu Mahendra pun berkata, “Kakakmu Mahisa Pukat ternyata juga tidak mempercayakan latihan-latihan bagi bangsawan muda itu sekedar dilakukan di sanggar. Mahisa Pukat setiap kali juga membawa murid-muridnya keluar dari istana pergi ke bukit-bukit kecil untuk melakukan latihan-latihan khusus. Udara terbuka, panas matahari dan angin yang bertiup, tentu memberikan kelebihan tersendiri bagi mereka. Seandainya latihan-latihan itu hanya dilakukan di sanggar saja, maka panas matahari akan dapat menjadi musuh utama. Demikian pula udara dingin, angin kencang dan debu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk. Mereka tahu bahwa tubuh seseorang yang kurang mendapat sinar matahari akan menjadi kurang tegar. Jika seseorang yang demikian terlibat dalam pertempuran di siang hari dibawah panasnya matahari, maka keringatnya akan cepat terperas habis sebagaimana tenaganya. Bahkan yang mungkin akan membunuhnya bukan lawannya, tetapi panas matahari itu sendiri.

Keterangan yang diberikan oleh Mahendra itu telah membesarkan hati anak-anak muda itu. Mereka tidak lagi merasa bahwa keterbatasan yang ada di sanggar padepokan Bajra Seta akan membuat mereka tidak dapat maju pesat sebagaimana para bangsawan muda yang ada di Kesatrian.

Dengan demikian, maka setelah mereka makan malam dan beristirahat sejenak, Mahisa Semu dan Mahisa Amping mulai berbicara di antara mereka berdua. Mereka mulai membuat perbandingan-perbandingan antara peralatan yang ada di sanggar di Kesatrian dengan alat-alat yang ada di sanggar padepokan Bajra Seta.

Ternyata bahwa apa yang ada di Kesatrian ada pula di sanggar mereka. Meskipun ujudnya lebih sederhana bahkan agak lain ujudnya, namun kegunaannya dapat dianggap sama. Dengan demikian maka apa yang dapat dilakukan oleh para bangsawan muda di sanggar mereka, dapat pula mereka lakukan di sanggar mereka di Padepokan Bajra Seta. Dengan kesimpulan itu, maka ketika keduanya membaringkan diri di pembaringan, mereka pun segera dapat tidur nyenyak.

Namun Mahisa Murti lah yang masih berbincang untuk waktu yang cukup lama dengan ayahnya. Mahisa Murti juga membicarakan kelebihan peralatan yang ada di sanggar di Kesatrian itu.

“Nampaknya Mahisa Pukat menjadi semakin jauh dari Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah Mahisa Murti. Aku kira kau sendiri mampu membina dan mengembangkan Padepokan Bajra Seta. Memang kepergian Mahisa Pukat merupakan satu persoalan tersendiri bagimu. Namun persoalan itu tentu akan dapat kau atasi. Kau, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang di masa datang akan dapat membantumu. Bahkan Wantilan yang meskipun perkembangan ilmu termasuk lambat justru karena ia terlambat mulai setelah diketahui bahwa seseorang sengaja memutar balikkan susunan pengetahuannya tentang olah kanuragan, tetapi ia dapat membantumu mengatur Padepokanmu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dari sorot matanya, ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tetapi Mahisa Murti hanya menarik nafas saja dalam-dalam.

Tetapi Mahendra yang sudah mengendap itu agaknya tanggap akan maksud Mahisa Murti. Karena itu meskipun Mahisa Murti tidak mengatakan sesuatu, namun Mahendra itu pun berkata,

“Murti. Memang tidak dapat diperbandingkan, membina Padepokan Bara Seta dengan tugas-tugas di Kesatrian. Di Kesatrian, kebutuhan apapun telah disediakan. Kebutuhan peralatan untuk latihan. Kebutuhan bahan-bahan yang akan mendukung latihan-latihan di Sanggar maupun di alam terbuka. Sedangkan di Padepokan segala sesuatunya sangat terbatas. Tetapi usaha untuk mengatasi keterbatasan itu pun merupakan satu ketrampilan tersendiri. Meskipun para bangsawan sekalipun, mereka tidak akan selalu terpenuhi setiap kebutuhannya. Dalam keadaan yang sempit, maka para bangsawan tidak terbiasa untuk memecahkannya dan mengatasinya. Karena itu seperti yang aku katakan kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping, Padepokan Bajra Seta tidak akan lebih buruk hasilnya daripada Kesatrian Singasari. Apalagi keduanya diasuh oleh orang yang memiliki tataran yang sama pula.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun bahwa Mahisa Pukat tidak akan kembali lagi ke Padepokan itu adalah persoalan pribadi yang sulit untuk dikesampingkan. Rasa-rasanya Padepokan memang menjadi sepi. Sementara itu luka di hati Mahisa Murti masih sering terasa nyerinya. Apalagi ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Sasi.

Namun seperti yang pernah dijanjikannya di dalam hati, bahwa ia tidak akan terjerembab jatuh karena persoalan yang membebani perasaannya itu. Ketika kemudian Mahisa Murti berbaring dipembaringannya, maka angan-angannya masih dibelit oleh kegelisahannya itu. Namun akhirnya Mahisa Murti itu pun tertidur pula.

Di hari berikutnya Mahisa Murti masih sempat membawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping berjalan-jalan. Namun di sore hari, betapapun beratnya, Mahisa Murti tidak dapat mengelak lagi. Bersama Mahisa Pukat ia pergi ke rumah Sasi. Seperti pesan Sasi, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah diajaknya pula

Betapa Mahisa Murti berusaha menguasai perasaannya. Tidak seorang pun boleh mengetahuinya, bahwa perjumpaannya dengan Sasi itu telah membuat lukanya nyeri kembali. Hanya karena kesiapan jiwaninya yang membaja, maka Mahisa Murti dapat mengatasinya. Tetapi saat-saat yang tidak terlalu lama itu merupakan saat-saat yang menyiksanya.

Ternyata Sasi, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping sama sekali tidak melihat kesan apapun pada Mahisa Murti. Ketika Arya Kuda Cemani ikut menemuinya, maka sikap Mahisa Murti pun nampak wajar-wajar saja. Ketika kunjungan itu sudah terhitung lama, maka mereka pun telah minta diri. Mahisa Amping masih sempat mereguk minuman yang dihidangkan baginya sampai tetes yang terakhir. Namun Mahisa Murti telah minta diri pula, bahwa mungkin ia tidak akan sempat berkunjung lagi sampai saatnya ia kembali ke Padepokan Bajra Seta.

“Apa saja yang kau lakukan di sini sehingga kau tidak sempat lagi singgah?” bertanya Sasi.

Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Tetapi ia pun menjawab, “Aku masih harus melihat-lihat peralatan pertanian yang ada di pasar. Aku harus mendapatkan beberapa jenis alat yang terbaik yang dapat aku pergunakan di Padepokan Bajra Seta.”

Sasi mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, “Meskipun demikian, jika mungkin kau harus singgah lagi kakang.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Aku tinggal satu atau dua hari saja berada di Kotaraja. Aku sudah melampaui batas yang aku janjikan kepada orang-orang padepokanku. Ketika aku berangkat, aku berjanji bahwa perjalananku ke Singasari tidak akan lebih dari lima hari termasuk perjalanan berangkat dan kembali. Tetapi aku sudah lima hari berada di sini.”

“Ah, bukankah kau tidak mesti setahun sekali berkunjung ke Kotaraja?” bertanya Sasi.

“Tentu lebih dari itu. Aku sering berkunjung ke Kotaraja.” jawab Mahisa Murti.

“Jika kau datang ke Kotaraja, kau memang harus singgah” minta Sasi.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, ya Sasi. Aku tentu akan selalu singgah kemari.”

Mahisa Murti meninggalkan rumah Sasi dengan barut-barut merah di bibir luka hatinya yang sudah mulai kering. Tetapi seperti sebelumnya, secara jiwani, Mahisa Murti memang mempunyai ketahanan yang sangat tinggi.

Berempat mereka meninggalkan rumah Arya Kuda Cemani. Sasi mengantar mereka sampai ke regol halaman. Dilepasnya tamu-tamunya sampai hilang di kelok jalan. Mahisa Pukat sempat singgah sebentar di rumah ayahnya. Namun kemudian ia pun kembali ke Kesatrian, tempat ia bertugas.

“Besok aku akan menghadap Pangeran Kuda Pratama” berkata Mahisa Murti ketika Mahisa Pukat minta diri.

“Apakah kau sudah akan kembali ke Padepokan?”

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Begitu tergesa-gesa? Apakah seluruh sudut Kotaraja telah dilihat oleh Mahisa Semu dan Mahisa Amping?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum. Tetapi aku sudah terlalu lama pergi. Kau tahu bahwa aku hanya minta diri untuk lima hari termasuk perjalanannya. Sedangkan aku sudah lebih dari lima hari berada di sini.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah. Aku akan menyampaikannya kepada Pangeran Kuda Pratama.”

“Terima kasih” sahut Mahisa Murti.

Sepeninggal Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun masih berbincang cukup panjang dengan ayahnya. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Pukat duduk di serambi depan sambil bermain macanan. Bahkan setelah mereka makan malam pun mereka masih saja berbincang-bincang, sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang sudah letih bermain-main telah pergi ke pembaringan.

Di keesokan harinya Mahisa Murti, Mahisa Semu . dan Mahisa Amping telah menghadap Pangeran Kuda Pratama untuk mohon diri, karena di hari berikutnya pagi-pagi benar mereka akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.

Pangeran Kuda Pratama telah mengucapkan terima kasih atas kunjungan Mahisa Murti ke Kesatrian. Dengan nada kebapakan Pangeran Kuda Pratama itu berkata, “Aku berdoa, semoga padepokan Bajra Seta akan berkembang sesuai dengan harapanmu. Jika Mahisa Pukat ada di sini, bukan berarti bahwa ia harus terpisah dari Padepokan itu. Tetapi kelak akan nampak, bahwa Padepokan Bajra Seta adalah saudara kandung dari perkembangan ilmu di Kesatrian Singasari.”

Pada kesempatan itu, Mahisa Murti telah minta diri pula kepada para bangsawan muda yang menjadi murid Mahisa Pukat di Kesatrian itu. Bahkan Mahisa Murti pun sempat minta diri pula kepada Empu Sidikara yang akan menjadi kawan bertugas dengan Mahisa Pukat di Kesatrian.

“Besok pagi-pagi sekali aku ada di rumah” berkata Mahisa Pukat kemudian ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan Kesatrian.

Demikianlah, maka hari itu adalah hari terakhir bagi Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping berada di Kotaraja. Karena itu, maka mereka menyempatkan diri untuk pergi ke pasar membeli beberapa jenis alat-alat yang belum mereka miliki di Padepokan.

Mereka membeli beberapa jenis peralatan pertanian yang dapat mereka contoh pembuatannya untuk dapat dikembangkan di Padepokan Bajra Seta dan di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Di sore hari, mereka bertiga sengaja tidak pergi ke mana-mana. Mereka justru berbenah diri karena esok pagi-pagi sekali mereka akan meninggalkan Kotaraja.

Di malam hari, Mahisa Murti pun tidak berbincang sampai larut malam dengan ayahnya. Ketika malam memasuki masa sepi uwong, maka Mahisa Murti pun telah berada di pembaringan, sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah tidur dengan nyenyak.

Pagi-pagi benar di hari berikutnya, mereka telah siap. Pembantu di rumah Mahendra telah menyiapkan minuman dan makan pagi yang hangat. Sebelum Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan rumah Mahendra di belakang Istana Singasari, maka kepada mereka telah dihidangkan makan pagi.

Ternyata Mahisa Pukat memenuhi janjinya. Ia memang datang ke rumah ayahnya untuk melepas keberangkatan saudara-saudaranya kembali ke padepokan Bajra Seta. Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah minta diri kepada Mahendra dan Mahisa Pukat. Mumpung masih pagi, maka mereka telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta.

Mahendra masih memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Murti agar ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membina dan mengembangkan padepokan yang telah dibangunnya. Tetapi ia pun masih juga berbisik, “Tetapi kau tidak boleh tenggelam tanpa memenuhi kelengkapan kemanusiaanmu. Maksudku, kau adalah seorang laki-laki wajar yang sepantasnya mempunyai sisihan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu ayahnya bermaksud baik. Ayahnya tidak ingin melihat ia berlarut-larut hanyut dalam arus perasaannya yang terluka.

Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun telah berpacu di jalan-jalan kota. Mereka memang tidak memacu kudanya terlalu cepat. Apalagi menjelang fajar jalan-jalan mulai terisi oleh orang-orang yang pergi ke pasar.

Baru ketika mereka berada di luar gerbang kota, maka mereka mempercepat derap kuda mereka, meskipun masih harus tetap berhati-hati karena jalan-jalan pun mulai dialiri oleh orang-orang yang membawa barang-barang dagangannya ke pasar pula.

Perjalanan mereka adalah perjalanan yang segar. Matahari mulai membayangi langit dengan cahayanya yang merah kekuning-kuningan. Angin pun mulai mengusik dedaunan. Mahisa Amping seperti biasanya berada di paling depan. Kudanya berlari-lari gembira sebagaimana penunggangnya. Di belakangnya Mahisa Semu dan Mahisa Murti mengikutinya saja seberapa cepat Mahisa Amping melarikan kudanya.

Ternyata, perjalanan mereka tidak menemui hambatan. Mereka berkuda sampai matahari memanjat tinggi. Cahayanya mulai terasa panas di kulit, sehingga keringat pun mulai membasah. Ketika terik matahari bagaikan membakar kulit, maka mereka pun sempat beristirahat di sebuah kedai. Bukan saja penunggang penunggangnya yang sempat beristirahat serta minum dan makan, tetapi demikian pula kuda-kuda mereka. Setelah puas mereka makan dan minum, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka.

Memang tidak ada gangguan diperjalanan. Sementara itu, orang-orang di Padepokan Bajra Seta sudah menanti kedatangan mereka. Mahisa Murti yang meninggalkan Padepokan itu hanya untuk lima hari termasuk perjalanan, ternyata telah melampaui waktu yang direncanakan sehingga Wantilan yang bertugas di Padepokan menjadi gelisah. Apalagi karena Wantilan yang telah pernah ikut dalam pengembaraan yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Banyak persoalan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Demikian pula persoalan akan dapat timbul di perjalanan mereka ke atau dari Singasari.

Karena itu, ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping sampai di Padepokan, maka mereka pun telah disambut dengan gembira. Namun dalam pada itu, demikian mereka berada di Padepokan, Mahisa Amping langsung menuju ke sanggar. Seakan-akan anak itu ingin melihat, apakah sanggar itu masih ada di tempatnya. Demikian pula alat-alat yang ada di dalamnya.

Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam, demikian ia berdiri di pintu sanggar. Dipandanginya ruang yang tidak terlalu besar, alat-alat yang sederhana dan bahan-bahan yang seadanya yang ada di sanggar itu.

Selagi Mahisa Amping merenung, maka Mahisa Semu telah berdiri di belakangnya sambil bertanya, “Apakah kau sedang memperbandingkan sanggar kita dengan sanggar di Kesatrian?”

“Ya” jawab Mahisa Amping, “tetapi aku tidak lagi bermimpi untuk memiliki sanggar seperti itu.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.

“Aku telah memiliki apa yang ada di sanggar Kesatrian itu. Karena itu, maka aku tidak lagi memerlukan sanggar yang lain.” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Semu tersenyum. Katanya, “Ya, kita sudah memiliki segala-galanya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Mahendra, apa yang ada di sanggar ini dan apa yang ada di sanggar Kesatrian, mempunyai kelebihannya masing-masing.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah menyusup di sela-sela alat-alat yang ada di sanggar itu. Bahkan kemudian Mahisa Amping telah meloncat dan berdiri diatas palang bambu wulung yang menyilang di tengah-tengah sanggar. Dengan tangkasnya anak itu berloncatan dalam keseimbangan yang sangat baik.

“Kau tidak kalah tangkas dari bangsawan-bangsawan muda di Kesatrian itu” berkata Mahisa Semu. Lalu katanya, “Apalagi jika palang yang kau pergunakan itu palang kayu yang sama sekali tidak lentur. Kau tentu akan nampak semakin tangkas lagi.”

“Ah, tentu tidak. Tetapi bagaimanapun juga, kita di sini mempunyai kesempatan yang sama dengan mereka yang ada di Kesatrian” jawab Mahisa Amping.

“Bagus” Mahisa Murti lah yang menjawab sambil melangkah masuk diikuti oleh Wantilan, “perbedaan alat-alat yang kita pergunakan dan di pergunakan di Kesatrian tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menganggap wajar jika kalian tertinggal oleh saudara-saudaramu di Kesatrian?”

“Apakah mereka juga saudara-saudara kita?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Setidak-tidaknya saudara yang bersama-sama menyadap ilmu dari sumber yang sama” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Ya kakang. Aku akan berusaha sebaik-baiknya, bahwa aku tidak akan tertinggal oleh saudara-saudara kita di Kesatrian. Apalagi dengan alasan bahwa alat-alat serta sanggar kita kurang memadai dibandingkan dengan sanggar yang ada di Kesatrian itu.”

Mahisa Murti menepuk bahu Mahisa Amping sambil berkata, “Bagus. Tetapi kau tidak perlu berlatih sekarang juga. Kau perlu beristirahat. Bukankah kita masih mempunyai banyak waktu?”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara sambil tersenyum Mahisa Murti menceriterakan kepada Wantilan bahwa Mahisa Amping sempat melihat-lihat sebuah sanggar yang sangat lengkap dengan peralatan yang bagus sekali di Kesatrian Singasari.

“Tentu saja” desis Wantilan, “sanggar itu sanggar istana.”

“Tetapi ternyata bahwa kegunaannya tidak berbeda dengan alat-alat yang kita punyai di sini” berkata Mahisa Murti seakan-akan bergumam bagi diri sendiri.

Wantilan Mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, apa yang telah dilihat di Singasari telah mendorong Mahisa Amping untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Dengan mempergunakan alat yang ada di dalam sanggarnya, maka Mahisa Amping berusaha untuk membuat dirinya tidak kalah dari para bangsawan muda yang berlatih di sanggar yang lengkap di Kesatrian Singasari.

Bahkan Mahisa Amping tidak saja semakin tekun berlatih di sanggar, tetapi juga diluar sanggar. Seperti dikatakan oleh Mahendra, maka kekurangan peralatan yang ada di sanggar dapat dilengkapinya dengan peralatan yang ada di alam terbuka.

Itulah sebabnya Mahisa Amping memanfaatkan bebatuan yang berserakan di sungai. Begitu pula pasir di tepian. Mahisa Amping yang mempergunakan tepian berpasir untuk berlatih, maka rasa-rasanya ada yang memberati kakinya, sehingga dengan demikian maka beban itu akan menambah kekuatannya.

Mahisa Semu yang semula memperhatikan dorongan kemauan Mahisa Amping untuk berlatih lebih keras, ternyata ia pun telah melakukannya pula diluar sadarnya. Sehingga karena itu, maka kedua orang itu pun telah bekerja lebih keras dari saat-saat sebelumnya.

Mahisa Murti yang mengasuh mereka melihat kegiatan yang meningkat dari keduanya tanpa diperintahkannya. Karena itu, yang dilakukan oleh Mahisa Murti adalah sekedar mengarahkannya. Namun demikian, Mahisa Murti itu selalu hadir jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping melakukan latihan-latihan di tempat yang berbahaya, karena keduanya sering berada di lereng-lereng perbukitan yang meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi terjal. Bahkan sebagaimana pernah dilakukannya, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping semakin memperhatikan tingkah laku binatang-binatang liar.

Apalagi ketika Mahisa Murti justru mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat melihat sekelompok kera yang ada di pinggir hutan yang lebat. Mereka pun memperhatikan bagaimana seekor ular merunduk mangsanya. Dengan kagum mereka melihat seekor tikus tanah dengan cerdik membelakangi seekor ular yang akan menyergapnya dengan menaburkan tanah berpasir dengan kaki belakangnya ke arah mata ular itu, sehingga tikus itu terlepas dari maut.

Tetapi kadang-kadang dengan hati yang nyeri keduanya menyaksikan seekor kelinci yang tidak mampu menyelamatkan diri dari terkaman seekor burung elang yang buas. Elang yang terbang berputaran, namun yang tiba-tiba saja menukik menyambar mangsanya dengan kuku-kukunya yang tajam.

Tetapi, pada kesempatan lain, mereka melihat seekor elang yang harus melarikan diri karena merasa tidak mampu melawan seekor burung srigunting yang lebih kecil. Tetapi ternyata burung srigunting itu mampu bergerak dengan lincah dan tangkasnya. Burung srigunting itu dapat menyerang seekor elang yang bergerak lamban menurut ukuran kecepatan gerak seekor burung srigunting, dari segala arah.

Dengan memperhatikan tingkah laku binatang-binatang liar itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimilikinya dengan warna-warna baru tanpa meninggalkan watak dan sifat pokoknya.

Kebiasaan itu ternyata kadang-kadang telah membawa Mahisa Semu dan Mahisa Pukat menempuh jarak yang cukup jauh dari padepokannya. Mahisa Murti yang tidak melepaskan tanggung jawabnya, kadang-kadang telah mengikuti mereka pula. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak membiarkan mereka melupakan waktu-waktu latihan mereka di sanggar.

Namun adalah diluar pengetahuan mereka, bahwa seorang pengembara ternyata menaruh perhatian terhadap Mahisa Amping. Dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh, orang itu berusaha untuk selalu mengamati Mahisa Amping yang sering berlatih diluar sanggar. Hampir setiap hari orang itu duduk tidak terlalu jauh dari pintu gerbang sanggar Padepokan Bajra Seta. Jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping keluar dari pintu gerbang, maka tanpa setahu keduanya, orang itu telah mengikutinya kemana saja keduanya pergi. Bahkan ketika keduanya keluar bersama Mahisa Murti pun orang itu selalu mengikutinya.

Adalah satu hal yang sangat sulit dimengerti, jika orang itu mampu melepaskan diri dari tangkapan indera Mahisa Murti, bahwa orang itu selalu mengikutinya. Orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu tertarik sekali melihat ketangkasan Mahisa Amping serta perhatiannya yang bersungguh-sungguh terhadap binatang-binatang liar.

Mahisa Murti, meskipun pernah melihat orang itu, tetapi ternyata orang itu luput dari perhatiannya. Justru karena orang itu pada ujud lahiriahnya adalah seorang tua yang cacad tubuh. Tangannya tidak lengkap sebagaimana tangan orang kebanyakan. Jari-jari di sebelah tangannya tidak lengkap. Kecelakaan yang menimpanya di masa ia masih kanak-kanak telah menyebabkan empat jarinya patah. Sementara itu, wajahnya pun nampak keras dan kasar. Beberapa gores luka nampak di kening dan pipinya. Bahkan juga di dahinya. Namun justru karena itu, maka orang itu nampak seorang yang menggetarkan jantung mereka yang baru untuk pertama kali menyaksikannya.

Dengan telaten orang itu mengamati Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun ketajaman penglihatan batinnya, mengatakan kepadanya bahwa anak muda yang sering mengikuti keduanya adalah anak muda yang berilmu sangat tinggi. Ternyata orang itu berniat menunggu satu kesempatan kedua orang anak itu keluar dari Padepokan Bajra Seta tanpa anak muda yang berilmu tinggi itu.

Setelah menunggu beberapa lama, maka pada satu hari, orang itu melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping hanya berdua saja keluar dari Padepokan. Di pintu gerbang Mahisa Murti berpesan, agar mereka tidak terlalu lama pergi.

“Sebelum makan siang, kalian harus sudah berada di padepokan lagi” berkata Mahisa Murti.

“Ya, kakang. Kami tidak akan terlalu lama. Kami akan pergi ke sungai,” jawab Mahisa Semu.

Namun demikian mereka berjalan meninggalkan Padepokan, maka orang yang selalu memperhatikannya dari kejauhan itu pun mengikutinya pula. Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang pergi ke sungai. Keduanya, seperti biasanya melakukan latihan khusus. Mereka berlatih di atas sebongkah batu hitam yang licin.

Dengan kemampuan mereka menjaga keseimbangan maka mereka dengan tangkasnya berlatih saling menyerang dan bertahan. Mahisa Semu yang lebih besar dan memiliki bekal yang lebih banyak, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan Mahisa Amping.

Dari kejauhan sepasang mata memang memperhatikan kedua orang yang sedang berlatih itu. Seorang remaja yang sudah menjelang dewasa dengan seorang yang memang masih remaja.

“Luar biasa” desis orang itu, “anak itu memang luar biasa. Ia memiliki bekal yang sangat berharga untuk masa depannya sebagai seorang yang mendalami olah kanuragan. Yang lebih besar itu pun memiliki kelebihan dari yang lain. Tetapi aku hanya memerlukan satu orang saja.”

Perlahan-lahan orang itu mendekat. Wajahnya yang keras dan kasar, serta diwarnai dengan goresan-goresan bekas luka, nampak bersungguh-sungguh.

“Aku harus mendapatkannya. Ia akan dapat menjadi tempat untuk menuangkan ilmuku. Hari-hariku semakin sempit karena umurku yang merambat semakin tua.” gumam orang itu.

Untuk beberapa saat orang itu duduk di atas tanggul sambil melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping berlatih diatas sebongkah batu. Mereka berloncatan dengan cepat. Mereka melontarkan serangan-serangan dan menghindar. Namun kaki mereka seakan-akan dapat melekat pada batu hitam yang licin itu.

Orang yang ada di atas tanggul itu memperhatikan Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang masih saja berlatih. Jika sekali-sekali serangan salah seorang di antara mereka mendorong lawannya, maka salah seorang di antara mereka telah terjatuh ke dalam air. Namun dengan tangkasnya mereka segera bangkit dan meloncat kembali ke atas batu itu.

Demikianlah terjadi beberapa kali. Meskipun salah seorang di antara mereka yang terdorong oleh serangan itu merasa kesakitan, namun ada juga kegembiraannya jika yang terkena serangan itu terjatuh ke dalam air. Tubuhnya merasa segar sehingga ketika ia sudah berdiri lagi diatas batu itu, maka segera latihan itu telah berlangsung pula.

Orang yang menyaksikan latihan itu dari atas tanggul kadang-kadang menjadi tegang. Tetapi kadang-kadang ia tertawa. Namun ketika Mahisa Amping jatuh ke dalam air, namun dengan cepat ia bangkit dan mengibaskan air di tubuhnya, selanjutnya dengan cepat pula meloncat naik ke atas batu, maka orang itu tidak dapat menahan diri. Sambil bertepuk ia berkata, “Bagus, bagus sekali.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun terkejut. Latihan itu pun dengan serta merta telah terhenti. Mahisa Semu dan Mahisa Pukat segera berpaling dan memandang ke atas tanggul. Mereka pun segera melihat, diatas tanggul ada seorang yang cacat tubuh, berwajah keras dan kasar, serta terdapat beberapa gores luka di wajah itu.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi berdebar-debar melihat sorot mata orang itu yang bagaikan sorot mata kucing yang melihat dua ekor tikus kecil. Sebelum Mahisa Semu dan Mahisa Amping menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, maka orang itu pun telah meluncur turun dari atas tebing. Mahisa Semu dan Mahisa Amping mencium gelagat yang kurang baik. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri.

“Bagus sekali anak-anak” berkata orang itu, “aku kagum atas ketangkasan kalian. Aku kira anak-anak seumur kalian tidak ada yang mampu menandingi kalian dalam olah kanuragan.”

Mahisa Semu mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih. Tetapi apa yang kami lakukan sama sekali tidak berarti.”

“Tentu tidak” berkata orang itu, “kalian memiliki landasan ilmu yang mapan. Tetapi lebih dari itu, di dalam diri kalian memang tersimpan kemungkinan untuk melakukannya. Pada dasarnya tubuh kalian, bentuknya maupun ukurannya, adalah tubuh pilihan. Selain itu, bakat yang kalian miliki jarang sekali tersimpan di dalam diri orang lain. Karena itu, perpaduan antara bentuk tubuh, perbandingan ukurannya, kekuatan dasar serta bakat yang tersimpan, benar-benar hampir sempurna."

...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang...

Mahisa Semu melihat keadaan Mahisa Amping itu. Jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Diluar sadarnya ia meloncat hendak menolongnya. Namun Mahisa Semu tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya, ketika tiba-tiba saja Mahisa Semu telah terlempar jatuh pula.

Tetapi Mahisa Semu masih dapat bangkit dengan cepat. Sementara itu Mahisa Amping masih saja menggeliat-geliat di dalam air. Meskipun airnya tidak terlalu dalam, tetapi dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Amping akan dapat minum air sungai itu terlalu banyak. Hal itu akan dapat membahayakan jiwanya.

Tetapi ketika Mahisa Semu akan meloncat mendekati Mahisa Amping lagi, orang itu menggeram, “Jika kau mencoba lagi, maka aku tidak akan menolongnya. Ia akan mati karena perutnya penuh dengan air sungai ini.”

Mahisa Semu memang membatalkan niatnya. Dengan cemas ia berkata, “Tolong anak itu. Angkat ia dari dalam air."

“Ia sendiri meloncat menyuruk ke dalam air itu” jawab orang yang berwajah keras itu.

“Tetapi ia tidak berniat membunuh diri” Mahisa Semu hampir berteriak.

Orang itu pun berpaling ke arah Mahisa Amping yang menjadi semakin lemah. Namun orang berwajah keras itu pun kemudian telah merunduk sambil berkata, “Jangan dekati aku.”

Mahisa Semu memang tidak berani mendekati orang itu, karena dengan demikian ia akan dapat mengancam hidup Mahisa Amping. Karena itu, Mahisa Semu hanya dapat memandangi orang itu dengan jantung yang berdebaran.

Sebenarnyalah orang itu memang menolong Mahisa Amping. Diletakkannya Mahisa Amping menelungkup di atas batu. Kemudian dengan memijit punggungnya, maka air pun keluar dari mulut anak itu.

“Anak ini minum terlalu banyak” berkata orang itu, “ini adalah salahmu karena kau mengganggu saat aku akan menolongnya.”

“Tetapi kau harus menyerahkan anak itu kepadaku” berkata Mahisa Semu.

“Sekali lagi aku katakan, bahwa anak ini akan aku bawa. Aku ingin menjadikannya muridku. Tidak seorang pun yang dapat mencegahnya” berkata orang itu.

“Tetapi kau tidak dapat membawanya begitu saja” berkata Mahisa Semu, “kau harus bertemu lebih dahulu dengan kakang Mahisa Murti di Padepokan."

“Itu tidak perlu” berkata orang itu, “kau dapat mengatakan kepada kakakmu yang kau sebut bernama Mahisa Murti itu.”

“Apakah kau takut bertemu dengan kakakku itu?” bertanya Mahisa Semu.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau memang cerdik. Kau ingin mengungkit harga diriku agar aku mau bertemu dengan kakakmu itu. Tetapi aku memang tidak merasa perlu menemuinya. Pada kesempatan lain, setelah aku menyimpan anak yang memiliki bekal yang hampir sempurna ini, aku memang akan menemui kakakmu. Jika perlu, maka aku akan membuat perhitungan. Jika kakakmu tetap tidak mau mengerti, mungkin aku akan membunuhnya, meskipun ia berilmu sangat tinggi.”

Mahisa Semu memang tidak mempunyai cara lain. Sementara itu orang itu berkata lagi, “Sudahlah. Ikhlaskan adikmu itu. Tetapi ketahuilah, bahwa kau sendiri memang memiliki kelebihan yang jarang ada duanya. Tetapi sayang bahwa aku hanya ingin mempunyai seorang murid saja.”

Orang itu tidak berkata lebih lanjut. Tetapi ia pun kemudian berjalan menepi dan kemudian naik ke tepian berpasir.

Mahisa Semu yang mengikutinya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demikian orang itu tidak lagi berada di aliran sungai, maka Mahisa Semu pun segera menyerangnya. Tetapi serangannya memang tidak ada artinya. Justru Mahisa Semu itulah yang terlempar dan jatuh di pasir tepian. Untunglah bahwa pasir tepian itu telah membantunya sehingga tulang punggungnya tidak patah karenanya.

Mahisa Semu menggeram. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun untuk beberapa saat lamanya ia mengikuti saja orang yang membawa Mahisa Amping itu naik ke atas tanggul.

“Jangan ikuti aku” berkata orang itu, “jika kau berkeras kepala, maka aku akan dapat menjadi marah.”

“Aku tidak rela kau membawa adikku” Mahisa Semu berteriak.

Tetapi orang itu berkata, “Adikmu masih sangat lemah. Ia masih pingsan. Jangan membuat adikmu justru mati.”

Mahisa Semu benar-benar kebingungan. Tetapi ia masih saja mengikuti orang itu.

Ternyata bahwa orang itu memang menjadi marah. Katanya, “Ingat anak muda, Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka aku akan menjadi sangat marah. Dan kau harus tahu, bahwa dalam kemarahan itu, aku akan dapat membunuh seseorang diluar sadarku. Karena itu menjauhlah dan jangan ikuti aku. Bahkan mungkin aku akan dapat membunuh kau dan adikmu bersama-sama.”

Mahisa Semu benar-benar menjadi kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik pohon perdu. Seorang yang berjanggut putih. Namun yang tubuhnya masih nampak segar dan perkasa.

“Orang yang berwajah keras itu terkejut melihat kedatangan orang berjanggut putih itu. Dengan nada bergetar ia bertanya, “Untuk apa kakang berada di sini?”

“Sambega, aku memang menyusulmu. Ketika aku tahu kau tidak ada di rumahmu, maka aku berusaha untuk menemukanmu.” jawab orang berjanggut putih itu.

“Untuk apa kakang Widigda. Kenapa kakang mencari aku? Bukankah aku bukan momongan kakang? Aku bukan pula bayi yang kakang lepaskan di pinggir jurang sehingga kakang harus mencari aku jika aku tidak kelihatan sehari dua hari?”

“Memang Sambega. Kau bukan momonganku. Tetapi kau adalah adikku. Adik seperguruanku. Karena itu, maka aku merasa berkepentingan jika kau tidak nampak di rumah. Apalagi dalam waktu akhir-akhir ini.” jawab orang berjanggut putih yang disebut Widigda itu.

“Sebaiknya kakang tinggalkan aku sendiri, Biarlah aku pulang sendiri pada saatnya. Aku tahu apa yang akan aku lakukan.”

“Tidak Sambega. Kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Aku sudah mengira. Dan ternyata aku memang menemukan kau sedang melakukan apa yang tidak kau ketahui itu.”

“Kakang Widigda tidak usah mencampuri persoalanku. Kakang Widigda memang kakak seperguruanku. Tetapi kakang tidak dapat mencampuri persoalanku sampai ke persoalan pribadi yang paling dalam.” berkata Sambega

“Tidak Sambega. Guru pernah berpesan kepadaku, bahwa kita harus saling membantu. Saling mengingatkan jika seorang di antara kita lupa. Saling menunjukkan kesalahan jika kita melakukan kesalahan itu. Kita harus saling berkata benar, bukan saling membenarkan meskipun kita melakukan kesalahan,” jawab Widigda.

“Apa maksud kakang, aku telah melakukan kesalahan itu?” bertanya Sambega.

“Menurut penglihatanku, kau memang telah melakukan kesalahan itu. Kau tidak boleh menganggu anak-anak yang sedang bermain itu.” jawab Widigda.

“Aku tidak mengganggu mereka. Aku justru berniat baik. Aku ingin membuat anak ini menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tidak ada duanya di Singasari ini.”

“Aku puji niatmu. Tetapi apakah caramu itu sudah benar?” bertanya Widigda.

“Kakang. Aku memang tidak begitu menghiraukan cara yang aku tempuh. Tetapi karena niatku baik, maka apa yang aku lakukan ini pun baik. Hasilnya pun akan menjadi baik buat aku dan buat anak ini.” jawab Sambega.

“Tetapi apakah itu baik buat kakak-kakaknya?” bertanya Widigda.

Sambega memandang Widigda dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kakang, kenapa kakang selalu menghalangi aku jika aku mempuyai keinginan yang sebenarnya sangat bersifat pribadi? Kakang juga mencegah ketika aku ingin mengawini anak Empu Kuda Taler Waja. Sekarang kakang menghalangi aku mengambil anak yang menurut penilaianku memiliki bekal hampir sempurna ini.”

“Sambega” berkata Widigda, “jika kau tempuh jalan wajar, maka aku tidak akan pernah menghalangimu, apapun yang akan kau lakukan? Tetapi kau sering melakukan satu kerja yang merugikan orang lain. Gadis Empu Kuda Taler Waja adalah seorang gadis yang saat itu sudah dipertunangkan dengan seseorang dan bahkan hampir sampai pada saat upacara perkawinan. Tiba-tiba kau, yang sudah terhitung tua, datang untuk mengambilnya. Belum lagi jika kau bercermin dipermukaan air bagaimana ujudmu itu. Maaf, bukan maksudku untuk menunjuk cacatmu. Tetapi sebaiknya kau tahu diri. Dengan demikian maka kau tidak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain.”

“Kakang. Ketika kakang mencegah aku mengambil gadis itu, aku dapat mengerti. Aku menurut nasehat kakang. Tetapi kakang jangan mencegah aku lagi. Aku memerlukannya. Kakang tahu bahwa aku tidak mempunyai lagi anak yang dapat menyambung bukan saja namaku, tetapi juga mewarisi ilmuku. Jika aku tidak mempunyai seorang istri lagi, maka ini adalah cara yang dapat aku tempuh untuk mendapat seorang anak.”

“Tidak Sambega. Anak itu tentu ada orang tuanya setidak-tidaknya walinya. Kau tidak dapat mengambilnya begitu saja” berkata Widigda.

Wajah Sambega menjadi tegang. Sementara itu Widigda berkata, “Sambega. Kau tahu bahwa kau tidak akan dapat memaksakan kehendakmu itu jika aku melarangmu”

Sambega termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik kakang. Aku akan menemui orang tuanya atau walinya atau gurunya atau siapapun yang bertanggung jawab atas anak itu. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa anak itu akan aku ambil. Aku akan menukar dengan apa saja yang dikehendakinya”

“Jika orang itu tidak memberikannya?” bertanya Widigda

“Aku akan menawarkan kepadanya, apakah ia akan mempertahankannya” jawab Sambega.

“Bagus” mereka pun terkejut mendengar suara itu Ketika mereka berpaling, mereka melihat Mahisa Murti berdiri di sebelah sebatang pohon yang tumbuh di antara gerumbul perdu, “anak itu adalah adikku. Aku akan mempertahankannya dengan cara apapun yang kau kehendaki. Meskipun aku tahu, cara yang paling buruk yang kau tempuh itu adalah cara yang sama dengan cara yang dipergunakan oleh seorang perampok untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya.”

Sambega menjadi merah. Diletakkannya Mahisa Amping sambil menggeram, “Kau ternyata seorang laki-laki sejati. Aku senang mendengar kesediaanmu untuk mempertaruhkan kemampuanmu mempertahankan adikmu.”

“Untuk mencegah niatmu, aku memang tidak mempunyai cara lain.” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi, sebelumnya aku ingin memberikan sedikit keterangan kepadamu, kenapa aku menginginkan adikmu”

“Aku sudah mendengar Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “kau memerlukan seseorang untuk mewarisi ilmumu. Tetapi kau sudah diperingatkan oleh saudara seperguruanmu sendiri, bahwa cara yang kau tempuh itu adalah keliru.”

“Ki Sanak” jawab Sambega, “aku memang tidak dapat menempuh jalan lain. Jika aku datang kepadamu dan minta agar kau memberikan adikmu tentu kau berkeberatan. Sementara itu, aku sangat memerlukannya.”

“Apakah tidak ada orang lain dibawah hamparan langit yang demikian luasnya itu selain adikku?” bertanya Mahisa Murti.

“Adikmu adalah seorang anak yang memiliki bekal yang hampir sempurna. Sebenarnyalah aku belum pernah bertemu dengan seorang anak yang memiliki bekal seperti anak ini.” jawab Sambega.

“Apakah jika demikian kau merasa berhak untuk mengambilnya?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menunduk dalam-dalam. Sementara Widigda berkata, “Sudahlah Sambega. Marilah kita pulang. Aku akan membantumu mendapatkan seorang anak yang akan dapat menjadi pewaris dari namamu dan ilmumu.”

Sambega terduduk di atas seonggok batu padas. Sementara Mahisa Murti melangkah mendekati Mahisa Amping yang mulai menggeliat bangkit. Demikian pula Mahisa Semu. Ia pun segera berlari mendekati adiknya. Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang kebingungan. Namun ketika dilihatnya Mahisa Murti dan Mahisa Semu, maka ia pun langsung bangkit berdiri. Ketika Mahisa Amping berpaling ke arah Sambega yang duduk di atas batu-batu padas, maka dilihatnya erang itu mengusap matanya yang basah.

“Sudahlah” berkata Widigda, “kau adalah seorang laki-laki yang berilmu tinggi. Kau juga mempunyai kesiapan jiwani yang tinggi. Karena itu tidak pantas jika kau menangis seperti kanak-kanak.”

Orang itu masih saja tertunduk dalam-dalam. Sementara Mahisa Murti menjadi heran melihat keadaan Sambega itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Mahisa Murti.

Widigda pun kemudian duduk pula di atas batu padas. Katanya kepada Mahisa Murti, “Duduklah anak muda.”

Mahisa Murti tidak menolak. Ia melihat kesungguhan pada mata orang yang bernama Widigda itu. Menurut pembicaraannya dengan Sambega sebelumnya, ia pun berpendapat, bahwa Widigda adalah seorang yang baik.

“Anak muda” berkata Wididga, “akulah yang minta maaf kepadamu atas tingkah laku adikku.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya, “Jika ia mengurungkan niatnya, maka aku memaafkannya, Ki Sanak.”

“Aku harap ia memang mengurungkan niatnya” jawab Widigda.

“Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi atas Ki Sanak itu?” bertanya Mahisa Murti. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berkata, “Tentu hal ini bukan urusanku. Tetapi karena persoalannya menyinggung adikku, maka mungkin ada baiknya aku mengetahuinya. Itu pun jika yang berkepentingan tidak berkeberatan.”

Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah anak muda. Aku kira adikku tidak berkeberatan. Ia memang perlu menjelaskan, kenapa ia telah berbuat demikian.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara Widigda berkata selanjutnya, “Anak muda. Adikku yang sudah lewat separuh baya itu pada suatu hari memang mengalami peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya. Rumahnya didatangi oleh empat orang yang berilmu tinggi yang mendendamnya karena beberapa tahun yang lalu pernah dikalahkan oleh adikku dalam perang tanding. Adikku memang tidak sampai hati membunuhnya meskipun perang tanding itu disepakati bahwa seorang di antara mereka harus mati. Tetapi hal itu ternyata telah membawa ekor yang panjang,” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya” Perang tanding itu sendiri disebabkan karena persoalan yang sebenarnya sudah lama terjadi. Orang yang mendendam terhadap adikku itu adalah saudara seperguruan kami sendiri. Tetapi persoalan anak perempuan guru kami telah membuat hubungan mereka menjadi retak. Dan bahkan saling bermusuhan. Ternyata Sambega lah yang mendapat kehormatan, diterima baik oleh guru maupun oleh anak gadisnya.” suara Widigda itu pun tertahan. Namun kemudian ia memaksa diri untuk berceritera lebih lanjut, “bahwa Sambega tidak membunuh lawannya berperang tanding itu telah mengundang bencana. Orang itu justru datang dengan tiga orang kawannya. Mereka menghancurkan rumah Sambega. Melukai Sambega sehingga wajahnya menjadi cacat. Isterinya yang setia dan anaknya satu-satunya terbunuh.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Widigda masih berkata selanjutnya, “Tetapi bukan cacat tangannya. Cacat tangannya dideritanya sejak kanak-kanak. Namun cacat yang lain didapatnya saat ia bertahan terhadap keempat orang berilmu tinggi itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil diluar sadarnya. Ketika ia berpaling kepada orang yang cacat itu, maka sekali lagi ia melihat orang itu mengusap matanya.

“Peristiwa itu telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan Sambega yang pada saat itu juga sudah disangka mati. Namun ternyata bahwa ia masih dapat bertahan hidup. Aku menyesal bahwa aku terlambat datang. Meskipun demikian aku sempat mengobati luka-luka Sambega. Bukan saja luka pada kulit dan dagingnya, atau tulang-tulangnya. Tetapi juga bagian dalam tubuhnya.”

Orang itu terdiam pula. Wajahnya juga nampak menjadi muram. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Pada dasarnya Sambega bukan orang yang berwatak buruk. Ia kehilangan isteri dan anaknya satu-satunya. Itulah sebabnya, maka ia sangat merindukan seorang anak yang akan dapat menyambung namanya dan mewarisi ilmunya. Goncangan perasaan yang pernah dialaminya kadang-kadang telah membuatnya kehilangan keseimbangan dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya sebagaimana baru saja dilakukan.”

Mahisa Murti masih saja mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Widigda masih berceritera selanjutnya, “Bahkan ia juga pernah berniat mengambil seorang gadis yang sudah dekat dengan hari perkawinannya. Ia tiba-tiba saja menjadi sangat rindu kepada isterinya yang terbunuh bersama anaknya. Adalah kebetulan bahwa wajah gadis itu sangat mirip dengan isterinya.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun kemudian berdesis, “Aku minta maaf Ki Sanak. Aku tidak tahu latar belakang kehidupan Ki Sambega. Yang aku lihat hanyalah ujud lahiriahnya saja. Keras, kasar dan cacat-cacat diwajahnya dan bahkan jari-jari tangannya. Aku mengira bahwa Ki Sambega adalah seorang penjahat yang sudah terlalu sering mengalami benturan kekerasan sehingga wajahnya menjadi cacat sebagaimana tubuhnya.”

“Kau tidak bersalah anak muda” jawab Widigda, “bahkan aku merasa sangat hormat akan sikapmu. Demikian besar perlindungan yang kau berikan terhadap adik-adikmu sehingga tanpa menghitung akibat yang dapat terjadi.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Aku adalah saudara yang tertua. Bukankah aku bertanggung jawab terhadap keselamatan adik-adikku?” sahut Mahisa Murti.

“Baiklah Ki Sanak” berkata Widigda, “kami serahkan kembali adikmu dalam keadaan selamat.”

“Terima kasih. Aku minta maaf, bahwa dalam hal ini aku tidak dapat membantu Ki Sambega” sahut Mahisa Murti. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika Ki Sanak berdua berkenan, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk singgah di Padepokan kami. Padepokan Bajra Seta.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang kemudian menjawab adalah Widigda, “baiklah Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih bahwa kami diijinkan untuk singgah di Padepokan Ki Sanak.”

Demikianlah, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Mahisa Amping memang masih nampak lemah. Tetapi ia dapat berjalan sendiri meskipun harus dipapah oleh Mahisa Semu.

Ketika mereka sampai di padepokan, maka beberapa orang cantrik terkejut melihat keadaan Mahisa Amping. Wantilan yang tergesa-gesa mendekatinya bertanya dengan serta merta, “Mahisa Semu. Kau apakan adikmu? Apakah kau tidak dapat menahan diri selama kau berlatih dengan adikmu?”

“Tidak, paman. Bukan aku” jawab Mahisa Semu.

“Jadi kenapa dengan adikmu itu?” desak Wantilan.

Mahisa Semu memandang Mahisa Murti dengan ragu. Namun Mahisa Murti yang tanggap itu pun tersenyum. Katanya, “Salah Amping sendiri. Ia kurang berhati-hati bermain di atas bebatuan sungai.”

Wantilan mengerutkan dahinya. Tetapi ia melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih basah kuyup. Namun Wantilan tidak bertanya lagi.

Namun dalam pada itu, Sambega melihat betapa orang-orang Padepokan Bajra Seta menaruh perhatian yang sangat besar terhadap Mahisa Amping. Seandainya ia berhasil membawa anak itu pergi, maka seisi Padepokan akan merasa kehilangan. Semuanya akan merasa bersedih.

“Untunglah aku tidak berhasil membawanya pergi. Seandainya aku memaksa membawa anak itu, maka aku telah membuat seluruh isi padepokan ini bersedih. Atau mungkin mereka akan disebar untuk mencari dan memburu orang yang telah membawanya, sehingga hidupnya akan menjadi semakin tidak tenang.”

Justru karena Mahisa Amping telah berada di lingkungannya kembali, maka rasa-rasanya hati Sambega menjadi damai. Tidak ada beban yang harus dipikulnya lagi.

Di Padepokan, Sambega dan Widigda mendapat perlakuan yang sangat baik. Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping tidak mengatakan kepada siapapun, apa yang sudah dilakukan oleh Sambega. Kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah dipesan oleh Mahisa Murti, bahwa selama Sambega dan Widigda masih berada di Padepokan, sebaiknya mereka tidak menyebut lagi apa yang pernah mereka lakukan atas Mahisa Amping itu.

Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan Widigda sempat bertanya, “Anak muda, jika angger tidak berkeberatan, aku ingin bertanya, apakah ada hubungannya antara Padepokan Bajra Seta ini dengan jalur ilmu Bajra Geni?”

“Mahisa Murti memang agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Ki Widigda, darimana Ki Widigda dapat menduga demikian?”

“Hanya sekedar dugaan ngger. Ketika aku sempat melihat kedua adikmu berlatih sebelum Sambega mengganggunya, aku melihat unsur-unsur ilmu betapapun samarnya dari ilmu Bajra Geni.”

“Pada kedua anak-anak itu?” Mahisa Murti menegaskan.

“Ya, pada kedua orang anak itu” jawab Widigda.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Nampaknya Ki Widigda memahami benar-benar ilmu Bajra Geni atau dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni.”

“Kau benar anak muda. Yang aku maksud adalah dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni” jawab Widigda.

“Landasan ilmuku memang dasar-dasar landasan ilmu Bajra Geni meskipun barangkali masih belum matang. Kedua adikku itu belajar padaku, sehingga dasar-dasar landasan ilmu itu telah diwarisinya pula.” jawab Mahisa Murti.

Ki Widigda tersenyum. Katanya, “Kedua anak itu memiliki dasar-dasar landasan ilmu yang sangat kokoh. Dengan mengamati keduanya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa orang yang telah mengajari mereka dalam olah kanuragan, adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ki Widigda terlalu memuji. Sebenarnyalah bahwa aku masih sedang berusaha untuk meningkatkan dan mematangkan ilmuku, agar dapat menempatkan diri pada tataran orang-orang berilmu. Meskipun barangkali pada tataran yang paling rendah.”

“Kau memang seorang anak muda yang rendah hati” berkata Widigda, “tetapi dengan demikian maka aku menjadi semakin yakin akan kemampuanmu” Widigda berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, “Sebenarnyalah aku mengenal orang-orang berilmu tinggi dari belahan ilmu Bajra Geni. Guruku mengenal seorang yang berilmu sangat tinggi. Namanya Witantra. Meskipun Witantra masih lebih muda dari guruku, tetapi ilmunya benar-benar tidak tertandingi.”

“Paman Witantra” desis Mahisa Murti diluar sadarnya.

“Kau tentu mengenalnya” desis Widigda.

“Ya” Mahisa Murti mengangguk-angguk, “sekarang paman Witantra sudah tidak ada lagi.”

“Aku sudah mendengar. Tetapi apa hubungannya dengan kau anak muda. Apakah Witantra itu kakek gurumu atau siapa?” bertanya Widigda.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Ayahku Mahendra adalah adik seperguruan paman Witantra”

“O” orang itu mengangguk-angguk, “jadi kau anak adik seperguruan Witantra?”

“Ya” jawab Mahisa Murti.

“Pantas, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi” desis Widigda. Lalu katanya pula, “Adik seperguruan Witantra tentu seorang yang berilmu sangat tinggi pula.”

“Tidak” jawab Mahisa Murti, “ayahku bukan seorang yang berilmu tinggi sebagaimana paman Witantra. Apalagi aku dan adik-adikku.”

Widigda mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Sambega, maka dilihatnya Sambega selalu menundukkan wajahnya saja. “Sambega” berkata Widigda, “kau tidak perlu murung. Anak muda ini berdiri di jalur perguruan yang sudah kita kenal. Guru kita mengenal Witantra juga Mahendra. Karena itu, maka kita tidak berada di tempat orang asing.”

Sambega mengangguk kecil. Katanya, “Justru aku berada di sini, aku merasa sangat malu.”

“Tidak. Semuanya sudah dilupakan.” berkata Widigda.

Namun Sambega masih saja merasa rendah diri atas tingkah lakunya. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa Mahisa Murti adalah anak Mahendra yang dikenal oleh gurunya. Bahkan gurunya merasa kagum akan ilmu yang dimiliki oleh Witantra dan Mahendra saat itu sepeninggal Kebo Ijo, yang dibunuh oleh ketamakannya sendiri.

Sementara itu Mahisa Murti berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Karena itu, maka ia pun telah bertanya, “Ki Sanak. Jika demikian, apakah guru Ki Sanak itu masih ada?”

“Tidak. Guruku lebih tua dari Witantra. Ia telah meninggal lebih dahulu. Sebagaimana kau lihat, kami murid-muridnya pun sudah setua ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, Widigda pun masih saja bertanya tentang berbagai macam persoalan, terutama yang menyangkut Padepokan itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti pun bersikap lebih akrab ketika ia mengetahui bahwa keduanya itu telah mengenal Witantra dan juga ayahnya, setidak-tidaknya nama Mahendra. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menawarkan kepada mereka untuk tinggal lebih lama lagi di Padepokan itu. Keduanya memang tidak menolak. Widigda dan Sambega justru merasa berterima kasih sekali, bahwa mereka mendapat kesempatan untuk tinggal di Padepokan itu.

Dalam pada itu, Sambega masih saja sangat tertarik kepada latihan-latihan yang dilakukan oleh Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Hampir setiap saat Sambega selalu menunggui anak-anak itu berlatih. Namun agaknya Mahisa Amping sendiri masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan menghadapi Sambega. Rasa-rasanya Sambega masih saja akan menerkamnya dan membawanya lari keluar Padepokan Bajra Seta.

Tetapi ketika hal itu disampaikannya kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Kau tidak perlu takut lagi Amping. Orang itu ternyata bukan orang jahat. Tetapi penderitaan yang dialaminya yang telah membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Juga atas keinginan-keinginannya untuk menutupi kegelisahannya.”

“Bagaimana jika kehilangan kendali itu terjadi lagi dengan tiba-tiba?” bertanya Mahisa Amping.

“Saudara seperguruannya ada di sini. Ki Widigda mempunyai pengaruh yang cukup besar atas Ki Sambega” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk mengerti. Tetapi jika di dalam sanggar ia melihat sepasang mata Ki Sambega yang bagaikan menyala, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia tidak mampu memusatkan nalar budinya dalam latihan-latihan itu.

Tetapi lambat laun agaknya Ki Sambega sendiri dapat mengerti perasaan anak itu. Tetapi karena ia selalu ingin menyaksikan Mahisa Amping dan Mahisa Semu berlatih, maka setiap kali ia minta Ki Widigda atau bahkan Mahisa Murti sendiri menemaninya, sehingga hati Mahisa Amping merasa tenang. Dengan demikian maka latihan-latihan yang dilakukannya pun menjadi lebih baik.

Dengan demikian maka rasa-rasanya Ki Sambega semakin kerasan tinggal di padepokan itu. Rasa-rasanya ia mendapat kesempatan untuk dapat menunggui lagi anaknya yang pernah hilang. Tetapi yang tidak terduga-duga itu telah terjadi.

Ternyata saudara seperguruannya yang pernah datang dan membunuh isteri dan anaknya itu telah mencarinya. Bahkan akhirnya mereka mengetahui bahwa Ki Sambega ada di Padepokan Bajra Seta. Untuk beberapa hari lamanya, orang itu mengamati dari kejauhan, apakah benar Ki Sambega ada di Padepokan itu.

Sebenarnyalah, bahwa pada satu hari mereka memang melihat Ki Sambega itu berada di luar pintu gerbang Padepokan Bajra Seta bersama Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan dan beberapa orang cantrik. Mereka sedang menghirup udara yang cerah di sore hari sekaligus menerima kunjungan beberapa orang anak muda dari padukuhan sebelah yang sedang mempersiapkan keramaian di padukuhan mereka. Mereka ingin mempergelarkan kemampuan beberapa orang anak muda padukuhan yang serba sedikit menguasai unsur-unsur gerak latihan dasar olah kanuragan.

“Tentu saja sekedar bermain-main” berkata anak muda yang tertua di antara mereka. Lalu katanya, “Kami ingin mendapat beberapa petunjuk, apa yang sebaiknya kami lakukan untuk rencana itu. Kami tidak ingin terjadi salah paham, seakan-akan kami dengan sengaja memamerkan kemampuan yang baru setitik itu.”

Wantilan tersenyum. Katanya, “Satu rencana yang baik. Jika kalian menyelenggarakan pergelaran itu dengan niat yang baik, maka tentu tidak akan ada yang menuduh kalian sekedar menyombongkan diri.”

“Sementara itu, apa yang sepantasnya menjadi bahan pergelaran itu pun ingin kami dapatkan dari mereka yang memiliki kemampuan yang cukup.” berkata anak muda itu.

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kalian sudah cukup berhati-hati. Baiklah kalian bertemu langsung dengan Mahisa Murti.”

Anak muda yang tertua di antara mereka itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “ Terima kasih atas kesempatan itu.”

Kepada Mahisa Semu, Wantilan berkata, “Ajak mereka menemui kakakmu jika ia tidak sedang sibuk.”

Sementara mereka memasuki gerbang Padepokan Bajra Seta, maka Sambega pun berkata, “Tentu akan menjadi tontonan yang menarik. Aku ingin melihat bagaimana anak-anak itu melaksanakan rencananya. Mungkin di antara mereka ada anak-anak yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”

Wantilan yang mengetahui bahwa Ki Sambega itu merindukan seorang anak, maka ia pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Jika saja kau dapat menunggunya.”

“Aku tidak mempunyai rencana yang harus segera aku lakukan. Jika saja aku masih diperkenankan berada di Padepokan ini, maka aku akan menunggu.”

“Tentu. Padepokan ini tidak mempunyai keberatan apapun seandainya kau akan tinggal di sini lebih lama lagi.”

Untuk beberapa lamanya, Sambega masih berada di depan pintu gerbang bersama Wantilan dan beberapa orang cantrik. Namun kemudian mereka pun telah masuk pula melalui regol yang kemudian ditutup.

Beberapa orang di kejauhan melihat, bahwa Sambega benar-benar berada di Padepokan itu. Mereka telah melihat sendiri sehingga dengan demikian mereka tidak akan ragu-ragu lagi.

“Kita akan menemui pemimpin dari Padepokan kecil ini.” berkata salah seorang dari mereka.

“Bukan sebuah padepokan kecil” berkata seorang yang lain, “nampaknya sebuah padepokan yang besar.”

“Yang besar adalah bangunan dan barak-baraknya. Tetapi aku tidak yakin, bahwa ada seorang di antara mereka yang berilmu tinggi. Agaknya Sambega telah dikagumi, sehingga ia akan mempunyai pengaruh yang sangat besar di padepokan itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu saudara seperguruan Sambega itu berkata, “Aku akan memasuki padepokan itu. Aku akan minta agar Sambega diberikan kepadaku. Kali ini umurnya tidak akan terlepas lagi dari tanganku.”

“Iblis itu termasuk licin. Ternyata ia masih dapat bertahan hidup.” berkata kawannya.

“Ia memang licik. Ia dapat berpura-pura mati.” sahut adik seperguruannya, “jika saja saat itu aku tahu bahwa ia masih hidup. Aku tentu akan mencincangnya menjadi sayatan-sayatan kecil.”

“Tetapi hidupnya tentu sudah tidak berarti lagi setelah isteri dan anaknya terbunuh.” gumam kawannya.

“Perempuan terkutuk. Jika saja ia memilih aku untuk menjadi isterinya, maka ia akan menjadi seorang perempuan yang memiliki apa saja yang ia inginkan. Tetapi karena ia memilih menjadi isteri Sambega, maka ia mengalami nasib buruk. Mati dalam keadaan yang tidak sepantasnya.”

Kawannya tidak menyahut. Sementara itu saudara seperguruan Sambega berkata, “Besok kita masuki padepokan itu. Kita akan minta agar Sambega diberikan kepada kita, atau padepokan itu akan menjadi debu. Kita bukan saja berempat sebagaimana kita datang ke rumahnya dan membunuhnya bersama anak isterinya, meskipun kemudian ternyata bahwa ia luput dari maut. Sekarang kita berjumlah sepuluh orang. Padepokan itu akan kita hancurkan jika mereka menolak memberikan Sambega.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka merasa sebagai orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka akan mampu menaklukkan padepokan itu meskipun mereka tahu bahwa di padepokan itu terdapat banyak para cantrik yang tinggal.

“Dengan membunuh sepuluh atau dua puluh orang, maka yang lain tentu akan menyerah” berkata saudara seperguruan Sambega itu. Sedangkan orang-orang itu menganggap bahwa membunuh sepuluh atau dua puluh orang bukanlah pekerjaan yang sulit bagi mereka.

Namun ketika malam tiba, orang-orang itu masih menunggu. Meskipun demikian bergantian mereka mengawasi regol padepokan itu agar Sambega tidak sempat meninggalkan padepokan itu.

“Besok pagi-pagi aku akan memasuki padepokan itu” berkata saudara seperguruan Sambega.

Malam itu tidak terjadi sesuatu di padepokan. Anak-anak muda dari padukuhan sebelah telah pulang dengan bekal petunjuk dari Mahisa Murti, apa yang sebaiknya mereka lakukan jika mereka ingin mempergelarkan unsur-unsur olah kanuragan. Mahisa Murti mengingatkan kepada mereka, agar unsur-unsur itu dipertunjukkan sebagaimana mereka mempertunjukkan sebuah tarian.

Seperti direncanakan, maka ketika matahari mulai memanjat naik, maka sepuluh orang yang merasa dirinya berilmu tinggi telah mendatangi Padepokan Bajra Seta. Dengan sikap yang garang, mereka mendekati pintu gerbang Padepokan.

Para cantrik yang bertugas di regol telah menyapa mereka sambil mengangguk hormat. Namun saudara seperguruan Sambega dengan kepala tengadah menjawab, “He, bawa aku kepada Sambega.”

Seorang cantrik yang tertua di antara mereka yang bertugas mengerutkan dahinya. Ia merasa heran melihat sikap orang-orang itu. Para cantrik di regol telah menangguk hormat. Mereka bertanya dengan baik, apakah mereka mempunyai satu kepentingan atau ingin bertemu atau berbicara dengan siapa. Tetapi jawaban orang itu ternyata terlalu kasar.

Meskipun demikian cantrik-cantrik itu masih menahan diri. Yang tertua di antara mereka bertanya pula, “Apa yang sebenarnya kalian kehendaki?”

“He, apakah kau tuli? Bawa Sambega kepadaku” bentak orang itu dengan kasar.

Cantrik yang sedang bertugas itu mulai tersinggung. Karena itu, maka yang tertua di antara mereka menjawab, “Ki Sanak. Ki Sanak tamu di padepokan ini. Kalian tidak dapat bersikap seperti itu.”

“Tutup mulutmu atau aku pilin lidahmu. Dengar, bawa Sambega kemari. Kau tidak dapat berbohong, karena aku melihat Sambega ada di sini.” bentak orang itu.

Namun cantrik yang bertugas dan merasa bertanggung jawab itu tidak begitu saja tunduk kepada orang itu betapapun orang itu nampak garang, keras dan kasar. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti yang sudah mendapat laporan tentang kedatangan sepuluh orang itu pun telah melangkah ke pintu gerbang diikuti oleh Wantilan dan Mahisa Semu serta beberapa cantrik tertua di Padepokan itu.

Saudara seperguruan Sambega itu memandang Mahisa Murti dengan kening yang berkerut. Anak muda itu nampak begitu yakin akan sikapnya. Tanpa ragu-ragu Mahisa Murti melangkah mendekati orang-orang yang mendatangi padepokannya itu.

“Apa yang kalian cari Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku tidak akan mengulangi beberapa kali. Bawa Sambega kemari” jawab saudara seperguruan Sambega itu.

“Apakah kalian ingin bertemu dengan Ki Sambega?” bertanya Mahisa Murti.

“Apakah kau tuli?” orang itu membentak keras-keras.

Sambega dan Widigda ternyata mendengar keributan di pintu gerbang. Dari bangunan induk mereka melihat bahwa yang datang itu adalah saudara seperguruan mereka dengan beberapa orang kawannya.

...Ada bagian cerita yang hilang di buku aslinya...

Wajah Widigda menjadi merah. Ia pun kemudian melangkah maju dan berdiri di sebelah Sambega, “Aku tidak dapat menerima kenyataan ini. Lengkara, jika kau memang berbuat licik seperti itu, maka aku akan bertempur di pihak Sambega. Meskipun kau bersama dengan sepuluh orang berilmu tinggi, namun kami tidak akan gentar. Jika kami memang harus mati, maka biarlah kematian kami merupakan kematian seorang laki-laki.”

“Kakang Widigda” geram Lengkara, “aku sudah memperingatkanmu. Aku dan kau tidak mempunyai persoalan selain karena kau sudah membantu penyembuhan Sambega. Tetapi itu sudah aku maafkan. Tetapi jika kau sekarang masih akan membantu Sambega lagi, maka jika kau mati sekarang pula, itu bukan salahku.”

“Kau tidak perlu merasa bersalah. Kita sudah turun di arena pertempuran. Maka kematian adalah akibat yang wajar yang dapat terjadi atas mereka yang sedang bertempur"

Lengkara menggeretakkan giginya. Katanya, “Jika itu yang kau kehendaki, maka baiklah. Kita akan menunjukkan, siapakah di antara kita yang akan berhasil membunuh lawan.”

“Membunuh dengan cara yang licik, bukan satu kebanggaan Lengkara.” berkata Widigda.

“Aku memang tidak sedang membanggakan diri. Yang penting bagiku adalah membunuh Sambega dengan cara apapun juga. Jika dalam hal ini kau juga terbunuh meskipun aku sudah memberimu peringatan berulang kali, maka kau sendirilah yang membunuh dirimu sendiri.” sahut Lengkara.

Namun dalam pada itu, sebelum pertempuran itu mulai lagi, maka tiba-tiba Mahisa Murti telah melangkah maju pula sambil berkata, “Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku akan meminjamkan tempat ini untuk melakukan satu perang tanding yang jujur. Karena itu, maka jika yang terjadi bukan lagi satu perang tanding yang jujur, maka aku sangat berkeberatan untuk memberikan tempatku ini sebagai ajang pertempuran yang licik dan curang.”

“Setan kau” teriak Lengkara, “kau berani mencampuri persoalan ini? He, siapakah yang kau maksud dengan licik dan curang itu?”

“Jadi kau masih bertanya, siapakah yang licik dan curang?” justru Mahisa Murti telah bertanya pula.

“Jawab, atau kau juga akan mati dan padepokanmu akan menjadi padepokan kami.” geram Lengkara.

“Baik. Aku akan menjawab” nada suara Mahisa Murti menjadi berat, “Meskipun jawaban ini sudah kau ketahui. Kaulah yang licik dan curang itu.”

“Setan kau. Jadi kau benar-benar ingin melibatkan diri dengan tidak memberikan tempatmu ini sebagai ajang pertempuran ini?” bertanya Lengkara.

“Ya” jawab Mahisa Murti tegas, “aku minta kau tinggalkan tempatku ini, atau aku dan seisi padepokan ini akan mengusirmu.”

“Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui selama ini. Kau kira kau dapat mengusir aku? Kau ini siapa he? Dan aku ini siapa?”

“Aku adalah Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra Seta, sedangkan kau adalah seorang saudara seperguruan yang dengki sehingga mendendam sampai ke ubun-ubun. Kau kira bahwa dendam seperti itu akan dapat menyelesaikan persoalan? Dengar Lengkara, dendammu akan menyala sampai ke akhir batas keturunanmu jika keturunanmu kelak berpendirian seperti kau. Dendam yang tidak berkeputusan serta dendam berbalas dendam, kapan dendam itu akan berakhir sehingga keturunanmu akan mengalami hidup tenteram?”

“Diam kau tikus yang dungu. Dengar, aku tidak akan pergi. Tetapi aku akan membunuh kedua orang saudara seperguruanku yang tidak tahu diri, membunuhmu dan membunuh semua cantrikmu yang tidak mau tunduk kepadaku. Aku akan memiliki dan memimpin padepokan ini” geram Lengkara.

Mahisa Murti tidak dapat tinggal diam. Ia tahu bahwa kawan-kawan Lengkara tentu orang-orang berilmu tinggi. Tetapi ia mempunyai beberapa orang cantrik yang sudah mendapat bekal yang cukup. Sedangkan jumlahnya pun cukup banyak.

Karena itu, ketika Mahisa Murti memberikan isyarat, maka Wantilan dan Mahisa Semu segera bertindak. Mereka langsung memberikan isyarat pula kepada beberapa orang cantrik tertua yang sudah memiliki kemampuan kanuragan yang cukup untuk menyusun kelompok-kelompok kecil. Mereka pun dengan cepat mempersiapkan diri dengan senjata-senjata mereka. Terutama senjata lontar. Pisau-pisau belati dan lembing disamping pedang di lambung.

Lengkara menjadi semakin marah. Sementara Widigda berkata, “Angger Mahisa Murti. Biarlah kami mengatasi persoalan kami sendiri. Kami tidak ingin menyulitkan kedudukan angger di sini.”

“Tempat ini adalah tempat kami. Karena itu, sudah sewajarnya jika kami menentukan, apa yang sebaiknya kami lakukan,” jawab Mahisa Murti.

Widigda tidak menjawab lagi. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Mahisa Murti sebagai pemimpin Padepokan Bajra Seta. Namun Widigda pun berharap, bahwa ia tidak salah hitung, bahwa Mahisa Murti pun memiliki bekal ilmu yang memadai, sehingga akan dapat mempertahankan diri menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Demikianlah, maka kedua belah pihak itu pun segera mempersiapkan diri. Lengkara yang sudah tidak sabar lagi berteriak sekali lagi, “Cepat, kenapa kalian menghiraukan tikus-tikus dungu itu?”

...Ada bagian cerita yang hilang di buku aslinya...

Tetapi Mahisa Amping telah terlanjur berteriak. Lengkara yang sempat memandang Mahisa Amping pun mengumpat kasar. Dengan geram ia berkata, “Aku ingin mengoyak mulutmu, tikus kecil.”

Mahisa Amping memang berusaha untuk menjaga mulutnya, agar tidak menyahut lagi. Betapapun dadanya menjadi sesak, tetapi anak itu memang mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Dalam pada itu, Lengkara pun kemudian berkata kepada Sambega, “Sambega, bersiaplah untuk mati. Kita akan membuat perhitungan sekarang.”

Sambega menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah siap, Lengkara.”

Lengkara pun segera melangkah maju, sementara kawan-kawannya berdiri berkelompok. Namun mereka semuanya telah bersiap untuk berbuat sesuatu setiap saat Lengkara memberikan isyarat.

Dalam pada itu, Widigda dan Mahisa Murti berdiri di sebelah yang lain, seakan-akan mereka telah menempatkan diri pada sisi yang berlawanan. Sedangkan Wantilan, Mahisa Semu dan beberapa orang cantrik tertua telah berderet pula membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar. Sedangkan para cantrik yang lain pun agaknya tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi.

Mahisa Murti tidak melarang para cantrik menyaksikan kedua orang saudara seperguruan yang telah dibakar oleh dendam itu. Siapapun yang menang dan siapapun yang kalah, maka dendam yang membakar dua orang saudara seperguruan itu akibatnya selalu buruk. Apalagi jika harus jatuh korban di antara mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Lengkara telah mulai menyerang, sementara Sambega bergeser selangkah surut. Namun kemudian, serangan-serangan Lengkara mengalir seperti banjir bandang. Arus dendamnya benar-benar tidak terbendung lagi. Rasa-rasanya ia ingin langsung membunuh saudara seperguruannya itu. Sambega memang terdesak. Ia terkejut atas serangan-serangan yang keras dan kasar dari saudara seperguruannya itu.

Namun, dendam di dadanya juga sudah menyala. Serangan-serangan Lengkara itu seperti curahnya minyak menyiram api dendamnya itu, sehingga berkobar bagaikan menggapai langit. Sambega ternyata tidak menahan diri lagi. Yang terbayang adalah istri dan anaknya yang telah mati terbunuh. Kemudian kegilaannya sendiri saat ia hampir saja dengan paksa mengambil seorang gadis yang sudah siap untuk menikah karena wajahnya mirip dengan istrinya yang terbunuh. Juga kegilaannya untuk mengambil Mahisa Amping untuk dijadikan pengganti anaknya yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka keduanya telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat. Mereka ingin dengan cepat pula membunuh saudara seperguruannya itu.

Widigda menyaksikan pertempuran itu dengan saksama, ketika ia masih berkumpul bersama kedua orang saudara seperguruannya itu, ia tahu pasti bahwa ilmu Sambega lebih baik dari ilmu Lengkara. Namun saat itu Widigda melihat bahwa unsur-unsur gerak yang dipergunakan Lengkara sudah tidak murni lagi dari perguruan mereka. Dengan demikian, maka Widigda yakin bahwa Lengkara telah memperdalam ilmunya untuk pada suatu saat dapat membalas dendam.

Karena itu, maka Widigda sempat menjadi berdebar-debar. Sementara itu, ia masih melihat Sambega beralaskan ilmu yang agaknya masih murni. Unsur-unsur gerak yang dipergunakannya semuanya telah dikenalnya. Namun kegelisahannya pun menjadi semakin susut ketika ia melihat bahwa ilmu Sambega itu telah menjadi semakin matang. Meskipun ia tidak melengkapi ilmunya dengan ilmu dari jalur perguruan yang lain, namun Sambega selama bertahun-tahun telah meningkatkan dan mengembangkan ilmunya itu sehingga menjadi semakin meyakinkan.

Karena itu, meskipun Sambega juga mengerti bahwa ada unsur-unsur gerak yang terasa asing pada ilmu saudara seperguruannya, namun Sambega sama sekali tidak menjadi cemas. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin seru. Keduanya telah keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka dalam bayangan dendam dan kebencian.

Lengkara yang telah mewarnai ilmunya dengan jalur ilmu perguruan yang lain itu pun nampak semakin keras dan kasar. Serangan-serangannya kemudian datang seperti hentakan ombak yang menghantam tebing lautan. Berturut-turut susul menyusul. Tetapi Sambega pun sudah menjadi sekokoh batu-batu karang di pantai. Dengan kekuatan dan daya tahan yang tinggi, maka serangan-serangan Lengkara itu tidak menggoyahkan pertahanannya.

Dengan demikian, maka keduanya yang saling dendam itu telah saling menyerang dan saling bertahan. Sambega yang telah mematangkan ilmunya itu menyerang Lengkara seperti putaran angin pusaran. Namun dengan licin, Lengkara selalu berhasil keluar dari pusat putaran serangan Sambega.

Selain Widigda, maka Mahisa Murti yang juga berilmu tinggi itu memperhatikan pertempuran antara kedua orang saudara seperguruan itu dengan seksama. Mahisa Murti segera dapat melihat bahwa Lengkara telah melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur gerak dari jalur perguruan yang lain sebagaimana Mahisa Murti sendiri tidak hanya berpijak pada ilmu yang diwarisinya dari ayahnya saja.

Namun Mahisa Murti masih mengenali watak dan sifat ilmu Sambega yang bersumber dari satu perguruan, namun yang sudah ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga menjadi semakin matang. Karena itulah, maka pertempuran itu menjadi sangat mendebar-debarkan, karena tidak segera dapat diketahui, siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Namun semakin lama Lengkara sendiri semakin merasa betapa saudara seperguruannya itu telah mematangkan ilmunya. Meskipun ia telah melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur dari perguruan lain. Lengkara sendiri merasa bahwa sulit untuk mengatasi ilmu Sambega yang ternyata sudah menjadi semakin matang. Meskipun demikian, Lengkara masih mencoba mengerahkan kemampuannya. Ia bergerak semakin cepat. Kekuatannya pun seakan-akan menjadi semakin besar, sementara serangan-serangannya menjadi semakin garang.

Tetapi Sambega pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun mampu meningkatkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh Lengkara. Jika sekali-sekali Lengkara menyerang dengan mempergunakan unsur-unsur gerak yang disadapnya dari jalur perguruan lain, maka Sambega justru menunjukkan kematangan ilmunya. Unsur-unsur dari jalur perguruan lain itu tidak membuatnya menjadi kebingungan.

Lengkara justru menjadi semakin marah. Tangannya dengan garangnya menyambar-nyambar. Sekali bergerak bagaikan kapak yang siap membelah sebatang gelondong kayu yang besar. Namun jika serangan itu luput dari sasarannya, maka tangan Lengkara pun menebas mendatar. Tetapi memang tidak mudah menyentuh tubuh Sambega. Tangannya yang cacat itu pun mampu menangkis serangan-serangan yang datang beruntun dengan cepat.

Bahkan ketika tangan Lengkara menyambar keningnya, maka Sambega menangkis sambaran tangan itu hanya dengan ujung jarinya yang tinggal sebuah di satu sisi tangannya, sementara tangannya yang lain, yang mempunyai jari-jari utuh, justru menyambar lambung Lengkara.

Lengkara mengaduh kesakitan sambil meloncat surut untuk mengambil jarak. Sambega ternyata tidak memburunya. Ia berdiri tegak memandang saudara seperguruannya yang kesakitan itu. Tetapi matanya yang memancarkan api dendam itu masih saja bagaikan menyala. Ia justru menunggu agar Lengkara mengetrapkan ilmu puncaknya, sehingga ia pun akan membenturnya dengan ilmu yang sama.

Namun Sambega masih berharap bahwa kematangan ilmunya tidak akan berada dibawah kematangan ilmu Lengkara. Bahkan seandainya ilmunya tidak lebih baik dari ilmu Lengkara, namun ia yakin bahwa ilmunya tidak berada dibawah ilmu saudara seperguruannya. Jika dengan demikian maka mereka akan mati bersama, maka Sambega sama sekali tidak merasa berkeberatan. Dendamnya sudah dituangkannya, sementara sisa hidupnya tidak akan berarti apa-apa lagi.

Sementara itu Lengkara berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari Sambega. Kemarahannya memancar dari wajahnya yang bagaikan membara.

Sambega yang nampak lebih tenang dari Lengkara itu pun kemudian berkata, “Lengkara. Kita berguru pada perguruan yang sama, kita mempunyai bekal ilmu yang sama. Aku tidak tahu siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, jika kau ingin menjajagi kemampuan kita dengan mengadu ilmu puncak yang sama-sama kita pelajari dari guru yang sama, marilah. Meskipun kau sudah melengkapi ilmumu dengan ilmu dari perguruan lain, namun aku masih tetap bersiap membuat perbandingan ilmu itu.”

Jantung Lengkara menjadi semakin terbakar. Tetapi ia masih tetap menyadari bahwa ia ragu-ragu apakah ilmu puncaknya akan dapat mencapai tataran yang sama dengan Sambega. Karena itu untuk beberapa saat Lengkara justru berdiri mematung. Namun tatapan matanya yang tajam bagaikan menusuk tembus ke jantung Sambega.

Karena Lengkara tidak segera berbuat sesuatu, maka Sambega pun berkata, “Lengkara. Kenapa kau justru ter­diam? Marilah, segeralah bersiap. Kita akan membuat per­bandingan ilmu puncak kita. Bersiaplah, aku akan segera melakukannya. Demi nama baik keluargaku, demi nama isteri dan anakku yang telah kau bunuh, maka sekarang kita harus membuat perhitungan yang tuntas. Kau atau ahu akan mati. Bahkan mungkin kita akan mati bersama-sama jika ternyata tataran ilmu kita sama tinggi, sementara daya tahan kita sama-sama tidak cukup kuat untuk bertahan.”

“Iblis Kau Sambega” geram Lengkara. Tetapi Lengkara tidak segera melakukan sesuatu Ia masih saja ragu-ragu, bahwa kemampuan puncaknya akan dapat mengimbangi kemampuan puncak Sambega yang bersumber pada ilmu yang sama. Namun yang nampaknya Sambega sempat mengembangannya dan lebih mematangkannya. Namun Sambega benar-benar tidak menunggu. Ia pun mulai mempersiapkan dirinya untuk memusatkan nalar budinya.

Wajah Lengkara menjadi semakin tegang. Namun ter­nyata Lengkara tidak sejantan Sambega yang cacat itu. Dalam keadaan yang rumit itu, ia pun berteriak, “Selesaikan iblis itu.”

Sepuluh orang yang datang bersamanya itu dengan sigap­nya telah berloncatan berpencar. Demikian pula Lengkara telah meloncat berbaur dengan kawan-kawannya.

“Pengecut kau Lengkara” teriak Sambega yang menjadi sangat marah.

Bukan saja Sambega, namun Widigda pun berteriak pula, “Lengkara. Kau licik. Aku sudah mengatakan bahwa aku hanya menjadi saksi jika kalian menyelesaikan persoalan kalian dengan jujur. Tapi jika salah seorang di antara kalian tidak jujur, maka aku akan ikut campur pula.

“Aku tidak peduli” jawab Lengkara sambil berteriak pula, “Aku datang bersama sepuluh orang berilmu tinggi. Siapa yang mencoba menghalangi aku, maka aku akan membiasakannya. Karena itu kakang Widigda, jangan mencampuri persoalanku dengan Sambega yang memang sudah sewajarnya harus mati.”

Sepuluh orang kawan-kawan Lengkara itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka segera menyerang Widigda sementara Lengkara dan seorang yang lain telah menyerang Sambega. Sedangkan seorang di antara mereka telah bersiap menghadapi Mahisa Murti yang nampaknya masih sangat muda itu. Sedangkan yang lain harus menghadapi kelompok-kelompok cantrik yang dipimpin oleh Wantilan, Mahisa Semu dan beberapa orang cantrik tertua. Sementara itu, dua orang cantrik telah diminta oleh Wantilan agar menjaga Mahisa Amping.

“Anak itu tidak boleh ikut-ikutan” berkata Wantilan, “lawan-lawan yang dihadapi sekarang adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga keadaan akan sangat berbahaya baginya.”

Dengan cepat pertempuran pun telah menyala. Widigda yang harus menghadapi dua orang berilmu tinggi, memang harus mengerahkan segenap kemampuannya. Demikian pula Sambega. Ia tidak dapat melontarkan ilmu pamungkasnya, justru karena ia harus bertempur melawan dua orang bersama-sama. Namun Lengkara pun tidak juga segera mendapat kesempatan untuk melakukannya, karena berdua mereka melibat Sambega dalam pertempuran yang rapat.

Lengkara memang berniat membunuh Sambega tidak dengan ilmu pamungkasnya. Bagaimanapun juga ia masih juga ragu-ragu. Jika Sambega sempat membentur lontaran ilmunya dengan ilmu yang sama, maka ada kemungkinan lain terjadi atasnya. Meskipun seandainya kawannya dapat dengan cepat membantunya menyelesaikan Sambega, namun ia sendiri dapat mengalami kesulitan, bahkan mungkin ia tidak akan sempat melihat Sambega itu terkapar mati. Berdua Lengkara memang mampu mendesak Sambega. Betapapun Sambega mengerahkan kemampuannya, namun perlahan-lahan tetapi pasti ia mulai terdesak.

Di sisi lain, Widigda masih tetap bertahan. Kedua orang yang dihadapinya tidak memiliki bekal ilmu setinggi Lengkara. Namun bukan berarti bahwa Widigda dengan cepat mampu mengatasi lawannya, karena kedua orang lawannya itu juga berilmu tinggi. Setidak-tidaknya keduanya mampu bertahan untuk waktu yang lama.

Sementara atas pesan Lengkara sebelumnya, karena Lengkara memang menduga bahwa ada kemungkinan Widigda bersama Sambega, bahwa untuk melawan saudara-saudara seperguruannya, mereka jangan memberi kesempatan untuk dapat melepaskan ilmu pamungkasnya yang sangat berbahaya. Ternyata Lengkara dan kawan-kawannya benar-benar menemui Widigda bersama Sambega, meskipun hal itu sempat mengejutkannya.

Yang tidak dapat langsung mengetahui kemampuan lawannya adalah salah seorang di antara mereka yang bertemu dengan Mahisa Murti. Orang itu masih berusaha untuk menjajagi kemampuan anak muda yang menjadi pemimpin Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi karena orang itu sama sekali masih belum mengetahui kemampuan Mahisa Murti, maka orang itu berniat untuk mulai dari permulaan.

Namun sejak semula, sebagaimana Lengkara, orang itu menganggap betapapun tinggi ilmu anak muda itu, namun dalam kemudaannya, ilmunya tentu masih belum masak. Karena itu, maka orang itu masih belum bersungguh-sungguh menghadapi Mahisa Murti yang menyadari akan sikap lawannya itu.

Namun ternyata Mahisa Murti bersikap lain. Ia sadar, bahwa orang-orang berilmu tinggi itu akan sangat sulit dihadapi oleh para cantriknya meskipun dalam kelompok-kelompok yang sudah disusun sebaik-baiknya. Mahisa Murti tidak ingin para cantriknya menjadi korban karena persoalan orang lain.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun bertindak cepat. Ia tidak memberi waktu terlalu lama kepada lawannya. Demikian Mahisa Murti mulai, maka ia pun telah mengetrapkan ilmunya yang dapat menyusut kekuatan dan kemampuan lawannya.

Lawannya yang masih saja merendahkan Mahisa Murti sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Karena itu, maka ketika Mahisa Murti menyerangnya, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Tetapi dengan tenaganya yang besar, orang itu membentur serangan Mahisa Murti.

Mahisa Murti memang sengaja meloncat surut. Sementara lawannya sempat tertawa dan berkata, “Marilah anak muda. Nampaknya kau memang ingin bermain api. Jika kau pemimpin Padepokan ini, maka kau dan seluruh cantrikmu tidak dapat melawan aku seorang diri. Apalagi aku bersama sepuluh orang yang datang ke padepokanmu ini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah memutuskan bahwa ia harus dengan cepat mengakhiri perlawanan lawannya itu untuk segera dapat melunakkan perlawanan orang yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun segera menyerang kembali. Meskipun serangannya nampak tidak berbahaya, namun sebenarnyalah bahwa serangan itu telah dilambari dengan ilmunya yang tidak segera dapat dilihat oleh lawannya.

Beberapa saat benturan-benturan telah terjadi. Mahisa Murti menyerang dengan cepat dan beruntun. Namun lawannya dengan tangkas pula menangkis setiap serangan. Sekali-sekali ia memang menghindar. Tetapi karena ia merasa memiliki kekuatan yang sangat besar, maka orang itu memang lebih banyak menangkis serangan Mahisa Murti.

Beberapa kali terjadi benturan orang itu masih saja tertawa, karena Mahisa Murti setiap kali harus berloncatan mundur. Namun ketika serangan itu datang terus-menerus, maka lawannya itu mulai merasakan kelainan pada dirinya.

Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Kemarahannya telah membakar jantungnya. Ia memang tidak rela bahwa ada cantrik padepokannya yang jatuh menjadi korban, sedangkan persoalannya sama sekali tidak menyangkut padepokannya itu. Tetapi Mahisa Murti memang benar-benar tidak dapat membiarkan kecurangan terjadi di Padepokannya yang dilakukan oleh Lengkara dan kawan-kawannya.

Betapapun Mahisa Murti mengekang dirinya, maka ketika ia melihat seorang lagi di antara para cantriknya yang terlempar keluar dari arena pertempuran dengan darah yang memancar dari luka di dadanya, maka jantungnya memang menjadi panas.

Dengan sorot mata yang menyala Mahisa Murti memasuki arena pertempuran itu. Kepada para cantrik ia berkata, “Bergabunglah dengan kawan-kawanmu yang lain. Atasi orang-orang yang telah melanggar hak dan wewenang kita di padepokan ini. Aku akan membuat perhitungan dengan orang yang telah melukai cantrik-cantrik padepokan kita ini.”

Para cantrik itu pun segera berloncatan mundur. Namun hati mereka pun mulai berkembang ketika mereka melihat Mahisa Murti sendiri telah datang membantu mereka.

Sementara itu orang yang bertubuh raksasa itu pun dengan garangnya menggeram, “He anak muda. Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau juga ingin mengalami sebagaimana di alami oleh cantrik-cantrikmu? Mereka telah terluka parah. Bahkan mereka sekarang agaknya sudah mati.”

“Jadi kau memang sengaja membunuh Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya, kenapa?” orang itu kemudian tertawa, “bukankah kita sedang bertempur? Aku akan membunuh cantrikmu sebanyak-banyaknya. Bahkan membunuhmu karena kebodohanmu sendiri. Dan sekarang kau sudah datang untuk menyerahkan nyawamu...”