Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 107 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 107
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sudah barang tentu kami tidak merasa berkeberatan sama sekali untuk membantu kalian berlatih memperdalam kemampuan kalian. Tetapi kami minta waktu sepekan untuk mengatur dan mempersiapkan tenaga para cantrik agar kami dapat memenuhi keinginan kalian dengan sebaik-baiknya.”

“Kapanpun kami mendapat kesempatan, kami mengucapkan terima kasih,” berkata salah seorang dari mereka yang datang menemui Mahisa Murti itu.

Dengan demikian maka baik Mahisa Murti, maupun orang-orang dari padukuhan telah mengatur persiapan untuk melakukan latihan-latihan. Mereka telah membentuk kelompok-kelompok sebagaimana para cantrik di padepokan. Bersama Mahisa Murti mereka telah mengatur segala macam ketentuan, pembagian waktu dan tempat bagi mereka yang akan berlatih di padepokan Bajra Seta.

Dengan demikian maka Mahisa Murti harus menyisihkan tenaga beberapa orang cantrik terbaik untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda dan orang-orang yang berniat untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata bahwa latihan-latihan itu mendapat perhatian yang sangat besar.

Akan tetapi yang pertama-tama dilakukan oleh para cantrik adalah menilai kemampuan mereka yang menyatakan diri untuk ikut berlatih di padepokan itu. Meskipun tidak sangat teliti sebagaimana saat mereka menilai kemampuan para cantrik, namun penilaian itu dapat dipergunakan untuk membagi-bagi orang-orang padukuhan yang mengikuti latihan-latihan itu dalam kelompok-kelompok tanpa memperhatikan dari padukuhan mana saja mereka berasal.

Ketika saatnya latihan-latihan itu dimulai, ternyata bahwa kemauan mereka tidak kalah tinggi dari para cantrik di Padepokan Bajra Seta itu. Meskipun waktu yang diperuntukkan bagi mereka lebih pendek dari para cantrik, tetapi kemauan mereka ternyata benar-benar membakar jantung mereka.

Karena itu, maka para cantrik tidak ingin mengecewakan mereka sehingga para cantrik pun menunjukkan kemauan yang tinggi menuntun mereka meningkatkan kemampuan orang-orang dari padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah padepokan itu.

Dengan demikian maka seisi Padepokan Bajra Seta telah menjadi sibuk. Latihan-latihan berlangsung dengan kemauan yang tinggi. Mahisa Murti pun tenggelam pula dalam kesibukan itu. Bahkan Mahisa Murti secara khusus telah menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Murti pun telah memberikan waktunya untuk Wantilan yang memang mempunyai tataran yang berbeda serta landasan ilmu yang berbeda pula, sehingga Wantilan pun harus mendapat penanganan yang khusus.

Dengan caranya, maka seisi Padepokan Bajra Seta itu pun menjadi semakin meningkat pula. Para cantrik tertua dari padepokan itu pun langsung mendapat latihan-latihan dari Mahisa Murti sendiri, sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti benar-benar telah menghabiskan waktunya bagi padepokannya.

Dalam kesempatan tertentu, Mahisa Semu pun telah diberi wewenang oleh Mahisa Murti untuk memberikan latihan-latihan kepada para cantrik yang masih muda. Bukan saja muda umurnya, tetapi juga mereka yang belum lama berada di padepokan itu.

Tetapi Mahisa Murti tidak dapat menyerahkan sekelompok cantrik kepada Wantilan, karena Wantilan mempunyai dasar yang berbeda. Hanya untuk latihan-latihan dasar yang sifatnya umum, Wantilan dapat membantu Mahisa Murti memberikan tuntunan kepada para cantrik. Terutama mengenai ketahanan tubuh serta penguasaan gerak-gerak dasar yang paling sederhana untuk mempersiapkan para cantrik itu mulai dengan gerak-gerak dasar yang menjurus pada unsur-unsur ilmu yang dipelajari. Dengan latihan-latihan khusus yang berat, maka Mahisa Amping ternyata tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ilmunya. Dengan demikian maka ilmu yang dipelajarinya seakan-akan telah menyatu di dalam dirinya. Sadar atau tidak sadar, maka setiap gerak anak itu seakan-akan telah terkendali dengan mapan.

Mahisa Semu pun semakin lama menjadi semakin meyakinkan. Tenaganya tumbuh dengan mantap sebagaimana tubuhnya yang berkembang dengan tinggi dan kekar. Latihan-latihan yang berat telah membentuk tubuhnya menjadi seorang yang gagah dan kuat.

Setiap pagi, Mahisa Semu telah berlatih sambil membentuk tubuhnya menurut petunjuk Mahisa Murti. Sejak sebelum matahari terbit, Mahisa Semu telah menitikkan keringat dari lubang-lubang kulitnya bersama beberapa orang cantrik yang diserahkan kepadanya. Mereka memanfaatkan lingkungan yang luas serta lereng-lereng pegunungan di sekitar padepokan.

Meskipun demikian, para cantrik itu tidak melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari dalam kehidupan sewajarnya. Setelah berlatih dipagi hari, kemudian membersihkan diri dan makan pagi, maka para cantrik itu pun telah melakukan tugas mereka sehari-hari. Di antara mereka ada yang pergi ke sawah yang diperuntukkan bagi Padepokan Bajra Seta. Ada yang pergi ke kolam-kolam ikan, ke pategalan dan ada yang melakukan tugas-tugas yang lain. Pande besi dengan kemampuan yang lebih dari pande besi kebanyakan setelah mereka mendapat tuntunan khusus. Ada di antara mereka yang mengurusi peternakan dan pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Tetapi di antara mereka terdapat kelompok-kelompok yang berada di sanggar-sanggar bergantian. Mereka dengan sungguh-sungguh berusaha meningkatkan kemampuan ilmu mereka. Baru menjelang sore, maka hampir semua cantrik turun untuk melakukan latihan-latihan sehingga halaman, kebun dan bahkan ara-ara di luar dinding padepokan menjadi penuh, termasuk anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta, sesuai dengan tataran dan tingkat kemampuan mereka masing-masing.

Sementara Padepokan Bajra Seta tenggelam dalam kesibukan yang memberikan arti yang penting bagi perkembangan Padepokan itu, maka Mahisa Pukat yang berada di Kotaraja telah menjalani kehidupannya dalam suasana yang berbeda. Hubungannya semakin lama menjadi semakin akrab dengan Sasi. Ternyata orang tua Sasi benar-benar tidak berkeberatan atas hubungan itu sebagaimana Mahendra sendiri. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, Mahisa Pukat masih saja merenungi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan padepokan yang telah ditinggalkan meskipun menurut pengertiannya hanya sementara.

Tetapi, setiap kali sebuah pertanyaan pun timbul, “Apakah benar bahwa ia hanya meninggalkan padepokannya untuk sementara?”

Apalagi ketika pada suatu ketika ayahnya, Mahendra memanggilnya dan dengan sungguh-sungguh berkata kepadanya, “Mahisa Pukat. Aku melihat bahwa hubunganmu dengan Sasi semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Bukan niatku untuk menghalangi, apalagi menurut penilaianku Arya Kuda Cemani tidak berkeberatan sama sekali dengan hubunganmu itu. Tetapi dengan demikian maka ada satu hal yang harus kau perhatikan.”

Mahisa Pukat memperhatikan kata-kata ayahnya itu dengan sungguh-sungguh pula. Namun sudah terasa olehnya, kemana arah pembicaraan ayahnya itu. Karena itu, Mahisa Pukat tidak terkejut ketika ayahnya kemudian berkata,

“Mahisa Pukat. Masih ada satu hal yang harus kau penuhi sebelum kau benar-benar memasuki satu lingkungan kehidupan yang baru. Maksudku, apabila kau benar-benar ingin berumah tangga.”

Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tahu bahwa ayahnya tentu akan berbicara tentang kehidupannya setelah ia benar-benar memasuki jenjang kehidupan berkeluarga. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin mendahului ayahnya. Karena itu, maka ia hanya diam sambil menunggu.

Sebenarnyalah ayahnya pun kemudian berkata, “Mahisa Pukat. Kau harus mulai berpikir sejak sekarang. Jika kau kelak berumah tangga, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan kembali ke padepokan dan mengajak isterimu hidup menurut caramu di padepokan? atau kau mulai membayangkan satu bentuk kehidupan yang lain?”

Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun sebenarnyalah bahwa Mahendra memang menjadi gelisah memikirkannya. Jika Mahisa Pukat ingin hidup di padepokan, maka ia merasa sangat kasihan kepada Mahisa Murti. Tanpa setahu Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti hidupnya akan tersiksa setiap hari untuk waktu yang panjang tanpa batas. Bahwa dengan mengorbankan perasaannya sendiri Mahisa Murti telah meninggalkan Mahisa Pukat di Singasari.

Mahisa Murti termasuk seorang anak muda yang tahu diri dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Tetapi jika ia tersiksa setiap hari, maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Murtilah yang kelak akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Sementara itu belum tentu bahwa Sasi akan dapat menerima satu bentuk kehidupan di padepokan.

Mungkin sebelum perkawinan itu terjadi, selagi angan-angannya melambung tinggi, Sasi berniat untuk hidup bersama dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, apa yang terjadi kemudian mungkin akan berbeda. Sasi dapat saja terbentur pada batas kemampuannya untuk menyesuaikan dirinya, sehingga kehidupan di padepokan akan terasa sangat membosankan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi bimbang pula. Apalagi ketika ayahnya berkata, “Pukat. Sampai sekarang kau adalah seorang pemimpin sebuah padepokan. Kau hidup dalam satu suasana yang sangat khusus. Sementara Sasi terbiasa hidup di Kotaraja. Aku tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika Sasi kau ajak mencoba hidup di padepokan dengan gaya hidup orang-orang padepokan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ayahnya ingin menasehatkan kepadanya agar ia tidak membawa Sasi ke padepokan. Namun Mahisa Pukat tidak tahu pasti alasan ayahnya yang sebenarnyalah Mahisa Murti telah mengorbankan perasaannya yang tertuju kepada Sasi. Bagi Mahisa Pukat, maka alasan utama adalah kebiasaan dan tatanan hidup keluarga Sasi yang jauh berbeda dengan tatanan hidup di padepokan, sehingga dengan demikian, maka satu kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi atas Sasi.

Dengan nada dalam, maka Mahisa Pukat pun justru telah bertanya, “Ayah, aku justru ingin mendapat petunjuk dari ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Mahisa Pukat. Jika kau bertanya kepadaku, maka jawabku tentu mengandung pengertian yang menguntungkan diriku pula. Karena bagaimanapun aku tidak dapat melepaskan kepentinganku sendiri.”

“Maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mahisa Pukat. Aku ingin menasehatkan kepadamu, sebaiknya kau tidak usah kembali ke padepokan. Setidak-tidaknya untuk sementara. Kau dapat mencari sumber kehidupan di sini. Adalah kebetulan bahwa aku mempunyai hubungan betapapun jauhnya dengan Sri Maharaja. Jika kau berminat, aku dapat membawa kau menghadap. Jika bukan Sri Maharaja, maka aku dapat menyampaikannya Wreda Menteri atau pejabat-pejabat yang lain yang aku kenal.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi apa yang dapat aku lakukan ayah? Selama ini aku hidup di sebuah padepokan, sehingga yang aku kerjakan tidak lebih dari pekerjaan seorang cantrik dan sekaligus seorang petani. Jika aku harus bekerja diistana, apa yang dapat aku perbuat selain menjadi juru taman.”

Tetapi ayahnya menggeleng. Katanya, “Kau dapat menjadi seorang prajurit. Kau mempunyai kemampuan dasar dalam olah kanuragan. Bahkan jika dilakukan pendadaran pun kau akan mempunyai kesempatan cukup untuk diterima di antara mereka yang menyatakan keinginan mereka menjadi prajurit. Bahkan mungkin kau akan dapat diterima menjadi Pelayan Dalam yang mempunyai tugas keprajuritan di dalam lingkungan istana”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia teringat kepada saudara-saudara Sasi dan kawan-kawannya. Tataran kemampuan mereka tidak terlalu tinggi, sehingga jika ia ikut dalam pendadaran, maka kemampuannya tentu lebih baik dari anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku menurut saja, yang mana yang terbaik menurut ayah.”

“Ada dua bidang yang terbaik bagimu. Bidang keprajuritan atau sebagai Pelayan Dalam. Jika kesempatan terbuka, bagiku kau lebih baik menjadi seorang Pelayan Dalam. Tugasnya mirip dengan tugas keprajuritan, tetapi juga mempunyai tanggung jawab atas keamanan seisi istana dan melayani isi istana pula”

“Narpacunadka maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukan. Tetapi Pelayan Dalam memang dapat diperintah oleh Narpacundaka.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mana yang baik menurut ayah, aku tidak akan berkeberatan melakukannya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi untuk sementara ia sudah berhasil memisahkan Mahisa Pukat dari Mahisa Murti apabila Mahisa Pukat benar-benar akan berumah tangga dengan seorang gadis yang kebetulan pernah menarik hati Mahisa Murti itu pula. Tetapi sebagai akibat dari keinginannya itu, maka Mahendra pun harus menghubungi para pejabat di istana Singasari. Bahkan ternyata kemudian, dalam satu kesempatan Mahendra sempat menghadap Sri Maharaja di Singasari.

Ternyata keinginan Mahendra untuk mengabdikan anak laki-lakinya itu telah didengar pula oleh Sri Maharaja di Singasari. Ternyata Sri Maharaja justru dengan senang hati memerintahkan agar anak laki-laki Mahendera itu dapat diterima sebagai Pelayan Dalam. Mahendra memang menjadi sangat bergembira. Sebagaimana dititahkan oleh Sri Maharaja, maka Mahendra pun telah menghubungi Manggala yang memimpin Pelayan Dalam di Istana Singasari itu.

“Apa titah Sri Maharaja?” bertanya Gajah Saraya, Manggala yang memimpin Pelayan Dalam itu.

“Seperti yang sudah aku katakan” jawab Mahendra, “Sri Maharaja bertitah bahwa Sri Maharaja berkenan atas permohonan anakku untuk menjadi Pelayanan Dalam.”

“Untuk apa hal seperti ini kau sampaikan kepada Sri Maharaja? Bukankah ada bermacam-macam persoalan yang harus dipikirkan oleh Sri Maharaja? Tentu Sri Maharaja tidak sempat memikirkan persoalan anakmu itu.”

“Tetapi Sri Maharaja justru sudah mendengar bahwa Mahisa Pukat ingin mengabdikan diri dalam lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari. Sebelum aku mengatakan sesuatu tentang anakku itu, maka Sri Maharaja lah yang justru bertanya kepadaku.”

“Mustahil” jawab Gajah Saraya, “aku belum pernah menyampaikannya kepada Sri Maharaja.”

“Entahlah. Aku tidak tahu, siapakah yang menyampaikannya kepada Sri Maharaja. Tetapi Sri Maharaja sudah mengetahuinya dan bahkan Sri Maharaja berkenan sekali atas keinginan anakku itu" jawab Mahendra.

“Mahendra” berkata Gajah Saraya, “sebenarnya kau tidak perlu bertumpu kepada Sri Maharaja. Bukankah sebelumnya aku juga sudah menyatakan akan mengusahakan agar anakmu dapat diterima asal anakmu memenuhi persyaratannya.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Gajah Saraya” sahut Mahendra, “mudah-mudahan anak itu memenuhi syarat yang diwajibkan.”

“Tetapi aku justru menjadi kecewa karena kau telah menyampaikan langsung kepada Sri Maharaja. Agaknya kau tidak percaya kepadaku.” berkata Gajah Saraya itu kemudian.

“Kau salah paham Gajah Saraya” jawab Mahendra, “aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Tetapi justru kau yang tidak percaya kepadaku. Cobalah kau ingat-ingat, siapa saja yang pernah mengetahui bahwa anakku akan mengabdikan diri dalam lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari? Mungkin orang itulah yang telah menyampaikannya kepada Sri Maharaja.”

“Apakah kepentingan mereka menyampaikan hal ini kepada Sri Maharaja?” bertanya Gajah Saraya.

Mahendra hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti, bahwa Arya Kuda Cemani juga pernah mendengar keinginannya untuk mengabdikan anaknya dalam lingkungan Pelayan Dalam. Bahkan Arya Kuda Cemani sangat menyetujui, karena hal itu langsung atau tidak langsung menyangkut diri Arya Kuda Cemani itu sendiri. Justru karena Mahisa Pukat telah berhubungan degnan Sasi, anak perempuan Arya Kuda Cemani itu.

“Apakah Arya Kuda Cemani yang telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat itu kepada Sri Maharaja?” bertanya Mahendra di dalam hatinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahendra tidak mengatakan hal itu kepada Gajah Saraya.

Tetapi salah paham itu harus diluruskan. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah Gajah Saraya. Pada kesempatan lain, jika aku menghadap lagi, maka aku akan bertanya kepada Sri Maharaja, siapakah yang telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat untuk mengabdi itu kepada Sri Maharaja.”

“Kau berani melakukannya?” bertanya Gajah Saraya.

“Kenapa tidak? Sri Maharaja adalah seorang yang hatinya seluas lautan. Demikian pula Ratu Angabaya, sepupu Sri Maharaja yang mendampinginya memerintah di Singasari itu. Seandainya aku menyampaikan pertanyaan itu, maka kedua-duanya tentu tidak akan marah.”

“Kau terlalu deksura, Mahendra. Kau kira keduanya itu kawanmu bermain?” berkata Gajah Saraya.

“Tentu tidak Gajah Saraya. Tetapi aku mengenal keduanya sejak lama. Sejak saudara-saudaraku masih mengabdi di sini.” jawab Mahendra. Lalu katanya pula, “Kaupun tentu mengerti, kenapa aku sekarang tinggal di Istana Singasari.”

Gajah Saraya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia harus menilai kembali keberadaan Mahendra di Istana itu. Meskipun demikian, Gajah Saraya itu berkata, “Baiklah. Apapun yang kau lakukan, akulah yang berwenang untuk melakukan pendadaran atas anakmu itu. Akulah yang dapat menilai, apakah anakmu pantas menjadi seorang Pelayan Dalam atau tidak.”

Pernyataan itu memang membuat jantung Mahendra berdesir. Namun Mahendra sadar, bahwa ia memang tidak dapat berbuat banyak tanpa harus menimbulkan persoalan dengan Gajah Saraya. Karena itu, maka Mahendra memang lebih banyak menunggu. Mahendra berniat agar anaknya dapat diterima dalam lingkungan Pelayan Dalam tanpa membuat persoalan. Karena itu, maka sebaiknya Mahisa Pukat menempuh syarat-syarat yang sewajarnya dilakukan untuk dapat diterima menjadi Pelayan Dalam.

Ketika hal itu dikatakan kepada Arya Kuda Cemani, maka Arya Kuda Cemani itu pun berkata, “Gajah Saraya ternyata tidak berpandangan luas. Hatinya getas seperti ranting yang kering. Sentuhan kecil saja membuat hatinya patah. Seharusnya ia tidak merasa tersinggung. Jika hal itu diketahui Sri Maharaja, maka justru Gajah Saraya lah yang akan mendapat murka.”

“Tetapi biarlah Mahisa Pukat memasuki lingkungan Pelayan Dalam sesuai dengan syarat-syarat yang harus ditempuhnya.” berkata Mahendra kemudian.

Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku yakin syarat apapun yang diberikan, jika itu tetap dalam kewajaran, tentu akan dapat dilaluinya. Pendadaran yang betapapun beratnya asal masih sesuai dengan paugeran yang berlaku tentu akan dapat diatasinya. Kecuali jika ada permainan lain. Jika hal itu terjadi, aku mempunyai wewenang untuk memberikan laporan.”

“Mudah-mudahan hal seperti itu tidak perlu terjadi” berkata Mahendra.

Arya Kuda Cemani tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Akhirnya kita juga berpaling kepada kepentingan diri. Jika persoalannya menyangkut diri kita masing-masing langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya kita juga ingin turut campur.”

“Ya” jawab Mahendra. Namun katanya kemudian, “Tetapi justru rasa keadilan kita tersinggung.”

Arya Kuda Cemani tertawa. Tetapi mereka sepakat untuk tidak berbuat sesuatu sampai saat pendadaran itu datang. Mereka akan menyaksikan apakah pendadaran itu berlangsung wajar atau tidak. Adalah kebetulan bahwa istana Singsari memang sedang membutuhkan sepuluh orang Pelayan Dalam baru. Diutamakan mereka yang masih muda dengan harapan bahwa mereka dihari mendatang akan dapat menjadi Pelayan Dalam yang mampu menggantikan mereka yang menjadi semakin tua.

Karena yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu melebihi dari yang dibutuhkan, maka mereka yang menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran sudah menyadari, bahwa pendadaran akan berlangsung berat. Duapuluh lima orang akan mengikuti pendadaran. Sementara yang akan diterima hanya sepuluh orang. Meskipun demikian, Mahendra tidak ingin menempuh jalan pintas meskipun seandainya hal itu dapat dilakukan. Apalagi Sri Maharaja sendiri telah menyatakan berkenan jika anak Mahendra dapat diterima menjadi Pelayan Dalam.

Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, maka Manggala Gajah Saraya telah memanggil kedua puluh lima orang yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu. Mereka akan mengikuti pendadaran yang akan dibaktikan dalam beberapa tahap.

Tahap pertama, dua puluh lima orang itu harus menempuh perjalanan dalam jarak tertentu. Jalan itu melalui beberapa rintangan alam yang cukup berat. Jalan yang memang dipilih melalui lereng-lereng bukit, menyeberang sungai dan hutan-hutan kecil. Perjalanan yang akan makan waktu sehari semalam tanpa membawa bekal sama sekali. Mereka yang dapat menembus rintangan alam itulah yang kemudian akan mengikuti pendadaran yang kedua.

Mereka akan dilepas seorang demi seorang tanpa diberi ancar-ancar jalan yang akan mereka lalui. Yang ada hanyalah isyarat-isyarat yang harus mereka cari disepanjang jalan. Di tempat-tempat tertentu mereka akan menjumpai gardu-gardu yang ditunggui oleh para prajurit. Mereka harus menyatakan diri kepada para prajurit itu jika mereka telah melewati gardu itu. Satu saja gardu terlampaui, maka mereka dianggap gagal dalam pendadaran tahap pertama.

Demikianlah, maka duapuluh lima. orang itu pun telah bersiap. Mereka yang akan melakukan pendadaran pun telah bersiap. Sementara itu itu Manggala Gajah Saraya pun menunggui pendadaran itu langsung di tempat para peserta dilepas. Pada saat yang sudah ditentukan, maka mulailah orang yang pertama dilepas untuk menjalani pendadaran. Orang yang pertama itu dilepas di pagi hari. Meskipun demikian pada saatnya, maka perjalanannya akan menembus gelapnya malam pula.

Demikianlah berjarak waktu tertentu, telah dilepas orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya Dalam urutan itu ternyata Mahisa Pukat adalah orang yang terakhir dilepas. Ia justru dilepas saat matahari telah terbenam.

Sebenarnya Mahisa Pukat sudah merasakan keganjilan ketika ia dinyatakan sebagai orang terakhir. Ia tidak merasa ikut membuka lontar yang di dalamnya tertulis urutan keberangkatan pada pendadaran itu sebagaimana yang lain. Menurut seorang prajurit yang mengatur pendadaran, Mahisa Pukat justru peserta susulan yang tidak turut dalam undian.

“Kau harus mengucap terima kasih bahwa kau dapat ikut serta” berkata seorang prajurit ketika ia menanyakan hal itu.

Mahisa Pukat tidak mempersoalkannya lagi. Jika ia masih bertanya tentang beberapa hal, maka mungkin sekali ia akan mengalami kesulitan karena sikap prajurit itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menerima saja apa yang harus dilakukan. Baginya sama saja, apakah ia mendapat giliran pertama atau terakhir. Semuanya akan mengalami waktu yang sama. Sehari semalam.

Yang berangkat pagi hari, pada saatnya akan berjalan juga digelapnya malam. Bahkan Mahisa Pukat merasa beruntung, bahwa yang telah berjalan lebih dahulu daripadanya sebanyak duapuluh ampat orang, sehingga jejaknya pun menjadi semakin banyak. Dengan demikian maka ia akan menjadi lebih mudah menelusuri jalan yang harus dilaluinya dalam pendadaran itu.

Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, Mahisa Pukat pun telah dilepas pula. Sementara gelap malam pun mulai turun perlahan-lahan. Namun bagi Mahisa Pukat kegelapan itu tidak banyak mempengaruhinya. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat pun telah berjalan melalui jalan yang sepi. Ketajaman penglihatannya mampu melihat dengan baik meskipun gelap menjadi semakin kelam. Di langit bintang berhamburan. Selembar awan lewat. Tetapi langit tetap jernih.

Dengan melihat bintang Gubuk Penceng dan bintang Waluku Mahisa Pukat mampu mengenali arah. Ia tahu pasti kemana ia berjalan. Ketika jalan berbelok, maka tanpa kesulitan ia mengetahui arah, kemana ia harus pergi, karena ia melihat isyarat yang jelas. Beberapa cabang pepohonan sengaja ditebas. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun telah mengikuti petunjuk itu.

Disamping isyarat itu, maka jejak mereka yang terdahulu pun telah menuntun arah bagi Mahisa Pukat, sehingga ia tidak harus terlalu banyak berpikir. Semakin lama jalan pun menjadi semakin jauh. Jalan setapak yang jarang dilalui orang. Bahkan kemudian memasuki sebuah padang rumput tempat para gembala menggembalakan kambingnya. Padang rumput itu memang agak luas. Rerumputan yang hijau itu mulai dibasahi oleh embun yang mulai turun.

Mahisa Pukat pun merasakan bahwa malam memang menjadi semakin dingin. Tetapi ia berjalan terus. Ia belum merasakan rintangan yang berarti pada perjalanannya itu. Ketika ia melewati tanggul sebuah susukan yang agak besar, tiba-tiba saja Mahisa Pukat dikejutkan suara anjing yang menggonggong. Tidak terlalu jauh dari tanggul yang dilewatinya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Telinganya yang tajam segera mengetahui, suara gonggongan anjing yang seakan-akan suara seekor anjing yang sangat besar itu adalah suara orang.

“Tentu satu dua orang prajurit yang mendapat tugas mengganggu mereka yang melakukan pendadaran” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Tetapi justru karena itu timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main dengan mereka.

Ketika suara anjing itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Pukat pun telah ikut pula menirukan suara anjing itu. Hampir mirip dengan suara yang menjadi semakin dekat itu. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Dua orang tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan kedua orang prajurit telah muncul dari balik serumpun perdu. Sambil melangkah mendekati, seorang di antara mereka berkata, “Selamat anak muda. Mudah-mudahan kau dapat melewati pendadaran ini dengan baik.”

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat yang juga tertawa. Bahkan katanya, “Bukankah aku orang terakhir? Marilah, kita berjalan bersama-sama.”

Kedua orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Tentu akan merugikanmu. Jika kau ketahuan berjalan bersama kami, maka kau tentu dianggap gugur dalam pendadaran ini. Sementara itu kami pun akan kembali ke tempat kalian dilepas, sehingga kita akan berlawanan arah.”

Mahisa Pukat pun sambil tertawa berkata, “Baiklah. Kita akan berpisah.”

Kedua orang itu berdiri untuk memperhatikan Mahisa Pukat berjalan memasuki kegelapan. Namun seorang di antara kedua orang prajurit itu berkata, “Anak yang berani dan ramah. Aku kira ia akan dapat melewati pendadaran ini.”

“Tetapi ia baru mulai. Masih banyak rintangan yang lain yang barangkali lebih rumit. Apalagi rintangan alam yang berat,” jawab orang lain.

Orang yang pertama itu mengangguk-angguk sambil bergumam, “Tetapi yang seorang ini nampak sangat yakin akan dirinya.”

“Ya” jawab kawannya, “anak ini memang mempunyai kelebihan. Meskipun sebagian besar memang tidak menjadi ketakutan, tetapi tanggapan anak ini terasa akrab.”

Sementara itu Mahisa Pukat pun telah meneruskan perjalanannya. Jalan yang sempit yang kemudian menurut isyarat yang ada, menuju ke sebuah sendang yang terpencil. Sendang yang nampaknya jarang dipergunakan airnya. Beberapa pohon besar tumbuh di sekitarnya sehingga suasanya memang menjadi sangat menyeramkan.

Tetapi bagi Mahisa Pukat, hal itu tidak dapat menggetarkan bulu-bulunya. Mahisa Pukat berjalan saja mengikuti isyarat dan bahkan jejak yang dapat dilihatnya dalam kegelapan, meskipun kadang-kadang ia harus meraba dengan jari-jarinya. Beberapa saat maka Mahisa Pukat pun telah tenggelam dalam gelapnya bayang-bayang beberapa batang pohon raksasa. Ada di antaranya pohon preh, pohon nyamplung dan pohon cangkring yang berduri.

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat berhenti di bawah pepohonan itu sambil mengamat-amati batang-batang raksasa yang tumbuh bagaikan menjulang kelangit. Kemudian bayangan hitam dirimbunnya dedaunan. Sekali-sekali terdengar suara burung malam yang memecah sepi. Burung bence yang suaranya bagaikan menyayat jantung. Memikik tinggi kemudian hilang dibawa terbang.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mula-mula ia mengira bahwa suara itu juga suara seseorang untuk menakut-nakuti, setidak-tidaknya menggetarkan jantung mereka yang ikut pendadaran. Tetapi ternyata tidak. Suara itu benar-benar suara burung bence. Mahisa Pukat yakin akan hal itu ketika burung bence itu terbang meninggalkan pohon nyamplung raksasa yang tumbuh di antara pohon-pohon raksasa yang lain.

Mahisa Pukat hanya dapat termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berniat meneruskan perjalanannya. Jalan sempit yang lewat di antara dua batang pohon raksasa. Di sebelah kiri pohon beringin dengan sulur-sulur yang bergayutan yang membuat suasana menjadi bertambah seram. Sedangkan di sebelahnya adalah sebatang pohon cangkring berdiri hampir berimpit dengan sebatang pohon yang sangat besar dengan jenis daun yang berbeda. Daun cangkring dan daun benda.

Namun karena kebiasaan seorang pengembara, maka Mahisa Pukat melangkah tanpa ragu melalui celah-celah pohon-pohon raksasa itu. Namun Mahisa Pukat memang menjadi terkejut. Telinganya menangkap desir lembut. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak dikehendaki. Sambil berjalan maka ia benar-benar memperhatikan suasana.

Beberapa langkah Mahisa Pukat berjalan dan lewat di antara batang-batang raksasa itu, maka tiba-tiba sebuah bayangan putih terayun menyambarnya. Demikian cepatnya, sehingga hampir saja bayangan putih itu sempat menyambar kepalanya. Tetapi dengan tangkas Mahisa Pukat menghindar, sehingga bayangan putih itu lewat saja sejengkal dari tubuhnya. Terayun deras seolah-olah terbang kedahan pepohonan. Tetapi bayangan putih itu tiba-tiba berhenti. Bahkan terayun kembali seolah-oleh sekali lagi ingin menyambar Mahisa Pukat yang berdiri termangu-mangu.

Tetapi pikiran Mahisa Pukat cukup terang. Bayangan itu tentu hanya sebuah benda yang terayun karena terikat pada salah satu dahan pohon-pohon raksasa itu. Tidak ada bedanya dengan suara gonggongan anjing itu. Tentu para prajurit telah menakut-nakuti mereka yang ikut dalam pendadaran untuk memperlemah keberanian mereka meneruskan perjalanan.

Sekali lagi timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main. Ketika benda itu menyambarnya, maka Mahisa Pukat sekali lagi menghindar. Tetapi ia tidak berlari menjauh. Ia justru menunggu benda itu terayun sekali lagi. Sebenarnyalah, benda yang berwarna putih yang seakan-akan menggelantung terbang itu terayun lagi menyambarnya. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat menangkap benda itu dan menariknya keras-keras.

Seperti yang diperhitungkannya, maka tali pengikat benda yang dihentakkannya itu telah terlepas. Bahkan kain pembungkus benda yang diayunkan itu telah koyak. Sambil memeluk benda yang terbungkus kain putih itu Mahisa Pukat melangkah meneruskan perjalanan.

Tetapi dua orang prajurit ternyata telah mengejarnya sambil berteriak, “He, anak muda. Jangan kau bawa benda itu.”

Mahisa Pukat berhenti.Tetapi ia pun berkata, “Aku adalah orang terakhir, sehingga benda ini tidak akan dipergunakan lagi.”

“Tetapi aku harus membawanya kembali.” sahut salah seorang dari kedua prajurit itu.

Mahisa Pukat menyerahkan benda itu sambil tertawa. Katanya, “Silahkan. Benda itu hanya akan menjadi beban saja bagiku”.

Kedua orang prajurit itu pun tertawa. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Kau telah mengoyakkan kain putih ini.”

“Apakah masih akan terpakai?” bertanya Mahisa Pukat.

“Setidak-tidaknya dapat aku pergunakan untuk celana anakku,” jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.

Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Kedua prajurit itu pun tertawa berkepanjangan pula. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat pun telah meninggalkan kedua orang prajurit itu. Sambil melambaikan tangannya prajurit itu berkata, “Selamat anak muda. Semoga kau berhasil.”

“Terima kasih. Doakan saja, agar aku mampu mengatasi pendadaran ini.”

Ternyata Mahisa Pukat justru telah menarik perhatian para prajurit yang bertugas. Tetapi rintangan yang masih harus dilaluinya masih cukup banyak. Justru rintangan alam. Lereng bukit, tanah-tanah miring yang terjal, sungai dan hutan yang masih dihuni binatang buas. Tetapi, dengan tegar Mahisa Pukat berjalan terus. Dilaluinya rintangan demi rintangan yang memang disediakan oleh alam. Dengan hati-hati Mahisa Pukat memanjat lereng bukit kecil yang terjal, berbatu-batu padas yang runcing. Ketika ia sampai kepuncak bukit kecil itu, dilihat sebuah pelita minyak kecil yang nyalanya menggeliat ditiup angin malam.

Mahisa Pukat mengetahui, bahwa pelita itu dipasang pada sebuah gardu. Salah satu dari gardu-gardu yang harus disinggahi selama ia menempuh perjalanan pendadaran. Ada empat orang prajurit yang bertugas di gardu itu. Demikian Mahisa Pukat mendekat, maka salah seorang dari para prajurit itu pun berkata, “Kau orang terakhir anak muda.”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “aku dilepas yang terakhir.”

“Bagus. Berjalanlah terus. Sampai pada gardu ini, semuanya masih genap duapuluh lima orang. Tetapi dua orang sudah mulai nampak meragukan akan keberhasilannya. Meskipun demikian, keduanya meneruskan perjalanan.”

Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri. Dalam kegelapan malam yang semakin dalam ia meneruskan perjalanan. Sekali-sekali ia memandang langit yang bersih. Bintang Gubug Penceng dan Bintang Waluku sudah bergerak semakin ke Barat. Bahkan di langit sudah nampak Bintang Bima Sakti. Mahisa Pukat berhenti ketika ia sampai ke ngarai setelah menuruni bukit kecil itu. Kakinya memang terasa agak letih. Batu-batu padas terasa menggelitik tapak kakinya.

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat beristirahat. Ia sadar bahwa perjalanannya masih jauh. Angin malam semilir membuat tubuh Mahisa Pukat menjadi segar kembali. Perlahan-lahan ia meneruskan perjalanannya menempuh jalur pendadaran yang masih jauh. Anak muda itu tertegun ketika di depannya membentang sebuah sungai yang meskipun tidak terlalu lebar, tetapi airnya cukup deras. Batu-batu yang besar berserakan dimana-mana. Mahisa Pukat pun dengan hati-hati menuruni tebing sungai dan mencoba menjajagi airnya.

Terasa airnya memang sangat dingin. Namun ia tidak mempunyai pilihan kecuali menyeberang jika ia ingin diterima menjadi Pengawal Dalam di Istana Singasari. Ternyata tidak terlalu sulit bagi Mahisa Pukat. Namun demikian, pakaiannya menjadi basah. Sehingga ia harus berjalan dengan pakaian basah di udara yang dingin di malam yang kelam.

Jalan yang terbentang di hadapannya kemudian adalah padang perdu yang agak luas. Mahisa Pukat yang sudah terbiasa mengembara itu mengenali, bahwa setelah padang perdu yang semakin banyak dipadati pohon-pohon perdu, biasanya jalan itu akan sampai ke pinggir hutan. Ketika Mahisa Pukat kemudian memandang kekejauhan dan melihat bayangan pepohonan yang rapat membujur panjang, maka Mahisa Pukat pun mengetahui bahwa yang di hadapannya itu bukan jajaran padukuhan, tetapi tentu sebuah hutan meskipun tidak terlalu besar.

“Memang lebih senang lewat di hutan itu siang hari” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak dapat memilih. Yang lainpun juga tidak dapat memilih, karena bagi mereka diberlakukan undian untuk menentukan saat keberangkatan mereka. Hanya Mahisa Pukat sajalah di antara para peserta yang tidak ikut dalam undian. Namun ditentukan sebagai orang yang berangkat terakhir.

Tetapi, sebelum para peserta pendadaran itu sampai ke hutan, maka mereka akan melalui sebuah gardu lagi. Dari kejauhan Mahisa Pukat sudah melihat lampu minyak yang menyala berkeredipan. Agaknya para prajurit pun memperhitungkan, bahwa kehadiran gardu itu akan dapat memberikan sedikit ketenangan bagi para peserta yang kurang memiliki keberanian memasuki lingkungan hutan meskipun hutan yang terhitung kecil.

Ketika Mahisa Pukat singgah di gardu itu, maka ia pun disambut dengan baik oleh para prajurit yang bertugas. Tidak hanya empat tetapi enam orang. Mahisa Pukat diberitahu bahwa para peserta semuanya masih utuh, duapuluh lima orang.

Dari para prajurit yang bertugas di gardu itu Mahisa Pukat mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang yang tajam. Dengan nada berat prajurit itu berkata, “Kau akan memasuki jalan di tepi sebuah hutan. Karena itu, maka kau akan mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang. Tetapi pisau itu harus kau kembalikan kepada para prajurit yang ada di gardu berikutnya, setelah kau melalui hutan itu.”

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat sambil menerima pisau belati itu.

Dengan pisau belati di tangan, maka Mahisa Pukat menjadi semakin tegar. Sebenarnya ia memang tidak memerlukan pisau itu. Tetapi rasa-rasanya memang lebih tenang membawa sebilah pisau belati untuk memasuki lingkungan hutan. Setidak-tidaknya pisau itu akan dapat dipergunakan untuk membersihkan ranting-ranting yang menghalangi jalan.

Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Mahisa Pukat telah menjadi semakin dekat dengan hutan yang membentang di hadapannya. Hutan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi nampaknya cukup lebat, membujur sampai ke lereng perbukitan. Mahisa Pukat yang sudah mengembara melewati lingkungan yang luas, tetapi ternyata ia belum pernah melewati jalan-jalan yang dipergunakan untuk pendadaran itu meskipun hanya sekitar Kota raja saja.

Agaknya lingkungan itu memang lingkungan yang khusus untuk kepentingan latihan-latihan para prajurit serta untuk pendadaran sebagaimana yang sedang terjadi itu. Dengan sebilah pisau belati panjang, Mahisa Pukat berjalan melalui padang perdu yang semakin rapat.

Seperti yang diperhitungkan maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat itu telah mendekati sebuah hutan. Jalan yang dilaluinya itu akan melewati pinggir hutan yang gelap itu. Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak merasa gentar menghadapi jalan yang dilaluinya itu. Apalagi ia membawa sebilah pisau di lambungnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah memasuki hutan yang ternyata menurut pengamatan Mahisa Pukat berdasarkan pengalamannya hutan itu adalah hutan tutupan. Hutan yang khusus dipergunakan sebagai arena perburuan orang-orang tertentu. Bahkan mungkin keluarga Sri Maharaja di Singasari.

Namun dengan demikian, Mahisa Pukat pun menyadari bahwa hutan itu tentu masih dihuni oleh binatang-binatang buas yang menjadi sasaran buruan para pemburu. Karena itu, maka bagaimanapun juga Mahisa Pukat harus berhati-hati. Demikian ia memasuki jalan di tepi hutan, maka ia mulai memperhatikan arah angin.

Ternyata hembusan angin agak kurang menguntungkan baginya. Angin berhembus ke arah hutan yang pekat itu. Tetapi Mahisa Pukat berjalan terus. Binatang buas tidak selalu akan menyerang meskipun binatang itu mencium bau seseorang. Bahkan binatang-binatang yang tidak terpaksa karena lapar tidak akan menyerang seseorang.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun menyusuri jalan di pinggir hutan itu. Dengan saksama ia memusatkan perhatiannya pada keadaan sekelilingnya. Bukan saja ia berusaha untuk melihat setiap gerak di dalam kegelapan. Tetapi telinganya pun dipergunakannya sebaik-baiknya. Tiba-tiba saja Mahisa Pukat terkejut. Ia mendengar suara yang aneh. Derak kayu yang saling bergeser. Tetapi suara itu disusul aum harimau yang mengoyak sepinya malam.

Mahisa Pukat dengan cepat mempersiapkan diri. Ia justru meloncat keluar dari jalur jalan dan berdiri di daerah padang perdu yang agak longgar. Oleh bintang-bintang di langit maka padang perdu itu gelapnya tidak sepekat gelapnya pinggir hutan yang dilindungi oleh rimbunnya pepohonan. Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Aum harimau itu masih terdengar. Tetapi ia masih berharap bahwa harimau itu tidak mencarinya meskipun mungkin harimau itu sudah mencium baunya.

Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh Mahisa Pukat. Agaknya harimau itu benar-benar kelaparan. Ketika harimau itu muncul dari balik pepohonan hutan, maka harimau itu nampak garang sekali. Dalam kegalapan ketajaman mata Mahisa Pukat masih dapat melihat lamat-lamat harimau itu merangkak perlahan-lahan sambil menengadahkan kepalanya. Agaknya harimau itu sedang meyakinkan dirinya tentang bau yang tercium oleh hidungnya dalam keadaan yang sangat lapar.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang tegang itu ia masih sempat membuat perhitungan. Harimau itu tentu harimau yang dengan sengaja dilepaskan dari kandang atau perangkapnya. Agaknya harimau itu dibiarkan kelaparan sehingga dengan demikian harimau itu menjadi semakin buas. Ternyata harimau itu berhasil mengetahui arah Mahisa Pukat berdiri. Perlahan-lahan harimau itu melangkah mendekati Mahisa Pukat. Terdengar harimau itu menggeram.

Mahisa Pukat meraba pisau belatinya. Tetapi ia pun kemudian memutuskan untuk tidak berlama-lama melayani harimau itu. Ia harus menyelesaikan perjalanannya sekitar sehari-semalam. Jika ia terlalu lama berhenti di pinggir hutan itu, maka perjalanannya akan tertunda, sehingga ada alasan bagi orang-orang yang tidak senang akan kehadirannya dalam pendadaran itu untuk menganggap bahwa ia mengalami kelambatan terlalu lama dari waktu yang telah ditentukan, sehingga ia dapat dianggap gagal dalam pendadaran tataran pertama.

Tetapi Mahisa Pukat pun yakin bahwa tentu ada orang yang mengawasi apa yang akan terjadi. Apakah orang itu berada di balik pepohonan atau yang paling mungkin adalah justru memanjat pepohonan untuk menghindari serangan harimau yang kelaparan itu. Yang tidak dapat ditebak oleh Mahisa Pukat, apakah kehadiran seekor harimau itu berlaku juga pada duapuluh empat orang lainnya yang mengikuti pendadaran itu, atau hanya disediakan baginya oleh orang-orang yang tidak senang akan keikut sertaannya dalam pendadaran itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berusaha untuk menghindari penglihatan orang-orang itu jika mungkin ada.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah berlari cepat-cepat menjauhi hutan itu melintasi padang perdu. Namun dalam pada itu, harimau yang lapar itu pun tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu sambil mengaum harimau itu pun meloncat mengejar Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang mengerahkan tenaga dalamnya itu memang dapat berlari cepat sekali. Tetapi harimau itu pun mampu berlari cepat pula.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini...

Dengan cepat Mahisa Pukat menempuh sisa perjalanannya yang masih separo lebih. Sementara itu, ia mulai memanjat lereng pegunungan lagi. Tetapi pebukitan yang didakinya itu tidak lagi berbatu-batu padas yang menyakiti kakinya. Tetapi justru tanah terasa sangat licin. Tetapi bagi Mahisa Pukat perjalanan itu masih belum membuatnya mengalami kesulitan.

Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Pukat telah turun dari pebukitan dan berjalan di ngarai yang datar. Sebuah padang rumput yang luas terbentang di hadapannya. Ketika matahari terbit, maka terasa udara yang segar berhembus lembut. Tetapi di padang rumput itu tidak banyak terdapat pepohonan. Hanya beberapa batang pohon saja tumbuh pada jarak yang cukup jauh. Semakin lama maka panas matahari pun semakin terasa menyengat kulit. Sementara itu leher Mahisa Pukat mulai merasa haus. Sedangkan ia sama sekali tidak membawa bekal apapun.

Di kejauhan Mahisa Pukat melihat bayangan pepohonan yang hijau. Ia tidak tahu apakah yang nampak itu padukuhan atau hutan. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Pukat, jalan itu tentu tidak akan melalui padukuhan-padukuhan yang akan dapat memberikan dukungan kepada para peserta pendadaran. Jika haus, maka di padukuhan itu tentu tersedia air. Sementara jika lapar, maka akan dapat dicari makan bagaimanapun caranya.

Tetapi ternyata jalan yang harus ditempuh tidak menuju ke bayangan pepohonan itu. Ia harus berbelok melalui jalan setapak justru menghindari pepohonan yang hijau segar. Mahisa Pukat pun kemudian berbelok mengikuti lorong sempit itu. Menurut penglihatannya, maka para peserta yang terdahulu tentu juga berjalan melalui jalan itu.

Sementara itu maka sengatan mataharipun semakin terasa. Leher Mahisa Pukat semakin terasa kering. Tetapi ia masih belum menjumpai parit, sungai atau anak sungai. Ia juga tidak menjumpai sumber mata air disepanjang lorong sempit di tengah-tengah padang rumput yang luas itu. Apalagi rerumputan itu pun kemudian menjadi semakin kuning. Tanah mulai bercampur dengan pasir dan kerikil. Sehingga panaspun terasa semakin membakar tubuhnya. Keringat pun membasahi kulit Mahisa Pukat dari ujung kepala sampai keujung kakinya. Tetapi Mahisa Pukat masih tetap berjalan dengan langkah yang mantap.

“Memang lebih senang yang mendapat giliran pertama” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya, “ketika menempuh perjalanan di pebukitan dan hutan, hari masih terang. Sementara ketika menempuh padang ini matahari sudah tenggelam.”

Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat merasa iri. Beberapa orang di urutan terakhir juga mengalami sebagaimana yang dialaminya. Orang yang keduapuluh ampat hanya berselisih beberapa saat saja daripadanya. Ketika Mahisa Pukat melihat segerumpul pepohonan raksasa di tengah-tengah padang itu, maka naluri pengembaranya mengatakan kepadanya, bahwa di tempat itu ada air. Meskipun barangkali tidak terlalu banyak. Karena itu, meskipun arah perjalanannya tidak mendekati sekelompok pepohonan itu, maka Mahisa Pukat sengaja telah menyimpang meskipun agak jauh.

Sebenarnyalah, di tempat itu Mahisa Pukat memang menemukan sebuah sumber air yang cukup besar. Bahkan airnya melimpah mengalir ke sebuah parit. Tetapi parit itu tidak menyilang jalan yang harus dilalui jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mengikuti pendadaran. Ternyata Mahisa Pukat sempat menghilangkan hausnya, sementara ia masih harus berjalan cukup panjang.

Tetapi setelah minum, maka tubuh Mahisa Pukat terasa semakin segar. Ia dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan seakan-akan Mahisa Pukat itu telah berlari-lari kecil untuk mengganti waktu yang dipergunakan menyimpang beberapa saat ketika ia mencari sumber air yang tidak terletak dekat dengan jalan yang harus ditempuh.

Tetapi ia tidak harus tetap berjalan selalu diteriknya sinar matahari. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah memasuki sebuah hutan kecil. Hutan yang nampaknya tidak begitu buas. Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak terlalu lebat. Tetapi memang tidak mustahil bahwa di tempat itu juga terdapat binatang buas. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus berhati-hati. Mungkin saja tiba-tiba seekor harimau terlepas dari perangkapnya dan berusaha menerkamnya lagi.

Tetapi, agaknya dihutan kecil itu memang tidak terdapat seekor harimau pun. Yang terdapat dihutan itu ternyata adalah beberapa ekor ular. Seekor ular gadung yang tidak terlalu besar telah menyambarnya dari sebatang pohon. Untunglah Mahisa Pukat sempat meloncat menghindar. Meskipun ia mempunyai penangkal racun, namun ia masih belum merasa perlu untuk menunjukkan kepada para prajurit yang menilai pendadaran itu. Jika terdapat gigitan seekor ular, tetapi ia tidak mengalami sesuatu, maka hal itu akan dapat menarik perhatian.

“Mudah-mudahan tidak ada seorang pun yang digigit ular di sini” desis Mahisa Pukat. Ia memang menganggap tempat itu sangat berbahaya bagi sebuah pendadaran.

Beberapa puluh langkah lagi, maka langkah Mahisa Pukat pun terhenti. Ia melihat seekor ular sawah melintasi jalan yang akan dilaluinya. Tetapi karena ular sawah bukan termasuk ular yang berbahaya, maka Mahisa Pukat tidak bergeser dari tempatnya berdiri.

“Hutan ular” desis Mahisa Pukat. Bahkan ketika ia hampir sampai diujung hutan kecil itu, ia masih bertemu dengan seekor ular bandotan. Ular yang sangat berbisa, sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus bersiap-siap menghadapinya, karena ular bandotan memang sering menyerang lebih dahulu.

Tetapi justru karena Mahisa Pukat berdiri mematung, maka ular bandotan itu pun segera bergeser menjauh dan masuk ke dalam lebatnya hutan. Agaknya udara yang panas telah membuat ular-ular di hutan itu dan sekitarnya kepanasan dan mencari tempat yang lebih sejuk.

Demikianlah beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat telah berada di ujung hutan, sementara matahari telah lewat puncak langit. Jantungnya berdesir ketika demikian ia lewat hutan itu, maka ia telah melihat sebuah lagi gardu yang dijaga oleh beberapa orang prajurit. Ketika Mahisa Pukat mendekati gardu itu untuk menyatakan kehadirannya, maka para prajurit di gardu itu menyambutnya dengan sikap yang wajar. Memang agak berbeda dengan para prajurit yang ada di gardu setelah ia melewati hutan perburuan.

“Bukankah kau tidak apa-apa?” bertanya salah seorang prajurit, “maksudku, bukankah kau tidak dipatuk ular.”

“Hampir saja” jawab Mahisa Pukat, “ular gadung yang menyambar aku dari pepohonan dan ular bandotan”

“Sukurlah” desis prajurit itu. “Ada tiga orang yang tidak sempat menghindar sehingga dipatuk ular. Ketiganya masih ada di sini. Tetapi ketiganya sudah diobati.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Untunglah bahwa mereka sempat tertolong.”

“Setiap kali kami melihat keadaan. Atau mereka yang digigit ular biasanya berlari keluar dari hutan itu.”

Muhisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “agaknya gardu ini memang di tempatkan di sini bukan saja untuk mengamati para peserta pendadaran, tetapi juga untuk menolong mereka yang mengalami kecelakaan.”

“Ya” jawab salah seorang prajurit.

“Lalu bagaimana dengan mereka?” bertanya Mahisa Pukat sambil memperhatikan ketiga orang anak muda yang berbaring di sebuah amben yang besar di gardu itu.

“Keadaan mereka sudah berangsur baik” jawab prajurit itu.

“Maksudku, apakah dengan demikian mereka dianggap gagal dalam pendadaran yang mereka ikuti?”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut ia pun berkata, “Agaknya memang demikian anak muda. Karena itu kau dapat bersukur bahwa kau tangkas sehingga kau dapat lolos dari patukan ular dihutan itu seperti kawan-kawanmu yang lain.”

“Bukan karena ketangkasanku” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku justru diam mematung ketika ular itu lewat.”

“Jika demikian otakmulah yang tangkas” jawab prajurit itu.

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat yang sejenak kemudian minta diri untuk melanjutkan tugas pendadarannya.

Jalan yang dihadapinya kemudian nampaknya tidak lagi terlalu sulit. Meskipun jalan menjadi turun naik karena padang perdu yang memang tidak rata. Tetapi jalan yang menanjak dan menurun tidak terasa terlalu terjal. Namun demikian, langit terasa bagaikan membara. Matahari yang sudah melewati puncaknya justru terasa semakin panas. Sinarnya menerpa tubuh Mahisa Pukat serta memeras keringatnya dari seluruh wajah kulitnya.

Perasaan haus telah kembali mengganggunya. Meskipun demikian namun Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa ia tidak akan kehabisan tenaga sampai saatnya ia sampai ke tempat yang sudah ditentukan sebagai tujuan akhir dari pendadaran, seandainya ia tidak mendapat air.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat melintasi daerah yang agak tinggi, maka ia melihat dua punggung gumuk yang memanjang. Pengalamannya mengatakan, bahwa di antara kedua punggung gumuk yang memanjang itu terdapat sungai atau anak sungai meskipun mungkin sudah mengering. Karena itu, maka seperti yang telah dilakukan Mahisa Pukat ingin keluar dari jalur perjalanannya menuju ke tempat yang diperkirakan mengandung air itu. Bahkan sebuah anak sungai.

Tetapi sebelum ia benar-benar memasuki padang perdu yang panas itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara seseorang yang mengerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat melintasi tikungan ditebing yang agak tinggi. Demikian ia melampaui tikungan itu, maka ia pun telah melihat seseorang yang duduk bersandar tebing. Wajahnya pucat sementara keringatnya bagaikan terperas dari seluruh tubuhnya. Bibirnya nampak kering dan tubuhnya menjadi sangat lemah.

“Kau kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak tahan lagi. Leherku bagaikan terbakar.” desisnya hampir tidak terdengar.

“Apakah kau salah seorang peserta pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam?” bertanya Mahisa Pukat. “Kau berada di urutan keberapa?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Dua puluh dua” jawab orang itu dengan nafas terengah-engah.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak bertanya anak-anak muda yang digigit ular itu berada pada urutan keberapa. Namun tanpa ditanya anak muda yang kehausan itu, berkata, “Sudah ada dua orang yang lewat mendahului aku. Tetapi mereka tidak berhenti sama sekali. Aku tidak menyalahkan mereka, karena mereka juga kehausan.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak berniat meninggalkan anak muda itu dalam keadaannya. Karena itu, maka katanya, “Tunggulah. Aku akan mencari air.”

“Kemana kau mencari air?” bertanya orang itu dengan suara yang lemah.

“Jika di dekat tempat ini ada air, aku akan mengambil untukmu.” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang. Kau akan melampaui waktu yang ditetapkan sehingga kau akan dianggap gagal pula.” berkata anak muda itu.

“Itu bukan soal. Tetapi keadaanmu yang sangat lemah ini memerlukan pertolongan. Seandainya aku gagal karena ini, aku tidak menyesal. Aku masih akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya atau untuk menjadi prajurit,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu tidak menjawab. Sementara Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Tunggulah di sini. Bertahanlah.”

Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat pun segera meloncat berlari menuju ke gumuk yang memanjang membujur hampir sejajar dengan jalan ayang harus dilalui. Ternyata Mahisa Pukat masih mampu berjalan cepat. Beberapa langkah dari gumuk yang ternyata merupakan tebing yang agak tinggi itu, Mahisa Pukat sudah mendengar gemericik air. “Air” desisnya.

Sebenarnyalah, ketika ia berdiri dialas tebing, ia melihat air yang mengalir. Meskipun tidak begit u deras, tetapi cukup melimpah dibanding dengan kebutuhan Mahisa Pukat. Dengan hati-hati Mahisa Pukat pun kemudian turun kesungai kecil itu. Dengan jari-jarinya ia menyibak air yang jernih dan kemudian dengan kedua telapak tangan yang ditakupkan maka ia pun meneguk air itu pula.

Tubuh Mahisa Pukat terasa segar kembali sebagaimana ketika ia minum sebelumnya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat masih belum benar-benar kehausan karena ia telah menemukan sumber air sebelum ia sampai ke hutan kecil itu. Tetapi yang juga penting baginya adalah bahwa ia ingin juga membantu anak muda yang kehausan itu.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mencari daun tales yang lebar yang kebetulan tumbuh di pinggir sungai itu. Dengan daun tales itu Mahisa Pukat dengan hati-hati membawa air naik keatas tebing dan berjalan cepat-cepat kembali ke tempat anak muda itu menunggunya.

Ketika Mahisa Pukat sampai ke tempat anak muda itu, maka didapatinya anak muda itu terbaring diam. Matanya terpejam sedangkan bibirnya yang kering menganga. Dengan cepat Mahisa Pukat mendekatinya dan meraba dada orang itu. Ternyata bahwa nafasnya masih mengalir melalui lubang hidungnya.

Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menitikkan air kebibir yang kering itu. Setitik dua titik, ternyata telah membuat anak muda itu sadar kembali. “Minumlah” desis Mahisa Pukat.

Anak muda itu tersenyum. Titik-titik air itu benar-benar membuat tubuh anak muda itu menjadi bergetar kembali. Darahnya yang seakan-akan hampir berhenti mengalir itu, telah membuat jantungnya berdetak wajar. Perlahan-lahan anak muda itu telah bangkit dan duduk. Beberapa teguk ia minum air di daun tales yang lebar itu. Sejenak kemudian maka anak muda itu sudah dapat tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Aku merasa hidup kembali setelah nyawaku berada di ujung rambutku.”

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “sebentar lagi tenagamu akan tumbuh kembali meskipun tidak dapat dengan serta merta pulih kembali. Tetapi kau akan dapat meneruskan perjalanan. Setidak-tidaknya sampai ke gardu mendatang.”

Anak muda itu mengangguk. Katanya, “Ya. Aku akan meneruskan perjalanan sampai ke gardu. Berangkatlah lebih dahulu, agar kau tidak terlambat. Lihat matahari telah turun semakin rendah. Agaknya kau adalah orang terakhir dalam pendadaran ini.”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “aku memang orang terakhir.”

“Orang yang ke duapuluh tiga dan duapuluh empat sudah lewat beberapa saat yang lalu” desis anak muda itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah. Kita berjalan bersama-sama.”

“Jangan” berkata anak muda itu, “nanti kau terlambat”

Tetapi Mahisa pukat tidak mau meninggalkan anak muda itu. Dibantunya anak muda itu bangkit dan kemudian berjalan perlahan-lahan. Namun agaknya air yang telah diminum itu membuat anak muda itu mampu berjalan agak cepat.

“Aku tidak berharap untuk dapat diterima” berkata anak muda itu.

“Tetapi kaupun tidak seharusnya terbaring di padang perdu itu” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu mengangguk kecil. Setelah beberapa saat mereka berjalan, maka keduanya terkejut. Mereka melihat muncul di hadapan mereka dua orang berkuda menuju kearah mereka. Meskipun mungkin mereka juga tergesa-gesa karena mereka tidak mau terlambat, tetapi setidak-tidaknya mereka dapat melaporkan kepada gardu berikutnya yang mereka lewati. Untunglah bahwa para prajurit itu merasa bertanggung jawab atas keselamatan para peserta sehingga dua orang yang masih belum lewat telah dicarinya.

“Tentang ketiga orang yang berada di gardu di sebelah hutan itu, agaknya para prajurit di gardu itu telah mendapat laporan” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Setidak-tidaknya dari para peserta.

“Jika belum prajurit itu tentu menanyakannya” berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.

Demikianlah Mahisa Pukat pun telah menempuh bagian terakhir dari pendadarannya. Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Mahisa Pukat berjalan semakin cepat, sehingga sebelum matahari hilang dari langit menjelang senja, maka Mahisa Pukat telah memasuki lingkaran sasaran akhir dari pendadaran yang sedang dilakukannya. Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki sebuah pudukuhan yang diisyaratkan sebagai tujuan akhir. Padukuhan yang dikelilingi lingkungan persawahan dan pategalan yang subur.

Demikian Mahisa Pukat memasuki sebuah jalan yang agak lebar yang turun ke sebuah bulak yang luas, terasa betapa dadanya menjadi lapang. Dengan cepat ia melangkah menuju pintu gerbang padukuhan itu melewati pategalan yang sedang ditanami palawija. Agaknya air agak sulit mencapai daerah pategalan yang memang agak lebih tinggi. Namun pategalan itu bukannya pategalan yang gersang.

Ketika Mahisa Pukat mendekati pintu gerbang padukuhan itu, ternyata beberapa orang prajurit telah menunggu. Bahkan anak-anak muda banyak pula berdiri di seputar pintu gerbang itu. Agaknya mereka memang menunggu orang terakhir yang mengikuti pendadaran itu. Demikian Mahisa Pukat memasuki pintu gerbang, maka anak-anak muda itu pun bertepuk tangan riuh. Seorang prajurit menyatakan bahwa anak muda yang datang itu adalah peserta yang terakhir yang memasuki batas jarak pendadaran dalam waktu yang tidak lebih dari batas yang ditentukan.

Oleh seorang prajurit Mahisa Pukat langsung dibawa ke banjar padukuhan. Demikian ia memasuki halaman banjar, maka ia pun melihat beberapa orang perwira telah berada di banjar. Termasuk Gajah Saraya. Bahkan Mahisa Pukat pun melihat beberapa orang prajurit yang dapat dikenalinya sebagai para petugas yang berada di sepanjang lintasan pendadarannya.

Seorang prajurit yang bertugas menerima para peserta itu pun kemudian telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk langsung naik ke serambi samping. Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ia pun segera melangkah menuju keserambi samping. Prajurit yang mempersilahkan naik keserambi itu sempat berkata kepadanya, “Anak muda. Kau nampak masih begitu segar, sementara kawan-kawanmu semuanya nampak kelelahan.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku hanya berpura-pura. Sebenarnyalah aku hampir menjadi pingsan.”

Prajurit itu tersenyum. Katanya, “kau kira aku tidak dapat melihat keadaanmu dan keadaan kawan-kawanmu? Aku mampu memperbandingkannya. Aku justru ingin mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan pada pendadaran selanjutnya kau juga mampu menunjukkan kelebihanmu seperti sekarang ini.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menjawab, “Doakan saja Ki Sanak.”

Prajurit itu menepuk bahu Mahisa Pukat. Katanya, “Kau tentu memiliki tenaga setegar seekor kuda.”

Mahisa Pukat lah yang tersenyum. Katanya, “Mungkin. Tetapi seekor kuda kerdil.”

Prajurit itu tertawa. Sambil menunjuk ia berkata, “Di sana mereka yang baru saja menyelesaikan pendadaran menunggu. Ada beberapa orang yang tidak dapat mencapai tempat ini. Sayang sekali bahwa mereka tidak dapat ikut meramaikan pendadaran berikutnya."

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan aku dapat menembus pendadaran berikutnya. Tetapi apakah aku boleh mengerti, pendadaran ini diselenggarakan dalam berapa lapis?”

“Tentu boleh” jawab prajurit itu, “ada tiga lapis. Nampaknya kau sudah menyelesaikan pendadaran pada lapis pertama.”

“Mudah-mudahan” jawab Mahisa Pukat.

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia telah memandang keadaan di sekelilingnya. Baru kemudian ia berdesis, “Aku tidak ingin mendahului para perwira yang akan mengambil keputusan. Tetapi nampaknya kau memenuhi segala persyaratan. Bahkan melebihi dari yang lain, karena kau masih nampak paling tegar di antara kawan-kawanmu yang lain.”

Mahisa Pukat tertawa kecil. Katanya, “Kau masih saja memuji. Terima kasih.”

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun segera naik ke serambi. Demikian ia memasuki serambi yang dibatasi dinding sebelah itu, maka dilihatnya beberapa orang yang duduk diatas tikar itu terbentang seluas serambi itu. Bahkan ada di antara mereka yang terbaring dan menjulurkan kaki kelelahan.

Mahisa Pukat tidak ingin mendapat perhatian lebih dari mereka yang telah berada diserambi. Mereka adalah anak-anak muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran. Terutama mereka yang menyelesaikan pendadaran pada giliran-giliran terakhir.

Karena itu, demikian ia melangkah masuk, maka ia pun segera menjatuhkan dirinya sambil menjelujurkan kakinya. Dipijit-pijitnya kakinya sehingga Mahisa Pukat pun nampak kelelahan seperti kawan-kawannya yang lain. Seorang yang bertubuh tinggi besar yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat bertanya, “Kaukah yang mendapat giliran terakhir?”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “hampir saja aku tidak mencapai tempat ini.”

“Aku juga” berkata anak muda yang bertubuh raksasa itu, “untunglah bahwa pada saat-saat terakhir aku masih mampu mengerahkan sisa-sisa tenagaku meskipun nafasku hampir terputus.”

“Aku hampir berputus asa” desis seorang anak muda yang bertubung sedang. Namun pada tubuhnya yang sedang itu nampak tersimpan kekuatan yang besar. Meskipun demikian ia juga nampak kelelahan sebagaimana anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sesaat kemudian, seorang anak muda yang berjambang lebat, berkumis tebal dan berikat kepala hitam memasuki serambi itu pula. Nampaknya ia justru sudah cukup lama beristirahat sehingga tubuhnya sudah nampak semakin segar. Dengan nada tinggi ia berkata, “Baru pada pendadaran pertama, kalian sudah hampir mati kehabisan nafas. Bagaimana dengan pendadaran berikutnya? Kenapa kalian tidak menarik diri saja daripada hanya membuang-buang waktu?”

Anak muda yang bertubuh raksasa itu mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau peserta pada urutan keberapa?”

“Kedua” jawab anak muda yang berjambang lebat itu.

“Kau sudah sempat beristirahat” desis yang bertubuh raksasa tetapi masih kelelahan itu.

“Sejak aku sampai ke tempat ini, aku sama sekali tidak merasa letih. Aku tetap segar. Pendadaran ini tidak berarti apa-apa bagiku.” jawab anak muda yang berjambang lebat.

Mahisa Pukat mulai cemas bahwa pembicaraan itu akan berkepanjangan. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh raksasa itu berdesis, “Ternyata aku harus memikul beban berat badanku lebih dari berat badanmu. Aku hampir mati di perjalanan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan itu pun terhenti karenanya. Justru karena pengakuan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dalam pada itu, seorang prajurit telah datang untuk memberitahukan kepada Mahisa Pukat, bahwa telah disediakan minuman dan makanan di dapur banjar itu.

Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih.”

“Apakah kau masih dapat berjalan ke dapur?” bertanya prajurit itu.

“Tentu” jawab Mahisa Pukat, “tenggorokanku kering dan sudah tentu perutku sangat lapar.”

Mahisa Pukat pun kemudian berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuruni tangga serambi. Sementara itu anak muda berjambang lebat itu tertawa sambil berkata, “Seharusnya kau tidak usah ikut pendadaran ini. Ikut saja pendadaran untuk menjadi juru madaran.”

Mahisa Pukat memang berpaling. Tetapi ia tidak ingin menjawab. Namun yang justru menjawab adalah anak muda bertubuh raksasa, “Tetapi ia berhasil mencapai batas akhir seperti kita. Aku juga kelelahan dan hampir semuanya mengalaminya. Bahkan barangkali kau pun juga kelelahan ketika kau baru saja datang.”

“Tidak” jawab anak muda berjambang itu, “aku datang dalam keadaan yang masih segar sama sekali.”

Anak muda berjambang itu tidak mengira bahwa prajurit yang mempersilahkan Mahisa Pukat itulah yang menyahut, “Jangan berbohong. Aku melihat bagaimana kau memasuki pintu gerbang banjar ini.”

Anak muda itu berpaling. Wajahnya memang menjadi merah. Namun ia masih juga menjawab, “Tetapi bagaimanapun juga, aku memasuki halaman ini dalam keadaan yang lebih baik dari kalian semuanya.”

Ternyata anak-anak muda yang lain merasa lebih baik berdiam diri. Mereka masih ingin beristirahat. Karena itu maka mereka tidak merasa perlu untuk berbantah.

Mahisa Pukat yang berjalan ke dapur agaknya lupa bahwa ia seharusnya masih kelelahan. Tetapi Mahisa Pukat berjalan setegar prajurit yang mengajaknya ke dapur. Anak-anak muda diserambi tidak sempat memperhatikannya. Tetapi prajurit itu berkata, “Keadaanmu jauh lebih baik dari anak muda berjambang itu.”

“Aku kelelahan, kehausan dan kelaparan,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku sempat beristirahat sejenak, sehingga keadaanku menjadi lebih baik.

Prajurit itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah berada di dapur untuk meneguk minuman hangat dan makan. Tetapi petugas yang menghidangkan kepadanya memperingatkan bahwa sebaiknya Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meneguk minumannya dan jangan makan terlalu banyak.

Malam itu, semua peserta harus tidur di banjar. Besok pagi-pagi mereka akan mendengarkan beberapa keterangan tentang pendadaran pada tataran pertama itu. Namun, malam itu Mahisa Pukat sempat berbicara dengan beberapa orang peserta pendadaran. Di antara mereka, tidak seorangpun yang mengalami bertemu seekor harimau di hutan perburuan. Hanya Mahisa Pukat sebagai orang terakhir sajalah yang mendapat serangan seekor harimau loreng yang besar dan justru kelaparan.

Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menganggap bahwa yang terjadi itu satu usaha untuk menggagalkan pendadaran yang dijalaninya. Mungkin secara kebetulan memang ada seekor harimau lapar yang keluar dari hutan disaat ia lewat.

Sementara hal itu masih menjadi teka-teki, Mahisa Pukat tidak membesar-besarkan persoalan itu. Bahkan dengan sadar ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan bahwa ia telah diserang seekor harimau sehingga anak muda yang diajaknya berbicara segera melupakan pertanyaan Mahisa Pukat tentang seekor harimau di hutan perburuan.

Malam itu ternyata semua prajurit yang bertugas dalam pendadaran sudah berkumpul. Mereka memberikan laporan kepada para petugas yang akan menentukan, siapakah yang dianggap mampu menyelesaikan pendadaran pada tataran pertama dengan baik dan siapa yang tidak.

Dalam pada itu Gajah Saraya sebagai Manggala Pelayan Dalam menunggui pembicaraan penentuan itu. Tetapi ia tidak banyak ikut campur. Ia sudah mempercayakan keputusan itu kepada para perwira yang ditunjuknya untuk melakukan pendadaran itu.

Dari duapuluh lima peserta pendadaran ternyata delapan orang dinyatakan gagal. Dengan demikian maka tujuh belas orang akan mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Ketika keputusan itu diumumkan pada pagi harinya, maka para peserta itu sudah tidak terkejut lagi. Bahkan mereka yang gagal pun telah merasa sejak sebelumnya, bahwa mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.

Mahisa Pukat ternyata mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran para tataran berikutnya. Meskipun ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, khusus bagi dirinya, namun ternyata ia telah mampu mengatasi bukan saja pendadaran itu sendiri, tetapi juga satu sikap yang tidak wajar terhadap dirinya. Terutama ketika tiba-tiba saja seekor harimau telah menyerangnya ketika ia berada di hutan perburuan. Juga kenapa para prajurit yang bertugas di gardu dibelakang hutan perburuan itu merasa heran, bahwa pisaunya tidak bernoda darah. Tetapi Mahisa Pukat tidak mengungkapkan kecurigaannya itu kepada kawan-kawannya.

Baru kemudian, ketika Mahisa Pukat dan para peserta itu diperkenankan pulang ke rumah masing-masing untuk menunggu saatnya pendadaran pada tataran kedua, Mahisa. Pukat menceriterakan kecurigaannya itu kepada ayahnya.

Mahendra mengangguk-angguk mendengar pengaduan anaknya itu. Namun demikian ia berkata, “Tetapi ternyata kau masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Bersyukurlah bahwa kau masih akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya ayah. Mudah-mudahan aku dapat menyelesaikan pendadaran pada tataran-tataran berikutnya dengan baik.”

“Karena itu, berdoalah. Kau tidak dapat sekedar mengandalkan kemampuan dan ilmumu. Tetapi juga perkenan dari Yang Maha Agung. Meskipun menurut perhitungan lahiriah kau mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang lain, tetapi mungkin ada unsur-unsur yang tidak diketahui sebelumnya, sebagaimana tiba-tiba hadirnya seekor harimau di hutan perburuan itu, akan dapat mengganggu pelaksanaan pendadaranmu. Bahkan mungkin menggagalkannya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ayahnya, karena ia pun pernah mendengar ayahnya berkata meskipun tidak langsung, bahwa ada orang yang tidak menginginkannya menjadi Pelayan Dalam. Bukan karena sikap dan tingkah laku Mahisa Pukat atau karena sebab-sebab lain yang menyangkut anak muda itu, karena orang tidak senang melihatnya memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu belum mengenal secara pribadi anak muda itu. Tetapi justru karena orang itu merasa tersinggung bahwa Mahendra telah berhubungan langsung dengan Sri Maharaja.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat memang harus berhati-hati untuk seterusnya. Ia memang harus selalu berdoa untuk mendapat perlindungan dan bimbingan dari Yang Maha Agung.

Dalam pada itu, diluar pengetahuan Mahisa Pukat, maka beberapa orang tengah membicarakan kelebihan seorang anak muda peserta terakhir dari pendadaran itu. Seorang dari antara para prajurit yang bertugas telah berbincang dengan seorang kawannya tentang kelebihan Mahisa Pukat.

“Harimau itu diketemukan mati” desis salah seorang dari prajurit itu.

“Ya. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya membunuh harimau itu. Harimau itu tidak terluka pada kulitnya. Pisaunyapun tidak berbekas darah.” sahut kawannya.

“Anak muda itu sengaja memancing harimau itu ke padang perdu sehingga sulit untuk dapat diawasi. Baru kemudian harimau itu dibunuhnya” berkata orang yang pertama.

“Apakah ia mengetahui bahwa ada orang yang sedang mengintipnya?” bertanya yang lain.

“Lebih dari itu, apakah ia mengetahui bahwa harimau itu sengaja dilepaskan untuk menjebaknya agar ia gagal?” desis prajurit yang pertama.

“Untunglah bahwa ia tidak justru terbunuh oleh harimau itu” berkata kawannya.

“Jika terjadi demikian, itu adalah salahnya sendiri. Ia telah menjauhkan diri dari kita yang siap membantunya.” berkata prajurit yang pertama.

“Tetapi cara yang kita lakukan memang berbahaya sekali bagi keselamatannya. Sebenarnya ada cara lain yang lebih aman jika sekedar ingin menggagalkan pandadaran yang dilakukannya” berkata prajurit itu.

“Tidak. Tidak ada cara yang lebih baik tanpa menimbulkan kecurigaan. Tetapi cara itu ternyata telah gagal. Mungkin pada pendadaran berikutnya akan dapat diketemukan cara yang lebih baik dan tidak menimbulkan kecurigaan pula.”

Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak tahu, kenapa peserta terakhir itu harus digagalkan. Yang dilakukannya adalah sekedar menjalankan perintah dari pemimpin kelompoknya yang bersifat rahasia, karena hanya beberapa orang prajurit sajalah yang mengetahuinya. Khususnya yang ada di gardu di sebelah hutan perburuan itu.

Demikianlah, maka dihari-hari berikutnya, Mahisa Pukat yang menunggu pendadaran berikutnya itu masih saja selalu berada di sanggarnya. Ia sempat pula berceritera kepada Sasi pengalaman pendadaran pada tataran pertama. Tetapi ia sama sekali tidak menceriterakan bahwa ia mencurigai adanya usaha untuk menggagalkan keberhasilannya dalam pendadaran itu.

Sasi pun ikut berharap bahwa Mahisa Pukat akan dapat berhasil. Ia tahu bahwa Mahisa Pukat adalah salah seorang pemimpin dari sebuah padepokan. Tetapi Sasi memang lebih senang tinggal di Kotaraja daripada di padepokan yang terpencil. Meskipun sebelumnya ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan ingkar jika seandainya ia harus mengikuti seseorang yang dicintainya kemanapun juga.

Tetapi jika ada kesempatan yang lebih baik serta ada kemungkinan untuk menjatuhkan pilihan, maka ia akan memilih untuk tetap berada di Kotaraja, dekat dengan ayah dan ibunya serta dalam suasana lingkungan yang sudah dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak. Karena itu, maka Sasi pun telah mendorong agar Mahisa Pukat berhasil melintasi pendadaran-pendadaran yang ternyata cukup berat.

“Jadi masih ada dua tataran lagi?” bertanya Sasi.

“Ya Sasi” jawab Mahisa Pukat, “aku minta kau berdoa agar aku berhasil mengatasinya.”

“Tentu kakang. Aku akan selalu berdoa. Bahkan mungkin ayah akan dapat membantumu, agar kau dapat diterima tanpa kesulitan” sahut Sasi.

“Tidak Sasi. Jangan melibatkan ayahmu. Biarlah aku berusaha dengan kemampuanku sendiri. Sekaligus aku akan dapat menguji, seberapa jauh kemampuan yang aku miliki sebagai bekal hidupku di masa mendatang. Apalagi aku yakin, bahwa ayahmu tentu akan menolaknya. Ayahmu tentu juga ingin tahu, apakah aku memiliki kemampuan yang pantas sebagai seorang anak muda” cegah Mahisa Pukat dengan serta-merta.

Sasi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika itu yang kau kehendaki, aku tentu sependapat.”

“Yang masih tinggal tidak begitu banyak lagi Sasi. Tinggal tujuhbelas orang. Sedangkan sepuluh di antaranya akan diterima menjadi Pelayan Dalam.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Dengan demikian maka Sasi pun ikut berharap-harap cemas. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, Sasi memang tidak akan minta bantuan ayahnya. Tetapi ia hanya sekedar menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Mahisa Pukat.

Arya Kuda Cemani tersenyum mendengar ceritera Sasi. Katanya kemudian, “Jika pendadaran-pendadaran itu berlangsung wajar, maka Mahisa Pukat tentu dapat diterima. Ia memiliki kelebihan dari semua peserta. Kecuali jika terjadi hal yang tidak wajar. Jika hal yang tidak wajar itu terjadi, maka adalah kewajibanku untuk memberikan laporan meskipun segala keputusan terakhir bukan lagi wewenangku.”

Sasi memang menjadi berbesar hati. Dengan demikian, maka kemungkinan terbesar adalah bahwa Mahisa Pukat akan dapat diterima, menjadi Pelayan Dalam di istana Sin-gasari.

Dalam pada itu, Gajah Seraya dan beberapa orang perwira prajurit Singasari sedang mempersiapkan pendadaran pada tataran kedua. Peserta yang ikut dalam pendadaran itu tinggal tujuh belas orang. Namun Gajah Saraya kemudian berkata kepada para perwira yang ikut menyelenggarakan pendadaran,

“Kita tidak harus mengambil sepuluh orang dari mereka. Jika yang tujuhbelas orang itu ternyata tidak memenuhi syarat dan gagal dalam pendadaran berikutnya, maka mungkin semuanya akan batal. Tidak seorang pun yang dapat diangkat. Kita harus mencari orang-orang baru yang memiliki kemampuan lebih baik sehingga kita harus mulai lagi pendadaran sejak tataran pertama.”

Para perwira yang lain hanya mengangguk-angguk. Ia menganggap bahwa ketentuan itu wajar. Yang penting bagi Gajah Saraya bukan sekedar sepuluh orang. Tetapi sepuluh orang yang benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi seorang Pelayan Dalam.

Dalam pada itu, maka para perwira yang mempersiapkan pendadaran pada tataran berikutnya itu telah menentukan bersama Gajah Saraya, bahwa setiap orang yang mengikuti pendadaran akan saling bertempur untuk menilai kemampuan olah kanuragan mereka masing-masing. Setiap anak muda yang mengikuti pendadaran itu akan bertempur masing-masing empat kali dengan lawan yang berlainan di antara para peserta itu sendiri.

Dengan demikian maka para perwira yang menilai para peserta itu akan dapat menilai dan memperbandingkan kemampuan para peserta itu, sehingga mereka akan dapat memilih anak-anak muda yang terbaik di antara mereka. Anak-anak muda yang kemampuannya berada di bawah bekal yang diharapkan pada seorang Pelayan Dalam, tidak akan dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Seandainya semuanya memiliki kemampuan yang cukup, maka pendadaran berikutnyalah yang akan menentukan siapakah diahtara mereka yang terpilih.”

Untuk mengatur giliran para peserta itu memang agak rumit. Namun pada dasarnya hal itu akan dapat diatur kemudian dengan undian. Setelah hal itu disetujui dan diatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan pendadaran pada tataran berikutnya itu, maka para peserta yang tinggal tujuhbelas orang itu pun segera dipanggil untuk menerima penjelasan dari Gajah Saraya langsung.

Di antara mereka memang termasuk Mahisa Pukat. Bagi Mahisa Pukat memang tidak ada masalah jika ia harus bertanding empat kali dengan lawan yang berbeda. Meskipun demikian Mahisa Pukat memang tidak pernah merendahkan siapapun juga.

Pada hari yang ditentukan, maka pertandingan di antara para peserta pendadaran itu akan segera dilangsungkan. Pada hari yang pertama, maka baru dilakukan undian urutan dari pertandingan. Selanjutnya pertandingan akan diselenggarakan pagi dan sore hari. Seseorang paling banyak hanya akan bertanding dua kali dalam sehari. Pagi dan sore.

Karena itu maka pertandingan itu memang akan memakan waktu agak panjang. Tetapi waktu yang panjang itu memang tidak menjadi soal karena pendadaran itu dianggap sangat penting bagi seorang yang akan memasuki lingkungan Pelayan Dalam. Sedikitnya akan diperlukan waktu tiga hari untuk keperluan pendadaran itu.

Demikianlah, maka para peserta itu harus mempersiapkan diri mereka baik-baik. Menjelang malam, para peserta harus sudah berkumpul dan mereka akan bermalam di tempat yang sudah disediakan. Pada pagi harinya mereka akan mulai dengan pendadaran pada tataran kedua. Setelah undian selesai, maka Mahisa Pukat sempat singgah di rumah Sasi untuk memberitahukan bahwa besok pagi ia sudah harus mulai dengan pertandingan-pertandingan dalam rangka pendadaran.

Sementara itu, ayah Sasi yang kebetulan ada dirumah dan ikut menemui Mahisa Pukat berkata, “Aku akan melihat pertandingan-pertandingan dalam rangka pendadaran itu seutuhnya. Aku, atas dasar tugas yang aku emban, berhak untuk berbuat demikian, agar pendadaran itu dapat berlangsung Wajar.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ia memang tidak mengatakan bahwa terjadi sesuatu yang dianggapnya tidak wajar ketika seekor harimau tiba-tiba saja keluar dari hutan perburuan, sementara duapuluh empat orang yang lain tidak menjumpainya. Meskipun secara kebetulan hal itu dapat saja terjadi, tetapi ada juga kecurigaan dihati Mahisa Pukat.

Ketika senja turun, maka Mahisa Pukat pun minta restu kepada ayahnya untuk memenuhi ketentuan bahwa malam itu ia dan para peserta yang lain harus sudah berkumpul di tempat yang ditentukan. Besok pagi-pagi, pendadaran akan dimulai dengan pertandingan pada putaran pertama.

Malam itu tujuhbelas orang anak muda telah berkumpul. Mereka masing-masing telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka yang kelelahan pada pendadaran di tataran pertama telah nampak segar kembali. Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak lagi duduk menjelujurkan kakinya. Wajahnya tidak lagi nampak lesu dan muram. Tetapi sambil tersenyum ia menyapa kawan-kawannya yang juga sudah menjadi segar pula.

Ketika Mahisa Pukat datang, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu menghampirinya. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah kau sudah benar-benar siap menghadapi pendadaran esok?”

Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Katanya, “Sejauh dapat aku lakukan.”

“Aku justru curiga kepadamu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu.

“Apa yang kau curigai?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang-orang yang pendiam dan rendah hati seperti kau itu biasanya justru mempunyai kelebihan dari banyak orang. Berbeda dengan anak muda yang berjambang lebat itu. Tidak lebih dari beriaknya air sungai yang dangkal dan berbatu-batu. Sama sekali tidak ada kedalaman.”

“Belum tentu” jawab Mahisa Pukat.

“Memang belum tentu. Tetapi agaknya kau pun menilai aku terlalu banyak berbicara sehingga tidak lebih dari air yang beriak itu.” berkata anak muda itu sambil tertawa.

“Ah tidak. Kau lain. Aku justru tidak curiga kepadamu. Tenaga dan kemampuanmu akan sesuai dengan tubuhmu yang seperti raksasa itu.” berkata Mahisa Pukat.

Malam itu mereka yang esok akan menempuh pendadaran sempat saling berbincang. Ada yang sudah mulai meluncurkan ungkapan-ungkapan yang mempunyai pengaruh jiwani kepada yang lain, terutama yang esok atau lusa akan berhadapan dalam pertandingan. Mereka berniat saling melemahkan ketahanan jiwani bakal lawan dalam pertandingan. Bahkan ada yang berceritera berlebihan tentang kemampuannya. Ada juga yang berceritera tentang perguruannya serta kemampuan yang sampai menyentuh langit.

Mahisa Pukat sendiri hanya sempat mendengarkan. Ia tidak terbiasa untuk berceritera sambil menyombongkan diri atau lingkungannya. Bahkan kadang-kadang sama sekali tidak dapat dimengerti.

Anak muda yang bertubuh raksasa itu sempat berdesis di telinga Mahisa Pukat, “Nah, kau dengar apa yang mereka ceriterakan? Mereka berebut kesempatan untuk menyombongkan diri sendiri? He, jangan ditertawakan. Aku juga akan berbuat seperti mereka agar aku tidak menjadi orang asing di sini. Jika kau tidak ikut-ikutan, maka kau tidak akan terkenal di sini. Lawan-lawanmu besok akan maju ke arena dengan keyakinan penuh untuk mengalahkanmu. Tetapi jika kau mau sedikit membual, maka mereka tentu akan mempertimbangkannya sehingga keyakinannya tidak utuh lagi.”

“Apakah itu perlu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Pengaruhnya cukup besar” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil tersenyum. Katanya, “Aku tidak biasa berbuat seperti itu.”

“Bukankah dengan demikian kau pantas dicurigai?”

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa. Sambil menepuk pundak Mahisa Pukat ia berkata, “Ternyata kau memiliki keyakinan yang sangat teguh terhadap dirimu sendiri. Aku berani bertaruh, bahwa dalam empat kali pertandingan, kau tidak akan dikalahkan.”

“Ah” desah Mahisa Pukat, “belum tentu! Bukankah tidak ada kelebihan apa-apa padaku selain aku tidak cakap membual?”

“Tetapi aku berani bertaruh. He, kau mau kita bertaruh? Jika kau kalah sekali saja, maka biarlah aku yang menang dalam taruhan ini.”

“Ah, kau ini. Sudahlah, membuallah jika kau ingin membual.” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa berkepanjangan, sehingga beberapa orang telah berpaling kepadanya. Tetapi anak muda itu tidak dengan serta merta diam. Bahkan ia telah mengambil sepotong besi yang nampaknya sudah dibawa dari rumahnya dan diletakkan di sudut ruangan. Sambil mengacungkan sepotong besi yang panjangnya dua jengkal itu ia berkata sambil menunjuk Mahisa Pukat, “Anak muda yang ikut pendadaran pada tataran pertama itu tidak percaya bahwa aku dapat membengkokkan sepotong lempeng besi ini.”

Anak-anak muda yang ada di ruang itu terdiam. Mereka semuanya memadang ke arah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ditangannya terdapat sebuah lempeng besi yang panjangnya dua jengkal itu. Namun pada wajah beberapa orang memang nampak bahwa mereka juga tidak percaya bahwa anak muda itu dapat membengkokkan lempeng besi di tangannya itu meskipun anak muda itu bertubuh raksasa.

“Nah, aku ingin membuktikan kepada peserta terakhir ini, bahwa aku dapat melakukannya,” berkata anak muda itu.

Semuanya pun terdiam. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Sementara itu, anak muda bertubuh raksasa itu telah memusatkan kekuatannya di kedua telapak tangannya. Anak muda itu pun kemudian telah menghentakkan kekuatannya. Tangannya yang berusaha membengkokkan besi itu menjadi gemetar. Wajahnya menjadi semburat merah. Namun perlahan-lahan besi itu memang menjadi bengkok sehingga kedua ujungnya bertemu.

Ruangan itu benar-benar dicengkam ketegangan. Anak muda yang berjambang lebat itu pun memandang pameran kekuatan itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Demikian kedua ujung lempeng besi itu bertemu, maka anak muda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadar, dengan serta-merta beberapa orang anak muda bertepuk tangan. Namun anak muda yang berjambang tebal itu justru bangkit dan mendekatinya.

Ternyata anak muda yang berjambang lebat itu ingin membuktikan apakah yang dibengkokkan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar sepotong besi. Anak muda yang bertubuh raksasa itu tanggap akan maksud kawannya yang berjambang lebat itu. Karena itu, maka ia pun segera menyerahkan sepotong besi itu kepadanya. Sebenarnyalah yang kemudian digenggamnya itu benar-benar sepotong lempeng besi yang cukup tebal. Sehingga ia pun baru yakin bahwa anak muda bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Tetapi, bagi anak muda itu serta beberapa orang yang lain, kekuatan yang besar bukan satu-satunya senjata untuk dapat mengalahkan lawan dalam sebuah pertandingan. Kecerdikan, kecepatan gerak dan ketahanan tubuh termasuk di antara beberapa jenis senjata untuk memenangkan pertandingan. Meskipun demikian, apa yang telah ditunjukkan oleh anak muda bertubuh raksasa itu memang mendebarkan. Apalagi mereka yang pada gilirannya akan bertanding melawannya.

Demikianlah, anak muda bertubuh raksasa itu telah duduk kembali di dekat Mahisa Pukat. Sambil menyerahkan besi yang sudah dibengkokkannya itu ia berkata, “He, apakah kau lihat bagaimana aku membual?”

“Ya” jawab Mahisa Pukat. “Tetapi kau tidak sekedar membual karena kau benar-benar mampu melakukannya.”

“Sudahlah” anak muda bertubuh raksasa itu berdesis, “Aku masih mempunyai kesempatan untuk menakut-nakuti bakal lawanku besok. Aku bukan orang yang terlalu yakin akan diriku sendiri seperti kau.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah bahwa pembicaraan di antara anak-anak muda itu memang menjadi semakin ramai. Seperti yang dikatakan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu, bahwa mereka memang sedang saling membual, menyombongkan diri dan berusaha mempengaruhi perasaan calon lawan bertanding dengan berbagai macam cara yang bagi Mahisa Pukat justru menggelikan.

Namun beberapa saat kemudian, maka pertemuan itu pun berakhir. Seorang prajurit telah mempersilahkan mereka untuk beristirahat. “Kalian harus tidur dan cukup beristirahat. Besok kalian akan turun ke gelanggang pertandingan dalam rangka pendadaran.” berkata prajurit itu.

Anak-anak muda itu pun kemudian menebar ke tempat pembaringan mereka masing-masing. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah mengembalikan sepotong lempeng besi yang tebal dan yang telah dibengkokkan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu kepadanya.

Dalam pada itu Mahisa Pukat ternyata mendapat tempat untuk tidur tidak dalam bilik yang sama dengan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun, demikian ia membaringkan dirinya, maka ia melihat anak muda yang bertubuh raksasa itu mendatanginya sehingga bukan saja Mahisa Pukat yang terkejut. Tetapi anak muda yang lain yang ada di dalam bilik itu pun terkejut.

“Oh” anak muda bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Katanya dengan wajah yang sedikit panas, “Maaf, aku minta maaf telah mengejutkan kalian. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan anak muda itu. Selagi aku masih ingat. Jika aku menunggu besok, mungkin aku sudah lupa.”

Ketika anak-anak muda yang lain tidak menghiraukannya lagi, maka anak muda bertubuh raksasa itu duduk di pembaringan Mahisa Pukat yang juga sudah duduk pula, sambil berkata, “Ternyata kau memiliki kekuatan iblis. Aku tadi tidak sadar, bahwa kau menyerahkan sepotong besi yang sudah menjadi lurus kembali ini. Kau lihat, bagaimana aku mengerahkan segenap kekuatanku untuk membengkokkannya. Tetapi kau dengan mudah meluruskannya kembali, karena aku tidak melihat bagaimana kau mengerahkan kekuatanmu untuk melakukannya.”

“Sudahlah, tidurlah” desis Mahisa Pukat, “anggap saja bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Kau tidak perlu membuat tempat ini menjadi ricuh karena kau masih ingin membual selagi yang lain sudah ingin tidur.”

“Apakah jika hal ini aku katakan kepada seseorang aku dianggap membual? Bukankah hal seperti ini benar-benar sudah terjadi dan bukan sekedar bualan?”

“Sudahlah. Tidurlah. Kau harus beristirahat. Besok kau akan turun ke gelanggang.” desis Mahisa Pukat.

“Untunglah bahwa aku bukan salah seorang di antara lawan-lawanmu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu sambil berdiri dan siap untuk meninggalkan Mahisa Pukat. Tetapi ternyata ia masih berkata, “Aku tantang kau bertaruh. Satu berbanding seratus. Jika sekali saja kau kalah dari keempat lawanmu, kau dianggap menang.”

“Sudahlah. Aku akan tidur” desis Mahisa Pukat sambil membaringkan tubuhnya dipembaringannya.

Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Ternyata kita tidak bertemu dalam pendadaran itu. Sayang, bahwa aku juga tidak bertemu dengan anak muda berjambang itu.”

“Aku lah yang akan bertemu dengan anak muda itu pada hari pertandingan terakhir.” berkata Mahisa Pukat.

“Pertandingan keempat maksudmu?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu.

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “tetapi sejak sekarang aku sudah menjadi berdebar-debar. Nampaknya anak muda itu sangat meyakinkan. Ia menempuh pendadaran pertama tanpa kelelahan.”

“Itulah beriaknya air yang dangkal” jawab anak muda bertubuh raksasa itu. Lalu katanya pula, “Bukankah kau dengar apa yang dikatakan oleh prajurit yang membawamu ke dapur itu?”

Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Yang penting, aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan.”

“Bagus” berkata anak muda bertubuh raksasa itu, “aku juga berbuat seperti itu.”

Anak muda bertubuh raksasa itu pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat sambil menimang sepotong besinya. Sekali-sekali ia masih menggelengkan kepalanya sambil berdesis, “Kekuatan apa yang membuat anak itu demikian perkasa. Tidak seorang pun dapat melakukannya tanpa diketahui orang lain, tanpa mengerahkan segenap kekuatan dan tenaganya.”

Di dalam hati anak muda itu memang merasa malu sekali. Betapa ia menyombongkan diri dengan menunjukkan kekuatan raksasanya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi dan besar. Namun anak muda peserta terakhir pada pendadaran di tataran pertama itu, tanpa diketahuinya telah mampu menyamai kekuatannya bahkan lebih dari itu, tanpa menyombongkan dirinya.

“Untunglah, bahwa aku tidak berhadapan dengan anak muda yang luar biasa itu.” berkata anak muda bertubuh raksasa itu di dalam dirinya.

Di pembaringannya, anak muda bertubuh raksasa itu justru tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia masih saja dibayangi oleh kelebihan Mahisa Pukat yang tidak diduganya sebelumnya. Meskipun ia memang menganggap bahwa anak muda itu mempunyai keyakinan yang mantap atas kemampuan diri serta daya tahan yang luar biasa sebagaimana dilihatnya pada pendadaran yang pertama, tetapi ia tidak menduga bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang lebih besar dari kekuatannya.

Namun ketika malam menjadi semakin malam, anak muda itu berhasil meletakkan gejolak perasaannya, sehingga ia pun tertidur karenanya. Ia memang memerlukan istirahat yang cukup karena dikeesokan harinya ia harus turun ke gelanggang pertandingan dalam rangka pendadaran tataran yang kedua.

Ketika fajar mulai naik dihari berikutnya, maka anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu pun telah bangun. Bergantian mereka mandi dan berbenah diri. Beberapa saat kemudian, mereka pun mendapat kesempatan untuk makan pagi sebelum mereka akan turun kegelanggang.

Untuk beberapa lama mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah makan. Sambil bersiap-siap untuk turun kearena pertandingan mereka melihat-lihat tempat yang sudah dipersiapkan. Mereka melihat beberapa lingkaran yang dibatasi dengan gawar. Ada delapan lingkaran dimana anak-anak muda itu akan bertanding.

Gajah Saraya sendirilah yang memberikan beberapa petunjuk dan penjelasan tentang pertandingan yang akan segera diselenggarakan. Dengan tegas Gajah Saraya berkata, “Semuanya harus berlangsung dalam kewajaran. Jika ada yang berbuat curang, maka ia akan disisihkan dari kemungkinan untuk dapat mengikuti pendadaran berikutnya. Sementara itu, kami akan memilih orang terbaik yang akan lolos ke pendadaran pada tataran ketiga. Tetapi perlu diketahui, bahwa kami tidak terikat untuk menerima sepuluh orang di antara kalian. Tetapi sepuluh orang yang memenuhi syarat. Jika di antara kalian tidak seorang pun yang memenuhi syarat maka sudah tentu kami tidak akan dapat menerima seorang pun di antara kalian, sehingga kami harus mencari orang-orang baru untuk mulai lagi dengan pendadaran pada tataran pertama.”

Penjelasan Gajah Saraya cukup dimengerti oleh para peserta. Karena itu, maka mereka pun bertekat untuk dapat lolos dari pendadaran dan bahkan dapat dianggap memenuhi syarat untuk menjadi Pelayan Dalam. Karena seperti dikatakan oleh Gajah Saraya, Manggala dari Pelayan Dalam, bahwa yang terpenting bukannya sepuluh orang terbaik di antara mereka, tetapi sepuluh orang itu harus memenuhi syarat.

Dalam pada itu, ketika Matahari mulai naik, maka para peserta pun sudah mulai bersiap-siap untuk memasuki arena. Beberapa orang prajurit pun segera sibuk mengatur mereka, sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan yang didasari dengan undian yang sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya.

Demikianlah, delapan orang anak muda telah memasuki delapan buah lingkaran yang diberi gawar lawe. Sejenak kemudian, maka delapan orang berikutnya telah memasuki gawar itu pula sesuai dengan lawan yang telah ditentukan. Sedangkan seorang di antara mereka harus menunggu pada giliran di sore hari, karena belum mendapat lawan.

Setiap lingkaran diawasi oleh dua orang prajurit yang bertugas khusus. Sementara itu ada beberapa orang perwira yang menyaksikan pertandingan itu dalam keseluruhan sebagai petugas yang ditetapkan pula. Namun ternyata selain mereka, telah hadir pula Arya Kuda Cemani dengan beberapa orang perwiranya dari Petugas sandi Singasari untuk menilai apakah pendadaran itu berlangsung wajar.

Gajah Saraya memang tidak mengharapkan kehadiran mereka. Tetapi Gajah Saraya tidak dapat menolak, karena Arya Kuda Cemani adalah Senapati dari Prajurit Sandi Singasari. Tetapi, Arya Kuda Cemani sendiri memang tidak terlalu bersungguh-sungguh memperhatikan pertandingan-pertandingan itu. Tetapi beberapa orang perwira yang mendapat tugas daripadanya telah hadir dekat dengan gawar-gawar lawe pada kedelapan lingkaran pertandingan itu.

Di antara mereka yang bertanding itu terdapat anak muda yang bertubuh raksasa yang mempunyai kekuatan yang sangat besar itu. Lawannya yang bertubuh sedang mengetahui, bahwa anak muda yang bertubuh raksasa itu terlalu kuat. Karena itu, ia harus berusaha untuk melawannya tanpa beradu kekuatan. Ia harus bergerak cepat dan memilih sasaran yang tepat bagi serangan-serangannya. Meskipun demikian, sebenarnyalah lawan anak muda bertubuh raksasa itu sudah merasa cemas bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya. Bukan berarti bahwa ia harus memenangkan pertandingan. Tetapi harus dapat menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan yang cukup untuk menjadi Pelayan Dalam.

Di arena yang lain, anak muda yang berjambang lebat itu menghadapi anak muda yang agak kekurus-kurusan. Tidak terlalu tinggi, tetapi nampaknya anak muda itu mampu bergerak tangkas sekali. Sedangkan Mahisa Pukat menghadapi seorang anak muda yang berwajah keras dan bermata tajam.

Anak-anak muda yang harus menempuh pendadaran itu sudah tahu bahwa yang terpenting dalam pertandingan itu bukan harus dapat mengalahkan keempat lawannya. Namun yang penting, para prajurit yang mengamati pendadaran itu yakin, bahwa peserta pendadaran itu memiliki kemampuan yang cukup untuk memasuki tingkat pendadaran berikutnya. Lebih dari itu mereka memiliki bekal yang pantas bagi seorang Pelayan Dalam.

Pertandingan yang diselenggarakan itu bukan saja dapat memantau kekuatan dan ketangkasan di arena, tetapi dari pendadaran itu juga dapat dipergunakan untuk menilai kecerdasan seseorang. Bagaimana seseorang harus mengambil keputusan pada saat dan dengan cara yang tepat.

Ketika bende berbunyi sekali, maka anak-anak muda di arena itu pun telah bersiap-siap. Kemudian terdengar bende berbunyi dua kali. Pertanda bahwa pendadaran itu pun sudah dimulai. Enam belas anak muda itu pun mulai bergerak. Mereka bergeser mengambil arah. Sementara itu, maka satu dua di antara mereka mulai menyerang. Bahkan seorang anak muda yang bertubuh tidak terhitung tinggi, tetap kokoh seperti bukit batu, dengan serta merta telah menyerang lawannya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya.

Tetapi lawan anak muda yang bertubuh sekokoh batu itu ternyata tangkas sekali. Meskipun ia menyadari bahwa kekuatan lawannya sangat besar, tetapi ia tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap benturan. Tetapi dengan tiba-tiba pula, ia menyerang jika ia melihat kesempatan terbuka di sela-sela pertahanan lawannya yang terlalu bernafsu menyerang itu.

Sekali dua kali serangan anak muda yang sangat tangkas itu mengenai sasaran. Tetapi anak muda yang tubuhnya sekokoh batu hitam itu seakan-akan tidak merasakan serangan itu. Ia masih saja bergerak maju tanpa menghiraukan serangan-serangan lawannya itu. Dengan demikian maka lawannya pun mulai menjadi gelisah. Serangan-serangannya seakan-akan tidak menimbulkan akibat apapun pada lawannya yang bertubuh kekar tetapi tidak terhitung tinggi itu.

Meskipun demikian, lawannya termasuk seorang anak muda yang tidak cepat menjadi putus asa. Ia mulai membidik tempat-tempat yang berbahaya, meskipun ada beberapa bagian tubuh yang memang tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tetapi selain tempat-tempat yang terlarang itu, masih ada bagian-bagian yang akan dapat melemahkan ketahanan lawan.

Dengan demikian, maka anak muda itu mempercepat geraknya. Setiap kali seakan-akan ia telah menghilang dari sasaran. Bahkan dengan loncatan tinggi dan berputar diudara. Menghindari serangan dengan kecepatan yang tinggi, namun yang kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan cepat pula. Betapapun kokohnya anak muda yang bertubuh sekokoh batu hitam itu, namun sentuhan-sentuhan serangan lawannya pun terasa semakin menyakitinya.

Demikian pula anak muda yang bertubuh seperti raksasa itu. Meskipun lawannya hanya bertubuh sedang, tetapi ternyata cukup tangkas dan bahkan cerdik. Meskipun demikian, maka kekuatan dan ketahan tubuh anak muda bertubuh raksasa itu memang sulit untuk diatasinya.

Justru karena itu, lawan anak muda bertubuh raksasa itu memang tidak berniat untuk berusaha memenangkan pertandingan itu. Justru karena itu, maka ia nampak tenang. Meskipun sekali-sekali ia terdorong surut, namun ia sempat menunjukkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Ia mampu menunjukkan betapa ia menguasai berbagai macam unsur gerak yang bahkan kadang-kadang mengejutkan. Dengan demikian, maka lawan anak muda yang bertubuh raksasa itu justru lebih banyak memamerkan unsur-unsur geraknya serta kecepatannya menyerang dan menghindar.

Anak muda itu memperhitungkan pertandingan-pertandingan berikutnya. Ia akan tetap dalam keadaan utuh baik tenaga maupun tubuhnya. Tetapi jika ia benar-benar membenturkan kekuatannya maka ia akan kelelahan dan bahkan mungkin tulang-tulangnya akan dapat menjadi sakit sehingga dalam pertandingan-pertandingan berikutnya tenaganya akan menyusut banyak, atau tulang-tulangnya tidak akan dapat bergerak dengan tenaga utuh. Meskipun beberapa kali ia terdesak, tetapi para prajurit yang bertugas mengamatinya telah memujinya. Anak itu cukup cerdik karena pertandingan akan dilakukan ampat kali.

Di arena yang lain, anak muda yang berjambang lebat itu ternyata telah mendapat peringatan sampai dua kali. Ia tidak menghiraukan sasaran serangannya. Ia seakan-akan tidak ingat lagi bahwa ada bagian-bagian tubuh yang tidak boleh menjadi sasaran serangannya. Tetapi dua kali ia mengenai tempat-tempat yang seharusnya terlarang itu.

Menghadapi kegarangan anak muda berjambang lebat itu, lawannya memang agak mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga lawannya masih berpegang pada tatanan yang harus dihormati, sehingga ia tidak mau menyerang tempat-tempat terlarang.

Sementara itu Mahisa Pukat juga bertanding dengan lawannya. Jika diamati sepintas saja, maka nampaknya keduanya masih bertanding dengan sengitnya. Namun para prajurit yang mengamati sejak semula telah melihat, bahwa pertandingan itu sebenarnya telah selesai. Menurut penilaian mereka, Mahisa Pukat benar-benar memiliki kelebihan dari kebanyakan anak muda yang ikut dalam pendadaran itu, meskipun bukan berarti lawannya sama sekali tidak berdaya. Lawannya juga seorang anak muda yang memiliki landasan yang kuat. Namun Mahisa Pukat lah yang mempunyai kelebihan pada jarak yang agak jauh.

Sementara itu, di beberapa lingkaran pertandingan, para prajurit yang bertugas telah menyatakan bahwa pertandingan telah selesai. Mereka telah dapat menilai anak-anak muda yang bertanding. Pada umumnya mereka memang memiliki bekal yang cukup. Tetapi sudah tentu bahwa ada di antara mereka yang terpaksa harus tertinggal karena yang akan diterima sebanyak-banyaknya hanya sepuluh orang saja.

Sebelum matahari mencapai puncak, maka pertandingan itu memang sudah selesai. Anak muda yang bertubuh raksasa itu memang telah lebih dahulu menyelesaikan lawannya. Tetapi ia bertanding pun bukan berarti bahwa lawannya akan dianggap gagal dalam pendadaran itu.

Anak muda yang berjambang lebat itu pun telah memenangkan pertandingan. Tetapi pertandingannya merupakan pertandingan yang terkeras. Lawannya masih saja ragu-ragu menghadapinya. Meskipun lawannya menjadi marah dan ingin membalas kecurangan anak muda berjambang lebat itu dengan kecurangan, namun hatinya masih dikekang oleh ketaatannya kepada paugeran.

Sementara itu anak muda berjambang lebat itu mendapat peringatan keras dari para prajurit yang mengamati pertandingan. Seorang di antara mereka berkata, “Yang akan mengamati sore nanti akan menilaimu dengan sangat berhati-hati, karena mereka tentu sudah mendapatkan laporan kami tentang kau. Bahkan mungkin kami berdualah yang akan mendapat tugas untuk mengamatimu kembali.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi dari kedua matanya terpancar gejolak perasaannya. Rasa-rasanya anak muda itu justru ingin menantang kedua prajurit itu untuk memasuki arena pertandingan. Tetapi keinginannya itu tidak terucapkan lewat mulutnya. Meskipun demikian, kedua prajurit itu dapat menangkap getar itu lewat sorot matanya, sehingga keduanya justru telah mengancam pula dengan tatapan mata mereka yang tajam.

Demikianlah, maka para peserta pendadaran itu mendapat kesempatan untuk beristirahat sambil makan siang. Nanti menjelang sore, mereka harus bertanding lagi. Karena itu, maka mereka harus mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Beberapa orang setelah mencuci kaki, tangan, sambil menyeka keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, segera mencari tempat untuk beristirahat sebaik-baiknya.

Ada yang berbaring di amben panjang di serambi, ada yang duduk-duduk di kebun di bawah sejuknya pepohonan. Ada yang justru berjalan jalan di halaman untuk melemaskan urat-uratnya, tetapi ada juga yang berniat untuk tidur barang sejenak sebelum mereka mempersilahkan untuk makan siang. Tetapi ada juga yang memijit-mijit kaki dan tangannya yang terasa menjadi sakit dan nyeri.

Mahisa Pukat setelah membersihkan keringatnya dan berbenah diri, duduk di amben bambu di teritisan di belakang menghadap kebun yang rimbun oleh pepohonan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu duduk di sampingnya. Agaknya anak muda itu masih saja membicarakan kekuatan Mahisa Pukat yang tidak dapat diukur dengan penalarannya. Apalagi melihat tubuh Mahisa Pukat yang sedang-sedang saja.

“Sudahlah” desis Mahisa Pukat, “kenapa kau tidak berbicara tentang makan yang akan kami terima sebentar lagi? Apakah kira-kira lauknya dan apakah terlalu pedas apa tidak?”

“Kau selalu mengelak jika aku berbicara tentang kemampuanmu yang luar biasa itu. Kenapa?” bertanya anak muda yang bertubuh raksasa itu.

“Sudahlah” jawab Mahisa Pukat, “lihat, prajurit itu tentu minta kita untuk makan siang.”

Sebenarnyalah bahwa prajurit yang berkeliling itu pun memberitahukan bahwa makan siang sudah tersedia. Sesaat kemudian telah terdengar pula suara bende. Pertanda bahwa para peserta itu diminta untuk pergi ke dapur. Ternyata bahwa hidangan bagi mereka merupakan hidangan yang sangat baik dan lengkap. Hidangan yang memadai bagi mereka yang sedang mengikuti pendadaran yang berat.

Untuk beberapa lama maka anak-anak muda itu beristirahat lagi setelah mereka makan. Pada saatnya mereka akan tampil lagi di arena pertandingan melanjutkan pendadaran yang akan diselenggarakan di sore hari.

Sementara itu, para prajurit yang mengawasi pertandingan itu pun telah bertemu dan membicarakan pertandingan yang baru saja selesai serta pertandingan yang akan diselenggarakan di sore hari. Sementara itu, para petugas sandi ikut pula menyaksikan pembicaraan-pembicaraan itu untuk memantau keseluruhan pelaksanaan pendadaran itu.

Tidak ada hal yang tidak sesuai dengan ketentuan dan paugeran yang berlaku dalam pendadaran itu. Sehingga para petugas sandi masih tidak mencampuri pendadaran yang sedang dilangsungkan. Namun mereka masih akan tetap mengikutinya sampai selesai.

Demikianlah ketika matahari mulai turun disisi langit sebelah Barat, serta anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu sudah cukup lama beristirahat, maka segala persiapan pun dilakukan untuk menyelenggarakan pertandingan-pertandingan berikutnya.

Seperti sebelumnya, maka delapan lingkaran yang dibatasi dengan gawar pun telah terisi. Pasangan-pasangan yang akan bertanding pun telah bersiap. Ketika bcnde berbunyi satu kali, maka semuanya pun telah bersiap. Meskipun ketegangan yang mencengkam seluruh arena itu tidak lagi sebagaimana pertandingan yang pertama, namun setiap orang yang sudah berada dalam lingkaran gawar lawe telah memusatkan perhatian mereka kepada lawan mereka masing-masing. Demikian bende berbunyi untuk kedua kali, maka pertandingan pun segera dimulai.

Masing-masing masih harus kembali melakukan penjajagan karena lawan mereka berbeda. Namun dalam beberapa saat, pertandinganpun telah berlangsung dengan sengitnya. Menghadapi lawan baru, maka setiap orang harus mempergunakan cara yang lain untuk melawannya sesuai dengan sikap dan tata gerak lawan mereka masing-masing.

Ternyata pertandingan itu juga berlangsung cukup lama. Karena kemampuan mereka pada umumnya setingkat, maka tidak segera nampak siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Anak muda yang bertubuh raksasa itu mendapat seorang lawan yang juga memiliki kekuatan yang sangat besar. Namun kemudian ternyata bahwa dalam benturan-benturan kekuatan yang terjadi, anak muda bertubuh raksasa itu masih mempunyai kelebihan dari lawannya. Tetapi ternyata lawannya mampu bergerak lebih cepat, sehingga kadang-kadang anak muda yang bertubuh raksasa itu terlambat mengimbangi kecepatan geraknya.

Sementara itu, anak muda yang berjambang lebat itu ternyata mendapat pengawasan yang ketat dari para prajurit yang mengawasinya. Meskipun mereka bukan prajurit-prajurit yang mengawasinya pada pertandingan pertama, tetapi agaknya mereka yang mengawasinya itu sudah mendapat laporan dari para pengawas sebelumnya.

Di arena pertandingan yang lain, Mahisa Pukat mendapat lawan yang lebih kuat, tetapi agak lebih lamban. Seperti sebelumnya, sebenarnya ia dapat menyelesaikan lawannya dengan cepat. Tetapi ia tidak ingin membuat lawannya kehilangan kesempatan berikutnya. Karena itu, maka ia dengan sengaja telah menyesuaikan diri sehingga pertandingan itu kelihatan menjadi seru dan seimbang.

Tetapi seperti yang terdahulu pula, maka para prajurit yang mengamatinya melihat sesuatu yang lain pada anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu. Meskipun prajurit yang mengawasinya sebelumnya tidak memberitahukan kepada prajurit yang mengawasinya kemudian, namun prajurit yang mengawasinya kemudian itu telah dapat menangkap kelebihan Mahisa Pukat. Seperti para pengawas sebelumnya, prajurit itu pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat dengan sengaja membiarkan lawannya menunjukkan bahwa ia mampu memberikan perlawanan yang baik.

“Anak muda yang satu ini agaknya memiliki kelebihan yang jarang dimiliki oleh anak-anak muda sebayanya” seorang di antara para pengawas itu berbisik kepada kawannya.

Kawannya mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Aku melihat kelebihan itu. Tetapi ia tidak mau membuat lawannya malu atau kehilangan kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.”

“Jika saja ada sepuluh orang seperti anak muda itu, maka mereka akan dapat menjadi tulang punggung kekuatan Pelayan Dalam di istana Singasari” desis prajurit yang pertama.

Ternyata dalam pertandingan berikutnya kelebihan Mahisa Pukat semakin nampak betapapun ia tidak sengaja memperlihatkan. Meskipun kadang-kadang ia memberikan kesempatan lawannya mengenainya dengan serangan-serangan yang keras dan cepat, namun Mahisa Pukat sering lupa tidak menunjukkan bahwa ia menjadi kesakitan oleh serangan itu. Sementara itu, para prajurit itu pun sempat melihat, bahwa Mahisa Pukat sering tidak mempergunakan kesempatan untuk menghindar atau menangkisnya.

Seperti pertandingan yang pertama, maka Mahisa Pukat bukanlah orang yang mendahului para peserta yang lain untuk mengalahkan lawannya bertanding. Tetapi ia justru membiarkan lawannya bertanding sampai kesempatan yang hampir berakhir.

Menjelang senja maka pertandingan di hari pertama pun telah berakhir. Para peserta kemudian bergantian telah pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri Mereka pun kemudian menebar untuk beristirahat sambil membawa mangkuk minuman hangat serta makanan...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 107

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 107
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sudah barang tentu kami tidak merasa berkeberatan sama sekali untuk membantu kalian berlatih memperdalam kemampuan kalian. Tetapi kami minta waktu sepekan untuk mengatur dan mempersiapkan tenaga para cantrik agar kami dapat memenuhi keinginan kalian dengan sebaik-baiknya.”

“Kapanpun kami mendapat kesempatan, kami mengucapkan terima kasih,” berkata salah seorang dari mereka yang datang menemui Mahisa Murti itu.

Dengan demikian maka baik Mahisa Murti, maupun orang-orang dari padukuhan telah mengatur persiapan untuk melakukan latihan-latihan. Mereka telah membentuk kelompok-kelompok sebagaimana para cantrik di padepokan. Bersama Mahisa Murti mereka telah mengatur segala macam ketentuan, pembagian waktu dan tempat bagi mereka yang akan berlatih di padepokan Bajra Seta.

Dengan demikian maka Mahisa Murti harus menyisihkan tenaga beberapa orang cantrik terbaik untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda dan orang-orang yang berniat untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata bahwa latihan-latihan itu mendapat perhatian yang sangat besar.

Akan tetapi yang pertama-tama dilakukan oleh para cantrik adalah menilai kemampuan mereka yang menyatakan diri untuk ikut berlatih di padepokan itu. Meskipun tidak sangat teliti sebagaimana saat mereka menilai kemampuan para cantrik, namun penilaian itu dapat dipergunakan untuk membagi-bagi orang-orang padukuhan yang mengikuti latihan-latihan itu dalam kelompok-kelompok tanpa memperhatikan dari padukuhan mana saja mereka berasal.

Ketika saatnya latihan-latihan itu dimulai, ternyata bahwa kemauan mereka tidak kalah tinggi dari para cantrik di Padepokan Bajra Seta itu. Meskipun waktu yang diperuntukkan bagi mereka lebih pendek dari para cantrik, tetapi kemauan mereka ternyata benar-benar membakar jantung mereka.

Karena itu, maka para cantrik tidak ingin mengecewakan mereka sehingga para cantrik pun menunjukkan kemauan yang tinggi menuntun mereka meningkatkan kemampuan orang-orang dari padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah padepokan itu.

Dengan demikian maka seisi Padepokan Bajra Seta telah menjadi sibuk. Latihan-latihan berlangsung dengan kemauan yang tinggi. Mahisa Murti pun tenggelam pula dalam kesibukan itu. Bahkan Mahisa Murti secara khusus telah menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Murti pun telah memberikan waktunya untuk Wantilan yang memang mempunyai tataran yang berbeda serta landasan ilmu yang berbeda pula, sehingga Wantilan pun harus mendapat penanganan yang khusus.

Dengan caranya, maka seisi Padepokan Bajra Seta itu pun menjadi semakin meningkat pula. Para cantrik tertua dari padepokan itu pun langsung mendapat latihan-latihan dari Mahisa Murti sendiri, sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti benar-benar telah menghabiskan waktunya bagi padepokannya.

Dalam kesempatan tertentu, Mahisa Semu pun telah diberi wewenang oleh Mahisa Murti untuk memberikan latihan-latihan kepada para cantrik yang masih muda. Bukan saja muda umurnya, tetapi juga mereka yang belum lama berada di padepokan itu.

Tetapi Mahisa Murti tidak dapat menyerahkan sekelompok cantrik kepada Wantilan, karena Wantilan mempunyai dasar yang berbeda. Hanya untuk latihan-latihan dasar yang sifatnya umum, Wantilan dapat membantu Mahisa Murti memberikan tuntunan kepada para cantrik. Terutama mengenai ketahanan tubuh serta penguasaan gerak-gerak dasar yang paling sederhana untuk mempersiapkan para cantrik itu mulai dengan gerak-gerak dasar yang menjurus pada unsur-unsur ilmu yang dipelajari. Dengan latihan-latihan khusus yang berat, maka Mahisa Amping ternyata tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ilmunya. Dengan demikian maka ilmu yang dipelajarinya seakan-akan telah menyatu di dalam dirinya. Sadar atau tidak sadar, maka setiap gerak anak itu seakan-akan telah terkendali dengan mapan.

Mahisa Semu pun semakin lama menjadi semakin meyakinkan. Tenaganya tumbuh dengan mantap sebagaimana tubuhnya yang berkembang dengan tinggi dan kekar. Latihan-latihan yang berat telah membentuk tubuhnya menjadi seorang yang gagah dan kuat.

Setiap pagi, Mahisa Semu telah berlatih sambil membentuk tubuhnya menurut petunjuk Mahisa Murti. Sejak sebelum matahari terbit, Mahisa Semu telah menitikkan keringat dari lubang-lubang kulitnya bersama beberapa orang cantrik yang diserahkan kepadanya. Mereka memanfaatkan lingkungan yang luas serta lereng-lereng pegunungan di sekitar padepokan.

Meskipun demikian, para cantrik itu tidak melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari dalam kehidupan sewajarnya. Setelah berlatih dipagi hari, kemudian membersihkan diri dan makan pagi, maka para cantrik itu pun telah melakukan tugas mereka sehari-hari. Di antara mereka ada yang pergi ke sawah yang diperuntukkan bagi Padepokan Bajra Seta. Ada yang pergi ke kolam-kolam ikan, ke pategalan dan ada yang melakukan tugas-tugas yang lain. Pande besi dengan kemampuan yang lebih dari pande besi kebanyakan setelah mereka mendapat tuntunan khusus. Ada di antara mereka yang mengurusi peternakan dan pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Tetapi di antara mereka terdapat kelompok-kelompok yang berada di sanggar-sanggar bergantian. Mereka dengan sungguh-sungguh berusaha meningkatkan kemampuan ilmu mereka. Baru menjelang sore, maka hampir semua cantrik turun untuk melakukan latihan-latihan sehingga halaman, kebun dan bahkan ara-ara di luar dinding padepokan menjadi penuh, termasuk anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta, sesuai dengan tataran dan tingkat kemampuan mereka masing-masing.

Sementara Padepokan Bajra Seta tenggelam dalam kesibukan yang memberikan arti yang penting bagi perkembangan Padepokan itu, maka Mahisa Pukat yang berada di Kotaraja telah menjalani kehidupannya dalam suasana yang berbeda. Hubungannya semakin lama menjadi semakin akrab dengan Sasi. Ternyata orang tua Sasi benar-benar tidak berkeberatan atas hubungan itu sebagaimana Mahendra sendiri. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, Mahisa Pukat masih saja merenungi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan padepokan yang telah ditinggalkan meskipun menurut pengertiannya hanya sementara.

Tetapi, setiap kali sebuah pertanyaan pun timbul, “Apakah benar bahwa ia hanya meninggalkan padepokannya untuk sementara?”

Apalagi ketika pada suatu ketika ayahnya, Mahendra memanggilnya dan dengan sungguh-sungguh berkata kepadanya, “Mahisa Pukat. Aku melihat bahwa hubunganmu dengan Sasi semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Bukan niatku untuk menghalangi, apalagi menurut penilaianku Arya Kuda Cemani tidak berkeberatan sama sekali dengan hubunganmu itu. Tetapi dengan demikian maka ada satu hal yang harus kau perhatikan.”

Mahisa Pukat memperhatikan kata-kata ayahnya itu dengan sungguh-sungguh pula. Namun sudah terasa olehnya, kemana arah pembicaraan ayahnya itu. Karena itu, Mahisa Pukat tidak terkejut ketika ayahnya kemudian berkata,

“Mahisa Pukat. Masih ada satu hal yang harus kau penuhi sebelum kau benar-benar memasuki satu lingkungan kehidupan yang baru. Maksudku, apabila kau benar-benar ingin berumah tangga.”

Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tahu bahwa ayahnya tentu akan berbicara tentang kehidupannya setelah ia benar-benar memasuki jenjang kehidupan berkeluarga. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin mendahului ayahnya. Karena itu, maka ia hanya diam sambil menunggu.

Sebenarnyalah ayahnya pun kemudian berkata, “Mahisa Pukat. Kau harus mulai berpikir sejak sekarang. Jika kau kelak berumah tangga, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan kembali ke padepokan dan mengajak isterimu hidup menurut caramu di padepokan? atau kau mulai membayangkan satu bentuk kehidupan yang lain?”

Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun sebenarnyalah bahwa Mahendra memang menjadi gelisah memikirkannya. Jika Mahisa Pukat ingin hidup di padepokan, maka ia merasa sangat kasihan kepada Mahisa Murti. Tanpa setahu Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti hidupnya akan tersiksa setiap hari untuk waktu yang panjang tanpa batas. Bahwa dengan mengorbankan perasaannya sendiri Mahisa Murti telah meninggalkan Mahisa Pukat di Singasari.

Mahisa Murti termasuk seorang anak muda yang tahu diri dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Tetapi jika ia tersiksa setiap hari, maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Murtilah yang kelak akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Sementara itu belum tentu bahwa Sasi akan dapat menerima satu bentuk kehidupan di padepokan.

Mungkin sebelum perkawinan itu terjadi, selagi angan-angannya melambung tinggi, Sasi berniat untuk hidup bersama dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, apa yang terjadi kemudian mungkin akan berbeda. Sasi dapat saja terbentur pada batas kemampuannya untuk menyesuaikan dirinya, sehingga kehidupan di padepokan akan terasa sangat membosankan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi bimbang pula. Apalagi ketika ayahnya berkata, “Pukat. Sampai sekarang kau adalah seorang pemimpin sebuah padepokan. Kau hidup dalam satu suasana yang sangat khusus. Sementara Sasi terbiasa hidup di Kotaraja. Aku tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika Sasi kau ajak mencoba hidup di padepokan dengan gaya hidup orang-orang padepokan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ayahnya ingin menasehatkan kepadanya agar ia tidak membawa Sasi ke padepokan. Namun Mahisa Pukat tidak tahu pasti alasan ayahnya yang sebenarnyalah Mahisa Murti telah mengorbankan perasaannya yang tertuju kepada Sasi. Bagi Mahisa Pukat, maka alasan utama adalah kebiasaan dan tatanan hidup keluarga Sasi yang jauh berbeda dengan tatanan hidup di padepokan, sehingga dengan demikian, maka satu kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi atas Sasi.

Dengan nada dalam, maka Mahisa Pukat pun justru telah bertanya, “Ayah, aku justru ingin mendapat petunjuk dari ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Mahisa Pukat. Jika kau bertanya kepadaku, maka jawabku tentu mengandung pengertian yang menguntungkan diriku pula. Karena bagaimanapun aku tidak dapat melepaskan kepentinganku sendiri.”

“Maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mahisa Pukat. Aku ingin menasehatkan kepadamu, sebaiknya kau tidak usah kembali ke padepokan. Setidak-tidaknya untuk sementara. Kau dapat mencari sumber kehidupan di sini. Adalah kebetulan bahwa aku mempunyai hubungan betapapun jauhnya dengan Sri Maharaja. Jika kau berminat, aku dapat membawa kau menghadap. Jika bukan Sri Maharaja, maka aku dapat menyampaikannya Wreda Menteri atau pejabat-pejabat yang lain yang aku kenal.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi apa yang dapat aku lakukan ayah? Selama ini aku hidup di sebuah padepokan, sehingga yang aku kerjakan tidak lebih dari pekerjaan seorang cantrik dan sekaligus seorang petani. Jika aku harus bekerja diistana, apa yang dapat aku perbuat selain menjadi juru taman.”

Tetapi ayahnya menggeleng. Katanya, “Kau dapat menjadi seorang prajurit. Kau mempunyai kemampuan dasar dalam olah kanuragan. Bahkan jika dilakukan pendadaran pun kau akan mempunyai kesempatan cukup untuk diterima di antara mereka yang menyatakan keinginan mereka menjadi prajurit. Bahkan mungkin kau akan dapat diterima menjadi Pelayan Dalam yang mempunyai tugas keprajuritan di dalam lingkungan istana”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia teringat kepada saudara-saudara Sasi dan kawan-kawannya. Tataran kemampuan mereka tidak terlalu tinggi, sehingga jika ia ikut dalam pendadaran, maka kemampuannya tentu lebih baik dari anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku menurut saja, yang mana yang terbaik menurut ayah.”

“Ada dua bidang yang terbaik bagimu. Bidang keprajuritan atau sebagai Pelayan Dalam. Jika kesempatan terbuka, bagiku kau lebih baik menjadi seorang Pelayan Dalam. Tugasnya mirip dengan tugas keprajuritan, tetapi juga mempunyai tanggung jawab atas keamanan seisi istana dan melayani isi istana pula”

“Narpacunadka maksud ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukan. Tetapi Pelayan Dalam memang dapat diperintah oleh Narpacundaka.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mana yang baik menurut ayah, aku tidak akan berkeberatan melakukannya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi untuk sementara ia sudah berhasil memisahkan Mahisa Pukat dari Mahisa Murti apabila Mahisa Pukat benar-benar akan berumah tangga dengan seorang gadis yang kebetulan pernah menarik hati Mahisa Murti itu pula. Tetapi sebagai akibat dari keinginannya itu, maka Mahendra pun harus menghubungi para pejabat di istana Singasari. Bahkan ternyata kemudian, dalam satu kesempatan Mahendra sempat menghadap Sri Maharaja di Singasari.

Ternyata keinginan Mahendra untuk mengabdikan anak laki-lakinya itu telah didengar pula oleh Sri Maharaja di Singasari. Ternyata Sri Maharaja justru dengan senang hati memerintahkan agar anak laki-laki Mahendera itu dapat diterima sebagai Pelayan Dalam. Mahendra memang menjadi sangat bergembira. Sebagaimana dititahkan oleh Sri Maharaja, maka Mahendra pun telah menghubungi Manggala yang memimpin Pelayan Dalam di Istana Singasari itu.

“Apa titah Sri Maharaja?” bertanya Gajah Saraya, Manggala yang memimpin Pelayan Dalam itu.

“Seperti yang sudah aku katakan” jawab Mahendra, “Sri Maharaja bertitah bahwa Sri Maharaja berkenan atas permohonan anakku untuk menjadi Pelayanan Dalam.”

“Untuk apa hal seperti ini kau sampaikan kepada Sri Maharaja? Bukankah ada bermacam-macam persoalan yang harus dipikirkan oleh Sri Maharaja? Tentu Sri Maharaja tidak sempat memikirkan persoalan anakmu itu.”

“Tetapi Sri Maharaja justru sudah mendengar bahwa Mahisa Pukat ingin mengabdikan diri dalam lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari. Sebelum aku mengatakan sesuatu tentang anakku itu, maka Sri Maharaja lah yang justru bertanya kepadaku.”

“Mustahil” jawab Gajah Saraya, “aku belum pernah menyampaikannya kepada Sri Maharaja.”

“Entahlah. Aku tidak tahu, siapakah yang menyampaikannya kepada Sri Maharaja. Tetapi Sri Maharaja sudah mengetahuinya dan bahkan Sri Maharaja berkenan sekali atas keinginan anakku itu" jawab Mahendra.

“Mahendra” berkata Gajah Saraya, “sebenarnya kau tidak perlu bertumpu kepada Sri Maharaja. Bukankah sebelumnya aku juga sudah menyatakan akan mengusahakan agar anakmu dapat diterima asal anakmu memenuhi persyaratannya.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Gajah Saraya” sahut Mahendra, “mudah-mudahan anak itu memenuhi syarat yang diwajibkan.”

“Tetapi aku justru menjadi kecewa karena kau telah menyampaikan langsung kepada Sri Maharaja. Agaknya kau tidak percaya kepadaku.” berkata Gajah Saraya itu kemudian.

“Kau salah paham Gajah Saraya” jawab Mahendra, “aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Tetapi justru kau yang tidak percaya kepadaku. Cobalah kau ingat-ingat, siapa saja yang pernah mengetahui bahwa anakku akan mengabdikan diri dalam lingkungan Pelayan Dalam di Istana Singasari? Mungkin orang itulah yang telah menyampaikannya kepada Sri Maharaja.”

“Apakah kepentingan mereka menyampaikan hal ini kepada Sri Maharaja?” bertanya Gajah Saraya.

Mahendra hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti, bahwa Arya Kuda Cemani juga pernah mendengar keinginannya untuk mengabdikan anaknya dalam lingkungan Pelayan Dalam. Bahkan Arya Kuda Cemani sangat menyetujui, karena hal itu langsung atau tidak langsung menyangkut diri Arya Kuda Cemani itu sendiri. Justru karena Mahisa Pukat telah berhubungan degnan Sasi, anak perempuan Arya Kuda Cemani itu.

“Apakah Arya Kuda Cemani yang telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat itu kepada Sri Maharaja?” bertanya Mahendra di dalam hatinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahendra tidak mengatakan hal itu kepada Gajah Saraya.

Tetapi salah paham itu harus diluruskan. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah Gajah Saraya. Pada kesempatan lain, jika aku menghadap lagi, maka aku akan bertanya kepada Sri Maharaja, siapakah yang telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat untuk mengabdi itu kepada Sri Maharaja.”

“Kau berani melakukannya?” bertanya Gajah Saraya.

“Kenapa tidak? Sri Maharaja adalah seorang yang hatinya seluas lautan. Demikian pula Ratu Angabaya, sepupu Sri Maharaja yang mendampinginya memerintah di Singasari itu. Seandainya aku menyampaikan pertanyaan itu, maka kedua-duanya tentu tidak akan marah.”

“Kau terlalu deksura, Mahendra. Kau kira keduanya itu kawanmu bermain?” berkata Gajah Saraya.

“Tentu tidak Gajah Saraya. Tetapi aku mengenal keduanya sejak lama. Sejak saudara-saudaraku masih mengabdi di sini.” jawab Mahendra. Lalu katanya pula, “Kaupun tentu mengerti, kenapa aku sekarang tinggal di Istana Singasari.”

Gajah Saraya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia harus menilai kembali keberadaan Mahendra di Istana itu. Meskipun demikian, Gajah Saraya itu berkata, “Baiklah. Apapun yang kau lakukan, akulah yang berwenang untuk melakukan pendadaran atas anakmu itu. Akulah yang dapat menilai, apakah anakmu pantas menjadi seorang Pelayan Dalam atau tidak.”

Pernyataan itu memang membuat jantung Mahendra berdesir. Namun Mahendra sadar, bahwa ia memang tidak dapat berbuat banyak tanpa harus menimbulkan persoalan dengan Gajah Saraya. Karena itu, maka Mahendra memang lebih banyak menunggu. Mahendra berniat agar anaknya dapat diterima dalam lingkungan Pelayan Dalam tanpa membuat persoalan. Karena itu, maka sebaiknya Mahisa Pukat menempuh syarat-syarat yang sewajarnya dilakukan untuk dapat diterima menjadi Pelayan Dalam.

Ketika hal itu dikatakan kepada Arya Kuda Cemani, maka Arya Kuda Cemani itu pun berkata, “Gajah Saraya ternyata tidak berpandangan luas. Hatinya getas seperti ranting yang kering. Sentuhan kecil saja membuat hatinya patah. Seharusnya ia tidak merasa tersinggung. Jika hal itu diketahui Sri Maharaja, maka justru Gajah Saraya lah yang akan mendapat murka.”

“Tetapi biarlah Mahisa Pukat memasuki lingkungan Pelayan Dalam sesuai dengan syarat-syarat yang harus ditempuhnya.” berkata Mahendra kemudian.

Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku yakin syarat apapun yang diberikan, jika itu tetap dalam kewajaran, tentu akan dapat dilaluinya. Pendadaran yang betapapun beratnya asal masih sesuai dengan paugeran yang berlaku tentu akan dapat diatasinya. Kecuali jika ada permainan lain. Jika hal itu terjadi, aku mempunyai wewenang untuk memberikan laporan.”

“Mudah-mudahan hal seperti itu tidak perlu terjadi” berkata Mahendra.

Arya Kuda Cemani tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Akhirnya kita juga berpaling kepada kepentingan diri. Jika persoalannya menyangkut diri kita masing-masing langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya kita juga ingin turut campur.”

“Ya” jawab Mahendra. Namun katanya kemudian, “Tetapi justru rasa keadilan kita tersinggung.”

Arya Kuda Cemani tertawa. Tetapi mereka sepakat untuk tidak berbuat sesuatu sampai saat pendadaran itu datang. Mereka akan menyaksikan apakah pendadaran itu berlangsung wajar atau tidak. Adalah kebetulan bahwa istana Singsari memang sedang membutuhkan sepuluh orang Pelayan Dalam baru. Diutamakan mereka yang masih muda dengan harapan bahwa mereka dihari mendatang akan dapat menjadi Pelayan Dalam yang mampu menggantikan mereka yang menjadi semakin tua.

Karena yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu melebihi dari yang dibutuhkan, maka mereka yang menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran sudah menyadari, bahwa pendadaran akan berlangsung berat. Duapuluh lima orang akan mengikuti pendadaran. Sementara yang akan diterima hanya sepuluh orang. Meskipun demikian, Mahendra tidak ingin menempuh jalan pintas meskipun seandainya hal itu dapat dilakukan. Apalagi Sri Maharaja sendiri telah menyatakan berkenan jika anak Mahendra dapat diterima menjadi Pelayan Dalam.

Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, maka Manggala Gajah Saraya telah memanggil kedua puluh lima orang yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu. Mereka akan mengikuti pendadaran yang akan dibaktikan dalam beberapa tahap.

Tahap pertama, dua puluh lima orang itu harus menempuh perjalanan dalam jarak tertentu. Jalan itu melalui beberapa rintangan alam yang cukup berat. Jalan yang memang dipilih melalui lereng-lereng bukit, menyeberang sungai dan hutan-hutan kecil. Perjalanan yang akan makan waktu sehari semalam tanpa membawa bekal sama sekali. Mereka yang dapat menembus rintangan alam itulah yang kemudian akan mengikuti pendadaran yang kedua.

Mereka akan dilepas seorang demi seorang tanpa diberi ancar-ancar jalan yang akan mereka lalui. Yang ada hanyalah isyarat-isyarat yang harus mereka cari disepanjang jalan. Di tempat-tempat tertentu mereka akan menjumpai gardu-gardu yang ditunggui oleh para prajurit. Mereka harus menyatakan diri kepada para prajurit itu jika mereka telah melewati gardu itu. Satu saja gardu terlampaui, maka mereka dianggap gagal dalam pendadaran tahap pertama.

Demikianlah, maka duapuluh lima. orang itu pun telah bersiap. Mereka yang akan melakukan pendadaran pun telah bersiap. Sementara itu itu Manggala Gajah Saraya pun menunggui pendadaran itu langsung di tempat para peserta dilepas. Pada saat yang sudah ditentukan, maka mulailah orang yang pertama dilepas untuk menjalani pendadaran. Orang yang pertama itu dilepas di pagi hari. Meskipun demikian pada saatnya, maka perjalanannya akan menembus gelapnya malam pula.

Demikianlah berjarak waktu tertentu, telah dilepas orang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya Dalam urutan itu ternyata Mahisa Pukat adalah orang yang terakhir dilepas. Ia justru dilepas saat matahari telah terbenam.

Sebenarnya Mahisa Pukat sudah merasakan keganjilan ketika ia dinyatakan sebagai orang terakhir. Ia tidak merasa ikut membuka lontar yang di dalamnya tertulis urutan keberangkatan pada pendadaran itu sebagaimana yang lain. Menurut seorang prajurit yang mengatur pendadaran, Mahisa Pukat justru peserta susulan yang tidak turut dalam undian.

“Kau harus mengucap terima kasih bahwa kau dapat ikut serta” berkata seorang prajurit ketika ia menanyakan hal itu.

Mahisa Pukat tidak mempersoalkannya lagi. Jika ia masih bertanya tentang beberapa hal, maka mungkin sekali ia akan mengalami kesulitan karena sikap prajurit itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menerima saja apa yang harus dilakukan. Baginya sama saja, apakah ia mendapat giliran pertama atau terakhir. Semuanya akan mengalami waktu yang sama. Sehari semalam.

Yang berangkat pagi hari, pada saatnya akan berjalan juga digelapnya malam. Bahkan Mahisa Pukat merasa beruntung, bahwa yang telah berjalan lebih dahulu daripadanya sebanyak duapuluh ampat orang, sehingga jejaknya pun menjadi semakin banyak. Dengan demikian maka ia akan menjadi lebih mudah menelusuri jalan yang harus dilaluinya dalam pendadaran itu.

Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, Mahisa Pukat pun telah dilepas pula. Sementara gelap malam pun mulai turun perlahan-lahan. Namun bagi Mahisa Pukat kegelapan itu tidak banyak mempengaruhinya. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat pun telah berjalan melalui jalan yang sepi. Ketajaman penglihatannya mampu melihat dengan baik meskipun gelap menjadi semakin kelam. Di langit bintang berhamburan. Selembar awan lewat. Tetapi langit tetap jernih.

Dengan melihat bintang Gubuk Penceng dan bintang Waluku Mahisa Pukat mampu mengenali arah. Ia tahu pasti kemana ia berjalan. Ketika jalan berbelok, maka tanpa kesulitan ia mengetahui arah, kemana ia harus pergi, karena ia melihat isyarat yang jelas. Beberapa cabang pepohonan sengaja ditebas. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun telah mengikuti petunjuk itu.

Disamping isyarat itu, maka jejak mereka yang terdahulu pun telah menuntun arah bagi Mahisa Pukat, sehingga ia tidak harus terlalu banyak berpikir. Semakin lama jalan pun menjadi semakin jauh. Jalan setapak yang jarang dilalui orang. Bahkan kemudian memasuki sebuah padang rumput tempat para gembala menggembalakan kambingnya. Padang rumput itu memang agak luas. Rerumputan yang hijau itu mulai dibasahi oleh embun yang mulai turun.

Mahisa Pukat pun merasakan bahwa malam memang menjadi semakin dingin. Tetapi ia berjalan terus. Ia belum merasakan rintangan yang berarti pada perjalanannya itu. Ketika ia melewati tanggul sebuah susukan yang agak besar, tiba-tiba saja Mahisa Pukat dikejutkan suara anjing yang menggonggong. Tidak terlalu jauh dari tanggul yang dilewatinya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Telinganya yang tajam segera mengetahui, suara gonggongan anjing yang seakan-akan suara seekor anjing yang sangat besar itu adalah suara orang.

“Tentu satu dua orang prajurit yang mendapat tugas mengganggu mereka yang melakukan pendadaran” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Tetapi justru karena itu timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main dengan mereka.

Ketika suara anjing itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Pukat pun telah ikut pula menirukan suara anjing itu. Hampir mirip dengan suara yang menjadi semakin dekat itu. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Dua orang tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan kedua orang prajurit telah muncul dari balik serumpun perdu. Sambil melangkah mendekati, seorang di antara mereka berkata, “Selamat anak muda. Mudah-mudahan kau dapat melewati pendadaran ini dengan baik.”

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat yang juga tertawa. Bahkan katanya, “Bukankah aku orang terakhir? Marilah, kita berjalan bersama-sama.”

Kedua orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Tentu akan merugikanmu. Jika kau ketahuan berjalan bersama kami, maka kau tentu dianggap gugur dalam pendadaran ini. Sementara itu kami pun akan kembali ke tempat kalian dilepas, sehingga kita akan berlawanan arah.”

Mahisa Pukat pun sambil tertawa berkata, “Baiklah. Kita akan berpisah.”

Kedua orang itu berdiri untuk memperhatikan Mahisa Pukat berjalan memasuki kegelapan. Namun seorang di antara kedua orang prajurit itu berkata, “Anak yang berani dan ramah. Aku kira ia akan dapat melewati pendadaran ini.”

“Tetapi ia baru mulai. Masih banyak rintangan yang lain yang barangkali lebih rumit. Apalagi rintangan alam yang berat,” jawab orang lain.

Orang yang pertama itu mengangguk-angguk sambil bergumam, “Tetapi yang seorang ini nampak sangat yakin akan dirinya.”

“Ya” jawab kawannya, “anak ini memang mempunyai kelebihan. Meskipun sebagian besar memang tidak menjadi ketakutan, tetapi tanggapan anak ini terasa akrab.”

Sementara itu Mahisa Pukat pun telah meneruskan perjalanannya. Jalan yang sempit yang kemudian menurut isyarat yang ada, menuju ke sebuah sendang yang terpencil. Sendang yang nampaknya jarang dipergunakan airnya. Beberapa pohon besar tumbuh di sekitarnya sehingga suasanya memang menjadi sangat menyeramkan.

Tetapi bagi Mahisa Pukat, hal itu tidak dapat menggetarkan bulu-bulunya. Mahisa Pukat berjalan saja mengikuti isyarat dan bahkan jejak yang dapat dilihatnya dalam kegelapan, meskipun kadang-kadang ia harus meraba dengan jari-jarinya. Beberapa saat maka Mahisa Pukat pun telah tenggelam dalam gelapnya bayang-bayang beberapa batang pohon raksasa. Ada di antaranya pohon preh, pohon nyamplung dan pohon cangkring yang berduri.

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat berhenti di bawah pepohonan itu sambil mengamat-amati batang-batang raksasa yang tumbuh bagaikan menjulang kelangit. Kemudian bayangan hitam dirimbunnya dedaunan. Sekali-sekali terdengar suara burung malam yang memecah sepi. Burung bence yang suaranya bagaikan menyayat jantung. Memikik tinggi kemudian hilang dibawa terbang.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mula-mula ia mengira bahwa suara itu juga suara seseorang untuk menakut-nakuti, setidak-tidaknya menggetarkan jantung mereka yang ikut pendadaran. Tetapi ternyata tidak. Suara itu benar-benar suara burung bence. Mahisa Pukat yakin akan hal itu ketika burung bence itu terbang meninggalkan pohon nyamplung raksasa yang tumbuh di antara pohon-pohon raksasa yang lain.

Mahisa Pukat hanya dapat termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berniat meneruskan perjalanannya. Jalan sempit yang lewat di antara dua batang pohon raksasa. Di sebelah kiri pohon beringin dengan sulur-sulur yang bergayutan yang membuat suasana menjadi bertambah seram. Sedangkan di sebelahnya adalah sebatang pohon cangkring berdiri hampir berimpit dengan sebatang pohon yang sangat besar dengan jenis daun yang berbeda. Daun cangkring dan daun benda.

Namun karena kebiasaan seorang pengembara, maka Mahisa Pukat melangkah tanpa ragu melalui celah-celah pohon-pohon raksasa itu. Namun Mahisa Pukat memang menjadi terkejut. Telinganya menangkap desir lembut. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak dikehendaki. Sambil berjalan maka ia benar-benar memperhatikan suasana.

Beberapa langkah Mahisa Pukat berjalan dan lewat di antara batang-batang raksasa itu, maka tiba-tiba sebuah bayangan putih terayun menyambarnya. Demikian cepatnya, sehingga hampir saja bayangan putih itu sempat menyambar kepalanya. Tetapi dengan tangkas Mahisa Pukat menghindar, sehingga bayangan putih itu lewat saja sejengkal dari tubuhnya. Terayun deras seolah-olah terbang kedahan pepohonan. Tetapi bayangan putih itu tiba-tiba berhenti. Bahkan terayun kembali seolah-oleh sekali lagi ingin menyambar Mahisa Pukat yang berdiri termangu-mangu.

Tetapi pikiran Mahisa Pukat cukup terang. Bayangan itu tentu hanya sebuah benda yang terayun karena terikat pada salah satu dahan pohon-pohon raksasa itu. Tidak ada bedanya dengan suara gonggongan anjing itu. Tentu para prajurit telah menakut-nakuti mereka yang ikut dalam pendadaran untuk memperlemah keberanian mereka meneruskan perjalanan.

Sekali lagi timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main. Ketika benda itu menyambarnya, maka Mahisa Pukat sekali lagi menghindar. Tetapi ia tidak berlari menjauh. Ia justru menunggu benda itu terayun sekali lagi. Sebenarnyalah, benda yang berwarna putih yang seakan-akan menggelantung terbang itu terayun lagi menyambarnya. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat menangkap benda itu dan menariknya keras-keras.

Seperti yang diperhitungkannya, maka tali pengikat benda yang dihentakkannya itu telah terlepas. Bahkan kain pembungkus benda yang diayunkan itu telah koyak. Sambil memeluk benda yang terbungkus kain putih itu Mahisa Pukat melangkah meneruskan perjalanan.

Tetapi dua orang prajurit ternyata telah mengejarnya sambil berteriak, “He, anak muda. Jangan kau bawa benda itu.”

Mahisa Pukat berhenti.Tetapi ia pun berkata, “Aku adalah orang terakhir, sehingga benda ini tidak akan dipergunakan lagi.”

“Tetapi aku harus membawanya kembali.” sahut salah seorang dari kedua prajurit itu.

Mahisa Pukat menyerahkan benda itu sambil tertawa. Katanya, “Silahkan. Benda itu hanya akan menjadi beban saja bagiku”.

Kedua orang prajurit itu pun tertawa. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Kau telah mengoyakkan kain putih ini.”

“Apakah masih akan terpakai?” bertanya Mahisa Pukat.

“Setidak-tidaknya dapat aku pergunakan untuk celana anakku,” jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.

Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Kedua prajurit itu pun tertawa berkepanjangan pula. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat pun telah meninggalkan kedua orang prajurit itu. Sambil melambaikan tangannya prajurit itu berkata, “Selamat anak muda. Semoga kau berhasil.”

“Terima kasih. Doakan saja, agar aku mampu mengatasi pendadaran ini.”

Ternyata Mahisa Pukat justru telah menarik perhatian para prajurit yang bertugas. Tetapi rintangan yang masih harus dilaluinya masih cukup banyak. Justru rintangan alam. Lereng bukit, tanah-tanah miring yang terjal, sungai dan hutan yang masih dihuni binatang buas. Tetapi, dengan tegar Mahisa Pukat berjalan terus. Dilaluinya rintangan demi rintangan yang memang disediakan oleh alam. Dengan hati-hati Mahisa Pukat memanjat lereng bukit kecil yang terjal, berbatu-batu padas yang runcing. Ketika ia sampai kepuncak bukit kecil itu, dilihat sebuah pelita minyak kecil yang nyalanya menggeliat ditiup angin malam.

Mahisa Pukat mengetahui, bahwa pelita itu dipasang pada sebuah gardu. Salah satu dari gardu-gardu yang harus disinggahi selama ia menempuh perjalanan pendadaran. Ada empat orang prajurit yang bertugas di gardu itu. Demikian Mahisa Pukat mendekat, maka salah seorang dari para prajurit itu pun berkata, “Kau orang terakhir anak muda.”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “aku dilepas yang terakhir.”

“Bagus. Berjalanlah terus. Sampai pada gardu ini, semuanya masih genap duapuluh lima orang. Tetapi dua orang sudah mulai nampak meragukan akan keberhasilannya. Meskipun demikian, keduanya meneruskan perjalanan.”

Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri. Dalam kegelapan malam yang semakin dalam ia meneruskan perjalanan. Sekali-sekali ia memandang langit yang bersih. Bintang Gubug Penceng dan Bintang Waluku sudah bergerak semakin ke Barat. Bahkan di langit sudah nampak Bintang Bima Sakti. Mahisa Pukat berhenti ketika ia sampai ke ngarai setelah menuruni bukit kecil itu. Kakinya memang terasa agak letih. Batu-batu padas terasa menggelitik tapak kakinya.

Untuk beberapa saat Mahisa Pukat beristirahat. Ia sadar bahwa perjalanannya masih jauh. Angin malam semilir membuat tubuh Mahisa Pukat menjadi segar kembali. Perlahan-lahan ia meneruskan perjalanannya menempuh jalur pendadaran yang masih jauh. Anak muda itu tertegun ketika di depannya membentang sebuah sungai yang meskipun tidak terlalu lebar, tetapi airnya cukup deras. Batu-batu yang besar berserakan dimana-mana. Mahisa Pukat pun dengan hati-hati menuruni tebing sungai dan mencoba menjajagi airnya.

Terasa airnya memang sangat dingin. Namun ia tidak mempunyai pilihan kecuali menyeberang jika ia ingin diterima menjadi Pengawal Dalam di Istana Singasari. Ternyata tidak terlalu sulit bagi Mahisa Pukat. Namun demikian, pakaiannya menjadi basah. Sehingga ia harus berjalan dengan pakaian basah di udara yang dingin di malam yang kelam.

Jalan yang terbentang di hadapannya kemudian adalah padang perdu yang agak luas. Mahisa Pukat yang sudah terbiasa mengembara itu mengenali, bahwa setelah padang perdu yang semakin banyak dipadati pohon-pohon perdu, biasanya jalan itu akan sampai ke pinggir hutan. Ketika Mahisa Pukat kemudian memandang kekejauhan dan melihat bayangan pepohonan yang rapat membujur panjang, maka Mahisa Pukat pun mengetahui bahwa yang di hadapannya itu bukan jajaran padukuhan, tetapi tentu sebuah hutan meskipun tidak terlalu besar.

“Memang lebih senang lewat di hutan itu siang hari” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak dapat memilih. Yang lainpun juga tidak dapat memilih, karena bagi mereka diberlakukan undian untuk menentukan saat keberangkatan mereka. Hanya Mahisa Pukat sajalah di antara para peserta yang tidak ikut dalam undian. Namun ditentukan sebagai orang yang berangkat terakhir.

Tetapi, sebelum para peserta pendadaran itu sampai ke hutan, maka mereka akan melalui sebuah gardu lagi. Dari kejauhan Mahisa Pukat sudah melihat lampu minyak yang menyala berkeredipan. Agaknya para prajurit pun memperhitungkan, bahwa kehadiran gardu itu akan dapat memberikan sedikit ketenangan bagi para peserta yang kurang memiliki keberanian memasuki lingkungan hutan meskipun hutan yang terhitung kecil.

Ketika Mahisa Pukat singgah di gardu itu, maka ia pun disambut dengan baik oleh para prajurit yang bertugas. Tidak hanya empat tetapi enam orang. Mahisa Pukat diberitahu bahwa para peserta semuanya masih utuh, duapuluh lima orang.

Dari para prajurit yang bertugas di gardu itu Mahisa Pukat mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang yang tajam. Dengan nada berat prajurit itu berkata, “Kau akan memasuki jalan di tepi sebuah hutan. Karena itu, maka kau akan mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang. Tetapi pisau itu harus kau kembalikan kepada para prajurit yang ada di gardu berikutnya, setelah kau melalui hutan itu.”

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat sambil menerima pisau belati itu.

Dengan pisau belati di tangan, maka Mahisa Pukat menjadi semakin tegar. Sebenarnya ia memang tidak memerlukan pisau itu. Tetapi rasa-rasanya memang lebih tenang membawa sebilah pisau belati untuk memasuki lingkungan hutan. Setidak-tidaknya pisau itu akan dapat dipergunakan untuk membersihkan ranting-ranting yang menghalangi jalan.

Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Mahisa Pukat telah menjadi semakin dekat dengan hutan yang membentang di hadapannya. Hutan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi nampaknya cukup lebat, membujur sampai ke lereng perbukitan. Mahisa Pukat yang sudah mengembara melewati lingkungan yang luas, tetapi ternyata ia belum pernah melewati jalan-jalan yang dipergunakan untuk pendadaran itu meskipun hanya sekitar Kota raja saja.

Agaknya lingkungan itu memang lingkungan yang khusus untuk kepentingan latihan-latihan para prajurit serta untuk pendadaran sebagaimana yang sedang terjadi itu. Dengan sebilah pisau belati panjang, Mahisa Pukat berjalan melalui padang perdu yang semakin rapat.

Seperti yang diperhitungkan maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat itu telah mendekati sebuah hutan. Jalan yang dilaluinya itu akan melewati pinggir hutan yang gelap itu. Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak merasa gentar menghadapi jalan yang dilaluinya itu. Apalagi ia membawa sebilah pisau di lambungnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah memasuki hutan yang ternyata menurut pengamatan Mahisa Pukat berdasarkan pengalamannya hutan itu adalah hutan tutupan. Hutan yang khusus dipergunakan sebagai arena perburuan orang-orang tertentu. Bahkan mungkin keluarga Sri Maharaja di Singasari.

Namun dengan demikian, Mahisa Pukat pun menyadari bahwa hutan itu tentu masih dihuni oleh binatang-binatang buas yang menjadi sasaran buruan para pemburu. Karena itu, maka bagaimanapun juga Mahisa Pukat harus berhati-hati. Demikian ia memasuki jalan di tepi hutan, maka ia mulai memperhatikan arah angin.

Ternyata hembusan angin agak kurang menguntungkan baginya. Angin berhembus ke arah hutan yang pekat itu. Tetapi Mahisa Pukat berjalan terus. Binatang buas tidak selalu akan menyerang meskipun binatang itu mencium bau seseorang. Bahkan binatang-binatang yang tidak terpaksa karena lapar tidak akan menyerang seseorang.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun menyusuri jalan di pinggir hutan itu. Dengan saksama ia memusatkan perhatiannya pada keadaan sekelilingnya. Bukan saja ia berusaha untuk melihat setiap gerak di dalam kegelapan. Tetapi telinganya pun dipergunakannya sebaik-baiknya. Tiba-tiba saja Mahisa Pukat terkejut. Ia mendengar suara yang aneh. Derak kayu yang saling bergeser. Tetapi suara itu disusul aum harimau yang mengoyak sepinya malam.

Mahisa Pukat dengan cepat mempersiapkan diri. Ia justru meloncat keluar dari jalur jalan dan berdiri di daerah padang perdu yang agak longgar. Oleh bintang-bintang di langit maka padang perdu itu gelapnya tidak sepekat gelapnya pinggir hutan yang dilindungi oleh rimbunnya pepohonan. Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Aum harimau itu masih terdengar. Tetapi ia masih berharap bahwa harimau itu tidak mencarinya meskipun mungkin harimau itu sudah mencium baunya.

Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh Mahisa Pukat. Agaknya harimau itu benar-benar kelaparan. Ketika harimau itu muncul dari balik pepohonan hutan, maka harimau itu nampak garang sekali. Dalam kegalapan ketajaman mata Mahisa Pukat masih dapat melihat lamat-lamat harimau itu merangkak perlahan-lahan sambil menengadahkan kepalanya. Agaknya harimau itu sedang meyakinkan dirinya tentang bau yang tercium oleh hidungnya dalam keadaan yang sangat lapar.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang tegang itu ia masih sempat membuat perhitungan. Harimau itu tentu harimau yang dengan sengaja dilepaskan dari kandang atau perangkapnya. Agaknya harimau itu dibiarkan kelaparan sehingga dengan demikian harimau itu menjadi semakin buas. Ternyata harimau itu berhasil mengetahui arah Mahisa Pukat berdiri. Perlahan-lahan harimau itu melangkah mendekati Mahisa Pukat. Terdengar harimau itu menggeram.

Mahisa Pukat meraba pisau belatinya. Tetapi ia pun kemudian memutuskan untuk tidak berlama-lama melayani harimau itu. Ia harus menyelesaikan perjalanannya sekitar sehari-semalam. Jika ia terlalu lama berhenti di pinggir hutan itu, maka perjalanannya akan tertunda, sehingga ada alasan bagi orang-orang yang tidak senang akan kehadirannya dalam pendadaran itu untuk menganggap bahwa ia mengalami kelambatan terlalu lama dari waktu yang telah ditentukan, sehingga ia dapat dianggap gagal dalam pendadaran tataran pertama.

Tetapi Mahisa Pukat pun yakin bahwa tentu ada orang yang mengawasi apa yang akan terjadi. Apakah orang itu berada di balik pepohonan atau yang paling mungkin adalah justru memanjat pepohonan untuk menghindari serangan harimau yang kelaparan itu. Yang tidak dapat ditebak oleh Mahisa Pukat, apakah kehadiran seekor harimau itu berlaku juga pada duapuluh empat orang lainnya yang mengikuti pendadaran itu, atau hanya disediakan baginya oleh orang-orang yang tidak senang akan keikut sertaannya dalam pendadaran itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berusaha untuk menghindari penglihatan orang-orang itu jika mungkin ada.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah berlari cepat-cepat menjauhi hutan itu melintasi padang perdu. Namun dalam pada itu, harimau yang lapar itu pun tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu sambil mengaum harimau itu pun meloncat mengejar Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang mengerahkan tenaga dalamnya itu memang dapat berlari cepat sekali. Tetapi harimau itu pun mampu berlari cepat pula.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini...

Dengan cepat Mahisa Pukat menempuh sisa perjalanannya yang masih separo lebih. Sementara itu, ia mulai memanjat lereng pegunungan lagi. Tetapi pebukitan yang didakinya itu tidak lagi berbatu-batu padas yang menyakiti kakinya. Tetapi justru tanah terasa sangat licin. Tetapi bagi Mahisa Pukat perjalanan itu masih belum membuatnya mengalami kesulitan.

Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Pukat telah turun dari pebukitan dan berjalan di ngarai yang datar. Sebuah padang rumput yang luas terbentang di hadapannya. Ketika matahari terbit, maka terasa udara yang segar berhembus lembut. Tetapi di padang rumput itu tidak banyak terdapat pepohonan. Hanya beberapa batang pohon saja tumbuh pada jarak yang cukup jauh. Semakin lama maka panas matahari pun semakin terasa menyengat kulit. Sementara itu leher Mahisa Pukat mulai merasa haus. Sedangkan ia sama sekali tidak membawa bekal apapun.

Di kejauhan Mahisa Pukat melihat bayangan pepohonan yang hijau. Ia tidak tahu apakah yang nampak itu padukuhan atau hutan. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Pukat, jalan itu tentu tidak akan melalui padukuhan-padukuhan yang akan dapat memberikan dukungan kepada para peserta pendadaran. Jika haus, maka di padukuhan itu tentu tersedia air. Sementara jika lapar, maka akan dapat dicari makan bagaimanapun caranya.

Tetapi ternyata jalan yang harus ditempuh tidak menuju ke bayangan pepohonan itu. Ia harus berbelok melalui jalan setapak justru menghindari pepohonan yang hijau segar. Mahisa Pukat pun kemudian berbelok mengikuti lorong sempit itu. Menurut penglihatannya, maka para peserta yang terdahulu tentu juga berjalan melalui jalan itu.

Sementara itu maka sengatan mataharipun semakin terasa. Leher Mahisa Pukat semakin terasa kering. Tetapi ia masih belum menjumpai parit, sungai atau anak sungai. Ia juga tidak menjumpai sumber mata air disepanjang lorong sempit di tengah-tengah padang rumput yang luas itu. Apalagi rerumputan itu pun kemudian menjadi semakin kuning. Tanah mulai bercampur dengan pasir dan kerikil. Sehingga panaspun terasa semakin membakar tubuhnya. Keringat pun membasahi kulit Mahisa Pukat dari ujung kepala sampai keujung kakinya. Tetapi Mahisa Pukat masih tetap berjalan dengan langkah yang mantap.

“Memang lebih senang yang mendapat giliran pertama” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya, “ketika menempuh perjalanan di pebukitan dan hutan, hari masih terang. Sementara ketika menempuh padang ini matahari sudah tenggelam.”

Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat merasa iri. Beberapa orang di urutan terakhir juga mengalami sebagaimana yang dialaminya. Orang yang keduapuluh ampat hanya berselisih beberapa saat saja daripadanya. Ketika Mahisa Pukat melihat segerumpul pepohonan raksasa di tengah-tengah padang itu, maka naluri pengembaranya mengatakan kepadanya, bahwa di tempat itu ada air. Meskipun barangkali tidak terlalu banyak. Karena itu, meskipun arah perjalanannya tidak mendekati sekelompok pepohonan itu, maka Mahisa Pukat sengaja telah menyimpang meskipun agak jauh.

Sebenarnyalah, di tempat itu Mahisa Pukat memang menemukan sebuah sumber air yang cukup besar. Bahkan airnya melimpah mengalir ke sebuah parit. Tetapi parit itu tidak menyilang jalan yang harus dilalui jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mengikuti pendadaran. Ternyata Mahisa Pukat sempat menghilangkan hausnya, sementara ia masih harus berjalan cukup panjang.

Tetapi setelah minum, maka tubuh Mahisa Pukat terasa semakin segar. Ia dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan seakan-akan Mahisa Pukat itu telah berlari-lari kecil untuk mengganti waktu yang dipergunakan menyimpang beberapa saat ketika ia mencari sumber air yang tidak terletak dekat dengan jalan yang harus ditempuh.

Tetapi ia tidak harus tetap berjalan selalu diteriknya sinar matahari. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah memasuki sebuah hutan kecil. Hutan yang nampaknya tidak begitu buas. Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak terlalu lebat. Tetapi memang tidak mustahil bahwa di tempat itu juga terdapat binatang buas. Karena itu, maka Mahisa Pukat harus berhati-hati. Mungkin saja tiba-tiba seekor harimau terlepas dari perangkapnya dan berusaha menerkamnya lagi.

Tetapi, agaknya dihutan kecil itu memang tidak terdapat seekor harimau pun. Yang terdapat dihutan itu ternyata adalah beberapa ekor ular. Seekor ular gadung yang tidak terlalu besar telah menyambarnya dari sebatang pohon. Untunglah Mahisa Pukat sempat meloncat menghindar. Meskipun ia mempunyai penangkal racun, namun ia masih belum merasa perlu untuk menunjukkan kepada para prajurit yang menilai pendadaran itu. Jika terdapat gigitan seekor ular, tetapi ia tidak mengalami sesuatu, maka hal itu akan dapat menarik perhatian.

“Mudah-mudahan tidak ada seorang pun yang digigit ular di sini” desis Mahisa Pukat. Ia memang menganggap tempat itu sangat berbahaya bagi sebuah pendadaran.

Beberapa puluh langkah lagi, maka langkah Mahisa Pukat pun terhenti. Ia melihat seekor ular sawah melintasi jalan yang akan dilaluinya. Tetapi karena ular sawah bukan termasuk ular yang berbahaya, maka Mahisa Pukat tidak bergeser dari tempatnya berdiri.

“Hutan ular” desis Mahisa Pukat. Bahkan ketika ia hampir sampai diujung hutan kecil itu, ia masih bertemu dengan seekor ular bandotan. Ular yang sangat berbisa, sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus bersiap-siap menghadapinya, karena ular bandotan memang sering menyerang lebih dahulu.

Tetapi justru karena Mahisa Pukat berdiri mematung, maka ular bandotan itu pun segera bergeser menjauh dan masuk ke dalam lebatnya hutan. Agaknya udara yang panas telah membuat ular-ular di hutan itu dan sekitarnya kepanasan dan mencari tempat yang lebih sejuk.

Demikianlah beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat telah berada di ujung hutan, sementara matahari telah lewat puncak langit. Jantungnya berdesir ketika demikian ia lewat hutan itu, maka ia telah melihat sebuah lagi gardu yang dijaga oleh beberapa orang prajurit. Ketika Mahisa Pukat mendekati gardu itu untuk menyatakan kehadirannya, maka para prajurit di gardu itu menyambutnya dengan sikap yang wajar. Memang agak berbeda dengan para prajurit yang ada di gardu setelah ia melewati hutan perburuan.

“Bukankah kau tidak apa-apa?” bertanya salah seorang prajurit, “maksudku, bukankah kau tidak dipatuk ular.”

“Hampir saja” jawab Mahisa Pukat, “ular gadung yang menyambar aku dari pepohonan dan ular bandotan”

“Sukurlah” desis prajurit itu. “Ada tiga orang yang tidak sempat menghindar sehingga dipatuk ular. Ketiganya masih ada di sini. Tetapi ketiganya sudah diobati.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Untunglah bahwa mereka sempat tertolong.”

“Setiap kali kami melihat keadaan. Atau mereka yang digigit ular biasanya berlari keluar dari hutan itu.”

Muhisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “agaknya gardu ini memang di tempatkan di sini bukan saja untuk mengamati para peserta pendadaran, tetapi juga untuk menolong mereka yang mengalami kecelakaan.”

“Ya” jawab salah seorang prajurit.

“Lalu bagaimana dengan mereka?” bertanya Mahisa Pukat sambil memperhatikan ketiga orang anak muda yang berbaring di sebuah amben yang besar di gardu itu.

“Keadaan mereka sudah berangsur baik” jawab prajurit itu.

“Maksudku, apakah dengan demikian mereka dianggap gagal dalam pendadaran yang mereka ikuti?”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut ia pun berkata, “Agaknya memang demikian anak muda. Karena itu kau dapat bersukur bahwa kau tangkas sehingga kau dapat lolos dari patukan ular dihutan itu seperti kawan-kawanmu yang lain.”

“Bukan karena ketangkasanku” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku justru diam mematung ketika ular itu lewat.”

“Jika demikian otakmulah yang tangkas” jawab prajurit itu.

“Terima kasih” jawab Mahisa Pukat yang sejenak kemudian minta diri untuk melanjutkan tugas pendadarannya.

Jalan yang dihadapinya kemudian nampaknya tidak lagi terlalu sulit. Meskipun jalan menjadi turun naik karena padang perdu yang memang tidak rata. Tetapi jalan yang menanjak dan menurun tidak terasa terlalu terjal. Namun demikian, langit terasa bagaikan membara. Matahari yang sudah melewati puncaknya justru terasa semakin panas. Sinarnya menerpa tubuh Mahisa Pukat serta memeras keringatnya dari seluruh wajah kulitnya.

Perasaan haus telah kembali mengganggunya. Meskipun demikian namun Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa ia tidak akan kehabisan tenaga sampai saatnya ia sampai ke tempat yang sudah ditentukan sebagai tujuan akhir dari pendadaran, seandainya ia tidak mendapat air.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat melintasi daerah yang agak tinggi, maka ia melihat dua punggung gumuk yang memanjang. Pengalamannya mengatakan, bahwa di antara kedua punggung gumuk yang memanjang itu terdapat sungai atau anak sungai meskipun mungkin sudah mengering. Karena itu, maka seperti yang telah dilakukan Mahisa Pukat ingin keluar dari jalur perjalanannya menuju ke tempat yang diperkirakan mengandung air itu. Bahkan sebuah anak sungai.

Tetapi sebelum ia benar-benar memasuki padang perdu yang panas itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara seseorang yang mengerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat melintasi tikungan ditebing yang agak tinggi. Demikian ia melampaui tikungan itu, maka ia pun telah melihat seseorang yang duduk bersandar tebing. Wajahnya pucat sementara keringatnya bagaikan terperas dari seluruh tubuhnya. Bibirnya nampak kering dan tubuhnya menjadi sangat lemah.

“Kau kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak tahan lagi. Leherku bagaikan terbakar.” desisnya hampir tidak terdengar.

“Apakah kau salah seorang peserta pendadaran untuk memasuki lingkungan Pelayan Dalam?” bertanya Mahisa Pukat. “Kau berada di urutan keberapa?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Dua puluh dua” jawab orang itu dengan nafas terengah-engah.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak bertanya anak-anak muda yang digigit ular itu berada pada urutan keberapa. Namun tanpa ditanya anak muda yang kehausan itu, berkata, “Sudah ada dua orang yang lewat mendahului aku. Tetapi mereka tidak berhenti sama sekali. Aku tidak menyalahkan mereka, karena mereka juga kehausan.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak berniat meninggalkan anak muda itu dalam keadaannya. Karena itu, maka katanya, “Tunggulah. Aku akan mencari air.”

“Kemana kau mencari air?” bertanya orang itu dengan suara yang lemah.

“Jika di dekat tempat ini ada air, aku akan mengambil untukmu.” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang. Kau akan melampaui waktu yang ditetapkan sehingga kau akan dianggap gagal pula.” berkata anak muda itu.

“Itu bukan soal. Tetapi keadaanmu yang sangat lemah ini memerlukan pertolongan. Seandainya aku gagal karena ini, aku tidak menyesal. Aku masih akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya atau untuk menjadi prajurit,” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu tidak menjawab. Sementara Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Tunggulah di sini. Bertahanlah.”

Sejenak kemudian maka Mahisa Pukat pun segera meloncat berlari menuju ke gumuk yang memanjang membujur hampir sejajar dengan jalan ayang harus dilalui. Ternyata Mahisa Pukat masih mampu berjalan cepat. Beberapa langkah dari gumuk yang ternyata merupakan tebing yang agak tinggi itu, Mahisa Pukat sudah mendengar gemericik air. “Air” desisnya.

Sebenarnyalah, ketika ia berdiri dialas tebing, ia melihat air yang mengalir. Meskipun tidak begit u deras, tetapi cukup melimpah dibanding dengan kebutuhan Mahisa Pukat. Dengan hati-hati Mahisa Pukat pun kemudian turun kesungai kecil itu. Dengan jari-jarinya ia menyibak air yang jernih dan kemudian dengan kedua telapak tangan yang ditakupkan maka ia pun meneguk air itu pula.

Tubuh Mahisa Pukat terasa segar kembali sebagaimana ketika ia minum sebelumnya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat masih belum benar-benar kehausan karena ia telah menemukan sumber air sebelum ia sampai ke hutan kecil itu. Tetapi yang juga penting baginya adalah bahwa ia ingin juga membantu anak muda yang kehausan itu.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah mencari daun tales yang lebar yang kebetulan tumbuh di pinggir sungai itu. Dengan daun tales itu Mahisa Pukat dengan hati-hati membawa air naik keatas tebing dan berjalan cepat-cepat kembali ke tempat anak muda itu menunggunya.

Ketika Mahisa Pukat sampai ke tempat anak muda itu, maka didapatinya anak muda itu terbaring diam. Matanya terpejam sedangkan bibirnya yang kering menganga. Dengan cepat Mahisa Pukat mendekatinya dan meraba dada orang itu. Ternyata bahwa nafasnya masih mengalir melalui lubang hidungnya.

Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menitikkan air kebibir yang kering itu. Setitik dua titik, ternyata telah membuat anak muda itu sadar kembali. “Minumlah” desis Mahisa Pukat.

Anak muda itu tersenyum. Titik-titik air itu benar-benar membuat tubuh anak muda itu menjadi bergetar kembali. Darahnya yang seakan-akan hampir berhenti mengalir itu, telah membuat jantungnya berdetak wajar. Perlahan-lahan anak muda itu telah bangkit dan duduk. Beberapa teguk ia minum air di daun tales yang lebar itu. Sejenak kemudian maka anak muda itu sudah dapat tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Aku merasa hidup kembali setelah nyawaku berada di ujung rambutku.”

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “sebentar lagi tenagamu akan tumbuh kembali meskipun tidak dapat dengan serta merta pulih kembali. Tetapi kau akan dapat meneruskan perjalanan. Setidak-tidaknya sampai ke gardu mendatang.”

Anak muda itu mengangguk. Katanya, “Ya. Aku akan meneruskan perjalanan sampai ke gardu. Berangkatlah lebih dahulu, agar kau tidak terlambat. Lihat matahari telah turun semakin rendah. Agaknya kau adalah orang terakhir dalam pendadaran ini.”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “aku memang orang terakhir.”

“Orang yang ke duapuluh tiga dan duapuluh empat sudah lewat beberapa saat yang lalu” desis anak muda itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah. Kita berjalan bersama-sama.”

“Jangan” berkata anak muda itu, “nanti kau terlambat”

Tetapi Mahisa pukat tidak mau meninggalkan anak muda itu. Dibantunya anak muda itu bangkit dan kemudian berjalan perlahan-lahan. Namun agaknya air yang telah diminum itu membuat anak muda itu mampu berjalan agak cepat.

“Aku tidak berharap untuk dapat diterima” berkata anak muda itu.

“Tetapi kaupun tidak seharusnya terbaring di padang perdu itu” jawab Mahisa Pukat.

Anak muda itu mengangguk kecil. Setelah beberapa saat mereka berjalan, maka keduanya terkejut. Mereka melihat muncul di hadapan mereka dua orang berkuda menuju kearah mereka. Meskipun mungkin mereka juga tergesa-gesa karena mereka tidak mau terlambat, tetapi setidak-tidaknya mereka dapat melaporkan kepada gardu berikutnya yang mereka lewati. Untunglah bahwa para prajurit itu merasa bertanggung jawab atas keselamatan para peserta sehingga dua orang yang masih belum lewat telah dicarinya.

“Tentang ketiga orang yang berada di gardu di sebelah hutan itu, agaknya para prajurit di gardu itu telah mendapat laporan” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Setidak-tidaknya dari para peserta.

“Jika belum prajurit itu tentu menanyakannya” berkata Mahisa Pukat kepada diri sendiri.

Demikianlah Mahisa Pukat pun telah menempuh bagian terakhir dari pendadarannya. Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Mahisa Pukat berjalan semakin cepat, sehingga sebelum matahari hilang dari langit menjelang senja, maka Mahisa Pukat telah memasuki lingkaran sasaran akhir dari pendadaran yang sedang dilakukannya. Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki sebuah pudukuhan yang diisyaratkan sebagai tujuan akhir. Padukuhan yang dikelilingi lingkungan persawahan dan pategalan yang subur.

Demikian Mahisa Pukat memasuki sebuah jalan yang agak lebar yang turun ke sebuah bulak yang luas, terasa betapa dadanya menjadi lapang. Dengan cepat ia melangkah menuju pintu gerbang padukuhan itu melewati pategalan yang sedang ditanami palawija. Agaknya air agak sulit mencapai daerah pategalan yang memang agak lebih tinggi. Namun pategalan itu bukannya pategalan yang gersang.

Ketika Mahisa Pukat mendekati pintu gerbang padukuhan itu, ternyata beberapa orang prajurit telah menunggu. Bahkan anak-anak muda banyak pula berdiri di seputar pintu gerbang itu. Agaknya mereka memang menunggu orang terakhir yang mengikuti pendadaran itu. Demikian Mahisa Pukat memasuki pintu gerbang, maka anak-anak muda itu pun bertepuk tangan riuh. Seorang prajurit menyatakan bahwa anak muda yang datang itu adalah peserta yang terakhir yang memasuki batas jarak pendadaran dalam waktu yang tidak lebih dari batas yang ditentukan.

Oleh seorang prajurit Mahisa Pukat langsung dibawa ke banjar padukuhan. Demikian ia memasuki halaman banjar, maka ia pun melihat beberapa orang perwira telah berada di banjar. Termasuk Gajah Saraya. Bahkan Mahisa Pukat pun melihat beberapa orang prajurit yang dapat dikenalinya sebagai para petugas yang berada di sepanjang lintasan pendadarannya.

Seorang prajurit yang bertugas menerima para peserta itu pun kemudian telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk langsung naik ke serambi samping. Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ia pun segera melangkah menuju keserambi samping. Prajurit yang mempersilahkan naik keserambi itu sempat berkata kepadanya, “Anak muda. Kau nampak masih begitu segar, sementara kawan-kawanmu semuanya nampak kelelahan.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku hanya berpura-pura. Sebenarnyalah aku hampir menjadi pingsan.”

Prajurit itu tersenyum. Katanya, “kau kira aku tidak dapat melihat keadaanmu dan keadaan kawan-kawanmu? Aku mampu memperbandingkannya. Aku justru ingin mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan pada pendadaran selanjutnya kau juga mampu menunjukkan kelebihanmu seperti sekarang ini.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menjawab, “Doakan saja Ki Sanak.”

Prajurit itu menepuk bahu Mahisa Pukat. Katanya, “Kau tentu memiliki tenaga setegar seekor kuda.”

Mahisa Pukat lah yang tersenyum. Katanya, “Mungkin. Tetapi seekor kuda kerdil.”

Prajurit itu tertawa. Sambil menunjuk ia berkata, “Di sana mereka yang baru saja menyelesaikan pendadaran menunggu. Ada beberapa orang yang tidak dapat mencapai tempat ini. Sayang sekali bahwa mereka tidak dapat ikut meramaikan pendadaran berikutnya."

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan aku dapat menembus pendadaran berikutnya. Tetapi apakah aku boleh mengerti, pendadaran ini diselenggarakan dalam berapa lapis?”

“Tentu boleh” jawab prajurit itu, “ada tiga lapis. Nampaknya kau sudah menyelesaikan pendadaran pada lapis pertama.”

“Mudah-mudahan” jawab Mahisa Pukat.

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia telah memandang keadaan di sekelilingnya. Baru kemudian ia berdesis, “Aku tidak ingin mendahului para perwira yang akan mengambil keputusan. Tetapi nampaknya kau memenuhi segala persyaratan. Bahkan melebihi dari yang lain, karena kau masih nampak paling tegar di antara kawan-kawanmu yang lain.”

Mahisa Pukat tertawa kecil. Katanya, “Kau masih saja memuji. Terima kasih.”

Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun segera naik ke serambi. Demikian ia memasuki serambi yang dibatasi dinding sebelah itu, maka dilihatnya beberapa orang yang duduk diatas tikar itu terbentang seluas serambi itu. Bahkan ada di antara mereka yang terbaring dan menjulurkan kaki kelelahan.

Mahisa Pukat tidak ingin mendapat perhatian lebih dari mereka yang telah berada diserambi. Mereka adalah anak-anak muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran. Terutama mereka yang menyelesaikan pendadaran pada giliran-giliran terakhir.

Karena itu, demikian ia melangkah masuk, maka ia pun segera menjatuhkan dirinya sambil menjelujurkan kakinya. Dipijit-pijitnya kakinya sehingga Mahisa Pukat pun nampak kelelahan seperti kawan-kawannya yang lain. Seorang yang bertubuh tinggi besar yang duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat bertanya, “Kaukah yang mendapat giliran terakhir?”

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “hampir saja aku tidak mencapai tempat ini.”

“Aku juga” berkata anak muda yang bertubuh raksasa itu, “untunglah bahwa pada saat-saat terakhir aku masih mampu mengerahkan sisa-sisa tenagaku meskipun nafasku hampir terputus.”

“Aku hampir berputus asa” desis seorang anak muda yang bertubung sedang. Namun pada tubuhnya yang sedang itu nampak tersimpan kekuatan yang besar. Meskipun demikian ia juga nampak kelelahan sebagaimana anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sesaat kemudian, seorang anak muda yang berjambang lebat, berkumis tebal dan berikat kepala hitam memasuki serambi itu pula. Nampaknya ia justru sudah cukup lama beristirahat sehingga tubuhnya sudah nampak semakin segar. Dengan nada tinggi ia berkata, “Baru pada pendadaran pertama, kalian sudah hampir mati kehabisan nafas. Bagaimana dengan pendadaran berikutnya? Kenapa kalian tidak menarik diri saja daripada hanya membuang-buang waktu?”

Anak muda yang bertubuh raksasa itu mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau peserta pada urutan keberapa?”

“Kedua” jawab anak muda yang berjambang lebat itu.

“Kau sudah sempat beristirahat” desis yang bertubuh raksasa tetapi masih kelelahan itu.

“Sejak aku sampai ke tempat ini, aku sama sekali tidak merasa letih. Aku tetap segar. Pendadaran ini tidak berarti apa-apa bagiku.” jawab anak muda yang berjambang lebat.

Mahisa Pukat mulai cemas bahwa pembicaraan itu akan berkepanjangan. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh raksasa itu berdesis, “Ternyata aku harus memikul beban berat badanku lebih dari berat badanmu. Aku hampir mati di perjalanan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan itu pun terhenti karenanya. Justru karena pengakuan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dalam pada itu, seorang prajurit telah datang untuk memberitahukan kepada Mahisa Pukat, bahwa telah disediakan minuman dan makanan di dapur banjar itu.

Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih.”

“Apakah kau masih dapat berjalan ke dapur?” bertanya prajurit itu.

“Tentu” jawab Mahisa Pukat, “tenggorokanku kering dan sudah tentu perutku sangat lapar.”

Mahisa Pukat pun kemudian berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuruni tangga serambi. Sementara itu anak muda berjambang lebat itu tertawa sambil berkata, “Seharusnya kau tidak usah ikut pendadaran ini. Ikut saja pendadaran untuk menjadi juru madaran.”

Mahisa Pukat memang berpaling. Tetapi ia tidak ingin menjawab. Namun yang justru menjawab adalah anak muda bertubuh raksasa, “Tetapi ia berhasil mencapai batas akhir seperti kita. Aku juga kelelahan dan hampir semuanya mengalaminya. Bahkan barangkali kau pun juga kelelahan ketika kau baru saja datang.”

“Tidak” jawab anak muda berjambang itu, “aku datang dalam keadaan yang masih segar sama sekali.”

Anak muda berjambang itu tidak mengira bahwa prajurit yang mempersilahkan Mahisa Pukat itulah yang menyahut, “Jangan berbohong. Aku melihat bagaimana kau memasuki pintu gerbang banjar ini.”

Anak muda itu berpaling. Wajahnya memang menjadi merah. Namun ia masih juga menjawab, “Tetapi bagaimanapun juga, aku memasuki halaman ini dalam keadaan yang lebih baik dari kalian semuanya.”

Ternyata anak-anak muda yang lain merasa lebih baik berdiam diri. Mereka masih ingin beristirahat. Karena itu maka mereka tidak merasa perlu untuk berbantah.

Mahisa Pukat yang berjalan ke dapur agaknya lupa bahwa ia seharusnya masih kelelahan. Tetapi Mahisa Pukat berjalan setegar prajurit yang mengajaknya ke dapur. Anak-anak muda diserambi tidak sempat memperhatikannya. Tetapi prajurit itu berkata, “Keadaanmu jauh lebih baik dari anak muda berjambang itu.”

“Aku kelelahan, kehausan dan kelaparan,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi aku sempat beristirahat sejenak, sehingga keadaanku menjadi lebih baik.

Prajurit itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah berada di dapur untuk meneguk minuman hangat dan makan. Tetapi petugas yang menghidangkan kepadanya memperingatkan bahwa sebaiknya Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meneguk minumannya dan jangan makan terlalu banyak.

Malam itu, semua peserta harus tidur di banjar. Besok pagi-pagi mereka akan mendengarkan beberapa keterangan tentang pendadaran pada tataran pertama itu. Namun, malam itu Mahisa Pukat sempat berbicara dengan beberapa orang peserta pendadaran. Di antara mereka, tidak seorangpun yang mengalami bertemu seekor harimau di hutan perburuan. Hanya Mahisa Pukat sebagai orang terakhir sajalah yang mendapat serangan seekor harimau loreng yang besar dan justru kelaparan.

Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menganggap bahwa yang terjadi itu satu usaha untuk menggagalkan pendadaran yang dijalaninya. Mungkin secara kebetulan memang ada seekor harimau lapar yang keluar dari hutan disaat ia lewat.

Sementara hal itu masih menjadi teka-teki, Mahisa Pukat tidak membesar-besarkan persoalan itu. Bahkan dengan sadar ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan bahwa ia telah diserang seekor harimau sehingga anak muda yang diajaknya berbicara segera melupakan pertanyaan Mahisa Pukat tentang seekor harimau di hutan perburuan.

Malam itu ternyata semua prajurit yang bertugas dalam pendadaran sudah berkumpul. Mereka memberikan laporan kepada para petugas yang akan menentukan, siapakah yang dianggap mampu menyelesaikan pendadaran pada tataran pertama dengan baik dan siapa yang tidak.

Dalam pada itu Gajah Saraya sebagai Manggala Pelayan Dalam menunggui pembicaraan penentuan itu. Tetapi ia tidak banyak ikut campur. Ia sudah mempercayakan keputusan itu kepada para perwira yang ditunjuknya untuk melakukan pendadaran itu.

Dari duapuluh lima peserta pendadaran ternyata delapan orang dinyatakan gagal. Dengan demikian maka tujuh belas orang akan mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Ketika keputusan itu diumumkan pada pagi harinya, maka para peserta itu sudah tidak terkejut lagi. Bahkan mereka yang gagal pun telah merasa sejak sebelumnya, bahwa mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.

Mahisa Pukat ternyata mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran para tataran berikutnya. Meskipun ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, khusus bagi dirinya, namun ternyata ia telah mampu mengatasi bukan saja pendadaran itu sendiri, tetapi juga satu sikap yang tidak wajar terhadap dirinya. Terutama ketika tiba-tiba saja seekor harimau telah menyerangnya ketika ia berada di hutan perburuan. Juga kenapa para prajurit yang bertugas di gardu dibelakang hutan perburuan itu merasa heran, bahwa pisaunya tidak bernoda darah. Tetapi Mahisa Pukat tidak mengungkapkan kecurigaannya itu kepada kawan-kawannya.

Baru kemudian, ketika Mahisa Pukat dan para peserta itu diperkenankan pulang ke rumah masing-masing untuk menunggu saatnya pendadaran pada tataran kedua, Mahisa. Pukat menceriterakan kecurigaannya itu kepada ayahnya.

Mahendra mengangguk-angguk mendengar pengaduan anaknya itu. Namun demikian ia berkata, “Tetapi ternyata kau masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Bersyukurlah bahwa kau masih akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya ayah. Mudah-mudahan aku dapat menyelesaikan pendadaran pada tataran-tataran berikutnya dengan baik.”

“Karena itu, berdoalah. Kau tidak dapat sekedar mengandalkan kemampuan dan ilmumu. Tetapi juga perkenan dari Yang Maha Agung. Meskipun menurut perhitungan lahiriah kau mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang lain, tetapi mungkin ada unsur-unsur yang tidak diketahui sebelumnya, sebagaimana tiba-tiba hadirnya seekor harimau di hutan perburuan itu, akan dapat mengganggu pelaksanaan pendadaranmu. Bahkan mungkin menggagalkannya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ayahnya, karena ia pun pernah mendengar ayahnya berkata meskipun tidak langsung, bahwa ada orang yang tidak menginginkannya menjadi Pelayan Dalam. Bukan karena sikap dan tingkah laku Mahisa Pukat atau karena sebab-sebab lain yang menyangkut anak muda itu, karena orang tidak senang melihatnya memasuki lingkungan Pelayan Dalam itu belum mengenal secara pribadi anak muda itu. Tetapi justru karena orang itu merasa tersinggung bahwa Mahendra telah berhubungan langsung dengan Sri Maharaja.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat memang harus berhati-hati untuk seterusnya. Ia memang harus selalu berdoa untuk mendapat perlindungan dan bimbingan dari Yang Maha Agung.

Dalam pada itu, diluar pengetahuan Mahisa Pukat, maka beberapa orang tengah membicarakan kelebihan seorang anak muda peserta terakhir dari pendadaran itu. Seorang dari antara para prajurit yang bertugas telah berbincang dengan seorang kawannya tentang kelebihan Mahisa Pukat.

“Harimau itu diketemukan mati” desis salah seorang dari prajurit itu.

“Ya. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya membunuh harimau itu. Harimau itu tidak terluka pada kulitnya. Pisaunyapun tidak berbekas darah.” sahut kawannya.

“Anak muda itu sengaja memancing harimau itu ke padang perdu sehingga sulit untuk dapat diawasi. Baru kemudian harimau itu dibunuhnya” berkata orang yang pertama.

“Apakah ia mengetahui bahwa ada orang yang sedang mengintipnya?” bertanya yang lain.

“Lebih dari itu, apakah ia mengetahui bahwa harimau itu sengaja dilepaskan untuk menjebaknya agar ia gagal?” desis prajurit yang pertama.

“Untunglah bahwa ia tidak justru terbunuh oleh harimau itu” berkata kawannya.

“Jika terjadi demikian, itu adalah salahnya sendiri. Ia telah menjauhkan diri dari kita yang siap membantunya.” berkata prajurit yang pertama.

“Tetapi cara yang kita lakukan memang berbahaya sekali bagi keselamatannya. Sebenarnya ada cara lain yang lebih aman jika sekedar ingin menggagalkan pandadaran yang dilakukannya” berkata prajurit itu.

“Tidak. Tidak ada cara yang lebih baik tanpa menimbulkan kecurigaan. Tetapi cara itu ternyata telah gagal. Mungkin pada pendadaran berikutnya akan dapat diketemukan cara yang lebih baik dan tidak menimbulkan kecurigaan pula.”

Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak tahu, kenapa peserta terakhir itu harus digagalkan. Yang dilakukannya adalah sekedar menjalankan perintah dari pemimpin kelompoknya yang bersifat rahasia, karena hanya beberapa orang prajurit sajalah yang mengetahuinya. Khususnya yang ada di gardu di sebelah hutan perburuan itu.

Demikianlah, maka dihari-hari berikutnya, Mahisa Pukat yang menunggu pendadaran berikutnya itu masih saja selalu berada di sanggarnya. Ia sempat pula berceritera kepada Sasi pengalaman pendadaran pada tataran pertama. Tetapi ia sama sekali tidak menceriterakan bahwa ia mencurigai adanya usaha untuk menggagalkan keberhasilannya dalam pendadaran itu.

Sasi pun ikut berharap bahwa Mahisa Pukat akan dapat berhasil. Ia tahu bahwa Mahisa Pukat adalah salah seorang pemimpin dari sebuah padepokan. Tetapi Sasi memang lebih senang tinggal di Kotaraja daripada di padepokan yang terpencil. Meskipun sebelumnya ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan ingkar jika seandainya ia harus mengikuti seseorang yang dicintainya kemanapun juga.

Tetapi jika ada kesempatan yang lebih baik serta ada kemungkinan untuk menjatuhkan pilihan, maka ia akan memilih untuk tetap berada di Kotaraja, dekat dengan ayah dan ibunya serta dalam suasana lingkungan yang sudah dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak. Karena itu, maka Sasi pun telah mendorong agar Mahisa Pukat berhasil melintasi pendadaran-pendadaran yang ternyata cukup berat.

“Jadi masih ada dua tataran lagi?” bertanya Sasi.

“Ya Sasi” jawab Mahisa Pukat, “aku minta kau berdoa agar aku berhasil mengatasinya.”

“Tentu kakang. Aku akan selalu berdoa. Bahkan mungkin ayah akan dapat membantumu, agar kau dapat diterima tanpa kesulitan” sahut Sasi.

“Tidak Sasi. Jangan melibatkan ayahmu. Biarlah aku berusaha dengan kemampuanku sendiri. Sekaligus aku akan dapat menguji, seberapa jauh kemampuan yang aku miliki sebagai bekal hidupku di masa mendatang. Apalagi aku yakin, bahwa ayahmu tentu akan menolaknya. Ayahmu tentu juga ingin tahu, apakah aku memiliki kemampuan yang pantas sebagai seorang anak muda” cegah Mahisa Pukat dengan serta-merta.

Sasi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika itu yang kau kehendaki, aku tentu sependapat.”

“Yang masih tinggal tidak begitu banyak lagi Sasi. Tinggal tujuhbelas orang. Sedangkan sepuluh di antaranya akan diterima menjadi Pelayan Dalam.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Dengan demikian maka Sasi pun ikut berharap-harap cemas. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, Sasi memang tidak akan minta bantuan ayahnya. Tetapi ia hanya sekedar menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Mahisa Pukat.

Arya Kuda Cemani tersenyum mendengar ceritera Sasi. Katanya kemudian, “Jika pendadaran-pendadaran itu berlangsung wajar, maka Mahisa Pukat tentu dapat diterima. Ia memiliki kelebihan dari semua peserta. Kecuali jika terjadi hal yang tidak wajar. Jika hal yang tidak wajar itu terjadi, maka adalah kewajibanku untuk memberikan laporan meskipun segala keputusan terakhir bukan lagi wewenangku.”

Sasi memang menjadi berbesar hati. Dengan demikian, maka kemungkinan terbesar adalah bahwa Mahisa Pukat akan dapat diterima, menjadi Pelayan Dalam di istana Sin-gasari.

Dalam pada itu, Gajah Seraya dan beberapa orang perwira prajurit Singasari sedang mempersiapkan pendadaran pada tataran kedua. Peserta yang ikut dalam pendadaran itu tinggal tujuh belas orang. Namun Gajah Saraya kemudian berkata kepada para perwira yang ikut menyelenggarakan pendadaran,

“Kita tidak harus mengambil sepuluh orang dari mereka. Jika yang tujuhbelas orang itu ternyata tidak memenuhi syarat dan gagal dalam pendadaran berikutnya, maka mungkin semuanya akan batal. Tidak seorang pun yang dapat diangkat. Kita harus mencari orang-orang baru yang memiliki kemampuan lebih baik sehingga kita harus mulai lagi pendadaran sejak tataran pertama.”

Para perwira yang lain hanya mengangguk-angguk. Ia menganggap bahwa ketentuan itu wajar. Yang penting bagi Gajah Saraya bukan sekedar sepuluh orang. Tetapi sepuluh orang yang benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi seorang Pelayan Dalam.

Dalam pada itu, maka para perwira yang mempersiapkan pendadaran pada tataran berikutnya itu telah menentukan bersama Gajah Saraya, bahwa setiap orang yang mengikuti pendadaran akan saling bertempur untuk menilai kemampuan olah kanuragan mereka masing-masing. Setiap anak muda yang mengikuti pendadaran itu akan bertempur masing-masing empat kali dengan lawan yang berlainan di antara para peserta itu sendiri.

Dengan demikian maka para perwira yang menilai para peserta itu akan dapat menilai dan memperbandingkan kemampuan para peserta itu, sehingga mereka akan dapat memilih anak-anak muda yang terbaik di antara mereka. Anak-anak muda yang kemampuannya berada di bawah bekal yang diharapkan pada seorang Pelayan Dalam, tidak akan dapat mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya. Seandainya semuanya memiliki kemampuan yang cukup, maka pendadaran berikutnyalah yang akan menentukan siapakah diahtara mereka yang terpilih.”

Untuk mengatur giliran para peserta itu memang agak rumit. Namun pada dasarnya hal itu akan dapat diatur kemudian dengan undian. Setelah hal itu disetujui dan diatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan pendadaran pada tataran berikutnya itu, maka para peserta yang tinggal tujuhbelas orang itu pun segera dipanggil untuk menerima penjelasan dari Gajah Saraya langsung.

Di antara mereka memang termasuk Mahisa Pukat. Bagi Mahisa Pukat memang tidak ada masalah jika ia harus bertanding empat kali dengan lawan yang berbeda. Meskipun demikian Mahisa Pukat memang tidak pernah merendahkan siapapun juga.

Pada hari yang ditentukan, maka pertandingan di antara para peserta pendadaran itu akan segera dilangsungkan. Pada hari yang pertama, maka baru dilakukan undian urutan dari pertandingan. Selanjutnya pertandingan akan diselenggarakan pagi dan sore hari. Seseorang paling banyak hanya akan bertanding dua kali dalam sehari. Pagi dan sore.

Karena itu maka pertandingan itu memang akan memakan waktu agak panjang. Tetapi waktu yang panjang itu memang tidak menjadi soal karena pendadaran itu dianggap sangat penting bagi seorang yang akan memasuki lingkungan Pelayan Dalam. Sedikitnya akan diperlukan waktu tiga hari untuk keperluan pendadaran itu.

Demikianlah, maka para peserta itu harus mempersiapkan diri mereka baik-baik. Menjelang malam, para peserta harus sudah berkumpul dan mereka akan bermalam di tempat yang sudah disediakan. Pada pagi harinya mereka akan mulai dengan pendadaran pada tataran kedua. Setelah undian selesai, maka Mahisa Pukat sempat singgah di rumah Sasi untuk memberitahukan bahwa besok pagi ia sudah harus mulai dengan pertandingan-pertandingan dalam rangka pendadaran.

Sementara itu, ayah Sasi yang kebetulan ada dirumah dan ikut menemui Mahisa Pukat berkata, “Aku akan melihat pertandingan-pertandingan dalam rangka pendadaran itu seutuhnya. Aku, atas dasar tugas yang aku emban, berhak untuk berbuat demikian, agar pendadaran itu dapat berlangsung Wajar.”

Mahisa Pukat mengangguk hormat. Ia memang tidak mengatakan bahwa terjadi sesuatu yang dianggapnya tidak wajar ketika seekor harimau tiba-tiba saja keluar dari hutan perburuan, sementara duapuluh empat orang yang lain tidak menjumpainya. Meskipun secara kebetulan hal itu dapat saja terjadi, tetapi ada juga kecurigaan dihati Mahisa Pukat.

Ketika senja turun, maka Mahisa Pukat pun minta restu kepada ayahnya untuk memenuhi ketentuan bahwa malam itu ia dan para peserta yang lain harus sudah berkumpul di tempat yang ditentukan. Besok pagi-pagi, pendadaran akan dimulai dengan pertandingan pada putaran pertama.

Malam itu tujuhbelas orang anak muda telah berkumpul. Mereka masing-masing telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka yang kelelahan pada pendadaran di tataran pertama telah nampak segar kembali. Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak lagi duduk menjelujurkan kakinya. Wajahnya tidak lagi nampak lesu dan muram. Tetapi sambil tersenyum ia menyapa kawan-kawannya yang juga sudah menjadi segar pula.

Ketika Mahisa Pukat datang, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu menghampirinya. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah kau sudah benar-benar siap menghadapi pendadaran esok?”

Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Katanya, “Sejauh dapat aku lakukan.”

“Aku justru curiga kepadamu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu.

“Apa yang kau curigai?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang-orang yang pendiam dan rendah hati seperti kau itu biasanya justru mempunyai kelebihan dari banyak orang. Berbeda dengan anak muda yang berjambang lebat itu. Tidak lebih dari beriaknya air sungai yang dangkal dan berbatu-batu. Sama sekali tidak ada kedalaman.”

“Belum tentu” jawab Mahisa Pukat.

“Memang belum tentu. Tetapi agaknya kau pun menilai aku terlalu banyak berbicara sehingga tidak lebih dari air yang beriak itu.” berkata anak muda itu sambil tertawa.

“Ah tidak. Kau lain. Aku justru tidak curiga kepadamu. Tenaga dan kemampuanmu akan sesuai dengan tubuhmu yang seperti raksasa itu.” berkata Mahisa Pukat.

Malam itu mereka yang esok akan menempuh pendadaran sempat saling berbincang. Ada yang sudah mulai meluncurkan ungkapan-ungkapan yang mempunyai pengaruh jiwani kepada yang lain, terutama yang esok atau lusa akan berhadapan dalam pertandingan. Mereka berniat saling melemahkan ketahanan jiwani bakal lawan dalam pertandingan. Bahkan ada yang berceritera berlebihan tentang kemampuannya. Ada juga yang berceritera tentang perguruannya serta kemampuan yang sampai menyentuh langit.

Mahisa Pukat sendiri hanya sempat mendengarkan. Ia tidak terbiasa untuk berceritera sambil menyombongkan diri atau lingkungannya. Bahkan kadang-kadang sama sekali tidak dapat dimengerti.

Anak muda yang bertubuh raksasa itu sempat berdesis di telinga Mahisa Pukat, “Nah, kau dengar apa yang mereka ceriterakan? Mereka berebut kesempatan untuk menyombongkan diri sendiri? He, jangan ditertawakan. Aku juga akan berbuat seperti mereka agar aku tidak menjadi orang asing di sini. Jika kau tidak ikut-ikutan, maka kau tidak akan terkenal di sini. Lawan-lawanmu besok akan maju ke arena dengan keyakinan penuh untuk mengalahkanmu. Tetapi jika kau mau sedikit membual, maka mereka tentu akan mempertimbangkannya sehingga keyakinannya tidak utuh lagi.”

“Apakah itu perlu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Pengaruhnya cukup besar” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil tersenyum. Katanya, “Aku tidak biasa berbuat seperti itu.”

“Bukankah dengan demikian kau pantas dicurigai?”

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa. Sambil menepuk pundak Mahisa Pukat ia berkata, “Ternyata kau memiliki keyakinan yang sangat teguh terhadap dirimu sendiri. Aku berani bertaruh, bahwa dalam empat kali pertandingan, kau tidak akan dikalahkan.”

“Ah” desah Mahisa Pukat, “belum tentu! Bukankah tidak ada kelebihan apa-apa padaku selain aku tidak cakap membual?”

“Tetapi aku berani bertaruh. He, kau mau kita bertaruh? Jika kau kalah sekali saja, maka biarlah aku yang menang dalam taruhan ini.”

“Ah, kau ini. Sudahlah, membuallah jika kau ingin membual.” berkata Mahisa Pukat.

Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa berkepanjangan, sehingga beberapa orang telah berpaling kepadanya. Tetapi anak muda itu tidak dengan serta merta diam. Bahkan ia telah mengambil sepotong besi yang nampaknya sudah dibawa dari rumahnya dan diletakkan di sudut ruangan. Sambil mengacungkan sepotong besi yang panjangnya dua jengkal itu ia berkata sambil menunjuk Mahisa Pukat, “Anak muda yang ikut pendadaran pada tataran pertama itu tidak percaya bahwa aku dapat membengkokkan sepotong lempeng besi ini.”

Anak-anak muda yang ada di ruang itu terdiam. Mereka semuanya memadang ke arah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ditangannya terdapat sebuah lempeng besi yang panjangnya dua jengkal itu. Namun pada wajah beberapa orang memang nampak bahwa mereka juga tidak percaya bahwa anak muda itu dapat membengkokkan lempeng besi di tangannya itu meskipun anak muda itu bertubuh raksasa.

“Nah, aku ingin membuktikan kepada peserta terakhir ini, bahwa aku dapat melakukannya,” berkata anak muda itu.

Semuanya pun terdiam. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Sementara itu, anak muda bertubuh raksasa itu telah memusatkan kekuatannya di kedua telapak tangannya. Anak muda itu pun kemudian telah menghentakkan kekuatannya. Tangannya yang berusaha membengkokkan besi itu menjadi gemetar. Wajahnya menjadi semburat merah. Namun perlahan-lahan besi itu memang menjadi bengkok sehingga kedua ujungnya bertemu.

Ruangan itu benar-benar dicengkam ketegangan. Anak muda yang berjambang lebat itu pun memandang pameran kekuatan itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Demikian kedua ujung lempeng besi itu bertemu, maka anak muda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadar, dengan serta-merta beberapa orang anak muda bertepuk tangan. Namun anak muda yang berjambang tebal itu justru bangkit dan mendekatinya.

Ternyata anak muda yang berjambang lebat itu ingin membuktikan apakah yang dibengkokkan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar sepotong besi. Anak muda yang bertubuh raksasa itu tanggap akan maksud kawannya yang berjambang lebat itu. Karena itu, maka ia pun segera menyerahkan sepotong besi itu kepadanya. Sebenarnyalah yang kemudian digenggamnya itu benar-benar sepotong lempeng besi yang cukup tebal. Sehingga ia pun baru yakin bahwa anak muda bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Tetapi, bagi anak muda itu serta beberapa orang yang lain, kekuatan yang besar bukan satu-satunya senjata untuk dapat mengalahkan lawan dalam sebuah pertandingan. Kecerdikan, kecepatan gerak dan ketahanan tubuh termasuk di antara beberapa jenis senjata untuk memenangkan pertandingan. Meskipun demikian, apa yang telah ditunjukkan oleh anak muda bertubuh raksasa itu memang mendebarkan. Apalagi mereka yang pada gilirannya akan bertanding melawannya.

Demikianlah, anak muda bertubuh raksasa itu telah duduk kembali di dekat Mahisa Pukat. Sambil menyerahkan besi yang sudah dibengkokkannya itu ia berkata, “He, apakah kau lihat bagaimana aku membual?”

“Ya” jawab Mahisa Pukat. “Tetapi kau tidak sekedar membual karena kau benar-benar mampu melakukannya.”

“Sudahlah” anak muda bertubuh raksasa itu berdesis, “Aku masih mempunyai kesempatan untuk menakut-nakuti bakal lawanku besok. Aku bukan orang yang terlalu yakin akan diriku sendiri seperti kau.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah bahwa pembicaraan di antara anak-anak muda itu memang menjadi semakin ramai. Seperti yang dikatakan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu, bahwa mereka memang sedang saling membual, menyombongkan diri dan berusaha mempengaruhi perasaan calon lawan bertanding dengan berbagai macam cara yang bagi Mahisa Pukat justru menggelikan.

Namun beberapa saat kemudian, maka pertemuan itu pun berakhir. Seorang prajurit telah mempersilahkan mereka untuk beristirahat. “Kalian harus tidur dan cukup beristirahat. Besok kalian akan turun ke gelanggang pertandingan dalam rangka pendadaran.” berkata prajurit itu.

Anak-anak muda itu pun kemudian menebar ke tempat pembaringan mereka masing-masing. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah mengembalikan sepotong lempeng besi yang tebal dan yang telah dibengkokkan oleh anak muda yang bertubuh raksasa itu kepadanya.

Dalam pada itu Mahisa Pukat ternyata mendapat tempat untuk tidur tidak dalam bilik yang sama dengan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun, demikian ia membaringkan dirinya, maka ia melihat anak muda yang bertubuh raksasa itu mendatanginya sehingga bukan saja Mahisa Pukat yang terkejut. Tetapi anak muda yang lain yang ada di dalam bilik itu pun terkejut.

“Oh” anak muda bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Katanya dengan wajah yang sedikit panas, “Maaf, aku minta maaf telah mengejutkan kalian. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan anak muda itu. Selagi aku masih ingat. Jika aku menunggu besok, mungkin aku sudah lupa.”

Ketika anak-anak muda yang lain tidak menghiraukannya lagi, maka anak muda bertubuh raksasa itu duduk di pembaringan Mahisa Pukat yang juga sudah duduk pula, sambil berkata, “Ternyata kau memiliki kekuatan iblis. Aku tadi tidak sadar, bahwa kau menyerahkan sepotong besi yang sudah menjadi lurus kembali ini. Kau lihat, bagaimana aku mengerahkan segenap kekuatanku untuk membengkokkannya. Tetapi kau dengan mudah meluruskannya kembali, karena aku tidak melihat bagaimana kau mengerahkan kekuatanmu untuk melakukannya.”

“Sudahlah, tidurlah” desis Mahisa Pukat, “anggap saja bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Kau tidak perlu membuat tempat ini menjadi ricuh karena kau masih ingin membual selagi yang lain sudah ingin tidur.”

“Apakah jika hal ini aku katakan kepada seseorang aku dianggap membual? Bukankah hal seperti ini benar-benar sudah terjadi dan bukan sekedar bualan?”

“Sudahlah. Tidurlah. Kau harus beristirahat. Besok kau akan turun ke gelanggang.” desis Mahisa Pukat.

“Untunglah bahwa aku bukan salah seorang di antara lawan-lawanmu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu sambil berdiri dan siap untuk meninggalkan Mahisa Pukat. Tetapi ternyata ia masih berkata, “Aku tantang kau bertaruh. Satu berbanding seratus. Jika sekali saja kau kalah dari keempat lawanmu, kau dianggap menang.”

“Sudahlah. Aku akan tidur” desis Mahisa Pukat sambil membaringkan tubuhnya dipembaringannya.

Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Ternyata kita tidak bertemu dalam pendadaran itu. Sayang, bahwa aku juga tidak bertemu dengan anak muda berjambang itu.”

“Aku lah yang akan bertemu dengan anak muda itu pada hari pertandingan terakhir.” berkata Mahisa Pukat.

“Pertandingan keempat maksudmu?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu.

“Ya” jawab Mahisa Pukat, “tetapi sejak sekarang aku sudah menjadi berdebar-debar. Nampaknya anak muda itu sangat meyakinkan. Ia menempuh pendadaran pertama tanpa kelelahan.”

“Itulah beriaknya air yang dangkal” jawab anak muda bertubuh raksasa itu. Lalu katanya pula, “Bukankah kau dengar apa yang dikatakan oleh prajurit yang membawamu ke dapur itu?”

Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Yang penting, aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan.”

“Bagus” berkata anak muda bertubuh raksasa itu, “aku juga berbuat seperti itu.”

Anak muda bertubuh raksasa itu pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat sambil menimang sepotong besinya. Sekali-sekali ia masih menggelengkan kepalanya sambil berdesis, “Kekuatan apa yang membuat anak itu demikian perkasa. Tidak seorang pun dapat melakukannya tanpa diketahui orang lain, tanpa mengerahkan segenap kekuatan dan tenaganya.”

Di dalam hati anak muda itu memang merasa malu sekali. Betapa ia menyombongkan diri dengan menunjukkan kekuatan raksasanya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi dan besar. Namun anak muda peserta terakhir pada pendadaran di tataran pertama itu, tanpa diketahuinya telah mampu menyamai kekuatannya bahkan lebih dari itu, tanpa menyombongkan dirinya.

“Untunglah, bahwa aku tidak berhadapan dengan anak muda yang luar biasa itu.” berkata anak muda bertubuh raksasa itu di dalam dirinya.

Di pembaringannya, anak muda bertubuh raksasa itu justru tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia masih saja dibayangi oleh kelebihan Mahisa Pukat yang tidak diduganya sebelumnya. Meskipun ia memang menganggap bahwa anak muda itu mempunyai keyakinan yang mantap atas kemampuan diri serta daya tahan yang luar biasa sebagaimana dilihatnya pada pendadaran yang pertama, tetapi ia tidak menduga bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang lebih besar dari kekuatannya.

Namun ketika malam menjadi semakin malam, anak muda itu berhasil meletakkan gejolak perasaannya, sehingga ia pun tertidur karenanya. Ia memang memerlukan istirahat yang cukup karena dikeesokan harinya ia harus turun ke gelanggang pertandingan dalam rangka pendadaran tataran yang kedua.

Ketika fajar mulai naik dihari berikutnya, maka anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu pun telah bangun. Bergantian mereka mandi dan berbenah diri. Beberapa saat kemudian, mereka pun mendapat kesempatan untuk makan pagi sebelum mereka akan turun kegelanggang.

Untuk beberapa lama mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah makan. Sambil bersiap-siap untuk turun kearena pertandingan mereka melihat-lihat tempat yang sudah dipersiapkan. Mereka melihat beberapa lingkaran yang dibatasi dengan gawar. Ada delapan lingkaran dimana anak-anak muda itu akan bertanding.

Gajah Saraya sendirilah yang memberikan beberapa petunjuk dan penjelasan tentang pertandingan yang akan segera diselenggarakan. Dengan tegas Gajah Saraya berkata, “Semuanya harus berlangsung dalam kewajaran. Jika ada yang berbuat curang, maka ia akan disisihkan dari kemungkinan untuk dapat mengikuti pendadaran berikutnya. Sementara itu, kami akan memilih orang terbaik yang akan lolos ke pendadaran pada tataran ketiga. Tetapi perlu diketahui, bahwa kami tidak terikat untuk menerima sepuluh orang di antara kalian. Tetapi sepuluh orang yang memenuhi syarat. Jika di antara kalian tidak seorang pun yang memenuhi syarat maka sudah tentu kami tidak akan dapat menerima seorang pun di antara kalian, sehingga kami harus mencari orang-orang baru untuk mulai lagi dengan pendadaran pada tataran pertama.”

Penjelasan Gajah Saraya cukup dimengerti oleh para peserta. Karena itu, maka mereka pun bertekat untuk dapat lolos dari pendadaran dan bahkan dapat dianggap memenuhi syarat untuk menjadi Pelayan Dalam. Karena seperti dikatakan oleh Gajah Saraya, Manggala dari Pelayan Dalam, bahwa yang terpenting bukannya sepuluh orang terbaik di antara mereka, tetapi sepuluh orang itu harus memenuhi syarat.

Dalam pada itu, ketika Matahari mulai naik, maka para peserta pun sudah mulai bersiap-siap untuk memasuki arena. Beberapa orang prajurit pun segera sibuk mengatur mereka, sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan yang didasari dengan undian yang sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya.

Demikianlah, delapan orang anak muda telah memasuki delapan buah lingkaran yang diberi gawar lawe. Sejenak kemudian, maka delapan orang berikutnya telah memasuki gawar itu pula sesuai dengan lawan yang telah ditentukan. Sedangkan seorang di antara mereka harus menunggu pada giliran di sore hari, karena belum mendapat lawan.

Setiap lingkaran diawasi oleh dua orang prajurit yang bertugas khusus. Sementara itu ada beberapa orang perwira yang menyaksikan pertandingan itu dalam keseluruhan sebagai petugas yang ditetapkan pula. Namun ternyata selain mereka, telah hadir pula Arya Kuda Cemani dengan beberapa orang perwiranya dari Petugas sandi Singasari untuk menilai apakah pendadaran itu berlangsung wajar.

Gajah Saraya memang tidak mengharapkan kehadiran mereka. Tetapi Gajah Saraya tidak dapat menolak, karena Arya Kuda Cemani adalah Senapati dari Prajurit Sandi Singasari. Tetapi, Arya Kuda Cemani sendiri memang tidak terlalu bersungguh-sungguh memperhatikan pertandingan-pertandingan itu. Tetapi beberapa orang perwira yang mendapat tugas daripadanya telah hadir dekat dengan gawar-gawar lawe pada kedelapan lingkaran pertandingan itu.

Di antara mereka yang bertanding itu terdapat anak muda yang bertubuh raksasa yang mempunyai kekuatan yang sangat besar itu. Lawannya yang bertubuh sedang mengetahui, bahwa anak muda yang bertubuh raksasa itu terlalu kuat. Karena itu, ia harus berusaha untuk melawannya tanpa beradu kekuatan. Ia harus bergerak cepat dan memilih sasaran yang tepat bagi serangan-serangannya. Meskipun demikian, sebenarnyalah lawan anak muda bertubuh raksasa itu sudah merasa cemas bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya. Bukan berarti bahwa ia harus memenangkan pertandingan. Tetapi harus dapat menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan yang cukup untuk menjadi Pelayan Dalam.

Di arena yang lain, anak muda yang berjambang lebat itu menghadapi anak muda yang agak kekurus-kurusan. Tidak terlalu tinggi, tetapi nampaknya anak muda itu mampu bergerak tangkas sekali. Sedangkan Mahisa Pukat menghadapi seorang anak muda yang berwajah keras dan bermata tajam.

Anak-anak muda yang harus menempuh pendadaran itu sudah tahu bahwa yang terpenting dalam pertandingan itu bukan harus dapat mengalahkan keempat lawannya. Namun yang penting, para prajurit yang mengamati pendadaran itu yakin, bahwa peserta pendadaran itu memiliki kemampuan yang cukup untuk memasuki tingkat pendadaran berikutnya. Lebih dari itu mereka memiliki bekal yang pantas bagi seorang Pelayan Dalam.

Pertandingan yang diselenggarakan itu bukan saja dapat memantau kekuatan dan ketangkasan di arena, tetapi dari pendadaran itu juga dapat dipergunakan untuk menilai kecerdasan seseorang. Bagaimana seseorang harus mengambil keputusan pada saat dan dengan cara yang tepat.

Ketika bende berbunyi sekali, maka anak-anak muda di arena itu pun telah bersiap-siap. Kemudian terdengar bende berbunyi dua kali. Pertanda bahwa pendadaran itu pun sudah dimulai. Enam belas anak muda itu pun mulai bergerak. Mereka bergeser mengambil arah. Sementara itu, maka satu dua di antara mereka mulai menyerang. Bahkan seorang anak muda yang bertubuh tidak terhitung tinggi, tetap kokoh seperti bukit batu, dengan serta merta telah menyerang lawannya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya.

Tetapi lawan anak muda yang bertubuh sekokoh batu itu ternyata tangkas sekali. Meskipun ia menyadari bahwa kekuatan lawannya sangat besar, tetapi ia tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap benturan. Tetapi dengan tiba-tiba pula, ia menyerang jika ia melihat kesempatan terbuka di sela-sela pertahanan lawannya yang terlalu bernafsu menyerang itu.

Sekali dua kali serangan anak muda yang sangat tangkas itu mengenai sasaran. Tetapi anak muda yang tubuhnya sekokoh batu hitam itu seakan-akan tidak merasakan serangan itu. Ia masih saja bergerak maju tanpa menghiraukan serangan-serangan lawannya itu. Dengan demikian maka lawannya pun mulai menjadi gelisah. Serangan-serangannya seakan-akan tidak menimbulkan akibat apapun pada lawannya yang bertubuh kekar tetapi tidak terhitung tinggi itu.

Meskipun demikian, lawannya termasuk seorang anak muda yang tidak cepat menjadi putus asa. Ia mulai membidik tempat-tempat yang berbahaya, meskipun ada beberapa bagian tubuh yang memang tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tetapi selain tempat-tempat yang terlarang itu, masih ada bagian-bagian yang akan dapat melemahkan ketahanan lawan.

Dengan demikian, maka anak muda itu mempercepat geraknya. Setiap kali seakan-akan ia telah menghilang dari sasaran. Bahkan dengan loncatan tinggi dan berputar diudara. Menghindari serangan dengan kecepatan yang tinggi, namun yang kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan cepat pula. Betapapun kokohnya anak muda yang bertubuh sekokoh batu hitam itu, namun sentuhan-sentuhan serangan lawannya pun terasa semakin menyakitinya.

Demikian pula anak muda yang bertubuh seperti raksasa itu. Meskipun lawannya hanya bertubuh sedang, tetapi ternyata cukup tangkas dan bahkan cerdik. Meskipun demikian, maka kekuatan dan ketahan tubuh anak muda bertubuh raksasa itu memang sulit untuk diatasinya.

Justru karena itu, lawan anak muda bertubuh raksasa itu memang tidak berniat untuk berusaha memenangkan pertandingan itu. Justru karena itu, maka ia nampak tenang. Meskipun sekali-sekali ia terdorong surut, namun ia sempat menunjukkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Ia mampu menunjukkan betapa ia menguasai berbagai macam unsur gerak yang bahkan kadang-kadang mengejutkan. Dengan demikian, maka lawan anak muda yang bertubuh raksasa itu justru lebih banyak memamerkan unsur-unsur geraknya serta kecepatannya menyerang dan menghindar.

Anak muda itu memperhitungkan pertandingan-pertandingan berikutnya. Ia akan tetap dalam keadaan utuh baik tenaga maupun tubuhnya. Tetapi jika ia benar-benar membenturkan kekuatannya maka ia akan kelelahan dan bahkan mungkin tulang-tulangnya akan dapat menjadi sakit sehingga dalam pertandingan-pertandingan berikutnya tenaganya akan menyusut banyak, atau tulang-tulangnya tidak akan dapat bergerak dengan tenaga utuh. Meskipun beberapa kali ia terdesak, tetapi para prajurit yang bertugas mengamatinya telah memujinya. Anak itu cukup cerdik karena pertandingan akan dilakukan ampat kali.

Di arena yang lain, anak muda yang berjambang lebat itu ternyata telah mendapat peringatan sampai dua kali. Ia tidak menghiraukan sasaran serangannya. Ia seakan-akan tidak ingat lagi bahwa ada bagian-bagian tubuh yang tidak boleh menjadi sasaran serangannya. Tetapi dua kali ia mengenai tempat-tempat yang seharusnya terlarang itu.

Menghadapi kegarangan anak muda berjambang lebat itu, lawannya memang agak mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga lawannya masih berpegang pada tatanan yang harus dihormati, sehingga ia tidak mau menyerang tempat-tempat terlarang.

Sementara itu Mahisa Pukat juga bertanding dengan lawannya. Jika diamati sepintas saja, maka nampaknya keduanya masih bertanding dengan sengitnya. Namun para prajurit yang mengamati sejak semula telah melihat, bahwa pertandingan itu sebenarnya telah selesai. Menurut penilaian mereka, Mahisa Pukat benar-benar memiliki kelebihan dari kebanyakan anak muda yang ikut dalam pendadaran itu, meskipun bukan berarti lawannya sama sekali tidak berdaya. Lawannya juga seorang anak muda yang memiliki landasan yang kuat. Namun Mahisa Pukat lah yang mempunyai kelebihan pada jarak yang agak jauh.

Sementara itu, di beberapa lingkaran pertandingan, para prajurit yang bertugas telah menyatakan bahwa pertandingan telah selesai. Mereka telah dapat menilai anak-anak muda yang bertanding. Pada umumnya mereka memang memiliki bekal yang cukup. Tetapi sudah tentu bahwa ada di antara mereka yang terpaksa harus tertinggal karena yang akan diterima sebanyak-banyaknya hanya sepuluh orang saja.

Sebelum matahari mencapai puncak, maka pertandingan itu memang sudah selesai. Anak muda yang bertubuh raksasa itu memang telah lebih dahulu menyelesaikan lawannya. Tetapi ia bertanding pun bukan berarti bahwa lawannya akan dianggap gagal dalam pendadaran itu.

Anak muda yang berjambang lebat itu pun telah memenangkan pertandingan. Tetapi pertandingannya merupakan pertandingan yang terkeras. Lawannya masih saja ragu-ragu menghadapinya. Meskipun lawannya menjadi marah dan ingin membalas kecurangan anak muda berjambang lebat itu dengan kecurangan, namun hatinya masih dikekang oleh ketaatannya kepada paugeran.

Sementara itu anak muda berjambang lebat itu mendapat peringatan keras dari para prajurit yang mengamati pertandingan. Seorang di antara mereka berkata, “Yang akan mengamati sore nanti akan menilaimu dengan sangat berhati-hati, karena mereka tentu sudah mendapatkan laporan kami tentang kau. Bahkan mungkin kami berdualah yang akan mendapat tugas untuk mengamatimu kembali.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi dari kedua matanya terpancar gejolak perasaannya. Rasa-rasanya anak muda itu justru ingin menantang kedua prajurit itu untuk memasuki arena pertandingan. Tetapi keinginannya itu tidak terucapkan lewat mulutnya. Meskipun demikian, kedua prajurit itu dapat menangkap getar itu lewat sorot matanya, sehingga keduanya justru telah mengancam pula dengan tatapan mata mereka yang tajam.

Demikianlah, maka para peserta pendadaran itu mendapat kesempatan untuk beristirahat sambil makan siang. Nanti menjelang sore, mereka harus bertanding lagi. Karena itu, maka mereka harus mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Beberapa orang setelah mencuci kaki, tangan, sambil menyeka keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, segera mencari tempat untuk beristirahat sebaik-baiknya.

Ada yang berbaring di amben panjang di serambi, ada yang duduk-duduk di kebun di bawah sejuknya pepohonan. Ada yang justru berjalan jalan di halaman untuk melemaskan urat-uratnya, tetapi ada juga yang berniat untuk tidur barang sejenak sebelum mereka mempersilahkan untuk makan siang. Tetapi ada juga yang memijit-mijit kaki dan tangannya yang terasa menjadi sakit dan nyeri.

Mahisa Pukat setelah membersihkan keringatnya dan berbenah diri, duduk di amben bambu di teritisan di belakang menghadap kebun yang rimbun oleh pepohonan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu duduk di sampingnya. Agaknya anak muda itu masih saja membicarakan kekuatan Mahisa Pukat yang tidak dapat diukur dengan penalarannya. Apalagi melihat tubuh Mahisa Pukat yang sedang-sedang saja.

“Sudahlah” desis Mahisa Pukat, “kenapa kau tidak berbicara tentang makan yang akan kami terima sebentar lagi? Apakah kira-kira lauknya dan apakah terlalu pedas apa tidak?”

“Kau selalu mengelak jika aku berbicara tentang kemampuanmu yang luar biasa itu. Kenapa?” bertanya anak muda yang bertubuh raksasa itu.

“Sudahlah” jawab Mahisa Pukat, “lihat, prajurit itu tentu minta kita untuk makan siang.”

Sebenarnyalah bahwa prajurit yang berkeliling itu pun memberitahukan bahwa makan siang sudah tersedia. Sesaat kemudian telah terdengar pula suara bende. Pertanda bahwa para peserta itu diminta untuk pergi ke dapur. Ternyata bahwa hidangan bagi mereka merupakan hidangan yang sangat baik dan lengkap. Hidangan yang memadai bagi mereka yang sedang mengikuti pendadaran yang berat.

Untuk beberapa lama maka anak-anak muda itu beristirahat lagi setelah mereka makan. Pada saatnya mereka akan tampil lagi di arena pertandingan melanjutkan pendadaran yang akan diselenggarakan di sore hari.

Sementara itu, para prajurit yang mengawasi pertandingan itu pun telah bertemu dan membicarakan pertandingan yang baru saja selesai serta pertandingan yang akan diselenggarakan di sore hari. Sementara itu, para petugas sandi ikut pula menyaksikan pembicaraan-pembicaraan itu untuk memantau keseluruhan pelaksanaan pendadaran itu.

Tidak ada hal yang tidak sesuai dengan ketentuan dan paugeran yang berlaku dalam pendadaran itu. Sehingga para petugas sandi masih tidak mencampuri pendadaran yang sedang dilangsungkan. Namun mereka masih akan tetap mengikutinya sampai selesai.

Demikianlah ketika matahari mulai turun disisi langit sebelah Barat, serta anak-anak muda yang mengikuti pendadaran itu sudah cukup lama beristirahat, maka segala persiapan pun dilakukan untuk menyelenggarakan pertandingan-pertandingan berikutnya.

Seperti sebelumnya, maka delapan lingkaran yang dibatasi dengan gawar pun telah terisi. Pasangan-pasangan yang akan bertanding pun telah bersiap. Ketika bcnde berbunyi satu kali, maka semuanya pun telah bersiap. Meskipun ketegangan yang mencengkam seluruh arena itu tidak lagi sebagaimana pertandingan yang pertama, namun setiap orang yang sudah berada dalam lingkaran gawar lawe telah memusatkan perhatian mereka kepada lawan mereka masing-masing. Demikian bende berbunyi untuk kedua kali, maka pertandingan pun segera dimulai.

Masing-masing masih harus kembali melakukan penjajagan karena lawan mereka berbeda. Namun dalam beberapa saat, pertandinganpun telah berlangsung dengan sengitnya. Menghadapi lawan baru, maka setiap orang harus mempergunakan cara yang lain untuk melawannya sesuai dengan sikap dan tata gerak lawan mereka masing-masing.

Ternyata pertandingan itu juga berlangsung cukup lama. Karena kemampuan mereka pada umumnya setingkat, maka tidak segera nampak siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Anak muda yang bertubuh raksasa itu mendapat seorang lawan yang juga memiliki kekuatan yang sangat besar. Namun kemudian ternyata bahwa dalam benturan-benturan kekuatan yang terjadi, anak muda bertubuh raksasa itu masih mempunyai kelebihan dari lawannya. Tetapi ternyata lawannya mampu bergerak lebih cepat, sehingga kadang-kadang anak muda yang bertubuh raksasa itu terlambat mengimbangi kecepatan geraknya.

Sementara itu, anak muda yang berjambang lebat itu ternyata mendapat pengawasan yang ketat dari para prajurit yang mengawasinya. Meskipun mereka bukan prajurit-prajurit yang mengawasinya pada pertandingan pertama, tetapi agaknya mereka yang mengawasinya itu sudah mendapat laporan dari para pengawas sebelumnya.

Di arena pertandingan yang lain, Mahisa Pukat mendapat lawan yang lebih kuat, tetapi agak lebih lamban. Seperti sebelumnya, sebenarnya ia dapat menyelesaikan lawannya dengan cepat. Tetapi ia tidak ingin membuat lawannya kehilangan kesempatan berikutnya. Karena itu, maka ia dengan sengaja telah menyesuaikan diri sehingga pertandingan itu kelihatan menjadi seru dan seimbang.

Tetapi seperti yang terdahulu pula, maka para prajurit yang mengamatinya melihat sesuatu yang lain pada anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu. Meskipun prajurit yang mengawasinya sebelumnya tidak memberitahukan kepada prajurit yang mengawasinya kemudian, namun prajurit yang mengawasinya kemudian itu telah dapat menangkap kelebihan Mahisa Pukat. Seperti para pengawas sebelumnya, prajurit itu pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat dengan sengaja membiarkan lawannya menunjukkan bahwa ia mampu memberikan perlawanan yang baik.

“Anak muda yang satu ini agaknya memiliki kelebihan yang jarang dimiliki oleh anak-anak muda sebayanya” seorang di antara para pengawas itu berbisik kepada kawannya.

Kawannya mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Aku melihat kelebihan itu. Tetapi ia tidak mau membuat lawannya malu atau kehilangan kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.”

“Jika saja ada sepuluh orang seperti anak muda itu, maka mereka akan dapat menjadi tulang punggung kekuatan Pelayan Dalam di istana Singasari” desis prajurit yang pertama.

Ternyata dalam pertandingan berikutnya kelebihan Mahisa Pukat semakin nampak betapapun ia tidak sengaja memperlihatkan. Meskipun kadang-kadang ia memberikan kesempatan lawannya mengenainya dengan serangan-serangan yang keras dan cepat, namun Mahisa Pukat sering lupa tidak menunjukkan bahwa ia menjadi kesakitan oleh serangan itu. Sementara itu, para prajurit itu pun sempat melihat, bahwa Mahisa Pukat sering tidak mempergunakan kesempatan untuk menghindar atau menangkisnya.

Seperti pertandingan yang pertama, maka Mahisa Pukat bukanlah orang yang mendahului para peserta yang lain untuk mengalahkan lawannya bertanding. Tetapi ia justru membiarkan lawannya bertanding sampai kesempatan yang hampir berakhir.

Menjelang senja maka pertandingan di hari pertama pun telah berakhir. Para peserta kemudian bergantian telah pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri Mereka pun kemudian menebar untuk beristirahat sambil membawa mangkuk minuman hangat serta makanan...