Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 80 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 80
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat masih menyesuaikan dirinya. Sementara itu, orang tua itu telah memberikan sebilah pisau belati panjang kepada Mahisa Amping, “Bunuh saja ular yang mendekat.”

“Awas,” tiba-tiba orang tua itu memberikan isyarat, “sekarang kita dapat menyerang.” Orang tua itulah yang dengan cepat telah sempat melontarkan serangan berjarak sebagaimana dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selagi ia bertempur.

Maka seleret kilatan cahaya telah meluncur ke arah arus beratus ular yang merayap di sekitarnya. Tanahpun bagaikan meledak. Segumpal tanah terlempar bersama berpuluh ular yang ada di atasnya. Bahkan telah menjadi hangus terbakar.

Ledakan itu disusul oleh serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka pun mampu melepaskan ilmu sebagaimana dilakukan oleh orang tua itu meskipun masih berada beberapa lapis dibawahnya. Namun serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah mampu meledakkan sasarannya. Tanah pun berhamburan sementara beberapa puluh ekor ular pun telah terlempar dan menjadi hangus karenanya.

Tetapi arus ular itu seakan-akan tidak ada habisnya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengulangi dan mengulangi lagi sebagaimana orang tua itu. Namun dalam pada itu, ternyata di antara beratus ekor ular yang mati, ada juga dua ekor yang berhasil menyusup lewat dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan akar-akar pepohonan mendekati orang-orang yang sedang membunuh ular tanpa hitungan.

Seekor ular kecil, namun berbelang-belang putih telah berhasil merambat ke kaki Mahisa Murti. Ular weling yang tajam bisanya sulit dicari bandingnya. Dengan beraninya ular itu telah mematuk Mahisa Murti, sehinga Mahisa Murti pun terkejut karenanya. Namun dengan serta merta Mahisa Murti telah menangkap kepalanya dan meremasnya sehingga remuk tanpa ujud lagi.

Sedangkan yang lain, beberapa ekor telah dibunuh pula oleh Mahisa Semu dan Wantilan. Pedang mereka pun telah menebas beberapa ekor yang berhasil menyusup dan terbebas dari serangan ilmu yang garang itu.

Namun demikian ular-ular yang terbebas dari terkaman kekuatan yang panasnya melampaui api itu, maka tiba-tiba saja senjata yang sangat tajam telah memenggal leher ular-ular yang sangat berbisa itu. Bahkan Mahisa Amping pun telah melakukannya pula. Sambil berjongkok ia menunggu ular yang luput dari panasnya ilmu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, orang tua itu atau tajamnya pedang Mahisa Semu dan Wantilan.

Tetapi orang-orang itu menjadi demikian sibuknya. Murid orang tua itu ternyata belum memiliki ilmu sebagaimana nampak pada unsur-unsur geraknya dan ilmu puncak yang dimilikinya. Karena itu, maka ia pun telah melawan ular-ular itu dengan mempergunakan pedang sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Semu dan Wantilan.

Demikianlah maka pertempuran itu pun telah terjadi beberapa saat lamanya. Banyaknya ular yang datang memang tidak terhitung jumlahnya. Namun yang terbunuh, terlempar dan kehilangan arah sasaran pun jumlahnya tidak terhitung pula.

Namun orang tua itu sudah berniat membunuh. Berapapun banyaknya ular yang datang, maka ular-ular itu akan dihancurkanya dengan kekuatan yang dahsyat itu. Tidak ada belas kasihan terhadap ular-ular itu dan sudah tentu kepada pemiliknya. Bangkai ular pun berhamburan melingkari orang-orang yang berdiri berkelompok itu. Dari beberapa penjuru, masih saja berdatangan ular yang mengalir seperti banjir.

Tetapi, adalah diluar perhitungan orang yang memiliki kekuatan ilmu Naga Pasa itu, bahwa di tempat itu ada orang yang mampu melontarkan ilmu dengan dahsyat sekali, sehingga mampu menghadang ular-ularnya dan meledakkannya sebelum ular-ular itu sampai ke sasaran.

Namun orang yang mampu menggiring ular sekian banyaknya itu masih saja menunggu, ia masih mengetrapkan ilmunya, dan ular-ular pun masih dapat diperintahkannya untuk melakukan sesuatu baginya. Tetapi akhirnya orang itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak dengan ular-ularnya. Ular-ular itu telah mati terbunuh tanpa arti sama sekali. Sedangkan satu dua yang masih tetap hidup dan merayap mendekat, maka kepala ular itu akan segera terpisah dari tubuhnya.

Bahkan pemilik ilmu yang mampu menggerakkan beribu ular itu menyadari, bahwa orang-orang yang ada ditengah-tengah lingkaran ularnya itu telah mendapatkan obat penangkal bisa, sehingga meskipun ada satu dua yang mampu menyusup dan menggigit tumit orang-orang itu, maka bisanya tidak akan berpengaruh lagi.

Karena itu, maka akhirnya orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu tidak lagi berharap bahwa ular-ularnya akan membuat penyelesaian tentang orang tua itu dan kemudian mengambil sepasang pedang yang sudah di tangan anak-anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka terdengar jerit mengerikan. Lidah api telah menghembus dan menjilat dengan dahsyatnya. Namun orang tua yang masih saja mempergunakan ilmunya untuk melawan ular-ular yang datang seperti banjir itu, telah mengarahkan perhatiannya kepada lidah api yang bagaikan menjilat-jilat itu. Dedaunan dan batang pepohonan menjadi kering dan terbakar karenanya.

Namun orang tua itu tidak membiarkannya, ia pun telah menghentakkan ilmunya pula, sehingga kekuatan ilmunya telah menghantam ilmu lawannya yang bagaikan api menjilat-jilat itu. Satu benturan dahsyat telah terjadi. Benturan itu telah memantulkan kekuatan kedua belah pihak kembali ke arah sumbernya masing-masing.

Namun kemudian telah terjadi satu loncatan panjang. Orang tua itu bagaikan berputar di udara. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meloncat pula mengikuti orang tua itu. Ternyata dua orang kemudian nampak berdiri di tempat yang agak lapang, di atas padang perdu. Dengan nada berat orang tua itu berkata, “Aku sudah menduga, bahwa kau juga akan datang seperti yang lain.”

“Jangan samakan aku dengan yang lain. Setelah aku datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu, maka kau sudah akan terbebas dari gangguan siapapun juga. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah menentang kehendakku.”

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Jangan aneh-aneh. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang dahsyat, yang disebut Naga Pasa. Ular-ularmu itu hanyalah sebagian kecil dari permaianmu. Meskipun demikian, aku akan tetap melawanmu.”

Orang yang melotarkan ilmu Naga Pasa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau sebaiknya tidak mempertaruhkan nyawamu untuk sepasang senjata yang dapat kau buat sendiri. Kenapa tidak kau berikan saja senjata itu kepadaku. Kemudian kau membuat lagi senjata serupa.”

“Aku sudah tidak mempunyai lempengan emas lagi. Apalagi permata sebaik permata pada hulu sepasang kerisku itu. Karena itu maka aku tidak akan dapat memberikannya kepada siapapun juga.”

“Jadi kau hargai emas dan permata di hulu senjatamu itu melampaui nyawamu sendiri?” bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Aku dapat membuat keris semacam apapun. Tetapi aku tidak dapat membuat nyawaku sendiri,” jawab orang tua itu.

“Jika demikian kenapa tidak kau ikhlaskan saja sepasang pusaka itu kepadaku?” bertanya orang itu.

“Soalnya bukan dapat atau tidak dapat membuat. Aku sudah tidak mempunyai bahan sebagus itu lagi, sehingga tidak mungkin lagi bagiku untuk dapat membuat sepasang senjata sebagus sepasang senjata yang kau buru itu. Bukan saja baja pilihan, serta bahan pamornya yang tidak ada duanya, tetapi juga emas dan permata di hulunya,” jawab orang tua itu.

“Persetan,” geram orang yang datang itu, “dalam sekejap kau akan ku bunuh.”

Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, “Kau sudah mencoba. Tetapi kau ternyata tidak mampu. Tetapi jika kau masih ingin mencobanya lagi, lakukanlah. Tetapi ingat, jika kau masih menyerang aku dengan ilmu Naga Pasa mu yang dahsyat itu, maka aku pun akan mempergunakan ilmu tertinggi yang aku miliki. Kau akan dapat menjadi lumat seperti debu.”

“Kau terlalu sombong. Kau sudah tua,” geram orang itu.

“Kau tahu, semakin tua seseorang, maka ilmunya akan menjadi semakin matang. Juga sikapnya menghadapi segala macam persoalan,” jawab orang tua itu.

“Baiklah,” berkata orang berilmu Naga Pasa itu, “bersiaplah untuk mati. Aku tidak akan mengampuni orang lagi jika aku sudah mulai berkelahi.”

Orang tua itu tertawa sambil berkata, “Apalagi jika kau sudah mati. Maka kau tidak akan dapat mengampuni siapapun. Bahkan kau tidak akan dapat mengampuni dirimu sendiri.”

“Setan kau,” geram orang itu.

Orang tua itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat lawannya itu mengacukan senjatanya. Semacam tombak yang pendek saja. Namun tajamnya terdapat di kedua ujung dan pangkalnya. Bahkan salah satu dari kedua tajamnya terdapat semacam kait yang akan dapat menarik sasaran dan mengoyaknya.

Sejenak kemudian kedua orang berilmu sangat tinggi itu sudah berkelahi lagi. Orang yang berilmu Naga Pasa itu membawa senjatanya yang jarang dipergunakan orang, sementara orang tua itu telah mempergunakan kerisnya. Kerisnya yang meskipun tidak sebesar keris yang dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keris itu pun termasuk sebilah keris yang besar dan panjang.

Demikianlah keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Keduanya mampu bergerak dengan cepat. Namun yang yang tidak begitu dimengerti oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, bahkan murid orang tua itu, bahwa lawannya, orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu, setiap kali telah melempar orang tua itu dengan seekor ular.

“Dari mana saja ia mendapat ular?” bertanya orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Meskipun orang tua itu telah mempergunakan penawar bisa, tetapi seekor ular yang dilontarkan kepadanya telah tepat melilit lehernya. Ular yang agak besar itu berusaha untuk menggigit bagian wajah orang tua itu. Bahkan akan mematuk mata. Namun orang tua itu sempat menangkap lehernya, sehingga ular itu tidak membuatnya buta.

Tetapi pada saat yang demikian orang yang melemparkan ular itu telah melibatnya dengan senjatanya yang tajam di kedua ujung dan pangkalnya. Meskipun demikian pada satu kesempatan, orang tua itu berhasil juga memenggal kepala ular yang melilit lehernya dan seakan-akan akan mencekiknya itu. Serangan seperti itu ternyata telah berulang beberapa kali. Sehingga akhirnya orang tua itu telah mempergunakan sebuah ilmunya yang lain untuk melawan serangan ular-ular yang tidak diketahui asalnya.

Dengan mengerahkan sejenis ilmunya, maka tubuh orang tua itu seakan-akan telah memancarkan gelombang panas dari dalam dirinya. Karena itu, maka setiap kali lawannya melemparkan ular kepadanya, maka ular itu tidak sempat melilitnya. Tubuh orang tua itu terasa panas, sehingga ular-ular itu telah melepaskannya dan melarikan diri meninggalkan arena.

Orang yang berilmu Naga Pasa itu mengumpat. Ia tidak lagi mempergunakan ular untuk membelit tubuh lawannya agar mengganggu kebebasan geraknya dalam pertempuran itu. Tetapi serangan-serangannya datang semakin cepat beruntun dan sangat berbahaya.

Tetapi orang tua itu pun masih mampu bergerak dengan tangkas. Kerisnya berputaran menyambar-nyambar dengan garangnya, sekaligus kedua jenis senjata itu berbenturan sehingga bunga api telah berloncatan di udara. Namun untuk beberapa saat lamanya, tidak seorang pun di antara mereka yang mulai terdesak.

Dengan demikian maka orang yang berilmu Naga Pasa itu akhirnya telah kehilangan kesabaran. Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka ia pun telah meloncat mengambil jarak. Justru menjauh.

Orang tua itu terkejut. Tetapi ia pun tanggap terhadap sikap lawannya itu. Karena itu, maka ia pun telah meloncat mundur dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang berilmu Naga Pasa itu tiba-tiba telah menghentakkan ilmunya lewat ujung senjatanya yang aneh itu. Api seakan-akan telah menyembur dengan dahsyatnya. Namun tidak tertuju kepada lawannya, orang tua yang telah mampu membuat keris yang sepasang itu. Tetapi serangan itu ditujukan orang-orang yang justru berdiri di luar arena.

Orang-orang itu terkejut, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat berbuat apa-apa kecuali meloncat menghindar sambil berteriak, “Hati-hati.”

Namun Mahisa Murti dengan tangkas masih sempat mendorong Mahisa Amping sehingga jatuh terguling, sementara Mahisa Semu dan Wantilan, serta murid orang tua itu juga berusaha untuk meloncat menghindar. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka terlambat. Kecuali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka hampir saja disambar oleh serangan lawan yang tiba-tiba dan licik itu.

Untunglah bahwa orang tua yang telah membuat sepasang keris itu tanggap, ia pun dengan menghentakkan ilmunya telah menyerang lidah api yang terjulur itu. Karena itu, maka ilmu Naga Pasa itu bagaikan terpotong oleh kekuatan ilmu orang tua itu. Dengan demikian, maka telah terjadi benturan ilmu yang mengejutkan, karena ledakannya yang bagaikan memekakan telinga.

Oleh serangan kekuatan ilmu orang tua itu, maka serangan ilmu Naga Pasa itu telah berbelok arah, terlepas dari sasaran. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Wantilan dan murid orang tua itu sendiri telah diselamatkan.

Sementara orang tua itu berkata, “Kenapa kau menjadi demikian licik, sehingga kau menyerang anak-anak yang sama sekali tidak terlibat dalam pertempuran ini.”

“Merekalah yang membawa sepasang senjata yang aku inginkan itu,” jawab orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu.

“Tetapi seandainya aku tidak sempat memotong ilmumu, siapa yang akan terbunuh? Ternyata orang yang akan menjadi sasaran seranganmu justru memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka dapat menghindar,” berkata orang tua itu.

“Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semuanya. Kau, muridmu dan orang-orang dungu itu,” geram lawan orang tua itu.

Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, “Kau harus melihat kenyataan tentang dirimu sendiri.”

Orang itu tidak menjawab lagi. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat lagi menyerang orang tua itu. Sama sekali tidak dengan semburan api. Tetapi dengan senjatanya yang menggetarkan jantung itu. Pertempuran telah terjadi lagi antara kedua orang berilmu tinggi itu. Namun dengan demikian maka orang-orang yang berdiri diluar arena menjadi lebih berhati-hati. Setiap saat serangan orang itu akan dapat ditujukan kepada mereka.

Namun orang tua yang membuat sepasang senjata itu cukup berhati-hati. Ia menyadari betapa liciknya lawannya itu. Sebenarnyalah pada saat yang dianggap tepat, orang itu telah meluncurkan serangan ilmunya yang dahsyat. Api telah menyembur ke arah orang tua itu.

Namun ternyata orang tua itu pun cukup waspada. Justru ia sedang menunggu serangan itu datang. Dengan tangkasnya ia menghindarinya. Namun bersamaan dengan itu, maka serangannya yang tidak kalah dahsyatnya telah meluncur pula mengarah kepada lawannya.

Orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu ternyata sempat melepaskan ilmunya pula membentur ilmu orang tua itu. Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, seakan-akan seluruh arena itu telah meledak.

Orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu telah terpental beberapa langkah surut. Tubuhnya ternyata telah membentur sebatang pohon yang besar yang tumbuh dengan kokohnya. Meskipun pohon itu juga berguncang, tetapi akarnya cukup kuat berpegangan, sehingga pohon itu tetap tegak berdiri meskipun beberapa batang dahannya telah patah.

Tetapi justru karena itu, maka orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu seakan-akan telah dibenturkan kepada sebatang pohon yang kokoh tepat pada tengkuknya, sehingga demikian ia terjatuh di tanah, maka ia hanya sempat mengeliat. Kemudian terdiam sama sekali.

Orang tua yang membuat sepasang keris itu pun telah terlempar pula. Namun ia memiliki kelebihan daya tahan dari lawannya, sehingga ia masih mampu untuk dengan cepat bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia juga mengalami luka-luka bakar di kulitnya. Namun tidak terlalu parah, sehingga karena itu, maka ia masih dengan langkah tegap berjalan mendekati lawannya.

“Meskipun aku tidak berniat, tetapi aku telah membunuhnya pula,” desis orang tua itu sambil menundukkan kepalanya.

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun kemudian orang tua itu berkata kepada muridnya, “Kuburkan orang itu.”

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut pula membantunya, sementara orang tua itu telah mengobati dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, ketika semua kerja telah selesai, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menghadap orang tua itu lagi.

Bahkan kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kiai, jika sepasang keris itu telah membuat sederetan kematian, bahkan barangkali masih akan disusul lagi oleh yang lain, apakah tidak sebaiknya sepasang keris itu aku kembalikan saja ke dalam bangunan batu itu?”

Tetapi orang tua itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya Ngger. Berita bahwa keris itu ada ditanganmu tentu sudah tersebar. Karena itu, tidak akan ada orang yang percaya, bahwa sepasang keris itu telah kau kembalikan. Karena itu, maka apapun yang akan terjadi, maka keris itu harus kalian pertahankan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Memang ada gejolak di dalam hati mereka. Untuk beberapa lama mereka tentu masih akan diburu oleh beberapa orang yang menginginkan sepasang keris itu. Keduanya memang merasa menyesal, bahwa mereka telah mengambil sepasang senjata yang disebut keris itu, meskipun ujudnya cukup besar. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa dengan demikian, beberapa akibat telah mengikuti mereka. Akibat buruk. Bahkan kematian demi kematian.

Namun orang tua itu berkata, “Agaknya memang sudah menjadi nasib kalian. Sepasang pusaka itu agaknya memang berniat untuk mengabdi kepada kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Meskipun demikian orang tua itu seakan-akan dapat membaca perasaan mereka sehingga karena itu maka katanya, “Namun anak-anak muda. Kalian pun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi kalian agaknya tidak akan lama berada di gubugku ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengangguk-angguk diluar sadar mereka. Namun dalam pada itu, orang tua itu pun telah berkata, “Tetapi anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang berilmu tinggi.”

“Kami tidak berpikir tentang diri kami sendiri Kiai,” jawab Mahisa Murti, “mungkin orang lain, tetapi juga mungkin salah seorang dari kami akan menjadi korban berikutnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa jika mungkin korban-korban yang jatuh itu agar dapat dihentikan.”

“Memang sulit ngger,” orang tua itu menggeleng, “tetapi jika orang-orang yang datang kepada kalian yang menjadi korban berikutnya dan berikutnya, adalah salah mereka sendiri karena mereka tentu orang-orang yang serakah. Orang yang tidak dapat menghargai hak milik orang lain. Mereka merasa bahwa mereka dapat berbuat apa saja dengan kekuatan ilmu mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara orang tua itu berkata, “Karena itu harus dijaga, agar korban yang jatuh bukanlah kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Memang terbersit juga kekhawatiran, bahwa mereka akan terpaksa menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Melampaui mereka berdua, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah sampai kepada ayah mereka. Hanya karena sepasang pedang.

Tetapi itu bukan ungkapan dari perasaan takut. Tetapi mereka sebenarnya memang bukan orang-orang yang termasuk tamak karena menginginkan sepasang keris, berhulu emas dengan tretes permata.

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “bagaimanapun juga tentu ada kecemasan di hati kalian. Betapapun kalian termasuk orang-orang yang paling berani di muka bumi serta memiliki tingkat ilmu yang betapapun tingginya. Namun kalian akan dapat berusaha mengatasinya jika bahaya itu benar-benar datang. Kalian memang harus bertempur berpasangan jika kalian berhadapan dengan orang yang memang berilmu sangat tinggi. Kalian akan dapat bersama-sama melepaskan serangan kalian, dengan dorongan ilmu yang telah kalian miliki, serta dukungan senjata-senjata yang telah ada di tangan kalian itu. Maka kekuatan serangan kalian itu akan menjadi berlipat ganda. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan kekuatan serangan itu. Bahkan sendiri-sendiri pun, dengan cara itu, kalian akan merupakan orang yang sulit dicari tandingnya. Namun menghadapi orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi, sebaiknya kalian bertempur berpasangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pesan itu akan sangat berarti bagi mereka, karena mereka menduga, bahwa masih banyak orang-orang yang akan datang kepada mereka untuk mengambil sepasang pusaka itu.

“Nah anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “sebaiknya kalian tinggal di sini sampai esok pagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk. Mereka memang tidak ingin terlalu lama tinggal di tempat itu. Rasa-rasanya ayah dan padepokan mereka telah terlalu nampak di angan-angan mereka.

Sementara itu orang tua itu berkata, “Namun jika kalian bersedia tinggal di sini lebih lama lagi, akan lebih baik.”

“Maaf Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami memang harus segera meneruskan perjalanan kami yang banyak tertunda.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Apalagi ketika orang tua itu tahu, bahwa anak-anak muda itu memang berniat tapa ngrame, sebagai laku untuk menemukan kemungkinan yang lebih baik di masa datang.

“Laku yang kalian tempuh adalah laku yang mengagumkan. Tetapi akibatnya adalah seperti yang kalian alami. Perjalanan kalian akan selalu tertunda-tunda,” berkata orang tua itu lebih lanjut.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bermalam semalam lagi di rumah orang tua itu. Di gubug yang terhitung kecil. Namun cukup hangat bagi mereka daripada harus tidur di udara terbuka sebagaimana sering mereka lakukan.

Pagi-pagi benar, ternyata murid orang tua itu telah menyediakan minuman hangat dan makan pagi bagi mereka. Masih terlalu pagi sebenarnya. Tetapi murid orang tua itu tahu, bahwa mereka akan meninggalkan rumah itu.

Sambil meneguk minuman hangat dan makan makanan yang disediakan, maka orang tua itu pun sempat memberikan beberapa petunjuk tentang kedua pusaka itu. Dengan nada rendah ia berkata, ”Puncak kemampuannya akan dapat kalian capai jika saat kalian melepaskan kekuatan bersama-sama, maka kedua buah keris itu saling berdekatan. Semakin dekat semakin tinggi kemampuannya.”

“Terima kasih Kiai,” jawab Mahisa Murti yang kemudian telah mengucapkan terima kasih dan mohon diri untuk meneruskan perjalanan. Demikian pula Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.

Mahisa Amping menjadi sangat bergembira, ketika ternyata pisau belati panjang, yang diberikan oleh orang tua itu selagi ia berada di antara ular-ular yang mampu menyusup pertahanan orang tua itu serta kedua kakak angkatnya, telah dinyatakan boleh dimilikinya.

“Tetapi kau harus berhati-hati dengan senjata,” berkata orang tua itu, “senjata dapat membantumu, tetapi pada suatu saat, justru senjata akan dapat mencelakaimu sendiri.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya sambil menundukkan kepala, “Terima kasih Kiai.”

Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat tinggal di rumah itu terlalu lama. Mereka-pun telah minta diri untuk meneruskan perjalanan mereka kembali ke padepokan mereka serta menjumpai ayah mereka yang juga sudah tua.

Orang tua itu tidak menahan mereka lebih lama lagi. Orang tua itu pun menyadari kerinduan mereka terhadap orang tua serta padepokan mereka. Namun beberapa kali orang tua itu masih saja memberikan pesan agar mereka menjadi sangat berhati-hati menghadapi keadaan yang dapat berkembang menjadi semakin buruk.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah meninggalkan rumah orang tua itu. Dengan ancar-ancar puncak gunung dan arah mata angin, maka mereka berjalan menuju ke padepokan mereka.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa mereka benar-benar telah dilepaskan oleh orang tua itu. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka mereka harus mempertanggungjawabkan sendiri. Mereka tidak akan dapat mengharap lagi, bahwa orang tua itu tiba-tiba saja muncul untuk menolong mereka seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sepanjang jalan telah berceritera kepada Mahisa Amping, apakah arti dan gunanya senjata bagi dirinya, sambil memperkenalkan cara penggunaannya. Ternyata Mahisa Amping dengan cepat mampu menguasai senjatanya itu. Ia pun telah mencoba mempergunakannya. Dengan cepat pula Mahisa Amping mempelajari ilmu meskipun masih mendasar sekali tentang senjatanya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah berjanji kepada anak itu untuk mulai melatihnya dalam olah kanuragan.

Malam yang kemudian turun setelah mereka sehari-hari menempuh perjalanan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja telah bermalam di sebuah banjar padukuhan. Mereka berharap bahwa dengan demikian akan dapat menjauhkan mereka dari usaha perampasan sepasang keris yang besar itu. Jika mereka berada di antara banyak orang yang biasanya berjaga-jaga di banjar, maka orang yang berniat jahat itu tentu akan berpikir dua tiga kali.

Ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa amping dan Wantilan telah diterima untuk bermalam di sebuah banjar padukuhan dengan senang hati. Penunggu banjar padukuhan itu sama sekali tidak berkeberatan menerima beberapa orang yang mengaku pengembara.

Tetapi ketika Ki Jagabaya datang ke banjar, maka ia pun telah berpesan kepada anak-anak muda yang bertugas, “berhati-hatilah. Empat orang dan seorang anak kecil. Mereka semuanya bersenjata. Bahkan anak kecil itu pun membawa pisau belati. Kami memang tidak boleh berprasangka buruk. Mungkin para pengembara memang memerlukan senjata. Namun tidak ada salahnya jika kita berhati-hati.”

“Ada berapa peronda malam ini?” bertanya seorang bebahu yang lain.

“Ada tujuh orang dari sebelah Utara jalan padukuhan dan ada enam dari sebelah Selatan. Tidak termasuk tiga orang di ujung Utara dan tiga orang di ujung Selatan. Mereka bertugas di gardu. Tetapi hampir di setiap malam, ada sepuluh, bahkan lebih anak-anak muda yang bermain di banjar dan di gardu-gardu sekedar bergurau dan satu kesenangan baru bagi mereka, membuat makanan di tengah malam. Apapun yang dibuat. Kadang-kadang gula semut, tetapi kadang-kadang bahkan membuat serabi juruh,” jawab salah seorang di antara anak muda itu.

Ki Jagabaya tertawa. Tetapi ia berpesan, agar tidak menyulitkan orang-orang tua mereka. Jika mereka setiap hari minta gula kelapa, mengambil beberapa bahan makanan dan barangkali uang sedikit untuk membeli segala sesuatunya yang kurang, maka orang-orang tua itu akan berkeberatan jika anaknya pergi ke banjar atau ke gardu.

“Ah, tidak Ki Jagabaya,” jawab anak muda itu, “hanya sekedarnya.”

Ki Jagabaya kemudian minta diri. Namun ia masih berkata, “Hubungi aku jika dianggap penting.”

Tetapi anak-anak muda yang bertugas meronda itu tidak menganggap bahwa akan ada bahaya yang timbul dari orang-orang yang mengaku pengembara itu. Pada mereka, sama sekali tidak nampak sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan, bahkan sama sekali tidak ada yang menarik perhatian. Mereka mandi di pakiwan, kemudian duduk-duduk di serambi belakang, karena mereka telah dipersilahkan untuk bermalam di amben besar di serambi belakang itu.

Bagi orang-orang yang mengaku pengembara itu merasa pula bahwa memang tidak akan ada persoalan yang timbul bagi mereka. Demikian langit menjadi gelap, mereka telah mengatur diri, siapakah di antara mereka yang akan tidur lebih dahulu dan siapakah yang akan bertugas berjaga-jaga.

Sampai tengah malam memang tidak terjadi sesuatu. Namun beberapa saat lewat tengah malam, ketika sudah tidak lagi terdengar anak-anak muda bergurau di pendapa banjar, karena sebagian di antara mereka telah tertidur, apalagi mereka yang tidak sedang bertugas, maka Mahisa Murti yang sedang bertugas telah merasakan sesuatu yang kurang wajar.

Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Meskipun demikian ia telah menyentuh Mahisa Pukat untuk membangunkannya. Mahisa Pukat memang terbangun. Namun melihat sikap Mahisa Murti, maka ia pun segera tanggap. Mahisa Pukat yang sudah membuka matanya itu, tetap saja berbaring diam.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar desir lembut di halaman belakang banjar itu. Dalam kegelapan Mahisa Murti melihat bayangan yang kemudian menjadi jelas sebagai sosok seseorang. Mahisa Murti telah bersiap sepenuhnya. Jika terjadi sesuatu maka ia telah siap untuk melawannya.

Namun orang itu justru berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa sekarang anak-anak muda.”

“Apa maksudmu?” desis Mahisa Murti.

“Jika aku melakukannya di sini, maka anak-anak muda yang meronda itu tentu akan melibatkan diri,” jawab orang itu. “inilah kecerdikanmu. Kau sengaja bermalam di tempat yang ramai, karena kau akan dapat berlindung dalam keramaian itu. Jika aku berusaha merampas sepasang keris itu sekarang, dan para peronda itu ikut campur, maka aku harus membunuh sekian banyak orang. Karena itu, aku tunggu kau besok di tempat yang sepi. Di manapun. Jika kau memang jantan, maka kau tentu tidak akan bersembunyi di tengah pasar atau di banjar padukuhan seperti ini. Kita akan menentukan, siapakah yang berhak atas sepasang pusaka itu.”

“Kau adalah orang ketiga yang datang dengan maksud yang sama,” berkata Mahisa Murti, “dua orang yang terdahulu telah gagal.”

“Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki pusaka itu sehingga mereka tidak memperhitungkan kemampuan orang tua itu,” jawab orang yang berdiri di kegelapan itu, “tetapi besok kau tidak akan dapat menunggu orang itu datang padamu dan membantumu seperti yang pernah dilakukannya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tunggu aku besok. Tetapi karena aku tidak mengenal lingkungan ini, maka aku tidak dapat mengatakan, jalan manakah yang akan aku lewati besok. Aku akan menerima kedatanganmu kapan saja dan di mana saja kau kehendaki.”

“Bagus,” jawab orang itu, “aku memang sudah mengira bahwa kalian adalah anak-anak muda yang berani. Tetapi berdoalah kalian sekarang ini, karena besok adalah hari kalian yang terakhir.”

“Aku sudah mendengar kata-kata itu lebih dari sepuluh kali,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Tetapi kau berdoa kapan saja aku ingin berdoa sesuai dengan kepentinganku.”

Orang itu tertawa pendek. Katanya, “Kau adalah anak muda yang berani dan tabah. Baiklah. Aku minta diri. Besok kita akan bertemu lagi.”

Orang itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera meloncat naik menusuk ke dalam kegelapan langit dan seakan-akan telah hilang di dalamnya. Baru kemudian Mahisa Pukat bangkit dan duduk di sebelah Mahisa Murti. Dengan nada lemah ia bertanya, “Sudah lama orang itu ada di sini?”

“Pada saat aku menggamitmu,” jawab Mahisa Murti.

“Nampaknya memang orang berilmu tinggi,” desis Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Ia seakan-akan telah lenyap begitu saja meluncur terbang tinggi-tinggi.”

“Kita memang harus berhati-hati,” jawab Mahisa Murti, “namun seperti yang sudah kita duga, sepasang keris ini memang akan banyak menimbulkan persoalan. Tetapi seperti yang dikatakan orang tua itu, bahwa seandainya kita mengembalikan keris itu, akibatnya akan sama saja. Orang-orang itu tentu menganggap bahwa kita masih saja membawa sepasang keris itu ke mana-mana, atau menyembunyikannya, karena tidak mungkin kita mengembalikan keris-keris itu justru sebagai pusaka yang dikagumi dan sebagai benda yang sangat mahal harganya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Apapun yang akan terjadi. Aku tidak tahu, apakah ini keuntungan kita yang telah menemukan sepasang pusaka itu, atau malahan ini merupakan satu kutukan karena kita telah membuka bilik yang tertutup rapat itu.”

“Kedua-duanya,”sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tersenyum. Kecut sekali. Namun ia pun kemudian telah berbaring lagi sambil berkata, “Masih tersisa waktuku untuk beristirahat.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Apakah kita akan menyerahkan giliran kepada Mahisa Semu? Untunglah bahwa aku yang bertugas pada saat orang itu datang.”

“Jika kau bangunkan Mahisa Semu untuk mendapatkan gilirannya, bangunkan aku juga,” berkata Mahisa Pukat.

“Tidurlah,” desis Mahisa Murti.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat memang sudah tertidur nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya bersandar dinding. Namun demikian, maka seakan-akan ia melihat keadaan di sekitar banjar itu karena penggraitanya yang tajam.

Namun orang itu memang tidak kembali sampai saatnya ia membangunkan Mahisa Semu. Bahkan agak terlambat. Namun diluar pengetahuan Mahisa Semu, Mahisa Murti telah membangunkan Mahisa Pukat pula.

Ketika kemudian Mahisa Semu duduk bersandar dinding, maka Mahisa Pukat yang juga terbangun masih tetap saja berbaring di tempatnya. Namun ketika fajar mulai menyingsing, Mahisa Pukat justru telah tertidur lagi, karena ia menganggap bahwa beberapa saat kemudian matahari akan segera terbit sehingga jika ada yang berniat buruk, tentu sudah dilakukannya sebelumnya.

Ternyata sampai pagi hari, memang tidak terjadi sesuatu. Sesudah mandi dan berbenah diri, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah minta diri kepada penunggu banjar itu serta mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang mereka peroleh untuk bermalam di banjar itu. Karena kebetulan Ki Jagabaya ada juga di banjar, maka mereka pun telah menemuinya dan minta diri serta mengucapkan terima kasih pula.

Sebenarnyalah Ki Jagabaya memang datang ke banjar untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang terjadi. Namun ternyata bahwa semalam dan bahkan sampai saat itu tidak terjadi sesuatu. Orang-orang yang bermalam di banjar itu ternyata tidak berbuat sesuatu yang dapat membuat padukuhan mereka menjadi keruh.

Demikianlah sejenak kemudian Mahisa Murti telah meninggalkan banjar itu. Ketika mereka keluar dari padukuhan, maka Mahsia Murti merasa perlu untuk memberitahukan apa yang didengarnya semalam kepada saudara-saudaranya.

“Dengan demikian maka kita harus berhati-hati,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat pun kemudian berkata pula, “Sebaiknya kalian berusaha untuk menjaga diri sendiri. Termasuk Mahisa Amping. Seseorang tengah berusaha merampas keris ini, sehingga kami berdua akan menjadi sasaran utama.”

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Namun Mahisa Amping memang nampak kebingungan.

“Jangan cemas,” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Amping, “kau sudah memiliki ilmu yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri.”

Mahisa Amping yang kecil itu masih saja bingung. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan, justru memilih jalan yang ramai dan sibuk. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai yang besar dan cukup ramai.

Sementara mereka makan, maka Mahisa Amping telah melupakan kegelisahannya. Bahkan ia tidak menghiraukan ketika seorang yang tidak dikenal telah duduk bersama mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah merasa curiga ketika mereka melihat orang itu datang sambil tersenyum-senyum. Bahkan kemudian duduk pula di antara mereka dan menyapa dengan ramah.

“Marilah anak-anak muda. Silahkan. Biarlah aku yang membayarnya.”

“Siapakah kau Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Begitu cepat kau lupa?” justru orang itu ganti bertanya.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia segera mengerti maksud orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku mengerti. Kau orang yang datang semalam.”

“Ya,” jawab orang itu, “ternyata ingatanmu cukup tajam, atau panggraitamu yang sangat baik.”

“Apapun yang ada padaku,” jawab Mahisa Murti, “sekarang, apakah maksudmu menemui kami di sini? Apakah kau ingin menantang kami berperang tanding?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Begitu beraninya kau anak muda. Agaknya kau memang belum mengenal aku.”

“Kami memang belum mengenalmu,” jawab Mahisa Murti.

“Aku adalah sahabat karib orang tua yang membuat sepasang keris itu. Ketika ia membuat keris itu, ia berjanji untuk membuat bagiku pula. Tetapi sampai sekarang ia tidak melakukannya. Maka aku merasa bahwa untuk memenuhi janjinya ia cukup menyerahkan sepasang keris yang kalian bawa itu. Kemudian aku akan menganggap hutangnya sudah lunas.”

“Kau berbohong,” berkata Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Katanya, “Satu ceritera yang menarik. Aku kira kau akan percaya.”

“Aku sudah dapat menduga, bahkan semua pembicaraanmu sulit untuk dipercaya,” berkata Mahisa Murti.

“Sekarang apa maumu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku hanya memperingatkanmu, bahwa aku akan datang menemuimu. Semakin cepat semakin baik,” berkata orang itu dengan geram.

“Kenapa tidak kau lakukan sekarang?,” Mahisa Pukat pun menggeram.

“Sudah aku katakan. Aku tidak mau melibatkan orang lain. Karena itu, berusahalah untuk mencari tempat yang sepi. Kita akan segera membuat perhitungan,” berkata orang itu.

“Aku akan berjalan menurut jalan yang aku kehendaki. Jika kau berkepentingan dengan kami, kaulah yang harus menyesuaikan diri,” berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah. Aku memang harus menyesuaikan diri dengan cara kalian. Aku sudah mengira bahwa kalian tentu akan selalu mencari tempat yang dapat kalian pergunakan untuk mencari perlindungan,” berkata orang itu.

“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami sudah siap untuk mempertahankan sepasang pusaka yang telah menjadi hak kami ini,” jawab Mahisa Pukat.

“Baiklah,” desis orang itu. Lalu katanya, “Dan sekarang, biarlah aku membayar bagi kalian.”

“Terima kasih Ki Sanak. Adalah kebetulan bahwa kami mempunyai bekal cukup,” jawab Mahisa Murti.

Tetapi orang itu telah membuka sebuah kantong lain. Ia sengaja menunjukkan uang cukup banyak. Bahkan kepingan kepingan emas, meskipun hanya satu dua. Namun orang itu terkejut ketika hampir bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil kantongnya pula, serta menunjukkan bekalnya yang cukup banyak pula. Bahkan kemudian Mahisa Semu. Orang itu tiba-tiba saja telah mengumpat kasar. Sikapnya yang ramah tamah dan nampak lembut tiba-tiba telah berubah menjadi garang.

“Bagus,” berkata orang itu, ”pada saatnya aku akan merampas kedua pusaka itu sekaligus uang yang kalian bawa.”

“Atau bahkan kau akan menyerahkan uang dan beberapa keping emas itu kepadaku,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekilas terdengar ia mengumpat kasar. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya meninggalkan kedai itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus memperhitungkan, apakah orang itu hanya sendiri atau membawa satu atau dua orang kawan yang dianggap akan dapat ikut menyelesaikan persoalan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat justru telah berkata, “Sebaiknya kita cepat menyelesaikan persoalan ini. Lebih cepat lebih baik apapun yang akan terjadi.”

Mahisa Murti pun mengangguk sambil menjawab, “Aku sependapat. Hari ini kita menempuh jalan yang paling sepi yang dapat kita ketemukan. Aku yakin orang itu tentu selalu mengawasi kita.”

Seperti yang mereka rencanakan, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah mencari jalan yang terhitung sepi. Bahkan mereka telah memilih jalan yang melalui lereng perbukitan kecil, namun memanjang beberapa ratus tonggak. Ketika mereka sampai kesebuah goa yang tidak terlalu dalam, maka mereka telah berhenti dan berteduh sesaat. Namun ternyata orang itu sama sekali tidak menampakkan dirinya, sehingga akhirnya mata hari telah menjadi semakin rendah.

Mahisa Amping lah yang kemudian bersungut-sungut. Justru perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada orang yang mengikutinya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat memberikan latihan-latihan kepadanya. Tetapi Mahisa Amping nampaknya menyadari, bahwa ia memang tidak dapat mengganggu perhatian kedua orang anak muda itu. Bahkan mereka semuanya nampaknya telah menjadi tegang.

Menjelang senja, maka Mahisa Murti telah dengan sengaja bermalam di tempat terbuka. Mereka tidak menuju ke padukuhan dan minta bermalam di banjar. Tetapi mereka telah memilih sebuah pategalan yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu Mereka tidak membagi waktu untuk berjaga-jaga. Tetapi orang itu tidak kunjung datang. Baru menjelang fajar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat kesempatan beristirahat, karena Mahisa Semu dan Wantilan telah terbangun dan bersedia untuk mengamati keadaan sebaik-saudaranya.

Namun demikian kedua anak muda itu juga tidak dapat tidur. Keduanya hanya berbaring saja, sementara Mahisa Semu dan Wantilan duduk menghadap ke arah yang berbeda. Ketika matahari terbit, justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berniat untuk tidur barang sebentar untuk memelihara agar tenaganya tidak menjadi susut.

“Tidurlah,” berkata Wantilan, “kalian memang memerlukannya.”

Selama keduanya tidur, Mahisa Semu dan Wantilan dengan penuh kewaspadaan telah menjaganya. Tetapi sampai saatnya keduanya terbangun pada waktu matahari sepenggalah, maka tidak seorang pun yang menghampirinya.

“Kita tidak perlu menghiraukannya,” berkata Mahisa Murti kita akan melanjutkan perjalanan.

Kelima orang itu pun kemudian telah bebenah diri. Dekat pategalan itu terdapat sebuah parit yang berair jernih, sehingga mereka dapat mencuci muka sebelum meninggalkan tempat itu. Menjelang tengah hari mereka telah berhenti di sebuah pasar kecil. Tidak ada kedai yang cukup baik. Namun sebuah kedai kecil nampaknya menyediakan makanan yang cukup, sehingga mereka pun telah singgah pula. Tetapi kedai kecil itu seakan-akan tidak tertutup sama sekali, selain atap jerami di atasnya.

Beberapa saat mereka makan dan minum secukupnya. Meskipun kedai itu kecil dan sederhana, ternyata masakan yang dijual cukup memenuhi selera. Namun demikian mereka meninggalkan kedai itu, maka terdengar suara tertawa. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berpaling, mereka melihat seseorang menyusup di antara orang-orang yang masih ada di pasar yang mulai sepi itu. Tetapi di tempat penjualan unggas, masih banyak orang yang melihat-lihat.

Dari tempat itulah orang itu muncul sambil berkata, “Kalian telah bersembunyi di pasar ini.”

“Persetan,” geram Mahisa Murti, “kita selesaikan sekarang. Dengan demikian persoalan di antara kita tidak akan berkepanjangan lagi.”

“Sudah aku katakan,” jawab orang itu, “tidak di tempat yang ramai.”

Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Dengan geram ia berkata, “Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak setuju.”

“Jika kita bertanding di tempat yang ramai, banyak korban tidak bersalah akan jatuh.”

Mahisa Pukat masih akan menjawab lagi. Tetapi orang itu telah melangkah menjauhinya. Mahisa Pukat hampir saja memburunya, tetapi Mahisa Murti masih sempat menggamit untuk menahannya. “Setan,” geram Mahisa Pukat.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kita tidak tergesa-gesa. Kapan saja orang itu datang, maka kita akan melayaninya dengan sebaik-baiknya.”

Mahisa Pukat pun kemudian menjadi tenang, sehingga mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Namun perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar melekat kepada orang itu.

Di malam berikutnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih juga bermalam di tempat terbuka. Tetapi orang itu sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi di hari berikutnya, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berada di tempat ramai orang itu telah muncul kembali dengan sikap dan kata-kata yang sama.

Mahisa Murti sendiri menjadi tidak sabar. Namun kemudian yang menggamitnya adalah Wantilan. Mungkin di bidang ilmu, Wantilan jauh berada dibawah kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi bagaimanapun juga kelebihan umurnya berpengaruh juga pada sikapnya. Dengan sareh Wantilan bertanya, “Apa yang ingin kalian lakukan?”

“Membunuhnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Kalian harus menyadari, bahwa kalian sedang dalam keadaan marah yang mendalam. Mungkin dengan keadaan kalian yang demikian, kalian tidak akan berhasil membunuhnya,” berkata Wantilan.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat, bahkan hampir kehilangan akal. Selain keadaan kalian, maka mungkin orang itu tidak seorang diri, sehingga dalam keadaan yang hampir diluar sadar kalian telah dijebak,” berkata Wantilan.

“Tetapi ia datang setiap hari dengan ancaman-ancaman yang memuakkan. Tetapi jika kita menunggunya di tempat yang sepi, ia tidak kunjung datang,” geram Mahisa Pukat pula.

“Itu adalah salah satu cara yang ditempuh untuk membuat lawan mereka menjadi lemah. Jika kemarahan telah sampai ke ubun-ubun, maka pikiran kita tidak lagi menjadi jernih. Bukankah di saat-saat kalian mengajari kami, kalian selalu menekankan hal itu.”

Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Wantilan berkata, “Jika kalian kehilangan kekang diri, maka tujuan orang itu telah tercapai. Membuat kalian kehilangan penalaran yang bening.”

“Terima kasih paman,” desis Mahisa Murti, “ternyata kau sempat memberi aku kesadaran pada saat yang gawat seperti ini.”

“Yang penting, kalian harus dapat membiarkannya. Jangan hiraukan kata-katanya. Jika kalian ingin bermalam di banjar, lakukanlah. Jika orang itu benar-benar datang untuk merampas sepasang keris itu lawanlah. Jika orang itu hanya berbicara saja maka biarkan saja ia berbicara,” berkata Wantilan kemudian. “Kalian harus menanggapinya dengan cara yang mereka pergunakan.”

“Terima kasih, terima kasih,” desis Mahisa Murti.

Demikianlah, maka orang-orang itu pun mulai berusaha untuk tidak terpengaruh lagi oleh orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai lagi dengan memberikan latihan-latihan kepada Mahisa Semu, Wantilan dan juga kepada Mahisa Amping yang telah memiliki senjata pisau belati.

Di malam hari, maka mereka benar-benar telah datang ke sebuah banjar dan minta agar diijinkan untuk bermalam di banjar itu. Ternyata mereka telah diterima dengan baik, sehingga kelima, orang itu mendapat tempat di serambi samping.

Seperti yang sudah diduga, maka lewat tengah malam, seseorang tiba-tiba saja telah berdiri di halaman samping, di hadapan serambi tempat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mendapat tempat untuk menginap. Pada saat itu, Mahisa Pukat lah yang sedang mendapat giliran untuk berjaga-jaga sambil bersandar dinding.

“Selamat malam anak muda?” orang itu menyapa dengan suara perlahan-lahan sekali. Sementara itu anak-anak muda yang bertugas di pendapa masih saja ramai berkelakar.

“Selamat malam Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat.

“Apakah kau ingat aku?” bertanya orang itu.

“Tentu saja,” jawab Mahisa Pukat.

“Sekali lagi kau bersembunyi di sebuah banjar,” berkata orang itu.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat dingin.

“Kau masih saja bersifat pengecut. Bermalam di tempat yang ramai sehingga aku tidak dapat menyerangmu sekarang,” berkata orang itu pula.

Tetapi jawaban Mahisa Pukat agak aneh, “Kami tidak tergesa-gesa Ki Sanak. Lakukan kapan saja kalian sempat. Jika tidak juga tidak apa-apa. Bagaimanapun juga, jika kami harus memilih, maka kami memilih untuk tidak membunuh. Tetapi juga tidak dibunuh.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Ternyata kalian memang pengecut yang licik. Kenapa kalian tidak berani mempertahankan pusaka yang kau curi itu dengan laku jantan? Tetapi aku akan mencari kesempatan sehingga pada suatu saat aku akan dapat mengambilnya dari tangan kalian.”

“Aku tidak peduli lagi. Kapan saja kalian mau ambil, ambillah. Tergantung sekali dengan keinginanmu untuk kapan kau akan mati. Karena itu, kami tinggal menunggu saja. Kalau kau sudah berminat untuk mati, temuilah kami,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya degup jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia masih harus menahan diri. Ia lah yang harus membuat anak-anak itu selalu gelisah dan marah, sehingga pada suatu saat perasaan mereka tidak terkendali lagi. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,

“Agaknya kau merasa tenang dan aman di banjar seperti ini. Agaknya kau merasa bahwa di sini kau mendapat perlindungan. Tetapi ketahuilah, jika aku tidak bertindak, itu karena sebab lain. Bukan karena aku takut menghadapi anak-anak muda yang banyak itu. Tetapi semata-mata karena aku tidak mau membunuh orang yang tidak berdosa.”

Namun jawab Mahisa Pukat, “Bukankah kata-kata itu sudah kau ucapkan kemarin, kemarin lusa dan kapan lagi? Aku sudah jemu mendengarnya.”

“Kau merasa malu kepada dirimu sendiri? Hei,” tanya orang itu.

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “aku tidak pernah malu terhadap diriku sendiri dan kepada orang lain. Aku juga tidak malu minta berteduh di banjar ini. Aku juga tidak malu untuk menerima pemberian penunggu banjar ini. Makan dan minum. Bahkan dapat menghemat bekalku serba sedikit agar tidak cepat habis. Namun aku menunggu kau menyerang kami kapan pun itu, agar kami mendapat kesempatan dan alasan untuk merampas uangmu dan kepingan-kepingan emas itu.”

“Cukup,” geram orang itu. Agaknya ia mulai sulit untuk menahan hati lagi. Namun kemudian suaranya merendah, “Sayang sekali bahwa kalian adalah anak-anak muda yang pengecut.”

Namun tiba-tiba Mahisa Pukat lah yang membentaknya meskipun tidak terlalu keras sehingga tidak terdengar dari pendapa, “Pergilah. Aku sudah mulai kantuk. Aku akan tidur. Besok aku akan berjalan lagi. Padahal jalan yang harus kami tempuh masih jauh.”

“Setan kau,” orang itu mulai mengumpat, “aku tunggu kalian besok di bulak panjang.”

“Kami tidak akan melalui bulak panjang. Kami akan berjalan menyusuri padukuhan dan barangkali berhenti di pasar dan tempat-tempat ramai lainnya tanpa merasa malu kepadamu. Mengerti. Nah, sekarang pergilah sebelum aku berteriak-teriak,” Mahisa Pukat pun kemudian menyandarkan kepalanya di dinding. Namun ia sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan.

Orang itu mulai mengumpat. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Agaknya waktunya memang sudah tiba. Besok kalian akan mati. Besok aku tidak akan peduli, apakah kau akan berjalan menyusuri pasar atau bersembunyi di manapun.”

Mahisa Pukat menguap sambil menjawab, “Aku sudah tidak mendengar kata-katamu.”

Jawaban itu memang sangat menyakitkan hati. Tetapi orang itu memang belum siap untuk bertindak. Karena itu, sebelum jantungnya terbakar karena sikap anak muda itu, maka orang itu telah memilih untuk meninggalkannya.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan orang itu tidak akan kembali setidak-tidaknya sampai dini hari. Sampai saatnya ia membangunkan Mahisa Murti. Meskipun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi lengah.

Namun seperti yang diperhitungkan, sampai dini orang itu tidak datang kembali sehingga datang saatnya Mahisa Pukat membangunkan Mahisa Murti untuk bergantian, berjaga-jaga sampai pagi.

Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar dinding. Namun yang lewat kemudian adalah seorang peronda yang akan pergi ke pakiwan. Bahkan anak muda itu masih sempat menyapanya, “Kau tidak dapat tidur?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “rasa-rasanya mata tidak mau terpejam.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Tidak ada apa-apa Ki Sanak. Mungkin aku terlalu memikirkan perjalanan panjangku,” jawab Mahisa Murti.

Anak muda itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera kembali ke pendapa. Suara tertawa masih saja terdengar. Namun sekali-sekali juga pembicaraan yang nampaknya bersungguh-sungguh.

Menjelang pagi, maka kelima orang pengembara itu telah terbangun seluruhnya. Mereka bergantian membenahi diri di pakiwan, sementara anak-anak muda yang meronda telah meninggalkan pendapa. Sebentar lagi matahari akan segera terbit. Sedangkan di jalan di depan banjar itu, beberapa orang mulai lewat untuk pergi ke pasar. Bahkan kadang-kadang terdapat dua atau tiga orang perempuan yang berjalan berurutan sambil membawa obor dari belarak. Bahkan ada di antara mereka untuk mengusir dingin telah berdendang sambil berjalan.

Sejenak kemudian, maka mereka yang berjalan dengan obor telah dipadamkannya, karena langit menjadi semakin terang. Sementara pasar pun menjadi semakin dekat. Dari petugas yang menunggui banjar itu, Mahisa Murti mendapat petunjuk, bahwa di ujung padukuhan itu memang terdapat pasar meskipun tidak terlalu besar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat, bahwa mereka akan pergi ke pasar. Mereka akan makan pagi secukupnya, kemudian mereka akan menempuh jalan bulak panjang yang sepi. Mereka memang sudah menjadi jemu bahwa mereka hanya saling mengancam, saling menantang dan berbagai macam cara lain untuk membuat lawan mereka menjadi marah. Tetapi akhirnya kedua belah pihak telah menjadi jemu, sehingga mereka memang sudah berkeputusan untuk segera mengakhirnya.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah pergi ke pasar, mereka telah duduk di sebuah kedai kecil yang terbuka. Dengan sengaja hal itu mereka lakukan, agar orang yang mengikuti mereka dapat melihat.

Sebenarnyalah, selagi mereka makan orang itu telah datang sambil menyapa, “Masih terlalu pagi untuk makan.”

“O, kau,” sapa Mahisa Murti tanpa berpaling, justru sambil menyuapi mulutnya.

Sedangkan Mahisa Pukat pun berkata, “Apakah kau ingin kami membelikan makan pagi buatmu?”

“Persetan,” geram orang itu.

“Lalu kau mau apa pagi-pagi begini sudah menemui kami, justru saat kami sedang makan,” bertanya Mahisa Pukat.

“Silahkan makan,” berkata orang itu, “sebentar lagi, aku ingin menyuapi mulutmu dengan ujung pedang.”

Mahisa Pukat tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Tunggulah di luar pasar, agar aku tidak merasa terganggu. Aku masih lama, karena aku masih akan tambah lagi dengan semangkuk minuman dan semangkuk nasi lodeh kulit melinjo.”

“Tutup mulutmu,” geram orang itu.

Namun sambil tertawa Mahisa Pukat berkata, “Jangan terlalu garang. Apapun yang kau lakukan, kau sama sekali tidak menakutkan kami.”

Orang itu mengumpat kasar meskipun hanya perlahan-lahan. Namun ia pun kemudian telah bergeser sambil berdesis, “Hari ini adalah hari kematian kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berpaling. Mereka masih saja makan dan meneguk minuman hangat tanpa memperhatikan orang itu. Hanya Mahisa Amping sajalah yang mengikuti orang itu dengan tatapan matanya kemanapun orang itu pergi sehingga akhirnya hilang di kerumunan banyak orang. Baru kemudian mereka dengan cepat menyelesaikan makan mereka dan membayar harganya.

Sejenak kemudian, mereka telah berada di luar pasar. Hari memang masih pagi. Tetapi justru karena itu, maka makanan dan minuman di kedai itu masih terasa hangat.

“Kita akan menempuh jalan bulak panjang. Tetapi kita akan berjalan perlahan-lahan,” berkata Mahisa Murti.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kita baru saja makan. Jika kita berjalan cepat dan apalagi harus banyak bergerak, maka lambung kita akan terasa sakit.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun tersirat dari jawaban itu bahwa kemungkinan yang akan terjadi antara lain adalah bertempur melawan orang yang selalu datang itu.

Sebenarnyalah mereka berjalan perlahan-lahan. Mereka sempat memperhatikan beberapa orang pandai besi yang bekerja untuk membuat berbagai macam alat bagi para petani. Parang, cangkul dan semacamnya. Bahkan ketika mereka sudah meninggalkan pasar itu, mereka masih juga berjalan perlahan-lahan. Mereka melihat-lihat keadaan padukuhan yang terhitung ramai itu. Apalagi agaknya hari itu adalah hari pasaran sehingga pasar itu pun menjadi sangat ramai.

Namun sejenak kemudian, mereka memang telah sampai di ujung padukuhan. Mereka memandang bulak di hadapan mereka. Bulak yang tidak terlalu panjang. Apalagi bulak itu adalah bulak yang ramai dilewati orang-orang yang akan pergi dan pulang dari pasar di padukuhan yang baru saja mereka lewati. Tetapi agaknya hal itu justru lebih baik, karena dengan demikian mereka masih mendapat kesempatan untuk berjalan lambat. Mengendapkan makanan dan minuman di perutnya, sehingga lambung mereka tidak akan menjadi sakit.

Ketika mereka sudah melewati bulak dan kemudian padukuhan berikutnya, maka rasa-rasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka mereka mulai menentukan arah perjalanan mereka. Mereka tidak lagi mengikuti jalan bulak pendek yang akan segera sampai ke padukuhan berikutnya, namun mereka mulai memasuki sebuah jalan yang lebih kecil. Namun jalan itu seakan-akan tidak berujung.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap sepenuhnya, apapun yang mereka hadapi. Bahkan Mahisa Murti pun telah berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “Kita tidak tahu, siapakah yang akan kita hadapi kemudian. Mungkin seorang, mungkin dua, tetapi mungkin lebih dari itu. Karena itu, maka sebaiknya kalian bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun sepasang pusaka itu ada pada kami berdua, tetapi karena kalian ada bersama kami, maka kemungkinan buruk itu dapat terjadi atas kalian juga sebagaimana mungkin dapat terjadi pula atas kami.”

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Wantilan menjawab, “Kami telah menyatakan diri ikut bersama kalian. Dengan demikian maka kami harus bersiap menanggung segala akibat yang dapat terjadi.”

Ternyata orang itu telah berdiri beberapa langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segera bangkit berdiri. Dengan geram orang itu kemudian berkata, “Aku sudah tidak sabar lagi menunggu kalian.”

“Kau kira aku dapat menunggu lebih lama lagi?” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa yang kau maui sebenarnya.”

“Serahkan sepasang keris itu. Hanya itu,” jawab orang itu tegas.

“Kau tentu sudah tahu jawabnya. Kami berkeberatan,” jawab Mahisa Murti.

“Anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Pada usia kalian sekarang ini, maka kalian sudah dapat disejajarkan dengan orang-orang yang berilmu tinggi lainnya. Namun demikian, kau harus menyadari, betapa tinggi ilmu kalian berdua, maka bagiku kalian bukan apa-apa. Jika setiap kali rencanaku tertunda, karena aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa tidak sepantasnya kalian untuk dibunuh. Tetapi jika kalian berkeras untuk mempertahankan sepasang keris itu, maka apa boleh buat,” berkata orang itu pula.

“Nah Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sekarang kita akan menentukan, siapakah yang akan berhak atas sepasang keris itu. Menurut kebenaran yang biasa diakui, maka karena orang yang membuat keris itu yang adalah kebetulan ayah dari pemiliknya telah merelakannya kepada kami, maka kamilah yang berhak. Tetapi jika hal itu tidak kau akui, sehingga kebenarannya akan ditentukan oleh kekuatan, maka kami pun tidak berkeberatan. Siapa yang kuat ia akan berhak atas sepasang keris itu.”

“Bukan main,” berkata orang itu, “kalian benar-benar anak-anak yang berani. Tetapi apakah kalian memang benar-benar berniat melawan kami?”

“Tergantung kepadamu,” jawab Mahisa Pukat, “Apakah kau benar-benar akan merampas keris ini?”

“Bagus,” jawab orang itu, ”berhati-hatilah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergerak maju. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun telah terbangun. Namun mereka memang tidak membangunkan Mahisa Amping.

Ketika mereka berhadapan, maka ternyata orang itu memang hanya sendiri. Dengan nada rendah ia berkata, “Jangan segan-segan. Majulah bersama-sama, karena jiwa keris itu memang terbagi dua. Keris itu akan mempunyai kekuatan yang tertinggi jika keduanya dapat serentak menghentakkan kekuatan ilmu. Kalau tidak, maka kekuatan ilmunya akan berkurang.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat, “kami sudah tahu segala-galanya tentang milik kami.”

Orang itu memang tidak menunggu lagi. Dengan serta merta ia pun telah menyerang dengan senjatanya. Dua potong besi sepanjang dua tiga jengkal, yang dihubungkan dengan rantai baja yang kuat.

“Satu jenis senjata yang sangat sulit untuk dilawan,” desis Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun untuk melawan senjata itu, keduanya telah mencabut keris yang dibuat sebesar pedang itu.

Orang yang ingin merampasnya itu terpukau sejenak melihat keris itu. Namun kemudian katanya, “Harganya lebih mahal dari harga nyawa kalian. Karena itu, jika kalian berkeras, maka kalian benar-benar akan mati.”

Tetapi orang itu segera melangkah mundur ketika Mahisa Murti mulai menggerakkan keris itu. Putarannya menimbulkan cahaya yang kadang-kadang nampak, tetapi kadang-kadang tidak, seperti sebuah lingkaran yang menggetarkan. Namun sejenak kemudian, maka orang itu telah memutar senjatanya berpegang pada salah satu tongkat besi itu dan berkata, “Bersiaplah. Tetapi ilmuku adalah ilmu yang jarang ada duanya.”

Sejenak kemudian maka orang itu mulai menyerang. Tongkat besi baja yang sebuah berputaran, menyambar, menukik dan sekali-sekali bagaikan menusuk ke arah dada. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang benar-benar bertempur berpasangan mampu selalu mengelakkan diri. Bahkan berganti-ganti mereka menyerang dengan mempergunakan sepasang keris yang nggegirisi itu. Ternyata orang yang bersenjata sepasang tongkat itu memang mampu bergerak cepat sekali. Sulit diperhitungkan loncatan-loncatan kakinya dan apalagi ayunan tongkat bajanya.

Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat bukan orang kemarin sore di dunia olah kanuragan. Karena itu, bagaimanapun garangnya orang itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua mampu mengimbanginya. Bahkan serangan-serangan mereka yang kemudian datang beruntun, kadang-kadang telah membuat lawan mereka harus berloncatan surut.

Namun dalam sekejap mereka telah menyerang dengan garangnya. Seperti pusaran prahara yang sulit untuk ditahan kekuatannya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu mampu menghindarkan diri dari libatan prahara itu. Karena jika mereka benar-benar dicengkam oleh paraha itu, maka sulit bagi mereka untuk melepaskan diri.

Orang yang menginginkan sepasang keris itu semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Namun kadang-kadang tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu membuat kedua anak muda itu terkejut. Rantai itu kadang-kadang menjadi mampu menyambar anak-anak muda itu sebagaimana tongkat besi itu sendiri. Tegak dan kuat, sehingga akan dapat mematahkan tulang-tulang anak-anak muda itu apabila mengenainya.

Tetapi anak-anak muda itu menggenggam senjata yang luar biasa. Bukan saja karena hulunya berlapis emas dan tretes permata, tetapi keris itu memang keris yang luar biasa. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu justru kadang-kadang telah membuat lawannya menjadi agak kebingungan.

Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan tenaga cadangannya untuk mengatasi lawannya yang bergerak semakin cepat pula. Namun dalam pada itu, lawannya pun menjadi semakin gelisah pula melihat kemampuan kedua orang anak muda itu.

Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat percaya kepada keterangan lawannya, bahwa semakin dekat sepasang pusaka itu memang menjadi semakin berbahaya. Bahkan orang tua yang telah membuat kedua keris itu pun pernah mengatakannya. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak selalu mengetrapkan dalam pertempuran itu. Keduanya kadang-kadang justru mengambil jarak yang jauh. Kedua pusaka itu memang menjadi semakin jauh sehingga tidak dapat menggabungkan kekuatan yang terdapat pada kedua pusaka itu.

Namun kedua pusaka itu tetap berbahaya bagi lawannya, karena justru dari arah yang berbeda, serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi sangat berbahaya pula. Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan tetap berbahaya bagi lawannya. Jika mereka berpencar, maka perhatian orang itu terpecah sehingga kadang-kadang ia harus meloncat mengambil jarak. Namun jika kedua anak muda itu saling mendekat, rasa-rasanya getar udara yang memancar dari sepasang keris itu menjadi semakin tajam menusuk kulit daging mereka.

Dengan demikian maka orang itu telah meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi. Senjatanya berputaran semakin cepat. Menyambar, terayun mendatar dan kadang-kadang mematuk seperti sebatang tombak atau menyambar bagaikan tongkat yang panjang. Tetapi setiap terjadi benturan dengan sepasang keris yang ingin direbutnya itu, maka terasa bahwa senjatanya tidak mampu mengimbanginya.

Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan kemudian mereka merasa sulit untuk menilai, apa yang telah terjadi atas ketiga orang itu. Yang dilihatnya seakan-akan hanyalah bayangan yang beterbangan kian kemari. Sekali-sekali sinar yang memancar dari senjata-senjata yang aneh itu menyilaukan mata mereka. Kemudian angin yang berdesing dan menerpa wajah mereka.

Namun demikian Mahisa Semu dan Wantilan masih juga mengerti, seandainya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus melawan mereka seorang diri, akan mengalami kesulitan, meskipun keduanya tahu, bahwa anak muda itu belum pula sampai ke puncak kemampuan mereka.

Demikianlah benturan-benturan senjata yang terjadi telah memercikkan bunga api. Namun kemudian sepasang tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu, semakin lama seakan-akan menjadi nampak semakin jelas dalam gelapnya malam. Bahkan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa senjata itu bagaikan telah membara. Dengan demikian kedua orang anak muda itu menyadari, bahwa orang itu telah benar-benar mencapai puncak ilmunya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus segera mengimbanginya sebelum mereka tergilas oleh kemampuan lawannya.

Dalam pada itu, serangan orang itu pun menjadi semakin membadai. Ketika terjadi benturan senjata, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Untunglah mereka dengan kecepatan yang sangat tinggi melompat menjauh. Benturan itu ternyata telah menghamburkan bunga api ke segala arah pada jarak jangkau yang cukup panjang. Letupan bunga api itu memiliki kekuatan melampaui panasnya bara api. Dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang terkena percikan bunga api itu telah terbakar dan menyala seakan-akan telah terpercik lahar gunung berapi.

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti.

“Berhati-hatilah,” gumam Mahisa Pukat seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Apalagi digenggaman tangannya terdapat sebuah pusaka yang jarang ada duanya. Dengan demikian maka dua keris itu seakan-akan benar-benar telah menyala. Bukan saja sekedar seolah-olah kesan leretan cahaya pada setiap gerak. Dengan demikian, maka senjata Mahisa Murti maupun senjata lawannya telah memancarkan cahayanya masing-masing dalam warna yang berbeda. Tetapi semuanya mengandung pancaran kekuatan yang sangat tinggi dan sangat berbahaya.

Orang yang ingin merampas sepasang keris itu pun terkejut. Ia memang mengerti bahwa sepasang keris itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi bahwa di tangan anak-anak kekuatan itu mampu memancar adalah sangat mengherankannya. Dengan demikian maka orang itu baru meyakini, bahwa anak-anak muda itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan sekedar mempercayakan diri kepada sepasang keris itu saja, sehingga mereka merasa berilmu.

Sebenarnyalah keris itu bagaikan telah menyala. Lidah api yang berwarna kehijau-hijauan telah membuat orang yang ingin merampas keris itu harus menjadi semakin berhati-hati. Namun ia tidak ingin mengurungkan niatnya, ia pun merasa bahwa ia juga memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga bagaimanapun juga ia yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan kedua orang anak muda itu. Dengan demikian, maka orang itu pun telah bergerak lebih cepat lagi. Sepasang tongkatnya bergantian berputaran dengan cepatnya, sehingga telah terbentuk lingkaran-lingkaran bara yang mendebarkan jantung.

Namun pedang di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun menjadi semakin menggetarkan pula. Keduanya kemudian telah membuktikannya. Jika mereka berdiri semakin rapat, maka nyala api yang kehijau-hijauan pada daun kerisnya itu pun seakan-akan menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, beberapa benturan telah terjadi. Bunga api yang memercik masih saja menghambur ke segala arah, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berloncatan menghindari. Namun dalam setiap benturan bukan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menjadi kepanasan karena sentuhan-sentuhan bunga api yang menghambur, tetapi ternyata nyala api pada sepasang keris itu juga telah menimbulkan getaran udara yang panas, sehingga orang yang ingin merampasnya itu pun harus dengan cepat menyesuaikan diri.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua belah pihak itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mampu bergerak cepat itu telah melawan orang yang ingin merampas sepasang keris itu dengan cara yang sulit untuk diperhitungkan lawan. Keduanya kadang-kadang bertempur demikian dekatnya sehingga seakan-akan mereka telah menjadi satu. Namun kemudian berpencar saling menjauhi dan menyerang dari arah yang kadang-kadang justru berlawanan sama sekali.

Kedua anak muda itu agaknya tidak begitu melihat perbedaan kekuatan pada sepasang keris itu disaat mereka berjarak semakin dekat atau justru berada di jarak yang panjang. Keris itu tetap merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawannya. Namun ternyata bahwa semakin lama semakin terasa oleh orang yang ingin merampas sepasang keris itu, bahwa kedua anak muda itu menjadi sangat berbahaya.

Sementara mereka bertempur dengan sengitnya, Mahisa Semu dan Wantilan hanya dapat menyaksikan dengan jantung yang berdegup semakin keras. Sementara itu, Mahisa Amping pun telah terbangun pula. Seperti orang bermimpi ia melihat pertempuran yang sangat dahsyat. Tiga orang berloncatan dengan tangkasnya dengan senjata yang menyala di tangan masirig-masing. Bahkan seakan-akan ketiganya beterbangan seperti burung sikatan menyambar bilalang.

Namun dalam pada itu, langit pun telah menjadi semakin terang. Bahkan kemudian cahaya kekuning-kuningan telah memancar dari cakrawala. Sesaat lagi, maka matahari pun tentu akan segera terbit.

Dengan demikian maka ketiga sosok bayangan itu menjadi semakin lama semakin jelas bentuk dan ujudnya. Namun semakin terangan cahaya pagi menjalang matahari terbit, maka cahaya senjata orang yang ingin merampas sepasang keris itu pun menjadi semakin pudar. Sementara itu, cahaya lidah api yang menyala kehijau-hijauan dari senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja memancar menyilaukan, justru mengatasi cahaya pagi.

Dalam keadaan yang demikian, maka adalah diluar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lawannya tiba-tiba saja telah meloncat mengambil jarak. Sebelum kedua anak muda itu berbuat sesuatu, maka bayangan itu pun seakan-akan telah terbang dengan cepatnya menyongsong matahari yang akan terbit.

Tetapi dalam pada itu, telah bergema suara yang terdengar semakin jauh, “Kalian memang luar biasa anak muda. Tetapi aku akan datang lagi jika matahari nanti terbenam. Ternyata waktu yang aku sediakan hari ini tidak mencukupi, karena aku salah duga atas kemampuan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Anak malam. Agaknya orang itu hidup sebagai seekor kelelawar.”

“Hanya dalam keadaan tertentu,” sahut Mahisa Pukat, “mungkin senjatanya itu hanya berarti di malam hari.”

“Ya,” berkata Wantilan, “itulah agaknya ia berkeras untuk merampas sepasang keris itu, karena keris itu akan tetap berbahaya di malam maupun di siang hari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Pukat bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu. Apakah orang itu akan benar-benar kembali atau tidak?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “nanti malam ia akan kembali. Bahkan mungkin tidak sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin sekali. Karena itu, kita harus bersiap sebaik-baiknya.”

“Kita tidak akan beranjak dari tempat ini,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat untuk menunggu orang itu. Malam nanti mereka akan menyelesaikan persoalan mereka apapun yang terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah jemu menunggu dan bahkan sekedar diikuti, digelitik dan dibiarkan menunggu dalam kegelisahan.

Namun demikian, mereka tidak hanya sekedar menunggu. Tetapi mereka harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya, karena mereka tahu bahwa orang itu benar-benar berilmu tinggi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menyadari, bahwa hari itu mereka tidak akan pergi kemana pun. Mereka akan tetap berada di pategalan itu.

Ketika matahari memanjat kaki langit, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta agar yang lain melihat-lihat, apakah didekat mereka ada air. Mungkin parit, sungai atau belik.

“Tetapi berhati-hatilah. Jika ada sesuatu yang agaknya kurang wajar, cepat kembali atau berikan isyarat apapun. Bahkan mungkin berteriak memanggil kami,” berkata Mahisa Murti, “Karena kami memang sedang dalam intaian orang yang berilmu tinggi. Seandainya kalian tidak menemukan air dekat tempat ini, maka segeralah kembali.”

Mahisa Semu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan pergi.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempatnya. Namun kedua orang itu tetap berhati-hati. Mereka tidak jelas apa yang dapat terjadi hari itu. Tetapi seandainya keduanya yang pergi, maka kemungkinan buruk dapat juga terjadi atas ketiga orang yang ditinggalkannya, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa lebih baik yang tetap tinggal di tempat itu.

Namun ketiga orang itu dengan cepat telah kembali. Mahisa Amping lah yang kemudian berkata, “Di sebelah ada sungai kecil, kak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah, kita pergi bersama-sama.”

Kelima orang itu pun sejenak kemudian telah berada di sebuah sungai kecil untuk mencuci muka dan membersihkan diri. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menemukan tempat yang baik untuk bersiap-siap menyongsong lawan mereka jika malam nanti datang. Meskipun sungai itu kecil, namun mempunyai tepian yang cukup luas.

“Kita harus menyesuaikan diri lebih baik lagi,” berkata Mahisa Murti, “kita akan mencoba apa yang dapat kita lakukan paling baik dengan sepasang keris itu.”

Namun demikian Wantilan itu pun berkata, “Sebaiknya kalian beristirahat dahulu. Kalian telah mengerahkan tenaga kalian menghadapi orang itu. Kalian memang dapat mencari kemungkinan terbaik itu. Namun kalian harus ingat, bahwa kalian tidak boleh kehabisan tenaga untuk menghadapinya malam nanti. Jika kalian tidak berada dalam puncak kekuatan kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga dan akhirnya kalian tidak mampu lagi melawannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat berkata, “Waktu kita masih panjang. Masih ada sehari penuh, sehingga waktu untuk beristirahat itu masih cukup.”

“Tetapi kalian akan dapat terlalu lelap dalam latihan-latihan atau katakanlah saat kalian mencari kemungkinan yang paling baik itu, sehingga akhirnya kalian lupa untuk beristirahat. Karena itu, sebaiknya sekarang kalian beristirahat lebih dahulu. Baru kalian akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian.” berkata Wantilan kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Jika demikian, kita akan kembali ke pategalan itu.”

“Kenapa ke pategalan itu?” bertanya Wantilan, “jika pemiliknya datang maka mungkin akan dapat menimbulkan salah paham. Kalian dapat beristirahat di sini. Di bawah beberapa pohon turi yang rindang itu pasirnya nampak bersih. Biarlah kami bertiga berjaga-jaga.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “Apakah Mahisa Amping tidak lapar?”

Mahisa Amping hanya menunduk saja. Namun itu adalah pertanda bahwa anak itu memang lapar. Karena itu, maka mereka pun telah menyempatkan diri untuk pergi kekedai yang terdekat. Kemudian kembali ke tempat itu, dan memberikan kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tidur beberapa saat. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan pulih kembali.

Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih. Mereka telah berusaha meningkatkan kemampuan mereka bermain-main dengan senjata. Apalagi Mahisa Amping yang telah memiliki sebilah pisau belati yang bagus.

Lewat tengah hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun. Sejenak mereka duduk bersandar pada batang-batang pohon turi sambil menyaksikan Mahisa Amping yang kecil itu membiasakan diri mempergunakan pisau belatinya dalam olah kanuragan. Meloncat, bergeser menyamping, merunduk, kemudian berputar pada pundaknya di atas pasir.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Anak itu memang memiliki kelebihan terutama kewadagan. Ia memiliki tenaga yang lebih besar dari kebanyakan anak-anak. Mudah-mudahan ia juga memiliki kelebihan tanggapan jiwani atas dirinya terhadap Yang Maha Pencipta.”

“Kita harus memperkenalkannya dan setiap hari mengingatkannya. Ia memiliki dasar yang kurang menguntungkan. Pada saat kepekaannya ia justru berada di padepokan yang setiap hari menyuapinya dengan ilmu hitam. Tetapi jika kita dengan telaten menggosoknya setiap hari, maka hatinya akhirnya akan mengkilap juga,” sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya matahari mulai turun ke sisi Barat. “Ketika kita tertidur nyenyak, untungnya orang itu tidak datang mencari kita,” desis Mahisa Pukat kemudian.

“Ia tidak akan menemui kita lagi di siang hari,” berkata Mahisa Murti, “tentu ada hubungan antara ilmunya dengan malam yang gelap, ia pun tentu menyadari, bahwa kita akhirnya dapat mengetahui bahwa ia mempunyai kelemahan tertentu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sudah menduganya, bahwa orang itu tidak akan berani menghadapi mereka berdua di siang hari. Tetapi ia ingin menyesuaikan pendapatnya dengan Mahisa Murti. Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja duduk di bawah pohon turi di tepian.

Namun ketika yang lain beristirahat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai mempersiapkan dirinya. Beberapa saat mereka memanaskan tubuh mereka dengan berjalan-jalan di tepian. Kemudian berlari-lari kecil. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah bersiap untuk mulai dengan sebuah latihan yang sesungguhnya.

Setelah memusatkan segenap nalar budi, maka mereka segera memasuki suasana yang bersungguh-sungguh meskipun tidak berada di dalam sanggar. Sejenak kemudian mereka telah berlatih bersama-sama. Mereka ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang dapat dipancarkan lewat sepasang keris itu, serta pengaruhnya atas lontaran ilmu mereka berbanding dengan jarak antara sepasang keris itu.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil ancang-ancang. Kemudian seorang demi seorang pada jarak beberapa langkah mereka telah menyerang tanggul berbatu padas dari jarak yang jauh melalui keris yang mereka ketemukan itu. Sementara keris itu menyala semakin besar dengan api yang berwarna kehijauan, maka seleret-seleret sinar telah memancar dan menghantam tebing berbatu padas, sehingga batu-batu padas itu pun runtuh berguguran.

Tetapi hal itu tidak mereka lakukan sekali. Tetapi beberapa kali pada jarak yang berbeda. Ketika keduanya kemudian telah mencapai puncaknya, maka mereka telah mencoba pula untuk menyerang satu sasaran bersama-sama pada jarak beberapa langkah. Kemudian mereka lakukan lagi pada jarak yang semakin dekat semakin dekat, sehingga akhirnya mereka berdiri tanpa jarak, bahkan Mahisa Pukat telah memegang kerisnya di tangan kiri sehingga bersentuhan dengan keris di tangan kanan Mahisa Murti.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Serangan atas tebing berbatu padas yang mereka lakukan telah mampu meruntuhkan dan melumatkan batu-batu padas itu. Apalagi ketika mereka menyerang pada jarak yang semakin dekat, bahkan ketika mereka berdiri tanpa jarak sehingga sepasang keris mereka bersentuhan itu.

Kekuatan yang terpancar bukan sekedar kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bergabung. Namun kekuatan yang terpancar dari kedua keris atas dasar dorongan kekuatan ilmu kedua anak muda yang memang tinggi itu benar-benar luar biasa. Kekuatan yang menghancurkan batu-batu padas di tebing sungai itu adalah kekuatan yang berlipat ganda dari kekuatan ilmu kedua orang anak muda itu.

“Luar biasa,” geram Mahisa Semu dan Wantilan hampir berbareng ketika mereka melihat akibat serangan itu.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun untuk beberapa saat berdiri termangu-mangu. Mereka hampir tidak percaya akan lontaran ilmu mereka itu. Namun ketika kemudian mereka sempat mengulanginya dan akibatnya tidak berbeda, maka mereka baru yakin, bahwa lontaran kekuatan ilmu lewat sepasang keris itu pada jarak yang sependek-pendeknya memang nggegirisi.

Dengan demikian keduanya menjadi semakin percaya kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka akan dapat mengatasi kemampuan orang-orang yang akan merampas keris itu sendiri, sebagaimana dilakukan oleh orang yang datang semalam.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian beristirahat, maka Mahisa Semu sempat berkata, “Kalian telah menemukan lagi kekuatan yang tidak ada duanya.”

“Kami memang berterima kasih,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kami masih tetap berpegang kepada satu sikap, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaikpun akhirnya akan ada yang melampauinya. Karena itu, maka segala sesuatunya harus tetap bersandar kepada satu kepercayaan tentang sumber dari segala Sumber.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi kita mempunyai ukuran kewajaran lahiriah. Dari ukuran itulah aku menilai ilmumu.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Kalian pun akan mampu mencapai satu tataran tertinggi, jika kalian bersungguh-sungguh.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun memang terbersit di hatinya, bahwa kemungkinan itu masih merupakan sekedar mimpi. Meskipun demikian seperti dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa kemungkinan itu memang ada, jika ia bersungguh-sungguh.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membersihkan dan membenahi diri. Sementara itu matahari telah menjadi semakin rendah.

“Masih ada waktu,” berkata Mahisa Pukat, “kita masih dapat pergi ke kedai sebentar. Wajah Mahisa Amping telah menjadi pucat.”

Mahisa Semu dan Mahisa Murti tertawa pendek. Namun Wantilan berkata, “Bukan kau yang pucat. Tetapi kakangmu Mahisa Pukat yang merasa lapar.”

Mahisa Pukat lah yang kemudian tertawa. Namun katanya kemudian, “Marilah. Kita pergi sebentar.”

Kelima orang itu memang masih sempat pergi ke kedai. Namun sejenak kemudian mereka telah kembali. Tidak ke tepian itu lagi, tetapi mereka telah kembali ke pategalan.

“Di malam hari, pemiliknya tidak akan datang. Sementara itu, kita mengharapkan orang itu datang lagi malam nanti,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti memang sependapat. Sementara menunggu malam, mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah tidak berniat lagi memejamkan matanya, karena orang itu akan dapat datang saat demikian matahari mulai terbenam.

Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping-pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka menyadari bahwa keadaan akan dapat menjadi gawat. Mungkin orang itu akan datang tidak seorang diri karena kegagalannya di malam sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, maka gelap malam telah menyelubungi seluruh pategalan dan bahkan padukuhan-padukuhan. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Sementara itu titik-titik embun mulai berjatuhan membasahi dedaunan. Malam memang terasa dingin. Bahkan terasa demikian sepinya. Tidak terdengar sama sekali suara-suara malam yang biasanya berderik di antara dedaunan dan rerumputan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menghadap ke arah yang berlawanan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun ikut pula mengamati keadaan. Bahkan Mahisa Amping yang kecil itu-pun masih juga duduk bersandar sebatang pohon.

“Jika kau sudah mengantuk, tidurlah. Jika permainan itu akan dimulai, maka kau nanti akan dibangunkan pula,” berkata Mahisa Semu.

Mahisa Amping menggeleng. Katanya, “Aku tidak mengantuk.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Amping masih tetap duduk bersandar sebatang pohon. Dengan matanya yang kecil, ternyata ia juga mengamati kegelapan malam sebagaimana dilakukan oleh yang lain. Untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak seorang pun yang datang kepada mereka. Orang yang datang semalam pun tidak.

“Apakah orang itu selalu datang setelah lewat tengah malam?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengerti apa hubungannya antara ilmu seseorang dengan siang dan malam. Bahkan dengan lewat tengah malam. Tetapi jika itu menjadi satu keyakinan, maka sudah tentu pengaruhnya akan besar sekali bagi seseorang.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, ”demikian kuatnya pengaruh keyakinan atas seseorang.”

Namun dalam pada itu, terdengar Mahisa Murti berdesis, “Kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka telah datang. Memang tidak sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun bertanya, “dari arah mana mereka datang?”

“Dari arah garis pandanganku,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, maka Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang mendengar kata-kata Mahisa Murti itu pun segera mempersiapkan diri pula. Sementara itu, dua orang tengah berjalan mendekati mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit berdiri. Demikian pula Mahisa Semu, Wantilan dan bahkan Mahisa Amping.

Beberapa saat kemudian, dua orang yang datang itu telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah orang yang telah beberapa kali datang kepada anak-anak muda itu dan bahkan telah pernah bertempur melawannya itu berkata, “Selamat malam anak-anak muda.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab ragu, “selamat malam.”

“Kami telah datang lagi anak-anak muda. Malam ini aku tidak datang sendiri. Karena aku harus menghadapi dua orang berilmu tinggi, maka aku telah membawa seorang saudaraku pula. Dengan demikian kita akan berhadapan seorang dengan seorang. Bukankah itu adil?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka menyadari bahwa orang itu ternyata telah berusaha untuk mengurangi tekanan kedua anak muda yang bertempur berpasangan dengan senjata yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak, bahkan mereka sudah memperhitungkan kemungkinan itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menjawab, “Ya. Aku sependapat. Satu pertemuan yang adil.”

Kedua orang yang datang itu mengangguk-angguk. Namun yang telah datang berkali-kali berkata, “Jika demikian, maka kita tidak mempunyai persoalan yang perlu kita bicarakan lagi. Kita akan segera mulai. Siapa yang akan mati di antara kita. Mungkin kalian berdua. Mungkin kami berdua, tetapi mungkin seorang di antara kami dan seorang di antara kalian.”

“Bagus,” berkata Mahisa Pukat, “kami sudap siap. Meskipun aku tahu bahwa kalian ingin menyelesaikan persoalan ini sebelum matahari terbit. Kami tidak tahu hubungan ilmu kalian dengan matahari. Tetapi agaknya kalian, setidak-tidaknya seorang di antara kalian memang takut melihat matahari terbit.”

“Satu mimpi buruk. Kau telah mengambil kesimpulan yang salah dengan sikapku,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Salah atau tidak, tetapi kau dengan tergesa-gesa meninggalkan kami ketika kau melihat fajar mulai merah di langit, atau sesudah itu, mendekati cahaya matahari yang pertama terlempar dari balik cakrawala.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi marilah, kita akan segera mulai.”

Kedua orang itu pun segera bersiap. Mereka telah mengambil jarak beberapa langkah di antara yang satu dengan yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah bersiap pula, sama sekali tidak berusaha mengambil jarak meskipun mereka telah berdiri menghadap kepada kedua orang itu.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun segera mulai bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk saling menjajagi lagi. Orang yang telah datang sebelumnya itu pun segera mengambil senjata mereka, sementara yang lain pun telah melakukannya pula. Yang telah datang beberapa kali itu telah mengambil sepasang tongkat bajanya yang dihubungkan dengan seutas rantai. Sementara yang seorang lagi telah menarik sepasang pedang yang sangat tipis namun lentur di kedua tangannya. Pedang yang tajamnya melampaui tajamnya pisau cukur.

Sejenak kemudian, mereka pun telah mulai bertempur. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak mau terpisah yang satu dengan yang lain. Bagaimanapun juga lawan-lawan mereka berusaha memancing agar mereka menjadi saling berjauhan, ternyata mereka tidak melakukannya.

“Setan,” geram orang yang baru datang malam itu, “kenapa kalian bertempur seperti dua orang penakut yang memasuki kegelapan. Yang satu berpegangan yang lain sehingga kalian kehilangan banyak kesempatan dalam pertempuran ini.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Ini adalah pola permainan kami yang sebenarnya. Karena itu, maka lakukan yang akan kalian lakukan atas kami.”

Kedua orang itu mengumpat hampir bersamaan. Namun mereka telah berloncatan menyerang dari arah yang berbeda. Dengan demikian mereka berusaha agar kedua orang anak muda itu tidak dapat menyerang mereka dengan kedua keris itu berpasangan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti maksud kedua lawannya. Karena itu, maka mereka tidak dengan serta merta mencari kesempatan untuk mempergunakan sepasang keris itu bersama-sama.

Namun kedua orang itu memang menjadi sangat garang. Seperti yang pernah terjadi, benturan antara keris Mahisa Murti yang bagaikan menyala dengan lidah api yang kehijau-hijauan itu dengan tongkat-tongkat baja yang membara telah menimbulkan bunga api yang memercik menghamburkan panas. Sementara itu, ternyata sepasang pedang tipis dari lawan Mahisa Pukat pun telah menimbulkan akibat yang sama pada setiap benturan. Sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui bahwa keduanya tentu saudara seperguruan.

“Apakah perguruan mereka tidak terlalu jauh dari tempat ini,” bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.

Sementara itu, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang saudara seperguruan itu memangmemiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa mulai terdesak.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai bergeser beberapa langkah surut.

Namun dalam pada itu, keduanya tidak ingin membiarkan diri mereka terdesak terus. Sementara itu, mereka seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan ilmu mereka yang dapat menyerang dari jarak panjang, karena kedua lawannya itu seakan-akan bertempur tanpa jarak. Senjata mereka selalu menggapai tanpa henti-hentinya.

Karena itu, maka kedua anak muda itu telah mempergunakan ilmunya yang lain. Di saat-saat mereka mengalami kesulitan karena lawan mereka memang berilmu tinggi, maka mereka telah mempergunakan ilmu yang jarang ada duanya. Ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan orang lain.

Demikianlah, maka pertempuran itu berlangsung terus. Benturan demi benturan. Kedua orang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi itu telah menyerang dengan dahsyatnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih banyak bertahan. Tetapi adalah diluar perhitungan lawan-lawannya bahwa anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tidak segera dimengertinya.

Namun, beberapa saat kemudian, keduanya merasa bahwa ada sesuatu yang aneh pada diri mereka. Tenaga mereka mulai terasa terlalu cepat susut. Betapapun mereka mengerahkan tenaga, namun mereka merasa bahwa mereka masih mampu bertempur sampai menjelang pagi hari.

Untuk beberapa saat mereka masih berusaha untuk mengerti. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka bertempur dengan landasan ilmu mereka. Mereka bergerak dengan cepat sekali, serta percikan bunga api di setiap senjata, memangmembuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdesak. Tetapi mereka tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas diri mereka sehingga kekuatan dan kemampuan mereka demikian cepat susut.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang lebih banyak bertahan. Setiap serangan telah mereka bentur dengan senjata mereka yang memiliki kekuatan yang aneh. Lidah api yang kehijau-hijauan itu memang mampu menyebarkan panas. Namun percikan bunga api di setiap benturan, mampu menebar lebih jauh jangkauannya daripada jangkauan panas yang memancar dari pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Teiapi kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian maka penggraitanya pun cukup tajam untuk menanggapi keadaan. Tiba-tiba saja seorang dari mereka telah menyadari, bahwa mereka telah terperosok ke dalam jebakan ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.

Karena itu, maka seorang di antara mereka, orang yang sudah beberapa kali menemui anak-anak muda itu berkata, “Hati-hati dengan ilmu mereka yang licik.”

Saudara seperguruannya dengan cepat tanggap. Karena itu, maka ia pun segera meloncat mengambil jarak. Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta maka ia pun telah meluncurkan serangan-serangannya dengan senjata-senjata kecilnya. Semacam paser-paser kecil yang tentu beracun.

Mahisa Pukat pun dengan segera telah berloncatan menghindarinya. Namun paser itu seperti ditaburkannya, sehingga satu di antaranya telah menancap di lengannya. Sambil menahan sakit Mahisa Pukat sempat mencabut paser itu. Ia sempat melontarkan kembali kepada lawannya yang bergeser menyamping sehingga paser itu tidak mengenainya.

Sejenak kemudian pertempuran itu bagaikan terhenti. Namun yang terdengar adalah suara tertawa saudara seperguruan dari orang yang menginginkan sepasang keris itu. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Sayang kau akan mati muda. Tidak ada daya tahan seseorang yang mampu mengatasi racun pada ujung paser-paserku. Kau telah tersentuh di lenganmu, sehingga karena itu, maka tidak ada gunanya lagi kau bertempur melawanku karena kau akan mati. Semakin banyak kau bergerak, maka racun itu akan semakin cepat mencengkam jantungmu.”

Mahisa Pukat memandang orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi cemas. Bahkan kemudian katanya, “Kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Aku dapat membedakan, apakah senjata lawan beracun atau tidak. Dan aku pun tahu apakah racun itu akan berpengaruh atas aku atau tidak.”

“Kau terlalu sombong. Tetapi jangan menyesal. Bahwa kau akan segera mati,” geram orang itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Mereka justru bersiap-siap untuk menyerang lawan mereka. Orang yang melempar Mahisa Pukat dengan paser mulai menjadi cemas ketika ia tidak melihat perubahan sikap Mahisa Pukat. Anak muda itu masih tetap tangkas. Mahisa Pukat hanya berdesis sedikit ketika ia mencabut paser itu. Namun sesudahnya, tidak ada keluhan sama sekali.

Hampir diluar sadarnya orang itu berdesis, “Kau kebal racun?”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap untuk menyerang lawannya. Namun lawannya yang sudah menyadari kemungkinan buruk bagi setiap sentuhan telah berusaha bertempur pada jarak jauh tanpa sentuhan kewadagan. Karena itu, maka lawan Mahisa Pukat yang agaknya lebih kasar dari saudara seperguruannya itu tidak sabar lagi. Namun Mahisa Pukat pun dengan cepat tanggap ketika sepasang pedang tipis orang itu telah disarungkannya.

Dengan kemampuan yang sangat tinggi, maka orang itu seakan-akan telah menaburkan sesuatu ke arah Mahisa Pukat dari tempatnya berdiri. Namun ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat melihat, bahwa orang itu memang telah menghentakkan ilmunya ke arahnya. Kilatan cahaya ilmu itu dapat dilihat dengan ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat pula, sehingga dengan serta merta ia telah meloncat dan jatuh berguling di tanah.

Tetapi Mahisa Pukat telah terhindar dari serangan ilmu yang dahsyat itu. Tanah tempat Mahisa Pukat semula berdiri bagaikan telah meledak, sehingga seandainya Mahisa Pukat masih berdiri di tempatnya, maka ia pun akan dikoyak oleh ilmu itu menjadi berkeping-keping.

Ternyata lawannya tidak berhenti menyerang. Ia telah melakukan sekali lagi, sehingga Mahisa Pukat pun harus meloncat sekali lagi pula. Tetapi Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya diserang terus. Karena itu, maka sambil berguling Mahisa Pukat telah mengetrapkan kemampuannya. Ia tidak dengan serta merta bangkit. Tetapi sambil berbaring ia telah mengarahkan ujung pedangnya kepada lawannya. Seleret sinar telah meluncur dan menyambar ke arah lawannya.

Namun lawannya sempat melakukannya pula, sehingga dua jenis ilmu telah berbenturan di udara. Kedua orang itu memang menjadi termangu-mangu sejenak. Justru terasa di dada mereka masing-masing hentakkan yang timbul dari getaran ilmu mereka masing-masing yang saling berbenturan. Dengan mengerahkan daya tahannya, Mahisa Pukat berusaha untuk mengatasi sesak di dadanya. Namun ia masih sempat bangkit berdiri dengan tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.

Sementara itu, lawannya pun berusaha memperbaiki keadaannya. Sebenarnya ia memiliki kelebihan dari Mahisa Pukat. Namun sentuhan-sentuhan yang terjadi sebelumnya, yang telah menyusut ilmunya, telah membuatnya tidak mampu mengatasi ilmu Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun telah saling menyerang lagi. Lawan Mahisa Pukat tidak memerlukan sepasang pedangnya, namun Mahisa Pukat ternyata tidak perlu menyarungkan keris yang disebutnya sebagai pedang itu. Karena dengan senjatanya itu ia mampu melepaskan serangan jarak jauhnya.

Sementara keduanya saling menyerang, maka beberapa kali memang telah terjadi benturan. Namun benturan-benturan itu tidak mampu menentukan, apakah Mahisa Pukat atau lawannya yang akan memenangkan pertempuran itu.

Dalam pada itu Mahisa Murti masih juga bertempur dengan sengitnya. Seperti lawan Mahisa Pukat maka orang yang ingin merampas sepasang pusaka itu telah melepaskan serangan jarak panjang. Tetapi Mahisa Murti pun mampu mengelakkannya dan bahkan ia pun telah mencoba untuk membentur ilmu lawannya.

Ternyata Mahisa Murti mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan lawannya yang telah susut itu. Karena itu, maka dalam setiap benturan, maka keduanya memang memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Demikianlah ketika mereka bertempur beberapa saat, maka sulit untuk menentukan siapakah yang akan kalah dan siapakah yang akan menang.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menjadi bingung. Kadang-kadang mereka kehilangan bayangan orang-orang yang sedang bertempur itu. Baru kemudian bayangan itu muncul lagi dalam kegelapan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana kedua lawannya merasa, bahwa sulit bagi mereka untuk memenangkan pertempuran dengan caranya. Karena itu, maka kedua orang itu telah berusaha untuk menemukan satu cara yang paling baik untuk mengalahkan lawannya. Namun serangan mereka baru akan menjadi lebih kuat jika mereka mampu menyerang berbareng dengan mendekatkan kedua pusaka mereka itu.

Untuk beberapa saat keduanya melakukannya tanpa menemukan cara yang terbaik untuk menyerang. Namun ketika Mahisa Murti justru diserang lawannya, ia telah menjatuhkan diri dan berguling mendekati Mahisa Pukat. Dengan tanpa bangkit, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti telah menyerang lawannya. Ternyata lawannya menyadari akan serangan itu, sehingga ia pun telah meloncat menghindarinya.

Hal itulah yang diharapkan oleh Mahisa Murti. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Pukat. Cari kesempatan.”

Mahisa Pukat cepat tanggap. Ia pun segera telah menyerang lawannya dengan mengacukan senjatanya. Namun lawannya yang mendengar panggilan Mahisa Murti atas lawannya itu tidak segera mengerti maksudnya. Karena itu, maka seperti saudara seperguruannya ia pun telah meloncat menghindarinya.

Demikian lawannya meloncat menghindar, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat pula dan menjatuhkan dirinya di samping Mahisa Murti. Ia pun dengan serta merta telah memindahkan pedangnya di tangan kirinya dan dengan kekuatan ilmunya menyerang lawan Mahisa Murti bersama-sama dengan Mahisa Murti.

Tepat pada saat lawan Mahisa Murti itu melenting berdiri, maka serangan itu datang dengan dahsyatnya. Dua bilah keris yang memiliki satu kesatuan kekuatan itu telah menghantam orang yang telah mengejar-ngejarnya.

Orang itu tidak sempat mengelak, karena demikian ia berdiri maka serangan itu pun datang. Yang dapat dilakukannya adalah melawan serangan itu dengan membenturkan ilmunya yang dengan tergesa-gesa dilontarkannya. Tetapi kekuatan kedua ilmu yang berbenturan itu ternyata tidak seimbang. Karena itu, maka getar ilmu orang itu yang memantul dan bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terlontar lewat sepasang keris itu, telah menghantam dada orang itu. Satu hentakkan ilmu yang sangat dahsyat yang seakan-akan telah meledakkan jantungnya dan melemparkannya beberapa langkah surut.

Orang itu memang terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya. Tidak ada kekuatan yang mampu menahannya. Ia sama sekali tidak sempat mengaduh, karena jantungnya bagaikan telah meledak dan berhenti berdetak. Orang itu terbunuh dalam sekejap.

Sementara itu, saudara seperguruannya menyaksikan apa yang telah terjadi. Dengan demikian maka ia telah kehilangan keberanian untuk melawan kedua orang anak muda itu seorang diri. Meskipun sebenarnya ia juga menginginkan keris itu, namun ia merasa bahwa yang akan terjadi tidak akan jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi atas saudara seperguruannya.

Saudara seperguruannya itu telah menjanjikan untuk membagi sepasang keris itu untuk dimiliki bersama. Namun saudara seperguruannya ternyata telah jatuh terbaring dan tidak terbangun lagi. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka orang itu pun segera mengetahui, bahwa benturan itu terjadi demikian dahsyatnya, sehingga saudara seperguruannya itu tentu sudah kehilangan segala-galanya, bahkan nyawanya.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyelamatkan dirinya. Karena itu, maka orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum ia mengalami nasib seperti saudara seperguruannya, maka ia pun dengan serta merta telah meloncat kedalam gelapnya malam.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya masih mempunyai kesempatan untuk memburu orang yang dengan ilmu mereka yang dahsyat itu. Tetapi Mahisa Murti kemudian telah memberikan isyarat, bahwa mereka tidak akan menyerang orang itu.

Mahisa Pukat memang sependapat untuk tidak membunuhnya. Orang itu agaknya hanya terseret oleh kehendak saudara seperguruannya sehingga ia telah ikut serta datang dan menyerang anak-anak muda itu. Sejenak kemudian, maka keadaan telah menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi pertempuran dan tidak ada lagi ilmu yang sambar menyambar.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping selangkah demi selangkah telah mendekati kedua anak muda yang kemudian berdiri termangu-mangu. Keris di tangan mereka tidak lagi menyala kehijau-hijauan. Beberapa langkah dari mereka, sesosok mayat terbujur diam dalam kelamnya malam.

“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Murti.

“Keris ini telah menyebabkan kematian demi kematian,” berkata Mahisa Pukat.

“Seperti kata orang tua yang membuat keris itu, tidak ada pilihan lain. Seandainya keris ini kita kembalikan sekalipun maka orang tidak akan mempercayainya. Apalagi saudara seperguruan yang sempat melarikan diri itu. Ia akan mengatakan kepada orang lain dan orang lain. Berita tentang keris ini akan semakin tersebar,” berkata Mahisa Murti.

“Selama ketamakan masih mencengkam jiwa seseorang, maka keris itu masih akan menuntut korban. Bukan salah kalian jika kematian demi kematian itu masih akan terjadi,” berkata Wantilan yang telah berdiri didekat kedua anak muda itu.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka tidak pernah datang kepada seseorang untuk menantangnya bertempur dan kemudian membunuh mereka. Orang-orang tamak itulah yang datang kepada kedua orang anak muda itu untuk mengantarkan nyawa mereka.

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita memang tidak mempunyai jalan surut. Tetapi kita dapat berdoa, semoga Yang Maha Agung menjauhkan kita dari manusia-manusia yang tamak itu, sehingga kami tidak perlu membunuh dan membunuh lagi.”

“Ya. Kita dapat berdoa,” berkata Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, mereka masih merasa mempunyai beban untuk menguburkan mayat orang yang telah terbunuh itu. Orang yang menjadi korban ketamakannya sendiri. Ia bukan orang satu-satunya. Namun ia adalah orang yang kesekian kalinya. Mahisa Murti berpendapat, sebaiknya mereka menguburkan orang itu malam itu saja agar tidak ada orang yang melihatnya.

“Kita bawa mereka menjauhi pategalan ini. Kita dapat menguburkannya ditanggul sungai itu,” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah maka mereka pun telah membawa tubuh yang hangus itu ke tanggul. Dengan alat seadanya mereka telah menguburkan orang itu berserta senjatanya yang mendebarkan. Ketika mereka selesai, maka mereka pun telah langsung turun ke sungai membersihkan diri dan kemudian beristirahat di tepian di sisa malam itu.

Namun ternyata mereka tidak dapat beristirahat dengan baik. Tiba-tiba saja mereka telah mendengar suara yang bergetar memenuhi udara. Suara tertawa, yang disela-selanya terdengar kata-katanya, “Bukan main. Kalian telah berhasil membunuh orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Bahkan kalian berdua dapat mengatasi kedua orang saudara seperguruan itu. Membunuh seorang di antaranya dan mengusir yang lain pergi.”

Orang-orang yang berada ditepian itu harus menahan getar jantung didalam dada mereka. Bahkan Mahisa Semu, Wantilan dan apalagi Mahisa Amping telah menekan dada mereka dengan telapak tangan mereka.

“Gelap Ngampar,” desis Mahisa Murti, “satu ilmu yang dahsyat atau kalau bukan, ilmu ini tentu sejenisnya. Karena itu, tutup telinga kalian, agar getarannya tidak menyusup lewat telinga kemudian menghancurkan isi dada kalian.”

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah menutup telinga mereka dengan telapak tangan, sementara Mahisa Murti bertanya lantang, “Siapa kau he?”

Suara tertawa itu bagaikan berputaran. Katanya, “Kau tidak perlu tergesa-gesa mengetahui siapa aku. Sebaiknya kau mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Aku bukan orang yang tergesa-gesa sehingga kehilangan pengamatan diri serta membuat langkah-langkah yang salah.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat tidak kalah kerasnya dari Mahisa Murti, “Jika kami harus membunuh lagi, maka itu bukan salah kami.”

Suara tertawa itu meledak semakin keras mengguncang-guncang isi dada. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi dengan memusatkan nalar budi akhirnya tahu arah suara itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Turun dari pohon preh itu, atau aku akan menghancurkanmu berserta pohonnya sekali.”

Orang itu terkejut, ia tidak menyangka bahwa anak-anak muda itu dapat mengetahuinya dimana ia bersembunyi. Karena itu, sebelum terlambat, maka sesosok bayangan telah turun dan bagaikan terbang meninggalkan pohon itu. Tetapi suaranya masih tertinggal, “Aku akan datang lagi anak-anak muda.”

Sepeninggal orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun termangu-mangu memandang kedua orang anak yang nampak gelisah itu. Sekali lagi Mahisa Murti berdesis, “Apakah sepasang senjata ini masih akan menuntut korban?”

Mahisa Pukat yang juga termangu-mangu menyahut, “Aku juga menyesal. Sebaiknya senjata-senjata ini tetap berada di tempatnya. Jika kita tidak mengambil senjata itu, maka tidak akan terjadi kematian yang susul-menyusul.”

“Tetapi semuanya sudah terlanjur,” berkata Wantilan, “sebaiknya kalian tidak setiap kali menyesali langkah yang sudah kalian ambil dan tidak mungkin dapat diulangi. Jika kalian masih saja selalu menyesalinya, maka kalian akan dapat tetap membawa beban itu di pundak kalian. Semakin lama semakin berat. Setiap kematian akan menambah berat beban itu, sementara sebenarnya kalian dapat meletakannya. Kalian tidak perlu membawanya ke manapun, karena itu memang bukan beban kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Wantilan memang bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi umurnya yang tertua di antara mereka berlima, membuatnya mereka wajib untuk ikut membantu meringankan beban perasaan anak-anak muda yang telah memanggilnya paman itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat berkata, “Apa boleh buat. Jika kita mengembalikan sepasang senjata itu, maka agaknya kitalah yang justru akan menjadi korban. Jika kematian demi kematian masih akan datang, biarlah terjadi. Meskipun sekali lagi, kita dapat berdoa.”

Demikianlah, kelima orang itu pun kemudian telah duduk di tepian sungai, di atas pasir yang putih. Mahisa Amping telahberbaring di atas pasir yang justru terasa hangat, meskipun beberapa langkah di sebelah mereka terdapat arus sungai yang tidak begitu besar.

Ternyata anak itu masih sempat tidur. Namun keempat orang yang lain rasa-rasanya sulit untuk memejamkan mata mereka. Tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk mempergunakan waktu yang ada untuk beristirahat. Mahisa Murti dan Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Jika matahari kemudian terbit, mereka tidak akan menghiraukannya. Mahisaa Pukat dan Mahisa Semu akan berganti berjaga-jaga, sementara Mahisa Murti dan Wantilan akan tidur dibawah rimbunnya dedaunan.

Menjelang pagi, Mahisa Murti dan Wantilan duduk memandang ke arah yang berbeda. Namun mereka tidak melihat sesuatu. Meskipun mata mereka terasa semakin lama semakin berat, namun mereka dapat bertahan sampai matahari memancar di langit.

Ketika kemudian Mahisa Pukat terbangun oleh cahaya matahari yang terasa silau di matanya, serta setelah mencuci mukanya di sungai itu, maka bergantianlah mereka yang mendapat kesempatan untuk beristirahat.

Mahisa Murti yang letih dan Wantilan yang mengantuk, segera berbaring di bawah rimbunnya dedaunan. Ternyata mereka sempat juga tertidur beberapa saat meskipun cahaya matahari menjadi semakin silau. Namun ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka mereka berlima telah duduk di tepian setelah membenahi diri serta mandi di sungai itu bergantian.

Beberapa saat kemudian, kelima orang itu termangu-mangu memandang seseorang yang berjalan menelusuri tepian dengan jala yang masih tergulung di pundaknya. Jala yang masih kering sehingga agaknya jala itu belum dipergunakannya sama sekali.

Sejak mereka berada di pinggir sungai itu, baru sekali itumereka melihat seseorang lewat. Namun agaknya orang itu memang sedang mencari lingkungan yang banyak mengandung ikan. Ketika orang itu lewat beberapa langkah di sebelah kelima orang itu duduk, maka orang itu membungkuk kecil sambil berkata, “Selamat pagi Ki Sanak. Apa yang sedang kalian lakukan di sini?”

“Duduk-duduk menikmati udara pagi di tepian Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

“Oo,” orang itu mengangguk-angguk, “aku terbiasa mencari ikan di sepanjang sungai ini. Di sini banyak terdapat ikan wader pari. Maaf Ki Sanak, barangkali aku mengganggu.” Orang itu pun kemudian telah mengurai jalanya, dan sekali-sekali ia mulai menebarkannya.

Tetapi ternyata orang itu tidak beruntung. Sambil bersunggut-sunggut orang itu berkata, “Hari ini nampaknya bukan hari yang baik bagiku. Aku harus berpindah tempat. Mungkin aku akan mendapat kesempatan lebih baik dari di tempat ini, tempat yang biasanya memberikan banyak ikan kepadaku.”

“Hati-hati Ki Sanak,” pesan Mahisa Murti.

Orang itu justru termangu-mangu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa harus berhati-hati?”

“Bebatuan itu licin,” berkata Mahisa Murti sambil tersenyum.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun tersenyum pula sambil menyahut, “Terima kasih Ki Sanak.”

Ketika orang itu kemudian pergi sambil menggayutkan jalanya yang basah di punggungnya, maka Mahisa Murti pun berkata, “Orang itu tentu orang yang semalam berada di pohon preh.”

“Darimana kau tahu?” bertanya Wantilan.

“Ia sama sekali bukan seorang yang memiliki kemampuan untuk mencari ikan dengan jala di sungai seperti ini,” berkata Mahisa Murti.

Wantilan yang termangu-mangu itu berpaling ke arah Mahisa Semu yang juga menjadi heran atas keterangan Mahisa Murti, sehingga karena itu, maka ia pun telah bertanya, “Aku memang tidak terbiasa melihat orang menjala ikan. Tetapi kenapa kau tahu bahwa sebenarnya ia tidak mampu melakukannya? Padahal menurut penglihatanku, ia telah mengayunkan jala itu dan menebarkannya di antara bebatuan.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya kepada Mahisa Pukat, “Masa kecil kita, kita habiskan untuk bermain-main di sungai. Karena itu, kita dapat melihat dengan pasti, apakah ia seorang pencari ikan dengan jala atau bukan. Orang itu tidak dapat menebarkan jala sehingga benar-benar terbuka. Bahkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi mempergunakan jala, dapat menebarkan jala dengan cara yang sulit dimengerti. Di sela-sela bebatuan, jala itu menebar. Biasanya tebarannya bulat. Tetapi dapat memanjang, atau bahkan seakan-akan dapat menyusuri sela-sela bebatuan. Tetapi orang itu menebarkan jalanya justru mencengkam bebatuan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara Wantilan pun berkata, ”Ya. Itulah sebabnya ia hanya melakukannya sebentar saja agar tidak dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak dapat melakukannya.”

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Tetapi kehadirannya bukannya tidak berarti. Ia tentu ingin melihat apa saja yang ada di sini. Siapa saja dan kemungkinan-kemungkinannya.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga. Tetapi aku tidak tahu, apa sebenarnya yang mencurigakan. Baru kemudian aku menjadi jelas.”

“Karena itu, maka kita harus berhati-hati,” berkata Mahisa Murti...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 80

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 80
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat masih menyesuaikan dirinya. Sementara itu, orang tua itu telah memberikan sebilah pisau belati panjang kepada Mahisa Amping, “Bunuh saja ular yang mendekat.”

“Awas,” tiba-tiba orang tua itu memberikan isyarat, “sekarang kita dapat menyerang.” Orang tua itulah yang dengan cepat telah sempat melontarkan serangan berjarak sebagaimana dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selagi ia bertempur.

Maka seleret kilatan cahaya telah meluncur ke arah arus beratus ular yang merayap di sekitarnya. Tanahpun bagaikan meledak. Segumpal tanah terlempar bersama berpuluh ular yang ada di atasnya. Bahkan telah menjadi hangus terbakar.

Ledakan itu disusul oleh serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka pun mampu melepaskan ilmu sebagaimana dilakukan oleh orang tua itu meskipun masih berada beberapa lapis dibawahnya. Namun serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah mampu meledakkan sasarannya. Tanah pun berhamburan sementara beberapa puluh ekor ular pun telah terlempar dan menjadi hangus karenanya.

Tetapi arus ular itu seakan-akan tidak ada habisnya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengulangi dan mengulangi lagi sebagaimana orang tua itu. Namun dalam pada itu, ternyata di antara beratus ekor ular yang mati, ada juga dua ekor yang berhasil menyusup lewat dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan akar-akar pepohonan mendekati orang-orang yang sedang membunuh ular tanpa hitungan.

Seekor ular kecil, namun berbelang-belang putih telah berhasil merambat ke kaki Mahisa Murti. Ular weling yang tajam bisanya sulit dicari bandingnya. Dengan beraninya ular itu telah mematuk Mahisa Murti, sehinga Mahisa Murti pun terkejut karenanya. Namun dengan serta merta Mahisa Murti telah menangkap kepalanya dan meremasnya sehingga remuk tanpa ujud lagi.

Sedangkan yang lain, beberapa ekor telah dibunuh pula oleh Mahisa Semu dan Wantilan. Pedang mereka pun telah menebas beberapa ekor yang berhasil menyusup dan terbebas dari serangan ilmu yang garang itu.

Namun demikian ular-ular yang terbebas dari terkaman kekuatan yang panasnya melampaui api itu, maka tiba-tiba saja senjata yang sangat tajam telah memenggal leher ular-ular yang sangat berbisa itu. Bahkan Mahisa Amping pun telah melakukannya pula. Sambil berjongkok ia menunggu ular yang luput dari panasnya ilmu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, orang tua itu atau tajamnya pedang Mahisa Semu dan Wantilan.

Tetapi orang-orang itu menjadi demikian sibuknya. Murid orang tua itu ternyata belum memiliki ilmu sebagaimana nampak pada unsur-unsur geraknya dan ilmu puncak yang dimilikinya. Karena itu, maka ia pun telah melawan ular-ular itu dengan mempergunakan pedang sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Semu dan Wantilan.

Demikianlah maka pertempuran itu pun telah terjadi beberapa saat lamanya. Banyaknya ular yang datang memang tidak terhitung jumlahnya. Namun yang terbunuh, terlempar dan kehilangan arah sasaran pun jumlahnya tidak terhitung pula.

Namun orang tua itu sudah berniat membunuh. Berapapun banyaknya ular yang datang, maka ular-ular itu akan dihancurkanya dengan kekuatan yang dahsyat itu. Tidak ada belas kasihan terhadap ular-ular itu dan sudah tentu kepada pemiliknya. Bangkai ular pun berhamburan melingkari orang-orang yang berdiri berkelompok itu. Dari beberapa penjuru, masih saja berdatangan ular yang mengalir seperti banjir.

Tetapi, adalah diluar perhitungan orang yang memiliki kekuatan ilmu Naga Pasa itu, bahwa di tempat itu ada orang yang mampu melontarkan ilmu dengan dahsyat sekali, sehingga mampu menghadang ular-ularnya dan meledakkannya sebelum ular-ular itu sampai ke sasaran.

Namun orang yang mampu menggiring ular sekian banyaknya itu masih saja menunggu, ia masih mengetrapkan ilmunya, dan ular-ular pun masih dapat diperintahkannya untuk melakukan sesuatu baginya. Tetapi akhirnya orang itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak dengan ular-ularnya. Ular-ular itu telah mati terbunuh tanpa arti sama sekali. Sedangkan satu dua yang masih tetap hidup dan merayap mendekat, maka kepala ular itu akan segera terpisah dari tubuhnya.

Bahkan pemilik ilmu yang mampu menggerakkan beribu ular itu menyadari, bahwa orang-orang yang ada ditengah-tengah lingkaran ularnya itu telah mendapatkan obat penangkal bisa, sehingga meskipun ada satu dua yang mampu menyusup dan menggigit tumit orang-orang itu, maka bisanya tidak akan berpengaruh lagi.

Karena itu, maka akhirnya orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu tidak lagi berharap bahwa ular-ularnya akan membuat penyelesaian tentang orang tua itu dan kemudian mengambil sepasang pedang yang sudah di tangan anak-anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka terdengar jerit mengerikan. Lidah api telah menghembus dan menjilat dengan dahsyatnya. Namun orang tua yang masih saja mempergunakan ilmunya untuk melawan ular-ular yang datang seperti banjir itu, telah mengarahkan perhatiannya kepada lidah api yang bagaikan menjilat-jilat itu. Dedaunan dan batang pepohonan menjadi kering dan terbakar karenanya.

Namun orang tua itu tidak membiarkannya, ia pun telah menghentakkan ilmunya pula, sehingga kekuatan ilmunya telah menghantam ilmu lawannya yang bagaikan api menjilat-jilat itu. Satu benturan dahsyat telah terjadi. Benturan itu telah memantulkan kekuatan kedua belah pihak kembali ke arah sumbernya masing-masing.

Namun kemudian telah terjadi satu loncatan panjang. Orang tua itu bagaikan berputar di udara. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meloncat pula mengikuti orang tua itu. Ternyata dua orang kemudian nampak berdiri di tempat yang agak lapang, di atas padang perdu. Dengan nada berat orang tua itu berkata, “Aku sudah menduga, bahwa kau juga akan datang seperti yang lain.”

“Jangan samakan aku dengan yang lain. Setelah aku datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu, maka kau sudah akan terbebas dari gangguan siapapun juga. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah menentang kehendakku.”

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Jangan aneh-aneh. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu yang dahsyat, yang disebut Naga Pasa. Ular-ularmu itu hanyalah sebagian kecil dari permaianmu. Meskipun demikian, aku akan tetap melawanmu.”

Orang yang melotarkan ilmu Naga Pasa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau sebaiknya tidak mempertaruhkan nyawamu untuk sepasang senjata yang dapat kau buat sendiri. Kenapa tidak kau berikan saja senjata itu kepadaku. Kemudian kau membuat lagi senjata serupa.”

“Aku sudah tidak mempunyai lempengan emas lagi. Apalagi permata sebaik permata pada hulu sepasang kerisku itu. Karena itu maka aku tidak akan dapat memberikannya kepada siapapun juga.”

“Jadi kau hargai emas dan permata di hulu senjatamu itu melampaui nyawamu sendiri?” bertanya orang itu.

“Tentu tidak. Aku dapat membuat keris semacam apapun. Tetapi aku tidak dapat membuat nyawaku sendiri,” jawab orang tua itu.

“Jika demikian kenapa tidak kau ikhlaskan saja sepasang pusaka itu kepadaku?” bertanya orang itu.

“Soalnya bukan dapat atau tidak dapat membuat. Aku sudah tidak mempunyai bahan sebagus itu lagi, sehingga tidak mungkin lagi bagiku untuk dapat membuat sepasang senjata sebagus sepasang senjata yang kau buru itu. Bukan saja baja pilihan, serta bahan pamornya yang tidak ada duanya, tetapi juga emas dan permata di hulunya,” jawab orang tua itu.

“Persetan,” geram orang yang datang itu, “dalam sekejap kau akan ku bunuh.”

Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, “Kau sudah mencoba. Tetapi kau ternyata tidak mampu. Tetapi jika kau masih ingin mencobanya lagi, lakukanlah. Tetapi ingat, jika kau masih menyerang aku dengan ilmu Naga Pasa mu yang dahsyat itu, maka aku pun akan mempergunakan ilmu tertinggi yang aku miliki. Kau akan dapat menjadi lumat seperti debu.”

“Kau terlalu sombong. Kau sudah tua,” geram orang itu.

“Kau tahu, semakin tua seseorang, maka ilmunya akan menjadi semakin matang. Juga sikapnya menghadapi segala macam persoalan,” jawab orang tua itu.

“Baiklah,” berkata orang berilmu Naga Pasa itu, “bersiaplah untuk mati. Aku tidak akan mengampuni orang lagi jika aku sudah mulai berkelahi.”

Orang tua itu tertawa sambil berkata, “Apalagi jika kau sudah mati. Maka kau tidak akan dapat mengampuni siapapun. Bahkan kau tidak akan dapat mengampuni dirimu sendiri.”

“Setan kau,” geram orang itu.

Orang tua itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat lawannya itu mengacukan senjatanya. Semacam tombak yang pendek saja. Namun tajamnya terdapat di kedua ujung dan pangkalnya. Bahkan salah satu dari kedua tajamnya terdapat semacam kait yang akan dapat menarik sasaran dan mengoyaknya.

Sejenak kemudian kedua orang berilmu sangat tinggi itu sudah berkelahi lagi. Orang yang berilmu Naga Pasa itu membawa senjatanya yang jarang dipergunakan orang, sementara orang tua itu telah mempergunakan kerisnya. Kerisnya yang meskipun tidak sebesar keris yang dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keris itu pun termasuk sebilah keris yang besar dan panjang.

Demikianlah keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Keduanya mampu bergerak dengan cepat. Namun yang yang tidak begitu dimengerti oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, bahkan murid orang tua itu, bahwa lawannya, orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu, setiap kali telah melempar orang tua itu dengan seekor ular.

“Dari mana saja ia mendapat ular?” bertanya orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Meskipun orang tua itu telah mempergunakan penawar bisa, tetapi seekor ular yang dilontarkan kepadanya telah tepat melilit lehernya. Ular yang agak besar itu berusaha untuk menggigit bagian wajah orang tua itu. Bahkan akan mematuk mata. Namun orang tua itu sempat menangkap lehernya, sehingga ular itu tidak membuatnya buta.

Tetapi pada saat yang demikian orang yang melemparkan ular itu telah melibatnya dengan senjatanya yang tajam di kedua ujung dan pangkalnya. Meskipun demikian pada satu kesempatan, orang tua itu berhasil juga memenggal kepala ular yang melilit lehernya dan seakan-akan akan mencekiknya itu. Serangan seperti itu ternyata telah berulang beberapa kali. Sehingga akhirnya orang tua itu telah mempergunakan sebuah ilmunya yang lain untuk melawan serangan ular-ular yang tidak diketahui asalnya.

Dengan mengerahkan sejenis ilmunya, maka tubuh orang tua itu seakan-akan telah memancarkan gelombang panas dari dalam dirinya. Karena itu, maka setiap kali lawannya melemparkan ular kepadanya, maka ular itu tidak sempat melilitnya. Tubuh orang tua itu terasa panas, sehingga ular-ular itu telah melepaskannya dan melarikan diri meninggalkan arena.

Orang yang berilmu Naga Pasa itu mengumpat. Ia tidak lagi mempergunakan ular untuk membelit tubuh lawannya agar mengganggu kebebasan geraknya dalam pertempuran itu. Tetapi serangan-serangannya datang semakin cepat beruntun dan sangat berbahaya.

Tetapi orang tua itu pun masih mampu bergerak dengan tangkas. Kerisnya berputaran menyambar-nyambar dengan garangnya, sekaligus kedua jenis senjata itu berbenturan sehingga bunga api telah berloncatan di udara. Namun untuk beberapa saat lamanya, tidak seorang pun di antara mereka yang mulai terdesak.

Dengan demikian maka orang yang berilmu Naga Pasa itu akhirnya telah kehilangan kesabaran. Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka ia pun telah meloncat mengambil jarak. Justru menjauh.

Orang tua itu terkejut. Tetapi ia pun tanggap terhadap sikap lawannya itu. Karena itu, maka ia pun telah meloncat mundur dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang berilmu Naga Pasa itu tiba-tiba telah menghentakkan ilmunya lewat ujung senjatanya yang aneh itu. Api seakan-akan telah menyembur dengan dahsyatnya. Namun tidak tertuju kepada lawannya, orang tua yang telah mampu membuat keris yang sepasang itu. Tetapi serangan itu ditujukan orang-orang yang justru berdiri di luar arena.

Orang-orang itu terkejut, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat berbuat apa-apa kecuali meloncat menghindar sambil berteriak, “Hati-hati.”

Namun Mahisa Murti dengan tangkas masih sempat mendorong Mahisa Amping sehingga jatuh terguling, sementara Mahisa Semu dan Wantilan, serta murid orang tua itu juga berusaha untuk meloncat menghindar. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka terlambat. Kecuali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka hampir saja disambar oleh serangan lawan yang tiba-tiba dan licik itu.

Untunglah bahwa orang tua yang telah membuat sepasang keris itu tanggap, ia pun dengan menghentakkan ilmunya telah menyerang lidah api yang terjulur itu. Karena itu, maka ilmu Naga Pasa itu bagaikan terpotong oleh kekuatan ilmu orang tua itu. Dengan demikian, maka telah terjadi benturan ilmu yang mengejutkan, karena ledakannya yang bagaikan memekakan telinga.

Oleh serangan kekuatan ilmu orang tua itu, maka serangan ilmu Naga Pasa itu telah berbelok arah, terlepas dari sasaran. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Wantilan dan murid orang tua itu sendiri telah diselamatkan.

Sementara orang tua itu berkata, “Kenapa kau menjadi demikian licik, sehingga kau menyerang anak-anak yang sama sekali tidak terlibat dalam pertempuran ini.”

“Merekalah yang membawa sepasang senjata yang aku inginkan itu,” jawab orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu.

“Tetapi seandainya aku tidak sempat memotong ilmumu, siapa yang akan terbunuh? Ternyata orang yang akan menjadi sasaran seranganmu justru memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka dapat menghindar,” berkata orang tua itu.

“Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semuanya. Kau, muridmu dan orang-orang dungu itu,” geram lawan orang tua itu.

Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, “Kau harus melihat kenyataan tentang dirimu sendiri.”

Orang itu tidak menjawab lagi. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat lagi menyerang orang tua itu. Sama sekali tidak dengan semburan api. Tetapi dengan senjatanya yang menggetarkan jantung itu. Pertempuran telah terjadi lagi antara kedua orang berilmu tinggi itu. Namun dengan demikian maka orang-orang yang berdiri diluar arena menjadi lebih berhati-hati. Setiap saat serangan orang itu akan dapat ditujukan kepada mereka.

Namun orang tua yang membuat sepasang senjata itu cukup berhati-hati. Ia menyadari betapa liciknya lawannya itu. Sebenarnyalah pada saat yang dianggap tepat, orang itu telah meluncurkan serangan ilmunya yang dahsyat. Api telah menyembur ke arah orang tua itu.

Namun ternyata orang tua itu pun cukup waspada. Justru ia sedang menunggu serangan itu datang. Dengan tangkasnya ia menghindarinya. Namun bersamaan dengan itu, maka serangannya yang tidak kalah dahsyatnya telah meluncur pula mengarah kepada lawannya.

Orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu ternyata sempat melepaskan ilmunya pula membentur ilmu orang tua itu. Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, seakan-akan seluruh arena itu telah meledak.

Orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu telah terpental beberapa langkah surut. Tubuhnya ternyata telah membentur sebatang pohon yang besar yang tumbuh dengan kokohnya. Meskipun pohon itu juga berguncang, tetapi akarnya cukup kuat berpegangan, sehingga pohon itu tetap tegak berdiri meskipun beberapa batang dahannya telah patah.

Tetapi justru karena itu, maka orang yang memiliki ilmu Naga Pasa itu seakan-akan telah dibenturkan kepada sebatang pohon yang kokoh tepat pada tengkuknya, sehingga demikian ia terjatuh di tanah, maka ia hanya sempat mengeliat. Kemudian terdiam sama sekali.

Orang tua yang membuat sepasang keris itu pun telah terlempar pula. Namun ia memiliki kelebihan daya tahan dari lawannya, sehingga ia masih mampu untuk dengan cepat bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia juga mengalami luka-luka bakar di kulitnya. Namun tidak terlalu parah, sehingga karena itu, maka ia masih dengan langkah tegap berjalan mendekati lawannya.

“Meskipun aku tidak berniat, tetapi aku telah membunuhnya pula,” desis orang tua itu sambil menundukkan kepalanya.

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun kemudian orang tua itu berkata kepada muridnya, “Kuburkan orang itu.”

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut pula membantunya, sementara orang tua itu telah mengobati dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, ketika semua kerja telah selesai, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menghadap orang tua itu lagi.

Bahkan kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kiai, jika sepasang keris itu telah membuat sederetan kematian, bahkan barangkali masih akan disusul lagi oleh yang lain, apakah tidak sebaiknya sepasang keris itu aku kembalikan saja ke dalam bangunan batu itu?”

Tetapi orang tua itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya Ngger. Berita bahwa keris itu ada ditanganmu tentu sudah tersebar. Karena itu, tidak akan ada orang yang percaya, bahwa sepasang keris itu telah kau kembalikan. Karena itu, maka apapun yang akan terjadi, maka keris itu harus kalian pertahankan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Memang ada gejolak di dalam hati mereka. Untuk beberapa lama mereka tentu masih akan diburu oleh beberapa orang yang menginginkan sepasang keris itu. Keduanya memang merasa menyesal, bahwa mereka telah mengambil sepasang senjata yang disebut keris itu, meskipun ujudnya cukup besar. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa dengan demikian, beberapa akibat telah mengikuti mereka. Akibat buruk. Bahkan kematian demi kematian.

Namun orang tua itu berkata, “Agaknya memang sudah menjadi nasib kalian. Sepasang pusaka itu agaknya memang berniat untuk mengabdi kepada kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Meskipun demikian orang tua itu seakan-akan dapat membaca perasaan mereka sehingga karena itu maka katanya, “Namun anak-anak muda. Kalian pun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi kalian agaknya tidak akan lama berada di gubugku ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengangguk-angguk diluar sadar mereka. Namun dalam pada itu, orang tua itu pun telah berkata, “Tetapi anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang berilmu tinggi.”

“Kami tidak berpikir tentang diri kami sendiri Kiai,” jawab Mahisa Murti, “mungkin orang lain, tetapi juga mungkin salah seorang dari kami akan menjadi korban berikutnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa jika mungkin korban-korban yang jatuh itu agar dapat dihentikan.”

“Memang sulit ngger,” orang tua itu menggeleng, “tetapi jika orang-orang yang datang kepada kalian yang menjadi korban berikutnya dan berikutnya, adalah salah mereka sendiri karena mereka tentu orang-orang yang serakah. Orang yang tidak dapat menghargai hak milik orang lain. Mereka merasa bahwa mereka dapat berbuat apa saja dengan kekuatan ilmu mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara orang tua itu berkata, “Karena itu harus dijaga, agar korban yang jatuh bukanlah kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Memang terbersit juga kekhawatiran, bahwa mereka akan terpaksa menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Melampaui mereka berdua, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah sampai kepada ayah mereka. Hanya karena sepasang pedang.

Tetapi itu bukan ungkapan dari perasaan takut. Tetapi mereka sebenarnya memang bukan orang-orang yang termasuk tamak karena menginginkan sepasang keris, berhulu emas dengan tretes permata.

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “bagaimanapun juga tentu ada kecemasan di hati kalian. Betapapun kalian termasuk orang-orang yang paling berani di muka bumi serta memiliki tingkat ilmu yang betapapun tingginya. Namun kalian akan dapat berusaha mengatasinya jika bahaya itu benar-benar datang. Kalian memang harus bertempur berpasangan jika kalian berhadapan dengan orang yang memang berilmu sangat tinggi. Kalian akan dapat bersama-sama melepaskan serangan kalian, dengan dorongan ilmu yang telah kalian miliki, serta dukungan senjata-senjata yang telah ada di tangan kalian itu. Maka kekuatan serangan kalian itu akan menjadi berlipat ganda. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan kekuatan serangan itu. Bahkan sendiri-sendiri pun, dengan cara itu, kalian akan merupakan orang yang sulit dicari tandingnya. Namun menghadapi orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi, sebaiknya kalian bertempur berpasangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pesan itu akan sangat berarti bagi mereka, karena mereka menduga, bahwa masih banyak orang-orang yang akan datang kepada mereka untuk mengambil sepasang pusaka itu.

“Nah anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “sebaiknya kalian tinggal di sini sampai esok pagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk. Mereka memang tidak ingin terlalu lama tinggal di tempat itu. Rasa-rasanya ayah dan padepokan mereka telah terlalu nampak di angan-angan mereka.

Sementara itu orang tua itu berkata, “Namun jika kalian bersedia tinggal di sini lebih lama lagi, akan lebih baik.”

“Maaf Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami memang harus segera meneruskan perjalanan kami yang banyak tertunda.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Apalagi ketika orang tua itu tahu, bahwa anak-anak muda itu memang berniat tapa ngrame, sebagai laku untuk menemukan kemungkinan yang lebih baik di masa datang.

“Laku yang kalian tempuh adalah laku yang mengagumkan. Tetapi akibatnya adalah seperti yang kalian alami. Perjalanan kalian akan selalu tertunda-tunda,” berkata orang tua itu lebih lanjut.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bermalam semalam lagi di rumah orang tua itu. Di gubug yang terhitung kecil. Namun cukup hangat bagi mereka daripada harus tidur di udara terbuka sebagaimana sering mereka lakukan.

Pagi-pagi benar, ternyata murid orang tua itu telah menyediakan minuman hangat dan makan pagi bagi mereka. Masih terlalu pagi sebenarnya. Tetapi murid orang tua itu tahu, bahwa mereka akan meninggalkan rumah itu.

Sambil meneguk minuman hangat dan makan makanan yang disediakan, maka orang tua itu pun sempat memberikan beberapa petunjuk tentang kedua pusaka itu. Dengan nada rendah ia berkata, ”Puncak kemampuannya akan dapat kalian capai jika saat kalian melepaskan kekuatan bersama-sama, maka kedua buah keris itu saling berdekatan. Semakin dekat semakin tinggi kemampuannya.”

“Terima kasih Kiai,” jawab Mahisa Murti yang kemudian telah mengucapkan terima kasih dan mohon diri untuk meneruskan perjalanan. Demikian pula Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.

Mahisa Amping menjadi sangat bergembira, ketika ternyata pisau belati panjang, yang diberikan oleh orang tua itu selagi ia berada di antara ular-ular yang mampu menyusup pertahanan orang tua itu serta kedua kakak angkatnya, telah dinyatakan boleh dimilikinya.

“Tetapi kau harus berhati-hati dengan senjata,” berkata orang tua itu, “senjata dapat membantumu, tetapi pada suatu saat, justru senjata akan dapat mencelakaimu sendiri.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya sambil menundukkan kepala, “Terima kasih Kiai.”

Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat tinggal di rumah itu terlalu lama. Mereka-pun telah minta diri untuk meneruskan perjalanan mereka kembali ke padepokan mereka serta menjumpai ayah mereka yang juga sudah tua.

Orang tua itu tidak menahan mereka lebih lama lagi. Orang tua itu pun menyadari kerinduan mereka terhadap orang tua serta padepokan mereka. Namun beberapa kali orang tua itu masih saja memberikan pesan agar mereka menjadi sangat berhati-hati menghadapi keadaan yang dapat berkembang menjadi semakin buruk.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah meninggalkan rumah orang tua itu. Dengan ancar-ancar puncak gunung dan arah mata angin, maka mereka berjalan menuju ke padepokan mereka.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa mereka benar-benar telah dilepaskan oleh orang tua itu. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka mereka harus mempertanggungjawabkan sendiri. Mereka tidak akan dapat mengharap lagi, bahwa orang tua itu tiba-tiba saja muncul untuk menolong mereka seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di sepanjang jalan telah berceritera kepada Mahisa Amping, apakah arti dan gunanya senjata bagi dirinya, sambil memperkenalkan cara penggunaannya. Ternyata Mahisa Amping dengan cepat mampu menguasai senjatanya itu. Ia pun telah mencoba mempergunakannya. Dengan cepat pula Mahisa Amping mempelajari ilmu meskipun masih mendasar sekali tentang senjatanya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah berjanji kepada anak itu untuk mulai melatihnya dalam olah kanuragan.

Malam yang kemudian turun setelah mereka sehari-hari menempuh perjalanan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja telah bermalam di sebuah banjar padukuhan. Mereka berharap bahwa dengan demikian akan dapat menjauhkan mereka dari usaha perampasan sepasang keris yang besar itu. Jika mereka berada di antara banyak orang yang biasanya berjaga-jaga di banjar, maka orang yang berniat jahat itu tentu akan berpikir dua tiga kali.

Ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Mahisa amping dan Wantilan telah diterima untuk bermalam di sebuah banjar padukuhan dengan senang hati. Penunggu banjar padukuhan itu sama sekali tidak berkeberatan menerima beberapa orang yang mengaku pengembara.

Tetapi ketika Ki Jagabaya datang ke banjar, maka ia pun telah berpesan kepada anak-anak muda yang bertugas, “berhati-hatilah. Empat orang dan seorang anak kecil. Mereka semuanya bersenjata. Bahkan anak kecil itu pun membawa pisau belati. Kami memang tidak boleh berprasangka buruk. Mungkin para pengembara memang memerlukan senjata. Namun tidak ada salahnya jika kita berhati-hati.”

“Ada berapa peronda malam ini?” bertanya seorang bebahu yang lain.

“Ada tujuh orang dari sebelah Utara jalan padukuhan dan ada enam dari sebelah Selatan. Tidak termasuk tiga orang di ujung Utara dan tiga orang di ujung Selatan. Mereka bertugas di gardu. Tetapi hampir di setiap malam, ada sepuluh, bahkan lebih anak-anak muda yang bermain di banjar dan di gardu-gardu sekedar bergurau dan satu kesenangan baru bagi mereka, membuat makanan di tengah malam. Apapun yang dibuat. Kadang-kadang gula semut, tetapi kadang-kadang bahkan membuat serabi juruh,” jawab salah seorang di antara anak muda itu.

Ki Jagabaya tertawa. Tetapi ia berpesan, agar tidak menyulitkan orang-orang tua mereka. Jika mereka setiap hari minta gula kelapa, mengambil beberapa bahan makanan dan barangkali uang sedikit untuk membeli segala sesuatunya yang kurang, maka orang-orang tua itu akan berkeberatan jika anaknya pergi ke banjar atau ke gardu.

“Ah, tidak Ki Jagabaya,” jawab anak muda itu, “hanya sekedarnya.”

Ki Jagabaya kemudian minta diri. Namun ia masih berkata, “Hubungi aku jika dianggap penting.”

Tetapi anak-anak muda yang bertugas meronda itu tidak menganggap bahwa akan ada bahaya yang timbul dari orang-orang yang mengaku pengembara itu. Pada mereka, sama sekali tidak nampak sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan, bahkan sama sekali tidak ada yang menarik perhatian. Mereka mandi di pakiwan, kemudian duduk-duduk di serambi belakang, karena mereka telah dipersilahkan untuk bermalam di amben besar di serambi belakang itu.

Bagi orang-orang yang mengaku pengembara itu merasa pula bahwa memang tidak akan ada persoalan yang timbul bagi mereka. Demikian langit menjadi gelap, mereka telah mengatur diri, siapakah di antara mereka yang akan tidur lebih dahulu dan siapakah yang akan bertugas berjaga-jaga.

Sampai tengah malam memang tidak terjadi sesuatu. Namun beberapa saat lewat tengah malam, ketika sudah tidak lagi terdengar anak-anak muda bergurau di pendapa banjar, karena sebagian di antara mereka telah tertidur, apalagi mereka yang tidak sedang bertugas, maka Mahisa Murti yang sedang bertugas telah merasakan sesuatu yang kurang wajar.

Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Meskipun demikian ia telah menyentuh Mahisa Pukat untuk membangunkannya. Mahisa Pukat memang terbangun. Namun melihat sikap Mahisa Murti, maka ia pun segera tanggap. Mahisa Pukat yang sudah membuka matanya itu, tetap saja berbaring diam.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar desir lembut di halaman belakang banjar itu. Dalam kegelapan Mahisa Murti melihat bayangan yang kemudian menjadi jelas sebagai sosok seseorang. Mahisa Murti telah bersiap sepenuhnya. Jika terjadi sesuatu maka ia telah siap untuk melawannya.

Namun orang itu justru berkata, “Aku tidak akan berbuat apa-apa sekarang anak-anak muda.”

“Apa maksudmu?” desis Mahisa Murti.

“Jika aku melakukannya di sini, maka anak-anak muda yang meronda itu tentu akan melibatkan diri,” jawab orang itu. “inilah kecerdikanmu. Kau sengaja bermalam di tempat yang ramai, karena kau akan dapat berlindung dalam keramaian itu. Jika aku berusaha merampas sepasang keris itu sekarang, dan para peronda itu ikut campur, maka aku harus membunuh sekian banyak orang. Karena itu, aku tunggu kau besok di tempat yang sepi. Di manapun. Jika kau memang jantan, maka kau tentu tidak akan bersembunyi di tengah pasar atau di banjar padukuhan seperti ini. Kita akan menentukan, siapakah yang berhak atas sepasang pusaka itu.”

“Kau adalah orang ketiga yang datang dengan maksud yang sama,” berkata Mahisa Murti, “dua orang yang terdahulu telah gagal.”

“Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki pusaka itu sehingga mereka tidak memperhitungkan kemampuan orang tua itu,” jawab orang yang berdiri di kegelapan itu, “tetapi besok kau tidak akan dapat menunggu orang itu datang padamu dan membantumu seperti yang pernah dilakukannya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tunggu aku besok. Tetapi karena aku tidak mengenal lingkungan ini, maka aku tidak dapat mengatakan, jalan manakah yang akan aku lewati besok. Aku akan menerima kedatanganmu kapan saja dan di mana saja kau kehendaki.”

“Bagus,” jawab orang itu, “aku memang sudah mengira bahwa kalian adalah anak-anak muda yang berani. Tetapi berdoalah kalian sekarang ini, karena besok adalah hari kalian yang terakhir.”

“Aku sudah mendengar kata-kata itu lebih dari sepuluh kali,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Tetapi kau berdoa kapan saja aku ingin berdoa sesuai dengan kepentinganku.”

Orang itu tertawa pendek. Katanya, “Kau adalah anak muda yang berani dan tabah. Baiklah. Aku minta diri. Besok kita akan bertemu lagi.”

Orang itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera meloncat naik menusuk ke dalam kegelapan langit dan seakan-akan telah hilang di dalamnya. Baru kemudian Mahisa Pukat bangkit dan duduk di sebelah Mahisa Murti. Dengan nada lemah ia bertanya, “Sudah lama orang itu ada di sini?”

“Pada saat aku menggamitmu,” jawab Mahisa Murti.

“Nampaknya memang orang berilmu tinggi,” desis Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Ia seakan-akan telah lenyap begitu saja meluncur terbang tinggi-tinggi.”

“Kita memang harus berhati-hati,” jawab Mahisa Murti, “namun seperti yang sudah kita duga, sepasang keris ini memang akan banyak menimbulkan persoalan. Tetapi seperti yang dikatakan orang tua itu, bahwa seandainya kita mengembalikan keris itu, akibatnya akan sama saja. Orang-orang itu tentu menganggap bahwa kita masih saja membawa sepasang keris itu ke mana-mana, atau menyembunyikannya, karena tidak mungkin kita mengembalikan keris-keris itu justru sebagai pusaka yang dikagumi dan sebagai benda yang sangat mahal harganya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Apapun yang akan terjadi. Aku tidak tahu, apakah ini keuntungan kita yang telah menemukan sepasang pusaka itu, atau malahan ini merupakan satu kutukan karena kita telah membuka bilik yang tertutup rapat itu.”

“Kedua-duanya,”sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tersenyum. Kecut sekali. Namun ia pun kemudian telah berbaring lagi sambil berkata, “Masih tersisa waktuku untuk beristirahat.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Apakah kita akan menyerahkan giliran kepada Mahisa Semu? Untunglah bahwa aku yang bertugas pada saat orang itu datang.”

“Jika kau bangunkan Mahisa Semu untuk mendapatkan gilirannya, bangunkan aku juga,” berkata Mahisa Pukat.

“Tidurlah,” desis Mahisa Murti.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat memang sudah tertidur nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya bersandar dinding. Namun demikian, maka seakan-akan ia melihat keadaan di sekitar banjar itu karena penggraitanya yang tajam.

Namun orang itu memang tidak kembali sampai saatnya ia membangunkan Mahisa Semu. Bahkan agak terlambat. Namun diluar pengetahuan Mahisa Semu, Mahisa Murti telah membangunkan Mahisa Pukat pula.

Ketika kemudian Mahisa Semu duduk bersandar dinding, maka Mahisa Pukat yang juga terbangun masih tetap saja berbaring di tempatnya. Namun ketika fajar mulai menyingsing, Mahisa Pukat justru telah tertidur lagi, karena ia menganggap bahwa beberapa saat kemudian matahari akan segera terbit sehingga jika ada yang berniat buruk, tentu sudah dilakukannya sebelumnya.

Ternyata sampai pagi hari, memang tidak terjadi sesuatu. Sesudah mandi dan berbenah diri, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah minta diri kepada penunggu banjar itu serta mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang mereka peroleh untuk bermalam di banjar itu. Karena kebetulan Ki Jagabaya ada juga di banjar, maka mereka pun telah menemuinya dan minta diri serta mengucapkan terima kasih pula.

Sebenarnyalah Ki Jagabaya memang datang ke banjar untuk mengetahui apakah ada sesuatu yang terjadi. Namun ternyata bahwa semalam dan bahkan sampai saat itu tidak terjadi sesuatu. Orang-orang yang bermalam di banjar itu ternyata tidak berbuat sesuatu yang dapat membuat padukuhan mereka menjadi keruh.

Demikianlah sejenak kemudian Mahisa Murti telah meninggalkan banjar itu. Ketika mereka keluar dari padukuhan, maka Mahsia Murti merasa perlu untuk memberitahukan apa yang didengarnya semalam kepada saudara-saudaranya.

“Dengan demikian maka kita harus berhati-hati,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat pun kemudian berkata pula, “Sebaiknya kalian berusaha untuk menjaga diri sendiri. Termasuk Mahisa Amping. Seseorang tengah berusaha merampas keris ini, sehingga kami berdua akan menjadi sasaran utama.”

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Namun Mahisa Amping memang nampak kebingungan.

“Jangan cemas,” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Amping, “kau sudah memiliki ilmu yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri.”

Mahisa Amping yang kecil itu masih saja bingung. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan, justru memilih jalan yang ramai dan sibuk. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai yang besar dan cukup ramai.

Sementara mereka makan, maka Mahisa Amping telah melupakan kegelisahannya. Bahkan ia tidak menghiraukan ketika seorang yang tidak dikenal telah duduk bersama mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah merasa curiga ketika mereka melihat orang itu datang sambil tersenyum-senyum. Bahkan kemudian duduk pula di antara mereka dan menyapa dengan ramah.

“Marilah anak-anak muda. Silahkan. Biarlah aku yang membayarnya.”

“Siapakah kau Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.

“Begitu cepat kau lupa?” justru orang itu ganti bertanya.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia segera mengerti maksud orang itu. Karena itu, maka katanya, “Aku mengerti. Kau orang yang datang semalam.”

“Ya,” jawab orang itu, “ternyata ingatanmu cukup tajam, atau panggraitamu yang sangat baik.”

“Apapun yang ada padaku,” jawab Mahisa Murti, “sekarang, apakah maksudmu menemui kami di sini? Apakah kau ingin menantang kami berperang tanding?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Begitu beraninya kau anak muda. Agaknya kau memang belum mengenal aku.”

“Kami memang belum mengenalmu,” jawab Mahisa Murti.

“Aku adalah sahabat karib orang tua yang membuat sepasang keris itu. Ketika ia membuat keris itu, ia berjanji untuk membuat bagiku pula. Tetapi sampai sekarang ia tidak melakukannya. Maka aku merasa bahwa untuk memenuhi janjinya ia cukup menyerahkan sepasang keris yang kalian bawa itu. Kemudian aku akan menganggap hutangnya sudah lunas.”

“Kau berbohong,” berkata Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Katanya, “Satu ceritera yang menarik. Aku kira kau akan percaya.”

“Aku sudah dapat menduga, bahkan semua pembicaraanmu sulit untuk dipercaya,” berkata Mahisa Murti.

“Sekarang apa maumu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku hanya memperingatkanmu, bahwa aku akan datang menemuimu. Semakin cepat semakin baik,” berkata orang itu dengan geram.

“Kenapa tidak kau lakukan sekarang?,” Mahisa Pukat pun menggeram.

“Sudah aku katakan. Aku tidak mau melibatkan orang lain. Karena itu, berusahalah untuk mencari tempat yang sepi. Kita akan segera membuat perhitungan,” berkata orang itu.

“Aku akan berjalan menurut jalan yang aku kehendaki. Jika kau berkepentingan dengan kami, kaulah yang harus menyesuaikan diri,” berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah. Aku memang harus menyesuaikan diri dengan cara kalian. Aku sudah mengira bahwa kalian tentu akan selalu mencari tempat yang dapat kalian pergunakan untuk mencari perlindungan,” berkata orang itu.

“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami sudah siap untuk mempertahankan sepasang pusaka yang telah menjadi hak kami ini,” jawab Mahisa Pukat.

“Baiklah,” desis orang itu. Lalu katanya, “Dan sekarang, biarlah aku membayar bagi kalian.”

“Terima kasih Ki Sanak. Adalah kebetulan bahwa kami mempunyai bekal cukup,” jawab Mahisa Murti.

Tetapi orang itu telah membuka sebuah kantong lain. Ia sengaja menunjukkan uang cukup banyak. Bahkan kepingan kepingan emas, meskipun hanya satu dua. Namun orang itu terkejut ketika hampir bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil kantongnya pula, serta menunjukkan bekalnya yang cukup banyak pula. Bahkan kemudian Mahisa Semu. Orang itu tiba-tiba saja telah mengumpat kasar. Sikapnya yang ramah tamah dan nampak lembut tiba-tiba telah berubah menjadi garang.

“Bagus,” berkata orang itu, ”pada saatnya aku akan merampas kedua pusaka itu sekaligus uang yang kalian bawa.”

“Atau bahkan kau akan menyerahkan uang dan beberapa keping emas itu kepadaku,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekilas terdengar ia mengumpat kasar. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya meninggalkan kedai itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus memperhitungkan, apakah orang itu hanya sendiri atau membawa satu atau dua orang kawan yang dianggap akan dapat ikut menyelesaikan persoalan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat justru telah berkata, “Sebaiknya kita cepat menyelesaikan persoalan ini. Lebih cepat lebih baik apapun yang akan terjadi.”

Mahisa Murti pun mengangguk sambil menjawab, “Aku sependapat. Hari ini kita menempuh jalan yang paling sepi yang dapat kita ketemukan. Aku yakin orang itu tentu selalu mengawasi kita.”

Seperti yang mereka rencanakan, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah mencari jalan yang terhitung sepi. Bahkan mereka telah memilih jalan yang melalui lereng perbukitan kecil, namun memanjang beberapa ratus tonggak. Ketika mereka sampai kesebuah goa yang tidak terlalu dalam, maka mereka telah berhenti dan berteduh sesaat. Namun ternyata orang itu sama sekali tidak menampakkan dirinya, sehingga akhirnya mata hari telah menjadi semakin rendah.

Mahisa Amping lah yang kemudian bersungut-sungut. Justru perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada orang yang mengikutinya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat memberikan latihan-latihan kepadanya. Tetapi Mahisa Amping nampaknya menyadari, bahwa ia memang tidak dapat mengganggu perhatian kedua orang anak muda itu. Bahkan mereka semuanya nampaknya telah menjadi tegang.

Menjelang senja, maka Mahisa Murti telah dengan sengaja bermalam di tempat terbuka. Mereka tidak menuju ke padukuhan dan minta bermalam di banjar. Tetapi mereka telah memilih sebuah pategalan yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu Mereka tidak membagi waktu untuk berjaga-jaga. Tetapi orang itu tidak kunjung datang. Baru menjelang fajar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat kesempatan beristirahat, karena Mahisa Semu dan Wantilan telah terbangun dan bersedia untuk mengamati keadaan sebaik-saudaranya.

Namun demikian kedua anak muda itu juga tidak dapat tidur. Keduanya hanya berbaring saja, sementara Mahisa Semu dan Wantilan duduk menghadap ke arah yang berbeda. Ketika matahari terbit, justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berniat untuk tidur barang sebentar untuk memelihara agar tenaganya tidak menjadi susut.

“Tidurlah,” berkata Wantilan, “kalian memang memerlukannya.”

Selama keduanya tidur, Mahisa Semu dan Wantilan dengan penuh kewaspadaan telah menjaganya. Tetapi sampai saatnya keduanya terbangun pada waktu matahari sepenggalah, maka tidak seorang pun yang menghampirinya.

“Kita tidak perlu menghiraukannya,” berkata Mahisa Murti kita akan melanjutkan perjalanan.

Kelima orang itu pun kemudian telah bebenah diri. Dekat pategalan itu terdapat sebuah parit yang berair jernih, sehingga mereka dapat mencuci muka sebelum meninggalkan tempat itu. Menjelang tengah hari mereka telah berhenti di sebuah pasar kecil. Tidak ada kedai yang cukup baik. Namun sebuah kedai kecil nampaknya menyediakan makanan yang cukup, sehingga mereka pun telah singgah pula. Tetapi kedai kecil itu seakan-akan tidak tertutup sama sekali, selain atap jerami di atasnya.

Beberapa saat mereka makan dan minum secukupnya. Meskipun kedai itu kecil dan sederhana, ternyata masakan yang dijual cukup memenuhi selera. Namun demikian mereka meninggalkan kedai itu, maka terdengar suara tertawa. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berpaling, mereka melihat seseorang menyusup di antara orang-orang yang masih ada di pasar yang mulai sepi itu. Tetapi di tempat penjualan unggas, masih banyak orang yang melihat-lihat.

Dari tempat itulah orang itu muncul sambil berkata, “Kalian telah bersembunyi di pasar ini.”

“Persetan,” geram Mahisa Murti, “kita selesaikan sekarang. Dengan demikian persoalan di antara kita tidak akan berkepanjangan lagi.”

“Sudah aku katakan,” jawab orang itu, “tidak di tempat yang ramai.”

Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Dengan geram ia berkata, “Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak setuju.”

“Jika kita bertanding di tempat yang ramai, banyak korban tidak bersalah akan jatuh.”

Mahisa Pukat masih akan menjawab lagi. Tetapi orang itu telah melangkah menjauhinya. Mahisa Pukat hampir saja memburunya, tetapi Mahisa Murti masih sempat menggamit untuk menahannya. “Setan,” geram Mahisa Pukat.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kita tidak tergesa-gesa. Kapan saja orang itu datang, maka kita akan melayaninya dengan sebaik-baiknya.”

Mahisa Pukat pun kemudian menjadi tenang, sehingga mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Namun perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar melekat kepada orang itu.

Di malam berikutnya, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih juga bermalam di tempat terbuka. Tetapi orang itu sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi di hari berikutnya, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berada di tempat ramai orang itu telah muncul kembali dengan sikap dan kata-kata yang sama.

Mahisa Murti sendiri menjadi tidak sabar. Namun kemudian yang menggamitnya adalah Wantilan. Mungkin di bidang ilmu, Wantilan jauh berada dibawah kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi bagaimanapun juga kelebihan umurnya berpengaruh juga pada sikapnya. Dengan sareh Wantilan bertanya, “Apa yang ingin kalian lakukan?”

“Membunuhnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Kalian harus menyadari, bahwa kalian sedang dalam keadaan marah yang mendalam. Mungkin dengan keadaan kalian yang demikian, kalian tidak akan berhasil membunuhnya,” berkata Wantilan.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat, bahkan hampir kehilangan akal. Selain keadaan kalian, maka mungkin orang itu tidak seorang diri, sehingga dalam keadaan yang hampir diluar sadar kalian telah dijebak,” berkata Wantilan.

“Tetapi ia datang setiap hari dengan ancaman-ancaman yang memuakkan. Tetapi jika kita menunggunya di tempat yang sepi, ia tidak kunjung datang,” geram Mahisa Pukat pula.

“Itu adalah salah satu cara yang ditempuh untuk membuat lawan mereka menjadi lemah. Jika kemarahan telah sampai ke ubun-ubun, maka pikiran kita tidak lagi menjadi jernih. Bukankah di saat-saat kalian mengajari kami, kalian selalu menekankan hal itu.”

Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Wantilan berkata, “Jika kalian kehilangan kekang diri, maka tujuan orang itu telah tercapai. Membuat kalian kehilangan penalaran yang bening.”

“Terima kasih paman,” desis Mahisa Murti, “ternyata kau sempat memberi aku kesadaran pada saat yang gawat seperti ini.”

“Yang penting, kalian harus dapat membiarkannya. Jangan hiraukan kata-katanya. Jika kalian ingin bermalam di banjar, lakukanlah. Jika orang itu benar-benar datang untuk merampas sepasang keris itu lawanlah. Jika orang itu hanya berbicara saja maka biarkan saja ia berbicara,” berkata Wantilan kemudian. “Kalian harus menanggapinya dengan cara yang mereka pergunakan.”

“Terima kasih, terima kasih,” desis Mahisa Murti.

Demikianlah, maka orang-orang itu pun mulai berusaha untuk tidak terpengaruh lagi oleh orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai lagi dengan memberikan latihan-latihan kepada Mahisa Semu, Wantilan dan juga kepada Mahisa Amping yang telah memiliki senjata pisau belati.

Di malam hari, maka mereka benar-benar telah datang ke sebuah banjar dan minta agar diijinkan untuk bermalam di banjar itu. Ternyata mereka telah diterima dengan baik, sehingga kelima, orang itu mendapat tempat di serambi samping.

Seperti yang sudah diduga, maka lewat tengah malam, seseorang tiba-tiba saja telah berdiri di halaman samping, di hadapan serambi tempat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mendapat tempat untuk menginap. Pada saat itu, Mahisa Pukat lah yang sedang mendapat giliran untuk berjaga-jaga sambil bersandar dinding.

“Selamat malam anak muda?” orang itu menyapa dengan suara perlahan-lahan sekali. Sementara itu anak-anak muda yang bertugas di pendapa masih saja ramai berkelakar.

“Selamat malam Ki Sanak,” jawab Mahisa Pukat.

“Apakah kau ingat aku?” bertanya orang itu.

“Tentu saja,” jawab Mahisa Pukat.

“Sekali lagi kau bersembunyi di sebuah banjar,” berkata orang itu.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat dingin.

“Kau masih saja bersifat pengecut. Bermalam di tempat yang ramai sehingga aku tidak dapat menyerangmu sekarang,” berkata orang itu pula.

Tetapi jawaban Mahisa Pukat agak aneh, “Kami tidak tergesa-gesa Ki Sanak. Lakukan kapan saja kalian sempat. Jika tidak juga tidak apa-apa. Bagaimanapun juga, jika kami harus memilih, maka kami memilih untuk tidak membunuh. Tetapi juga tidak dibunuh.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Ternyata kalian memang pengecut yang licik. Kenapa kalian tidak berani mempertahankan pusaka yang kau curi itu dengan laku jantan? Tetapi aku akan mencari kesempatan sehingga pada suatu saat aku akan dapat mengambilnya dari tangan kalian.”

“Aku tidak peduli lagi. Kapan saja kalian mau ambil, ambillah. Tergantung sekali dengan keinginanmu untuk kapan kau akan mati. Karena itu, kami tinggal menunggu saja. Kalau kau sudah berminat untuk mati, temuilah kami,” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya degup jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia masih harus menahan diri. Ia lah yang harus membuat anak-anak itu selalu gelisah dan marah, sehingga pada suatu saat perasaan mereka tidak terkendali lagi. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,

“Agaknya kau merasa tenang dan aman di banjar seperti ini. Agaknya kau merasa bahwa di sini kau mendapat perlindungan. Tetapi ketahuilah, jika aku tidak bertindak, itu karena sebab lain. Bukan karena aku takut menghadapi anak-anak muda yang banyak itu. Tetapi semata-mata karena aku tidak mau membunuh orang yang tidak berdosa.”

Namun jawab Mahisa Pukat, “Bukankah kata-kata itu sudah kau ucapkan kemarin, kemarin lusa dan kapan lagi? Aku sudah jemu mendengarnya.”

“Kau merasa malu kepada dirimu sendiri? Hei,” tanya orang itu.

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “aku tidak pernah malu terhadap diriku sendiri dan kepada orang lain. Aku juga tidak malu minta berteduh di banjar ini. Aku juga tidak malu untuk menerima pemberian penunggu banjar ini. Makan dan minum. Bahkan dapat menghemat bekalku serba sedikit agar tidak cepat habis. Namun aku menunggu kau menyerang kami kapan pun itu, agar kami mendapat kesempatan dan alasan untuk merampas uangmu dan kepingan-kepingan emas itu.”

“Cukup,” geram orang itu. Agaknya ia mulai sulit untuk menahan hati lagi. Namun kemudian suaranya merendah, “Sayang sekali bahwa kalian adalah anak-anak muda yang pengecut.”

Namun tiba-tiba Mahisa Pukat lah yang membentaknya meskipun tidak terlalu keras sehingga tidak terdengar dari pendapa, “Pergilah. Aku sudah mulai kantuk. Aku akan tidur. Besok aku akan berjalan lagi. Padahal jalan yang harus kami tempuh masih jauh.”

“Setan kau,” orang itu mulai mengumpat, “aku tunggu kalian besok di bulak panjang.”

“Kami tidak akan melalui bulak panjang. Kami akan berjalan menyusuri padukuhan dan barangkali berhenti di pasar dan tempat-tempat ramai lainnya tanpa merasa malu kepadamu. Mengerti. Nah, sekarang pergilah sebelum aku berteriak-teriak,” Mahisa Pukat pun kemudian menyandarkan kepalanya di dinding. Namun ia sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan.

Orang itu mulai mengumpat. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Agaknya waktunya memang sudah tiba. Besok kalian akan mati. Besok aku tidak akan peduli, apakah kau akan berjalan menyusuri pasar atau bersembunyi di manapun.”

Mahisa Pukat menguap sambil menjawab, “Aku sudah tidak mendengar kata-katamu.”

Jawaban itu memang sangat menyakitkan hati. Tetapi orang itu memang belum siap untuk bertindak. Karena itu, sebelum jantungnya terbakar karena sikap anak muda itu, maka orang itu telah memilih untuk meninggalkannya.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan orang itu tidak akan kembali setidak-tidaknya sampai dini hari. Sampai saatnya ia membangunkan Mahisa Murti. Meskipun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi lengah.

Namun seperti yang diperhitungkan, sampai dini orang itu tidak datang kembali sehingga datang saatnya Mahisa Pukat membangunkan Mahisa Murti untuk bergantian, berjaga-jaga sampai pagi.

Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar dinding. Namun yang lewat kemudian adalah seorang peronda yang akan pergi ke pakiwan. Bahkan anak muda itu masih sempat menyapanya, “Kau tidak dapat tidur?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “rasa-rasanya mata tidak mau terpejam.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Tidak ada apa-apa Ki Sanak. Mungkin aku terlalu memikirkan perjalanan panjangku,” jawab Mahisa Murti.

Anak muda itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera kembali ke pendapa. Suara tertawa masih saja terdengar. Namun sekali-sekali juga pembicaraan yang nampaknya bersungguh-sungguh.

Menjelang pagi, maka kelima orang pengembara itu telah terbangun seluruhnya. Mereka bergantian membenahi diri di pakiwan, sementara anak-anak muda yang meronda telah meninggalkan pendapa. Sebentar lagi matahari akan segera terbit. Sedangkan di jalan di depan banjar itu, beberapa orang mulai lewat untuk pergi ke pasar. Bahkan kadang-kadang terdapat dua atau tiga orang perempuan yang berjalan berurutan sambil membawa obor dari belarak. Bahkan ada di antara mereka untuk mengusir dingin telah berdendang sambil berjalan.

Sejenak kemudian, maka mereka yang berjalan dengan obor telah dipadamkannya, karena langit menjadi semakin terang. Sementara pasar pun menjadi semakin dekat. Dari petugas yang menunggui banjar itu, Mahisa Murti mendapat petunjuk, bahwa di ujung padukuhan itu memang terdapat pasar meskipun tidak terlalu besar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat, bahwa mereka akan pergi ke pasar. Mereka akan makan pagi secukupnya, kemudian mereka akan menempuh jalan bulak panjang yang sepi. Mereka memang sudah menjadi jemu bahwa mereka hanya saling mengancam, saling menantang dan berbagai macam cara lain untuk membuat lawan mereka menjadi marah. Tetapi akhirnya kedua belah pihak telah menjadi jemu, sehingga mereka memang sudah berkeputusan untuk segera mengakhirnya.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah pergi ke pasar, mereka telah duduk di sebuah kedai kecil yang terbuka. Dengan sengaja hal itu mereka lakukan, agar orang yang mengikuti mereka dapat melihat.

Sebenarnyalah, selagi mereka makan orang itu telah datang sambil menyapa, “Masih terlalu pagi untuk makan.”

“O, kau,” sapa Mahisa Murti tanpa berpaling, justru sambil menyuapi mulutnya.

Sedangkan Mahisa Pukat pun berkata, “Apakah kau ingin kami membelikan makan pagi buatmu?”

“Persetan,” geram orang itu.

“Lalu kau mau apa pagi-pagi begini sudah menemui kami, justru saat kami sedang makan,” bertanya Mahisa Pukat.

“Silahkan makan,” berkata orang itu, “sebentar lagi, aku ingin menyuapi mulutmu dengan ujung pedang.”

Mahisa Pukat tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Tunggulah di luar pasar, agar aku tidak merasa terganggu. Aku masih lama, karena aku masih akan tambah lagi dengan semangkuk minuman dan semangkuk nasi lodeh kulit melinjo.”

“Tutup mulutmu,” geram orang itu.

Namun sambil tertawa Mahisa Pukat berkata, “Jangan terlalu garang. Apapun yang kau lakukan, kau sama sekali tidak menakutkan kami.”

Orang itu mengumpat kasar meskipun hanya perlahan-lahan. Namun ia pun kemudian telah bergeser sambil berdesis, “Hari ini adalah hari kematian kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berpaling. Mereka masih saja makan dan meneguk minuman hangat tanpa memperhatikan orang itu. Hanya Mahisa Amping sajalah yang mengikuti orang itu dengan tatapan matanya kemanapun orang itu pergi sehingga akhirnya hilang di kerumunan banyak orang. Baru kemudian mereka dengan cepat menyelesaikan makan mereka dan membayar harganya.

Sejenak kemudian, mereka telah berada di luar pasar. Hari memang masih pagi. Tetapi justru karena itu, maka makanan dan minuman di kedai itu masih terasa hangat.

“Kita akan menempuh jalan bulak panjang. Tetapi kita akan berjalan perlahan-lahan,” berkata Mahisa Murti.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kita baru saja makan. Jika kita berjalan cepat dan apalagi harus banyak bergerak, maka lambung kita akan terasa sakit.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun tersirat dari jawaban itu bahwa kemungkinan yang akan terjadi antara lain adalah bertempur melawan orang yang selalu datang itu.

Sebenarnyalah mereka berjalan perlahan-lahan. Mereka sempat memperhatikan beberapa orang pandai besi yang bekerja untuk membuat berbagai macam alat bagi para petani. Parang, cangkul dan semacamnya. Bahkan ketika mereka sudah meninggalkan pasar itu, mereka masih juga berjalan perlahan-lahan. Mereka melihat-lihat keadaan padukuhan yang terhitung ramai itu. Apalagi agaknya hari itu adalah hari pasaran sehingga pasar itu pun menjadi sangat ramai.

Namun sejenak kemudian, mereka memang telah sampai di ujung padukuhan. Mereka memandang bulak di hadapan mereka. Bulak yang tidak terlalu panjang. Apalagi bulak itu adalah bulak yang ramai dilewati orang-orang yang akan pergi dan pulang dari pasar di padukuhan yang baru saja mereka lewati. Tetapi agaknya hal itu justru lebih baik, karena dengan demikian mereka masih mendapat kesempatan untuk berjalan lambat. Mengendapkan makanan dan minuman di perutnya, sehingga lambung mereka tidak akan menjadi sakit.

Ketika mereka sudah melewati bulak dan kemudian padukuhan berikutnya, maka rasa-rasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka mereka mulai menentukan arah perjalanan mereka. Mereka tidak lagi mengikuti jalan bulak pendek yang akan segera sampai ke padukuhan berikutnya, namun mereka mulai memasuki sebuah jalan yang lebih kecil. Namun jalan itu seakan-akan tidak berujung.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap sepenuhnya, apapun yang mereka hadapi. Bahkan Mahisa Murti pun telah berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “Kita tidak tahu, siapakah yang akan kita hadapi kemudian. Mungkin seorang, mungkin dua, tetapi mungkin lebih dari itu. Karena itu, maka sebaiknya kalian bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun sepasang pusaka itu ada pada kami berdua, tetapi karena kalian ada bersama kami, maka kemungkinan buruk itu dapat terjadi atas kalian juga sebagaimana mungkin dapat terjadi pula atas kami.”

Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Wantilan menjawab, “Kami telah menyatakan diri ikut bersama kalian. Dengan demikian maka kami harus bersiap menanggung segala akibat yang dapat terjadi.”

Ternyata orang itu telah berdiri beberapa langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segera bangkit berdiri. Dengan geram orang itu kemudian berkata, “Aku sudah tidak sabar lagi menunggu kalian.”

“Kau kira aku dapat menunggu lebih lama lagi?” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa yang kau maui sebenarnya.”

“Serahkan sepasang keris itu. Hanya itu,” jawab orang itu tegas.

“Kau tentu sudah tahu jawabnya. Kami berkeberatan,” jawab Mahisa Murti.

“Anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Pada usia kalian sekarang ini, maka kalian sudah dapat disejajarkan dengan orang-orang yang berilmu tinggi lainnya. Namun demikian, kau harus menyadari, betapa tinggi ilmu kalian berdua, maka bagiku kalian bukan apa-apa. Jika setiap kali rencanaku tertunda, karena aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa tidak sepantasnya kalian untuk dibunuh. Tetapi jika kalian berkeras untuk mempertahankan sepasang keris itu, maka apa boleh buat,” berkata orang itu pula.

“Nah Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sekarang kita akan menentukan, siapakah yang akan berhak atas sepasang keris itu. Menurut kebenaran yang biasa diakui, maka karena orang yang membuat keris itu yang adalah kebetulan ayah dari pemiliknya telah merelakannya kepada kami, maka kamilah yang berhak. Tetapi jika hal itu tidak kau akui, sehingga kebenarannya akan ditentukan oleh kekuatan, maka kami pun tidak berkeberatan. Siapa yang kuat ia akan berhak atas sepasang keris itu.”

“Bukan main,” berkata orang itu, “kalian benar-benar anak-anak yang berani. Tetapi apakah kalian memang benar-benar berniat melawan kami?”

“Tergantung kepadamu,” jawab Mahisa Pukat, “Apakah kau benar-benar akan merampas keris ini?”

“Bagus,” jawab orang itu, ”berhati-hatilah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergerak maju. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun telah terbangun. Namun mereka memang tidak membangunkan Mahisa Amping.

Ketika mereka berhadapan, maka ternyata orang itu memang hanya sendiri. Dengan nada rendah ia berkata, “Jangan segan-segan. Majulah bersama-sama, karena jiwa keris itu memang terbagi dua. Keris itu akan mempunyai kekuatan yang tertinggi jika keduanya dapat serentak menghentakkan kekuatan ilmu. Kalau tidak, maka kekuatan ilmunya akan berkurang.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Pukat, “kami sudah tahu segala-galanya tentang milik kami.”

Orang itu memang tidak menunggu lagi. Dengan serta merta ia pun telah menyerang dengan senjatanya. Dua potong besi sepanjang dua tiga jengkal, yang dihubungkan dengan rantai baja yang kuat.

“Satu jenis senjata yang sangat sulit untuk dilawan,” desis Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun untuk melawan senjata itu, keduanya telah mencabut keris yang dibuat sebesar pedang itu.

Orang yang ingin merampasnya itu terpukau sejenak melihat keris itu. Namun kemudian katanya, “Harganya lebih mahal dari harga nyawa kalian. Karena itu, jika kalian berkeras, maka kalian benar-benar akan mati.”

Tetapi orang itu segera melangkah mundur ketika Mahisa Murti mulai menggerakkan keris itu. Putarannya menimbulkan cahaya yang kadang-kadang nampak, tetapi kadang-kadang tidak, seperti sebuah lingkaran yang menggetarkan. Namun sejenak kemudian, maka orang itu telah memutar senjatanya berpegang pada salah satu tongkat besi itu dan berkata, “Bersiaplah. Tetapi ilmuku adalah ilmu yang jarang ada duanya.”

Sejenak kemudian maka orang itu mulai menyerang. Tongkat besi baja yang sebuah berputaran, menyambar, menukik dan sekali-sekali bagaikan menusuk ke arah dada. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang benar-benar bertempur berpasangan mampu selalu mengelakkan diri. Bahkan berganti-ganti mereka menyerang dengan mempergunakan sepasang keris yang nggegirisi itu. Ternyata orang yang bersenjata sepasang tongkat itu memang mampu bergerak cepat sekali. Sulit diperhitungkan loncatan-loncatan kakinya dan apalagi ayunan tongkat bajanya.

Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat bukan orang kemarin sore di dunia olah kanuragan. Karena itu, bagaimanapun garangnya orang itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua mampu mengimbanginya. Bahkan serangan-serangan mereka yang kemudian datang beruntun, kadang-kadang telah membuat lawan mereka harus berloncatan surut.

Namun dalam sekejap mereka telah menyerang dengan garangnya. Seperti pusaran prahara yang sulit untuk ditahan kekuatannya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu mampu menghindarkan diri dari libatan prahara itu. Karena jika mereka benar-benar dicengkam oleh paraha itu, maka sulit bagi mereka untuk melepaskan diri.

Orang yang menginginkan sepasang keris itu semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Namun kadang-kadang tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu membuat kedua anak muda itu terkejut. Rantai itu kadang-kadang menjadi mampu menyambar anak-anak muda itu sebagaimana tongkat besi itu sendiri. Tegak dan kuat, sehingga akan dapat mematahkan tulang-tulang anak-anak muda itu apabila mengenainya.

Tetapi anak-anak muda itu menggenggam senjata yang luar biasa. Bukan saja karena hulunya berlapis emas dan tretes permata, tetapi keris itu memang keris yang luar biasa. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu justru kadang-kadang telah membuat lawannya menjadi agak kebingungan.

Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan tenaga cadangannya untuk mengatasi lawannya yang bergerak semakin cepat pula. Namun dalam pada itu, lawannya pun menjadi semakin gelisah pula melihat kemampuan kedua orang anak muda itu.

Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat percaya kepada keterangan lawannya, bahwa semakin dekat sepasang pusaka itu memang menjadi semakin berbahaya. Bahkan orang tua yang telah membuat kedua keris itu pun pernah mengatakannya. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak selalu mengetrapkan dalam pertempuran itu. Keduanya kadang-kadang justru mengambil jarak yang jauh. Kedua pusaka itu memang menjadi semakin jauh sehingga tidak dapat menggabungkan kekuatan yang terdapat pada kedua pusaka itu.

Namun kedua pusaka itu tetap berbahaya bagi lawannya, karena justru dari arah yang berbeda, serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi sangat berbahaya pula. Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan tetap berbahaya bagi lawannya. Jika mereka berpencar, maka perhatian orang itu terpecah sehingga kadang-kadang ia harus meloncat mengambil jarak. Namun jika kedua anak muda itu saling mendekat, rasa-rasanya getar udara yang memancar dari sepasang keris itu menjadi semakin tajam menusuk kulit daging mereka.

Dengan demikian maka orang itu telah meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi. Senjatanya berputaran semakin cepat. Menyambar, terayun mendatar dan kadang-kadang mematuk seperti sebatang tombak atau menyambar bagaikan tongkat yang panjang. Tetapi setiap terjadi benturan dengan sepasang keris yang ingin direbutnya itu, maka terasa bahwa senjatanya tidak mampu mengimbanginya.

Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan kemudian mereka merasa sulit untuk menilai, apa yang telah terjadi atas ketiga orang itu. Yang dilihatnya seakan-akan hanyalah bayangan yang beterbangan kian kemari. Sekali-sekali sinar yang memancar dari senjata-senjata yang aneh itu menyilaukan mata mereka. Kemudian angin yang berdesing dan menerpa wajah mereka.

Namun demikian Mahisa Semu dan Wantilan masih juga mengerti, seandainya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus melawan mereka seorang diri, akan mengalami kesulitan, meskipun keduanya tahu, bahwa anak muda itu belum pula sampai ke puncak kemampuan mereka.

Demikianlah benturan-benturan senjata yang terjadi telah memercikkan bunga api. Namun kemudian sepasang tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu, semakin lama seakan-akan menjadi nampak semakin jelas dalam gelapnya malam. Bahkan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa senjata itu bagaikan telah membara. Dengan demikian kedua orang anak muda itu menyadari, bahwa orang itu telah benar-benar mencapai puncak ilmunya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus segera mengimbanginya sebelum mereka tergilas oleh kemampuan lawannya.

Dalam pada itu, serangan orang itu pun menjadi semakin membadai. Ketika terjadi benturan senjata, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Untunglah mereka dengan kecepatan yang sangat tinggi melompat menjauh. Benturan itu ternyata telah menghamburkan bunga api ke segala arah pada jarak jangkau yang cukup panjang. Letupan bunga api itu memiliki kekuatan melampaui panasnya bara api. Dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang terkena percikan bunga api itu telah terbakar dan menyala seakan-akan telah terpercik lahar gunung berapi.

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti.

“Berhati-hatilah,” gumam Mahisa Pukat seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Apalagi digenggaman tangannya terdapat sebuah pusaka yang jarang ada duanya. Dengan demikian maka dua keris itu seakan-akan benar-benar telah menyala. Bukan saja sekedar seolah-olah kesan leretan cahaya pada setiap gerak. Dengan demikian, maka senjata Mahisa Murti maupun senjata lawannya telah memancarkan cahayanya masing-masing dalam warna yang berbeda. Tetapi semuanya mengandung pancaran kekuatan yang sangat tinggi dan sangat berbahaya.

Orang yang ingin merampas sepasang keris itu pun terkejut. Ia memang mengerti bahwa sepasang keris itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi bahwa di tangan anak-anak kekuatan itu mampu memancar adalah sangat mengherankannya. Dengan demikian maka orang itu baru meyakini, bahwa anak-anak muda itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan sekedar mempercayakan diri kepada sepasang keris itu saja, sehingga mereka merasa berilmu.

Sebenarnyalah keris itu bagaikan telah menyala. Lidah api yang berwarna kehijau-hijauan telah membuat orang yang ingin merampas keris itu harus menjadi semakin berhati-hati. Namun ia tidak ingin mengurungkan niatnya, ia pun merasa bahwa ia juga memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga bagaimanapun juga ia yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan kedua orang anak muda itu. Dengan demikian, maka orang itu pun telah bergerak lebih cepat lagi. Sepasang tongkatnya bergantian berputaran dengan cepatnya, sehingga telah terbentuk lingkaran-lingkaran bara yang mendebarkan jantung.

Namun pedang di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun menjadi semakin menggetarkan pula. Keduanya kemudian telah membuktikannya. Jika mereka berdiri semakin rapat, maka nyala api yang kehijau-hijauan pada daun kerisnya itu pun seakan-akan menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, beberapa benturan telah terjadi. Bunga api yang memercik masih saja menghambur ke segala arah, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berloncatan menghindari. Namun dalam setiap benturan bukan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menjadi kepanasan karena sentuhan-sentuhan bunga api yang menghambur, tetapi ternyata nyala api pada sepasang keris itu juga telah menimbulkan getaran udara yang panas, sehingga orang yang ingin merampasnya itu pun harus dengan cepat menyesuaikan diri.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua belah pihak itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mampu bergerak cepat itu telah melawan orang yang ingin merampas sepasang keris itu dengan cara yang sulit untuk diperhitungkan lawan. Keduanya kadang-kadang bertempur demikian dekatnya sehingga seakan-akan mereka telah menjadi satu. Namun kemudian berpencar saling menjauhi dan menyerang dari arah yang kadang-kadang justru berlawanan sama sekali.

Kedua anak muda itu agaknya tidak begitu melihat perbedaan kekuatan pada sepasang keris itu disaat mereka berjarak semakin dekat atau justru berada di jarak yang panjang. Keris itu tetap merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawannya. Namun ternyata bahwa semakin lama semakin terasa oleh orang yang ingin merampas sepasang keris itu, bahwa kedua anak muda itu menjadi sangat berbahaya.

Sementara mereka bertempur dengan sengitnya, Mahisa Semu dan Wantilan hanya dapat menyaksikan dengan jantung yang berdegup semakin keras. Sementara itu, Mahisa Amping pun telah terbangun pula. Seperti orang bermimpi ia melihat pertempuran yang sangat dahsyat. Tiga orang berloncatan dengan tangkasnya dengan senjata yang menyala di tangan masirig-masing. Bahkan seakan-akan ketiganya beterbangan seperti burung sikatan menyambar bilalang.

Namun dalam pada itu, langit pun telah menjadi semakin terang. Bahkan kemudian cahaya kekuning-kuningan telah memancar dari cakrawala. Sesaat lagi, maka matahari pun tentu akan segera terbit.

Dengan demikian maka ketiga sosok bayangan itu menjadi semakin lama semakin jelas bentuk dan ujudnya. Namun semakin terangan cahaya pagi menjalang matahari terbit, maka cahaya senjata orang yang ingin merampas sepasang keris itu pun menjadi semakin pudar. Sementara itu, cahaya lidah api yang menyala kehijau-hijauan dari senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja memancar menyilaukan, justru mengatasi cahaya pagi.

Dalam keadaan yang demikian, maka adalah diluar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lawannya tiba-tiba saja telah meloncat mengambil jarak. Sebelum kedua anak muda itu berbuat sesuatu, maka bayangan itu pun seakan-akan telah terbang dengan cepatnya menyongsong matahari yang akan terbit.

Tetapi dalam pada itu, telah bergema suara yang terdengar semakin jauh, “Kalian memang luar biasa anak muda. Tetapi aku akan datang lagi jika matahari nanti terbenam. Ternyata waktu yang aku sediakan hari ini tidak mencukupi, karena aku salah duga atas kemampuan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Anak malam. Agaknya orang itu hidup sebagai seekor kelelawar.”

“Hanya dalam keadaan tertentu,” sahut Mahisa Pukat, “mungkin senjatanya itu hanya berarti di malam hari.”

“Ya,” berkata Wantilan, “itulah agaknya ia berkeras untuk merampas sepasang keris itu, karena keris itu akan tetap berbahaya di malam maupun di siang hari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Pukat bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu. Apakah orang itu akan benar-benar kembali atau tidak?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “nanti malam ia akan kembali. Bahkan mungkin tidak sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin sekali. Karena itu, kita harus bersiap sebaik-baiknya.”

“Kita tidak akan beranjak dari tempat ini,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat untuk menunggu orang itu. Malam nanti mereka akan menyelesaikan persoalan mereka apapun yang terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah jemu menunggu dan bahkan sekedar diikuti, digelitik dan dibiarkan menunggu dalam kegelisahan.

Namun demikian, mereka tidak hanya sekedar menunggu. Tetapi mereka harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya, karena mereka tahu bahwa orang itu benar-benar berilmu tinggi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun menyadari, bahwa hari itu mereka tidak akan pergi kemana pun. Mereka akan tetap berada di pategalan itu.

Ketika matahari memanjat kaki langit, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta agar yang lain melihat-lihat, apakah didekat mereka ada air. Mungkin parit, sungai atau belik.

“Tetapi berhati-hatilah. Jika ada sesuatu yang agaknya kurang wajar, cepat kembali atau berikan isyarat apapun. Bahkan mungkin berteriak memanggil kami,” berkata Mahisa Murti, “Karena kami memang sedang dalam intaian orang yang berilmu tinggi. Seandainya kalian tidak menemukan air dekat tempat ini, maka segeralah kembali.”

Mahisa Semu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan pergi.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempatnya. Namun kedua orang itu tetap berhati-hati. Mereka tidak jelas apa yang dapat terjadi hari itu. Tetapi seandainya keduanya yang pergi, maka kemungkinan buruk dapat juga terjadi atas ketiga orang yang ditinggalkannya, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa lebih baik yang tetap tinggal di tempat itu.

Namun ketiga orang itu dengan cepat telah kembali. Mahisa Amping lah yang kemudian berkata, “Di sebelah ada sungai kecil, kak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah, kita pergi bersama-sama.”

Kelima orang itu pun sejenak kemudian telah berada di sebuah sungai kecil untuk mencuci muka dan membersihkan diri. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menemukan tempat yang baik untuk bersiap-siap menyongsong lawan mereka jika malam nanti datang. Meskipun sungai itu kecil, namun mempunyai tepian yang cukup luas.

“Kita harus menyesuaikan diri lebih baik lagi,” berkata Mahisa Murti, “kita akan mencoba apa yang dapat kita lakukan paling baik dengan sepasang keris itu.”

Namun demikian Wantilan itu pun berkata, “Sebaiknya kalian beristirahat dahulu. Kalian telah mengerahkan tenaga kalian menghadapi orang itu. Kalian memang dapat mencari kemungkinan terbaik itu. Namun kalian harus ingat, bahwa kalian tidak boleh kehabisan tenaga untuk menghadapinya malam nanti. Jika kalian tidak berada dalam puncak kekuatan kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga dan akhirnya kalian tidak mampu lagi melawannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat berkata, “Waktu kita masih panjang. Masih ada sehari penuh, sehingga waktu untuk beristirahat itu masih cukup.”

“Tetapi kalian akan dapat terlalu lelap dalam latihan-latihan atau katakanlah saat kalian mencari kemungkinan yang paling baik itu, sehingga akhirnya kalian lupa untuk beristirahat. Karena itu, sebaiknya sekarang kalian beristirahat lebih dahulu. Baru kalian akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian.” berkata Wantilan kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Jika demikian, kita akan kembali ke pategalan itu.”

“Kenapa ke pategalan itu?” bertanya Wantilan, “jika pemiliknya datang maka mungkin akan dapat menimbulkan salah paham. Kalian dapat beristirahat di sini. Di bawah beberapa pohon turi yang rindang itu pasirnya nampak bersih. Biarlah kami bertiga berjaga-jaga.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “Apakah Mahisa Amping tidak lapar?”

Mahisa Amping hanya menunduk saja. Namun itu adalah pertanda bahwa anak itu memang lapar. Karena itu, maka mereka pun telah menyempatkan diri untuk pergi kekedai yang terdekat. Kemudian kembali ke tempat itu, dan memberikan kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tidur beberapa saat. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan pulih kembali.

Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih. Mereka telah berusaha meningkatkan kemampuan mereka bermain-main dengan senjata. Apalagi Mahisa Amping yang telah memiliki sebilah pisau belati yang bagus.

Lewat tengah hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun. Sejenak mereka duduk bersandar pada batang-batang pohon turi sambil menyaksikan Mahisa Amping yang kecil itu membiasakan diri mempergunakan pisau belatinya dalam olah kanuragan. Meloncat, bergeser menyamping, merunduk, kemudian berputar pada pundaknya di atas pasir.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Anak itu memang memiliki kelebihan terutama kewadagan. Ia memiliki tenaga yang lebih besar dari kebanyakan anak-anak. Mudah-mudahan ia juga memiliki kelebihan tanggapan jiwani atas dirinya terhadap Yang Maha Pencipta.”

“Kita harus memperkenalkannya dan setiap hari mengingatkannya. Ia memiliki dasar yang kurang menguntungkan. Pada saat kepekaannya ia justru berada di padepokan yang setiap hari menyuapinya dengan ilmu hitam. Tetapi jika kita dengan telaten menggosoknya setiap hari, maka hatinya akhirnya akan mengkilap juga,” sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya matahari mulai turun ke sisi Barat. “Ketika kita tertidur nyenyak, untungnya orang itu tidak datang mencari kita,” desis Mahisa Pukat kemudian.

“Ia tidak akan menemui kita lagi di siang hari,” berkata Mahisa Murti, “tentu ada hubungan antara ilmunya dengan malam yang gelap, ia pun tentu menyadari, bahwa kita akhirnya dapat mengetahui bahwa ia mempunyai kelemahan tertentu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sudah menduganya, bahwa orang itu tidak akan berani menghadapi mereka berdua di siang hari. Tetapi ia ingin menyesuaikan pendapatnya dengan Mahisa Murti. Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja duduk di bawah pohon turi di tepian.

Namun ketika yang lain beristirahat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai mempersiapkan dirinya. Beberapa saat mereka memanaskan tubuh mereka dengan berjalan-jalan di tepian. Kemudian berlari-lari kecil. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah bersiap untuk mulai dengan sebuah latihan yang sesungguhnya.

Setelah memusatkan segenap nalar budi, maka mereka segera memasuki suasana yang bersungguh-sungguh meskipun tidak berada di dalam sanggar. Sejenak kemudian mereka telah berlatih bersama-sama. Mereka ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang dapat dipancarkan lewat sepasang keris itu, serta pengaruhnya atas lontaran ilmu mereka berbanding dengan jarak antara sepasang keris itu.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambil ancang-ancang. Kemudian seorang demi seorang pada jarak beberapa langkah mereka telah menyerang tanggul berbatu padas dari jarak yang jauh melalui keris yang mereka ketemukan itu. Sementara keris itu menyala semakin besar dengan api yang berwarna kehijauan, maka seleret-seleret sinar telah memancar dan menghantam tebing berbatu padas, sehingga batu-batu padas itu pun runtuh berguguran.

Tetapi hal itu tidak mereka lakukan sekali. Tetapi beberapa kali pada jarak yang berbeda. Ketika keduanya kemudian telah mencapai puncaknya, maka mereka telah mencoba pula untuk menyerang satu sasaran bersama-sama pada jarak beberapa langkah. Kemudian mereka lakukan lagi pada jarak yang semakin dekat semakin dekat, sehingga akhirnya mereka berdiri tanpa jarak, bahkan Mahisa Pukat telah memegang kerisnya di tangan kiri sehingga bersentuhan dengan keris di tangan kanan Mahisa Murti.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Serangan atas tebing berbatu padas yang mereka lakukan telah mampu meruntuhkan dan melumatkan batu-batu padas itu. Apalagi ketika mereka menyerang pada jarak yang semakin dekat, bahkan ketika mereka berdiri tanpa jarak sehingga sepasang keris mereka bersentuhan itu.

Kekuatan yang terpancar bukan sekedar kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bergabung. Namun kekuatan yang terpancar dari kedua keris atas dasar dorongan kekuatan ilmu kedua anak muda yang memang tinggi itu benar-benar luar biasa. Kekuatan yang menghancurkan batu-batu padas di tebing sungai itu adalah kekuatan yang berlipat ganda dari kekuatan ilmu kedua orang anak muda itu.

“Luar biasa,” geram Mahisa Semu dan Wantilan hampir berbareng ketika mereka melihat akibat serangan itu.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun untuk beberapa saat berdiri termangu-mangu. Mereka hampir tidak percaya akan lontaran ilmu mereka itu. Namun ketika kemudian mereka sempat mengulanginya dan akibatnya tidak berbeda, maka mereka baru yakin, bahwa lontaran kekuatan ilmu lewat sepasang keris itu pada jarak yang sependek-pendeknya memang nggegirisi.

Dengan demikian keduanya menjadi semakin percaya kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka akan dapat mengatasi kemampuan orang-orang yang akan merampas keris itu sendiri, sebagaimana dilakukan oleh orang yang datang semalam.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian beristirahat, maka Mahisa Semu sempat berkata, “Kalian telah menemukan lagi kekuatan yang tidak ada duanya.”

“Kami memang berterima kasih,” berkata Mahisa Murti, “tetapi kami masih tetap berpegang kepada satu sikap, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaikpun akhirnya akan ada yang melampauinya. Karena itu, maka segala sesuatunya harus tetap bersandar kepada satu kepercayaan tentang sumber dari segala Sumber.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi kita mempunyai ukuran kewajaran lahiriah. Dari ukuran itulah aku menilai ilmumu.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Kalian pun akan mampu mencapai satu tataran tertinggi, jika kalian bersungguh-sungguh.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun memang terbersit di hatinya, bahwa kemungkinan itu masih merupakan sekedar mimpi. Meskipun demikian seperti dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa kemungkinan itu memang ada, jika ia bersungguh-sungguh.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membersihkan dan membenahi diri. Sementara itu matahari telah menjadi semakin rendah.

“Masih ada waktu,” berkata Mahisa Pukat, “kita masih dapat pergi ke kedai sebentar. Wajah Mahisa Amping telah menjadi pucat.”

Mahisa Semu dan Mahisa Murti tertawa pendek. Namun Wantilan berkata, “Bukan kau yang pucat. Tetapi kakangmu Mahisa Pukat yang merasa lapar.”

Mahisa Pukat lah yang kemudian tertawa. Namun katanya kemudian, “Marilah. Kita pergi sebentar.”

Kelima orang itu memang masih sempat pergi ke kedai. Namun sejenak kemudian mereka telah kembali. Tidak ke tepian itu lagi, tetapi mereka telah kembali ke pategalan.

“Di malam hari, pemiliknya tidak akan datang. Sementara itu, kita mengharapkan orang itu datang lagi malam nanti,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti memang sependapat. Sementara menunggu malam, mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah tidak berniat lagi memejamkan matanya, karena orang itu akan dapat datang saat demikian matahari mulai terbenam.

Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping-pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka menyadari bahwa keadaan akan dapat menjadi gawat. Mungkin orang itu akan datang tidak seorang diri karena kegagalannya di malam sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, maka gelap malam telah menyelubungi seluruh pategalan dan bahkan padukuhan-padukuhan. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Sementara itu titik-titik embun mulai berjatuhan membasahi dedaunan. Malam memang terasa dingin. Bahkan terasa demikian sepinya. Tidak terdengar sama sekali suara-suara malam yang biasanya berderik di antara dedaunan dan rerumputan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menghadap ke arah yang berlawanan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun ikut pula mengamati keadaan. Bahkan Mahisa Amping yang kecil itu-pun masih juga duduk bersandar sebatang pohon.

“Jika kau sudah mengantuk, tidurlah. Jika permainan itu akan dimulai, maka kau nanti akan dibangunkan pula,” berkata Mahisa Semu.

Mahisa Amping menggeleng. Katanya, “Aku tidak mengantuk.”

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Amping masih tetap duduk bersandar sebatang pohon. Dengan matanya yang kecil, ternyata ia juga mengamati kegelapan malam sebagaimana dilakukan oleh yang lain. Untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak seorang pun yang datang kepada mereka. Orang yang datang semalam pun tidak.

“Apakah orang itu selalu datang setelah lewat tengah malam?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengerti apa hubungannya antara ilmu seseorang dengan siang dan malam. Bahkan dengan lewat tengah malam. Tetapi jika itu menjadi satu keyakinan, maka sudah tentu pengaruhnya akan besar sekali bagi seseorang.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, ”demikian kuatnya pengaruh keyakinan atas seseorang.”

Namun dalam pada itu, terdengar Mahisa Murti berdesis, “Kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka telah datang. Memang tidak sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun bertanya, “dari arah mana mereka datang?”

“Dari arah garis pandanganku,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, maka Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang mendengar kata-kata Mahisa Murti itu pun segera mempersiapkan diri pula. Sementara itu, dua orang tengah berjalan mendekati mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit berdiri. Demikian pula Mahisa Semu, Wantilan dan bahkan Mahisa Amping.

Beberapa saat kemudian, dua orang yang datang itu telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah orang yang telah beberapa kali datang kepada anak-anak muda itu dan bahkan telah pernah bertempur melawannya itu berkata, “Selamat malam anak-anak muda.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab ragu, “selamat malam.”

“Kami telah datang lagi anak-anak muda. Malam ini aku tidak datang sendiri. Karena aku harus menghadapi dua orang berilmu tinggi, maka aku telah membawa seorang saudaraku pula. Dengan demikian kita akan berhadapan seorang dengan seorang. Bukankah itu adil?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka menyadari bahwa orang itu ternyata telah berusaha untuk mengurangi tekanan kedua anak muda yang bertempur berpasangan dengan senjata yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak, bahkan mereka sudah memperhitungkan kemungkinan itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menjawab, “Ya. Aku sependapat. Satu pertemuan yang adil.”

Kedua orang yang datang itu mengangguk-angguk. Namun yang telah datang berkali-kali berkata, “Jika demikian, maka kita tidak mempunyai persoalan yang perlu kita bicarakan lagi. Kita akan segera mulai. Siapa yang akan mati di antara kita. Mungkin kalian berdua. Mungkin kami berdua, tetapi mungkin seorang di antara kami dan seorang di antara kalian.”

“Bagus,” berkata Mahisa Pukat, “kami sudap siap. Meskipun aku tahu bahwa kalian ingin menyelesaikan persoalan ini sebelum matahari terbit. Kami tidak tahu hubungan ilmu kalian dengan matahari. Tetapi agaknya kalian, setidak-tidaknya seorang di antara kalian memang takut melihat matahari terbit.”

“Satu mimpi buruk. Kau telah mengambil kesimpulan yang salah dengan sikapku,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Salah atau tidak, tetapi kau dengan tergesa-gesa meninggalkan kami ketika kau melihat fajar mulai merah di langit, atau sesudah itu, mendekati cahaya matahari yang pertama terlempar dari balik cakrawala.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi marilah, kita akan segera mulai.”

Kedua orang itu pun segera bersiap. Mereka telah mengambil jarak beberapa langkah di antara yang satu dengan yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah bersiap pula, sama sekali tidak berusaha mengambil jarak meskipun mereka telah berdiri menghadap kepada kedua orang itu.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun segera mulai bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk saling menjajagi lagi. Orang yang telah datang sebelumnya itu pun segera mengambil senjata mereka, sementara yang lain pun telah melakukannya pula. Yang telah datang beberapa kali itu telah mengambil sepasang tongkat bajanya yang dihubungkan dengan seutas rantai. Sementara yang seorang lagi telah menarik sepasang pedang yang sangat tipis namun lentur di kedua tangannya. Pedang yang tajamnya melampaui tajamnya pisau cukur.

Sejenak kemudian, mereka pun telah mulai bertempur. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak mau terpisah yang satu dengan yang lain. Bagaimanapun juga lawan-lawan mereka berusaha memancing agar mereka menjadi saling berjauhan, ternyata mereka tidak melakukannya.

“Setan,” geram orang yang baru datang malam itu, “kenapa kalian bertempur seperti dua orang penakut yang memasuki kegelapan. Yang satu berpegangan yang lain sehingga kalian kehilangan banyak kesempatan dalam pertempuran ini.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Ini adalah pola permainan kami yang sebenarnya. Karena itu, maka lakukan yang akan kalian lakukan atas kami.”

Kedua orang itu mengumpat hampir bersamaan. Namun mereka telah berloncatan menyerang dari arah yang berbeda. Dengan demikian mereka berusaha agar kedua orang anak muda itu tidak dapat menyerang mereka dengan kedua keris itu berpasangan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti maksud kedua lawannya. Karena itu, maka mereka tidak dengan serta merta mencari kesempatan untuk mempergunakan sepasang keris itu bersama-sama.

Namun kedua orang itu memang menjadi sangat garang. Seperti yang pernah terjadi, benturan antara keris Mahisa Murti yang bagaikan menyala dengan lidah api yang kehijau-hijauan itu dengan tongkat-tongkat baja yang membara telah menimbulkan bunga api yang memercik menghamburkan panas. Sementara itu, ternyata sepasang pedang tipis dari lawan Mahisa Pukat pun telah menimbulkan akibat yang sama pada setiap benturan. Sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui bahwa keduanya tentu saudara seperguruan.

“Apakah perguruan mereka tidak terlalu jauh dari tempat ini,” bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.

Sementara itu, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang saudara seperguruan itu memangmemiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa mulai terdesak.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai bergeser beberapa langkah surut.

Namun dalam pada itu, keduanya tidak ingin membiarkan diri mereka terdesak terus. Sementara itu, mereka seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan ilmu mereka yang dapat menyerang dari jarak panjang, karena kedua lawannya itu seakan-akan bertempur tanpa jarak. Senjata mereka selalu menggapai tanpa henti-hentinya.

Karena itu, maka kedua anak muda itu telah mempergunakan ilmunya yang lain. Di saat-saat mereka mengalami kesulitan karena lawan mereka memang berilmu tinggi, maka mereka telah mempergunakan ilmu yang jarang ada duanya. Ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan orang lain.

Demikianlah, maka pertempuran itu berlangsung terus. Benturan demi benturan. Kedua orang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi itu telah menyerang dengan dahsyatnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih banyak bertahan. Tetapi adalah diluar perhitungan lawan-lawannya bahwa anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tidak segera dimengertinya.

Namun, beberapa saat kemudian, keduanya merasa bahwa ada sesuatu yang aneh pada diri mereka. Tenaga mereka mulai terasa terlalu cepat susut. Betapapun mereka mengerahkan tenaga, namun mereka merasa bahwa mereka masih mampu bertempur sampai menjelang pagi hari.

Untuk beberapa saat mereka masih berusaha untuk mengerti. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka bertempur dengan landasan ilmu mereka. Mereka bergerak dengan cepat sekali, serta percikan bunga api di setiap senjata, memangmembuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdesak. Tetapi mereka tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas diri mereka sehingga kekuatan dan kemampuan mereka demikian cepat susut.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang lebih banyak bertahan. Setiap serangan telah mereka bentur dengan senjata mereka yang memiliki kekuatan yang aneh. Lidah api yang kehijau-hijauan itu memang mampu menyebarkan panas. Namun percikan bunga api di setiap benturan, mampu menebar lebih jauh jangkauannya daripada jangkauan panas yang memancar dari pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Teiapi kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian maka penggraitanya pun cukup tajam untuk menanggapi keadaan. Tiba-tiba saja seorang dari mereka telah menyadari, bahwa mereka telah terperosok ke dalam jebakan ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.

Karena itu, maka seorang di antara mereka, orang yang sudah beberapa kali menemui anak-anak muda itu berkata, “Hati-hati dengan ilmu mereka yang licik.”

Saudara seperguruannya dengan cepat tanggap. Karena itu, maka ia pun segera meloncat mengambil jarak. Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta maka ia pun telah meluncurkan serangan-serangannya dengan senjata-senjata kecilnya. Semacam paser-paser kecil yang tentu beracun.

Mahisa Pukat pun dengan segera telah berloncatan menghindarinya. Namun paser itu seperti ditaburkannya, sehingga satu di antaranya telah menancap di lengannya. Sambil menahan sakit Mahisa Pukat sempat mencabut paser itu. Ia sempat melontarkan kembali kepada lawannya yang bergeser menyamping sehingga paser itu tidak mengenainya.

Sejenak kemudian pertempuran itu bagaikan terhenti. Namun yang terdengar adalah suara tertawa saudara seperguruan dari orang yang menginginkan sepasang keris itu. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Sayang kau akan mati muda. Tidak ada daya tahan seseorang yang mampu mengatasi racun pada ujung paser-paserku. Kau telah tersentuh di lenganmu, sehingga karena itu, maka tidak ada gunanya lagi kau bertempur melawanku karena kau akan mati. Semakin banyak kau bergerak, maka racun itu akan semakin cepat mencengkam jantungmu.”

Mahisa Pukat memandang orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi cemas. Bahkan kemudian katanya, “Kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Aku dapat membedakan, apakah senjata lawan beracun atau tidak. Dan aku pun tahu apakah racun itu akan berpengaruh atas aku atau tidak.”

“Kau terlalu sombong. Tetapi jangan menyesal. Bahwa kau akan segera mati,” geram orang itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Mereka justru bersiap-siap untuk menyerang lawan mereka. Orang yang melempar Mahisa Pukat dengan paser mulai menjadi cemas ketika ia tidak melihat perubahan sikap Mahisa Pukat. Anak muda itu masih tetap tangkas. Mahisa Pukat hanya berdesis sedikit ketika ia mencabut paser itu. Namun sesudahnya, tidak ada keluhan sama sekali.

Hampir diluar sadarnya orang itu berdesis, “Kau kebal racun?”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap untuk menyerang lawannya. Namun lawannya yang sudah menyadari kemungkinan buruk bagi setiap sentuhan telah berusaha bertempur pada jarak jauh tanpa sentuhan kewadagan. Karena itu, maka lawan Mahisa Pukat yang agaknya lebih kasar dari saudara seperguruannya itu tidak sabar lagi. Namun Mahisa Pukat pun dengan cepat tanggap ketika sepasang pedang tipis orang itu telah disarungkannya.

Dengan kemampuan yang sangat tinggi, maka orang itu seakan-akan telah menaburkan sesuatu ke arah Mahisa Pukat dari tempatnya berdiri. Namun ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat melihat, bahwa orang itu memang telah menghentakkan ilmunya ke arahnya. Kilatan cahaya ilmu itu dapat dilihat dengan ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat pula, sehingga dengan serta merta ia telah meloncat dan jatuh berguling di tanah.

Tetapi Mahisa Pukat telah terhindar dari serangan ilmu yang dahsyat itu. Tanah tempat Mahisa Pukat semula berdiri bagaikan telah meledak, sehingga seandainya Mahisa Pukat masih berdiri di tempatnya, maka ia pun akan dikoyak oleh ilmu itu menjadi berkeping-keping.

Ternyata lawannya tidak berhenti menyerang. Ia telah melakukan sekali lagi, sehingga Mahisa Pukat pun harus meloncat sekali lagi pula. Tetapi Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya diserang terus. Karena itu, maka sambil berguling Mahisa Pukat telah mengetrapkan kemampuannya. Ia tidak dengan serta merta bangkit. Tetapi sambil berbaring ia telah mengarahkan ujung pedangnya kepada lawannya. Seleret sinar telah meluncur dan menyambar ke arah lawannya.

Namun lawannya sempat melakukannya pula, sehingga dua jenis ilmu telah berbenturan di udara. Kedua orang itu memang menjadi termangu-mangu sejenak. Justru terasa di dada mereka masing-masing hentakkan yang timbul dari getaran ilmu mereka masing-masing yang saling berbenturan. Dengan mengerahkan daya tahannya, Mahisa Pukat berusaha untuk mengatasi sesak di dadanya. Namun ia masih sempat bangkit berdiri dengan tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.

Sementara itu, lawannya pun berusaha memperbaiki keadaannya. Sebenarnya ia memiliki kelebihan dari Mahisa Pukat. Namun sentuhan-sentuhan yang terjadi sebelumnya, yang telah menyusut ilmunya, telah membuatnya tidak mampu mengatasi ilmu Mahisa Pukat.

Untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun telah saling menyerang lagi. Lawan Mahisa Pukat tidak memerlukan sepasang pedangnya, namun Mahisa Pukat ternyata tidak perlu menyarungkan keris yang disebutnya sebagai pedang itu. Karena dengan senjatanya itu ia mampu melepaskan serangan jarak jauhnya.

Sementara keduanya saling menyerang, maka beberapa kali memang telah terjadi benturan. Namun benturan-benturan itu tidak mampu menentukan, apakah Mahisa Pukat atau lawannya yang akan memenangkan pertempuran itu.

Dalam pada itu Mahisa Murti masih juga bertempur dengan sengitnya. Seperti lawan Mahisa Pukat maka orang yang ingin merampas sepasang pusaka itu telah melepaskan serangan jarak panjang. Tetapi Mahisa Murti pun mampu mengelakkannya dan bahkan ia pun telah mencoba untuk membentur ilmu lawannya.

Ternyata Mahisa Murti mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan lawannya yang telah susut itu. Karena itu, maka dalam setiap benturan, maka keduanya memang memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Demikianlah ketika mereka bertempur beberapa saat, maka sulit untuk menentukan siapakah yang akan kalah dan siapakah yang akan menang.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menjadi bingung. Kadang-kadang mereka kehilangan bayangan orang-orang yang sedang bertempur itu. Baru kemudian bayangan itu muncul lagi dalam kegelapan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana kedua lawannya merasa, bahwa sulit bagi mereka untuk memenangkan pertempuran dengan caranya. Karena itu, maka kedua orang itu telah berusaha untuk menemukan satu cara yang paling baik untuk mengalahkan lawannya. Namun serangan mereka baru akan menjadi lebih kuat jika mereka mampu menyerang berbareng dengan mendekatkan kedua pusaka mereka itu.

Untuk beberapa saat keduanya melakukannya tanpa menemukan cara yang terbaik untuk menyerang. Namun ketika Mahisa Murti justru diserang lawannya, ia telah menjatuhkan diri dan berguling mendekati Mahisa Pukat. Dengan tanpa bangkit, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti telah menyerang lawannya. Ternyata lawannya menyadari akan serangan itu, sehingga ia pun telah meloncat menghindarinya.

Hal itulah yang diharapkan oleh Mahisa Murti. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Pukat. Cari kesempatan.”

Mahisa Pukat cepat tanggap. Ia pun segera telah menyerang lawannya dengan mengacukan senjatanya. Namun lawannya yang mendengar panggilan Mahisa Murti atas lawannya itu tidak segera mengerti maksudnya. Karena itu, maka seperti saudara seperguruannya ia pun telah meloncat menghindarinya.

Demikian lawannya meloncat menghindar, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat pula dan menjatuhkan dirinya di samping Mahisa Murti. Ia pun dengan serta merta telah memindahkan pedangnya di tangan kirinya dan dengan kekuatan ilmunya menyerang lawan Mahisa Murti bersama-sama dengan Mahisa Murti.

Tepat pada saat lawan Mahisa Murti itu melenting berdiri, maka serangan itu datang dengan dahsyatnya. Dua bilah keris yang memiliki satu kesatuan kekuatan itu telah menghantam orang yang telah mengejar-ngejarnya.

Orang itu tidak sempat mengelak, karena demikian ia berdiri maka serangan itu pun datang. Yang dapat dilakukannya adalah melawan serangan itu dengan membenturkan ilmunya yang dengan tergesa-gesa dilontarkannya. Tetapi kekuatan kedua ilmu yang berbenturan itu ternyata tidak seimbang. Karena itu, maka getar ilmu orang itu yang memantul dan bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terlontar lewat sepasang keris itu, telah menghantam dada orang itu. Satu hentakkan ilmu yang sangat dahsyat yang seakan-akan telah meledakkan jantungnya dan melemparkannya beberapa langkah surut.

Orang itu memang terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya. Tidak ada kekuatan yang mampu menahannya. Ia sama sekali tidak sempat mengaduh, karena jantungnya bagaikan telah meledak dan berhenti berdetak. Orang itu terbunuh dalam sekejap.

Sementara itu, saudara seperguruannya menyaksikan apa yang telah terjadi. Dengan demikian maka ia telah kehilangan keberanian untuk melawan kedua orang anak muda itu seorang diri. Meskipun sebenarnya ia juga menginginkan keris itu, namun ia merasa bahwa yang akan terjadi tidak akan jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi atas saudara seperguruannya.

Saudara seperguruannya itu telah menjanjikan untuk membagi sepasang keris itu untuk dimiliki bersama. Namun saudara seperguruannya ternyata telah jatuh terbaring dan tidak terbangun lagi. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka orang itu pun segera mengetahui, bahwa benturan itu terjadi demikian dahsyatnya, sehingga saudara seperguruannya itu tentu sudah kehilangan segala-galanya, bahkan nyawanya.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyelamatkan dirinya. Karena itu, maka orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum ia mengalami nasib seperti saudara seperguruannya, maka ia pun dengan serta merta telah meloncat kedalam gelapnya malam.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya masih mempunyai kesempatan untuk memburu orang yang dengan ilmu mereka yang dahsyat itu. Tetapi Mahisa Murti kemudian telah memberikan isyarat, bahwa mereka tidak akan menyerang orang itu.

Mahisa Pukat memang sependapat untuk tidak membunuhnya. Orang itu agaknya hanya terseret oleh kehendak saudara seperguruannya sehingga ia telah ikut serta datang dan menyerang anak-anak muda itu. Sejenak kemudian, maka keadaan telah menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi pertempuran dan tidak ada lagi ilmu yang sambar menyambar.

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping selangkah demi selangkah telah mendekati kedua anak muda yang kemudian berdiri termangu-mangu. Keris di tangan mereka tidak lagi menyala kehijau-hijauan. Beberapa langkah dari mereka, sesosok mayat terbujur diam dalam kelamnya malam.

“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Murti.

“Keris ini telah menyebabkan kematian demi kematian,” berkata Mahisa Pukat.

“Seperti kata orang tua yang membuat keris itu, tidak ada pilihan lain. Seandainya keris ini kita kembalikan sekalipun maka orang tidak akan mempercayainya. Apalagi saudara seperguruan yang sempat melarikan diri itu. Ia akan mengatakan kepada orang lain dan orang lain. Berita tentang keris ini akan semakin tersebar,” berkata Mahisa Murti.

“Selama ketamakan masih mencengkam jiwa seseorang, maka keris itu masih akan menuntut korban. Bukan salah kalian jika kematian demi kematian itu masih akan terjadi,” berkata Wantilan yang telah berdiri didekat kedua anak muda itu.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka tidak pernah datang kepada seseorang untuk menantangnya bertempur dan kemudian membunuh mereka. Orang-orang tamak itulah yang datang kepada kedua orang anak muda itu untuk mengantarkan nyawa mereka.

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kita memang tidak mempunyai jalan surut. Tetapi kita dapat berdoa, semoga Yang Maha Agung menjauhkan kita dari manusia-manusia yang tamak itu, sehingga kami tidak perlu membunuh dan membunuh lagi.”

“Ya. Kita dapat berdoa,” berkata Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, mereka masih merasa mempunyai beban untuk menguburkan mayat orang yang telah terbunuh itu. Orang yang menjadi korban ketamakannya sendiri. Ia bukan orang satu-satunya. Namun ia adalah orang yang kesekian kalinya. Mahisa Murti berpendapat, sebaiknya mereka menguburkan orang itu malam itu saja agar tidak ada orang yang melihatnya.

“Kita bawa mereka menjauhi pategalan ini. Kita dapat menguburkannya ditanggul sungai itu,” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah maka mereka pun telah membawa tubuh yang hangus itu ke tanggul. Dengan alat seadanya mereka telah menguburkan orang itu berserta senjatanya yang mendebarkan. Ketika mereka selesai, maka mereka pun telah langsung turun ke sungai membersihkan diri dan kemudian beristirahat di tepian di sisa malam itu.

Namun ternyata mereka tidak dapat beristirahat dengan baik. Tiba-tiba saja mereka telah mendengar suara yang bergetar memenuhi udara. Suara tertawa, yang disela-selanya terdengar kata-katanya, “Bukan main. Kalian telah berhasil membunuh orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Bahkan kalian berdua dapat mengatasi kedua orang saudara seperguruan itu. Membunuh seorang di antaranya dan mengusir yang lain pergi.”

Orang-orang yang berada ditepian itu harus menahan getar jantung didalam dada mereka. Bahkan Mahisa Semu, Wantilan dan apalagi Mahisa Amping telah menekan dada mereka dengan telapak tangan mereka.

“Gelap Ngampar,” desis Mahisa Murti, “satu ilmu yang dahsyat atau kalau bukan, ilmu ini tentu sejenisnya. Karena itu, tutup telinga kalian, agar getarannya tidak menyusup lewat telinga kemudian menghancurkan isi dada kalian.”

Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah menutup telinga mereka dengan telapak tangan, sementara Mahisa Murti bertanya lantang, “Siapa kau he?”

Suara tertawa itu bagaikan berputaran. Katanya, “Kau tidak perlu tergesa-gesa mengetahui siapa aku. Sebaiknya kau mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Aku bukan orang yang tergesa-gesa sehingga kehilangan pengamatan diri serta membuat langkah-langkah yang salah.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat tidak kalah kerasnya dari Mahisa Murti, “Jika kami harus membunuh lagi, maka itu bukan salah kami.”

Suara tertawa itu meledak semakin keras mengguncang-guncang isi dada. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi dengan memusatkan nalar budi akhirnya tahu arah suara itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Turun dari pohon preh itu, atau aku akan menghancurkanmu berserta pohonnya sekali.”

Orang itu terkejut, ia tidak menyangka bahwa anak-anak muda itu dapat mengetahuinya dimana ia bersembunyi. Karena itu, sebelum terlambat, maka sesosok bayangan telah turun dan bagaikan terbang meninggalkan pohon itu. Tetapi suaranya masih tertinggal, “Aku akan datang lagi anak-anak muda.”

Sepeninggal orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun termangu-mangu memandang kedua orang anak yang nampak gelisah itu. Sekali lagi Mahisa Murti berdesis, “Apakah sepasang senjata ini masih akan menuntut korban?”

Mahisa Pukat yang juga termangu-mangu menyahut, “Aku juga menyesal. Sebaiknya senjata-senjata ini tetap berada di tempatnya. Jika kita tidak mengambil senjata itu, maka tidak akan terjadi kematian yang susul-menyusul.”

“Tetapi semuanya sudah terlanjur,” berkata Wantilan, “sebaiknya kalian tidak setiap kali menyesali langkah yang sudah kalian ambil dan tidak mungkin dapat diulangi. Jika kalian masih saja selalu menyesalinya, maka kalian akan dapat tetap membawa beban itu di pundak kalian. Semakin lama semakin berat. Setiap kematian akan menambah berat beban itu, sementara sebenarnya kalian dapat meletakannya. Kalian tidak perlu membawanya ke manapun, karena itu memang bukan beban kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Wantilan memang bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi umurnya yang tertua di antara mereka berlima, membuatnya mereka wajib untuk ikut membantu meringankan beban perasaan anak-anak muda yang telah memanggilnya paman itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat berkata, “Apa boleh buat. Jika kita mengembalikan sepasang senjata itu, maka agaknya kitalah yang justru akan menjadi korban. Jika kematian demi kematian masih akan datang, biarlah terjadi. Meskipun sekali lagi, kita dapat berdoa.”

Demikianlah, kelima orang itu pun kemudian telah duduk di tepian sungai, di atas pasir yang putih. Mahisa Amping telahberbaring di atas pasir yang justru terasa hangat, meskipun beberapa langkah di sebelah mereka terdapat arus sungai yang tidak begitu besar.

Ternyata anak itu masih sempat tidur. Namun keempat orang yang lain rasa-rasanya sulit untuk memejamkan mata mereka. Tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk mempergunakan waktu yang ada untuk beristirahat. Mahisa Murti dan Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Jika matahari kemudian terbit, mereka tidak akan menghiraukannya. Mahisaa Pukat dan Mahisa Semu akan berganti berjaga-jaga, sementara Mahisa Murti dan Wantilan akan tidur dibawah rimbunnya dedaunan.

Menjelang pagi, Mahisa Murti dan Wantilan duduk memandang ke arah yang berbeda. Namun mereka tidak melihat sesuatu. Meskipun mata mereka terasa semakin lama semakin berat, namun mereka dapat bertahan sampai matahari memancar di langit.

Ketika kemudian Mahisa Pukat terbangun oleh cahaya matahari yang terasa silau di matanya, serta setelah mencuci mukanya di sungai itu, maka bergantianlah mereka yang mendapat kesempatan untuk beristirahat.

Mahisa Murti yang letih dan Wantilan yang mengantuk, segera berbaring di bawah rimbunnya dedaunan. Ternyata mereka sempat juga tertidur beberapa saat meskipun cahaya matahari menjadi semakin silau. Namun ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka mereka berlima telah duduk di tepian setelah membenahi diri serta mandi di sungai itu bergantian.

Beberapa saat kemudian, kelima orang itu termangu-mangu memandang seseorang yang berjalan menelusuri tepian dengan jala yang masih tergulung di pundaknya. Jala yang masih kering sehingga agaknya jala itu belum dipergunakannya sama sekali.

Sejak mereka berada di pinggir sungai itu, baru sekali itumereka melihat seseorang lewat. Namun agaknya orang itu memang sedang mencari lingkungan yang banyak mengandung ikan. Ketika orang itu lewat beberapa langkah di sebelah kelima orang itu duduk, maka orang itu membungkuk kecil sambil berkata, “Selamat pagi Ki Sanak. Apa yang sedang kalian lakukan di sini?”

“Duduk-duduk menikmati udara pagi di tepian Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.

“Oo,” orang itu mengangguk-angguk, “aku terbiasa mencari ikan di sepanjang sungai ini. Di sini banyak terdapat ikan wader pari. Maaf Ki Sanak, barangkali aku mengganggu.” Orang itu pun kemudian telah mengurai jalanya, dan sekali-sekali ia mulai menebarkannya.

Tetapi ternyata orang itu tidak beruntung. Sambil bersunggut-sunggut orang itu berkata, “Hari ini nampaknya bukan hari yang baik bagiku. Aku harus berpindah tempat. Mungkin aku akan mendapat kesempatan lebih baik dari di tempat ini, tempat yang biasanya memberikan banyak ikan kepadaku.”

“Hati-hati Ki Sanak,” pesan Mahisa Murti.

Orang itu justru termangu-mangu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa harus berhati-hati?”

“Bebatuan itu licin,” berkata Mahisa Murti sambil tersenyum.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun tersenyum pula sambil menyahut, “Terima kasih Ki Sanak.”

Ketika orang itu kemudian pergi sambil menggayutkan jalanya yang basah di punggungnya, maka Mahisa Murti pun berkata, “Orang itu tentu orang yang semalam berada di pohon preh.”

“Darimana kau tahu?” bertanya Wantilan.

“Ia sama sekali bukan seorang yang memiliki kemampuan untuk mencari ikan dengan jala di sungai seperti ini,” berkata Mahisa Murti.

Wantilan yang termangu-mangu itu berpaling ke arah Mahisa Semu yang juga menjadi heran atas keterangan Mahisa Murti, sehingga karena itu, maka ia pun telah bertanya, “Aku memang tidak terbiasa melihat orang menjala ikan. Tetapi kenapa kau tahu bahwa sebenarnya ia tidak mampu melakukannya? Padahal menurut penglihatanku, ia telah mengayunkan jala itu dan menebarkannya di antara bebatuan.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya kepada Mahisa Pukat, “Masa kecil kita, kita habiskan untuk bermain-main di sungai. Karena itu, kita dapat melihat dengan pasti, apakah ia seorang pencari ikan dengan jala atau bukan. Orang itu tidak dapat menebarkan jala sehingga benar-benar terbuka. Bahkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi mempergunakan jala, dapat menebarkan jala dengan cara yang sulit dimengerti. Di sela-sela bebatuan, jala itu menebar. Biasanya tebarannya bulat. Tetapi dapat memanjang, atau bahkan seakan-akan dapat menyusuri sela-sela bebatuan. Tetapi orang itu menebarkan jalanya justru mencengkam bebatuan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara Wantilan pun berkata, ”Ya. Itulah sebabnya ia hanya melakukannya sebentar saja agar tidak dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak dapat melakukannya.”

Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Tetapi kehadirannya bukannya tidak berarti. Ia tentu ingin melihat apa saja yang ada di sini. Siapa saja dan kemungkinan-kemungkinannya.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga. Tetapi aku tidak tahu, apa sebenarnya yang mencurigakan. Baru kemudian aku menjadi jelas.”

“Karena itu, maka kita harus berhati-hati,” berkata Mahisa Murti...