Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 106 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 106
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SAWUNG TUNGGUL sendiri memang juga masih terhitung muda. Tetapi tidak semuda Mahisa Semu. Bahkan Sawung Tunggul sedikit lebih tua dibandingkan dengan Mahisa Murti. Ketika ia bertemu dengan Mahisa Semu di pertempuran, maka dengan heran ia bertanya, “He, anak muda. Kenapa kau bermain-main di pertempuran yang sengit ini?”

“Kau mulai merendahkan aku” sahut Mahisa Semu.

“Aku tidak berniat merendahkanmu. Tetapi apakah kerjamu di pertempuran ini?” bertanya Sawung Tunggul.

“Aku memang sedang melihat pertempuran ini” jawab Mahisa Semu, “nampaknya para cantrik dari Padepokan Ngancas tidak mempunyai banyak kesempatan.”

“Mungkin” jawab Sawung Tunggul, “tetapi di sini bukan hanya ada para cantrik dari Padepokan Ngancas.”

“Ya. Aku tahu. Ada tiga padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas.”

“Antara lain adalah padepokanku. Padepokan Sawung Tunggul, sama seperti namaku sendiri.”

“O” Mahisa Semu mengangguk-angguk.

Sementara Sawung Tunggul bertanya, “Siapa namamu anak muda?”

“Mahisa Semu”

“Apakah kau juga saudaranya Mahisa Murti.” bertanya lawannya yang mulai memperhatikan Mahisa Semu.

“Ya. Aku adiknya” jawab Mahisa Semu. Sebenarnyalah Sawung Tunggul menjadi berdebar-debar.

Ternyata ia telah bertemu dengan saudara Mahisa Murti yang telah didengar namanya, justru karena saudaranya yang lain, Mahisa Pukat pernah mengalahkan gurunya, Empu Damar.

Namun, Sawung Tunggul itu pun kemudian menggeram, “Anak muda. Meskipun kau adalah saudara Mahisa Murti dan tentu juga saudara Mahisa Pukat, namun umurmu masih belum seberapa. Kau belum pantas untuk memasuki arena pertempuran seperti ini.”

“Bagaimana yang pantas menurut penilaianmu? Yang sudah tua atau pikun atau seumurmu?” bertanya Mahisa Semu.

“Agaknya lidahmu juga setajam pedangmu itu,” desis Sawung Tunggul, “jika demikian, baiklah. Kita berhadapan sebagai lawan dalam sebuah pertempuran. Bukan salahku jika aku telah menyakiti dan apalagi membunuh anak-anak, karena anak-anak itu bermain-main di gelanggang pertempuran.”

Tetapi yang lebih menyakitkan hati Sawung Tunggul adalah bahwa Mahisa Semu justru tertawa. Katanya, “Aku senang bertemu dengan kau. Ternyata kau juga senang bergurau.”

“Iblis kecil,” geram Sawung Tunggul, “ternyata umurmu memang tidak akan panjang, karena sebentar lagi kau akan mati.”

Mahisa Semu masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Ia melihat kemarahan telah menyala di mata Sawung Tunggul itu, sehingga karena itu maka ia harus menjadi sangat berhati-hati.

Sebenarnyalah, maka sekejap kemudian Sawung Tunggul itu telah meloncat menyerang Mahisa Semu. Agaknya ia masih tetap menganggap Mahisa Semu itu sebagai kanak-kanak. Karena itu, maka serangannya pun sama sekali tidak berbahaya bagi Mahisa Semu yang telah ditempa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan tangkasnya Mahisa Semu menghindari serangan itu.

Bahkan dengan tidak diduga sama sekali, anak muda itu demikian kakinya menyentuh tanah, tubuhnya telah melenting menyerang Sawung Tunggul yang masih merasa kehilangan lawannya itu. Serangan itu menjadi sangat mengejutkan. Namun Sawung Tunggul ternyata masih sempat meloncat menghindari serangan itu, bahkan dengan satu loncatan panjang.

Mahisa Semu memang tidak memburunya. Dibiarkannya Sawung Tunggul memperbaiki kedudukannya. Bahkan Mahisa Semu yang masih sangat muda itu sempat bertanya, “Apakah kau terkejut?”

Sawung Tunggul tidak menjawab. Tetapi ia menggeram sambil berkata, “Kau memang harus diselesaikan dengan cara yang terbaik bagi orang-orang yang berada di pertempuran.”

“Kita memang berada di pertempuran,” jawab Mahisa Semu.

“Setan kau,” Sawung Tunggul itu pun berteriak sambil meloncat menyerang. Tetapi Sawung Tunggul menjadi lebih berhati-hati. Ternyata anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu memiliki bekal kemampuan yang memadai untuk memasuki arena pertempuran.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sawung Tunggul yang marah itu segera mengerahkan kemampuannya setelah ia sempat menjajagi kemampuan Mahisa Semu. Sawung Tunggul ingin segera menghentikan perlawanan anak muda yang telah dengan sombong berani menghadapinya itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Sawung Tunggul benar-benar menjadi heran setelah ia benar-benar membenturkan ilmunya melawan anak yang masih dianggapnya sangat muda itu.

Di sekitar keduanya itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para cantrik dari padepokan-padepokan yang bermusuhan itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Di sisi lain anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta masih bertempur dengan sengitnya pula. Ternyata bahwa mereka pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya.

Karena itu maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka keringat pun menjadi semakin membasahi pakaian mereka yang sedang bertempur itu. Di sisi yang lain dari Padepokan Bajra Seta, pertempuran masih juga berlangsung seperti di medan yang lain. Para cantrik telah mengerahkan kemampuan mereka masing-masing sehingga mereka menjadi saling mendesak dan saling bertahan.

Di depan Padepokan Bajra Seta, pasukan induk dari Padepokan Ngancas telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka memang berusaha untuk menumpas anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu. Tetapi ternyata mereka tidak dapat melakukannya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta benar-benar telah menyerap sebagian besar dari kekuatan para cantrik yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu.

Dalam pada itu, dua orang petugas sandi dari Singasari memperhatikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Kekuatan kedua belah pihak nampaknya tidak banyak terpaut. Jumlahnya mungkin memang agak berbeda. Padepokan Ngancas yang didukung oleh ketiga padepokan yang lain datang dengan jumlah yang lebih banyak. Namun pada benturan pertama, jumlah mereka memang sudah berkurang. Sementara itu, maka kedatangan anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan telah mengurangi selisih jumlah kedua kekuatan yang sedang bertempur itu.

Dengan demikian maka sulit bagi kedua orang petugas sandi itu untuk menduga-duga, siapakah yang akan menang dalam pertempuran itu. Meskipun mereka berharap bahwa Padepokan Bajra Seta akan dapat mempertahankan dirinya. Keduanya bahkan telah naik ke panggungan di sebelah pintu gerbang yang terbuka itu untuk melihat apa yang telah terjadi di arena. Dari tempat yang agak tinggi itu mereka dapat mengamati pertempuran yang terjadi setidak-tidaknya dibagian depan Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu satu dua kelompok cantrik Padepokan Bajra Seta masih tetap berada di dalam padepokan. Terutama para cantrik yang belum lama berada di padepokan itu. Mereka harus berjaga-jaga jika ada satu dua orang lawan yang menyusup memasuki dinding padepokan untuk merusak dan apalagi membakar padepokan itu.

Untuk beberapa saat kedua orang petugas sandi itu mencoba untuk menilai. Menurut penglihatan mereka, para cantrik Padepokan Bajra Seta memang memiliki beberapa kelebihan dari lawan mereka. Selagi keduanya mengamati pertempuran itu, keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja Mahisa Amping telah berdiri di sebelah mereka. Dengan tegang anak itu melihat pertempuran yang sedang terjadi di depan padepokan Bajra Seta.

“He, kenapa kau ikut kemari?” bertanya salah seorang petugas sandi yang telah mengenal Mahisa Amping sebelumnya.

“Aku ingin melihat pertempuran itu,” jawab Mahisa Amping tanpa berpaling.

Perhatiannya memang terpancang pada pertempuran yang sedang terjadi. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Dengan senjata beradu ditimpa oleh teriakan-teriakan yang gemuruh serta bunga api yang menghambur dari benturan senjata, membuat suasana pertempuran itu menjadi semakin menggetarkan jantung.

Salah seorang dari kedua orang petugas sandi itu pun berkata, “Sebaiknya kau berada di bangunan induk Padepokan ini. Perang bukan tempat bagi anak-anak. Kau akan melihat kekerasan dan bahkan akibat yang mengerikan dari pertempuran itu.”

Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia tidak beringsut dari tempatnya. Seorang cantrik yang juga bertugas mengamati keadaan-pun telah mendekatinya pula. Katanya, “Masuklah. Tempat ini termasuk tempat yang berbahaya.”

Tetapi Mahisa Amping menggeleng. Katanya, “Mereka tidak akan sempat datang kemari.”

“Belum tentu ngger,” sahut salah seorang petugas sandi, “kita masih belum dapat meramal, siapakah yang akan menang dalam pertempuran ini meskipun kita semua berdoa, semoga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Para petugas sandi serta cantrik yang mendekatinya itu pun tidak berkata apa-apa lagi. Ternyata Mahisa Amping memang tidak ingin meninggalkan tempatnya. Dengan demikian maka mereka yang berada di panggungan itu pun kembali memperhatikan pertempuran yang tengah berlangsung dengan sengitnya itu.

Sebenarnyalah para cantrik dari Padepokan Ngancas berusaha dengan sekuat-kuat tenaga dan kemampuan mereka untuk memecahkan pertahanan Padepokan Bajra Seta. Namun Empu Damar masih saja mengumpat-umpat karena kehadiran anak-anak muda dan orang-orang yang menyerang pasukannya dari belakang, yang dengan demikian terasa sangat mengganggu usahanya untuk memecahkan pertahanan Padepokan Bajra Seta yang ternyata cukup kuat.

Tetapi Empu Damar tidak dapat begitu saja menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya itu. Tetapi Empu Damar tahu bahwa mereka tentu bukan cantrik dari Padepokan Bajra Seta, menilik sikap, pakaian dan tataran umur mereka yang jaraknya cukup jauh. Ada yang masih sangat muda, tetapi ada yang warna rambutnya sudah mulai mendua.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Semakin tinggi matahari, maka mereka yang sedang bertempur itu pun menjadi semakin garang. Tubuh mereka menjadi basah oleh keringat dan bahkan darah. Beberapa orang telah terkapar jatuh dan tidak bergerak lagi. Satu di antara mereka masih sempat mendapat pertolongan dan dibawa menepi.

Namun ada yang tidak sempat tertolong karena darah yang terlalu banyak mengalir dari luka yang parah. Dalam pada itu, maka di induk pasukan masing-masing, para pemimpin dari kedua belah pihak berusaha mengendalikan pasukannya masing-masing. Namun akhirnya, pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak itu pun harus pula terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit.

Mahisa Murti tidak dapat membiarkan Empu Damar bertindak semena-mena terhadap para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Dengan ilmunya yang tinggi, ia dapat membunuh terlalu banyak jika Empu Damar itu tidak mendapat lawan yang memadai. Karena itulah, maka Empu Damar itu akhirnya berhadapan dengan Mahisa Murti sendiri. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Meskipun Empu Damar tidak yakin bahwa Mahisa Murti itu juga memiliki ilmu yang jarang ada duanya sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Pukat, namun Empu Damar itu cukup berhati-hati menghadapi pemimpin dari Padepokan Bajra Seta itu. Mula-mula Empu Damar berusaha untuk menjajagi kemampuan Mahisa Murti.

Dengan cepat ia melihat anak muda itu dalam pertempuran yang rumit. Unsur-unsur gerak yang kadang-kadang mengejutkan itu memang mampu mendesak Mahisa Murti untuk beberapa saat. Namun kemudian ternyata bahwa Mahisa Murti pun mampu menyesuaikan dirinya. Anak muda itu pun mampu bergerak cepat pula sebagaimana dilakukannya.

Karena itulah maka Empu Damar harus meningkatkan ilmunya pula. Bahkan ia menjadi semakin berhati-hati, jika saja terasa pengaruh ilmu lawannya pada kekuatan dan kemampuannya, sebelum terlambat ia harus segera menentukan sikap.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun agaknya merasa betapa lawannya sangat berhati-hati dan berusaha sebanyak mungkin menghindari sentuhan-sentuhan senjata. Ia sudah mendapat keterangan dari Arya Kuda Cemani, bahwa Empu Damar pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat dengan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawan itu.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati. Lawannya tentu sudah memperhitungkan bahwa ia pun memiliki ilmu sebagaimana Mahisa Pukat yang pernah bertempur melawan Empu Damar di Singasari. Namun sedemikian jauh, Mahisa Murti masih belum mengalami kesulitan. Ketika kemudian Empu Damar mempertunjukkan kemampuannya dalam ilmu pedang, maka Mahisa Murti pun telah mengimbanginya pula. Dengan demikian maka pertempuran antara Empu Damar melawan Mahisa Murti pun semakin lama semakin meningkat pula.

Sementara itu, pertempuran di sekitar padepokan itu pun masih saja berlangsung dengan sengitnya. Para cantrik dari kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih percaya kepada kemampuan mereka secara pribadi. Sedangkan para cantrik Padepokan Bajra Seta yang telah menempa diri secara pribadi, mereka pun telah mendasari kemampuan mereka dalam ikatan kerja sama yang mapan. Sehingga mereka dapat saling mengisi dalam perang brubuh yang ribut itu.

Dalam pada itu, justru karena para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya itu harus membuka dua garis pertempuran, maka tugas mereka memang terasa sangat berat. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu ternyata bukannya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dalam olah senjata.

Wantilan yang bertempur melawan Sanggatama telah mengerahkan kemampuannya pula. Demikian pula lawannya, murid terpercaya dari Empu Damar. Namun ternyata bahwa Sanggatama tidak dapat dengan segera menguasai medan. Apalagi para cantrik yang bertempur bersamanya semakin merasa tertekan pula dari kedua sisi. Para cantrik Padepokan Bajra Seta dengan kekuatan yang sangat besar telah mendesak lawan-lawan mereka.

Sementara itu anak-anak muda dan orang-orang padukuhanpun nampaknya juga mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki bekal kemampuan untuk bertempur dalam perang yang sebenarnya. Beberapa kali mereka memang sudah terlibat dalam pertempuran, sehingga sebagian besar dari mereka memang sudah memiliki selain bekal ilmu juga pengalaman.

Karena itu, maka bagi para cantrik dari padepokan-padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu merupakan lawan yang tidak boleh diabaikan.

Sementara itu, Sanggatama sendiri ternyata semakin lama justru merasa semakin cepat. Wantilan yang memang telah mapan dengan bekal ilmunya setelah pernah mengalami kesulitan, ternyata merupakan seorang yang kuat, tangkas dan mempunyai pengalaman yang cukup.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, meskipun Sanggatama telah mengerahkan sejauh ilmu yang diterima dari Empu Damar, namun ia masih belum dapat menguasai Wantilan yang semakin mapan justru setelah tubuhnya basah oleh keringat.

Sanggatama yang telah menerima dasar ilmu gurunya, telah pula berusaha untuk mengetrapkannya. Sambaran angin dari ayunan pedangnya memang terasa menyentuh kulit Wantilan. Mula-mula sentuhan itu terasa menghangatkan kulitnya. Namun kemudian tusukan-tusukan yang tajam mulai mengganggunya.

Wantilan menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan ilmu dasar dari ilmu yang tinggi. Karena itu Wantilan harus berhati-hati. Jika ilmu itu semakin meningkat, maka ia tentu akan mengalami kesulitan, sehingga ia harus mengatasinya dengan cara yang khusus.

Namun dalam pada itu, selagi masih sempat, maka Wantilan telah mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya. Dengan pedangnya yang khusus, maka Wantilan telah melibat lawannya dengan derasnya. Serangan-serangannya mengalir seperti banjir bandang. Meskipun di kulitnya terasa cubitan-cubitan ilmu lawannya yang semakin menyakitinya, namun Wantilan mencoba mengatasinya dengan daya tahannya yang terlatih. Dengan demikian, maka Wantilan memang bukan sekedar sasaran serangan lawannya. Tetapi serangan-serangan Wantilan pun akhirnya mampu menembus pertahanan Sanggatama.

Meskipun kulit Wantilan merasa semakin pedih, namun Sanggatama itu terkejut, ketika tiba-tiba serangan pedang Wantilan mendatar mengarah ke lehernya datang begitu cepatnya justru ketika Wantilan menyeringai menahan pedih kulitnya yang tertusuk hempasan angin dari seranggan Sanggatama.

Dengan cepat Sanggatama berusaha untuk menangkisnya. Sehingga sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun Wantilan tidak memberi kesempatan Sanggatama menyerang dengan ayunan pedangnya karena angin yang menerpanya akan membuat kulitnya menjadi pedih. Dengan menggeliat, pedangnya telah berputar. Dengan cepat Wantilan berusaha menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedang.

Tetapi Sanggatama sempat bergeser surut selangkah, sehingga ujung pedang Wantilan tidak menyentuhnya. Namun Wantilan tidak berhenti memburu lawannya. Sekali lagi pedangnya berputar. Ia menebas lawannya dengan sekuat tenaga. Pedangnya yang besar dan panjang ikut terayun didorong oleh kekuatan tubuhnya yang besar.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Wantilan tidak membiarkan satu kesempatan berlalu, ketika ternyata orang itu tergetar surut. Pedangnya itu pun dengan cepat terjulur menggapai tubuh Sanggatama.

Sanggatama menggeliat. Ia berusaha menghindar sambil mengayunkan senjatanya. Angin yang tajam memang menyambar Wantilan. Namun Wantilan telah mengerahkan daya tahannya. Ia mengabaikan perasaan pedih yang menyengat kulitnya. Dengan kemampuan yang masih ada, ia pun telah meloncat lagi memburu lawannya. Sanggatama yang surut beberapa langkah untuk mengambil jarak telah memutar pedangnya secepat dapat dilakukan. Anginpun ikut berputar pula dan menerpa tubuh lawannya.

Tetapi tingkat kemampuan Sanggatama memang masih belum setinggi Empu Damar. Karena itu, Wantilan yang tidak memiliki kemampuan setinggi Mahisa Murti masih mampu mengatasinya dengan daya tahannya. Meskipun Wantilan masih harus menyeringai menahan pedih yang menusuk kulitnya, tetapi Wantilan tetap memburu lawannya. Ilmu pedangnya memang lebih baik dari Sanggatama meskipun Sanggatama memiliki kelebihan daripadanya.

Sebenarnyalah bahwa Wantilan tidak banyak memberi kesempatan kepada Sangga-tama untuk mengetrapkan ilmunya yang baru dimiliki dasarnya saja. Sanggatama seakan-akan tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dilakukan kemudian adalah sekedar bertahan dan melindungi dirinya dari permainan ilmu pedang Wantilan.

Tetapi pertempuran di sekitar Sanggatama itu memang tidak mendukung perlawanan-nya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta semakin mendesaknya sehingga pertahanan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan pendukungnya menjadi goyah. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu pun ternyata telah mampu mempertahankan garis pertahanan mereka setelah tekanan lawan mereka tidak lagi terlalu berat karena terhisap oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, maka saat-saat yang gawat Sanggatama memang memberi isyarat kepada para cantriknya untuk membantunya. Tetapi ternyata sulit bagi para cantrik itu untuk melakukannya. Para cantrik Padepokan Bajra Setapun dengan cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk menahan agar para murid Sanggatama tidak dapat membantunya.

Dengan demikian, maka Sanggatama semakin lama justru menjadi semakin terdesak. Ketika pada saat-saat yang berat ia mencoba untuk menembus serangan-serangan Wantilan, maka justru Wantilan telah memanfaatkan saat itu sebaik-baiknya.

Meskipun terpaan udara yang bagaikan menghambur karena ayunan pedang Sanggatama membuat kulitnya terluka dan darah mulai mengembun dari kulitnya bersama dengan arus keringatnya karena daya tahan dan kemampuan Wantilan masih dapat ditembus oleh ilmu lawannya, namun dengan kemampuan ilmu pedangnya, Wantilan telah berhasil mengenai tubuh Sanggatama. Seleret luka telah menyilang di dada murid terpercaya Empu Damar itu.

Sanggatama menggeram marah. Tetapi darah telah mengalir dari lukanya yang menjadi pedih ketika keringatnya menyentuh luka itu. Dengan sisa kemampuan dan tenaganya, maka Sanggatama berusaha untuk menyerang kembali. Sambil menghentakkan ilmunya, maka pedang Sanggatama itu terayun dengan derasnya. Ia tidak lagi memperhitungkan, apakah pedangnya akan mengenai tubuh lawannya atau tidak, karena ia yakin bahwa ilmunya akan dapat mengakhiri perlawanan Wantilan.

Tetapi Sanggatama salah hitung. Dengan keadaan yang semakin sulit, Wantilan tidak lagi membuat perhitungan yang rumit. Yang dilakukannya kemudian adalah mengerahkan sisa tenaga dan ilmu pedangnya untuk menyerang habis-habisan lawannya meskipun tajam ilmu lawannya yang bagaikan duri menusuk-nusuk kulitnya sampai berdarah.

Dengan demikian maka pedang Wantilan yang mempunyai jarak jangkau lebih panjang dari lawannya serta kemampuan ilmu pedang yang lebih tinggi, maka sekali lagi Wantilan mampu mengoyak tubuh lawannya. Keduanya memang nampak semakin letih. Tetapi keduanya memang harus mengerahkan sisa-sisa kemampuan mereka. Pada kesempatan terakhir, maka siapa yang mampu menembus pertahanan lawannyalah yang akan mampu keluar dari arena pertempuran itu.

Sementara itu para cantrik dari kedua belah pihak melihat siapa yang telah mencucurkan darah. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Jika salah satu pihak berniat membantu pemimpinnya, maka yang lain telah menghalanginya.

Dengan demikian maka pertempuran di sekitar Wantilan dan Sanggatama yang sedang bertempur habis-habisan itu pun menjadi semakin sengit pula. Bahkan bukan saja di sekitar kedua orang pemimpin itu. Diseluruh medan di belakang Padepokan Bajra Seta itu pun pertempuran memang menjadi semakin sengit. Panas matahari, keringat dan luka2 oleh goresan senjata ditubuh telah membuat orang-orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin garang. Bukan saja di belakang Padepokan Bajra Seta, tetapi juga di sebelah menyebelah Padepokan itu.

Mahisa Semu pun bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya pula. Lawannyapun telah memiliki dasar ilmu sebagaimana Sanggatama. Namun Mahisa Semu ternyata memiliki kecepatan bergerak untuk menghindari sentuhan angin yang timbul dari ayunan senjata lawannya, karena angin itu seakan-akan telah menaburkan berpuluh bahkan beratus duri yang tajam.

Tetapi pada satu saat Mahisa Semu memang sulit untuk menghindari angin yang menerpa tubuhnya karena tebasan senjata lawannya yang garang itu. Karena itu maka ia pun mengalami sebagaimana dialami oleh Wantilan. Kulitnya menjadi pedih. Setiap putaran senjata maka seakan-akan beratus duri yang tajam telah dihamburkan dan menusuk kulit Mahisa Semu.

Mahisa Semu mengeram menahan pedih. Apalagi ternyata kemudian angin yang menerpa kulitnya itu mampu melukainya. Angin itu benar-benar telah menusuk dan menghunjam masuk ke setiap lubang kulitnya, sehingga lubang-lubang kulit Mahisa Semu itu telah terluka dan darah pun mulai mengembun.

Pada saat yang bersamaan Wantilan telah mengambil sikap. Apapun yang terjadi atas dirinya, ia tidak mau hancur sendiri. Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukannya, adalah menyerang lawannya dengan mengerahkan segenap sisa tenaga dan kemampuan yang ada padanya. Sambil menggeram marah, Wantilan telah meloncat memburu lawannya. Ia berusaha agar lawannya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menggerakkan dan apalagi memutar pedangnya, sehingga anginpun bagaikan bergetar pengalir menusuk di setiap lubang kulitnya. Dengan demikian maka Wantilan berusaha untuk memanfaatkan pedangnya yang lebih panjang.

Sanggatama memang terkejut mengalami serangan yang keras itu. Permainan pedang Wantilan yang sangat berbahaya membuatnya harus menjadi sangat berhati hati. Beberapa kali Sanggatama meloncat menghindar dan menangkis serangan yang datang beruntun seperti ombak di lautan menghantam tebing.

Jika sekali-sekali Sanggatama sempat mengayunkan dan memutar pedangnya, maka Wantilan hanya menggerakkan giginya menahan pedih yang menyengat di seluruh permukaan kulitnya. Tetapi, serangannya sama sekali tidak mereda. Bahkan kemana pun Sanggatama bergeser, maka Wantilan pun selalu memburunya. Dengan darah yang memerah diseluruh tubuhnya, maka sekali lagi Wantilan mampu menggapai tubuh lawannya. Lambung Sanggatama lah yang kemudian terkoyak dan menganga. Sanggatama mengerang kesakitan. Sedangkan Wantilan yang sudah sampai pada batas-batas terakhir kemampuannya itu melihat Sanggatama terhuyung surut.

Karena itu sebelum Wantilan sendiri kehilangan keseimbangannya maka ia pun telah meloncat dengan kekuatannya yang terakhir. Pedangnya terjulur lurus memburu lawannya yang terhuyung surut. Sanggatama mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi ia sudah terlalu lemah. Meskipun pedangnya terangkat, tetapi ia tidak lagi mampu menangkis serangan itu, sehingga ujung pedang yang didorong oleh berat tubuh Wantilan itu telah menembus pertahanan Sanggatama yang sudah hampir kehilangan keseimbangannya itu.

Yang terdengar adalah umpatan keras. Sanggatama terdorong surut. Ujung pedang Wantilan yang terjulur lurus ke depan telah menghunjam ke dada Sanggatama. Sanggatama tidak sempat mengulangi umpatannya. Tubuhnya yang terdorong surut itu pun kemudian telah jatuh terlentang.

Namun dalam pada itu, ternyata Wantilan pun telah kehilangan keseimbangannya. Ketika Sanggatama jatuh terlentang, maka pedang yang terhunjam di dadanya telah tertarik oleh tubuhnya. Ternyata Wantilan sudah tidak mampu lagi menahannya, sehingga ia pun justru telah ikut tertarik pula dan jatuh menimpa tubuh Sanggatama yang sudah tidak bernapas lagi.

Para cantrik dari kedua belah pihak terkejut melihat akhir dari pertempuran itu. Beberapa orang telah berusaha meloloskan diri dari pertempuran untuk mendekati kedua orang pemimpin mereka yang jatuh terkulai. Namun mereka tidak dapat melakukannya, justru karena kedua belah pihak ingin melakukannya. Beberapa orang cantrik yang mendekat telah terlibat langsung dalam pertempuran yang sengit.

Demikian para cantrik itu saling menyerang, agaknya Wantilan masih dapat bergerak dan bergeser dari tempatnya. Meskipun tenaganya sudah terkuras habis, namun Wantilan masih sempat merangkak menjauhi tubuh Sanggatama. Dengan menghentakkan kemampuannya serta kerja sama yang baik, dua orang cantrik sempat menggapai Wantilan justru karena kedua orang cantrik dari Padepokan lawannya juga berusaha mendekati tubuh Sanggatama. Tetapi, tubuh Sanggatama itu sudah tidak mampu bergerak lagi. Darahnya sudah mulai membeku, sedangkan jantungnya telah berhenti berdetak.

Wantilan yang menjadi sangat lemah itu masih berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun ia tidak mampu lagi bertempur, tetapi bahwa ia masih tetap hidup tentu akan mempengaruhi ketahanan jiwa para cantrik yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Sebenarnyalah, dibantu oleh dua orang cantrik, maka Wantilan telah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

Sementara seorang di antara para cantrik itu berteriak nyaring, “Inilah aku. Selesaikan tugas kalian he para cantrik Padepokan Bajra Seta.”

Para cantrik Bajra Seta, apalagi para cantrik dari padepokan yang menyerang mereka, tidak sempat membedakan suara siapakah yang menggetarkan medan itu. Namun suara itu telah disambut dengan teriakan gemuruh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, seakan-akan hendak meruntuhkan awan yang berarak di langit. Sejalan dengan itu, maka para cantrik Padepokan Bajra Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan itu pun telah menghentakkan kemampuan mereka menyerang pasukan lawan yang masih tersisa.

Namun, keadaan Wantilan sendiri ternyata menjadi semakin gawat. Karena itu, maka kedua orang yang membantunya berdiri dan mengangkat pedangnya itu pun telah membawa Wantilan justru menepi. Tetapi orang-orang yang bertempur itu sudah menjadi semakin seru, hingga mereka tidak lagi sempat melihat, apakah pemimpin pasukan dari Padepokan Bajra Seta itu masih mampu bertempur atau tidak. Namun teriakan-teriakan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta memang menyebutkan bahwa Sanggatama telah mati.

Sementara para pengikutnya tidak dapat membantah kenyataan itu. Sehingga dengan demikian, maka para pengikutnya pun menjadi semakin gelisah. Kekuatan Padepokan Bajra Seta ternyata cukup besar untuk menghadapi kekuatan empat padepokan yang telah datang menyerang. Para penyerang itu tidak pernah tahu siapakah sebenarnya anak-anak muda dari arah luar Padepokan Bajra Seta, meskipun mereka dapat menduga bahwa mereka tentu bukan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Dengan kematian Sanggatama maka perlawanan para cantrik dari padepokan Ngancas serta padepokan yang mendukungnya di bagian belakang Padepokan Bajra Seta itu pun mulai goyah. Semakin lama mereka merasa semakin terdesak justru dari dua arah, sehingga karena itu, maka mereka pun telah terjepit. Satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah bergeser ke samping dan bergabung dengan kawan-kawan mereka yang berada di sebelah menyebelah Padepokan Bajra Seta.

Tanpa seorang pemimpin yang memegang kendali, maka kemungkinan satu-satunya itulah yang telah mereka pilih karena mereka merasa tidak mampu lagi untuk bertahan menghadapi serangan dari kedua sisi itu. Tetapi di salah satu sisi dari Padepokan Bajra Seta, Sawung Tunggul yang memimpin para cantrik dari Padepokan Ngancas dan dari padepokan yang dipimpinnya sendiri tengah bertempur melawan seorang yang dianggapnya masih terlalu muda. Tetapi ternyata bahwa anak yang terlalu muda itu memiliki ilmu yang sangat mengejutkannya.

Dengan tangkasnya Mahisa Semu berloncatan menghindari serangan-serangannya. Bukan saja menghindari ujung senjatanya, tetapi Mahisa Semu sempat juga menghindari sambaran angin yang bagaikan dihamburkan dari ayunan pedang lawannya. Tetapi Mahisa Semu memang tidak selalu berhasil. Kadang-kadang Mahisa Semu juga terlambat, sehingga sentuhan angin yang bagaikan percikan duri-duri tajam itu sempat mengenai dan seolah-olah menghunjam masuk lewat lubang-lubang kulitnya dan bahkan telah melukainya.

Mahisa Semu telah menggeretakkan giginya ketika perasaan pedih semakin menggigit kulitnya. Bahkan di beberapa tempat, darah pun mulai mengembun. Dengan demikian maka Mahisa Semu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak mau dihancurkan dengan cara itu oleh Sawung Tunggul. Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah berusaha mempercepat serangan-serangannya agar Sawung Tunggul tidak sempat mengayunkan pedangnya dengan lambaran ilmunya, sehingga sambaran anginya dapat melukai lubang-lubang kulitnya, sehingga di antara keringat yang mengalir telah mengembun pula darah.

Tetapi, Mahisa Semu benar-benar mengalami kesulitan. Betapapun Mahisa Semu berusaha untuk bergerak dengan kecepatan tertinggi yang dapat dilakukannya, namun Mahisa Semu tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari sambaran-sambaran angin yang menyengatnya.

Sementara itu, para cantrik di sekitarnya telah bertempur dengan sengitnya. Untunglah bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta masih mampu bertahan, sementara anak-anak muda dan orang-orang padukuhan bertempur dengan gigihnya pula. Mahisa Semu memang agak terkejut melihat para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta yang berada di belakang Padepokan telah bergeser dan bergabung dengan kawan-kawannya di medan sebelah Padepokan Bajra Seta itu.

Semula Mahisa Semu mengira bahwa para cantrik Padepokan Bajra Seta yang bertahan di belakang Padepokan dibawah pimpinan Wantilan telah dikuasai sepenuhnya oleh lawan-lawannya sehingga sebagian dari lawan-lawannya itu telah melimpah dan membantu kekuatan disamping Padepokan. Para cantrik dibawah pimpinan Mahisa Semu itu pun terkejut pula. Mereka merasa beban mereka akan bertambah dengan kedatangan orang-orang baru itu.

Bahkan beberapa orang cantrik telah mulai menghentakkan kemampuan mereka. Apapun yang terjadi, maka mereka harus berusaha mempertahankan Padepokan mereka. Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa dugaan mereka tidak seluruhnya benar. Ternyata bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah memburu lawan-lawan mereka yang bergabung di medan di sebelah padepokan. Dengan demikian maka pertempuran di sebelah Padepokan itu pun menjadi semakin sengit. Sorak gemuruh bersahut-sahutan di antara kedua belah pihak.

Untuk sementara maka garis pertempuran pun telah menjadi goyah. Keseimbangan baru tidak segera dicapai. Bahkan dalam beberapa hal, para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang berada di ujung telah merasa terdesak. Tetapi itu tidak terjadi terlalu lama. Ketika para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah menempatkan diri, demikian pula anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang telah dengan suka rela membantu, telah mapan, maka mulai terasa bahwa Padepokan Bajra Seta tidak lagi merasa terdesak.

Bahkan semakin lama, para cantrik Bajra Seta mulai merasa bahwa merekalah yang mulai mendesak pasukan lawan. Sawung Tunggul yang memimpin para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokannya sendiri menyadari bahwa pasukannya mengalami kesulitan. Bahkan kemudian terasa bahwa pasukannya mulai berguncang. Bahwa para cantrik yang bertempur di belakang Padepokan itu telah mengalir ke sebelah-menyebelah adalah pertanda bahwa pasukan dari Padepokan Ngancas dan padepokan yang mendukungnya mengalami kesulitan. Khususnya di belakang Padepokan Bajra Seta.

Karena itu, maka Sawung Tunggul pun telah membulatkan tekadnya untuk secepatnya membinasakan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa Sanggatama tidak muncul bersama para cantrik itu. Memang masih ada kemungkinan bahwa Sanggatama masih berada di belakang padepokan atau berada di sisi yang lain dari padepokan itu. Namun Sawung Tunggul tidak mau mengalami akibat yang lebih buruk.

Dengan demikian, maka Sawung Tunggul pun telah menghentakkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk secepatnya menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu. Kemudian ia akan dapat menangani seluruh medan yang menjadi tanggung jawabnya.

Sekejap kemudian maka Sawung Tunggul itu pun mulai memutar pedangnya lebih cepat. Putaran pedang yang seakan-akan telah menghamburkan duri-duri yang tajam lebih banyak lagi. Pedang Sawung Tunggul telah terayun dengan derasnya, kemudian menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun kemudian terjulur menikam kearah jantung.

Mahisa Semu dengan tangkasnya menghindari setiap serangan yang datang. Pedang lawannya memang tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sambaran anginnya yang disertai kekuatan ilmu yang telah disadapnya dari gurunya, meskipun baru alasnya saja, telah menyakiti seluruh tubuhnya. Duri-duri tajam yang tidak terhitung jumlahnya rasa-rasanya telah menyengat dan menusuk masuk ke dalam lubang-lubang kulitnya. Bahkan kemudian darah pun semakin banyak mengembun di wajah kulitnya, bercampur dengan keringatnya.

Mahisa Semu memang mengalami kesulitan menghadapi lawannya. Tetapi anak muda itu tidak cepat berputus-asa. Ia masih berusaha untuk mematahkan kemampuan lawannya. Dengan geram Mahisa Semu mencoba menyerang dengan cepat dan kuat agar Sawung Tunggul tidak sempat mengayunkan senjatanya selain menangkis serangan-serangannya. Tetapi, ternyata bahwa Sawung Tunggul yang memiliki pengalaman yang lebih luas dari Mahisa Semu itu justru selalu berusaha mengambil jarak. Kemudian ia pun mulai memutar senjatanya dan menyerang dengan segenap kemampuannya.

Mahisa Semu benar-benar kehilangan kesempatan. Namun Mahisa Semu tidak menyerang begitu saja. Dalam kesulitan itu, maka Mahisa Semu telah teringat akan pisau belati kecil yang selalu dibawanya. Dalam keadaan terdesak, maka tiba-tiba Mahisa Semu itu pun telah menarik pisaunya dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, bahkan di luar perhitungan lawannya telah melontarkan pisau belatinya itu.

Sawung Tunggul memang terkejut. Tetapi ternyata ia terlambat mengambil sikap. Pisau itu terbang demikian tiba-tiba dan demikian cepatnya mengarah dadanya. Sawung Tunggul memang masih menggeliat menghindar. Namun pisau yang meluncur begitu cepatnya itu masih juga hinggap dipundaknya. Justru pundak kanannya. Terdengar Sawung Tunggul mengaduh kesakitan. Pisau belati itu telah memutuskan urat dipundaknya, sehingga tangan kanannya seakan-akan telah menjadi hampir lumpuh.

Meskipun tangan itu masih mampu menggerakkan pedangnya, namun Sawung Tunggul tidak lagi mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat dan dengan kekuatan sepenuhnya. “Kau licik anak iblis,” teriak Sawung Tunggul.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.

“Kau telah melemparkan pisau untuk menyerang aku,” geram Sawung Tunggul.

“Kenapa licik? Bukankah di samping pedangmu kau juga melepaskan ilmumu yang lain, sehingga darah mengembun di seluruh permukaan kulitku.”

“Itu hakku,” jawab Sawung tunggul.

“Pisau itu adalah pisauku. Adalah hakku untuk mempergunakan seribu jenis senjata sekalipun untuk menghadapimu.”

Sawung Tunggul menggeram. Darah mengalir semakin banyak dari pundaknya. Sementara itu tangan kanannya menjadi semakin lemah. Dengan demikian maka ia tidak lagi mengayunkan pedangnya dengan keras dan cepat dengan lambaran ilmunya sehingga udara dapat menghambur bagaikan hamburan duri yang tajam menusuk kulit. Karena itulah maka dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Semu yang dari seluruh permukaan kulitnya bagaikan mengembun darah, mampu mengatasi kemampuan ilmu pedang lawannya yang menjadi lamban.

Dipasukan induk Empu Damar yang berhadapan dengan Mahisa Murti telah bertempur dengan serunya. Berdasarkan pengalamannya bertempur melawan Mahisa Pukat, maka Empu Damar menjadi sangat berhati-hati.

Sementara itu pertempuran para cantrik di pasukan induk itu pun menjadi semakin sengit pula. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Ternyata bahwa pasukan dari Padepokan Ngancas terlalu kuat di pasukan induk itu. Untunglah bahwa sekelompok anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan itu telah berdatangan membantu. Meskipun isyarat yang mereka lihat adalah bukan isyarat yang dimaksud, tetapi kedatangan mereka memang diperlukan oleh Padepokan Bajra Seta.

Tetapi, di sisi yang lain dari Padepokan Bajra Seta, keseimbangan pertempuran agar menyulitkan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Para cantrik yang dipimpin oleh seorang cantrik yang mendapat kepercayaan dari Mahisa Murti itu ternyata mendapat lawan yang cukup berat. Murid Empu Damar yang memimpin di sisi sebelah kanan Padepokan Bajra Seta, ternyata membawa kekuatan yang cukup besar. Selain para cantrik dari Padepokan Ngancas, maka para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh seorang murid terpercaya dari Empu Damar itu jumlahnya cukup banyak sehingga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta merasa mendapat tekanan yang sangat berat

Meskipun anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta bertempur dengan berani, namun jumlah lawan memang terlalu banyak. Apalagi ketika tiba-tiba mengalir para cantrik dari belakang Padepokan Bajra Seta. Pertahanan Bajra Seta memang telah berguncang. Tetapi sesaat kemudian, maka kekuatan Bajra Setapun telah menyusul pula dari arah belakang Padepokan, sehingga dengan demikian maka keseimbangannya pun telah berubah pula.

Namun ketika kemudian pertempuran itu berlangsung beberapa saat setelah goncangan itu terjadi, maka ternyata bahwa jumlah lawan masih tetap terlalu banyak bagi Padepokan Bajra Seta. Perlahan-lahan kekuatan pertahanan para cantrik Bajra Seta mulai terdesak. Juga di medan yang lain, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan telah mengalami tekanan yang sangat berat pula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Amping yang berada di atas panggungan telah bergeser dari dinding di bagian kedepan kesisi sebelah kanan. Dengan kerut dikening ia melihat bagaimana para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah terdesak. Ia melihat bahwa jumlah lawan memang terlalu banyak di sisi sebelah kanan itu.

Wajah Mahisa Amping menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat berteriak memberikan laporan kepada Mahisa Murti, karena pertempuran di bagian depan Padepokan Bajra Seta itu pun berlangsung dengan sengitnya. Masih belum diketahui siapakah di antara kedua kekuatan itu akan dapat memenangkan pertempuran.

Karena itu, maka Mahisa Amping pun telah turun dari panggungan di sisi sebelah kanan dan berlari ke dinding dibagian belakang. Tetapi dibagian belakang padepokan itu sudah tidak terjadi lagi pertempuran. Yang ada hanyalah mereka yang menjadi korban terbujur lintang di antara mereka yang terluka parah.

Karena itu, maka Mahisa Amping pun segera berlari pula ke sisi sebelah kiri. Di sisi sebelah kiri para cantrik Padepokan Bajra Seta dipimpin oleh Mahisa Semu yang perlahan-lahan tetapi pasti dapat menguasai lawannya, Sawung Tunggul. Meskipun beberapa orang cantriknya membantu, tetapi Sawung Tunggul semakin lama semakin kehilangan kekuatannya, sehingga sulit baginya untuk bertahan lebih lama lagi terhadap Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Semu sendiri memang sudah menjadi sangat letih. Darah telah mewarnai hampir seluruh permukaan kulitnya, meskipun tidak menitik.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Bajra Setapun dengan pasti pula dapat menguasai lawan mereka yang menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian, ternyata bahwa Sawung Tunggul tidak lagi mampu memberikan perlawanan. Darah mengalir dari luka-lukanya yang menggores tubuhnya kemudian selain luka dipundaknya. Dengan demikian, maka pasukan lawan di sebelah kiri itu pun semakin lama telah menjadi semakin terdesak pula, justru dari dua sisi.

Mahisa Amping menyaksikan pertempuran di sisi sebelah kiri itu dengan kening yang berkerut. Jantungnya terasa berdetak terlalu cepat, justru karena ia menjadi bimbang. Apakah ia harus berteriak memberitahukan keadaan pasukan di sisi sebelah kanan dari padepokan Bajra Seta itu. Namun akhirnya Mahisa Amping tidak dapat menahan diri lagi. Dengan lantang suara kanak-kanaknya telah melengking, “He, kakang Mahisa Semu. Perintahkan sebagian dari para cantrik untuk pergi ke sisi sebelah kanan.”

Mahisa Semu mendengar teriakan itu. Sementara itu, beberapa orang cantrik telah berusaha menyelamatkan Sawung Tunggul, perhatian Mahisa Semu yang sejenak terhadap teriakan Mahisa Amping seakan-akan telah memberikan kesempatan kepada para cantrik untuk menolong pemimpin mereka, Sawung Tunggul. Dengan cepat, maka Sawung Tunggul itu pun telah dibawa oleh murid-muridnya menyingkir dari medan.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Ngancas serta padepokan-padepokan yang mendukungnya, telah kehilangan pemimpinnya. Sementara itu meskipun Mahisa Semu sudah menjadi sangat letih, tetapi ia masih berdiri di tengah-tengah medan pertempuran dengan pedang di tangannya. Beberapa orang cantrik memang harus mengawalnya agar Mahisa Semu tidak menjadi sasaran serangan beberapa orang lawan bersama-sama.

Sementara itu, masih terdengar suara Mahisa Amping, “Kakang Mahisa Semu, apakah kau dapat memerintahkan sebagian para cantrik untuk membantu medan di sebelah kanan Padepokan?”

Mahisa Semu yang letih itu pun kemudian mengangkat pedangnya. Namun ia masih juga dapat berteriak dengan suara lantang untuk memerintahkan beberapa kelompok cantrik untuk bergeser ke medan di sebelah kanan. Perintah Mahisa Semu itulah dilanjutkan oleh dua orang penghubung kepada kelompok-kelompok yang dimaksud.

Tetapi setelah kelompok-kelompok itu bergeser lewat belakang dinding Padepokan Bajra Seta, keseimbangan pertempuran itu sama sekali tidak terpengaruh. Apalagi pasukan lawan yang sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Mereka seakan-akan telah kehilangan tumpuan.

Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya dimedan sebelah kiri Padepokan Bajra Seta itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Seorang cantrik dari Padepokan Ngancas mencoba mengambil alih pimpinan, namun ia tidak sanggup mengangkat kemampuan seluruh kekuatan pasukannya.

Meskipun Mahisa Semu sudah menjadi terlalu lemah, tetapi ia masih berpikir bening. Perintah-perintahnya masih mapan, sementara para cantrik yang terpilih berada di sekitarnya. Selain untuk melindunginya, juga untuk meneruskan perintah-perintahnya.

Kelompok-kelompok cantrik yang berlari-lari lewat bagian belakang Padepokan Bajra Seta itu pun segera mencapai medan di sebelah kanan. Mereka langsung melibatkan diri kedalam kancah pertempuran. Karena mereka memasuki arena pertempuran dari ujung, maka mereka pun telah bertempur di ujung medan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Mula-mula pengaruhnya memang tidak begitu terasa. Tetapi semakin lama, maka kekuatan yang datang itu semakin merembes ke dalam medan pertempuran, sehingga kelompok-kelompok baru itu mulai terasa pengaruhnya.

Murid Empu Damar yang memimpin pasukan di sisi sebelah kanan itu pun segera memerintahkan agar pasukannya menjadi semakin cepat bergerak. Mereka sudah melihat kemenangan diambang pintu. Tetapi kedatangan kelompok-kelompok baru itu rasa-rasanya memang sangat mengganggu.

Tetapi murid kepercayaan Empu Damar yang ditugaskan di sisi sebelah kanan itu masih melihat kemungkinan bahwa ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena itu, maka ia pun segera meneriakkan perintah, agar para cantrik dibawah pimpinannya segera menyelesaikan tugas mereka.

“Jangan ragu-ragu,” orang itu berteriak, “hancurkan saja semua cantrik dari padepokan Bajra Seta.”

Tetapi orang itu tidak dapat ingkar dari kenyataan. Kelompok-kelompok yang baru datang itu benar-benar telah menggetarkan medan. Dengan garangnya para cantrik itu telah menusuk garis pertempuran memasuki arena pertempuran lebih dalam lagi. Meskipun hal itu dilakukan di ujung arena, tetapi pengaruhnya telah merambat ke ujung yang lain.

Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari Padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta sudah mulai cemas karena tekanan yang sangat berat atas mereka. Namun tekanan itu kemudian memang terasa agak longgar. Karena itu, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di sisi sebelah kanan padepokan Bajra Seta.

Dalam pada itu, murid terpercaya Empu Damar yang memimpin pasukan dari Padepokan Ngancas dan Padepokan-padepokan yang mendukungnya, memang menghadapi kesulitan untuk berusaha berhadapan dengan pemimpin pasukan dari Padepokan Bajra Seta. Cantrik dari padepokan Bajra Seta itu merasa bahwa ia masih belum memiliki ilmu setinggi murid Empu Damar.

Karena itu, maka ia telah berusaha membentuk satu kelompok kecil khusus untuk menghadapi murid mPu Damar itu. Cantrik itu telah bertempur bersama-sama dengan kedua orang cantrik yang lain. Seorang di antara ketiganya bersenjata sebuah tombak pendek, seorang bersenjata pedang yang cukup panjang, sementara cantrik yang ketiga bersenjata pedang rangkap dikedua tangannya.

Namun ketika murid Empu Damar itu terdesak, maka seperti kedua orang murid Empu Damar yang lain, orang itu pun telah mengetrapkan ilmunya. Setiap ayunan senjatanya, maka rasa-rasanya anginpun telah menghamburkan tajamnya duri-duri menusuk lubang-lubang kulit. Namun, ketiga orang cantrik itu berusaha untuk dapat bekerja bersama. Setiap orang dengan senjatanya masing-masing memang berusaha untuk menyerang. Namun setiap kali mereka harus melangkah surut. Hembusan angin itu membuat seluruh permukaan kulit mereka menjadi pedih.

Dengan demikian, maka ketiga orang cantrik itu benar-benar kehilangan kesempatan untuk menyerang. Setiap kali mereka hanya dapat mencoba menyerang selagi perhatian murid Empu Damar itu tertuju kepada orang lain. Namun demikian murid Empu Damar itu berputar, maka anginpun mengalir dengan derasnya, menyakiti kulit para cantrik itu.

“Jangan lari,” geram murid Empu Damar itu.

Tidak seorang cantrik pun menjawab. Tetapi pertempuran itu pun masih juga berlangsung-dengan sengitnya. Beberapa orang cantrik memang menjadi kebingungan mengatasi murid Empu Damar yang memimpin pasukannya di sisi sebelah kanan itu. Tidak ada seorang cantrik pun dari Padepokan Bajra Seta yang mampu mengimbangi ilmunya.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memberikan beberapa petunjuk dan tuntunan kepada para cantriknya bila dalam pertempuran mereka menjumpai lawan yang demikian. Karena itulah, maka para cantrik itu pun kemudian telah sampai pada usaha mereka yang terakhir. Mereka bertiga dengan cepat saling memberikan isyarat. Justru karena mereka tidak mampu mendekat karena ilmu lawannya.

Pada saat-saat murid Empu Damar itu juga berusaha menyelesaikan ketiga orang cantrik yang bertempur bersama lawannya, maka murid Empu Damar itu telah berloncatan sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Angin yang bagaikan mengamburkan beribu-ribu duri tajam itu benar-benar telah menyakiti kulit para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Ujung-ujung duri yang tajam itu seakan-akan telah menghunjam menusuk kelubang-lubang kulit mereka.

Pada saat yang demikian itulah maka para cantrik itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Meskipun mereka tidak mempunyai lambaran ilmu sebagaimana lawannya, tetapi mereka memiliki kemampuan berpikir. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak memberikan petunjuk kepada mereka, sehingga mereka mempunyai berbagai macam upaya untuk mengatasi keadaan lawannya yang sulit didekatinya itu.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka cantrik Padepokan Bajra Seta yang memiliki pedang rangkap itu telah menyerang dengan cepat, sebilah pedangnya terjulur lurus kedepan namun lawannya sempat menangkis serangannya, bahkan kemudian pedang lawannya itu terayun deras sekali mengarah ke lehernya. Meskipun cantrik itu sempat menghindar dengan merendahkan diri, tetapi sambaran angin serangan lawannya itu telah menerpa kulitnya.

Cantrik itu menyeringai menahan pedih yang menggigit sehingga terdengar keluhannya yang tertahan. Namun, demikian ia meloncat bangkit, maka kedua belah senjatanyapun segera berputar berporos pada tubuhnya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya harus meloncat surut. Tetapi, ketika cantrik itu mencoba memburunya, sekali lagi murid Empu Damar itu mengayunkan pedangnya pula.

Cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu menyeringai menahan sengatan ujung-ujung duri di lubang-lubang kulitnya. Demikian pedihnya, sehingga cantrik itu rasa-rasanya tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Pada saat yang demikian, murid Empu Damar itu ingin mempergunakan kesempatan untuk mengakhiri perlawanan cantrik itu. Tetapi, ternyata bahwa niat itu masih harus tertunda. Sebilah pedang panjang terjulur hampir menikam lambungnya. Sehingga murid Empu Damar itu harus meloncat surut.

Tetapi ketika lawannya itu mencoba memburunya, maka murid Empu Damar itu dengan cepat telah memutar pedangnya menyelimuti tubuhnya. Cantrik Padepokan Bajra Seta itu terpaksa mengurungkan niatnya. Cantrik itu justru bergeser surut. Tetapi, murid Empu Damar itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja setelah ia kehilangan kesempatan untuk menyingkirkan lawannya yang terdahulu. Dengan tangkasnya murid Empu Damar itu telah meloncat menikam ke arah jantung.

Cantrik itu terkejut. Demikian cepatnya serangan itu datang. Dengan serta merta maka cantrik itu menggeliat. Namun ujung pedang lawannya itu masih juga mengenai tubuhnya. Seleret luka telah mengoyak lambung. Tetapi bukan saja pedihnya luka. Getaran angin yang keras benar-benar telah menggigit hampir seluruh permukaan kulitnya. Sehingga karena itu, maka cantrik itu telah berguling jatuh sambil mengerang kesakitan.

Tetapi murid Empu Damar yang marah itu tidak menghentikan serangannya. Dengan geram ia telah mengangkat pedangnya untuk menghabisi jiwa cantrik yang telah terluka itu. Pada saat yang demikian, maka cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang lain, tidak mempunyai kemungkinan lain kecuali mempergunakan kemungkinan terakhir yang pernah mereka sadap dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Pada saat murid Empu Damar itu mengayunkan pedangnya, maka sebatang tombak telah meluncur dengan derasnya. Cantrik yang bersenjata tombak itu kecuali memang tidak sempat menggapai lawannya, ia pun merasa bahwa sulit baginya untuk menembus perisai yang melindungi lawannya dengan getaran udara yang seakan-akan telah menghamburkan beribu-ribu duri itu.

Murid Empu Damar yang sedang memusatkan perhatiannya kepada cantrik yang sudah terluka di lambung itu, ternyata terlambat untuk mengetahui serangan yang dilontarkan itu. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi murid Empu Damar itu tidak mampu untuk sepenuhnya menghindarkan serangan ujung tombak itu. Meskipun ujung tombak itu tidak mengoyak jantung, namun ujung tombak itu telah menyentuh lengannya.

Murid Empu Damar itu mengumpat. Ujung tombak itu memang hanya sekedar menggores lengannya. Sama sekali tidak membahayakan jiwanya. Namun justru pada saat murid Empu Damar itu mengusap lukanya, maka diluar dugaan, sepasang pedang telah terbang pula menyambarnya.

Dengan tangkasnya murid Empu Damar itu meloncat menghindar. Sepasang pedang itu memang tidak mengenainya. Namun murid Empu Damar itu telah melupakan sesuatu. Cantrik yang terluka lambungnya itu telah sempat bangkit. Meskipun cantrik itu tidak sempat berdiri, namun sambil berlutut pada sebelah kakinya, maka dengan sisa tenaganya pedangnya telah terjulur dari arah samping.

Murid Empu Damar yang baru saja tegak setelah menghindari sepasang pedang yang menyambarnya, ternyata tidak sempat berbuat banyak. Ujung pedang itu langsung menghunjam ke lambungnya, menghunjam sampai ke rongga dadanya.

Murid Empu Damar itu mengaduh tertahan. Dengan sorot mata penuh kebencian ia memandang cantrik yang lambungnya sudah terluka itu. Dengan tenaganya yang terakhir, murid Empu Damar itu mencoba mengangkat pedangnya. Namun ternyata ia tidak mampu lagi melakukannya. Sejenak ia terhuyung. Kemudian, tertatih-tatih dan akhirnya tubuhnya pun roboh jatuh terbanting ditanah. Ternyata murid Empu Damar itu tidak mampu bertahan terlalu lama. Lukanya yang parah kemudian telah mengakhiri perlawanannya.

Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang melihat kematian murid Empu Damar yang memimpin pasukan di sisi kanan itu, telah bersorak membahana. Mereka meneriakkan kematian pimpinan pasukan lawannya itu. Meskipun mereka pun harus meratapi seorang di antara para cantrik yang terluka parah. Cantrik yang terluka lambungnya itu, demikian ia berhasil menghunjamkan pedangnya, maka ia pun langsung menjadi pingsan.

Beberapa orang cantrik segera berusaha menolongnya, sementara yang lain melindunginya. Namun dalam pada itu, bantuan yang datang dari sisi sebelah kiri, yang kemudian disusul oleh kematian pemimpin pasukan di sisi sebelah kanan itu telah sangat berpengaruh atas keseimbangan seluruh pertempuran di sisi sebelah kanan itu. Setiap orang dari pasukan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu menjadi sangat berdebar-debar. Mereka telah kehilangan pemimpin mereka sementara cantrik Bajra Seta telah memperkuat kedudukannya di sisi sebelah kanan.

Dengan demikian, maka kekuatan pasukan Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya telah menjadi semakin terdesak. Terutama di belakang, di sisi sebelah kiri dan sisi sebelah kanan. Kekuatan para penyerang itu tidak mampu lagi untuk tetap mempertahankan keseimbangan pertempuran. Bahkan para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta dari arah belakang itu pun sama sekali sudah disapu oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Hanya di bagian depan Padepokan sajalah pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kekuatan Padepokan Ngancas memang sebagian besar terbesar berada di bagian depan padepokan. Dengan garang mereka bertempur bersama dengan beberapa murid Empu Damar yang sudah dianggap cukup mempunyai bekal. Termasuk Gemak Langkas. Sementara Empu Damar sendiri tengah berhadap dengan Mahisa Murti.

Dengan mengerahkan segenap kemampuan, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta berusaha untuk mempertahankan garis pertempuran agar tidak bergeser semakin dekat dengan dinding padepokan. Tetapi pertahanan itu rasa-rasanya selalu berguncang. Bahkan seakan-akan telah merangkak mendekati dinding.

Di atas dinding, para cantrik yang bertugas mengawasi keadaan memang menjadi cemas. Bahkan mereka telah memberikan isyarat kepada pasukan cadangan yang jumlahnya hanya sedikit, dan bahkan bekal ilmu mereka pun masih sangat sedikit pula, untuk bersiap-siap agar para penyerang tidak dapat memasuki regol Padepokan yang memang sudah terbuka.

Dua orang petugas sandi yang mengamati pertempuran menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka tidak dapat berpangku tangan. Meskipun mereka sadar, bahwa mereka berdua tidak akan berarti apa-apa, namun jika terpaksa mereka memang harus turun dimedan pertempuran, setidak tidaknya untuk mempengaruhi agar para cantrik dari Padepokan Bajra Seta tetap berbesar hati.

Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang bertempur dibagian depan dari padepokan itu pun harus mengerahkan segenap kemampuhan mereka agar mereka tidak terlempar dari pertempuran. Tetapi tekanan lawan memang terasa sangat berat.

Namun dalam pada itu, para cantrik yang bertugas di dalam lingkungan dinding Padepokan telah kehilangan Mahisa Amping. Tiba-tiba saja anak itu tidak ada lagi di atas panggungan. Ketika hal itu ditanyakan kepada kedua orang petugas sandi, apakah Mahisa Amping bersama mereka, maka mereka pun menjadi cemas pula.

“Anak itu tidak ada di sini,” jawab salah seorang di antara kedua orang petugas sandi itu.

Beberapa orang cantrik memang menjadi bingung. Mereka menjadi gelisah karena mereka tidak segera menemukan Mahisa Amping. Beberapa orang telah mencarinya di seluruh padepokan. Setiap bangunan telah dimasuki dengan memanggil nama anak itu. Tetapi anak itu tidak diketemukan.

Karena itu, maka keduanya pun telah mengambil keputusan untuk turun ke arena. Namun seorang di antara mereka masih sempat berkata, “Jika anak itu belum kalian ketemukan, maka carilah keluar dinding Padepokan.”

Cantrik itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan mencarinya.”

Demikianlah keduanya pun telah turun dari panggungan. Mereka telah keluar pula dari gerbang induk Padepokan Bajra Seta langsung menuju ke medan pertempuran.

Sementara itu, Mahisa Amping memang tidak berada di lingkungan dinding padepokan lagi. Diam-diam anak itu sudah berlari keluar. Diluar pengamatan para cantrik Mahisa Amping berlari melewati bagian belakang Padepokan Bajra Seta yang sudah tidak lagi menjadi ajang pertempuran, melingkar dan kemudian menuju ke sisi arena pertempuran yang lain di sisi kanan Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu, para cantrik Bajra Seta telah hampir menguasai keseluruhan medan di sisi kanan itu. Para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya sudah tidak banyak dapat berbuat. Bahkan mereka seakan-akan telah menjadi putus asa dan kehilangan harapan untuk dapat bertahan. Sementara itu, para pemimpin kelompok dari para cantrik Padepokan Bajra Seta sempat meneriakkan kesempatan agar pasukan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu menyerah.

Kesempatan itu memang tidak segera dipergunakan. Sebagian dari mereka yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu masih ragu-ragu. Namun mereka memang sudah tidak berpengaruh lagi. Sementara itu, maka anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan yang berada di sisi sebelah kanan itu pun tidak lagi mengalami perlawanan yang berarti. Lawan-lawan mereka lebih banyak bergeser mundur dan merapat di antara mereka yang terdesak dari kedua sisi.

Bahkan sebagian besar dari mereka tidak lagi mempunyai keberanian untuk bertempur sepeninggal pemimpin mereka, salah seorang di antara murid-murid Empu Damar yang terpercaya.

Pada saat yang demikian itulah Mahisa Amping telah hadir di antara anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan sebelah. Ternyata mereka terkejut juga melihat kehadiran Mahisa Amping. Justru karena beban mereka tidak lagi terasa berat, maka beberapa orang telah mengerumuni anak itu.

“Dengan siapa kau datang kemari?” bertanya seorang di antara mereka yang berkerumun itu.

“Sendiri,” jawab Mahisa Amping.

“Kenapa kau kemari dalam keadaan seperti ini?” bertanya orang itu.

“Bukankah tugas kalian di sini tidak terlalu mengikat lagi sehingga sebagian dari kalian dapat meninggalkan tempat ini?” bertanya Mahisa Amping.

“Maksudmu?” bertanya orang itu.

“Para cantrik Padepokan kita di bagian depan agak mengalami kesulitan. Meskipun belum kehilangan kemungkinan dan belum kehilangan harapan. Daripada mereka harus menyerahkan korban terlalu banyak untuk bertahan, apakah tidak sebaiknya jika sebagian dari kalian pergi ke bagian depan padepokan membantu kawan-kawan kalian di sana?” berkata Mahisa Amping.

“Apakah benar begitu? Kenapa tidak ada penghubung yang datang kemari membawa perintah bagi kami?” jawab orang itu.

“Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kakang Mahisa Murti belum sempat memberikan perintah,” jawab Mahisa Amping.

“Darimana kau tahu keadaan medan? Apakah kau berada di sana sebelum kau datang kemari?”

“Aku berada di panggungan di sebelah pintu. Aku melihat pertempuran yang terjadi di medan itu,” jawab Mahisa Amping.

“Tunggu di sini,” desis orang itu.

“Jangan menunggu pasukan Bajra Seta pecah,” jawab Mahisa Amping.

“Tetapi bukankah aku harus memberikan laporan?” sahut orang itu.

Mahisa Amping tidak menjawab, sementara orang itu pun segera berlari menemui pemimpin pasukan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang berada di sisi kanan yang mereka tunjuk sendiri dengan kesepakatan bersama. Karena pertempuran sudah mereda, maka pemimpin pasukan itu sempat mendengarkan laporan orang yang baru saja menemui Mahisa Amping itu dengan seksama.

“Baiklah,” berkata orang itu, “aku akan memerintahkan tiga kelompok di antara kita untuk pergi kebagian depan Padepokan ini untuk membantu pasukan induk.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka tiga kelompok dari anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Mereka berlari dengan cepat menuju ke pasukan induk yang bertempur di bagian depan padepokan Bajra Seta itu.

Para cantrik dari padepokan Ngancas sempat menjadi gelisah. Tetapi jumlah itu memang tidak bertambah. Meskipun demikian tiga kelompok anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu sempat mengguncang medan.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini…

Dalam pada itu, pertempuran pun masih berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak masih saling mendesak. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka yang tersisa.

Para cantrik Padepokan Bajra Seta seakan-akan telah menguasai seluruh medan setelah murid kepercayaan Empu Damar tersingkir dari arena pertempuran. Para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-pasepokan yang mendukungnya sudah tidak memiliki harapan lagi, sehingga mereka lebih banyak menghindar dari pada mempertahankan diri.

Selagi di depan Padepokan Bajra Seta itu masih berlangsung pertempuran sengit, maka Mahisa Amping yang telah menemui anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan yang bertempur di sisi kanan, telah berlari pula ke sisi sebelah kiri.

Namun, Mahisa Semu yang memimpin para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu pun telah menjadi sangat letih. Tetapi ketika ia ditemui Mahisa Amping yang menyusup medan, maka Mahisa Semu itu sempat terkejut.

“Kenapa kau di sini?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukankah tugas para cantrik di medan ini sudah tidak begitu berat lagi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Mereka akan dipaksa untuk menyerah. Kenapa?”

“Apakah kakang dapat mengurangi kekuatan di medan ini lagi sebagaimana kakang lakukan sebelumnya?” bertanya Mahisa Amping agak ragu.

“Apa maksudmu? Apakah keadaan di sisi kanan masih terlalu sulit?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak,” jawab Mahisa Amping, “Tetapi justru pada pasukan induk.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Dengan cemas ia bertanya, “Bagimana dengan pasukan induk?”

“Masih belum nampak bahwa pasukan induk akan dapat menguasai medan. Bahkan kakang Mahisa Murti masih bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin pasukan yang menyerang Padepokan ini,” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera memerintahkan kepada seorang cantrik penghubungnya, untuk memerintahkan beberapa kelompok cantrik bergeser membantu medan di depan Padepokan. Apalagi ketika Mahisa Semu melihat lawan-lawannya di sisi sebelah kiri itu sudah mulai menyerah.

Dengan demikian maka beberapa kelompok cantrik Bajra Setapun telah bergerak. Meskipun mereka sudah menjadi letih sebagaimana para cantrik dari kedua belah pihak yang bertempur itu, namun mereka masih juga berlari-larian melingkari sudut Padepokan menuju ke pasukan induk mereka.

Kehadiran beberapa kelompok cantrik Bajra Seta itu sekali lagi telah mengguncang medan. Bahkan kemudian mereka telah menentukan keseimbangan pertempuran. Para cantrik dari Padepokan Ngancas yang semula masih berpengharapan, telah menjadi gelisah.

Para cantrik dari sisi sebelah kiri itu langsung memasuki arena dan menusuk pasukan lawan dari samping. Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan Ngancas itu seakan-akan telah terkepung. Di depan mereka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta semakin mendesak. Dari sisi lain, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang menekan mereka semakin kuat. Kemudian datang beberapa kelompok anak-anak muda dan orang-orang padukuhan dari sisi kanan, disusul kemudian beberapa kelompok cantrik dari sisi kiri.

Dalam pada itu, maka pertempuran antara Mahisa Murti dengan Empu Damar menjadi semakin sengit. Setiap kali Empu Damar telah melontarkan sejenis senjatanya ke arah Mahisa Murti. Meskipun senjata itu tidak mengenainya, namun sambaran anginnya membuat Mahisa Murti semakin kesakitan.

Senjata yang dilemparkan oleh Empu Damar itu ternyata adalah semacam gelang-gelang baja putih. Senjata yang sangat berbahaya. Jika senjata itu menyentuh kepala, maka kepala itu tentu akan pecah. Bahkan gelang-gelang baja putih itu akan dapat mematahkan tulang-tulang di tubuh lawannya yang dapat dikenainya. Bahkan tulang lengan sekalipun.

Jika senjata itu tidak mengenai lawan, maka sambaran anginnya telah cukup menyakitinya. Seakan-akan ratusan duri-duri kecil yang tajam telah mengorek setiap lubang kulitnya. Dengan demikian maka Empu Damar telah berusaha memaksakan kemenangan segera atas Mahisa Murti justru karena ia mengetahui bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas telah terdesak, dan bahkan hampir terhimpit di tengah-tengah kepungan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta itu.

Karena itu, maka serangan-serangan Empu Damar pun menjadi semakin cepat pula, meskipun keringat telah membasahi seluruh tubuhnya. Dengan lontaran-lontaran senjatanya maka Empu Damar berhasil membatasi serangan-serangan Mahisa Murti. Justru karena Empu Damar telah mengetahui bahwa Mahisa Murti sebagaimana Mahisa Pukat memiliki kemampuan untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.

“Seandainya aku tahu bahwa Mahisa Pukat memiliki ilmu itu,” berkata Empu Damar di dalam hatinya, “maka aku tidak akan dipermalukannya di hadapan banyak orang. Di hadapan murid-muridku pula.”

Dengan dada tengadah Empu Damar menekan Mahisa Murti sehingga Mahisa Murti beberapa kali harus berloncatan surut. Bahkan pada saat-saat terakhir Empu Damar hampir pasti, bahwa ia akan dapat mengalahkan Mahisa Murti.

Mahisa Murti yang selalu diburu oleh senjata-senjata Empu Damar yang dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar bahkan dibarengi dengan ilmunya pula sehingga hembusan anginnya telah menyakitinya, akhirnya harus mengambil satu sikap untuk mengatasinya. Mahisa Murti tidak dapat membiarkan dirinya diburu oleh senjata Empu Damar sehingga setiap kali Mahisa Murti harus berloncatan menghindar dan bahkan sambil menyeringai menahan pedih.

Sementara itu, pertempuran di sekitarnya memang menjadi semakin sengit. Bahkan beberapa orang cantrik yang sedang bertempur harus mengalami nasib buruk. Gelang-gelang baja putih yang dilemparkan oleh Empu Damar sekali-sekali justru mengenai para cantrik. Sekali-sekali justru cantrik dari Padepokan Ngancas yang sedang bertempur melawan cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Karena itulah, maka Mahisa Murti pun telah memutuskan untuk menghentikan serangan-serangan Empu Damar sebelum gelang-gelang itu mematahkan tulang-tulangnya. Apalagi darah yang mengembun dari lubang-lubang kulitnya telah menjadi semakin banyak pula.

Ketika kemudian gelang-gelang itu menyambarnya lagi, maka Mahisa Murti harus berloncatan menghindarinya sejauh-jauh dapat dilakukan, agar hembusan angin yang menyambar tubuhnya tidak terlalu menyakitinya. Sementara itu, Mahisa Murti sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendekati lawannya untuk menyerangnya dengan ujung pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.

Pada saat-saat yang sulit dibawah ancaman lontaran gelang-gelang baja putih itulah, Mahisa Murti kemudian telah mengerahkan ilmunya yang lain. Bukan sekedar menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, tetapi ia pun harus menyerangnya.

Demikianlah, maka ketika sebuah gelang baja putih menyambarnya maka Mahisa Murti telah meloncat ke samping untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Mahisa Murti masih harus menyeringai menahan perasaan pedih yang menggigit. Bahkan untuk beberapa saat Mahisa Murti harus mengerahkan daya tahannya untuk mengatasinya meskipun darah masih saja mengembun dikulitnya.

Tetapi, agaknya Empu Damar tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi gelang-gelang baja itu menyambarnya. Hampir saja senjata yang menggetarkan udara itu menyambar keningnya. Namun meskipun Mahisa Murti sempat menghindari sentuhan senjata itu, namun sambaran anginnya benar-benar telah menyakitinya. Mahisa Murti berdesah menahan sakit sambil melenting menjauh. Tetapi angin telah menyambarnya dan perasaan pedihpun semakin menusuk kulit.

Belum lagi Mahisa Murti sempat memperbaiki kedudukannya, maka sekali lagi Empu Damar melemparkan gelang-gelang besi bajanya. Gelang-gelang yang memang tidak begitu besar, tetapi Mahisa Murti menyadari bahwa gelang-gelang itu sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak mempunyai kesempatan untuk meloncat menghindar. Yang dapat dilakukannya adalah justru menjatuhkan dirinya. Gelang-gelang itu memang tidak mengenainya. Tetapi sambaran angin itu masih saja menyakitinya.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi ketika melihat bahwa Empu Damar sudah mengambil lagi gelang-gelang baja dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Mahisa Murti tidak mau disakiti lagi. Ia tidak membiarkan darahnya yang mengembun semakin membasahi kulitnya. Karena itu, maka agaknya memang sudah tiba waktunya Mahisa Murti berusaha mengakhiri pertempuran itu.

Dengan cepat Mahisa Murti yang menyiapkan dirinya, memusatkan nalar budinya. Ia tidak merasa perlu untuk bangkit lebih dahulu. Namun sambil berbaring di tanah, maka diacukannya pedangnya ke arah lawannya. Dengan cepat pula Mahisa Murti telah melepaskan kemampuannya menyerang lawannya dari jarak jauh, tepat pada saat Empu Damar siap melontarkan senjatanya.

Empu Damar sama sekali tidak mengira bahwa serangan yang dahsyat itu akan datang. Yang diperhitungkan hanyalah ilmu Mahisa Murti yang dapat menghisap kekuatan dan tenaga lawan. Karena itu, Empu Damar menjadi sangat terkejut melihat seleret sinar bagaikan meluncur dari ujung pedang Mahisa Murti.

Ternyata serangan Mahisa Murti datang demikian cepatnya. Sebelum gelang-gelang bajanya terlepas dari tangannya, maka serangan Mahisa Murti telah menerpanya. Demikian dahsyatnya, sehingga Empu Damar telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan rasa-rasanya dadanya telah meledak sehingga isi dadanya telah rontok karenanya.

Empu Damar yang tidak menduga akan mendapat serangan yang demikian dahsyatnya, sama sekali tidak sempat berbuat sesuatu. Ia masih sadar ketika ia terbanting jatuh. Bahkan sempat mengumpat kasar. Empu Damar sempat menyadari betapa dahsyatnya ilmu anak muda itu. Selain ilmu yang jarang ada duanya, yang mampu menghisap tenaga dan kekuatan lawan, ternyata ia juga memiliki ilmu yang dahsyat dan keras.

Namun Empu Damar sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Lamat-lamat masih terdengar sorak para cantrik Padepokan Bajra Seta membahana. Ia pun samar-samar masih melihat Mahisa Murti dibawah perlindungan para cantrik melangkah mendekatinya. Tetapi sejenak kemudian, semuanya menjadi gelap. Jantungnya pun terasa berdetak semakin cepat sehingga akhirnya, Empu Damar kehilangan segenap kesadarannya. Bahkan jantungnya pun telah berhenti berdetak pula.

Para cantrik dari Padepokan Ngancas menjadi gelisah. Beberapa orang murid Empu Damar yang masih bertahan, termasuk Gemak Langkas memang menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengambil sikap dengan cepat, apalagi mengambil alih pimpinan. Kematian Empu Damar benar-benar telah mengguncang jiwa mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi mengambil sikap apapun juga.

Justru karena itu, maka para cantirk dari Padepokan Ngancas itu benar-benar telah kehilangan pegangan. Sebagian dari mereka justru bertempur membabi buta. Tetapi sebagian yang lain dengan serta merta telah melemparkan senjata mereka dan menyerah.

Apalagi kekuatan Bajra Seta di depan padepokannya itu semakin bertambah, sehingga akhirnya, orang-orang yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Sehingga dengan demikian maka serangan mereka telah dipatahkan dengan mutlak. Dengan demikian, maka para pengikut Empu Damar itu di segala medan telah dikuasai. Mereka berangsur-angsur telah menyerah dan meletakkan senjata mereka.

Karena itu, maka sebelum matahari merendah di kaki langit sebelah barat, maka pertempuran itu telah dapat diselesaikan. Tetapi bukan berarti bahwa segala-galanya telah selesai. Ternyata dalam pertempuran itu telah jatuh korban dari kedua belah pihak. Bahkan anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta.

Para cantrik, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan sebelah menyebelah bahkan para pengikut Empu Damar yang menyerah masih harus sibuk mengumpulkan mereka yang terluka dan bahkan terbunuh di peperangan.

Mahisa Murti memandangi tubuh yang membeku berjajar di halaman serta para cantrik yang terluka yang ditempatkan di pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta dengan wajah yang sayu. Tidak seorang pun yang mampu mencegah korban yang berjatuhan di setiap peperangan. Jika peperangan itu masih berulang, maka tubuh-tubuh yang membeku dan berlumuran darah masih saja akan berhamburan di medan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam ketika dua orang petugas sandi yang telah ikut terjun di pertempuran itu mendekatinya. Seorang di antara mereka berkata, “Peperangan selalu berakhir seperti ini.”

“Ya,” jawab Mahisa Murti. Katanya selanjutnya, “Tetapi hal seperti ini masih saja terulang apapun alasannya.”

Kedua orang petugas sandi itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Amping pun telah melangkah dengan ragu-ragu mendekat. Ternyata Mahisa Murti telah mendapat laporan tentang anak itu dari mereka telah dihubunginya. Bahkan sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu, Mahisa Amping telah mendahuluinya, “Maaf kakang. Aku telah melakukannya tanpa seijin kakang.”

Mahisa Murti tersenyum melihat tingkah anak itu. Katanya, “Baiklah. Kau telah berusaha membantu pertempuran yang telah terjadi dengan caramu. Kau telah berusaha membagi kekuatan para cantrik sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, apa yang kau lakukan mempunyai akibat yang baik bagi Padepokan kita.” Mahisa Murti berhenti sejenak. Dipandanginya anak yang kemudian menunduk dalam-dalam itu. Katanya selanjutnya, “Tetapi lain kali berhati-hatilah. Jika kau menerobos medan, maka hal itu akan sangat berbahaya bagimu.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya Kakang. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti sambil membelai kepala anak itu, “kau harus berhati-hati bermain-main dengan peperangan. Kau lihat, betapa ganasnya pertempuran itu. Yang berjajar di halaman itu adalah mereka yang telah menjadi korban. Mereka akan segera diangkat ke serambi sebelum besok pagi dimakamkan. Sedangkan yang ada di pendapa itu adalah mereka yang terluka parah.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Bukan untuk pertama kalinya ia melihat akibat dari sebuah peperangan. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun berkata kepada kedua orang petugas sandi dari Singasari itu, “Marilah, kita lihat keadaan Mahisa Semu dan paman Wantilan.”

Mahisa Murti pun kemudian bersama-sama dengan kedua orang itu sambil menggandeng Mahisa Amping melihat keadaan Mahisa Semu dan Wantilan di bilik mereka. Ternyata keadaan Wantilan lebih buruk dari Mahisa Semu. Mahisa Semu memang nampak terlalu letih. Kulitnya juga menjadi merah. Meskipun darah yang mengembun sudah dibersihkan, namun bekas-bekas terpaan ilmu lawannya masih nampak kemerah-merahan. Sedangkan Wantilan benar-benar terdapat luka dikulitnya. Di beberapa bagian kulitnya menjadi terkelupas. Perasaan pedih masih saja menggigit di beberapa bagian kulitnya, sehingga Wantilan memerlukan perawatan yang lebih bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu, di antara para pengikut Empu Damar yang menyerah dan menjadi tawanan adalah Gemak Langkas. Betapa penyesalan mencengkam jantungnya. Ia melihat sendiri betapa saudara-saudara seperguruannya terbaring tanpa bernafas lagi. Besok mereka sudah harus dikembalikan kepangkuan bumi tanpa pernah bangkit kembali. Sementara yang lain lagi terbaring sambil mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang parah.

Mahisa Murti yang oleh kedua orang petugas sandi diberitahukan, bahwa Gemak Langkas itulah yang menjadi api yang kemudian membakar Padepokan Bajra Seta yang meskipun dapat dipadamkan tetapi telah menelan banyak korban itu, telah memanggilnya untuk menemuinya. Namun, sejak Mahisa Murti berbicara dengan Gemak Langkas, maka ia telah mendapat kesan bahwa Gemak Langkas merasa sangat menyesal atas segala peristiwa yang telah terjadi itu.

“Sejak semula, aku dan ayahku sudah berusaha mencegah guru untuk melakukan balas dendam,” berkata Gemak Langkas. “Tetapi kami tidak berhasil. Karena aku merasa bahwa aku adalah sebab dari persoalan ini, maka aku merasa mempunyai kewajiban untuk ikut bersama guru menyerang Padepokan Bajra Seta.”

“Jadi alasan Empu Damar menyerang padepokan ini hanya dendam semata-mata?” bertanya Mahisa Murti.

Gemak Langkas termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Ternyata tidak. Meskipun tidak berterus-terang, tetapi guru menganggap bahwa ada sesuatu yang berharga di Padepokan Bajra Seta. Ada sejenis senjata yang agak lain dari kebanyakan senjata. Dan itu ternyata dalam pertempuran yang terjadi. Senjata para cantrik Bajra Seta mempunyai kelebihan dari senjata kami.”

“Hanya karena senjata-senjata itu?” desak Mahisa Murti.

Gemak Langkas terdiam sejenak. Ia memang nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian katanya, “Ada dua keuntungan yang dapat diambil oleh guru. Karena aku terlibat, serta aku pula sebab utama dari peristiwa ini, maka ayahku telah ikut membeayai pasukan Ngancas betapapun ayah merasa berkeberatan. Selebihnya, guru berpendapat bahwa di Padepokan Bajra Seta yang besar ini selain senjata tentu terdapat harta benda yang cukup berharga sehingga akan menguntungkan guru.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa di samping alasan yang dikemukakan tentang pembalasan dendam, maka tentu tersembunyi kepentingan yang lain. Hal itu dapat dibaca dari sifat Empu Damar. Bukankah kau seorang murid yang mendapat perhatian sangat besar dari gurumu karena kau mampu mengupahnya lebih dari yang lain? Bukankah gurumu setiap saat yang ditentukan justru datang kepadamu untuk mengajarmu dalam olah kanuragan karena kau membayar?”

Gemak Langkas mengangguk sambil menjawab, “Ya. Memang demikian. Semakin banyak ayah memberi uang, semakin sering guru datang kerumah.”

“Dengan demikian, maka gurumu sama sekali tidak bersandar pada kewajiban seorang guru. Tetapi yang dilakukan diperhitungkan atas dasar upah semata-mata tanpa pertanggung-jawaban atas keberhasilan murid-muridnya.”

“Aku baru menyadari kemudian,” desis Gemak Langkas.

“Dan kau sekarang terseret dalam arus ketamakan gurumu,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Aku menyesal,” desis Gemak Langkas hampir tidak terdengar.

Tetapi Mahisa Murti percaya bahwa penyesalan itu terlontar dari dasar hatinya. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mematuhi pesan dari kedua orang petugas sandi dari Singasari itu. Para tawanan untuk sementara dititipkan kepada Padepokan Bajra Seta sampai pada saatnya nanti dijemput oleh sepasukan prajurit dari Singasari.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata. “Aku percaya kepadamu Gemak Langkas. Tetapi aku tidak dapat melepaskanmu dari paugeran.”

“Aku tidak akan dapat ingkar,” jawab Gemak Langkas, “apapun yang harus aku jalani sebagai hukuman atas tingkah lakuku, akan aku jalani. Bahkan seandainya aku harus dihukum mati.”

“Tidak, kau tidak akan dihukum mati,” jawab Mahisa Murti.

“Akulah yang menyebabkan segala ini terjadi,” jawab Gemak Langkas.

“Tetapi tidak semua kesalahan ada padamu,” desis Mahisa Murti kemudian, “kesalahan terbesar adalah justru pada gurumu. Ia telah memanfaatkan persoalan yang kau sulut untuk memuaskan ketamakannya.”

“Terima kasih atas sikapmu. Mudah-mudahan sikap para pemimpin di Singasari sama seperti sikapmu itu. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh saudaramu, Mahisa Pukat yang mengalami langsung benturan kepentingan dengan aku, sehingga persoalannya telah berkepanjangan dan mungkin kau benar, telah dimanfaatkan oleh guru.”

Sementara itu kedua petugas sandi Singosari yang berada di Padepokan Bajra Seta setelah minta diri kepada Mahisa Murti, langsung pulang kembali ke Singosari untuk menghadap dan memberi laporan kepada pimpinannya yaitu Arya Kuda Cemani. Begitu sampai di Singosari kedua petugas sandi tersebut langsung menghadap Arya Kuda Cemani dan melaporkan seluruh kejadian di padepokan Bajra Seta.

Setelah menerima laporan dari kedua petugas sandi tersebut Arya Kuda Cemani menugaskan keduanya untuk segera menemui Ki Mahendra guna menyampaikan seluruh peristiwa penyerangan padepokan Bajra Seta oleh Padepokan Ngancas dan tiga padepokan pendukungnya yang dipimpin oleh Empu Damar.

“Besok pergilah kalian menemui Ki Mahendra untuk menceritakan seluruh kejadian tersebut”

Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Baiklah. Kami besok akan menemui Ki Mahendra di tempat tinggalnya.”

Arya Kuda Cemani itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Biarlah aku besok akan datang bersamamu menemui Ki Mahendra dan Mahisa Pukat. Lebih baik mereka mendengar langsung dari kita daripada dari orang lain yang mungkin sudah ditambah atau dikurangi.”

Sebenarnyalah di hari berikutnya mereka bertiga telah menemui Mahendra dan Mahisa Pukat di tempat tinggal mereka, di bagian belakang istana Singasari. Dengan hati-hati Arya Kuda Cemani telah menceriterakan apa yang dilakukan oleh kedua orang petugasnya itu.

“Biarlah mereka menceriterakan apa yang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta,” berkata Arya Kuda Cemani.

Dengan tegang Mahendra dan Mahisa Pukat kemudian mendengarkan ceritera kedua orang petugas sandi itu. Apa saja yang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta. Mahisa Pukat mendengar peristiwa di padepokan Bajra Seta itu dengan hati yang tegang. Bahkan kemudian dengan lantang ia bertanya, “Kenapa aku tidak diberi tahu sebelumnya? Seharusnya aku juga berada di Padepokan saat itu.”

“Maaf ngger,” jawab Arya Kuda Cemani, “ternyata kami salah menilai kekuatan Padepokan Ngancas. Kami tahu bahwa Padepokan Ngancas didukung oleh tiga padepokan sekaligus. Tetapi ternyata jumlah kekuatannya lebih dari yang kami lihat.”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat marah kepada Arya Kuda Cemani. Apalagi yang dilakukan Arya Kuda Cemani semata-mata karena Arya Kuda Cemani ingin membantu Padepokan Bajra Seta. Bagaimanapun juga, perbuatan itu dilandasi dengan maksud yang baik.

Mahendra lah yang kemudian berkata, “Kami mengucapkan terima kasih Raden. Seandainya Raden tidak memberitahukan kedatangan beberapa padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk.”

“Tetapi kami harus minta maaf kepada Mahisa Murti,” berkata Arya Kuda Cemani, “seharusnya kami dapat berbuat lebih baik.”

Tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong pembicaraan itu, “Besok aku akan pergi ke Padepokan.”

“Sebaiknya kau pergi besok lusa saja ngger,” minta Arya Kuda Cemani, “besok lusa aku akan mengirimkan sekelompok prajurit untuk menjemput para tawanan. Kami tidak dapat membiarkan para tawanan itu menjadi beban padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya saat itu juga ia ingin terbang ke Padepokan Bajra Seta. Ia ingin melihat akibat dari pertempuran yang baru saja terjadi.

Tetapi ayahnya berkata, “Agaknya memang sebaiknya kau pergi bersama-sama dengan para prajurit itu Pukat. Bukan karena aku cemaskan kau selama dalam perjalanan. Tetapi agaknya lebih baik kau tempuh perjalananmu tidak seorang diri.”

Mahisa Puakt termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tidak dapat menolaknya. Demikianlah, seperti yang telah direncanakan maka Mahisa Pukat pun telah pergi ke Padepokan Bajra Seta bersama sekelompok prajurit yang akan menjemput para tawanan. Dengan jantung yang gemuruh, seperti derap kaki-kaki kuda para prajurit dalam perjalanan itu, Mahisa Pukat seakan-akan merasa perjalanan itu terlalu panjang. Namun, betapapun terasa perjalanan itu terlalu lama, maka akhirnya iring-iringan itu sampai ke Padepokan Bajra Seta.

Mahisa Pukat pun telah meloncat turun dari kudanya. Oleh perasaan yang bergejolak di dalam jantungnya, juga oleh perasaan bahwa ia adalah penyebab dari pertempuran yang telah terjadi itu maka Mahisa Pukat pun telah berlari memeluk saudaranya sambil berdesis, “Maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini. Para petugas sandi sengaja tidak memberitahukan peristiwa ini kepadaku.”

Mahisa Murti pun harus mengatur gejolak perasaannya. Baru kemudian ia menjawab, “Segalanya telah berlalu, Pukat. Ternyata kami mampu bertahan meskipun harus jatuh korban.”

“Seandainya aku tahu,” suara Mahisa Pukat menjadi sangat dalam.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “Yang Maha Agung masih melindungi padepokan kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit untuk naik kependapa. Namun hanya para pemimpinnya sajalah yang kemudian naik, sedangkan yang lain berada di serambi bangunan sayap Padepokan Bajra Seta.

Setelah mengucapkan selamat datang, maka para cantrik-pun telah menyuguhkan minuman dan makanan kepada para prajurit yang datang untuk menjemput para tawanan di Padepokan Bajra Seta. Namun mereka tidak dapat hari itu juga kembali ke Singasari. Para prajurit itu harus bermalam di Padepokan itu. Baru di keesokan harinya mereka akan kembali ke Singasari.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah menanyakan dimana Mahisa Amping yang masih belum dilihatnya sejak ia datang. Tetapi sebelum anak itu dipanggil, maka Mahisa Amping sudah berdiri termangu-mangu dipintu pringgitan bangunan induk Padepokan itu.

“Amping,” panggil Mahisa Pukat, “kemarilah.”

Mahisa Amping pun dengan ragu-ragu mendekat. Demikian ia berdiri didekat Mahisa Pukat duduk, maka tangannya pun telah ditariknya dan anak itu pun didudukannya di sebelahnya.

“Kau tidak apa-apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak apa-apa kakang,” jawab anak itu. Tetapi diluar dugaan anak itu bertanya, “Kemana kakang selama ini? Kenapa baru sekarang kakang datang?”

“Kakakmu mempunyai tugas di Singasari,” Mahisa Murtilah yang menyahut.

Mahisa Pukat menarik nafas panjang-panjang. Dengan nada rendah ia berkata, “Maafkan aku Amping. Aku tidak dapat ikut mempertahankan Padepokan ini.”

Mahisa Amping kemudian berkata, “Meskipun aku tidak apa-apa, tetapi beberapa orang cantrik telah gugur.”

“Aku menyesal bahwa aku tidak ada di padepokan waktu itu,” desis Mahisa Pukat.

“Sudahlah Amping,” berkata Mahisa Murti, “kau sebaiknya justru mengatakan bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita.”

Tetapi Mahisa Amping masih saja berkata, “Kakang Mahisa Semu dan paman Wantilan terluka.”

“He?” jawab Mahisa Pukat berkerut dalam.

“Tetapi luka mereka tidak parah,” sahut Mahisa Murti dengan serta merta.

“Antarkan aku kepada mereka,” berkata Mahisa Pukat dengan wajah yang tegang.

Mahisa Amping mengangguk. Tetapi Mahisa Murti pun berkata, “Marilah.” lalu katanya kepada para pemimpin prajurit yang ada dipendapa, “Silahkan duduk dahulu Ki Sanak. Marilah, silahkan minuman dan makanannya.”

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berada di dalam bilik Mahisa Semu. Mahisa Semu memang terluka. Tetapi tidak terlalu parah. Bahkan ia sudah nampak tenaganya sebagian besar pulih kembali. Meskipun demikian, penyesalan semakin mencengkam jantung Mahisa Pukat. Apalagi ketika kemudian ia melihat keadaan Wantilan yang nampak lebih parah dari Mahisa Semu.

Dengan geram Mahisa Pukat pun bertanya, “Dimana para tawanan itu?”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Untuk apa kau cari para tawanan?”

“Aku dengar di antara mereka terdapat Gemak Langkas.” jawab mahisa Pukat.

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Gemak Langkas. Ia adalah sumber dari segala-galanya. Seharusnya ia berani mempertanggung-jawabkan akibat dari perbuatannya. Aku akan menantangnya untuk berperang tanding”

“Jika kau sudah mampu mengalahkan gurunya. Jika kau benar-benar menantangnya, artinya sama saja bahwa kau membunuh seorang yang telah menyerah dan menjadi tawanan.”

“Tetapi kau tahu akibat dari perbuatannya itu. Beberapa orang cantrik telah gugur. Beberapa orang anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sebelah-menyebelah padepokan ini telah gugur pula. Bukankah sudah sepantasnya ia mendapat hukuman yang terberat?” berkata Mahisa Pukat dengan wajah yang tegang.

“Aku sependapat Pukat. Tetapi siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman yang terberat itu?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau saja ketika pertempuran itu terjadi aku ada di sini.”

“Sudahlah Pukat. Kita semua menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi yang telah terjadi itu tidak akan dapat dirubah lagi. Karena itu, kita harus menerimanya dengan tabah. Apalagi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi padepokan ini.”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah gemeretak giginya.

“Marilah,” berkata Mahisa Murti, “kita temui tamu-tamu kita. Para prajurit dari Singasari yang besok akan membawa para tawanan itu ke Kotaraja untuk mendapatkan pengadilan.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ketika ia berpaling dan memandang mata Mahisa Amping, maka seakan-akan ia sedang bercermin dan melihat kesalahannya sendiri sebagai beban yang harus dipikulnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa yang telah terjadi itu memang telah terjadi. Apapun sikap dan tanggapannya, namun ia tidak akan dapat merubah keadaan yang telah lewat itu, kecuali menyesalinya. Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun bersama-sama dengan Mahisa Murti telah berada kembali di pendapa menemui para tamu mereka dari Singasari.

Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit dari Singasari itu untuk beristirahat. Besok pagi-pagi sekali mereka akan menempuh perjalanan kembali ke Singasari. Sebagian dari para prajurit memang segera beristirahat ditempat yang sudah disediakan. Tetapi beberapa orang yang lain masih ingin berjalan-jalan melihat-lihat padepokan itu dan sekitarnya. Namun mereka esok hari memang harus berangkat sebelum matahari terbit. Para tawanan itu tidak menempuh perjalanan berkuda. Tetapi mereka akan berjalan kaki menuju ke Kotaraja.

Dalam pada itu, di pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti duduk berdua dengan Mahisa Pukat. Ternyata Mahisa Pukat menjadi bimbang, apakah besok ia akan kembali ke Singasari atau tidak.

Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Pergilah. Sebaiknya kau untuk sementara memang tetap berada di Kotaraja. Biarlah aku mengurus Padepokan ini. Percayalah, bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga padepokan ini tidak akan mengalami masa surut. Sementara itu di Kotaraja kau dapat menemani ayah yang sudah menjadi semakin tua. Agaknya ayah merasa lebih senang berada di Singasari daripada berada di Pakuwon Sangling bersama Kakang Mahisa Bungalan.”

Mahisa Pukat masih saja nampak ragu-ragu. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Peristiwa yang baru saja terjadi membuat aku merasa bersalah, bahwa aku tidak berada di padepokan.”

“Bukan salahmu,” sahut Mahisa Murti, “seharusnya kau dan kita semuanya berterima kasih dan mengucap sukur bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sekilas terbayang wajah Sasi. Mahisa Pukat memang merasa lebih tenang jika ia berada dekat gadis itu. Tetapi justru karena itu, ia merasa semakin bersalah. Sementara Mahisa Murti dan para cantrik Padepokan Bajra Seta bertempur mempertaruhkan nyawa, maka ia sendiri berada di Singasari semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Bahkan untuk kesenangannya sendiri.

Tetapi Mahisa Murti yang melihatnya bimbang itu pun berkata selanjutnya, “Sudahlah. Jangan terlalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Seandainya ada sesuatu yang penting, maka biarlah aku memanggilmu.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun ia masih juga berkata, “Rasa-rasanya aku tidak akan dapat meninggalkan Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan yang terluka cukup berat.”

“Tetapi luka-luka mereka akan segera sembuh, karena luka-luka mereka hanya terdapat dipermukaan kulit saja, sebagaimana yang aku alami meskipun tidak sebanyak yang dialami oleh Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan.”

Sementara itu, Mahisa Murti pun sempat menceriterakan bahwa agaknya Empu Damar yang sudah dapat dikalahkan oleh Mahisa Pukat itu mampu mengenali bahwa Mahisa Murti pun memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan meskipun hanya untuk sementara, sehingga Empu Damar selalu berusaha menghindari setiap sentuhan senjata. Bahkan Empu Damar telah mempergunakan senjata jarak jauh berupa gelang-gelang besi baja putih.

Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Murti selalu mendesaknya agar Mahisa Pukat besok kembali ke Singasari bersama para prajurit yang akan membawa para tawanan yang dititipkan di Padepokan Bajra Seta.

Akhirnya, Mahisa Pukat pun dapat mengatasi keragu-raguannya. Apalagi setiap kali ia teringat kepada Sasi. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Besok aku akan kembali ke Singasari. Biarlah aku berkata sejujurnya, bahwa aku ingin tetap berada di Singasari untuk sementara bukan saja karena aku ingin menemani ayah. Tetapi juga karena aku telah terikat karena kehadiran Sasi di dalam perjalanan hidupku.”

Jantung Mahisa Murti memang berdesir. Tetapi ia berhasil menekan gejolak perasaan yang hampir sampai kepermukaan dan kemudian mengendapkannya kembali. Mahisa Murti memang sudah berniat untuk melupakan Sasi sama sekali.

Demikian, sebelum tengah malam, maka padepokan Bajra Seta telah menjadi sepi. Para prajurit Singasari yang berada di padepokan itu sudah tidur lelap. Demikian pula Mahisa Pukat telah berada di atas pembaringannya meskipun ia masih belum tertidur.

Yang masih berjaga-jaga adalah para cantrik yang sedang bertugas. Mereka berada di regol induk dan regol butulan dan dipanggungan disudut-sudut dinding padepokan. Sementara itu setiap kali dua orang cantrik telah meronda berkeliling halaman di sekitar padepokan mereka yang tertidur nyenyak. Kecuali itu masih ada tiga gardu di kebun belakang padepokan yang ditunggui oleh beberapa orang cantrik.

Malam itu terasa betapa lengangnya. Yang terdengar hanyalah suara cengkerik dan bilalang di dedaunan. Dikejauhan terdengar gonggong anjing liar yang berkeliaran mencari mangsa. Mahisa Pukat yang tidak segera dapat tidur, akhirnya terlelap juga. Demikian juga Mahisa Murti.

Yang justru masih beberapa kali bangkit duduk di pembaringannya adalah Mahisa Amping. Anak itu tidak tahu kenapa ia tidak segera dapat tidur seperti biasanya. Baru ketika orang-orang yang bertugas di dapur mulai terbangun dan mempersiapkan makan pagi bagi mereka yang akan berangkat ke Singasari beserta para tawanan, Mahisa Amping dapat memejamkan matanya.

Sementara itu, kesibukan di dapur mirip saat-saat Padepokan Bajra Seta menghadapi serangan. Para petugas di dapur memang harus mempersiapkan makan dan minum bagi banyak orang, termasuk para tawanan.

Sebelum matahari terbit, maka nasi pun telah masak. Sementara itu, para prajurit pun telah mempersiapkan diri. Demikian pula para tawanan, betapa pun mereka merasa malas untuk menempuh perjalanan ke Singasari dengan dikawal oleh sepasukan prajurit. Di sepanjang jalan mereka akan menjadi tontonan. Sedangkan setiap orang akan mengetahui bahwa mereka adalah tawanan yang sedang digiring oleh para prajurit. 0Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan di Padepokan Bajra Seta mereka telah diperlakukan dengan baik, mereka telah merasa berterima kasih.

Sebelum mereka mulai menempuh perjalanan, maka mereka pun telah dibawa ke dapur untuk menerima makan pagi mereka, sementara para prajurit telah dipersilahkan makan di pendapa. Nasi yang masih hangat dengan sayur dan lauk yang masih hangat pula. Sementara para prajurit sedang makan, maka para cantriklah yang mengawasi para tawanan yang sedang makan di sebelah dapur. Sejenak kemudian maka semuanya pun telah siap di halaman depan Padepokan Bajra Seta. Para prajurit, para tawanan dan Mahisa Pukat yang akan pergi bersama para prajurit itu.

Dalam pada itu, meskipun Mahisa Amping belum terlalu lama tidur, namun ia pun telah berada di halaman itu pula. Bahkan ia sempat mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Di sini kakang Mahisa Murti seorang diri.”

Mahisa Pukat mengusap kepala anak itu. Katanya, “Aku tidak akan selamanya berada di Singasari.”

Sementara Mahisa Murti pun berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa kakakmu Mahisa Pukat sedang menyelesaikan satu tugas di Singasari? Jika segalanya sudah selesai, maka kakakmu Mahisa Pukat akan segera kembali.”

Anak itu memejamkan matanya, seolah-olah ia sedang melihat sesuatu. Tidak dengan mata wadagnya, tetapi dengan mata hatinya.

“Apa yang sedang kau renungkan?” bertanya Mahisa Murti.

Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berpandangan sejenak. Anak itu seolah-olah tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh Mahisa Pukat selama ia berada di Singasari.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak mengatakan sesuatu. Mereka tahu bahwa anak itu mempunyai kelebihan dengan penglihatan batinnya meskipun kadang-kadang anak itu tidak tanggap akan maknanya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meyakininya, bahwa jika anak itu menjadi semakin dewasa, maka daya urainya tentu akan menjadi semakin tajam pula.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada Mahisa Murti dan para cantrik yang juga berkumpul di sisi halaman Padepokan Bajra Seta. Demikian pula para pemimpin prajurit dan bahkan para tawanan. Tanpa diduga, Gemak Langkas telah melangkah mendekati Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti, sehingga tiba-tiba Mahisa Pukat menjadi tegang.

Namun Gemak Langkas itu kemudian berdesis setelah ia berhenti selangkah di hadapan Mahisa Pukat, “Aku sudah minta maaf kepada Mahisa Murti yang juga tersentuh akibat dendam yang menyala di dada guru. Aku merasa masih berhutang jika aku belum minta maaf kepadamu. Bahwa yang terjadi ini memang bersumber dari kesalahanku. Tetapi api yang menyala sepeletik kecil itu telah disiram dengan minyak oleh guru.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Gemak Langkas berkata selanjutnya, “Aku mohon maaf sedalam-dalamnya serta aku ingin menyatakan penyesalanku pula. Aku akan patuh mengikuti segala perintah. Di Singasari aku sudah siap menerima segala macam hukuman yang paling pantas diberikan kepadaku.”

“Aku mempercayainya,” desis Mahisa Murti, “Gurunya telah memanfaatkan api yang telah dinyalakannya, yang hanya sepeletik kecil itu. Empu Damar tidak hanya membawa dendamnya kemari. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia ingin merampok Padepokan Bajra Seta. Bahwa persoalan Gemak Langkas adalah semata-mata satu alasan yang tidak masuk akal. Bahkan persoalannya itu akan menelan korban yang cukup banyak.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun diluar sadarnya, anak muda itu telah memandang wajah Mahisa Amping yang berkerut. Tetapi kemudian ia berkata kepada Gemak Langkas, “Akupun percaya kepadamu. Aku memaafkan kesalahanmu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana sikap para Senapati di Singasari.”

“Apapun yang akan ditimpakan atasku, aku tidak menghiraukannya lagi. Bahwa kau telah memaafkan kesalahanku kepadamu, hatiku telah menjadi tenang.”

“Hutangmu telah kau lunasi,” desis Mahisa Pukat.

“Terima kasih,” jawab Gemak Langkas, “dengan demikian, aku menjadi lebih tabah menghadapi hukuman apa pun yang akan diberikan kepadaku.”

Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat wajah Gemak Langkas yang menjadi terang. Anak muda itu benar-benar merasa bahwa ia tidak mempunyai beban lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan untuk memaafkan kesalahan-kesalahannya.

Dalam pada itu, maka baik para prajurit Singasari maupun para tawanan telah siap untuk berangkat. Para prajurit menempuh perjalanan ke Singasari di atas punggung kuda masing-masing, sementara para tawanan harus berjalan kaki.

Para pemimpin prajurit Singasari sepakat untuk membiarkan para tawanan berjalan tanpa terikat tangan apalagi kakinya. Para prajurit telah mengetahui letak Padepokan-padepokan mereka sehingga jika mereka melarikan diri, maka padepokan merekalah yang akan menjadi sasaran. Bahkan mungkin para prajurit terpaksa mengambil langkah-langkah yang lebih keras untuk mencegah.

Demikianlah, sejenak kemudian maka iring-iringan dari Padepokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Para tawanan yang memandang jalan yang membujur panjang dalam keremangan fajar menjadi berdebar-debar. Mereka harus berjalan menempuh perjalanan yang jauh ke Singasari dalam keadaan yang pahit. Meskipun mereka tidak terikat, tetapi setiap orang akan mentertawakan mereka sebagai orang-orang yang digiring oleh para prajurit sebagaimana para penjahat.

Sementara itu para prajurit pun merasa malas untuk duduk di atas punggung kuda, tetapi kudanya merangkak seperti siput mengikuti iring-iringan para tawanan. Tetapi mereka tidak dapat mengelak, karena mereka sedang menjalankan tugas keprajuritan.

Sepeninggal para prajurit dan para tawanan, Padepokan Bajra Seta memang terasa menjadi sepi. Apalagi perasaan Mahisa Amping yang kecil itu. Kepergian Mahisa Pukat membuatnya merasa seakan-akan kehilangan. Meskipun sebelumnya Mahisa Pukat sudah berada di Singasari, tetapi ketika Mahisa Pukat kembali hanya untuk sehari, terasa bahwa kepergiannya memang membuat sesuatu hilang dari Padepokan Bajra Seta. Apalagi anak itu pun tahu, bahwa sebenarnya Mahisa Murti pun merasa kehilangan pula. Namun agaknya Mahisa Murti berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu.

Diluar sadarnya, maka Mahisa Amping kemudian seakan-akan telah mengurung diri di dalam bilik Mahisa Semu dan Wantilan yang terluka. Anak itu menunggui mereka dan melayani keperluan mereka.

Mahisa Murti agaknya dapat melihat pula gejolak perasaan anak itu. Namun bagi Mahisa Murti perasaan itu dalam kadar yang berbeda terdapat pula pada setiap cantrik di Padepokan Bajra Seta. Karena itu, maka Mahisa Murti sendiri harus berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Mahisa Amping jangan sampai melihat lagi bagaimana ia berusaha melarikan diri dari perasaannya, karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti ingin mengisi perasaannya dan juga perasaan para cantrik dengan langkah-langkah yang berarti. Dipanggilnya setiap pemimpin kelompok cantrik Padepokan Bajra Seta. Dengan jelas Mahisa Murti menunjukkan kelemahan para cantrik menghadapi serangan dari lawan yang jumlahnya lebih besar.

“Kita melihat bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih mementingkan kemampuan mereka secara pribadi. Aku tidak mengatakan bahwa hal itu lebih baik dari cara yang kita tempuh. Namun alangkah baiknya, jika kemampuan kita bertempur dalam kerja sama yang mapan disertai kemampuan secara pribadi yang lebih tinggi. Meskipun selama ini kita juga memperhatikan kemampuan para cantrik secara pribadi, tetapi aku yakin bahwa hal itu masih dapat ditingkatkan.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti telah memerintahkan untuk mempertinggi gelombang latihan para cantrik Padepokan Bajra Seta. Mahisa Murti juga memerintahkan untuk menyusun kembali susunan waktu latihan bagi para cantrik sesuai dengan tataran mereka.

“Kita juga harus mengetahui tataran setiap orang di dalam Padepokan ini. Tataran kemampuan tidak dapat diukur dengan waktu seberapa lama mereka berada di padepokan ini. Tetapi sejak pekan mendatang, kita akan menyusun tataran para cantrik menurut kemampuan mereka. Dengan demikian maka latihan-latihan berikutnya akan dapat ditata kembali sesuai dengan pengelompokan para cantrik itu.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa kerja itu adalah kerja yang besar bagi Padepokan Bajra Seta. Mereka harus menilik orang perorang agar mereka dapat menyusun pengelompokan yang paling cermat.

Demikianlah, maka sejak saat yang ditentukan, Padepokan Bajra Seta menjadi sibuk. Setiap pemimpin kelompok harus melihat kembali para cantriknya untuk menempatkan mereka pada kelompok-kelompok yang tepat. Seorang demi seorang mereka harus menunjukkan kemampuan mereka sejauh dapat mereka lakukan.

Dengan demikian, maka seluruh halaman padepokan telah dipergunakan. Bukan saja sanggar tertutup dan sanggar terbuka. Tetapi juga disudut-sudut halaman, kebun dan tempat-tempat terbuka lainnya. Bahkan beberapa kelompok harus melakukannya di luar, karena tidak ada tempat lagi dilingkungan dinding halaman padepokan.

Tetapi, di sekitar Padepokan Bajra Seta memang terdapat ara-ara yang cukup luas. Selain tempat untuk menggembala ternak yang terdapat di padepokan itu, ara-ara itu sengaja dibuat untuk memberikan batas antara lingkungan padepokan dan lingkungan di sekitarnya. Ara-ara itu juga memberikan jarak pandang yang cukup bagi isi padepokan yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya. Terutama jika ada musuh yang mendatanginya.

Namun, ternyata latihan-latihan itu telah menarik perhatian para penghuni padukuhan di sekitar padepokan itu. Bahkan beberapa orang telah datang untuk menanyakan, apakah bahaya masih saja mengancam padepokan itu sehingga seisi padepokan harus menempa diri.

Mahisa Murti yang menemui beberapa orang yang datang itu telah menjelaskan persoalannya. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata, “Sepengetahuanku, tidak ada ancaman lagi atas Padepokan ini. Kami hanya ingin menutup kelemahan-kelemahan yang kami dapati dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Lebih dari itu, kami ingin mengisi perasaan kehilangan setelah kepergian Mahisa Pukat. Setiap kali para cantrik mempertanyakannya meskipun setiap kali aku sudah memberikan jawabnya. Tetapi rasa-rasanya jawabku selalu tidak memuaskan mereka. Latihan-latihan ini akan merampas segala pemusatan perhatian serta nalar budi mereka, sehingga mereka tidak akan selalu teringat kepada kepergian Mahisa Pukat yang memang sudah cukup lama mengasuh mereka.”

Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Ya. Agaknya Mahisa Pukat telah terlalu lama pergi.”

“Beberapa hari yang lalu, ia datang kemari bersama para prajurit Singasari yang mengambil para tawanan itu. Tetapi juga hanya sehari sebagaimana para prajurit,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Apakah Mahisa Pukat sekarang menjadi seorang prajurit?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “pada saatnya ia akan kembali ke padepokan ini.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Jika demikian, apakah kami, laki-laki dari padukuhan sebelah menyebelah diperbolehkan ikut berlatih?”

“Bukankah kalian telah melakukan latihan-latihan keprajuritan meskipun tidak sedalam para prajurit?” bertanya Mahisa Murti dengan ragu.

“Ya. Tetapi apa salahnya kami memperdalam kemampuan kami? Dalam keadaan tertentu kami berjanji untuk membantu padepokan ini sejauh dapat kami lakukan,” berkata seorang di antara mereka.

“Terima kasih. Telah banyak sekali bantuan yang kalian berikan kepada kami. Bukan saja tenaga, harta-benda, tetapi lebih dari itu. Kalian telah memberikan anak-anak muda yang terbaik dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Mereka telah mempertaruhkan nyawa mereka.”

“Bukankah hal itu kita lakukan timbal balik?” sahut salah seorang di antara mereka...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 106

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 106
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SAWUNG TUNGGUL sendiri memang juga masih terhitung muda. Tetapi tidak semuda Mahisa Semu. Bahkan Sawung Tunggul sedikit lebih tua dibandingkan dengan Mahisa Murti. Ketika ia bertemu dengan Mahisa Semu di pertempuran, maka dengan heran ia bertanya, “He, anak muda. Kenapa kau bermain-main di pertempuran yang sengit ini?”

“Kau mulai merendahkan aku” sahut Mahisa Semu.

“Aku tidak berniat merendahkanmu. Tetapi apakah kerjamu di pertempuran ini?” bertanya Sawung Tunggul.

“Aku memang sedang melihat pertempuran ini” jawab Mahisa Semu, “nampaknya para cantrik dari Padepokan Ngancas tidak mempunyai banyak kesempatan.”

“Mungkin” jawab Sawung Tunggul, “tetapi di sini bukan hanya ada para cantrik dari Padepokan Ngancas.”

“Ya. Aku tahu. Ada tiga padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas.”

“Antara lain adalah padepokanku. Padepokan Sawung Tunggul, sama seperti namaku sendiri.”

“O” Mahisa Semu mengangguk-angguk.

Sementara Sawung Tunggul bertanya, “Siapa namamu anak muda?”

“Mahisa Semu”

“Apakah kau juga saudaranya Mahisa Murti.” bertanya lawannya yang mulai memperhatikan Mahisa Semu.

“Ya. Aku adiknya” jawab Mahisa Semu. Sebenarnyalah Sawung Tunggul menjadi berdebar-debar.

Ternyata ia telah bertemu dengan saudara Mahisa Murti yang telah didengar namanya, justru karena saudaranya yang lain, Mahisa Pukat pernah mengalahkan gurunya, Empu Damar.

Namun, Sawung Tunggul itu pun kemudian menggeram, “Anak muda. Meskipun kau adalah saudara Mahisa Murti dan tentu juga saudara Mahisa Pukat, namun umurmu masih belum seberapa. Kau belum pantas untuk memasuki arena pertempuran seperti ini.”

“Bagaimana yang pantas menurut penilaianmu? Yang sudah tua atau pikun atau seumurmu?” bertanya Mahisa Semu.

“Agaknya lidahmu juga setajam pedangmu itu,” desis Sawung Tunggul, “jika demikian, baiklah. Kita berhadapan sebagai lawan dalam sebuah pertempuran. Bukan salahku jika aku telah menyakiti dan apalagi membunuh anak-anak, karena anak-anak itu bermain-main di gelanggang pertempuran.”

Tetapi yang lebih menyakitkan hati Sawung Tunggul adalah bahwa Mahisa Semu justru tertawa. Katanya, “Aku senang bertemu dengan kau. Ternyata kau juga senang bergurau.”

“Iblis kecil,” geram Sawung Tunggul, “ternyata umurmu memang tidak akan panjang, karena sebentar lagi kau akan mati.”

Mahisa Semu masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Ia melihat kemarahan telah menyala di mata Sawung Tunggul itu, sehingga karena itu maka ia harus menjadi sangat berhati-hati.

Sebenarnyalah, maka sekejap kemudian Sawung Tunggul itu telah meloncat menyerang Mahisa Semu. Agaknya ia masih tetap menganggap Mahisa Semu itu sebagai kanak-kanak. Karena itu, maka serangannya pun sama sekali tidak berbahaya bagi Mahisa Semu yang telah ditempa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan tangkasnya Mahisa Semu menghindari serangan itu.

Bahkan dengan tidak diduga sama sekali, anak muda itu demikian kakinya menyentuh tanah, tubuhnya telah melenting menyerang Sawung Tunggul yang masih merasa kehilangan lawannya itu. Serangan itu menjadi sangat mengejutkan. Namun Sawung Tunggul ternyata masih sempat meloncat menghindari serangan itu, bahkan dengan satu loncatan panjang.

Mahisa Semu memang tidak memburunya. Dibiarkannya Sawung Tunggul memperbaiki kedudukannya. Bahkan Mahisa Semu yang masih sangat muda itu sempat bertanya, “Apakah kau terkejut?”

Sawung Tunggul tidak menjawab. Tetapi ia menggeram sambil berkata, “Kau memang harus diselesaikan dengan cara yang terbaik bagi orang-orang yang berada di pertempuran.”

“Kita memang berada di pertempuran,” jawab Mahisa Semu.

“Setan kau,” Sawung Tunggul itu pun berteriak sambil meloncat menyerang. Tetapi Sawung Tunggul menjadi lebih berhati-hati. Ternyata anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu memiliki bekal kemampuan yang memadai untuk memasuki arena pertempuran.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sawung Tunggul yang marah itu segera mengerahkan kemampuannya setelah ia sempat menjajagi kemampuan Mahisa Semu. Sawung Tunggul ingin segera menghentikan perlawanan anak muda yang telah dengan sombong berani menghadapinya itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Sawung Tunggul benar-benar menjadi heran setelah ia benar-benar membenturkan ilmunya melawan anak yang masih dianggapnya sangat muda itu.

Di sekitar keduanya itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para cantrik dari padepokan-padepokan yang bermusuhan itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Di sisi lain anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta masih bertempur dengan sengitnya pula. Ternyata bahwa mereka pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya.

Karena itu maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka keringat pun menjadi semakin membasahi pakaian mereka yang sedang bertempur itu. Di sisi yang lain dari Padepokan Bajra Seta, pertempuran masih juga berlangsung seperti di medan yang lain. Para cantrik telah mengerahkan kemampuan mereka masing-masing sehingga mereka menjadi saling mendesak dan saling bertahan.

Di depan Padepokan Bajra Seta, pasukan induk dari Padepokan Ngancas telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka memang berusaha untuk menumpas anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu. Tetapi ternyata mereka tidak dapat melakukannya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta benar-benar telah menyerap sebagian besar dari kekuatan para cantrik yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu.

Dalam pada itu, dua orang petugas sandi dari Singasari memperhatikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Kekuatan kedua belah pihak nampaknya tidak banyak terpaut. Jumlahnya mungkin memang agak berbeda. Padepokan Ngancas yang didukung oleh ketiga padepokan yang lain datang dengan jumlah yang lebih banyak. Namun pada benturan pertama, jumlah mereka memang sudah berkurang. Sementara itu, maka kedatangan anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan telah mengurangi selisih jumlah kedua kekuatan yang sedang bertempur itu.

Dengan demikian maka sulit bagi kedua orang petugas sandi itu untuk menduga-duga, siapakah yang akan menang dalam pertempuran itu. Meskipun mereka berharap bahwa Padepokan Bajra Seta akan dapat mempertahankan dirinya. Keduanya bahkan telah naik ke panggungan di sebelah pintu gerbang yang terbuka itu untuk melihat apa yang telah terjadi di arena. Dari tempat yang agak tinggi itu mereka dapat mengamati pertempuran yang terjadi setidak-tidaknya dibagian depan Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu satu dua kelompok cantrik Padepokan Bajra Seta masih tetap berada di dalam padepokan. Terutama para cantrik yang belum lama berada di padepokan itu. Mereka harus berjaga-jaga jika ada satu dua orang lawan yang menyusup memasuki dinding padepokan untuk merusak dan apalagi membakar padepokan itu.

Untuk beberapa saat kedua orang petugas sandi itu mencoba untuk menilai. Menurut penglihatan mereka, para cantrik Padepokan Bajra Seta memang memiliki beberapa kelebihan dari lawan mereka. Selagi keduanya mengamati pertempuran itu, keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja Mahisa Amping telah berdiri di sebelah mereka. Dengan tegang anak itu melihat pertempuran yang sedang terjadi di depan padepokan Bajra Seta.

“He, kenapa kau ikut kemari?” bertanya salah seorang petugas sandi yang telah mengenal Mahisa Amping sebelumnya.

“Aku ingin melihat pertempuran itu,” jawab Mahisa Amping tanpa berpaling.

Perhatiannya memang terpancang pada pertempuran yang sedang terjadi. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Dengan senjata beradu ditimpa oleh teriakan-teriakan yang gemuruh serta bunga api yang menghambur dari benturan senjata, membuat suasana pertempuran itu menjadi semakin menggetarkan jantung.

Salah seorang dari kedua orang petugas sandi itu pun berkata, “Sebaiknya kau berada di bangunan induk Padepokan ini. Perang bukan tempat bagi anak-anak. Kau akan melihat kekerasan dan bahkan akibat yang mengerikan dari pertempuran itu.”

Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia tidak beringsut dari tempatnya. Seorang cantrik yang juga bertugas mengamati keadaan-pun telah mendekatinya pula. Katanya, “Masuklah. Tempat ini termasuk tempat yang berbahaya.”

Tetapi Mahisa Amping menggeleng. Katanya, “Mereka tidak akan sempat datang kemari.”

“Belum tentu ngger,” sahut salah seorang petugas sandi, “kita masih belum dapat meramal, siapakah yang akan menang dalam pertempuran ini meskipun kita semua berdoa, semoga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Para petugas sandi serta cantrik yang mendekatinya itu pun tidak berkata apa-apa lagi. Ternyata Mahisa Amping memang tidak ingin meninggalkan tempatnya. Dengan demikian maka mereka yang berada di panggungan itu pun kembali memperhatikan pertempuran yang tengah berlangsung dengan sengitnya itu.

Sebenarnyalah para cantrik dari Padepokan Ngancas berusaha dengan sekuat-kuat tenaga dan kemampuan mereka untuk memecahkan pertahanan Padepokan Bajra Seta. Namun Empu Damar masih saja mengumpat-umpat karena kehadiran anak-anak muda dan orang-orang yang menyerang pasukannya dari belakang, yang dengan demikian terasa sangat mengganggu usahanya untuk memecahkan pertahanan Padepokan Bajra Seta yang ternyata cukup kuat.

Tetapi Empu Damar tidak dapat begitu saja menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya itu. Tetapi Empu Damar tahu bahwa mereka tentu bukan cantrik dari Padepokan Bajra Seta, menilik sikap, pakaian dan tataran umur mereka yang jaraknya cukup jauh. Ada yang masih sangat muda, tetapi ada yang warna rambutnya sudah mulai mendua.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Semakin tinggi matahari, maka mereka yang sedang bertempur itu pun menjadi semakin garang. Tubuh mereka menjadi basah oleh keringat dan bahkan darah. Beberapa orang telah terkapar jatuh dan tidak bergerak lagi. Satu di antara mereka masih sempat mendapat pertolongan dan dibawa menepi.

Namun ada yang tidak sempat tertolong karena darah yang terlalu banyak mengalir dari luka yang parah. Dalam pada itu, maka di induk pasukan masing-masing, para pemimpin dari kedua belah pihak berusaha mengendalikan pasukannya masing-masing. Namun akhirnya, pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak itu pun harus pula terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit.

Mahisa Murti tidak dapat membiarkan Empu Damar bertindak semena-mena terhadap para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Dengan ilmunya yang tinggi, ia dapat membunuh terlalu banyak jika Empu Damar itu tidak mendapat lawan yang memadai. Karena itulah, maka Empu Damar itu akhirnya berhadapan dengan Mahisa Murti sendiri. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Meskipun Empu Damar tidak yakin bahwa Mahisa Murti itu juga memiliki ilmu yang jarang ada duanya sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Pukat, namun Empu Damar itu cukup berhati-hati menghadapi pemimpin dari Padepokan Bajra Seta itu. Mula-mula Empu Damar berusaha untuk menjajagi kemampuan Mahisa Murti.

Dengan cepat ia melihat anak muda itu dalam pertempuran yang rumit. Unsur-unsur gerak yang kadang-kadang mengejutkan itu memang mampu mendesak Mahisa Murti untuk beberapa saat. Namun kemudian ternyata bahwa Mahisa Murti pun mampu menyesuaikan dirinya. Anak muda itu pun mampu bergerak cepat pula sebagaimana dilakukannya.

Karena itulah maka Empu Damar harus meningkatkan ilmunya pula. Bahkan ia menjadi semakin berhati-hati, jika saja terasa pengaruh ilmu lawannya pada kekuatan dan kemampuannya, sebelum terlambat ia harus segera menentukan sikap.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun agaknya merasa betapa lawannya sangat berhati-hati dan berusaha sebanyak mungkin menghindari sentuhan-sentuhan senjata. Ia sudah mendapat keterangan dari Arya Kuda Cemani, bahwa Empu Damar pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat dengan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawan itu.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati. Lawannya tentu sudah memperhitungkan bahwa ia pun memiliki ilmu sebagaimana Mahisa Pukat yang pernah bertempur melawan Empu Damar di Singasari. Namun sedemikian jauh, Mahisa Murti masih belum mengalami kesulitan. Ketika kemudian Empu Damar mempertunjukkan kemampuannya dalam ilmu pedang, maka Mahisa Murti pun telah mengimbanginya pula. Dengan demikian maka pertempuran antara Empu Damar melawan Mahisa Murti pun semakin lama semakin meningkat pula.

Sementara itu, pertempuran di sekitar padepokan itu pun masih saja berlangsung dengan sengitnya. Para cantrik dari kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih percaya kepada kemampuan mereka secara pribadi. Sedangkan para cantrik Padepokan Bajra Seta yang telah menempa diri secara pribadi, mereka pun telah mendasari kemampuan mereka dalam ikatan kerja sama yang mapan. Sehingga mereka dapat saling mengisi dalam perang brubuh yang ribut itu.

Dalam pada itu, justru karena para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya itu harus membuka dua garis pertempuran, maka tugas mereka memang terasa sangat berat. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu ternyata bukannya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dalam olah senjata.

Wantilan yang bertempur melawan Sanggatama telah mengerahkan kemampuannya pula. Demikian pula lawannya, murid terpercaya dari Empu Damar. Namun ternyata bahwa Sanggatama tidak dapat dengan segera menguasai medan. Apalagi para cantrik yang bertempur bersamanya semakin merasa tertekan pula dari kedua sisi. Para cantrik Padepokan Bajra Seta dengan kekuatan yang sangat besar telah mendesak lawan-lawan mereka.

Sementara itu anak-anak muda dan orang-orang padukuhanpun nampaknya juga mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki bekal kemampuan untuk bertempur dalam perang yang sebenarnya. Beberapa kali mereka memang sudah terlibat dalam pertempuran, sehingga sebagian besar dari mereka memang sudah memiliki selain bekal ilmu juga pengalaman.

Karena itu, maka bagi para cantrik dari padepokan-padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu merupakan lawan yang tidak boleh diabaikan.

Sementara itu, Sanggatama sendiri ternyata semakin lama justru merasa semakin cepat. Wantilan yang memang telah mapan dengan bekal ilmunya setelah pernah mengalami kesulitan, ternyata merupakan seorang yang kuat, tangkas dan mempunyai pengalaman yang cukup.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, meskipun Sanggatama telah mengerahkan sejauh ilmu yang diterima dari Empu Damar, namun ia masih belum dapat menguasai Wantilan yang semakin mapan justru setelah tubuhnya basah oleh keringat.

Sanggatama yang telah menerima dasar ilmu gurunya, telah pula berusaha untuk mengetrapkannya. Sambaran angin dari ayunan pedangnya memang terasa menyentuh kulit Wantilan. Mula-mula sentuhan itu terasa menghangatkan kulitnya. Namun kemudian tusukan-tusukan yang tajam mulai mengganggunya.

Wantilan menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan ilmu dasar dari ilmu yang tinggi. Karena itu Wantilan harus berhati-hati. Jika ilmu itu semakin meningkat, maka ia tentu akan mengalami kesulitan, sehingga ia harus mengatasinya dengan cara yang khusus.

Namun dalam pada itu, selagi masih sempat, maka Wantilan telah mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya. Dengan pedangnya yang khusus, maka Wantilan telah melibat lawannya dengan derasnya. Serangan-serangannya mengalir seperti banjir bandang. Meskipun di kulitnya terasa cubitan-cubitan ilmu lawannya yang semakin menyakitinya, namun Wantilan mencoba mengatasinya dengan daya tahannya yang terlatih. Dengan demikian, maka Wantilan memang bukan sekedar sasaran serangan lawannya. Tetapi serangan-serangan Wantilan pun akhirnya mampu menembus pertahanan Sanggatama.

Meskipun kulit Wantilan merasa semakin pedih, namun Sanggatama itu terkejut, ketika tiba-tiba serangan pedang Wantilan mendatar mengarah ke lehernya datang begitu cepatnya justru ketika Wantilan menyeringai menahan pedih kulitnya yang tertusuk hempasan angin dari seranggan Sanggatama.

Dengan cepat Sanggatama berusaha untuk menangkisnya. Sehingga sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun Wantilan tidak memberi kesempatan Sanggatama menyerang dengan ayunan pedangnya karena angin yang menerpanya akan membuat kulitnya menjadi pedih. Dengan menggeliat, pedangnya telah berputar. Dengan cepat Wantilan berusaha menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedang.

Tetapi Sanggatama sempat bergeser surut selangkah, sehingga ujung pedang Wantilan tidak menyentuhnya. Namun Wantilan tidak berhenti memburu lawannya. Sekali lagi pedangnya berputar. Ia menebas lawannya dengan sekuat tenaga. Pedangnya yang besar dan panjang ikut terayun didorong oleh kekuatan tubuhnya yang besar.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Wantilan tidak membiarkan satu kesempatan berlalu, ketika ternyata orang itu tergetar surut. Pedangnya itu pun dengan cepat terjulur menggapai tubuh Sanggatama.

Sanggatama menggeliat. Ia berusaha menghindar sambil mengayunkan senjatanya. Angin yang tajam memang menyambar Wantilan. Namun Wantilan telah mengerahkan daya tahannya. Ia mengabaikan perasaan pedih yang menyengat kulitnya. Dengan kemampuan yang masih ada, ia pun telah meloncat lagi memburu lawannya. Sanggatama yang surut beberapa langkah untuk mengambil jarak telah memutar pedangnya secepat dapat dilakukan. Anginpun ikut berputar pula dan menerpa tubuh lawannya.

Tetapi tingkat kemampuan Sanggatama memang masih belum setinggi Empu Damar. Karena itu, Wantilan yang tidak memiliki kemampuan setinggi Mahisa Murti masih mampu mengatasinya dengan daya tahannya. Meskipun Wantilan masih harus menyeringai menahan pedih yang menusuk kulitnya, tetapi Wantilan tetap memburu lawannya. Ilmu pedangnya memang lebih baik dari Sanggatama meskipun Sanggatama memiliki kelebihan daripadanya.

Sebenarnyalah bahwa Wantilan tidak banyak memberi kesempatan kepada Sangga-tama untuk mengetrapkan ilmunya yang baru dimiliki dasarnya saja. Sanggatama seakan-akan tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dilakukan kemudian adalah sekedar bertahan dan melindungi dirinya dari permainan ilmu pedang Wantilan.

Tetapi pertempuran di sekitar Sanggatama itu memang tidak mendukung perlawanan-nya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta semakin mendesaknya sehingga pertahanan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan pendukungnya menjadi goyah. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu pun ternyata telah mampu mempertahankan garis pertahanan mereka setelah tekanan lawan mereka tidak lagi terlalu berat karena terhisap oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, maka saat-saat yang gawat Sanggatama memang memberi isyarat kepada para cantriknya untuk membantunya. Tetapi ternyata sulit bagi para cantrik itu untuk melakukannya. Para cantrik Padepokan Bajra Setapun dengan cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk menahan agar para murid Sanggatama tidak dapat membantunya.

Dengan demikian, maka Sanggatama semakin lama justru menjadi semakin terdesak. Ketika pada saat-saat yang berat ia mencoba untuk menembus serangan-serangan Wantilan, maka justru Wantilan telah memanfaatkan saat itu sebaik-baiknya.

Meskipun terpaan udara yang bagaikan menghambur karena ayunan pedang Sanggatama membuat kulitnya terluka dan darah mulai mengembun dari kulitnya bersama dengan arus keringatnya karena daya tahan dan kemampuan Wantilan masih dapat ditembus oleh ilmu lawannya, namun dengan kemampuan ilmu pedangnya, Wantilan telah berhasil mengenai tubuh Sanggatama. Seleret luka telah menyilang di dada murid terpercaya Empu Damar itu.

Sanggatama menggeram marah. Tetapi darah telah mengalir dari lukanya yang menjadi pedih ketika keringatnya menyentuh luka itu. Dengan sisa kemampuan dan tenaganya, maka Sanggatama berusaha untuk menyerang kembali. Sambil menghentakkan ilmunya, maka pedang Sanggatama itu terayun dengan derasnya. Ia tidak lagi memperhitungkan, apakah pedangnya akan mengenai tubuh lawannya atau tidak, karena ia yakin bahwa ilmunya akan dapat mengakhiri perlawanan Wantilan.

Tetapi Sanggatama salah hitung. Dengan keadaan yang semakin sulit, Wantilan tidak lagi membuat perhitungan yang rumit. Yang dilakukannya kemudian adalah mengerahkan sisa tenaga dan ilmu pedangnya untuk menyerang habis-habisan lawannya meskipun tajam ilmu lawannya yang bagaikan duri menusuk-nusuk kulitnya sampai berdarah.

Dengan demikian maka pedang Wantilan yang mempunyai jarak jangkau lebih panjang dari lawannya serta kemampuan ilmu pedang yang lebih tinggi, maka sekali lagi Wantilan mampu mengoyak tubuh lawannya. Keduanya memang nampak semakin letih. Tetapi keduanya memang harus mengerahkan sisa-sisa kemampuan mereka. Pada kesempatan terakhir, maka siapa yang mampu menembus pertahanan lawannyalah yang akan mampu keluar dari arena pertempuran itu.

Sementara itu para cantrik dari kedua belah pihak melihat siapa yang telah mencucurkan darah. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Jika salah satu pihak berniat membantu pemimpinnya, maka yang lain telah menghalanginya.

Dengan demikian maka pertempuran di sekitar Wantilan dan Sanggatama yang sedang bertempur habis-habisan itu pun menjadi semakin sengit pula. Bahkan bukan saja di sekitar kedua orang pemimpin itu. Diseluruh medan di belakang Padepokan Bajra Seta itu pun pertempuran memang menjadi semakin sengit. Panas matahari, keringat dan luka2 oleh goresan senjata ditubuh telah membuat orang-orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin garang. Bukan saja di belakang Padepokan Bajra Seta, tetapi juga di sebelah menyebelah Padepokan itu.

Mahisa Semu pun bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya pula. Lawannyapun telah memiliki dasar ilmu sebagaimana Sanggatama. Namun Mahisa Semu ternyata memiliki kecepatan bergerak untuk menghindari sentuhan angin yang timbul dari ayunan senjata lawannya, karena angin itu seakan-akan telah menaburkan berpuluh bahkan beratus duri yang tajam.

Tetapi pada satu saat Mahisa Semu memang sulit untuk menghindari angin yang menerpa tubuhnya karena tebasan senjata lawannya yang garang itu. Karena itu maka ia pun mengalami sebagaimana dialami oleh Wantilan. Kulitnya menjadi pedih. Setiap putaran senjata maka seakan-akan beratus duri yang tajam telah dihamburkan dan menusuk kulit Mahisa Semu.

Mahisa Semu mengeram menahan pedih. Apalagi ternyata kemudian angin yang menerpa kulitnya itu mampu melukainya. Angin itu benar-benar telah menusuk dan menghunjam masuk ke setiap lubang kulitnya, sehingga lubang-lubang kulit Mahisa Semu itu telah terluka dan darah pun mulai mengembun.

Pada saat yang bersamaan Wantilan telah mengambil sikap. Apapun yang terjadi atas dirinya, ia tidak mau hancur sendiri. Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukannya, adalah menyerang lawannya dengan mengerahkan segenap sisa tenaga dan kemampuan yang ada padanya. Sambil menggeram marah, Wantilan telah meloncat memburu lawannya. Ia berusaha agar lawannya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menggerakkan dan apalagi memutar pedangnya, sehingga anginpun bagaikan bergetar pengalir menusuk di setiap lubang kulitnya. Dengan demikian maka Wantilan berusaha untuk memanfaatkan pedangnya yang lebih panjang.

Sanggatama memang terkejut mengalami serangan yang keras itu. Permainan pedang Wantilan yang sangat berbahaya membuatnya harus menjadi sangat berhati hati. Beberapa kali Sanggatama meloncat menghindar dan menangkis serangan yang datang beruntun seperti ombak di lautan menghantam tebing.

Jika sekali-sekali Sanggatama sempat mengayunkan dan memutar pedangnya, maka Wantilan hanya menggerakkan giginya menahan pedih yang menyengat di seluruh permukaan kulitnya. Tetapi, serangannya sama sekali tidak mereda. Bahkan kemana pun Sanggatama bergeser, maka Wantilan pun selalu memburunya. Dengan darah yang memerah diseluruh tubuhnya, maka sekali lagi Wantilan mampu menggapai tubuh lawannya. Lambung Sanggatama lah yang kemudian terkoyak dan menganga. Sanggatama mengerang kesakitan. Sedangkan Wantilan yang sudah sampai pada batas-batas terakhir kemampuannya itu melihat Sanggatama terhuyung surut.

Karena itu sebelum Wantilan sendiri kehilangan keseimbangannya maka ia pun telah meloncat dengan kekuatannya yang terakhir. Pedangnya terjulur lurus memburu lawannya yang terhuyung surut. Sanggatama mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi ia sudah terlalu lemah. Meskipun pedangnya terangkat, tetapi ia tidak lagi mampu menangkis serangan itu, sehingga ujung pedang yang didorong oleh berat tubuh Wantilan itu telah menembus pertahanan Sanggatama yang sudah hampir kehilangan keseimbangannya itu.

Yang terdengar adalah umpatan keras. Sanggatama terdorong surut. Ujung pedang Wantilan yang terjulur lurus ke depan telah menghunjam ke dada Sanggatama. Sanggatama tidak sempat mengulangi umpatannya. Tubuhnya yang terdorong surut itu pun kemudian telah jatuh terlentang.

Namun dalam pada itu, ternyata Wantilan pun telah kehilangan keseimbangannya. Ketika Sanggatama jatuh terlentang, maka pedang yang terhunjam di dadanya telah tertarik oleh tubuhnya. Ternyata Wantilan sudah tidak mampu lagi menahannya, sehingga ia pun justru telah ikut tertarik pula dan jatuh menimpa tubuh Sanggatama yang sudah tidak bernapas lagi.

Para cantrik dari kedua belah pihak terkejut melihat akhir dari pertempuran itu. Beberapa orang telah berusaha meloloskan diri dari pertempuran untuk mendekati kedua orang pemimpin mereka yang jatuh terkulai. Namun mereka tidak dapat melakukannya, justru karena kedua belah pihak ingin melakukannya. Beberapa orang cantrik yang mendekat telah terlibat langsung dalam pertempuran yang sengit.

Demikian para cantrik itu saling menyerang, agaknya Wantilan masih dapat bergerak dan bergeser dari tempatnya. Meskipun tenaganya sudah terkuras habis, namun Wantilan masih sempat merangkak menjauhi tubuh Sanggatama. Dengan menghentakkan kemampuannya serta kerja sama yang baik, dua orang cantrik sempat menggapai Wantilan justru karena kedua orang cantrik dari Padepokan lawannya juga berusaha mendekati tubuh Sanggatama. Tetapi, tubuh Sanggatama itu sudah tidak mampu bergerak lagi. Darahnya sudah mulai membeku, sedangkan jantungnya telah berhenti berdetak.

Wantilan yang menjadi sangat lemah itu masih berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun ia tidak mampu lagi bertempur, tetapi bahwa ia masih tetap hidup tentu akan mempengaruhi ketahanan jiwa para cantrik yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Sebenarnyalah, dibantu oleh dua orang cantrik, maka Wantilan telah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

Sementara seorang di antara para cantrik itu berteriak nyaring, “Inilah aku. Selesaikan tugas kalian he para cantrik Padepokan Bajra Seta.”

Para cantrik Bajra Seta, apalagi para cantrik dari padepokan yang menyerang mereka, tidak sempat membedakan suara siapakah yang menggetarkan medan itu. Namun suara itu telah disambut dengan teriakan gemuruh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, seakan-akan hendak meruntuhkan awan yang berarak di langit. Sejalan dengan itu, maka para cantrik Padepokan Bajra Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan itu pun telah menghentakkan kemampuan mereka menyerang pasukan lawan yang masih tersisa.

Namun, keadaan Wantilan sendiri ternyata menjadi semakin gawat. Karena itu, maka kedua orang yang membantunya berdiri dan mengangkat pedangnya itu pun telah membawa Wantilan justru menepi. Tetapi orang-orang yang bertempur itu sudah menjadi semakin seru, hingga mereka tidak lagi sempat melihat, apakah pemimpin pasukan dari Padepokan Bajra Seta itu masih mampu bertempur atau tidak. Namun teriakan-teriakan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta memang menyebutkan bahwa Sanggatama telah mati.

Sementara para pengikutnya tidak dapat membantah kenyataan itu. Sehingga dengan demikian, maka para pengikutnya pun menjadi semakin gelisah. Kekuatan Padepokan Bajra Seta ternyata cukup besar untuk menghadapi kekuatan empat padepokan yang telah datang menyerang. Para penyerang itu tidak pernah tahu siapakah sebenarnya anak-anak muda dari arah luar Padepokan Bajra Seta, meskipun mereka dapat menduga bahwa mereka tentu bukan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Dengan kematian Sanggatama maka perlawanan para cantrik dari padepokan Ngancas serta padepokan yang mendukungnya di bagian belakang Padepokan Bajra Seta itu pun mulai goyah. Semakin lama mereka merasa semakin terdesak justru dari dua arah, sehingga karena itu, maka mereka pun telah terjepit. Satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah bergeser ke samping dan bergabung dengan kawan-kawan mereka yang berada di sebelah menyebelah Padepokan Bajra Seta.

Tanpa seorang pemimpin yang memegang kendali, maka kemungkinan satu-satunya itulah yang telah mereka pilih karena mereka merasa tidak mampu lagi untuk bertahan menghadapi serangan dari kedua sisi itu. Tetapi di salah satu sisi dari Padepokan Bajra Seta, Sawung Tunggul yang memimpin para cantrik dari Padepokan Ngancas dan dari padepokan yang dipimpinnya sendiri tengah bertempur melawan seorang yang dianggapnya masih terlalu muda. Tetapi ternyata bahwa anak yang terlalu muda itu memiliki ilmu yang sangat mengejutkannya.

Dengan tangkasnya Mahisa Semu berloncatan menghindari serangan-serangannya. Bukan saja menghindari ujung senjatanya, tetapi Mahisa Semu sempat juga menghindari sambaran angin yang bagaikan dihamburkan dari ayunan pedang lawannya. Tetapi Mahisa Semu memang tidak selalu berhasil. Kadang-kadang Mahisa Semu juga terlambat, sehingga sentuhan angin yang bagaikan percikan duri-duri tajam itu sempat mengenai dan seolah-olah menghunjam masuk lewat lubang-lubang kulitnya dan bahkan telah melukainya.

Mahisa Semu telah menggeretakkan giginya ketika perasaan pedih semakin menggigit kulitnya. Bahkan di beberapa tempat, darah pun mulai mengembun. Dengan demikian maka Mahisa Semu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak mau dihancurkan dengan cara itu oleh Sawung Tunggul. Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah berusaha mempercepat serangan-serangannya agar Sawung Tunggul tidak sempat mengayunkan pedangnya dengan lambaran ilmunya, sehingga sambaran anginya dapat melukai lubang-lubang kulitnya, sehingga di antara keringat yang mengalir telah mengembun pula darah.

Tetapi, Mahisa Semu benar-benar mengalami kesulitan. Betapapun Mahisa Semu berusaha untuk bergerak dengan kecepatan tertinggi yang dapat dilakukannya, namun Mahisa Semu tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari sambaran-sambaran angin yang menyengatnya.

Sementara itu, para cantrik di sekitarnya telah bertempur dengan sengitnya. Untunglah bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta masih mampu bertahan, sementara anak-anak muda dan orang-orang padukuhan bertempur dengan gigihnya pula. Mahisa Semu memang agak terkejut melihat para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta yang berada di belakang Padepokan telah bergeser dan bergabung dengan kawan-kawannya di medan sebelah Padepokan Bajra Seta itu.

Semula Mahisa Semu mengira bahwa para cantrik Padepokan Bajra Seta yang bertahan di belakang Padepokan dibawah pimpinan Wantilan telah dikuasai sepenuhnya oleh lawan-lawannya sehingga sebagian dari lawan-lawannya itu telah melimpah dan membantu kekuatan disamping Padepokan. Para cantrik dibawah pimpinan Mahisa Semu itu pun terkejut pula. Mereka merasa beban mereka akan bertambah dengan kedatangan orang-orang baru itu.

Bahkan beberapa orang cantrik telah mulai menghentakkan kemampuan mereka. Apapun yang terjadi, maka mereka harus berusaha mempertahankan Padepokan mereka. Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa dugaan mereka tidak seluruhnya benar. Ternyata bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah memburu lawan-lawan mereka yang bergabung di medan di sebelah padepokan. Dengan demikian maka pertempuran di sebelah Padepokan itu pun menjadi semakin sengit. Sorak gemuruh bersahut-sahutan di antara kedua belah pihak.

Untuk sementara maka garis pertempuran pun telah menjadi goyah. Keseimbangan baru tidak segera dicapai. Bahkan dalam beberapa hal, para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang berada di ujung telah merasa terdesak. Tetapi itu tidak terjadi terlalu lama. Ketika para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah menempatkan diri, demikian pula anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang telah dengan suka rela membantu, telah mapan, maka mulai terasa bahwa Padepokan Bajra Seta tidak lagi merasa terdesak.

Bahkan semakin lama, para cantrik Bajra Seta mulai merasa bahwa merekalah yang mulai mendesak pasukan lawan. Sawung Tunggul yang memimpin para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokannya sendiri menyadari bahwa pasukannya mengalami kesulitan. Bahkan kemudian terasa bahwa pasukannya mulai berguncang. Bahwa para cantrik yang bertempur di belakang Padepokan itu telah mengalir ke sebelah-menyebelah adalah pertanda bahwa pasukan dari Padepokan Ngancas dan padepokan yang mendukungnya mengalami kesulitan. Khususnya di belakang Padepokan Bajra Seta.

Karena itu, maka Sawung Tunggul pun telah membulatkan tekadnya untuk secepatnya membinasakan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa Sanggatama tidak muncul bersama para cantrik itu. Memang masih ada kemungkinan bahwa Sanggatama masih berada di belakang padepokan atau berada di sisi yang lain dari padepokan itu. Namun Sawung Tunggul tidak mau mengalami akibat yang lebih buruk.

Dengan demikian, maka Sawung Tunggul pun telah menghentakkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk secepatnya menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu. Kemudian ia akan dapat menangani seluruh medan yang menjadi tanggung jawabnya.

Sekejap kemudian maka Sawung Tunggul itu pun mulai memutar pedangnya lebih cepat. Putaran pedang yang seakan-akan telah menghamburkan duri-duri yang tajam lebih banyak lagi. Pedang Sawung Tunggul telah terayun dengan derasnya, kemudian menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun kemudian terjulur menikam kearah jantung.

Mahisa Semu dengan tangkasnya menghindari setiap serangan yang datang. Pedang lawannya memang tidak menyentuh tubuhnya. Tetapi sambaran anginnya yang disertai kekuatan ilmu yang telah disadapnya dari gurunya, meskipun baru alasnya saja, telah menyakiti seluruh tubuhnya. Duri-duri tajam yang tidak terhitung jumlahnya rasa-rasanya telah menyengat dan menusuk masuk ke dalam lubang-lubang kulitnya. Bahkan kemudian darah pun semakin banyak mengembun di wajah kulitnya, bercampur dengan keringatnya.

Mahisa Semu memang mengalami kesulitan menghadapi lawannya. Tetapi anak muda itu tidak cepat berputus-asa. Ia masih berusaha untuk mematahkan kemampuan lawannya. Dengan geram Mahisa Semu mencoba menyerang dengan cepat dan kuat agar Sawung Tunggul tidak sempat mengayunkan senjatanya selain menangkis serangan-serangannya. Tetapi, ternyata bahwa Sawung Tunggul yang memiliki pengalaman yang lebih luas dari Mahisa Semu itu justru selalu berusaha mengambil jarak. Kemudian ia pun mulai memutar senjatanya dan menyerang dengan segenap kemampuannya.

Mahisa Semu benar-benar kehilangan kesempatan. Namun Mahisa Semu tidak menyerang begitu saja. Dalam kesulitan itu, maka Mahisa Semu telah teringat akan pisau belati kecil yang selalu dibawanya. Dalam keadaan terdesak, maka tiba-tiba Mahisa Semu itu pun telah menarik pisaunya dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, bahkan di luar perhitungan lawannya telah melontarkan pisau belatinya itu.

Sawung Tunggul memang terkejut. Tetapi ternyata ia terlambat mengambil sikap. Pisau itu terbang demikian tiba-tiba dan demikian cepatnya mengarah dadanya. Sawung Tunggul memang masih menggeliat menghindar. Namun pisau yang meluncur begitu cepatnya itu masih juga hinggap dipundaknya. Justru pundak kanannya. Terdengar Sawung Tunggul mengaduh kesakitan. Pisau belati itu telah memutuskan urat dipundaknya, sehingga tangan kanannya seakan-akan telah menjadi hampir lumpuh.

Meskipun tangan itu masih mampu menggerakkan pedangnya, namun Sawung Tunggul tidak lagi mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat dan dengan kekuatan sepenuhnya. “Kau licik anak iblis,” teriak Sawung Tunggul.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Semu.

“Kau telah melemparkan pisau untuk menyerang aku,” geram Sawung Tunggul.

“Kenapa licik? Bukankah di samping pedangmu kau juga melepaskan ilmumu yang lain, sehingga darah mengembun di seluruh permukaan kulitku.”

“Itu hakku,” jawab Sawung tunggul.

“Pisau itu adalah pisauku. Adalah hakku untuk mempergunakan seribu jenis senjata sekalipun untuk menghadapimu.”

Sawung Tunggul menggeram. Darah mengalir semakin banyak dari pundaknya. Sementara itu tangan kanannya menjadi semakin lemah. Dengan demikian maka ia tidak lagi mengayunkan pedangnya dengan keras dan cepat dengan lambaran ilmunya sehingga udara dapat menghambur bagaikan hamburan duri yang tajam menusuk kulit. Karena itulah maka dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Semu yang dari seluruh permukaan kulitnya bagaikan mengembun darah, mampu mengatasi kemampuan ilmu pedang lawannya yang menjadi lamban.

Dipasukan induk Empu Damar yang berhadapan dengan Mahisa Murti telah bertempur dengan serunya. Berdasarkan pengalamannya bertempur melawan Mahisa Pukat, maka Empu Damar menjadi sangat berhati-hati.

Sementara itu pertempuran para cantrik di pasukan induk itu pun menjadi semakin sengit pula. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Ternyata bahwa pasukan dari Padepokan Ngancas terlalu kuat di pasukan induk itu. Untunglah bahwa sekelompok anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan itu telah berdatangan membantu. Meskipun isyarat yang mereka lihat adalah bukan isyarat yang dimaksud, tetapi kedatangan mereka memang diperlukan oleh Padepokan Bajra Seta.

Tetapi, di sisi yang lain dari Padepokan Bajra Seta, keseimbangan pertempuran agar menyulitkan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Para cantrik yang dipimpin oleh seorang cantrik yang mendapat kepercayaan dari Mahisa Murti itu ternyata mendapat lawan yang cukup berat. Murid Empu Damar yang memimpin di sisi sebelah kanan Padepokan Bajra Seta, ternyata membawa kekuatan yang cukup besar. Selain para cantrik dari Padepokan Ngancas, maka para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh seorang murid terpercaya dari Empu Damar itu jumlahnya cukup banyak sehingga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta merasa mendapat tekanan yang sangat berat

Meskipun anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta bertempur dengan berani, namun jumlah lawan memang terlalu banyak. Apalagi ketika tiba-tiba mengalir para cantrik dari belakang Padepokan Bajra Seta. Pertahanan Bajra Seta memang telah berguncang. Tetapi sesaat kemudian, maka kekuatan Bajra Setapun telah menyusul pula dari arah belakang Padepokan, sehingga dengan demikian maka keseimbangannya pun telah berubah pula.

Namun ketika kemudian pertempuran itu berlangsung beberapa saat setelah goncangan itu terjadi, maka ternyata bahwa jumlah lawan masih tetap terlalu banyak bagi Padepokan Bajra Seta. Perlahan-lahan kekuatan pertahanan para cantrik Bajra Seta mulai terdesak. Juga di medan yang lain, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan telah mengalami tekanan yang sangat berat pula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Amping yang berada di atas panggungan telah bergeser dari dinding di bagian kedepan kesisi sebelah kanan. Dengan kerut dikening ia melihat bagaimana para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah terdesak. Ia melihat bahwa jumlah lawan memang terlalu banyak di sisi sebelah kanan itu.

Wajah Mahisa Amping menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat berteriak memberikan laporan kepada Mahisa Murti, karena pertempuran di bagian depan Padepokan Bajra Seta itu pun berlangsung dengan sengitnya. Masih belum diketahui siapakah di antara kedua kekuatan itu akan dapat memenangkan pertempuran.

Karena itu, maka Mahisa Amping pun telah turun dari panggungan di sisi sebelah kanan dan berlari ke dinding dibagian belakang. Tetapi dibagian belakang padepokan itu sudah tidak terjadi lagi pertempuran. Yang ada hanyalah mereka yang menjadi korban terbujur lintang di antara mereka yang terluka parah.

Karena itu, maka Mahisa Amping pun segera berlari pula ke sisi sebelah kiri. Di sisi sebelah kiri para cantrik Padepokan Bajra Seta dipimpin oleh Mahisa Semu yang perlahan-lahan tetapi pasti dapat menguasai lawannya, Sawung Tunggul. Meskipun beberapa orang cantriknya membantu, tetapi Sawung Tunggul semakin lama semakin kehilangan kekuatannya, sehingga sulit baginya untuk bertahan lebih lama lagi terhadap Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Semu sendiri memang sudah menjadi sangat letih. Darah telah mewarnai hampir seluruh permukaan kulitnya, meskipun tidak menitik.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Bajra Setapun dengan pasti pula dapat menguasai lawan mereka yang menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian, ternyata bahwa Sawung Tunggul tidak lagi mampu memberikan perlawanan. Darah mengalir dari luka-lukanya yang menggores tubuhnya kemudian selain luka dipundaknya. Dengan demikian, maka pasukan lawan di sebelah kiri itu pun semakin lama telah menjadi semakin terdesak pula, justru dari dua sisi.

Mahisa Amping menyaksikan pertempuran di sisi sebelah kiri itu dengan kening yang berkerut. Jantungnya terasa berdetak terlalu cepat, justru karena ia menjadi bimbang. Apakah ia harus berteriak memberitahukan keadaan pasukan di sisi sebelah kanan dari padepokan Bajra Seta itu. Namun akhirnya Mahisa Amping tidak dapat menahan diri lagi. Dengan lantang suara kanak-kanaknya telah melengking, “He, kakang Mahisa Semu. Perintahkan sebagian dari para cantrik untuk pergi ke sisi sebelah kanan.”

Mahisa Semu mendengar teriakan itu. Sementara itu, beberapa orang cantrik telah berusaha menyelamatkan Sawung Tunggul, perhatian Mahisa Semu yang sejenak terhadap teriakan Mahisa Amping seakan-akan telah memberikan kesempatan kepada para cantrik untuk menolong pemimpin mereka, Sawung Tunggul. Dengan cepat, maka Sawung Tunggul itu pun telah dibawa oleh murid-muridnya menyingkir dari medan.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Ngancas serta padepokan-padepokan yang mendukungnya, telah kehilangan pemimpinnya. Sementara itu meskipun Mahisa Semu sudah menjadi sangat letih, tetapi ia masih berdiri di tengah-tengah medan pertempuran dengan pedang di tangannya. Beberapa orang cantrik memang harus mengawalnya agar Mahisa Semu tidak menjadi sasaran serangan beberapa orang lawan bersama-sama.

Sementara itu, masih terdengar suara Mahisa Amping, “Kakang Mahisa Semu, apakah kau dapat memerintahkan sebagian para cantrik untuk membantu medan di sebelah kanan Padepokan?”

Mahisa Semu yang letih itu pun kemudian mengangkat pedangnya. Namun ia masih juga dapat berteriak dengan suara lantang untuk memerintahkan beberapa kelompok cantrik untuk bergeser ke medan di sebelah kanan. Perintah Mahisa Semu itulah dilanjutkan oleh dua orang penghubung kepada kelompok-kelompok yang dimaksud.

Tetapi setelah kelompok-kelompok itu bergeser lewat belakang dinding Padepokan Bajra Seta, keseimbangan pertempuran itu sama sekali tidak terpengaruh. Apalagi pasukan lawan yang sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Mereka seakan-akan telah kehilangan tumpuan.

Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya dimedan sebelah kiri Padepokan Bajra Seta itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Seorang cantrik dari Padepokan Ngancas mencoba mengambil alih pimpinan, namun ia tidak sanggup mengangkat kemampuan seluruh kekuatan pasukannya.

Meskipun Mahisa Semu sudah menjadi terlalu lemah, tetapi ia masih berpikir bening. Perintah-perintahnya masih mapan, sementara para cantrik yang terpilih berada di sekitarnya. Selain untuk melindunginya, juga untuk meneruskan perintah-perintahnya.

Kelompok-kelompok cantrik yang berlari-lari lewat bagian belakang Padepokan Bajra Seta itu pun segera mencapai medan di sebelah kanan. Mereka langsung melibatkan diri kedalam kancah pertempuran. Karena mereka memasuki arena pertempuran dari ujung, maka mereka pun telah bertempur di ujung medan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Mula-mula pengaruhnya memang tidak begitu terasa. Tetapi semakin lama, maka kekuatan yang datang itu semakin merembes ke dalam medan pertempuran, sehingga kelompok-kelompok baru itu mulai terasa pengaruhnya.

Murid Empu Damar yang memimpin pasukan di sisi sebelah kanan itu pun segera memerintahkan agar pasukannya menjadi semakin cepat bergerak. Mereka sudah melihat kemenangan diambang pintu. Tetapi kedatangan kelompok-kelompok baru itu rasa-rasanya memang sangat mengganggu.

Tetapi murid kepercayaan Empu Damar yang ditugaskan di sisi sebelah kanan itu masih melihat kemungkinan bahwa ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena itu, maka ia pun segera meneriakkan perintah, agar para cantrik dibawah pimpinannya segera menyelesaikan tugas mereka.

“Jangan ragu-ragu,” orang itu berteriak, “hancurkan saja semua cantrik dari padepokan Bajra Seta.”

Tetapi orang itu tidak dapat ingkar dari kenyataan. Kelompok-kelompok yang baru datang itu benar-benar telah menggetarkan medan. Dengan garangnya para cantrik itu telah menusuk garis pertempuran memasuki arena pertempuran lebih dalam lagi. Meskipun hal itu dilakukan di ujung arena, tetapi pengaruhnya telah merambat ke ujung yang lain.

Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari Padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta sudah mulai cemas karena tekanan yang sangat berat atas mereka. Namun tekanan itu kemudian memang terasa agak longgar. Karena itu, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di sisi sebelah kanan padepokan Bajra Seta.

Dalam pada itu, murid terpercaya Empu Damar yang memimpin pasukan dari Padepokan Ngancas dan Padepokan-padepokan yang mendukungnya, memang menghadapi kesulitan untuk berusaha berhadapan dengan pemimpin pasukan dari Padepokan Bajra Seta. Cantrik dari padepokan Bajra Seta itu merasa bahwa ia masih belum memiliki ilmu setinggi murid Empu Damar.

Karena itu, maka ia telah berusaha membentuk satu kelompok kecil khusus untuk menghadapi murid mPu Damar itu. Cantrik itu telah bertempur bersama-sama dengan kedua orang cantrik yang lain. Seorang di antara ketiganya bersenjata sebuah tombak pendek, seorang bersenjata pedang yang cukup panjang, sementara cantrik yang ketiga bersenjata pedang rangkap dikedua tangannya.

Namun ketika murid Empu Damar itu terdesak, maka seperti kedua orang murid Empu Damar yang lain, orang itu pun telah mengetrapkan ilmunya. Setiap ayunan senjatanya, maka rasa-rasanya anginpun telah menghamburkan tajamnya duri-duri menusuk lubang-lubang kulit. Namun, ketiga orang cantrik itu berusaha untuk dapat bekerja bersama. Setiap orang dengan senjatanya masing-masing memang berusaha untuk menyerang. Namun setiap kali mereka harus melangkah surut. Hembusan angin itu membuat seluruh permukaan kulit mereka menjadi pedih.

Dengan demikian, maka ketiga orang cantrik itu benar-benar kehilangan kesempatan untuk menyerang. Setiap kali mereka hanya dapat mencoba menyerang selagi perhatian murid Empu Damar itu tertuju kepada orang lain. Namun demikian murid Empu Damar itu berputar, maka anginpun mengalir dengan derasnya, menyakiti kulit para cantrik itu.

“Jangan lari,” geram murid Empu Damar itu.

Tidak seorang cantrik pun menjawab. Tetapi pertempuran itu pun masih juga berlangsung-dengan sengitnya. Beberapa orang cantrik memang menjadi kebingungan mengatasi murid Empu Damar yang memimpin pasukannya di sisi sebelah kanan itu. Tidak ada seorang cantrik pun dari Padepokan Bajra Seta yang mampu mengimbangi ilmunya.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memberikan beberapa petunjuk dan tuntunan kepada para cantriknya bila dalam pertempuran mereka menjumpai lawan yang demikian. Karena itulah, maka para cantrik itu pun kemudian telah sampai pada usaha mereka yang terakhir. Mereka bertiga dengan cepat saling memberikan isyarat. Justru karena mereka tidak mampu mendekat karena ilmu lawannya.

Pada saat-saat murid Empu Damar itu juga berusaha menyelesaikan ketiga orang cantrik yang bertempur bersama lawannya, maka murid Empu Damar itu telah berloncatan sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Angin yang bagaikan mengamburkan beribu-ribu duri tajam itu benar-benar telah menyakiti kulit para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Ujung-ujung duri yang tajam itu seakan-akan telah menghunjam menusuk kelubang-lubang kulit mereka.

Pada saat yang demikian itulah maka para cantrik itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Meskipun mereka tidak mempunyai lambaran ilmu sebagaimana lawannya, tetapi mereka memiliki kemampuan berpikir. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak memberikan petunjuk kepada mereka, sehingga mereka mempunyai berbagai macam upaya untuk mengatasi keadaan lawannya yang sulit didekatinya itu.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka cantrik Padepokan Bajra Seta yang memiliki pedang rangkap itu telah menyerang dengan cepat, sebilah pedangnya terjulur lurus kedepan namun lawannya sempat menangkis serangannya, bahkan kemudian pedang lawannya itu terayun deras sekali mengarah ke lehernya. Meskipun cantrik itu sempat menghindar dengan merendahkan diri, tetapi sambaran angin serangan lawannya itu telah menerpa kulitnya.

Cantrik itu menyeringai menahan pedih yang menggigit sehingga terdengar keluhannya yang tertahan. Namun, demikian ia meloncat bangkit, maka kedua belah senjatanyapun segera berputar berporos pada tubuhnya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya harus meloncat surut. Tetapi, ketika cantrik itu mencoba memburunya, sekali lagi murid Empu Damar itu mengayunkan pedangnya pula.

Cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu menyeringai menahan sengatan ujung-ujung duri di lubang-lubang kulitnya. Demikian pedihnya, sehingga cantrik itu rasa-rasanya tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Pada saat yang demikian, murid Empu Damar itu ingin mempergunakan kesempatan untuk mengakhiri perlawanan cantrik itu. Tetapi, ternyata bahwa niat itu masih harus tertunda. Sebilah pedang panjang terjulur hampir menikam lambungnya. Sehingga murid Empu Damar itu harus meloncat surut.

Tetapi ketika lawannya itu mencoba memburunya, maka murid Empu Damar itu dengan cepat telah memutar pedangnya menyelimuti tubuhnya. Cantrik Padepokan Bajra Seta itu terpaksa mengurungkan niatnya. Cantrik itu justru bergeser surut. Tetapi, murid Empu Damar itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja setelah ia kehilangan kesempatan untuk menyingkirkan lawannya yang terdahulu. Dengan tangkasnya murid Empu Damar itu telah meloncat menikam ke arah jantung.

Cantrik itu terkejut. Demikian cepatnya serangan itu datang. Dengan serta merta maka cantrik itu menggeliat. Namun ujung pedang lawannya itu masih juga mengenai tubuhnya. Seleret luka telah mengoyak lambung. Tetapi bukan saja pedihnya luka. Getaran angin yang keras benar-benar telah menggigit hampir seluruh permukaan kulitnya. Sehingga karena itu, maka cantrik itu telah berguling jatuh sambil mengerang kesakitan.

Tetapi murid Empu Damar yang marah itu tidak menghentikan serangannya. Dengan geram ia telah mengangkat pedangnya untuk menghabisi jiwa cantrik yang telah terluka itu. Pada saat yang demikian, maka cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang lain, tidak mempunyai kemungkinan lain kecuali mempergunakan kemungkinan terakhir yang pernah mereka sadap dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Pada saat murid Empu Damar itu mengayunkan pedangnya, maka sebatang tombak telah meluncur dengan derasnya. Cantrik yang bersenjata tombak itu kecuali memang tidak sempat menggapai lawannya, ia pun merasa bahwa sulit baginya untuk menembus perisai yang melindungi lawannya dengan getaran udara yang seakan-akan telah menghamburkan beribu-ribu duri itu.

Murid Empu Damar yang sedang memusatkan perhatiannya kepada cantrik yang sudah terluka di lambung itu, ternyata terlambat untuk mengetahui serangan yang dilontarkan itu. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi murid Empu Damar itu tidak mampu untuk sepenuhnya menghindarkan serangan ujung tombak itu. Meskipun ujung tombak itu tidak mengoyak jantung, namun ujung tombak itu telah menyentuh lengannya.

Murid Empu Damar itu mengumpat. Ujung tombak itu memang hanya sekedar menggores lengannya. Sama sekali tidak membahayakan jiwanya. Namun justru pada saat murid Empu Damar itu mengusap lukanya, maka diluar dugaan, sepasang pedang telah terbang pula menyambarnya.

Dengan tangkasnya murid Empu Damar itu meloncat menghindar. Sepasang pedang itu memang tidak mengenainya. Namun murid Empu Damar itu telah melupakan sesuatu. Cantrik yang terluka lambungnya itu telah sempat bangkit. Meskipun cantrik itu tidak sempat berdiri, namun sambil berlutut pada sebelah kakinya, maka dengan sisa tenaganya pedangnya telah terjulur dari arah samping.

Murid Empu Damar yang baru saja tegak setelah menghindari sepasang pedang yang menyambarnya, ternyata tidak sempat berbuat banyak. Ujung pedang itu langsung menghunjam ke lambungnya, menghunjam sampai ke rongga dadanya.

Murid Empu Damar itu mengaduh tertahan. Dengan sorot mata penuh kebencian ia memandang cantrik yang lambungnya sudah terluka itu. Dengan tenaganya yang terakhir, murid Empu Damar itu mencoba mengangkat pedangnya. Namun ternyata ia tidak mampu lagi melakukannya. Sejenak ia terhuyung. Kemudian, tertatih-tatih dan akhirnya tubuhnya pun roboh jatuh terbanting ditanah. Ternyata murid Empu Damar itu tidak mampu bertahan terlalu lama. Lukanya yang parah kemudian telah mengakhiri perlawanannya.

Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang melihat kematian murid Empu Damar yang memimpin pasukan di sisi kanan itu, telah bersorak membahana. Mereka meneriakkan kematian pimpinan pasukan lawannya itu. Meskipun mereka pun harus meratapi seorang di antara para cantrik yang terluka parah. Cantrik yang terluka lambungnya itu, demikian ia berhasil menghunjamkan pedangnya, maka ia pun langsung menjadi pingsan.

Beberapa orang cantrik segera berusaha menolongnya, sementara yang lain melindunginya. Namun dalam pada itu, bantuan yang datang dari sisi sebelah kiri, yang kemudian disusul oleh kematian pemimpin pasukan di sisi sebelah kanan itu telah sangat berpengaruh atas keseimbangan seluruh pertempuran di sisi sebelah kanan itu. Setiap orang dari pasukan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu menjadi sangat berdebar-debar. Mereka telah kehilangan pemimpin mereka sementara cantrik Bajra Seta telah memperkuat kedudukannya di sisi sebelah kanan.

Dengan demikian, maka kekuatan pasukan Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya telah menjadi semakin terdesak. Terutama di belakang, di sisi sebelah kiri dan sisi sebelah kanan. Kekuatan para penyerang itu tidak mampu lagi untuk tetap mempertahankan keseimbangan pertempuran. Bahkan para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta dari arah belakang itu pun sama sekali sudah disapu oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Hanya di bagian depan Padepokan sajalah pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kekuatan Padepokan Ngancas memang sebagian besar terbesar berada di bagian depan padepokan. Dengan garang mereka bertempur bersama dengan beberapa murid Empu Damar yang sudah dianggap cukup mempunyai bekal. Termasuk Gemak Langkas. Sementara Empu Damar sendiri tengah berhadap dengan Mahisa Murti.

Dengan mengerahkan segenap kemampuan, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta berusaha untuk mempertahankan garis pertempuran agar tidak bergeser semakin dekat dengan dinding padepokan. Tetapi pertahanan itu rasa-rasanya selalu berguncang. Bahkan seakan-akan telah merangkak mendekati dinding.

Di atas dinding, para cantrik yang bertugas mengawasi keadaan memang menjadi cemas. Bahkan mereka telah memberikan isyarat kepada pasukan cadangan yang jumlahnya hanya sedikit, dan bahkan bekal ilmu mereka pun masih sangat sedikit pula, untuk bersiap-siap agar para penyerang tidak dapat memasuki regol Padepokan yang memang sudah terbuka.

Dua orang petugas sandi yang mengamati pertempuran menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka tidak dapat berpangku tangan. Meskipun mereka sadar, bahwa mereka berdua tidak akan berarti apa-apa, namun jika terpaksa mereka memang harus turun dimedan pertempuran, setidak tidaknya untuk mempengaruhi agar para cantrik dari Padepokan Bajra Seta tetap berbesar hati.

Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang bertempur dibagian depan dari padepokan itu pun harus mengerahkan segenap kemampuhan mereka agar mereka tidak terlempar dari pertempuran. Tetapi tekanan lawan memang terasa sangat berat.

Namun dalam pada itu, para cantrik yang bertugas di dalam lingkungan dinding Padepokan telah kehilangan Mahisa Amping. Tiba-tiba saja anak itu tidak ada lagi di atas panggungan. Ketika hal itu ditanyakan kepada kedua orang petugas sandi, apakah Mahisa Amping bersama mereka, maka mereka pun menjadi cemas pula.

“Anak itu tidak ada di sini,” jawab salah seorang di antara kedua orang petugas sandi itu.

Beberapa orang cantrik memang menjadi bingung. Mereka menjadi gelisah karena mereka tidak segera menemukan Mahisa Amping. Beberapa orang telah mencarinya di seluruh padepokan. Setiap bangunan telah dimasuki dengan memanggil nama anak itu. Tetapi anak itu tidak diketemukan.

Karena itu, maka keduanya pun telah mengambil keputusan untuk turun ke arena. Namun seorang di antara mereka masih sempat berkata, “Jika anak itu belum kalian ketemukan, maka carilah keluar dinding Padepokan.”

Cantrik itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan mencarinya.”

Demikianlah keduanya pun telah turun dari panggungan. Mereka telah keluar pula dari gerbang induk Padepokan Bajra Seta langsung menuju ke medan pertempuran.

Sementara itu, Mahisa Amping memang tidak berada di lingkungan dinding padepokan lagi. Diam-diam anak itu sudah berlari keluar. Diluar pengamatan para cantrik Mahisa Amping berlari melewati bagian belakang Padepokan Bajra Seta yang sudah tidak lagi menjadi ajang pertempuran, melingkar dan kemudian menuju ke sisi arena pertempuran yang lain di sisi kanan Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu, para cantrik Bajra Seta telah hampir menguasai keseluruhan medan di sisi kanan itu. Para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya sudah tidak banyak dapat berbuat. Bahkan mereka seakan-akan telah menjadi putus asa dan kehilangan harapan untuk dapat bertahan. Sementara itu, para pemimpin kelompok dari para cantrik Padepokan Bajra Seta sempat meneriakkan kesempatan agar pasukan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu menyerah.

Kesempatan itu memang tidak segera dipergunakan. Sebagian dari mereka yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu masih ragu-ragu. Namun mereka memang sudah tidak berpengaruh lagi. Sementara itu, maka anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan yang berada di sisi sebelah kanan itu pun tidak lagi mengalami perlawanan yang berarti. Lawan-lawan mereka lebih banyak bergeser mundur dan merapat di antara mereka yang terdesak dari kedua sisi.

Bahkan sebagian besar dari mereka tidak lagi mempunyai keberanian untuk bertempur sepeninggal pemimpin mereka, salah seorang di antara murid-murid Empu Damar yang terpercaya.

Pada saat yang demikian itulah Mahisa Amping telah hadir di antara anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan sebelah. Ternyata mereka terkejut juga melihat kehadiran Mahisa Amping. Justru karena beban mereka tidak lagi terasa berat, maka beberapa orang telah mengerumuni anak itu.

“Dengan siapa kau datang kemari?” bertanya seorang di antara mereka yang berkerumun itu.

“Sendiri,” jawab Mahisa Amping.

“Kenapa kau kemari dalam keadaan seperti ini?” bertanya orang itu.

“Bukankah tugas kalian di sini tidak terlalu mengikat lagi sehingga sebagian dari kalian dapat meninggalkan tempat ini?” bertanya Mahisa Amping.

“Maksudmu?” bertanya orang itu.

“Para cantrik Padepokan kita di bagian depan agak mengalami kesulitan. Meskipun belum kehilangan kemungkinan dan belum kehilangan harapan. Daripada mereka harus menyerahkan korban terlalu banyak untuk bertahan, apakah tidak sebaiknya jika sebagian dari kalian pergi ke bagian depan padepokan membantu kawan-kawan kalian di sana?” berkata Mahisa Amping.

“Apakah benar begitu? Kenapa tidak ada penghubung yang datang kemari membawa perintah bagi kami?” jawab orang itu.

“Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kakang Mahisa Murti belum sempat memberikan perintah,” jawab Mahisa Amping.

“Darimana kau tahu keadaan medan? Apakah kau berada di sana sebelum kau datang kemari?”

“Aku berada di panggungan di sebelah pintu. Aku melihat pertempuran yang terjadi di medan itu,” jawab Mahisa Amping.

“Tunggu di sini,” desis orang itu.

“Jangan menunggu pasukan Bajra Seta pecah,” jawab Mahisa Amping.

“Tetapi bukankah aku harus memberikan laporan?” sahut orang itu.

Mahisa Amping tidak menjawab, sementara orang itu pun segera berlari menemui pemimpin pasukan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang berada di sisi kanan yang mereka tunjuk sendiri dengan kesepakatan bersama. Karena pertempuran sudah mereda, maka pemimpin pasukan itu sempat mendengarkan laporan orang yang baru saja menemui Mahisa Amping itu dengan seksama.

“Baiklah,” berkata orang itu, “aku akan memerintahkan tiga kelompok di antara kita untuk pergi kebagian depan Padepokan ini untuk membantu pasukan induk.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka tiga kelompok dari anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Mereka berlari dengan cepat menuju ke pasukan induk yang bertempur di bagian depan padepokan Bajra Seta itu.

Para cantrik dari padepokan Ngancas sempat menjadi gelisah. Tetapi jumlah itu memang tidak bertambah. Meskipun demikian tiga kelompok anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu sempat mengguncang medan.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini…

Dalam pada itu, pertempuran pun masih berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak masih saling mendesak. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka yang tersisa.

Para cantrik Padepokan Bajra Seta seakan-akan telah menguasai seluruh medan setelah murid kepercayaan Empu Damar tersingkir dari arena pertempuran. Para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-pasepokan yang mendukungnya sudah tidak memiliki harapan lagi, sehingga mereka lebih banyak menghindar dari pada mempertahankan diri.

Selagi di depan Padepokan Bajra Seta itu masih berlangsung pertempuran sengit, maka Mahisa Amping yang telah menemui anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan yang bertempur di sisi kanan, telah berlari pula ke sisi sebelah kiri.

Namun, Mahisa Semu yang memimpin para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu pun telah menjadi sangat letih. Tetapi ketika ia ditemui Mahisa Amping yang menyusup medan, maka Mahisa Semu itu sempat terkejut.

“Kenapa kau di sini?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukankah tugas para cantrik di medan ini sudah tidak begitu berat lagi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Mereka akan dipaksa untuk menyerah. Kenapa?”

“Apakah kakang dapat mengurangi kekuatan di medan ini lagi sebagaimana kakang lakukan sebelumnya?” bertanya Mahisa Amping agak ragu.

“Apa maksudmu? Apakah keadaan di sisi kanan masih terlalu sulit?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak,” jawab Mahisa Amping, “Tetapi justru pada pasukan induk.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Dengan cemas ia bertanya, “Bagimana dengan pasukan induk?”

“Masih belum nampak bahwa pasukan induk akan dapat menguasai medan. Bahkan kakang Mahisa Murti masih bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin pasukan yang menyerang Padepokan ini,” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera memerintahkan kepada seorang cantrik penghubungnya, untuk memerintahkan beberapa kelompok cantrik bergeser membantu medan di depan Padepokan. Apalagi ketika Mahisa Semu melihat lawan-lawannya di sisi sebelah kiri itu sudah mulai menyerah.

Dengan demikian maka beberapa kelompok cantrik Bajra Setapun telah bergerak. Meskipun mereka sudah menjadi letih sebagaimana para cantrik dari kedua belah pihak yang bertempur itu, namun mereka masih juga berlari-larian melingkari sudut Padepokan menuju ke pasukan induk mereka.

Kehadiran beberapa kelompok cantrik Bajra Seta itu sekali lagi telah mengguncang medan. Bahkan kemudian mereka telah menentukan keseimbangan pertempuran. Para cantrik dari Padepokan Ngancas yang semula masih berpengharapan, telah menjadi gelisah.

Para cantrik dari sisi sebelah kiri itu langsung memasuki arena dan menusuk pasukan lawan dari samping. Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan Ngancas itu seakan-akan telah terkepung. Di depan mereka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta semakin mendesak. Dari sisi lain, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang menekan mereka semakin kuat. Kemudian datang beberapa kelompok anak-anak muda dan orang-orang padukuhan dari sisi kanan, disusul kemudian beberapa kelompok cantrik dari sisi kiri.

Dalam pada itu, maka pertempuran antara Mahisa Murti dengan Empu Damar menjadi semakin sengit. Setiap kali Empu Damar telah melontarkan sejenis senjatanya ke arah Mahisa Murti. Meskipun senjata itu tidak mengenainya, namun sambaran anginnya membuat Mahisa Murti semakin kesakitan.

Senjata yang dilemparkan oleh Empu Damar itu ternyata adalah semacam gelang-gelang baja putih. Senjata yang sangat berbahaya. Jika senjata itu menyentuh kepala, maka kepala itu tentu akan pecah. Bahkan gelang-gelang baja putih itu akan dapat mematahkan tulang-tulang di tubuh lawannya yang dapat dikenainya. Bahkan tulang lengan sekalipun.

Jika senjata itu tidak mengenai lawan, maka sambaran anginnya telah cukup menyakitinya. Seakan-akan ratusan duri-duri kecil yang tajam telah mengorek setiap lubang kulitnya. Dengan demikian maka Empu Damar telah berusaha memaksakan kemenangan segera atas Mahisa Murti justru karena ia mengetahui bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas telah terdesak, dan bahkan hampir terhimpit di tengah-tengah kepungan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta itu.

Karena itu, maka serangan-serangan Empu Damar pun menjadi semakin cepat pula, meskipun keringat telah membasahi seluruh tubuhnya. Dengan lontaran-lontaran senjatanya maka Empu Damar berhasil membatasi serangan-serangan Mahisa Murti. Justru karena Empu Damar telah mengetahui bahwa Mahisa Murti sebagaimana Mahisa Pukat memiliki kemampuan untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.

“Seandainya aku tahu bahwa Mahisa Pukat memiliki ilmu itu,” berkata Empu Damar di dalam hatinya, “maka aku tidak akan dipermalukannya di hadapan banyak orang. Di hadapan murid-muridku pula.”

Dengan dada tengadah Empu Damar menekan Mahisa Murti sehingga Mahisa Murti beberapa kali harus berloncatan surut. Bahkan pada saat-saat terakhir Empu Damar hampir pasti, bahwa ia akan dapat mengalahkan Mahisa Murti.

Mahisa Murti yang selalu diburu oleh senjata-senjata Empu Damar yang dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar bahkan dibarengi dengan ilmunya pula sehingga hembusan anginnya telah menyakitinya, akhirnya harus mengambil satu sikap untuk mengatasinya. Mahisa Murti tidak dapat membiarkan dirinya diburu oleh senjata Empu Damar sehingga setiap kali Mahisa Murti harus berloncatan menghindar dan bahkan sambil menyeringai menahan pedih.

Sementara itu, pertempuran di sekitarnya memang menjadi semakin sengit. Bahkan beberapa orang cantrik yang sedang bertempur harus mengalami nasib buruk. Gelang-gelang baja putih yang dilemparkan oleh Empu Damar sekali-sekali justru mengenai para cantrik. Sekali-sekali justru cantrik dari Padepokan Ngancas yang sedang bertempur melawan cantrik dari Padepokan Bajra Seta.

Karena itulah, maka Mahisa Murti pun telah memutuskan untuk menghentikan serangan-serangan Empu Damar sebelum gelang-gelang itu mematahkan tulang-tulangnya. Apalagi darah yang mengembun dari lubang-lubang kulitnya telah menjadi semakin banyak pula.

Ketika kemudian gelang-gelang itu menyambarnya lagi, maka Mahisa Murti harus berloncatan menghindarinya sejauh-jauh dapat dilakukan, agar hembusan angin yang menyambar tubuhnya tidak terlalu menyakitinya. Sementara itu, Mahisa Murti sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendekati lawannya untuk menyerangnya dengan ujung pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.

Pada saat-saat yang sulit dibawah ancaman lontaran gelang-gelang baja putih itulah, Mahisa Murti kemudian telah mengerahkan ilmunya yang lain. Bukan sekedar menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, tetapi ia pun harus menyerangnya.

Demikianlah, maka ketika sebuah gelang baja putih menyambarnya maka Mahisa Murti telah meloncat ke samping untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Mahisa Murti masih harus menyeringai menahan perasaan pedih yang menggigit. Bahkan untuk beberapa saat Mahisa Murti harus mengerahkan daya tahannya untuk mengatasinya meskipun darah masih saja mengembun dikulitnya.

Tetapi, agaknya Empu Damar tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi gelang-gelang baja itu menyambarnya. Hampir saja senjata yang menggetarkan udara itu menyambar keningnya. Namun meskipun Mahisa Murti sempat menghindari sentuhan senjata itu, namun sambaran anginnya benar-benar telah menyakitinya. Mahisa Murti berdesah menahan sakit sambil melenting menjauh. Tetapi angin telah menyambarnya dan perasaan pedihpun semakin menusuk kulit.

Belum lagi Mahisa Murti sempat memperbaiki kedudukannya, maka sekali lagi Empu Damar melemparkan gelang-gelang besi bajanya. Gelang-gelang yang memang tidak begitu besar, tetapi Mahisa Murti menyadari bahwa gelang-gelang itu sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak mempunyai kesempatan untuk meloncat menghindar. Yang dapat dilakukannya adalah justru menjatuhkan dirinya. Gelang-gelang itu memang tidak mengenainya. Tetapi sambaran angin itu masih saja menyakitinya.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi ketika melihat bahwa Empu Damar sudah mengambil lagi gelang-gelang baja dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Mahisa Murti tidak mau disakiti lagi. Ia tidak membiarkan darahnya yang mengembun semakin membasahi kulitnya. Karena itu, maka agaknya memang sudah tiba waktunya Mahisa Murti berusaha mengakhiri pertempuran itu.

Dengan cepat Mahisa Murti yang menyiapkan dirinya, memusatkan nalar budinya. Ia tidak merasa perlu untuk bangkit lebih dahulu. Namun sambil berbaring di tanah, maka diacukannya pedangnya ke arah lawannya. Dengan cepat pula Mahisa Murti telah melepaskan kemampuannya menyerang lawannya dari jarak jauh, tepat pada saat Empu Damar siap melontarkan senjatanya.

Empu Damar sama sekali tidak mengira bahwa serangan yang dahsyat itu akan datang. Yang diperhitungkan hanyalah ilmu Mahisa Murti yang dapat menghisap kekuatan dan tenaga lawan. Karena itu, Empu Damar menjadi sangat terkejut melihat seleret sinar bagaikan meluncur dari ujung pedang Mahisa Murti.

Ternyata serangan Mahisa Murti datang demikian cepatnya. Sebelum gelang-gelang bajanya terlepas dari tangannya, maka serangan Mahisa Murti telah menerpanya. Demikian dahsyatnya, sehingga Empu Damar telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan rasa-rasanya dadanya telah meledak sehingga isi dadanya telah rontok karenanya.

Empu Damar yang tidak menduga akan mendapat serangan yang demikian dahsyatnya, sama sekali tidak sempat berbuat sesuatu. Ia masih sadar ketika ia terbanting jatuh. Bahkan sempat mengumpat kasar. Empu Damar sempat menyadari betapa dahsyatnya ilmu anak muda itu. Selain ilmu yang jarang ada duanya, yang mampu menghisap tenaga dan kekuatan lawan, ternyata ia juga memiliki ilmu yang dahsyat dan keras.

Namun Empu Damar sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Lamat-lamat masih terdengar sorak para cantrik Padepokan Bajra Seta membahana. Ia pun samar-samar masih melihat Mahisa Murti dibawah perlindungan para cantrik melangkah mendekatinya. Tetapi sejenak kemudian, semuanya menjadi gelap. Jantungnya pun terasa berdetak semakin cepat sehingga akhirnya, Empu Damar kehilangan segenap kesadarannya. Bahkan jantungnya pun telah berhenti berdetak pula.

Para cantrik dari Padepokan Ngancas menjadi gelisah. Beberapa orang murid Empu Damar yang masih bertahan, termasuk Gemak Langkas memang menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengambil sikap dengan cepat, apalagi mengambil alih pimpinan. Kematian Empu Damar benar-benar telah mengguncang jiwa mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi mengambil sikap apapun juga.

Justru karena itu, maka para cantirk dari Padepokan Ngancas itu benar-benar telah kehilangan pegangan. Sebagian dari mereka justru bertempur membabi buta. Tetapi sebagian yang lain dengan serta merta telah melemparkan senjata mereka dan menyerah.

Apalagi kekuatan Bajra Seta di depan padepokannya itu semakin bertambah, sehingga akhirnya, orang-orang yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Sehingga dengan demikian maka serangan mereka telah dipatahkan dengan mutlak. Dengan demikian, maka para pengikut Empu Damar itu di segala medan telah dikuasai. Mereka berangsur-angsur telah menyerah dan meletakkan senjata mereka.

Karena itu, maka sebelum matahari merendah di kaki langit sebelah barat, maka pertempuran itu telah dapat diselesaikan. Tetapi bukan berarti bahwa segala-galanya telah selesai. Ternyata dalam pertempuran itu telah jatuh korban dari kedua belah pihak. Bahkan anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta.

Para cantrik, anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan sebelah menyebelah bahkan para pengikut Empu Damar yang menyerah masih harus sibuk mengumpulkan mereka yang terluka dan bahkan terbunuh di peperangan.

Mahisa Murti memandangi tubuh yang membeku berjajar di halaman serta para cantrik yang terluka yang ditempatkan di pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta dengan wajah yang sayu. Tidak seorang pun yang mampu mencegah korban yang berjatuhan di setiap peperangan. Jika peperangan itu masih berulang, maka tubuh-tubuh yang membeku dan berlumuran darah masih saja akan berhamburan di medan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam ketika dua orang petugas sandi yang telah ikut terjun di pertempuran itu mendekatinya. Seorang di antara mereka berkata, “Peperangan selalu berakhir seperti ini.”

“Ya,” jawab Mahisa Murti. Katanya selanjutnya, “Tetapi hal seperti ini masih saja terulang apapun alasannya.”

Kedua orang petugas sandi itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Amping pun telah melangkah dengan ragu-ragu mendekat. Ternyata Mahisa Murti telah mendapat laporan tentang anak itu dari mereka telah dihubunginya. Bahkan sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu, Mahisa Amping telah mendahuluinya, “Maaf kakang. Aku telah melakukannya tanpa seijin kakang.”

Mahisa Murti tersenyum melihat tingkah anak itu. Katanya, “Baiklah. Kau telah berusaha membantu pertempuran yang telah terjadi dengan caramu. Kau telah berusaha membagi kekuatan para cantrik sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, apa yang kau lakukan mempunyai akibat yang baik bagi Padepokan kita.” Mahisa Murti berhenti sejenak. Dipandanginya anak yang kemudian menunduk dalam-dalam itu. Katanya selanjutnya, “Tetapi lain kali berhati-hatilah. Jika kau menerobos medan, maka hal itu akan sangat berbahaya bagimu.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya Kakang. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti sambil membelai kepala anak itu, “kau harus berhati-hati bermain-main dengan peperangan. Kau lihat, betapa ganasnya pertempuran itu. Yang berjajar di halaman itu adalah mereka yang telah menjadi korban. Mereka akan segera diangkat ke serambi sebelum besok pagi dimakamkan. Sedangkan yang ada di pendapa itu adalah mereka yang terluka parah.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Bukan untuk pertama kalinya ia melihat akibat dari sebuah peperangan. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun berkata kepada kedua orang petugas sandi dari Singasari itu, “Marilah, kita lihat keadaan Mahisa Semu dan paman Wantilan.”

Mahisa Murti pun kemudian bersama-sama dengan kedua orang itu sambil menggandeng Mahisa Amping melihat keadaan Mahisa Semu dan Wantilan di bilik mereka. Ternyata keadaan Wantilan lebih buruk dari Mahisa Semu. Mahisa Semu memang nampak terlalu letih. Kulitnya juga menjadi merah. Meskipun darah yang mengembun sudah dibersihkan, namun bekas-bekas terpaan ilmu lawannya masih nampak kemerah-merahan. Sedangkan Wantilan benar-benar terdapat luka dikulitnya. Di beberapa bagian kulitnya menjadi terkelupas. Perasaan pedih masih saja menggigit di beberapa bagian kulitnya, sehingga Wantilan memerlukan perawatan yang lebih bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu, di antara para pengikut Empu Damar yang menyerah dan menjadi tawanan adalah Gemak Langkas. Betapa penyesalan mencengkam jantungnya. Ia melihat sendiri betapa saudara-saudara seperguruannya terbaring tanpa bernafas lagi. Besok mereka sudah harus dikembalikan kepangkuan bumi tanpa pernah bangkit kembali. Sementara yang lain lagi terbaring sambil mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang parah.

Mahisa Murti yang oleh kedua orang petugas sandi diberitahukan, bahwa Gemak Langkas itulah yang menjadi api yang kemudian membakar Padepokan Bajra Seta yang meskipun dapat dipadamkan tetapi telah menelan banyak korban itu, telah memanggilnya untuk menemuinya. Namun, sejak Mahisa Murti berbicara dengan Gemak Langkas, maka ia telah mendapat kesan bahwa Gemak Langkas merasa sangat menyesal atas segala peristiwa yang telah terjadi itu.

“Sejak semula, aku dan ayahku sudah berusaha mencegah guru untuk melakukan balas dendam,” berkata Gemak Langkas. “Tetapi kami tidak berhasil. Karena aku merasa bahwa aku adalah sebab dari persoalan ini, maka aku merasa mempunyai kewajiban untuk ikut bersama guru menyerang Padepokan Bajra Seta.”

“Jadi alasan Empu Damar menyerang padepokan ini hanya dendam semata-mata?” bertanya Mahisa Murti.

Gemak Langkas termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Ternyata tidak. Meskipun tidak berterus-terang, tetapi guru menganggap bahwa ada sesuatu yang berharga di Padepokan Bajra Seta. Ada sejenis senjata yang agak lain dari kebanyakan senjata. Dan itu ternyata dalam pertempuran yang terjadi. Senjata para cantrik Bajra Seta mempunyai kelebihan dari senjata kami.”

“Hanya karena senjata-senjata itu?” desak Mahisa Murti.

Gemak Langkas terdiam sejenak. Ia memang nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian katanya, “Ada dua keuntungan yang dapat diambil oleh guru. Karena aku terlibat, serta aku pula sebab utama dari peristiwa ini, maka ayahku telah ikut membeayai pasukan Ngancas betapapun ayah merasa berkeberatan. Selebihnya, guru berpendapat bahwa di Padepokan Bajra Seta yang besar ini selain senjata tentu terdapat harta benda yang cukup berharga sehingga akan menguntungkan guru.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa di samping alasan yang dikemukakan tentang pembalasan dendam, maka tentu tersembunyi kepentingan yang lain. Hal itu dapat dibaca dari sifat Empu Damar. Bukankah kau seorang murid yang mendapat perhatian sangat besar dari gurumu karena kau mampu mengupahnya lebih dari yang lain? Bukankah gurumu setiap saat yang ditentukan justru datang kepadamu untuk mengajarmu dalam olah kanuragan karena kau membayar?”

Gemak Langkas mengangguk sambil menjawab, “Ya. Memang demikian. Semakin banyak ayah memberi uang, semakin sering guru datang kerumah.”

“Dengan demikian, maka gurumu sama sekali tidak bersandar pada kewajiban seorang guru. Tetapi yang dilakukan diperhitungkan atas dasar upah semata-mata tanpa pertanggung-jawaban atas keberhasilan murid-muridnya.”

“Aku baru menyadari kemudian,” desis Gemak Langkas.

“Dan kau sekarang terseret dalam arus ketamakan gurumu,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Aku menyesal,” desis Gemak Langkas hampir tidak terdengar.

Tetapi Mahisa Murti percaya bahwa penyesalan itu terlontar dari dasar hatinya. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mematuhi pesan dari kedua orang petugas sandi dari Singasari itu. Para tawanan untuk sementara dititipkan kepada Padepokan Bajra Seta sampai pada saatnya nanti dijemput oleh sepasukan prajurit dari Singasari.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata. “Aku percaya kepadamu Gemak Langkas. Tetapi aku tidak dapat melepaskanmu dari paugeran.”

“Aku tidak akan dapat ingkar,” jawab Gemak Langkas, “apapun yang harus aku jalani sebagai hukuman atas tingkah lakuku, akan aku jalani. Bahkan seandainya aku harus dihukum mati.”

“Tidak, kau tidak akan dihukum mati,” jawab Mahisa Murti.

“Akulah yang menyebabkan segala ini terjadi,” jawab Gemak Langkas.

“Tetapi tidak semua kesalahan ada padamu,” desis Mahisa Murti kemudian, “kesalahan terbesar adalah justru pada gurumu. Ia telah memanfaatkan persoalan yang kau sulut untuk memuaskan ketamakannya.”

“Terima kasih atas sikapmu. Mudah-mudahan sikap para pemimpin di Singasari sama seperti sikapmu itu. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh saudaramu, Mahisa Pukat yang mengalami langsung benturan kepentingan dengan aku, sehingga persoalannya telah berkepanjangan dan mungkin kau benar, telah dimanfaatkan oleh guru.”

Sementara itu kedua petugas sandi Singosari yang berada di Padepokan Bajra Seta setelah minta diri kepada Mahisa Murti, langsung pulang kembali ke Singosari untuk menghadap dan memberi laporan kepada pimpinannya yaitu Arya Kuda Cemani. Begitu sampai di Singosari kedua petugas sandi tersebut langsung menghadap Arya Kuda Cemani dan melaporkan seluruh kejadian di padepokan Bajra Seta.

Setelah menerima laporan dari kedua petugas sandi tersebut Arya Kuda Cemani menugaskan keduanya untuk segera menemui Ki Mahendra guna menyampaikan seluruh peristiwa penyerangan padepokan Bajra Seta oleh Padepokan Ngancas dan tiga padepokan pendukungnya yang dipimpin oleh Empu Damar.

“Besok pergilah kalian menemui Ki Mahendra untuk menceritakan seluruh kejadian tersebut”

Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Baiklah. Kami besok akan menemui Ki Mahendra di tempat tinggalnya.”

Arya Kuda Cemani itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Biarlah aku besok akan datang bersamamu menemui Ki Mahendra dan Mahisa Pukat. Lebih baik mereka mendengar langsung dari kita daripada dari orang lain yang mungkin sudah ditambah atau dikurangi.”

Sebenarnyalah di hari berikutnya mereka bertiga telah menemui Mahendra dan Mahisa Pukat di tempat tinggal mereka, di bagian belakang istana Singasari. Dengan hati-hati Arya Kuda Cemani telah menceriterakan apa yang dilakukan oleh kedua orang petugasnya itu.

“Biarlah mereka menceriterakan apa yang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta,” berkata Arya Kuda Cemani.

Dengan tegang Mahendra dan Mahisa Pukat kemudian mendengarkan ceritera kedua orang petugas sandi itu. Apa saja yang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta. Mahisa Pukat mendengar peristiwa di padepokan Bajra Seta itu dengan hati yang tegang. Bahkan kemudian dengan lantang ia bertanya, “Kenapa aku tidak diberi tahu sebelumnya? Seharusnya aku juga berada di Padepokan saat itu.”

“Maaf ngger,” jawab Arya Kuda Cemani, “ternyata kami salah menilai kekuatan Padepokan Ngancas. Kami tahu bahwa Padepokan Ngancas didukung oleh tiga padepokan sekaligus. Tetapi ternyata jumlah kekuatannya lebih dari yang kami lihat.”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat marah kepada Arya Kuda Cemani. Apalagi yang dilakukan Arya Kuda Cemani semata-mata karena Arya Kuda Cemani ingin membantu Padepokan Bajra Seta. Bagaimanapun juga, perbuatan itu dilandasi dengan maksud yang baik.

Mahendra lah yang kemudian berkata, “Kami mengucapkan terima kasih Raden. Seandainya Raden tidak memberitahukan kedatangan beberapa padepokan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk.”

“Tetapi kami harus minta maaf kepada Mahisa Murti,” berkata Arya Kuda Cemani, “seharusnya kami dapat berbuat lebih baik.”

Tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong pembicaraan itu, “Besok aku akan pergi ke Padepokan.”

“Sebaiknya kau pergi besok lusa saja ngger,” minta Arya Kuda Cemani, “besok lusa aku akan mengirimkan sekelompok prajurit untuk menjemput para tawanan. Kami tidak dapat membiarkan para tawanan itu menjadi beban padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya saat itu juga ia ingin terbang ke Padepokan Bajra Seta. Ia ingin melihat akibat dari pertempuran yang baru saja terjadi.

Tetapi ayahnya berkata, “Agaknya memang sebaiknya kau pergi bersama-sama dengan para prajurit itu Pukat. Bukan karena aku cemaskan kau selama dalam perjalanan. Tetapi agaknya lebih baik kau tempuh perjalananmu tidak seorang diri.”

Mahisa Puakt termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tidak dapat menolaknya. Demikianlah, seperti yang telah direncanakan maka Mahisa Pukat pun telah pergi ke Padepokan Bajra Seta bersama sekelompok prajurit yang akan menjemput para tawanan. Dengan jantung yang gemuruh, seperti derap kaki-kaki kuda para prajurit dalam perjalanan itu, Mahisa Pukat seakan-akan merasa perjalanan itu terlalu panjang. Namun, betapapun terasa perjalanan itu terlalu lama, maka akhirnya iring-iringan itu sampai ke Padepokan Bajra Seta.

Mahisa Pukat pun telah meloncat turun dari kudanya. Oleh perasaan yang bergejolak di dalam jantungnya, juga oleh perasaan bahwa ia adalah penyebab dari pertempuran yang telah terjadi itu maka Mahisa Pukat pun telah berlari memeluk saudaranya sambil berdesis, “Maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini. Para petugas sandi sengaja tidak memberitahukan peristiwa ini kepadaku.”

Mahisa Murti pun harus mengatur gejolak perasaannya. Baru kemudian ia menjawab, “Segalanya telah berlalu, Pukat. Ternyata kami mampu bertahan meskipun harus jatuh korban.”

“Seandainya aku tahu,” suara Mahisa Pukat menjadi sangat dalam.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “Yang Maha Agung masih melindungi padepokan kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit untuk naik kependapa. Namun hanya para pemimpinnya sajalah yang kemudian naik, sedangkan yang lain berada di serambi bangunan sayap Padepokan Bajra Seta.

Setelah mengucapkan selamat datang, maka para cantrik-pun telah menyuguhkan minuman dan makanan kepada para prajurit yang datang untuk menjemput para tawanan di Padepokan Bajra Seta. Namun mereka tidak dapat hari itu juga kembali ke Singasari. Para prajurit itu harus bermalam di Padepokan itu. Baru di keesokan harinya mereka akan kembali ke Singasari.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah menanyakan dimana Mahisa Amping yang masih belum dilihatnya sejak ia datang. Tetapi sebelum anak itu dipanggil, maka Mahisa Amping sudah berdiri termangu-mangu dipintu pringgitan bangunan induk Padepokan itu.

“Amping,” panggil Mahisa Pukat, “kemarilah.”

Mahisa Amping pun dengan ragu-ragu mendekat. Demikian ia berdiri didekat Mahisa Pukat duduk, maka tangannya pun telah ditariknya dan anak itu pun didudukannya di sebelahnya.

“Kau tidak apa-apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak apa-apa kakang,” jawab anak itu. Tetapi diluar dugaan anak itu bertanya, “Kemana kakang selama ini? Kenapa baru sekarang kakang datang?”

“Kakakmu mempunyai tugas di Singasari,” Mahisa Murtilah yang menyahut.

Mahisa Pukat menarik nafas panjang-panjang. Dengan nada rendah ia berkata, “Maafkan aku Amping. Aku tidak dapat ikut mempertahankan Padepokan ini.”

Mahisa Amping kemudian berkata, “Meskipun aku tidak apa-apa, tetapi beberapa orang cantrik telah gugur.”

“Aku menyesal bahwa aku tidak ada di padepokan waktu itu,” desis Mahisa Pukat.

“Sudahlah Amping,” berkata Mahisa Murti, “kau sebaiknya justru mengatakan bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita.”

Tetapi Mahisa Amping masih saja berkata, “Kakang Mahisa Semu dan paman Wantilan terluka.”

“He?” jawab Mahisa Pukat berkerut dalam.

“Tetapi luka mereka tidak parah,” sahut Mahisa Murti dengan serta merta.

“Antarkan aku kepada mereka,” berkata Mahisa Pukat dengan wajah yang tegang.

Mahisa Amping mengangguk. Tetapi Mahisa Murti pun berkata, “Marilah.” lalu katanya kepada para pemimpin prajurit yang ada dipendapa, “Silahkan duduk dahulu Ki Sanak. Marilah, silahkan minuman dan makanannya.”

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berada di dalam bilik Mahisa Semu. Mahisa Semu memang terluka. Tetapi tidak terlalu parah. Bahkan ia sudah nampak tenaganya sebagian besar pulih kembali. Meskipun demikian, penyesalan semakin mencengkam jantung Mahisa Pukat. Apalagi ketika kemudian ia melihat keadaan Wantilan yang nampak lebih parah dari Mahisa Semu.

Dengan geram Mahisa Pukat pun bertanya, “Dimana para tawanan itu?”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Untuk apa kau cari para tawanan?”

“Aku dengar di antara mereka terdapat Gemak Langkas.” jawab mahisa Pukat.

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Gemak Langkas. Ia adalah sumber dari segala-galanya. Seharusnya ia berani mempertanggung-jawabkan akibat dari perbuatannya. Aku akan menantangnya untuk berperang tanding”

“Jika kau sudah mampu mengalahkan gurunya. Jika kau benar-benar menantangnya, artinya sama saja bahwa kau membunuh seorang yang telah menyerah dan menjadi tawanan.”

“Tetapi kau tahu akibat dari perbuatannya itu. Beberapa orang cantrik telah gugur. Beberapa orang anak muda dan orang-orang dari padukuhan di sebelah-menyebelah padepokan ini telah gugur pula. Bukankah sudah sepantasnya ia mendapat hukuman yang terberat?” berkata Mahisa Pukat dengan wajah yang tegang.

“Aku sependapat Pukat. Tetapi siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman yang terberat itu?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau saja ketika pertempuran itu terjadi aku ada di sini.”

“Sudahlah Pukat. Kita semua menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi yang telah terjadi itu tidak akan dapat dirubah lagi. Karena itu, kita harus menerimanya dengan tabah. Apalagi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi padepokan ini.”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah gemeretak giginya.

“Marilah,” berkata Mahisa Murti, “kita temui tamu-tamu kita. Para prajurit dari Singasari yang besok akan membawa para tawanan itu ke Kotaraja untuk mendapatkan pengadilan.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ketika ia berpaling dan memandang mata Mahisa Amping, maka seakan-akan ia sedang bercermin dan melihat kesalahannya sendiri sebagai beban yang harus dipikulnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa yang telah terjadi itu memang telah terjadi. Apapun sikap dan tanggapannya, namun ia tidak akan dapat merubah keadaan yang telah lewat itu, kecuali menyesalinya. Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun bersama-sama dengan Mahisa Murti telah berada kembali di pendapa menemui para tamu mereka dari Singasari.

Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit dari Singasari itu untuk beristirahat. Besok pagi-pagi sekali mereka akan menempuh perjalanan kembali ke Singasari. Sebagian dari para prajurit memang segera beristirahat ditempat yang sudah disediakan. Tetapi beberapa orang yang lain masih ingin berjalan-jalan melihat-lihat padepokan itu dan sekitarnya. Namun mereka esok hari memang harus berangkat sebelum matahari terbit. Para tawanan itu tidak menempuh perjalanan berkuda. Tetapi mereka akan berjalan kaki menuju ke Kotaraja.

Dalam pada itu, di pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti duduk berdua dengan Mahisa Pukat. Ternyata Mahisa Pukat menjadi bimbang, apakah besok ia akan kembali ke Singasari atau tidak.

Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Pergilah. Sebaiknya kau untuk sementara memang tetap berada di Kotaraja. Biarlah aku mengurus Padepokan ini. Percayalah, bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga padepokan ini tidak akan mengalami masa surut. Sementara itu di Kotaraja kau dapat menemani ayah yang sudah menjadi semakin tua. Agaknya ayah merasa lebih senang berada di Singasari daripada berada di Pakuwon Sangling bersama Kakang Mahisa Bungalan.”

Mahisa Pukat masih saja nampak ragu-ragu. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Peristiwa yang baru saja terjadi membuat aku merasa bersalah, bahwa aku tidak berada di padepokan.”

“Bukan salahmu,” sahut Mahisa Murti, “seharusnya kau dan kita semuanya berterima kasih dan mengucap sukur bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sekilas terbayang wajah Sasi. Mahisa Pukat memang merasa lebih tenang jika ia berada dekat gadis itu. Tetapi justru karena itu, ia merasa semakin bersalah. Sementara Mahisa Murti dan para cantrik Padepokan Bajra Seta bertempur mempertaruhkan nyawa, maka ia sendiri berada di Singasari semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Bahkan untuk kesenangannya sendiri.

Tetapi Mahisa Murti yang melihatnya bimbang itu pun berkata selanjutnya, “Sudahlah. Jangan terlalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Seandainya ada sesuatu yang penting, maka biarlah aku memanggilmu.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun ia masih juga berkata, “Rasa-rasanya aku tidak akan dapat meninggalkan Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan yang terluka cukup berat.”

“Tetapi luka-luka mereka akan segera sembuh, karena luka-luka mereka hanya terdapat dipermukaan kulit saja, sebagaimana yang aku alami meskipun tidak sebanyak yang dialami oleh Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan.”

Sementara itu, Mahisa Murti pun sempat menceriterakan bahwa agaknya Empu Damar yang sudah dapat dikalahkan oleh Mahisa Pukat itu mampu mengenali bahwa Mahisa Murti pun memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan meskipun hanya untuk sementara, sehingga Empu Damar selalu berusaha menghindari setiap sentuhan senjata. Bahkan Empu Damar telah mempergunakan senjata jarak jauh berupa gelang-gelang besi baja putih.

Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Murti selalu mendesaknya agar Mahisa Pukat besok kembali ke Singasari bersama para prajurit yang akan membawa para tawanan yang dititipkan di Padepokan Bajra Seta.

Akhirnya, Mahisa Pukat pun dapat mengatasi keragu-raguannya. Apalagi setiap kali ia teringat kepada Sasi. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Besok aku akan kembali ke Singasari. Biarlah aku berkata sejujurnya, bahwa aku ingin tetap berada di Singasari untuk sementara bukan saja karena aku ingin menemani ayah. Tetapi juga karena aku telah terikat karena kehadiran Sasi di dalam perjalanan hidupku.”

Jantung Mahisa Murti memang berdesir. Tetapi ia berhasil menekan gejolak perasaan yang hampir sampai kepermukaan dan kemudian mengendapkannya kembali. Mahisa Murti memang sudah berniat untuk melupakan Sasi sama sekali.

Demikian, sebelum tengah malam, maka padepokan Bajra Seta telah menjadi sepi. Para prajurit Singasari yang berada di padepokan itu sudah tidur lelap. Demikian pula Mahisa Pukat telah berada di atas pembaringannya meskipun ia masih belum tertidur.

Yang masih berjaga-jaga adalah para cantrik yang sedang bertugas. Mereka berada di regol induk dan regol butulan dan dipanggungan disudut-sudut dinding padepokan. Sementara itu setiap kali dua orang cantrik telah meronda berkeliling halaman di sekitar padepokan mereka yang tertidur nyenyak. Kecuali itu masih ada tiga gardu di kebun belakang padepokan yang ditunggui oleh beberapa orang cantrik.

Malam itu terasa betapa lengangnya. Yang terdengar hanyalah suara cengkerik dan bilalang di dedaunan. Dikejauhan terdengar gonggong anjing liar yang berkeliaran mencari mangsa. Mahisa Pukat yang tidak segera dapat tidur, akhirnya terlelap juga. Demikian juga Mahisa Murti.

Yang justru masih beberapa kali bangkit duduk di pembaringannya adalah Mahisa Amping. Anak itu tidak tahu kenapa ia tidak segera dapat tidur seperti biasanya. Baru ketika orang-orang yang bertugas di dapur mulai terbangun dan mempersiapkan makan pagi bagi mereka yang akan berangkat ke Singasari beserta para tawanan, Mahisa Amping dapat memejamkan matanya.

Sementara itu, kesibukan di dapur mirip saat-saat Padepokan Bajra Seta menghadapi serangan. Para petugas di dapur memang harus mempersiapkan makan dan minum bagi banyak orang, termasuk para tawanan.

Sebelum matahari terbit, maka nasi pun telah masak. Sementara itu, para prajurit pun telah mempersiapkan diri. Demikian pula para tawanan, betapa pun mereka merasa malas untuk menempuh perjalanan ke Singasari dengan dikawal oleh sepasukan prajurit. Di sepanjang jalan mereka akan menjadi tontonan. Sedangkan setiap orang akan mengetahui bahwa mereka adalah tawanan yang sedang digiring oleh para prajurit. 0Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan di Padepokan Bajra Seta mereka telah diperlakukan dengan baik, mereka telah merasa berterima kasih.

Sebelum mereka mulai menempuh perjalanan, maka mereka pun telah dibawa ke dapur untuk menerima makan pagi mereka, sementara para prajurit telah dipersilahkan makan di pendapa. Nasi yang masih hangat dengan sayur dan lauk yang masih hangat pula. Sementara para prajurit sedang makan, maka para cantriklah yang mengawasi para tawanan yang sedang makan di sebelah dapur. Sejenak kemudian maka semuanya pun telah siap di halaman depan Padepokan Bajra Seta. Para prajurit, para tawanan dan Mahisa Pukat yang akan pergi bersama para prajurit itu.

Dalam pada itu, meskipun Mahisa Amping belum terlalu lama tidur, namun ia pun telah berada di halaman itu pula. Bahkan ia sempat mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Di sini kakang Mahisa Murti seorang diri.”

Mahisa Pukat mengusap kepala anak itu. Katanya, “Aku tidak akan selamanya berada di Singasari.”

Sementara Mahisa Murti pun berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa kakakmu Mahisa Pukat sedang menyelesaikan satu tugas di Singasari? Jika segalanya sudah selesai, maka kakakmu Mahisa Pukat akan segera kembali.”

Anak itu memejamkan matanya, seolah-olah ia sedang melihat sesuatu. Tidak dengan mata wadagnya, tetapi dengan mata hatinya.

“Apa yang sedang kau renungkan?” bertanya Mahisa Murti.

Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berpandangan sejenak. Anak itu seolah-olah tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh Mahisa Pukat selama ia berada di Singasari.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak mengatakan sesuatu. Mereka tahu bahwa anak itu mempunyai kelebihan dengan penglihatan batinnya meskipun kadang-kadang anak itu tidak tanggap akan maknanya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meyakininya, bahwa jika anak itu menjadi semakin dewasa, maka daya urainya tentu akan menjadi semakin tajam pula.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada Mahisa Murti dan para cantrik yang juga berkumpul di sisi halaman Padepokan Bajra Seta. Demikian pula para pemimpin prajurit dan bahkan para tawanan. Tanpa diduga, Gemak Langkas telah melangkah mendekati Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti, sehingga tiba-tiba Mahisa Pukat menjadi tegang.

Namun Gemak Langkas itu kemudian berdesis setelah ia berhenti selangkah di hadapan Mahisa Pukat, “Aku sudah minta maaf kepada Mahisa Murti yang juga tersentuh akibat dendam yang menyala di dada guru. Aku merasa masih berhutang jika aku belum minta maaf kepadamu. Bahwa yang terjadi ini memang bersumber dari kesalahanku. Tetapi api yang menyala sepeletik kecil itu telah disiram dengan minyak oleh guru.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Gemak Langkas berkata selanjutnya, “Aku mohon maaf sedalam-dalamnya serta aku ingin menyatakan penyesalanku pula. Aku akan patuh mengikuti segala perintah. Di Singasari aku sudah siap menerima segala macam hukuman yang paling pantas diberikan kepadaku.”

“Aku mempercayainya,” desis Mahisa Murti, “Gurunya telah memanfaatkan api yang telah dinyalakannya, yang hanya sepeletik kecil itu. Empu Damar tidak hanya membawa dendamnya kemari. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia ingin merampok Padepokan Bajra Seta. Bahwa persoalan Gemak Langkas adalah semata-mata satu alasan yang tidak masuk akal. Bahkan persoalannya itu akan menelan korban yang cukup banyak.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun diluar sadarnya, anak muda itu telah memandang wajah Mahisa Amping yang berkerut. Tetapi kemudian ia berkata kepada Gemak Langkas, “Akupun percaya kepadamu. Aku memaafkan kesalahanmu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana sikap para Senapati di Singasari.”

“Apapun yang akan ditimpakan atasku, aku tidak menghiraukannya lagi. Bahwa kau telah memaafkan kesalahanku kepadamu, hatiku telah menjadi tenang.”

“Hutangmu telah kau lunasi,” desis Mahisa Pukat.

“Terima kasih,” jawab Gemak Langkas, “dengan demikian, aku menjadi lebih tabah menghadapi hukuman apa pun yang akan diberikan kepadaku.”

Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat wajah Gemak Langkas yang menjadi terang. Anak muda itu benar-benar merasa bahwa ia tidak mempunyai beban lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan untuk memaafkan kesalahan-kesalahannya.

Dalam pada itu, maka baik para prajurit Singasari maupun para tawanan telah siap untuk berangkat. Para prajurit menempuh perjalanan ke Singasari di atas punggung kuda masing-masing, sementara para tawanan harus berjalan kaki.

Para pemimpin prajurit Singasari sepakat untuk membiarkan para tawanan berjalan tanpa terikat tangan apalagi kakinya. Para prajurit telah mengetahui letak Padepokan-padepokan mereka sehingga jika mereka melarikan diri, maka padepokan merekalah yang akan menjadi sasaran. Bahkan mungkin para prajurit terpaksa mengambil langkah-langkah yang lebih keras untuk mencegah.

Demikianlah, sejenak kemudian maka iring-iringan dari Padepokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Para tawanan yang memandang jalan yang membujur panjang dalam keremangan fajar menjadi berdebar-debar. Mereka harus berjalan menempuh perjalanan yang jauh ke Singasari dalam keadaan yang pahit. Meskipun mereka tidak terikat, tetapi setiap orang akan mentertawakan mereka sebagai orang-orang yang digiring oleh para prajurit sebagaimana para penjahat.

Sementara itu para prajurit pun merasa malas untuk duduk di atas punggung kuda, tetapi kudanya merangkak seperti siput mengikuti iring-iringan para tawanan. Tetapi mereka tidak dapat mengelak, karena mereka sedang menjalankan tugas keprajuritan.

Sepeninggal para prajurit dan para tawanan, Padepokan Bajra Seta memang terasa menjadi sepi. Apalagi perasaan Mahisa Amping yang kecil itu. Kepergian Mahisa Pukat membuatnya merasa seakan-akan kehilangan. Meskipun sebelumnya Mahisa Pukat sudah berada di Singasari, tetapi ketika Mahisa Pukat kembali hanya untuk sehari, terasa bahwa kepergiannya memang membuat sesuatu hilang dari Padepokan Bajra Seta. Apalagi anak itu pun tahu, bahwa sebenarnya Mahisa Murti pun merasa kehilangan pula. Namun agaknya Mahisa Murti berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu.

Diluar sadarnya, maka Mahisa Amping kemudian seakan-akan telah mengurung diri di dalam bilik Mahisa Semu dan Wantilan yang terluka. Anak itu menunggui mereka dan melayani keperluan mereka.

Mahisa Murti agaknya dapat melihat pula gejolak perasaan anak itu. Namun bagi Mahisa Murti perasaan itu dalam kadar yang berbeda terdapat pula pada setiap cantrik di Padepokan Bajra Seta. Karena itu, maka Mahisa Murti sendiri harus berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Mahisa Amping jangan sampai melihat lagi bagaimana ia berusaha melarikan diri dari perasaannya, karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti ingin mengisi perasaannya dan juga perasaan para cantrik dengan langkah-langkah yang berarti. Dipanggilnya setiap pemimpin kelompok cantrik Padepokan Bajra Seta. Dengan jelas Mahisa Murti menunjukkan kelemahan para cantrik menghadapi serangan dari lawan yang jumlahnya lebih besar.

“Kita melihat bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih mementingkan kemampuan mereka secara pribadi. Aku tidak mengatakan bahwa hal itu lebih baik dari cara yang kita tempuh. Namun alangkah baiknya, jika kemampuan kita bertempur dalam kerja sama yang mapan disertai kemampuan secara pribadi yang lebih tinggi. Meskipun selama ini kita juga memperhatikan kemampuan para cantrik secara pribadi, tetapi aku yakin bahwa hal itu masih dapat ditingkatkan.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti telah memerintahkan untuk mempertinggi gelombang latihan para cantrik Padepokan Bajra Seta. Mahisa Murti juga memerintahkan untuk menyusun kembali susunan waktu latihan bagi para cantrik sesuai dengan tataran mereka.

“Kita juga harus mengetahui tataran setiap orang di dalam Padepokan ini. Tataran kemampuan tidak dapat diukur dengan waktu seberapa lama mereka berada di padepokan ini. Tetapi sejak pekan mendatang, kita akan menyusun tataran para cantrik menurut kemampuan mereka. Dengan demikian maka latihan-latihan berikutnya akan dapat ditata kembali sesuai dengan pengelompokan para cantrik itu.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa kerja itu adalah kerja yang besar bagi Padepokan Bajra Seta. Mereka harus menilik orang perorang agar mereka dapat menyusun pengelompokan yang paling cermat.

Demikianlah, maka sejak saat yang ditentukan, Padepokan Bajra Seta menjadi sibuk. Setiap pemimpin kelompok harus melihat kembali para cantriknya untuk menempatkan mereka pada kelompok-kelompok yang tepat. Seorang demi seorang mereka harus menunjukkan kemampuan mereka sejauh dapat mereka lakukan.

Dengan demikian, maka seluruh halaman padepokan telah dipergunakan. Bukan saja sanggar tertutup dan sanggar terbuka. Tetapi juga disudut-sudut halaman, kebun dan tempat-tempat terbuka lainnya. Bahkan beberapa kelompok harus melakukannya di luar, karena tidak ada tempat lagi dilingkungan dinding halaman padepokan.

Tetapi, di sekitar Padepokan Bajra Seta memang terdapat ara-ara yang cukup luas. Selain tempat untuk menggembala ternak yang terdapat di padepokan itu, ara-ara itu sengaja dibuat untuk memberikan batas antara lingkungan padepokan dan lingkungan di sekitarnya. Ara-ara itu juga memberikan jarak pandang yang cukup bagi isi padepokan yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya. Terutama jika ada musuh yang mendatanginya.

Namun, ternyata latihan-latihan itu telah menarik perhatian para penghuni padukuhan di sekitar padepokan itu. Bahkan beberapa orang telah datang untuk menanyakan, apakah bahaya masih saja mengancam padepokan itu sehingga seisi padepokan harus menempa diri.

Mahisa Murti yang menemui beberapa orang yang datang itu telah menjelaskan persoalannya. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata, “Sepengetahuanku, tidak ada ancaman lagi atas Padepokan ini. Kami hanya ingin menutup kelemahan-kelemahan yang kami dapati dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Lebih dari itu, kami ingin mengisi perasaan kehilangan setelah kepergian Mahisa Pukat. Setiap kali para cantrik mempertanyakannya meskipun setiap kali aku sudah memberikan jawabnya. Tetapi rasa-rasanya jawabku selalu tidak memuaskan mereka. Latihan-latihan ini akan merampas segala pemusatan perhatian serta nalar budi mereka, sehingga mereka tidak akan selalu teringat kepada kepergian Mahisa Pukat yang memang sudah cukup lama mengasuh mereka.”

Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Ya. Agaknya Mahisa Pukat telah terlalu lama pergi.”

“Beberapa hari yang lalu, ia datang kemari bersama para prajurit Singasari yang mengambil para tawanan itu. Tetapi juga hanya sehari sebagaimana para prajurit,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Apakah Mahisa Pukat sekarang menjadi seorang prajurit?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “pada saatnya ia akan kembali ke padepokan ini.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Jika demikian, apakah kami, laki-laki dari padukuhan sebelah menyebelah diperbolehkan ikut berlatih?”

“Bukankah kalian telah melakukan latihan-latihan keprajuritan meskipun tidak sedalam para prajurit?” bertanya Mahisa Murti dengan ragu.

“Ya. Tetapi apa salahnya kami memperdalam kemampuan kami? Dalam keadaan tertentu kami berjanji untuk membantu padepokan ini sejauh dapat kami lakukan,” berkata seorang di antara mereka.

“Terima kasih. Telah banyak sekali bantuan yang kalian berikan kepada kami. Bukan saja tenaga, harta-benda, tetapi lebih dari itu. Kalian telah memberikan anak-anak muda yang terbaik dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Mereka telah mempertaruhkan nyawa mereka.”

“Bukankah hal itu kita lakukan timbal balik?” sahut salah seorang di antara mereka...