Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 105 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 105
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT yang menghadapi guru Gemak Langkas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Namun sedikit banyak ia sudah dapat mengenal unsur-unsur gerak dari ilmu yang telah diwarisi darinya oleh gemak Langkas.

Ternyata guru Gemak Langkas itu tidak mau membuang banyak waktu. Ia ingin menunjukkan kelebihannya terutama kepada ayah Gemak Langkas yang telah memberinya banyak sekali uang dan barang-barang berharga sebagai upahnya melatih Gemak Langkas dalam olah kanuragan, karena ayah Gemak Langkas itu ingin sekali anaknya memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka dengan serta merta ia pun telah menarik senjatanya pula. Juga sebilah pedang. Pedang yang tidak dapat terpisah dari dirinya. Pedang yang mirip dengan pedang yang telah diberikannya kepada Gemak Langkas. Tanpa banyak berbicara lagi, maka guru Gemak Langkas itu pun segera menyerang Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat telah bersiap menghadapinya.

Tetapi, Mahisa Pukat masih juga terkejut mendapat serangan guru Gemak Langkas. Ternyata serangannya datang cepat sekali. Senjatanya yang berputar, tiba-tiba terjulur mematuk ke arah jantungnya. Mahisa Pukat pun menggeliat menghindari serangan itu. Namun serangan yang datang demikian cepatnya itu, ternyata tidak dapat dihindarinya sepenuhnya. Meskipun ujung pedang itu tidak menyentuh dadanya, namun ujungnya telah tergores di pundak Mahisa Pukat. Memang hanya segores kecil. Namun keringat Mahisa Pukat membuat lukanya itu menjadi pedih.

Dengan loncatan panjang Mahisa Pukat mengambil jarak. Ketika lawannya itu memburunya, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat meloncat lagi menjauh. Namun tidak untuk ketiga kalinya. Demikian lawannya meloncat memburunya, Mahisa Pukat justru bergeser setapak saja. Namun pedangnya terayun deras sekali membentur senjata lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut telapak tangannya menjadi pedih. Namun pedangnya tidak terlepas dari tangannya itu.

Tapi untuk selanjutnya Mahisa Pukat yang telah tergores pundaknya itu tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya. Kesempatan berikutnya digunakan sebaik-baiknya. Pedangnyalah yang terjulur menyerang ke arah dada lawannya. Tetapi dengan tangkas lawannya menggeliat. Kemudian pedangnya berputar cepat sekali. Serangan mendatar telah terayun deras sekali mengarah ke leher Mahisa Pukat. Akan tetapi dengan cepat pula Mahisa Pukat merendah, sehingga pedang lawannya itu terbang diatas kepalanya.

Pada saat yang bersamaan, sambil berjongkok pada satu kakinya pedang Mahisa Pukat terjulur. Hampir saja pedangnya mampu menusuk bagian bawah ketiak lawannya, tetapi ternyata lawannya dengan tangkas meloncat menghindar. Mahisa Pukat melenting dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pedangnya menyambar dengan derasnya menggapai tubuh lawannya, sehingga guru Gemak Langkas itu terpaksa meloncat mundur selangkah. Ketika Mahisa Pukat meloncat lagi sambil menjulurkan pedangnya, maka lawannya telah menangkisnya dengan pukulan menyamping yang keras sekali.

Tetapi sekali lagi lawannya terkejut. Ternyata tenaga Mahisa Pukat telah meningkat dengan cepatnya. Sekali lagi terasa tangannya menjadi pedih. Namun guru Gemak Langkas itu pun meningkatkan ilmunya pula. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Benturan tenaga yang semakin besar serta ayunan pedang yang menimbulkan desir angin yang semakin kuat.

Mahisa Pukat mulai memperhatikan desir angin yang timbul oleh ayunan pedang lawannya. Rasa-rasanya angin yang menyambarnya berbareng dengan sambaran daun pedang lawannya menjadi tidak wajar lagi. Angin itu terasa terlalu keras dan kuat. Bahkan seakan-akan mengandung duri-duri tajam yang menusuk kulitnya, sehingga terasa kulitnya menjadi pedih.

“Orang ini tentu sudah mulai merambah ke ilmu simpanannya yang tinggi” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun semakin berhati-hati. Ia pun mulai perlahan-lahan meningkatkan kemampuannya pula. Karena itulah, maka sentuhan-sentuhan senjata mereka telah semakin mendebarkan orang-orang yang menjadi saksi dalam perang tanding itu. Bunga api yang berhamburan membuat jantung mereka berdebaran.

Namun ternyata bahwa guru Gemak Langkas itu tidak dapat segera menguasai lawannya. Mahisa Pukat yang masih sangat muda itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin garang. Meskipun ayunan pedang lawannya seakan-akan telah menghamburkan duri-duri lembut yang tinggi, masih mampu mengatasi rasa sakit dan pedih yang timbul oleh sembaran angin pedang lawannya.

Kemampuan Mahisa Pukat untuk tetap bertahan itu telah membuat lawannya mulai gelisah. Namun guru Gemak Langkas masih belum tuntas. Ilmunya masih mampu berkembang dan meningkat. Karena itu, angin yang menyapu tubuh Mahisa Pukat karena ayunan pedang lawannya itu menjadi semakin meningkat pula. Duri-duri yang tajam itu rasa-rasanya menjadi semakin banyak dan semakin dalam menusuk kulitnya.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun semakin lama menjadi semakin sulit untuk mengatasi serangan lawannya yang semakin meningkat itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah terdesak. Beberapa kali ia berusaha menghindari serangan lawannya. Bukan saja sabetan pedangnya, tetapi juga desah anginnya.

Sekali-sekali Mahisa Pukat berusaha untuk menghentakkan ilmu pedangnya. Selangkah dua langkah lawannya memang terdesak mundur. Namun, demikian pedangnya berputar, maka angin pun berputar pula. Ujung-ujung duri itu rasa-rasanya telah berhamburan menusuk kulitnya.

Mahendra dan Arya Kuda Cemani memang menjadi tegang. Tetapi mereka mengerti, bahwa Mahisa Pukat masih belum mengembangkan memanjat ke ilmu-ilmu andalannya. Mahisa Pukat memang masih berusaha untuk mengatasi ilmu lawannya dengan ilmu pedangnya. Namun, ternyata Mahisa Pukat tidak mampu melakukannya. Guru Gemak Langkas memang memiliki ilmu yang cukup tinggi jika hanya dilawan dengan ilmu pedang.

Setelah beberapa kali Mahisa Pukat terdesak, maka ia mulai tidak sabar lagi. Apalagi ketika ia mendengar prajurit-prajurit muda yang mendendamnya itu berteriak-teriak dan bahkan bersorak setiap kali Mahisa Pukat terdesak dan berdesah menahan pedih yang menusuk-nusuk kulitnya. Kemarahan Mahisa Pukat memang tidak terkendali lagi. Meskipun demikian, ia tidak dengan serta merta ingin menghancurkan lawannya. Ia masih mempunyai beberapa pertimbangan, sehingga Mahisa Pukat itu berniat untuk membuat lawannya tidak berdaya tanpa membunuhnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat itu pun telah mengetrapkan ilmunya yang dapat menghisap ilmu dan kekuatan lawannya untuk sementara. Ilmu itu memang tidak segera nampak dengan serta merta. Karena itu, setelah Mahisa Pukat mengetrapkan ilmunya, lawannya masih belum merasakan akibatnya. Guru Gemak Langkas itu masih saja menyerang dengan garangnya, sehingga Mahisa Pukat masih harus mengerahkan daya tahannya mengatasi merasa pedih yang seakan-akan menusuk-nusuk kulitnya.

Namun Mahisa Pukat sudah mulai berusaha untuk tidak selalu menghindari serangan lawannya, tetapi sekali-sekali ia telah menangkis dan membenturkan pedangnya. Bagaimanapun juga, guru Gemak Langkas itu harus mengakui betapa tinggi kekuatan Mahisa Pukat. Namun setiap kali Mahisa Pukat memang masih harus menyeringai menahan pedih yang menyengat kulitnya.

Dalam beberapa saat kemudian, guru Gemak Langkas masih sempat mendesak Mahisa Pukat. Sambaran angin ayunan pedangnya masih terasa pedih di kulit Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat masih mampu mengatasinya dengan ketahanan tubuhnya. Bahkan Mahisa Pukat justru berusaha untuk setiap kali membenturkan senjatanya betapapun ia harus berdesah menahan tusukan getaran udara ilmu guru Gemak Langkas yang semakin tajam itu.

Untuk beberapa saat guru Gemak Langkas masih sempat tersenyum dan berkata, “Aku terpaksa melakukannya, anak muda. Kau memang keras kepala. Aku harus mengusir ilmu iblis yang ada di dalam dirimu sebelum muridku akan menyelesaikan perang tanding ini. Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan yang paling sulit, maka pedangku akan membelah dadamu, sehingga iblis yang tersembunyi di dalam dirimu akan meloncat keluar. Dan kau akan menjadi tidak berdaya sama sekali.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ilmu lawannya memang sangat berbahaya baginya. Sentuhan getaran udara karena ayunan pedang itu telah membuat kulit dagingnya terasa pedih. Apalagi jika pedang itu menyentuh tubuhnya lagi. Keringat yang membasahi seluruh wajah kulit Mahisa Pukat memang membuat lukanya semakin pedih.

Namun dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya pula. Selapis demi selapis, Mahisa Pukat telah menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya pada setiap sentuhan senjata yang terjadi dalam pertempuran itu. Karena itu, maka betapapun terasa tangannya menjadi pedih oleh getaran udara yang timbul oleh ayunan pedang lawannya, namun Mahisa Pukat masih selalu berusaha menangkis setiap serangan demi serangan.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu memang menjadi semakin tegang. Para prajurit muda dan Gemak Langkas yang sudah terluka itu sempat bersorak setiap kali Mahisa Pukat harus berloncatan mundur. Tetapi, untuk membuat benturan-benturan senjata semakin sering terjadi, maka Mahisa Pukat tidak saja menangkis setiap serangan. Tetapi ia pun menjadi semakin sering menyerang. Serangan yang nampaknya memang tidak berbahaya karena setiap kali guru Gemak Langkas itu dapat menangkisnya.

Namun yang tidak wajar mulai terasa pada guru Gemak Langkas. Ternyata sebelum ia mampu mengoyak dada anak muda itu, tenaganya mulai menjadi susut. Mula-mula guru Gemak Langkas itu tidak segera menyadari. Ia memang telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk dengan cepat menguasai lawannya sehingga ia mengira bahwa karena itu tenaganya mulai susut. Tetapi beberapa saat kemudian, terasa bahwa susutnya tenaga dan kemampuannya itu melaju terlalu cepat. Sendi-sendi tangan dan kakinya, bahkan punggungnya terasa seakan-akan mulai dibebani dengan batu yang semakin lama menjadi semakin berat.

Karena itulah, maka dalam kegelisahannya, guru Gemak Langkas itu telah menghentakkan sisa tenaga dan kemampuannya. Ia ingin semakin cepat menyelesaikan lawannya yang ternyata cukup garang itu. Hetakkan itu memang mengejutkan Mahisa Pukat. Beberapa langkah ia meloncat surut. Bahkan ujung senjata lawannya itu telah mampu menyentuh kulit di lambungnya.

Perasaan sakit, pedih dan panas memang terasa menggigit lukanya itu. Jauh lebih pedih, sakit dan bahkan lebih panas dari tusukan getaran-getaran udara yang timbul karena ayunan pedang itu. Hampir saja Mahisa Pukat kehilangan kendali akalnya. Kemarahannya hampir saja menghentakkan niatnya untuk menghancurkan lawannya sama sekali. Namun niat itu pun diurungkannya. Ia sudah melihat usahanya mulai berhasil. Tenaga dan kemampuan lawannya telah menjadi susut, meskipun ia masih mampu mengejutkannya dengan hentakkan sisa tenaganya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak lagi melepaskan ilmunya yang lain. Ia hanya meningkatkan ilmu yang sudah ditrapkannya itu. Sehingga dengan demikian, maka hisapan tenaga dan kemampuan lawannya itu pun berlangsung semakin cepat.

Guru Gemak Langkas masih mendengar prajurit-prajurit muda itu bersorak ketika ia berhasil melukai lambung Mahisa Pukat. Namun setelah itu, maka keringat dingin pun mengalir di seluruh tubuhnya. Ia merasa bahwa tenaganya menjadi semakin cepat susut bahkan pedangnya pun rasa-rasanya menjadi semakin berat.

“Apa yang telah terjadi?” pertanyaan itu semakin mengguncang jantungnya. Baru kemudian ia menyadari, bahwa ia telah terperosok ke dalam putaran ilmu yang sangat mendebarkan. Ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya.

Namun semuanya sudah terlambat. Mahisa Pukat yang terluka itu justru menyerangnya seperti hembusan badai. Pedangnya berputar bagaikan angin pusaran. Sentuhan demi sentuhan telah terjadi. Beberapa kali guru Gemak Langkas memang berusaha menghindar. Tetapi serangan Mahisa Pukat datang begitu cepatnya sehingga kadang-kadang dengan terpaksa guru Gemak Langkas itu harus melindungi dirinya dengan pedangnya. Dan setiap sentuhan berarti bahwa tenaganya menjadi semakin susut.

Guru Gemak Langkas itu menjadi semakin gelisah. Tetapi yang terjadi telah terjadi. Tenaga, ilmu dan kemampuannya telah terhisap semakin dalam. Tidak ada cara untuk menarik surut waktu. Guru Gemak Langkas itu hanya dapat menyesali kelengahannya. Kenapa ia tidak sejak semula menduga bahwa ilmu yang jarang ada duanya itulah yang dipergunakan oleh anak muda itu. Memang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya, bahwa Mahisa Pukat yang masih muda itu memiliki ilmu yang sangat rumit. Namun ilmu itu sudah ditrapkan dan tenaga serta kemampuannya telah terhisap hampir habis.

Gemak Langkas, saudara seperguruannya dan ayahnya menjadi sangat tegang melihat keadaan guru Gemak Langkas itu. Bahkan Lembu Atak dan kawan-kawannya pun menjadi sangat cemas. Pada saat-saat terakhir mereka melihat guru Gemak Langkas itu tidak berdaya sama sekali. Ia tidak lagi mampu menyerang apalagi dengan kecepatan yang sangat tinggi. Rasa-rasanya guru Gemak Langkas itu tidak lagi kuat mengangkat pedangnya sendiri.

Dalam pada itu, saudara seperguruan Gemak Langkas yang tidak mengerti apa yang telah terjadi, telah meloncat memasuki gelanggang sambil bertanya, “Guru apa yang terjadi?”

“Jangan” berkata gurunya yang bahkan berjalan pun menjadi tertatih-tatih. “ternyata ia memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Tetapi guru sama sekali tidak terluka” berkata muridnya yang tidak mengerti itu.

“Anak itu tidak melakukannya. Jika ia mau, ia dapat membunuhku sekarang,” jawab gurunya.

“Kenapa hal itu dapat terjadi?” bertanya muridnya itu.

Guru Gemak Langkas itu tidak menjawab. Namun ia masih berusaha untuk berdiri tegak sambil bertanya kepada Mahisa Pukat. “Apakah kau akan mengakhiri perang tanding ini dengan membunuhku?”

“Bukankah kau berkata sendiri, bahwa jika aku mau, aku sudah dapat membunuhmu sekarang?” justru Mahisa Pukatlah yang ganti bertanya.

Guru Gemak Langkas itu menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah aku mengakui kemenanganmu. Aku kalah dalam perang tanding ini. Kau dapat melakukan apa saja sekehendak hatimu atasku.”

“Aku hanya ingin pengakuanmu, bahwa kau menyerah” desis Mahisa Pukat.

Ternyata tidak seperti yang diduga sebelumnya, bahwa orang itu akan mengeraskan hatinya dan menjunjung harga dirinya sehingga tidak mau mengakui keadaannya, apapun yang terjadi. Namun orang itu ternyata kemudian menjawab, “Ya. Aku menyerah. Aku tidak dapat berkata lain, karena keadaanku.”

“Guru” Gemak Langkas dan saudara seperguruannya yang disebut pamannya itu hampir bersama-sama berdesis.

“Memang inilah yang terjadi” jawab gurunya.

Saudara seperguruan Gemak Langkas itu pun kemudian berkata, “Kita datang bersama banyak orang. Aku tidak peduli apakah akan terjadi perang tanding atau tidak. Tetapi guru jangan menyerah. Kita akan bersama-sama bertempur melawan anak itu”

“Tidak ada gunanya” jawab gurunya, “jangankan hanya kalian yang ada di sini. Saudara-saudaramu yang lain kau bawa kemari, tidak akan ada gunanya.”

“Tetapi kami tidak dapat mengorbankan nama guru begitu saja” berkata saudara seperguruan Gemak Langkas itu.

“Kau lihat ayah anak muda itu serta Arya Kuda Cemani?” bertanya gurunya.

Saudara seperguruan Gemak Langkas itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Apakah kita menerima kegagalan ini?”

“Ya” jawab gurunya.

Ayah Gemak Langkas hanya dapat menggeram. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia benar-benar menjadi kecewa terhadap guru Gemak Langkas itu. Ia datang ke tempat itu untuk melihat betapa tinggi ilmu yang telah diwarisi oleh anaknya. Namun ternyata bahwa anaknya tidak berdaya. Bahkan gurunya pun tidak mampu melawan anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun kemudiar berkata dengan nada berat, “Baiklah. Aku tidak ingin membuat persoalan ini berkepanjangan. Jika kau sudah menyerah, maka aku dan saksi-saksi yang datang bersamaku akan segera meninggalkan tempat ini sekarang. Kecuali jika masih ada persoalan lain yang ingin kalian tumbuhkan di sini.”

“Tidak” jawab Guru Gemak Langkas itu dengan serta-merta.

Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun melangkah mendekati ayah dan Arya Kuda Cemani sambil berkata, “Agaknya persoalannya sudah selesai sampai di sini”

Kedua orang tua itu pun mengangguk. Mahendra pun kemudian berdesis, “Marilah. Kita kembali.

Bertiga mereka meninggalkan tempat itu. Demikian mereka lepas dari Sendang Perbatang, maka Arya Kuda Cemani pun berkata, “Kau harus tetap berhati-hati Mahisa Pukat. Aku tidak yakin bahwa guru Gemak Langkas itu bersikap jujur. Ia hanya ingin menyelamatkan dirinya malam ini. Tetapi selanjutnya, kita masih harus tetap mencurigainya.”

“Tetapi nampaknya guru Gemak Langkas itu berkata dengan sungguh-sungguh” desis Mahisa Pukat.

“Mudah-mudahan ia jujur” sahut Mahendra. Namun katanya kemudian, “Aku mempunyai pendapat yang sama dengan Raden Kuda Wereng”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan berhati-hati. Memang masih banyak kemungkinan yang dapat mereka lakukan.”

Sambil melangkah menjauh, maka mereka masih saja berbincang tentang sikap guru Gemak Langkas. Demikian cepatnya ia mengakui kekalahannya setelah ia dengan licik memasuki arena perang tanding. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun kemudian sependapat, bahwa yang dilakukan oleh guru Gemak Langkas itu adalah satu sikap yang jujur.

Dalam pada itu, sepeninggal Mahisa Pukat dan dua orang yang datang bersamanya sebagai saksi, maka Gemak Langkas yang telah terluka itu bersama dengan saudara seperguruannya berusaha menolong gurunyayang menjadi kehilangan tenaganya.

Ayah Gemak Langkas justru berkata dengan nada kurang senang, “Jadi inikah puncak ilmu yang dimiliki oleh anakku setelah aku menyerahkannya kepada seorang guru yang aku anggap mumpuni dengan beaya yang tidak sedikit?”

Guru Gemak Langkas itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jangankan Gemak Langkas. Aku pun dapat dibunuhnya. Anak itu memiliki ilmu yang sudah jarang ada duanya. Ilmu yang mampu menghisap tenaga dan ilmu lawannya.”

“Tetapi kenapa kami tidak boleh berbuat sesuatu?” berkata saudara seperguruan Gemak Langkas.

“Tidak ada gunanya” jawab gurunya, “seandainya kita memaksa diri, maka kita justru akan dibinasakan. Bukan saja oleh Mahisa Pukat, tetapi juga oleh kedua orang saksi yang menyertainya. Semula aku mengira bahwa aku dapat mengalahkan Mahisa Pukat, baru kemudian kita akan melawan kedua orang yang lain. Tetapi ternyata yang terjadi sama sekali berlainan.”

“Dan dengan demikian, maka hancurlah nama kita” desis ayah Gemak Langkas.

“Tidak” jawab guru Gemak Langkas, “aku tidak akan berhenti sampai di sini. Jika aku dengan serta merta menyatakan diri menyerah, semata-mata hanya karena aku memang tidak melihat cara lain untuk membebaskan diri dari tangan anak muda itu malam ini. Setelah itu, bukankah hari masih panjang?”

“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya ayah Gemak Langkas.

“Bukan lagi sekedar persoalan antara Gemak Langkas dan Mahisa Pukat sebagai anak-anak muda, tetapi persoalannya sudah merambat jauh lebih luas. Jika aku mendendam, berarti seluruh perguruanku mendendamnya. Seisi padepokanku merasa tersinggung karenanya. Sehingga dengan demikian, maka yang akan berhadapan kemudian adalah seluruh padepokanku. Bukankah Mahisa Pukat juga berasal dari sebuah padepokan? Aku akan mencari keterangan tentang padepokannya, sehingga pada suatu saat aku akan menghancurkan padepokannya itu. Meskipun barangkali kita kita tidak segera dan langsung mengalahkan Mahisa Pukat, tetapi kehancuran padepokannya akan dapat membuat hatinya menjadi lebih sakit daripada sekedar kehilangan seorang gadis.”

Ayah Gemak Langkas hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia berkata, “Aku ingin melihat anak itu menderita karenanya. Aku sependapat dengan rencana untuk menghancurkan padepokannya itu.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang hadir di tanggul Sendang Perbatang itu pun segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Lembu Atak mengumpat tidak habis-habisnya. Ia ingin sekali melihat, bagaimana Mahisa Pukat itu dihancurkan dan dihinakan oleh Gemak Langkas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan guru Gemak Langkas pun telah dikalahkannya pula dihadapan murid-muridnya.

Dengan dibantu oleh muridnya, maka guru Gemak Langkas itu meninggalkan medan perang tanding yang menghancurkan namanya itu. Prajurit-prajurit muda yang datang ketempat itu pun telah kembali pula menuju ke barak mereka.

Sejenak kemudian tanggul Sendang Perbatang itu menjadi sepi. Namun ternyata masih ada seorang yang berdiri di dalam kegelapan dalam pakaiannya yang hitam. Orang itu seakan-akan tidak dapat dilihat dengan mata wadag. Ternyata orang itu adalah Arya Kuda Cemani yang telah memisahkan diri dari Mahendra dan Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat orangitu termangu-mangu. Ia mendengar sebagian dari pembicaraan guru Gemak Langkas dengan murid”muridnya. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi Arya Kuda Cemani itu mengetahui bahwa guru Gemak Langkas memang tidak jujur. Arya Kuda Cemani itu pun mendengar serba sedikit persoalan yang diangkat menjadi persoalan antara dua buah padepokan.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Arya Kuda Cemani itu berdesis, “Mahisa Murti lah yang akan terancam. Sebaiknya Mahisa Murti mengetahui bahwa sebuah perguruan sedang mengamati perguruan Bajra Seta”

Arya Kuda Cemani itu memutuskan untuk memberitahukan hal itu kepada Mahendra agar Mahendra memberikan peringatan kepada Mahisa Murti di padepokan Bajra Seta.

“Guru Gemak Langkas itu tentu tidak akan bekerja sendiri” berkata Arya Kuda Cemani kepada diri sendiri. “Apalagi jika ayah Gemak Langkas ikut campur dengan kekayaannya. Maka perguruan Bajra Seta akan dapat berhadapan dengan beberapa perguruan yang sebelumnya tidak dikenalnya.”

Di hari berikutnya, maka Arya Kuda Cemani itu pun telah menemui Mahendra di rumahnya. Dengan singkat diceriterakannya, apa yang telah didengarnya dari orang-orang yang semalam berada di Sendang Perbatang.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata persoalannya menjadi berkepanjangan.”

“Kita tidak dapat menyalahkan anak-anak atau kita sendiri. Tetapi kita memang tidak dapat membiarkan sikap mereka, karena sikap itu dapat membahayakan anak-anak.”

“Baiklah” berkata Mahendra, “biarlah aku minta bantuan dua tiga orang prajurit untuk pergi ke padepokan Bajra Seta. Agaknya aku tidak dapat minta agar Mahisa Pukat pergi ke padepokan. Ia tentu tidak ingin disebut melarikan diri.”

Arya Kuda Cemani tersenyum. Ia tahu alasan Mahendra yang sebenarnya. Bukan karena tidak ingin disebut melarikan diri. Tetapi Mahisa Pukat tentu masih segan meninggalkan Kota Raja. Agaknya ia pun merasa tidak dapat meninggalkan Sasi yang ternyata mendapat banyak perhatian dari anak-anak muda meskipun Sasi termasuk seorang gadis yang jarang keluar dari regol halaman rumahnya. Setelah Gemak Langkas, mungkin Lembu Atak akan menjerat orang lain lagi untuk kepentingan yang sama.

Demikianlah, maka Mahendra telah minta tolong tiga orang prajurit yang telah mendapat ijin dari pimpinannya. Tiga orang prajurit yang pernah bersama-sama ke padepokan Bajra Seta dengan Mahisa Murti ketika Mahisa Murti meninggalkan Kota Raja tanpa Mahisa Pukat.

Kedatangan ketiga orang prajurit itu di padepokan Bajra Seta memang mengejutkan Mahisa Murti. Namun ketiga orang prajurit itu pagi-pagi telah meyakinkan, bahwa tidak terjadi sesuatu yang gawat di Kota Raja.

“Hanya sebuah permainan kecil” berkata salah seorang dari antara para prajurit itu.

“Permainan apa?” namun Mahisa Murti memang segera ingin tahu berita apa yang mereka bawa.

Yang tertua di antara ketiga orang prajurit itu pun kemudian berkata, “Ada satu peristiwa kecil yang menyangkut padepokan Bajra Seta ini.”

“Peristiwa apa?” desak Mahisa Murti.

Dengan singkat prajurit itu pun menceriterakan apa yang telah terjadi sesuai dengan pesan Mahendra. Meskipun ia tidak dapat memerinci peristiwa itu sampai persoalan yang sekecil-kecilnya, namun Mahisa Murti cukup tanggap atas persoalan yang harus dihadapi oleh padepokan Bajra Seta itu.

Sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti berkata, “Jadi asap dari api yang menyala di Kota Raja itu akan sampai ke padepokan ini?”

“Satu kemungkinan” jawab prajurit itu, “karena itu aku datang untuk membawa pesan agar seisi padepokan ini menjadi berhati-hati.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas peringatan ini. Tanpa peringatan ini, kami akan terkejut karenanya jika benar-benar terjadi sesuatu.”

“Mudah-mudahan memang tidak terjadi sesuatu” berkata prajurit itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga Mahisa Pukat dan padepokan ini masih juga satu. Karena itu, maka sentuhan persoalan yang dihadapinya akan menyentuh padepokan ini pula.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka para prajurit itu pun telah dijamu oleh Mahisa Murti. Malam itu, para prajurit itu akan bermalam semalam di padepokan. Nampaknya mereka kerasan tinggal di padepokan yang mempunyai kesan yang tenteram dan damai itu. Namun persoalan-persoalan yang terjadi diluar padepokan itu kadang-kadang telah mengguncangnya, sehingga wajah air yang bagaikan cermin itu pun menjadi beriak karenanya.

Tetapi para prajurit itu sama sekali tidak mencemaskan keberadaan padepokan itu. Rasa-rasanya padepokan Bajra Seta adalah satu barak prajurit yang kokoh kuat. Bahkan para penghuni padepokan ini memiliki kelebihan dari para prajurit, karena para cantrik itu memiliki pengetahuan dan ketrampilan pula dalam tugas-tugas yang lain selain tugas-tugas keprajuritan.

Mereka memiliki pengetahuan tentang bercocok tanam. Mereka memiliki pengetahuan untuk berternak. Menjadi pande besi yang baik terutama yang telah memiliki kemampuan tinggi dalam pembuatan senjata dengan bahan-bahan khusus. Bahkan, ada di antara mereka yang mempelajari ilmu perbintangan dan kesusasteraan.

Bukan saja para penghuni padepokan itu, tetapi juga anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu. Mereka ternyata juga mendapat kesempatan untuk mempelajari olah kanuragan dan ilmu keprajuritan. Dengan demikian maka Padepokan Bajra Seta adalah sebuah padepokan yang memiliki ketahanan yang sangat tinggi. Bahkan mirip dengan sebuah lingkungan raksasa yang saling dapat memanfaatkan antara padepokan Bajra Seta dan lingkungan sekitarnya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa guru Gemak Langkas tidak tinggal diam. Ia tidak mau mendapat penghinaan yang sangat menekan perasaannya itu dihadapan banyak pihak. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian justru didorong oleh harga dirinya yang merasa direndahkan. Bersama Gemak Langkas yang kebetulan adalah saudara seperguruannya, mereka telah merencanakan untuk berbuat sesuatu.

Dendam Gemak Langkas ternyata telah berkembang menjadi dendam sebuah padepokan. Bahkan Lembu Atak dan prajurit-prajurit muda yang membenci dan mendendam Mahisa Pukat itu pun telah ikut membakar nyala api dendam di dalam dada Gemak Langkas.

Sebenarnya ayah Gemak Langkas telah memperingatkan anaknya, agar Gemak Langkas menghentikan usahanya untuk membalas sakit hatinya. Tetapi Gemak Langkas ternyata berkeras untuk bekerja bersama dengan gurunya mengarahkan dendam mereka kepada sebuah perguruan yang bernama Perguruan Bajra Seta.

“Melihat kemampuan Mahisa Pukat, maka padepokan itu tentu sebuah padepokan yang memiliki kemampuan yang tinggi” berkata ayah Gemak Langkas.

“Tetapi apakah aku akan membiarkan namaku, nama guruku dan sudah tentu perguruanku dicemarkan?” bertanya Gemak Langkas. Lalu katanya pula, “Lebih dari itu, persoalan yang paling menyakitkan adalah bahwa Mahisa Pukat yang sombong itu merasa telah memenangkan persoalan yang berhubungan dengan Sasi.”

Tetapi pertanyaan ayahnya sangat mengejutkannya, “Apakah itu satu sikap sombong? Bukankah ia memang telah mengalahkan kau dan bahkan gurumu dalam perang tanding? Beruntunglah kau dan gurumu, bahwa anak itu tidak membunuhmu dan tidak pula membunuh gurumu meskipun ia dapat melakukannya.”

Wajah Gemak Langkas menjadi merah. Namun kemudian ia menjawab, “Ayah. Aku tidak lagi memikirkan alasan-alasan. Aku hanya ingin mencari satu kepuasan. Jika aku dapat menghancurkan Mahisa Pukat meskipun bukan wadagnya, aku akan merasa mendapat kepuasan. Jika Padepokan Bajra Seta dihancurkan, maka Mahisa Pukat akan menjadi sakit hati. Aku senang melihat hatinya pecah sebagaimana padepokannya.”

“Dan ia akan membalas dendam pula. Kau akan menjadi sasaran dendamnya” berkata ayahnya.

“Jika kami dapat menghancurkan padepokannya, apa artinya Mahisa Pukat itu bagi kekuatan kami? Kami justru akan memancingnya dan membinasakannya.”

Ayah Gemak Langkas menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tidak lagi dapat menahan niat anaknya itu. Karena itu, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya adalah justru membantunya, sehingga ia akan mendapat dukungan kekuatan yang meyakinkan. Tanpa keyakinan itu, maka akibatnya hanya akan semakin parah bagi anaknya.

Karena itu, maka ayah Gemak Langkas yang kaya raya itu, memang harus mengalah kepada keinginan anaknya. Namun ia masih memberinya peringatan, “Gemak Langkas. Ingat, bahwa langkah yang akan kau ambil itu mempunyai akibat yang jauh. Jika kau ingin membenturkan padepokanmu dengan padepokan Bajra Seta, maka harus sudah diperhitungkan, bahwa akan jatuh korban. Maksudku bukan sekedar orang-orang padepokanmu dan padepokan Bajra Seta akan ada yang terluka dan menitikkan darah. Tetapi ada di antara mereka yang akan mati terbunuh di peperangan. Tidak hanya satu atau dua. Tetapi mungkin sepuluh atau dua puluh orang dari padepokanmu dan sejumlah itu pula dari padepokan Bajra Seta. Apalagi jika kalian telah benar-benar menjadi mabuk karena bau darah. Maka kalian akan kehilangan kendali diri. Kematian akan menjadi semakin bertambah dan bahkan mungkin salah satu pihak akan dapat tumpas karenanya.”

Gemak Langkas memang mendengarkan pesan ayahnya yang terakhir itu. Bahkan ia sudah mulai memikirkannya. Persoalannya dengan Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan Sasi, akan dapat menimbulkan kematian para cantrik dari dua padepokan. Mereka sama sekali tidak mengerti persoalan sebenarnya yang telah membakar permusuhan antara kedua padepokan itu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan gurunya, maka persoalannya menjadi lain. Ternyata gurunya telah membakar hatinya pula, agar ia meneruskan niatnya untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta.

“Apakah kita akan membiarkan nama kita direndahkan? Para prajurit muda itu akan berceritera kepada setiap orang bahwa kita sama sekali tidak memiliki apapun juga yang dapat kita pergunakan untuk berbangga diri dengan perguruan kita.” berkata guru Gemak Langkas.

”Tetapi pertempuran antara dua padepokan akan membawa banyak kematian” berkata Gemak Langkas.

“Aku tahu. Tetapi apa artinya kematian dibandingkan dengan harga diri kita. Jika malam itu aku menyerah, bukan berarti bahwa aku takut mati. Seandainya aku tahu bahwa hatimu lemah, maka aku akan membiarkan diriku mati malam itu.” berkata gurunya pula. Lalu katanya selanjutnya, “tetapi aku masih hidup. Tenaga dan kemampuanku telah pulih kembali. Aku telah mengetahui pula kekuatan dan kelemahan orang-orang Bajra Seta. Aku yakin, bahwa hanya satu orang sajalah yang memiliki kemampuan ilmu yang dapat menghisap tenaga dan kemampuan lawannya. Orang itu adalah Mahisa Pukat yang kini berada di sini.”

Gemak Langkas memang menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa gurunya ingin menebus kekalahannya dan bahkan saat-saat harga dirinya dihancurkan oleh Mahisa Pukat dihadapan orang banyak. Apalagi bukan hanya gurunya yang bertekad seperti itu. Saudara-saudara seperguruannya pun berniat untuk menegakkan nama dan wibawa gurunya dihadapan banyak orang. Dengan demikian maka para murid dan bahkan para cantrik dari sebuah padepokan sudah bertekad untuk membalas dendam.

Rasa-rasanya memang tidak ada yang dapat mencegah. Ayah Gemak Langkas juga tidak. Bahkan guru Gemak Langkas itu pun pernah menemuinya dan berkata, “Seisi Padepokan kami telah siap untuk menegakkan harga diri padepokan kami.”

“Aku hanya ingin mengingatkan, jika persoalannya bersumber dari Gemak Langkas, aku minta dihentikan sampai sekian saja.” sahut ayah Gemak Langkas.

“Tetapi persoalan itu telah berkembang” jawab guru Gemak Langkas. Lalu katanya pula, “Mahisa Pukat telah menghina aku.”

“Aku tidak tahu, apakah yang dilakukan oleh Mahisa Pukat itu harus dicela atau harus dipuji. Jika ia tidak membunuhmu, bukankah kau harus berterima kasih kepadanya?”

“Aku tidak mau diperlakukan begitu?” jawab guru Gemak Langkas.

“Tetapi kenapa kau menyerah?” bertanya ayah Gemak Langkas.

“Aku ingin hidup untuk membalas dendam. Jika saat itu aku mati, maka untuk selamanya namaku akan tetap direndahkan orang,” jawab guru Gemak Langkas.

“Dan keinginanmu terjadi. Kenapa kau merasa terhina?” bertanya ayah Gemak Langkas.

”Kita harus menganggapnya sebagai satu penghinaan” jawab guru Gemak Langkas.

Ayah Gemak Langkas merasa bahwa ia tidak lagi mampu mencegahnya lagi. Karena itu, maka segala sesuatunya diserahkannya kepada guru Gemak Langkas yang memiliki kekuatan yang cukup besar itu, meskipun mereka masih harus mengamati kekuatan Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, guru Gemak Langkas yang di lingkungannya dipanggil Empu Damar benar-benar berniat untuk melakukan pembalasan terhadap Mahisa Pukat yang sasarannya ditujukan kepada Padepokannya. Padepokan Bajra Seta. Karena itulah maka seisi padepokan yang dipimpin oleh Empu Damar itu pun segera bersiap-siap.

Gemak Langkas yang tidak tinggal di Padepokan Ngancas, telah berada di padepokan itu pula. Biasanya justru gurunya atau orang terpercaya dari Padepokan Ngancas itulah yang datang ke rumah Gemak Langkas. Tetapi di saat-saat yang dianggap genting oleh seisi padepokan itu, maka Gemak Langkas memang telah diminta untuk berada di Padepokan Ngancas bersama-sama dengan murid-murid Empu Damar yang sudah tersebar.

Di Padepokan itu mereka mendapatkan latihan-latihan secara khusus dari Empu Damar sendiri. Sementara para cantrik yang jumlahnya cukup banyak itu pun telah ditempa pula oleh para murid tertua dari perguruan itu. Bahkan satu dua di antara murid-murid tertua itu telah membuat Padepokan-padepokan pula terpencar di beberapa tempat yang berjarak cukup panjang. Merekalah yang akan menjadi pendukung kekuatan Empu Damar untuk menghadapi Padepokan Bajra Seta.

“Kita mempunyai beberapa padepokan” berkata Empu Damar, “kita tentu akan dapat menggilas Padepokan Bajra Seta yang hanya sebuah Padepokan itu saja.”

Tetapi Empu Damar juga tidak bertindak tergesa-gesa. Ia telah memerintahkan dua orang muridnya yang terbaik untuk mengetahui beberapa hal tentang keadaan Padepokan Bajra Seta. Letaknya, kekuatan-nya, lingkungannya dan jika mungkin tingkat kemampuan para cantriknya.

“Kita tidak boleh bertindak tanpa perhitungan agar kita tidak menambah kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami” berkata guru Gemak Langkas itu.

Dengan beberapa perintah dan pesan-pesan maka kedua orang murid Empu Damar yang dianggap terbaik telah berangkat menuju ke lingkungan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Tugas itu memang merupakan tugas yang sulit. Keduanya belum mengenal sasaran pengamatan mereka. Namun dengan penuh kepercayaan akan kemampuan diri, keduanya telah berangkat ke Padepokan Bajra Seta.

Namun Empu Damar telah berpesan, “Ingat. Mahisa Pukat mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Mahisa Murti. Aku tidak tahu apakah Mahisa Murti juga memiliki kemampuan setingkat Mahisa Pukat. Namun seandainya demikian, kita tidak usah gentar menghadapinya. Kita sudah tahu kelemahannya, sehingga kita pun akan dapat mencari jalan untuk mengatasinya. Selain satu cara adalah, kita akan menghadapinya dalam kelompok-kelompok kecil."

Kedua orang murid terbaik Empu Damar itu mengangguk. Mereka mengerti bahwa gurunya, Empu Damar tidak dapat memenangkan perang tanding melawan Mahisa Pukat sehingga justru telah membakar dendam di hatinya. Dengan demikian maka mereka pun sadar, bahwa mereka harus menjadi sangat berhati-hati, karena yang mereka hadapi adalah sebuah padepokan yang memiliki pemimpin dengan ilmu yang sangat tinggi.

Tetapi tugas mereka hanyalah sekedar mengetahui apa yang ada di padepokan Bajra Seta itu, sehingga karena itu, maka keduanya masih belum perlu untuk membenturkan kemampuan mereka atas orang-orang padepokan Bajra Seta itu. Dengan bekal beberapa pesan dari gurunya, Empu Damar, maka kedua orang murid perguruan Ngancas itu telah berangkat ke padepokan Bajra Seta.

Namun sementara itu, para prajurit yang telah datang menemui Mahisa Murti justru telah kembali ke Singasari. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti pun telah mendapat keterangan tentang kemungkinan buruk yang dapat datang setiap saat menerpa Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi setelah beberapa lama Mahisa Murti berada di Padepokan Bajra Seta, hatinya telah menjadi lebih tenang. Meskipun kadang-kadang masih terasa gejolak hatinya, namun Mahisa Murti telah mampu untuk menimbang dengan perasaan dan penalaran yang lebih bening.

Keterangan yang diterima Mahisa Murti tentang dendam Gemak Langkas kepada Mahisa Pukat yang kemudian berkembang menjadi dendam padepokan Ngancas terhadap Padepokan Bajra Seta, telah mendorong Mahisa Murti untuk bersiap-siap. Meskipun Mahisa Murti merasa lebih senang jika tidak terjadi sesuatu, namun apabila serangan itu benar-benar datang, Padepokan Bajra Seta tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan.

Karena itu, maka Mahisa Murti telah meningkatkan kewaspadaannya. Panggungan di dinding Padepokan telah diperbaiki, sehingga pengamatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Pintu gerbang Padepokan pun telah diperiksa dengan teliti, agar pintu gerbang itu tidak mudah untuk dipecahkan. Selaraknya telah dibuat rangkap, sementara panggungan di sebelah-menyebelahnya pun telah dipersiapkan pula untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk.

Lebih dari itu, maka secara kewadagan dan kejiwaan, para cantrik pun telah dipersiapkan pula. Latihan-latihan-pun ditingkatkan sementara persenjataan para cantrik itu langsung diperiksa oleh Mahisa Murti sendiri apakah cukup memadai. Mahisa Semu dan Mahisa Amping secara khusus telah bertanya kepada Mahisa Murti, apakah yang akan terjadi di Padepokan itu.

“Kalian harus bersiap-siap dengan sungguh-sungguh” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “telah terjadi salah paham antara kakakmu Mahisa Pukat dengan seseorang yang kebetulan memimpin sebuah padepokan. Mereka mendendam kakakmu Mahisa Pukat. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak di Singasari, karena para prajurit Singasari akan dapat turut campur. Karena itu, maka mereka yang mendendam kakakmu Mahisa Pukat itu telah mengerling ke padepokan ini. Nampaknya Padepokan ini akan menjadi sasaran dendam orang yang terlibat dalam kesalah-pahaman dengan kakakmu Mahisa Pukat itu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun bagi Mahisa Amping, persoalan yang dihadapi oleh Padepokan Bajra Seta itu sulit untuk dimengerti. Bajra Seta yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang terjadi di Singasari, justru menjadi sasaran dendam sebuah Padepokan.

Namun, tiba-tiba anak itu mengerutkan dahinya. Pandangan matanya jauh menyusup menembus kekejauhan. Seakan-akan diluar sadarnya ia berkata, “Ya, kita memang harus bersiap”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa?”

“Mereka agaknya memang akan datang.” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Amping kadang-kadang memang menunjukkan kelebihan pengamatan firasatnya. Namun Mahisa Amping jarang sekali mengerti, perincian dari penglihatannya itu. Namun Mahisa Murti seakan-akan telah mendapat penjelasan, bahwa kemungkinan buruk itu memang akan terjadi atas Padepokan Bajra Seta, sehingga seisi Padepokan itu memang harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Mahisa Semu, “tolong, panggil paman Wantilan.”

Beberapa saat kemudian, maka Wantilan pun telah datang menemui Mahisa Murti. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti minta agar Wantilan mempersiapkan para cantrik untuk bersiaga. “Besok aku akan berbicara dengan para pemimpin kelompok. Tolong paman Wantilan mempersiapkan pertemuan itu.”

“Baiklah” berkata Wantilan, “besok, saat matahari sepenggalah para pemimpin kelompok akan berkumpul di pendapa bangunan induk.”

“Terima kasih paman” berkata Mahisa Murti selanjutnya, “nampaknya kita memang tidak boleh lengah”

Sementara para penghuni Padepokan Bajra Seta bersiap-siap, maka kedua orang cantrik dari Padepokan Ngancas telah berada tidak terlalu jauh dari Padepokan Bajra Seta. Dengan sangat berhati-hati keduanya mulai menghimpun keterangan tentang Padepokan yang akan menjadi sasaran dendam Empu Damar.

Namun hal itu telah disadari oleh Mahisa Murti. Bahwa sebelumnya tentu akan ada pengamatan atas Padepokannya. Karena itu, maka Mahisa Murti berusaha untuk melihat kemungkinan itu sendiri. Setiap kali Mahisa Murti telah berada di padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokannya. Tetapi Mahisa Murti tidak mengatakan kepentingannya kepada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu, karena jika demikian maka mereka akan dapat berbuat sesuatu yang mungkin salah langkah.

Anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitarnya yang ingin membantunya akan dapat salah tunjuk. Mereka dapat dengan serta-merta menuduh orang-orang yang kebetulan tidak mereka kenal sebagai petugas sandi dari padepokan yang mengancam Padepokan Bajra Seta. Bahkan mungkin mereka akan dapat bertindak dengan tergesa-gesa karena darah muda mereka. Kepada para pemimpin kelompok Padepokan Bajra Seta dalam pertemuan yang diselenggarakan di Padepokan, Mahisa Murti menekankan agar mereka bersiap sepenuhnya.

“Tetapi jangan tergesa-gesa melibatkan anak-anak muda di luar Padepokan.” pesan Mahisa Murti. “Mereka akan dapat bertindak terlalu jauh sebelum mereka memahami apa yang terjadi sepenuhnya. Sehingga langkah-langkah yang mereka ambil justru akan dapat merugikan persiapan kita.”

Dengan demikian maka yang dilakukan oleh para cantrik itu adalah persiapan-persiapan yang terbatas di lingkungan dinding padepokan mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti yang sering berada di luar padepokan kadang-kadang memang harus menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut keberadaannya di padukuhan-padukuhan itu, karena hal seperti itu jarang sekali dilakukannya. Meskipun Mahisa Murti sering berkunjung kepada anak-anak muda di luar Padepokan namun tidak begitu sering seperti yang dilakukannya di saat-saat terakhir.

Namun pertanyaan-pertanyaan itu selalu dijawabnya, bahwa kehadirannya di padukuhan-padukuhan itu semata-mata karena keinginannya untuk berada lebih dekat dengan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan.

Mahisa Murti yang kadang-kadang membawa Mahisa Amping bersamanya itu berusaha untuk dengan cermat mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh para petugas sandi. Sekali-sekali Mahisa Murti berada di kedai-kedai yang sebelumnya memang pernah di kunjungi. Bahkan Mahisa Murti menjadi lebih rajin berada di pasar. Duduk di antara pande besi dan pedagang-pedagang gerabah.

Namun untuk beberapa lama Mahisa Murti tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigainya. Tetapi ketika pada suatu hari ia berada di sebuah kedai bersama Mahisa Amping, justru di kedai yang berada agak jauh dari padepokannya, serta kedai yang sebelumnya belum pernah dikunjunginya, ditemukannya sesuatu yang pantas diperhatikan.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Amping lewat di depan kedai itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Amping menarik tangannya. Demikian Mahisa Murti berhenti, maka Mahisa Amping itu berdesis, “Kita singgah sebentar.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Sambil tersenyum ia bertanya, “Apakah kau sudah lapar atau haus? Bukankah hari masih pagi?”

“Tidak” jawab Mahisa Amping, “aku tidak lapar dan tidak haus. Tetapi aku ingin singgah sebentar.”

Mahisa Murti melihat sesuatu di mata Mahisa Amping. Dahi anak itu berkerut. Bahkan kemudian tanpa menunggu Mahisa Murti, Mahisa Amping telah melangkah masuk ke dalam kedai itu. Tetapi Mahisa Murti yang mengenal anak itu dengan baik, tidak mencegahnya. Ia pun segera mengikutinya dan memasuki kedai itu pula.

Pemilik kedai itu memang belum dikenalnya. Sebaliknya pemilik kedai itu pun juga belum mengenalnya. Namun, demikian Mahisa Murti memasuki kedai itu, maka ia pun mendapat kesan bahwa kedai itu adalah kedai yang terhitung bersih dan lengkap.

Beberapa tempat duduk memang telah terisi. Di sebuah amben panjang beberapa orang anak muda sedang menghirup minuman panas sambil berkelakar. Sedangkan di sudut kedai itu duduk dua orang yang lebih banyak diam dan mengamati keadaan.

Mahisa Amping yang mendahului masuk ke kedai itu langsung mencari tempat duduk, tidak jauh dari kedua orang yang telah berada di dalam kedai itu. Mahisa Murti hanya mengikutinya saja. Ia tahu bahwa anak itu melangkah sesuai dengan tuntutan firasatnya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti menduga, bahwa ada sesuatu yang dikenali oleh firasat Mahisa Amping, namun belum diketahuinya dengan pasti.

Beberapa saat kemudian, setelah keduanya duduk, maka keduanya telah memesan minuman yang digemari oleh Mahisa Amping. Wedang sere dengan gula aren. Sambil menunggu minuman, maka Mahisa Amping nampaknya memperhatikan kedua orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Sambil mengunyah makanan keduanya berbicara perlahan-lahan. Masih tentang makanan yang mereka makan.

Tetapi kedua orang itu kemudian mulai memperhatikan Mahisa Amping. Nampaknya Mahisa Amping itu agak menarik perhatian mereka. Sikap anak itu yang nampak kekanak-kanakan namun mapan. Bahkan ketika kedua orang itu memandang Mahisa Amping yang juga sedang mengamati mereka, maka Mahisa Amping itu telah mengangguk hormat. Kedua orang itu tersenyum sambil mengangguk pula.

Bahkan seorang di antara mereka sempat berdesis, “Marilah ngger, apakah pesananmu belum siap?”

Mahisa Amping tersenyum pula. Tetapi ia justru berpaling kepada Mahisa Murti. Sementara Mahisa Murti lah yang menjawab, “Nampaknya sedang disiapkan Ki Sanak.”

Orang itu mengangguk-angguk. Masih sambil tersenyum seorang di antara mereka bertanya kepada Mahisa Murti, “Apakah anak ini anak Ki Sanak?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “anakku yang sulung.”

“O” orang itu mengangguk-angguk, “berapakah saudaranya?”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Jawabnya, “Dua.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun anak itu ternyata tanggap. Ia tidak mengatakan apa-apa ketika Mahisa Murti mengakunya sebagai anaknya. Ternyata sejenak kemudian pelayan kedai itu telah menghidangkan minuman hangat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Amping.

Namun Mahisa Amping terkejut ketika salah seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Siapa namamu ngger?”

Mahisa Amping memang menjadi bingung. Jika Mahisa Murti mengatakan bahwa ia adalah anaknya yang sulung, maka namanya tentu bukan Mahisa Amping. Karena Mahisa Amping tidak segera menjawab, maka Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kenapa kau diam saja? Namanya Lembu Amping Ki Sanak. Anak ini memang pemalu.”

“Nama yang bagus” desis orang itu.

“Rumahmu dimana?” bertanya orang itu pula. Mahisa Amping memandang kepada Mahisa Murti dengan wajah yang agak tegang. Namun Mahisa Murti berkata, “Jawablah. Kau harus belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan.”

Mahisa Amping memandang kedua orang itu dengan ragu-ragu. Katanya, “Rumahku, tiga bulak dari tempat ini. Diseberang bulak panjang dan hutan bambu di sebelah.”

“O” orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang lain bertanya lagi, “Hutan bambu Ngerak yang kau maksud?”

“Ya” Mahisa Amping mengangguk ragu.

“Sudah dekat dengan Padepokan Bajra Seta?” desak orang itu pula.

Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Masih berjarak beberapa bulak lagi Ki Sanak. Kami tinggal di padukuhan Ngerak itu. Padukuhan yang menjadi kepanjangan hutan bambu meskipun di antarai oleh sebuah padang perdu dan padang rumput.” Mahisa Murti berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Tetapi apakah Ki Sanak sudah pernah pergi ke Ngerak?”

Orang itu tersenyum sambil mengangguk, “Ya. Tetapi hanya sekedar lewat saja.”

“Kami persilahkan Ki Sanak singgah” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Terima kasih, Ki Sanak” jawab orang itu.

Mahisa Murti yang kemudian sibuk meniup minuman panasnya agar cepat menjadi dingin tidak bertanya lagi. Kedua orang itu pun terdiam pula untuk beberapa saat. Untuk beberapa lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Amping duduk di kedai itu. Mereka minum dan makan beberapa potong makanan kecil. Namun sekejap-sekejap Mahisa Murti sempat memandangi kedua orang yang belum dikenalnya sebelumnya itu.

Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Amping merasa, bahwa mereka telah cukup lama duduk di kedai itu. Sementara itu kedua orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu masih saja duduk sambil sekali-sekali menghirup minumannya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Amping terkejut ketika mereka akan membayar harga minuman dan makanan yang telah mereka makan salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Biarlah kami yang membayarnya.”

“Ah” sahut Mahisa Murti, “terima kasih. Biarlah kami memenuhi kewajiban kami.”

“Jangan” orang itu mencegahnya. Bahkan katanya, “Sering-seringlah datang kemari. Aku sering pula berada di kedai ini.”

Ketika Mahisa Murti berniat tetap akan membayar harga minuman dan makanannya, orang itu juga tetap mencegahnya. Katanya, “Ki Sanak. Jangan menolak. Bukan apa-apa. Aku senang melihat anak Ki Sanak ini.”

Mahisa Murti memang tidak dapat memaksanya. Orang itu akan dapat tersinggung karenanya. Namun disamping itu, Mahisa Murti memang menaruh perhatian cukup besar terhadap orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami mengucapkan banyak terima kasih Ki Sanak Kami akan sering datang ke kedai ini.”

“Baiklah” berkata orang itu, “pada suatu saat aku akan singgah ke rumah Ki Sanak.”

“Silahkan Ki Sanak. Silahkan. Kami akan senang sekali menerima kunjungan Ki Sanak.” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah keduanya pun kemudian telah meninggalkan kedai itu. Mahisa Murti mulai merasakan bahwa firasat Mahisa Amping telah membawanya bertemu dengan orang-orang yang menarik perhatian. Namun dalam pada itu, Mahisa Amping pun bertanya, “Kakang membuat aku bingung.”

“Tetapi kau sudah berbuat sebaik-baiknya” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi apakah kita akan menemuinya lagi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Aku berniat bertemu dengan orang-orang itu lagi” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana jika mereka benar-benar akan singgah di rumah yang kakang sebutkan itu?” bertanya Mahisa AmPing.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukankah kita mempunyai banyak sahabat di padukuhan Ngerak?”

“Kita akan mengaku salah seorang dari mereka keluarga kita atau kita memang akan membuat rumah di Ngerak?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kita tidak perlu membuat rumah. Jika kita membuat rumah, maka rumah kita akan nampak baru. Sehingga dengan demikian, maka mereka akan dapat menjadi curiga.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah aku boleh ikut tinggal di Ngerak?”

Mahisa Murti tertawa semakin keras. Katanya, “Kita tidak akan tinggal di Ngerak. Tetapi kita akan sering berada di Ngerak. Kita akan berbicara dengan orang-orang Ngerak, terutama Ki Bekel, bahwa aku adalah penghuni padukuhan Ngerak bersama anakku sebanyak tiga orang. He, bukankah aku menjawab bahwa anakku tiga orang?”

Mahisa Amping pun tertawa. Tetapi ia bertanya, “Mana yang dua lagi?”

“Orang itu tidak akan membuktikan, bahwa aku mempunyai tiga orang anak. Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak benar-benar mencari kita di Ngerak.” berkata Mahisa Murti.

“Orang itu lupa tidak menanyakan nama kakang” berkata Mahisa Amping kemudian.

“Ya. Mungkin mereka sengaja agar tidak terlalu menarik perhatian. Seakan-akan mereka tidak mempedulikan kita?” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi apakah mereka mempedulikan kita?” bertanya Mahisa Amping pula.

“Ya. Dalam hubungannya dengan Padepokan Bajra Seta. Agaknya orang itu menaruh perhatian atas Padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Demikianlah maka keduanya berjalan semakin jauh dari kedai yang baru pertama kali itu mereka datangi. Namun mereka berdua ternyata tidak langsung kembali ke Padepokan. Mereka ternyata telah pergi ke padukuhan Ngerak untuk bertemu dengan Ki Bekel.

Ketika Mahisa Murti menyatakan dirinya untuk disebut orang Ngerak, maka Ki Bekel pun menjadi heran. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berpesan. Kepada Ki Bekel yang sudah dikenal dengan baik oleh Mahisa Murti itu pun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Mahisa Murti minta agar Ki Bekel tidak menyatakan hal itu kepada orang-orang Ngerak.

“Kepada mereka Ki Bekel cukup mengatakan bahwa mereka harus menganggap aku orang Ngerak. Jika ada orang asing yang bertanya tentang aku, maka mereka harus menjawab, bahwa aku tinggal di Ngerak. Tinggal di rumah Ki Bekel bagian belakang, karena aku masih sanak kadangnya Ki Bekel.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Agaknya suatu permainan yang sulit bagiku. Tetapi aku akan mencoba. Meskipun demikian jika ada satu dua orang yang terlampaui dan tidak mengetahui permainan ini, aku minta maaf.”

”Jika Ki Bekel memberitahukan kepada seseorang dan minta orang itu mengatakan kepada orang lain yang ditemuinya, maka dalam waktu singkat, pesan Ki Bekel itu akan tersebar. Memang agak sulit untuk mengendalikan anak-anak. Namun jika orang-orang tua sudah mengetahuinya, maka agaknya sudah cukup.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Yang sulit baginya adalah justru tanpa mengatakan persoalan yang sebenarnya kepada orang-orang padukuhan Ngerak.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berpesan, “Masih ada yang harus Ki Bekel beritahukan kepada orang-orang Ngerak. Namaku di sini tentu bukan Mahisa Murti. Tetapi Kuda Samekta. Nah, ingat Ki Bekel. Kuda Samekta. Jadi di rumah Ki Bekel tinggal seorang saudaranya sekeluarga dengan tiga orang anak, namanya Kuda Samekta. Sedangkan anaknya yang sulung namanya Lembu Amping.”

Ki Bekel tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Lebih mudah untuk menangkap saja orang itu daripada harus bermain demikian rumitnya.”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan orang itu tidak datang kemari. Aku akan berusaha menjumpainya di kedai itu saja. Yang agak menyulitkan adalah justru orang itu telah membayar minuman dan makanan kami, sehingga jika kami datang lagi kekedai itu, tentu dikiranya kami sengaja agar minuman dan makanan kami mereka bayar pula.”

Tetapi Ki Bekel itu menggeleng sambil berkata, “Tidak. Kapan saja kau bertemu lagi dengan orang itu di kedai itu, maka kaulah yang membayar harga minuman dan makanan mereka. Katakan, bahwa ada baiknya untuk bergantian melakukannya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju Ki Bekel. Ternyata pendapat Ki Bekel itu cukup bagus.”

“Seandainya mereka tidak mau?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi justru Ki Bekel yang menjawab, “Kebetulan. Biarlah mereka setiap kali membayar harga makanan dan minuman itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Amping pun tertawa. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun menyadari bahwa tugas yang diserahkan kepada Ki Bekel itu memang cukup rumit. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Amping segera minta diri. Mahisa Murti berharap bahwa segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan persoalan bagi orang-orang padukuhan Ngerak.

Namun dengan demikian, maka hampir setiap hari Mahisa Murti dan Mahisa Amping telah pergi ke padukuhan Ngerak.Bahkan pada hari yang keempat, keduanya telah pergi kekedai yang baru sekali mereka kunjungi itu. Tetapi di kedai itu Mahisa Murti dan Mahisa Amping tidak bertemu dengan kedua orang yang pernah membayar minuman dan makanan mereka.

“Kemarin mereka datang kemari” berkata pemilik kedai itu. Karena kedai itu sedang lengang, selain Mahisa Murti dan Mahisa Amping hanya ada dua orang pembeli yang lain, maka pemilik kedai itu sempat berbicara agak panjang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Amping.

“Agaknya mereka bukan orang di sekitar tempat ini” berkata pemilik kedai itu.

“Tetapi nampaknya mereka telah melihat-lihat daerah ini” sahut Mahisa Murti.

“Perhatiannya banyak tertuju kepada Padepokan Bajra Seta” berkata pemilik kedai itu.

“O” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga pernah melihat padepokan itu.”

“Apakah anehnya?” pemilik kedai itu justru bertanya, “aku juga sering lewat didekat padepokan itu. Bukankah tidak ada yang aneh?”

“Ya. Tidak ada yang aneh” jawab Mahisa Murti yang memperkenalkan diri dengan nama Kuda Samekta.

“Tetapi nampaknya kedua orang itu sangat memperhatikan Padepokan Bajra Seta itu.” berkata pemilik kedai itu pula. Lalu sambungnya, “Ia tertarik kepada bukan saja penghuninya, tetapi juga nama-nama pemimpinnya. Kemampuannya dan jumlah cantrik yang ada di padepokan itu.”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Hanya ingin tahu” jawab pemilik kedai itu, “ia mengaku tertarik setelah melihat Padepokan itu dari dekat. Nampaknya sebuah Padepokan yang besar dan kuat.”

“Apakah Ki Sanak banyak mengetahui tentang Padepokan Bajra Seta?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak” jawab pemilik kedai itu, “letaknya pun tidak terlalu dekat dari sini. Aku telah menyarankan jika ingin mengetahui lebih banyak, sebaiknya ia datang saja ke Padepokan itu dan bertemu dengan pimpinan Padepokan Bajra Seta itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya terlalu banyak agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun keterangan itu sudah cukup baginya untuk mengambil kesimpulan, bahwa memang ada orang yang sedang menyelidiki padepokannya, yang tentu ada sangkut pautnya dengan keterangan yang diberikan oleh para prajurit yang khusus datang atas permintaan ayahnya. Namun yang mengejutkan Mahisa Murti adalah justru kehadiran seseorang yang tidak dikenal oleh para cantrik ke Padepokan Bajra Seta.

“Siapa yang dicarinya?” bertanya Mahisa Murti.

“Pimpinan Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti merasa harus berhati-hati menanggapi kedatangan orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku sendiri akan menerimanya di regol halaman. “Namun sekali lagi Mahisa Murti terkejut. Orang itu memang tidak menunjukkan ujud yang meyakinkan sebagai seorang yang memiliki kelebihan. Orang itu menurut ujudnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan yang berpakaian serba hitam.

“Raden Kuda Wereng” desis Mahisa Murti.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kau masih mengenali aku dalam ujudku seperti ini ngger?”

“Tentu” jawab Mahisa Murti, “dalam keadaan apa pun aku akan dapat mengenali Arya Kuda Cemani. Apalagi dalam ujud apa pun Raden selalu memakai pakaian yang serba hitam.”

Arya Kuda Cemani hanya tersenyum saja. Sementara itu Mahisa Murti pun mempersilahkannya memasuki padepokannya. “Sebuah padepokan kecil, kotor dan miskin” berkata Mahisa Murti.

“Kau terlalu merendahkan diri” jawab Arya Kuda Cemani, “padepokanmu adalah padepokan yang terhitung besar di tlatah Singasari.”

Demikianlah Arya Kuda Cemani telah diterima dengan gembira oleh Mahisa Murti. Meskipun kehadirannya masih juga bagaikan menitikkan air diatas lukanya sehingga terasa pedih, namun Mahisa Murti masih juga sempat menahan dirinya. Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Arya Kuda Cemani pun mengatakan kepentingannya datang ke Padepokan Bajra Seta itu.

“Aku ingin memberikan keterangan serba sedikit” berkata Arya Kuda Cemani, seorang Senapati dari para petugas sandi di Singasari, “menurut pengamatan para petugas sandi, maka sudah ada tiga buah padepokan yang dipersiapkan untuk datang ke Padepokan Bajra Seta.”

“Tiga?” bertanya Mahisa Murti.

Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya, “Padepokan induk yang dipimpin oleh Empu Damar, guru Gemak Langkas. Sedangkan kedua padepokan yang lain adalah padepokan-padepokan yang dipimpin oleh murid-murid Empu Damar yang telah dianggap memiliki kemampuan yang cukup.”

Mahisa Murti menarik nafas panjang. Dari para prajurit yang telah datang lebih dahulu Mahisa Murti sudah mendapatkan beberapa penjelasan. Apa yang dikatakan oleh Arya Kuda Cemani telah melengkapinya, sehingga Mahisa Murti telah mendapat gambaran yang utuh tentang orang-orang serta padepokan-padepokan yang memusuhinya. Mahisa Murti pun telah mendapat keterangan bagaimana Mahisa Pukat mampu mengalahkan Empu Damar itu di perang tanding.

“EmPu Damar tidak mengira bahwa angger Mahisa Pukat mampu menghisap tenaga dan kemampuannya. Ia menyadari akan kemampuan ilmu angger Mahisa Pukat kemudian setelah terlambat” berkata Arya Kuda Cemani. Lalu katanya, “Namun agaknya ia akan menjadi lebih berhati-hati. Ia tentu sudah memperhitungkan bahwa angger Mahisa Murti juga memiliki ilmu yang sama.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan demikian ia memang harus menjadi sangat berhati-hati menghadapi Empu Damar itu. Namun Arya Kuda Cemani kemudian mengatakan, “Tetapi tidak mustahil bahwa Empu Damar akan mengundang kekuatan diluar padepokannya dan padepokan yang dipimpin oleh murid-muridnya.”

“Terima kasih atas segala keterangan ini Raden” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan kami dapat mempertahankan diri dari mereka yang berniat buruk itu.”

“Satu hal yang sedang aku usahakan” berkata Raden Kuda Cemani kemudian, “jika kita tahu, kapan orang-orang itu akan datang, maka kita akan dapat mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya.”

Kepada Raden Kuda Wereng Mahisa Murti juga memberitahukan tentang kedua orang yang sedang mengamati padepokannya. Nampaknya mereka sedang mengumpulkan bahan untuk meyakinkan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Raden Kuda Wereng mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ternyata mereka cukup berhati-hati dengan rencana mereka. Mereka tidak ingin terjebak sekali lagi sebagaimana yang pernah terjadi di Sendang Perbatang itu.”

“Namun dengan demikian kami di sini harus lebih berhati-hati menghadapi mereka” desis Mahisa Murti.

“Ya. Aku akan berusaha mengetahui lebih banyak tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil” berkata Raden Kuda Wereng.

“Terima kasih Raden” desis Mahisa Murti, “ternyata kami hanya membebani Raden saja.”

“Bukankah itu tugasku?” sahut Raden Kuda Wereng.

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara Raden Kuda Wereng berkata selanjutnya, “jika saja aku dapat bertemu dengan kedua orang itu.”

“Kedua orang yang sedang mengamati padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya” jawab Raden Kuda Wereng.

“Aku tidak selalu dapat menemui mereka” jawab Mahisa Murti, “tetapi kita dapat mencobanya.”

Dengan demikian maka Raden Kuda Wereng berniat untuk bermalam di padepokan itu agar ia mendapat kesempatan untuk bertemu dengan dua orang yang sedang mengamati padepokan Bajra Seta. Di hari berikutnya, maka Mahisa Murti telah mengajak Raden Kuda Wereng untuk pergi ke padukuhan Ngerak. Ternyata menurut Ki Bekel, memang ada orang yang sedang mencari seseorang yang mempunyai tiga orang anak. Seorang di antara anak-anaknya adalah Lembu Amping.

“Untunglah orang yang ditanya telah mendengar pesan tentang Kuda Samekta dan anaknya Lembu Amping” berkata Ki Bekel, “tetapi kedua orang itu ternyata tidak mengenal nama Kuda Samekta. Yang dikenalnya adalah justru Lembu Amping.”

Namun dengan demikian ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar ingin mengenal padepokan Bajra Seta lebih dalam lagi.

“Apa jawab orang itu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Seperti pesanmu. Orang yang mendapat pertanyaan tentang kau dan anakmu itu telah memberitahukan bahwa kau tinggal di rumahku. Tetapi ternyata ia tidak datang kemari,” jawab Ki Bekel.

“Apakah keduanya telah mencurigai aku?” bertanya Mahisa Murti dengan ragu.

“Entahlah” jawab Ki Bekel.

“Baiklah” jawab Mahisa Murti, “aku akan mencarinya di kedai itu. Di tempat mereka seringg singgah.”

Demikianlah berdua dengan Raden Kuda Wereng yang berpakaian seorang petani kebanyakan keduanya pergi ke kedai yang pernah dikunjungi oleh Mahisa Murti dan MahisaAmping. Tetapi ternyata keduanya tidak sedang berada di kedai itu.

Ketika hal itu ditanyakan kepada pemilik kedai, maka pemilik kedai itu menjawab, “Sudah sejak keduanya datang beberapa hari yang lalu, mereka belum datang lagi kemari.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Kepada Raden Kuda Wereng ia berkata, “Mungkin keduanya menganggap bahwa pengamatan mereka sudah dianggap cukup, sehingga mereka telah kembali ke Singasari untuk memberikan laporan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Bekel. Selama ini kami justru hanya menggelisahkan rakyat padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan kami.”

“Tidak. Tidak. Padepokan Bajra Seta telah memberikan banyak sekali kepada kami. Pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang semakin meningkat. Bahkan juga olah kanuragan” jawab Ki Bekel.

“Tidak seberapa Ki Bekel, dibandingkan dengan pengorbanan yang harus kalian berikan bagi kami.” desis Mahisa Murti.

“Tetapi kehidupan kami menjadi semakin baik sejak Padepokan Bajra Seta berdiri” jawab Ki Bekel.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Bekel dan para Bekel yang lain selalu bertanya Mahisa Pukat selama tidak nampak di Padepokan.

“Mahisa Pukat bersama ayah di Singasari untuk sementara” jawab Mahisa Murti, “namun pada suatu saat, ia tentu akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.”

Demikianlah, maka para Bekel di padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta ternyata dengan cepat telah bersiap pula. Tetapi seperti pesan Mahisa Murti, para Bekel berusaha untuk tidak menggelisahkan rakyat di padukuhan mereka.

Dalam pada itu, padukuhan yang khusus dibangun oleh orang-orang yang pernah memusuhi Padepokan Bajra Seta, namun kemudian justru ditempatkan di padukuhan khusus dan mulai hidup wajar, telah menyatakan diri siap untuk berbuat apa saja jika Mahisa Murti menghendaki.

“Kami mempunyai hutang yang tidak dapat dibayar dengan apa pun kepada Padepokan Bajra Seta. Bahkan dengan nyawa kami sekalipun. Kami yang telah diangkat dari kehidupan yang gelap, merasa telah hadir kembali sebagai manusia yang berarti.”

“Terima kasih” berkata Mahisa Murti, “kesediaan kalian membantu kami, telah membesarkan hati kami.”

Dengan demikian Mahisa Murti pun menjadi semakin tenang. Meskipun yang bakal datang mungkin lebih dari tiga padepokan, tetapi Padepokan Bajra Seta pun tidak sendiri. Lebih dari tujuh padukuhan yang menyatakan kesediaannya membantu. Dan itu berarti lebih dari kekuatan dua tiga padepokan yang sedang. Sementara Padepokan Bajra Seta sendiri termasuk padepokan yang besar.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti berharap bahwa Padepokan Bajra Seta dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya akan dapat mengatasi jika beberapa padepokan itu benar-benar akan datang menyerang, apa pun alasannya. Namun Mahisa Murti telah berusaha untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya, agar beban serangan itu terberat tetap pada Padepokan Bajra Seta.

Dalam kesiagaan yang disusun kemudian bersama-sama antara para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti minta agar para pengawal dan anak-anak muda itu tetap berada di padukuhan masing-masing. Pada saat diperlukan akan dilontarkan isyarat dari padepokan kearah padukuhan terdekat. Kemudian isyarat itu akan diteruskan ke padukuhan-padukuhan berikutnya. Isyarat itu berarti bahwa Padepokan Bajra Seta memerlukan bantuan.

“Dengan demikian maka kalian akan menyerang lawan dari belakang garis pertempuran. Aku memperhitungkan bahwa beban terberat dari tekanan lawan akan berada pada para cantrik Padepokan Bajra Seta. Namun serangan para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan akan memperingan beban kami.”

Demikianlah, maka segala persiapan pun telah dilakukan. Mahisa Murti memperhitungkan bahwa kekuatan Padepokan Bajra Seta bersama anak-anak muda dan para pengawal padukuhan di sekitar Padepokan menjadi cukup besar. Apalagi anak-anak muda dan para pengawal itu pun pernah mengalami tempaan yang cukup berat di Padepokan Bajra Seta. Meskipun tidak seberat para cantrik, namun kemampuan anak-anak muda dan para pengawal itu cukup memadai. Apalagi mereka inti para pengawal dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta.

Dalam masa-masa kesiagaan itu pun anak-anak muda dan para pengawal telah memerlukan melakukan latihan-latihan lebih banyak dari kebiasaan mereka sehari-hari. Sementara para remaja yang menjadi semakin mendekati masa mudanya pun mulai menyatakan diri untuk ikut melakukan latihan-latihan dalam olah kanuragan dan mempergunakan senjata. Tetapi para pemimpin pengawal telah memperingatkan bahwa para remaja itu tidak boleh ikut bersama mereka jika kekerasan itu benar-benar akan terjadi.

“Kalian masih harus mematangkan diri” berkata para pemimpin pengawal.

Betapa para remaja itu menyatakan kesediaannya, namun mereka tetap tidak diperkenankan ikut.

“Jika kalian benar-benar ingin ikut melindungi padukuhan kalian, maka kalian tetap saja berada di padukuhan. Jika ada di antara orang-orang yang ingin berbuat jahat itu datang ke padukuhan, barulah kalian boleh melibatkan diri.” pesan para Bekel kepada para remaja.

Sementara itu, ternyata Empu Damar benar-benar telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Padepokan Bajra Setan. Ia telah memerintahkan seseorang secara khusus mengamati, apakah Mahisa Pukat masih berada di Singasari atau tidak. Ternyata Mahisa Pukat itu tidak meninggalkan rumah ayahnya, sehingga karena itu, maka Empu Damar berpendapat, bahwa Padepokan Bajra Seta sama sekali tidak mengetahui rencananya untuk menyerang.

Tetapi Empu Damar tidak hanya bergerak sendirian. Selain Padepokan Ngancas, maka masih ada tiga padepokan lagi yang bergerak bersamanya. Padepokan yang didirikan oleh murid-murid Empu Damar. Ketika mereka mendapat pemberitahuan, bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk mencoba ilmu mereka sekaligus membuktikan kebesaran Padepokan Ngancas, maka mereka menjadi bergembira. Demikian pula setiap cantrik dari padepokan-padepokan itu, seakan-akan mereka mendapat saluran untuk mengalirkan air yang terbendung di dalam diri mereka.

Sementara itu Empu Damar tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika segala persiapan telah disusun rapi, maka Empu Damar pun benar-benar siap untuk berangkat. Dua orang yang ditugaskan untuk mengamati Padepokan Bajra Seta pun telah memberikan laporan lengkap. Mereka memang tidak ingkar, bahwa Padepokan Bajra Seta memang sebuah padepokan yang besar. Tetapi mereka berpendapat, bahwa kekuatan yang disusun oleh Padepokan Ngancas cukup memadai untuk menghancurkan Padepokan Seta.

Pada hari yang telah direncanakan maka para cantrik dari ampat padepokan yang telah dipersiapkan itu pun telah berangkat pula. Mereka memilih berjalan di malam hari untuk menghindarkan diri dari perhatian yang berlebihan. Merekapun berharap bahwa Padepokan Bajra Seta tidak mengetahui lebih dahulu akan kedatangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga Padepokan yang lain.

Mereka sadar, bahwa semalam mereka tidak dapat mencapai Padepokan Bajra Seta. Seandainya dini hari mereka sampai juga, maka mereka tidak sempat beristirahat sama sekali. Karena itu, maka menurut petunjuk kedua orang yang lebih dahulu telah mengamati Padepokan Bajra Seta, mereka akan dapat menunggu dipinggir sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Seandainya ada juga harimau atau binatang buas yang lain berani mengganggu, maka binatang-binatang itu tentu akan bernasib malang.

Namun demikian kedua orang itu masih juga memperingatkan, “Hati-hati dengan ular. Di tempat itu memang terdapat ular meskipun tidak terlalu banyak. Tetapi lebih sulit melawan seekor ular daripada seekor harimau bagi sekelompok cantrik.”

Demikianlah, dengan pesan dan bekal yang cukup, para cantrik dari empat padepokan yang tidak terlalu besar itu bergerak menuju Padepokan Bajra Seta. Keberangkatan para cantrik dari keempat padepokan itu tidak luput dari pengamatan Arya Kuda Cemani. Karena itu, maka ia telah memerintahkan dua orang prajurit sandi untuk pergi berkuda mendahului para cantrik dari keempat padepokan yang dipimpin oleh Empu Damar sendiri dari Padepokan Ngancas.

Gemak Langkas yang sebenarnya telah mendapat peringatan dari ayahnya, terpaksa berangkat juga karena ia sadar, bahwa ialah yang telah menyulut api permusuhan antara Padepokan Ngancas dengan Padepokan Bajra Seta.

Kedatangan kedua orang petugas sandi itu telah menggetarkan Padepokan Bajra Seta. Ternyata Padepokan itu benar-benar akan mendapat serangan dari kekuatan yang cukup besar. Mahisa Murti memang tidak dapat ingkar. Meskipun ia juga menyesali peristiwa yang bakal terjadi itu, namun sudah tentu bahwa Padepokan Bajra Seta harus membela diri sejauh dapat dilakukan. Dengan cepat pula Mahisa Murti sendiri telah menghubungi beberapa orang bekel di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Dengan sangat menyesal Mahisa Murti telah menyeret mereka kedalam benturan kekerasan.

“Seperti yang aku katakan, kami akan mengirimkan isyarat jika kami memerlukan bantuan dari padukuhan-padukuhan.” berkata Mahisa Murti kepada para Bekel.

Demikianlah, maka segala sesuatunya telah disiapkan sebaik-baiknya. Para petugas sandi itu juga mengatakan, bahwa mereka berangkat dari Singasari hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang lain.

“Kami lebih dahulu datang karena kami berkuda. Siang ini mereka tentu beristirahat di satu tempat” berkata salah seorang petugas sandi itu.

“Jika demikian, maka agaknya besok pagi-pagi mereka akan menyerang Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Murti.

“Aku kira memang demikian. Pada saat matahari terbit, mereka akan menyerang Padepokan Bajra Seta. Tetapi sebaiknya sejak malam nanti, segala kemungkinan siap untuk dihadapi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Terima kasih untuk keterangan ini. Mudah-mudahan kami dapat mempertahankan diri.”

“Aku berhasil mengintai kekuatan mereka” berkata salah seorang petugas itu, “dari segi jumlah, para cantrik yang akan menyerang Padepokan ini, jumlahnya aku kira lebih banyak, tetapi aku masih belum tahu akan tingkat kemampuan mereka.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya” desis Mahisa Murti.

Ternyata kedua orang petugas sandi itu tidak segera kembali ke Singasari. Mereka justru mendapat tugas untuk mengamati pertempuran yang akan terjadi. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti telah minta para cantrik untuk beristirahat sebanyak-banyaknya. Kecuali yang bertugas bergantian, maka para cantrik itu harus cepat pergi tidur. Namun mereka harus sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dipergunakannya untuk mempertahankan Padepokan Bajra Seta esok pagi.

“Kalian harus mampu melepaskan ketegangan di jantung kalian agar kalian dapat tidur nyenyak” berkata Mahisa Murti, “jika tidak, maka kalian tidak akan sempat beristirahat.”

Demikianlah, maka sebagian besar dari para cantrik itu pun segera lelap demikian malam turun. Sebagian di antara mereka memilih untuk beristirahat dan tidur diatas panggung di belakang dinding halaman padepokan, di antara setumpuk anak panah dan lembing. Sedangkan beberapa orang kawan-kawannya bergantian bertugas mengamati lingkungan diluar dinding, karena tidak mustahil terjadi sesuatu sebelum saat yang diperhitungkan itu tiba.

Padepokan Bajra Seta memang tidak menunjukkan sesuatu yang lain dilihat dari luar. Segalanya nampaknya tetap tenang sebagaimana hari-hari sebelumnya. Ketika malam menjadi semakin dalam, sebenarnyalah ada beberapa orang yang mengamati padepokan itu dari kejauhan. Mereka memang tidak melihat persiapan-persiapan apa pun juga.

Memang mereka melihat satu dua orang cantrik yang berjaga-jaga dipanggungan di belakang dinding halaman. Namun hal itu pernah dilaporkan juga sebelumnya, sehingga menurut para pengamat itu, penjagaan yang dilakukan dipanggung-panggung di belakang dinding itu adalah tugas-tugas seharian.

Dengan demikian maka Padepokan Ngancas itu tidak merubah rencana mereka. Sejak malam turun, mereka telah bergerak meninggalkan hutan tempat mereka beristirahat sambil bersembunyi. Mereka kemudian telah menebar mengepung Padepokan Bajra Seta. Mereka tidak lagi merasa perlu untuk bersembunyi-sembunyi justru karena Padepokan Bajra Seta telah terkepung.

Seandainya orang-orang Bajra Seta melihat kehadiran mereka, maka yang dapat mereka lakukan tidak lebih dari bersiap-siap dilingkungan mereka. Meskipun demikian semua kegiatan yang dilakukan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas dan tiga padepokan lainnya, dilakukan dengan sangat berhati-hati. Mereka memang berharap bahwa menjelang fajar mereka akan datang menyerang dengan tiba-tiba dan mengejutkan orang-orang Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu, sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan yang lain itu telah menyiapkan berpuluh-puluh tangga bambu. Ternyata selama mereka beristirahat dan bersembunyi di pinggir hutan, mereka telah menemukan rumpun-rumpun bambu yang dapat mereka buat tangga-tangga yang siap mereka pergunakan untuk memanjat dinding Padepokan Bajra Seta.

Ketika malam kemudian menjadi semakin dalam, maka terjadi pergantian para petugas yang berjaga-jaga di panggungan di belakang dinding padepokan. Seorang cantrik yang memimpin penjagaan malam itu telah melaporkan kepada Mahisa Murti, bahwa para petugas telah mulai melihat kegiatan diluar dinding Padepokan Bajra Seta. Namun seperti yang diperintahkan, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta tidak mengambil langkah-langkah apa pun selain semakin bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

“Baik” berkata Mahisa Murti, “beristirahatlah sebaik-baiknya, agar tenagamu besok utuh kembali.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti sendiri pun pergi beristirahat pula meskipun ia berpesan bahwa jika ada sesuatu yang penting, ia harus dibangunkan. Yang nampak sibuk kemudian adalah dapur Padepokan Bajra Seta. Para cantrik itu harus makan lebih dahulu sebelum fajar, sehingga mereka tidak akan bertempur dengan perut lapar.

Berbeda dengan kegiatan di dapur Padepokan Bajra Seta, maka para cantrik dari Padepokan Ngancas telah mendapat bekal mereka masing-masing. Nasi jagung yang akan dapat bertahan sampai dua atau tiga hari tanpa dipanasi lagi. Mereka minum dimana saja ada air bersih. Bahkan belik-belik kecil dipinggir sungai.

Dalam pada itu, maka Empu Damar yang memimpin langsung keempat Padepokan yang akan menyerang Bajra Seta itu telah memberikan pesan-pesan terakhirnya.

“Kita akan menebus harga diri kita yang telah direndahkan oleh Mahisa Pukat, salah seorang pemimpin dari Padepokan Bajra Seta ini. Karena Mahisa Pukat berada di istana bersama ayahnya, maka sasaran kita, kita arahkan kepada Padepokan Bajra Seta. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita tentu akan dapat menguasai seluruh padepokan ini. Jumlah kita lebih banyak. Kita pun meragukan apakah para cantrik padepokan Bajra Seta memiliki ilmu yang cukup baik. Bahkan aku mengira bahwa tidak ada seorang pun dari isi Padepokan Bajra Seta yang memiliki kemampuan dan ilmu sebagaimana Mahisa Pukat. Biarlah besok Mahisa Pukat menangis jika ia mengetahui bahwa Padepokan Bajra Seta telah kita hancur leburkan.”

Para cantrik pun tergetar hatinya, sehingga mereka berjanji untuk benar-benar menghancurkan Padepokan Bajra Seta yang sombong itu.

Namun demikian, Empu Damar itu pun masih berpesan, “Jika kalian nanti memasuki Padepokan Bajra Seta, kalian harus tetap berhati-hati. Meskipun tidak ada seseorang yang memiliki ilmu setinggi Mahisa Pukat, tetapi kalian sebaiknya menghadapi pemimpin Padepokan Bajra Seta tidak seorang diri. Aku akan berusaha menghadapinya. Seandainya aku tidak menemukannya, tetapi salah seorang dari kalian tiba-tiba berhadapan dengan orang itu, maka usahakan menghadapinya dengan kelompok-kelompok kecil. Kalian dapat melakukannya, karena kalian tidak sedang berperang tanding.”

Demikianlah, waktu pun merayap terus. Empu Damar merencanakan untuk menyerang Padepokan Bajra Seta saat matahari mulai membayang. Empu Damar beharap bahwa jika matahari terbit, maka para pengikutnya sudah mulai berusaha memanjat dinding dengan tangga serta merusakkan pintu gerbang utama. Karena itu, menjelang fajar, Empu Damar telah memerintahkan orang-orangnya menempatkan diri diseputar Padepokan Bajra Seta. Jika kemudian isyarat dilontarkan, maka mereka serentak akan bergerak.

Gerak-gerik para pengikut Empu Damar itu tidak luput dari pengamatan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Meskipun para cantrik itu tidak melakukan sesuatu, tetapi setiap kali mereka selalu memberikan laporan tentang para pengikut Empu Damar itu. Menjelang fajar, maka para cantrik Bajra Seta pun telah siap. perhitungan Mahisa Murti memang tepat. Para penyerang akan mulai bergerak menjelang matahari terbit.

Mahisa Murti yang telah bangun dan berbenah diri telah siap memimpin langsung perlawanan untuk mempertahankan diri. Wantilan telah mendapat perintah untuk berada di belakang. Mahisa Semu disisi sebelah kiri sedangkan disisi sebelah kanan diserahkan kepada seorang cantrik yang dimiliki kepemimpinan yang tinggi.

Setelah memberikan beberapa pesan, serta setelah seisi Padepokan Bajra Seta makan dan minum secukupnya, maka para cantrik pun mulai menebar ditempat tugas mereka masing-masing. Mereka yang mendapat tugas naik ke panggungan pun telah siap di tangga. Sementara para cantrik yang dipersiapkan untuk melindungi pintu gerbang utama pun telah bersiap pula. Di belakang pintu gerbang utama, sekelompok cantrik telah siap bertahan jika pintu gerbang itu terpaksa pecah.

“Kita menunggu isyarat” berkata Mahisa Murti, “pemimpin Padepokan Ngancas itu tentu akan melontarkan isyarat, apa pun ujudnya. Demikian isyarat itu diberikan, maka mereka tentu akan bergerak. Nah, kita pun akan bergerak pula.”

Para pemimpin kelompok para cantrik di Padepokan Bajra Seta itu pun telah siap pula ditempat masing-masing. Rasa-rasanya mereka menunggu terlalu lama, sementara langit pun menjadi semakin cerah. Tetapi sebelum cahaya matahari menyentuh ujung langit, maka telah meluncur dari arah depan Padepokan Bajra Seta panah api yang naik ke udara. Kemudian beberapa yang lain meluncur ke samping Padepokan Bajra Seta.

Panah api itu pun kemudian telah ditanggapi pula oleh para pengikut Empu Damar yang ada di sebelah menyebelah Padepokan. Panah api telah meluncur pula ke arah belakang Padepokan itu. Sekejap kemudian, maka telah terdengar suara gemuruh. Para pengikut Empu Damar di segala arah itu pun telah berteriak-teriak nyaring. Mereka berlari-larian dengan membawa tangga-tangga bambu yang telah mereka persiapkan.

Para cantrik yang ada di sebelah-menyebelah pintu gerbang pun terkejut pula. Seakan-akan menguak kegelapan dini, muncul sekelompok orang yang memanggul sebatang kayu yang besar dengan tali-temali. Kayu yang seakan-akan bergantung itu telah dipanggul dengan potongan-potongan bambu dan tali temali mendekati pintu gerbang utama.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Bajra Seta pun telah bergerak pula. Dengan tangkasnya mereka telah memanjat tangga naik ke atas panggungan yang telah disiapkan. Di panggungan itu telah terdapat beberapa tumpuk anak panah dan lembing bambu yang siap dilontarkan. Karena itu, maka para pengikut Empu Damar juga merasa terkejut ketika tiba-tiba saja panggungan di belakang dinding padepokan itu telah penuh dengan para cantrik dengan busur ditangan.

Tetapi arus serangan para pengikut Empu Damar itu bagaikan banjir bandang yang tidak terbendung. Beberapa orang yang membawa perisai telah menempatkan diri dipaling depan, melindungi mereka yang membawa tangga bambu untuk memanjat dinding. Sementara itu, para pengikut Empu Damar yang membawa busur dan anak panah pun telah siap pula melontarkan serangan kebelakang dinding untuk melindungi orang-orang yang membawa tangga dan kemudian memanjat dinding.

Demikianlah, ketika matahari mulai terbit, pertempuran telah terjadi. Dari atas dinding padepokan, anak panah mulai meluncur. Seperti hujan yang semakin lama menjadi semakin deras berterbangan menyambar orang-orang yang berlari-larian menyerang Padepokan Bajra Seta.

Tetapi dari luar dinding pun anak panah telah meluncur pula. Meskipun tidak sederas arus anak panah yang datang dari arah dinding, namun serangan anak panah dari luar itu telah mengganggu para cantrik yang berada dipanggungan.

Sementara itu, para cantrik Padepokan Ngancas yang lain sibuk melindungi orang-orang yang memanggul potongan kayu itu. Mereka telah menepis, menangkis dan melindungi dengan perisai agar orang-orang yang memanggul sepotong kayu yang besar dan panjang dengan potongan-potongan bambu dan bergantung pada tali temali itu tidak terkena anak panah dan lembing.

Demikianlah, maka potongan kayu yang besar yang bergantung pada potongan-potongan bambu yang dipanggul oleh banyak orang itu telah berada di depan pintu gerbang. Dengan aba-aba yang melengking tinggi, maka orang-orang yang memanggul kayu itu pun membuat ancang-ancang sejenak. Kemudian mereka pun berlari bersama-sama menuju ke pintu gerbang.

Dengan kerasnya orang-orang itu telah membenturkan sepotong kayu besar dan panjang itu pada pintu gerbang yang tertutup rapat dengan selarak rangkap itu. Sekali dua kali, pintu itu seakan-akan tidak tergetar. Namun orang-orang yang memanggul kayu itu membenturkan kayunya tidak hanya satu dua kali. Tetapi berpuluh kali sehingga pintu itu pun akhirnya berguncang.

Tetapi sementara para cantrik Padepokan Bajra Seta menjadi berdebar-debar melihat daun pintu yang besar dan tebal itu mulai berderak, maka anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan sedang berlari-lari mendekati Padepokan.

Di bagian-bagian lain dari dinding padepokan itu, para cantrik Padepokan Bajra Seta telah berjuang dengan sepenuh tenaga dan kemampuan untuk menahan arus para para penyerang. Satu dua tangga memang sudah dicoba untuk dipasang. Tetapi dengan bambu-bambu panjang para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah mendorong tangga-tangga itu sehingga roboh.

Tetapi arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan tiga padepokan yang lain itu mengalir seperti banjir bandang. Rasa-rasanya sulit bagi para cantrik padepokan Bajra Seta untuk membendungnya. Hujan panah seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi mereka. Beberapa orang yang terjatuh, tidak menghalangi arus serangan mereka. Tangga-tangga pun mulai diangkat untuk disandarkan pada dinding padepokan. Semakin lama semakin banyak.

Dengan tombak dan lembing serta senjata-senjata yang sudah siap ditangan, para cantrik Padepokan Bajra Seta mencoba menahan gerak maju lawan. Dengan segenap kemampuan para cantrik itu bertempur. Satu dua orang lawan terlempar jatuh dengan dada yang koyak. Namun yang lain mengalir tidak berkeputusan.

Pada saat yang gawat itu, maka tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan yang memekakan telinga. Dari segala arah menghambur anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Ternyata jumlah mereka cukup banyak meskipun jauh lebih kecil dari jumlah para cantrik dari keempat Padepokan yang sedang menyerang padepokan Bajra Seta.

Tetapi kedatangan mereka benar-benar mengejutkan para cantrik dari keempat padepokan yang sedang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Dengan demikian maka perhatian para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Bajra Seta itu telah terbagi. Sebagian dari mereka segera berbalik untuk melawan anak-anak muda yang datang menyerang itu.

Tekanan mereka terhadap kekuatan yang ada di atas panggungan di belakang dinding padepokan memang berkurang. Para cantrik Padepokan Bajra Seta mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat para cantrik yang menyerang itu bimbang mengambil sikap, maka serangan dari atas dinding pun benar-benar bagaikan tertumpah dari langit.

Tetapi itu tidak berlangsung lama. Sementara para pengikutnya ragu-ragu, Empu Damar dengan cepat mengambil keputusan. Ia pun berteriak menjatuhkan perintah setelah melihat jumlah penyerang yang datang itu, “Tinggalkan padepokan Bajra Seta untuk sementara. Hancurkan orang-orang yang dengan licik menyerang dari belakang. Jumlah mereka tidak begitu banyak. Mereka akan dapat dengan cepat dibinasakan. Jika perlu kita menunda serangan kita terhadap Padepokan Bajra Seta sampai esok.”

Perintah itu pun telah diteriakkan beranting. Setiap pemimpin kelompok telah meneriakkan kembali perintah itu. Sehingga perintah itu bagaikan mengalir mengelilingi dinding padepokan.

Para cantrik yang sudah terlanjur memasang tangga dan bahkan mulai memanjat telah berloncatan turun. Sambil berusaha menangkis anak panah yang mengejar mereka, maka mereka pun telah berusaha menjauhi dinding yang digapainya dengan susah payah. Mereka telah merobohkan tangga-tangga yang sebagian telah mereka pasang agar tidak ditarik naik oleh para cantrik yang berada di panggungan.

Namun, kebijaksanaan yang diperintahkan oleh Empu Damar itu memang satu-satunya cara yang paling baik untuk dilakukan pada keadaan seperti itu. Lebih baik mencurahkan perhatian dan langsung menyelesaikan salah satu tugas daripada sebagian-sebagian tetapi tidak segera dapat selesai dengan tuntas.

Orang-orang padukuhan yang menyerang para cantrik dari keempat padepokan itu memang terkejut ketika mereka melihat, semua orang dalam pasukan lawan itu telah berbalik menghadapi mereka. Sekilas mereka segera menyadari, jika demikian maka kekuatan mereka pun akan dapat dihancurkan sampai lumat.

Tetapi anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tidak berlari meninggalkan arena. Seorang yang memimpin kelompok yang berada diarah depan padepokan itu berteriak, “Marilah kita bertempur sampai akhir. Sulung masuk ke dalam perapian. Meskipun kita akan lebur menjadi debu, tetapi kita tentu sudah berhasil mengurangi jumlah mereka sebanyak dapat kita lakukan. Sisa kekuatan mereka tidak akan dapat mereka pergunakan untuk memasuki padepokan Bajra Seta, sehingga kematian kita tentu tidak akan sia-sia.”

Teriakan itu telah disambut oleh sorak yang gemuruh bagaikan hendak merobohkan langit. Bahkan sorak itu merambat kekelompok-kelompok yang ada di samping padepokan.

Ternyata Mahisa Murti pun menjadi cemas melihat keadaan itu. Empu Damar benar-benar mengerahkan semua kekuatan yang dibawanya untuk menghancurkan kelompok-kelompok anak-anak muda dan orang-orang yang datang dari padukuhan-padukuhan. Meskipun jumlah mereka cukup banyak, tetapi masih jauh lebih sedikit dari jumlah para cantrik yang datang menyerang Padepokan Bajra Seta. Bersama dengan para cantrik Bajra Seta pun nampaknya jumlah anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu masih berselisih dibanding dengan para penyerang.

”Tetapi selisih itu tidak banyak” desis Mahisa Murti.

Ketika kedua pasukan itu benar-benar hampir berbenturan, maka Mahisa Murti harus mengambil sikap yang cepat dan berarti bagi Padepokan dan bagi anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti itu pun telah memberikan perintah, “Semua orang dari Padepokan ini keluar. Kita bertempur diluar dinding Padepokan. Kita tidak dapat membiarkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang datang untuk membantu kita itu dibantai habis-habisan.”

Perintah itu pun dengan cepat menjalar. Semua orang telah meneriakkan aba-aba itu. “Ambil tali dan pergunakan untuk turun di segala arah dari Padepokan ini” perintah Mahisa Murti pula. Bahkan kemudian perintahnya pula, “Buka pintu gerbang utama. Buka pula gerbang-gerbang butulan.”

Perintah itu pun segera dilaksanakan. Para cantrik memang tidak akan sampai hati melihat anak-anak muda dan orang-orang padukuhan dibantai sampai habis oleh orang-orang yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Sementara mereka datang untuk sekedar membantu meringankan beban Padepokan itu. Sejenak kemudian, maka pintu-pintu gerbang pun telah terbuka. Seperti banjir bandang yang memecahkan bendungan, maka para cantrik pun menghambur keluar dari padepokan.

Yang kemudian terkejut adalah Empu Damar dan para cantriknya yang telah berbalik menghadapi orang-orang padukuhan itu. Mereka tidak mengira bahwa para cantrik dari padepokan Bajra Seta akan keluar dari batas dinding padepokan. Empu Damar memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka dua medan. Seperti pedang bermata dua, maka pasukannya pun harus menghadapi lawan dari dua arah.

Melihat para cantrik menghambur keluar, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu pun bersorak sekali lagi. Gemuruh suaranya sekali lagi bagaikan mengguncang langit. Sejenak kemudian, maka benturan pun telah terjadi antara pasukan Empu Damar dan anak-anak muda serta orang-orang padukuhan. Sentuhan dua kekuatan itu telah menggetarkan medan.

Ternyata anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu memiliki kemampuan untuk bertempur. Bahkan ada di antara mereka yang telah memiliki senjata sebagaimana yang dipergunakan oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Senjata yang dibuat dengan cara dan bahan yang khusus. Meskipun senjata itu ujudnya cukup besar dan panjang, tetapi senjata itu tidak begitu berat sebagaimana ujudnya. Tetapi kekuatan pedang itu tidak kalah dari pedang yang terbuat dari baja pilihan yang berat.

Pedang-pedang yang khusus itu ternyata mampu mengejutkan lawan-lawan mereka. Ternyata dengan senjata yang besar itu, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu dapat memutar dan mempergunakannya dengan terampil. Kekuatan Empu Damar dan padepokan-padepokan yang mendukungnya memang mampu menggetarkan dan mendesak anak-anak muda dan orang-orang padukuhan. Namun hanya sebentar. Ketika para cantrik Padepokan Bajra Seta telah menyusul mereka, maka kekuatan mereka pun segera telah terbagi.

Demikianlah, maka di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun segera terjadi perang brubuh. Kedua belah pihak sama sekali tidak mempergunakan gelar. Mereka lebih banyak bertumpu kepada kemampuan pribadi, sehingga dengan demikian maka pertempuran pun menjadi benturan kekuatan disepanjang medan.

Namun karena latihan-latihan yang berat maka para cantrik Bajra Seta masih juga memikirkan kemungkinan untuk saling bekerja bersama dan saling mengisi disetiap lubang-lubang pertempuran. Mereka masih juga mempergunakan penalaran sehingga dalam keadaan tertentu telah terbentuk kelompok-kelompok kecil yang bersama-sama mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi di medan pertempuran.

Sementara itu, para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih banyak mengandalkan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Empu Damar selalu membanggakan cantrik-cantriknya yang secara pribadi memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, sehingga karena itu, maka para cantrik itu seakan-akan telah berlomba untuk menjadi lebih baik dari yang lain.

Empu Damar yang marah itu pun kemudian telah meneriakkan berbagai macam perintah untuk membakar jantung para pengikutnya. Perintah-perintahnya yang disambut dan diteriakkan ulang oleh para pemimpin kelompok itu pun ternyata mampu didengar oleh para cantrik yang ada di belakang Padepokan Bajra Seta.

Tetapi para cantrik dari Padepokan Bajra Seta pun tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh perintah-perintah yang diteriakkan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas yang menyambung perintah-perintah dari Empu Damar.

Dengan demikian maka pertempuran di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti yang memperhitungkan bahwa kekuatan utama dari para penyerang itu akan membebani pertahanan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, ternyata masih belum seluruhnya sebagaimana diharapkan. Masih ada kelompok-kelompok cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan pendukungnya yang masih saja mengarahkan kekuatan mereka kepada anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu.

Untunglah bahwa anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tidak terlalu lemah. Mereka telah mengalami latihan-latihan yang cukup. Apalagi orang-orang padukuhan khusus yang pernah bertualang di dunia gelap. Justru para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan yang lain yang kebetulan bertemu dengan orang-orang dari padukuhan yang khusus itulah yang menjadi terkejut.

Tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan orang-orang yang bertempur dengan keras. Bahkan ketika keringat mulai membasahi tangannya, maka seakan-akan kebiasaan mereka di medan pertempuran menjadi kambuh. Mereka menjadi kasar. Apalagi dengan dasar yang kasar itu mereka telah mendapat latihan-latihan bagaimana seharusnya mereka mempergunakan senjata. Sehingga karena itu, dalam kekasaran mereka, maka mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa langkah, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu memang terdesak. Tetapi para cantrik telah memancing sebagian besar kekuatan lawan agar mereka mengarahkan perlawanan mereka kepada para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Kelompok-kelompok yang kuat dari para cantrik itu telah mencoba menusuk memasuki garis pertempuran agar lawan-lawan mereka semakin memperhatikan mereka.

Dengan menusuk sedalam-dalamnya ke belakang garis benturan, maka para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya memang merasa semakin terganggu. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengarahkan perhatian mereka terbesar pada usaha untuk menumpas anak-anak muda dan orang-orang padepokan yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak.

Tetapi karena para cantrik dari padepokan Ngancas telah memasuki celah-celah garis pertempuran, maka mereka harus benar-benar membagi perhatian mereka. Termasuk para cantrik yang berhadapan dengan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu. Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Suara senjata beradu berdentangan di sela-sela teriakan-teriakan yang membahana.

Sementara itu, Gemak Langkas sendiri berada tidak jauh dari gurunya. Ia melihat pertempuran garang telah terjadi di mana-mana. Ia melihat bagaimana pedang mengoyak dada lawannya dan bagaimana ujung tombak menghunjam sampai ke jantung. Tubuh Gemak Langkas menjadi gemetar karenanya. Ia tidak mengira bahwa perkenalannya dengan Sasi telah mampu membakar permusuhan yang begitu besar. Meskipun kemudian persoalannya telah berkembang, tetapi yang melepaskan sepeletik bara diatas sekam adalah dirinya. Bara itu kemudian telah berkembang menjadi semakin besar semakin besar, sehingga membakar lumbung.

Tetapi semuanya sudah terjadi. Gurunya sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat ayahnya. Bahkan gurunya itu mampu mempengaruhi pendapatnya, sehingga ia sendiri telah hanyut ke dalam gejolak yang telah menimbulkan perang yang mendebarkan jantung itu. Kematian demi kematian telah terjadi di sekitar Padepokan Bajra Seta. Tetapi Gemak Langkas telah berada di lidahnya api yang berkobar. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain kecuali harus menyesuaikan dirinya. Karena itulah, maka Gemak Langkas pun kemudian telah menggenggam pedangnya. Sambil berteriak nyaring ia telah berlari memasuki lingkungan pertempuran yang seru.

Sementara itu Empu Damar sendiri yang melihat serangan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta segera menempatkan dirinya. Ia langsung membawa beberapa orang cantriknya yang terbaik untuk melawan kekuatan pasukan induk dari Padepokan Bajra Seta. Di sisi dan belakang padepokan, pertempuran pun telah berkobar pula dengan sengitnya. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan memang terdesak pula. Bahkan mereka harus berusaha dengan cepat menjaga jarak karena lawan datang seperti pasir dihamburkan dari tepian.

Namun, Wantilan yang berada di bagian belakang Padepokan Bajra Seta telah memerintahkan para cantrik untuk lebih cepat menyusul lawan-lawan mereka yang berusaha untuk menghancurkan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu. Dengan demikian maka arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya itu telah terhambat. Sebagian besar dari mereka harus berbalik lagi untuk menghadapi para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang memburu mereka sambil bersorak gemuruh.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya. Orang-orang dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya harus bertempur menghadapi lawan di kedua arah yang berlawanan. Pemimpin dari salah satu padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas, salah seorang murid Empu Damar yang dianggap sudah memiliki tingkat ilmu yang cukup, memimpin penyerangan dibagian belakang Padepokan Ngancas itu. Dengan garangnya ia meneriakkan perintah-perintah bagi para cantrik untuk menghancurkan lawan mereka di kedua sisi itu.

Wantilan yang melihat kehadirannya, dengan cepat berusaha untuk langsung menghadapinya. Dimintanya beberapa orang cantrik menyertainya untuk membuka jalan, agar ia dapat langsung bertemu dengan pemimpin pasukan lawan yang ada di belakang Padepokan Bajra Seta itu. Demikian Wantilan ada di depannya, maka ia pun segera berteriak, “He, kaukah yang memimpin pasukan di bagian belakang ini yang bertempur seperti harimau terluka?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Siapa Kau? Apakah kau sengaja menghadapi aku?”

“Aku Wantilan, salah seorang cantrik dari Padepokan Bajra Seta.” jawab Wantilan sambil mengangkat pedangnya.

“Bagus” kata pemimpin padepokan itu, “Aku Sanggatama, salah seorang murid terpercaya Empu Damar yang memimpin Padepokan Sangganala.”

“Bagus” jawab Wantilan, “jika demikian, kau dapat memilih langkah bagi orang-orangmu. Bertempur terus dan hancur atau minggir saja.”

“Setan kau Wantilan” geram Sanggatama, “kau kira kau siapa he? Begitu sombongnya kau berani menghina aku.”

Tetapi Wantilan tertawa. Katanya, “Jangan sakit hati” jawab Wantilan, “kita berada di peperangan.”

Sanggatama tidak menjawab. Tetapi ia telah menembus arena langsung menyerang Wantilan yang telah siap menghadapinya. Bahkan Wantilan masih tertawa sambil meloncat menghindar, “Bagus, seranganmu sangat berbahaya.”

“Persetan” geram Sanggatama, “Kau memang terlalu sombong. Jangan menyesali nasibmu bahwa kau tidak akan keluar dari arena pertempuran ini.”

“Kau lihat orang-orangmu terjepit.” desis Wantilan.

“Tidak. Pasukanku adalah tombak bermata dua. Pangkal dan ujungnya akan menghancurkan lawan.” jawab Sanggatama.

Wantilan tidak menjawab lagi. Ia sudah dapat membuat lawannya menjadi sangat marah sehingga tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya. Serangannya datang bagaikan angin pusaran. Tetapi Sanggatama tidak sempat mempergunakan penalarannya sebaik-baiknya karena jantungnya bagaikan terbakar.

Sejenak kemudian maka keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Sanggatama yang marah itu menyerang Wantilan dengan segenap kemampuannya. Ia ingin segera menghabisi lawannya yang sombong itu. Selain dengan demikian ia dapat mengambil lawan yang lain, maka para cantrik Padepokan Bajra Seta yang bertempur di belakang padepokannya itu akan kehilangan ketegaran jiwani jika pemimpinnya telah dibunuhnya.

Sanggatama memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun ia telah berhadapan dengan Wantilan. Seorang yang telah ditempa secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru karena ia memiliki jalur penguasaan ilmu yang keliru sebelumnya.

Dengan demikian maka Wantilan adalah seorang yang memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi murid terpercaya Empu Damar itu. Yang bahkan telah memimpin sebuah Padepokan yang disebutnya Padepokan Sangganala.

Dengan demikian maka keduanya pun telah bertempur dengan sengitnya. Beberapa orang cantrik dari kedua padepokan yang sedang bertempur itu, berusaha untuk menjaga agar pemimpinnya masing-masing agar tidak mendapat serangan tiba-tiba atau dari belakang. Sambil bertempur di sebelah-menyebelah, para cantrik itu tetap mengawasi kedua orang pemimpin yang sedang bertempur dengan sengitnya itu.

Sanggatama memang menjadi semakin marah ketika serangan-serangannya tidak segera mampu mengakhiri pertempuran itu. Ternyata Wantilan adalah seorang yang tangkas dan kuat. Ia masih tetap saja mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan Sanggatama yang semakin meningkat itu.

Namun Wantilan pun harus mengerahkan kemampuannya pula. Murid terpercaya Empu Damar itu mampu bergerak cepat. Kekuatannya pun telah mengejutkan Wantilan. Namun tidak menjadi gentar karenanya. Pedang Wantilan adalah pedang yang menurut ujudnya terhitung besar dan panjang. Tetapi Wantilan merasa bahwa pedangnya tidak terlalu berat. Apalagi Wantilan yang telah berlatih untuk mempergunakan tenaga cadangannya serta kemampuan untuk membangunnya membuatnya menjadi seorang yang membuat lawannya berdebar-debar. Dengan pedangnya itu, maka jangkauannya pun menjadi cukup panjang, sedangkan kekuatan tenaga dalamnya membuat ayunan pedang itu melepaskan kekuatan yang sangat besar.

Sanggatama ketika melihat pedang yang besar itu, merasa bahwa kecepatannya bermain pedang akan dapat mendahului putaran pedang yang besar itu, sehingga serangannya akan dapat menyusup menggapai tubuh Wantilan. Tetapi Sanggatama menjadi heran melihat putaran pedang Wantilan. Meskipun pedang itu cukup besar dan panjang, tetapi Wantilan menggerakkannya dengan tangkas dan cekatan seperti menggerakkan sebatang lidi saja. Apalagi ternyata pula bahwa ilmu pedang Wantilan cukup memadai untuk melawan ilmu pedang Sanggatama.

Dengan demikian maka pertempuran antara Wantilan dan para cantrik Padepokan Bajra Seta melawan Sanggatama dari Padepokan Sangganala itu semakin lama menjadi semakin sengit. Sementara itu, anak-anak dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang datang membantu, telah bertempur pula dengan kerasnya. Kemampuan mereka bermain senjata, dialasi dengan kebiasaan mereka sehari-hari bekerja keras di sawah, di ladang, di kebun dan di pategalan serta pekerjaan mereka yang lain telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tangguh di pertempuran. Tenaga mereka cukup besar sementara ketrampilan mereka berolah senjata cukup terlatih.

Beberapa orang yang bersenjata kapak yang besar benar-benar membuat lawan-lawannya berdebar-debar. Kapak itu ditangannya bukan saja disaat-saat mereka berada di medan perang. Tetapi pekerjaan mereka sehari-hari sebagai tukang blandong yang sering memotong dan membelah pohon-pohon besar sebagai pekerjaan sambilan disamping bertani, membuat mereka sangat akrab dengan watak kapak-kapak mereka. Sementara itu, beberapa orang jagal lembu dan kerbau yang setiap hari bermain-main dengan parang yang tajamnya melampaui pisau pencukur itu pun telah mempermainkan senjata mereka dengan tangkasnya.

Di sisi lain, Mahisa Semu yang muda itu telah mengejutkan pula para cantrik dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya. Mereka tidak mengira bahwa anak yang masih nampak sangat muda itu telah memasuki medan pertempuran dengan putaran senjata yang mendebarkan jantung. Yang dihadapi oleh Mahisa Semu adalah para cantrik dari Padepokan Ngancas didukung oleh para cantrik dari Padepokan yang dipimpin oleh Sawung Tunggul, juga salah seorang murid terpercaya dari Empu Damar. Sawung Tunggul juga menyebut perguruannya dengan perguruan Sawung Tunggul yang berada di Padepokan Sawung Tunggul...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 105

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 105
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA PUKAT yang menghadapi guru Gemak Langkas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Namun sedikit banyak ia sudah dapat mengenal unsur-unsur gerak dari ilmu yang telah diwarisi darinya oleh gemak Langkas.

Ternyata guru Gemak Langkas itu tidak mau membuang banyak waktu. Ia ingin menunjukkan kelebihannya terutama kepada ayah Gemak Langkas yang telah memberinya banyak sekali uang dan barang-barang berharga sebagai upahnya melatih Gemak Langkas dalam olah kanuragan, karena ayah Gemak Langkas itu ingin sekali anaknya memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka dengan serta merta ia pun telah menarik senjatanya pula. Juga sebilah pedang. Pedang yang tidak dapat terpisah dari dirinya. Pedang yang mirip dengan pedang yang telah diberikannya kepada Gemak Langkas. Tanpa banyak berbicara lagi, maka guru Gemak Langkas itu pun segera menyerang Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat telah bersiap menghadapinya.

Tetapi, Mahisa Pukat masih juga terkejut mendapat serangan guru Gemak Langkas. Ternyata serangannya datang cepat sekali. Senjatanya yang berputar, tiba-tiba terjulur mematuk ke arah jantungnya. Mahisa Pukat pun menggeliat menghindari serangan itu. Namun serangan yang datang demikian cepatnya itu, ternyata tidak dapat dihindarinya sepenuhnya. Meskipun ujung pedang itu tidak menyentuh dadanya, namun ujungnya telah tergores di pundak Mahisa Pukat. Memang hanya segores kecil. Namun keringat Mahisa Pukat membuat lukanya itu menjadi pedih.

Dengan loncatan panjang Mahisa Pukat mengambil jarak. Ketika lawannya itu memburunya, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat meloncat lagi menjauh. Namun tidak untuk ketiga kalinya. Demikian lawannya meloncat memburunya, Mahisa Pukat justru bergeser setapak saja. Namun pedangnya terayun deras sekali membentur senjata lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut telapak tangannya menjadi pedih. Namun pedangnya tidak terlepas dari tangannya itu.

Tapi untuk selanjutnya Mahisa Pukat yang telah tergores pundaknya itu tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya. Kesempatan berikutnya digunakan sebaik-baiknya. Pedangnyalah yang terjulur menyerang ke arah dada lawannya. Tetapi dengan tangkas lawannya menggeliat. Kemudian pedangnya berputar cepat sekali. Serangan mendatar telah terayun deras sekali mengarah ke leher Mahisa Pukat. Akan tetapi dengan cepat pula Mahisa Pukat merendah, sehingga pedang lawannya itu terbang diatas kepalanya.

Pada saat yang bersamaan, sambil berjongkok pada satu kakinya pedang Mahisa Pukat terjulur. Hampir saja pedangnya mampu menusuk bagian bawah ketiak lawannya, tetapi ternyata lawannya dengan tangkas meloncat menghindar. Mahisa Pukat melenting dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pedangnya menyambar dengan derasnya menggapai tubuh lawannya, sehingga guru Gemak Langkas itu terpaksa meloncat mundur selangkah. Ketika Mahisa Pukat meloncat lagi sambil menjulurkan pedangnya, maka lawannya telah menangkisnya dengan pukulan menyamping yang keras sekali.

Tetapi sekali lagi lawannya terkejut. Ternyata tenaga Mahisa Pukat telah meningkat dengan cepatnya. Sekali lagi terasa tangannya menjadi pedih. Namun guru Gemak Langkas itu pun meningkatkan ilmunya pula. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Benturan tenaga yang semakin besar serta ayunan pedang yang menimbulkan desir angin yang semakin kuat.

Mahisa Pukat mulai memperhatikan desir angin yang timbul oleh ayunan pedang lawannya. Rasa-rasanya angin yang menyambarnya berbareng dengan sambaran daun pedang lawannya menjadi tidak wajar lagi. Angin itu terasa terlalu keras dan kuat. Bahkan seakan-akan mengandung duri-duri tajam yang menusuk kulitnya, sehingga terasa kulitnya menjadi pedih.

“Orang ini tentu sudah mulai merambah ke ilmu simpanannya yang tinggi” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun semakin berhati-hati. Ia pun mulai perlahan-lahan meningkatkan kemampuannya pula. Karena itulah, maka sentuhan-sentuhan senjata mereka telah semakin mendebarkan orang-orang yang menjadi saksi dalam perang tanding itu. Bunga api yang berhamburan membuat jantung mereka berdebaran.

Namun ternyata bahwa guru Gemak Langkas itu tidak dapat segera menguasai lawannya. Mahisa Pukat yang masih sangat muda itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin garang. Meskipun ayunan pedang lawannya seakan-akan telah menghamburkan duri-duri lembut yang tinggi, masih mampu mengatasi rasa sakit dan pedih yang timbul oleh sembaran angin pedang lawannya.

Kemampuan Mahisa Pukat untuk tetap bertahan itu telah membuat lawannya mulai gelisah. Namun guru Gemak Langkas masih belum tuntas. Ilmunya masih mampu berkembang dan meningkat. Karena itu, angin yang menyapu tubuh Mahisa Pukat karena ayunan pedang lawannya itu menjadi semakin meningkat pula. Duri-duri yang tajam itu rasa-rasanya menjadi semakin banyak dan semakin dalam menusuk kulitnya.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun semakin lama menjadi semakin sulit untuk mengatasi serangan lawannya yang semakin meningkat itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah terdesak. Beberapa kali ia berusaha menghindari serangan lawannya. Bukan saja sabetan pedangnya, tetapi juga desah anginnya.

Sekali-sekali Mahisa Pukat berusaha untuk menghentakkan ilmu pedangnya. Selangkah dua langkah lawannya memang terdesak mundur. Namun, demikian pedangnya berputar, maka angin pun berputar pula. Ujung-ujung duri itu rasa-rasanya telah berhamburan menusuk kulitnya.

Mahendra dan Arya Kuda Cemani memang menjadi tegang. Tetapi mereka mengerti, bahwa Mahisa Pukat masih belum mengembangkan memanjat ke ilmu-ilmu andalannya. Mahisa Pukat memang masih berusaha untuk mengatasi ilmu lawannya dengan ilmu pedangnya. Namun, ternyata Mahisa Pukat tidak mampu melakukannya. Guru Gemak Langkas memang memiliki ilmu yang cukup tinggi jika hanya dilawan dengan ilmu pedang.

Setelah beberapa kali Mahisa Pukat terdesak, maka ia mulai tidak sabar lagi. Apalagi ketika ia mendengar prajurit-prajurit muda yang mendendamnya itu berteriak-teriak dan bahkan bersorak setiap kali Mahisa Pukat terdesak dan berdesah menahan pedih yang menusuk-nusuk kulitnya. Kemarahan Mahisa Pukat memang tidak terkendali lagi. Meskipun demikian, ia tidak dengan serta merta ingin menghancurkan lawannya. Ia masih mempunyai beberapa pertimbangan, sehingga Mahisa Pukat itu berniat untuk membuat lawannya tidak berdaya tanpa membunuhnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat itu pun telah mengetrapkan ilmunya yang dapat menghisap ilmu dan kekuatan lawannya untuk sementara. Ilmu itu memang tidak segera nampak dengan serta merta. Karena itu, setelah Mahisa Pukat mengetrapkan ilmunya, lawannya masih belum merasakan akibatnya. Guru Gemak Langkas itu masih saja menyerang dengan garangnya, sehingga Mahisa Pukat masih harus mengerahkan daya tahannya mengatasi merasa pedih yang seakan-akan menusuk-nusuk kulitnya.

Namun Mahisa Pukat sudah mulai berusaha untuk tidak selalu menghindari serangan lawannya, tetapi sekali-sekali ia telah menangkis dan membenturkan pedangnya. Bagaimanapun juga, guru Gemak Langkas itu harus mengakui betapa tinggi kekuatan Mahisa Pukat. Namun setiap kali Mahisa Pukat memang masih harus menyeringai menahan pedih yang menyengat kulitnya.

Dalam beberapa saat kemudian, guru Gemak Langkas masih sempat mendesak Mahisa Pukat. Sambaran angin ayunan pedangnya masih terasa pedih di kulit Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat masih mampu mengatasinya dengan ketahanan tubuhnya. Bahkan Mahisa Pukat justru berusaha untuk setiap kali membenturkan senjatanya betapapun ia harus berdesah menahan tusukan getaran udara ilmu guru Gemak Langkas yang semakin tajam itu.

Untuk beberapa saat guru Gemak Langkas masih sempat tersenyum dan berkata, “Aku terpaksa melakukannya, anak muda. Kau memang keras kepala. Aku harus mengusir ilmu iblis yang ada di dalam dirimu sebelum muridku akan menyelesaikan perang tanding ini. Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan yang paling sulit, maka pedangku akan membelah dadamu, sehingga iblis yang tersembunyi di dalam dirimu akan meloncat keluar. Dan kau akan menjadi tidak berdaya sama sekali.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ilmu lawannya memang sangat berbahaya baginya. Sentuhan getaran udara karena ayunan pedang itu telah membuat kulit dagingnya terasa pedih. Apalagi jika pedang itu menyentuh tubuhnya lagi. Keringat yang membasahi seluruh wajah kulit Mahisa Pukat memang membuat lukanya semakin pedih.

Namun dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah meningkatkan ilmunya pula. Selapis demi selapis, Mahisa Pukat telah menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya pada setiap sentuhan senjata yang terjadi dalam pertempuran itu. Karena itu, maka betapapun terasa tangannya menjadi pedih oleh getaran udara yang timbul oleh ayunan pedang lawannya, namun Mahisa Pukat masih selalu berusaha menangkis setiap serangan demi serangan.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu memang menjadi semakin tegang. Para prajurit muda dan Gemak Langkas yang sudah terluka itu sempat bersorak setiap kali Mahisa Pukat harus berloncatan mundur. Tetapi, untuk membuat benturan-benturan senjata semakin sering terjadi, maka Mahisa Pukat tidak saja menangkis setiap serangan. Tetapi ia pun menjadi semakin sering menyerang. Serangan yang nampaknya memang tidak berbahaya karena setiap kali guru Gemak Langkas itu dapat menangkisnya.

Namun yang tidak wajar mulai terasa pada guru Gemak Langkas. Ternyata sebelum ia mampu mengoyak dada anak muda itu, tenaganya mulai menjadi susut. Mula-mula guru Gemak Langkas itu tidak segera menyadari. Ia memang telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk dengan cepat menguasai lawannya sehingga ia mengira bahwa karena itu tenaganya mulai susut. Tetapi beberapa saat kemudian, terasa bahwa susutnya tenaga dan kemampuannya itu melaju terlalu cepat. Sendi-sendi tangan dan kakinya, bahkan punggungnya terasa seakan-akan mulai dibebani dengan batu yang semakin lama menjadi semakin berat.

Karena itulah, maka dalam kegelisahannya, guru Gemak Langkas itu telah menghentakkan sisa tenaga dan kemampuannya. Ia ingin semakin cepat menyelesaikan lawannya yang ternyata cukup garang itu. Hetakkan itu memang mengejutkan Mahisa Pukat. Beberapa langkah ia meloncat surut. Bahkan ujung senjata lawannya itu telah mampu menyentuh kulit di lambungnya.

Perasaan sakit, pedih dan panas memang terasa menggigit lukanya itu. Jauh lebih pedih, sakit dan bahkan lebih panas dari tusukan getaran-getaran udara yang timbul karena ayunan pedang itu. Hampir saja Mahisa Pukat kehilangan kendali akalnya. Kemarahannya hampir saja menghentakkan niatnya untuk menghancurkan lawannya sama sekali. Namun niat itu pun diurungkannya. Ia sudah melihat usahanya mulai berhasil. Tenaga dan kemampuan lawannya telah menjadi susut, meskipun ia masih mampu mengejutkannya dengan hentakkan sisa tenaganya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak lagi melepaskan ilmunya yang lain. Ia hanya meningkatkan ilmu yang sudah ditrapkannya itu. Sehingga dengan demikian, maka hisapan tenaga dan kemampuan lawannya itu pun berlangsung semakin cepat.

Guru Gemak Langkas masih mendengar prajurit-prajurit muda itu bersorak ketika ia berhasil melukai lambung Mahisa Pukat. Namun setelah itu, maka keringat dingin pun mengalir di seluruh tubuhnya. Ia merasa bahwa tenaganya menjadi semakin cepat susut bahkan pedangnya pun rasa-rasanya menjadi semakin berat.

“Apa yang telah terjadi?” pertanyaan itu semakin mengguncang jantungnya. Baru kemudian ia menyadari, bahwa ia telah terperosok ke dalam putaran ilmu yang sangat mendebarkan. Ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya.

Namun semuanya sudah terlambat. Mahisa Pukat yang terluka itu justru menyerangnya seperti hembusan badai. Pedangnya berputar bagaikan angin pusaran. Sentuhan demi sentuhan telah terjadi. Beberapa kali guru Gemak Langkas memang berusaha menghindar. Tetapi serangan Mahisa Pukat datang begitu cepatnya sehingga kadang-kadang dengan terpaksa guru Gemak Langkas itu harus melindungi dirinya dengan pedangnya. Dan setiap sentuhan berarti bahwa tenaganya menjadi semakin susut.

Guru Gemak Langkas itu menjadi semakin gelisah. Tetapi yang terjadi telah terjadi. Tenaga, ilmu dan kemampuannya telah terhisap semakin dalam. Tidak ada cara untuk menarik surut waktu. Guru Gemak Langkas itu hanya dapat menyesali kelengahannya. Kenapa ia tidak sejak semula menduga bahwa ilmu yang jarang ada duanya itulah yang dipergunakan oleh anak muda itu. Memang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya, bahwa Mahisa Pukat yang masih muda itu memiliki ilmu yang sangat rumit. Namun ilmu itu sudah ditrapkan dan tenaga serta kemampuannya telah terhisap hampir habis.

Gemak Langkas, saudara seperguruannya dan ayahnya menjadi sangat tegang melihat keadaan guru Gemak Langkas itu. Bahkan Lembu Atak dan kawan-kawannya pun menjadi sangat cemas. Pada saat-saat terakhir mereka melihat guru Gemak Langkas itu tidak berdaya sama sekali. Ia tidak lagi mampu menyerang apalagi dengan kecepatan yang sangat tinggi. Rasa-rasanya guru Gemak Langkas itu tidak lagi kuat mengangkat pedangnya sendiri.

Dalam pada itu, saudara seperguruan Gemak Langkas yang tidak mengerti apa yang telah terjadi, telah meloncat memasuki gelanggang sambil bertanya, “Guru apa yang terjadi?”

“Jangan” berkata gurunya yang bahkan berjalan pun menjadi tertatih-tatih. “ternyata ia memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Tetapi guru sama sekali tidak terluka” berkata muridnya yang tidak mengerti itu.

“Anak itu tidak melakukannya. Jika ia mau, ia dapat membunuhku sekarang,” jawab gurunya.

“Kenapa hal itu dapat terjadi?” bertanya muridnya itu.

Guru Gemak Langkas itu tidak menjawab. Namun ia masih berusaha untuk berdiri tegak sambil bertanya kepada Mahisa Pukat. “Apakah kau akan mengakhiri perang tanding ini dengan membunuhku?”

“Bukankah kau berkata sendiri, bahwa jika aku mau, aku sudah dapat membunuhmu sekarang?” justru Mahisa Pukatlah yang ganti bertanya.

Guru Gemak Langkas itu menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah aku mengakui kemenanganmu. Aku kalah dalam perang tanding ini. Kau dapat melakukan apa saja sekehendak hatimu atasku.”

“Aku hanya ingin pengakuanmu, bahwa kau menyerah” desis Mahisa Pukat.

Ternyata tidak seperti yang diduga sebelumnya, bahwa orang itu akan mengeraskan hatinya dan menjunjung harga dirinya sehingga tidak mau mengakui keadaannya, apapun yang terjadi. Namun orang itu ternyata kemudian menjawab, “Ya. Aku menyerah. Aku tidak dapat berkata lain, karena keadaanku.”

“Guru” Gemak Langkas dan saudara seperguruannya yang disebut pamannya itu hampir bersama-sama berdesis.

“Memang inilah yang terjadi” jawab gurunya.

Saudara seperguruan Gemak Langkas itu pun kemudian berkata, “Kita datang bersama banyak orang. Aku tidak peduli apakah akan terjadi perang tanding atau tidak. Tetapi guru jangan menyerah. Kita akan bersama-sama bertempur melawan anak itu”

“Tidak ada gunanya” jawab gurunya, “jangankan hanya kalian yang ada di sini. Saudara-saudaramu yang lain kau bawa kemari, tidak akan ada gunanya.”

“Tetapi kami tidak dapat mengorbankan nama guru begitu saja” berkata saudara seperguruan Gemak Langkas itu.

“Kau lihat ayah anak muda itu serta Arya Kuda Cemani?” bertanya gurunya.

Saudara seperguruan Gemak Langkas itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Apakah kita menerima kegagalan ini?”

“Ya” jawab gurunya.

Ayah Gemak Langkas hanya dapat menggeram. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia benar-benar menjadi kecewa terhadap guru Gemak Langkas itu. Ia datang ke tempat itu untuk melihat betapa tinggi ilmu yang telah diwarisi oleh anaknya. Namun ternyata bahwa anaknya tidak berdaya. Bahkan gurunya pun tidak mampu melawan anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun kemudiar berkata dengan nada berat, “Baiklah. Aku tidak ingin membuat persoalan ini berkepanjangan. Jika kau sudah menyerah, maka aku dan saksi-saksi yang datang bersamaku akan segera meninggalkan tempat ini sekarang. Kecuali jika masih ada persoalan lain yang ingin kalian tumbuhkan di sini.”

“Tidak” jawab Guru Gemak Langkas itu dengan serta-merta.

Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun melangkah mendekati ayah dan Arya Kuda Cemani sambil berkata, “Agaknya persoalannya sudah selesai sampai di sini”

Kedua orang tua itu pun mengangguk. Mahendra pun kemudian berdesis, “Marilah. Kita kembali.

Bertiga mereka meninggalkan tempat itu. Demikian mereka lepas dari Sendang Perbatang, maka Arya Kuda Cemani pun berkata, “Kau harus tetap berhati-hati Mahisa Pukat. Aku tidak yakin bahwa guru Gemak Langkas itu bersikap jujur. Ia hanya ingin menyelamatkan dirinya malam ini. Tetapi selanjutnya, kita masih harus tetap mencurigainya.”

“Tetapi nampaknya guru Gemak Langkas itu berkata dengan sungguh-sungguh” desis Mahisa Pukat.

“Mudah-mudahan ia jujur” sahut Mahendra. Namun katanya kemudian, “Aku mempunyai pendapat yang sama dengan Raden Kuda Wereng”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan berhati-hati. Memang masih banyak kemungkinan yang dapat mereka lakukan.”

Sambil melangkah menjauh, maka mereka masih saja berbincang tentang sikap guru Gemak Langkas. Demikian cepatnya ia mengakui kekalahannya setelah ia dengan licik memasuki arena perang tanding. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun kemudian sependapat, bahwa yang dilakukan oleh guru Gemak Langkas itu adalah satu sikap yang jujur.

Dalam pada itu, sepeninggal Mahisa Pukat dan dua orang yang datang bersamanya sebagai saksi, maka Gemak Langkas yang telah terluka itu bersama dengan saudara seperguruannya berusaha menolong gurunyayang menjadi kehilangan tenaganya.

Ayah Gemak Langkas justru berkata dengan nada kurang senang, “Jadi inikah puncak ilmu yang dimiliki oleh anakku setelah aku menyerahkannya kepada seorang guru yang aku anggap mumpuni dengan beaya yang tidak sedikit?”

Guru Gemak Langkas itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jangankan Gemak Langkas. Aku pun dapat dibunuhnya. Anak itu memiliki ilmu yang sudah jarang ada duanya. Ilmu yang mampu menghisap tenaga dan ilmu lawannya.”

“Tetapi kenapa kami tidak boleh berbuat sesuatu?” berkata saudara seperguruan Gemak Langkas.

“Tidak ada gunanya” jawab gurunya, “seandainya kita memaksa diri, maka kita justru akan dibinasakan. Bukan saja oleh Mahisa Pukat, tetapi juga oleh kedua orang saksi yang menyertainya. Semula aku mengira bahwa aku dapat mengalahkan Mahisa Pukat, baru kemudian kita akan melawan kedua orang yang lain. Tetapi ternyata yang terjadi sama sekali berlainan.”

“Dan dengan demikian, maka hancurlah nama kita” desis ayah Gemak Langkas.

“Tidak” jawab guru Gemak Langkas, “aku tidak akan berhenti sampai di sini. Jika aku dengan serta merta menyatakan diri menyerah, semata-mata hanya karena aku memang tidak melihat cara lain untuk membebaskan diri dari tangan anak muda itu malam ini. Setelah itu, bukankah hari masih panjang?”

“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya ayah Gemak Langkas.

“Bukan lagi sekedar persoalan antara Gemak Langkas dan Mahisa Pukat sebagai anak-anak muda, tetapi persoalannya sudah merambat jauh lebih luas. Jika aku mendendam, berarti seluruh perguruanku mendendamnya. Seisi padepokanku merasa tersinggung karenanya. Sehingga dengan demikian, maka yang akan berhadapan kemudian adalah seluruh padepokanku. Bukankah Mahisa Pukat juga berasal dari sebuah padepokan? Aku akan mencari keterangan tentang padepokannya, sehingga pada suatu saat aku akan menghancurkan padepokannya itu. Meskipun barangkali kita kita tidak segera dan langsung mengalahkan Mahisa Pukat, tetapi kehancuran padepokannya akan dapat membuat hatinya menjadi lebih sakit daripada sekedar kehilangan seorang gadis.”

Ayah Gemak Langkas hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia berkata, “Aku ingin melihat anak itu menderita karenanya. Aku sependapat dengan rencana untuk menghancurkan padepokannya itu.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang hadir di tanggul Sendang Perbatang itu pun segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Lembu Atak mengumpat tidak habis-habisnya. Ia ingin sekali melihat, bagaimana Mahisa Pukat itu dihancurkan dan dihinakan oleh Gemak Langkas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan guru Gemak Langkas pun telah dikalahkannya pula dihadapan murid-muridnya.

Dengan dibantu oleh muridnya, maka guru Gemak Langkas itu meninggalkan medan perang tanding yang menghancurkan namanya itu. Prajurit-prajurit muda yang datang ketempat itu pun telah kembali pula menuju ke barak mereka.

Sejenak kemudian tanggul Sendang Perbatang itu menjadi sepi. Namun ternyata masih ada seorang yang berdiri di dalam kegelapan dalam pakaiannya yang hitam. Orang itu seakan-akan tidak dapat dilihat dengan mata wadag. Ternyata orang itu adalah Arya Kuda Cemani yang telah memisahkan diri dari Mahendra dan Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat orangitu termangu-mangu. Ia mendengar sebagian dari pembicaraan guru Gemak Langkas dengan murid”muridnya. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi Arya Kuda Cemani itu mengetahui bahwa guru Gemak Langkas memang tidak jujur. Arya Kuda Cemani itu pun mendengar serba sedikit persoalan yang diangkat menjadi persoalan antara dua buah padepokan.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Arya Kuda Cemani itu berdesis, “Mahisa Murti lah yang akan terancam. Sebaiknya Mahisa Murti mengetahui bahwa sebuah perguruan sedang mengamati perguruan Bajra Seta”

Arya Kuda Cemani itu memutuskan untuk memberitahukan hal itu kepada Mahendra agar Mahendra memberikan peringatan kepada Mahisa Murti di padepokan Bajra Seta.

“Guru Gemak Langkas itu tentu tidak akan bekerja sendiri” berkata Arya Kuda Cemani kepada diri sendiri. “Apalagi jika ayah Gemak Langkas ikut campur dengan kekayaannya. Maka perguruan Bajra Seta akan dapat berhadapan dengan beberapa perguruan yang sebelumnya tidak dikenalnya.”

Di hari berikutnya, maka Arya Kuda Cemani itu pun telah menemui Mahendra di rumahnya. Dengan singkat diceriterakannya, apa yang telah didengarnya dari orang-orang yang semalam berada di Sendang Perbatang.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata persoalannya menjadi berkepanjangan.”

“Kita tidak dapat menyalahkan anak-anak atau kita sendiri. Tetapi kita memang tidak dapat membiarkan sikap mereka, karena sikap itu dapat membahayakan anak-anak.”

“Baiklah” berkata Mahendra, “biarlah aku minta bantuan dua tiga orang prajurit untuk pergi ke padepokan Bajra Seta. Agaknya aku tidak dapat minta agar Mahisa Pukat pergi ke padepokan. Ia tentu tidak ingin disebut melarikan diri.”

Arya Kuda Cemani tersenyum. Ia tahu alasan Mahendra yang sebenarnya. Bukan karena tidak ingin disebut melarikan diri. Tetapi Mahisa Pukat tentu masih segan meninggalkan Kota Raja. Agaknya ia pun merasa tidak dapat meninggalkan Sasi yang ternyata mendapat banyak perhatian dari anak-anak muda meskipun Sasi termasuk seorang gadis yang jarang keluar dari regol halaman rumahnya. Setelah Gemak Langkas, mungkin Lembu Atak akan menjerat orang lain lagi untuk kepentingan yang sama.

Demikianlah, maka Mahendra telah minta tolong tiga orang prajurit yang telah mendapat ijin dari pimpinannya. Tiga orang prajurit yang pernah bersama-sama ke padepokan Bajra Seta dengan Mahisa Murti ketika Mahisa Murti meninggalkan Kota Raja tanpa Mahisa Pukat.

Kedatangan ketiga orang prajurit itu di padepokan Bajra Seta memang mengejutkan Mahisa Murti. Namun ketiga orang prajurit itu pagi-pagi telah meyakinkan, bahwa tidak terjadi sesuatu yang gawat di Kota Raja.

“Hanya sebuah permainan kecil” berkata salah seorang dari antara para prajurit itu.

“Permainan apa?” namun Mahisa Murti memang segera ingin tahu berita apa yang mereka bawa.

Yang tertua di antara ketiga orang prajurit itu pun kemudian berkata, “Ada satu peristiwa kecil yang menyangkut padepokan Bajra Seta ini.”

“Peristiwa apa?” desak Mahisa Murti.

Dengan singkat prajurit itu pun menceriterakan apa yang telah terjadi sesuai dengan pesan Mahendra. Meskipun ia tidak dapat memerinci peristiwa itu sampai persoalan yang sekecil-kecilnya, namun Mahisa Murti cukup tanggap atas persoalan yang harus dihadapi oleh padepokan Bajra Seta itu.

Sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti berkata, “Jadi asap dari api yang menyala di Kota Raja itu akan sampai ke padepokan ini?”

“Satu kemungkinan” jawab prajurit itu, “karena itu aku datang untuk membawa pesan agar seisi padepokan ini menjadi berhati-hati.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas peringatan ini. Tanpa peringatan ini, kami akan terkejut karenanya jika benar-benar terjadi sesuatu.”

“Mudah-mudahan memang tidak terjadi sesuatu” berkata prajurit itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimanapun juga Mahisa Pukat dan padepokan ini masih juga satu. Karena itu, maka sentuhan persoalan yang dihadapinya akan menyentuh padepokan ini pula.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka para prajurit itu pun telah dijamu oleh Mahisa Murti. Malam itu, para prajurit itu akan bermalam semalam di padepokan. Nampaknya mereka kerasan tinggal di padepokan yang mempunyai kesan yang tenteram dan damai itu. Namun persoalan-persoalan yang terjadi diluar padepokan itu kadang-kadang telah mengguncangnya, sehingga wajah air yang bagaikan cermin itu pun menjadi beriak karenanya.

Tetapi para prajurit itu sama sekali tidak mencemaskan keberadaan padepokan itu. Rasa-rasanya padepokan Bajra Seta adalah satu barak prajurit yang kokoh kuat. Bahkan para penghuni padepokan ini memiliki kelebihan dari para prajurit, karena para cantrik itu memiliki pengetahuan dan ketrampilan pula dalam tugas-tugas yang lain selain tugas-tugas keprajuritan.

Mereka memiliki pengetahuan tentang bercocok tanam. Mereka memiliki pengetahuan untuk berternak. Menjadi pande besi yang baik terutama yang telah memiliki kemampuan tinggi dalam pembuatan senjata dengan bahan-bahan khusus. Bahkan, ada di antara mereka yang mempelajari ilmu perbintangan dan kesusasteraan.

Bukan saja para penghuni padepokan itu, tetapi juga anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu. Mereka ternyata juga mendapat kesempatan untuk mempelajari olah kanuragan dan ilmu keprajuritan. Dengan demikian maka Padepokan Bajra Seta adalah sebuah padepokan yang memiliki ketahanan yang sangat tinggi. Bahkan mirip dengan sebuah lingkungan raksasa yang saling dapat memanfaatkan antara padepokan Bajra Seta dan lingkungan sekitarnya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa guru Gemak Langkas tidak tinggal diam. Ia tidak mau mendapat penghinaan yang sangat menekan perasaannya itu dihadapan banyak pihak. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian justru didorong oleh harga dirinya yang merasa direndahkan. Bersama Gemak Langkas yang kebetulan adalah saudara seperguruannya, mereka telah merencanakan untuk berbuat sesuatu.

Dendam Gemak Langkas ternyata telah berkembang menjadi dendam sebuah padepokan. Bahkan Lembu Atak dan prajurit-prajurit muda yang membenci dan mendendam Mahisa Pukat itu pun telah ikut membakar nyala api dendam di dalam dada Gemak Langkas.

Sebenarnya ayah Gemak Langkas telah memperingatkan anaknya, agar Gemak Langkas menghentikan usahanya untuk membalas sakit hatinya. Tetapi Gemak Langkas ternyata berkeras untuk bekerja bersama dengan gurunya mengarahkan dendam mereka kepada sebuah perguruan yang bernama Perguruan Bajra Seta.

“Melihat kemampuan Mahisa Pukat, maka padepokan itu tentu sebuah padepokan yang memiliki kemampuan yang tinggi” berkata ayah Gemak Langkas.

“Tetapi apakah aku akan membiarkan namaku, nama guruku dan sudah tentu perguruanku dicemarkan?” bertanya Gemak Langkas. Lalu katanya pula, “Lebih dari itu, persoalan yang paling menyakitkan adalah bahwa Mahisa Pukat yang sombong itu merasa telah memenangkan persoalan yang berhubungan dengan Sasi.”

Tetapi pertanyaan ayahnya sangat mengejutkannya, “Apakah itu satu sikap sombong? Bukankah ia memang telah mengalahkan kau dan bahkan gurumu dalam perang tanding? Beruntunglah kau dan gurumu, bahwa anak itu tidak membunuhmu dan tidak pula membunuh gurumu meskipun ia dapat melakukannya.”

Wajah Gemak Langkas menjadi merah. Namun kemudian ia menjawab, “Ayah. Aku tidak lagi memikirkan alasan-alasan. Aku hanya ingin mencari satu kepuasan. Jika aku dapat menghancurkan Mahisa Pukat meskipun bukan wadagnya, aku akan merasa mendapat kepuasan. Jika Padepokan Bajra Seta dihancurkan, maka Mahisa Pukat akan menjadi sakit hati. Aku senang melihat hatinya pecah sebagaimana padepokannya.”

“Dan ia akan membalas dendam pula. Kau akan menjadi sasaran dendamnya” berkata ayahnya.

“Jika kami dapat menghancurkan padepokannya, apa artinya Mahisa Pukat itu bagi kekuatan kami? Kami justru akan memancingnya dan membinasakannya.”

Ayah Gemak Langkas menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tidak lagi dapat menahan niat anaknya itu. Karena itu, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya adalah justru membantunya, sehingga ia akan mendapat dukungan kekuatan yang meyakinkan. Tanpa keyakinan itu, maka akibatnya hanya akan semakin parah bagi anaknya.

Karena itu, maka ayah Gemak Langkas yang kaya raya itu, memang harus mengalah kepada keinginan anaknya. Namun ia masih memberinya peringatan, “Gemak Langkas. Ingat, bahwa langkah yang akan kau ambil itu mempunyai akibat yang jauh. Jika kau ingin membenturkan padepokanmu dengan padepokan Bajra Seta, maka harus sudah diperhitungkan, bahwa akan jatuh korban. Maksudku bukan sekedar orang-orang padepokanmu dan padepokan Bajra Seta akan ada yang terluka dan menitikkan darah. Tetapi ada di antara mereka yang akan mati terbunuh di peperangan. Tidak hanya satu atau dua. Tetapi mungkin sepuluh atau dua puluh orang dari padepokanmu dan sejumlah itu pula dari padepokan Bajra Seta. Apalagi jika kalian telah benar-benar menjadi mabuk karena bau darah. Maka kalian akan kehilangan kendali diri. Kematian akan menjadi semakin bertambah dan bahkan mungkin salah satu pihak akan dapat tumpas karenanya.”

Gemak Langkas memang mendengarkan pesan ayahnya yang terakhir itu. Bahkan ia sudah mulai memikirkannya. Persoalannya dengan Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan Sasi, akan dapat menimbulkan kematian para cantrik dari dua padepokan. Mereka sama sekali tidak mengerti persoalan sebenarnya yang telah membakar permusuhan antara kedua padepokan itu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan gurunya, maka persoalannya menjadi lain. Ternyata gurunya telah membakar hatinya pula, agar ia meneruskan niatnya untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta.

“Apakah kita akan membiarkan nama kita direndahkan? Para prajurit muda itu akan berceritera kepada setiap orang bahwa kita sama sekali tidak memiliki apapun juga yang dapat kita pergunakan untuk berbangga diri dengan perguruan kita.” berkata guru Gemak Langkas.

”Tetapi pertempuran antara dua padepokan akan membawa banyak kematian” berkata Gemak Langkas.

“Aku tahu. Tetapi apa artinya kematian dibandingkan dengan harga diri kita. Jika malam itu aku menyerah, bukan berarti bahwa aku takut mati. Seandainya aku tahu bahwa hatimu lemah, maka aku akan membiarkan diriku mati malam itu.” berkata gurunya pula. Lalu katanya selanjutnya, “tetapi aku masih hidup. Tenaga dan kemampuanku telah pulih kembali. Aku telah mengetahui pula kekuatan dan kelemahan orang-orang Bajra Seta. Aku yakin, bahwa hanya satu orang sajalah yang memiliki kemampuan ilmu yang dapat menghisap tenaga dan kemampuan lawannya. Orang itu adalah Mahisa Pukat yang kini berada di sini.”

Gemak Langkas memang menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa gurunya ingin menebus kekalahannya dan bahkan saat-saat harga dirinya dihancurkan oleh Mahisa Pukat dihadapan orang banyak. Apalagi bukan hanya gurunya yang bertekad seperti itu. Saudara-saudara seperguruannya pun berniat untuk menegakkan nama dan wibawa gurunya dihadapan banyak orang. Dengan demikian maka para murid dan bahkan para cantrik dari sebuah padepokan sudah bertekad untuk membalas dendam.

Rasa-rasanya memang tidak ada yang dapat mencegah. Ayah Gemak Langkas juga tidak. Bahkan guru Gemak Langkas itu pun pernah menemuinya dan berkata, “Seisi Padepokan kami telah siap untuk menegakkan harga diri padepokan kami.”

“Aku hanya ingin mengingatkan, jika persoalannya bersumber dari Gemak Langkas, aku minta dihentikan sampai sekian saja.” sahut ayah Gemak Langkas.

“Tetapi persoalan itu telah berkembang” jawab guru Gemak Langkas. Lalu katanya pula, “Mahisa Pukat telah menghina aku.”

“Aku tidak tahu, apakah yang dilakukan oleh Mahisa Pukat itu harus dicela atau harus dipuji. Jika ia tidak membunuhmu, bukankah kau harus berterima kasih kepadanya?”

“Aku tidak mau diperlakukan begitu?” jawab guru Gemak Langkas.

“Tetapi kenapa kau menyerah?” bertanya ayah Gemak Langkas.

“Aku ingin hidup untuk membalas dendam. Jika saat itu aku mati, maka untuk selamanya namaku akan tetap direndahkan orang,” jawab guru Gemak Langkas.

“Dan keinginanmu terjadi. Kenapa kau merasa terhina?” bertanya ayah Gemak Langkas.

”Kita harus menganggapnya sebagai satu penghinaan” jawab guru Gemak Langkas.

Ayah Gemak Langkas merasa bahwa ia tidak lagi mampu mencegahnya lagi. Karena itu, maka segala sesuatunya diserahkannya kepada guru Gemak Langkas yang memiliki kekuatan yang cukup besar itu, meskipun mereka masih harus mengamati kekuatan Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, guru Gemak Langkas yang di lingkungannya dipanggil Empu Damar benar-benar berniat untuk melakukan pembalasan terhadap Mahisa Pukat yang sasarannya ditujukan kepada Padepokannya. Padepokan Bajra Seta. Karena itulah maka seisi padepokan yang dipimpin oleh Empu Damar itu pun segera bersiap-siap.

Gemak Langkas yang tidak tinggal di Padepokan Ngancas, telah berada di padepokan itu pula. Biasanya justru gurunya atau orang terpercaya dari Padepokan Ngancas itulah yang datang ke rumah Gemak Langkas. Tetapi di saat-saat yang dianggap genting oleh seisi padepokan itu, maka Gemak Langkas memang telah diminta untuk berada di Padepokan Ngancas bersama-sama dengan murid-murid Empu Damar yang sudah tersebar.

Di Padepokan itu mereka mendapatkan latihan-latihan secara khusus dari Empu Damar sendiri. Sementara para cantrik yang jumlahnya cukup banyak itu pun telah ditempa pula oleh para murid tertua dari perguruan itu. Bahkan satu dua di antara murid-murid tertua itu telah membuat Padepokan-padepokan pula terpencar di beberapa tempat yang berjarak cukup panjang. Merekalah yang akan menjadi pendukung kekuatan Empu Damar untuk menghadapi Padepokan Bajra Seta.

“Kita mempunyai beberapa padepokan” berkata Empu Damar, “kita tentu akan dapat menggilas Padepokan Bajra Seta yang hanya sebuah Padepokan itu saja.”

Tetapi Empu Damar juga tidak bertindak tergesa-gesa. Ia telah memerintahkan dua orang muridnya yang terbaik untuk mengetahui beberapa hal tentang keadaan Padepokan Bajra Seta. Letaknya, kekuatan-nya, lingkungannya dan jika mungkin tingkat kemampuan para cantriknya.

“Kita tidak boleh bertindak tanpa perhitungan agar kita tidak menambah kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami” berkata guru Gemak Langkas itu.

Dengan beberapa perintah dan pesan-pesan maka kedua orang murid Empu Damar yang dianggap terbaik telah berangkat menuju ke lingkungan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Tugas itu memang merupakan tugas yang sulit. Keduanya belum mengenal sasaran pengamatan mereka. Namun dengan penuh kepercayaan akan kemampuan diri, keduanya telah berangkat ke Padepokan Bajra Seta.

Namun Empu Damar telah berpesan, “Ingat. Mahisa Pukat mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Mahisa Murti. Aku tidak tahu apakah Mahisa Murti juga memiliki kemampuan setingkat Mahisa Pukat. Namun seandainya demikian, kita tidak usah gentar menghadapinya. Kita sudah tahu kelemahannya, sehingga kita pun akan dapat mencari jalan untuk mengatasinya. Selain satu cara adalah, kita akan menghadapinya dalam kelompok-kelompok kecil."

Kedua orang murid terbaik Empu Damar itu mengangguk. Mereka mengerti bahwa gurunya, Empu Damar tidak dapat memenangkan perang tanding melawan Mahisa Pukat sehingga justru telah membakar dendam di hatinya. Dengan demikian maka mereka pun sadar, bahwa mereka harus menjadi sangat berhati-hati, karena yang mereka hadapi adalah sebuah padepokan yang memiliki pemimpin dengan ilmu yang sangat tinggi.

Tetapi tugas mereka hanyalah sekedar mengetahui apa yang ada di padepokan Bajra Seta itu, sehingga karena itu, maka keduanya masih belum perlu untuk membenturkan kemampuan mereka atas orang-orang padepokan Bajra Seta itu. Dengan bekal beberapa pesan dari gurunya, Empu Damar, maka kedua orang murid perguruan Ngancas itu telah berangkat ke padepokan Bajra Seta.

Namun sementara itu, para prajurit yang telah datang menemui Mahisa Murti justru telah kembali ke Singasari. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Murti pun telah mendapat keterangan tentang kemungkinan buruk yang dapat datang setiap saat menerpa Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi setelah beberapa lama Mahisa Murti berada di Padepokan Bajra Seta, hatinya telah menjadi lebih tenang. Meskipun kadang-kadang masih terasa gejolak hatinya, namun Mahisa Murti telah mampu untuk menimbang dengan perasaan dan penalaran yang lebih bening.

Keterangan yang diterima Mahisa Murti tentang dendam Gemak Langkas kepada Mahisa Pukat yang kemudian berkembang menjadi dendam padepokan Ngancas terhadap Padepokan Bajra Seta, telah mendorong Mahisa Murti untuk bersiap-siap. Meskipun Mahisa Murti merasa lebih senang jika tidak terjadi sesuatu, namun apabila serangan itu benar-benar datang, Padepokan Bajra Seta tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan.

Karena itu, maka Mahisa Murti telah meningkatkan kewaspadaannya. Panggungan di dinding Padepokan telah diperbaiki, sehingga pengamatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Pintu gerbang Padepokan pun telah diperiksa dengan teliti, agar pintu gerbang itu tidak mudah untuk dipecahkan. Selaraknya telah dibuat rangkap, sementara panggungan di sebelah-menyebelahnya pun telah dipersiapkan pula untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk.

Lebih dari itu, maka secara kewadagan dan kejiwaan, para cantrik pun telah dipersiapkan pula. Latihan-latihan-pun ditingkatkan sementara persenjataan para cantrik itu langsung diperiksa oleh Mahisa Murti sendiri apakah cukup memadai. Mahisa Semu dan Mahisa Amping secara khusus telah bertanya kepada Mahisa Murti, apakah yang akan terjadi di Padepokan itu.

“Kalian harus bersiap-siap dengan sungguh-sungguh” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “telah terjadi salah paham antara kakakmu Mahisa Pukat dengan seseorang yang kebetulan memimpin sebuah padepokan. Mereka mendendam kakakmu Mahisa Pukat. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak di Singasari, karena para prajurit Singasari akan dapat turut campur. Karena itu, maka mereka yang mendendam kakakmu Mahisa Pukat itu telah mengerling ke padepokan ini. Nampaknya Padepokan ini akan menjadi sasaran dendam orang yang terlibat dalam kesalah-pahaman dengan kakakmu Mahisa Pukat itu.”

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun bagi Mahisa Amping, persoalan yang dihadapi oleh Padepokan Bajra Seta itu sulit untuk dimengerti. Bajra Seta yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang terjadi di Singasari, justru menjadi sasaran dendam sebuah Padepokan.

Namun, tiba-tiba anak itu mengerutkan dahinya. Pandangan matanya jauh menyusup menembus kekejauhan. Seakan-akan diluar sadarnya ia berkata, “Ya, kita memang harus bersiap”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa?”

“Mereka agaknya memang akan datang.” jawab Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Amping kadang-kadang memang menunjukkan kelebihan pengamatan firasatnya. Namun Mahisa Amping jarang sekali mengerti, perincian dari penglihatannya itu. Namun Mahisa Murti seakan-akan telah mendapat penjelasan, bahwa kemungkinan buruk itu memang akan terjadi atas Padepokan Bajra Seta, sehingga seisi Padepokan itu memang harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Mahisa Semu, “tolong, panggil paman Wantilan.”

Beberapa saat kemudian, maka Wantilan pun telah datang menemui Mahisa Murti. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti minta agar Wantilan mempersiapkan para cantrik untuk bersiaga. “Besok aku akan berbicara dengan para pemimpin kelompok. Tolong paman Wantilan mempersiapkan pertemuan itu.”

“Baiklah” berkata Wantilan, “besok, saat matahari sepenggalah para pemimpin kelompok akan berkumpul di pendapa bangunan induk.”

“Terima kasih paman” berkata Mahisa Murti selanjutnya, “nampaknya kita memang tidak boleh lengah”

Sementara para penghuni Padepokan Bajra Seta bersiap-siap, maka kedua orang cantrik dari Padepokan Ngancas telah berada tidak terlalu jauh dari Padepokan Bajra Seta. Dengan sangat berhati-hati keduanya mulai menghimpun keterangan tentang Padepokan yang akan menjadi sasaran dendam Empu Damar.

Namun hal itu telah disadari oleh Mahisa Murti. Bahwa sebelumnya tentu akan ada pengamatan atas Padepokannya. Karena itu, maka Mahisa Murti berusaha untuk melihat kemungkinan itu sendiri. Setiap kali Mahisa Murti telah berada di padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokannya. Tetapi Mahisa Murti tidak mengatakan kepentingannya kepada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu, karena jika demikian maka mereka akan dapat berbuat sesuatu yang mungkin salah langkah.

Anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitarnya yang ingin membantunya akan dapat salah tunjuk. Mereka dapat dengan serta-merta menuduh orang-orang yang kebetulan tidak mereka kenal sebagai petugas sandi dari padepokan yang mengancam Padepokan Bajra Seta. Bahkan mungkin mereka akan dapat bertindak dengan tergesa-gesa karena darah muda mereka. Kepada para pemimpin kelompok Padepokan Bajra Seta dalam pertemuan yang diselenggarakan di Padepokan, Mahisa Murti menekankan agar mereka bersiap sepenuhnya.

“Tetapi jangan tergesa-gesa melibatkan anak-anak muda di luar Padepokan.” pesan Mahisa Murti. “Mereka akan dapat bertindak terlalu jauh sebelum mereka memahami apa yang terjadi sepenuhnya. Sehingga langkah-langkah yang mereka ambil justru akan dapat merugikan persiapan kita.”

Dengan demikian maka yang dilakukan oleh para cantrik itu adalah persiapan-persiapan yang terbatas di lingkungan dinding padepokan mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti yang sering berada di luar padepokan kadang-kadang memang harus menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut keberadaannya di padukuhan-padukuhan itu, karena hal seperti itu jarang sekali dilakukannya. Meskipun Mahisa Murti sering berkunjung kepada anak-anak muda di luar Padepokan namun tidak begitu sering seperti yang dilakukannya di saat-saat terakhir.

Namun pertanyaan-pertanyaan itu selalu dijawabnya, bahwa kehadirannya di padukuhan-padukuhan itu semata-mata karena keinginannya untuk berada lebih dekat dengan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan.

Mahisa Murti yang kadang-kadang membawa Mahisa Amping bersamanya itu berusaha untuk dengan cermat mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh para petugas sandi. Sekali-sekali Mahisa Murti berada di kedai-kedai yang sebelumnya memang pernah di kunjungi. Bahkan Mahisa Murti menjadi lebih rajin berada di pasar. Duduk di antara pande besi dan pedagang-pedagang gerabah.

Namun untuk beberapa lama Mahisa Murti tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigainya. Tetapi ketika pada suatu hari ia berada di sebuah kedai bersama Mahisa Amping, justru di kedai yang berada agak jauh dari padepokannya, serta kedai yang sebelumnya belum pernah dikunjunginya, ditemukannya sesuatu yang pantas diperhatikan.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Amping lewat di depan kedai itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Amping menarik tangannya. Demikian Mahisa Murti berhenti, maka Mahisa Amping itu berdesis, “Kita singgah sebentar.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Sambil tersenyum ia bertanya, “Apakah kau sudah lapar atau haus? Bukankah hari masih pagi?”

“Tidak” jawab Mahisa Amping, “aku tidak lapar dan tidak haus. Tetapi aku ingin singgah sebentar.”

Mahisa Murti melihat sesuatu di mata Mahisa Amping. Dahi anak itu berkerut. Bahkan kemudian tanpa menunggu Mahisa Murti, Mahisa Amping telah melangkah masuk ke dalam kedai itu. Tetapi Mahisa Murti yang mengenal anak itu dengan baik, tidak mencegahnya. Ia pun segera mengikutinya dan memasuki kedai itu pula.

Pemilik kedai itu memang belum dikenalnya. Sebaliknya pemilik kedai itu pun juga belum mengenalnya. Namun, demikian Mahisa Murti memasuki kedai itu, maka ia pun mendapat kesan bahwa kedai itu adalah kedai yang terhitung bersih dan lengkap.

Beberapa tempat duduk memang telah terisi. Di sebuah amben panjang beberapa orang anak muda sedang menghirup minuman panas sambil berkelakar. Sedangkan di sudut kedai itu duduk dua orang yang lebih banyak diam dan mengamati keadaan.

Mahisa Amping yang mendahului masuk ke kedai itu langsung mencari tempat duduk, tidak jauh dari kedua orang yang telah berada di dalam kedai itu. Mahisa Murti hanya mengikutinya saja. Ia tahu bahwa anak itu melangkah sesuai dengan tuntutan firasatnya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti menduga, bahwa ada sesuatu yang dikenali oleh firasat Mahisa Amping, namun belum diketahuinya dengan pasti.

Beberapa saat kemudian, setelah keduanya duduk, maka keduanya telah memesan minuman yang digemari oleh Mahisa Amping. Wedang sere dengan gula aren. Sambil menunggu minuman, maka Mahisa Amping nampaknya memperhatikan kedua orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Sambil mengunyah makanan keduanya berbicara perlahan-lahan. Masih tentang makanan yang mereka makan.

Tetapi kedua orang itu kemudian mulai memperhatikan Mahisa Amping. Nampaknya Mahisa Amping itu agak menarik perhatian mereka. Sikap anak itu yang nampak kekanak-kanakan namun mapan. Bahkan ketika kedua orang itu memandang Mahisa Amping yang juga sedang mengamati mereka, maka Mahisa Amping itu telah mengangguk hormat. Kedua orang itu tersenyum sambil mengangguk pula.

Bahkan seorang di antara mereka sempat berdesis, “Marilah ngger, apakah pesananmu belum siap?”

Mahisa Amping tersenyum pula. Tetapi ia justru berpaling kepada Mahisa Murti. Sementara Mahisa Murti lah yang menjawab, “Nampaknya sedang disiapkan Ki Sanak.”

Orang itu mengangguk-angguk. Masih sambil tersenyum seorang di antara mereka bertanya kepada Mahisa Murti, “Apakah anak ini anak Ki Sanak?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “anakku yang sulung.”

“O” orang itu mengangguk-angguk, “berapakah saudaranya?”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Jawabnya, “Dua.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun anak itu ternyata tanggap. Ia tidak mengatakan apa-apa ketika Mahisa Murti mengakunya sebagai anaknya. Ternyata sejenak kemudian pelayan kedai itu telah menghidangkan minuman hangat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Amping.

Namun Mahisa Amping terkejut ketika salah seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Siapa namamu ngger?”

Mahisa Amping memang menjadi bingung. Jika Mahisa Murti mengatakan bahwa ia adalah anaknya yang sulung, maka namanya tentu bukan Mahisa Amping. Karena Mahisa Amping tidak segera menjawab, maka Mahisa Murti lah yang menjawab, “Kenapa kau diam saja? Namanya Lembu Amping Ki Sanak. Anak ini memang pemalu.”

“Nama yang bagus” desis orang itu.

“Rumahmu dimana?” bertanya orang itu pula. Mahisa Amping memandang kepada Mahisa Murti dengan wajah yang agak tegang. Namun Mahisa Murti berkata, “Jawablah. Kau harus belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan.”

Mahisa Amping memandang kedua orang itu dengan ragu-ragu. Katanya, “Rumahku, tiga bulak dari tempat ini. Diseberang bulak panjang dan hutan bambu di sebelah.”

“O” orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang lain bertanya lagi, “Hutan bambu Ngerak yang kau maksud?”

“Ya” Mahisa Amping mengangguk ragu.

“Sudah dekat dengan Padepokan Bajra Seta?” desak orang itu pula.

Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, “Masih berjarak beberapa bulak lagi Ki Sanak. Kami tinggal di padukuhan Ngerak itu. Padukuhan yang menjadi kepanjangan hutan bambu meskipun di antarai oleh sebuah padang perdu dan padang rumput.” Mahisa Murti berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Tetapi apakah Ki Sanak sudah pernah pergi ke Ngerak?”

Orang itu tersenyum sambil mengangguk, “Ya. Tetapi hanya sekedar lewat saja.”

“Kami persilahkan Ki Sanak singgah” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Terima kasih, Ki Sanak” jawab orang itu.

Mahisa Murti yang kemudian sibuk meniup minuman panasnya agar cepat menjadi dingin tidak bertanya lagi. Kedua orang itu pun terdiam pula untuk beberapa saat. Untuk beberapa lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Amping duduk di kedai itu. Mereka minum dan makan beberapa potong makanan kecil. Namun sekejap-sekejap Mahisa Murti sempat memandangi kedua orang yang belum dikenalnya sebelumnya itu.

Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Amping merasa, bahwa mereka telah cukup lama duduk di kedai itu. Sementara itu kedua orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu masih saja duduk sambil sekali-sekali menghirup minumannya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Amping terkejut ketika mereka akan membayar harga minuman dan makanan yang telah mereka makan salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Biarlah kami yang membayarnya.”

“Ah” sahut Mahisa Murti, “terima kasih. Biarlah kami memenuhi kewajiban kami.”

“Jangan” orang itu mencegahnya. Bahkan katanya, “Sering-seringlah datang kemari. Aku sering pula berada di kedai ini.”

Ketika Mahisa Murti berniat tetap akan membayar harga minuman dan makanannya, orang itu juga tetap mencegahnya. Katanya, “Ki Sanak. Jangan menolak. Bukan apa-apa. Aku senang melihat anak Ki Sanak ini.”

Mahisa Murti memang tidak dapat memaksanya. Orang itu akan dapat tersinggung karenanya. Namun disamping itu, Mahisa Murti memang menaruh perhatian cukup besar terhadap orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami mengucapkan banyak terima kasih Ki Sanak Kami akan sering datang ke kedai ini.”

“Baiklah” berkata orang itu, “pada suatu saat aku akan singgah ke rumah Ki Sanak.”

“Silahkan Ki Sanak. Silahkan. Kami akan senang sekali menerima kunjungan Ki Sanak.” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah keduanya pun kemudian telah meninggalkan kedai itu. Mahisa Murti mulai merasakan bahwa firasat Mahisa Amping telah membawanya bertemu dengan orang-orang yang menarik perhatian. Namun dalam pada itu, Mahisa Amping pun bertanya, “Kakang membuat aku bingung.”

“Tetapi kau sudah berbuat sebaik-baiknya” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi apakah kita akan menemuinya lagi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Aku berniat bertemu dengan orang-orang itu lagi” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana jika mereka benar-benar akan singgah di rumah yang kakang sebutkan itu?” bertanya Mahisa AmPing.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukankah kita mempunyai banyak sahabat di padukuhan Ngerak?”

“Kita akan mengaku salah seorang dari mereka keluarga kita atau kita memang akan membuat rumah di Ngerak?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kita tidak perlu membuat rumah. Jika kita membuat rumah, maka rumah kita akan nampak baru. Sehingga dengan demikian, maka mereka akan dapat menjadi curiga.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah aku boleh ikut tinggal di Ngerak?”

Mahisa Murti tertawa semakin keras. Katanya, “Kita tidak akan tinggal di Ngerak. Tetapi kita akan sering berada di Ngerak. Kita akan berbicara dengan orang-orang Ngerak, terutama Ki Bekel, bahwa aku adalah penghuni padukuhan Ngerak bersama anakku sebanyak tiga orang. He, bukankah aku menjawab bahwa anakku tiga orang?”

Mahisa Amping pun tertawa. Tetapi ia bertanya, “Mana yang dua lagi?”

“Orang itu tidak akan membuktikan, bahwa aku mempunyai tiga orang anak. Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak benar-benar mencari kita di Ngerak.” berkata Mahisa Murti.

“Orang itu lupa tidak menanyakan nama kakang” berkata Mahisa Amping kemudian.

“Ya. Mungkin mereka sengaja agar tidak terlalu menarik perhatian. Seakan-akan mereka tidak mempedulikan kita?” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi apakah mereka mempedulikan kita?” bertanya Mahisa Amping pula.

“Ya. Dalam hubungannya dengan Padepokan Bajra Seta. Agaknya orang itu menaruh perhatian atas Padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Demikianlah maka keduanya berjalan semakin jauh dari kedai yang baru pertama kali itu mereka datangi. Namun mereka berdua ternyata tidak langsung kembali ke Padepokan. Mereka ternyata telah pergi ke padukuhan Ngerak untuk bertemu dengan Ki Bekel.

Ketika Mahisa Murti menyatakan dirinya untuk disebut orang Ngerak, maka Ki Bekel pun menjadi heran. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berpesan. Kepada Ki Bekel yang sudah dikenal dengan baik oleh Mahisa Murti itu pun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Mahisa Murti minta agar Ki Bekel tidak menyatakan hal itu kepada orang-orang Ngerak.

“Kepada mereka Ki Bekel cukup mengatakan bahwa mereka harus menganggap aku orang Ngerak. Jika ada orang asing yang bertanya tentang aku, maka mereka harus menjawab, bahwa aku tinggal di Ngerak. Tinggal di rumah Ki Bekel bagian belakang, karena aku masih sanak kadangnya Ki Bekel.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Agaknya suatu permainan yang sulit bagiku. Tetapi aku akan mencoba. Meskipun demikian jika ada satu dua orang yang terlampaui dan tidak mengetahui permainan ini, aku minta maaf.”

”Jika Ki Bekel memberitahukan kepada seseorang dan minta orang itu mengatakan kepada orang lain yang ditemuinya, maka dalam waktu singkat, pesan Ki Bekel itu akan tersebar. Memang agak sulit untuk mengendalikan anak-anak. Namun jika orang-orang tua sudah mengetahuinya, maka agaknya sudah cukup.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Yang sulit baginya adalah justru tanpa mengatakan persoalan yang sebenarnya kepada orang-orang padukuhan Ngerak.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berpesan, “Masih ada yang harus Ki Bekel beritahukan kepada orang-orang Ngerak. Namaku di sini tentu bukan Mahisa Murti. Tetapi Kuda Samekta. Nah, ingat Ki Bekel. Kuda Samekta. Jadi di rumah Ki Bekel tinggal seorang saudaranya sekeluarga dengan tiga orang anak, namanya Kuda Samekta. Sedangkan anaknya yang sulung namanya Lembu Amping.”

Ki Bekel tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Lebih mudah untuk menangkap saja orang itu daripada harus bermain demikian rumitnya.”

Mahisa Murti pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan orang itu tidak datang kemari. Aku akan berusaha menjumpainya di kedai itu saja. Yang agak menyulitkan adalah justru orang itu telah membayar minuman dan makanan kami, sehingga jika kami datang lagi kekedai itu, tentu dikiranya kami sengaja agar minuman dan makanan kami mereka bayar pula.”

Tetapi Ki Bekel itu menggeleng sambil berkata, “Tidak. Kapan saja kau bertemu lagi dengan orang itu di kedai itu, maka kaulah yang membayar harga minuman dan makanan mereka. Katakan, bahwa ada baiknya untuk bergantian melakukannya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju Ki Bekel. Ternyata pendapat Ki Bekel itu cukup bagus.”

“Seandainya mereka tidak mau?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi justru Ki Bekel yang menjawab, “Kebetulan. Biarlah mereka setiap kali membayar harga makanan dan minuman itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Amping pun tertawa. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun menyadari bahwa tugas yang diserahkan kepada Ki Bekel itu memang cukup rumit. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Amping segera minta diri. Mahisa Murti berharap bahwa segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan persoalan bagi orang-orang padukuhan Ngerak.

Namun dengan demikian, maka hampir setiap hari Mahisa Murti dan Mahisa Amping telah pergi ke padukuhan Ngerak.Bahkan pada hari yang keempat, keduanya telah pergi kekedai yang baru sekali mereka kunjungi itu. Tetapi di kedai itu Mahisa Murti dan Mahisa Amping tidak bertemu dengan kedua orang yang pernah membayar minuman dan makanan mereka.

“Kemarin mereka datang kemari” berkata pemilik kedai itu. Karena kedai itu sedang lengang, selain Mahisa Murti dan Mahisa Amping hanya ada dua orang pembeli yang lain, maka pemilik kedai itu sempat berbicara agak panjang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Amping.

“Agaknya mereka bukan orang di sekitar tempat ini” berkata pemilik kedai itu.

“Tetapi nampaknya mereka telah melihat-lihat daerah ini” sahut Mahisa Murti.

“Perhatiannya banyak tertuju kepada Padepokan Bajra Seta” berkata pemilik kedai itu.

“O” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga pernah melihat padepokan itu.”

“Apakah anehnya?” pemilik kedai itu justru bertanya, “aku juga sering lewat didekat padepokan itu. Bukankah tidak ada yang aneh?”

“Ya. Tidak ada yang aneh” jawab Mahisa Murti yang memperkenalkan diri dengan nama Kuda Samekta.

“Tetapi nampaknya kedua orang itu sangat memperhatikan Padepokan Bajra Seta itu.” berkata pemilik kedai itu pula. Lalu sambungnya, “Ia tertarik kepada bukan saja penghuninya, tetapi juga nama-nama pemimpinnya. Kemampuannya dan jumlah cantrik yang ada di padepokan itu.”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Hanya ingin tahu” jawab pemilik kedai itu, “ia mengaku tertarik setelah melihat Padepokan itu dari dekat. Nampaknya sebuah Padepokan yang besar dan kuat.”

“Apakah Ki Sanak banyak mengetahui tentang Padepokan Bajra Seta?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak” jawab pemilik kedai itu, “letaknya pun tidak terlalu dekat dari sini. Aku telah menyarankan jika ingin mengetahui lebih banyak, sebaiknya ia datang saja ke Padepokan itu dan bertemu dengan pimpinan Padepokan Bajra Seta itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya terlalu banyak agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun keterangan itu sudah cukup baginya untuk mengambil kesimpulan, bahwa memang ada orang yang sedang menyelidiki padepokannya, yang tentu ada sangkut pautnya dengan keterangan yang diberikan oleh para prajurit yang khusus datang atas permintaan ayahnya. Namun yang mengejutkan Mahisa Murti adalah justru kehadiran seseorang yang tidak dikenal oleh para cantrik ke Padepokan Bajra Seta.

“Siapa yang dicarinya?” bertanya Mahisa Murti.

“Pimpinan Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti merasa harus berhati-hati menanggapi kedatangan orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku sendiri akan menerimanya di regol halaman. “Namun sekali lagi Mahisa Murti terkejut. Orang itu memang tidak menunjukkan ujud yang meyakinkan sebagai seorang yang memiliki kelebihan. Orang itu menurut ujudnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan yang berpakaian serba hitam.

“Raden Kuda Wereng” desis Mahisa Murti.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kau masih mengenali aku dalam ujudku seperti ini ngger?”

“Tentu” jawab Mahisa Murti, “dalam keadaan apa pun aku akan dapat mengenali Arya Kuda Cemani. Apalagi dalam ujud apa pun Raden selalu memakai pakaian yang serba hitam.”

Arya Kuda Cemani hanya tersenyum saja. Sementara itu Mahisa Murti pun mempersilahkannya memasuki padepokannya. “Sebuah padepokan kecil, kotor dan miskin” berkata Mahisa Murti.

“Kau terlalu merendahkan diri” jawab Arya Kuda Cemani, “padepokanmu adalah padepokan yang terhitung besar di tlatah Singasari.”

Demikianlah Arya Kuda Cemani telah diterima dengan gembira oleh Mahisa Murti. Meskipun kehadirannya masih juga bagaikan menitikkan air diatas lukanya sehingga terasa pedih, namun Mahisa Murti masih juga sempat menahan dirinya. Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Arya Kuda Cemani pun mengatakan kepentingannya datang ke Padepokan Bajra Seta itu.

“Aku ingin memberikan keterangan serba sedikit” berkata Arya Kuda Cemani, seorang Senapati dari para petugas sandi di Singasari, “menurut pengamatan para petugas sandi, maka sudah ada tiga buah padepokan yang dipersiapkan untuk datang ke Padepokan Bajra Seta.”

“Tiga?” bertanya Mahisa Murti.

Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya, “Padepokan induk yang dipimpin oleh Empu Damar, guru Gemak Langkas. Sedangkan kedua padepokan yang lain adalah padepokan-padepokan yang dipimpin oleh murid-murid Empu Damar yang telah dianggap memiliki kemampuan yang cukup.”

Mahisa Murti menarik nafas panjang. Dari para prajurit yang telah datang lebih dahulu Mahisa Murti sudah mendapatkan beberapa penjelasan. Apa yang dikatakan oleh Arya Kuda Cemani telah melengkapinya, sehingga Mahisa Murti telah mendapat gambaran yang utuh tentang orang-orang serta padepokan-padepokan yang memusuhinya. Mahisa Murti pun telah mendapat keterangan bagaimana Mahisa Pukat mampu mengalahkan Empu Damar itu di perang tanding.

“EmPu Damar tidak mengira bahwa angger Mahisa Pukat mampu menghisap tenaga dan kemampuannya. Ia menyadari akan kemampuan ilmu angger Mahisa Pukat kemudian setelah terlambat” berkata Arya Kuda Cemani. Lalu katanya, “Namun agaknya ia akan menjadi lebih berhati-hati. Ia tentu sudah memperhitungkan bahwa angger Mahisa Murti juga memiliki ilmu yang sama.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan demikian ia memang harus menjadi sangat berhati-hati menghadapi Empu Damar itu. Namun Arya Kuda Cemani kemudian mengatakan, “Tetapi tidak mustahil bahwa Empu Damar akan mengundang kekuatan diluar padepokannya dan padepokan yang dipimpin oleh murid-muridnya.”

“Terima kasih atas segala keterangan ini Raden” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan kami dapat mempertahankan diri dari mereka yang berniat buruk itu.”

“Satu hal yang sedang aku usahakan” berkata Raden Kuda Cemani kemudian, “jika kita tahu, kapan orang-orang itu akan datang, maka kita akan dapat mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya.”

Kepada Raden Kuda Wereng Mahisa Murti juga memberitahukan tentang kedua orang yang sedang mengamati padepokannya. Nampaknya mereka sedang mengumpulkan bahan untuk meyakinkan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Raden Kuda Wereng mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ternyata mereka cukup berhati-hati dengan rencana mereka. Mereka tidak ingin terjebak sekali lagi sebagaimana yang pernah terjadi di Sendang Perbatang itu.”

“Namun dengan demikian kami di sini harus lebih berhati-hati menghadapi mereka” desis Mahisa Murti.

“Ya. Aku akan berusaha mengetahui lebih banyak tentang langkah-langkah yang akan mereka ambil” berkata Raden Kuda Wereng.

“Terima kasih Raden” desis Mahisa Murti, “ternyata kami hanya membebani Raden saja.”

“Bukankah itu tugasku?” sahut Raden Kuda Wereng.

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara Raden Kuda Wereng berkata selanjutnya, “jika saja aku dapat bertemu dengan kedua orang itu.”

“Kedua orang yang sedang mengamati padepokan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya” jawab Raden Kuda Wereng.

“Aku tidak selalu dapat menemui mereka” jawab Mahisa Murti, “tetapi kita dapat mencobanya.”

Dengan demikian maka Raden Kuda Wereng berniat untuk bermalam di padepokan itu agar ia mendapat kesempatan untuk bertemu dengan dua orang yang sedang mengamati padepokan Bajra Seta. Di hari berikutnya, maka Mahisa Murti telah mengajak Raden Kuda Wereng untuk pergi ke padukuhan Ngerak. Ternyata menurut Ki Bekel, memang ada orang yang sedang mencari seseorang yang mempunyai tiga orang anak. Seorang di antara anak-anaknya adalah Lembu Amping.

“Untunglah orang yang ditanya telah mendengar pesan tentang Kuda Samekta dan anaknya Lembu Amping” berkata Ki Bekel, “tetapi kedua orang itu ternyata tidak mengenal nama Kuda Samekta. Yang dikenalnya adalah justru Lembu Amping.”

Namun dengan demikian ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar ingin mengenal padepokan Bajra Seta lebih dalam lagi.

“Apa jawab orang itu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Seperti pesanmu. Orang yang mendapat pertanyaan tentang kau dan anakmu itu telah memberitahukan bahwa kau tinggal di rumahku. Tetapi ternyata ia tidak datang kemari,” jawab Ki Bekel.

“Apakah keduanya telah mencurigai aku?” bertanya Mahisa Murti dengan ragu.

“Entahlah” jawab Ki Bekel.

“Baiklah” jawab Mahisa Murti, “aku akan mencarinya di kedai itu. Di tempat mereka seringg singgah.”

Demikianlah berdua dengan Raden Kuda Wereng yang berpakaian seorang petani kebanyakan keduanya pergi ke kedai yang pernah dikunjungi oleh Mahisa Murti dan MahisaAmping. Tetapi ternyata keduanya tidak sedang berada di kedai itu.

Ketika hal itu ditanyakan kepada pemilik kedai, maka pemilik kedai itu menjawab, “Sudah sejak keduanya datang beberapa hari yang lalu, mereka belum datang lagi kemari.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Kepada Raden Kuda Wereng ia berkata, “Mungkin keduanya menganggap bahwa pengamatan mereka sudah dianggap cukup, sehingga mereka telah kembali ke Singasari untuk memberikan laporan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Bekel. Selama ini kami justru hanya menggelisahkan rakyat padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan kami.”

“Tidak. Tidak. Padepokan Bajra Seta telah memberikan banyak sekali kepada kami. Pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang semakin meningkat. Bahkan juga olah kanuragan” jawab Ki Bekel.

“Tidak seberapa Ki Bekel, dibandingkan dengan pengorbanan yang harus kalian berikan bagi kami.” desis Mahisa Murti.

“Tetapi kehidupan kami menjadi semakin baik sejak Padepokan Bajra Seta berdiri” jawab Ki Bekel.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Bekel dan para Bekel yang lain selalu bertanya Mahisa Pukat selama tidak nampak di Padepokan.

“Mahisa Pukat bersama ayah di Singasari untuk sementara” jawab Mahisa Murti, “namun pada suatu saat, ia tentu akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.”

Demikianlah, maka para Bekel di padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta ternyata dengan cepat telah bersiap pula. Tetapi seperti pesan Mahisa Murti, para Bekel berusaha untuk tidak menggelisahkan rakyat di padukuhan mereka.

Dalam pada itu, padukuhan yang khusus dibangun oleh orang-orang yang pernah memusuhi Padepokan Bajra Seta, namun kemudian justru ditempatkan di padukuhan khusus dan mulai hidup wajar, telah menyatakan diri siap untuk berbuat apa saja jika Mahisa Murti menghendaki.

“Kami mempunyai hutang yang tidak dapat dibayar dengan apa pun kepada Padepokan Bajra Seta. Bahkan dengan nyawa kami sekalipun. Kami yang telah diangkat dari kehidupan yang gelap, merasa telah hadir kembali sebagai manusia yang berarti.”

“Terima kasih” berkata Mahisa Murti, “kesediaan kalian membantu kami, telah membesarkan hati kami.”

Dengan demikian Mahisa Murti pun menjadi semakin tenang. Meskipun yang bakal datang mungkin lebih dari tiga padepokan, tetapi Padepokan Bajra Seta pun tidak sendiri. Lebih dari tujuh padukuhan yang menyatakan kesediaannya membantu. Dan itu berarti lebih dari kekuatan dua tiga padepokan yang sedang. Sementara Padepokan Bajra Seta sendiri termasuk padepokan yang besar.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti berharap bahwa Padepokan Bajra Seta dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya akan dapat mengatasi jika beberapa padepokan itu benar-benar akan datang menyerang, apa pun alasannya. Namun Mahisa Murti telah berusaha untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya, agar beban serangan itu terberat tetap pada Padepokan Bajra Seta.

Dalam kesiagaan yang disusun kemudian bersama-sama antara para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti minta agar para pengawal dan anak-anak muda itu tetap berada di padukuhan masing-masing. Pada saat diperlukan akan dilontarkan isyarat dari padepokan kearah padukuhan terdekat. Kemudian isyarat itu akan diteruskan ke padukuhan-padukuhan berikutnya. Isyarat itu berarti bahwa Padepokan Bajra Seta memerlukan bantuan.

“Dengan demikian maka kalian akan menyerang lawan dari belakang garis pertempuran. Aku memperhitungkan bahwa beban terberat dari tekanan lawan akan berada pada para cantrik Padepokan Bajra Seta. Namun serangan para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan akan memperingan beban kami.”

Demikianlah, maka segala persiapan pun telah dilakukan. Mahisa Murti memperhitungkan bahwa kekuatan Padepokan Bajra Seta bersama anak-anak muda dan para pengawal padukuhan di sekitar Padepokan menjadi cukup besar. Apalagi anak-anak muda dan para pengawal itu pun pernah mengalami tempaan yang cukup berat di Padepokan Bajra Seta. Meskipun tidak seberat para cantrik, namun kemampuan anak-anak muda dan para pengawal itu cukup memadai. Apalagi mereka inti para pengawal dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta.

Dalam masa-masa kesiagaan itu pun anak-anak muda dan para pengawal telah memerlukan melakukan latihan-latihan lebih banyak dari kebiasaan mereka sehari-hari. Sementara para remaja yang menjadi semakin mendekati masa mudanya pun mulai menyatakan diri untuk ikut melakukan latihan-latihan dalam olah kanuragan dan mempergunakan senjata. Tetapi para pemimpin pengawal telah memperingatkan bahwa para remaja itu tidak boleh ikut bersama mereka jika kekerasan itu benar-benar akan terjadi.

“Kalian masih harus mematangkan diri” berkata para pemimpin pengawal.

Betapa para remaja itu menyatakan kesediaannya, namun mereka tetap tidak diperkenankan ikut.

“Jika kalian benar-benar ingin ikut melindungi padukuhan kalian, maka kalian tetap saja berada di padukuhan. Jika ada di antara orang-orang yang ingin berbuat jahat itu datang ke padukuhan, barulah kalian boleh melibatkan diri.” pesan para Bekel kepada para remaja.

Sementara itu, ternyata Empu Damar benar-benar telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Padepokan Bajra Setan. Ia telah memerintahkan seseorang secara khusus mengamati, apakah Mahisa Pukat masih berada di Singasari atau tidak. Ternyata Mahisa Pukat itu tidak meninggalkan rumah ayahnya, sehingga karena itu, maka Empu Damar berpendapat, bahwa Padepokan Bajra Seta sama sekali tidak mengetahui rencananya untuk menyerang.

Tetapi Empu Damar tidak hanya bergerak sendirian. Selain Padepokan Ngancas, maka masih ada tiga padepokan lagi yang bergerak bersamanya. Padepokan yang didirikan oleh murid-murid Empu Damar. Ketika mereka mendapat pemberitahuan, bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk mencoba ilmu mereka sekaligus membuktikan kebesaran Padepokan Ngancas, maka mereka menjadi bergembira. Demikian pula setiap cantrik dari padepokan-padepokan itu, seakan-akan mereka mendapat saluran untuk mengalirkan air yang terbendung di dalam diri mereka.

Sementara itu Empu Damar tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika segala persiapan telah disusun rapi, maka Empu Damar pun benar-benar siap untuk berangkat. Dua orang yang ditugaskan untuk mengamati Padepokan Bajra Seta pun telah memberikan laporan lengkap. Mereka memang tidak ingkar, bahwa Padepokan Bajra Seta memang sebuah padepokan yang besar. Tetapi mereka berpendapat, bahwa kekuatan yang disusun oleh Padepokan Ngancas cukup memadai untuk menghancurkan Padepokan Seta.

Pada hari yang telah direncanakan maka para cantrik dari ampat padepokan yang telah dipersiapkan itu pun telah berangkat pula. Mereka memilih berjalan di malam hari untuk menghindarkan diri dari perhatian yang berlebihan. Merekapun berharap bahwa Padepokan Bajra Seta tidak mengetahui lebih dahulu akan kedatangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga Padepokan yang lain.

Mereka sadar, bahwa semalam mereka tidak dapat mencapai Padepokan Bajra Seta. Seandainya dini hari mereka sampai juga, maka mereka tidak sempat beristirahat sama sekali. Karena itu, maka menurut petunjuk kedua orang yang lebih dahulu telah mengamati Padepokan Bajra Seta, mereka akan dapat menunggu dipinggir sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Seandainya ada juga harimau atau binatang buas yang lain berani mengganggu, maka binatang-binatang itu tentu akan bernasib malang.

Namun demikian kedua orang itu masih juga memperingatkan, “Hati-hati dengan ular. Di tempat itu memang terdapat ular meskipun tidak terlalu banyak. Tetapi lebih sulit melawan seekor ular daripada seekor harimau bagi sekelompok cantrik.”

Demikianlah, dengan pesan dan bekal yang cukup, para cantrik dari empat padepokan yang tidak terlalu besar itu bergerak menuju Padepokan Bajra Seta. Keberangkatan para cantrik dari keempat padepokan itu tidak luput dari pengamatan Arya Kuda Cemani. Karena itu, maka ia telah memerintahkan dua orang prajurit sandi untuk pergi berkuda mendahului para cantrik dari keempat padepokan yang dipimpin oleh Empu Damar sendiri dari Padepokan Ngancas.

Gemak Langkas yang sebenarnya telah mendapat peringatan dari ayahnya, terpaksa berangkat juga karena ia sadar, bahwa ialah yang telah menyulut api permusuhan antara Padepokan Ngancas dengan Padepokan Bajra Seta.

Kedatangan kedua orang petugas sandi itu telah menggetarkan Padepokan Bajra Seta. Ternyata Padepokan itu benar-benar akan mendapat serangan dari kekuatan yang cukup besar. Mahisa Murti memang tidak dapat ingkar. Meskipun ia juga menyesali peristiwa yang bakal terjadi itu, namun sudah tentu bahwa Padepokan Bajra Seta harus membela diri sejauh dapat dilakukan. Dengan cepat pula Mahisa Murti sendiri telah menghubungi beberapa orang bekel di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Dengan sangat menyesal Mahisa Murti telah menyeret mereka kedalam benturan kekerasan.

“Seperti yang aku katakan, kami akan mengirimkan isyarat jika kami memerlukan bantuan dari padukuhan-padukuhan.” berkata Mahisa Murti kepada para Bekel.

Demikianlah, maka segala sesuatunya telah disiapkan sebaik-baiknya. Para petugas sandi itu juga mengatakan, bahwa mereka berangkat dari Singasari hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang lain.

“Kami lebih dahulu datang karena kami berkuda. Siang ini mereka tentu beristirahat di satu tempat” berkata salah seorang petugas sandi itu.

“Jika demikian, maka agaknya besok pagi-pagi mereka akan menyerang Padepokan Bajra Seta” berkata Mahisa Murti.

“Aku kira memang demikian. Pada saat matahari terbit, mereka akan menyerang Padepokan Bajra Seta. Tetapi sebaiknya sejak malam nanti, segala kemungkinan siap untuk dihadapi.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Terima kasih untuk keterangan ini. Mudah-mudahan kami dapat mempertahankan diri.”

“Aku berhasil mengintai kekuatan mereka” berkata salah seorang petugas itu, “dari segi jumlah, para cantrik yang akan menyerang Padepokan ini, jumlahnya aku kira lebih banyak, tetapi aku masih belum tahu akan tingkat kemampuan mereka.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya” desis Mahisa Murti.

Ternyata kedua orang petugas sandi itu tidak segera kembali ke Singasari. Mereka justru mendapat tugas untuk mengamati pertempuran yang akan terjadi. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti telah minta para cantrik untuk beristirahat sebanyak-banyaknya. Kecuali yang bertugas bergantian, maka para cantrik itu harus cepat pergi tidur. Namun mereka harus sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dipergunakannya untuk mempertahankan Padepokan Bajra Seta esok pagi.

“Kalian harus mampu melepaskan ketegangan di jantung kalian agar kalian dapat tidur nyenyak” berkata Mahisa Murti, “jika tidak, maka kalian tidak akan sempat beristirahat.”

Demikianlah, maka sebagian besar dari para cantrik itu pun segera lelap demikian malam turun. Sebagian di antara mereka memilih untuk beristirahat dan tidur diatas panggung di belakang dinding halaman padepokan, di antara setumpuk anak panah dan lembing. Sedangkan beberapa orang kawan-kawannya bergantian bertugas mengamati lingkungan diluar dinding, karena tidak mustahil terjadi sesuatu sebelum saat yang diperhitungkan itu tiba.

Padepokan Bajra Seta memang tidak menunjukkan sesuatu yang lain dilihat dari luar. Segalanya nampaknya tetap tenang sebagaimana hari-hari sebelumnya. Ketika malam menjadi semakin dalam, sebenarnyalah ada beberapa orang yang mengamati padepokan itu dari kejauhan. Mereka memang tidak melihat persiapan-persiapan apa pun juga.

Memang mereka melihat satu dua orang cantrik yang berjaga-jaga dipanggungan di belakang dinding halaman. Namun hal itu pernah dilaporkan juga sebelumnya, sehingga menurut para pengamat itu, penjagaan yang dilakukan dipanggung-panggung di belakang dinding itu adalah tugas-tugas seharian.

Dengan demikian maka Padepokan Ngancas itu tidak merubah rencana mereka. Sejak malam turun, mereka telah bergerak meninggalkan hutan tempat mereka beristirahat sambil bersembunyi. Mereka kemudian telah menebar mengepung Padepokan Bajra Seta. Mereka tidak lagi merasa perlu untuk bersembunyi-sembunyi justru karena Padepokan Bajra Seta telah terkepung.

Seandainya orang-orang Bajra Seta melihat kehadiran mereka, maka yang dapat mereka lakukan tidak lebih dari bersiap-siap dilingkungan mereka. Meskipun demikian semua kegiatan yang dilakukan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas dan tiga padepokan lainnya, dilakukan dengan sangat berhati-hati. Mereka memang berharap bahwa menjelang fajar mereka akan datang menyerang dengan tiba-tiba dan mengejutkan orang-orang Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu, sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan yang lain itu telah menyiapkan berpuluh-puluh tangga bambu. Ternyata selama mereka beristirahat dan bersembunyi di pinggir hutan, mereka telah menemukan rumpun-rumpun bambu yang dapat mereka buat tangga-tangga yang siap mereka pergunakan untuk memanjat dinding Padepokan Bajra Seta.

Ketika malam kemudian menjadi semakin dalam, maka terjadi pergantian para petugas yang berjaga-jaga di panggungan di belakang dinding padepokan. Seorang cantrik yang memimpin penjagaan malam itu telah melaporkan kepada Mahisa Murti, bahwa para petugas telah mulai melihat kegiatan diluar dinding Padepokan Bajra Seta. Namun seperti yang diperintahkan, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta tidak mengambil langkah-langkah apa pun selain semakin bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

“Baik” berkata Mahisa Murti, “beristirahatlah sebaik-baiknya, agar tenagamu besok utuh kembali.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti sendiri pun pergi beristirahat pula meskipun ia berpesan bahwa jika ada sesuatu yang penting, ia harus dibangunkan. Yang nampak sibuk kemudian adalah dapur Padepokan Bajra Seta. Para cantrik itu harus makan lebih dahulu sebelum fajar, sehingga mereka tidak akan bertempur dengan perut lapar.

Berbeda dengan kegiatan di dapur Padepokan Bajra Seta, maka para cantrik dari Padepokan Ngancas telah mendapat bekal mereka masing-masing. Nasi jagung yang akan dapat bertahan sampai dua atau tiga hari tanpa dipanasi lagi. Mereka minum dimana saja ada air bersih. Bahkan belik-belik kecil dipinggir sungai.

Dalam pada itu, maka Empu Damar yang memimpin langsung keempat Padepokan yang akan menyerang Bajra Seta itu telah memberikan pesan-pesan terakhirnya.

“Kita akan menebus harga diri kita yang telah direndahkan oleh Mahisa Pukat, salah seorang pemimpin dari Padepokan Bajra Seta ini. Karena Mahisa Pukat berada di istana bersama ayahnya, maka sasaran kita, kita arahkan kepada Padepokan Bajra Seta. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita tentu akan dapat menguasai seluruh padepokan ini. Jumlah kita lebih banyak. Kita pun meragukan apakah para cantrik padepokan Bajra Seta memiliki ilmu yang cukup baik. Bahkan aku mengira bahwa tidak ada seorang pun dari isi Padepokan Bajra Seta yang memiliki kemampuan dan ilmu sebagaimana Mahisa Pukat. Biarlah besok Mahisa Pukat menangis jika ia mengetahui bahwa Padepokan Bajra Seta telah kita hancur leburkan.”

Para cantrik pun tergetar hatinya, sehingga mereka berjanji untuk benar-benar menghancurkan Padepokan Bajra Seta yang sombong itu.

Namun demikian, Empu Damar itu pun masih berpesan, “Jika kalian nanti memasuki Padepokan Bajra Seta, kalian harus tetap berhati-hati. Meskipun tidak ada seseorang yang memiliki ilmu setinggi Mahisa Pukat, tetapi kalian sebaiknya menghadapi pemimpin Padepokan Bajra Seta tidak seorang diri. Aku akan berusaha menghadapinya. Seandainya aku tidak menemukannya, tetapi salah seorang dari kalian tiba-tiba berhadapan dengan orang itu, maka usahakan menghadapinya dengan kelompok-kelompok kecil. Kalian dapat melakukannya, karena kalian tidak sedang berperang tanding.”

Demikianlah, waktu pun merayap terus. Empu Damar merencanakan untuk menyerang Padepokan Bajra Seta saat matahari mulai membayang. Empu Damar beharap bahwa jika matahari terbit, maka para pengikutnya sudah mulai berusaha memanjat dinding dengan tangga serta merusakkan pintu gerbang utama. Karena itu, menjelang fajar, Empu Damar telah memerintahkan orang-orangnya menempatkan diri diseputar Padepokan Bajra Seta. Jika kemudian isyarat dilontarkan, maka mereka serentak akan bergerak.

Gerak-gerik para pengikut Empu Damar itu tidak luput dari pengamatan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Meskipun para cantrik itu tidak melakukan sesuatu, tetapi setiap kali mereka selalu memberikan laporan tentang para pengikut Empu Damar itu. Menjelang fajar, maka para cantrik Bajra Seta pun telah siap. perhitungan Mahisa Murti memang tepat. Para penyerang akan mulai bergerak menjelang matahari terbit.

Mahisa Murti yang telah bangun dan berbenah diri telah siap memimpin langsung perlawanan untuk mempertahankan diri. Wantilan telah mendapat perintah untuk berada di belakang. Mahisa Semu disisi sebelah kiri sedangkan disisi sebelah kanan diserahkan kepada seorang cantrik yang dimiliki kepemimpinan yang tinggi.

Setelah memberikan beberapa pesan, serta setelah seisi Padepokan Bajra Seta makan dan minum secukupnya, maka para cantrik pun mulai menebar ditempat tugas mereka masing-masing. Mereka yang mendapat tugas naik ke panggungan pun telah siap di tangga. Sementara para cantrik yang dipersiapkan untuk melindungi pintu gerbang utama pun telah bersiap pula. Di belakang pintu gerbang utama, sekelompok cantrik telah siap bertahan jika pintu gerbang itu terpaksa pecah.

“Kita menunggu isyarat” berkata Mahisa Murti, “pemimpin Padepokan Ngancas itu tentu akan melontarkan isyarat, apa pun ujudnya. Demikian isyarat itu diberikan, maka mereka tentu akan bergerak. Nah, kita pun akan bergerak pula.”

Para pemimpin kelompok para cantrik di Padepokan Bajra Seta itu pun telah siap pula ditempat masing-masing. Rasa-rasanya mereka menunggu terlalu lama, sementara langit pun menjadi semakin cerah. Tetapi sebelum cahaya matahari menyentuh ujung langit, maka telah meluncur dari arah depan Padepokan Bajra Seta panah api yang naik ke udara. Kemudian beberapa yang lain meluncur ke samping Padepokan Bajra Seta.

Panah api itu pun kemudian telah ditanggapi pula oleh para pengikut Empu Damar yang ada di sebelah menyebelah Padepokan. Panah api telah meluncur pula ke arah belakang Padepokan itu. Sekejap kemudian, maka telah terdengar suara gemuruh. Para pengikut Empu Damar di segala arah itu pun telah berteriak-teriak nyaring. Mereka berlari-larian dengan membawa tangga-tangga bambu yang telah mereka persiapkan.

Para cantrik yang ada di sebelah-menyebelah pintu gerbang pun terkejut pula. Seakan-akan menguak kegelapan dini, muncul sekelompok orang yang memanggul sebatang kayu yang besar dengan tali-temali. Kayu yang seakan-akan bergantung itu telah dipanggul dengan potongan-potongan bambu dan tali temali mendekati pintu gerbang utama.

Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Bajra Seta pun telah bergerak pula. Dengan tangkasnya mereka telah memanjat tangga naik ke atas panggungan yang telah disiapkan. Di panggungan itu telah terdapat beberapa tumpuk anak panah dan lembing bambu yang siap dilontarkan. Karena itu, maka para pengikut Empu Damar juga merasa terkejut ketika tiba-tiba saja panggungan di belakang dinding padepokan itu telah penuh dengan para cantrik dengan busur ditangan.

Tetapi arus serangan para pengikut Empu Damar itu bagaikan banjir bandang yang tidak terbendung. Beberapa orang yang membawa perisai telah menempatkan diri dipaling depan, melindungi mereka yang membawa tangga bambu untuk memanjat dinding. Sementara itu, para pengikut Empu Damar yang membawa busur dan anak panah pun telah siap pula melontarkan serangan kebelakang dinding untuk melindungi orang-orang yang membawa tangga dan kemudian memanjat dinding.

Demikianlah, ketika matahari mulai terbit, pertempuran telah terjadi. Dari atas dinding padepokan, anak panah mulai meluncur. Seperti hujan yang semakin lama menjadi semakin deras berterbangan menyambar orang-orang yang berlari-larian menyerang Padepokan Bajra Seta.

Tetapi dari luar dinding pun anak panah telah meluncur pula. Meskipun tidak sederas arus anak panah yang datang dari arah dinding, namun serangan anak panah dari luar itu telah mengganggu para cantrik yang berada dipanggungan.

Sementara itu, para cantrik Padepokan Ngancas yang lain sibuk melindungi orang-orang yang memanggul potongan kayu itu. Mereka telah menepis, menangkis dan melindungi dengan perisai agar orang-orang yang memanggul sepotong kayu yang besar dan panjang dengan potongan-potongan bambu dan bergantung pada tali temali itu tidak terkena anak panah dan lembing.

Demikianlah, maka potongan kayu yang besar yang bergantung pada potongan-potongan bambu yang dipanggul oleh banyak orang itu telah berada di depan pintu gerbang. Dengan aba-aba yang melengking tinggi, maka orang-orang yang memanggul kayu itu pun membuat ancang-ancang sejenak. Kemudian mereka pun berlari bersama-sama menuju ke pintu gerbang.

Dengan kerasnya orang-orang itu telah membenturkan sepotong kayu besar dan panjang itu pada pintu gerbang yang tertutup rapat dengan selarak rangkap itu. Sekali dua kali, pintu itu seakan-akan tidak tergetar. Namun orang-orang yang memanggul kayu itu membenturkan kayunya tidak hanya satu dua kali. Tetapi berpuluh kali sehingga pintu itu pun akhirnya berguncang.

Tetapi sementara para cantrik Padepokan Bajra Seta menjadi berdebar-debar melihat daun pintu yang besar dan tebal itu mulai berderak, maka anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan sedang berlari-lari mendekati Padepokan.

Di bagian-bagian lain dari dinding padepokan itu, para cantrik Padepokan Bajra Seta telah berjuang dengan sepenuh tenaga dan kemampuan untuk menahan arus para para penyerang. Satu dua tangga memang sudah dicoba untuk dipasang. Tetapi dengan bambu-bambu panjang para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah mendorong tangga-tangga itu sehingga roboh.

Tetapi arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan tiga padepokan yang lain itu mengalir seperti banjir bandang. Rasa-rasanya sulit bagi para cantrik padepokan Bajra Seta untuk membendungnya. Hujan panah seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi mereka. Beberapa orang yang terjatuh, tidak menghalangi arus serangan mereka. Tangga-tangga pun mulai diangkat untuk disandarkan pada dinding padepokan. Semakin lama semakin banyak.

Dengan tombak dan lembing serta senjata-senjata yang sudah siap ditangan, para cantrik Padepokan Bajra Seta mencoba menahan gerak maju lawan. Dengan segenap kemampuan para cantrik itu bertempur. Satu dua orang lawan terlempar jatuh dengan dada yang koyak. Namun yang lain mengalir tidak berkeputusan.

Pada saat yang gawat itu, maka tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan yang memekakan telinga. Dari segala arah menghambur anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta. Ternyata jumlah mereka cukup banyak meskipun jauh lebih kecil dari jumlah para cantrik dari keempat Padepokan yang sedang menyerang padepokan Bajra Seta.

Tetapi kedatangan mereka benar-benar mengejutkan para cantrik dari keempat padepokan yang sedang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Dengan demikian maka perhatian para cantrik dari padepokan-padepokan yang menyerang Bajra Seta itu telah terbagi. Sebagian dari mereka segera berbalik untuk melawan anak-anak muda yang datang menyerang itu.

Tekanan mereka terhadap kekuatan yang ada di atas panggungan di belakang dinding padepokan memang berkurang. Para cantrik Padepokan Bajra Seta mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat para cantrik yang menyerang itu bimbang mengambil sikap, maka serangan dari atas dinding pun benar-benar bagaikan tertumpah dari langit.

Tetapi itu tidak berlangsung lama. Sementara para pengikutnya ragu-ragu, Empu Damar dengan cepat mengambil keputusan. Ia pun berteriak menjatuhkan perintah setelah melihat jumlah penyerang yang datang itu, “Tinggalkan padepokan Bajra Seta untuk sementara. Hancurkan orang-orang yang dengan licik menyerang dari belakang. Jumlah mereka tidak begitu banyak. Mereka akan dapat dengan cepat dibinasakan. Jika perlu kita menunda serangan kita terhadap Padepokan Bajra Seta sampai esok.”

Perintah itu pun telah diteriakkan beranting. Setiap pemimpin kelompok telah meneriakkan kembali perintah itu. Sehingga perintah itu bagaikan mengalir mengelilingi dinding padepokan.

Para cantrik yang sudah terlanjur memasang tangga dan bahkan mulai memanjat telah berloncatan turun. Sambil berusaha menangkis anak panah yang mengejar mereka, maka mereka pun telah berusaha menjauhi dinding yang digapainya dengan susah payah. Mereka telah merobohkan tangga-tangga yang sebagian telah mereka pasang agar tidak ditarik naik oleh para cantrik yang berada di panggungan.

Namun, kebijaksanaan yang diperintahkan oleh Empu Damar itu memang satu-satunya cara yang paling baik untuk dilakukan pada keadaan seperti itu. Lebih baik mencurahkan perhatian dan langsung menyelesaikan salah satu tugas daripada sebagian-sebagian tetapi tidak segera dapat selesai dengan tuntas.

Orang-orang padukuhan yang menyerang para cantrik dari keempat padepokan itu memang terkejut ketika mereka melihat, semua orang dalam pasukan lawan itu telah berbalik menghadapi mereka. Sekilas mereka segera menyadari, jika demikian maka kekuatan mereka pun akan dapat dihancurkan sampai lumat.

Tetapi anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tidak berlari meninggalkan arena. Seorang yang memimpin kelompok yang berada diarah depan padepokan itu berteriak, “Marilah kita bertempur sampai akhir. Sulung masuk ke dalam perapian. Meskipun kita akan lebur menjadi debu, tetapi kita tentu sudah berhasil mengurangi jumlah mereka sebanyak dapat kita lakukan. Sisa kekuatan mereka tidak akan dapat mereka pergunakan untuk memasuki padepokan Bajra Seta, sehingga kematian kita tentu tidak akan sia-sia.”

Teriakan itu telah disambut oleh sorak yang gemuruh bagaikan hendak merobohkan langit. Bahkan sorak itu merambat kekelompok-kelompok yang ada di samping padepokan.

Ternyata Mahisa Murti pun menjadi cemas melihat keadaan itu. Empu Damar benar-benar mengerahkan semua kekuatan yang dibawanya untuk menghancurkan kelompok-kelompok anak-anak muda dan orang-orang yang datang dari padukuhan-padukuhan. Meskipun jumlah mereka cukup banyak, tetapi masih jauh lebih sedikit dari jumlah para cantrik yang datang menyerang Padepokan Bajra Seta. Bersama dengan para cantrik Bajra Seta pun nampaknya jumlah anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu masih berselisih dibanding dengan para penyerang.

”Tetapi selisih itu tidak banyak” desis Mahisa Murti.

Ketika kedua pasukan itu benar-benar hampir berbenturan, maka Mahisa Murti harus mengambil sikap yang cepat dan berarti bagi Padepokan dan bagi anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti itu pun telah memberikan perintah, “Semua orang dari Padepokan ini keluar. Kita bertempur diluar dinding Padepokan. Kita tidak dapat membiarkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang datang untuk membantu kita itu dibantai habis-habisan.”

Perintah itu pun dengan cepat menjalar. Semua orang telah meneriakkan aba-aba itu. “Ambil tali dan pergunakan untuk turun di segala arah dari Padepokan ini” perintah Mahisa Murti pula. Bahkan kemudian perintahnya pula, “Buka pintu gerbang utama. Buka pula gerbang-gerbang butulan.”

Perintah itu pun segera dilaksanakan. Para cantrik memang tidak akan sampai hati melihat anak-anak muda dan orang-orang padukuhan dibantai sampai habis oleh orang-orang yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu. Sementara mereka datang untuk sekedar membantu meringankan beban Padepokan itu. Sejenak kemudian, maka pintu-pintu gerbang pun telah terbuka. Seperti banjir bandang yang memecahkan bendungan, maka para cantrik pun menghambur keluar dari padepokan.

Yang kemudian terkejut adalah Empu Damar dan para cantriknya yang telah berbalik menghadapi orang-orang padukuhan itu. Mereka tidak mengira bahwa para cantrik dari padepokan Bajra Seta akan keluar dari batas dinding padepokan. Empu Damar memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka dua medan. Seperti pedang bermata dua, maka pasukannya pun harus menghadapi lawan dari dua arah.

Melihat para cantrik menghambur keluar, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu pun bersorak sekali lagi. Gemuruh suaranya sekali lagi bagaikan mengguncang langit. Sejenak kemudian, maka benturan pun telah terjadi antara pasukan Empu Damar dan anak-anak muda serta orang-orang padukuhan. Sentuhan dua kekuatan itu telah menggetarkan medan.

Ternyata anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu memiliki kemampuan untuk bertempur. Bahkan ada di antara mereka yang telah memiliki senjata sebagaimana yang dipergunakan oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Senjata yang dibuat dengan cara dan bahan yang khusus. Meskipun senjata itu ujudnya cukup besar dan panjang, tetapi senjata itu tidak begitu berat sebagaimana ujudnya. Tetapi kekuatan pedang itu tidak kalah dari pedang yang terbuat dari baja pilihan yang berat.

Pedang-pedang yang khusus itu ternyata mampu mengejutkan lawan-lawan mereka. Ternyata dengan senjata yang besar itu, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu dapat memutar dan mempergunakannya dengan terampil. Kekuatan Empu Damar dan padepokan-padepokan yang mendukungnya memang mampu menggetarkan dan mendesak anak-anak muda dan orang-orang padukuhan. Namun hanya sebentar. Ketika para cantrik Padepokan Bajra Seta telah menyusul mereka, maka kekuatan mereka pun segera telah terbagi.

Demikianlah, maka di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun segera terjadi perang brubuh. Kedua belah pihak sama sekali tidak mempergunakan gelar. Mereka lebih banyak bertumpu kepada kemampuan pribadi, sehingga dengan demikian maka pertempuran pun menjadi benturan kekuatan disepanjang medan.

Namun karena latihan-latihan yang berat maka para cantrik Bajra Seta masih juga memikirkan kemungkinan untuk saling bekerja bersama dan saling mengisi disetiap lubang-lubang pertempuran. Mereka masih juga mempergunakan penalaran sehingga dalam keadaan tertentu telah terbentuk kelompok-kelompok kecil yang bersama-sama mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi di medan pertempuran.

Sementara itu, para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih banyak mengandalkan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Empu Damar selalu membanggakan cantrik-cantriknya yang secara pribadi memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, sehingga karena itu, maka para cantrik itu seakan-akan telah berlomba untuk menjadi lebih baik dari yang lain.

Empu Damar yang marah itu pun kemudian telah meneriakkan berbagai macam perintah untuk membakar jantung para pengikutnya. Perintah-perintahnya yang disambut dan diteriakkan ulang oleh para pemimpin kelompok itu pun ternyata mampu didengar oleh para cantrik yang ada di belakang Padepokan Bajra Seta.

Tetapi para cantrik dari Padepokan Bajra Seta pun tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh perintah-perintah yang diteriakkan oleh para cantrik dari Padepokan Ngancas yang menyambung perintah-perintah dari Empu Damar.

Dengan demikian maka pertempuran di sekitar Padepokan Bajra Seta itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti yang memperhitungkan bahwa kekuatan utama dari para penyerang itu akan membebani pertahanan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, ternyata masih belum seluruhnya sebagaimana diharapkan. Masih ada kelompok-kelompok cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan pendukungnya yang masih saja mengarahkan kekuatan mereka kepada anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu.

Untunglah bahwa anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu tidak terlalu lemah. Mereka telah mengalami latihan-latihan yang cukup. Apalagi orang-orang padukuhan khusus yang pernah bertualang di dunia gelap. Justru para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga padepokan yang lain yang kebetulan bertemu dengan orang-orang dari padukuhan yang khusus itulah yang menjadi terkejut.

Tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan orang-orang yang bertempur dengan keras. Bahkan ketika keringat mulai membasahi tangannya, maka seakan-akan kebiasaan mereka di medan pertempuran menjadi kambuh. Mereka menjadi kasar. Apalagi dengan dasar yang kasar itu mereka telah mendapat latihan-latihan bagaimana seharusnya mereka mempergunakan senjata. Sehingga karena itu, dalam kekasaran mereka, maka mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa langkah, maka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu memang terdesak. Tetapi para cantrik telah memancing sebagian besar kekuatan lawan agar mereka mengarahkan perlawanan mereka kepada para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Kelompok-kelompok yang kuat dari para cantrik itu telah mencoba menusuk memasuki garis pertempuran agar lawan-lawan mereka semakin memperhatikan mereka.

Dengan menusuk sedalam-dalamnya ke belakang garis benturan, maka para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya memang merasa semakin terganggu. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengarahkan perhatian mereka terbesar pada usaha untuk menumpas anak-anak muda dan orang-orang padepokan yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak.

Tetapi karena para cantrik dari padepokan Ngancas telah memasuki celah-celah garis pertempuran, maka mereka harus benar-benar membagi perhatian mereka. Termasuk para cantrik yang berhadapan dengan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu. Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Suara senjata beradu berdentangan di sela-sela teriakan-teriakan yang membahana.

Sementara itu, Gemak Langkas sendiri berada tidak jauh dari gurunya. Ia melihat pertempuran garang telah terjadi di mana-mana. Ia melihat bagaimana pedang mengoyak dada lawannya dan bagaimana ujung tombak menghunjam sampai ke jantung. Tubuh Gemak Langkas menjadi gemetar karenanya. Ia tidak mengira bahwa perkenalannya dengan Sasi telah mampu membakar permusuhan yang begitu besar. Meskipun kemudian persoalannya telah berkembang, tetapi yang melepaskan sepeletik bara diatas sekam adalah dirinya. Bara itu kemudian telah berkembang menjadi semakin besar semakin besar, sehingga membakar lumbung.

Tetapi semuanya sudah terjadi. Gurunya sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat ayahnya. Bahkan gurunya itu mampu mempengaruhi pendapatnya, sehingga ia sendiri telah hanyut ke dalam gejolak yang telah menimbulkan perang yang mendebarkan jantung itu. Kematian demi kematian telah terjadi di sekitar Padepokan Bajra Seta. Tetapi Gemak Langkas telah berada di lidahnya api yang berkobar. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain kecuali harus menyesuaikan dirinya. Karena itulah, maka Gemak Langkas pun kemudian telah menggenggam pedangnya. Sambil berteriak nyaring ia telah berlari memasuki lingkungan pertempuran yang seru.

Sementara itu Empu Damar sendiri yang melihat serangan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta segera menempatkan dirinya. Ia langsung membawa beberapa orang cantriknya yang terbaik untuk melawan kekuatan pasukan induk dari Padepokan Bajra Seta. Di sisi dan belakang padepokan, pertempuran pun telah berkobar pula dengan sengitnya. Anak-anak muda dan orang-orang padukuhan memang terdesak pula. Bahkan mereka harus berusaha dengan cepat menjaga jarak karena lawan datang seperti pasir dihamburkan dari tepian.

Namun, Wantilan yang berada di bagian belakang Padepokan Bajra Seta telah memerintahkan para cantrik untuk lebih cepat menyusul lawan-lawan mereka yang berusaha untuk menghancurkan anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang datang membantu. Dengan demikian maka arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya itu telah terhambat. Sebagian besar dari mereka harus berbalik lagi untuk menghadapi para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang memburu mereka sambil bersorak gemuruh.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya. Orang-orang dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya harus bertempur menghadapi lawan di kedua arah yang berlawanan. Pemimpin dari salah satu padepokan yang mendukung Padepokan Ngancas, salah seorang murid Empu Damar yang dianggap sudah memiliki tingkat ilmu yang cukup, memimpin penyerangan dibagian belakang Padepokan Ngancas itu. Dengan garangnya ia meneriakkan perintah-perintah bagi para cantrik untuk menghancurkan lawan mereka di kedua sisi itu.

Wantilan yang melihat kehadirannya, dengan cepat berusaha untuk langsung menghadapinya. Dimintanya beberapa orang cantrik menyertainya untuk membuka jalan, agar ia dapat langsung bertemu dengan pemimpin pasukan lawan yang ada di belakang Padepokan Bajra Seta itu. Demikian Wantilan ada di depannya, maka ia pun segera berteriak, “He, kaukah yang memimpin pasukan di bagian belakang ini yang bertempur seperti harimau terluka?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Siapa Kau? Apakah kau sengaja menghadapi aku?”

“Aku Wantilan, salah seorang cantrik dari Padepokan Bajra Seta.” jawab Wantilan sambil mengangkat pedangnya.

“Bagus” kata pemimpin padepokan itu, “Aku Sanggatama, salah seorang murid terpercaya Empu Damar yang memimpin Padepokan Sangganala.”

“Bagus” jawab Wantilan, “jika demikian, kau dapat memilih langkah bagi orang-orangmu. Bertempur terus dan hancur atau minggir saja.”

“Setan kau Wantilan” geram Sanggatama, “kau kira kau siapa he? Begitu sombongnya kau berani menghina aku.”

Tetapi Wantilan tertawa. Katanya, “Jangan sakit hati” jawab Wantilan, “kita berada di peperangan.”

Sanggatama tidak menjawab. Tetapi ia telah menembus arena langsung menyerang Wantilan yang telah siap menghadapinya. Bahkan Wantilan masih tertawa sambil meloncat menghindar, “Bagus, seranganmu sangat berbahaya.”

“Persetan” geram Sanggatama, “Kau memang terlalu sombong. Jangan menyesali nasibmu bahwa kau tidak akan keluar dari arena pertempuran ini.”

“Kau lihat orang-orangmu terjepit.” desis Wantilan.

“Tidak. Pasukanku adalah tombak bermata dua. Pangkal dan ujungnya akan menghancurkan lawan.” jawab Sanggatama.

Wantilan tidak menjawab lagi. Ia sudah dapat membuat lawannya menjadi sangat marah sehingga tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya. Serangannya datang bagaikan angin pusaran. Tetapi Sanggatama tidak sempat mempergunakan penalarannya sebaik-baiknya karena jantungnya bagaikan terbakar.

Sejenak kemudian maka keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Sanggatama yang marah itu menyerang Wantilan dengan segenap kemampuannya. Ia ingin segera menghabisi lawannya yang sombong itu. Selain dengan demikian ia dapat mengambil lawan yang lain, maka para cantrik Padepokan Bajra Seta yang bertempur di belakang padepokannya itu akan kehilangan ketegaran jiwani jika pemimpinnya telah dibunuhnya.

Sanggatama memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun ia telah berhadapan dengan Wantilan. Seorang yang telah ditempa secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru karena ia memiliki jalur penguasaan ilmu yang keliru sebelumnya.

Dengan demikian maka Wantilan adalah seorang yang memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi murid terpercaya Empu Damar itu. Yang bahkan telah memimpin sebuah Padepokan yang disebutnya Padepokan Sangganala.

Dengan demikian maka keduanya pun telah bertempur dengan sengitnya. Beberapa orang cantrik dari kedua padepokan yang sedang bertempur itu, berusaha untuk menjaga agar pemimpinnya masing-masing agar tidak mendapat serangan tiba-tiba atau dari belakang. Sambil bertempur di sebelah-menyebelah, para cantrik itu tetap mengawasi kedua orang pemimpin yang sedang bertempur dengan sengitnya itu.

Sanggatama memang menjadi semakin marah ketika serangan-serangannya tidak segera mampu mengakhiri pertempuran itu. Ternyata Wantilan adalah seorang yang tangkas dan kuat. Ia masih tetap saja mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan Sanggatama yang semakin meningkat itu.

Namun Wantilan pun harus mengerahkan kemampuannya pula. Murid terpercaya Empu Damar itu mampu bergerak cepat. Kekuatannya pun telah mengejutkan Wantilan. Namun tidak menjadi gentar karenanya. Pedang Wantilan adalah pedang yang menurut ujudnya terhitung besar dan panjang. Tetapi Wantilan merasa bahwa pedangnya tidak terlalu berat. Apalagi Wantilan yang telah berlatih untuk mempergunakan tenaga cadangannya serta kemampuan untuk membangunnya membuatnya menjadi seorang yang membuat lawannya berdebar-debar. Dengan pedangnya itu, maka jangkauannya pun menjadi cukup panjang, sedangkan kekuatan tenaga dalamnya membuat ayunan pedang itu melepaskan kekuatan yang sangat besar.

Sanggatama ketika melihat pedang yang besar itu, merasa bahwa kecepatannya bermain pedang akan dapat mendahului putaran pedang yang besar itu, sehingga serangannya akan dapat menyusup menggapai tubuh Wantilan. Tetapi Sanggatama menjadi heran melihat putaran pedang Wantilan. Meskipun pedang itu cukup besar dan panjang, tetapi Wantilan menggerakkannya dengan tangkas dan cekatan seperti menggerakkan sebatang lidi saja. Apalagi ternyata pula bahwa ilmu pedang Wantilan cukup memadai untuk melawan ilmu pedang Sanggatama.

Dengan demikian maka pertempuran antara Wantilan dan para cantrik Padepokan Bajra Seta melawan Sanggatama dari Padepokan Sangganala itu semakin lama menjadi semakin sengit. Sementara itu, anak-anak dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta yang datang membantu, telah bertempur pula dengan kerasnya. Kemampuan mereka bermain senjata, dialasi dengan kebiasaan mereka sehari-hari bekerja keras di sawah, di ladang, di kebun dan di pategalan serta pekerjaan mereka yang lain telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tangguh di pertempuran. Tenaga mereka cukup besar sementara ketrampilan mereka berolah senjata cukup terlatih.

Beberapa orang yang bersenjata kapak yang besar benar-benar membuat lawan-lawannya berdebar-debar. Kapak itu ditangannya bukan saja disaat-saat mereka berada di medan perang. Tetapi pekerjaan mereka sehari-hari sebagai tukang blandong yang sering memotong dan membelah pohon-pohon besar sebagai pekerjaan sambilan disamping bertani, membuat mereka sangat akrab dengan watak kapak-kapak mereka. Sementara itu, beberapa orang jagal lembu dan kerbau yang setiap hari bermain-main dengan parang yang tajamnya melampaui pisau pencukur itu pun telah mempermainkan senjata mereka dengan tangkasnya.

Di sisi lain, Mahisa Semu yang muda itu telah mengejutkan pula para cantrik dari Padepokan Ngancas dan para pendukungnya. Mereka tidak mengira bahwa anak yang masih nampak sangat muda itu telah memasuki medan pertempuran dengan putaran senjata yang mendebarkan jantung. Yang dihadapi oleh Mahisa Semu adalah para cantrik dari Padepokan Ngancas didukung oleh para cantrik dari Padepokan yang dipimpin oleh Sawung Tunggul, juga salah seorang murid terpercaya dari Empu Damar. Sawung Tunggul juga menyebut perguruannya dengan perguruan Sawung Tunggul yang berada di Padepokan Sawung Tunggul...